Edisi 1 / April 2017
LOKOMOTEKS adalah jurnal literasi bulanan memuat karya terpilih berupa puisi, fiksi, nonfiksi para penulis Indonesia, dan terjemahan penulis luar. Kami terbuka untuk bekerja sama dengan pihak-pihak sevisi dengan kami: menggerakkan dan memajukan sastra Indonesia.
Cat by Endre Penovรกc Edisi 1 / April 2017
Dari Meja Redaksi
Ngiau! Suatu gang panjang menuju lumpur dan terang tubuhku mengapa panjang. Seekor kucing menjinjit tikus yang menggelepar tengkuknya. Seorang perempuan dan seorang lelaki bergigitan. Yang mana kucing yang mana tikusnya? (Ngiau, Sutardji Calzoum Bachri, dalam kumpulan sajak O, 1973)
Dengan aba-aba: Ngiau, maka berangkatlah gerbong pertama LOKOMOTEKS! Ya, inilah edisi perdana majalah sastra bulanan yang kami gerakkan untuk “menggerakkan sastra Indonesia”. Mungkin, inilah majalah sastra pertama di Indonesia dengan konsep seperti ini: tematik. Setiap bulan kami memilih dan mengumumkan tema tulisan yang akan kami muat. Yang pertama atau tidak, sesungguhnya tidaklah penting benar. Yang lebih menggembirakan kami adalah sambutan para penulis. Email kami kebanjiran naskah: terutama puisi dan cerpen.
Mereka yang mengirim pun membesarkan hati kami, dari penyair senior hingga nama-nama yang benar-benar baru pertama kami baca. Untuk itu kami mengucapkan, Ngiau! (baca: terima kasih yang sebesar-besarnya). Kenapa kucing? Sebagaimana sampul poster yang kami umumkan untuk mengundang penulis, kami terinspirasi sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri dan T.S. Eliot. Eliot menulis satu buku dengan tema kucing: “Old Possum’s Book of Practical Cats”. Sebenarnya dengan penyebutan itu ingin omong: hei, sebelum menulis dan kirim ke kami, baca itu, dong! Dari karya-karya yang kami terima, tampaknya isyarat itu tak tertangkap. Bahkan banyak yang mengirim karya yang sama sekali tak ada hubungannya dengan kucing. i
Edisi 1 / April 2017
Dari Meja Redaksi Kami juga terinspirasi penyair besar kita: Sutardji Calzoum Bachri. Ada tiga sajaknya yang mengarap kucing dengan sangat intens: Ngiau (yang kami kutip di awal pengantar ini), Amuk, dan, Kucing. Dalam sajak Ngiau, peristiwa kucing menggigit tikus dijukstaposisikan dengan perempuan dan lelaki bergigitan. Lantas dipertanyakan: yang mana kucing yang mana tikusnya? Dengan kata lain, penyair mengajukan renungan abadi dalam hubungan manusia berjenis kelamin perempuan dan lelaki: siapa korban dan siapa pemangsa? Begitulah senantiasa tugas penyair dengan puisinya, yakni mempertanyakan nilai-nilai lama, sumber kecemasan kuno, dengan simbol, metafora, imaji baru yang khas, yang segar. Puisi-puisi seperti itu yang kami harapkan. Puisi-puisi yang kami pilih, kira-kira membawa kami ke pembacaan yang seperti itu. Menyadari pentingnya melongok ke luar, kami menerjemahkan beberapa sajak penyair luar. Tentu saja itu lebih afdol jika dibaca sambil membandingkan dengan sajak dalam bahasa aslinya. Kami tak mencantumkan tautan karena toh itu suatu hal yang mudah sekali ditemukan. Kami juga memuat puisi-puisi karya penyair-penyair kita yang kami temukan di buku-buku mereka yang sudah terbit. Menemukan sajak-sajak bertema kucing yang ditulis penyair-penyair kita juga sebuah kejutan lain bagi kami. Pelajarannya adalah: tema kucing ini telah memukau penyair kita sejak lama, digarap dengan berbagai gaya ucap, dan memperlihatkan kematangan, keberagaman, dan pencapaian yang mengagumkan. Salah satu sastrawan terkuat kita saat ini Triyanto Triwikromo mengirim cerita pendek.
Edisi 1 / April 2017
ii
Dari Meja Redaksi Masinis Dedy Tri Riyadi yang hari itu pertama membuka email dan lantas ia kirim pesan di grup WA awak gerbong LOKOMOTEKS. Saya mula-mula tidak percaya, jangan-jangan itu hanya kebetulan saja namanya mirip. Nyatanya benar. Cerpennya bersama terjemahan atas Haruki Murakami oleh Dedy kami muat di gerbong cerpen. Demikianlah, kami berangkatkan edisi perdana LOKOMOTEKS. Kami deg-degan tapi bahagia, kami senang tapi jelas kami tak puas. Rasanya banyak ide kami yang belum bisa kami wujudkan: misalnya menggarap, menyajikan, dan melepas versi PDF, di mana majalah ini bisa dibaca dalam bentuk dan rasa cetak.
Sekali lagi terima kasih untuk semua penulis yang sudah kirim naskah, yang terangkut maupun yang tak terangkut bagi kami sama-sama membahagiakan dan menyemangati kami untuk bilang: Ngiau! (baca: berangkat!) – HA
iii
Edisi 1 / April 2017
Cat by Endre Penovรกc Edisi 1 / April 2017
Kolom
Dari 25 Ekor Kucing, Lahir Seekor Garfield Oleh: Hasan Aspahani Pencinta kucing suka Garfield, Pembenci kucing juga suka dia.
KAUS kelas kami waktu SMA dulu bergambar karakter komik Garfield, si kucing gemuk berbulu jingga, dan tampangnya menggemaskan. Sayalah yang dipercaya kawan-kawan sekelas merancang kaus itu. Eh, bukan dipercaya, saya sebenarnya sedikit otoriter, karena saya waktu itu ketua kelas. Tentu saja waktu itu saya tak mengerti soal hak cipta, tapi saya suka Garfield, kawan sekelas saya suka juga. Rasanya, itulah kaus kelas paling keren dibandingkan dengan kaus kelas-kelas lain di angkatan kami dulu. Saya mengenal Garfield di koran berbahasa Inggris yang dilanggani paman saya. Dia guru bahasa Inggris. Saya pada waktu SMA memang ‘rakus’ melahap apa saja. Termasuk mencari rujukan tentang kartun dan komik strip, karena saat itu saya bekerja di surat kabar lokal, membuat komik strip. Nama serial komik strip saya: Ketupat. Pada saat yang sama, saya juga sangat menyukai Peanuts, komik strip karya kartunis kaya-raya Charlie M Schulz – saya entah kenapa, merasa amat kehilangan ketika beliau meninggal pada tahun 2000 lalu – dengan tokoh sekawanan anak-anak, Charlie Brown CS, dan anjingnya yang kemudian menjadi Edisi 1 / April 2017
1
Kolom Hasan Aspahani lebih terkenal daripada tuannya: Snoopy. Ketupat saya, amat dipengaruhi oleh Peanuts. Garfield – seperti halnya Peanuts – adalah contoh nyata tentang buah lebat yang bisa kita petik jika kita menanam benih keyakinan, kerja keras, dan kreativitas. Jim Davis – begitulah James Robert Davis mencantumkan nama akrab di setiap helai karyanya – menderita asma sewaktu masih kanak-kanak. Karena itu ia banyak menghabiskan waktu di dalam rumah. Penyakit ssmanya disebabkan alergi pada bulu hewan. Harap maklum, ayah dan ibunya adalah keluarga peternak. Rumah peternakan mereka dikepung oleh kawanan sapi, kuda, dan di dalam rumah – ini bukan hewan ternak – mereka memelihara 25 ekor kucing kampung. Apa yang bisa dilakukan seorang anak kecil – dengan seorang saudara kandung yang sebaya – ketika harus berlama-lama di dalam rumah? Ibunda Jim memberinya pensil dan kertas. Maka menggambarlah Jim. Sebagaimana layaknya gambar anak-anak, Jim menggambar dengan anatomi yang tak becus. Ia melihat sapi, ia menggambar sapi. Tapi gambarnya tak mirip sapi. Jim kecil menambahkan tulisan: Ini sapi. Sesuatu yang sepele. Tapi, dari peristiwa kecil itu, Jim teryakinkan bahwa ketika gambar dan teks dipadukan lahir sebuah kekuatan. Dan itulah prinsip komik. Sejak itu, dia tahu dia ingin jadi apa: dia ingin jadi kartunis. Jim kecil pun tak berhenti menggambar. Ia menggambar di mana saja, dinding, lantai, tangga, di mana saja. Berkah lain, karena betah menggambar di dalam rumah, asmanya pun berangsur pulih. Selepas SMA, Jim masuk politeknik, jurusan seni. Di situ bakatnya semakin terasah, karena fasilitas pendidikan dan buku rujukan yang lengkap. Di sana ia juga belajar drama. Di sini kita bisa belajar, betapa sarana pendidikan yang lengkap, pengajar yang baik, bisa memunculkan potensi maksimal dari anak2
Edisi 1 / April 2017
Kolom Hasan Aspahani anak, yang kita tak tahu kelak ia akan jadi sebesar apa. Selepas kolese, Jim magang di sebuah biro iklan. Niatnya cuma satu: bisa menjadi asisten Tom K Ryan, kartunis yang saat itu sudah berhasil dengan serial komik strip Tumbleweeds. Jim mengerjakan apa saja, menyapu lantai studio, mengepel, dan pekerjaan remeh, seperti menggambar latar dan menulis teks kartun. Pelajaran lain dari Jim, tak cukup belajar teori menggambar di perguruan tinggi, pengalaman langsung justru lebih banyak memberi pelajaran dan kelak menentukan keberhasilan Jim sebagai kartunis. Jim pun memulai komik stripnya sendiri. Ia langsung menemukan Garfield? Tidak. Ia membuat kartun dengan tokoh kutu, Gnome Gnates. Kartun ini gagal, meskipun sudah sempat lima tahun ia berusaha untuk membesarkannya. “Kartunmu lucu. Gambarmu bagus. Tapi, kutu? Siapa sih yang suka kutu?� kata seorang editor di sebuah perusahaan sindikat kartun. Jim menyadari kekeliruannya. Ia banting setir mencari karakter lain. Jim tidak putus asa, ia tahu, tidak ada keberhasilan yang sekali jadi. Tapi, itu tak menyurutkan tekadnya untuk terus bekerja keras. Ia mengamati banyak kartun yang berhasil tokohnya anjing. Dan waktu itu tak ada satupun tokohnya kucing. Ia pun mulai merancang, dan Garfield baru tercipta setelah dua tahun lamanya ia mereka-reka. Ia memanggil kembali kenangan pada 25 ekor kucing yang dulu hidup bersamanya di peternakan. Nama Garfield sendiri ia pinjam dari nama kakeknya. Karakter si kakek pun dia curi: ya sikap keras kepalanya itu. Awalnya si kucing pemalas, sarkastik, sok pintar, sok filosofis itu, hanya menjadi tokoh pendamping si tokoh utama: Jon Arbukle, kartunis berwajah culun.
Menyadari potensi kebintangan pada diri Garfield, Jim memberi peran besar pada si kucing. Kartunnya langsung disambar oleh perusahaan sindikasi kartun yang sejak pertama kali terbit pada tanggal 18 Juni 1978 Garfield langsung tampil di 41 Edisi 1 / April 2017
3
Kolom Hasan Aspahani koran di Amerika, di kota Boston, Dallas, dan Chicago. Jalan kesuksesan membentang di hadapan Jim yang saat itu sudah – atau baru? – berusia 33 tahun. Popularitas Garfield lekas melejit. Pada tahun 1982, komik Garfield terbit di 1.000 surat kabar. Tahun 1987, si kucing gendut itu tampil di 2.000 surat kabar. Dan saat ini, terbit di 2,600 surat kabar di seluruh dunia. Guiness World Book of Record mengganjarinya sebagai komik strip tersindikasi paling banyak di dunia. Dibaca oleh – ditaksir secara kasar 263 juta orang setiap hari, termasuk saya yang membaca lewat lembar “Life” di surat kabar negeri Jiran The Strait Times yang saya langgani lewat kantor.
Ada satu peristiwa yang memicu – dan meyakinkan Jim – betapa dicintainya Garfield oleh para pembacanya. Beberapa bulan setelah terbit, sebuah surat kabar di Chicago menghentikan pemunculan Garfield. Apa yang terjadi? 1,300 turun ke jalan, meluruk ke kantor surat kabar tersebut, marah akibat dihentikannya komik strip itu. Jim saat ini masih aktif menggambar. Kini, pria yang bulan Juli tanggal 28 nanti tepat berusia 67 tahun itu – mempekerjakan 50 tukang gambar, di bawah bendera perusahaan Paws, Inc. Perusahaan ini memproduksi kartun, film, serial TV, dan yang mengurusi hak cipta dan bisnis pernak-pernik barang berlogo Garfield, di Albany, negara bagian Indiana. 4
Edisi 1 / April 2017
Kolom Hasan Aspahani Kalau kepadanya ditanya bagaimana caranya menjadi kartunis yang berhasil? Ia punya jawaban begini: “…membaca, membaca, dan membaca. Untuk menjadi seniman strip-komik kau harus jadi penulis yang baik. Menguasai seni menggambar penting, tapi kemampuan menulislah yang membentuk atau menghancurkan kamu. Belajarlah apa saja, dan seberapa bisa kamu belajar,” katanya. Itu saja? Belum cukup! “Menontonlah. TV, bioskop. Bergaullah. Cari kawan, dan kegiatan. Cobalah berbagai alat gambar yang berbeda dan coba berbagai gaya. Di atas semuanya itu – milikilah sesuatu yang ingin kau sampaikan, sesuatu yang unik dan berbeda – sesuatu yang “khas” kamu,” katanya.
Edisi 1 / April 2017
5
CERPEN
Edisi 1 / April 2017
Cerpen
Lembah Kematian Ibu Oleh: Triyanto Tiwikromo
TAK ada malaikat yang tersesat di sebuah apartemen di Sun Valley. Karena itu, saat hujan reda, kau dan aku tidak akan mendapatkan perempuan bersayap indah tertatih-tatih mengetuk pintu rumah. Kau juga tidak akan bertemu dengan aurora kuning gading yang melingkar di kepala perempuan itu. Sudah pasti, kau pun tak bakal bisa mendengarkan suara merdu dari bibir ranum bau jambu yang mengingatkan siapa pun pada bunyi lonceng di Katedral Notre Dame itu. Akan tetapi, malaikat tak hanya lahir di surga. Di ruang tamu Tanti ada tiga kucing bernama Angeli, Angelo, dan Angelu, yang dalam waktu kapan pun menjadi malaikat-malaikat penyelamat kehidupan perempuan yang bekerja sebagai asisten dokter gigi di Melrose itu. “Ayolah, Angeli, katakan pada Ibu, kau sangat mencintai aku bukan?� Edisi 1 / April 2017
7
Cerpen : Lembah Kematian Ibu Angeli tentu saja tak menjawab. “Dan kau, Angelo, setelah Yesus, hanya kaulah yang pantas disebut sebagai penyelamat. Kau telah menggagalkan Ibu untuk melakukan bunuh diri yang memalukan itu.” Angelo mengeong pelan dan menjilat-jilat pipi Tanti. “Uhhhh, jangan menangis, Angelu, meskipun paling bungsu, kau tetap malaikat kecil yang tak mungkin kulupakan sepanjang hidupku.” Angelu tak menanggapi belaian Tanti. Ini membuat perempuan muda yang tak mau berpisah dari kucing-kucing kesayangan itu mencoba mencari akal agar Angelu mau diajak bercakap-cakap barang sejenak. “Aduh, kamu ingin lebih pintar, lebih perkasa, dan lebih sayang pada Ibu ketimbang Angeli dan Angelo, ya? Baiklah, akan kuberi kau susu paling banyak. Akan kuberi kau makanan kesukaanmu….” Oo, kucing pun mengerti bahasa manusia. Angelu berjingkat-jingkat mendekati Tanti dan bersama Angeli dan Angelo mulai bercanda dengan perempuan yang sejak tiga tahun lalu bercerai dari Kim Sam-Soon, pria Amerika keturunan Korea, yang kini mendapat hak perwalian untuk mengasuh Kim Jun-young, Kim Jaewoong, dan Kim Hwang-bo di Las Vegas itu. Yang kutahu kemudian, pisah dari anak-anak memang membuat Tanti kelimpungan. Hari-hari pertama setelah Kim merenggut anak-anak dari dekapan, ia tidak mau makan. Segala makanan yang disajikan oleh pembantu ia acak-acak sehingga kamar penuh lendir kuah mi instan, bubur, atau nasi. Sprei di ranjang juga penuh bercak saus, susu, dan karena itu beberapa tikus leluasa bersliweran, mengendus-endus makanan basi, menggerogoti bantal, serta sesekali menggigitgigit jempol Tanti. 8
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Lembah Kematian Ibu Tanti juga tak mau mandi. Rambutnya awut-awutan dan setelah sebulan ia mulai merobek-robek pakaian yang dikenakan. Andai saja rumah Tanti berubah menjadi akuarium, kau akan melihat ikan hiu hitam terdampar dengan luka tak beraturan di sekujur tubuh amis yang tak pernah terbasuh oleh sejuk air atau dingin lumpur sekalipun. Tanti mungkin memang tak makan nasi atau roti. Namun, tak menutup kemungkinan ia menyantap serangga, kalajengking, atau tikus-tikus kecil yang takjub melihat seorang anak manusia hanya berdiam diri di kamar sambil memandang potret tiga anak kecil yang, menurut pandangan Tanti, memiliki sayap-sayap halus di kedua belah bahu. “Siapa pun tak boleh merenggut sayap kalian. Juga Kim…,” desis Tanti pelan. Anak-anak di potret itu hanya tersenyum. Mereka memang selalu tersenyum saat fotografer memotret mereka di Long Beach dua bulan lalu. Mereka memang selalu tersenyum saat bersama Tanti dan Kim berkejaran di bawah pohon oak ketika berlibur dari pantai ke pantai, dari taman ke taman di sekitar Palos Verdes. “Hanya iblis yang memisahkan aku dari kalian. Hanya iblis yang tak memberi kesempatan seorang ibu untuk mengasuh anak-anaknya….” Lalu bayangan tentang peradilan di Los Angeles pun meletup-letup. Waktu itu dengan sangat ketus jaksa penuntut umum bertanya, “Apakah kau pernah meninggalkan anak-anakmu di taman saat badai mendera Los Angeles?” “Ya. Saya pernah meninggalkan mereka. Tapi saat itu ada hal lebih penting lain yang harus kulakukan….” “Persoalan penting? Menolong seekor kucing dan membawa binatang tak berguna itu kepada seorang dokter hewan kauanggap sebagai persoalan penting?” Edisi 1 / April 2017
9
Cerpen : Lembah Kematian Ibu “Anak-anakku adalah malaikat-malaikat kecil yang kuat. Meninggalkan mereka tidak terlalu berisiko ketimbang membiarkan seekor kucing terbunuh oleh pengendara sepeda motor yang tak tahu aturan.” “Malaikat-malaikat kecil? O, betapa fantastis sebutan itu. Bukankah geledek menyambar-nyambar pepohonan di taman dan bahkan merobohkan pohon oak di Palos Verdes?” “Ya, badai memang menghajar apa pun, tetapi malaikat-malaikat kecilku begitu mudah menghalau badai. Mereka berlarian ke toilet dan berdoa agar segala marabahaya berhenti begitu sang ibu berhasil mendekap mereka kembali.” “Apakah saat itu Anda sedang mabuk?” “Aku hanya menenggak sedikit Martini.” Setelah memberikan kesaksian semacam itu, aku tahu Tanti tak tertarik mendengarkan pernyataan Kim dan pembelaan pengacara. Ironisnya semua pembelaan Tanti dan pengacara kandas. Karena itu pula, saat Kim bersikukuh mengajak Tanti bercerai, hakim meluluskan permintaan itu. Bahkan Tanti tak diberi kesempatan sedikit pun untuk mengasuh anak-anaknya hanya lantaran hakim menganggap tak mungkin pemabuk dan pengganja dan pemakan tikus muda seperti Tanti akan mampu mengasuh malaikat-malaikat kecil yang sedang lucu-lucunya itu. “Hmmm, Los Angeles, Kota Bidadari itu, ternyata tak memihak pada perempuan malang. Kota ini hanya indah untuk para laki-laki,” desis Tanti setelah hakim memberikan kemenangan telak kepada Kim. Ya, sejak saat itulah Tanti merasakan kehilangan segala-galanya. Untunglah pada saat gawat, Sari, sang ibu, membelikan tiga kucing Persia yang lucu-lucu dan 10
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Lembah Kematian Ibu membawa segepok Alkitab ke rumah yang kian mirip pekuburan kuno di Jawa yang kotor dan angker itu. Kata Sari, “Hanya Alkitab dan tiga kucing ini yang akan menyelamatkan kehidupanmu. Ayo segeralah temukan kisah-kisah para martir Tuhan yang lebih tersiksa daripada kamu. Rasakan luka Kristus. Pahami derita Musa. Setelah itu, asuhlah kucing ini sebagaimana kau mengasuh anak-anakmu.” Setelah bergaul dengan kucing-kucing itu, lambat laun Tanti mulai mau mandi. Dengan pakaian indah, ia juga rajin ke gereja. Ia mau menyentuh makanan apa pun yang disediakan oleh pembantu. Ia merasa menemukan dunia baru setelah memiliki Angeli, Angelo, dan Angelu –kucing-kucing kesayangan– yang selalu mengingatkan ia pada Jun-young, Jae-woong, dan Hwang-bo. “Ayolah, Angeli, ambilkan Ibu benang-benang rajutan, aku akan membuat kain penghangat untuk Choi.” Angeli seperti biasa hanya mengiau! Tapi ia segera menggonggong benang dan dengan cekatan segera memberikan benda indah itu kepada Tanti. “Dan kau, Angelo, sini temani Ibu. Aku juga akan memberikan sepasang lukisan anjing kepada Sim pada hari ulang tahunnya. Ambilkan Ibu cat air di meja belajar!” Angelo sangat mengerti pada segala hal yang diinginkan oleh Tanti. Ia juga dengan sigap menggigit sekotak cat air dan segera memberikan alat penggambar itu kepada perempuan tulus yang sangat mencintainya itu. “Ho ho ho, kau juga mau berjasa untuk Hwangbo, Angelu? Ayo, ambilkan pena. Aku akan menulis puisi terbagus untuk anakku yang paling manja itu!” Aha! Ketiga kucing itu kemudian memang berlomba menjadi anak-anak manis yang berusaha sebaik mungkin membahagiakan ibu mereka. Ketiga kucing itu memang pada saat-saat tertentu berusaha menjadi malaikat penyelamat bagi Edisi 1 / April 2017
11
Cerpen : Lembah Kematian Ibu perempuan malang yang disepelekan oleh suami dan peradilan Los Angeles yang brengsek dan menenggelamkan para perempuan ke comberan. *** KIM dan suamiku memang bajingan. Sebagaimana Kim, Rob telah mencuri anakku dari gendongan. Laki-laki sinting Los Angeles itu sungguh tak tahu diuntung. Aku sudah bekerja keras mengantar koran dari rumah ke rumah untuk menambah biaya hidup di Glendale yang cukup mahal, ia masih selingkuh dengan Jane, perempuan Argentina, teman sekantornya. Aku sudah mengalah melepaskan pekerjaanku sebagai pemasar butik terkenal, ia main gila dengan perempuan yang jelas-jelas tak lebih cantik dariku. Aku memang kemudian melepaskan anakku ke Las Vegas. Aku memang kemudian berlayar ke negeri-negeri yang jauh untuk melupakan Los Angeles yang brengsek, untuk sekadar membuktikan betapa tak mungkin seorang ibu melupakan malaikat terkasih yang lahir dari rahim emas yang dijaga setiap hari sepanjang waktu. O, apakah setelah besar nanti Emanuel akan mengingkari cintaku? Aku mengenal Tanti setahun lalu saat memeriksa gigiku. Umur Tanti mungkin tak kurang dari 30 tahun, tetapi wajahnya mengingatkan aku pada perempuanperempuan Sunda 40 tahunan yang kehilangan kesegaran dan jauh dari cahaya matahari. “Serangan jantung bisa dimulai dari kesalahan merawat gigi lo, Teh!� kata dia waktu itu setelah kami saling memperkenalkan diri sebagai mojang Priangan yang tersesat di Kota Bidadari. 12
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Lembah Kematian Ibu “Aku tak takut pada serangan jantung. Aku takut kalau tak bisa membahagiakan anakku,” kataku keceplosan. Wajah Tanti jadi tegang. “Memangnya ada apa dengan anak Teteh?” Sial! Ganti aku yang tegang mendengar pertanyaan tak terduga itu. “Ngomong-ngomong soal ketakutan, aku lebih ngeri karena tak bisa mendekap ketiga malaikat kecilku. Anak Teteh berapa? Ada apa dengan mereka?” Tak kujawab pertanyaan itu. Jika kuceritakan juga, toh perempuan usil ini tak akan mampu membebaskan aku dari cengkeraman persoalan. “Setelah bercerai dari suamiku, aku kesulitan mendekap malaikat-malaikat kecilku. Tapi sekarang aku punya anak-anak lain,” desis Tanti lagi. “Anak-anak lain?” “Ya. Aku memelihara tiga kucing Persia yang setia menemaniku sepulang dari bekerja.” “Kucing-kucing itu bisa menggantikan keindahan anak-anakmu?” “Tentu tidak! Tapi kita tak mungkin menunggu mati hanya dengan meratapi perlakuan buruk suami bukan?” Benar juga perkataan perempuan hitam manis itu. Akan tetapi, sangat tidak mungkin aku mengganti Emanuel dengan anjing atau kambing. Aku sama sekali tak menyukai binatang. “Dalam sebulan aku akan pinjamkan kucing-kucing itu kepada Teteh. Setelah itu, karena Teteh akan ke Las Vegas mengunjungi anak semata wayang, aku berharap bisa menitipkan kucing-kucing itu untuk Jun-young, Jae-woong, dan Hwang-bo.” Edisi 1 / April 2017
13
Cerpen : Lembah Kematian Ibu “Kau tak memerlukan kucing-kucing itu lagi?” “Aku sangat menyayangi mereka. Tapi malaikat-malaikat kecilku ingin memelihara Angeli, Angelo, dan Angelu. Kata mereka, dengan mencintai kucingkucing itu, kasih sayang mereka pada sang ibu akan lebih tersalurkan. Ada bau ibu dalam setiap bulu kucing. Ada wangi cinta ibu dalam setiap jilatan kucing di pipi anak-anak.” “Baiklah, Tanti… akan kuberikan kucing-kucing indahmu itu untuk malaikatmalaikat kecilmu di Las Vegas….” Hmm… dua hari kemudian aku masih bisa melihat kebahagiaan tiada tara saat Tanti memberikan kucing-kucing itu kepadaku. *** AKU mulai meninggalkan Glendale dengan perasaan mangkel. Semalam Rob menelepon dan mengatakan Emanuel tak mau bertemu dengan ibu yang kejam. “Ia tidak mau kautendang-tendang lagi. Ia tak mau merasakan tinju di mulutnya lagi. Gigi-giginya telah rompal. Ayolah, Arsih, kau tak perlu menemui Emanuel meskipun kau akan berlayar ke negeri-negeri yang jauh….” “Tak mungkin Emanuel berkata semacam itu, Rob. Aku ibunya… aku bukan buaya yang begitu mudah ngremus anak-anaknya sendiri.” “Nyatanya dia tak mau kautemui.” “Rob, please, izinkan aku bertemu dengannya. Sekali ini saja. Seandainya aku mati di laut, Emanuel telah melihat ibunya untuk kali terakhir,” aku mulai merajuk. 14
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Lembah Kematian Ibu “Kamu sedang sakit jiwa, Arsih. Aku akan memanggil polisi kalau sampai kau datang ke rumahku atau menculik secara paksa Emanuel.â€? “Rob!â€? Rob tak menjawab. Dari seberang kudengar ia membanting gagang telepon. Untuk urusan satu ini‌ aku tak menyerah. Enak saja Rob memperlakukan aku dengan adab yang ia ciptakan sendiri. Enak saja ia merebut Emanuel dari dekapanku. Karena itu, jika ia tak mau baik-baik menyerahkan anakku, aku tak segan-segan melawan dengan cara apa pun. Kalau perlu aku akan menembak mulutnya agar dia tak bisa berteriak-teriak semau gue saat aku merebut Emanuel dari rengkuhan palsu tangannya yang penuh tipu daya. Aku telah menyiapkan pistol di mobil. Aku memang akan berusaha untuk tak menggunakan benda mengerikan yang bisa menghabisi apa pun yang kaubenci itu. Bahkan aku juga tak akan menggunakan untuk menembak perampok jika seandainya saat melewati padang batu yang membujur dari Los Angeles ke Las Vegas mereka menabrakkan mobil buruknya ke mobilku. Aku hanya ingin berjaga-jaga agar Rob tak menembakku terlebih dulu. Jika sebutir peluru harus menghunjam ke dada atau ke mulut orang lain, aku berharap orang itu hanyalah Rob. Bukan perampok. Bukan apa pun atau siapa pun yang kubenci di jalanan. Aku tak sedang berada di Death Valley ketika bulan tepat menyinari gurun yang berisi batu melulu. Aku tak sedang berada di tempat terpanas yang bisa membakar kulitmu ketika lintasan-lintasan kekejaman Rob melukai ingatan. Aku ingat benar hanya karena aku salah memberi gula di orange juice yang ia pesan, ia mengguyurkan cairan kental itu ke wajah dan membanting gelas tepat dua sentimeter dari ibu jariku. Setelah itu, kau tahu, Rob menyeretku ke toilet. Menceburkan aku ke bath tub. Mengguyurkan air dingin pada musim dingin yang membekukan tulang dan mengunci toilet itu semalam. Jadi, jika pada akhirnya Edisi 1 / April 2017
15
Cerpen : Lembah Kematian Ibu aku harus membunuh Rob, tak seorang pun berhak menangisi nasib laki-laki bajingan itu. Juga Emanuel. Jika Emanuel ingin meratapi kematian ayahnya, aku tak segan-segan akan menghardiknya. Rob hanyalah binatang rakus. Tak seorang pun perlu memberikan rasa iba kepadanya. Tentang titipan kucing dari Tanti, oo, aku tentu tak melupakan amanat suci itu. Lihatlah kucing-kucing itu begitu manis dan menurut duduk di samping kananku. Angeli tampak tak sabar untuk segera menemukan keluarga baru. Angelo tampak cuek. Ia hanya miau miau melulu. Dan Angelu, aha, ia sebenarnya ingin mlungker di pangkuanku, tetapi tak kuberi kesempatan sedikit pun untuk bermanja-manja denganku. “Apakah kau tak takut jika sewaktu-waktu aku menembakmu, Angeli?” “Miau!” “Apakah kau tak takut jika saat ini kurobek mulutmu, Angelo?” “Miau!” “Apakah kau juga tak takut kucekik, Angelu?”
“Miau!” Karena bosan mendengar jawaban yang miau miau melulu, aku kemudian memutar lagu-lagu rap Fugees yang penuh letupan dan teriakan kesakitan. Untuk sejenak lagu itu menjadi semacam oasis di tengah-tengah gurun batu di jalan lurus yang membosankan siapa pun yang hendak memburu apa pun di Las Vegas itu. Mendadak aku mendengar suara Rob menyusup dalam lagu riuh itu. “Jangan pernah mengambil Emanuel dari dekapanku, Arsih!” 16
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Lembah Kematian Ibu Edan! Bagaimana mungkin Rob bisa memarahiku dari dalam tape recorder. “Jangan pernah bermimpi membawa Emanuel ke Los Angeles, Arsih!” Rob berteriak lagi. Tak tahan mendengarkan teror yang berulang-ulang itu, aku kemudian menutup telinga dengan satu tangan, sedangkan tangan lain tetap mengendalikan kemudi agar mobil tidak oleng. “Pulang saja ke Los Angeles, Arsih. Kau tak bakal bisa merebut Emanuel dariku!” Edan! Sungguh edan! Ini tak bisa dibiarkan. Karena itu, aku segera mematikan tape recorder. “Kau memang iblis, Rob! Kau memang bajingan!” teriakku panik. Karena ingin mendapatkan ketenangan, aku kemudian meminggirkan mobil, minum sedikit air mineral, dan meletakkan kepala di kemudi. Lampu kubiarkan menyala. AC kubiarkan hidup. Dan kesunyian pun mulai merambat. Aku merasa berada di lembah kematian. “Miau!” Angelo mengeong. “Miau!” Angeli mengikuti dengan suara yang lebih menyayat. “Miau!” Angelu meratap tak keruan. Tak bisa kuhentikan eong mereka. Tanganku tak cukup untuk menutup tiga mulut sekaligus. Meskipun demikian, karena dengan cepat kulekatkan jari telunjuk di kedua bibir, kucing-kucing yang tahu bahasa isyarat para manusia itu kemudian terdiam. Uhhh, tak lama kucing-kucing itu menuruti perintahku. Mendadak Angeli mengeong dan seperti menirukan suara Rob, “Pulanglah, Arsih! Miau!” “Jadilah ibu bagi tikus-tikus di comberan! Miau!” Angelo menimpali. Edisi 1 / April 2017
17
Cerpen : Lembah Kematian Ibu “Ya‌ jangan jadi matahari bagi Emanuel. Miau!â€? teriak Angelu tak mau kalah. Hmm, Rob mungkin mulai mengirim sihir busuk. Bagaimana kucing-kucing ini bisa berbicara jika tak ada cenayang yang menyusupkan suara Rob ke taringtaring runcing? Aku tak mau menjawab pertanyaan itu. Aku harus melakukan sesuatu. Aku harus segera mengambil pistol dan menarik pelatuk. Aku harus membunuh Rob sekaligus menghabisi cenayang sialan. Ya, ya, karena Angeli memaki-maki lebih keras daripada yang lain, sebutir peluru kulesatkan ke kepalanya terlebih dulu. Setelah itu, kuarahkan pistol ke perut Angelo, dan terakhir ke dada Angelu. Aku puas. Rob dan cenayang telah mati!
Lalu kurasakan gurun batu ini kian sunyi. Kurasakan lembah kematian ini kian menyiksa seorang ibu yang kehilangan cara untuk mencintai malaikat kecil yang teramat dikasihi. Ya, Tuhan, inikah lembah kematian seorang ibu?
18
Edisi 1 / April 2017
Cerpen
Kota Kucing Oleh: Haruki Murakami
DI stasiun kereta Koenji, Tengo naik kereta cepat Chuo Line. Gerbongnya kosong. Ia tak sedang merencanakan apa-apa hari itu. Mau ke mana atau mau berbuat apa semuanya terserah dia. Waktu itu sekitar jam sepuluh pagi di suatu musim panas tak berangin, dan matahari terik. Kereta telah melalui Shinjuku, Yotsuya, Ochanomizu, dan tiba di Stasiun Pusat Tokyo, di akhir perjalanan. Semua orang turun dan Tengo pun ikut turun. Lalu ia duduk di bangku berpikir sejenak hendak kemana ia saat itu. “Aku bisa pergi ke mana pun aku ingin pergi,”katanya meyakinkan dirinya sendiri, “dan karena nampaknya hari sangat panas, lebih baik aku pergi ke pantai.” Ia mendongak dan mempelajari petunjuk peron.
Edisi 1 / April 2017
19
Cerpen : Kota Kucing Saat itulah, ia sadar apa yang akan ia lakukan seharian. Berkali, ia coba menggelengkan kepala menolak kesadaran itu, tapi apa yang telah diputuskannya itu tak mau beranjak. Barangkali memang saat ia tadi naik kereta Chou Line di Koenji, tanpa sadar telah memutuskan hal ini. Maka, sambil mengela napas panjang, ia berdiri dari bangku, dan bertanya pada petugas stasiun bagaimana caranya bisa cepat sampai di Chikura. Petugas tadi membuka buku jadwal kereta yang tebal sebelum berkata, “Ada kereta ekspres khusus ke Tateyama pukul 11:30, lalu dari sana pindah ke kereta setempat, dan kau akan tiba di Chikura kira-kira jam dua siang.� Tengo pun membeli tiket Tokyo-Chikura pulang-pergi. Kemudian ia pergi ke restoran di stasiun memesan nasi dengan kari dan sepiring salad. Sebenarnya, ide mengunjungi ayahnya adalah hal yang sangat merisaukan. Ia tidak pernah suka dengan ayahnya, dan sebaliknya ayahnya pun seolah tak pernah benar-benar mengasihinya. Empat tahun lalu, ayahnya pension, dan segera mengasingkan diri ke Sanatorium yang dikhususkan bagi penderita kekacauan berpikir. Tengo pernah mengunjunginya, tapi tak lebih dari dua kali, pertama ketika ayahnya baru masuk tempat itu, dan itu pun karena ada masalah dengan prosedur yang memaksa Tengo sebagai satu-satunya kerabat harus ada di sana. Kunjungan kedua juga masih berhubungan dengan masalah administrasi. Ya. Hanya dua kali. Sanatorium itu berdiri pada sebidang tanah yang cukup besar di sebelah pantai. Bangunannya terlihat aneh karena perpaduan dari bangunan kayu tua yang elegan dan tiga lantai bangunan beton bertulang baru. Udaranya terasa segar dan juga terasa tenang seolah jauh dari hingar debur ombak. Deretan pohon pinus menjajari pagar sepanjang taman menjadi penahan deru angin. Fasilitas medis di sini juga sangat baik. Dengan asuransi kesehatan, bonus pensiun, tabungan, dan uang pensiunnya, Ayah Tengo mungkin bisa hidup nyaman di sini di akhir hayatnya. Barangkali tak banyak warisan yang akan ditinggalkannya, tapi 20
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Kota Kucing setidaknya dikarenakan ia akan mendapat perawatan yang baik, Tengo patut bersyukur. Apalagi Tengo tak pernah berniat meminta sesuatu bahkan memberikan sesuatu kepada ayahnya. Mereka berdua benar-benar seperti dua orang asing yang berasal dari – dan nantinya pun tetap berada di – dua tempat yang benar-benar berbeda. Hanya kebetulan, selama bertahun-tahun, mereka pernah bersama-sama, itu saja. Dan itu seperti sebuah aib, meskipun tak ada yang bisa Tengo lakukan atasnya. Setelah membayar tagihan, Tengo menuju peron tempat kereta ke Tateyama akan berhenti. Satu-satunya teman sesame perjalanannya adalah sebuah keluarga yang terlihat bahagia karena akan piknik di pantai beberapa hari lamanya. Kebanyakan orang berpikir hari Minggu adalah saatnya istirahat. Namun bagi Tengo, apalagi melihat masa kanak-kanaknya, tak pernah sedikitpun terlintas untuk bisa menikmati hari Minggu. Baginya, hari Minggu seperti sisi bulan tergelap yang menampakkan bentuk yang cacat. Saat akhir pecan tiba, seluruh tubuhnya terasa lemas dan sakit, dan seluruh nafsu makannya hilang. Ia bahkan pernah berdoa agar hari Minggu itu tidak pernah ada, meskipun ia tahu hal semacam itu tak akan terjadi.
Saat Tengo masih anak-anak, ayahnya bekerja sebagai penagih bea langganan untuk NHK – Jaringan televisi dan radio milik pemerintah Jepang – dan, setiap hari Minggu, ayahnya akan mengajak Tengo pergi menagih dari rumah ke rumah. Kebiasaan ini telah dimulai sejak Tengo masuk ke TK sampai kelas 5 SD tanpa pernah berhenti sama sekali setiap minggunya. Ia tak pernah tahu apakah karyawan lain di NHK bekerja di hari Minggu juga sama seperti ayahnya, tapi yang ia tahu pasti ayahnya selalu bekerja di hari Minggu, bahkan ayahnya terlihat lebih bersemangat dari hari-hari lain, karena di hari Minggu mereka bisa bertemu dan menagih orang-orang yang pada hari biasa tidak ada di rumah. Ada beberapa alasan mengapa ayah Tengo selalu mengajaknya melakukan itu. Edisi 1 / April 2017
21
Cerpen : Kota Kucing Salah satunya adalah karena ia tak bisa meninggalkan Tengo sendirian di rumah. Pada hari biasa dan Sabtu, Tengo bisa pergi sekolah atau dibawa ke penitipan anak, tapi tempat itu tutup di hari Minggu. Alasan lain adalah, kata ayah Tengo, sangat penting menunjukkan pekerjaan apa yang dilakukan seorang ayah. Anak bisa belajar secara dini kegiatan apa yang bisa dilakukan untuk membantu ayahnya, dan ia juga bisa menyadari pentingnya pekerjaan itu. Dulu, ayah Tengo juga dikirim ke ladang oleh ayahnya, di hari Minggu seperti di hari-hari biasa, sejak saat ia dianggap cukup umur untuk mengetahui segalanya. Bahkan, pada musim-musim tanam dan panen, ayah Tengo membolos sekolah. Baginya, kehidupan seperti itu harus diteruskan. Alasan ke tiga dan alasan terakhir yang diperhitungkan, dan yang menyebabkan luka mendalam di hati anaknya adalah membawa Tengo kecil saat menagih justru memudahkan pekerjaannya. Orang-orang yang biasanya menunda pembayaran dengan macam-macam alasan akan trenyuh jika melihat tatapan mata Tengo, dan karena inilah ayah Tengo selalu menyisakan menagih mereka yang sulit ditagih di hari Minggu. Tengo sebenarnya sudah tahu sejak awal tugasnya itu, dan ia sangat benci melakukannya. Namun ia juga merasa jika ia pandai melakukannya, ia bisa menyenangkan hati ayahnya. Jika ia menyenangkan hati ayahnya, ia akan diperlakukan baik sekali hari itu. Agaknya, bagi ayahnya, ia tak lebih seperti seekor monyet sirkus. Satu-satunya yang membuat Tengo gembira adalah jalur menagih ayahnya cukup jauh dari rumah. Mereka tinggal di perkampungan di daerah pinggiran kota Ichikawa, sedangkan rute perjalanan ayahnya ada di tengah kota. Setidaknya ia bisa mengindar dari menagih di rumah-rumah teman sekolahnya. Meski begitu, ketika mereka berjalan di area perbelanjaan di kota, ia bisa melihat teman sekolahnya di jalan. Kalau sudah begitu, ia akan menyembunyikan diri di balik punggung ayahnya daripada ketahuan. Senin pagi biasanya teman-teman sekolahnya bercerita dengan penuh semangat 22
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Kota Kucing ke mana mereka pergi dan apa yang mereka perbuat di hari minggu lalu. Pergi ke taman bermain atau kebun binatang atau melihat pertandingan baseball. Kalau musim panas, mereka berenang, sedang pada musim dingin mereka pergi bermain ski. Namun Tengo tak punya bahan cerita seperti itu. Dari pagi sampai sore di hari Minggu, ia dan ayahnya membunyikan bel pintu rumah orang yang tak dikenal, menundukkan kepala, dan mengambil uang dari siapa saja yang membukakan pintu. Jika ada orang yang tidak mau membayar, ayahnya akan mengancam atau mengiba pada mereka. Kalau mereka beralasan macam-macam, suara ayahnya akan meninggi. Kadang ia memaki mereka seperti anjing jalanan. Pengalaman seperti itu tentu bukanlah pengalaman yang mungkin akan Tengo bagi dengan teman-temannya. Ia tidak tahan merasa seperti orang asing di tengah anak-anak kelas menengah pekerja kantoran itu. Ia seperti hidup di dunia yang benar-benar berbeda. Untungnya, nilai-nilai pelajarannya menonjol, sebagaimana kemampuan atletiknya. Jadi meskipun ia seperti orang asing tapi ia tak pernah benar-benar terasing dari pergaulan. Pada banyak kesempatan ia malah diperlakukan teman-temannya dengan penuh rasa hormat. Namun kapanpun anak-anak lain mengajaknya pergi atau bermain ke rumah mereka di hari Minggu ia akan menolak. Akhirnya, teman-temannya pun tak pernah lagi melakukannya. Lahir sebagai anak ke tiga dari keluarga petani di daerah Tohoku yang keras, Ayah Tengo harus pergi dari rumah secepat mungkin, bergabung dengan Kelompok transmigran dan pergi ke Manchuria pada tahun sembilan belas tiga puluhan. Ia tak pernah percaya propaganda pemerintah bahwa Manchuria adalah surga dengan tanah yang subur dan kaya. Ia sangat tahu kalau surga tak akan pernah diketemukan di mana pun. Yang jelas ia adalah orang miskin dan lapar. Satusatunya alasan untuk pergi ke hanyalah jika ia tetap tinggal di rumah maka hidupnya sangat dekat dengan kelaparan. Di Manchuria, ia dan para transmigran lainnya diberi perkakas dan sarana produksi pertanian, dan bersama-sama mereka mulai melakukan pengerjaan lahan. Tanahnya ternyata berbatu dan tidak Edisi 1 / April 2017
23
Cerpen : Kota Kucing subur, lalu jika musim dingin tiba semuanya membeku. Saking kelaparannya, mereka kadang memakan anjing liar. Meskipun demikian, mereka berhasil melewati tahun-tahun pertama mereka dengan bantuan dari pemerintah. Hidup mereka mulai stabil ketika, pada bulan Agustus 1945, Uni Sovyet melancarkan serangan besar-besaran ke Manchuria. Ayah Tengo telah mengetahui hal ini akan terjadi, karena secara diam-diam ia mendapatkan informasi tentang situasi apa yang akan terjadi dari seorang pejabat yang telah berkawan dengannya. Begitu didengarnya kabar bahwa Sovyet telah memasuki daerah perbatasan, segera ditungganginya kuda, dan dikebutnya sampai stasiun kereta setempat, lalu berangkat dengan kereta kedua terakhir ke Da-lien. Ia menjadi satu-satunya orang dari rombongan petani transmigran yang berhasil kembali ke Jepang sebelum akhir tahun. Setelah perang, ayah Tengo pergi ke Tokyo dan mencoba peruntungan sebagai pedagang di pasar gelap sekaligus sebagai pembantu tukang kayu, tapi ternyata kurang berhasil. Saat bekerja sebagai pengantar barang di toko minuman di Asakusa, ia bertemu dengan temannya yang seorang pejabat yang dikenalnya di Manchuria. Mengetahui bahwa ayah Tengo mengalami nasib yang kurang beruntung dan pekerjaan yang kurang memuaskan, pejabat itu merekomendasikannya pada seorang teman yang bekerja pada bagian pelanggan di NHK, dan ayah Tengo menyambut baik tawaran itu. Padahal, ia tak tahu apaapa tentang NHK, tapi ia akan berusaha sekeras mungkin selama ia mendapatkan penghasilan yang cukup dan rutin. Di NHK, ayah Tengo bekerja dengan giat. Ia pantang menyerah. Dibandingkan dengan kesulitannya mencari makan sejak kecil, pekerjaan menagih di NHK bukanlah pekerjaan yang sulit. Makian orang paling pedas pun tak berarti apaapa baginya. Lebih lagi, ia merasa puas bekerja untuk perusahaan besar, meskipun ia tergolong karyawan kelas rendah. Kinerja dan perilakunya yang baik membuatnya cepat diangkat sebagai karyawan tetap meskipun baru setahun 24
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Kota Kucing bekerja di bagian penagihan, ini sesuatu yang langka di NHK. Ia pun mendapat fasilitas tinggal di apartemen milik perusahaan dan mendapat tunjangan kesehatan dari perusahan. Ini menjadi hal paling menggembirakan yang pernah ia rasakan sepanjang hidupnya. Ayah Tengo tak pernah meninabobokan dirinya, tak pernah membacakan buku cerita saat malam. Padahal, ia sering bercerita tentang pengalaman pribadinya. Sesungguhnya ia seorang pencerita yang hebat. Pengalaman masa kecil dan mudanya tak benar-benar mengandung nilai-nilai luhur, tapi bagaimana rinci dia menceritakan begitu hidup. Ada cerita lucu, cerita tentang perjalanan, dan ada juga tentang kekerasan. Jika hidup bisa dilukiskan dengan warna dan macam pada tiap bagiannya, hidup ayah Tengo punya karakteristik yang menarik untuk dipandang, mungkin. Namun begitu ceritanya sampai pada periode di mana ia telah menjadi karyawan NHK, kemenarikan hidupnya tiba-tiba lenyap. Ia bertemu dengan seorang perempuan, lalu menikahinya, dan punya anak – Tengo. Beberapa bulan setelah Tengo lahir, ibunya sakit lalu meninggal. Sambil tetap bekerja di NHK, ayahnya membesarkan Tengo sendirian. Tamat. Bagaimana ceritanya ia bisa bertemu dengan ibu Tengo lalu menikahinya, seperti apa perempuan itu, apa yang menyebabkan ia meninggal, apakah ia begitu menderita atau meninggal secara tiba-tiba – tak pernah ayah Tengo ceritakan. Jika Tengo bertanya, ayahnya selalu menghindar. Saban ada pertanyaan tentang itu semua, ia menjadi kesal. Tak pernah ada satu pun foto ibu Tengo di rumah. Pada dasarnya Tengo tak percaya dengan cerita-cerita ayahnya. Ia sudah tahu kalau ibunya tak meninggal beberapa bulan setelah ia lahir. Dalam ingatannya akan ibunya, ia berumur setahun setengah dan ibunya berdiri di dekat tempat tidurnya bersama seorang lelaki yang bukan ayahnya. Ibu menanggalkan pakaiannya, meloloskan tali kutangnya dan membiarkan lelaki yang bukan ayahnya itu mengisap payudaranya. Tengo tertidur di samping mereka, napasnya terdengar teratur. Namun sebenarnya, saat itu, ia tak tidur. Ia memperhatikan Edisi 1 / April 2017
25
Cerpen : Kota Kucing ibunya. Inilah ingatan fotografis Tengo tentang ibunya. Kilasan peristiwa tak lebih dari sepuluh menit merasuk ke dalam otaknya dengan begitu jelas. Inilah satu-satunya informasi yang begitu nyata yang ia punya tentang ibunya, hubungan terlemah yang ia punya dengan ibunya. Ia dan ibunya terhubung dengan tali pusar hipotetis. Ayahnya, tentu saja, tak tahu gambaran yang jelas itu hidup dalam kepala Tengo, atau mungkin, seperti seekor sapi di padang yang memamah biak rerumputan terus menerus sampai begitu lembut dan bisa diserap nutrisi pentingnya. Ayah dan anak: masing-masing terkurung dalam rahasia yang gelap dan dalam. Sebagai orang dewasa, Tengo sering bertanya apakah lelaki muda yang mengisap payudara ibunya dalam gambarannya itu adalah ayah biologisnya. Hal ini karena Tengo sama sekali tidak mirip dengan ayahnya, bintang NHK dalam urusan penagihan itu. Tengo bertubuh jangkung tegap dengan dahi yang lebar, hidungnya lancip, dan kedua telinganya tidak caplang. Sedangkan ayahnya pendek dan gemuk dan benar-benar tidak menarik. Dahinya kecil, berhidung pesek, dan telinganya begitu mencuat hingga mirip telinga kuda. Kalau Tengo punya tampang yang santai dan kalem, ayahnya seperti orang yang mudah gugup dan pemberang. Secara blak-blakan orang sering mengatakan perbedaan-perbedaan mereka ketika membandingkan keduanya. Namun, bukan soal perbedaan fisik yang membuat Tengo merasa sulit untuk meyakini bahwa lelaki itu adalah ayahnya tapi masalah psikologis. Ayahnya tak pernah sedikitpun menaruh minat pada apa yang berkenaan dengan pengetahuan. Benar, bahwa kalau lahir dalam kemiskinan pasti tak punya pendidikan yang cukup. Tengo merasa kasihan sekali pada keadaan ayahnya itu. Bagi Tengo kebutuhan orang akan mendapatkan pengetahuan itu cukup penting, tapi hal itu tidak terlihat pada ayahnya. Meskipun dia telah berhasil menyintas kondisi yang buruk selama hidupnya dengan hal-hal praktis, tapi Tengo tak 26
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Kota Kucing melihat tanda-tanda keinginan dari ayahnya untuk memperdalam pengetahuannya, untuk bisa melihat lebih luas dunia ini. Ayahnya tak pernah terlihat merasa tidak nyaman dengan keadaan hidupnya yang biasa-biasa saja bahkan terlalu sederhana itu. Tengo tak pernah melihat ayahnya membaca buku. Tak ada minat pada music atau film, bahkan ia tak pernah berwisata. Satusatunya hal yang tampaknya menarik perhatiannya adalah jalur penagihannya. Ia bisa membuatnya seperti peta, memberinya tanda dengan pena-pena berwarna, dan memeriksanya jika ia senggang, seperti seorang ahli biologi mempelajari kromosom. Hal ini jelas bertentangan dengan Tengo yang selalu penasaran dengan hal apapun. Ia menyerap pengetahuan dari beragam ranah secara cepat seperti menyekop tanah. Ia dikenal sebagai calon ahli matematika sejak anak-anak, dan ia dapat menyelesaikan soal matematika tingkat SMA ketika ia kelas 3 SD. Matematika, bagi Tengo saat itu, adalah pintu pelepasan dari hidup dengan ayahnya. Di dunia matematika, ia bisa melenggang sepanjang lorong, membuka satu per satu pintu bernomor. Setiap menjumpai satu soal yang rumit, jejak jelek dari dunia nyata itu seolah menghilang. Sepanjang ia terus mengeksplorasi ranah konstanta tak terbatas itu, ia merasa begitu bebas. Jika matematika seperti bangunan imajiner megah bagi Tengo, sastra adalah hutan magis yang luas. Jika matematika membentang jauh ke atas ke arah surga, sastra menyajikan aneka cerita yang terhampar di depannya, akar-akarnya kokoh menghunjam bumi. Di hutan ini tak ada peta, tak ada pintu. Ketika beranjak dewasa, Tengo merasa hutan cerita itu telah menariknya lebih kuat dan lebih dalam daripada dunia matematika. Dan tentu saja, membaca novel hanyalah sebuah bentuk pelarian saja – begitu selesai membaca ia akan kembali ke dunia nyata. Namun pada beberapa titik ia memperhatikan bahwa kembali ke dunia nyata dari sebuah novel tidaklah begitu mengecewakan dibandingkan jika kembali dari dunia matematika. Kenapa bisa begitu? Setelah berulangkali Edisi 1 / April 2017
27
Cerpen : Kota Kucing memikirkan, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa sejelas-jelasnya sesuatu itu terjadi pada hutan cerita, tak akan pernah ada satu pemecahan yang sempurna seperti di dalam dunia matematika. Fungsi dari cerita adalah, pada ranah yang lebih luas, memberi gambaran suatu masalah ke dalam bentuk yang lain. Tergantung dari sifat dan arah dari masalah tersebut, pemecahannya mungkin disarankan di dalam penceritaannya. Tengo akan kembali ke dunia nyata ini dengan sebuah saran yang ia dapatkan di sana. Jadi semacam mantra yang telah diterjemahkan dalam selembar kertas. Ia mengandung sebuah kemungkinan, meskipun tak bakal bisa dipergunakan seketika. Satu kemungkinan pemecahan masalah yang ia dapatkan dari uraian-uraian yang telah ia baca adalah: Ayahku yang asli pasti berada di suatu tempat. Seperti anak malang dalam novel Dicken, Tengo merasa dirinya dalam keadaan yang aneh telah dibesarkan oleh seorang penipu. Semacam berada di antara mimpi buruk dan sebuah harapan. Setelah membaca “Oliver Twist,� Tengo selalu terbawa dalam cerita novel-novel Dicken yang ia baca dari perpustakaan. Ia memosisikan dirinya pada sebuah versi yang ia reka ulang dari hidupnya sejalan dengan pengembaraannya pada cerita-cerita Dicken. Khayalan-khayalan ini tumbuh makin lama makin besar dan makin rumit. Mereka mengikuti satu pola, tapi punya banyak variasi. Dalam semua cerita itu, Tengo meyakinkan dirinya sendiri bahwa rumah ayahnya bukan tempat untuk dirinya. Bahwa ia tanpa sengaja telah terpenjara di dalamnya, dan suatu saat nanti orangtua aslinya akan menemukannya dan menyelamatkannya. Lalu ia akan memiliki hari Minggu yang paling indah, paling damai, dan begitu bebasnya, yang bisa ia bayangkan. Ayah Tengo sangat bangga melihat nilai-nilai anaknya yang begitu bagus, dan memamerkan kepintaran anaknya itu pada orang-orang di lingkungan sekitar. Namun, di saat yang sama, ia memperlihatkan ketaksukaan tertentu pada bakat dan kepintaran yang Tengo miliki. Seringkali jika Tengo sedang belajar di mejanya, ayahnya mendatanginya, lalu menyuruh mengerjakan sesuatu atau 28
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Kota Kucing mengomelinya jika ia dianggap telah membangkang perintah ayahnya. Bahan omelan ayahnya itu-itu saja: “Lihat ayahmu, pontang-panting cari uang, jalan jauh-jauh setiap hari, dimaki-maki orang, lihat kamu, dari tadi diam saja, bersantai, enak-enakan. Dari dulu, sejak seusiamu, aku telah banting tulang mencari makan, kalau dianggap tak becus ayahku dan abang-abangku akan memukuliku sampai lebam-lebam badanku. Aku tak pernah dapat makanan yang cukup. Diperlakukan seperti binatang. Aku tak mau kau berpikir bahwa kau perlu diistimewakan lantaran kau punya nilai bagus.� Ayah iri padaku, begitu yang Tengo pikirkan satu saat. Ia cemburu entah karena sebagai orang aku lebih baik darinya atau dari kehidupanku. Tapi apakah benar ada ayah yang cemburu pada anaknya? Tengo tak bermaksud menuduh demikian buruk pada ayahnya, tapi ia mengiranya karena ucapan dan perbuatan jahat ayahnya kepadanya yang ia anggap justru menyedihkan. Ada yang membuat ayah Tengo membencinya, tepatnya ayah Tengo tidak membenci Tengo tapi sesuatu yang ada dalam diri Tengo, sesuatu yang tak dapat ia maafkan. Saat kereta meninggalkan stasiun Tokyo, Tengo membawa sebuah buku. Sebuah antologi cerita pendek dengan tema perjalanan, dan termasuk di dalamnya sebuah cerita berjudul “Kota Kucing,� sebuah dongeng yang ditulis seorang penulis Jerman yang belum dikenal Tengo. Menurut kata pengantarnya, cerita ini ditulis pada suatu masa di antara dua perang dunia. Dalam cerita itu, ada pemuda yang bepergian sendiri tanpa tujuan pasti dalam pikirannya. Ia naik kereta dan turun pada tempat yang menurutnya menarik. Ia menyewa kamar, berjalan-jalan melihat pemandangan, dan menginap selama ia suka. Ketika dirasa cukup, ia akan naik kereta lainnya. Ia menghabiskan setiap perjalanannya dengan cara begitu. Suatu hari, ia melihat sungai yang indah dari jendela kereta. Sepanjang sungai itu terdapat garis perbukitan yang hijau, dan di bawah perbukitan itu ada satu kota Edisi 1 / April 2017
29
Cerpen : Kota Kucing cantik dengan sebuah jembatan batu tua. Kereta itu berhenti pada stasiun kota itu, dan pemuda itu turun dengan barang bawaannya. Tak ada orang lain yang turun, dan, begitu pemuda itu turun, kereta pun berangkat kembali. Tak ada pekerja di stasiun itu, karena memang hampir tak ada kegiatan di sana. Pemuda itu melintasi jembatan dan berjalan masuk ke dalam kota. Semua toko di kota itu tutup, balai kotanya sepi. Meja resepsionis satu-satu hotel di kota itu kosong melompong. Tempat itu tampaknya benar-benar tak berpenghuni. Mungkin semua orang di kota itu sedang tidur siang di suatu tempat. Tapi ini baru jam setengah sebelas, terlalu dini untuk tidur siang. Barangkali sesuatu telah terjadi sehingga semua orang meninggalkan kota ini. Karena kereta selanjutnya tidak akan sampai di kota itu sebelum besok pagi nanti, pemuda itu tak punya pilihan selain menginap di kota itu. Ia pun berjalan-jalan mengelilingi kota untuk menghabiskan waktu. Nyatanya, ini adalah kota kucing. Saat matahari mulai tenggelam, beragam kucing segera memenuhi jembatan – kucing dengan aneka jenis dan warna. Mereka lebih besar dari kucing-kucing biasa, tapi mereka tetaplah kucing. Pemuda itu kaget melihatnya. Ia berlari ke arah menara lonceng di tengah-tengah kota dan memanjatnya untuk bersembunyi di sana. Kucing-kucing itu menjalankan usahanya, membuka toko atau memulai pekerjaan mereka di meja mereka masing-masing. Tak lama, banyak lagi kucing yang datang, melintasi jembatan dan memasuki kota seperti yang lainnya. Mereka masuk toko untuk membeli sesuatu atau pergi ke balai kota untuk mengurus administrasi atau makan di restoran hotel atau minum bir di tavern dan menyanyikan lagu-lagu kucing. Karena kucing bisa melihat dalam gelap, mereka tak perlu lampu, hanya malam itu cahaya bulan purnama memenuhi penjuru kota, sehingga pemuda itu bisa melihat apa yang terjadi di kota itu dengan jelas dari persembunyiannya di menara lonceng. Saat fajar menjelang, kucing-kucing itu menyelesaikan pekerjaannya, menutup toko-toko, dan berkerumun kembali melintasi jembatan. 30
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Kota Kucing Begitu matahari meninggi, kucing-kucing itu telah lenyap, dan kota itu sepi kembali. Pemuda itu menuruni menara, lalu tidur di sebuah ranjang hotel. Saat ia merasa lapar, ia makan beberapa roti dan ikan yang tersisa di dapur hotel. Ketika gelap mulai membayang, ia bersembunyi kembali di menara lonceng dan mengamati kegiatan para kucing sampai fajar. Kereta-kereta api berhenti di stasiun sebelum siang dan menjelang sore. Tak ada penumpang yang turun, dan tak ada juga yang naik. Pemuda itu harus naik salah satu kereta itu dan meninggalkan kota kucing yang menyeramkan itu. Namun pemuda itu tidak melakukannya. Sebagai pemuda, ia begitu penasaran dan ingin sekali berpetualang. Ia menginginkan tantangan yang begitu pelik. Kalau bisa, ia ingin mengetahui kapan dan bagaimana tempat ini menjadi kota kucing. Pada malam ke tiga, keriuhan pecah di alun-alun di bawah menara lonceng. “Hei, kau mencium bau manusia?” seekor kucing bertanya. “Ah kau merasakan juga ya? Aku rasa kemarin-kemarin itu ada bau yang aneh,” sahut satunya, sambil mengendus-endus. “Aku juga,” kata yang lainnya. “Aneh. Seharusnya tak ada manusia di sini,” yang lain menambahkan. “Tentu. Tentu tak ada manusia di sini. Tak ada ceritanya manusia bisa masuk kota kucing ini.” “Tapi, aku mencium bau manusia di sini.” Kucing-kucing itu lalu membentuk kelompok dan memulai menyisir seluruh kota seperti para peronda. Hanya butuh waktu sebentar bagi mereka untuk mengetahui bahwa sumber bau itu berasal dari menara lonceng. Pemuda itu mendengar langkah-langkah lembut kucing-kucing itu menaiki tangga menara. Celaka, mereka menemukanku! Pikirnya. Bau tubuhnya tampaknya telah membuat kucing-kucing itu marah. Manusia tidak seharusnya menjejakkan kakinya di kota ini. Kucing-kucing itu punya cakar yang tajam dan besar serta taring yang mengkilat. Ia tak tahu nasib buruk apa yang terjadi jika ia diketemukan tapi yang ia tahu pasti mereka tak akan pernah melepaskannya hidup-hidup dari kota ini. Edisi 1 / April 2017
31
Cerpen : Kota Kucing Tiga ekor kucing memanjat pucuk menara lonceng dan mengendus udara. “Aneh,” kata seekor kucing, menggerakkan kumisnya, “Aku mencium bau manusia, tapi tak ada seorang pun di sini.” “Ya. Aneh,” kata yang ke dua. “Benar tak ada seorang pun di sini. Mari kita pergi dan mencari di tempat lain.” Kucing-kucing itu menegakkan kepala, kebingungan, lalu menuruni anak tangga. Pemuda itu mendengar langkah-langkah mereka mejauh ke kegelapan malam. Ia bernapas lega, tapi ia tak mengerti apa yang telah terjadi. Tidak mungkin mereka tak bisa menemukannya. Namun entah kenapa mereka tidak bisa melihatnya. Daripada sesuatu buruk terjadi, pemuda itu bertekad bahwa besok pagi ia akan pergi ke stasiun untuk naik kereta meninggalkan kota ini. Ia tahu keberuntungan tidak selamanya terjadi. Pagi harinya, entah mengapa, kereta tak berhenti di stasiun. Ia melihat kereta itu melintasi stasiun tanpa melambat sedikitpun. Kereta siang pun demikian. Ia bisa melihat pekerjanya duduk di loko. Namun kereta itu tak menunjukkan tandatanda akan berhenti. Seolah-olah tak seorang pun melihat dirinya yang tengah menunggu kereta itu – atau bahkan mereka tak melihat adanya stasiun ini. Ketika kereta siang telah tak kelihatan lagi pada relnya, tempat itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Matahari mulai tenggelam. Ini saatnya bagi para kucing untuk datang. Pemuda itu sadar bahwa inilah saat terakhir baginya. Ia sadar bahwa tak mungkin ada kota kucing. Ini adalah tempat di mana ia akan dihilangkan. Ini dunia yang lain yang telah dipersiapkan untuknya. Tak akan pernah ada lagi, selama-lamanya, kereta yang berhenti di stasiun ini untuk membawanya kembali ke dunia di mana ia berasal. Tengo membaca cerita itu dua kali. Kalimat “tempat di mana ia akan dihilangkan” menarik perhatiannya. Ia menutup buku itu dan membiarkan matanya menjelajah pemandangan pabrik-pabrik yang menjemukan yang melintasi 32
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Kota Kucing jendela kereta. Beberapa saat setelahnya, ia tertidur –bukan tidur siang yang panjang tapi cukup nyenyak. Ia bangun dengan penuh keringat. Kereta itu bergerak sepanjang garis pantai selatan di Semenanjung Boso pada pertengahan musim panas. Satu saat ketika ia kelas 5 SD, setelah ia hati-hati berpikir, Tengo menyatakan bahwa ia akan berhenti mengikuti ayahnya bekerja di hari Minggu. Ia mengatakan pada ayahnya bahwa ia ingin menggunakan waktunya untuk belajar dan membaca buku dan bermain bersama teman-temannya. Ia ingin punya kehidupan yang normal seperti anak-anak lainnya. Tengo mengatakan apa yang ingin ia katakan dengan ringkas dan teratur. Ayahnya, tentu saja, marah. Ia memang tak pernah memperhatikan apa yang keluarga lain lakukan, katanya. ”Kita punya cara tersendiri untuk melakukan sesuatu. Dan jangan berani-beraninya kami berkata padaku soal ‘kehidupan yang normal,’ Tuan Tahu Segalanya. Apa yang sebenarnya kau ketahui tentang ‘kehidupan yang normal’?” Tengo tak mau membantahnya. Ia hanya menatap ayahnya dalam diam, tahu bahwa apa yang ia katakan tak ada gunanya bagi ayahnya. Akhirnya, ayahnya mengatakan bahwa ia tak akan pernah mendengarkan omongan Tengo lagi bahkan tak hendak menafkahinya. Tengo harus pergi. Tengo melakukan apa yang diperintahkan. Pikirannya telah pasti. Tak ada yang ia takutkan. Kini ia beroleh izin untuk meninggalkan kurungannya, ia merasa lebih lega daripada siapapun. Namun bagaimana anak umur sepuluh tahun hidup sendiri. Di hari sekolah, setelah kelasnya usai, ia menceritakan kesulitannya pada gurunya. Gurunya adalah seorang perempuan berumur tiga puluhan, berpikiran terbuka, dan berkepribadian hangat. Ia mendengarkan Tengo dengan penuh simpati, dan sore harinya ia mengantar Tengo pulang ke rumah ayahnya untuk berbicara dengannya. Edisi 1 / April 2017
33
Cerpen : Kota Kucing Tengo diminta meninggalkan ruangan, sehingga ia tak tahu pasti apa yang dibicarakan mereka berdua, tapi akhirnya ayahnya harus mencabut ancamannya. Biar bagaimana pun marahnya, ia tak akan dapat meninggalkan anak umur sepuluh tahun menggelandang di jalanan sendirian. Sudah tanggungjawab bagi orang tua untuk mendukung anaknya. Sebagai hasil perbincangan guru dan ayahnya, Tengo bebas menghabiskan harihari minggu sesukanya. Ini adalah hak nyata yang ia miliki sejak peperangannya dengan ayahnya. Ia telah mengambil langkah pertama menuju kebebasan dan kemerdekaan.
Di meja resepsionis sanatorium, Tengo memberitahu namanya dan nama ayahnya. Perawat itu bertanya, “Apakah kau telah memberitahu kami mengenai kunjunganmu hari ini?” Ada nada gusar pada pertanyaannya itu. Perawat itu perempuan bertubuh kecil, mengenakan kacamata dengan bingkai logam, dan rambutnya yang pendek sudah mulai ditumbuhi uban. “Tidak, aku baru berpikir akan berkunjung ke sini tadi pagi ketika aku sudah berada dalam kereta,“ Tengo berkata apa adanya. Perawat itu melihatnya dengan pandangan sedikit merendahkan. Lalu katanya, “Kalau mau menjenguk seharusnya beritahu kami sebelumnya. Kami punya jadwal berkunjung, dan apa-apa saja yang diharapkan pasien kalau menerima kunjungan.” “Maaf. Saya tidak tahu.” “Kapan terakhir kau ke mari?” “Dua tahun lalu.” 34
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Kota Kucing “Dua tahun lalu,” katanya sambil memeriksa dengan pena di tangannya daftar pengunjung. “Maksudmu dalam dua tahun terakhir kau tak pernah berkunjung sekalipun?” “Benar.” “Menurut catatan kami, kau satu-satunya keluarga Tuan Kawana.” “Benar.” Perawat itu melihat pada Tengo tapi tak berkata apa-apa. Pandangannya tak menghakimi, sekadar memperhatikan seksama. Nampaknya, apa yang terjadi dengan Tengo bukan sesuatu yang heboh. “Saat ini, ayahmu dalam kelompok rehabilitasi. Setengah jam lagi kelar. Kau boleh menjenguknya.” “Bagaimana keadaanya?” “Secara fisik, sehat. Hanya ininya kadang suka kumat,” katanya, mengetuk jidatnya dengan jari telunjuk.
Tengo mengucap terima kasih padanya dan pergi ke ruang tunggu yang ada di dekat pintu masuk, membaca lagi bukunya. Angin bersiut sesekali membawa aroma lautan dan derau pohon-pohon pinus yang mengalangi angin di luar sana. Tonggeret hinggap di cabang pepohonan, bersuara nyaring sekali. Saat ini sedang puncak musim panas, tapi tonggeret-tonggeret itu seolah tahu bahwa saat semacam ini tak akan berlangsung lama. Akhirnya, perawat berkacamata itu memberitahu bahwa Tengo sudah bisa menjenguk ayahnya. “Mari aku antar ke kamarnya,” katanya. Tengo bangkit dari sofa dan begitu melewati cermin besar di ruangan itu, ia sadar betapa aneh dandanannya: kaus Jeff Beck Japan Tour dengan kemeja yang warnanya hampir pudar dengan kancing lain-lain, celana chinos lengkap dengan bercak saus pizza Edisi 1 / April 2017
35
Cerpen : Kota Kucing pada lututnya, topi baseball – yang tak pantas dikenakan seorang berusia tiga puluh sembilan tahun yang hendak berkunjung pertama kalinya dengan ayahnya di rumah sakit setelah dua tahun lamanya. Dan lagi ia tak punya apa-apa yang bisa diberikan sebagai hadiah. Pantas saja jika perawat itu melihatnya dengan pandangan yang terasa merendahkannya. Ayah Tengo ada di kamarnya, duduk pada sebuah kursi yang mengadap jendela terbuka, kedua tangannya berada pada lututnya. Pada meja di dekatnya ada pot dengan tanaman yang berbunga kuning menyegarkan mata. Lantai ruangan itu dibuat dari bahan yang lembut agar mencegah cedera ketika jatuh. Tengo tidak segera menyadari bahwa orang tua yang duduk dekat jendela adalah ayahnya. Ia telah mengkerut – ‘layu” mungkin lebih tepatnya. Rambutnya dipotong pendek dan berwarna putih seperti rumputan dibekukan salju. Pipinya terlihat cekung sehingga lubang matanya seolah nampak lebih lebar daripada biasanya. Tiga kerutan dalam nyata di dahinya. Alisnya begitu panjang dan tebal, dan telinganya yang mencuat ke luar kelihatan jauh lebih besar dari sebelumnya; sehingga seperti sayap kelelawar. Dari kejauhan, ia kurang mirip manusia tapi lebih seperti mahluk semacam tikus atau tupai – binatang yang punya banyak kelicikan. Ia, biar bagaimanapun, adalah ayah Tengo – atau, lebih seperti, reruntuhan ayah Tengo. Dalam ingatan Tengo, ayah adalah orang yang kuat, pekerja keras. Mawas diri dan imajinasi mungkin terasa asing baginya, tapi ia punya aturan moralnya sendiri dan keinginan atas tujuan hidupnya yang kuat. Namun, lelaki yang tengah Tengo lihat di hadapannya tak lebih seperti sebuah cangkang kosong. “Tuan Kawana!” kata perawat itu pada ayah Tengo dalam nada yang renyah, jelas bahwa ia telah dilatih bagaimana berkata-kata dengan para pasiennya. “Tuan Kawana! Lihat siapa yang datang! Putramu, datang dari Tokyo!” Ayah Tengo menoleh padanya. Matanya yang tanpa ekspresi mengingatkan Tengo pada dua sarang walet yang kosong dan menggantung di atap. 36
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Kota Kucing “Halo,” Tengo menyapa. Ayahnya tak berkata apa-apa. Namun, pandangannya lurus pada Tengo seolah ia sedang membaca sebuah bulletin yang ditulis dalam bahasa asing. “Makan malam dimulai jam enam tiga puluh,” kata perawat itu pada Tengo. “Silakan manfaatkan waktu sebelum itu.” Tengo kikuk beberapa saat lamanya setelah perawat itu pergi, lalu ia mendekati ayahnya, duduk di kursi yang berhadapan dengannya --sebuah kursi berlapis kain, pudar warnanya, bagian kayunya cacat garis karena usang. Mata ayahnya mengikuti gerakannya. “Apa kabar, Ayah?” tanya Tengo. “Baik, terimakasih,” kata Ayahnya begitu formal. Tengo tak tahu lagi apa yang hendak dikatakan setelah itu. Sambil memainkan kancing ke tiga dari bajunya, ia memutar pandangannya ke arah pohon-pohon pinus di luar sana sebelum balik lagi melihat ayahnya. “Kau datang dari Tokyo, ya?” tanya ayahnya. “Ya. Aku dari Tokyo.” “Pasti kau naik kereta cepat.” “Betul,” kata Tengo. “Hanya sampai Tateyama. Lalu aku pindah ke kereta biasa ke sini dari Chikura.” “Kau datang untuk berenang?” Ayahnya bertanya. “Aku Tengo. Tengo Kawana. Putramu.” Keriput di dahi ayahnya terlihat makin dalam. “Banyak orang berbohong karena Edisi 1 / April 2017
37
Cerpen : Kota Kucing mereka tidak mau bayar tagihan bea langganan NHK.” “Ayah!” teriak Tengo padanya. Rasanya sudah sekian lama ia tak mengatakan kata itu. “Aku Tengo. Putramu.” “Aku tak punya anak,” kata Ayahnya. “Ayah tak punya anak,” Tengo mengulang ucapan ayahnya itu. Ayahnya mengangguk. “Jadi siapa aku?” tanya Tengo.
Sambil menggeleng kepala dua kali, ayahnya berkata, “Kau bukan siapa-siapa.” Tengo menahan napas. Ia tak bisa berkata-kata lagi. Ayahnya juga tak punya apaapa lagi untuk dikatakan. Masing-masing duduk dalam keheningan, mencari jalan ke luar dari pikirannya yang kusut. Suara tonggeret terdengar begitu nyaring, nyaris tak berjeda. Ayahnya mungkin berkata sebenarnya, pikir Tengo. Ingatannya mungkin telah hancur, tapi kata-katanya mungkin kebenaran. “Apa maksud Ayah berkata begitu?” tanya Tengo. “Kau bukan siapa-siapa,” ulang Ayahnya, datar. “Dulu kau bukan siapa-siapa, sekarang pun tidak, dan sampai kapan pun kau bukan siapa-siapa.” Saat itu Tengo ingin segera bangkit dari kursinya, bergegas ke stasiun, dan kembali secepatnya ke Tokyo. Namun ia merasa tak kuasa berdiri. Ia merasa seperti pemuda yang tersesat di kota kucing. Ia penasaran. Ia ingin jawaban yang jelas. Meski ia tahu, ada sesuatu yang menakutkan. Namun jika ia lepaskan kesempatan ini begitu saja, ia tak akan pernah punya kesempatan lagi untuk mengenali sejarah kelam dari dirinya. Tengo berusaha keras menyusun kata-kata 38
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Kota Kucing dalam kepalanya sampai ia siap untuk bisa menyuarakannya. Ini adalah pertanyaan yang ingin sekali ia tanyakan bahkan sejak ia masih kanak-kanak, hanya ia belum bisa mengutarakannya, “Jadi, jika Ayah berkata demikian, berarti kau bukan ayah kandungku, begitu? Atau Ayah memang ingin mengatakan bahwa di antara kita tak pernah ada hubungan darah?” “Mendengar siaran radio tanpa membayar itu sama seperti mencuri,” kata ayahnya sambil sorot matanya seolah menghunjam Tengo, “Tak ada bedanya dengan mencuri uang atau barang-barang, bukan begitu?” Tengo tak punya alasan untuk tidak menyetujui perkataan ayahnya itu, “Mungkin benar begitu, Ayah.” “Kau tahu, siaran radio itu tidak jatuh begitu saja dari langit seperti hujan atau salju,” katanya lagi. Tengo memandangi tangan-tangan ayahnya. Tangan-tangan yang ditumpu dengan rapi di atas lututnya. Tangan yang kecil, hitam terbakar matahari, dan barangkali tulang-tulang di dalamnya pun hitam karena bertahun-tahun bekerja di luar ruangan.
“Ibu tidak meninggal karena sakit, ketika aku masih kecil, bukan?” Pelan Tengo bertanya. Ayahnya tak menyahut. Raut wajahnya tak berubah, dan tangan-tangannya tetap di atas lutut. Kini matanya memperhatikan Tengo seolah tengah mengamati sesuatu yang baru ia lihat. “Ibu meninggalkanmu. Meninggalkan ayah dan aku. Ibu pergi dengan pria lain. Benar begitu?” Ayahnya menggangguk. “Tak baik mendengar siaran radio tak membayar. Kau tak akan bisa lepas dari tanggungjawab, lakukanlah apa yang kau inginkan.” Edisi 1 / April 2017
39
Cerpen : Kota Kucing Ayah mengerti pertanyaanku dengan sangat baik. Hanya saja ia tak mau menjawabnya secara langsung, begitu pikir Tengo. “Ayah,” kata Tengo lagi, “Kau mungkin bukan benar-benar ayahku, tapi aku menyebutmu ayah karena aku tak tahu lagi harus memanggilmu apa. Jujur, aku tak pernah suka denganmu. Barangkali sepanjang hidupku aku membencimu. Ayah tahu itu, bukan? Meski, jika di antara kita memang tak ada hubungan darah, tak ada alasan bagiku untuk membencimu. Aku juga bagaimana caranya agar aku bisa menyukaimu, tapi setidaknya aku bisa mengerti Ayah lebih baik dari yang aku lakukan sekarang. Aku selalu ingin tahu kebenaran tentang siapa aku dan dari mana aku berasal. Itu saja. Jika saat ini, di tempat ini, Ayah bisa menjawabnya, aku tak akan pernah membencimu lagi. Malahan, aku sangat senang jika aku tak punya kebencian terhadapmu lagi.” Ayah Tengo tetap menatapnya dengan mata tanpa ekspresi, tapi Tengo merasa ia melihat ada kilau kecil dari cahaya yang berada jauh pada kedalaman sangkar walet yang kosong itu. “Ayah benar, kata Tengo. “Aku bukan siapa-siapa. Aku seperti seseorang yang dilempar ke dalam lautan di tengah malam, mengapung sendirian. Aku menggapai, tapi tak seorang pun di sana. Aku benang putus tak bertalian. Orang yang paling dekat dan kuanggap keluarga hanyalah Ayah, tapi Ayah memendam rahasia. Sementara ingatan Ayah terus memburuk seiring waktu. Seiring dengan itu, kebenaran tentang diriku akan hilang. Tanpa bantuan dari kejujuran, aku bukan siapa-siapa, dan tak akan pernah menjadi siapa-siapa. Ayah benar.” “Pengetahuan adalah kekayaan berharga dari masyarakat,” kata ayahnya datar, suaranya terdengar lebih lirih dari sebelumnya, seperti seseorang habis berteriak lalu tersadar hingga ia pelankan lagi suaranya. “Kekayaan yang harus terus ditambah agar melimpah dan digunakan dengan sebaik-baiknya. Lalu akan diturunkan pada generasi selanjutnya dalam bentuk-bentuk yang berkembang. 40
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Kota Kucing Karena itulah, NHK mengharuskan adanya bea berlangganan dan ---“ “Seperti apa ibuku?” Tengo memotong perkataan ayahnya. “Ke mana ibu pergi? Apa yang terjadi padanya?” Ayah Tengo menutup bibirnya rapat, itu tanda bahwa ia akan berhenti bicara. Memelankan suaranya, Tengo melanjutkan, “Ada gambar yang sama, dan berulang-ulang terus datang. Kuduga ini adalah gambar dari peristiwa yang benar-benar terjadi. Saat itu aku berusia satu setengah tahun, dan ibu berada di dekatku. Dia saling berpegangan tangan dengan seorang lelaki muda. Lelaki itu bukan ayah. Siapa dia aku tak tahu, tapi yang jelas dia bukan ayah.” Ayahnya tetap tak bicara, tapi matanya jelas seperti tengah melihat sesuatu – sesuatu yang tak ada di sana. “Aku ingin kau membacakan aku sesuatu,” kata Ayah Tengo dengan nada yang biasa setelah jeda panjang. “Penglihatanku memburuk sampai-sampai aku tak bisa lagi membaca buku apapun. Ada banyak buku di dalam peti buku itu. Pilihlah sesukamu.” Tengo bangkit untuk melihat judul-judul buku pada peti buku itu. Kebanyakan adalah novel sejarah yang mengambil waktu ketika para samurai masih berkuasa. Tengo tak mau memaksa dirinya membaca cerita tua yang penuh bahasa kuna. “Kalau kau tak keberatan, aku akan membacakan cerita tentang kota kucing,” kata Tengo. “Ada dalam buku yang aku bawa untuk kubaca sendiri.” “Cerita tentang kota kucing,” kata ayahnya, seperti mencerna kata-kata itu. “Silakan. Bacakan untukku, kalau tak merepotkanmu.”
Tengo melihat jam tangannya. “Tentu tak merepotkan. Aku punya cukup waktu sampai keretaku berangkat nanti. Ini cerita yang aneh. Aku tak tahu apakah kau akan menyukainya.” Edisi 1 / April 2017
41
Cerpen : Kota Kucing Tengo mengambil bukunya dan mulai membacanya dengan pelan, dengan suara yang jelas dan mudah untuk didengarkan, ia mengambil dua atau tiga kali jeda untuk mengatur napasnya. Ia melirik ke arah ayahnya ketika ia berhenti membaca namun tak juga terlihat ada reaksi di wajah ayahnya. Ia jadi bertanya, apakah ayahnya menyukai cerita ini? “Apakah ada televisi di kota kucing?” tanya ayahnya begitu Tengo selesai membaca. “Cerita ini ditulis di Jerman sekitar tahun tiga puluhan. Waktu itu belum ada televisi. Tapi mereka punya radio, mestinya.” “Kucing-kucing itu yang membangun kota? Atau orang yang membangunnya sebelum kucing-kucing itu datang dan tinggal di sana?” Ayahnya bertanya lagi tapi seperti sedang bicara sendiri. “Aku tak tahu,” kata Tengo. “Nampaknya dibangun oleh manusia. Mungkin ada alasan tertentu sehingga mereka pergi—mungkin, mereka semua mati dalam penyakit epidemis—lalu kucing-kucing itu datang untuk tinggal di sana. Ayahnya mengangguk. “Ketika kekosongan terjadi, sesuatu harus datang untuk mengisinya. Inilah yang orang-orang lakukan.” “Itu yang mereka lakukan?” “Tepat.” “Kekosongan semacam apa yang Ayah isi?” Ayahnya merengut. Lalu dengan suara bernada sedikit mengejek ia berkata, “Masak kau tak tahu?” “Aku tak tahu,” kata Tengo. 42
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Kota Kucing Lubang hidung ayahnya memerah. Satu alisnya naik sedikit. “Kalau kau tak bisa mengerti sesuatu tanpa penjelasan, kau juga tak bisa mengerti hal itu dengan penjelasan.” Tengo menyipitkan matanya, mencoba membaca ekspresi lelaki itu. Rasanya belum pernah sekali pun ayahnya melakukan hal semacam ini, memberi saran dengan bahasa yang aneh. Biasanya ia selalu bicara yang jelas dan praktis. “Aku mengerti. Ayah mengisi beberapa jenis kekosongan,” kata Tengo. “Baiklah, lantas, siapa yang harus mengisi kekosongan yang kau tinggalkan?” “Kau,” kata ayahnya, mengangkat jari telunjuknya dan menuding lurus ke arah Tengo. “Tidakkah ini kentara? Aku telah mengisi kekosongan yang dibuat orang lain, maka kau yang akan mengisi kekosongan yang aku buat.” “Itu caranya kucing-kucing itu mengisi kota setelah semua penghuninya menghilang.” “Benar,” kata ayahnya. Kemudian ia memandang dengan kosong jari telunjuknya yang tadi ia angkat seperti melihat sesuatu yang misterius, benda yang salah tempat. Tengo mendesah. “Lalu, jadi, sebenarnya siapa ayahku?” “Hanya sebuah kekosongan. Ibumu menyatukan tubuhnya dengan kekosongan lalu lahirlah kamu. Aku mengisi kekosongan itu.” Setelah berkata panjang, ayahnya menutup matanya dan mengunci mulutnya. “Dan kau membesarkanku setelah ia pergi. Begitu maksud Ayah?” Setelah berkali-kali berdehem, seperti membersihkan tenggorokannya dari sesuatu yang menyangkut, ayahnya berkata, ini seperti mencoba menjelaskan sesuatu yang sederhana pada anak berpikiran lamban, “Itulah sebabnya aku Edisi 1 / April 2017
43
Cerpen : Kota Kucing katakan, ‘kalau kau tak mengerti sesuatu tanpa penjelasan, kau tak akan bisa mengerti sesuatu dengan penjelasan.” Tengo melipat kedua tangannya di pangkuan dan memandang lurus pada wajah ayahnya. Ternyata lelaki ini bukan cangkang kosong, pikirnya. Lelaki itu manusia lengkap berdarah dan berdaging dengan pikiran sempit, jiwa yang keras kepala, bisa bertahan dalam kondisi apapun, dan bisa tumbuh begitu saja begitu bertemu dengan daratan di tepi laut. Ia tak punya pilihan selain harus berdampingan bersama kekosongan yang perlahan menjalar di dalam dirinya. Pada akhirnya, kekosongan itu akan menelan seluruh dari kenangan yang tersisa. Ini hanya soal waktu. Tengo berpamitan pada ayahnya sebelum pukul 6. Sembari ia menunggu taksi datang, Tengo dan ayahnya duduk saling berseberangan dekat jendela, tanpa berkata apa-apa. Tengo punya banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan, tapi ia tahu bahwa apapun yang ia tanyakan tak akan pernah mendapat jawaban. Itu terlihat jelas dari bibir ayahnya yang terkatup begitu erat. Seperti yang ayahnya tadi katakan padanya, “Jika kau tak bisa mengerti sesuatu tanpa penjelasan, kau juga tak akan pernah mengerti meskipun itu telah dijelaskan.”
Saat waktu untuk pergi sudah dekat, Tengo berkata, “Ayah sudah mengatakan banyak hal padaku hari ini. Meski secara tak langsung dan kadang aku sulit untuk memahaminya, tapi mungkin itu yang bisa Ayah lakukan sejujurnya dan seterbuka ini. Seharusnya aku berterimakasih untuk itu semua.” Ayahnya masih bergeming dan tak berkata apa-apa, matanya seolah terpaku pada pemandangan seperti prajurit jaga yang begitu awas pada sinyal suar yang hendak dikirimkan suku liar di bukit jauh. Tengo berusaha menyamakan garis pandangan ayahnya untuk melihat apa yang sebenarnya tengah dipandangi ayahnya itu, tapi yang terlihat hanya pucuk-pucuk pinus ditingkahi warna senja. 44
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Kota Kucing “Maafkan kalau aku mengatakan bahwa tampaknya tak ada yang bisa aku lakukan untukmu, kecuali berharap agar proses pembentukan ruang kekosongan dalam diri Ayah adalah hal yang tak menyakitkan. Aku tahu Ayah sudah lama menderita. Ayah mencintai ibu begitu dalam, dan itu hanya Ayah sendiri yang bisa rasakan. Sungguh, aku pun bisa merasakan itu. Tapi dia telah pergi, dan itu begitu menyakitkan bagimu – seperti tinggal di dalam kota yang kosong. Namun, Ayah juga membesarkan aku dalam kota kosong yang sama.” Segerombolan gagak melintasi langit, berkoak. Tengo berdiri, mendekat ayahnya, dan meletakkan tangannya pada bahu ayahnya. “Aku pamit, Ayah. Segera aku akan kembali lagi.” Dengan tangan masih pada gagang pintu, Tengo berbalik untuk terakhir kali dan ia terkejut melihat ada air mata jatuh dari mata ayahnya. Bulir air mata itu berwarna perak kusam terkena cahaya neon dari langit-langit. Air mata itu bergulir pelan di pipi lalu jatuh di pangkuan ayahnya. Tengo membuka pintu dan meninggalkan kamar. Ia memanggil taksi menuju stasiun untuk kembali menaiki kereta yang telah membawanya kemari. (Diterjemahkan oleh Dedy Tri Riyadi dari terjemahan bahasa Inggris oleh Jay Rubin)
Edisi 1 / April 2017
45
Cerpen
Kucing Ketiga Madam Sukotjo Oleh: Yudhi Herwibowo
KAMI memanggilnya Madam Sukotjo. Agak terdengar tak biasa memang. Tapi begitulah adanya. Ia perempuan Belanda yang sejak puluhan tahun lalu tinggal di Indonesia dan menikah dengan laki-laki Jawa bernama Sukotjo. Sehingga walau ia punya nama Belanda yang tertulis di kartu penduduknya, orang-orang tetap saja memanggilnya: Madam Sukotjo. Kebetulan kami tinggal di komplek yang sama. Ayah dulunya adalah salah satu pegawai Bapak Sukotjo di perusahaan permen milik Belanda yang kemudian diakuisisi pengusaha lokal. Sayangnya, hampir 13 tahun lalu Bapak Sukotjo meninggal. Namun Madam Sukotjo tetap memutuskan tinggal di sini. 46
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Kucing Ketiga Madam Sukotjo Sejak kecil aku sudah mengenal Madam Sukotjo. Di antara semua rumah yang ada di komplek perumahan ini, rumah Madam Sukotjo adalah yang terbesar. Luasnya hampir 3 kali lipat dari rumah-rumah lainnya. Tak heran bila halaman rumahnya begitu luas. Sejak beberapa tahun lalu, Madam Sukotjo memutuskan untuk tinggal seorang diri hanya ditemani kucing-kucingnya. Tak ada lagi koki dan pembantu yang menginap di rumahnya. Ia hanya memakai pembantu pocokan yang datang pagi dan pulang sore. Tentang kucing-kucingnya ini, sejak dulu aku sudah sering melihatnya. Sepertinya mereka berjenis campuran antara kucing persia dan kucing kampung biasa. Badannya gemuk, tapi bulunya tak begitu tebal. Seekor berwarna putih dengan belang hitam di beberapa bagian, yang satu lagi berwarna burik, persis bulu kucing kampung kebanyakan. Dua kucing itu saja yang kerap kulihat. Namun entah mengapa, sejak beberapa tahun terakhir, sering kudengar cerita tentang kucing ketiga setelah dua kucing ini. Sungguh, kami semua tak pernah melihat kucing itu. Bahkan dua pembantu setia Madam Sukotjo yakin bila sejak bertahun-tahun lalu mereka hanya memberi makan 2 kucing saja. “Mungkin ia sudah mulai pikun. Umurnya kan sudah hampir 80 tahun, wajar bila ia mulai pelupa...” tak sengaja kudengar ayah bicara pada ibu. “Aku jadi kasihan, Yah. Kudengar kucing-kucing itu adalah hadiah bapak Sukotjo sehari sebelum ia meninggal,” ibu mendesah pelan. “Sekarang ia pasti sangat kesepian. Tinggal di negara asing tanpa sanak saudara. Tak ada suami dan anakanak...” Ayah tertawa, “Kau ini. Madam Sukotjo bukan tinggal di negara asing. Ia sudah lama jadi warga negara di sini. Bila ke Belanda, ia malah menjadi orang asing!” Edisi 1 / April 2017
47
Cerpen : Kucing Ketiga Madam Sukotjo Aku sebenarnya tak ingin mengurusi persoalan Madam Sukotjo dan kucingkucingnya, tapi karena aku selalu bertemu dengannya, mau tak mau aku jadi ikut memikirkannya. Sejak tak lagi memiliki koki, Madam Sukotjo memang memesan makanan dari ibu. Dulu, ibu memang memiliki bisnis katering, namun beberapa tahun lalu terpaksa ditutup karena merasa telah terlalu tua. Tapi khusus untuk Madam Sukotjo, ibu masih mau memasakkannya 2 atau 3 lauk setiap hari. Maka itulah, setiap sore aku yang selalu mengantarkan makanan untuknya. Tugas mengantar pagi hari biasanya dilakukan oleh ibu sendiri. Setiap mengantar, aku biasanya langsung masuk melalui pintu belakang. Di sana Madame Sukotjo sudah menungguku di waktu yang sama. “Selamat sore, Madam,” aku menyerahkan tumpukan rantang padanya. “Hari ini ibumu masak apa?” tanyanya dengan tersenyum. “Semur tahu, perkedel jagung dan tempe balado,“ ucapku. Sudah sekian lama Madam Sukotjo memang tak lagi makan daging. “Ah, aku sudah bisa menduga dengan menciumnya saja.” Ia membuka satu persatu tutup rantang. “Apakah kau sibuk?” tanyanya kemudian. Aku menggeleng. Di sore seperti ini kuliah selalu sudah berakhir, sehingga aku memang tak memiliki kesibukan apa-apa lagi. “Mau di sini dulu menemaniku makan?” Aku mengangguk, seiring teringat kata ibu beberapa hari lalu tentang kesepiannya Madam Sukotjo sekarang. Kupikir tak ada salahnya menemaninya mengobrol beberapa menit. Toh, walau sering bertemu, aku sebenarnya jarang sekali bicara panjang dengannya. Hanya kalimat-kalimat basa-basi saja. “Bagaimana kuliahmu?” tanyanya sambil menyiapkan sendok dan garpu. 48
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Kucing Ketiga Madam Sukotjo “Ini masih awal semester, jadi tentu masih lancar-lancar saja.” Ia tersenyum, “Tak menyangka kau tumbuh dengan cepat. Sepertinya baru kemarin melihatmu memanjat pagar untuk mengambil layang-layang.” Aku tersenyum. Ya, dulu layang-layang memang kerap jatuh di halaman rumah ini. Mau tak mau, aku dan kawan-kawan harus memanjat pagar untuk mengambilnya. Kuamati Madam Sukotjo makan perlahan-lahan. Walau setiap hari berada di ruangan di ini, namun baru sekarang aku bisa mengamati rumah ini dengan lebih detail. Rumah ini memang tak banyak yang berubah. Seingatku, tatanan ruang tamu masih sama seperti bneberapa tahun lalu. Sebuah sofa tua besar berwarna coklat tua, tivi tabung ukuran besar, dan pigura-pigura beraneka ukuran yang memenuhi dinding. Di situ ada banyak foto-foto Madam Sukotjo saat muda bersama suaminya. Kupikir –kalau boleh kukatakan- mereka pasangan yang sedikit kurang pas. Bapak Sukotjo jauh lebih pendek sehingga di beberapa foto kulihat Madam Sukotjo sedikit membungkukkan tubuh agar wajahnya bisa sejajar dengan suaminya. Dan di beberapa foto terbaru, yang warnanya masih sangat cerah, kulihat Madam Sukotjo bersama kucing-kucingnya. Saat itulah baru kusadari kalau dua kucing Madam Sukotjo yang gemuk dan lambat telah berada di dekatku. Mereka tak bersuara. Hanya terus mengusel-ngusel di kaki Madam Sukotjo. “Aku suka sekali masakan ibumu,’ ujar Madam Sukotjo. “Dulu suamiku pernah memintaku belajar masak pada ibumu. Tapi aku tak terlalu berbakat memasak.” Aku hanya tersenyum. Saat itulah secara mengejutkan, seekor kucing melompat di pahaku. Ini membuatku kaget. Walau bagaimana pun, aku tak terlalu suka pada kucing. Kenanganku pada kucing begitu buruk. Dulu, Iin –adik terkecilkumemelihara seekor kucing. Kucing ini begitu menyebalkan. Ia hanya manja pada Edisi 1 / April 2017
49
Cerpen : Kucing Ketiga Madam Sukotjo Iin dan ibu, dan selalu memandang sinis padaku. Yang paling menyebalkan, ia selalu membuang kotoran di dekat jendela kamarku. Sialnya ia selalu melakukannya bila aku sedang melihatnya. Seperti sengaja menunggu. Lalu dengan wajah menyebalkannya, ia akan ngangkang begitu saja di depanku. Bila aku mencoba mengusirnya, ia nampak tak peduli. Pernah satu kali aku berniat melempar batu, tapi Iin langsung menahan gerakanku. Dengan wajahnya yang menggemaskan ia langsung mengingatkanku seperti ini: “Coba bayangkan, kalau kakak yang sedang asyik di toilet, lalu seseorang melempar batu pada kakak, apa yang kakak rasakan?” Aku pun tentu saja langsung mengurungkan niat burukku. Namun sebenarnya, sejak itulah ketidaksukaanku pada kucing dimulai. “Hush, hush!” Melihat kekagetanku, Madam Sukotjo segera mengusir kucingkucingnya “Ia memang nakal,” ujarnya. “Tapi tak senakal Bupi...” Ah, akhirnya nama Bupi di sebut. Itu adalah nama kucing ketiga yang belakangan ini menjadi pembicaraan para tetangga.
“Ah, jadi ingat, di mana kucing itu? Apakah kau melihatnya?” Aku hanya menggeleng saja. “Akhir-akhir ini ia memang sering keluyuran,” Madam Sukotjo menggeleng-geleng kepalanya. “Bayangkan, saat saudara-saudaranya sudah tak lagi berniat main jauh-jauh, ia masih saja pergi entah ke mana.” Madam Sukotjo menambahkan, “Nanti bila kau melihatnya, bisakah kau memberitahu aku?” Aku hanya bisa mengangguk . 50
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Kucing Ketiga Madam Sukotjo Sepertinya topik tentang Bupi, memang yang paling suka diceritakan oleh Madam Sukotjo. “Dari kecil ia memang sudah berbeda. Terlalu aktif bila dibandingkan saudarasaudaranya. Sehingga dialah yang paling menghiburku...” Bila sudah begitu, Madam Sukotjo akan menceritakan kelucuan-kelucuan Bupi. Bagaimana ia hanya mau tidur bersamanya di ranjang tanpa mau di tempat yang sudah disediakan, bagaimana saat ia memberinya kado seorang anak ayam milik tetangga, dan masih banyak cerita lainnya. Aku hanya mendengar dengan sabar, karena kadang beberapa cerita diulangnya di hari yang lain. Tapi hari ini, cerita tentang Bupi sedikit berbeda. “Kau tahu, semalam Bupi kembali membuat ulah,” sambil makan dengan perlahan, Madam Sukotjo mulai bercerita. Walau bagi sebagian orang Eropa makan sambil bicara satu hal yang tidak sopan, tapi nampaknya Madam Sukotjo nampaknya tak terlalu memikirkan itu. Ia nampaknya sudah menyerap kebiasaan orang Indonesia dengan baik. “Ia tiba-tiba membawa sebuah perhiasan, sebuah kalung emas. Aku tentu saja segera menyuruh mengembaikannya. Tapi tentu saja ia tak peduli dengan itu. Ia mungkin berpikir, kalung itu hadiah untukku.” “Lalu bagaimana akhirnya?” aku ikut terpancing juga. “Untungnya saat menjelang malam, kulihat ia keluar rumah. Dan kalung itu sudah tak ada lagi di meja. Jadi kupikir, ia pastilah sudah mengembalikannya.” Walau membuatku terpancing, tapi itu belum apa-apa. Di hari yang lain, Madam Sukotjo menyambutku dengan cerita yang lebih heboh. “Hari ini, Bupi membuat ulah lagi.” Sambil meletakkan rantang di meja, aku membuat ekspresi bertanya. Edisi 1 / April 2017
51
Cerpen : Kucing Ketiga Madam Sukotjo “Dialah yang menyebabkan kebakaran di ruko Koh San!” Aku teringat semalam memang ada kebakaran di depan kompleks. Ruko Koh San, pemilik salah satu toko kelontong yang biasa kami kunjungi, nyaris habis terlalap api di lantai duanya. Sempat kudengar petugas polisi menyimpulkan penyebab kejadiannya. Maka itulah aku langsung membantah ucapan Madam Sukotjo. “Kudengar penyebabnya karena korsletting,” ujarku. “Ya, memang. Tapi itu karena ulah Bupi. Kemarin karena ia tak pulang-pulang, aku mencarinya sampai ke depan. Karena mendengar panggilanku, ia muncul dari lantai 2 ruko Koh San. Dan hanya beberapa detik setelah ia turun menghampiriku, kulihat api di ruko itu....” “Tapi... itu bisa saja kebetulan?” “Ada bagian bulu Bupi yang terbakar. Jadi jelas ia ada di sana saat kejadian. Aku tahu bila selama ini ia memang mengejar-ngejar kucing milik Koh San. Pastilah saat pengejaran itu, ia tak sengaja menarik salah satu kabel, seperti yang sering dilakukannya di rumah, sehingga kebakaran pun terjadi.” Kali ini, walau aku masih merasa kesimpulan Madam Sukotjo masih berbau dugaan, aku tak berkata apa-apa. “Huh, menjengkelkan sekali. Kucing itu semakin tua, semakin bandel saja...” Aku hanya diam saja. Tapi kejadian itu begitu memukul Madam Sukotjo. Ia ternyata merasa sangat bersalah. Wqlau sudah berkali-kali kuyakinkan kalau bukan Bupi penyebabnya, ia tak menggubrisku. Ia bahkan berencana meminta maaf pada Koh San secara langsung. Tentu saja ibu dan beberapa tetangga terdekat menyuruhnya 52
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Kucing Ketiga Madam Sukotjo mengurungkan niat itu. Lama-lama aku jadi merasa kasihan padanya. Bagamana pun tak ada seorang pun yang pernah melihat Bupi. Namun efek kejadian itu benar-benar membuat Madam Sukotjo sedemikian tertekan. Inilah yang membuatku sempat berpikir sesuatu yang selama ini tak pernah kupikirkan: bisa jadi Bupi memang benarbenar ada! Selama ini, bila tak ada yang melihatnya, ia mungkin memang selalu pergi. Atau, ini kemungkinan lain yang sangat imajinatif, bisa jadi Bupi memang bukan kucing biasa. Ia kucing yang tak kasat mata? Dan hanya Madam Sukotjo yang bisa melihatnya, Bukankah kejadian yang mirip kejadian ini pernah terjadi? Aku pernah mendengar cerita tentang seorang ibu yang menjalani hidup bersama anak yang sangat disayanginya. Walau semua orang tahu, anaknya telah lama meninggal. Perasaan cinta dan tak bisa menerima kenyataan, mungkin sama seperti yang kini dialami Madam Sukotjo sekarang. Bukankah ketiga kucing miliknya merupakan pemberian terakhir suaminya sebelum ia pergi untuk selamanya? Tapi tentu saja, kesimpulan seperti ini tetap saja tak bisa kuterima dengan akal sehat. Ini terlalu absurb. Belum juga mereda kejadian itu, kudengar lagi kabar selanjutnya: kedua kucing Madam Sukotjo yang lain ditemukan mati hari ini. Saat aku datang, Madam Sukotjo meminta tolong padaku untuk menguburkannya. Aku menggalikan sebuah lubang untuk kedua kucing itu. Setelah menutupinya dengan selembar kain putih, Madam Sukotjo sendiri yang meletakkan kedua kucing itu di sana. Sambil melihat tanah yang mulai kuurug, Madam Sukotjo mendesah pelan, Edisi 1 / April 2017
53
Cerpen : Kucing Ketiga Madam Sukotjo “Sekarang, hanya tinggal Bupi...” Saat itulah, aku ingin sekali bicara tentang Bupi. Kata-kata seperti sudah ada di ujung lidahku. Tapi melihat keadaan Madam Sukotjo yang nampak rentan, aku memilih diam. Tiga hari kemudian, Madam Sukotjo menyambutku dengan tangisannya. “Sudah tiga hari ini, Bupi tak pulang. Aku merasa ia juga sudah mati di luar sana. Ketiga kucing ini kubawa bersamaan, dan kupikir mereka punya garis hidup yang sama. Tiga belas tahun adalah waktu yang panjang untuk seekor kucing. Mungkin itu adalah waktu puncak bagi mereka...” Aku hanya terdiam membiarkan Madam Sukotjo menangis panjang. Saat itulah, keinginan untuk bicara tentang Bupi kembali muncul. Aku merasa sekaranglah waktu yang paling tepat untuk itu. “Maafkan aku, Madam,” ujarku akhirnya. “Aku sebenarnya ingin sekali bicara tentang ini sejak dulu. Ini tentang Bupi, kucing madam. Sungguh, sebenarnya aku dan semua tetangga di sini, tak pernah yakin bila Bupi... benar-benar ada...”
Madam Sukotjo menatapku tak mengerti. “Dari dulu kami selalu mendengar cerita tentang Bupi. Tapi tak ada satu pun dari kami yang pernah melihat kucing itu...” “Itu karena Bupi memang selalu pergi keluyuran....” “Tapi dua pembantu yang selama bertahun-tahun bersama madam, juga tak pernah melihatnya. Mereka yakin, kalau sejak dulu, hanya 2 kucing saja yang dibawa ke rumah ini. Bahkan selama ini, mereka juga hanya memberi makan untuk 2 kucing...” 54
Edisi 1 / April 2017
Cerpen : Kucing Ketiga Madam Sukotjo Kali ini, Madam Sukotjo terdiam. “Selama ini, kami para tetagga tak pernah mengatakan apa-apa soal Bupi, karena kami mencoba menjaga perasaan Madam.” “Jadi selama ini kalian diam karena... menjaga perasanku?” Aku hanya bisa mengangguk perlahan. “Kami pikir itu mungkin kehilangan yang dalam bagi madam. Bagaimana pun kami tahu, ketiga kucing itu adalah hadiah terakhir dari suami madam sebelum meninggal...” Madam Sukotjo menatapku dengan tak percaya. “Tapi ini tak ada hubungannya dengan itu. Ah, bagaimana aku harus mengatakannya? Tapi... Bupi memang benar-benar ada...” Tapi pandangannya kemudian nampak menerawang, “Atau... selama ini... aku yang memang telah salah melihat?” Aku hanya bisa menelan ludah, tak berani menjawabnya. Sungguh, sedih melihat keadaan Madam Sukotjo seperti ini. “Maafkan kami...” ujarku pelan. Madam Sukotjo tak berkata apa-apa. Sejak itu Madam Sukotjo tak lagi bicara tentang Bupi. Setiap aku mengantarkan makanan, ia juga tak mengajakku bicara. Ia hanya mengambil makanan itu, tersenyum sekilas, lalu menutup pintu. Sedikit aku merasa sangat bersalah. Tapi kupikir ini yang terbaik bagi keadaan ini. Setidaknya ia tak lagi menyalahkan diri atas kebakaran ruko Koh San, juga tak lagi menjadi pembicaraan para tetangga. Edisi 1 / April 2017
55
Cerpen : Kucing Ketiga Madam Sukotjo Sayangnya, sebelum keadaan membaik, Tuhan memanggilnya lebih dulu. Ia meninggal saat tidur, sama seperti dua kucingnya. Karena tak punya siapa-siapa, penguburannya diurus oleh para tetangga. Kami menguburnya di pemakaman yang ada di dekat komplek. Saat tubuhnya dikuburkan, kami para tetangga yang tak seberapa ini, menemani detik-detik tubuhnya ditelan tanah merah. Mungkin di antara semua orang di sini, aku yang paling kehilangan. Sekian tahun, aku mengantarkan makanan untuknya. Tapi ternyata tak banyak yang kuketahui tentangnya. Saat prosesi penguburan selesai, satu persatu dari kami mulai beranjak pergi. Aku sengaja memilih menjadi orang terakhir yang akan pergi. Namun secara mengejutkan, seorang anak kecil –mungkin berumur 4 tahun- menunjuk ke arah gundukan tanah merah itu. “Mama, lihat!” serunya, menahan tarikan tangan mamanya. “Ada kucing yang naik ke gundukan itu!” Aku terkejut. Tapi aku tak melihat apa-apa di gundukan itu. Hanya saja, mataku tak bisa mengelak melihat sebagian tanah di puncak gundukan itu sedikit berjatuhan, seakan-akan ada sesuatu yang membuatnya jatuh.
Saat itulah, jantungku seakan terhenti.
.
56
Edisi 1 / April 2017
Edisi 1 / April 2017
Kolom
Hanya Ada Satu Huruf K pada Kata Kucing Oleh: Dedy Tri Riyadi
HANYA ada satu huruf ‘k’ pada kata kucing, namun, apakah itu penting? Urang Sunda menyebut kucing dengan kata “ucing” tanpa huruf ‘k’ di depannya. Dengan demikian, dengan atau tanpa huruf tersebut kucing tetaplah kucing. Uniknya lagi, jika dipanggil kucing atau ucing, binatang tersebut tidaklah akan menyahut dengan mengeong. Kucing hanya akan mengeong bila dipanggil dengans sebutan “pus.”
Konon sejarahnya orang mulai senang memelihara kucing sejak jaman kerajaan Mesir masih giat membangun piramida. Buktinya, ada mumi kucing di dalam piramida dekat dengan makam raja-raja atau keluarga kerajaan lain. Kesukaan orang memelihara kucing masih berlangsung sampai kini. Di Uni Emirat Arab, aneka kucing besar mulai dari ceetah, macan tutul, harimau belang, sampai singa sering dipergoki duduk di bangku penumpang sebelah depan mobil mewah yang dikendarai para pengusaha multijutawan sana. Di Amerika Serikat, selebritiselebriti dunia memelihara kucing-kucing besar. Beberapa kebun binatang lokal biasanya menampung harimau dan singa dari para pesulap, dan beberapa di antaranya berakhir di animal shelter setelah di-rescue para penyelamat binatang. 58
Edisi 1 / April 2017
Kolom Dedy Tri Riyadi Meskipun begitu, kecintaan orang memelihara kucing dan kucing besar masih belum surut. Sifat yang membuat kucing atau kucing besar diminati adalah mereka gemar bermanja-manja apalagi dielus bagian leher atau perutnya. Gambaran bahwa mereka (jika kucing besar) sebagai pemangsa yang ganas akan hilang jika sifat manja itu muncul. Sejarah lain, menyatakan bahwa kucing adalah binatang kesukaan Nabi Muhammad SAW, sehingga banyak keluarga muslim memperkenalkan dan memasukkan kucing ke dalam rumah sebagai binatang peliharaan. Kehormatan yang berlebih bagi kucing menyisakan semacam kepercayaan bahwa jika seseorang menabrak sampai mati seekor kucing dengan kendaraannya, maka ia wajib menguburkannya bahkan di beberapa daerah harus membungkusnya dengan baju yang dipakai saat kejadian itu agar ia tak bernasib sial. Salah satu takhayul tentang kucing adalah soal bagaimana seekor kucing memiliki sembilan nyawa. Tentu bukan tanpa sebab ada orang yang memercayai hal semacam itu. Hal ini terjadi karena kelenturan tubuh kucing yang ditopang oleh lebih banyak tulang pada tulang belakangnya dibandingkan manusia sehingga jika dijatuhkan dari sebuah ketinggian, kucing akan mampu membalikkan badan sehingga bisa jatuh dalam kondisi ke empat tungkai kakinya menjejak ke tanah. Takhayul lainnya adalah berkenaan dengan warna bulu kucing, semisal jika seekor kucing berbulu hitam atau pernah mendengar rumor bahwa tak ada kucing belang tiga berjenis kelamin jantan? Kucing adalah kucing meski dalam bahasa mandarin disebut seperti mereka bersuara atau mengeong. Dan hanya ada satu huruf k pada kata kucing yang memang tidak penting tetapi penting. Huruf k pada kucing bisa saja kependekan dari kata kesetiaan. Meskipun kita sering lihat betapa kucing-kucing yang tidak menghargai perasaan para jomlo di malam minggu mengeong berebut pasangan atau menunggu giliran untuk kawin-mawin, namun pada habitat asalnya, di jaman dulu kala, kucing baik yang kecil atau yang besar adalah hewan Edisi 1 / April 2017
59
Kolom Dedy Tri Riyadi monogamistik. Namun, seiring dengan jaman, kesetiaan memang patut dipertanyakan. Kemungkinan lain, huruf k pada kata kucing adalah ketabahan. Agak menyedihkan memang, tapi itu patut dikemukakan. Sering kita lihat kucing itu cacat. Terutama kucing-kucing yang tak berumah. Yang terabaikan. Dan banyak sekali alasan dibuat untuk melukai kucing-kucing itu. Mulai dari yang kawinmawin dengan ributnya, mencuri lauk kita, atau sekadar iseng mencoba senapan baru seperti beberapa waktu lalu pernah heboh di Facebook, ada orang yang iseng menembaki kucing di lingkungannya.
Dan satu huruf k pada kata kucing itu bisa saja kependekan dari kasih. Sesuatu yang mulai jarang dibicarakan. Kasih itu lebih tinggi dari cinta. Kasih tidak pernah membedakan, dan kasih berkenaan dengan sabar. Pernah melihat kucing mengeong minta makan di bawah meja? Berapa kali diusir pun dia hanya akan beringsut lalu duduk lagi, mengeong, dan memandang dengan tatapan penuh harap. Ya. Hanya ada satu huruf k pada kata kucing dan kita bisa duduk membincang beragam kemungkinan dengan jenak alih-alih menyoal pilkada yang tak ada habisnya. Meskipun kucing dan pemimpin daerah di Indonesia memang tidak bisa dipisahkan karena sampai hari ini belum pernah ada peraturan daerah yang mengatur bagaimana agar kota bisa tertata rapi dalam hal pemeliharaan atau pembatasan hewan mamalia seperti anjing, kucing, tikus, dan lain-lain. Tidak percaya? Silakan cari.
60
Edisi 1 / April 2017
PUISI
Edisi 1 / April 2017
Puisi Charles Baudelaire
Kucing Mari, kucingku yang cantik, masuklah dengan penuh cinta ke hatiku, namun, jangan coba kautangkap aku. Biarkan aku jatuh ke dalam matamu itu. Mata yang terbuat dari logam dan batu mulia. Izinkan aku membelai kepala dan punggungmu yang lembut dan lentur Biarkan merasa senang dengan segala keterkejutan di tubuhmu Dan kubayangkan perempuanku. Tatapan liar dan tak terjaga. Yang dingin dan dalam seperti gua. Tajam dan membuatku cedera seperti panah. Dari kaki sampai kepala haruman berbahaya selembut udara berenang di tubuhmu yang sewarna buana.
Diterjemahkan oleh Dedy Tri Riyadi
62
Edisi 1 / April 2017
Puisi D. Zawawi Imron
Kucing Kucing meliut hingga terluput dari bahaya Tak ada maksud ia menunjukkan kelenturan tubuhnya Ia hanya memenuhi tuntutan Ilahi Sebagai pesilat aku merasa iri kepada kucing pada ngeongnya yang mencakar ke dalam daging Lalu aku menerkam seperti kucing aku berteriak meniru kucing Kucing yang kutiru menghilang ke semak-semak pohon rohku Kucari dan kukejar, kucing tak ada dalam diriku Kucing itu meloncat ke dalam kenangan menjadi bagian dari gelisahku dari perih nyawaku Tapi kucing itu tiba-tiba menantangku Terkadang ia muncul sebagai bayang-bayangku
Edisi 1 / April 2017
63
Puisi Ketika ia keluar dari diriku ia terlukis sebagai mendung yang bersujud di langit yang beludru membuat aku merasa malu kepada bayang-bayangku yang kadang tampak menjadi hantu Sumber: Suara Pembaruan, Minggu 3 Maret 2002
64
Edisi 1 / April 2017
Puisi William Buttler Yeats
Kucing dan Rembulan KUCING itu berlari, ke sini dan ke sana Dan bulan berpusing melingkar menggasing, Dan sebagai kawan karib bulan, Kucing yang sedang mengendap itu mendongak. Minnaloushe yang hitam itu menatap bulan, Karena dia akan mengembara kesana dan meratap Untuk cahaya murni dan dingin di langit itu yang berbahaya bagi darah hewan dalam tubuhnya. Minnaloushe berjalan di rumput Menapakkan jejak kakinya yang lamban. Kau menari, Minnaloushe? Apakah kau sedang menari? Ketika dua kawan karib bertemu. Apa yang lebih baik daripada mengajak ia menari? Mungkin bulan ingin belajar Bagaimana melepaskan kesal dengan santun Dan sebuah tarian baru pun ditarikan Minnaloushe mengendap pada rumput Dari tempat ke tempat yang diterangi bulan Dan bulan di atas kepalanya Mengembangkan bentangan baru
Edisi 1 / April 2017
65
Puisi
Apakah Minnaloushe tahu bahwa muridnya itu Akan lulus uji dari perubahan ke perubahan, Mereka berkisar dari lingkar purnama ke lengkung sabit, dari lengkung sabit ke lingkar purnama? Minnaloushe merayap di rerumputan Sendiri, tersergam dan bijaksana, Dan menatap ke arah bulan yang telah berubah mengangkat matanya yang juga telah berubah.
Diterjemahkan oleh Habel Rajavani
66
Edisi 1 / April 2017
Puisi Afrizal Malna
Kucing Berwarna Biru Sudah tiga malam ini seekor kucing sakit, selalu tidur di depan pintu rumah saya. Ia mengeluh dan mengerang suaranya seperti keluar dari rumpun gelap di halaman rumah kadang seperti makhlus halus yang sedang membuat perjanjian dengan pohon nangka di halaman rumah saya orang bilang, kucing itu kena teluh. Saya mencoba mengusirnya. Tetapi kucing itu menatap saya seperti mata ibu saya. Katanya dirinya adalah roh saya sendiri yang sedang sakit. Ia mohon agar bisa tidur dalam kamar saya. Saya tak tega mengusir kucing itu. Bulu-bulunya seperti kenangan saya pada kasih sayang. Malam berikutnya saya mulai terganggu. Keluhnya berbau darah. Ia mulai menginap dalam pikiran saya. setiap malam, seperti ada rumpun gelap dalam diri saya, menyerupai kucing yang sakit itu. Suara gaib di depan pintu. setiap malam, seperti ada pohon nangka yang berjalan-jalan dalam tubuh saya, menyerupai kucing yang mengaku sebagai roh saya yang sedang sakit itu. Akhirnya saya membunuh kucing itu. menjerat lehernya dengan tali plastik. matanya seperti kematian yang mengetuk kaca jendela. Besok pagi saya temukan mulut, telinga dan lubang hidung kucing itu telah mengeluarkan tanah, berwarna merah. rumput-rumput tumbuh di atasnya. Saya lihat ikan-ikan juga telah berenang dalam perut dan tengkorak kepalanya. Dan seperti seluruh surat kabar, matahari tidak terbit pagi ini.
Edisi 1 / April 2017
67
Puisi Kobayashi Issa
Haiku Kucing
setelah bangun kucing menguap pergi untuk bercinta
Diterjemahkan oleh Sofyan RH. Zaid dan Nila Hapsari
Cat Illustration karya Yoko Tanji 68
Edisi 1 / April 2017
Puisi Leon Agusta
Bunga dan Kucing : Jufri Tannisan Yang tahu hanya sekuntum bunga Betapa hausnya terhadap cinta Sepasang daun gugur di atas kanvas Dan kulihat juga seekor kucing Begitu tenang dia menatapnya Yang tahu hanya sekuntum bunga Betapa hausnya terhadap cinta Sepasang daun layu di atas kanvas Dan kucing itu begitu tenang Begitu tenang dia menatap pada kita Jakarta, 1964
Edisi 1 / April 2017
69
Puisi Jorge Luis Borges
Kepada Seekor Kucing Kau kini milik masa yang lain. Kaulah raja dari tempat yang disekap seperti mimpi.
Cermin tidak lebih hening begitu pun fajar yang merayap tidak lebih rahasia Di bawah sinar bulan, kau tampak harimau kumbang dari kejauhan
Diterjemahkan oleh Sofyan RH Zaid & Nila Hapsari
sebagaimana hukum ilahi yang tak dapat dijelaskan kami pun sia-sia mencarimu; kau bahkan lebih jauh dari Gangga atau matahari yang terbenam kau: kesendirian, juga rahasia. Pangkal pahamu pernah membiarkan belaiku berlama-lama kau telah diterima bahkan sejak di sama lalu yang terlupa cinta dari tangan yang curiga
Black Cat karya Helena Bergendahl 70
Edisi 1 / April 2017
Puisi Rida K. Liamsi
Kucing Musim Sakal (Satu) 4/ isyarat kematian tapi kau tak bisa meraung kau kucing gemetarmu hanya sentuhan ingin kau mengeong berahi tak bisa melawan mati
1/ bulan terapung kucing hitam di atap dahan bergoyang tak ada keangkuhan yang runtuh dalam suara srigala 2/ seperti srigala yang rindu gerimis jatuh menyentuh daun panjangnya penantian raung yang melintasi tahun berahi 3/ di langit awan bergaris musim pertanda ada jejak badai dimana sampan terakhir menuju pulang? tak ada yang tahu takdir kecuali sungut meong yang penuh sihir
5/ kucing hitam di atap memandang bulan merasa srigala gerimis jatuh meratap kematian menunggu di bawah atap 2017
Edisi 1 / April 2017
71
Puisi Rida K. Liamsi
Kucing Musim Sakal (Dua) inilah kanvas terakhirku dan sisa cat musim sakal. sebelum aku mati dikepung rindu, aku ingin melukis kucing, karena hanya dia yang berani memekik rindunya, meski sekotah alam mengangkat lembing dan mengacamnya. hanya kucing yang berani mati dalam berahi.
2017 Rida K. Liamsi
Mengenang Catline anggoraku telah ngembara sekotah kolong tetangga mencari betina kampung berbagi benih andalusia kepingin lahir jejak barbar padang saujana sampai persia tapi seekor cobra india menegakkan kepala jangan lahir lagi jejak jenghis khan savana himalaya masih trauma bisa injakan kaki barbar mongolia 2017
72
Edisi 1 / April 2017
Puisi Rida K. Liamsi
Sebuah Kisah inilah kisah kucing belang tiga jantan, bertuah kononnya Cik Mat ulat bulu, yang empunya Hulubalang raja, kacak, segak, dan raja bergendak ketika lahir, dikurung kelambu tiga lapis tak usahkan terkam, dengus nafas sang bapak pun tak lampis raja sihir pengasih di liurnya hanya setetes membangkit berahi se istana cik mat ulat bulu memendam rindu berahikan permaisuri kekasih hati tak kuasa melawan daulat hanya tersadai memendam kesumat kehendak raja tak memilih tempat wahai, liur maha liur liur berbisa membangun tidur jadilah lembingku, lembing kuat melawan daulat
caping permaisuri terkunci mantra mantra berperam darah sang sapurba tak ada lembing sempat diangkat kecuali berani jadi penghianat tak ada dalam sejarah melayu kelambu raja diselak hamba tidak tertagak liur si belang tiga kecuali kisah jebat dan megat yang membuat sejarahpun mencatat
2017
Edisi 1 / April 2017
73
Puisi Ezra Pound
Kucing yang Jinak Memang, aku senang berkisar di antara wanita molek, tapi Mengapa selalu berdusta tentang hal-hal yang itu-itu juga? Baik, aku katakan lagi: Aku senang berbincang dengan wanita molek, memang, Meskipun kami tak bicara apa-apa kecuali omong kosong, Tapi suara nafas dari sinyal yang tak tampak mata itu Terlalu menggoda dan aku senang mendengarkannya.
Diterjemahkan oleh Astrajingga Asmasubrata
74
Edisi 1 / April 2017
Puisi Ramon Damora
Seekor Puisi Kampung : wiji thukul hari ini di kota-kota puisimu adalah seekor kucing kampung seketika nyenyak tidur tergeletak bawah rak yassin sipon yang uzur lalu lari dan berlari lagi sekonyong-konyong sepanjang lorong nadi bila pun kau berhenti hanya demi mengencingi jantung tak berpenghuni hari ini di kota-kota puisimu paling ngiau tetapi bukankah kau dan kucing kampung tak terjangkau langsung berapa buku genap
mimbar layar bioskop gelap kita cuma bersitatap pelawa mahasiswa halus haul kesekian ratus kau tak terelus tak terpermanai seperti aroma bangkai tak sampai-sampai ke tengah balai doa-doa pecah setelah bunyi sunyi kepala rengkah dilindas tank sirah padahal suara itu adalah kata-kata dan kau : sepasang tulang-belulang saling mengunyah bayang
negara malu-malu menyediakan dua peti mati untukmu: yang hitam dan yang diam-diam‌
Edisi 1 / April 2017
sesungguhnya memang tak pernah ada in memoriam hari ini di kota-kota puisimu meninggalkan ajal kucing kampung yang masih menumpuk di antara senarai kesedihan yang terkutuk kadang kami tertawa bedengkang-dengkang mengejek semua orang yang tak percaya kau punya banyak nyawa “hanya satu nyawa? : sawan!� 2017
75
Puisi Rainer Maria Rilke
Kucing Hitam Hantu, yang tak tampak itu, masih punya pintu bagi pandanganmu, mengetukkan gema; tapi di sini dalam dera hitam dan tebal ini, tatap tajammu terserap, hilang, dan benar-benar hilang:
seperti orang gila mengoceh, ketika tak ada yang bisa tenangkan dia, menanggung beban kelam ia melolong, menumbuk dinding remuk, lalu lepaslah marah itu, menjinaklah dia. Dia sembunyikan semua yang pernah menimpa ke dalam dirinya, sehingga, seperti seorang saksi, dia bisa lihat mereka, mengancam, merengut, dan mencibir, dan tidur dengan mereka. Tapi juga seperti terjaga, dia palingkan wajahnya ke arahmu; kau terkejut juga, melihat wajahmu sendiri, yang mungil, dalam kilau jingga warna bola matanya tertahan-tertunda, seperti lalat yang purba.
Diterjemahkan oleh Kavi Matasukma 76
Edisi 1 / April 2017
Puisi Dody Kristianto
Ferdi Menimang Kucing aku ingin menepikan pandang ini dari kau yang menimang di depan. tapi tatapanku tentulah anak yang durhaka, atau umpama akar tercerabut dari tanahnya, atau lebih-lebih bebintang yang bosan di langit dan ingin rebah di atas kepala. tak baik bila kau mengira yang ditimang tak lebih dari tubuh mungil yang dibekap dalam malam hikayat. bisa jadi kau lebih serupa yang tertaklukkan, tertundukkan. dan yang kau rengkuh kini tengah menyiapkan geliat kidalnya (ah, mungkin itu sekadar gerak kanan yang tak sempurna). lalu, bagaimana bila cakar itu tuntas diasah dan tak ada lagi yang harus disembunyikan? rupa-rupa ketajaman ternyata harus disimpan di sanubari. harus mahir kau selaku penggendong. tabahlah membaca muslihat di balik ketenangan laku timang-timang. bukankah, lonceng itu telah kau kalungkan dan ia yang berdiam terlihat tak lebih hanya pesakitan yang kau simpan di pangkuan. sungguh aku ingin alihkan pandang bila yang kau timang itu lagi menyiapkan kesamaran terkam. (2013)
Edisi 1 / April 2017
77
Puisi Dody Kristianto
Mencintai Gerak Kucing Saat mati macan itu abadi dan menjelma gerak tak terkira. Tapi ia bukanlah yang tua dan kau benar tak hendak berkata tentang pelbagai ikhtiar gerak, baik mengepal atau mengarahkan yang memuncak. Bukankah jihad baru adalah itikad menundukkan itikad lagak lunjak dalam badan serta menyaksikan kelenturan tingkahmu menipu tatapan basi para tualang. Tak salah, lihai pula ia menuntun keliaran jelujuran ular dalam keselarasan tarung tiba-tiba. Lantas, benar jinak dan melunak yang melayang di atas. Tingkah sungguhnya serupa penjala bintang yang lihai meramut sebarisan majas dan rima. Harusnya, kau berguru pada gerak mengeruk tanah yang ia ajarkan sebelum tersesat dalam kekakuan inti silat. Ancang, permulaan, dan kuda-kuda sesungguhnya tak lebih dari kebangkitan dari tubuh yang melemah. Seberapa banyak penggambar mampu mengabadikan laku lentur lagi kuat lagi tak gentar pada yang tinggi di hadapan. Bukankah, keselarasan gampar, sapu, dan sikat memang didapat kala cakar itu menggambar di atas lemahnya bantal.
Jangan percaya pada tendangan para jagoan sebelum tuntas kau mengaji pada kekukuhan kaki kala merentang. Atau loncat selanggam saat yang menghadang serupa tembok yang harus dilunaskan. 78
Edisi 1 / April 2017
Puisi Bila tampang nan fiksi dan semenjana belaka itu benar lihai merangkum kegalakan, mubazirlah kau menyeru angin dan memohon kesempurnaan silat pada jawara yang tak jelas arah tuju itu. (2013) Dody Kristianto
Mencintai Gerak Kucing (1) naga lepas ke langit tanah pelan bergerak tubuh di atas beku sepanjang perjalanan daun jatuh tenang kutunggu keliatanmu (2) Kuterima ketenangan atas kamu Tapi kuyakini gerak perlahan Udara norak bukan sekutu bijak Aku diam atasmu
Edisi 1 / April 2017
79
Puisi (3) Bila ingin segera, haruskah tubuh ini memerikan Gerak hewan? Tapi bukankah yang segala kelembutan Belaka? Dan laku menyalip pasti berangasan tak lebih Dari jurus yang mubazir. (4) Lekuk langkahmu berkah nan sarat keindahan Larimu juga bukan sekadar tingkah sabar Mengimbangi laku kuda yang lupa jalan belakang (2013) Dody Kristianto
Babon Kucing Kembalilah ke dalam kandang. Balikkan badan. Pindah arah ke belakang. Sarungkan. Sembunyikan seringai. Akan abadi engkau Ke dalam gerak.
Tidak. Gerak sekadar Taklah sanggup mengindahkanmu.
80
Edisi 1 / April 2017
Puisi Sebab peringaimu telah terangkum dalam pandang semesta. Pulang saja dan sempurnalah. Di dalam halaman. Pembatas. Pojokan. Atau pada baris-baris tipis yang memapar keliatan lekukmu. Keindahan bentukmu. Kembali saja sekarang ke dalam tubuh pustaka itu. Agar dapat kau simpan kelak segala tenaga. Untuk mengancam yang berada di sana. Di kejauhan. Dan tersimpan dalam dongengan api. Yang abadi dalam sajak. (2013) Dody Kristianto
Lenong Kucing akulah yang kau seru jika kemerincing itu dapat kudengar jauh di bulan. lantas, inikah cara terbaik memulakan perjumpaan? cakar-cakarmu telah sarat garam dan tuntas sudah kau menenggak yang merambat di hadapan. menyeru dan berbunyilah bila kemerincing ini sebenarbenar pesan tantangan. tapi, aku tak hendak meringkusmu. aku hanya ingin mendiamkanmu. dalam sajak. dalam bahasa. haruskah tetap kunamakan ini tarung tak bernama bila hakikat pertemuan hanya sekadar memelukmu yang tak terangkum sempurna dalam kitab. (2013) Edisi 1 / April 2017
81
Puisi Dody Kristianto
Menyajakkan Kucing Pulang untuk pulang, bisikkan ketabahan. berucaplah. jangan alpa akan pandang yang wajib ke depan. depan belaka. tepikan yang menguntit di belakang atau yang berusaha menyasar dan bersengkurat di kiri kanan. sabar saja. dan berserah pada gerak lamat perlahan. atau sesekali memeri langgam lentur lepas yang mahacepat. pasrahkan hidup mati pada empat pengiring sejalan. mereka yang mengerti mana jalur yang tak disarati penunggu nan usil. atau makadam seseram tengkorak yang menyimpan rawan dan sawan sepanjang perjalanan. percayakan saja pada mata penembus samar yang mengerti benar kaki mana yang harus dahulu memijak halaman. bila aku sekadar penyair mabuk yang menangkap gerakmu, mungkin kau tak lebih dari sajak luput yang lepas di depan tatapan. sebab kau yang diagungkan segala pustaka lagi mengerti laku lunjak dan lunjak. bila telah sempuna benar keseimbangan, kau yang memejamkan mata pasti tak lagi mengenal perihal jatuh. dan aku yang tergesa mencatat takkan dapat menangkap kesabaran lagi menyimpanmu pada sajak yang terus menampikku. (2013) Dody Kristianto
Sego Kucing di tepi sana kamu memang menunggu aku. lalu datang jam-jam malam yang gasal. benarkah, telah diam-diam kamu lupakan aku? kamu sepikan aku dari dongengan hingga kamu tak mengenang lagi segenap perjalanan. 82
Edisi 1 / April 2017
Puisi dan inilah ritus sempurna segala penghindaran. sebagai yang berserah, aku berusaha benar menempuh jalan kegaiban menemukanmu kembali. kutawar reruncing ayam yang menunggu. kusediakan segenap yang tak lagi sempurna dipandang. kutabahkan diri bersama yang terbakar untuk pulang pada mimpi. benarlah sudah, kamu tak akan lagi mengenang wajah ini. aku hanya karang gelap kini atau layar hitam yang tak lagi berupa yang akan menemanimu dalam tualang haram jadah. (2013) Dody Kristianto
Perihal Kloneng Kucing kamu yang yakin aku tertempa dari baja, tidak dari besi yang telah beralih paku tumbuh di perutmu. mungkin benar bila yang kamu yakini pandangan dunia. tapi, aku yang telah meringkas semua tangan dan kaki menjadi sebuah keutuhan bagi langkah dan gelagat. benarlah, sudah ditiup ruh pada pemanggil yang benar kaku ini hingga aku menyimpan kesemestaan ngiang yang menyerangmu kala kerinduan tiba.
Edisi 1 / April 2017
83
Puisi sebenarnya, mata ini masih ingin lebur dalam kitab dan bersembunyi pada hikayat yang terucap pada malam-malam. aku mau dengan segala kehormatan menunggumu di tengah gelanggang. begitulah, bila tak ada lagi tarung yang harus dituntaskan di antara kita. (2013)
Dody Kristianto
Mendarasi Musim Kawin dengan semenjananya gerak, mungkin mampu kukidungkan sebuah sajak. tapi dengan tikam macam mana dapat kulantunkan satu sunting untukmu. memang khatam sudah kumemangku segenap gerak. tak kuragu lagi badan ini telah menubuh bersama lesat. denganmu, dan denganmu, kegaharan silat berubah jadi yang tak tuntas. semua inti pencak yang kuserap benarlah tak menemu tepuknya. bahkan tetap tak sudi engkau meski telah berulang kumenyimpang dari yang satu. duhai, yang kupijak lantas menyembul dari dalam. yang kuseru dengan langgam nyalang. yang kusembur dan kusebar bersama yang diam datang. segala ternyata tak berarti dan tak jua menuntaskan rayu yang bakal menambatkanmu pada penyair tanggung yang menunggu namamu abadi di dalam kitab. (2013) 84
Edisi 1 / April 2017
Puisi Pablo Neruda
Ode bagi Kucing Hewan yang tidak sempurna, panjang ekornya, duka lara di kepala. Seekor demi seekor mereka datang mengatur diri, membuat bentang lanskap, mendapatkan tempat, rasa sayang, lalu terbang. dialah kucing, hanya kucing Seutuhnya ia muncul dengan langkah penuh rasa bangga: Ketika lahir dia telah benar-benar sempurna, Dia berjalan sendiri, tahu benar apa yang dia inginkan. Manusia ingin menjadi ikan atau burung, ular ingin memiliki sayap, anjing adalah singa yang bingung, insinyur ingin menjadi seorang penyair, Lalat belajar menjadi seriti penyair mencoba meniru lalat, tapi kucing dia hanya ingin menjadi kucing setiap kucing adalah kucing dari sungutnya hingga ekornya, Edisi 1 / April 2017
85
Puisi dari tikus terpantau mata perburuannya hingga apa yang benar-benar tampak, dari malam hingga ke dalam mata emasnya. Tidak ada keutuhan seperti dia, tidak juga bulan dan bunga yang padanya tak bisa kau bayangkan: Dia adalah sebuah ihwal seperti matahari atau permata topazia itu, dan garis lentur dari kontur tubuhnya tegas dan halus seperti gigir haluan kapal. mata kuningnya hanya menuju ke satu tuju menjatuhkan koin malam nanti. Oh kaisar kecil tanpa lingkar wibawa, sang penakluk tanpa negara, harimau mungil di ruang tamu, Sang sultan dari surga ubin-ubin birahi, angin cinta yang berhembus 86
Edisi 1 / April 2017
Puisi pada udara terbuka kau menggerutu Ketika kau lewat dan jejakkan empat kaki halus di tanah, berbau, ketidakpercayaan pada apa semua yang membumi karena semuanya terlalu kotor untuk kaki suci seekor kucing. O kau binatang buas dalam rumah yang tak berkumpulan yang arogan pada sisa-sisa malam, yang malas, yang meregang badan kau makhluk asing, kucing yang sangat kucing, seperti polisi rahasia di kamar tidur, dengan lencana sebuah beludru yang menghilang, pasti tak ada
Cat on the Roof karya @blablablablubb
Edisi 1 / April 2017
87
Puisi teka-teki dengan caramu, mungkin kau bukan lagi misteri, semua orang tahu siapa kamu dan kamu adalah penghuni bumi paling penuh misteri, mungkin semua orang percaya itu, semua orang mengira mereka memiliki, menguasaimu, menjadi pamanmu, seterumu, kerabatmu, atau teman dari kamu. Tapi, tidak untuk aku. Saya tidak termasuk pada mereka itu. Aku tidak tahu kucing itu apa. Yang aku tahu kesegalaanmu, hidup dan kepulauanmu, laut dan kota yang tak terhitung, tumbuh-tumbuhanmu, rumah dan pengembaraanmu, tambah dan kurang dalam matematika, tipua vulkanik dunia, cangkang gadungan buaya, kebaikan tersembunyi sang juru padam, 88
Edisi 1 / April 2017
Puisi atavisme biru sang imam, tapi aku tidak bisa menguraikan kucing. Hujah-dalihku tergelincir karena ketakpeduliannya, dan di matanya ada angka-angka keemasan.
Diterjemahkan oleh Hasan Aspahani
karya Jenny Park
Edisi 1 / April 2017
89
Puisi Fina Lanahdiana
Ode Seekor Kucing Hilang Kelak jika aku pergi, jangan sisakan apa pun tentangku, tentang kita. Kenangan kau tahu, adalah kesedihan yang menjelma bukit panjang di helai-helai rambutmu. Ia terus menerus tumbuh dan menua, mencairkan warna hitam menjadi kelabu, lalu lebih muda menjadi putih pudar dan tampak rapuh. Aku hanya ingin melangkah, menikmati jalan-jalan asing yang kelak usang oleh yang disebut waktu, ditimbun debu-debu yang tergesa sebab tidak tahu untuk apa dirinya diciptakan: udara. Bulan berwarna tembaga, kadang-kadang biru, dan lebih sering putih susu, memancarkan terang keperakan menabrak warna hitam yang dominan. Lampulampu seolah ribuan kunang-kunang yang tersesat tidak tahu caranya terbang. Tiangtiang di pinggir jalan menjelma pohon, hidup dan kelak melahirkan biji-biji matahari menjadi pecahan-pecahan yang menerobos kisi jendela: sayap-sayap burung.
Bayangan tetap saja gelap dan panjang bagai kuku-kuku yang dipangkas setiap hari Jumat—agar tidak menjelma hantu-hantu—sebelum senja berubah Sabtu. Seperti nasihat ibumu: Jangan memotong kuku setiap malam Sabtu! Seorang bayi menangis—adalah keponakanmu—dan ibumu melarangku mendekatinya. Aku hanya ingin tidur dan kau mengunci pintu kamarmu. Kelak jika aku pergi, jangan sisakan apa pun tentangku, tentang kita. Kenangan kau tahu, adalah kesedihan yang menjelma bukit panjang di helai-helai rambutmu. 04.03.2016
90
Edisi 1 / April 2017
Puisi Elizabeth Bishop
Lelo Ledung bagi Seekor Kucing Minnow, tidur dan bermimpilah, Pejamkan bundar besar matamu; Di lingkar katilmu telah dipersiapkan kejutan yang menenteramkan
Enyahkan cemberutmu itu, Patuhlah, Minnow sayang, Tak akan ada seekor pun kucing yang mati ditenggelamkan di Negara Marxis. Kegembiraan dan Cinta keduanya milikmu, Minnow, jadi jangan kau murung. Hari bahagia akan segera datang – Tidur, dan hari itu datang sendiri‌
Diterjemahkan oleh Arco Transept
Edisi 1 / April 2017
91
Puisi Muhammad Daffa
Setelah Malam Pulang
Racun nostalgia menodainya di pinggir telaga yang dingin Lagi memucat kulit-kulitnya. Lelaki tua pengembara menciduk air di sana, Berharap nostalgia bukanlah sesuatu yang percuma. Mujair berenang mencapai marjin telaga, berharap agar seekor kucing hutan Memberinya dingin paling ajaib yang konon menyembuhkan semua luka. “Melankolia dunia,” kata kucing hutan itu, bagai seorang nabi yang agung, berkata Pada lelaki pengembara yang mereguk air telaga dengan khidmatnya. “Adalah apa-apa yang menipu, sementara nostalgia Hanya racun yang kerap membuatmu gila dengan sempurna” 2017 92
Edisi 1 / April 2017
Puisi Mezra E. Pelondou
Birahi Kucing itu Maut, Kekasih! Kerumunan kucing mengeong tengah malam Hampiri pintu rumah kekasih Mereka ingin bercinta sampai subuh Mengeong lagi Mengeong lagi Terus mengeong Hingga puncak birahi Kucing jantan dan betina berkasih-kasihan Mereka diusir dan disirami air Maut ada di teras rumah, kekasih! Suara kucing suara kematian
Kucing jantan dan betina tak jadi kawin Suara mereka lepas dan tertahan Lepas dan tertahan di udara Maut sudah pergi, kekasih! Suara kucing tak terdengar lagi
Mereka tak jadi kawin untuk menolak maut Walau begitu mereka tetap kucing Kupang, Maret 2013
Sepaasang kucing kuyup mengukur jalan Malam itu kebelet kawin Suara mereka tegakkan bulu tengkuk Maut ada di tengah malam, kekasih! Pada suara-suara kucing yang mengeong
Edisi 1 / April 2017
93
PARA PENULIS
Edisi 1 / April 2017
Para Penulis Triyanto Triwikromo Jurnalis dan Sastrawan Indonesia. Lahir di Salatiga, 15 September 1964. Merupakan salah satu tokoh yang memelopori gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman pada dasawarsa 1990-an. Karyanya baik cerpen dan puisi banyak mendapatkan penghargaan.
Haruki Murakami Lahir di Kyoto, Jepang, 12 Januari 1949. Karyanya dalam tulisan fiksi dan non-fiksi telah menerima banyak klaim kritikus serta sejumlah penghargaan, seperti World Fantasy Award (2006), Frank O'Connor International Short Story Award (2006), Franz Kafka Prize (2006) dan Jerusalem Prize (2009). Beberapa karya pentingnya adalah A Wild Sheep Chase (1982), Norwegian Wood (1987), The Wind-Up Bird Chronicle (1994-1995), Kafka on the Shore (2002), dan 1Q84 (2009–2010).
Yudhi Herwibowo. Menulis beberapa novel dan aktif menulis di blognya: yudhiherwibowo.wordpress.com
Edisi 1 / April 2017
95
Para Penulis
D. Zawawi Imron Sastrawan Indonesia dan Budayawan Madura. Lahir di Batang-batang, Sumenep, 1 Januari 1945. Penerima SEA Write Award tahun 2012.
Afrizal Malna. Lahir di Jakarta, 7 Juni 1957. Dikenal sebagai sastrawan, penyair, aktor, dan eseis. Penerima SEA Write Award tahun 2010, dan Kusala Sastra Katulistiwa tahun 2013 untuk buku puisinya Museum Penghancur Dokumen.
Leon Agusta Lahir 5 Agustus 1938 di dusun Sigiran, pinggir danau Maninjau. Berhenti menjadi pegawai pemerintah selepas menandatangani Manifesto Kebudayaan (1964). Atas dakwaan pasal 107 KUHP, dari Januari hingga Juli 1970 ia menjalani hukuman di penjara Tanah Merah, Pekanbaru. Sejumlah sajak yang ia tulis selama di penjara dimuat di majalah sastra Horison edisi Desember 1970. Peritiwa Malari (1974) membuat ia sempat pula ditahan di Padang. Setelah mengikuti International Writing Program, di Iowa City, Amerika Serikat (1976), Leon mengembara di sejumlah negara di Asia, Amerika, dan Eropa. Gendang Pengembara adalah buah dari pengembaraan kepenyairan Leon yang tiada bakal berujung. 96
Edisi 1 / April 2017
Para Penulis H. Rida K. Liamsi Lahir di Dabo Singkep, Kepulauan Riau tanggal 17 Juli 1943. Dikenal sebagai guru, penyair, jurnalis dan sekarang mempunyai group media / surat kabar Riau Pos. Aktif mengampu Yayasan Sagang yang setiap tahun memberi penghargaan kepada sastrawan-sastrawan di Indonesia. Aktif pula pada Yayasan Hari Puisi Indonesia.
Dody Kristianto Lahir di Surabaya, 3 Apri 1986. Kini tinggal di Serang, Banten dan memelihara kucing kampung.
Ramon Damora Dikenal sebagai Ketua PWI Kepulauan Riau, dan juga sastrawan. Sekarang dipercaya mengampu Yayasan Jembia Emas.
Muhammad Daffa Lahir di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 25 Februari 1999. Menulis puisi dan cerpen. Sejumlah karyanya pernah termuat di sebagian media massa dan antologi bersama. Kini tinggal di Banjarbaru. Kumpulan puisi tunggalnya berjudul Talkin (2017). Edisi 1 / April 2017
97
Para Penulis Mezra E. Pellondou Lahir di Kupang NTT 21 Oktober 1969. Menggeluti penulisan puisi, cerpen, novel dan ulasan sastra. Memperoleh sejumlah penghargaan karya sastra, Pemenang Pertama Nasional Penghargaan Sastra untuk Pendidik (2012) dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayan Nasional RI atas konsistensi berkarya pada bidang sastra. Penerima Penghargaan NTT Academia Award 2013 kategori Sastra dan Humaniora. Menerbitkan Kumpulan Puisi, Kekasih Sunyiku (2013) dan Tujuhpuluhkalitujuhkali (2016).
98
Edisi 1 / April 2017
Penulis CHARLES Baudelaire, penyair Perancis, pengkritik dan penerjemah berpengaruh pada abad kesembilan belas. Baudelaire lahir di Paris, 19 April 1821 – meninggal di Paris, 31 Agustus 1867 pada umur 46 tahun. Di zamannya Baudelaire lebih dikenal sebagai penyair mabuk, dekaden, amoral. Ia sempat disidang lantaran menerbitkan Le Fleurs du Mal, sekumpulan puisi yang dituduh otoritas telah mempromosikan perilaku bejat dan memancing percabulan. Kesenian adalah bentuk pengabdian diri terhadap kesenangan pribadi—suatu kredo yang acapkali hadir, bahkan menjadi salah satu mitos dalam kesenian modern, baik dalam karya maupun narasi biografi sang seniman. Corak puisi Baudelaire sering dirujuk sebagai romantisisme-akhir, yang masih bertutur lewat mitologi dan metafor klasik, namun tak berbicara lagi tentang surga yang hilang, tanah air purba, nilai-nilai ksatria, masyarakat organik, dan sejenisnya, ketimbang yang telah disebutkan di atas: pengalaman tertular sifilis di rumah bordil, kematian, dan yang paling utama, kejenuhan. Inilah yang diantaranya dituturkan dalam ‘Anywhere Out of The World’. ‘Mengawini massa’—karya-karya Baudelaire lahir di tengah kancah revolusi sosial dan politik di Prancis, khususnya sepanjang paruh pertama abad 19. Serangkaian pergolakan politik, dari restorasi monarki, pemberontakan pekerja tahun 1848 (tahun dimana Manifesto Komunis terbit), hingga naiknya Napoleon III. – Arco Transept Edisi 1 / April 2017
99
Penulis WILLIAM Butler Yeats (13 Juni 1865 – 28 Januari 1939) adalah salah satu penyair berbahasa Inggris terbesar pada abad ke-20 dan penerima Hadiah Nobel untuk Sastra tahun 1923. Lahir di Irlandia pada tahun 1865, Yeats menerbitkan karya pertamanya di pertengahan 1880-an saat menjadi mahasiswa di Dublin Metropolitan School of Art. Setelah kembali ke London pada akhir 1880-an, Yeats bertemu penulis Oscar Wilde, Lionel Johnson dan George Bernard Shaw. Dia juga berkenalan dengan Maud Gonne, seorang pendukung kemerdekaan Irlandia. Wanita yang revolusioner ini menjadi inspirasi bagi Yeats selama bertahun-tahun. Yeats bahkan mencoba melamarnya beberapa kali, tetapi selalu ditolak. Selain puisi, Yeats mencurahkan energi yang signifikan untuk menulis drama. Yeats mendedikasikan drama The Countess Kathleen tahun 1892 untuknya. Setelah menikah dengan Georgie Hyde-Lees pada tahun 1917, Yeats memulai periode kreatif baru melalui eksperimen dengan gaya penulisan otomatis. Mereka duduk bersama-sama untuk sesi menulis yang mereka percaya dibimbing oleh pasukan dari dunia roh, di mana Yeats merumuskan teori-teori yang rumit dari sifat manusia dan sejarah. Yeats terus menulis sampai kematiannya. Beberapa karya pentingnya antara lain The Wild Swans di Coole (1917), A Vision (1925), The Tower (1928) dan Words for Music Perhaps and Other Poems (1932). Yeats meninggal pada 28 Januari 1939, di Roquebrune-Cap-Martin, Prancis. – Sam Haidy 100
Edisi 1 / April 2017
Penulis KOBAYASHI Issa (Kashiwabara, Shinano, 15 Juni 1763 – 5 Januari 1828), adalah seorang penyair dan pendeta Buddha JĹ?do ShinshĹŤ asal Jepang yang dikenal karena jurnal dan puisi haiku-nya. Dia adalah penyair Jepang abad ke delapan belas, dan salah satu penyair haiku yang paling digemari. Kehidupan Issa penuh dengan kesengsaraan. Kehilangan ibunya saat masih kecil, ibu tirinya memperlakukannya dengan kejam, dia hidup miskin, anak-anaknya meninggal dan perkawinannya dengan istri keduanya tak bahagia. Salah satu koleksi haiku yang terkenal adalah Oragaharu, konon ditulis sejak dia masih anak-anak. Pada 1777, dalam usianya yang ke-14, dia dikirim ke Edo (sekarang Tokyo) untuk mempelajari haiku di bawah bimbingan penyair Mizoguchio Sogan dan Norokuan Chikua. Karya-karya Issa mendapat perhatian dari Seibi Natsume, yang kemudian menjadi patronnya. Nama aslinya Issa adalah Kobayashi Nobyuki atau kadang disebut juga Kobayashi Yataro. Pada 1793 dia mengambil nama pena Issa yang artinya Cangkir Teh, dan mulai berkeliling Jepang bagian barat-daya. Setelah itu dia mempublikasikan koleksi sajak Tabishui (1795). Issa tinggal di beberapa tempat, antara lain di Kyoto, Osaka, Nagasaki, Matsuyama dan kota-kota lainnya. Pada 1810-an dia pulang ke Kashiwabara dan di sana dia terkenal sebagai pujangga haiku besar di Shinano. Dalam puisi-puisinya, Issa menggunakan dialek dan bahasa sehari-hari saat menggambarkan kehidupan petani Shinshu dan peristiwa sehari-hari. Issa adalah penulis yang prolifik di bidang puisi dan prosa. Sepanjang hidupnya Issa menulis lebih dari 20.000 haiku. (Arco Transept) Edisi 1 / April 2017
101
Penulis JORGE Luis Borges (24 Agustus1899 – 14 Juni 1986) adalah seorang penulis Argentina yang dianggap salah satu tokoh sastra terbesar dari abad 20. Lebih dikenal sebagai penulis cerita pendek dan esai fiktif. Borges juga seorang penyair, kritikus, dan penerjemah. Borges dibesarkan di distrik Palermo, Buenos Aires. Keluarganya, yang telah terkenal dalam sejarah Argentina, termasuk keturunan Inggris, dia belajar bahasa Inggris sebelum Spanyol. Di bawah stimulus konstan dan contoh ayahnya. Borges muda dari tahun-tahun awal diakui bahwa ia ditakdirkan untuk berkarir sastra. Pada tahun 1914, menjelang Perang Dunia I, Borges dibawa oleh keluarganya ke Jenewa dan menerima gelar B.A. dari College de Genève. Pada tahun 1919, keluarganya menghabiskan satu tahun di Majorca dan satu tahun di daratan Spanyol, di mana Borges bergabung dengan penulis muda dari gerakan Ultraist, kelompok yang memberontak terhadap apa yang dianggap sebagai dekadensi penulis mapan dari Generasi 1898. (Arco Transept)
102
Edisi 1 / April 2017
Penulis EZRA Weston Loomis Pound (30 Oktober 1885 – 1 November 1972) adalah seorang penyair dan kritikus berkebangsaan Amerika Serikat. Pound lahir di Hailey, Idaho, 30 Oktober 1885. Ia menyelesaikan dua tahun kuliah di University of Pennsylvania dan memperoleh gelar sarjana sastra dari Hamilton College pada tahun 1905. Setelah mengajar di Wabash College selama dua tahun, Pound melakukan perjalanan ke luar negeri antara lain ke Spanyol, Italia, dan London. Ia kemudian menjadi tertarik pada puisi Jepang dan Cina. Pound umumnya dianggap sebagai penyair yang paling bertanggung jawab dalam mendefinisikan dan mempromosikan estetika modern dalam puisi. Kontribusinya yang signifikan untuk puisi dimulai dengan diproklamirkannya imajisme, sebuah gerakan dalam puisi yang tekniknya berasal dari puisi Cina dan Jepang klasik. Pada tahun 1924, Pound pindah ke Italia. Selama periode tersebut, Pound menjadi terlibat dalam politik Fasis dan tidak kembali ke Amerika Serikat sampai 1945, ketika ia ditangkap atas tuduhan pengkhianatan untuk penyiaran propaganda Fasisme melalui radio ke Amerika Serikat selama Perang Dunia II. Pada tahun 1946, Pound dibebaskan, tapi dinyatakan menderita sakit mental kemudian dirawat di Rumah Sakit St Elizabeth di Washington DC. Pada tahun 1958, Pound kembali ke Italia dan menetap di Venice, di mana ia meninggal dunia pada 1 November 1972. – Sam Haidy.
Edisi 1 / April 2017
103
Penulis bantuan sang paman, yang mengetahui bakat besarnya, Rilke meninggalkan akademi militer dan memasuki sebuah sekolah persiapan Jerman.
RAINER Maria Rilke lahir di Praha, Rainer Maria Rilke merupakan anak tunggal dari pasangan orang tua yang bisa dibilang kurang harmonis. Rilke menjalani masa kecil yang kurang menyenangkan. Orang tuanya memasukkannya ke sekolah militer dengan harapan ia kelak akan menjadi seorang perwira. Namun Rilke tak tahan dan tak menyelesaikan pendidikan militernya. Dengan 104
Pada tahun 1895, Rilke terdaftar di Charles University di Praha, Di sanalah ia membulatkan tekadnya untuk mengejar karir di bidang sastra. Setahun sebelumnya, Rilke telah menerbitkan jilid puisi pertamanya, Leben und Lieder. Rilke kemudian memutuskan untuk meninggalkan universitas dan pergi ke Munich, Jerman, dan kemudian melakukan perjalanan pertamanya ke Italia. Pada tahun 1897, Rilke pergi ke Rusia, perjalanan yang kemudian terbukti Edisi 1 / April 2017
menjadi tonggak dalam kehidupannya dan menandai awal dari karyakarya besarnya. Karya besar pertamanya, Das Stunden Buch (The Book of Hours), terbit pada tahun 1905, kemudian diikuti Neue Gedichte (Puisi Baru) dan Die Aufzeichnungen des Malte Laurids Brigge (The Notebook dari Malte Laurids Brigge) pada tahun 1907. Sepanjang hidupnya, Rilke terus melakukan perjalanan, antara lain ke Italia, Prancis, Spanyol, Mesir serta beberapa negara lainnya. Namun Paris menjadi pusat geografis hidupnya, di mana ia pertama kali mulai mengembangkan gaya baru puisi liris, dipengaruhi oleh seni visual. Saat Perang Dunia ke I
Penulis berkecamuk, Rilke Terpaksa meninggalkan Paris dan tinggal di Munich. Pada tahun 1919, ia pergi ke Swiss di mana ia menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya. Di sinilah ia menulis dua karya terakhirnya, The Duino Elegies dan The Sonnets to Orpheus (1923). Rilke meninggal karena penyakit Leukemia pada 29 Desember 1926. (Sam Haidy)
PABLO Neruda (12 Juli 1904 – 23 September 1973) adalah penyair berkebangsaan Chili pemenang Hadiah Nobel. Neruda banyak dianggap sebagai “penyair terbesar abad ke-20”. Neruda terlahir dengan nama Ricardo Eliécer Neftalí Reyes Basoalto. Ayahnya bekerja di perusahaan kereta api, dan ibunya adalah seorang guru yang meninggal tak lama setelah kelahirannya. Pada usia 13, ia memulai karir sastra sebagai kontributor harian La Mañana, di mana ia menerbitkan artikel pertamanya dan puisi. Pada tahun 1920, ia memberikan kontribusi un-tuk jurnal sastra Selva Austral dengan nama pena Pablo Neruda, yang terinEdisi 1 / April 2017
spirasi dari penyair Jan Neruda. Neruda memicu kontroversi dengan berafiliasi pada Partai Komunis dan menyatakan dukungan terang-terangan terhadap Joseph Stalin, Fulgencio Batista dan Fidel Castro. Namun demikian, penguasaan puitisnya tidak pernah diragukan, dan untuk itu ia dianugerahi Hadiah Nobel untuk Sastra pada tahun 1971. Pada tahun 1927, Neruda memulai karir diplomatik yang panjang dan ia sering berpindah-pindah ke berbagai belahan dunia. Neruda bergabung dengan Partai Komunis Chili pada tahun 1945, tetapi pada tahun 1948 Partai Komunis dikepung, dan Neruda melarikan diri dengan keluarganya. 105
Penulis Neruda meninggal hanya dua tahun setelah menerima Hadiah Nobel-nya pada tanggal 23 September 1973, di Santiago, Chili. Meskipun kematiannya secara resmi dikaitkan dengan kanker prostat, ada dugaan bahwa ia diracun, karena ia meninggal tepat setelah naiknya diktator Augosto Pinochet ke tampuk kekuasaan. Neruda ada-lah pendukung pendahulu Pinochet yang digulingkan, Salvador Allende. – Sam Haidy
106
ELIZABETH Bishop (8 Februari 1911 – 6 Oktober 1979) adalah seorang penyair dan penulis cerita pendek berkebangsaan Amerika Serikat. Bishop terlahir sebagai anak tunggal di Worcester, Massachusetts. Setelah ayahnya meninggal saat dia berusia delapan bulan, ibunya menderita sakit mental dan dirawat di rumah sakit jiwa pada tahun 1916. Bishop kemudian tinggal bersama kakek-neneknya. Ibu Bishop tetap di rumah sakit jiwa sampai kematiannya pada tahun 1934, dan keduanya tidak pernah Edisi 1 / April 2017
bertemu kembali. Gaya penulisan Bishop sangat dipengaruhi oleh penyair Marianne Moore. Selama karir kepenulisannya, Bishop pernah menjabat sebagai Konsultan Puisi untuk Perpustakaan Kongres (19491950). Beberapa penghargaan yang diterimanya antara lain menjadi pemenang Hadiah Pulitzer untuk Puisi pada tahun 1956, pemenang National Book Award pada tahun 1970, dan penerima Penghargaan Internasional Neustadt Kesusastraan pada tahun 1976. – Sam Haidy
Edisi 1 / April 2017
Edisi 1 / April 2017