Paper Show 3 2017

Page 1

PERAN JARINGAN SOSIAL PADA KELUARGA DENGAN ANAK REMAJA YANG BUNUH DIRI Amira Budi Mutiara Fakultas Psikologi Universitas Indonesia

ABSTRAK. Kematian, khususnya jika disebabkan oleh tindakan bunuh diri, merupakan peristiwa yang memilukan. Ironisnya, bunuh diri itu sendiri rentan dilakukan oleh remaja yang memang memiliki banyak perubahan dalam hidupnya, seperti ketidaksiapan menghadapi tanggung jawab yang semakin berat, masalah di sekolah, dan masalah keluarga. Bunuh dirinya seorang remaja ini tentu memiliki suatu dampak terhadap orang-orang di sekitarnya, terutama keluarga, sebuah unit sosial terkecil dan terdekat bagi anak. Bagaimana dampak tersebut dan bagaimana keluarga ini kemudian melakukan coping ketika menghadapi kematian anaknya tersebut merupakan urgensi untuk melakukan penelitian ini.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dilakukan pada suatu keluarga yang salah satu anak remajanya meninggal karena bunuh diri. Dari hasil penelitian ini, terlihat bahwa jaringan sosial memegang peranan yang penting dalam proses coping keluarga yang mengalami peristiwa bunuh dirinya seorang anak. KATA KUNCI: Bunuh diri, coping, jaringan sosial, keluarga.

A.PENDAHULUAN Kematian salah satu anggota keluarga merupakan peristiwa yang memilukan. Kematian seorang anak bisa dibilang merupakan jenis kehilangan yang paling sulit untuk dialami seseorang, terutama jika penyebab kematian tersebut adalah bunuh diri (Middleton, Raphael, Burnett, & Martinek dalam Ilanit Tal Young, 2012). Orang tua yang kehilangan anak karena bunuh diri bisa sangat menderita oleh perasaan bersalah dan tanggung jawab (Maple, Edwards, Plummer, & Minichiello, 2009). Dalam peristiwa ini, orang tua mengalami perasaan bersalah, malu, dan syok yang lebih tinggi dibandingkan anggota keluarga yang lain (Reed dalam Ilanit Tal Young, 2012). Menurut CDC dan NHTSA (dalam Papalia & Martorell, 20XX), bunuh diri menempati peringkat ke-empat dalam penyebab utama kematian anak usia 15-19 tahun di U.S.

Diperkirakan mereka yang masih berusia muda namun sudah memiliki keinginan atau telah melakukan usaha bunuh diri cenderung memiliki riwayat penyakit emosional (Papalia & Martorell, 20XX). Dalam bukunya, Papalia dan Martorell juga menyebutkan bahwa mereka kemungkinan memiliki masalah di sekolah, mendapatkan perlakuan yang tidak baik di masa kanak-kanak, dan mengalami gangguan dalam hubungan dengan orang lain. Mereka juga cenderung mengasihani diri sendiri, merasa tidak memiliki harapan, dan memiliki kontrol impuls yang buruk serta toleransi yang rendah terhadap frutrasi dan stres. Di Indonesia sendiri, menurut Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, bunuh diri merupakan satu dari tiga penyebab utama kematian pada kelompok umur 15 hingga 44 tahun, dan nomor dua untuk kelompok 10 hingga 24 tahun (Windratie, 2016). Komisi Nasional

KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA

1


Perlindungan Anak mencatat selama semester pertama 2011, sebanyak 23 anak Indonesia bunuh diri dengan penyebab utamanya adalah lantaran putus cinta (9 kasus), dan lainnya adalah masalah keluarga (8 kasus) serta masalah di sekolah (6 kasus) (Pertiwi, 2016). Sayangnya, menurut Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan Eka Viora, data nasional bunuh diri di Indonesia belum dapat terkumpul secara resmi karena berbagai kendala, terutama pencatatan dan pelaporan di fasilitas pelayanan kesehatan (Ramadhan, 2015). Sebagaimana Eka Viora menyatakan, “Banyak kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri tidak terlaporkan. Misalnya, seseorang yang diketahui mencoba bunuh diri dengan minum racun kemudian dibawa ke unit gawat darurat rumah sakit. Dokter cenderung tidak menuliskan sebagai percobaan bunuh diri, tetapi keracunan. Penyebabnya, percobaan bunuh diri tidak ditanggung jaminan kesehatan. Selain itu, jika ada yang bunuh diri, keluarga biasanya tidak melaporkan apalagi mengizinkan otopsi.� Masa kanak-kanak dan remaja seharusnya dijalani dengan penuh semangat dan diisi dengan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan. Ironisnya, masih terdapat anakanak dan remaja di Indonesia yang tidak merasa demikian hingga akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya. Bunuh dirinya seorang anak ini tentu memiliki suatu dampak terhadap orang-orang di sekitarnya, terutama keluarga, sebuah unit sosial terkecil dan terdekat bagi anak. Bagaimana dampak tersebut dan bagaimana keluarga ini kemudian melakukan coping ketika menghadapi kematian anaknya tersebut menjadi penting untuk diteliti. Penelitian ini dilakukan pada suatu keluarga yang salah satu anak remajanya meninggal karena bunuh diri. Keluarga ini hanya terdiri dari ibu dan anak keduanya (perempuan). Suami ibu tersebut meninggal di awal tahun 2010 akibat penyakit kronis kemudian di pertengahan tahun 2010 anak pertamanya (laki-laki) ditemukan meninggal 2

dengan cara gantung diri. Pengambilan data dilakukan dengan metode wawancara secara langsung bersama ibu dan anak keduanya. Diharapkan hasil wawancara yang dibahas dalam makalah ini dapat memberikan sebuah pemahaman komprehensif mengenai dampak dari seorang anak yang bunuh diri kepada keluarganya. 1.2. Rumusan Masalah 1. Apa dampak dari seorang anak yang bunuh diri terhadap keluarganya? 2. Bagaimanakah coping yang bisa dilakukan keluarga ketika menghadapi kematian anaknya dengan cara bunuh diri? 1.3. Tujuan 1. Untuk mengetahui dampak dari seorang anak yang bunuh diri terhadap keluarganya. 2. Untuk mengetahui coping yang bisa dilakukan keluarga ketika menghadapi kematian anaknya dengan cara bunuh diri.

B. PEMBAHASAN 2.1 Keluarga U.S. Census Bureau (dalam Hanson, 2005) mendefinisikan keluarga sebagai dua orang atau lebih yang hidup bersama yang terikat oleh kelahiran, pernikahan, atau adopsi. Sementara itu, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1992, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami-isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (Badan Pembinaan Hukum Nasional, n.d.). 2.2 Remaja Remaja merupakan masa transisi dalam perkembangan manusia yang menghubungkan antara anak-anak dengan orang dewasa (Santrock, 2010). Karakteristik fisik yang paling menonjol pada remaja dimulai dengan pubertas yang memununculkan karakteristik seksual sekunder, seperti menstruasi pada perempuan dan munculnya jakun pada laki-laki (Papalia & Martorell, 20XX). Rentang umur NAMA BELAKANG PENULIS & NAMA BELAKANG PENULIS


seorang remaja umumnya berada di antara 11 hingga 19 atau 20 tahun. Pada masa ini, otak remaja juga semakin berkembang, tetapi belum sempurna. Mereka juga masih berusaha untuk mencoba mengambil pilihan berisiko karena jaringan sosial emosional di otaknya baru aktif. Sedangkan, jaringan kontrol kognitifnya baru akan berkembang nanti pada tahap dewasa awal. Faktor-faktor tersebutlah yang secara biologis menyebabkan remaja cenderung melakukan tindakan berisiko. 2.2 Bunuh Diri Pada Anak Remaja Salah satu tindakan berisiko yang memungkinkan untuk dilakukan oleh remaja adalah bunuh diri. Bunuh diri atau dalam Bahasa Inggris suicide berasal dari istilah Latin sui (diri sendiri) dan caedere (membunuh). Bunuh diri adalah tindakan memusnahkan diri secara sadar, yang dipahami sebagai multidimensi perasaan tidak nyaman sehingga individu yang mengalaminya beranggapan bahwa bunuh diri adalah jalan keluar terbaik (Shneidman, 1985, hal. 203). Corr, Nabe, dan Corr (2003), agar sebuah kematian bisa disebut bunuh diri, maka harus disertai adanya intensi untuk mati dari individu tersebut. Durkheim (dalam Muhith, 2015) mengkategorisasikan bunuh diri menjadi: 1) egoistis: dilakukan oleh individu yang tidak terintegrasi kuat pada berbagai kelompok sosial sehingga kurang memperoleh dukungan sosial, 2) altruistic: integrasi yang berlebihan terhadap suatu kelompok dan bunuh diri merupakan upaya untuk menumbuhkan integrasi kelompok, dan 3) anomik: dilakukan oleh individu yang mengalami gangguan integrasi dengan masyarakat sehingga tidak mampu menampilkan perilaku yang sesuai dengan norma masyarakat. Menurut Schneidman (dalam Muhith, 2015) terdapat 10 karakteristik dari bunuh diri: 1) fungsi umum dari bunuh diri adalah untuk mencapai solusi, 2) tujuan umum dari bunuh diri adalah penghentian kesadaran, 3) stimulus umum dalam bunuh diri adalah penderitaan psikologis yang tidak tertahankan, 4) stressor

umum dalam bunuh diri adalah frustrasi kebutuhan psikologis, 5) emosi umum dalam bunuh diri berkaitan dengan hopelessnesshelplessness, 6) cognitive state umum dalam bunuh diri adalah ambivalen, 7) perceptual state dalam bunuh diri adalah sempit, 8) tindakan umum dari bunuh diri adalah aggression, 9) tindakan interpersonal umum dalam bunuh diri adalah komunikasi mengenai intensi, 10) konsistensi umum mengenai bunuh diri adalah dengan pola coping seumur hidup. Di tahun 2006, tingkat bunuh diri untuk rentang usia 10-19 tahun meningkat di U.S. dengan rata-rata sebanyak 4.6 per 100.000 orang, menjadikan bunuh diri sebagai peringkat ketiga dalam penyebab utama kematian di kelompok usia ini (Cash & Bridge, 2009). Beberapa faktor utama yang berisiko memicu seorang remaja untuk bunuh diri di antaranya adalah gangguan kejiwaan, gangguan kepribadian, perasaan tidak memiliki harapan dan tidak berharga, masalah keluarga, kehilangan orang tua karena cerai ataupun meninggal dunia, kekerasan fisik atau seksual, hubungan yang buruk dengan orang tua dan teman sebaya sehingga merasa terisolasi, dan berurusan dengan homoseksualitas dalam keluarga atau lingkungan yang tidak mau mendukung dan menerimanya (Cash & Bridge, 2009). 2.3 Keluarga dengan Anak Remaja yang Bunuh Diri 2.3.1 Dampak Terhadap Keluarga Brent, Moritz, Bridge, Perper, dan Canobbio (1996) melakukan penelitian longitudinal selama 3 tahun untuk melihat kondisi patologis orang tua dan saudara dari remaja yang melakukan bunuh diri dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari penelitian tersebut, terlihat bahwa saudara dari pelaku bunuh diri tidak menunjukkan peningkatan risiko untuk pengembangan depresi, PTSD, atau kondisi lain selama rentang waktu penelitian, namun mereka menunjukkan gejala kesedihan tingkat tinggi yang berkepanjangan. Sementara itu, ibu

KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA

3


menunjukkan peningkatan laju kambuhnya depresi, sedangkan ayah tidak menunjukkan peningkatan insiden gangguan dibandingkan dengan ayah di kelompok kontrol. Penelitian lainnya menyatakan bunuh dirinya seorang remaja adalah trauma yang menghancurkan keberlangsungan kehidupan keluarga dan kurangnya penjelasan mengenai alasannya untuk bunuh diri adalah masalah utama dalam proses kesedihan anggota keluarga yang lain (Lindqvist, Johansson, & Karlsson, 2008). Para anggota keluarga yang ditinggalkan masih merasakan kehilangan yang mendalam, walaupun mereka telah kembali ke kehidupan yang seolah-olah normal. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa dukungan pasca terjadinya bunuh diri sering kali diberikan dalam waktu yang tidak tepat dan tidak cukup lama, terutama untuk saudara yang berusia lebih kecil. Umumnya, setelah terjadinya peristiwa bunuh diri, anggota keluarga akan masuk ke dalam pencarian “mengapa� remaja tersebut melakukan tindakan demikian (Lindqvist, Johansson, & Karlsson, 2008). Pencarian ini lebih jelas terutama ketika bunuh dirinya remaja tersebut sangat tidak disangka-sangka. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa peninggalan catatan bunuh diri dari remaja tersebut ternyata tidak menimbulkan efek pencerahan maupun penenangan bagi orang tua. Walaupun waktu telah lama berlalu sejak peristiwa bunuh diri, keluarga masih tetap berjuang dengan susah payah untuk bangkit kembali (Lindqvist, Johansson, & Karlsson, 2008. Mereka yang kehilangan anak tunggal tampak memiliki kesulitan yang lebih besar. Partisipan penelitian tersebut seluruhnya telah kembali ke rutinitas normal dengan kecemasan yang berangsur-angsur mulai surut namun mereka beranggapan kehidupan mereka tidak akan kembali “normal�. Tidak satu pun partisipan yang pernah melewati satu hari penuh tanpa memikirkan remaja yang telah meninggal tersebut. Beberapa partisipan sempat memikirkan ide bunuh diri, namun mereka 4

sangat memahami konsekuensi dari tindakan tersebut terhadap orang lain sehingga urung untuk menindaklanjuti idenya. Selain itu, bunuh dirinya seorang anggota keluarga juga memiliki efek mendalam pada jaringan sosial keluarga tersebut dengan masyarakat (Cerel, Jordan, & Duberstein, 2008). Keluarga ini dinilai oleh masyarakat dengan lebih negatif dibandingkan dengan keluarga yang mengalami kehilangan anggota keluarga dengan cara lain. Mereka terlihat lebih terganggu dan pantas untuk disalahkan atas terjadinya peristiwa tersebut, dan hal ini sangat cocok terutama bagi orang tua yang kehilangan anaknya yang bunuh diri (Range, Bright,& Ginn,; Reynolds & Cimbolic dalam Cerel, Jordan, & Duberstein, 2008). Sikap menyalahkan ini dapat secara overt diekspresikan atau secara covert dikomunikasikan melalui cues nonverbal dan social withdrawal. Sebaliknya, pada penelitian Lindqvist, Johansson, dan Karlsson (2008), terlihat bahwa keluarga relatif acuh tak acuh terhadap "apa yang orang lain pikirkan." karena mereka sudah tenggelam dalam perasaan mereka sendiri seperti rasa bersalah, malu, dan menyalahkan diri sendiri akibat kewalahan kekhawatiran stigmatisasi sosial. Untungnya, dewasa ini, stigmasasi masyarakat mengenai bunuh diri tampak berkurang dibandingkan sebelumnya (Cerel, Jordan, & Duberstein, 2008).

C.METODE PENELITIAN 3.1 Variabel dan Definisi Operasional 3.1.1. Variabel Keluarga dengan anak remaja yang bunuh diri. 3.1.2. Definisi Operasional Keluarga yang terdiri dari ibu dan satu anak yang pernah mengalami peristiwa bunuh dirinya anggota keluarga yang masih remaja. 3.2 Sumber Data Sumber data yang digunakan adalah data primer dan sekunder, yaitu: NAMA BELAKANG PENULIS & NAMA BELAKANG PENULIS


a. Data Primer Teknik pengambilan data primer dilakukan dengan cara wawancara secara langsung dengan Y yaitu ibu dari anak yang melakukan bunuh diri dan X yaitu adik dari anak yang melakukan bunuh diri. b. Data Sekunder Data sekunder diambil untuk melengkapi data primer yaitu berupa kajian literatur yang berkaitan dengan kasus keluarga dengan anak yang bunuh diri. 3.3 Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara wawancara dengan moderately scheduled interview secara langsung dengan ibu (47 tahun) dan anak keduanya (perempuan, 19 tahun). 3.4 Tahapan Penelitian 1. Menentukan topik penelitian. 2. Mencari kajian pustaka mengenai topik penelitian. 3. Menentukan cara pengambilan data dan subjek penelitian. 4. Membuat daftar pernyataan untuk wawancara. 5. Menghubungi subjek kemudian melakukan pengambilan data yang dilakukan di rumah subjek pada siang hari tanggal 29 Mei 2016. 6. Penyusunan laporan penelitian.

D.HASIL DAN DISKUSI Hasil Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan dua narasumber yaitu ibu Y dan adik perempuan X , didapatkan informasi mengenai bagaimana kronologi kejadian, dampak dari kejadian, dan bagaimana keluarga tersebut melakukan coping agar mampu bangkit kembali pasca kematian remaja tersebut. Ibu Y beranggapan bahwa sebelum kejadian tersebut pun keluarganya telah mengalami guncangan setelah kematian

suaminya, Pak Z yang berperan sebagai kepala keluarga sekaligus pencari nafkah satu-satunya di keluarga tersebut di awal tahun 2010. Keluarga ini termasuk golongan menengah ke bawah, oleh karenanya, pasca kematian Pak Z, langsung terasa sekali dampaknya terhadap kemerosotan ekonomi keluarga. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Ibu Y pun berinisiatif untuk berwirausaha dengan meminta bantuan kedua anaknya untuk memasarkannya di sekolah dan tetanggatetangga mereka. Namun anak pertamanya sering kali menghindar ketika diminta tolong membantu jualannya. Padahal, ibu Y justru menaruh harapan yang sangat besar pada anak pertamanya ini. Pada saat itu, anak pertamanya ini kelak akan lulus dari SMK sehingga ibu Y pun berharap ia akan segera mendapatkan pekerjaan untuk membantu menghidupi keluarga. Sayangnya, anak pertamanya ini justru cukup melenceng dari ekspektasi yang diberikan ibu Y. Ibu Y menceritakan bahwa anak pertamanya ini malas belajar, sering bolos sekolah, dan malah hobi berpacaran atau nongkrong dengan teman-temannya. Pada suatu waktu, ekonomi keluarga tersebut benar-benar sulit terutama untuk membayar biaya pendidikan kedua anaknya. Tidak memiliki pilihan lain, ibu itu pun menjual motor mendiang suaminya yang sering dipakai oleh anaknya yang pertama. Anak pertamanya itu sempat marah dan sangat kecewa dengan keputusan tersebut. Akan tetapi, kemarahannya itu tidak berlangsung lama. Anehnya, menurut ibu Y, beberapa hari sebelum kejadian, anaknya itu justru bersikap sangat baik. Ia menjadi lebih penurut walaupun di sisi lain ia menjadi lebih pemurung dan pendiam dibandingkan biasanya. Di hari terjadinya peristiwa, pagi harinya anak pertamanya itu mengeluh sakit kepala dan meminta izin pada ibu Y untuk tidak berangkat ke sekolah pada hari itu. Ibu Y mengizinkan dan berkata perlukah ia menulis surat sakit untuk wali kelasnya namun anaknya menganggap hal itu tidak perlu dilakukan.

KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA

5


Setelah itu, anak pertamanya itu berkata ingin istirahat di kamarnya. Sebenarnya saat itu ibu Y merasa agak janggal karena biasanya anaknya itu akan merengek minta dibuatkan surat sakit ketika bolos. Namun karena saat itu ibu Y sedang sibuk menyiapkan bahan jualan, ia pun tidak memikirkan hal itu lebih lanjut. Siangnya, ibu Y mengetuk pintu dan mencoba membuka pintu kamar anak pertamanya itu untuk mengingatkan anaknya sholat dzuhur, namun ternyata dikunci dan tidak ada jawaban. Ibu Y berpikir anaknya itu mungkin masih tidur dan memutuskan untuk membiarkannya istirahat sesaat lagi. Akan tetapi, setelah lama waktu berselang pun, pintu itu tidak kunjung terbuka. Ketika waktu untuk melaksanakan sholat dzuhur telah lewat, ibu Y semakin merasa cemas. Ia pun keluar dari rumah dan mengetuk-ngetuk jendela kamar anaknya dari luar. Saat itu beberapa tetangganya yang melihat usaha ibu Y pun mendekatinya dan turut membantunya memanggil-manggil nama anak remaja itu. Setelah beberapa kali mengetuk-ngetuk kaca jendela, ibu Y berusaha menerawang ke dalam kaca tersebut walaupun ia tidak bisa melihat apa-apa karena tirainya ditutup. Meskipun begitu, tetangganya kemudian ada yang menyadari bahwa terdapat tali yang dililitkan pada ventilasi di atas jendela. Saat itulah ibu Y mulai merasa sangat cemas dengan segala kemungkinan yang ada. Akhirnya ibu Y dengan tetangga-tetangganya yang lain memutuskan untuk meminta bantuan dari beberapa laki-laki untuk mendobrak pintu kamar anaknya. Ibu Y berkata bahwa ia telah pasrah ketika pintu itu didobrak. Akan tetapi, tetap saja ketika melihat tubuh anaknya tergantung dengan dasi, ia merasa seperti ada sesuatu yang keras menghantam dadanya sehingga ia langsung jatuh pingsan. Ketika sadar pun, ibu Y tidak henti-hentinya menangis. Ia bertanyatanya mengapa anaknya nekat berbuat begitu sambil terus menyalahkan dirinya sendiri karena merasa ia sudah berlaku keras dan banyak menuntut anaknya itu setelah suaminya 6

meninggal. Setelah anaknya itu dimakamkan, ibu Y baru mengetahui bahwa beberapa hari sebelum bunuh diri, anaknya itu putus dengan pacarnya. Ia menduga hal itu turut menjadi motif bunuh diri bagi anaknya untuk bunuh diri. Ibu Y juga sempat mengalami berbagai gangguan seperti tidak mau makan, tidak bisa tidur, menangis setiap malam, dan mengalami fobia jika ia sampai ditinggal anaknya yang kedua. Oleh karena itu, ibu Y menjadi lebih protektif terhadap anaknya yang kedua, sedikitsedikit ia mengirim SMS kepada anaknya itu jika sedang berada di luar pengawasannya. Ia juga menjadi lebih berhati-hati dalam bersikap kepada anaknya karena ia sangat takut jika anaknya yang kedua ini mencontoh perbuatan kakaknya. Berbeda dari ibunya, adik perempuan X tidak melihat kejadian tersebut secara langsung karena ia baru pulang dari sekolah ketika sudah cukup malam. Namun begitu mendengar kabar bahwa kakaknya meninggal, tentu saja adik perempuan X merasa begitu terkejut dan awalnya ia menolak untuk percaya. Setelah berlalunya waktu, adik perempuan X merasa keadaan keluarganya semakin sulit, ia juga merasa begitu kesepian. Ia berkata, ketika kakaknya pergi, hidupnya hancur, tidak ada lagi kebahagiaan, dan tidak ada lagi yang melindunginya. Hampir setiap hari adik perempuan X ini menangis dan merasa pusing sepeninggalan kakaknya. Biasanya, dulu setiap kali ia memiliki masalah, ia akan menangis dan mengadu pada kakaknya. Bertahun-tahun setelahnya pun adik perempuan X masih belum dapat sepenuhnya menerima kepergian kakaknya walaupun ia sadar seharusnya kakaknya itu sudah tenang di dunia sana. Bahkan, ia dulu sempat beberapa kali merasa tidak sanggup hidup lagi dengan kesepian dan kesendiriannya di dunia dan berpikir untuk mencari kebahagiaan di akhirat. Ia sangat ingin menemui kakaknya di surga dan ingin bahagia seperti kakaknya itu di sana. Di sisi lain, ia sangat sadar ibunya itu menjadi sangat protektif terhadapnya. Hal yang paling ia NAMA BELAKANG PENULIS & NAMA BELAKANG PENULIS


sadari adalah ibunya itu melepas selot dan menyembunyikan kunci kamarnya supaya ia tidak bisa mengurung diri di dalam kamar. Adik perempuan X sempat merasa kesal karena ibunya itu terkesan mencegahnya untuk “pergi�, padahal ia beranggapan kakaknya di dunia sana sedang menunggunya. Saat ini, ibu Y dan adik perempuan X sudah dapat menjalani kehidupan dengan normal. Keduanya kini sudah mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang baik. Adik perempuan X tidak lagi tinggal dengan ibunya karena perusahaan tempatnya bekerja cukup jauh sehingga ia memilih untuk ngekost. Meskipun begitu, ia tetap menyempatkan diri untuk bersilaturahmi ke rumah ibunya paling tidak satu minggu sekali. Mereka berdua sudah lebih bisa menerima kepergian anak sulung di keluarga tersebut. Adapun gangguan seperti depresi, sulit tidur, dan sulit makan yang pernah dirasakan kedua pihak sudah hilang sejak sekitar empat tahun setelah peristiwa itu. Menurut ibu Y, ia mampu bangkit kembali terutama karena banyaknya dukungan dan bantuan yang datang dari masyarakat sekitar. Bentuk bantuan yang mereka dapatkan umumnya dukungan emosional, bantuan dana, dan beasiswa pendidikan yang didapatkan dari berbagai pihak atau institusi tertentu. Ibu Y juga bersyukur karena tetangga-tetangga di rumah tempatnya tinggal sangat dekat dengannya dan kebanyakan dari mereka masih merupakan saudara baik dekat maupun jauh. Dari merekalah ibu Y mengaku mendapatkan kekuatan yang terbesar. Sedangkan itu, adik perempuan X, meskipun saat itu ia sangat terpuruk, ia tetap merasa teman-temannya di sekolah sudah berusaha sangat keras untuk menghiburnya bahkan membantu menghimpun dana untuknya. Terlebih lagi, ia juga kini telah memiliki pasangan yang mampu memenuhi kebutuhan emosionalnya. Hingga saat ini mereka hanya dapat mendoakan ketenangan dan kebahagiaan kakaknya di akhirat. Diskusi

Dari hasil wawancara tersebut, terlihat bahwa sepeninggalan anak remajanya yang melakukan bunuh diri, pertama-tama anggota keluarga ini merasakan kesedihan yang amat mendalam dan sempat merasa keluarganya hancur. Selanjutnya, mereka bertanya-tanya mengapa anaknya berbuat demikian. Ibu Y menduga bahwa anaknya bunuh diri karena tertekan dengan tuntutan yang diberikannya dan terputusnya hubungan dengan kekasih. Kesimpulan ini dibuat setelah melakukan pencarian mengenai alasan dilakukannya bunuh diri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Lindqvist, Johansson, & Karlsson, 2008), bahwa bunuh dirinya seorang remaja adalah trauma yang menghancurkan keberlangsungan kehidupan keluarga. Selain itu, kurangnya penjelasan mengenai alasannya untuk bunuh diri adalah masalah utama dalam proses kesedihan anggota keluarga yang lain. Jadi, kemudian anggota keluarga ini akan masuk ke dalam tahapan pencarian “mengapa� anak remaja ini bertindak demikian. Cerel, Jordan, dan Duberstein (2008) mengemukakan bahwa bunuh dirinya seorang anggota keluarga juga memiliki efek mendalam pada jaringan sosial keluarga tersebut dengan masyarakat dengan pemberian stigma negatif. Akan tetapi, keluarga ini tidak merasa mengalami masalah yang berarti dalam jaringan sosialnya. Mereka memang merasa banyak orang-orang di luar yang mempertanyakan bunuh dirinya anggota keluarga mereka, namun masyarakat sekitar tidak pernah memperlakukan mereka secara tidak menyenangkan. Hal ini sesuai dengan pengamatan lebih lanjut oleh Cerel, Jordan, dan Duberstein yang melihat bahwa stigmasasi masyarakat mengenai bunuh diri dewasa ini tampak berkurang dibandingkan sebelumnya. Jaringan sosial pun justru dianggap ibu Y dan adik perempuan X sebagai pembantu utama mereka dalam melakukan coping untuk bisa bangkit kembali dari keadaan. Ibu Y dan adik perempuan X memang mengaku mendapatkan banyak bantuan mulai dari

KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA

7


tetangga-tetangga terdekat hingga berbagai institusi pendidikan baik berupa dukungan emosional, bantuan dana, serta beasiswa. Menurut Cerel, Jordan, dan Duberstein (2008), dukungan sosial merupakan faktor yang krusial dalam menentukan duka cita yang dialami keluarga dengan anak remajanya yang bunuh diri. Adapun kekurangan dari penelitian ini adalah masih minimnya penelitian dengan topik serupa sehingga kajian teori yang membahas mengenai bagaimana sebuah keluarga dalam menghadapi anak remajanya yang bunuh diri masih sulit ditemukan. Wawancara yang dilakukan juga masih kurang mendalam karena keterbatasan waktu pelaksanaan pengambilan data sehingga hanya dilakukan satu kali. Selain itu, peneliti juga merasa dikarenakan adanya isu-isu mengenai keetisan yang membuat peneliti enggan mengajukan probing yang mendalam turut membuat hasil wawancara ini kurang mendalam.

untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga tersebut.

REFERENSI

5.1 Saran 5.1 Saran Metodologis Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti mengajukan saran untuk penelitian selanjutnya, yaitu: 1. Melibatkan variabel budaya dalam mengkaji data yang diperoleh. 2. Melakukan wawancara dengan probing yang lebih mendalam. 5.2 Saran Praktis Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, terlihat bahwa dukungan dari jaringan sosial adalah faktor penting yang membantu mekanisme coping yang dilakukan oleh sebuah keluarga. Berdasarkan hasil tersebut, maka menjadi penting bagi sistem kemasyarakatan yang berada di sekitar keluarga tersebut untuk lebih sadar dalam memberikan bantuan baik berupa dukungan emosional maupun finansial. Di samping itu, institusi-institusi sosial dan pendidikan juga dapat turut memberi bantuan 8

NAMA BELAKANG PENULIS & NAMA BELAKANG PENULIS


Badan Pembinaan Hukum Nasional. (n.d.). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1992. Retrieved Juni 7, 2016, from bphn.go.id: www.bphn.go.id/data/documents/92uu010.doc http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articl es/PMC3384446/

Brent, D. A., Moritz, G., Bridge, J., Perper, J., & Canobbio, R. (1996). The impact of

Lindqvist, P., Johansson, L., & Karlsson, U.

adolescent suicide on siblings and

(2008). In the aftermath of teenage

parents: A longitudinal follow�up.

suicide: A qualitative study of the

Suicide and Life-Threatening Behavior,

psychosocial consequences for the

26(3), 253-259.

surviving family members. BMC Psychiatry, 8(1), 26.

Cash, S. & Bridge, J. (2009). Epidemiology of youth suicide and suicidal behavior.

http://dx.doi.org/10.1186/1471-244x-8-

Current Opinion In Pediatrics, 21(5),

26

613-619.

Maple, M., Edwards, H., Plummer, D., &

http://dx.doi.org/10.1097/mop.0b013e32

Minichiello, V. (2009). Silenced voices:

833063e1

hearing the stories of parents bereaved

Cerel, J., Jordan, J., & Duberstein, P. (2008).

through the suicide death of a young

The Impact of Suicide on the Family.

adult child. Health & Social Care In

Crisis, 29(1), 38-44.

The Community.

http://dx.doi.org/10.1027/0227-

http://dx.doi.org/10.1111/j.1365-

5910.29.1.38

2524.2009.00886.x

Corr, C. A., Nabe, C. M., & Corr, D. M. (2003).

Muhith, A. (2015) PENDIDIKAN

Death and dying, life and living (4th

KEPERAWATAN JIWA: Teori dan

ed.). Belmont, CA: Wadsworth.

Aplikasi. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Hanson, S. M. H. (2005). Family health care

Papalia, D. E., & Martorell, G. A. (20XX).

nursing: an introduction. Family health

Experience Human Development (13th

care nursing. Third ed. Philadelphia: FA

ed.). New York: McGraw-Hill

Davis, 3-37.

Education.

Ilanit Tal Young, S. (2012). Suicide

Pertiwi, A. (2016). Putus Cinta Sebab Utama

bereavement and complicated grief.

Anak Bunuh Diri. Tempo. Retrieved

Dialogues In Clinical Neuroscience,

from

14(2), 177. Retrieved from KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA

9


http://m.tempo.co/read/news/2011/12/20 /173372755/Putus-Cinta-Sebab-UtamaAnak-Bunuh-DiriRamadhan, A. (2015). Pendataan Kasus Bunuh Diri Masih Lemah. Kompas.com. Retrieved 4 June 2016, from http://print.kompas.com/baca/2015/09/1 1/Pendataan-Kasus-Bunuh-Diri-MasihLemah Santrock, J. (2010). Life-span development (13 eds). New York, NY: Mc Graw-Hill Shneidman, E.S. (1985). Definition of Suicide (hal. 203). New Jersey: Jason Aronson

Incorporated.

Windratie,. (2016). Bunuh Diri Penyebab Utama Kematian Remaja. CNN Indonesia. Retrieved from http://www.cnnindonesia.com/gayahidup/20140910124240-2552933/bunuh-diri-penyebab-utamakematian-remaja/

10

NAMA BELAKANG PENULIS & NAMA BELAKANG PENULIS


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.