katajiwa edisi pulang

Page 1


Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

Katajiwa Majalah Kebudayaan Catatan Kebudayaan~ 2 Solilokui Taufik Akbar

Puisi~ Johan Rio Pamungkas 5 Memulakan Dengan Kebaikan Kawako Tami 7 Laila 8 Sang Peniti Hujan 9 Pagi Abadi Zakiyus Shadicky 11 Untukmu. 12 Vita Wahyu Hidayat 13 Tak Banyak 13 tak terbit 13 salah asuh Novika Grasiaswaty 14 Donna Indra Eka Widya Jaya 16 aku hanya orang yang memicingkan mata 18 sebuah kata bernama sakit hati 19 Kepada Kerudung dan Jilbab

Manusia pasti akan sangat bahagia jika hidup tanpa memiliki kesadaran terhadap masa lalu. Ia akan selalu merasa bersemangat, senantiasa menjumpai hal-hal baru, kepuasan untuk mencari tahu hal-hal baru pun semakin mudah diraih karena semua adalah baru. Hanya saja apakah ketiadaan kapasitas untuk membandingkan sesuatu dan hasrat untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik karena tidak mengenal masa lalu benar-benar layak untuk manusia. Apakah kebahagiaan jenis itu memang tepat untuk manusia. Rasanya tidak. Manusia tampaknya butuh penderitaan yang dikenalnya dari masa lalu untuk menciptakan kebaikan-kebaikan di masa depan. Untuk itulah kita butuh pulang. Sejenak berhenti berlari dan menengok ke belakang, mengintip apa yang awal, apa yang lalu. Dan pada akhirnya kita butuh kata untuk mereguk semua itu.

Opini~ 21 Ejawantah Ayah Taufik Akbar Cerita Pendek~ 26 Tikus Mati Mulyadi Syamsuri 28 Pernikahan Fina Febriani 33 Hamsun Humeira Fauzia Kritik~ 34 by the river Piedra, I sat down and wept.. Mulyadi Syamsuri Her Voice~ 36 Go Home Alfi Syahriyani

Editor : Muhammad Akhyar Desain dan Fotografi : Vita Wahyu Hidayat

katajiwa adalah salah satu produk dari Komunitas Langit Sastra email: langitsastra@gmail twitter: @katajiwa


Catatan Kebudayaan~

Solilokui Taufik Akbar

Ibu, bolehkan aku bercerita banyak padamu. Seperti waktu dahulu, ketika aku masih senang berlarian di halaman depan rumah ini.

Ibu, bolehkah aku menumpahkan segala padamu. Seperti waktu yang terasa makin jauh, saat dahulu tanganku masih kuat memeluk erat tubuhmu.

Ibu, bolehkan aku memintamu mendengarkanku. Seperti waktu itu, ketika kucingku melahirkan tiga anaknya yang belang, ayamku beranak delapan dan bunga-bungaku mulai bermekaran.

Ibu, bolehkan aku memulainya tanpa menggunakan kalimat yang berulang-ulang selalu. Saat ini aku dilanda kekosongan yang sangat sepi, sepi sekali. Semua gerak berlahan tak berarti, tiba-tiba tak terdengar desirnya, sunyi. Ibu, percaya padaku ini bukan metafora tapi ini yang sejatinya kuresapi. Sungguh ibu, aku berhenti menggunakan metafora agar kakiku kembali menjejak ke bumi.

Aku masih ingat ketika selesai SMA dahulu, ayah memintaku memilih kuliah di studi eksakta di perguruan tinggi terkemuka. Ia lalu juga memintaku ikut les agar tahu medan persaingan untuk memperebutkan jatah satu kursi. Aku menggangguk dan mengikutinya karena tak tahu untuk apa aku kuliah dan tak terobsesi dengannya. Kau tentunya ingat ibu, ayah mengatakan kuliah penting untuk meningkatkan harkat martabat keluarga ini demi kehidupan yang lebih baik. Hingga akhirnya aku lulus dengan terlalu mudah.

Setelah kuliah kau menasihatiku, jangan terlalu asik belajar ini-itu. Sesekali ikut organisasi karana baik untuk menyapih kemampuan adaptasi, pembagian waktu, komunikasi,

Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

2


Catatan Kebudayaan~ dan modal sosial di kehidupan mendatang. Aku menjalaninya dan indeks prestasiku menjadi lebih baik, aku tak mengerti mengapa. Kau tersenyum dan mengelus-elus kepalaku dengan hangat. Dan aku suka diperlakukan seperti itu.

Ibu, semester delapan akupun mengambil mata kuliah terakhir namanya skripsi. 2 bulan pertama tak kuusik, buku-buku yang tebal itu terlalu angkuh untuk disentuh. Maka kujinakkan ia sampai menyerah karena berdebu. 2 bulan kedua barulah kututup dengan kalimat terakhir bab ketiga. 1 bulan terakhir aku pontang-panting meraup data, menganalisis dan menyimpulkan. Selesai. Dengan entengnya aku berkata, ah selesai juga.

Di sidang skripsi, kau pasti ingat saat pengujiku dan pembimbingku berdebat hebat. Untung ketua sidang dapat menenangkan mereka. Aku hanya diam membatu, bukan karena tak mau menyela tapi karena aku senang dengan drama saat itu. Seperti menonton opera sabun sampai aku dinyatakan lulus. Diakhir sidang. Kau memelukku. Dari pancaran wajahmu terasa aroma bahagia serta bangga dan siap melepasku ke dunia. Sejak saat itulah aku dilanda rasa sepi.

Terutama ketika ditanya, “mau kerja dimana?”

Lalu ditanya, “mau menikah umur berapa, dengan siapa?”

Berentet, “anaknya mau berapa, dua, tiga, empat, lima?”

Berlanjut, “laki-laki dulu apa perempuan, mau diberi nama apa?”

Tak berhenti, “mau dididik seperti apa, dengan cara bagaimana, mau dibentuk menjadi siapa?”

Terus, “mau disekolahkan dimana?”

Masih, “mau mati sebagai apa?” Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

3


Catatan Kebudayaan~

Dan pertanyaan-pertanyaan itu terus berulang-ulang, tak berhingga hingga aku lelah sendiri untuk menjawabnya Ibu, sungguh aku sangat sepi ketika menjawab pertanyaanpertanyaan serupa. Aku ingin kembali seperti bayi yang tak perlu ditanya macam-macam, hanya boleh menikmati hidup. Dan hidup dengan jalan yang pasti. Minum susu pagi hari, tidur di siang hari, mandi saat senja dan minum susu lagi ketika malam tiba hingga tidurku lelap sudah.

Aku tak tahu mau kerja apa, aku jua tak tahu mau menikah di umur berapa, juga tak tahu mau punya anak berapa, juga tak berencana mati muda.

Sepi sekali hidup ini rasanya menjalani hidup yang rasa-rasanya tak berujung pasti. Sampai rasanya hidupku tak bermakna. Kosong melompong. Senyap menyayat.

Untuk itu Ibu, aku meminta izin padamu mengundurkan diri, pergi dari rumah ini. Aku ingin merenung, berjalan-jalan, mencoba mengurai rasa sepi ini sendiri, menikmatinya sendiri sampai aku benar-benar lelah untuk sendiri dan lupa bagaimana rasanya dengan rasa sendiri itu sendiri.

Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

4


Puisi~ Johan Rio Pamungkas

Memulakan Dengan Kebaikan Di pembuka buku kita temunya pada mulanya kata “Aku mulakan pekerjaan dengan kusebut-sebut nama Tuhan yang berkebaikan” Raghib ahli bahasa yang terkenal dari Ishafan memberikan keterangan “Kata Tuhan telah lama dipakai oleh bangsa padang pasir sedangkan, Batu bersurat Trengganu Tuhan Yang Maha Esa diartikan dengan Dewata Mulia Raya” *** Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

5


Puisi~

Para pelaut Bugis menyebut-nyebut Poang Allah Ta’ala Sama seperti orang-orang Pulau Dewata Mereka tetap menamai dan menyebut Sang Hyang Tunggal Coba kita masuk ke mereka punya khayal Ke orang-orang yang masih sederhana peradaban Atau primitif tentang Tuhan Kepercayaan akan adanya Zat Yang Maha Kuasa Adalah sama tumbuh dengan akal manusia *** Maka seketika bacaan dan pekerjaan dimulakan Sebutlah nama Tuhan yang Maha Berkebaikan Maka di dalam sebutan itu terkandung sebuah pengharapan Moga-moga apa yang dikerjakan mendapatkan karunia Rahim dan Rahman

Depok, 2 Oktober 2011/Malam 4 Dzul Qaidah, Pukul 22 : 44 Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

6


Puisi~ Kawako Tami

Laila Melangkah gadis kecilku dengan satu kaki Laila manisku.. Kulit putih sepucat rembulan Rambut tergerai sepekat malam Dan mimpi besar setinggi bintang

Berkata gadis kecilku dengan tulus "Aku tak bisa membenci malam Karena aku mencintainya.. Bukan melebihi ibuku.. tapi cukup besar Meski malam telah membunuhnya.."

Melangkah gadis kecilku dengan kaki satu Meninggalkanku dalam gugu yang semakin pilu Kurogoh di antara belahan dadaku lipatan kertas seharga kehormatan Kubetulkan bedak dan lipstik andalanku Semoga ada pelanggan demi kaki palsumu.. Lailaku..

Depok,10911 Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

7


Puisi~ Kawako Tami

Sang Peniti Angin Maka lembut tuan berbisik Pada angin tempat berpijak

"Kau tak sampai sehelai benang bergantung pada ketiadapastian Dan buailah pada kehampaan karena berat bukan penjengkal pada keseimbangan"

Selangkah menapak, dua tergoyah Setangkup terjamah, segala terkoyak

Bukan terbayar pada celaka Bukan terbayar pada terlupa Bukan terhutang pada terkata Asalkan angin tak berubah arah Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

8


Puisi~ Kawako Tami

Pagi Abadi Aku terbangun lagi pagi ini Mendapati keheningan yang pedih Senja menyisip dalam birai mentari Debar dan sesak yang sama tak jua berakhir

Tanganku meraba dan mencari Sebilah belati di balik bantal yang kutiduri Dan menikam jantungku Berharap mati melampus sepi

Lalu..

Aku terbangun sekali lagi.. pagi lagi.. Mendapati kesepian yang pedih Kesal menyisip dalam birai kefakiran diri Sakit dan frustasi yang sama tak jua berganti

Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

9


Puisi~

Tanganku meraba dan mencari Sepucuk senjata api dalam lemari Mengecupkannya pada pelipis kiri.. duaaar! Berharap mati melampus pagi yang sendiri

Keesokan pagi..

Ku dengar jantungku berdetak lagi.. Ah.. mengapa harus pagi lagi.. Masih saja sunyi.. masih saja sepi.. Masih saja sendiri..

Ruang pagi, 9911 Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

10


Puisi~ Zakiyus Shadicky

Untukmu. kuulurkan tanganku, “ayo kita berjalan bersama.” tanganmu menolak, matamu melirik ke kiri bawah. “tidak!”, katamu setengah meratap. “kenapa? tangan ini masih jadi hakmu.” “tapi.. tapi aku sudah tak seperti dulu lagi!” “lalu, memangnya kenapa? jalan ini masih terbuka untukmu, untuk kita agar melaju kembali. ayo, ikut denganku…”. tanganku masih berharap.

ku tatap matamu dalam-dalam. kau balas tatapanku. seolah kau ingin mengatakan sesuatu, tapi yang keluar hanya air dari matamu. kau menangis… dalam tiap aliran air mata yang membasahi pipimu, aku tahu kau juga sedang berharap. “kembalilah! masih ada waktu untuk berbalik, kembali ke jalan yang sempat kita tempuh dulu. bahkan kita berlari, kan! kau ingat?”. kuguncang tubuhmu.

isakanmu makin keras, air matamu makin deras. tapi ia belum melepaskan pandangan dari mataku. “seandainya… seandainya…” “sudahlah, ayo pasti masih bisa!”. geram.

kini kau benar-benar terguncang. “tapi aku sudah tak seperti dulu lagi!”. kau tak mampu bertahan. seakan berontak, kau lari meninggalkanku. menyisir langkah dan suara tangismu yang sendu, dalam hatiku, “Tuhanku Maha Pemaaf, aku yakin itu.. aku hanya kasihan padamu, sengsara dalam penyesalan. tanpa kau sadari kau menikmatinya…”

Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

11


Puisi~

Zakiyus Shadicky

“bu, dingin…” “ya nak, tetaplah di pangkuan ibu. ibu akan selalu memelukmu, menghangatkanmu, dan pastikan kau ‘kan baik-baik saja.”

“bu, takut…” “iya nak, ibu juga takut. tapi kita mesti bertahan sampai sejauh-jauhnya. kita masih belum selesai, maka tetaplah berjalan di sebelah ibu. pegang tangan ibu kuat-kuat agar ketakutan itu bisa kita kalahkan bersama-sama…”

“bu, letih…” “iya sayang, ibu tahu kau begitu lelah. istirahatlah, tidur lah yang tenang. biar ibu disini, nyanyikan kau lagu kehidupan agar kau mimpi indah disana. biar aku jaga kau anakku. tak ada yang akan mengganggumu, ku elus wajah dan keningmu, kuselimuti kau bila kedinginan. sampai pagi, kau harus bangun kembali. gantikan aku yang tak lama lagi disini…”

“bu…” “tak usah bicara lagi anakku. kau hanya perlu tahu, meski kecupan ibu tak bisa lagi kau rasakan, cinta ibu sepanjang waktu. selama bumi ini masih berdiri di orbitnya, yakinlah cinta ibu ‘kan selalu ada. untuk kau anakku…” Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

12


Puisi~ Vita Wahyu Hidayat

Tak Banyak Engkau itu siapa? Sering berbagi, bercerita dan bercanda namun tak berbicara Tak banyak tawa yang kuingat ketika kita bersama Seingatku engkau selalu ada dalam doa Vita Wahyu Hidayat

tak terbit malam ini tak rela jika esok terbit matahari biarkan dia terdiam sepi 1432H Vita Wahyu Hidayat

salah asuh dia dipahat dengan patah-patah bukan digerus halus

dia diulir dengan keras getas bukan ditiup halus

jatuh di lapang hijau tak menjadikan dia singa, singa tak makan rumput Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

13


Puisi~ Novika Grasiaswaty

Donna Donna namanya, hanya berjarak tiga rumah dari tempatku berada Langkahnya tak pernah setapak, seringnya maju dua tiga Dulu rambutnya selalu berkepang dua Kala kugoda, merahlah mukanya, merona dan bersembunyi d balik pohon asoka Donna suka memetik bunga dijadikan kalung atau diselipkan di balik telinga Bermain tertawa bersama kawan-kawannya kadang sampai terluka, lebih sering ku lihat dia gembira

Donna beranjak dewasa kepang dua telah berganti pita berwarna kadang pula, terurai begitu saja, menutupi sebagian wajah berbedak dan bibir bergincu merah Donna tak lagi merona kala kugoda, senyumnya merekah, ia mengerlingkan mata tak ada bunga lagi di belakang telinganya, berganting giwang mawar dan kalung inisial A masih kudengar tawanya, kali ini lebih sering, hanya saja, tawa yang berbeda Donna saat ini masih bernama Donna Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

14


Puisi~

tetangga berjarak tiga rumah dari tempatku berada tapi mulai jarang aku melihatnya padahal, rasanya aku rindu menggodanya tidak lagi sempat kulihat pita berwarna apalagi kepang duanya lebih-lebih suara tawanya yang kusuka

hanya kabar-kabar berisi namanya, yang sempat mampir di telinga kudengar ia sakit parah sebab virus bernama cinta yang menyerang belum saatnya

kuberanikan melangkah menuju menuju tempat berjarak tiga rumah bercat hijau muda dengan pintu senada Kutanyakan keadaannya, pada ibunya yang berkata Donna sakit parah tapi sempat kulihat Donna dibalik jendela, melengang santai dengan baju rumahnya rambutnya terurai begitu saja, tapi perutnya tampak tak biasa

Oh, Donna, aku mencoba berbaik sangka semoga tidak benar engkau berbadan dua karena belum jua kuterima undangan merah muda belum jua akadmu terdengar di telinga

Depok, 9 Maret 2010 Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

15


Puisi~ Indra Eka Widya Jaya

aku hanya orang yang memicingkan mata aku hanya orang yang memicingkan mata duduk membeku di sudut

melihat kaki-kaki yang berderap mengacungkan kepalan tangan meneriakkan berbagai kata kata umpatan dan makian

padahal kalian intelek padahal kalian ber otak...

kau kira kau cukup terpelajar?

orang terpelajar tak pernah menghujat! orang terpelajar tak pernah... memaki orang tuanya kau islam kah? kau nasrani kah? kau hindu kah? kau buddha kah? Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

16


Puisi~

Muhammad tak pernah begitu walau tahi mendarat di wajahnya... Yesus tak pernah begitu walau nyawanya dikaitkan di ujung belati Yudistira tak pernah begitu walau bhisma memusuhinya Siddharta tak pernah begitu dan biarkan dagingnya dimakan...

pernah kau bayangkan bapakmu yang dihujat? ibumu yang di maki?

kau jadilah anaknya

biar rasa biar pikir

"berkatalah yang baik, atau diamlah"

aku hanya orang yang memicingkan mata Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011 17


Puisi~ Indra Eka Widya Jaya

sebuah kata bernama sakit hati untuk mereka yang suka bermain belati dibalik punggung teman nya

Asu ! untuk yang terbaring dibelakang ku bersulutkan mata mata picik

Asu ! kau tak pernah berkata iya namun berbisik tidak pada kerikil jalan

Asu ! dan aku akan menuding kepada kotoran yang tersembul dibalik gurat senyum mu!

Asu ! ketika aku menyerahkan daging dari tangan ku malah kau menari diatas genangan darah ku

Asu ! kepada siapa aku menggugat ?! Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

18


Puisi~ Indra Eka Widya Jaya

Kepada Kerudung dan Jilbab Kepada saudariku..

salahkah angin lambaikan mereka hingga... atau kau singkap sengaja

dan dada dada itu tercekat semua bujang pun melihat

glek ludah pun tertelan

kira kau tutup namun kau buka amboi mata mata menremas tetek

ku suruh pakai kau kau tunggu panggilan hati?

Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

19


Puisi~

padahal tertulis di kitab sama sembahyang sama puasa

dan masih kau tunggu kata hati..

atau sampai pikiran mereka mengobok klentit mu

Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

20


Opini~

Ejawantah ayah Taufik Akbar

Saya pikir setiap lelaki di dunia yang masih berniat menjadi lelaki, sedurjana-durjananya punya keinginan menjadi seorang ayah. Ya, ayah. Termasuk saya, walaupun saya berencana untuk tetap membujang. Sebab menurut saya, menjadi seorang ayah bukanlah tindakan kriminal. Uh, dari situlah saya mulai menerka-nerka seperti apa nantinya hubungan saya dengan anak saya. Apakah anak saya nantinya menganggap saya adalah rival yang zalim karena berusaha merampas ibunya, seperti dugaan para Freudian. Bahkan mungkin saja nanti anak saya menjadikan saya sebagai contoh terpuji, karena sukses sebagi agen sosialisai primernya dalam memandang dunia. Atau jangan-jangan saya akan dikudeta oleh anak saya sendiri seperti kisahkisah kerajaan Jawa kuno. Baik, baik. Hubungan ayah dan anak cukup renyah jika diolah sedemikian rupa dalam wujud cerita di deretan kata ataupun diejawantahkan dalam gambar yang statis ataupun dinamis. Dalam studi komunikasi bentuk-bentuk ejawantah ini disebut dengan istilah media. Untuk itu saya belakangan ini agaknya punya kecenderungan bergumul dengan hal yang berbau ayah dan anak. Ini mungkin gejala-gejala frustrasi hidup membujang dengan skripsi. Mungkin. Ya, mungkin ini terlalu mendramatisasi. Ijinkan saya sedikit bersilat kata mengenai beberapa media yang menampilkan hubungan ayah dan anak. Saya akan mengambil contoh media dalam wujud komik, film dan buku. Tolong ditangkis jika ada yang keliru, bismillah.

Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

21


Opini~

Koiwai dan Yotsuba dalam Yotsuba&! [1] Apa jadinya jika seorang anak yang atraktif serta obesesif terhadap hal-hal baru diasuh oleh lelaki yang selalu terlihat lelah bin mengantuk. Yang pasti akan penuh pertunjukkan yang ajaib dan mengandung gelak tawa. Di komik Yotsuba&! diceritakan seorang penerjemah yang bekerja di rumah, senantiasa memakai kolor serta bertampang lelah. Koiwai namanya. Koiwai mempunyai seorang anak adopsi yang bernama Yotsuba. Yotsuba, gadis lucu berkepang empat ini, punya kebiasaan yang mencengangkan, ia menampar ataupun menindih Koiwai yang sedang tidur pulas guna membangunkannya saat mentari telah meremang di ujung timur. Tak pelak saya yang membaca dan menyaksikan tampang Koiwai yang menderita dihadap-hadapkan dengan Yotsuba yang tertawa-tawa polos, sangat kontras. Ini sungguh jenaka. Jika ditilik-tilik, hubungan Koiwai dan Yotsuba sangat dekat. Seperti jari manis dan kelingking. Mudah sekali membuktikannya: •

Koiwai selalu memasak sarapan, makan siang ataupun makan malam sedang Yotsuba dengan cermat mengamati sambil sesekali bertanya ini itu.

Koiwai dengan setia mendengar cerita Yotsuba di meja makan ataupun berbincang-bincang sebelum lelap sambil mengipasi Yotsuba yang kepanasan.

Yotsuba selalu melaporkan apapun yang telah ia ketahui kepada ayahnya termasuk tetangga sebelah yang putus cinta.

Diatas situasi normal, dalam situasi-situasi yang hiperrealistis, Koiwai seringkali menampilkan tingkah yang membuat geleng-geleng kepala seperti memakai kolor di kepala untuk menghibur sekaligus menunjukkan stres kerjanya kepada Yotsuba. Berteriak-teriak diiringi tertawa-tawa ganjil sampai berlari bak kesetanan bersama Yotsuba menuju ombak saat plesir ke pantai.

Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

22


Opini~Â Â

Ayah budiman layak disematkan untuk Koiwai sedang orang tua di zaman modern sekarang memaksa anaknya bermanuver ke dunia orang tua, ia berani bersiasat masuk ke dunia Yotsuba dengan cara yang elegan. Johar dan Jaya dalam Jermal [2] Alkisah hiduplah seorang pria paruh baya bernama Johar, seorang pemabuk, pembunuh yang mengasingkan diri selama 12 tahun di sebuah jermal. Jermal adalah tempat penjaringan ikan yang dibangun di atas tonggak-tonggak kayu di tengah lautan. Satu ketika ia mengumpat tak terima saat Bandi, rekan kerjanya di jermal yang tunawicara, datang kepadanya dengan tatapan dingin. Dengan bahasa isyarat terbata ia menguraikan bahwa anak lelaki yang sedang termangu di sampingnya adalah anak kandung Johar. Anak kandung Johar, Jaya namanya, dibawa oleh Bandi dari darat karena Ibunya telah tiada. Ya, tak lain dan tak bukan Istri Johar yang ia tinggalkan selama 12 tahun. Tingkah Johar semakin kurang ajar ketika ia membentak dan memukul Jaya sampai pingsan ketika Jaya meringkuk malam-malam guna menumpang tidur di kamar ayahnya, mencoba mengenal lebih dekat. Apa hendak dikata hubungan mereka sangat dingin, Johar yang terlihat membenci anaknya dan Jaya yang semakin dendam dengan ayahnya. Sempurna. Di lain waktu Johar hanya diam dan bersungut saja ketika Jaya dipencundangi bocahbocah pekerja di Jermal. Konsekuensi logisnya semakin berkaratlah dendam Jaya terhadap Johar. Hubungan Johar dan Jaya boleh dibilang cukup buruk karena perbedaan pemahaman tentang masing-masing. Johar terlihat membenci Jaya karena terkungkung trauma masa lalunya. Jaya dendam pada ayahnya karena ia mengganggap Johar pecundang kelas berat yang menelantarkan ia dan ibunya selama karena pernah membunuh.

Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011Â

23Â


Opini~

Terus terang saya sangat tidak menyenangi tokoh Johar di Film ini berbanding terbalik dengan kekaguman saya atas kemandirian Jaya yang berjuang keras beradaptasi di kehidupan Jermal yang tidak manusiawi. Namun saya harus menarik kata-kata saya sebelumnya. Seiring berkembangnya cerita, saya terenyuh dan mau tak mau harus bersimpati kepada Johar. Ingin rasanya menepuk-nepuk pundaknya dan berkata, “Menjadi seorang ayah memang pekerjaan yang berat ya.” Saman Said Harun dan Ikal dalam Novel Andrea Hirata [3] Kira-kira jenis ayah semacam apa yang menafkahi keluarganya dengan bekerja sebagi kuli wasrai di pertambangan timah Belitong selama puluhan tahun turun temurun. Buta huruf Latin akut hanya bisa baca tulis huruf Arab gundul. Terobsesi dengan orang yang berbaju seragam. Lalu punya kadar pendiam yang sangat ekstrem, hingga perlu seorang Profesor human communication sekaliber Little Jhon untuk menerjemahkan gerak-geriknya. Super sekali. Melalui sudut pandang orang pertama aku, Ikal secara mempesona menjunjung tinggi harkat martabat ayahandanya. Sehingga segala kekurangan yang dimiliki ayahandanya tidak relevan untuk dibicarakan malah berkebalikan menjadi sebuah kelebihan yang brilian. Betul sekali, pria ini bernama Saman Said Harun. Lantas siapa Ikal? Ikal tak lain dan tak bukan adalah anaknya Saman Said Harun (penjelasan yang jenius ya). Ikal ini jenis pria Melayu langka yang sukses menyelesaikan masternya di Sorbonne, Prancis. Namun nasibnya tiarap tak setinggi pendidikannya: •

Seorang bujang lapuk yang memendam cintanya yang telah karam.

Rendah diri dengan ukuran tubuh dan rambut keritingnya.

Pendek pikiran, seringkali melakukan tindakan diluar akal sehat.

Pengangguran berkepanjangan hingga akhirnya dengan berat hati ia terpaksa lapang dada menjadi pelayan di kedai kopi pamannya.

Bah, agaknya benar bahwa pendidikan tidak ada kaitannya dengan pekerjaan seseorang. Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

24


Opini~

Saya tak bisa menjelaskan hubungan Ikal dan Ayahandanya. Rumit sekali rasa-rasanya. Kira-kira jika dipaksakan jua hubungan Ayah beranak ini, jika saya baca berulang-ulang di novel, saya gambarkan laiknya: menangis dalam tawa lalu tertawa dalam tangis. ********** Sekarang mari kita berandai-andai, jikalau yang membaca tulisan saya ini sekarang berperan sebagai ayah. Jawaban apa yang pantas untuk memuaskan dahaga keingintahuan seorang anak belia yang sedang lucu-lucunya, “Ayah, datang bulan itu apa ya?” Ehmm, jikalu saya dipaksa untuk menjawab. Saya dengan tenang akan berujar, “Adek, gini ya. Perempuan adalah keturunan dari peri yang dulu tinggal di bulan. Untuk mengobati rindu kampung halaman nenek moyangnya. Maka setiap seminggu dalam kurun waktu 30 hari ia diberikan berkah dari Tuhan untuk selalu datang bulan…”

[1] Yotsuba&! Adalah komik karya Kiyohiko Azuma yang juga menelurkan komik strip terkenal Azumanga Dioh. Kekuatan komik Yotsuba&! ini terletak pada relasi antar karakter , gambar latar yang rapi dan detail serta cara pandang seorang anak umur 6 tahun dalam melihat dunia. [2] Jermal merupakan film hasil besutan Ravi Bharwani, Rayya Makarim, Utawa Tresno yang dibintangi Didi Petet (Johar) dengan cemerlang. Berlatar kehidupan para pekerja anak di Jermal. Film ini yang sangat gelap menampilkan realitas kehidupan di Jermal yang terasing di tengah laut. Apa boleh buat, sangat sinis dalam memandang ketimpangan pendidikian. Salah satu hal yang membuat bulu kuduk meremang dan hati menjadi nyeri selama saya mencerna tiap gambar yang bergerak. [3] Apa ya, ehmm baca saja sendiri tetralogi Laskar Pelangi serta dwilogi Padang Bulan. Oia, tersiar kabar Pakcik Andrea Hirata akan menerbitkan novel terbarunya: Ayah. Bercerita khusus tentang ayahandanya setelah ia mengikuti kuliah Sastra selama setahun belakangan di Amerika. Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

25


Cerita Pendek~  Mulyadi SyamsuriÂ

Tikus mati Sewaktu kecil, saya dan teman-teman pernah berburu tikus, baik tikus yang kecil maupun yang besar. Bila kebetulan ada tikus yang terlihat muncul di jalanan, kami akan mengejarnya dan menghajarnya. Sayangnya, tikus adalah hewan yang lincah dan cepat sehingga sulit untuk ditangkap. Seingat saya, dari beberapa tikus yang kami kejar waktu itu, tidak ada satu pun tikus yang berhasil kami tangkap. Tikus boleh selamat dari kejaran kami, namun mereka tidak selamat dari kejaran maut yang lain: ban kendaraan bermotor. Waktu itu, sesekali saya menemukan tikus yang mati di tengah jalan karena terlindas ban-ban kendaraan bermotor. Disinyalir, mereka terlindas ketika hendak menyeberang jalan di malam hari. Sungguh aneh bila pada akhirnya mereka mati dalam momen seperti itu. Saya jadi teringat bahwa makhluk bila telah datang ajalnya, tidaklah ia dapat memundurkannya atau memajukannya walau sejenak. Mungkin memang saat menyeberang itulah momen kematian mereka. Akhir-akhir ini, saya semakin sering saja menyaksikan bangkai tikus di tengah jalan, baik yang masih berbentuk bulat dan segar hingga dalam kondisi gepeng dan berwarna sama dengan aspal. Saya jadi berpikir bahwa tikus mungkin memang hewan penyeberang jalan yang buruk. Mereka tidak dapat memperkirakan kapan momen yang tepat ketika menyeberang atau mungkin mereka tidak menengok ke kanan atau ke kiri terlebih dahulu sebelum menyeberang agar selamat. Ketika hal ini (semakin banyaknya tikus yang ditemukan mati di tengah jalan) saya sampaikan ke seorang teman, ia memberitahukan kepada saya hal lain yang selama ini tidak saya ketahui atau tidak saya pikirkan. Menurut teman saya ini, segelintir kecil tikus memang mati ketika menyeberang tapi tidak semua tikus yang terbaring mati di tengah jalan tersebut mati ketika mereka sedang menyeberang. Tikus-tikus itu sudah mati terlebih dahulu sebelum mereka menyeberang. Ternyata, perburuan tikus bukan hanya dilakukan anak-anak tapi juga orang dewasa. Bedanya, orang dewasa tidak mengejar-ngejar tikus seperti anak-anak, tetapi mereka menggunakan jebakan tikus atau -ini yang paling sederhana- racun tikus untuk membasmi tikustikus yang berseliweran di rumah mereka. Tikus yang terkena jebakan atau mengkonsumsi daging yang dilumuri racun tikus pada akhirnya akan mati. Dengan cara seperti ini, lambat laun rumah akan bersih dari hama tikus. Satu masalah selesai tetapi muncul masalah lain. Dimana mayat-mayat tikus ini akan disemayamkan? Adakah yang rela menggali tanah untuk menguburkan jasad musuh masyarakat ini? Tidak banyak yang mau melakukannya atau bahkan mungkin tidak ada yang mau melakukakannya! Bila diserahkan ke kucing-kucing kampung yang Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011Â

26Â


Cerita Pendek~ Â

biasanya berseliweran di komplek-komplek, mereka tidak lagi menggubrisnya, mengendusngendusnya pun tidak. Tampaknya kucing-kucing yang hidup di zaman modern tidak lagi tertarik dengan menu tikus apalagi bangkainya. Bila di sekitar rumah orang tersebut ada kebun kosong atau kali, biasanya mayat-mayat tikus ini tinggal dilempar saja ke sana. Biar lalat dan belatung atau ikan piranha yang akan mencerai-berai dan mengurai mayat-mayat tikus ini. Lalu, bagaimana masalahnya jika tidak ada kebun kosong atau kali di sekitar rumah? Meletakkan mayat-mayat tikus di got halaman rumah adalah tindakan bodoh dan merugikan. Rata-rata got di Jakarta adalah got yang airnya tidak mengalir. Mayat tikus itu akan menetap disana sambil mengeluarkan aroma busuk kepada penghuni rumah sebagai balasan dari arwah tikus yang mati penasaran. Bagaimana bila dengan cara dibakar? Cara ini biasanya terkendala dua masalah: sulitnya mencari tempat pembakaran dan kegiatan bakar-membakar (yang biasanya bersifat outdoor) tentunya akan menarik perhatian orang lain. Orang-orang lain ini mungkin akan menghentikan perjalanan, menyaksikan kegiatan pembakaran dan menanyakan macam-macam pertanyaan yang mungkin tidak enak untuk didengar. Atau, bagaimana bila mayat-mayat tikus ini dilempar saja ke genteng rumah orang lain? Hahaha! Bila empunya genteng rumah tahu, urusan bisa malah tambah gawat. Pokoknya, masalah mau diapakan mayat tikus ini bukan perkara sepele, melainkan ribet dan bisa bikin pusing. (ya ampun, tikus ini hidup dan matinya menyusahkan manusia). Hingga akhirnya, dalam kondisi serba sulit itu, munculah sebuah ide mengenai tempat pemakaman tikus yang dirasa cukup brilian, yakni di tengah jalan! Ya, di tengah jalan! Selain tata pelaksanaannya dirasa cukup praktis (mayat tikus tinggal dilempar ketika malam hari dan jalanan sedang sepi), mayat tikus tadi juga tidak terlalu mengeluarkan bau busuk karena kebusukan-kebusukan dari mayat tikus tadi hilang ditelan udara terbuka dan ban-ban kendaraan bermotor. Selain itu, dengan digilas ban kendaraan terus menerus, mayat tikus ini nanti juga akan hilang dengan sendirinya. Dan sejauh ini, sepertinya belum ada pihak penggilas mayat tikus yang merasa dirugikan (pengendara mobil mana tahu jika mereka melindas mayat tikus? Lagipula jika mereka tahu, mereka mau apa? Mau menuntut? Menuntut siapa) Seperti itulah cerita di balik maraknya mayat-mayat tikus yang sering saya lihat di tengah jalan. Membuang mayat tikus di tengah jalan -tanpa memikirkan bahaya jangka panjang bagi orang lain serta dosa jariyah bagi diri sendiri- mungkin sudah menjadi solusi yang meski immoral tapi ideal!

Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011Â

27Â


Cerita Pendek~ Fina Febriani

Pernikahan 24 Agustus 2011, pukul 20.00 “Doakan ya.” Senyumnya sambil mengacak rambutku, lalu beranjak pergi. Dan air mataku pun menetes. Sungguh, tak dapat kudefinisikan perasaanku. Sedih, bahagia, takut, entahlah. Yang aku tahu, saat yang seharusnya datang itu, telah dihadapanku kini. Dan meski aku menyadarinya sejak lama, sesak itu tetap ada. *** Pernikahan, seharusnya merupakan momen membahagiakan, seperti halnya kelahiran dan kelulusan… *** Berbulan-bulan yang lalu… “Dek, makan yuk. Aku traktir deh.” “Nggak bisa, Kak.” “Eh, kenapa?” “Nggak bisa nolak maksudnya. Hehe.” “Haha. Dasar!” ditoyornya kepalaku. Ia berdiri, lalu digandengnya tanganku. Ah, tawa tangisku mungkin sudah dihafal betul oleh sosok ini. *** Dulu kupikir begitu… *** “Guys, ada kabar baik lho!” Riang sobatku menghampiri. Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

28


Cerita Pendek~

“Apa?” “Kakak kita yang satu itu mau menikah!” “Oh ya?” “Iya.” “Kapan?” “Bulan depan.” “Alhamdulillah…” Senyumku. “Iya, uuuh, seneng ya? Jadi ngiri deh. Kapan ya giliran aku? Terus kira-kira sama siapa ya aku menikah? Hm, mungkin nggak kalo sama…” Masih panjang monolog sahabatku. Hm, maksudku, mungkin dia tidak berniat bermonolog, tapi diamku membuatnya terlihat seperti itu. Sambil ia terus bicara, pikiranku justru melayang membayangkan wajah itu, kakak tersayang yang juga selalu menyayangiku. Aku lantas sibuk memikirkan hadiah apa yang harus kusiapkan. Ini momen spesialnya, aku juga harus memberinya sesuatu yang spesial. *** Sekarang, rasanya tidak lagi seideal itu. Dalam banyak kesempatan di kehidupanku, pernikahan seringkali terasa menyesakkan dada. *** Beberapa waktu kemudian… “Kak, lagi sibuk nggak?” Aku mau cerita, batinku. “Hm, lumayan sih. Aku diajak suamiku pergi, Dek. Kenapa?” “Nggak apa-apa. Makasih ya, Kak.” Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

29


Cerita Pendek~

Kututup saluran telepon. Gagal yang ketiga. Ah, mungkin lain kali saja. Atau mungkin, cari orang lain saja. *** Pernikahan yang seharusnya berarti mendapatkan karena hadirnya orang baru, seringkali bagiku justru berarti kehilangan. *** “Fiiin…” Lagi, sobatku itu selalu heboh. “Hm…” “Lihat nih aku bawa apa.” Kulirik sekilas. Kertas merah muda yang tampak mengkilat. Undangan, lagi. Aku terhenyak. Tuhan, siapa lagi yang akan terampas kini? “Coba tebak siapa? Kamu pasti kaget deh.” Kucoba menulikan telinga, tapi nama itu tersebut juga, dan getarannya tertangkap juga oleh gendang telingaku. Ingin rasanya aku menangis. “Acaranya bulan depan, Fin. Siapin kostum, yuk! Enaknya yang kayak gimana yaaa?” “Hm.” Hanya itu responku. Kehilangan semangat. *** Sungguh, bukan aku tidak paham, bahwa setelah menikah, prioritas orang tentu berbeda. Bukan pula aku bermaksud menyalahkan para pasangan mereka karena telah merampas perhatian mereka dariku. Tapi… *** Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

30


Cerita Pendek~

“Cinta itu punya warna, Sayang.” Sebuah suara suatu malam. Aku menoleh. Maksudnya, cinta biru untuk Papa, merah untuk Mama, hijau untuk Kakak, dan seterusnya? “Ya.” Aku terdiam. “Dan warna itu tidak saling memudarkan. Mereka hanya akan muncul bergiliran di waktu yang berbeda, seperti konus [1] pada mata yang aktif bergantian saat menangkap panjang gelombang cahaya yang berbeda. Saat salah satu konus aktif, yang lain tidak lantas hilang, melainkan menunggu waktu untuk kembali menangkap cahaya.” Aku masih terdiam, mencerna analogi yang terasa asing itu. “Kau tahu? Percaya atau tidak, aktivasi konus yang berbeda itulah yang membuat kita bisa melihat berbagai warna, sebab jika ketiga jenis konus itu mendapatkan stimulasi pada saat yang sama, maka yang akan terlihat hanyalah warna putih.” Masih terdiam. “Hadirnya cinta yang berbeda pada saat yang berbeda akan membuat hidupmu terus menerus berwarna, tanpa harus takut kehilangan mereka di saat yang bersamaan.” Aku mulai mengerti. “Hal ini berlaku bukan hanya untuk mereka bagimu, tapi juga engkau bagi mereka. Kau berharga karena kau adalah warna yang melengkapi hidup mereka. Benarkah? “Jangan pernah takut pudar dari hati mereka, Sayang.” ***

Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

31


Cerita Pendek~

24 Agustus 2011, pukul 20.10 Tidak, warnaku tidak akan pudar dari hatinya, meski nanti ada sosok baru. Setidaknya itu harapanku. Kutatap punggungnya saat ia keluar. Kutahan isakku sekuat tenaga. Ia tidak boleh melihat air mataku. Aku tidak mau ia salah paham dan berpikir aku tidak bahagia mendengar kabar darinya. Ia harus tahu, bahagianya adalah bahagiaku. Sampai kapan pun. Dengan cinta untuk yang sudah, sedang, dan akan berbahagia.

Asrama, 2 Oktober 2011, pukul 02.30-04.00

[1] Konus adalah nama lain dari sel kerucut yang merupakan salah satu dari dua jenis sel fotoreseptor pada mata, sel ini peka terhadap intensitas cahaya yang tinggi dan perbedaan panjang gelombang sehingga berperan dalam proses penglihatan di siang hari atau di tempattempat terang. Sel yang terdapat di fovea ini menghasilkan penglihatan dengan ketajaman yang tinggi. Di dalamnya terdapat pigmen fotosensitif iodopsin, yang dibagi menjadi 3 berdasarkan warna cahaya yang diserap, yakni merah, biru, dan hijau. Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

32


Cerita Pendek~ Humeira Fauzia

Hamsun Kalangan kolong jembatan memanggilnya Sang Punggawa. Bukan karena dia gagah seperti prajurit, bukan. Apalagi sungguhan suruhan raja, bukan. Sungguh bukan. Garagaranya ketika malam inisiasi kolong jembatan, ia mendeklamasikan Binatang Jalang-nya Chairil Anwar dengan totalitas dan penuh perasaan. Semua penghuni kolong jembatan sontak bersorak, berdiri serentak, standing applause, meski mereka toh nggak tahu apa arti dari frase itu sendiri. Saat itulah, salah seorang dari mereka berteriak menunjuk-nunjukinya "Sang Punggawa! Sang Punggawa!!" Maksudnya barangkali Sang Pujangga, tapi julukan itu sudah kadung diterima saja secara aklamasi. Baik oleh yang dijuluk maupun seluruh penghuni kolong jembatan. Sehari-hari Sang Punggawa beroperasi di bis-bis kota. Trayek favoritnya tentu saja dekatdekat gedung hijau tempat wakilnya berkantor. Lumayan… kalau lagi ada acara, ia dapat sisasisa kotak makanan yang bagi anak semata wayangnya berarti pesta makan besar. Sambil makan pun dapat bonus cerita unik, asik dan menggelitik tentang kelakuan para wakilnya. Langsung dari para OB yang bertugas di sana. "Lumayaaan… bakal modal ngamen di bis entar…" pikirnya. Oya, penghasilannya sehari lumayan lho! Itu karena puisi-puisi yang ia ngamenkan orisinil dan aptudet. Sepertinya begitu banyak penumpang yang sehati dengannya, sehingga mereka rela merogoh sedikiiiit lebih ke dalam kantong, untuk menunjukkan rasa keterwakilan isi hatinya terhadap puisi tersebut. "Lumayaaaan.. bisa disimpen buat nyekolahin si Upik.." syukurnya. Omong-omong soal syukur, sudah lama ia tak bersyukur dengan semestinya. Misalnya alih-alih mengucap hamdalah sesuai keyakinannya yang terakhir, ia lebih suka mengucap "lumayaaaaan..". Bukan apa-apa, ia sudah cukup sering kecewa dengan agama. Lebih tepatnya dengan penyampainya mungkin. Berkata begini, lakunya begitu. Kalau mau baik ya totalitaslah. Kalau nggak ya, jahat total saja sekalian. Bikin bingung saja. "Liat nih gue! Gue miskin-miskin gini totalitas loh! Total miskinnya!!" teriaknya pada langit sore itu. Anaknya di samping sedang duduk memegang koran berisi berita seorang anggota DPR yang juga ulama, ketahuan berbuat tak senonoh di sebuah hotel. "Untunglah.. anakku si Upik belum bisa baca.." Sang Punggawa menyuruh anaknya berdiri. Mereka harus berjalan lagi karena hari sudah tinggi. Tiba-tiba, Upik, sang anak mengeluh, "Hamsun.. aku lapar..", memegangi perutnya yang berkeriuk-keriuk sambil cengengesan. "Hus!! Kapan kau akan mulai panggil aku Mak?" jawab Sang Punggawa sambil tersenyum-senyum. Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

33


Kritik~

by the river Piedra, I sat down and wept.. Mulyadi Syamsuri

Pilar, wanita yang agak konservatif dan sekuler, bertemu dengan teman masa kecilnya, Sebastian, setelah lebih dari 10 tahun berpisah [1]. Meski jarak dan waktu banyak mengubah keduanya, ternyata cinta masa kecil masih tersimpan di hati mereka. Setelah bertemu di sebuah acara formal yang berlangsung di Madrid, Sebastian mengajak Pilar untuk menemaninya ke Bilbao, kemudian Saint Savin, sebuah desa kecil di dekat perbatasan Spanyol-Prancis. Sepanjang perjalanan, terjadi percakapan di antara keduanya. Sebastian menceritakan apa yang sudah dan sedang ia lakukan pada tahun-tahun belakangan ini kepada Pilar, sedangkan Pilar mencoba menggali kembali ingatan Sebastian mengenai kejadian-kejadian yang pernah terjadi pada saat mereka kecil. Di samping percakapan interpersonal tersebut, Sebastian dan Pilar juga mengalami percakapan intrapersonal dengan diri mereka masing-masing mengenai cinta dan masa depan. Terjadi konflik di dalam hati keduanya, Sebastian bimbang di antara dua pilihan: Apakah ia akan memilih untuk menjadi imam/pastor dan hidup selibat (tidak menikah) ataukah ia akan mengundurkan diri dari biara dan hidup bersama Pilar? Apakah dia akan memilih cita-cita yang sudah mewujud di hadapannya ataukah memilih mewujudkan cinta bersama Pilar? Apakah ia akan memfokuskan diri pada cinta dan pelayanan bagi semua umat manusia yang sudah menjadi penggilan hidupnya sejak kecil ataukah memfokuskan cintanya pada Pilar, wanita yang sejak kecil dicintainya? Kondisi Pilar tidak jauh berbeda. Ia juga merasakan kebimbangan. Di satu sisi, ia masih mencintai Sebastian dan pria itu juga telah membuatnya kembali dekat kepada Tuhan. Namun di sisi lain, ‘Yang Lain’ -sebuah istilah yang dipakai oleh Coelho untuk suara alter-ego Pilar- selalu Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

34


Kritik~ membujuk Pilar untuk memupus impiannya bersama Sebastian dan kembali ke kehidupan asalnya di Zaragoza. Sebastian saat ini bukanlah Sebastian yang dulu Pilar kenal. Sebastian telah menjadi tokoh yang dikenal dan ditunggu kehadirannya oleh banyak orang. Cintanya pada Sebastian bisa menjadi pengganggu atau penghalang terwujudnya cita-cita Sebastian. Konflik batin dalam diri Sebastian dan Pilar berlangsung sepanjang perjalanan dari Madrid, Bilbao, Saint Savin hingga berujung di Biara Piedra. Ketika Pilar berhasil menyingkirkan ‘Yang Lain’ dari fikirannya dan siap menerima Sebastian apa adanya, laki-laki itu telah mengambil keputusan yang tidak diduga Pilar sebelumnya. Drama yang terjadi bisa dianalogikan dengan kisah klasik mengenai sepasang kekasih yang terdapat pada halaman 210211 novel ini: “Seorang anak laki-laki dan perempuan jatuh cinta setengah mati. Mereka memutuskan untuk bertunangan. Dan ketika itulah kedua calon mempelai saling bertukar hadiah. Anak laki-laki itu sangat miskin –miliknya yang paling berharga hanya arloji yang diwarisinya dari kakaeknya. Ketika ia membayangkan rambut kekasihnya yang indah, ia memutuskan menjual arloji itu untuk membelikan jepit rambut perak bagi kekasihnya. Anak perempuan itu juga tidak mempunyai uang untuk membeli hadiah bagi kekasihnya. Ia pergi ke toko milik pedagang paling sukses di kota itu, dan menjual rambutnya. Dengan uang yang didapat ia membelikan rantai jam emas bagi kekasihnya. Ketika bertemu di pesta pertunangan, si anak perempuan memberikan rantai jam untuk arloji yang telah dijual kekasihnya, dan si anak laki-laki memberinya jepitan untuk rambut yang tak lagi dimiliki kekasihnya.” Pada akhirnya, ‘Di Tepi Sungai Piedra, Aku Duduk Dan Menangis’ adalah kisah tentang melupakan dan melepaskan masa lalu dan memulai sesuatu yang baru..

[1] Sebagai keterangan yang dirasa perlu, nama ‘Sebastian’ adalah nama rekaan penulis dan tidak terdapat dalam novel. Nama tersebut penulis pakai karena di dalam novel sesungguhnya, nama sang tokoh pria tak kunjung disebut oleh Paulo Coelho, sang penulis novel. Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

35


Her Voice~

Go Home Alfi Syahriyani

/I/ Go Home Maybe sole of your feet which I wiped on the street While the almanac was obsolete, with the boundary line If time I could break /II/ Lonely Maybe the house is getting older And the moment is getting grizzle In a wheelchair, waiting for fall leaves Lonely, lonely, time flies away

III/ Far Away I'm clouded, waiting for the rain A silent weather, a creepy loneliness Like chaff without fire You're missing, and the road is wet

IV/ Yearning You faithfully adhere to this old season As anxious weather, repeatted You're possibly throwing a stone and let the pain see eye to eye

Katajiwa Tahun I, no.2/2011, Oktober 2011

36


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.