Rock&Roll Magazine #1

Page 1



Magazine

VOL. 1

#FIRSTPRINTEVER


CONTENTS

“ Everyone is supposed to have fun when they’re young, don’t know why, but i never did ” Syd Barrett

46

MAIN ISSUE

TOP 10 PASSIONATE ROCK N’ ROLL PROFESSIONALS F E AT U R I N G . . .

8 GANIA ALIANDA

ì Awalnya takut soalnya banyak kan band vokalis cewe yang nggak bertahan lama

11 ACA STRAIGHT ANSWER

ì Ketika gua punya tatto artinya gua sudah memulai hidup baru” Oleh Lody Andrian

Oleh Revan Bramadika

9 ZORV

“Muncul ke belantika musik rock Indonesia dengan membawa bendera grunge yang dijadikan tafsir bermusik mereka”

12 DANIEL MARDHANY

ì Shock gua dulu baca liriknya Addy Gembel (Forgotten) yang sarkasme dan gamblang” Oleh Lody Andrian

Oleh Ganis Ilman

10 HAUL

13 DAVID KARTO

ì Lupakan sejenak nada-nada harmonis yang menyayat hati, karena mereka berharap akan terdengar seburuk mungkin”

ì Kalau kita punya konten dan materi bagus, saya pikir bagaimana pun kapan pun orang akan tetap beli”

Oleh Lody Andrian

Oleh Lody Andrian

JRX ARIAN 13

JIMI MULTHAZAM

LEON

ANDRE TIRANDA

WENDI PUTRANTO HEDIFOURSPEED KIMUNG INTAN ANGGITA DOCTARUBY

16 INTAN AYU

ì Jatuh di toilet bar hingga kencing bercucur darah tapi malah ketawa..” Oleh Teddy Drew

20 JAYA ROXX

ì Era itu hampir semua lagu ngomongin kekuasaan, tentang kehidupan, tentang jiwa lah, ini lah, yang kayak Power Metal? ya seperti itu eranya.ì Oleh Lody Andrian

50 REDI MURTI

ì Salah satu alasan dunia seni lukis sangat melekat dalam diri Inyo adalah berkat dukungan sepenuh hati dari keluarga yang meghargai karya seni” Oleh Ganis Ilman

52 BARATA DWIPUTRA

ì Saya cukup taat pada peraturan, cukup motor saja yang ugal -ugalan..” Oleh Lody Andrian

61 CURBY ëOBSCENEí

ì It’s more like meeting everybody more than a festival. But I don’t know, it didn’t work out that way here.” Oleh Revan Bramadika

62 ì Komik bisu yang menceritakan tentang perjalanan spiritual yang direlasikan dengan fenomena keseharian. Yang akan menyentuh alam bawah sadar Anda. ” Oleh Riandy Karuniawan


Rock&Roll #1 Issue “ Hai kawan biarkan hidup ini, mengikuti kemana langkahmu. Hentakkan kakimu tak perlu kau ragu, Mainkan musik ROCK N’ ROLL…”

Mari berbicara tentang permulaan, mari berbincang tentang perasaan spesial

yang selalu hadir ketika mengalami sesuatu hal untuk pertama kalinya. Saya ingat, ketika pertama kali menden-

garkan “Smells Like Teen Spirit” milik Nirvana. Tanpa ada keragu-raguan, saya bisa memastikan ini adalah lagu yang

paling penting, mewakili apa yang saya rasakan saat itu. Ada rasa semacam ketakutan yang luar biasa, rasa cemas tingkat tinggi ketika genjrengan gitar pada intro, dan kemudian disambut oleh dentuman drum menghentak keras menghantam dada, yang membuat saya berdansa seperti orang gila. Terdengar berlebihan memang, karena sesungguhnya apa yang

terasa melebihi apa yang mampu saya tuliskan. Bahkan hingga saat ini, mendengarkan kembali lagu itu menimbulkan romantisme yang sama, sejenak waktu berhenti berputar. Saya benar-benar merasa terbebaskan, merasa merdeka.

Untuk sebuah petualangan besar, pasti dimulai dari sebuah tapak langkah kecil. Lebih kurang, hal inilah yang kami

coba untuk gali di berbagai macam rubrik pada edisi perdana ini. Tentang bagaimana musik rock dapat mengubah pan-

dangan dan bahkan hidup bagi banyak orang. Berbagai cerita yang dituturkan oleh tokoh-tokoh yang kami wawancara di edisi ini, dapat menjadi inspirasi dan motivasi, atau hanya sekedar pembanding bagi kisah Anda sendiri. Tidak ada karya besar yang lahir dari kemudahan dan keberuntungan. Semua pasti melalui proses panjang yang penuh dengan kecintaan, carved by passion.

Sebagaimana penggalan lirik “Rock Bergema” milik kelompok musik legendaris ROXX yang saya kutip diawal,

dengan harapan yang besar dan hati yang murni, semoga Rock&Roll dapat membebaskan kita semua.

Managing Editor & Design Lody Andrian @lodyandrian Editor Revan Bramadika @revanbramadika Photographer & Promotion Ryan AR @Imajinasi_Ryan Finance Director Dennis Destryawan @dennisdstryawan Marketing Andreas Tulus @Andreas_tp

Rock&Roll Media Publisher

Kalibata City, Borneo Tower Lt.19 BD Jl. Kalibata Raya 01 Jakarta Selatan Indonesia

Contact

Kalibata City, Borneo Tower Lt.19 BD Jl. Kalibata Raya 01 Jakarta Selatan Indonesia

Subscriptions +62-85695266152 Distribution +62-2199763661 Marketing +62-82172701655 Email rockandrollmagazine@gmail.com

Facebook

Revan Bramadika, Editor

Kontributor

Twitter

@rockandrollmagz

Edisi #firstprintever ini kami mengundang beberapa kontributor untuk membantu pengerjaan edisi perdana ini, dari mulai musisi, fotografer hingga jurnalis. Baca profil singkatnya dan simak artikelnya!

Samack |@samack

Jurnalis jebolan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini lahir dan tinggal di Malang, Jawa Timur. Ia sempat menerbitkan Mindblast Fanzine dan situs musik Apokalip.com. Di waktu luang, Ia menjadi kontributor untuk beberapa media seperti Jakartabeat, Rolling Stone, Common Ground, dsb.

Rian Pelor |@pelorrian

Pria yang sekarang dikenal sebagai vokalis ((AUMAN)), band heavy rock asal kota kelahirannya, Palembang ini bernama asli Farid Amriansyah. Mengulas pelbagai album band lokal di rubrik Review, yang mana diketahui juga seorang mantan wartawan Trax Magazine.

Didit D-rexx |@iamdrexx

Rock&Roll Magz

Berbadan besar, bermuka garang, reporter acara musik RadioShow di TvOne dan juga seorang penggebuk drum dari unit rock asal Jakarta, SURI. Ketertarikan kepada film membuat dirinya tergerak untuk mengulas film horror klasik di edisi perdana ini.

Alvi

Seorang saksi sejarah musik rock Indonesia era ‘70an yang sampai sekarang masih menulis artikel tentang band-band di era-nya seperti Giant Step, AKA, Superkid, dll. Salah satu anggota KPMI (Komunitas Pecinta Musik Indonesia) yang sekarang berprofesi sebagai pengacara.

Ganis Ilman |@ganissatanica

Mahasiswa Sastra Inggris Universitas Indonesia yang juga tergabung sebagai gitaris dalam band thrash metal asal kota kelahirannya Surabaya, Headcrusher. Ganis turut juga berkontribusi opini-nya yang berjudul “Budaya Konsumsi Anak Muda Metropolitan”

Tedy Drew |@teddydrew

Fotografer dan videografer adalah pekerjaan pria asal pulau Dewata ini. Berpengalaman sebagai kontributor media cetak seperti Rolling Stone dan website fotografi iRockumentary. com. Simak hasil wawancaranya yang berhasil Ia rangkum dengan Intan Ayu dan (Jerinx).

CD Production & Record Label Bravo Musik

Semua materi isi yang terkandung di dalam dan luar majalah ini menjadi properti Rock&Roll Magazine edisi #1 / Mei 2013. Dilarang menggandakan dan mengcopy ulang semua materi majalah ini tanpa izin tertulis dari Rock&Roll Magazine. Semua pernyataan dari hasil wawancara dengan artis / narasumber tidak merefleksikan citra dan pandangan Rock&Roll Magazine. c Rock&Roll Media Publisher 2013.

SUBSCRIBE NOW 085695266152/ ROCKANDROLLMAGAZINE@GMAIL.COM


THE WALL

V O L

1

Selamat Jalan Jeff Hanneman Gitaris yang mempunyai kontribusi krusial kepada band raksasa thrash metal Slayer, selama tiga dekade karirnya. Jeff Hanneman menghembuskan nafas terakhirnya di usia 49 tahun pada 3 Mei 2013, California Selatan disebabkan oleh penyakit liver.

H

anneman telah di hiatus dari Slayer sejak awal 2011, ketika ia mengidap penyakit Necrotizing Fasciitis, penyakit pemakan daging yang dokter percayai disebabkan oleh gigitan laba-laba. Hanneman hampir kehilangan lengannya dan sempat ditempatkan dalam keadaan koma. Setelah serangkaian cangkokan kulit, ia telah melakukan rehabilitasi fisik, termasuk bermain gitar. Kesempatan untuk kembali ke Slayer terbuka lebar selesai pemulihan tersebut. Hanneman, gitaris yang sebelumnya tidak pernah absen setiap penampilan Slayer di setiap jadwal, dan menulis banyak lagu yang mempengaruhi kemajuan bandnya, termasuk “Angel of Death”, “Raining Blood” dan “War Ensemble.” Hanneman bersama tandemnya Kerry King memperkenalkan gaya twin-lead guitar yang mendorong Slayer ke garis depan gerakan thrash metal dari awal 1980-an, di mana mereka dinobatkan sebagai salah satu dari “Big Four”, bersama Metallica, Megadeth dan Anthrax. Solo twin-guitar adalah ciri dari genre thrash metal sejak awal, tapi yang mempunyai suara kekacauan dan brutalitas tinggi hanya berasal dari duo Jeff Hanneman dan Kerry King. Secara bergantian solo gitar mereka menciptakan suasana apokaliptik, atmosfir yang mencekam dan tak terkendali,

R.I.P

JEFFREY ‘JEFF’ HANNEMAN 19 64 - 2004 membuat membedakan Slayer dari band lain yang memilih pendekatan solo gitar melodius. Slayer bangga akan perbedaanya itu, Kerry King mengatakan di sebuah wawancara tahun 2009, “Ketika kami datang, kedengarannya seperti dunia akan berakhir.” Hanneman dibesarkan di keluarga militer, daya tarik dengan peperangan dan kekerasan datang lewat karya dan artwork Slayer, yang merupakan kontribusinya. Lirik yang paling terkenal adalah ‘Angel of Death’ tahun 1986, blakblakan menggambarkan kekejaman yang dilakukan oleh

dokter Nazi, Josef Mengele di Auschwitz. Banyak mengira Slayer memberi dukungan dan simpati para pelaku dari babak tergelap dalam sejarah ini, sudut pandang tersebut lantas dibantah oleh mereka. Dalam perjalanan karir Slayer, Hanneman bertahap mengurangi kontibusi lirikalnya sambil terus membuat porsi signifikan pada musik, termasuk semua kecuali satu dari track pada ‘Diabolus In Musica’ 1998, serta lagu “Disciple” dari God Hates Us All tahun 2001, yang telah menjadi set pembuka Slayer dalam konser mereka saat itu. Beliau men-develop gayanya di atas panggung yang menjadi terkenal di kalangan penggemar metal. Dibalut jersey Oakland Raiders dan celana kamuflase atau celana pendek, membungkuk di atas gitar yang dihiasi logo Heineken, yang di mana merek bir tersebut diganti dengan namanya Hanneman. Ketika Hanneman terpaksa pergi hiatus karena alasan kesehatan dua tahun lalu, gitaris Exodus yang sesama pelopor thrash metal, Gary Holt mengambil tempatnya di Slayer. Penampilan terakhir Hanneman dengan Slayer adalah kejutan cameo selama encore dari The Big Four Festival di Indio, California, pada 23 April 2011. Dia memainkan lagu paling terkenalnya, “South Of Heaven” dan “Angel Of Death.”

BEASTIE BOYS

PENTAGRAM

Mike Berlian (Mike D) dan Adam Horovitz (Ad-Rock), para anggota yang masih bertahan dari kelompok hip-hop yang berasal dari kota New York ini telah menyepakati sebuah buku sejarah mereka dengan Spiegel & Grau, Random House Publishing Group yang direncanakan akan rilis pada tahun 2015.

Pentolan sekaligus vokalis, Bobby Liebling baru saja mengumumkan gitaris baru mereka. Seorang musisi, komposer dan riff-maker asal Philadelphia, Matt Goldborough setelah berbulan-bulan mencari dan meninjau para gitaris yang melamar ke Pentagram.


ROCK&ROLL Soundtrack..

Of Misery 01 Church Born To Raise Hell Clark Jr. 02 Gary Bright Lights

DAVID GILMOUR

Shazam 03 Foxy Welcome To The Church Of Rock And Roll

Seorang pria sakit mengklaim dirinya vokalis-gitaris Pink Floyd

04

I

nilah resiko menjadi orang yang terkenal. Dari sebuah laporan rumah sakit di Minnesota, Amerika Serikat seorang pria ditangkap karena meny-amar menjadi salah satu anggota band rock legendaris Pink Floyd. Polisi mengatakan pria berumur 53 tahun tersebut datang ke rumah sakit St. Cloud untuk menjalani medical treatment pada tanggal 20 April 2013 lalu, mengklaim bahwa dirinya adalah David Gilmour yang tidak mempunyai asuransi kesehatan. Gara-gara Philip Schaeffer, pria yang mengaku bahwa dirinya legend tadi, pihak rumah sakit mendapat kerugian hingga $100.000 dalam tagihan medis yang belum dibayar. “ For the last year and a half I have been drinking and taking drugs. I was in a very dark place and was an asshole to the people I love most, my family. ” Ozzy Osbourne, 16 April 2013

ROBERT PLANT

And The Sensational Space-Shifters di Singapura

P

ada dekade 70an, Robert Plant bersama Led Zeppelin dua kali ditolak oleh otoritas imigrasi Singapura untu menggelar konser-nya disana karena mereka berambut gondrong dan memainkan musik rock, yang dulu dianggap memberi pengaruh buruk. Akhirnya untuk pertama kalinya dalam acara Timbre Rock & Roots Festival 2013 di Fort Canning Park tanggal 21-22 Maret kemarin Robert Plant tampil bersama The Sensational Space Shifter di Singapura. Mereka banyak memainkan lagu-lagu Led Zeppelin yang diaransemen ulang dengan bermacam gaya, dari gaya musik roots asal Mississipi, Gambia, Appalachia dan Bristol. Plant tetap luar biasa menawan dikala tua, sosok yang santun dan berkelas. Terjadi sedikit kesalahan teknis seperti mikrofon Plant tidak sepenuhnya menangkap suaranya, tapi untungnya kemudian ia menerima mikrofon pengganti. Robert Plant dan The Sensational Space Shifter terbentuk semata-mata hanya untuk proyek tur konser. Mereka belum merilis apapun sampai saat ini.

PHILIP H. ANSELMO & THE ILLEGALS Walk Through Exist Only

Macho

05

The SIGIT

06

Zorv

07

Gypsyhawk

08

Shovels and Rope

09

The Virginmarys

10

Haul

Red Summer Savage Hedgeking Hail Hail

Taking The Blame Elegi

DAVID BOWIE The Next Day

Beberapa orang menyebut album ini sebagai album kebangkitan Bowie. The Next Day adalah bukti jelas bahwa Bowie memegang kuat pasang surut dari skena, tren dan gerakan budaya pop dunia.

GHOST (GHOST B.C) Infestissumam

Album ini adalah karya konseptual dan esensial. Di mana sekarang ini plagiarisme kreatif telah tidak hanya merajalela tetapi semakin populer, Ghost telah membuktikan sekali lagi bahwa orisinalitas virtuoso masih ada.

Anselmo mengumumkan album solo pertamanya ‘Walk Through Exist Only’ akan rilis pada 16 Juli 2013. Dia bukan hanya bernyanyi di album ini tapi menjadi produser dengan Michael Thompson yang akan dirilis oleh label miliknya Housecore Record. Beberapa tahun terakhir Anselmo merekam album ini di New Orleans bersama The Illegals (Marzi Montazeri, gitar dan Jose Manuel Gonzales, drum). “It’s an angry album that only I could do” jelas mantan vokalis Pantera yang rusuh ini.

BEHEMOTH: “Wait and hear”

Setelah album Evangelion (2009), band Black/Death metal asal Polandia ini sedang dalam proses pengerjaan album kesepuluh mereka.

Behemoth sedang bersembunyi di Hertz Studios mengerjakan album full-lenght kesepuluh mereka. Sementara kita menunggu dengan sabar untuk musik baru mereka selesai, Nergal memberikan update berikut: “Setiap karya seni lahir dalam kesakitan..dan begitu juga kami. Kami telah menghabiskan beberapa bulan terakhir di pra-produksi dan tracking lagu di

Hertz Studio. Kami memproduksi album secara kolektif dengan bantuan Wieslawscy bersaudara dan Daniel Bergstrand. Kami terbawa di sebuah misteri.. menjelajahi wilayah yang kami sendiri tidak tahu dimana sampai sekarang. Rasanya menarik dan sangat menyegarkan untuk mendefinisikan gaya bermusik kami dan membuat pernyataan yang kuat. Wait and hear..”

BRIAN JOHNSON

NINE INCH NAILS

Frontman AC/DC mengadakan perlombaan MiniCooper 1960 di Brands Hatch Circuit UK. Perlombaan yang berlangsung pada tanggal 26-27 Mei ini akan dipilih dua pemenang. Untuk dua pemenang tersebut akan di-hadiahi berkendara langsung bersama Brian setelah membeli buku “Rockers and Rollers.”

Eric Avery, pemain bass Nine Inch Nails memutuskan untuk cabut dari band. Musisi yang juga merupakan anggota pendiri Jane’s Addiction ini membuat keputusan yang di publish di facebook, menjelaskan bahwa ia kewalahan setelah baru-baru ini tur dengan Garbage. Rock&Roll | Mei 2013 | 7

Teks oleh Andreas Tulus

In Studio

((AUMAN))


Diaz mengaku sudah mencintai music rock sejak remaja. “I banged my head quite a bit,” Ia mengatakan pada Harper’s Bazaar. “Saya menyukai semua album dari Iron Maiden, Ozzy hingga AC/DC.

CELEBRITY HEAVY METAL

MANIAC

CAMERON DIAZ

NICOLAS CAGE

Bukan hanya pemeran Ghost Rider ini yang menyukai classic metal, ternyata anaknya yang berumur 21 tahun adalah seorang vokalis band black metal. Namanya Eyes Of Noctum.

RACHEL WEISZ

Artis wanita Inggris menyerupai malaikat ini rupanya fans band ‘80s metal dan sering pergi ke gigs lokal. “Oh yah, I’m definitely an old rocker,” kata Weisz saat interview dengan The Telegraph.

DEMI LOVATO

Remaja Disney satu ini mungkin dikenal dengan artis pop remaja imut, tapi tidak disangka-sangka dia ternyata fans dari Dimmu Borgir dan Lamb of God. “I would love to secretly do some work on a metal band’s album,” kata Lovato saat interview dengan MTV tahun 2008.

Q&A

Gania Alianda Vokalis Billfold, band hardcore asal Bandung yang sekaligus merangkap sebagai mahasiswi semester akhir jurusan Desain Komunikasi Visual. Berbicara tentang perjalanan menjadi vokalis, dunia laki-laki dan alkohol. Oleh Revan Bramadika | Foto: Lody Andrian

Gimana sih awalnya kamu bisa masuk ke dunia musik ini? Jadi awalnya dikenalin di scene bandung itu sama kakak sendiri, jadi kakka tuh awalnya main skate maen di 18th Park, kalo pulang suka ikut nebeng, terus ngumpulnya suka sama anak Rosemary dan Full of Hate, waktu gue SMP kelas 3 itu tahun 2006. Tibatiba ditawarin sama Rosemary featuring sama dia tahun 2008 judulnya ‘Supergirl’, nah itu SMA kelas 2 ditawarin disitu. Dari Rosemary sih awalnya.. Gue juga bingung kenapa Rosemary ngajakin, karena dia belum pernah denger gua nyanyi gitu sebelumnya. Setelah itu ditawarin main bass di bandnya kakak sendiri, band Hardcore. Tapi udah nggak bertahan lama sih cuma iseng doang, sama anak skate semua. Sebelum jadi vokalis itu sebenernya jadi bassist dulu. Jaman SMP kalo ada pensi gua main bass, waktu jaman–jaman SMP bawainnya Saosin, itu pada masanya keren itu hahaha. Yaudah, singel ‘Supergirl’ keluar, terus band yang sama kakak ancur nggak tau pada kemana. Akhirnya waktu masuk kuliah masuk band lagi, sedikit ‘paramore–paramore-an’ lah. Tiba-tiba Billfold telepon, nawarin masuk untuk jadi vokalis dan kebetulan Billfold awalnya suka bawain lagu-lagunya Set Your Goals, emang kebetulan gue juga suka. Yaudah akhirnya nyobain dan keterusan sampe sekarang. Dunia musik hardcore itu kan di dominasi sama laki-laki, ada kesulitan untuk menembus kesitu? Awalnya takut, karena banyak band vokalis cewek yang nggak bertahan lama. Emang ada sedikit ketakutan juga dan belum pernah bawain lagu yang kaya gitu. Tapi jadi kayak ada sedikit plus-nya. Jadinya gampang untuk lebih maju, karena vokalisnya cewek. Jadi kamu merasa itu untungnya band dengan vokalis perempuan? Iya, dan sangat terasa. hahaha pede gitu.. Sebagai vokalis, lo ngulik teknik vokal? Ngga pernah kursus sama sekali, nggak punya basic sama sekali di bidang vokal terus tiba-tiba mereka ngajak nawarin jadi vokalis. Baru kemarin banget

[ R.I.P ] Storm Thorgerson 1944 - 2013 8 | Mei 2013 | Rock&Roll

hari kamis itu baru disuruh les vokal, kemaren baru pertama kali seumur hidup disuruh les hahaha. Singel yang baru juga akan keluar sebentar lagi sedikit lebih woles dibanding album-album sebelumnya. Lebih bernyanyi.. Ada kesulitan dalam memasukan potongan lirik dalam kemasan musik dengan distorsi tebal? Nggak ada sih, tapi lirik yang gua buat sekarang ada sisi kewanitaanya, cuma masih bisa disaring sama semua orang. Dari Billfold sendiri, mereka ada perlakuan khusus karena lo perempuan sendiri? Karena gua cewek, jadi mereka lebih menghargai sih, kalo nginep, tidur ada sedikit privasi. Apalagi cewek ribet kan kalau lagi datang bulan suka ‘rada-rada’ terus mereka yang ‘yaudahlah dia kan cewek’. Jadi kadang anak anak yang lain suka ada yang ‘Anjing nih’, “bodo gua kan cewek, emang kenapa..” hahaha Pernah dapat perlakuan kasar di panggung? Separah-parahnya seperti pelecehan seksual? Sebenernya kalo yang iseng sih sebenernya ada, kalo lagi manggung cuma nggak sampe yang pelecehan seksual. Kan megang mic nih, terus dipegang pegang kan tangannya, gua lepasin aja daripada-daripada… hahahha. Gua sadar banget sih itu salah satu bagian dari resiko. Jangan sampe yang parah banget. Kalo cuma megang tangan doang mending, kalau kayak ada yang foto terus tiba-tiba dia yang meluk gitu kan. Kaget juga kan hahahaha. Ada ritual khusus nggak sebelum tampil? Cewek memang mandinya rada lama, tapi kalo gua nggak sih. Kalo manggung ngga mandi juga gapapa. Dandan sih iya cuma nggak parah banget sih, kalo misalnya nggak dandan ya juga gapapa. Gua paling cepet daripada yang lain. Sampe dibilang ‘ini cewe paling males mandi’ diantara yang lain cowo-cowo tu rajin banget mandi kan, kalo gua yang ‘ah gausah

[

Aksi Gania ‘Billfold’ saat tampil di Indie Movement Festival, Bandung

Lirik yang gue buat sekarang ada sisi kewanitaan-nya.

[

mandi deh biarin aja’. Orang tua khawatir mempunyai anak perempuannya main di dunia yang ‘buas’? Orang tua sih sampe saat ini mendukung banget, mereka itu awalnya kaget kok tiba tiba ini anak suka lagu lagu keras, mereka taunya nggak kaya gitu dulu. Kadang di antar-jemput sama mereka kalo mau manggung malah. Briefing band suka dirumah juga, jadi kenal sama anak-anak. Awal mula perkenalan dengan musik rock dari band apa? Atau lewat album apa? Dulu jaman SMP dengerin Gun’s and Roses, Di jaman itu dibawanya sama Ayah, itu awal banget. Familiar kayak lagu ‘Welcome To The Jungle’, ‘Patience’, dll. Sempet ada pikiran sih bikin band hard rock cuma kayanya susah banget apalagi kalo di Bandung. Pendapat lo tentang lifestyle rock n’ roll yang penuh dengan intrik alkohol, drugs, hidup sesukanya ? Sebenarnya nggak ada masalah sih, kalo mau minum alkohol atau segala macem yang mungkin orang bilang itu jelek. Biarin aja, itu kan hidup lo gitu. Kalo Gania sendiri gimana? Suka lah, masa enggak? hahaha tapi nggak sering, event-event tertentu aja. Lebih ke social drinker. Kalo di Billfold, misalkan di Bali kemarin diajak minum sama temen temen di Bali, nah yang pada ngikut itu gue, Ferin sama si Bres yang lain tu diem, jadi tiga-an ini yang pasti ngikut kalo diajak minum. Kalo obatobatan gua nggak suka yang begituan. Mending yang natural aja lah dibanding ngobat-ngobat hahaha.

Seorang Desain Grafis asal Inggris yang berkarakter semi-surealis dan komikal. Thorgerson adalah orang dibalik sampul album Pink Floyd yang sangat ikonik “Dark Side of the Moon (1973), Animal, Meddle dan Atom Heart Mother.” Lebih dari 40 tahun Thorgerson bekerja mendesain/mengilustrasikan sampul Piringah Hitam dan sampul CD untuk band era psychedelic rock seperti Led Zeppelin, Genesis, Styx, Phish, dll. Terbukti dari hasil karyanya, Beliau dipengaruhi oleh Magritte, Salvador Dali dan Man Ray. Sebagian besar karyanya dihasilkan oleh foto-foto, kolase kasar, komposisi yang aneh dan mirroring. Beliau meninggal dunia akibat penyakit kanker pada tanggal 20 April 2013.


Savage

Foto oleh Dok. Zorv

ZORV

Zorv muncul ke belantika musik rock Indonesia sehari-hari mereka. Masuk tahun 2013, tepatnya pada dengan membawa bendera grunge yang mereka rasa tanggal 31 Januari, Zorv merilis debut albumnya yang pas untuk dijadikan tafsir bermusik mereka. Album berjudul “Savage” di bawah naungan label independen perdana di awal tahun 2013 sebagai pembuktian awal Wellstain Records yang bekerja sama dengan Demajors. bahwasanya keberadaan mereka patut diperhitungkan Dalam proses penggarapannya, album yang berisikan 12 Trio rocker/grunge/alternative termuda asal Surabaya lagu ini menghabiskan waktu kurang lebih 8 bulan. yang bernamakan Zorv itu dibentuk pada tahun 2011 denDalam album ini, kita bisa mendengar permainan lead gan beranggotakan Ragyl H. (bassist), Danishwara gitar ala Kurt Cobain lengkap dengan efek (vocalist/guitarist), dan Balqi (drummer). Komchorusnya, rhytm gitar dengan efek flanger dan posisi musik mereka banyak sekali dipengaruhi betotan bass yang distortif. Walaupun Zorv band-band alternative/grunge 90-an seperti Nirterhitung baru dan muda, dalam album pertama vana, Pearl Jam, dan Alice In Chains. Pada tahun ini membuktikan bahwa mereka sangat paham 2011, Zorv mengeluarkan demo yang diberi judul dengan apa yang mereka mainkan. Zorv meng“Zorv Demo 2011” di bulan November, dengan aku lebih banyak bereksplorasi dalam hal sound Keytrack: berisikan 3 lagu “Axiom”, “Lore”, dan “Violet”, Axiom, Violet, Love dan sejumlah insturmen musik lainnya hingga demo ini dapat diunduh secara gratis. Sebagai ujung batas kemampuannya. Aksi panggung yang Influences: pendeskripsian perjalanan singkat mereka dari Nirvana, Pearl Jam pro-vokatif dan jam terbang yang tinggi, mem tahun 2011 hingga awal 2012, Zorv merilis single buat sebuah perusahaan clothing terkenal asal Contact: yang berjudul “Handcuffs”, sebuah track dengan Bandung RSCH (Ouval Research) tertarik untuk +6285748475828 representasi dari aksi panggung maupun kegiatan www.reverbnation.com/zorv meng-endorse mereka. Ganis Ilman

TEENAGE TIME KILLER

MARILYN MANSON

Frontman dari Lamb of God, Rhandy Blythe berkolaborasi dengan para anggota band Corrosion of Conformity (Reed Mullin dan Mike Dean) untuk sebuah proyek yang disebut Teenage Time Killer.

Sebuah desas desus yang beredar belakangan ini penyanyi pop Avril Lavigne berkencan dengan dengan seorang Marylin Manson, akan tetapi Manson menepis rumor tersebut bahwa dia tidak berkencan dengan Avril. Di sisi lain Avril Lavigne mengungkapkan dalam sebuah wawancara dia mengatakan , bahwa dia akan berkolaborasi dengan Marylin Manson untuk album barunya kelak. Rock&Roll | Mei 2013 | 9


H H AA UU LL

yang dirilis oleh label mereka sendiri Utarat Records yang Lupakan sejenak nada nada harmonis yang menyayat bekerjasama dengan Quickening Records. Untuk rilisan dalam hati atau raungan distorsi yang bersahabat di kuping, karena bentuk kaset diproduksi oleh Hand To Heaven Records Haul memberikan sederet lagu dengan kultur hardcore punk (Malaysia). Digarap dengan menghabiskan waktu lebih dari 6 tanpa mengindahkan kaidah baku yang selama ini menjebak bulan dan mereka berharap album tersebut menjadi paradigma awam dalam memproduksi sebuah seni kultur tanding bagi sistem produksi album heavy musik. Dibentuk oleh Kenny Reyhansyah, Awfi Mumetal pada umumnya. Mungkin Haul adalah contoh hammad, Dendry Mugni T., Lucky Satria, dan Sandro dari beberapa musisi yang sukses dari segi musikal/ D. Armanda di kota Bandung pada awal tahun 2011. standout bukan dari band pertamanya. Berisikan Mereka memainkan musik bernuansa gelap, kasar, orang-orang dari pecahan band D.I.E.G.O (Bandung suram dan agresif yang banyak dipengaruhi oleh crossover-hardcore/southern rock) dan Plasmoptysis Black Sabbath, Darkthrone, Entombed, serta Disfear. Keytrack: (Bandung brutal-death/slamming death-metal). Di beberapa lagu terdengar influens sludge metal Abadian, Dalam Pada akhir 2012 Drummer mereka Lucky Satria keluar maupun stoner metal. Vokalis dari Komunal, Doddy Mentua, Legiun Api dan digantikan oleh Dawan Saputra. Dalam 7 track Hamson menyumbang vokal di lagu “Legiun Api”. SeInfluences: debut album Rima Penghitam Cakrawala, mereka belum merilis album pertama, mereka mengeluarkan Entombed, Disfear, berharap akan terdengar seburuk mungkin yang tak demo Rima Penghitam Cakrawala dan singel berjudul Darktrhone, pernah dibayangkan sebelumnya sehingga dapat “Malam” via Soundcloud.com. Setelah 2 tahun berjaBlack Sabbath memekakan telinga kalian. lan, Agustus 2012 kemarin Haul merilis sebuah debut Contact: Lody Andrian album mereka berjudul Rima Penghitam Cakrawala +6287822418774

www.reverbnation.com/haul

10 | Mei 2013 | Rock&Roll

Foto oleh Dok. Haul

Rima Penghitam Cakrawala


Tattoo

Aca Straight Answer Mungkin sebagian dari kita tidak mempunyai tatto di tubuhnya atau mungkin sebagian dari kita ada yang mempunyai tatto saat dia tidak sadar diri alias BM. Tetapi untuk Aca, vokalis band hardcore dari Jakarta, Straight Answer, setiap tatto mempunyai arti dan cerita sendiri. Selain seorang pria bertatto dia juga mempunyai studio tatto di bilangan Kemang, Jakarta Selatan; Lawless Tattoo. Dalam rubrik ini Aca akan bercerita mulai dari tatto ibunya, tatto pertama, sampai tattoo Morrisey.

Liberate Waktu itu gua mau bikin tattoo pertama, dasar pertimbanganya supaya gua nggak nyesel ‘Apa ya kira-kira gitu.’ Jadi gua pikir gua harus buat tattoo yang kira-kira mewakili diri sendiri aja menurut gue. Ketika gua punya tatto artinya gua memulai hidup baru, ceritanya bahwa sekarang hidup gua bakal beda. Jadi ya udah tema kebebasan itu yang menjadi dasarnya untuk tatto pertama. Liberate itu kan logo-nya Profane Existance, kebetulan gua suka majalahnya dan gua suka punk rock. Kalo sayap segala macem gua anggap mewakili apa arti dari Liberate itu sendiri aja. Kalo xxx itu ya straight edge.

Misfits Skull

Gua suka banget The Misfits. Ini pun gua buat tatto logo band pertama kali yang gua punya. Gua mikir waktu itu apa ya yang tematik, antara Ramones atau Misfits. tapi ternyata Misfits dulu deh, Ramones gua takut salah karena logo Ramones yang elang itu kan garisnya lumayan presisi. Jadi gua buat aja The Misfits.

“ Ketika gua punya tattoo artinya gua memulai hidup baru ”

Mother Jadi nyokap gua udah meninggal, gua pengen inget dia dengan cara gua. Dan tatto ini adalah tatto pertama gua diluar. Karena pertimbangan gua satu; gua pengen inget nyokap gue, kedua; gua juga udah tattooan di dalem, gua juga males kaya orang yang keluar dari rumah berangkat ketutupan tapi sampe luar ganti baju atau gimana. Gua mikir yaudahlah, tanggung. Ini gua pilih karena buat gua sangat spesial, gua juga harus bikin sesuatu yang pertama kali nggak main-main buat gua. Nggak mau nyesel lah gue, intinya itu.

Mikrofon Gua suka nyanyi dari kecil, walaupun suara gua pas-pas an cenderung jelek. Tapi, gara-gara mikrofon ini gua dapet banyak cerita dan gua dapet banyak temen. Karena gua nge-band sama Straight Answer udah 17 tahun sekarang, ya hampir setengah hidup gue itu dari band. Gua banyak dapet temen dan banyak cerita, dan itu nggak bakal kebayar sampe kapan pun kalo menurut gua berapa pun nilai duit lo, itu wah itu jauh banget man. Gambar mikrofon yang gua pilih pun mikrofon biasa, bukan kaya mikrofon Elvis yang keren gitu. Karena gua nyanyi pake mikrofon ginian. Jadi gara-gara mikrofon gua dapet banyak hal.

Morrisey

Teks dan Foto oleh Lody Andrian

The Orange Gue suka banget The Stone Roses. Kedua; gua ngerasa “anjing ni kalo orangnya dateng ke Jakarta gua harus tunjukin sama dia ni, kalo gua emang bener – bener ‘gila’ sama mereka.” Gua beruntung bisa ketemu mereka sebelum acara, gua tunjukin ini ke mereka ‘lo gila, men blablabla.’ Lalu gua cerita, seminggu dari sekarang gua akan nikah, karena dia main seminggu sebelum gua nikah. Gua bilang sama mereka bahwa lagu yang gua pasang mengiringi ke pelaminan adalah lagu kalian ‘Ten Storey Love Song’. Terus mereka merasa terhormat gua pun juga merasa terhormat. Akhirnya gua bisa ketemu dan kita ngobrol, akhirnya jadi personal obrolan gua sama mereka. Pas konser, gua paling depan. Ian Brown gua tunjukin tattoo gua segala macem dan Ian Brown khusus nunjuk ke gue, ngasih tamborin ke gua. Dan pas dilempar jatoh kan diambil sama security ceritanya, gua marah kan.. Ian brown nengok disuruh balikin ke gue. Tattoo nggak main main, lo udah mendedikasikan hidup lo buat dia soalnya, lo ngasih bagian dari hidup lo.

Sebenernya waktu gua buat ini karena pada saat itu gua pikir nggak akan pernah nonton Morrisey. Gimana ya caranya biar gua ngerasa deket, dalam artian ‘anjing gua udah patah semangat gua gabakal bisa nonton dia..’ jadi gua tattoo ini. Pas tattoo ini jadi, ada beberapa orang ngomong “Men, lo harusnya tetep percaya sama mimpi lo, nggak boleh nyerah. Kalo lo percaya, lo bisa aja tiba tiba, lo gatau lagi, men” Yang bilang ke gue itu orang inggris udah 60 tahun dan itu orang ngomong tahun 2005. Nah cuma ada 5 band dalam hidup gua yang bisa bikin gua kalo dengerin lagunya kaya “anjing, keren banget” gitu. Pertama, cinta pertama gua waktu SD itu The Beatles, SMP gua dengerin Sex Pistols, terus Morrisey dan Stone Roses. Jadi ketika gua milih Morrisey ada alesan yang gabisa gua omongin juga, gua dengerin lagunya bisa tiba-tiba nangis sendiri.. ‘Asli, gua gatau kok gua nangis ya.’ Ketika gua denger Morrisey mau dateng aja gua nangis seharian, bayangin.. Di motor gua nangis, udah kaya orang bingung gue. Orang-orang bingung nanya tiketnya berapa, gua cuma nanya kapan bisa gua beli tiketnya dan dimana. Gua udah gak perduli udah. Hidup penasaran itu lebih gaenak dari mati penasaran, men.

Rock&Roll | Mei 2013 | 11


Teks: Lody Andrian | Foto: Ryan AR

DANIEL MARDHANY DEADSQUAD Tidak mudah untuk memilih satu album yang menggambarkan momenmomen tertentu. Vokalis Deadsquad dan Abolish Conception yang juga pemburu vynil ini telah mengisi ëtitik-titik di bawah ini.í Mulai dari album pertama yang di belinya hingga album yang akan diputar di hari pemakamannya.

1

JIKA SEORANG ANAK KECIL BERTANYA APA ITU METAL. GUA KASIH ALBUM... Black Sabbath BLACK SABBATH

2

3

4

5

6

7

[Vertigo, 1970]

Riff pertama dari lagu pertama di album ini yang juga berjudul “Black Sabbath” sudah mendefinisakan metal itu seperti apa… heavy ,murung , suram dan gelap .

2

TAK SATU PUN ORANG PERCAYA GUA MEMPUNYAI ALBUM... Gua bingung nih karena gua nggak pernah membatasi selera musik gua..dari Carpenters sampe Madonna sampe intrumental jepang gua ada vinyl-nya hahaha. Dan orang-orang yang kenal sama gua pasti tau akan hal itu.

3

ALBUM PERTAMA YANG GUA BELI ADALAH... FRESH! COMPILATION ALBUM [Fresh, 1998]

Lupa kaset apa yang pertama gua beli.. Tapi gua inget pas kelas 3/4 SD kaset yang paling intens gua puter itu kaset kompilasi dengan sampul bergambar jeruk dengan judul “Fresh!” isinya band alternative. Isinya ada Oasis, Blur, Catatonia, Radiohead. Sejak denger kaset itu, gue jadi punya interest lebih sama musik.

4

ARTWORK FAVORIT GUA ADALAH ALBUM... Misery Index TRAITORS [Relapse, 2008]

Artwork albumnya sudah meliputi keseluruhan tema 12 | Mei 2013 | Rock&Roll

7

1

DEADLY TRACKS

lirik mereka. Jadi tanpa baca liriknya cukup dengan lihat cover-nya sudah ketahuan cakupan tema di album itu.

QUENTIN TARANTINO Sutradara, Penulis Skenario

Di setiap film hasil garapan sutradara ikonik asal Amerika ini memiliki soundtrack yang tidak biasa, begitu juga dengan filmnya. Berikut 7 soundtrack yang menemani hidupnya...

Bob Dylan Tangled Up In Blue Freda Payne Band of Gold Elvis Presley The Sun Sessions Phil Ochs

I Ain’t Marching Anymore

Phil Ochs The Highwayman Bernard Hermann Sisters Jerry Goldsmith Under Fire

5

ALBUM YANG GUA HARAP GUA YANG MEMBUAT ADALAH ALBUMNYA... Dissection THE SOMBERLAIN [No Fashion Records, 1993]

Seandainya gua bisa maen gitar, gua pengen banget bisa bikin album seperti ini dingin, suram, misterius, gelap, melankolis. Jon Nodtveidt seorang luciferian jenius yang menjadikan musik sebagai wadah spirtiual. beliau juga memilih jalan mengakhiri hidup yang benar dengan bunuh diri.

6 ALBUM YANG GUA INGIN

PUTAR DI PEMAKAMAN GUA ADALAH ALBUM... Sore CENTRALISMO [Aksara Records, 2005]

Anjis.. Bagi gua ini album yg indah banget dan gua memandang kematian sebagai sesuatu yang indah. Karena lo nggak perlu lagi berjuang untuk bertahan hidup.. Lo bebas dari nafsu dan ambisi-ambisi duniawi dan kembali ketitik nol. Lagu-lagu seperti “Mata Berdebu,” “Etalase,” “Keangkuhanku,” “Aku,” “Cermin” kayaknya syahdu nan haru

[

Shock gua dulu baca lirik Addy Gembel yang sarkasme dan gamblang

[

kalo diputar dipemakaman. Seperti penggalan lirik etalase: “dan kita coba kenagi semua walau telah tiada bagai etalase jendela…”

7 ALBUM LOKAL YANG MEM-

BUAT GUA TERMOTIVASI UNTUK MENULIS LIRIK BAHASA INDONESIA ADALAH.. Forgotten OBSESI MATI [Extreme Soul Production, 2000]

Shock gua dulu baca lirik Addy Gembel yang sarkasme dan gamblang. Dan dari situ gua merasa nulis lirik pake bahasa Indonesia itu jauh lebih menantang dan berbobot.

Deadsquad belum lama ini telah merilis re-issue album ëHorror Visioní dalam format vinyl 7î secara terbatas. Di produksi sebanyak 200 kopi dan 100 keping untuk pic disc (vinyl bergambar) via Armstrech Records.


tubuh/area mainstream ini mereka tidak memproduksi CD lagi, karena mereka sibuk dengan single sama dengan RBT (Ring Back Tone) artinya tidak ada album. Tidak ada album tidak ada produk, tidak ada produk tidak ada penjualan di toko, tokonya ga dapet untung, tokonya tutup. Itu rantainya. Mana ada bisnis mau rugi? Mana ada bisnis mau tutup? Tapi karena kurangnya menu dan kurangnya konten dan kurangnya produk di toko, tidak ada gairah orang untuk ke toko CD lagi. Jadi dalam stereotip atau pemikiran tadi CD akan mati, menurut saya tidak. Kita harus bagi dulu volumenya atau areanya di sisi mainstream atau non-mainstream.. Kami hari ini masih memproduksi CD dan secara penjualan terus berjalan. Untuk gambaran saja Endah n’ Ressa album pertama hampir 30 ribu kopi, sudah sampai di area 25 ribu keatas. Lalu dibawah- bawahnya ada banyak nama seperti White Shoes, Efek Rumah Kaca, Pure Saturday, Anda, Bonita, banyak lah masih berjalan sampai hari ini. Kita direct selling itu gak pernah gak berjalan, buka booth di festival-festival itu cukup bagus, baik dari Rockin Land dari kemarin JGTC itu bagus sekali, animo dan pembelinya atau daya belinya masih oke, masih antusias. Kita juga lihat dalam penjualan website kita www.demajors.com. Semenjak kami merilis secara resmi Maret 2012 sampai dengan hari ini, tidak pernah setiap tanggal ada yang terlewat untuk pembelian. Dan setiap kota atau setiap orang itu lebih luas aksesnya, jadi kota-kota kecil yang belum terjangkau sama kita dan secara daya beli juga mereka tidak hanya beli satu, tapi mereka bisa beli 3 sampai 5 CD. Lalu 2 bulan kemarin kita meresmikan PayPal kita untuk pembayaran internasional. Karena kan credit card kan susah sekali. Alhasil Singapura dan Malaysia itu mulai belanja sama kita.

Q&A

DAVID KARTO

Sosok pria ramah yang terlihat pendiam tapi ternyata berapi-api bila berbicara tentang industri permusikan. Dia adalah David Karto, orang dibalik kesuksesan label Demajors yang di mana akan mengejar misi-nya mejadi perpustakaan musik Indonesia di area non-mainstream. Apa yang membuat Anda yakin untuk pertama kali terjun ke industri ini? Karena gue dari kecil udah suka musik, itu udah passion. Gua tanya lo kenapa bikin majalah? Lo pasti suka nulis dan suka baca kan? Hahaha orang bikin restoran, pasti suka masak atau suka makan kan? hahaha.. Akan sedih banget kalau saat ada orang bekerja tidak sesuai dengan karakter dan bidangnya atau kesenanganya, itu gue banyak banget ketemu orang seperti itu. Aduh kerjanya ngeluh mulu. Ceritanya nggak ada yang bagus. Ceritanya nggak ada yang fun! Ceritanya kaya lagi di romusha jaman Jepang gitu. Dalam industri musik khususnya nonmainstream, apa faktor yang menarik selain musiknya itu sendiri? Mau di mainstream atau non-mainstream, setiap pergerakan seni itu pasti mempunyai nilai art dan sensasional yang berbeda. Dari misalkan diskusinya, pemikirannya, kita berbicara stylenya; yang gimbal, yang tattoan, yang sandal jepitan yang tidak lazim di dunia umum. Kalo umum itu kan udah standard banget kan yang rapih.. Ya pokoknya disini nggak standard kehidupan, tapi ya sensasionalnya itu. Ya buat gue seneng aja gitu, nggak monoton. Ke komunitas yang ini ketemu pemikiran yang seperti gini ke komunitas yang itu ketemu style yang kaya gitu. Dinamis

banget. Membuat gua pribadi kaya apa ya.. hidup gitu lho. Karena otak gua dan perasaan gua selalu dapet hal - hal yang fresh, inovatif, yang inspiratif, pokoknya seneng aja. Tapi gua bilang yang namanya hidup itu kan pasti ada naik dan turunnya tapi ya karena mainnya ada di koridor yang gua senengin, alhamdulilah ya ketutup semuanya, gak bagus gak bagusnya gitu lho kan pasti ada ajalah punya masalah ini masalah itu, tapi ya ketutup lah. Pendapat Anda tentang isu fisik vs digital? Kita harus berfikir standard dulu, bahwa kita adalah negara yang sebetulnya masih tertinggal. Tertinggal bukan berarti kita bodoh, tapi secara perkembangan kita masih tidak bisa membicarakan bahwa kita lebih hebat dari Amerika dan Eropa, walaupun sebenarnya SDM dan kemampuan kita ada. Cuma memang belum dibuka. Jadi kita ga bisa berfikir dari seluruh global menanggapi pertanyaan ini bahwa fisik akan mati, karena negara kita masih ada di ranah itu. Ada 2 area yang harus kita lihat di music industry, ada mainstream area dan non-mainstream area. Yang tidak berjalan itu adalah di daerah mainstream. Makanya timbul stigma bahwa CD mati ditambah lagi dengan paradigma toko CD pada tutup. Tapi sebenarnya pemikirannya bukan itu, pemikiran dasarnya adalah di dalam

Artinya kita harus memanfaatkan digital untuk menjual fisik. Betul, itu salah satu ranah yang sebetulnya kalau di luar negeri portal-portal atau website yang online sudah banyak sekali. Dan kita kan baru memulai nih e-commercenya kita nih.. tapi ya sudahlah, TokoBagus juga kalian bisa lihat kan baru berjalan, yang paling tua mungkin Kaskus secara online trading. Banyaklah website atau social media yang mulai bergerak ke arah sana. Dan menurut saya, balik lagi ke perdiskusian fisik mati atau nggak, menurut saya sih nggak ya. Belum ya.. Masih 5 tahun lagi atau 3 tahun lagi masih bisa bertahan, bahwa bener-bener nanti kita akan melihat seperti jamannya kita lihat seperti kaset sudah tidak diproduksi lagi. Tapi itu kisarannya 5 – 10 tahun lagi. Sekarang gini, jawab pertanyaan saya, kalau kita putuskan sekarang CD mati, apakah infrastruktur online kita atau secara digital sudah sanggup? Belum! Lah kalau kita bilang CD mati terus itu belum masuk terus kita ada dimana? Ada di jurang dong? Bunuh diri dong?! Tapi kan ada pemikiran - pemikiran yang kurang tepat lah berbicara tentang hal itu. Saya kasih tau ya Desember 2012 Bjork merilis album terbarunya dia, lalu di dalam desain promonya dia, dalam desain flyer promonya dia ada 3 tanda yang di tempel sama dia, gambar CD, gambar piringan hitam dan gambar iTunes. Seorang Bjork. Tidak pernah bilang bahwa CD akan mati, dia akan bikin fisiknya, malah dua yang dibikin sama dia; CD dan vinyl. Tapi tidak pernah dibikin statement sama dia bahwa fisik mati. Dan kalupun fisik tidak menjadi sesuatu konsumsi yang komersil pasti tetap ada orang yang kolektorkolektor, itu pasti. Memang tidak berbanding nilai komersil dan kolektor, orang idealis dengan sisi komersil tidak akan ketemu nilainya pasti lebih banyak yang komersil. Tapi at least kalau produknya bagus dan idealisnya tinggi.. Hidup lah. Kalau kita


Proyeksi kedepannya, mungkin record label akan menjadi digital. Demajors akan menyesuaikan? Kita tetap akan menyesuaikan karena kita harus bersosialisasi. Ya tapi kita akan tetap menjaga secara statement kita yang harus dibuat fisik ya kita produksi fisik. Setiap musik itu punya die hard fans, tapi kita tidak bicara lagi 70.000 kopi atau 60.000 kopi tapi buat kita ada 1000 – 2000 kopi kita sebarkan.. who knows? Gitu kan.. Tapi selama saya pikir karakter bandnya itu masih bisa dilakukan untuk sebuah fisik? Ya why not? Digital ya digital jalan aja gapapa.. Ada strategi khusus untuk menjual CD di era digital seperti sekarang? Fisiknya desainnya lebih bagus, ditambah dengan t-shirtnya atau dengan packaging - packaging lain yang menjadi sebuah konsep merchandise. Ya kalau dipikir-pikir CD itu memang merchandise, masuk kategori di dalam rumah merchandise. Yang memang kalau ada seorang die hard fans dia beli untuk dikasih ke sahabatnya yang tahu bahwa sahabatnya seneng banget sama band ini, ulang tahunya kek, lagi sakit kek, atau melahirkan anaknya kek, atau apa kek.. Itu kan menjadi sebuah gimmick yang lain.. Jadi gak perlu berfikir atau takut akan stigma fisik akan mati. Pendapat Anda dengan fenomena CD di bundling dengan Ayam? Gua sering ditanya oleh orang orang mengenai hal itu, gua berbicara tidak membenarkan atau menyalahkan ya. Menurut gua ya sah - sah aja. Itu kan strategi marketing.. Kalo lu punya strategi marketing silahkan aja. Lo mau bundling dengan celana dalem, lo mau bundling dengan kondom, lu mau bundling dengan tissue ya monggo-monggo aja. Menurut gua ini adalah suatu konsep marketing strategy. Tinggal balik lagi ke artistnya. Sama sebetulnya kalo mungkin gue juga ngga terlalu paham dengan marketing strategy secara detil karena suka berubah - ubah secara detilnya.. Cuma yang saya diskusikan adalah kasian sekali teman-teman yang di bundling itu. Pada suatu saat gue pernah denger cerita dari salah satu produknya gua gamau sebut nama, itu gini “Mas CD saya laporannya penjualannya 10 ribu, tapi kok cuma 10 orang yang nonton.” Perbandingannya gitu, karena dia kan marketing strategy ini. Lu beli belanja ayam segini ini dapet CD. Orang dikasih CD itu belum tentu suka. Gua pernah menemukan temen gua, didalem mobilnya ada CD produk itu,tapi belum dibuka sama sekali. Karena free. Jadi ada sisi yang dimatikan ada sisi yang diuntungkan. Lagi lagi, makanya itu yang kasian kan misalkan laporan CD nya 10.000, bagus secara uang secara selling, tapi pada saat dia show, secara awareness, secara marketnya atau apanya gak ke develop. Karena nge-gainnya kan kebalik,

nge-developnya kebalik. Biasanya orang kalo develop kan dari bawah dulu, baru dapet penghasilanya. Dia promo dulu keliling majalah keliling radio supaya didengar supaya diputar gitu kan, orang mulai baca, ooh gua suka, baru di beli. Ini dibalik. Makanya jadi hal itu, karena gua pikir kasian juga kayak kopong gitu. Ya maksud gue hal- hal itu membuat industrinya jadi salah kaprah. Cuma gua gak bilang benar atau salah tapi ya sah sah saja, itu sebuah produk atau perusahaan itu punya strategi marketing ya monggo, cuma memang harus gua akui outlet dia dibanding toko CD sangat banyak, sampai Papua. Nusantara dia udah. Pertanyaan terakhir, kendala yang paling berat dalam menjalankan bisnis ini apa? Sudah jelas pada artisnya sakit atau bubar, iyalah pada saat artisnya sakit atau bubar lo mau jual apa? Kalo bubar CD-nya kan udah ga ada awarenessnya lagi, bandnya tuh bubar, gak ada show, gak ada apa. Kalo lo band keren, band senior artinya band legend ya barang lo masih dicari gitu; God Bless bubar tetep dicari, Crishye meninggal masih tetep dicari. Tapi kita ini bicara produk baru, baru rilis tiga bulan mereka bubar. Macet dong bisnisnya? Udah nyetak CD gak kejual, itu kendala yang paling dasar dalam bisnis ini. Kalo artisnya sakit? Gabisa konser, otomatis promosi macet, manajemen ga ada pemasukan, stop kan? Kendala-kendala lain ya sebetulnya kaya dukungan atau support dari temen-temen media yang ada di Indonesia ini, belum terlalu berjalan. Gua ga bilang gak mensupport tapi maksudnya belum merata. Maksud gue sekarang kita bayangkan deh, radio di Jakarta puter musik lo bisa dengerin deh, mana ada puter materi musik non-mainstream.. apa salahnya sih puter musik kaya White Shoes gitu, itu kan pop banget. Terus misalkan bicara musik-musik kayak Anda gitu, aduh apa susahnya sih musiknya sebagai Indonesian Populer? Bonita gitu, apa susahnya?

ì

Kalau memang kita punya KONTEN dan MATERI bagus saya pikir bagaimana kapanpun ORANG AKAN tetap BELI

ì

berbicara soal kehidupan sih lain pikiran, hidup kita nggak diatur dari penjualan CD. Hidup kita udah ada yang ngatur gitu kan, tinggal niat kita, pola pikir kita dan kinerja kita bagaimana. Kalau barang bagus mah saya pikir akan tetap berjalan ya.. konten bagus akan tetap hidup. Hal yang paling gampang kita lihat sebuah produk yang bernama Aqua, mineral water.. Sampai hari ini kita selalu ngomong “ Bu/Pak beli Aqua ” walaupun lu dikasih Ades, lu dikasih 2tang, apapun tetep diminum. Tapi branding yang keluar itu ya Aqua! Jadi ya balik lagi gimana kita jadi Aqua - Aqua itu. Kalau memang kita punya konten dan materi bagus saya pikir bagaimana kapan pun orang akan tetap beli. Gua aja sampai sekarang masih ngoleksi piringan hitam.

Okelah kita nggak minta tolong buat yang muter Burgerkill gitu, tapi bisa juga sebenernya seminggu sekali lo bikin segmentasi misalnya hari sabtu jam 11 malam puter musik-musik yang seperti itu. Ya gua juga bicara kaya gini bukan menyalahkan siapa pun, gua hanya berbicara bahwa dukungan untuk support promo musik-musik seperti ini, kurang. Majalah atau media cetak juga sedikit yang menulis, lo udah tau lah yang nulis bisa dihitung pake jari. Masalahnya musik itu harus didengar, kalo orang baca itu sebagai influens, dengan tulisan yang menarik, dengan foto yang menarik akan membuat orang semakin greget untuk mencari, tapi kan tetap harus didenger. Itu semua berhubun-

gan; audio visual, kontak mata, kontak kuping, ya kan akhirnya menjadi sebuah rasa yang ‘anjing musiknya bagus banget, men.’ Entah dia download dulu gapapa tapi setelah itu dia akan mendalami lebih dalam dan membeli CD. Dan menurut gua, gua berharap sekali dengan digital ini datang nantinya. Dan kami pun (Demajors) udah menyiapkan website kita yang digital, kami akan menjual lagu per-track untuk beli per album 1000 rupiah untuk download seluruh album, digital ya, mp3. Jadi misalkan di albumnya ada 7 lagu atau 8 lagu, 1000 x 8 jadi 8000 rupiah. Tapi kalo lo belinya ritel, 2000 per lagu; misalkan dari album A, 1 lagu dari album B, 1 lagu, jadi 2.000 rupiah x 3. Kalo iTunes kan sekrang sekitar 5.000 – 7000 rupiah, kalo diluar 0,99$, tapi ini sih pemikiran kita yang paling terakhir lah. Artinya kalo gua berfikir menjual Rp5000 / Rp7000 feeling gue kayanya gak bakal jalan.. Lo bayangin nggak waktu Steve Jobs berpikir disana, dia bikin iTunes itu, kenapa diciptakan 0,99 sen? Anggap 1$ lah ya.. Tapi lo jangan pikir 1$ itu Rp9.000 atau Rp7.000. 1$ berarti disana adalah anggap aja seribu perak! Dia mau memudahkan orang di Amerika di Eropa dan dunia untuk membeli ke iTunes itu merasa bukan belanja. Main. Sekarang kita berbicara untuk Indonesia, lo taro harga Rp5.000 hanya orang tertentu yang mampu di level A+ yang bisa belanja harga satu lagu 5.000. Lo beli 10 lagu aja 1 hari udah 50.000 ribu. Sekarang gua tanya 50.000 ribu untuk masyarakat di Indonesia level B, C, D? Men, lo liat yang di halte Busway itu emang pada rapih-rapih, baju bagus-bagus karena harus kerja di kantor kan? Makan mah tetep minggir, uang di kantong dia cuma tinggal naik busway sekali, naik ojek sekali, sama buat beli teh botol. Gua nggak bilang kalo ni orang gembel nggak punya uang, tapi pengeluaran mereka emang udah di press, udah diatur seperti itu. Nah gua bikin 1000 rupiah ini gua pengen orang tuh fun aja. Kencing aja di pom bensin udah 1000. Lo parkir aja sekarang udah 2000 - 3000. Berarti gua taro di level ini sebagai hal yang fun aja. Yang kita berpikir gini; masuk fasenya digital itu adalah untuk fase adik- adik kita berumur 14, 15, 16 - 17 tahun yang mereka tidak masuk fase-nya CD, apalagi piringan hitam. Mereka sekarang nggak tau CD. Anak umur 11, 12, 13 ini gatau CD. Mereka Path, Soundcloud, Youtube segala macem. Ya karena generasi mereka ngeliat bokapnya udah main laptop, buka Path jadinya yang mereka tau itu. Kita siapkan ini untuk mereka belanja. Fun. “Wah ada The Upstairs 1000 perak.” Beli. Dengerin terus kan dia kan.. makin suka kan.. gua berharap dia naik sampe nyari CD-nya, mulai beli T-Shirtnya, mulai ngikut Twitternya, mulai dateng ke konsernya. Seharusnya jejaring ini bagus untuk menyebar itu. Karena lifestyle kan generasinya. Tapi gua rasa orang yang berumur 35-40 agak sulit berbicara dengan iTunes karena mungkin ada teknologi yang nggak mereka ikutin, sampe cuma di email. Ya sebetulnya itu untuk menyiasati aja, gua juga udah nggak berfikir lagi jualan darimana, jualan udah dari seluruhnya aja. Mau dari fisiknya jalan, mau dari websitenya jalan, event jalan, seimbang semua nanti, equal nanti semua. Harafiahnya digital akan kita bawa kearah sana, untuk menjembatani adik-adik ini, gitu lho. Dan sampe hari ini kita juga masih membangun Demajors-radio.com sudah berjalan 3 tahun sebagai sarana promosi kita. Terus kita juga sebentar lagi akan menginformasikan tengah tahun biar aman Demajors.tv jadi kita sedang membuat platform platform itu untuk mensupport si produk-produk kita. Semakin banyak medianya makin banyak aksesnya.


Budaya Konsumsi Anak

MUDA METROPOLITAN Menjadi remaja intelek yang tumbuh di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung hingga Surabaya sulit untuk tidak terpengaruh ke dalam hal-hal yang berbau hedonisme.

S

aya mampu menyaksikan sendiri di kota ini, mereka yang berada di kelas atas semakin menegaskan identitas mereka dengan hanya menjalani pola konsumsi hedonis. Sehingga ini menimbulkan bibit-bibit yang gila akan gaya hidup. Oleh karena itu, pola konsumsi ini akan tetap menjadi penegasan identitas terhadap suatu kelas. Mereka dianggap tidak menjadi bagian kelas menengah ke atas bila tidak memiliki gadget yang mahal atau bahkan mereka belum sah menjadi bagian kelas tersebut jika tidak menonton konser band atau musisi top asal luar negeri. Tak jarang kita menemukan remaja yang notabene masih berstatus pelajar merengek kepada orang tua-nya untuk dibelikan Blackberry atau iPhone supaya bisa bergaul dan diakui di lingkungannya. Perilaku tersebut menjadi suatu acuan yakni fetish properties bagi para social climber untuk mendapatkan suatu pengakuan dan yang akhirnya mereka bakal diterima di lingkungan mereka. Budaya inilah yang menyebabkan kaum kelas menengah keatas memiliki kekayaan yang bersifat oligarkis. Sebagai salah satu contoh ialah pengguna Instagram (a free photo sharing melalui jejaring sosial yang dimiliki oleh platform Apple) merasa sangat geram ketika mengetahui bahwa aplikasi kesayangan mereka dijual ke platform Android. Ini disebabkan karena mereka tak ingin kehilangan eksklusifitas dari aplikasi itu. Perilaku seperti inilah yang akan mempengaruhi budaya konsumsi kelas manapun, tetapi juga terhadap identitas individu maupun kelompok. Jika ditarik garis kesimpulan, sebuah produk budaya ataupun konsumsi yang dimiliki oleh kelas menengah keatas akan menjadi hilang nilai eksklusifitasnya jika kelas menengah ke bawah telah berhasil mengkonsumsinya juga. Sehingga hal inilah yang membuat nilai suatu barang menjadi turun. Yang ingin saya fokuskan pada tulisan ini adalah kehidupan anak muda kota metropolitan pada zaman ini. Kita sudah memasuki tahun milenium dan melewatinya selama kurang lebih 12 tahun. Zaman dimana era globalisasi semakin memuncak sehingga setiap orang tidak bisa lepas dari teknologi-teknologi mutakhir. Konon, budaya barat merupakan pakem dari cara anak muda berpakaian dan memilih gaya hidup. Mereka dengan leluasa dapat mencari tahu hal-hal tersebut melalui internet, majalah, dan media-media lainnya. Banyak anak muda dari kota besar seperti Jakarta merasa bangga dengan menjadi bagian dari pelaku komoditas produk negara barat. Dalam bukunya yang berjudul Cultural Sudies A Practical Introduction, Michael Ryan berargumen bahwasanya pakaian dapat menempatkan seseorang dalam bentuk yang simbolik

dan funsional. Maksud dari simbolik ini adalah memberikan visual image terhadap seseorang atas kualitas inner being yang dimilikinya. Selain itu, gejala ini disebabkan karena seseorang yang memiliki hasrat untuk menjadi bagian dari suatu kelompok yang mengkonsumi produk yang sama atau bahkan orang tersebut merasa cocok dengan budaya yang ia pilih atau adaptasi. Fashion merupakan bentuk kompleks atas nilai self-identity, social influence, budaya ideal, dan commercial industry. �Our shopping tastes will be shaped by the particular social world in which we grow up and live. Our tastes will correspond to our class location, and our ability to buy certain kind of clothing� (Ryan 2010 : hal.96). Cara berpakaian juga merupakan bentuk representasi atas suatu budaya yang mana akan membentuk konsep identitas bagi penganutnya. Sebagai salah satu contoh anak muda yang mengkonsumsi produk-produk dari Mango, Zara atau Lacoste hingga merk-merk branded lainnya secara tidak sadar, perilaku ini mencerminkan atas power yang dimiliki oleh anak muda tersebut dan status, bahwasanya mereka berasal dari golongan atas. Mereka hanya ingin menunjukkan prestige semata melalui kemampuan yang mereka miliki untuk mengkonsumsi produk-produk tersebut. Bentuk-bentuk seperti inilah yang mendukung pergerakan oleh pelaku industri negara barat untuk memasukan ideologi-idelogi mereka ke dalam budaya kita. Invasi yang berkedok atas nama fashion inilah yang tidak terlalu banyak di sadari oleh kaum anak muda metropolitan. Fenomena inilah yang akan mengikis budaya dan kreativitas lokal yang kita miliki. Produk-produk lokal tidak akan laku di pasaran karena kecilnya nilai pada angka permintaan. Gejala tersebut berasal dari anak muda kelas atas yang terus mengkonsumsi barang-barang dari luar karena mereka merasa nyaman ketika mereka menjadi pusat perhatian oleh orang lain atas benda-benda yang mereka gunakan. Setiap produk yang dihasilkan pasti akan memiliki nilainilai budaya dari tempat produk itu dibuat. Penjajahan dalam bentuk invasi masuknya produk-produk luar ke dalam negeri kita inilah yang harus kita lawan. Untuk itu, sebaiknya anak muda kota metropolitan mulai meningkatkan kesadaran mereka atas pentingnya mempertahankan budaya asli dari jajahan budaya-budaya luar. Memajukan produk-produk lokal dan bangga menggunakannya merupakan bentuk suatu pergerakan yang sangat relevan untuk mempertahankan budaya kita.

OLEH: GANIS ILMAN


ROCKETQUEEN

Intan Ayu

Sosok Intan Ayu memang tak lagi kita jumpai di televisi atau film. Tapi sosoknya masih bisa kita jumpai di panggung bersama band blues rock bernama The Hammers. Yang belakangan ini namanya mulai mencuat di kancah musik Indonesia. Enjoy the interviewfrom our first Rocket Queen ever! Oleh: Teddy Drew Foto: Ryan AR dan Teddy Drew


“Jatuh di toilet bar hingga kening bercucur darah tapi malah ketawa” Ceritakan awal mula berkenalan dengan musik hingga berkecimpung di dalam dunia musik… Tidak jelas kapan pastinya.. tapi sejak bayi sepertinya saya sudah di kenalkan dengan musik. Menurut cerita Ayah saya, Ia memutarkan lagulagu Pink Floyd, Black Sabbath, Janis Joplin, Led Zeppelin, The Doors, Jimi Hendrix, dll dari saya bayi. Semacam lagu sebelum tidur buat saya waktu itu hahaha. Yang saya ingat pasti sampai sekarang, saya selalu menangis terharu setiap ayah saya menyanyikan lagu “yen ing towo ono lintang,” lagu Jawa. Saya tidak mengerti apa arti dari liriknya, tapi saya selalu merasa tersentuh setiap dinyanyikan lagu itu dan merasa paham apa isi dari jiwa lagu tersebut, dan saya selalu meminta dinyanyikan lagu tersebut setiap sebelum tidur. Setiap melukis, ayah saya juga selalu memutar album Kitaro, Frank zappa, dll. Sepertinya momen-momen tersebut meresap ke dalam pikiran saya.. Ketika SD saya mulai ikut paduan suara sekolah, kemudian guru saya meminta saya untuk istirahat paduan suara karena nilai saya yang mulai menurun, dan saya sangat kecewa pada saat itu.. Sejak kelas 6SD,ketika saya merasa sudah mulai bisa menulis lagu, saya pun mulai aktif menuliskan apa yang saya rasakan ke dalam lirik dan nada walaupun belum tau apa yang akan saya lakukan terhadap lagu-lagu tersebut.. kemudian SMP-SMA saya membentuk band acid jazz bersama teman-teman saya saat itu.. Di akhir kelas 2 SMA, sebuah proses alam membawa saya justru bukan ke dunia musik dulu. Seseorang menghampiri saya di sebuah mall di Jakarta, dan menawarkan saya untuk membintangi iklan. Awalnya ragu, karena dunia tersebut tidak pernah menjadi cita-cita besar di pikiran saya, tapi orang tersebut akhirnya melontarkan pernyataan-pernyataan dan menghubungi orang tua saya, dan akhirnya saya pikir… Baiklah, tidak ada salahnya mencoba. Akhirnya dalam proses tersebut saya banyak belajar lebih banyak tentang pertahanan hidup, dan mengamati berbagai bentuk manusia. Karena musik terus menjadi cita-cita besar di pikiran saya, kemudian saya mulai membuat demo dengan lagu-lagu ciptaan saya. Waktu mempertemukan saya dengan orangorang yang sudah lebih dulu terjun ke dunia ini. Awalnya membuat demo dan materi sebagai penyanyi solo, saya datang dari satu label ke label lainnya.. dan semua memberikan jawaban menggantung. Akhirnya saya nekat, menggunakan investasi dari hasil saya bertahun-tahun bermain iklan, sinetron, dan film untuk memproduksi album saya sendiri. Untungnya saya memiliki orang tua yang suportif, merekapun membantu mensupport saya dalam berbagai aspek. Dan mulailah saya memproduksi album solo saya dengan bantuan beberapa teman sebagai arranger-nya. Di tahun ke 5 saya sedang struggle untuk menjadi soloist, saya bertemu dengan Yudhey, yang saat itu adalah bassist band seorang teman. Kami mulai main bareng, banyak diskusi dan jammingjamming iseng. Akhirnya saya memutuskan untuk membentuk “Hammers” dengan Yudhey, dan menahan project solo yang sudah diproses untuk jalan bersama Hammers. Dan akhirnya, saya dan ayah saya yang turut patungan untuk memproduksi beberapa lagu dari Hammers. Kemudian

nekat mengeluarkan single dari kantong sendiri. Sempat mendatangi beberapa label lagi dalam rangka menawarkan Hammers, namun sepertinya belum sesuai dengan tren menurut industri saat itu. Dan kami tetap berjalan, dengan musik yang kami yakini. Hingga suatu hari, saya bertemu sebuah perusahaan yang mau menjalankan materi solo saya. Saya pun ambil kesempatan tersebut. Saya berbicara dengan Yudhey, dan dia pun sedang dalam membuat project musik lain. Dan selama setahun, Hammers istirahat sejenak. Saat Hammers semakin terbentuk, saya memutuskan untuk fokus di musik, dan menghentikan kegiatan dalam dunia sinetron. Karena keputusan saya bermusik memang belum menghasilkan, masa tersebut pun menjadi masa yang cukup sulit buat saya, tapi saya tetap bersikeras bahwa ini jalan yang saya pilih. Ternyata single solo belum berjalan seperti yang saya harapkan. Kontrak kerjasama saya dengan invenstor proyek solo saya hampir habis, dan saya memutuskan untuk tidak melanjutkan. Hingga suatu hari, ketika Yudhey sedang bermain di studio Bang Pay (Pay BIP), Bang Pay sedang rapat dengan seseorang sebuah major label. Kemudian Bang Pay meminta Yudhey untuk mengambil materi hammers, dan memperdengarkannya kepada pihak label tersebut. Kemudian beberapa waktu kemudian mereka menghubungi kami kembali, dan mulailah kerjasama dengan label tersebut. Rasa yang paling bahagia adalah, perasaan dimana adanya kepercayaan terhadap karakter musik yang kami yakini, setelah bertahun-tahun banyak hal yang saya lewati. Dan proses menuju masuk studio pun tidak pendek, kadang perasaan menunggu menjadi proses yang tidak mudah untuk dilewatkan. But, for the seik of dreams come true? it’s worth it! Bagaimana lo mendekskripsikan masa kecil lo? Dan apa cita-cita sewaktu kecil? Lengkap kayaknya.. Bandelnya dapet, keras kepalanya dapet, tampilnya dapet, ngayalnya dapet, sok taunya pun dapet hahaha. Gue pernah bikin desain space ship buat melarikan diri dari bumi kalo bumi hancur, waktu SD sama tementemen gue. Kita bikin di karton besar, digambar serius dan cukup detil, sampe di deskripsiin kapasitas pesawatnya dan siapa aja orang yang bisa kita bawa. hahahaha haluuu! Hampir tiap hari debat sama nyokap. Sering di kejar-kejar gara-gara gak mau sekolah, sampe kepala bocor dijahit ketiban laci hahaha Cita-cita waktu kecil… sempat ingin jadi pembalap motor karena baca komik hahaha but most of all dulu gue pingin jadi pelukis, penulis, atau penyanyi. Bagaimana reaksi audiens kepada lo di panggung pertama Hammers? Menyenangkan dan agak kaget sepertinya hahaha Kenapa musik rock/blues yang dipilih menjadi kendaraan lo untuk berekspresi? Sepertinya kami saling memilih. Perjalanan memperkenalkan gue kepada mereka, kemudian gue diajak berputar-putar oleh waktu untuk melihat-lihat wahana yang lain. Tapi pada akhirnya, dibawa pulang lagi ke rumah, dan ini rumah idaman yang paling teduh buat gue

Dalam menulis lagu, topik apa yang ingin lo tulis tapi harus dihindari? Nggak ada hahaha gue tulis apapun yang mau gue tulis. Siapa saja vokalis perempuan dalam negeri yang lo kagumi? Vina panduwinata dan Bonita, gue jatuh cinta dengan karakter vokalnya. Anggun C. Sasmi, dia memiliki karakter yang kuat dan spesifik. Dan bagaimana Ia berani mengambil sikap, untuk karirnya dan masa depannya, namun dengan pertimbangan yang kuat, sejauh apapun dia terbang, dia tetap merasa Indonesia. Berpembawaan Indonesia, berkarakter Indonesia. Dan yang pasti, Nike ardila.. nggak bisa dipungkiri, bertahuntahun waktu yang sudah kita lewati semenjak kepergiannya, kharismanya tidak pernah pergi. She was a very gifted girl. Menurut lo sebagai frontwoman, personil perempuan di dalam band mempunyai nilai ‘plus’ tersendiri? Kenapa? Bisa jadi begitu. Mungkin karena genre musik ini sebagian besar di dominasi oleh laki-laki. Gue rasa perempuan dalam genre rock n roll dan blues terutama dalam sebuah band, di Indonesia tidak terlalu besar jumlahnya. Dan secara performance melalui atittude, fashion, karakter bisa menjadi daya tarik yang berbeda. Karena yang pasti appearence perempuan sebagai frontwoman bisa jadi daya tarik yang kuat bagi laki-laki dan perempuan. Apa yang harus dimiliki untuk menjadi seorang frontwoman yang kompleks? Selain skill bernyanyi Keberanian dalam mengambil keputusan dalam waktu yang singkat untuk kepentingan bersama. You have to be the Man in the middle of the men. Pernah mengalami saat-saat di mana lo merasa bodoh ketika di atas panggung? Nggak, palingan mood drop pas turun stage karena ngerasa nggak maksimal. Bisa lo dekskripsikan, jika di dunia ini tidak ada musik? Coba aja bayangin nonton film, tanpa scoring atau soundtrack dari awal sampai akhir. Apa yang paling aneh yang pernah lo alami ketika terlalu banyak mengkonsumsi alkohol? Jatuh di toilet bar hingga kening bercucur darah tapi malah ketawa. Dari sudut pandang seorang perempuan, siapa yang lebih sexy; Axl Rose atau Slash? Waktu muda Axl Rose. Tapi sekarang, Slash. Tergantung mau pilih era yang mana hahaha. Jika lo tiba-tiba berada di tengah areal festival Woodstock 1969, apa yang bakal lo lakukan di sana? Main perosotan lumpur, do something colorful, ngobrol atau jamming sama Janis Joplin atau Jimi Hendrix terus tukeran nomer telephone hahahahaha. Rock&Roll | Mei 2013 | 17


THE STORY

BEHIND The SHOT!

OLEH: LODY ANDRIAN


BURGERKILL Bandung Berisik 2013 Untuk pertama kalinya lagi Bandung Berisik dengan tema ĂŤVersus The WorldĂ­ diadakan di jantung kota Bandung yaitu di Stadion Siliwangi. Jika pada hari Sabtu, 13 April 2013 kemarin sedang melintas disana, Anda akan melihat puluhan ribu orang mengenakan baju hitam-hitam yang haus akan distorsi, berbondong-bondong ingin menyaksikan keberisikan Bandung Berisik tahun ini. Udara Bandung saat itu dingin dan berangin karena pada sore harinya hujan turun cukup lebat. Setelah telinga ribuan anak muda dihajar terus menerus lewat suguhan musik cadas dari tiga panggung yang berbeda, band yang akan tampil berikutnya adalah Burgerkill, salah satu band yang mempunyai fan base terbesar di Indonesia. Personil Burgerkill pun belum tampak diatas panggung, hanya terlihat kru panggung yang sedang mempersiapkan alatalat dengan teliti. Tapi para metalhead terlihat tidak sabar dan tidak sedikit yang berteriak memanggil nama Burgerkill. Ditengah udara yang dingin dan angin yang cukup kencang, dari ujung barikade penonton yang penuh sesak terlihat seorang fans Burgerkill yang melepas bajunya dan berdiri di atas barikade. Ia dengan bangga menunjukan tattoo di dadanya yang bergambar logo Burgerkill sambil memberikan devil horns ke arah panggung. Ternyata dari ujung sebelah kanan panggung tampak seorang lagi fans Burgerkill melakukan hal yang sama dan memiliki tattoo yang sama di dadanya! Ya, mereka berdua ingin menunjukan identitas lewat simbol di tubuhnya, bahwa mereka adalah die hard fans Burgerkill. Mereka saling memberikan salam dengan mengacungkan devil horns dan berdiri diatas barikade hingga lagu pertama Burgerkill selesai. Pemandangan tersebut semakin membakar semangat ribuan metalhead lain walaupun Burgerkill belum memainkan satu kort pun diatas panggung!


STORY BEHIND THE SONG:

ROXX ROCK BERGEMA wawa n c a r a d e n g a n j a ya r o x x

Oleh: Lody Andrian Foto: Ryan AR

Dua puluh empat tahun sudah usia lagu Rock Bergema sejak awal direkam tahun 1989. Irama lagu itu pun tak kunjung kuno, memiliki posisi yang susah untuk digusur di hati dan telinga para pecinta musik cadas hingga kini. Dimulai dari lagu ini, Roxx membangun kredibilitas jalanan dan menginspirasi anak-anak muda penggemar rock sampai sekarang.

D 20 | Mei 2013 | Rock&Roll

i akhir tahun ‘80an, era glam rock merajai musik di Indonesia. Band dalam negeri pada era tersebut pun praktis terpengaruh dan sering membawakan lagu-lagu dari band seperti Motley Crue, Stryper, Van Halen, dll. Termasuk Roxx, band yang terbentuk pada 1 April 1987 di Jakarta. “Roxx itu band pertama yang rekaman album dengan dua gitaris tanpa keyboard. Dulu nggak ada ceritanya band tanpa keyboard; El pamas, Grassrock, Slank. Baru Roxx yang tanpa keyboard, formasi dua gitar dan rekaman album,” jelas Jaya tentang kelahiran bandnya di era itu. Pengaruh glam rock yang dominan dengan kort major, nada vokal anthemic ber-pitch tinggi, serta penampilan yang sensasional menyeragami karakteristik band dan festival musik di Indonesia pada era itu, termasuk euforia orde-baru pun masih memengaruhi band dari segi lirik “Era itu hampir semua lagu ngomongin kekuasaan, tentang kehidupan, tentang jiwa lah, ini lah.. yang kayak Power Metal? ya seperti itu jamannya.” Di tengah keseragaman itu, Trison (vokal), Jaya (gitar), Iwan (gitar), Alm. Arry (drum) dan Tonny (bass) menunjukan taringnya dengan singel ‘Rock Bergema’.


Jaya Roxx di studio rekaman miliknya

Rock&Roll | Mei 2013 | 21


STORY BEHIND THE SONG:

“ Buat yockie suryoprayogo ini sesuatu yang baru, dia sendiri nggak bisa ngasih masukan. Cuma hadir disitu, tanpa ada input apa-apa.”

Festival Log Zhelebour V Rock Bergema Log Zhelebour, 1989 Personil: Trison (vokal), Iwan (gitar), Jaya (gitar), Ali (drum), Tony (bass).

“Main riff Rock Bergema itu tercipta sama Iwan saat lagi boker pagi. Terciptanya di WC ” kenang Jaya sambil bersenandung nada intro lagu itu. Iwan, gitaris yang hobi mencari inspirasi di kamar mandi tersebut, membawa riff yang penuh semangat tersebut ke studio. Mereka mulai menggarap komposisi lagu itu berlima. Mengambil topik ringan dengan menceritakan para kawula muda yang tergila-gila musik rock dari kacamata vokalis Trison. Dibuka dengan ketukan lantang drum Arry Yanuar yang ikonik pada intro, lalu kita dibawa oleh alunan lead gitar yang disambut oleh klimaks di reffrain dengan irama vokal lantang namun easy listening. Das! Jadilah sebuah lagu yang tidak seperti lahir di jamannya, Rock Bergema! “Kita nggak nyangka ternyata lagu itu justru jadi anthem-nya anak metal. Gua juga bingung metalnya darimana. Kalau dibilang metal artinya Rock Bergema satu-satunya lagu metal yang kortnya major..” terang Jaya sang gitaris yang juga mempunyai studio rekaman di rumahnya di bilangan Pesanggrahan, Jakarta Barat. Rock Bergema akhirnya pertama kali direkam secara live di Soundcity studio untuk demo. Sementara Roxx merampungkan album pertamanya, mereka mengikuti Festival Rock Log Zhelebour Kelima yang di mana Roxx harus menandatangani kontrak dengan Log untuk merekam satu lagu dalam album kompilasi festival tersebut. Di kompetisi itu Roxx menjadi Juara Kedua dan Juara Pertamanya adalah Power Metal dari Surabaya. “Yang kita kasih itu lagu Rock Bergema,” walaupun saat penampilan Roxx di festival itu Rock Bergema tidak dimainkan, mereka membawakan tiga lagu; Master of Puppets dari Metallica, lagu dari Gombloh dan ‘Superstar,’ lagu ciptaan Roxx sendiri. “Karena lagu Rock Bergema itu lagu yang paling kita nggak senengin. Karena tidak metal. Jauh banget sama lagu ‘Penguasa’ dan lagu-lagu di album pertama Roxx, nyawa-nya beda. Selain itu kita mau bikin album, Rock Bergema kayaknya nggak kepake di album. Jadi itu alasannya kita masukin di kompilasi Log Zhelebour.” Saat proses rekaman Rock Bergema tahun 1989, Log Zhelebour menunjuk Yockie Suryoprayogo untuk menjadi mentor Roxx di TripleM studio, Jakarta. Begitu juga dengan bandband lain dalam kompetisi ini didampingi oleh musisi-musisi senior seperti Totok Tewel, Arthur Kaunang, dll. untuk menjadi Music Director. Pada waktu itu Roxx belum pernah mengalami proses rekaman secara profesional. Dengan hanya mengantongi pengalaman demo live, mereka masuk studio dengan jatah tiga shift termasuk proses mixing dan didampingi Yockie Suryoprayogo, keyboardist dari God Bless yang pernah tergabung dalam grup musik rock seperti Giant Step, Bigman Robinson dan Contrapunk. “Waktu itu ya gimana sih ‘lo anak baru, masuk studio rekaman untuk sebuah label,’ jadi ada pressure tambahan dengan adanya musisi senior yang ngawasin” kenang Jaya yang saat itu masih menginjak usia dua puluh empat tahun. Seiring proses rekaman berjalan, Yockie Prayogo justru hanya diam dan meng’iya’kan apa yang dilakukan Roxx di dalam studio. “Yockie itu tidak ada masukan apa-apa di lagu itu. Malah bengong, buat dia ini sesuatu yang baru, dia sendiri nggak bisa ngasih masukan. Cuma hadir disitu, tanpa ada input apa-apa ” jelas Wijaya alias Jaya, gitaris sekaligus salah seorang pendiri Roxx. Beliau yang harusnya menjadi music director akhirnya bertransformasi menjadi operator, merekam semua instrumen hingga vokal yang diasisteni oleh Herman Papan (operator studio TripleM). “Kecuali pada waktu lead gitar bagian slow-nya dia bilang ‘ini nyawanya kurang..’ itu satu-satunya masukan. Tapi nadanya tetep itu-itu aja, nggak dirubah. Jadi ya diulang

22 | Mei 2013 | Rock&Roll

sampe dapet nyawanya kata Yockie Suryoprayogo. Akhirnya gua disuruh minum bir ‘udah minum bir dulu sana..’ kata Yockie. Cuma buat gua supaya nggak grogi.” kenang Jaya. Setelah Festival Rock Log Zhelebor Kelima selesai, Roxx sepanjang 1987 sampai 1989 banyak menghabiskan waktu dengan tampil dari panggung ke panggung di seputaran Jakarta, Bogor, Bandung dan aktif bermain di Pid Pub, bar yang menjadi barometer skena musik metal di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Roxx juga tercatat sebagai band metal pertama yang memulai terbentuknya komunitas metalhead underground di Pid Pub. Dari situ mereka mendapatkan semakin banyak referensi band thrash metal seperti Metallica, Anthrax dan Testament. “Rock Bergema terasa semakin tidak metal jadinya. Karena itu kita nggak suka lagu Rock Bergema, kita anggap itu lagu cemen” ujar Jaya. Roxx telah menemukan kiblat musik dan attitude baru mereka: Thrash Metal dan kostum hitam-hitam! Mereka mulai meng-cover nomor-nomor dari Anthrax seperti “Indian,” “Among The Living” dan juga Metallica dan Testament. Suatu ketika di tahun 1999, Roxx tampil di sebuah cafe di Jakarta dalam acara Metallica Nite. Ketergantungan Arry dengan drugs belakangan kian mengkhawatirkan para personil. Akhirnya tercatat dalam sejarah, konser malam itu menjadi penampilan terakhir kali Arry bersama Roxx. Di bulan September 1999 drummer Arry Yanuar meninggal dunia dengan tenang di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta dalam usia 29 tahun. Jenazahnya kemudian dimakamkan di TPU Jeruk Purut Jakarta Selatan. Seiring berjalannya waktu, Rock Bergema dianggap kadaluarsa oleh Roxx, namun lagu itu selalu bergema seiring perjalanan karir Roxx sampai hari ini. Para fans selalu meminta mereka untuk mengumandangkan Rock Bergema di setiap penampilanya, tidak cukup sekali, bahkan sering mereka membawakan dua kali dalam satu panggung. Walaupun Roxx sudah menyiasati dengan menaruh lagu itu di setlist paling awal. “Saking sebelnya, malah kadang-kadang kita bawain di lagu pertama, eh gataunya sampe belakang ada yang minta nambah sekali lagi.. Termasuk Arian13 (vokalis Seringai), waktu gua manggung di café mana gitu gua lupa, dia naik ke atas panggung terus bilang ‘Bagaimana kalau kita daulat Roxx untuk bawain Rock Bergema lagi?’ Akhirnya mau nggak mau kita bawain lagi. Hahaha.” Roxx merasa bosan, Jaya mengaku Rock Bergema terlalu sering dibawakan oleh mereka. Diakui Jaya, Rock Bergema telah direkam sebanyak empat kali. Demo Roxx pertama tahun 1987, Kompilasi Festival Rock Log Zhelebor Kelima, album pertama Roxx (album hitam), album ‘Retake’ yang di distribusikan majalah Rolling Stone, dan Rock Bergema live in Surabaya, direkam multi-track untuk pergerakan Save Musik Indonesia. Tidak sedikit juga musisi yang membawakan lagu Rock Bergema, salah satunya penampilan Kotak di sebuah stasiun televisi dan Erwin Gutawa pada acara Rockestra untuk lagu yang mewakili era ‘90an. Dua puluh empat tahun umur Rock Bergema sekarang, seperti usia Jaya waktu merekam lagu itu di Triple M studio. Karya tersebut tetap berbeda dengan lagu-lagu bertema rock anthem atau lagu-lagu rock lain. Rock Bergema melintasi jaman, menembus berbagai lapisan masyarakat, menjadi semacam lagu wajib untuk musisi-musisi rock/metal sampai sekarang. “Setelah 25 tahun main band ya baru nyadar. Rock Bergema lagunya ceria, masuk ke banyak lapisan, dari mulai pembantu gua pun masih bisa dengerin, anak gua yang kecil masih bisa dengerin, sampe nyokap bokap gua pun masih bisa nyanyiin. Jadi sing-along gitu, udah gitu liriknya ke semua kalangan pun masuk.”


RIAN LODY AND ADIKA oleh: REVAN BRAM

M

enjadi seorang “Rock Star” mungkin saja terbesit di benak sekian banyak orang khususnya di Indonesia. Mulai dari mimpi-mimpi terkenal, banyak uang, disukai lawan jenis, berkuasa, kaya raya, dan banyak lainnya. Ini terjadi di berbagai macam disiplin, dan profesi. Politikus di negeri ini jauh lebih nge-rockstar daripada Achmad Albar yang sudah nge-rock dari tahun jebot. Artis-artis sinetron kelas kaleng yang banyak tingkah, lebih disorot daripada band-band lokal berprestasi yang melaksanakan tour keliling dunia disetiap tahunnya. Lihat saja sekarang ada banyak program-program “pencari bakat” semacam pembuat idola baru untuk generasi muda tayang di televisi. Berge-

limpangan dengan percobaan-percobaan cara baru untuk mengorbitkan seorang artis atau musisi untuk menjadi terkenal dan menggapai mimpi-mimpi megaloblastik untuk menjadi seorang Rock Star disegala lini usia. Ini absurd. Hanya akan melahirkan idola-idola palsu dengan ide-ide kosong tanpa kebanggaan. Generasi muda musik Indonesia lama-lama akan punah dengan cara pendidikan seperti ini. Ah sudah lah… Isu utama kali ini, berbicara tentang permulaan. Berbicara tentang semangat. Berbicara tentang jerih payah. Berbicara tentang inspirasi. Ada sepuluh orang yang eksis di ranah musik rock Indonesia yang patut dijadikan contoh. Mereka ini profesional, yang berkiprah dibidangnya masing-masing, mengisi segala celah infrastruktur yang memberikan nafas kepada perkembangan musik rock di Indonesia. Coba baca cerita tentang bagaimana Arian13, seorang anak ilmuwan roket, meramu rumus-rumus bahan bakar oktan tinggi ke musiknya. Simak juga penuturan Diane seorang penyiar radio bergelar dokter yang cadas tapi galau. Lalu ada cerita menarik dari Kimung, seorang guru dan penulis kebanggaan asal komunitas Ujung Berung. Kemudian JRX, seorang bocah desa yang menjunjung tinggi ilmu dan pengetahuan. Baca juga kisah bagaimana Mötley Crüe dapat mengubah pandangan seorang Andre Tiranda cilik. Bagaimana Leon merancang resep makanan pedas layaknya musik cadas, dan kisah lainnya dari tokoh profesional yang sangat menggugah. Angkat gelas, bersulanglah untuk orang-orang yang masih percaya.


jerinx Drummer, Superman Is Dead Bali, 10 Maret 2013 Apa yang akan melunturkan semangat seorang JRX, yang merasa desa tanah kelahirannya telah tercemar oleh ulah sekelompok pengusaha? Tidak ada. Saat ini, tidak akan ada yang dapat menghentikannya berkarya, bersuara untuk kejayaan lewat musiknya. Yeah.. Superman maybe dead, but not the king.

teks dan foto oleh teddy drew

Saya tumbuh di Kuta, sebuah desa yang secara brutal dieksploitasi oleh penguasa dan pemodalpemodal besar. Saya menyaksikan sendiri bagaimana sebuah desa yang indah, tenang dan damai berubah menjadi monster dan mesin uang bagi orang-orang yang tidak memikirkan efeknya bagi warga desa Kuta sendiri. Kekacauan di Kuta ini berefek secara langsung terhadap kehidupan saya dan keluarga saya. Kami tidak bisa hidup tenang, susah berfikir jernih hingga banyak keputusan-keputusan besar yang diambil malah tidak tepat. Keluarga saya berantakan, kehidupan pribadi saya berantakan. Akhirnya saya, juga keluarga saya menyingkir dari Kuta. Jangan pernah berharap uang akan mendatangkan kebahagiaan. Sesimpel itu. Lagu ‘Sex Dominated’ yang masuk di album pertama SID (Case 15 - 1997) adalah karya pertama saya. Saat itu (1996) saya sama sekali ga kepikiran untuk jadi penulis lagu meskipun sudah suka menulis-nulis lirik dan puisi. Saya ingat di suatu sore Bobby Kool (SID) sedang main gitar di kamar saya, terus iseng saya isi nada vokal-nya, dan mengalir begitu saja hingga akhirnya menjadi lagu. Nah sejak saat itu saya sadar ternyata saya punya sedikit bakat (atau kutukan) untuk menulis lagu. Bobby seharusnya tidak memainkan gitar di sore itu! Haha. Lingkungan, teman-teman di band dan keyakinan diri jika karya saya akan membakar dunia, membuat saya berani berkarya. Memainkan musik sejujur mungkin, benarbenar dari hati. Passionate kalau orang Papua bilang. Ada beberapa momen-momen rendah cahaya dalam hidup saya, terutama dalam konteks berkarya. Merasa seperti kehilangan ide, mengalami writer’s block dan semacamnya. Tapi

24 | Mei 2013 | Rock&Roll

hal-hal seperti itu ada siklus-nya. Jadi tidak terlalu dipaksakan juga untuk berkarya kalau memang lagi stuck. Tanggapan terburuk mungkin di era-era awal Superman Is Dead masuk ranah nasional (2003 hingga 2005). Begitu banyaknya dukungan namun juga begitu banyak kebencian dan ancaman diarahkan ke SID. Tapi itu semua sudah berlalu dan sejak 2006 karir SID berjalan tanpa hambatan yang signifikan. Selalu percaya jika waktu yang akan menjawab semuanya. Ketika banyak orang meragukan kualitas ataupun integritas saya, saya biarkan saja, tapi disaat yang sama saya juga melakukan apa yang saya bisa untuk membunuh persepsi itu di kemudian hari. Ketika ‘hari’ itu tiba, terbuktilah siapa yang hanya pintar bicara dan siapa yang benar-benar melakukan sesuatu. Sejak dulu memang suka musik, tapi citacita untuk menjadi musisi itu tumbuh seiring makin seriusnya perkembangan SID. Di awal-awal bermusik, yang ada di kepala hanyalah mimpi rock n roll yang liar dan berbahaya, sama-sekali gak mikirin kalau suatu saat ini akan jadi karir. And that’s how you suppose to start your music career, I guess. Sejauh ini keluarga cenderung mendukung, meski kadang ada sedikit benturan ketika masuk ke ranah politik (Ayah saya kader salah satu parpol) Hahaha. Tapi konteks nya masih baik-baik saja. Setuju untuk tidak saling setuju. Rasa takut adalah manifestasi dari ketidakpercayaan diri. Ketika kita tidak percaya karya kita bisa ‘menyentuh’ hati orang, kita akan tidak maksimal dalam berkarya. Rasa percaya diri inilah yang harus dikuatkan, mungkin dengan cara banyak membaca dan mempertebal ilmu.

Knowledge is King! Musik banyak membantu saya menemukan karakter dan potensi pribadi saya. Banyak hal-hal diluar musik yang saya lakukan ( menulis, main film, memulai pergerakan yang bersifat revolutif ) juga terinspirasi dari lirik-lirik lagu yang menurut saya relevan dengan situasi lingkungan saya. Saya nggak merasa ‘berpengaruh’. Kalau risiko menjadi ‘orang yang lumayan dikenal’ mungkin saya bisa cerita. Risikonya, harus siap setiap saat untuk diajak ngobrol atau berfoto dengan orang yang tidak saya kenal, which can be annoying sometime, but it’s all good. Sekarang saya sudah lebih siap dengan hal-hal kecil seperti itu. Perlawanan, apapun bentuknya, jika ingin menjadi besar harus dibungkus dengan kemasan yang menarik. Ketika kemasannya sudah menarik minat orang, nilai-nilai perlawanan yang terkadung didalamnya pun akan secara tidak langsung perlahan masuk ke kapala orang-orang. Ketika nilai-nilai perlawan tersebut sudah masuk ke kepala target, barulah kita maintain dengan memasukkan idelisme-idealisme, dari yang kecil dulu hingga ke ide-ide perlawanan yang lebih besar. Jangan lupa bersinergi dengan kekuatankekuatan lain yang selaras dengan passion yang kita miliki. Selalu berpikir besar. Connecting the dots. Faktor X juga sangat dibutuhkan, dan tentu saja, cara menemukan faktor X seringkali menjadi kendalanya. Well, they call it ‘X’ for a reason, right?


Rock&Roll | Mei 2013 | 25


26 | Mei 2013 | Rock&Roll


arian 13 vokalis seringai & ilustrator Jakarta, 11 April 2013 Siapa tak kenal dia? Memulai karir ngeband bersama Puppen (R.I.P) yang bisa dibilang sebagai salah satu band pelopor musik independen di Indonesia. Arian adalah anak seorang ilmuwan roket. Pantas saja ramuan oktan tinggi menjadi bahan bakar utama pada setiap musik Seringai.

teks dan foto oleh lody andrian

Dulu bokap gue sering beli piringan hitam, dia kuliah di luar negeri jadi pas gue SD kalo dia kesini suka bawa banyak piringan hitam, dan otomatis mengenalkan gua ke musiknya dia kayak Evergreen, Bob Dylan, Beach Boys. Led Zeppelin dan Black Sabbath itu gua nemu sendiri. Dari awalnya denger Beach Boys, pas era new wave gua suka Duran Duran sampai sekarang. Terus SD kelas 6 gua sering ke toko kaset sendiri, waktu itu gua lagi seneng hard rock, lama–lama gua pengen yang lebih kenceng. Waktu itu gua liat cover si Iron Maiden ada foto Iron Maiden lagi duduk di atas mobil yang futuristik gitu, gua pasang dan lagu pertama itu Wasted Years ‘anjing enak gini ya’ dari situ gua mulai suka Iron Maiden. Covernya juga keren kaya komik gitu kan, lo umur 12 tahun dan lo liat ada Eddy lagi bawa senjata Eddy jadi pyramid jadi spynx, menarik banget. Waktu gue SMP itu era thrash metal, liat bandband kayak Slayer, Metallica “anjing keren ya jadi pengen main musik”. Pas liat Sepultura dari Brazil, yang juga negara dunia ketiga langsung mikir, kalo Sepultura bisa kita juga bisa. Jadi main band. Gue membentuk band setelah gagal nonton Sepultura waktu SMA, ketemu Robin ‘Puppen’ dia ngajakin main band. Dari awal sudah main lagu sendiri. Lagu yang pertama kali dan akhirnya direkam itu di Puppen, tapi sebelum-sebelumnya gue punya band crossover atau punk rock gitu namanya Maximum Death Impact, dulu gue main gitar, padahal main gitar juga nggak bisa. Kita dulu punya lagu sendiri cuma ya.. entahlah. Karya pertama itu di Puppen, lagu Freedom To Defecate sama This Is Not Puppen Song. Puppen yang pertama kali yang membuat gue serius main band. Album EP Puppen pertama tahun 1994. Di Bandung dulu nggak ada studio rekaman, atau mungkin ada cuma belum pernah ada yang rekaman juga, kecuali band yang punya label. Nah Puppen dapet shift rekaman dari Pas Band, dia punya sisa shift rekaman di Triple M Studio Jakarta, ada sisa shift gitu dan itu dipake sama Pure Saturday dan Puppen, kebagian masingmasing 10 shift. Itu harus kelar dan dulu itu rekamannya pake pita 2 inci, rekamannya analog. Jadi lo gak boleh salah tuh, sebelum proses itu

kita latihan memang udah tight. Waktu itu gue jaman kuliah semester satu bolak-balik Bandung – Jakarta, dulu lima jam perjalanan. Rekaman sampe jam 2 / 3 malam langsung balik lagi ke Bandung, jadinya kurang tidur soalnya itu lagi musim ujian. Dulu lihat Max Cavalera dari Sepultura, “wah keren ey! idola gue nih gue pengen kayak dia” tapi itu nggak dipikirkan bahwa itu menjadi profesi atau apa, itu lebih kayak hobi awalnya. Ternyata pas sudah jalan “oh bisa juga ya menghasilkan..” dan akhirnya ya terbiasa.. Menurut gue kalo lo cuma main band doang lo nggak akan bisa menghidupi, apalagi main musik seperti ini. Lo harus punya pegangan lain. Kayak Napalm Death sering tur gitu juga nggak jadi kaya raya atau gimana juga kan, sama kayak kita-kita juga. Apalagi yang disini. Pernah Jenuh, terpikir untuk istirahat dulu tapi ternyata mau sok-sok istirahat juga pelepasan yang paling baik ternyata lo main musik. At least, ada hubungannya dengan musik. Gue juga sadar kalo umur gua sudah 38, sementara gua main band udah 20 tahun mungkin nanti nggak akan begini terus. Mungkin kalo Lemmy, dia umurnya 67 tahun dia masih kuat nyanyi dan manggung karena dia setiap hari tur, jadinya terbiasa. Gue menyadari kalo suatu saat harus berhenti, tapi kalo berhenti pun gue yakin masih ada di bidang musik itu. Entah itu nanti punya record label, jadi investor terus punya club, atau bahkan jualan burger metal. Beberapa kali ada di posisi dimana gue harus memilih kerjaan atau ngeband, tapi kebanyakan gue memilih meninggalkan pekerjaan. Gua gak bisa hidup tanpa musik. Mungkin ada saat-saat gua lagi diluar yang memang gua nggak dengerin musik, tapi itu jarang, biasanya itu karena gua yang main musik. Cita-cita gue waktu kecil standar dulu pengen jadi astronot. Soalnya bokap gua itu Rocket Scientist, dia dulu di MIT kan. Nama gua aja Arian, Arian itu nama roket Perancis, nama adik gua Titan, bulan-nya Saturnus. Jadi memang luar angkasa banget. Tapi pas gua kelas 2 SD gua harus pake kacamata, hilang cita-cita itu. Karena gua seneng baca. Gua bukan dari keluarga yang gimana-

gimana, bokap gua dosen dan dia bukan dosen yang banyak cari proyek, dia dedikasinya dulu kan ke almamaternya. Memang nggak jadi kaya sih dulu. Tapi gua juga bukan keluarga yang kurang, biasa aja. Mungkin itu yang membuat gua lebih passionate. Maksudnya kalo gua dulu terlahir sebagai orang yang punya segalanya, mungkin gua nggak akan se-passionate ini. Jadi sebaiknya kalian harus lahir ditengah-tengah lah, kalo orang kaya jangan mau! hahaha. “Gimana caranya ya?” Gua lebih menyadari kalo gua mau melakukan apa yang gua suka aja. Kebetulan gua sukanya main musik yang berhubungan dengan musik dan gua senang jualan. Jadi gua memang melakukan apa yang gua suka aja dan menurut gua itu penting. Gua menanamkan ‘supaya gak gagal bagaimana ya’. Harus berpikir seperti itu. Maksudnya ada orang yang ketika gagal langsung menyerah. Musik itu bisa mendokumentasi momen juga dan banyak lirik-lirik dari Slayer, Sepultura, Napalm Death, Nuclear Assault yang mengajarkan gua politik. Jadi ya politik gua belajar dari musik. Banyak hal-hal humanis yang gua malah belajar dari band bukan dari kitab suci. Gua lebih hapal lirik lagu Slayer dibanding gua disuruh hapal surat apa gitu.. Gua sadar gua gak bisa meng-entertain semua orang kok, gua juga begitu juga sama orang kan, gua bisa suka bisa enggak. Selama gua menjalani dengan benar sih gua nggak peduli. Kadang-kadang kalo gua browsing nemu tulisan atau komen orang ada yang nggak suka, kayak ’wah gua tau ni orang sering ke tempat ini nih, pokoknya kalo gua ketemu gua hajar’ terus mana? Sampai sekarang sih nggak ada. Itu jagoan – jagoan internet aja sih. Pikiran konservatif juga akan sulit juga untuk melahirkan karya yang kreatif. Menurut gua orang-orang harus punya entrepreneurship. Lo mau idealis, tapi lo gak bisa muter uangnya sih percuma juga. ‘Gua tau ini kecintaan lo, tapi jangan sampai lo rugi’ gitu. Lo nggak akan kaya raya tapi kalo akhirnya lo punya modal dan bisa memutarkan modal itu dan tetap melanjutkan apa yang lo seneng itu lebih baik.

Rock&Roll | Mei 2013 | 27


andre tiranda GItaris siksakubur Jakarta, 10 Maret 2013

Mungkin Andre Tiranda adalah gitaris yang terkenal kejam dalam permainannya. Mungkin juga dia seorang yang kasar disetiap lagunya, menjadi seorang yang berapi-api dalam karya musiknya. Tapi semua itu memang sudah dimimpikan sedari kecil. Ingat, jangan pernah mainmain dengan mimpi seorang anak kecil, terutama mimpi dari anak yang satu ini.

teks oleh revan bramadika | foto oleh lody andrian

Suatu saat diwaktu gua masih SD, video klip “Girls Girls Girls” nya Motley Crüe diputar oleh seorang teman di rumahnya. Gua yang masih kecil disuruh nutup mata ga boleh lihat. Begitu gua denger intro raungan suara motor, trus liat cewek-cewek porno di klip itu, gua langsung suka. Musik seperti ini blom pernah gua denger sebelumnya. Gua langsung bercita-cita menjadi seorang rocker, beberapa detik setelah melihat video klip itu. Sampai akhirnya gua mendengarkan lagu “Battery” milik Metallica untuk pertama kali. Dari situ semuanya berubah, pada saat perayaan natal, gua masih kelas 6 SD, langsung minta hadiah kaset bukan baju. Gua langsung beli 20 kaset pilihan gua sendiri. Pokoknya apa aja yang ada di toko kaset saat itu gua dengarkan. Diusia muda sekali, gua udah ngerasa beda sama temanteman seumuran. Tapi gua udah tau kalau gua ini anak rock, anak metal lah waktu itu. Gua tau gitar dari abang, mulai belajar ketika masuk sekolah asrama di Purwodadi, Malang. Awalnya gua cuma tau tiga kunci doang, A, D, dan E, mau lagu apa aja, semua dimainkan pakai tiga kunci itu. Ga ada yang serius juga saat itu, termasuk sekolah gua yang harus pindah terus. Perhatian gua cuma tercurah untuk ngeband, ikut festival dan menang. Uang kemenangan gua habiskan bersenang-senang bersama teman, having a good time! No future man! Mulai menikmati apa yang gua lakukan, mulai terasa enak, dan mulai ga tertarik sama sekolah, hingga gua dipindahkan sama bokap untuk SMA di Papua. Mungkin saat itu bokap mikir kalau gua jauh, dia bisa menghentikan aktifitas ngeband gua. But you just can’t kill Rock n’ Roll, dad. Justru gua jadi seseorang disana. Gua satu-satunya anak muda yang punya ratusan koleksi kaset rock dan metal, di Jayapura pada saat itu. Gua bikin band lagi disana. Namanya norak, Master of Brutality. Kami memainkan musik Thrash Metal.

28 | Mei 2013 | Rock&Roll

Pekerjaan gua saat itu adalah disainer sampul album. Yang sedang gua kerjakan yaitu sampul album “Back to Vengeance” nya SiksaKubur. Gitar dan efek gua juga dipakai untuk rekaman album itu. Jadi, gitar sama efek gua duluan yang masuk SK. Sampai akhirnya Andyan Gorust nelpon gua, dan menawarkan untuk main gitar di SiksaKubur. Ajakan Andyan gua terima dengan satu kondisi; gua ga mau mengubah materi dan cara bermain gitar gua. I have my own style. Dan dia setuju. “Dunia Menjerat” adalah lagu pertama yang gua tulis buat SK. Lagu ini memang terdengar beda sekali sama materi SK sebelumnya, tapi teman-teman gw di SK pada suka. Jadilah gw menulis mayoritas lagu di album “Eye Cry”, yang menjadi blue print baru untuk musik SiksaKubur selanjutnya. Ketika tak lama kemudian “Eye Cry” keluar, that’s where the story begin. Kami sampai di satu titik, kalau bermain band udah bukan lagi sekedar hobi. Sudah mulai yang banyak nih, yang mendengarkan lagu kami. Baru kali ini karya gua dirilis Rottrevore Records sebanyak 3000 kopi; 1000 CD, 2000 kaset. Gua inget Rio Gendut (Alm.), yang punya label bilang, “cot, gua udah abis-abisan nih… belum pernah denger gua Death Metal seperti ini sebelumnya…” Gua ga tau ya, mungkin Rio Gendut terlalu cepat pergi untuk menjelaskan itu semua, tapi keputusan kami untuk merekam dan merilis album Death Metal dengan musik seperti album “Eye Cry”, di waktu itu gua rasa telah mengubah wajah Death Metal di Indonesia selamanya. “Eye Cry” benar-benar membuat gua maju. Saat itu gua masih kerja kantoran. Tapi gua ga melihat diri gua, lima atau sepuluh tahun mendatang duduk dibelakang meja dan memakai dasi. Sampai gua akhirnya di PHK, karena sering bolos dengan alasan main band di luar kota. Yaudah gua putuskan untuk tetap main band, bersumpah tidak akan mau kerja kantoran

lagi, dan tidak akan motong rambut gua lagi. Untungnya nyokap dan bokap gua mendukung, walaupun mereka tidak mengerti apa yang gua lakukan. Pernah ada masa terburuk, dimana gua kehilangan semangat untuk meneruskan musik, saat Japra vokalis gua keluar dari SK. Rasanya seperti balap rally tanpa navigator! I lost my wing-man! Setiap kali berpikir berhenti, gua selalu ingat bahwa apa yang gua lakukan ini berpengaruh ke hidup orang lain, minimal Cukong, dan keluarga besar SiksaKubur. Itu yang membuat gua tetap kembali. Hidup itu layaknya maraton panjang. Yang harus dilakukan yaitu tetap berlari, bertahan lebih kuat dari orang lain, perlahan menuju garis finish. Sampai saat ini, gua udah bermain musik dengan banyak orang. Tiap orang baru yang gua kenal akan senang, jika gua juga menyenangkan buat mereka. Gua merasa seperti “the Godfather” yang berusaha memelihara keluarganya. Siapapun musisi yang pernah bermain bersama, gua anggap itu semuanya sudah takdir. Semua orang yang pernah gabung di SK, mereka memberikan segala yang mereka punya, itu yang sangat gua hargai. Gua bukan lagi suka, tapi gua udah cinta sama apa yang gua lakukan. Tanpa cinta ini, gua bukan siapa-siapa. Gua dapat semuanya dari sini, walau mungkin bukan dalam bentukan yang bersifat material. Gua sadar, kalau bukan karena musik, mungkin gua udah mati dari dulu. Lebih dari setengah waktu hidup gua, semuanya tentang band. Gua ga tau kenapa masih bisa bertahan sejauh ini. Tapi setiap hari gua bangun, setiap kali naik ke atas panggung, setiap kali memainkan musik, rasanya seperti gua mengisi bahan bakar untuk hidup gua. Gua ga mau diingat sebagai orang lain, gua hanya mau diingat sebagai musisi. Ga ada yang bisa menghalangi gua, karena gua udah tau itu dari kecil.


Rock&Roll | Mei 2013 | 29


30 | Mei 2013 | Rock&Roll


leon legoh Koki, RM.Legoh & DRUMMER KOIL Bandung, 7 Maret 2013 Tanpa punya pengalaman khusus dan ilmu standar tentang masak-memasak, Leon, penabuh drum dari band Koil, nekat untuk berkarya sebagai koki pada sebuah rumah makan miliknya, Rm. Legoh. Bermula dari tahun 2003, jatuh bangun dihadapi dengan semangat, supaya terus bisa tetap nongkrong. Hidup musik keras dan masakan pedas!

teks oleh revan bramadika | foto oleh lody andrian

Pertamanya cuma karena pengen terus main band aja. Ketika kuliah beres, harusnya kan langsung kerja ya, tapi gua ngga mau. Gua ngobrol sama Otong, apa yang harus kita lakukan biar tetep bisa main band, tapi nggak usah harus kerja kantoran. Kebetulan kita punya cita-cita yang sama pengen punya rumah makan. Biar kaya di film-film Italia, dimana bos-bos mafia itu pada punya rumah makan semua. Awalnya cuma khayalan aja sih, tapi tiba-tiba ada uang dari Koil, dan gua ada tempat, ya udah gua nekat aja cobain. Gua nggak punya pengetahuan khusus tentang masak. Gua sama sekali blank ilmu tentang masak. Cuma pengen punya rumah makan doang. Ketika rumah makan ini sudah berdiri, semua modal gua habis untuk beli alat-alat masak, perbaiki atap, sama meja dan kursi. Begitu restoran buka dihari pertama, nggak ada yang masak. Gua nggak punya koki, dan nggak tau harus cari dimana. Akhirnya gua coba-coba masak sendiri aja gitu, kayanya mah bisa lah kalau cuma sedikit doang. Jujur saja, gua nggak punya hobi memasak, soal rasa juga nggak terlalu mengerti. Cuma gua seneng makan. Gua bisa menilai yang ini makanan enak, yang itu nggak enak, ya seperti itu saja. Masakan gua semua hasil trial and error. Rica-rica itu udah akrab sama gua dari kecil di rumah. Ya gua tinggal tanya nyokap aja, ini gimana cara bikinnya. Saat itu nyokap juga nggak detil ngasih taunya. Karena mungkin tidak yakin sama gua mau buka rumah makan. Gua juga suka keliling ke tempat makan enak, dan memperhatikan bagaimana makanan yang gua pesan itu dimasak. Akhirnya ayam rica jadi andalan pertama gua, karena itu yang paling gampang. Kalau diingat lagi sekarang, gua memang

nekat banget. Hidup gua sehari-hari cuma nongkrong, main band, terus dihadapkan dengan menjadi koki tanpa punya pendidikan yang mendukung. Ya sudah daripada gua nggak melakukan apa-apa, gua nggak mau kerja, gua coba masak aja. Sampai sekarang, bisnis rumah makan ini masih naik turun. Kadang disaat susah, gua sering beripikir untuk quit. Ternyata tidak semudah yang orang katakan. Jauh sekali dari perkiraan. Sejak 10 tahun yang lalu rumah makan ini berdiri, baru beberapa tahun belakangan ini mulai ramai pelanggan. Mungkin ya memang butuh waktu 10 tahun untuk mendapatkan kepercayaan, kalau makanan disini enak. Dalam 10 tahun ini, ada banyak masalah yang menurut gua edan lah… Karena mungkin gua sedikit bodoh juga, jadi tetap, ah mungkin besok laku yah? Yaudah nggak apa-apa rugi sedikit. Itu terjadi terus, sampai akhirnya gua bisa bertahan. Ketika gua punya anak, istri gua sudah nggak bisa bantuin lagi. Gua tinggal sendiri mengatur dapur, manajemen, dan keuangan. Khususnya keuangan, gua sudah nggak sanggup. Karena kalau gua ada uang sedikit, beli ‘minuman’. Akhirnya gua sepakat sama anak-anak Koil, membuat manajemen gabungan untuk mengatur semua bisnis kita, mulai dari cari pegawai, mengatur keuangan, dan lain-lain. Jadi gua sekarang bisa bebas untuk berkreasi di dapur. Dengan bantuan manajemen yang bagus juga, akhirnya rumah makan Legoh ini mulai setapak lebih naik, terus sampai sekarang. Waktu kecil, gua bercita-cita untuk jadi tentara Inggris, pakai topi tentara yang mirip rambut tinggi itu. Nggak pernah kepikiran untuk jadi pemain band juga. Buka rumah makan aja baru terpikir ketika udah kuliah. Untungnya keluarga gua mendukung.

Tadinya cuma karena doyan makan, terus bisa masak, ya lama-lama jadi hobi. Sama saja seperti ngeband, awalnya gua cuma ikut-ikutan kakak les drum. Pas kuliah, Otong mintain gue main di Koil. Ya udah, lagian mereka teman SMP gua juga. Gua ga pengen kerja kantoran, karena ga mau menghilangkan kebiasaan nongkrong dari malam sampai subuh. Kalau gua kantoran, nanti nggak bisa main yah… nggak bisa nongkrong yah… Tapi kalau kerja kantoran, ya tinggal kerja aja, aman. Namanya usaha kaya gini, kita justru nggak bisa santai karena belum tentu aman. Setiap kali setelah rumah makan tutup, gua pulang ke rumah, masih aja menyempatkan mikir besok harus berbuat apa. Hal ini yang gua lakukan untuk membuat passion itu balik lagi. kalau sudah terlalu santai, kadang suka lupa sama tujuan awal. Kalau kita kerja setengah-setengah, pasti hasilnya juga setengah. Kerja keras, pasti dapat penghasilan besar. Walaupun tidak semua terukur oleh uang. Saat libur gua sebagai koki, ketika Koil manggung aja. Pada saat itu gua bisa diam di hotel, memikirkan menu baru apa yang mau gua garap lagi. Banyak menu baru itu gua temukan pada saat gua manggung sama Koil, karena saat begitu gua lebih santai. Lebih banyak waktu untuk berpikir. Sampai sekarang, gua masih suka nongkrong. Kalau urusan band ya nongkrong di studio musik, kalau urusan rumah makan Legoh ya nongkrong di dapur. Coba perhatikan film “The Godfather”, mereka itu pasti kalau lagi nongkrong lokasinya di dapur. Ada yang masak, ada yang nongkrong disitu juga nyobain makanan. Begitu juga sama Koil.

Rock&Roll | Mei 2013 | 31


HEDI RUSdian

enterpreneur, fourspeed Bandung, 7 Maret 2013 Siapa yang mengira, aksesoris rancangan Hedi dan Fourspeed Metalwerks akan dipakai oleh Freddy Madball or the guys from Sepultura? Mungkin saja ini cuma berstatus imajinasi di tahun 2009. Berani berkomunikasi adalah kunci utama. Kalau memang karya yang dihasilkan pantas untuk dibanggakan, tidak perlu takut untuk mencoba.

teks dan foto oleh lody andrian

Dulu, tahun 2005 saya dengan kedua saudara saya Hilton dan Fajar dulu sering jalan bareng, kita satu darah, kita kemana mana bareng hobinya sama suka ngumpulin kepala ikat pinggang Harley Davidson, suka motor banget, suka aksesoris, suka ngumpulin cincin, rantai dompet segala macem lah. Ngeliat pada saat 2005 clothing udah mulai banyak, udah sangat booming. Kita mau bikin sesuatu cuma gimana caranya harus beda walaupun saat itu belum tau mau bikin apa. Disitu kepikiran kita suka ngumpulin logam suka koleksi aksesoris, kenapa nggak coba bikin aja. Dalam posisi kita ngga ngerti sama sekali gimana bikinnya. Nah disitu kita ngumpulin temen-temen lama akhirnya tim itu ada berlima, tanpa tahu sedikit pun gimana cara bikin apa itu kepala ikat pinggang, cincin, kalung. Bener-bener dari nol. Kita keliling Bandung Jakarta ke tukang tukang pengecoran. Kita pura-pura mau order sambil ngobrol gimana cara buatnya, tekniknya kaya gimana, sambil di catat caranya gimana. Baru kita browsing di internet, dari buku terus akhirnya eksperimen sendiri. Nyobain di kamar gagal, meledak, kebakaran kamar hahaha. Akhirnya kita nemuin formula yang benar untuk membuat kepala ikat pinggang, disitulah lahir Fourspeed Metalwerks. Target awal kita dulu ke bikers, dengan percaya diri bahwa kita hobinya bikers. Kalo taget marketnya si bikers juga, pasti laku. Ternyata bisnis itu apa yang kita proyeksikan belum tentu sesuai dengan kenyataan. Saya dan saudara saya lulusan SMA, anakanak di Margahayu paling banter juga SMA. Tapi mereka itu pada punya keinginan. Meskipun pendidikan mereka yang rendah, tapi pada saat melihat potensi Fourspeed mereka itu tau. Fourspeed bakal jadi sebesar apa. Dulu suka saya ajak mimpi bareng, kapan produk ini bisa dipakai sama Sepultura. Kita ini punya barang, ini tu bagus. Tinggal kita mimpi bareng-bareng barang ini bisa dipakai sama mereka, bisa jalan bareng sama mereka. Apa kuncinya? Hard work. Nggak tau waktu sampai nggak tidur, kerja sampai nggak digaji. Dari jaman 2005 gaji anakanak paling cuma 300 ribu semua rata. Pada sampai susah-susahnya, ngerokok sampe beli lintingan di Kosambi, nyedot bagi tiga. Titik stuck singkatnya di tahun 2009 akhir. Ka-

32 | Mei 2013 | Rock&Roll

rena harga udah nggak bisa naik. Dari tahun 2005 sampai tahun 2009 memang masih pakai program saudara saya Hilton dan Fajar. Pada saat stuck, saya punya proyeksi dan program lebih depan. Mulai nyari modal nerima order dari clothing di Bandung supaya Fourspeed Metalwerks ini bisa makan. Kita butuh branding dan branding butuh modal. Dengan harapan punya modal untuk maju ke luar negeri. Pertama kali ke luar negeri ke Amerika, Los Angeles. Paling pertama bikin itu Shadows Fall, tapi buat promo. Itu juga maksa padahal mereka nggak mau, dan nggak ada efek yang diharapkan. Lalu Madball, kita bikinin untuk personil aja, 4 biji. Kita dapet impact-nya gede banget karena Madball kan legend, kenalan mereka banyak. Jadi kita kasih support produk itu ada Lamb of God, As I Lay Dying, Exodus, Napalm Death, Suffocation, Death Angel. Kita juga ngasih gift ke Kerry King (Slayer) dari buckle yang Slayer Eagle sampai strap gitar-nya Kerry King. Saya ngelihat produk saya itu bagus, biarin orang lain bilang jelek yang penting saya bilang bagus. Karena saya udah riset. We have something different, we have detail. Kita bisa bersaing sama mereka, tinggal sabar, hard work, yang penting konsisten, Tuhan mah baik, selalu memberikan jalan. Pada saat kita mau ke titik sini, pasti ada aja yang ngedukung buat mendukung ke satu titik itu. Meskipun gatau kapan. Fourspeed metalwerks belum pernah ke Amerika, semuanya via Internet. Karya – karyanya aja yang terbang kesana. Belajar lagi bahasa Inggris, dulu SMA paling ‘bego’ bahasa Inggris tapi karena sekarang butuh. Belajar bagaimana caranya memberikan penawaran untuk bule, belajar bikin business plan, itu juga dari internet. Orang tua gatau kalau saya sejauh ini. Basic-nya kan saya disuruh kuliah, orang tua awalnya nggak terlalu mendukung disini. Gua nggak mau kuliah, nggak keterima di FSRD ITB udah males ah. Udahlah, bukan jalan hidup gua disana, gua fokusin aja apa yang gua kerjain. Sebelum tau Fourspeed itu apa, orang tua nggak pernah mau ngaku bahwa anak saya tu kerja, “anak saya lagi sibuk belajar buat nanti daftar ITB gelombang selanjutnya” bilangnya. Keluarga mulai luluh pada saat media ekspos.

Sampai tiba-tiba ada di koran pun saya gak bilang. Orang tua mah nggak usah tau susah senangnya anaknya, nggak usah tau susahnya, taunya senangnya aja. Ayah itu sampai ngeliat koran nggak percaya, sampe nanya kerumah saudara saya sambil dibawa korannya. Karena dari basic saya dari keluarga biasa-biasa, Ayah pegawai negeri, Mama juga pegawai negeri lalu PHK sekarang catering, nggak ada basic bisnis. Yang lucunya, kemarin ngisi talk show Desain Produk di FSRD ITB mengenai Fourspeed, akhirnya pada main kesini bikin workshop sekitar 100 orang. Jadi ngajarin nyingkronin antara art dengan bisnis. Dapet surat resmi dari ITB buat jadi mentor tugas akhir mahasiswanya. Lalu mulai talk show ke berbagai kampus kayak UI, UNPAD, ITB. Padahal dulu mah ditolak mau masuk sana. Neraca harus bagaimana business plan, cash flow harus gimana, prett! Semuanya pake insting! Yang membuat beda itu yang menganggap uang sebagai milik mereka, dipake buat mereka sendiri. Kita itu kerja buat ngebikin anak-anak kaya, bukan gua sebagai mimpin. Pemimpin itu jangan jadi superman, tapi sebagai pemimpin itu gimana caranya membuat superman-superman yang baru. Ilmu itu yang diajarkan di lingkungan sosial dan keluarga saya. Mulai tahun 2011 kemarin ada warehouse di Seatlle, Washington buat ngejalanin online store, kita ekspor dari sini. Produksi tetap di Margahayu. Ketakutan kembali ke diri sendiri, ketakutan pada saat kita mau mencoba, takut untuk maju, takutnya itu kita nggak mau bertaruh hidup. Jangan takut untuk bertaruh hidup kalo kita punya program yang bener. Kalo bisnis jangan ada yang ditakutin sejauh kita punya amunisi. Modal mah nomer tiga. Kemauan, kerja keras, baru materi. 100 % Fourspeed Metalwerks bisa besar karena musik. Rumah fourspeed sendiri udah diisi dengan mimpi kita ke depan, udah di set atmosfir itu. Suasana penting, pada saat kita menanamkan mimpi disitu gua tanamkan dengan atmosfir itu. Yang pasti untuk memulai sebuah karya jalani lah suatu hal yang memang passion lo. Yang paling penting itu kenalilah dulu diri sendiri, gua bagusnya dimana, gua sukanya apa, passion gua dimana. Kalo itu passion lo mau sesusah apapun mau sesibuk apapun kerja dari pagi sampai malem, itu udah kayak main. Age is just a number, creativity is the matter.


Rock&Roll | Mei 2013 | 33


34 | Mei 2013 | Rock&Roll


wendi putranto Jurnalis, Rolling Stone Jakarta, 3 April 2013

Menulis dan musik tidak asing baginya sejak kecil. Tanpa harus menggadaikan dua hobinya tersebut, Wendi bisa membuktikkan ke ibu dan adiknya dengan menjadi tulang punggung keluarga. Jangan anggap remeh sesuatu yang kecil. Siapa yang sangka dari fanzine kotokopi bisa sampai berkeliling dunia mewawancarai semua idola yang dulu diimpikannya.

teks dan foto oleh lody andrian Gue dibesarkan di keluarga yang senang dan sangat dekat dengan musik, kita sangat mencintai musik jadi musik selalu diputar dirumah dari pagi sampai malam. Dari bokap, gua mengenal Led Zeppelin, Deep Purple, Sabbath, Beatles, The Rolling Stones dan The Police. Jadi dari kecil udah punya minat untuk mendengarkan musik karena lingkungan terdekat. Dari mulai SD di buku tahunan gua udah menemukan cita-cita. Disitu gua tulis reporter TV, gua nggak tau inspirasinya dapet darimana sampe gua mau jadi reporter televisi. Dulu pesawat ulang-aling antariksa Amerika meledak tahun ‘86 gua bikin beritanya waktu gua SD. Berita itu gua tulis di buku tulis yang masih gua pegang sampai sekarang. Waktu SMP itu lagi gila-gilanya musik heavy metal di Indonesia. Dari Gun’s and Roses sampai Halloween, Metallica, Iron Maiden itu bandband yang besar pada era itu. Mereka otomatis mempengaruhi selera bermusik gua pada waktu itu. Akhirnya ketika SMP gue tergolong peminat musik yang berbeda.. Dan gua bergabung dengan eskul Mading di SMP sampai SMA. Setelah itu punya band metal sama anakanak SMA, ikut kompetisi rock se-Jakarta. Kita menang juara 1 di Velodrome Rawamangun lokasi kompetisinya. Gua terplilih jadi vokalis terbaik, band gua jadi band terbaik waktu itu. Abortus nama bandnya. “Wah kita jadi rockstar kita jadi artis” pikir kita waktu itu. Dapet undangan manggung di pensi – pensi cukup banyak. Akhirnya lulus SMA aktivitas ngeband berhenti semua. Tahun ’96 awal gua melihat ada majalah musik underground dari Bandung namanya Revogram, itu bisa dibilang salah satu inspirasi gua untuk kemudian menerbitkan majalah Brainwashed. Alasannya waktu itu ya karena ingin men-support band teman. Kebetulan dulu gua nongkrongnya di Blok M sama anak-anak metal disana. Tapi waktu itu media-media massa menutup pintu untuk musik-musik seperti itu. Gua wawancara edisi pertama dulu dengan Betrayer, Trauma, Grausig dan Delirium Tremens. Isinya 24 halaman, dan modalnya dulu cuma lem Power Glu, gunting, komputer Windows 31, printer dot matrics dengan program desainnya PrintMaster. Pokoknya itu purba banget. Malem-malem gua kerjain di meja kaca ruang tamu rumah, begadang gitu sambil dengerin musik. Nyokap gua ngeliatin “ini anak ngerjain apaan?” tengah malem gitu guntang-gunting melulu. Akhirnya edisi pertama Brainwashed jadi, terus gua fotokopi. Kebetulan tante gua baru buka tempat fotokopi Xerox jadi gua ngutang sama dia, fotokopi sebanyak 50 eksemplar, gua jual 2.500 perak. Lalu kebetulan ada acara underground di Harley Davidson Café dan untuk pertama kali gua jual Brainwashed disitu. Hari itu 50 eksemplar habis. Wah pada seneng tuh, gua nggak bisa lupa deh senyumnya anak-anak begitu baca wawancara bandnya sendiri. Itu mengharukan lah, sampai hari ini gua masih mengenang peristiwa itu. Gua langsung bayar utang, sementara order datang terus dari berbagai daerah lalu gua fotokopi lagi., Dari situ karena gua kuliah jurnalistik jadi gua meng-combine antara ilmu

kuliah sama hobi. Brainwashed berhenti di tahun ’99 sampai edisi ke-7. Dapet job pertama tahun ’99 ditawarin jadi jurnalis online, namanya Relax.com, gua disuruh mendesain kanal-kanal dan konten-nya sendirian. Tapi digaji oleh korporat yang besar dan kantornya di Plaza BII Thamrin, Jakarta Pusat lantai 20. Ngantornya sore pulang kuliah, jadi gua masuk kantor jam 5 sore sampai 12 malem malah kadang nginep di kantor. Itu berjalan satu tahun. Ditawarin lagi masuk Musikita. com setahun. Tahun 2002 gua ditawarin lagi ke Tabloid Rock punyanya Log Zhelebour. Setelah 36 edisi tutup lagi, gua bikin EO namanya Brainwashed Entertaiment. Dimodalin sama raja judi di kota, yang anak-anaknya lagi mencoba belajar berbisnis. Akhirnya Mei 2005 gua ketemu sama Adib Rolling Stone, ditawarin masuk Rolling Stone. Sebulan kemudian gua sudah dikirim ke Jepang untuk ngeliput konsernya Fort Minor. Itu first trip gua ke luar negeri untuk liputan konser. Keluarga gua sih dulu nggak tau sebenernya anaknya ngapain, karena gua lebih sering berada di rumah kakek gua. Dulu orang tua bilang “hati-hati lo kerja kalo udah kenal duit, kuliah berantakan” bener itu, kejadian. Gua sampai sekarang belum lulus kuliah. Harusnya gua lulus dari tahun 2000. Tahun 2000 itu kebetulan bokap gua meninggal dunia, gua ditawarin kerja di perusahaan yang lantai 20 itu. Lebih concern buat kerja jadinya. Gua udah sampai jadi ketua Senat di Moestopo, padahal tinggal menjalani skripsi doang. Jadi sampai hari ini gua masih dikejar-kejar orang kampus hahahaha. Wasiat Almarhun bokap gua sebelum dia meninggal itu adalah harus selesai kuliah. Jadi sampai sekarang itu masih menghantui terus, memang ada rencana untuk lulus cuma belum dapet waktunya dan ini udah berjalan 13 tahun hahaha. Itungannya sampai saat ini gua belum membahagiakan mereka, tapi ya dari mulai gaya hidup yang gua tekuni dari dulu ini, hobi yang gua tekuni kemudian jadi profesi, dan ketika bokap gua meninggal gua jadi mengambil alih tulang punggung keluarga; membiayai keluarga gua sendiri dan menguliahkan adik gua. Jadi gua pikir kalo lo punya ijazah sekalipun tapi lo nggak bisa melakukan semua itu ya percuma. Dulu setiap sore gua dirumah kan nyapu ngepel, gua setel Helloween gede–gede kan.. Nyokap gua pulang dari pasar teriak “ini musik setan, maghribmaghrib nyetel musik setan!” terus di matiin. Lo bisa bayangin dari musik setan itu, 20 tahun kemudian gua bisa membiayai hidup nyokap dan adik gua yang dia bilang dulu musik setan. Gua pikirin kenapa gua bisa sampai sejauh ini ya karena pergaulan. Pergaulan dan kemampuan lo, skill lo, sama cara lo maintain hubungan. Bukan ijazah yang memainkan peran disini. Gua lebih banyak dapet ilmu ketika bikin Brainwashed dibandingkan segala teori yang ada di kampus gua. Apalagi jaman dulu gua lebih seneng demo dibandingkan kuliah hahaha. Musik memberikan gua kebahagiaan, kalo lo mencari tujuan hidup lo mencari kebahagiaan, gua udah mendapatkan salah satu tujuan hidup gua, dan

itu musik. Gua merasa ya ini diberikan semuanya oleh musik. Apa yang udah dikasih ke gua yang paling harus gua syukurin adalah ketika gua bisa memilih jalan hidup gua sendiri, sesuai passion gua, nggak jauh dari kuliah gua juga walaupun kagak lulus hahaha. Semua ini terjadi karena musik itu sendiri yang bisa membawa gua keliling dunia untuk nonton musik, ketemu idola-idola yang dulu cuma gua bisa mimpiin doang, ngobrol sama mereka, foto, tukeran jokes dan yang paling menyenangkan setelah mengerjakan itu semua gua masih di gaji oleh kantor. Mungkin ini dream job ya kalo orang bilang. Kalo hidup dan waktu lo hanya dihabiskan untuk mengerjakan sesuatu yang nggak lo suka, itu mubazir, man. Untuk apa lo melakukan semua kerja keras itu dan lo nggak menikmati? Industri musik mau mati atau industrinya hidup terus, yang pasti musik akan tetap ada. Yang hancur mungkin industrinya tapi memproduksi musik, itu akan tetap terus. Menerbitkan buku MusicBiz menurut gua salah satu pencapaian yang mengharukan karena bisa terjual lebih dari 6.000 eksemplar. Kalo lo mau jadi penulis yang baik lo harus siap menerima kritik. Kalo lo marah ya lo masih cemen berarti. Intinya menulis itu yang paling menyenangkan adalah nomer satu bukan dapat honornya, tapi karya lo dibaca. Ketika ada feedback atau respon, itu udah jauh dari honor. Kalo lo taruh hati lo di setiap pekerjaan, lo akan menjalaninya dengan enteng. Mau sesulit apapun, mau tantangan sebesar apapun.. ngerjainnya enak. Dan yang paling enak lagi bisa menghidupi. Nggak ada yang bisa menggaransi kesuksesan, walupun lo udah kerja keras sekeras apapun, yang namanya kesuksesan itu X factor. Gua percaya dengan omongannya Neil Amstrong “Small step for men, a giant step for mandkind.” Jadi semua langkah-langkah besar, semua kesuksesan besar, itu terjadi karena langkahlangkah kecil. Itu yang gua alamin dulu dengan hidup gua sendiri. Bahwa nggak pernah ada yang menyangka, kalo dari sebuah fanzine fotokopi kemudian bisa mempunyai sebuah profesi di sebuah majalah musik internasional yang pernah gua nonton filmnya ‘Almost Famous’. Tapi majalah underground seperti itulah yang membawa gua kemudian berkeliling dunia. Jangan anggap remeh sesuatu yang kecil. Entah itu bikin webzine, entah itu menulis review konser, entah itu lo wawancara band temen lo. Itu di suatu hari nanti akan ada karma baiknya. Hampir semua idola-idola gua dulu itu ketemu. Tapi gua diawali dari wawancara temen-temen gua itu tadi. Tapi dari situlah lo berbuah, kalo lo tekuni terus, lo lakukan dengan sepenuh hati, konsisten dan totalitas disitu. Dan itu nggak ada sekolahnya, nggak ada ijazahnya. Teorinya cuma satu; Kerjakan. Keluarga dan saudara-saudara lo nggak akan pernah paham apa yang lo lakukan, mereka akan mempertanyakan sebelum lo membuktikan. Rock&Roll | Mei 2013 | 35


36 | Mei 2013 | Rock&Roll


doctaruby Penyiar Radio, Kis.fm Jakarta, 9 Maret 2013 Setiap sabtu jam 8 - 12 malam wanita lulusan dokter ini mengudara di Kis.fm Jakarta pada program Rock Weekend. Tidak hanya pandai menyusun playlist untuk ber-headbanging, dia juga mampu membuat pendengarnya galau tidak karuan dengan musik rock di program #cadastapigalau.

teks dan foto oleh lody andrian

Gue itu paling marah kalo dibangunin tidur kaget, tapi kalo pasang alarm juga gua snooze pasti. Bokap gua itu jago dia pasang ‘Black Dog’-nya Led Zeppelin segede-gede ‘gaban’. Kaya hampir setiap hari gua dengerin lagu itu dulu. Mungkin yang di setel bokap gue gak cuma itu, cuma ‘Black Dog’ yang paling nempel di otak. Lagu itu yang mengenalkan gue pertama kali ke musik rock. Pertama kali jadi penyiar itu gue terjerumus. Jadi tahun 2002 Prambors buka lowongan penyiar itu gue kuliah semester 4-an atau 5 lah ya.. Dan temen temen gua ngelamarin. Gua gatau gimana caranya mereka ngelamarin dan gua dipanggil ke Prambors dapet lah training dan segala macemnya selama 3 bulan. Setelah training dipanggil sama station manager, “Di, suara lo oke, mixing lo bagus pas banget jadi penyiar. Tapi suara lo terlalu dewasa buat segmen-nya Prambors”. Akhirnya gua dilempar ke Female Radio, Grupnya Prambors juga kan Female, Delta, sama si Prambors itu. Di Female gua siaran, siaran dan siaran gua waktu itu lagi mulai ko’as kan, ternyata di Female gak bisa meng-akomodir kebutuhan waktu gue yang gua harus jaga malem, gua harus absen dan segala macem. Akhirnya gua di tawarin sama Kis.fm. Dan keterima di Kis.fm gua jalanin, sampai sekarang. I do enjoy every single moment kalo gua siaran Rock Weekend. Begitu dapet jam 8 – 12 malem mulai lah gua bikin gimmick. Gua menikmati musik-musik kenceng cuma gua yakin orang diluar sana butuh istirahat dong. Mulailah setiap jam 10 gua kasih gimmick #cadastapigalau. Kok dari minggu ke minggu justru itu yang ditanyain orang ya..

Padahal sebenernya kalo di perhatiin sama aja playlistnya. Kalo udah jam 10 – 12 gue ngetwitnya bukan #nowplaying lagi, tapi gue kasih potongan lirik lagu yang mungkin untuk beberapa orang ‘hag-jleb’ gitu. Gua menikmati karena gua bisa menggunakan pengaruh gue sebagai penyiar untuk hal - hal yang berguna juga, let’s say kegiatan sosial. Apalagi dengan social media ya, gua bisa ngasih pengaruh gue agar orang jadi ikutan. Gak perlu banyak usaha tapi nambah nambah pahala. Kebahagiaan buat gue, kalo ada rocker – rocker yang bertatto, bertindik, gahar begitu gue puterin ‘Alone’-nya Heart langsung yang galau nggak karuan. Harusnya ada music director yang mengatur playlist tiap malam, tapi gue gak perduli. Kalo nge-set playlist gua gak anggap sebagai sebuah pekerjaan, sebagai kebutuhan. Satu selling point gue, gue bisa bikin orang headbanging sampe sakit kepala, tapi di lain pihak bisa bikin orang nangis-nangis gak jelas juga. Gua kuliah dokter itu disuruh sama orangtua kok. Nyokap bokap gue untungnya demokratis banget, selama gue menikmati apa yang gue kerjain, kerjaan gua jelas, mereka nggak ada masalah. Karena gua juga pernah nyoba kerja di rumah sakit, tapi gua selalu pulang dengan kelelahan luar biasa gitu; yang mukanya udah gak enak, besok paginya juga bangun yang lesu. Nyokap gue sendiri yang bilang “gue ngeliat lo berangkat jam 5 pagi, siaran jam 6, abis itu lo kerja lagi di kantoran dan lo pulang dengan muka biasa biasa aja, besok pagi juga lo nggak pernah

gua bangunin siaran pagi” gua bangun sendiri segala macem kalo siaran. Apa yang bikin gue nyaman ya udah gue kerjain aja, pokoknya gue udah nyerahin ijazah gue ke orangtua, “udah ya nih makan tuh gengsi..” abis itu let me do my own passion! Penyiar memang jadi passion gue banget dan kepake kok buat cari duit juga. Dokter yang pinter banyak, tapi dokter yang pinter yang bisa ‘ice breaking’ sama bisa menterjemahkan bahasa medis ke bahasa awam kan mungkin gak banyak. Kelebihan gue mungkin disitu. Rock itu sesuatu yang bisa mengisi hidup gue. Dalam arti kalo gua mau marah-marah, gua bisa denger musik rock. Dan kalo gua pengen curhat, tapi nggak bisa ngomongin itu ke orang, gua bisa ngungkapin lewat musik rock itu juga. Musik rock itu part of my life. Jangan sia-siakan hidup lo dengan mengabaikan passion lo. Gua sudah cukup menyianyiakan beberapa tahun hidup gue untuk kerja di farmasi, di rumahsakit demi pendapat orang yang baik soal gue. Banyak yang bilang “Dokter kok siaran?!” Tapi buat apa gua perduli kata orang kalau gue sendiri nggak nikmat. Once lo jalanin passion lo sometimes yang namanya materi itu akan jadi hal yang entah ke berapa. Dan walaupun terdengar klise tapi materi itu nggak bisa menggantikan passion.

Rock&Roll | Mei 2013 | 37



jimi multhazam

Seniman Kontemporer, vokalis morfem Jakarta, 10 Mei 2013 Seniman yang juga musisi ini selalu merekam setiap momen, menumpahkan ke karya, menyampaikan pesan dan ide lewat visual, verbal, hingga lirik lagu. Gairahnya di dunia seni sedari kecil tidak diabaikan begitu saja, berbagai intimidasi dan lika-liku dilewati, sampai seni itu sendiri yang menghidupinya.

teks oleh lody andrian | foto oleh ryan ar

Dulu gua suka dikasih bacaan bergambar gitu sama nyokap, ada gambar insinyur sipil lagi ngeker pake tripod. Dari situ gua mulai bercitacita jadi insiyur sipil awalnya. Cara menenangkan gua itu cukup gampang kalo kata nyokap. Jadi kalo dia lagi gossip sama gengnya, gua mulai nggak betah ‘namanya anak kecil masih 4 tahun kan,’ dia kasih beberapa gulungan kertas dan spidol, udah gua diem, sampe malem, sampe tidur. Jadi dirumah ada kalender BBD (Bank Bumi Daya) bokap itu dulu pegawai bank, setiap tahun dapet kalender isinya karya pelukis realisme semua. Dan salah satunya yang membuat gua tertarik itu M. Ivansyah namanya. Awalnya sih dari situ dan komik karya Jack Kirby ‘Fantastic Four’ tahun ‘60an. Awalnya musik buat gua itu jangkauan-nya jauh banget, waktu kecil poster-poster di kamar gua itu Eddie Van Halen dengan gitar strypingnya, Jimmi Page dengan double-neck gitarnya, Ritchie Blackmore lagi banting gitar. Menurut gue ini nggak bisa dijangkau lah buat gue. Tapi tiba-tiba waktu SMA, di tempat yang sangat nasionalis banget lagi upacara bendera, seorang teman gua ngeluarin kaset The Dehumanizer. Disitu gua baru berubah, “oh musik itu bisa dimainkan dengan gampang ya?.” Gua udah tau seni abstraksi, kontemporer lah waktu SMA dan gua menganggap ni orang asal-asalan aja cuma keren ya. Nah di musik juga gitu, ternyata main musik asal-asalan juga bisa keren. Dari situ gua mulai main musik kelas 2 SMA. Ketika kuliah, gua melukis beriringan dengan main band, cuma ternyata cara pengapresiasian musik itu lebih cepat. Sedangkan di seni rupa itu; kita melukis, pameran, diskusi, baru nyampe di masyarakat. Gaya realis nggak menampung ide gue, akhirnya gua mencoba pencarian jati diri. Sampe akhirnya gaya goddamn motherfucker Raymond Pattibon. Gua mulai ‘klik’nya disitu. Nyokap gue itu penari tradisional kontemporer zaman dulu, jadi sering bikin cabaret di sekolahnya, dia guru TK juga. Kakak gua yang pertama juga seniman, tapi abstrak, ekspresionis gitu modelnya, liar deh pokoknya. Abang gue kayaknya salah satu influens gua juga. Gua pengen banget bisa kayak dia. Termasuk sisipan kontemporer buat gua, jadi kertas-kertas semen digarap jadi kanvasnya dia, kain blacu dipake dan sebagainya lah. Pertama kali berpameran tahun ‘97 sama si Henry Foundation. Gua bikin Jimi Vs Henry

(#1). Kita ada sekitar tiga wall, yang kiri itu gue yang kanan itu Henry dan wall yang di tengah kita berkolaborasi. Konsepnya senang-senang. Waktu itu era ‘90an, berat banget pola pikir buat berkarya, jadi disitu konsepnya cuma bersenangsenang. Gua ini kamera kayaknya ya, gua capturing terus setiap kejadian yang harus gua sampein lewat karya gua. Entah kenapa waktu itu anak-anak kampus dapet invitation dugem gitu, man. Jadi mungkin gara-gara anak IKJ nyentrik-nyentrik jadi di undang-undangin. Sampe sana gua gagap juga “Wah anjing, ni musik apaan, deephouse gitu terus ada chillroom kecil dan ada DJ main Drum&Bass” Bukan gua banget sih, cuma gua merasakan hype itu; anak ibukota, bokek, dapet invitation, sampe sana ngembat-ngembat bir orang. Inilah tematema gua yang mesti gua sampein, salah satunya kalo di musik di The Upstairs gua tulis ‘Apakah aku ada di Mars Atau Mereka Mengundang Orang Mars.’ Intimidasi dari seniman-seniman lain sering banget, entah itu persaingan entah itu becandaan antar seniman. Jadi pernah gua bertemu seniman kontemporer banget, dulu yang “–isme”nya ngehe banget. Gua liatin karya gue dan dia menjabarkan tentang karya gue. “kalo gua liat lo, dari dulu sampe sekarang kalo lo hanya begini-gini aja, lo mati di got! ” Gua gituin aja hahaha. Intimidasiintimidasi seperti itu udah biasa, cuma akhirnya ke scene seni rupa juga udah jarang. Keluarga gua awalnya mendukung gua untuk menjadi desainer grafis, kerja dengan stabil dan lain-lain. Pas gua udah masuk kuliah gua bilang sama nyokap gua mau jadi seniman, mereka sangat percaya banget sama gua. Gua sudah terbiasa dengan visual, ketika di musik juga gua menganggap itu karya seni rupa gue. Gua main musik, temen gua bikin musiknya dikasih ke gue, gua kasih lirik, itu di kepala gua langsung tergambar imaji-imaji gitu, ibaratnya otak gua udah kayak video klipnya gitu. Akhirnya dapet lah tema. Jadi memang gua sangat visual sekali, ketika membuat musik juga gitu. Gua penghayal kali ya.. Pola pikir gua itu sangat-sangat visual. Gua di band, itu gua Art Director, sampe segitunya. Jadi gua membawahi beberapa desainer-desainer yang itu gitaris basis untuk membuat sebuah karya. Ketika udah nyemplung akhirnya gua berfikir keras untuk hidup. Kalau lo mau hidup apapun bisa terjadi. Selama ini memang gua dari art ini sih gua hidup. Ya kalo lagi mentok ibaratnya lagi

fight dan K.O terus harus survive untuk beberapa bulan mungkin gua pernah banting setir jadi penata artistik, bahkan sinetron, film, bahkan lebih gilanya waktu lagi gembel-gembelnya gua sempet juga jadi pemeran antagonis, cuma hanya film-film temen gua aja sih. Pantomim pun pernah gua jalanin, di Bengkel Night Park acara disko gitu. Waktu itu cuma pakai kolor dan badan gua kuning semua, ada DJ lagi main gua diatas meja DJ gitu, dibawah cewek kece-kece lagi. Itu pekerjaan gua paling nista sebenernya, cuma pulang gua bisa bayar kost. Jika belum sukses di bidang gua, gua sabet sana-sini dulu buat survive. Nah itu yang terjadi sama gua. Keluarga menginginkan gua sebagai pekerja sebenernya. Mindset jadi enterpreuner juga belum. Lebih ke keadaan sih waktu itu. Keadaan itu mentok sana-sini. Benar-benar hidup sendiri tahun ’96 itu gua keluar dari rumah gua tinggal di kampus. Ketika gua sendiri gua inget yang ditanemin bokap gua “cowok itu kayak kecambah, dilempar dimana pun tumbuh” jadi maksudnya cowok itu dimana pun bisa hidup. Sebenernya kalo otak lu seneng dan lo bangga banget sama musik atau karya lo.. Udah selow, semua akan ngikut. Kalau passion, nggak ada kata untuk nggak berani. Passion itu kan gairah sebetulnya. Banyak temen gua gitu akhirnya jadi gitaris kamar karena gitarnya itu nggak dia eksplor semaksimal mungkin, akhirnya dia jadi pegawai, setiap hari pulang ada gitar Ibanez di kamarnya, dia main gitar jadi shredder gitu. Nah itu buat gue bukan passion dia tandanya, dia sekedar bisa main gitar. Tapi kalo orang yang nggak bisa gitar tapi “gua pengen main gitar!” itu passion! Padahal main gitar cuma seadanya, cuma dia bisa bikin macem-macem dari itu bahkan lebih gilanya dia bisa hidup dari situ. Itu passion. Cuma punya potensi tapi nggak berani? berarti itu bukan passion lo. Lo mesti bisa memainkan ‘semuanya’, dari tricky-nya dari culas tipa-tipu, dari friendship apalagi. Indonesia friendshipnya tinggi lho, gokil. Jadi lo punya link lo bisa manfaatkan. Asas percaya dan manfaatnya itu kuat banget disini. Ya ketika lo menganggap itu semua itu musuh lo, ya lo jauh dari situ. Kita mesti bisa manfaatin keadaan. Kita akalin aja. Gua inget quotes dari Irfan Sembiring-nya Rotor. Dia ke record label itu pake gitar kopong, man. Dia cuma bilang gini “Di Indonesia, band lo nggak ngetop yang salah adalah elu.” Rock&Roll | Mei 2013 | 39


kimung

Guru dan Penulis Bandung, 7 Maret 2013 Setiap peristiwa hanya akan menjadi sejarah bila ada pendokumentasian dan penulisan. Jika bangsa yang maju adalah bangsa yang melek sejarah, bagaimana mungkin Indonesia akan mengukir sejarah, jika menulisnya saja masih ngaco? Pak guru Kimung, mohon bimbingannya.

teks dan foto oleh revan bramadika

Sewaktu kecil, setiap hari saya merasa malas jika dibangunkan oleh orang tua untuk menunaikan sholat subuh. Agar semangat, disepanjang jalan menuju ke mesjid, saya dan bapak suka melihat-lihat ke langit. Bapak suka mendongengkan cerita-cerita mengenai rasi bintang. Begitu juga ibu, suka membelikan buku-buku dongeng. Disekitar rumah juga banyak taman bacaan hasil program pemerintah di masa itu. Hal-hal seperti itu yang membuat saya senang membaca, dan akhirnya berpikiran bahwa, orang yang bisa nulis buku itu edan. Waktu Sekolah Dasar, saya sering menulis tentang hal yang berkaitan dengan pengetahuan umum. Saya pernah menulis daftar lebih kurang 6000 penemu bersejarah, dan mengumpulkannya dalam sebuah buku. Saya juga suka menulis puisi, tapi bacanya nggak bisa. Jadi, kalau ikut lomba deklamasi, selalu kalah. Tema puisinya juga seputar pemandangan alam, standar pisan. Mulai usia SMA, saya mulai menulis lirik lagu untuk band saya. Pada saat itu, sudah mulai ada kesadaran dilingkungan teman-teman, bahwa kami harusnya sudah memulai untuk menulis lagu sendiri, dan berpikir untuk tidak lagi membawakan lagu orang lain. Saya dan Ivan “Scumbag” (Alm.) suka bareng untuk menulis lirik untuk lagu. Kami berdua juga pernah terlibat mengerjakan fanzine minor bacaan kecil “Revogram”. Ivan lebih banyak menulis, sementara saya yang menggambar. Ditahun 2005, terinspirasi dari buku “Tiga Angka Enam” yang ditulis oleh Addy Gembel, Ivan pernah bilang, kalau dia ingin menulis buku kumpulan lirik dan eksplanasi dari Burgerkill, dan juga tentang sejarah perjalanan band ini. “Biar saya yang bercerita, kamu yang menuliskannya” minta Ivan kepada saya. Rencana menulis buku ini tertunda karena

40 | Mei 2013 | Rock&Roll

kondisi Ivan yang terus menurun dan akhirnya gagal digarap. Ivan harus meninggalkan kita untuk selamanya. Saya mengenal Ivan sudah sejak usia muda. Bahkan rumahnya, adalah rumah kedua saya. Disaat detik-detik terakhirnya, saya sempat berbisik “buku ku urang teruskeun, maneh lalakonan.” Rasanya sangat terpukul. Motivasi terbesar saya untuk melakukan ini, karena merasa ada urusan yang belum selesai antara saya dan mendiang. Mungkin kalau tidak mengalami kehilangan seorang teman baik seperti ini, saya tidak akan pernah menulis selamanya. Buku pertama yang berjudul “My Self: Scumbag, Beyond Life and Death”, naskah aslinya saya tulis hingga 600 halaman. Yang dijadikan ke buku, hanya 300 halaman. Ada 300 halaman lagi yang lebih bercerita tentang skena Ujung Berung Rebels. Jadinya saya bikin trilogi aja, Scumbag, Ujung Berung Rebels, dan menyusul, Bandung Bawah Tanah. Project ini, masih terus berjalan hingga kini. Setelah saya menulis buku “Scumbag”, saya menyadari bahwa persinggungan antara musik dan ranah kreatifitas yang lain itu teh, benar-benar terasa. Ternyata, musik itu tidak bisa dipisahkan dari literatur. Untuk membangun sebuah imej dari musik, kita butuh narasi dan cerita yang melatar belakanginya. Insfrastruktur seperti ini harus mulai dibangun, dan kita tidak mungkin bisa membangun ini sendirian, harus dengan bantuan teman dan komunitas. Musik harus mulai untuk dapat dinarasikan, didokumentasikan, dan dituliskan. Saya juga seorang guru disebuah SMP. Edan.. banyak orang tua murid yang datang ke sekolah tempat saya mengajar, dan complain tidak mau anak mereka diajari oleh guru seorang anak metal, yang dulunya pecandu. Ini terjadi setelah

buku “Scumbag” keluar, dan para orang tua itu membacanya. Istri saya juga sempat khawatir ketika membaca naskah awal “Scumbag”, takut kenapa-kenapa akan imej saya dibuku itu yang seorang pecandu narkoba. Tapi saya kasih pengertian, bahwa itu adalah saya yang dulu, yang penting kan saya yang sekarang. Saya pernah diingatkan oleh seorang dosen, ketika sedang menulis tentang sejarah musik Karinding. “Ah kamu ini siapa sebenarnya? Kok berani menulis sejarah tentang Karinding? Kalau memang benar mau menulis sejarah, paham sejarah keluarga sendiri nggak? Tujuh turunan harus hapal…” Edan kan?! Pertanyaan seperti ini mampu menjadi cambuk buat saya, agar tetap semangat. Saya melihat, lebih kurang 30 tahun kebelakang, sistem pendidikan sejarah kita tidak membangun kesadaran orang akan pentingnya sejarah. Kalau dulu, saya disuruh menulis diary oleh guru sekolah, kemudian dibacakan di depan kelas. Hal kecil seperti ini secara tidak langsung dapat merangsang kita untuk rajin menulis dan menghargai sejarah hidup kita sendiri. Kalau sekarang, kemampuan menghafal sejarah, itu dianggap lebih penting, dibandingkan mendokumentasikan sejarah. Itu teh, membiaskan tujuan pendidikan sejarah yang sebenarnya kalau menurut saya. Kita selalu ditekankan untuk menghafal sejarah, bukan mengerti memahami sejarah, apalagi melakukan sesuatu yang bersifat sejarah.


Rock&Roll | Mei 2013 | 41


42 | Mei 2013 | Rock&Roll


intan anggita Musik Indonesa.fm Jakarta, 29 Maret 2013 Perempuan extrovert ini hobi menggali dan berbagi tentang musik. Mulai dari social media, event, menjadi pembicara di pelbagai kota di Indonesia, hingga mendirikan sekolah musik gratis secara digital yang sedang dirancangnya. Perjalanan mengantarkanya untuk menemukan sebuah misi. Yaitu musik sebagai katalis perubahan.

teks dan foto oleh lody andrian

Awalnya dari kecil memang gue suka dicekokin bokap denger lagu yang tergolong ‘aneh-aneh’. Awalnya jazz, bokap gue jazz, tapi campuran music art rock dan glam rock kayak Pink Floyd dan sebagainya. Gue dengerin apa yang dikasih bokap, tanpa menyaring. Gue besar di Tasikmalaya, jadi apa yang dikasih bokap, mulai gue cari sendiri dan mulai pengen tau lebih banyak. Karena dulu itu yang masuk cuma RCTI, SCTV sama TPI, gue nggak mengalami era MTV. Sampe gue ingin banget jadi penyiar, kesampean. Kelas 3 SMP gue udah siaran. Karena awalnya gue suka nulis puisi dari kelas 3 SD, gue siaran itu gara-gara gue nulis sastra dan SMP karya gue masuk koran Pikiran Rakyat. Dengan beberapa sastrawan Jawa Barat gue bikin buku antologi puisi. Orasi Kue Surabi judulnya. Gue nulis karena faktor lingkungan. Selesai sekolah gue pindah ke Bandung ngambil jurusan Hukum di Universitas Parahyangan. Masuk hukum karena gue pengen jadi Lawyer Entertaiment, dari dulu gue kepikiran jadi itu. Gue pengen jadi pengacara cuma nggak mau masuk neraka. Gue menjelajahi radio cukup banyak kayak di Otoradio, Trax, Prambors. Tapi nggak ada yang pernah nyangkut, diantara penjelajahan gue di musik itu gue pengen nyanyi. Beethoven From Stereo nama band gue waktu itu electronic alirannya. Gue udah belajar vokal di beberapa tempat yang berbeda. Tapi ternyata nggak sesuai yang diinginkan band gue. Gue dipecat dari band tanpa bilang-bilang, jadi mereka rekaman udah dengan vokalis baru. Referensi mereka juga beragam, waktu itu gue masih belom tau banyak tentang musik sampai gue dibilangin: “Wah, kalau mau jadi musisi itu referensi lagu harus banyak!” kayak merasa bego banget depan mereka. Disitu gue dendam, men. hahaha Di Jakarta, gue lebih banyak referensi dan main di gigs terus. Siaran dan jadi scenester lah waktu itu. Gue jadi manager Ecoutez, tapi cuma tujuh bulan. Abis itu gue bingung ‘gue tuh suka musik, tapi mau ngapain yah,’ akhirnya gue mulai nabung untuk kuliah lagi. Semua orang bisa jadi scenester semua orang bisa jadi musisi. Tapi gue memilih menulis dan belajar menganalisa, menjadi pengamat dan mengamati untuk konsumsi pribadi. Jadi penulis yang idealis dengan idealnya gue. Terpikir menulis musik itu gara-gara Dimas Ario, pemain bass dan penulis lagu di Ballads Of The Cliché. Gue belajar banyak dari dia. Gue menuliskan apa yang ada di sekitar gue dari sisi yang berbeda karena passion gue di musik jadi cenderung menuliskan apa yang menurut gue menarik di sisi yang gue suka.

Berkenalan dengan social media. Gue berpikir ‘kayanya seru nih kalo media sosial dijadikan wadah untuk sharing.’ Dimulai lah disitu gue sharing tentang musik, sembari menggali. Ternyata musik di Indonesia itu sebenarnya nggak ada masalah. Cuma media arus utama tidak mencari apa yang positif dengan menggali. Ngomongin yang lagi rame aja. Kita pun tidak ada yang mendokumentasikan dengan layak dan benar. Disitu gue berpikir untuk bikin sebuah buku. Rekam Jejak judulnya, itu adalah buku tentang spirit anakanak muda yang memajukan musik di Indonesia. Setelah ngobrol dan cerita sama Glenn Fredly, terus dia bilang “Wah kamu suka banget musik suka dokumentasi dan sudah mulai merekam jejak. Kamu nggak afdol kalo besok nggak dateng” ke launching DVD dia dan Lokananta di Epicentrum. Gue dateng dan cuma live tweeting doang apa yang lagi seru. Pas pulang kerumah gue nemu, ternyata ada buku di dalemnya, buku dari Wendi Putranto tentang Lokananta. ‘Kok kita punya ya studio sebagus ini di Indonesia.’ Akhirnya gue tweeting-tweeting. Orang Prambors Solo nyaut “bikin apa kek, Tan. Jangan cuma nge-tweet doang.” Disitu gue kepikiran bikin event di Lokananta, Solo. Gue juga bikin event di Jakarta buat Lokananta di Borneo Beerhouse. Wendi sama gue kerjain itu supaya jalan dan gue dikenalin sama pihak Lokananta. Terus bikin merchandise untuk disumbangin ke Lokananta. Gua nggak ada sama sekali kepikiran promosi atau apa, jadi itu gue bikin buat orang Solo biar tau Lokananta. That’s it. Gua kirim fun fact tentang Lokananta ke musisi-musisi yang mau bantuin, jadi musisi itu tinggal ngetik apa yang sebenarnya kita punya di Lokananta. Akhirnya jalan semuanya. Kekumpul tuh 250 orang yang membantu. Dan itu konser pertama kali yang ada di dalam Lokananta dan Lokananta rame lagi, hidup lagi setelah 20 tahun. Gue bukan staff Lokananta, setelah gua menggali Lokananta itu adalah BUMN. Dari situ gua berfikir yang ‘okey nggak ada salahnya nih gua jadi sahabat doang’ jadi #SahabatLokananta itu memang mencari rootsnya apa yang terjadi disitu. Karena memang orang-orang kita itu nggak terlalu menggali. Ajaibnya adalah saking kita mencintai musik kita bisa ngumpulin 250 orang itu terus masyarakat jadi tau kekuatan Lokananta. Untuk promosi Lokananta gue bikin video sepanjang lima menit, semata-mata untuk ngasih tau ke orang-orang kalo Lokananta itu ‘gini loh.’ Tapi gimana caranya orang-orang pada tau dan nggak jadi sia-sia. Pas ulangtahun Lokananta, gue ingin video itu ditonton di teman-teman seluruh Indonesia, jadi gue ngumpulin link sampe ada pemutaran video itu di 22 kota. 6 kota bikin acara di tanggal 29 untuk

ngerayain ulangtahun Lokananta dalam satu hari. Ternyata memang musik itu bisa mengubah banyak hal dan bisa menyatukan. Akhirnya karena #SahabatLokananta itu gue berfikir ‘ini akan menjadi apa ni orang-orang yang peduli ini’ ternyata mereka banyak yang bisa nulis, mereka suka fotografi, videografi. Akhirnya gue bikinkan kanal sama teman gue Daiva, namanya MusikIndonesia.Fm. Triggernya, orang di MusikIndonesia.Fm dapet reward. Gue lagi menyusun kurikulum biar tiga bulan sekali orang yang menulis disitu dapet reward. Reward-nya itu private lesson digital. Tapi mereka itu sampai ‘jadi’ sampai tiga bulan berikutnya. Sampai tulisan mereka itu siap masuk kemanamana. Mereka itu akan jadi jurnalis selanjutnya. Gue mau bikin sekolah gratis by video, lo klik sign in, lo masuk kelas yang lo mau, lo ikutin kelas itu, ada assignment-nya, quiznya, tapi dapet sertifikat. Gue udah punya dosen-dosennya yang kompeten. Dari menulis lirik, belajar mixing, produce, belajar pro-tools, dsb. Itu jadinya orang yang suka musik di seluruh Indonesia bisa belajar. Free. Akhirnya duit gue kekumpul, gue bisa kuliah lagi ngambil Master Performing Arts and Music di Institut Musik Daya. Abis itu gue berfikir kalo musik kita perlu ada preservation. Kemarin waktu Hari Musik Nasional kita buat Pekan Musik Nasional. Buat launching-nya MusikIndonesia.Fm itu biar nggak biasa. Gue ngelihat kalo musik itu perlu pendidikan musik yang bener. Edukasi itu penting. Gue nggak mau cuma ngomong doang, gue ingin melakukan sesuatu biar orang care sama musik kita sendiri. Gue percaya kalo musik itu bisa menjadi katalis perubahan. Ini yang gue lakukan sekarang. Gue nangis kemarin, jadi tiba-tiba pas gue bikin Pekan Musik Nasional ada orang dari Special Envoy of President Indonesia, pas gue tanya ternyata mereka itu MDGs (Millenium Development Goal). Jadi ada lembaga diantara negara-negara berkembang plus Negara maju yang gimana caranya supaya Negara berkembang bisa mengejar kesejahteraan-nya terpenuhi. Tapi Negara berkembang sekarang itu sangat memikirkan dari grassroots dan komunitas juga. Nah, dateng nih orangnya ke Pekan Musik Nasional, gue didaulat jadi speaker di Bali kemarin. Terus gue dapet name tag Music Preservation Activist berat banget hidup gue kayaknya hahaha. Gua cuma pecinta musik biasa, nggak lebih dari itu. Power of given sih gue percaya, semakin banyak lo memberi semakin banyak lo dapet. Sesimpel itu. Melakukan semua itu awalnya nggak mikir, kalo lo tulus dan jujur melakukan apa yang lo suka, semuanya pasti tercapai. Rock&Roll | Mei 2013 | 43


SANG BERLIA

YANG BERTAN

“Everyone is supposed to have fun when they’re young. I don’t know why, but I never did.” - Syd Barret.

H

ari itu, tanggal 5 Juni 1975, para personil Pink Floyd – Roger Waters [bass], David Gilmour [gitar], Richard Wright [keyboard], dan Nick Mason [drum] – sedang menjalani sesi rekaman mini album “Wish You Were Here” di studio Abbey Road London. Oleh: Samack

Mereka dikabarkan cukup serius menyiapkan EP ini paska kesuksesan album “Dark Side of The Moon”, yang dirilis dua tahun sebelumnya. Meski secara konseptual, Roger Waters dkk mengaku ini bakal menjadi album biasa yang penuh dengan ungkapan rindu. Tepat ketika merekam lagu “Shine On You Crazy Diamond”, ada sosok pria misterius yang terus menatap ke arah ruang studio dan menonton kegiatan rekaman personil Pink Floyd di dalam situ. Tubuhnya gemuk, dan sedikit tidak terurus. Nyaris tanpa sehelai rambut pun di kepala dan bulu di alisnya. Rogers Waters dkk tidak mengenalinya. Mereka bersikap acuh dan terus melanjutkan sesi rekaman lagu itu, “Remember when you were young, You shone like the sun, Shine on you crazy diamond. Now there’s a look in your eyes, Like black holes in the sky, Shine on you crazy diamond…” Sesaat kemudian, pria gemuk yang sedari tadi hanya duduk dan diam itu mulai dikenali identitasnya. Bahkan pria tersebut yang dimaksud ‘crazy diamond’ dalam lirik lagu tadi. Sontak semua personil dan kru Pink Floyd diguncang perasaan shock yang dahsyat. Suasana di studio itu sempat hening seketika. Roger Waters, orang yang dulunya sangat dekat dengan pria tersebut langsung menangis saat itu juga. Tentu saja tidak ada yang bisa tenang begitu tahu kalau sosok pria gemuk itu adalah...Syd Barret! “Itu adalah suatu momen istimewa 44 | Mei 2013 | Rock&Roll

yang tidak akan pernah saya lupakan,” ujar Richard Wright dalam sebuah wawancaranya dengan VH1. “Saya sedang menuju ke sesi rekaman ‘Shine On’. Saat saya masuk ke sana, saya melihat seorang pria duduk di bagian belakang studio. Jaraknya sangat dekat, namun saya tidak bisa mengenalinya. Saya lalu iseng bertanya ‘Siapa orang itu?’, kemudian ada menjawab ‘Itu adalah Syd’, dan saya langsung terkejut seketika. Saya gak percaya, dia telah mencukur semua rambut dan alisnya… dan Roger sedang menangis saat itu. Kita semua rasanya menitikkan air mata seketika. Ini sangat mengejutkan. Tujuh tahun kita tidak ada kontak, dan ini terjadi tepat di saat kami sedang menyelesaikan track tersebut. Saya gak tahu, apakah ini kejutan, karma atau takdir? Siapa yang tahu?… yang pasti momen itu sangat-sangat powerful!…” “Shine On You Crazy Diamond” adalah lagu tribut yang menyimpan nadanada bernuansa getir, puitik dan kriptikal yang memang ditujukan khusus bagi Syd Barret. Malam itu juga, Pink Floyd menyelesaikan sesi rekamannya dan memutarkan kembali hasil mixing akhir “Shine On You Crazy Diamond” di hadapan Syd Barret. “Oke, gimana menurutmu, Syd?!” tanya Roger Waters spontan. Syd Barret hanya menjawab singkat, “Sounds a bit old.” Kejadian ini memang selalu saja diangkat ketika membicarakan relasi antara Syd Barret dan Pink Floyd. Bagaimana tidak, setelah sekian lama berpisah, Syd

Barret justru hadir di saat kawan-kawan lamanya sedang merekam sebuah lagu khusus baginya. Momen ‘reuni’ seluruh personil asli Pink Floyd di hari itu langsung menjadi salah satu momen yang paling mengharukan dan dramatis di jagat musik rock dunia. Syd Barret terlahir dengan nama Roger Keith Barret di kota Cambridge, Inggris pada tanggal 6 Januari 1946 dari pasangan keluarga kelas menengah, Arthur Barret dan Winfred. Ayahnya adalah seorang pathologist terkenal di kota itu. Merekalah yang pertama kali mengenalkan si bungsu dari lima bersaudara itu kepada seni musik. Hobi bermusik Barret dimulai sejak awal tahun 60-an sebagai anggota band lokal Geoff Mutt and The Mottoes. Di usia 15 tahun, Barret mendapat nickname ‘Syd’ yang diambil dari nama drummer jazz lokal di kotanya. Masa SMA-nya dihabiskan di Cambridge High School, tempat di mana ia mulai kenal serta berteman baik dengan dua pelajar yang juga sangat menyukai musik, Roger Waters dan David Gilmour. Setelah lulus SMA, Barret melanjutkan studinya di Camberwell School of Art, London, untuk mendalami ilmu seni. Sedangkan Waters belajar tehnik arsitektur di Regent Street Polytechnic, sambil mencoba mengawali bermain musik bersama rekan-rekannya. Ketika itu band bentukan Waters belumlah baku dan masih sering berganti nama seperti Sigma 6, The Tea Set, The (Screaming) Abdabs hingga The Megadeaths. Waters sudah lama mengetahui bahwa Barret memiliki bakat cemerlang di bidang musik. Barret memang biasa menulis lagu-lagu yang terpengaruh dari american surf music dan psychedelic rock, serta kerap bikin lirik yang berbalut humor satir dan sastra ala inggris. Melihat potensi istimewa tersebut, Waters mengajaknya untuk bergabung bersama pada tahun 1965. Barret pun setuju, dan mulai menjadi sosok penting dalam band. Bahkan ia yang merubah nama bandnya itu menjadi The Pink Floyd Sound, yang kemudian diperpendek jadi ‘Pink Floyd’ – diambil dari


NGAN MIDAS

nama dua musisi blues Amerika, Pink Anderson dan Floyd Council. Personil awal Pink Floyd saat itu adalah Syd Barret (vokal/gitar), Roger Waters (bass/vokal), Richard Wright (keyboard), Bob Klose (gitar) dan Nick Mason (drum). Namun Klose hanya bergabung dalam waktu yang sangat singkat. Ia memutuskan keluar untuk menjadi fotografer dan meninggalkan pengaruh musik jazz-nya pada karya-karya awal Pink Floyd. Di masa itu, Pink Floyd masih memainkan jenis musik seperti yang dimainkan oleh The Rolling Stones, The Yardbirds atau The Kinks. Barulah pada tahun 1966, Pink Floyd mulai menemukan formula musiknya sendiri, yang mengakar pada improvisasi rock n’ roll, jazz dan pop-rock khas british sebagaimana yang diusung The Beatles. Pink Floyd lalu kerap tampil memarakkan panggung-panggung rock di belahan Inggris. Tercatat ada dua venue di London, UFO dan The Roundhouse, yang sering menjadi ajang pertunjukan musik rock lokal. Pink Floyd termasuk salah satu penampil yang populer di tempat itu. Sejak awal, aksi panggung mereka sudah memakai konsep tata lampu dan visualisasi yang memukau. Dalam waktu singkat Pink Floyd telah menjadi band psikedelik yang paling disegani dalam scene musik underground London. Di akhir tahun 1966, Pink Floyd membentuk tim manajemen yang dikelola oleh Peter Jenner dan Andrew King. Tim ini kemudian banyak dibantu oleh Joe Boyd seorang ekspatriat asal US yang bekerja di perusahaan rekaman Elektra Records. Partisipasi Boyd bermula dari ketidaksengajaan. Suatu hari di tahun 1966, Boyd dan Jenner yang menjadi anggota organisasi London Free School sedang menyiapkan pertunjukan musik Notting Hill Carnival di London. Ketika itu Boyd kebingungan mencari band yang berkualitas dan bersedia tampil tanpa dibayar untuk acara tersebut. Jenner langsung merekomendasikan nama Pink Floyd dan meyakinkan kalau band itu pasti mau manggung di konser benefit tersebut. Apalagi Jenner berpikir Barret dkk sedang berada di London, dan bisa jadi publikasi yang baik kalau Pink Floyd mau tampil di ajang tersebut. Ternyata benar, Pink Floyd tampil memukau. Boyd pun terpesona akan potensi anak-anak Cambridge ini. Dia langsung membujuk Elektra Records untuk segera menawarkan kontrak rekaman bagi Pink Floyd, namun bos-nya menolak. KeputuRock&Roll | Mei 2013 | 45

Rock&Roll Classic

AN SINTING


Ia ter sound distor

of t lo a ke li d I’ , h ic r e b to “ I’d like nd to buy a l a c si y h p to in ut p to ey mon food for all my friends”

san itu membuat Boyd kecewa, dan menjadi salah satu alasan baginya untuk berhenti bekerja dari Elektra. Boyd lalu ‘banting setir’ sebagai produser freelance, sambil terus berusaha mencari label rekaman dan kontrak yang bagus bagi Pink Floyd. Bulan Januari 1967 menjadi sesi rekaman pertama Pink Floyd untuk singel Arnold Layne yang diproduseri Boyd di Sound Techniques Chelsea. Singel itu lalu ditawarkan kepada label rekaman EMI dan berhasil mengantarkan Pink Floyd mendapatkan kontrak rekaman albumnya yang pertama. Barret yang saat itu menjadi leader Pink Floyd mulai memimpin rekan-rekannya dalam proses menggarap debut “The Piper at The Gates of Dawn”. Album tersebut berisi lirik-lirik yang puitis dan sastrawi, serta 46 | Mei 2013 | Rock&Roll

menyajikan komposisi musik yang eklektik mulai dari konsep avant-garde bernuansa space-rock seperti “Interstellar Overdrive” sampai tembang melankolik macam “Scarecrow”. Barret yang menulis hampir semua lagu di album itu, termasuk dua singel pertama Pink Floyd yang menjadi hits, “Arnold Layne” dan “See Emily Play”. Bagi para kritikus musik, “The Piper at The Gates of Dawn” dianggap sebagai album yang fenomenal di jamannya. Rekaman itu memiliki aransemen yang menakjubkan, beberapa justru mengatakan aneh dan memusingkan. Hingga disebut-sebut hanya album “Sgt. Pepper of Lonely Hearts Club Band” milik The Beatles yang mampu mengimbanginya. Fakta uniknya, album “The Piper” ini direkam di

studio 3 Abbey Road London, yang dalam waktu bersamaan juga ada rombongan The Beatles di studio 2, tepat di sebelahnya. John Lennon dkk dikabarkan sedang merekam track “Lovely Rita” untuk materi album “Sgt. Pepper’s Lonely Heart Club Band”. “The Piper at The Gates of Dawn” yang dirilis di era the summer of love, tepatnya bulan Agustus 1967 itu mulai menarik perhatian publik musik di Inggris. Album ini dianggap sebagai debut yang sukses dan berhasil mencapai posisi ke-6 di UK Charts. Meski lagu-lagunya sempat ditolak untuk diputar di stasiun radio BBC, namun album ini mampu mengubah nasib Pink Floyd dari sekedar band underground lokal yang kecil menjadi calon band rock kelas dunia. Debut album itu pun sering disebut sebagai maha-


karya yang tidak hanya penting, melainkan menjadi landmark bagi musik psikedelik di jamannya. Hanya dengan satu album itu saja Barret dkk dinilai cukup berhasil mendefinisikan konsep musik di era 60-an.

Selain disebut sebagai penulis lirik yang jenius dan orisinil, Barret juga dianggap seorang gitaris yang inovatif. Gaya permainan gitarnya cukup unik dan khas. Ia termasuk pelopor dalam hal memainkan sound yang sonikal serta mengembangkan nuansa distorsi, feedback dan echo machine. Ia juga turut memasukkan layer-layer bernada noise dan ambience pada setiap komposisi musik Pink Floyd. Salah satu gaya khasnya di panggung adalah menggesekkan korek api Zippo pada fret gitar Fender Esquire-nya sehingga menimbulkan bunyi sound yang aneh dan misterius, serta jadi karakter musik Pink Floyd di masa tersebut. Salah satu permainan gitarnya yang istimewa terdapat dalam lagu “Interstellar Overdrive”. Karya itu diyakini sebagai adaptasi kord atas karya Burt Bacharach / Hal David, “My Little Red Book” – yang dia mainkan secara eksperimental dengan struktur sound gitar yang mengawang dalam durasi hampir 10 menit. Pengaruh musik Barret terhadap generasi musisi di era 60-an dan seterusnya bisa dikatakan cukup kental. Paul McCartney dan Pete Townsend termasuk dua orang fans-nya sejak awal – selain Jimmy Page, David Bowie, dan Brian Eno. Pete Townsend sendiri sangat mengagumi Barret dan menyebutnya seorang (gitaris) legendaris. Pentolan band The Who itu malah pernah meyakinkan Eric Clapton untuk menyimak aksi frontman band Pink Floyd tersebut. Di saat popularitas Pink Floyd sedang menanjak, kondisi mental Barret mulai terganggu akibat konsumsi drugs (acid) yang berlebihan. Efek dari pemakaian obat-obatan jenis psikotropika (LSD) itu bikin aksi Barret di setiap pertunjukan Pink Floyd menjadi berantakan. Tingkahnya menjadi tidak terkontrol dan susah dikendalikan. Perilakunya mulai membuat cemas rekan-rekannya, serta mempengaruhi kelangsungan karir Pink Floyd. Berbagai insiden terjadi selama tur pertama Pink Floyd di Amerika Serikat, pada akhir tahun 1967. Dalam sebuah show di The Fillmore West Philadelphia, Barret secara tiba-tiba merubah setelan gitarnya saat memainkan lagu “Interstellar Overdrive”. Alhasil personil lainnya jadi kebingungan, sedangkan penonton malah tidak sadar dan manganggap itu bagian dari aksi uniknya. Pada beberapa show-nya yang lain, Barret kadang terlihat cuma memainkan satu nada kord saja di sepanjang konser. Bahkan ia pernah hanya berdiri diam mematung sekian lama di panggung, tidak menyanyi dan tidak juga memainkan gitarnya. Kegilaan Barret terus berlangsung di berbagai momen. Suatu kali sebelum naik pentas, ia iseng mencampur sebotol tablet Mandrax dengan krim rambut Brylcreem dalam jumlah banyak, dan menumpahkan semua ke atas kepalanya sendiri. Saat tampil bermain

Rock&Roll Classic

rmasuk pelopor dalam hal memainkan nsa yang sonikal serta mengembangkan nua rsi,dan echo machine.

di bawah sorotan lampu, campuran aneh itu meleleh dan melumuri hampir seluruh bagian wajahnya. Kekacauan juga pernah terjadi dalam sesi latihan Pink Floyd di studio. Barret pernah datang membawa karya lagunya yang berjudul “Have You Got It Yet”, dan mengajak rekan-rekannya untuk berlatih lagu itu. Namun setiap kali memainkan lagu tersebut, ia selalu saja merubah-rubah kord-nya hingga bikin frustasi personil yang lain. Sebenarnya ada banyak spekulasi mengenai kondisi mental Barret saat itu. Beberapa percaya bahwa Barret mengidap gangguan semacam skizofrenia. Sebagian lagi mengatakan Barret terkena Asperger’s Syndrome, sebuah penyakit yang erat kaitannya dengan autis. Namun pada dasarnya kebiasaan Barret yang sejak awal ’60-an sudah mengkonsumsi drugs itulah yang diyakini sebagai sumber utama dari gangguan tersebut. Dari pengalaman berbagai insiden tersebut, Waters dkk akhirnya berasumsi kalau Barret tidak bisa diajak tampil lagi ke depan publik. Tingkahnya memalukan dan berpotensi merusak imej serta karir Pink Floyd. Waters lalu coba menyewa David Gilmour, bekas teman sekolah Barret untuk dijadikan gitaris kedua. Cara ini musti diambil untuk mem-back up permainan dan perilaku Barret yang sering berantakan di atas panggung. Metode ini relatif berhasil, Gilmour mampu bermain gitar dan menyanyi dengan baik menutupi ‘kegilaan’ Barret, yang sebenarnya cuma disuruh berpura-pura ikut tampil di atas panggung. Namun sejak konsernya di Southampton University pada bulan Januari 1968, Pink Floyd mulai mengistirahatkan Barret untuk sementara waktu. Rencana awalnya, Barret sebagai penulis lagu utama akan tetap meneruskan tugasnya di Pink Floyd meski hanya pada proses pembuatan lagu dan sesi rekaman studio saja. Vonis ini sama seperti yang dialami leader grup band The Beach Boys, Brian Wilson, yang tidak pernah disertakan dalam konser, namun tetap aktif sebagai penulis lagu di band tersebut. Barret sebenarnya sudah merasa kalau ia mulai ‘diusir’ secara halus oleh teman-temannya. Ironisnya, Ia malah kerap datang ke sesi latihan Pink Floyd, dan selalu berharap diundang masuk. Bahkan ia pernah beberapa kali menonton langsung konser Pink Floyd tanpa keberadaan dirinya, sambil tertegun menyaksikan Gilmour yang tampil menggantikan posisinya. Di tahun yang sama, Pink Floyd kembali ke studio untuk menyiapkan album keduanya. Sayang, kondisi kejiwaan Barret yang labil justru makin menurunkan daya kreatifitasnya. Ia tercatat hanya menulis sedikit materi musik saat itu. Hanya satu lagu, “Jugband Blues”, yang masuk dalam materi album kedua “A Saucerful of Secrets” (1968). Sedangkan karyanya yang lain, “Apples and Oranges” hanya dijadikan singel, dan dua lagu lainnya, “Vegetable Man” serta “Scream Thy Last Scream” justru tidak ikut dirilis. Kondisinya yang labil dan kontra-produktif itu akhirnya tidak bisa didiamkan oleh teman-temannya di band. Melihat tidak ada perkembangan yang kondusif dalam diri Barret, akhirnya pada bulan Maret 1968

Waters dkk dengan sangat terpaksa menghentikan segala perannya, baik untuk sesi studio maupun konser. Itu sekaligus menjadi sebuah statement resmi mengenai akhir karir Syd Barret bersama Pink Floyd. Semenjak diberhentikan dari Pink Floyd, Barret mulai agak menjauhi publik. Nasibnya tidak kunjung membaik, dan masih sering tenggelam dalam buaian obat-obatan. Beruntung masih ada peluang dari pihak label EMI dan Harvest Records yang menawarinya untuk bersolo karir. Sebagai langkah awal, Barret sempat merekam dua karya singel, “Octopus” dan “Golden Hair”, pada tahun 1969. Karir solo Barret mulai menampakkan hasil. Pada tahun 1970, ia akhirnya berhasil merilis dua buah rekaman solo, “The Madcap Laughs” dan “Barret”. Kebanyakan materi musik di dua album tersebut berasal dari masa-masa produktifnya ketika masih bersama Pink Floyd di periode 1966 – 1967. Bahkan personil Pink Floyd pun masih ikut terlibat membantu proses album solo Syd Barret tersebut. Album pertamanya, “The Madcaps Laughs”, direkam dalam dua sesi yang berbeda di studio Abbey Road. Sesi pertama (Mei – Juni 1968) diproduseri oleh Petter Jenner dan Malcolm Jones, sedangkan sesi kedua (April – Juli 1969) diproduseri oleh David Gilmour dan Roger Waters. Beberapa track di album tersebut juga dibantu oleh personil band Soft Machine. “The Madcaps Laughs” dianggap sangat menggambarkan kerapuhan pribadi Barret. Album ini berisi formula musik yang sensitif, sangat beresiko dan banyak mengeksploitasi instabilitas Barret di setiap nada dan liriknya. Sebagian kritikus berpendapat “The Madcaps Laughs” adalah album yang paling gila dan terbaik yang pernah direkam oleh Barret. Salah satu singel-nya yang paling terkenal dari album ini adalah lagu “Dark Globe”. Album keduanya, “Barret”, dikerjakan secara sporadis sejak bulan Februari sampai dengan Juli 1970. Rilisan yang diproduseri David Gilmour ini relatif lebih aman dan cenderung rapi secara musikal. Struktur lagunya lebih tertata serta memiliki pola musik rock progresif yang standar. Di album ini, Barret kembali mengajak musisi yang tidak terlalu asing baginya; David Gilmour (bass), Richard Wright (keyboard), serta drummer Jerry Shirley dari grup band Humble Pie. Pada tahun 1974, kedua album solonya itu sempat dirilis ulang dalam sebuah paket boxset yang diberi titel “Syd Barret”. Lewat karya-karyanya yang berformat akustik, Barret sempat disebut sebagai musisi psikedelik folk yang pertama. Meski sudah merilis dua album yang lumayan bagus, tercatat hanya sedikit sekali aktifitas Barret di luar studio selama kurun waktu 1968 – 1972. Pada tanggal 24 Februari 1970, ia sempat tampil dalam program Top Gear di radio BBC yang diasuh oleh (almarhum) John Peel. Pada acara itu Barret memainkan lima karya lagu dengan dibantu oleh David Gilmour dan Jerry Shirley sebagai musisi tambahan. Rock&Roll | Mei 2013 | 47


Lalu pada tanggal 6 Juni 1970, Barret diundang tampil dalam event Music and Fashion Festival di Olympia Exhibition Hall, London. Dua sobatnya, Gilmour dan Shirley, juga ikut tampil dalam satu-satunya konser Barret di sepanjang karir solonya itu. Di sana mereka hanya bermain kurang dari 30 menit dalam kualitas sound yang buruk. Ketika sampai di lagu keempat, Barret mulai kesal hingga tanpa diduga ia langsung menaruh gitarnya begitu saja dan segera angkat kaki meninggalkan panggung. Pada bulan Januari 1971, Barret kembali diundang oleh stasiun radio BBC. Ia sempat merekam tiga lagu dan itu menjadi penampilan terakhirnya bagi publik. Sejak itu, Barret tampaknya sudah kehilangan gairah dalam bermusik, baik dalam berkarya di studio maupun tampil di atas panggung. Pada tahun 1974, Peter Jenner sempat membujuk Barret untuk kembali ke studio dan menyiapkan rilisannya. Namun sesi rekaman di studio Abbey Road itu hanya bertahan tiga hari saja, dan cuma menghasilkan satu karya lagu berjudul “If You Go, Don’t Be Slow” yang berkualitas buruk. Ketika itu Barret masih larut dalam lingkaran obat-obatan yang makin berdampak serius pada stabilitas emosinya. Puncaknya, Barret menyerang salah seorang staf studio rekaman di sana. Akibatnya, para musisi player merasa terancam dan tidak nyaman bekerja. Mereka akhirnya menolak untuk terlibat dalam proses rekaman tersebut. Otomatis materi album ketiga Barret tidak kunjung selesai. Merasa gagal menemukan kembali gairah bermusiknya, akhirnya Barret menyerah dan bertekad benar-benar pergi dari industri musik untuk selamanya. Barret lalu memilih untuk mengasingkan dirinya. Ia tidak pernah muncul atau berbicara di depan publik. Sementara karir rekan-rekannya di Pink Floyd justru makin menanjak buah sukses dari album fenomenal “The Dark Side of The Moon” (1973). Dalam biografinya yang ditulis oleh Tim Willis di buku berjudul “Madcap ; The Half-life of Syd Barret, Pink Floyd’s Lost Genius” (Short Books, 2002), Barret mengaku kembali menggunakan nama aslinya, Roger dan tinggal di basement rumah ibunya di Cambridge. Aktifitas utamanya saat itu adalah melukis sambil sesekali mendengarkan musik favorit dari The Rolling Stones, Booker T & The MG’s dan sejumlah komposer klasik kesukaannya. Ia pun makin tertutup dan misterius. Satu-satunya yang menghubungkan Barret dengan dunia luar adalah Rosemary, saudara perempuannya yang kebetulan tinggal berdekatan. Menurut sumber yang pernah diberitakan. “Syd tidak mau berhubungan dengan siapapun, dan apapun juga. Hampir tidak mungkin untuk bisa bertatap muka atau berbicara dengannya Ia betah di dalam kamar bersama koleksi lukisan dan puluhan gitarnya. Duduk menonton televisi seharian, dan menjadi gemuk.” Uniknya, cukup banyak fans dan pers yang sengaja datang ke Cambridge untuk mencoba bertemu sekaligus mencari tahu kondisi terakhirnya. Kehidupan Bar-

Tributes

ret di masa pensiun masih menarik minat publik dan selalu menjadi santapan media. Selama kurun waktu tahun 80-an, berbagai berita dan foto-foto Barret berhasil dimuat di sejumlah media. Hampir semua foto tersebut adalah hasil jepretan paparazi ketika Barret sedang berjalan kaki atau bersepeda di luar rumah. Barret menyerahkan seluruh hak royalti albumnya kepada pihak label rekaman untuk mengurusnya. Hingga akhir hidupnya Barret masih menerima pemasukan royalti dari sejumlah karyanya, termasuk album live dan kompilasi Pink Floyd yang menyertakan lagu-lagu ciptaannya. Barret sendiri sebenarnya tidak terlalu senang untuk mengingat masa lalunya sebagai musisi, apalagi semenjak anggota Pink Floyd sudah tidak pernah lagi berkomunikasi secara langsung dengannya. Dalam suatu kesempatan wawancara, Barret menyatakan kalau ia tidak pernah lagi mendengarkan musik Pink Floyd selepas ia tidak di sana. Meski kemudian diberitakan bahwa Barret masih antusias menonton dokumenter yang dibuat oleh stasiun BBC mengenai dirinya. Menurut saudara perempuannya, ia tampak sangat menikmati saat menyaksikan dirinya memainkan lagu “See Emily Play” di video dokumenter tersebut.

“Living in Cambridge, with nature and everything, it’s so clean..” - Syd Barrett Memang ada fakta yang tidak dapat disembunyikan kalau sosok Barret itu masih mengusik benak Waters dkk, serta memberi pengaruh yang kuat pada penciptaan karya Pink Floyd berikutnya. Bayangan jiwa Barret beserta gangguan mentalnya diakui oleh para personil Pink Floyd jadi inspirasi pada materi tiga album tersukses mereka, “Dark Side of The Moon” (1973), “Wish You Were Here” (1975) dan “The Wall” (1979). Waters mengambil sisi neurotik dan kondisi mental Barret sebagai inspirasi utama ketika menggarap “Dark Side of The Moon”. Bahkan album “Wish You Were Here” memang dibuat khusus sebagai penghargaan dan rasa rindu mereka terhadap Barret. Lagu “Shine On You Crazy Diamond” yang jadi track pembuka dan penutup di album itu merupakan syair yang mengingatkan Waters dkk kepada talenta mantan leader mereka. Begitu juga dalam video “The Wall” (1982), karakter utama Pink juga diakui Waters banyak diadaptasi dari perilaku dan kepribadian Barret ketika masih bersama di Pink Floyd. Barret juga sempat menjadi subyek utama dalam karya lagu The Television Personalities yang berjudul “I Know Where Syd Barret Lives” di album “And Don’t The Kids Love It” (1978). Mereka sempat men-

David Bowie

“See Emily Play” untuk album “Pin Ups” (1973). “Saya tidak bisa melukiskan kesedihan yang saya rasakan saat ini. Syd adalah inspirasi utama saya. Saya pernah nonton penampilan panggungnya beberapa kali di tahun 60-an, dan itu selalu membekas di pikiran saya. Dia sangat kharismatik dan benar-benar seorang penulis lagu yang orisinil. Karya-karyanya ikut mempengaruhi kreatifitas saya. Penyesalan terbesar saya saat ini adalah belum sempat mengenalnya [secara lebih personal].”

48 | Mei 2013 | Rock&Roll

Kevin Ayers

Syd Barret mengisi gitar pada lagu “ Singing a Song In The Morning ”

Kevin Ayers dari grup band Soft Machine menulis “Oh Wot A Dream” sebagai ucapan terima kasih setelah Barret mau mengisi gitar pada lagu Ayers tersebut.

Robin Hitchcook

Membuat lagu “The Man Whi Invented Himself” dan “(Feels Like) 1974” ditujukan khusus bagi Syd Barret. Dalam karirnya, Hitchcock memang sering memainkan karya musik Barret, baik secara live maupun di album-album rekamannya.

jadi opening act dalam tur promo “About Face”-nya David Gilmour di awal ‘80-an. Dalam salah satu show-nya, vokalis band itu justru berbuat ulah dengan membacakan alamat rumah Barret kepada ribuan penonton yang hadir saat itu. Aksi tersebut sempat menuai kontroversi hingga akhirnya Gilmour geram dan mencoretnya dari list band pembuka di show berikutnya. Sebenarnya industri musik masih menaruh kepercayaan dan harapan terhadap karya-karya Barret. Pada tahun 1988 EMI Records merilis “Opel”, sebuah album yang berisi unreleased songs selama kurun waktu 1968 – 1970. Sebuah boxset berisi tiga album studio Barret ditambah bonus track juga sempat dirilis dalam titel “Crazy Diamond” [1993]. Lalu pada tahun 2001, EMI Records merilis pula “The Best Of Syd Barret ; Would You Miss Me?” yang untuk pertama kalinya memuat lagu “Bob Dylan Blues”, karya Barret dari rekaman demo tape yang hampir 30 tahun disimpan oleh Gilmour. Sebuah koleksi rekaman bootleg yang langka juga muncul dalam titel “Have You Got It Yet”. Rekaman kompilasi tersebut berisi 19 keping cakram berformat audio dan visual yang menampilkan berbagai versi liveshow Barret, baik ketika ia bersama Pink Floyd maupun di karir solonya. Materi rilisan tersebut kebanyakan diambil dari sesi rekaman di stasiun BBC dan sejumlah konser kecil lainnya. Di salah satu kepingnya juga terdapat materi album ketiga Barret yang belum sempat dirilis. Kisah hidup Barret, pribadinya yang paradoksal, dan karya-karya artistiknya selalu saja menarik perhatian kalangan publik. Ada empat buku penting yang menceritakan kisah kehidupan dan karir Syd Barret, yaitu Lost In The Woods ; Syd Barret and The Pink Floyd karya Julian Palacios (Boxtree, 1997), Saucerful of Secrets ; The Pink Floyd’s Odissey karya Nicholas Schaffner (Delta, 1991), Crazy Diamond ; Syd Barret and The Dawn of Pink Floyd karya Mike Watkinson dan Pete Anderson, serta Madcap ; The Half-life of Syd Barret, Pink Floyd’s Lost Genius, karya Tim Willis (Short Books, 2002). Pada bulan Oktober 2002, The Observer memuat biografi dan wawancara lengkap tentang kehidupan Barret dalam artikel panjang yang berjudul “You Shone Like The Sun”. Teknologi internet juga ikut mencatat berbagai kisah epik perjalanan Syd Barret. Meskipun Barret tidak memiliki official website, namun para penggemar fanatiknya telah membuat fansite yang lumayan komplit dan up-to-dated tentang segala kisah, berita dan detil karya-karyanya bagi semua fans Barret di penjuru dunia. Pada hari Jum’at, 7 Juli 2006, mendadak muncul kabar bahwa Syd Barrett meninggal dunia akibat komplikasi diabetes di usia 60 tahun. Hari itu menjadi akhir hidup dari seorang pria yang ikut melahirkan bahkan memberi nama Pink Floyd, salah satu grup band sekaligus brand hebat dalam sejarah musik rock dunia.

Syd Barrett Cover Song

DARK GLOBE

R.E.M, Soundgarden, Lost and Profound, Placebo.

ASTRONOMY DOMINE Gary Lucas, Voivod.

TERRAPIN

Smashing Pumpkins

GOLDEN HAIRS Slowdive

TAKE UP THY STHETOSCOPE AND WALK At The Drive In, The Mars Volta.

SCARECROW RX


“ Ada sebagian sifat dari Syd di dalam diri setiap orang, yaitu perasaan sensitif dan keterbukaannya...” Graham Coxon Tak bisa dipungkiri jika pesona dan karya Syd Barret sudah terlanjur menginspirasi banyak musisi, mulai dari Paul McCartney, Pete Townsend, Jimmy Page, David Bowie hingga Brian Eno. Begitu juga warisannya kepada generasi rock selanjutnya macam R.E.M, Pearl Jam, The Flaming Lips, Primal Scream atau Tool yang juga mengaku sangat terinspirasi oleh karya-karya artistik yang pernah dihasilkan Barret. Bahkan band punk rock, The Damned justru pernah menawari Barret untuk menjadi produser bagi album kedua mereka. Sudah cukup banyak musisi yang pernah mengkover karya lagu Barret. Seperti lagu “Dark Globe” pernah dikover oleh R.E.M, Soundgarden, Lost and Profound, dan juga Placebo. Smashing Pumpkins

sempat memainkan “Terrapin”. Gary Lucas dan Voivod mengusung nomor “Astronomy Domine” dalam versi mereka. “Scarecrow” juga pernah dibuat dalam versi lain oleh RX, kelompok industrial yang dimotori Kevin Ogilvie dan Martin Atkins. Pentolan grup band At The Drive In dan The Mars Volta sempat membawakan “Take Up Thy Stethoscope and Walk”. Slowdive kebagian jatah lagu “Golden Hairs”, sebuah versi dari puisi James Joyce yang mereka masukan dalam album “Holding Our Breath”. Phish seringkali mengusung beberapa karya Barret di panggung, antara lain “Love You”, “Terrapin”, “Baby Lemonade”, “It’s No Good trying” dan “Bike”. Belum lagi musisi lain seperti Marc Bolan, The Jesus and Mary Chains, Rob-

Semua orang mungkin tidak akan pernah melupakan satu-satunya konser reuni Pink Floyd di era milenium. Pada tanggal 2 Juli 2005, untuk pertama kalinya setelah 24 tahun, kubu Roger Waters dan kubu Pink Floyd [David Gilmour dkk] mau rujuk dan tampil bersama di Live 8 Concert, Hyde Parks London. Dalam konser bersejarah itu, sesaat sebelum menyanyikan lagu “Wish You Were Here”, Waters sempat bilang kepada ribuan penonton di sana, “Sangat emosional sekali bisa berdiri di lapangan ini bersama ketiga rekan saya setelah sekian lama. Anyway, kami melakukannya untuk orang-orang yang sedang tidak berada di tempat ini, dan tentunya…untuk Syd!”

Rock&Roll | Mei 2013 | 49

Rock&Roll Classic

ert Smith (The Cure), Johnny Marr (The Smiths), The Libertines, Mercury Rev, The Melvins, Dream Theatre, serta masih banyak lagi. Bahkan aktor kawakan Johnny Depp memiliki obsesi yang ia sampaikan dalam sebuah wawancara di tahun 2005, “Ketika saya remaja, saya bermimpi ingin menjadi seorang gitaris rock n’ roll. Dan untuk saat ini, saya rasa sebuah film tentang kisah Syd Barret akan menjadi ide yang baik!” Waters dkk menyiapkan “Shine On You Crazy Diamond” dan “Wish You Were Here” untuk mengiringi kepergian sobatnya itu. Sebuah ‘epitaph’ juga seperti sudah disiapkan sendiri oleh Barret sejak ia menulis lagu “Dark Globe (Wouldn’t You Miss Me?)”. Semua bisa mendengar suara vokal Syd Barret yang rapuh dan emosional saat menyenandungkan bait-bait liriknya, “My head kissed the ground, I was half the way down, Treading the sand, Please, please, please lift a hand, I’m only a person with Eskimo chain, I tattooed my brain all the way, Won’t you miss me?, Wouldn’t you miss me at all?...”

Jika kita mau menyadari, sebenarnya dunia sudah sekian lama kehilangan seorang Syd Barret. Tepatnya sejak tahun 1973, ketika Barret memilih untuk menjauh dari kehidupan bermusik, mengasingkan diri, serta tidak mau berbicara lagi kepada publik. Persis seperti yang terkabarkan dalam artikel kematian Barret di internet ; “In truth, he was gone long ago. Still, Barrett’s death feels like another significant nail in the coffin of rock & roll’s free-spiritedness - a loss that transcends his actual recorded output.” Setelah berita kematian Barret, seorang penyiar BBC Radio 2, Bob Harris, berkomentar, “Saya selalu percaya semangat Syd akan selalu hidup dalam Pink Floyd, dan pada apapun yang dilakukan oleh personilnya sekarang.” Sedangkan Graham Coxon sempat menuliskan komentarnya untuk album kompilasi yang dirilis sebagai penghargaan bagi Barret di tahun 2001, “Ada sebagian (sifat) dari Syd di dalam diri setiap orang…” Ujar gitaris Blur tersebut. “Yaitu perasaan sensitif dan keterbukaannya...”


Oleh: Ganis Ilman

Eksplorasi Redi Murti Salah satu alasan dunia seni lukis sangat melekat dalam diri Redi “Inyo� Murti adalah berkat dukungan sepenuh hati dari keluarga yang meghargai karya seni. Selain darah-darah seni yang telah mengalir di dalam dirinya sejak duduk di bangku TK, pertanggung jawaban kreativitas atas kemampuannya itu juga berkat dari kakak kandungnya yang juga memiliki kegemaran dalam bidang menggambar. Wabah game online seperti Warcraft, Counter Strike, dan Battle Realms semasa duduk di bangku SMP menjadi awal bagi Inyo untuk mentransformasi karakter-karakter yang terdapat di 50 | Mei 2013 | Rock&Roll

dalam permainan tersebut kedalam imajinasinya untuk dituangkan kedalam buku gambarnya. Pada tahun 2006, pemuda dengan perawakan kurus nan ceking ini terdaftar sebagai mahasiswa D3 Desain Grafis Petra, Surabaya. Menurutnya, pada saat itu tak ada yang lebih menarik selain menggunakan pensil dan cat plakat dalam proses pembuatan karya seni lukis. Berbeda dengan sesaat ia sedang berada di bangku SMP yang lebih terpengaruh oleh game-game online, peran musik punk dan grunge yang ia gemari di awal dunia perkuliahan membuat gaya dan cara menggambarnya lebih tereksplorasi. Tokoh-tokoh punk rock seperti Sid Vicious, Johnny Rotten, dan Pushead menjadi inspirasinya dalam menggambar. Tak luput juga seniman-seniman seperti Sudjoejono dan Jams Jean “menghantui� pola berpikirnya.


Ia melanjutkan studinya ke jenjang S1 Desain Komunikasi Visual di tampat yang sama, pada tahun 2009. Disinilah ia mulai belajar mendalami sejarah seni rupa beserta aliran-alirannya. Ketertarikannya melukis dengan bermediakan kanvas muncul setelah diadakannya Tribute To Bungkul bersama kawan-kawan dari ITS. Di acara iniah Inyo membuat lukisan pertamanya di atas kanvas. Selain itu, pelbagai proyekan juga mulai ia rintis seperti membuat desain atwork band seperti Screaming Out, Headcrusher hingga Efek Rumah Kaca. Awal mula hubungan Inyo dengan Efek Rumah Kaca terjadi tak lebih dari sekedar sms belaka. Orang yang bertanggung jawab atas perkenalan tersebut tak lain adalah sahabat Inyo yang bernama Hilmi. Hilmi merupakan sahabat dari mas Aco, orang yang mengurusi segala urusan unit merchandise Efek Rumah Kaca. Hanya dengan melalui pesan singkat dan pesan elektronik, jadilah artwork Efek Rumah Kaca yang diberi judul dari lagu “Kenakalan Remaja Di Era Informatika.� Selain membuat desain artwork band, ia juga membuat desain untuk kaos, emblem,

poster, hingga totebag. Pada tanggal 17 Oktober 2011, bertempat di Biennale Jatim, Galeri Orasis (Jl. Hr. Muhammad), Inyo mempersembahkan karyanya untuk dipajang dalam pameran dengan skala grup. Di tahun ini juga ia telah menyelesaikan program S1-nya dan melanjutkan S2 di ISI, jurusan penciptaan seni. Dari sinilah awal mula style menggamar Inyo lebih mengarah kepada Abdul Mati Klarwein. Dengan menggunakan media seperti kanvas, kertas, hard board, dan kain linen yang dipadukan cat minyak, cat akrilik beserta lem, sekarang Inyo lebih mengarahkan gaya melukisnya ke arah surealis dan dadaisme, namun ia juga tak melupakan roots bahwasanya ilustrasi-ilustrasi yang terdapat di dalam zine-zine punk juga masih mempengaruhi style menggambarnya. Inyo masih memiliki segudang ide yang masih belum terkabulkan, seperti menggelar pameran tunggal dengan tema “Homage to Mother� dan mengadakan pameran bersama teman-teman dari Milisi Fotokopi di Surabaya. Rock&Roll | Mei 2013 | 51


Rock&Roll Ride

Heavy Metal Thunder TEKS & FOTO: LODY ANDRIAN

Kemana aja trip yang paling jauh bersama si Heavy Metal Thunder? Garut, buat cari restoran sunda dan berendam air panas.. Cerita tentang pengalaman duka bersama motor yang sangat berkesan? Salah ngetes aki motor, pas lagi ditengah jalan, tiba-tiba dari bawah jok dan di antara ‘harta benda’ para lelaki, keluarlah asap yang banyak, tanda aki hampir meletus. Langsung minggir, cabut semua kontak listrik, dan kembali melanjutkan aktivitas..Dan sepanjang 1km merasa hampir putus asa karena doa yang dipanjatkan sebelum naik motor dikira kurang mujarab.. Berencana untuk membangun mobil dengan style yang sama? Maunya, tapi tergantung dari persekutuan rencana reproduksi dompet dan kantong..

ì Saya cukup taat pada peraturan, cukup motor saja yang ugal-ugalan.. î Punya komunitas atau klub motor? Bagaimana pandangan lo tentang geng motor yang berkeliaran dan rusuh di jalanan? Tidak punya, saya masih nyaman berkendara sendiri atau bersama beberapa teman..Kalo geng motor yang selow, nggak apa apa. Kalo yang rusuh, lebih baik kita tonton aksinya di stadion pasti lebih seru. Lagi pula kemungkinannya bisa jadi legal dan mereka bisa untung soalnya dapat persenan dari harga tiket masuk.. Jika uang di rekening unlimited, punya ide gila buat memodifikasi motor? Pastinya!! Mulai dari semua parts di custom, tes mesin pesawat jet, dan mendevelop underwater motorcycle..

P

ernah melihat sesosok pria tinggi, kurus, gondrong dan keriting mengenakan jaket kulit dan menunggangi motor Honda GL200 tahun 2006 yang cukup terlihat ‘berengsek’? Dia adalah Barata Dwiputra, pencabik bass band thrash metal Gigantor, yang juga memiliki bengkel modifikasi motor di bilangan kemang, Jakarta Selatan. Heavy Metal Thunder, nama motor yang diberikan kepada motornya. Simak wawancara Rock&Roll dengan penunggangnya! 52 | Mei 2013 | Rock&Roll

Pertanyaan pertama, kenapa lo memilih style modifikasi tersebut? Gue memodif motor ini dengan gambaran yang ada di kepala gue saat senggang.. Yang pasti gue selalu ingin punya satu motor dengan mesin tahun lebih baru, biar perawatannya jadi lebih mudah, dengan tanki lebih besar biar nggak bolak-balik isi bensin.. Dan kelihatan lumayan ‘brengsek’ saat di jalan.. Sepertinya design yang gue buat cukup merepresentasikan apa yang gue mau..

Barata Dwiputra 5 Soundtrack andalan saat menunggang motor: Dio - I Speed at Night Judas Priest - Ram it Down Motorhead - Ace of Spade Judas Priest - Freewheel Burning Stephen Wolf - Born to be Wild

Apa sejak kecil/remaja, punya cita – cita jadi pembalap? Nggak pernah tuh.. waktu kecil lebih pengen menjadi bajak laut atau pemusik.. Seberapa penting arti sebuah motor itu buat lo? Sangat penting.. karena dia juga alat transportasi dan rekreasi gw setiap hari. Dan menurut gue mesin serta kecepatan yang dihasilkannya itu satu penemuan yang jenius.. Lebih repot mengurus motor atau wanita? Mirip lah, kan sama-sama bisa ‘dinaikin’.. Apa yang lo rasain saat mengendarai


motor? Cukup memberikan inspirasi dalam membuat musik? Wah ini yang paling susah diceritain! Konsep dimana seluruh badan lo mengatur laju mesin yang sedang meradang, dan pada kecepatan tertentu getaran dan kecepatan membuat mata mulai kering dan melihat hanya ke titik horizon.. dan pada saat itu pikiran kosong dan kata “mengagumkan!�

mulai keluar dari mulut.. dan mulai menyesal kenapa Apakah orangnya se-rebel nggak melakukan hal ini lebih awal lagi dalam hidup.. motornya? Nggak kayaknya.. saya cukup taat peraturan, cukup motor saja yang ugal-ugalan.. Lebih memilih mengkoleksi motor atau bass? Dua duanya.. kalau bisa motor yang Gigantor sedang menjalani proses rekaman untuk album kedua mereka, yang sebelumnya merilis singel suaranya nge-bass, dan bass yang bermotor..

berjudul “Into The Battlefield� lewat irockumentary.com

Rock&Roll | Mei 2013 | 53


SIKSAKUBUR

MALAYSIAN TOUR 2013 DIARY OF THE MADBAND Pa r t 1

OLEH ANDRE TIRANDA

Setelah mendengar kabar bahwa semua surat - SURAT dan dokumen yang dibutuhkan untuk keberangkatan telah siap, akhirnya kami melakukan latihan terakhir dengan perasaan tenang karena semua sudah beres dan kami tinggal berangkat... so here we go, Malaysia...here we come !!

Kamis 24 Januari 2013, Hari Keberangkatan.. . . Sekitar pukul 16:00 WIB, rombongan semua berkumpul di Hermit Rockshop Jakarta, rombongan kali ini terdiri dari Andre, Aditya, Baken, Rudy, Gilang, Cukong, Wilman dan Sky. Sudah bersiap dengan kendaraan kebangsaan kami yaitu sebuah “Mikrolet “ yang senantiasa mengantar kami kala berpergian menuju bandara atau setasiun.. Setelah melalui macetnya Jakarta, akhirnya kami tiba di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng dan kemudian bergegas mengurus keperluan bagasi dll. Kemudian sekitar jam 19:30 WIB akhirnya kami bertolak menuju kota pertama di Malaysia yang akan menjadi pembuka tur Malaysia kami kali ini yaitu Kota Kinabalu, Sabah. Kurang lebih 2,5 jam penerbangan harus dilalui sebelum akhirnya pesawat mendarat mulus di Bandara Internasional Kota Kinabalu, di mana disana kami sudah dinanti oleh tim yang dipimpin oleh Nux dan Amos yang merupakan pemilik dari Shockwave Production, organiser lokal yang mempunyai event musik ekstrem metal bertajuk “Fear The Titans”, di mana event kali ini menampilkan Siksakubur sebagai headliner acara tersebut. Dari airport kami langsung bertolak menuju ke homestay tempat kami menginap selama dua hari kedepan.. Kemudian kami diberitahu tentang kegiatan apa saja yang sudah disusun oleh organiser untuk kami selama disana..

dengan teman metalhead disana yang selama ini berjuang membangun dan membesarkan skena musik ekstrem disana. Tentu saja tak lupa melakukan wisata kuliner yang memang selalu menjadi favorit anak-anak SK terutama...hmmm you know lah hahahaha. Daaan kegiatan hari ini pun diisi dengan latihan untuk memanaskan kondisi, di sebuah studio yang lokasinya sungguh bikin iri, karena di sekitar parkiran-nya banyak Christina Aguilera dan Britney Spears buatan dokter-dokter Thailand hehehe....bisaa kaleeeeee ! kemudian malem ini ditutup oleh perjamuan “kudus” disebuah beerhouse deket homestay.

Sabtu 25 Januari 2013 , Fear The Titans 2013, Razz Ma Tazz club, KK.. show pembuka !

Titititititititit....bunyi alarm dari telepon selular saya berbunyi menjalankan tugasnya pada pukul 7 pagi waktu setempat, karena kami di jadwalkan melakukan soundcheck pada pukul 9 pagi waktu setempat. Setelah berkemas dan menyiapkan peralatan dan melakukan sarapan, kami langsung menuju ke venue untuk melakukan soundcheck... Kelar soundcheck kami kembali ke homestay untuk beristirahat sejenak hingga akhirnya pukul 5 sore kami sudah dijemput untuk menuju ke venue karena ada beberapa teman yang mau berjumpa dan ingin juga menyaksikan band-band yang bermain sebelum kami.. Oh ya ada 5 band yang juga ikut meramaikan acara, yaitu ‘Disboikot’, ‘A Million Evil Faces’, ‘Crown ov Horns’, ‘Outfall’ dan band melodic metal asal Kuala Lumpur yang juga Jumat 24 Januari 2013, ikut kami di dua show berikutnya yaitu ‘Daarchlea’. Pusing pusing.. Saat kami tiba di venue, ‘Daarchlea’ sedang Oke, kegiatan hari ini adalah kegiatan yang sangat membombardir panggung, setelah itu tanpa tunggu menyenangkan yaitu... Pusing pusing alias jalan lama ‘Crown ov Horns’ yang mengusung black jalan hehehehe. Kami mengunjungi beberapa distro metal langsung menggebrak panggung...dan kami dan rockshop yang ada di Kota Kinabalu, berjumpa pun bersiap karena selepas ini kami harus naik

panggung... Dan saatnya pun tiba. Setelah semua selesai disiapkan kami langsung memulai show ini.. 12 lagu yang memang merupakan songlist kami selama tur ini, dan penonton yang hadir memberikan sambutan yang luar biasa. Thanks guys...pembukaan yang sempurna... Kembali ke homestay kami langsung berkemas untuk keberangkatan besok pagi-nya..setelah berkemas kami pun bercengkrama dengan teman-teman yang dateng ke penginapan. Ada Onee Deadwish dan rombongan dari Sandakan yang berjarak 8 jam jalan darat. Kami pun berfoto bersama sebelum mereka berpamitan pulang ke daerah asalnya..dan kami pun beristirahat. Terimakasih Kota Kinabalu dan semua saudarasaudara kami metalhead di Sabahell !!! We’ll be back !

Minggu 26 Januari 2013, Hitam Hitam Dalam Gua ,Ipoh Sekitar jam 9 pagi pesawat kami bertolak menuju Kuala Lumpur, setibanya disana kami langsung disambut oleh Pachad dari Permatha Pathah Prod yang merupakan promotor utama tur kami kali ini, Apiz dari MurderErotica Cloth, dan merupakan agency kami di Malaysia, Faez dan Faidi yang kali ini bertugas sebagai driver menemani kami berkeliling Malaysia... Tanpa berlama-lama kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Ipoh yang berjarak sekitar 4 jam perjalanan, setelah mampir sejenak di rest area untuk mengisi perut, kami melanjutkan lagi perjalanan. Sesampai di Ipoh kami langsung menuju hotel dan dikabarkan bahwa kami tak melakukan soundcheck, tapi langsung melakukan check line saat mau tampil malam nanti... Akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat saja di hotel


Pukul 19:00 waktu setempat kami pun bertolak menuju venue yang katanya sangat unik, karena bertempat di dalem Goa, di sebuah tempat rekreasi bernama The Lost World. Sesampai disana kami langsung dibuat takjub oleh keunikan venue tersebut... Band yang bermain malam ini antara lain Farasu, Insanhak, Died dan Vinir. Setelah MC meneriakan nama Siksakubur, tanpa menunggu lama kami langsung membuka show dengan Burung Bangkai dan penonton pun memberikan sambutan yang sangat hangat.. Show yang tak akan terlupakan. Dalam gua, bor !!! Usai show kami kembali ke hotel dan malem ini saya menyempatkan diri mencari Mie Babi bersama sky... dan berhasil !! hahaha, kamipun beristirahat karena besok pagi langsung lanjut ke kota berikutnya .. Penang!

Malaysia guys..

Senin 27 Januari 2013, Live in Penang, Show Bayar Hutang Sekitar jam 7 pagi kami bersiap untuk kemudian bergegas untuk menuju ke Penang. Ya..kota yang juga dulu kami kunjungi kala tur Tentara Merah Darah tahun 2010, dan saat itu karena ada permasalahan teknis, kami hanya mendapat waktu membawakan 4 lagu saja, dimana membuat banyak

All team Siksakubur

Kuala Lumpur 2013 ( Cukong, Gilang Sky Andre )

metalhead yang dateng saat itu agak kecewa... Sehingga saya pun bertekad untuk membayar itu dengan penampilan fullset dan maksimal malam ini... Okay, siang ini kami tiba di homestay yang memang sering digunakan oleh banyak band yang pernah tampil di Penang. Sebuah rumah yang disewa-sewakan sehingga penyewa merasakan suasana kayak dirumah, lengkap dengan dapur dan lain lain... asik deh.. Kami pun beristirahat karena jam 21:30 malam kami dijadwalkan tampil... Setelah sebelumnya dibuka oleh penampilan dari Nekrad, Pandorath, Zuriats, Nonserviam, Rehearse dan Enthrone Fails... Kami tiba di venue setelah sebelumnya menyantap makan malem yang kali ini menunya killer.. Ikan bawal!! Oke tanpa menunggu lama kami langsung menyiapkan semuanya ketika sudah tiba waktunya untuk naik panggung... kembali kami tampil all out malem ini dan sukses membayar tuntas hutang kami 3 tahun lalu. Thanks all brothers in Penang.. Dan akhirnya malem ini kami pulang dengan wajah senang karena ada 3 hari off didepan, kami bisa memulihkan stamina untuk show berikutnya... Sampai jumpa di Kuantan guys !!! Kuala Lumpur International Airport


58

59

Suicidal Tendencies ë13í Review

Reissue Giant Step-Mark I

Review rock & roll

The S.I.G.I.T 01 Detourn 02 Let The Right One In 03 Son Of Sam 04 Gate of 15th 05 Tired Eyes 06 Owl And Wolf 07 Black Summer 08 Red Summer 09 Ring of Fire 10 Cognition 11 Conundrum 56 | Mei 2013 | Rock&Roll

60

61

Classic Movie ëTHE SHININGí

Curby ëObsceneí Statement

Foto: Ryan AR

Detourn

Fast Forward Records

K

ita seperti di bawa penuh tanya ketika The SIGIT mengeluarkan singel “Let The Right One In” awal Maret kemarin, sebelum album Detourn dirilis. Secara track kedua pada album ini memiliki komposisi musik yang lurus, kental nuansa punk rock, seolah lagu ini cocok untuk jadi salah satu track di album sebelumnya, yang membedakan hanya dari segi sound yang mengadaptasi sound ‘70an. Belum lagi ketika mereka mengeluarkan sampul album yang minimalis lengkap dibalut packaging warna ungu tua yang membuat album full-length kedua mereka ini terasa kuat, misterius dan menjadi susah ditebak. Ternyata Detourn tidak seminimalis covernya atau selurus singel-nya, mereka menawarkan album rock yang kompleks, menyimpan sejumlah kejutan pada komposisi yang catchy dan kaya akan eksplorasi. Kemegahan organ pipa membuka album ini diiringi sejumlah instrument dengan sound retrospeksi garang. Namun kita diantarkan kepada progresi ritme yang berubah heavy sebelum mendengar tiupan saksofon Azis dari

Time Bomb Blues di bagian tengah lagu. Mereka sanggup membuat porsi yang seimbang; cukup rumit, tanpa mengurangi kekuatan Rekti (vokal) dalam membuat nada-nada yang “nyanyi”. Track “Son of Sam” di dominasi oleh kuatnya pattern vokal ala The S.I.G.I.T album ‘Visible Idea of Perfection’ (2006), riff gitar dan beat drum yang berpotensi membuat penonton jejingkrakkan saat konser sambil sing-a-long sepanjang lagu. Sementara itu, “Gate of 15th” menyuguhkan perubahan wujud pada pertengahan lagu, hasil perpaduan flute dan gitar akustik yang membawa kita mengembara ke sebuah hutan belantara dari dunia mitologi. Chorus dengan beat staccatto di lagu ini mampu menjaga tensi sebelum beranjak ke lagu “Tired Eyes.” Diawali dengan teriakan vokal bergaung, mengingatkan kita kepada Robert Plant di era Led Zeppelin awal. Reffrain yang sangat melekat di otak, diiringi beat dance-y mengantar kita kepada sebuah outro ugal-ugalan ala Black Sabbath.


Setelah diguncang oleh lagu-lagu tersebut, The SIGIT tahu betul cara menurunkan tensi di tengah album yang baik dengan balada manis “Owl and Wolf.” Sedangkan dalam lagu “Black Summer” kita kembali disuguhkan oleh progresi cerdik yang susah ditebak, diakhiri dengan penggabungan aransemen yang berubah telak di akhir lagu tersebut. Di album Detourn ini, mereka memberikan karakteristik yang sangat distingtif setiap lagunya. Dan sepertinya single “Let the Right One In” menjadi jembatan antara album pertama mereka dengan album ini yang penuh eksplorasi musikal yang liar. Seperti di lagu “Red Summer,” suara chant sebuah suku membuka dan menutup lagu itu yang di mana perlahan kita dijemput menuju klimaks oleh ketukan drum yang powerfull. Tiga track terakhir berjudul “Ring of Fire,” mereka kembali menurunkan tempo dengan halus yang mengedepankan irama lagu. “Cognition” adalah lagu dengan riff gitar minimalis yang cukup gelap, bisa kita dengar pada verse lagu tersebut. Mereka menaikkan satu progresi kort untuk mendukung part vokal saut-meyaut yang patut untuk disimak. Lagu terpanjang pada album ini, “Conundrum” yang juga selaku lagu penutup sepanjang enam setengah menit. Satu track dengan nuansa gelap nan magis diantara sepuluh lagu lainnya. Mengeksplorasi bebunyian yang bertimpa layer menciptakan suasana psychedelic yang kental, lalu mereka memaksa kita bertemu dengan aransemen agresif bernada gelap yang disudahi oleh chorus pertanda album kedua mereka telah berakhir. Empat pemuda ini tahu betul mempersembahkan sebuah album yang tidak sia-sia setelah penantian selama tujuh tahun (terhitung sejak tahun dirilisnya Visible Idea of Perfection). Sebelas lagu tersebut jauh lebih baik jika Anda dengarkan dan alami sendiri pengalaman emosional nan epik yang disuguhkan The SIGIT di album “Detourn” ini. Lody Andrian

Hands Upon Salvation Entity

Hellavilla Records Ketika skena metalcore lokal agak mulai sedikit “membosankan” album ini adalah sebuah kesegaran. Segar bukan dalam arti sesuatu yang baru tapi sebuah retrospeksi akan kejamnya hibrid hardcore dan metal di awal evolusinya. Membawa nafas purba dari influensi bandband H8000 seperti Congress, Liar dan juga Morning Again dan Reprisal. Rilisan kedua band dari Yogyakarta ini dilepas 7 tahun sejak Hands Upon Salvation merilis debutnya Celebrate the Newborn pada tahun 2004; dan jelas lebih kejam dari album debutnya itu. Aroma kegelapan menyeruak dari nomer pembuka “Monolimferium”. Dari 11 lagu di dalamnya yang menjadi catatan spesial bagi saya adalah “Envision the Forsaken”, “A Thousand Crying Eyes”, “To Inherit the Purity”, “Better by Daylight”, “A New Bonfire” dan “As Winter Calls”. Bagi penggemar metalcore pemula yang menggemari ‘crabcore’ segeralah insyaf dan dengarkan album ini! Farid Amriansyah

Discoshit

Teror Sriwijaya Mental Serigala Self released, 2012

Kebangkitan kembali thrash metal adalah fenomena yang muncul baik secara global maupun nasional di Indonesia yang ditandai dengan kemunculan band-band thrash generasi baru di berbagai daerah di Indonesia. Salah satunya di Palembang dengan Discoshit yang merilis album debutnya Teror Sriwijaya Mental Serigala. Bermain cepat dan intens dengan crossover thrash dan hardcore punk; materi dalam album debut ini sedikit banyak merupakan semacam peleburan dari sesepuh seperti Discharge, Hirax dan Slayer. Berisi tiga belas lagu yang berdurasi di bawah dua menit, kecuali “Teror Mental” (3:02) yang merupakan lagu favorit saya di album ini, anthemik dan siratan permainan gitar melodik ala Black Tide. Bukan hanya itu karena semua lagu dieksekusi dengan baik, drums yang rapat dan permainan gitar yang melibas ganas. Nilai plus adalah dibalik cepatnya durasi lagu, liriknya tidak hanya pelengkap karena pesannya cukup nyata meniupkan keliaran jalanan para thrasher yang besar dari skena punk Palembang ini. Raw, cepat dan berbahaya Discoshit dengan album ini akan membuatmu headbang dan circle pit tanpa henti di tengah moshpit. Discoshit gonna thrash makbapak you! Farid Amriansyah

Konflik

Experimental Diorama Simpleton Melodies Records

Konflik adalah salah satu alumni dari gig fenomenal skena pop punk/melodic punk Jakarta, Some Fast Tune yang digelar di GOR Bulungan di awal 2000an. Experimental Diorama adalah album ke-4 sejak Konflik dibentuk tahun 1994, masih tetap konsisten di jalur musiknya. Dengan formulasi musik peleburan dari No Fun At All dan Millencolin; ramuan tempo cepat dan midtempo, harmonik dan melodik. Lirik dari 10 lagu dalam album ini ditulis dalam bahasa Indonesia dengan baik; mengangkat tema personal, pesan positif hingga perspektif akan kondisi sosial masyarakat seperti “Akhir Cerita” yang merekam fragmen kisah muram para veteran perang kemerdekaan yang jasajasanya terlupakan. Tak lagi remaja, kisah cintanya adalah untuk anak tersayang di “Bukan Terbaik”. “Nada Tak Bernyawa” didedikasikan untuk industri musik yang menghasilkan band-band acara musik pagi yang membosankan. Semua lagu dieksekusi dengan baik dari departemen musik hingga vokalnya; nomer favorit saya dari album ini adalah “Dominasi” dan “Dogma”. Seperti Bad Religion dengan True North, warna khas Konflik di album ini tidak terdengar basi dan menunjukkan progresinya tanpa hilang arah. Sebuah album yang layak menghiasi rak koleksi bagi kamu yang menggemari melodik punk. Farid Amriansyah

CLASSIC A L B U M

Beastie Boys Paul’s Boutique Capitol Records

Paul’s Boutique adalah sebuah landmark, contoh album yang menarik perhatian dan pertanda dari Beastie Boys untuk obsesi budaya pop-nya. Mendefinisikan identitas dekade berikutnya (postmodern) layaknya “The Simpsons” dan Quentin Tarantino lakukan. Rasanya hampir mustahil meracik beberapa unsur genre rap, rock, punk, dan funk melebur menjadi satu. Tetapi tidak sepertinya buat para gerombolan hip-hop asal kota New York ini yang berhasil mengemas semuanya dengan sempurna. Track pembuka dikemas secara sensual dan menggoda penuh maksud, sesuai dengan judul track pembuka album ini “To All The Girls”. Setelah itu disambung dengan track kedua mereka “Shake Your Rump” yang langsung menyuruh pandangan mata menuju suara berasal, lalu secara tak sadar membuat para pendengar album ini untuk terpaksa mengang-

gukan kepala mereka karena terbuai oleh beat-beat yang disuguhkan Beastie Boys. Mungkin rasa penasaran adalah hal yang paling kuat setelah memutar separuh dari album ini sebelum melanjutkan nomor selanjutnya. Pertanyaan seperti “kok keren banget? Terus ada manuver beat apa lagi? “ sepertinya pantas untuk mengiringi rasa penasaran yang mendalam. Betapa lebih sempurnanya mendengarkan Paul’s Boutique dalam keadaan sedang berada di “dimensi” lain. Paul’s Boutique adalah album kedua Mike D, Ad Rock, Adam Yauch yang dirilis pada tahun 1989 di bawah naungan label raksasa Capitol. Album ini nyaris tanpa cacat. Dan album ini selalu masuk jajaran greatest album of all time pada chart media manapun.

Andreas Tulus

Rock&Roll | Mei 2013 | 57


ALBUM REVIEW Hard To Kill

Trap x Old Skin

Firecatz/Demajors

Madafaka/Ammunition

Menyusul album pertama The Agony (2006) album kedua bertajuk Amarah Jiwa inin merupakan sebuah progres dari usaha Hard To Kill untuk menyempurnakan arsenal agresinya. Metalcore ganas yang melebur aura death metal semacam gulat duel antara The Black Dahlia Murder, Heaven Shall Burn yang diwasiti oleh Lamb of God; brutalitas intens dalam 9 lagu di album ini -tanpa menghitung “Intro”. Beberapa lagu menampilkan beberapa musisi tamu seperti Freddie (Morfem), Lucky (Unmistake) dan lead gitar di “Sampai Jumpa di Neraka” yang diisi oleh Andre Tiranda (Siksakubur). Diperkuat dengan produksi rekaman yang mantap maksimal mengangkat potensi ledak materi di album kedua band dari Jakarta Timur ini. Nomer-nomer yang cukup standout antara lain “Tikam”, “Hitam”, “Dosa”, “Amarah Jiwa” dan “Sampai Jumpa di Neraka Fight For the Truth”. Sekedar catatan lagu “Fight For the Truth” adalah sebuah cover version dari lagu milik Revitol, band metalcore veteran dari Jakarta Timur. Album ini membayar lunas jeda panjang Hard To Kill hampir 6 tahun sejak album pertamanya dirilis, recommended! Farid Amriansyah

Dua sisi split album dalam format kaset ini menawarkan eksplorasi kebisingan kencang tanpa basa-basi. Den gan total durasi kaset lebih kurang 15 menit, sisi A dibuka oleh TRAP yang kebutkebutan dengan aura Ceremony dan Infest, in your face hardcore/power violence! 7 lagu kecuali “Nihil” dan “Dilematis” semua liriknya ditulis dalam bahasa Inggris. Walau liriknya kental dengan tema sosio-politikal, canda yang terekam di akhir lagu “Insubordinate” memberi angin bahwa anak-anak Medan ini juga tahu elemen fun tetaplah penting dalam hardcore punk. Sisi B adalah lahan OLD SKIN (sekarang namanya SPLIT TEETH) dari Melbourne - Australia. Dibuka dengan “Relic” dan diakhiri oleh “Clock Watcher” 7 lagu dalam 7 menit 45 detik gempuran rekaman live yang memuntahkan agresi mentah crust/power violence yang sedikit mengingatkan saya akan Infest yang bergulat dengan Wax Moth.

Amarah Jiwa

Finger Print Kehidupan Fun Records

Setelah rilisan perdana mereka yang berupa Soldier Meet the Warrior E.P pada tahun 2005, sebagai album penuh perdana Kehidupan sungguh menunjukkan kekuatan dari aksi hardcore kota Medan, Fingerprint. Menghantam keras dengan agresi peleburan hardcore dengan metal semacam tag team antara early-Throwdown, Hatebreed dan Terror. Sembilan nomer yang potensial memanaskan dan meledakkan moshpit; potensi yang diperkuat dengan produksi rekaman yang cukup mantap. Beberapa lagu yang cukup standout mewakili album ini antara lain “Imperialisme Baru”, “Loyalty is Our Way”, “Manipulasi Pencitraan” dengan bagian gitar yang juga diisi oleh Dede (Cranium), “Still Stand Still Strong” yang menampilkan vokalis tamu, Endro (Banana Split) dan “Manusia Hina”. Secara lirik tema yang diangkat adalah permasalahan sosial, resistensi, komitmen dan konsistensi jati diri in a hardcore kinda way. Menyeruak dari skenanya, Fingerprint sempat melangsungkan tur ke beberapa kota di Jawa, dan untuk mengetahui kekuatannya album Kehidupan ini wajib kamu miliki bila ingin menelisik ada apa dalam skena hardcore kota Medan. Respect! Farid Amriansyah

58 | Mei 2013 | Rock&Roll

Split Album

Farid Amriansyah

Suicidal Tendencies 13

Suicidal Records Ketika kita berbicara tentang Crossover Thrash, tidak ada band yang lebih berpen garuh selain Suicidal Tendencies. Dibentuk pada tahun 1981, mereka menjadi perintis genre tersebut bersama band-band seperti D.R.I dan S.O.D. Mereka sempat beberapa kali bubar dan bersatu kembali dan akhirnya telah merilis album baru. ‘13’ merupakan album studio pertama mereka sejak ‘Free Your Soul… And Save My Mind’ tahun 2000. Suicidal Tendencies bukan tipe band yang membuka album dengan halus, terbukti di lagu pembuka ‘Shake It Out’ mengumumkan kepada dunia bahwa mereka telah kembali. Kalimat Suicidal’s Back terus dinyanyikan sepanjang lagu ini dan memberikan janji mereka untuk ‘brings the demons on out’. Memanuver tempo dan shredding gitar adalah jurus andalan band ini, bisa kita temukan pada ‘Smash It’ dan ‘This Aint a Celebration’. Setengah jam lebih, Suicidal akan merobek telinga Anda di album kebangkitan mereka ini. Agresi mereka masih ada disini dengan diversifikasi sound yang lebar. Mereka menampilkan sisi funky-nya pada track ‘God Only Know.. Who I Am’ sepanjang hampir enam menit dengan jeda instrumental dan chorus yang catchy. Di track ‘Till My Last Breath’ kita menemukan groove yang nakal, membuat Anda melupakan intro-nya yang sedikit belang. Tidak semua track berhasil disini. Beberapa lagu

lain mungkin bisa diklarifikasikan sebagai pelengkap, dan sedikit pemangkasan lagu akan membuat ‘13’ lebih jahat. Lody Andrian

Nails

Abandon All Life Southern Lord

Satu yang pasti album kedua dari band asal California - Amerika Serikat ini menyusul keganasan kelam dari Unsilent Death. Diwarnai kekesalan karena sempat bocor sebelum waktu rilisnya, album ini adalah pengembangan formulasi yang melebur elemen grindcore, crust, sludge dan hardcore punk dalam bentuknya yang menyiksa dengan ganas. Sepuluh lagu dengan durasi total 17 menit yang diproduseri oleh Kurt Ballou (Converge). Dari hantaman keras “In Exodus” dan rambatan berat dari “Wide Open Wound”. Agresi grindcore di “Absolute Control”, siksaan “God’s Cold Hands” dengan lagu-lagu berdurasi pendek tiap track memiliki nyawa yang saling taut menaut menjadi satu, untuk kemudian ditutup oleh lagu berdurasi lima menitan, “Suum Cuique”. Lagu terpanjang dari track lain di Abandon All Life itu adalah permata di penghujung album yang menampilkan dinamik kencang keras lamban yang bisa dibilang arena eksplorasi segar dari musik Nails. Album ini menunjukkan usaha keras Nails untuk tak hanya menjadi nama yang terlewatkan ketika berbicara tentang ranah hardcore punk modern yang menawarkan kebisingan maksimum. Dan, bagi yang suka musik hardcore punk-mu gelap, kotor dan kasar album ini sangatlah cocok untuk mengoyak gendang telingamu bak paku yang berkarat. Farid Amriansyah

Throughout

Step Ahead Into the Real World [Samstrong Records]

EP band dari Yogyakarta ini dirilis tahun 2012 lalu. Menghembuskan energi hardcore modern yang melodis dalam musik yang menyiratkan pengaruh dari band seperti Comeback Kid, Miles Away dan sejenisnya dalam enam lagu di EP berformat CD ini. Istimewa bukan hanya karena dari Yogyakarta tapi karena musik dan vokalisnya yang perempuan yang bukan hanya “pemanis”. Secara pribadi saya suka karakter vokalnya yang bertenaga tapi masih bisa menjaga dinamik, tegas dan bernada bukan hanya berteriak; menjaga imbang agresi musiknya. Lagu yang jadi favorit personal saya “Ironi”, “Demise Desire” dan “Step Ahead Into the Real World”. Catatan kecil mungkin pada proses produksi mixing-nya yang menyisakan sedikit bagian gitar dan drum yang sempat mengagetkan karena tak berimbang; selain itu materi EP ini cukup kuat. Farid Amriansyah

Straight Answer Until We Win Armstretch Records

Ini adalah album kelima dari eksponen hardcore dari Jakarta, Straight Answer, yang berdiri sejak 1996 dan tak menunjukkan tanda mengendur atau ber-paling dari garis musik dan hardcore sebagai way of life. Bagi yang memperhatikan ada energi segar dalam album ini seperti pada nomer “Small Show, Great Friends” yang bercerita tentang nikmatnya gig kecil dan para teman, high five stage dive! Track lain yang cukup standout adalah “These Fists Won’t Run”, “Alone No More” dan favorit saya “Undefeated Kids” yang anthemik dan meniupkan nafas lawas punk rock ala Menace dan Cock Sparrer. Plus sebagai pengingat akan akar rumputnya terselip sebuah versi kover dari lagu INA Subs “Punks United”. Secara keseluruhan ini adalah album intens dengan potensi hulu ledak adrenalin di tengah moshpit. Farid Amriansyah

Converge/Napalm Death Split

Concult Dua monster dari era yang berbeda menyatu dalam split album ini; dan bisa dibilang saya adalah fans dari Napalm Death dan juga Converge. Keduanya adalah band yang groundbreaking di eranya masing-masing. Keduanya juga nama besar dalam ranah musik keras ekstrim. Keduanya pun punya reputasi yang tak bisa dianggap enteng. Tapi besar bukan selalu bermakna kuat tak punya kelemahan. Converge membuka dengan “No Light Escapes”, lagu singkat yang menunjukkan arah progresi musik mereka. Cover version dari lagu Entombed “Wolverine Blues” oleh Converge di rilisan ini jadi terdengar lebih jinak; yang menampilkan pengisi tamu antara lain Aaron Turner (Isis, Old Man Gloom) dan Tomas Lindberg (Disfear, Lock Up) dan beberapa lainnya, bisa dibilang cara Converge untuk bersenang-senang di rilisan ini. Di sisi Napalm Death, mencoba bermain dengan sound raw yang kalau boleh jujur terdengar agak sedikit kedodoran bila dibandingkan Converge. Gitarnya brutal dengan sound yang garing, drum yang ‘mentah & organik’ melandasi multi layered growl vocals yang terdengar ‘ngeri’ sendirian. “Will By Mouth” adalah nomer peledak moshpit yang sangat tepat bila dimainkan di klab kecil penuh crust punks. Agak sedikit bingung menyikapi “No Impediment To Triumph (Bophal)” dimana Napalm Death coba bermain chaotic dengan tekstur yang malah terdengar seperti peleburan Coalesce, Botch dan Catharsis. Susah untuk tidak cerewet bila kamu adalah fans, tapi penilaianmu mungkin berbeda. Farid Amriansyah


Reissue (On The CD)

Giant Step

Giant Step: The First Indonesian Prog Rock Band of ‘70s

Mark-I

G

Bravo Musik

iant Step diproklamirkan di Bandung pada tahun 1973, Adapun formasi pertama mereka terdiri dari Benny Soebardja (lead guitar) ,Yongkie atau sekarang lebih dikenal dengan nama Yockie Soeryoprayogo, yang saat itu baru saja cabut dari Godbless (keyboard), Deddy Sutansyah yang baru cabut juga dari The Rollies (bass) dan Sammy Zakaria mantan drummer SharkMove (drum). Nama Giant Step sendiri, menurut Benny diambil dari sebuah stiker yang menempel di bungkus gitar milik Remy Silado. Konon Benny dan teman-temannya itu pada tahun 1973 hendak manggung di kampus ITB. Namun, ketika itu belum ada nama untuk band mereka. Lalu Benny yang melihat stiker itu langsung mengusulkan nama Giant Step. Sejak saat itu Giant Step yang dimanajeri Gandjar Suwargani (pemilik Radio OZ Bandung), secara resmi di proklamirkan. Di awal kariernya Giant Step lebih banyak membawakan lagu-lagu milik grup rock Inggris seperti King Crimson, Jethro Tull, Pink Floyd, Gentle Giant, Yes, Genesis dan Emerson Lake and Palmer (ELP). Ketika baru saja Giant Step berusaha untuk eksis dengan formasi perdananya, tidak lama kemudian pada tahun 1974 dengan tidak disangkasangka tiga personelnya hengkang yaitu Yockie dan Sammy Zakaria dan bermigrasi ke Malang membuat grup band Double Zero (singkatan dari Nama sebuah pabrik rokok “Orong Orong”). Dan Deddy Sutansyah yang cabut juga dari Giant Step dan masuk Godbless, maka formasi Giant Step mengalami perubahan, kedudukan Yongkie diganti oleh Deddy Dores yang pulang kampung selepas cabut dari Godbless, dan kedudukan Deddy Sutansyah di Giant Step digantikan oleh Adhy Haryadi yang hijrah dari Medan karena sudah tidak betah di group top rock Menstrel’s dan

posisi Sammy Zakaria di gantikan oleh Yanto Sudjono mantan drummer Philosophy Gang of Harry Roesli. Yanto bisa di katagorikan sejajar dengan Fuad Hassan dari kehebatan permainan drumnya namun rovel-rovelnya lebih rapih dan terarah sebagaimana puji Martha Boerhan dari majalah musik TOP. Dengan formasi barunya Giant Step ditambah embel-embel nama Rhapsodia, jadilah mereka Giant Step of Rhapsodia yang bukan saja membawakan lagu-lagu milik King Crimson, Jethro Tull, Pink Floyd, Gentle Giant, Yes, Genesis, dan Emerson Lake and Palmer (ELP), melainkan mulai merambah membawakan lagu-lagu Deep Purple dan pengaruh Gentle Giant mulai terasa. Formasi ini diuji coba pada peringatan 100 hari meninggalnya Soman Lubis dan Fuad Hassan di Istora Senayan pada tahun 1974, pada saat itu yang tampil adalah Godbless dengan formasi baru yang posisi drum, keyboard dan gitar diisi oleh Nasution Bersaudara dan Giant Step. AKA yang direncanakan datang rupanya absen saat itu. Penulis sendiri menyaksikan acara yang dipandu oleh Rudy Djamil itu, dan gaya panggung Giant Step memang sangat hidup. Stage act Benny dan Deddy diatas panggung sangat dominan sedangkan Yanto Sudjono memang pantas disejajarkan dengan Fuad Hassan almarhum dalam permainannya sebagaimana pendapat Martha Boerhan dari majalah musik TOP, sedangkan Adhy Haryadi masih mencari format gaya dan nyaris statis di tempat walaupun permainannya bagus dan di puji oleh Donny Fatah saat dia akan hengkang dari Godbless di tahun 1976. Pada tahun 1975 Giant Step memulai era

bermusiknya dengan menampilkan double guitarist dengan masuknya “Albert Warnerin” gitaris dari Philoshopy of Gang Of Harry Rusli. Dengan formasi ketiga ini, Giant Step mulai aktif menciptakan lagu dan mengadakan konser-konser di berbagai kota. Album pertama Giant Step dirilis dipenghujung tahun 1975 dengan judul “Giant Step Mark-1” dibawah label Lucky Record Bandung. Lewat album perdananya walaupun kualitas rekamannya masih dibawah standard namun seperti pendapat wartawan senior dari majalah TOP, Martha Boerhan yang sangat mengagumi Giant Step saat itu bahwa Giant Step mampu mengukuhkan namanya menjadi salah satu super group rock Indonesia yang sejajar dengan Godbless,The Rollies, AKA atau SAS yang mana mereka pernah sepanggung dengan keempat band tersebut. Giant Step Mark-I menciptakan lagu-lagunya sendiri dengan karakter khusus. Diantara rock group yang paling banyak mengoleksi karya berbahasa Inggris adalah Giant Step yang paling wahid. Mereka sangat produktif dan tak tertandingi dalam originalitas musik maupun syairnya. Bagi para penggemar Giant Step, bilamana lagu ‘Childhood and The Seabird’ dan ‘Fortunate Paradise’ dikumandangkan diatas pentas mereka langsung histeris dan berjingkrakjingkrak karena lagu-lagu itu sudah begitu populer bagi para fans Giant Step, maka tidak heran jika banyak majalah musik dan koran menobatkan Benny Soebardja sebagai seorang superstar saat itu. Pada formasi pertama Giant Step, mereka belum sempat berfikir untuk membuat rekaman disamping order manggung mereka sangat padat, walhasil pada formasi ini belum sempat membuat rekaman mereka sudah bubar dan tidak lama setelah itu Adhy Haryadi,dan Deddy Dores bergabung ke dalam Giant Step formasi II dan kemudian barulah mereka mulai membuat album rekaman, dengan Judul yang cukup wah! Giant Step-Mark I (Lucky Records 1975) yang berisikan lagu ber-teks Inggris antara lain ‘Childhood And The Sea Bird,’ ‘My Life,’ ‘Fortunate Paradise,’ ‘Far Away,’ ‘Keep A Smile,’ dll. Kontribusi Bob Duke warga negara Inggris yang karibnya abang kandung Benny Soebardja itu sangat besar, karena dialah yang menulis lirik lagu-lagu Giant Step yang berbahasa Inggris termasuk dua album solo Benny Soebardja : Night Train dan Gimme Piece Of Gut Rock. Giant Step juga termasuk band rock yang produktif. Setidaknya ada tujuh album yang dihasilkan dalam kurun waktu 1975-1985. Tentu bukan hanya itu, Giant Step pun termasuk dari sedikit band rock pribumi yang berkiblat pada jenis musik art rock (kini lebih dikenal sebagai progressive rock) yang diusung group-group Inggris, seperti King Crimson, Jethro Tull, Pink Floyd, Gentle Giant, Yes, Genesis, dan ELP. Giant Step pun memiliki “duo guitarist” yang bisa dianggap sebagai roh atau nyawa bagi group itu, yaitu Benny Soebardja dan Albert Warnerin. Benny dikenal sebagai pemain guitar dan penulis lagu yang produktif. Sedangkan Albert yang disebut sebut sebagai Jeff Beck-nya Indonesia itu termasuk salah seorang gitaris handal Indonesia asal Kota Kembang yang kemampuannya susah dicari tandingannya untuk saat itu. Albert pun piawai bermain flute gaya permainan flute-nya banyak yang mengatakan mirip dengan John Anderson (vokalis Jethro Tull). Kini Bravo Musik mendapat kepercayaan untuk mengedarkan kembali album Giant Step Mark-I ini guna untuk mengobati kerinduan para penggemar musik rock Indonesia era 70-an. Welcome back to The Indonesian Rock World of 70’s !! Alvi Rock&Roll | Mei 2013 | 59


CLASSIC MOVIES

THE SHINNING Bukan Stanley Kubrick namanya jika karyanya tidak spektakuler. Terbukti lewat film besutan dirinya produksi 1980 ini. Salah satu film terbaik sepanjang masa ini, banyak mempengaruhi sineas-sineas di era berikutnya, dan menjadikan film ini sebagai salah satu referensi horor terbaik yang pernah ada. Tak hanya dari dunia perfilman,

Sutradara: Stanley Kubrick Tahun: 1980 Pemain: Jack Nicholson, Shelley Duvall Danny Lloyd

dari dunia musik pun, terutama dari genre musik keras. Salah satunya band beraliran metal, Slipknot. Dalam video klipnya yang berjudul “Spit It Out” mereka mengadaptasi adegan-adegan fenomenal yang ada pada film ini. Ceritanya sendiri bercerita seputar kehidupan seorang guru bernama Jack Torrance (Nicholson) bersama Istrinya Wendy (Duvall)

dan anaknya Danny (Lloyd) yang harus pindah dari kota besar, ke kota kecil di pinggiran Amerika untuk mengambil pekerjaan sebagai penjaga hotel selama musim dingin. Ternyata di awal hari-hari menyenangkan, semua berubah menjadi malapetaka bagi keluarga tersebut. Hotel “dikuasai” Roh-Roh Jahat, Udara yang tidak bersahabat dan Stress Tingkat Tinggi karena hidup terpencil di sebuah hotel besar tanpa penghuni kecuali mereka bertiga, seakan bercampur menjadi satu kesatuan “membentuk” karakter baru seorang Jack Torrance. Dari seorang guru biasa menjadi Psikopat yang menghantui penonton sepanjang film. Kengerian dan cipratan darah yang tampil mulai dari pertengahan film sampai akhir, mata penonton khususnya pecinta film horor seakan akan “dimanjakan” oleh Kubrick. Begitu pandainya ia meramu cerita absurd dan gambar dengan angle-angle tak lazim menjadi suatu kesatuan bernama Film. Jadi buat para Rock&Rollers yang belum pernah menonton film cult ini, disarankan untuk segera mencari dan menonton film ini, Highly Recommended, apalagi yang mengaku pecinta horor. Because.......” Here’s Jhonny !!!!” Didit D-Rex

5

FILM

HORROR PILIHAN SLASH

THE OMEN (1976) “Mungkin ini adalah film horror sepanjang masa saya. Semua yang anda cari di ‘slasher film’ ada pada film ini. Menakutkan secara psikologis. And it’s gotten pretty old, you know?”

THE STRANGERS (2008) “Film yang paling menakutkan yang pernah saya tonton di usia sekarang. Ini terjadi kepada saya, mengganti saluran televisi waktu film ini diputar!”

LET THE RIGHT ONE IN (2008) “Ini adalah salah satu film vampire terbaik yang pernah saya tonton selama ini”

NIGHT OF THE LIVING DEAD (1968) “Waktu saya kecil, saya menonton film ini dengan ibu saya and it scared the shit out of me. Konsep film yang orisinil dengan hitam dan putih, sangat mengerikan.”

FRANKENSTEIN (1931)

THE BIRDS

Seekor burung adalah binatang yang bisa menghibur diri. Lucu, indah dan bersahabat itulah salah satu ciri2 burung. Namun apa ceritanya jika ratusan burung menguasai kota bahkan sampai bisa menjadi pembunuh? Sutradara nyentrik namun Jenius bernama Alfred Hitchcock yang sukses “menterjemahkan” idenya dalam sebuah film. Karya Hitchcock ini menjadi salah satu Masterpiece of Classic & Cult Film disamping karya-karya Hitchcock lainnya yang tak kalah mumpuni seperti: Psycho, Vertigo, Dial “M” For Muder dan masih banyak lgai karya2 Hitchcock lainnya. Ceritanya seputar Melanie Daniels (Hedren)

60 | Mei 2013 | Rock&Roll

Sutradara: Alfred Hitchcock Tahun: 1963

“Boris Karloff is great. Atmosfir film yang fantastis. Film tua menyeramkan yang tetap menjadi ujian untuk saya untuk menontonya.

Pemain: Tipi Hedren, Rod Taylor, Jessica Tandy

sosialita muda, yang bertemu calon kekasih hatinya yang bernama Mitch Brenner (Taylor) di sebuah toko hewan di San Fransisco. Pertemuan itu akhirnya membawa mereka liburan ke pinggiran kota kecil di tepi pantai. Liburan yang awalnya berawal bahagia dan penuh cinta, akhirnya mereka menjadi berantakan karena kota kecil di pinggir pantai tersebut diserang oleh ratusan bahkan ribuan burung. Mahluk kecil yang biasanya hidup indah dan damai, digambarkan Hitchcock di film ini sebagai Monster pembunuh paling kejam di muka bumi. Hitchcock sukses menyayat-nyayat hati pemirsa penonton film ini.

Film hitam putih produksi tahun 1983 ini juga menjadi referensi wajib bagi para insan film, terlebih yang film bergenre thriller. Gaya penyuteradaraannya pun telah mengilhami beberapa pembuat film, salah satunya M. Night Syamalan, yang terkenal dengan karyanya “The Sixth Sense”. Film ini cocok sekali menemani sore anda di akhir pekan, di saat santai ditemani beer, rokok dan cerutu....Highly recommended..... Didit D-Rex


[ LIVE ]

CURBY OBSCENE

Wawancara oleh Revan Bramadika 8 Mei 2013, Irish Pub Kemang, Jakarta Selatan

Bombardir festival musik bermacam skala, memang sedang melanda Indonesia. Mulai dari skala kota kecil yang berisikan artis pendukung lokal, hingga festival musik multi nasional yang mengundang artis pemenang Grammy Award sekalipun, dengan berani digelar di negeri ini. Sebutlah Rock in Solo, Bandung Berisik, Hammersonic, Java Rockin’ Land sebagai festival musik keras yang berhasil menyita perhatian masyarakat internasional. Tapi bagaimana dengan Obscene Extreme Festival (OEF)? Bisa disimpulkan, festival musik ekstrim bawah tanah yang telah berumur 15 tahun ini, adalah termasuk yang terbesar di dunia khususnya benua Eropa. Mengapa ketika OEF dibawa ke Asia dengan tuan rumah Jakarta malah menimbulkan polemik dan banyak masalah? Simak penuturan langsung Curby, sang pencetus OEF, kepada Rock&Roll sehari setelah pesta musik ekstrim Obscene Extreme Festival Asia 2013 digelar. Hiduplah Indonesia Raya!

S

aya tidak mendapatkan pengalaman yang baik disini, di Jakarta. Menurut saya ini semua salah saya, karena saya men unjuk orang yang tidak tepat untuk menyelenggarakan OEF Asia disini. Motivasi yang mereka punya, saya rasa berbeda dengan apa yang saya harapkan. Festival ini adalah segalanya buat saya. Sebagai contoh hari pertama, Sabtu, sangat penuh dengan lumpur yang terjadi akibat hujan yang tidak berhenti seharian. Hari berikutnya, Minggu, saya membersihkan area depan panggung yang penuh lumpur sendiri, tanpa ada orang yang menawarkan bantuan, termasuk panitia berkaos oranye. Hal ini aneh menurut saya, karena di Republik Ceko, saya dikelilingi oleh orang-orang yang punya dedikasi tinggi untuk menyelenggarakan festival musik ekstrim, kami bekerja dengan baik dan solid selama ini. Di Jakarta, semua berbeda. CD album kompilasi OEF Asia datang tidak tepat waktu, dengan kualitas produksi booklet yang tidak baik. Merchandise Bird Flesh dan Agathocles yang sudah saya pesan, tidak selesai hingga sehari setelah festival berlangsung. Saya tidak mendapatkan kesan yang baik selama di Jakarta, saya sangat kecewa. Padahal festival ini menampilkan band-band yang hebat menurut saya, seperti Rotten Sound, BirdFlesh, Agathocles. Dan juga banyak band keren Indonesia seperti SiksaKubur, Jasad, Rajasinga, dan yang lainnya. Hanya 205 lembar tiket yang terjual, is this a joke or what? It’s incredible. Hal terbaik yang bisa saya lakukan adalah membuka gerbang festival pada hari kedua. Gratis, untuk semua orang. Ini saya lakukan agar saya bisa merasa lebih baik, walaupun saya sudah banyak keluar biaya dan waktu untuk OEF Asia ini. Saya tidak paham sama sekali. Mungkin Indonesia memiliki festival yang lebih baik dari pada ini, dengan lineup band

ing tur disini. Semua yang saya rasakan pada yang lebih baik dan lebih komersil. saat itu, berbeda sekali dengan sekarang. Kami Promo yang harusnya dilakukanpun tidak bermain show yang hebat di Surabaya, Bandung, optimal. Saya tidak menjumpai poster atau flyer Denpasar, dan Malang. Semua acara di kota-kota yang di cetak dan sebarkan bahkan di Jakarta ini menyenangkan. Banyak orang yang datang sendiri. Apalagi saya mengharapkan promo OEF untuk bersenang-senang dan menikmati musik Asia ini tersebar ke seluruh penjuru benua Asia. ekstrim. Jadi, saya sangat berharap sekali untuk Saya bisa pahami, kondisi kota Jakarta yang melakukan OEF Asia disini. Jepang terlalu mahal, memang membuat kita terputus hubungan dengan Singapura terlalu kecil, Malaysia terlalu banyak kota-kota lain di Indonesia. Sangat penuh dengan muslim radikal, sementara saya mendengar stres dan frustasi untuk hidup di kota ini. Jalanan Indonesia memiliki beberapa festival musik besar yang macet dan suasana dan tekanan yang luar yang berhasil diselenggarakan. Saya rasa sudah biasa. Wajar saja jika orang di kota ini memiliki sewajarnya saya memilih Jakarta, Indonekarakteristik yang tidak saya pahami. Saya rasa Obscene Extreme Festival be- ì Saya rasa sia, untuk OEF di Asia. Saya tidak akan menyalahkan siapa lum bisa diterima di Indonesia. Kami sudah Obscene pun dengan kegagalan ini. Saya sendiri eksis selama 15 tahun di Eropa, dan semua Extreme yang memilih dan mempercayai panitia orang mengerti kalau OEF adalah festival Festival penyelenggara di Jakarta. Semua ini saya musik underground, yang bisa terselenggara belum bisa anggap salah besar saya. Biaya besar se karena fans musik ekstrim. Mereka datang diterima di nilai 40-50 ribu dolar yang saya keluar untuk bersenang-senang. Sementara disini Indonesia î kan dari kantong sendiri untuk festival banyak orang yang mempermasalahkan hal ini, yang sama sekali tidak saya sesali. sepele seperti “you sell tickets in 711!!!”. Justru saya senang sekali, karena menurut Sebagai informasi, cuma ada lima tiket saya OEF Asia di Jakarta memiliki yang terjual di 711. So what’s the story? Theres no kualitas sound system yang sangat baik, stage story about it at all. Sementara, orang-orang yang yang luar biasa, produksi acara yang sangat bagus. protes masalah ini kepada saya, menggunakan Cuma, kondisi di backstage saja yang sedikit tidak iPhone. They are anti- fucking coorporation, but terorganisir dengan baik. Mungkin ini juga akibat they use a product from the biggest multination dari terbatasnya kemampuan saya berkomunikasi coorporation on planet earth, so what the fuck? dengan panitia disini. I don’t understand it at all. What kind of big hyTujuan awal saya membawa OEF ke Asia, pocrisy is this? Jujur saja, saya tidak ada masalah adalah agar orang-orang dari Vietnam, Korea, pribadi dengan orang-orang itu. Hak mereka Jepang, Malaysia, Singapura, dan kota-kota yang untuk berbicara tentang apapun dan menggunakan tersebar di seluruh Indonesia dapat berkumpul dan produk apapun. Mereka memiliki pandangan yang saling mengenal. Mungkin saja nanti akan terjalin berbeda, dan saya sangat hargai itu. Cuma saya komunikasi yang baik, banyak band yang akan sangat menyayangkan sikap mereka yang tidak bertukar tur di negara masing-masing, bertemu menghargai pendapat saya, dan apa yang sudah teman lama, teman baru, hanya sesimpel itu. saya lakukan. Saya sudah pernah ke Indonesia sebelumnya, sekitar delapan tahun yang lalu, pada saat Ingrow-

Rock&Roll | Mei 2013 | 61


Sathar, sebuah komik bisu dengan bahasa visual yang akan memancing fantasi lewat simbol-simbol perumpamaan. Bercerita tentang perjalanan spiritual yang direlasikan dengan fenomena-fenomena keseharian. Ikuti jejak perjalanan Sathar di Rock&Roll magazine setiap edisinya..

62 | Mei 2013 | Rock&Roll


Karya: Riandy Karuniawan

Rock&Roll | Mei 2013 | 63

#1


64 | Mei 2013 | Rock&Roll


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.