Makalah dan Transkripsi Diskusi Publik 'Pelarangan Buku"

Page 1


Kumpulan Makalah Diskusi & Katalog Acara PELARANGAN BUKU: MENUTUP JENDELA DUNIA Diskusi Publik - Pameran - Pertunjukan - Bazar Buku & Seni Senin, 31 Mei 2010 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta

Narasumber Diskusi Eko Prasetyo // Hairus Salim // Melani Budianta // Primanto Nugroho // Rumekso Setyadi // Stanley Adi Prasetyo // Titarubi // Yohanes B. Wibawa Pameran Bayu Widodo // Cacing MasihSegaris // Dodi Irwandi // Domas Kampret // Fitri DK // Imam Abdilah // Kampreto Pondok Kelir // Muhamad Yusuf // Surya Wirawan Pertunjukan Amor Pati // Blokade // Killed on Juarez // Nganti Wani // Nol KM // Noise of Terror // PGRI Band // Sierra Maistra // Tawazun // The Jacket // Tugu Workshop Kampreto Pondok Kelir // Kolektif Kerja Keras Bazar Buku Resist Book // Srigunting

2010, Panitia Bersama Diskusi Publik “Pelarangan Buku: Menutup Jendela Dunia� Yogyakarta


Pelarangan Buku: Pengabaian Secara Sengaja Terhadap Kewajiban Atas Pemenuhan Hak Berpendapat, Hak Kebebasan Berekspresi dan Hak Atas Informasi1 Oleh: Stanley Adi Prasetyo2

A

genda pemajuan dan penegakan HAM sebetulnya merupakan bagian tak terpisahkan dari proses demokratisasi pada awal munculnya era reformasi. Pada Sidang Istimewa MPR 1998 ditetapkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan Piagam HAM bagi negeri Indonesia, melengkapi ketentuan HAM dalam UUD 1945 yang pada saat itu belum diubah. Baru pada 1999 dibentuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan landasan bagi jaminan penghormatan, perlindungan, dan pemajuan HAM, serta landasan keberadaan Komnas HAM yang semula keberadaannya hanya berdasarkan Keputusan Presiden. Satu tahun setelah itu, berhasil pula ditetapkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang mengatur mekanisme hukum penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Upaya lebih mendasar dan sangat monumental untuk menjamin perlindungan dan penegakan HAM, adalah melalui Perubahan UUD 1945. Perubahan konstitusi mengenai hak asasi manusia dibahas dan disahkan pada 2000, yaitu pada perubahan ke dua UUD 1945. Perubahan tersebut menghasikan ketentuan mengenai hak asasi manusia dan hak konstitusional warganegara, yang semula hanya terdiri dari tujuh butir ketentuan, yang juga tidak seluruhnya dapat disebut sebagai jaminan konstitusional hak asasi manusia, sekarang telah bertambah secara sangat signifikan, yaitu menjadi 37 butir ketentuan. Ketentuan baru yang diadopsikan ke dalam UUD 1945 secara khusus diatur dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, mulai Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, ditambah beberapa ketentuan lainnya yang tersebar di beberapa pasal lainnya dalam UUD 1945. Karena itu, perumusan tentang hak asasi manusia dalam konstitusi Indonesia saat ini dapat dikatakan sangat lengkap dan menjadikan UUD 1945 sebagai salah satu konstitusi di dunia yang paling lengkap memuat ketentuan perlindungan hak-hak asasi manusia. Sejak reformasi berbagai produk hukum telah dilahirkan guna memperbaiki kondisi hak asasi manusia di Indonesia, khususnya hak sipil dan politik. Antara lain, Tap MPR tentang HAM, UU Pers, UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (UU Unjuk rasa), UU HAM (UU No. 39 Tahun 1999), UU Pemilu, UU Parpol, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Otonomi Daerah, UU ratifikasi Konvensi Anti-Diskriminasi Rasial dan UU No 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Pada 30 September 2005 pemerintah Indonesia meratifikasi dua perjanjian internasional tentang hak-hak manusia, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Covenant on Economic, Social and Cultural Rights – ICESCR) dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik atau KIHSP (Covenant on Civil and Politi­cal Rights – ICCPR). Dan pada 28 Oktober 2005, pemerintah Indonesia mengesahkan ICESCR menjadi UU No. 11/2005 dan ICCPR menjadi UU No. 12/2005. Dengan demikian, selain menjadi bagian dari sistem hukum nasional; maka kedua kovenan ini sekaligus melengkapi empat perjanjian pokok yang telah diratifikasi sebelumnya, yaitu Konvensi Internasional Penghapusan Diskriminasi Perempuan (CEDAW), Konvesi Internasional tentang Hak Anak (CRC), Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan (CAT), dan Konvensi Internasional Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD). Persoalan HAM di Indonesia Namun demikian, perkembangan HAM di tanah air sesungguhnya masih memprihatinkan. Kita bisa melihat bagaimana kebebasan politik belum dinikmati oleh kelompok minoritas agama, termasuk kelompok minoritas dalam suatu agama. Para pemeluk agama-agama minoritas, seperti, kaum Bahai, penganut agama/ aliran kepercayaan tetap diperlakukan secara khusus berbeda atau didiskriminasi oleh negara. Sejumlah daerah juga memberlakukan perda bermuatan syariah yang sangat bertentangan dengan konsep penghormatan kepada hak asasi manusia. 1 Dibuat untuk keperluan diskusi publik “Pelarangan Buku: Menutup Jendela Dunia” yang diselenggarakan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) pada 31 Mei 2010 di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sriwedani No 1, Yogyakarta. 2 Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

3


Demikian pula kelompok minoritas dalam agama, misalnya Ahmadiyah terus mengalami diskriminasi dan pengawasan oleh negara. Selain itu, kelompok minoritas politik, seperti, mantan tahanan/narapidana politik PKI atau yang didakwa anggota atau simpatisan PKI dan partai-partai kiri terus mengalami pengingkaran hak-hak politik mereka oleh negara. Gagasan politik revolusioner kiri atau komunisme, dan gagasan negara Islam, dan para pendukung gagasangagasan tersebut tetap terus diwaspadai dan dicurigai oleh sebagian masyarakat dan pemerintah. Kebijakan pemerintah melalui Kejaksaan Agung yang tetap melarang beredarnya sejumlah buku yang di nilai menyebarkan gagasan dan ajaran kiri, serta kebijakan Mendiknas yang menarik dari peredaran buku pelajaran sejarah yang di revisi, berkenaan dengan Peristiwa G30S, menunjukkan kewaspadaan dan kecurigaan penguasa terhadap gagasan atau pendapat yang berbau kiri yang dinilai radikal. Sikap dan pandangan penguasa ini jelas akan memberikan pengaruh negatif pada kondisi perwujudan hak sipil dan politik di Indonesia. Upaya Komnas HAM untuk mengungkap pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi sebagai buntut dari Peristiwa G30S juga selalu menemui jalan buntu dan menghadapi berbagai ancaman dari kelompok militer dan sejumlah organisasi massa Islam. Sejumlah teror dan ancaman, juga demonstrasi telah diarahkan kepada Komnas HAM dan para komisioner sehubungan dengan pembentukan Tim Ad Hoc Kejahatan 1965. Sejumlah mantan jendral dan pejabat pemerintah secara nyata juga menlakukan upaya untuk menghalangi penyelidikan Komnas HAM sehubungan pelanggaran HAM berat di masa lalu. Kebebasan politik yang dinikmati oleh masyarakat Indonesia ternyata juga tak diimbangi dengan perlindungan hukum yang semestinya bagi hak-hak sipil, seperti, hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi, hak atas kebebasan dari penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, hak atas pemeriksaan yang adil dan proses hukum yang semestinya, hak atas pengakuan pribadi di depan hukum, dan larangan atas propaganda untuk perang dan hasutan kebencian. Dari berbagai daerah, seperti, Poso, Lombok, Papua, juga Jakarta, dan tempat-tempat lain di Indonesia, dilaporkan masih terjadi kekerasan horisontal yang melibatkan unsur-unsur polisi dan militer. Penganiayaan dilaporkan masih terus dialami oleh kelompok-kelompok masyarakat, seperti, buruh, petani, masyarakat adat, kelompok minoritas agama, dan para mahasiswa. Parahnya lagi, dalam hampir setiap peristiwa kekerasan horisontal, aparat keamanan, seperti polisi seolaholah tidak berdaya melindungi kelompok-kelompok yang menjadi sasaran kekerasan tersebut. Laporanlaporan HAM yang dikeluarkan oleh LSM dan PBB menyatakan, penyiksaan masih terus terjadi di pusatpusat penahanan di kepolisian. Selama hampir sepuluh tahun terakhir ini, Sistem hukum dan jajaran aparaturnya, seperti, polisi, jaksa, dan hakim tidak mampu menjawab secara semestinya kasus-kasus kekerasan horisontal dan vertikal yang melibatkan aparat polisi dan atau tentara. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, seperti, kasus pembunuhan, penculikan, penahanan sewenang-wenang terhadap ratusan ribu orang yang disangka mempunyai kaitan dengan PKI, kasus Talangsari, dan lain sebagainya sampai hari ini belum memperoleh penanganan yang adil. Mereka yang diduga keras terlibat melakukan pelanggaran HAM berat (Kejahatan terhadap Kemanusiaan) tetap bebas berkeliaran tanpa pernah tersentuh oleh hukum. Kalaupun ada sejumlah pelaku pelanggaran HAM yang diajukan ke pengadilan, biasanya para terdakwa itu akan dikenakan pasal pidana ringan, misalnya, antara lain, kasus penembakan para petani oleh Polisi, di Manggarai, biasanya para terdakwa itu akan dikenakan pasal pidana ringan, dan akhirnya dikenakan hukuman ringan, antara 1,2 tahun atau beberapa bulan saja, atau bahkan dibebaskan samasekali, seperti, dalam kasus-kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur pasca jajak pendapat 1999, dan kasus Tanjung Priok 1984. Hal inilah yang kemudian menjadi budaya pembiaran (culture of impunity) yang terus menjangkiti sistem hukum dan aparaturnya, seperti Polisi, Jaksa dan Hakim, terutama ketika aparat penegak hukum harus menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan polisi dan tentara. Budaya pembiaran inilah yang melumpuhkan setiap upaya penegakan hukum. Budaya impunity itu bila dibiarkan terus berkembang dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama akan menghancurkan kedaulatan hukum, dan pada gilirannya akan menghancurkan sistem demokrasi itu sendiri. Kejahatan terorisme yang dilakukan oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai Jemaah Islamiyah telah menimbulkan korban, berupa hilangnya nyawa manusia, dan hancurnya harta benda miliknya. Kejahatan terorisme telah menimbulkan rasa takut dan tidak aman yang relatif luas di kalangan masyarakat sipil. Pada sisi yang lain kejahatan terorisme di Indonesia telah mengundang lahirnya UU Anti-Kejahatan Terorisme yang mengesampingkan UU Hukum Acara Pidana biasa. Selain itu reformasi sektor keamanan juga masih menyisakan sejumlah persoalan. Satu-satunya institusi keamanan yang sudah mereformasi adalah institusi kepolisian. Reformasi militer belum sepenuhnya berhasil diwujudkan. Yang lebih parah adalah lembaga intelijen sama sekali belum tersentuh proses reformasi. Upaya 4


penyusunan UU Intelijen dibaca oleh sejumlah kalangan sebagai bagian dari campur tangan asing untuk memperlemah negara kesatuan Republik Indonesia. Tampaknya 12 tahun reformasi belum mampu menghapus watak otoritarian yang ada dalam birokrasi maupun sistem pemerintahan. Malah ada tanda-tanda watak negara otoritarian belakangan kian tampil menguat.3 Salah satunya adalah kejutan yang dibuat Kejaksaan Agung pada 23 Desember 2009 yang mengumumkan pelarangan terhadap 5 buah buku.4 Bagaimana sesungguhnya masalah pelarangan buku dilihat dari sisi hak asasi manusia? Pemenuhan HAM Sebagai Kewajiban Negara Dalam hak asasi manusia (HAM) pemangku kewajiban HAM sepenuhnya adalah negara, dalam hal ini adalah pemerintah. Hal ini bisa dilihat dari berbagai komentar umum mengenai pasal-pasal dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM). Semua penjelasan dalam komentar umum menyatakan bahwa perwujudan HAM sepenuhnya adalah kewajiban negara.5 Dalam Pasal 28I Ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 secara gamblang mencantumkan jaminan mengenai hal ini dengan kata-kata berikut, “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”. Sedangkan dalam Undang-Undang No 23 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, jaminan ini juga diperkuat dalam Pasal 71 yang menyatakan, “Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-Undang ini (UU 39 Tahun 1999), peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh Negara Republik Indonesia”. Ratifikasi kovenan hak sipil dan politik oleh pemerintah Indonesia menimbulkan konsekuensi terhadap pelaksanaan hak-hak manusia, karena negara Indonesia telah mengikatkan diri secara hukum. Antara lain pemerintah telah melakukan kewajiban untuk mengadopsi perjanjian yang telah diratifikasi ini ke dalam perundang-undangan, baik yang dirancang maupun yang telah diberlakukan sebagai UU. Sebagai pemegang kewajiban pemenuhan HAM, negara mengemban tiga bentuk tugas. Antara lain negara harus menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil) hak asasi manusia. Kewajiban ini juga diikuti dengan kewajiban pemerintah yang lain, yaitu untuk membuat laporan yang bertalian dengan penyesuaian hukum, langkah, kebijakan dan tindakan yang dilakukan. Termasuk kewajiban pemerintah Indonesia untuk membuat laporan mengenai pelaksanaan hak-hak sipil dan politik yang harus disampaikan pada Komite di PBB. Kewajiban dan tanggungjawab negara untuk melakukan penghormatan (obligation to respect) merupakan kewajiban negara untuk tidak turut campur untuk mengatur warga negaranya ketika melaksanakan hakhaknya. Dalam hal ini, negara memiliki kewajiban untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang akan menghambat pemenuhan dari seluruh hak asasi. Misalnya dengan membuat undang-undang jaminan kepada warganya untuk menyampaikan pendapat dan juga pemenuhan hak atas informasi. Kewajiban dan tanggungjawab negara untuk memberikan perlindungan (obligation to protect) merupakan kewajiban negara agar bertindak aktif untuk memberi jaminan perlindungan terhadap hak asasi warganya. Dalam hal ini, negara berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah pelanggaran semua hak asasi manusia oleh pihak ketiga. Antara lain adalah kewajiban untuk bertindak ketika satu kelompok tertentu, seperti satu kelompok etnis, menyerang kelompok lain; kewajiban untuk memaksa perusahaan untuk membayar upah yang layak dan lainnya. 3 Salah satunya adalah dihidupkannya kembali “sekretariat bersama” yang lebih dimaksudnya sebagai kontrol terhadap parlemen pascakasus Bank Century yang gagal dibendung oleh partai-partai koalisi pemerintah. Juga kembali difungsikannya babinsa dan komunitas intelijen dan pelibatan Satpol PP dalam fungsi pengawasan dan intelijen. 4 Pelarangan ini adalah untuk kesembilan kalinya selama periode 2006-2009. Dengan demikian, hanya dalam jangka waktu empat tahun, kejaksaan agung telah melarang peredaran 21 buku. Adapun mekanisme pelarangan masih merujuk pada model mekanisme clearing house yang digagas pada 1989 di mana yang berperan secara dominan lebih banyak dari unsur intelijen dan keamanan seperti BIN, BIA, intelijen Kejaksaan, dan intelijen POLRI. 5 Butir 1 Komentar Umum 3 menyatakan bahwa Komite menganggap bahwa penting untuk menarik perhatian Negara-Negara Pihak atas kenyataan bahwa kewajiban berdasarkan Kovenan tidak hanya terbatas pada penghormatan terhadap hak asasi manusia, tetapi bahwa Negara-Negara Pihak juga berkewajiban untuk menjamin penikmatan hak-hak tersebut bagi semua individu yang berada dalam yurisdiksi mereka. Aspek ini mewajibkan adanya kegiatan-kegiatan khusus yang dilakukan oleh Negara-Negara Pihak guna memampukan individu-individu menikmati hak-hak mereka. Lihat: Komite Hak Asasi Manusia, Komentar Umum 3, Pasal 2 Pelaksanaan di Tingkat Nasional, (Sesi ke tigabelas, 1981), Kompilasi Komentar Umum dan Rekomendasi Umum yang Diadopsi oleh Badan-badan Perjanjian Hak Asasi Manusia, U.N. Doc. HRI\GEN\1\Rev.1 at 4 (1994).

5


Kewajiban dan tanggungjawab negara untuk melakukan pemenuhan (obligation to fulfill) hak merupakan kewajiban dan tanggungjawab negara untuk bertindak secara aktif agar semua warga negaranya itu bisa terpenuhi hak-haknya. Negara juga berkewajiban untuk meningkatkan kapasitas aparat hukum (polisi, jaksa, dan hakim) untuk bisa ikut meewujudkan penghotmatan hak sipil dan politik. Negara berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan tindakan-tindakan lain untuk merealisasikan secara penuh hak asasi manusia. Misalnya kewajiban mengimplementasikan pendidikan gratis pada tingkat dasar atau kewajiban untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negaranya. Selain tiga bentuk kewajiban utama tersebut, dalam pelaksanaan hak asasi manusia negara pun memiliki kewajiban untuk mengambil langkah-langkah (to take steps), untuk menjamin (to guarantee), untuk meyakini (to ensure), untuk mengakui (to recognize), untuk berusaha (to undertake), dan untuk meningkatkan (to promote). Kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi, masing-masing mengandung unsur kewajiban untuk bertindak (obigation to conduct) dan kewajiban untuk berdampak (obligation to result). Kewajiban untuk bertindak mensyaratkan negara melakukan langkah-langkah tertentu untuk melaksanakan pemenuhan suatu hak. contoh, negara melakukan pembangunan sekolah, menjamin tersedianya guru dan alat-alat pendidikan, dan mengalokasikan anggaran yang terukur; atau, contoh lainnya, negara melakukan langkah-langkah untuk mencegah terjadinya kembali busung lapar. Kewajiban untuk berdampak mengharuskan negara untuk mencapai sasaran tertentu guna memenuhi standar substantif yang terukur. , negara membuat program agar dalam lima tahun ke depan seluruh masyarakat akan bisa memperoleh akses pada pendidikan dasar sembilan tahun. Sebagai pihak yang memangku tanggungjawab, negara dituntut harus melaksanakan dan memenuhi semua kewajiban yang dikenakan kepadanya secara sekaligus dan segera. Jika kewajiban-kewajiban tersebut gagal untuk dilaksanakan, maka negara akan dikatakan telah melakukan pelanggaran. Dalam konteks pelanggaran, ada dua jenis pelanggaran yang bisa terjadi berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban dan tanggungjawab negara tersebut, yaitu pelanggaran karena tindakan (by commission) dan pelanggaran karena pembiaran (by ommision). Pelanggaran negara karena tindakan (by commission) terjadi karena negara justru malah melakukan tindakan langsung untuk turut campur dalam mengatur hak-hak warga negara yang semestinya dihormati. Sebagai contoh, tindak pelanggaran karena bertindak adalah melakukan pelarangan serikat buruh (pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati kebebasan kelompok untuk berserikat). Pelanggaran negara karena pembiaran (by omission) terjadi ketika negara tidak melakukan suatu tindakan atau gagal untuk mengambil tindakan lebih lanjut yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban hukum. Contoh pelanggaran karena pembiaran ini di antaranya adalah gagal untuk mengimplementasikan pendidikan gratis di tingkat dasar bagi warganya (hak atas pendidikan), gagal untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi warganya (hak atas pekerjaan), gagal untuk menyediakan pelayanan kesehatan dasar (hak atas kesehatan), untuk mengubah atau mencabut undang-undang yang tidak sesuai dengan nilai hak asasi manusia. Negara sama sekali dilarang melakukan intervensi dalam rangka menghormati hak-hak setiap orang, terutama hak-hak yang tak dapat ditangguhkan (non-derogable rights). Penyebabnya adalah setiap campur tangan negara justru akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas hak-hak individu/kelompok. Sebaliknya, intervensi dapat dilakukan terhadap dua hal. Pertama, dalam situasi atau alasan khusus untuk membatasi atau mengekang hak-hak atau kebebasan berdasarkan UU. Kedua, dalam rangka untuk menegakkan hukum atau keadilan bagi korban tindak pidana. Karena itu, dalam menghormati dan melindungi hak-hak sipil dan politik, ada dua jenis pelanggaran yang bertalian dengan kewajiban negara. Pertama, seharusnya menghormati hak-hak manusia, tapi negara justru melakukan tindakan yang dilarang atau bertentangan KIHSP melalui campur-tangannya dan disebut pelanggaran melalui tindakan (violation by action). Kedua, seharusnya aktif secara terbatas untuk melindungi hak-hak – melalui tindakannya – negara justru tak melakukan apa-apa baik karena lalai dan lupa maupun absen, disebut pelanggaran melalui pembiaran (violation by omission). Jenis pelanggaran lainnya adalah tetap memberlakukan ketentuan hukum yang bertentangan dengan KIHSP yang disebut pelanggaran melalui hukum (violation by judicial). Dengan meratifikasi KIHSP, pemerintah Indonesia memiliki kewajiban yang mengikat secara hukum untuk 6


melakukan beberapa hal. Antara lain negara, dalam hal ini pemerintah, harus segera melakukan reformasi hukum dengan menerjemahkan prinsip dan ketentuan yang terkandung dalam KIHSP ke dalam hukum nasional. Pemerintah juga harus segera melakukan harmonisasi hukum nasional dengan menggunakan kerangka KIHSP. Semua peraturan perundang-undangan yang tak sesuai dengan KIHSP harus dicabut dan direvisi. Begitu juga dengan RUU yang telah dibahas dan disiapkan hingga proses ratifikasi. Selain itu pemerintah harus melakukan sosialisasi KIHSP yang telah diratifikasi, sehingga banyak orang akan mengetahui apa saja hak-hak sipil dan politik yang seharusnya dinikmati. UU No 12/2005 berlakukan secara seragam di seluruh negeri dan diharapkan tak ada yang bertentangan dengan isi undang-undang ini. Termasuk yang bertalian dengan kekuatiran mengenai kelemahan otonomi daerah atau otonomi khusus. Ketiadaan fasilitasi pemerintah dalam penyediaan infrastruktur pendukung atas langkah-langkah implementasi hasil ratifikasi berbagai perjanjian hak-hak manusia dapat dipandang sebagai sikap tak mau (unwilling) atau abai untuk berbuat sesuatu, termasuk bagaimana seharusnya semua aparatur berperilaku yang dipertalikan dengan KIHSP tanpa kecuali pada lembaga-lembaga peradilan dan pengadilan, sehingga terasa kurang berefek pada pelaksanaannya. Jaminan Pemenuhan Hak Kebebasan Beropini dan Berpendapat, serta Kebebasan Atas Informasi Prinsip hak asasi manusia yang berlaku secara universal menjamin adanya pemenuhan hak sipil dan politik warganegara. Pasal 19 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk meliputi kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas.” Sedangkan dalam penjelasan umum mengenai Pasal 19 DUHAM dicantumkan bahwa negara dipersyaratkan untuk perlindungan terhadap “hak untuk mempunyai pendapat tanpa diganggu”.6 Hal ini adalah hak yang tidak memperkenankan adanya pengecualian atau pembatasan oleh Kov­enan. Negara juga harus menjamin adanya perlindungan terhadap hak atas kebebasan berekspresi, termasuk tidak hanya kebebasan untuk “kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide apapun”, tetapi juga kebebasan untuk “mencari” dan “menerima” informasi dan ide tersebut “tanpa memperhatikan medianya” dan dalam bentuk apa pun “baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya, sesuai dengan pilihannya”.7 Dalam Pasal 28C Ayat (1) UUD 1945 Negara Republik Indonesia dicantumkan, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Dalam 28F UUD 1945, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Jaminan atas hak kebebasan berpendapat secara lebih gamblang dicantumkan dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 14 ini menyatakan: (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya; (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. Sedangkan Pasal 23 Ayat (2) UU No 39 Tahun 1999 menyatakan, “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak ataupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.” Pasal 14 UU No. 39 tahun 1999 juga menyatakan, (1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mem6 Lihat Komentar Umum 10 Ayat (1) tentang Pasal 19 (Sesi kesembilan belas, 1983), Kompilasi Komentar Umum dan Rekomendasi Umum yang Diadopsi oleh Badan-Badan Perjanjian Hak Asasi Manusia U.N. Doc. HRI\GEN\1\Rev.1 at 11 (1994). Konvensi Eropa secara tegas menyatakan bahwa kebebasan mengeluarkan pendapat memenuhi suatu peran sentral seperti itu dalam suatu masyarakat demokrasi, yang bahkan melindungi informasi atau pemikiran yang menyakitkan hati, mengoncangkan atau mengacaukan Negara atau sektor penduduk mana pun. Lihat Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar, Pasal 10 (dokumen A.15). 7 Ibid. , Ayat (2)

7


peroleh informasi yang diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya; (2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. Undang-Undang No 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil Politik juga menjamin pemenuhan hak untuk berekspresi dan hak atas informasi. Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang No 12 Tahun 2005 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa mengalami gangguan. Sedangkan Ayat (2) menyatakan, “Setiap orang berhak untuk menyatakan pendapat/mengungkapkan diri; dalam hal ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberi informasi/keterangan dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan pembatasan-pembatasan, baik secara lisan maupun tulisan atau tercetak, dalam bentuk seni, atau sarana lain menurut pilihannya sendiri.” Toleransi Pembatasan Hak Asasi Manusia Konstitusi Indonesia menyatakan diperbolehkannya pembatasan terhadap hak-hak yang tercantum dalam Konstitusi. Namun demikian, Undang-Undang Dasar 1945 mengatur ketentuan tentang hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun (non-derogable rights). Antara lain dengan mencantumkan kata-kata berikut, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.”8 Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 mengatur mengenai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun (non-derogable rights) yaitu hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut. Dalam kondisi tertentu, hak-hak asasi manusia yang tidak termasuk non-derogable rights dapat dilakukan pembatasan dan pengurangan. UUD 45 Perubahan ke Dua Pasal 28 J menyatakan: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai- nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM mengatur pembatasan mengenai kebebasan dan HAM. Di dalam Pasal 73 UU No. 39 Tahun 1999 disebutkan kebebasan dan HAM hanya bisa diatur oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. Pasal 74 UU No. 39 Tahun 1999 kemudian menegaskan “tidak satu ketentuan dalam Undang-Undang ini boleh diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur dalam undang-undang ini”. Dengan demikian, pembatasan yang dilakukan pemerintah harus tetap menjamin, bahkan memperkuat, perlindungan HAM. Selanjutnya, pembatasan terhadap HAM yang tercantum dalam UU No. 39/1999 harus dilakukan melalui undang-undang. Ketentuan umum tidak boleh adanya pengurangan hak, kecuali atas kondisi tertentu, tercantum dalam Pasal 5 Bersama Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional Ekonomi, Sosial dan Budaya. Pasal tersebut menyatakan: a. Tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberikan secara langsung kepada suatu Negara, kelompok atau perseorangan hak untuk melakukan kegiatan atau tindak apa pun yang bertujuan untuk menghancurkan hak atau kebebasan yang diakui dalam Kovenan ini, atau untuk membatasi hak dan kebebasan itu lebih besar daripada yang ditentukan dalam Kovenan ini. b. Tidak satupun pembatasan atau pengurangan atas hak-hak asasi manusia yang mendasar yang diakui atau berada di negara manapun berdasarkan kekuatan hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan, 8 Amendemen ke dua, UUD 1945, Pasal 28I Ayat (1).

8


akan dapat diterima, dengan alasan bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak-hak tersebut, atau mengakuinya namun tidak sepenuhnya. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mencegah adanya penyalahgunaan baik oleh negara atau penduduknya atas hak-hak apa pun yang ada dalam Kovenan. Pasal 5 (1) ini juga untuk menguatkan bahwa Kovenan tersebut haruslah didudukkan pada maksudnya serta untuk melindungi terhadap penafsiran yang salah terhadap ketentuan mana pun dari Kovenan yang digunakan untuk membenarkan adanya pengurangan hak mana pun yang diakui dalam Kovenan atau pembatasan hak mana pun pada tingkat yang lebih jauh dari pada yang ditentukan oleh Kovenan.9 Pasal 29 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan hak dan kebebasannya, setiap orang hanya tunduk pada batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan memenuhi persyaratan-persyaratan moral, ketertiban umum dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat yang demokratis. Kedua Kovenan memuat ketentuan yang mengatur adanya pembatasan terhadap hak-hak tertentu. Beberapa klausul pembatasan yang digunakan dalam kedua kovenan adalah: diatur berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the law), dalam masyarakat yang demokratis (in a democratic society), ketertiban umum (public order/(ordre public), kesehatan publik (public health), moral publik (public moral), keamanan nasional (national security) dan keamanan publik (public safety), hak dan kebebasan orang lain (rights and freedom of others) dan hak atau reputasi orang lain (rights and reputations of others), serta kepentingan kehidupan pribadi pihak lain (the interest of private lives of parties) yang berkaitan dengan pembatasan terhadap pers dan publik pada pengadilan (restrictions on public trial).10 Pembatasan dan pengurangan hak-hak asasi manusia yang diatur di dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (KIHSP) diterjemahkan secara lebih detil di dalam Prinsip-Prinsip Siracusa (Siracusa Principles). Di dalam Prinsip ini disebutkan bahwa pembatasan hak tidak boleh membahayakan esensi hak. Semua klausul pembatasan harus ditafsirkan secara tegas dan ditujukan untuk mendukung hak-hak. Semua pembatasan harus ditafsirkan secara jelas dan dalam konteks hak-hak tertentu yang terkait. Prinsip ini menegaskan bahwa pembatasan hak tidak boleh diberlakukan secara sewenang-wenang.11 Pembatasan dan pengurangan hak asasi manusia hanya bisa dilakukan jika memenuhi kondisi-kondisi berikut: a. Diatur berdasarkan hukum (prescribed by law/conformity with the law). Tidak ada pembatasan yang bisa diberlakukan kecuali didasarkan oleh hukum nasional. Namun hukum yang membatasi hak tersebut tidak boleh sewenang-wenang dan tanpa alasan. Aturan hukum yang membatasi pelaksanaan HAM harus jelas dan bisa diakses siapa pun. Selain itu negara harus menyediakan upaya perlindungan dan pemulihan yang memadai terhadap penetapan atau pun penerapan pembatasan yang bersifat sewenang-wenang terhadap hak-hak tersebut.12 Hukum tersebut harus dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individual untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak.13 b. Diperlukan dalam masyarakat yang demokratis (in a democratic society). Beban untuk menetapkan persyaratan pembatasan ini ada pada negara yang menetapkan aturan pembatasan dengan menunjukkan bahwa pembatasan tersebut tidak mengganggu berfungsinya demokrasi di dalam masyarakat. Adapun model masyarakat yang demokratis dapat mengacu pada masyarakat yang mengakui dan menghormati hak asasi manusia yang tercantum dalam Piagam PBB dan DUHAM.14 9 Lockwood B.B., Jr, Finn, J., dan Jubinsky G., “Working Paper for the Committee of Experts on Limitation Provisions�, dalam Human Rights Quarterly, Volume 7, hal. 36-37. 10 Ibid, 44-88. 11 The Siracusa Principles on The Limitation and Derogation Provisions In The International Covenant on Civil and Political Rights, E/ CN.4/1985/4. Siracusa Principles adalah prinsip-prinsip mengenai ketentuan pembatasan dan pengurangan hak yang diatur di dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Prinsip-prinsip ini dihasilkan oleh sekelompok ahli hukum internasional yang bertemu di Siracusa, Italia pada April dan Mei 1984. 12 Ibid, paragraf 15—18. 13 The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to Information, Freedom of Expression and Access to Information, E/CN.4/1996/39 (1996). Johannesburg Principles adalah prinsip-prinsip yang diadopsi pada 1 Oktober 1995 oleh sekelompok ahli hukum internasional, keamanan nasional, dan hak asasi manusia yang berkumpul bersama berdasarkan PASAL 19, International Centre Against Censorship, bekerja sama dengan Centre for Applied Legal Studies Universitas Witwatersrand, di Johannesburg, Principle 1.1. 14 Siracusa Principles, op.cit. (cat. 14), paragraf 20—21.

9


c. Untuk melindungi ketertiban umum (public order/ordre public). Frasa “ketertiban umum” di sini diterjemahkan sebagai sejumlah aturan yang menjamin berfungsinya masyarakat atau seperangkat prinsip mendasar yang hidup di masyarakat. Ketertiban umum juga melingkupi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Selain itu, ketertiban umum di sini harus dilihat dalam konteks hak yang dibatasinya. Negara atau badan negara yang bertanggungjawab untuk menjaga ketertiban umum harus dapat dikontrol dalam penggunaan kekuasaan mereka melalui parlemen, pengadilan atau badan mandiri lain yang kompeten.15 d. Untuk melindungi kesehatan publik (public health). Klausul ini digunakan untuk mengambil langkah-langkah penanganan atas sebuah ancaman yang bersifat serius terhadap kesehatan masyarakat atau pun anggota masyarakat. Namun langkah pembatasan ini harus diletakkan dalam konteks pencegahan penyakit atau kecelakaan atau dalam rangka menyediakan layanan kesehatan bagi yang terluka atau sakit. Dalam hal ini negara harus mengacu pada aturan kesehatan internasional dari WHO.16 e. Untuk melindungi moral publik (public moral). Negara harus menunjukkan bahwa pembatasan itu memang sangat penting bagi terpeliharanya nilai-nilai mendasar komunitas. Dalam hal ini negara memiliki diskresi untuk menggunakan alasan moral masyarakat. Namun klausul ini tidak boleh menyimpang dari maksud dan tujuan KIHSP. f. Untuk melindungi keamanan nasional (national security). Klausul ini digunakan hanya untuk melindungi eksistensi bangsa, integritas wilayah atau kemerdekaan politik terhadap adanya kekerasan atau ancaman kekerasan. Negara tidak boleh menggunakan klausul ini sebagai dalih untuk melakukan pembatasan yang sewenang-wenang dan tidak jelas.17 Pembatasan dengan klausul ini juga tidak sah, jika tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkannya adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak berhubungan dengan keamanan nasional. Termasuk misalnya untuk melindungi suatu pemerintahan dari rasa malu akibat kesalahan yang dilakukan atau pengungkapan kesalahan yang dilakukan, atau untuk menutup-nutupi informasi tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi publiknya, atau untuk menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan kerusuhan industrial.18 g. Untuk melindungi keselamatan publik (public safety). Klausul ini digunakan untuk melindungi orang dari bahaya dan melindungi kehidupan mereka, integritas fisik atau kerusakan serius atas milik mereka. Klausul ini tidak bisa digunakan untuk pembatasan yang sewenang-wenang dan hanya bisa diterapkan jika ada perlindungan yang cukup dan pemulihan yang efektif terhadap penyalahgunaan pembatasan.19 h. Untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain (rights and freedom of others). Ketika terjadi konflik antar-hak, maka harus diutamakan hak dan kebebasan yang paling mendasar. Klausul ini tidak bisa digunakan untuk melindungi negara dan aparatnya dari kritik dan opini publik. Selain itu, KIHSP juga memasukkan istilah “perlu” (necessary) dalam ketentuan-ketentuan yang mengandung pembatasan, yaitu pada Pasal 12 (3), 14 (1), 18 (3), 19 (3), 21, 22 (2). Hal ini memperlihatkan adanya maksud dari perancang Kovenan untuk membatasi penerapan pembatasan hak-hak hanya pada situasi dimana ada kebutuhan riil untuk pembatasan tersebut. Untuk menyatakan bahwa kebutuhan itu memang ada, beberapa persyaratan yang harus dipenuhi adalah: a). Pembatasan sejalan dengan semangat dan apa yang tertulis dalam Kovenan; b). Syarat-syarat yang ditetapkan dalam beberapa putusan Pengadilan HAM Eropa yaitu persyaratan lawfulness, legitimate aim dan necessity.20 Untuk menetapkan apakah necessity terpenuhi, Pengadilan Eropa biasanya menerapkan dua tes yaitu ‘perlu dalam masyarakat demokratis/necessary in a democratic society’ dan proporsional pada kebutuhan yang diinginkan (proportional to the desired need).21 Hal ini juga dijelaskan oleh Prinsip Siracusa yang menyatakan istilah ‘nesecessary’ mengimplikasikan bahwa 15 Ibid, paragraf 22—24. 16 Ibid, paragraf 25—26. 17 Ibid, paragraf 29—31. 18 Johanesburg Principles, op cit. (cat 16). 19 Siracusa Principle, op cit. (cat. 14), paragraf 33—34. 20 Lihat abstrak dari disertasi Juka, V., ”The European Court of Human Rights as a Developer of General Doctrine of Human Rights Law, A Study of Limitations Clauses of the European Conventions on Human Rights”, Tampere University Press, http://acta.uta.fi/english/teos. phtml?9265, diakses pada 21 Januari 2009. 21 Bonat, C., ‘European Court of Human Rights’, the Federalist Society for Law and Public Studies, hal. 26.

10


pembatasan: 22 a). Didasarkan pada salah satu alasan yang membenarkan pembatasan yang diakui oleh pasal yang relevan dalam Kovenan. b). Menanggapi tekanan publik atau kebutuhan sosial. c). Untuk mencapai sebuah tujuan yang sah. d). Proporsional pada tujuan tersebut di atas. Prinsip Siracusa juga menyatakan bahwa penilaian pada perlunya pembatasan harus dibuat berdasar pertimbangan-pertimbangan obyektif. Secara tegas hal itu juga dinyatakan oleh Komentar Umum Kovenan Hak Sipil dan Politil yang menyatakan bahwa: Negara-negara pihak harus menahan diri dari melakukan pelanggaran terhadap hak-hak yang diakui dalam Kovenan, dan pembatasan apa pun terhadap salah satu atau lebih dari hak-hak tersebut harus memiliki alasan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Kovenan. Ketika pembatasan semacam itu dibuat, maka Negara-negara harus menunjukkan kebutuhan mereka dan hanya mengambil langkah-langkah yang proporsional guna mencapai tujuan-tujuan yang sesuai dengan hukum untuk menjamin perlindungan yang berkelanjutan dan efektif terhadap hak-hak yang diakui dalam Kovenan. Pembatasan-pembatasan tidak boleh diterapkan atau dilakukan dalam cara yang dapat melemahkan inti suatu hak yang diakui oleh Kovenan.23 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) secara lebih rinci mencatat beberapa hak yang pelaksanaannya dapat dibatasi dan dikurangi, yaitu: Hak untuk bebas bergerak. Pembatasan dapat dilakukan jika ditentukan oleh hukum, yang perlu untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan umum, atau moral, atau hak dan kebebasan orang lain, dan konsisten dengan hak lainnya yang diakui dalam Kovenan ini.24 Dalam Komentar Umum No. 27 disebutkan pembatasan-pembatasan tersebut tidak boleh membatalkan dan melemahkan jiwa dari hak untuk bebas bergerak. Selain itu, Langkah-langkah pembatasan harus menjadi instrumen intervensi terakhir dan harus proporsional bagi kepentingan mereka yang ingin dilindungi. Penerapan pembatasan-pembatasan yang diperbolehkan oleh Pasal 12 ayat 3 harus sesuai dengan hak-hak lain yang dijamin oleh Kovenan dan dengan prinsip-prinsip mendasar kesetaraan dan nondiskriminasi.25 Hak pers dan masyarakat atas pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh pengadilan. Pers dan masyarakat dapat dilarang mengikuti seluruh atau sebagian sidang dengan alasan moral, ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis, atau bilamana perlu, demi kepentingan kehidupan pribadi pihak yang bersangkutan, atau sejauh diperlukan menurut pengadilan dalam keadaan khusus, di mana publikasi justru dianggap akan merugikan kepentingan keadilan itu sendiri. Namun apa pun yang diputuskan pengadilan, baik perkara pidana atau perdata, harus diumumkan, kecuali kepentingan anak-anak di bawah umur menentukan sebaliknya, atau jika persidangan tersebut mengenai perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak.26 Hak untuk menjalankan agama atau kepercayaan. Hak ini hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain.27 Namun pembatasan yang diterapkan harus dijamin oleh hukum dan tidak boleh diterapkan dengan cara-cara yang dapat melanggar hak-hak itu sendiri. Pembatasan tidak boleh diterapkan untuk tujuan-tujuan yang diskriminatif atau diterapkan dengan cara yang diskriminatif. Kenyataan bahwa suatu agama diakui sebagai agama negara atau bahwa agama tersebut dinyatakan sebagai agama resmi atau tradisi, atau bahwa penganut agama tersebut terdiri dari mayoritas penduduk, tidak boleh menyebabkan tidak dinikmatinya hak-hak yang dijamin Kovenan, termasuk oleh Pasal 18 dan pasal 27 KIHSP, maupun menyebabkan diskriminasi terhadap penganut agama lain atau orang-orang yang tidak beragama atau 22 Siracusa Principles, op.cit. (cat. 14), paragraf 10. 23 CCPR/C/21/Rev.1/Add.13, General Comment No. 31 [80] Nature of the General Legal Obligation Imposed on States Parties to the Covenant, http://www.unhchr.ch/tbs/doc.nsf/(Symbol)/CCPR.C.21.Rev.1.Add.13.En?Opendocument, diakses tanggal 13 Juli 2006, paragraf 6. 24 Lihat Pasal 12 paragraf 3, Kovenan Hak Sipil dan Politik, 1966. 25 General Comment No. 27, CCPR/C/21/Rev.1/Add.9 (1999). 26 Loc cit., Pasal 14 paragraf 1. 27 Ibid., Pasal 18 paragraf 3.

11


berkepercayaan.28 Hak untuk bebas menyatakan pendapat dan memperoleh informasi. Pembatasan tersebut hanya diperbolehkan apabila diatur menurut hukum dan dibutuhkan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain dan melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat.29 Pasal 19 Ayat 3 KIHSP menentukan kondisi-kondisi tertentu untuk melakukan pembatasan, yaitu: (1) harus “dinyatakan oleh hukum�; (2) hanya boleh diterapkan bagi salah satu tujuan yang dinyatakan di sub ayat (a) dan (b) dari ayat 3; (3) pembatasan tersebut harus dijustifikasi sebagai sesuatu yang “dibutuhkan� negara untuk salah satu dari tujuan-tujuan tersebut.30 Pembatasan itu tidak boleh membahayakan hak itu sendiri. Tidak seorang pun boleh menjadi subyek pembatasan dan sanksi, serta dirugikan karena pendapat atau kepercayaannya. Ekspresi dapat dihukum sebagai ancaman keamanan nasional jika pemerintah dapat menunjukkan bahwa ekspresi itu ditujukan atau dapat memotivasi kekerasan yang akan terjadi atau ada hubungan langsung dan dekat antara ekspresi dan kekerasan tersebut. Namun tidak seorang pun boleh dihukum karena ekspresi yang mengandung kritik atau penghinaan terhadap kebijakan pemerintah atau pejabat publik.31 Hak untuk berkumpul secara damai. Tidak ada pembatasan yang dapat dikenakan pada pelaksanaan hak ini kecuali jika hal tersebut dilakukan berdasarkan hukum, dan diperlukan dalam masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral masyarakat, atau perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain.32 Hak untuk berserikat. Pembatasan dapat dilakukan jika berdasarkan hukum, dan diperlukan dalam masyarakat yang demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral masyarakat, atau perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain.33 Kesimpulan Pelarangan buku yang masih dilakukan Kejaksaan Agung dan mekanisme yang ada jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagaimana telah diadopsi dalam UUD 1945, UU No 30 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU no 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil Politik, juga UU Pers No 40 Tahun 1999. Juga bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Siracusa dalam hal hakekat pembatasan hak asasi manusia yang boleh dilakukan. Presiden SBY selaku kepala negara perlu melakukan peninjauan kembali bahkan pembatalan kebijakan pelarangan buku yang masih menggunakan merujuk pada kebijakan rejim otoritarian Orde Baru.34 Selain hal ini bertentangan dengan semangat reformasi 1998 sebagaimana tercantum dalam Tap MPR No XVII Tahun 1998, juga jelas tak sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP).

28 General Comment No. 22, HRI\GEN\1\Rev.1 at 35 (1994). 29 Loc cit., Pasal 18 paragraf 3. 30 General Comment No. 10, HRI\GEN\1\Rev.1 at 11 (1994). 31 The Johannesburg Principles, op. cit (cat 14). 32 Lihat Pasal 21 paragraf 3 Kovenan Hak Sipil dan Politik, 1966. 33 Lihat Pasal 22 paragraf 2, Ibid. 34 Hal ini juga memalukan, mengingat reputasi Indonesia di dunia internasional cukup baik. Indonesia saat ini adalah anggota Dewan HAM Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan juga anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB yang harus memilih menjadi leader (bukan follower) dalam penerapan kebijakan yang berhubungan dengan HAM.

12


PEMERINTAH YANG TERLARANG1 Oleh: Eko Prasetyo saya sangat mendukung sekali upaya yang telah dilakukan kejaksaan agung dalam melarang peredaran buku yang dianggab provokatif dan memecah belah NKRI,negeri kita ini memang menjamin setiap individu untuk mengeluarkan pendapatnya,tapi bukan kata2 kotor,fitnah,provokasi, yang bisa merusak NKRI.. (Obeth \komentar vivanews) Kami tidak akan menjabarkan secara rinci alasan-alasannya [pelarangan] karena publik, terutama yang di tingkat bawah, mungkin akan bereaksi dengan cara yang akan menimbulkan konflik (Juru Bicara Kejaksaan Agung)

S

aya masih mengingat peristiwa itu. Tahun 2001 segerombol orang mendatangi kantor. Muka dan postur mudanya menyiratkan kegeraman. Bertanya tentang sebuah buku yang saya terbitkan. Dua buku itu: PKI Korban Perang Dingin dan Lenin, Revolusi dari mana Dimulai2. Sampulnya memang agak sangar. Palu dan arit dalam warna merah menyala. Sedang Lenin dilukis dengan energik: gambarnya ketika berpidato. Anggapan mereka buku itu harus dibakar. Tanpa pernah membaca dan tidak tahu apa isinya. Dengan memberi label kiri maka produk itu harus dicabut. Tak urung saya kesal dengan orang-orang yang saya sebut naif itu. Anak-anak muda yang kehilangan kecerdasan dan hidup dari suruhan stigma. Kelak mereka membuat penerbitan yang lebih mengerikan temanya: jualan ayat-ayat Tuhan. Sebuah gagasan mengerikan dengan tujuan lebih menggelikan: membawa keuntungan dan menampung pekerjaan. Peristiwa itu nyatanya berulang kembali. Polisi menyisir toko buku untuk mengambil semua buku yang bertema kiri. Sudah pasti Polisi kebingungan dan tak gampang. Pekerjaan yang bisa menguras kemampuan Polisi dan tentu sulit untuk tidak menahan geli. Beberapa buku Al Ghazali sempat diambil hanya karena mukanya penuh dengan jenggot. Tak mirip dengan Karl Marx tapi karena memakai jenggot kepaksa ikut diciduk. Hal yang serupa dikerjakan oleh Kejaksaaan. Menyisir buku yang dianggap membahayakan. Seperti melarang novel memukau karya Pramoedya Ananta Toer. Bahkan melarang buku yang saya yakin tidak dibaca karena ketebalanya yang mengagumkan: tri logi Lekra (Laporan dari bawah, Lekra tak membakar buku, Sehimpunan puisi Lekra) Tapi kekuasaan memang suka sekali menampilkan ketololanya: bersamaan dengan itu menunjukkan ketidak-masuk akalnya. Bayang-bayang kekuasaan yang horor hilang ketika mereka memutuskan untuk melarang buku. Karena usaha pelarangan buku dalam situasi ini seperti makin mencerminkan turunnya peradaban dan tidak berharganya akal sehat. Makanya peristiwa itu tentu bisa masuk kategori apa saja: pelanggaran HAM, pelanggaran hukum hingga yang paling bahaya melanggar akal sehat. Tapi situasi ini tidak berdiri diatas landasan yang gegabah. Bukan semata-mata karena masih ada UU no 4 tahun 1963 yang diyakini oleh Kejaksaan untuk melarang produk bacaan. Bukan pula karena buku yang dilarang dianggap melanggar ketertiban umum dan UUD: sebuah tafsiran menyedihkan yang selalu jadi senjata. Tapi pelarangan buku itu wujud utuh dari kehendak kekuasaan untuk mengatakan kalau dirinya “ada”. Sebuah “ada” itu timbul melalui wujud yang paling norak yakni penegakan hukum yang sewenang-wenang. Hannah Arendt membuktikan itu pada kasus Eickhman. Seorang petinggi Nazi yang merasa tak bersalah karena sudah membantai jutaan orang Yahudi. Tampil di muka sidang sebagai manusia normal yang hanya patuh pada perintah. Bukan karena perintah itu mengandung “kebenaran” tapi perintah yang meminta “kepatuhan”. Kejaksaan serta Kepolisian terlampau lama berada dalam budaya “Eickhman” seperti ini. Buku merupakan sasaran yang cerdik. Buku telah lama jadi “mitos” pengetahuan tapi juga buku “cermin” keburukan yang berlangsung disini. Di tangan aparat penegak hukum yang selalu berpedoman pada prosedur dan kepraktisan: buku seperti musuh yang gampang untuk ditaklukkan. Frans M Parera menyebut “Kebanyakan kita hanya terbiasa dengan pengetahuan operasional, teknis, artistik, dan finansial hasil pertanyaan “bagaimana”. Perbukuan menantang kita memasuki horizon pengetahuan “mengapa” .... Kemampuan refleksi menjadi bekal untuk mengembangkan pertanyaan “mengapa” dan perbukuan menjadi sarana untuk 1 Disampaikan untuk Diskusi ”Pelarangan Buku: Menutup Jendela Dunia”, Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) & Elsam, 31 Mei 2010, Taman Budaya Yogyakarta 2 Buku ini beredar dari tangan ke tangan dan lenyap di pasar karena begitu banyak yang menginginkan untuk membacanya. Tak lama kemudian buku ini jatuh di tangan para pembenci buku hingga membawa rombongan untuk berkeinginan membakarnya. Sebuah tujuan yang pastilah tak mungkin untuk diwujudkan.

13


kemampuan refleksi itu.” Daya refleksi itu sesuatu yang begitu dibenci oleh aparat penegak hukum dan itu sebabnya tak ada sebab “jelas dan penting” ketika muncul larangan. Buku karena sudah jadi simbol kelas terdidik maka melarangnya seakan menjelaskan kalau Kejaksaan tergolong “kelas terdidik”. Mereka tak jelas benar dengan pertanyaan “mengapa” itu dilarang, tapi mereka cakap dalam memaparkan “bagaimana” larangan itu diberlakukan. Pangkal kekusutanya ada pada “kompetensi” aparat dengan sasaran tindakan yang jauh dari batas logis. Di samping itu memang “pengalaman” aparat dengan buku bisa dibilang minim. Dibesarkan dalam bukubuku pelajaran yang selalu menanamkan hal yang serupa: minim informasi, mengulang-ulang dan miskin renungan. Semua buku pelajaran tumbuh dengan kadar propaganda yang keterlaluan dan kurang pembuktian historis3. Makanya dominasi buku-buku seperti itu bukan menghasilkan orang-orang yang gila buku melainkan para pembenci karya. Sebut saja berapa banyak syair yang mampu dikutip oleh seorang siswa bahasa, kecuali penulis syair sendiri. Tekhnik hapalan itu lalu mekar ketika seseorang kuliah di fakultas hukum4. Dogma, doktrin maupun asaz hukum jadi sebuah “barang” yang diwariskan dalam bentuk hapalhapalan. Mirip dengan alat tukang maka tiap pasal bisa dipasangkan mengikuti kemauan para penggunanya. Sejak dini mahasiswa hukum bukan dilatih untuk berseteru dengan pasal tapi memastikan “kepastian” pasal dalam situasi apa saja. Dengan pembelajaran dan pemanfaatan buku seperti itu maka politik pelarangan buku jadi kegemaran. Mirip dengan tindakan balas dendam yang menyenangkan. Maka kebijakan pelarangan buku seperti kegiatan mustahil. Dengan bersemangat tindakan ini bukan saja menuai kritik, tapi dukungan mengerikan. Pada buku kiri maka semboyan anti komunis menggelegar begitu kalap. Pada buku yang ditulis oleh para mujahid-istilah aparat adalah teroris-larangan buku menuai dukungan anti atas sistem demokrasi liberal. Diam-diam kekuasaan memanfaatkan buku untuk mengolah sentimen dan berusaha untuk membuat klasifikasi. Sebuah tindakan yang oleh Hannah Arendt acapkali digunakan oleh sebuah kekuasaan fasis. Dengan berpedoman pada situasi itu maka terbitlah tipe pembaca buku yang unik: intoleran sekaligus penggila fanatik karya tertentu. Simak pengakuan seorang yang begitu gemar dengan sebuah novel karya Habbiburrahman Bumi Cinta: Saya bahagia sekali novel seperti Bumi Cinta ini lahir di Indonesia. Saya rasa Kang Abik sangat berani. Kang Abik berani memberikan penyadaran sejarah bahayanya komunisme. Kakek saya nyaris jadi korban kekejaman PKI dulu. Kang Abik juga berani mengungkap sejarah kelam pembantaian Shabra dan Shatila yg didalangi Zionis Israel yang mulai banyak dilupakan manusia. Kang Abik benar-benar berani membela kaum tertindas seperti orang-orang Palestina itu. Bumi Cinta sudah fenomenal, baru beberapa hari saja Bumi Cinta sudah jadi pembicaraan dan perdebatan sengit di internet. Kalangan yang pro komunis sepertinya kebakaran jenggot. Salut buat Kang Abik, katakan yang benar meskipun pahit..........Kalau Bumi Cinta mau difilmkan, aku orang pertama yang menunggunya.5 Disini yang terjadi bukan penghayatan sebuah karya sastra6 yang berbalut imaginasi dengan keindahanya, tapi tafsir permusuhan ganas yang agak menyakitkan dan memalukan. Saya sampai tak habis pikir muncul para pembaca buku yang punya tipe narsis seperti ini. Tapi itulah cerminan pembaca buku yang kita hadapi sekarang. Sebuah tipe pembaca yang tumbuh-mengikuti istilah Erich Fromm-anonim: kebutuhan yang tinggi untuk penyesuaian diri dan diakui, sebagai pengganti rasa bangga dan unggul, terjadi suatu peningkatan walaupun sebagian besar tidak disadari rasa ketidak-berdayaan7. Rasa itu tumbuh dan bersemi dengan meningkatnya buku-buku mujarobat atau buku siap sedia yang hendak menambal kebutuhan dasar eksistensi sebuah bangsa: penghormatan. Sebuah keadaan yang mengantarkan aparat negeri ini tetap mempertahankan aturan yang melarang buku. Terutama buku yang bagi mereka mungkin menghina apa yang selama ini diyakini dan mempermalukan apa yang sementara ini sudah jadi “legenda”. Tapi benarkah situasi ini secara sempurna mampu menangkal keinginan aparat dan pembaca ngawur? Agak beruntung kita berhadapan dengan kalangan terpelajar yang normal dan berakal sehat. Kegiatan pela3 Sebut saja beberapa buku sejarah yang aroma militeristiknya kuat dan peran diplomasi hanya mampir dalam keterangan mengenai perjanjian-perjanjian. Hal yang sama terjadi pada buku bahasa Indonesia yang selalu saja mencantumkan keluarga lengkap dengan perangai mirip robot tanpa konflik sama sekali. Buku-buku itu beredar dengan produksi besar-besaran dan sedikit banyak mempengaruhi minat baca yang terus menurun. 4 Lih Eko Prasetyo, Keadilan tidak untuk Yang Miskin, Resist 2010 5 Lih Dedi Rukmana, Islamic Book Fair, 5-14 maret 2010 6 Ignas Kleden dalam memahami karya sastra melukiskanya dalam bentuk yang indah…..kalau pekerjaan saya adalah ibarat matahari maka sastra adalah kabut pagi dan embun di daun. Matahari yang meninggi menghapuskan kabut dan mengeringkan embun, tetapi saya berharap kabut akan kembali lagi esok pagi dan embun akan turun lagi sebelum fajar menyingsing. Lih Ignas Kleden, Sastra dalam enam pertanyaan, Grafitti, 2004 7 Lih Erich Fromm, Masyarakat yang Sehat, Obor, 2005

14


rangan buku melejitkan “keingintahuan” orang pada apa yang dinamakan “kiri” atau sekaligus “kanan. Dengan pelarangan maka kita jadi makin tahu “tingkat kecerdasan dan kompetensi” yang dipunyai oleh aparat penegak hukum. Bahkan agak memalukan sedikit sekali diantara mereka yang pintar menulis apalagi membuat buku. Situasi itu membangkitkan kembali budaya perlawanan yang secara perlahan makin redup dan makin mengkristalkan kawan-kawan pergerakan untuk mengembalikan buku kembali ke “martabatnya”. Alat perjuangan dan kekuatan propaganda. Lewat kegiatan pelarangan buku telah berpulang buku pada tugas sucinya: mencerahkan sekaligus menginformasikan. Dicerahkan kita oleh pengetahuan itu sebagai kekuatan pengubah. Serta diinformasikan bahwa kekuasaan yang kita hadapi memang belum beringsut dari yang dulu. Tak menyukai buku apalagi pengetahuan yang ada dibaliknya. Ringkasnya kegiatan pelarangan buku menjadi penanda bahwa kekuasaan dari dulu hingga kini berada anyaman yang serupa: mahir mengekang kebebasan intelektual sekaligus terancam olehnya. Sekaligus kita juga makin beruntung dengan kebebasan dalam dunia maya. Kegiatan pelarangan jadi makin konyol karena tiap buku yang dilarang kini bisa diunduh melalui internet. Aparat lagi-lagi menegaskan kedunguanya karena berada dalam tindakan yang penuh paradok: melarang sesuatu yang mustahil untuk dilarang. Keputusan politik untuk melarang seolah terjerembab dalam spiral masa bodoh: umumkan dan setelah itu biarkan berita menyiarkan sehingga buku itu diam-diam mendapatkan pembaca yang lebih berlipat. Taktik bumerang yang kuno dan naif itu telah melembagakan keyakinan kita atas kualitas aturan hukum negeri ini. Hukum bukan bayangan keadilan tapi bayang kecemasan aparaturnya sendiri. Sebuah kekuatiran yang tumbuh melalui peragaan opera kekuasaan yang berlandaskan keluarga. Kekuasaan merasa penting untuk membatasi apa yang “patut dan tidak layak” untuk dibaca warganya. Seolah mereka alpa dimana mereka tinggal, di bawah situasi zaman seperti apa mereka berdiri dan di tengah kondisi keterpelajaran apa mereka bekerja. Tapi kekonyolan mungkin memang diperlukan oleh kekuasaan yang miskin prestasi. Apa kegunaanya? Milan Kundera dalam novelnya Umberto Eco menyebut sebagai kewaspadaan. Waspada kalau buku-buku itu akan meletuskan kembali pengetahuan lama yang sudah lama diringkus. Soal pemberontakan hingga kesangsian akan narasi yang kini tumbuh berkembang. Dengan kewaspadaan rantai kekuasaan dipelihara dengan cara yang prosedural dan alasan-alasan yuridis yang naif. Karena itu Vikas Swarup-novelis India yang terkenal karyanya Slumdog Millionaire-dalam karya Six Suspects, menyebut ada kebutuhan untuk mempertahankan hukum. Bukan untuk menegaskan aturan tapi mengklasifikasi; siapa yang mendukung dan menolak sistem. Melalui hukum maka jalur pipa kepatuhan dikelola dan disempurnakan bukan sekedar dengan aparaturnya tapi juga massa militan yang diberi anugerah kebebasan untuk menganiaya, melakukan kekerasan sekaligus menjalankan peran pembredelan secara ngawur. Di titik itulah perjuangan kebebasan berkarya jadi penting: bukan karena pemasungan karya melanggar HAM tapi karena pemasungan karya telah menghentikan agenda progresif gerakan. Yakni meletakkan kembali perseteruan nyata sekaligus terusmenerus antara kaum pejuang dan para pembonceng yang acapkali membajak kebebasan. Tak cukup perjuanganya diletakkan pada dicabutnya aturan tapi ditanamnya kembali budaya buku sebagai alat perjuangan dan propaganda. Jika itu yang terjadi, mungkin kita bisa mulai secara bersama.....

15


Kebebasan Beragama/Berpendapat dan Pelarangan Buku1 Oleh: Hairus Salim HS Pelarangan buku di Indonesia selama ini banyak terkait, langsung maupun tidak langsung, dengan keberadaan agama, terutama Islam. Dalam sejumlah kajian, bahkan ditemukan peran lembaga seperti Departemen Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan beberapa ormas Islam lainnya dalam proses pelarangan buku. Ini sebuah paradoks, karena Islam dikenal sebagai agama yang sangat menghargai bacaan. Wahyu Islam dimulai dengan kalimat ‘bacalah’ (Iqra!) dan salah satu sebutan kitab sucinya adalah Quran yang berarti ‘bacaan’. Pengaruh aksara, kitab, teks dalam agama ini begitu mendalam sehingga ada yang menyebut peradaban yang dibentuk (Arab) Islam ini sebagai ‘peradaban teks’. Maka bagaimana hal ini bisa dipahami? Ortodoksi Islam Pelarangan buku adalah pelarangan pemikiran. Jejak pelarangan pemikiran didalam agama bisa ditelusuri diantaranya dari keberadaan ortodoksi dan terbentuknya ortodoksi tersebut. Ortodoksi adalah rumusan pemikiran yang standar, sistematis, dan lengkap serta tuntas, yang diakui kebenarannya di dalam sebuah lingkungan agama. Seperti riwayat banyak agama, ortodoksi dalam Islam (sunni) juga terbentuk jauh sepeninggal nabi pembawa Islam itu sendiri, Muhammad SAW. Ketika Nabi Muhammad masih hidup, segala hal menyangkut agama dan hubungannya dengan kehidupan lain, bisa ditanyakan langsung kepada Nabi. Tetapi setelah beliau wafat, sumber otoritas tersebar di banyak sahabat dekatnya. Tak terhindarkan muncul beberapa perbedaan pendapat dalam memutuskan suatu perkara keagamaan maupun aspek kehidupan lainnya. Perbedaan ini sendiri bersumber dari perbedaan interpretasi terhadap ayat-ayat Quran sebagai sumber hukum, yang di dalam dirinya memang diakui bersifat mujmal (makro/global) dan jelas membutuhkan interpretasi lebih lanjut. Keberagaman tafsir dianggap bisa mengancam stabilitas, melahirkan keliaran, dan menimbulkan kebingungan. Karena itulah dibutuhkan suatu landasan pemikiran yang koheren, memiliki kebenaran yang pasti (fixed), dan menjadi satu-satunya sandaran. Proses ortodoksi meliputi standarisasi, penyeleksian, pengklasifikasian, pengkategorian, perumusan, dan akhirnya penetapan pemikiran-pemikiran keagamaan yang dianggap benar, baik, tepat, dan seterusnya. Di dalam kamus sosiologi agama, ortodoksi barangkali paralel dengan apa yang disebut sebagai ‘pelembagaan’ (institusionalisasi). Pelembagaan di sini tidak semata pada hal-hal yang bersifat fisik tetapi juga menyentuh aspek mental. Karena itu, proses ortodoksi barangkali lebih mirip dengan ‘pendisiplinan’ yang dikenal dalam wacana paskastruktural. Proses ortodoksi ini, yang di dalam literatur Islam dikenal sebagai tadwin (kodifikasi) ini misalnya terjadi ketika hadits/sunnah muncul sebagai sumber hukum kedua setelah Quran dan pembentukan hukum Islam. Pada yang pertama terbangun himpunan hadits yang dianggap otoritatif mulai dari Imam Bukhari, Imam Muslim, dan enam imam periwayat hadits otoritatif lainnya. sementara pada yang kedua, terbentuk mazhab hukum Islam yang dikenal seperti Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Tentu saja tadwin bukan proses yang semata-mata ilmiah-relijius. Tadwin juga sarat dengan proses politik, jika bukan malah merupakan proses dan produk politik itu sendiri, yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kehidupan agama. Dalam proses tadwin tersebut, dan hingga mapannya ortodoksi, berbagai pemikiran yang berbeda apalagi menentang telah disisihkan, disingkirkan, diberangus, buku-buku mengenainya telah dilarang dan dibakar, bahkan sejumlah pemikirnya telah dipenjara dan dibunuh. Pikiran yang berbeda dan berseberangan dianggap sebagai bid’ah, zindik, dan bahkan kafir. Ia dipandang sebagai virus dan racun yang membahayakan iman. Ortodoksi dengan demikian adalah sebuah konstruksi akan sebuah ajaran yang dianggap benar dan absah. Ia menjadi sebuah ‘pakem’ yang menentukan batas-batas terjauh sebuah pemikiran keagamaan: mana yang boleh dan mana yang tidak, mana yang dianggap benar dan mana yang salah, dan seterusnya. Singkatnya mana yang “Islam” dan mana yang “bukan Islam”. Di dalam pemikiran kaum sunni, karena itu misalnya kita mengenal istilah kutub al-mu’tabarah dan kutub ghairul mu’tabarah (kitab yang absah dan kitab yang tidak absah), artinya mana yang bisa diambil sebagai landasan dan mana yang tidak, mana yang semestinya dibaca 1 Draft awal Diskusi Publik “Pelarangan Buku: Menutup Jendela Dunia”, Senin 31 Mei 2010, Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta.

16


dan mana yang tidak, mana yang diperkenankan dan mana yang dilarang, dst. Produksi dan reproduksi teks di dalam lingkungan ini tetap berjalan, tetapi ia haruslah dalam batas-batas yang ditentukan dan disepakati di dalam ortodoksi itu sendiri. Pola dan mekanismenya bekerja atas dasar prinsip-prinsip limisitas yang memelihara dan mempertahankan penyempitan makna. Prinsip ini bisa disaksikan dalam apa yang disebut sebagai syarah di dalam khazanah intelektual Islam. Syarah adalah teks yang berisi ulasan atas teks lain. Teks lain ini sendiri bila ditelusuri akan sampai pada teks-teks canon yang telah diakui di lingkungan ortodoksi tersebut. Syarah bisa muncul berlapis-lapis, sehingga ada syarah atas syarah. Peran yang dimainkan tipe-tipe teks sekunder ini sepanjang zaman adalah berupaya mengungkapkan makna atau pun hal-hal yang tersembunyi dari teks-teks primer, namun ia tidak akan melampaui teks-teks primer itu sendiri. Di satu sisi, syarah memberi kesempatan seseorang untuk menggali makna sampai kemungkinan tak terbatas. Tetapi apapun pola hermeneutika yang dipakai, tak dapat tida syarah hanya dapat menyuarakan apa yang terdapat dalam teks primer yang sebenarnya sudah selesai. Karena itu, disadari atau tidak, sirkulasi syarah-syarah ini berfungsi sebagai medium yang menjaga agar batas-batas diskursif pemikiran keagamaan itu tidak keluar dari garis ortodoksi. Kedudukan syarah ini barangkali paralel dengan commentary-nya Michael Foucoult ketika membicarakan episteme dan gugus-gugus diskursif yang membentuk ‘rezim pengetahuan’ di dunia barat. Tentu saja para penganut ortodoksi tidak mau mengakui, menyadari, dan dalam banyak hal memang melupakan proses-proses ‘politik penyingkiran’ yang mengiringi pembentukan ortodoksi ini. Sebagian besar umat yang lebih awam bahkan tidak mengetahui dan memahaminya sama sekali. mereka menganggap ajaran yang disampaikan dan diterima tersebut sudah taken for granted, sebagai satu-satunya ajaran yang benar dari sono-nya, dan kebenarannya terhubung semurninya dengan diajarkan dan disampaikan sejak agama itu diwahyukan. Proses ilmiahnya memang dibentuk dan dikonstruksi untuk hanya meyakini kebenaran ajaran agama sendiri dan mengabaikan suara-suara yang lain. Setiap agama, dan setiap aliran di dalam agama, memiliki ortodoksinya sendiri. Di dalam Islam ada Sunni, Syi’ah, Muktazilah, dan lain sebagainya. Apapun juga, yang tertinggal dari sini adalah mekanisme berpikir yang bersifat biner: salah-benar; lurus-menyimpang; dst. yang diyakini telah ada ‘pakem’-nya. Kebebasan Beragama/Berpendapat vs Pelarangan Buku Sebagian besar kalangan pendukung ortodoksi menganggap konsepsi ajaran mereka sebagai ‘suci, tak tercela’ dan karena itu merupakan ‘kehormatan’. Dengan demikian, jika ada sebuah ajaran yang dianggap menyimpang atau ada pemikiran yang mengkritik bangunan atau salah aspek dari bangunan ortodoksi itu, mereka akan keberatan dan tersingung, sehingga dan bukan tidak mungkin, akan menuntut pemberangusan pemikiran tersebut. Jika pemikiran itu termuat dalam sebuah buku, maka tuntutannya diantaranya pelarangan buku tersebut. Selama ini, buku memang masih menjadi media konvesional penyampaian pemikiran, termasuk yang dianggap ‘heteredoks’, serentak dengan itu juga menjadi ‘bukti’ akan keberadaan heteredoksi itu sendiri. Namun pelarangan buku adalah salah satu aspek saja dari pelanggaran kebebasan berpendapat dan kebebasan beragama. Awalnya kaum ortodoksi ini merasa keberatan dengan pemikiran dalam sebuah buku yang mengkritik ajaran atau menyalahi dogma ortodoksi. mereka menganggap buku itu sebagai menyimpang, merusak, melecehkan, melenceng, dan lain-lain. Mereka mengutarakan hal itu dalam khotbah-khotbah di lingkungan internal dan pada tahap berikutnya juga tampil kemedia-media publik. Mereka menghimbau umat untuk tidak membeli dan membaca buku yang dimaksud. kemudia mereka melapor ke lembaga-lembaga seperti Departemen Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), atau organisasi-organisasi Islam lainnya, dan menuntut untuk melarang buku tersebut. Inilah aspirasi ortodoksi. Sampai di situ, saya kira, apa yang mereka lakukan sangat wajar, dengan alasan dan demi melindungi ‘keimanan’ umat mereka. Pernyataan atas keberatan dan penolakan mereka terhadap buku yang dianggap mengandung ajaran yang salah, keliru, melenceng, dst. harus dipahami sebagai bagian dari kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan beragama. masalah muncul jika mereka memaksakan tuntutan pelarangan itu dengan aksi-aksi kekerasan. Dalam praktiknya, pemerintah bukan saja melakukan pembiaran terhadap aspek-aspek kekerasan ini, tapi bahkan sering memenuhi aspirasi dan tuntutan ini. Melalui perundang-undangan yang mantranya ‘penodaan dan penistaan’ sebuah buku yang dianggap melenceng dan menyimpang lalu dilarang. Tak jarang bah17


kan penulisnya ditangkap dan diadili. Atau pola yang kedua: pemerintah mengambil inisiatif untuk melarang sebuah buku yang dianggap heteredoks ini. Kemungkinan ini kerap terjadi karena keberadaan ortodoksi menjadi penting, kuat, dan terasa ‘menekan’ kalau dianut mayoritas. Politik pemerintah sendiri secara pragmatis sering merasa perlu mengambil hati kalangan mayoritas ini sekaligus mencegah mereka untuk tidak kecewa dan marah. pada ujungnya, dan sebagian besarnya, duduk soal terletak pada kedudukan pemerintah juga. Aspirasi ortodoksi adalah sah dan menurut saya menjadi bagian dari kebebasan beragama. Namun kritik seorang cendikiawan/penulis atau pandangan suatu komunitas keagamaan juga memiliki haknya untuk hidup, sebagai bagian dari kebebasan beragama atau kebebasan berpendapat. Dapatkah pemerintah menyeimbangkan dua tuntutan yang saling berlawanan ini?

18


PELARANGAN BUKU ERA REFORMASI: RUTINITAS ATAWA PRAKTIK OTORITARIANISME LUNAK? Rumekso Setyadi1 Kisah tentang pelarangan buku pada masa reformasi ini memang berbeda bila dibandingkan dengan rezim sebelumnya. Pembedanya adalah pada soal “kehebohan” dan pada soal ritus-ritus kekuasaan serta reaksireaksi perlawanan yang mengikutinya. Semasa rezim Suharto pelarangan-pelarangan terhadap apapun yang menjadi hak berekspresi dan mengemukakan pendapat dalam berbagai bentuk, baik itu berupa media cetakan, ekspresi seni seperti teater, film bahkan konser musik menjadi sesuatu yang “menghebohkan” dengan menjadi berita-berita yang bertabur di media, diawali dengan “ritual” sang pemegang otoritas menyiarkannya di depan para pemburu berita. Kisah dari reaksi perlawanan dari kebijakan rezim juga menjadi kisah yang heroik dan romantis. Kalau buku yang dilarang, maka segeralah beredar di jaringan-jaringan bawah tanah sebagai distributor paling kreatif sepanjang jaman. Mesin fotokopi dan stensil menjadi piranti yang menjadi menjadi daya dukung paling operatif. Orang-orang yang bekerja sebagai jejaring bawah tanah maupun para pembaca yang “berjuang” untuk mendapatkan karya dari seseorang yang dilarang, mengalami ketegangan sensasional yang mungkin itu tidak bisa didapatkan lagi sepanjang kehidupannya. Bahkan proses membaca buku terlarang adalah pengalaman terlibat sebagai bagian dari aksi “perlawanan”, sehingga tidak heran apabila proses literasi terhadap buku-buku yang dilarang menjadi berbeda bila dibandingkan dengan membaca sebuah buku yang demikian “mudah” di dapatkan di toko-toko buku ataupun di perpustakaan-perpustakaan. Demikian halnya apabila yang dilarang itu adalah ekspresi seni seperti teater atau musik, maka segala hal yang berhubungan dengan produk sang tokoh seperti kumpulan puisi, naskah drama, kaset bahkan posterposternya menjadi buruan bagi para penikmat dan penggemarnya. Poster-poster diri yang ditempel pada sudut-sudut dinding kamar pribadi maupun kamar kos adalah bagian dari pengalaman terlibat pemihakan kepada sang empunya karya, sesekali apabila pentas si empu karya diperbolehkan oleh pemilik otoritas kekuasaan maka tidak menyisakan sedikitpun ruang kosong alias penuh gegap gempita dan mengharu biru, penuhnya pentas-pentas Rendra dan Iwan Fals adalah salah satu kisah dari reaksi-reaksi perlawanan di masa rezim Orde Baru. Atmosfir seperti inilah yang kemudian hilang ketika pergantian Orde, dan memang dalam catatan Tim Advokasi Tolak Pelarangan Buku sejak Reformasi Mei 1998 sampai 2005, otoritas pelarang buku, Kejaksaan Agung, tidak pernah melakukan pelarangan buku2 dan juga tidak mencabut Keputusan Kejaksaan Agung sewaktu Orde Baru yang melarang peredaran buku-buku. Sementara, buku-buku yang dilarang sewaktu Orde Baru sudah bisa dinikmati oleh para pembacanya secara bebas di toko-toko buku bahkan di perpustakaan-perpustakaan sekolah maupun umum. Baru kemudian pada 5 Maret 2007 Kejaksaan Agung melarang 22 buku pelajaran sejarah sekolah dari 11 penerbit dengan alasan3 : “ bahwa barang cetakan/buku-buku teks pelajaran Sejarah SMP/MTs dan SMA/MA/SMK yang mengacu pada “Kurikulum 2004” tidak sepenuhnya mencatat fakta kebenaran sejarah bangsa Indonesia antara lain Peristiwa Pemberontakan PKI Madiun Tahun 1948 dan Peristiwa Pemberontakan PKI Tahun 1965 hanya memuat keterlibatan G.30.S tanpa menyebut keterlibatan PKI, hal tersebut merupakan pemutarbalikan fakta sejarah sehingga dapat menimbulkan kerawanan, terutama dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa”. Disusul dengan keputusan pelarangan buku pada 22 Desember 2009, dimana Kejaksaan Agung melarang buku karya John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal; Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Buku karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, Lekra tak Membakar Buku; Suara Senyap Lembar Kebudayaan, Harian Rakjat 1950-1965. Buku Karya Socratez Sofyan Yoman, Suara Gereja Bagi Umat Tertindas Penderitaan, Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat harus Diakhiri. Buku karya Darmawan, MM, Enam Jalan Menuju Tuhan. Buku karya Drs. Syahrudin Ahmad, Mengungkap Misteri Ke1 Manager Program di Perhimpunan Syarikat Indonesia, Yogyakarta. Sebagai pengantar “Diskusi Publik Pelarangan Buku; Menutup Jendela Dunia”, diselenggarakan oleh Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (Elsam) dan Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta, 31 Mei 2010. 2 Tim Advokasi Tolak Pelarangan Buku, Naskah Uji Materi Pengamanan Barang Cetakan, Jakarta, 23 Februari 2010 3 Asvi Warman Adam, “Kasus Pelarangan Buku Pelajaran Sejarah 2007”, makalah yang disampaikan dalam konferensi Internasional Historiografi Indonesia: di antara Historiografi Nasional dan Alternatif, diselenggarkan oleh Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM dan Australia Research Council, Hotel Yogya Plaza, Yogyakarta, 2-4 Juli 2007

19


beragaman Agama. Dalam kasus pelarangan buku-buku pada masa reformasi ini dasar yang dipakai adalah sama dengan rezim orde baru yaitu bersumber pada UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Tetapi kehebohan dari ritus dan reaksinya berbeda ketika jaman rezim Soeharto. Tentu kalau kita menggunakan logika yang simetris pada rezim kali ini dengan presiden yang bergelar akademis seorang doctor tidak seharusnya melakukan kebijakan-kebijakan yang berlawanan sebagai seorang akademia yang meletakkan ilmu pengetahuan sebagai kebijaksanaan tertinggi. Ataukah justru ini sebagai justifikasi bagi carut marutnya dunia akademis kita? Atau juga rezim ini “belajar” dari awal reformasi, dimana kelompok atau pihak yang terganggu “kebenaran subyektif ”nya menyeponsori sweeping-sweeping yang dilakukan kelompok para militer ke toko-toko buku, sehingga daripada kelompok tertentu yang berbuat maka aparat negara yang memulainya lebih dahulu? Secara nature melihat judul-judul buku yang dilarang semasa rezim SBY ini sebenarnya tidak beranjak jauh dari watak negara Orde Baru, yaitu tentang integrasi yang dimaknai sebagai nasionalisme kaku, tentang anti komunis yang dimaknai sebagai pelanggengan warisan stigmatisasi, dan tentang keyakinan dalam beragama yang dimaknai sebagai harmonisasi terkontrol. Menjadi pertanyaan buat kita semua adalah, kenapa kalau dahulu peristiwa seperti ini menjadi penting dan “heboh”, tetapi saat ini seperti menjadi suatu keseharian yang biasa? Seperti halnya kita mendengar berita orang tewas minum oplosan atau mati karena ledakan tabung gas yang muncul dalam berita-berita? Hampir-hampir berita tentang pelarangan buku-buku ini terselip di antara berita-berita “besar” lainnya, tentang hiruk pikuk segala hal yang seolah-olah menjadi prioritas negara, yaitu korupsi. Seingat saya tidak ada “ritus” negara ketika pelarangan itu terjadi, kalaupun ada menjadi kolom kecil di surat kabar atau menjadi running text di televisi. Walaupun pernah satu ketika muncul di acara talkshow paling laris Kick Andy tetapi tidak begitu membuat banyak orang merasa bahwa ini adalah sesuatu yang penting, sesuatu yang mengancam hak-hak kita untuk berekspresi, berpendapat dan mendapatkan informasi. Justru sedikit perhatian tertuju ketika “kamar sebelah”, Undang-undang PNPS tentang Pencegahan, Penyalahgunaan dan Penodaan Agama diajukan untuk judicial review ke Mahkamah Konstitusi, hasilnya juga sudah kita ketahui bersama, tetap melanggengkan harmoni yang terkontrol oleh negara. Pertanyaan lain yang perlu kita renungkan bersama adalah kenapa rezim ini mengeluarkan kebijakan yang tidak popular dan cenderung mubadzir dengan melarang kembali buku-buku, seperti halnya Orde Baru? Saya kira rezim ini sangat paham dan belajar dari rejim pendahulunya, bahwa melarang buku adalah tindakan yang tidak efektif. Kalaupun mau sebenarnya rezim ini bisa melakukan proses selanjutnya setelah pelarangan, yaitu menangkap barangsiapa yang masih mengedarkan buku-buku yang dilarang, seperti halnya dulu Orde Baru menangkap para pengedar buku. Tetapi kalau sekarang kita pergi ke toko buku, beberapa buku yang dilarang itu toh masih mudah ditemukan dan diperjualbelikan. Di samping juga jenis media yang beragam saat ini, bisa memungkinkan penerbitan buku dan distribusinya tidak lagi konvensional, teknologi merubah bentuk buku menjadi bentuk digital e-book yang dapat diunduh oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Jadi apakah ini hanya sekedar keputusan yang rutin untuk menjaga state national project warisan Orde Baru tentang aspirasi Nasionalisme, Anti Komunis dan Harmonisasi Beragama dan Berkeyakinan? Atau justru dari kasus pelarangan buku yang terjadi saat ini bisa memberi jawab tentang watak rezim yang berkuasa? Membaca ini semua saya teringat dan mengamini analisis awal Cornelys Lay4, bahwa rezim saat ini sedang mengkonsolidasi diri dan bekerja dengan metode stick and carrot. Hanya saja menggunakan pendekatan yang berbeda dengan rezim sebelumnya. Kalau dulu melarang buku dan menggunakan pendekatan coercive, sekarang melarang buku tetapi tidak menggunakan pendekatan coercive tetapi justru membuka ruang demokrasi prosedural, seperti mempersilahkan yang dirugikan untuk mengajukan judicial review melalui Mahkamah Konstitusi. Hasil akhir dari keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat mengikat inilah, yang nantinya menjadi dalih kepada orang-orang yang berlawanan untuk “taat” dan “patuh” dengan mekanisme demokrasi. Cara kerja seperti inilah yang menurut Cornelys Lay, menjadi watak rezim yang saat ini sedang mengkonsolidasikan diri menjadi rezim otoritarianisme lunak. Jadi penyikapan kita tidak hanya soal bagaimana melawan pelarangan buku ini. Tetapi lebih jauh dari itu bagaimana seharusnya kita melakukan penyikapan terhadap rezim yang tengah berkonsolidasi ini? Jika tidak, kita akan menemui jalan yang sama seperti halnya Undang-undang PNPS tentang Penodaan Agama kemarin. 4 Cornelys Lay, Konsolidasi Rezim, Kompas, 23 Februari 2010.

20


Transkripsi Diskusi Publik “Pelarangan Buku: Menutup Jendela Dunia” Senin, 31 Mei 2010 Sesi I Narasumber: Melani Budianta (Dosen FIB-UI), Eko Prasetyo (Resist Book) Hairus Salim (LKIS), Stanley Adi Prasetyo (Komnas HAM). Moderator: Th. Erlijn Moderator: Melani Budianta akan bicara tentang pelarangan buku dan kaitannya dengan dunia akademis. Eko Prasetyo akan bicara tentang pelarangan buku yang terjadi pada umumnya di Indonesia, dan pelarangan buku yang terjadi di Jogja. Hairus Salim akan bicara mengenai pelarangan sejumlah buku yang bertemakan agama. Juga mengaitkannya dengan gagalnya penolakan MK atas permohonan uji materi UU Penodaan agama tahun lalu. Stanley akan bicara mengenai kebebasan berpendapat dan HAM Melani: Hakikat seorang ilmuwan. Adalah dia harus mengembangkan pengetahuannya sendiri dengan membaca sebanyak mungkin. Pengetahuan itu harus dibangun dari hulu (materi dasar) sampai kajian-kajian yang dilakukan dalam bidangnya (hilir). Intelektual bekerja dengan mengembangkan itu terus menerus, mengembangkan dirinya, dan bisa menempatkan dirinya, tahu dimana posisinya. Semuanya dibangun dengan model argumentasi yang selalu akan terbatas dan selalu “ada salahnya dan ada kurangnya.” Karena pengetahuan sifatnya selalu mencari yang baru dan dengan demikian akan terus mempunyai kekurangan. Nah, apa jadinya jika seseorang yang pekerjaannya seperti itu dibatasi tidak boleh membaca, dan hanya boleh membaca buku A-B-C saja. Kalau dia dibatasi bagaimana dia bisa menjadi ilmuwan dan intelektual yang sejati. Kalau kita bicara kompetisi, maka ilmuwan macam apa yang nantinya akan kita hasilkan? Pengetahuan yang dipasung-pasung akan melahirkan “jago kandang.” Saya pernah belajar di AS, waktu itu ada pelarangan buku Pramoedya Ananta Toer (PAT) di Indonesia. Waktu di AS ada kuliah yang memakai buku PAT sebagai literatur. Ada satu mahasiswa Indonesia dalam kuliah itu. Tapi mahasiswa Indonesia itu memegang buku PAT saja tidak berani, padahal dialah orang yang seharusnya dengan lincah membahas buku tersebut. Buku John Roosa sudah diberi award oleh “mitra besar” (penyaring mutu), kalau buku macam itu saja dilarang, bagaiamana nasib mahasiswa di Indonesia. Saya ini pengajar. Saya merasa bahwa semua yang diberangus itu adalah state of the art ilmuwan. Saya bicara tentang “ketahanan” yang sering dibicarakan pemerintah sebagai rambu-rambu dalam urusan pelarangan buku ini. Justru pelarangan-pelarangan seperti ini bertentangan dengan prinsip “ketahanan” itu sendiri menurut saya. Karena untuk jadi ilmuwan tangguh, seseorang perlu mengetahui banyak hal macammacam prinsip yang mungkin tidak disetujui dirinya sendiri atau tidak cocok dengan ideologi politiknya sendiri. Saya pernah mengajar tentang teater absurd pada tahun ‘85. Waktu itu masa getol pelaksanaan Penataran P4 jaman Orde Baru. Ada mahasiswa tamu yang datang ke kuliah saya, katanya: saya pengen dengar kuliah ibu. Mahasiswa itu membacakan ayat suci dan mengutip sila pertama Pancasila waktu kuliah tersebut. Saya kemudian menjelaskan bahwa saya bicara tentang teater absurd ini bukan untuk didakwahkan tetapi sebagai ilmu pengetahuan. Satu kata yang saya kutip dari Sartre dalam kuliah itu (god is dead ), membuat mahasiswa tersebut terusik. Mahasiswa tersebut mengaku sebagai anti komunis. Jadi saya pikir sensor itu kok sering datang bukan dari pemerintah atau negara tapi malah dari mahasiswa saya sendiri. Membaca dengan kritis adalah sarana ketahanan intelektual yang sangat penting untuk menguji ketahanan mental. Sekarang ini ada usaha membatasi pengetahuan untuk menciptakan kondisi “aman.” Padahal sesungguhnya kondisi “aman” tanpa kekerasan hanya bisa tercapai jika sesorang terbiasa melatih diri berargumentasi. Kasus-kasus kekerasan terjadi karena orang tidak punya ketahanan mental dan tidak terbiasa berargumentasi dengan sehat. Kedua penjelasan saya sebelumnya tersebut mengakibatkan menurunnya kwalitas manusia Indonesia. Eko Prasetyo: Tahun ‘99 adalah masuknya masa reformasi yang ditandai dengan iklim kebebasan dan munculnya banyak 21


penerbitan. Waktu itu saya masih di Insist Press. Satu saat ada buku Lenin “What Is to be Done?” dan “PKI Korban Perang Dingin: Sejarah Peristiwa Madiun 1948” Tak beberapa lama saya didatangi Front Anti Komunis (FAKI). Orang-orang FAKI ini ternyata murid saya dulu di pesantren dan manggil saya ustad. Tahun 2002 semua buku kiri ditarik oleh Kapolda Jogja. Ini memperlihatkan betapa sulitnya tindakan seorang polisi untuk menyisir buku-buku apalagi buku kiri. Bayangkan saja karena dia harus membaca terlebih dulu semua buku-buku itu. Pelarangan buku di Jogja muncul karena publikasi intens buku-buku kiri sekaligus juga karena intensnya eksistensi kelompok-kelompok anti komunis. Front-front anti komunis itu tidak hanya melakukan sweeping tapi berinsiatif sendiri untuk datang ke diskusi2 buku bertajuk kiri. Itu terjadi di Universitas Muhamadiyah tahun... Tindakan kekerasan yang terjadi di Universitas Muahamadiyah yang dilakukan oleh FAKI tersebut bisa terjadi karena ruang yang diperlonggar oleh kampus memungkinkan kelompok-kelompok itu untuk hadir dan melakukan kekerasan. Pada satu masa sejumlah penerbit kemudian mengisolasi, tidak menerbitkan buku-buku kiri itu atau mengedarkannya secara klandenstin. Bentuk-bentuk pelarangan buku bisa kita lihat tidak semata-mata dilakukan oleh Kejaksaan tapi juga justru oleh masyarakat sipil. Pelarangan buku adalah simbol yang cerdik atas kebesaran kekuasaan. Seolah dia adalah bagian intelektual tentang mana yang benar dan mana yang salah. Dan juga melarang buku nggak ada resikonya. Ini juga upaya sistematis untuk memasung penerbitan-penerbitan alternatif tentang buku-buku perlawanan. Ada semacam kultur penerbitan buku-buku kiri di Jogja. Dulu laku sekali, tapi setelah pelarangan-pelarangan ini banyak penerbit alternatif yang berpindah orientasi pasar. Resist book masih berusaha konsisten penerbitan buku-buku alternatif. Sesungguhnya kita tidak punya pembaca-pembaca buku yang menikmati sebuah karya buku dengan pembacaan secara ideologis. Pameran buku islami yang sering diadakan itu isinya cuma jilbab dan madu. Saya lebih sering beli madu di pameran buku islami. Kenapa saya katakan pembaca buku Indonesia menikmati buku secara tidak ideologis. Ada cerita, saya pernah mengisi ospek fakultas teknik UGM. Sekarang yang mengisi pidato ospek itu staf-staf kementrian. Waktu itu yang pidato staf ahli menpora. Staf ahli menpora tersebut bertanya pada mahasiswa: siapa musuh mahasiswa? Jawaban yang betul betul menurut dia adalah: syaitan! Ini buktinya bahwa kita sulit untuk bisa berharap adanya budaya intelektual yang baik di kampus. Pelarangan kadang-kadang jadi propaganda yang penting. Ketika penerbit dilarang terjadi komersialisasi buku. Tapi kemudian juga banyak muncul komunitas-komunitas buku yang berupaya melawan toko-toko buku/penerbit-penerbit besar. Banyak kemudian diselenggarakan diskusi-diskusi intens yang mempertemukan antara penulis dangan pembacanya. Juga banyak anak muda yang muncul dan menelurkan gagasan2 alternatif. Guru-guru sejarah juga mulai berpikir mengenai workshop buku-buku sejarah alternatif. Forum Guru Indenpenden, mereka bikin buku tentang pengalaman mereka membocorkan UN yang kontroversial kepada muridnya supaya murid-muridnya lulus. Moderator: Eko Prasetyo bicara soal sensor buku oleh kelompok-kelompok sipil, tidak hanya oleh kejakasaan agung. Kita berhadapan juga dengan ketakutan yang dihidupkan oleh masyarakat sendiri. Eko juga sampaikan tentang kultur penerbitan buku kiri dan buku sejarah. Hairus: Saya akan bicara tentang pelarangan buku yang berkaitan dengan agama. Karena banyak buku-buku yang dilarang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan agama. MUI, Depag dan ormas-ormas Islam berperan besar dalam pelarangan buku baik pelarangan buku oleh negara maupun secara internal. Dari segi Islam ini agak paradoks karena Islam pada hakekatnya sangat menghormati bacaan. Wahyu pertamanya saja “iqra: bacalah!” Peradaban Islam adalah peradaban teks. Pelarangan buku adalah pelarangan pemikiran. Pelarangan pemikiran di kalangan agama harus kita telusuri dari sejak lahirnya ortodoksi. Mungkin seringkali tidak disadari bahwa pelarangan buku sudah terjadi sejak jaman ortodoksi terbentuk. Pada waktu itu penafsiran yang berbeda dianggap berbahaya karena itu perlu dibangun satu ortodoksi dari perbedaan-perbedaan penafsiran itu. Ortodoksi pertama adalah kelahiran kitab Quran itu sendiri. Pada jaman Usman-lah kitab Quran itu dijadikan buku. Pada pertama kali dibukukan itu banyak surat-surat bercecer yang dipilih. Pada pemilihan tersebut kemudian ada banyak ayat yang tersisih. 22


Ortodoksi pertama terjadi ketika dalam Islam, Hadis dipakai sebagai sumber kedua setelah Quran, sampai kira-kira 100 tahunan pertama berlangsungnya mazhab pembela Sunnah. Itu dibangun oleh Imam Syafi’i. Sebelumnya orang di Irak masih bersandar pada akal dan nalar setelah Quran. Ortodoksi menentukan mana yang boleh dibaca mana yang tidak. Produksi dan reporduksi teks masih berlangsung untuk memapankan ortodoksi itu. Ada tradisi syarah/ulasan. Syarah ini adalah ulasan atas ulasan atau commentary terhadap kisah. Tapi banyak orang sering tidak menganggap atau tidak sadar akan ortodoksi itu. Ortodoksi diterima secara take it for granted. Ini menyebabkan sekali ada satu tulisan yang melampaui ortodoksi itu, pasti akan mendapat perlawanan dari kelompok-kelompok fundamentalis. Ortodoksi dianggap sebagai suci, sehingga tidak bisa dikritik. Saya kira fenomena ini akan berlangsung terus menerus. Jangan bermimpi situasi ini akan berhenti. Bila buku-buku tafsir seperti itu muncul, pasti orang-orang Islam tersebut akan protes. Mereka punya hak untuk tersinggung, tapi cukup sampai di situ. Mereka menuntut pelarangan buku juga hak mereka. Tidak perlu sampai pada kekerasan. Yang kedua pemerintah selalu memenuhi tuntutan itu atas dasar peraturan PNPS No 1/1965 tentang penistaan agama. Ini aneh, karena undang-undang yang dipakai adalah undang-undang yang katanya menjaga kehormatan beragama. UU seperti itu seharusnya melindungi minoritas, bukan malah melindungi mayoritas. Poin saya: sampai kapanpun atas dasar ortodoksi, kekecewaan terhadap pelarangan-pelarangan buku yang berkaitan tentang agama akan terus berlangsung. Ortodoksi seringkali tidak disadari. Stanley Adi Prasetyo: Saya pernah hidup di Salatiga 10 tahun, dan 10 tahun di Jakarta. Seluruh buku yang pernah dilarang itu saya baca. Ada satu buku David Jenkins tentang sejarah rezim militer Indonesia yang baru-baru ini diterbitkan lagi; adalah salah satu buku yang saya baca. Saya membacanya lagi, 3 minggu setelah itu saya memeriksa Sudomo. Waktu saya mahasiswa saya selalu mengamati, pada bulan-bulan Juli sering ditemukan benda ajaib; permen bris gambarnya palu arit (di Ambarawa), seragam darah mengalir yang ada tulisannya PRD, pernah pula ditemukan sampul kaset Atik CB yang pake anting gambar palu arit. Benda-benda tersebut ditemukan di Jawa Tengah. Beberapa waktu kemudian Angkatan 66 akan muncul mengingatkan tentang bahaya laten PKI. Terus kita disuruh nonton film “Pengkhianatan G30S/PKI.” Ya itu semua histeria yang dibuat oleh intelejen. Keberadaan ekstrim tengah saat itu seperti Romo Mangun dan Kuntowijoyo sangat penting sebagai intelektual yang membangun. Teater, film disensor, dunia akademis dikontrol. Perlarangan juga bukan soal isinya, seringkali terhadap penulisnya, apapun tulisan yang dia tulis. Seperti yang terjadi pada para eks tapol, Pramoedya Ananta Toer. Kita tahu sejak tahun ‘98 melalui TAP MPR Nomor XVII Tahun 1998 Indonesia berketetapan untuk mengakhiri otoritarianisme, menjunjung tinggi HAM dan demokrasi. Kalo kita lihat 12 tahun masa reformasi ini, sudah ada banyak kovenan-kovenan dan peraturan internasional yang diratifikasi, tapi kelemahannya itu semua hanya jadi pajangan. Negara kita jadi anggota komisi HAM PBB tapi tidak ada pengaruhnya. Komnas HAM tahun ‘93 dibuat untuk lipstik oleh Pak Harto. Tapi Komnas HAM setelah masa reformasi beda. Dalam wacana HAM negara punya kewajiban untuk: 1) menghormati (menjamin peraturan yang melindungi HAM masyarakat), 2) melindungi, dan 3) memberikan pemenuhan. Bahkan ketika orang itu sudah dirampas kebebasannya (dipenjara). Pertanyaannya: dimana peran negara. Perlindungan oleh negara tidak optimal. Depag akhirnya mengurusi bagaimana supaya setiap agama punya tempat ibadah. Depag hanya memikir soal kuota haji. Negara absen dalam 3 kewajiban dasar tersebut pada kenyataannya. Kita punya aturan-aturan hukum tersebut tapi kenapa negara menyuruh masyarakat “ikut melempar batu.” Ini yang terjadi pada fenomena qanun jinayah di Aceh. Memang negara boleh membatasai HAM demi: kepentingan moral bangsa, alasan kesehatan masyarakat, ketertiban umum, dan keamanan masayarat. Tapi kalo lihat mekanisme pelarangan buku di Indonesia itu adalah mekanisme ketertiban umum. Pelarangan buku dimungkinkan oleh Clearing House yang terdiri dari 9 institusi dari badan-badan intelejen dan kemananan. Kita tak pernah tahu apa kompetensi ke-9 orang itu karena mekanisme pelarangan buku tidak pernah dibuka untuk publik. Padahal kita harus merujuk siracusa principle kalau bicara soal ketertiban umum. Dalam mekanisme Clearing House, cek n balance tidak dipenuhi asas-asasnya. Ini terbukti waktu beberapa waktu terakhir ini Komnas HAM membuat kajian tentang Clear23


ing House. Moderator: Stanley mengatakan bahwa pelarangan buku tidak sesuai dengan amanat reformasi dalam yang diwujudkan dalam berbagai produk hukum. Mekanisme pelarangan buku yang tidak transparan menimbulkan kesewenang-wenangan. Maikel: Saya kebetulan sedang berlibur di Jogja, dari Papua. Menurut anda, buku “Pemusnahan Etnis Melanesia” itu kenapa kok sampai dilarang beredar? Apa yang salah? Terus tentang Keputusan MRP Nomor 14 Tahun 2009 tentang Kebijakan Khusus, itu apa yang sesungguhnya dipersoalkan. Apa keputusan tersebut melanggar deklarasi universal HAM? Itu kan membunuh karakter orang Papua. Fx Ngadiyo: Saya tukang becak. Pelarangan buku sudah sering terjadi sejak abad 12 sejak Syeh Siti Jenar. Negara itu isinya ada 3 macam, politik, ekonomi, budaya. Buku itu masuk dalam politik dan budaya. Terus di Indonesia juga ada salah kaprah melacurkan budaya. Menurut saya, hapus peraturan hukum yang tidak sesuai dengan UUD ‘45 dan filsafat Pancasila. Subhan: Saya pustakawan. Saya waktu mengikuti tentang acara anti pelarangan buku ini, saya meliat jebakan: “ini melanggar/melecehkan akal sehat” Seolah-olah di sini ada bias kelas menengah. Pelarangan buku kemudian jadi pengetahuan yang dimiliki oleh kelas menengah yang menikmati privilege buku saja. Ini mebuat ada jarak antara kampanye seperti ini dengan masyarakat pada umumnya. Yang bisa menjadi penengah menurut saya adalah perpustakaan umum. Peran perpustakaan umum menjadi penting karena mendekatkan isu ini dengan masyarakat umum. Perpustakaan umum harus menyediakan buku-buku dari semua spektrum dan macam-macam pandangan. Stanley: Menurut saya tulisan-tulisan dari Papua tidak layak dilarang karena itu adalah sejarah yang hidup di sana. Saya mengkaji masa DOM di Papua. Saya masuk sampai ke pelosok-pelosok dan ditunjukkan kuburankuburan masal, masuk ke tempat-tempat yang sempat dibom. Apa yang ditulis yang kemudian dilarang itu tidak ada apa-apanya dengan temuan kajian kami itu. Indonesia harus mengakui penindasan luar biasa yang terjadi pada masyarakat Papua. Sekarang ini Balitbang MenHukHam, mengkaji 6 buku untuk kemungkinan dilarang. Itu semua buku-buku tentang Papua. Menurut saya Keputusan MRP tersebut tidak berlawanan dengan Deklarasi HAM. Karena ini adalah salah satu bentuk afirmative action (untuk memberdayakan orang-orang yang tertinggal; dengan catatan kebijakan ini tidak diberlakukan seterusnya). Karena tentu saja orang Papua akan kalah kalo dipertentangkan dengan para pendatang. Maka keputusan MRP itu tidak menyalahi aturan HAM. Soal perpustakaan umum saya setuju. Tetapi bagaimana kalo perpustakaan umum bukunya juga dikontrol? Hairus: Di belakang perpustakaan UIN itu dulu banyak beredar buku-buku Pram, tapi hanya berumur 2 minggu. Bagaiamana perpustakaan menyeleksi mana buku yang boleh dan yang tidak ini juga perlu kita lihat. Pelarangan sebagian dari buku (tidak seluruh isi buku) pun juga berbahaya. LB Moerdani pernah diisukan tidak jadi mengganti Suharto karena Katolik. Frans Parera menerbitkan ulang buku biografi LB Moerdani yang tidak mengikutsertakan 1 alinea yang bercerita tentang kenapa dia “dibuang” oleh Pak Harto. Jadi ceritanya (menurut Beni), suatu kali Pak Beni dan Pak Harto sedang santai. Karena merasa cukup akrab dengan Pak Harto, LB Moerdani tiba-tiba melontarkan pernyataan: “Mas mbok anak sampeyan dijaga.” Sejak saat itu LB Moerdani tersingkir. Ini adalah contoh dari dampak satu informasi yang hilang (sensor buku) yang menyebabkan salah pemahaman tentang kehadiran satu buku di masyarakat Melani: Kita harus meluaskan cara kita untuk melakukan kampanye anti pelarangan buku ini memang. Karena intelektual itu tidak terbatas hanya di perguruan tinggi atau di dunia akademis. Tapi justru ada banyak di masyarakat. Seperti Pak Ngadiyo tadi yang menganggap bahwa departemen kebudayaan melacurkan diri melalui pariwisata. Masih banyak intelektual yang ada di masyarakat seperti Pak Ngadiyo yang perlu kita 24


jangkau. Tentu saja perpustakaan umum sangat penting. Eko: Budaya melarang adalah budaya dimana-mana. Kalau dihitung di kampus UGM itu banyak peringatan dilarang dimana-mana. Pengamen, pemulung dilarang masuk, dsb. Toko buku “shoping” itu dulu jadi satu dengan pasar buah. Itu penempatan yang sudah ideal. Sekarang ini “shoping” ditertibkan di kios-kios yang malah jadi sepi. Listrik harus bayar mahal. Penjaga kiosnya saja kalau mau kencing di WC harus bayar. Yang dikampanyekan justru Taman Pintar yang berada di sebelah selatan “shoping centre”. Yang kalau mau menikmati semuanya harus bayar. Padahal harus masuk “shopping centre” dulu supaya pintar. Dari sini bisa kita lihat bagaimana pemerintah nggak punya niat memuliakan buku; justru di kota pelajar ini. Soal perpustakaan, penting juga melihat bagaimana menghidupkan perpustakaan komunitas. Itu yang penting. Penerbitan buku kalo didukung penuh oleh masyarakat bisa jadi satu bentuk lapisan intelektual yang baik. Stanley: Saya sempat tanya kenapa Beni Moerdani nggak percaya sama wartawan. Kata Julius Pour, sekitar tahun ‘86 Beni sarungan santai pakai kaos swan kacamata baca dan sedang membaca buku tentang ekonomi asia karangan Gunnar Myrdal. Kemudian Harmoko yang sedang mampir di tempat di rumah Beni melihat dari jauh Pak Beni sedang baca buku, dan kemudian komentar. “Wah saya nggak bayangkan Pak Beni yang begitu sibuk begini dengan urusan intelejen masih sempat membaca buku drama (karena judul bukunya Asian Drama).” Sejak itu Beni tidak percaya pada wartawan karena ketua PWInya saja nggak ngerti buku. Ini memperlihatkan juga bahwa bacaan tidak populer bagi pejabat kita.

Sesi II Narasumber: Yohanes B. Wibawa (I Work), Primanto Nugroho (Arsiparis), Tita Rubi (Seniman), Rumekso Setyadi (Syarikat Indonesia). Moderator: Alit Ambara Yohanes B. Wibawa: Tidak klop antara latar belakang-kompetensi saya dengan tema diskusi, tapi dalam gerakan sosial ada banyak titik temu. Asal-usul kemerdekaan berpikir dan berpendapat harus dilindungi negara adalah karena secara alamiah manusia satu-satunya yang mampu memproduksi pertanyaan sebagai bagian dari kerja berpikir. Tidak ada satu otoritas pun yang punya hak untuk melarang orang berpikir dan berpendapat. Kerja berpikir diperlukan untuk menjawab persoalan-persoalan hidup manusia. Daya pikir manusia adalah potensi yang tidak terbatas sehingga kerap kali sampai pada titik yang sebetulnya begitu tinggi sehingga potensial menciptakan ketegangan pada konteks dan zaman tertentu. Hal yang paling dekat dengan pikiran adalah tulisan/buku, sehingga yang paling sering dihancurkan otoritas adalah tulisan/buku itu. Tapi tak jarang juga otoritas melikuidasi penghasil pikiran/buku/tulisan itu. Merunut sejarah pelarangan buku dalam dokumen gereja Katholik, pada 1557, Paus mengeluarkan daftar buku-buku yang dilarang karena dianggap dapat menghancurkan iman umat. Akan tetapi yang lebih mengerikan adalah penghancuran perpustakaan di Baghdad ketika AS menginvasi Irak. Hal serupa pernah terjadi di masa lalu. Ini adalah contoh kasus penghancuran peradaban oleh perang dan penindasan. Pelarangan buku sejak masa Orde Lama sampai sekarang terutama, dan tidak berubah, ditujukan pada buku-buku yang menyampaikan sejarah yang berbeda dengan versi sejarah resmi. Jadi pertimbangannya sangat politis, bukan soal substansi buku. Pelarangan buku adalah pengkhianatan serius terhadap demokrasi dan HAM. Oleh karena itu, tawaran saya adalah kita harus mendukung upaya-upaya untuk mengadvokasi persoalan pelarangan buku ini, misalnya pencabutan PNPS dan juga Tap MPRS No. XXV/1966 sendiri. Pada masa kini arus informasi sudah lebih mudah sehingga pelarangan buku tidak efektif. Kita punya akses yang lebih luas terhadap berbagai bacaan dan, oleh karenanya, sudah memiliki perspektif yang berbeda terhadap teks-teks yang dilarang itu. Moderator: 25


Melarang buku dan memusnahkannya sama dengan pembantaian dan penghancuran peradaban. Primanto Nugroho: Sesi pertama saya melihat dua poin penting dari Eko Prasetyo dan Hairus Salim. Hairus memberi warna agar diskusi kita tidak tereduksi menjadi persoalan legal-formal saja. Dari Eko saya menggarisbawahi bahwa pelarangan buku tidak hanya datang dari pemerintah, tapi juga dari kelompok-kelompok di masyarakat yang merasa berwenang melarang buku. Selama 10 tahun kerjaan saya tukang kliping dan di sekitar saya banyak mahasiswa yang bingung mau ngapain. Taun 90an saya kerja di Alocita, spesialisasinya sosiologi agama. Kerjaan saya bikin kegiatan macam yang dilakukan teman-teman sekarang ini. Saya melihat acara ini seperti yang dulu saya kerjakan; tahun 90 saya kerjakan ini sekarang teman-teman kerjakan ini lagi. Waktu itu ada konteks perang dingin yang mempengaruhi banyak hal. Sekarang tidak ada lagi perang dingin. Apa yang terjadi? Mungkin konteks global seringkali kita abaikan. Lalu kita ada kecenderungan selalu melihat secara hukum positif, bukan salah, tapi tidak lagi memadai. Sebagai orang awam saya melihat kasus pelarangan buku ini, saya melihat posisi yang kita ambil adalah selalu dari posisi reaktif (tidak datang sendiri dari kita). Dan karena ini kita jadi sering kalah langkah. Tentang ortodoksi keagamaan. Ini relatif jarang disinggung, bahkan orang sering menghindar. Saya akan menambahkan. Inkuisisi, dalam tradisi gereja katholik. Tahun 94, ada paus membuat pernyataan maaf karena dulu menghukum mati Galileo. Lembaga yang dulunya menghukum Galileo kemudian minta maaf abad 20. Pertanyaan, kalo ada unsur keagamaan dan bukan hanya kejaksaan yang kita hadapi, lalu bagaimana kita harus menghadapi? Saya membawa contoh buku. Tahun ‘64 ada buku karya Mangara Parlindungan, 800 halaman. Judulnya Tuanku Rao. Buku ini semacam memoar untuk 2 orang anak Mangara sebenernya, tapi kemudian diterbitkan. Geger. Dia cerita tentang islamisasi di Tapanuli dengan pedang dan darah; tidak hanya pada non-muslim tapi juga orang-orang muslim sebagai cara pemurnian (wahabi). Yang kontra dengan buku itu adalah orang-orang Minangkabau yang dalam buku itu dituduh sebagai pelaku islamisasi. Tahun 74, Hamka mengeluarkan buku tandingan untuk menjawab buku itu, “antara fakta dan khayal.� Persoalan itu diselesaikan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Tahun 2007 buku Parlindungan ini diterbitkan di Jogjakarta oleh Lkis. Cukup rame. Diluncurkan dengan hadirin orang-orang Batak. Yang menarik diskusi tersebut kemudian terpilah jadi 2 kelompok (kelompok yang dituduh membantai dan kelompok yang dianggap menjadi korban). Diskusi dan penyelesaian dilakukan dengan damai, tanpa pertumpahan darah. Basyral Harahap bikin buku Greget Tuanku Rao. Jadi dalam kasus Tuanku Rao ini, masyarakat menyelesaikan masalahnya sendiri. Itu adalah bahan diskusi untuk perlawanan secara non-hukum. Moderator: Primanto menegaskan bahwa soal larang melarang buku ini kita sebaiknya tidak meredusir ke ranah legal formal saja. Titarubi: Saya Titarubi, seniman. Saya terlibat dalam kasus pinkswing park. Itu kasus foto yang dianggap porno. Yang jadi model adalah Isabel Yahya dan Anjasmara. Seni rupa adalah bahasa rupa, bukan bahasa teks. Pelarangan berkaitan dengan kekuasaan politik maupun agama di satu tempat tertentu. Logo-logo lambang nazi, cangkul, palu arit ini simbol yang dianggap ancaman bila banyak digunakan dalam masyarakat. Kita sering melihat gambar-gambar Taring Padi yang dianggap gambar kiri. Gimana sebenernya gambar kiri itu maksudnya? Menurut saya ini tentang persoalan perang visual yang terjadi dalam masyakarat, soal bagaimana cara mereka menarik pasar/pengikut. Jika semakin tanda-tanda itu hadir di masyakarat maka diharapkan semakin banyak pengikut mereka. Karena tidak semua orang mengenal bahasa visual, maka bahasa visual yang paling mudah adalah bahasa sehari-hari. Beberapa karya seni rupa yang dianggap mengancam misalnya karya yang menggambarkan tubuh (mengancam moral). Kasus pinkswing park itu terjadi di galeri bukan di ruang publik. Siapa yang menghantarkan karya itu pada publik? Media tentu saja. Pameran tersebut diserbu oleh FPI dan karya pinkswing park dipaksa diturunkan. Mereka membuat intepretasi sendiri tentang karya tersebut kemudian seniman dan penyelenggara diminta setuju pada pendapat mereka dan harus menandatanganinya. Karya itu diminta diturunkan. Kasus lain, Dadang Kristanto, 2002. Karya tersebut menghadirkan figur telanjang sehingga akan merusak 26


moral anak-anak di sekitar situ tempat karya itu dipasang. Kasus karya Nyoman Nuarta di Bekasi yang diserang FPI. FPI meminta patung itu dirubuhkan. Patung tersebut dianggap tidak sesuai dengan cirikhas kota yang religius. Patung itu sesungguhnya tidak lebih dari bentuk yang ada di depan PI. Dan ini berkaitan dengan kekuasaan, rasa ingin menguasai area tertentu. Aneh juga patung yang dianggap tidak religius itu sama FPI-FPI itu ditulisi “allahuakbar” besar-besar. Karena seniman tidak punya perangkat untuk advokasi, maka posisinya lemah. Dalam ranah seni rupa, jika seniman yang terkena masalah tidak populer di pasar seni rupa, maka ia harus membela dirinya sendiri. Dalam kasus Pink Swing Park, ketika kami meminta surat penghentian penyelidikan karena tidak ada perangkat hukum yang bisa dipakai, kami harus memberikan suap pada tujuh ‘meja’. Yang lebih aneh, FPI malah menawarkan pengacara pada Anjasmara. Soal lain adalah kita selalu reaktif jika menghadapi persoalan-persoalan seperti ini sehingga kita akan selalu lelah. Moderator: Kata kunci yang disinggung Tita berkait dengan buku dan juga dunia seni pada umumnya adalah soal interpretasi. Dalam kasus yang disebut Tita tadi, interpretasi dikuasai oleh kelompok-kelompok sipil bersenjata tajam sehingga interpretasi lain harus mengalah. Rumekso Setyadi (Yoyok): Saya berangkat dari pengalaman pribadi ketika tahun 90an Mas Prim membuat kurang-lebih acara yang mirip seperti ini, tapi setelah 20 tahun berlalu event seperti ini masih harus diselenggarakan lagi. Pertanyaan Mas Prim: apa yang terjadi selama 20 tahun belakangan ini sehingga ketika zaman sudah berbeda hal seperti ini masih harus dilakukan dan kita butuhkan? Saya juga punya pengalaman serupa soal pelarangan buku. Ketika lima buku dilarang pada 2009, itu sangat berbeda dengan apa yang terjadi pada 90an. Perbedaannya terletak pada soal kehebohan, reaksi/penyikapan atas pelarangan, dan pada ritus-ritus negara yang terlibat. Kalau dulu pelarangan buku selalu menjadi kabar yang menghebohkan di media massa, lantas reaksinya kadang heroik dan romantis. Pada 90an, ketika sebuah buku dilarang, maka yang bekerja adalah daya-daya kreatif bagaimana menyikapi pelarangan itu, termasuk bagaimana orang berusaha mendapatkan buku yang dilarang. Bahkan cara membacanya mengalami proses literasi yang sangat berbeda dengan buku-buku yang dilarang. Ada sensasi dalam mendapatkan dan membaca buku-buku yang dilarang. Fotokopi dan stensil menjadi alat utama yang akrab dengan aktivis 90an. Ini berbeda dengan pelarangan buku yang dialami oleh generasi sekarang. Yang juga berbeda, negara saat itu sangat represif, menangkap dan menahan para distributor buku-buku yang dilarang. Pengalaman saat mendapatkan dua dari empat tetralogi Buru yang disampul dengan kertas koran. Membaca buku-buku yang dilarang memberi identitas tersendiri bagi generasi 90an. Generasi saya sekarang tidak merasakan hal-hal seperti itu. Lima buku yang dilarang itu masih mudah didapatkan di toko-toko buku dan perpustakaan. Jadi apa yang terjadi dengan rezim ini? Dalam catatan tim advokasi anti-pelarangan buku ini, semasa reformasi ini ada 22 buku pelajaran sekolah yang ditarik oleh kejagung pada 2007 dan 5 buku lain lagi pada 2009. Kalau melihat jenis atau judul buku yang dilarang oleh rezim reformasi ini, sebenarnya kita bisa melihat korelasi antara rezim sekarang dan sebelumnya, betapapun orde yang sekarang tidak menjiplak persis pola rezim sebelumnya, bahkan lebih pintar. Rezim sebelumnya melarang sekaligus menangkap distributornya. Sedangkan rezim yang sekarang melarang tapi tidak mengambil tindakan lanjutan. Ada beberapa kesamaan antara rezim Orba dan rezim Reformasi: memakai perspektif nasionalisme kaku (buku-buku sejarah dan Papua) dan perspektif keyakinan agama yang kaku. Yang berbeda hanya cara melarangnya. Rezim reformasi bersandar pada demokrasi formal, dengan demikian caranya lebih halus. Dalam kasus uji materi PNPS 4/63 misalnya, kita dipersilakan untuk mengajukan gugatan ke MK. Itu adalah praktek demokrasi formal. Tapi ketika MK, seperti dalam PNPS 1/65 menolak gugatan yang diajukan, maka keputusannya mengikat. Rezim ini jelas belajar dari rezim sebelumnya bahwa melarang buku adalah tindakan yang tidak efektif. Lantas kenapa mereka tetap melakukannya? Apakah ini hanya soal rutinitas untuk menjaga ‘national project’? Saya mengamini tulisan Conny bahwa watak rezim kali ini adalah watak otoritarianisme lunak. Mereka tidak melakukan kontrol ketat seperti Orba, mempersilakan warganegara untuk menggunakan prosedur demokrasi formal, tapi kontrol mereka bekerja melalui ranah hukum yang tidak berpihak pada masyarakat. 27


Yang perlu diingat juga bahwa rezim ini bekerja melalui banyak ruang, diantaranya dengan menciptakan opini publik yang luar biasa. Sampai hari ini, menurut pendapat saya, tidak terasa bahwa pelarangan buku adalah ancaman terhadap kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, dan ini tidak menggerakkan masyarakat untuk berbuat sesuatu. Jadi pertanyaan penutupnya: apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi rezim otoritarianisme lunak ini? Moderator: Narasumber menyampaikan bahwa pelarangan buku ini adalah alarm bahwa kebebasan berekspresi kita sedang terancam oleh rezim demokrasi formal/lunak. Seperti telah disampaikan tadi, ancaman terhadap kebebasan berekspresi tidak hanya terbatas pada kasus pelarangan buku. Ngadiyo: Banyak yang mengatakan Indonesia berdasar UUD 45 dan Pancasila. Mas Yoyok mengatakan bahwa pemerintah sekarang adalah pemerintah otoritarian lunak. UUD 45 maupun Pancasila itu memang bagus kalau dibahas, tapi apa yang baik ini tidak dihiraukan oleh pemerintah. Pemerintah kerap membengkokkan UUD 45 dan Pancasila. UU (4/63) tidak sesuai UUD 45 dan Pancasila, seperti telah saya sebut dalam sesi sebelumnya. Pembelokan terhadap UUD 45 dan Pancasila juga terjadi di bidang pendidikan, pertanian, dll. Saya tidak setuju dengan pernyataan Mas Yoyok bahwa pemerintah sekarang adalah pemerintah otoriter. Kalau Harto diktator militer, kalau sekarang diktator politik karena UUD 45 dan Pancasila hanya untuk topeng. Pemerintah didikte oleh imperialis dan kapitalis dalam mengambil kebijakan. Jadi watak pemerintah sekarang ini adalah pemerintah neokolonialisme dan neokapitalisme. Antariksa: Tadi Prim menunjukkan contoh bagaimana kasus-kasus semacam ini diselesaikan, kalau istilah saya, melalui metode ‘kewargaan’. Juga ada contoh-contoh kasus pelarangan dan pencekalan yang ditangani secara hukum. Lalu Yoyok menyebutkan bahwa memang begini watak rezim saat ini: dibiarkan saja kita menuntut, tapi pada akhirnya kita kalah juga. Lalu apa yang harus kita lakukan? Dalam kasus-kasus yang sekarang kita hadapi, kita tidak punya tempat untuk bicara dan juga tidak punya teman bicara. Bisa gak kita menciptakan satu mimbar diskusi seperti dalam kasus buku tuanku rao tadi dengan kelompok FPI? Tidak bisa karena mereka sudah punya pendapat yang tidak boleh dibantah. Itu kalau pakai jalur kewargaan. Sementara lewat jalur hukum juga kesempatan kita juga kecil karena perangkat hukum maupun penegakkan sama-sama tidak mendukung. Bagaimana saran teman-teman? Satu ilustrasi, misalnya kasus UU hak cipta dan pemanasan global. Ini isu yang sama sekali baru yang sama elitnya dengan soal perbukuan. Tapi, belajar dari kasus UU hak cipta dan pemanasan global, ini cepat sekali direspon karena ada tekanan internasional. Apakah ini juga bisa diterapkan dalam kasus pelarangan buku? Mone: Saya belum menangkap mengapa rezim yang sekarang melakukan banyak pelarangan? Kalau di masa Orba ada isu ekstrem kiri-kanan yang biasanya kemudian disertai dengan pelarangan buku. Kalau presiden sekarang sepertinya lebih banyak bicara tentang ekstrem kanan, tapi yang dilarang ternyata lebih banyak bukubuku kiri. Kenapa rezim sekarang tidak melarang buku-buku yang dikeluarkan oleh ekstrem kanan? Tadi Stanley bilang bahwa di dalam Clearing House lebih banyak intelijen Bais, BIN, Polri, kejagung. Mereka yang sepertinya lebih banyak melarang buku-buku kiri. Dengan demikian saya ragu kalau Yoyok tadi bilang bahwa rezim ini sudah solid. Saya khawatir bahwa persoalan ini justru dipengaruhi lebih oleh demonstrasi di sekitar pemerintahan. Yang kedua, kalau jalan hukum tidak efektif, misnya karena tekanan kekuatan ekstralegal seperti FPI, lantas apa yang harus kita lakukan? Yohanes B. Wibawa: Mulai dari pertanyaan Mone tentang mengapa buku-buku kiri yang dilarang padahal SBY selalu memperi28


ngatkan kita tentang bahaya ekstrem kanan: barangkali karena untuk buku-buku kiri ada dasar legal-formalnya, sementara untuk buku-buku kanan tidak. Saya setuju bahwa rezim yang sekarang sangat terfragmentasi. Justru karena itu, saya duga pelarangan buku ini untuk menunjukkan bahwa rezim ini masih punya kekuasaan. Saya agak berbeda dengan Mas Prim, yang menurut saya harus dilakukan adalah kita harus mengisi kekosongan dalam mekanisme dalam proses hukum saat ini. Faktanya kita tidak selalu punya ruang negosiasi yang demokratis dengan negara dan kelompo-kelompok lain seperti dalam kasus tuanku rao. Karena itu harus ada mekanisme – mungkin masuk dalam delik aduan – untuk membangun mekanisme negosiasi itu. Dalam hal ini saya kira kita harus menghormati hukum sebagai prinsip. Primanto: Saya selalu berpandangan begini bahwa pertanyaan diajukan bukan hanya untuk dijawab, tapi untuk memicu pikiran yang lain. Saya lebih sering menempatkan diri pada posisi kedua ini. Saya sendiri juga sedang mencari jawab. Ini untuk membantu memicu pemikiran kita, kembali kasus Tuanku Rao. Saya datang ke LKIS membawa buku Tuanku Rao terbitan 64. Saya tanya pada anak-anak NU: Kalo saya, sebagai non-NU belajar benar dari alasan NU didirikan, yaitu untuk menghadapi Wahabi. Sekarang bagaimana sikapmu? Ini bukan hal yang besar, tapi ini adalah salah satu hal yang masih bisa kita kerjakan. Seringkali kita terlalu mereaksi hal yang ada di permukaan, tapi tidak melihat apa yang ada di baliknya. Menurut saya, rezim sekarang ini bukan rezim yang solid. Sebaliknya, rezim ini justru sangat rapuh sehingga kerap mengabaikan warganegaranya. Jadi kalau Antariksa bertanya: kita mau apa? Saya terus terang saja tidak tahu. Tapi apa yang saya lihat sejak 80an adalah persoalan yang paling relevan untuk kita tengok adalah kekuatan-kekuatan agama sebagai kekuatan sosial. Kita perlu tengok teologi masing-masing kekuatan agama ini supaya tahu apa bedanya. Kalau kita bicara tentang FPI, FBR, seolah-olah mereka adalah orang-orang yang sama sekali berbeda dengan kita. Padahal mereka itu berasal dari sekolah dengan kurikulum yang sama dengan kita. Jadi mereka ini sepenuhnya pion kok. Yang perlu kita lakukan adalah membaca nalar dibalik perilaku pihak-pihak pelaku kekerasan itu. Gerakan hukum tidak bisa lagi seperti kemarin, berdiri sendiri. Maka kita harus merespon dalam satu paket: ada hukumnya, jalur hukumnya, maupun secara ekonomi-politik. Tapi yang ingin saya tekankan adalah tidak ada cara tunggal untuk menghadapi persoalan pelarangan buku ini. Tita Rubi: Tadi Stanley menyebut tentang upaya Komnas HAM untuk menggugat negara. Karena pelarangan buku dan pelarangan lainya kan terjadi secara sepihak, sehingga tidak ada hak jawab bagi si korban, juga hak gugat. Menurutku itu menarik. Soal tekanan internasional, saya rasa itu sudah dijawab oleh Mone bahwa pemerintah sekarang sedang sangat ditekan tentang teroris dari ekstrem kanan dan itu tidak bekerja/efektif. Jadi tekanan internasional belum tentu bisa bekerja efektif di sini. FPI dll tetap bisa merajalela di tengah tekanan internasional. Jadi menurutku yang bisa kita lakukan adalah menggugat balik. Rumekso: Saya kira diskusi siang ini sudah menemukan konteksnya. Artinya kita tidak hanya bicara tentang pelarangan buku an sich, tapi juga soal mengapa ada pelarangan buku. Diskusi tentang watak rezim ini yang harus kita bicarakan lebih lanjut kalau kita mau bicara tentang kasus-kasus pelarangan. Kita memang tidak bisa memberikan solusi tentang pelarangan buku ini, tapi membaca fenomena saat ini dengan logika asimetris tentang rezim ini yang harus kita lakukan. Kalo logika simetrisnya: rezim ini, yang dipimpin oleh seorang doktor, tidak mungkin melarang buku. Kalau itu terjadi di zaman Orba – bukan saya memaklumi – dibanding dengan pimpinan rezim masa sekarang ... apa yang terjadi? Kalau menjawab pertanyaan Antariksa: kalau melalui mekanisme legal-formal nanti mentok, tapi kalau memakai metode ‘kewargaan’ juga tidak bisa mendapatkan solusi yang efektif kecuali saling berpolemik. Kita hadir di sini memang tidak bisa memberi jawaban pragmatisnya. 29


30


31


PAMERAN - PERTUNJUKAN - BAZAR BUKU & SENI

Amor Pati // Bayu Widodo // Blokade // Cacing MasihSegaris // Dodi Irwandi // Domas Kampret // Fitri DK // Imam Abdilah // Kampreto Pondok Kelir // Killed on Juarez // Kolektif Kerja Keras // Mr. Aidit // Muhamad Yusuf // Nganti Wani // Nol KM // Noise of Terror // PGRI Band // Resist Book // Sierra Maistra // Srigunting // Surya Wirawan // Tawazun // The Jacket // Tugu

32


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.