Kita Bicara - Agustus 2009 ESAI PEMBUKA: PENGARUH KOMEDI DALAM KOMUNAL Apa itu komedi? Ketika mendengar kata tersebut, aku mendeskripsikannya sebagai suatu hal yang akan membuat tertawa. Namun, makna apa yang ada dibalik setiap tawa bahkan sekedar senyuman tersebut. Apakah komedi itu perupaannya seperti program – program televisi baik di waktu yang lalu maupun kini. Kebanyakan dari semua program komedi yang disiarkan di televisi merupakan bentuk dominasi media terhadap massa (pemirsa). Hal ini memang tidak dapat kita pungkiri jika dilihat dari era teknologi sekarang dimana setiap orang dapat mengakses hasil-hasil terapan teknologi tersebut dengan sangat mudah baik dari segi ruang dan waktu. Komedi macam apa sajakah yang pernah kalian lihat dalam siaran televisi? Apa pendapat kalian tentang komedi tersebut? Apakah keseluruhan komedi tersebut dapat terklasifikasikan oleh kalian, baik secara bentuk maupun kadar komedinya? Banyak sekali bentukan dari komedi yang dapat kita temukan baik dari siaran televisi maupun dari lingkungan di sekitar kita. Komedi dapat kita temukan dalam bentukannya yang berupa gerak tubuh, audio, visual baik yang stastis maupun dinamis bahkan yang berupa tekstual sekalipun. Dari segi bentuk tersebut dapat kita tarik garis besar segmentasi penikmat komedinya. Sensibilitas humor yang didukung oleh media eletronik seperti televisi maupun media cetak kini semakin meningkatkan kuantitas penikmat komedi dan kemudian menjadikan profesi sebagai komedian sangat prospektif terlebih lagi dengan semakin berkembangnya teknologi dunia maya seperti internet. Lantas media yang sangat berpengaruh terhadap komunal kemudian membentuk semacam 'standarisasi' yang keseluruhannya 'berpusat' dari apa-apa saja yang tersaji oleh kekuatan media tersebut. Sehingga berdampak pada sosial dan budaya komunal di mana pun dan karena faktor pengaruh tersebut 'menuntut' media memberikan tayangantayangan yang lebih berkualitas. Namun secara personal, hal tersebut aku perhatikan hanya memiliki tendensi komersial saja dengan ditandai oleh monotonnya tayangan-tayangan yang disiarkan media. Keberpusatan ini seolah menjadi 'ladang' yang subur bagi para pembajak karya dimana kita bisa mendapati karya-karya bajakan tersebut di pinggiran jalan. Hal tersebut menjelaskan tentang tidak kuatnya legalitas hak atas kekayaan intelektual (HaKI) seperti salah satunya yaitu lisensi 'copyright' atas suatu karya intelektual. Merupakan suatu hal yang lucu jika masyarakat kita mengklaim tempe berasal dari Indonesia sedangkan Jepang mematenkan formulasinya. Dan merupakan hal yang lucu juga masyarakat kita protes ketika sejenis kesenian 'reog ponorogo' ditampilkan oleh Malaysia bernama 'Barongan'. Mengapa kita harus mempeributkan hal-hal yang sifatnya public domain tersebut. Banyak sekali kemungkinan-kemungkinan jawaban untuk pertanyaan tersebut. Cukup komedi-kah masyarakat kita? Setiap kali kita bersantai dalam komunal terkecil sekalipun, komedi selalu ada walau kadar humor (sense of humor) selalu relevan terhadap hal-hal seperti konteks ruang-waktu, ras, gender, budaya, kematangan hidup / kedewasaan, level pendidikan serta intelektualitas. Oleh karena itu, kadar humor pun berhubungan dengan estetik seseorang. Kemudian akan menciptakan interaksi dalam komedi itu sendiri. Kutipan Kuratorial OK. Video Comedy yang dikurasi oleh Aminudin TH Siregar: Apakah ada komedi yang universal? Seperti halnya seni: tentu saja tidak (dan tidak ada logika yang mendukung keuniversalan ini, sekalipun Anda yang di Tebet, Boyolali, Wamena, atau mereka yang di New York, Sidney, atau di Madinah bisa saja sama-sama terbahak menonton ulah Mr. Bean). Komedi sudah sangat menempatkan pengaruhnya dalam komunal secara spesifik tak heran jika komedi menjadi strategi yang cerdas dalam mencermati kehidupan. Relevansi komedi kemudian membentuk 'ruang gerak' untuk perkembangan kartun yang kaitannya erat dengan ekualitas sosial. Kesetaraan untuk bereaksi terhadap sajian komedi dimiliki oleh semua orang tanpa terkecuali; tergantung kepada kadar humor orang itu sendiri.
Korelasi Komedi Dengan Kartun Kartun mampu merepresentasikan fenomena-fenomena sosial yang terjadi, setara dengan implementasi lainnya terlebih lagi dapat menjangkau seluruh aspek pengaruh kebudayaan serta berkembang untuk melihat fenomena-fenomena tersebut dengan spesifik. Dan dengan medium-medium baru yang dapat diakses dengan mudah, kartun pun berkembang menjadi elemen budaya yang bersifat lintas-disiplin tanpa harus menggilas ketradisian suatu disiplin tertentu karena dalam hal ini kartun memerankan posisinya sebagai mediator. Meskipun tidak selalu mudah bagi pelaku ketradisian 'berbagi' maupun 'berkolaborasi' bersama format medium kekinian dengan alasan penaatan 'protokol tradisi'. Protokoler-protokoler ini kemudian akan menjadi sangat sentralistis tanpa membiarkan elemen periferi menjangkau kesetaraannya. Proyek modernitas yang terus diterapkan dan turun-temurun menjadikan sentralitas ini sebagai implementasi pengagungan tertentu. Secara bahasa, kartun berasal dari bahasa Perancis, “cartone” yang berarti kertas. Hal tersebut dikarenakan kartun memang biasa digambar di atas kertas atau bahan sejenisnya. Kartun sendiri memiliki titik satir-dalam hal ini diartikan sebagai sebuah ironi, tragedy-komedi atau suatu parody, meskipun titik satiris dalam gambar kartun tidak ditekankan sebagai dominan karena kartun lebih menitik-beratkan pada sisi humor daripada satir. Menurut enlycopedie internasional, karikatur didefinisikan sebagai suatu satir dalam bentuk gambar atau patung. Karikatur sudah pasti bisa dikatakan kartun meski keduanya memiliki perbedaan karena secara bahasa karikatur berasal dari bahasa itali, “caricare” yang berarti memuat-dalam hal ini memuat berlebihan. Gian Lorenzo Bernini-seorang pematung dan arsitek, mempopulerkan kata “caricatura” ketika ia datang ke Perancis dan sekitar tahun 1665 kata tersebut kemudian digunakan dalam kehidupan dunia seni. Karikatur mewakili kartun yang dengan spesifik mengangkat kesatiran karena bagi kebanyakan orang yang berada dalam lingkup gaya seni ini, karikatur mengandung 2 (dua) ciri: pertama, adanya satir dan kedua, adanya distorsi. Melihat ciri-ciri tersebut, ternyata Leonardo Da Vinci dan Albrecht Durer telah memulainya sejak sekitar tahun 1550 yang sudah tentu mereka memulai dalam karya lukis pada umumnya (fine art) bukan dalam coretan-coretan a la karikatur pada saat ini. Di Indonesia sendiri, Bung Karno termasuk salah seorang karikaturis pada zaman pendudukan Belanda; dimana setiap karikaturnya, ia biasa mencantumkan nama samaran, Soemini. Ketika ia menyatakan konfrontasi melawan Malaysia pada tahun 1963-1965, banyak karikatur yang dimuat oleh media massa yang secara lugas mengintimidasi Tengku Abdulrachman-Perdana Mentari Malaysia waktu itu. Dengan slogan 'Ganyang Malaysia' disertai gambar Tengku Abdulrachman sebagai boneka Inggris. Saat itu pula karikatur Harmoko (mantan ketua MPR-RI) banyak dimuat, namun karikatur-karikaturnya terkesan kotor dan sadistis selain itu terlalu boros kata-kata serta dianggap tidak logis. Padahal melalui karikatur, seseorang dapat mempengaruhi komunal dengan pesan dan kesan yang dimuat dalam karikatur. Oleh karena karikatur memiliki 'kekuatan' mempengaruhi tersebut, David Low-seorang karikaturis Inggris, sampai sekarang masih dikenal kebanyakan orang sebagai seorang yang (konon) pernah membuat Hitler tak bisa tidur akibat karikatur yang dibuatnya semasa Perang Dunia II sedang berlangsung. Lukisan Picasso tentang perang di Guernica tahun 1937 meskipun berisi gambar-gambar simbolis tapi ia mencoba merepresentasikan tentang manusia yang menderita akibat serangan militer. Lukisan itu kemudian menjadi salah satu simbol antiperang, selain simbol Merpati yang juga dibuat pertama kali oleh Picasso. Yoshitomi Yasuo mengatakan ”Susah sekali memancing kemarahan di Jepang yang di permukaannya dibuat seakan damai,”. Menurutnya, berbagai masalah sebenarnya menimbulkan keresahan, tetapi orang Jepang berusaha untuk menutupi keresahan itu. Misalnya saja soal antiperang dan tanpa tentara di Jepang dimasukkan ke Artikel ke-9 Konstitusi setelah Perang Dunia II (Bunyi dari pasal 9 tersebut adalah “Aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the threat or use of force as means of settling international disputes…In order to accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea, and air forces, as well as other war potential, will never be maintained. The right of belligerency of the state will not be recognized”) Tiba-tiba, tanpa memedulikannya, Jepang mengirim tentara untuk berperang bersama AS di Irak. Secara ideal karikatur harus dapat merepresentasikan persoalan-persoalan yang terangkat sebagai isu serta dapat bersuara dalam menganalisis perkembangan sosial-politik yang terjadi saat itu. Oleh karena itu, karikatur mengandung sesuatu yang janggal (absurd) tetapi tetap bisa menertawakan.
“COGITO, ERGO SUM” (AKU BERPIKIR, JADI AKU ADA ) 1
Pernyataan Descartes tersebut sangat inspiratif; logika, analisis geometri dan aljabar ternyata perlu dilengkapi oleh metode lain yang mempunyai kelebihan sebagai berikut: 1. Tidak menerima apapun sebagai benar kecuali jika diyakini bahwa hal tersebut adalah benar 2. Memilah masalah menjadi bagian-bagian terkecil untuk mempermudah penyelesaian 3. Berpikir runtut dari yang paling sederhana sedikit-sedikit sampai yang paling rumit 4. Perincian yang lengkap dan pemeriksaan menyeluruh diperlukan supaya tidak ada yang terlupakan 2
Jika pernyataan tersebut kita tarik garis besar relevansinya dengan pernyataan Mahatma Gandhi “harus ada kebenaran dalam berpikir, berkata dan bertindak”, maka kita mendapati bahwa cara kerja manusia harus sistematik dan organis. Menurut Lenin, kekuatan sosial ialah melaui organisasi (komunal) dimana tanpanya Proletariat bukanlah apa-apa. Di Indonesia sendiri; sejak terjadinya pembaharuan multi sektoral pada tahun 1998, telah ikut pula meruntuhkan sentralisasi terhadap pelbagai aspek; sosial, ekonomi, politik dan aspek-aspek lain yang keseluruhannya ditujukan demi pencapaian terbaik dalam kemasyarakatan. Serta dengan terus berkembangnya Ilmu Pengetahuan atas Masyarakat, secara tidak langsung menuntut kita untuk melakukan peningkatan; Bukan hanya peningkatan kuantitatif saja, namun diikuti juga oleh peningkatan kualitatif. Ilmu Pengetahuan telah menghapus banyak pandangan tradisional dengan berbagai takhayulnya dan telah menghasilkan teknik ilmiah yang membawa perubahan pada masyarakat. Namun, karena teknik memperbesar kontrol atau kendali; salah satu akibatnya adalah semakin memperbesarnya oligarki totaliter dimana usaha pembebasan tidak mungkin lagi karena hal tersebut hanya mungkin jika didukung oleh militer. Padahal militer secara mudah dibeli dengan memberi mereka jaminan sosial yang lebih tinggi serta pembagian kekuasaan. Kemajuan ilmiah Dengan demikian tidak hanya membawa dampak baik, tetapi juga horor. Kita dapat melakukan pencegahan melalui cara berpikir baru serta demokratisasi, yang diartikan sebagai terbukanya kesempatan untuk 3 berinisiatif. Pernyataan-pernyataan tersebut diperkuat oleh pernyataan Imam Khomeni, “Saya sungguh-sungguh berharap bahwa evolusi manusia akan mencapai suatu tingkat kematangan sedemikian, sehingga ia menjelmakan senapan-senapan mesin menjadi pena-pena; karena pena dan ilmu pengetahuan telah melayani kemanusiaan, sedangkan senapan mesin tidak”. Para Pemikir dari berbagai negara tersebut keseluruhannya sangat berkontribusi secara kritis terhadap perkembangan manusia dengan segala persoalan serta fenomena yang menjadi isu dalam sosial dan budaya. Hal-hal yang inspiratif ini memunculkan pertanyaan, “seberapa jauhkah, aku telah berpikir?” lalu apakah pemikiran-pemikiran tersebut teraplikasikan dalam suatu kekuatan tekstual, visual dan atau dalam bentuk pembicaraan. Berdasarkan empiris tentang hal yang terkait aplikasi berupa 'pembicaraan' dimana tidak jarang kecenderungan kita mengeluarkan pendapat atas pemikiran semata hanya untuk menilai sesuatu ataupun seseorang dalam umpatan-umpatan yang secara jelas tidak memiliki upaya peningkatan kualitas bersosialisasi. Lantas akankah kita terus bersosial dalam kecenderungan-kecenderungan seperti itu atau kita akan dapat memberikan kontribusi serta bertanggung jawab atas pemikiran-pemikiran dari pembentukan inisiasi atau reaksi terhadap isu-isu dalam konteks multi disipliner. Dengan begitu banyaknya studi-studi sosial, secara nyata memberikan pengaruh sedemikian besar sehingga tidak terbayangkan limitasi dalam proses inisiatif tersebut. Meskipun hal-hal yang menginfluensi masyarakat masih banyak menciptakan metode sentralitas, tetapi hal tersebut justru semakin menginisiasi komunal dalam lingkup cakupan periferi (keruangan dalam konteks otonomi) berhasrat mendemokratisir aspek-aspek dalam lingkup minoritasnya melalui proyek-proyek pemberdayaan dan studi sosial berdasarkan pemikiran-pemikiran baru yang memungkinkan menjadi sintesis atas dominasi arus utama (mainstream). Akhirnya mari kita tertawakan 'keagungan' yang pernah dibangga-banggakan agar kita dapat menyadari betapa kecilnya kita, sehingga dapat bermetafora menjadi lebih baik. Yang bertanggung jawab atas esai ini: Bayu Alfian Dapat diakses melalui penyebaran massal atau www.kartoenbitjara.co.cc (dapat didownload secara gratis dan dicopy sebanyakbanyaknya) | 1 kutipan buku; Risalah Tentang Metode (Rene Descartes), 2 kutipan buku; Mahatma Gandhi: Pejuang Tanpa Kekerasan (Trimurti), 3 kutipan buku; Mata Air Kecemerlangan (Hamid Algar-Robin W. Carlsen)
www.kartoenbitjara.co.cc kartoenbitjara@gmail.com