Kopkun Corner Edisi 20

Page 1

Edisi Februari 2013 Volume III, Issue 20

Kopkun.com

Kopkun Corner

Inside this issue: Pengabdian Tak Kenal Batas

1

Kopkun Radio, Terobosan Baru Koperasi

2

TTS Bulanan

3

Posdaya = Posisi Tak Berdaya

4

Kartu Keaktifan Mahasiswa, Sebuah Terobosan

5

Tentang Pengabdian

6

Pojok Kopkun • Para profesional jadi pengajar? • Kopkun sekarang punya radio, lho! • Ada TTS berhadiah lho! • Lagi KKN, bicara Posdaya, yuk! • Bagaimana itu Kartu Keaktifan Mahasiswa? • Pengabdian, seperti apa itu? Baca!

Pengabdian Tak Kenal Batas

B

agaimana jika karyawan atau para profesional terjun ke lapangan barang sehari untuk mengajar di SD-SD? Mereka tak akan mengajar soal matematika dasar, bahasa, ilmu alam atau lainnya. Namun mereka akan bercerita tentang profesi atau pekerjaan masing-masing. Tentu sangat menarik, bukan? Gagasan itulah yang digulirkan oleh Anies Baswedan melalui Kelas Inspirasi (www.kelasinspirasi.org). Di situs itu Anies menulis, “Anda hadir di sana untuk membangkitkan mimpi anak-anak di SD itu. Baju mereka bisa amat sederhana, rumah mereka bisa panas dan kumuh tapi ajaklah mereka untuk bermimpi, untuk punya cita-cita besar. Anda hadir di kelas itu menanamkan bibit mimpi mulia bagi saudara sebangsa. Sejauh apapun jarak kesejahteraannya, wawasannya, atau pengetahuannya mereka adalah amat dekat; mereka saudara kita, saudara sebangsa”. Anies meyakini bahwa mimpi yang ditularkan pada para siswa itu akan menjadi energi bagi mereka. Bagi yang sudah bekerja, mau tak mau mereka harus ambil cuti barang 2-3 hari untuk ikuti kegiatan itu. Namun Anies bilang, “Anda memang diharuskan mengambil cuti pada hari itu tapi kami tidak mengajak Anda untuk berkorban, kami menawarkan kepada Anda kehormatan untuk mewakili kita semua hadir di kelas-kelas membangkitkan mimpi”. Bukan sebuah pengorbanan, melainkan memberikan momen kehormatan bagi relawannya. Membayangkan para karyawan atau profesional itu terjun ke medan sosial nampak sungguh asing di kepala. Tapi itulah langgam pengabdian yang tak kenal batas. Boleh jadi saat terjun itu, para profesional jadi lihat realitas sosial yang berbanding terbalik dengan yang dialaminya. Ada proses belajar bagi dirinya. Dan tentu saja, ada energi bagi perubahan berikutnya. Anies mendasarkan gagasan itu karena melihat pendidikan sebagai eskalator sosial ekonomi. Dan para karyawan atau profesional itu sudah merasakan “naik kelas” melaluinya. Hingga tentu saja jadi sah bilamana mereka membagi pengalamannya pada para siswa. Apa yang menarik dari gagasan itu adalah mantranya: think big, start small, and act now! Gagasan besarnya adalah soal pendidikan di Indonesia. Namun ia mulai dari hal kecil, libatkan profesional barang sehari sebagai “pengajar”. Dan tak menunggu lama, rencananya kelas itu akan dimulai 20 Februari 2013 mendatang dengan tajuk “Hari Inspirasi”. Benar-benar menginspirasi! [] Sumber gambar: www.indonesiamengajar.org


Page 2

Kopkun Corner

Volume 3, Issue 20

Kopkun Radio, Terobosan Baru Koperasi “Ini adalah terobosan baru bagi koperasi. Jika berhasil bisa diadaptasi di koperasi lain

bisa diadaptasi di koperasi lain”, ujar Bapak Bagus, Asdep Kelembagaan Kemenkop dan UKM saat berkunjung ke Purwokerto, seminggu lalu.

L

Kopkun Radio bisa diakses dimanapun melalui www.radio.kopkun.com. Tiap hari pukul 19-21.00.

agi-lagi kader Kopkun bikin terobosan. Sebulan terakhir ini mereka sedang bangun dan geluti radio. “Radio ini berbasis streaming internet yang bisa diakses di www.radio.kopkun.com”, ujar Elisa Sugito, Koordinator Siaran. Awal mula gagasan ini lahir dari Kader Muda Kopkun yang sejak SMA dulu menjadi penyiar radio di Lampung. Saat Basic Training bulan Desember 2012 lalu, Jajang, demikian dia disapa, mengusulkan agar Kopkun bikin radio streaming. Tak butuh waktu lama, satu minggu kemudian Kopkun Radio dirilis pada 13-13-13. “Awalnya teman-teman malu-malu dan kikuk. Namun kemudian kita latih mereka dari cara siaran dan pengoperasian. Eh sekarang malah pada kecanduan cuap-cuap”, tambah Elisa. Dan kebetulan Kader Madya Kopkun, Agnes Harvelian, sudah setahun lebih jadi penyiar di RRI Purwokerto. Sehingga bersama Jajang, dia bisa latih teman-teman lainnya. Ide terus berkembang dan ditambal-sulam. Sampai akhirnya teman-teman temukan ide untuk mengintegrasikan radio dengan sound system di Kopkun Swalayan. Dan jadilah. Sejak seminggu lalu, siaran juga bisa dinikmati pengunjung yang sedang belanja di swalayan. Ditanya tentang jam siaran yang hanya dua jam, Elisa menjelaskan, “Memang dalam masa uji coba ini Kopkun Radio hanya mengudara pukul 19-21.00 saja. Ini karena penyiarnya masih terbatas. Kedepan tentu bisa bertambah”. Kopkun Radio adalah radio berbasis komunitas. Cita-citanya agar radio ini jadi media komunikasi yang mudah diakses semua orang. Rencana ke depannya adalah membangun pemancar FM agar anggotaanggota di sekitar Purwokerto bisa ikut mendengarkan. “Ini adalah terobosan baru bagi koperasi. Jika berhasil

“Memang anak muda harus seperti ini. Selalu memunculkan terobosanterobosan baru. Dan kami lihat ini akan sangat membantu Kopkun dalam menyebarluaskan ide dan praktik perkoperasian”, kata Herliana, Ketua Kopkun di tempat terpisah. Ada yang kocak dari perjalanan satu bulan ini. Saat seorang parttimer diminta mengisi kekosongan sif karena temannya sakit, yang bersangkutan bilang, “Waduh malam itu nanti saya siaran, Pak”. Memang saat ini teman-teman parttimer juga terlibat intensif dalam siaran. Bagi mereka ini adalah pengalaman luar biasa, bisa cuap-cuap dan didengarkan banyak orang. “Jadilah parttimer belajar siaran. Boleh jadi pasca lulus kelak, yang bersangkutan punya keterampilan komunikasi yang bagus. Selain tentunya rasa percaya diri yang tinggi”, ungkap Darsono, General Manajer. Dan kita tinggal menunggu kapan waktunya Kopkun Radio mengudara di gelombang FM. Setuju, kan? []


Page 3

Kopkun Corner

Volume 3, Issue 20

Teka-teki Silang Bulanan “Berhadiah Berlangganan Koran Tertentu Selama Satu Bulan dan Merchandise Menarik�

Mendatar: 1.Komposisi foto 3.Merk helm ber-SNI 5.Sapaan anak perempuan 7.Makanan kesukaan Obama 9.Tata pencahayaan pada kamera 11.Nama leasing 13.Indonesian Rupiah (singkat) Menurun: 1.Aliran air permukaan tanah 2.Menyukai 4.Lambang Sila ke-2 6.Local Area Network 8.Bunyi tangis bayi 10.Tidak (Inggris) 12.Account Representative 14.Plat nomor Sulawesi Selatan Ketentuan: 1. TTS Berhadiah ini terbuka untuk semua orang di wilayah Purwokerto. 2. Jawaban dikirim ke Kopkun dengan menyertakan Nama, No. HP dan struk belanja miminal Rp. 10.000 di Kopkun Swalayan. Atau email ke: kopkun_unsoed@yahoo.co.id dengan menyertakan scanan/ foto struk belanja. 3. Jawaban paling lambat tanggal 28 Januri 2013 pukul 17.00 WIB. 4. Tiap bulan akan dipilih satu pemenang yang menjawab dengan benar. 5. Pemenang berhak atas langganan koran selama satu bulan dan merchandise menarik. 6. Pemenang akan dihubungi via telepon.

Informasi selengkapnya di www.spiritgkn.com


Page 4

Kopkun Corner

Volume 3, Issue 20

Posdaya = Posisi Tak Berdaya | Oleh: Wildanshah “Posdaya terlihat memaksa, menyulap masyarakat berorganisasi dalam waktu yang singkat”

K

Wildanshah, mahasiswa Fisip ini juga concern dalam pemberdayaan sosial sebagai Kepala Sekolah Rakyat Bhineka Ceria.

uliah Kerja Nyata (KKN) merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa-mahasiswi, khususnya di Unsoed, tempat saya kuliah kini. Sedikit berbagi cerita tetang KKN. Motif mahasiswamahasiswi saat mengikuti KKN berbeda-beda, ada yang ingin liburan, cari jodoh dan tak jarang hanya ingin mendapat nilai. Tidak aneh, bahkan motif “macam-macam” dari senior ditularkan turun menurun entah menjadi tradisi atau tidak, bahwa KKN merupakan liburan diujung semester. Berbagai tema dibagikan kepada perserta KKN, mulai dari desa wisata hingga Posdaya. Setiap ratusan mungkin ribuan perserta KKN diikutsertakan dalam pelatihan, konon katanya untuk membekali keterampilan mahasiswa dan mahasiswi terjun kemasyarakat. Dengan tenang mereka mengikuti pelatihan tersebut, ada yang membaca komik, mendengar musik, bergosip ria, tertidur lelap di ruang kelas. Ya, ini terjadi saat dosen mengajar, seolah tak peduli dengan kondisi kelas, sang dosen pun berbicara hanya untuk diri sendiri, tak ada transformasi jangan harap dialogis. Tiba-tiba peserta KKN dihadapi ujian, di kepala hanya ada satu kepastian bagaimana menyelamatkan diri dari hal yang tidak dimengerti. Jawaban serentak pun sama, yakni berkerjasama saat ujian mulai membuat merana. Ini bukan rahasia, pengawas pun tak merasa apa-apa karena telah membiasa, dari dulu hingga kini memang kondisinya begini. Salahbenar sudah bukan meng-oposisi karena larut dalam tragedi pendidikan hari ini. Hari H sudah mendekati, 35 hari saatnya berlibur sembari melayani. Kebingungan menjadi-jadi tapi tetap saja dipaksa untuk hadir memberi pengarahan dan “inspirasi” kepada masyrakat yang sebenarnya juga tak peduli. Saya tak mau bilang ini parodi, masyarakat juga tahu bahwa mahasiswamahasiswi hanya berteori, jelas ini ironi. Bukan tanpa alasan masyarakat berfikir begitu, lihat saja struktur posdaya KKN tahun lalu jelas sudah belalu.

Tanpa malu-malu mahasiswa-mahasiwi KKN sekarang mengulangi kesalahan masa lalu, yang hanya melulu membuat bagan hanya untuk menjadi pajangan dan dilupakan, diingat lagi saat tahun depan saat perserta baru berdatangan. Dan, masyarakat lagi-lagi merasa dejavu, mengulangi kejadian masa lalu. Saya tidak berniat bercanda karena jelas ini tanda bahaya. Contohnya KKN posdaya yang kini posisinya tak berdaya. Tidak ada langkah maju kedepan hanya diam ditempat karena tak punya rencana bertahap untuk dilakukan. Posdaya merupakan ide yang luar biasa hebat namun kadang terlihat memaksa, menyulap masyarakat berorganisasi dalam waktu yang singkat tanpa upaya mendampingi kesadaran masyarakat yang baru mulai belajar. Jelas wajar kalau Posdaya hanya jadi pajangan masyarakat yang diberikan mahasiswa-mahasiswi selama liburan 35 hari, lalu hanya menjadi kenangan tak berarti karena tak membuahkan “kerja nyata” untuk pembangunan masyarakat. KKN pun selesai begitu saja, tak ada rasa bersalah yang penting mendapat nilai A. Ironi atau memang begini? [] Foto ilustrasi: Mahasiswa KKN Posdaya tahun 2013 Desa Adirejawetan, Cilacap


Page 5

Kopkun Corner

Volume 3 Issue 20

Kartu Keaktifan Mahasiswa, Sebuah Terobosan “Ironisnya bak lampu minyak petromak, dharma pengabdian kepada masyarakat justru berlangsung di daerah-daerah lain dan sering melupakan lingkungan sekitar”

Disarikan dari esai “Menjadi Indonesia Bersama Masyarakat”. Esai 20 Besar Kompetisi Esai Nasional Tempo Institute. Selengkapnya di www.firdausputra.com

hari, saat memasuki perguruan tinggi seluruh J auh mahasiswa menerima doktrin Tri Dharma Perguruan Tinggi. Salah satu nilai dharma itu mengatakan sivitas akademik harus melakukan pengabdian kepada masyarakat. Doktrin ini terus diulang bak mantra dalam mimbar-mimbar akademik. Di beberapa perguruan tinggi, nampaknya nilai dharma itu diturunkan secara sistematis melalui mata kuliah tertentu, Kuliah Kerja Nyata (KKN). Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) sebagai perguruan tinggi terbesar di Purwokerto sampai saat ini masih menjalankan tradisi itu. Pada tahun ketiga, mahasiswa disebar ke daerah lain, seperti Purbalingga, Pemalang, Cilacap dan Banjarnegara dengan seperangkat agenda pemberdayaan. Meski demikian, ironisnya bak lampu minyak petromak, dharma pengabdian kepada masyarakat justru berlangsung di daerah-daerah lain dan sering melupakan lingkungan sekitar. Lampu minyak petromak menerangi radius lima sampai tujuh meter dari pusat cahaya. Namun kalau kita perhatikan dengan seksama, petromak meninggalkan “penumbra” berwujud bayangan gelap di bawahnya. Perguruan tinggi bak petromak, ia menerangi sejauh daerah lain, namun menyisakan gelap di sekitar lingkungannya. Tesis menara gading perguruan tinggi masih saja benar. Perguruan tinggi meski sudah berpuluh tahun berdiri di tengah masyarakat, belum saja usai dengan sistem sosial seperti apa yang seyogyanya dibangun. Ujungnya, keterasingan mahasiswa dari lingkungan sekitar merupakan anak kandung dari sistem pendidikan yang hanya menempatkan lokalitas sebatas wacana minus aksi. Lantas apa yang bisa diperbuat agar mahasiswa dapat membumi di masyarakat? Pengabdian kepada masyarakat perlu ditafsirkan lebih sederhana seperti mahasiswa ikut bersih desa, ikut kerja bakti, ikut menjadi panitia peringatan kemerdekaan dan sebagainya. Narasi besar pengabdian kepada masyarakat yang begitu agung, perlu dibangun dari serpihan tindakan kecil yang tersebar seperti di atas. Sedang tugas perguruan tinggi adalah membuat pola dari berbagai tindakan kecil itu menjadi bagian dari habitus sivitas akademika. Tidak menutup kemungkinan misalnya mahasiswa dilibatkan dalam program Dasa

Wisma (Dawis) di lingkungan RT tertentu yang secara bergilir mengecek jentik nyamuk dan kebersihan lingkungan. Agar tetap lestari, tidak ada salahnya pembiasaan hidup bersama ini dirangsang juga melalui kurikulum yang akan mengganjar mahasiswa dengan nilai tertentu saat ia terlibat aktif di masyarakat. Misal, perguruan tinggi mengeluarkan “Kartu Keaktifan Mahasiswa” semacam daftar hadir yang akan diisi oleh pamong desa atau RT saat mahasiswa tersebut mengikuti berbagai kegiatan di masyarakat. “Kartu Keaktifan Mahasiswa” ini menjadi salah satu beban SKS layaknya Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebagian perguruan tinggi. Dalam terang seperti itulah kita akan menemukan bagaimana mahasiswa hidup bersama dan tak lagi terasing dari masyarakatnya. Lebih jauhnya, adagium mahasiswa sebagai agen perubahan sosial tak lagi sekedar mantra kosong. Ia menjadi laku hidup yang setiap saat dibudidayakan agar kian lestari dan manfaati. []


Jadi Anggota & Manfaatnya

Redaksi Kopkun Corner Penanggungjawab: Ketua Kopkun Redaktur Pelaksana: Elisa Sugito Reporter: Dwi, Nurul, Nalora Layouter: Ghani, Maya Distribusi: Asad, Faiz, Anis, Hadi, Karto, Triono

B

anyak yang bertanya bagaimana menjadi anggota Kopkun? Edisi kali ini akan kami beberkan mudahnya menjadi anggota: 1. Mengisi formulir pendaftaran 2. Mengikuti Pengenalan Dasar (wajib) 3. Menyelesaikan administrasi termasuk membayar Simpanan Pokok Rp. 1.000 dan Simpanan Wajib Rp. 10.000. Kelengkapan yang perlu disiapkan: foto kopi KTP/ KTM dan pas foto 4x6/ 3x4 dua lembar. Keuntungan jadi anggota Kopkun: 1. Diskon untuk produk tertentu di Kopkun Swalayan 2. Diskon 20% untuk Sekolah Menulis Storia & Entrepreneur Creativa. 3. Belajar berwirausaha, kepemimpinan dan manajerial. 4. Berpeluang menjadi parttimer dan atau fasilitator 5. Kemanfaatan dalam bentuk sosial-budaya lainnya. Lebih lengkapnya datang langsung ke Kopkun Lt.2. Kami tunggu ya!

Sekretariat: Kopkun Lt. 2 Jl. HR. Boenyamin Komplek Ruko Depan SKB Purwokerto (0281) 631768 | www.kopkun.com kopkun_unsoed@yahoo.co.id

Untuk pengguna Ipad dan Android, sila pindai barcode ini!

Tentang Pengabdian Oleh: Firdaus Putra, S.Sos. (Manajer Organisasi Kopkun)

Warung, sarana efektif untuk ikut ngobrol bareng masyarakat.

S

aya lebih suka menyebutnya dengan “pengabdian” daripada “pemberdayaan”. Yang pertama mengisyaratkan bahwa pengabdi itu “lebih rendah” daripada yang diabdi. Yang diabdi tentu saja yang saya maksud adalah masyarakat. Oleh karenanya jadi benar, bahwa posisi masyarakat “lebih tinggi” daripada individu. Sedangkan “pemberdayaan” mengesankan bahwa masyarakat itu “tak berdaya”. Dan posisi pemberdaya tentu saja jadinya lebih tinggi. Kalau kita translasi ke bahasa Inggris, jadilah pemberdayaan itu dari “yang powerfull kepada yang powerless”. Nah dari kesadaran tentang posisi itu, proses selanjutnya adalah bagaimana mengenali masyarakat. Bagi yang merasa “lebih tinggi/ lebih tahu” akan membuat program ini-itu buat masyarakat. Namun boleh jadi masyarakat tak meresponnya dengan maksimal. Alhasil program itu mandek. Saya pernah lihat kasus seperti itu. Di sebuah desa seorang dosen membangun ruang baca untuk masyarakat. Yang bersangkutan beri fasilitas ini-itu, program ini-itu. Sampai lima tahun, program tak berjalan. Ia bingung, kenapa program itu tak direspon masyarakat. Dengan naif dia “salahkan” masyarakat. Menurutnya masyarakat desa itu belum moderen sehingga tak bisa merespon program seperti itu. Atau jangan-jangan, dosen itulah yang salah mengenali kebutuhan masyarakat? Ya. Salah mengenali kebutuhan itu sangat mungkin

terjadi. Berangkat dari ruang kampus, yang bersangkutan membawa teori ini-itu untuk diujicobakan. Dan gagal! Sebaliknya, pengabdi yang baik adalah yang memahami kebutuhan masyarakat. Langkah pertama tak perlu bicara soal teori dari bangku kampus. Sebaliknya banyak mendengarkan cerita masyarakat sendiri. Dari sanalah potret masalah muncul. Ini yang kita sebut dengan menghormati dan menghargai kearifan serta pengetahuan lokal. Tak bisa mentang-mentang kita jebolan bangku kuliah, lantas sok tahu bahwa masyarakat harus ini dan itu. Jika seperti itu, pastilah tak akan berhasil! []


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.