Kopkun.com
Edisi Juli 2012
Kopkun Corner
Volume II, Issue 13
Inside this issue:
Creative Cooperator, How?
Creative Cooperator, How?
1
Perlukah Melek Keuangan?
2
Ada Apa dengan 3 Korea?
4
Autisme
Pojok Kopkun • Dari gedungnya saja terlihat koperasi tidak kreatif, betulkah? • Apa dan apa perlunya melek keuangan? • Bagaimana sepakterjang koperasi di Korea? • Autisme, bukannya itu penyakit? Baca!
S
wasta seringkali lebih kreatif daripada koperasi. Mulai dari pemasaran, pengemasan sampai pengiklanan. Kreativitas mereka gunakan sebagai salah satu jalan mendekati pasar. Pertanyannya, mengapa koperasi tak sekreatif itu? Kasat mata bisa kita bedakan kantor swasta dan koperasi. Sebutlah pilihan warna, desain interior dan eksterior yang begitu menggoda. Sedang koperasi, kusam, miskin warna dan dengan desain eksterior-interior yang ala kadarnya. Penampakan koperasi lebih mirip kantor-kantor pemerintahan. Ya, sama-sama tak menggoda untuk mata melihat. Itu hanya salah satu contoh saja soal bagaimana energi kreatif koperasi lebih lambat daripada non-koperasi. Bisa jadi itu merupakan tanda defisitnya kreativitas para cooperator (aktivis koperasi). Cooperator yang ada hanya menjalani rutinitas sebagaimana mestinya. Kreativitas jadi tumpul dan inovasi tak pernah lahir. Cooperator yang demikian pasti gagap dengan zaman 2.0 dewasa ini. Di Indonesia banyak koperasi didominasi cooperator 50an tahun ke atas. Berbeda tentunya dengan swasta yang banyak menyerap energi muda. Mereka lebih dinamis, menyerap situasi kekinian, penuh optimisme dan selalui berpikir bebas. Sedang generasi 50an, cenderung konservatif, tak berani ambil resiko dan seringkali status quo. Jangan-jangan masalah SDM ini berpengaruh signifikan pada persoalan itu. Dan jika benar, nampaknya gerakan koperasi perlu melakukan penyegaran diri. Orang-orang muda potensial perlu diperbanyak dalam struktur kepengurusan dan/atau manajemen. Di sisi lain, sepertinya perlu ditetapkan mekanisme khusus yang membatasi perihal usia. Jika tidak, koperasi hanya akan jadi tempat kumpul para pensiunan yang kurang produktif. Citra itu mengendap misalnya sampai sekarang koperasi dinilai sebagai pilihan kedua yang tidak menarik. Orang-orang muda pertama kali akan aplikasi di lowongan PNS. Jika tidak, akan mencoba sektor swasta. Dan jika gagal, mereka akan melirik koperasi. Tak menarik, bukan? Ke depan mau tak mau orang muda harus banyak in charge dalam gerakan koperasi. Sampai ujungnya, para creative cooperator itu akan bawa perubahan besar gerakan koperasi Indonesia. Tengoklah koperasi Korea, Jepang, Singapore yang penuh dengan energi muda. Dan harusnya ini bisa jadi salah satu isu penting dalam Hari Koperasi ke-65 ini. Berubah atau mati! []
Page 2
Kopkun Corner
Volume 2, Issue 13
Perlukah Melek Keuangan? “Prinsipnya adalah CU mengajarkan anggota untuk melek keuangan (financial literacy)”.
D
Logo Credit Union
iskusi Ekosok ke-2 mempersembahkan bedah buku Credit Union: Kendaraan Menuju Kemakmuran Praktik Bisnis Model Sosial Indonesia. Buku yang terbit April 2012 ini dibedah oleh Dhamar Sasongko, Aktivis CU Cikalmas Purwokerto. Buku ini berbicara soal sejarah Credit Union (CU) di Indonesia dan kinerjanya sejak 1970an hingga hari ini. Buku ini menjadi relevan dikaji mengingat capaian CU per Desember 2011 adalah dengan aset 11 trilyun rupiah dan anggota 1,8 juta orang tersebar di seluruh Indonesia. Capaian ini menempatkan CU sebagai salah satu koperasi yang pantas diteladani. Sebagai koperasi kredit, CU mendasarkan produknya pada siklus kehidupan manusia. Siklus ini meliputi: lahir, masa kanak, sekolah dan seterusnya sampai tahap pensiun. Dengan cara ini, produk CU selalu relevan dengan kebutuhan anggotanya. “Prinsipnya adalah CU mengajarkan anggota untuk melek keuangan (financial literacy). Dengan melek keuangan ini, anggota bisa merencanakan setiap tahap kehidupan yang akan dilalauinya”, demikian ujar Mas Dhamar menerangkan. Setiap tahapan kehidupan mengeluarkan biaya dan akhirnya membutuhkan dana. Sehingga CU mengarahkan anggotanya untuk memahami setiap tahap kehidupan itu dengan menggali kebiasaan masyarakat lalu menunjukkan pola hidup hemat. Hal ini dimulai dengan merencanakan tahap kehidupan mereka melalui belajar membuat catatan keuangan. Dalam perencanaan itu CU menekankan pada aktivitas menabung daripada meminjam. Karena sebenarnya semua hal bisa diselesaikan jika orang mempunyai tabungan. Meski demikian, CU juga mempunyai produk pinjaman. Dalam hal ini, CU tidak asal meminjamkan begitu saja. “Biasanya sebelum meminjam kita akan wawancarai mereka. Kita akan cari tahu letak letak permasalahan si anggota. Setelah mendapat titik terang dari permasalahan keuangan tersebut, maka barulah pinjaman itu diberikan”, ujar Dhamar. Bahkan tidak berhenti sampai di situ, staf CU akan
mendampingi anggota yang meminjam saat menggunakan uang itu, misalnya untuk membeli produk tertentu. “Ini dilakukan agar yang bersangkutan konsisten membelanjakan pinjaman itu. Tidak bohong, misalnya mengajukan untuk membayar SPP anak, ternyata untuk membelikan ponsel buat si anak, begitu”, tambahnya. Diskusi yang dilaksanakan 26 Juni lalu dihadiri oleh beberapa aktivis koperasi di Purwokerto dan Banyumas. Tak ketinggalan aktivis mahasiswa turut serta. Paling tidak ada 22 orang hadiri diskusi itu. Seperti biasa, diskusi diselenggarakan di sekretariat Bale Adarma, Jl. Jatisari, Sumampir, Purwokerto. Menjelang penutupan, Dhamar Sasongko memberikan catatan, “Hal tersulit yang dialami seseorang adalah saat membuat perencanaan keuangan dan menjalankannya. Apalagi jika hal itu merubah kebiasaan yang bersangkutan, misalnya mengurangi uang rokok. Kekuatannya terletak pada keteguhan, bahwa perencanaan itu menyangkut masa depan dirinya”. [Nimas & Elisa]
Page 3
Kopkun Corner
Volume 2 Issue 13
Ada Apa dengan Korea? “Daluarsa mie instan produk lokal mereka hanya bertahan tiga bulan”.
A
pa yang menarik dari iCOOP Korea adalah posisi pembelaan mereka terhadap petani anggotanya sangat kuat. iCOOP Korea merupakan salah satu koperasi konsumen terbesar di Korea. Delegasi Kopkun, Firdaus Putra, bertemu dengan mereka di Workshop Management on Consumer Cooperative pada 11-13 Juli di NTUC Fairprice Singapura. Supermarket iCOOP sebesar brand-brand swasta nasional Indonesia seperti Matahari atau Sri Ratu. Bisa dibayangkan kapasitas usaha mereka sebesar apa, bukan? Dan lebih menarik lagi, supermarket mereka menjual produk lokal. Mulai dari sayuran sampai makanan kering. Visi sosial iCOOP Korea sangat kuat, terlihat dari profil yang mereka presentasikan di workshop se-Asia Pasifik itu. Mereka lebih suka menyebut “aktivis” daripada “karyawan”. Dan menariknya ada 3500 aktivis yang menjadi loko penggeraknya. Pada momen tertentu mereka tak segan demonstrasi turun ke jalan untuk menyuarakan perlindungan terhadap petani anggotanya. Saat ini iCOOP sedang concern pada isu ethical consumerism. Etika ini menyoal tentang kesadaran konsumen dalam mengonsumsi barang kebutuhan pokok. Dengan kebijakan ini, koperasi yang omset bulanannya 1,6 juta US dollar ini membangun produkproduk lokal yang ramah kesehatan. Dengan percaya diri mereka berani bandingkan produk lokal dengan national brand pada kadar penggunaan bahan pengawet dan sebagainya. Sebagai contoh, daluarsa mie instan produk lokal mereka hanya bertahan tiga bulan. Tentu jauh berbeda dengan mie instan yang beredar di Indonesia dengan daluarsa lebih dari delapan bulan.
Focus Group Discussion Peserta Indonesia & Thailand
Sumber: iCOOP Profile
Dengan masa daluarsa yang singkat, produk yang iCOOP jual jadi lebih sehat daripada produk lainnya. Per tahun 2012, omset (turnover) tahunan mereka mencapai 350 milyar Won. Dengan anggota pada tahun itu mencapai 135 ribu orang. Pada tahun 2016, targetnya iCOOP beromset 700 milyar dan anggota 310 ribu orang. Lebih “gila” lagi, iCOOP saat ini sedang membangun GuryeGeosan Natural Dream Park, sebuah lembah pertanian organik yang terintegrasi: koperasi konsumen-produsen, perumahan, sekolahan dan lainnya. Dan nampaknya, kita perlu belajar dari sana! []
Foto Bersama Peserta Delegasi se-Asia dan Pasifik
Jadi Anggota & Manfaatnya
Redaksi Kopkun Corner Penanggungjawab: Ketua Kopkun Redaktur Pelaksana: Agnes Harvelian Reporter: Elsa, Amy & Nimas Distribusi: Nanang, Firman & Rohmat
B
anyak yang bertanya bagaimana menjadi anggota Kopkun? Edisi kali ini akan kami beberkan mudahnya menjadi anggota: 1. Mengisi formulir pendaftaran 2. Mengikuti Pendidikan Dasar (wajib) 3. Menyelesaikan administrasi termasuk membayar Simpanan Pokok Rp. 1.000 dan Simpanan Wajib Rp. 10.000. Kelengkapan yang perlu disiapkan: foto kopi KTP/ KTM dan pas foto 4x6/ 3x4 dua lembar. Keuntungan jadi anggota Kopkun: 1. Diskon untuk produk tertentu di Kopkun Swalayan 2. Diskon 20% untuk Sekolah Menulis Storia & Entrepreneur Creativa. 3. Belajar berwirausaha, kepemimpinan dan manajerial. 4. Berpeluang menjadi parttimer dan atau fasilitator 5. Kemanfaatan dalam bentuk sosial-budaya lainnya. Lebih lengkapnya datang langsung ke Kopkun Lt.2. Kami tunggu ya! Sekretariat: Kopkun Lt. 2 Jl. HR. Boenyamin Komplek Ruko Depan SKB Purwokerto (0281) 631768 | www.kopkun.com
Autisme Oleh: Agnes Harvelian (Fasilitator Kopkun)
Autisme akan menurunkan tingkat daya dukung lembaga.
Mulai banyak organisasi autis atau sibuk dengan dirinya sendiri. Mereka hanya sibuk dengan program atau agenda internal tanpa melihat dinamika eksternalnya. Organisasi seperti ini cenderung closed minded dalam langgam geraknya. Facebook memberi pelajaran penting soal keterbukaan. Kita bisa berteman dengan siapapun sampai akhirnya bertemu dengan mutual friend yang sama. Facebook atau media sosial lainnya berisi semangat kolaboratif. Tidak sendiri-sendiri, melainkan bersama-sama. Tidak menutup diri, melainkan berjejaring luas. Meskipun bisa jadi benar dugaan Herry B. Priyono. Dosen Filsafat ini melihat bahwa perkembangan teknologi informatika lebih cepat daripada perkembangan struktur sosial-budaya masyarakat. Alhasil, gadget yang kita pakai tak secanggih cara berpikir penggunanya. Gaya hidup berjejaring sosial tidak diikuti dengan keterbukaan pikir dan sikap. Nalar ini lebih dekat ke arah narsisme daripada inklusivisme. Orang bermain Facebook sekedar modus untuk bernarsis ria. Agar “ngeksis�, bukan untuk berbuka diri, berbagi dan peduli. Bagi orang pun organisasi, autisme sama-sama tidak produktif. Daya dukung lembaga jadi rendah; Di sisi lain,
ancaman eksternal meningkat; Rawan konflik karena salah paham; Miskin kawan saat aliansi dan seterusnya. Sebaliknya, jejaring akan buat lembaga makin kuat; Saling dukung sumberdaya bisa terjadi; Aliansi taktis-strategis bisa dibangun; Kerjasama jadi lebih mudah. Prinsipnya adalah dengan membuka diri. Juga secara aktif meningkatkan daya dukung lembaga dengan bersosialisasi. Cara sederhana, jangan absen saat diundang organisasi lain. Katanya, memenuhi undangan hukumnya wajib, bukan? []