UU Perkawinan dan Mahkamah Konstitusi

Page 1

KETIKA UNDANG­UNDANG PERKAWINAN DIBATALKAN MK ALIMUDDIN, SHI1

PROLOG Jumat 17 Februari 2012 Masehi, bertepatan dengan tanggal 24 Rabiul Awal 1433 Hijriah, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang revolusioner sepanjang sejarah MK di republik ini. Sebagaimana dilangsir vivanews.com, MK menilai putusan ini sangat penting karena semua anak yang lahir di luar perkawinan resmi, mempunyai hubungan darah dan perdata dengan ayah mereka. Di luar pernikahan resmi yang dimaksud MK ini termasuk kawin siri, perselingkuhan, dan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan atau samen leven. 2 Dalam pandangan Prof. Mahfud MD, Pasal 43 ayat (1) Undang­Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki­laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki­laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya." Sebelumnya, pihak Pemohon (Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim dan Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono) juga mengajukan uji materil terhadap Pasal 2 ayat (2) Undang­Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dinilai bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon. 3 Namun, MK hanya mengabulkan sebagian dari permohonan Pemohon tersebut. Penulis justru beranggapan bahwa dengan hadirnya putusan MK tersebut, para Hakim Agama akan berupaya mencari 'strategi' cerdas dan terukur dalam memeriksa dan mengadili perkara perceraian yang semisal dengan perkara yang diajukan Pemohon itu, karena sebelumnya pada 2008, kasus ini sempat bergulir ke Pengadilan Agama Tigaraksa atas permohonan itsbat nikah dan pengesahan anak yang permohonannya tidak dapat diterima. Meski pernikahannya dianggap sah karena rukun nikah terpenuhi, tetapi pengadilan agama tidak berani menyatakan Iqbal anak yang sah karena terbentur dengan asas monogami yang dianut Undang­Undang Perkawinan.

1

2

3

. Hakim Pengadilan Agama Pandan Wilayah Hukum PTA Medan . "Anak Hasil Zina Harus

Dipertanggungjawabkan," http://nasional.vivanews.com/news/read/289045-mk-menangkan-sebagian-gugatan-machica-mochtar. Jum'at, 17 Februari 2012, 11:10 WIB.

. Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010, hlm. 4

1


Bagi penulis sendiri, persoalannya sekarang bukan hendak mengajak berdebat para ahli hukum dan pengambil keputusan terhadap Undang­Undang Perkawinan tersebut, tetapi yang terpenting sekarang adalah ketika Undang­Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah 'terkontaminasi' dengan tangan­tangan para pemegang kepentingan dan banyak orang yang mulai mengobok­obok legalitas sebuah perkawinan dalam Undang­ Undang tersebut, hal ini perlu menjadi kajian kita bersama. Penulis meminjam istilah Prof. Jimly mantan Ketua MK yang mengatakan bahwa ketika sebuah Undang­Undang seringkali diuji ke MK, baik menyangkut substansi maupun aplikasi di masyarakat, maka setidaknya Undang­Undang tersebut banyak masalah dan perlu dikaji. 4 Dengan demikian, merumuskan kembali revisi Undang­Undang Perkawinan adalah sebuah keniscayaan dalam konteks kekinian dimana hukum bersifat dinamis selalu berubah­ubah dalam ruang dan waktu. UPAYA REVISI UU PERKAWINAN Apa yang telah dilakukan Machica Mochtar mantan istri almarhum Moerdiono terhadap Undang­Undang Perkawinan yang berlabuh di Mahkamah Konstitusi, setidaknya menjadi bahan pemikiran para stakeholders dan pengguna (users) Undang­Undang Perkawinan, ternyata sepanjang sejarah pemberlakuan Undang­Undang Perkawinan di Indonesia membuat masyarakat gundah gulana dan gusar yang berakibat pada pengujian UU tersebut di Mahkamah Konstitusi. Upaya revisi Undang­Undang Perkawinan paling tidak menjadi prioritas utama bagi badan legislasi nasional dan harus mulai dibahas pada tingkat legislatif. Hukum yang selalu dikatakan ketinggalan dari perkembangan zaman, karena seiring perkembangan zaman, akan terjadi pergeseran nilai, yang dulunya hanya sebuah hal biasa namun dengan perkembangan zaman hal tersebut berubah menjadi perbuatan tercela bahkan menjadi perbuatan pidana. Disinilah diharapkan bahwa Hukum itu merupakan sebuah kristalisasi dari naluri, persaan, kesadaran, sikap, perilaku, kebiasaan, adab, nilai atau budaya yang hidup di masyarakat. Hukum selama ini diartikan masyarakat dalam bentuk Peraturan Perundang­udangan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang dalam hal ini secara lebih khusus diartikan menjadi Undang­Undang yang dibuat oleh Lembaga Legislatif, ternyata belum mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat, banyak aspek kehidupan dalam masyarakat yang perlu diatur oleh Negara tetapi aturan itu bukan hanya mengenai hubungan dalam bermasyarakat, namun sudah memasuki wilayah pribadi manusia sebagai anggota masyarakat.5 Sebagai solusinya, harus ada upaya membuat RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan. RUU tentang Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan adalah salah satu usaha pemerintah (sebagai penggagas) untuk membentuk 4

5

. Prof. Jimly Asshiddiqie , "Beragam Masalah Dalam UU Kita." Harian Seputar Indonesia, wawancara, 12 November 2009.

. Wasis Priyanto, SH, MH."Kewenangan PA dan RUU tentang Hukum Materil PA." asispecintailmu.blogspot.com/2010/08/kewenangan-peradilan-agama-dan-ruu.html . 1 Agustus 2010 . posted : 21: 34 WIB (akses: 18 Februari 2012)

2


hukum perkawinan yang akomodatif terhadap hak. Meski telah diusulkan sejak enam tahun lalu, namun kini baru menuai kontroversi, hal itu mungkin karena RUU tersebut baru saja dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2010. Bagan : Perbandingan RUU Perkawinan 1973 (versi pemerintah dan ulama) dan UU Perkawinan yang sudah jadi serta UU Perkawinan yang dibatalkan MK tahun 2012. RUU Perkawinan versi pemerintah Pasal 2 ayat 1 :"Perkawinan adalah syah apabila dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan undang­undang ini dan/atau ketentuan hukum perkawinan pihak­pihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan undang­undang ini."

Pasal 49 RUU Perkawinan ayat (1) berbunyi :"Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya." Ayat (2) berbunyi :"Anak yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, dapat diakui oleh ayahnya." Ayat (3) berbunyi :"Anak yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, dapat disyahkan dengan perkawinan."

RUU Perkawinan versi ulama Pasal 2 ayat 1 :" Perkawinan adalah syah apabila dilakukan di hadapan pegawai pencatat perkawinan, dicatatkan dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan dilangsungkan menurut ketentuan undang­undang ini dan/atau ketentuan hukum perkawinan pihak­ pihak yang melakukan perkawinan."

UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing­ masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Sementara Pasal 2 ayat (2) menyatakan, “Tiap­ tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang­ undangan yang berlaku”. Pasal 49 RUU Perkawinan Pasal 43 UU Nomor ayat (1) berbunyi :"Anak 1 Tahun 1974 Pasal yang dilahirkan di luar (1) Anak yang perkawinan yang sah dilahirkan di luar hanya mempunyai perkawinan hanya hubungan perdata dengan mempunyai ibunya." hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. (2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan putusan MK

Tetap seperti semula (Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak dibatalkan MK.

Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 dibatalkan MK sehingga menjadi : “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki­laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

EPILOG Apa yang telah penulis sampaikan, paling tidak ada tiga hal sebagai bahan pemikiran bersama, antara lain : 1. Upaya revisi Undang­Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sebuah keniscayaan, dan RUU HMPA perlu dipercepat pembahasannya. 2. Para Hakim Peradilan Agama khususnya, dan masyarakat Islam umumnya, perlu menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU­VIII/2010 tanggal 17 3


Februari 2012 tersebut secara cerdas, arif, visioner dan mempunyai sense of justice. Dengan demikian, peluang ijtihad masih terbuka lebar dalam rangka memeriksa dan mengadili perkara perkawinan akibat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. 3. Ketika Undang­Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dibatalkan Mahkamah Konstitusi, maka gejala­gejala sosial kultural pada prinsipnya telah terbentuk di tengah­tengah masyarakat, mereka semakin cerdas melihat pelbagai peristiwa hukum yang terjadi akibat dari produk hukum yang ada, dengan demikian sebagai seorang juris yang berpedoman pada nilai­nilai keadilan dan keluhuran martabat, hakim seharusnya mampu menjawab gejala tersebut melalui peningkatan kualitas keilmuan dan keimanan. Demikian, semoga ada manfaat. Tapanuli Tengah, 21 Februari 2012.

4


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.