Majalah liberdade edisi I

Page 1


iklan layanan masyarakat ini dipersembahkan oleh LPG LIBERDADE

Sengketa atas nama tanah mulai berkecamuk. Semua menyuarakan pembangunan bagi kepentingan rakyat Namun, rakyat yang selalu menjadi korban di dalamnya Sejatinya, tanah adalah tahta untuk rakyat Maka, jangan hanya diam kawal, demi kepentingan rakyat


Komisariat GmnI UNY

@GMNIUNY

www.liberdade.com


S ALAM REDAK S I

MERDEKA!!!

K

etika keadilan tidak dapatkan oleh rakyat, malah sebaliknya rakyat dirugikan dengan adanya kebijakan tersebut. Ini membuat mereka tidak menerima, dan mulai bergerak untuk membentuk gerakan rakyat dan mendobrak ketidakadilan tersebut. Hal inilah yang menjadi tema besar dalam majalah Liberdade edisi I, yang membahas mengenai gerakan rakyat. Dalam rubrik Laporan Utama, akan membahas mengenai Gerakan Rakyat menolak pembangunan hotel dan apartemen di Yogyakarta. Bisa dikatakan pemerintah daerah Yogyakarta sedang membuka gerbang selebar-lebarnya bagi investor untuk memasukan investasinya yang salah satunya dalam bentuk hotel dan apartemen. Maka dari itu, bisa dilihat di sudut-sudut Yogyakarta terdapat banyak sekali hotel yang menjulang tinggi ke langit. Kemegahan yang terpancarkan dari bangunan hotel tersebut akan sangat kontras dengan nasib warga sekitarnya yang mendapatkan imbas dari adanya hotel tersebut. Imbas yang paling nyata adalah masalah air. Bagi makhluk hidup , air adalah sumber kehidupan, tanpa air manusia tidak bisa hidup. Air merupakan hal yang utama bagi kelangsungan hidup manusia. Pembangunan hotel sangat berpengaruh pada kualitas dan kuantitas air di sekitar bangunan. Masalah tersebut terjadi lantaran hotel biasanya menggunakan sumber air dalam, sebagai sumber airnya. Walaupun memakai sumber air dalam namun tetap saja berpengaruh dan menyebabkan sumur warga kering. Beberapa faktor tersebut melatarbelakangi warga melakukan gerakan meminta pihak hotel bertanggung jawab atas terjadinya kekeringan di sumur mereka. Aksi nyata menjadi jalan bagi warga yang sudah terkena dampak dari hotel di sekitar lingkungan mereka.

Hal yang sama juga dilakukan oleh warga yang saat ini disekitar lingkungannya baru mau dibuat hotel. Warga khawatir jika hotel berdiri maka mereka akan merasakan kerugian yang amat besar yakni kekeringan. Ibu-ibu yang tiap hari melakukan kegiatan yang berhubungan dengan air, juga ikut dan bahkan bersemangat mengikuti aksi nyata menolak pembangunan hotel tersebut. Lain lagi gerakan yang akan dibahas dalam rubrik teropong, di dalamnya akan dibahas mengenai gerakan rakyat menolak tambang pasir besi. Awal mula dari gerakan ini, adalah adanya keinginan untuk melakukan penambangan pasir besi di pesisir selatan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tentu saja para investor sangat tergiur dengan proyek penambangan pasir besi yang begitu menguntungkan itu. Pemerintah daerah juga kemungkinan besar diuntungkan dengan adanya pasir besi. Namun, yang patut dilihat adalah masyarakat daerah pesisir selatan sudah mandiri dengan tanpa adanya penambangan pasir besi. Mereka dengan bertani saja sudah hidup berkecukupan. Dengan adanya wacana penambangan pasir besi, masyarakat pesisir selatan bersatu untuk menolak penambangan pasir besi, karena sama sekali tidak menguntungkan bagi mereka. Gerakan penolakan dilakukan mulai tahun 2006, dengan membuat Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) sebagai wadah bersatunya para petani pesisir selatan Kulon Progo menolak penambangan pasir besi di daerah mereka. Ini tentu bukan majalah yang bisa dikatakan sempurna. Majalah yang baru edisi pertama terbit dari Lembaga Pers Gerakan (LPG) Liberdade Komisariat Gerakan mahasiswa nasional Indonesia ini, semoga menjadi bacaan yang menarik bagi kalian semua, dan bisa menjadi bahan refleksi tentang gerakan rakyat yang sampai sekarang masih berjuang mencari keadilan di tanah air sendiri.

Lembaga Pers Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Komisariat GmnI UNY. | Penanggung Jawab: Titis Bintoro | Pimpinan RedaksiL: Agil Widiatmoko | Sekretaris: Mirza Ahmad | Redaktur Pelaksana: Anggun Mita T.K | Tim Artistik: Agil, Fahrur | Produksi: Fahrur | Redaktur: Agil, Anggun, Aslam, Candra, Fahrur, Jaka, Mirza, Rama, Titis | Reporter: Agil, Anggun, Bram, Doni, Jaka, Rama. Titis 4

liberdade Edisi i | November 2014


DA F TA R I S I

4. Salam Redaksi 8. Gerakan Menuntut Fave Hotel 12. Stop Pembangunan Apartemen 14. Wawancara Khusus 16. Kampus News 18. Seputar GmnI 21. Potret Kamum Marhaen di Kala Fajar 26. Pendidikan 32. Berjuang Menolak Tambang pasir besi 34. Tanah: Tahta untuk Rakyat 36. Kriminalisasi: Upaya Pembungkaman Gerak Rakyat 38. Resensi 40. Opini 44. Puisi

liberdade Edisi i | November 2014

5



Tim Laporan Utama: Agil Widiatmoko (Koordinator) Anggun Mita T.K Mega Utami


LAPORAN UTAMA

Gerakan Menuntut Fave Hotel

Dok. Istimewa

Oleh: Agil Widiatmoko

- Aksi Tapa Pepe Warga Miliran, yang dilakukan di depan Fave Hotel

M

enjamurnya hotel di wilayah Yogyakarta menjadikan berbagai permasalahan muncul, diantaranya adalah kekeringan yang terjadi di permukiman warga di sekitar hotel. Warga pun akhirnya melakukan tuntutan dengan berbagai cara misalnya dengan melakukan aksi, audiensi, dan melalui surat. Permasalahan yang lain adalah terkait dengan regulasi pembuatan hotel. Menurut Winarta, selaku koordinatator Forum Pengaduan Independen (Forpi) kota Yogyakarta, regulasi untuk pembangunan hotel begitu lemah, sehingga hotel mudah sekali berdiri. Sebagaimana data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), jumlah hotel yang berada di seluruh provinsi DIY adalah 1138. Jumlah tersebut terbagi di seluruh DIY, di kabupaten Kulon Progo ada 27 hotel, di ka­ bu­pa­ten Bantul ada 249, di kabupaten Gunung Kidul 71 hotel, sementara itu di kabupaten Sleman memiliki jumlah hotel paling banyak ke dua yaitu berjumlah 8

392, dan jumlah hotel paling banyak berada di kota Yogyakarta yaitu berjumlah 399. Dengan begitu menjamurnya jumlah hotel tersebut, akan menimbulkan masalah tersendiri bagi masyarakat di daerah sekitar hotel. Salah satunya adalah kekeringan sumber air. Seperti warga di Miliran, Muja-muju, kota Yogyakarta yang melakukan protes karena sumber airnya kering. Protes itu dilakukan kepada pihak Fave Hotel. Fave Hotel terletak di Jalan Kusumanegara No 91 Yogyakarta, yang merupakan hotel berbintang tiga. Hotel tersebut sudah berdiri sejak dua tahun yang lalu. Sejak bulan Mei 2014 , Fave Hotel menjadi ancaman yang nyata bagi sumber air warga, dengan sudah mengeringnya sumur-sumur milik warga Miliran. Kekeringan terjadi sejak bulan Mei lalu. Dodok yang tinggal di Miliran sejak tahun 1977 mengatakan, “Sejak lahir, saya sudah tinggal di Miliran, belum pernah terjadi kekeringan sumur separah ini,” tegasnya. Hal sama diungkapkan oleh Suhartono,

liberdade Edisi i | November 2014


G ERA KA N RA K YAT M E L A W A N K E S E W E N A N GA N

akrab disapa Ohang. Ia tinggal di Miliran sejak tahun 1988, menurutnya sumur-sumur kering akibat adanya Fave hotel. Dugaan itu karena sebelumnya ia maupun warga tidak pernah mengalami kekeringan. “Baru dua tahun Fave Hotel berdiri, sekarang jadi kekeringan,” katanya. Ibu-ibu yang tiap harinya berurusan dengan air untuk masak, menyuci, mandi, juga mengungkapkan hal yang sama bahwa kekeringan sumur adalah akibat dari adanya Fave Hotel. Painem, salah satu warga di Miliran yang sehari-hari berprofesi sebagai pedagang mengatakan, sumurnya sudah kering sejak lima bulan yang lalu. Kekeringan itu membuatnya melakukan penyontekan, yang membuatnya harus mengeluarkan uang Rp.700.000,00 sekali menyontek sumur. Begitu pula dengan Putri Andayani, yang me­ nga­ta­kan kalau sumurnya sudah tidak ada airnya sama sekali, sehingga ia harus mengeluarkan uang Rp.1.000.000,00 untuk menyontek airnya. Setelah di sontek, air yang dihasilkan juga keruh dan bau, sehingga tidak bisa di masak. “Terpaksa saya, beli air galon untuk masak,” keluhnya. Menurut warga, sumur mereka mengering karena terserap oleh sumur Fave Hotel. Pada 2012, hotel tersebut membuat sumur sedalam 80 meter. “Secara awam, jika benar Fave Hotel membuat sumur dengan kedalaman 80 meter dan hanya menyedot air dalam, tetap saja berpengaruh pada sumber air dangkal,” kata Dodok. Kedalaman sumur Fave tersebut juga belum teruji kebenarannya lantaran tidak melibatkan warga pada saat pembuatan sumur. Pada saat pembuatan tidak pernah ada warga yang disuruh melihat proses pengerjaannya. Menurut Dodok, pada saat pem­buatan warga tidak ada yang dilibatkan, kejadian ini membuat warga tidak tahu kedalaman sumur yang sesungguhnya. Meski pihak hotel menolak dugaan tersebut, warga tetap meyakininya. Keyakinan warga tersebut diamini oleh Prof. Dr. Ir. Sari Bahagiati, M.Sc, ahli air yang juga rektor Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta. Menurutnya, keringnya sumur warga Miliran dipengaruhi oleh sumur Fave Hotel. Ketika Fave Hotel membuat sumur dalam, maka akan mengambil juga sumber air dangkalnya. “Logika yang dipakai warga memang benar,” kata Sari. Dalam pembuatan sumur dalam yang dilakukan oleh pihak Fave, itu juga terjadi permasalahan yaitu tentang izin pemanfaatan air tanah. Fave hotel hanya memiliki surat izin pengeboran, namun tidak memi-

liki izin pemanfaatan air tanah. Menurut Winarta, Fave hanya memiliki izin pengeboran semata, belum memiliki surat izin pengelolaan air tanah. Setelah ditemukan fakta bahwa fave tidak memiliki izin pengelolaan air tanah. Akhirnya pada tanggal 21 Agustus 2014 sumur Fave ditutup oleh dinas penertiban kota Yogyakarta. Penutuban ini sebagai bentuk hukuman terhadap Fave yang tidak memiliki izin pengelolan air tanah. Padahal Fave sendiri, sudah menggunakan sumur tersebut selama dua tahun. Warga menilai tindakan Fave yang tidak ada surat izin pengelolaan air tanah adalah tindakan pencurian. Dua tahun sumur beroperasi tanpa adanya surat izin adalah tindakan pencurian. “Ini lah bentuk pencurian air, yang dilakukan Fave kepada warga Miliran,” terang Dodok. Tidak hanya masalah sumur air yang sudah me­ nge­ring. Warga juga mengeluhkan ketika listrik mati, suara jetset begitu bising. Seperti yang diterangkan oleh Dodok, yang rumahnya di belakang hotel, “jika keadaan listrik sedang mati, suara jetset yang dihasilkan akan sangat berisik sekali, itu menganggu sekali, apalagi kejadiannya waktu malam, pasti mengganggu warga Miliran.” Tri Handayani juga berpendapat yang sama, pada saat listrik mati suara jetset dari Fave tersebut memang bising sekali. Sehingga mau tidak mau, warga jadi terganggun suara kebisingan yang bersumber dari fave.

Warga Meminta Fave Hotel Tanggung Jawab Dalam kesepakatan yang dilakukan antara pihak Fave Hotel dengan warga, dalam acara sarasehan pada hari selasa, tujuh belas Juni 2012, dalam bidang lingkungan hidup menyepakati bahwa apabila dikelak kemudian terbukti pembuatan sumur dalam mengakibatkan keringnya sumur-sumur warga sekitar, pihak hotel sanggup menormalisasikan kembali keberdaan air sumur dan memberikan kontribusi kepada pemilik sumur untuk pemenuhan kebutuhan air bersih. Namun, pihak Fave Hotel hanya diam saja melihat kondisi warga yang sumurnya mengering. Salah satu warga pun sudah mulai kehilangan kesabaran menunggu respon dari pihak Fave Hotel, ia adalah Dodok. Tanggal 1 Agustus 2014, Ia mendatangi Fave Hotel. Tujuan dari kedatangannya adalah meminta kejelasan dari permasalahan ini. Pada saat itu, ia hanya bisa bertemu dengan pihak keamanan hotel.

liberdade Edisi i | November 2014

9


Dok. Istimewa

LAPORAN UTAMA

- Aksi Tunggal Dodok, yang dilakukan didepan Fave Hotel

Kemudian pihak hotel, menjanjikan bertemu dengan pimpinan hotel pada tanggal 2 Agustus 2014. Namun setelah di datangi lagi pada tanggal yang sudah ditentukan, tetap saja tidak bisa bertemu de­ ngan pimpinan Fave Hotel. Janji pun dilontakarkan lagi, kalau tanggal 4 bisa bertemu pimpinan. Seperti halnya sebelumnya, pimpinan hotel tetap tidak bisa di temui. Lantas kesabarannya sudah habis, ia pun berinisiatif untuk melakukan aksi tunggal di depan Fave Hotel. Malam hari tanggal 6 Agustus 2014, Ia pun menghubungi teman-temannya agar bisa membantu advokasi, dan publikasi dari aksi yang akan dilakukan. Aksi itu dilakukan pada Rabu 7 Agustus 2014, di depan Fave Hotel. Aksi itu dilakukan sendirian olehnya, dengan teatrikal mandi pasir. Setelah aksi yang dilakukan, banyak berita-berita bertebaran untuk menginformasikan aksi yang dilakukan olehnya, hal itu membuat warga Miliran yang awalnya hanya diam ketika sumurnya kering, mulai bergerak untuk ikut memprotes masalah ini. Menurtnya jika tidak ada pemantik, warga hanya akan diam saja dengan permasalahan kekeringan sumur ini. Setelah aksi tunggal yang dilakukan Dodok, warga mulai aktif melakukan gerakan menolak sumur kering. Musyawarah Rukun Tetangga (RT) dilakukan, yang akhirnya membentuk kesepakatan yaitu mendata sumur-sumur warga, membuat tuntutan ke Fave Hotel, dan membuat Tim Tolak Sumur Asat. “Aksi tunggal Dodok, membuat warga tergerak untuk meno10

lak sumur asat,” kata Ohang. Ia menambahkan Tim Tolak Sumur Asat, bertugas untuk mendata sumur, dan tuntutan warga kepada Fave Hotel. Setelah mendata semua sumur warga, dari dua puluh tujuh data, didapatkan dua puluh dua sumur sudah kering, dan lima sumur hampir kering. Sumur yang hampir kering itu seperti milik Saryono, yang menuliskan kondisi sumurnya, tinggal memiliki ke­ ting­gi­an 60 cm. Sedangkan milik Antonius Triyanto, walaupun airnya masih ada, tetapi kondisi airnya berlumpur. Warga yang lain yang sudah mengebor sumurnya lebih dalam lagi akibat airnya sudah tidak keluar, juga meminta ganti rugi uang pengeboran kepada Fave Hotel, seperti yang dilakukan oleh Hadi. Ia menuntut ganti rugi sebesar Rp 1.800.000,00. Tuntutan yang sama juga dilayangkan oleh Djumadi. Ia meminta ganti rugi sebesar Rp 700.000,00, sebagai ongkos ganti rugi penyuntikan sumur. Sementara warga yang belum melakukan pengeboran, juga menuntut Fave Hotel bertanggung jawab. Bentuk tangung jawab tersebut bisa berupa membantu mendanai pengeboran, dan memberikan jaminan untuk tidak terjadi kekeringan lagi. Setelah semua data terkumpul, pada Selasa tanggal 12 Agustus 2014, warga melakukan audiensi de­ ngan pihak Fave Hotel di Balai RW. Menurut Ohang, tujuan dari audiensi tersebut adalah untuk men­da­pat­ kan solusi dari permasalahan ini. Ia juga menuturkan, dengan adanya data kondisi sumur, dan juga tuntutan warga maka pihak hotel akan bisa mengakomodasi tuntutan dari warga, dan juga menjamin tidak akan terjadi kekeringan di kawasan Miliran. Namun dalam audiensi tersebut, pihak hotel hanya memberikan penjelasan yang berdasarkan teori semata, tanpa melihat realita yang ada. Bukan mengenai solusi yang akan di ambil, tetapi pihak Fave berkilah bahwa semua ini bukan karena kesalahannya. “kami tidak perlu yang pakai teoritis, kami hanya ingin Fave Hotel bertanggung jawab atas kekeringan sumur kami,” Kata Ohang.

Warga Mulai Bergerak dengan Melakukan Aksi Dengan masih tidak adanya soluai yang didapatkan antara warga dengan pihak Fave. Warga Miliran akhirnya memutuskan untuk melakukan aksi Tapa Pepe. Selasa, 2 September 2014, warga RT 13 Miliran, berkumpul di pos ronda, untuk merumuskan konsep aksinya. Akhirnya di dapatkan konsep untuk aksinya

liberdade Edisi i | November 2014


G ERA KA N RA K YAT M E L A W A N K E S E W E N A N GA N

Agil | Liberdade

adalah Tapa Pepe. Menurut Dodok, Aksi Tapa Pe adalah aksi yang dilakukan dengan berdiam diri di depan Fave Hotel selama beberapa waktu. Rontek-rontek pun di buat malam itu juga, se­ per­ti tulisan tentang Fave drakula sumur, Fave arogan kami lawan, Fave sumber bencana, Fave biang sumur kering, Tujuan penulisan itu sebagai ungkapan kritik warga terhadap Fave yang sudah membuat sumur kering. “Biar Fave tahu keluhan warga selama ini,” Imbuh Dodok. Akhirnya rabu pagi, warga berkumpul lagi di pos ronda. Jam 10.00 warga mulai berjalan kaki, dari pos ronda yang tempatnya di belakang fave, menuju depan fave. Panasnya matahari tidak menghalangi warga untuk tetap bersemangat melakukan unjuk rasa. Aksi itu juga diikuti lintas generasi mulai dari yang muda sampai tua. Melihat antusiasme warga yang begitu tinggi akhirnya aksi yang hanya diam berdiri di depan Fave, berubah dengan adanya orasi. “Melihat warga yang semangat dalam aksi tersebut, akhirnya ada o­ra­si­ nya, biar semakin menambah semangat warga,“ tutur Dodok. Ibu-ibu pun juga tidak kalah dengan para lelaki, mereka dengan semangat ikut terlibat dalam perjuangan menuntut pertanggung jawaban dari pihak Fave. Menurut Shoblem, yang kesehariannya sebagai ibu rumah tangga, “Saya pun juga ikut aksi, lantara kesal dengan pihak Fave yang tidak mau tanggung jawab.” Putri Andayani, juga melakukan hal yang sama, ia juga ikut dalam aksi Tapa Pepe, hal itu dilakukan

karena Fave sudah merugikan dirinya dan juga warga Miliran. “Fave telah mengambil air kami, makanya saya dengan warga lainnya semangat melakukan aksi ini.” Tegasnya. Setelah aksi tersebut, akhirnya warga berbalik arah, dan menuju belakang hotel. Pintu belakang hotel yang menjadi pintu masuk karyawan, disegel warga. Hal ini dilakukan lantaran tidak ada satu pun pihak Fave yang menemui masa aksi pada saat aksi di depan Fave. “Fave tidak menemui. Kami makanya pintu belakang kami segel, kata Dodok.

Warga Miliran Berharap Airnya Kembali Kekeringan yang menimpa warga Miliran, membuat mereka begitu berharap agar air yang menjadi kehidupan agar kembali. Air merupakan salah satu sumber kehidupan, maka dari itu tanpa air manusia tidak bisa hidup. Fungsi dari air itu sangat beragam sekali, mulai dari untuk kebutuhan mandi, makan, minum. “Air kami, harus kembali, agar kehidupan ini berjalan normal kembali, tutur Rubyati, salah seorang warga Miliran. Sementara menurut Kasinem, yang rumahnya dibelakang Fave, juga memiliki harapan yang sama. Ia yang sehari-harinya bekerja sebagai pedagang nasi di rumahnya, menuntut dikembalikan airnya. Ba­ gi­nya air, harus ada, karena tanpa air ia tidak bisa menjalankan roda ekonominya, misalnya untuk memasak makanan yang akan dijajakannya, mencuci perlengkapan makanan. “Jika tak ada air, saya mau hidup lewat apa?” tandasnya. “Jika Fave tidak mau bertanggung jawab mengembalikan air kami, maka kami akan melakukan aksi yang lebih besar dari Tapa Pepe,” ungkap Widodo. Ia menambahkan, Aksi besar-besaran bisa sebagai pelecut dari gerakan menuntut Fave lebih cepat melakukan pertanggung jawaban. Dengan jumlah hotel yang begitu banyak di Yogyakarta, maka akan ditemukan gerakan-gerakan tuntutan yang sama dengan dilakukan di Miliran. Gerakan rakyat untuk melakukan penolakan akan terus terjadi, jika hotel-hotel terus berdiri tanpa mengindahkan keluh kesah dari warga disekitar hotel. “Saya yakin, gerakan warga Miliran ini akan menjadi pelecut semangat untuk menumbuhkan gerakan serupa di wilayah lain, karena yang berdampak tidak hanya di Miliran,” terang Dodok.

- Tusiyo sedang menunjukan sumur yang mengalami kekeringan

liberdade Edisi i | November 2014

Reporter: Mega, Anggun 11


LAPORAN UTAMA

Stop Pembangunan Apartemen Oleh: Agil Widiatmoko

P

embangunan apartemen yang akan dilakukan di Jalan Kaliurang Kilometer 5.5, Karangwuni, Catur Tunggal menuai penolakan dari warga Karangwuni. Penolakan dari warga sekitar dilatar belakangi alasan bahwa dengan berdirinya apartemen tersebut tidak memberikan keuntungan baik dari segi ekonomi maupun sosial bagi warga Karangwuni. Selain tidak menguntungkan masyarakat, bangunan tersebut juga akan membuat problematika baru lingkungan hidup, dan lingkungan sosial Karangwuni, termasuk permasalahan yang menyangkut masalah air, dan limbah yang dihasilkan oleh Apartemen. “Pasti akan berimbas, bisa dipastikan tercemar” imbuh seorang warga di sela-sela reportase. Selain itu warga juga mempertanyakan perizinan berdirinya apartemen tersebut. Apartemen tersebut dibangun di bekas rumah perupa yang salah satu karyanya adalah Patung Selamat Datang di Bundaran HI dan Patung Dirgantara di Pancoran Jakarta, yaitu Edhi Sunarso. Dengan luas tanah 1.660 meter persegi, bangunan ini akan terdiri dari lima belas lantai, dua di bawah tanah untuk basement, dan 13 diatas lantai. Sementara itu, untuk pembebasan lahan sendiri tidak permasalahan legal formal, mengingat pemilik dari lahan tersebut adalah perseorangan dan atas nama pribadi, yang berbeda dengan kepemilikan orang banyak yang dalam proses pembebasannya sering terjadi hambatan dan penolakan, sekali permasalahan perut. Pembangunan dari Apartemen Uttara seperti yang dilansir oleh tim reportase direncanakan akan dimulai pada akhir tahun ini. Mendengar rencana pembangunan apartemen ini, warga pun langsung bereaksi, pendirian bangunan yang berada ditengah-tengah pemukiman warga Karangwuni adalah salah satu rasionalisasi warga dalam penolakan pembangunan apartemen tersebut. Menurut Wati, salah seorang warga Karangwuni menyatakan jika nanti apartemen ini berdiri akan timbul banyak masalah, terutama masalah kekeringan sumber air yang merupakan hak dasar masyarakat. “Sekarang saja, sudah mulai kering apalagi kalau ada Uttara di lingkungan kami, pasti tambah parah kekeringan yang terjadi,” tambahnya saat di wawancarai di rumahnya. 12

Selain Wati banyak warga yang sejak awal sudah khawatir dengan rencana pem­ba­ngu­nan Apartemen Uttara. Menurut Suprapti adanya Apartement Uttara bisa menjadi pemicu timbulnya masalah kekeringan di Karangwuni. Bercermin dari masalah yang ditimbulkan oleh apartemen maupun hotel di tempat lain, banyak sekali warga yang takut merasakan dampaknya. Oleh karena itu warga tetap berpegang teguh dalam prinsip penolakan pembangunan apartemen di lingkungan mereka. “Jangan sampai Apartemen Uttara bisa berdiri. Maka kami, dengan tegas menolak pembangunan Uttara, karena akan menimbulkan masalah,” tandasnya. Hal itu pun diamini oleh Rita Darani yang ru­mah­ nya di belakang lokasi lahan pem­ba­ngu­nan Apartemen Uttara. Ia menuntut supaya proses pembangunan apartemen tersebut di stop dan dibatalkan. Dengan alasan jika sampai dibangun, warga Karangwuni yang akan merasakan dampaknya, dan hanya merasakan ruginya juga. Selain permasalahan air, warga Karangwuni juga khawatir perihal dampak sosial yang akan terjadi. Seperti yang diceritakan oleh Wati, melihat jalan Kaliurang yang setiap harinya sudah dipenuhi sesak oleh kendaraan yang hilir mudik, yang membuat jalan tersebut semakin hari semakin macet. Apa­la­gi de­ngan ber­di­ri­nya Apartmen Uttara pas­ti­nya akan me­nye­ bab­kan ber­tam­bah­nya ti­tik ma­cet di ja­lan sekitarnya yaitu jalan Kaliurang. “Tidak terbayangkan jalan Kaliurang beberapa tahun lagi mau jadi seperti apa” imbuhnya kepada tim reportase. Ia juga menjelaskan tentang limbah yang dihasilkan dari Uttara. Bangunan yang nantinya memiliki 300 kamar, limbah yang dihasilkan juga pasti akan banyak. Dengan perhitungan pembuangan limbah 5kg setiap kamar, akan ada 1,5 ton limbah setiap harinya, hal itu akan membuat warga terkena dampaknya. “Limbahnya mau dibawa kemana? Mau di olah kemana? Apa mau dibuang ditempat warga?” tanyanya. Sementara warga yang rumahnya di belakang lahan cikal bakal bangunan Uttara juga khawatir de­ ngan timbulnya kebisingan, jikalau memang Uttara jadi dibangun. Menurut Rita, ia dan keluarganya akan sangat terganggu pada saat pembangunan apartemen. Bisa dipastikan gangguan berupa polusi udara itu

liberdade Edisi i | November 2014


Dok. Istimewa

G ERA KA N RA K YAT M E L A W A N K E S E W E N A N GA N

- Warga Karangwuni sedang melakukan aksi di depan calon bangunan Apartemen Uttara

akan ada, dan alat-alat berat yang lalu lalang juga akan menjadi bagian dari proses pembangunan yang menyebabkan suara bising tersebut selain menyebabkan polusi suara juga bisa menyebabkan rusaknya jalan di pemukiman warga. “Saya rumahnya yang paling dekat dengan calon bangunan Uttara, maka akan sangat mengganggu kehidupan saya dan keluarga,” tegasnya.

Uttara Tidak Minta Restu Warga Proses pembangunan Apartemen Uttara yang dilakukan oleh pengembang dari PT Bukit Alam Permata, tidak meminta izin terlebih dahulu kepada warga. Sosialisasi memang pernah dilakukan, namun hanya sebatas formalitas. Substansi yang disajikan pada waktu sosialisasi dinilai tidak memberikan nilai solutif. “Sosialisasi dari pihak Uttara, hanya formalitas belaka,” ungkap Rita. Manipulasi juga dilakukan oleh pihak Uttara. Sosialisasi pertama yang dilakukan pihak Uttara menyampaikan kepada warga Karangwuni kalau bangunan ini akan dijadikan tempat kos ekslusif. Namun, selang beberapa waktu berubah menjadi bangunan Apartemen. Hal ini lah yang disesalkan warga. “Tidak adanya transparansi dari Uttara, yang membuat kami kecewa,” keluh Wati. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Rita, pertama mereka (Uttarared) sosialisasinya mengatakan akan dijadikan kos eksklusif, tapi sekarang berubah menjadi Apartemen yang tingginya mencapai 15 lantai.

Warga Bergerak Tuntut Uttara Dengan segala permasalahan yang akan ditimbulkan oleh Apartemen Uttara, warga sudah mulai bergerak dan bereaksi menuntut pembatalan pem-

bangunan Uttara. di­la­tar­be­la­ka­ngi da­ri sa­kit ha­ti aki­ bat so­si­a­li­sa­si­nya yang tidak transparan, kemudian warga berkumpul untuk menentukan sikap. Pada pertemuan itu sikap yang diambil adalah menolak pembangunan Apartemen Uttara. “Sikap kami, jelas akan menolak pembangunan yang akan merugikan warga sekitarnya,” ungkap Rita. Pengajuan petisi kepada instansi pemerintah akhirnya menjadi langkah awal dari pergerakan warga menolak Apartemen Uttara, yang dilakukan pada tanggal 20 November 2013. Petisi itu ditujukan kapada seluruh instansi di Kabupaten Sleman, dan juga Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu warga juga melakukan audiensi dengan Dewan Perwakilan Daerah kabupaten Sleman yang menhasilkan rekomendasi untuk menangguhkan izin pembangunan apartemen. Hal ini dikarenakan karena di dalam peraturan daerah kabupaten Sleman belum memiliki peraturan pembangunan apartemen. Aksi turun ke jalan juga dilakukan oleh warga Karangwuni, yang dilakukan pada hari selasa, 29 April 2014. Menurut Wati, aksi tersebut dilakukan karena warga Karangwuni sudah sadar dampak yang akan terjadi jika Apartemen Uttara tetap berdiri. “Warga Karangwuni sudah berpengetahuan, makanya dengan sendirinya sadar untuk ikut aksi menolak apartement Uttara,” tegasnya. Aksi kriminalisasi juga menjadi strategi yang dilakukan oleh pihak Uttara, hal itu dibuktikan dengan adanya penangkapan kepada warga Karangwuni, yang diduga merusak banner pemasaran dari Uttara. Menurut Wati, warga Karangwuni jadi terpantik untuk terus memperjuangkan penolakan terhadap Uttara. “ kejadian ini adalah blunder dari Uttara,” terangnya. Demi memperkuat gerakan, Warga Karangwuni juga melakukan sarasehan sesama warga. Menurut Rita, sarasehan ini bertujuan untuk tetap menumbuhkan spirit penolakan kepada seluruh warga Karangwuni, selain itu juga sebagai ajang publikasi, bahwa di Karangwuni sedang terjadi permasalahan. Warga Karngwuni sendiri berharap pembangunan Apartemen Uttara dibatalkan. Dengan segala permasalahan yang akan ditimbulkan dari adanya Uttara, maka sampai kapan pun warga Karangwuni tetap menolak adanya Apartemen Uttara. “Sampai mati pun, saya dan warga karangwuni akan menolak pembangunan Apartement Uttara,” tegas Suprapti.

liberdade Edisi i | November 2014

Reporter: Anggun 13


W AWANC ARA KH U S U S

Lemahnya Regulasi Pembangunan Hotel Oleh: Anggun Mita T.K Proses perizinan pembangunan yang lemah menurut bapak seperti apa?

Anggun | Liberdade

- Winarta saat di wawancarai di kantor Forpi, kota Yogyakarta

Y

ogyakarta sebagai kota yang mewujudkan budaya dan pariwisata sebagai ikon, tampaknya sedang berada dalam se­ma­ ngat penggenjotan pemasukan. Terbukti dari grand planning pembangunan hotel baru di Yogyakarta yang mencapai angka 300an. Pembangunan yang menjadi nafas dari kemajuan peradaban tampaknya benar-benar diejawantahkan di bumi Yogyakarta, namun ada masalah yang belum selesai dan yang akan terjadi dalam menyambut gelora pembangunan besar-besaran di Yogyakarta. Mulai dari regulasi pembangunan hotel yang dinilai masih rancu, hingga dampak sosial ekonomi dan lingkungan dari proyek pembangunan besarbesaran. Jum’at 7 November 2014, Tim Reportase Liberdade berkesempatan menemui Winarto selaku koordinator Forum Pengaduan Independent Pakta Integritas (FORPI). Dari hasil perbincangan dengan aktivis yang sangat menyukai rawon ini, akan dibahas secara mendalam perihal pembangunan dan segala problematikanya di Yogyakarta. 14

Untuk mendirikan hotel mereka harus men­da­pat­ kan rekomendasi lingkungan. Yang jelas, ada syarat administrasi dan teknis. Kalau administratif mereka harus mengajukan IMB mengisi form kepemilikan tanah, pribadi, instansi apa orang lain. Kalau memang kepemilikan tanah adalah hak milik orang lain maka harus ada tanda bukti kerelaan. Ada juga syarat yang meyatakan bahwa tetangga sekitar mengetahui bahwa yang bersangkutan sedang mengurus IMB. Kalau masyarakat selama ini mengaggap kok nggak ada persetujuan bisa juga memperlemah perizinan pembangunan. Tapi memang di aturannya tidak ada syarat persetujuan masyarakat, syarat bahwa harus ada persetujuan masyarakat ini merupakan sebuah bukti kepribadian orang Indonesia, yang memegang teguh nilai gotong royong. Walaupun saya berpikir tuntutan masyarakat cukup rasional, karena masyarakat merasakan dampak langsung dari pembangunan. Masa nggak ada persetujuan warga, kan lucu.

Peraturan yang menyatakan persetujuan masyarakat menjadi syarat pembangunan apakah ada?

Nah, ini lucu, kalau di aturan sendiri tidak ada poin yang menyatakan harus ada persetujuan masyarakat. Tapi cukup mengetahui dari masyarakat. Itupun yang berdekatan persil (dempet), berbatasan persil itu yang langsung, dempet, mepet. Kalau ada gang yang lebarnya 1 meter maka ini nggak wajib diminta mengetahui. Karena tidak berbatasan langsung persil. Padahal kita tahu sendiri tinggi hotel berapa bisa 8-10 lantai. Kalau dia ambruk “bruk” bisa 30 meter batasnya. Makanya di regulasinya saja lemah untuk pembangunan hotel ini, padahal tingginya bisa berapa meter, nah ini kan nggak ada regulasinya, memang sangat lucu sekali.

Bagaimana regulasi pembangunan apabila dibenturkan dengan gerakan rakyat yang menolak pendirian hotel ?

liberdade Edisi i | November 2014


W A W A N C A R A K H US US

Ya justru itu, karena regulasinya berbunyi seperti itu maka posisi tawar menjadi rendah. Mereka nggak bisa memaksa hotel “kalau mau berdiri ngomong sama aku”. Setuju atau tidak setuju, nggak bisa sepeti itu, karena aturannya nggak mensyaratkan itu sebagai titik lemah pembangunan hotel, itu soal IMBnya saja. Sekarang soal izin lingkungan dan rekomendasi lingkungan. Itu syaratnya mudah sekali. Itu kan berupa kajian saja. Orang pembangunan hanya pakai pihak ketiga, CV atau apa. Misalkan kalau di Jogja sini biasa dipake namanya Jama Multi. Yang sering dipakai kan hanya berupa kajian ilmiah saja soal kondisi tanah, kontur tanah dan sebagainya. Tapi pasti mereka tidak belajar dari sisi faktualnya seperti apa. Dan itu kemudian dianggap beres, karena sudah dibuat oleh ahlinya, semuanya begitu. Kemudian itu menjadi dokumen, bukan menjadi se­su­ a­tu yang harus didiskusikan kepada warga mengenai dampak-dampak sosial an ekonomi misalkan, Itu kan tidak terantisipasi oleh kajian-kajian ilmiah. Memang ada aturan secara ijin lingkungan itu harus sosialisasi. Tapi sosialisasi itu tidak mengikat hasilnya, lalu sosialisasi yang dilakukan itu hanya sebagai formalitas. Yang penting mengundang masyarakat nggak jelas siapa yang diundang, lha wong nggak ada aturannya siapa aja yang diundang. Ya biasanya RT, RW, lurah, ini lemah juga aturannya. Terus yang dipakai dokumen perlengkapan hanya daftar hadir, ini kan barang mati. Daftar hadir hanya memperlihatkan siapa yang hadir saja. Yang kedua itu berita acara. Jadi berita acara cuma nulis saja, siapa yang hadir acaranya seperti apa. Tapi jarang memperlihatkan bagaimana acara pas sosialisasi, misalkan apakah ada yang keberatan. Yang penting dokumennnya dikasih judul “berita acara sosialisasi”. Ya sudah denga proses begitu saja dokumen sudah dipenuhi. Semua prakteknya seperti itu. Termasuk di sana (Miliran -red). Akhirnya semua terpenuhi centang,centang,centang “jreng” keluar ijinnya. Itu makanya proses perijinan terlalu bersifat legal formal. Dari dokumen itu substansinya nggak ada. Kan perlu dipersoalkan sebenarnya bagaimana tanggapan masyarakat. Cuma yang penting formalnya aja.

Melihat dari keadaan sekarang yang semakin keruh akibat lemahnya regulasi dan pengawasan, sebenarnya bagaimana tataran idealnya?

Dari regulasinya harus dilakukan perubahan,

yang harusnya muatannya lebih berpihak pada per­lin­ dung­an publik, syaratnya harus diperketat. Kalau bisa proyek pembangunan hotel itu dipersulit. Kalau perlu pakai saja mekanisme persetujuan msyarakat untuk mendapatkan IMB. Kemudian sosialisasi harus benarbenar menjelma sebagai dialog masyarakat dengan investor, kalau masyarakat keberatan atau khawatir ya harus cepat direspon. Bagaimana nanti caranya supaya tidak merugikan masyarakat. Misalnya pada saat proses pembangunan bagaimana mencegah debu agar masyarakat tidak terkena, bagaimana cara hotel mengantisipasi debunya agar tidak kemana mana. Termasuk kontribusi dan kompensasi hotel yang telah mengambil hak-hak warga yang sebelumnya bisa dinikmati disitu, kalau berdekatan hanya 2-3 meter seperti di Ngampilan, matahari pagi warga tidak pernah menikmati, hanya matahari siang dan sore. Nah itu bagaimana tanggung jawabnya dai pihak hotel dan pemasalahan lain sebagainya. Banyak hal yang harus dibenahi, intinya regulasi harus me­lin­ du­ngi masyarakat, atau paling nggak seimbang lah, investor dengan masyarakat.

Selain regulasi apa yang harus diperbaiki

Di samping regulasi, harus ada perbaikan kebijakan lain. Misalkan kebijakan tentang tata ruang. Karena tata ruang ini belum detail. Misalkan kecamatan Ngampilan boleh untuk kawasan pemukiman dan perdagangan. Berarti seluruh kecamatan diperbolehkan sebagai area pemukiman dan pedagangan kan, padahal di kecamatan itu (Ngampilan –red) setiap kelurahan mempunyai corak yang berbeda-beda. Ada kelurahan yang lahannya masih banyak kosong dan jarang pemukiman, tapi ada yang sudah padat pemukiman. Kalau nggak ada kebijakan yang lebih rinci soal kebijakan tata ruang akibatnya seperti itu, hotel berada di lingkungan padat pemukiman, semakin memicu gesekan dan niscaya akan tejadi konflik kepetingan dengan masyarakat. Soal udara, matahari, air yang harusnya menjadi hak dasar masyarakat disitupun dirampas. Harusnya ada pengaturan tata ruang yang lebih rinci. Termasuk kaitannya soal daya dukung wilayah terhadap hotel. Sekarang hotel numpuk di daerah perkotaan. Bagaimana berbagi dengan masyarakat. Padahal di daerah lain masih kosong kenapa nggak diarahkan disitu. Nah ini karena pemerintah kota nggak me­ngu­ sul­kan itu, makanya orang boleh mendirikan hotel dimana saja.

liberdade Edisi i | November 2014

15


K AMPUS NEWS

Menilik Substansi Tutorial Agama Oleh: Hanggoro Wibisono

T

u­to­rial Pendidikan Agama Islam (PAI) yang ada di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) atau Asistensi Agama Islam di UGM me­ru­ pa­kan se­bu­ah me­dia pem­be­la­ja­ran ma­ha­sis­wa a­ga­ ma Islam, di luar jam be­la­jar me­nga­jar per­ku­li­a­han. Dengan pe­nga­lo­ka­si­an wak­tu dua sks per minggu, dimana satu sks terdiri dari 45 menit. Satu kelas dibagi-bagi menjadi beberapa kelompok, biasanya satu kelompok terdiri dari sepuluh mahasiswa. Dengan pola pengajaran forum diskursus satu arah dimana tutor menyampaikan materi-materi agama kepada mahasiswa, khususnya mahasiswa baru. Dilihat dari substansinya, tutorial ini sendiri merupakan sebuah kegiatan diskursus di luar jam perkuliahan guna mengisi kekurangan ilmu dalam beragama yang orientasinya adalah mahasiswa yang tidak memahami secara penuh agama Islam. Dalam hal ini tentu penggagas dan pengampu Tutorial PAI menggunakan paradigma bahwa agama adalah tolak ukur kualitas moral manusia. Di dalam persepsi mereka, semakin tinggi ilmu agama maka akan semakin berkualitas moral manusia itu sendiri. “Orientasinya adalah mengajar mahasiswa yang tidak lancar atau bahkan tidak bisa membaca Al Qur’an, program Tutorial PAI sudah dimulai sejak tahun 95” kata Fitri Fitria salah dosen PAI UNY yang sempat diwawancari Tim Reportase Liberdade. Tutorial per­ ta­ma kali di­lak­sa­na­kan se­ba­gai bentuk reaksioner kegelisahan dosen terhadap minimnya pengetahuan agama Islam antara lain adalah kemampuan mem-

baca Al Qur’an. Tetapi seiring berjalannya waktu, isi dari materi tutorial lebih meluas dan bukan hanya tentang bagaimana bisa lancar membaca Al Qur’an, tetapi juga diselipi oleh berbagai macam pe­nge­ta­hu­ an ten­tang agama, baik yang ber­si­fat il­mu maupun gagasan. Gagasan yang disampaikan oleh sang tutor yang sama-sama mahasiswa, dengan arah pem­be­ la­ja­ran satu arah, tan­pa ada peng­ka­ji­an lebih lan­jut di­kha­wa­tir­kan a­kan men­ja­di dog­ma yang ku­rang baik bagi mahasiswa. Tu­to­ri­al disini juga ditegaskan sebagai media dalam membantu pelajaran agama Islam, sebagai alat tambal sulamnya pelajaran agama yang tidak efisien di dalam kelas. Mahasiswa diajarkan untuk mengajar mahasiswa, dimana metode diskursusnya satu arah, bisa dikatakan seperti pengajian dalam forum yang lebih kecil. Di titik ini sedikit banyak tu­to­ri­al me­nga­ jar­kan ma­ha­sis­wa untuk mem­pu­nyai sikap inferiority complex , dimana mahasiswa duduk di dalam forum yang tidak lagi egaliter, dimana kita harus benar-benar menurut kepada kakak angkatan yang hanya beda satu atau dua tahun dan dianggap lebih jelas pemahaman agamanya daripada mahasiswa yang menjadi peserta tutorial. Sekali lagi disini proses dialektika di dalam kalangan mahasiswa dibabat habis. Tolak ukur kapasitas dari mahasiswa yang pantas menjadi tutor sepertinya sedikit perlu dipertanyakan, apakah ada proses penerimaan tutor secara kapasitas ilmu agama? Kalau memang ada, lan­tas apa yang men­ ja­di a­cu­an dari ke­ting­gi­an ilmu beragama? Apakah

Dok.Istimewa

16

liberdade Edisi i | November 2014


H A P US T UTOR I A L PA I

penyaringan tutor langsung dipilih oleh dosen, atau bahkan dipilih mahasiswa mantan tutor sebelumnya? Proses seleksi tutor terlihat bias karena tidak ada open recruitment yang transparan maupun penjelasan siapa saja pihak-pihak yang mengorganisir kegiatan tutorial PAI tersebut. Dan apakah menjamin bahwa semua mahasiswa yang menjadi peserta tutorial lebih rendah ilmu agamanya di­ban­ding­kan de­ngan ma­ha­ sis­wa yang menjadi tutor? Bisa jadi ini merupakan sebuah bentuk sikap lepas tangan dosen terhadap kekosongan dalam mengisi materi Pelajaran Agama Islam. Yang menjadi miris jika memang itu adalah bentuk melepas tanggung jawab maka yang mendapatkan mandat untuk mengisi kekosongan tersebut adlah mahasiswa yang belum tentu kapasitasnya ka­pa­bel untuk me­ngam­pu Tu­to­ ri­al. “Tutorial PAI juga tidak mengimplementasikan tauhid dengan baik dan benar, sehingga menimbulkan segi yang dikiranya sungguh percuma. Se­la­in itu se­ ba­ik­nya tu­to­ri­al PAI di­lak­sa­na­kan oleh dosen, sebab pa­ra­me­ter pe­ni­la­ian da­ri ma­ha­sis­wa un­tuk me­ni­lai se­se­o­rang dianggap sangat mengambang” terang Muh Ilyas salah satu mahasiswa FIS UNY tentang ketidak puasannya dalam sistem pembelajaran agama lewat Tutorial. Lagipula dari segi materi yang disampaikan, kebanyakan dari penilaian program tutorial tidak jauh berbeda dari pelajaran-pelajaran sekolah dasar atau sekolah menengah. Misalkan menghafal surat-surat pendek, hafalan-hafalan sholat, praktek berwudhu, maupun praktek sholat jenazah. Melenceng jauh dari soal ujian yang disajikan dosen pada saat UTS atau­ pun ujian. Mahasiswa harusnya dapat memahami agama secara substansial. Mahasiswa semestinya dapat berlatih mengkaji ayat-ayat Al-Quran dengan lebih kritis, mendalam, dan memahami substansinya bukan hanya kulitnya. Yang lebih rancu lagi adalah pe­nye­ra­han pem­be­ ri­an ni­lai sebanyak 20% kepada tutor. Di­ma­na tu­tor ber­hak me­nen­tu­kan na­sib mahasiswa yang di­a­jar­ nya. Pa­da­hal, didalam mengajarkan materi tu­to­ri­al, ti­dak a­da si­la­bus untuk me­nun­tun arah pem­be­la­ja­ran siswa, sehingga yang terjadi adalah obrolan me­nga­lir yang bersifat menggurui mahasiswa senior kepada juniornya. Sekali lagi ini menjebak pa­ra­dig­ma ma­ha­sis­wa dalam je­ru­mus inferiority complex. Ti­dak se­di­kit juga tu­tor yang seolah-olah hanya me­ngang­gap pro­gram tutorial PAI hanya sebagai for­ma­li­tas biasa. Banyak ketidakhadirannya tanpa adanya alasan yang rasional.

Atau tutor yang sering mengganti jadwalnya sehingga sedikit banyak membatasi ruang gerak mahasiswa untuk berorganisasi. Sedikit mengkritisi apakah memang benar dogma agama dapat mempengaruhi karakter manusia dalam menjalani kehidupan kita bisa menilik tulisan Russel dalam essai “Esensi dan Dampak Agama”. Dituliskan bahwa Bertrand Russell mengaku sangat terkesan oleh Cina dan pada sikap santai rakyat Cina pada agama. Ia tertarik dengan kenyataan bahwa Kon­ fu­si­a­nis­me yang ber­ku­a­sa le­bih me­na­ruh per­ha­ti­an pa­da etika daripada dogma. Sikap yang toleran ini sangat berbeda dari agama yang berkuasa di Barat, di mana agamanya hanya menekankan dogma dan keyakinan yang benar yang menyebabkan banyak penderitaan yang tidak perlu. Sehingga agama di kultur masyarakat Cina yang juga merupakan rumpun orang timur bukanlah sebagai alat pengukur moralitas manusia, tetapi lebih kepada kebutuhan privat akan ketidak nyamanan batin. Sehingga agama benar-benar mendapatkan tempat yang istimewa didalam domain privat setiap manusia.

Harus Berimbang Pelajaran agama Islam yang mengisi jatah sks se­ba­nyak 3 butir setidaknya dibantu “tam­bal su­lam­ nya” de­ngan di­a­da­kan­nya pro­gram Tutorial. Lantas bagaimana dengan mata kuliah yang berorientasikan pemahaman kebangsaan, se­per­ti Pancasila dan Ke­ war­ga­ne­ga­ra­an yang mengisi 6 sks. Penting halnya memperhatikan permasalahan degradasi moral ma­ha­ sis­wa pada umumnya melalui sudut pan­dang ka­rak­ter ke­bang­sa­an. Salah satu media pembentuk Nation Character Building adalah dengan diadakannya forum diskursus dan ruang diskusi yang disajikan secara sistematis guna penyebaran ideologi kebangsaan. Harus ada sebuah program yang men­ja­ga ke­ se­im­ba­ngan da­lam mem­per­ta­han­kan nilai-nilai mo­ ra­li­tas ma­ha­sis­wa (selain agama tentunya). Tutorial Kebangsaan yang merupakan gagasan Komisariat GmnI UNY diharapkan dapat menjadi angin segar bagi dinamika civitas akademika yang haus akan pengetahuan berbangsa dan bernegara. Diharapkan dengan adanya program Tutorial Kebangsaan yang menggunakan metode diskusi dan diskursus secara egaliter dapat meningkatkan daya kritis mahasiswa dalam mengkaji permasalahan bangsa, dapat menciptakan sebuah pengikat dalam menjaga konsistensi mahasiswa dalam mengemban amanat rakyat dan Reporter: Doni, Bram, Rama

liberdade Edisi i | November 2014

17


S E PUTAR GMNI

Progres Nyata Komisariat GmnI UNY Oleh: Muhammad Fahrur Syafi’i

G

erakan mahasiswa nasional Indonesia yang disingkat GmnI adalah salah satu organisasi eksternal berskala nasional yang berdiri dan mengisi dinamika kehidupan kampus di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Sempat mati suri, GmnI bangkit kembali di UNY pada tahun 2012 melalui forum diskusi kultural yang sering digelar kawankawan, forum diskusi kutural inilah yang kemudian menjadi embrio dari terbentuknya komisariat GmnI UNY. Pertengahan bulan Januari 2013, geliat aktifitas dalam membangun organisasi mulai massif dilaksanakan, hingga pada akhirnya pada tanggal 15 Juni 2013 disepakati untuk dilangsungkan musyawarah pembentukan caretaker GmnI UNY yang difasilitasi oleh DPC dibawah kepengurusan periode Bung Wahid di Sekretariat Cabang GmnI Yogyakarta. Mulai hari itu secara legal formal maka terbentuklah Carteker GmnI UNY, dimana keputusan pada saat Musyawarah Koordinasi Caretaker Bung Titis Bintoro terpilih menjadi koordinator Caretaker. Setelah terbentuk menjadi caretaker, kegiatan organisasi pun mulai mengisi keseharian kawankawan. Dengan digelarnya kegiatan-kegiatan yang rutin dan continue dimana tujuannya adalah memperbaiki kapasitas GmnI UNY baik secara organisasi maupun kader, baik secara kuantitas maupun kualitas. Diantaranya kegiatan kawan-kawan GmnI UNY adalah diskusi-diskusi rutin yang digelar setiap hari rabu, implementasi program-program kerja antara lain kaderisasi, pembuatan buletin dan majalah, dan program unggulan sebagai pemikat calon kader adalah Sekolah Rakyat, dimana kawan-kawan GmnI UNY terjun langsung di lingkungan masyarakat miskin kota, tepatnya di Pringgokusuman untuk mengajar anak-anak dari keluarga miskin disana. Pada saat penerimaan mahasiswa baru tahun 2013 GmnI Caretaker UNY menyambut datangnya mahasiswa baru dengan menyebarkan pamflet yang memicu daya kritis kawan-kawan mahasiswa baru, serta pendirian stand di rektorat dan auditorium guna menjaring mahasiswa baru yang berminat masuk dalam GmnI. Dari kegiatan penjaringan kader di rektorat, 18

dilanjutkan dengan buka bersama yang dilaksanakan di Taman Pancasila Fakultas Ilmu Sosial (FIS). Acara diawali dengan diskusi dengan tema “Spirit Perlawanan Puasa” yang dipantik oleh Sugeng Bayu, dosen Fakultas Ilmu Pendidikan sekaligus alumni GmnI. Peserta acara buka bersama pun cukup antusias dan dihadiri 28 mahasiswa baru angkatan 2013 dari berbagai jurusan. Sebagai program kerja pertama kali yang memang ditujukan untuk mahasiswa baru, ini merupakan langkah awal dari kebulatan tekad kawankawan dalam membangun GmnI di UNY. Program kerja pada masa caretaker yang dirumuskan adalah kelas Soekarno, Sekolah Rakyat, Buletin Marhaenis dan kegiatan diskusi. Buletin Marhaenis diterbitkan dengan melihat momen strategis pada waktu itu, khususnya saat Orientasi Studi Pengenalan Kampus (Ospek) yang diterbitkan ke seluruh fakultas yang ada di UNY, agar menunjukan bahwa di UNY terdapat sebuah gerakan yang konsisten dalam melawan kemiskinan dan pembodohan. Pada tanggal 5 sampai 6 oktober, bertempat di Joglo Terung di kediaman Mas Sugeng Bayu, Musyawarah Anggota Komisariat (MAK) untuk pertama kalinya diadakan. Acara dihadiri seluruh anggota komisariat GmnI UNY dan turut ko­mi­ sa­ri­at GmnI di wilayah Jogjakarta dan sekitarnya. Mas Wuryadi guru besar FMIPA turut hadir dalam kegiatan MAK guna memberikan sedikit gambaran tentang keberlangsungan GmnI di UNY. Beliau juga memberikan motivasi terhadap kawan-kawan untuk membangun organisasi GmnI UNY. Selama proses MAK berlangsung dipaparkan laporan kinerja berbagai divisi-divisi yang telah bekerja dalam caretaker. Kemudian dilanjutkan musyawarah dalam menentukan siapa komisaris GmnI UNY untuk satu periode ke depan. Proses MAK memang berjalan lancar, namun tetap melewati perdebatan serta adu argumen antar kader, tentang siapa yang nantinya menjadi nakhoda kapal selama satu periode kepengurusan. Setelah melalui sedikit dinamika dalam proses musawarah, pada akhirnya semua anggota komisariat sepakat dengan memilih

liberdade Edisi i | November 2014


S E P UTA R GM NI

Bung Titis Bintoro sebagai komisaris dalam satu periode kepengurusan ke depan.

Periode Baru Organisasi yang hebat adalah organisasi yang dapat mencetak kader-kader sebagai penerus organisasi agar organisasi itu tetap hidup dan berkembang. Me­ ngi­ngat GmnI adalah organisasi kader, maka dirasakan penting bagi periode pertama dibawah kepemimpinan Bung Titis untuk segera melaksanakan proses regenerasi dalam penyelamatan roda organisasi GmnI UNY. Hal ini pun dilakukan dengan melaksanakan Pekan Penerimaan Anggota Baru (PPAB) pertama kali di Wisma Kadisoka, pada 15februari 2014 dengan peserta PPAB berjumlah 18 orang, yang datang dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) dan ada pula peserta PPAB yang berasal dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Menerbitkan Buletin Kawan-kawan memahami, bahwa untuk me­nga­ gi­ta­si tidaklah hanya lewat bahasa verbal saja, tidak hanya dari diskusi-diskusi maupun obrolan warung kopi. Namun harus ditambah dengan sebuah produk nyata yang tak lekang oleh zaman, yaitu tulisan. Pepatah Yunani mengatakan bahwa ‘tulisan adalah bukti abadi dari pemikiran manusia’. Diawali dengan penerbitan buletin Marhaenisme yang diterbitkan berkala dan melihat momentum-momentum strategis, seperti saat ospek dan isu-isu krusial yang berkembang didalam kehidupan kampus. Selain bulletin Marhaenis, juga menerbitkan Majalah Liberdade.

Sekolah Rakyat Sejak caretaker, pernah tercetus untuk membuat suatu program kerja yang dimana kader dapat terjun langsung ke masyarakat, memberi kontribusi kepada masyarakat langsung dengan mengkaji apa saja masalah yang di daaerah tersebut, lalu kawan-kawan terjun ke masyrakat dengan mempraktekan teori serta mengamalkan marhaenisme di dalam masyarakat. Dan sekali lagi, guna memecah paradigma sterilitet antara mahasiswa dengan rakyat jelata. Program kerja tersebut bernama Sekolah Rakyat, yang tujuannya adalah menerjunkan kader GmnI UNY ke masyarakat miskin kota di wilayah yang dipilih adalah Desa Pringgokusuman, dimana desa tersebut berada di pinggir kali Winongo. Dalam penerjunan

tersebut tidak hanya diikuti oleh kader GmnI semata, namun membuka kesempatan bagi mahasiswa yang memang berminat untuk ikut mengajar di tengahtengah masyarakat yang membutuh perhatian dalam pembimbingan belajar terhadap anak-anaknya yang masih duduk di bangku sekolah. Antusiasme dari masyarakat pun hangat, terbukti dengan diterimanya GmnI di desa tersebut. Pengajaran yang dilakukan di tempat di bale dusun yang terletak di pinggir kali persis, agar nanti suasana belajar lebih nyaman.

Diskusi Rutin Dalam penguatan ideologi kader dan peningkatan kualitas dibutuhkan pembelajaran yang matang di bidang intelektual. Maka dari itu, diawal dibentuk forum-forum diskusi. Diskusi yang diadakan pun dari diskusi rutin setiap minggu, untuk anggota GmnI UNY. Namun tidak hanya berhenti di forum diskusi mingguan saja, di FBS dibuat forum diskusi Club Study Soekarnois (CSS) yang dipelopori oleh bung Agil, memang sempat ada kontradiksi dalam pelaksanaan program organ taktis tersebut, dimana ada segilintir oknum yang kontra revolusioner sepakat menentang keberadaan organ taktis. Tapi hal itu menjadi penyemangat kawan-kawan untuk tetap aktif dalam membangun organisasi GmnI UNY. Dimulai dari menempelkan pamflet di se­ti­ ap sudut fakultas, akhirnya CSS pun berkembang dengan diikuti oleh mahasiswa FBS yang memang sebelumnya tidak tergabung dalam GmnI UNY. Se­ te­lah berjalan beberapa minggu, peserta diskusi CSS kemudian dijaring untuk mengikuti PPAB.

Kaderisasi Sampai saat ini PPAB yang dilakukan oleh GmnI UNY terlah berlangsung selama lima kali, peserta yang mengikuti PPAB bisa dikatakan memang mempunyai komitmen yang kuat untuk berproses di GmnI, sampai saat ini jumlah anggota GmnI UNY yang tercatat adalah 74 anggota. Sekarang tidak hanya dari UNY saja anggotanya, namun GmnI UNY telah mengembangkan sayap sampai Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY) dan Akademi Teknologi Kulit (ATK). Untuk UTY sendiri jumlah anggota sudah mencapai 14 orang dan tinggal menunggu waktu saja untuk didirikannya Komisariat baru, yaitu Komisariat UTY. Meskipun pengurus organisasi hanya tinggal 4, namun dengan kerja keras dan komitmen, pengurus membuktikan prestasinya dengan produk dan calon komisariat baru.

liberdade Edisi i | November 2014

19


K ABAR GERAK A N

Tim Debat UNY Terpaksa Tunduk Dalam Kompetisi Debat Nasional Fahrur | Liberdade

Oleh : Candra Fahrudin

S

abtu 18 Oktober 2014, Tim Debat UNY ter­­pak­­ sa me­nya­bet ju­a­ra ke dua dalam per­lom­ba­an Kompetisi Debat Nasional yang di­se­leng­ga­ ra­kan oleh BEM FIS UNY di Kampus Fakultas Ilmu Sosial UNY. Kompetisi Debat Nasional yang diikuti oleh 12 pe­ser­ta yang be­ra­sal dari ber­ba­gai ma­cam U­ni­ver­si­tas di In­do­ne­sia, acara ini ber­lang­sung dari pukul 08.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB. Prosesi debat berjalan lancar dan di­du­kung oleh antusiasme ma­ha­sis­wa yang men­ja­di suporter dari universitas masing-masing. Tema dari per­lom­ba­an Debat Nasional yang di­se­leng­ga­ra­kan di Universitas Negeri Yogyakarta a­da­lah isu-isu po­li­tik dan hu­kum yang ber­kem­bang di Indonesia de­wa­sa ini. Per­lom­ba­an ber­lang­sung secara alot me­ngi­ngat da­lam per­lom­ ba­an ini setiap u­ni­ver­si­tas di Indonesia me­ngi­rim­ kan de­le­ga­si ter­ba­ik­nya untuk me­ngi­ku­ti Kompetisi Debat Nasional ini. Tim Debat UNY beranggotakan 3 orang yang keseluruhannya merupakan kader Komisariat GmnI UNY kalah tipis dalam perhitungan poin di dalam partai final dari Universitas Airlangga Surabaya. “Sungguh sangat disayangkan, ini merupakan se­ bu­ah cambukan bagi kami untuk belajar lebih dan lebih lagi, kami akan berusaha lebih keras untuk meng­ha­rum­kan nama organisasi dan almamater” sambut Bung Agil, salah satu delegasi UNY dalam lomba Debat Nasional yang juga merupakan salah satu kader Komisariat GmnI UNY. Tim Debat UNY yang be­rang­go­ta­kan Bung Titis Bintoro dari FIS, Bung Mirza Bashirudin A dari FIP, dan Bung Agil Widiatmoko dari FBS ter­pak­sa harus tunduk dari Universitas Airlangga di partai final ber­ da­sar­kan per­hi­tu­ngan poin. “Sungguh sangat tidak disangka, mengingat pergulatan dalam debat di partai final tadi Tim UNY terlihat jauh lebih unggul dalam mematahkan argumen lawan” sambut Rizky salah seorang penonton lomba debat nasional tersebut. Tim Debat UNY merupakan salah satu tim ung­ gu­lan dalam per­lom­ba­an Kompetisi Debat Nasional ter­se­but, terbukti dari awal mula per­lom­ba­an di­mu­ lai Tim Debat UNY yang be­rang­go­ta­kan 3 kader 20

Komisariat GmnI UNY berhasil membabat habis lawan-lawannya dalam adu argumen di per­tan­di­ ngan. Di partai penyisihan Tim Debat UNY ber­ha­sil mengalahkan secara telak tim dari UII, se­dang­kan di partai semifinal Tim Debat UNY ber­ha­sil me­nga­ lah­kan rekan satu kan­dang­nya sendiri. Tim Debat UNY yang be­rang­go­ta­kan kader GmnI UNY terlihat luwes dalam pe­nyam­pa­i­an ar­ gu­men­nya di­a­tas podium. “Kami sudah matang dalam melahap isu-isu seperti ini, kami sering mendiskusikan permasalahan seperti ini dalam kehidupan sehari-hari. Culture diskusi kawan-kawan GmnI merupakan salah satu kunci kami dalam pertandingan hari ini.” Tegas Bung Titis dalam sela-sela lomba Debat Nasional tersebut. Kompetisi Debat Nasional yang menggunakan sistem debat parlemen Inggris ini mengupas habis permasalahan-permasalahan dan isu yang ber­kem­ bang dalam dunia hukum dan politik di Indonesia. Diantaranya isu yang menjadi mosi debat dalam Kom­ pe­ti­si Debat Nasional ini adalah sistem presidential treshold, calon presiden independen, permasalahan dalam TAP MPR, zaken cabinet dan ber­ba­gai isu ak­tual da­lam per­kem­ba­ngan hukum dan politik ­Indonesia dewasa ini. Menjadi runner up dalam sebuah kom­pe­ti­si bu­ kan­lah sebuah kejadian yang menyebabkan mental kader menjadi mlempem, justru ini adalah sebuah cambuk guna terus menyemangati kader GmnI, khususnya Komisariat GmnI UNY guna terus belajar dan berusaha untuk menjadi yang terbaik di kemudian hari. “Kami tidak akan menyerah, kegagalan hari ini adalah motivasi untuk kemenangan esok hari” tegas Bung Mirza di akhir perlombaan.

liberdade Edisi i | November 2014


Potret Kaum Marhaen di Kala Fajar Foto oleh: Titis Bintoro

Pedagang, dikala fajar juga siap menjajakan dagangannya


Pada pagi hari, loper koren siap menjual korannya, di sekitar perempatan Tugu Yogyakarta.


Persiapan bahan dagangan, untuk segera dijualkan


Dengan mengayuh sepeda, mau menjajakan daganganya


K A BA R G E R A K A N

Universitas Teknologi Yogyakarta Siap Lepas Landas Oleh : Muh. Saharudin Aslam

G

erakan mahasiswa nasional Indonesia (GmnI) UNY mulai melebarkan sa­yap­nya ke kampus-kampus yang belum terjamah aktifitas GmnI seperti halnya kampus Universitas Teknologi ­Yogyakarta. GmnI sekarang mulai me­ nye­bar­kan ek­sis­ten­si­nya di kampus UTY. Mahasiswa UTY mulai diprkenalkan GmnI melalui program pengembangan organisasi Komisariat GmnI UNY. Hal ini k­ ong­ru­en dengan visi misi Komisariat GmnI UNY dalam mengembangkan organisasi. Pengurus Komisariat GmnI UNY yang ber­jum­ lah­kan em­pat orang siap terjun lang­sung da­lam pro­ ses pe­ngem­ba­ngan organisasi. Bung Fahrur se­la­ku Wa­kabid Kaderisasi dan Pengembangan Organisasi Komisariat GmnI UNY menegaskan “Kami siap turun dalam mengembangkan organisasi, mari kita buktikan siapa yang bekerja betul dan ikhlas untuk organisasi, mereka atau kita. Ayo kita buktikan”. Terjunnya GmnI UNY dalam pe­ngem­ba­ngan or­ga­ ni­sa­si juga merupakan salah satu bentuk sikap pro­tes yang konstruktif bagi ke­ko­so­ngan kursi Wakabid Pengembangan Organisasi di DPC Yogyakarta. Be­ra­wal hanya dari 3 anggota di UTY dan sampai sekarang di UTY sendiri sudah terdapat 16 anggota GmnI yang siap melaksanakan prosesi KTD ­(Kaderisasi Tingkat Dasar). Da­lam per­kem­ba­ngan­nya ke depan GmnI UNY yang se­ca­ra penuh ber­tang­gung ja­wab atas per­kem­ba­ngan GmnI di UTY me­nyatakan siap membantu dalam pembentukan Komisariat GmnI UTY. “Kemungkinan kami siap lepas landas dalam beberapa bulan ke depan” tegas Bung Candra salah seorang kader GmnI UTY Kegiatan GmnI di kampus Universitas Teknologi Yogyakarta sekarang mulai berjalan rutin dengan diadakannya diskusi rutin setiap rabu sore dikampus UNY. Anggota GmnI UNY yang berasal dari UTY antusias dalam mengikuti diskusi yang diadakan oleh pengurus GmnI UNY. Para anggota GmnI UNY yang berasal dari UTY sangat loyal dan aktif dalam mengikuti berbagai kegiatan-kegiatan yang di adakan oleh GmnI UNY dengan tujuan mereka dapat belajar dan berproses

dalam setiap penanaman ideologi atau asas dalam perjuangan GmnI, untuk di implementasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam kehidupan kampus. Anggota GmnI UNY yang berasal dari kamous UTY mendapatkan ilmu yang sangat berharga yang belum tentu didapatkan dari kegiatan belajar mengajar dalam perkuliahan. Dalam waktu dekat jika tidak ada halangan yang berarti UTY akan berkembang dan tumbuh menjadi Caretaker UTY dengan dibawah naungan dan ko­or­ di­nasi Komisariat GmnI UNY. Ber­sa­ma­an dengan itu, harapan kawan-kawan UTY juga dapat me­nam­ bah ang­go­ta sehingga terlihat hasil yang signifikan dalam segi kuantitas, mempererat hubungan antar mahasiswa UTY pada khususnya dan menambah relasi dengan teman-teman dari Komisariat lain pada umumnya. Kendala yang mungkin dihadapi bagi keberlangsungan GmnI UTY adalah koordinasi antar anggota yang masih minim dan kurang masif. Dikarenakan jarak antar kampus 1 dengan 2 dan 3 yang terlalu relative jauh, sehingga menjadi salah satu faktor kurangnya waktu berkumpul baik secara formal maupun kultural. Bersamaan dengan itu, penyebaran agitasi dan propaganda akan adanya GmnI di kampus UTY akan terus disuarakan guna menampung calon anggota dan sekaligus membawa angina segar bagi kehidupan inteektual di kampus UTY yang sedikit memprihatinkan. Karena dengan disebarkanya isu-isu tentang kemunculan GmnI di kampus UTY maka akan tercipta suasana kompetitif yang dinamis antar organisasi. Hal ini sangat penting dalam merubah da mendobrak kehidupan kampus yang monoton dan aoatis terhadap permasalahan real yang terjadi di Indonesia, serta dapat menciptakan yang insan peduli pada setiap masalah-masalah yang janggal dan tidak terpaku pada sebuah sistem yang salah, dengan dikembangkannya GmnI di kampus UTY diharapkan dapat menciptakan insan yang mampu memegang teguh nilai-nilai marhainisme serta ­dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

liberdade Edisi i | November 2014

25


PE NDIDIKAN

Pendidikan: Dekonstruksi dan Utopia Oleh: Mirza Ahmad

P

endidikan mau tak mau hari ini merupakan sebuah alat untuk melegitimasi sebuah kekuasaan, menjadi bagian dari sebuah rezim yang meninggalkan kompleksitas esensi mulia yang terkandung didalamnya. Menjadi sebuah ironi ketika segelintir teoritisi dan praktisi seperti Paulo Freire dan Ivan Illich menguliti hidup-hidup institusi pendidikan yang terbilang keramat. Pendidikan tak ubahnya sebuah mesin yang mencetak robot-robot yang siap dipekerjakan di dalam tungku-tungku panas rezim neo-liberalisme yang telah memberikan perspektif kepada pendidikan bahwa ia haruslah sejalan dengan kepemilikan modal raksasa. Seorang sarjana teknik akan berurusan dengan perakitan mesin motor yang dikemudian hari belum tentu sang sarjana mampu membeli motor itu sendiri dengan uang gajinya. Kekuatan suprastruktur akan mempengaruhi secara kuat terhadap kegiatan produksi, hubungan produksi dan segalanya yang koheren dengan basis infrastruktur sosial. Sehingga manusia, sebagian manusia, atau hampir seluruh manusia dengan segera kehilangan kesadarannya tentang apa substansi dunia kehidupan termasuk sosial budaya dan pendidikan. Hal ini menjadikan suprastruktur sangat he­ge­mo­ nik ketika mampu menguasai kesadaran kolektif masyarakat, seakan-akan masyarakat tengah dibuai dalam ayunan neo-liberalisme yang dikemudian hari akan memeras keringat mereka hingga tak mampu lagi berkeringat. Institusi pendidikan menjadi sasaran utama suprastruktur yang hegemonik, dimana ia merupakan alat yang menyebarluaskan ide-ide dan kesadaran kolektif masyarakat yang pada nantinya akan menyokong keberlangsungan tatanan hidup status quo. Pendidikan dijadikan alat bius total kepada setiap peri-peri kehidupan manusia sehingga mengkonstruksi tatanan kehidupan versi penguasa yang tentu sejalan dengan pemilik modal raksasa. Sebagaimana pula negara Indonesia yang memiliki hampir 280 juta penduduk, sebuah kekayaan akan jumlah jiwa manusia ini dijadikan sebagai piranti 26

penting dalam membangun sebuah koloni tenaga kerja yang siap ditransfer kesana kemari demi pertumbuhan ekonomi nasional dan dunia, betapa pentingnya jumlah 280 juta jiwa Indonesia dalam perspektif ekonomi. Tenaga-tenaga kerja ini sebelum ditransfer akan dididik dengan pendidikan yang terbaik hingga dilahirkanlah para profesional dan lex specialis yang tak lagi mampu menghayati betapa mengerikannya proses dan tujuan akhir pendidikan yang ia alami, ini semua karena ia dididik dalam sebuah habitushabitus yang berisikan obat bius.

UU Sisdiknas dan Dekonstruksi

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Potongan diatas merupakan isi dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang termaktub dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Bahasa yang mem­bi­ ngung­kan ala undang-undang inilah yang kemudian diterjemahkan ke dalam penyelenggaraan pendidikan kita hari ini. Isi dari fungsi dan tujuan ini menekankan pada titik kemampuan dan potensi individu warga negara. Individu atau perorangan dari warga negara menjadi penting untuk dikembangkan potensinya agar juga mampu menjadi warga negara negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Setiap undang-undang yang dibentuk oleh pemerintah maka landasan utamanya adalah Pancasila dan UUD 1945 secara berurutan. Maka perlu kita pertanyakan apakah UU Sisdiknas ini telah berlandaskan Pancasila atau tidak. Tujuan pendidikan memang mengembangkan potensi diri individu namun meninggalkan prinsip sila ke-2, 3, 4, dan 5, yaitu nilai-nilai kemanusiaan, persatuan bangsa, demokrasi

liberdade Edisi i | November 2014


PENDIDIKAN

ala Indonesia dan keadilan sosial. Pengembangan individu pada akhirnya akan berujung pada kompetisi antar individu, kompetisi ini akan melupakan apa makna persatuan bangsa, kompetisi ini juga akan melupakan bagaimana keadilan sosial bisa terwujud jika free fight competition diterapkan dan dipundak individu pula demokrasi diletakkan dalam konsep one man one vote. Fenomena sosial mungkin akan luput dari perhatian kita ketika kesadaran kolektif telah dibekukan oleh kekuatan suprastruktur yang hegemonik. Bahkan kesadaran kita dengan mudah “diarahkan” pada persoalan-persoalan tertentu, dalam titik yang paling nadir yaitu ketika kesadaran manusia berhenti dalam lingkaran urusan perut. Begitu juga dengan tujuan pendidikan ini, kita semua akan diarahkan untuk kembali menjadi individu-individu yang berkutat pada urusan perut, se­hingga semua orang akan berlomba-lomba meMirza | Liberdade nafkahi perutnya masing. Belum lagi logika link and match yang berusaha menawarkan konsepsi perselingkuhan pemodal raksasa, pendidikan dan perusahaan dimana pendidikan akan berfungsi sebagai bagian utuh dari perusahaan yaitu sebagai unit produksi tenaga kerja dengan spesifikasi tertentu atau yang kita kenal hari ini sebagai nilai-nilai profesionalitas lex specialis. Pancasila juga ditanamkan dalam pendidikan dengan konsep yang tidak jauh berbeda dengan PMP ala orde baru, lewat PPKn atau Kewarganegaraan. Menjadi hal yang lumrah kita ketahui bersama bahwa motif utama dari kebijakan ini adalah desukarnoisasi dan depolitisasi pancasila itu sendiri. Negara yang seharusnya memiliki karakter Pancasila dalam setiap kebijakannya kini telah berusaha membunuh Pancasila dengan tangannya sendiri untuk bisa menggantinya dengan asas yang lebih bebas dan lebih demokratis ala Amerika. Sebab itu pula tersemat frase “menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung-

jawab” di dalam UU Sisdiknas dimana konsep one man one vote akan dipelintir sebagai penyelamat demokrasi.

Alternatif Solusi Utopis Tidak ada suatu pergerakan revolusioner tanpa adanya teori yang revolusioner, ungkap Lenin dalam sebuah pergerakan massa di zaman Uni Soviet. Ung­ ka­pan tersebut ingin mengatakan bahwa keadaan sosial akan ditentukan oleh dasar filosofi dan pan­ dang­an hidup. Keadaan sosial ini akan berubah apabila masyarakat secara bersama melakukan dekonstruksi atas pemahamannya sendiri, me-redefinisi ulang struktur tatanan kehidupan yang pointless. Masyarakat pun harus seia-sekata tentang fondasi kehidupan berikut tatanan struktur yang akan menjadi representasi konsensus mereka. Begitu juga dengan pendidikan, ia harus didekonstruksi dan di-redefining point, pe­rang­kat un­ dang-un­dang harus dirombak, agar sesuai dengan konsensus utama yang menjadi pandangan hidup masyarakat Indonesia ya­i­tu Pancasila. Dalam upa­ya de­kons­truk­si dalam pendidikan, Pancasila juga mampu berdiri sebagai ideologi kritis untuk mempertanyakan kembali bahkan menjadi sebuah pisau analisa yang sangat tajam dimana struktur bangunan dunia kehidupan Indonesia yang dikelola oleh negara tidak lagi memperjuangkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Aliran pendidikan juga harus diselaraskan de­ ngan praksis yang berkorelasi dengan perubahan sosial secara mendasar baik secara kuantitatif dan kualitatif. Teori pendidikan dan kebudayaan harus digali ulang demi menemukan identitas diri dan bangsa yang telah lama terkubur dibawah ketiak rezim neo-colonialism dan neo-imperialism. Tidak ada lagi ruang untuk rasa inferioritas dan temukan kem­ba­li hu­ma­ni­tas na­si­o­ na­lis­me lewat karya anak bangsa seperti apa yang Founding Fathers kita ajarkan agar tidak melupakan sejarah, pendidikan Indonesia telah melalui sejarah yang panjang baik sebelum merdeka hingga hari ini. Teori pendidikan indonesia juga harus diperkaya dengan teori yang mendukung perubahan sosial secara radikal dan mengembalikan identitas diri, seperti Ki Hajar Dewantara dan Paulo Freire.

liberdade Edisi i | November 2014

27


PE NDIDIKAN

Elegi Konferensi Internasional II Para Transenden Oleh Profesor Marsigit (Alumni GmnI UNY)

Mirza | Liberdade

Transenden Ketua: Wahai para Transenden, dari perbedaan diantara engkau semua apakah kira-kira kita bisa mencari solusi yang adil bagi semua transenden yang ada. Silahkan! Transenden Dunia Barat: Hemm...gampang saja untuk mencari solusi persoalan dunia secara adil itu. Adil itu harus berdasar fakta, potensi dan manfaatnya. Jika seseorang punya kompetensi 10 maka tidak adil jika hanya diberi haknya 5. Jika seseorang mempunyai kompetensi 4 maka tidak adil kalau menuntut haknya 9. Bukankah engkau tahu bahwa Dunia Barat dan Dunia Utara itu telah bekerja dan berkarya banyak. Menurut refleksiku maka kerja dan karyaku itu perlu mendapat nilai 10. Maka keadilah yang pantas buat Dunia Barat dan Dunia Utara adalah mendapatkan haknya yang 10 itu. Jika kami hanya mendapat haknya di bawah 10 maka itu namanya tidak adil. 28

Transenden Dunia Timur dan Selatan: Gampang saja untuk mencari solusi persoalan dunia secara adil itu. Adil itu harus berdasar norma, konteks dan local genious. Jika seseorang berasal dari Dunia Timur dan Dunia Selatan maka dia harus memperoleh hak sesuai dengan karakteristik dunia Timur dan Dunia Selatan. Jika tidak demikian maka tidak adil namanya. Maka saya agak keberatan dengan kriteria adil dari Dunia Barat dan Dunia Utara. Saya juga agak keberatan dengan inervensi Dunia barat dan Dunia Utara terhadap Dunia Timur dan Dunia Selatan. Dari pada selalu merugi lebih baik aku tidak usah bergaul dengan Dunia Barat dan Dunia Timur. Transenden Ketua: Aku menangkap nuansa yang berbeda dari dua dunia yang berbeda. Jika dibiarkan maka Dunia Barat dan Dunia Utara cenderung menguasai dan meng­eks­ plo­i­ta­si Dunia Timur dan Dunia Selatan. Tetapi agak sulit jika kita sudah berbicara fakta. Wahai Dunia Timur dan Dunia Selatan, kenyataannya berbicara lain. Faktanya, tiada sudut-sudut pintumu yang dapat tertutup oleh karena teknologi dan kecanggihan pe­nga­ ruh Dunia Barat dan Dunia Timur. Jika engkau tetap bersikukuh tidak mau bergaul maka dalam jangka pendek engkau akan mengalami degradasi iden­ti­tas­ mu. Dalam jangka panjang engkau akan kehilangan jati dirimu. Bagaimana menurut pendapatmu? Transenden Dunia Timur: Wahai Transenden Ketua. Aku tidak setuju de­ ngan kriteria pembagian dunia oleh dirimu. Ketahuilah bahwa sejarah perkembangan diriku menyatakan bahwa walaupun di masa lampau aku itu engkau sebut sebagai Dunia Timur, tetapi dikarenakan pergaulan eleganku dengan Dunia Barat dan Dunia Utara serta karena kuatnya kepribadianku maka aku sekarang telah menjelma menjadi Dunia Timur Barat Utara. Tidak masalah aku bergaul dengan Dunia Barat dan Dunia Utara. Ketahuilah kompetensi-kompetensiku justru hampir menyamai bahkan melebihi kompetensi Dunia Barat dan Dunia Utara. Aku sekarang telah menjadi ancaman nyata bagi mereka. Aku telah

liberdade Edisi i | November 2014


PENDIDIKAN

merebut pusat perdagangan mereka. Memang aku mengakui bahwa aku agak bersifat kanibal, artinya untuk menjamin kehidupan duniaku maka aku juga ikut-ikutan untuk mengekploitasi Dunia Selatan. Transenden Dunia Selatan: Ternyata aku menemukan bahwa sebagai dunia itu harus bersifat mandiri, karena faktanya sekarang aku tidak mempunyai teman. Aku sebagai Dunia Selatan telah dijadikan ladang eksploitasi dari semua Dunia Maju. Jika aku mampu berjuang untuk bangkit dan menyamai kompetensi Dunia Maju maka siapa yang akan dijadikan lahan eksploitasi. Jika mereka subyek maka siapa obyeknya. Maka akan bertentangan dengan hukum alam karena akan di dapat subyek tanpa obyek. Aku merasa iba kepada Dunia Maju jika mereka kehilangan obyek eksploitasi. Sebesar-besar anomali adalah anomali dunia selatan. Tidak peduli presiden, menteri, pejabat, rokhaniawan, guru, dosen, mahasiswa, para bankir, tokoh politik. Oh..nasib.. nasib...aku menjadi teringat kesombongan seorang Profesor dari Dunia Utara yang mengatakan kepadaku “Aku kaya karena miskin..sedangkan engkau miskin karena kaya”. Kenapa wilayahku yang begitu luas, kenapa hartaku yang begitu melimpah malah membuat diriku menjadi fakir miskin. Aku telah menjadi fakir buktinya aku tidak pernah memahami setiap skenario meraka dalam mengekploitasiku. Aku telah menjadi miskin buktinya aku selalu menanti dan meminta bantuan dan sumbangan dari mereka. Dari semua Transenden yang ada ternyata hanya diriku sendiri yang mengalami sakit. Tetapi sakitku itu tidak main-main. Aku mengalami sakit ontologis yaitu anomali pada segenap unsur-unsurku. Maka aku bicara dan bertindak apapun di hadapan para Transenden yang lain, tidak akan pernah sinkron, tidak akan pernah betul dan bersifat aneh serta lucu bagi mereka. Semakin banyak aku bicara semakain tampak bahwa diriku itu bersifat anomali. Aku menyerah tanpa syarat. Transenden Ketua: Apa maksudmu menyerah tanpa syarat? Transenden Dunia Selatan: Karena tidak ada solusi terbaik dari segala persoalan duniaku, maka dengan ini aku menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Dunia Barat, Dunia Utara dan Dunia Timur. Silahkan mereka bebas menerapkan segala syarat-syarat eksploitasi mereka kepada diri kami. Hanya satu saja permintaan saya kepada mereka yaitu “agar aku tetap diberi hak hidup di dunia kami sendiri”.

Transenden Ketua: Wahai Transenden Dunia Barat, Transenden Dunia Utara dan Transenden Dunia Timur. Engkau telah mendengar sendiri pernyataan menyerah tanpa syarat dari Dunia Selatan. Hanya satu permintaan mereka yaitu agar tetap diberi hak hidup di dunianya sendiri. Transenden Dunia Barat: Hah aku ingin berkata dalam hati “Per­min­ ta­an untuk hidup adalah permintaan yang bodoh. Pernyataan menyerah itu sendiri sudah menunjukkan bahwa Dunia Selatan itu mengakhiri hidupnya alias mati. Maka permintaan agar tetap diberi hak hidup di dunianya sendiri itu sebetulnya sudah terjawab. Karena Dunia Selatan telah tiada maka tidak ada pula haknya, tidak ada pula sifatnya, tidak ada pula pikrannya, tidak ada pula karyanya, tidak ada pula tulisannya, tidak ada pula jejaknya, tidak ada pula kegiatannya, tidak ada pula orangnya yang mengikuti konferensi internasional, tidak ada pula kompetensinya, tidak ada pula harga dirinya, tidak ada pula hak memiliki, tidak ada pula ...yang terakhir ...akan segera terwujud tidak ada pula ..namanya” Transenden Dunia Barat: Akan aku jamin hak hidup Transenden Dunia Selatan selama dia mengikuti semua syarat-syarat dan kepentinganku. Aku ingin tersenyum dalam hatiku dan berkata “Tetapi ketahuilah wahai Transenden Dunia Selatan, benar kata Bagawatku tuan Francis Bacon bahwa Ilmu itu adalah Kekuasaan. Ketahuilah aku sekarang berkuasa atas dirimu itu dikarenakan Ilmuku. Ilmuku itu termasuk menggunakan dan memanfaatkan jargonmu untuk meniadakan jati dirimu. Ketahuilah bahwa salah satu jargonmu yang aku gunakan adalah Si Fakir itu akan menjadi Miskin dan si Miskin itu juga akan menjadi Fakir. Maka Jejaring Sistemiku telah dan akan menghisap semua cairan kehidupanmu. Dan untuk menjamin kelangsungan hidupku dan menghidupi anak cucuku, maka bagaimanapun aku akan selalu berusaha agar engkau tetap Fakir dan tetap Miskin. Inilah juga pembalasanku kepadamu karena berani-beraninya engkau pada tahun seribu sembilan ratus empat puluh lima, engkau menggebug diriku dan menyatakan kemerdakaanmu. Apa bekalmu berani bertindak seperti itu. Nyatanya engkau hanya puas maunya hanya sebagai Ada Merdeka, tetapi tidaklah ada kemampuan Mengada Merdeka dan Pengada Merdeka. Itulah sebenar-benar tindakan bodhohmu. Dan tindakan bodhohmu itulah yang membawa kematianmu”.

liberdade Edisi i | November 2014

29



Tim Teropong: Agil Widiatmoko (Koordinator) Jaka Herlambang Titis Bintoro


T E R OPONG

Berjuang Menolak Tambang Pasir Besi Oleh: Agil Widiatmoko

M

enanam adalah melawan, itulah motto yang selalu diemban oleh petani pesisir Kulon Progo. Perlawanan yang terus dikobarkan adalah dengan terus melakukan kewajiban petani yaitu menanam, merawat, dan memanem. Ti­ga hal po­kok itu yang menjadi spirit petani pesisir Kulon Progo untuk memperjuangkan hak mereka dari perusahaan pertambangan untuk melakukan penambangan pasir besi, di sepanjang pesisir Kulon Progo. Widodo, warga Garongan menceritakan bahwa kehidupan petani sekarang sudah sejahtera, dan merdeka. Maka jangan sekali-kali menganggu kesejahteraan ini dengan penambangan pasir besi. Merdeka yang berarti para petani bebas bisa menanam apa saja yang dikehendakinya di tanahnya, tanpa ada intimidasi dari pihak manapun. “Pasir besi itu, tidak menguntungkan sama sekali buat petani,” tegasnya saat di temui di rumahnya. Hal itu pun juga diamini oleh Manto, warga yang tinggal di desa Bugel itu juga yakin kalau tambang itu sama sekali tidak menguntungkan bagi warga. Oleh karena itu, petani pesisir pantai menolak adalah harga mati. Kebulatan tekad itu menunjukan bahwa petani sudah tahu, kalau adanya tambang itu hanya akan membuat petani menderita kembali. “Jelas, tambang itu pasti menyengsarakan petani, makanya kami tolak dengan tegas,” tandasnya.

Awal yang Sulit di Pesisir Tahun 1980-an warga pesisir pantai sering kali di cap sebagai wong cubung. Streotip tersebut sebagai bentuk cap kepada warga pesisir yang terkenal miskin, dan penyakitan. Widodo menceritakan masa kecilnya yang jauh dari kata sejahtera. Ia menuturkan, pada saat kecil hanya makan satu kali sehari yaitu pada siang hari, untuk sarapan biasanya hanya memakan Ubi Jalar. Rumah-rumah di desanya saat itu juga belum ada rumah yang memakai batu-bata sebagai dindingnya. Waktu itu rumah-rumah penduduk hanya berdinding perak (getepe blarak) yaitu dinding yang dibuat dari anyaman daun dan pelepah kelapa, dan atapnya terbuat 32

dari anyaman daun kelapa. “Jika ada angin yang agak kencang, dinding-dinding maupun atap rumah bisa terbang terbawa angin,” kenang Widodo. Akhirnya pada tahun 1984, masyarakat pesisir pantai menemukan metode pertanian yang bisa membuat lahan pasir, bisa ditanami, dan produktif. De­ ngan kerja gotong royong, metode pertanian yang ada terus dikembangkan. Keberhasilan mengembangkan metode pertanian, membuat hasil panen para petani semakin banyak. Lantas petani menjadi semakin naik taraf ekonomi, dan cap sebagai wong cubung, hilang dengan sendirinya.

Ancaman Tambang Pasir Besi Pada akhir 2005, berhembus wacana penambangan pasir besi yang akan dilakukan di pesisir pantai Kulon Progo membuat petani mulai resah dengan wacana tersebut. Kegelisahan yang dirasakan para petani mulai menyebar seantero pesisir Kulon Progo. Menurut Isyanti, salah seorang warga desa Bugel, wacana tersebut cepat menyebar melalu obrolan para petani, yang kerap kumpul bersama. Sampai akhirnya tanggal 1 April 2007 terbentuklah sebuah wadah petani yang bernama Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulon Progo. Paguyuban itu akhirnya melakukan musyawarah besar dengan dihadiri oleh semua kelompok petani dari desa Banaran, Katang Sewu, Bugel, Pleret, Garongan, dan Karangwuni. Hasil dari musyawarah tersebut menghasilkan tiga opsi sikap PPLP terhadap wacana penambangan pasir besi. Pertama Menerima tambang besi, Ke dua menerima dengan syarat, dan ke tiga menolak harga mati dengan berbagai alasan. Pada akhirnya opsi yang ke tiga dipilih sebagai sikap PPLP terhadap wacana penambangan pasir besi. “Tanpa dikomando, dan dikoordinir petani sudah tahu mana yang seharusnya dipilih,” ujar Widodo yang mengampu hubungan masyarakat (humas) di struktur PPLP. Dengan terbentuknya PPLP, menjadikan petani pesisir pantai lebih terorganisir dalam bergerak menolak penambangan pasir besi. Menurut Widodo saat

liberdade Edisi i | November 2014


G ERA K A N R A K YAT M E NOL A K PA S I R B E S I

Titis | Liberdade

- Salah satu bentuk penolakan terhadap tambang pasir besi

ditemui dirumahnya, sampai saat ini PPLP sudah melakukan berkali-kali aksi, sebagai bentuk penolakan terhadap proyek penambangan pasir besi. “Aksi itu, sebagai hiburan bagi petani pesisir sini,” tambahnya. Aksi tersebut seperti yang dilakukan pada 27 Agustus 2007 di kantor pemerintahan daerah Kulon Progo, aksi yang dilakukan dengan tuntutan pembatalan proyek tambang pasir besi. Selanjutnya aksi dilakukan pada 1 Maret 2008, dengan memblokir jalan menuju kawasan pesisir yang dilakukan oleh warga. Itulah aksi awal-awal yang dilakukan oleh PPLP, selebihnya mereka sudah sering kali melakukan aksi. Bahkan mereka pernah melakukan aksi dengan mengerahkan masa 3000 orang di UGM pada 21 Juli 2008. Aksi di UGM tersebut, lantaran dipicu oleh penelitian yang dilakukan oleh sekelompok orang asal UGM yang meneliti tanah di pesisir pantai untuk dijadikan tambang pasir besi. Menurut petani, penelitian ini adalah bentuk persekongkolan dengan perusahaan pertambangan, agar jalannya mulus dalam melakukan rencana penambangan pasir besi. Selain melakukan aski petani pesisir selatan Kulon Progo juga melakukan perjuangan melalui cara yang lebih moderat. Salah satu caranya adalah berkirim surat resmi ke presiden, DPRD Kulon Progo, DPRD DIY, kedutaan besar Australia Komnas HAM, dan KPK. “Cara-cara ini juga kami lakukan, karena berjuang tidak hanya dengan aksi,” tutur Widodo.

Tetap Menjaga Spirit Perjuangan Sudah lebih dari delapan tahun petani pesisir Kulon Progo, memperjuangkan penolakan terhdap wacana penambangan pasir besi yang akan dilakukan oleh JMI. Menurut Manto, petani tetap konsisten dalam berjuang. Sejak tahun 2006, spirit yang diemban masih tetap terjaga sampai saat ini. “Lawan petani

disini kan semua tahu, yaitu Feodal dan Kapital, jadi media kurang terlalu mengekspose permasalahan ini, “tegasnya. Spirit tersebut dibuktikan dengan tidak memberikan tanah-tanah yang ada kepada pihak penambang. Petani disini menyadari, jika tanah diserahkan maka hidup akan berakhir. “Tanah adalah sumber kehidupan, makanya petani tidak mau tanahnya dibeli dengan harga berap pun kepada JMI, mereka tidak bisa hidup kalau tanahnya dijual,” terang Manto saat ditemui di rumahnya. Penguatan barisan juga dilakukan di dalam tubuh PPLP itu sendiri. Misalnya saja dengan mengadakan diskusi disela-sela waktu luang. Menurut Manto, cara-cara diskusi tersebut sangat efektif, dalam hal menanamkan kesadaran kepada masyarakat tentang bahaya yang akan ditumbulkan penambangan pasir besi di pesisir kulon progo ini. Pemahaman tersebut, juga menjadikan petani tetap bersatu menolak tambang pasir besi. Selain itu, petani juga bisa mengabarkan kepada anak-anak mereka tentang bahaya dari penambangan ini. Seperti yang terjadi saat reportase di desa Bugel, anakanak sudah mengerti konflik pasir besi ini, bahkan mereka sudah bersikap menolak pasir besi. “Tolak pasir besi,” seru anak-anak yang ditemui di jalan desa Bugel. Pengetahuan semacam ini memang harus dilakukan, agar generasi penerus petani tidak akan pernah lupa dengan perjuangan yang dilakukan selama bertahun-tahun untuk menolak tambang pasir besi. Anak-anak perlu tahu, biar warisan api perjuangan tetap membara di dalam hatinya. “Anak-anak memang harus tahu, konflik petani dengan para penambang, jika tidak tahu mereka hanya akan dibodohi oleh pihak penambang,” tutup Manto.

liberdade Edisi i | November 2014

Reporter: Jaka. Titis 33


T E R OPONG

Titis | Liberdade

- Tanah adalah sumber penghasilan dari warga pesisir, dalam mencapai kesejahteraan

Tanah: Tahta untuk Rakyat Oleh: Titis Bintoro

D

i iringi sejuknya angin laut yang berhembus kencang, di sebuah pematang sawah pesisir pantai Kulon Progo, terlihat seorang ibu paruh baya memakai pakaian apa adanya, bertopikan caping lusuh namun terlihat gembira ketika memanen buah semangka yang sangat besar di sawah miliknya. Bu Is, begitu warga di Desa Bugel pesisir pantai Kulonprogo ini menyebutnya. Terlihat jelas di raut wajah wanita paruh baya ini ada semangat yang menggelora, tidak sedikitpun semangat itu padam dengan situasi desa yang tidak kondusif pasca kisruh tambang pasir besi di pesisir Kulonprogo ini. “Kami tetap menanam, dan ini adalah bukti perlawanan kami terhadap proyek penambangan� tegasnya. Tanah adalah alat produksi yang paling utama bagi kaum tani. Tanpa adanya tanah itu juga berarti tidak adanya penghidupan bagi kaum tani. Pengaruh kepemilikan tanah bagi kaum tani tidak hanya berdampak pada keadaan ekonomi saja, dimana dinilai dengan nominal dan materi, tapi lebih masuk ke dalam tataran yang lebih dalam dimana tanah bagi kaum tani memiliki pengaruh yang besar terhadap keadaan sosial budaya. Persoalan konlik tanah sebenarnya sangat sering terjadi di era feodalisme, dimana hasil dari petani harus dibagi kepada tuan tanah atau raja yang berkuasa. Sedikit merefleksi bahwa Daerah istimewa Yogyakarta dahulunya adalah daerah swapraja Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Pakualaman. Dimana pemerintahan pada waktu itu masih 34

menganut sistem monarki absolut dan khas dengan aroma feodalisme. Menurut Boedi Harsono, swapraja adalah suatu wilayah yang merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda atau dalam bahasa Belanda disebut Zelfbestuurende Lanschappen, yang kepala wilayah tersebut biasa disebut dengan Sultan, Sunan, Raja atau gelar adat yang lain. Yang berdasarkan perjanjian dengan pemerintahan Hindia Belanda menyelenggarakan pemerintahannya sendiri di wilayah yang bersangkutan, masing-masing berdasarkan perjanjian tersebut serta adat istiadat daerahnya masing-masing (Boedi Harsono 2005 : 17). Badan Pertanahan Nasional mencatat bahwa Kraton Yogyakarta mempunyai tanah baik Sultan Ground maupun Pakualaman Ground sebanyak 6283 persil. Sebanyak 1160 bidang diantaranya telah diukur secara kadasteral dengan luasan sekitar 47,4 hektar. Rinciannya 230 di Bantul, 198 di Kulonprogo, 732 di Gunung Kidul, adapun di Sleman 1485. Ini merupakan hasil pemetaan di tahun 2005 ( Harian Jogja , Jumat 6 Sepetember 2013) Masa kerajaan di Nusantara kini sudah usai, tapi bila di runut ini secara historis bermula ketika tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, secara historis wilayah yang dulu merupakan daerah penjajahan Belanda masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tapi hal ini tidak berlaku bagi Yogjakarta yang pada masa penjajahan Belanda memiliki status khusus

liberdade Edisi i | November 2014


G ERA K A N R A K YAT M E NOL A K PA S I R B E S I

Zelfbestuurende Lanschappen atau yang pada masa penjajahan Jepang disebut dengan Kooti tidak masuk didalam bagian wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melainkan menjadi suatu wilayah yang otonom. Hingga akhirnya pada tanggal 5 September 1945 Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengeluarkan dekrit kerajaan atau yang biasa disebut dengan Amanat 5 September 1945 yang isinya adalah ‘ Ngayogyakarta Hadiningrat adalah daerah istimewa yang menjadi bagian dari Indonesia. Segala urusan dalam negeri Ngayogyakarta Hadiningrat berada dalam tangan sultan. Sultan bertanggung jawab langsung terhadap Presiden Republik Indonesia.’ Dekrit inilah yang kemudian menjadi landasan hukum dibentuknya Daerah Istimewa Yogyakarta. Selang 5 tahun kemudian diterbitkan UU no.3 Tahun 1950 yang kemudian diubah lagi menjadi UU no.19 Tahun 1950 dan UU no.9 Tahun 1955 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan sebuah regulasi yang mengalihkan sistem pemerintahan daerah swapraja menjadi sebuah daerah yang bersifat istimewa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak tahun 2006, konflik tanah yang terjadi antara Penambang, dengan rakyat pesisir pantai mulai bergulir. Permasalahan yang terjadi, lantaran Penambang diberi kewenangan untuk menggarap pertambangan pasir besi tersebut. Lahan yang akan digarap oleh Penambang mempunya panjang 22 km dan lebar 1,8 km dan ini berarti bahwa sebagian lahan pantai yang sudah menjadi lahan produktif bagi petani pun ikut masuk di dalam cakupan proyek pertambang pasir besi Penambang. Sementara itu, rakyat yang tergabung di dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), dengan lantang menolak adanya pertambangan pasir besi. Penolakan itu terjadi, lantaran lahan yang akan ditambang adalah tanah yang selama ini menjadi alat produksi warga yang mayoritas petani di daerah tersebut. Jika alat produksinya hendak di “rampas” sekalipun yang merampas adalah yang memiliki kuasa. Kaum tani di sekitar pesisir pantai Kulonprogo mengambil sikap menolak atas wacana pe­nam­ba­ ngan pasir besi. Menurut petani pesisir hal ini sangat logis mengingat mereka tidak akan bisa hidup tanpa adanya tanah untuk digarap. “Kami sudah sejahtera, jika memang terjadi proyek tambang keadaan kami lebih miskin dan parah, mgkn lebih parah dari 25 tahun yg lalu, diawali 87an keadaan kita sudah mulai

membaik, tanpa penambangan kita sejahtera, justru dengan adanya penambangan kita jadi kere” tegas Bu Is kepada tim reportase. Penambang yang diketahui, sebagian sahamnya, milik salah satu keluarga kerajaan membuatnya memiliki kuasa yang superior, untuk menguasai tanah-tanah yang akan dijadikan tempat penambangan. Padahal tanah disitu, terdiri dari tanah warga, tanah Pakualaman (tanah PA), tanah merah (tanah yang digunakan untuk bertani tapi tak jelas kepemilikannya), dan wedi kengser (tanah yang dulunya laut). Tanah-tanah itu yang meliputi empat kecamatan yaitu Temon, Wates, Panjatan, dan Galur sampai sekarang masih terjadi polemik, lantaran syarat utama dari tanah yang boleh dijadikan tempat penambangan adalah yang sudah diijinkan oleh pemiliknya. Sampai sekarang, yang sudah diijinkan adalah tanah PA, yang hanya sebesar lapangan sepakbola, ditambah makam yang luasnya hanya 100 meter persegi. Padahal yang digunakan untuk lahan tambang adalah 22 km x 1.8 km. Berarti tanah yang sudah mengantongi izin dari pemiliknya hanya sekitar 1% saja. Penambang pun melakukan upaya untuk bisa mendapatkan ijin dari pemilik tanah, salah satunya dengan menyerukan kepada pihak kraton, yang salah satu keluarganya memilki saham di JMI untuk menjadikan tanah merah, yang tidak memiliki sertifikat, menjadi tanah Magersari. Tanah merah sendiri adalah tanah Negara yang tidak dikelola, kemudian dikelola oleh petani, dan setelah 10 tahun dikelola bisa menjadi milik petani, sesuai dengan amanat UUPA. Sedangkan tanah Magersari adalah tanah yang tidak berlandaskan sertifikat, melainkan surat kekancingan dari pihak keraton sebagai penunjuk bahwa tanah itu adalah tanah sultan atau tanah pakualaman. Jika menilik kembali di Undang-undang Agraria yang kemudian dikuatkan Perda No.5 tahun 1954, memang betul bahwa tanah Negara yang sudah di­ ke­lo­la oleh petani selama 10 tahun akan serta merta menjadi hak milik dari penggarap dan keturunannya, sesuai dengan amanat Sultan HB IX, “Tanah Untuk Rakyat”. Disinilah adu kepentingan yang bersifat politis terjadi, mulai dari dipersulitnya petani-petani yang mengelola tanah merah, sampai pada pendataan tanah merah yang akan dijadikan tanah magersari sejak tahun 2010. Tuhan memberkati rakyat yang berjuang. MERDEKA !

liberdade Edisi i | November 2014

Reporter: Agil, Jaka 35


T E R OPONG

Kriminalisasi: Upaya Pembungkaman Gerak Rakyat Dok.Istimewa

Oleh: Jaka Herlambang

P

esisir Kulon Progo yang dulunya damai kini menjadi medan tempur sebuah pergolakan sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat pesisir. Pada awal tahun 2006 tersebar isu bahwa akan dibangun proyek penambangan pasir besi di sekitar pesisir selatan Kulon Progo. Isu tersebut ternyata terdengar oleh seluruh lapisan masyarakat yang ke­ ber­lang­­sungan hidupnya tergantung sepenuhnya oleh kemurahan hati lahan pantai. “Awalnya masyarakat pesisir menganggap bahwa isu yang tersebar merupakan salah satu isu politik dari salah satu calon bupati Kulon Progo” ujar Pak Widodo salah satu warga yang tinggal di Desa Garongan, Kecamatan Panjatan, Kulon Progo. “Setelah mendengar isu tersebut masyarakat mencoba membuktikannya, ternyata di lapangan memang ada aktivitas tersebut” tegasnya saat ditemui dirumahnya. Kehidupan yang penuh makna, ber­sa­ha­bat de­ ngan alam, merupakan filosofi hidup masyarakat pesisir Kulon Progo. Berbekal berbagai macam alasan yang telah sejak awal disepakati bersama, petanipetani pesisir pantai selatan Kulon Progo hingga sekarang tetap terus melawan setiap bentuk dan program-progam yang dirancang oleh lintah darat yang akan menggerogoti kelangsungan hidup me­ re­ka. “Warga pesisir sudah siap menabuh genderang perang sampai kapan pun terhadap para lintah darat,” ujar Pak Widodo. Tim Reportase Liberdade sempat menemui wanita paruh baya yang aktif dalam memperjuangkan hak petani ndi pesisir Kulon Progo, Bu Is namanya. Beliau menyatakan bahwa masyarakat menolak penambangan pasir di pesisir karena ini semua hanya akan menjadikan masyarakat pesisir menjadi kere kembali. “Tidak ada penambangan yang menjanjikan tentang sebuah kesejahteraan kecuali kesengsaraan yang akan dialami di masa yang akan datang bagi masyarakat pesisir” tambah Bu Is. Masyarakat pesisir terus berjuang untuk tetap mempertahankan tanah yang menjadi hak miliknya. “Sejak tahun 2006 sampai sekarang masyarakat pesisir masih tetap konsisten, dan kita tahu siapa yang kita lawan, ya feodal yang kawin dengan kapital 36

- Tukijo, salah satu korban kriminalisasi terhadap petani lahan pantai

itu, jadi mungkin sangat jarang terekspos di media” ungkap Pak Manto, Berbagai macam cara dilakukan masyarakat pesisir untuk melawan pihak penambang pasir. “Kita adakan aksi, ketika ada sosialisasi kita datang ramerame, dan ibu-ibu sering ikut dalam perjuangan ini” ujar Bu Is. Sempat diceritakan kepada Tim Reportase Liberdade bahwa ketika pertama kali mengikuti so­si­ a­li­sa­si yang diadakan oleh pihak penambang, didalam forum tersebut ia menanyakan tentang dampak dari penambangan pasir besi bagi kehidupan masyarakat, terutama tentang jaminan air laut tidak akan masuk ke dalam tanah disekitar rumah penduduk” tambahnya. Dari pertanyaan yang beliau ajukan kepada pihak pernambang, ternyata tidak direspon oleh pihak penambang. “Pada sosialisai selanjutnya saya tidak diundang lagi mas dalam forum tersebut, entah apa penyebabnya” terangnya sambil tertawa. Tindakan yang begitu berani dan vokal diambil oleh masyarakat pesisir demi menjaga ke­lang­su­ ngan hidupnya, ternyata mendapatkan perlawanan dari pihak penambang demi memenuhi hawa nafsu ekonominya. Tanggal 27 Oktober 2008 kampung pesisir dikejutkan oleh segerombolan orang ber­se­ra­ gam hitam-hitam berikat tangan putih yang dikawal oleh aparatur negara. “Gerombolan tersebut tidak

liberdade Edisi i | November 2014


G ERA K A N R A K YAT M E NOL A K PA S I R B E S I

diketahui dari mana asalnya dan apa tujuannya, me­ re­ka langsung membabi buta merusak dan membakar fasilitas-fasilitas kampung pesisir. Dan lebih lucunya lagi tindakan tersebut dilihat langsung oleh penegak hukum yang seharusnya langsung menangkap dan mengurung gerombolan tersebut kedalam jeruji besi, tetapi mereka malah merestui tindakan gerombolan tersebut” ujar Pak Widodo dengan raut wajah yang geram. Beberapa waktu setelah gerombolan tersebut melakukan perusakan ada yang mengganjal dalam proses penangkapan yang dilakukan oleh pihak kepolisian. “Proses penangkapan tersebut melalui proses yang tidak jelas dan tidak wajar seakan ada sandiwara dari proses tersebut” ungkapnya. Di pengadilan warga setempat merasa heran dan bingung atas keputusan yang diambil oleh pihak pengadilan karena hukuman yang dijatuhkan tidak masuk akal. ”masak mereka mendapatkan hukuman 6 bulan penjara dan masa percobaan 4 bulan kan aneh toh mas? Hukuman tersebut tidak sesuai dengan apa yang telah mereka lakukan” ungkap Pak widodo. 3 Mei 2009 terjadi sebuah peristiwa yang me­ nim­pa salah satu “petani pejuang” di pesisir Kulon Progo. Beliau bernama Pak Tukijo, lelaki paruh baya yang tinggal di desa Karangsewu, Kecamatan Galur, Kulon Progo. Kronologinya berawal dari kedatangan beliau ke rumah salah satu perangkat Desa Karangsewu tepatnya di kediaman kepala dusun Karangsewu. “Kedatangan beliau cuma ingin bertanya dan mengetahui tentang data pencatatan tanah pesisir yang diklaim oleh pihak keraton dimana katanya tanah tersebut akan dijadikan tanah magersari yang artinya perlu surat kekancingan untuk menggunakan lahan tersebut” ucap Pak Widodo kepada kami. “Dari kejadian tersebut Pak Tukijo dilaporkan kepada pihak pengadilan oleh perangkat desa dengan dalih tindakan kriminal yang dilakukannya. aneh toh mas, dan yang lebih anehnya lagi penegak hukum kok malah mau menerima dan menindaklanjuti proses hukum tersebut” ucap pak Widodo. Begitu banyak rentetan kejadian yang menimpa masyarakat pesisir yang tetap bersikap kokoh melawan para lintah darat. Tindak diskriminalisasi, intimidasi dirasakan oleh masyarakat pesisir sebagaimana yang dialami Bu Is, dimana hingga sekarang beliau masih dimata-matai oleh intel dari pihak penambang. “Ya mas, sampai sekarang saya diikuti, dimata-matai, diawasai setiap gerak-gerikku oleh pihak penambang” tegasnya. Ternyata pihak penambang mendiskriminasi seluruh lapisan masyarakat pesisir yang

menolak proyek tambang pasir besi baik tua, muda, laki-laki, perempuan, dewasa, anak-anak semuanya menjadi korban keserakahan pihak penambang. Bu Is juga menceritakan apa yang pernah dialami para pemuda pesisir setempat yaitu pelaporan kepada pihak berwajib dengan dalih atas tindakan pemuda pesisir yang ‘katanya’ membuat huru-hara dan mengganggu acara masjid. ”Waktu itu di masjid memang sedang acara tapi kami itu lewat dijalan raya tidak lewat dipekarangan masjid, nah sebenarnya saat itu pemuda pesisir sedang sweeping karena mendapat kabar bahwa ada maling sapi di desa sebelah, Eh! Kita malah dituduh membuat huru hara, dari kejadian itu kita malah sampai naik ke meja hijau lho mas, dan di pengadilan kita mendapat denda 104 ribu rupiah tapi kita bayar pakai uang koin seratusan yang bergambar burung kakak tua, hehehe” jelasnya sambil tertawa ketika mengingat kejadian tersebut. Awal menginjakkan kaki di bumi pesisir, kami bertemu dengan sekelompok anak kecil yang sedang berjalan, sepertinya mereka akan pergi bermain. Ketika kami bertanya lokasi penambangan pasir, tanpa ada yang mengkomando dan yang mengorganisir, mereka secara serentak menjawab dengan lantang dan berani bahwa mereka menolak penambangan pasir. Semangat perjuangan melawan proyek tambang pasir ternyata telah menjadi konsumsi segala usia, tidak hanya orang dewasa akan tetapi juga anakanak kecil. “iya begitu memang adanya, saya pikir di dalam keluarga semuanya akan membicarakan ini” ungkap Pak widodo membenarkan apa yang kami dapatkan dijalan. “Tidak ada kata yang tepat di teriakkan kepada para lintah-lintah darat selain kata ‘Lawan!’” tambahnya dengan tegas. Waktu terus bergulir tanpa siapapun yang bisa menghentikannya, seperti juga ombak yang terus-menerus bergulung dan bergerak mengikis tepian daratan di ujung selatan daratan pulau jawa. “Masyarakat pesisir selamanya akan hidup dipesisir dan tetap bercocok tanam, karena inilah dan disinilah sumber kehidupan kami” ungkap Pak Manto. “Ketika alam memberi manfaat kepada kami maka kami harus bisa menjaga dan melestarikannya” ucap Pak Widodo. Masyarakat pesisir tidak berpikir bahwa kekayaan harta benda adalah segala-galanya. Akan tetapi kehidupan yang tenteram, damai dan sejahtera tata tentrem kerta rajasa itulah cita-cita masyarakat pesisir pantai selatan Kulon Progo.

liberdade Edisi i | November 2014

Reporter: Agil, Titis 37


R E S ENSI

Resensi: Anak Semua Bangsa Oleh: Mirza Ahmad

P

Judul: Anak Semua Bangsa Penulis: Pramoedya Ananta Toer Penerbit: Lentera Dipantara Tahun Terbit: 2011

Sinopsis

Cetakan Ke-13 ISBN : 979-97312-4-0 Tebal Buku: 539 Halaman

38

ramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah 6 Februari 1925. Salah satu karya fenomenalnya adalah tetralogi Pulau Buru, yang ia tulis saat dipenjara di pulau Buru. Bagian novel yang ke dua dari Tetralogi pulau Buru yaitu Anak Semua Bangsa akan dibahas disini. Novel Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer menggambarkan penderitaan rakyat Jawa dibawah pemerintahan Belanda yang licik dan haus kekuasaan. Satu-satunya kekurangan dari buku ini adalah perbedaan gaya bahasa yang seakan lepas dari konteks sejarah yang juga menjadi sekelumit intrik politik bahasa Indonesia, maka diawal membaca novel akan merasa sedikit kesulitan menghadapi ke­sen­ja­ ngan gaya bahasa di tahun 1960an sampai 1970an. Pada Bagian Anak Semua Bangsa ini Pramoedya mencoba membuka selubung tabir kebiadaban eropa dalam sebuah potret kehidupan priyayi Minke yang coba memahami dunianya. Pramoedya coba memberikan bumbu “senasib-sepenanggungan” di dalam novel ini yang berujung membangun nasionalisme Indonesia lewat novel roman sejarah. Pramoedya menghabiskan waktu lebih dari 10 tahun untuk mengobservasi kawasan “Surga Gula” di Sidoarjo, Jawa Timur, tidak heran data-data dan bumbu yang ia campurkan di novel ini terasa begitu nyata. Dari sudut pandang Minke, seorang penulis pribumi yang begitu mendewakan Eropa, kita dapat melihat kembali sejarah bangsa Indonesia, serta bercermin melihat diri sendiri. Kita diajak menelusuri pikiran Minke yang terombang-ambing dalam keyakinannya, sampai akhirnya sadar bahwa ia harus turun dan memperhatikan bangsanya sendiri.

Pandangan Minke akan dunia dan bangsa-bangsa yang ada di dalamnya dipengaruhi oleh para temantemannya yang kebanyakan orang Eropa, karena ia sendiri adalah lulusan HBS. Ia sering berkirim surat dan bertukar pikiran dengan keluarga De la Croix (Sarah, Miriam, Herbert), Salah satu sahabatnya, Jean Marais, adalah seorang seniman berkebangsaan Prancis. Suatu hari ia meminta Minke untuk menulis dalam bahasa Melayu, dengan tujuan agar bangsanya sendiri dapat membaca

liberdade Edisi i | November 2014


RESENSI

karya Minke. Minke terkejut dan merasa terhina, ia merasa rendah apabila harus menulis dalam Melayu. Karena percakapan ini, hubungannya dengan Marais menjadi dingin. Hanya karena Maysaroh, anak Jean, Minke akhirnya mau berbaikan dengan Jean. Selanjutnya, Minke diminta Maarten Niijman, atasannya di S.N. v/d D., untuk mewawancarai Khouw Ah Soe dalam Bahasa Inggris, seorang aktivis dari Cina yang berusaha membangunkan bangsanya dari mimpi-mimpi mereka. Ia dapat melihat Jepang mulai menyamai kedudukan negara-negara Eropa. Tetapi betapa terkejutnya Minke, saat ha­ri­ an itu terbit, yang tercetak berbeda sekali dengan wawancara dan tulisan yang telah ia kerjakan! Artikel tersebut berisi tuduhan pada Khouw Ah Soe yang mengatakan dirinya seorang pelarian. Kejadian ini menyadarkan Minke bahwa Eropa yang selama ini ia agung-agungkan tidak selamanya benar. “Eropa tidak lebih terhormat daripada kau sendiri, Nak! Eropa lebih unggul hanya di bidang ilmu, pengetahuan dan pengendalian diri. Lebih tidak, “ jelas Mama kepadanya. “Kalau mereka bisa disewa siapa saja yang bisa membayarnya, mengapa iblis takkan menyewanya juga?” Sepertinya semesta belum mengijinkan Minke untuk tenang, karena setelah itu Kommer, teman Jean Marais, mendukung apa yang telah Jean katakan sebelumnya. Selama ini Kommer telah menerjemahkan tulisan Minke ke dalam bahasa Melayu. Kommer mengatakan bahwa Minke tidak mengenal bangsanya sendiri, karena selama ini ia melihat keadaan dari kacamata Eropa. Minke tidak terima dikatai seperti itu, tapi ia tidak dapat membuktikan sebaliknya juga. Karena masih diselimuti kesedihan, Minke dan Mama lalu memutuskan untuk berlibur ke Tulangan, Sidoarjo, kampung halaman Mama. Mereka menginap di rumah Sastro Kassier, saudara Mama. Mata Minke menjadi terbuka akan kenyataan bangsanya. Dulu Mama dijual untuk menikahi Tuan Administratur Mellema. Kini Surati, anak Sastro Kassier, terpaksa menikahi Tuan Administratur Vlekkenbaaij karena jebakan orang Belanda itu. Untungnya Surati se­ nga­ja menularkan cacar dari kampung sebelah pada Vlekkenbaaij. Jadilah Vlekkenbaaij meninggal, dan Surati yang dulu jelita kembali ke rumah dengan borok di wajahnya. Kepercayaan Minke akan Belanda mulai pudar, ia makin bertekad untuk mengenal bangsanya. Maka menginaplah ia selama beberapa hari di rumah salah satu petani, Trunodongso, yang tinggal bersama

dengan istri dan empat anaknya. Trunodongso bercerita kepadanya mengenai kecurangan-kecurangan pemerintah Belanda yang sering memaksa dan tidak menepati janji, sementara para petani tidak bisa berbuat apa-apa untuk menuntut hak mereka. Minke berjanji pada Trunodongso akan membantunya dengan jalan menuliskan penderitaannya. Selain itu ia juga menulis tentang Surati. Tetapi saat ingin menerbitkan tulisannya tentang Trunodongso, Niijman menolak. Minke putus asa, memutuskan melanjutkan studinya di Betawi untuk menjadi dokter. Di tengah perjalanan di laut, ia bertemu dengan Ter Haar yang menceramahinya cara kerja dan tujuan penjajahan Belanda di Hindia. Minke hampir berkunjung ke kantor koran lokal di Semarang untuk menulis lagi. Sayang, ia malah dijemput polisi untuk kembali ke Wonokromo, rumah Mama. Mama mempunyai berita untuk Minke. Robert, anaknya yang lain, telah meninggal karena sakit dan ternyata mempunyai anak dengan salah satu gadis desa bernama Minem. Anak itu dinamai Rono. Mama menampung Minem, tapi pada akhirnya Minem pergi dan meninggalkan anak tersebut di Wonokromo. Saat Minke pulang, Mama harus berhadapan dengan anak resmi Tuan Administratur Mellema, Ir. Maurits Mellema. Ka­re­na pe­re­but­an wa­ri­san­lah Annelies meninggal. Dengan bantuan penjaga keamanan Mama (Darsam), Minke, Jean Marais dan anaknya, serta Kommer, Mama mempertahankan dirinya dan rumahnya. Novel ditutup dengan Maurits Mellema menunda pengusiran mereka dari rumah. Melewati peristiwa-peristiwa tersebut, bertemu dengan berbagai macam orang dan opininya masingmasing, telah mengubah total cara berpikir Minke. Eropa dulu diagung-agungkannya, Eropa tak pernah salah, Eropa bisa maju dengan ilmu pengetahuannya, sedangkan pribumi hanya bisa disuruh. Dengan bantuan sahabat-sahabatnya, pada akhirnya ia melihat juga kebusukan-kebusukan Eropa. Ia belajar, ternyata sikap seseorang tidak ditentukan oleh kebangsaannya. Ia sadar, sebagai pribumi yang terpelajar yang menguasai banyak bahasa, ia merupakan salah satu dari segelintir yang bisa menggerakkan dan memajukan bangsanya sendiri.

“Semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir.” -Kommer-

liberdade Edisi i | November 2014

39


OPIN I

Pasar Tradisional VS Pasar Modern Oleh: Ramadhan Surya

P

Dok. Istimewa

asar tradisional Gowok Nologaten merupakan Pasar yang sudah berdiri sejak 1980 dan dikelola oleh masyarakat Kelurahan Nologaten sendiri. Kira-kira sekitar 70% pendapatan pasar masuk ke dalam kas kelurahan Nologaten tersebut dan 30% baru untuk kas pasar. Pasar tradisional dengan alokasi anggaran 30% serta dengan hanya di dukung oleh beberapa fasilitas tradisional mungkin menjadi kendala pembangunan pasar yang terakhir direnovasi sekitar tahun 2004 kemarin, menurut Ketua Pasar tersebut. Tentu setelah bangunan pasar modern atau yang biasa kita sebut dengan mall berdiri di belakang pasar tersebut akan sangat mengganggu eksistensi

pasar tradisional dengan fasilitas yang seadanya. Jika dilihat secara kasat mata pasar tradisional tersebut tentunya kalah menariknya dibandingkan dengan Ambarukmo Plaza. Berbagai dampak justru akan lebih dirasakan oleh pedagang Pasar Tradisional Gowok tersebut, menurut penelusuran kami bahwa hampir semua pedagang baju yang kami wawancarai berkata dampak tersebut nyata adanya. Dengan contoh kasus bahwa di Ambarrukmo Plaza menyediakan pakaian dengan 40

pilihan yang lebih lengkap dan variatif yang berimbas ketika ada event diskon besar-besaran, pedagang baju di pasar bisa tidak laku sama sekali selama diskon tersebut berlangsung. Pembeli pasar kebanyakan adalah kalangan menengah kebawah, atau malah hanya kalangan bawah. Kemudian menurut penjual sembako bahwa dampak yang dirasakan benar-benar terjadi pada mereka, sembako di pasar dengan kemasan yang hanya seadanya namun kualitasnya terjamin sangat bagus justru kalah dengan sembako yang terdapat di pasar modern dengan kemasan yang bagus akan tetapi biasanya kualitasnya sangat jelek jika dimasak. Selanjutnya dampak bagi penjual jajanan tradisional relatif tidak ada karena di pasar modern jarang menjual jajanan tradisional, jika adapun terkadang mereka membelinya dari pasar tradisional gowok tersebut. Lalu dampak yang dirasakan oleh penjual ayam potong juga tidak begitu dirasakan karena pembeli sudah tau bahwa ayam di supermarket tidak sehat dan mereka sudah tau bahwa ayam di supermarket merupakan sembelihan lama yang artinya sama sekali tidak segar. Justru pembeli ayam potong tersebut terdiri dari berbagai kalangan masyarakat. Akan tetapi dampak yang dirasakan sangat kompleks adalah penjual makanan di pasar tersebut, memang penjual makanan di pasar sangat beragam akan tetapi dengan pembeli yang hanya itu itu saja dan tidak ada masyarakat luar yang tertarik makan di pasar tersebut, pada hal yang utama paling mempengaruhi adalah kondisi pasar Gowok tersebut. Analisa dampak tersebut terhadap Trisakti yang menjadi dasar gerak kita tentu tidak sesuai dengan

liberdade Edisi i | November 2014


O P I NI

kedaulatan di bidang Politik, karena politik untuk kepentingan Pasar justru malah dipengaruhi dan dikekang oleh Pemerintah kelurahan Nologaten tersebut. Tentu hal itulah yang menghambat pembangunan dan perkembangan di Pasar Tradisional sehingga tidak mampu bersaing oleh hegemoni pasar modern yang kian menjamur di Yogyakarta ini. Lalu berbagai dampak tersebut juga tidak sesuai dengan berdikari di bidang Ekonomi karena dengan persaingan yang tidak sehat dan tidak adanya sinergitas antara pasar Gowok dengan Ambarrukmo Plaza tersebut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi rakyat yang pada khususnya penjual di pasar tersebut. Rakyat khususnya penjual di pasar tersebut tentunya dimatikan perekonomiannya karena kalah bersaing dengan pasar modern tersebut. Ekonomi Pancasila yang menjadi acuan dasar pergerakan dan pertumbuhan di Negara ini seakan tidak ada implementasinya sehingga terciptalah suasana ekonomi yang bebas seperti ini. Dalam kepribadian di bidang budaya tentu budaya berjualan di pasar yang sudah ada sejak tahun 80an di tumbuh kembangkan dan sempat mengalami masa kejayaan. Kini pasar tersebut sudah dimatikan dengan tumbuhnya Mall di belakang pasar. Budaya tentu merupakan kebiasaan yang dilakukan terus menerus dan menciptakan suatu karya, karsa dan rasa dalam hal ini adalah berjualan tersebut. Kepribadian di bidang budaya perekonomian Indonesia saat ini pada umumnya sudah dibawa kedalam ranah Liberal dan perekonomian yang bebas tergantung pemilik modal serta persaingannya di lapangan mengenai tawar-menawar yang tentu menjadi kelemahan di pasar tersebut. Mengingat di pasar mereka menjualnya sangat rendah dari biaya produksinya akan tetapi harus mengalami yang namanya tawar-menawar dimana harga jualnya menjadi tidak stabil dan kadang pula untung sedikit kadang juga untung banyak. Melihat fenomena ini dari sudut pandang ilmu tentu tidak ada ilmu yang membenarkan persaingan tersebut dilihat dari sudut pandang rakyat kecil. Begini jika di analisa, kita tidak perlu memperhatikan orang kaya. Orang kaya dengan modal yang banyak tentu melihat keuntungan untuk konsumsi barang sekunder atau bahkan tersier mereka, contohnya membeli mobil, perumahan atau untuk investasi. Akan tetapi pada orang menengah kebawah yang ditujukan pada penjual di pasar tentu memandang keuntungan untuk kepentingan primer misalnya me-

nyekolahkan anak, beli kebutuhan pangan, sandang ataupun papan. Dengan analisa seperti itu tentu kita sebagai rakyat tidak boleh memandangnnya sebelah mata, karena itu bukanlah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Memang pertumbuhan ekonomi yang di target Republik Indonesia ini adalah 7% akan mensejahterakan rakyatnya dengan keseluruhan. Namun semua itu adalah omong kosong, sekarang pertumbuhan ekonomi 6% saja ekonomi rakyat kecil masih seperti ini, tentu yang dimaksud mensejahterakan rakyat adalah mensejahterakan golongan rakyat pengusaha dan komprador saja bukan tertuju pada rakyat kecil untuk membangun usahanya dalam hal ini berdagang di pasar. Jadi kemudian jika ditelaah dari analisa tadi, tentu kita bisa membuat pemikiran bahwa ekonomi rakyat kecil sangat perlu dikembangkan daripada ekonomi rakyat golongan kaya atau pengusaha. Karena rakyat kecil masihlah perlu diperhatikan daripada golongan kaya. Dari analisa berbagai studi kasus tersebut, tentunya berbagai hal tadi tidak termasuk dalam nasionalisme kemanusiaan di Indonesia. Sebab ekonomi modern dengan segala hegemoni keuntungannya mendominasi di belakang pusat ekonomi menengah kebawah tentu akan berdampak negatif, apalagi pola konsumtif dan hedonisme rakyat Indonesia dewasa ini sedikit naik. Berbagai hal tersebut juga tidak sesuai dengan sosio demokrasi di Indonesia yaitu sosio demokrasi politik dan sosio demokrasi ekonomi. Sebab dari segi politis mereka di bungkam oleh penguasa yang lalai dan tidak memikirkan dampak kedepannya mengenai hegemoni pasar modern terhadap pasar tradisional tersebut. Jadi dapat juga disimpulkan hal tersebut juga tidak mencerminkan Ketuhanan Yang Maha Esa karena orientasi politik dan ekonominya tertuju pada laba tanpa memperhatikan unsur kemanusiaan yang ada. Selanjutnya hal itu juga tidak dibenarkan didalam agama apapun, kita berbicara agama tentu juga berbicara mengenai etika. Sesungguhnya etika dalam berjualan itu perlu, dengan penjualan yang jujur dan adil tentunya dapat memakmurkan rakyat dari golongan mana saja. Maka dengan itu untuk menmbuh kembangkan perekonomian Indonesia, kita harus memperhatikan Trisakti karena sejatinya didalam ideologi tersebut menganut berbagai macam karakter untuk mempengaruhi kita terhadap kehidupan Negara bangsa Indonesia ini dengan segala kompleksitasnya.

liberdade Edisi i | November 2014

41


OPIN I

Peran Pemuda dalam Mencapai Cita-cita Indonesia Oleh: Jaka Herlambang

P

ejuang, istilah ini memang pantas dikalungkan bagi bangsa yang telah merasakan jerih payah dari sebuah perjuangan untuk mengusir para penjajah dari tanah airnya. Semua daya dan upaya wdikerahkan demi tercapainya kemerdekaan, sehingga terlepasa dari belenggu penjajahan baik itu yang dilakukan oleh bangsa lain maupun bangsa sendiri. Setiap bangsa didunia ini mempunyai sejarah perjuangan berbeda-beda. Perjuangan yang terjadi di Indonesia akan berbeda dengan dengan perjuangan yang terjadi di Perancis, India, Rusia dan bangsanya lainnya. Perbedaan sejarah dari perjuangan antar bangsa terletak pada kultur, keadaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, siapa yang menggerakkan dan siapa yang digerakkan dan yang terpenting tujuan dari semua ini demi kepentingan siapa. Bangsa Indonesia mempunyai cerita tersendiri tentang sebuah perjuangan yang bergejolak mulai sebelum kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan. Pemuda dalam perjuangan bangsa Indonesia me足no足reh足 kan cerita tersendiri, bahkan bisa dikatakan menjadi garda terdepan dari perjuangan Indonesia. Batasan usia yang dikatakan pemuda di setiap Negara berbeda-beda semuanya tergantung dari kebijakan pemerintah di Negara yang bersangkutan. Di Indonesia sendiri, pemuda diartikan bahwa penduduk yang berusia antara 15 sampai dengan 35 tahun. Para tokoh pemuda mendominasi isi dari buku sejarah bangsa Indonesia, karena para pemudalah yang menjadi penggerak, pelopor, garda terdepan dalam menghadapi setiap persoalan yang terjadi di negeri ini. Para pemuda selalu melahirkan berbagai pemikiran dan gerakan demi terciptanya perubahan dan perbaikan di Indonesia. Indonesia, bangsa yang begitu kaya akan sumber daya alam yang ada disepanjang garis nusantara, bangsa yang kaya akan sumber daya manusia yang menempati dataran kepulauaan dari sabang sampai merauke. Sehingga tidak dapat dipungkiri jika Indonesia mempunyai nilai lebih dari bangsa lain. Ini semua terbukti ketika orang belanda datang ke Indonesia pada abad ke-16, pada awalnya keda42

tangan mereka disambut ramah tamah oleh rakyat Indonesia. Seiring bergulirnya waktu orang belanda telah menampakkan sifat asli mereka yang ternyata berkeinginan menjajah bangsa Indonesia. Walaupun demikian bukan berarti belanda tidak mendapatkan perlawanan dari rakyat Indonesia. Semua terbukti ketika itu telah ada perlawanan dari rakyat Indonesia dari sabang hingga merauke, yang tak dapat dihindari dari orang-orang belanda yang menginjakkan kaki di bumi Indonesia. Para pemuda tergabung dalam gerakan melawan pemerintahan kolonial belanda di berbagai daerah di Nusantara. Namun, perlawanan yang bergulir dapat dipatahkan oleh pemerintah kolonial, karena perlawanan yang terjadi di bangsa Indonesia waktu itu masih bersifat kedaerahan dan perlawanan dari yang satu dengan yang lainnya masih belum terorganisir. Periode 1908-1918, telah lahir sebuah organisasi modern yaitu Budie Oetomo yang menjadi awal gerakan pemuda Indonesia. organisasi ini lahir tanggal 21 Mei 1908 yang kini dikenal dengan Hari Kebangkitan Nasional. Awal kebangkitan nasional ini tidak dengan sendirinya, akan tetapi berawal dari rasa keprihatitan pemuda saat itu terhadap kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan, dimana semua disebabkan dari politikkolonial belanda pada waktu itu. Perode 1918-1928, telah banyak berdiri perkumpulan pemuda di Nusantara mulai dari Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Pasundan, Pemuda Betawi dan lainnya. Perkumpulan ini diikuti juga oleh pekembangan organisasi pemuda yang bersekolah di luar negeri. Tahun 1926 para pemuda ini mengadakan kongres pemuda pertama di Nusantara yang mencanangkan suatu organisasi pemuda tingkat Nasional. Kongres pemuda kedua dilaksanakan pada tanggal 26-28 Oktober 1928 dimana pada kongres kedua ini menghasilkan satu kesimpulan bahwa bangsa Indonesia ingin merdeka. Untuk itu mereka bersumpah yang terkenal dengan nama sumpah pemuda yang diikrarkan pada akhir kongres 28 Oktober 1928. Masih banyak lagi kenangan dari perjuangan pemuda yang harus dikenang, perjuangan yang ter-

liberdade Edisi i | November 2014


O P I NI

jadi di decade 1938-1948, 1948-1958, 1958-1968, 1968-1978, 1978-1988, 1988-1998 dst. Perjuangan pemuda terdahulu harus tetap dan terus berkobar dalam jiwa setiap insan pemuda Indonesia saat ini. Karena setiap insan pemuda Indonesia telah mengalir darah pejuang dan otak pemikir yang diwariskan dari pemuda-pemuda terdahulu. Bangsa indonesia mempunyai cita-cita besar untuk menuju masyarakat yang adil dan makmur. Salah satu cara yang dapat dilakukan ialah dengan merealisasikan Tri Sakti Pancasila. Dimana Tri Sakti berisikan pertama, berdaulat di bidang politik, kedua bediri diatas kaki sendiri di bidang ekonomi, dan terakhir berkepribadian yang berkebudayaan. Dari cita-cita agung yang diinginkan oleh para pendiri bangsa serta konsep yang disusun oleh bapak bangsa Indonesia Ir.Soekarno untuk generasi selanjutnya seakan hanya akan menjadi sebuah wacana saja. Karena jika melihat kepribadian rakyat indonesia sekarang, timbul pertanyaan tentang siapakah yang akan menjadi penggerak utama untuk menggapai cita-cita bangsa menuju masyarakat yang adil dan makmur? Jika dalam buku sejarah Indonesia menyatakan bahwa pemuda yang paling mendominasi dalam perjuangan bangsa, pemudalah yang selalu menjadi garda terdepan dalam menghadapi permasalahan bangsa. Sehingga timbul pertanyaan kembali tentang pemuda Indonesia saat ini, bagaimana peran pemuda Indonesia saat ini? Apakah peran pemuda Indonesia sekarang dalam mencapai cita-cita bangsa? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan tentang peranan pemuda Indonesia sekarang. Ketika melihat pemuda-pemuda sekarang berbeda jauh dari pemuda-pemuda terdahulu. Entah apa penyebab dari semua ini, mungkinkah karena individunya? Akibat dari globalisasikah yang kini merajalela? Maupun faktor-faktorlain yang menyebabkan hal ini terjadi.. Perkembangan politik di negeri ini sekarang dapat dikatakan sudah “tidak waras�. Dimana para elit politik yang seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat, kini malah menjadi penyambung bisnis konglomerat. Semakin gilanya politik yang terjadi di negeri ini, menambah kesuraman untuk mencapai kedaulatan dibidang politik sebagaimana yang termaktubkan didalam Tri Sakti. Lebih miris lagi ketika mengetahui sikap dari pemuda sekarang yang mengacuhkan permasalahan dunia politik di Indonesia saat ini. Pemuda yang di

gadang-gadang sebagai generasi penerus bangsa. Apakah sepantasnya bersifat acuh terhadap permasalahan bangsa yang terjadi saat ini? Sedangkan pemuda, kelak akan menggantikan para pemimpin yang sedang duduk di singgasana kekuasaan. Berbicara masalah perut juga akan berbicara tentang ekonomi. Indonesia sebagai negeri yang kaya seharusnya dapat mencukupi kebutuhan hidup rakyatnya. Dengan bermodal sumber daya alam dan sumber daya manusia yang melimpah, sepatutnya Indonesia dapat berdiri diatas kaki sendiri (berdikari) dibidang ekonomi. Konsep berdikari yang diimpikan bangsa Indonesia ini, hanya akan menambah deretan bintang-bintang di atas kepala. Bangsa Indonesia terkenal dengan keramah tamahannya, keanekaragaman, rasa persatuan, pribadi gotong-royong dan lain sebgainya. Kini kepribadian bangsa Indonesia semakin melenceng dari kepribadian asli bangsa Indonesia terutama para generasi muda. Pemikiran pemuda sekarang berbeda dengan pemikiran pemuda terdahulu. Kini para pemuda bertindak secara individu, perjuangan yang dilakukan demi kepentingan diri sendiri. “Aku yang berjuang lebih, aku pula yang harus mendapatkan untung lebih� kalimat inilah yang selalu mereka pertahankan. Sehingga tidak heran jika sekarang pemuda-pemuda Indonesia saling sikut, saling tendang sesama saudara sebangsa dan setanah air demi tercapai hawa nafsunya. Pemuda Indonesia sekarang sepatutnya sadar dengan merefleksikan semangat api yang berkobarkobar dari insan-insan pemuda dahulu. Dimana pemuda nusantara bersatu tanpa memandang suku, ras, agama, dan lain-lain untuk menjadi garda terdepan dalam menghadapi setiap permasalahan bangsa demi tercapainya tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

liberdade Edisi i | November 2014

43


PU ISI

Indonesia Tersiksa

Resik-resik

Oleh: Ramadhan Surya

Oleh: Agil Widiatmoko

Di negeri ini semua kekayaan ada di negeri ini berjuta-juta manusia bernafas negeriku yang amat sangat kaya tapi mengapa hidup kita realitanya miskin? negeri ini dulu dijunjung dan di hormati bangsa negeriku ini dulu menjadi mercusuar dunia entah mengapa sekarang sebaliknya negeri tak bersalah diinjak2 penguasa Oh Indonesia mengapa engkau sekarang nista Garudamu terbang tapi tidak punya sayap Engkau bagai hidup di tengah pembodohan pembodohan bangsa atas bangsa ini masih zaman koloni bung! kita jangan berbangga dan berorasi orasimu tak ubahnya seperti suara kotor demokrasi kita disayat penguasa penguasa yang tidak mau mendengar aspirasi rakyat Indonesia bagaimanapun kaulah jiwa, kaulah raga dimana saya berpijak bagaimanapun kaulah yang membesarkan saya tapi apadaya ketika kau disiksa tapi apa daya ketika kau di injak oleh penguasamu sendiri Bangkitlah dan beri arti dalam perubahan ini.

44

Dua matahari berdiri sejajar di atas podium Berorasi bak singa yang mengaung-ngaung Menggetarkan gelora jiwa pendukungnya Oh betapa hebatnya retorika yang di pakainya Matahari di dunia yang fana ini Tak mungkin jika ada dua sekaligus Yang satu harus dibinasakan Di kubur bersama semangat nyala apinya Oh betapa malang dan menderitanya Wahai matahari yang tanpa ampun dihabisi Di babat sampai ke akar rumputnya Sampai gagasannya di kubur habis Inilah dunia yang penuh kenaifan Membabat habis semua yang tidak sejalan dengannya Kata resik-resik Yang selalu di emban oleh si penguasa baru Betapa teganya kau wahai pemenang Sudah menang, tetap membabat yang kalah Ini kekejaman yang kau lahirkan Dari tirani penguasa yang baru disematkan dalam dirimu Matahari Kau jangan lah membutakan mata mu Jangan pula menulikan telinga mu Bahwa yang kau resiki dengan kejam itu Akan menggulingkan kekuasaan yang sekarang kau pegang

liberdade Edisi i | November 2014


Pojok Senthil “Senthil lengo projo” Iso mecicil raiso kerjo “Banteng dalam satu kandang pasti akan saling seruduk” Terbukti........ hehehe “Hidupilah organisasi, jangan hidup dari organisasi” Nek ora ngono ora wareg laaah bos

liberdade Edisi i | November 2014

45


Foto Kegiatan GmnI Komisariat UNY

Kegiatan diskusi bersama Gubernur Jawa Tengah (Ganjar Pranowo)

Kegiatan Musyawarah Akhir Anggota (MAK) GmnI Komisariat UNY


PPAB GmnI Komisariat UNY

KTD GmnI Komisariat UNY

Sahur bersama

Buka bersama

GmnI Komisariat UNY

GmnI Komisariat UNY

Camping di Nglanggeran,

Camping di Pantai Ngeden,

Gunung Kidul.

Gunung Kidul.


Komisariat GmnI UNY


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.