katajiwa edisi cinta kata kita

Page 1

Tahun I, no.1/2011, April 2011

“Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan." Pramoedya Ananta Toer

katajiwa

majalah kebudayaan

Alfi Syahriyani I Danu Ardi Kuncoro | Elsa Ridwan | Erika Hapsari | Fina Febriani | Humeira Fauzia | Ijonk | Indra Ekavvidya Jaya Aksamala | Johan Rio Pamungkas | Kawako Tami Muhammad Akhyar | Mulyadi Syamsuri | Nila Rahma | Novicha Hidayati | Puti Ayu Setiani | Tery Marlita

angit astra

membuat sastra

lebih berjiwa

cinta | kata | kita


katajiwa

Tahun I, no.1/2011, April 2011

Majalah Kebudayaan

Catatan Kebudayaan~ 2 Muslim Indonesia: Merawat Keberagaman dengan Keberagamaan Muhammad Akhyar

Cerita Pendek~ 25 Lewat Elsa Ridwan

Puisi~ Humeira Fauzia 9 eL&Ka

10 12

14

16

Indra Ekavvidya Jaya Aksamala GENERASI 2.0 saya menggugat Elsa Ridwan, Erika Hapsari, Muhammad Akhyar, Novicha Hidayati, dan Tery Marlita Bipolar (Puisi Berantai) Nila Rahma Pasir dan Aspal Membahagiakan Kabut Kota

26 Sebab Menjalani Hidup Berarti Melangkah Menuju Kebahagiaan Fina Febriani 27 Mati Aku Tidak Muhammad Akhyar 28 In Mushola Alfi Syahriyani 29 Bang Komet Johan Rio Pamungkas 32 Daun di Ranting Penghujung Puti Ayu Setiani

Ijonk 18 Maka Lah! Tery Marlita 19 saepe expertus 19 TOUJOURS Kawako Tami 20 Rumah Tua Danu Ardi Kuncoro 22 topeng mewah

Opini~

Kritik~ 33 Black Swan: Tarian Kesempurnaan Mulyadi Syamsuri

Her Voice~ 36 Peace Alfi Syahriyani

Editor : Muhammad Akhyar dan Avi Aprivianti Design dan Fotografi : Vita Wahyu Hidayat

23 Selalu pada Kata Ijonk email: langitsastra@gmail twitter: @katajiwa


Catatan Kebudayaan~

Â

Muslim Indonesia: Merawat Keberagaman dengan Keberagamaan

Muhammad Akhyar (@muhammadakhyar)

Akhir-akhir ini kita dibuat resah dengan berbagai kerusuhan, tindak kekerasan, bahkan terorisme yang memakai baju agama. Tidak perlu kita mengingkari hampir semua kasus itu ada hubungannya dengan Islam. Lalu, banyak yang hiruk-pikuk mempertanyakan di mana ke-Indonesia-an kita, di mana Bhinneka Tunggal Ika itu, di mana ideologi Pancasila itu. Biasanya setelah mendengar lontaran kalimat seperti ini saya hanya tersenyum saja. Para pakar atau biasa disebut tokoh masyarakat ini tampaknya lupa sedang di mana mereka berada. Mereka seolah-olah berada di negeri yang masyarakatnya sudah menerima term-term tadi, Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, atau Pancasila. Lebih gila lagi kalau ada yang coba menambahkan ide-ide tentang pluralitas bahkan pluralisme, Hak Asasi Manusia, kebebasan berpendapat dan sebagainya. Tentu Saudara bertanya mengapa saya tersenyum. Saya tersenyum karena mereka yang berbicara tentang ide-ide tadi seakan-akan menutup mata bahwa sebagian besar penduduk negeri ini adalah muslim. Tidak sekadar muslim, penduduk negeri ini adalah orang-orang yang mengidentifikasi diri mereka beragama. Bahkan mereka terbiasa dengan sebutan masyarakat yang religius. Coba kita lihat ungkapan-ungkapan bahasa yang biasa mereka pakai: alhamdulillah, assalamualaikum, masyaAllah, astaghfirullah. Ungkapan-ungkapan itu adalah term-term khas Islam yang menjadi kewajaran ketika sedang berkomunikasi. Lihat lagi ketika Ramadhan dan Idul Fitri tiba-tiba satu negeri heboh. Tak hanya itu, orang Indonesia kebanyakan memiliki skema waktu sesuai jadwal shalat, misalnya berjanji bertemu dengan seseorang habis Maghrib, makan

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 2 Â


Catatan Kebudayaan~

 siang setelah shalat dzuhur, atau berangkat kerja selepas adzan subuh. Dari hal-hal sederhana inilah, saya berkesimpulan untuk melihat Indonesia kepada merekalah seharusnya kita berpaling. Bukan pada yang lain. Misalnya, pada orang-orang tampaknya sering berada di televisi, padahal cara berpikir mereka hanya diterima minoritas orang di negeri ini. Oleh karena itu, tidak baik jikalau kita tidak menyelami cara berpikir mereka, apa yang mereka inginkan sebenarnya, cara apa yang ditempuh agar bisa memengaruhi mereka. Tidak bisa kita bicara HAM, Pluralitas, Liberalisme, seolaholah itu adalah nilai-nilai yang universal yang wajib diterima, atau malah kita berpikir bahwa semua orang di dunia suka dengan hal itu.

Jikalau boleh saya meminjam metafor Muhammad “jikalau baik muslim Indonesia itu maka baik pulalah bagian lain di negeri Indonesia ini.� Namun, apa dinyana hal yang ideal tidak sepenuhnya terjadi. Asumsi bahwa Muslim Indonesia adalah Bangsa Indonesia itu sendiri (walaupun tidak benar-benar kongruen) justru berbuah bencana karena di tubuh muslim itulah banyak masalah yang terjadi. Kemiskinan, kurangnya pendidikan, pola pikir yang tidak moderat menghantui bangsa ini. Kita tidak boleh mencoba untuk berpikir bahwa mereka tidak ada, mengamputasi mereka dari perhatian karena merekalah bangsa Indonesia itu sendiri. Proposisi ini boleh saja ditolak kalau kita mau berangkat ke asumsi yang lebih praktis dan konkrit bahwa NKRI saat ini adalah kelanjutan dari pemerintahan Hindia Belanda yang merupakan koloni kerajaan Belanda. Kita kembali ke masalah utama kita, mengapa mudah sekali timbul kekerasan dengan baju agama yang dilakukan muslim di negeri ini. Apakah adalah ajaran moral dalam Islam yang mengafirmasi tindakan-tindakan itu. Saya akan coba menguliknya secara ringkas. Saya akan mengajak Saudara menuju masa lalu, beberapa ribu tahun yang lalu. Saat itu kita melihat terdapat seorang manusia di surga. Surga dengan berbagai kenyamanannya tampaknya tidak mendatangkan kebahagiaan kepada manusia pertama ini, Adam.

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 3 Â


Catatan Kebudayaan~

Kenyamanan tanpa adanya teman dari yang sejenis menimbulkan kesepian. Tanda kesepian ini sebenarnya adalah konsekuensi dari tujuan penciptaan Adam, yaitu untuk menjadi khalifah di muka bumi, secara sederhana untuk membuat koloni di bumi, menjadi perwakilan Tuhan di muka bumi. Jelas untuk membuat masyarakat, Adam sendiri tentu tidak mampu, kecuali Tuhan menghendaki cara reproduksi manusia seperti amuba. Kesepian dan ketidakmampuan menjalankan perintah Tuhan tadi tertanggulangi dengan munculnya Hawa. Dari hal ini dapat kita simpulkan bahwa kebersamaan adalah hal yang tidak bisa kita pertanyakan lagi, ia adalah niscaya, kebersamaan adalah hakikat kemanusiaan. Turunlah dua manusia tadi ke bumi, di sini mereka awalnya berdua, beranak pinak, semakin banyak. Ada yang cantik, ada yang jelek, bahkan mulai ada pembunuhan. Lihat, saudara baru berapa tahun keluarga ini berbincang-bincang langsung dengan Tuhan, baru berapa tahun keluarga ini berada di surga, tetapi perbedaan di antara mereka sudah begitu jelas. Dan tidak lain tidak bukan ini adalah rencana Tuhan juga. Bahwa keberagaman itu adalah fitrah manusia juga, hakikat kemanusiaan juga, tidak perlu kita herankan, dia adalah niscaya dan harus kita terima dengan lapang dada. Dua proposisi filosofis historis tadi bahwa kebersamaan dengan manusia lain dan keberagaman manusia adalah fitrah. Hakikat kemanusiaan ini sendiri adalah ajaran Islam yang mendasari pembahasan kita selanjutnya, yaitu peristiwa empirik yang dijalani oleh penerjemah paling otoritatif atas perintah Tuhan, Muhammad. Sebelum melihat-lihat apa yang dilakukan Muhammad, mari kita singgah sebentar di pinggir Laut Merah beberapa ribu tahun yang lalu. Saat itu Musa dan kaumnya sudah terjebak di antara laut yang di depan mata dan tentara Fir’aun yang mengejar di belakang. Lantas apa yang terucap oleh kaum Musa saat itu? Dalam ketakutan, mereka bertanya apakah mereka akan tertangkap. Musa menjawab, “tenang itu tak akan terjadi, Tuhanku bersamaku”. Lalu, mari kita lihat apakah pembicaraan seperti di atas akan terjadi juga pada Muhammad dan Abu Bakar yang terjebak di dalam gua Tsur. Saat

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 4


Catatan Kebudayaan~

 terdesak di tempat sempit seperti itu, dan orang-orang Quraisy Mekkah sudah di depan mulut gua, wajar jika Abu Bakar cemas. Lalu apa kalimat yang terlontar dari Muhammad? “Jangan takut, jangan bersedih, Allah bersama kita.â€? Sederhana, tetapi model berpikir seperti inilah yang membuat Muhammad melakukan tindakantindakan yang melampaui cara berpikir manusia lain di jamannya. Setelah hijrah ke Madinah, yang pertama-pertama dilakukan Muhammad adalah memberi identitas baru pada komunitas yang ia pimpin. Muslim yang dari Mekkah ia sebut Muhajjirin dan yang di Madinah ia sebut kaum Anshor. Kaum Anshor ini adalah paduan dari Bani Aus dan Khajraj yang sebelum mengenal Islam sering berseteru. Membuat identitas baru yang tidak semata-mata muslim adalah hal yang unik untuk dikaji. Seolah-olah identitas muslim tidak cukup kuat untuk menyatukan kelompok baru ini. Bisa jadi hal ini dilakukan karena tujuan utamanya adalah persatuan, bukan keseragaman. Bagaimanapun sejarah harus tetap dihargai bahwa kaum muslim di Madinah adalah penolong, secara psikologis tentu saja itu akan lebih membuat mereka lebih dihargai. Selain itu, kepribadian masyarakat Mekkah yang pedagang dan orang-orang Medinah yang kebanyakan adalah petani tentu saja akan melahirkan cara berpikir yang berbeda, hal ini juga tidak bisa dilupakan. Sederhananya identitas baru ini masih dalam kerangka persatuan tetapi tidak menutup pintu perbedaan dan akan ditemukan titik rujuknya di konsep bernama musyawarah dan persaudaraan Islam. Tidak sekadar menyatukan kelompok-kelompok yang memiliki satu keyakinan, Muhammad juga membuat perjanjian dengan komunitas lain. Suku Najran yang beragama Nasrani dan Bani ‘Awf yang beragama Yahudi adalah suku-suku yang dirangkul untuk membentuk suatu masyarakat yang permanen, masyarakat Madinah. Hebatnya, dasar dari komunitas ini, untuk tidak kita sebut negara, adalah perjanjian sosial di antara mereka, social du contract, bukan nilai-nilai agama yang sifatnya subjektif. Meski demikian, semua hal yang diatur oleh agama masing-masing komunitas tetap dihargai dan dilindungi untuk bisa dijalankan. Kita mendengar bagaimana

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 5 Â


Catatan Kebudayaan~

Muhammad mengunjungi lembaga pendidikan Yahudi (Bayt al Midras) yang berada di Madinah, kita juga dapat membaca bagaimana beliau mengizinkan utusan dari Bani Najran untuk berdoa di masjid Madinah. Hal-hal ini adalah langkah pragmatis beliau dalam menjalankan apa yang tertuang di Al Quran, misalnya “janganlah karena kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil” atau “dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua yang di muka bumi seluruhnya” atau “tidak ada paksaan dalam agama” atau “siapa yang membunuh seorang manusia maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya”. Ringkasnya dalam membangun suatu komunitas yang paling dibutuhkan adalah aturan hukum yang jelas, pelaksanan hukum yang adil, kesadaran bahwa keberagaman dalam keberagamaan adalah hal yang sudah disinyalir oleh Tuhan sendiri dan tentu saja tindak kekerasan yang dimotori alasan agama nyaris tidak dibenarkan. Lalu setelah kita berpanjang lebar mengintip nilai-nilai moral yang terdapat di dalam Islam itu sendiri mengapa penduduk negeri ini yang mayoritas muslim tampaknya tidak melakukan hal itu. Jika mereka menolak nilai barat yang diselubungi nama-nama indah, yaitu kebebasan, perbedaan, HAM, dan sebagainya adalah wajar, tetapi jika nilai-nilai tadi berasal dari agama mereka sendiri, apa pasal? Ada dua hal yang melatarbelakangi hal ini, yang pertama adalah sudah jamak diketahui bahwa pada masyarakat yang melihat diri mereka religius cenderung konservatif. Mereka ingin sekali mengkonservasi nilai-nilai yang mereka percaya terus-menerus, hal ini wajar terjadi karena nilai-nilai tadi adalah bagian dari diri mereka, identitas terkuat mereka. Ingat, saya berbicara identitas bukan pelaksanaan ajaran-ajaran secara sempurna. Secara cepat, biasanya saya mengomentari tindakan-tindakan banal berbau agama sebagai tindakan melindungi identitas agamanya secara membabi buta tanpa pernah coba benar-benar memahami ajaran dari identitas yang coba mereka lindungi tadi.

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 6


Catatan Kebudayaan~

 Dalam perspektif kelompok hal ini adalah wajar terjadi. Saya ajak Saudara kembali ke masa silam. Waktu Saudara berada di dalam rahim ibu, Saudara tidak pernah menyadari bahwa Saudara itu ada. Bagi Saudara, hanya ada ibu, segala kebutuhan air, nutrisi, oksigen semua dengan mudah diperoleh. Setelah Saudara lahir, Saudara menyadari bahwa untuk bernafas perlu berusaha. Kemudian, Saudara mulai mengenal yang lain, ayah, keluarga dekat, hingga tetangga, dan tentu saja masyarakat yang lebih luas. Proses sederhana ini membuat kita cenderung lebih melihat ke luar alih-alih ke dalam. Kita mengenal ibu terlebih dahulu, baru menyadari keberadaan diri kita. Kita menyadari ada kelompok di luar sana kemudian kita melihat diri kita, punya kesamaan tidak dengan mereka. Mencari persamaan, mencari perbedaan adalah hal yang terus kita lakukan. Sayangnya, karena keterbatasan otak membuat kita sering melakukan potong kompas. Hal ini terjadi biasanya untuk menghemat energi kognitif. Kita mulai membuat aturan-aturan subjektif dalam menilai suatu kelompok. Tanpa perlu melihat lebih detail, ringkas saja. Kalau kelompok A adalah kumpulan orang malas, kelompok B adalah kumpulan orang radikal, suku C orang-orangnya pelit, begitu seterusnya, tanpa sadar kita telah melakukan streotyping. Masalahnya, cap kepada kelompok tertentu ini sering menimbulkan diskriminasi, misalnya in group favoritism dan out group derrogation. Hal ini akan semakin parah jika kelompok kita berada pada posisi dominan. Mungkin ini yang muncul di banyak fenomena kekerasan yang terjadi di negeri ini. Hal yang kedua adalah tidak pernahnya dalam catatan sejarah, kita membangun dokumen bersama dalam perspektif KITA, semua dalam bentuk KAMI. Lihat saja dua tonggak penting lahirnya Indonesia, Sumpah Pemuda dan Proklamasi, masing-masing menggunakan modus kebersamaan KAMI. Modus kebersamaan KAMI memiliki banyak kelemahan walaupun paling praktis. KAMI selalu membutuhkan MEREKA sebagai pembanding. Dalam konteks hari itu MEREKA adalah dunia luar, adanya musuh bersama. Dalam

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 7 Â


Catatan Kebudayaan~

konteks hari ini, bisa kita sebut musuh bersama itu Malaysia. Berapa kali anak-anak negeri ini begitu bersatu dalam aneka ragam isu mulai budaya hingga sepak bola dalam menghadapi Jiran satu ini. Seolaholah kita butuh musuh bersama untuk bersatu. Saya mencurigai hal ini terus dipinjam dalam skala yang lebih kecil. Seolah-olah kita memang butuh musuh agar kelompok kita semakin solid. Kita butuh musuh dan siapa yang berani menyerang, dia adalah benar-benar anggota kelompok ini. Tentu saja kita harus segera meninggalkan modus kebersamaan seperti ini . Bangsa ini tampaknya perlu membangun suatu monumen sejarah baru dalam kerangka modus kebersamaan KITA. KITA yang bersatu karena memiliki tujuan yang sama, KITA yang bersatu bukan hanya karena punya musuh bersama, KITA yang bersatu bukan karena sekadar sedang bersama-sama. Saya melihat hal ini semua adalah tugas muslim Indonesia. Selain besarnya jumlah dan tentu saja pengaruhnya sebagaimana metafor saya tadi, umat Islam juga sudah punya modal dari nilai-nilai mereka sendiri tentang kebersamaan ini. Tentu saja menjadi kewajiban cendikiawan muslimlah kewajiban ini bertumpu, mengedukasi masyarakat, mempromosikan nilai-nilai Islam yang sebenarnya. Diharapkan jika proyek ini sukses, muslim Indonesia tidak lagi sekadar menjadi pelindung buta identitas, tetapi juga pengaplikasi nilai-nilai Islam yang holistik, yang bisa merangkul saudara-saudara lain dari bangsa ini.

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 8


Puisi~

Humeira Fauzia (@IraFauzia)

eL&Ka Laki, Liku,, Luka,,,

Celaka!!

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 9


Puisi~

Â

Indra Ekavvidya Jaya Aksamala (@indra_aksamala)

GENERASIÂ 2.0 Â Kita adalah sekelompok manusia yang terbiasa duduk diam seperti semedi terpaku dalam layar layar lcd mimpi kita hanya diwakilkan oleh berjuta juta piksel yang kita beli bukan dari bantal kapuk yang berisi bangsat

teman kita hanyalah berupa kata kata hitam putih berformat txt berderet rapi di sebuah portal dunia maya bukan seorang bocah dekil yang mengajak kita berlari menelusuri lapangan depan rumah

kita telah sepenuhnya berubah facebook dan twitter adalah taman bermain kita bukan lagi beranda dan halaman rumah tempat biasa kita bersama

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 10

Â


Puisi~

mata kita telah dijejali berbagai ragam vektor dan bitmap yang menusuk retina dan membakar iris bukan dari coretan kuas atau pensil dari seniman yang berimajinasi liar

jemari kita lebih lincah dari badan kita, menari kian kemari dari tombol ke tombol bukan manusia utuh yang berbadan tegap lagi kuat

puisi dan imajinasi kita hanya dikurung dalam layar kaca, tidak berbunyi tidak bergema bukan suara lantang dari tenggorokan yang tercekat jaman

nyawa generasi ini dipegang penuh

PLN

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 11


Puisi~

 Indra Ekavvidya Jaya Aksamala

saya menggugat   saya menggugat atas ketidakwarasan diri saya hingga saya menggugat saya menggugat karena bumi ini banyak sampah

sampah dari manusia sampah dari bebek peliharaan tetangga saya

saya juga menggugat atas kekejaman bapak salim yang telah melarang saya memanjat pohonnya karena saya sangat tergiur sama mangganya

saya menggugat si sari karena tidak mau menerima cinta saya karena si asrul lebih kaya sedangkan saya hanyalah tukang bakso

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 12

Â


Puisi~

Â

saya menggugat atas dokter yang memberikan obat kelewat mahal sama bapak saya sehingga sakit pinggangnya tidak sembuh

saya menggugat si joni yang cengeng dan lemah tapi dia disenangi karena kaya

saya menggugat atas si ani karena tidak mau memaafkan saya

saya menggugat karena semua hal yang bikin saya stres dan gugatan ini telah disetujui Tuhan

Â

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 13

Â


Puisi~

Elsa Ridwan, Erika Hapsari, Muhammad Akhyar, Novicha Hidayati, dan Tery Marlita

Bipolar (Puisi Berantai)

Lucu itu tertawa ha ha… Menyeringai itu beda Tetapi terkadang kita bisa menyeringai atas sesuatu yang lucu Lihat saja bulan sabit yang muncul di pelupuk langit Dan berakhir… beginilah adanya… Bagiku sadis, entah kalian Mungkin juga sinis Namun aku tertawa, terkikik… Karena bagiku itu lucu Entah kenapa, bulan malam ini begitu… Ada titik buta saat aku melihat itu Aku tidak melihat apapun di samping depan belakangnya Hanya memori yang mengerjap-ngerjap muncul Emosi itupun merengek-rengek dan akhirnya lahir Masih merah bayi tawa gembiraku Ini bukan bulanku!!! Ini bukan mimpiku!!! Dan ini bukan imajinasi yang meronta… Menggeleparkan romantika di pinggiran jalan… keropeng!!! Penuh nanah, darah… Hitung saja, satu, dua, tiga, seratus… Jari-jariku tak cukup

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 14


Puisi~

Mana yang milik kalian? Patutnya aku merasa, bukan di sini aku seharusnya Di tempat impian yang ternyata tidak terengkuh… Walau kini aku di sini, namun tetap tak terengkuh! Aku jatuh pada titik aku tidak bisa jatuh lagi Hanya ada gelap dan dingin disini Ya… akan ku reguk, telan bulat-bulat bersama nista yang tercerai ini… Ha… ha… ha…

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 15


Puisi~

Nila Rahma (@nilarahma)

Pasir dan Aspal Membahagiakan Kabut Kota # Senja langit bermekanika, membias ruh pada lampu kota, mencipta macet di ujung sore, lalu gelap; dan setan bercengkerama di atas deret mobil, di bawah senyum bulan tanggal 2 # 2 setan bercatur, bercengkerama Satunya: makhluk pembantah Tuhanku berjubah panjang duanya: sama memiliki kepala prisma, tapi yang satu ini tak bermata dan botak Keduanya bercengkerama, membicarakan kita, manusia “lihat, papan catur kita ini!” “ada apa?” “seperti lipatan ketupat dari kertas saja. ah, aku lupa apa itu namanya?” “origami maksudmu?” “oh, iya. Itu” “lalu?” “begini. warna papan catur itu kan 2, hitam dan putih. karena lipatan, kertas ketupat ada yang di atas dan ada yang tidak di atas. keduanya sama, sama-sama berselang-seling. sama juga seperti manusia, ada yang baik dan ada yang tidak baik.” “lalu?”

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 16


Puisi~

“meski manusia seperti itu, kita tetap terus pegang janji moyang bahwa akan selalu berusaha menyesatkan mereka, membuat yang baik menjadi tidak baik. Menyesatkan mereka, melenakan mereka supaya bersama-sama memenuhi neraka.” “haha, kau betul juga!” hahahahaha… # Debu dari pasir dan aspal jalanan kota tersembul menabrak tiang, memantul, lalu menyenggol telapak sayap lalat, membelokkannya ke arah sejajar atas deret mobil kota, menubruk 2 setan yang bercengkerama 2 setan terdiam, penuh muka terusik dan gusar Lalat berucap, “haha!” disambut senyum tipis bulan tanggal 2 di balik kabut kota.

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 17


Puisi~

 Ijonk (@IjonkMuhammad)

Maka Lah!

Dia adalah segala Maka lah! Akulah serupa yang mencari dia ... Biar juntai merantai batu Kamulah daku Yang terpaku Menghujam. Mendalam. Menjurang Maka lah! Kamu. Kamu Memburat kata pada lembar-lembar Sayu, itu, kaku, tersumbat cinta

Terdoalah kamu Maka lah! Kamu daku Satu!

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 18

Â


Puisi~

Tery Marlita

saepe expertus

pada lipatan-lipatan kain gemersik tikar lusuh dan kaki-kaki yang mengulur atau terlipat sejenak

ruhnya senantiasa terjaga...

Tery Marlita

TOUJOURS Bahkan... Ketika bayanganmu saja yang terlihat sakit, rasanya aku ingin mati! Tapi, kau juga aku, Kita ini beriman bukan? (Paris‐Depok, natalnya ia, 2011)

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 19


Puisi~

Kawako Tami (@Kawako_Tami)

Rumah Tua /I/ Aku rumah tua yang menanti sang empunya Kemana kau kakek tua? Bukankah kau berjanji akan pulang sebelum senja dan berbaring di dalam relungku selamanya? Letakkan jasad rentamu pria tua! Biar kuhangatkan dengan tanah Sebagaimana dahulu kau berawal Biar kutiup sepimu dan mimpi buruk itu

/II/ Aku menjadi saksi darah dan air mata kekasihmu Emosi tak tertahan saat dia mengkhianatimu Mengantarnya ke penghujung malam tanpa akhir

/III/ Lalu kau pergi di subuh buta Meninggalkan sisa pekerjaanmu pada mentari di sela gorden dan genangan darah yang menganak sungai

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 20


Puisi~

/IV/ Kulihat orang ramai datang Ibu-ibu gosip seberang jalan Satpam kompleks belakang Tukang sayur, tukang bubur Pagi itu ketiga kau tak pulang Orang-orang berseragam Memasang pita-pita kuning Mengikat tubuhku yang semakin rapuh

/V/ Tahun ketiga kau tak pulang Tahun ketiga ratusan senja yang kau janjikan Aku menantimu sabar, aku merindukanmu willow tua Pria tua bijak yang terjebak dera derita cinta

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 21


Puisi~

Danu Ardi Kuncoro (@danuardik)

topeng mewah

Indah Berkata hikmah Perilaku selalu ramah Tak pernah berucap serapah Tapi semua hanya topeng mewah Terkias oleh hati penuh nanah Merana dengki mewabah Hilang oleh air bah Hanyut sudah Perih

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 22


Opini~

Selalu pada Kata Ijonk (@IjonkMuhammad)

/1/ Pada mulanya selalu pada kata. Barang siapa dapat menghasilkan kata ialah sastra. Berkenalan dengan sastra seperti berkenalan dengan ayah dan bunda saja. Tak ada beda, jumpa pertama adalah kata. Dan itulah sastra. Di dalamnya terdapat penglihatan pertama yang tersimpan dalam memori ingatan, memori hati, dan memori laku. Rasanya tak sungkan kalau tangan dan kaki pun sastra /2/ Menurut Teeuw (1988:23), sastra berasal dari akar kata sas (Sansekerta) yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan instruksi. Lalu tra berarti alat, sarana. Terungkaplah secara leksikal sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar; buku petunjuk atau pengajaran yang baik, seperti silpasastra (buku petunjuk arsitektur) dan kamasastra (buku petunjuk percintaan). Dalam perkembangan selanjutnya pun sering ditambahkan dengan su sehingga menjadi susastra, yang diartikan sebagai ciptaan yang baik dan indah. Sastra sebagai alatlah yang kemudian menjebak manusia dalam aktivitas mandiri. Maknanya semakin luas tak terbatas pada kata, benda, dan suasana. Aristoteles menyebut karya sastra sebagai katarsis, Mukarovsky menyebutnya sebagai aesthetic function, dan nihilism bagi Nietszche; ataupun berbagai definisi sastra sebagai hiburan, yang pada dasarnya merujuk pada fungsi kemanusiaan sehingga terdefinisikan pada istilah Horatius, yaitu dulce et utile (mendidik dan menghibur). Setidaknya sastra memiliki form (bentuk), berupa kata. Kata dapat berupa tulisan, lisan, atau bahkan benda. Dalam perkembangan selanjutnya sesuatu apapun yang dapat terdefinisikan dengan kata maka dapat disebut sastra. Dapat tersampaikan dengan bahasa itu pun sastra. Hanya penyelesaianlah yang mengharuskan keadaan saat ini menjadi dalam bentuk tulisan dan juga indah. Penerimaan indera adalah alat bantu sebagai bentuk keberterimaan sebuah kata tidak sekadar sebagai sastra, tapi juga Sastra dengan ‘S’ besar. Oleh sederhananya, sastra memiliki dunia formal berupa teks ataulah kita sebut dunia dalam kata dan bukan dunia manusia. Sebuah meja adalah sastra karena merupakan transformasi dari sebuah kata yang terucap akan deskripsi benda. Begitupun lukisan yang sulit terjemah dalam kata, dia belumlah sastra, hingga terjemah

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 23


Opini~

dalam kata, jadilah ia sastra. Kita mengenalnya dengan sebutan kurasi. Jadilah sastra adalah kata. Di dalamnya ada puisi, novel, kakawin, dan sebagainya. /3/ Sastra pada Teks Bila semua sastra lalu bagaimana kita meng’unik’an karya sastra? Bentuk reduksi ilmiah yang bertautan dengan rasa maka tersebutlah sasra pada teks. Kamus Istilah Sastra terbitan Balai Pustaka menyebutkan bahwa sastra memliki arti luas yang umumnya berupa teks rekaan, baik puisi maupun prosa yang nilainya tergantung pada kedalaman pikiran dan ekspresi jiwa bicara definitive pun tak lagi selesai. Sastra adalah kata yang berterima pada nuansa. Sastra seperti apakah? Sastra Inggris disebutkan Eagleton telah sampai pada makna yang luas. Tidak hanya Shakespare, Webster, Marvel, dan Milton; tetapi juga meluas hingga pada esai Prancis Bacon, ceramah John Donne, autobiografi spiritual Browne. Bahkan definisi sastra bias sampai pada Leviathan Hobbes atau History of the Rebellion Clarendon (2007:1) Sastra terbuat dari kata, bukan objek maupun rasa, dan salah satunya untuk melihat sebagai ekspresi dari pikiran penulisnya. Titik kulminasi sastra pun untuk meng’unik’an dirinya ada pada penerapan linguistik pada sastra. Tak peduli pada kebakuan dan formalitas bahasa yang structural. Para formalis rusia menyebutnya sebagai suatu penyimpangan dari norma, semacam kekerasan linguistik; sastra menjadi bahasa yang spesial dan berbeda sebagai bentuk kontradiksi dari bahasa ‘biasa’ yang sering digunakan. Hingga pada muara para formalis Rusia mengasumsikan bahwa ‘membuat asing’ adalah esensi dari sastra. Oleh karena itu, dalam menyebut sastra atau tidak haruslah pada relativitas definisi. Sastra meletekkan definisinya bergantung pada cara orang memutuskan membaca, bukan pada sifat apa yang dibaca dan tertulis. Di dalamnya ada beberapa bentuk tulisan, yaitu drama, puisi, novel; yang mungkin tulisan tersebut tidak dipandang sebagai sastra. /4/ Nilai Sastra Dalam sebuah telaah terkenal, Practical Critism (1929), kritikus Cambridge I. A. Richards menunjukkan betapa acak dan subjektifnya sebenarnya keputusan nilai sastra, dengan cara memberikan mahasiswa S-1-nya satu set puisi, disembunyikan judul dan nama penyairnya, dan meminta mereka untuk mengevaluasikan puisi-puisi tersebut. Keputusan hasilnya sangat bervariasi; penyair-penyair ternama dinilai rendah sementara yang amatir dipuji. (Eagleton, 2007:21) /5/ Tergantung pada kata. Tergantung pada dimana. Tergantung pada siapa. Makna milik Anda.

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 24


Cerita Pendek~

Elsa Ridwan

Lewat Kring... Kring... Kring... ”Halo?” ”A… ku. Ini aku.” ”Ya, siapa?” ”Aku… bagaimana kabarmu?” ”Sehat.” ”Aku senang mendengarnya… ah, kudengar kau sudah menikah. Sudah berapa anakmu sekarang?” ”Maaf, tapi ini siapa? Anakku sudah dua orang…” ”Pasti mereka anak yang lucu ya, sama sepertimu.” ”Terima kasih. Kau ini membuatku penasaran saja… temanku waktu sekolah dulu ya?” ”Haha, ini aku… Aku cuma mau memberitahumu…” ”Tentu saja, itu yang kutunggu dari tadi.” ”Kau masih ingat aku?” ”Haaah… jangan membuatku harus memutar otak di siang bolong begini” ”Mmm, aku… baiklah, aku cuma mau memberitahumu, sudah sejak sepuluh tahun yang lalu, aku cuma mau bilang bahwa aku... Tut... tuut… tuuut… ...ada.” ”Loh, kok putus? Ya sudahlah.”

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 25


Cerita Pendek~

Fina Febriani (@finfinsirip)

Bibir Jembatan Aku tidak pernah tahu apa itu kebahagiaan, hingga suatu sore sosok itu datang. Berkata ia dalam kegelapan, “Jalanilah kehidupan dan akan kau temukan kebahagiaan.” Kutatap matanya, juga botak kepalanya. Kukatakan, “aku tidak percaya! Kehidupan hanyalah permainan setan. Mereka buat manusia seperti robot mekanik. Lalu mereka kendalikan layaknya pion catur. Mereka buat manusia lupa hingga tak lagi peduli saudara. Seperti sekumpulan lalat yang tertawa di atas seonggok bangkai tak bernyawa. Tersenyum tanpa hati, di atas goresan luka…” Belum selesai aku berkata, ia mengulurkan telapak tangannya. “Bangunlah, Nak. Lihat langit itu,” tunjuknya. “Bentangan biru nan luas itu tak bertiang namun ia mampu menopang ribuan lampu bintang. Hidup tidak datar seperti belah ketupat, ia memiliki ruang layaknya prisma segi empat dan tugasmu adalah mengisinya dengan berlembar-lembar kertas perjuangan hingga kebahagiaan itu berhasil kau dapatkan. Mungkin terasa berat karena kau hanya butir pasir dalam pantai kehidupan, tetapi ingatlah di saat yang sama, kau adalah makhluk tersempurna yang pernah diciptakan.” Seketika saja, ia pergi dengan jubah kebesarannya. Aku pun tersadar, langit barat masih merah. Jalan di bawah jembatan layang ini pun masih dihiasi kemacetan. Kuturunkan tubuhku dari bibir jembatan. Kuurungkan niatku membiarkan tubuhku dimakan badan jalan.

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 26


Cerita Pendek~

Muhammad Akhyar (@muhammadakhyar)

Mati Aku Tidak "Hey sini !" Seseorang seakan memanggilku. Aku tergopoh-gopoh datang padanya. "Bukan, bukan kamu. Waktu terbit masih lama, masih beberapa tahun mungkin." Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal, pipiku bersemu merah, malu. "Sudah kamu nikmati dulu suasana di sini," katanya memecah lamunanku. "Iya, iya," kataku sambil tersenyum walau dalam hati sudah sesenggukan menangis, menahan rindu tak berkesudahan pada ibu. "Ah rindu?" Aku mulai menertawakan rasa itu. Aku berpikir lagi, mencoba untuk logis, satu rindu hanya ada jika ada jumpa, jika tak ada jumpa bagaimana ada rindu. Lebih gila aku malah rindu ibu, memangnya aku anak siapa. --Sudah berapa ribu panggilan dari mulai hanya "hey sini" hingga akhirnya dimodifikasi menjadi lantunan mirip suara adzan, giliranku belum juga tiba. "Ah bosan kalau begini terus, lama aku menanti, tetap saja berulang harap berubah kecewa," rutukku dalam hati, khawatir nanti didengar yang lain, bisa bahaya. "Ah tapi aku tak boleh bosan, ada yang menunggu juga di sana, menunggu dengan cinta," ujarku mempertahankan diri agar tak lama-lama dalam emosi negatif barusan. Sayup-sayup terdengar suara mirip adzan. Aku teruskan melihat-lihat jenis-jenis popok yang nanti aku akan pakai, aku pikir seruan tadi bukan untukku. "Hey sini, kamu," tiba-tiba dia yang biasa menjemput sudah datang dengan muka tak sabar. Tanpa banyak bicara, tanpa perlu pendengar kata-kataku, tanpa perlu menungguku menoleh sempurna, ia menarik paksa ruhku.

"Ah tidaaak," jeritku. Â Â

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 27


Cerita Pendek~

Alfi Syahriyani (@alfisyahriyani)

In Mushola It is 12 a.m in the afternoon. Several students fasten their steps, rushing into a building located in the park of FIB UI. A peaceful voice is echoing, a melodious song that seems to signal to those who hear it: “come, this is time to pray”. In a hurry, after finishing my class, I rush into the building to pray. Indeed, I don’t want to miss the chance for praying together, which is much better than to do it alone. Muslim believes that the more you pray together, the more charity you will get. As a muslim, my friends and I usually pray inside this unique building called mushala. It has a prismatic roof, without a dome sitting on top of the roof like the usual mushala. Instead, there are two signs, which look like a lightning road: the moon and the star, the symbol of Islam, which is usually found in any mosque. Actually, this building is not so large as other building. The space inside the building is separated by a high black cloth, dangling instead of a wall, dividing the room, and at the same time making it mysterious with its dark color. Muslim calls it heejab, a curtain to sign that women and men has separate space to pray: the front part for men as the leaders of the prayer, and the back for women. In men’s space, in middle-front part, there is a space for the prayer leader to stand up, giving a speech or to lead shalat. The men’s leader section is like a cave. But, we will not find such “cave” in women space. There are only several book shelves for putting the Qur’an and other Islamic books, and a small table to put mukena, a religious cloth for women. If we arrive in mushalla, we always find some sandals and shoes on the terrace of it. The activities in the terrace seem chaotic when prayer time starts. Students are having conversation in the terrace. Some of the visitors keep silent, listening to Azan, the peaceful voice. Others are reading Qur’an, waiting for the leader to start the prayer. But oh, in musholla, you will not only find people who pray with all their heart. Look…some of the students in the terrace are opening a pack of food. Meanwhile, there is a board hanging on the wall: NO EATING IN MUSHALLA

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 28


Cerita Pendek~

Johan Rio Pamungkas (@JohanRio)

Bang Komet Jakarta siang hari, usai shalat Jum’at Seorang pedagang mainan berkaos hitam polos sibuk melayani anak-anak yang ingin membeli mainan atau sekadar menanyakan harga mainan ini berapa, harga mainan itu berapa. Gerobaknya yang kecil namun memperlihatkan berbagai macam mainan seperti sebuah magnet untuk para anak Sekolah Dasar itu. Pedagang mainan itu terus didatangi anak-anak yang ingin membeli sebuah mainan, sebelum mereka pulang, guna dimainkan selekasnya tiba di rumah atau bagi yang masuk siang, tentu saja, mereka ingin bermain terlebih dahulu sebelum otak mereka dijejali pelajaran sekolah. Aku memperhatikan saja pemandangan tersebut sembari berjalan hendak pulang ke rumah dari shalat Jum’at. Aku sudah tidak SD lagi tentu saja, bahkan sudah sarjana. Aku juga tidak mempunyai adik sehingga tidak harus membeli mainan dari pedagang mainan itu. Namun dalam hatiku, aku bertanya-tanya “Masihkah abang tukang mainan itu ingat kepadaku?” Mungkin karena sadar terus diperhatikan olehku, mata abang pedagang mainan itu dari yang sibuk mengurusi anak-anak berpindah ke diriku. Pandangan kami berserobok. Dia menyapa duluan, “Woooiii, Mbem !!!” Ternyata dia masih ingat diriku, walau sekadar hanya nama panggilanku waktu SD, nama samaran yang aku gunakan sampai SMP, yah, layaknya anak-anak “kampung” akhir 90-an sampai awal 2000-an yang mempunyai alias dari mulai yang biasa seperti “Otoy”, “Jalu”, “Gareng” sampai yang aneh-aneh “Kiplay”, “Jebir”, “Dower” “Hei, Bang Komet! Assalamualaykum, apa kabar? laris nih kayaknya?” Kusahut sapaannya, sekaligus bersalaman dan bertanya kabar serta basa-basi. “Walaykumussalam, yah, ginilah gua masih gini-gini aja, yang penting nih bocah-bocah masih bisa maen, ada maenan, jadinya bisa pada seneng dah, jadinya gua juga seneng ngeliat mereka maen.” Aku terhenyak mendengar apa yang dia katakan. Hampir mirip dengan apa yang dikatakannya dulu. Sebuah “idealisme” yang masih sama dengan apa yang dia ikrarkan dulu. Sebuah curhatan seorang abang tukang mainan kepadaku dan teman-teman SD-ku dulu, kira-kira sepuluh tahun yang lalu saat aku masih berusia 12 tahun atau kelas 6 SD. Aku ingat betul dia mengatakan hal yang kurang lebih sama usai dia melerai “tawuran”, atau mungkin lebih pas disebut perkelahian antar beberapa orang saja karena memang yang berantem hanya 13 orang, antara SD-ku, yakni SDN Percontohan 11 Pagi Srengseng Sawah, Jagakarsa, dengan SD tetangga SDN 06 Pagi Srengseng Sawah, Jagakarsa. Kami bertujuh sedangkan dari SD 06 lebih sedikit satu orang. Sekolah kami hanyalah dipisahkan tujuh buah rumah warga. Masalah yang kami ributkan juga sepele hanya mengenai jumlah yang bermain sepak bola. Kami tidak sepakat kalau bermain hanya enam orang itu akan sangat melelahkan. Sedangkan, anak-anak SD 06 tentu saja “ngotot” kalau

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 29


Cerita Pendek~

bermain harus adil jadi masing-masing tim harus bermain sama enam orang. Kedua kubu sama-sama tidak mau mengalah. Sampai kemudian, Jaya, temanku yang paling besar, mencekik salah seorang anak SDN 06 yang bernama Sulis. Segeralah terjadi keributan di pinggir jalan menuju lapangan yang terletak persis di pertengahan antar sekolah. Jalanan sebenarnya ramai namun orang-orang yang melihat berantem kami hanya menonton saja malahan ada yang menyoraki, “Ayo! Ayo! Terus! Terus!” Sungguh kacau memang orang tua negeri ini anak-anak berkelahi bukannya memisahkan malah menyuruh diteruskan berantemnya tapi tentu saja dulu itu tak terpikir di kepalaku. “Woiii… Bocah-bocah berhenti!!!” Suara keras menggelegar menghentikan kami. Kami lantas mencari sumber suara. “Lu pada mau jadi apa? Hah! Lu mau jadi kayak gua? Lu mau jadi kayak Bang Sanip noh yang tiap hari maen gaple? Lu tuh pada harusnya belajar tapi kalo bosen ya bolehlah maen tapi maen ya maen gak usah pake berantem!” Ternyata itu suara Bang Komet yang kini sudah berada di tengah-tengah kami, sepertinya dia baru usai shalat Zuhur karena mengenakan peci dan membawa tasbih. Kami semua tertunduk dan diam mendengarkan dia. Kemudian, dia menunjuk-nunjukku dan berkata kepadaku. “Elu yang paling gendut, yang paling tembem, elu tuh gua tau, idup lu pasti udah enak, mau makan tinggal makan, kenapa sih lu mau ikut-ikutan berantem segala?” Aku tidak menjawabnya, mulutku seperti sudah kelu untuk berbicara. “Ya udah sekarang semuanya maaf-maafan dah, terus mo pada maen bola kan? ya udah abang wasitnya, nyok kita ke lapangan,” kata Bang Komet kemudian mengajak kami saling bermaafan dan bermain lagi. “Tapi Bang… kita kurang orang” kata Yono dari SD 06 “Ya, udah gak apa kali, elu maen tuh gak pake bayaran kan? elu maen cuma buat seneng-seneng ‘kan? ngapain ribet-ribet? gua juga jadi wasit cuma mo ngeliatin lu doang supaya kagak berantem lagi, sini gua bilangin gua gak pengen lu semua jadi kayak gua, cuman jualan maenan tapi ini gua lebih baek daripada dulu gua tukang mabok, genjrang-genjreng musik ato kalo gak cuman maen gaple noh kayak Bang Sanip, sampe gua disadarin ama mak gua yang meninggal, gua nyesel belom bisa buat dia seneng, akhirnya gua mikir ngapain yak gua supaya berguna dan bisa bikin seneng orang, ya udah gua jualan maenan dah, supaya elu bocah-bocah pada seneng, orang tua lu juga pada seneng.” Bang Komet, benar, esensi kami bertanding sepak bola bukanlah ingin mencari kemenangan, bukan ingin mencari uang tapi sekadar senang. Terima Kasih Bang Komet kuucapkan karena dulu tak sempat kukeluarkan. Dan itulah “idealisme” Bang Komet berjualan mainan. Dia berharap semua orang senang dengan mainannya, anak-anak atau orang tua.

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 30


Cerita Pendek~

Akhirnya, kami pun bersalaman, bermaafan lalu bermain bola dengan riang gembira dan seperti anak kecil umumnya sudah segera lupa dengan perkelahian sebelumnya. Kadang aku ingin kembali ke masa itu, ke masa seperti anak kecil yang segera lupa akan dendam sebelumnya dan langsung bisa bersalaman,bermaafan. Sejak itulah kami semakin akrab dengan Bang Komet hingga kami lulus SD. Bang Komet pun semakin dikenal para orang tua karena memang mainannya murah-murah tapi dengan harga terjangkau, mungkin itulah yang dia maksud membuat senang anakanak dan juga orang tua. Setelah lulus SD, aku tak pernah bertegur sapa lagi dengan Bang Komet hingga saat ini. “Mbem,,, Mbem…” Panggilan Bang Komet, membuyarkan ingatanku akan masa lalu “Eh, sorry Bang, kenapa ?” “Wah, elu, masih muda udah sering ngelamun? Mikirin apaan sih? Mikirin pacar lu ya ?” “Hehehe, nggak Bang.” “Eh, lu udah lulus belom sih?” “Udah Bang.” “Wah, hebat, selamat ya, UI? Kerja dimana?” “Iya bang, lulus dari UI, kerja di kampus aja Bang, bantubantu dosen” “Hebat… ckckck, udah beda banget lu sama dulu, Alhamdulillah dah, lu sukses, seneng gua ngeliat lu, lu inget gak dulu lu pernah berantem?” Ternyata dia juga masih ingat tentang perkelahian itu. “Hahaha, masihlah Bang.” “Bang Komet, ada gambalan Bambang Pamungkas kagak?” Seorang anak hendak membeli kartu Bambang Pamungkas. “Bang Komet, baju Barbie yang baru punya gak Bang?” Kini seorang ibu yang mencari baju barbie untuk putri tercintanya. “Ya, udah Bang, saya pulang dulu, kayaknya makin banyak yang beli, takut ganggu, makasih ya Bang.” Aku segera pamit melihat calon pembeli mainan dari Bang Komet semakin banyak datang. “Oh, ya udah Mbem, semakin sukses lu, kalo gua ‘kan yang penting anak-anak seneng, orang tua seneng, elu juga kalo dah punya anak beli maenan di gua yak.” “Pasti Bang, eh, InsyaALLAH!” Sepanjang perjalanan pulang, aku berpikir lagi. Beruntunglah anak-anak tersebut sebenarnya masih bisa bermain di luar ruangan (outdoor) dan beruntunglah masih ada orang-orang seperti Bang Komet yang mencintai pekerjaannya walau hanya sebatas menjual mainan tapi dia punya sebuah harapan yang mulia. Membuat senang semua orang.

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 31


Cerita Pendek~

Puti Ayu Setiani (@putiayusetiani)

Daun di Ranting Penghujung Aku masih juga menatapnya, tapi menyangsikan apakah keberadaanku di sini dirasakan olehnya. Ia masih sama seperti dahulu, sibuk memandangi dedaunan kering yang jatuh tertiup oleh angin. "Lihatlah, daun itu indah..." Sukma menunjuk daun-daun yang menari karena ditiup angin. Aih, Sukma, lagi-lagi kau mengucap hal yang sama. Tak adakah kau merasakan sedikit empati kepadaku. Aku sudah bosan mendengarmu terus-menerus memuji keindahan daun itu. "Hei, kenapa kau diam saja?" Sukma bertanya kepadaku. Ahh, ini pertanyaan yang diajukan karena untuk pertama kalinya aku tidak merespon pernyataan konyolnya tentang keindahan daun saat jatuh. "Aku lelah, Sukma... Aku ingin memetik bunga…" Wajahku memelas berharap Sukma mengajakku beranjak dari tempat ini. Kulihat Sukma hanya tersenyum. Ah, sungguh aku sudah lelah menantinya mengajakku pergi ke taman bunga itu. memetik catlea ungu dan krisan kuning yang sudah lama aku incar dari dulu. Sama sekali, Sukma tidak merespon permohonanku. "Baiklah Sukma, izinkan aku untuk pergi sendiri memetik bunga di sana," habis sudah kesabaranku. Akhirnya kuayunkan langkahku menuju taman bunga untuk memetik catlea dan krisan yang telah lama aku impikan. Dalam langkah menjauh darinya, kualihkan pandangan untuk sesaat melihatnya. Dan Sukma masih saja menatap dengan takjub dedaunan yang menari dalam iringan nyanyian angin.

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 32


Kritik~

Black Swan: Tarian Kesempurnaan Mulyadi Syamsuri

I Diawali dengan koreografi angsa putih yang apik dan memukau, Black Swan menuntun kita untuk menemukan jawaban atas satu pertanyaan etis filosofis: Mungkinkah kita menjadi manusia yang putih dan hitam? Pertanyaan ini cukup sulit untuk dijawab. Dunia ini dipenuhi oleh orang yang pure putih, orang pure hitam, dan orang munafik (tidak putih tidak hitam). Saya memang terkagum-kagum dengan orang yang pure putih dan terheran-heran dengan orang yang pure hitam. Namun, saya terkesan dengan orang yang mampu merangkum keduanya. Perlu dijelaskan disini bahwa penggunaan kata ‘terkagum’ ‘terheran’ dan ‘terkesan’ bukanlah sekedar permainan kata belaka atau merupakan diksi yang biasa dilakukan oleh para penyair atau pujangga. Ketiga kata itu memiliki makna masingmasing. Kata ‘kagum’ menyatakan kesan positif. Kata ‘heran’ menyatakan kesan ‘aneh’ atau ‘bingung’ yang merujuk pada kesan ‘tidak lazim’ dan cenderung lebih dekat kepada kesan negatif, sedangkan kata ‘kesan’ sendiri tidak menyatakan kesan apapun, baik positif maupun negatif. Kata itu menunjukkan bahwa orang ini meninggalkan ‘kesan’ mendalam yang sulit untuk dilupakan, terlepas dari baik atau buruk kesan yang ditinggalkan. Menurut saya, menjadi orang yang pure putih adalah sesuatu yang luar biasa. Begitu pula menjadi orang yang pure hitam pun adalah sesuatu yang luar biasa. Namun, bila ditinjau dari sisi yang lain –entah kita namakan apa sisi yang satu ini— keduanya adalah hal yang biasa-biasa saja. Logikanya seperti ini: jika seseorang berdiri di tengah-tengah lalu ia mengambil arah kanan jalan dan terus berjalan, ia akan mencapai titik kanan paling ekstrim. Begitu pula dengan orang yang yang berdiri di tengah-tengah kemudian ia mengambil arah kiri dan terus berjalan, ia akan mencapai titik kiri

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 33


Kritik~

paling ekstrim. Atau orang-orang yang terus mendaki gunung, ia akan mencapai puncak gunung paling tinggi. Begitupula dengan orang menyelami laut hingga ia akan mencapai palung laut paling dalam. Ini adalah sesuatu yang biasa dan wajar. Bandingkan dengan orang yang mampu untuk menjadi pure putih di satu waktu dan pure hitam di waktu yang lain [1]. Can u imagine that? Itu adalah suatu kualitas yang luar biasa! Suatu pencapaian yang out of penalaran kita! Dalam film Black Swan, Nina sang tokoh utama, adalah penari yang mampu memerankan angsa putih yang ceria, agak kaku, dan rapuh dengan sangat baik. Namun ia kesulitan untuk memerankan angsa hitam yang sensitif, liar dan penuh gairah. Tarian angsa hitam justru mampu dimainkan dengan baik oleh Lily, teman sekaligus rival Nina. Didorong oleh rasa takut kehilangan peran, Nina berlatih mati-matian untuk menguasai tarian angsa hitam dan membuang sifat putih dalam dirinya: ia merambah dunia mabukmabukan, seks bebas, melawan ibunya dan membunuh Lily. Dunia yang sama sekali belum pernah ia masuki sebelumnya [2]. Baru setelah itu, Nina dapat dapat memainkan tarian angsa putih dan angsa hitam; bukan hanya salah satu akan tetapi kedua-duanya dengan sempurna!

II Apakah yang membuat seseorang menjadi luar biasa? Menurut saya bukan hanya kerja keras akan tetapi obsesi, ya obsesi! Dengan bermodal kerja keras, saya mungkin bisa mencapai prestasi tinggi atau performa puncak dalam suatu hal. Adapun orang-orang yang memiliki obsesi dalam dirinya bukan hanya berusaha untuk meraih titik puncak namun juga untuk melampauinya. Dalam sebuah kompetisi, saya tidak dapat menandingi orangorang yang dikuasai oleh obsesi. Hal ini disebabkan karena, dengan minat dan motivasi yang standar, usaha saya masih dibatasi oleh rambu-rambu rasionalitas dan batas pencapaian. Sedangkan orang-

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 34


Kritik~

orang obsesif itu, dibimbing oleh kenekatan dan kegilaan, menerabas segala rambu dan batas pencapaian. Nina, dalam film Black Swan, mengajari kita akan hal itu. Ia berlatih keras seolah-olah tidak mengenal lelah dan kehabisan energi. Di saat yang lain menari untuk hidup, Nina hidup untuk menari. Di saat saya bekerja dan berkarya untuk hidup, orang-orang obsesif ini hidup untuk bekerja dan berkarya. Hidup mereka di sana dan mereka tidak segan-segan untuk mengerahkan segala daya hidupnya. Itulah kunci yang membedakan antara orang-orang obsesif dengan yang tidak. Setelah menonton film ini, saya melihat ke sekeliling. Di kampus saya melihat orang-orang yang memiliki obsesi dan hasrat luar biasa mendalami suatu ilmu. Mereka belajar dengan cara dan semangat yang sulit untuk ditandingi. Sementara di sisi lain, aku melihat mereka yang tidak lagi memiliki obsesi berjalan dengan terengah-engah, kadang tertinggal, dan dengan nafas yang tersengal-sengal mencoba tetap bertahan setidaknya hingga tahun penghabisan. Sedangkan saya? Obsesi saya tidak dimana-mana, ia terus berpindah-pindah saja dari satu hal ke hal yang lainnya hingga kelak sesuatu menghentikan langkah kakiku. Saya kumbang yang suka berkelana. Saya ingin melihat bunga beraneka warna.

Catatan: [1] Bedakan orang-pure-putih-pure-hitam dengan orang munafik (kaum abu-abu, tidak putih tidak hitam) atau orang moderat (kaum tengah, tidak kiri tidak kanan). [2] Kendala terbesarnya adalah mengendalikan ‘take over’ atau peralihan peran. Tidak seorangpun bisa menjamin apakah kita bisa kembali menjadi putih setelah menjadi hitam ataupun sebaliknya. Beberapa orang terjebak selamanya di peran barunya. Alangkah sulitnya namun, seperti yang saya singgung sebelumnya, disinilah tantangannya!

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 35


Her Voice~

Peace Alfi Syahriyani (@alfisyahriyani)

Alright. Let me begin with a simple statement: Peace is important, do you agree? Before I go any further, I want to say that our appreciation is with all of those Indonesians who respect diversity, who can join their hands together, unity under God. I do believe that they have the spirit of tolerance, regardless of any differences: religion, age, sex, gender, ethnics, tribes, anything. We all know that human being tended to have an animal instinct. Recorded in history, they were fond of having wars, fighting, killing, and considering themselves as the most powerful one. The conflicts might happen because each has different interests, perception, and culture. The differences would be a pointed issue particularly in a country who has various religions, culture, tribes, and so on. In Indonesia, for example, a multicultural country, we find that such conflicts are getting sharper, creating restlessness and tragedy of humanity. Everyone claims that his or her religion is the best. Another considers that their race is the greatest race in the world. Meanwhile, others think that violence is the best way to deal with the problem of those differences. “Indonesia is steeped in spirituality -- a place where people worship God in many different ways. Along with this rich diversity, it is also home to the world’s largest Muslim population. That is not to say that Indonesia is without imperfections. No country is. But here we can find the ability to bridge divides of race and region and religion -by the ability to see yourself in other people” (Obama’s quote). Regardless of the opinion, I want we all contemplate that living in harmony is all human’s need. Basically, God creates human being not to damage the world by fighting each other. He commanded us to do good deeds and not to create destruction. Indeed, human’s perception on something wrong, could be different according to God, and vice verse. All differences actually unite in One Hand. Once you respect diversity, it shows that you have tolerance and responsibility as a mankind. No more people loosing their lives, no more human loosing their love. The divine lives within each of us. We cannot give it into cynicism. We have to believe that unity is more powerful than division; and that the people of this world can live together in peace. May our nations, working together, with faith and determination, share these truths with all mankind.

Katajiwa Tahun I, no.1/2011, April 2011 36


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.