Kopkun.com
Edisi Mei 2013 Volume III, Issue 23
Kopkun Corner
Inside this issue: Kopkun Beli Gedung & Buka Cabang
1
Seperti Apa Diksar 2 Kopkun ke Depan? TTS Berhadiah
3
Habis Gelap Terbitlah Pekat
4
Sokola Anak Rimba
5
Aaron Si Martir
6
Pojok Kopkun Wow, Kopkun jadi beli gedung ya! Memangnya kayak gimana Diksar Kopkun? Ada TTS berhadiah lho! Gimana pendidikan masa kolonial ya? Ada cerita dari rimba pedalaman. Rest in peace Aaron. Baca!
Kopkun Beli Gedung & Buka Cabang
A
khirnya mimpi miliki gedung tercapai. Di bilangan Jl. Soeparno, Karangwangkal itu Kopkun akan buka cabang. Gedung dua lantai itu akan difungsikan sebagai Swalayan Dua sedang bagian atasnya sebagai layanan simpan-pinjam dan pusat aktivitas kader. Rencananya Kopkun Dua akan diaktifkan pada akhir Mei atau awal Juni 2013. “Kami targetkan minggu ke empat Mei, jika tidak awal Juni sudah harus buka”, ujar Herliana, SE., Ketua Kopkun. “Soal pembelian dan pembukaan cabang ini memang sudah masuk dalam rekomendasi Rapat Anggota Tahunan (RAT) beberapa tahun lalu. Dan Alhamdulillah, sekarang bisa terealisasi”, imbuhnya. Terkait dengan analisis kelayakan, GM Kopkun, Darsono, S.Sos. Menyampaikan, “Dari segi kelayakan usaha, gedung itu potensial dan strategis. Kita juga sudah masukkan analisis pasar misalnya kompetitor yang ada di sekitar. Dan kita yakin, itu masih bisa dimainkan!”, ujarnya penuh semangat. Gedung seluas 9,3 x 13 meter itu memang tak sebesar gedung Kopkun Satu. Namun benar kata orang, sekecil atau sejeleknya rumah sendiri itu lebih nyaman untuk ditempati daripada kontrak. Dan sisanya soal kreativitas manajemen merenovasi agar gedung itu tampak sedap dipandang. Dan bukan Kopkun namanya jika tak bisa menyulap arena permainan jadi demikian menggairahkan. Sebagai gambaran, sentuhan baru di gedung itu adalah ruang layanan simpan-pinjam yang lebih luas. Artinya juga unit simpan-pinjam Kopkun akan dikembangkan secara serius. Di sisi lain, pusat aktivitas kader juga akan diberi porsi sendiri. “Minimal bisa untuk kumpul 20-30 saat diskusi bulanan”, terang Ari Aji, Kabid. Organisasi. Sekarang gedung itu sedang direnovasi. Selain gunakan tenaga professional, para kader juga terlibat. Kader itu ramai-ramai runtuhkan beberapa tembok. Tak hanya yang cowok, cewek pun ikut pegang palu. “Seneng mas, yang beginian kan ga bisa dilakukan di rumah. Hehehe”, ujar Yuli, salah satu kader dengan riang. Grand opening Kopkun Dua rencananya akan dibanjiri dengan program diskon. Bagi anggota dan konsumen, ingat baik-baik di akhir Mei atau awal Juni Kopkun Dua siap beraksi. Ganbatte! []
Page 2
Kopkun Corner
Volume 3, Issue 23
Seperti Apa Diksar Kopkun ke Depan? “Selain diberi modul, media lain juga akan digunakan, seperti video”.
H
atta pernah bilang, “Bukan koperasi namanya jika di dalamnya tidak ada pendidikan perkoperasiannya”. Ucapan Bung Hatta itu selaras dengan salah satu prinsip koperasi, “Pendidikan, pelatihan dan informasi”. Dan Kopkun sendiri sedari awal menyelenggarakan proses Pendidikan Dasar (Diksar) bagi calon anggota. Melalui Diksar ini calon anggota diperkenalkan gagasan besar koperasi. Di dalamnya juga diterangkan tentang apa dan bagaimana itu Kopkun. Tentang hak dan kewajiban, tentang posisi dan peran anggota. Semua calon anggota, baik yang berlatar mahasiswa, dosen, karyawan pun masyarakat umum harus melalui Diksar. “Jika sudah daftar tapi tidak Diksar, ya tak akan jadi anggota. Karena pintu masuk jadi anggota itu ya melalui Diksar”, terang Taufik Budi, M.Si., Sekretaris Kopkun. Dulu Diksar ini Kopkun laksanakan setiap hari. Modelnya itu seperti tutorial, misalnya per satu, dua atau tiga orang. Tiap peserta diberi modul dan kemudian fasilitator akan menerangkan pokok-pokok materi. Ke depan Diksar akan dilaksanakan seminggu tiga kali. Hal ini agar lebih efisien dan efektif dalam membangun semangat kelompok. Selain diberi modul, media lain juga akan digunakan, seperti video. “Jadi ke depan media Diksarnya lebih multi media. Harapannya agar peserta bisa cepat menangkap materi, tidak membosankan dan merangsang ruang diskusi”, terang Firdaus Putra, S.Sos., Manajer Organisasi & Personalia. Soal pendidikan perkoperasian, Kopkun selalu serius menggarapnya. Sampai kemudian Pengurus merasa perlu mengulas dan membangun sistem pendidikan dan pengkaderan yang komprehensif. Kemudian dibentuklah Pokja Pendidikan yang secara khusus menyusun kurikulumnya. “Kami meyakini bahwa sumber daya manusia itu kunci perubahan. Sehingga soal
pendidikan harus secara khusus dibahas”, terang Sekretaris. Awal mulanya, sebagian calon anggota memandang Diksar ini sebagai formalitas. “Kita katakan, jika ini sekedar formalitas, bagi Kopkun sendiri lebih efisien tidak menyelenggarakannya. Jika Kopkun itu sekedar swalayan, tak perlu kemudian ada Diksardiksaran yang menghabiskan energi. Cukup pasang banyak spanduk dan konsumen akan belanja”, ujar Herliana, SE. Dengan penjelasan itu calon anggota jadi paham bahwa keanggotaan (membership) di Kopkun itu berbeda dengan membership di tempat lain. Member di Kopkun tak sekedar untuk memperoleh diskon seperti di swalayan lainnya. Sebaliknya, member di Kopkun adalah pemilik sah Kopkun. Bukan sekedar pelanggan. Itulah alasan mendasar adanya Diksar. Silahkan coba! []
Page 3
Kopkun Corner
Volume 3, Issue 23
Teka-teki Silang Bulanan “Berhadiah Berlangganan Koran Tertentu Selama Satu Bulan dan Merchandise Menarik�
Mendatar: 1. Pendidikan Dasar 6. Hutan (Jawa) 7. Universitas terkenal di Kairo 8. Nama kota di Norwegia 10. Nama kura-kura di Meksiko 11. Asal (Inggris) 14. Peninjauan ulang keputusan Menurun: 1. Kewajiban (Sansekerta) 2. Nama depan Tokoh Pendidikan 3. Mahasiswa yang menjebol JSTOR 4. Inisial Rosa Luxemburg 5. Lembaga penerbit artikel ilmiah 9. Nama aliran kepercayaan di Pati 11. Ya (Inggris) 12. Notasi Iridium 13. Air bersuhu nol derajat Ketentuan: 1. TTS Berhadiah ini terbuka untuk semua orang di wilayah Purwokerto. 2. Jawaban dikirim ke Kopkun dengan menyertakan Nama, No. HP dan struk belanja miminal Rp. 10.000 di Kopkun Swalayan. Atau email ke: kopkun_unsoed@yahoo.co.id dengan menyertakan scanan/ foto struk belanja. 3. Jawaban paling lambat tanggal 29 Mei 2013 pukul 17.00 WIB. 4. Tiap bulan akan dipilih satu pemenang yang menjawab dengan benar. 5. Pemenang berhak atas langganan koran selama satu bulan dan merchandise menarik. 6. Pemenang akan dihubungi via telepon.
Tema: SANG GURU Deadline: 19 Mei 2013 Kategori Peserta: 1. Pelajar dan Mahasiswa 2. Umum Juara dan Hadiah: Juara 1 Rp. 5.000.000 + Piagam dan Tropi Juara 2 Rp. 3.000.000 + Piagam dan Tropi Juara 3 Rp. 2.000.000 + Piagam dan Tropi di www.kopkun.com
Info: http://indonesiamenulis.co/lomba-menulis-memperingatihardiknas-2013/
Page 4
Kopkun Corner
Volume 3, Issue 23
Habis Gelap, Terbitlah Pekat | Oleh: Yahya Zakaria “Untuk mampu bertahan di negeri seperti ini, kita harus memiliki mimpi�
S
Yahya Zakaria, mahasiswa pasca sarjana Magister Administrasi Publik Unsoed. Penerima Beasiswa Unggulan BPKLN Kemendiknas RI.
oekarno, di tengah sistem kolonial, setengah mati berjuang agar mampu mengenyam pendidikan. Bapaknya, seorang pendidik, dengan sekuat tenaga memberikan dukungan. Hatta, Natsir, hingga DN Aidit juga memiliki cerita tak jauh beda. Mereka harus berjuang di tengah keterbatasan demi peroleh pendidikan. Pahit memang. Pasca proklamasi hingga saat ini, akses masyarakat pada pendidikan belum optimal. Kita semua tahu, bagaimana getirnya kisah Lintang dalam Laskar Pelangi. Atau bagaimana Denias berjuang setengah mati di daerah pinggiran. Tak hanya itu, Iwan Fals pernah potret hal yang sama dalam liriknya Sore Tugu Pancoran. Semuanya jadi mozaik soal rumitnya akses pendidikan masyarakat. Mirisnya, hambatan untuk mengenyam pendidikan itu bukan kebetulan, tapi diciptakan. Para pemegang otoritas membuat kebijakan yang timpang dan tidak afirmatif terhadap mayoritas masyarakat. Jika di era kolonial, akses terhadap pendidikan dihambat dan dibatasi oleh status sosial dan kondisi finansial; Dan setelah merdeka? Tidak jauh berbeda! Kebijakan pemerintah terlihat masih berangkat dari basis asumsi yang sama dengan era kolonial. Bayangkan, alih-alih kelangkaan jumlah kursi sekolah dan universitas, pemerintah akhirnya harus menyeleksi masyarakat dengan logika ekonomi, “Kamu mampu membeli, kami sediakan layanannya!�. Alhasil jenjang pendidikan bak piramida, makin tinggi, makin mengerucut, makin sedikit masyarakat yang bisa mengakses. Dengan alur itu, pemerintah nampak absah untuk menyeleksi mereka yang ingin menimba ilmu hingga pucak piramida. Salahkah pemerintah? Ya! Pemerintah tidak mampu membangun infrastruktrur pendidikan sebanding dengan jumlah penduduk. Buntutnya harus ada seleksi untuk berebut masuk sekolah atau universitas.
Di sisi lain, saat jumlah masyarakat tidak seimbang dengan infrastruktur pendidikan, seharusnya pemerintah tidak memasukan poin kemampuan finansial dalam pola seleksinya. Jika uang menjadi salah satu prasyarat dalam seleksi, maka pada titik inilah lahir yang namanya komersialisasi pendidikan. Ternyata, trauma getirnya masa penjajahan tak cukup beri bangsa ini pelajaran. Praktik-praktik kolonial masih terus berlanjut. Belum juga ada kebijakan pendidikan yang progresif dan berangkat dari basis asumsi zaman kemerdekaan. Zaman yang seharusnya lebih mungkin bagi semua orang untuk pergi ke sekolah. Andrea Hirata pernah menulis, untuk mampu bertahan di negeri seperti ini, kita harus memiliki mimpi. Jangan pernah berpikir hanya kita seorang diri yang miliki mimpi pendidikan yang lebih baik. Lennon bilang, "You may say I'm dreamer, but I'm not the only one". Tak perlu ragu, terus berjuang dan mewujudkan apa yang dikatakan Ipang dalam liriknya, "Hingga sedih tak mau datang lagi". []
Page 5
Kopkun Corner
Volume 3 Issue 23
Sokola Anak Rimba “Jika keinginan begitu kuat, maka seluruh alam raya akan membantu”.
S
Majalah Time pernah memberikan penghargaan “Hero of Asia” kepadanya tahun 2004. Anugerah itu diberikan kepada perempuan bernama lengkap Saur Marlina Manurung itu karena kegigihannya mengajar di pedalaman hutan Jambi. Selain itu, dia juga pernah mendapat Ashoka Award 2005 dan Young Global Leader Honorees 2009.
aat saya berusia 21 tahun, suatu saat saya mendaki puncak Jayawijaya di Papua, tingginya 4.750 kalau tidak salah. Dan saya sangat bangga, dengan sombong bercerita ke semua orang. Bahwa saya menempuh sembilan hari perjalanan, melewati berbagai suku-suku pedalaman lembah Balem. Salah seorang yang apes mendengar cerita saya adalah seorang antropolog senior saya. Kebetulan ia akan pergi ke perundingan dua suku yang berperang. Saya tanya dimana dan apa serunya. Saya sempat mencemooh saat tahu aksinya hanya berjalan 2-3 jam di bukit setinggi 2000 meter. Tetapi apa yang saya saksikan mengubah hidup saya, melihat dia bicara dua bahasa lokal, di tengah-tengah perderbatan seru perang adat. Wow, itu sangat keren, sangat real. Seketika aku malu dengan hobiku selama ini saya sibuk menyenangkan diri sendiri. “Mendaki gunung memang hebat, tapi siapa yang senang? Cuma elo sendiri. Gunungnya begitu-begitu aja, orang-orangnya gak berubah nasib!”, saya bicara pada diri sendiri. Begitulah, nasehat seniorku itu, “Jadilah antropolog yang sebenarnya Tet! Elo gak mau kan hidup cuman sekedarnya?!”. Sialan, nancep banget di hati. Tamat kuliah aku bekerja di sebuah LSM konservasi untuk mendampingi komunitas orang rimba. Walaupun sangat sulit, tapi pekerjaan itu membuat saya merasa keren; Banyak anak muridku bisa baca dan hobi berkeliling hutan sambil mengatasi bahayanya binatang buas bisa tersalurkan. Tapi ada yang kurang, pekerjaan berguna buat orang lain ternyata tidak cukup, ini seperti memberi ikan pada orang lapar. Sampai kapan? Gak bikin mandiri. Tahun 2003 setelah 4 tahun bekerja mapan, demi idealisme dan ketenangan diri, saya berhenti bekerja. Saya kembali ke rimba sendirian, tanpa sokongan kantor lama. Lahirlah lembaga impian kami, Sokola, di tengah-tengah kebangkrutan kami semua. Sampaisampai untuk pulang Natal saja saya minta dikirimi ibu ongkos bus ke Jakarta. Impian memang mahal harganya, tapi bukanlah
untuk itu kita diutus ke dunia ini? Jika keinginan begitu kuat, maka seluruh alam raya akan membantu. Waktu itu usiaku 31 tahun, aku senang karena aku sudah betulbetul yakin dengan apa yang aku inginkan, yang bisa dikontribusikan pada bumi ini. Dan mungkin karena begitu jelas berbeda, hanya orang-orang tertentu tapi serius mau bergabung di Sokola. Kami seperti magnet, bertemu satu menit saja sudah tau dan langsung lengket. Kami mengembangkan program literasi hingga mereka mandiri. Tahu cara mempertahankan hak dan menentukan arah hidupnya. Kami pun membuat program sejenis di pulaupulau lain: Flores, Sulawesi, Maluku, walaupun sering buka-tutup karena kekurangan dana. Titik ini kusebut sustainability, dimana panggilan itu hanya berguna saat berumur panjang. [] * Dikisahkan oleh Butet Manurung untuk antologi “Menjadi Indonesia: Surat Dari & Untuk Pemimpin”, Tempo Institute, Jakarta.
Jadi Anggota & Manfaatnya
Redaksi Kopkun Corner Penanggungjawab: Ketua Kopkun Redaktur Pelaksana: Firdaus Putra Reporter: Dwi, Nurul, Nalora Layouter: Ghani, Maya Distribusi: Asad, Faiz, Anis, Hadi, Karto, Triono
B
anyak yang bertanya bagaimana menjadi anggota Kopkun? Edisi kali ini akan kami beberkan mudahnya menjadi anggota: 1. Mengisi formulir pendaftaran 2. Mengikuti Pengenalan Dasar (wajib) 3. Menyelesaikan administrasi termasuk membayar Simpanan Pokok Rp. 1.000 dan Simpanan Wajib Rp. 10.000. Kelengkapan yang perlu disiapkan: foto kopi KTP/ KTM dan pas foto 4x6/ 3x4 dua lembar. Keuntungan jadi anggota Kopkun: 1. Diskon untuk produk tertentu di Kopkun Swalayan 2. Diskon 20% untuk Sekolah Menulis Storia & Entrepreneur Creativa. 3. Belajar berwirausaha, kepemimpinan dan manajerial. 4. Berpeluang menjadi parttimer dan atau fasilitator 5. Kemanfaatan dalam bentuk sosial-budaya lainnya. Lebih lengkapnya datang langsung ke Kopkun Lt.2. Kami tunggu ya!
Sekretariat: Kopkun Lt. 2 Jl. HR. Boenyamin Komplek Ruko Depan SKB Purwokerto (0281) 631768 | www.kopkun.com kopkun_unsoed@yahoo.co.id
Untuk pengguna Ipad dan Android, sila pindai barcode ini!
Aaron Si Martir Oleh: Firdaus Putra, S.Sos. (Manajer Organisasi Kopkun)
Aaron Swartz. Ribuan orang menangisi kepergiaannya pada Januari 2013 lalu.
S
aya merinding memandang wajahnya. Pemuda 26 tahun itu adalah orang yang mau mati untuk keyakinannya. Aaron Swartz ditemukan meninggal di apartemennya pada 11 Januari lalu di Brooklyn, New York. Ia gantung diri mungkin ketakutan karena ancaman hukuman yang menderanya. Awalnya ia ketangkap karena mengunduh 4 juta artikel ilmiah dari JSTOR tanpa permisi. Ia ingin membagi artikel itu bagi siapapun yang tak punya akses pada pengetahuan. Kejaksaan Boston memvonisnya dengan hukuman maksimal 50 tahun penjara dan denda 4 juta US$. Tentu tak main-main, bukan? Hukuman itu sebanding dengan vonis yang diterima mantan presiden Liberia atas keterlibatannya dalam perang sipil Sierra Leone. Dalam Catatan Pinggirnya, Goenawan Mohammad (GM) menyebut sosok Aaron bak Prometheus yang mencuri api dari para dewa untuk diberikan kepada manusia. Atas tindakannnya itu, Prometheus dihukum: jantungnya dipatuk burung sampai habis, diciptakan kembali, dipatuk lagi dan lagi. Melalui catatannya itu GM berkisah bagaimana visi dan tindakan Aaron begitu menohok. Bagaimana informasi ilmu pengetahuan tak boleh hanya dinikmati negerinegeri kaya. Katanya, “Menyediakan karya ilmiah bagi universitas-universitas elite di Dunia Pertama, tapi tidak untuk anakanak di Dunia Selatan? Itu sama sekali tak pantas dan tak dapat diterima.”
“Kalian dapat melahap jamuan pengetahuan itu sementara dunia di luar tak bisa masuk. Kalian tak dapat mengeloni privilese itu untuk diri sendiri. Kalian berkewajiban membaginya kepada dunia.” begitu tulis GM mengisahkan suara Aaron. Ihwal Aaron adalah soal pembela hak kemajuan peradaban manusia yang dikungkungi klaim hak milik; Dan ketimpangan akses yang dibagi dengan cara paling kasar: punya uang atau tidak untuk melanggan artikel ilmiah! Aaron, Si Martir itu, meninggalkan kita. Namun visinya tentang sebaran akses pengetahuan akan mengabadi. Yakinlah! Dan tak terasa air mata ini pun menitik. Rest in peace Aaron. []