2014 lily marpaung

Page 1


Fashion

REPORT

Menapaki MEMORI

Tidak perlu banyak perkenalan lagi akan Biyan Wanaatmadja dan kepiawaiannya mencipta busana yang mengagungkan wanita. Karena koleksi kali ini adalah tentang siapa Biyan yang sebenar-benarnya. Oleh Lily Marpaung

FOTOGRAFI OLEH: SAEFFIE ADJIE

FOTO: COURTESY OF BIYAN.

T

iga dekade memang akan menjadi momen yang sempurna bagi seseorang untuk menilik kembali perjalanan hidupnya. Seperti halnya sebuah reuni akbar antar sejawat sekolah yang selalu dilakukan setelah 30 tahun berpisah, tahun 2013 menjadi sebuah perayaan untuk karier seorang Biyan Wanaatmadja. Biasanya diadakan dengan megah, Biyan malah memilih untuk melaksanakan pestanya lewat suasana yang rendah hati bebas dari gegap gempita namun bersahaja. Diadakan di Hotel Mulia Senayan, Biyan tidak membuat sebuah panggung megah dan sebaliknya meminta para model melangkah pasti di atas lantai kayu sederhana yang sejajar dengan barisan penonton. Pada barisan depan itu disusunlah tiffany chairs berisi majalah Harper's Bazaar Indonesia edisi Juni 2013 yang berwajah sampul hasil desainnya. Biyan menaruh patung rajawali raksasa sebagai bagian dari dekorasi seperti sengaja untuk menggambarkan refleksi hidup Biyan. Dalam satu masa hidupnya, seekor burung rajawali harus melewati proses pertumbuhan diri yang begitu menyakitkan agar ia dapat terbang makin tinggi. Dan beberapa ekor burung rajawali ikut menaungi panggung serupa lambang akan proses tempaan kehidupan Biyan Wanaatmadja. Tak lupa, ia melapisi dinding dan langit-langit dengan lautan kain hitam yang memastikan setiap fokus akan tertumpah pada rancangannya semata. Ia pun memberi tajuk Postcard untuk koleksi Spring/Summer 2013 kali ini. Menurut Biyan, kartu pos adalah bagian dari rentetan memorabilia manis yang mewarnai pelancongannya dalam dunia mode Tanah Air. Bagaikan lajunya kehidupan itu sendiri, rancangan Biyan pun muncul dalam urutan yang mengalir dengan perlahan namun pasti menuju klimaksnya malam itu. Diawali dengan tampilan yang lebih kasual lewat busana-busana pendek lalu ditutup via gaun malam yang melayang. Melalui Postcard, Biyan juga akhirnya menjawab pertanyaan yang menghujan mengapa ia begitu jarang mengangkat motif tradisional ke atas koleksinya di tengah dunia mode yang kini tengah jatuh cinta kembali terhadap kain adat. Batik dan tenun kerap terlihat seperti ‘tempelan’ yang cenderung dipaksakan untuk menjadi bagian dari busana modern. Dengan


REPORT

pengalamannya yang telah terasah tajam, Biyan sanggup menghadirkan inspirasi kekayaan tradisi negeri yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa kontemporer secara elegan. Motif khas batik tercampur secara natural bersama ledakan flora hingga motif tartan–sebagai simbol kembalinya musik grunge ke atas pentas, serta menciptakan tampilan akhir yang eksklusif. Bungabunga yang muncul pun tidak lagi berkesan oriental melainkan kental akan keindahan alam negeri sendiri. Nyata bahwa Biyan memiliki kematangan dalam berkarya sehingga pengembangan motif dilakukannya dengan hati-hati demi hasil akhir yang meninggalkan kesan mendalam. Tidak berhenti hanya di sana, Biyan juga tak melupakan suntikan nuansa Sumatra ke dalam rancangannya dan menampilkannya lewat motif songket yang diwujudkan lewat bordir serta aplikasi payet pada jaket, atasan, hingga rok sempit. Masih berkutat dengan zona nyaman yang juga menjadi

napas beberapa koleksi lampaunya, Biyan meluncurkan siluet trapeze longgar. Dengan mempertunjukkan kemampuannya dalam padu padan, Biyan dengan lihai memasangkan mantel dari brokat, kemeja bermaterial lembut, serta celana panjang. Atau tampil gaun pendek yang dikenakan di atas kemeja dengan motif bertabrakan. Ada satu inovasi menarik dari Biyan kali ini yaitu hadirnya celana bermuda. Celana berpipa longgar jatuh sebatas lutut ini diangkat menjadi busana yang lebih mewah ketika ditumpuk dengan atasan bertabur payet. Untuk perkara gaun malam, Biyan tidak serta-merta mengirim evening gown secara solo ke atas panggung melainkan disandingkan dengan celana panjang, kemeja, atau bahkan jaket tipis menyentuh lantai sehingga memberi efek modern serta bergaya muda. Memang tdak dapat dipungkiri lagi bahwa seorang Biyan Wanaatmadja memiliki kejelian dalam perkara memadukan warna dan material. Nuansa putih dari ujung kepala hingga

FOTOGRAFI OLEH: SAEFFIE ADJIE

Fashion

kaki menjadi menu pembuka untuk koleksinya. Di sisi lain, palet cokelat sogan juga ikut tampil memesona bersama biru kelam dan hijau tentara. Sudah lama Biyan melupakan warna pastel yang pernah menjadi ciri khasnya dan untuk perayaan 30 tahun berkarya ia menghadirkan nuansa pink pucat hingga mint yang malu-malu namun disampirkan dengan palet gelap sehingga tidak jadi tampil terlampau manis. Koleksi Postcard kali ini tampil lebih laid back serta minus taburan payet dan bordir berlebihan. Seperti berjalan secara paralel dengan ekspansi besar-besaran Biyan ke arena mode internasional, ia pun melakukan redefinisi untuk labelnya. Geliat masyarakat yang kini tertarik akan hal yang tak dibarengi komplikasi juga membuat mereka menginginkan busana yang lebih sederhana. Karena fashion tidak hanya tentang keindahan melainkan juga mengenai relevansi. Karyanya di masa lampau yang penuh detail berkilau, yang memang sesuai dengan

zamannya, bertransformasi sesuai dengan pakem mode yang mendunia tanpa kehilangan esensi yang menyelimuti Biyan yaitu hasil akhir berbalutkan keanggunan. Menurut Biyan, "Sebagai desainer Indonesia, kita tidak harus terpaku menggunakan kain tradisional untuk menggambarkan kebanggaan pada negeri. Karena melestarikan kain adat serta mengembangkan dunia mode Indonesia agar mencapai standar internasional adalah dua hal yang jauh berbeda." Tetapi seakan mengerti bahwa pasar Indonesia masih tergila-gila akan detail payet, dengan cerdas Biyan memberi asupan gemerlap pada koleksinya lewat kalungkalung yang menggunakan kristal serta dikenakan pas melingkari leher serupa bagian dari kerah busana itu sendiri. Postcard menjadi sebuah rangkuman perjalanan seorang maestro selama 30 tahun yang diwujudkan dengan rendah hati. Sebuah hal yang sepertinya cukup langka untuk ditemukan di dunia mode. â–


FASHION

GENDER BENDER Karena sekarang adalah waktunya busana bertransformasi menjadi sebuah pelapis tubuh yang berjenis kelamin unisex tanpa batasan konstruksi sosial. Oleh Lily Marpaung Fotografi oleh Anton Ismael

STYLIST: LILY MARPAUNG, MUHAMMAD AZIZ; GROOMING: GALUH WULANDARI

126

REVIEW

Armand

“Sebagai seorang musisi, saya memang harus tampil standout di atas panggung. Kuncinya adalah mencoba berbagai gaya dan beri sentuhan personal yang out the box namun kenyamanan pun harus tetap dijaga.�


F Arseto

“Fashion seharusnya menjadi sesuatu yang menyenangkan. Saya sangat suka menggabungkan berbagai elemen gaya sehingga total look senantiasa segar dan inspiratif.”

ashion adalah sebuah bahasa yang universal dan sudah sepantasnya norma ini dikembalikan ke dalam perkara berbusana. Di era yang serba terbuka, pakaian yang beralih gender sudah tidak menjadi hal yang tabu lagi untuk dibicarakan. Terutama dalam tatanan hidup yang sudah tidak lagi tertata rapi dengan perbedaan jelas secara sosial antara pria dan wanita, eksperimen berbusana adalah sebuah legitimasi dari gaya pribadi seseorang. Panggung mode memang merangkul kemajuan cara berpikir ini dengan kembali meluncurkan trend busana unisex yang begitu kuat di musim ini seperti yang dilakukan oleh JW Anderson dan Rick Owens. Dan tidak lagi menjadi hal yang sangat baru, gaya pakaian yang seperti bertukar gender ini sudah sukses dilakukan oleh para pemikir paling kreatif dunia. Jika ingin menegok kembali rentetan sejarah mode dunia, elemen-elemen feminin yang diletakkan pada busana pria malah menjadi sesuatu yang biasa untuk dilakukan. Lihat saja gaya berbusana pria di era Victoria dengan kerah tinggi dengan aksen gelepai pada kemeja. Untuk area alas kaki, sepatu yang memiliki hak pada awalnya diciptakan bagi pria dan digunakan sebagai alat penunjuk status sosial mereka yang tinggi. Lebih jauh lagi, tata rias seperti bedak, pemerah bibir dan pipi sampai wig bertumpuk ikal juga menjadi attire yang lazim diusung oleh priapria berkelas bangsawan pada zaman itu. Kembali menjejakkan kaki ke Tanah Air, busana pria yang mencerminkan benda-benda yang dikonstruksikan secara sosial merupakan kepunyaan wanita juga muncul dalam busana tradisional. Kain batik seperti sarung yang begitu biasa dikenakan para pria Jawa sebenarnya serupa dengan rok panjang yang dikenakan oleh wanita kebanyakan. Sementara itu, pria dari etnis Batak Angkola dan Mandailing juga sering mengenakan sarung kotak-kotak yang dilipat serta dipakai di atas celana panjang sehingga menyerupai rok pendek Berpindah dari panggung runway yang terkadang menjual fantasi, gaya unisex yang menyelipkan elemen feminitas pada busana pria telah sampai di atas gaya pria pada umumnya. Ide berani ala Commes des Garcon tidak hanya menjadi inspirasi belaka karena pria benar-benar dapat mengadopsinya dalam aksi mereka sehari-haru. Harper’s Bazaar berbicara dengan tiga individu yang memiliki personal style kuat serta inspiratif, yang tidak ragu untuk mendobrak aturan konvensional dalan berbusana.

ARMAND MAULANA THE ROCK STAR Vokalis grup musik Gigi, Armand Maulana, kerap terlihat dengan kostum panggung yang glamour dengan sedikit sentuhan feminin. Meski tidak pernah ragu untuk memilih palet warna mencolok atau bahkan material metalik sekalipun, Armand

sukses untuk tetap tampil maskulin dalam setiap aksinya. “Wrap skirt yang saya kenakan ini adalah hasil berburu seorang teman. Waktu itu saya tertarik untuk mengenakan kilt untuk sebuah performance,” ujarnya. Selanjutnya, Armand selalu menyuntikan apresiasinya akan dunia olah raga lewat busana. Menjatuhkan opsi pada sneaker boots dari Rick Owens, ia mengungkapkan bahwa alas kaki tidak boleh menghalangi gerakannya di atas panggung. “Walau kecil, sepatu menjadi aspek utama ketika memilih kostum. Pilihan saya harus mudah untuk diajak berlari dan melompat tapi tetap gaya,” lanjutnya. Kini banyak berkiblat pada fashion scene di Korea dan Jepang, Armand mengaku kagum dengan keberanian para pria di sana dalam perkara bergaya. “Saya salut! Mereka tidak takut untuk mengenakan busana berwarna lembut dan menjinjing tas tangan. Tetapi tidak terlihat aneh atau kewanitaan,” papar Armand.

ARSETO DIPUTRA THE FASHION ENTHUSIAST Memperoleh ketertarikan akan dunia mode lewat sang ayah, Arseto terkenal akan kepiawaiannya memadukan busana. Banyak mengumpulkan koleksi dari cult designers seperti Givenchy dan Miharayasuhiro, fotografer yang memiliki basis di London ini tak pernah tampil biasa. “Fashion item yang paling saya suka adalah sepatu. Semakin unik dan aneh bentuknya, semakin saya senang,” ujar Arseto. Ia pun tidak takut untuk mengenakan busana yang dibuat bagi wanita selama bentuknya menarik. Gaya boxy yang tengah jadi sorotan menjadi siluet yang diminati oleh Arseto. “Sweater Balenciaga dengan gambar Star Wars ini sebenarnya adalah sweater dress untuk wanita. Saya lipat bagian bawahnya karena sedikit sempit sehingga pas untuk dikenakan,” lanjutnya lagi. Sering berburu busana incaran hingga ke Jepang dan Eropa, Arseto berpendapat bahwa tidak ada salahnya bagi pria untuk memperhatikan penampilan. “Fashion bukan hanya untuk wanita saja. Seorang pia sejati tentu tidak akan takut untuk berekspresi,” lanjutnya.

KAY MORENO THE BRAVE Tampilan rapi dan chic menjadi ciri khas seorang Kay Moreno. Menurutnya, tampil stylish menjadi sebuah keharusan untuk seseorang yang berkecimpung dalam dunia kreatif. “Syarat utama adalah keberanian untuk mengenakan busana-busana yang nonkonvensional. Dan saya memang senang untuk tampil beda,“ paparnya. Sebagai seorang fotografer yang lebih banyak menghabiskan waktunya dalam perjalanan, Kay mengaku banyak berbelanja sembari bekerja. “Pekerjaan saya memungkinkan saya sering bepergian ke manca negara. Di sana saya sering berburu benda-benda unik untuk mengisi lemari pakaian,” kisahnya. Tetapi, Kay Moreno berpendapat bahwa ketika seorang pria


FASHION

Kay

REVIEW

130

“Ketika mengusung aksi yang unik, harus siap untuk menjadi pusat perhatian masyarakat. Bawa penglaman ini dengan cara santai dan percaya diri sehingga Anda terlihat cool dan tidak canggung sendiri.�

akan mencoba mengusung busana yang berkesan feminin, ia harus cermat memperhatikan situasi dan kondisi dari helatan yang akan didatangi. “Jangan sampai salah kostum karena Anda akan merasa tidak nyaman. Sentuhan feminin pada pakaian pria adalah trend yang sangat baru sehingga Anda harus cerdas memilih momen untuk mengenakannya,� saran Kay. Sebagai kecenderungan mode yang agak kontroversial, gaya tabrak gender mungkin bisa menjadi alternatif gaya ketika kebosanan mengenakan setelan jas melanda. Kuncinya, aplikasikan sedikit demi sedikit trend berikut untuk memicu keberanian Anda. Semisal ganti sepatu datas Anda dengan sepatu kulit formal yang memiliki hak setinggi 3cm. Atau jatuhkan pilihan pada kemeja bermotif flora yang tengah jadi sorotan dan simpan atasan bergaris Anda. Lebih lanjut lagi, sesekali bawa man clutch untuk membawa keperluan harian seperti dompet, telepon genggam dan kunci mobil. Karena tentu kantong celana bergelembung yang terlalu sesak oleh benda-benda bukan pemandangan yang sedap dilihat. Jika Anda masih sangsi untuk mencoba gaya kilas gender ini,

lihat kembali ikon musik grunge era '90-an yang paling maskulin bahkan cenderung urakan. Sang frontman dari grup musik Nirvana, Kurt Cobain, pernah sukses mengenakan gaun bermotif flora dengan rambut sebahu sambil memetik gitar. Atau aktor Vin Diesel yang pernah memadukan T-shirt hitam dengan rok kulit serta boots tinggi. Dan tentu saja tidak ada yang meragukan maskulinitas mereka berdua. â–


POINT

Memintal MASA DEPAN Sebagai gulungan benang yang dipersatukan menjadi selembar kain, tenun tidak sekadar merupakan pekerjaan tangan semata melainkan ekspresi jiwa lewat pemintalan. Mengusung spirit untuk kembali kepada tradisi, dunia mode menyuntikkan kemajuan zaman dalam kain budaya. Lily Marpaung menelusurinya.

T Portfolio ini: Gaun: Didi Budiardjo Model: Sveta (Twentyone MM) Makeup dan Hair: Carlos Shu Stylist: Lily Marpaung

FOTO: RICHARD GARTODUS

Talking

ahun yang lalu, insan Indonesia melirik kembali arsip kain yang kental tradisi mulai dari batik, ikat, hingga tenun. Namun seperti semua fenomena yang meledak dan melesat dengan cepat, terbersit sedikit kekhawatiran bahwa demam budaya yang hingar bingar tadi akhirnya akan menemui obatnya lalu mereda di kemudian hari. Tetapi kecenderungan yang baik ini seakan telah bermutasi, meresap ke dalam jati diri, dan kini menetap di hati. Dan hari ini yang menjadi pusat perhatian di Indonesia adalah kain tenun. Kegiatan menenun dapat diartikan lebih mendalam dari sebuah mata pencaharian atau hobi mengisi waktu senggang belaka. Bahkan dahulu menurut adat istiadat, kemampuan seorang wanita untuk menjadi istri ditilik dari kualitas tenunan tangannya. Memang ada keindahan yang magis ketika melihat seorang wanita menyibukkan diri menenun. Suara jemari memilin dan membentang benang yang membisik lalu ditingkahi dengan bunyi hentakan hasil pertemuan antara palang kayu pada alat tenun menghasilkan simfoni yang mendayu di setiap rumah di pelosok negeri. Selanjutnya helai demi helai benang disusun menjadi selembar kain yang kemudian didekorasi oleh gambaran gamblang akan potret kehidupan. Motif yang dihadirkan di atas kain tenun pun tidak sembarangan karena telah diturunkan melalui perbincangan akrab antar generasi dalam kehangatan rumah. Bahkan ada beberapa gambar yang memiliki makna sakral sehingga harus diperlakukan dengan penuh rasa hormat. Pelekat setiap benang tadi adalah rasa cinta dan perjuangan hidup para wanita Indonesia demi mencerminkan jati diri mereka.

Meskipun tersebar di seluruh penjuru Indonesia, seni menenun sempat terpinggirkan dari dunia mode. Hasil kain yang tebal menjadikan tenun yang diproduksi dahulu kurang digemari dalam bentuk busana karena cenderung lebih berat dari material lain yang lazim dijadikan pakaian. Di sisi lain, tenun tradisional kebanyakan juga dibuat tanpa begitu memperhatikan estetika campuran warna sehingga memiliki kesan ramai namun kuno. Ada pepatah bahwa sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang senantiasa menghargai kebudayaannya. Ketika apresiasi terhadap kain tenun memudar, bukan hanya mata pencaharian para penenun yang meredup namun kekayaan bangsa sendiri pun dapat perlahan-lahan sirna. Dan apa artinya kemegahan sebuah negara di mata dunia jika tidak dibarengi dengan kemampuan melestarikan sejarahnya? Derap modernisasi seringkali dianggap sebagai musuh utama yang dapat menggilas habis kebudayaan bangsa. Namun sesuai dengan teori evolusi, mereka yang sanggup bertahan menghadapi perubahan zaman adalah yang mampu beradaptasi dengan tempo singkat. Karena pada akhirnya tidak ada yang abadi di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri. Globalisasi dan kemajuan teknologi sudah sepantasnya menjadi salah satu faktor yang menentukan hasil akhir karya termasuk tenun. Tetapi bukan berarti menjadi melepaskan kebanggaan akan adat istiadat melainkan memastikan bahwa tradisi Indonesia dapat diterima oleh masyarakatnya sendiri yang tentunya juga telah ikut berkembang. Beberapa pegiat mode Indonesia telah memahami wacana ini dan kini mereka terjun secara aktif dalam perkara modernisasi kain tradisi. Didi Budiardjo yang telah lama membantu membina desa tenun


64

Talking

POINT

di Sambas menyebutkan bahwa perubahan yang pertama kali perlu dilakukan adalah pola pikir. Menenun adalah sebuah teknik artisanal yang diwariskan secara turun temurun dalam sebuah keluarga. Adalah mengada-ada ketika menginginkan penenunan berubah menjadi industri besar serta mendunia. Karena itu menurut Didi bentuk modernisasi atas kain tenun haruslah lewat penampilan serta fungsinya. “Teknik tenun itu sendiri sudah sempurna. Karena itu, sisipkan modernitas melalui pemilihan warna, penggunaan benang, dan dekorasi,” ujarnya. Selanjutnya Didi Budiardjo menambahkan, “Tugas kami adalah membuka pikiran para penenun agar mereka menyadari potensi kain tadi sehingga dapat berlaku lebih dari selembar kain yang dipakai dalam acara adat.” Kini tidak cukup lagi hanya memberikan bahan baku dan inspirasi warna yang lebih baik kepada perajin tenun. Ide-ide segar untuk meracik tenun ke dalam bentuk yang bernapaskan internasional pun lebih diperlukan sehingga kain tradisi ini dapat bersanding tanpa kalah pamor di dunia mode. Selain itu Sebastian Gunawan pun tak ketinggalan ambil bagian dalan memajukan tenun Indonesia. Beberapa waktu lalu menggarap tenun dari Garut untuk pagelaran di Jakarta Fashion and Food Festival (JFFF) 2013, ia melansir sebuah koleksi bergaya muda yang sangat kekinian. Menggunakan warna-warna pastel dengan perpaduan senada untuk membuat kain tenunnya,

Sebastian menambahkan aplikasi dari brokat bentuk bunga berwarna cerah. Dari kejauhan, kain tenun tadi pun terlihat seperti materi jacquard mewah yang memiliki efek tiga dimensi menawan. Digunting menjadi gaun pendek hinga playsuit, tenun Garut pun tampil kontemporer di atas tangan dingin Sebastian Gunawan. Pada akhirnya, masyarakat sebaiknya mulai berhenti memandang tenun sebagai barang tradisional. Memang kental dengan budaya tetapi tidak ada peraturan yang menegaskan bahwa kebudayaan dilarang dianggap sebagai produk modern. Ketika bangsa Indonesia melihat tenun sebagai salah satu jenis kain mewah nan berharga, maka mereka tidak akan segan dan merasa risih untuk mengusungnya dalam kehidupan sehari-hari. Ketika pola pikir ini sudah dapat dilaksanakan oleh anak bangsa maka pada saat itulah kain tenun akan memilih sebuah tempat tersendiri dalam kehidupan urban.

SEBUAH PERJALANAN PANJANG Pengembangan tenun menuju pentas nasional dan akhirnya dunia bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Berawal dari keinginan murni untuk mengungkapkan rasa cinta kepada bangsa, sekumpulan perempuan Indonesia yang mencintai tenun pun membentuk organisasi Cita Tenun Indonesia (CTI). Sebuah perkumpulan nirlaba yang berkonsentrasi untuk melestarikan kekayaan tradisi,

Denny Wirawan

Sebastian Gunawan Ari Seputra Priyo Oktaviano

Didi Budiardjo

Sebuah desa sederhana binaan CTI di Sumba

mereka tak kenal lelah berusaha meningkatkan harkat hidup dengan karakter Lombok. “Kami merasa ada sentuhan jiwa yang masyarakat perajin tenun Indonesia. Dengan memikul misi ini, CTI hilang dari hasil tenun mereka. Ternyata mengajak para perajin pun merancang ragam pembinaan ke berbagai desa di penjuru ini pindah ke kota malah mengurangi ekspresi karakter masingNusantara yang sebelumnya tak memperoleh perhatian. masing,” kisah Tjammy. Akhirnya CTI memutuskan untuk kembali Dua daerah yang tengah digarap oleh CTI adalah Lombok dan ke desa asal. Tjammy melanjutkan, “Dahulu para perajin sempat Sumba di provinsi Nusa Tenggara Barat. Memegang kendali untuk tidak akur karena adanya persaingan yang tajam. Untungnya area Sumba, Koestriastuti menyebutkan bahwa ketika mengawali setelah dibina, mereka mulai akur satu sama lain yang tentunya setiap program pelatihan, pendekatan yang pertama kali dilakukan memudahkan pelatihan. Kami tidak hadir hanya sebagai pembina harus personal dan secara halus. “Ketika melainkan juga sebagai psikolog.” Salah satu hasi tenun Lombok berkenalan, kami selalu menyebut mereka Koestriastuti dan Tjammy mengaku dan panggilan maestro karena kemampuan bahwa mengandeng para desainer teknik para penenun ini tidak diragukan merupakan salah satu cara mereka lagi. Selanjutnya baru kami memberikan melakukan pelatihan serta memperluas masukan dan saran yang membangun,” promosi. Keahlian perancang mode dalam paparnya. Meredam ego menjadi sebuah hal komposisi warna dan motif menjadi keharusan karena CTI hadir sebagai menu utama yang akan dibagikan kepada pihak asing di daerah binaan tersebut. para perajin. “Perajin tenun tidak pernah Setelah memperoleh kepercayaan barulah membayangkan bahwa karya mereka dapat Koestriastuti dan CTI dapat membantu dijadikan sebuah baju yang indah. Ketika para perajin untuk meningkatkan kualitas bekerja dengan Didi Budiardjo, awalnya pekerjaan mereka. para penenun sempat bingung mengapa Meskipun tenun dari Pulau Sumba telah memiliki reputasi Didi memesan kain tenun dengan motif dan bentuk tertentu. internasonal, CTI melihat ada sebuah potensi besar yang belum Setelah digunting menjadi gaun malam baru mereka terkagumtergali dengan maksimal. “Kebanyakan kain Sumba hanya kagum ternyata hasil karya mereka bisa dibuat menjadi busana digunakan untuk keperluan harian sebagai selimut serta dipakai secantik itu,” cerita Tjammy. pada waktu acara adat. Menganut agama tradisional Marapu, Berbicara tentang desa tenun binaan, boleh dikatakan bahwa tenun Sumba banyak diperlukan ketika upacara kematian, tidak ada perubahan yang berarti dari bentuk fisik setiap desa perkawinan dan kelahiran,” ujar Koestriastuti lagi. yang ditaklukkan oleh CTI. Karena tujuan organisasi yang Lain halnya dengan Sumba, daerah Lombok pun memiliki diketuai oleh Okke Hatta Rajasa ini bukan untuk melakukan warnanya sendiri. Sjamssidar Isa yang akrab dipanggil Tjammy pengembangan terhadap desa tertentu melainkan lebih terarah berkata bahwa CTI telah menjalankan dua buah gelombang pada individu di dalamnya. Langkah CTI untuk mengangkat pelatihan di Lombok. Ketika pertama kali dilakukan, mereka harkat hidup para perajin tenun Indonesia memang masih mengkonsentrasikan pembinaan di kota Mataram. Setelah berjalan panjang. Karena itu juga menjadi tugas yang patut diemban anak caption mgodgr9erg beberapa lama, pendekatan yang demikian ternyata kurang sesuai negeri untuk peduli dan ambil bagian. ■


ProďŹ l Desainer Indonesia

DESAINER

GARIS

DEPAN

Di edisi ke-150 yang spesial ini, Bazaar mempersembahkan ulasan khusus tentang karya dan inovasi dari 20 desainer yang membuat urat nadi industri mode Indonesia terus berdenyut. Mereka adalah penggagas, pejuang dan kreator mode, sekaligus kolaborator Bazaar dalam mempertunjukkan karya-karya terbaik dalam perputaran mode di Indonesia maupun internasional. Karya-karya mereka ditampilkan lewat dokumentasi dari masa ke masa, dengan susunan nama desainer sesuai urutan alfabet.


Adrian Gan

I

dentik dengan eksplorasi Orientalnya

yang kuat, Adrian Gan menjadi salah satu kreator mode andalan untuk Anda yang ingin mengenakan busana yang erat dengan budaya Asia, namun senantiasa modern. Kekuatan Adrian yang utama adalah kemampuannya dalam hal craftsmanship yang tak bercela, memastikan hasil karyanya tak hanya terlihat penuh kemewahan namun juga memiliki jahitan sempurna. Berbeda dari desainer untuk gaun malam kebanyakan, Adrian Gan memilih pendekatan yang lebih futuristis dalam koleksinya. Aksi yang kelewat romantis bukan jadi bagian dari label Adrian Gan. Lipatan menyerupai origami, bentuk dekonstruktif pada pinggul sampai penggunaan material akrilik

Portfolio ini: Busana, koleksi show Zentroversy Fotografi oleh Nicoline Patricia Malina Makeup & hair: Priscilla Myrna Stylist: Lily Marpaung Model: Dara Warganegara (B Management)

TEKS: LILY MARPAUNG; FOTO PROFIL: KAY MORENO

menjadi pilihannya dalam mendekorasi sebuah gaun. Dengan kejeliannya akan pembuatan detail yang seolah tidak pernah kehabisan kreativitas, Adrian Gan telah memberikan alternatif gaya untuk wanita Indonesia yang ingin tampil beda.


68

Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi Maret 2011

Searah jarum jam: Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi Februari 2009; Edisi Juli 2009; Edisi Oktober 2011; Edisi September 2011; Edisi Januari 2009

Editorial Bazaar Wedding Ideas Mei 2011

“J

dan tidak hanya mengikuti kecenderungan yang ada.”

FOTO: DOK. BAZAAR

harus belajar untuk berani tampil beda

FOTO: DOK. BAZAAR

ika memang mencintai mode, wanita Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi September 2006

Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi Mei 2006

A

drian Gan menyebut-nyebut fashion sebagai salah satu obsesinya yang paling mendalam. Sejak masih remaja ia kerap merancang busana yang akan dipakainya sendiri demi senantiasa tampil beda dari yang lain. Mendandani dirinya adalah cara Adrian mengekspresikan kreativitas yang meledak-ledak di dalam diri. Mantap dengan pilihannya untuk terjun ke dunia mode, ia pun memutuskan untuk pindah dari kota kelahirannya Sukabumi dan belajar di sekolah mode milik Susan Budihardjo. Ia mengawali kariernya di tahun 1986 seperti kebanyakan desainer muda lain pada zamannya, dengan memilih jalur sebagai pembuat busana custom made. Keahliannya merekonstruksi kain, menciptakan detail inovatif serta hasil karyanya yang berselera tinggi berhasil membuatnya dikenal di sepenjuru Jakarta sebagai dressmaker yang penuh kualitas. Meskipun telah memiliki nama besar, pada waktu itu Adrian Gan tetap enggan untuk mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang fashion designer. Debut Adrian Gan yang menggebrak dunia modeTanah Air dilakukan via show tunggal pertama yang dilakukan 15 tahun setelah ia membuka workshop-nya. Pergelaran ini menjadi sebuah momentum yang kemudian menetapkan langkahnya sebagai salah satu perancang Indonesia yang namanya patut diperhitungkan. Gaya rancangannya yang unik, glamor, serta tidak terlalu girly menjadikan Adrian Gan angin segar dalam panggung mode. “Penciptaan aksen tidak melulu hanya dapat dilakukan dengan beads saja. Saya lebih menyukai permainan detail tiga dimensi dengan menggunakan bahan itu sendiri,yang dibuat bertumpuk atau bersusun sampai kadang menyerupai tumpukan kertas atau atap,” ujarnya. Budaya Timur yang kental senantiasa muncul dalam setiap koleksinya sehingga menjadi signature style tersendiri untuk label couture milik Adrian Gan. Ia berkata, “Saya memang sangat mencintai budaya Asia, yang begitu beragam serta kaya akan sejarah. Nuansa ketimuran ini merupakan sumber inspirasi yang tidak akan ada habisnya untuk digarap. Terkenal dengan koleksi cheongsam yang mampu memeluk lekuk tubuh wanita dengan sempurna, Adrian menyebut bahwa dalam proses pembuatan gaun rancangannya ia sangat menghindari penggunaan darts – yaitu teknik menjahit lipatan untuk membentuk efek tiga dimensi pada kain yang sering dipakai sebagai jalan pintas dalam pembentukan struktur. “Ketika membuat sebuah gaun yang fitted, saya berusaha untuk tidak meminta “bantuan” dari


“W

Detail aksesori hairpiece di show Chinoiserie

EARABLE itu bukan hanya berarti

Koleksi Cheongsam 2009

baju yang mudah dipakai tetapi lebih menekankan pada CUTTING yang

Koleksi Cheongsam 2009, foto oleh Davy Linggar

FOTO: COURTESY OF ADRIAN GAN

dari darts. Karena menurut saya, teknik yang demikian menunjukan kelemahan seorang desainer dalam menciptakan pola gaun yang baik yang akan pas di tubuh pemakainya,” lanjutnya. Salah satu keunikan dari rancangan Adrian Gan adalah kesukaannya menggunakan kain-kain vintage yang digabungkan bersama dengan bahan yang modern. Material vintage yang sudah tidak diproduksi lagi ini menjadi semakin istimewa ketika diterjemahkan ke dalam busana couture milik Gan. Di tangannya, bahan-bahan kuno ini pun dikerjakan ulang serta diberi nyawa baru. Hal ini pula yang membuat Adrian Gan hanya dapat membuat satu atau maksimal dua potong busana yang sama untuk setiap rancangannya dan akhirnya semakin membuat gaunnya bertambah diminati karena ekslusivitas yang ditawarkan. “Memang membuat koleksi ready-to-wear bisa jadi lebih menguntungkan. Tetapi saya datang dengan latar belakang couture yang sudah dijalani selama 25 tahun sehingga tentunya saya merasa sedikit kesulitan untuk berpindah jalur. Lebih jauh lagi, saya bekerja sendiri tanpa tim sehingga rasanya mustahil untuk melakukan itu semua,” kata Adrian Gan ketika menjelaskan pilihannya untuk setia pada lini adibusana. Menjadi desainer couture memberikan kenyamanan yang lebih bagi Adrian Gan karena ia merasa tidak perlu berkompromi terlalu banyak terhadap permintaan pasar. “Beberapa orang mungkin merasa kurang percaya diri pada awalnya untuk mengenakan busana saya yang tidak biasa. Saya akan mengarahkan klien menuju garis rancangan saya dan ketika mereka memberanikan mencoba, biasanya mereka menjadi klien tetap saya. Pada akhirnya, saya ingin memastikan klien saya tampi dengan nyaman tanpa mengorbankan estetika desain dari label saya.” Memiliki garis desain yang sedikit futuristis, Adrian menyebut bahwa wanita yang akan mengenakan busananya adalah mereka yang memiliki kepribadian kuat, mandiri serta sangat modern. “Mereka tidak akan mengikuti begitu saja berbagai trend serta kecenderungan yang ada di pasaran karena wanita-wanita saya sudah mempunyai personal style yang sangat menonjol. Meskipun demikian, wanita yang mencintai karya saya tidak akan tertarik untuk berdandan dengan aksesori berlebih,” paparnya kemudian. Selalu menawarkan karya up-to-date adalah sebuah keharusan bagi desainer. “Saya mengagumi Vivienne Westwood karena ia adalah perancang yang begitu kreatif serta di usia yang sudah tidak muda, Westwood masih mampu mempersembahkan koleksi yang trendy tanpa melupakan garis rancangannya,” tambah Adrian Gan. Ya, baginya sejarah serta nostalgia memang menjadi inspirasi labelnya, namun hanya sentuhan modern serta kepekaan dalam membaca trend-lah yang akan menjadi kunci sukses. ■

Show Chinoiserie di Hotel Mulia tahun 2011, foto oleh Moreno & Co.

Show tahun 2009 FOTO: DAVY LINGAR

70

sempurna.”

Look board di show Cheongsam 2009

Detail sepatu dari Show Chinoiserie 2011


Arantxa Adi

rantxa Adi akan mampu memanjakan setiap wanita dengan koleksi gaungaun cantik rancangannya. Maka tak mengherankan bila desainer yang satu ini dinobatkan sebagai desainer untuk para bintang karena ia sering kali mendandani selebriti dengan busananya. Sangat disukai oleh para fashionista khususnya di Jakarta karena kejeliannya membaca apa yang diinginkan oleh wanita, Ia sukses melakukan revolusi dengan meluncurkan busana-busana malam bergaya muda serta urban yang tidak dipenuhi oleh detail rumit. Kesemuanya dilakukan Arantxa Adi

Portfolio ini: Busana, koleksi show 2010 Fotografi: Nicoline Patricia Malina Makeup & hair: Priscilla Myrna Stylist: Lily Marpaung Model: Dara Warganegara (B Management), Anna Somik (Damn Inc.)

TEKS: LILY MARPAUNG; FOTO: DOK. BAZAAR

tanpa menghilangkan nuansa yang mewah. Banyak bermain dengan bahan silk dan chiffon yang lembut melayang, ia telah menetapkan sebuah aturan baru untuk wanita dalam berbusana – yaitu less is more.


“S

aya memang selalu merancang sebuah busana yang

masuk dengan logika. Menurut saya, idealisme desain

N

masuk akal.”

ama Arantxa Adi memang seakan bersinonim dengan cocktail dress dan evening gown bergaya flirty namun elegan. “Rancangan saya sangat wearable, mudah dikenakan tetapi akan membuat setiap mata menengok dua kali kepada wanita yang mengenakannya. Ini tujuan saya,” ujarnya. Acong, begitu ia akrab dipanggil oleh teman-temannya, menyebut bahwa ia memiliki misi untuk mendandani para wanita dengan balutan gaun yang akan memastikan mereka menjadi pusat atensi ketika sedang memakainya. Uniknya banyak yang mengira panggilan Acong muncul dari nama Cina miliknya. “Masih ingat dengan iklan layanan masyarakat di tahun 1998 tentang keberagaman? Di sana ada tokoh bernama Acong yang bersahabat dengan Joko dan Sitorus. Saya dijuluki Acong oleh karena iklan tersebut,” jelasnya sambil tertawa. Ketika sedang menjalani sekolah di bidang accounting, Adi memutuskan untuk bergabung bersama beberapa teman dan membuka butik bernama Tribute. “Kami menjual busana ready-to-wear. Ketika bekerja sama dengan partner, tentu ada beberapa keinginan pribadi yang harus dikompromikan. Akhirnya saya memutuskan untuk mandiri dan memulai lini milik saya sendiri.” Show debut berjudul x_dimension milik Arantxa Adi di tahun 2003 menuai banyak pujian dan seketika ia pun menjadi celebrity darling yang dicintai banyak fashionista serta selebriti berkat gaun-gaun cantik karyanya. Semuanya berawal dari kesulitan Arantxa Adi untuk menemukan busana yang pas dikenakan oleh tubuhnya yang petite. Sambil membalik-balik halaman majalah mode, ia kemudian mulai merancang dan menciptakan wardrobe yang lengkap bagi dirinya sendiri yang ternyata menarik hati banyak teman-temannya. “Saya memang sangat suka berdandan sejak kecil. Dulu saya sering kali dihukum saat sekolah karena melanggar peraturan dengan mengenakan kaus kaki bermotif dalam warna cerah,” kenangnya. Pujian dari bibir para sahabat untuk rancangannya pun kemudian menginspirasi Adi untuk menjadi seorang fashion designer. “Sembari kuliah akuntansi, saya masuk di sekolah mode milik desainer Harry Dharsono selama dua tahun. Di sana saya belajar segala macam dasar

Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi Desember 2009

dalam perkara pembuatan baju,” lanjut Arantxa Adi. Muse menjadi sebuah bagian besar dalam setiap karya Arantxa Adi. Dalam setiap annual show yang diadakan oleh Adi, akan ada sederet wanita cantik dengan kepribadian bersinar yang menjadi wajah dari koleksinya saat itu. “Saya selalu terinspirasi oleh wanita itu sendiri. Karakter mereka yang mengagumkan menjadi sumber kreativitas saya untuk akhirnya mendandani mereka. Kebanyakan muse saya adalah movie star atau model yang tengah berada di sorotan publik.” Adi pun menjelaskan tipe wanita yang akan menjadi klien setianya, “Mereka wanita yang sangat percaya diri serta tidak takut untuk menjadi pusat perhatian dalam setiap pesta.” Sempat berkolaborasi dengan label denim asal Amerika, Citizen of Humanity, Arantxa Adi berkata bahwa ia sebenarnya tidak melulu hanya membuat gaun custom made. “Untuk setiap desain busana yang muncul dalam show, saya hanya membuat sepotong saja. Karena saya sangat menghindari klien saya untuk muncul berbalutkan dress yang sama dengan wanita lain saat mendatangi acara. Jadi kesannya saya ini desainer khusus madeto-order meski sebenarnya tidak demikian.” Konsistensi Arantxa Adi dalam menggelar annual show yang spektakuler memang patut diacungi jempol. “Saya selalu tertarik untuk membuat sesuatu gebrakan. Seperti tahun 2008 lalu saya meluncurkan buku untuk memperingati perjalanan karier selama 10 tahun di dunia mode,” paparnya. Atau tahun lalu, Adi memutuskan untuk menggelar show di Pulau Bali dalam suasana outdoor yang lebih santai. “Clientele yang setia kepada saya sejak dulu juga telah menjadi sahabat-sahabat saya. Karena itu saya ingin menjamu mereka dengan party yang seru dan show yang lebih akrab seperti di Bali waktu lalu,” jelasnya lagi. “Dalam perkara ciri khas, saya sangat suka dengan beads yang berkilau. Karena dengan tambahan aksen payet, sebuah gaun akan seketika tampil lebih glamor. Selain itu saya juga membuat gaun saya mampu mengangkat lekuk tubuh wanita dengan sempurna,” ujar Arantxa Adi ketika menjelaskan tentang signature style dari labelnya. “Meskipun menyukai payet, saya memastikan bahwa saya tidak pernah memasang elemen ini secara berlebihan. Agar wanita yang mengenakan gaun saya dapat dengan bebas menambah aksesori lain sesuai dengan personal style mereka,” lanjutnya. Dengan talenta serta visinya, Arantxa Adi telah berhasil memperoleh tempat khusus di hati para A-lister Indonesia. ■

Searah jarum jam: Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi Desember 2008; Edisi Agustus 2010; Show 2008; Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi Oktober 2011; Edisi Maret 2011; Show Moviechestra 2009.

FOTO: DOK. BAZAAR

80

harus dibarengi dengan penerapan gaya yang tetap


Ari Seputra

T

idak menambahkan detail terlalu

banyak namun tetap memiliki segi yang menarik

adalah resep Ari Seputra dalam merancang setiap koleksinya. Namun meski terkenal akan gaun-gaun bergaris desain bersih, Ari mampu menciptakan koleksi yang tidak mudah untuk dilupakan begitu saja. Ia sangat percaya bahwa kecantikan seorang wanita seharusnya terpancar dari kepribadiannya yang kuat, sementara gaun indah serta glamor yang dikenakannya hanya diperlukan sebagai alat bantu. Memulai kariernya dengan meluncurkan rangkaian gaun pesta READY-TO-WEAR yang CHIC dan elegan, kini Ari Seputra menjadi salah satu desainer Indonesia yang dicari窶田ari oleh wanita ketika mereka memiliki sentuhan budaya namun dikemas dalam gaya yang modern serta kini. Dan lewat label ready-to-wear terbarunya, Major Minor yang bernafas muda, Ari Seputra semakin mengukuhkan posisinya di deretan desainer terbaik untuk busana siap pakai Indonesia.

TEKS: LILY MARPAUNG, FOTO PROFIL: COURTESY OF ARI SEPUTRA

menginginkan gaun yang lebih sederhana,

Portfolio ini: Busana, koleksi show Moviechestra 2009 Fotografi oleh Indiga Ikhlasani Makeup & hair: Dodo Stylist: Lily Marpaung Model: Alexandra - Damn Inc. Digital Imaging: Indarno


“J

angan terlena saat berada di

COMFORT ZONE. Seorang desainer

yang dewasa harus belajar untuk melihat potensi market yang lebih luas.”

FOTO: COURTESY OF ARI SEPUTRA, GETTY IMAGES

K

etertarikan akan dunia mode memang dapat muncul lewat jalur yang berbeda-beda. Bagi seorang Ari Seputra, ia mengawali dengan kegemarannya akan desain interior. “Saya sangat suka menata rumah! Sewaktu remaja, saya kerap mengganti dekorasi kamar saya secara periodik. Bahkan saya sampai membuat tema-tema tertentu untuk setiap desain,” ujarnya. Tetapi kegagalannya menembus ujian masuk sekolah seni membuat Ari beralih jalan dan belajar tentang perbankan di sebuah universitas. Hanya tiga bulan setelah menyelesaikan sekolahnya, ia pun memutuskan untuk kembali kepada passionnya yang utama. “Bekerja dalam bidang bursa saham membuat

FOTO: COURTESY OF ARI SEPUTRA, DOK. BAZAAR

74

Kiri: Koleksi show Exquisite Dream tahun 2007. Bawah: Katalog show Echanting Mosaic tahun 2008.

saya sedikit tertekan. Akhirnya saya memilih untuk berhenti dan mulai berusaha meraih mimpi menjadi fashion designer dengan bekerja sebagai asisten di rumah mode Prajudi. Awalnya saya bertugas sebagai semacam errand boy, mulai dari berbelanja kain, kancing dan benang. Setelah belajar selama lima tahun, Prajudi menerima desain saya dan karier saya sebagai perancang pun dimulai.” Pengalaman panjang dengan bekerja selama bertahun-tahun masih menyisakan keinginan Ari Seputra untuk memperoleh pendidikan tentang fashion dan sekolah mode asal Prancis ESMOD menjadi pilihannya. “Memang saya sudah bekerja menjadi desainer selama 13 tahun, tetapi saya rasa pendidikan fashion secara formal tetap diperlukan. Karena tentu akan ada hal berbeda yang hanya bisa saya peroleh lewat jalur sekolah.” Setelah sekian lama meninggalkan sekolah, pendidikannya di ESMOD menjadi sebuah pengalaman berharga untuknya. “Teman-teman di sekolah kebanyakan berusia setengah dari saya saat itu. Akhirnya kadang saya malah bertindak sebagai guru dan berbagi pengalaman bekerja,” kisahnya. Lebih lanjut lagi, ESMOD kemudian menawarkan Ari untuk bergabung dengan menjadi pengajar di sana dan mengirimnya untuk belajar di Paris. Tampil di depan fashion students yang berbahasa Prancis menjadi pelajaran unik untuknya. “Program belajar menjadi guru ini sangat menambah rasa percaya diri saya. Dan sepulangnya dari Paris, saya sudah berjanji pada diri saya untuk segera memulai lini milik sendiri sambil tetap mengajar tentunya,” ujar Ari Seputra. “Awal mula label saya tentunya dijalankan dengan cara yang sangat sederhana, dengan industri kecil bersama dua penjahit dan seorang pembuat pola.” Ari kemudian menyebutkan bahwa ia memilih untuk memulai dengan koleksi ready-towear, yang diberi nama Elaborate by Ari Seputra, karena pemahaman mendalam yang diperolehnya semasa bekerja untuk Prajudi. Ia menjelaskan, “Saya selalu berusaha meluncurkan karya yang terlihat internasional. Kalau meneliti koleksi yang muncul di fashion week, busana-busana yang ada tidak terlihat ekstravagansa namun tetap chic dengan cutting yang baik. Karya yang demikian yang saya inginkan.” Untuk perkara meluncurkan label adibusana, Ari Seputra berkata bahwa sebaiknya desainer tidak perlu khawatir akan datangnya klien baru. “Ketika koleksi ready-to-wear seorang desainer diminati, tentunya klien akan dengan sendirinya mendatangi kita dan memesan gaun custom made. Hal ini yang terjadi dengan saya.”

Atas: Koleksi show Exquisite Dream 2007. Bawah: Koleksi tahun 2008.


Koleksi Enchanting 2008

Koleksi Major Minor Spring/Summer 2013 Show Bazaar Fashion Concerto 2011

enyamanan saat berbusana itu

penting. Buat apa membuat gaun

yang ketika dipakai untuk berjalan saja sulit?”

Koleksi Moviecestra 2009 Kiri - kanan: Koleksi busana dari show bertajuk Touche

FOTO: COURTESY OF ARI SEPUTRA

“K

Koleksi brand ready-to-wear Major Minor Fall/Winter 2012, yang tim desainernya dipimpin oleh Ari Seputra

FOTO: COURTESY OF ARI SEPUTRA, DOK. BAZAAR

76

Meskipun memilih garis desain yang lebih modern, Ari Seputra mengaku bahwa inspirasi untuk rancangannya banyak datang lewat beragam budaya. Buku adalah salah satu cara bagi Seputra untuk berkelana keliling dunia tanpa perlu pergi dari tempat duduknya. “Busana yang kental dengan kultur akan memiliki karakter yang berbeda dari yang lainnya. Tetapi bukan berarti busana harus jadi terlihat tradisional,” paparnya ketika menceritakan alasannya jatuh cinta pada kebudayaan Indonesia dan mancanegara. Menyebut bahwa filosofi dari labelnya sebagai understated elegance, visinya ketika membuat busana adalah memastikan bahwa wanita yang melihatnya dapat langsung seketika mengetahui kapan mereka dapat mengenakan gaun yang muncul di panggung runway tanpa perlu mengerutkan kening. Ari Seputra juga memaparkan bahwa wanita yang akan mengenakan rancangannya adalah mereka yang sophisticated, tidak memiliki ambisi untuk mencari atensi serta bercita rasa tinggi. “Wanita yang sangat Ari Seputra tidak akan terlihat canggung saat berbusana karena merekalah yang mengenakan gaun tersebut dan bukan gaun itu yang mengenakan mereka,” ujarnya. Berbicara tentang perbedaan membuat koleksi ready-towear dengan couture, Ari Seputra berkata bahwa seorang desainer harus berani mencoba keduanya. Menurutnya, kredibilitas fashion designer tentu belum lengkap jika hanya berkutat di area adibusana saja. “Desain yang indah dan inovatif memang perlu diperhatikan tetapi kenyamanan juga tak kalah pentingnya. Dengan lini ready-to-wear, kedua hal tadi tentu bisa dipastikan untuk berjalan dengan seimbang,” lanjutnya lagi. ■

Ari Seputra saat menerima karangan bunga di show Exquisite Dream 2007


Barli Asmara

Portfolio ini: Busana, koleksi Smock 2008 Fotografi oleh Nicoline Patricia Malina Makeup & hair: Priscilla Myrna Stylist: Lily Marpaung Model: Dara Warganegara (B Management)

Sebagai salah satu wunderkind dalam dunia mode, nama Barli Asmara meroket lewat kepiawaiannya dalam memainkan efek tiga dimensi pada sebuah gaun romantis. Karyanya yang minus payet berkilau memang memberikan napas segar bagi industri mode Indonesia di tengah lautan busana penuh glamorama pada zamannya. Setelah puas mengeksplorasi smock dan lipit, teknik terbaru yang dicoba Asmara adalah macramĂŠ, sebuah cara menciptakan tekstur dengan TEKS: LILY MARPAUNG; FOTO: COURTESY OF BARLI.

simpul menyimpul. Kecerdasannya mengangkat seni kerajinan tangan tradisional kemudian menuangkannya secara elegan ke atas busana bergaya feminin telah menjadikan Barli Asmara salah satu desainer Indonesia yang patut diperhitungkan.


“I

'm so full of love, bisa dilihat dari rancangan saya yang selalu

arper’s Bazaar (HB): Saat memasuki dunia mode, nama Anda melejit dengan cepat. Bagaimana prosesnya? Barli Asmara (BA): Tidak pernah ada proses mudah menuju sukses. Saya percaya terhadap destiny dan setiap orang memiliki garis tangan masing-masing. Ketika kuliah komunasi dahulu, saya bersama dua teman membuka usaha butik kecil bernama Nui Masu tahun 1998 yang berjalan selama tiga tahun. Di sana saya banyak belajar tentang garmen dan bisnis fashion. Pada waktu itu saya telah membangun network yang luas serta berkenalan dengan banyak orang. Hubungan baik itu berlanjut sampai saya memutuskan untuk meluncurkan label saya sendiri yang dimulai dari workshop di rumah petak kecil. Saya juga membuatkan kostum untuk beberapa selebriti seperti Dewi Sandra dan Shanty. Mungkin hubungan dengan klien yang sangat baik itulah membantu saya lebih mudah menembus pasar. HB: Jadi Anda mendalami fashion secara otodidak? BA: Betul. Dulu saya ingin belajar fashion design tetapi keluarga kurang setuju dengan pilihan saya karena mereka menginginkan saya berada di jalur bisnis. Akhirnya saya mengambil sekolah di bidang Marketing Komunikasi Bisnis. Meskipun demikian, saya tidak menyesal belajar PR karena pengalaman tersebut ternyata sangat berguna dalam membangun brand sehingga saya bisa mencapai posisi sekarang. HB: Bagaimana PR sangat membantu label Anda? BA: Sebagai desainer kita harus cerdas dalam menunjukan bahwa kita percaya dengan apa yang kita rancang. Contoh sederhananya dengan mengenakan busana buatan sendiri. Saya mencoba untuk selalu memakai rancangan saya ke setiap acara formal sehingga saya bisa mengkomunikasikan brand saya. Pada akhirnya awareness terhadap label tentu meningkat. HB: Apakah trik tersebut sukses? BA: Ya, sudah banyak orang yang mendatangi saya hanya untuk bertanya dari mana saya membeli jas atau tas unik yang saya kenakan. Langsung saya katakan bahwa saya yang merancangnya. Dan mereka pun menjadi klien saya yang baru. Banyak berteman, itu juga salah satu kuncinya.

HB: Menurut Anda, apa yang jadi kekuatan desain Anda? BA: Saya memiliki kekuatan dalam hal detail. Detail khas saya bukan menggunakan beads tetapi dengan menciptakan tekstur tiga dimensi seperti smock, origami, dan macramé. Memang saya menyenangi craft sejak kecil bahkan dulu saya gemar menyulam! Saya jatuh cinta dengan kerajinan tangan jadi saya memutuskan untuk mengeksplorasi kekayaan budaya Indonesia lewat ragam kerajinan tangan tadi. HB: Apa yang senantiasa menjadi inspirasi Anda? BA: Inspirasi saya adalah kehidupan serta alam itu sendiri. Oh, tetapi saya juga kadang terinspirasi oleh arsitektur seperti bangunan kubikal. HB: Kapan highlight dalam karier Anda? BA: Bagi saya tahun 2008 menjadi turning point yang penting dalam perjalanan karier karena saya berhasil membuka workshop yang cukup besar dan memiliki beberapa karyawan. Pada waktu itu saya akhirnya sukses membuktikan kepada keluarga bahwa fashion adalah sebuah industri yang menjanjikan. Memang orang tua tidak memberikan approval secara verbal untuk pilihan saya tetapi mereka menyatakannya dengan mengumpulkan artikel tentang saya di berbagai media. Hal ini membuat saya bahagia. HB: Untuk Anda, sepertinya keluarga memiliki arti yang sangat dalam. BA: Saya memang sangat romantis. Keluarga sangat penting bagi saya dan saya sangat dekat dengan mereka. Bahkan sampai saat ini saya pasti menyempatkan diri untuk pergi makan dengan nenek setiap minggu. Saya rasa sifat yang demikian muncul dalam rancangan dengan garis desain yang feminin serta cantik. Pemilihan warna pun juga terpengaruh karena saya sering bermain dengan rona pucat serta palet monokromatis hitam dan putih.

Searah jarum jam: Show Couture Mix 2008; Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi Desember 2011; Show Pattern Magic 2010; Show Bazaar Bridal Week 2010; Show tahun 2010.

HB: Seperti apa wanita yang sangat Barli Asmara? BA: Mereka adalah wanita yang menghargai detail, bergaya sophisticated dan tentunya classy. HB: Dalam dunia mode pasti ada up and down. Bagaimana Anda menyikapi hal ini? BA: Komitmen adalah hal yang utama dalam fashion dan kita harus konsisten berada di jalur yang sudah kita pilih. Kompetisi akan selalu ada tetapi kita bisa bertahan dengan tidak berhenti berinovasi karena pada akhirnya publik yang akan menilai lewat hasil karya kita. Jatuh bangun dalam bisnis adalah hal biasa, saya pernah merasakan kondisi paling buruk tetapi saya pastikan saya masih dapat tersenyum ■

FOTO: DOK. BAZAAR, GETTY IMAGES.

84

H

menggunakan warna lembut seperti pastel.”


embicarakan dunia fashion Indonesia tidak akan pernah lepas dari nama Biyan Wanaatmadja. Dengan suaranya yang halus tanpa pernah menunjukan ego yang meledak-ledak khas seorang seniman, Biyan telah menetapkan sebuah standar baru dalam perkara desain. Memulai kariernya di era pertengahan ’80-an yang penuh dengan gegap gempita gaya hidup flamboyan, Biyan malah mengajak wanita Indonesia untuk tampil dengan penuh kelas tanpa perlu meninggalkan aksi glamour. Uniknya, Biyan tidak hanya sekadar merancang gaun-gaun cantik saja melainkan banyak mengeksplorasi busana yang dapat dipadupadankan dengan mudah satu dengan lainnya. Namun semuanya memiliki sebuah benang merah yaitu kemewahan yang understated serta ditampilkan dalam bentuk detail yang dikerjakan dengan tangan semisal bordir serta beads. Ketika mengenakan Biyan, seorang wanita tidak akan pernah salah.

TEKS: LILY MARPAUNG, FOTO PROFIL: COURTESY OF BIYAN

Biyan Wanaatmadja

M

Porfolio ini: Keseluruhan busana, koleksi Biyan Fotografi oleh Davy Linggar Editor fashion: Michael Pondaag Makeup: Wilson Eng, Eugena Ng Hair: Dexter Ng


Searah Jarum Jam: Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi Oktober 2012; Desain khusus Biyan (X)S.M.L untuk Bazaar 10th Anniversary Edition; Editorial Harper's Bazaar Indonesia 2006; Edisi September 2011; Backstage show Foliage 2012; Kumpulan image untuk show Paradise 2008

Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi Juli 2011

“Fashion adalah sesuatu yang mendorong saya untuk bekerja dan juga hal yang sangat saya cintai karena saya bisa menciptakan sedikit keindahan baru setiap hari.”

FOTO: DOK. BAZAAR, COURTESY OF BIYAN

S

ejak masih kecil, Biyan diberi tahu bahwa suatu saat nanti ia akan mendefinisikan hidupnya lewat medium kreatif. Dilahirkan serta menghabiskan masa kecilnya di Surabaya, Biyan mengawali kedekatannya dengan dunia fashion lewat mempelajari desain interior. Namun ia kehilangan ketertarikan akan dunia living dan akhirnya memutuskan untuk beralih mendalami mode di Eropa. Setelah belajar di Dusseldorf dan London, Biyan memutuskan bahwa ia masih memerlukan sedikit pengalaman belajar tentang perbedaan dan keragaman kultur di Eropa dan ia pun pindah ke Florence pada tahun 1982. Dan sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1983, ia pun membuka labelnya yang pada waktu itu bergaya sedikit lebih edgy daripada gaya rancangannya yang sekarang. “Saya sempat tinggal di Eropa selama 15 tahun dan rasanya sudah saatnya bagi saya untuk kembali ke Tanah Air. Kehidupan saya di Eropa telah membuka cara berpikir saya akan peleburan budaya yang ternyata bisa menghasilkan karya inovatif,” ujarnya. Kini setelah memiliki tiga buah label – Biyan, Studio 133 dan (X)S.M.L., menurut Biyan fashion bukan lagi milik sekelompok

eksklusif orang saja. Era globalisasi dan teknologi yang sedemikian maju telah memastikan bahwa perkembangan dunia mode dapat dengan mudah diakses oleh siapa saja di belahan dunia mana pun. “Dunia kini semakin kecil dan tanpa batas. Asia bukan lagi dianggap sebagai sebuah tempat yang begitu jauh dari peradaban Eropa dan kini malah telah menjadi sumber inspirasi bagi para talenta kreatif di luar sana,” paparnya. Biyan pun melanjutkan bahwa ia kerap memperoleh inspirasi lewat keindahan budaya yang ada di sekitar kehidupannya. “Kekuatan desain saya adalah menggabungkan kekayaan tradisi yang indah dengan bentuk modern yang mudah untuk dikenakan.” Garis rancangan Biyan terlihat bersih tanpa cutting yang ekstravaganza. Kelebihan karyanya ditonjolkan lewat print yang unik, unsur dekoratif seperti beads berkilau serta bordir yang membentuk keindahan flora dan fauna. Semuanya dikemas di atas “kanvas” yang tidak berlebihan sehingga menghasilkan kreasi kemewahan dalam kesederhanaan yang kental. “Wanita yang mengenakan Biyan bukan mereka yang ingin cari perhatian dengan mengenakan gaun berukuran besar, mereka adalah wanita kuat penuh percaya diri dengan siluet klasik namun berani menggabungkan warna, motif dan tekstur sekaligus,” jelasnya. Konsep label Biyan tidak hanya meledak di Indonesia karena koleksinya kini telah tersebar di berbagai butik mewah di


“Untuk menjadi seorang desainer, diperlukan dua hal yaitu kesabaran dan kesetiaan terhadap fashion itu sendiri.” Searah jarum jam: Finale show 2010; Show tahun 2006; Koleksi tahun 2010; Finale show Foliage 2012.

FOTO: DOK. BAZAAR, COURTESY OF BIYAN

Koleksi tahun 2008

Tokyo, Osaka, Singapura, Kuala Lumpur sampai Hong Kong. Menjelaskan bahwa embellishment merupakan salah satu signature style dari labelnya, ia sering memperoleh saran dari clientele-nya bagaimana seandainya embellishment tersebut dapat dipakai terpisah. Hal ini yang mengawali ketertarikan Biyan untuk mulai menggarap lini aksesori. “Saya mulai membuat kalung-kalung besar yang dapat dikenakan bersama koleksi saya namun tetap bisa dipakai dengan sepotong Tshirt sederhana,” ujarnya. Menurut Biyan, sebuah kalung yang menakjubkan dapat mengangkat dandanan wanita dalam waktu singkat. Dan benda inilah yang wajib untuk dimiliki oleh setiap wanita di dalam lemari mereka. Sebagai salah satu pelopor dalam industri ready-to-wear di Indonesia, Biyan memastikan bahwa koleksinya – bahkan untuk lini utamanya, dapat dipadupadankan dengan apa pun. Setiap ia melangsungkan show tunggal, wanita Indonesia akan dimanjakan dengan deretan jaket cantik yang dipenuhi bordir, celana panjang dengan cutting longgar, rok sarung sampai gaun malam ekstra mewah yang bertaburkan beads. Ia tidak hanya seorang dressmaker, melainkan desainer yang mampu menciptakan satu buat set wardrobe untuk dikenakan wanita dari pagi sampai malam hari. “Wanita masa kini sudah lebih mobile sehingga busana yang mereka kenakan harus dapat mendukung gaya hidup mereka. Karena itu mereka juga tentu menginginkan kenyamanan berbusana selain nilai estetika belaka,” ujarnya. Sebagai seorang perancang yang terkenal akan kepiawaiannya mengabungkan unsur Barat dan Timur, Biyan juga mengagumi dua desainer Jepang, Issey Miyake dan Yohji Yamamoto. “Mereka berdua telah memberikan kontribusi besar terhadap dunia mode dengan tetap setia akan nilai tradisi mereka sendiri. Tidak hanya sukses mengedepankan kultur dalam bungkus modern, keduanya juga mampu memperoleh tempat di dunia internasional,” sebut Biyan. Berhasil memperoleh tempat di butik online internasional seperti Net-a-Porter, Biyan menyebut bahwa yang membuat banyak wanita tertarik akan karyanya adalah eksklusivitas yang ditawarkan oleh label miliknya. Senantiasa menggunakan material paling mewah yang dihiasi dengan embellishment serta bordir rumit, ia menciptakan busana yang begitu indah bagai sebuah karya seni tersendiri. “Saya senang mengenakan busana kasual untuk sehari-hari seperti jeans dan T-shirt. Namun hal ini sangat berbeda bagi wanita. Mereka menginginkan busana yang terlihat luks namun tetap dapat mereka kenakan lebih dari satu kali ke berbagai acara. Hal ini yang saya tawarkan,” lanjut Biyan. Ketika bercerita tentang perjalanan kariernya selama 30 tahun dalam dunia mode Indonesia, Biyan menyebutkan bahwa satu hal yang selalu ia syukuri adalah berkat. “Satu hal yang tidak pernah saya lupakan, yaitu berkat. It’s all about blessing. Ada begitu banyak dukungan dari keluarga, sahabat, tim kerja, klien, hingga media. Seperti ibu saya pernah berkata, untuk memberikan yang terbaik yang bisa saya lakukan,” papar Biyan. ■

Koleksi tahun 2008


TEKS: LILY MARPAUNG; FOTO PROFIL: COURTESY OF DEDEN SISWANTO

Deden Siswanto

Portfolio ini: Keseluruhan busana, koleksi Deden Siswanto Fotografi oleh Rinal Wiratama Makeup & hair: Decha Stylist: Lily Marpaung Model: Julia Nosova (Damn Inc.) Digital imaging: Tinton Jauhari

P

residen Soekarno pernah berkata untuk jangan pernah melupakan sejarah. Ucapan inilah yang kemudian mendasari seorang Deden Siswanto dalam merancang busana. Eksplorasi budaya bangsa yang kaya menjadi kekuatan tersendiri dari koleksi Deden yang banyak menggunakan materi tradisional namun dikemas dengan gaya urban dan bahkan kadang sedikit futuristis. Cutting dekonstruktif serta motif yang cenderung tidak biasa membuat nuansa earthy tone yang sering digarap Deden terlihat baru. Uniknya Deden tidak hanya bergelut dengan beragam gaun saja, Dengan koleksinya, ia mampu memuaskan wanita penyuka gaya penuh layer yang terlihat effortless dan rancagannya telah menjadi tawaran baru untuk Anda yang ingin mencoba berkesperimen dalam perkara styling.


Atas (kiri - kanan): Koleksi sepatu show Debutant Delight Indonesia Fashion Week 2012; Backstage show In The Dim Light Jakarta Fashion Week 2013; Show Tales of A Street APPMI 2011 Bawah (kiri - kanan): Karya Deden di editorial Bazaar Wedding Ideas 2007, Harper's Bazaar Indonesia edisi Januari 2009, Agustus 2008, Januari 2009

“S

etiap ada curtain call, saya selalu ingat ibu dan pegawai saya yang membantu mewujudkan koleksi. Langsung kaki ini kembali menjejak ke bumi. Jangan pernah menjadi sombong.”

FOTO: DOK. BAZAAR, COURTESY OF DEDEN SISWANTO

92

D

esainer yang lahir dan besar di Bandung ini mengaku memang sudah tidak bisa melepaskan diri dari dunia seni dan fashion. Sejak kecil, tangan Deden Siswanto seakan tidak pernah berhenti menggambar ketika sudah mulai menggenggam sebatang pensil. Bahkan kanvas yang dipilih oleh Deden tidak harus berbentuk kertas! “Ketika teman-teman masih senang menggambar pemandangan, saya sudah mulai dengan menggambar bentuk yang bercerita. Bahkan dinding kamar pernah saya penuhi dengan lukisan sebuah band yang berada di panggung lengkap dengan kostumnya,” ujar Deden. Kecintaannya yang begitu menggebugebu akan menggambar membawa Deden untuk melahap semua majalah mode yang sering dibeli oleh ibu serta kakakkakaknya pada waktu itu. Ia berkata, “Saya menjadi tahu tentang apa itu yang disebut fashion lewat membaca banyak majalah. Hal ini kemudian sangat melekat pada diri saya sehingga setelah lulus sekolah saya tidak terpikir untuk mencoba mempelajari bidang lain selain mode.” Setelah mengambil pelajaran fashion desain di sebuah institusi yang berada di Bandung, Deden Siswanto pun melangkah untuk mewujudkan impiannya menjadi seorang desainer kenamaan dengan bekerja pada sebuah perusahaan busana ready-towear yang mensuplai busana ke beberapa department store terkemuka. “Saya merancang segala sesuatu mulai dari busana pria, wanita, dan baju anak. Pelajaran dalam hal desain dan bisnis yang sebenarnya memang saya peroleh lewat bekerja. Namun setelah delapan tahun, saya merasa sudah waktunya untuk move on.” Ketika akhrinya pindah ke Jakarta, Deden pun memutuskan untuk lebih berkonsentrasi sebagai perancang yang mengerjakan busana custom made. “Saat itu saya sedang lelah untuk terus mengerjakan ready-to-wear. Saya ingin sesuatu yang baru yaitu bertemu dengan klien secara pribadi,” paparnya. Ia kemudian melanjutkan, “Kini saya sudah merencanakan untuk memulai membuat lini ready-to-wear namun yang jumlahnya terbatas dan lebih eksklusif.” Mengaku senang dengan bayangan nostalgia masa lalu, Deden menyebut bahwa ia sangat menyukai sejarah dan bahkan ia pernah sempat berpikir untuk menjadi seorang arkeolog jika

Show Bazaar Fashion Concerto 2010

Finale show In The Dim Light 2013


“K

etika saya memulai dulu, sangat sulit untuk bertemu rekan yang mau mengajari tentang dunia fashion. Kini saya sangat membuka diri untuk berbagi ilmu kepada anak-anak muda.”

FOTO: DOK. BAZAAR, COURTESY OF DEDEN SISWANTO

Searah Jarum Jam: Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi Februari 2008; Bazaar Fashion Concerto 2010 dan 2006; Karya Deden di awal karier; Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi Agustus 2010; Backstage show Beauty Treasure APPMI Fashion 2012; Backstage show Bazaar Wedding Exhibition 2012.

tidak menjadi fashion designer. Kegemarannya akan sejarah selalu muncul pada signature style miliknya, yaitu sebuah peleburan beragamnya elemen tradisi baik dari Tanah Air sampai budaya mancanegara serta beberapa era dalam sebuah busana. Ia menjelaskan, “Indonesia adalah bangsa yang majemuk dengan keberagaman yang indah. Karena itu saya ingin menawarkan sebuah koleksi yang multikultur dengan mengangkat elemen heritage namun tetap terlihat modern.” Palet warna yang cenderung gelap seperti cokelat dan biru tua pun sering menjadi pilihan Deden Siswanto untuk koleksinya karena ketertarikannya akan tragedi dalam kehidupan manusia. “Misalnya inspirasi rancangan saya adalah seorang puteri dari sebuah kerajaan yang cantik namun kisah cintanya merana. Saya suka hal yang demikian,” lanjut Deden. Dalam hal mencari inspirasi, Deden Siswanto menolak anggapan bahwa seorang perancang seharusnya pergi ke sebuah tempat khusus agar dapat memperoleh ide. “Menurut saya inspirasi bisa datang dari mana saja dan kapan saja. Tidak perlu berlebihan dengan menyebut bahwa saya harus pergi untuk merenung di Bali atau India, misalnya. Yang paling penting adalah kita tak pernah lupa untuk mencatat dan menggambar setiap ide yang muncul secara tiba-tiba.” Salah satu kekuatan yang menarik dalam setiap desain dari Deden Siswanto adalah ia akan meluncurkan koleksi yang mudah untuk saling dipadupadankan. Karena, mendikte gaya busana seorang wanita memang tidak akan pernah ada dalam kamus desain Deden. “Saya ingin membebaskan wanita untuk mengubah styling dari busana yang saya suguhkan di atas panggung runway. Karena itu saya banyak mengeksplorasi jaket, atasan serta bawahan yang bisa saling ditumpuk,” ujarnya. Menurut Deden lagi, keahlian dalam perkara padu padan adalah hal yang perlu dipelajari oleh wanita. Jangan sampai total look seseorang malah terlihat buruk hanya karena kurang piawai dalam bermain tabrak warna serta motif. Lebih lanjut lagi ketika menjelaskan wanita yang sangat Deden Siswanto, ia menyebut, “Wanita yang akan mengenakan busana saya adalah mereka yang memiliki individual style kuat serta senang melakukan mix and match busana baru dengan koleksi yang memang sudah mereka miliki sebelumnya. Gaya pribadi itu menjadi sangat penting.” Menurut Deden, agar seorang desainer dapat sukses di mata publik maka ia harus memiliki karakter yang jelas dan tegas dalam rancangannya. “Kebiasaan kita adalah sering kali hanya mengikuti arus saja dan hal ini yang membuat seseorang pun mengalami kesulitan untuk maju. Hanya ketika kita berani untuk menjadi diri sendirilah maka kita bisa bekerja dengan maksimal,” kata Deden. Perjalanan panjang yang tidak mudah untuk menuju sukses juga merupakan sesuatu yang perlu dilewati. “Mungkin orang ada yang diberi jalan untuk bisa mencapai puncak secara instan, tetapi kalau saya perlu proses panjang. Apa pun garis hidup kita, pastikan bahwa kita harus tetap jadi orang yang bersyukur,” ujarnya sambil menutup obrolan. ■

“D

alam hidup selalu ada kontradiksi dan ini yang muncul dalam koleksi saya. Sisi maskulin dan feminin serta nuansa lembut dan keras saya padukan, agar balance.”


T

Denny Wirawan

erkenal akan

kemampuannya dalam menyatukan gaya seksi serta maskulin sekaligus, Denny Wirawan memang seorang desainer yang patut jadi perhatian Anda. Kemampuannya dalam menghasilkan busana penuh ornamen unik, seperti yang terbuat dari metal, menjadikan desainer yang satu ini sebagai salah satu angin segar dalam industri fashion di Indonesia. GO BIG OR GO HOME, mungkin inilah yang menjadi prinsipnya dalam merancang. Kekuatan dari label Denny Wirawan adalah dalam perkara teknik pengerjaan bahan yang tidak biasa, semisal teknik FOILING yang memberi efek mengilat di atas selembar kain sekaligus motif yang kuat kemudian menjadi ciri khasnya. Sebagai salah satu penggiat koleksi READY-TOWEAR di Indonesia, konsistensi Denny dalam memberikan alternatif busana untuk para wanita yang ingin tampil seksi namun penuh POWER memang layak diapresiasi.

TEKS: LILY MARPAUNG; FOTO PROFIL: COURTESY OF DENNY WIRAWAN

kain. Perpaduan beberapa teknik di atas

Portfolio ini: Busana, koleksi tahun 2009 Fotografi oleh Indiga Ikhlasani Makeup & hair: Dodo Stylist: Lily Marpaung Model: Alexandra - Damn Inc. Digital Imaging: Indarno


“M

engadakan SHOW tunggal setiap tahun adalah bentuk

tanggung jawab seorang desainer terhadap masyarakat,

Searah Jarum Jam: Finale show The Splendour 2008; Show Gateway 2007; Show Fashion Nation Noir et Blanc 2012; Show The Splendour 2008; Show Bazaar Fashion Concerto 2010

Ini bukan sekadar demi eksistensi.”

FOTO: COURTESY OF DENNY WIRAWAN; DOK. BAZAAR

Editorial Harper’s Bazaar Indonesia edisi Maret 2008

FOTO: DOK. BAZAAR

98

K

lien pertama Denny Wirawan adalah boneka yang dibuatkan baju olehnya dengan tangan ketika ia masih berusia 10 tahun. Memiliki ibu yang bergerak di bidang bisnis kecantikan membuat Denny semakin lekat dengan keindahan. “Ibu saya memiliki salon dan saat masih kecil saya senang sekali menggambar ulang foto-foto yang jadi inspirasi ibu saya dalam menata rambut,” ujarnya. Namun mengambil keputusan untuk terjun ke bidang seni memang bukan perkara yang mudah. “Ketika saya memilih untuk bergerak dalam bidang fashion, ada sebuah penolakan yang datang dari keluarga karena mereka menginginkan saya berada di jalur pekerjaan yang lebih umum,” ujarnya. Sifat keras kepala dari seorang Denny Wirawan yang mendorongnya untuk mengikuti sebuah perlombaan merancang busana akhirnya mengantarkannya untuk bekerja pada sebuah toko kain. “Bayangkan, saat itu saya baru berusia 17 tahun dan sudah harus bertemu serta berdiskusi langsung dengan klien,” papar Wirawan. Mulanya ia sedikit canggung dan ragu saat harus memberi saran untuk pelanggan yang datang. Namun lama kelamaan Denny pun menjadi ahli dalam hal membujuk wanita yang datang untuk memesan lebih banyak busana. “Bekerja selama empat tahun sebagai fashion designer di toko tersebut lamakelamaan membuat saya jenuh. Akhirnya saya memutuskan untuk meninggalkan kota kelahiran Surabaya dan kembali ke rencana semula yaitu untuk belajar fashion,” lanjutnya kemudian. Dengan modal yang ia kumpulkan selama bekerja, Denny Wirawan pun belajar di sekolah mode milik desainer Susan Budihardjo. Ia kemudian menemukan cara belajar lain yang sangat cocok dengannya, yaitu dengan mengikuti perlombaan merancang busana. “Saya banyak belajar lewat perlombaan ini. Di sana saya bisa melihat bahwa yang paling utama dalam perjalanan karier seorang fashion designer adalah kemauannya menerima kritik serta pola pikir yang terbuka,” ujarnya. Karena terbiasa bekerja sejak muda, Denny Wirawan tidak menyia-nyiakan waktunya ketika sedang bersekolah. “Selama belajar di sekolah, saya tetap bekerja di rumah mode Prajudi untuk divisi ready-to-wear yaitu Bianglala. Mungkin itu sebabnya saya lebih mantap dengan pengerjaan koleksi ready-to-wear.” Mengawali kariernya dalam industri mode dengan sebuah area berukuran 2 x


“K

Searah Jarum Jam: Show The Splendour 2008; Show Gateway 2007; Show Jakarta Fashion & Food Festival Kilimology 2012; Show Bazaar Fashion Concerto 2006; Show The Splendour 2008

etika ditiru, tidak perlu

gusar. Lanjutkan kreativitas karena ide baru dan segar adalah sesuatu yang tidak

2m dalam department store, Denny mengganggap bahwa segala sesuatu bisa menjadi pelajaran dalam berkarya. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 sempat membuatnya cemas akan kelangsungan bisnisnya. Ia pun mulai membongkar seluruh isi gudang dan mencari akal untuk menggunakan kembali bahan-bahan yang telah dimilikinya untuk diterjemahkan menjadi koleksi baru. “Saya ikut terkena imbas dari krisis ekonomi tahun 1998 dulu. Namun ternyata ada hal baik yang muncul, yaitu dengan menurunnya daya beli masyarakat, mereka beralih ke produk lokal. Klien saya pun jadi bertambah,” papar Denny. Memiliki signature style yang bergaya sangat penuh detail serta ornamen, Denny Wirawan menyebut bahwa wanita yang akan mengenakan koleksinya adalah mereka yang seksi, berkarater kuat serta tidak takut untuk memancarkan kecantikan alami. “Menurut saya seorang wanita sebenarnya tidak perlu memaksakan diri untuk tampil feminin berlebihan ketika bergaya. Karena kepribadian mereka yang kuat akan menjadi sentuhan ekstra,” ujarnya. Namun gaya khas Denny Wirawan yang cenderung glamour sempat mengalami perubahan. “Dahulu saya banyak membuat office attire seperti blazer dan celana panjang. Tetapi lama-kelamaan jadi membosankan dan akhirnya saya melirik gaun pesta. Ternyata ini adalah gaya yang lebih tepat untuk saya.” Ia pun melanjutkan, “Salah satu muse saya adalah Sophia Loren. Ia wanita dengan kecantikan alami serta kepribadian yang sangat kokoh. Tanpa perlu berusaha keras, Loren sanggup membuat semua mata tertuju padanya.” Lebih lanjut lagi, Denny mengaku bahwa ia sangat senang mengeksplorasi motif. Dengan koleksi yang memiliki siluet sederhana, Denny ingin motif karyanya yang berbicara lebih lantang dalam busana karyanya. Dan tak hanya berhenti melakukan inovasi lewat motif, Denny Wirawan pun membuat gebrakan dengan mencoba beragam teknik yang memberikan perlakuan khusus terhadap kain sehingga bahan tersebut pun memiliki tekstur baru. “Salah satu koleksi saya yang paling memorable adalah di tahun 2008 ketika saya menggunakan teknik foiling. Dan tahun berikutnya ketika saya melirik teknik laser cut,” jelasnya. Menurut Denny, seorang desainer sudah seharusnya memiliki pengetahuan luas akan kain sehingga tidak hanya berputar pada penambahan detail saja ketika membuat rancangan. “Jangan sampai ketika seseorang sudah membeli salah satu karya kita, ternyata hasilnya malah mengecewakan hanya karena pemilihan bahan yang kurang tepat,” ujar Denny Wirawan. ■

Atas: Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi Mei 2012; Kiri: Show Bazaar Fashion Concerto 2010

FOTO: COURTESY OF DENNY WIRAWAN, DOK. BAZAAR

100

bisa dicuri.”


A

Didi Budiardjo

dalah sesuatu hal yang

mustahil untuk membicarakan seorang Didi Budiardjo tanpa menyinggung talentanya yang besar dalam hal konstruksi 102

detail-detail cantik di atas rancangannya. Teknik BEADING serta EMBROIDERY yang rumit menjadi keahlian Didi, dan uniknya semua dikerjakan dengan hati-hati menggunakan tangan. Maka tidak berlebihan untuk menyebut karya Didi Budiardjo sebagai LABOUR OF LOVE dan ia menganggap busana-busana karyanya sebagai anak-anaknya. Sebagai salah satu DRESSMAKER paling ahli di Indonesia, Didi banyak bergerak di area CUTTING yang pas di tubuh wanita dan mengangkat sisi feminin mereka. Ia sanggup

Portfolio ini: Busana, koleksi Didi Budiardjo di Harper's Bazaar Indonesia edisi Maret 2011 Fotografi oleh Adi Nugroho Editor fashion: Michael Pondaag

TEKS: LILY MARPAUNG; FOTO PROFIL: DOK. BAZAAR

mentransformasi sepotong bahan menjadi sebuah gaun yang tak hanya memiliki fungsi serta nilai estetika, namun juga berperan sebagai penunjang rasa percaya diri wanita yang mengenakannya untuk menuju level selanjutnya.


Editorial Harper's Bazaar Wedding Ideas edisi Mei 2007

Editorial Harper's Bazaar Wedding Ideas edisi Mei 2010

Editorial Bazaar Wedding Ideas edisi Desember 2006

Karya Didi khusus untuk Bazaar 10th Anniversary Issue

Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi September 2011

Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi November 2010

FOTO: COURTESY OF DIDI BUDIARDJO, DOK. BAZAAR

Pemotretan khusus untuk koleksi bridal gown

“B

aju-baju saya ini seperti anak-anak saya. Kadang ada yang nasibnya baik namun kadang ada yang kurang beruntung."

Editorial Bazaar Wedding Ideas edisi Mei 2010


“S

aya tidak merasa romantis lagi akhirakhir ini, mungkin lebih melankolis.

Koleksi Claire de Lune 2012 Fotografi oleh: Hadi Cahyono Editor fashion: Michael Pondaag Model: Katya Talanova (Damn Inc.) Makeup: Susi Kleo & Team Digital imaging: Angelia Tjong

de yang cemerlang memang bisa datang dari mana saja tetapi bagi Didi Budiardjo ia selalu terstimulasi oleh kesibukannya bekerja di studio. “Saya tidak percaya dengan muse karena saya lebih merasa terinspirasi ketika sedang sibuk bekerja. Proses pembuatan busana ini yang menjadi sumber kreativitas saya,” ujarnya. Ia menjelaskan bahwa pembuatan pola untuk setiap busana masih dilakukannya secara langsung. Bagi Didi, menciptakan pola malah akan memberi masukan yang menarik terhadap proses desainnya. “Saya adalah orang yang menikmati proses. Dengan masih menggambar pola, saya terinspirasi untuk membuat beragam embroidery dan beading. Banyak yang bilang saya membuang waktu, tetapi saya sangat menyukai metode ini.” Gelombang munculnya desainer Jepang yang mengambil alih pusat mode Prancis di era ‘70-an dan ‘80-an memiliki peran besar dalam langkah Didi. “Pada waktu itu Yohji dan Kenzo berada di Paris. Karena itu saya memilih Paris sebagai tempat belajar karena saya merasa itu bisa menjadi lingkungan paling tepat bagi saya untuk bersentuhan dengan fashion,” kata Didi. Dilatih di Atelier Fleuri Delaporte pada tahun 1991, Didi sukses membawa elegansi ala Parisian ke Indonesia dengan labelnya yang eponymous. Berkonsentrasi untuk membuat wanita tampil dengan penuh keanggunan, gaun karya Didi seakan menebarkan aura femininitas serta kepercayaan diri bagi pemakainya. Ia kerap melansir busana-busana dengan siluet klasik namun tetap tidak melupakan sentuhan yang up to date dengan tambahan aksen yang begitu glamor. “Saya tidak terlalu memikirkan filosofi desain saya karena saya tidak setuju dengan pemberian label. Tetapi estetika yang ingin saya raih adalah tampilan cantik yang klasik,” paparnya kemudian. Meskipun terkenal dengan teknik beading serta embroidery yang halus, Didi Budiardjo telah mengalami perubahan yang krusial dalam kariernya. Setelah meninggalkan Paris, ia memulai lini miliknya di Jakarta, Anonymous, yang memiliki gaya lebih avant-garde. Didi berkata, “Avant-garde adalah garis desain yang dimiliki oleh sekolah saya di Paris dan memang sangat mempengaruhi pekerjaan saya. Tetapi saya menyadari bahwa saya harus jujur pada diri sendiri. Akhirnya, saya pun meluncurkan label couture, Didi Budiardjo di tahun 1996. Ini merupakan sebuah titik balik yang besar.” Signature style miliknya dengan penggunaan kristal serta bordir lahir sebagai sebuah solusi dari problem yang ditemui Budiardjo dalam perkara material. Didi mengaku bahwa ia sering kali menemui kesulitan untuk memperoleh kain berkualitas prima yang eksklusif untuk rancangannya. Akhirnya ia pun memecahkan

Show Claire de Lune 2012

FOTO: COURTESY OF DIDI BUDIARDJO, DOK. BAZAAR

106

I

Entah mengapa.”

Koleksi Phantasmagoria 2007

masalah ini dengan mengaplikasikan beragam elemen yang tidak biasa di atas kain terbaik yang dapat ia temukan sehingga bahan tersebut menjadi makin spesial. Dan love affair Didi Budiardjo dengan beads dan embroidery pun dimulai yang akhirnya melambungkan namanya. “Mereka adalah wanita yang menghargai kualitas serta memiliki semangat untuk mencoba berbagai hal baru,” ujar Didi ketika menjelaskan wanita seperti apa yang akan mengenakan rancangannya. Ia pun menambahkan bahwa kualitas serta desain adalah dua hal yang harus berjalan berdampingan sehingga sebuah gaun pun tidak menjadi timpang. Kualitas memang selalu menjadi poin besar dalam busana couture. Ketika ia memulai kariernya di tahun ‘90-an, desainer couture memang kurang populer di dunia mode Indonesia. “Yang dikenal banyak orang itu perancang ready-to-wear bergaya kantoran. Kini saya merasa telah membawa esensi couture ke level yang berbeda bersama beberapa teman desainer lain.” Lebih jauh lagi soal couture, ia menjelaskan, “Couture is about design and quality. Mulai dari bahan, teknik sampai desain. Ketika sudah berani menyebut diri sebagai desainer couture, maka harus ada tanggung jawab penuh. Contohnya, seseorang itu harus belajar dasar piano klasik lebih dulu baru kemudian berlanjut memainkan musik jazz. Jangan sampai jadi kacau.” Meski sudah memiliki posisi yang kokoh dalam dunia mode, Didi Budiardjo pun tidak pernah berhenti melakukan inovasi. Seperti pada show di awal 2012, ia menjadi desainer Indonesia pertama yang menawarkan live streaming. “Menurut saya teknologi itu baik. Ketika fashion bisa dinikmati semakin banyak orang, mengapa tidak? Saya pikir dunia sebaiknya semakin terbuka,” katanya. Namun ia tetap tidak meninggalkan eksklusivitas yang menjadi napas dari labelnya. “Meski show saya terbuka untuk umum, saya meyakinkan klien bahwa saya tidak pernah membuat gaun yang sama dua kali. Jika ada dua permintaan untuk satu gaun, saya akan membuat perbedaan pada kedua rancangan,” tambah Didi Budiardjo. ■

Show tahun 2007


ielu-elukan wanita karena kemampuannya membuat korset yang tak hanya dapat membentuk tubuh namun tidak melupakan kenyamanan, Eddy Betty adalah destinasi bagi mereka yang ingin memperoleh busana yang sanggup memeluk tubuh dengan sempurna. Gaya seksi dan bold dengan ornamen dekoratif yang tiga dimensional menjadi pilihan garis rancangannya, tidak peduli apakah dalam bentuk gaun modern atau kebaya tradisional. Jarang menggelar show tunggal menjadikan setiap pagelaran Eddy Betty sebuah acara yang sangat ditunggu-tunggu. Karena ia tidak hanya menjanjikan deretan busana cantik melainkan tampilan aksi panggung yang mencengangkan, yang memastikan show miliknya menjadi sebuah entertainment tersendiri bagi penggemarnya.

TEKS: LILY MARPAUNG. FOTO PROFIL: DOK. BAZAAR

Eddy Betty 108

D

Portfolio ini: Keseluruhan busana, koleksi edbe di Harper's Bazaar Indonesia edisi September 2012. Fotografi oleh Hadi Cahyono Editor fashion: Michael Pondaag


H

arper’s Bazaar (HB): Sejak kapan Anda menyadari bahwa Anda ingin menjadi desainer? Eddy Betty (EB): Sejak remaja, karena dari kecil saya sangat senang mendandani orang lain. Tetapi keluarga saya masih khawatir dengan ketetapan pilihan saya, jadi setelah lulus SMA saya bersekolah di Susan Budihardjo selama setahun. Kemudian saya yakinkan mereka lagi akan niat saya dan saya pun melanjutkan ke Paris, karena kota itu adalah kiblat fashion dunia. Saya merasa beruntung sekali bisa diterima oleh Chambre Syndicale. Itu impian saya. HB: Anda dididik di Ecole de la Chambre Syndicale. Apakah ini membentuk garis desain Anda? EB: Sangat. Paris menjadi salah satu faktor utama yang membentuk garis desain saya yang sekarang. Dalam dunia fashion, karakter seseorang akan muncul dalam rancangannya. Namun selain karakter tentunya haluan yang diterima selama bersekolah juga menentukan arah desain.

Atas: Salah satu karya yang ditampilkan di look book Eddy Betty. Bawah (kiri - kanan): Koleksi edbe di Harper's Bazaar Indonesia edisi Juni 2011; Koleksi busana dari show Langgam Tiga Hati 2011; Koleksi yang diambil dari look book Eddy Betty. Halaman sebelah: Atas: Harper's Bazaar Indonesia edisi April 2009. Bawah: Harper's Bazaar Indonesia edisi Januari 2007

FOTO: COURTESY OF EDDY BETTY; DOK. BAZAAR

HB: Karena itu Anda lebih berkonsentrasi di couture? EB: Dulu sulit untuk membuat ready-to-wear. Lagipula di tahun '90-an yang jadi trend ready to-wear adalah busana kantor dan bukan itu yang saya mau. Pada waktu itu saya ingin punya atelier dulu, karena itu saya membuat busana custom made. Waktu itu sangat sulit, karena saya sempat mengalami krisis ekonomi yang besar. Dari sana baru saya mengembangkan diri, seperti

S

“

aya kembali ke Indonesia karena saya yakin saya bisa menjadi jalan besar di negara sendiri sementara di negara orang hanya bisa jadi jalan kecil.�


S

“

eperti makanan dengan bumbu yang kuat, begitu juga perasaan saya untuk warna. Tidak boleh bimbang, karenanya saya sering menggunakan warna cerah yang vibrant.�

Searah Jarum Jam: Show Eccentriclassy 2008; show Langgam Tiga Hati 2011; show Celebration of Love 2004, show Langgam Tiga Hati, show Eccentriclassy 2008

HB: Sempat tinggal enam tahun di Paris, apa Anda merindukan kota itu? EB: Saya selalu rindu dengan Paris karena suasananya dapat me-recharge kreativitas saya. Karena itu saya harus kembali ke sana minimal sekali setiap tahun. Di sana saya juga suka ke vintage store. Baju vintage yang saya beli seringkali saya bongkar untuk belajar. Menurut saya desainer busana vintage ini hebat karena koleksi mereka masih terlihat aktual sampai saat ini dan saya sangat mengapresiasi hal itu. HB: Apakah Anda juga sering traveling? EB: Menurut saya, rajin traveling bagi seorang desainer adalah sebuah keharusan. Dengan traveling, kita bisa melihat pekerjaan orang lain di berbagai belahan dunia dan bisa memotivasi diri untuk jadi lebih baik. Selain itu saya juga tergila-gila untuk berbelanja kain sehingga saya senang berkeliling ke berbagai kota untuk berburu. Kota favorit saya adalah Tokyo, New York, London dan Paris. Entah mengapa, saya bisa jadi sangat bahagia saat berada di toko kain. HB: Apa filosofi desain Anda? EB: Saya ingin menjadi seorang arsitek fashion. Filosofi saya adalah ketika Anda ingin membuat rumah yang kokoh serta indah maka harus dibuat fondasi yang sempurna dahulu. Karena itu saya mencoba mengalter tubuh wanita agar terlihat semakin proporsional. Dengan dasar yang sudah saya buat tadi saya kemudian menambahkan variasi rancangan dengan membuat gaun atau kebaya. HB: Caranya? EB: Dengan korset. Korset atau bustier memang menjadi kekuatan saya. Tubuh wanita bentuknya sangat beragam dan setiap wanita pasti memiliki kekurangan yang ingin mereka tutupi. Dengan korset yang bagus, tubuh wanita bisa memiliki lekuk yang lebih cantik. Sepertinya perjalanan karier saya semuanya terjadi dengan kebetulan, dan kebetulan saya suka korset karena saya mampu membuatnya dengan baik. Awal

mula menjadi desainer, saya banyak membuat kebaya namun saya padukan dengan bustier yang sewarna agar tampil makin elegan. Kedekatan saya dengan korset pun berlanjut sampai saya membuat kebaya ukir dari tulle serta lace. HB: Desain Anda terlihat seksi dan sedikit nakal. Namun Anda tidak mencerminkan pribadi yang demikian. Bagaimana sebenarnya karakter Anda? EB: Saya orang yang romantis. Ketika mendandani diri sendiri saya cenderung beralih ke gaya klasik dan elegan. Tetapi gaya saya berbeda saat mendandani orang lain. Saya rasa saya memiliki dual-personality yang berlawanan saat merancang untuk keperluan pribadi serta untuk klien. HB: Dari mana inspirasi Anda? EB: Tidak ada hal yang khusus untuk memperoleh inspirasi. Tetapi anehnya ketika tidur, saya selalu bermimpi setiap hari dan bahkan bermimpi tentang fashion. Suatu hari saya pernah bermimpi membuat busana dari bahan transparan berwarna hijau pucat dengan bulatan-bulatan kecil tersebar di seluruh gaun. Biasanya ketika saya masih ingat mimpi saya pada waktu bangun tidur, akan segera saya gambar. HB: Apa pendapat Anda tentang kenyamanan busana? EB: Kenyamanan memang penting dari sebuah busana. Tetapi jika wanita ingin terlihat makin ramping maka harus ada pengorbanan yang dilakukan. Karena itu saya selalu menekankan pentingnya fitting sehingga wanita bisa mengukur kemampuannya untuk berkompromi dengan bustier yang saya buat. Namun saya juga memastikan bahwa korset saya tidak akan menyakiti, karena ketatnya sebuah korset adalah seperti ketika mengenakan skinny jeans yang baru dicuci. Memang ketat tetapi lama kelamaan korset tersebut akan menyesuaikan dengan tubuh. â–

FOTO: COURTESY OF EDDY BETTY; DOK. BAZAAR

112

sekarang saya sudah punya koleksi ready-to-wear edbe yang konsepnya bergaya street wear Jepang.


K

Edward Hutabarat

Portfolio ini: Busana, koleksi Part One Edward Hutabarat di Harper's Bazaar Indonesia edisi Maret 2012 Fotografi oleh NPM Photography Editor fashion: Michael Pondaag

etika meluncurkan

label Part One, Edward Hutabarat juga sekaligus menawarkan alternatif busana dalam kain tradisional yang bersifat eksklusif dan modern. Dengan garis desain yang bersih tanpa detail berlebih yang bisa jadi membingungkan, rancangan Edward menjadi incaran wanita mapan yang percaya diri untuk tampil tanpa aksesori ramai. Ia menerjemahkan batik yang kaya akan tradisi ke dalam ITEM yang sangat hari ini, semisal JUMPSUIT, jaket, serta rok lebar. Visinya sangat jelas, yaitu mengajak wanita Indonesia untuk bangga dengan asal usulnya serta senantiasa menjadi diri sendiri. Ia juga giat menunjukkan bahwa batik yang ditekuninya memiliki proses TEKS: LILY MARPAUNG; FOTO PROFIL: DOK. BAZAAR

yang luar biasa. Kini bahkan setelah 30 tahun berkarya, koleksinya yang TIMELESS masih relevan dengan pergerakan tren dunia dan menjadikan Edward Hutabarat sebagai salah satu kreator mode Indonesia yang paling berpengaruh.


Kiri - kanan: Koleksi Part One di Harper's Bazaar Indonesia edisi Oktober 2011; Editorial Bazaar Wedding Ideas edisi Mei 2011 Koleksi Part One di Harper's Bazaar Indonesia edisi Januari 2012

FOTO: DOK. BAZAAR

116

B

anyak kreator mode yang menggarap batik namun tidak ada yang melakukannya seperti Edward Hutabarat. Akrab dipanggil Edo, ia mengaku bahwa konsep labelnya adalah untuk mengangkat batik ke atas, baik secara harafiah maupun tersirat. “Saya pertama kali mendalami batik ketika asyik mengeksplorasi kebaya. Pada waktu itu, saya ingin menaikkan batik dari bawah,” ujarnya. Dan memang visi itu yang sukses dilakukan oleh Edo dengan label Part One. Sempat belajar hukum selama empat tahun, Edward Hutabarat memutuskan untuk menentukan jalan hidupnya dan memilih fashion. “Ini adalah hidup saya dan saya ingin bebas seperti burung. Wild and free,” papar Edo. Dan pilihannya memang tepat, ia kini menjadi nama yang patut diperhitungkan dalam dunia mode Indonesia berkat kegigihannya mengembalikan derajat batik ke tempat sesungguhnya. “Saya sangat mencintai lifestyle dan bagi saya fashion adalah sebuah gaya hidup,” papar Edward Hutabarat yang dilahirkan di Sidikalang, Sumatera Utara. Menurutnya batik itu sendiri adalah potret perjalanan kehidupan. “Saya tidak mau membuat batik secara instan. Ketika Anda mencintai batik, sudah seharusnya Anda cintai kehidupan di balik pembuatannya. Saya sangat menikmati duduk berpanas-panas di antara pembatik saya. Hal ini yang membuat saya merasa cukup dalam hidup,” lanjutnya. Edward Hutabarat memang memiliki filosofi dalam berkarya yaitu agar dapat menghasilkan masterpiece maka seseorang harus kembali ke akarnya. “Jangan bermimpi dan mengubah diri menjadi sebarat mungkin. Ketahui asal-usul Anda kemudian gempur dunia dengan sepak terjang internasional,” tandasnya. Lebih jauh lagi, ia menyebut koleksinya bukan merupakan sentuhan batik pada busana modern. Melainkan kain batik itu sendiri seutuhnya. Dengan signature style Edo yang menggabungkan motif modern dengan tradisional, formula ciptaannya seketika meledak dan sangat digemari wanita Indonesia. Ia pun menjelaskan, “Motif garis dan gingham jadi pilihan saya. Banyak yang berpikir agar batik terlihat modern maka perlu diberi tambahan drapery dan payet. Tidak! Konsep saya adalah membuat busana dengan garis sesederhana mungkin karena kesederhana adalah modernitas.” Detail-detail yang rumit memang tidak akan ditemukan ketika menelurusi rancangan Edward Hutabarat. Ia percaya bahwa seorang wanita sepantasnya tampil percaya diri dengan

kesederhanaan yang penuh kualitas. “Saya sudah lelah dengan costume dress dan saya ingin Indonesia berubah. Kita memiliki musim panas sepanjang tahun, karena itu kenakan gaun katun, makeup ringan dan pamerkan kulit terawat,” ujar Edo. Perkara ditiru bukan menjadi sebuah masalah bagi Edward Hutabarat. Menurutnya, ditiru adalah sebuah anugrah yang berarti formula desain kreasinya banyak digemari. Pandangannya yang santai ini namun tidak berlaku ketika menyikapi teknik pembuatan batik dengan mesin cetak. “Ketika ada perusahaan besar yang bangga menyebut dirinya pembatik namun menggunakan mesin, kecintaannya terhadap batik harus dipertanyakan. Karena cara seperti ini yang akan mematikan pembatik-pembatik di Indonesia.” Ketika kembali ditanya tentang popularitas label Part One, ia berkata bahwa ia bersyukur dirinya bukan seorang businessman murni. “Kalau saya tertarik mencari banyak uang, tentunya saya sudah membuat label baru ketika Part One meledak. Tapi bukan itu tujuan saya. Saya ingin menjaga batik karena itu kualitas dan statusnya yang tinggi harus saya pertahankan,” ujar Edo. Ia pun melanjutkan tentang perkara mengadopsi busana tradisional, “Masukkan kebaya dan batik ke dalam alternatif gaya. Bukan berarti seorang wanita jadi harus mengenakan kebaya ketika

bepergian dengan pesawat terbang. Tetapi saat pergi ke pesta coba pilih kebaya velvet atau lace hitam dan kain batik dipadu clutch kecil dan rambut yang diikat ponytail. Anggun dan sederhana.” Berbicara tentang karyanya, Edward Hutabarat menyebut labelnya sebagai usahanya melestarikan batik. Karena untuk mencintai Indonesia bukan berarti seseorang sudah menyelesaikan tugas dengan membuat busana menggunakan kain tradisional. Proses panjang telah dilakukan oleh Edo untuk memberikan kehidupan bagi orang-orang yang berada di belakang layar demi menunjang karyanya. “Saya berkeliling mencari pembatik yang tepat. Dari sana, saya mulai mengajari mereka. Misalnya, saya melihat di mana kekuatan pekerjaan mereka lalu saya beri masukan agar makin berkembang,” katanya. Dengan mengusung gaya hidup pelancong nomaden yang tidak berhenti berpelesir mengelilingi Indonesia, Edward Hutabarat semakin menghargai arti kehidupan itu sendiri. “Ada banyak sekali sunrise dan sunset yang perlu Anda lihat di seluruh Indonesia. Berikan kombinasi yang baik antara telinga, mata, hidung dan hati sehingga mulut berucap terima kasih Tuhan. Ini adalah jetset lifestyle yang sesungguhnya,” sebut Edo. ■


“M

endaftarkan hak cipta untuk formula desain memang tidak akan saya lakukan. Saya senang bisa menjadi inspirasi orang lain.” Koleksi lawas Edward Hutabarat

Lembaran look board show Part One.

Koleksi Edward Hutabarat 1980

Edo saat menilik busana sebelum dipentaskan.

Teknik patch worked ala Edward Hutabarat yang di antaranya adalah aksi daur ulang sekumpulan batik Part One.

Proses membatik

Show tahun 1994

Finale show tahun 2008

Koleksi sepatu Part One

FOTO: COURTESY OF EDWARD HUTABARAT, DOK. BAZAAR

Koleksi tahun 2006

FOTO: DOK. BAZAAR

Ragam busana multi kultural berselimutkan motif warisan Proses pewarnaan batik lewat bidikan Edo

Koleksi tahun 2006

Edo di depan koleksi lukisannya

“S

udah waktunya bagi orang Indonesia

untuk menikmati akar dan tradisinya sebagai sebuah kebahagiaan.”


eski memiliki koleksi yang sangat kental akan budaya Indonesia, Ghea Panggabean menolak disebut sebagai desainer tradisional. Kesuksesan Ghea melesat ketika ia berhasil mengadopsi kain tradisional seperti jumputan Palembang dan grinsing Bali ke atas busana yang sangat kini. Ia menjadikan motif Indonesia sebagai legging, tunik yang melayang, kebaya longgar, sampai rok ekstra pendek. Lewat hampir semua motif tradisional dari seluruh penjuru Indonesia, Ghea menawarkan sebuah kekebasan untuk berekspresi dalam berbusana. Koleksinya yang mudah dipadankan dengan item modern menjadikan label Ghea Fashion Studio sebagai salah satu tujuan wanita Indonesia ketika mereka ingin tampil dengan motif budaya. Karena di tangan Ghea, kebudayaan Indonesia mampu untuk senantiasa mengikuti perkembangan zaman.

TEKS: LILY MARPAUNG; FOTO PROFIL: COURTESY OF GHEA PANGGABEAN

Ghea Pangabean

M

Portfolio ini: Busana, Ghea Panggabean koleksi Peranakan Fotografi oleh Nicoline Patricia Malina Makeup & hair: Priscilla Myrna Stylist: Lily Marpaung


Searah jarum jam: Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi Februari 2012; Edisi September 2011; November 2010; April 2011; Koleksi batik lokcan 1983; Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi Desember 2010; Show Jumputan Stretch 1982; Koleksi motif Aceh 1991.

“Agar bisa sukses, seorang desainer fashion harus berani memiliki identitas karya yang kuat.”

FOTO: DOK. BAZAAR, COURTESY OF GHEA PANGGABEAN

122

D

ibesarkan di benua Eropa tidak membuat Ghea Panggabean menjadi begitu saja lupa akan negara asalnya tetapi ia malah semakin tertarik untuk mendalami budaya Indonesia. “Ayah saya selalu mengingatkan bahwa saya ini berasal dari Indonesia dan karena itu saya harus selalu ingat akan tradisi negeri dan kembali ke akar,” ujarnya. Memiliki orang tua yang sangat menghargai kultur dan seni, masa kecil Ghea Panggabean di Belanda dan Jerman pun banyak dihabiskan dengan mendatangi museum dan membaca beragam buku tentang kekayaan budaya Indonesia. Meskipun memutuskan untuk belajar fashion design di Lucie Clayton College of Dress Making serta Chelsea Academy of Fashion di London, Ghea Panggabean mengaku tetap tidak terpengaruh dengan gaya punk yang sangat marak di London serta tengah jadi sorotan pada zamannya. “Pada waktu itu Vivienne Westwood memang sedang sangat digemari di London. Tetapi jiwa saya sudah terlanjur begitu jatuh hati pada aksi flower generation yang bergaya hippies. Dan gaya dari tahun '70-an ini masih melekat dalam diri saya bahkan sampai saat ini,” lanjut Ghea. Musik dari era tersebut pun menjadi inspirasi yang tak pernah habis untuknya. “Hingga sekarang, saya selalu merancang sambil mendengarkan beragam musik dari era '70-an. Musik bukan hanya jadi sekadar nostalgia belaka karena bisa dilihat juga bahwa gaya psychedelic memang menjadi benang merah yang kuat untuk semua busana yang saya buat.” Sekembalinya Ghea Panggabean ke Indonesia, rasa cintanya akan budaya negeri pun semakin bertambah kuat. “Jiwa saya yang Bohemian seketika menemukan sebuah surga di Indonesia. Berbelanja ke berbagai toko antik menjadi salah satu kegiatan yang paling saya suka dan di sanalah saya pertama kali menemukan sebuah scarf jumputan antik yang kemudian menjadi signature print dari label saya.” Kemudian love affair yang panjang antara Ghea Panggabean dengan kain jumputan pun dimulai. Jumputan menjadi salah satu motif yang kerap dikunjungi Ghea berulang-ulang sampai ia pun meluncurkan homeware dalam motif yang satu ini. “Saya bukan desainer asal Inggris atau Italia. Saya ini orang Indonesia dan saya ingin menginterpretasikan budaya yang dikemas dengan cara yang lebih kontemporer,” ujarnya kemudian. Menyebut Kenzo sebagai seorang pahlawan mode pribadi untuknya, Ghea Panggabean memiliki sebuah visi untuk melakukan revolusi tekstil tradisional. “Banyak yang bingung mengapa saya memilih untuk mengangkat kain yang kental budaya, tapi saya yakin bahwa kain ini juga bisa memiliki tampilan


FOTO: DOK. BAZAAR, COURTESY OF GHEA PANGGABEAN; GETTY IMAGES

Searah jarum jam: Koleksi aksesori Ghea untuk show 2012; Show JFFF 2010; Show Langgam Tiga Hati 2011; Show tahun 2010; Show tahun 2012; Show tahun 2010; Backstage show tahun 2012.

internasional. Kenzo sudah membuktikannya dan saya tidak mau kalah,” tambahnya lagi. Tantangan pertama untuk Ghea Panggabean ketika memulai labelnya adalah bagaimana caranya mengangkat motif lurik ke dalam busana modern. Motif tradisional dari Jawa ini dipilih oleh Ghea karena harganya yang sangat bersahabat. “Saya masih berusia 22 tahun ketika membuka label Ghea Fashion Studio dan tidak memiliki modal banyak. Pada waktu itu, saya ingin membuat busana yang cocok untuk anak muda. Sama seperti saya, mereka tentu senang sekali berbelanja sehingga kain lurik jadi pilihan karena harganya tidak mahal.” Terus mendobrak aturan-aturan mode di Indonesia, Ghea Panggabean mulai menawarkan paduan kebaya dengan celana denim, gaun micro mini bermotif jumputan sampai rok sarung yang dikenakan dengan T-shirt longgar. Ia berkata, “Saya senang bisa mengajak generasi muda untuk tertarik kembali kepada budaya sendiri. Ini adalah suatu kepuasan besar untuk saya.” Selain musik, inspirasi Ghea Panggabean juga kerap datang dari keindahan kain itu sendiri. Sebagai seorang kolektor kain serta perhiasan antik dari seluruh Indonesia, ia seringkali kembali menelusuri kain-kain koleksinya saat sedang mencari ide baru dalam merancang. “Traveling sudah menjadi sebuah kemewahan tersendiri untuk saya karena saya sangat sulit untuk dapat menyisihkan waktu agar dapat bepergian dengan tenang. Karena itu saya memastikan bahwa saya senantiasa dikelilingi oleh kain ketika bekerja. Koleksi tekstil milik saya pun diatur sebagai dekorasi sehingga ruangan kantor menjadi area yang sangat inspiratif dan memicu kreativitas,” papar Ghea. Pemenang Piala Apparel di tahun 1986 ini menyatakan bahwa perkembangan desainnya selama lebih dari 30 tahun berkarya adalah lewat penggunaan bahan. “Segala jenis kain rasanya sudah habis saya eksplorasi. Mulai dari katun, silk, velvet, sampai cashmere. Tetapi garis besar untuk setiap rancangan saya memang tetap bergaya bohemian karena sejujurnya saya tidak mungkin merancang busana yang tidak ingin saya kenakan sendiri.” Ketika bercerita tentang siapa saja wanita yang sangat Ghea Panggabean, ia menyebut bahwa wanita-wanita ini adalah mereka yang open minded, mengapresiasi seni, penuh percaya diri serta tidak mau didikte saat berbusana. “Mereka tidak takut untuk mencampur aduk beragam gaya sekaligus, cinta akan budaya dan tentu saja sangat modern,” ujarnya. Lebih jauh lagi, meski labelnya seakan-akan menjadi gambaran akan kepribadiannya sendiri ia berkata bahwa clientele dari rumah mode miliknya bukan serta merta menjadi “mini Ghea”. “Koleksi saya bergaya timeless dan bisa dipadupadankan dengan apa saja. Saya yakin bahwa karakter wanita yang mengenakan busana saya akan terpancar lewat cara mereka memadankan koleksi saya dan ini yang membuat dunia mode makin berwarna,” papar Ghea lagi. ■

“Saya percaya bahwa segala sesuatu yang dilakukan dengan jujur pasti akan membuahkan hasil yang baik. Dulu orang bilang saya kuno, tetapi lihat hasilnya sekarang!”


TEKS: LILY MARPAUNG. ILUSTRASI PROFIL: COURTESY OF IRSAN

Irsan

Portfolio ini: Busana, koleksi klasik House of Irsan Fotografi oleh Nicoline Patricia Malina. Stylist: Lily Marpaung. Makeup & hair: Priscilla Myrna. Model: Dara Warganegara (B Management), Anna Somik (Damn Inc.)

I

nggris mungkin memiliki seorang Alexander McQueen dan Prancis juga mempunyai Jean-Paul Gaultier sebagai bad boy dalam industri mode mereka. Dan Indonesia telah mengangkat Irsan dengan labelnya House of Irsan untuk menduduki posisi vital tersebut. Sampai hari ini baru ada segelintir fashion people yang telah bertatap muka secara langsung dengan Irsan, namun talentanya yang besar seakan dapat berbicara kepada mereka. Berbasis di Bali namun memiliki efek berskala nasional bahkan global, Irsan adalah kekuatan fashion jenius yang memastikan dunia mode Indonesia akan tetap menarik dengan ide-idenya yang orisinal. Sukses mendobrak batas antara kecantikan dan keburukan, sisi elegan dan vulgar serta pribadi maskulin dan feminin; Irsan seakan telah membentuk sebuah “cult-like fanbase� dalam dunia mode yang senantiasa menunggu show-nya yang berikut.


H

arper’s Bazaar (HB): Anda memiliki reputasi anti terhadap sorotan meski biasanya orang di dunia mode cenderung sangat camera-friendly. Mengapa? Irsan: Ya, karena saya ingin orang-orang mengenal saya lewat karya yang saya hasilkan dan bukan semata dari wajah. Menurut saya pilihan ini menjadi sangat membebaskan karena publik dapat memperlakukan saya selayaknya orang kebanyakan, karena mereka tidak tahu siapa atau apa pekerjaan saya. Tidak ada orang yang perlu berbasa-basi di depan saya. Hal inilah yang memastikan kaki saya tetap menjejak di bumi.

HB: Anda adalah orang yang sangat menarik. Mengapa memilih fashion? Irsan: Ketika muda saya ingin menjadi seorang seniman, saya ingin melukis. Namun sebagai anak yang besar di sebuah kampung di Tapanuli saya menyadari bahwa untuk bertahan hidup di kota besar seperti Jakarta tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Menjadi pelukis tidak memungkinkan saya untuk memenuhi itu. Fashion bisa memberikan kedua hal yang saya inginkan, sebuah perpaduan yang pas dari pekerjaan seorang pelukis dan businessman. Dahulu menembus dunia mode itu tidak mudah. Saya berjuang keras karena dahulu saya tidak memiliki banyak uang, bahkan saya hanya sanggup bertahan selama tiga bulan untuk bersekolah di Susan Budihardjo. Guru-guru mencoba membantu saya mencari dana agar saya bisa tetap bersekolah, tetapi pada waktu itu saya harus memilih antara sekolah atau bekerja. Dan saya memilih bekerja. Namun saya tidak menyesali apa pun.

Searah Jarum Jam: Editorial Harper’s Bazaar Indonesia edisi Mei 2007; Tas karya Irsan; Sumber inspirasi; Editorial Harper’s Bazaar edisi Juni 2008, show Irsan 2004; Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi November 2007; Tas karya Irsan

HB: Koleksi Anda selalu terlihat segar, timeless serta mengundang kontroversi. Dari mana Anda memperoleh inspirasi? Irsan: Saya banyak membaca. Traveling serta melihat dunia bukanlah hal yang bisa sering saya lakukan karena saya benci dengan pesawat terbang. It’s not my cup of tea. Agar saya dapat mengikuti perkembangan dunia, saya kemudian beralih ke buku. Mulai dari fashion, arsitektur, desain, semua saya baca. Tetapi saya tidak tertarik membaca buku filosofi karena isinya sangat klise. HB: Anda dikenal sebagai desainer yang tidak pernah menggambar pola. Irsan: Betul, saya langsung memotong kain tanpa menggunakan pola karena semua sudah dapat saya bayangkan di dalam kepala. Hanya dengan melihat tubuh wanita, biasanya saya bisa segera memutuskan apa yang perlu saya

FOTO: DOK. BAZAAR

128

HB: Apakah ini juga alasannya logo Anda berupa siluet seorang pria? Menurut saya, gambar itu adalah Anda sendiri. Irsan: Untuk label House of Irsan saya mencoba membuat suatu cerita tentang seorang pria tanpa nama serta gayanya yang khas dalam berbusana. Pada akhirnya ketika sudah waktunya saya untuk pensiun, saya ingin mundur ke belakang layar dan membiarkan pria “anonim” tadi untuk berada di muka dan memperoleh atensi. Ini adalah sebuah kisah tentang seorang manusia, sebuah konsep tentang manusia yang pernah hidup.


lakukan dengan material tersebut. Untuk mencapai ini memerlukan sebuah proses yang panjang. Tetapi ketika Anda “menikah” dengan pekerjaan yang sangat Anda cinta, Anda tentu rela mempelajari setiap detail dari bidang tersebut. Oleh karena itu saya berpendapat bahwa sekolah adalah penting sebagai tempat kita belajar berbagai hal dasar. HB: Siapakah wanita yang sangat Irsan? Irsan: Wanita yang mengenakan House of Irsan adalah mereka yang menginginkan kebebasan. Kebebasan dan kebebasan HB: Orang menyebut Anda avant-garde. Anda setuju? Irsan: Menurut saya desain yang avant-garde bukan berarti membuat baju bergaya berlebihan serta tidak dapat dikenakan di luar runway atau pemotretan editorial. Avant-garde berarti baru. Ini merupakan sebuah konsep pemikiran, cara berpikir yang lebih maju. Sebuah Tshirt putih bisa jadi terlihat avant-garde ketika dibuat dengan konsep yang baru. Mungkin saya memang avant-garde. Bagi saya, koleksi harus punya jiwa karena itu yang membuatnya tak terlupakan.

168

Atas (searah jarum jam): Aksesori karya Irsan koleksi wedding; Show Irsan 2004; Show Bazaar Bridal Week 2011; Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi Mei 2008. Bawah (kiri - kanan): Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi Oktober 2009, Bazaar Wedding Ideas November 2006, Harper's Bazaar Indonesia edisi Mei 2010; Editorial Amica Indonesia 2009

HB: Anda memiliki House of Irsan Black Label dan Red Label. Apakah membuat couture berbeda dari ready-to-wear? Irsan: Menurut saya tidak ada perbedaan dalam membuat couture atau ready-to-wear. Lakukan keduanya dengan hati agar koleksi Anda sukses.

Kiri - kanan: Karya Irsan untuk Bazaar Fashion Concerto 2004; Sketsa yang dibuat khusus untuk Bazaar 10th Anniversary Issue; Sketsa karya Irsan; Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi Januari 2008

FOTO: DOK. BAZAAR

HB: Anda juga membuat aksesori mulai dari tas, sepatu sampai sarung tangan. Bagaimana awalnya? Irsan: Saya selalu ingin menciptakan keseluruhan look untuk saya sendiri setiap saya berdandan. Dan saya, si troublemaker ini, tentu ingin terlihat paling cool dan saya juga kurang suka mengenakan sesuatu yang bisa dimiliki oleh orang banyak. Karena itu saya mulai membuat tas dan sepatu dan akhirnya banyak orang yang tertarik sampai jatuh hati. HB: Apakah ada kemungkinan untuk kembali ke Jakarta? Irsan: Saya sedang berusaha untuk itu. Saya pindah ke Bali karena saya jatuh cinta dengan seseorang. Tetapi mungkin sudah saatnya untuk move on karena Jakarta tentu memegang kesempatan yang besar untuk saya. Cross your fingers for me.. ■

“S

eni, visi, impian, realita. Refleksi keinginan diri sendiri dan kepuasan pribadi di akhir hayat, merupakan interpretasi fashion saya.”


ama Josephine Komara atau Obin begitu ia akrab dipanggil – memang identik dengan kain. Menolak disebut sebagai fashion designer, ia berhasil melakukan revolusi dalam hal pembuatan kain tradisional dengan beragam teknik. Menerjemahkan motif budaya ke atas desain yang kontemporer, Obin kembali menggugah rasa cinta wanita Indonesia akan kain tradisional yang sebelumnya sempat mereka lupakan. Namun ia tak hanya berhenti dalam hal inovasi teknik menenun kain, karena Obin juga mendesain motif batik miliknya yang khas sampai menciptakan batik putih di atas kain putih yang fenomenal. Lewat tangan Josephine Komara, kain tradisional kini telah menemukan nyawa baru dalam bentuk lembaran halus yang memuat cerita tentang kehidupan bangsa.

TEKS: LILY MARPAUNG. FOTO PROFIL: DAVY LINGGAR

Obin Komara

N

Portfolio ini: Keseluruhan busana, koleksi Wita for BINHouse di Harper's Bazaar Indonesia edisi Januari 2011 Fotografi: Hadi Cahyono Editor fashion: Michael Pondaag Digital Imaging: Angelia Tjong


“S

K

ain itu seperti lukisan, merupakan perpaduan emosi, intelektualitas dan situasi saat itu. Tidak akan dapat diulang. Ketika mengerjakan sesuatu, berikan segalanya karena tak akan ada lain kali.”

FOTO: DOK. BAZAAR

134

aya ini tukang kain,” ujar Josephine Komara ketika membicarakan tentang perjalanan kariernya. Mulai mengoleksi kain tradisional sejak masih berusia belasan tahun, Obin mengaku bahwa ia mengetahui segala hal tentang pembuatan kain lewat pengalaman. Dibesarkan di Hong Kong, ia kembali ke Indonesia ketika berusia 14 tahun. Sesampainya di Tanah Air, Obin terkesima dengan keindahan kain-kain yang didapatnya di Indonesia. Ia pun mulai mengumpulkan bahan-bahan tradisional ini sambil belajar cara pembuatannya lewat pengrajin ditemuinya. Ia memulai bisnisnya dengan membuat sutera mentah yang kemudian dijadikan upholstery, tirai, sampai kap lampu. Ketika terjadi booming pembukaan hotel di Jakarta di era ’80-an, Obin pun mendekorasi hampir semua hotel baru tersebut dengan kain ikat. Pada zamannya, ia juga menjadi satu-satunya seniman yang mendalami teknik pembuatan kain tradisional. “Semuanya terjadi karena saya ini terlalu banyak berkomentar. Saya merancang seragam untuk pramugari Garuda Indonesia karena komentar saya akan busana yang mereka kenakan pada waktu itu. Begitu juga dengan pembuatan dekorasi dan logo untuk berbagai hotel tadi. Komentar saya didengar oleh orang yang tepat,” ujarnya. Setelah melalui proses percobaan berbagai teknik menenun yang panjang, impian Obin untuk menemukan teknik baru untuk menenun kain sutera sehingga menghasilkan lembaran yang sangat halus dan tipis pun terwujud di akhir tahun 1980. “Sebelum tahun 1989 semua pembuatan batik dilakukan di atas kain impor. Saya kemudian mencoba membatik di atas kain tenun sutera tadi dan terus mencoba sampai akhirnya berhasil,” ujarnya. Ia pun menyebutkan bahwa semua teknik yang dilakukan oleh label BINHouse miliknya adalah teknik ciptaannya sendiri. “Sampai saat ini saya masih memiliki banyak ide

Searah jarum jam: Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi November 2010; Edisi Agustus 2011; Edisi April 2011; Edisi Februari 2012; Edisi Mei 2007


T

radisional adalah gaya hidup sementara modern merupakan pola pikir. Keduanya tidak perlu diadu dan bahkan bisa berjalan berdampingan.”

Searah Jarum Jam: Show Matahati 2003; Bazaar Fashion Concerto 2008; Show Dari Mata Ke Hati, Dari Hati Ke Tangan 2002, Show Matahati 2003.

FOTO: COURTESY OF BIN HOUSE; DOK. BAZAAR

pembuatan kain namun belum dapat direalisasikan karena tekniknya yang belum ditemukan,” lanjut Obin. Meskipun telah berkecimpung di dalam dunia pembuatan kain selama 40 tahun, Obin mengaku tidak bisa menjelaskan apa alasannya ia tetap gigih berada dalam jalur ini. “Semua orang tahu bahwa saya memang sangat konsisten. Tidak perlu meromantisasi alasannya, yang penting saya melakukan semuanya dengan hati,” katanya. Dan memang benar, ketika pertama kali menggelar show di tahun 1997 Obin bersikeras untuk menjadikan kain sebagai fokus utama dan satu-satunya dalam perhelatannya. Ia melanjutkan, “Hanya ada empat huruf di atas runway, yaitu kain. Pada waktu itu setiap helai kain yang muncul di atas panggung adalah dibuat dengan tangan dari awal sampai akhir proses. Ini adalah hal yang pertama terjadi di Indonesia, mungkin di dunia.” Beralih dari kain-kainnya, Obin berkata bahwa proses pengembangan karya dari kain menjadi sepotong busana merupakan hal yang natural. “Sebagai tukang kain, ketika saya sudah selesai membuat kain maka otomatis saya ingin melanjutkan membuat busana,” ujarnya. Meski pada awalnya Obin hanya membuat busana untuk dikenakannya sendiri, permintaan pelanggannya akan pakaian jadi pun semakin bertambah sehingga ia memutuskan untuk mulai merancang koleksi busana. “Tidak ada yang dibuat-buat dalam perkembangan karier saya. Semua terjadi mengalir begitu saja. I think it’s beautiful.” Setelah kini menjual karyanya di beberapa butik di Eropa, Amerika, Timur Tengah dan Jepang, Obin menyebutkan bahwa ia senang pekerjaannya bisa memberikan kehidupan bagi ribuan pengrajinnya. Ketika harus merangkum apa yang telah dikerjakan oleh BINHouse dalam sebuah kalimat, Obin menyebut bahwa yang dilakukan oleh labelnya adalah cerita tentang penerobosan. “Semua yang kita lakukan di BINHouse adalah breakthrough. Mulai dari kain, boneka sampai kancing. Tetapi penerobosan yang ditempuh adalah dalam hal pembuatan kain dan bukan desain semata-mata.” Lebih lanjut lagi, ia menyebut bahwa kain itu sesuatu yang fashionable dan mode itu sendiri merupakan metode berkomunikasi. Karena setiap orang pasti menyikapi dunia lewat pekerjaanya. “Fashion itu tentang penderitaan, aspirasi, kegagalan dan cita-cita. Kemudian dikemas menjadi indah dan glamor. Tetapi di dalamnya ada harapan pembuatnya.” Membicarakan konsistensi Obin untuk selalu meluncurkan koleksi yang dikerjakan dengan tangan, ia berkata bahwa ini adalah perkara budaya. “Di Asia, masih banyak yang ingin mengerjakan sesuatu dengan tangan dan kita harus melestarikannya.” Menurutnya, pembuatan kain dengan cara yang demikian mungkin tidak akan tumbuh menjadi sebuah industri besar yang mampu menghasilkan ribuan kain. Yang penting adalah teknik tradisional itu tetap terjaga dan tidak hilang. “Jika tidak dijaga sekarang, kapan lagi? Jika sampai teknik pembuatan kain ini hilang, tentu kita juga yang akan bersedih hati,” paparnya. ■


Oka Diputra

J

angan berharap untuk menemukan

busana yang mampu memuaskan hasrat Anda untuk tampil ekstra feminin dengan detail cantik saat Anda datang ke Oka Diputra. Tetapi bersiaplah untuk terpukau dengan deretan pakaian bernapaskan gaya ANDROGYNY yang kental dengan detail-detail yang mengejutkan dan di luar kebiasaan. Atasan berpotongan BOXY, WRAP SKIRT, COCOON JACKET serta celana panjang bergaya UNISEX menjadi keahlian desainer yang satu ini. Membawa “menu” yang baru ke atas panggung memang bukan perkara mudah terutama untuk mengajak para wanita menghargai sebuah karya yang terkesan “polos” selama ini menjadi idola pada umumnya. Namun portfolio yang panjang dengan pengalaman SHOW di manca negara semisal Hong Kong serta Singapura membuat desainer yang memulai karier di Pulau Dewata ini semakin memantapkan langkahnya dalam merebut sebuah tempat khusus di dunia mode Indonesia.

TEKS: LILY MARPAUNG, FOTO PROFIL: COURTESY OF OKA DIPUTRA

dan tanpa BEADS serta bordir yang

Portfolio ini: Busana, koleksi tube top dan bolero klasik Oka Diputra. Fotografi oleh Rinal Wiratama Stylist: Lily Marpaung Makeup & hair: Decha Model: Julia Nosova - Damn Inc. Digital Imaging: Tinton Jauhari


“P

ada prinsipnya, saya tidak NGOYO untuk mengejar nama. Saya pernah mengikuti

ambisi dengan bekerja terlalu keras dan pada waktu itu saya tidak bahagia dan menjadi

Jakarta Fashion Week

“F

“S

Japan Fashion Week

aya tidak pernah bekerja di bidang

selain fashion selama hidup saya.

Salah satu sudut butik Oka Diputra di Bali

Koleksi Oka Diputra di Harper's Bazaar Indonesia edisi Maret 2010

menggunakan warna-warna basic semisal hitam, abu-abu, biru gelap, serta sentuhan merah, ia berhasil menciptakan keseluruhan gaya natural untuk wanita yang chic, menonjolkan kelebihan bentuk tubuh namun effortless. Salah satu poin menarik dari desain Oka Diputra adalah ia jarang menambahkan kancing atau zipper pada karyanya. “Sebenarnya bermula dari tujuan praktis. Orang-orang yang berbelanja ke butik kebanyakan adalah wisatawan sehingga tidak mungkin melakukan fitting. Karena itu, tali temali saya gunakan sehingga karya saya bisa tetap pas di tubuh yang bentuknya berbeda-beda. Banyak yang menyukai ide ini dan akhirnya menjadi karakteristik kuat saya.” Ketidaksukaan Oka terhadap payet juga membawanya mendalami berbagai teknik seperti pleats atau drapery untuk memberikan detail pada busana. “Saya kurang tertarik untuk memberi beads pada busana. Tambahan payet malah bisa membuat pleats yang sudah saya buat jadi rusak,” katanya.

FOTO: COURTESY OF OKA DIPUTRA

ashion adalah sebuah bentuk balas dendam saya,” ujar Oka Diputra ketika diminta bercerita tentang alasannya menjadi seorang desainer. Sebagai yang termuda dari lima bersaudara, Oka harus rela mengenakan busana 'lungsuran' dari saudarasaudaranya yang sayang dibuang begitu saja. Namun ia tidak mau menyerah meskipun kekurangan amunisi untuk tampil gaya. Desainer kelahiran Bali ini memutuskan untuk mengerahkan segenap kreativitasnya. “Saya tidak ingin terlihat seperti mengenakan pakaian bekas karena biasanya busana-busana itu sudah tidak up-to-date lagi. Memalukan! Jadi saya merekonstruksi baju dari kakak dan mengubahnya menjadi pakaian yang saya suka.” Ketika ia mengenakan hasil karyanya, banyak teman Oka yang melontarkan pujian dan ia menyadari bahwa dunia mode adalah sebuah industri yang tepat untuk ia tekuni. Disebut-sebut sebagai salah satu desainer paling dicari di Bali, Oka memulai kariernya dengan cara sederhana. “Saya memulai dengan toko kecil di Kuta tahun 1993 dan hanya menjual busana pria. Lucunya, kebanyakan yang datang ke butik adalah wanita yang meminati aksi androgyny. Akhirnya saya menjawab permintaan pasar dengan meluncurkan womenswear.” Sebagai seorang fashion designer yang belajar secara otodidak, Oka sering membongkar busana miliknya untuk mempelajari cara pembuatan pola lebih dalam. “Kebetulan saya bertemu partner yang bersedia mengajar banyak hal tentang pembuatan busana. Singkatnya, saya ada pada tempat yang tepat, waktu yang tepat dan bertemu orang yang tepat. Saya beruntung,” lanjutnya. Kebanyakan koleksi Oka Diputra mengambil inspirasi dari pengalamannya selama berlibur. “Ibu saya mengajarkan bahwa pergi menjelajah akan membuka pikiran serta memperluas wawasan. Dan ia benar,” katanya. Kuatnya kecintaan Oka pada alam juga sering menjadi ide dalam berkarya. “Saya menggemari olah raga menyelam, Beberapa waktu lalu tema koleksi saya menceritakan tentang ubur-ubur serta kehidupan laut.” lanjutnya. Ciri khas desain dari Oka Diputra memang mencerminkan gaya kasual dari seorang traveler. Dengan

FOTO: DOK. BAZAAR

140

orang yang galak serta pemarah. Kini saya lebih ingin menjadi orang yang bersahabat.”

Ketika menjelaskan tentang filosifi dibalik labelnya, Oka menyebutkan, “Koleksi saya sleek dan sederhana namun memiliki elemen kejutan, seperti pleats atau drapery tadi.” Teknik yang sering muncul pada karyanya adalah teknik shibori, yaitu semacam lipatan yang dibuat secara acak pada kain dan ia pelajari di India – salah satu oleh-oleh dari perjalanannya. “Setiap traveling, saya menyempatkan untuk mencari tahu teknik menjahit yang ada di daerah tersebut. Supaya karya saya selalu fresh dan menawarkan hal baru.” Oka mengaku tidak begitu senang memotong kain di atas meja setiap merancang karena ia merasa metode yang demikian menyulitkannya dalam membayangkan bentuk busana secara tiga dimensi. “Saya lebih suka menggunting bahan dengan menempelkannya pada manekin. Proses yang demikian membantu saya untuk memprediksi bagaimana bahan itu kelak akan jatuh di tubuh sehingga hasilnya lebih memuaskan.” Jakarta sebagai ibukota memang memiliki peluang lebih besar bagi seorang desainer untuk berkembang. Meskipun demikian, untuk memutuskan pindah ke Jakarta adalah sebuah cerita yang berbeda bagi Oka Diputra. “Saya sudah terlanjur jatuh cinta dengan gaya hidup outdoor di Bali. Segala sesuatu di sini terasa lebih relaks namun artistik,” ujarnya. Untuk alasan yang sama, Oka meninggalkan sebagaian dirinya di kota Paris. Kecintaannya terhadap Paris dan Bohemian lifestylenya membawa Oka terbang ke sana minimal dua kali dalam setahun! “Keindahan Paris akan selalu menjadi inspirasi saya,” kata Oka. ■

Ini adalah satu-satunya bidang yang bisa membuat saya bahagia.”

Show JFFF 2010

Hong Kong Fashion Week

Koleksi tahun 2008


aris-trained designer, Priyo Oktaviano, memang memiliki mata jeli untuk bergelut dengan busana bersiluet yang tidak biasa. Kembali ke Tanah Air pada tahun 2002 setelah menolak kontrak selama dua tahun dari Balenciaga, Priyo memperoleh sukses ketika meluncurkan label ready-to-wear miliknya, Spous by Priyo Oktaviano. Kini ia tidak hanya dipuji karena desainnya yang edgy tetapi juga karena pendekatannya yang kreatif akan kain tenun Indonesia. Lebih jauh lagi, dengan keandalannya dalam hal styling dan kecermatan memadukan kain budaya dengan tren global, Priyo Oktaviano memberi makna baru terhadap gaya berbusana edgy.

TEKS: LILY MARPAUNG, FOTO PROFIL: COURTESY OF PRIYO OKTAVIANO

Priyo Oktaviano

P

Portfolio ini: Keseluruhan busana, koleksi Priyo Oktaviano Eden and Earth 2009 (on Julia) dan Paradisiac show IPMI 2009 (on Diana) Fotografi oleh Rinal Wiratama Makeup & hair: Decha Stylist: Lily Marpaung Model: Julia Nosova, Diana - Damn Inc. Digital imaging: Tinton Jauhari


144

eseluruhan penampilan yang kohesif sangat krusial karena itu saya memang menyiapkan momen khusus ketika mendandani model saya. Ini hal penting bagi desainer untuk memastikan klien mereka bisa memadupadankan busana mereka. ”

H

Searah Jarum Jam: Salah satu desain katalog koleksi Priyo Oktaviano; (atas dan bawah) Model di backstage show Priyo karya Nicoline Patricia Malina; Foto koleksi bertema Paradisiac karya Glenn Prasetya; Foto koleksi bertema Bali van Java in Harjuku karya Nicoline Patricia Malina; Salah satu koleksi Spous by Priyo Oktaviano bertema Perle de Least.

arper’s Bazaar (HB): Apakah Anda stylish sejak kecil? Priyo Oktaviano (PO): Saya tidak bisa menyebut apakah saya sudah gaya sejak masih anak-anak karena pada waktu itu saya belum mengerti bahwa itulah yang disebut dengan mode. Tetapi saya memang sangat memperhatikan penampilan dan segala sesuatu harus sangat rapi. Merah adalah warna kesukaan saya sejak dulu, saya tidak tahu mengapa tetapi saya senang merah. Jika memikirkannya lagi, mungkin bisa dibilang saya memang stylish. HB: Mengapa memilih Paris untuk belajar? PO: Belajar fashion sudah menjadi impian saya dan waktu itu kebanyakan orang berkiblat ke Paris. Saya memperoleh gelar sarjana dalam bidang manajemen dahulu karena ibu saya menginginkan saya mendapat gelar yang “umum” sebagai seorang anak lelaki. Pada malam setelah wisuda, saya langsung terbang ke Paris. Sebenarnya dahulu saya tertarik dengan London dan CSM. Tetapi saya memutuskan untuk pergi ke ESMOD karena di sana saya hanya akan belajar selama tiga tahun, sementara di CSM empat tahun, dan saya bukan remaja lagi pada waktu itu. Ini sesederhana seperti menghemat waktu setahun. HB: Bisa ceritakan tentang Balenciaga? PO: ESMOD memberikan rekomendasi kepada Balenciaga untuk saya. Saya memulai dengan magang dan pada waktu itu tidak ada yang mengajak saya bicara selama sebulan! Kebanyakan yang bekerja di Balenciaga adalah orang yang sudah ada di sana belasan tahun, jadi sebagai anak baru saya harus menunjukkan kemampuan saya. Bisa dibilang saya belajar sangat banyak di rumah mode itu. HB: Sedikit banyak, gaya Balenciaga masih bisa terasa pada rancangan Anda. PO: Tentu saja saya banyak terpengaruh oleh rumah mode Balenciaga. Seperti rumah mode tersebut, cutting menjadi spesialisasi saya untuk koleksi pertama Spous di tahun 2003. Saya membuat 36 cutting berbeda untuk celana. Itu bukan keputusan yang ekonomis, tapi melalui pengalaman tersebut saya banyak belajar. Brand philosophy saya adalah edgy, modern, namun elegan. Saya ingin wanita menjadi wanita yang kuat, memiliki karakter yang ditunjukkan lewat busana mereka.

FOTO: COURTESY OF PRIYO OKTAVIANO

K


HB: Anda memiliki karier yang cemerlang di Paris. Mengapa memutuskan untuk pulang? PO: Ketika Balenciaga menawarkan kontrak selama dua tahun, saya mulai berpikir tentang masa depan saya. Bisa saja saya tetap tinggal di sana dan membangun karier yang baik tetapi saya juga punya mimpi untuk membangun label saya sendiri. Jadi saya harus mengambil keputusan. Membangun label di Jakarta bukan hal mudah dan butuh waktu panjang jadi saya sudah tidak bisa lagi menunda kepulangan saya untuk dua tahun berikut. Dan pada waktu yang bersamaan, saya sudah sangat bosan dengan Paris. Di sana yang saya lakukan hanyalah bangun pagi, pergi ke stasiun, bekerja lalu pulang. Selalu rutinitas yang sama setiap hari.

168

FOTO: COURTESY OF PRIYO OKTAVIANO; DOK. BAZAAR

Searah Jarum Jam: Koleksi Palais Royal yang dipertunjukkan dalam JFFF 2012; Bazaar Fashion Concerto 2006; Koleksi Eden & Earth; Spous by Priyo Oktaviano Perle de Least; Detail koleksi The Glory; Koleksi Palais Royal; Koleksi Bali van Java in Harajuku.

S

aya masih muda karena itu saya ingin mendorong kreativitas semaksimal mungkin. Setiap membuat koleksi, saya selalu keluar dari zona aman. Ada adrenaline rush dan saya merasa lebih hidup dalam berkarya.”

HB: Melihat koleksi Anda, sepertinya Anda melakukan banyak hal yang berbeda dalam hal desain. PO: Seperti yang sudah saya katakan, saya seorang yang pembosan. Jadi ketika saya sudah menyelesaikan sebuah koleksi, saya segera move on. Sepertinya mustahil bagi saya untuk mengulang koleksi dalam warna dan material yang berbeda hanya karena koleksi tersebut meledak di pasaran. Bagi saya, konsep adalah hal yang krusial dan saya ingin selalu menawarkan yang baru untuk setiap show saya. Meskipun demikian, saya tetap menjaga garis desain untuk berada di jalur yang sama dengan gaya edgy, potongan yang tidak biasa, serta estetika yang urban. HB: Anda memulai dengan lini kedua, Spous, dilanjutkan dengan lini utama. Ini adalah hal yang tidak biasa. PO: Ya, saya ingin merangkul pasar anak muda ketika saya meluncukan lini ready-to-wear Spous. Spous adalah cara saya memperkenalkan diri kepada masyarakat mode Indonesia dan cara untuk menggali kreativitas saya. HB: Tentu sudah banyak yang menanyakan kapan Anda akan mengadakan show tunggal. PO: Bagi saya, mengadakan perhelatan sebesar itu merupakan sebuah komitmen besar yang sangat penting untuk dijaga. Ketika seorang desainer berani menggelar show tunggal, maka sudah sepantasnya ia kembali mengadakan pagelaran tersebut setiap tahunnya. Jangan sampai show tunggal hanya sekedar menjadi ajang untuk menunjukkan eksistensi karena ada tanggung jawab terhadap masyarakat di dalamnya. Keinginan untuk menggadakan show tentu saja ada namun saya merasa belum siap untuk itu. Tetapi saya sedang berusaha untuk menuju ke sana. HB: Nama Anda sekarang sangat lekat dengan tenun. Bagaimana perasaan Anda? PO: Saya tidak ingin memberi label pada diri saya sebagai desainer yang menggarap busana tradisional karena saya bukan desainer yang demikian. Publik sekarang menganggap saya telah beralih haluan karena Cita Tenun Indonesia (CTI) mendekati saya untuk bergabung dengan organisasi mereka. Kain tenun memang “berbicara” kepada saya karena saya menyukai warna, tekstur, serta sejarah di balik kain tersebut. Ketika saya mendesain untuk CTI, saya memastikan untuk tetap setia pada garis rancangan saya sendiri. Bisa dilihat bahwa semua busana saya terlihat modern dan hanya menggunakan kain tradisional. Saya masih Priyo Oktaviano yang sama yang mendesain busana edgy. ■

F

ashion adalah penggabungan dari seni serta bisnis. Pada akhirnya, kita harus bisa menjual rancangan kita karena itu adalah inti dari mendesain sebuah busana.”


ulai merombak sendiri busanabusana miliknya sejak masih di sekolah dasar, Sally Koeswanto memang memiliki darah seorang fashion designer yang kuat dalam dirinya. Koleksinya yang banyak menggunakan material leather, aksen paku sampai bulu, membuat labelnya terkesan sangat provokatif. Namun menurutnya seorang wanita memang sah untuk senantiasa tampil menarik atensi karena memang itulah tujuan seseorang ketika berbusana. Kekuatannya tak hanya muncul lewat gaun pendek yang sensual, harness serta obi belt nan maskulin, sampai jaket kulit penuh bordir yang meneriakkan power. Selalu ada setitik keanggunan serta sentuhan yang elegan dalam karyanya yang membuat wanita-wanita yang ingin terlihat seksi tanpa berkesan vulgar tak kuasa menolak Sally Koeswanto.

TEKS: LILY MARPAUNG, FOTO PROFIL: DOK. BAZAAR

Sally Koeswanto 148

M

Portfolio ini: Busana, koleksi Sally Koeswanto Two Thousand Twelve Australia Fashion Week 2010. Fotografi oleh Indiga Ikhlasani Makeup & hair: Dodo Stylist: Lily Marpaung Model: Alexandra - Damn Inc. Digital imaging: Indarno


FOTO: COURTESY OF SALLY KOESWANTO; DOK. BAZAAR

“S S “

Searah Jarum Jam: Editorial Harper's Bazaar Indonesia Januari 2011, koleksi bertajuk Destination Tomorrow Today 2007; Masquerade 2006; Editorial Bazaar Wedding Ideas 2012; Backstage JFFF 2012; Editorial Harper's Bazaar Indonesia 2010.

aya memiliki tiga passion dalam hidup; yaitu fashion, memasak dan desain interior. Namun yang paling memberi saya kepuasan adalah fashion,” ujar Sally Koeswanto saat bercerita tentang awal mula ketertarikannya untuk menjadi seorang fashion designer. Sejak masih berusia sembilan tahun, Sally memang sudah gemar mendandani dirinya sendiri. Kecintaannya akan busana-busana yang bagus membuatnya mengambil inisiatif untuk pergi ke toko kain dan membawa hasil belanjanya ke penjahit langganan di kota kelahirannya, Surabaya, untuk kemudian direalisasikan menjadi baju seperti contoh yang diambilnya dari majalah mode. Namun kekecewaan lebih sering muncul karena hasil yang didapat Sally jarang sesuai dengan keinginannya. Keinginannya untuk menjadi fashion designer pun sempat ia tangguhkan karena selepas sekolah ia pergi ke Sydney untuk belajar manajemen perhotelan. Namun di Sydney Sally Koeswanto berkenalan dengan desainer Tri Handoko yang saat itu sedang menjadi fashion student. “Setiap melihat Tri mengerjakan tugas dari sekolahnya, saya merasa sedih. Seperti seseorang yang patah hati kehilangan kekasih, saya selalu bertanya-tanya mengapa saya sampai kehilangan kesempatan untuk mendalami fashion?” ujarnya. Akhirnya Sally Koeswanto pun memutuskan untuk mengejar impiannya dan pindah ke White House School of Design di Sydney. “Saya sangat menggebu-gebu saat menjadi fashion student. Bahkan sampai bisa mengerjakan tugas dari pukul tujuh pagi sampai tujuh malam tanpa jeda,” Koeswanto memaparkan. Namun membangun sebuah label ternyata bukan perjalanan yang mudah dan mulus. Sepulangnya dari Australia, Sally memulai kariernya dengan menjadi perancang untuk busana custom made selama tiga tahun. “Sampai-sampai saya berpikir, saya ini seorang fashion designer apa hanya penjahit saja? Sejak itu saya meyakinkan diri untuk segera pindah dari Surabaya ke Jakarta. Jadi, bersama pembuat pola dan penjahit yang setia, saya pun membungkus mesin jahit, kain, serta semua peralatan dan berangkat.” Menyebut signature design dari labelnya sebagai gaya yang sedikit maskulin dengan sentuhan ala rock star, Sally Koeswanto mengaku bahwa ia sebenarnya bukan penggemar aliran musik keras yang satu ini. “Saya jatuh cinta dengan kebebasan yang dimiliki oleh para rock star. Free spirit dan ekspresi yang ditampilkan tanpa batas menjadi dua hal yang saya apresiasi dari mereka,” ujarnya. Keberanian rock star untuk menjadi diri sendiri

aya tidak pernah mencoba untuk menjadi orang lain. Semua desain saya lahir dari karakter saya karena pada akhirnya publik akan memilih kualitas serta kejujuran. ”


Atas-Bawah: Show Destination Tomorrow Today 2007; Masquerade Rhapsody 2006.

K

eanggunan wanita akan muncul ketika ia mampu membawakan busana sederhana serta sedikit maskulin tapi tetap terlihat cantik.”

Searah Jarum Jam: Show Bazaar Wedding Exhibition 2011; show Destination Tomorrow Today 2007, show Bazaar Moviechestra 2009; Flor del Amor 2012; Bazaar Fashion Concerto 2010; Bazaar Moviechestra 2009, show Australia Fashion Week 2011

FOTO: COURTESY OF SALLY KOESWANTO; DOK. BAZAAR

168

adalah esensi yang diambil Sally dan dituangkannya ke dalam labelnya. Penggunaan material leather dan detail bulu pun menjadi keunikan tersendiri dalam rancangannya yang terlihat tough namun tetap elegan. “Wanita yang akan mengenakan busana saya adalah mereka yang percaya diri dengan bentuk tubuh serta gaya personal serta menyukai sentuhan maskulin pada gaun seksi. Singkatnya, mereka bukan Barbie girl,” lanjut Sally kemudian. Seperti wanita-wanita yang akan menggunakan karyanya, Sally mengaku memiliki rasa percaya diri yang amat tinggi bahkan kadang berlebihan. “Terkadang saya suka over confident. Bayangkan saja di tahun 2002 saya nekat mengadakan sebuah show tunggal padahal mungkin sebelumnya media belum ada yang pernah mendengar nama saya,” katanya. Hal ini juga yang membuatnya tidak ragu-ragu untuk meluncurkan label dengan garis rancangan yang sangat berbeda dari desainer lain pada zamannya serta mendorongnya untuk mendaftarkan diri dalam perhelatan Australia Fashion Week. “Karena percaya diri itu tadi saya pun tidak takut untuk mengirim aplikasi kepada Australia Fashion Week di tahun 2010 dan saya pun mendapat tempat dalam jadwal mereka.” Tidak hanya ahli dalam perkara pembuatan busana, Sally Koeswanto juga piawai ketika menggarap aksesori mulai dari perhiasan, headpiece, sarung tangan, sampai sepatu. “Meskipun ukurannya kecil, perhiasan itu bisa menjadi salah satu benda yang bisa menambah cita rasa sebuah busana atau malah menghancurkannya,” jelasnya. Sementara headpiece serta sarung tangan disebutnya sebagai dua benda yang memiliki kemampuan untuk memberikan pernyataan gaya seketika. Koeswanto pun melanjutkan, “Keduanya akan memastikan seseorang untuk tampil makin dramatis dalam waktu singkat!” Meskipun menyukai aksesori, Sally Koeswanto memastikan bahwa rancangannya tetap memiliki garis yang bersih. Dianalogikan sebagai sebutir permata, ia menyebut penambahan detail yang berlebih hanya akan merusak busana itu sendiri. “Ketika mengenakan berlian, tentu kita ingin kilaunya terlihat. Hal ini sama seperti gaun dengan cutting yang sudah sempurna. Ketika diberi ornamen kurang penting yang terlalu banyak malah hanya menutupi bentuknya. Saya rasa ini jadi sangat disayangkan,” ujarnya. Konsistensi Sally Koeswanto terhadap garis rancangannya memang patut memperoleh pujian. Yakin dengan keunikan karakter labelnya, ia tidak pernah tertarik untuk terjun mengikuti arus tren. “Sejak masih belasan tahun saya sudah jatuh cinta dengan material leather. Karena itu saya setia dengan karakter desain saya. Proses menuju puncak memang bisa dilakukan sambil berbelokbelok, tetapi saya yakin dengan memilih jalan yang lurus maka posisi puncak itu akan lebih cepat untuk kita capai,” jelasnya kemudian. ■


Sapto Djojokartiko

Portfolio ini: Busana, Sapto Djojokartiko koleksi Noir et Blanc Fashion Nation 2012. Fotografi oleh Indiga Ikhlasani Makeup & hair: Dodo Stylist: Lily Marpaung Model: Alexandra (Damn Inc.)

ada mulanya adalah sketsa dan kecintaannya pada sketsa telah mengantarkan Sapto Djojokartiko menjadi seorang desainer. Nama Sapto sontak melejit saat ia meluncurkan koleksinya yang pertama dalam sebuah pagelaran yang dilakukan oleh sekolah mode ESMOD untuk para alumni yang menjanjikan di tahun 2008. Tahun itu pun menjadi momen besar untuk labelnya yang sebelumnya berkonsentrasi mengerjakan busana custom made. Keahliannya memang sudah tidak diragukan lagi dalam perkara membuat busana-

TEKS: LILY MARPAUNG; FOTO PROFIL: COURTESY OF SAPTO DJOJOKARTIKO

busana yang terlihat fragile, cantik, serta memiliki aura seksi yang lembut. Melalui labelnya, Sapto Djodjokartiko menawarkan rancangan yang tak hanya terlihat indah namun juga melekat pas di tubuh wanita, yang akhirnya semakin memastikan desainer muda ini untuk menetapkan langkahnya sebagai kreator mode berbakat yang kiprahnya selalu ditunggu-tunggu.


“S

aya menganggap karya-karya saya sebagai

sebuah wujud cinta untuk budaya yang sangat

156

H

arper’s Bazaar (HB): Bagaimana pengalaman pertama Anda dengan fashion? Sapto Djojokartiko (SD): Sejak dulu saya menyenangi sketsa. Waktu masih remaja, saya rajin membaca majalah fashion, meskipun masih majalah lokal, dan ketika ada fashion shoot yang saya suka akan saya gambar ulang. Ketika berusia 15 tahun saya melihat sketsa oleh Sebastian Gunawan yang dimuat dalam majalah dan sangat membuat saya kagum. Saya pun berjanji pada diri sendiri bahwa suatu saat nanti saya juga harus mampu melakukan hal yang sebagus ini. Selain itu, saya lahir dalam keluarga yang memiliki bisnis industri sepatu. Hal ini juga memicu ketertarikan saya untuk mendalami dunia fashion. HB: Anda memperoleh penghargaan Best Pattern Maker dari ESMOD. Seperti apa pengalaman Anda bersekolah? SD: Karena memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi desainer maka saya menyiapkan diri dengan bekerja di perusahaan garmen untuk mengumpulkan uang. Dari perusahaan tersebut saya mendapat beasiswa penuh untuk belajar di ESMOD. Proses memperoleh penghargaan dari ESMOD pun cukup lucu. Saat bersekolah saya agak ‘nakal’ dan menganggap pembuatan pola bukan hal yang penting dan memilih berkosentrasi pada desain. Saya hampir dikeluarkan dari sekolah karena pembangkangan ini dan saya terpaksa harus mulai menekuni pembuatan pola. Akhirnya saya malah jatuh cinta dengan pattern making, mungkin karena saya sangat presisi dalam perkara pengukuran. HB: Seperti apa signature style Anda? SD: Saya menyukai sejarah. Karya saya selalu memiliki muatan budaya bangsa yang saya kemas dengan cara pandang modern. Saya juga menggemari tekstur dan lace adalah salah satunya, mengingat eksplorasi saya yang panjang dengan bahan yang satu ini. HB: Bagaimana strategi Anda mengeksplorasi budaya agar terlihat baru? SD: Apresiasi terhadap seni serta kultur Indonesia seharusnya lebih dari sekadar menggunakan kain tradisional yang dipotong menjadi gaun modern. Sebagai seorang desainer, ego kreativitas harus ditantang. Ada hal-hal lain yang dapat digali semisal

Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi Januari 2011

cerita rakyat atau legenda serta arsitektur. Contohnya dengan mengambil segi arsitektur Indonesia yang saya terjemahkan ke dalam kain lewat teknik crochet. Hasil kain bertekstur ini kemudian saya foto dan dijadikan print pada material baru. HB: Seperti apa wanita yang ingin Anda dandani? SD: Wanita dewasa yang ingin tampil seksi tanpa mengekspos sensualitasnya. Tidak ada vulgaritas dalam kamus mereka. Seperti rok dari lace dari bahan transparan yang ditutupi potongan lace yang telah diatur sedemikian rupa sehingga melapisi bagian tubuh yang vital Hasilnya adalah seksi yang tidak berlebihan dengan sedikit warna kulit mengintip. HB: Anda baru meluncurkan lini ready-to-wear. Bagaimana prosesnya? SD: Membicarakan koleksi ready-to-wear adalah membicarakan industri. Saya ingin naik tingkat dari membuat busana custom made menjadi perancang ready-to-wear. Ketika menggarap lini ini saya mengambil jalan tengah dan mengorbankan sedikit idealisme. Koleksi saya menggunakan banyak detail yang dikerjakan tangan jadi saya harus memutar otak untuk meminimalisisasi proses tersebut. Kini ada sebuah pekerjaan rumah besar yaitu bagaimana memasarkan koleksi baru ini.

Searah jarum jam: Show koleksi ready-towear ESMOD Fall/Winter 2012; Ad campaign oleh Julius Bramantyo; Show Bazaar Bridal Week 2011; Show Joan of Arc 2009; Backstage show Bride Bazaar Bridal Week 2012; Show Joan of Arc 2009.

HB: Mengapa menjadi pekerjaan rumah besar? SD: Membuat baju itu bukan akhir dari pekerjaan desainer karena ia harus memastikan rancangannya terjual. Saya perlu mengembangkan departemen marketing dalam label saya. Jangan sampai setelah memproduksi busana, hasilnya hanya disimpan di butik. Seorang desainer harus piawai dalam mengemas busana-busananya agar mudah dicerna. HB: Apa maksud Anda dengan mudah dicerna? SD: Perancang busana sebaiknya menyadari bahwa busana yang muncul di atas runway tidak harus persis sama dengan yang dikenakan oleh pelanggannya. Saat di panggung, kita memang harus mengatur koleksi agar terlihat menarik namun ketika dilihat satu-persatu busana tadi tidak terlihat berlebihan. Ini yang saya maksud dengan koleksi yang dapat diterima oleh pasar. Ada keseimbangan antara wearability dan drama sehingga client dapat memutuskan untuk membeli namun media tetap memilki hal yang patut dibicarakan. Saya rasa pagelaran tunggal bukan jadi sekadar tempat untuk memamerkan keahlian melainkan juga sebagai tempat untuk meyakinkan pembeli. ■

FOTO: DOK. BAZAAR, COURTESY OF SAPTO DJOJOKARTIKO

kaya dari negeri ini.”


S

Sebastian Gunawan

Portfolio ini: Keseluruhan busana, Sebastian Gunawan koleksi koleksi show 2008 (on Diana), koleksi I Miss Bali (on Julia Nosova) Fotografi oleh Rinal Wiratama Makeup & hair: Decha Stylist: Lily Marpaung Digital Imaging: Tinton Jauhari

ebastian Gunawan adalah jiwa seorang

Italia yang terperangkap dalam tubuh Indonesia, dan ia mengajak wanita untuk tidak segan meraih atensi lewat rancangannya. Disebutsebut sebagai salah satu pembuat gaun paling ahli di Indonesia, Sebastian Gunawan menawarkan busana serba elegan penuh kemewahan. Di tangan Gunawan, sejarah dunia mode menjadi inspirasi yang tak pernah habis untuk ditelusuri. Namun tidak pernah terjebak menampilkan deretan koleksi yang terkesan berasal dari sebuah era tertentu di masa lalu, ia merangkum kecantikan wanita zaman dahulu ke atas gaun-gaun pesta yang sangat relevan dengan kecendurungan mode yang berlaku hari ini. Banyak menggunakan aksen payet, bordir, sampai efek aplikasi tiga dimensi yang bersusun, rancangan TEKS: LILY MARPAUNG; FOTO PROFIL: DOK. BAZAAR

Sebastian Gunawan selalu sanggup memuaskan hasrat wanita Indonesia untuk busana yang tak hanya memeluk tubuh dengan sempurna namun juga menjadi agen transformasi sang wanita menjadi versi yang paling memukau dari dirinya sendiri.


160

B Searah jarum jam: Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi Maret 2011; Edisi September 2011; Edisi September 2008; Editorial JFFF tahun 2011; Editorial JFFF 2012; Editorial Harper's Bazaar Indonesia edisi September 2008

Ad campaign Sebastian Gunawan oleh Anton Johnsen

“F

ashion bukan hanya

tentang kecantikan tetapi juga

FOTO: DOK. BAZAAR

mengenai kemampuannya untuk mentransformasi penggunanya. Inilah kekuatan mode.”

agi Sebastian Gunawan, fashion bukanlah semata-mata tentang beragam busana indah yang memikat mata serta sepatu dan aksesori mewah. “Setiap kali saya melihat ibu dan saudarasaudara wanita saya berdandan, ada sesuatu yang berubah dalam diri mereka. Seketika kepribadian mereka terlihat makin menarik. Saya ingin tahu apa penyebabnya,” ujarnya. Pertama kali mengenal dunia mode lewat keluarganya, Seba (panggilan akrabnya) mulai tertarik untuk mendalami apa yang membuat sepotong gaun dapat memberi dorongan untuk wanita terlihat penuh kilau percaya diri. Seba pertama kali belajar tentang fashion design di usia yang sangat belia, yaitu 17 tahun. Gurunya, yaitu desainer Susan Budihardjo, mengatakan bahwa Seba mendaftar secara diamdiam dengan menggunakan uang saku yang dikumpulkannya sendiri. Saat tiba saatnya melanjutkan sekolah, ia memilih Fashion Institute of Design and Merchandising (FIDM) di Los Angeles. “Pindah ke Amerika Serikat sangat membuka mata saya terutama tentang industri mode. Fashion bukan hanya tentang seni melainkan sebuah bisnis besar,” lanjutnya. Ia berkata, “Saya belajar tentang kompetisi di sekolah. Temanteman saya sangat tangguh dan berlomba-lomba untuk menghasilkan karya paling fenomenal. Suasana yang demikian membuat kreativitas saya memuncak.” Tidak puas dengan pendidikannya di Los Angeles, Seba pun memutuskan untuk mencoba benua Eropa, tepatnya Italia. “Setelah banyak mendalami fashion dari sisi industri, saya ingin memahami mode lewat seni. Karena itu saya memilih belajar fashion illustration di Milan.” Pengalaman Seba di Instituto Artistico Abbigliamento Marangoni ternyata memberikan pengaruh yang sangat besar untuk garis rancangannya selanjutnya. “Saya jatuh cinta dengan keramahan dan kehangatan orang Italia dan dunia modenya yang penuh glamorama. Mungkin ini yang membentuk signature style untuk label saya,” paparnya kemudian. Begitu cintanya dengan Italia, ia merasa menemukan rumah di sana dan senantiasa meluangkan waktu untuk berkunjung kembali demi nostalgia. Terkenal dengan obsesinya untuk kian mengeksplorasi siluet dari masa lampau, Sebastian Gunawan senantiasa berhasil menerjemahkan keindahan dan keanggunan busana vintage ke dalam tren terkini. Misinya jelas yaitu memastikan wanita Indonesia merasakan perubahan positif dalam dirinya dan mengapai rasa percaya diri yang maksimal setelah


“K

etika merancang koleksi, berikan tempat untuk wanita berekspresi. Sehingga kepribadian mereka yang muncul dan bukannya malah tertutupi oleh gaun itu sendiri.”

Proses pembuatan aksesori

Finale show tahun 2008 Koleksi tahun 2012

Koleksi tahun 2005

Koleksi Sebastian Sposa 2010

FOTO: COURTESY OF EDWARD HUTABARAT, DOK. BAZAAR

Koleksi Sebastian Sposa 2006

mereka membalut tubuh dengan gaun eksklusif rancangannya. Kemewahan ala Italia tidak pernah terlihat malu-malu untuk tampil prima dalam setiap potong koleksinya, mulai dari gaun koktail, evening gown sampai busana pengantin. Di Italia pula lah Seba menemukan pasangannya, Cristina Panarese, yang menjadi ibu untuk putri mereka serta sekaligus menjadi partner sempurna untuk mempercantik wanita Indonesia. Pemenang IAF Young World Designer Award XX di Barcelona ini menyatakan bahwa kreativitas dan keberanian untuk melakukan terbososan adalah kunci sukses seorang fashion designer. Meluncurkan koleksi pertamanya di tahun 1993, Gunawan tanpa takut menampilkan puluhan ballgown mengembang besar bergaya Eropa walaupun iklim mode Indonesia pada saat itu tengah dilanda cinta akan kebaya tradisional. Meski menyebut dirinya sebagai seorang couturier, Seba merasa tuntutan pasar Indonesia agar ia menawarkan ekslusivitas dengan hanya membuat sepotong gaun untuk setiap desain adalah berlebihan. “Sepertinya perlu ada sedikit edukasi tentang arti couture. Karena adibusana bukan berarti sang desainer hanya diizinkan membuat sebuah baju melainkan tentang perkara jumlah fitting yang dilakukan serta berapa banyak gaun tersebut dikerjakan dengan tangan,” ujarnya. Ketika membicarakan arti wearability, Seba berkata bahwa untuk tampilan yang memukau memang memerlukan sedikit

Koleksi tahun 2008

Backstage show Club Dahlia 2012

FOTO: COURTESY OF SEBASTIAN GUNAWAN, DO. BAZAAR

Koleksi Cheongsam Chinoiserie 2011

pengorbanan. “Saya pernah membuatkan gaun yang membuat klien saya memerlukan bantuan untuk mengenakannya. Menurut saya hal yang demikian wajar saja karena untuk terlihat tak terlupakan diperlukan sebuah usaha yang lebih, bukan?” lanjutnya. Lebih jauh lagi, ia menyebutkan bahwa wanita Sebastian Gunawan adalah mereka yang memiliki jati diri serta tidak takut untuk tampil beda. Kini telah memiliki lima buah lini busana, bahkan di antaranya terdapat Bubble Girls – sebuah koleksi untuk anak-anak, Seba mengaku sudah sibuk luar biasa mengurus perusahaannya. “Memang masih banyak lagi hal yang ingin saya lakukan, misalnya membuka label perhiasan, tas serta sepatu. Tetapi saya puas dengan apa yang saya punya. Ketahui batasan untuk diri sehingga pekerjaan yang sudah dimiliki tidak malah terganggu,” kata Seba. Kekuatan utama Sebastian Gunawan selama 20 tahun berkarya adalah dalam dedikasinya memberikan finishing touch serta craftsmanship yang prima untuk setiap karyanya. “Bakat memang penting tetapi profesionalisme dalam bekerja adalah hal yang lebih utama,” ujarnya. Dengan mengenakan karyanya, setiap wanita dapat berpesta tanpa perlu mencemaskan kemungkinan terjadinya ‘kecelakaan’ atas busananya. Dan rasa aman serta keyakinan akan tampilan tak terlupakan yang yang ditawarkan ini yang membuat Sebastian Gunawan semakin dicari wanita Indonesia. ■

Koleksi Votum 1997

Koleksi tahun 2008


ama Susan Budihardjo kini memang lebih dikenal sebagai patron untuk pendidikan mode di Indonesia. Tetapi jika boleh memilih, Susan cenderung ingin dianggap sebagai guru ketimbang seorang desainer. Muncul tiga dekade lalu dengan garis rancangan bergaya minimalis yang sangat baru pada zamannya, ia pun sukses menembus dunia mode Indonesia di tahun ‘80-an dengan hentakan yang menyegarkan. Setelah kiprahnya yang selalu menyedot perhatian, Susan Budihardjo memutuskan untuk duduk lebih tenang di belakang layar sambil memupuk bakat-bakat muda Indonesia. Meskipun demikian, koleksinya masih tetap dinantikan karena sanggup menjawab keinginan pasar. Ya, Susan, seorang perancang yang amat mengerti wanita.

TEKS: LILY MARPAUNG, FOTO PROFIL: DOK. BAZAAR

Susan Budihardjo

N

Porfolio ini: Keseluruhan busana, koleksi Susan Budiharjo di Harper's Bazaar Indonesia Fotografi oleh Rici Linde Editor fashion: Michael Pondaag Makeup & hair: Qiqi Franky & Team


166

HB: Apa menjadi fashion designer merupakan cita-cita sejak kecil? SB: Tentu saja tidak. Bahkan zaman dulu saya tidak tahu apa itu fashion meskipun saya memang senang menggambar. Selain itu sebagai anak perempuan satu-satunya dalam keluarga saya memang terbiasa memiliki koleksi baju yang cukup banyak karena ibu senang mendandani saya. Sempat saya tertarik menjadi arsitek, karena pada masa itu cita-cita seseorang biasanya hanya ada dua, dokter atau arsitek. Tetapi saya sadar bahwa itu bukan jalan saya, sehingga saya memutuskan untuk serius dan pergi ke luar negeri untuk sekolah mode. HB: Mengapa langsung membuka sekolah mode ketika pulang dari London? SB: Semua karena masalah yang saya hadapi saat ingin belajar fashion. Waktu itu saya berjanji kepada diri sendiri bahwa generasi setelah saya tidak boleh kesulitan untuk mencari sekolah mode. Untuk terbang ke manca negara agar dapat bersekolah itu memerlukan biaya yang tidak sedikit, saya dan keluarga pun berjuang keras agar impian saya tercapai. Alangkah baiknya kalau kita bisa menghemat dan bersekolah di negara sendiri saja. HB: Meski memiliki latar belakang pendidikan di London yang eklektik, gaya Anda cenderung minimalis. Mengapa? SB: Ketika muda, garis desain saya memang lebih banyak eksplorasi. Tetapi zaman selalu berubah dan sebagai desainer kita harus mau mengikuti perkembangan yang ada. Meskipun demikian, garis rancangan saya sejak awal memang cenderung lebih sporty serta energik. Sisi London dari saya tetap muncul lewat motif grafis seperti garis atau polkadot yang kerap saya gunakan untuk koleksi. HB: Wanita seperti apa yang akan mengenakan baju Anda? SB: Mereka adalah wanita yang ingin tampil cerdas, memiliki power namun tetap stylish. Lebih lagi, mereka juga senang dengan sentuhan aksen maskulin.

Searah Jarum Jam: Editorial Harper's Bazaar Indonesia Edisi April 2011; Edisi Januari 2007; Edisi Januari 2011; Show 2010; Susan difoto di tengah beberapa orang muridnya untuk Bazaar edisi April 2011; Bazaar Fashion Concerto 2010; Karya desainer Irsan sebagai tribute bagi Susan Budihardjo.

“Desainer itu baru berhasil dengan baik saat ia sukses untuk meyakinkan orang-orang mengenakan koleksi busananya. Wearability, ini yang paling penting.” HB: Kapan show tunggal Anda yang paling tidak terlupakan? SB: Di tahun 1983 saya bekerja sama dengan sebuah yayasan kanker untuk membuat koleksi ready-to-wear saya yang pertama. Ketika itu, saya menampilkan 125 busana dan hanya dalam tempo tiga hari setelah show semua rancangan saya terjual habis. Perlu diingat bahwa pada waktu itu saya tidak memiliki butik sehingga semua pembeli mendatangi workshop saya secara langsung. Ini menjadi highlight paling utama dalam karier saya. Mungkin karena saya juga wanita sehingga saya paham busana seperti apa yang wearable atau yang tidak. Mudahnya, silakan tanya pada diri sendiri apakah saya mau mengenakan rancangan saya. HB: Tidak akan menggelar show tunggal lagi? SB: Sepertinya tidak, karena waktu yang tidak memungkinkan lagi. Jujur saja sekarang cara bekerja saya sudah tidak seperti dulu di tahun ‘80-an, tidak ngoyo lagi dan bekerja sehari penuh dari pagi sampai tengah malam. Keseharian saya sekarang terbagi dua, setengah untuk sekolah dan setengah di workshop. Jadi saya hanya berada di workshop selama tiga sampai empat jam. Mungkin karena usia saya sudah 62 tahun. Tetapi tidak menutup kemungkinan untuk mengeluarkan koleksi jika ada pihak yang mengajak bekerja sama. HB: Dari mana inspirasi Anda? SB: Mungkin karena memiliki sekolah saya selalu bertemu dengan anak-anak remaja dan ide-ide mereka yang segar. Mereka menjadi inspirasi sekaligus memacu saya untuk selalu up-to-date karena bisa-bisa saya ketinggalan dari murid-murid saya. Ada untungnya banyak bergaul dengan anak muda. Ketika mengikuti Bazaar Fashion Concerto yang lalu, saya sempat cemas karena sudah lama sekali tidak menggelar show. Saya yakin banyak yang bertanyatanya apakah koleksi yang saya tampilkan adalah koleksi bergaya nenek-nenek. Untungnya tidak, saya malah mendapat sambutan baik. Jika saya hanya bertahan berteman dengan ibu-ibu saja mungkin rancangan saya akan jadi sangat ketinggalan zaman. HB: Apakah pernah karya Anda ditiru orang? SB: Tentu saja. Tetapi menurut saya seorang desainer tidak perlu sedih ketika rancangannya ditiru oleh orang lain. Bagi saya itu merupakan simbol kesuksesan kita dan anggap saja sebagai sebuah bentuk apresasi dari masyarakat. Jangan sampai hanya karena ego yang masih menggebu-gebu membuat kita marah dan akhirnya kesulitan untuk lebih produktif. Ketika ditiru, buat saja karya yang baru. ■

FOTO: DOK. BAZAAR

H

arper’s Bazaar (HB): Anda memutuskan untuk belajar mode di negara yang tidak biasa, yaitu Jerman. Ada alasan khusus? Susan Budihardjo (SB): Jerman menjadi pilihan saya karena di era akhir ‘60-an semua kiblat pendidikan adalah ke sana. Lagipula jika kita pergi ke Jerman, kita akan memperoleh beasiswa mulai dari uang sekolah sampai kebutuhan harian. Di sana saya belajar graphic fashion. Tetapi Jerman memang negara yang kaku dan banyak sekali teori. Bayangkan, di semester pertama saya hanya belajar membuat rok dan tidak yang lain! Akhirnya setelah setahun saya memutuskan untuk pindah ke London.

“Pujian untuk show yang megah itu hanya akan bertahan sebentar saja. Seharusnya, bukan hal semu seperti ini yang perlu dicari oleh perancang busana.”


Tri Handoko

K

ini gaya rancangan

desainer Indonesia yang berkiblat ke sisi maskulin

adalah salah seorang pionir yang berani mendobrak “aturan” dunia fashion Indonesia yang berlaku saat itu. Memilih untuk banyak bergelut dengan busana yang bernapaskan garis ANDROGYNY, desainer yang satu ini bertekad untuk mendandani wanita Indonesia dengan busana-busana bergaya sederhana namun memancarkan kekuatan. Koleksinya yang minus detail cantik menjadikan karyanya dicari-cari oleh wanita yang tidak ingin terlihat kelewat lembut dalam berbusana. TUXEDO yang dimodifikasi menjadi gaun, celana panjang berpipa lebar sampai blazer dengan bentuk bahu yang kokoh pun menjadi keahliannya. Dengan mengenakan koleksi Tri Handoko, seorang wanita tidak hanya akan terlihat chic namun tidak ada seorang pun yang akan berani “bermain-main” dengannya.

TEKS: LILY MARPAUNG; FOTO PROFIL: COURTESY OF TRI HANDOKO

168

memang bukan hal baru lagi. Namun pada zamannya Tri Handoko

Portfolio ini: Busana, koleksi Realovety Bazaar Wedding Exhibition 2012 Fotografi oleh Nicoline Patricia Malina Makeup & hair: Pricilla Myrna Stylist: Lily Marpaung Model: Anna Somik - Damn Inc.


“A

gar makin pintar, kita harus berani keluar dari

COMFORT ZONE dan menentukan karakteristik dari rancangan kita sendiri.”

sudah berada di puncak karier mereka, saya pikir sudah tidak mungkin lagi untuk mengejar mereka. Pada waktu itu saya sudah berada di comfort zone,” ujarnya. Namun berkat dorongan dari beberapa sahabat desainer yang lain, Tri akhirnya memutuskan untuk mengambil sebuah langkah besar yang paling menentukan dalam hidupnya dan kembali ke Jakarta. Memulai lagi segalanya dari awal. “Karena belum percaya diri, saya sampai tidak berani menggunakan nama saya sebagai label. Pada waktu itu saya menggunakan nama Frantho,” lanjut Handoko kemudian. Namun keinginannya untuk tidak diperbudak dan didikte oleh trend membuat karya Tri Handoko tampil berbeda. Ketika show tunggalnya berlangsung di tahun 2001, banyak yang bertanya-tanya mengapa mengapa ia meluncurkan koleksi yang terkesan begitu sederhana tanpa sentuhan beads atau bordir. “Mungkin saya sangat naïf tetapi saya mengemban misi untuk mengedukasi pencinta mode Indonesia bahwa baju pesta tidak serta merta harus terbuat dari chiffon melayang yang bertabur payet. Aksi yang serba seragam ini harus segera dihentikan,” ujarnya lagi. Dan benar saja: dengan gaya desain yang bersih, structured, serta memiliki sentuhan maskulin yang kental, label milik Tri Handoko menjadi oase segar bagi dunia mode Indonesia di tengah banyaknya gaun pesta yang ekstra feminin. Tahun 2004 pun menjadi hightlight dalam kariernya karena pada tahun itulah Tri memperoleh dua penghargaan sekaligus, yaitu The Upcoming Designer dari Nokia Fashion Award serta sebagai The Most Favorite Designer oleh Mercedez Benz Fashion Festival. “Kekuatan label saya adalah kejujuran yang ada dalam setiap rancangan. Bandingkan saja busana yang saya buat untuk perlombaan di tahun 1989 dengan koleksi terakhir saya, keduanya masih memiliki garis yang sama,” papar Tri Handoko. Menyebut wanita yang akan mengenakan bajunya sebagai mereka yang memiliki jati diri serta tidak akan terbawa arus, Tri Handoko memandang wanita sebagai sosok yang sangat kuat. “Bagi saya wanita Indonesia adalah makhluk hebat sehingga baju yang saya rancang untuk mereka memang menggambarkan sisi powerful tersebut. Lebih jauh lagi, koleksi saya memang terlihat begitu modern tanpa sentuhan tradisi Indonesia sedikit pun. "Tetapi saya yakin untuk menunjukan karakter wanita Indonesia kita pun dapat melakukannya dengan cara yang modern," ujar Tri menutup perbincangan ini. ■

Editorial Harper's Bazaar Indonesia Juni 2005

Show Trend IPMI 2012

Foto kampanye iklan yang dibuat oleh Tri Handoko untuk koleksinya tahun 2012

FOTO: COURTESY OF TRI HANDOKO, DOK. BAZAAR

P

engalaman pertama Tri Handoko bersentuhan dengan dunia mode adalah lewat seni tari. Memiliki hobi menari sejak kecil ketika ia dibesarkan di kota Blitar, ia pun mempelajari beragam jenis tarian mulai dari tari Jawa tradisional, balet sampai kontemporer. Dunia panggung memang lekat dengan busana yang dramatis dan Handoko mengaku bahwa ia merancang sendiri semua kostum yang dikenakannya di atas panggung. “Dahulu saya memiliki dua pilihan yaitu antara belajar koreografi atau fashion. Awalnya saya sedikit bimbang karena saya merasa kedua hal tadi ada di dalam diri saya. Akhirnya saya pun memutuskan untuk mendalami fashion,” ujarnya. Ia pun mendaftarkan diri di sekolah mode milik Susan Budihardjo. Tri Handoko berkata, “Sebelumnya saya tidak pernah tahu bahwa ayah belum memberi dukungan untuk saya. Setelah berhasil keluar sebagai pemenang sebuah lomba mode, akhirnya ia pun menyetujui keinginan saya. Ia bangga.” Perjalanan ke Australia yang awalnya hanya dilakukan untuk menghadiri hari wisuda sang kakak ternyata membawa Tri Handoko untuk mengenyam pendidikan mode di sana. “Sejujurnya saya ini anak bungsu yang manja. Spoiled brat. Dahulu saya sempat ingin berangkat ke Amerika untuk sekolah dan bahkan sudah diterima di sebuah universitas di Los Angeles. Tetapi keluarga melarang dan meminta saya memilih Sydney karena letaknya yang relatif lebih dekat dengan Indonesia.” Namun kota Sydney ternyata membawa kekecewaan bagi Tri Handoko karena kehidupan di sana yang kurang menginspirasi baginya. “Pengalaman sebagai fashion student memang tidak terlalu berkesan untuk saya, mungkin karena Sydney memang bukan kota mode. Tetapi saya tidak mau menyesali apa-apa karena di sana saya belajar tentang hidup. Setidaknya level manja saya menjadi berkurang,” ujarnya kemudian. Ketika kebanyakan perancang busana memilih langsung membuka labelnya sendiri, Tri Handoko mengawali dengan bekerja sebagai asisten desainer dan dilanjutkan dengan bekerja pada sebuah lini fashion yang ada di Bali. “Ketika berada di Bali selama delapan tahun, saya banyak membuang waktu dengan bermain ke sana ke mari. Kalau melihat teman-teman saya yang

“T

Show Trend IPMI 2012

alenta adalah sesuatu yang paling

berharga dan menentukan kesuksesan.

Hanya ada dua kemungkinan, yaitu apakah Anda memilikinya atau tidak.”

Show tunggal bertema Colour My Life 2012


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.