INDEKS EKSPRESI
Majalah Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta
8
48
ANALISIS UTAMA
REFORMA AGRARIA GAGAL: BURUKNYA PENDAYAGUNAAN LAHAN
65
8
Tahun 1960 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPK) sebagai dasar reforma agraria. DI dalamnya terdapat atiran yang melindungi hakhak petani dan terjaganya lahan pertanian. Namun, reforma agraria makin tak dipatuhi. Akibatnya, lahan pertanian menjadi sasaran untuk pembangunan yang makin tak terkendali. LAPORAN KHUSUS
65
MENYIBAK CITRA KERUDUNG
TELUSUR
GEJOLAK WATUPUTIH
48
Kerudung dengan beragam sebutan lain, seperti hijab, jilbab, pardeh, milayat, bahkan ada yang terkesan melecehkan: jilboobs, memiliki kisah tersendiri. Penerimaan dan stereotipe masyarakat terhadap kerudung di Indonesia pun cenderung dinamis. Sempat dilarang oleh negara, kini pemakaian kerudung justru menjadi tren fesyen.
Penambangan di wilayah pegunungan Watuputih Kabupaten Rembang makin menjadi. Amdal dilakukan namun hanya sebagai formalitas. Alhasil, para perempuan yang mendominasi massa melakukan beragam cara untuk menolak segala aktivitas PT Semen Indonesia.
ALMAMATER
C’KLIK
Kontroversi Penerapan Pajak Kegiatan Mahasiswa 36 Ormawa Fakultas Tidak Kena Pajak
39
APRESIASI
Socrates 60
Rancang Sampul: Randy Arba Pahlevi
Tapak Terjal Ketoprak Tobong 43
DARI REDAKSI 4 EDITORIAL 5 HIKMAH 86 KOLOM
Menolak Nasionalisme Buta 40
PENDIDIKAN 84 PROFIL
Afif Ghurub Bestari 34 RESENSI 64 SURAT PEMBACA 6 WAWANCARA KHUSUS
Retno Listyarti 62
Redaksi menerima surat pembaca yang menanggapi hal-hal menyangkut dunia kemahasiswaan, pendidikan, sosial, ekonomi, politik, agama, sains, teknologi, olahraga, lingkungan, dan budaya. Surat pembaca bisa juga berupa tanggapan atas terbitan EKSPRESI sebelumnya. Tulisan maksimal 1000 kata, dikirimkan ke surel EKSPRESI. Redaksi berhak menyunting tulisan sepanjang tidak mengubah isi dan makna.
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 3
DARI REDAKS I
A
gaknya hal pertama yang akan ditanyakan pembaca ketika melihat pojok kanan atas pada kulit muka majalah ini adalah perihal edisi. Ya, ini majalah ke-27 namun terbit bukan di tahun 2014. Tiap kepengur usan, EKSPRESI selalu mengeluarkan dua produk, EKSPRESI Buku dan Majalah EKSPRESI. Di kepengurusan kali ini kami memilih mengerjakan buku terlebih dahulu dan mengerjakan majalah di belakang. Jadilah majalah ini keluar di tahun 2015. Waktu pengerjaan selama 7 bulan, dari September-Maret, saya kira tak akan bisa diterima pembaca. Pemba ca hanya tahu bahwa Majalah EKSPRESI tidak terbit selama setahun. Proses panjang yang dilalui dalam pembuatan majalah ini adalah penentuan tema, reportase, penulisan, dan penyela rasan berupa penyuntingan serta penataan letak. Pun kami tak lupa melakukan pen dalaman tema dan melakukan beberapa riset. Setelah melalui beberapa proses presentasi dan pemilihan tema selama lebih dari sebulan, akhirnya terpilih tiga tema untuk masing-masing rubrik besar: Analisis Utama, Telusur, dan Laporan Khusus. Di rubrik Analisis Utama Anda akan menemukan masalah yang menjadi pembahasan beberapa pers mahasiswa di Yogyakarta, yakni masalah agraria. Dalam majalah EKSPRESI Edisi XXVII/ XXII/ Maret 2015 kami lebih menyoroti alih fungsi lahan dari pertanian men jadi hunian. Bertambahnya jumlah penduduk Yogyakarta, yang dise babkan oleh banyak faktor, mengakibatkan kebutuhan akan papan meningkat. Pembangunan rumah indekos, apartemen, dan perumahan elite marak terjadi. Ditambah lagi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta ingin memaksimalkan potensi wisata sehingga pembangunan hotel-hotel pun turut marak. Pembangunan papan yang marak terjadi lantas menggusur lahan pertanian akan sangat mudah ditemui di daerah Sleman. Penolakan dari warga pun bermunculan, seperti penolak an pembangunan apartemen di Dusun Gadingan, Ngaglik, Sleman. Masalah yang begitu kompleks mulai dari peraturan perundangan yang tak dijalankan dengan semestinya, harga
t anah yang tiap tahun terus naik hingga membuat petani tergiur untuk menjual lahannya, sampai ancaman terhadap ketahanan pangan dan kondisi Yogyakarta yang tak tertata kami sajikan dalam rubrik Analisis Utama. Berlanjut ke rubrik Telusur, permasalahan yang diang kat tak jauh dari persoalan agraria, yakni mengenai konflik lahan di Rembang. Para petani Rembang menolak pabrik semen dibangun di kawasan Pegunungan Watuputih. Per juangan mempertahankan kesejahteraan dan lingkung an dilakukan oleh semua lapisan masyarakat, tua-muda, lelaki-perempuan, semua turun tangan menghadapi perusahaan besar yang didu kung oleh TNI dan polisi. Kekerasan pun seringkali tak dapat dihindarkan namun penolakan terus berlangsung. Mengharap dukungan dan keadilan dari pemerintah nampaknya hanya angan belaka. Warga terus berjuang dan hingga majalah ini terbit, masalah di Rembang belum juga usai. Pergerakan masih berlangsung, penolakan-penolakan terus disuarakan. Ketika Anda sudah cukup tegang membaca persoalan agraria, mari santai sejenak dengan membaca Laporan Khusus yang menyajikan berita unik dalam bentuk feature. Mengingat pernyataan Elizabeth Wilson, “Pakaian merupakan perpanjang an dari tubuh, namun bukan benar-benar bagian dari tubuh yang menghubungkan dengan dunia sosial sekaligus memisahkannya.” Inilah yang akan Anda temui ketika membaca rubrik Laporan Khusus. Selembar kain penutup kepala bisa menentukan citra diri seseorang. Identik dengan Islam misalnya, bila kita melihat konteks Indonesia. Dulu ketika zaman Orde Baru, pemakai kerudung masih jarang ditemui. Kini, pemakai kerudung malah semakin menjamur. Serba-serbi tentang kerudung ini akan Anda nikmati sepanjang 19 halaman. Hal-hal itulah yang bisa kami sajikan di Maj al ah EKSPRESI kali ini. Luput tak dapat dihindari meski kami telah berusaha seperti apapun. Sebab kadang tak semua usaha berbuah manis. Ketika majalah ini sudah di tangan Anda, yang bisa kami lakukan adalah menerima kritik untuk perbaikan majalah berikutnya. Selamat menikmati, selamat membaca.n
PENERBIT: Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) EKSPRESI Universitas Negeri Yogyakarta IZIN TERBIT: SK Rektor No. 069/1992 20 April 1992 PELINDUNG: Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd.,M.A. PENASEHAT: Prof. Dr. Sumaryanto, M.Kes PEMBINA: Sigit Nugroho, S.Or., M.Or. PEMIMPIN UMUM: Faqihuddien Abi Utomo SEKRETARIS: Neti Mufaiqoh BENDAHARA: Merynda Puspitaningrum PEMIMPIN REDAKSI: Nur Janti REDAKTUR PELAKSANA: Nia Aprilianingsih REDAKTUR UTAMA: Agil Widiatmoko, Joseph Sebastian N.S., Muhammad Nur Farid REDAKTUR DAN REPORTER: Abi, Agil, Awal, Candra, Farid, Hanif, Hesti, Irfah, Janti, Joseph, Nia, Pras, Randy, Rizpat, Sofwan, Taufik TIM ARTISTIK: Agil Widiatmoko, Hesti Pratiwi Ambarwati, Randy Arba Pahlevi, Sofwan Makruf (Redaktur) REDAKTUR FOTO: Muhammad Nur Farid REDAKTUR BAHASA: Muhammad Nur Farid REDAKTUR ONLINE: Randy Arba Pahlevi PEMIMPIN PSDM: Akhmad Muawal Hasan STAF PSDM: Ginanjar Rohmat, Joseph Sebastian N.S., Najih Shu'udi, Prasetyo Wibowo, Rizpat Anugrah PEMIMPIN PERUSAHAAN: Siti Khanifah STAF PERUSAHAAN: Arde Candra Pamungkas, Heri Yulianta, Irfah Lihifdzi Ayatillah, Octandi Bayu Pradana PEMIMPIN JARINGAN KERJA: Taufik Nurhidayat STAF JARINGAN KERJA: Agil Widiatmoko, Desinta Kusumaningrum, Hengki Afrinata ALAMAT REDAKSI: Gedung StudentCenter Lt. 2 Universitas Negeri Yogyakarta 55281 EMAIL: lpm_ekspresi@yahoo.comWEBSITE: ekspresionline.com
4 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
E D I TOR I AL
Siapkan SDM untuk Hadapi Pasar Bebas ASEAN
P
asar Bebas ASEAN segera dilaksanakan akhir tahun belum mencukupi standar layanan minimal pendidikan ini. Seolah takdir, masyarakat Indonesia tidak dengan pemetaan empat ribu sekolah pada 2012. Sumber bisa menolak kebijakan tersebut. Kesepakatan Daya Alam (SDA) yang melimpah juga harus dibarengi antarpemimpin negara kualitas SDM yang baik. Pemerintah ASEAN yang diketok palu pada satu harus menerapkan salah satu prinsip dekade lalu mempunyai tujuan untuk pendidikan Ki Hajar Dewantara, yakni menciptakan daya saing ekonomi. rakyat harus diberi kesempatan yang Hal yang disepakati dalam pasar sama untuk mendapatkan pendidikan bebas adalah: aliran bebas barang, yang berkualitas. arus bebas jasa, arus bebas investasi, Penguatan terhadap ekonomi arus tenaga kerja terampil, dan arus kreatif juga bisa menjadi pilihan. bebas modal. Selain mampu menyerap tenaga Sudah siapkah Sumber Daya kerja, ekonomi kreatif secara tidak Manusia (SDM) Indonesia menghadapi langsung dapat meningkatkan kualitas pasar bebas? Indonesia akan SDM. Menurut John Howkins, inti mengalami puncak bonus demografi dari ekonomi kreatif, input dan pada 2020, suatu kondisi ketika usia outputnya adalah gagasan. Hal ini produktif (18-60 tahun) melimpah. memaksa pelakunya untuk terus Menurut data International Labour memunculkan ide dan gagasan Organization (ILO) di tahun 2014, kreatif. Sejak tahun 2006 Indonesia Indonesia memiliki usia produktif mulai melirik ekonomi kreatif . REPRO SOFWAN | EKSPRESI sekitar 181,2 juta jiwa. Dimulai dari Menteri Perdagangan Ketika Indonesia memiliki usia produktif yang melimpah, saat itu, Mari Elka Pangestu, membuat Indonesian Design di lain sisi negara ini juga akan dibanjiri tenaga kerja asing. Power, yang membuka peluang bagi pelaku industri kreatif. Jangan sampai di tengah kebijakan pasar bebas tenaga kerja Hasilnya, di tahun 2013 bidang ini mampu berkontribusi Indonesia malah kalah saing. Alih-alih menjadi pemimpin di 10,72% dalam penyerapan tenaga kerja. Pemberian modal negara sendiri malah menjadi jalan bagi tenaga asing untuk oleh pemerintah atau pihak swasta dapat menjadi cara untuk menguasai lahan pekerjaan di Indonesia sehingga SDM terus mengembangkan ekonomi kreatif. Modal salah satunya Indonesia malah tersingkirkan. juga dapat diperoleh dari para investor asing. Pada 2012, Asian Productivity Organization (APO) Investasi asing yang dibuka selebar-lebarnya harus mengeluarkan Buku Data Produktivitas tenaga kerja di dipandang sebagai kesempatan untuk membuka lapangan Asia. Dari 1000 pekerja di Indonesia, hanya ada 4,3% tenaga pekerjaan. Jadikan pen an ama n mod al as ing unt uk terampil. Jauh di bawah Malaysia yang mencapai 32,6%. mengembangkan usaha sebuah perusahaan. Berkembangnya Pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia ialah segera perusahaan akan menyerap tenaga kerja yang banyak. Kiranya meningkatkan kualitas SDM dengan fokus ketenagakerjaan kita perlu mencontoh kawasan Asia Timur di medio 1965agar dapat bersaing dengan tenaga asing. 1995. Saat itu, Asia Timur juga sedang menikmati bonus Pendidikan dapat menjadi salah satu cara untuk demografi. Dibukanya investasi asing dengan skala besar di memperbaiki kualitas SDM. Perbaikan melalui pendidikan Asia Timur saat itu, menciptakan lapangan pekerjaan yang dalam menghadapi pasar bebas tidak harus menambah mampu memfasilitasi usia produktif untuk bekerja. porsi mata pelajaran bahasa asing. Mengutip pernyataan Investasi asing jangan hanya digunakan untuk Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru meningkatkan pembangunan negara. Memoles fisik tetapi Indonesia (FSGI), jika guru berkualitas siswa yang dihasilkan menyempitkan kesempatan kerja rakyat, sama saja bohong. pasti juga berkualitas. Data Kementerian Pendidikan dan Rakyat Indonesia sudah muak dengan keberadaan perusahaan Kebudayaan menunjukkan bahwa guru di Indonesia baru asing yang hanya meraup keuntungan SDA, tanpa bisa memiliki nilai rata-rata Uji Kompetensi Guru 44,5 dari target menyejahterakan rakyat. yang diharapkan 70. Ditambah dengan guru yang mengajar Pasar bebas ASEAN tidak akan menjadi mimpi buruk tidak linear dengan ilmu yang dikuasai sehingga transfer bagi Indonesia jika diikuti dengan kebijakan yang tepat. ilmu kepada siswa menjadi kurang maksimal. Utamanya dalam hal ketenagakerjaan Indonesia dan bonus Selain itu, pemerataan pendidikan pun harus dilakukan demografi. Negara yang baik adalah negara yang memerhatikan dengan konsisten. Tidak hanya masalah kuantitas pendidikan manusianya. Andai SDM tidak menjadi prioritas, maka tapi juga kualitas. Di Indonesia masih ada 75% sekolah yang anggapan budak di tanah sendiri akan terus terjadi.n Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 5
S URAT PEMBAC A
Melihat perkembangan komersial dan industri dan infrastruktur yang terjadi, drainase membuat pembangunan menjadi mungkin, termasuk pembangunan jalan bebas hambatan." David Schweikert
Kuliah 5 Tahun: Sebuah Penjara Akademik Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 49 Tahun 2014, memaksa mahasiswa untuk cepat-cepat menyelesaikan kuliahnya. Waktu kuliah S1 dibatasi hanya 5 tahun. Mahasiswa tentu akan terkena proses pendisiplinan yang ketat. Tak ada waktu tersisa untuk aktivitas selain kuliah. Permendikbud tersebut sangat prag matis. Semuanya dilakukan dengan tu juan tunggal, yaitu cepat lulus karena itu artinya efisien. Jadi, efisiensi merupakan sebuah tujuan utama yang nyaris dide wakan oleh Kemendibud yang gandrung dengan cara berpikir praktis tanpa me mikirkan dampaknya. Karena jika tidak, akan ada pemborosan dana pemerintah. Caranya gampang, batasi saja masa studi selama 5 tahun dan mahasiswa dikurung di kampus agar belajar melulu sehingga cepat lulus. Soal akibat seperti mahasiswa tumpul hati nuraninya, tidak sensitif terhadap isu populis, dan terasing dengan lingkungan sosialnya, tak menjadi pertimbangan. Pokoknya mahasiswa cepat lulus. Ka rena kalau tidak, itu artinya boros dan menguras anggaran negara. Jangan bi arkan mereka ikut kegiatan tambahan seperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), atau Oragnisasi Mahasiswa (ormawa) lainnya. Pasalnya, hanya akan memper lama masa studi. Soal melatih kepekaan sosial, suruh saja mereka belajar sendiri kelak jika sudah lulus. Inilah yang ada dalam pikiran Kemendikbud, sebagai lembaga yang mengeluarkan kebijakan kuliah 5 tahun, ketika mencanangkan
6 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
sekaligus merayakan kebijakan masa studi 5 tahun. Oleh karena itu, segera tinjau kemba li kebijakan kuliah 5 tahun karena hanya akan mengandangkan mahasiswa dalam kerangkeng besi yang bernama penjara akademik. Kampus adalah arena kebe basan akademis, wadah mahasiswa untuk belajar peka dan menganalisis masalah yang ada di dekatnya bukan pabrik yang mencetak lulusan sarjana. Karena itu bi arlah mahasiswa memiliki waktu lelua sa untuk belajar dalam arti luas, bukan sekadar menghafal literatur dan catatan kuliah lantas mendapat gelar. Sugeng Bayu Wahono Kepala Jurusan Teknologi Pendidikan FIP UNY
Menuju Daulat Rakyat dalam Isu Dana Istimewa SEIRING berjalannya waktu, ge lindingan isu dana istimewa di DIY makin membesar dan melibatkan berbagai pi hak. Di bidang kebudayaan, stakeholder kebudayaan di DIY langsung bergerak cepat dengan memublikasikan isu “Cetak Biru Kebudayaan Yogyakarta 25 tahun kedepan.” Institusi seperti Kedai Kebun Forum, Kunci, Rumah Budaya Tembi, Bentara Budaya Yogyakarta, IVAA, Sanggar Seni Bagong Kussudiarjo, dan Umar Kayam Institute bereaksi terhadap proposal Dinas Kebudayaan Yogyakarta yang tak melibatkan mereka. Sayangnya, stakeholder kebudayaan yang bersuara kencang soal cetak biru kebudayaan di Yogyakarta ini pun masih menghadirkan kuasi demokratisasi dalam aksesibilitas dan pengelolaan dana istimewa. Di sisi
lain, segelintir elite kebudayaan sibuk membuat konsep cetak biru kebudayaan tanpa memiliki metode pembacaan ke budayaan yang bisa melibatkan berbagai kepentingan kebudayaan di DIY. Sampai hari ini, kita tak mengetahui siapa saja pihak yang harus dilibatkan dalam pengelolaan dana istimewa dan program politik apa yang akan dibuat. Tujuannya agar keistimewaan DIY di bidang politik tidak hanya berlaku bagi pemangku kepentingan politik namun juga dapat tercipta tradisi politik kerak yatan yang khas Yogyakarta. Selanjutnya, rakyat DIY bisa mengontrol program po litik yang dibuat. Tak semua aktor kebudayaan atau pun warga pernah diajak rembugan soal cetak biru kebudayaan. Sebagian program politik pun hanya lahir dari ke pala segelintir orang yang merasa tahu bagaimana program politik dibuat dan dijalankan. Kasus pemberdayaan karang taruna lewat program pelatihan perta nian di Kota Yogyakarta menjadi bukti otentik ketidakmampuan elite politik dalam membuat program pemberdaya an dan pendidikan politik. Kalau para pemangku kepentingan mau progresif memanfaatkan dana istimewa, angga ran sebesar 500 miliar lebih itu, sebe narnya bisa dimanfaatkan dalam proses penyelesaian masalah warga Kulonprogo yang sedang ditindas oleh Keraton dan Pakualaman. Mereka menuntut pertam bangan pasir besi dihentikan. Dana itu dapat digunakan untuk menjembatani kebutuhan warga dan mendapat hak atas pengelolaan tanah yang diklaim sebagai milik keraton. Kita tidak tahu siapa aktor ekonomi yang diajak bicara oleh pemerintah un tuk membuat konsep gerakan ekonomi. Kelompok ekonomi mana yang menjadi prioritas utama pemberdayaan ekonomi. Ruang kritik dan otokritik macam apa yang harus disediakan oleh pemerintah DIY agar dana istimewa ini bisa terse rap secara efektif dalam pembangunan ekonomi Yogyakarta. Wilayah-wilayah, seperti Gunungkidul, Kulonprogo, dan Bantul harus mendapat kan porsi dana istimewa lebih besar di bi dang ekonomi karena komposisi penduduk miskinnya relatif lebih besar dibandingkan dengan Sleman dan Kota Yogyakarta. Na mun, disisi lain, di Kota Yogyakarta dan Sleman masyarakat lokal makin tergusur dalam aktivitas ekonomi karena masuk
S UR AT P E M BACA nya investor asing yang memiliki modal lebih besar. Kalau realita semacam ini ti dak pernah dibaca oleh pemerintah DIY, bagaimana dana istimewa ini bisa terserap secara maksimal? Ada beberapa faktor yang membuat kacau pengelolaan dana istimewa ini. Pertama, tidak adanya kesadaran da ri berbagai lapisan masyarakat bahwa dana istimewa adalah milik masyara kat DIY dan harus dikelola serta diawasi penggunaannya. Meski ada kesadaran di masyarakat, namun Pemprof DIY tak mampu membangun mekanisme kerja yang menguatkan satu sama lain dalam pembuatan program yang dibiayai oleh dana istimewa. Sarana dan teknologi ko munikasi yang canggih tak bisa dimanfa atkan untuk menyinergikan mereka. Kurangnya kesadaran bisa muncul karena faktor kedua, yaitu begitu kental nya kepentingan keraton sebagai pihak yang merasa paling berkepentingan da lam pengelolaan dana istimewa. Mereka selama ini menjadi pihak yang paling merasa berhak mengelola dana istimewa karena alasan historis. Institusi politik ini menjadi satu-satunya kelompok yang tak pernah mau bersikap terbuka dan legawa untuk menyerahkan pengelolaan dana istimewa ini pada masyarakat. Lewat berbagai tangannya, mereka berusaha mengontrol pemanfaatan dana istimewa ini untuk melestarikan kekuasaan ekono mi-politik-budaya mereka di DIY. Ketiga, dan ini lebih spesifik, pihakpihak yang selama ini dianggap sebagai lawan atau kompetitor politik keraton cum pemerintah DIY gagal mengajak masya rakat untuk berperan sebagai subjek dan objek dana istimewa. Faktor pertama dan ketiga ini hadir karena gejala elitisme di masyarakat yang tak pernah terkikis di si ni. Tidak mampunyai elemen masyarakat yang beroposisi dengan keraton ini meng gagalkan penyatuan isu dana istimewa yang berpihak pada masyarakat. Rakyat harus melawan setiap ben tuk elitisme dan eksklusivisme. Hanya dengan pengorganisasian diri yang baik patron-patron ekonomi-politik-budaya yang sekian lama berkuasa di DIY bisa hancur lebur. Daulat rakyat adalah ka ta kunci utama untuk melawan daulat keraton yang hanya diatur oleh segelin tir orang meski selalu mendaku sebagai wakil rakyat. Dwi Cipta Aktivis Gerakan Literasi Indonesia
Membangun Drainase yang Terintegrasi Drainase kita kenal sebagai sum ber daya buatan untuk menampung dan mengalirkan limpasan air ke sungai atau embung. Sebagai media penyerapan air hujan, drainase berguna untuk recharge air tanah, khususnya air tanah dang kal sebagai sumber air bagi masyarakat melalui sumur atau mata air. Namun, kondisi fisik sungai yang ada di perko taan rata-rata sudah bertalud sehingga fungsi resapan tidak maksimal. Saat daya tampung drainase terlam paui, har us dilihat pula persentase alih fungsi lahan di wilayah tersebut yang awalnya sebagai resapan. namun, ma salah utama terlampauinya daya tam pung drainase biasanya dik arenak an sumbata n sampah dan limbah serta pendangkalan. Kota Yogyakarta mer upakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki luas wilayah sebesar 32,5 km2. Sehar usnya, sistem drainase yang dimilik i bisa ber fungsi maksimal. Pada kenyataannya, drainase Kota Yogyakarta masih punya beragam masalah. Mulai dar i kondisi fisik yang sudah lama, disf ungsi karena saluran limbah, sebagai tempat pembu angan sampah dan akhirnya tersumbat, pendangkalan, hingga alih fungsi lahan. Masalah tersebut lebih banyak diselesa ikan secara parsial, yaitu dengan cara memperbaiki saluran bila ada yang rusak serta pembersihan endapan dan drai nase yang buntu. Dana untuk agenda di atas selalu teranggarkan setiap tahun. Namun, masih sedik it anggaran yang diperuntukkan untuk membangun dra inase yang digabungkan dengan sumur resapan. Membangun drainase harus dipaha mi pula bahwa fungsi dasarnya adalah unt uk menampung dan mengal irk an limpasan air hujan ke sungai atau em bung sebagai hilir yang menjadi tempat untuk menyerapkan air sebanyak mung kin ke dalam tanah. Namun, dengan fi sik sungai di perkotaan yang rata-rata bertalud dan minimnya embung yang dimilik i, perlu sebuah sistem drainase yang didesain sebagai sumur resapan. Fungsi drai nase sebagai resapan air ters ebut mer up ak an par ad igm a bar u yang perlu dikembangk an dan diterapkan oleh pemerintah sehingga ketersediaan air tanah, khususnya air
tanah dangkal, dapat memenuhi kebutu han masyarakat. Selain menggabungkan drainase dengan sumur resapan, dibu tuhkan pula embung. Jadi, bukan hanya sungai yang menjadi hilir dar i sistem jar ingan drainase yang dibangun. Hal lain yang perlu menjad i per hatian adalah limpasan air hujan yang berasal dar i pemuk iman. Umumnya, drainase hanya dif ungsikan untuk me nampung sisa limpasan air hujan dar i setiap rumah. Namun, akan sangat baik apabila setiap rumah memiliki sumur resapan. Sumur itu dapat digunakan untuk memanen air hujan dengan cara mengalirkan air hujan ke sumur resapan. Selanjutnya, sumur resapan yang ada di setiap rumah kemudian diintegrasikan dengan drainase sehingga dapat memi nimalisasi terjadinya genangan akibat limpasan air hujan yang melampaui daya tampung drainase tersebut. Namun, paradigma bar u tersebut akan menjadi salah satu media untuk mencegah penc em ar an air tan ah. Drainase yang menerapkan prinsip baru dapat dimanfaatk an oleh masyarak at bila disf ungsi drainase sebagai tempat pembuangan limbah masih terus terjadi dan bahkan memperparah kualitas air sungai maupun air tanah yang saat ini sudah tercemar. Pengetahuan dan pema haman terhadap drainase dan saluran limbah har us dimilik i oleh masyarakat secara umum. Tak lupa diikuti oleh pem bangunan saluran drainase dan limbah sehingga paradigma baru untuk pengem bangan drainase bisa terw ujud dan te rintegrasi dar i hulu sampai hilir. Kont rol pem anf aata n rua ng da ri ancaman terjadinya alih fungsi la han menj ad i kunc i utam a. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga rua ngruang yang selama ini sebagai daerah resapan air sehingga meminimalisasi terjad inya genangan akibat drainase yang sudah tidak bisa menampung lim pasan air hujan atau daerah genangan tersebut belum terintegrasi dengan ja ringan drainase. Kontrol pemanfaatan ruang ini juga bagian dari upaya mitigasi bencana ekologis seperti timbulnya wa bah penyak it dan meluasnya genangan sebagai embrio terjadinya banjir. Hallk Sandera Direktur Utama WALHI Yogyakarta
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 7
ANALISIS UTA MA
Randy | EKSPRESI
Reforma Agraria Gagal: Buruknya Pendayagunaan Lahan Alih fungsi lahan dari pertanian ke pemukiman ataupun industri makin tak terkendali. Tanpa mempertimbangkan dampak, beragam alasan dan intrik digunakan untuk melegalkan alih fungsi lahan. Oleh Muhammad Nur Farid
R
eforma agraria secara legal for mal disebut dengan Pembaruan Agraria, yaitu penataan ulang susunan kepemilikan, pengua saan, dan penggunaan sumber-sumber agraria. Dalam TAP MPR RI Nomor IX/ MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Pasal 2 disebutkan “Pembaruan agra ria mencakup suatu proses yang ber kes in amb unga n berk en aa n den gan penataan kembali penguasaan, pemi likan, penggunaan, dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan da lam rangka tercapainya kepastian dan perl ind unga n huk um sert a kea d ila n dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.”Alih fungsi lahan sebagai salah satu perubahan penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria juga harus memerhatikan pembaruan agra ria. Artinya, alih fungsi lahan tidak boleh lepas dari tujuan dan prinsip pemba haruan agraria. Salah satu tujuan reforma agraria adalah meningkatkan ketahanan pa ngan dan energi masyarakat. Sebagai salah satu tujuan pembaruan agraria, sektor pertanian malah menjadi sektor yang paling terancam alih fungsi lahan. Berdasarkan Dokumen Analisis Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Daerah Istimewa Yogyakarta
8 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
Tahun 2013, data alih fungsi lahan per tanian menjadi nonpertanian di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebesar 231ha per tahun. Praktik alih fungsi lahan pertani an ke lahan nonpertanian masih sering terjadi karena memang belum kuatnya peraturan mengenai hal tersebut. “Per alihan lahan pertanian ke nonpertanian tidak hanya sekadar peralihan tanah, te tapi ada hal yang juga sangat penting dipertanyakan, yaitu subjek hukumnya, petani,” terang Dr. jur. Any Andjarwati, S.H., M. jur. Lebih lanjut, Any menerangkan bah wa tidak ada kejelasan petani sebagai subyek hukum. Dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindung an dan Pemberdayaan Petani Pasal 1 Nomor 3 mengatakan bahwa subjek hukum petani adalah Warga Negara Indonesia (WNI) dan atau beserta ke luarganya yang melakukan usaha tani di bidang tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan atau peternakan. Sub yek hukum dalam UU ini masih belum merujuk pada petani secara jelas dan spesifik karena belum menunjukkan per tanian sebagai usaha atau pendapatan terbesar yang mereka miliki. Pad ah al dal am Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 10 ayat 1 telah disebutkan bahwa pemegang hak
atas tanah pertanian wajib dikerjakan dan diusahakan sendiri secara aktif. Artinya, hubungan antara petani dan lahan pertaniannya sangat erat. Dengan kata lain, lahan pertanian harus dimiliki oleh petani. Kalaupun lahan pertanian tersebut akan dijual, lahan pertanian tadi tidak boleh dialihfungsikan kare na pada asasnya lahan pertanian wajib dikerjakan dan dius ahakan secara aktif oleh pemiliknya. Jadi sebenarnya alih fungsi lahan pertanian itu tidak perlu terjadi meskipun kenyataannya tidak demikian.
Jual Lahan: Bentuk Ketidaksejahteraan Petani Semakin terancamnya sektor perta nian oleh alih fungsi lahan juga diper parah oleh pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) pertanian yang buruk. Pengelolaan SDM pertanian yang selama ini dipasrahkan kepada Dinas Pertanian ternyata tidak dijalankan dengan semes tinya. Menurut Immawan Nur S. A., S.P., M.E., Kepala Seksi Bina Produksi Bidang Tanaman Padi dan Holtikulturan Dinas Pertanian Sleman, hanya petani yang tergabung dalam kelompok pertanianlah yang akan mendapat pembinaan. Pada hal, Pasal 19 UU No. 19 Tahun 2013 Ten tang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani mengamanati Dinas Pertanian
8 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN
untuk membina petani, kelompok, ta ni, dan gabungan kelompok tani dengan menghasilkan sarana produktif. Tidak ada satu pasal pun yang menyatakan bah wa hanya petani dalam kelompok tani lah yang akan mendapatkan pembina an. Akhirnya, tidak semua kesejahteraan petani terjamin. Tidak adanya jaminan kesejahteraan petani pula lah yang akhir nya memaksa petani mengalihfungsikan lahan pertaniannya. Pada akhirnya, alih fungsi lahan ju ga membahayakan ketahanan pangan. Menurut data terbaru BPS, estimasi sensus tahun 2010, jumlah penduduk tahun 2012 mencapai 3.514.762 jiwa atau meningkat 27.437 jiwa dari tahun sebe lumnya yang hanya berjumlah 3.487.325 jiwa. Jumlah ini semakin meningkat de ngan pertumbuhan sebesar 1,04% setiap tahunnya. Hal ini memicu perkembangan ka wasan pemukiman yang berkembang di wilayah sekitarnya. Perkembangan wilayah pemukiman ini biasanya terjadi dengan mengalihfungsikan lahan perta nian. Padahal, pertumbuhan penduduk juga membutuhkan ketersediaan pangan, bukan hanya ketersediaan papan. Me nurut kajian yang dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan DIY, tahun 2039 DIY akan mengalami krisis pangan.
Alih Fungsi Lahan Tak Terkendali dan Dam pak Ekologisnya
Lebih jauh lagi, praktik alih fungsi lahan sering mengabaikan kelestari an ekosistem maupun fungsi ekologis lingkungan. Kedua hal ini juga menjadi prinsip pelaksanaan pembaruan agra ria. Terjadinya penurunan permukaan air tanah di sekitar hotel menjadi bukti bahwa pendayagunaan sumber agraria tidak dikelola dengan baik. Menurut Drs. Suhadi Purwantara, M.Si., dosen Jurusan Geografi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Kabupaten Sleman,
Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul memiliki cadangan air tanah yang ba nyak. “Lokasi Kota Yogyakarta sebe narnya sangat strategis, cadangan air tanahnya sangat banyak. Namun, bila tidak dikelola dengan baik, bisa ber bahaya karena kita tinggal di atasnya,” terangnya. Menurutnya penurunan air tanah di sekitar hotel mengindikasikan kalau ada yang salah dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) pemba ngunan hotel. “Pengambilan air tanah itu ada save yield-nya (batas aman peng ambilan air tanah, red.). Kalau ternyata pengambilan air tanah dalam berpeng aruh terhadap lingkungannya, pasti AMDAL-nya bermasalah,” terangnya. Berbagai pembangunan yang meng ancam ketersediaan air akhirnya dipro tes warga. Rokhmat Kurniawan, aktivis Pembela Tata Ruang, menilai hal itu se bagai bentuk kepedulian warga terhadap tata ruang. Tidak berhenti di situ saja. Alih fungsi lahan pertanian juga menuai protes, salah satunya dari Serikat Petani Indonesia (SPI) Yogyakarta. Kekhawa tiran berubahnya tanah menjadi komo ditas yang diperjualbelikan mendorong SPI mendesak pemerintah untuk me ngendalikan laju alih fungsi lahan. SPI khawatir apabila laju alih fungsi lahan terus terjadi maka kedaulatan pangan akan terganggu. Prinsip lain Pembaruan Agraria ada lah melaksanakan fungsi sosial. Hal ini sesuai dengan dasar UUPA yang ada di Pasal 6 yang berbunyi “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Penjelasan atas pasal ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan. Tanah itu akan dipergunakan ataupun tidak dipergunakan semata-mata hanya untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus
disesuaikan dengan keadaannya dan sifat haknya sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan serta ber manfaat bagi masyarakat dan negara. Praktik alih fungsi lahan yang terja di di DIY ternyata masih menyepelekan prinsip ini. Alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan elite seperti Bale Hinggil. Perumahan yang berbatasan langsung dengan perkampungan Gandok dipisahkan oleh tembok setinggi 5 me ter. Keberadaan tembok pemisah antara warga perkampungan Gandok dan para penghuni Bale Hinggil ini ditengarai seba gai penyebab tidak guyubnya hubungan kedua warga. Meilianti, salah satu warga Gandok mengungkapkan bahwa memang hampir tidak ada interaksi antara war ga Gandok dan penghuni Bale Hinggil. Penghuni Bale Hinggil pun menyepakati hal tersebut. Sefta F. Susanto, salah sa tu warga yang tinggal di Bale Hinggil membenarkan bahwa warga Bale Hinggil memang minim sosial isasi. Menghadapi isu alih fungsi lahan, pemerintah juga sudah memberikan be berapa tawaran solusi. Salah satunya dengan pengadaan bank tanah seperti yang telah diprogramkan Pemerintah Daerah Bantul. Secara umum konsep bank tanah adalah untuk mengendali kan tata kota dengan menguasai tanah kemudian diterbitkan kembali sesuai den gan renc an a tat a rua ng dae r ah. Hanya saja, program ini akhirnya su lit terlaksana karena harga tanah yang tinggi. Menurut Prof. Ir. Bakti Setiawan, M.A., Ph.D., konsep bank tanah tidak relevan dengan kondisi saat ini sebab harga tanah tinggi. Hal ini juga diami ni oleh Ari Budi Nugroho, S.T., M.Sc. Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bantul. “Di Indonesia konsep ini kurang cocok karena sering terjadi perbedaan harga antara pemerintah dengan masyara kat.” Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 9
ANALISIS UTA MA
Peraturan yang Masih Rancu Dasar aturan yang masih belum konstruktif akhirnya menimbulkan masalah turunan. Mulai dari alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian yang semakin marak, kesejahteraan petani, hingga pembuatan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Oleh Nur Janti
P
eraturan perundangan menge nai tata guna lahan tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. Selain UUPA terdapat undang-undang turunan yang juga mengatur permasa lahan agraria. Namun, sayangnya per aturan perundangan tersebut belum cukup dalam mengatur permasalahan alih fungsi lahan. Salah satu contohnya ialah tidak spesifiknya konstruksi un dang-undang yang mengatur tentang tanah pertanian. Menurut Dr. jur. Any Andjarwati, S.H., M. jur., permasalahan di tingkat makro berasal dari subjek hukum pe tani. Undang-Undang ayat. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pem berd ay aa n Pet an i, Pasal 1 Nomor 3 men yeb utk an bahw a subj ek huk um petani adalah Warga Negara Indonesia (WNI) dan atau bes ert a kelua rg an ya yang melakukan usaha tani di bidang tan ama n panga n, hort ik ult ur a, per keb unan, dan atau pet ern aka n. “Me mangnya kriteria subjek hukum petani sudah cukup dibuktikan dengan KTP (Kartu Tanda Penduduk, red.)? Cob a kal au krit er ia min im al pet an i, yait u leb ih dar i 50% pend ap ata nn ya ber as al dar i us ah a pert an ia n dan leb ih dari 50% tenaganya diinvestasikan da lam usaha pertania n. Kan leb ih jel as siapa petani. Dalam und ang-und ang pet an i itu, siap a yang dim aks ud pe tani saja belum jelas, belum spesifik,” ujar dosen Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM) itu. Ketidakjelasan petani sebagai subjek hukum akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan lain, seperti mudahnya alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian yang akhirnya bisa mengancam ketahanan pangan. “Petani dan lahan pertanian pada dasarnya mempunyai keterkaitan yang erat, misalnya penga turan peral ihan lahan pertanian. Lahan pertanian dapat dialihkan jika subjek
10 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
hukum yang menerima lahan pertanian juga petani. Jadi, dari petani ke petani sehingga lahan pertanian tetap terjaga,” imbuhnya. Bila ada alih fungsi lahan dari per tanian ke nonpertanian, tentu akan mengacu pada UU No. 2 Tahun 2012 dan Perpres No. 71 Tahun 2012 yang mengatur pengadaan tanah bagi pem bangunan untuk kepentingan umum. Kepentingan umum di sini disebutkan contohnya seperti rumah sakit, jalan, fasilitas yang bisa diakses oleh khala yak, dan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa. Namun, kenyataan di lapangan jelas berbeda dengan maraknya pem bangunan perumahan elite, pertokoan, ataupun real estate dengan hak milik yang menggusur lahan pertanian milik warga. Any juga menambahkan, ketidakje lasan konstruksi petani sebagai subjek hukum juga bertentangan dengan UUPA Pasal 10 ayat 1. Dalam pasal tersebut di jelaskan tentang asas tanah pertanian yang “dikerjakan dan dius ahakan sen diri secara aktif oleh pemiliknya” yang merupakan pedoman pengaturan untuk Sistem Hukum Pertanian. Adanya Sistem Hukum Pertanian bertujuan untuk menjamin kesejahte raan petani, jaminan pangan penduduk dengan harga yang pantas, dan jamin an lingkungan hidup. Hal-hal tersebut merupakan satu kesatuan. Tak bisa bila hanya dilaksanakan salah satu saja. “Da lam UUPA 1960 pada Penjelasan Umum romawi I alinea terakhir, kan, disebut kan bahwa UUPA bertujuan meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan membawa kemakmuran rakyat, terutama rakyat tani,” jelas Any. Namun, melihat fakta di lapangan, petani tak cukup sejahtera. Dengan ting kat kesejahteraan yang rendah karena hasil pertanian tidak dihargai dengan
pantas, petani kadang merasa keberatan kalau sawah mereka ditunjuk sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) sebab tanah tak bisa dikonversi kan menjadi lahan selain pertanian atau sawah. “Kalau sudah menjadi sawah yang berstatus LP2B tidak boleh dijual atau pun dikonversi. Sertifikat lahan sawah yang berstatus LP2B akan ditulis bahwa tanah ini tidak boleh dijual selain menjadi sawah atau dikonversikan menjadi lahan lain. Belum lagi insentif yang kurang dari pemerintah sehingga banyak petani yang tidak mau,” jelas Dr. Laksmi A. Savitri, dosen Antropologi UGM. Hal ini pun disepakati oleh Any, ba nyak petani yang lantas tergiur menjual lahannya dan menolak lahan pertani annya dijadikan sebagai LP2B. “Kalau petani tidak mendapat kesejahteraan dan harga pantas, mereka pasti enggan men jadikan sawahnya sebagai LP2B. Oleh karena itu, kriteria subjek hukum petani yang konstruktif harus diselesaikan da hulu oleh pemerintah untuk konstruksi kebijakan usaha pertanian yang meng usahakan lahan subur secara ekonomis berkelanjutan,” jelas Any. Menurut Any, rekonstruksi, penafsir an kembali, dan amandemen peraturanperat uran mengenai pertanian dan lahan pertanian perlu dilaksanakan. “Subjek hukum petani yang merupakan subsis tem paling kecil dalam sistem hukum yang tentu akan memengaruhi sistem hukum yang paling besar, yakni hukum pertanian dan agraria,” tuturnya
Pembuatan RTRW pun Bermasalah
Kerancuan perat uran perundangan tentang subjek hukum petani memudah kan pergantian hak milik lahan antara petani ke nonpetani, akhirnya berdam pak pula pada proses pembuatan RTRW. Sebab ketika perlindungan lahan perta nian tak kuat, akan ada banyak celah un tuk mengubah nilai guna lahan menjadi nonpertanian. Pembuatan RTRW yang
PRESI Randy | EKS
REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN panj ang ser ingk a li hanya dilakukan untuk tujuan admi nistratif tanpa menge depankan esensi. “ P e m b u a t a n RTRW seharusnya me merhatikan banyak hal seperti prediksi DIY 20 tahun mendatang dan tahap konsultasi kepada ahli dan masyarakat. Na mun, seringkali pembu atan RTRW tak memenu hi semua prosedur. Prose durnya memang panjang tapi itu semua harus dipe nuhi secara genuine agar RTRW benar-benar matang dan tidak revisi tiap revisi. Ketika RTRW direvisi tiap tahun ini merupakan sebu ah indikasi bahwa pembu atannya tak matang. Jadi, RTRW memang sebenarnya instrumen kebijakan untuk mengendalikan dan menga tur pembangunan fisik yang ada di suatu wilayah,” jelas Laksmi. Adapun prediksi yang mes tinya dilakukan oleh pemerin tah daerah, menurut Laksmi, adalah mengenai potensi yang dimiliki Yogyakarta; baik poten si ekonomi, wisata, pendidikan, maupun potensi bencana, ditam bah dengan prediksi demografi, dan penghitungan tentang alokasi ruang untuk membuat kebijakan tata ruang dengan dasar keilmuan. Menambahi pernyataan Laksmi, Any menyarankan bahwa dalam tat a rua ng seh ar usn ya dip erh at ik an land consolidation di wilayah sub-ur ban. “Wilayah sub-urban merupakan sabuk pembangunan agar pembangunan di kota tidak lantas ekspansi ke daerah di dekatnya sehingga pembangunan ter kendali,” ujarnya. Pengendalian pertumbuhan kota dan ketegasan dari pemerintah daerah dalam pemberian izin sangat menentu kan kondisi DIY ke depan. “Ketika DIY memiliki lebih dari 200 universitas, se harusnya pemerintah menahan perizinan pembuatan universitas baru. Universitas menarik banyak sekali penduduk baru yang akan menempati Yogyakarta dan
panj ang sel am a 20 tah un. Namun, RTRW tetap bisa di tinjau kurang dari 20 tahun ketika menemui kondisi luar biasa seperti bencana alam. “RTRW ditinjau ulang mini mal 5 tahun. Misalnya, kalau di Bantul ada gempa bumi yang merusak struktur ruang dan pola ruang yang ada di Bantul, bisa ditinjau kem bali karena rencana kita rencana di kondisi normal. Jadi, kalau kondisi normal itu tidak boleh, harus ada kondisi luar biasa jika mau diubah dan tidak mem perhatikan tahun lagi,” jelas Ari. Sel ai n perh it ung an yang matang dalam membuat RTRW, peme rintah juga mesti mela kukan pengawasan yang ketat. Dijelaskan oleh Laksmi, permasalah an lahan yang terjadi di Yogyakarta sangat kompleks. Salah satu penyebabnya peme rintah tidak maksi mal melaksanakan dan men eg akk an peraturan menge nai permasalahan lahan. Dal am per aturan mestinya ada pengawasan UU No 19 Pasal 1 ayat 3 tentang kosntruksi subjek lahan minimal satu orang yang di hukum petani yang hanya dibatasi WNI. tugaskan di tiap provinsi. Namun, fakta di lapangan, pengawasan terhadap lahan ini merupakan salah satu penyebab pem belum maksimal.Terbukti dengan ba bangunan hunian baru menjadi marak nyaknya izin pembangunan yang tidak sehingga menggusur lahan pertanian. memenuhi syarat. Izin mendirikan ba Pun potensi wisata yang dimiliki DIY. ngunan, misalnya, mestinya disosialisasi Terlalu menggebunya pemerintah dae kan ke masyarakat minimal 30 hari sebe rah mengembangkan daerahnya sebagai lum pembangunan dimulai agar bila ada daerah wisata, membuat perizinan pem protes dari masyarakat, pembangunan bangunan hotel menjadi begitu mudah bisa dibatalkan. “Kenyataan di lapangan, dan marak. Dan lagi-lagi lahan perta kasus apartemen yang sudah dibangun nian yang menjadi sasarannya,” jelas lantas ditolak, kan, banyak. Kalau ditanya Laksmi. ada yang salah atau tidak, dari situ saja Menjawab hal ini, Ari Rudi Nugroho, kita bisa melihat reaksi yang timbul sete S.T., M.Sc., Kepala Bidang Sarana lah RTRW disahkan. Ada beberapa reaksi dan Prasarana Badan Perencanaan yang membuat kita mempertanyakan Pembangunan Daerah Bantul (Kabid rencana tata ruang. Berarti masyarakat Sarpras Bappeda) menjelaskan bah tidak sepakat,” tutup Laksmi. wa RTRW mem ang renc an a jangk a Laporan oleh Abi Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 11
ANALISIS UTA MA
Abi | EKSPRESI
Harga Tanah Tinggi, Bank Tanah Sulit Diterapkan
Salah satu rusunawa yang dibangun Pemerintah Bantul yang di bangun di atas tanah kas Desa Panggungharjo.
Alih fungsi lahan adalah suatu hal yang tidak dapat dihindari namun harus dikendalikan. Pemerintah mesti turun tangan bentuk kebijakan. Oleh Faqihuddien Abi Utomo
K
onsep bank tanah (banking land) masih mempunyai ken dala besar untuk diterapkan di Indonesia. Harga tanah yang tinggi membuat pemerintah tidak sang gup membeli lahan untuk program bank tanah. “Pemerintah sudah menganggarkan tapi di lapangan harganya berbeda dari yang ditaksir,” ujar Ari Budi Nugroho, S.T., M,Sc., Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bantul. Nominal anggaran tersebut merupakan hasil penaksiran dari tim independen sebagai salah satu tahap dalam pelaksanaan program bank tanah. Anggaran itu dibebankan ke Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). “Tapi kalau ternyata pemerintah sudah menganggarkan harga sekian sedangkan masyarakat maunya lebih dari itu, kami juga kesulitan,” tambah Ari.
12 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
Bank tanah adalah kebijakan peme rintah dalam pengendalian tata ruang. Pelaksanaannya, pemerintah membeli tanah kemudian dirilis kembali sesuai dengan rencana tata kota. Harga jualnya pun terjangkau untuk masyarakat. Wa cana konsep bank tanah sudah ada sejak tahun 1970 tapi di Indonesia wacana ini baru berkembang di tahun 1990.
Memutus Harga Tanah
Kota-kota di Indonesia sedang meng hadapi peningkatan angka urbanisasi. Hal ini mengakibatkan kebutuhan lahan menjadi persoalan. Pembangunan di se gala bidang, termasuk infrastruktur pu blik tersendat, tidak hanya perumahan. Menurut Prof. Ir. Bakti Setiawan, M.A., Ph.D., persoalan lahan yang terjadi di Indonesia berada pada aksesnya bukan pada ketersediaannya. “Apa betul kita menghadapi kelangkaan tanah? Belum tentu. Tanah masih banyak tapi masa
lahnya adalah akses terhadap tanah ter sebut,” ujar Guru Besar Program Studi Magister Perencanaan Kota dan Daerah Universitas Gadjah Mada (UGM) itu. Menurut Bakti, akses terhadap ta nah dapat menyangkut harga tanah atau karena fungsinya yang tidak tepat de ngan kebutuhan kota. Di kota-kota, yang bermasalah adalah akses tanah dari sisi harga. Harga tanah di perkotaan sangat mahal. Mahalnya harga tanah membuat kaum menengah ke bawah dan pemerin tah sulit menjangkaunya. Akibatnya, kon sep bank tanah sulit diwujudkan. “Kalau harga tanah tidak terkontrol, bagaimana pemerintah bisa membeli dan menjalan kan bank tanah?” ujar Bakti. Harga tanah yang mahal disebabkan karena bisnis lahan dilepas ke pasar dan tidak terkontrol oleh pemerintah. Aki batnya para spekulan tanah dan pemodal sangat leluasa menawarkan harga beli tanah yang tinggi kepada masyarakat.
REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN Randy | EKSPRESI
Untuk mencegah semakin naiknya harga tanah, menurut Bakti, hal yang harus dilakukan pemerintah adalah memutus kapitalisasi tanah. Bakti me nambahkan, di Indonesia harus ada undang-undang atau peraturan yang kuat dalam hal pembatasan harga tanah. Indonesia harus mencontoh negara lain yang menerapkan peraturan yang me larang penjualan tanah lebih dari yang ditetapkan pemerintah. Jika tidak ada pengendalian pembatasan harga tanah, konsep bank tanah tidak akan terwujud. “Bank Tanah memang salah satu alterna tif yang bagus tapi kita harus lihat dulu akar persoalannya. Kalau harga tanah tinggi di lapangan, konsep ini tidak akan terwujud,” jelas Bakti. Selain itu, sosialis asi yang getol wajib dilakukan pemerintah kepada masyara kat terkait bank tanah. Menurut Bakti, tidak semua masyarakat dapat menerima konsep bank tanah. Hal ini dikarenakan masyarakat lebih suka menjual sendiri tanahnya daripada harus ke pemerintah. “Masyarakat dan pemerintah masih be lajar untuk saling percaya. Tidak semua masyarakat menerima konsep bank ta nah,” ujar Bakti. Hal senada juga dijelaskan Ari. Se ringnya salah pengertian antara ma syarakat dan pemerintah menjadikan bank tanah sulit dilaksanakan. “Bank tanah konsep yang bagus. Sayangnya di Indonesia konsep ini kurang cocok karena sering terjadi perbedaan harga antara pemerintah dengan masyarakat. Akhirnya kita menggunakan tanah kas desa untuk dibangun rumah susun,” je las Ari.
Tanah Kas Desa
Sulitnya penerapan bank tanah un tuk pemanfaatan hunian di Kabupaten Bantul membuat pemerintah mengam bil cara lain. Salah satunya memanfa atkan kebijakan tanah kas desa. Tanah kas desa disewa dari pemerintah desa untuk digunakan oleh pemerintah dae rah. Menurut Ari, menyewa lahan lebih murah serta mudah daripada membeli tanah dan melakukan pembebasan lahan untuk bank tanah. “Konsepnya serupa bank tanah. Bantul memakai tanah kas desa,” ujar Ari. Kebijakan tanah kas desa dilandasi Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 65 Tahun 2013 ten tang Tanah Kas Desa. Dalam Pasal 1 ayat
17 dij el ask an, tanah kas desa ad al ah sua t u jenis kekayaan des a yang be rupa bengkok, lungguh, peng arem-arem, ti tis ar a, kub ur an, jalan desa, penggembalaan hewan, danau, Pergub 65 Tahun 2013 tentang tanah kas desa yang menjadi landasan Bappeda Kabupaten Bantul. tanah pasar de sa, tanah keramat, lapangan, dan tanah an sewa tanah dikawal oleh pemerin yang dikuasai oleh pemerintah desa. tah desa. Proses pembangunan dan Tujuan tanah kas desa ada dua. Ada pengelolaan rumah susun dilakukan yang digunakan untuk pejabat desa, ada oleh Dinas Pekerjaan Umum. “Bappeda pula yang digunakan untuk pendapatan hanya merencanakan. Dibantu dinas desa. Pemerintah Daerah Kabupaten terkait karena pembangunan ini ada Bantul menyewanya untuk kepentingan lah program pemerintah dan didanai publik atas izin gubernur. Ari menje APBN,” terang Ari. laskan, masa sewa tanah maksimal 20 Rumah susun ditujukan untuk ma tahun. Setelah masa sewa habis, ada dua syarakat dengan taraf ekonomi meneng pilihan: diperpanjang masa sewa atau ah ke bawah. Penghuninya tidak tertutup diserahkan pengelolaannya kepada pe hanya untuk warga Bantul. Menurut Ari, merintah desa setempat. dari awal, peruntukan rumah susun ada Tanah kas desa bisa difungsikan lah 80% warga Bantul, 20% warga luar untuk pertanian maupun hunian. Ji Bantul. Waktu sewanya juga dibatasi, ka difungsikan untuk hunian, penga paling lama tiga tahun. Kebijakan ini lihfungsian lahan akan dilaksanakan diambil untuk memberi kesempatan atas izin gubernur. Dalam praktiknya, warga Bantul lain yang kurang mampu Pemerintah Bantul memanfaatkan tanah untuk mendapatkan hunian layak. Sela kas desa untuk rumah susun. Rumah ma tinggal di rumah susun, pemerintah susun tersebar di tiga kecamatan, yakni juga memberi pelatihan. Harapannya, Kecamatan Kasihan di Desa Ngestiharjo, setelah keluar dari rumah susun, de Kecamatan Sewon di Desa Panggung ngan bekal yang ada dapat bekerja dan Harjo, dan Kecamatan Banguntapan di mencari hunian sendiri. Desa Banguntapan. Kabupaten Bantul mempunyai ren Pemilihan lokasi tanah kas desa un cana untuk melindungi area pertanian tuk pembangunan rumah susun juga agar tidak diubah ke nonpertanian. Saat mempertimbangkan beberapa aspek. ini, Pemerintah Daerah Bantul sedang Salah satunya kemungkinan munculnya membuat regulasi Lahan Pertanian lokasi-lokasi yang berpotensi menjadi Pangan Berkelanjutan (LP2B) sesu kawasan kumuh di Bantul. Bappeda me ai dengan undang-undang. Sertifikasi lakukan pembacaan kepada daerah yang Hak Atas Tanah juga gencar dilakukan. berpotensi menjadi kawasan kumuh. Sertifikat ini menjamin lahan masyara Dari hasil pembacaan tersebut maka kat yang memang dikhususkan untuk dibangun rumah susun di tiga kecamat pertanian. an tersebut. “Tiga kecamatan tersebut Lebih lanjut, untuk menghindari berbatasan dengan kota. Konsekuensi alih fungsi lahan, secara makro Bappeda daerah yang berbatasan dengan kota Bantul menggunakan peta Rencana Tata akan terjadi kawasan kumuh. Pemda Ruang dan Wilayah (RTRW). Sedangkan mengantisipasi dengan membangun ru untuk mikro, Dinas Pekekerjaan Umum mah susun dan layak huni,” jelas Ari. (DPU) Bantul menggunakan Rencana Bappeda tidak sendiri dalam me Detail Tata Ruang (RDTR). Jika ada renc an ak an rum ah sus un. Pemb a izin pembangunan yang tidak sesuai ngunan rumah susun adalah program dengan RTRW dan RDRT, tidak akan pemerintah kabupaten, di dalamnya dikeluarkan izin rekomendasi pemba juga terlibat dinas yang terkait. Urus ngunannya. Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 13
ANALISIS UTA MA
Nasib Konsolidasi Lahan Milik Rakyat
Keberadaan manusia tidak dapat lepas dari tanah. Konsolidasi lahan sebagai pendayagunaan tanah yang manusiawi tentu tidak dapat dilepaskan dari manusia yang tinggal di atasnya. Oleh Muhammad Nur Farid
S
ecara umum konsolidasi lahan adalah sebuah konsep penda yagunaan tanah dengan cara mengatur ulang suatu wilayah yang kurang terat ur menuju tata ruang yang lebih terat ur dengan melibatkan pe ran aktif masyarakat. Semakin pesatnya perkembangan pembangunan membuat konsolidasi lahan sangat diperlukan gu na mengatur tata guna tanah terutama perihal tata ruang. Menurut Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2014 ten tang konsolidasi lahan, konsolidasi lahan adalah kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali penguas aan dan peng gunaan tanah serta usaha pengadaan ta nah untuk kepentingan pembangunan, meningkatkan kualitas lingkungan, dan pemeliharaan sumber da ya al am dengan melibatkan par tisipasi aktif masya rakat. Di Indonesia, konsolidasi lahan pertama kali di
laksanakan di Renon, Denpasar, Bali melalui program Konsolidasi Tanah Perkotaan (KTP). Program konsolidasi lahan di Renon yang saat itu masih ma suk wilayah pemerintahan Kabupaten Badung terlaksana, bahkan sebelum per aturan tentang konsolidasi lahan ada. Konsolidasi lahan di Renon dilaksanakan pada 1981 padahal peraturan mengenai konsolidasi lahan baru pada 1991. Wakil Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Provinsi Bali, Prof. Dr. Ir. I Wayan Runa, M.T., berpendapat bahwa konsolidasi lahan dapat menjadi alternatif penataan ruang yang baik. “Kalau ingin tata kota bagus, konsolidasi lahan bisa jadi solu si,” tutur dosen Universitas Warmadewa itu. Menurutnya konsolidasi lahan yang sudah terlaksana selama 24 tahun di Denpasar berhasil membuat penataan ruang relatif tidak semrawut. Selain itu, menurut Runa, kon sep konsolidasi lahan tidak hanya berhenti pada pendayagunaan la Farid | EKSPRESI han namun juga pendayagunaan masyarakat yang memiliki lahan tersebut. “Konsep uta ma konsolidasi lahan, kan membuat masya rakat mau mengatur pola ruang sesuai de ngan keinginan peme rintah,” terang Runa. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria Pasal 6 yang ber bunyi “Se mua hak a t a s Prof. Dr. Ir. I Wayan Runa, M.T. saat ditemui di kantornya. Menurutnya pelaksanaan tan ah konsolidasi lahan di Bali belum dapat mengakomodasi masyarakat umum.
14 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
mempunyai fungsi sosial”. Menurut Runa, hak tersebut termasuk hak un tuk memiliki dan mengelola. Dalam hal penataan ruang, konsolidasi lahan di anggap paling sesuai dengan salah satu pasal yang menjadi pedoman reforma agrariatersebut.
Peran Masyarakat dalam Konsolidasi Lahan Karena lahan yang akan diatur pola tata ruangnya adalah milik masyarakat, tentu pelaksanaan konsolidasi lahan ti dak terlepas dari peranannya. Dalam masyarakat Bali dikenal adanya sistem desa adat. Secara administratif, desa adat tidaklah sama dengan desa pada umum nya. Desa adat dipimpin oleh ketua adat dan biasanya hanya mengurusi hal-hal keagamaan. Itu sebabnya mengapa jika ada penduduk yang berbeda agama (sela in Hindu), ia tidak termasuk dalam desa adat, meskipun secara administratif ting gal dalam wilayah tersebut. Runa meng ungkapkan bahwa masyarakat Bali jarang membangkang jika ada program dari pe merintah. Hal ini karena adanya pengaruh kepala adat ke masyarakat Bali. Pelaksanaan program pemerintah di Bali tidak terlepas dari peranan adat. Hampir semua pelaksanaan program yang berkenaan langsung dengan ma syarakat membutuhkan peranan adat. Meskipun biasanya kepala adat hanya berurusan dengan hal-hal keagamaan, masyarakat cenderung lebih patuh ter hadap kepala adatnya daripada kepala desanya. “Posisi adat biasanya lebih kuat dibanding dengan pemerintahan. Jadi, kalau kepala adat sudah memerintah biasanya warga langsung mengikuti,” tutur Runa. Di desa adat, kepala adatlah yang bias anya mengatur pemerintah an di desa. Kepala desa hanya bertugas mengurus administrasi birokrasi. “Kalau
REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN
Dokumen Istimewa
Salah satu sudut Kota Denpasar. Konsolidasi lahan mendukung tumbuhnya kota dengan penataan tata ruang yang lebih baik.
pemerintah punya program, pasti ke pala adatnya yang dituju lebih dulu,” tambah Runa. Meski program konsolidasi lahan tidak berhubungan langsung dengan adat, pelaksanaannya tetap melibatkan kepala adat. Dalam pelaksanaan kon solidasi lahan di Bali, pemerintah sela lu berkonsolidasi dengan kepala adat. “Masyarakat di Bali ada ketergantungan dengan kepala adat karena`desa adat masih sangat kuat,” tuturnya. Itu se babnya sebelum program konsolidasi lahan disosialisasikan ke masyarakat, terlebih dahulu disosialisasikan kepada ketua adat. Hal tersebut juga dibenar kan oleh Rini Ambarwati, Ketua Bidang Sarana Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Bali. “Kalau sosial isasi di mana-mana sama, orang bawa golok dan parang itu biasa. Tapi karena mereka dijaga sama adat, pelaksanaan konsolidasi lahan biasanya tetap aman,” ungkap Rini.
Program Konsolidasi Lahan Harus Bersih
Sebagai salah satu konsep pengatur an pendayagunaan lahan, konsolidasi lahan sangat bagus untuk dilaksanakan terutama berkaitan dengan pola tata ru ang. Runa berpendapat bahwa pelaksa naan konsolidasi lahan tetap harus dapat mengakomodasi masyarakat. Meskipun
Bali dianggap daerah pertama dan sukses melaksanakan konsolidasi lahan, masih tetap ada beberapa hal yang perlu die valuas i dalam pelaksanaannya. “Kon solidasi lahan bagus untuk tata ruang namun masih ada hal-hal negatif yang perlu dihilangkan,” tutur Runa. Menurut Runa, pelaksanaan konso lidasi lahan di Bali belum sepenuhnya dapat dinikmati masyarakat. Hal itu di karenakan adanya birokratisme dalam pelaksanaan program. Pelaksanaan kon solidasi lahan masih sarat dengan kepen tingan orang yang punya kekuasaan. Runa mengungkapkan bahwa dalam pelaksa naan konsolidasi lahan birokrasi masih belum bersih. “Masih ada oknum-oknum yang ‘main’ di sana,” ungkapnya. Hal serupa juga diungkapkan oleh Rini. Pelaksanaan konsolidasi lahan sa at ini semakin sulit terlaksana karena nilai jual tanah yang makin meningkat sehingga banyak orang ingin mengambil keuntungan dari pelaksanaan konsolida si lahan. Ia mencontohkan pelaksanaan konsolidasi lahan yang tengah digarap saat ini. “Konsolidasi lahan paling dekat yang akan dilakukan ada di Mergayo, Denpasar Barat. Itu pun pelaksanaan nya susah, terlalu banyak benturan, dan banyak kepentingan,” ungkapnya. Adanya konsolidasi lahan untuk ta ta guna lahan dan pola tata ruang yang
makin baik akan membuat harga tanah meningkat. Runa berpendapat, “Harga tanah itu adalah mekanisme pasar. Sa ngat susah untuk mengendalikannya. Apabila tidak berlandaskan kepentingan umum, konsolidasi lahan dapat menja di bumerang. Runa mengambil contoh pelaksanaan konsolidasi lahan di Renon yang akhirnya menjadi kawasan elite. Kalau bilang Renon, pandangan orang Bali tentu berpikir cuma bos-bos yang punya,” ungkapnya. Runa menyayangkan program kon solidasi lahan yang diterapkan oleh Pemerintah Denpasar dan diambil alih oleh pengembang swasta yang justru ha nya dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Menurut Runa program yang dapat mengatasi masalah hunian dan mampu mengak omodasi masyarakat menengah ke bawah adalah pembangunan perumnas. Hanya saja perumahan-perumahan itu biasanya tidak layak huni, tambah Runa. “Perumahan-perumahan (perumnas, red.) itu biasanya dibangun di daerah pelosok untuk membuat biaya pembangunan le bih murah. Ukurannya pun kecil sehingga tidak banyak diminati. “Kalau konsolidasi lahan sekarang, yang menikmati adalah menengah ke atas. Kalau yang bisa dinik mati oleh kalangan menengah ke bawah, ya perumnas itu,” tutur Runa. Laporan oleh Pras
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 15
ANALISIS UTA MA
Farid | EKSPRESI
Pertanian Beralih Menjadi Perumahan
Salah satu perumahan yang sedang dibangun di wilayah Mlati. Perumahan tersebut dibangun di bekas lahan pertanian.
Oleh Arde Candra Pamungkas
M
en ingk atn ya juml ah pen duduk di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) men ye babkan berkurangnya lahan produktif penghasil pangan di wilayah perkotaan, bahkan pedesaan. Di DIY, terutama di wilayah kota sudah jarang ditemui lahan produktif untuk pertanian. Keterbatasan lahan di perkotaan juga menyebabkan pembangunan berkem bang ke wilayah sekitar kota. Alih fungsi lahan menjadi permasa lahan dilematis, antara mempertahankan lahan produktif, khususnya pertanian sebagai sumber pangan, atau tetap mela kukan pembangunan guna ketersediaan hunian. Terkait dengan pembangunan, daerah pinggiran merupakan wilayah yang paling banyak mengalami perub ah an pendayagunaan lahan terut ama dari lahan pertanian ke nonpertanian.
16 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
Ari Rudi Nugroho, S.T., M.Sc., Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bantul, menerangkan bahwa dalam pengendalian alih fungsi lahan harus ada analisis tata ruang, termasuk analisis mengenai daya dukung dan daya tampung nya. Daya dukung lingkungan adalah ke mampuan ekosistem untuk mendukung kehidupan makhluk hidup secara sehat, sekaligus mempertahankan produktivitas nya. Daya tampung lingkungan merupakan kemampuan lingkungan untuk menam pung zat energi atau komponen lain yang masuk di dalamnya. Penentuan daya dukung lingkungan hidup dilakukan dengan cara mengetahui kapasitas lingkungan dan sumber daya untuk mendukung kehidupan manusia. “Dengan adanya daya dukung dan tam pung ini kita bisa merencanakan arah
pengembangan wilayahnya. Arahnya nanti mau seperti apa? Apakah domi nasinya untuk pemukiman atau perta nian,” terangnya. Terkait perencanaan wilayah, Ari menjelaskan bahwa khususnya renca na yang terkait dengan alih fungsi lahan tidak hanya terbatas pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). “Regulasi ten tang alih fungsi lahan tidak hanya ada di RTRW. Banyak regulasi turunannya. Ada yang namanya Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) untuk instrumen pengen dalian alih fungsi lahan. RTRW sifatnya makro dan operasionalnya harus didu kung RDTR,” tambahnya.
Perkembangan Kawasan Jadi Pemicu
Menyikapi permasalahan alih fung si lahan, Ari menerangkan bahwa alih fungsi lahan tidak bisa dipisahkan dari
REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN faktor-faktor pendorongnya. Masalah pokoknya ada di pertumbuhan penduduk yang pasti membutuhkan ruang untuk tempat tinggal. Ia juga menambahkan bahwa perkembangan kawasan pun turut menjadi pemicu. Kawasan di sini berbeda dengan wilayah administrasi. “Wilayah administrasi jelas batasnya tapi yang na manya kawasan itu merupakan fungsi kegiatan,” terang Ari. Ari mencontohkan sebagai pusat perdagangan dan jasa, Kota Yogyakarta memiliki daya dukung dan tampung yang terbatas. Ruangnya pun terbatas. Keter batasan ruang inilah yang menyebab kan fungsi kegiatan meluas ke daerah sekitarnya. “Pertumbuhan ekonomi ini membutuhkan ruang, sektor jasa mem butuhkan ruang, begitu pula untuk pemu kiman,” tambahnya. Ditambah lagi Kota Yogyakarta merupakan salah satu pusat kegiatan nasional yang menyebabkan kota ini menjadi kota yang strategis.
Lahan Pertanian Terus Berkurang
Ketika lahan produktif habis, daerah akan kesulitan mencukupi kebutuhan pangannya. Luas lahan pertanian di Kota Yogyakarta pada 2008, 130,0285ha se dangkan pada 2014 luasnya berkurang menjadi 105,5951ha. Artinya, selama ku run waktu tujuh tahun lahan pertanian di Kota Yogyakarta berkurang seluas 24,4334ha. Ari men er angk an bahw a unt uk memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (IMB) harus ada izin perubahan peng gunaan tanah dari kantor pertanahan. Kantor pertanahan akan melihat lokasi yang diajukan sesuai dengan tata ruang nya atau tidak. Jadi, IMB akan terbit jika tanah sudah beralihfungsi. “Izinnya pun bisa ditolak kalau peruntukannya tidak sesuai dengan ketentuan,” ungkapAri. Bambang Turyono A. Ptnh., Kepala Subd iv is i Penatagunaan Tanah dan Kawasan Tertentu Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta menjelaskan bahwa di wilayah Kota Yogyakarta tidak terdapat zona perlindungan lahan sawah abadi. Jika ada permohonan alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian akan di izinkan selama sesuai dengan RTRW. “Terkait maraknya alih fungsi lahan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta ber peran mengendalikan konversi lahan per tanian. Sesuai dengan Pasal 10 Peratur an Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004
tentang Penatagunaan Tanah ditetapkan bahwa penyelesaian administrasi perta nahan hanya dapat dilaksanakan apabila telah memenuhi persyaratan penggunaan dan pemanfaatan lahan sesuai arahan dalam RTRW,” terang Bambang. Selain itu, dalam pelaksanaan UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Per lind unga n Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), Bambang men jelaskan bahwa BPN telah melaksanakan inventarisasi dan penetapan zonasi tanah sawah beririgasi dalam rangka ketahanan pangan nasional. “Zona perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan tersebut tidak diperkenankan untuk dia lihfungsikan, kecuali untuk kepentingan tertentu yang bersifat nasional dengan persetujuan instansi terkait di tingkat pusat. Tanah yang dikonversi harus di ganti di tempat lain melalui perhitungan produksi yang setara dan mekanisme insentif bagi pemilik sawah yang ber sangkutan,” terang Bambang. Sebagai implementasi amanat UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Per lindungan LP2B, Pemerintah Provinsi DIY yang digagas oleh Dinas Pertanian Provinsi DIY dengan persetujuan bersama DPRD telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan LP2B. Moedji Raharjo, S.H., M.Hum., melalui birohukum.jogjaprov.go.id menilai bahwa dalam implementasi nya, Perda Nomor 10 Tahun 2011 tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap proaktif yang memadai dari para pemangku kepentingan. Menurut Moedji setidaknya terdapat tiga kendala mendasar yang menjadi alasan perat uran pengendalian konversi lahan sulit ter laksana, yaitu kendala pada koordinasi kebijakan, pelaksanaan, dan konsistensi perencanaan. Terkait dengan tiga ken dala tersebut, tidak efektifnya peraturan yang telah ada juga dipengaruhi oleh sistem administrasi lahan masih le mah, koordinasi antarlembaga yang terkait kurang kuat, implementasi tata ruang yang belum memasya rakat, dan konservasi tanah dan air yang belum memadai. Di sis i lai n, Moedji men il ai persepsi kerugian alih fungsi lahan sawah cenderung bisa ke bawah. Dampak negatif alih fungsi lahan, khususnya sawah, tidak dianggap sebagai persoalan yang perlu dita
ngani secara serius dan konsisten. Kom petensi untuk melakukan pengendalian alih fungsi lahan sawah masih rendah karena belum adanya suatu aturan baku yang dapat memayungi seluruh upaya pengendalian yang dilakukan dan per lindungan terhadap lahan pertanian produktif yang ada. Trigus Eko dan Sri Rahayu dalam jurnalnya yang berjudul “Perubahan Penggunaan Lahan dan Kesesuaiannya terhadap RDTR di Wilayah Peri-Urban Studi Kasus: Kecamatan Mlati” menyim pulkan bahwa wilayah yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta telah mengalami penurunan luas lahan per tanian sebanyak 301,9ha dalam kurun waktu 1996 sampai 2010. Purwo Utomo, warga Dusun Kragilan, Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, juga membenarkan hal tersebut. Purwo yang dulunya berprofesi sebagai petani terse but mengungkapkan bahwa dahulu lahan pertanian di Desa Sinduadi masih luas. Namun, karena kawasan ini berbatasan langsung dengan kota, sekarang banyak lahan pertanian yang berubah menjadi perumahan. “Dulu ada kelompok tani nya tapi sekarang sudah tidak aktif la gi, ya karena sawahnya sekarang sudah semakin sedikit. Juga di sini sekarang sudah dianggap lahan kering semua,” ungkap Purwo. Samto, Ketua Kelompok Tani Karang Bajang, Desa Tlogoadi, Kecamatan Mlati menceritakan bahwa daerah Tlogoadi banyak muncul perumahan baru. Selama 2014 sampai 2015 sepanjang Jalan Kebon Agung mulai dari Terminal Jombor ke arah barat sudah ada lebih dari 4 peru mahan. Jarak antarperumahan tak lebih dari lima kilometer. Ada yang sudah ber diri maup un yang baru didirikan. “Se muanya itu dulunya merupakan lahan pertanian,” terang Samto. Laporan oleh Abi dan Farid
Farid | EKSPRESI
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 17
ANALISIS UTA MA
Sumur Asat: Potret Buruk Pengelolaan Tata Ruang Oleh Siti Khanifah
M
araknya pembangunan hotel, apartemen, dan mal di Kota Yogyakarta berdampak bu ruk pada lingkungan, salah satunya krisis air. Menurut Drs. Suhadi Purwantara, M.Si., dosen Jurusan Geografi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), banyaknya pembangunan hotel, apartemen, dan mal di Kota Yogyakarta menyebabkan wilayah resapan air ber kurang. Akibatnya, air hujan turun lang sung mengalir ke laut tanpa meresap ke tanah. Keadaan tersebut semakin diper parah dengan adanya pembangunan di kawasan pegunungan. Padahal, wilayah ini berfungsi sebagai daerah resapan. “Air yang meresap ke tanah semakin se dikit padahal pengambilan air semakin besar,” tambahnya. Suhadi juga menjelaskan bahwa pembangunan tanpa pertimbangan yang matang akan menyebabkan kuantitas dan kualitas air menurun. Hotel misalnya, menurut data pada tahun 2012 terda pat 54 hotel berbintang di Yogyakarta dengan 5.150 kamar dan 8.171 tempat tidur. Selain itu ada 1.100 hotel melati dengan 13.309 kamar dan 21.720 tem pat tidur. Satu kamar hotel diperkirakan membutuhkan sekitar 380 liter air per harinya, jumlah ini tentu lebih besar jika dibandingkan dengan kebutuhan air ru mah tangga yang hanya sekitar 300 liter per hari. “Besarnya air yang digunakan berbanding lurus dengan limbah yang dihasilkan dari aktivitas penggunaan air bersih. Ini menyebabkan kual itas air menurun,” terang Suhadi. Suhadi juga menuntut jika hotel, apartemen, dan mal tetap mengambil air tanah dalam. Pihak hotel, apartemen, dan mal harus nya memberikan fasilitas kepada warga sekitar agar tidak kehilangan sumber air bersih. Fasilitas itu dapat berupa bak-bak penampungan, membuatkan sumur, atau memberikan pompa air. Suhadi juga menambahkan, pemba ngunan tidak akan bermasalah jika tidak mengganggu keberadaan air tanah. Akan
18 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
Abi | EKSPRESI
jadi masalah jika pemba ngunan tersebut meng akibatkan kuantitas air berkurang dan kualitas air menurun. Menurut Suhadi pengambilan air tanah dalam tidak akan jadi masalah jika masih pada batas aman atau yang disebut den gan save yield. Men ur ut Eko Teguh Paripurno dalam jurnal yang ber judul “Analisis DPSIR terhadap Sumber Daya Air di Yogyakarta dan Sekitarnya” kar anga n Bosman Batubara, eks traksi air tanah berle bihan ini terjadi karena Cipta, warga Miliran yang sumur miliknya kering. sejumlah hotel berbintang menyedot air secara serampangan. Pe sekarang sudah musim hujan, akan te ngambilan air tanah yang serampangan tapi tetap ada kekhawatiran kalau nanti ini terjadi karena buruknya manajemen air akan terjadi krisis air lagi ketika musim hotel. Pada akhirnya, hal ini mengganggu kemarau datang. “Sekarang sumurnya ketersediaan air di sumur milik warga. sudah tidak kering karena sudah mu Padahal, hotel tidak dapat menggantung sim hujan, tapi tidak tahu kalau nanti kan pasokan airnya terhadap Perusahaan musim kemarau sumurnya asat lagi apa Daerah Air Minum (PDAM). tidak,” tutur Cipta. Cipta, salah satu warga Desa Miliran Menurut Suhadi berkurangnya re mengaku semenjak adanya pembangun sapan air terjadi karena adanya pem an hotel di daerahnya sumur menjadi bangunan tanpa memikirkan Ruang kering. Padahal, selama 50 tahun ia ting Terbuka Hijau (RTH). Jika air tanah gal di Miliran tidak pernah mengalami diambil terus-menerus, pori- pori tanah kekeringan walaupun kemarau panjang. akan semakin tertekan sehingga terjadi Untuk mengatasi krisis air yang terjadi penurunan permukaan air tanah. Dae warga Miliran harus memperdalam su rah pegunungan yang harusnya menjadi mur agar memperoleh sumber air un daerah resapan tidak berfungsi seperti tuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. semestinya karena adanya pembangun “Sumurnya asat, jadi harus memper an. Suhadi memaparkan krisis air dapat dalam sumurnya. Dulu tidak pernah dihindari jika pemerintah dapat menge mengalami kekeringan semacam ini, lola pembangunan wilayah dengan benar baru kali ini setelah ada hotel jadi ke dan memperbanyak daerah resapan. Se keringan,” ungkap Cipta. Sebanyak dua lain itu pemerintah harus memberikan Rukun Tetangga (RT) di Miliran, yaitu pengetahuan kepada masyarakat agar RT 13 dan RT 14 yang letaknya berada di mau untuk membuat sumur resapan. dekat hotel mengal ami krisis air. Cipta Setidaknya di setiap rumah harus me mengaku jika sekarang sumurnya su miliki satu sumur resapan. dah tidak mengalami kekeringan karena Laporan oleh Abi dan Farid
REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN
Main Curang Makelar Oleh Nia Aprilianingsih
B
erawal dari natalitas serta per kembangan dan pertumbuhan ekonomi di perkotaan, angka alih fungsi lahan di DIY menca pai 231ha/tahun. Dalam praktiknya, alih fungsi lahan sering melibatkan penjual, pembeli, dan makelar sebagai perantara. Namun, ada juga makelar yang memban tu urusan surat-menyurat guna mem permulus transaksi. Mengurus administrasi pertanahan tentu tidak mudah. Ada banyak tahapan dan aturan yang harus dipatuhi. Bebe rapa makelar dapat menyiasatinya. Hal itu diakui oleh seor ang makelar berini sial SG. Wawancara yang dilakukan oleh Nia Aprilianingsih, Reporter EKSPRESI, mencoba mengungkap bahwa penggunaan uang pelicin untuk memu luskan transaksi bukanlah hal baru.
Sudah berapa lama Anda berprofesi seba gai makelar? Sudah 16 tahun.
Biasanya tanah yang Anda jual dibangun untuk apa?
Ya, beragam. Ada rumah pribadi dan perumahan.
boleh ada bangunan. Lha, itu kok malah ada. Karena apa? Duit!
Ada yang main uang di pemerintahan ter kait perizinan?
Ada banyak. Makelar kenal dengan orang-orang yang ada di sana. Tapi, uang ya tetap pokok.
Seberapa besar peran makelar dalam jual beli tanah?
Makelar berperan sebagai perantara. Makelar biasa tidak akan bisa sampai ke ranah yang lebih besar (mengurus surat, red.). Pak Ses (nama salah satu makelar kenalannya, red.) tidak paham urusan su rat. Dia cuma perantara. Kalau saya, kan, mengurus semua surat. Harus menyele saikan surat-menyurat sampai selesai. Nakal sedikit, ya, ndak apa-apa. Ban yak yang bert anya mengap a mengurus surat itu lama. Ada puluhan berkas yang harus ditangani setiap ha ri. Kalau ada berkas baru, berkas lama tentunya bakal ditumpuki berkas baru. Kalau berkas sudah lama namun belum ditangani, ya, kudu ngasih uang. Baru lah berkas itu dibongkar dan ditangani lagi.
Alih fungsi lahan di DIY semakin meningkat. Bagaimana menurut Anda? Nah, yang membuat alih fungsi la han itu sebetulnya apa? Pertambahan penduduk, kan.
Banyak lahan produktif beralih jadi pe rumahan dan lain-lain. Bagaimana itu, Pak?
Perumahan di samping kampung ini bayar ke kas RT sebesar 25 juta untuk sosialisasi. Tanpa sosialisasi, tidak akan boleh. Pemborong perumahan nyum bang ke pedukuhan. Satu pedukuhan diundang lalu dikasih makan, uang 50 ribu, dan sebagainya. Sosialisasi agar izin dapat lolos. Kalau masyarakat tidak setu ju pembangunan perumahan, misalnya, izin tidak akan lolos. Tapi, berhubung sudah dikasih uang, ya, setuju saja. Sawah di barat desa itu kan harusnya jadi lahan produktif untuk padi. Tidak
Akta jual beli dan sertifikat tanah. Makelar tanah bertugas mempermudah penerbitan dokumen ini.
Lahan produktif tidak diperbolehkan jadi pe rumahan. Sleman dijadikan daerah resapan air tapi banyak bangunan di sana. Iya, Sleman sudah rusak. Banyak pega wai nakal karena mau terima “ini” (sambil menjentikkan jari-jarinya sebagai simbol uang sogokan, red.). Yang daerah Sleman atas mestinya enggak lolos karena di sana banyak padi. Kenapa lolos? Uang.
Setahu Anda, lahan pertanian seperti apa yang boleh dialihfungsikan? Lahan atau sawah yang berada di jalur kuning. Lahan itu berada di de kat jalan besar. Walaupun banyak air dan cocok ditanami padi ya tetap boleh didirikan bangunan. Sawah yang mau dibangun harus dikeringkan.
Idealnya, tata kota harus direncanakan. Apakah karena tidak terencana dengan baik sehingga banyak alih fungsi lahan? Uang dan kebutuhan. Teorinya be nar. Tapi, dua hal itu yang berpengaruh besar. Mengapa banyak yang memilih beli rumah di perumahan? Karena bisa diangsur. Izin perumahan itu mahal. Bisa lebih dari 10 juta/rumah.
Harusnya birokrat seperti apa?
Birokrat harusnya tahu aturan. Te gas mungkin hanya satu atau dua orang. Lha, di ruangan itu ada banyak orang. Ada kasi-kasi lain. Nanti yang ngregoli (mengganggu, red.), singkirkan, pindah. Kamu jujur, mblesek. Enggak naik pang kat. Birokrasinya bobrok. Yang ngurus perizinan itu pembo rong. Makelar tidak akan bisa. Yang bisa hanya satu atau dua. Di kelurahan yang bisa ngurus Pak Dukuh. Kenapa saya bisa ngurus? Karena kenal dekat secara pribadi dan punya hubungan baik. Misal, lurah sebelumnya Pak A, pensiun, lalu diganti keponakannya. Itu yang bikin kenal dan punya hubungan terus. Kalau urusan surat-surat, harus me ngenal semua birokrat di pemerintah. Lurah, camat, hingga pejabat di kabu paten. Harus kenal semua. Kalau nggak kenal, enggak akan bisa lolos. Harus ke nal, harus ngamplop.n Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 19
ANALISIS UTA MA
Sumber Daya Manusia Pertanian Bermasalah
“Sumber daya manusia pertanian itu meliputi petani, petugas pertanian yang terdiri atas penyuluh, mantri tani, dan petugas dinas pertanian itu sendiri.” Oleh Sofwan Makruf
S
ekiranya demikian penjelasan mengenai pengertian sumber daya manusia (SDM) pertanian yang disampaikan oleh Kepala Balai Pengembangan Sumber Daya Pertanian (BPSDMP) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Ir. RD Maman Suherman, M.P. Melalui BPSDMP ter sebut pemerintah mengus ahakan ter wujudnya cita-cita nasional swasembada pangan. Maman menuturkan, di DIY hanya ada 60% petani yang menjadi anggota kelompok tani di daer ahnya masingmasing. Dengan bergabung ke dalam sebuah kelompok tani, masalah-masa lah yang dimiliki seorang petani dapat diselesaikan bersama. Berbeda dengan 40% petani yang tidak bergabung dalam kelompok tani. Terlebih pemerintah hanya akan memberikan bantuan kepada petani yang berg ab ung den gan seb ua h ke lompok tani tertentu. Immawan Nur S. A., S.P, M.E, selaku Kepala Seksi Bina Produksi Bidang Tanaman Padi dan Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten Sleman mengatakan, “Semua bantuan harus melalui kelompok tani. Yang uta ma, kelompok tani harus sudah diku kuhkan. Sudah mempunyai piagam pe ngukuhan bahwa secara resmi menjadi kelompok tani”. Padahal dijelaskan oleh Dr. jur. Any Andjarwati, S.H., M. jur., dalam UndangUndang (UU) No. 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Pasal 19 ayat 4 menyatakan bahwa pe merintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya membina petani, kelompok tani, dan gabungan kelompok tani dengan menghasilkan sarana pro duksi pertanian yang berkualitas. Sarana produksi pertanian tersebut mencakup benih, bibit, bakalan ternak, pupuk,
20 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
pestisida, pakan, dan obat hewan sesu ai standar mutu. Dengan hanya menya lurkan bantuan melalui kelompok tani jelas Dinas Pertanian Kabupaten Sleman sudah melanggar UU tersebut. Sel ai n it u men ur ut Put usa n Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUUXI/2013 menyatakan bahwa dan Pasal 69 ayat 1 dan Pasal 70 ayat 1 UU terse but menyebabkan diskriminasi. Pada Pasal 69 ayat 1 disebutkan bahwa pe merintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mendorong dan memfasilitasi terben tuknya kelembagaan petani. Selanjut nya dalam Pasal 70 ayat 1 disebutkan bahwa kelembagaan petani terdiri atas kelompok tani, gabungan kelompok ta ni, Asosiasi Komoditas Pertanian, dan Dewan Komoditas Pertanian Nasional. Penentuan bentuk kelembagaan petani secara sepihak oleh pemerintah meng akibatkan petani yang tergabung dalam lembaga berbeda dari yang disebutkan dalam Pasal 70 ayat 1 berpotensi tidak diberdayakan dan dilindungi pemerin tah. Sehingga, pemberlakuan kedua pa sal tersebut menimbulkan diskriminasi karena petani tidak mendapatkan hak dan kewajiban yang sama berdasarkan undang-undang. Selain tidak bisa mengakses bantuan dari pemerintah, mereka yang memilih tidak bergabung dengan kelompok tani akan rentan dipermainkan oleh pihakpihak yang ingin mengambil keuntungan dari kondisi tersebut. Karena tidak men dapat akses bantuan dari pemerintah yang berbentuk subsidi bahan pertanian, petani yang berjumlah 40% tersebut ter paksa membeli kebutuhan pertanian dari spekulan yang kerap mempermainkan harga bahan pertanian tersebut. “Padahal pupuk bersubsidi dan lain sebagainya itu penerimanya yang masuk kelompok
tani. Belum soal spekulan yang berma in. Jadi memang kompleks permasalah annya,” ujar Maman. “Para petani yang berjumlah 40% tersebut adalah mereka yang kebanyakan bukan menggarap la han tani milik mereka sendiri. Mereka memburuh kepada pemilik lahan dengan perjanjian bagi hasil di setiap panennya,“ tambahnya. Seorang petani yang memiliki lahan pertanian dan menggarapnya sendiri kebanyakan malah mengalihfungsikan lahan pertanian mereka. Hal ini kerap terjadi karena mereka tidak merasakan untung atas usaha pertanian yang ia ker jakan. Bila petani ingin merasakan profit atas usaha tani yang ia kerjakan, setidak nya ada luas minimal lahan pertanian yang harus ia miliki. Hal itu disampaikan oleh Immawan. “Kalau pertanian jenis pangan dengan luas lahan yang sempit itu tidak menguntungkan. Kalau lahan pa di hitungan ekonominya minimal harus 2ha. Itu dihitung lengkap dengan variabel kebutuhan tani selama 1 masa panen,” terangnya. Senada dengan Immawan, Maman juga berpendapat bahwa perma salahannya petani merasa tidak sejahtera sebab kepemilikan lahan mereka sudah sempit. Inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa seorang petani menjual lahan garapan miliknya.
Bantuan untuk Petani
Seorang petani akan mendapatban tuan dari pemerintah berupa sarana pra sarana, baik itu budidaya maup un pada pengolahannya. Immawan menerang kan bahwa untuk tanaman padi, pada tahun 2015 Dinas Pertanian Kabupaten Sleman mengucurkan dana lebih dari 7 miliar rupiah untuk pemberian sarana prasarana budidaya. Itu meliputi bantu an benih, pupuk, pestisida, dan tenaga
REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN Sofwan | EKSPRESI
Suasana Diklat yang diadakan oleh BPSDMP. Diklat tersebur diadakan untuk memberikan penyuluhan kepada aparatur dalam membudidayakan padi.
tanam. Dengan hal itu diharapkan pro duksi meningkat dan penghasilan petani lebih baik. Selain bantuan yang berwujud fisik, petani juga mendapatbantuan nonfisik, berupa pendidikan dan pelatihan dari dinas terkait. Bantuan lainnya berupa kebijakan-kebijakan yang disiapkan un tuk melindungi hak-hak petani. Mengenai kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk melindungi para pe tani, Maman mengatakan, ”Pemerintah sudah berus aha agar petani tidak menga lifungsikan lahannya. Dengan memberi kan insentif, misal sertifikasi tanah gratis, bantuan benih, sarana prasarana, sampai bantuan pemasaran sehingga petani be nar-benar terbantu,” jelasnya. Dinas Pertanian Kabupaten Sleman pun juga mengadakan monitoring seca ra rutin untuk menyerap aspirasi dari petani di daer ahnya. Pertemuan terse but dilaksanakan 3 bulan sekali. “Da lam setiap pertemuan kelompok kami selalu menekankan lahan yang sudah ada jangan sampai dialihfungsikan,” te rang Immawan. “Di samping itu setiap bulan kelompok-kelompok tani tersebut selalu mengadakan pertemuan rutin,” tambahnya. Selain itu pembinaan dalam ben tuk pelatihan juga diberikan BPSDMP. Dengan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), BPSDMP melakukan sosialisasi, pen didikan, dan pelatihan kepada seluruh
elemen SDM pertanian yang ada. Tidak hanya untuk pertanian padi, namun juga kepada seluruh komoditas. “Selain padi, ada tanaman pangan lain, holtikultura, dan peternakan juga. Ditambah peng olahan hasil, pelatihan kelembagaan. Untuk melaksanakan kegiatan tersebut diberi dana kurang lebih 1,3 miliar rupi ah. Dalam setiap pelatihan kurang lebih diikuti oleh 30 petani,” jelas Maman. Di tahun 2015 ada total 130 angkatan. Masih ada lagi bantuan nonfisik yang diberikan pemerintah kepada petani. Bantuan tersebut berupa transfer tek nologi tanam yang bermacam jenis “Ada teknologi budidaya, teknologi kelemba gaan, teknologi pascapanen, sampai tek nologi pemasaran,” terang Maman.
Alih Fungsi Lahannya Petani
Immawan berani menyatakan bah wa alih fungsi lahan di kawasan pedesa an 100% tidak memiliki izin dari pihak yang berwenang. “Kalau di desa bisa di katakan 100% tidak berizin,” ujarnya. Kemudian ia memberi contoh kawasan yang lahan pertaniannya mengalami alih fungsi lahan namun tidak beriz in resmi. “Misalnya di daerah Ngaglik di Dusun Sadonoharjo hanya beberapa persen yang berizin. Mungkin hanya perumahan-pe rumahan itu yang beriz in, pun tidak se mua perumahan mempunyai izin,” terang Immawan. Menurut Immawan hal ini sudah lumrah terjadi di Sleman. Terlebih bila
kawasan tersebut merupakan kawasan yang sedang mengalami pertumbuh an ekonomi yang pesat. Secara pribadi Immawan tidak setuju bila terjadi alih fungsi lahan yang tidak semestinya ka rena menurutnya itu melanggar aturan yang dibuat oleh pemerintah. Daerah-daerah tersebut seharus nya memang tidak diperkenankan un tuk dialihfungsikan, namun bila dita nya kenapa hal tersebut tetap terjadi Immawan hanya dapat berucap, “Ya, mau bagaimana lagi?” Immawan mem beberkan alasan mengapa alih fungsi lahan tersebut masih marak di kawas an Sleman. “Sebabnya di situ juga ada kep ent inga n ek on om i. Kep ent inga n untuk menumbuhkan perekonomian demi meningkatkan Penerimaan Asli Daerah (PAD). Jadi, dilematis. Untuk menghindari itu kami membuat pera turan daerah mengenai lahan pertanian pangan berkelanjutan,” jelasnya. Menanggapi alih fungsi lahan perta nian yang marak terjadi di DIY, Maman berpendapat hal itu terjadi karena be berapa faktor. Pertama, karena jumlah penduduk di DIY dan Indonesia pada umumnya, memang semakin meningkat. Kedua, Yogyakarta sebagai kota pariwisa ta dan kota pendidikan menjadi magnet untuk wisatawan dan pendatang. “Mau tak mau pembangunan yang terkait fisik baik untuk bisnis maupun tempat tinggal harus terus berjalan,” imbuh Maman. Laporan oleh Abi, Farid dan Janti
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 21
ANALISIS UTA MA
Penanganan Buruk Percepat Alih Fungsi
Butuh komitmen dan penanganan yang tepat untuk meminimalkan alih fungsi lahan. Jika tidak, kepadatan penduduk dan tata ruang justru akan mempercepat alih fungsi lahan. Oleh Najih Shu’udi
P
etani adalah tonggak utama da lam ketahanan dan kedaul atan pan gan. Men ur ut dat a yang dih imp un dar i Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014, persenta se lahan menurut penggunaan lahan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah sawah (wetland) sebesar 17,74%, lahan bukan pertanian (non-agricultural area) 24,93%, lahan pertanian lainnya (other agricultural area) 26,48%, tegal, kebun (dryland) 30,55%, dan lahan se mentara tidak diusahakan (temporarily follow land) 0,3%. Alih fungsi lahan menjadi masalah yang tak kunjung habis jika tidak ada penanganan yang serius Repro Randy | EKSPRESI
ak an ber d a m p a k t e r h a d a p ketersediaan pan gan yang bersifat jangka
panjang. Berkaitan dengan itu, Subdivisi Litbang EKSPRESI Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) mengadakan polling untuk mengetahui respons masyarakat di 17 kecamatan di Bantul, dan 17 keca matan di Sleman mengenai alih fungsi lahan. Sampel yang diambil untuk po pulasi sebanyak 2.096.733 adalah 200. Penentuan sampel menggunakan metode sampel acak sederhana. Responden terdiri atas 148 orang yang mempunyai lahan dan 52 orang tidak mempunyai lahan. Dari 148 res ponden terdapat pemilik lahan basah (waterland) sebanyak 113 orang dan 35 orang pemilik lahan kering (dryland).
Bertani sebagai Sampingan
Berdasarkan hasil polling, petani tidak menjadi pekerjaan utama. Seba nyak 106 responden ada yang berkerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), buruh, wiraswasta, dan karyawan. Hanya 83 orang yang menjadikan petani sebagai pekerjaan utama. Se banyak 166 orang berpendapat bahwa pendapatan yang diperol eh dari bertani belum dapat memenuhi kebutuhan kelu arga, 15 orang mengatakan penghasilan petani sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan 19 orang tidak menjawab. Dari data di atas, 83 orang yang menjadikan bertani sebagai peker jaan utama masih belum bisa mencukupi kebutuhan keluarga.
Pendapatan utama 112 orang masih menggantungkan kehidupan ekonominya dari bertani sedangkan 77 orang bertani sebagai tambahan pendapatan. Sisanya 11 orang tidak menjawab. Pemerintah memiliki fungsi penga wasan untuk mengurangi terjadinya alih fungsi lahan. Namun, ternyata, sebanyak 70,5% responden menganggap pemerin tah belum melaksanakan pengawasan dengan baik, 17% menganggap sudah baik, dan 12,5% tidak menjawab. Ini sela ras dengan data yang dicatat oleh Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan bahwa dari tahun 2008-2013 Yogyakarta mengalami penurunan luasan lahan yang fluktuatif. Data menunjukkan bahwa ta hun 2008 luas lahan pertanian sebanyak 23.005 ha. Tahun 2009, 2010, 2011, 2012, dan 2013 mengalami penurunan berturut-turut sebesar 91 ha, 95 ha, 35 ha, 127 ha, dan 36 ha. Masyarakat mengharapkan peme rintah lebih aktif mengawal kasus alih fungsi lahan. Sebanyak 73% menjawab setuju, 17,5% menjawab sangat setuju, 3,5% menjawab tidak setuju, 5,5% men jawab sangat tidak setuju, dan 0,5% ti dak menjawab. Karena masyarakat tidak ingin adanya alih fungsi lahan terhadap lahan produktif, banyak yang menentang alih fungsi lahan produktif sebesar 86,5% menentang, 12% menerima, dan 1,5% tidak menjawab.
Kepadatan Penduduk Memengaruhi Alih Fungsi Lahan. 67% Setuju
13% Tidak Setuju
22 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
11% Sangat Setuju
6% Sangat Tidak Setuju
3% Tidak Menjawab
Randy | EKSPRESI
REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN Tata Ruang Kota bermasalah
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang telah mengamanatkan bahwa Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi, kabupaten, atau kota wajib mencantumkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) 30% dar i lua s wil ay ah untuk menjaga keberlangsungan ke hidupan yang berkelanjutan. Sebanyak 60% responden menganggap tata ruang kota masih bermasalah, 37,5% meng angg ap bai k, dan 2,5% tid ak menj a wab. Berkaitan dengan sudah baiknya perat uran mengatur alih fungsi lahan, sebanyak 12% masyarakat sangat tidak setuju, 48,5% tidak setuju, 30% setu ju, 6,5% sangat setuju, dan 3% tidak menjawab. Kepadatan penduduk yang tidak dik end al ik an dap at menga k ib atk an perluasan lahan perumahan yang akan menggusur lahan produktif. Dari data yang dihimpun oleh BPS, kepadatan pen duduk di Sleman tahun 2012 mencapai 1939 jiwa/km2 sedangkan di Bantul 1831 jiwa/km2.
Pengutamaan Ketahanan Pangan
Pendapat bahwa menjual tanah le bih menguntungkan dibanding mengo lahnya ditanggapi beragam oleh respon den. Sebanyak 13% tidak menyetujui hal tersebut, 54% menjawab sangat tidak setuju, 22% menjawab setuju, 10,5% menjawab sangat setuju dan 0,5% ti dak menjawab. Artinya, lebih banyak responden yang mempunyai lahan dan tidak ingin dialihfungsikan. Berkeba lik an dari has il ini, Dokuen Analisis Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebanyak 33% responden sangat menyetujui bahwa petani dan lahan pertanian membutuhkan perhatian dari pemerintah agar mencapai ketersediaan pangan. Selanjutnya, 6,5% sangat tidak setuju, 2,5% tidak setuju, dan 58% setuju.
Ada banyak per at ura n yang di keluarkan untuk mel ind ungi ke tersedian pangan baik oleh peme rintah pusat ma upun pemerintah daerah, di anta ranya adalah UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Per lindungan Lahan Pertanian Pangan B e r k e l a n j u t a n dan Peraturan Daerah (Perda) DIY men gen ai perlindungan la han pert an ia n pan gan berk e lanjutan. B u r u k n y a tata ruang kota, kegiatan bertani yang bel um cu kup mengh id u pi keluarga, dan memperbaiki ke tahanan pangan mer up ak an hal yang harus dibe nahi oleh pemerintah. Setiap tahun angka kepadatan penduduk terus bertambah dan berbanding lurus dengan bertambahnya angka alih fungsi lahan. Perlu peraturan, pengawasan, dan penindakan yang tegas untuk memperkecil dan meng ant is ip as i damp ak alih fungsi lahan. Pend ay ag un a an lahan harus t r a n s p a r a n dan melibat kan mas ya rak at. Hal
Bentuk-bentuk Bangunan Alih Fungsi Lahan.
61%
14% 6% 4% 15%
tersebut disetujui oleh 62% responden, 2,5% sangat tidak setuju, 4% tidak se tuju, 31% sangat setuju, dan 0,5% tidak menjawab.n
27,5% Ya
72% Tidak Ra
y| nd
EKS
PRESI
0,5% Tidak Menjawab
Responden Mengetahui Alur Alih Fungsi Lahan.
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 23
ANALISIS UTA MA
Alih Fungsi Lahan Ancam Ketahanan Pangan Oleh Randy Arba Pahlevi
K
ebutuhan pembangunan hu “Mestinya perda itu diikuti peraturan di nian dan ketersediaan pangan tingkat kabupaten. Selama ini, kabupa merupakan kebutuhan primer. ten belum menindaklanjutinya,” ungkap Pada batas ini, tentu tidak ada Sasongko. alasan salah satu dianggap lebih penting dibandingkan yang lain. Tetapi, kenya Penghambat Laju Alih Fungsi Lahan taannya banyak pembangunan hunian Untuk menghambat alih fungsi la mengesampingkan ketersediaan lahan han, Dinas Pertanian DIY melakukan produktif sehingga mengabaikan keta beberapa cara, salah satunya dengan ser tifikasi lahan. “Jadi, lahan persawahan hanan pangan. “Bila ketahanan pangan suat u negara terganggu, kehidupan ne dibuatkan sertifikat di pusat untuk tidak gara itu juga akan terganggu. Jadi, keta dialihfungsikan,” terang Sasongko. Sete hanan pangan itu sama dengan ketahan lah dilakukan sertifikasi, pemilik diberi an negara,” terang Ir. Sasongko selaku fasilitas berupa pupuk dan benih. Kepala Dinas Pertanian Daerah Istimewa Sertifikasi lahan tercantum dalam Yogyakarta (DIY). Randy | EKSPRESI Sasongko menegaskan bahwa alih fungsi lahan ha rus segera dihentikan. “Ka lau lahan berkurang berarti daya dukung (ketahanan pa ngan, red.) berkurang. Oleh karena itu, alih fungsi lahan harus dikendalikan”. Ketua Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) DIY, Ir. Arofa Noor Indriani, M.Si., juga membenarkan hal terse but. “Alih fungsi lahan yang tadinya berupa lahan subur atau lahan pertanian seka rang berubah menjadi lahan untuk papan dan tidak untuk pangan, hal tersebut menjadi satu tanggung jawab bersa Ir. Arofa Noor Indriani, M.Si., saat menjelaskan mengenai program ma,” kata Arofa. Ir. Sasongko menutur diversifikasi pangan di Yogyakarta. Diversifikasi pangan menjadi kan untuk menanggulangi program unggulan BPKP untuk menghadapi isu ketahanan pangan. at au men gend al ik an al ih fungsi lahan di Yogyakarta, diterbit Pedoman Teknis Prasertifikasi Lahan kan Peraturan Daerah (Perda) No. 11 Pertanian Tahun 2014. Tujuannya untuk Tahun 2011 tentang Perlindungan Lahan mendukung dan mempertahankan pa ngan nasional serta mendapat sertifikat Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) sebagai amanat Undang-Undang No. atas tanah petani dan mencegah terjadi 41 Tahun 2009 tentang LP2B. Namun, nya konversi lahan pertanian ke nonper tanian. Program sertifikasi dilaksanakan Sasongko masih menyayangkan peme rintah kabupaten yang belum menin dalam tiga tahapan, yaitu prasertifikasi, daklanjuti pelaksanaan perda tersebut. sertifikasi, dan pascasertifikasi.
24 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
Implementasi program sertifikasi lahan secara teknis dilaksanakan oleh Dinas Pertanian di setiap kabupaten. Diharapkan ada komitmen dari peme rint ah kab up at en den gan memb ua t pernyataan, misal pembebasan pajak lahan. “Nah, ini yang sedang kami garap. Kenapa lahan pertanian beralih fung si? Seberapa menjanjikan pendapatan pet an i ap ab il a lah an tet ap dig un a kan untuk bercocok tanam?” jelas Ir. Sarworini Setyobudi Astuti, M.Si., selaku Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian DIY. “Per ih al imp lem ent as i mem ang suk ar dil aks an ak an. Sanksi diberikan bukan oleh BKPP tapi oleh pe mer int ah kab up at en. Kam i han ya men gat ur mapping atau memeta kan lahan yang tidak boleh dial ihfungsikan,” terang Arofa. Kes uk ara n munc ul ketika aturan itu turun di masyarakat. Lahan ternya ta tidak hanya dimiliki satu orang dan memiliki tujuan yang berbeda. “Pemerintah sudah berupaya mendekati secara intensif. Tapi, apa yang terjadi sudah hak mi lik masyarakat. Kami tidak bisa menekan masyarakat. Kalau masyarakat sadar, ya, monggo. Silakan lahan ini dipakai untuk persawahan, lalu kami berikan insentif. Tapi kenyataannya tidak seperti itu. Mungkin, hanya seribu banding satu yang seperti itu,” terang Arofa. Insentif menurut UU menjadi tanggung jawab pusat, provinsi, maupun kabupaten. Pemerintah pusat menganggap insentif berupa subsidi be nih, subsidi pupuk, kemudian jaringan irigasi. Pengertian insentif masih rancu. Menurut Sarworini, segala kegiatan yang
REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN
DOKUMEN ISTIMEWA
masuk ke kabupaten menggunakan dana dari pusat akan dianggap insentif.
Alternatif Selain Padi
Menanggapi masalah ketahanan pangan, pihak BKPP DIY sudah mem punyai rencana khusus, yakni melak sanakan program diversifikasi pangan yang berjalan sejak empat tahun lalu. “Tingginya alih fungsi lahan ke nonper tanian merupakan salah satu tanggung jawab kami,” terang Arofa. BKPP telah melakukan kajian pe rihal krisis pangan di DIY sejak tahun 2012 kar en a led aka n pert umb uha n penduduk tidak bisa dibendung lagi. Keb ut uha n pan gan DIY men ingk at seiring perhotelan yang menjamur di wil ay ah DIY. Kajian yang dil akukan oleh BKPP menyatakan bahwa krisis pangan diprediksi terjadi pada 2039 de ngan konsumennya adalah penduduk. “Kalau kita menghitung dan mengkaji hanya kebutuhan penduduk, artinya tan pa kebutuhan lain, krisis pangan terjadi pada 2039,” tegas Arofa. Namun, jika dikaji melalui keragam an konsumen, seperti wisatawan, rumah sakit, industri pangan, dan rumah tangga, krisis pangan diprediksi terjadi di tahun 2020. Data kajian yang dimulai sejak dua tahun lalu tersebut menunjukkan
bahwa krisis pangan mungkin datang le bih cepat. “Kebutuhan pangan mengikuti jumlah wisatawan, hotel, rumah sakit, dan industri pangan. Itu semua ditotal dan diketahuilah krisis pangan terjadi pada 2020,” terang Arofa. Berdasarkan data konsumsi rata-rata per kapita beberapa bahan makanan di Indonesia diperoleh bahwa padi mendu duki peringkat pertama dengan jumlah 85.415 kg/kapita/tahun pada 2013. “Jadi, konsumsi pangan ini dikendalikan de ngan mengonsumsi aneka ragam pangan. Masyarakat DIY mulai kami ajak menu runkan konsumsi beras dan terigu untuk memanfaatkan potensi lokal yang ada di sekitar DIY,” terang Arofa. Ses ua i yang term akt ub dal am Perda No. 10 Tahun 2011 poin ke-3 Pengembangan Bab IV, salah satunya menyatakan bahwa diversifikasi lahan pertanian dilakukan dengan cara pe ngaturan pola tanam, tumpang sari, dan sistem pertanian terpadu. Selan jutn ya, dit er usk an den gan prog ram ekstensifikasi, yakn i mem anf aa tk an lahan marginal sebagai lahan pertani an, pemanfaatan lahan terlantar, dan pemanfaatan lahan di bawah tegakkan tanaman keras. Supaya ketahanan pangan tetap ter jaga, dilakukan dua cara. “Sasaran kami
bukan penanaman tanaman garut dan memanfaatkan sawah. Kami memanfa atkan yang saat ini sedang dikembang kan dan berkolaborasi dengan instansi terkait. Kami berusaha mengintensifkan lahan bawah tegakkan atau penanaman di kawasan hutan,” jelas Arofa. Inovasi untuk menghasilkan ba han pangan dari kawasan pangan di sebut dengan program Wanapangan. “Wana adalah alas (hutan, red.) pangan adalah pangan. Kawasan hutan belum dimanfaatkan secara optimal,” terang Arofah. Dalam melaksanakan program nya, BKPP berkolaborasi dengan Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Perikanan dan Kelautan, dan Dinas Pertanian serta badan penyuluhan di DIY. Sasaran pertama adalah Kabupaten Gunung Kidul . Selain itu, BKPP memiliki program One Day No Rice untuk mengurangi kon sumsi beras. Program ini adalah bentuk kampanye untuk mengajak dan menya darkan masyarakat guna membangun ke sadaran mengenai perlunya diversifikasi pangan yang lebih beragam. One Day No Rice dicanangkan agar dapat mengubah pola pikir masyarakat yang menganggap bahwa makanan pokok hanya nasi. Masih ada sumber daya lokal, seperti singkong, ubi, jagung, ganyong, dan garut. Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 25
ANALISIS UTA MA
Melepas Lahan, Melepas Sumber Penghidupan
Bagi sebagian petani, alih fungsi lahan bukan menjadi solusi untuk masalah ekonominya. Bahkan sebaliknya, alih fungsi lahan malah memperburuk masalah tersebut. Oleh Muhammad Nur Farid
I
repro Farid | EKSPRESI
ka Pewista dan Rika Harini dalam jurnal penelitiannya yang berjudul “Faktor dan Pengaruh Alih Fungsi Lahan Pertanian terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk di Kabupaten Bantul: Kasus Daerah Perkotaan, Ping giran, dan Pedesaan Tahun 2001-2010” menyimpulkan bahwa ada kecenderung an penurunan pendapatan petani yang mengalihfungsikan lahan pertaniannya. Kecenderungan itu muncul pada peta ni yang memiliki lahan pertanian sem pit. Penelitian tersebut dilaksanakan di Panggungharjo, Sewon; Bantul, Bantul; dan Kebonagung, Imogiri. Hasilnya me nyatakan bahwa 42,86% pemilik lahan menga l am i pen ur una n pend ap ata n, 32,86% pemilik lahan meng a l a m i peningkatan pendapatan, dan 24,29% di antara nya menyatakan tidak menga lami peru baha n
26 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
pendapatan setelah mengalihfungsikan lahan. Penurunan pendapatan juga dial ami oleh Tono, warga Sambeng, Trimurti, Srandakan. Ia mengaku harus menga lihfungsikan lahan pertaniannya karena membutuhkan lahan untuk membangun rumah. “Ya mau bagaimana lagi? Saya butuh membangun rumah. Dulu saya masih tinggal dengan mertua saya tapi sekarang kakak saya tinggal di sana ka rena rumah itu hak warisnya,” terang Tono. Sebenarnya Tono masih punya satu petak tanah namun letaknya di teng ah areal persawahan. Ia mengaku lahan pertanian yang sekarang dialihfungsikan menjadi rumah itu lebih luas daripada lahan pertaniannya yang ada di areal per sawahan. Namun karena lokasinya di tengah persawahan dan tidak ada akses jalan menuju lahan tersebut ia lebih memilih lahan pertanian yang lebih luas tersebut. Tono mengaku pernah menga lami masamasa sulit s e t e l a h m e n g a lihfungsikan lahan perta nian tersebut. “Sulit. Saat itu saya baru saja menikah, kebutuhan ekonomi jelas meningkat. Lahan yang bi sa diolah hanya yang ada di tengah sawah itu. Bisa dikatakan saat itu saya salah perhitungan. Dulu ketika saya masih memiliki dua la han, bila dihitung per bulan rata-rata pendapatan di atas Rp1.500.000,00 makanya berani membangun rumah. Ternyata setelah satu petak sawah saya bangun rumah, bila dihitung per bu lan, pemasukkannya selalu di bawah
Rp1.500.000,00,” terang Tono. Ia juga mengaku sempat stres aki bat kondisi perekonomiannya. “Kalau gagal panen, istri saya stres. Saya juga stres,” ungkapnya. Ia mengaku sudah mengusahakan berbagai hal untuk me ningkatkan pendapatan, bertani dengan cara tumpang sari, berjualan sate, hingga membuat kolam ikan yang terletak di be lakang rumahnya. “Semuan ya sudah saya usahakan, saya merasa padang (kondisi ekonominya membaik, red.) saat saya diterima menjadi guru honorer,” terang Tono. Ia mengaku sudah menjadi guru honorer selama 8 tahun. “Setelah menja di guru honorer pun tidak langsung byar (kondisi ekonominya membaik, red.) tapi kan paling tidak, ada pemasukan tetap setiap bulan,” ungkapnya. Pengalaman yang hampir sama ju ga pernah dialami Ahmad Walidi warga Bobok, Patalan, Jetis, Bantul. Ia mengaku terpaksa mengalihfungsikan lahannya karena pesimis dengan penghasilannya sebagai petani. “Enggak ada jaminan se jahtera kalau jadi petani. Harganya ti dak stabil. Kalau lagi panen raya harga padi atau bawang merah selalu murah. Kalau pas gagal panen, harganya malah mahal,” ungkap Walidi. Alasan lainnya adalah keinginan untuk mempunyai pe masukan harian yang tetap. “Kalau pe tani kan pemasukkannya setiap panen. Kerjanya setiap hari tapi dapat uangnya belakangan. Itu pun harganya juga tidak menentu,” pungkasnya. Bapak empat anak itu sempat meng alihfungsikan lahan pertaniannya men jadi warung kelontong. “Saat itu saya pikir dengan berjualan maka pendapatan saya akan lebih mending daripada saat menjadi petani,” terang Walidi. Ternyata perkiraan tersebut meleset, pendapat an Walidi malah cenderung menurun bahkan ia mengaku sempat mengala
REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN liknya. Terlebih lagi ia harus menjual salah satu lahan pertaniannya untuk biaya alih fungsi lahan tersebut. “Kalau saja saya dulu tidak membuat warung itu mungkin saya malah lebih sukses jad i pet an i bawang merah, bawang merah. Kan harganya gila-gilaan sam pai Rp22.000,00 per kilogram,” ungkap Walidi.
Pertanian mengatakan telah melakukan berbagai cara untuk mencegah alih fungsi lahan. Menurut Sarworini pihaknya te lah berusaha semaksimal mungkin un tuk membuat petani sejahtera. “Banyak program dari dinas pertanian, seperti penyuluhan, subsidi pupuk, dan bantuan bibit. Itu semua untuk meningkatkan kesejahteraan petani,” terang Sarworini. Menurut Sarworini alih fungsi lahan pertanian memang sulit dihindari dan ia mengaku tidak bisa berbuat banyak untuk mencegahnya. “Kalau lahan pertanian itu termasuk da lam kawasan LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, red.) tentu saja pemerintah pu nya kek ua ta n huk um un tuk melindunginya kalau tidak, ya, itu sudah ja di tanggung jawab ma sing-masing,” ungkap nya. Senada deng an Sarworini, Ketua Badan
repro Farid | EKSPRESI
mi kerugian. “Sawah saya kan letaknya mepet Jalan Parangtritis. Saya kira de ngan membangun toko kelontong di sana warung saya akan ramai. Tapi ternyata tidak,” ungkap Walidi. Walidi mengaku membangun wa rung tersebut dengan uang hasil menj ua l lah an mil ikn ya yang lain serta meminjam modal da ri temannya. Rencananya ia akan mengangsur pinjamannya dengan uang hasil berdagang na mun ternyata pemasukan nya dari berdagang malah lebih sedikit daripada ketika ia menjadi petani. Walidi bercerita bahwa pengha silannya saat menjadi pedagang tidak sampai dua juta. Padahal sebelumnya ketika masih bertani, bila dihitung per bulan pemasukkannya tidak pernah kurang dari dua juta. “Dari dua petak sawah yang saya miliki kalau di total luasnya sekitar satu hektare. Pendapatan dari pertanian itu berkala. Kalau bawang merah biasanya mem but uhk an tig a bul an dar i mengo l ah tan ah samp ai panen,” terang Walidi. Walidi mencontohkan ket ik a bert an am bawang merah modal yang dibutuhkan sekitar 30 juta untuk setiap masa tanam. Modal tersebut digunakan untuk mempersi apkan lahan, pembelian bibit, pup uk, pest is id a, fungisida, dan banyak biaya operasional la in. Bawang merah siap dipanen pada umur 60 hari sampai 70 hari setelah masa tanam. Dari lahan yang ia miliki biasanya Walidi dapat memanen minimal 6 ton bawang merah, bila panen sedang bagus bisa mencapai 9 ton. Dengan kisar an harga bawang merah tahun 2005 ratarata Rp6.000,00 setiap kilogramnya, ma ka Walidi bisa mendapatkan keuntungan rata-rata 6 juta rupiah. Bila dihitung per bulannya, pemasukan Walidi sebesar 2 juta rupiah. Namun demikian, Walidi tetap merasa pendapatan dari pertanian tidak menjanjikan, “Kalau produksi atau harga bawang merah turun, pemasukan saya juga turun. Harga bawang merah 5 ribu saja saya sudah enggak dapat apaapa,” pungkasnya. Walidi mengaku menyesal setelah mengalihfungsikan lahan pertanian mi
Pada 2007 Walidi memutuskan un tuk menjual lahan warungnya tersebut untuk melunasi pinjamannya dan mem beli lahan pertanian yang baru. Saat ini ia menggarap lahan sawah sisa di belakang bekas warungnya dan sepetak sawah di lokasi lain yang baru ia beli. Menanggapi permasalahan tersebut, Ir. Sarworini Setyobudi Astuti, M.Si., Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas
Ketahan Pangan dan Penyuluhan DIY, Ir. Arofa Noor Indriani, M.Si., juga berp end ap at sam a. Men ur utn ya pe merintah tidak punya kekuatan untuk menekan petani agar tidak mengalih fungsikan lahannya. Ia juga berpenda pat bahwa pengelolaan lahan pertanian mem erl uk an kes ad ara n mas yar ak at. Namun, ia juga mengakui bahwa ke sad ara n ters eb ut tid ak terb an gun di masyarakat. Laporan oleh Randy
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 27
ANALISIS UTA MA
Kisah di Balik Tembok Pemisah Bagi warga perumahan elite, guyub rukun itu pilihan, bukan kewajiban. Jika punya uang lebih untuk menggantikan kehadiran diri mereka di antara warga luar kompleks, mengapa tidak? Oleh Akhmad Muawal Hasan
S
ore itu mendung masih ber gelayut di langit Yogyakarta. Meilianti terlihat sibuk mela kukan beberapa kegiatan sekali gus. Sembari memotong-motong sayuran di atas dipan, ia mengaw asi ketiga anak nya yang sedang asyik bermain engklek. Sesekali ia menengok putri terkecilnya yang baru berumur 3 bulan di atas troli. Aktivitas utama Mei, panggilan akrabnya, waktu itu sebenarnya adalah menjaga angkringan, sumber penghidupan ke luarganya sejak 4 tahun lalu. Mei adalah satu di antara banyak warga Kampung Gandok, Sinduharjo, Ngaglik, Sleman yang dulu berprofesi se bagai buruh tani. Sejak 2010 Bale Hinggil berdiri dan melenyapkan area persawah an yang biasa digarap secara kolektif. Ia dan banyak warga asli terpaksa beralih profesi. Mei memilih untuk membuka angkringan. Beruntung, Pak Dukuh mau menyewakan sepetak tanah bengkoknya untuk Mei dirikan warung. Lok as i war ung Mei terl et ak di tenggara Kompleks Bale Hinggil. Sebe tulnya, Mei masih punya sedikit tanah persis di sebelah selatan warungnya. Se petak dua petak lahan sawah yang ma sih rutin digarap oleh ibunya. Tapi Mei sudah lama tak tertarik untuk bekerja di sektor pertanian. “Modalnya banyak. Mulai dari be li bibit, bayar penanam, pencangkul, sampai pemanen. Belum kalau harga pupuk naik atau biaya kalau tanggul je bol. Sedangkan hasilnya tidak menentu. Harga gabah tiba-tiba turun pas masa panen. Aneh. Zaman sekarang bertani saja tidak bisa jadi pekerjaan utama,” keluh Mei. Tren pemb an guna n per um aha n mewah di Sleman yang makin meng gila membuat masyarakat yang dulunya menggantungkan diri di sektor pertani an lambat laun menyerah. Tetangga-te tangga Mei adalah salah satu contohnya. Kata Mei, mereka gampang menjual la han sawahnya ke makelar sebab harga
28 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
nya memang terus naik. Apalagi yang di pinggir jalan, area yang dianggap investor menjanjikan untuk dibangun perumahan. Tanah laku, profesi pun berganti. Sesuai kesepakatan, pihak pengembang musti menyediakan lapangan kerja untuk warga setempat. Maka banyak yang ke mudian bekerja di Bale Hinggil sebagai satpam, pembantu rumah tangga, tukang kebun, babysitter, atau sopir pribadi. Sedangkan bagi Mei, “Saya enakan jual an sendiri. Tidak pernah disuruh-suruh. Sekali jadi (pembantu, red.) saya dulu ke Singapura selama 4 tahun. Kalau di sini malas. Uangnya enggak ada, kerja annya banyak.” Kompleks Perumahan Bale Hinggil memanjang dari gerbang utama di ping gir Jalan Kaliurang km. 9 hingga masuk ke kawasan perkampungan di sisi timur. Lazimnya perumahan elite di tempat lain, Bale Hinggil membangun tembok pembatas di sepanjang tepi perumah an. Tembok setinggi hampir lima meter menjadi simbol pemisah antara warga Bale Hinggil dengan warga Kampung Gandok dan sekitarnya. Tembok tersebut, menurut Mei, ja di penyebab tidak guyubnya hubungan antara warga dalam Bale Hinggil de ngan warga kampung sekitar Gandok. Setahunnya, kebanyakan penghuni Bale Hinggil adalah para pendatang luar Yogyakarta. Ada yang dari Palembang, Banten, bahkan banyak juga yang bera sal dari luar negeri. Berdasarkan cerita para pembantu yang berteman dengan Mei, kebanyakan pendatang asing itu berasal dari Korea Selatan. Bukan semata perbedaan kultur. Warga Gandok asli sekelas Mei sudah minder duluan dengan status para peng huni Bale Hinggil. Harga per rumah di Bale Hinggil sekarang mencapai 5-10 miliar rupiah. “Yang punya pasti orang kaya. Wong harga rumahnya juga mili aran,” kata Mei. Mei menyebutkan ada taman berma
in di area belakang perumahan. Keempat anaknya yang masih kecil dan anak-anak kampung lain sebetulnya bisa saja me manfaatkannya. Lagi-lagi karena minder dan takut, anak-anak kampung hampir tak pernah bermain di sana. Kembarwati, ibu Mei, sepulang dari memeriksa sawahnya sore itu langsung ikut duduk di dipan dan menanggapi obrolan saya dan Mei. Ia pernah heran ketika suatu hari ada orang yang tanya alamat Gandok Baru. Rupanya Gandok Baru adalah sebutan populer untuk me nyebut Perumahan Bale Hinggil. Baik Kembarwati maupun Mei tak mau ambil pusing dengan gaya hidup penghuni Bale Hinggil yang berbeda dengan gaya hidup mereka. Keduanya memaklumi jika menjadi orang kaya berarti bisa hidup enak dan mewah, “Kayak di sinetron,” mengutip Mei. Ha nya saja, mereka menyayangkan sikap tertutup warga Bale Hinggil terhadap warga sekitar. Kondisi tersebut dibenarkan oleh Sefta F. Susanto, salah seorang warga Bale Hinggil. Sefta yang asli Palembang menempati rumahnya sejak 2011 lalu. Sempat menganggur selama tiga tahun, per November 2013 ia membuka usaha Home Garage Auto Workshop, bengkel modifik asi mobil yang terletak tak jauh dari warung angkringan Mei. Saat ditemui di kantornya, ia mem beberkan perilaku warga Bale Hinggil yang dinilai saling tak peduli satu sama lain. Hanya tahu nama, tapi tak pernah dekat. Pendek kata, individualistis. “Ma kanya saya gak betah dan lebih sering di bengkel ini. Saya bikin kamar buat tidur bareng istri dan anak. Sesekali aja ke rumah. Itu pun gak betah. Sepi banget. Paling ya ntar cuma nongkrong sama satpam,” katanya. Sefta lebih suka suasana di Kampung Gandok, tempat ia biasa nongkrong di pos ronda atau tempat kumpul warga se kitar, yang dirasa lebih guyub dan punya kebersamaan yang lebih erat. Gambaran
REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN kehidupan di Yogyakarta yang ia idamidamkan dan tak ia temukan di daerah asal. Jargon keistimewaan Yogyakarta ia contohkan juga lewat budaya makan
ronda bareng, atau pengajian, mereka akan mewakilkan pembantunya untuk menghadiri acara tersebut. Esensi kum pul yang ingin melibatkan warga Bale
mahan. “Katanya gara-gara ada yang mau jual rumah, tapi prosesnya enggak beres. Berantem deh mereka di depan rumah saya,” tutur Sefta.
AWAL | EKSPRESI
Kembarwati menggendong cucunya di dekat lahan sawah miliknya.
lesehan di pinggir jalan. Makan lesehan bagi Sefta itu egaliter sekali: semua orang dari beragam kalangan, orang kaya sampai yang tak berduit, bisa berada pada tempat dan waktu yang sama. Sefta menyukainya. Dan dalam pandangannya, kondisi demikian akan susah terwujud jika warga perumahan terus-menerus memilih mengeksklusifkan diri dalam pergaulan sehari-hari. Berbeda dengan warga Bale Hinggil lain, ia menganggap penting sosialisasi dan membangun ko munikasi yang baik dengan warga se kitar. “Namanya manusia, kan, makhluk sosial. Saling membutuhkan. Lagipula pelanggan datang dari mana kalau bukan dari teman sendiri?” tambahnya. Lalu bagaimana dengan partisipa si warga Bale Hinggil dalam beragam kegiatan yang diselenggarakan kam pung? “Mereka mainnya uang, Mas,” jawab Mei. Artinya, kerja para pem bantu yang mereka sewa tak berhenti pada urusan sekitar dapur, namun juga meluas ke luar Bale Hinggil. Jika ada acara semisal gotong royong, arisan,
Hinggil tak terwujud sebab yang ber partisipasi ujung-ujungnya warga luar Bale Hinggil sendiri. Dengan nilai kekayaan yang fantas tis, warga Bale Hinggil tak perlu repotrepot bergaul dengan warga kampung. Absen menjadi pilihan yang mudah. Tinggal membayar uang denda yang tak seberapa, atau cukup dengan membeli kan makanan dan minuman untuk acara tersebut. Semuanya beres. Kewajiban berguyub rukun dibayar lunas. Sekali waktu, Mei pernah didatangi salah satu pembantu rumah Bale Hinggil yang berniat membeli seikat tanaman padi miliknya. Katanya dipesan oleh anak ma jikannya untuk keperluan praktikum di sekolah. Jika untuk warga kampung, sebe narnya Mei akan senang hati memberinya dengan cuma-cuma. “Lha padi sedikit gitu dihargai Rp5000,00. Saya tahu yang beli orang kaya di Bale Hinggil. Ya, saya terima saja,” ujar Mei sambil tergelak. Di sisi lain, perkara uang juga mu dah menjadi sumber konflik antarwarga Bale Hinggil. Sefta pernah menjadi saksi pertikaian antardua orang warga peru
Pernah juga, lanjut Sefta, muncul ke ributan ketika berlangsung forum warga Bale Hinggil untuk urusan iuran uang. Hasil iuran rutin tersebut dipakai untuk membayar gaji satpam, petugas kebersih an sampah, dan lain sebagainya. Waktu itu diketahui bahwa ada uang iuran dalam jumlah besar yang hilang. Warga yang tak terima uangnya raib entah ke mana akhirnya protes keras kepada pengelola iuran. Mereka menuduh pengelola tak becus menjalankan tugasnya. Suasana tegang dan ricuh pun merebak sebab pengelola bersikeras tak tahu-menahu perihal kehilangan tersebut. Kembarwati tak heran mendengar kisah seperti itu. Yang terpenting ba ginya, konflik tak menjalar keluar dan melibatkan warga kampung lain. Sekali lagi, Kembarwati sudah maklum. “Sa ya sih bahagia kayak sekarang ini. Bisa mengolah tanah sendiri. Berasnya bisa buat makan dan nambah modal jualan anak. Kalau capek, tinggal pulang, isti rahat, dan main sama cucu. Gitu aja,” pungkasnya. Laporan oleh Abi dan Janti
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 29
ANALISIS UTA MA
Persawahan Makin Berkurang Jumlah penduduk DIY semakin meningkat setiap tahunnya. Namun, lahan guna mencukupi pangan semakin menyusut. Oleh Neti Mufaiqoh
y| nd
EKS
PRESI
30 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
dibandingkan Kabupaten Setuju 56% Kulonprogo, yakni seba nyak 2.277. Sebesar 46% responden memilih eko nomi sebagai faktor uta ma terjadinya alih fungsi lahan, 40,5% berpendapat kepadatan penduduk, 7% akibat urbanisasi, 4,5% ka rena mudahnya alur alih Sangat Setuju 29% fungsi lahan, dan 2% res ponden tidak menjawab. Juml ah pend ud uk Sleman dan Bantul tahun 2013 menurut data BPS tahun 2014 ada 1.141.718 dan 955.015 jiwa. Jumlah pendu Tidak Setuju : 7,5% Sangat Tidak setuju : 6% duk DIY meningkat 0,87% setiap tahun. Pertumbuhan penduduk yang meningkat berdampak pula pada me ningkatnya kebutuhan lahan untuk membangun hunian Tidak menjawab : 1,5% atau tempat usaha. Alih Fungsi Lahan Memengaruhi Ketersediaan Men ur ut Purwatno Widodo, S.H., C.N., Pangan. Kepala Dinas Pengendalian Pertahanan Daerah, tahun nyak 4.584 ton. Jumlah itu setara dengan 2013 lahan sawah Sleman kurang lebih se panen selama lima tahun. Berkurangnya besar 24.599ha. Aturan RTRW 2011-2031 menargetkan kawasan pertanian tanam jumlah produksi berdampak pada ber kurangnya ketersediaan pangan bagi 121 an pangan hingga tahun 2031 mampu bertahan seluas 21.113ha. Jadi, dalam kpt/th, dan sebanyak 600 orang petani kehilangan pekerjaannya. Produksi ga kurun 20 tahun ke depan kemungkinan sebanyak 3.486ha lahan dialihfungsikan. bah kering giling Sleman dari tahun 2012 Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman ke 2013 mengalami penurunan sebesar 1,58%. Produksi tahun 2012 sebesar mengeluarkan kebijakan agar konversi lahan rata-rata 100ha/tahun. Bayang 312.815 ton sedangkan tahun berikut nya hanya sebesar 307.869 ton. kan jika setiap tahunnya lahan persa wahan menyusut sebesar 100ha/ tahun Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, lahan produktif yang semakin berkurang maka dalam jangka waktu 5 generasi saja Sleman sudah tidak memiliki lahan berimplikasi pada terancamnya kedau persawahan lagi untuk di tanami. latan pangan dan kesejahteraan petani. Dibutuhkan ketegasan dan regulasi yang Jika menggunakan perhitungan jumlah penyusutan lahan sawah 60ha/ jelas bagi pemutus dan pelaksana ke bijakan. Kerjasama antarlembaga dan tahun dapat diprediksi akibat langsung pertimbangan untuk pemberian izin juga yang ditimbulkan. Penyusutan lahan pertanian per hektare berdampak pada harus disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).n menurunnya produksi padi sawah seba Ra
M
ayoritas lahan produktif basah (wetland) di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terletak di Kabupaten Sleman dan Bantul. Luas lahan sawah di DIY ada lah 56.539ha. Penyumbang lahan sawah terbanyak ialah kedua kabupaten tersebut: 67%. Namun, status Sleman dan Bantul sebagai kabupaten yang memiliki banyak persawahan mulai terancam akibat ba nyaknya alih fungsi lahan. Berdasarpenyebaran angket yang di lakukan, sebanyak 82% responden pernah menemui alih fungsi lahan. Dari keselu ruhan responden yang pernah menemui alih fungsi lahan, sebanyak 61% responden memilih perumahan sebagai alih fungsi lahan yang paling banyak ditemui, disusul dengan bangunan usaha 14%, industri 6%, lain-lain 4%, dan sisanya tidak menjawab. Menurut data Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Sleman tahun 2014, luas lahan subur terutama sawah di Kabupaten Sleman berkurang sebanyak 60ha/tahun. Meminjam teori push and pull, alih fungsi lahan terjadi karena ada faktor yang menarik dan mendorong. Banyaknya uni versitas, baik negeri maupun swasta, di DIY membuat provinsi ini menjadi salah satu tujuan bagi pelajar dan mahasiswa. Dari data BPS DIY tahun 2014, ada 110.437 mahasiswa dari 10 perguruan tinggi ne geri di Yogyakarta di tahun 2013. Jumlah tersebut belum ditambah mahasiswa dari perguruan tinggi swasta. Pertambahan jumlah mahasiswa di setiap tahun ajaran baru memicu pendirian bangunan untuk memenu hi permintaan akan hunian, terutama di wilayah sekitar kampus. Selain itu, daya tarik wisata di DIY, khususnya Sleman dan Bantul pun menarik inves tor. Alhasil, pembangunan hunian mulai merambah di pinggiran kota. Data BPS DIY menyatakan di tahun 2014 jual beli tanah di Sleman dan Bantul sebanyak 11.375 dan 7.754. Angka jual beli tanah kedua kabupaten tersebut lebih tinggi
REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN
Lahan Pertanian untuk Imbangnya Ekosistem “Berkaitan dengan ekosistem, kita harus berpikir komprehensif dan menyeluruh atau holistis,” ujar Dr. Suwarno Hadisusanto, Dekan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM). Oleh Nia Aprilianingsih
S
| EKS PRESI
“Konversi lahan dapat menjadi salah satu cara untuk menghilangkan spesi es apabila spesies tersebut tidak dapat beradaptasi,” kata Suwarno. Suwarno bercerita tentang peneba ngan pohon saat krismon (krisis moneter, red.). Monyet yang tinggal di hutan ma suk ke desa lalu memakan tanaman di ladang. Penduduk memanggil polisi un tuk menembaki kawanan monyet. Dari kasus di atas, spesies monyet kehilangan habitat. “Jika ada perubah an lahan sesedikit apapun, pasti akan membawa risiko,” ujar Suwarno. Konv ers i lah an jug a terj ad i di Kabupaten Sleman. Sleman yang seha
ja, oknum itu pasti punya wewenang. Bupati, gubernur, dan menterilah yang mempunyai wewenang mengeluarkan izin. Apabila izin tidak ditandatangani, tidak akan bisa pembangunan ataupun alih fungsi lahan itu terjadi. Berkaitan dengan pengaw asan alih fungsi lahan, Bambang Turyono, A. Ptnh., Kepala Subdivisi Penatagunaan Tanah dan Kawasan Tertentu, Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta, mengatakan bahwa be lum ada program khusus yang me nan gan i al ih fungsi lahan. “Prog ram s e m a cam itu yang
id
Konversi Lahan dan Rusaknya Ekosistem
rusnya dijadikan sebagai daerah resapan air sekarang justru dibangun beragam ban guna n. Suwarno pern ah mend a tangi Bupati Sleman, Ibnu Subiyanto yang menjabat tahun 2000-2009. Dia mempertanyakan kenapa daerah re sapan air dibangun Universitas Islam Indonesia. Analisisnya, kalau sudah ada uni versitas, tentu akan ada banyak indekos, rumah makan, tempat fotokopi, bahkan hotel. Lahan-lahan itu perlahan ditutup dengan semen. Padahal, sekali lagi, di sana adalah daerah resapan air. Suwarno mendapat jawaban yang tidak memuaskan dan politis. “Betul, bu kan dia bupatinya tapi ini bentuk protes. Dengan harapan tidak terjadi hal seperti ini lagi,” tegas Suwarno. Badan Lingkungan Hidup DIY telah mempertimbangkan isu strategis peng elolaan lingkungan hidup. Ada tujuh ekosistem, yaitu Gunung Merapi, per bukitan/pegunungan, lingkungan sungai, perkotaan, pedesaan, pesisir dan pantai, serta perbukitan karst. Tiga hal yang menjadi permasalahan di ekosistem Gunung Merapi adalah ke rusakan hutan dan keanekaragaman ha yati, serta menur unnya ekologi sebagai resapan air. Rusaknya daerah resapan air kawasan Gunung Merapi dan Sleman memengaruhi ekosistem perkotaaan dan pedesaan yang mendapat pasokan ca dangan air tanah. Terjadilah penurunan kualitas dan kuantitas air tanah. “Pemerintah bicara mengenai kon servasi itu omong kosong. Berbicara kon servasi tapi faktanya perusahaan sawit semakin bertambah,” kata Suwarno. Men ur utn ya, pen gus ah a tid ak ak an punya pikiran konservasi. “Yang pen ting untung. Saya tetap menyalahkan pemerintah,” tegasnya. Suwarno men amb ahk an bahw a walaupun hanya oknum, tapi tentu sa
Far
uwarno mengatakan bahwa ber bicara daya dukung pulau, kita akan melihat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai ba gia n dar i Pulau Jawa. Kal au han ya Kabupaten Bantul atau Sleman, tidak komprehensif. Minimal ada kontinui tas dari yang paling hulu sampai yang paling hilir. Kalau kita sedang memba has DIY, kita harus berawal dari hulu, misalnya Gunung Merapi, tambahnya. “Dari Gunung Merapi sampai dengan pesisir bisa kita lihat variasi ekosistem. Tidak ada ekosistem yang berdiri sendiri. Artinya, semua akan berkaitan. Setiap organisme itu bisa hidup pada kisaran toleransinya,” terang Suwarno. Kabupaten Sleman mer up ak an daerah resapan air dan Bantul sebagai daerah produksi pertanian yang pro duktif untuk DIY. Dokumen Analisis Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) DIY Tahun 2013 me nyebutkan bahwa peningkatan kebu tuhan penduduk akan perumahan, fa silitas pendidikan, dan kegiatan usaha menyebabkan alih fungsi lahan; dari lahan pertanian ke nonpertanian.
Dr. Suwarno Hadisusanto, Dekan Fakultas Biologi UGM saat ditemu di kantornya. Menurutnya alih fungsi lahan yang terjadi akhir-akhir ini tidak memperhatikan ekosistem lingkungan.
membentuk adalah atasan,” dalihnya. Meski begitu, Bambang menyepakati per lunya pengawasan, terlebih maraknya pembangunan hotel di Yogyakarta. “Tahun lalu, sudah ada 110 lebih hotel yang mengantre untuk dibangun. Sekarang, sekitar 40 hotel yang mulai dan telah dibangun. Sudah hampir se tengah dari jumlah keseluruhan. Siapa yang mengizinkan kalau bukan walikota dan bupati? Saya bisa menyuarakan pro tes tapi pengambil keputusan, ya, tetap pemerintah,” pungkas Suwarno. Laporan oleh Farid
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 31
ANALISIS UTA MA
Keistimewaan tanpa Kedaulatan Pangan Oleh Prof. Ir. Bakti Setiawan, M.A., Ph.D.
Guru Besar Program Studi Magister Perencanaan Kota dan Daerah, Universitas Gadjah Mada
S
abtu, 7 Maret 2014, rib u an mas yar ak at Yogyakarta ambyur ke Alun-Alun Utara Kraton untuk mangayubagyo Jumenengan Sri Sultan Hamengku Buwono X, sekaligus menandai satu gerakan ‘Jogja Gumregah’ dan ‘Jogja Istimewa.’ Keistimewaan sejarah, fi losofi, dan kekhasan budaya mengan tarkan Yogyakarta menjadi salah satu daerah istimewa yang disahkan melalui Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 13 Tahun 2012. Di bal ik berbag ai kei st im ew aa n nya, kita akan prihatin bila jujur me lih at dan mengk rit ik apa yang tel ah terjadi. Proses pembangunan yang sa ngat gencar dan kapitalistik sungguh mengkhawatirkan. Perkembangan kota yang tak terkontrol telah meningkatkan komersialisasi di setiap jengkal lahan Yogyakarta. Setiap jengkal lahan cenderung di jual dan ditukar dengan segepok rupiah yang terlihat melimpah. Sesungguhnya, uang itu tidak sebanding dengan nilainilai keistimewaan Yogyakarta. Apabila pembangunan yang tak terkendali ini diteruskan, akan cenderung berlawan an dengan nilai-nilai keistimewaan itu. Pada saat yang sama tidak menjamin keberlanjutan daerah ini. Hal yang sangat mengkhawatirkan adalah masalah alih fungsi lahan, khu susnya dari lahan pertanian ke permu kiman. Selama periode tahun 2006-2012, alih fungsi lahan membuat daerah per tanian berkurang sebesar 231ha. Meski sepertinya kecil dari sisi luasan, pengu rangan ini mengkhawatirkan bila terus dibiarkan terjadi. Diperkirakan wilayah Yogyakarta tidak dapat mencukupi kebu
32 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
tuhan berasnya pada 2039. Dengan kata lain, daerah yang dikatakan istimewa ini tidak akan dapat menjamin kedaulatan pangan lagi. Mungkin ada pandangan bahwa secara geografis Yogyakarta bukanlah wilayah yang luas, tidaklah masalah ji ka lahan pertanian berkurang. Toh, kita dapat mengimpor bahan makanan dari luar daerah, bahkan mancanegara. Per soalannya, masihkah Yogyakarta disebut sebagai daerah istimewa dan punya daya tawar ketika kebutuhan pangan–yang merupakan kebutuhan dasar dan men jamin kesejahteraan–sangat tergantung pada daerah lain? Bol eh saj a UU Keistimewaan disahkan. Seluruh warga Jogja gumregah dan terus berkarya untuk memaknai nya. Namun, pemaknaan keistimewaan Yogyakarta harus diawali dari hal yang sederhana, mendasar, dan bernilai untuk menjamin kedaulatan pangan. Kedua hal itu tidak akan terjadi jika Yogyakarta tidak mampu mempertahankan lahan pertanian, termasuk sawah yang sejak awal sudah sangat terbatas. Berbagai upaya komprehensif harus secara konsisten dilakukan dan bertum pu pada penataan ruang. Sebagaimana telah diamanatkan dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penataan ruang merupakan suatu sistem proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam konteks dokumen rencana ruang, pena taan ruang diwujudkan dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). DIY, baik di tingkat provinsi, kabupaten, maup un kota telah mempunyai RTRW dan RDTR yang berkekuatan hukum untuk mengatur tata ruang.
Khusus untuk melindungi lahan pertanian di seluruh Indonesia, ada UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) Nomor 41 Tahun 2009. UU ini secara tegas memberi landas an hukum tentang perlunya perlindungan lahan produktif untuk menjamin keberlan jutan, ketahanan, dan kedaulatan pangan. Berdasar UU ini, Pemerintah Provinsi DIY juga telah menerbitkan Perda Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Ringkas nya, dari sisi kebijakan, telah jelas bahwa perlindungan lahan pertanian ini mutlak dan harus dilakukan. Persoalan penegakan hukum menja di kunci masalah dalam penataan ruang untuk melindungi pangan. Sejauh ini pe negakan hukum di Indonesia, khusus nya di DIY, terus saja buruk. Tidak ada jaminan bahwa perangkat kebijakan dan peraturan perlindungan lahan pertanian dapat diwujudkan. Kesadaran masyarakat DIY belum sepenuhnya ada untuk menjamin ke daulatan pangan. Sibuk menyambut, mengisi, dan memaknai keistimewaan, tetapi lupa menjamin kedaulatan pangan. Tanpa usaha nyata, jelas, dan konsisten untuk menjamin ketahanan dan keda ulatan pangan, keistimewaan ini tidak akan sungguh-sungguh bermakna. Dalam menjamin kedaulatan pangan diperlukan advokasi yang sistematis konsisten, dan komperhensif mulai dari pemerintahan sampai grass root. Di tataran pemerintah, harus dipastikan bahwa kebijakan propangan benar-benar diterapkan . Pada tataran grass root, advokasi pada petani diperlukan untuk menjamin kesejahteraan bagi petani yang telah memenuhi pangan sebagai kebu tuhan dasar kita.n
REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN
Bergerak Melawan Alih Fungsi Lahan Pendirian hotel dan apartemen mulai ditolak warga sedangkan Serikat Petani Indonesia (SPI) pun ingin lahan pertanian dipertahankan. Oleh Joseph Sebastian Nazareno Silaen
P
di Kecamatan Wirobrajan, Pakualaman, Gondokusuman, Jetis, Danurejan, dan Gedongtengen. Beberapa di antaranya adalah hotel berbintang di Jalan Mayor Jenderal Sutoyo dan Jenderal Sudirman dengan luas 13.981m2 dan 9.727m2.
Gerakan Memperjuangkan Lahan
Alih fungsi lahan di Provinsi DIY kian memprihatinkan. Kebutuhan la han untuk pembangunan akhirnya me munculkan berbagai problematika baru. Pembangunan terus berkembang. Alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian menjadi pilihan. Berdasarkan data BPS dan Dinas Pertanian tahun 2013, luas lahan di Gunung Kidul seluas 125.700ha (53,3%), Kulon Progo seluas 45.326ha (18,9%), Sleman seluas 39.341ha (16,4%), Bantul seluas 29.611ha (12,3%), dan Kota Yogyakarta seluas 264ha (0,1%). Seluas 240.242ha adalah lahan pertanian. Menurut Dr. Bambang Hudayana, M.A., Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kasawan (PSPK) UGM, perubah an penggunaan lahan dari pertanian ke nonpertanian terjadi karena adanya per ubahan iklim pengembangan wilayah di Yogyakarta. Pengembangan wilayah kota menjadi salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap pengembangan wilayah suburban. Salah satu contoh nyatanya adalah penggunaan lahan pertanian menja di lahan investasi properti. “Sekarang susah menemui kawasan yang disebut pedesaan. Kebanyakan desa-desa ter sebut beralih menjadi kota. Hal ini ber dampak pada penggunaan tanah. Tanah akhirnya menjadi komoditas kar en a pengg un aa n tan ah terfokus pada pembangunan hunian. Ini menyebabkan ta nah dihargai dengan mahal,” terang Bambang. Menyangkut lahan per tan ia n, Serikat Pertanian Indonesia (SPI) Yogyakarta
mend es ak pem er int ah ag ar mamp u mengendalikan alih fungsi lahan per tanian yang kini marak dijadikan lahan properti. “SPI khawatir jika alih fungsi lahan pertanian di Yogyakarta berlanjut, Yogyakarta akan sulit berdaulat pangan,” terang Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Yogyakarta,Tri Hariyono, se perti dilansir dari Pembaharuan Tani. Kekhawatiran yang sama juga di sampaikan oleh Bambang. Ia mengkri tik pembangunan yang mengorbankan lahan pertanian dengan dalih pengem bangan industri wisata. “Dalih industri pariwisata digunakan untuk membangun banyak hotel. Lama-lama daerah ikut berubah. Pemerintah akan didorong untuk memperbaiki akses jalan ke dae rah. Akhirnya harga tanah di dekat jalan akan naik. Penduduknya juga semakin padat, akhirnya tanah diperdagangkan dengan label daerah yang strategis,” te rang Bambang. Tri menerangkan bahwa berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) ada 35.911 ha tanah yang khusus diperuntukkan sebagai lahan pertanian. Lahan-lahan ters eb ut ters eb ar di emp at kab up a ten seluas 12.377,59ha di Kabupaten Sleman, 5.029ha di Kabupaten Kulon Progo, 13.000ha di Kabupaten Bantul, dan 5.500ha di Kabupaten Gunung Kidul. Namun sayangnya, masih banyak petani yang belum mengetahuinya.
Repro Randy | EKSPRESI
ada awal tahun 2014 pemba ngunan hotel maupun aparte men mulai menuai penolakan dari warga. Salah satunya, pem bangunan Apartemen Uttara The Icon di Dusun Karangwuni, Ngaglik, Sleman. Apartemen yang dikembangkan oleh PT. Bukit Alam Permata ini diprotes warga karena dinilai tidak melalui persetuju an warga sekitar. Selain itu, hotel yang dibangun di bekas kediaman pematung Edhi Sunarso ini juga dikhawatirkan me nyebabkan terganggunya ketersediaan air bersih, pencemaran limbah hotel, juga banjir. Menurut Rohkmat, salah satu ak tivis Pembela Tata Ruang (Petarung), kejadian ini sebagai bentuk kepedulian warga terhadap pembangunan tata ru ang. “Sebetulnya kelompok kami beru saha untuk melek (sadar, red.) sebagai masyarakat yang peduli terhadap tata ruang. Jika dahulu warga tidak peduli dengan pembangunan, sekarang war ga sudah berani menolak pembangunan meskipun diiming-imingi banyak uang,” tutur Rohkmat. Penolakan warga tersebut cukup ber alasan. Konsumsi air bersih hotel pada umumnya jauh lebih tinggi daripada kebutuhan rumah tangga. Pengambilan air tanah oleh hotel dikhawatirkan akan memengaruhi ketersediaan air tanah di sekitarnya. “Soal air tanah, sebetulnya banyak sekali yang terkandung di da lam tanah. Namun, bila melihat perban dingan kebutuhan dan teknologi yang digunakan untuk mengakses tanah, jelas warga yang dirugikan. Kebutuhan hotel terhadap air tanah lebih banyak dan tek nologi yang digunakan pun mendukung,” jelas Rohkmat. Pada akhir 2013 ada 106 berkas per izinan hotel yang masuk dan diproses oleh Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Dari jumlah itu, 25% adalah katego ri hotel berbintang. Sebanyak 11 Izin Mendirikan Bangunan (IMB) telah di terbitkan. Hotel-hotel tersebut berlokasi
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 33
PROFIL
Mahasiswa Jangan Hanya Lulus Cepat
Sebagai pendidik, ia tak hanya menuntut mahasiswanya untuk mendapat nilai baik. Lebih dari itu, dalam ketatnya birokrasi kampus, ia berusaha mencari celah agar kreativitas tidak dibatasi. Oleh Irfah Lihifdzi Ayatillah
S
egala sesuatu yang berawal dari kesenangan akan selalu menca pai hasil yang maksimal. Begitu lah yang terjadi pada kehidupan Afif Ghurub Bestari, salah satu dosen Pendidikan Teknik Busana Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta (FT UNY). Hal tersebut pula yang ke mudian menjadi prinsipnya dalam be kerja. Sejak kecil, ia selalu berusaha meme nuhi dan memperjuangkan hal-hal yang ia senangi. Hobi Afif tidak dipungkiri berangkat dari lingkungan keluarganya yang senang menggambar. Kakek dan ibunya adalah seorang penjahit yang, tentunya juga, menggambar pola-pola pakaian. Sementara neneknya adalah seorang pembatik. Lahir dalam lingkung an seniman busana itulah yang menjadi bekal Afif meniti karirnya. Sejak kecil bakat Afif mulai terlihat. Ia sudah bisa menggambar burung merak dan menggambar ikan mas koki. Sang ibu yang melihat hal tersebut kehera nan karena umur Afif masih terbilang muda. Gambar yang dibuat Afif terlalu detail. Anak seumurannya mungkin ma sih menggambar gunung, rumah, atau sawah. Di b angk u Sekolah Menengah Pertama (SMP), Afif semakin memper tajam bakatnya. Ia mulai menggambar ilustrasi-ilustrasi busana terpengaruh ibunya yang sering ia lihat menggambar pola pakaian. Namun, gambar-gambar yang Afif buat tidak bisa benar-benar berhasil menjadi sebuah baju. Ibunya yang membantunya menjahit baju ha sil desainnya malah ia salahkan dan ia anggap tidak paham pola yang ia buat. Akhirnya, ibunya memutuskan untuk memasukkan Afif pada lembaga kursus jahit. Saat itu, ia tidak peduli dengan di rinya yang masih duduk di kelas satu
34 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
SMP. Ia justru menganggap hal tersebut sebuah tantangan yang mengasyikkan. Pada beberapa kesempatan, pelangganpelanggan ibunya justru mulai menye nangi pola yang dibuat Afif ketimbang yang ibunya buat.
Terbiasa Ditantang
Jenjang perguruan tinggi merupa kan awal masuk Afif ke dunia seni yang mengantar pada karirnya saat ini. Afif bersikukuh untuk melanjutkan kuliah di jurusan seni rupa. Hal tersebut ditolak habis-habisan oleh keluarganya, teruta ma sang ayah. Ayah Afif menganggap seniman tidak akan mendapat hidup yang layak dan berkecukupan nantinya. Ken dati demikian, Afif yang terbiasa dengan rintangan selama ini justru menganggap hal tersebut adalah tantangan. Tuhan berpihak pada pria ini. Ia diterima di Pendidikan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNY. Di sinilah Afif me nempa dirinya dan menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi. Ia memilih tema gambar busana untuk skripsinya. Pilihannya dianggap tidak wajar ka rena sebagai mahasiswa Jurusan Seni Rupa, ia mengerjakan skripsi mengenai desain busana. Tema itu sebenarnya bu kan gagasan murni Afif. Oleh dosennya, ia ditantang untuk mengerjakan skripsi dengan tema ilustrasi busana dan mela kukan pameran ilustrasi busana sebelum ia diizinkan melakoni ujian skripsi. Sebagai jawaban dari tantangan itu, ia harus berkali-kali bolak-balik Yogyakarta-Jakarta untuk kursus de sain busana di lembaga milik desainer terkenal, Harry Darsono. Setelahnya, ia membuat pameran ilustrasi desain-de sain busana yang ia buat. Sudah dapat dinyana, banyak desain yang ia buat di pesan orang untuk dibikin baju. Sejak saat itu, ia makin dekat dengan dunia
busana. Hasratnya terus berlanjut hingga ia lulus dan melamar pekerjaan. Ia sempat ditolak untuk menjadi pegawai di sebuah produsen pakaian. Bukan karena ia tidak mampu, justru karena sang pimpinan khawatir dengan kemampuan Afif yang justru akan menghilangkan kekhasan dari perusahaan tersebut. Afif dianggap seseorang yang sudah memiliki karakter. Ia justru diminta menjadi tutor untuk orang-orang yang akan dipekerjakan di perusahaan tersebut. Begitulah perjala nan awal Afif hingga kemudian ia men daftarkan diri sebagai dosen di UNY. Dalam prosesnya, ia mendapat dua pilihan: sebagai dosen Seni Rupa FBS atau dosen Teknik Busana FT . Mengingat prinsipnya, yaitu bekerja di bidang yang ia senangi, ia memilih menjadi dosen Teknik Busana FT. Bukan ia tidak senang Jurusan Seni Rupa, tapi ia merasa lebih dekat dengan dunia busana. Selama menjadi dosen, sejak 2005 hingga saat ini, ia merasa banyak hal yang membuat mahasiswa terikat dan tidak bebas berkreativitas. Misalnya, pernah suatu kali, ia dipercaya untuk menjadi penanggung jawab dalam acara karnaval. Ide-ide untuk mendesain busana karna val sudah ia siapkan. Namun, seketika buyar, saat semua yang berkaitan dengan karnaval harus disesuaikan dengan atur an-aturan yang ada di UNY: berbusana dengan busana sopan dan tertutup. Afif sangat paham, busana yang ter tutup tentu saja akan sangat mengganggu karena panas dan ribet. Di sinilah Afif kembali merasa tertantang untuk mem buat busana yang sesuai dengan aturan UNY tanpa mengubah konsep dasar de sainnya. Terang saja, ia mendapat pujian dari desainer-desainer lain saat karnaval berlangsung. Ia berhasil membuat bu sana tertutup tetapi tidak mengganggu
P R O FI L
Nama TTL Riwayat Pendidikan
: Afif Ghurub Bestari, S.Pd. : Ngawi, 23 Mei 1970 : SDN Karang Tengah 4 Ngawi SMPN 1 Ngawi SMAN 3 (sekarang SMAN 2) Ngawi Jurusan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni UNY
Far
id |
Eks
pre
si
Penghargaan: -The Grand Champion Golden Crabao Kneeling World Costume Festival 2013 -Juara Karnaval Jogja Fasion Week sebagai desainer dan konseptor 2008-2012 -Pemenang lomba Ilustrasi Mode Majalah Fashion Pro 2009 -Penampil Terbaik dalam Lomba Pawai dan Atraksi Budaya HUT Yogyakarta ke-257 sebagai konseptor dan desainer busana 2013 Karya yang dibuat: -Buku Menggambar Busana dengan Teknik Kering model yang mengenakannya. Sejak saat itu Afif mulai dikenal dan banyak menjuarai festival-festival nasi onal maupun internasional. Ia berhasil mendapat penghargaan dari OISTAT (Organization Internationale des Scenographes Techniciens et Architecttes de Theatre) dalam acara The Grand Champion Golden Crabao Kneeling World Costume Festival dan Judge in Viva Vigan Binatbatan Festival of The Arts 2013, serta Carabao Painting and Pasagad Dressing, Boklan and Glass Mosaic Competition 2013 di Filipina. Prestasi-prestasi Afif menjadikannya dipercaya menjadi juri, pemateri, atau pengawas berbagai acara. Dorongan motivasi untuk mahasiswa juga tidak Afif lupakan. Ia selalu berusa ha melibatkan mahasiswa dalam acara maupun proyek yang sedang ia kerjakan. Misalnya, saat ini ia sedang berusaha menciptakan aksesori berbahan dasar tulang binatang. Dalam proyek ini, Afif melibatkan mahasiswa untuk menca ri jaringan maupun menyumbangkan ide untuk desain-desain aksesori yang akan ia buat nantinya. Afif beranggapan bahwa keterlibatan mahasiswa dalam proyek yang ia jalankan akan memicu kreativitas mahasiswa.
Guru dan Kreativitas Mahasiswa
Rasa senang Afif untuk mencari celah atas tantangan dan aturan yang datang juga ia terapkan terhadap ma
hasiswanya. Ia lebih senang pada ma hasiswa yang memiliki pemikiran dan pandangan berbeda. Afif bahkan sela lu berusaha untuk menekankan tugas mahasiswa sebagai sebuah kesempatan untuk berkarya dengan memberikan se luruh kreativitasnya. Hal itu terkadang agak bertenta ngan den gan jurus an yang notabene berbasis pendidikan. Ia beranggapan bahwa seseorang harus memiliki tota lit as dalam bere kspres i dan berkrea tivitas, tidak hanya berorientasi pada mend apat pekerj aan setelah menj adi sarjan a. Car a Afif memotivasi mahasiswa buk an sek adar menyarankan mereka untuk lulus cepat, tetapi juga menjadi lulusan yang berkualitas. Hal tersebut, men ur ut Afif, dap at dic ap ai den gan dic ur ahk ann ya sel ur uh kreat iv it as dal am seb ua h kary a. Beg it u pun ca ra Afif dal am memberikan nilai pada mahasiswa. Ia cenderung menilai ma hasiswa melalui karyanya yang dibuat sepenuh hati melalu proses kreativitas atau just ru hanya diselesaikan untuk mem en uh i tugas yang diberikan oleh dosen. Ia tid ak ingin mah as isw an ya hanya mengejar nilai terbaik dan lulus cepat, tanpa mengembangkan poten si dan kemampuan setelah mendapat gelar sarjana pendidikan di bidang tek nik busan a. Oleh seb ab itu, Afif ban yak me lib atkan mahas isw anya dalam setiap
acar a yang ia ikut i. Bai k pen el it ia n maupun festival yang ia emban sebagai tanggung jawab dari banyak pihak. Ia beranggapan bahwa yang ia lakukan akan semakin memberikan wadah ba gi mah as isw a unt uk men ump ahk an kreas inya.
Afif di Mata Mahasiswa
Ketika seorang mahasiswa Jurusan Pendidikan Teknik Busana bicara me ngenai sosok Afif, hal pertama yang ia sampaikan adalah rasa sayang seorang Afif lebih dari seorang dosen pada ma hasiswanya. Hal inilah yang menurut nya dapat membuat mahasiswa merasa nyam an. Afif selalu berusaha memo sis ikan mahas isw a sebagai anakn ya, bukan muridnya. Hal ini juga dia kui oleh Afif, bahwa ketika ia kebingungan menc ar i beb er ap a mah as isw an ya, ia akan bertanya, “Di mana anak-anak, ya?” Dem ikian yang diras akan sal ah satu mahas isw a mengenai Afif. Hal lain yang disampaikan adalah didikan Afif yang selalu berbeda de ngan dosen lain. Bukan soal tugas yang sempurna untuk mendapat nilai mak simal tapi rasa ingin tahu mahasiswa terus berkreasi dengan kreativitas dan inovasi yang terus dibangun. Mahasis wa yang terlibat dalam proyek-proyek Afif akan mendapat proses belajar yang lebih. Walaupun hal tersebut diakui se bagai hal yang melelahkan karena porsi waktu untuk belaj ar bertambah. Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 35
ALMAMATER
Kontroversi Penerapan Pajak Kegiatan Mahasiswa Rektorat tak mampu menangani pajak kegiatan organisasi mahasiswa (ormawa) tingkat universitas, mahasiswa diminta turun tangan. Oleh Arde Candra Pamungkas dan Taufik Nurhidayat
M
ulai pertengahan 2013, orma wa tingkat universitas diminta oleh rektorat untuk membayar pajak atas kegiatannya sendiri. Kebijakan ini tidak berlaku untuk orma wa tingkat fakultas. Teknisnya, ormawa universitas membayar semua pungutan pajak di tiap kegiatan mereka, dengan membayarkan langsung ke kantor pajak ataupun kantor pos menggunakan blang ko Slip Setoran Pajak (SSP). Setelahnya, baru lap ora n pert angg ung j a w a b a n ( L P J ) k egiatan
36 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
diserahkan ke rektorat dengan melam pirkan bukti setor pajak dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Sleman. Kebijakan baru ini tertulis dalam kon trak kegiatan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang harus membayarkan pajak kegiatannya sesuai dengan ketentuan berlaku. Memang secara aturan, siapapun yang menggunakan dana dari pemerintah tak bisa lepas dari kewajiban membayar pajak. “Siapapun yang menggunakan dana da ri Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terk en a paj ak den gan syar at dan ket ent ua n yang berlaku,” terang Mustofa, S.Pd., M.Sc., dos en mat a kul ia h Perpajakan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta (FE UNY). Hal ini berbeda dengan yang terja di di UKM fakul tas (UKMF). P e r p a j a k a n untuk kegiatan UKMF diurus oleh pihak fa kultas. Saat dit emui di
r uangannya, Drs. Mujiran selaku Kepala Bagian (Kabag.) Kemahasiswaan me nerangkan bahwa kebijakan ini diam bil dengan tujuan mempermudah dan memperlancar proses dalam laporan pertanggungjawaban keuangan. “Itu sebenarnya bukan aturan, me lainkan kebijakan untuk memperlancar proses. Jumlah UKM di tingkat univer sitas itu kan lebih banyak dari yang di tingkat fakultas. Jadi, agar proses per tanggungjawabannya lebih cepat, UKM diminta tolong untuk membayarkan pa jak atas kegiatannya sendiri,” ungkap Mujiran. Terkait aturan perpajakan secara umum, UNY sebagai lembaga pemerin tahan wajib mengikuti aturan perpajakan dari pemerintah. Jadi, sebenarnya pene rapan pajak secara umum sudah ada sejak UNY berdiri. Seperti yang disampaikan Dr. Moch. Alip, M.A., selaku Wakil Rektor (WR) II. “Untuk aturan pajak kita meng ikuti peraturan dari pemerintah. Jadi, masalah pajak itu ketentuan negara. UNY hanya melaksanakan,” ungkap Alip.
Spekulasi Kebijakan Teknis Pajak
Kewajiban pajak memang sudah ada sejak UNY berdiri. Namun, untuk teknis pembayaran yang diserahkan kepada mahasiswa, baru dilakukan di pertengahan 2013. Pemberlakuan ke bijakan ini disayangkan oleh beberapa pengurus UKM. “Kalau dulu kan setelah kegiatan bisa langsung LPJ-an. Sekarang harus hitung pajaknya lalu ke kantor pos atau KPP Pratama untuk membayarkan pajak. Jadi, prosesnya lebih panjang,” ungkap Supriyono, Ketua UKM Pramuka Putra UNY. Kebijakan teknis pembayaran pajak tersebut pun dinilai mendadak oleh pegi at ormawa tingkat universitas. Yohanna Tyasrini, Bendahara Badan Eksekutif
A L M A M AT ER Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) 2013 menyatakan bahwa kebijak an di pertengahan tahun 2013 tersebut tanpa sosialisasi yang jelas dari rektorat. “Tahunya disuruh tanda tangan kontrak untuk bayar pajak sendiri. Tapi, tidak pernah dinyatakan alasannya,” tutur Tyas, sapaan akrabnya. Alasan yang sama juga disampai kan oleh pihak kemahasiswaan. Mujiran menjelaskan kalau jumlah UKM dan or mawa di tingkat universitas lebih banyak dari tingkat fakultas. Selain itu, jumlah orang yang mengurus di rektorat terba tas. Ia menjelaskan bahwa ketika pajak kegiatan diurus oleh rektorat akan me makan waktu yang cukup lama. “Kegiatan UKM dan ormawa tingkat fakultas tidak sepadat di tingkat univer sitas. Di tingkat universitas ada 44 UKM. Sekarang UKM kalau mau mengajukan dana untuk kegiatan lagi bisa lebih cepat. Dulu beberapa UKM terlambat karena pajak belum dibereskan bagian perpa jakan di rektorat,” terang Mujiran. Sukirjo, M.Pd., Kepala Biro Akademik, Kemahasiswaan, dan
Informasi menjelaskan adanya kebi jakan ini salah satu pertimbangannya karena dulu memang ada peringatan dari Satuan Pengawas Internal (SPI) terkait pajak. Kalau dulu, dana kegiatan UKM masih kecil sehingga masih bisa dikelola oleh rektorat. Namun, beberapa tahun terakhir kegiatan UKM menjadi sema kin besar. “Dulu ada rencana dana lang sung dipotong 15% untuk pajak. Tapi kan kasihan. Nanti dana untuk kegiatannya habis untuk wajib pajaknya mahasiswa. Mereka membayar sendiri agar ada ke leluasaan dari panitia untuk mengatur pengeluarannya sendiri,” jelas Sukirjo. Mujiran pun tidak tahu tepatnya alasan penerapan kebijakan tersebut bagi UKM dan ormawa di tingkat universitas. Ia berdalih bahwa kebijakan itu sudah di terapkan sejak lama. “Sebelum saya jadi Kabag. Kemahasiswaan memang sudah ada. Saya tidak tahu bahwa kebijakan Kabag. sebelumnya tidak menerapkan pembayaran pajak ke UKM dan orma wa,” terang Mujiran. Drs. Budi Sulistiya, Kabag. Kema hasiswaan sebelum Mujiran, menga
kui bahwa dahulu ormawa universitas tidak langsung dibebankan membayar pajak kegiatan. Budi juga menampik ji ka pertanggungjawaban keuangan ke giatan mahasiswa sempat bermasalah akibat kebijakan yang diterapkan saat Budi menjabat Kabag. Kemahasiswaan UNY. “Walau dibayarkan, dulu tidak ada masalah terkait pajak. Saat audit pun tidak bermasalah,” ujar Budi. Namun, pernyataan tersebut diban tah oleh Drs. Ngadirin, S.E., MS., Ketua Satuan Pengawas Internal (SPI) UNY. “Audit dari SPI menemukan ada masalah terkait LPJ keuangan kegiatan maha siswa. Dokumen yang dijadikan sampel dalam audit internal itu adalah BEM KM kepengurusan tahun 2013. Bukti-bukti laporan keuangan yang dilampirkan oleh BEM KM 2013 tidak lengkap,” terang Ngadirin. C. Heni Susilowati, S.Pd, mantan Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) UNY yang saat itu sebagai staf Budi, turut membenarkan jika laporan Kabag. Keu angan sempat bermasalah di tahun 2013. “Waktu itu Budi terlalu berani tidak me
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 37
ALMAMATER
nerapkan kebijakan bahwa pajak harus dibayar dan diurus sendiri oleh pengur us UKM dan ormawa di tingkat universitas. Laporan keuangan kegiatan kemahasis waan menjadi bermasalah sehingga LPJ Bagian Kemahasiswaan ditolak rektorat,” terang Heni. Terkait pihak mana yang menerap kan kebijakan pajak kegiatan UKM dan ormawa tingkat universitas, timbul saling tuding antara Bagian Kemahasiswaan dengan Biro Umum dan Perencanaan Keuangan (BUPK) UNY. Mujiran me nyat ak an bahwa kebijakan ters ebut merupakan wewenang BUPK. Namun, Drs. Setyo Budi Takarina, M.Pd., Kepala BUPK UNY, menyangkal anggapan terse but. “Saya malah tidak tahu ada kebijakan semacam itu. Terkait pajak kegiatan mahasiswa dibayar langsung atau tidak, itu rumusan Bagian Kemahasiswaan,” terang Setyo.
Ormawa Wajib Bayar Pajak
“Di Indonesia, subjek pajak ada 3 je nis, yaitu pribadi, bendahara, dan badan. Kalau organisasi mahasiswa itu konteks nya adalah badan. Bentuknya beraneka ragam, dari yang nonprofit sampai yang profit oriented. Tapi, ada tidaknya pajak, kita lihat transaksi y a n g a d a d i
38 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
dalamnya,” terang Nur Setiawan, salah seorang Account Representative (AR) di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Sleman. Di UNY, rata-rata UKM itu nonprofit oriented, kecuali koperasi mahasiswa (kopma) yang merupakan UKM profit oriented. Jadi, mereka memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sendiri. “Kalau yang nonprofit oriented itu ter gantung dia mendapatkan dana dari mana. Kalau UNY statusnya pemerin tah. Berbeda dengan swasta. Ketika pe merintah mengeluarkan uang, mereka otomatis akan memotong dana yang telah digelontorkan kepada mahasiswa ataupun universitas untuk pajak,” terang Nur Setiawan. Ketentuan pajak yang diterapkan dalam tiap kegiatan UKM berbeda ber gantung pada jenis biaya pengeluaran dan kepemilikan NPWP. Seorang wajib pajak yang memiliki NPWP akan men dapat potongan pajak lebih sedikit bila dibandingkan dengan wajib pajak yang tidak memiliki NPWP. Kecuali UKM Kopma, semua UKM dan ormawa ting kat universitas menggunakan NPWP UNY untuk membayar pajak atas semua kegiatan. Salah satu jenis pembiayaan da lam kegiatan yang dikena kan pajak ialah pembelian konsumsi. Sesuai aturan, jika mempunyai NPWP, akan dikenai PPh Pasal 23 sebesar 2%. Jika ti dak mempunyai NPWP, dikenai PPh Pasal 23 sebesar 4%. Aturan besaran potongan pajak un tuk biaya sewa ber beda. Berapa pun nilai bia y a sew a yang dikeluarkan oleh UKM mau pun ormawa akan dikenakan paj ak. Jik a sewa di atas s a t u j u t a , rekanan ha rus mem p u n y a i N P W P dan dike nai PPN seb es ar
10%. Selain dikenai PPN, terkait biaya sewa, rekanan juga harus membayar PPh Pasal 23 sebesar 2%. Apabila bi aya sewa yang dikeluarkan oleh wajib pajak di bawah satu juta akan dikenai pajak 4%. Lalu, apabila UKM dan ormawa me lakukan pengadaan bahan habis pakai sejenis di atas satu juta, rekanan harus mempunyai NPWP. Oleh karena hal itu, rekanan akan dikenakan PPN 10% dan PPh Pasal 22 sebesar 1,5%. Aturan pembayaran pajak ini juga dikenakan ke biaya yang dikeluarkan untuk uang lelah. Besaran PPh ini bergantung pada pekerjaan orang yang mendapat uang lelah. Jika diberikan kepada PNS golong an IV, dikenakan PPh Pasal 21 sebesar 15%, golongan III sebesar 5%, non-PNS dikenakan PPh Pasal 21 sebesar 6%. Atur an berbeda diberikan apabila uang lelah diberikan ke golongan II dan mahasiswa. Kedua subjek ini tidak dikenakan PPh Pasal 21. “Dulu tidak pernah ada masalah. Bagi saya yang penting dana untuk kegi atan mahasiswa itu terpenuhi,” ungkap Budi. Ia berpendapat jika ada kebijakan pajak di UKM dan ormawa tingkat uni versitas, sebaiknya anggaran untuk ke giatan UKM dan universitas ditambah. Sekarang berhubung ada aturan ini, ha rusnya alokasi anggaran untuk kegiatan ditambah.” Jumlah alokasi anggaran untuk ma sing-masing UKM dan ormawa dari ta hun ke tahun relatif tetap. Rata-rata tiap UKM dan ormawa tingkat universitas mendapat dana 25 juta rupiah. Pihak kemahasiswaan mengatakan jumlah tersebut merupakan jumlah yang ide al. Meski adanya kebijakan membayar pajak oleh UKM berakibat pada berku rangnya dana untuk kegiatan. Terk ai t sumber dana, Kabag. Keuangan, Marsidi, S.Pd., menerangkan bahwa sumber pemasukan universitas ada tiga, yaitu dari kerja sama, SPP, dan dari pemerintah. “Alur dananya sebe lum bisa sampai ke UKM dan ormawa tingkat universitas itu dari perencana an kegiatan yang dibuat bidang 3, yaitu oleh WR III dan staf ahli. Perencanaan itu dibuat dalam Rencana Kegiatan dan Penganggaran Terpadu (RKPT). Lalu, ketika RKPT dana dicairkan melalui BPP bidang 3, akan diteruskan ke UKM,” te rangnya. Laporan oleh Taufik
A L M A M AT ER
Ormawa Fakultas Tidak Kena Pajak
Birokrat kampus di tingkat universitas maupun fakultas memiliki pandangan berbeda terkait efisiensi pemberlakuan pajak kegiatan ormawa. Oleh Taufik Nurhidayat
P
emberlakuan pajak penghasil an (PPh) dan pertambahan nilai (PPN) tidak berlaku bagi kegiatan organisasi mahasiswa (ormawa) tingkat fakultas di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Hal tersebut diakui oleh Sungkono, M. Pd., Wakil Dekan II (WD II) Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UNY. “Biasanya, dana yang kena pajak itu sumber dari BOPTN (Bantuan Opera sional Perguruan Tinggi, red.). Dana itu dibagikan dari universitas kepada fakul tas via Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP). Di FIP, semua pajak kegiatan ma hasiswa sudah dipotong dan dibayarkan pihak BPP Fakultas,” ujarnya. Sungkono memberlakukan kebijak an tersebut agar pengelolaan keua ngan fakultas menjadi efisien. Menurutnya, pemotongan pajak secara langsung oleh BPP Fakultas akan lebih praktis dan tidak memberatkan mahasiswa. “Mahasiswa sudah sibuk kuliah dan beragam kegiat annya. Nanti jadi ribet kalau bayar sen diri. Biar mahasiswa membuat laporan (LPJ, red.) saja,” jelasnya. Di Fakultas Ilmu Sosial (FIS), pem berlakuan pajak juga belum dikenakan kepada ormawa. Syahrul Jihad, Ketua Hima Pendidikan Sejarah (HMPS) 2015, membenarkan hal itu. “Kami tidak per nah dikenakan aturan membayar pajak kegiatan sendiri.” Pemberlakuan pajak terhadap ke giatan mahasiswa di tingkat universitas telah berlaku sejak pertengahan tahun 2013. “Ya berlaku sejak saat itu (per tengahan 2013, red.),” aku Yohanna Tyasrini, Bendahara Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) UNY 2013. Yohanna mengatakan bahwa pera turan tersebut tidak memberatkan kegi atan organisasinya. “Kami siap saja kalau bayar pajak sendiri. Namun, peraturan itu terkesan mendadak dan tidak ada sosialisasi jelas mengapa baru diberla kukan,” imbuhnya. Drs. Mujiran, Kepala Bagian (Kabag) Kemahasiswaan UNY, berdalih bahwa
pemberlakuan aturan tersebut guna me mudahkan pembayaran pajak rektorat. “Biar mahasiswa membantu melancar kan rektorat membayar pajak,” Tambah Mujiran. Ia pun membantah jika pera turan tersebut diberlakukan mendadak. “Aturan dari pemerintah sudah lama ada. Rektorat baru memberlakukan belum lama ini. Saya malah tidak tahu kalau baru diterapkan kemarin (pertengahan 2013, red.),” pungkas Mujiran. Berbeda dengan Sungkono, Marsidi, S.Pd., Kabag Keuangan dan Akuntansi UNY berpendapat jika peraturan pajak yang diterapkan universitas akan lebih memudahkan kontrol keuangan kegi atan mahasiswa. “Biar nanti rektorat tinggal terima laporan pertanggungja waban. Lebih mudah pengawasannya jika disertakan slip pajak,” ujarnya.
Pembelajaran Bayar Pajak bagi Ormawa
Tiap penggunaan dana yang ber sumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) wajib dikenakan pajak bagi badan (organisasi) yang men dapat jatah anggaran tersebut. Penge naan aturan tersebut juga berlaku bagi ormawa semacam BEM, DPM, dan UKM di kampus. Peraturan itu tertera dalam UU No. 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM; dan UU No. 7 Tahun 1983 ten tang PPh. Didi Raafi, Kasi Pengaw asan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Sleman pun mempertegas fungsi aturan tersebut. “Lembaga profit dan nonprofit seperti organisasi mahasiswa intern kam pus jika pakai anggaran negara ya kena pajak. Ini memudahkan kontrol dan membantu transparansi dana dari negara sampai ke mana saja,” terangnya. Pengenaan pembayaran pajak or mawa universitas mendapat tanggapan positif dari Mustofa, S.Pd., M.Sc., dosen Pendidikan Ekonomi UNY. “Itu bagus. Nantinya agar para aktivis kampus tahu soal perpajakan. Bisa belajar bertang gung jawab,” kata Mustofa. Menu rutnya, pembayaran pajak yang belum dikenakan ke ormawa
level fakultas mesti segera diterapkan. “Edukasi pajak itu penting. Disayangkan jika pihak fakultas belum menerapkan ini hingga ke ormawa,” tukasnya. “Pihak kampus juga harus menekankan betapa pentingnya aturan ini. Harus menyeluruh untuk mendorong keuangan yang trans paran. Ini masalahnya dalam tataran sosialisasi,” tambah Mustofa. Terkait mekanisme pembayaran pa jak yang berbeda antara ormawa univer sitas dengan fakultas, Mustofa mengata kan bahwa perbedaan tersebut hanya ter jadi pada teknis pembayaran. “Mungkin tata cara bayarnya saja berbeda. Kalau tingkat universitas, mahasiswa disuruh bayar sendiri karena untuk memudahkan pihak universitas. Apalagi tagihan pajak universitas begitu banyak,” ujar Didi. Sependapat dengan Mustofa, Jarot Dwi Handoko, Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (DPM KM) UNY 2014 menyatakan bila atur an tersebut berguna bagi pengawasan transparansi keuangan di kampus. “Ini membikin kami tahu dan bisa dijadikan referensi kontrol keuangan kampus,” ungkapnya. Laporan oleh Candra
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 39
KOLOM
Menolak Nasionalisme Buta Oleh: Yab Sarpote
(Relawan Forum Komunikasi Masyarakat Agraris)
A
da beberapa konflik ruang hidup yang ingin saya angkat dalam tulisan ini, yaitu konflik petani-petani Rembang yang menolak keberadaan PT. Semen Indonesia di tanah mereka, mogok buruh dalam rangka menolak upah murah, dan konflik masyarakat Malind di Merauke yang menolak eksploitasi PT. Medco atas hutan mereka. Tidak ada pertimbangan khusus atas pemilihan tiga kasus ini selain pertimbangan bahwa konflik ini masih ber langsung, keragaman posisi geografis masing-masing konflik, dan tanggapan kebanyakan publik di Indonesia yang relatif seragam atas konflik ini. Saat konflik ini diketahui publik, tak sedikit yang menilai sebabnya adalah kurangnya persatuan-kesatuan masyarakat. Masyarakat yang melawan negara diartikan tidak mencintai bangsa dan negaranya karena menghalangi pembangunan. Dalam kasus masyarakat Malind, penilaiannya ditambah de ngan asumsi bahwa ada provokator atau kelompok separatis yang ingin memecah-belah bangsa. Semua penilaian ini didasarkan pada nasionalisme dan patriotisme–paham bahwa setiap individu melekat pada iden titas kolektif yang disebut bangsa dan individu-individu di dalam identitas kolektif ini memiliki kepentingan yang re latif sama. Patriotisme berimplikasi lebih jauh lagi: setiap individu dalam suat u bangsa sebaiknya bahu-membahu me nyukseskan agenda bangsanya yang tengah bersaing dengan bangsa lain. Namun, sejauh apa nasionalisme dan patriotisme mam pu memberikan pembacaan yang jujur atas konflik ruang hidup yang terjadi? Mengapa petani Rembang yang menolak tanahnya dirampas dan dijadikan area tambang karst di anggap kurang memiliki rasa persatuan-kesatuan? Mengapa menolak diupah murah dicap tidak mencintai bangsa? Me ngapa orang-orang Malind yang melawan PT. Medco dilabeli separatis dan pemecah belah bangsa? Nasionalisme dan patriotisme tidak memberi banyak pilihan selain menempatkan konflik ruang hidup pada to lok ukur derajat kecintaan pada bangsa dan negara yang abstrak dan jauh dari basis materiil penyebab tiap konflik ruang hidup. Semakin sedikit derajat kecintaannya, sema kin hitam seseorang. Di titik inilah perspektif kelas menjadi penting. Melihat konflik ruang hidup dengan perspektif kelas berarti menempatkan individu dalam konflik tersebut me lalui relasinya dengan alat produksi: tanah, pabrik, laut, dan sebagainya. Siapakah petani-petani Rembang dan PT. Semen Indonesia dalam relasinya dengan tanah di Rembang yang digunakan sebagai lahan pertanian namun di saat yang sama mengandung karst yang menjadi komoditas utama PT. Semen Indonesia? Siapakah buruh-buruh dan bos dalam relasinya dengan perusahaan? Siapakah masyarakat Malind
40 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
Dokumen Istimewa
dan PT. Medco dalam relasinya dengan hutan yang di satu sisi merupakan ruang berburu, meramu, memanen sagu, dan penghidupan suku Malind secara turun-temurun tapi di sisi lain ditumbuhi kayu yang merupakan komoditas utama PT.Medco? Apakah kepentingan tiap kelompok atas alat produksi tersebut? Individu-individu yang kepentingannya berlawanan da lam ekspansi dan akumulasi kapital bukanlah sebuah bangsa yang satu. Realita yang terjadi bukanlah sebuah pertarungan antarkelompok yang mencintai dan tidak mencintai bangsa nya namun pertarungan antara kelas-kelas dengan kepen tingan berbeda atas alat produksi. Konsekuensinya adalah tidak ada masyarakat Indonesia yang satu kepentingan di dalam bangsa Indonesia. Tidak ada kepentingan nasional yang menyatukan kepentingan kelas yang berseberangan ini. Buruh-buruh pabrik mungkin bisa saja sangat mencin tai bangsanya atau bisa saja sangat membenci bangsanya. Tapi, yang pasti buruh adalah kelas yang harus menjual te naganya pada bos untuk mendapatkan upah supaya mereka tetap bertahan hidup. Dalam relasinya dengan alat produksi, buruh tidak memiliki alat produksi sementara bos memili kinya. Karena penguasaan alat produksi ini, sang bos dapat mengeksploitasi buruh lewat setiap profit yang dihisapnya untuk diakumulasikan menjadi kapital baru. Kepentingan buruh jelas, objektif, dan materiil: mendapatkan upah lebih dari bos untuk kerja yang lebih sedikit, juga kondisi hidup dan kerja yang layak. Sementara kepentingan kapital tentu berseberangan: membuat buruh bekerja lebih keras dengan biaya produksi lebih rendah (seperti upah rendah) supaya profit lebih tinggi. Petani-petani Rembang mungkin ada yang hafal I ndonesia Raya atau mungkin sama sekali lupa. Tapi, yang pasti para petani ini terancam kehilangan alat produksinya akibat eks pansi dan akumulasi kapital PT. Semen Indonesia. Keturunan suku Malind mungkin ada yang fasih berbahasa Indonesia atau malah tidak bisa sama sekali. Tapi, yang pasti hutan masya rakat Malind telah dirampas, dirusak, dan dieksploitasi demi kebutuhan ekspansi dan akumulasi kapital PT. Medco. Perbedaan kelas inilah yang menjadi basis materiil pe cahnya konflik ruang hidup. Kepentingan kapital diwujudkan lewat korporasi, kebutuhan ekspansi, dan akumulasi kapi talnya dijamin negara. Menganjurkan nasionalisme dan patriotisme sebagai ca ra membaca dan solusi atas konflik ruang hidup yang terjadi berarti menganjurkan kolaborasi kelas–menganjurkan per damaian di tengah penindasan yang terjadi. Nasionalisme menciptakan imajinasi akan adanya komunitas bangsa yang memiliki kepentingan bersama. Padahal, ini mengaburkan realitas akan kepentingan materiil yang nyata dan berlawanan dari kelas-kelas yang membentuk seluruh populasi.n
Selamat Telah Merampungkan Studi Anggun Astria, S.Pd.
Ebma Yudhasatria, S.Pd.
Staf Jaringan Kerja 2012
Staf PSDM 2013
Azwar Anas, S.S.
Efendi Ari Wibowo, S.Pd.
Pemimpin Redaksi 2010
Pimpinan Jaringan Kerja 2012
Cahyo Waskito P. A., S.S.
Endarti, S.Pd.
Staf Jaringan Kerja 2011
Staf PSDM 2011
Delvira C. Hutabarat, S.Pd.
Ferlynda P. Sofyandari, S.Pd.
Sulyanti, S.Pd.
Staf PSDM 2012
Pimpinan PSDM 2013
Staf Perusahaan 2012
Dini Permata S., S.Pd.
Irawan Sapto Adhi, S.Pd.
Staf PSDM 2013
Pemimpin Umum 2013
Octandi Bayu P., S.Pd. Staf Perusahaan 2014
Mutayasaroh, S.S. Pemimpin Umum 2012
Selamat Menjalani Hidup Baru
Muhammad Safrinal Lubis, S.Si. Meirly Natianessy, S.Si. (Staf PSDM 2004) (Pemimpin
Perusahaan 2004)
Syafawi Ahmad Qzadafi, S.S. Sayyidah Asiyah, S.Pd. Yoga Noviantoro, S.Pd. Rellyta Kartikasari Elisabeth Murni, S.S. Chandra Cahyanto, S.Si. Septi Hanis Sidiq Ibnu Harmasto, S.H. (Pemimpin Redaksi 2009)
(Staf Perusahaan 2009)
(Staf Perusahaan 2008)
(Pemimpin Perusahaan 2008)
Kalam Jauhari, S.S. Ana Novianti, S.S. (Redaktur Artistik 2007) (Pemimpin
Perusahaan 2008)
Prasetyo Wibowo, S.Pd. Nawang Sari, S.S. Iswarta Bima Pengukir Ilham, S.S. Kusumaningrum Ade Rakhma Novita Sari Ainul Ilmi Anna Nurlaila Kurniasari, S.S., S.Pd. Hananto (Staf Jaringan Kerja 2009)
(Pemimpin PSDM 2008)
(Redaktur Pelaksana Majalah 2013)
(Pemimpin Umum 2010)
DA LA M LA N IK
LA
N
DA
LA
M
IK
ling kri a p tis i s . k T e l ema ref n
C'KLIK
Tapak Terjal Ketoprak Tobong
B
agi Mak Kemek dan Mbah Kancil menjadi bagian dari ketoprak tobong berarti me niti jalan kesunyian. Mereka tak pernah berpikir menikah dan memiliki keturunan. Hanya ada 4 kelompok ketoprak tobong di Indonesia. Salah satunya Kelana Bhakti Budaya, sisanya berkelana di Jawa Timur. Se pinya penonton mengharuskan mereka selalu berpindah-pindah. Tak banyak upah sekali pentas, 5.000 rupiah adalah nominal biasa untuk mereka. Selain hambatan finansial, Ketoprak Tobong Kelana Bhakti Budaya kini dihadapkan krisis tenaga. Sebagian dari mereka memilih peker jaan lain. Alasannya, pendapatan dari bermain ketoprak tobong tak mampu lagi mencukupi biaya hidup mereka.
l Foto dan Teks oleh Muhammad N. Farid dan Prasetyo Wibowo Tata Letak oleh Hesti Pratiwi A.
Tempat Bertumpu l Oleh Muhammad. N. Farid
l
Mbah Kancil
Oleh Muhammad. N. Farid
Penyambung Hidup l Oleh Muhammad. N. Farid
Oleh Muhammad. N. Farid
l
Membangun Mimpi Tobong
l
Menatap Masa Lalu
Oleh Muhammad. N. Farid
l
Oleh Prasetyo Wibowo
Oleh Muhammad. N. Farid
l
Menunggu Ditabuh
Menatap Masa Lalu
l
Di Balik Layar Tobong
Oleh Muhammad. N. Farid
l
Foto oleh Prasetyo Wibowo
DA LA M
IK
LA
N
DA
IK
LA
M
LA
N
one h p u erlsmart p m k Ta nya klik line.co pu tuk sion un spre ek
a B uk c a u-B untuk
-
-o u bat g du n
Tim Telusur: Agil Widiatmoko (Koordinator), Hengki Afrinata, Prasetyo Wibowo, dan Taufik Nurhidayat.
PAMSER
Gejolak Watuputih Oleh Agil Widiatmoko
TELUSUR B
ulan Mei 2009, warga Pati berhasil menggagalkan rencana pendirian pabrik dan penambangan semen oleh PT Semen Gresik (sekarang PT Semen Indonesia). Perusahaan ini menyasar tiga keca matan di Kabupaten Pati, yaitu Sukolilo, Tambakromo, dan Kayen. Kegagalan pembangunan pabrik di Pati, membuatnya melirik Kabupaten Rembang sebelah timur, yaitu Pegunungan Watuputih. Seperti halnya warga Pati yang melakukan gerakan perlawanan, warga yang tinggal di sekitar Pegunung an Watuputih juga melakukan perlawanan. Perlawanan itu dimotori oleh dua desa, yaitu Desa Tegaldowo dan Timbrangan. Mereka yang sudah mengetahui dampak jika PT Semen Indonesia berdiri di Rembang berjuang agar proyek besar ini batal. Konflik mulai membesar saat prosesi peletakan batu pertama oleh PT Semen Indonesia. Dampak sosial sudah dirasakan warga yang bertempat tinggal di ring pertama. Jalur hukum menjadi salah satu jalan untuk menggagalkan pembangunan pabrik dan pertambangan yang akan dilakukan oleh PT Semen Indonesia.
T E L US UR
Hengki | EKSPRESI
Rumah warga penolak pabrik semen, Kamis (1/1/2015). Alasan lingkungan mendorong warga desa Tegaldowo dan Timbrangan menolak pembangunan pabrik.
P
egunungan Watuputih masih menjadi bagian Pegunungan Kendeng Utara dan masuk wila yah administratif Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Di tempat inilah PT Semen Indonesia akan melakukan kegiatan yang meliputi pembangun an pabrik semen, penambangan batu gamping, dan penambangan tanah liat. Rencana pembangunan pabrik semen tersebut akan berlokasi di atas lahan seluas 105ha yang terletak di Desa Pasucen dan Desa Kajar. Sementara lokasi penambangan batu gamping seluas 520ha terletak di Desa Tegaldowo dan Desa Kajar sedangkan lo kasi penambangan tanah liat seluas 240ha terletak di Desa Kajar dan Desa Pasucen. Di samping itu, di Desa Timbrangan akan dibangun jalan tambang. Jalan produksi akan dibangun di Desa Kadiwono. Secara administrasi, lokasi penambangan batu gam ping dan tanah liat serta lokasi pabrik masuk wilayah Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Setelah adanya peletakan batu pertama pendirian tapak pabrik PT Semen Indonesia, yang dilakukan pada 16 Juni 2014 warga mulai berontak dengan me lakukan aksi, saat itu juga. Mereka berjuang demi menyelamatkan lingkungan, terkhusus kebutuhan primer mereka terhadap air. Watuputih adalah kawasan imbuhan air terbesar di Rembang dan penyokong utama kebutuhan air di
50 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
14 kecamatan yang mencakup 607.198 jiwa. Pegu nungan Watuputih merupakan Cekungan Air Tanah (CAT) dan telah disahkan melalui Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 2011 tentang penetapan cekungan air tanah yang masuk dalam golongan CAT B. Ada dua desa yang begitu vokal menyuarakan penolakan terhadap PT Semen Indonesia, yakni Desa Tegaldowo dan Timbrangan. Untuk mencapai kedua desa ini ada dua jalur yang bisa ditempuh. Jika mele wati pusat Kota Rembang, perjalanan bisa ditempuh sekitar 1 jam. Alternatif kedua melewati Blora dan harus melewati Kawasan Hutan Perhutani (KPH) Mantingan yang memakan waktu 30 menit. Jalan di Hutan Mantingan dulu beraspal namun kini hanya tersisa batu-batu kapur dan telah rusak. Mayoritas penduduk Tegaldowo dan Timbrangan memenuhi kebutuhan mereka dengan bertani. Lahanlahan tersebar di Lereng Watuputih. Lahan itu biasa disebut tanah tegalan. Selain bertani, mereka juga memelihara sapi di rumah. Bagi mereka, memelihara sapi bisa diibaratkan sebagai tabungan. “Wong kene ki uripe dadi tani. Mengko karo ngingu sapi. Njuk ngarit gawe mangan sapine (Orang sini hidupnya bertani. Nanti sambil memelihara sapi. Lalu mencari rumput untuk makan sapi, red.),” ujar Japar, salah seorang warga Desa Tegaldowo. ***
G EJ O L A K W AT UP UT I H Dengan motor berwarna hitam, Sumarno berang di jika ada PT Semen Indonesia kepada kelompok kat ke rumah sahabatnya. Sesampainya, ia duduk masyarakat yang usianya sebaya dengan mereka. di kursi kayu milik tuan rumah. Setelah 15 menit, ia Dari situ mereka dapat menggaet masyarakat seusia mulai menceritakan perjuangan menghentikan PT mereka sekitar 30 orang. Menurut Sumarno, para Semen Indonesia di Pegunungan Watuputih sembari pemuda adalah yang paling mudah diajak untuk sesekali meneguk kopi hitam yang masih mengepul bergabung dalam gerakan ini karena sudah sering kan asap. Waktu itu, ia dan kelima temannya, yaitu kumpul bersama. Sumarno, Joko Priyanto, Dullah, Sukristianto, Gito, Masyarakat yang lain juga mulai menyadari dam dan Sunardi, mendengar desas-desus bahwa kawasan pak yang akan terjadi jika PT Semen Indonesia tetap Watuputih akan dijadikan pabrik dan penambang melaksanakan proyeknya, dan pada akhirnya juga an. Pementasan wayang kulit yang dilaksanakan di ikut bergabung dengan gerakan penolakan terhadap lapangan Tegaldowo, menjadi tanda semakin de adanya PT Semen Indonesia. “Akhirnya ada ratusan katnya proyek tersebut ditambah banner dari PT orang yang mau bergabung menolak gerakan pabrik Semen Indonesia. semen,” ungkap Sumarno. Pen yel engg ar aa n way ang kul it memb ua t *** Sumarno dan teman-temannya berinisiatif untuk Hujan rintik mulai membasahi Desa Tegaldowo. menemui Suntono, Lurah Desa Tegaldowo. Sumarno Malam itu, di hari kedua bulan Januari 2015, ma bertanya menggunakan bahasa krama. “Pak, turene syarakat Tegaldowo mulai berdatangan ke salah satu teng mriki meh enten pabrik semen. Masyarakat rumah warga untuk melakukan rapat mingguan. Ru mriki terus pripun, Pak? (Pak, katanya di sini akan mahnya berdinding kayu, berlantai keramik warna ada pabrik semen. Masyarakat sini terus bagaima cokelat kombinasi putih. Di depan rumah terpampang na, Pak?, red.),” tanyanya kepada Suntono. “Nanti poster “Tolak Pabrik Semen”. kalau ada pabrik semen di sini, masyarakat akan Rap at itu dih ad ir i sek it ar 30 orang Des a makmur. Lapangan kerja besok banyak. Anak muda Tegaldowo yang terdiri atas laki-laki dan perem bisa kerja,” jawab Suntono. puan. Rapat itu membahas surutnya semangat warga Suasana semakin memanas lantaran tidak ada dalam memperjuangkan Pegunungan Watuputih dari kepastian bagi warga Tegaldowo terkait pekerjaan incaran PT Semen Indonesia sebab mereka sibuk dan kesejahteraan yang dijanjikan oleh mengurus sawahnya. Kala itu bulan Januari, Suntono. “Lha, jaminannya apa, Pak?” momentum warga untuk menanam tanaman tanya Sumarno dengan suara yang agak di lahan pertanian mereka. Setiap saat harus berjuang. tinggi. Pemimpin rapat saat itu Dullah. Ia memo Jangan surut gara-gara Ketidakpercayaan Sumarno dan ka tivasi warga lain. Ia mengatakan bahwa perju sekarang musim tanam." wan-kawannya, membuat Suntono naik angan tidak mengenal musim tanam ataupun pitam. Nada bicara yang tadinya santai, musim panen. “Setiap saat harus berjuang. mendadak meninggi. Demi membuat me Dullah Jangan surut gara-gara sekarang musim ta reka percaya, dirinya menjamin mereka nam,” tambahnya berapi-api. bisa masuk dengan cara apapun. “Kalau sa Sumarno yang duduk di samping Dullah, ya masih jadi lurah, intinya saya masukkan bagaima mengacungkan tangan kanannya ke atas, pertanda ia napun caranya. Saya paksa supaya bisa masuk.” meminta izin untuk berbicara. Ia meyakinkan warga Tatkala Sumarno menyinggung tidak adanya bahwa perjuangan ini bukan hanya untuk saat ini sosialisasi, Suntono membantah kalau belum ada tapi juga untuk masa depan. Demi anak dan cucu sosialisasi. “Lha, sudah ada pertunjukan wayang, warga Tegaldowo. itu sosialisasi,” kata Suntono. Masa depan anak dan cucu mereka menjadi Sumarno dan kawan-kawan tidak kalah cerdik. taruhan. Pegunungan Watuputih yang masih asri Ia membantah pernyataan Suntono bahwa page dan ladang-ladang yang ditanami, harus diperta laran wayang yang banyak spanduk dari PT Semen hankan. Dullah mengingatkan warga agar tidak Indonesia itu merupakan sosialisasi. “Sosialisasi itu menjual tanahnya. “Petani itu menggantungkan ada prosedurnya, Pak. Enggak kayak gitu,” bantah hidupnya lewat tanah yang diolah. Kalau tanahnya nya. dijual, sudah tidak akan bisa hidup”. *** Kesilauan pada rupiah menjadi ancaman bagi Sore itu, bertepatan dengan dimulainya tahun masyarakat. Dengan menjual tanah, mereka bisa 2015. Sumarno mulai mengenang kembali bagaima membeli kendaraan bermotor dan membuat wa na ia dan kawan-kawannya berjuang membesarkan rung. “Saya mengingatkan bapak-bapak, ibu-ibu. gerakan penolakan terhadap rencana pendirian PT Jangan tergiur dengan orang yang menjual tanah Semen Indonesia. Gerakan penolakan yang dilakukan nya. Kendaraan bisa rusak. Warung bisa bangkrut. oleh enam orang itu mengalami pasang surut. Dua Kalau kalian semua masih punya tanah, itu yang orang di antaranya keluar dari barisan. akan jadi sumber penghidupan. Tidak akan habis Mula-mula keempat orang itu memberi penje sampai cucumu,” tutupnya mengakhiri rapat ma lasan mengenai dampak-dampak yang akan terja lam itu.
“
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 51
T E L US UR
Berpacu Melawan Tambang Kendati berada dalam kawasan lindung dan gugatan izin lingkungan tengah diproses, pembangunan pabrik tetap berjalan. Oleh Prasetyo Wibowo
J
umat malam (26/12/2014), hujan lebat meng Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia lebih ba guyur kawasan Watuputih. Air kecokelatan nyak dinikmati kalangan elite sedangkan hak rakyat beserta kerikil limbah tambang pun turut turun untuk mengolah alam selalu direbut. Sebagai ba bersamaan dengan hujan dan memenuhi jalanrang utilitas yang seharusnya dikelola negara, alam jalan di Desa Tegaldowo. Sebagian warga Tegaldowo bergeser menjadi barang komoditas. Eko Teguh menuding tambang adalah biang keladi dari bencana Paripurno, Koordinator Pusat Studi Manajemen ini. Kawasan Watuputih yang seharusnya dijadikan Bencana Universitas Pembangunan Nusantara (UPN) “Veteran” Yogyakarta, mengatakan alam tempat penampungan air semakin terkikis, berlu bang serta tak mampu menerima beban air yang seharusnya jangan dilihat sebagai barang ekonomi begitu berat. lalu menistakan fungsi sosial dan haknya. Eko juga Sumber air di Pegunungan Watuputih pun meng menjelaskan, ketika alam dipandang hanya sebagai alami penurunan debit. Sumber mata air yang da bisnis, akhirnya terjadi ketidakadilan spasial. hulu jernih kini bercampur dengan batu-batu kecil. Studi-studi yang mengkritik komersialisasi alam “Mbiyen ki banyune agung, resik, nanging saiki menyebutkan adanya upaya terus-menerus dari pe mek mili sithik (Dulu tuh airnya banyak, bersih, ta merintah dan pemodal untuk mendidik masyarakat pi sekarang cuma mengalir sedikit, red.),” terang agar melihat alam sebagai barang ekonomi tinggi. Sukamdi. Pekerjaan dan kesejahteraan sosial sebagai hasil eks Di ruang tamu Sukinah, Sukamdi bercerita ba ploitasi alam menjadi senjata utama pemodal untuk nyak mengenai perubahan alam yang dia rasakan mengelabui masyarakat. Alam tak mempunyai hak dan nilai lain. Alam hanya mampu menghasilkan akibat penambangan. “Sekarang banjir terus. Itu juga karena tambang. Kalau banjir seperti kemarin, satu nilai guna, yakni uang. ya, enggak jadi panen. Padi rusak,” keluh Sukamdi, Eko menilai, orang-orang yang masih melihat petani di Desa Tegaldowo yang kini SDA hanya dari segi materiil sebagai berusia lebih dari setengah abad. Ia tak sesat pikir. Efek dari bencana yang di sendiri, di Desa Tegaldowo ada 1.310 Karena tambang itu proses menuju timbulkan oleh tambang tidak seper titik kulminasi. Ketika sudah petani yang merasakan hal serupa. ti gempa lalu tsunami. Proses ketika tambang berjalan justru memiliki ri Namun, pernyataan dari warga mencapai titik tersebut, bencana akan timbul." yang menolak tambang itu disanggah siko yang nyata. “Karena tambang itu oleh perangkat desa. “Bukan. Itu bu proses menuju titik kulminasi. Ketika sudah mencapai titik tersebut, bencana kan karena tambang. Banjir kemarin Eko Teguh Paripurno memang murni saluran yang kian sem akan timbul,” terang Eko. pit,” jelas Suwandi, Sekretaris Desa Meski begitu, potensi batu gamping Tegaldowo yang mendukung penuh proses penam Pegunungan Watuputih memang begitu menggi bangan di Pegunungan Watuputih. urkan pemodal lokal maupun nasional. Data dari Hasil penelitian Dinas Pertambangan Provinsi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Daerah Tingkat 1 Jawa Tengah bekerjasama dengan Kabupaten Rembang menunjukkan 31 PT, CV, dan perseorangan tengah mengupas Pegunungan Direktorat Geologi Tata Lingkungan tahun 1998 sudah mengatakan Pegunungan Watuputih secara fisiografis Watuputih. Muhammad Faisal, S.T., salah satu pe merupakan tipe bentang alam karst. Penelitian ter gawai ESDM yang berhasil ditemui, Rabu (31/12/14) sebut dikukuhkan dengan Keputusan Presiden RI menjelaskan bahwa penambangan lokal di Pegu Nomor 26 tahun 2011 tentang kawasan imbuhan atau nungan Watuputih sudah ada sejak tahun 1998, jauh perlindungan air tanah. Namun, regulasi yang terbit sebelum PT Semen Indonesia melirik kawasan ini. dari pemerintah pusat dan provinsi tak diindahkan Kawasan eksplorasi PT Semen Indonesia terbagi oleh para penambang. Berbekal izin dari pemda, pa jadi dua, yaitu penambangan batu gamping dan pe ra penambang mengupas Pegunungan Watuputih nambangan tanah liat. Penambangan batu gamping hingga banjir beserta batu kerikil menerjang Desa berada di Desa Tegaldowo dan Kajar dengan total luas Tegaldowo. 520ha sedangkan penambangan tanah liat berada *** di Desa Kajar dan Pasucen dengan total luas 240ha.
“
52 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
G EJ O L A K W AT UP UT I H
Penambangan karst lokal di Pegunungan Watuputih sejak tahun 1998.
Hingga awal tahun 2015, proses eksplorasi baru tahap pembangunan pabrik serta utilitas yang terletak di Desa Kajar dan Pasucen dengan luas 105ha. *** Penambangan tanah liat dan batu gamping me mang belum beroperasi. Namun, protes dari warga secara besar-besaran memaksa PT Semen Indonesia untuk angkat kaki dari Pegunungan Watuputih. “Kami menolak pembangunan serta eksploitasi PT Semen Indonesia karena wilayah penambangan adalah tem pat persediaan air kami,” kata Joko Prianto, tokoh pemuda Tegaldowo yang menolak penambangan. Warga mengaku tidak tergiur dengan untung dari penambangan. Mereka merasa sudah sejahtera menjadi petani. “Jika penambangan secara besarbesaran ini benar-benar berjalan, alam akan rusak. Bukan hanya banjir seperti kemarin, warga juga bisa kekurangan persediaan air,” ujar Prin, sapaan akrab Joko Prianto. Prin menceritakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT Semen Indonesia yang menurutnya mencurigakan. Prin menduga, ada yang salah dalam perizinan tersebut. “Bukan hanya data-da tanya yang keliru namun perizinannya juga aneh.” “CAT (Cekungan Air Tanah, red.) Watuputih sudah masuk sebagai kawasan imbuhan air, sudah ditetapkan juga oleh orang Geologi tahun 1998 se bagai tipe bentang alam karst. Lha kok AMDAL-nya bisa lolos? Itu kan aneh!” kata Prin. Sebelumnya, tertanggal 1 Juli 2014, Badan Geologi Kementerian ESDM RI dengan nomor surat 3131/05/ BGL/2014 telah menyurati Gubernur Jawa Tengah tentang Watuputih. Dikatakan bahwa untuk menja ga akuifer CAT Watuputih, proses penambangan di kawasan tersebut harus dihentikan. “Saya bersama sedulur-sedulur tak hanya diam. Kami melakukan penelitian independen terkait ling kungan di Watuputih. Hasilnya sungguh berbeda,” Prin melanjutkan. Pendataan serta penelitian pun dilakukan oleh Prin beserta warga terdampak yang di dalamnya mencakup dua desa, Tegaldowo dan Timbrangan. Pendataan yang dilakukan mencakup wilayah izin lokasi PT Semen Indonesia. Hasilnya, terdapat ke keliruan serta kesalahan data yang tercantum dalam
Hengki | EKSPRESI
AMDAL PT Semen Indonesia. “Dari jumlah gua, po nor (lubang yang mempunyai aliran di tanah, red.), sumber mata air dan masih banyak lagi kekeliruan yang dilakukan pabrik semen,” jelas Prin. “Kalau semua mau jujur dan bloko, seharus nya semua tahu kalau areal izin usaha PT Semen Indonesia itu berada di kawasan CAT Watuputih. Itu merupakan kawasan lindung,” terang Prin. Sunyono atau biasa disapa Nyono, Lurah Desa Timbrangan, satu-satunya lurah di kawasan izin lokasi PT Semen Indonesia yang menolak penambangan mengatakan, “Saya tahu kalau AMDAL ini bermasalah. Maka dari itu saya menolak!” Ada 2.501 warga Rembang yang menolak pendirian serta penambangan PT Semen Indonesia. Semua penolakan warga Rembang itu dibubuhkan melalui tanda tangan tertanggal 10 Desember 2014. Gerakan lingkungan yang dilakukan oleh Prin dan warga lainya ternyata tak cukup meyakinkan sejumlah orang. ”Jika alasannya karena merusak lingkungan, kenapa tidak menolak tambang dari dulu? Toh, di sini sudah ada tambang dari tahun 98,” tutur Suwandi. Suwandi lebih percaya tambang yang dikelola pemerintah. Alasan lingkungan dikatakannya tidak relevan. “PT Semen Indonesia ini, kan, izin lingkungannya dikeluarkan oleh ahli dan profesor. Saya ragu kalau data mereka tidak sesuai lapangan.” Hal serupa dikatakan oleh Dwi Soetjipto, Dirut PT Semen Indonesia dalam Metro Realitas pada Sabtu, 19/12/14. “Izin lingkungan saja sudah bermasalah, gimana mau nambang?” jelas Nyono sembari membawa izin lingkungan PT Semen Indonesia yang tebalnya lebih dari 15 cm. Nyono juga menjelaskan jika izin PT Semen Indonesia tidak dicabut, dipastikan fungsi resapan air di kawasan CAT Watuputih akan hilang. Lalu, mengancam 607.198 jiwa di 4 Kabupaten Rembang. Menurut Eko, Rembang memang tidak akan segera krisis air, tapi sudah pasti mengalami krisis ketersediaan air bersih. Eko juga mengatakan, Indonesia tidak mengalami krisis SDA, melainkan krisis governance: ketidakmampuan negara mengelola sumber daya alam. ` Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 53
T E L US UR
Lahirnya Kartini Baru dari Rembang Dulu Kartini berjuang melalui ide dan tulisan. Kartini Rembang sekarang berjuang mempertahankan alam dari cengkeraman PT Semen Indonesia. Oleh Agil Widiatmoko
“B
u, dalam gerakan ini kenapa malah pe rempuan yang menjadi barisan terde pan?” tanya saya kepada Sukinah. Men dengar pertanyaan tersebut, ia mulai mencerna pertanyaan itu, dan dari mulutnya terlontar alasannya. “Trah Rembang ki sek dadi pengarepe, yo sek wedok (Keturunan Rembang itu yang menjadi ujungnya, ya perempuan, red.),” jawabnya dengan menggunakan bahasa Jawa khas Rembang. Sukinah adalah perempuan asal Desa Tegaldowo, Gunem, Jawa Tengah yang ikut dalam gerakan pe nolakan terhadap PT Semen Indonesia. Dalam suatu gerakan rakyat, kecenderungan yang terjadi adalah laki-laki memiliki peran lebih dibandingkan perem puan. Namun, dalam gerakan penolakan terhadap PT Semen Indonesia di Rembang, memupuskan dominasi dari laki-laki. Mereka mendapatkan posisi yang isti mewa, yaitu sebagai garda terdepan perjuangan. *** Rembang dikenal sebagai tempat kelahiran R.A. Kartini, salah satu pahlawan nasional Indonesia. So sok itulah yang membuat perempuan menjadi barisan
Aksi geruduk UGM yang menuntut klarifikasi dan pertanggungjawaan terhadap 2 saksi ahli terkait kasus pembangunan pabrik PT Semen Indonesia (20/3/2015).
AGIL | EKSPRESI
54 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
terdepan gerakan rakyat yang dilakukan oleh warga Desa Tegaldowo dan Timbrangan. Mereka berjuang agar PT Semen Indonesia tidak jadi menambang dan mendirikan pabrik di Pegunungan Watuputih. Perjuangan Kartini di masa lampau membuat pe rempuan di Pegunungan Watuputih tergugah jiwanya untuk meneruskan perjuangan. Lain halnya dengan Kartini lama yang berjuang lewat ide dan tulisan, Kartini baru berjuang untuk mempertahankan alam Rembang dari ancaman PT Semen Indonesia. “Per juangan Kartini itu lewat tulisan. Tapi Kartini desa seperti saudara-saudara di sini ini berjuangnya supaya alam Rembang tidak dirusak PT Semen Indonesia,” ungkap Sukinah dengan nada tinggi, memberikan penekanan pada kata Semen Indonesia. Tidak hanya Sukinah yang menjadikan Kartini sebagai inspirasi perjuangan. Seluruh perempuan yang ikut berjuang juga melakukan hal senada. Salah satu dari puluhan perempuan itu ialah Siti Fatimah. Ia adalah pejuang perempuan dari Desa Timbrangan. Siti, nama panggilan perempuan berusia 28 tahun ini, menuturkan perempuan di sini terinspirasi oleh perjuangan Kartini. Perjuangan Kartini harus dilan jutkan, yaitu dengan cara menjaga alam Rembang. Selain karena sosok Kartini, ada faktor lain yang membuat perempuan menjadi barisan terdepan. Se belumnya, aksi dilakukan bersama laki-laki dan se ringkali terjadi bentrokan dengan polisi yang me ngamankan jalannya aksi. Kejadian itu membuat para pejuang berpikiran untuk mengubah strategi: perempuan saja yang di barisan depan. Sukinah menganalogikan perjuangan ini layaknya perang. Ia memiliki keyakinan, jika laki-laki ada di barisan depan pasti terjadi per tumpahan darah. Hal inilah yang tidak diingin kannya. Perempuan, dalam masyarakat patri arkat dianggap lemah sehingga polisi tidak tega melukai perempuan. Makanya perempuan yang harus menjadi barisan terdepan, agar tidak ada korban jiwa dalam gerakan ini. *** Aksi memang sudah sering dilakukan sebagai bentuk perjuangan. Mulai dari jalan menuju tem pat pembangunan pabrik PT Semen Indonesia,
G EJ O L A K W AT UP UT I H Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) polisi. Teriakan tolong keluar dari mulutnya, me Rembang, Kantor Bupati Rembang, Kantor Gubernur nandakan dirinya kesakitan. Ia melawan dengan Jawa Tengah, Kantor Dewan Perwakilan Rakyat menggigit polisi itu. Lalu, polisi menyingkirkannya Daerah (DPRD) Jawa Tengah, sampai melakukan sampai ia terjatuh. roadshow ke berbagai kantor kementerian. Ia tidak menyerah. Ia bangkit lagi untuk menge Sebelum berhembus wacana pembangunan tahui identitas si polisi. “Jenenge sopo? (Namanya pabrik dan pertambangan yang dilakukan Semen siapa?, red.)” tanyanya dengan bahasa Jawa Ngoko Indonesia, kes eh ar ia n mas yar ak at Tegaldowo sambil berteriak. Lalu polisi memperlihatkan na dan Timbrangan dihabiskan di sawah. Kebanyak manya yang bertuliskan A. Mahmud. “Iya Bu, tulis an dari mereka memang bekerja sebagai petani di yang besar nama saya,” jawab si polisi seperti diti Pegunungan Watuputih. “Sebelum ada isu tentang rukan Murtini. Semen Indonesia yang ingin membangun pabrik dan Luka injakan masih membekas di jempol ka tambang di sini, setiap hari kami kerja kinya. Kulit di jempolnya masih sedikit di sawah,” tutur Sukinah. terbuka bak disayat dengan pisau walau Wacana itu berhembus semakin ku Tidak takut ada banyak polisi. pun sudah kering. “Ini luka bekas injakan Wong, makannya sama-sama nasi. at ditandai dengan adanya peletakan polisinya,” tuturnya sambil menunjuk batu pertama untuk proses pembangun kan luka bekas injakan. an PT Semen Indonesia. Warga mulai Siti Fatimah Kegeraman terhadap polisi terli protes dan mulai melakukan penolakan hat dari raut wajah Murtini. Dua kali dengan melakukan aksi. Siti mencerita mendapatkan intimidasi tidak lantas kan pengalaman pertamanya mengikuti aksi. menyurutkan niatnya dan tetap berjuang. “Habis Waktu itu, ia mengikuti aksi di Kantor DPRD diintimidasi tetap mau berjuang,” katanya sambil Rembang. Aparat yang menjaga massa aksi cukup mengepalkan kedua tangannya. banyak. Melihat para aparat, ia merasa sedikit ke *** takutan lantaran jarang sekali berhadapan dengan Beberapa tenda sudah ada sejak Juli 2014. Atap aparat keamanan. Rasanya ingin berteriak agar per nya menggunakan terpal berwarna biru muda. Se masalahan ini cepat direspons. Ketakutannya mulai bagai penopang, digunakan potongan pohon bambu luruh. Ia menilai aparat itu sama dengan manusiayang sudah berwarna kuning. Tanda bahwa bam manusia lain. “Tidak takut ada banyak polisi. Wong, bunya sudah mengering. Tenda itu terletak di jalan makannya sama-sama nasi,” tegasnya mengenang menuju pabrik Semen Indonesia. Daerah yang masih aksi tersebut. termasuk dalam kawasan Hutan Mantingan. Ada kalanya saat melakukan aksi terjadi intimida Tenda inilah yang disebut warga sebagai roh si. Perempuan-perempuan ini juga pernah mengalami pergerakan. “Roh pergerakan ada di tenda. Saudaraintimidasi dari aparat. Murtini salah satunya. Pukul saudara yang ingin membantu itu bersimpati karena 17.30 WIB, Murtini baru pulang berjaga di tenda per perjuangan ibu-ibu yang ada di tenda,” kata Sukinah juangan, ia lari-lari kecil dari rumahnya menuju ke dalam rapat mingguan di Desa Tegaldowo. rumah Suyasir, tempat saya menunggunya. Sejenak Perempuan mendapat tugas untuk menjaga ia menghela napas untuk istirahat. Ia lalu duduk di tenda. Setiap hari selalu bergantian menjaga, ba kursi kayu di depan rumah Suyasir. ik dari Tegaldowo maupun Timbrangan dan sudah Ia lalu menceritakan bahwa dirinya pernah dua terjadwal siapa saja yang harus menjaga tenda. Pa kali terkena intimidasi dari polisi saat melakukan da saat perempuan menjaga tenda, suami mereka aksi. Intimidasi yang pertama terjadi pada Senin mendapat peran sebagai penjaga rumah. Tugas me (16/6/2014). Bertepatan dengan prosesi peletak masak, mencuci, serta merawat anak-anak diambil an batu pertama yang dilakukan oleh PT Semen alih oleh suami. Indonesia, ia dan warga yang lainnya melakukan Siti menceritakan suaminya yang sehari-hari be aksi di jalan menuju tempat yang akan dijadikan kerja menjadi petani, meluangkan waktunya untuk tapak pabrik PT Semen Indonesia. Saat memblokade mengurus kebutuhan domestik. Misalnya saja, me jalan, dirinya diangkat secara paksa dan dilempar masak, mencuci, dan merawat anak. “Suami saya ya ke pinggir jalan oleh polisi. bisa masak, mencuci, merawat anak kalau habis dari Intimidasi yang kedua dilakukan terhadap diri hutan. Rata-rata seperti itu. Ketika ibu-ibu menjaga nya pada saat aksi lesungan pada Kamis (27/11/2014). tenda ya suaminya harus bisa mengurus rumah,” Aksi itu juga dilakukan di jalan menuju tapak pabrik. tambahnya sambil melebarkan senyum. Polisi yang datang mengamankan aksi tersebut ter Sorot mata Siti mulai tajam, nada suaranya me nyata banyak. Tujuan gerombolan polisi itu adalah ninggi menunjukkan semangat menjawab pertanya membubarkan aksi lesungan. an yang saya ajukan terkait dengan sikap suaminya Murtini yang ingin menyelamatkan lesung dan yang mau bergantian mengerjakan hal domestik. luku justru ditarik oleh polisi. Selain diseret, kakinya “Inilah bentuk pengorbanan warga di sini. Suami juga tak luput dari sasaran polisi. Kaki yang hanya saya ya menerima saja karena ini salah satu bentuk beralaskan sandal jepit itu diinjak dengan keras oleh perjuangan,” jawabnya.
“
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 55
T E L US UR
Hidup Berdampingan antara Pro dan Kontra Pro dan kontra adalah identitas baru yang memecah kerukunan warga desa sekitar Gunem. Oleh Taufik Nurhidayat
P
oster-poster penolakan pabrik semen melekat masih mengakui Pur sebagai bagian keluarganya. pada dinding beranda rumah Suyasir. Di rumah “Dia saudara ipar saya,” akunya. itu pula para simpatisan Tolak Pabrik Semen Toni segera melapor kepada Sunyono selaku dari berbagai daerah menginap. Hari itu Sabtu Kepala Desa (Kades). Pengaduan Toni diselesaikan (3/1/2015), Suyasir berkisah mengenai sepak terjang di balai desa. Di hadapan ratusan warga desa, ok nya menolak pendirian pabrik PT Semen Indonesia. num-oknum yang mengancam Toni berjanji kepada Sunyono untuk tidak berulah lagi. Dialah lelaki yang kerap disapa Toni, motor perge rakan kontra pabrik semen asal Desa Timbrangan, *** Terbilang ada dua desa yang warganya begi Gunem, Rembang. Toni khawatir jika keberadaan pabrik di Kawasan tu masif melawan pendirian pabrik itu ialah Desa Hutan Mantingan memperparah kerusakan alam Tegaldowo dan Timbrangan. Keduanya masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Gunem. Tak hanya Pegunungan Watuputih yang menjadi bagian da ri Pegunungan Kendeng Utara. Maklum, masifnya warga yang melawan, di kedua desa itu juga ada yang setuju bila pabrik semen didirikan. Kedua pihak ini operasi penambang-penambang karst lokal sudah mampu menggunduli pegunungan itu. memiliki alasan masing-masing. Bagi pihak kontra, kekhawatiran akan kerusakan lingkungan menjadi Bolak-balik berdemonstrasi menjadi kegiatan lumrah walau cukup mengganggu mata pencaha acuan kuat untuk terus bergerak melawan. Bagi yang riannya sebagai petani. “Lahan pertanian saya jadi pro, kesempatan untuk memperoleh pekerjaan dan kurang terurus. Penghasilan pun berkurang,” ungkap kehidupan lebih layak menjadi harapan bila pabrik Toni saat membeberkan risiko yang dihadapinya. itu bisa beroperasi. Apalagi keberadaan tambangtambang karst yang telah lama beroperasi Rupanya risiko ini juga dihadapi pe tani-petani lain yang turut menentang mampu menggairahkan perekonomian se bagian warga desa. pabrik semen. Sekarang tidak terlalu akrab kalau Ada pengalaman lain yang lebih Selain bertani, beberapa warga lainnya ada pertemuan antarkades." menggantungkan hidup sebagai pekerja di mengejutkan dirinya, nyawanya sem pat terancam. Siang sebelumnya, Toni tambang lokal. Adapun usaha-usaha yang Sunyono bersama puluhan demonstran kon memperoleh imbas keuntungan dari akti vitas penambangan, yakni persewaan truk, tra pabrik semen menyambangi Kota Rembang. Saat itu, Kantor Perhutani warung-warung makan, dan tempat-tempat hiburan. Bahkan, di sekitar Pasar Tegaldowo, bisa jadi sasaran aksi mereka. Aksi hari itu begitu me ditemui warung makan yang dengan gamblang me nguras tenaga Toni. Pulang berdemo, Toni segera mengistirahatkan raganya. mampang banner besar “Warung Makan Pro Semen”. Seakan si pemilik warung tak mau kalah dengan warga Pada tengah malam, pukulan keras menggedor pintu rumah. Toni yang terbangun pun beranjak lainnya yang memasang poster-poster kontra pabrik semen di rumah. membuka pintu. Dua orang preman bertandang ke rumahnya saat itu. Seorang masuk ke dalam untuk Seratus meter ke arah barat dari warung itu pun berunding dengan Toni. Seorang lainnya menunggu berdiri Posko Save Kendeng. Posko yang didirikan warga bersama para aktivis seni SeBumi itu menjadi di luar. Preman itu pun menempelkan parang yang panjangnya 80cm pada dada kurus Toni. Diancam bukti bahwa perlawanan kontra pabrik semen juga mendapat sokongan kekuatan dari warga luar desa. parang, Toni tak gentar. Mengetahui ada keributan di rumah Toni, para tetangga keluar. Akhirnya, dua Begitulah kenyataan di Tegaldowo dan Timbrangan. Baik warga maupun aparat desa, sama-sama tahu orang pengganggu tidur Toni pun bergegas pergi. kerukunan sesamanya telah pecah. Jika diibaratkan, Dua preman itu utusan Purnomo Sidi, pengusaha kafe hiburan di Timbrangan. Pur, panggilan bos kafe yang tadinya saudara malah jadi musuh. Di tengah perpecahan yang melanda kerukun itu, merasa tidak senang dengan pergerakan Toni. Pur merupakan orang yang sepakat bila pabrik se an warganya, Suwandi, Sekretaris Desa (Sekdes) men dibangun. Meski berseberangan paham, Toni Tegaldowo tidak begitu ambil pusing. Secara santai,
“
56 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
G EJ O L A K W AT UP UT I H
Sunyono, Kepala Desa Timbrangan mengaku sempat terjadi keributan antarwarga yang pro dengan kontra PT Semen Indonesia di desanya.
adanya ketidakharmonisan sosial akibat sikap prokontra. Dari nyawa terancam, konflik rumah tangga, hingga keributan antarwarga pun pernah terjadi. Sore itu, Toni juga mengisahkan ketegangan an tarwarga terjadi kala momen Ramadan tahun 2014. Meski pendirian pabrik PT Semen Indonesia tidak direstui warga, mereka masih sempat membikin agenda pengajian di rumah Akhid, mantan Kades Timbrangan. Ada momen bagi-bagi sembako di pe ngajian itu. Ketika iringan hadrah sedang dimainkan, ratusan perempuan desa menggerebek. Mereka me nuntut pengajian dibubarkan. Lagi-lagi persoalan ini pun diselesaikan di Balai Desa Timbrangan. Sunyono pun memboikot agar tidak ada lagi acara di desanya dengan embel-embel PT Semen Indonesia. Tidak itu saja. Ada ulah lain PT Semen Indonesia yang juga bikin keributan. Agenda bagi-bagi tas di SD Timbrangan tak luput dari gerebekan ibu-ibu desa. Sunyono membeberkan bahwa perbuatan PT Semen Indonesia untuk mencoba menafkahi kegiatan warga desa kerap ia ketahui. Peringatan-peringatan semacam Hari Kartini, Hari Kemerdekaan, Sedekah Bumi, dan kegiatan-kegiatan keagamaan tak luput dari incaran PT Semen Indonesia. Menurut Prin dan Toni, ini merupakan upaya PT Semen Indonesia un tuk kian memperparah kerukunan warga. *** Mendung masih menggelayut hingga hampir senja di Gunem. Namun, gerimis belum juga merintik. Guntur pun senyap-senyap terdengar. Dari ruang tamunya, Toni masih menggulirkan kisah tentang perlawanannya dan kerukunan antarwarga yang kini terpecah belah. Di Timbrangan, pro-kontra juga menjangkit hingga anak-anak usia sekolah dasar. Toni mengetahui bahwa kelakuan saling ejek kerap terjadi di kalangan anakanak. Ini akibat orangtua mereka terlibat pro-kontra juga. Perlawanan akan terus digencarkan hingga izin pendirian pabrik dica but. Walau pro-kontra memecah persatuan warga, kubu kontra akan terus berperang melawan PT Semen Indonesia. “Bagi saya, ini adalah perang,” seru Toni.
Hengki | EKSPRESI
ia menganggap wajar adanya pro-kontra. Menurut pengamatannya, kini warga desa terbagi menjadi tiga kubu: pro, kontra, dan abu-abu. Urusan pela yanan, perangkat Desa Tegaldowo ini berdalih tidak membeda-bedakan mereka. Suwandi yakin bahwa PT Semen Indonesia tidak akan menimbulkan masalah yang dikhawatirkan sebagian warga. Status PT Semen Indonesia sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lebih meyakin kannya dibanding perusahaan swasta. Ia menampik alasan-alasan kerusakan lingkungan akibat aktivitas penambangan. Di mata Suwandi, kecemburuan sosial jadi fak tor utama pemicu perpecahan ini. Bisa dikatakan komposisi rata-rata warga tolak PT Semen Indonesia adalah kalangan petani sedangkan yang pro, rata-rata kalangan pemilik usaha dari warung hingga per sewaan truk. Sebelum ada kabar pendirian pabrik PT Semen Indonesia, tak pernah ada aksi-aksi pro tes penambangan di desanya. Suwandi mencurigai ada tunggangan pihak tertentu dalam protes warga. “Warga bisa tahu caranya protes sampai ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara, red.), kan enggak mungkin tanpa tunggangan pihak luar.” Walau Suwandi berdalih netral, aparat desa di Gunem pun tak bisa lepas dari pro-kontra. Ini terbukti dengan kerasnya sikap Sunyono menolak pendirian pabrik PT Semen Indonesia. Posisinya sebagai Kades Timbrangan tak membuatnya basa-basi terhadap PT Semen Indonesia. Warga kontra PT Semen Indonesia dari Desa Tegaldowo pun memuji-muji partisipasi nya. Sosok Sunyono memang terkenal galak terhadap PT Semen Indonesia. Saat dirinya dan warga beraksi, ia tak canggung menghadapi para polisi. Bahkan, sekali-kali menantangnya berduel. Sunyono mengaku tidak ada kades di wilayah Gunem yang berani menolak PT Semen Indonesia layaknya dirinya. Bujukan Camat Gunem agar ia lebih jinak terhadap PT Semen Indonesia pun tak dipatuhinya. “Sekarang tidak terlalu akrab kalau ada pertemuan antarkades,” terangnya. *** Joko Priyanto, yang dikenal sebagai Prin, me masang spanduk besar penolakan pabrik semen di halaman rumahnya. Karya lukis bikinan SeBumi itu ditampakkan ke jalan raya Tegaldowo-Timbrangan. Prin yang sedang bekerja di Jakarta ini pun terpang gil untuk pulang kampung turut memperjuangkan keselamatan lingkungan Watuputih. Kini, ia bekerja sebagai petani. Ia mengenal baik Toni sebagai rekan satu pergerakan. Jika Toni pernah terancam nyawanya oleh ulah preman, Prin terancam kehidupan rumah tangga nya. Istrinya tak merestui ia melawan pabrik semen. Kesibukan mengurus gerakan membikin Toni pisah ranjang dari istrinya. Anaknya yang masih bayi pun turut dibawa sang istri. Prin, Toni, dan Sunyono memang dikenal sebagai tokoh perlawanan. Ketiga sosok ini tidak mengingkari
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 57
T E L US UR
Semarang adalah Kunci Melalui hukum, ribuan masyarakat peduli Pegunungan Kendeng menuntut hak atas alam. Oleh Prasetyo Wibowo
K
amis (6/9/2014), suasana di luar ruang si dang gugatan yang pertama terhadap Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah tentang izin lingkungan kegiatan penambangan PT Semen Indonesia berlangsung tenang. Ruangan itu tertata rapi, meja Ketua Sidang dilapisi pernis cokelat, mengkilap. Susunan meja dan kursi saling berhadap an. Kursi sebelah kiri penuh oleh para perempuan. Mereka mengenakan kebaya dan selempang lurik. Susilowati Siahaan, Ketua Sidang, memimpin Rapat Dengar Pendapat. Enam warga Rembang, Joko Prianto, Sukimin, Suyasir, Rutono, Sujono, dan Sulijan mewakili 2.501 masyarakat Rembang yang menandatangani penolakan penambangan PT Semen Indonesia. Di luar ruang persidangan, terik matahari serta panasnya aspal tak diindahkan. Masyarakat pedu li Pegunungan Kendeng tampak memenuhi jalan. Mereka duduk di sepanjang jalan di depan Gedung PTUN. Para perempuan bercaping dan membawa kain rentang bertuliskan “Lestari Kendengku, Tanah Air kan Kubela sampai Mati”. *** Senin siang, empat bulan sebelumnya, peletakan batu pertama pabrik didatangi oleh puluhan perem puan. Mereka adalah masyarakat Ring 1 terdampak. Kelompok masyarakat yang didominasi oleh perem puan itu terus berjalan merangsek menuju lokasi peletakan batu pertama. Satu kompi aparat disiap kan untuk mengamankan mereka yang memprotes pembangunan pabrik semen. Aparat bertindak represif. Massa yang sebagian besar ibu-ibu tak mampu menahan dorongan dari aparat. Tak ada polisi wanita waktu itu. Massa yang tak mau menyingkir dari jalan utama pabrik disingkir kan paksa oleh aparat. Mereka dipaksa ke tepi jalan. Bahkan, ada yang dilempar ke krumunan ibu-ibu yang tengah duduk di tepi jalan. Saya bertemu koordinator perempuan Desa Timbrangan, Sulasih, Minggu sore (4/1/2015). Ru mah Sulasih sepi. Rumahnya tampak seperti rumah warga Timbrangan yang lain: berdinding papan, lan tai tanah atau cor, serta atap kampung. Suaminya tengah berada di ladang. Anaknya bermain di jalan depan rumah. Rumah kayu itu terasa sesak tatkala asap dari dian memenuhi seluruh ruangan. Saya ditemani Toni tatkala ke rumah Sulasih. Toni adalah satu dari warga Timbrangan yang menolak pabrik semen.
58 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
Sulasih duduk di kursi kayu panjang yang mulai lapuk. Saya dan Toni duduk bersebelahan di atas kursi bambu. Kami hanya dipisahkan oleh meja kecil berukuran 1,5x3 meter. “Saya baru dari tenda. Hari ini giliran saya,” terang Sulasih kelelahan. “Kalau saja kami tak membawa kasus ini ke Semarang (PTUN, red.), mungkin dukungannya tak seramai ini. Mas, tak mungkin datang ke sini,” Toni menambahkan. Sulasih pergi ke belakang rumah. “Kasus ini kami bawa ke Semarang karena tan tangan dari Ganjar. Itu salah satu alasannya. Semarang juga menjadi jalan yang ditempuh dulur-dulur Pati dulu. Ternyata berhasil,” terang Toni. Sulasih datang membawa teh hangat. Ia mele takkannya di meja dan mempersilakan kami minum. Tersedia pula ketela pohon rebus. “Dari tetangga, Mas. Mangga, dipundahar.” Toni mengambil tembakau dari saku lalu memilin rokok dengan kedua telapak tangan dan menyulutnya.“Ya begitu. Dulur-dulur sepakat masalah ini dibawa ke Semarang. Hidup mati, ya, putusan di Semarang,” ujar Sulasih yang mengenakan baju lurik dan jilbab merah marun. Ka tanya, tenda perjuangan adalah protes nyata warga terhadap penambangan. “Kalau di Semarang kami dibantu dulur-dulur lain. Yang nyata dari kami adalah tenda perjuangan itu,” tambah Sulasih. “Setelah beberapa hari kami di tenda, Ganjar datang. Menantang kami membawa kasus ini ke Semarang. Katanya, kami ini kepala batu. Pokok nya tolak, begitu. Sebenarnya ketakutan kami sudah jelas. Kalau di atas ditambang, ndak ada pohung ini, Kamis (5/2/2015), agenda sidang pembacaan dari saksi lapangan terkait kasus gugatan warga Timbrangan dan Tegaldowo kepada PT Semen Indonesia.
G EJ O L A K W AT UP UT I H Mas,” terang Sulasih sambil menunjuk tembok rumahnya tertulis: ”Bumi adalah ketela pohon di meja. untuk dirawat, dimuliakan, dan dipeliha “AMDAL-nya juga salah,” Toni ra. Bukan untuk dirusak dan bukan untuk menyela. “Kami berani maju (PTUN, mengikuti nafsu rakus para penambang Kalau saja kami tak membawa kasus ini ke Semarang (PTUN, red.), mungkin dan kaki tangannya.” Djuadi masuk kamar red.) karena izin PT Semen Indonesia dukungannya tak seramai ini.” banyak kekeliruan,” tambah Toni. Ia dan keluar bersama Sukinah, perempuan bersama Sunyono, Lurah Timbrangan, yang menjadi simbol perlawanan terhadap mempelajari AMDAL sampai tiga hari Toni pabrik semen di Tegaldowo. tiga malam. “Dulu tidak tahu AMDAL, Setelah tiga puluh menit di rumah sekarang tahu berkat Pak Lurah.” Djuadi, seorang laki-laki datang. Ia me Sulasih juga tak tahu AMDAL. Ia tak tahu me ngenakan jaket Levi’s, bersorban, serta memakai kanisme persidangan di PTUN. Sulasih hanya tahu, bawahan jeans. Kulitnya sawo matang, bertubuh jika penambangan tetap berjalan, ubi kayu tak akan tambun, dan rambut pendek bergelombang. tersedia di meja makannya. Air juga susah. Janji ke “Aan,” kata laki-laki itu memperkenalkan diri. sejahteraan hanya omong kosong bagi Sulasih dan Aan duduk di kursi, seperti Djuadi. Aan memulai ribuan warga Gunem lain. obrolan tentang keyakinannya bahwa gugatan yang Sulasih keluar rumah mencari anaknya karena dilayangkan dulur-dulur Rembang pasti berhasil. langit mendung. Toni lebih banyak bicara. Adzan Gagasan mengenai kesalahan AMDAL PT Semen maghrib terdengar menyela omongan Toni. Toni Indonesia Aan peroleh melalui studi lapangan. Ia bercerita tentang temannya, Aan. Pemuda asal Pa berpengalaman memobilisasi massa. Itu ia buktikan ti inilah yang menjadi koordinator pemetaan mata tatkala warga Sukolilo menggagalkan penambangan air dan gua. “Yang mengetahui semua data itu Aan,” PT Semen Gresik di tahun 2009. terang Toni. Aan bahkan pernah tujuh bulan di sini *** untuk mengolah data lalu membawanya ke Semarang. Kam is (5/2/2014), sid ang ke-7 di PTUN Tekad Toni menggagalkan penambangan PT Semen Semarang diselenggarakan. Agenda sidang kali ini Indonesia begitu kuat. “Sawah saya tidak terurus tapi adalah kesaksian lapangan dari penggugat. Sukinah, tidak apa-apa. Saya sudah niat. Ke Jakarta pun saya Sumarno, dan Suwater bersaksi di depan Hakim mau,” terang Toni. Ketua, Susilowati Siahaan. Tak lama, Sulasih datang sendirian dan duduk. Syamsul Munir beserta kuasa hukum penggugat Sulasih tak pernah absen di setiap persidangan. Truk mendampingi warga yang menolak kehadiran PT menjadi kendaraan utama. “Dulur-dulur pasti datang Semen Indonesia di Rembang. Ia mengatakan fak ke Semarang. Mendampingi sampai tuntas,” terang Su ta-fakta di lapangan sudah jelas. “Dampaknya akan lasih sambil meminum tehnya yang tak lagi hangat. menimbulkan berbagai bencana. Laporan AMDAL *** yang dibuat oleh PT Semen Indonesia melanggar Seorang laki-laki setengah baya muncul dari sa Peraturan Pemerintah tentang cekungan air tanah. lah satu gang di Dusun Sembungan, Desa Bangunjiwo, Lokasi resapan air sangat berbahaya jika tetap di Kasihan, Bantul pada Selasa (27/1). Ia memakai baju paksakan ditambang,” jelas Syamsul. kotong. Celananya hanya sampai bawah lutut. Terlihat Melalui KontraS, Syamsul melakukan advokasi tato terukir di kakinya. Namanya adalah Djuadi, seni terkait tindakan represif aparat kepada warga. “Ka man yang konsen pada masalah agraria dan tergabung mi mendampingi warga sampai di Komnas HAM, dalam Komunitas Taring Padi. Mabes Polri, serta Kementerian Lingkungan Hidup,” Banyak lukisan tertempel di tembok rumahnya. jelas Syamsul. Dari lukisan petani, tambang, dan suku asli di Papua Hasilnya, Komnas HAM mengeluarkan Surat Nugini terpajang di sisi utara tembok rumahnya. Di barat Rek om end as i Nom or 1.569/K/PMT/VIII/2014 perihal pengaduan penolakan pendirian pabrik PT Semen Indonesia. Surat rekomendasi ditujukan ke pada Menteri ESDM, Menteri Lingkungan Hidup, Gubernur Jawa Tengah, Kapolres Rembang, dan Bupati Rembang. Surat itu merupakan jawaban atas pengaduan dugaan kekerasan dan pelanggaran HAM yang di lakukan oleh Aparat Kepolisian dan TNI kepada perempuan-perempuan Tegaldowo dan Timbrangan pada 16 Juni 2014. “Untuk menghormati proses hu kum dan fakta sosial di lapangan. Seharusnya, pemba ngunan pabrik dihentikan sementara. Alat-alat berat juga harus ditarik dan berhenti beroperasi sampai putusan pengadilan ditetapkan. Itu yang seharusnya ditaati PT Semen Indonesia,” terang Syamsul.
“
AGIL | EKSPRESI
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 59
APRESIASI
Socrates: Pejuang Demokrasi tanpa Mahkota "Saat itu, dengan bola kami menyatakan perasaan kami," Socrates. Oleh Rizpat Anugrah
S
ebuah kudeta militer meletus pada 1964 di Brazil. Pengambil alihan kekuasaan saat itu berha sil menurunkan pemerintahan golongan kiri Joao Goulart. Pada masa kekuasaan Joao Goulart, Brazil berhasil melakukan reforma agraria dan nasio nalisasi industri. Kead aan politik pad a masa-ma sa itu dig amb ark an oleh Sutarjo Adisusilo, dosen Sejarah Sanata Dharma Yogyakarta. Dalam bukunya, Sejarah Pemikiran: dari yang Klasik sampai Modern dijelaskan kediktaktoran pe nguasa-penguasa militer di sebagian negara Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang represif dan korup. Tradisi demokrasi ala bangsa Eropa nyaris tidak berkembang di Brazil saat itu. Dengan kondisi sosial politik yang sedang kacau, salah satu hiburan dan tontonan yang menghibur masyarakat pada waktu itu adalah sepak bola. Sa lah seorang pemain legendaris Brazil, Socrates, tidak hanya mempertontonkan aksi dan kepiawaiannya bermain bola. Kemampuannya menghibur masyarakat yang sedang pelik menghadapi situasi negara di bawah perintah diktaktor mi liter itu juga melahirkan demokrasi di lapangan hijau. Bentuk demokrasi yang diperjuangkannya melalui sepak bola, yaitu memperlihatkan bahwa sepak bola tidak hanya milik sponsor, penyokong dana, atau pemilik modal semata. Sepak bola adalah sesuatu yang merakyat. Ma syarakat bisa menikmati kemerdekaan dan menerapkan nilai-nilai demokrasi dalam sepak bola. Socrates berpendapat bahwa semua orang punya hak yang sama untuk me nentukan nasib klubnya. Socrates juga membentuk sebuah tim anti-kediktakto ran di Corinthians, klub sepak bolanya, dengan sebutan Time do Prov alias Tim untuk Rakyat. Dari Tim untuk Rakyat itu
60 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
DOK
dia juga menciptakan gerakan demokrati sasi dalam klubnya. Dengan persetujuan Waldemar Pires, presiden klubnya itu, para pemain menciptakan proses demo kratis dalam mengambil segala macam keputusan. Salah satu pengamat sepak bola, Zen RS, menyebutkan bahwa dengan sadar mereka menggelar perlawanan tepat sa at gelaran Piala Konfederasi. Pilihan itu bukan sekadar memanfaatkan momen tum, tapi juga suatu pilihan simbolik. Pertama, dengan menggunakan Piala Konfederasi yang dihelat oleh FIFA se bagai momen perlawanan. Mereka sebe narnya sedang mengatakan “Tidak” pada FIFA, badan sepak bola dunia satu-sa tunya, yang bukan hanya otoriter, tapi juga biang keladi segala komersialisasi sepak bola yang dari hari ke hari semakin tidak masuk akal itu. Kedua, den gan mengg el ar per law ana n saa t berl angs ungn ya Piala Konfederasi, para demonstran Brazil itu hendak menyodorkan sebuah anti tesis terhadap gagasan depolitisasi se pak bola ala FIFA. Sudah jadi rahasia umum bahwa FIFA sangat antipoli tik. Tapi di permukaannya, FIFA justru sangat gemar berpolitik. Seperti yang sudah dipaparkan dalam esai “Depolitisasi Sepak Bola”, FIFA sangat antipoli tik berhaluan kiri, tapi me reka justru mempraktikkan ideologi politik yang sa ngat kanan: proliberali sasi, industrialisasi, dan komersialisasi. Di satu sisi netrali tas sepak bola memang dibutuhkan untuk me lindungi mereka yang term arj in alk an oleh pesan-pesan rasisme atau bigotry. Menurut
Roberto DaMatta, seorang Antropolog, dalam buku Hearts Museo do Futebol menjelaskan, bahwa sepak bola telah menjadi jembat an yang efektif (dan juga emosional) ant ar a elite yang membawanya dari Inggris dan rakyat Brazil yang didirikan oleh pa ra mantan budak sejak 1800-an. Menempat kan orang kulit hitam dan kulit putih, seperti elite dan kaum miskin, di tempat yang sama adalah pelajaran per tama dari sepak bola. Dalam sepak bola, ke terampilan yang baik lebih penting daripada asal usul keluarga atau bahkan warna kulit. Se pak bola menun jukkan
UM
EN
ISTI
MEWA
EWA
A P R E S I ASI komunikasi yang universal dan modern di antara semua segmen masyarakat Brazil. Sepak bola juga mengajarkan masyarakat Brazil cara mengumpulkan dan memi sahkan melalui berbagai pilihan.
Manuver Politik Model Socrates
Distrik Belem de Para, Brazil, 19 Februari 1954, menj ad i saks i lah ir nya seorang l e g e n d a . Socrates Brazileiro
Sampaio de Souza Vieira de Oliveira. Dunia kemudian mengenalnya sebagai Socrates, Kapten Tim Nasional Brazil di Piala Dunia 1982. Lahir dari keluarga biasa, ayahnya seorang yang tidak mam pu menikmati bangku sekolah. Namun, ayahnya sangat suka membaca buku dan memiliki perpustakaan pribadi. Sang ayah yang juga menyukai filsafat akhir nya memberi nama anaknya dengan sa lah satu filsuf Yunani, Socrates. Dalam aksinya di lapangan hijau, Socrates tanpa takut mengenakan kaus bertuliskan Democracia pada beberapa pertandingan. Hal itu tidak terlepas dari tokoh-tokoh idolanya semasa kecil, yaitu Fidel Castro, Che Guevara, dan John Lennon. Terkadang dia juga memakai kaus bertulisan, “Saya ingin memilih”. Bahkan, CNN menyebutkan, Socrates dan mantan Presiden Brazil Luis Inacio Lula da Silva berteman baik dalam gera kan prodemokrasi 1980-an yang dikenal dengan aksi Diretas Ja. Ketertarikannya pada politik juga diilhami dari peristiwa masa lampau dalam kehidupan pribadinya. Ketika terjadi kudeta militer pada tahun 1964, Socrates melihat ayahnya membakar buku-buku tentang Bolshevik. Setelah itulah Socrates menyukai politik. Para pengamat sepak bola menye butkan kepiawaian Socrates yang me ngantarkan mereka menjadi juara Liga Brazil di tahun 1979, 1982, dan 1983. Selain piawai dalam memainkan si ku lit bundar di lapangan hijau, pemain sepak bola yang juga dokter ini sangat cakap memanfaatkan wibawanya se bagai pemain yang disegani. Dia men yamp aik an bahw a pent ingn ya mem a sukk an nil ai-nil ai demokrasi dalam pengelolaan se pak bola. Sela ma memperku at Cornthians (1978-1984), Socrates berhasil me nan amk an p e n t i n g nya beradu a r g u m e n dan berdis kusi untuk membahas dan me
nentukan keputusan-keputusan yang berk ai ta n den gan kep ent inga n par a pemain. Segala macam keputusan di diskusikan bersama dari mulai waktu latihan, makan siang, makan malam, aturan merokok dan minum alkohol, diputuskan secara terbuka oleh semua tim di Corinthians.
Penghargaan dan Prestasi
Socrates adalah anggota aktif Partai Buruh Brazil. Bersama Partai Buruh, ia aktif berkampanye tentang pemilihan langsung di tahun 1980-an. Dia menya takan diri sebagai pendukung revolusi Kuba dan Venezuela. Selain itu, Socrates mempunyai pandangan politik yang kuat dan pandangannya cenderung ke kiri. Setelah pensiun dari sepak bola Socrates dikenal sebagai aktivis politik, penga mat sepak bola, dan penulis. Beberapa tulisannya diterbitkan di koran dan jur nal setempat. Meski tidak sempat me nuangkan pemikirannya dalam sebuah buku tapi Socrates menjadi salah satu pemain sepak bola yang masif menyu arakan demokrasi di kalangannya. Dia sosok yang tidak hanya berpikir tentang suatu fenomena di masyarakat tapi juga memperjuangkannya dengan aksi turun ke jalan dan menyuarakan hak-hak de mokrasi itu sendiri. Satu lagi yang menarik, Socrates adalah seorang yang kontradiktif, dia dokter namun juga pecandu alkohol dan nikotin. Kegandrungannya mengonsumsi alkohol dan nikotin membuatnya tewas keracunan, banyak organ vitalnya gagal berfungsi. Inilah tabiat buruk Socrates yang amat disayangkan para pengagum nya. Minggu, 4 Desember 2011, publik Brazil harus merelakan sang genius itu pergi untuk selamanya. Socrates mening gal dunia di Rumah Sakit Albert Einstein, Sao Paulo. Meski tidak ada penghargaan khusus atas gagasan dan aksinya memperjuang kan dan memperkenalkan demokrasi di negeri dan klubnya, orang-orang akan tetap mengenang dia sebagai pelopor demokrasi yang masif di lapangan hijau. Kalau ditanya apa bentuk pengorban an Socrates? Jawabannya ada dalam 30 Quotes by Socrates. Socrates mengabdi kan dirinya untuk rakyat. Socrates, se orang pemikir yang hidup lewat sepak bola. Pemikir yang mengatakan apa yang dipikirkan, dan melakukan apa yang dia katakan.n Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 61
WAWANC ARA KH U S U S
Guru juga Harus Bergerak
T
ugas seorang guru tidak hanya selesai pada mengajar di dalam kelas, lebih dari itu, guru juga wajib meningkatkan dan meng awasi kualitas pendidikan. Itulah prinsip yang dipegang oleh Retno Listiyarti ketika menjalankan tugasnya sebagai guru. Selain menjadi Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri 76 Jakarta, Retno kerap mengkritik pemerintah ketika ada kebijakan yang merugikan pendidikan, guru, dan siswa. Selain itu, Retno juga ke rap mengadvokasi kasus pendidikan dan kasus yang menimpa guru. Semuanya dia lakukan bersama kawan-kawannya yang tergabung dalam organisasi Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Sampai saat ini, Retno tercatat sebagai Sekretaris Jenderal FSGI. Baginya, guru wajib mempunyai sifat kritis dan bersuara. Guru yang berani bergerak, secara tidak langsung akan meningkatkan kualitas guru dan pen didikan nasional.Berikut wawancara reporter ESKPRESI, Faqihuddien Abi Utomo dengan Retno Listiyarti sa at ditemui di tempat kerjanya di daerah Cakung, Jakarta Timur.
Apa pentingnya organisasi bagi guru?
Perlawanan akan tumbang tanpa organisasi. Harus bersama-sama yang diwadahi dalam organisasi. Kalau saya sendiri melawan, saya sudah mati. Tapi, karena saya bersama-sama dan berorgan isasi, kita menjadi kuat untuk melawan. Guru yang berorganisasi juga akan men jadikan kualitas dan integritasnya baik. Selain itu, kualitas pendidikan nasional juga akan terbantu.
Apakah sifat kritis guru berpengaruh ter hadap suas ana kelas dan model penga jaran?
Jelas. Karena kita mengaj arkan apa yang kita yakini. Bayangkan kalau guru nya hanya menerima. Murid seperti apa yang akan dia didik? Guru tidak akan bisa membuat muridnya menjadi kri tis dan berani kalau gurunya saja tidak kritis dan berani. Selain itu, guru akan mudah mempraktikkan pembelajaran dengan realita yang ada. Jadi, tidak ter lalu berteor i. Literasi tidak berdasarkan
62 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
teks saja. Contohnya, saya mengajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Ada materi pembelajaran antikorupsi. Saya tidak perlu menerangkan korupsi itu apa, gratifikasi itu apa. Murid-murid cukup saya pancing dengan kasus korup si saja. Biar mereka yang menjelaskan sendiri. Dengan begitu, mereka akan lebih paham.
Bagaimana kondisi guru di Indonesia?
Kalau bicara kondisi, kita akan bica ra kualitas dan kuantitas. Kalau kualitas ada banyak penelitian. Kita ambil contoh World Bank. Mereka pernah meneliti gu ru di dua belas negara di Asia. Hasilnya, Indonesia berada di juru kunci. Dari hasil itu, kita bisa melihat bagaimana kualitas guru di Indonesia masih rendah. Kalau bicara kuantitas, kita masih cukup. UNESCO menetapkan perban dingan guru 1:15-1:20, Indonesia bera da di 1:18. Melihat itu, secara kuantitas kita sudah terpenuhi. Yang menjadi masalah dalam hal penyebaran. Guru Indonesia masih lebih suka ditempatkan di perkotaan dan sekolah unggulan.
Apakah belum ada solusi yang ideal dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas guru?
Kemarin saya menemukan kawan yang sudah menjadi guru selama 40 tahun. Tetapi dia baru sekali mengikuti pelatih an, itupun menjelang dia pensiun. Jika ingin menghasilkan guru yang bagus, ya, harus dilatih. Pelatihannya pun disesu aikan kebutuhan guru. Ada pemetaan permasalahan guru yang kemudian diatasi dengan pelatihan. Selain itu, Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK) juga harus dibenahi.
Apakah Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan saat ini masih belum cukup men cetak guru?
Benahi dari hulu ke hilir. Tapi menurut saya, akan lebih mudah benahi dul u hul un ya. Dal am hal ini LPTK. Bertahap, mulai dari LPTK sampai lulus. Kemudian lulusan nya harus terus diawasi dan diberi pelatihan. Di Finlandia, ketika mem ben ahi pend id ika nn ya, dimulai dari pabrik gurunya dulu, baru lulusannya.
Pemerintah salah mengambil lang kah untuk membenahi kualitas guru. Pemerintah malah mengeluarkan kebi jakan tunjangan sertifikasi dan meng ganti kurikulum. Tunjangan sertifik asi itu untuk meningkatkan kesejahteraan guru. Tunjangan sertifikasi tidak bisa mendongkrak kualitas karena kualitas harus dibangun dengan sistem. Untuk kurikulum, ini juga solusi yang salah. Pemerintah diagnosanya salah, sehingga obatnya juga salah. Mereka malah meng ganti kurikulum. Ya tidak nyambung. Seharusnya yang dilakukan adalah mem benahi kualitas guru. Kalau guru berkua litas, kurikulum apapun akan tetap jalan. Tidak ada kurikulum saja tetap bisa jalan kalau gurunya berkualitas. Sebagus apa pun kurikulum, jika kualitas guru tidak bagus, akan sama saja.
Bagaimana dengan gerakan gur u di Indonesia?
Sistem yang dimaksud seperti apa?
Karena suara kita sebagai guru ja rang didengar. Penentu kebijakan itu
Paling sederhana adalah pelatihan.
Sebenarnya sudah cukup bagus. Sekarang organisasi guru sudah ba nyak. Tidak lagi tunggal seperti zaman Orde Baru, hanya PGRI. Sekarang ada Federasi Serikat Guru Insonesia (FSGI), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII), Ikatan Guru Indonesia (IGI), dan Persatuan Guru Swasta Indonesia (PGSI). FGII dan PGSI masih sering bersuara. Mungkin yang agak diam itu IGI. Yang membedakan cara geraknya. Kalau FSGI lebih mengutamakan data. Kasus-kasus pendidikan di Indonesia kami punya datanya. Jadi, alasan kami untuk melawan kuat.
Kalau gerakan guru sudah baik, ada banyak organisasi gur u, mengapa kualitas gur u dan pendidikan masih rendah?
R E T N O L I S T YA RTI birokrat. Kadang kalau guru yang ber suara suka disepelekan. Karena guru bukan profesor, rektor, atau apalah. Padahal yang tahu masalah di lapangan ada lah guru.
Seharusnya birokrat itu mendengar apa yang kita amati di lapangan, lalu dia tasi dengan kebijakan yang sesuai di lapangan. Tidak akan berub ah kalau mereka tidak mau mendengar saran dari guru. Mungkin ini juga yang membuat malas guru untuk bersuara karena sudah ada anggapan bahwa suara mereka tidak akan didengar.
Apa alasan Ibu dan kawan-kawan mendirikan FSGI? Karena organisasi lama saya, PGRI sudah tidak bisa dijadikan alat perjuangan. Bag i say a, org an isasi itu
alat perjuangan. Organisasi guru juga wajib menjalankan kewajiban yang ter tera di Undang-undang Guru dan Dosen Nomor 14 tahun 2005. Di situ ada lima poin, salah satunya wajib turut serta me majukan pendidikan nasional.
Berarti PGRI sudah tidak cukup sebagai organisasi guru?
Iya. Lagi pula dalam Undang-Undang Guru dan Dosen sudah tertuliskan kalau organisasi guru tidak lagi tunggal. Guru bebas mendirikan organisasi. Itu menun jukkan guru juga bebas memilih organ isasi. Ya, seperti apa yang saya katakan, organisasi tunggal itu zamannya Orde Baru. Sekarang era sudah berubah.
Menurut Ibu, kelemahan dari gerakan PGRI apa?
PGRI sudah seperti “plat merah”. Isinya orang dinas semua. Ada ketua tetapi dia bukan guru, malah orang di nas. Di berb ag ai dae rah, ban yak ke pala dinas yang menjadi ketua PGRI. Kal au kay ak gin i, siapa juga yang ber an i prot es? In i jelas melanggar u ndang-undang. Kal au ad a keb ij ak an yang mer ug ik an gur u dan siswa, kita harus melawan. Kalau organisasi tempat saya bernaung tidak berani, berarti tujuan saya dengan organisasi tersebut sudah tidak sama.
Apa saja kasus pendidikan yang per nah diadvokasi oleh FSGI?
ABI | EKS
PRESI
Kami menggugat Rintisan ekolah Bertaraf International S (RSBI) di Mahkamah Konstitusi, dan kami menang. Kami juga me lawan Ujian Nasional, lalu dime nangkan di Mahkamah Agung. Pemerintahnya saja yang ban del tidak menjalankan putus an. FSGI juga pernah mengu rus ratusan guru yang berhak menerima sertifikasi ke peme rintah pusat. Terakhir, kami ter us mel aw an Kurikulum 2013. Akhirnya, baru tanggal 17 November saya dipanggil Menteri Pendidikan Dasar dan Menegah, Anies Baswedan, untuk memaparkan tentang Kur ik ul um 2013. Hingga akhirnya beliau menyadari bahwa kurikulum ini baru setengah matang dan harus segera dihentikan.
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 63
Judul Buku: Perbudakan Seksual: Perbandingan Antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru
P
erbudakan seksual dalam buku Anna Mariana ini merujuk pada segala bentuk eksploitasi atas tubuh perempuan yang tidak di dasarkan suka sama suka dan mendapat sedikit pun imbalan dalam bentuk ma teri. Buku ini secara berani mengungkap dan menganalisis berbagai tindak keke rasan seksual yang dilakukan di bawah rezim fasisme Jepang dan neofasisme yang dian ut Orde Baru. Konsep kun ci dari karakteristik kedua rezim fasis tersebut adalah “politik pemenjaraan” terhadap musuh negara. Di masa Jepang berdiri berbagai organisasi untuk mengontrol wilayah penjajahan secara halus dengan dalih pers iapan kemerd ek aa n. Nyat an ya, organisasi bentukan Jepang tersebut hanyalah alat bagi pemerintah Jepang untuk memobilisasi dan mengendali kan rakyat. Setelah kekuasaan Jepang di Indonesia berakhir, ternyata fasis tak menghilang dari Indonesia yang kemu dian muncul pada masa Orde Baru. Anna berpendapat Orde Baru bersifat neofa sis dikarenakan kebijakan politik yang dimulai dengan pembasmian golongan kiri, pembentukan Golongan Karya seba gai mesin politik dan aksi-aksi kekerasan yang marak terjadi selama Orde Baru. Perbandingan yang dilakukan oleh Anna ini memperlihatkan bahwa kuasa dan fasisme menunjukkan aro gansinya terhadap warga negara. Ke duan ya s ama-sama men unj ukk an ar og ans i di bawah kendali mil it er, dengan menempatkan semua urusan sosio-kemasyarakatan, ekonomi politik, dan budaya di bawah kendali militer. Yang jelas, buku ini begitu berani dan merupakan buku pertama yang mela belkan fasisme bagi Orde Baru.
64 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
ISTIM DOK
Oleh Hesti Pratiwi Ambarwati
UMEN
Narasi Perempuan-Perempuan yang Ditundukkan
EWA
RESENSI
Pengarang Penerbit Tebal
: Anna Mariana : Marjin Kiri : xii + 180 halaman
Penekanan Sudut Pandang Korban
“Aku ini siapa? Dari awal perju angan sudah menjadi kurir. Di zaman Jepang sudah ikut berjuang melawan tentara Jepang. Ikut juga dalam per juangan kemerdekaan. Dan akhirnya masuk penjara sebagai korban pertikai an politik. Disiksa, didera, dan dipaksa mengaku apa yang dituduhkan rezim fasis bangsa sendiri.” Dikutip dari buku P erempuan, Kebenaran, dan Penjara karya Sulami (1999), pengakuan di atas menj ad i gambaran pendukung apa yang ingin Anna sampaikan dalam buk un ya. Mem or i pem enj ar aa n, penyiksaan, hingga perbudakan seksual yang dila kukan oleh pihak penguasa terhadap perempuan-perempuan tahanan poli tik (tapol) 1965 dimunculkan kembali serta dia nalisis secara mendalam. Para perempuan tapol 1965 ada lah korban adanya politik seksual yang dilancarkan Orde Baru. “Perburuan” berd al ih pen ump asa n dil ak uk an ke perempuan-perempuan yang terlibat peristiwa G30S. Mereka ditelanjangi, dip erk os a ramai-ramai, dan dis iks a sebagai bentuk penguasaan. Mirisnya, pelaku yang mengeksploitasi para pe remp ua n ters eb ut dib ia rk an hidup tanp a ad a tuntutan hukum oleh negara. Hal ters eb ut memb ukt ik an bahwa negara terlibat dalam eksploi tasi tubuh para perempuan tertuduh itu. Serupa tapi tak sama. Apa yang dialami para perempuan ekstapol juga dialami oleh perempuan-perempuan pada zaman penjajahan Jepang, yaitu dengan adanya praktik Jugun Ianfu at au per emp ua n pengh ib ur unt uk tent ar a Jepang. Pada masa fas ism e Jepang, militer menjadi komando ter
Waktu Terbit: Februari, 2015
tinggi dalam penetapan segala kepu tusan politik. Dijelaskan dalam Bab 2 buku ini, Jepang mengerahkan perem puan menjadi budak seks untuk para tentaranya yang jauh dari keluarga. Praktik perbudakan seks ual Jepang ini dibuktikan dengan dibangunnya ianjo atau bordil. Meski diperkaya dengan berbagai data dan fakta, buku ini belum bisa menjawab penyebab perempuan se lalu menjadi korban dan mengalami tindak kekerasan secara fisik maupun psikis. Dalam buku ini seharusnya bi sa ditambahkan penjelasan mengenai konstruksi maskulinitas di bawah re zim fasisme. Anna hanya memberikan penekan an pada sudut pandang korban. Ham pir seluruh data merupakan kesaksian mereka yang diperbudak dan disiksa. Selaiknya pembaca akan bertanya-tanya, lalu apa yang terjadi dengan pelaku tindak kekerasan? Mereka tak banyak disebut dan dihadirkan sebagai tokoh. Padahal, narasi dari sudut pelaku juga penting dicantumkan sebagai usaha mendapat gambaran mengenai kondi si sosio-kultural saat itu. Membaca buku ini memb ua t emosi terkuras. Perempuan dijadikan layaknya barang yang diperlakukan sewenang-wenang. Peristiwa Jugun Ianfu dan p erempuan-perempuan ekstapol 1965 menyadarkan bahwa kekerasan terhadap perempuan begi tu mudah terjadi. Bahkan, negara yang seharusnya menjadi pelindung malah terang-terangan mengeksploitasi tubuh perempuan. Buku ini, dengan begitu ba nyak kisah dan analisis membantu kita memahami penderitaan-penderitaan fisik perempuan Indonesia yang ditun dukkan.n
Menyibak Citra Kerudung
ulit sekali menemukan foto perempuan ber S kerudung pada dekade 70-an. Hingga sebuah revolusi pecah di Iran yang ternyata berpengaruh
pada gerakan Islam di Indonesia: represi terha dap pengguna kerudung berkurang. Kini, begitu mudah pemakai kerudung ditemukan. Menja murnya pemakaian kerudung oleh masyarakat diikuti dengan beragam model dan merk. Dalam lipatan sejarah, kain yang menutupi kepala me miliki kisahnya sendiri. Mulai dari kisah spiritual hingga tren hinggap di dalamnya.
L A PORAN KHUSUS
A
lkitab mengisahkan, Abraham khaw at ir de ngan masa depan anak nya, Ishak. Abraham tak ingin jika Ishak men i kah dengan perempuan Kanaan, tempat tinggalnya kala itu. Maka, disuruhnya abdi setianya ke Haran di Mesopotamia untuk mencari calon istri yang baik untuk anaknya. Pergilah abdi Abraham sambil membawa banyak unta dan bernazar: siapapun perempuan yang memberikan air pertama kali, dialah yang cocok menjadi istri bagi anak tuannya. Sesampainya di tempat tujuan, si abdi menunggu dekat sumur di tengah padang. Bersamaan dengan itu terlihat sekelompok pengembala domba perempuan datang untuk memberi minum ternaknya. Seorang da ri penggembala perempuan, bernama Ribka. Gadis itu memandang si abdi lalu menawari minuman. Melihat Ribka, si abdi menanyakan asal-usul keluarga Ribka dan pergi ke rumah Ribka untuk melamar atas nama tuannya. Keluarga Ribka bersedia menikahkan Ribka dan Ishak setelah abdi Abraham memberi mereka mas kawin. Maka, dibawalah Ribka ke Kanaan. Ketika Ribka dan abdi Abraham mendekati tanah Kanaan, hari sudah senja. Di saat yang sama Ishak
berjalan menuju padang dan dilihatnya rombongan unta-unta mendekati daerahnya. Ribka melihat Ishak lalu menanyakan kepada abdi Abraham: siapakah yang mendekati rombongan? Setelah mengetahui dia ada lah Ishak, bertelekunglah ia. Kebiasaan bertelekung menjadi salah satu kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat saat itu. Masyarakat mengidentifikasikan kerudung sebagai kain penutup kepala yang digunakan perempuan. Biasanya menutupi leher, dada, dan ada pula yang menjuntai sampai bawah perut. Masyarakat Israel melanjutkan aturan bertele kung untuk perempuan yang merdeka serta memi liki status sosial tinggi dan tidak memperkenankan budak atau pelacur mengunakan kerudung. Bah kan, sampai abad ke-15, para perempuan Yahudi di Eropa mas ih mengg un ak ann ya di kehidupan sehari-hari. Kerudung menjadi lekat dengan masyarakat ke kinian, terutama dalam konteks Indonesia. Pengguna kerudung menjadi mayoritas dan lekat dengan Islam, padahal tidak selalu berkaitan. Jika dikaji lebih da lam, kerudung ada di berbagai kebudayaan di du nia. Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jilbab dikenal dengan beberapa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, dan hijab di beberapa negara Arab-Afrika, seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman.
KRONIK KERUDUNG
550–330 SM 13000 SM 3000-2000 SM Code Asyiria memuat aturan berkerudung di masyarakat. Saat itu dikenal sebagai hijb.
66 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
Warisan dari Code Asyiria dilanjutkan dengan Code Bilalama dan berlanjut di dalam Code Hammurabi di Mesopotamia.
Penggunaan kerudung di Rusia sudah ada dalam undangundang Achaemenid. Hal yang sama terjadi di Yunani. Diduga, kesadaran ini muncul karena adanya realitas peradabaan yang sudah lebih dulu ada seperti Asyiria, Mesopotamia, dan lainnya.
M E NY I BA K C I T R A K E RUD UNG
Terlepas dari istilah yang digunakan, sebenarnya kerudung bukan hanya milik Islam. Dalam kitab Taurat, kitab suci agama Yahudi, sudah dikenal beberapa is tilah yang semakna dengan kerudung, yaitu tiferet. Demikian pula dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani, Kristen, dan Katolik juga ditemukan istilah semakna. Misalnya, istilah zammah, realah, zaif, dan mitpahat.
Pro dan Kontra atas Kerudung
Perdebatan soal kerudung hadir dalam berbagai disip lin, baik agama, hak, maup un bud ay a. Pel a rangan dan peraturan mewajibkan kerudung hadir sesuai dengan latar belakang kondisi masyarakat. Di beberapa negara yang minoritas muslim, ada la rangan memakai kerudung ataupun cadar di tempat umum. Beberapa respons membenturkan wacana ters eb ut seb ag ai pel angg ara n hak bere ksp res i. Nam un, ada pula yang mendasarkan pel ar anga n pad a alasan keamanan, bukan Islamphobia. Di Indonesia, sebelum memasuki era 1990-an, kerudung belum dinilai sebagai kebiasaan berpa kaian masyarakat. Menurut Dr. Alimah Qibtiyah, Dir ekt ur Pusat Studi Wanita Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, kerudung di UIN mul ai dij ad ik an ser ag am pad a awal 90-an. Bahk an, pem er int ah dan ins tit us i pend id ika n menc ob a memf as il it asi per emp ua n yang mem ak ai ker u
dung den gan SK NO.52C th 1982. Pasc a Orde Baru larangan menggunakan kerudung berkurang nam un tidak hilang sama sekali. Contohnya, la rangan menggunakan kerudung bagi polisi wanita (polwan) serta larangan menggunakan kerudung di Bali pernah menjadi topik hangat di mas yara kat. Namun, fenomena baru muncul. Pemaksaan berk er ud ung mulai tumbuh melalui Peraturan Daerah Syari’ah (Perda Syari’ah) di Daerah Istimewa Nangroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Agam. Warganya diw aj ibk an mengg un ak an pa kaian muslim pada Kamis dan Jumat. Di lain kesempatan, munculnya jilboobs menjadi hal baru. Pemakaian kerudung menjadi penentuan identitas baru. Bukan hanya sebagai bagian dari seks dan seksualitas namun juga ranah moralitas dan ruang publik yang ada di masyarakat. Pun dengan istilah jilbaber dan hijaber. Ketika hijaber menjadi istilah yang paling dite rima karena kesan fashionable yang melekat, kre ativitas para perancang busana muncul. Indonesia pun merintis jadi pusat tren busana muslim Asia. Ada banyak produsen yang menawarkan rupa-rupa model kerudung dengan cara menyeponsori acara televisi maupun yang menjawab selera pasar. Semua hal tadi akan pembaca nikmati dalam rubrik ini. Se mua hal tentang nilai yang melekat dalam selembar kain penutup kepala.n
250 SM
1990-2000-an
Parthian yaitu kekaisaran kuno di Asia yang membuat aturan kerudung.
1982 M
224–651 M
1500 M
Sassanian atau Dinasti Sasanid telah mengatur tentang jilbab dan rangkaian permasalahan terkait.
Penganut Yahudi memperkenalkan kerudung sebagai bagian pakaian mereka di Eropa.
Di Indonesia, lahir SK NO.52C th 1982 dari Diknas untuk memfasilitasi masyarakat terkhusus perempuan untuk mengunakan kerudung.
Kerudung mulai banyak digunakan oleh perempuan di Indonesia.
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 67
L A PORAN KHUSUS
Ketika Kerudung Hidup dalam Masyarakat
Kerudung selalu dicitrakan sebagai bagian dari kebudayaan Islam atau bisa diluaskan sebagai kebudayaan Samawi. Nyatanya, kerudung dimiliki oleh kebudayaan lain. Oleh Joseph Sebastian Nazareno Silaen
K Pakaian memiliki alasan yang sangat geografis serta historis. Dewasa ini justru bertambah menjadi sangat geografis, historis, dan politis,” Wening Udasmoro.
erudung menjadi simbol yang lekat dengan kehidupan perempuan. Kerudung bisa dika takan produk budaya yang memiliki fungsi, kegunaan, serta nilai sosial yang lekat dari peradaban manusia dunia. Di satu sisi, kerudung dipakai sebagai pelindung rambut dan wajah perem puan. Namun, sisi lain kerudung memiliki nilai sosial yang ditetapkan oleh beberapa kelompok masyarakat. Kerudung bukan hanya berbicara sebagai salah satu bagian dari berpakaian masyarakat dunia. Beberapa hal ikut memengaruhi masyarakat untuk mengembangkan pakaian mereka. Seperti di daerah timur tengah dengan keadaan alam yang eks trem, berpasir, maka masyarakat menciptakan cara berpakaian yang tebal dan berlapis supaya melindungi tubuh mereka dari badai pasir di siang hari atau udara dingin pada malamnya. Dr. Wening Udasmoro, dosen Pascasarjana UGM membenarkan bahwa keadaan alam ikut memengaruhi cara berpakaian berbagai masyarakat. “Pakaian memiliki alasan yang sangat geografis serta historis. Dewasa ini justru bertam bah menjadi sangat geografis, historis, dan politis,” terang Wening.
Dimulai dari Mesopotamia
Di Semenanjung Arab masyarakat memiliki aturan berpakaian yang cukup ketat. Aturan ini di latarbelakangi oleh nilai dan norma yang dipegang teguh masyarakat. Pada 30000 SM, jauh sebelum kebudayaan Samawi hadir, masyarakat daerah be kas wilayah Mesopotamia sudah memiliki aturan berpakaian. Masyarakat Mesopotamia memiliki aturan ber pakaian untuk perempuan yang begitu kompleks. Perempuan memakai penutup kepala yang panjang disebut Tiferet. Penutup kepala ini tidak hanya me lindungi kepala atas sinar matahari tapi juga ketika ada debu pasir yang terbang mereka bisa langsung menarik kain penutup kepalanya untuk melindungi wajahnya juga. Hanya perempuan berstatus sosial tinggi yang menggunakan Tiferet. Perempuan ber status rendah, seperti budak perempuan dan pelacur, tidak diperbolehkan menggunakan kerudung. Penggunaan kerudung untuk per emp ua n Mesopotamia akhirnya diadopsi oleh masyarakat
68 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
I srael dan masyarakat yang tinggal semenanjung Arab. Dalam masyarakat Yahudi, kerudung sudah dikenal sudah menjadi tradisi yang kuat dalam ma syarakat. Rabi Dr. Menachem M. Brayer, Profesor Literatur Injil di Universitas Yeshiva dalam buku The Jewish Woman in Rabbinic Literature menulis bah wa pakaian bagi perempuan Yahudi saat bepergian ke luar rumah harus mengenakan penutup kepala. Terkadang, bahkan, harus menutup hampir seluruh muka dan hanya meninggalkan mata. Aturan ini terus menurun dalam masyarakat Yahudi. Dalam buku Sang Nabi dari Galilea karya Jim Bishop dijelaskan bahwa masyarakat Yahudi di Palestina, tepatnya daerah Nazaret, di masa Isa Almasih atau Yesus hidup, memegang teguh aturan dan kebiasaan yang berasal dari hukum rabi mau pun kitab Talmud yang diimani oleh kaum Yahudi setelah kitab Taurat. Dalam agama Kristen, melalui perjanjian baru, pemakaian kerudung juga dianjurkan. Namun, tidak disyariatkan seperti dalam Talmud Yahudi. Keba nyakan gereja ortodoks menafsirkan bahwa keru dung harus dilestarikan perempuan saat beribadah seperti ajaran Rasul Paulus. Gereja modern Katolik dan Protestan menekankan bahwa kerudung harus dilihat dalam konteks Paulus yang masih sangat ter pengaruh tradisi Yahudi zaman itu. Makna kerudung di Kristen bergeser dari yang artinya ‘tabir’ menjadi penutup aurat perempuan pada abad ke-4. Dalam ajaran Katolik, perempuan yang meng abdikan diri kepada Yesus dan memutuskan untuk menjadi biarawati diwajibkan mengenakan kerudung. Umumnya, mereka mengenakan kerudung sepanjang bahu yang diikat di tengkuk dan dipadukan dengan baju terusan sebawah lutut. Namun penggunaan ke rudung untuk biarawati memiliki cara yang berbeda antara satu ordo dengan lainya. Sebagai contoh, Ordo Karmelit yang mewajibkan penggunaan kerudung berwarna hitam atau coklat tua dengan pemakaian dua lapis kain. Di bagian dalam berwarna putih serta lebih panjang dari ordo lain. Pun dengan tingkatan para biarawati. Warna putih bisanya digunakan oleh biarawati baru dan biarawati senior mengenakan warna yang lebih gelap, seperti biru tua, tergantung ordonya.
M E NY I BA K C I T R A K E RUD UNG
Dalam mitologi Persia kuno, kerudung bahkan dianggap sebagai kemah menstruasi, yaitu tempat pengasingan untuk perempuan yang sedang men struasi. Ketika perempuan sedang mengalami men struasi, mereka dimasukkan ke dalam kamp-kamp dan diharuskan mengenakan kerudung. Tapi, kalau diperhatikan kerudung pun ada di Eropa. Pakaian tradisional perempuan Norwegia, Rusia, Belanda, dan Italia mengenakan tutup kepala dari kain persegi yang kemudian dilipat menjadi segitiga dan biasanya diikat di dagu atau tengkuk. Berkerudung dengan cara demikian mudah dite mui di Eropa tahun 1960. Agata Kulesza, pemeran Wanda dalam film Ida, seringkali mengenakan ke rudung ketika di luar ruangan. Pun dengan Ratu Elizabeth II yang suka mengenakan kerudung jenis babushka.
Berbeda namun Sarat akan Makna
Di beberapa negara Islam, pakaian sejenis jil bab dikenal dengan beberapa istilah. Chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, dan hijab di beberapa nega ra Arab-Afrika, seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman. Terlepas dari istilah yang digunakan, sebenarnya konsep hijab bukan hanya milik Islam. Dalam kitab Taurat sudah dikenal beberapa istilah yang semak na dengan hijab, tiferet. Demikian pula dalam kitab Injil juga ditemukan istilah semakna, yaitu zammah, realah, zaif, dan mitpahat. Nasaruddin Umar dalam Kompas, 25 November 2002 mengutip Eipstein. Hijab sudah dikenal sebe
lum adanya agama-agama Samawi. Bahkan, pakaian yang menutupi kepala dan tubuh perempuan sudah menjadi wacana dalam Code Bilalama (3.000SM), Code Hammurabi (2.000SM), dan Code Asyiria (1.500 SM). Hal serupa juga dilakukan dalam tradisi orang-orang India yang sebagian besar penganut Hindu. Pakaian yang panjang sampai menyentuh mata kaki dengan kerudung menutupi kepala adalah pakaian yang dipa kai sehari-hari. Demikian juga pakaian orang-orang Eropa dan Amerika sejak abad pertengahan. Pakaian panjang yang anggun dengan penutup kepala itu tidak hanya dipakai oleh kerabat kerajaan dan kaum borjuis namun juga dipakai oleh rakyat kebanyakan. Bahkan gaya fesyen era ini telah menginspirasi para perancang busana saat ini untuk dipakai pada acara-acara formal seperti pernikahan. Faktanya, sejak dahulu sampai saat ini kerudung tidak hanya menjadi bagian dari dinamika peradab an. Kerudung telah menjadi simbol kebaikan dan ketaatan terhadap sebuah keyakinan. Hampir semua agama menggunakan dan menghormatinya sebagai simbol pakaian yang agung, meski tidak semua mene tapkannya sebagai kewajiban. Fakta ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa jilbab tidak selayaknya dianggap sebagai problem, apalagi dipersepsikan menjadi bagian dari kekerasan. Kerudung bukan hanya berbicara pakaian yang dilihat secara geokultural ataupun geografis. Namun, perkembangan kerudung di masyarakat pada akhir nya memiliki nilai historis serta politis. Laporan oleh Janti
DOKUMEN ISTIMEWA
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 69
L A PORAN KHUSUS
Pemahaman dan Praktik Jilbab di Masyarakat Oleh Dr. Inayah Rohmaniyah, M. Hum, M. A.
J
JANTI | EKSPRESI
ilbab, kerudung, maupun hijab dalam tatar an konseptual sebagai wacana dan fenomena yang dipraktikkan di masyarakat tentunya menarik untuk diperbincangkan, baik dalam forum diskusi akademik maupun keagamaan. Ke beragaman pemahaman, model, dan praktik jilbab sepanjang sejarah menjadi tema yang menarik untuk diteliti. Selain itu, beragam makna dan simbol yang melekat pada jilbab juga tak kalah seru untuk dika ji. Dari perspektif sejarah, jilbab memberi ilustrasi tentang perkembangan sebuah masyarakat, terutama pandangan dan konstruksi tentang perempuan dan pemahaman keagamaannya. Konstruksi pemahaman tentang jilbab dan praktik secara langsung maupun tidak langsung meng gambarkan perkembangan pemahaman keagamaan dan budaya masyarakat yang dipengaruhi oleh aspek sosial, budaya, ekonomi, ataupun politik. Kajian ten tang praktik dan pemahaman konsep jilbab dapat berkontribusi pada wacana akademik, khususnya studi perempuan dan gender. Fadwa el Guindi dalam Veil, Modesty, Privacy, and Resistance mengatakan bahwa kerudung secara sosiologis bukan hanya menjadi identitas sosial dan keagamaan seseorang maupun kelompok. Kerudung juga berfungsi sebagai bahasa untuk menyampaikan pesan dari berbagai masyarakat yang telah menggu nakan kerudung. Kerudung menjadi simbol mendasar yang bermakna ideologis bagi umat Kristen, ukuran kesalehan bagi perempuan Katolik dan Muslim, dan bahkan menjadi simbol identitas dan alat resistensi dalam pergerakan Islam. Dalam perspektif feminis, rangkaian kerudungharem -budak-pemingitan-poligami dipandang men jadi ekspresi atau bahkan akar penindasan terhadap perempuan dari masa ke masa. Kerudung seolah me lekat dan terkait dengan persoalan harem, perbudakan perempuan, pemingitan perempuan, dan poligami. Pendek kata, kerudung identik dengan penindasan dan diskriminasi. Feminis barat mendominasi wa cana jilbab dan memandangnya sebagai gambaran budaya patriarkut, ketertinggalan, subordinasi, dan penindasan terhadap perempuan. Kerudung yang menutupi kepala, leher, dan kadang-kadang dada, atau bahkan kerudung besar
70 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
yang menutupi separuh tubuh perempuan merupakan fenomena yang relatif baru di Indonesia. Hingga ta hun 1970-an, kerudung belum populer di Indonesia. Di Jawa perempuan kadang-kadang menggunakan kain panjang transparan dan tipis yang dikenakan di kepala atau sekadar digantung di leher. Pada 1980-an pengaruh gerakan Islam dari Timur Tengah mulai terlihat. Sejak periode inilah istilah jilbab mulai dikenal dan dikenakan. Jilbab dengan bentuk baru menandai bentuk pemahaman baru ten tang simbol dan identitas perempuan Muslim. Nancy J. Smith Hefner dalam artikel berjudul “Javanese Women and the Veil in Post-Soeharto Indonesia” mengatakan bahwa jilbab bisa dikata kan sebagai kebangkitan simbol dan praktik Islam meski makna dan motivasinya menjadi kompleks, beragam, dan penuh perdebatan. Pada 1979 revolusi Iran memperkuat semangat para aktivis untuk bangkit menunjukkan identitas mereka. Uniknya, masa Pemerintahan Soeharto (1966-1998) mengharuskan semua partai politik atau organisasi sosial untuk mengakui Pancasila sebagai satu-satunya dasar lembaga dan melarang pengguna an simbol-simbol Islam. Hal itu dituliskan oleh M artin Van Bruinessen dalam artikel “Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Suharto Indonesia”. Jilbab meru pakan salah satu simbol nyata dari penentangan dan penegasan identitas. Pada 1982 pemerintah melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengelu arkan Surat Keputusan (SK) 052/C/Kep/D/82 yang mengatur bentuk dan penggunaan seragam sekolah di sekolah negeri yang secara tidak langsung mela rang pemakaian jilbab. Tindakan represif Orde Baru dipandang oleh beberapa pengamat justru mendorong kepopuler an jilbab. Pelarangan ini mengundang simpati ma syarakat dan akhirnya menempatkan jilbab sebagai salah satu simbol perlawanan terhadap rezim. Jilbab pada masa tersebut dimaknai sebagai simbol aksi politik identitas. Fenomena jilbab pasca-Orde Baru menjadi se makin kompleks. Jika masa Soeharto terjadi pela rangan Jilbab, yang terjadi pada masa ini adalah fenomena pemaksaan atau mewajibkan pemakai an jilbab. Seiring dengan diterapkannya Peraturan Daerah Syari’ah (Perda Syari’ah) di beberapa daerah, para siswa di sekolah negeri, bahkan non-Muslim, diwajibkan untuk memakai jilbab. Selain itu, dikenal juga istilah jilbab gaul yang seringkali dimaksudkan dengan berjilbab (berke rudung) tapi mengenakan celana blue jeans dan kaus ketat. Jilbab hingga saat ini seolah menjadi identitas kolektif yang tidak dapat ditawar lagi. Kesalehan seorang perempuan seringkali diukur dari jilbab yang menutup kepalanya. Meski demikian, dalam ranah konseptual, diakui ataupun tidak, secara normatif terd ap at perb ed aa n pemahaman dan konsep jilbab.n
M E NY I BA K C I T R A K E RUD UNG
Fashionable Tak Asal Nyaman Memutuskan untuk mengenakan kerudung tak lantas menjadikan pemakainya terbatas dalam bergaya. Namun, gaya juga tak asal gaya. Kenyamanan harus tetap dipertimbangkan. Oleh Siti Khanifah Hal ini disepakati oleh Novita, ia mengaku da lam berkerudung biasanya dia sesuaikan dengan bentuk muka. “Aku kalau pakai kerudung biasanya diputar-putar biasa. Gimana cocoknya saja. Pas coba meniru gaya kerudung orang lain yang menurutku bagus, ternyata ketika dicoba pakai tidak bagus. Ku rang cocok sama bentuk mukaku.”
Nyaman itu Kuncinya
Ingin tampil fashionable tidak boleh melupakan kenyamanan. Hal ini dituturkan oleh Baiq Nirmala Dwijasista, mahasiswa Teknik Busana UNY yang da lam kesehariannya mengenakan kerudung. Menurut nya, busana sebagus apapun jika pemakainya tidak merasa nyaman, tidak akan terlihat bagus. Sista, pangilan akrab Baiq Nirmala, menambah kan agar tetap fashionable dia tidak asal mengikuti tren yang sedang berkembang tapi disesuaikan dengan kepribadian dan juga aktivitasnya. Misalnya, saat di wawancarai sepulang kuliah ia mengenakan setelan celana denim warna biru tua dan blus denim warna biru muda lalu dipadukan dengan gaya kerudung yang cukup sederhana bermotif bunga dengan kom binasi warna merah muda dan biru tua. “Pilih yang simpel sesuai gayaku. Biasanya suka warna-warna yang pastel, kain tidak licin, dan adem agar nyaman dipakai,” ungkapnya. Sepaham dengan Sista, Enny menuturkan bahwa dalam memilih kerudung harus disesuaikan dengan cuaca agar kerudung nyaman dipakai. Untuk di daerah tropis seperti Indonesia ini bisa dipilih bahan yang dapat menyerap keringat, misalnya katun. Ditambahkan Enny, selain faktor kenyamanan, yang harus dipertimbangkan dalam memilih keru dung adalah keserasian. Keserasian yang dimaksud adalah serasi dengan busana yang sedang dipakai. Bisa diserasikan dengan tas, baju, ataupun sepatu yang sedang dikenakan. Hal ini juga diamini oleh Novita. Saat memakai keru dung ia mengaku selalu memilih yang serasi dengan sepatu ataupun tas yang dipakai. “Aku pakai kerudung supaya terlihat lebih fashionable. Biasanya pilih kerudung de ngan warna yang senada dengan tas dan sepatu yang dipakai. Percuma keru dung sudah oke, tapi tidak serasi dengan baju yang di pakai. Malah kelihatan aneh dan norak,” ujarnya. HANIF | EKSPRESI
K
erudung model hoodie, turban, atau pash mina yang dipadupadankan dengan rok berbahan kain sifon, atau kardigan panjang merupakan gaya busana yang sedang banyak digunakan saat ini. Banyaknya gaya berkerudung yang dapat digunakan dalam berbagai kesempatan membuat pernyataan, “Saya takut tidak fashionable jika berkerudung,” sudah tak laku lagi. “Sekarang orang pakai kerudung tidak perlu khawatir jadi tidak fashionable karena saat ini kerudung sudah banyak varian dan dapat dikenakan dalam berbagai gaya,” ungkap Novita Bachtiar, mahasiswa Jurusan Teknik Busana Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Enny Zuhni Khayati, M.Kes, pengamat fesyen sekaligus dosen Program Studi Pendidikan Teknik Busana UNY menjelaskan bahwa perkembangan fe syen di Indonesia sangat pesat, khususnya untuk busana muslim. Bahkan, Indonesia menjadi kiblat mode busana muslim di Asia. “Dengan semakin pe satnya perkembangan mode busana muslim, tren kerudung otomatis juga memiliki perkembangan yang sama karena kerudung merupakan bagian dari bu sana muslim,” tambahnya. Dijelaskan pula oleh Enny, bahwa pemakai ke rudung tak perlu takut jadi terlihat kuno sebab ke rudung sudah banyak ragamnya dan hampir setiap hari muncul jenis kreasi kerudung baru. “Kerudung bisa dengan bebas dikreasikan sesuai selera. Apalagi zaman sekarang, orang dengan mudah bisa mengakses internet. Banyak pengguna internet yang mengung gah tutorial berkerudung ke medsos (media sosial, red.) baik Youtube, Instagram dll. Semua orang bisa dengan mudah mengaksesnya. Bahkan tak jarang di majalah fesyen juga disertai beragam informasi mengenai gaya berkerudung lengkap dengan tutorial cara berkerudung,” ungkap Enny panjang. Menurut Enny, agar terlihat fashionable tidak perlu selalu mengikuti tren yang ada tapi harus dise suaikan dengan kesempatan dan juga kegiatan yang sedang dilakukan. “Ya, kalau untuk keseharian, kuliah misalnya, pakai gaya kerudung yang simple dan tidak mengganggu aktivitas.” Selain itu, Enny juga menje laskan bahwa untuk dapat tampil fashionable pemi lihan gaya berkerudung harus disesuaikan dengan bentuk muka. “Setiap gaya berkerudung belum tentu cocok untuk semua bentuk muka. Misal, jika memi liki muka lebar bisa memilih gaya berkerudung yang memberi efek tirus, yaitu dengan cara tidak menarik kerudung terlalu kebelakang,” tambahnya.
Aku pakai kerudung supaya terlihat lebih fashionable” Novita Bachtiar.
Novita, mahasiswa berkerudung yang suka tampil trendi.
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 71
L A PORAN KHUSUS
Habis Pakai, Terbitlah Tren Artis sinetron dan publik figur di dunia hiburan jadi agen paling menguntungkan bagi produsen dalam menciptakan maupun menanggapi tren kerudung di pasaran. Oleh Akhmad Muawal Hasan
D
alam kesehariannya, Riana Asrifah biasa mengenakan kerudung segi empat, kaos le ngan panjang, dan rok panjang. Perempuan berdarah Sunda yang lahir di Jakarta ini tak pernah bersolek berlebihan ketika pergi kuliah.“Ka lau berpakaian buat di kampus lebih simple. Kalau pakai yang glamor ke kampus, malah jadi bahan pembicaraan,” katanya. Ia hanya berusaha menyesuaikan pakaian dengan situas i lingkungannya. Berbeda dengan di dalam kam pus, di luar ia lebih berani untuk memadupadankan bajunya dengan model kerudung yang lebih variatif. Misal, ketika menghadiri seminar yang diadakan Lyra Virna atau Ustaz Ahmad Wijayanto, salah satu ustaz favoritnya, ketika jalan-jalan ke mal, atau mengha diri kondangan. Sejak berkuliah di Jurusan Pendidikan Sosiologi angkatan 2011, Riana rajin mengikuti tren model berkerudung. Selain kesenangan pribadi, kegiat an pemotretan sebagai model pakaian perempuan berkerudung juga menuntutnya untuk selalu paham perkembangan mode berkerudung. Untuk itu ia rajin mengikuti postingan tokoh idolanya di media sosi al Instagram, seperti Umi Pipik, Lyra Virna, Zaskia Adya Mecca, dan Zaskia Sungkar. Gaya berkerudung yang dikenakan idolanya tersebut jadi referensi Riana ketika berbelanja. Menjadi model pakaian berkerudung dilaku kan juga oleh Rohmatus Naini, mahasiswa Jurusan Bimbingan Konseling UNY. Meskipun frekuensi
DOK. ISTIMEWA
72 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
pemotretannya tak sesering Riana namun ia juga mengakui bahwa aktivitasnya memang memerlu kan referensi yang lebih dibanding teman lain yang bukan model. Referensi Naini berasal dari tutorial yang ia akses via situs berbagi video, Youtube, atau melihat katalog di toko-toko baju muslimah. Hampir semua model kerudung pernah Naini coba. Sekarang ia sedang suka model hijab Indah Nevertari, pemenang Rising Star RCTI, yang sekarang merupakan brand ambassador Zoya. “Dulu pertama kali aku meniru Ineke Koes Herawati. Yang kedua Dewi Sandra, sebab aku suka Wardah. Kadang juga pakai model Fatin. Zaskia Adya Mecca juga pernah. Aku ndak bisa niru atau beli model Dian Pelangi, mahal. Angel Lelga juga ndak pernah sebab enggak nyaman,” ujar perempuan asal Sidoarjo ini.
Komodifikasi Produk dan Kelas-Kelas yang Terbentuk
“Fenomena tren model berkerudung artis sebe tulnya tak jauh berbeda dengan tren barang lain di pasaran. Semuanya mengalami kondisi yang disebut komodifikasi produk, yaitu strategi agar suatu produk bisa laku dijual. Sederhananya, produsen mencipta kan permintaan yang tinggi di pasar,” jelas Grendi Hendrastomo, M.M., M.A, ketika dimintai tanggapan terkait tren berkerudung. Menurut Grendy, dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi UNY, komodifikasi produk terhadap ke rudung terjadi karena permintaan konsumen yang
M E NY I BA K C I T R A K E RUD UNG
tinggi. Hal ini bisa terjadi melalui dua kemungkinan. Pertama, produsen memang menciptakan tren de ngan membayar para artis atau publik figur untuk memakai satu model kerudung dalam sinetron atau acara televisi yang mereka bintangi. Produsen ting gal menunggu kelatahan masyarakat yang tergerak untuk membelinya di pasar. Atau bisa lewat jalan sebaliknya. Produsen hanya menunggu kira-kira tren kerudung apa yang akan populer di masyarakat. Jika tanda-tanda akan menjadi tren sudah nampak jelas, baru produsen kemudian memproduksi barangnya dalam jumlah yang besar dan dilempar ke pasar. Dua kemungkinan tersebut akhirnya membagi toko-toko kerudung pada kelasnya masing-masing, sesuai dengan segmen pelanggan yang sering ber belanja di toko tersebut. Kondisi ini nyata terlihat jika membandingkan konsumen yang berbelanja ke toko-toko ternama yang menjual kualitas produk di Yogyakarta, semisal Carita, Pands, atau El-Zatta, de ngan toko-toko yang menjual kemurahan harganya, seperti Raja Murah atau Ababil. Leni Ermawati, Store Coordinator El-Zatta Cabang Yogyakarta, bersepakat jika toko bajunya dan toko-toko baju yang sejenis memang diperun tukkan untuk kalangan kelas menengah ke atas. “Terutama untuk ibu-ibu, ya. Mereka beli juga un tuk dikoleksi. Jadi, mahal pun tak masalah,” kata Leni di ruang kerjanya. Sebagai salah satu produsen yang menciptakan tren kerudung Indonesia saat ini, strategi yang diterapkan El-Zatta hampir sama de ngan produsen-produsen besar lain, yaitu dengan memakai artis sinetron atau tokoh terkenal sebagai brand ambassador-nya. Saat ini brand ambassador hijab El-Zatta adalah Marini Zumarnis dan Citra Kirana. Citra Kirana, se perti diketahui perannya sebagai Rumana di sinetron Tukang Bubur Naik Haji, mendongkrak penjualan produk El-Zatta hingga dua kali lipat. Para pemain Tukang Bubur Naik Haji lain yang memakai kerudung El-Zatta dari segala model juga menjadi agen yang amat menguntungkan bagi El-Zatta. Menurut Leni, tanpa ditawarkan pun para pe ngunjung rata-rata sudah tahu model kerudung apa yang mereka cari. “Malamnya tayang di TV, besoknya sudah dicari. Alhamdulilah selalu ada barangnya (yang dicari pengunjung, red.),” tuturnya. Harga kerudung di El-Zatta memang tergolong lebih mahal ketimbang toko-toko kerudung “ping gir jalan”. Kualitas memang jadi yang diutamakan. “Barang-barang kami memang punya ciri khas sendiri. Bahannya tidak ada di Indonesia. Jadi, kami impor dari sejumlah negara seperti Turki dan Tiongkok. Bahan ini lebih halus dan adem, selisihnya lebih ma hal beberapa puluh ribu. Meski begitu orang tetap beli,” tambah Leni. Kondisi di El-Zatta—dan gerai semacam Pands atau Carita—berbeda dengan di Raja Murah. Jika El-Zatta menciptakan tren, Raja Murah hanya me nanggapinya dengan menjual model kerudung yang
sedang dicari banyak orang, terutama mahasiswa dan ibu-ibu. “Raja Murah menjadi istimewa untuk kalangan mana saja, khususnya kelas menengah ke bawah, sebab yang kami tawarkan harga yang murah dulu. Baru kemudian soal kualitas, model, dan se bagainya,” papar H. Albert Koto, pengelola PD. Raja Murah yang terletak di Pasar Beringharjo lantai 3. Raja Murah selalu bersaing dengan Ababil. Albert menilai penyebab Raja Murah masih lebih laris ke timbang Ababil adalah penataan barang-barang di Raja Murah lebih rapi dan menarik. “Ya, kalau bukan dari segi penataan atau cara kita melayani pengun jung, apa lagi yang jadi senjata kami? Barang-barang yang dijual sebenarnya kan sama. Model-modelnya juga,” terang pria yang pernah berprofesi sebagai wartawan ini. Ketika ditanya mana yang lebih laris, kerudung artis atau bukan, Albert memberikan jawaban yang serupa seperti jawaban Leni. “Tentu saja kerudung artis yang sedang tren,” ungkapnya. Raja Murah me nyediakan apa yang dicari konsumen. Mulai dari ke rudung model Hanna, model kerudung yang dipakai Sandra Dewi di sinetron Catatan Hati Seorang Istri, sampai model kerudung yang digunakan Fatin, Brand Ambassador Rabbani. Terkadang ada permintaan konsumen yang ti dak dapat dipenuhi Raja Murah karena barangnya belum ada. Untuk itu Albert beserta 30 karyawannya tak bisa berbuat apa-apa. Stok tersebut baru akan diadakan di waktu-waktu setelahnya. “Seperti hukum permintaan dan penawaran se derhana. Jika memang permintaan naik, kami akan segera menyediakannya. Untuk itu saya sering ke Jakarta untuk mengamati model kerudung yang se dang populer sebelum trennya tiba di sini (Yogyakarta, red.). Di Jakarta kan pusat dan perputaran trennya memang cepat sekali,” katanya.
Malamnya tayang di TV, besoknya sudah dicari. Alhamdulilah selalu ada barangnya” Leni Ermawati.
Fashionable Dulu, Makan Pikir Nanti
Riana mengaku pernah sekali dua berbelanja di aja Murah, tepatnya pada semester-semester awal R kuliah. Lambat laun ia mengamini Leni bahwa kua litas harus dinomorsatukan. Apalagi ia tak mungkin memakai barang-barang berkualitas biasa untuk pe motretan. Baginya, harga mahalpun tak masalah asal barangnya cocok di hati dan awet dipakai. Rata-rata dalam sebulan riana berbelanja hing ga 4 kali. Total pengeluarannya bisa mencapai Rp700.000,00. Walaupun tekun mengikuti tren keru dung terbaru, ia menolak disebut korban tren. Di satu sisi ia mengakui jika gaya hidupnya memang membuat pengeluarannya lebih boros. Lebih konsumtif. “Mama dan teman-teman kadang protes, kok aku belanja terus? Aku kadang juga bisa khilaf, kalau su dah di toko baju. Kadang enggak mikir ke depannya juga perlu makan. Kalau sudah begitu biasanya aku menelepon Papa. ‘Pa, uangnya habis.’ Gitu, deh,” katanya sambil tertawa. Laporan oleh Janti
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 73
L A PORAN KHUSUS
Dari Jilbaber ke Hijaber ke Jilboobs
Beragamnya cara orang berkerudung dewasa ini ternyata dibarengi dengan kemunculan istilah jilbaber, hijaber, dan jilboobs yang diam-diam membuat determinasi benar-salah atau baik-buruk. Oleh Nur Janti
A Jadi ada usaha untuk meliyankan yang lain dari pemakaian kerudung ini,” Wening Udasmoro.
da berbagai macam kerudung yang sering di pakai para perempuan belakangan ini, mulai yang disebut kerudung siap pakai, turban, pasmina, sampai yang paling populer adalah kerudung segi empat. Beragam jenis, beragam pula cara orang memakai, dan memadupadankan kerudung dengan baju yang digunakan mereka. Safitri Aulia Rahmah, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (FE UII) angkatan 2011 misalnya, ia lebih senang mengenakan kerudung model pasmina sebab mudah dibentuk. “Pasminanya habis dikunci pakai jarum, diputar dari dagu sampai ke samping telinga. Biasanya aku pakai begini. Kalau buatku, sih, yang jelas harus menutupi dada,” terang Safitri menjelaskan caranya berkerudung. Lebih lanjut Safitri mengatakan bahwa ia lebih suka memadukan keru dungnya dengan pakaian yang longgar dan tertutup namun tetap trendi, seperti kardigan panjang. Pengetahuan Safitri tentang serba-serbi gaya berkerudung yang mulai populer di kalangan ma syarakat umum ini, banyak ia dapatkan di Komunitas Hijaber Yogyakarta. Kesibukan kuliah tak mengha langinya aktif dalam komunitas yang didirikan oleh Dian Pelangi dan berpusat di Jakarta. Tak hanya cara berkerudung, kadang ia juga menemui teman satu komunitasnya yang berjualan kerudung dan baju kurung. Lain halnya dengan Kharisma Ayu Alamiarti, mahasiswa Program Studi Bimbingan Konseling Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) angkatan 2011, yang lebih menggemari kerudung beruk uran besar. Kharisma biasanya memakai kerudung siap pakai atau biasa disebut bergo karena lebih praktis tapi terkadang dia juga memakai kerudung segi empat dan malah tak pernah memakai model pasmina. Ke rudung segi empat besar berbeda dengan kerudung segi empat yang sering dijumpai. Kharisma lebih me milih kerudung segi empat besar dengan luas 150cm2 sedangkan kerudung segi empat biasa memiliki luas 115cm2. “Kalau aku memilih kerudung yang panjang nya sampai pergelangan tangan dan kalau dari bela kang sampai bawah pantat,” terangnya. Kharisma yang kala itu memadukan baju, rok, dan kerudung warna ungu bercerita bahwa dirinya lebih suka mengenakan
74 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
gamis. Kadang ia memasangkan warna hitam dengan merah atau warna senada dengan gelap-terang yang berbeda. Ia mengaku caranya berkerudung merupakan cara yang ia yakini syar’i. “Aku lebih suka yang besar sebab kalau yang kecil dan baju pas badan menurutku belum cukup menutup aurat,” terang Kharisma.
Istilah karena Beragam, Istilah untuk Identifikasi
Safitri dan Kharisma memiliki cara berkerudung yang berbeda. Dari beragamnya cara berkerudung dan berpakaian saat ini kemudian muncul istilah yang membedakan cara berkerudung dan berpakaian satu orang dengan yang lainnya. Ada tiga istilah yang paling mudah ditemui di masyarakat, yakni hijaber, jilbaber, dan jilboobs. Jika merunut asal katanya, jilbab berarti penutup aurat sedangkan hijab berarti pembatas. Jika akhirnya jilbab disamakan dengan hijab disebabkan karena keduanya memiliki makna menutupi aurat atau membatasi aurat. “Sebagai ka ta penggunaannya interchangable karena maksud nya hampir sama. Malah hijab memiliki kesan lebih tertutup,” jelas Samsul Maarif peneliti dari Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada (CRCS UGM). Istilah jilbaber dilekatkan dengan pemakai keru dung lebar atau biasa disebut syar’i. Hijaber identik dengan pemakai kerudung yang tetap fashionable. Sedangkan yang terakhir adalah jilboobs, ditujukan untuk pemakai kerudung yang memakai baju ketat sehingga bentuk payudaranya terlihat. Kemunculan beberapa istilah ini menurut Dr. Alimah Qibtiyah, Direktur Pusat Studi Perempuan di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga disebabkan karena motif orang mengenakan keru dung yang berbeda-beda sehingga memunculkan beragam cara berkerudung. “Kita harus melihat ke rudung tak hanya sebagai fenomena agama tapi juga budaya. Ada yang menggunakan kerudung karena alasan keagamaan, tapi ada juga yang mengikuti tren sebab kini pemakai kerudung menjadi mayoritas. Coba bandingkan nenek kita dulu, jarang yang pakai kerudung,” terangnya. Menambahi Alimah, Dr. Wening Udasmoro, dosen Pascasarjana UGM, menerangkan bahwa
M E NY I BA K C I T R A K E RUD UNG
ermula dari pemahaman orang yang berbeda me b ngenai kerudung, lantas cara mengenakan kerudung pun akan berbeda, dan akhirnya istilah-istilah mun cul untuk mengidentifikasi pemakai kerudung pada afiliasi ideologi tertentu. “Di Indonesia cara berke rudung itu heterogen. Orang punya latar belakang yang berbeda dalam berkerudung. Ada orang yang memakai istilah jilbab atau hijab. Kalau dulu kan orang memakai istilah jilbab saja kemudian muncul hijab, kemudian muncul lagi jilboobs. Itu karena jilbab itu sendiri dimaknai orang dengan cara yang berbeda. Selain itu ada juga identifikasi yang ingin dilekatkan pada perempuan berkerudung, identitas-identitas yang mengacu pada kelompok tertentu. Jadi, sela in berkorelasi dengan situasi sosial yang heterogen, alasan orang berkerudung juga macam-macam. Cara berkerudung juga mencerminkan afiliasi kelompok. Misalnya dia dari kelompok A yang mengatakan bahwa berkerudung yang benar adalah yang besar. Tapi di kelompok lain bilang, yang penting menutup rambut, menutup kulit. Jadi, tergantung juga afil iasi ideolo ginya seperti apa,” kata Wening. Safitri, misalnya, yang menerima label hijaber me lekat pada dirinya. Bahkan dia mengik uti komunitas yang mengatasnamakan kelompoknya sebagai hijaber. Hijaber memang menjadi istilah yang paling bisa di terima oleh para pemakai kerudung. Dijelaskan oleh Wening penyebabnya karena hijaber dianggap yang paling moderat dan sesuai dengan konteks Indonesia dibanding jilbaber yang dianggap konservatif ataupun jilboobs yang dianggap tak pantas. “Aku sih enggak keberatan kalau dibilang hijaber karena menurutku sebutan hijaber itu, ya, untuk perempuan yang me makai hijab. Tapi kalau dibilang jilboobs aku enggak mau,” jelas Safitri. Ia juga menyepakati kalau istilah hijaber identik dengan perempuan berkerudung yang tetap fashionable.
Pengliyanan dalam Jilboobs
Banyaknya cara orang memadupadankan ke rudung dengan pakaian besar dan longgar, trendi, bahkan pakaian ketat telah memunculkan istilah yang mengelompokkan orang yang mengunakan kerudung. Tidak hanya sampai di situ, dengan mudahnya ak ses ke media, orang makin mudah berbagi informasi tentang wacana-wacana yang berkembang terkait cara berkerudung. Melihat ini, Samsul Maarif men jelaskan bagaimana media membuat wacana dengan mengategorikan cara perempuan berkerudung. Bukan hanya mengategorikan tapi juga melekatkan makna mana yang negatif, mana yang untuk trendi, mana yang ikhlas. Sebab menurutnya persoalan-persoalan privat sekarang menjadi komoditas publik dengan maraknya media sosial. “Fanpage jilboobs ini ketika sudah populer di masyarakat kemudian menjadi istilah negatif. MUI sudah menegatifkan bahkan mengharamkan jilboobs. Ini kemudian memunculkan wacana bahwa ada cara berkerudung yang negatif. Kita enggak bisa melacak
siapa yang memopulerkan istilah jilboobs pertama kali. Tapi ketika hal ini sudah diketahui masyarakat, lalu ada orang yang memang sudah sejak lama berpakaian ketat lantas itu akan disebut jilboobs. Padahal yang seperti itu sudah lama sekali. Dulu sebelum istilah jilboobs populer orang biasa saja melihat yang seperti itu,” jelas Samsul. Mendukung pernyataan panjang dari Samsul Maarif, Wening menganggap ke munculan jilboobs sebagai upaya pengliyanan. Bentuk pengliyanannya adalah de ngan memberikan stereotip bahw a jen is ist il ah tert ent u merupakan cara berkerudung yang baik. “Jad i ada usaha untuk meliyankan yang lai n dar i pemakaian kerudung ini. Bahasa itu kan ada rasanya, to. Ya, itu memang satu bahasa tertentu yang dip ak ai unt uk melabeli orang, tidak hanya seka dar penamaan. Orang mungkin bisa tersinggung karna dalam rasa bahasa, jilboobs itu ada inferioritas, jilboobs menja di peyoratif. Padahal dengan pemahaman tiap orang yang berb ed a, kebebasan untuk berpendapat jug a bere ks presi yang makin besar, tiap orang mem il iki keb en ara n yang mereka yakini sendiri. Se hingga di masyarakat ada arena kontestasi wacana, yakni keadaan wacana satu dan yang lainnya saling ada dan benar-salah menjadi relatif,” terangnya saat ditemui di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM. Pelabelan jilboobs in il ah yang dir as ak an ol eh Ajeng Narulita Kusumas Tuti, ma hasiswa Pendidikan Biologi Internasional UNY angkat an 2013. Dengan memadu kan kerudung pasmina dan jaket denim dia mengeluhkan label jilboobs yang dilekat kan padanya, “Aku dikatain jilboobs sama teman sekelas ku. Temanku tuh orangnya kaku, konservatif. Cuma enggak senga ja nyenggol tangan saja dia malah langsung zikiran. Aku enggak terima sebenarnya. Aku enggak merasa jilboobs. Ya, aku berpakaian kayak gini, bias a. Tapi malah dipanggil jilboobs. Sedih aku,” Ajeng bercerita.
JANTI | EKSPRESI
DOKumen ISTIMEWA
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 75
L A PORAN KHUSUS
Citra Baik Berkerudung
Berkerudung dinilai sebagai wujud perempuan yang baik sehingga cara berpakaian menjadi cermin dalam bersikap. Namun, apakah dengan menggunakan kerudung meru pakan syarat untuk menilai karakter seseorang? Oleh Randy Arba Pahlevi
Perempuan yang baik hati atau tokoh protagonis itu yang berkerudung sedangkan yang jahat, antagonis, itu nggak berkerudung,” Wening Udasmoro.
H
al yang paling krusial ketika melihat pe rempuan berkerudung adalah baik namun bukan berarti sifat seseorangnya baik. Terka dang paradigma masyarakat menempatkan tampilan sebagai tolok ukur segalanya terlebih pada berkerudung. Masyarakat cenderung memperoleh first impression sehingga mengabaikan hal-hal lain. “Citra bagi beberapa orang kan penting. Penerimaan orang bisa tergantung pada pakaian yang dikena kan,” terang Grendi Hendrastomo, M.M., M.A., dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi UNY. Mayoritas, aga ma merupakan salah satu landasan manusia untuk menutup aurat terlebih kepada kaum hawa. Contoh, agama Islam menganjurkan perempuan untuk me nutup auratnya, menurut Darby Jusbar Salim dalam Busana Muslim dan Permasalahannya. Menurut Shalahuddin Ahmad, baik merupakan kata sifat yang relatif dan diukur secara subjektif. X dapat berlaku baik kepada Y. Namun, tidak menutup kemungkinan bisa menjadi jahat terhadap Z. Lalu, apa nilai ukur untuk mengukur kebaikan orang yang berkerudung? Shalahuddin menempatkan bahwa semua orang mengklaim suatu yang dinilai baik itu masih terlalu luas. Alasannya adalah penggunaan kata baik hanya menisbikan relativitas subjek untuk kata atau istilah baik tersebut. Menurut Abu Syuqqah dalam bukunya Tafsir Bi Al-Ra’yi: Upaya Panggilan Konsep Wanita dalam Al-Quran ada tiga penitikberatan kegunaan kerudung. Pertama, kerudung sebagai penutup aurat bagi perempuan untuk melindungi dari fitnah. Kedua, kerudung menjaga dan melindungi kesucian, kehor matan, dan kemuliaan seorang perempuan. Ketiga, menjaga identitas sebagai perempuan muslimah yang membedakan dengan perempuan lain. Penitikberatan yang kerap menjadi patokan utama perempuan, yakni dengan mengartikan istilah muslimah atau sholeh, sholeh secara etimologi berarti bagus atau baik. Ajining raga saka busana merupakan salah sa tu falsafah Jawa yang berarti kehormatan seseorang sering diuk ur berdasarkan busana yang dikenakan. Namun, falsafah tersebut menjadi senjata bagi manu sia khususnya perempuan untuk memunafikkan diri mereka sendiri. Dikutip dari tulisan milik Miqdad Husein yang membahas tentang kerudung dengan unsur politik. Kerudung dijadikan sebagai alat pen citraan serta menarik simpati masyarakat untuk me raih kedudukan politik. Ia pun menerangkan bahwa
76 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
adang kala berkerudung hanya untuk memanipulasi k atau mengelola persepsi masyarakat. Miqdad juga berpendapat bahwa kerudung hanya berkeduduk an sebagai sebuah simbol. Karena hanya sebatas simbol, tujuan memakainya hanya sesaat kemudi an sewaktu-waktu dapat berubah. Penjelasan ini pun dibenarkan oleh Ajeng Narulita Kusumas Tuti, mahasiswa Pendidikan Biologi Internasional UNY angkatan 2013. “Aku kadang kalau maju presentasi di kelas sengaja mengenakan kerudung yang lebih panjang, menutupi dada. Juga pakaian yang lebih se derhana. Bukan apa-apa, sih, supaya kelihatan lebih bisa diterima saja sama teman-teman,” terang Ajeng yang gemar mengikuti gaya busana terkini.
Antara Gaya Berpakaian dan Agama
Terdapat sekitar 12,7% dari total muslim dunia yang berdiam di Indonesia. Hal ini berbanding lurus dengan busana muslim yang dikenakan. Masyarakat Indonesia yang mayoritasnya umat muslim mengang gap perempuan baik adalah yang berpenampilan baik, seperti memakai kerudung. “Kalau kita perhatikan televisi kita sekarang ini, di sinetronnya terutama. Di sana, perempuan yang baik hati atau tokoh pro tagonis itu yang berkerudung sedangkan yang jahat, antagonis, itu nggak berkerudung,” ujar Dr. Wening Udasmoro, dosen Pascasarjana UGM. Dr. Alimah Qibtiyah, Direktur Pusat Studi Wanita (PSW) di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, berpendapat bahwa sejak tahun 80an kerudung memberi nilai pada perempuan muslim Indonesia dengan citra baik dan sholeh. Dengan ada nya citra inilah, beberapa orang yang ingin mendapat kan citra baik lantas mengenakan kerudung. “Ada yang menarik dari pemilu kita. Hampir semua perempuan yang mau mencalonkan diri sebagai bupati tiba-tiba memakai kerudung. Karena apa? Kerudung sebagai bayaran politik. Supaya dapat citra baik, soleh,” terang Alimah saat ditemui di kantor PSW UIN. Dalam penjelasannya, Alimah juga menambah kan beberapa contoh kasus, seperti Rina Iriani yang memakai kerudung setahun sebelum mencalonkan diri sebagai bupati Karanganyar namun akhirnya ter sandung korupsi. Lebih lanjut, Alimah menjelaskan bahwa masyarakat berpikir pemakai kerudung adalah orang baik dan orang baik tidak akan melakukan ko rupsi. “Kasus Angelina Sondakh kemudian Nunun. Itu memang ada manipulasi dalam selembar kain.
M E NY I BA K C I T R A K E RUD UNG
Menurut saya itu sebenarnya tidak ada hubungannya ya antara pakaian dan akhlak. Jadi kalau pakai keru dung dia tidak akan korupsi, dia menjadi perempuan yang soleh dan memang sangat mudah untuk men jual nama bukan? Pakai kerudung maka kemudian suaranya menjadi tinggi. Kemarin juga ada statement menarik. Kenapa Fatin menang? Karena dia pakai kerudung,” ujar Alimah. Motif orang mengenakan kerudung memang tak hanya untuk menarik suara seperti yang dilakukan oleh beberapa tokoh yang ingin membangun citra baik. Alimah juga menambahkan kalau beberapa responden yang pernah ia teliti mengenakan kerudung karena alasan keamanan. Mereka mengenakan kerudung ke tika pulang larut malam tapi dalam keseharian tidak mengenakan kerudung. “Teman-temanku banyak yang kuliah pakai kerudung. Tapi kalau di luar dilepas. Kerudungnya, ya, modis. Dia bisa jadi contoh soal ta di: berkerudung hanya untuk fesyen. Perkara syariat, ya, nomor sekian,” ujar Rohmatus Naini, mahasiswa Program Studi Bimbingan Konseling UNY. Ketika modis sudah menjadi nilai dan tujuan perempuan memakai kerudung, akan muncul be berapa macam kerudung. Misalnya, Riana Asrifah, mahasiswa Jurusan Pendidikan Sosiologi angkatan 2011, menegaskan modis dengan berkerudung bukan lagi hal yang mustahil. “Kalau soal berpakaian aku memprioritaskan menutup aurat. Tapi enggak mau terkesan kuno. Maunya enak dipandang.” Hal tersebut diperkuat dengan teori Fadwa El Guindi dalam buku Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan. Ia menuturkan per soalan mengenai jilbab sebagai identitas serta kera hasiaan pribadi dari sisi ruang dan tubuh. Karena bersifat rahasia dan merupakan pribadi, kerudung dapat menjadi tujuan lain selain sebagai penutup aurat.
Kerudung sebagai Simbol
George Hebert Mead pionir teori interaksi sim bolik menyatakan bahwa orang bertindak berda sarkan makna simbol yang muncul dalam sebuah situasi. Simbol kemudian membetuk esensi dari teori interaksi simbolik. Simbolik yang dimaksud oleh Mead adalah penampilan, yakni bagaimana penampilan or ang berp en gar uh kep ad a orang lain. Ketika penampilan yang berupa kerudung mengandung unsur simbolik berupa isyarat posi tif yang akan mendatangkan respons dari orang lain terhadap pelaku. Pun simbol-simbol dimaknai secara berbeda tergantung pada situasi sosial masyarakat nya. Di Indonesia, ketika orang lain mengetahui simbol kerudung sebagai hal yang positif, maka pemakainya pun akan dinilai positif. Hal ini tentu berbeda jika situasi masyarakatnya asing dengan kerudung, alih-alih menjadi takut karena adanya Islamophobia. Menurut Crawley pakaian adalah ekspresi yang paling khas dalam tingkatan kehidupan sosial se hingga kerudung berubah menjadi sebuah eksistensi sosial dan individu komunitasnya. Hal tersebut memang terjadi sesuai dengan penyataan Naini. Naini memaparkan bahwa kerudung yang dipakai untuk setiap komunitas memang beda-beda sesuai dengan kesepakatan. “Memang beda. Pemakai ke rudung yang ikut komunitas hijab dan yang tidak. Mereka yang ikut komunitas sangat menaati dress code yang disepakati. Misal merah muda, maka semua anggota akan datang dengan baju dan hijab warna merah muda,” papar Naini. Dengan demikian, kerudung secara tidak langsung dipengaruhi sisi lingkungannya sehingga apa yang dinilai baik dan sama oleh suatu kesepakatan maka akan dipahami baik oleh seluruhnya. Laporan oleh Awal dan Janti
REPRO SOFWAN | EKSPRESI
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 77
L A PORAN KHUSUS
Kerudung: Identitas Agama atau Kebaikan
Agama menyangkut hubungan antara diri masing-masing dengan Tuhan. Tidak bisa satu pihak mengatasnamakan agama tertentu mengatur pemeluk agama lain melaksanakan kepercayaannya. Oleh Irfah Lihifdzi Ayatillah
D
Tak bisa suatu oknum yang mengatasnamakan agama tertentu melarang pemeluk agama lain melakukan sesuatu terkait dengan kepercayaannya” Grendi Hendrastomo.
alam beberapa tahun terakhir, telah ba nyak kasus diskriminasi atas penggunaan kerudung. Kasus ini memang tidak selalu serupa tetapi disebabkan hal yang sama, yaitu kerudung. Kasus yang paling menonjol dan mendapat reaksi yang beragam dari masyarakat adalah kasus polisi wanita (polwan). Kasus terba ru mengenai diskriminasi bagi polwan pengguna kerudung terjadi di Pekanbaru, Riau. Kasus pelarangan kerudung secara resmi di atur oleh Polda Riau dengan mengeluarkan tele gram bernomor ST/68/1/2015 yang ditandatangani Kepala Polda Riau, Brigadir Jenderal Polisi Dolly Hermawan, pada 19 Januari 2015. Dalam telegram tersebut disebutkan bahwa polwan tidak dibenarkan mengenakan kerudung karena hal tersebut bukan merupakan bagian dari seragam resmi dan belum ada regulasinya. Hal ini bertolak belakang dengan kasus yang terjadi di Aceh, yang mewajibkan polwan mengenakan kerudung. Grendi Hendrastomo, M.M., M.A., dosen Jurusan Pendidikan Sosiologi UNY, menanggapi kasus kepo lisian ini sebagai bagian dari usaha politik. Grendi beranggapan bahwa instansi terkait hanya mengi nginkan citra baik dari masyarakat dengan mengi zinkan anggotanya mengenakan kerudung. “Mereka ingin jadi instansi yang dicitrakan baik dan tahu soal permasalahan seputar kerudung. Citra bagi bebe rapa orang, kan, penting. Penerimaan orang bisa tergantung pada pakaian yang dikenakan.” Kasus diskriminasi atas apa yang dipakai apa rat negara akan terus terjadi, terlebih karena tidak pernah ada kejelasan mengenai hal tersebut. Ketika kepemimpinan Polri oleh Jenderal Sutarman mem bolehkan berkerudung, aturan tersebut menjadi tidak jelas akibat pergantian kepemimpinan. Bah kan, dikeluarkan aturan baru mengenai larangan berkerudung. Padahal, pada 2013 sudah ada wacana untuk mengatur desain dan warna kerudung agar bisa seragam. Selain kasus pengguna kerudung di kepolisian, kasus-kasus diskriminasi lainnya pun menambah panjang catatan tentang kasus diskriminasi terhadap penggunaan kerudung. Pelarangan kerudung terjadi
78 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
di Bali dan dikeluarkan oleh The Hindu Center of Indonesia. Kasus ini menjadi perbincangan cukup panas di masyarakat. Menanggapi masalah larangan penggunaan kerudung di Bali, Grendi mengatakan bahwa tidak ada hak untuk suatu golongan melarang melakukan sesuatu yang berkaitan dengan agama dan keperca yaanya. “Agama menyangkut hubungan antara diri masing-masing dengan Tuhan. Tak bisa suatu oknum yang mengatasnamakan agama tertentu melarang pemeluk agama lain melakukan sesuatu terkait de ngan kepercayaannya,” jelas Grendi.
Aturan Berpakaian Muslim Jadi Pemicu
Diskriminasi kerudung tidak hanya identik de ngan pelarangan, melainkan juga kewajiban peng gunaan kerudung. Misalnya, Pemerintah Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Sumbar) menerapkan aturan berbusana muslim yang dikombinasi dengan pakaian adat Minangkabau bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) setiap Kamis dan Jumat. Kasus lain yang terjadi namun tidak disadari dapat sebagai diskriminasi. Misalnya, Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri yang mewajibkan penggunaan kerudung se bagai bagian dari seragam sekolah. Menanggapi hal tersebut, Grendi juga berpendapat, “Bagi saya lem baga negara manapun di Indonesia idealnya tidak mewajibkan peraturan pemakaian kerudung. Karena kalau ada satu saja peraturan yang mengar ah ke situ, sebenarnya sudah ada bias.” Kerudung menjadi bagian pakaian yang melekat pada kaum perempuan di Indonesia. Hal ini juga sedikit banyak dipengaruhi oleh keyakinan yang di anut oleh mayoritas masyarakat di Indonesia. Selain itu, kebudayaan Indonesia tentu ikut andil menjadi penyebab cara berpakaian masyarakat Indonesia, yaitu pakaian yang tertutup. Dr. Alimah Qibtiyah, Direktur Pusat Studi Wanita Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga menjelaskan bahwa setiap orang memiliki alasan masing-masing ketika memutuskan untuk menge nakan kerudung. “Kerudung, hijab, jilbab, ataupun istilah lainnya menurut saya ada dua kecenderung
M E NY I BA K C I T R A K E RUD UNG
an. Satu sisi me si pemerintah itu nyat ak an waj ib menurut saya ti secara agama dan dak berhak untuk dipahami secara mem aks a or ang doktriner. Tapi, unt uk berk er u sat u sis i mem a dung, term as uk hami itu sebagai sek ol ah. Utam a suatu ekspresi diri. nya sek ol ah ne Nah, menjadikan geri. Menurut saya kerudung sebagai tidak seharusnya pakaian formal.” mereka memaksa Banyaknya moti m urid-muridnya vasi dalam peng unt uk berk er u gunaan kerudung dung kar en a se ini menimbulkan kol ah ad al ah in sua t u hal yang stitusi publik dan kur ang baik. Ti publik harus diberi dak lagi hanya kebebasan untuk menjadi tren ma memilih. Memilih syar ak at um um, apa saja termasuk tetapi mulai ada fesyen. Asal yang i nstansi-instansi appropriate,” te maupun lembaga rang Dr. Wening negara yang juga Udasmoro. Do terpengaruh tren sen Pasc as arj a berkerudung ini. na UGM ini juga Dapat dikatakan m e n a m b a h k a n memanfaatkan hal bahw a cara pan tersebut untuk ke dang setiap orang pentingan sekolah. yang berbeda itu Juga mulai banyak lah yang men ye kasus yang terjadi, babkan siapapun mis aln ya kas us termasuk instansi polwan yang be tidak berhak me berapa tahun ter wajibkan maupun REPRO SOFWAN | EKSPRESI akhir ini menjadi mel ar ang ses eo kontroversi. Satu kasus yang terjadi pada seorang rang untuk berkerudung. siswi kelas 5 SD Negeri Entrop. Ia seorang anak SD Alimah, menjelaskan tentang perat uran diwa yang dilarang masuk sekolah karena mengenakan ke jibkannya mahasiswa untuk berkerudung serta sejak rudung. Begitupun beberapa instansi-instansi Islam kapan kerudung mulai digalakkan. “UIN mewajibkan yang melakukan sebaliknya, yaitu diwajibkannya pakai kerudung pada masa 90-an. Masa jilbabisasi. penggunaan kerudung. Karena ketika saya lulus dari UIN tahun 1995, foto Dijelaskan oleh Alimah bahwa setiap instan ijazah nggak pakai kerudung. Bahkan kalau saya me si umum tentu terdiri atas orang-orang dengan mutuskan memakai kerudung, saya harus menanda latar belakang yang berbeda. Agama, keyakinan, tangani surat pernyataan bahwa bila terjadi apa-apa cara pandang, tingkat pendidikan, maupun ling itu menjadi tanggung jawab sendiri,” tambahnya. kungan memengaruhi perilaku seseorang. Tidak Ia mengingat dan mengenang masa lalunya se seharusnya diskriminasi atas penggunaan keru bagai mahasiswa UIN. Ia juga menambahkan bahwa dung terus-menerus terjadi. Kasus yang menarik kerudung saat itu belum banyak digunakan di banyak untuk diperbincangkan adalah kasus diskriminasi lembaga cukup berdasar. “Saya mengira bahwa pe penggunaan kerudung yang tidak disadari sebagai merintah atau UIN juga mencoba untuk mengakomo sebuah diskriminasi. dasi lewat SK Nomor.52C Tahun 1982 bahwa semua sekolah harus pakai seragam. Jadi, kerudung belum Ketika Kebijakan Birokrasi jadi Masalah Lain boleh digunakan. Tapi tahun 1991 sudah mulai boleh Hampir seluruh UIN di Indonesia secara tertulis menggunakan kerudung. Sementara untuk kuliah, maupun tidak, mewajibkan penggunaan kerudung UIN mewajibkan mahasiswa mengenakan kerudung. untuk warga kampus. Padahal ada juga mahasiswa Peraturan ini berdasar pada kode etik dari Wakil yang tidak beragama Islam ataupun memiliki cara Dekan (WD) III.” pandang yang berbeda soal kerudung. “Kalau instan Laporan oleh Awal dan Janti Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 79
L A PORAN KHUSUS
Ketika Gelombang Kepedulian Hadir
Saat ada pelarangan dan diskriminasi, di situlah kepedulian muncul. Tak peduli golongan, rasa peduli hadir atas dasar kemanusiaan. Oleh Nur Janti
N
Saya mendukung para perempuan berkerudung untuk memiliki haknya dan terbebas dari diskriminasi” Amira Nicole.
aomi Yellowless tak pernah mengenakan ke rudung dalam kesehariannya. Perempuan berkebangsaan Australia ini lebih nyaman mengenakan kaos dan celana jeans untuk pergi ke kampus dan jalan-jalan. Berbeda dari penampilan Naomi sehari-hari, dalam foto yang ia unggah di laman Facebook Woman In Solidarity with Hijabis (WISH), selambar kain berwarna ungu terlihat menutupi rambut pirangnya. Diambil dari News.com.au dengan artikel berju dul “Hijab selfies fad takes off as Australians show solidarity with Muslim women”, bentuk kepedulian yang dilakukan Naomi dengan mengenakan kerudung lantas mengunggahnya di sosial media ini pertama hadir atas inisiatif dari Mariam Veiszadeh, seorang pengaca ra Australia. Aksi unggah foto selfie berkerudung tak hanya merambah Australia, Amira Nicole, perempuan berkebangsaan Amerika pun melakukan aksi solidaritas ini. “Saya mendukung para perempuan berkerudung untuk memiliki haknya dan terbebas dari diskriminasi,” terang Amira saat diwawancara via e-mail. Naomi, Mariam, dan Amira hanya bagian kecil da ri banyak perempuan yang melakukan aksi solidaritas untuk perempuan muslim di Australia. Diambil dari laman WISH, gerakan yang dikelola oleh Australian Muslim Women ini muncul dilatarbelakangi diskri minasi dan kekerasan terhadap perempuan muslim di Australia yang disebabkan oleh Islamophobia. Adanya tindakan dari gerakan ekstrem muslim seringkali memunculkan perasaan khawatir dan bebe rapa menjurus ke Islamophobia. Kasus Sydney Siege, misalnya. Penyanderaan 7 warga Australia di Lindt Cafe, Martin Place, Sydney oleh seorang laki-laki mus lim bernama Man Haron Monis. Peristiwa ini sempat membuat suas ana di Australia mencekam beberapa waktu. Orang-orang yang terkena Islamophobia ak hirnya menjauhi pemakai kerudung bahkan kadang sampai melakukan tindakan kekerasan. Hal inilah yang terjadi di Australia. Peristiwa tindak kekerasan terhadap perempuan berkerudung terjadi pascateror yang dilakukan oleh orang muslim. “Ya, di mana-mana kalau ada kasus diskriminasi pasti berasal dari satu elemen masyarakat yang sentimen golongannya me nguat dan mengganggu entitas atau kelompok lain,” jelas Grendi Hendrastomo, M.M., M.A.
80 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
Rasa peduli akan adanya diskriminasi pun tak hanya hadir di Australia. Di Jerman, ribuan orang ber diri di lapangan luas mengiringi pemakaman Marwa El Sherbini. Terlihat seorang perempuan berambut pirang di tengah kerumunan mengenakan gaun hi tam setinggi lutut tengah meletakkan seikat bunga di depan foto Marwa. Dikutip dari berita yang dilaporkan oleh David Stringer dan dimuat pada Huffingtonpost.com, Marwa meninggal karena dibunuh oleh Alexander Wiens. Pria itu lahir dan tumbuh di Rusia lantas mulai ting gal di Jerman tahun 2003. Ironisnya, peristiwa itu terjadi di pengadilan, tempat yang seharusnya memi liki pengamanan yang ketat. Saat itu Marwa sedang menjalani persidangan karena dia dituduh teroris dan diperlakukan sebagai warga kelas dua sebab me ngenakan hijab. Marwa, perempuan satu anak yang tengah hamil ditusuk sebanyak 16 kali menggunakan pisau dapur yang dibawa Wiens dalam tasnya. “Jelas motifnya adalah kebencian terhadap muslim. Dia menusuk Marwa di pengadilan dan di depan anak serta suaminya. Ketika suami Marwa berusaha me lindunginya, Wiens juga menyerang suami Marwa,” jelas Frank Heinrich, Jaksa Penuntut Umum yang menangani kasus pembuhun Marwa. Menanggapi kasus yang menimpa Marwa, Grendi menjelaskan bahwa akar penyebabnya karena di Eropa banyak yang terkena I slamophobia. “Sekarang, lu ar biasa ketakutan terhadap Islam di sana. Mere ka yang khawatir, menganggap sedang ada proses Islamisasi di Eropa. Ada kekhawatiran jika gerakan itu makin lama makin membesar dan mengancam eksistensi mereka yang mayoritas non-muslim dan berbeda budaya dengan masyarakat Islam di luar Eropa. Nah, diskriminasi terhadap pengguna keru dung atau cadar itu juga bisa terkait dengan kondisi Islamophobia.” Ribuan orang yang hadir di pemakaman Marwa bukan satu-satunya wujud peduli. Laporan dari Kate Connolly dalam Theguardian.com menyebutkan bah wa sekira 1500 orang melakukan demonstrasi kala persidangan atas kasus penusukan terhadap Marwa diselenggarakan. Mereka menyuarakan bahwa Jerman tidak mengizinkan diskriminasi dan kebencian ter hadap Islam hadir di negaranya. Semenjak kemati
M E NY I BA K C I T R A K E RUD UNG
an Marwa, tanggal 1 Juli menjadi peringatan Hari Hijab.
Kepedulian yang Lahir karena Kemanusiaan
Gerakan solidaritas untuk perempuan di Australia dan Marwa diikuti oleh orang-orang dari beragam la tar belakang. Ada lelaki-perempuan, muslim-maupun yang bukan, tua-muda. Semua kalangan bersatu dalam satu gerakan solidaritas yang dasarnya muncul karena kesadaran akan hak. Dijelaskan oleh Grendi, penyebab aksi solidaritas yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan hak bisa beras al dari kondisi negara dan kemajuan peradaban masyarakatnya. “Seberapa terbuka mere ka menanggapi kasus-kasus diskriminasi terhadap kerudung. Sebera pa mod ern masyarakat nya mel ek hak das ar, begitu,” ujar Grendi. Grendi m e n a m b a h kan, jika ma syar ak at bis a peka terhadap isu tentang hak dan kemanusia an, ada bebera pa faktor yang m e n d u k u n g . Misalnya, karena pendidikan yang maju, kondisi masyarakat yang mengedepankan rasionalitas, juga kesadaran bahwa tiap manusia me miliki kebebasan. “Eropa yang di angg ap mas yar a katnya lebih maju di berbagai bidang dan wacana soal HAM (Hak Asasi Manusia, red.) sa ngat kencang, orang akan mudah tersulut oleh isu-isu diskriminasi. Apapun bentuknya.” Lain di sana, lain di Indonesia, gerakan solidari tas memang bisa muncul namun untuk kasus yang dibilang besar. “Negara-negara yang tergolong lebih maju daripada Indonesia, solidaritasnya lebih kuat. Alasannya, Indonesia kan negara berkembang dan masih repot mengurusi hak-hak mendasar seper ti pangan, papan, dan sandang. Jadi, tak sempat mengurusi soal diskriminasi karena kerudung,” jelas Grendi.
Aksi kepedulian terhadap kasus diskriminasi akan datang dari golongan yang kebutuhan pokoknya sudah terpenuhi dan latar belakang pendidikannya sudah maju. “Kan yang berwacana begitu minoritas. Golongan tertentu yang sudah melek soal HAM, fe minisme, gender. Kita (Indonesia, red.) masih lebih populer isu soal korupsi dan sebagainya, seperti yang sering hadir di media. Kalaupun ada paling sekadar isu sebentar dan tak jelas penyelesaiannya, apalagi solidaritasnya. Seperti kasus pelarangan kerudung di Bali beberapa waktu lalu,” jelas Grendi yang juga dosen Pendidikan Sosiologi UNY. Pelarangan, tindak kekerasan, bahk an pemb un uha n yang terj ad i mer up ak an peristiwa yang dapat mengganggu keseim bangan masyarakat. Ket ik a ad a sek e lomp ok mas yar a kat yang merasa terganggu dengan adanya kekerasan atau pelanggaran HAM, pasti akan ada golongan yang mencoba bersoli dar it as men en tang. “Yang terdiri atas banyak ele men masyarakat cum a bes ara n solidaritasnya, sampai aksi atau sekedar wacana. Tergantung ke maj ua n neg a ranya,” terang Grendi. B a g i Grendi, ber sat un ya el e men- elemen at au kel om pok bertujuan un t uk sal ing DOKUMEN ISTIMEWA men gua tk an s olidaritas at as kes am aa n ide yang diperjuangkan. Salah satu faktor yang menyebab kan sekumpulan orang dari berbagai elemen bisa berkumpul dan berjuang bersamaan adalah adanya musuh bersama. “Orang bersatu ketika ada elemen masyarakat yang haknya sedang dilanggar kemudi an mereka yang sadar akan hak akan peduli. Soli daritas muncul bukan karena sentimen agama atau kepentingan golongan tertentu. Tapi melihat hak-hak dasar yang wajib dipunyai setiap manusia,” tutup Grendi. Laporan oleh Awal
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 81
L A PORAN KHUSUS
Kulit Kepala Sehat bagi Pemakai Kerudung
82 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
M E NY I BA K C I T R A K E RUD UNG
K
ulit kepala pengguna kerudung harus meng hadapi musuh besarnya bila tidak dirawat dengan baik. Mengatur durasi pemakaian kerudung dan memilih bahan kerudung harus cermat, apalagi Indonesia beriklim tropis. Dite mui di ruang praktiknya, dr. Hj. Nafiah Chusniayati, Sp.KK., M.Sc., dokter spesialis kulit, membagi tips kepada pemakai kerudung agar kulit kepala dan rambut tetap terjaga dan tetap konsisten memakai kerudung. Kepada reporter EKSPRESI, Sofwan Makruf, dr. Nafiah menjelaskan cara agar kulit kepala pemakai kerudung tetap sehat.
Apakah pemakaian kerudung benar-benar berpengaruh terhadap kulit kepala si pemakai?
Tidak setiap penggunaan kerudung menimbulkan masalah selama pemakai kerudung itu bisa menjaga kondisi kulit kepalanya. Jadi, agar kerudung itu tidak memicu kelembaban dan panas yang tinggi di kulit kepala ada triknya. Karena kondisi kepala yang ter tutup, akan lebih banyak memicu produksi keringat. Apalagi kita berada di iklim tropis.
Apa yang menyebabkan pemakai kerudung mengalami masalah kulit kepala?
Produksi minyak yang terlalu banyak biasanya menimbulkan masalah yang sangat sering dijum pai. Munculnya ketombe di kulit kepala atau dalam bahasa medisnya dermatitis seboroik. Dermatitis seboroik selain disebabkan karena faktor kelembaban juga bisa disebabkan oleh gangguan struktur di kulit kepala. Bisa disebabkan oleh jamur di kulit kepala yang disebut malassezia furfur.
Dampak apabila kulit kepala tidak terjaga keseha tannya?
SOFWAN|EKSPRESI
Jika ditemukan infeksi bakteri karena kulit yang lembab, sebenarnya bukan karena kerudungnya. Nama nya folliculitis, semacam peradangan di folikel rambut seperti bisul kecil-kecil. Tapi, tidak selalu terjadi sela ma pamakaian kerudung benar. Kerontokan rambut disebabkan selain kelembaban, juga disebabkan kebi asaan menata rambut sebelum berkerudung. Banyak rambut yang diikat kencang, dikucir, dijepit, semua itu menyebabkan peregangan atau penarikan rambut. Ketahahan rambut berkurang sehingga rambut akan mudah retak dan terlepas dari akar rambut. Sebaiknya rambut orang yang berkerudung tidak panjang, tidak diikat terlalu kencang, tidak dijepit, tidak ditarik, dan tidak dalam keadaan basah. Kalau pun mau diik at, ikatlah sebatas agar rambut tersebut tidak berantakan. Rambut yang di-treatment juga akan mengu rangi kesehatan rambut. Misalnya pemberian warna, diluruskan, atau malah dengan sengaja dibuat ber gelombang. Karena semua treatment itu menggu nakan bahan kimia yang bila ditutup dengan jilbab, aktivitas kimianya jelas akan meningkat dibanding dengan yang tidak tertutup. Potensi alergi dan iri
tasinya akan lebih banyak.
Jenis perawatan seperti apa yang baik untuk merawat kulit kepala?
Bersihkan kulit kepala dengan cara berkeramas dengan melihat kondisi kulitnya. Kalau kondisi ku lit kepala berminyak bisa lebih sering berkeramas. Mereka yang berkulit kepala kering mungkin dengan keramas seminggu 2-3 kali sudah cukup. Pemakaian sampo antara mereka yang berkerudung dengan yang tidak ialah sama. Mereka yang memiliki problem kulit kepala, akan diberi sampo yang mengandung obat dan harus dengan resep dokter.
Adakah pemilihan khusus bahan kerudung yang dike nakan?
Pilihlah kerudung dengan bahan kain yang lunak, halus, dan yang memungkinkan sirkulasi udara. Hin dari kerudung yang terlalu kencang, berlapis-lapis, kainnya tebal, kemudian jilbab yang panas.
Adakah jenis perawatan khusus bagi kulit kepala yang berkerudung?
Pemakaian kerudung yang tebal dan berlapis-lapis sebaiknya dihindari. Hindari pemakaian kerudung de ngan rentan waktu yang terlalu lama karena lamanya pemakaian kerudung berpengaruh pada produksi keringat di kulit kepala. Aktivitas fisik yang banyak, tempat beraktivitas, suhu tempat kerja, atau sirkulasi udara memengaruhi kesehatan kulit kepala pemakai kerudung. Orang yang kulitnya kering atau produksi keringat nya sedikit juga perlu memerhatikan penggunaan ����� kerudung. Mereka yang kulitnya memproduksi minyak dan keringat yang begitu banyak harus sesering mungkin membuka kerudung untuk memberikan aliran udara ke kulit kepala.
Bila sudah timbul masalah pada kulit kepala, bagaimana mengatasi masalah tersebut?
Apabila sudah muncul masalah pada kulit kepa la, harus diobati. Dilihat seberapa berat masalahnya, kemudian dokter akan memberikan obat berupa salep untuk mengatasi peradangan. Bisa juga diberikan sampo antijamur yang mengandung zinc pyrithione. Ada juga serum yang dijual bebas. Bedanya dengan sampo, serum beris i vitamin yang fungsinya menyu plai kebutuhan kulit kepala.
Adakah larangan atas nama kesehatan sehingga sese orang tidak diperkenakan memakai kerudung?
Sebenarnya tidak ada larangan untuk menutup kulit kepala. Bahkan, orang yang rambutnya rontok pun tidak masalah. Tidak ada yang melarang mema kai kerudung kecuali kondisi sakit yang parah, kulit kepala yang mengelupas, atau meradang yang berat dan bila dipakaikan kerudung akan lengket. Jadi, pada kondisi sakit yang berat kami menyarankan untuk tidak menutupnya. Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 83
PENDIDIKAN
Dok. Komunitas Jendela
Anak Merapi, Jendela Yogyakarta, dan Membaca Oleh Marisa Latifa Dinar, S.Ant., MBA. Salah satu pendiri Komunitas Jendela
“Mbak, Mas, ngapain, toh, di sini? Kalau kita ikut Jendela, dikasih apa?” ujar seorang anak yang tinggal di Lereng Gunung Merapi pada salah satu relawan Jendela (selanjutnya disebut Jendelistt, red.). Bukan hal mudah bagi Jendelistt Yogyakarta melaksanakan program ber bagi untuk anak-anak pengungsi Merapi ketika itu. Belum berlalu rasa trauma bencana, rentetan bantuan yang datang dan diekspos media besar-besaran justru semakin memperbesar rasa dan pikiran negatif anak-anak.
Jendela Yogyakarta, Sebuah Awal
Kegiatan berbagi Jendela Yogyakarta di Kecamatan Cangkringan diawali de ngan Outbound Mencari Harta Karun. Kegiatan ini memang lebih banyak di prog ramk an den gan berm ai n seb ab merupakan cara jitu pendekatan pada anak-anak tersebut. Walaupun sebelum program Jendela dimulai di Merapi, ke giatan dari relawan komunitas lain telah lebih dulu mendampingi mereka. Komunitas Kaliadem, misalnya yang
84 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015
fokus mengajak anak-anak pengungsi bermain musik. Sedangkan kami, Jendela Yogyakarta, diminta untuk membantu pengelolaan perpustakaan. Permasa lahan yang dihadapi saat pertama kali terjun ke lapangan, selain tak acuhnya anak-anak pada keberadaan Jendelistt, momok tentang buku yang menjemukan dan membosankan juga merupakan sa lah satu hambatan. Kegiatan bermain seperti outbound kecil dan games outdoor berkelompok selama sebulan hanya mampu membawa 20 anak Merapi ikut kegiatan berbagi Jendela. Selesai bermain, kegiatan mem baca di dalam perpustakaan yang kami bangun sepi peminat. Hanya ada bebe rapa yang bertahan. Alhasil, Jendelistt mengubah taktik dan tidak begitu me maksakan mereka membaca. Sekadar mengajak mereka mengobrol. Bulan kedua, strategi menanamkan kebiasa an membaca diganti. Kegiatan workshop kerajinan tangan yang kemudian dilan jutkan membaca buku bersama Jendelistt diterapkan. Pada setiap kegiatan workshop sela
lu diselipkan pesan bahwa info tentang workshop ada di buku. Selain itu, lem baran tentang info workshop dibuat dan dibagikan ke anak-anak untuk dibaca terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk membiasakan anak-anak selalu menggali informasi dengan buku. Keg iat an workshop ters ebut di selingi dengan kegiatan yang bertema membaca dan menulis. Bentuk ragamnya bisa berupa membuat cerpen, puisi, atau menggambar. Sesekali untuk mengura ngi kejenuhan adik-adik membaca dan workshop, kegiatan seni dan outdoor games dilakukan. Selain itu, ada program rewards bagi adik-adik yang rajin datang dan ikut kegiatan Jendela.
Membaca dan Trauma Healing Pascaben cana
Trauma pascabencana merupakan suatu perasaan insecure yang dialami oleh seseorang. Istilah medis untuk pe nyakit trauma ini adalah Post Traumatic Stress Disorder. Tidak hanya bencana, kecelakaan dan tindakan kekerasan ju ga dapat menyebabkan trauma. Gejala
P E N D I D I K AN yang tampak pada penderita trauma ini adalah tidur yang tidak nyenyak, me nyendiri, tidak bisa berkonsentrasi dalam setiap aktivitasnya, mudah tersinggung, was-was, dan sesak nafas. Usaha untuk menghilangkan trauma pascabencana itu sendiri disebut trauma healing. Tujuan dari trauma healing ialah untuk men damaikan diri penderita trauma dengan rasa cemas, ketakutan, dan kesedihan mendalam. Banyak metode untuk menghilang kan trauma pascabencana. Ada yang menggunakan pijatan di titik refleksi tu buh. Ada yang menggunakan dialog. Pada anak-anak, Kak Seto Mulyadi menggu nakan teknik bermain untuk melepaskan rasa sedih akibat trauma psikologis pas cabencana. Teknik ini disarankan untuk mengaktifkan motorik halus dan kasar anak, pun untuk kegiatan bermain pasif, misalnya: story telling. Metode pemulihan Kak Seto sama dengan metode yang dilakukan Dr. Karen Debord, seorang dokter spesialis perkem bangan anak. Debord menjelaskan bah wa pemulihan trauma pada anak dapat dilakukan dengan menggambar bebas, bermain games menyenangkan, memba ca buku, bercerita, dan sebagainya. Sejak awal kegiatan berbagi Jendela Yogyakarta pada anak-anak pengungsi Merapi memang tidak ditujukan untuk pemulihan trauma pascabencana. Pro gram pendampingan di Cangkringan Merapi tiap seminggu sekali itu lebih difokuskan pada usaha untuk membia sakan anak membaca. Namun, ternyata teknik pendekatan yang tim relawan la kukan ketika itu juga salah satu metode trauma healing pada anak dan menjadi bonus tersendiri bagi anak-anak. Beri kut ini beberapa tahapan yang dilakukan relawan Jendela Yogyakarta dalam me lakukan pendampingan selama setahun bersama anak-anak Merapi, yakni:
masing-masing. Biasanya kesempatan ini dijadikan relawan untuk memahami kebutuhan anak-anak agar mempermu dah relawan merancang program yang menarik selanjutnya.
2. Bermain dan Belajar
Tahap ini dirancang dengan lebih serius. Program yang dibuat telah diisi materi. Tetapi materi yang diberikan materi ringan yang lebih banyak dapat dipraktikkan anak, seperti workshop. Beberapa workshop yang dilakukan keti ka itu, yakni: cooking chocolate, merang kai bunga, belajar tari Brazil, membuat mading, dan sebagainya. Internalisasi nilai tentang pentingnya membaca dila kukan dengan menyiapkan artikel kecil tentang materi workshop. Setelah sesi workshop, relawan selalu menawarkan ke anak-anak untuk membaca buku ber sama. Anak yang menerima tawaran bi asanya akan memilih buku yang disukai dan meminta Jendelist membacanya bersama. Pada anak-anak yang berusia 6 tahun ke bawah, teknik mendongeng atau bertanya gambar di dalam buku se ring dilakukan. Tahapan ini dilakukan selama 3 bulan.
3. Materi Suka-Suka
Pada tahap ini anak-anak diberikan materi yang berat. Materi sekolah seperti bahasa Inggris serta pengetahuan alam dan budaya diberikan. Konsep penyampa iannya diberikan dengan menyenangkan. Ada dengan alat peraga menyenangkan atau dibikin kompetisi kecil. Anak-anak suka dengan sistem kompetisi tersebut. Sesi pemberian materi selesai, membaca buku bersama dilakukan seperti biasa. Pada tahapan ini, anak-anak yang gemar membaca dan selalu mengikuti program Jendela disiapkan jadi pengurus perpus takaan. Pendampingan anak Merapi pas cabencana tersebut ternyata menjadi sesi terapi kecil trauma healing me lalui membaca dan beragam aktivitas lainnya. Setengah tahun berinteraksi dengan anak-anak Merapi ternyata me mang memberikan perubahan pada diri anak-anak. Tidak hanya mereka mulai terbiasa membaca tetapi juga mence ritakan kejadian erupsi dengan sikap biasa. “Ini dulu bekas rumahku, Mbak, Mas,” ujar salah satu anak pada Jendelistt ketika mereka menjelajah Merapi. Anakanak lain berebut menunjukkan bekas rumah mereka.n
JENDELA
1. Pe-De-Ka-Te
Pada tahapan ini, kegiatan yang diprogramkan lebih banyak kegiatan outdoor. Kegiatan outdoor berupa per mainan yang mengaktifkan saraf motorik anak. Anak-anak dibagi ke dalam kelom pok dan Jendelist diminta bergabung dan mendampingi. Tahap ini dilakukan selama dua bulan. Sesi istirahat menjadi kesempatan tersendiri bagi Jendelist dan anak-anak berdialog dan berinteraksi intens menanyakan tentang kehidupan
DOK
. KO
MU
NITAS
Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 85
HIKMAH
Hukuman Mati tak Perlu Dipertahankan Oleh Arman Dhani
Jurnalis dan Penulis Lepas
I
ndonesia adalah salah satu dari beberapa negara di dunia karena menjatuhkan vonis kepada orang yang tidak pantas yang masih menerapkan hukuman mati. Selain Indonesia, dihukum. Amerika, misalnya, menjatuhkan hukuman mati ada Tiongkok, Arab Saudi, Irak, dan Iran yang masih mem pada Askari Abdullah Muhammad pada 7 Januari 2014 atas pertahankan hukuman mati. Saat negara-negara lain me pembunuhan yang ia lakukan pada 1980. Askari memiliki ninggalkan hukuman ini, Indonesia justru sedang bersemangat sejarah penyakit mental yang parah. Dia didiagnosa memiliki melakukan hukuman mati. Jaksa Agung Prasetyo mengatakan paranoid schizophrenia. masih ada 60 orang di Indonesia yang akan dieksekusi. Selain negara-negara itu ada negara lain yang masih Hukuman mati mulai ditinggalkan karena dianggap me menjadi pemegang rekor negara jagal. Tiongkok pada 2013 renggut hak paling asasi, yakni hak hidup manusia. Salah tercatat melakukan eksekusi pada 2400 tahanan. Disusul satu alasan yang digunakan untuk meninggalkan dengan Iran yang mengeksekusi lebih dari 370 praktik ini adalah karena kekhawatiran terjadinya tahanan. Guardian melaporkan bahwa angka ini vonis yang salah. Hal ini pernah terjadi pada mengalami kenaikan setiap tahunnya. Januari 2011, pengadilan Taiwan mengaku sa Yang menarik adalah Arab Saudi yang kerap lah menjatuhkan hukuman mati pada kasus luput dari perhatian internasional. Arab Saudi Chiang Kuo-ching, seorang prajurit angkatan mengeksekusi mati lebih dari 80 tahanan pada udara yang dituduh memperkosa dan membunuh 2013. Tiga di antaranya adalah remaja yang seorang anak. berusia di bawah 18 tahun. Kasus yang beru Belakangan diketahui jika Chiang Kuo-ching jung vonis mati berkisar antara pembunuhan, mengalami siksaan. Di tahanan, dia disetrum penyeludupan, hingga praktik dukun. SOFWAN | EKSPRESI dan dipukuli lantas dipaksa untuk mengaku Usman Hamid, salah satu pendiri KontraS bersalah. Hampir lima belas tahun setelah dieksekusi di ha dan aktivis HAM Indonesia, mengatakan bahwa di Indonesia dapan regu tembak, terungkaplah bahwa ia tidak bersalah. dukungan terhadap hukuman mati hanya komoditas politik Praktik penyiksaan dan pemaksaan seseorang untuk meng untuk memberi kesan tegas dan tanpa kompromi. Ia mencon akui kejahatan yang tidak ia lakukan memang marak terjadi. tohkan Susilo Bambang Yudhoyono saat kampanye Pemilu Di Indonesia hal ini pernah terjadi pada kasus Sengkon dan 2004 dan 2009. Ketika ditanya apakah setuju hukuman mati, Karta pada akhir 1974. ia menjawab pro hukuman mati karena hukuman mati akan Kasus Sengkon-Karta adalah kasus pembunuhan seorang menegakkan kewibawaan hukum dan mengakibatkan efek penjaga warung kecil beserta istrinya di Desa Bojongsari, jera bagi penjahat, apalagi untuk jenis kejahatan tertentu. Bekasi. Di penjara, keduanya bertemu dengan seseorang yang Ini adalah sebuah kemunafikan pada derajat yang paling mengaku bertanggung jawab atas kejahatan itu. Sengkon-Karta mengkhawatirkan. Pemberian hukuman mati, pada mulanya, lantas dibebaskan dengan usaha peninjauan kembali. Ini adalah usaha untuk memberi keadilan dan efek jera. Namun, mengindikasikan masih ada yang tidak beres dengan sistem jika kemudian hukuman mati digunakan sebagai komoditas peradilan di Indonesia. Lantas bagaimana bisa, sebuah sis politik dan pencitraan agar negara terlihat tegas, apakah itu tem peradilan yang korup dan tidak adil diberi kewenangan keadilan? Ini adalah ambivalensi yang sangat keji. mencabut nyawa manusia? Apa yang bisa diharapkan dari peradilan yang memiliki Salah satu yang jamak terjadi dalam peradilan sesat adalah kemungkinan besar cacat hukum? Sementara vonis yang adanya tindakan penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan. diberikan adalah penghilangan nyawa. Kita berkata bahwa Penyiksaan di tahanan dan pengadilan adalah gejala yang peradilan yang menjerat pejabat KPK sebagai peradilan yang banyak ditemukan di sejumlah negara, yang ironisnya, justru sesat namun di sisi lain menolak kritis untuk menyangsikan masih mempertahankan hukuman mati. Amerika Serikat, bahwa vonis mati terhadap para pengedar narkoba memiliki misalnya, memiliki banyak kasus hukuman mati yang dibe potensi korup yang serupa. Apa yang bisa diharapkan dari rikan kepada orang yang salah. Meski demikian negara ini peradaban yang memiliki standar ganda ini? tidak juga menghapus sistem keji ini. Kita memuji sikap pemerintah Indonesia yang kerap kali Amnesty Internasional menyebutkan secara global seti berusaha memperjuangkan hak hidup warganya yang divonis daknya terjadi 778 eksekusi yang dilangsungkan pada 2013. mati di luar negeri. Apalagi dengan data bahwa ada sekitar Angka ini naik dari 682 eksekusi mati yang dilakukan pada 240 warga negara Indonesia terancam hukuman mati, 60% 2012. Pada World Day Against the Death Penalty, 10 Oktober di antaranya terkait kasus narkotika. Kini pertanyaannya, 2014, Amnesty International merilis beberapa data terkait pantaskah kita ngotot memberlakukan hukuman mati, se protes terhadap hukuman mati. Contohnya, hukuman ma mentara di sisi lain memperjuangkan keselamatan warga ti yang menyalahi kode etik dan pelanggaran HAM serius kita yang dihukum mati?n
86 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015