Kopkun.com
Edisi Juni 2012
Kopkun Corner
Volume II, Issue 12
Inside this issue:
Kemana Pasca Kampus?
Kemana Pasca Kampus?
1
Aktivis dan Entrepreneur?
2
Logo (Baru) Koperasi
3
Gagap Istilah
4
Pojok Kopkun • Apa saja pilihan ruang pasca kampus? • Aktivis dan entrepreneur, musuh atau teman? • Seperti apa hayo logo koperasi Indonesia? • Entrepreneur sama dengan kapitalis? Baca!
B
eberapa data menyebut jumlah entrepreneur di Amerika mencapai 12%. Kemudian Majalah Swa menyebut China dan Jepang mempunyai 10% entrepreneur. Sedang Indonesia, data terbaru menyebut di angka 1,56% dari total penduduk. Jadi tak mengherankan jika saat ini pemerintah jor-joran mengembangkan program kewirausahaan. Salah satunya lewat kampus. Program Mahasiswa Wirausaha digelar saban tahun guna menyerap ide-ide cerdas mahasiswa. Ide yang menarik akan dibiayai. Paling tidak pilihan kerja pasca kampus jadi lebih variatif. Tak melulu antara jadi karyawan swasta atau pegawai pemerintah. Wirausaha bisa menjadi pilihan lain yang menjanjikan. Persoalannya, dari 4,8 juta jumlah mahasiswa di Indonesia, mungkin kurang dari 5% yang serius menekuni bidang ini. Dalam gegap gempita itu, boleh jadi entrepreneur masih di pandang sebelah mata. Lihat saja misalnya, Ariel Heryanto, Associate Professor of Indonesian Studies di University of Melbourne, Australia hanya mampu mendeskripsikan lima pilihan ruang pasca kampus. Pilihan itu seperti: (a) bekerja di lingkungan akademik, dengan resiko dukungan dan sarana material sangat terbatas; (b) mencari kesempatan mengembangkan bakat sebagai pemikir dan peneliti di dunia industri, dengan resiko kerja-kerasnya hanya akan disedot pemilik perusahaan. Kemudian, (c) menjadi ahli-plus-selebritas yang menjual secara eceran pengetahuan dan keterampilan dalam acara-acara televisi dengan resiko menjadi tenar sesaat sesuai dengan selera pasar; (d) menjadi salah satu kader dalam partai politik dengan alasan bisa mengabdikan ilmunya pada bangsa tapi menghadapi resiko tertelan sistem mafia politik yang korup; atau (e) terus mendalami dunia ilmu pengetahuan jauh di luar tanah air sendiri dengan resiko terasing di tempat baru dan lama kelamaan terasing dari negeri sendiri. Dari lima alternatif itu, Ariel sama sekali abai terhadap wirausaha sebagai jalan hidup. Nampaknya ada semacam mitos yang memperangkap hingga wirausaha terasa untouchable. Tentu saja harus kita lawan! []
Page 2
Kopkun Corner
Volume 2, Issue 12
Aktivis dan Entrepreneurship? “Setiap generasi memiliki jamannya sendiri dan bisa merintis jalannya sendiri”.
Oleh: M. Nurrochman
K
alangan aktivis yang idealis, mereka memandang aspek politik lebih dominan dari pada aspek lain. Pemerintah dilihat sebagai domain yang banyak berpengaruh. Makanya, mereka memilih jalan sebagai ‘alarm’ bagi pemerintah. Tukang kritisi dan koreksi kebijakan pemerintah. Harapannya, jika pemerintah berjalan dengan benar, ekonomi tumbuh dan sumber daya disalurkan dengan adil, maka tercipta kesejahteraan. Kalangan (mahasiswa) entrepreneur memandang jika masyarakat dapat mencukupi kebutuhannya dengan harga terjangkau akibat persaingan harga di pasar. Jikakebutuhan dasar sudah terpenuhi, akivitas ekonominya berkembang tak hanya mengkonsumsi. Tapi juga berinvestasi atau berproduksi. Misalnya membuat usaha kecil. Jika kebutuhan masyarakat terpenuhi sehingga tercipta kesejahteraan. Aktivitas masa kuliah ini tentu akan berpengaruh pasca kuliah. Dua contoh di atas juga punya kecenderungan berbeda usai lulus dari kampus. Contoh pertama cenderung memilih jadi karyawan. Bukan hanya karyawan di perusahaan swasta, tapi juga jadi karyawan di lembaga negara, lembaga sosial, peneliti, LSM dan lain lain. Sedang contoh kedua memiliki kecenderungan membuat usaha sendiri. Merdeka secara ekonomi dan bebas bekerja. Dari dua pilihan tersebut, pilihan jadi karyawan lebih banyak diambil. Ini bisa dilihat dari survei Kementerian Pendidikan Nasional pada 2011. Dari lulusan perguruan tinggi yang disurvei, 82 persen berminat jadi karyawan. Sedangkan yang minat berwirausaha, hanya 6,14 persen. Berbeda dengan survei pada mereka
yang cuma lulusan SD/SMP. Minat mereka berwirausaha lebih tinggi mencapai 32,46 persen. Sedang yang mau jadi karyawan hanya sekitar 3 persen. Kita bisa belajar pada Stanford University. Sejak era 1980-an universitas ini sudah getol memfasilitasi mahasiswa/alumni/ dosennya yang mau memonetisasi ilmunya, dan dihasilkan Google. Untuk bisnis sekaligus untuk kesejahteraan masyarakat. Sehingga tak terperangkap di jalan seperti yang sudah dilalui generasi sebelumnya; jadi karyawan atau pengamen politik. Setiap generasi memiliki jamannya sendiri dan bisa merintis jalannya sendiri. [Ringkasan paper yang dipresentasikan pada Diskusi Ekosok I, “Jalan Lain, Aktivis & Entrepreneur?”, 26 Mei 2012 ]
Page 3
Kopkun Corner
Volume 2 Issue 12
Logo (Baru) Koperasi “Koperasi hidup di pasar terbuka, mau tak mau harus ikut mengadaptasi taste -nya”
M
ataram, Nusa Tenggara Barat, 23-25 Mei 2012 dalam International Year of Cooperatives logo baru koperasi diumumkan . Perubahan lambang Koperasi Indonesia itu didasarkan Logo koperasi lama pada Surat Keputusan Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) tentang Perubahan Lambang Koperasi Indonesia. Menteri Koperasi dan UKM kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Koperasi dan UKM Nomor 02/Per/M.KUKM/IV/2012 tanggal 17 April 2012 tentang Penggunaan Lambang Koperasi Indonesia. Lambang Koperasi Indonesia yang baru itu berbentuk gambar bunga yang memberi kesan perkembangan dan kemajuan koperasi di Indonesia. Gambar bunga itu mengandung makna Koperasi Indonesia selalu berkembang, cemerlang, berwawasan, variatif, inovatif sekaligus produktif dalam kegiatannya, serta berwawasan dan berorientasi pada keunggulan dan teknologi. Lambang Koperasi Indonesia yang baru itu didominasi oleh warna hijau pastel yang berwibawa dan menimbulkan kesan kalem. Bentuknya juga lain sama sekali dari yang sebelumnya yang berbentuk pohon beringin yang dikelilingi kapas dan padi, timbangan, bintang dalam perisai, gerigi roda, dan berwarna merah dan putih. Menariknya, per November 2011 Kopkun pernah melontarkan soal pentingnya mengganti logo. Dalam Kopkun Corner Edisi 6, kami menulis, “Sebaliknya, koperasi kian menarik
Peserta Sekolah Creativa Ang-
Logo koperasi baru
seumpama logonya saja semanis logo “Visit Indonesia Year”. Dinamis, penuh warna, imajinatif dan luwes. Jika tidak, maka koperasi akan selalu hidup di masa lalu, beku dan tak luwes merespon zaman. Zaman dimana kaset berganti cakram CD, dan hari ini, Ayu Ting Ting muncul dalam persegi kecil bernama Ipod dan sejenisnya”. Koperasi hidup di pasar terbuka, mau tak mau harus ikut mengadaptasi taste-nya. Tak terkecuali mengenai tampilan. Paling tidak, perubahan logo adalah salah satu ikhtiar ke arah sana. Ikhtiar menolak kebekuan dan kemandegan. []
Diskusi Ekosok 1, 26 Mei
Jadi Anggota & Manfaatnya
Redaksi Kopkun Corner Penanggungjawab: Ketua Kopkun Redaktur Pelaksana: Agnes Harvelian Reporter: Elsa, Amy & Nimas Distribusi: Nanang, Firman & Rohmat
B
anyak yang bertanya bagaimana menjadi anggota Kopkun? Edisi kali ini akan kami beberkan mudahnya menjadi anggota: 1. Mengisi formulir pendaftaran 2. Mengikuti Pendidikan Dasar (wajib) 3. Menyelesaikan administrasi termasuk membayar Simpanan Pokok Rp. 1.000 dan Simpanan Wajib Rp. 10.000. Kelengkapan yang perlu disiapkan: foto kopi KTP/ KTM dan pas foto 4x6/ 3x4 dua lembar. Keuntungan jadi anggota Kopkun: 1. Diskon untuk produk tertentu di Kopkun Swalayan 2. Diskon 20% untuk Sekolah Menulis Storia & Entrepreneur Creativa. 3. Belajar berwirausaha, kepemimpinan dan manajerial. 4. Berpeluang menjadi parttimer dan atau fasilitator 5. Kemanfaatan dalam bentuk sosial-budaya lainnya. Lebih lengkapnya datang langsung ke Kopkun Lt.2. Kami tunggu ya! Sekretariat: Kopkun Lt. 2 Jl. HR. Boenyamin Komplek Ruko Depan SKB Purwokerto (0281) 631768 | www.kopkun.com
Gagap Istilah Oleh: Firdaus Putra, S.Sos. (Manager Organisasi Kopkun)
Entrepreneur sama dengan kapitalis?
T
erkadang saya geli melihat aktivis mahasiswa. Sebagian mereka sinis dengan istilah “entrepreneur� atau “wirausaha�. Sinisme acapkali muncul ketika sebuah organisasi gelar seminar atau pelatihan kewirausahaan. Selidik punya selidik, ternyata bagi sebagian aktivis itu, makna entrepreneurship atau kewirausahaan dekat dengan praktik kapitalistik. Alhasil, sedikit aktivis gerakan kampus yang mau terjun di bidang ini. Yang jadi masalah, seringkali mereka rogoh kocek pribadi buat bikin kegiatan. Bentuk canggihnya adalah dengan membuat proposal ke jaringan alumni atau organisasi lain. Pertanyaannya, mengapa mereka tak coba bangun usaha yang kemudian labanya bisa untuk membiayai aktivitas sosialnya? Faktanya, ini bukan pilihan populer! Hanya sedikit dari mereka yang melek ekonomi dan kemudian memilih jalan ini. Kegelian selanjutnya, sebagian aktivis itu getol bicara ekonomi kerakyatan. Baginya, ekonomi kerakyatan sama arti dengan perjuangan kemanusiaan. Padahal coba identifikasi apa itu ekonomi kerakyatan? Bukankah itu adalah usaha masyarakat yang saban hari kita lihat? Misalnya, warung rames, warung tenda di malam hari, angkringan, foto kopi, penjual gorengan dan sebagainya. Dan jika iya jawabannya, bukankah usaha itu berbasis
pada semangat kewirausahaan? Atau dalam bahasa populernya, bukankah itu sama dengan entrepreneurship? Alhasil cara berpikir sebagian aktivis itu memuat kontradiksi. Yakni menolak apa yang mereka terima. Ini sungguh menggelikan! Mereka suka wacana makro ekonomi kerakyatan. Namun saat dibawa ke praktik mikro, dengan konsep-konsep seperti: modal, efisiensi, marketing, manajemen, iklan dan semacamnya, tiba-tiba alergi. Jika benar demikian, nampaknya mereka mengalami gagap istilah; Sebuah kesenjangan pemahaman antara konsep teoritik dan praktik. []