KITA BICARA: PENGARUH KOMEDI DALAM KOMUNAL Merupakan Kerja Kolaborasi antara: Cowet Watu, Gardu Unik, Jatiwangi Art Factory (JAF), Kartoen Bitjara Studio, Keluarga Pelaku Seni Dan Desain Cirebon (KPSDC), Konsorsium Musik Keramik (KOSMIK), SINAU Art Course. Pembicara: Bayu Alfian, Domi Dwinanda Saputra, S. Sn, Martina Vey, Putri Sarinande, Tedi Nurmanto, dan Yahya Malik serta Dimoderasi oleh Agus Suwanda.
Diskusi yang berlangsung pada jumat 21 Agustus 2009 ini dihadiri oleh 22 orang dari seluruh komunitas yang terlibat. Dimulai pukul 16.00 sampai dengan pukul 18.15 WIB, dirasakan belum cukup mendapati apa yang kami harapkan. Sehingga, Diskusi tersebut menambah pekerjaan rumah tersendiri. Karena diskusi ini bukan merupakan bentuk perkuliahan maka terjadi interaksi yang baik, yang mana para pembicara bukan satu-satunya yang dianggap benar. Pembicara melakukan mediasi terhadap isu yang diangkat dalam diskusi melalui beberapa tulisan-tulisannya. Presentasi yang dilakukan pun selalu ditanggapi oleh peserta diskusi lain secara kritis. Kita bicara akan dilanjutkan melalui pendekatan kuantitatif berupa pemberian kuesioner via Short Message Service (SMS), facebook, email, dan media lainnya serta dengan diskusi-diskusi berikutnya. Kami berencana menjadikan 'kita bicara' sebagai program yang santai dan berkelanjutan dalam menanggapi isu-isu terkini di sekitar Serta menjadikan program ini sebagai bentuk silaturahmi. Kita Bicara mengucapkan terima kasih kepada:
Diskusi berlansung sangat santai
Kita Bicara Sebagai Bentuk Silaturahmi Antara Komunitas
Diskusi Yang Dilaksanakan Dengan Sederhana
Kita Bicara: Pengaruh Komedi Dalam Komunal
Diskusi Dipenuhi Canda Tawa Para Pesertanya, Sehingga Berlangsung ‘Mencair’
Kita Bicara Bukan Merupakan Bentuk Perkuliahan
Kita Bicara - Agustus 2009 KOMEDI ko·me·di /komédi/ n sandiwara ringan yg penuh dng kelucuan meskipun kadang-kadang kelucuan itu bersifat menyindir dan berakhir dng bahagia; drama ria; -- bangsawan ark pertunjukan sandiwara dng nyanyian bangsawan; -- banyolan komedi khusus untuk membuat penonton tertawa (tanpa berisi pesan apa-apa); -- romantik komedi yg berisi petualangan dan pendewaan cinta oleh para pelakunya; -- satire Sas komedi yg berisi pernyataan sindiran (kepedihan, kegetiran, dsb) thd suatu keadaan atau seseorang: kelompok teater itu selalu menampilkan -- satire pd setiap pertunjukannya; -- stambul komedi berbahasa Melayu yg menceritakan Hikayat 1001 Malam, dialognya dilagukan dng iringan musik; komedi bangsawan KOMUNAL Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): ko·mu·nal a 1 bersangkutan dng komune; 2 milik rakyat atau umum. ko·mu·ne n 1 wilayah administrasi terkecil yg ditandai oleh pemilikan dan pemakaian hak secara kolektif; 2 kelompok orang yg hidup bersama Kata tersebut sangat berkorelasi jika kita telaah pengertiannya dengan kata 'kita': ki·ta pron 1 pronomina persona pertama jamak, yg berbicara bersama dengan orang lain termasuk yg diajak bicara; 2 cak saya; -- orang cak kita; ke·ki·ta·an n 1 yg bersifat atau berciri kita; 2 kesatuan perasaan antara kita: fungsi ideologi membangun sikap ~; 3 sifat mementingkan kebersamaan dl menanggung suka duka (saling membantu, saling menolong, dsb) ESAI PEMBUKA: PENGARUH KOMEDI DALAM KOMUNAL Apa itu komedi? Ketika mendengar kata tersebut, aku mendeskripsikannya sebagai suatu hal yang akan membuat tertawa. Namun, makna apa yang ada dibalik setiap tawa bahkan sekedar senyuman tersebut. Apakah komedi itu perupaannya seperti program – program televisi baik di waktu yang lalu maupun kini. Kebanyakan dari semua program komedi yang disiarkan di televisi merupakan bentuk dominasi media terhadap massa (pemirsa). Hal ini memang tidak dapat kita pungkiri jika dilihat dari era teknologi sekarang dimana setiap orang dapat mengakses hasil-hasil terapan teknologi tersebut dengan sangat mudah baik dari segi ruang dan waktu. Komedi macam apa sajakah yang pernah kalian lihat dalam siaran televisi? Apa pendapat kalian tentang komedi tersebut? Apakah keseluruhan komedi tersebut dapat terklasifikasikan oleh kalian, baik secara bentuk maupun kadar komedinya? Banyak sekali bentukan dari komedi yang dapat kita temukan baik dari siaran televisi maupun dari lingkungan di sekitar kita. Komedi dapat kita temukan dalam bentukannya yang berupa audio maupun visual baik yang stastis atau dinamis bahkan yang berupa teks sekalipun. Dari segi bentuk tersebut dapat kita tarik garis besar segmentasi penikmat komedinya. Sensibilitas humor yang didukung oleh media eletronik seperti televisi maupun media cetak kini semakin meningkatkan kuantitas penikmat komedi dan kemudian menjadikan profesi sebagai komedian sangat prospektif terlebih lagi dengan semakin berkembangnya teknologi dunia maya seperti internet. Lantas media yang sangat berpengaruh terhadap komunal kemudian membentuk semacam 'standarisasi' yang keseluruhannya 'berpusat' dari apa-apa saja yang tersaji oleh kekuatan media tersebut. Sehingga berdampak pada sosial dan budaya komunal di mana pun dan karena faktor pengaruh tersebut 'menuntut' media memberikan tayangan-tayangan yang lebih berkualitas. Namun secara personal, hal tersebut aku perhatikan hanya memiliki tendensi komersial saja dengan ditandai oleh monotonnya tayangan-tayangan yang disiarkan media. Keberpusatan ini seolah menjadi 'ladang' yang subur bagi para pembajak karya dimana kita bisa mendapati karyakarya bajakan tersebut di pinggiran jalan. Hal tersebut menjelaskan tentang tidak kuatnya legalitas hak atas kekayaan intelektual (HaKI) seperti salah satunya yaitu lisensi 'copyright' atas suatu karya intelektual. Merupakan suatu hal yang lucu jika masyarakat kita mengklaim tempe berasal dari Indonesia sedangkan Jepang mematenkan formulasinya. Dan merupakan hal yang lucu juga masyarakat kita protes ketika sejenis kesenian 'reog ponorogo' ditampilkan oleh Malaysia bernama 'Barongan'. Mengapa kita harus mempeributkan hal-hal yang sifatnya public domain tersebut. Banyak sekali kemungkinan-kemungkinan jawaban untuk pertanyaan tersebut.
Cukup komedi-kah masyarakat kita? Setiap kali kita bersantai dalam komunal terkecil sekalipun, komedi selalu ada walau kadar humor (sense of humor) selalu relevan terhadap hal-hal seperti konteks ruang-waktu, ras, gender, budaya, kematangan hidup / kedewasaan, level pendidikan serta intelektualitas. Oleh karena itu, kadar humor pun berhubungan dengan estetik seseorang. Kemudian akan menciptakan interaksi dalam komedi itu sendiri. Kutipan Kuratorial OK. Video Comedy yang dikurasi oleh Aminudin TH Siregar: Apakah ada komedi yang universal? Seperti halnya seni: tentu saja tidak (dan tidak ada logika yang mendukung keuniversalan ini, sekalipun Anda yang di Tebet, Boyolali, Wamena, atau mereka yang di New York, Sidney, atau di Madinah bisa saja sama-sama terbahak menonton ulah Mr. Bean). Komedi sudah sangat menempatkan pengaruhnya dalam komunal secara spesifik tak heran jika komedi menjadi strategi yang cerdas dalam mencermati kehidupan. Relevansi komedi kemudian membentuk 'ruang gerak' untuk perkembangan kartun yang kaitannya erat dengan ekualitas sosial. Kesetaraan untuk bereaksi terhadap sajian komedi dimiliki oleh semua orang tanpa terkecuali; tergantung kepada kadar humor orang itu sendiri.
Korelasi Komedi Dengan Kartun Kartun mampu merepresentasikan fenomena-fenomena sosial yang terjadi, setara dengan implementasi lainnya terlebih lagi dapat menjangkau seluruh aspek pengaruh kebudayaan serta berkembang untuk melihat fenomena-fenomena tersebut dengan spesifik. Dan dengan medium-medium baru yang dapat diakses dengan mudah, kartun pun berkembang menjadi elemen budaya yang bersifat lintas-disiplin tanpa harus menggilas ketradisian suatu disiplin tertentu karena dalam hal ini kartun memerankan posisinya sebagai mediator. Meskipun tidak selalu mudah bagi pelaku ketradisian 'berbagi' maupun 'berkolaborasi' bersama format medium kekinian dengan alasan penaatan 'protokol tradisi'. Protokoler-protokoler ini kemudian akan menjadi sangat sentralistis tanpa membiarkan elemen periferi (Elemen yang berada di luar dari pusat) menjangkau kesetaraannya. Proyek modernitas yang terus diterapkan dan turun-temurun menjadikan sentralitas ini sebagai implementasi pengagungan tertentu. Secara bahasa, kartun berasal dari bahasa Perancis, “cartone” yang berarti kertas. Hal tersebut dikarenakan kartun memang biasa digambar di atas kertas atau bahan sejenisnya. Kartun sendiri memiliki titik satir-dalam hal ini diartikan sebagai sebuah ironi, tragedy-komedi atau suatu parody, meskipun titik satiris dalam gambar kartun tidak ditekankan sebagai dominan karena kartun lebih menitik-beratkan pada sisi humor daripada satir. Menurut ensiklopedia internasional, karikatur didefinisikan sebagai suatu satir dalam bentuk gambar atau patung. Karikatur sudah pasti bisa dikatakan kartun meski keduanya memiliki perbedaan karena secara bahasa karikatur berasal dari bahasa itali, “caricare” yang berarti memuatdalam hal ini memuat berlebihan. Gian Lorenzo Bernini-seorang pematung dan arsitek, mempopulerkan kata “caricatura” ketika ia datang ke Perancis dan sekitar tahun 1665 kata tersebut kemudian digunakan dalam kehidupan dunia seni. Karikatur mewakili kartun yang dengan spesifik mengangkat kesatiran karena bagi kebanyakan orang yang berada dalam lingkup gaya seni ini, karikatur mengandung 2 (dua) ciri: pertama, adanya satir dan kedua, adanya distorsi. Melihat ciri-ciri tersebut, ternyata Leonardo Da Vinci dan Albrecht Durer telah memulainya sejak sekitar tahun 1550 yang sudah tentu mereka memulai dalam karya lukis pada umumnya (fine art) bukan dalam coretan-coretan a la karikatur pada saat ini. Di Indonesia sendiri, Bung Karno termasuk salah seorang karikaturis pada zaman pendudukan Belanda; dimana setiap karikaturnya, ia biasa mencantumkan nama samaran, Soemini. Melalui karikatur, seseorang dapat mempengaruhi komunal dengan pesan dan kesan yang dimuat dalam karikatur. Oleh karena karikatur memiliki 'kekuatan' mempengaruhi tersebut, David Low-seorang karikaturis Inggris, sampai sekarang masih dikenal kebanyakan orang sebagai seorang yang (konon) pernah membuat Hitler tak bisa tidur akibat karikatur yang dibuatnya semasa Perang Dunia II sedang berlangsung. Lukisan Picasso tentang perang di Guernica tahun 1937 meskipun berisi gambar-gambar simbolis tapi ia mencoba merepresentasikan tentang manusia yang menderita akibat serangan militer. Lukisan itu kemudian menjadi salah satu simbol antiperang, selain simbol Merpati yang juga dibuat pertama kali oleh Picasso. Yoshitomi Yasuo mengatakan ”Susah sekali memancing kemarahan di Jepang yang di permukaannya dibuat seakan damai,”. Menurutnya, berbagai masalah sebenarnya menimbulkan keresahan, tetapi orang Jepang berusaha untuk menutupi keresahan itu. Misalnya saja soal antiperang dan tanpa tentara di Jepang dimasukkan ke Artikel ke-9 Konstitusi setelah Perang Dunia II (Bunyi dari pasal 9 tersebut adalah “Aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the threat or use of force as means of settling international disputes…In order to accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea, and air forces, as well as other war potential, will never be maintained. The right of belligerency of the state will not be recognized”) Tiba-tiba, tanpa memedulikannya, Jepang mengirim tentara untuk berperang bersama AS di Irak. Secara ideal karikatur harus dapat merepresentasikan persoalanpersoalan yang terangkat sebagai isu serta dapat bersuara dalam menganalisis perkembangan sosial-politik yang terjadi saat itu. Oleh karena itu, karikatur mengandung sesuatu yang janggal (absurd) tetapi tetap bisa menertawakan.
Kutipan dari Redaksi Indonesia, 10 April 2006 yang ditulis ulang: Kartun Sebagai Media Propaganda Akhir minggu bulan Maret, dalam kartun editorial Koran Rakyat Merdeka termuat karikatur menghujat dua berwajah John Howard dan Alexander Downer sedang bersiap akan melakukan sodomi dengan kalimat 'We need Papua. Ayo Al, mainkan!'. Sekitar satu minggu kemudian The Australian membalas dengan karikatur bergambar binatang menggunakan peci yang berwajah mirip Soesilo Bambang Yudhoyono; tertawa dan bilang, "Don't take this in the wrong way!", sedang menyodomi binatang hitam berambut keriting dan tulang di hidungnya yang secara jelas mengingatkan kita pada wajah orang Papua. Perang karikatur ini terjadi menyertai hubungan diplomatik yang memanas akibat penerimaan pemerintah Australia terhadap 42 pencari suaka dari Papua. Belakang dunia dibuat panas akibat Koran Denmark Jyllands Posten memuat karikatur Muhammad, nabi para muslim yang sangat taat menjalani larangannya untuk tidak sekalipun menggambarkan profil wajah nabinya itu. Api menyala di hampir semua negara Islam di Timur Tengah maupun di negara yang berwarga muslim. Juga, di Indonesia. Bahkan Duta Besar Denmark menyatakan permintaan maaf kepada kaum Muslim atas pemuatan kartun itu, meski tetap menyatakan bahwa pemerintahnya tak kuasa untuk membatasi pers di negaranya yang demokratis. Ternyatalah bahwa kartun atau karikatur, di antaranya memang efektif untuk dipakai menyerang golongan atau oposisi lain yang dianggap berseberangan sikap, pemikiran dan ideologinya. Sesuai sifatnya yang mengusik emosi, menggelitik syaraf tawa, dan menghantarkan ke pemikiran kritis, sebuah kartun dengan penggambaran tertentu bisa dipakai untuk melukai perasaan atau membunuh karakter lawan. Gambar sebagai media propaganda dalam perang urat syaraf bahkan dipakai semenjak orang mengenal ilmu dan media cetak. Secara terbuka dipakai sejak Perang Dunia I. Yang bisa kita dijadikan sebagai contoh klasik dan tertinggal lama di benak orang sedunia adalah gambar Charlie Chaplin. Ia memanasi perang propaganda antara Sekutu melawan Jerman. Kumis segi empat Chaplin dan cara berjalannya yang seperti pinguin memang sengaja dipakai untuk mengejek Hitler selama Perang Dunia II. Kartun Sebagai Representasi Histori-Politik di Indonesia Di Koran, penerbitan serta tembok-tembok di beberapa kota besar di Indonesia antara 1945 - 1949 banyak dimuat dan tergambarkan berbagai kartun melawan penjajah. Gambarnya, tentara Jepang ditendang oleh kaki besar telanjang, dan tentara Inggris ditusuk. Dengan tambahan tekstual 'Jepang kita tendang, Inggris kita linggis' Saat Soekarno menyatakan Konfrontasi melawan Malaysia 1962 – 1966 (lihat referensi kesejarahan), hampir setiap hari berbagai koran di Indonesia memuati karikatur yang menistakan Tengku Abdulrachman, Perdana Menteri Malaysia waktu itu. Slogan 'Ganyang Malaysia' disertai dengan gambar Tengku Abdulrahman sebagai boneka Inggris. Beberapa koran bahkan menggambarkannya bertubuh binatang, sebuah cara umum dan jamak dalam membangkitkan kebencian kolektif atas lawan lewat gambar kartun. Karakter Perdana Menteri itupun dibanting senilai tinjanya orang Inggris. Di masa Orba lain lagi. Setelah koran kiri macam Harian Rakyat, Bintang Timur, Suluh Marhaen, Swadesi dsb. diberangus atau mati perlahan-lahan, media pers Indonesia memang kehilangan kartunis politik yang hebat dan jenial karena ditangkap atau dibunuh seiring Pembantaian Massal 1965 dan pembersihan Sukarnois lewat operasi Bersih Lingkungan. Sensor pers dilakukan sangat ketat, Saat ke saat. Terbukti ketika Suluh Marhaen di Yogya, akhir 1960an, memuat sebuah kartun strip bercerita tentang bebek-bebek gemuk bernama Hart Godean dan Tience Dembleb, koran itu dibredel dan karikaturisnya dipenjara tahunan lamanya. Setelah itu, tak satupun koran dan majalah di Indonesia berani memanfaatkan fungsi kartun editorialnya untuk mengkritik pemerintahan Orde Baru. Bila ada, hanya berupa sindiran dan amat sangat simbolik serta halus. Yang sama sekali tabu adalah memanfaatkan gambar untuk mempermainkan praktek-praktek biadab tentara dan kerakusan keluarga Cendana. Baru pada awal 1991 terbuka kembali mata dan kesadaran orang Indonesia saat beredarnya sebuah Kalender poster bertajuk 'Tanah Untuk Rakyat' yang berisi kartun, dengan teknik Humor Hitam dan telah membuat pemerintahan Orde baru, keluarga Cendana dan Militer secara serempak tergoyahkan. Kejaksaan Agung melarang peredaran, pemajangan, bahkan penyimpanan barang itu. Dan menginstruksikan penangkapan pembuatnya, hidup atau mati, serta menuduhnya telah melakukan tindakan subversif.
“COGITO, ERGO SUM” (AKU BERPIKIR, JADI AKU ADA ) Pernyataan Descartes1 tersebut sangat inspiratif; logika, analisis geometri dan aljabar ternyata perlu dilengkapi oleh metode lain yang mempunyai kelebihan sebagai berikut: 1. Tidak menerima apapun sebagai benar kecuali jika diyakini bahwa hal tersebut adalah benar 2. Memilah masalah menjadi bagian-bagian terkecil untuk mempermudah penyelesaian 3. Berpikir runtut dari yang paling sederhana sedikit-sedikit sampai yang paling rumit 4. Perincian yang lengkap dan pemeriksaan menyeluruh diperlukan supaya tidak ada yang terlupakan 2
Jika pernyataan tersebut kita tarik garis besar korelasinya dengan pernyataan Mahatma Gandhi “harus ada kebenaran dalam berpikir, berkata dan bertindak”, maka kita mendapati bahwa cara kerja manusia harus sistematik dan organis. Menurut Lenin, kekuatan sosial ialah melalui organisasi (dapat dikatakan 'komunal') dimana tanpanya Proletariat bukanlah apa-apa. Di Indonesia sendiri; sejak terjadinya pembaharuan multi sektoral pada tahun 1998, telah ikut pula meruntuhkan sentralisasi terhadap pelbagai aspek; sosial, ekonomi, politik dan aspek-aspek lain yang keseluruhannya ditujukan demi pencapaian terbaik dalam kemasyarakatan. Serta dengan terus berkembangnya Ilmu Pengetahuan atas Masyarakat, secara tidak langsung menuntut kita untuk melakukan peningkatan; Bukan hanya peningkatan kuantitatif saja, namun diikuti juga oleh peningkatan kualitatif. Ilmu Pengetahuan telah menghapus banyak pandangan tradisional dengan berbagai takhayulnya dan telah menghasilkan teknik ilmiah yang membawa perubahan pada masyarakat. Namun, karena teknik memperbesar kontrol atau kendali; salah satu akibatnya adalah semakin memperbesarnya oligarki totaliter dimana usaha pembebasan tidak mungkin lagi karena hal tersebut hanya mungkin jika didukung oleh militer. Padahal militer secara mudah dibeli dengan memberi mereka jaminan sosial yang lebih tinggi serta pembagian kekuasaan. Kemajuan ilmiah Dengan demikian tidak hanya membawa dampak baik, tetapi juga horor. Kita dapat melakukan pencegahan melalui cara berpikir baru serta demokratisasi, yang diartikan sebagai terbukanya kesempatan untuk berinisiatif. Pernyataan-pernyataan tersebut dapat 3 kita korelasikan oleh pernyataan Imam Khomeni, “Saya sungguh-sungguh berharap bahwa evolusi manusia akan mencapai suatu tingkat kematangan sedemikian, sehingga ia menjelmakan senapan-senapan mesin menjadi pena-pena; karena pena dan ilmu pengetahuan telah melayani kemanusiaan, sedangkan senapan mesin tidak”. Para Pemikir dari berbagai negara tersebut keseluruhannya sangat berkontribusi secara kritis terhadap perkembangan manusia dengan segala persoalan serta fenomena yang menjadi isu dalam sosial dan budaya. Hal-hal yang inspiratif ini memunculkan pertanyaan, “seberapa jauhkah, aku telah berpikir?” lalu apakah pemikiran-pemikiran tersebut teraplikasikan dalam suatu kekuatan yang menjadi fokus disipilin masing-masing dari kita. Berdasarkan empiris tentang hal yang terkait aplikasinya dalam berpendapat; dimana tidak jarang kecenderungan kita mengeluarkan pendapat atas pemikiran semata hanya untuk menilai sesuatu ataupun seseorang dalam umpatan-umpatan yang secara jelas tidak memiliki upaya peningkatan kualitas bersosialisasi. Lantas akankah kita terus bersosial dalam kecenderungankecenderungan seperti itu atau kita akan dapat memberikan kontribusi serta bertanggung jawab atas pemikiran-pemikiran dari pembentukan inisiasi atau reaksi terhadap isu-isu dalam konteks multi disipliner. Dengan begitu banyaknya studi-studi sosial, secara nyata memberikan pengaruh sedemikian besar sehingga tidak terbayangkan limitasi dalam proses inisiatif tersebut. Meskipun hal-hal yang menginfluensi masyarakat masih banyak menciptakan metode sentralitas, tetapi hal tersebut justru semakin menginisiasi komunal dalam lingkup cakupan periferi berhasrat mendemokratisir aspek-aspek dalam lingkup minoritasnya melalui proyek-proyek pemberdayaan dan studi sosial berdasarkan pemikiran-pemikiran baru yang memungkinkan menjadi sintesis atas dominasi arus utama (mainstream).
Yang bertanggung jawab atas esai ini: Bayu Alfian Dapat diakses melalui penyebaran massal atau www.kartoenbitjara.co.cc (dapat didownload secara gratis dan dicopy sebanyak-banyaknya) | 1 kutipan buku; Risalah Tentang Metode (Rene Descartes), 2 kutipan buku; Mahatma Gandhi: Pejuang Tanpa Kekerasan (Trimurti), 3 kutipan buku; Mata Air Kecemerlangan (Hamid Algar-Robin W. Carlsen)
PENGARUH FILM KOMEDI BAGI MASYARAKAT UMUM Tulisan: Domi Dwinanda Saputra, S. Sn LATAR BELAKANG Kepuasan, Eksistensi, Popularitas, Pribadi sebagai Individu KONSEP BERKARYA
Keinginan, Dorongan minat dibarengi tuntutan / kebutuhan, Pribadi sebagai Bagian dari Masyarakat Film Sebagai Output Berkarya: · Film sebagai media penyampaian informasi dan komunikasi · Film sebuah media Dialog Sebagai karya, film merupakan tayangan gambar bergerak: Kekerasan / Kriminal Humor / Komedi Film: Tayangan Gambar Bergerak Seks Horor / Mistik Film Komedi: KOMEDI
HIBURAN
KESEGARAN / RILEKSASI
REALISTIS KONYOL Karakter / Ciri Komedi: · Warkop : Gesture – Musikal · Kabayan : Kepolosan – Mimik – Ikon / Atribut · Srimulat : Gesture – Musikal KOMEDIAN: · Berperan Menghibur · Sindiran · Ejekan · Pelecehan I. II.
KOMEDIAN KOMEDIAN
III.
KOMEDIAN
KOMEDIAN INDIVIDU LAIN
KOMEDI DALAM KEGIATAN KOMUNITAS Tulisan: Putri Sarinande Apakah itu Komunitas? Bagi saya, Komunitas adalah wadah bagi sekumpulan orang yang melakukan aktifitas beragam dan tetapi ada semacam benang merah yang dilakukan bersama. Sedangkan Komunal, lebih bermakana pada kegiatan bersama dan juga beragam tanpa didasari keinginan pribadi. Katakanlah, lebih serupa barang kodian saja, semuanya bisa dikatakan nyaris sama. Padahal, bukankah setiap orang itu sudah dari awal tercipta berbeda? Meskipun demikian, baik di komunitas ataupun kegiatan komunal, akan ada saja benang merahnya. Apakah benang merah itu? Komedi. Apa pulak itu komedi? Bingung saya merumuskannya. Satu hal sudah pasti, komedi seharusnya menimbulkan tawa. Teman saya, Titurabi, membantu saya merumuskan komedi dalam bentuk Emoticon Yahoo Messenger, sebuah alat bantu mengobrol jarak jauh. Dengan asumsi, saya dan Neng Tita – begitu saya memanggilnya, memiliki pemahaman yang sama tentang komedi, yaitu tawa. Karena saya percaya segala sesuatu dalam kehidupan ini tidak mutlak, maka saya mengambil rujukan dari kata tawa dan Emoticon Yahoo Messenger sebagai efek terhadap aktifitas bersama. Ada empat dasar bentuk komedi merujuk pada bantuan Emoticon Yahoo Messenger ini, saya lupa sejujurnya apa saja Emoticon Yahoo Messenger yang disarankan oleh Neng Tita. Jadi, mengembalikan insting saya untuk bekerja. Saya memilih emoticon yahoo messenger sebagai rujukan sebab saya pengguna emoticon yahoo messenger yang nyaris setia untuk mencari dan mempertahankan teman. Bukankah tema-teman itu yang pada akhirnya didapatkan dari interaksi bersama komunitas? Yang pertama tentu yang paling diinginkan dalam setiap komedi adalah Alias 'ngakak guling-guling' disebabkan oleh kelucuan luar biasa. Adakah alasan kenapa? Umumnya, tipe komedi yang menghasilkan tawa seperti ini adalah komedi yang mampu meresap ke dalam setiap yang terlibat di dalamnya, sehingga sanggup menertawakan diri sendiri. 'Ngakak guling-guling inilah yang menurut saya mampu dijadikan bahan rujukan pribadi apakah komunitas dalam mana si pelaku komedi beraksi, mau menerima kesan pertama yang cukup menentukan ini. Yang kedua adalah komedi yang mampu menimbulkan tangis haru bahagia. Tawa sembari ada lelehan ingus dan air mata, diwakilkan dengan gambar ini yang dalam keadaan bergerak memberikan efek imajinatif 'air mata tumpah ruah bak air terjun'. Komedi jenis ini, jika dipakai untuk bentuk satir memang menarik. Namun, jika ini digunakan untuk menarik perhatian, maka bersiaplah anda mendapat sebutan 'soo‌lebai' alias hiperbokis, yang dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar disebut juga berlebihan. Sejauh yang saya ketahui, komedi jenis ini adalah komedi tragedi, yaitu ketika sebuah tragedi sanggup mengundang tawa. Yang ketiga, adalah komedi yang memicu huru-hara, dan disimbolkan dengan ini: Hal ini bisa terjadi jika komedi yang diciptakan tidak tulus, dan disertai dengan ketidak-arifan si pendengar komedi. Bisa saja ia merasa kegeeran dangdut, disangkanya ia yang dijadikan bahan lelucon, padahal memang. Komedi jenis ini sangat tidak saya anjurkan untuk aktifitas apa pun dan dalam komunitas mana pun.Kita sedang mencari tawa, bukan mencari gara-gara. Yang paling menyakitkan bagi si pelaku komedi, setidaknya bagi saya, adalah komedi yang menjadikan suasana menjadi datar, seperti ini: - sebuah simbol wajah datar. Hal ini bisa terjadi karena komedi yang digunakan kelewat cerdas. Cerdas di sini lebih tepat dikatakan egois, sebab tidak berempati terhadap seisi komunitas. Namun, bukan berarti komedi jenis terakhir ini tak bisa diaplikasikan? Menarik sebenarnya, ketika seseorang bermaksud menimbulkan tawa justru menghasilkan muka-muka datar sebab niatnya itu salah arah. Dan justru, kesalah-arahan si pelaku inilah yang pada akhirnya menimbulkan tawa. Apa pun, komedi adalah salah satu cara memicu tawa. Dan tawa itu sendiri diperlukan dalam kegiatan manusia sehari-hari. Penelitian entah siap menunjuk bahwa tawa memerlukan sedikit energi daripada marah. Maka, berkomedilah bersama, sehingga dapat tertawa bersama-sama. Ini tentu lebih menyenangkan dan lebih wajar daripada tertawa sendiri serupa ABG sedang jatuh cinta ataupun disangka gila! Kamar Gudang / Gudang Kamar 21 Agustus 2009
Tarling Cerbonan Dikutip oleh: YAHYA MALIK Tarling merupakan kesenian khas dari wilayah pesisir timur laut Jawa Barat (Indramayu-Cirebon dan sekitarnya). Bentuk kesenian ini pada dasarnya adalah pertunjukan musik, namun disertai dengan drama pendek. Nama "tarling" diambil dari singkatan dua alat musik dominan: gitar akuistik dan suling. Selain kedua instrumen ini, terdapat pula sejumlah perkusi, saron, kempul, dan gong. Awal perkembangan tarling tidak jelas. Namun demikian, pada tahun 1950-an musik serupa tarling telah disiarkan oleh RRI Cirebon dalam acara "Irama Kota Udang", dan menjadikannya populer. Pada tahun 1960-an pertunjukan ini sudah dinamakan "tarling" dan mulai masuk unsur-unsur drama. Semenjak meluasnya popularitas dangdut pada tahun 1980-an, kesenian tarling terdesak. Ini memaksa para seniman tarling memasukkan unsur-unsur dangdut dalam pertunjukan mereka, dan hasil percampuran ini dijuluki tarling-dangdut (atau tarlingdut). Selanjutnya, akibat tuntutan konsumennya sendiri, lagu-lagu tarling di campur dengan perangkat musik elektronik sehingga terbentuk grup-grup organ tunggal tarling organ. Pada saat ini, tarling sudah sangat jarang dipertunjukkan dan tidak lagi populer. Tarling dangdut lebih tepat disebut dangdut Cirebon. Sejarah Tarling Cirebonan Bagi masyarakat yang tinggal di pesisir pantai utara (pantura), terutama Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon, kesenian tarling telah begitu akrab. Alunan bunyi yang dihasilkan dari alat musik gitar dan suling, seolah mampu menghilangkan beratnya beban hidup yang menghimpit. Lirik lagu maupun kisah yang diceritakan di dalamnya, juga mampu memberikan pesan moral yang mencerahkan dan menghibur. Meski telah begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat, tak banyak yang mengetahui bagaimana asal-usul terciptanya tarling. Selain itu, tak juga diketahui dari mana sebenarnya kesenian tarling itu terlahir. Namun yang pasti, tarling merupakan kesenian yang lahir di tengah rakyat pantura, dan bukan kesenian yang 'istana sentris'. Karenanya, tarling terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, dan tidak terikat ritme serta tatanan tertentu sebagaimana seni yang lahir di tengah 'istana'. Melodi Kota Ayu dan Melodi Kota Udang Sebelum 'resmi' bernama tarling, kesenian ini dikenal dengan sebutan 'melodi kota ayu' di Kabupaten Indramayu, dan 'melodi kota udang' di Cirebon. Pada 17 Agustus 1962, ketua Badan Pemerintah Harian (BPH, sekarang DPRD) Kabupaten Cirebon, menyebut kesenian itu dengan sebutan tarling. Nama tarling itu diidentikkan dengan asal kata 'itar' (gitar dalam bahasa Indonesia) dan suling (seruling). Versi lain pun mengatakan bahwa tarling mengandung filosofi 'yen wis mlatar kudu eling'' (jika sudah berbuat negatif, maka harus bertaubat). Salah seorang tokoh seni asal Kabupaten Indramayu, Supali Kasim, membuat catatan tersendiri soal tarling dalam bukunya yang berjudul Tarling, Migrasi Bunyi dari Gamelan ke Gitar-Suling. Dalam buku itu dia menuturkan, asal tarling mulai muncul sekitar tahun 1931 di Desa Kepandean, Kecamatan / Kabupaten Indramayu. Saat itu, ada seorang komisaris Belanda yang meminta tolong kepada warga setempat yang bernama Mang Sakim, untuk memperbaiki gitar miliknya. Mang Sakim waktu itu dikenal sebagai ahli gamelan. Usai diperbaiki, sang komisaris Belanda itu ternyata tak jua mengambil kembali gitarnya. Kesempatan itu akhirnya dipergunakan Mang Sakim untuk mempelajari nada-nada gitar, dan membandingkannya dengan nada-nada pentatonis gamelan. Hal itupun dilakukan oleh anak Mang Sakim yang bernama Sugra. Bahkan, Sugra kemudian membuat eksperimen dengan memindahkan nada-nada pentatonis gamelan ke dawai-dawai gitar yang bernada diatonis. Karenanya, tembang-tembang (kiser) Dermayonan dan Cerbonan yang biasanya diiringi gamelan, bisa menjadi indah dengan iringan petikan gitar. "Keindahan itupun semakin lengkap setelah petikan dawai gitar diiringi dengan suling bambu yang mendayu-dayu," ujar Supali. Alunan gitar dan suling bambu yang menyajikan kiser Dermayonan dan Cerbonan itu pun mulai mewabah sekitar dekade 1930-an. Kala itu, anak-anak muda di berbagai pelosok desa di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon, menerimanya sebagai suatu gaya hidup. Bahkan pada 1935, alunan musik tarling juga dilengkapi dengan kotak sabun yang berfungsi sebagai kendang, dan kendi sebagai gong. Kemudian pada 1936, alunan tarling dilengkapi dengan alat musik lain berupa baskom dan ketipung kecil yang berfungsi sebagai perkusi.
Sugra dan teman-temannya pun sering diundang untuk manggung di pesta-pesta hajatan, meski tanpa honor. Biasanya, panggung itu pun hanya berupa tikar yang diterangi lampu patromak (saat malam hari). Tak berhenti sampai di situ, Sugra pun melengkapi pertunjukkan tarlingnya dengan pergelaran drama. Adapun drama yang disampaikannya itu berkisah tentang kehidupan sehari-hari yang terjadi di tengah masyarakat. Akhirnya, lahirlah lakon-lakon seperti Saida-Saeni, Pegat Balen, maupun Lair Batin yang begitu melegenda hingga kini. Bahkan, lakon SaidaSaeni yang berakhir tragis, selalu menguras air mata para penontonnya. Tak hanya Sugra, di Kabupaten Indramayu pun muncul sederet nama yang melambungkan tarling hingga ke berbagai pelosok daerah. Di antara nama itu adalah Jayana, Raden Sulam, Carinih, Yayah Kamsiyah, Hj Dariah, dan Dadang Darniyah. Pada dekade 1950-an, di Kabupaten Cirebon muncul tokoh tarlig bernama Uci Sanusi. Kemudian pada dekade 1960-an, muncul tokoh lain dalam blantika kesenian tarling, yakni Abdul Ajib yang berasal dari Desa Buyut, Kecamatan Cirebon Utara, Kabupaten Cirebon, dan Sunarto Marta Atmaja, asal Desa Jemaras, Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon.
www.kitabicara.co.cc kitabicara@gmail.com