Paper Show 2 2017

Page 1

Program Rehabilitasi Sosial dengan Pendekatan Family-Based Care untuk Anak-Anak yang Telah Kehilangan atau Berisiko Kehilangan Pengasuhan Orang Tua Studi di SOS Children’s Villages Jakarta Patricia Cindy Andriani Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

ABSTRAK. Dinamika pembangunan nasional tidak dapat dilepaskan dari peran generasi muda yang strategis. Pembentukan generasi muda yang berkualitas hendaknya dimulai sejak usia anak. Setiap negara di dunia memiliki cara tersendiri dalam menyuarakan hak-hak anak demi menjamin kesejahteraan mereka. Tentu, negara akan selalu dihadapkan dengan berbagai tantangan persoalan sosial yang mengancam terabaikannya kesejahteraan anak. Sejak situasi krisis mulai merambah ke berbagai wilayah, kesadaran dan perhatian terhadap persoalan anak rawan (children in need of special protection) tampak mulai meningkat. Fenomena kekerasan pada anak (child abuse), penelantaran, pekerja anak di sektor-sektor berbahaya, anak jalanan, child trafficking, pengungsi anak, anak korban pedofilia, hingga anak yang putus sekolah dan berpotensi drop out (DO) menjadi serangkaian masalah yang mulai menyita perhatian masyarakat dan menggugah kepedulian untuk terlibat dalam menyelamatkan masa depan anak. Dari sejumlah kondisi yang telah disebutkan di atas, salah satu yang paling memprihatinkan adalah penelantaran anak. Kondisi ini terjadi ketika hak-hak anak untuk tumbuh kembang secara wajar, untuk memperoleh pendidikan, dan pelayanan kesehatan yang memadai, tidak terpenuhi karena kelalaian, ketidakmengertian orang tua, ketidakmampuan atau kesengajaan. Melihat fenomena ini, penelitian dilakukan dengan tujuan menemukan solusi atau rekomendasi efektif bagi pencegahan dan pengatasan penelantaran anak. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian empiris, yang menekankan pada wawancara dengan narasumber dan informan, penelusuran data-data, literatur, dan peraturan perundangundangan. Data akan dianalisis menggunakan metode kualitatif yang disajikan dalam bentuk deskriptif analitis. Anak terlantar tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar di masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu program rehabilitasi sosial bagi anak terlantar agar dapat memulihkan fungsi sosial mereka, baik melalui keluarga, masyarakat maupun panti sosial. Salah satu panti sosial berhasil mengembangkan model pendekatan family-based care untuk mencegah maupun mengatasi kasus penelantaran anak. Hal ini menunjukkan bahwa penguatan peran keluarga merupakan tindakan paling ideal untuk mencegah terjadinya penelantaran anak. Maka, model pendekatan ini menekankan pada tercapainya 8 fungsi keluarga secara optimal, yakni: keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, reproduksi, pendidikan dan sosialisasi, melindungi, pembinaan lingkungan, serta ekonomi. Kedelapan fungsi keluarga tersebut harus diberdayakan agar anak dapat memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasarnya, baik secara fisik, mental maupun sosial. KATA KUNCI: anak terlantar, family-based care, fungsi keluarga, kesejahteraan anak, rehabilitasi sosial.

1


A. PENDAHULUAN Anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran yang strategis dalam pembangunan nasional. Dalam diri anak terdapat ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi suatu bangsa di masa depan. Pentingnya peran anak menuntut dunia untuk menjamin kesejahteraan anak dengan menyuarakan hak-hak mereka melalui Convention on the Rights of the Child pada tahun 1989. Mengutip pada article 3 Konvensi Hak-Hak Anak, kepentingan terbaik anak adalah prioritas semua pihak yang terlibat dalam upaya perlindungan dan peningkatan kesejahteraan anak. “In all actions concerning children, whether undertaken by public or private social welfare institutions, courts of law, administrative authorities or legislative bodies, the best interests of the child shall be a primary consideration.� – United Nations Convention on the Rights of the Child, 1989 (article 3)1 Masalah kesejahteraan anak juga menjadi perhatian Pemerintah Indonesia, salah satunya melalui UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pada Pasal 1 angka 1 poin a, yang dimaksud dengan kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Upaya mewujudkan kesejahteraan anak menjadi tanggungjawab semua pihak, namun, 1

John Hudson and Stefan Kuhner, Fairness for Children: A League Table of Inequality in Child Well-Being in Rich Countries, Innocenti Report Card

Pemerintah secara khusus diamanatkan oleh undang-undang untuk menyediakan sarana dan prasarana guna menunjang upaya tersebut. Persoalan kesejahteraan anak akan sangat terkait dengan penerimaan anak atas hak-hak dasarnya. UU No. 23 Tahun 2012 mengatur secara komprehensif hak-hak anak pada Pasal 4 sampai dengan Pasal 18. Keberadaan undang-undang ini menunjukkan komitmen Pemerintah untuk menjamin tumbuh kembang anak secara optimal dengan mendistribusikan hak-hak mereka. Pemahaman dan perhatian terhadap hak-hak anak merupakan suatu urgensi yang harus dibangun di tengah masyarakat modern saat ini. Sebagai satu wacana sosial, isu tentang anak rawan (anak yang mengalami masalah sosial atau kerentanan sosial) memang belum sepopuler isu mengenai kemiskinan atau tentang perempuan dan gender. Namun demikian, sejak situasi krisis mulai merambah ke berbagai wilayah, kesadaran dan perhatian terhadap persoalan anak rawan (children in need of special protection) tampak mulai meningkat. Fenomena kekerasan pada anak (child abuse), penelantaran, pekerja anak di sektor-sektor berbahaya, anak jalanan, child trafficking, pengungsi anak, anak korban pedofilia, hingga anak yang putus sekolah dan berpotensi drop out (DO) menjadi serangkaian masalah yang mulai menyita perhatian masyarakat dan menggugah kepedulian untuk terlibat dalam menyelamatkan masa depan anak. Masalah-masalah sosial yang dihadapi anak bermula dari krisis ekonomi berkepanjangan yang melanda kehidupan keluarga mereka. Kemiskinan struktural menyebabkan daya tahan, perhatian, dan kehidupan anak-anak makin marginal, khususnya bagi anak-anak yang sejak awal 13 (Florence: UNICEF Office of Research – Innocenti, 2016), hlm. 2.

2


tergolong anak-anak rawan. Anak rawan sendiri pada dasarnya adalah sebuah istilah untuk menggambarkan kelompok anak-anak yang karena situasi, kondisi, dan tekanantekanan kultur maupun struktur menyebabkan mereka belum atau tidak terpenuhi hak-hakya, dan bahkan acap kali pula dilanggar hak-haknya.2 Pada awalnya, istilah yang digunakan untuk menggambarkan anak rawan adalah Children in Especially Difficult Circumstances (CEDC). Kemudian, dalam guidelines Pelaporan Kovensi Hak Anak 1996, istilah CEDC diubah dengan istilah Children in Need of Special Protection (CNSP) atau anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Anak-anak rawan sendiri identik dengan tiga karakteristik, yakni inferior, rentan, dan marginal. Inferior, karena mereka biasanya tersisih dari kehidupan normal dan terganggu proses tumbuh kembangnya secara wajar. Rentan, karena anak-anak ini sering menjadi korban situasi dan bahkan terlempar dari masyarakat (displaced children). Marginal, karena dalam kehidupan sehari-hari anak rawan mengalami berbagai bentuk eksploitasi dan diskriminasi, mudah diperlakukan salah dan bahkan kehilangan kemerdekaannya. (Suyanto, 2010: 4) Selain tiga karakteristik ini, PBB, dalam dokumennya, juga menyebutkan beberapa situasi yang dianggap rawan bagi anak sehingga membutuhkan upaya perlindungan khusus. Pertama, jika anak berada dalam lingkungan di mana hubungan antara anak dan orang-orang di sekitarnya, khususnya orang dewasa, penuh dengan kekerasan atau cenderung tidak peduli alias menelantarkan. Kedua, jika anak berada dalam lingkungan yang sedang mengalami konflik bersenjata. Ketiga, jika anak berada dalam ikatan kerja – baik informal maupun formal – di mana kepentingan perkembangan dan

pertumbuhan anak tidak memperoleh perhatian dan perlindungan yang memadai. Keempat, jika anak melakukan pekerjaan yang mengandung risiko kerja tinggi. Kelima, jika anak terlibat dalam penggunaan zat psikoaktif. Keenam, jika anak karena kondisi fisik, latar belakang budaya, sosial ekonomi, maupun politis orang tuanya rentan terhadap berbagai perlakuan diskriminatif. Ketujuh, anak yang karena status sosial perkawinannya rentan terhadap tindakan diskriminatif. Kedelapan, jika anak sedang berhadapan dan mengalami konflik dengan hukum. (Irwanto, 1999 dalam Konvensi Vol. III No. 3 April 1999 via Suyanto, 2010: 5) Dari sejumlah kondisi yang telah disebutkan di atas, salah satu yang paling memprihatinkan adalah penelantaran anak. Terlantar atau neglect dapat didefinisikan sebagai the persistent failure to meet a child’s basic physical and/or psychological needs likely to result in the serious impairment of the child’s health or development. Neglect may occur during pregnancy as a result of maternal substance misuse. Once a child is born, neglect may involve a parent or carer failing to: 

  

provide adequate food, clothing, and shelter (including exclusion from home or abandonment); protect a child from physical and emotional harm or danger; ensure adequate supervision (including the use of inadequate care givers); ensure access to appropriate medical care or treatment.

2

Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 4.

3


It may also include neglect of, or unresponsiveness to, a child’s basic emotional needs. (DfES, 2006, 1.33)3 Pada Pasal 1 angka 6 UU No. 23 Tahun 2002 juga terdapat definisi mengenai anak terlantar, yaitu anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Departemen Sosial sendiri mendefinisikan anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab orangtuanya melalaikan dan/atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak terpenuhi secara wajar baik jasmani, rohani, dan sosial (Depsos, 2003: 76).4 Seorang anak dikatakan terlantar, bukan sekedar karena ia sudah tidak lagi memiliki salah satu orang tua atau kedua orang tuanya. Tetapi, terlantar dalam pengertian di atas, ketika hak-hak anak untuk tumbuh kembang secara wajar, untuk memperoleh pendidikan yang, dan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai, tidak terpenuhi karena kelalaian, ketidakmengertian orang tua, ketidakmampuan atau kesengajaan. Pada tingkat yang ekstrem, penelantaran anak bisa berupa tindakan orang tua membuang anaknya karena ketidaksiapan untuk memelihara anak secara wajar. McSherry menyatakan bahwa penelantaran anak biasanya terjadi pada komunitas yang miskin dan kurang beruntung, dimana keluarga dalam komunitas ini memiliki kerentanan sosial yang lebih tinggi, sering menjadi sasaran penguasa, dan mendapat stigma negatif dibandingkan anak-anak pada keluarga yang lebih sejahtera. Pemberantasan kemiskinan akan mengurangi beban keluarga miskin, 3 Liz Davies dan Nora Duckett, Proactive Child Protection and Social Work (Southernhay East: Learning Matters, 2008), hlm. 87. 4 Mugino Putro, dkk, Pengkajian Model Pengasuhan Anak Terlantar oleh Orangtua Asuh (Yogyakarta: Departemen Sosial RI, Balai Pendidikan

tetapi masalah penelantaran adalah sesuatu yang lebih kompleks karena berkaitan dengan lingkaran cara berpikir dan bertindak masyarakat khususnya keluarga, bukan hanya lingkaran kemiskinan itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan suatu revolusi cara berpikir masyarakat agar masalah penelantaran ini dapat diselesaikan. Cara terbaik yang dapat diupayakan adalah dengan menguatkan peran keluarga (family strengthening) dalam merawat dan memelihara anak. Penguatan peran keluarga merupakan tindakan paling ideal untuk mencegah terjadinya penelantaran anak. Pada dasarnya, tempat terbaik anak adalah di dalam keluarga kandungnya sendiri. John Cooper menyatakan bahwa sebuah keluarga dapat berfungsi secara efektif ketika:5   

offers adequate shelter, space, food, income, and the basic amenities; secures the physical care, safety and healthy development of children; acknowledges its task of socializing children, encouraging their personal development and abilities, guiding their behavior and interests and informing their attitudes and values; offers the experience of warm, loving, intimate, and consistently dependable relationship; assures the mother of support and understanding and provides the child with a male/father/husband model

dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial, 2007), hlm. 5. 5 Gillian Pugh and Erica De’ Ath, The Needs of Parents: Practice and Policy in Parent Education (London: National Children’s Bureau, 1984), hlm. 16.

4


  

which continues to remain important through adolescence; offers children (2-6 years) an experience of group life, so extending their social relationship, their awareness of others; responds to children’s curiosity with affection and reasoned explanations; co-operates with school, values educational and learning opportunities; supports adolescents physically and emotionally while they are achieving relative independence of the family; provides a fall-back supportive system for the young marrieds during their child-bearing period. (DHSS, 1974a)

Fungsi keluarga harus diberdayakan secara optimal agar anak dapat memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasarnya, baik secara fisik, mental maupun sosial. Margaret Harrison menggarisbawahi pengalamannya bahwa beberapa orang tua membutuhkan parenting sebelum mereka dapat merespon kebutuhan anak-anak mereka sendiri.6 Oleh karena itu, pemberdayaan orang tua melalui berbagai pelatihan merupakan hal yang penting. Namun, paradigma mengenai peran orang tua mulai mengalami pergeseran sejak kasus-kasus penelantaran anak meningkat, khususnya yang dilakukan oleh orang tua kandung si anak. Salah satu contoh kasus adalah penelantaran 5 orang anak di 6

Ibid., hlm. 17. Christie Stefanie, CNN Indonesia, “KPAI Akui Dilema Tangani Kasus Penelantaran Anak di Cibubur”, 7

Perumahan Gran Citra Cibubur yang dilakukan oleh pasangan suami isteri, Utomo Permono dan Nurundria Sari. Kasus ini mulai mencuat sejak diterimanya laporan warga setempat oleh polisi karena yang bersangkutan berempati kepada D, anak ketiga keluarga tersebut yang ditelantarkan selama satu bulan dan tidak dibolehkan masuk rumah. D selama ini dirawat warga sekitar rumah dan tidur di pos jaga.7 Kasus yang terjadi di Cibubur hanyalah satu dari sekian banyak kasus yang terekspos oleh publik mengenai penelantaran anak. Fakta ini menunjukkan bahwa peran orang tua semakin tereduksi bahkan terabaikan akibat kondisi-kondisi sosial ekonomi yang menghimpit. Pada akhirnya, anak yang harus menjadi korban. Menghilangnya peran orang tua di dalam keluarga menyebabkan anak tinggal pada lingkungan yang tidak kondusif bagi tumbuh kembang dan kesejahteraannya. Hak-hak anak tidak terpenuhi secara maksimal sehingga ia tidak mampu melaksanakan fungsi sosialnya di masyarakat. Oleh karena itu, anak-anak ini membutuhkan suatu program rehabilitasi sosial yang berkelanjutan bagi hidupnya untuk meningkatkan keberfungsian sosial, sekaligus men-substitusi peran orang tua. Pasal 1 angka 8 UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial mendefinisikan rehabilitasi sosial sebagai proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Rehabilitasi sosial merupakan salah satu wujud penyelenggaraan kesejahteraan sosial (Pasal 6 poin a UU No. 11 Tahun 2009). Rehabilitasi sosial dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150515145 205-12-53440/kpai-akui-dilema-tangani-kasuspenelantaran-anak-di-cibubur/, diakses pada tanggal 13 Desember 2016.

5


keluarga, masyarakat maupun panti sosial. (Pasal 7 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2009) Pada Pasal 7 ayat (3) poin b disebutkan bahwa perawatan dan pengasuhan merupakan salah satu bentuk rehabilitasi sosial. Kewajiban orangtua terhadap anak diamanatkan oleh Pasal 26 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban untuk mengasih, memelihara, mendidik dan melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya serta mencegah terjadinya perkawinan dini. Kewajiban ini utamanya terletak pada orang tua kandung si anak. Namun, bila tidak tercapai, anak dapat berada di bawah pengasuhan orang tua “angkatnya”. Pasal 7 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 mengatur mengenai pengasuhan anak: karena suatu sebab orang tua tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan peraturan yang berlaku. Orang tua asuh adalah seseorang yang diharapkan mempunyai kemampuan untuk melakukan kewajiban sebagai orang tua untuk memenuhi kebutuhan dan menjamin perlindungan hak anak terlantar, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa orang tua asuh adalah orang yang dapat menggantikan peran sebagai “orang tua” yang memiliki keterampilan atau kemampuan mengasuh dengan mendengar, memperhatikan setiap perkembangan perilaku sesuai dengan tahap perkembangan usia. (Darmanto Yatman, 1995 via Putro, Depsos RI, 2007: 10). Pengasuhan anak terlantar memang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak anak yang diselenggarakan melalui kegiatan 8

Mugino Putro, Op. Cit., hlm. 12-13. Antaranews, “Mensos: Jumlah Anak Terlantar di Indonesia Mencapai 4,1 Juta”, 9

bimbingan, pemeliharaan, perawatan, dan pendidikan secara berkesinambungan. Eric Berne dalam bukunya Transactional Analysis yang dikutip oleh Darmanto Yaman menyatakan bahwa di dalam keluarga ada hubungan “take and give” dengan asumsi harus ada kebebasan dan kesetaraan. Menurut Horrison (1991) ada lima prinsip yang dapat diterapkan dalam mencapai kualitas pengasuhan, yaitu (a) kesetaraan sosial; (b) saling menghargai; (c) kepercayaan; (d) kerjasama; (e) berbagi tanggungjawab.8 Pengasuhan anak terlantar ini merupakan model yang sepatutnya dikembangkan, mengingat masih tingginya jumlah anak terlantar di Indonesia. Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa, merincikan ada 4,1 juta anak terlantar, diantaranya 5.900 anak yang jadi korban perdagangan manusia, 3.600 anak bermasalah dengan hukum, 1,2 juta balita terlantar dan 34.000 anak jalanan.9 Berdasarkan paparan fakta, data, dan teori di atas, maka penelitian kecil tentang program rehabilitasi sosial dengan model pengasuhan anak (family-based care) di SOS Children’s Village Jakarta sebagai sampel, relevan untuk dilakukan. Melalui UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sesuai amanat Pasal 34 UUD 1945, Pemerintah telah berkomitmen untuk melindungi dan meningkatkan kesejahteraan anak, khususnya dalam memelihara anak terlantar. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa jumlah anak terlantar masih tinggi, yakni 4,1 juta dengan beberapa klasifikasinya. Kondisi yang lebih parah adalah anak-anak tidak dipelihara untuk mengembalikan fungsi sosial mereka di masyarakat. Akibatnya, yang sering kita temukan, anak-anak menjadi pecandu http://jateng.antaranews.com/detail/mensos-jumlahanak-terlantar-di-indonesia-mencapai-41-juta.html, diakses pada tanggal 13 Desember 2016.

6


narkoba, pekerja seks komersial, pekerja pada sektor-sektor berbahaya, maupun kenakalan-kenakalan anak lainnya. Hal-hal tersebut merupakan efek domino dari kondisi anak yang terlantar atau kehilangan pengasuhan orang tua kandungnya. Untuk itu, yang menjadi permasalahan dalam penelitian kecil ini adalah bagaimana program rehabilitasi sosial yang ideal diberikan kepada anak-anak terlantar baik yang telah kehilangan pengasuhan orang tua maupun berisiko kehilangan pengasuhan orang tua. Mengapa Departemen Sosial RI mengedepankan metode pengasuhan anak oleh orang tua asuh dalam menyikapi kasus anak terlantar? Lalu, bagaimana realisasi dari sistem pengasuhan anak oleh orang tua asuh ini (family-based care)? Apakah yang dikembangkan oleh panti asuhan sudah cukup ideal atau ada sistem lain yang dikembangkan oleh panti sosial dapat dikatakan lebih ideal? Perubahan atau manfaat yang signifikan dari model ini juga akan dikaji secara mendalam. Berdasarkan permasalahan yang dipaparkan di atas, maka jika dikaitkan dengan lokasi penelitian, pertanyaan penelitian yang akan dijawab adalah: 1. Bagaimana program rehabilitasi sosial dengan pendekatan family-based care untuk anak-anak yang telah atau berisiko kehilangan pengasuhan orang tua dikembangkan oleh SOS Children’s Villages Jakarta? 2. Mengapa SOS Children’s Villages Jakarta mengedepankan model pendekatan family-based care dalam menangani masalah anak terlantar? Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah mengetahui program rehabilitasi dengan pendekatan family-based care yang dikembangkan oleh SOS Children’s Villages Jakarta untuk anak-anak yang telah atau berisiko kehilangan pengasuhan orang tua. Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui alasan SOS Children’s Villages sebagai salah

satu organisasi nirlaba yang aktif memperjuangan hak-hak anak, mengedepankan model pendekatan familybased care tersebut, dengan melihat dari segi manfaatnya. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian empiris, yang menekankan pada wawancara dengan narasumber dan informan, penelusuran data-data, literatur, dan peraturan perundang-undangan. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari narasumber, dengan cara wawancara menggunakan pedoman wawancara. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan melakukan penelusuran undang-undang dan buku-buku yang terkait kesejahteraan sosial, rehabilitasi sosial, kesejahteraan anak, perlindungan anak, dan pemberdayaan keluarga. Bahan hukum penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer diperoleh dari perundang-undangan tentang Kesejahteraan Sosial, Kesejahteraan Anak, dan Perlindungan Anak. Bahan hukum sekunder diperoleh dari buku, makalah, maupun jurnal yang diperoleh penulis melalui studi kepustakaan. Data akan dianalisis menggunakan metode kualitatif yang disajikan dalam bentuk deskriptif analitis. B. PEMBAHASAN B.1 Kesejahteraan Sosial Merujuk pada definisi kesejahteraan sosial yang dikemukakan UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, maka yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. 7


Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan perwujudan dari upaya mencapai tujuan bangsa yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. Akibatnya, masih ada warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat. B.2 Rehabilitasi Sosial Menurut Pasal 1 angka 8 UU No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, yang dimaksud dengan rehabilitasi sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Rehabilitasi Sosial merupakan salah satu upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosial (Pasal 6 UU No. 11 Tahun 2009). Rehabilitasi sosial dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial. Rehabilitasi sosial diberikan dalam bentuk: a. motivasi dan diagnosis psikososial; b. perawatan dan pengasuhan; c. pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan; d. bimbingan mental spiritual; e. bimbingan fisik; f. bimbingan sosial dan konseling psikososial; g. pelayanan aksesibilitas; h. bantuan dan asistensi sosial; i. bimbingan j. bimbingan resosialisasi; k. bimbingan lanjut; dan/atau l. rujukan. Rehabilitasi sosial dilaksanakan melalui Direktorat Jenderal Pelayanan dan

Rehabilitasi Sosial (Ditjen Yanrehsos) yang kedudukan, tugas, dan fungsinya diatur dengan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 82/HUK/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Sosial, yaitu menyelenggarakan, memfasilitasi, dan mengendalikan pelayanan dan rehabilitasi sosial kepada para penyandang masalah ketelantaran, kecacatan, dan ketunaan sosial. B.3 Kesejahteraan Anak dan Masalah Sosial Anak Merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 1 poin a, yang dimaksud dengan kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Kaitannya dengan kesejahteraan anak, mulai berkembang persoalan-persoalan yang menyangkut kesejahteraan itu sendiri, salah satunya anak terlantar. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 1 angka 6 menyebutkan bahwa anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Ciri-ciri yang menandai seorang anak dikategorikan terlantar adalah: pertama, mereka biasanya berusia 5-8 tahun dan merupakan anak yatim, piatu, atau anak yatim piatu. Kedua, anak yang terlantar acap kali adalah anak yang lahir dari hubungan seks di luar nikah dan kemudian mereka tidak ada yang mengurus karena orang tuanya tidak siap secara psikologis maupun ekonomi untuk memelihara anak yang dilahirkannya. Ketiga, anak yang kelahirannya tidak direncanakan atau tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya atau keluarga besarnya, sehingga cenderung rawan diperlakukan salah. Keempat, meski kemiskinan bukan satusatunya penyebab anak ditelantarkan dan tidak selalu pula keluarga miskin anak menelantarkan anaknya, tetapi 8


bagaimanapun harus diakui bahwa tekanan kemiskinan dan kerentanan ekonomi keluarga akan menyebabkan kemampuan mereka memberikan fasilitas dan memenuhi hak anaknya menjadi sangat terbatas. Kelima, anak yang berasal dari keluarga yang broken home, korban perceraian orang tuanya, anak yang hidup di tengah kondisi keluarga yang bermasalah – pemabuk, kasar, korban PHK, terlibat narkotika, dan sebagainya. (Suyanto, 2010: 216) Oswald Kroh (dalam Kartini Kartono, 1990: 28) berpendapat bahwa di dalam perlindungan anak agar tidak menjadi anak terlantar, maka kebutuhan anak yang harus diupayakan orang tua meliputi: a. Kebutuhan fisiki biologis, hal ini sebagai tuntutan yang harus dipenuhi oleh makhluk jasmaniah, sebab kalau tidak terpenuhi maka dapat terhambat pertumbuhan fisiknya. b. Kebutuhan mental psikis, yaitu untuk menjamin kesehatan jasmani dan rohani anak yang berkaitan dengan eksistensinya sebagai makhluk mental psikis. c. Kebutuhan sosial, yaitu kebutuhan yang berkaitan dengan eksistensi manusia sebagai makhluk sosial, karena manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain. Pengertian tidak terpenuhinya kebutuhan fisik dapat diartikan sebagai tidak terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan papan, yang memungkinkan seorang anak tidak dapat tumbuh secara wajar. Sedang tidak terpenuhinya kebutuhan mental, spiritual, maupun sosial dapat diartikan sebagai tidak terpenuhinya kebutuhan untuk berinteraksi, berekspresi, berpartisipasi dan berkomunikasi dengan orang lain, perhatian, perlindungan kasih saying, pendidikan, kesehatan iman, dan taqwa yang memungkinkan seorang anak tidak dapat berkembang secara wajar.

Salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan anak terlantar adalah melalui pengasuhan anak terlantar oleh orang tua asuh. Asuhan anak pertama-tama dan terutama menjadi kewajiban dan tanggung jawab orang tua di lingkungan keluarga. Departemen Sosial dalam Pedoman Teknis Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak mellaui Pengasuhan Anak dalam Keluarga Pengganti, menyebutkan ada 8 (delapan) fungsi keluarga yang meliputi: (Depsos, 1995 dalam Depsos, 2007: 8) a. Fungsi Keagamaan Keluarga mempunyai tugas untuk mendorong anggotanya menjadi insani agamis yang penuh iman dan taqwa kepada Tuhan YME. b. Fungsi Sosial Budaya Keluarga merupakan transformator nilainilai budaya antargenerasi sehingga mampu melestarikan nilai-nilai sosial budaya yang bermutu. c. Fungsi Cinta Kasih Keluarga merupakan landasan untuk mengikat batin anggotanya sehingga saling mencintai, menghargai dan menghormati satu dengan lainnya. Dengan demikian terjalin keharmonisan di keluarga dengan pencipta-Nya, sesamanya maupun dengan lingkungannya. d. Fungsi Reproduksi Keluarga merupakan wadah untuk melanjutkan kehidupan manusia dari generasi yang satu ke generasi lainnya dan merawatnya menjadi manusia yang berkualitas. e. Fungsi Pendidikan dan Sosialisasi Keluarga merupakan tempat untuk mendidik anak, keturunannya agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dana lam sekitar dan mengembangkan potensinya secara optimal. f. Fungsi Ekonomi

9


Keluarga menjadi sumber pendukung dan pemenuhan kebutuhan anggotaanggotanya untuk dapat mengarahkan kehidupannya secara mandiri. g. Fungsi Melindungi Keluarga merupakan tempat perlindungan/unit sosial yang dapat mengayomi, memberi rasa damai, aman, dan bahagia. h. Fungsi Pembinaan Lingkungan Keluarga merupakan tempat mendidik anggota-anggotanya untuk memelihara keserasian lingkungan dengan faktor penyangga kehidupan. Apabila kedelapan fungsi keluarga tersebut dapat dijalankan dengan baik, maka dapat diharapkan anak dapat tumbuh kembang secara normal. B.4 Hubungan Kesejahteraan Sosial dengan Anak Terlantar Kesejahteraan sosial merupakan hak setiap warga negara termasuk anak. Hal-hal terkait kesejahteraan sosial anak diatur dalam undang-undang tersendiri yaitu UndangUndang Kesejahteraan Anak. Sebelum berlakunya Konvensi Hak-Hak Anak di tingkat internasional maupun UndangUndang Kesejahteraan Anak dan UndangUndang Perlindungan Anak di tingkat nasional, persoalan-persoalan terkait kesejahteraan anak masih menjadi isu sekunder dan kurang mendapat perhatian publik. Namun, setelah berlakunya sejumlah instrumen hukum di atas, perhatian pada masalah-masalah sosial anak mulai berkembang. Salah satu masalah sosial yang dialami anak adalah keterlantaran. Dalam hal keterlantaran, anak tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Artinya, anak tidak memperoleh kesejahteraan dalam hidupnya. Ketiadaan kesejahteraan ini menyebabkan anak tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar di masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu program rehabilitasi sosial

bagi anak terlantar agar dapat memulihkan fungsi sosial mereka, baik melalui keluarga, masyarakat maupun panti sosial. Rehabilitasi sosial itu sendiri merupakan upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosial, yang dalam hal ini berfokus pada peningkatan kesejahteraan anak. C. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian empiris, yang menekankan pada wawancara dengan narasumber dan informan, penelusuran data-data, literatur, dan peraturan perundang-undangan. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari narasumber, dengan cara wawancara menggunakan pedoman wawancara. Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan dengan melakukan penelusuran undang-undang dan buku-buku yang terkait kesejahteraan sosial, rehabilitasi sosial, kesejahteraan anak, perlindungan anak, dan pemberdayaan keluarga. Bahan hukum penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer diperoleh dari perundang-undangan tentang Kesejahteraan Sosial, Kesejahteraan Anak, dan Perlindungan Anak. Bahan hukum sekunder diperoleh dari buku, makalah, maupun jurnal yang diperoleh penulis melalui studi kepustakaan. Data akan dianalisis menggunakan metode kualitatif yang disajikan dalam bentuk deskriptif analitis. D. HASIL DAN DISKUSI Anak terlantar merupakan salah satu masalah sosial pada anak yang kurang mendapat perhatian publik. Dibandingkan anak yang menjadi korban tindak kekerasan (child abuse), tindak penelantaran (neglect) kurang tersorot karena penderitaan yang dialami korban dianggap tidak dramatis 10


sebagaimana layaknya anak-anak yang menjadi korban kekerasan atau penganiayaan. Namun, sebenarnya perlu disadari bahwa tindakan penelantaran anak merupakan akar terjadinya masalah-masalah sosial anak lainnya. Seorang anak yang sejak usia dini kurang memperoleh kasih sayang, ditelantarkan begitu saja atau bahkan menjadi objek tindak kekerasan oleh orang tuanya sendiri akan berusaha keluar dari situasi keluarganya yang tidak kondusif. Akibatnya, anak akan mencari tempat pelampiasan lain dan mudah terpengaruh dengan hal-hal negatif. Kondisi inilah yang dapat mendorong anak menjadi korban kekerasan, eksploitasi seksual, pekerja pada sektor berbahaya, tinggal di jalanan, maupun putus sekolah. Karena kebutuhan anak terlantar tidak terpenuhi secara wajar, maka mereka tidak mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar pula di masyarakat. Sikap dan perilaku yang ditunjukkan menyimpang dari status dan peran yang seharusnya diemban oleh seorang anak. Disfungsi sosial ini perlu diatasi dengan memberikan rehabilitasi sosial pada anak. Sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2009, rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Rehabilitasi sosial dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial. Rehabilitasi sosial diberikan dalam bentuk: a. motivasi dan diagnosis psikososial; b. perawatan dan pengasuhan; c. pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan; d. bimbingan mental spiritual; e. bimbingan fisik; f. bimbingan sosial dan konseling psikososial; g. pelayanan aksesibilitas; h. bantuan dan asistensi sosial;

i. bimbingan j. bimbingan resosialisasi; k. bimbingan lanjut; dan/atau l. rujukan. Bertitik tolak pada hasil penelitian, maka SOS Children’s Village telah menjalankan amanat UU No. 11 Tahun 2009 mengenai ketentuan rehabilitasi sosial. Program rehabilitasi sosial yang diberikan kepada anak terlantar oleh SOS Children’s Village adalah pengasuhan berbasis keluarga (familybased care). Ada beberapa poin penting yang dapat dianalisis. 1. Metode Persuasif dan Motivatif Karena rehabilitasi diberikan dalam bentuk pengasuhan berbasis keluarga, maka suasana emosional yang dibangun juga layaknya keluarga. Dalam keluarga, pola pengasuhan selalu diwarnai motivasi untuk berkembang menjadi lebih baik. Ajakan-ajakan positif juga diberikan oleh sesama anggota keluarga. Di SOS Children’s Village, konsep kakak beradik yang senantiasa dipertahankan dapat mewujudkan rehabilitasi yang persuasif dan motivatif. 2. Dilakukan di Panti Sosial dan Keluarga Walaupun model pendekatan yang digunakan berbeda dengan panti asuhan pada umumnya, namun program familybased care ini dilaksanakan di luar keluarga asli si anak, yang sebenarnya berupa panti sosial tetapi dibuat dalam bentuk desa yang terdiri dari beberapa rumah kecil. Sedangkan untuk family strengthening program, rehabilitasi dilakukan di dalam keluarga dengan menguatkan peran orang tua, memberikan tips-tips parenting, dan halhal lain yang dibutuhkan agar orang tua dapat membangun kembali relasi emosionalnya dengan anak. 3. Bentuk rehabilitasi sosial: perawatan dan pengasuhan Bentuk rehabilitasi sosial yang paling sesuai dengan konsep yang 11


dikembangkan oleh SOS Children’s Village adalah perawatan dan pengasuhan. Dengan adanya seorang ibu asuh yang tidak menikah, maka perawatan dan pengasuhan anak-anak dapat dilakukan secara maksimal. Pengasuhan anak terlantar ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak anak yang diselenggarakan melalui kegiatan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, dan pendidikan secara berkesinambungan, serta dengan memberikan bantuan biaya fasilitas lain, untuk menjamin tumbuh kembang anak secara optimal, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial tanpa mempengaruhi agama yang dianut anak. Oleh karena itu, dalam merealisasikan bentuk pengasuhan yang ideal, SOS Children’s Village memetakan anak-anak asuh sesuai agamanya masing-masing agar sejak dini memperoleh pendidikan agama yang baik. Menurut Bagong Suyanto (2010: 220), ada beberapa isu prioritas yang dihadapi anak terlantar. Salah satunya adalah anak terlantar yang terlibat dalam kegiatan sosial secara intens atau aktivitas keagamaan sejak usia dini, mereka umumnya lebih mampu menyiasati tekanan sosial dan psikologis yang keliru dari lingkungan sosial di sekitarnya. Berdasarkan hal tersebut, maka tindakan SOS Children’s Village untuk mengelompokkan pengasuhan anak-anak sesuai agamanya dan mengisi dengan kegiatan-kegiatan berbasis kerohanian adalah sudah tepat dan ideal. Namun, penanaman nilai toleransi juga tidak boleh dilupakan agar pola pengasuhan ini tidak dinilai berat sebelah. Hunt (1981) dan Bloom (1964) menyatakan bahwa lingkungan pembelajaran yang diberikan oleh ibunya akan mempengaruhi kecerdasan anak (Padmonodewa, 2001: 7-18 dalam Depsos RI, 2009: 11). Hal ini semakin

menegaskan bahwa keberadaan ibu asuh sudah sangat ideal dalam menopang tumbuh kembang anak baik secara intelektual, psikologis, maupun sosial. Alur program rehabilitasi 1. Tahap Seleksi oleh Volunteer Volunteer atau pihak luar yang mengetahui keberadaan anak terlantar dapat melaporkannya kepada SOS Children’s Village agar anak tersebut segera ditampung di tempat yang lebih layak dan menghindari kejahatan lainnya. 2. Tahap Penerimaan Merupakan tahap registrasi pada SOS Children’s Village, guna mendapatkan data objektif dan menyeluruh tentang permasalahan yang dihadapi anak. 3. Tahap Perawatan dan Pengasuhan Setelah melakukan proses registrasi, maka anak yang bersangkutan akan dibawa ke salah satu rumah sesuai agamanya dan mulai menjalani kehidupan dengan ibu asuhnya. Alasan Pemilihan Model Pendekatan Family-Based Care SOS Children’s Village menggunakan model pendekatan family-based care karena tempat terbaik anak untuk tumbuh dan berkembang memang berada di dalam keluarganya. Semua hal yang identik dengan keluarga, harus diikutsertakan dalam model pendekatan ini agar rehabilitasi yang diberikan pada anak terlantar benar-benar maksimal. Pada dasarnya, setiap anak terlantar mencari figur keluarga yang ideal. Mereka ingin berada dalam satu situasi keluarga yang kondusif dan memberi kehangatan karena selama ini peran keluarga sedarah tidak pernah mereka rasakan. Apabila peran keluarga asli tidak mungkin lagi diharapkan bagi tumbuh kembang anak, maka di titik itulah peran keluarga pengganti harus diadakan. Keluarga pengganti ini akan mengasuh dan merawat anak dengan sebaikbaiknya. 12


Keberhasilan metode pendekatan familybased care ini dapat diukur dari indikator fungsi keluarga. Apabila kedelapan indikator yang ada dijalankan dengan baik atau minimal lebih dari setengah indikator terpenuhi maka anak dapat tumbuh dengan normal, kembali pada fungsi sosialnya, dan model pendekatan family-based care untuk rehabilitasi sosial dinyatakan efektif dan berhasil. Berikut ini adalah beberapa indikator fungsi keluarga yang terpenuhi, kaitannya dengan model pendekatan familybased care oleh SOS Children’s Village. 1. Fungsi Keagamaan Fungsi ini terpenuhi karena pengasuhan dilakukan berdasarkan agama masingmasing anak. Kemudian, anak-anak juga dilibatkan dan difasilitasi untuk mengikuti sejumlah kegiatan kerohanian. 2. Fungsi Cinta Kasih Fungsi ini terpenuhi karena dengan adanya sistem keluarga, ibu asuh, kakakberadik yang tinggal dalam satu desa, ikatan emosional di antara anggotanya sangat kuat. Walapun tidak sedarah, namun cinta kasih justru benar-benar terasa dalam kehidupan ibu asuh dan anak-anak asuhnya. 3. Fungsi Pendidikan dan Sosialisasi Fungsi ini terpenuhi karena seperti yang telah dijelaskan dalam data primer, bahwa ibu asuh, seperti Ibu Arista sangat berjuang dalam membiayai pendidikan anak-anak asuhnya. Alhasil, banyak anak asuhnya yang sudah sukses setelah menempuh pendidikan. Sosialisasi juga terpenuhi karena ibu asuh berperan sebagai seorang ibu “kandung� yang memberikan pendidikan pertama baik pendidikan intelektual maupun pendidikan moral sebagai pondasi anak. 4. Fungsi Ekonomi Fungsi ini juga terpenuhi karena ibu asuh sedikit banyak tetap mencari uang untuk menambah biaya hidup keluarganya, walaupun ia sudah digaji oleh pihak SOS.

Anak-anak asuh juga diberdayakan secara mandiri untuk mencari uang dengan berjualan dan hasilnya menjadi milik mereka. 5. Fungsi Melindungi Karena antara ibu asuh dan anak asuh terjalin suatu ikatan emosional yang kuat maka anak asuh merasa damai, aman, dan bahagia serta diayomi oleh ibu asuhnya. 6. Fungsi Pembinaan Lingkungan Ibu asuh juga mendidik anak-anaknya untuk memperhatikan kondisi lingkungan sekitar. Hal ini terlihat pada saat peneliti melakukan wawancara dan ibu asuh selalu mengingatkan anak-anak asuhnya agar menjaga kebersihan. Karena 6 dari 8 indikator fungsi keluarga terpenuhi maka model pendekatan familybased care efektif untuk diterapkan sebagai program rehabilitasi bagi anak terlantar. E. PENUTUP Kesejahteraan sosial merupakan hak setiap warga negara termasuk anak. Setelah berlakunya Konvensi Hak-Hak Anak, UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maka perhatian masyarakat terhadap kesejahteraan anak semakin meningkat. Berbagai masalah sosial yang menimpa anak pun berusaha diselesaikan. Salah satu persoalan yang mulai menunjukkan peningkatan jumlah korban adalah anak terlantar. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Artinya, anak tidak memperoleh kesejahteraan dalam hidupnya. Ketiadaan kesejahteraan ini menyebabkan anak tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar di masyarakat. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu program rehabilitasi sosial bagi anak terlantar agar dapat memulihkan fungsi sosial mereka, baik melalui keluarga, 13


masyarakat maupun panti sosial. Rehabilitasi sosial itu sendiri merupakan upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosial, yang dalam hal ini berfokus pada peningkatan kesejahteraan anak. SOS Children’s Village adalah contoh panti sosial yang melaksanakan program rehabilitasi sosial bagi anak terlantar dengan model pendekatan family-based care. Model pendekatan ini menekankan pada tercapainya 8 fungsi keluarga secara optimal. Format model pendekatan ini, antara lain: anak-anak terlantar akan diasuh dalam sebuah keluarga, dengan 1 ibu asuh, dan beberapa anak asuh lainnya yang akan menjadi kakak atau adiknya. Keluarga ini tinggal dalam satu rumah, yang manajemennya dipisahkan berdasarkan perbedaan agama (Islam, Katolik, Protestan) penghuninya. Jadi, pengasuhan anak di dalam SOS Children's Village dilaksanakan atas dasar persamaan

agamanya, agar mereka sedini mungkin dapat memperoleh pendidikan agamanya di bawah pimpinan seorang pengasuh yang seagama, yang menjadi pengganti ibunya. Di setiap rumah hanya dibatasi terdapat 8-10 anak asuh. Keluarga-keluarga SOS tinggal bersama, membentuk lingkungan desa yang mendukung anak-anak menikmati kegembiraan masa kanak-kanak mereka. Mereka juga hidup sebagai anggota yang berintegrasi dan memberikan kontribusi bagi masyarakat setempat. Melalui keluarga, desa dan masyarakat, setiap anak belajar ambil bagian secara aktif di dalam masyarakat. Disamping itu, akar budaya yang kuat dari masyarakat sekeliling akan diintegrasikan dan dipertahankan dalam lingkungan SOS Children's Villages, agar anak-anak tetap tumbuh dalam lingkungan dan akar budaya yang sama.

REFERENSI Buku Davies, Liz dan Nora Duckett. Proactive Child Protection and Social Work. Southernhay East: Learning Matters, 2008. Departemen Sosial RI. Balai Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial, 2007. Hudson, John and Stefan Kuhner. Fairness for Children: A League Table of Inequality in Child Well-Being in Rich Countries. Innocenti Report Card 13. Florence: UNICEF Office of Research – Innocenti, 2016. Pugh, Gillian and Erica De’ Ath. The Needs of Parents: Practice and Policy in Parent Education. London: National Children’s Bureau, 1984. Putro, Mugino dkk. Pengkajian Model Pengasuhan Anak Terlantar oleh

Orangtua Asuh. Yogyakarta: Depsos RI, 2007. Suyanto, Bagong. Masalah Sosial Anak. Jakarta: Kencana, 2010. Website Antaranews. “Mensos: Jumlah Anak Terlantar di Indonesia Mencapai 4,1 Juta”. http://jateng.antaranews.com/detail/ mensos-jumlah-anak-terlantar-diindonesia-mencapai-41-juta.html. Diakses pada tanggal 13 Desember 2016. Christie Stefanie. CNN Indonesia, “KPAI Akui Dilema Tangani Kasus Penelantaran Anak di Cibubur”. http://www.cnnindonesia.com/nasion al/20150515145205-12-53440/kpaiakui-dilema-tangani-kasuspenelantaran-anak-di-cibubur/. Diakses pada tanggal 13 Desember 2016.

14


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.