Majalah Ekspresi Edisi XXVII - Reforma Agraria Gagal

Page 1



INDEKS EKSPRESI

Majalah Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta

8

48

ANALISIS UTAMA

REFORMA AGRARIA GAGAL: BURUKNYA PENDAYAGUNAAN LAHAN

65

8

Tahun 1960 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPK) sebagai dasar reforma agraria. DI dalamnya terdapat atiran yang melindungi hakhak petani dan terjaganya lahan pertanian. Namun, reforma agraria makin tak dipatuhi. Akibatnya, lahan pertanian menjadi sasaran untuk pembangunan yang makin tak terkendali. LAPORAN KHUSUS

65

MENYIBAK CITRA KERUDUNG

TELUSUR

GEJOLAK WATUPUTIH

48

Kerudung dengan beragam sebutan lain, seperti hijab, jilbab, pardeh, milayat, bahkan ada yang terkesan melecehkan: jilboobs, memiliki kisah tersendiri. Penerimaan dan stereotipe masyarakat terhadap kerudung di Indonesia pun cenderung dinamis. Sempat dilarang oleh negara, kini pemakaian kerudung justru menjadi tren fesyen.

Penambangan di wilayah pegunungan Watuputih Kabupaten Rembang makin menjadi. Amdal dilakukan namun hanya sebagai formalitas. Alhasil, para perempuan yang mendominasi massa melakukan beragam cara untuk menolak segala aktivitas PT Semen Indonesia.

ALMAMATER

C’KLIK

Kontroversi Penerapan Pajak Kegiatan Mahasiswa 36 Ormawa Fakultas Tidak Kena Pajak

39

APRESIASI

Socrates 60

Rancang Sampul: Randy Arba Pahlevi

Tapak Terjal Ketoprak Tobong 43

DARI REDAKSI 4 EDITORIAL 5 HIKMAH 86 KOLOM

Menolak Nasionalisme Buta 40

PENDIDIKAN 84 PROFIL

Afif Ghurub Bestari 34 RESENSI 64 SURAT PEMBACA 6 WAWANCARA KHUSUS

Retno Listyarti 62

Redaksi menerima surat pembaca yang menanggapi hal-hal menyangkut dunia kemahasiswaan, pendidikan, sosial, ekonomi, politik, agama, sains, teknologi, olahraga, lingkungan, dan budaya. Surat pembaca bisa juga berupa tanggapan atas terbitan EKSPRESI sebelumnya. Tulisan maksimal 1000 kata, dikirimkan ke surel EKSPRESI. Redaksi berhak menyunting tulisan sepanjang tidak mengubah isi dan makna.

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 3


DARI REDAKS I

A

gaknya hal pertama yang akan di­ta­nya­kan pem­ba­ca ke­ti­ka me­li­hat pojok ka­nan a­tas pa­da ku­lit mu­ka ma­ja­lah i­ni a­da­lah pe­ri­hal e­di­si. Ya, ini majalah ke-27 namun ter­bit bu­kan di ta­hun 2014. Tiap ke­peng­ur­ us­an, ­EKSPRESI se­la­lu me­nge­lu­ar­kan dua pro­duk, ­EKSPRESI Buku dan Majalah EKSPRESI. Di ke­peng­u­rus­an kali ini kami memilih mengerjakan bu­ku ter­le­bih da­hu­lu dan mengerjakan majalah di be­la­kang. Ja­di­lah ma­ja­lah i­ni ke­luar di tahun 2015. Waktu pengerjaan se­la­ma 7 bulan, dari September-Maret, saya ki­ra tak a­kan bi­sa di­te­ri­ma pem­ba­ca. Pem­ba­ ca ha­nya ta­hu bah­wa Majalah ­EKSPRESI ti­dak ter­bit se­la­ma setahun. Proses panjang yang di­la­lui da­lam pem­bu­at­an ma­ja­lah ini a­da­lah pe­nen­tu­an te­ma, re­por­ta­se, pe­nu­lis­an, dan pe­nye­la­ ras­an be­ru­pa pe­nyun­ting­an ser­ta pe­na­ta­an le­tak. Pun kami tak lupa me­la­ku­kan pen­ da­lam­an te­ma dan melakukan be­be­ra­pa ri­set. Se­te­lah melalui beberapa pro­ses pre­sen­ta­si dan pemilihan tema se­la­ma le­bih da­ri se­bu­lan, akhirnya terpilih ti­ga te­ma un­tuk masing-masing rubrik besar: A­na­lis­is Utama, Telusur, dan Laporan ­Khusus. Di rubrik Analisis Utama An­da a­kan me­ne­mu­kan ma­sa­lah yang men­ja­di pem­ba­has­an be­be­ra­pa pers mahasiswa di Yogyakarta, yakni ma­sa­lah a­gra­ria. Da­lam ma­ja­lah EKSPRESI Edisi XXVII/ XXII/ Maret 2015 ka­mi le­bih me­nyo­roti alih fungsi lahan dari per­ta­ni­an men­ ja­di hunian. Bertambahnya jumlah penduduk Yogyakarta, yang di­se­ bab­kan o­leh ba­nyak faktor, mengakibatkan ke­bu­tuh­an a­kan pa­pan me­ning­kat. Pembangunan rumah indekos, a­part­emen, dan pe­ru­mah­an elite marak terjadi. Ditambah lagi ­Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta ingin me­mak­si­mal­kan po­ten­si wi­sa­ta se­hing­ga pem­ba­ngun­an hotel-hotel pun tu­rut ma­rak. Pem­ba­ngun­an pa­pan yang marak terjadi lantas meng­gu­sur la­han per­ta­ni­an akan sangat mudah ditemui di daerah ­Sleman. Pe­no­lak­an dari warga pun bermunculan, seperti pe­no­lak­ an pem­ba­ngun­an a­part­emen di Dusun Gadingan, Ngaglik, Sleman. Ma­sa­lah yang begitu kompleks mulai dari per­a­tur­an per­un­dang­an yang tak dijalankan dengan se­mes­ti­nya, ­harga

t­ anah yang ti­ap ta­hun te­rus naik hingga membuat pe­ta­ni ter­gi­ur un­tuk men­ju­al la­han­nya, sampai ancaman ter­ha­dap ke­ta­han­an pa­ngan dan kon­di­si Yogyakarta yang tak ter­ta­ta ka­mi sajikan dalam rubrik Analisis Utama. Berlanjut ke rubrik Telusur, permasalahan yang di­ang­ kat tak ja­uh dari persoalan agraria, yakni me­nge­nai kon­flik la­han di Rembang. Para pe­ta­ni ­Rembang menolak pabrik semen di­ba­ngun di kawasan Pegunungan Watuputih. Per­ ju­ang­an mempertahankan ke­se­jah­te­ra­an dan ling­kung­ an di­la­ku­kan oleh semua la­pis­an masyarakat, tua-muda, ­lelaki-perempuan, se­mua tu­run ta­ngan meng­ha­dapi perusahaan be­sar yang di­du­ kung oleh TNI dan polisi. Kekerasan pun se­ring­ka­li tak da­pat di­hin­dar­kan namun pe­no­lak­an te­rus ber­lang­sung. Meng­ha­rap du­kung­an dan ke­a­dil­an dari pemerintah nam­pak­nya ha­nya a­ngan belaka. Warga terus ber­ju­ang dan hing­ga majalah ini terbit, ma­sa­lah di ­Rembang belum juga usai. Per­ge­rak­an ma­sih ber­lang­sung, ­penolakan-penolakan te­rus disuarakan. Ketika Anda sudah cukup te­gang mem­ba­ca per­so­al­an a­gra­ria, mari san­tai se­je­nak de­ngan mem­ba­ca Laporan Khusus yang me­nya­ji­kan berita unik dalam ben­tuk ­feature. Mengingat pernyataan Elizabeth ­Wilson, “Pa­kai­an merupakan per­pan­jang­ an da­ri tu­buh, na­mun bu­kan ­benar-benar ba­gi­an da­ri tu­buh yang meng­hu­bung­kan de­ngan du­nia so­si­al sekaligus memisahkannya.” I­ni­lah yang a­kan An­da te­mui ketika membaca rubrik Laporan ­Khusus. Se­lem­bar ka­in pe­nu­tup kepala bisa me­nen­tu­kan ci­tra di­ri se­se­o­rang. Identik dengan Islam misalnya, bila kita me­li­hat kon­teks ­Indonesia. Dulu ketika zaman Orde Ba­ru, pe­ma­kai ke­ru­dung ma­sih jarang ditemui. Kini, pemakai ke­ru­dung ma­lah se­ma­kin men­ja­mur. Serba-serbi tentang kerudung i­ni a­kan An­da nikmati sepanjang 19 halaman. Hal-hal itulah yang bisa kami sajikan di Ma­j a­l ah ­EKSPRESI ka­li i­ni. Lu­put tak dapat dihindari mes­ki ka­mi te­lah ber­u­sa­ha se­per­ti a­pa­pun. Sebab kadang tak semua usaha ber­bu­ah ma­nis. Ke­ti­ka ma­ja­lah i­ni sudah di tangan Anda, yang bisa ka­mi la­ku­kan a­da­lah menerima kritik untuk perbaikan ma­ja­lah be­ri­kut­nya. Selamat menikmati, selamat membaca.n

PENERBIT: Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) EKSPRESI Universitas Negeri Yogyakarta IZIN TERBIT: SK Rektor No. 069/1992 20 April 1992 PELINDUNG:­ Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd.,M.A. PENASEHAT: Prof. Dr. Sumaryanto, M.Kes PEMBINA: Sigit Nugroho, S.Or., M.Or. PEMIMPIN UMUM: ­Faqihuddien Abi Utomo­ SEKRETARIS: Neti Mufaiqoh BENDAHARA: Merynda Puspitaningrum PEMIMPIN REDAKSI: Nur Janti REDAKTUR PELAKSANA: Nia Aprilianingsih REDAKTUR UTAMA: Agil Widiatmoko, Joseph Sebastian N.S., Muhammad Nur Farid­ REDAKTUR­ DAN REPORTER:­ Abi, Agil, Awal, Candra, Farid, Hanif, Hesti, Irfah, Janti, Joseph, Nia, Pras, Randy, Rizpat, Sofwan, Taufik TIM ARTISTIK: Agil Widiatmoko, Hesti Pratiwi Ambarwati, Randy Arba Pahlevi, Sofwan Makruf (Redaktur) REDAKTUR­ FOTO:­ Muhammad Nur Farid REDAKTUR BAHASA: Muhammad Nur Farid REDAKTUR ONLINE: Randy Arba Pahlevi PEMIMPIN PSDM: Akhmad Muawal Hasan STAF PSDM: Ginanjar Rohmat, Joseph Sebastian N.S., Najih Shu'udi, Prasetyo Wibowo, Rizpat Anugrah­ PEMIMPIN PERUSAHAAN: Siti Khanifah STAF PERUSAHAAN: Arde Candra Pamungkas, Heri Yulianta, Irfah Lihifdzi Ayatillah, Octandi Bayu Pradana PEMIMPIN JARINGAN KERJA: Taufik Nurhidayat STAF JARINGAN KERJA: Agil Widiatmoko, Desinta Kusumaningrum, Hengki Afrinata ALAMAT REDAKSI: ­Gedung Student­Center Lt. 2 Universitas Negeri Yogyakarta 55281 EMAIL: lpm_ekspresi@yahoo.com­WEBSITE: ­ekspresionline.com

4 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015


E D I TOR I AL

Siapkan SDM untuk Hadapi Pasar Bebas ASEAN

P

asar Bebas ASEAN segera dilaksanakan akhir tahun belum mencukupi standar layanan minimal pendidikan ini. Seolah takdir, masyarakat Indonesia tidak dengan pemetaan empat ribu sekolah pada 2012. Sumber bisa menolak kebijakan tersebut. Kesepakatan Daya Alam (SDA) yang melimpah juga harus dibarengi antarpemimpin negara kualitas SDM yang baik. Pemerintah ASEAN yang diketok palu pada satu harus menerapkan salah satu prinsip dekade lalu mempunyai tujuan untuk pendidikan Ki Hajar Dewantara, yakni menciptakan daya saing ekonomi. rakyat harus diberi kesempatan yang Hal yang disepakati dalam pasar sama untuk mendapatkan pendidikan bebas adalah: aliran bebas barang, yang berkualitas. arus bebas jasa, arus bebas investasi, Penguatan terhadap ekonomi arus tenaga kerja terampil, dan arus kreatif juga bisa menjadi pilihan. bebas modal. Selain mampu menyerap tenaga Sudah siapkah Sumber Daya kerja, ekonomi kreatif secara tidak Manusia (SDM) Indonesia menghadapi langsung dapat meningkatkan kualitas pasar bebas? Indonesia akan SDM. Menurut John Howkins, inti mengalami puncak bonus demografi dari ekonomi kreatif, input dan pada 2020, suatu kondisi ketika usia outputnya adalah gagasan. Hal ini produktif (18-60 tahun) melimpah. memaksa pelakunya untuk terus Menurut data International Labour memunculkan ide dan gagasan Organization (ILO) di tahun 2014, kreatif. Sejak tahun 2006 Indonesia Indonesia memiliki usia produktif mulai melirik ekonomi kreatif . REPRO SOFWAN | EKSPRESI sekitar 181,2 juta jiwa. Dimulai dari Menteri ­Perdagangan Ketika Indonesia memiliki usia produktif yang melimpah, saat itu, Mari Elka Pangestu, membuat Indonesian Design di lain sisi negara ini juga akan dibanjiri tenaga kerja asing. Power, yang membuka peluang bagi pelaku industri kreatif. Jangan sampai di tengah kebijakan pasar bebas tenaga kerja Hasilnya, di tahun 2013 bidang ini mampu berkontribusi Indonesia malah kalah saing. Alih-alih menjadi pemimpin di 10,72% dalam penyerapan tenaga kerja. Pemberian modal negara sendiri malah menjadi jalan bagi tenaga asing untuk oleh pemerintah atau pihak swasta dapat menjadi cara untuk menguasai lahan pekerjaan di Indonesia sehingga SDM terus mengembangkan ekonomi kreatif. Modal salah satunya Indonesia malah tersingkirkan. juga dapat diperoleh dari para investor asing. Pada 2012, Asian Productivity Organization (APO) Investasi asing yang dibuka selebar-lebarnya harus mengeluarkan Buku Data Produktivitas tenaga kerja di dipandang sebagai kesempatan untuk membuka lapangan Asia. Dari 1000 pekerja di Indonesia, hanya ada 4,3% tenaga pekerjaan. Jadikan pe­n a­n am­a n mo­d al a­s ing un­t uk terampil. Jauh di bawah Malaysia yang mencapai 32,6%. mengembangkan usaha sebuah perusahaan. Berkembangnya Pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia ialah segera perusahaan akan menyerap tenaga kerja yang banyak. Kiranya meningkatkan kualitas SDM dengan fokus ketenagakerjaan kita perlu men­contoh kawasan Asia Timur di medio 1965agar dapat bersaing dengan tenaga asing. 1995. Saat itu, Asia Timur juga sedang menikmati bonus Pendidikan dapat menjadi salah satu cara untuk demografi. Dibukanya investasi asing dengan skala besar di memperbaiki kualitas SDM. Perbaikan melalui pendidikan Asia Timur saat itu, menciptakan lapangan pekerjaan yang dalam menghadapi pasar bebas tidak harus menambah mampu memfasilitasi usia produktif untuk bekerja. porsi mata pelajaran bahasa asing. Mengutip pernyataan Investasi asing jangan hanya digunakan untuk Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru meningkatkan pembangunan negara. Memoles fisik tetapi Indonesia (FSGI), jika guru berkualitas siswa yang dihasilkan menyempitkan kesempatan kerja rakyat, sama saja bohong. pasti juga berkualitas. Data Kementerian Pendidikan dan Rakyat Indonesia sudah muak dengan ke­ber­adaan perusahaan Kebudayaan menunjukkan bahwa guru di Indonesia baru asing yang hanya meraup keuntungan SDA, tanpa bisa memiliki nilai rata-rata Uji Kompetensi Guru 44,5 dari target menyejahterakan rakyat. yang diharapkan 70. Ditambah dengan guru yang mengajar Pasar bebas ASEAN tidak akan menjadi mimpi buruk tidak linear dengan ilmu yang dikuasai sehingga transfer bagi Indonesia jika diikuti dengan kebijakan yang tepat. ilmu kepada siswa menjadi kurang maksimal. Utamanya dalam hal ketenagakerjaan Indonesia dan bonus Selain itu, pemerataan pendidikan pun harus dilakukan demografi. Negara yang baik adalah negara yang memerhatikan dengan konsisten. Tidak hanya masalah kuantitas pendidikan manusianya. Andai SDM tidak menjadi prioritas, maka tapi juga kualitas. Di Indonesia masih ada 75% sekolah yang anggapan budak di tanah sendiri akan terus terjadi.n Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 5


S URAT PEMBAC A

Melihat perkembangan komersial dan industri dan infrastruktur yang terjadi, drainase membuat pembangunan menjadi mungkin, termasuk pembangunan jalan bebas hambatan." David Schweikert

Kuliah 5 Tahun: Sebuah Penjara Akademik Pe­me­rin­tah me­la­lui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 49 Tahun 2014, me­mak­sa ma­ha­sis­wa un­tuk ce­pat-­ce­pat me­nye­le­sai­kan ku­liah­nya. Wak­tu ku­liah S1 di­ba­tasi ha­nya 5 ta­hun. Ma­ha­sis­wa ten­tu akan ter­ke­na pro­ses pen­di­sip­li­nan yang ke­tat. Tak ada wak­tu ter­si­sa un­tuk ak­ti­vi­tas se­lain ku­liah. Per­men­dik­bud ter­se­but sa­ngat prag­ ma­tis. Se­mu­a­nya di­la­ku­kan de­ngan tu­ ju­an tung­gal, ya­itu ce­pat lu­lus ka­re­na itu ar­ti­nya efi­si­en. Ja­di, efi­si­en­si me­ru­pa­kan se­bu­ah tu­ju­an uta­ma yang nya­ris di­de­ wa­kan oleh Kemendibud yang gan­drung de­ngan ca­ra ber­pi­kir prak­tis tan­pa me­ mi­kir­kan dam­pak­nya. Ka­re­na ji­ka ti­dak, akan ada pem­bo­ros­an dana pemerintah. Ca­ra­nya gam­pang, ba­ta­si sa­ja ma­sa stu­di selama 5 ta­hun dan ma­ha­sis­wa di­kurung di kam­pus agar be­la­jar me­lu­lu se­hing­ga ce­pat lu­lus. So­al aki­bat se­per­ti ma­ha­sis­wa tum­pul ha­ti nu­ra­ni­nya, ti­dak sen­si­tif ter­ha­dap isu po­pu­lis, dan te­ra­sing de­ngan ling­kung­an so­si­al­nya, tak men­ja­di per­tim­bang­an. Po­kok­nya ma­ha­sis­wa ce­pat lu­lus. Ka­ re­na ka­lau ti­dak, itu ar­ti­nya bo­ros dan me­ngu­ras ang­gar­an ne­ga­ra. Ja­ngan bi­ ar­kan me­re­ka ikut ke­gi­at­an tam­bah­an se­per­ti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), atau Oragnisasi Mahasiswa (ormawa) la­in­nya. Pa­sal­nya, ha­nya akan mem­per­ la­ma ma­sa stu­di. So­al me­la­tih ke­pe­ka­an so­si­al, su­ruh sa­ja me­re­ka be­la­jar sen­di­ri ke­lak ji­ka su­dah lu­lus. Ini­lah yang ada da­lam pi­ki­ran Ke­men­dik­bud, se­ba­gai lem­ba­ga yang me­nge­lu­ar­kan ke­bi­ja­kan ku­li­ah 5 ta­hun, ke­ti­ka men­ca­nang­kan

6 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

se­ka­li­gus me­ra­ya­kan ke­bi­ja­kan ma­sa stu­di 5 ta­hun. Oleh ka­re­na itu, se­ge­ra tin­jau kem­ba­ li ke­bi­ja­kan ku­li­ah 5 ta­hun ka­re­na ha­nya akan me­ngan­dang­kan ma­ha­sis­wa da­lam ke­rang­keng be­si yang ber­na­ma pen­ja­ra aka­de­mik. Kam­pus ada­lah are­na ke­be­ bas­an aka­de­mis, wa­dah ma­ha­sis­wa un­tuk be­la­jar pe­ka dan me­nga­na­li­sis ma­sa­lah yang ada di de­kat­nya bu­kan pa­brik yang men­ce­tak lu­lus­an sar­ja­na. Ka­re­na itu bi­ ar­lah ma­ha­sis­wa me­mi­li­ki wak­tu le­lu­a­ sa un­tuk be­la­jar da­lam ar­ti lu­as, bu­kan se­ka­dar meng­ha­fal li­te­ra­tur dan ca­tat­an ku­li­ah lan­tas men­da­pat gelar. Sugeng Bayu Wahono Kepala Jurusan Teknologi Pendidikan FIP UNY

Menuju Daulat Rakyat dalam Isu Dana Istimewa SEIRING ber­ja­lan­nya wak­tu, ge­ lin­di­ngan isu da­na is­ti­me­wa di DIY ma­kin mem­be­sar dan me­li­bat­kan ber­ba­gai pi­ hak. Di bi­dang ke­bu­da­ya­an, stakeholder ke­bu­da­ya­an di DIY lang­sung ber­ge­rak ce­pat de­ngan me­mu­bli­ka­si­kan isu “Ce­tak Bi­ru Ke­bu­da­ya­an Yogyakarta 25 ta­hun ke­de­pan.” Ins­ti­tu­si se­per­ti Kedai Kebun Forum, Kunci, Rumah Budaya Tembi, Bentara Budaya Yogyakarta, IVAA, Sanggar Seni Bagong Kussudiarjo, dan Umar Kayam Institute be­re­ak­si ter­ha­dap pro­po­sal Dinas Kebudayaan Yogyakarta yang tak me­li­bat­kan me­re­ka. Sa­yang­nya, stakeholder ke­bu­da­ya­an yang ber­su­a­ra ken­cang so­al ce­tak bi­ru ke­bu­da­ya­an di Yogyakarta ini pun ma­sih meng­ha­dir­kan ku­a­si de­mo­kra­ti­sa­si da­lam ak­se­si­bi­li­tas dan pe­nge­lo­la­an da­na is­ti­me­wa. Di si­si

la­in, se­ge­lin­tir eli­te ke­bu­da­ya­an si­buk mem­bu­at kon­sep ce­tak bi­ru ke­bu­da­ya­an tan­pa me­mi­li­ki me­to­de pem­ba­ca­an ke­ bu­da­ya­an yang bi­sa me­li­bat­kan ber­ba­gai ke­pen­ti­ngan ke­bu­da­ya­an di DIY. Sam­pai ha­ri ini, ki­ta tak me­nge­ta­hui siapa sa­ja pi­hak yang ha­rus di­li­bat­kan da­lam pe­nge­lo­la­an da­na is­ti­me­wa dan pro­gram po­li­tik apa yang akan di­buat. Tu­ju­an­nya agar ke­is­ti­me­wa­an DIY di bi­dang po­li­tik ti­dak ha­nya ber­la­ku ba­gi pe­mang­ku ke­pen­ti­ngan po­li­tik na­mun ju­ga da­pat ter­cip­ta tra­di­si po­li­tik ke­rak­ ya­tan yang khas Yogyakarta. Se­lan­jut­nya, rak­yat DIY bi­sa me­ngon­trol pro­gram po­ li­tik yang di­buat. Tak se­mua ak­tor ke­bu­da­ya­an atau­ pun war­ga per­nah di­a­jak rembugan so­al ce­tak bi­ru ke­bu­da­ya­an. Se­ba­gi­an pro­gram po­li­tik pun ha­nya la­hir da­ri ke­ pa­la se­ge­lin­tir orang yang me­ra­sa ta­hu ba­gai­ma­na pro­gram po­li­tik di­bu­at dan di­ja­lan­kan. Ka­sus pem­ber­da­ya­an ka­rang ta­ru­na le­wat pro­gram pe­la­ti­han per­ta­ ni­an di Kota Yogyakarta men­ja­di buk­ti oten­tik ke­ti­dak­mam­pu­an eli­te po­li­tik da­lam mem­bu­at pro­gram pem­ber­da­ya­ an dan pen­di­di­kan po­li­tik. Ka­lau pa­ra pe­mang­ku ke­pen­ti­ngan mau pro­gre­sif me­man­fa­at­kan da­na is­ti­me­wa, ang­ga­ ran se­be­sar 500 mi­li­ar le­bih itu, se­be­ nar­nya bi­sa di­man­fa­at­kan da­lam pro­ses pe­nye­le­sa­i­an ma­sa­lah war­ga Kulonprogo yang se­dang di­tin­das oleh Keraton dan Pakualaman. Me­re­ka me­nun­tut per­tam­ bang­an pa­sir be­si di­hen­ti­kan. Da­na itu da­pat di­gu­na­kan un­tuk men­jem­ba­ta­ni ke­bu­tu­han war­ga dan men­da­pat hak atas pe­nge­lo­la­an ta­nah yang di­klaim se­ba­gai mi­lik ke­ra­ton. Ki­ta ti­dak ta­hu si­a­pa ak­tor eko­no­mi yang di­a­jak bi­ca­ra oleh pe­me­rin­tah un­ tuk mem­buat kon­sep ge­ra­kan eko­no­mi. Ke­lom­pok e­ko­no­mi ma­na yang men­ja­di pri­o­ri­tas u­ta­ma pem­ber­da­ya­an e­ko­no­mi. Ru­ang kri­tik dan o­to­kri­tik ma­cam apa yang ha­rus di­se­di­a­kan oleh pe­me­rin­tah DIY agar da­na is­ti­me­wa ini bi­sa ter­se­ rap se­ca­ra efek­tif da­lam pem­ba­ngu­nan eko­no­mi Yogyakarta. Wi­la­yah-wi­la­yah, se­per­ti Gunungkidul, Kulonprogo, dan Bantul ha­rus men­da­pat­ kan por­si da­na is­ti­me­wa le­bih be­sar di bi­ dang eko­no­mi ka­re­na kom­po­si­si pen­du­duk mis­kin­nya re­la­tif le­bih be­sar di­ban­ding­kan de­ngan Sleman dan Kota Yogyakarta. Na­ mun, di­si­si la­in, di Kota Yogyakarta dan Sleman ma­sya­ra­kat lo­kal ma­kin ter­gu­sur da­lam ak­ti­vi­tas eko­no­mi ka­re­na ma­suk­


S UR AT P E M BACA nya in­ves­tor asing yang me­mi­li­ki mo­dal le­bih be­sar. Ka­lau re­a­li­ta se­ma­cam ini ti­ dak per­nah di­ba­ca oleh pe­me­rin­tah DIY, ba­gai­ma­na da­na is­ti­me­wa ini bi­sa ter­se­rap se­ca­ra mak­si­mal? Ada be­be­ra­pa fak­tor yang mem­bu­at ka­cau pe­nge­lo­la­an da­na is­ti­me­wa ini. Per­ta­ma, ti­dak ada­nya ke­sa­da­ran da­ ri ber­ba­gai la­pi­san ma­sya­ra­kat bah­wa da­na is­ti­me­wa ada­lah mi­lik ma­sya­ra­ kat DIY dan ha­rus di­ke­lo­la ser­ta di­a­wa­si peng­gu­na­an­nya. Mes­ki ada ke­sa­da­ran di ma­sya­ra­kat, na­mun Pemprof DIY tak mam­pu mem­ba­ngun me­ka­nis­me ker­ja yang me­ngu­at­kan sa­tu sa­ma la­in da­lam pem­bu­a­tan pro­gram yang di­bi­a­yai oleh da­na is­ti­me­wa. Sa­ra­na dan tek­no­lo­gi ko­ mu­ni­ka­si yang cang­gih tak bi­sa di­man­fa­ at­kan un­tuk me­nyi­ner­gi­kan me­re­ka. Ku­rang­nya ke­sa­da­ran bi­sa mun­cul ka­re­na fak­tor ke­dua, ya­i­tu be­gi­tu ken­tal­ nya ke­pen­ti­ngan ke­ra­ton se­ba­gai pi­hak yang me­ra­sa pa­ling ber­ke­pen­ti­ngan da­ lam pe­nge­lo­la­an da­na is­ti­me­wa. Me­re­ka se­la­ma ini men­ja­di pi­hak yang pa­ling me­ra­sa ber­hak me­nge­lo­la da­na is­ti­me­wa ka­re­na ala­san his­to­ris. Ins­ti­tu­si po­li­tik ini men­ja­di sa­tu-sa­tu­nya ke­lom­pok yang tak per­nah mau ber­si­kap ter­bu­ka dan le­ga­wa un­tuk me­nye­rah­kan pe­nge­lo­la­an da­na is­ti­me­wa ini pa­da ma­sya­ra­kat. Le­wat ber­ba­gai ta­ngan­nya, me­re­ka be­ru­sa­ha me­ngon­trol pe­man­fa­a­tan da­na is­ti­me­wa ini un­tuk me­les­ta­ri­kan ke­ku­a­sa­an eko­no­ mi-po­li­tik-bu­da­ya me­re­ka di DIY. Ke­ti­ga, dan ini le­bih spe­si­fik, pi­hakpi­hak yang se­la­ma ini di­ang­gap se­ba­gai la­wan atau kom­pe­ti­tor po­li­tik ke­ra­ton cum pe­me­rin­tah DIY ga­gal me­nga­jak ma­sya­ ra­kat un­tuk ber­pe­ran se­ba­gai sub­jek dan ob­jek da­na is­ti­me­wa. Fak­tor per­ta­ma dan ke­ti­ga ini ha­dir ka­re­na ge­ja­la eli­tis­me di ma­sya­ra­kat yang tak per­nah ter­ki­kis di si­ ni. Ti­dak mam­pu­nyai ele­men ma­sya­ra­kat yang ber­o­po­si­si de­ngan keraton ini meng­ ga­gal­kan pe­nya­tu­an isu da­na is­ti­me­wa yang ber­pi­hak pa­da ma­sya­ra­kat. Rak­yat ha­rus me­la­wan se­ti­ap ben­ tuk eli­tis­me dan eks­klu­si­vis­me. Ha­nya de­ngan pe­ngor­ga­ni­sa­si­an di­ri yang ba­ik pa­tron-pa­tron eko­no­mi-po­li­tik-bu­da­ya yang se­ki­an la­ma ber­ku­a­sa di DIY bi­sa han­cur le­bur. Da­u­lat rak­yat ada­lah ka­ ta kun­ci uta­ma un­tuk me­la­wan da­u­lat keraton yang ha­nya di­a­tur oleh se­ge­lin­ tir orang mes­ki se­la­lu men­da­ku se­ba­gai wa­kil rak­yat. Dwi Cipta Aktivis Gerakan Literasi Indonesia

Membangun Drainase yang Terintegrasi Drai­na­se ki­ta ke­nal se­ba­gai sum­ ber da­ya bu­a­tan un­tuk me­nam­pung dan me­nga­lir­kan lim­pa­san air ke su­ngai atau em­bung. Se­ba­gai me­dia pe­nye­rap­an air hu­jan, drainase berguna untuk recharge air tanah, khu­sus­nya air ta­nah dang­ kal se­ba­gai sum­ber air ba­gi ma­sya­ra­kat me­la­lui su­mur atau ma­ta air. Na­mun, kon­di­si fi­sik su­ngai yang ada di per­ko­ ta­an ra­ta-ra­ta su­dah ber­ta­lud se­hing­ga fung­si re­sa­pan ti­dak mak­si­mal. Sa­at da­ya tam­pung dra­i­na­se ter­lam­ pa­ui, ha­r us di­li­hat pu­la persentase alih fung­si la­han di wi­la­yah ter­se­but yang awal­nya se­ba­gai re­sa­pan. namun, ma­ sa­lah uta­ma ter­lam­pau­i­nya da­ya tam­ pung drai­na­se bia­sa­nya di­k a­re­na­k an ­sum­bat­a n sampah dan limbah serta pen­dang­ka­lan. Kota Yogyakarta me­r u­pa­kan sa­lah sa­tu ko­ta di Indonesia yang memiliki lu­as wi­la­yah sebesar 32,5 km2. Se­ha­r us­nya, sis­tem dra­i­na­se yang di­mi­li­k i bi­sa ber­ fung­si mak­si­mal. Pa­da ke­nya­ta­annya, drainase Ko­ta Yogyakarta ma­sih pu­nya beragam ma­sa­lah. Mu­lai da­r i kon­di­si fi­sik yang su­dah la­ma, dis­f ung­si ka­re­na sa­lu­ran lim­bah, se­ba­gai tem­pat pem­bu­ a­ngan sam­pah dan akhirnya ter­sum­bat, pen­dang­ka­lan, hing­ga alih fung­si la­han. Ma­sa­lah ter­se­but le­bih ba­nyak di­se­le­sa­ i­kan se­ca­ra par­si­al, ya­i­tu dengan cara mem­per­baik­i saluran bi­la ada yang ru­sak ser­ta pem­ber­si­han en­da­pan dan dra­i­ na­se yang bun­tu. Dana untuk agenda di atas se­la­lu te­ranggar­kan se­ti­ap ta­hun. Namun, ma­sih se­di­k it ang­ga­ran yang diperun­tukkan untuk mem­ba­ngun dra­ i­na­se yang di­ga­bung­kan de­ngan su­mur re­sa­pan. Mem­ba­ngun dra­i­na­se ha­rus di­pa­ha­ mi pula bah­wa fung­si da­sar­nya ada­lah un­t uk me­nam­pung dan me­nga­l ir­k an lim­pa­san air hu­jan ke su­ngai atau em­ bung se­ba­gai hi­lir yang men­ja­di tem­pat un­tuk me­nye­rap­kan air se­ba­nyak mung­ kin ke da­lam ta­nah. Na­mun, de­ngan fi­ sik su­ngai di per­ko­ta­an yang ra­ta-ra­ta ber­ta­lud dan mi­nim­nya em­bung yang di­mi­li­k i, per­lu se­bu­ah sis­tem dra­i­na­se yang di­de­sa­in sebagai sumur resapan. Fung­si dra­i ­na­se se­ba­gai re­sa­pan air ter­s e­but me­r u­p a­k an pa­r a­d ig­m a ba­r u yang per­lu di­kem­bang­k an dan diterapkan oleh pemerintah se­hing­ga ke­ter­se­di­a­an air ta­nah, khu­sus­nya air

ta­nah dang­kal, da­pat me­me­nu­hi ke­bu­tu­ han ma­sya­ra­kat. Se­la­in meng­ga­bung­kan drai­na­se de­ngan su­mur re­sa­pan, di­bu­ tuh­kan pu­la em­bung. Ja­di, bu­kan ha­nya su­ngai yang men­ja­di hi­lir da­r i sis­tem ja­r i­ngan drai­na­se yang di­ba­ngun. Hal lain yang per­lu men­ja­d i per­ ha­ti­an ada­lah lim­pa­san air hu­jan yang be­ra­sal da­r i pe­mu­k i­man. Umumnya, drai­na­se ha­nya di­f ung­si­kan un­tuk me­ nam­pung si­sa lim­pa­san air hu­jan da­r i se­ti­ap ru­mah. Namun, akan sangat baik apabila se­ti­ap ru­mah memiliki sumur resapan. Sumur itu dapat digunakan un­tuk me­ma­nen air hu­jan de­ngan ca­ra mengalirkan air hujan ke su­mur re­sa­pan. Selanjutnya, su­mur re­sa­pan yang ada di se­ti­ap ru­mah ke­mu­di­an di­in­te­gra­si­kan de­ngan drai­na­se se­hing­ga da­pat me­mi­ ni­ma­li­sa­si ter­ja­di­nya ge­na­ngan aki­bat lim­pa­san air hu­jan yang me­lam­pau­i da­ya tam­pung drai­na­se tersebut. Na­mun, pa­ra­dig­ma ba­r u ter­se­but akan men­ja­di sa­lah sa­tu me­dia untuk mencegah pen­c e­m a­r an air ta­n ah. Drainase yang menerapkan prinsip baru dapat di­man­fa­at­k an oleh ma­sya­ra­k at bi­la dis­f ung­si drai­na­se se­ba­gai tem­pat pem­bu­ang­an lim­bah ma­sih te­rus ter­ja­di dan bah­kan mem­per­pa­rah ku­a­li­tas air su­ngai mau­pun air ta­nah yang sa­at ini su­dah ter­ce­mar. Pe­nge­ta­hu­an dan pe­ma­ ha­man ter­ha­dap drai­na­se dan sa­lu­ran lim­bah ha­r us di­mi­li­k i oleh ma­sya­ra­kat se­ca­ra umum. Tak lu­pa di­i­ku­ti oleh pem­ ba­ngu­nan sa­lu­ran drai­na­se dan lim­bah se­hing­ga pa­ra­dig­ma ba­ru un­tuk pe­ngem­ ba­ngan drai­na­se bi­sa ter­w u­jud dan te­ rin­te­gra­si da­r i hu­lu sam­pai hi­lir. Kon­t rol pe­m an­f a­at­a n ru­a ng da­ ri ancaman terjadinya alih fung­si la­ han men­j a­d i kun­c i uta­m a. Hal itu dimaksudkan untuk men­ja­ga ru­a ngru­ang yang se­la­ma ini se­ba­gai da­e­rah re­sa­pan air sehingga me­mi­ni­ma­li­sa­si ter­ja­d i­nya ge­na­ngan aki­bat drai­na­se yang su­dah ti­dak bi­sa me­nam­pung lim­ pa­san air hu­jan atau dae­rah ge­na­ngan ter­se­but be­lum ter­in­te­gra­si de­ngan ja­ ri­ngan drai­na­se. Kon­trol pe­man­fa­at­an ru­ang ini ju­ga ba­gi­an da­ri upa­ya mi­ti­ga­si ben­ca­na eko­lo­gis se­per­ti tim­bul­nya wa­ bah pe­nya­k it dan me­lu­as­nya ge­na­ngan se­ba­gai em­brio ter­ja­di­nya ban­jir. Hallk Sandera Direktur Utama WALHI Yogyakarta

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 7


ANALISIS UTA MA

Randy | EKSPRESI

Reforma Agraria Gagal: Buruknya Pendayagunaan Lahan Alih fungsi lahan dari pertanian ke pemukiman ataupun industri makin tak terkendali. Tanpa mempertimbangkan dampak, beragam alasan dan intrik digunakan untuk melegalkan alih fungsi lahan. Oleh Muhammad Nur Farid

R

e­for­ma a­gra­ria se­ca­ra le­gal for­ mal di­se­but de­ngan Pembaruan Agraria, yai­tu pe­na­ta­an u­lang su­sun­an ke­pe­mi­lik­an, pe­ngu­a­ sa­an, dan peng­gu­na­an sum­ber-sum­ber a­gra­ria. Da­lam TAP MPR RI Nomor IX/ MPR/2001 ten­tang Pem­ba­ru­an A­gra­ria dan Pe­nge­lo­la­an Sumber Daya Alam Pasal 2 di­se­but­kan “Pem­ba­ru­an a­gra­ ria men­ca­kup sua­tu pro­ses yang ber­ ke­s i­n am­b ung­a n ber­k e­n a­a n de­n gan pe­na­ta­an kem­ba­li pe­ngu­a­sa­an, pe­mi­ li­kan, peng­gu­na­an, dan pe­man­fa­at­an sum­ber­da­ya a­gra­ria, di­lak­sa­na­kan da­ lam rang­ka ter­ca­pai­nya ke­pas­ti­an dan per­l in­d ung­a n hu­k um ser­t a ke­a ­d il­a n dan ke­mak­mur­an ba­gi se­lu­ruh rak­yat Indonesia.”A­lih fung­si la­han se­ba­gai sa­lah sa­tu per­u­bah­an peng­gu­na­an dan pe­man­fa­atan sum­ber da­ya a­gra­ria ju­ga ha­rus me­m­er­ha­ti­kan pem­ba­ru­an a­gra­ ria. Ar­ti­nya, a­lih fung­si la­han ti­dak bo­leh le­pas da­ri tu­ju­an dan prin­sip pem­ba­ ha­ru­an a­gra­ria. Sa­lah sa­tu tu­ju­an re­for­ma a­gra­ria a­da­lah me­ning­kat­kan ke­ta­han­an pa­ ngan dan e­ner­gi ma­sya­ra­kat. Se­ba­gai sa­lah sa­tu tu­ju­an pem­ba­ru­an a­gra­ria, sek­tor per­ta­ni­an ma­lah men­ja­di sek­tor yang pa­ling ter­an­cam a­lih fung­si la­han. Ber­da­sar­kan Dokumen Analisis Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Daerah Istimewa Yogyakarta

8 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

Tahun 2013, da­ta a­lih fung­si la­han per­ ta­ni­an men­ja­di non­per­ta­ni­an di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) se­be­sar 231ha per ta­hun. Prak­tik a­lih fung­si la­han per­ta­ni­ an ke la­han non­per­ta­ni­an ma­sih se­ring ter­ja­di ka­re­na me­mang be­lum ku­at­nya per­a­tur­an me­nge­nai hal ter­se­but. “Per­ a­lih­an la­han per­ta­ni­an ke non­per­ta­ni­an ti­dak ha­nya se­ka­dar per­a­lih­an ta­nah, te­ ta­pi a­da hal yang ju­ga sa­ngat pen­ting di­per­ta­nya­kan, ya­itu sub­jek hu­kum­nya, pe­ta­ni,” te­rang Dr. jur. Any Andjarwati, S.H., M. jur. Le­bih lan­jut, Any me­ne­rang­kan bah­ wa ti­dak ada ke­je­las­an pe­ta­ni se­ba­gai sub­yek hu­kum. Da­lam Undang-Undang No. 19 Tahun 2013 ten­tang Per­lin­dung­ an dan Pem­ber­da­ya­an Pe­ta­ni Pasal 1 Nomor 3 me­nga­ta­kan bah­wa sub­jek hu­kum pe­ta­ni a­da­lah Warga Negara Indonesia (WNI) dan atau be­ser­ta ke­ lu­ar­ga­nya yang me­la­ku­kan u­sa­ha ta­ni di bi­dang ta­nam­an pa­ngan, hor­ti­kul­tu­ra, per­ke­bun­an, dan atau pe­ter­na­kan. Sub­ yek hu­kum da­lam UU ini ma­sih be­lum me­ru­juk pa­da pe­ta­ni se­ca­ra je­las dan spe­si­fik ka­re­na be­lum me­nun­juk­kan per­ ta­ni­an se­ba­gai u­sa­ha a­tau pen­da­pat­an ter­be­sar yang me­re­ka mi­li­ki. Pa­d a­h al da­l am Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Pasal 10 ayat 1 te­lah di­se­but­kan bah­wa pe­me­gang hak

atas ta­nah per­ta­ni­an wa­jib di­ker­ja­kan dan di­u­sa­ha­kan sen­di­ri se­ca­ra ak­tif. Ar­ti­nya, hu­bung­an an­ta­ra pe­ta­ni dan la­han per­ta­ni­an­nya sa­ngat e­rat. De­ngan ka­ta la­in, la­han per­ta­ni­an ha­rus di­mi­li­ki o­leh pe­ta­ni. Ka­lau­pun la­han per­ta­ni­an ter­se­but a­kan di­ju­al, la­han per­ta­ni­an ta­di ti­dak bo­leh di­a­lih­fung­si­kan ka­re­ na pa­da a­sas­nya la­han per­ta­ni­an wa­jib di­ker­ja­kan dan di­us­ a­ha­kan se­ca­ra ak­tif o­leh pe­mi­lik­nya. Ja­di se­be­nar­nya a­lih fung­si la­han per­ta­ni­an itu ti­dak per­lu ter­ja­di mes­ki­pun ke­nya­ta­an­nya ti­dak de­mi­ki­an.

Jual Lahan: Bentuk Ketidaksejahteraan Petani Se­ma­kin ter­an­cam­nya sek­tor per­ta­ ni­an o­leh a­lih fung­si la­han ju­ga di­per­ pa­rah oleh pe­nge­lo­la­an Sumber Daya Manusia (SDM) per­ta­ni­an yang bu­ruk. Pe­nge­lo­la­an SDM per­ta­ni­an yang se­la­ma ini di­pas­rah­kan ke­pa­da Dinas Per­ta­ni­an ter­nya­ta ti­dak di­ja­lan­kan de­ngan se­mes­ ti­nya. Me­nu­rut Immawan Nur S. A., S.P., M.E., Kepala Seksi Bina Produksi Bidang Tanaman Padi dan Holtikulturan Dinas Pertanian Sleman, ha­nya pe­ta­ni yang ter­ga­bung da­lam ke­lom­pok per­ta­ni­an­lah yang a­kan men­da­pat pem­bi­na­an. Pa­da­ hal, Pasal 19 UU No. 19 Tahun 2013 Ten­ tang Per­lin­dung­an dan Pem­ber­da­ya­an Pe­ta­ni meng­a­ma­na­ti Dinas Pertanian

8 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015


REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN

un­tuk mem­bi­na pe­ta­ni, ke­lom­pok, ta­ ni, dan ga­bung­an ke­lom­pok ta­ni de­ngan meng­ha­sil­kan sa­ra­na pro­duk­tif. Ti­dak ada sa­tu pa­sal pun yang me­nya­ta­kan bah­ wa ha­nya pe­ta­ni da­lam ke­lom­pok ta­ni lah yang a­kan men­da­pat­kan pem­bi­na­ an. Ak­hir­nya, ti­dak se­mua ke­se­jah­te­ra­an pe­ta­ni ter­ja­min. Ti­dak a­da­nya ja­min­an ke­se­jah­te­ra­an pe­ta­ni pu­la lah yang ak­hir­ nya me­mak­sa pe­ta­ni meng­a­lih­fung­si­kan la­han per­ta­ni­an­nya. Pa­da ak­hir­nya, a­lih fung­si la­han ju­ ga mem­ba­ha­ya­kan ke­ta­han­an pa­ngan. Me­nu­rut da­ta ter­ba­ru BPS, estimasi sensus tahun 2010, jum­lah pen­du­duk ta­hun 2012 men­ca­pai 3.514.762 ji­wa a­tau me­ning­kat 27.437 ji­wa da­ri ta­hun se­be­ lum­nya yang ha­nya ber­jum­lah 3.487.325 ji­wa. Jum­lah ini se­ma­kin me­ning­kat de­ ngan per­tum­buh­an se­be­sar 1,04% se­ti­ap ta­hun­nya. Hal ini me­mi­cu per­kem­bang­an ka­ was­an pe­mu­kim­an yang ber­kem­bang di wi­la­yah se­ki­tar­nya. Per­kem­bang­an wi­la­yah pe­mu­kim­an ini bi­a­sa­nya ter­ja­di de­ngan meng­a­lih­fung­si­kan la­han per­ta­ ni­an. Pa­da­hal, per­tum­buh­an pen­du­duk ju­ga mem­bu­tuh­kan ke­ter­se­di­a­an pa­ngan, bu­kan ha­nya ke­ter­se­di­a­an pa­pan. Me­ nu­rut ka­ji­an yang di­la­ku­kan oleh Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan DIY, ta­hun 2039 DIY a­kan meng­a­la­mi kri­sis pa­ngan.

Alih Fungsi Lahan Tak Terkendali dan Dam­ pak Ekologisnya

Le­bih ja­uh la­gi, prak­tik a­lih fung­si la­han se­ring meng­a­bai­kan ke­les­ta­ri­ an e­ko­sis­tem ma­u­pun fung­si e­ko­lo­gis ling­kung­an. Ke­dua hal ini ju­ga men­ja­di prin­sip pe­lak­sa­na­an pem­ba­ru­an a­gra­ ria. Ter­ja­di­nya pe­nu­run­an per­mu­ka­an air ta­nah di se­ki­tar ho­tel men­ja­di buk­ti bah­wa pen­da­ya­gu­na­an sum­ber a­gra­ria ti­dak di­ke­lo­la de­ngan ba­ik. Me­nu­rut Drs. Suhadi Purwantara, M.Si., dosen Jurusan Geografi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Kabupaten Sleman,

Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul me­mi­li­ki ca­dang­an air ta­nah yang ba­ nyak. “Lo­ka­si Kota Yogyakarta se­be­ nar­nya sa­ngat stra­te­gis, ca­dang­an air ta­nah­nya sa­ngat ba­nyak. Na­mun, bi­la ti­dak di­ke­lo­la de­ngan ba­ik, bi­sa ber­ ba­ha­ya ka­re­na ki­ta ting­gal di a­tas­nya,” te­rang­nya. Me­nu­rut­nya pe­nu­run­an air ta­nah di se­ki­tar ho­tel meng­in­di­ka­si­kan ka­lau ada yang sa­lah da­lam A­na­li­sis Mengenai Dam­pak Ling­kung­an (AMDAL) pem­ba­ ngun­an ho­tel. “Peng­am­bil­an air ta­nah itu ada save yield-nya (ba­tas a­man peng­ am­bil­an air ta­nah, red.). Ka­lau ter­nya­ta peng­am­bil­an air ta­nah da­lam ber­peng­ a­ruh ter­ha­dap ling­kung­an­nya, pas­ti AMDAL-nya ber­ma­sa­lah,” te­rang­nya. Ber­ba­gai pem­ba­ngun­an yang meng­ an­cam ke­ter­se­di­a­an air ak­hir­nya di­pro­ tes war­ga. Rokhmat Kurniawan, aktivis Pembela Tata Ruang, me­ni­lai hal itu se­ ba­gai ben­tuk ke­pe­du­li­an war­ga ter­ha­dap ta­ta ru­ang. Ti­dak ber­hen­ti di si­tu sa­ja. A­lih fung­si la­han per­ta­ni­an ju­ga me­nu­ai pro­tes, sa­lah sa­tu­nya da­ri Serikat Petani Indonesia (SPI) Yogyakarta. Ke­kha­wa­ tir­an ber­u­bah­nya ta­nah men­ja­di ko­mo­ di­tas yang di­per­ju­al­be­li­kan men­do­rong SPI men­de­sak pe­me­rin­tah un­tuk me­ ngen­da­li­kan la­ju a­lih fung­si la­han. SPI kha­wa­tir a­pa­bi­la la­ju a­lih fung­si la­han te­rus ter­ja­di ma­ka ke­da­u­lat­an pa­ngan akan ter­gang­gu. Prin­sip la­in Pem­ba­ru­an A­gra­ria a­da­ lah me­lak­sa­na­kan fung­si so­si­al. Hal ini se­su­ai de­ngan da­sar UUPA yang ada di Pasal 6 yang berbunyi “Semua hak atas ta­nah mem­pu­nyai fung­si so­si­al”. Pen­je­las­an atas pa­sal ini ber­ar­ti bah­wa hak atas ta­nah a­pa­pun yang ada pa­da se­se­o­rang ti­dak­lah da­pat di­be­nar­kan. Ta­nah itu a­kan di­per­gu­na­kan a­tau­pun ti­dak di­per­gu­na­kan se­ma­ta-ma­ta ha­nya un­tuk ke­pen­ting­an pri­ba­di­nya, a­pa­la­gi ka­lau hal itu me­nim­bul­kan ke­ru­gi­an ba­gi ma­sya­ra­kat. Peng­gu­na­an ta­nah ha­rus

di­se­su­ai­kan de­ngan ke­a­da­an­nya dan si­fat hak­nya se­hing­ga ber­man­fa­at ba­ik ba­gi ke­se­jah­te­ra­an dan ke­ba­ha­gi­a­an ser­ta ber­ man­fa­at ba­gi ma­sya­ra­kat dan ne­ga­ra. Prak­tik a­lih fung­si la­han yang ter­ja­ di di DIY ter­nya­ta ma­sih me­nye­pe­le­kan prin­sip ini. A­lih fung­si la­han per­ta­ni­an men­ja­di pe­ru­mah­an e­li­te se­per­ti Bale Hinggil. Pe­ru­mah­an yang ber­ba­tas­an lang­sung de­ngan per­kam­pung­an Gandok dipisahkan oleh tembok se­ting­gi 5 me­ ter. Ke­ber­a­da­an tem­bok pe­mi­sah an­ta­ra war­ga per­kam­pung­an Gandok dan pa­ra peng­hu­ni Bale Hinggil ini di­te­nga­rai se­ba­ gai pe­nye­bab ti­dak gu­yub­nya hu­bung­an ke­dua war­ga. Meilianti, sa­lah sa­tu war­ga Gandok meng­ung­kap­kan bah­wa me­mang ham­pir ti­dak ada in­ter­ak­si an­ta­ra war­ ga Gandok dan peng­hu­ni Bale Hinggil. Peng­hu­ni Bale Hinggil pun me­nye­pa­ka­ti hal ter­se­but. Sefta F. Susanto, sa­lah sa­ tu war­ga yang ting­gal di Bale Hinggil mem­be­nar­kan bah­wa warga Bale Hinggil me­mang mi­nim so­si­al­ i­sa­si. Meng­ha­dapi i­su a­lih fung­si la­han, pe­me­rin­tah ju­ga su­dah mem­be­ri­kan be­ be­ra­pa ta­war­an so­lu­si. Sa­lah sa­tu­nya de­ngan peng­a­da­an bank ta­nah se­per­ti yang te­lah di­pro­gram­kan Pemerintah Daerah Bantul. Se­ca­ra u­mum kon­sep bank ta­nah a­da­lah un­tuk meng­en­da­li­ kan ta­ta ko­ta de­ngan me­ngu­a­sai ta­nah ke­mu­di­an di­ter­bit­kan kem­ba­li se­su­ai de­n gan ren­c a­n a ta­t a ru­a ng da­e ­r ah. Ha­nya sa­ja, pro­gram ini ak­hir­nya su­ lit ter­lak­sa­na ka­re­na har­ga ta­nah yang ting­gi. Me­nu­rut Prof. Ir. Bakti Setiawan, M.A., Ph.D., kon­sep bank ta­nah ti­dak re­le­van de­ngan kon­di­si sa­at ini sebab har­ga ta­nah ting­gi. Hal ini ju­ga di­a­mi­ ni o­leh Ari Budi Nugroho, S.T., M.Sc. Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bantul. “Di Indonesia kon­sep ini ku­rang co­cok ka­re­na se­ring ter­ja­di per­be­da­an har­ga an­ta­ra pe­me­rin­tah de­ngan ma­sya­ra­ kat.” Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 9


ANALISIS UTA MA

Peraturan yang Masih Rancu Da­sar a­tur­an yang ma­sih be­lum kon­struk­tif ak­hir­nya me­nim­bul­kan ma­sa­lah tu­run­an. Mu­lai da­ri a­lih fung­si la­han per­ta­ni­an ke non­per­ta­ni­an yang se­ma­kin ma­rak, ke­se­jah­te­ra­an pe­ta­ni, hing­ga pem­bu­at­an Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Oleh Nur Janti

P

er­a­tur­an per­un­dang­an me­nge­ nai ta­ta gu­na la­han ter­tu­ang da­lam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. Se­la­in UUPA ter­da­pat un­dang-un­dang tu­run­an yang ju­ga me­nga­tur per­ma­sa­ lah­an a­gra­ria. Na­mun, sa­yang­nya per­ a­tur­an per­un­dang­an ter­se­but be­lum cu­kup da­lam meng­a­tur per­ma­sa­lah­an a­lih fung­si la­han. Sa­lah sa­tu con­toh­nya ia­lah ti­dak spe­si­fik­nya kon­struk­si un­ dang-un­dang yang meng­a­tur ten­tang ta­nah per­ta­ni­an. Me­nu­rut Dr. jur. Any Andjarwati, S.H., M. jur., per­ma­sa­lah­an di ting­kat ma­kro ber­a­sal da­ri sub­jek hu­kum pe­ ta­ni. Un­dang-Un­dang ayat. 19 Tahun 2013 tentang Per­lin­dung­an dan Pem­ ber­d a­y a­a n Pe­t a­n i, Pasal 1 Nomor 3 me­n ye­b ut­k an bah­w a sub­j ek hu­k um pe­ta­ni a­da­lah Warga Negara Indonesia (WNI) dan a­tau be­s er­t a ke­lu­a r­g a­n ya yang me­la­ku­kan u­sa­ha ta­ni di bi­dang ta­n am­a n pang­a n, hor­t i­k ul­t u­r a, per­ ke­b un­an, dan a­tau pe­t er­n ak­a n. “Me­ mang­nya kri­te­ria sub­jek hu­kum pe­ta­ni su­dah cu­kup di­buk­ti­kan de­ngan KTP (Kartu Tanda Penduduk, red.)? Co­b a ka­l au kri­t e­r ia mi­n i­m al pe­t a­n i, yai­t u le­b ih da­r i 50% pen­d a­p at­a n­n ya ber­ a­s al da­r i u­s a­h a per­t a­n i­a n dan le­b ih da­ri 50% te­na­ga­nya di­in­ves­ta­si­kan da­ lam u­sa­ha per­ta­ni­a n. Kan le­b ih je­l as si­a­pa pe­ta­ni. Da­lam un­d ang-un­d ang pe­t a­n i itu, sia­p a yang di­m ak­s ud pe­ ta­ni sa­ja be­lum je­las, be­lum spe­si­fik,” u­jar dosen Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM) itu. Ke­ti­dak­je­las­an pe­ta­ni se­ba­gai sub­jek hu­kum ak­hir­nya me­nim­bul­kan ber­ba­gai per­ma­sa­lah­an la­in, se­per­ti mu­dah­nya a­lih fung­si la­han da­ri per­ta­ni­an ke non­ per­ta­ni­an yang ak­hir­nya bi­sa meng­an­cam ke­ta­han­an pang­an. “Pe­ta­ni dan la­han per­ta­ni­an pa­da da­sar­nya mem­pu­nyai ke­ter­ka­it­an yang e­rat, mi­sal­nya pe­nga­ tur­an per­al­ ih­an la­han per­ta­ni­an. La­han per­ta­ni­an da­pat di­a­lih­kan ji­ka sub­jek

10 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

hu­kum yang me­ne­ri­ma la­han per­ta­ni­an ju­ga pe­ta­ni. Ja­di, da­ri pe­ta­ni ke pe­ta­ni se­hing­ga la­han per­ta­ni­an te­tap ter­ja­ga,” im­buh­nya. Bi­la a­da a­lih fung­si la­han da­ri per­ ta­ni­an ke non­per­ta­ni­an, ten­tu a­kan meng­a­cu pa­da UU No. 2 Tahun 2012 dan Perpres No. 71 Tahun 2012 yang me­nga­tur peng­a­da­an ta­nah ba­gi pem­ ba­ngun­an un­tuk ke­pen­tingan u­mum. Ke­pen­ting­an u­mum di si­ni di­se­but­kan con­toh­nya se­per­ti ru­mah sa­kit, ja­lan, fa­si­li­tas yang bi­sa di­ak­ses o­leh kha­la­ yak, dan pe­ru­mah­an un­tuk ma­sya­ra­kat ber­peng­ha­sil­an ren­dah de­ngan sta­tus se­wa. Na­mun, ke­nya­ta­an di la­pang­an je­las ber­be­da de­ngan ma­rak­nya pem­ ba­ngun­an pe­ru­mah­an eli­te, per­to­ko­an, a­ta­u­pun real estate de­ngan hak mi­lik yang meng­gu­sur la­han per­ta­ni­an mi­lik war­ga. Any ju­ga me­nam­bah­kan, ke­ti­dak­je­ las­an kon­struk­si pe­ta­ni se­ba­gai sub­jek hu­kum ju­ga ber­ten­tang­an de­ngan UUPA Pasal 10 ayat 1. Da­lam pa­sal ter­se­but di­ je­las­kan ten­tang a­sas ta­nah per­ta­ni­an yang “di­ker­ja­kan dan di­us­ a­ha­kan sen­ di­ri se­ca­ra ak­tif o­leh pe­mi­lik­nya” yang me­ru­pa­kan pe­do­man pe­nga­tur­an un­tuk Sistem Hukum Pertanian. A­da­nya Sis­tem Hu­kum Pertanian ber­tu­ju­an un­tuk men­ja­min ke­se­jah­te­ ra­an pe­ta­ni, ja­mi­nan pa­ngan pen­du­duk de­ngan har­ga yang pan­tas, dan ja­min­ an ling­kung­an hi­dup. Hal-hal tersebut me­ru­pa­kan sa­tu ke­sa­tu­an. Tak bi­sa bi­la ha­nya di­lak­sa­na­kan sa­lah sa­tu sa­ja. “Da­ lam UUPA 1960 pa­da Penjelasan Umum romawi I alinea ter­ak­hir, kan, di­se­but­ kan bah­wa UUPA ber­tu­ju­an me­le­tak­kan da­sar-da­sar ba­gi pe­nyu­sun­an hu­kum a­gra­ria na­si­o­nal yang a­kan mem­ba­wa ke­mak­mur­an rak­yat, ter­u­ta­ma rak­yat ta­ni,” je­las Any. Na­mun, me­li­hat fak­ta di la­pang­an, pe­ta­ni tak cu­kup se­jah­te­ra. De­ngan ting­ kat ke­se­jah­te­ra­an yang ren­dah ka­re­na ha­sil per­ta­ni­an ti­dak di­har­gai de­ngan

pan­tas, pe­ta­ni ka­dang me­ra­sa ke­be­rat­an ka­lau sa­wah me­re­ka di­tun­juk se­ba­gai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) se­bab ta­nah tak bi­sa di­kon­ver­si­ kan men­ja­di la­han se­la­in per­ta­ni­an atau sa­wah. “Ka­lau su­dah men­ja­di sa­wah yang ber­sta­tus LP2B ti­dak bo­leh di­ju­al a­ta­u­ pun di­kon­ver­si. Ser­ti­fi­kat la­han sa­wah yang ber­sta­tus LP2B a­kan di­tu­lis bah­wa ta­nah ini ti­dak bo­leh di­ju­al se­la­in men­ja­di sa­wah a­tau di­kon­ver­si­kan men­ja­di la­han la­in. Be­lum la­gi in­sen­tif yang ku­rang da­ri pe­me­rin­tah se­hing­ga ba­nyak pe­ta­ni yang ti­dak mau,” jelas Dr. Laksmi A. Savitri, dosen Antropologi UGM. Hal ini pun di­se­pa­ka­ti o­leh Any, ba­ nyak pe­ta­ni yang lan­tas ter­gi­ur men­ju­al la­han­nya dan me­no­lak la­han per­ta­ni­ an­nya di­ja­di­kan se­ba­gai LP2B. “Ka­lau pe­ta­ni ti­dak men­da­pat ke­se­jah­te­ra­an dan har­ga pan­tas, me­re­ka pas­ti eng­gan men­ ja­di­kan sa­wah­nya se­ba­gai LP2B. O­leh ka­re­na i­tu, kri­te­ria sub­jek hu­kum pe­ta­ni yang kon­struk­tif ha­rus di­se­le­sai­kan da­ hu­lu o­leh pe­me­rin­tah un­tuk kon­struk­si ke­bi­jak­an u­sa­ha per­ta­ni­an yang meng­ u­sa­ha­kan la­han su­bur se­ca­ra e­ko­no­mis ber­ke­lan­jut­an,” jelas Any. Me­nu­rut Any, re­kon­struk­si, pe­naf­sir­ an kem­ba­li, dan a­man­de­men per­a­tur­anper­at­ ur­an me­nge­nai per­ta­ni­an dan la­han per­ta­ni­an per­lu di­lak­sa­na­kan. “Sub­jek hu­kum pe­ta­ni yang me­ru­pa­kan sub­sis­ tem pa­ling ke­cil da­lam sis­tem hu­kum yang ten­tu a­kan mem­e­nga­ruh­i sis­tem hu­kum yang pa­ling be­sar, yak­ni hu­kum per­ta­ni­an dan a­gra­ria,” tu­tur­nya

Pembuatan RTRW pun Bermasalah

Ke­ran­cu­an per­at­ ur­an per­un­dang­an ten­tang sub­jek hu­kum pe­ta­ni me­mu­dah­ kan per­gan­ti­an hak mi­lik la­han an­ta­ra pe­ta­ni ke non­pe­ta­ni, ak­hir­nya ber­dam­ pak pu­la pa­da pro­ses pem­bu­at­an RTRW. Se­bab ke­ti­ka per­lin­dung­an la­han per­ta­ ni­an tak ku­at, a­kan a­da ba­nyak ce­lah un­ tuk meng­u­bah ni­lai gu­na la­han men­ja­di non­per­ta­ni­an. Pem­bu­at­an RTRW yang


PRESI Randy | EKS

REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN pan­j ang se­r ing­k a­ li ha­nya di­la­ku­kan un­tuk tu­ju­an ad­mi­ ni­stra­tif tan­pa me­nge­ de­pan­kan e­sen­si. “ P e m ­­b u ­a t ­a n RTRW se­ha­rus­nya me­ mer­ha­ti­kan ba­nyak hal se­per­ti pre­dik­si DIY 20 ta­hun men­da­tang dan ta­hap kon­sul­ta­si ke­pa­da ah­li dan ma­sya­ra­kat. Na­ mun, se­ring­ka­li pem­bu­ at­an RTRW tak me­me­nu­ hi se­mua pro­se­dur. Pro­se­ dur­nya me­mang pan­jang ta­pi itu se­mua ha­rus di­pe­ nu­hi se­ca­ra genuine a­gar RTRW be­nar-be­nar ma­tang dan ti­dak revisi ti­ap re­vi­si. Ke­ti­ka RTRW di­re­vi­si ti­ap ta­hun ini me­ru­pa­kan se­bu­ ah in­di­ka­si bah­wa pem­bu­ at­an­nya tak ma­tang. Ja­di, RTRW me­mang se­be­nar­nya in­stru­men ke­bi­jak­an un­tuk me­ngen­da­li­kan dan meng­a­ tur pem­ba­ngun­an fi­sik yang ada di su­atu wi­la­yah,” je­las Laksmi. A­da­pun pre­dik­si yang mes­ ti­nya di­la­ku­kan o­leh pe­me­rin­ tah da­e­rah, me­nu­rut Laksmi, a­da­lah me­nge­nai po­ten­si yang di­mi­li­ki Yogyakarta; ba­ik po­ten­ si e­ko­no­mi, wi­sa­ta, pen­di­di­kan, ma­u­pun po­ten­si ben­ca­na, di­tam­ bah de­ngan pre­dik­si de­mo­gra­fi, dan peng­hi­tung­an ten­tang a­lo­ka­si ru­ang un­tuk mem­bu­at ke­bi­jak­an ta­ta ru­ang de­ngan da­sar ke­il­mu­an. Me­nam­bahi per­nya­ta­an Laksmi, Any me­nya­ran­kan bah­wa da­lam ta­t a ru­a ng se­h a­r us­n ya di­p er­h a­t i­k an land consolidation di wi­la­yah su­b-ur­ ban. “Wi­la­yah sub-ur­ban me­ru­pa­kan sa­buk pem­ba­ngun­an a­gar pem­ba­ngu­nan di ko­ta ti­dak lan­tas eks­pan­si ke da­e­rah di de­kat­nya se­hing­ga pem­ba­ngun­an ter­ ken­da­li,” u­jar­nya. Pe­ngen­da­li­an per­tum­buh­an kota dan ke­te­gas­an da­ri pe­me­rin­tah da­e­rah da­lam pem­be­ri­an izin sang­at me­nen­tu­ kan kon­di­si DIY ke de­pan. “Ke­ti­ka DIY me­mi­li­ki le­bih da­ri 200 u­ni­ver­si­tas, se­ ha­rus­nya pe­me­rin­tah me­nah­an per­i­zin­an pem­bu­at­an u­ni­ver­si­tas ba­ru. U­ni­ver­si­tas me­na­rik ba­nyak se­ka­li pen­du­duk ba­ru yang a­kan me­nem­pa­ti Yogyakarta dan

pan­j ang se­l a­m a 20 ta­h un. Na­mun, RTRW te­tap bi­sa di­ tin­jau ku­rang da­ri 20 ta­hun ke­ti­ka me­ne­mui kon­di­si lu­ar bi­a­sa se­per­ti ben­ca­na a­lam. “RTRW di­tin­jau u­lang mi­ni­ mal 5 ta­hun. Mi­sal­nya, ka­lau di Bantul a­da gem­pa bu­mi yang me­ru­sak struk­tur ru­ang dan po­la ru­ang yang ada di Bantul, bi­sa di­tin­jau kem­ ba­li ka­re­na ren­ca­na ki­ta ren­ca­na di kon­di­si nor­mal. Ja­di, ka­lau kon­di­si nor­mal itu ti­dak bo­leh, ha­rus a­da kon­di­si lu­ar bi­a­sa ji­ka ma­u di­u­bah dan ti­dak mem­ per­ha­ti­kan ta­hun la­gi,” jelas Ari. Se­l a­i n per­h i­t ung­ an yang ma­tang da­lam mem­bu­at RTRW, pe­me­ rin­tah ju­ga mes­ti me­la­ ku­kan pe­nga­was­an yang ke­tat. Di­je­las­kan o­leh Laksmi, per­ma­sa­lah­ an la­han yang ter­ja­di di Yogyakarta sa­ngat kom­pleks. Sa­lah sa­tu pe­nye­bab­nya pe­me­ rin­tah ti­dak mak­si­ mal me­lak­sa­na­kan dan me­n e­g ak­k an per­a­tur­an me­nge­ nai per­ma­sa­lah­an la­han. Da­l am per­ a­tur­an mes­ti­nya a­da peng­a­was­an UU No 19 Pasal 1 ayat 3 tentang kosntruksi subjek la­han mi­ni­mal sa­tu o­rang yang di­ hukum petani yang hanya dibatasi WNI. tu­gas­kan di ti­ap pro­vin­si. Na­mun, fak­ta di la­pang­an, pe­nga­was­an ter­ha­dap la­han ini me­ru­pa­kan sa­lah sa­tu pe­nye­bab pem­ be­lum mak­si­mal.Ter­buk­ti de­ngan ba­ ba­ngun­an hu­ni­an ba­ru men­ja­di ma­rak nyak­nya izin pem­ba­ngun­an yang ti­dak se­hing­ga meng­gu­sur la­han per­ta­ni­an. me­me­nu­hi sya­rat. Izin men­di­ri­kan ba­ Pun po­ten­si wi­sa­ta yang di­mi­li­ki DIY. ngun­an, mi­sal­nya, mes­ti­nya di­so­si­a­li­sa­si­ Ter­la­lu meng­ge­bu­nya pe­me­rin­tah da­e­ kan ke ma­sya­ra­kat mi­ni­mal 30 ha­ri se­be­ rah me­ngem­bang­kan da­e­rah­nya se­ba­gai lum pem­ba­ngun­an di­mu­lai a­gar bi­la a­da da­e­rah wi­sa­ta, mem­bu­at per­i­zin­an pem­ pro­tes da­ri ma­sya­ra­kat, pem­ba­ngun­an ba­ngun­an ho­tel men­ja­di be­gi­tu mu­dah bi­sa di­ba­tal­kan. “Ke­nya­ta­an di la­pang­an, dan ma­rak. Dan la­gi-la­gi la­han per­ta­ ka­sus a­par­te­men yang su­dah di­bang­un ni­an yang men­ja­di sa­sar­an­nya,” je­las lan­tas di­to­lak, kan, ba­nyak. Ka­lau di­ta­nya Laksmi. ada yang sa­lah a­tau ti­dak, da­ri si­tu sa­ja Men­ja­wab hal ini, Ari Rudi Nugroho, ki­ta bi­sa me­li­hat re­ak­si yang tim­bul se­te­ S.T., M.Sc., Kepala Bidang Sarana lah RTRW di­sah­kan. Ada be­be­ra­pa re­ak­si dan Prasarana Badan Perencanaan yang mem­bu­at ki­ta mem­per­ta­nya­kan Pembangunan Daerah Bantul (Kabid ren­ca­na ta­ta ru­ang. Ber­ar­ti ma­sya­ra­kat Sarpras Bappeda) men­je­las­kan bah­ ti­dak se­pa­kat,” tu­tup Laksmi. wa RTRW me­m ang ren­c a­n a jang­k a Laporan oleh Abi Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 11


ANALISIS UTA MA

Abi | EKSPRESI

Harga Tanah Tinggi, Bank Tanah Sulit Diterapkan

Salah satu rusunawa yang dibangun Pemerintah Bantul yang di bangun di atas tanah kas Desa Panggungharjo.

A­lih fung­si la­han a­da­lah su­a­tu hal yang ti­dak da­pat di­hin­da­ri na­mun ha­rus di­ken­da­li­kan. Pe­me­rin­tah mes­ti tu­run ta­ngan ben­tuk ke­bi­ja­kan. Oleh Faqihuddien Abi Utomo

K

on­sep bank ta­nah (banking land) ma­sih mem­pu­nyai ken­ da­la be­sar un­tuk di­te­rap­kan di Indonesia. Har­ga ta­nah yang ting­gi mem­bu­at pe­me­rin­tah ti­dak sang­ gup mem­be­li la­han un­tuk pro­gram bank ta­nah. “Pe­me­rin­tah su­dah meng­ang­gar­kan ta­pi di la­pa­ngan har­ga­nya ber­be­da da­ri yang di­tak­sir,” u­jar Ari Budi Nugroho, S.T., M,Sc., Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bantul. No­mi­nal ang­gar­an ter­se­but me­ru­pa­kan ha­sil pe­nak­sir­an da­ri tim in­de­pen­den se­ba­gai sa­lah sa­tu ta­hap da­lam pe­lak­sa­na­an pro­gram bank tanah. Ang­gar­an i­tu di­be­ban­kan ke Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). “Ta­pi ka­lau ter­nya­ta pe­me­rin­tah su­dah meng­ang­gar­kan har­ga se­ki­an se­dang­kan mas­ya­ra­kat mau­nya le­bih da­ri i­tu, ka­mi ju­ga ke­su­lit­an,” tam­bah Ari.

12 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

Bank ta­nah a­da­lah ke­bi­ja­kan pe­me­ rin­tah da­lam peng­en­da­li­an ta­ta ru­ang. Pe­lak­sa­na­an­nya, pe­me­rin­tah mem­be­li ta­nah ke­mu­di­an di­ri­lis kem­ba­li se­su­ai dengan ren­ca­na ta­ta ko­ta. Har­ga ju­al­nya pun ter­jang­kau un­tuk ma­sya­ra­kat. Wa­ ca­na kon­sep bank ta­nah su­dah a­da se­jak ta­hun 1970 ta­pi di Indonesia wa­ca­na i­ni ba­ru ber­kem­bang di ta­hun 1990.

Memutus Harga Tanah

Ko­ta-ko­ta di Indonesia se­dang meng­ ha­da­pi pe­ning­katan angka ur­ban­i­sa­si. Hal ini meng­a­ki­bat­kan ke­bu­tuh­an la­han men­ja­di per­so­al­an. Pem­bang­un­an di se­ ga­la bi­dang, ter­ma­suk in­fra­struk­tur pu­ blik ter­sen­dat, ti­dak ha­nya pe­ru­mah­an. Me­nu­rut Prof. Ir. Bakti Setiawan, M.A., Ph.D., per­so­al­an la­han yang ter­ja­di di Indonesia be­ra­da pa­da ak­ses­nya bu­kan pa­da ke­ter­se­di­a­an­nya. “A­pa be­tul ki­ta meng­ha­da­pi ke­lang­ka­an ta­nah? Be­lum ten­tu. Ta­nah ma­sih ba­nyak ta­pi ma­sa­

lah­nya a­da­lah ak­ses ter­ha­dap ta­nah ter­ se­but,” u­jar Guru Besar Program Studi Magister Perencanaan Kota dan Daerah Universitas Gadjah Mada (UGM) itu. Me­nu­rut Bakti, ak­ses ter­ha­dap ta­ nah da­pat me­nyang­kut har­ga ta­nah a­tau ka­re­na fung­si­nya yang ti­dak te­pat de­ ngan ke­bu­tuh­an ko­ta. Di ko­ta-ko­ta, yang ber­ma­sa­lah a­da­lah ak­ses ta­nah da­ri si­si har­ga. Har­ga ta­nah di per­ko­ta­an sangat ma­hal. Ma­hal­nya har­ga ta­nah mem­bu­at ka­um me­ne­ngah ke ba­wah dan pe­me­rin­ tah su­lit men­jang­kau­nya. A­ki­bat­nya, kon­ sep bank ta­nah su­lit di­wu­jud­kan. “Ka­lau har­ga ta­nah tid­ak ter­kon­trol, ba­gai­ma­na pe­me­rin­tah bi­sa mem­be­li dan men­ja­lan­ kan bank ta­nah?” u­jar Bakti. Har­ga ta­nah yang ma­hal di­se­bab­kan ka­re­na bis­nis la­han di­le­pas ke pa­sar dan ti­dak ter­kon­trol o­leh pe­me­rin­tah. A­ki­ bat­nya pa­ra spe­ku­lan ta­nah dan pe­mo­dal sangat le­lu­a­sa me­na­war­kan har­ga be­li ta­nah yang ting­gi ke­pa­da ma­sya­ra­kat.


REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN Randy | EKSPRESI

Un­tuk men­ce­gah se­ma­kin naiknya har­ga ta­nah, me­nu­rut Bakti, hal yang ha­rus di­la­ku­kan pe­me­rin­tah a­da­lah me­mu­tus ka­pi­ta­li­sa­si ta­nah. Bakti me­ nam­bah­kan, di Indonesia ha­rus ada un­dang-un­dang a­tau per­a­tur­an yang kuat da­lam hal pem­ba­tas­an har­ga ta­nah. Indonesia ha­rus men­con­toh ne­ga­ra la­in yang me­ne­rap­kan per­a­tur­an yang me­ la­rang pen­ju­al­an ta­nah le­bih da­ri yang di­te­tap­kan pe­me­rin­tah. Ji­ka ti­dak a­da pe­ngen­da­li­an pem­ba­tas­an har­ga ta­nah, kon­sep bank ta­nah ti­dak a­kan ter­wu­jud. “Bank Ta­nah me­mang sa­lah sa­tu al­ter­na­ tif yang ba­gus ta­pi ki­ta ha­rus li­hat du­lu a­kar per­so­al­an­nya. Ka­lau har­ga ta­nah ting­gi di la­pang­an, kon­sep ini ti­dak a­kan ter­wu­jud,” je­las Bakti. Se­la­in itu, so­si­al­is­ a­si yang ge­tol wa­jib di­la­ku­kan pe­me­rin­tah ke­pa­da ma­sya­ra­ kat ter­ka­it bank ta­nah. Me­nu­rut Bakti, ti­dak se­mua ma­sya­ra­kat da­pat me­ne­ri­ma kon­sep bank ta­nah. Hal ini di­ka­re­na­kan ma­sya­ra­kat le­bih su­ka men­ju­al sen­di­ri ta­nah­nya da­ri­pa­da ha­rus ke pe­me­rin­tah. “Ma­sya­ra­kat dan pe­me­rin­tah ma­sih be­ la­jar un­tuk sa­ling per­ca­ya. Ti­dak se­mua ma­sya­ra­kat me­ne­ri­ma kon­sep bank ta­ nah,” u­jar Bakti. Hal se­na­da ju­ga di­je­las­kan Ari. Se­ ring­nya sa­lah pe­nger­ti­an an­ta­ra ma­ sya­ra­kat dan pe­me­rin­tah men­ja­di­kan bank ta­nah su­lit di­lak­sa­na­kan. “Bank ta­nah kon­sep yang ba­gus. Sa­yang­nya di Indonesia kons­ep ini ku­rang co­cok ka­re­na se­ring ter­ja­di per­be­da­an har­ga an­ta­ra pe­me­rin­tah de­ngan ma­sya­ra­kat. Ak­hir­nya ki­ta meng­gu­na­kan ta­nah kas de­sa un­tuk di­ba­ngun ru­mah su­sun,” je­ las Ari.

Tanah Kas Desa

Su­lit­nya pe­ne­rap­an bank ta­nah un­ tuk pe­man­fa­at­an hu­ni­an di Kabupaten Bantul mem­bu­at pe­me­rin­tah me­ngam­ bil ca­ra la­in. Sa­lah sa­tu­nya me­man­fa­ at­kan ke­bi­jak­an ta­nah kas de­sa. Ta­nah kas de­sa di­se­wa da­ri pe­me­rin­tah de­sa un­tuk di­gu­na­kan o­leh pe­me­rin­tah da­e­ rah. Me­nu­rut Ari, me­nye­wa la­han le­bih mu­rah ser­ta mu­dah da­ri­pa­da mem­be­li ta­nah dan me­la­ku­kan pem­be­bas­an la­han un­tuk bank ta­nah. “Kon­sepnya se­ru­pa bank ta­nah. Bantul me­ma­kai ta­nah kas de­sa,” ujar Ari. Ke­bi­ja­kan ta­nah kas de­sa di­lan­da­si Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 65 Tahun 2013 ten­ tang Tanah Kas Desa. Da­lam Pasal 1 a­yat

17 di­j e­l as­k an, ta­nah kas de­sa a­d a­l ah su­a ­t u je­nis ke­ka­ya­an de­s a yang be­ ru­pa beng­kok, lung­guh, peng­ a­rem-a­rem, ti­ ti­s a­r a, ku­b ur­ an, ja­lan de­sa, peng­gem­ba­la­an he­wan, da­nau, Pergub 65 Tahun 2013 tentang tanah kas desa yang menjadi landasan Bappeda Kabupaten Bantul. ta­nah pa­sar de­ sa, ta­nah ke­ra­mat, la­pang­an, dan ta­nah an se­wa ta­nah di­ka­wal o­leh pe­me­rin­ yang di­ku­a­sai o­leh pe­me­rin­tah de­sa. tah de­sa. Pro­ses pem­ba­ngun­an dan Tu­ju­an ta­nah kas de­sa ada dua. A­da pe­nge­lo­la­an ru­mah su­sun di­la­ku­kan yang di­gu­na­kan un­tuk pe­ja­bat de­sa, ada o­leh Dinas Pekerjaan Umum. “Bappeda pu­la yang di­gu­na­kan un­tuk pen­da­pat­an ha­nya me­ren­ca­na­kan. Di­ban­tu di­nas de­sa. Pemerintah Daerah Ka­bu­pa­ten ter­ka­it ka­re­na pem­ba­ngun­an ini a­da­ ­Bantul me­nye­wa­nya un­tuk ke­pen­ting­an lah pro­gram pe­me­rin­tah dan di­da­nai pu­blik a­tas i­zin gu­ber­nur. Ari men­je­ APBN,” te­rang Ari. las­kan, ma­sa se­wa ta­nah mak­si­mal 20 Ru­mah su­sun di­tu­ju­kan un­tuk ma­ ta­hun. Se­te­lah ma­sa se­wa ha­bis, ada dua sya­ra­kat de­ngan ta­raf e­ko­no­mi me­neng­ pi­lih­an: di­per­pan­jang ma­sa se­wa a­tau ah ke ba­wah. Peng­hu­ni­nya ti­dak ter­tu­tup di­se­rah­kan pe­nge­lo­la­an­nya ke­pa­da pe­ ha­nya un­tuk war­ga Bantul. Me­nu­rut Ari, me­rin­tah de­sa se­tem­pat. da­ri a­wal, pe­run­tuk­an ru­mah su­sun a­da­ Ta­nah kas de­sa bi­sa di­fung­si­kan lah 80% war­ga Bantul, 20% war­ga lu­ar un­tuk per­ta­ni­an ma­u­pun hu­ni­an. Ji­ Bantul. Wak­tu se­wa­nya ju­ga di­ba­ta­si, ka di­fung­si­kan un­tuk hu­ni­an, pe­nga­ pa­ling la­ma ti­ga ta­hun. Ke­bi­jak­an ini lih­fung­si­an la­han a­kan di­lak­sa­na­kan di­am­bil un­tuk mem­be­ri ke­sem­pat­an a­tas i­zin gu­ber­nur. Da­lam prak­tik­nya, war­ga Bantul la­in yang ku­rang mam­pu Pemerintah Bantul me­man­fa­at­kan ta­nah un­tuk men­da­pat­kan hu­ni­an la­yak. Se­la­ kas de­sa un­tuk ru­mah su­sun. Ru­mah ma ting­gal di ru­mah su­sun, pe­me­rin­tah su­sun ter­se­bar di ti­ga ke­ca­mat­an, yak­ni ju­ga mem­be­ri pe­la­tih­an. Ha­rap­an­nya, Kecamatan Kasihan di Desa Ngestiharjo, se­te­lah ke­lu­ar da­ri ru­mah su­sun, de­ Kecamatan Sewon di Desa Panggung ngan be­kal yang ada da­pat be­ker­ja dan Harjo, dan Kecamatan Banguntapan di men­ca­ri hu­ni­an sen­di­ri. Desa Banguntapan. Kabupaten Bantul mem­pu­nyai ren­ Pe­mi­lih­an lo­ka­si ta­nah kas de­sa un­ ca­na un­tuk me­lin­dungi a­rea per­ta­ni­an tuk pem­ba­ngun­an ru­mah su­sun ju­ga a­gar ti­dak di­u­bah ke non­per­ta­ni­an. Sa­at mem­per­tim­bang­kan be­be­ra­pa as­pek. ini, Pemerintah Daerah Bantul sedang Sa­lah sa­tu­nya ke­mung­kin­an mun­cul­nya mem­bu­at re­gu­la­si Lahan Pertanian lo­ka­si-lo­ka­si yang ber­po­ten­si men­ja­di Pangan Berkelanjutan (LP2B) se­su­ ka­was­an ku­muh di Bantul. Bappeda me­ ai de­ngan un­dang-un­dang. Ser­ti­fi­ka­si la­ku­kan pem­ba­ca­an ke­pa­da da­e­rah yang Hak Atas Tanah ju­ga gen­car di­la­ku­kan. ber­po­ten­si men­ja­di ka­was­an ku­muh. Ser­ti­fi­kat ini men­ja­min la­han ma­sya­ra­ Da­ri ha­sil pem­ba­ca­an ter­se­but ma­ka kat yang me­mang di­khu­sus­kan un­tuk di­bang­un ru­mah su­sun di ti­ga ke­ca­mat­ per­ta­ni­an. an ter­se­but. “Ti­ga ke­ca­mat­an ter­se­but Le­bih lan­jut, un­tuk meng­hin­dari ber­ba­tas­an de­ngan ko­ta. Kon­se­ku­en­si a­lih fung­si la­han, se­ca­ra ma­kro Bappeda da­e­rah yang ber­ba­tas­an de­ngan ko­ta Bantul meng­gu­na­kan pe­ta Rencana Tata a­kan ter­ja­di ka­was­an ku­muh. Pemda Ruang dan Wilayah (RTRW). Se­dang­kan me­ngan­ti­si­pa­si de­ngan mem­bang­un ru­ un­tuk mi­kro, Dinas Pekekerjaan Umum mah su­sun dan la­yak hu­ni,” je­las Ari. (DPU) Bantul meng­gu­na­kan Rencana Bappeda ti­dak sen­di­ri da­lam me­ Detail Tata Ruang (RDTR). Ji­ka ada ren­c a­n a­k an ru­m ah su­s un. Pem­b a­ izin pem­ba­ngun­an yang ti­dak se­su­ai ngun­an ru­mah su­sun a­da­lah pro­gram de­ngan RTRW dan RDRT, ti­dak a­kan pe­me­rin­tah ka­bu­pa­ten, di da­lam­nya di­ke­lu­ar­kan i­zin re­ko­men­da­si pem­ba­ ju­ga ter­li­bat di­nas yang ter­ka­it. U­rus­ ngun­an­nya. Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 13


ANALISIS UTA MA

Nasib Konsolidasi Lahan Milik Rakyat

Keberadaan manusia tidak dapat lepas dari tanah. Konsolidasi lahan sebagai pendayagunaan tanah yang manusiawi tentu tidak dapat dilepaskan dari manusia yang tinggal di atasnya. Oleh Muhammad Nur Farid

S

e­ca­ra u­mum kon­so­li­da­si la­han a­da­lah se­bu­ah kon­sep pen­da­ ya­gu­na­an ta­nah de­ngan ca­ra meng­a­tur u­lang su­a­tu wi­la­yah yang ku­rang ter­at­ ur me­nu­ju ta­ta ru­ang yang le­bih ter­at­ ur de­ngan me­li­bat­kan pe­ ran ak­tif ma­sya­ra­kat. Se­ma­kin pe­sat­nya per­kem­bang­an pem­ba­ngun­an mem­bu­at kon­so­li­da­si la­han sa­ngat di­per­lu­kan gu­ na meng­a­tur ta­ta gu­na ta­nah ter­u­ta­ma pe­ri­hal ta­ta ru­ang. Me­nu­rut Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2014 ten­ tang kon­so­li­da­si la­han, kon­so­li­da­si la­han a­da­lah ke­bi­ja­kan per­ta­nah­an me­nge­nai pe­na­ta­an kem­ba­li pe­ngu­as­ a­an dan peng­ gu­na­an ta­nah ser­ta u­sa­ha peng­a­da­an ta­ nah un­tuk ke­pen­ting­an pem­ba­ngun­an, me­ning­kat­kan ku­a­li­tas ling­kung­an, dan pe­me­li­ha­ra­an sum­ber da­ ya a­l am de­ngan me­li­bat­kan par­ ti­si­pa­si ak­tif ma­sya­ ra­kat. Di Indonesia, kon­so­li­da­si la­han per­ta­ma ka­li di­

lak­sa­na­kan di Renon, Denpasar, Bali me­la­lui pro­gram Konsolidasi Tanah Perkotaan (KTP). Pro­gram kon­so­li­da­si la­han di Renon yang sa­at itu ma­sih ma­ suk wi­la­yah pe­me­rin­tah­an Kabupaten Badung ter­lak­sa­na, bah­kan se­be­lum per­ a­tur­an ten­tang kon­so­li­da­si la­han ada. Kon­so­li­da­si la­han di Renon di­lak­sa­na­kan pa­da 1981 pa­da­hal per­a­tur­an me­nge­­nai kon­so­li­da­si la­han ba­ru pa­da 1991. Wakil Ketua Ikatan Arsitek Indonesia Provinsi Bali, Prof. Dr. Ir. I Wayan Runa, M.T., ber­pen­da­pat bah­wa kon­so­li­da­si la­han da­pat men­ja­di al­ter­na­tif pe­na­ta­an ru­ang yang ba­ik. “Ka­lau ing­in ta­ta ko­ta ba­gus, kon­so­li­da­si la­han bi­sa ja­di so­lu­ si,” tu­tur dosen Universitas Warmadewa itu. Me­nu­rut­nya kon­so­li­da­si la­han yang su­dah ter­lak­sa­na se­la­ma 24 ta­hun di Denpasar ber­ha­sil mem­bu­at pe­na­ta­an ru­ang re­la­tif ti­dak sem­ra­wut. Se­la­in itu, me­nu­rut Runa, kon­ sep kon­so­li­da­si la­han ti­dak ha­nya ber­hen­ti pa­da pen­da­ya­gu­na­an la­ Farid | EKSPRESI han na­mun ju­ga pen­da­ya­gu­na­an ma­sya­ra­kat yang me­mi­li­ki la­han ter­se­but. “Kon­sep u­ta­ ma kon­so­li­da­si la­han, kan mem­bu­at ma­sya­ ra­kat mau meng­a­tur po­la ru­ang se­su­ai de­ ngan ke­ing­in­an pe­me­ rin­tah,” te­rang Runa. Hal ini se­su­ai de­ngan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 ten­tang Peraturan Dasar Pokok Agraria Pasal 6 yang ber­ bu­nyi “Se­ mua hak a ­t a s Prof. Dr. Ir. I Wayan Runa, M.T. saat ditemui di kantornya. Menurutnya pelaksanaan ta­n ah konsolidasi lahan di Bali belum dapat mengakomodasi masyarakat umum.

14 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

mem­pu­nyai fung­si so­si­al”. Me­nu­rut Runa, hak ter­se­but ter­ma­suk hak un­ tuk me­mi­li­ki dan me­nge­lo­la. Da­lam hal pe­na­ta­an ru­ang, kon­so­li­da­si la­han di­ ang­gap pa­ling se­su­ai de­ngan sa­lah sa­tu pa­sal yang menjadi pedoman re­for­ma a­gra­riatersebut.

Peran Masyarakat dalam Konsolidasi Lahan Ka­re­na la­han yang a­kan di­a­tur po­la ta­ta ru­ang­nya a­da­lah mi­lik ma­sya­ra­kat, ten­tu pe­lak­sa­na­an kon­so­li­da­si la­han ti­ dak ter­le­pas da­ri peranannya. Dalam masyarakat Bali dikenal a­da­nya sis­tem de­sa a­dat. Se­ca­ra ad­mi­nis­tra­tif, de­sa a­dat ti­dak­lah sa­ma de­ngan de­sa pa­da u­mum­ nya. Desa a­dat di­pim­pin o­leh ke­tua a­dat dan bi­a­sa­nya ha­nya me­ngu­ru­si hal-hal ke­a­ga­ma­an. I­tu se­bab­nya me­nga­pa ji­ka ada pen­du­duk yang ber­be­da a­ga­ma (se­la­ in Hindu), ia ti­dak ter­ma­suk da­lam de­sa a­dat, mes­ki­pun se­ca­ra ad­mi­nis­tra­tif ting­ gal da­lam wi­la­yah ter­se­but. Runa meng­ ung­kap­kan bah­wa ma­sya­ra­kat Bali ja­rang mem­bang­kang ji­ka ada pro­gram da­ri pe­ me­rin­tah. Hal ini ka­re­na a­da­nya pe­nga­ruh ke­pa­la adat ke ma­sya­ra­kat Bali. Pe­lak­sa­na­an pro­gram pe­me­rin­tah di Bali ti­dak ter­le­pas da­ri pe­ran­an a­dat. Ham­pir se­mua pe­lak­sa­na­an pro­gram yang ber­ke­na­an lang­sung de­ngan ma­ sya­ra­kat mem­bu­tuh­kan pe­ran­an a­dat. Mes­ki­pun bi­a­sa­nya ke­pa­la a­dat ha­nya ber­u­rus­an de­ngan hal-hal ke­a­ga­ma­an, ma­sya­ra­kat cen­de­rung le­bih pa­tuh ter­ ha­dap ke­pa­la a­dat­nya da­ri­pa­da ke­pa­la de­sa­nya. “Po­si­si a­dat b­ia­sa­nya le­bih ku­at di­ban­ding de­ngan pe­me­rin­tah­an. Ja­di, ka­lau ke­pa­la a­dat su­dah me­me­rin­tah bi­a­sa­nya war­ga lang­sung meng­i­ku­ti,” tu­tur Runa. Di de­sa a­dat, ke­pa­la a­dat­lah yang bi­as­ a­nya meng­a­tur pe­me­rin­tah­ an di de­sa. Ke­pa­la de­sa ha­nya ber­tu­gas meng­u­rus ad­mi­nis­tra­si bi­ro­kra­si. “Ka­lau


REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN

Dokumen Istimewa

Salah satu sudut Kota Denpasar. Konsolidasi lahan mendukung tumbuhnya kota dengan penataan tata ruang yang lebih baik.

pe­me­rin­tah pu­nya pro­gram, pas­ti ke­ pa­la a­dat­nya yang di­tu­ju le­bih du­lu,” tam­bah Runa. Mes­ki pro­gram kon­so­li­da­si la­han ti­dak ber­hu­bung­an lang­sung de­ngan a­dat, pe­lak­sa­na­an­nya te­tap me­li­bat­kan ke­pa­la a­dat. Da­lam pe­lak­sa­na­an kon­ so­li­da­si la­han di Bali, pe­me­rin­tah se­la­ lu ber­kon­so­li­da­si de­ngan ke­pa­la a­dat. “Ma­sya­ra­kat di Bali ada ke­ter­gan­tung­an de­ngan ke­pa­la a­dat ka­re­na`de­sa a­dat ma­sih sang­at ku­at,” tu­tur­nya. Itu se­ bab­nya se­be­lum pro­gram kon­so­li­da­si la­han di­so­si­a­li­sa­si­kan ke ma­sya­ra­kat, ter­le­bih da­hu­lu di­so­si­a­li­sa­si­kan ke­pa­da ke­tua a­dat. Hal ter­se­but ju­ga di­be­nar­ kan o­leh Rini Ambarwati, Ketua Bidang Sarana Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Bali. “Ka­lau so­si­al­ i­sa­si di ma­na-ma­na sa­ma, o­rang ba­wa golok dan parang itu bi­a­sa. Ta­pi ka­re­na me­re­ka di­ja­ga sa­ma a­dat, pe­lak­sa­na­an kon­so­li­da­si la­han bi­a­sa­nya te­tap a­man,” ung­kap Rini.

Program Konsolidasi Lahan Harus Bersih

Se­ba­gai sa­lah sa­tu kon­sep peng­a­tur­ an pen­da­ya­gu­na­an la­han, kon­so­li­da­si la­han sang­at ba­gus un­tuk di­lak­sa­na­kan ter­u­ta­ma ber­ka­it­an de­ngan po­la ta­ta ru­ ang. Runa ber­pen­da­pat bah­wa pe­lak­sa­ na­an kon­so­li­da­­si la­han te­tap ha­rus da­pat meng­a­ko­mo­da­si ma­sya­ra­kat. Mes­ki­pun

Bali di­ang­gap da­e­rah per­ta­ma dan suk­ses me­lak­sa­na­kan kon­so­li­da­si la­han, ma­sih te­tap a­da be­be­ra­pa hal yang per­lu di­e­ va­lu­as­ i da­lam pe­lak­sa­na­an­nya. “Kon­ so­li­da­si la­han ba­gus un­tuk ta­ta ru­ang na­mun ma­sih a­da hal-hal ne­ga­tif yang per­lu di­hi­lang­kan,” tu­tur Runa. Me­nu­rut Runa, pe­lak­sa­na­an kon­so­ li­da­si la­han di Bali be­lum se­pe­nuh­nya da­pat di­nik­ma­ti ma­sya­ra­kat. Hal itu di­ ka­re­na­kan a­da­nya bi­ro­kra­tis­me da­lam pe­lak­sa­na­an pro­gram. Pe­lak­sa­na­an kon­ so­li­da­si la­han ma­sih sa­rat de­ngan ke­pen­ ting­an o­rang yang pu­nya ke­ku­a­sa­an. Runa meng­ung­kap­kan bah­wa da­lam pe­lak­sa­ na­­an kon­so­li­da­si la­han bi­ro­kra­si ma­sih be­lum ber­sih. “Ma­sih ada ok­num-ok­num yang ‘ma­in’ di sa­na,” ung­kap­nya. Hal se­ru­pa ju­ga di­ung­kap­kan o­leh Rini. Pe­lak­sa­na­an kon­so­li­da­si la­han sa­ at ini se­ma­kin su­lit ter­lak­sa­na ka­re­na ni­lai ju­al ta­nah yang ma­kin me­ning­kat se­hing­ga ba­nyak o­rang ing­in meng­am­bil ke­un­tung­an da­ri pe­lak­sa­na­an kon­so­li­da­ si la­han. Ia men­con­toh­kan pe­lak­sa­na­an kon­so­li­da­si la­han yang teng­ah di­ga­rap sa­at i­ni. “Kon­so­li­da­si la­han pa­ling de­kat yang a­kan di­la­ku­kan a­da di Mergayo, Denpasar Barat. Itu pun pe­lak­sa­na­an­ nya su­sah, ter­la­lu ba­nyak ben­tur­an, dan ba­nyak ke­pen­ting­an,” ung­kap­nya. A­da­nya kon­so­li­da­si la­han un­tuk ta­ ta gu­na la­han dan pola ta­ta ru­ang yang

ma­kin ba­ik a­kan mem­bu­at har­ga ta­nah me­ning­kat. Runa ber­pen­da­pat, “Har­ga ta­nah itu a­da­lah me­ka­ni­sme pa­sar. Sa­ ngat su­sah un­tuk me­ngen­da­li­kan­nya. A­pa­bi­la ti­dak ber­lan­das­kan ke­pen­ting­an u­mum, kon­so­li­da­si la­han da­pat men­ja­ di bu­me­rang. Runa meng­am­bil con­toh pe­lak­sa­na­an kon­so­li­da­si la­han di Renon yang ak­hir­nya men­ja­di ka­was­an e­li­te. Ka­lau bi­lang Renon, pan­dang­an o­rang Bali ten­tu ber­pi­kir cu­ma bos-bos yang pu­nya,” ung­kap­nya. Runa me­nya­yang­kan pro­gram kon­ so­li­da­si la­han yang di­te­rap­kan o­leh Pemerintah Denpasar dan di­am­bil a­lih o­leh pe­ngem­bang swas­ta yang jus­tru ha­ nya di­nik­ma­ti o­leh ka­lang­an me­neng­ah ke a­tas. Me­nu­rut Runa pro­gram yang da­pat meng­a­ta­si ma­sa­lah hu­ni­an dan mam­pu meng­ak ­ o­mo­da­si ma­sya­ra­kat me­ne­ngah ke ba­wah a­da­lah pem­ba­ngun­an perumnas. Ha­nya sa­ja pe­ru­mah­an-pe­ru­mah­an i­tu bi­a­sa­nya ti­dak la­yak hu­ni, tam­bah Runa. “Pe­ru­mah­an-pe­ru­mah­an (perumnas, red.) itu bi­a­sa­nya di­ba­ngun di da­e­rah pe­lo­sok un­tuk mem­bu­at bi­a­ya pem­ba­ngun­an le­ bih mu­rah. U­kur­an­nya pun ke­cil se­hing­ga ti­dak ba­nyak di­mi­na­ti. “Ka­lau kon­so­li­da­si la­han se­ka­rang, yang me­nik­ma­ti a­da­lah me­ne­ngah ke a­tas. Ka­lau yang bi­sa di­nik­ ma­ti o­leh ka­lang­an me­ne­ngah ke ba­wah, ya perumnas itu,” tu­tur Runa. Laporan oleh Pras

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 15


ANALISIS UTA MA

Farid | EKSPRESI

Pertanian Beralih Menjadi Perumahan

Salah satu perumahan yang sedang dibangun di wilayah Mlati. Perumahan tersebut dibangun di bekas lahan pertanian.

Oleh Arde Candra Pamungkas

M

e­n ing­k at­n ya jum­l ah pen­ du­duk di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) me­n ye­ bab­kan ber­ku­rang­nya la­han pro­duk­tif peng­ha­sil pa­ngan di wi­la­yah per­ko­ta­an, bah­kan pe­de­sa­an. Di DIY, ter­u­ta­ma di wi­la­yah ko­ta su­dah ja­rang di­te­mui la­han pro­duk­tif un­tuk per­ta­ni­an. Ke­ter­ba­tas­an la­han di per­ko­ta­an ju­ga me­nye­bab­kan pem­ba­ngun­an ber­kem­ bang ke wi­la­yah se­ki­tar ko­ta. A­lih fung­si la­han men­ja­di per­ma­sa­ lah­an di­le­ma­tis, an­ta­ra mem­per­ta­han­kan la­han pro­duk­tif, khu­sus­nya per­ta­ni­an se­ba­gai sum­ber pa­ngan, a­tau te­tap me­la­ ku­kan pem­ba­ngun­an gu­na ke­ter­se­di­a­an hu­ni­an. Ter­ka­it de­ngan pem­ba­ngun­an, da­e­rah ping­gir­an me­ru­pa­kan wi­la­yah yang pa­ling ba­nyak meng­a­la­mi per­ub ­ ah­ an pen­da­ya­gu­na­an la­han ter­ut­ a­ma da­ri la­han per­ta­ni­an ke non­per­ta­ni­an.

16 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

Ari Rudi Nugroho, S.T., M.Sc., Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Bantul, me­ne­rang­kan bah­wa da­lam pe­ngen­da­li­an a­lih fung­si la­han ha­rus ada a­na­li­sis ta­ta ru­ang, ter­ma­suk a­na­li­sis me­nge­nai da­ya du­kung dan da­ya tam­pung­ nya. Da­ya du­kung ling­kung­an a­da­lah ke­ mam­pu­an e­ko­sis­tem un­tuk men­du­kung ke­hi­dup­an makh­luk hi­dup se­ca­ra se­hat, se­ka­li­gus mem­per­ta­han­kan pro­duk­ti­vi­tas­ nya. Da­ya tam­pung ling­kung­an me­ru­pa­kan ke­mam­pu­an ling­kung­an un­tuk me­nam­ pung zat e­ner­gi atau kom­po­nen la­in yang ma­suk di da­lam­nya. Pe­nen­tu­an da­ya du­kung ling­kung­an hi­dup di­la­ku­kan de­ngan ca­ra me­nge­ta­hui ka­pa­si­tas ling­kung­an dan sum­ber da­ya un­tuk men­du­kung ke­hi­dup­an ma­nu­sia. “De­ngan a­da­nya da­ya du­kung dan tam­ pung ini ki­ta bi­sa me­ren­ca­na­kan a­rah

pe­ngem­bang­an wi­la­yah­nya. A­rah­nya nan­ti mau se­per­ti apa? A­pa­kah do­mi­ na­si­nya un­tuk pe­mu­kim­an a­tau per­ta­ ni­an,” te­rang­nya. Ter­ka­it pe­ren­ca­na­an wi­la­yah, Ari men­je­las­kan bah­wa khu­sus­nya ren­ca­ na yang ter­ka­it de­ngan a­lih fung­si la­han ti­dak ha­nya ter­ba­tas pa­da Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). “Re­gu­la­si ten­ tang a­lih fung­si la­han ti­dak ha­nya ada di RTRW. Ba­nyak re­gu­la­si tu­run­an­nya. Ada yang na­ma­nya Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) un­tuk ins­tru­men pe­ngen­ da­li­an a­lih fung­si la­han. RTRW si­fat­nya ma­kro dan o­pe­ra­si­o­nal­nya ha­rus di­du­ kung RDTR,” tam­bah­nya.

Perkembangan Kawasan Jadi Pemicu

Me­nyi­kapi per­ma­sa­lah­an a­lih fung­ si la­han, Ari me­ne­rang­kan bah­wa a­lih fun­gsi la­han ti­dak bi­sa di­pi­sah­kan da­ri


REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN fak­tor-fak­tor pen­do­rong­nya. Ma­sa­lah po­kok­nya ada di per­tum­buh­an pen­du­duk yang pas­ti mem­bu­tuh­kan ru­ang un­tuk tem­pat ting­gal. Ia ju­ga me­nam­bah­kan bah­wa per­kem­bang­an ka­was­an pun tu­rut men­ja­di pe­mi­cu. Ka­was­an di si­ni ber­be­da de­ngan wi­la­yah ad­mi­nis­tra­si. “Wi­la­yah ad­mi­nis­tra­si je­las ba­tas­nya ta­pi yang na­ ma­nya ka­was­an itu me­ru­pa­kan fung­si ke­gi­at­an,” te­rang Ari. Ari men­con­toh­kan se­ba­gai pu­sat per­da­gang­an dan ja­sa, Kota Yogyakarta me­mi­li­ki da­ya du­kung dan tam­pung yang ter­ba­tas. Ru­ang­nya pun ter­ba­tas. Ke­ter­ ba­tas­an ru­ang i­ni­lah yang me­nye­bab­ kan fung­si ke­gi­at­an me­lu­as ke da­e­rah se­ki­tar­nya. “Per­tum­buh­an e­ko­no­mi ini mem­bu­tuh­kan ru­ang, sek­tor ja­sa mem­ bu­tuh­kan ru­ang, be­gi­tu pu­la un­tuk pe­mu­ ki­man,” tam­bah­nya. Di­tam­bah la­gi Kota Yogyakarta me­ru­pa­kan sa­lah sa­tu pu­sat ke­gi­at­an na­si­o­nal yang me­nye­bab­kan ko­ta ini men­ja­di ko­ta yang stra­te­gis.

Lahan Pertanian Terus Berkurang

Ke­ti­ka la­han pro­duk­tif ha­bis, da­e­rah a­kan ke­su­lit­an men­cu­kupi ke­bu­tuh­an pa­ngan­nya. Lu­as la­han per­ta­ni­an di Kota Yogyakarta pada 2008, 130,0285ha se­ dang­kan pa­da 2014 lu­as­nya ber­ku­rang men­ja­di 105,5951ha. Ar­ti­nya, se­la­ma ku­ run wak­tu tu­juh ta­hun la­han per­ta­ni­an di Kota Yogyakarta ber­ku­rang se­lu­as 24,4334ha. Ari me­n e­r ang­k an bah­w a un­t uk mem­per­o­leh Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ha­rus a­da i­zin per­u­bah­an peng­ gu­na­an ta­nah da­ri kan­tor per­ta­nah­an. Kan­tor per­ta­nah­an a­kan me­li­hat lo­ka­si yang di­a­ju­kan se­su­ai de­ngan ta­ta ru­ang­ nya a­tau ti­dak. Ja­di, IMB a­kan ter­bit ji­ka ta­nah su­dah ber­a­lih­fung­si. “I­zin­nya pun bi­sa di­to­lak ka­lau per­un­tuk­an­nya ti­dak se­su­ai de­ngan ke­ten­tu­an,” ung­kap­Ari. Bambang Turyono A. Ptnh., Kepala Sub­d i­v i­s i Penatagunaan Tanah dan Kawasan Tertentu Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta men­je­las­kan bah­wa di wi­la­yah Kota Yogyakarta ti­dak ter­da­pat zo­na per­lin­dung­an la­han sa­wah a­ba­di. Ji­ka a­da per­mo­hon­an a­lih fung­si la­han per­ta­ni­an men­ja­di non­per­ta­ni­an a­kan di­ i­zin­kan se­la­ma se­su­ai de­ngan RTRW. “Ter­ka­it ma­rak­nya a­lih fung­si la­han, Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta ber­ pe­ran me­ngen­da­li­kan kon­ver­si la­han per­ ta­ni­an. Se­su­ai de­ngan Pa­sal 10 Per­a­tur­ an Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004

ten­tang Pe­na­ta­gu­na­an Ta­nah di­te­tap­kan bah­wa pe­nye­le­sai­an ad­mi­nis­tra­si per­ta­ nah­an ha­nya da­pat di­lak­sa­na­kan a­pa­bi­la te­lah me­me­nu­hi per­sya­rat­an peng­gu­na­an dan pe­man­fa­at­an la­han se­su­ai a­rah­an da­lam RTRW,” te­rang Bambang. Se­la­in itu, da­lam pe­lak­sa­na­an UU Nomor 41 Tahun 2009 ten­tang Per­ lin­d ung­a n Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), Bambang men­ je­las­kan bah­wa BPN te­lah me­lak­sa­na­kan in­ven­ta­ri­sa­si dan pe­ne­tap­an zo­na­si ta­nah sa­wah ber­i­ri­ga­si da­lam rang­ka ke­ta­han­an pa­ngan na­si­o­nal. “Zo­na per­lin­dung­an la­han per­ta­ni­an pa­ngan ber­ke­lan­jut­an ter­se­but ti­dak di­per­ke­nan­kan un­tuk di­a­ lih­fung­si­kan, ke­cu­a­li un­tuk ke­pen­ting­an ter­ten­tu yang ber­si­fat na­si­o­nal de­ngan per­se­tu­ju­an ins­tan­si ter­ka­it di ting­kat pu­sat. Ta­nah yang di­kon­ver­si ha­rus di­ gan­ti di tem­pat la­in me­la­lui per­hi­tung­an pro­duk­si yang se­ta­ra dan me­ka­nis­me in­sen­tif ba­gi pe­mi­lik sa­wah yang ber­ sang­kut­an,” te­rang Bambang. Se­ba­gai im­ple­men­ta­si a­ma­nat UU Nomor 41 Tahun 2009 tentang Per­ lin­dung­an LP2B, Pemerintah Provinsi DIY yang di­ga­gas oleh Dinas Pertanian Provinsi DIY dengan persetujuan bersama DPRD telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan LP2B. Moedji Raharjo, S.H., M.Hum., melalui birohukum.jogjaprov.go.id me­ni­lai bah­wa da­lam im­ple­men­ta­si­ nya, Perda Nomor 10 Tahun 2011 ti­dak e­fek­tif ka­re­na ti­dak di­du­kung o­leh da­ta dan si­kap pro­ak­tif yang me­ma­dai da­ri pa­ra pe­mang­ku ke­pen­ting­an. Me­nu­rut Moedji se­ti­dak­nya ter­da­pat ti­ga ken­da­la men­da­sar yang men­ja­di a­las­an per­at­ ur­an pe­ngen­da­li­an kon­ver­si la­han su­lit ter­ lak­sa­na, ya­i­tu ken­da­la pa­da ko­or­di­na­si ke­bi­jak­an, pe­lak­sa­na­an, dan kon­sis­ten­si pe­ren­ca­na­an. Ter­ka­it de­ngan ti­ga ken­ da­la ter­se­but, ti­dak e­fek­tif­nya per­a­tur­an yang te­lah a­da ju­ga di­peng­a­ruhi oleh sis­tem ad­mi­nis­tra­si la­han ma­sih le­ mah, ko­or­di­na­si an­tar­lem­ba­ga yang ter­ka­it ku­rang ku­at, im­ple­men­ta­si ta­ta ru­ang yang be­lum me­ma­sya­ ra­kat, dan kon­ser­va­si ta­nah dan air yang be­lum me­ma­dai. Di si­s i la­i n, Moedji me­n i­l ai per­sep­si ke­ru­gi­an a­lih fung­si la­han sa­wah cen­de­rung bi­sa ke ba­wah. Dam­pak ne­ga­tif a­lih fung­si la­han, khu­sus­nya sa­wah, ti­dak di­ang­gap se­ba­gai per­so­al­an yang per­lu di­ta­

ngani se­ca­ra se­ri­us dan kon­sis­ten. Kom­ pe­ten­si un­tuk me­la­ku­kan peng­en­da­li­an a­lih fung­si la­han sa­wah ma­sih ren­dah ka­re­na be­lum a­da­nya su­a­tu a­tur­an ba­ku yang da­pat me­ma­yungi se­lu­ruh u­pa­ya pe­ngen­da­li­an yang di­la­ku­kan dan per­ lin­dung­an ter­ha­dap la­han per­ta­ni­an pro­duk­tif yang ada. Trigus Eko dan Sri Rahayu da­lam jur­nal­nya yang ber­ju­dul “Pe­ru­bah­an Peng­gu­na­an La­han dan Ke­se­su­ai­an­nya ter­ha­dap RDTR di Wilayah Peri-Urban Studi Kasus: Kecamatan Mlati” me­nyim­ pul­kan bah­wa wi­la­yah yang ber­ba­tas­an lang­sung de­ngan Kota Yogyakarta te­lah meng­a­la­mi pe­nu­run­an lu­as la­han per­ ta­ni­an se­ba­nyak 301,9ha da­lam ku­run wak­tu 1996 sam­pai 2010. Purwo Utomo, war­ga Dusun Kragilan, Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, ju­ga mem­be­nar­kan hal ter­se­but. Purwo yang du­lu­nya ber­pro­fe­si se­ba­gai pe­ta­ni ter­se­ but meng­ung­kap­kan bah­wa da­hu­lu la­han per­ta­ni­an di Desa Sinduadi ma­sih lu­as. Na­mun, ka­re­na ka­was­an ini ber­ba­tas­an lang­sung de­ngan kota, se­ka­rang ba­nyak la­han per­ta­ni­an yang ber­u­bah men­ja­di pe­ru­mah­an. “Du­lu a­da ke­lom­pok ta­ni­ nya ta­pi se­ka­rang su­dah ti­dak ak­tif la­ gi, ya ka­re­na sa­wah­nya se­ka­rang su­dah se­ma­kin se­di­kit. Ju­ga di si­ni se­ka­rang su­dah di­ang­gap la­han ke­ring se­mua,” ung­kap Purwo. Samto, Ketua Kelompok Tani Karang Bajang, Desa Tlogoadi, Kecamatan Mlati men­ce­ri­ta­kan bah­wa da­e­rah Tlogoadi ba­nyak mun­cul pe­ru­mah­an ba­ru. Se­la­ma 2014 sampai 2015 se­pan­jang Jalan Kebon Agung mu­lai dari Terminal Jombor ke arah ba­rat su­dah a­da le­bih da­ri 4 pe­ru­ mah­an. Ja­rak an­tar­pe­ru­mah­an tak le­bih da­ri li­ma ki­lo­me­ter. Ada yang su­dah ber­ di­ri ma­up ­ un yang ba­ru di­di­ri­kan. “Se­ mu­a­nya itu du­lu­nya me­ru­pa­kan la­han per­ta­ni­an,” te­rang Samto. Laporan oleh Abi dan Farid

Farid | EKSPRESI

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 17


ANALISIS UTA MA

Sumur Asat: Potret Buruk Pengelolaan Tata Ruang Oleh Siti Khanifah

M

a­rak­nya pem­ba­ngun­an ho­tel, a­par­te­men, dan mal di Kota Yogyakarta ber­dam­pak bu­ ruk pa­da ling­kung­an, sa­lah sa­tu­nya kri­sis air. Me­nu­rut Drs. Suhadi Purwantara, M.Si., dosen Jurusan Geografi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), ba­nyak­nya pem­ba­ngun­an hotel, a­par­te­men, dan mal di Kota Yogyakarta me­nye­bab­kan wi­la­yah re­sap­an air ber­ ku­rang. A­ki­bat­nya, air hu­jan tu­run lang­ sung meng­a­lir ke la­ut tan­pa me­re­sap ke ta­nah. Ke­a­da­an ter­se­but se­ma­kin di­per­ pa­rah de­ngan a­da­nya pem­ba­ngun­an di ka­was­an pe­gu­nung­an. Pa­da­hal, wi­la­yah ini ber­fung­si se­ba­gai da­e­rah re­sap­an. “Air yang me­re­sap ke ta­nah se­ma­kin se­ di­kit pa­da­hal peng­am­bil­an air se­ma­kin be­sar,” tam­bah­nya. Suhadi ju­ga men­je­las­kan bah­wa pem­ba­ngun­an tan­pa per­tim­bang­an yang ma­tang a­kan me­nye­bab­kan ku­an­ti­tas dan ku­a­li­tas air me­nu­run. Hotel mi­sal­nya, me­nu­rut da­ta pa­da ta­hun 2012 ter­da­ pat 54 ho­tel ber­bin­tang di Yogyakarta de­ngan 5.150 ka­mar dan 8.171 tem­pat ti­dur. Se­la­in itu ada 1.100 hotel melati de­ngan 13.309 ka­mar dan 21.720 tem­ pat ti­dur. Sa­tu ka­mar ho­tel di­per­ki­ra­kan mem­bu­tuh­kan se­ki­tar 380 li­ter air per ha­ri­nya, jum­lah ini ten­tu le­bih be­sar ji­ka di­ban­ding­kan de­ngan ke­bu­tuh­an air ru­ mah tang­ga yang ha­nya se­ki­tar 300 liter per ha­ri. “Be­sar­nya air yang di­gu­na­kan ber­ban­ding lu­rus de­ngan lim­bah yang di­ha­sil­kan da­ri ak­ti­vi­tas peng­gu­na­an air ber­sih. Ini me­nye­bab­kan ku­al­ i­tas a­ir me­nu­run,” te­rang Suhadi. Suhadi ju­ga me­nun­tut ji­ka ho­tel, a­par­te­men, dan mal te­tap meng­am­bil air ta­nah da­lam. Pi­hak ho­tel, a­par­te­men, dan mal ha­rus­ nya mem­be­ri­kan fa­si­li­tas ke­pa­da war­ga se­ki­tar a­gar ti­dak ke­hi­lang­an sum­ber air ber­sih. Fa­si­li­tas itu da­pat be­ru­pa bak-bak pe­nam­pung­an, mem­bu­at­kan su­mur, a­tau mem­be­ri­kan pom­pa air. Suhadi ju­ga me­nam­bah­kan, pem­ba­ ngun­an ti­dak a­kan ber­ma­sa­lah ji­ka ti­dak meng­gang­gu ke­ber­a­da­an air ta­nah. A­kan

18 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

Abi | EKSPRESI

ja­di ma­sa­lah ji­ka pem­ba­ ngun­an ter­se­but meng­ a­ki­bat­kan ku­an­ti­tas air ber­ku­rang dan ku­a­li­tas air me­nu­run. Me­nu­rut Suhadi peng­am­bil­an air ta­nah da­lam ti­dak a­kan ja­di ma­sa­lah ji­ka ma­sih pa­da ba­tas a­man atau yang disebut de­n gan save yield. Me­n u­r ut Eko Teguh Paripurno da­lam jur­nal yang ber­ ju­dul “Analisis DPSIR ter­ha­dap Sumber Daya Air di Yogyakarta dan Sekitarnya” ka­r ang­a n Bosman Batubara, eks­ trak­si air ta­nah ber­le­ bih­an ini ter­ja­di ka­re­na Cipta, warga Miliran yang sumur miliknya kering. se­jum­lah ho­tel ber­bin­tang me­nye­dot air se­ca­ra se­ram­pang­an. Pe­ se­ka­rang su­dah mu­sim hu­jan, a­kan te­ ngam­bil­an air ta­nah yang se­ram­pang­an ta­pi te­tap a­da ke­kha­wa­tir­an ka­lau nan­ti ini ter­ja­di ka­re­na bu­ruk­nya ma­na­je­men air a­kan ter­ja­di kri­sis air la­gi ke­ti­ka mu­sim ho­tel. Pa­da ak­hir­nya, hal ini meng­gang­gu ke­ma­rau da­tang. “Se­ka­rang su­mur­nya ke­ter­se­dia­an air di su­mur mi­lik war­ga. su­dah ti­dak ke­ring ka­re­na su­dah mu­ Pa­da­hal, ho­tel ti­dak da­pat meng­gan­tung­ sim hu­jan, ta­pi ti­dak ta­hu ka­lau nan­ti kan pa­sok­an a­ir­nya ter­ha­dap Perusahaan mu­sim ke­ma­rau su­mur­nya a­sat la­gi apa Daerah Air Minum (PDAM). ti­dak,” tu­tur Cipta. Cipta, sa­lah sa­tu war­ga Desa Miliran Me­nu­rut Suhadi be­rku­rang­nya re­ me­nga­ku se­men­jak a­da­nya pem­ba­ngun­ sap­an air ter­ja­di ka­re­na a­da­nya pem­ an hotel di da­e­rah­nya su­mur men­ja­di ba­ngun­an tan­pa me­mi­kir­kan Ruang ke­ring. Pa­da­hal, se­la­ma 50 tahun ia ting­ Terbuka Hijau (RTH). Ji­ka air ta­nah gal di Miliran ti­dak per­nah meng­a­la­mi di­am­bil te­rus-me­ne­rus, po­ri- po­ri ta­nah ke­ke­ring­an wa­lau­pun ke­ma­rau pan­jang. a­kan se­ma­kin ter­te­kan se­hing­ga ter­ja­di Un­tuk meng­a­ta­si kri­sis air yang ter­ja­di pe­nu­run­an per­mu­ka­an air ta­nah. Da­e­ warga Miliran ha­rus mem­per­da­lam su­ rah pe­gu­nung­an yang ha­rus­­nya men­ja­di mur a­gar mem­per­o­leh sum­ber air un­ da­e­rah re­sap­an ti­dak ber­fung­si se­per­ti tuk me­me­nu­hi ke­bu­tuh­an se­ha­ri-ha­ri. se­mes­ti­nya ka­re­na a­da­nya pem­ba­ngun­ “Su­mur­nya a­sat, ja­di ha­rus mem­per­ an. Suhadi me­ma­par­kan kri­sis air da­pat da­lam su­mur­nya. Du­lu ti­dak per­nah di­­hin­da­ri ji­ka pe­me­rin­tah da­pat me­nge­ meng­a­la­mi ke­ke­ring­an se­ma­cam i­ni, lo­la pem­ba­ngun­an wi­la­yah de­ngan be­nar ba­ru ka­li ini se­te­lah ada ho­tel ja­di ke­ dan mem­per­ba­nyak da­e­rah re­sap­an. Se­ ke­ring­an,” ung­kap Cipta. Se­ba­nyak dua la­in itu pe­me­rin­tah ha­rus mem­be­ri­kan Rukun Tetangga (RT) di Miliran, ya­i­tu pe­nge­ta­hu­an ke­pa­da ma­sya­ra­kat a­gar RT 13 dan RT 14 yang le­tak­nya ber­a­da di mau un­tuk mem­bu­at su­mur re­sap­an. de­kat ho­tel meng­al­ a­mi kri­sis air. Cipta Se­ti­dak­nya di se­ti­ap ru­mah ha­rus me­ me­nga­ku ji­ka se­ka­rang su­mur­nya su­ mi­li­ki sa­tu su­mur re­sap­an. dah ti­dak me­nga­la­mi ke­ke­ring­an ka­re­na Laporan oleh Abi dan Farid


REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN

Main Curang Makelar Oleh Nia Aprilianingsih

B

er­a­wal da­ri na­ta­li­tas ser­ta per­ kem­bang­an dan per­tum­buh­an e­ko­no­mi di per­ko­ta­an, ang­ka a­lih fung­si la­han di DIY men­ca­ pai 231ha/ta­hun. Da­lam prak­tik­nya, a­lih fung­si la­han se­ring melibatkan pen­ju­al, pem­be­li, dan ma­ke­lar sebagai perantara. Na­mun, ada juga ma­ke­lar yang mem­ban­ tu u­rus­an su­rat-me­nyu­rat gu­na mem­ per­mu­lus tran­sak­si. Meng­u­rus ad­mi­nis­tra­si per­ta­nah­an ten­tu ti­dak mu­dah. A­da ba­nyak ta­hap­an dan a­tur­an yang ha­rus di­pa­tu­hi. Be­be­ ra­pa ma­ke­lar dapat menyiasatinya. Hal itu di­a­kui o­leh se­or­ ang ma­ke­lar ber­i­ni­ si­al SG. Wa­wan­ca­ra yang di­la­ku­kan o­leh Nia Aprilianingsih, Reporter EKSPRESI, men­co­ba meng­ung­kap bah­wa penggunaan u­ang pe­li­cin untuk me­mu­ lus­kan tran­sak­si bu­kan­lah hal ba­ru.

Su­dah be­ra­pa la­ma An­da ber­pro­fe­si se­ba­ gai ma­ke­lar? Su­dah 16 ta­hun.

Bi­a­sa­nya ta­nah yang An­da ju­al di­ba­ngun un­tuk apa?

Ya, be­ra­gam. A­da ru­mah pri­ba­di dan pe­ru­mah­an.

bo­leh ada ba­ngun­an. Lha, itu kok ma­lah ada. Ka­re­na apa? Duit!

A­da yang ma­in u­ang di pe­me­rin­tah­an ter­ ka­it per­i­zin­an?

A­da ba­nyak. Ma­ke­lar ke­nal de­ngan o­rang-o­rang yang a­da di sa­na. Ta­pi, u­ang ya te­tap po­kok.

Se­be­ra­pa be­sar pe­ran ma­ke­lar da­lam ju­al be­li ta­nah?

Ma­ke­lar ber­pe­ran se­ba­gai per­an­ta­ra. Ma­ke­lar bi­a­sa ti­dak a­kan bi­sa sam­pai ke ra­nah yang le­bih be­sar (meng­u­rus su­rat, red.). Pak Ses (na­ma sa­lah sa­tu ma­ke­lar ke­nal­an­nya, red.) ti­dak pa­ham u­rus­an su­ rat. Dia cu­ma perantara. Ka­lau sa­ya, kan, meng­u­rus se­mua su­rat. Ha­rus me­nye­le­ sai­kan su­rat-me­nyu­rat sam­pai se­le­sai. Na­kal se­di­kit, ya, ndak apa-apa. Ba­n yak yang ber­t a­nya me­nga­p a meng­u­rus su­rat itu la­ma. A­da pu­luh­an ber­kas yang ha­rus di­ta­ngani se­ti­ap ha­ ri. Kalau ada ber­kas ba­ru, ber­kas la­ma ten­tu­nya ba­kal di­tum­pu­ki ber­kas ba­ru. Ka­lau ber­kas su­dah la­ma na­mun be­lum di­ta­ngani, ya, kudu ngasih uang. Ba­ru­ lah ber­kas itu di­bong­kar dan di­ta­ngani la­gi.

A­lih fung­si la­han di DIY se­ma­kin me­ning­kat. Ba­gai­ma­na me­nu­rut An­da? Nah, yang mem­bu­at a­lih fung­si la­ han i­tu se­be­tul­nya a­pa? Per­tam­bah­an pen­du­duk, kan.

Ba­nyak la­han pro­duk­tif ber­a­lih ja­di pe­ ru­mah­an dan la­in-la­in. Ba­gai­ma­na i­tu, Pak?

Pe­ru­mah­an di sam­ping kam­pung i­ni ba­yar ke kas RT se­be­sar 25 ju­ta un­tuk so­si­a­li­sa­si. Tan­pa so­si­a­li­sa­si, ti­dak a­kan bo­leh. Pem­bo­rong pe­ru­mah­an nyum­ bang ke pe­du­kuh­an. Sa­tu pe­du­kuh­an di­un­dang lalu di­ka­sih ma­kan, uang 50 ribu, dan se­ba­gai­nya. So­si­a­li­sa­si ag­ar i­zin­ da­pat lo­los. Ka­lau ma­sya­ra­kat ti­dak se­tu­ ju pem­ba­ngun­an pe­ru­mah­an, mi­sal­nya, i­zin ti­dak a­kan lo­los. Ta­pi, ber­hu­bung su­dah di­ka­sih u­ang, ya, se­tu­ju sa­ja. Sa­wah di ba­rat de­sa itu kan ha­rus­nya ja­di la­han pro­duk­tif un­tuk pa­di. Ti­dak

Akta jual beli dan sertifikat tanah. Makelar tanah bertugas mempermudah penerbitan dokumen ini.

La­han pro­duk­tif ti­dak di­per­bo­leh­kan ja­di pe­ ru­mah­an. Sleman di­ja­di­kan da­e­rah re­sap­an air ta­pi ba­nyak ba­ngun­an di sa­na. Iya, Sleman su­dah ru­sak. Ba­nyak pe­ga­ wai na­kal ka­re­na ma­u te­ri­ma “ini” (sam­bil men­jen­tik­kan ja­ri-ja­ri­nya se­ba­gai sim­bol u­ang so­go­kan, red.). Yang da­e­rah Sleman a­tas mes­ti­nya enggak lo­los ka­re­na di sa­na ba­nyak pa­di. Ke­na­pa lo­los? U­ang.

Se­ta­hu An­da, la­han per­ta­ni­an se­per­ti apa yang bo­leh di­a­lih­fung­si­kan? La­han atau sa­wah yang ber­a­da di ja­lur ku­ning. La­han itu ber­a­da di de­ kat ja­lan be­sar. Wa­lau­pun ba­nyak air dan co­cok di­ta­nami pa­di ya te­tap bo­leh di­di­ri­kan ba­ngun­an. Sa­wah yang mau di­ba­ngun ha­rus di­ke­ring­kan.

I­de­al­nya, ta­ta ko­ta ha­rus di­ren­ca­na­kan. A­pa­kah ka­re­na ti­dak te­ren­ca­na de­ngan ba­ik se­hing­ga ba­nyak a­lih fung­si la­han? Uang dan ke­bu­tuh­an. Te­o­ri­nya be­ nar. Ta­pi, dua hal itu yang ber­pe­nga­ruh be­sar. Me­nga­pa ba­nyak yang me­mi­lih be­li ru­mah di pe­ru­mah­an? Ka­re­na bi­sa di­ang­sur. I­zin pe­ru­mah­an i­tu ma­hal. Bi­sa le­bih da­ri 10 ju­ta/ru­mah.

Ha­rus­nya bi­ro­krat se­per­ti a­pa?

Bi­ro­krat ha­rus­nya ta­hu a­tur­an. Te­ gas mung­kin ha­nya sa­tu a­tau dua o­rang. Lha, di ru­ang­an itu ada ba­nyak o­rang. Ada kasi-kasi la­in. Nan­ti yang ngregoli (meng­gang­gu, red.), sing­kir­kan, pin­dah. Ka­mu ju­jur, mble­sek. Enggak na­ik pang­ kat. Bi­ro­kra­si­nya bo­brok. Yang ngu­rus per­i­zin­an itu pem­bo­ rong. Ma­ke­lar ti­dak a­kan bi­sa. Yang bi­sa ha­nya satu atau dua. Di ke­lu­rah­an yang bi­sa ngu­rus Pak Dukuh. Ke­na­pa sa­ya bi­sa ngu­rus? Ka­re­na ke­nal de­kat se­ca­ra pri­ba­di dan pu­nya hu­bung­an ba­ik. Mi­sal­, lu­rah se­be­lum­nya Pak A, pen­si­un, la­lu di­gan­ti ke­po­na­kan­nya. Itu yang bi­kin ke­nal dan pu­nya hu­bung­an te­rus. Ka­lau u­rus­an su­rat-su­rat, ha­rus me­ nge­nal se­mua bi­ro­krat di pe­me­rin­tah. Lu­rah, ca­mat, hing­ga pe­ja­bat di ka­bu­ pa­ten. Ha­rus ke­nal se­mua. Ka­lau nggak ke­nal, enggak a­kan bi­sa lo­los. Ha­rus ke­ nal, ha­rus ngam­plop.n Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 19


ANALISIS UTA MA

Sumber Daya Manusia Pertanian Bermasalah

“Sumber daya manusia pertanian itu meliputi petani, petugas pertanian yang terdiri atas penyuluh, mantri tani, dan petugas dinas pertanian itu sendiri.” Oleh Sofwan Makruf

S

e­ki­ra­nya de­mi­ki­an pen­je­las­an me­nge­nai pe­nger­ti­an sum­ber da­ya ma­nu­sia (SDM) per­ta­ni­an yang di­sam­pai­kan o­leh Kepala Balai Pengembangan Sumber Daya Pertanian (BPSDMP) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Ir. RD Maman Suherman, M.P. Me­la­lui BPSDMP ter­ se­but pe­me­rin­tah me­ng­us­ a­ha­kan ter­ wu­jud­nya ci­ta-ci­ta na­sio­nal swa­sem­ba­da pa­ngan. Maman me­nu­tur­kan, di DIY ha­nya ada 60% pe­ta­ni yang men­ja­di ang­go­ta ke­lom­pok ta­ni di da­er­ ah­nya ma­singma­sing. De­ngan ber­ga­bung ke da­lam se­bu­ah ke­lom­pok tani, ma­sa­lah-ma­sa­ lah yang di­mi­li­ki se­o­rang pe­ta­ni da­pat di­se­le­sai­kan ber­sa­ma. Ber­be­da de­ngan 40% pe­ta­ni yang ti­dak ber­ga­bung da­lam ke­lom­pok ta­ni. Ter­le­bih pe­me­rin­tah ha­nya a­kan mem­be­ri­kan ban­tu­an ke­pa­da pe­ta­ni yang ber­g a­b ung de­n gan se­b u­a h ke­ lom­pok ta­ni ter­ten­tu. Immawan Nur S. A., S.P, M.E, selaku Kepala Seksi Bina Produksi Bidang Tanaman Padi dan Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten Sleman mengatakan, “Se­mua ban­tu­an ha­rus me­la­lui ke­lom­pok ta­ni. Yang u­ta­ ma, ke­lom­pok ta­ni ha­rus su­dah di­ku­ kuh­kan. Su­dah mem­pu­nyai pi­a­gam pe­ ngu­kuh­an bah­wa se­ca­ra res­mi men­ja­di ke­lom­pok ta­ni”. Pa­da­hal di­je­las­kan o­leh Dr. jur. Any Andjarwati, S.H., M. jur., dalam UndangUndang (UU) No. 19 Tahun 2013 Ten­tang Per­lin­dung­an dan Pem­ber­da­ya­an Pe­tani Pasal 19 ayat 4 me­nya­ta­kan bah­wa pe­ me­rin­tah dan pe­me­rin­tah da­e­rah se­su­ai de­ngan ke­we­nang­an­nya mem­bi­na pe­ta­ni, ke­lom­pok ta­ni, dan ga­bung­an ke­lom­pok ta­ni de­ngan meng­ha­sil­kan sa­ra­na pro­ duk­si per­ta­ni­an yang ber­ku­a­li­tas. Sa­ra­na pro­duk­si per­ta­ni­an ter­se­but men­ca­kup be­nih, bi­bit, ba­kal­an ter­nak, pu­puk,

20 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

pes­ti­si­da, pa­kan, dan o­bat he­wan se­su­ ai stan­dar mu­tu. De­ngan ha­nya me­nya­ lur­kan ban­tu­an me­la­lui ke­lomp­ok ta­ni je­las Dinas Pertanian Kabupaten Sleman su­dah me­lang­gar UU ter­se­but. Se­l a­i n i­t u me­n u­r ut Pu­t us­a n Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUUXI/2013 me­nya­ta­kan bah­wa dan Pasal 69 ayat 1 dan Pasal 70 ayat 1 UU ter­se­ but me­nye­bab­kan dis­kri­mi­na­si. Pa­da Pasal 69 ayat 1 di­se­but­kan bah­wa pe­ me­rin­tah dan pe­me­rin­tah da­e­rah se­su­ai de­ngan ke­we­nang­an­nya ber­ke­wa­jib­an men­do­rong dan mem­fa­si­li­ta­si ter­ben­ tuk­nya ke­lem­ba­ga­an pe­ta­ni. Se­lan­jut­ nya da­lam Pasal 70 ayat 1 di­se­but­­kan bah­wa ke­lem­ba­ga­an pe­ta­ni ter­di­ri a­tas ke­lom­pok ta­ni, ga­bung­an ke­lom­pok ta­ ni, A­so­sia­si Ko­mo­di­tas Per­ta­ni­an, dan Dewan Komoditas Pertanian Nasional. Pe­nen­tu­an ben­tuk ke­lem­ba­ga­an pe­ta­ni se­ca­ra se­pi­hak o­leh pe­me­rin­tah meng­ a­ki­bat­kan pe­ta­ni yang ter­ga­bung da­lam lem­ba­ga ber­be­da da­­ri yang di­se­but­kan da­lam Pasal 70 ayat 1 ber­po­ten­si ti­dak di­ber­da­ya­kan dan di­lin­dungi pe­me­rin­ tah. Se­hing­ga, pem­ber­la­ku­an ke­dua pa­ sal ter­se­but me­nim­bul­kan dis­kri­mi­na­si ka­re­na petani ti­dak men­da­pat­kan hak dan ke­wa­jib­an yang sa­ma ber­da­sar­kan un­dang-un­dang. Se­la­in ti­dak bi­sa meng­ak­ses ban­tu­an da­ri pe­me­rin­tah, me­re­ka yang me­mi­lih ti­dak ber­ga­bung de­ngan ke­lom­pok ta­ni a­kan ren­tan di­per­ma­in­kan o­leh pi­hakpi­hak yang ing­in meng­am­bil ke­un­tung­an da­ri kon­di­si ter­se­but. Ka­re­na ti­dak men­ da­pat ak­ses ban­tu­an da­ri pe­me­rin­tah yang ber­ben­tuk sub­si­di ba­han per­ta­ni­an, pe­ta­ni yang ber­jum­lah 40% ter­se­but ter­ pak­sa mem­be­li ke­bu­tuh­an per­ta­ni­an da­ri spe­ku­lan yang ke­rap mem­per­ma­in­kan har­ga ba­han per­ta­ni­an ter­se­but. “Pa­da­hal pu­puk ber­sub­si­di dan lain se­ba­gai­nya i­tu pe­ne­ri­ma­nya yang ma­suk ke­lom­pok

ta­ni. Be­lum so­al spe­ku­lan yang ber­ma­ in. Ja­di me­mang kom­pleks per­ma­sa­lah­ an­nya,” ujar Maman. “Pa­ra pe­ta­ni yang ber­jum­lah 40% ter­se­­but a­da­lah me­re­ka yang ke­ba­nyak­an bu­kan meng­ga­rap la­ han ta­ni mi­lik me­re­ka sen­di­ri. Me­re­ka mem­bu­ruh ke­pa­da pe­mi­lik la­han de­ngan per­jan­ji­an ba­gi ha­sil di se­ti­ap pa­nen­nya,“ tam­bah­nya. Se­o­rang pe­ta­ni yang me­mi­li­ki la­han per­ta­ni­an dan meng­ga­rap­nya sen­di­ri ke­ba­nyak­an ma­lah meng­a­lih­fung­si­kan la­han per­ta­ni­an me­re­ka. Hal ini ke­rap ter­ja­di ka­re­na me­re­ka ti­dak me­ra­sa­kan un­tung a­tas u­sa­ha per­ta­ni­an yang ia ker­ ja­kan. Bi­la pe­ta­ni ing­in me­ra­sa­kan pro­fit a­tas u­sa­ha ta­ni yang ia ker­ja­kan, se­ti­dak­ nya ada lu­as mi­ni­mal la­han per­ta­ni­an yang ha­rus ia mi­li­ki. Hal i­tu di­sam­pai­kan oleh Immawan. “Ka­lau per­ta­ni­an je­nis pa­ngan de­ngan lu­as la­han yang sem­pit itu ti­dak meng­un­tung­kan. Ka­lau la­han pa­ di hi­tung­an e­ko­no­mi­nya mi­ni­mal ha­rus 2ha. Itu di­hi­tung leng­kap de­ngan va­ria­bel ke­bu­tuh­an ta­ni se­la­ma 1 ma­sa pa­nen,” te­rang­nya. Se­na­da de­ngan Immawan, Maman ju­ga ber­pen­da­pat bah­wa per­ma­ sa­lah­an­nya pe­ta­ni me­ra­sa ti­dak se­jah­te­ra se­bab ke­pe­mi­li­kan la­han me­re­ka su­dah sem­pit. I­ni­lah yang men­ja­di sa­lah sa­tu fak­tor me­nga­pa se­o­rang pe­ta­ni men­ju­al la­han ga­rap­an mi­lik­nya.

Bantuan untuk Petani

Se­o­rang pe­ta­ni a­kan men­da­pat­ban­ tu­an da­ri pe­me­rin­tah be­ru­pa sa­ra­na pra­ sa­ra­na, ba­ik i­tu bu­di­da­ya ma­up ­ un pa­da peng­o­lah­an­nya. Immawan me­ne­rang­ kan bah­wa un­tuk ta­nam­an pa­di, pa­da ta­hun 2015 Dinas Pertanian Kabupaten Sleman me­ngu­cur­kan da­na le­bih da­ri 7 mi­li­ar ru­pi­ah un­tuk pem­be­ri­an sa­ra­na pra­sa­ra­na bu­di­da­ya. Itu me­li­pu­ti ban­tu­ an be­nih, pu­puk, pes­ti­si­da, dan te­na­ga


REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN Sofwan | EKSPRESI

Suasana Diklat yang diadakan oleh BPSDMP. Diklat tersebur diadakan untuk memberikan penyuluhan kepada aparatur dalam membudidayakan padi.

ta­nam. De­ngan hal itu di­ha­rap­kan pro­ duk­si me­ning­kat dan peng­ha­sil­an pe­ta­ni le­bih ba­ik. Se­la­in ban­tu­an yang ber­wu­jud fi­sik, pe­ta­ni ju­ga men­da­pat­ban­tu­an non­fi­sik, be­ru­pa pen­di­di­kan dan pe­la­tih­an da­ri di­nas ter­ka­it. Ban­tu­an la­in­nya be­ru­pa ke­bi­ja­kan-ke­bi­jak­an yang di­si­ap­kan un­ tuk me­lin­dungi hak-hak pe­ta­ni. Me­nge­nai ke­bi­jak­an yang di­la­ku­kan pe­me­rin­tah un­tuk me­lin­dungi pa­ra pe­ ta­ni, Maman me­nga­ta­kan, ”Pe­me­rin­tah su­dah ber­us­ a­ha a­gar pe­ta­ni ti­dak meng­a­ li­fung­si­kan la­han­nya. De­ngan mem­be­ri­ kan in­sen­tif, mi­sal ser­ti­fi­ka­si ta­nah gra­tis, ban­tu­an be­nih, sa­ra­na pra­sa­ra­na, sam­pai ban­tu­an pe­ma­sar­an se­hing­ga pe­ta­ni be­ nar-be­nar ter­ban­tu,” je­las­nya. Dinas Pertanian Kabupaten Sleman pun ju­ga meng­a­da­kan mo­ni­to­ring se­ca­ ra ru­tin un­tuk me­nye­rap as­pi­ra­si da­ri pe­ta­ni di da­er­ ah­nya. Per­te­mu­an ter­se­ but di­lak­sa­na­kan 3 bu­lan se­ka­li. “Da­ lam se­ti­ap per­te­mu­an ke­lom­pok ka­mi se­la­lu me­ne­kan­kan la­han yang su­dah a­da jang­an sam­pai di­a­lih­fung­si­kan,” te­ rang Immawan. “Di sam­ping itu se­ti­ap bu­lan ke­lom­pok-ke­lom­pok ta­ni ter­se­but se­la­lu meng­a­da­kan per­te­mu­an ru­tin,” tam­bah­nya. Se­la­in i­tu pem­bi­na­an da­lam ben­ tuk pe­la­tih­an ju­ga di­be­ri­kan BPSDMP. De­ngan meng­gu­na­kan da­na Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), BPSDMP me­la­ku­kan so­si­a­li­sa­si, pen­ di­di­kan, dan pe­la­tih­an ke­pa­da se­lu­ruh

e­le­men SDM per­ta­ni­an yang ada. Ti­dak ha­nya un­tuk per­ta­ni­an pa­di, na­mun ju­ga ke­pa­da se­lu­ruh ko­mo­di­tas. “Se­la­in pa­di, ada ta­nam­an pa­ngan la­in, hol­ti­kul­tu­ra, dan pe­ter­nak­an ju­ga. Di­tam­bah peng­ o­lah­an ha­sil, pe­la­tih­an ke­lem­ba­ga­an. Un­tuk me­lak­sa­na­kan ke­gi­at­an ter­se­but di­be­ri da­na ku­rang le­bih 1,3 mi­li­ar ru­pi­ ah. Da­lam se­ti­ap pe­la­tih­an ku­rang le­bih di­i­ku­ti oleh 30 pe­ta­ni,” jelas Maman. Di ta­hun 2015 ada to­tal 130 ang­kat­an. Ma­sih ada la­gi ban­tu­an non­fi­sik yang di­be­ri­kan pe­me­rin­tah ke­pa­da pe­ta­ni. Ban­tu­an ter­se­but be­ru­pa transfer tek­ no­lo­gi ta­nam yang ber­ma­cam je­nis “Ada tek­no­lo­gi bu­di­da­ya, tek­no­lo­gi ke­lem­ba­ ga­an, tek­no­lo­gi pas­capa­nen, sam­pai tek­ no­lo­gi pe­ma­sar­an,” te­rang Maman.

Alih Fungsi Lahannya Petani

Immawan be­ra­ni me­nya­ta­kan bah­ wa a­lih fung­si la­han di ka­was­an pe­de­sa­ an 100% ti­dak me­mi­li­ki i­zin da­ri pi­hak yang ber­we­nang. “Ka­lau di de­sa bi­sa di­ ka­ta­kan 100% ti­dak ber­i­zin,” u­jar­nya. Ke­mu­di­an ia mem­be­ri con­toh ka­was­an yang la­han per­ta­ni­an­nya meng­a­la­mi a­lih fung­si la­han na­mun ti­dak ber­iz­ in res­mi. “Mi­sal­nya di da­e­rah Ngaglik di Dusun Sadonoharjo ha­nya be­be­ra­pa per­sen yang ber­i­zin. Mung­kin ha­nya pe­ru­mah­an-pe­ ru­mah­an itu yang ber­iz­ in, pun ti­dak se­ mua pe­ru­mah­an mem­pu­nyai i­zin,” te­rang Immawan. Me­nu­rut Immawan hal ini su­dah lum­rah ter­ja­di di Sleman. Ter­le­bih bi­la

ka­was­an ter­se­but me­ru­pa­kan ka­was­an yang se­dang meng­a­la­mi per­tum­buh­ an e­ko­no­mi yang pe­sat. Se­ca­ra pri­ba­di Immawan ti­dak se­tu­ju bi­la ter­ja­di a­lih fung­si la­han yang ti­dak se­mes­ti­nya ka­ re­na me­nu­rut­nya itu me­lang­gar a­tur­an yang di­bu­at o­leh pe­me­rin­tah. Da­e­rah-da­e­rah ter­se­but se­ha­rus­ nya me­mang ti­dak di­per­ke­nan­kan un­ tuk di­a­lih­fung­si­kan, na­mun bi­la di­ta­ nya ke­na­pa hal ter­se­but te­tap ter­ja­di Immawan ha­nya da­pat ber­u­cap, “Ya, mau ba­gai­ma­na la­gi?” Immawan mem­ be­ber­kan a­las­an me­nga­pa a­lih fung­si la­han ter­se­but ma­sih ma­rak di ka­was­ an Sleman. “Se­bab­nya di si­tu ju­ga ada ke­p en­t ing­a n e­k o­n o­m i. Ke­p en­t ing­a n un­tuk me­num­buh­kan per­e­ko­no­mi­an de­mi me­ning­kat­kan Penerimaan Asli Daerah (PAD). Ja­di, di­le­ma­tis. Un­tuk meng­hin­da­ri itu ka­mi mem­bu­at per­a­ tur­an da­e­rah me­nge­nai la­han per­ta­ni­an pa­ngan ber­ke­lan­jut­an,” je­las­nya. Me­nang­ga­pi a­lih fung­si la­han per­ta­ ni­an yang ma­rak ter­ja­di di DIY, Maman ber­pen­da­pat hal itu ter­ja­di ka­re­na be­ be­ra­pa fak­tor. Per­ta­ma, ka­re­na jum­lah pen­du­duk di DIY dan Indonesia pa­da u­mum­nya, me­mang se­ma­kin me­ning­kat. Ke­dua, Yogyakarta se­ba­gai ko­ta pa­ri­wi­sa­ ta dan ko­ta pen­di­di­kan men­ja­di mag­net un­tuk wi­sa­ta­wan dan pen­da­tang. “Mau tak mau pem­ba­ngun­an yang ter­ka­it fi­sik ba­ik un­tuk bis­nis mau­pun tem­pat ting­gal ha­rus te­rus ber­ja­lan,” im­buh Maman. Laporan oleh Abi, Farid dan Janti

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 21


ANALISIS UTA MA

Penanganan Buruk Percepat Alih Fungsi

Butuh komitmen dan penanganan yang tepat untuk meminimalkan alih fungsi lahan. Jika tidak, kepadatan penduduk dan tata ruang justru akan mempercepat alih fungsi lahan. Oleh Najih Shu’udi

P

e­ta­ni a­da­lah tong­gak u­ta­ma da­ lam ke­ta­han­an dan ke­da­ul­ at­an pa­n gan. Me­n u­r ut da­t a yang di­h im­p un da­r i Badan Pusat Statistik (BPS) ta­hun 2014, per­sen­ta­ se la­han me­nu­rut peng­gu­na­an la­han di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) a­da­lah sa­wah (wetland) se­be­sar 17,74%, la­han bu­kan per­ta­ni­an (non-agricultural area) 24,93%, la­han per­ta­ni­an la­in­nya (other agricultural area) 26,48%, te­gal, ke­bun (dryland) 30,55%, dan la­han se­ men­ta­ra ti­dak di­u­sa­ha­kan (temporarily follow land) 0,3%. A­lih fung­si la­han men­ja­di ma­sa­lah yang tak kun­jung ha­bis ji­ka ti­dak a­da pe­nanganan yang se­ri­us Repro Randy | EKSPRESI

a­k an ber­ d a m ­p a k t e r ­h a ­d a p ke­ter­se­di­a­an pa­n gan yang ber­si­fat jang­ka

pan­jang. Ber­ka­it­an de­ngan itu, Subdivisi Litbang EKSPRESI Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) meng­a­da­kan polling un­tuk me­nge­ta­hui res­pons ma­sya­ra­kat di 17 ke­ca­mat­an di Bantul, dan 17 ke­ca­ mat­an di Sleman mengenai alih fung­si la­han. Sam­pel yang di­am­bil un­tuk po­ pu­la­si se­ba­nyak 2.096.733 a­da­lah 200. Pe­nen­tu­an sam­pel meng­gu­na­kan me­to­de sam­pel a­cak se­der­ha­na. Res­pon­den ter­di­ri a­tas 148 o­rang yang mem­pu­nyai la­han dan 52 o­rang ti­dak mem­pu­nyai la­han. Da­ri 148 res­ pon­den ter­da­pat pe­mi­lik la­han ba­sah (waterland) se­ba­nyak 113 o­rang dan 35 orang pe­mi­lik la­han ke­ring (dryland).

Bertani sebagai Sampingan

Ber­da­sar­kan ha­sil polling, pe­ta­ni ti­dak men­ja­di pe­ker­ja­an u­ta­ma. Se­ba­ nyak 106 res­pon­den ada yang ber­ker­ja se­ba­gai Pegawai Negeri Sipil (PNS), buruh, wiraswasta, dan karyawan. Ha­nya 83 orang yang men­ja­di­kan pe­ta­ni se­ba­gai pe­ker­ja­an u­ta­ma. Se­ ba­nyak 166 o­rang ber­pen­da­pat bah­wa pen­da­pat­an yang di­per­ol­ eh da­ri ber­ta­ni be­lum da­pat me­me­nu­hi ke­bu­tuh­an ke­lu­ ar­ga, 15 orang me­nga­ta­kan peng­ha­sil­an pe­ta­ni su­dah cu­kup un­tuk me­me­nu­hi ke­bu­tuh­an ke­lu­ar­ga, dan 19 o­rang ti­dak men­ja­wab. Da­ri da­ta di atas, 83 orang yang men­ja­di­kan ber­ta­ni se­ba­gai pe­ker­ ja­an u­ta­ma ma­sih be­lum bi­sa men­cu­ku­pi ke­bu­tuh­an ke­lu­ar­ga.

Pen­da­pat­an u­ta­ma 112 o­rang ma­sih meng­gan­tung­kan ke­hi­dup­an e­ko­no­mi­nya da­ri ber­ta­ni se­dang­kan 77 o­rang ber­ta­ni se­ba­gai tam­bah­an pen­da­pat­an. Si­sa­nya 11 o­rang ti­dak men­ja­wab. Pe­me­rin­tah me­mi­li­ki fung­si peng­a­ was­an un­tuk me­ngu­rangi ter­ja­di­nya a­lih fung­si la­han. Na­mun, ter­nya­ta, se­ba­nyak 70,5% res­pon­den meng­ang­gap pe­me­rin­ tah be­lum me­lak­sa­na­kan peng­a­was­an de­ngan ba­ik, 17% meng­ang­gap su­dah ba­ik, dan 12,5% ti­dak men­ja­wab. Ini se­la­ ras de­ngan da­ta yang di­ca­tat o­leh Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan bah­wa da­ri ta­hun 2008-2013 Yogyakarta meng­a­la­mi pe­nu­run­an lu­as­an la­han yang fluk­tu­a­tif. Da­ta me­nun­juk­kan bah­wa ta­ hun 2008 lu­as la­han per­ta­ni­an se­ba­nyak 23.005 ha. Tahun 2009, 2010, 2011, 2012, dan 2013 meng­a­la­mi pe­nu­run­an ber­tu­rut-tu­rut se­be­sar 91 ha, 95 ha, 35 ha, 127 ha, dan 36 ha. Ma­sya­ra­kat meng­ha­rap­kan pe­me­ rin­tah le­bih ak­tif meng­a­­wal ka­sus a­lih fung­si la­han. Se­ba­nyak 73% men­ja­wab se­tu­ju, 17,5% men­ja­wab sa­ngat se­tu­ju, 3,5% men­ja­wab ti­dak se­tu­ju, 5,5% men­ ja­wab sa­ngat ti­dak se­tu­ju, dan 0,5% ti­ dak men­ja­wab. Ka­re­na ma­sya­ra­kat ti­dak ing­in a­da­nya a­lih fung­si la­han ter­ha­dap la­han pro­duk­tif, ba­nyak yang me­nen­tang a­lih fung­si la­han pro­duk­tif se­be­sar 86,5% me­nen­tang, 12% me­ne­ri­ma, dan 1,5% ti­dak men­ja­wab.

Kepadatan Penduduk Memengaruhi Alih Fungsi Lahan. 67% Setuju

13% Tidak Setuju

22 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

11% Sangat Setuju

6% Sangat Tidak Setuju

3% Tidak Menjawab


Randy | EKSPRESI

REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN Tata Ruang Kota bermasalah

UU Nomor 26 Tahun 2007 ten­tang Penataan Ruang te­lah meng­a­ma­nat­kan bah­wa Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) pro­vin­si, ka­bu­pa­ten, atau ko­ta wa­jib men­can­tum­kan Ruang Terbuka Hijau (RTH) 30% da­r i lu­a s wi­l a­y ah un­tuk men­ja­ga ke­ber­lang­sung­an ke­ hi­dup­an yang ber­ke­lan­jut­an. Se­ba­nyak 60% res­pon­den meng­ang­gap ta­ta ru­ang ko­ta ma­sih ber­ma­sa­lah, 37,5% meng­ ang­g ap ba­i k, dan 2,5% ti­d ak men­j a­ wab. Ber­ka­it­an de­ngan su­dah ba­ik­nya per­at­ ur­an meng­a­tur a­lih fung­si la­han, se­ba­nyak 12% ma­sya­ra­kat sa­ngat ti­dak se­tu­ju, 48,5% ti­dak se­tu­ju, 30% se­tu­ ju, 6,5% sa­ngat se­tu­ju, dan 3% ti­dak men­ja­wab. Ke­pa­dat­an pen­du­duk yang ti­dak di­k en­d a­l i­k an da­p at meng­a ­k i­b at­k an per­lu­as­an la­han pe­ru­mah­an yang akan meng­gu­sur la­han pro­duk­tif. Da­ri da­ta yang di­him­pun oleh BPS, ke­pa­dat­an pen­ du­duk di Sleman tahun 2012 men­ca­pai 1939 jiwa/km2 se­dang­kan di Bantul 1831 jiwa/km2.

Pengutamaan Ketahanan Pangan

Pen­da­pat bah­wa men­ju­al ta­nah le­ bih meng­un­tung­kan di­ban­ding meng­o­ lah­nya di­tang­ga­pi be­ra­gam o­leh res­pon­ den. Se­ba­nyak 13% ti­dak me­nye­tu­jui hal ter­se­but, 54% men­ja­wab sa­ngat ti­dak se­tu­ju, 22% men­ja­wab se­tu­ju, 10,5% men­ja­wab sa­ngat se­tu­ju dan 0,5% ti­ dak men­ja­wab. Ar­ti­nya, le­bih ba­nyak res­pon­den yang mem­pu­nyai la­han dan ti­dak ing­in di­a­lih­fung­si­kan. Ber­ke­ba­ li­k an da­ri ha­s il ini, Dokuen Analisis Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) Daerah Istimewa Yogyakarta. Se­ba­nyak 33% res­pon­den sa­ngat me­nye­tu­jui bah­wa pe­ta­ni dan la­han per­ta­ni­an mem­bu­tuh­kan per­ha­ti­an da­ri pe­me­rin­tah a­gar men­ca­pai ke­ter­se­di­a­an pa­ngan. Se­lan­jut­nya, 6,5% sa­ngat ti­dak se­tu­ju, 2,5% ti­dak se­tu­ju, dan 58% se­tu­ju.

A­da ba­nyak per­ a­t ur­a n yang di­ ke­lu­ar­kan un­tuk me­l in­d ungi ke­ ter­se­di­an pa­ngan ba­ik o­leh pe­me­ rin­tah pu­sat ma­ u­pun pe­me­rin­tah da­e­rah, di an­ta­ ra­nya a­da­lah UU Nomor 41 Tahun 2009 ten­tang Per­ lin­dung­an La­han Per­ta­ni­an Pa­ngan B e r ­k e ­l a n ­j u t ­a n dan Peraturan Daerah (Perda) DIY me­n ge­n ai per­lin­dung­an la­ han per­t a­n i­a n pa­n gan ber­k e­ lan­jut­an. B u ­r u k ­n y a ta­ta ru­ang ko­ta, ke­gi­at­an ber­ta­ni yang be­l um cu­ kup meng­h i­d u­ pi ke­lu­ar­ga, dan mem­per­ba­i­ki ke­ ta­han­an pa­ngan me­r u­p a­k an hal yang ha­rus di­be­ na­hi o­leh pe­me­rin­tah. Se­ti­ap ta­hun ang­ka ke­pa­dat­an pen­du­duk te­rus ber­tam­bah dan ber­ban­ding lu­rus de­ngan ber­tam­bah­nya ang­ka a­lih fung­si la­han. Per­lu per­a­tur­an, peng­a­was­an, dan pe­nin­dak­an yang te­gas un­tuk mem­per­ke­cil dan meng­ an­t i­s i­p a­s i dam­p ak a­lih fung­si la­han. Pen­d a­y a­g u­n a­ an la­han ha­rus t r a n s ­p a ­r a n dan me­li­bat­ kan ma­s ya­ ra­k at. Hal

Bentuk-bentuk Bangunan Alih Fungsi Lahan.

61%

14% 6% 4% 15%

ter­se­but di­se­tu­jui o­leh 62% res­pon­den, 2,5% sa­ngat ti­dak se­tu­ju, 4% ti­dak se­ tu­ju, 31% sa­ngat se­tu­ju, dan 0,5% ti­dak men­ja­wab.n

27,5% Ya

72% Tidak Ra

y| nd

EKS

PRESI

0,5% Tidak Menjawab

Responden Mengetahui Alur Alih Fungsi Lahan.

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 23


ANALISIS UTA MA

Alih Fungsi Lahan Ancam Ketahanan Pangan Oleh Randy Arba Pahlevi

K

e­bu­tuh­an pem­ba­ngun­an hu­ “Mes­ti­nya perda i­tu di­i­ku­ti per­a­tur­an di ni­an dan ke­ter­se­dia­an pa­ngan ting­kat ka­bu­pa­ten. Se­la­ma i­ni, ka­bu­pa­ me­ru­pa­kan ke­bu­tuh­an pri­mer. ten be­lum me­nin­dak­lan­ju­ti­nya,” ung­kap Pa­da ba­tas ini, ten­tu ti­dak a­da Sasongko. a­las­an sa­lah sa­tu di­ang­gap le­bih pen­ting di­ban­ding­kan yang la­in. Te­ta­pi, ke­nya­ Penghambat Laju Alih Fungsi Lahan ta­an­nya ba­nyak pem­ba­ngun­an hu­ni­an Un­tuk meng­ham­bat a­lih fung­si la­ me­nge­sam­ping­kan ke­ter­se­dia­an la­han han, Dinas Pertanian DIY me­la­ku­kan pro­duk­tif se­hing­ga me­nga­bai­kan ke­ta­ be­be­ra­pa ca­ra, sa­lah sa­tu­nya de­ngan ser­ ti­fi­ka­si la­han. “Ja­di, la­han per­sa­wah­an han­an pa­ngan. “Bi­la ke­ta­han­an pa­ngan su­at­ u ne­ga­ra ter­gang­gu, ke­hi­dup­an ne­ di­bu­at­kan ser­ti­fi­kat di pu­sat un­tuk ti­dak ga­ra i­tu ju­ga a­kan ter­gang­gu. Ja­di, ke­ta­ di­a­lih­fung­si­kan,” te­rang Sasongko. Se­te­ han­an pang­an i­tu sa­ma de­ngan ke­ta­han­ lah di­la­ku­kan ser­ti­fi­ka­si, pe­mi­lik di­be­ri an ne­ga­ra,” te­rang Ir. Sasongko se­la­ku fa­si­li­tas be­ru­pa pu­puk dan be­nih. Kepala Dinas Pertanian Daerah Istimewa Ser­ti­fi­ka­si la­han ter­can­tum da­lam Yogyakarta (DIY). Randy | EKSPRESI Sasongko me­ne­gas­kan bah­wa a­lih fung­si la­han ha­ rus se­ge­ra di­hen­ti­kan. “Ka­ lau la­han ber­ku­rang ber­ar­ti da­ya du­kung (ke­ta­han­an pa­ ngan, red.) ber­ku­rang. O­leh ka­re­na i­tu, a­lih fung­si la­han ha­rus di­ken­da­li­kan”. Ke­tua Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) DIY, Ir. Arofa Noor Indriani, M.Si., ju­ga mem­be­nar­kan hal ter­se­ but. “A­lih fung­si la­han yang ta­di­nya be­ru­pa la­han su­bur a­tau la­han per­ta­ni­an se­ka­ rang ber­u­bah men­ja­di la­han un­tuk pa­pan dan ti­dak un­tuk pa­ngan, hal ter­se­but men­ja­di sa­tu tang­gung ja­wab ber­sa­ Ir. Arofa Noor Indriani, M.Si., saat menjelaskan mengenai program ma,” ka­ta Arofa. Ir. Sasongko me­nu­tur­ diversifikasi pangan di Yogyakarta. Diversifikasi pangan menjadi kan un­tuk me­nang­gu­langi program unggulan BPKP untuk menghadapi isu ketahanan pangan. a­t au me­n gen­d a­l i­k an a­l ih fung­si la­han di Yogyakarta, di­ter­bit­ Pedoman Teknis Prasertifikasi Lahan kan Peraturan Daerah (Perda) No. 11 Pertanian Tahun 2014. Tu­ju­an­nya un­tuk Tahun 2011 ten­tang Perlindungan Lahan men­du­kung dan mem­per­ta­han­kan pa­ ngan na­si­o­nal ser­ta men­da­pat ser­ti­fi­kat Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) se­ba­gai a­ma­nat Undang-Undang No. a­tas ta­nah pe­ta­ni dan men­ce­gah ter­ja­di­ 41 Tahun 2009 ten­tang LP2B. Na­mun, nya kon­ver­si la­han per­ta­ni­an ke non­per­ ta­ni­an. Pro­gram ser­ti­fi­ka­si di­lak­sa­na­kan Sasongko ma­sih me­nya­yang­kan pe­me­ rin­tah ka­bu­pa­ten yang be­lum me­nin­ da­lam ti­ga ta­hap­an, yai­tu prasertifikasi, dak­lan­ju­ti pe­lak­sa­na­an perda ter­se­but. sertifikasi, dan pascasertifikasi.

24 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

Im­ple­men­ta­si pro­gram ser­ti­fi­ka­si la­han se­ca­ra tek­nis di­lak­sa­na­kan o­leh Di­nas Per­ta­ni­an di se­ti­ap ka­bu­pa­ten. Di­ha­rap­kan a­da ko­mit­men da­ri pe­me­ rin­t ah ka­b u­p a­t en de­n gan mem­b u­a t per­nya­ta­an, mi­sal pem­be­bas­an pa­jak la­han. “Nah, i­ni yang se­dang ka­mi garap. Ke­na­pa la­han per­ta­ni­an ber­a­lih fung­ si? Se­be­ra­pa men­jan­ji­kan pen­da­pat­an pe­t a­n i a­p a­b i­l a la­h an te­t ap di­g u­n a­ kan un­tuk ber­co­cok ta­nam?” je­las Ir. Sarworini Setyobudi Astuti, M.Si., se­la­ku Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian DIY. “Pe­r i­h al im­p le­m en­t a­s i me­m ang su­k ar di­l ak­s a­n a­k an. Sank­si di­be­ri­kan bu­kan o­leh BKPP ta­pi o­leh pe­ me­r in­t ah ka­b u­p a­t en. Ka­m i ha­n ya me­n ga­t ur mapping a­tau me­me­ta­ kan la­han yang ti­dak bo­leh di­al­ ih­fung­si­kan,” te­rang Arofa. Ke­s u­k ar­a n mun­c ul ke­ti­ka a­tur­an i­tu tu­run di ma­sya­ra­kat. La­han ter­nya­ ta ti­dak ha­nya di­mi­li­ki sa­tu o­rang dan me­mi­li­ki tu­ju­an yang ber­be­da. “Pe­me­rin­tah su­dah ber­u­pa­ya men­de­ka­ti se­ca­ra in­ten­sif. Ta­pi, a­pa yang ter­ja­di su­dah hak mi­ lik ma­sya­ra­kat. Ka­mi ti­dak bi­sa me­ne­kan ma­sya­ra­kat. Ka­lau ma­sya­ra­kat sa­dar, ya, monggo. Si­la­kan la­han i­ni di­pa­kai un­tuk per­sa­wah­an, la­lu ka­mi be­ri­kan in­sen­tif. Ta­pi ke­nya­ta­an­nya ti­dak se­per­ti i­tu. Mung­kin, ha­nya se­ri­bu ban­ding sa­tu yang se­per­ti itu,” te­rang Arofa. In­sen­tif me­nu­rut UU men­ja­di tang­gung ja­wab pu­sat, pro­vin­si, ma­u­pun ka­bu­pa­ten. Pe­me­rin­tah pu­sat meng­ang­gap in­sen­tif be­ru­pa sub­si­di be­ nih, sub­si­di pu­puk, ke­mu­di­an ja­ring­an i­ri­ga­si. Pe­nger­ti­an in­sen­tif ma­sih ran­cu. Me­nu­rut Sarworini, se­ga­la ke­gi­at­an yang


REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN

DOKUMEN ISTIMEWA

ma­suk ke ka­bu­pa­ten meng­gu­na­kan da­na da­ri pu­sat a­kan di­ang­gap in­sen­tif.

Alternatif Selain Padi

Me­nang­ga­pi ma­sa­lah ke­ta­han­an pa­ngan, pi­hak BKPP DIY su­dah mem­ pu­nyai ren­ca­na khu­sus, yak­ni me­lak­ sa­na­kan pro­gram diversifikasi pa­ngan yang ber­ja­lan se­jak em­pat ta­hun la­lu. “Ting­gi­nya a­lih fung­si la­han ke non­per­ ta­ni­an me­ru­pa­kan sa­lah sa­tu tang­gung ja­wab ka­mi,” te­rang Arofa. BKPP te­lah me­la­ku­kan ka­ji­an pe­ ri­hal kri­sis pa­ngan di DIY se­jak ta­hun 2012 ka­r e­n a le­d ak­a n per­t um­b uh­a n pen­du­duk ti­dak bi­sa di­ben­dung la­gi. Ke­b u­t uh­a n pa­n gan DIY me­n ing­k at se­i­ring per­ho­tel­an yang men­ja­mur di wi­l a­y ah DIY. Ka­ji­an yang di­l a­ku­kan o­leh BKPP me­nya­ta­kan bah­wa kri­sis pa­ngan di­pre­dik­si ter­ja­di pa­da 2039 de­ ngan kon­su­men­nya a­da­lah pen­du­duk. “Ka­lau ki­ta meng­hi­tung dan meng­ka­ji ha­nya ke­bu­tuh­an pen­du­duk, ar­ti­nya tan­ pa ke­bu­tuh­an la­in, kri­sis pa­ngan ter­ja­di pa­da 2039,” te­gas Arofa. Na­mun, ji­ka di­ka­ji me­la­lui ke­ra­gam­ an kon­su­men, se­per­ti wi­sa­ta­wan, ru­mah sa­kit, in­dus­tri pa­ngan, dan ru­mah tang­ga, kri­sis pa­ngan di­pre­dik­si ter­ja­di di ta­hun 2020. Da­ta ka­ji­an yang di­mu­lai se­jak dua tahun la­lu ter­se­but me­nun­juk­kan

bah­wa kri­sis pa­ngan mung­kin da­tang le­ bih ce­pat. “Ke­bu­tuh­an pa­ngan me­ngi­ku­ti jum­lah wi­sa­ta­wan, ho­tel, ru­mah sa­kit, dan in­dus­tri pa­ngan. I­tu se­mua di­to­tal dan di­ke­ta­hui­lah kri­sis pa­ngan ter­ja­di pa­da 2020,” te­rang Arofa. Ber­da­sar­kan da­ta kon­sum­si ra­ta-ra­ta per ka­pi­ta be­be­ra­pa ba­han ma­kan­an di Indonesia di­pe­ro­leh bah­wa pa­di men­du­ du­ki pe­ring­kat per­ta­ma de­ngan jum­lah 85.415 kg/kapita/tahun pada 2013. “Ja­di, kon­sum­si pa­ngan ini di­ken­da­li­kan de­ ngan me­ngon­sum­si a­ne­ka ra­gam pa­ngan. Ma­sya­ra­kat DIY mu­lai ka­mi a­jak me­nu­ run­kan kon­sum­si be­ras dan te­ri­gu un­tuk me­man­fa­at­kan po­ten­si lo­kal yang a­da di se­ki­tar DIY,” te­rang Arofa. Se­s u­a i yang ter­m ak­t ub da­l am Perda No. 10 Tahun 2011 poin ke-3 Pengembangan Bab IV, sa­lah sa­tu­nya me­nya­ta­kan bah­wa diversifikasi la­han per­ta­ni­an di­la­ku­kan de­ngan ca­ra pe­ nga­tur­an po­la ta­nam, tum­pang sa­ri, dan sis­tem per­ta­ni­an ter­pa­du. Se­lan­ jut­n ya, di­t e­r us­k an de­n gan pro­g ram ekstensifikasi, yak­n i me­m an­f a­a t­k an la­han mar­gi­nal se­ba­gai la­han per­ta­ni­ an, pe­man­fa­at­an la­han ter­lan­tar, dan pe­man­fa­at­an la­han di ba­wah te­gak­kan ta­na­man ke­ras. Su­pa­ya ke­ta­han­an pa­ngan te­tap ter­ ja­ga, di­la­ku­kan dua cara. “Sa­sar­an ka­mi

bu­kan pe­na­nam­an ta­nam­an ga­rut dan me­man­fa­at­kan sa­wah. Ka­mi me­man­fa­ at­kan yang sa­at ini se­dang di­kem­bang­ kan dan ber­ko­la­bo­ra­si de­ngan in­stan­si ter­ka­it. Ka­mi ber­u­sa­ha me­ngin­ten­sif­kan la­han ba­wah te­gak­kan a­tau pe­na­nam­an di ka­was­an hu­tan,” jelas Arofa. I­no­va­si un­tuk meng­ha­sil­kan ba­ han pa­ngan da­ri ka­was­an pa­ngan di­ se­but de­ngan pro­gram Wanapangan. “Wana a­da­lah alas (hutan, red.) pa­ngan a­da­lah pa­ngan. Ka­was­an hu­tan be­lum di­man­fa­at­kan se­ca­ra op­ti­mal,” te­rang Arofah. Da­lam me­lak­sa­na­kan pro­gram­ nya, BKPP ber­ko­la­bo­ra­si de­ngan Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Perikanan dan Kelautan, dan Dinas Pertanian ser­ta ba­dan pe­nyu­luh­an di DIY. Sa­sar­an per­ta­ma a­da­lah Kabupaten Gunung Kidul . Se­la­in itu, BKPP me­mi­li­ki pro­gram One Day No Rice un­tuk me­ngu­rangi kon­ sum­si be­ras. Pro­gram ini a­da­lah ben­tuk kam­pa­nye un­tuk meng­a­jak dan me­nya­ dar­kan ma­sya­ra­kat gu­na mem­ba­ngun ke­ sa­dar­an me­nge­nai per­lu­nya diversifikasi pa­ngan yang le­bih be­ra­gam. One Day No Rice di­ca­nang­kan a­gar da­pat meng­u­bah po­la pi­kir ma­sya­ra­kat yang meng­ang­gap bah­wa ma­kan­an po­kok ha­nya na­si. Ma­sih a­da sum­ber da­ya lo­kal, se­per­ti singkong, ubi, jagung, ganyong, dan garut. Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 25


ANALISIS UTA MA

Melepas Lahan, Melepas Sumber Penghidupan

Bagi sebagian petani, alih fungsi lahan bukan menjadi solusi untuk masalah ekonominya. Bahkan sebaliknya, alih fungsi lahan malah memperburuk masalah tersebut. Oleh Muhammad Nur Farid

I

repro Farid | EKSPRESI

ka Pewista dan Rika Harini da­lam jur­nal pe­ne­li­ti­an­nya yang ber­ju­dul “Fak­tor dan Peng­a­ruh A­lih Fung­si La­han Per­ta­ni­an ter­ha­dap Kon­di­si So­si­al E­ko­no­mi Pen­du­duk di Kabupaten Bantul: Ka­sus Da­e­rah Per­ko­ta­an, Ping­ gir­an, dan Pe­de­sa­an Ta­hun 2001-2010” me­nyim­pul­kan bah­wa a­da ke­cen­de­rung­ an pe­nu­run­an pen­da­pat­an pe­ta­ni yang meng­a­lih­fung­si­kan la­han per­ta­ni­an­nya. Ke­cen­de­rung­an itu mun­cul pa­da pe­ta­ ni yang me­mi­li­ki la­han per­ta­ni­an sem­ pit. Pe­ne­li­ti­an ter­se­but di­lak­sa­na­kan di Panggungharjo, Sewon; Bantul, Bantul; dan Kebonagung, Imogiri. Ha­sil­nya me­ nya­ta­kan bah­wa 42,86% pe­mi­lik la­han meng­a ­l a­m i pe­n u­r un­a n pen­d a­p at­a n, 32,86% pe­mi­lik la­han meng­ a ­l a ­m i pe­ning­kat­an pen­da­pat­an, dan 24,29% di an­ta­ra­ nya me­nya­ta­kan ti­dak meng­a­ la­mi per­u­ bah­a n

26 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

pen­da­pat­an se­te­lah meng­a­lih­fung­si­kan la­han. Pe­nu­run­an pen­da­pat­an ju­ga di­al­ a­mi o­leh Tono, war­ga Sambeng, Trimurti, Srandakan. Ia me­nga­ku ha­rus meng­a­ lih­fung­si­kan la­han per­ta­ni­an­nya ka­re­na mem­bu­tuh­kan la­han un­tuk mem­ba­ngun ru­mah. “Ya mau ba­gai­ma­na la­gi? Sa­ya bu­tuh mem­bang­un ru­mah. Du­lu sa­ya ma­sih ting­gal de­ngan mer­tua sa­ya ta­pi se­ka­rang ka­kak sa­ya ting­gal di sa­na ka­ re­na ru­mah itu hak wa­ris­nya,” te­rang Tono. Se­be­nar­nya Tono ma­sih pu­nya sa­tu pe­tak ta­nah na­mun le­tak­nya di teng­ ah a­re­al per­sa­wah­an. Ia me­nga­ku la­han per­ta­ni­an yang se­ka­rang di­a­lih­fung­si­kan men­ja­di ru­mah itu le­bih lu­as da­ri­pa­da la­han per­ta­ni­an­nya yang ada di a­re­al per­ sa­wah­an. Na­mun ka­re­na lo­ka­si­nya di teng­ah per­sa­wah­an dan ti­dak ada ak­ses ja­lan me­nu­ju la­han ter­se­but ia le­­bih me­mi­lih la­han per­ta­ni­an yang le­bih lu­as ter­se­but. Tono me­nga­ku per­nah meng­a­ la­mi ma­sama­sa su­lit s e ­t e ­l a h m e n g ­a ­ lih­fung­si­kan la­han per­ta­ ni­an ter­se­but. “Su­lit. Sa­at itu sa­ya ba­ru sa­ja me­ni­kah, ke­bu­tuh­an e­ko­no­mi je­las me­ning­kat. La­han yang bi­ sa di­o­lah ha­nya yang ada di teng­ah sa­wah itu. Bi­sa di­ka­ta­kan sa­at itu sa­ya sa­lah per­hi­tung­an. Du­lu ke­ti­ka sa­ya ma­sih me­mi­li­ki dua la­ han, bi­la di­hi­tung per bu­lan ra­ta-ra­ta pen­da­pat­an di atas Rp1.500.000,00 ma­ka­nya be­ra­ni mem­ba­ngun ru­mah. Ter­nya­ta se­te­lah sa­tu pe­tak sa­wah sa­ya ba­ngun ru­mah, bi­la di­hi­tung per bu­ lan, pe­ma­suk­kan­nya se­la­lu di ba­wah

Rp1.500.000,00,” te­rang Tono. Ia ju­ga me­nga­ku sem­pat stres a­ki­ bat kon­di­si per­e­ko­no­mi­an­nya. “Ka­lau ga­gal pa­nen, is­tri sa­ya stres. Sa­ya ju­ga stres,” ung­kap­nya. Ia me­nga­ku su­dah meng­u­sa­ha­kan ber­ba­gai hal un­tuk me­ ning­kat­kan pen­da­pat­an, ber­ta­ni de­ngan ca­ra tum­pang sa­ri, ber­ju­al­an sa­te, hing­ga mem­bu­at ko­lam i­kan yang ter­le­tak di be­ la­kang ru­mah­nya. “Se­mu­an ­ ya su­dah sa­ya u­sa­ha­kan, sa­ya me­ra­sa pa­dang (kondisi e­ko­no­mi­nya mem­ba­ik, red.) sa­at sa­ya di­te­ri­ma men­ja­di gu­ru ho­no­rer,” te­rang Tono. Ia me­nga­ku su­dah men­ja­di gu­ru ho­no­rer se­la­ma 8 ta­hun. “Se­te­lah men­ja­ di gu­ru ho­no­rer pun ti­dak lang­sung byar (kon­di­si e­ko­no­mi­nya mem­ba­ik, red.) ta­pi kan pa­ling ti­dak, ada pe­ma­suk­an te­tap se­ti­ap bu­lan,” ung­kap­nya. Peng­a­lam­an yang ham­pir sa­ma ju­ ga per­nah di­a­la­mi Ahmad Walidi war­ga Bobok, Patalan, Jetis, Bantul. Ia meng­a­ku ter­pak­sa meng­a­lih­fung­si­kan la­han­nya ka­re­na pe­si­mis de­ngan peng­ha­sil­an­nya se­ba­gai pe­ta­ni. “Eng­gak ada ja­min­an se­ jah­te­ra ka­lau ja­di pe­ta­ni. Har­ga­nya ti­ dak sta­bil. Ka­lau la­gi pa­nen ra­ya har­ga pa­di a­tau ba­wang me­rah se­la­lu mu­rah. Ka­lau pas ga­gal pa­nen, har­ga­nya ma­lah ma­hal,” ung­kap Walidi. A­las­an la­in­nya a­da­lah ke­ing­in­an un­tuk mem­pu­nyai pe­ ma­suk­an ha­ri­an yang te­tap. “Ka­lau pe­ ta­ni kan pe­ma­suk­kan­nya se­ti­ap pa­nen. Ker­ja­nya se­ti­ap ha­ri ta­pi da­pat u­ang­nya be­la­kang­an. Itu pun har­ga­nya ju­ga ti­dak me­nen­tu,” pung­kas­nya. Ba­pak em­pat a­nak i­tu sem­pat meng­ a­lih­fung­si­kan la­han per­ta­ni­an­nya men­ ja­di wa­rung ke­lon­tong. “Sa­at itu sa­ya pi­kir de­ngan ber­ju­al­an ma­ka pen­da­pat­an sa­ya a­kan le­bih men­ding da­ri­pa­da sa­at men­ja­di pe­ta­ni,” te­rang Walidi. Ter­nya­ta per­ki­ra­an ter­se­but me­le­set, pen­da­pat­ an Walidi ma­lah cen­de­rung me­nu­run bah­kan ia meng­a­ku sem­pat meng­a­la­


REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN lik­nya. Ter­le­bih la­gi ia ha­rus men­ju­al sa­lah sa­tu la­han per­ta­ni­an­nya un­tuk bi­a­ya a­lih fung­si la­han ter­se­but. “Ka­lau sa­ja sa­ya du­lu ti­dak mem­bu­at wa­rung itu mung­kin sa­ya ma­lah le­bih suk­ses ja­d i pe­t a­n i bawang merah, bawang merah. Kan har­ga­nya gi­la-gi­la­an sam­ pai Rp22.000,00 per ki­lo­gram,” ung­kap Walidi.

Pertanian me­nga­ta­kan te­lah me­la­ku­kan ber­ba­gai ca­ra un­tuk men­ce­gah a­lih fung­si la­han. Me­nu­rut Sarworini pi­hak­nya te­ lah ber­u­sa­ha se­mak­si­mal mung­kin un­ tuk mem­bu­at pe­ta­ni se­jah­te­ra. “Ba­nyak pro­gram da­ri di­nas per­ta­ni­an, se­per­ti pe­nyu­luh­an, sub­si­di pu­puk, dan ban­tu­an bi­bit. I­tu se­mua un­tuk me­ning­kat­kan ke­se­jah­te­ra­an pe­ta­ni,” te­rang Sarworini. Me­nu­rut Sarworini a­lih fung­si la­han per­ta­ni­an me­mang su­lit di­hin­da­ri dan ia meng­a­ku ti­dak bi­sa ber­bu­at ba­nyak un­tuk men­ce­gah­nya. “Ka­lau la­han per­ta­ni­an itu ter­ma­suk da­ lam ka­was­an LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, red.) ten­tu sa­ja pe­me­rin­tah pu­ nya ke­k u­a t­a n hu­k um un­ tuk me­lin­dung­i­nya ka­lau ti­dak, ya, itu su­dah ja­ di tang­gung ja­wab ma­ sing-ma­sing,” ung­kap­ nya. Se­na­da deng­ an Sarworini, Ketua Badan

repro Farid | EKSPRESI

mi ke­ru­gi­an. “Sa­wah sa­ya kan le­tak­nya me­pet Ja­lan Parangtritis. Sa­ya ki­ra de­ ngan mem­bang­un to­ko ke­lon­tong di sa­na wa­rung sa­ya a­kan ra­mai. Ta­pi ter­nya­ta ti­dak,” ung­kap Walidi. Walidi meng­a­ku mem­ba­ngun wa­ rung ter­se­but de­ngan u­ang ha­sil men­j u­a l la­h an mi­l ik­n ya yang la­in ser­ta me­min­jam mo­dal da­ ri te­man­nya. Ren­ca­na­nya ia a­kan meng­ang­sur pin­jam­an­nya de­ngan u­ang ha­sil ber­da­gang na­ mun ter­nya­ta pe­ma­suk­an­ nya da­ri ber­da­gang ma­lah le­bih se­di­kit da­ri­pa­da ke­ti­ka ia men­ja­di pe­ta­ni. Walidi ber­ce­ri­ta bah­wa peng­ha­ sil­an­nya sa­at men­ja­di pe­da­gang ti­dak sam­pai dua ju­ta. Pa­da­hal se­be­lum­nya ke­ti­ka ma­sih ber­ta­ni, bi­la di­hi­tung per bu­lan pe­ma­suk­kan­nya ti­dak per­nah ku­rang da­ri dua ju­ta. “Da­ri dua pe­tak sa­wah yang sa­ya mi­li­ki ka­lau di to­tal lu­as­nya se­ki­tar sa­tu hek­tare. Pen­da­pat­an da­ri per­ta­ni­an itu ber­ka­la. Ka­lau bawang merah bi­a­sa­nya mem­ bu­t uh­k an ti­g a bu­l an da­r i meng­o ­l ah ta­n ah sam­p ai pa­nen,” te­rang Walidi. Walidi men­con­toh­kan ke­t i­k a ber­t a­n am bawang merah mo­dal yang di­bu­tuh­kan se­ki­tar 30 ju­ta un­tuk se­ti­ap ma­sa ta­nam. Mo­dal ter­se­but di­gu­na­kan un­tuk mem­per­si­ ap­kan la­han, pem­be­li­an bi­bit, pu­p uk, pes­t i­s i­d a, fungisida, dan ba­nyak bi­a­ya o­pe­ra­si­o­nal la­ in. Bawang me­rah si­ap di­pa­nen pa­da u­mur 60 ha­ri sam­pai 70 ha­ri se­te­lah ma­sa ta­nam. Da­ri la­han yang ia mi­li­ki bi­a­sa­nya Walidi da­pat me­ma­nen mi­ni­mal 6 ton bawang merah, bi­la pa­nen se­dang ba­gus bi­sa men­ca­pai 9 ton. De­ngan ki­sar­ an har­ga bawang merah ta­hun 2005 ra­tara­ta Rp6.000,00 se­ti­ap ki­lo­gram­nya, ma­ ka Walidi bi­sa men­da­pat­kan ke­un­tung­an ra­ta-ra­ta 6 ju­ta ru­pi­ah. Bi­la di­hi­tung per bu­lan­nya, pe­ma­suk­an Walidi se­be­sar 2 juta ru­pi­ah. Na­mun de­mi­ki­an, Walidi te­tap me­ra­sa pen­da­pat­an da­ri per­ta­ni­an ti­dak men­jan­ji­kan, “Ka­lau pro­duk­si a­tau har­ga bawang merah tu­run, pe­ma­suk­an sa­ya ju­ga tu­run. Har­ga bawang merah 5 ri­bu sa­ja sa­ya su­dah eng­gak da­pat apaapa,” pung­kasnya. Walidi meng­a­ku me­nye­sal se­te­lah meng­a­lih­fung­si­kan la­han per­ta­ni­an mi­

Pa­da 2007 Walidi me­mu­tus­kan un­ tuk men­ju­al la­han wa­rung­nya ter­se­but un­tuk me­lu­na­si pin­ja­man­nya dan mem­ be­li la­han per­ta­ni­an yang ba­ru. Sa­at ini ia meng­ga­rap la­han sa­wah si­sa di be­la­kang be­kas wa­rung­nya dan se­pe­tak sa­wah di lo­ka­si la­in yang ba­ru ia be­li. Men­ang­ga­pi per­ma­sa­lah­an ter­se­but, Ir. Sarworini Setyobudi Astuti, M.Si., Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas

Ketahan Pangan dan Penyuluhan DIY, Ir. Arofa Noor Indriani, M.Si., ju­ga ber­p en­d a­p at sa­m a. Me­n u­r ut­n ya pe­ me­rin­tah ti­dak pu­nya ke­ku­at­an un­tuk me­ne­kan pe­ta­ni a­gar ti­dak meng­a­lih­ fung­si­kan la­han­nya. Ia ju­ga ber­pen­da­ pat bah­wa peng­e­lo­la­an la­han per­ta­ni­an me­m er­l u­k an ke­s a­d ar­a n ma­s ya­r a­k at. Na­mun, ia ju­ga meng­a­kui bah­wa ke­ sa­d ar­a n ter­s e­b ut ti­d ak ter­b a­n gun di ma­sya­ra­kat. Laporan oleh Randy

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 27


ANALISIS UTA MA

Kisah di Balik Tembok Pemisah Ba­gi war­ga pe­ru­mah­an e­li­te, gu­yub ru­kun itu pi­lih­an, bu­kan ke­wa­jib­an. Ji­ka pu­nya u­ang le­bih un­tuk meng­gan­ti­kan ke­ha­dir­an di­ri me­re­ka di an­ta­ra war­ga lu­ar kom­pleks, me­nga­pa ti­dak? Oleh Akhmad Muawal Hasan

S

o­re itu men­dung ma­sih ber­ ge­la­yut di lang­it Yogyakarta. Meilianti ter­li­hat si­buk me­la­ ku­kan be­be­ra­pa ke­gi­at­an se­ka­li­ gus. Sem­ba­ri me­mo­tong-mo­tong sa­yur­an di a­tas di­pan, ia meng­aw ­ a­si ke­ti­ga a­nak­ nya yang se­dang as­yik ber­main engklek. Se­se­ka­li ia me­neng­ok pu­tri ter­ke­cil­nya yang ba­ru ber­u­mur 3 bu­lan di a­tas tro­li. Ak­ti­vi­tas u­ta­ma Mei, pang­gil­an a­krab­nya, wak­tu itu se­be­nar­nya a­da­lah men­ja­ga angkringan, sum­ber peng­hi­dup­an ke­ lu­ar­ga­nya se­jak 4 ta­hun la­lu. Mei a­da­lah sa­tu di an­ta­ra ba­nyak war­ga Kampung Gandok, Sinduharjo, Ngaglik, Sleman yang du­lu ber­pro­fe­si se­ ba­gai bu­ruh ta­ni. Se­jak 2010 Bale Hinggil ber­di­ri dan me­le­nyap­kan a­rea per­sa­wah­ an yang bi­a­sa di­ga­rap se­ca­ra ko­lek­tif. Ia dan ba­nyak war­ga as­li ter­pak­sa ber­a­lih pro­fe­si. Mei me­mi­lih un­tuk mem­bu­ka angkringan. Ber­un­tung, Pak Dukuh mau me­nye­wa­kan se­pe­tak ta­nah beng­kok­nya un­tuk Mei di­ri­kan wa­rung. Lo­k a­s i wa­r ung Mei ter­l e­t ak di tenggara Kompleks Bale Hinggil. Se­be­ tul­nya, Mei ma­sih pu­nya se­di­kit ta­nah per­sis di se­be­lah se­la­tan wa­rung­nya. Se­ pe­tak dua pe­tak la­han sa­wah yang ma­ sih ru­tin di­ga­rap o­leh i­bu­nya. Ta­pi Mei su­dah la­ma tak ter­ta­rik un­tuk be­ker­ja di sek­tor per­ta­ni­an. “Mo­dal­nya ba­nyak. Mu­lai da­ri be­ li bi­bit, ba­yar pe­na­nam, pen­cang­kul, sam­pai pe­ma­nen. Be­lum ka­lau har­ga pu­puk na­ik a­tau bi­a­ya ka­lau tang­gul je­ bol. Se­dang­kan ha­sil­nya ti­dak me­nen­tu. Har­ga ga­bah ti­ba-ti­ba tu­run pas ma­sa pa­nen. A­neh. Za­man se­ka­rang ber­ta­ni sa­ja ti­dak bi­sa ja­di pe­ker­ja­an u­ta­ma,” ke­luh Mei. Tren pem­b a­n gun­a n pe­r u­m ah­a n me­wah di Sleman yang ma­kin meng­ gi­la mem­bu­at ma­sya­ra­kat yang du­lu­nya meng­gan­tung­kan di­ri di sek­tor per­ta­ni­ an lam­bat la­un me­nye­rah. Te­tang­ga-te­ tang­ga Mei a­da­lah sa­lah sa­tu con­toh­nya. Ka­ta Mei, me­re­ka gam­pang men­ju­al la­ han sa­wah­nya ke ma­ke­lar se­bab har­ga­

28 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

nya me­mang te­rus na­ik. A­pa­la­gi yang di ping­gir ja­lan, a­rea yang di­ang­gap in­ves­tor men­jan­ji­kan un­tuk di­ba­ngun pe­ru­mah­an. Ta­nah la­ku, pro­fe­si pun ber­gan­ti. Se­su­ai ke­se­pa­kat­an, pi­hak pe­ngem­bang mus­ti me­nye­di­a­kan la­pang­an ker­ja un­tuk war­ga se­tem­pat. Ma­ka ba­nyak yang ke­ mu­di­an be­ker­ja di Bale Hinggil se­ba­gai sat­pam, pem­ban­tu ru­mah tang­ga, tu­kang ke­bun, babysitter, a­tau so­pir pri­ba­di. Se­dang­kan ba­gi Mei, “Sa­ya e­nak­an ju­al­ an sen­di­ri. Ti­dak per­nah di­su­ruh-su­ruh. Se­ka­li ja­di (pem­ban­tu, red.) sa­ya du­lu ke Singapura se­la­ma 4 ta­hun. Ka­lau di si­ni ma­las. U­ang­nya enggak a­da, ker­ja­ an­nya ba­nyak.” Kompleks Perumahan Bale Hinggil me­man­jang da­ri ger­bang u­ta­ma di ping­ gir Jalan Kaliurang km. 9 hing­ga ma­suk ke ka­was­an per­kam­pung­an di si­si ti­mur. La­zim­nya pe­ru­mah­an e­li­te di tem­pat la­in, Bale Hinggil mem­ba­ngun tem­bok pem­ba­tas di se­pan­jang te­pi pe­ru­mah­ an. Tem­bok se­ting­gi ham­pir lima me­ter men­ja­di sim­bol pe­mi­sah an­ta­ra war­ga Bale Hinggil de­ngan war­ga Kampung Gandok dan se­ki­tar­nya. Tembok ter­se­but, me­nu­rut Mei, ja­ di pe­nye­bab ti­dak gu­yub­nya hu­bung­an an­ta­ra war­ga da­lam Bale Hinggil de­ ngan war­ga kam­pung se­ki­tar Gandok. Se­ta­hun­nya, ke­ba­nyak­an peng­hu­ni Bale Hinggil a­da­lah pa­ra pen­da­tang lu­ar Yogyakarta. A­da yang da­ri Palembang, Banten, bah­kan ba­nyak ju­ga yang ber­a­ sal da­ri lu­ar ne­ge­ri. Ber­da­sar­kan ce­ri­ta pa­ra pem­ban­tu yang ber­te­man de­ngan Mei, ke­ba­nyak­an pen­da­tang a­sing i­tu ber­a­sal da­ri Korea Selatan. Bu­kan se­ma­ta per­be­da­an kul­tur. Warga Gandok as­li se­ke­las Mei su­dah min­der du­lu­an de­ngan sta­tus pa­ra peng­ hu­ni Bale Hinggil. Har­ga pe­r ru­mah di Bale Hinggil se­ka­rang men­ca­pai 5-10 miliar ru­pi­ah. “Yang pu­nya pas­ti o­rang ka­ya. Wong har­ga ru­mah­nya ju­ga mi­li­ ar­an,” ka­ta Mei. Mei me­nye­but­kan a­da ta­man ber­ma­

in di a­rea be­la­kang pe­ru­mah­an. Ke­em­pat a­nak­nya yang ma­sih ke­cil dan a­nak-a­nak kam­pung la­in se­be­tul­nya bi­sa sa­ja me­ man­fa­at­kan­nya. La­gi-la­gi ka­re­na min­der dan ta­kut, a­nak-a­nak kam­pung ham­pir tak per­nah ber­ma­in di sa­na. Kembarwati, ibu Mei, se­pu­lang da­ri me­me­rik­sa sa­wah­nya sore itu lang­sung i­kut du­duk di di­pan dan me­nang­ga­pi obrol­an sa­ya dan Mei. Ia per­nah he­ran ke­ti­ka su­a­tu ha­ri ada o­rang yang ta­nya a­la­mat Gandok Baru. Ru­pa­nya Gandok Baru a­da­lah se­but­an po­pu­ler un­tuk me­ nye­but Perumahan Bale Hinggil. Baik Kembarwati ma­u­pun Mei tak ma­u am­bil pu­sing de­ngan ga­ya hi­dup peng­hu­ni Bale Hinggil yang ber­be­da de­ngan ga­ya hi­dup me­re­ka. Ke­du­a­nya me­ma­klu­mi ji­ka men­ja­di o­rang ka­ya ber­ar­ti bi­sa hi­dup e­nak dan me­wah, “Ka­yak di si­ne­tron,” me­ngu­tip Mei. Ha­ nya sa­ja, me­re­ka me­nya­yang­kan si­kap ter­tu­tup war­ga Bale Hinggil ter­ha­dap war­ga se­ki­tar. Kon­di­si ter­se­but di­be­nar­kan o­leh Sefta F. Susanto, sa­lah se­o­rang war­ga Bale Hinggil. Sefta yang as­li Palembang me­nem­pa­ti ru­mah­nya se­jak 2011 la­lu. Sem­pat meng­ang­gur se­la­ma ti­ga ta­hun, per November 2013 ia mem­bu­ka u­sa­ha Home Garage Auto Workshop, beng­kel mo­di­fik ­ a­si mo­bil yang ter­le­tak tak ja­uh da­ri wa­rung angkringan Mei. Sa­at di­te­mui di kan­tor­nya, ia mem­ be­ber­kan pe­ri­la­ku war­ga Bale Hinggil yang di­ni­lai sa­ling tak pe­du­li sa­tu sa­ma la­in. Ha­nya ta­hu na­ma, ta­pi tak per­nah de­kat. Pen­dek ka­ta, in­di­vi­du­a­lis­tis. “Ma­ ka­nya sa­ya gak be­tah dan le­bih se­ring di bengkel ini. Sa­ya bi­kin ka­mar bu­at ti­dur ba­reng is­tri dan a­nak. Se­se­ka­li a­ja ke ru­mah. Itu pun gak be­tah. Se­pi ba­nget. Pa­ling ya ntar cu­ma nong­krong sa­ma sat­pam,” ka­tanya. Sefta le­bih su­ka su­a­sa­na di Kampung Gandok, tem­pat ia bi­a­sa nong­krong di pos ron­da a­tau tem­pat kum­pul war­ga se­ ki­tar, yang di­ra­sa le­bih gu­yub dan pu­nya ke­ber­sa­ma­an yang le­bih e­rat. Gam­bar­an


REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN ke­hi­dup­an di Yog­ya­kar­ta yang ia i­dami­dam­kan dan tak ia te­mu­kan di da­e­rah a­sal. Jargon keistimewaan Yogyakarta ia contohkan juga lewat budaya makan

ron­da ba­reng, a­tau pe­nga­ji­an, me­re­ka a­kan me­wa­kil­kan pem­ban­tu­nya un­tuk meng­ha­diri a­ca­ra ter­se­but. E­sen­si kum­ pul yang ing­in me­li­bat­kan war­ga Bale

mah­an. “Ka­ta­nya ga­ra-ga­ra a­da yang ma­u ju­al ru­mah, ta­pi pro­ses­nya enggak be­res. Be­ran­tem deh me­re­ka di de­pan ru­mah sa­ya,” tutur Sefta.

AWAL | EKSPRESI

Kembarwati menggendong cucunya di dekat lahan sawah miliknya.

lesehan di pinggir jalan. Makan lesehan bagi Sefta itu egaliter sekali: semua orang dari beragam kalangan, orang kaya sampai yang tak berduit, bisa berada pada tempat dan waktu yang sama. Sefta menyukainya. Dan dalam pandangannya, kondisi demikian akan susah terwujud jika warga perumahan terus-menerus memilih mengeksklusifkan diri dalam pergaulan sehari-hari. Ber­be­da de­ngan war­ga Bale Hinggil la­in, ia meng­ang­gap pen­ting so­si­a­li­sa­si dan mem­ba­ngun ko­ mu­ni­ka­si yang ba­ik de­ngan war­ga se­ ki­tar. “Na­ma­nya ma­nu­sia, kan, makh­luk so­si­al. Sa­ling mem­bu­tuh­kan. La­gi­pu­la pe­lang­gan da­tang da­ri ma­na ka­lau bu­kan da­ri te­man sen­di­ri?” tam­bah­nya. La­lu ba­gai­ma­na de­ngan par­ti­si­pa­ si war­ga Bale Hinggil da­lam be­ra­gam ke­gi­at­an yang di­se­leng­ga­ra­kan kam­ pung? “Me­re­ka ma­in­nya u­ang, Mas,” ja­wab Mei. Ar­ti­nya, ker­ja pa­ra pem­ ban­tu yang me­re­ka se­wa tak ber­hen­ti pa­da u­rus­an se­ki­tar da­pur, na­mun ju­ga me­lu­as ke lu­ar Bale Hinggil. Ji­ka ad­a a­ca­ra se­mi­sal go­tong ro­yong, a­ris­an,

Hinggil tak ter­wu­jud se­bab yang ber­ par­ti­si­pa­si u­jung-u­jung­nya war­ga lu­ar Bale Hinggil sen­di­ri. De­ngan ni­lai ke­ka­ya­an yang fan­tas­ tis, war­ga Bale Hinggil tak per­lu re­potre­pot ber­ga­ul de­ngan war­ga kam­pung. Ab­sen men­ja­di pi­lih­an yang mu­dah. Ting­gal mem­ba­yar u­ang den­da yang tak se­be­ra­pa, a­tau cu­kup de­ngan mem­be­li­ kan ma­kan­an dan mi­num­an un­tuk a­ca­ra ter­se­but. Se­mu­a­nya be­res. Ke­wa­jib­an ber­gu­yub ru­kun di­ba­yar lu­nas. Se­ka­li wak­tu, Mei per­nah di­da­tangi sa­lah sa­tu pem­ban­tu ru­mah Bale Hinggil yang ber­ni­at mem­be­li se­i­kat ta­nam­an pa­di mi­lik­nya. Ka­ta­nya di­pe­san o­leh a­nak ma­ ji­kan­nya un­tuk ke­per­lu­an prak­tikum di se­ko­lah. Ji­ka un­tuk war­ga kam­pung, se­be­ nar­nya Mei a­kan se­nang ha­ti mem­be­ri­nya de­ngan cu­ma-cu­ma. “Lha pa­di se­di­kit gi­tu di­har­gai Rp5000,00. Sa­ya ta­hu yang be­li o­rang ka­ya di Bale Hinggil. Ya, sa­ya te­ri­ma sa­ja,” ujar Mei sam­bil ter­ge­lak. Di si­si la­in, per­ka­ra u­ang ju­ga mu­ dah men­ja­di sum­ber kon­flik an­tar­war­ga Bale Hinggil. Sefta per­nah men­ja­di sak­si per­ti­kai­an an­tar­dua o­rang war­ga pe­ru­

Per­nah ju­ga, lan­jut Sefta, mun­cul ke­ ri­but­an ke­ti­ka ber­lang­sung fo­rum war­ga Bale Hinggil un­tuk u­rus­an iu­ran u­ang. Ha­sil iu­ran ru­tin ter­se­but di­pa­kai un­tuk mem­ba­yar ga­ji sat­pam, pe­tu­gas ke­ber­sih­ an sam­pah, dan la­in se­ba­gai­nya. Wak­tu i­tu di­ke­ta­hui bah­wa ada u­ang iu­ran da­lam jum­lah be­sar yang hi­lang. War­ga yang tak te­ri­ma u­angnya ra­ib en­tah ke ma­na ak­hir­nya pro­tes ke­ras ke­pa­da pe­nge­lo­la iuran. Mereka menuduh pengelola tak becus menjalankan tugasnya. Suasana tegang dan ricuh pun merebak sebab pengelola bersikeras tak tahu-menahu perihal kehilangan tersebut. Kembarwati tak he­ran men­de­ngar ki­sah se­per­ti itu. Yang ter­pen­ting ba­ gi­nya, kon­flik tak men­ja­lar ke­lu­ar dan me­li­bat­kan war­ga kam­pung la­in. Se­ka­li la­gi, Kembarwati su­dah ma­klum. “Sa­ ya sih ba­ha­gia ka­yak se­ka­rang ini. Bi­sa meng­o­lah ta­nah sen­di­ri. Be­ras­nya bi­sa bu­at ma­kan dan nam­bah mo­dal ju­al­an a­nak. Ka­lau ca­pek, ting­gal pu­lang, is­ti­ ra­hat, dan ma­in sa­ma cu­cu. Gi­tu aja,” pung­kas­nya. Laporan oleh Abi dan Janti

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 29


ANALISIS UTA MA

Persawahan Makin Berkurang Jumlah penduduk DIY semakin meningkat setiap tahunnya. Namun, lahan guna mencukupi pangan semakin menyusut. Oleh Neti Mufaiqoh

y| nd

EKS

PRESI

30 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

di­ban­ding­kan Kabupaten Setuju 56% Kulonprogo, yak­ni se­ba­ nyak 2.277. Se­be­sar 46% res­pon­den memilih e­ko­ no­mi sebagai fak­tor u­ta­ ma ter­ja­di­nya a­lih fung­si la­han, 40,5% ber­pen­da­pat ke­pa­dat­an pen­du­duk, 7% a­ki­bat ur­ba­ni­sa­si, 4,5% ka­ re­na mu­dah­nya a­lur a­lih Sangat Setuju 29% fung­si la­han, dan 2% res­ pon­den ti­dak men­ja­wab. Jum­l ah pen­d u­d uk Sleman dan Bantul ta­hun 2013 menurut data BPS tahun 2014 ada 1.141.718 dan 955.015 jiwa. Jum­lah pen­du­ Tidak Setuju : 7,5% Sangat Tidak setuju : 6% duk DIY me­ning­kat 0,87% se­ti­ap ta­hun. Per­tum­buh­an pen­du­duk yang me­ning­kat ber­dam­pak pu­la pa­da me­ ning­kat­nya ke­bu­tuh­an la­han un­tuk mem­ba­ngun hunian Tidak menjawab : 1,5% a­tau tem­pat u­sa­ha. A­lih Fung­si Lahan Memengaruhi Ketersediaan Me­n u­r ut Purwatno Widodo, S.H., C.N., Pangan. Kepala Dinas Pengendalian Pertahanan Daerah, tahun nyak 4.584 ton. Jum­lah itu se­ta­ra de­ngan 2013 la­han sa­wah Sleman ku­rang le­bih se­ pa­nen se­la­ma li­ma ta­hun. Ber­ku­rang­nya be­sar 24.599ha. A­tur­an RTRW 2011-2031 me­nar­get­kan ka­was­an per­ta­ni­an ta­nam­ jum­lah pro­duk­si ber­dam­pak pa­da ber­ ku­rang­nya ke­ter­se­di­a­an pa­ngan ba­gi 121 an pa­ngan hing­ga ta­hun 2031 mam­pu ber­ta­han se­lu­as 21.113ha. Ja­di, da­lam kpt/th, dan se­ba­nyak 600 o­rang pe­ta­ni ke­hi­lang­an pe­ker­ja­an­nya. Pro­duk­si ga­ ku­run 20 ta­hun ke de­pan ke­mung­kin­an se­ba­nyak 3.486ha la­han di­a­lih­fung­si­kan. bah ke­ring gi­ling Sleman dari tahun 2012 Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman ke 2013 meng­a­la­mi pe­nu­run­an se­be­sar 1,58%. Pro­duk­si ta­hun 2012 se­be­sar me­nge­lu­ar­kan ke­bi­ja­kan a­gar kon­ver­si la­han ra­ta-ra­ta 100ha/tahun. Ba­yang­ 312.815 ton se­dang­kan ta­hun be­ri­kut­ nya ha­nya se­be­sar 307.869 ton. kan ji­ka se­ti­ap ta­hun­nya la­han per­sa­ wah­an me­nyu­sut se­be­sar 100ha/ ta­hun Ji­ka hal ini di­bi­ar­kan te­rus-me­ne­rus, la­han pro­duk­tif yang se­ma­kin ber­ku­rang ma­ka da­lam jang­ka wak­tu 5 ge­ne­ra­si sa­ja Sleman su­dah ti­dak me­mi­li­ki la­han ber­im­pli­ka­si pa­da ter­an­cam­nya ke­da­u­ per­sa­wah­an la­gi un­tuk di ta­nami. lat­an pa­ngan dan ke­se­jah­te­ra­an pe­ta­ni. Di­bu­tuh­kan ke­te­gas­an dan re­gu­la­si yang Ji­ka meng­gu­na­kan per­hi­tung­an jum­lah pe­nyu­sut­an la­han sa­wah 60ha/ je­las ba­gi pe­mu­tus dan pe­lak­sa­na ke­ bi­ja­kan. Ker­ja­sa­ma an­tar­lem­ba­ga dan ta­hun da­pat di­pre­dik­si a­ki­bat lang­sung per­tim­bang­an un­tuk pem­be­ri­an i­zin ju­ga yang di­tim­bul­kan. Pe­nyu­sut­an la­han per­ta­ni­an per hektare ber­dam­pak pa­da ha­rus di­se­su­ai­kan de­ngan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).n me­nu­run­nya pro­duk­si pa­di sa­wah se­ba­ Ra

M

a­yo­ri­tas la­han pro­duk­tif ba­sah (wetland) di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ter­le­tak di Kabupaten Sleman dan Bantul. Lu­as la­han sa­wah di DIY a­da­ lah 56.539ha. Pe­nyum­bang la­han sa­wah ter­ba­nyak ia­lah ke­dua ka­bu­pa­ten ter­se­but: 67%. Na­mun, sta­tus Sleman dan Bantul se­ba­gai ka­bu­pa­ten yang me­mi­li­ki ba­nyak per­sa­wah­an mu­lai ter­an­cam a­ki­bat ba­ nyak­nya a­lih fung­si la­han. Ber­da­sar­penyebaran ang­ket yang di­ la­ku­kan, se­ba­nyak 82% res­pon­den per­nah me­ne­mui a­lih fung­si la­han. Da­ri ke­se­lu­ ruh­an res­pon­den yang per­nah me­ne­mui a­lih fung­si la­han, se­ba­nyak 61% res­pon­den me­mi­lih pe­ru­mah­an se­ba­gai a­lih fung­si la­han yang pa­ling ba­nyak di­te­mui, di­su­sul de­ngan ba­ngun­an u­sa­ha 14%, in­dus­tri 6%, la­in-la­in 4%, dan si­sa­nya ti­dak men­ja­wab. Me­nu­rut da­ta Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupaten Sleman ta­hun 2014, lu­as la­han su­bur ter­u­tama sa­wah di Kabupaten Sleman ber­ku­rang se­ba­nyak 60ha/tahun. Me­min­jam te­o­ri push and pull, a­lih fung­si la­han ter­ja­di ka­re­na ada fak­tor yang me­na­rik dan men­do­rong. Ba­nyak­nya u­ni­ ver­si­tas, ba­ik ne­ge­ri mau­pun swasta, di DIY mem­bu­at pro­vin­si ini men­ja­di sa­lah sa­tu tu­ju­an ba­gi pe­la­jar dan mahasiswa. Dari da­ta BPS DIY ta­hun 2014, ada 110.437 ma­ha­sis­wa da­ri 10 per­gu­ru­an ting­gi ne­ ge­ri di Yogyakarta di tahun 2013. Jum­lah ter­se­but be­lum ditambah mahasiswa da­ri per­gu­ru­an ting­gi swas­ta. Per­tam­bah­an jum­lah ma­ha­sis­wa di se­ti­ap ta­hun a­jar­an ba­ru me­mi­cu pen­di­ri­an ba­ngun­an un­tuk me­me­nu­ hi per­min­ta­an a­kan hu­ni­an, ter­u­ta­ma di wi­la­yah se­ki­tar kam­pus. Se­la­in itu, da­ya ta­rik wi­sa­ta di DIY, khu­sus­nya Sleman dan Bantul pun me­na­rik in­ves­ tor. Al­ha­sil, pem­ba­ngun­an hu­ni­an mu­lai me­ram­bah di ping­gir­an ko­ta. Da­ta BPS DIY me­nya­ta­kan di ta­hun 2014 ju­al be­li ta­nah di Sleman dan Bantul se­ba­nyak 11.375 dan 7.754. Ang­ka ju­al be­li ta­nah ke­dua ka­bu­pa­ten ter­se­but le­bih ting­gi


REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN

Lahan Pertanian untuk Imbangnya Ekosistem “Ber­ka­it­an de­ngan e­ko­sis­tem, ki­ta ha­rus ber­pi­kir kom­pre­hen­sif dan me­nye­lu­ruh a­tau ho­lis­tis,” u­jar Dr. Suwarno Hadisusanto, Dekan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM). Oleh Nia Aprilianingsih

S

| EKS PRESI

“Kon­ver­si la­han da­pat men­ja­di sa­lah sa­tu ca­ra un­tuk meng­hi­lang­kan spe­si­ es a­pa­bi­la spe­si­es ter­se­but ti­dak da­pat ber­a­dap­ta­si,” ka­ta Suwarno. Suwarno ber­ce­ri­ta ten­tang pe­ne­ba­ ngan po­hon sa­at kris­mon (krisis moneter, red.). Mo­nyet yang ting­gal di hu­tan ma­ suk ke de­sa lalu me­ma­kan ta­nam­an di la­dang. Pen­du­duk me­mang­gil po­li­si un­ tuk me­nem­baki ka­wan­an mo­nyet. Da­ri ka­sus di a­tas, spe­si­es mo­nyet ke­hi­lang­an ha­bi­tat. “Ji­ka ada per­u­bah­ an la­han se­se­di­kit a­pa­pun, pas­ti a­kan mem­ba­wa ri­si­ko,” u­jar Suwarno. Kon­v er­s i la­h an ju­g a ter­j a­d i di Kabupaten Sleman. Sleman yang se­ha­

ja, ok­num itu pas­ti pu­nya we­we­nang. Bu­pa­ti, gu­ber­nur, dan men­te­ri­lah yang mem­pu­nyai we­we­nang me­nge­lu­ar­kan i­zin. A­pa­bi­la i­zin ti­dak di­tan­da­ta­ngani, ti­dak a­kan bi­sa pem­ba­ngun­an a­tau­pun alih fung­si la­han i­tu ter­ja­di. Ber­ka­it­an de­ngan peng­aw ­ as­an a­lih fung­si la­han, Bambang Turyono, A. Ptnh., Kepala Subdivisi Penatagunaan Tanah dan Kawasan Tertentu, Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta, me­nga­ta­kan bah­wa be­ lum a­da pro­gram khu­sus yang me­ na­n ga­n i a­l ih fung­si la­han. “Pro­g ram s e ­m a ­ cam i­tu yang

id

Konversi Lahan dan Rusaknya Ekosistem

rus­nya di­ja­di­kan se­ba­gai da­e­rah re­sap­an air se­ka­rang jus­tru di­ba­ngun be­ra­gam ba­n gun­a n. Suwarno per­n ah men­d a­ tangi Bupati Sleman, Ibnu Subiyanto yang men­ja­bat ta­hun 2000-2009. Dia mem­per­ta­nya­kan ke­na­pa da­e­rah re­ sap­an air di­bang­un Universitas Islam Indonesia. A­na­li­sis­nya, ka­lau su­dah ada u­ni­ ver­si­tas, ten­tu akan ada ba­nyak in­de­kos, ru­mah ma­kan, tem­pat fo­to­ko­pi, bah­kan ho­tel. La­han-la­han itu per­la­han di­tu­tup de­ngan se­men. Pa­da­hal, se­ka­li la­gi, di sa­na a­da­lah da­e­rah re­sap­an air. Suwarno men­da­pat ja­wab­an yang tidak me­mu­as­kan dan po­li­tis. “Be­tul, bu­ kan dia bu­pa­ti­nya ta­pi ini ben­tuk pro­tes. De­ngan ha­rap­an ti­dak ter­ja­di hal se­per­ti ini la­gi,” te­gas Suwarno. Badan Lingkungan Hidup DIY te­lah mem­per­tim­bang­kan i­su stra­te­gis peng­ e­lo­la­an ling­kung­an hi­dup. Ada tu­juh e­ko­sis­tem, yaitu Gunung Merapi, per­ bu­kit­an/pe­gu­nung­an, ling­kung­an sung­ai, per­ko­ta­an, pe­de­sa­an, pe­si­sir dan pan­tai, serta per­bu­kit­an karst. Ti­ga hal yang men­ja­di per­ma­sa­lah­an di ekosistem Gunung Merapi a­da­lah ke­ ru­sak­an hu­tan dan ke­a­ne­ka­ra­ga­man ha­ ya­ti, serta me­nu­r un­nya e­ko­lo­gi se­ba­gai re­sap­an air. Ru­sak­nya da­e­rah re­sap­an air ka­was­an Gunung Merapi dan Sleman me­me­nga­ru­hi ekosistem perkotaaan dan pedesaan yang men­da­pat pa­so­kan ca­ dang­an air ta­nah. Ter­ja­di­lah pe­nu­run­an ku­a­li­tas dan ku­an­ti­tas air ta­nah. “Pe­me­rin­tah bi­ca­ra me­nge­nai kon­ ser­va­si i­tu o­mong ko­song. Ber­bi­ca­ra kon­ ser­va­si ta­pi fak­ta­nya pe­ru­sa­ha­an sa­wit se­ma­kin ber­tam­bah,” ka­ta Suwarno. Me­n u­r ut­n ya, pe­n gu­s a­h a ti­d ak a­k an pu­nya pi­kir­an kon­ser­va­si. “Yang pen­ ting un­tung. Sa­ya te­tap me­nya­lah­kan pe­me­rin­tah,” te­gas­nya. Suwarno me­n am­b ah­k an bah­w a wa­lau­pun hanya ok­num, ta­pi ten­tu sa­

Far

uwarno me­nga­ta­kan bah­wa ber­ bi­ca­ra da­ya du­kung pu­lau, ki­ta a­kan me­li­hat Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) se­ba­gai ba­ gi­a n da­r i Pulau Jawa. Ka­l au ha­n ya Kabupaten Bantul atau Sleman, ti­dak kom­pre­hen­sif. Mi­ni­mal ada kon­ti­nu­i­ tas da­ri yang pa­ling hu­lu sam­pai yang pa­ling hi­lir. Ka­lau ki­ta se­dang mem­ba­ has DIY, ki­ta ha­rus ber­a­wal da­ri hu­lu, mi­sal­nya Gunung Merapi, tam­bah­nya. “Dari Gunung Merapi sam­pai de­ngan pe­si­sir bi­sa ki­ta li­hat va­ri­a­si e­ko­sis­tem. Ti­dak a­da e­ko­sis­tem yang ber­di­ri sen­di­ri. Ar­ti­nya, se­mua a­kan ber­ka­it­an. Se­ti­ap or­ga­nis­me i­tu bi­sa hi­dup pa­da ki­sar­an to­le­ran­si­nya,” te­rang Suwarno. Kabupaten Sleman me­r u­p a­k an da­e­rah re­sap­an air dan Bantul se­ba­gai da­e­rah pro­duk­si per­ta­ni­an yang pro­ duk­tif un­tuk DIY. Dokumen Analisis Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) DIY Tahun 2013 me­ nye­but­kan bah­wa pe­ning­kat­an ke­bu­ tuh­an pen­du­duk a­kan pe­ru­mah­an, fa­ si­li­tas pen­di­di­kan, dan ke­gi­at­an u­sa­ha me­nye­bab­kan a­lih fung­si la­han; da­ri la­han per­ta­ni­an ke non­per­ta­ni­an.

Dr. Suwarno Hadisusanto, Dekan Fakultas Biologi UGM saat ditemu di kantornya. Menurutnya alih fungsi lahan yang terjadi akhir-akhir ini tidak memperhatikan ekosistem lingkungan.

mem­ben­tuk a­da­lah a­tas­an,” da­lih­nya. Mes­ki be­gi­tu, Bambang me­nye­pa­ka­ti per­ lunya peng­a­was­an, ter­le­bih ma­rak­nya pem­ba­ngun­an ho­tel di Yogyakarta. “Ta­hun la­lu, su­dah a­da 110 le­bih ho­tel yang meng­an­tre un­tuk di­bang­un. Se­ka­rang, se­ki­tar 40 ho­tel yang mu­lai dan te­lah di­ba­ngun. Su­dah ham­pir se­ teng­ah da­ri jum­lah ke­se­lu­ruh­an. Si­a­pa yang meng­i­zin­kan ka­lau bu­kan wa­li­ko­ta dan bu­pa­ti? Sa­ya bi­sa me­nyu­a­ra­kan pro­ tes ta­pi peng­am­bil ke­pu­tus­an, ya, te­tap pe­me­rin­tah,” pung­kas Suwarno. Laporan oleh Farid

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 31


ANALISIS UTA MA

Keistimewaan tanpa Kedaulatan Pangan Oleh Prof. Ir. Bakti Setiawan, M.A., Ph.D.

Guru Besar Program Studi Magister Perencanaan Kota dan Daerah, Universitas Gadjah Mada

S

abtu, 7 Maret 2014, ri­b u­ an ma­s ya­r a­k at Yogyakarta ambyur ke Alun-Alun Utara Kraton un­tuk mangayubagyo Jumenengan Sri Sultan Hamengku Buwono X, se­ka­li­gus me­nan­dai sa­tu ge­ra­kan ‘Jogja Gumregah’ dan ‘Jogja Istimewa.’ Ke­is­ti­me­wa­an se­ja­rah, fi­ lo­so­fi, dan ke­khas­an bu­da­ya me­ngan­ tar­kan Yogyakarta men­ja­di sa­lah sa­tu da­e­rah is­ti­me­wa yang di­sah­kan me­la­lui Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 13 Tahun 2012. Di ba­l ik ber­ba­g ai ke­i s­t i­m e­w a­a n­ nya, ki­ta a­kan pri­ha­tin bi­la ju­jur me­ li­h at dan meng­k ri­t ik apa yang te­l ah ter­ja­di. Pro­ses pem­ba­ngun­an yang sa­ ngat gen­car dan ka­pi­ta­lis­tik sung­guh meng­kha­wa­tir­kan. Per­kem­bang­an ko­ta yang tak ter­kon­trol te­lah me­ning­kat­kan ko­mer­si­a­li­sa­si di se­ti­ap jeng­kal la­han Yogyakarta. Se­ti­ap jeng­kal la­han cen­de­rung di­ ju­al dan di­tu­kar de­ngan se­ge­pok ru­pi­ah yang ter­li­hat me­lim­pah. Se­sung­guh­nya, u­ang i­tu ti­dak se­ban­ding de­ngan ni­laini­lai ke­is­ti­me­wa­an Yogyakarta. A­pa­bi­la pem­ba­ngun­an yang tak ter­ken­da­li ini di­te­rus­kan, a­kan cen­de­rung ber­la­wan­ an de­ngan ni­lai-ni­lai ke­is­ti­me­wa­an i­tu. Pa­da sa­at yang sa­ma ti­dak men­ja­min ke­ber­lan­jut­an da­e­rah i­ni. Hal yang sa­ngat meng­kha­wa­tir­kan a­da­lah ma­sa­lah a­lih fung­si la­han, khu­ sus­nya da­ri la­han per­ta­ni­an ke per­mu­ kim­an. Se­la­ma pe­ri­o­de ta­hun 2006-2012, a­lih fungsi la­han membuat daerah per­ ta­ni­an ber­ku­rang se­be­sar 231ha. Mes­ki se­per­ti­nya ke­cil da­ri si­si lu­as­an, pe­ngu­ rang­an ini meng­kha­wa­tir­kan bi­la te­rus di­bi­ar­kan ter­ja­di. Di­per­ki­ra­kan wi­la­yah Yogyakarta ti­dak da­pat men­cu­ku­pi ke­bu­

32 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

tuh­an be­ras­nya pa­da 2039. De­ngan ka­ta la­in, da­e­rah yang di­ka­ta­kan is­ti­me­wa ini ti­dak a­kan da­pat men­ja­min kedaulat­an pa­ngan la­gi. Mung­kin a­da pan­dangan bah­wa se­ca­ra ge­o­gra­fis Yogyakarta bu­kan­lah wi­la­yah yang lu­as, ti­dak­lah ma­sa­lah ji­ ka la­han per­ta­ni­an ber­ku­rang. Toh, ki­ta da­pat me­ngim­por ba­han ma­ka­nan da­ri lu­ar da­e­rah, bah­kan man­ca­ne­ga­ra. Per­ so­al­an­nya, ma­sih­kah Yogyakarta di­se­but se­ba­gai da­e­rah is­ti­me­wa dan pu­nya da­ya ta­war ke­ti­ka ke­bu­tuh­an pa­ngan–yang me­ru­pa­kan ke­bu­tuh­an da­sar dan men­ ja­min ke­se­jah­te­ra­an–sa­ngat ter­gan­tung pa­da da­e­rah la­in? Bo­l eh sa­j a UU Keistimewaan disahkan. Seluruh warga Jogja gumregah dan te­rus ber­kar­ya un­tuk me­mak­nai­ nya. Na­mun, pe­mak­na­an ke­is­ti­me­wa­an Yogyakarta ha­rus di­a­wa­li da­ri hal yang se­der­ha­na, men­da­sar, dan ber­ni­lai un­tuk men­ja­min ke­da­u­lat­an pa­ngan. Ke­dua hal itu ti­dak a­kan ter­ja­di ji­ka Yogyakarta ti­dak mam­pu mem­per­ta­han­kan la­han per­ta­ni­an, ter­ma­suk sawah yang se­jak a­wal su­dah sa­ngat ter­ba­tas. Ber­ba­gai u­pa­ya kom­pre­hen­sif ha­rus se­ca­ra kon­sis­ten di­la­ku­kan dan ber­tum­ pu pa­da pe­na­ta­an ru­ang. Se­ba­gai­ma­na te­lah di­a­ma­nat­kan da­lam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pe­na­ta­an ru­ang me­ru­pa­kan su­a­tu sis­tem pro­ses pe­ren­ca­na­an, pe­man­fa­at­an, dan pe­ngen­da­li­an pe­man­fa­at­an ru­ang. Da­lam kon­teks do­ku­men ren­ca­na ru­ang, pe­na­ ta­an ru­ang di­wu­jud­kan da­lam ben­tuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). DIY, ba­ik di ting­kat pro­vin­si, ka­bu­pa­ten, ma­up ­ un ko­ta te­lah mem­pu­nyai RTRW dan RDTR yang ber­ke­ku­at­an hu­kum untuk mengatur tata ruang.

Khu­sus un­tuk me­lin­dungi la­han per­ta­ni­an di se­lu­ruh Indonesia, ada UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) Nomor 41 Tahun 2009. UU ini se­ca­ra te­gas mem­be­ri lan­das­ an hu­kum ten­tang per­lu­nya per­lin­dung­an la­han pro­duk­tif un­tuk men­ja­min ke­ber­lan­ jut­an, ke­ta­han­an, dan ke­da­ul­at­an pa­ngan. Ber­da­sar UU ini, Pemerintah Provinsi DIY ju­ga te­lah me­ner­bit­kan Perda Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Ring­kas­ nya, da­ri si­si ke­bi­ja­kan, te­lah je­las bah­wa per­lin­dung­an la­han per­ta­ni­an ini mu­tlak dan ha­rus di­la­ku­kan. Per­so­al­an pe­ne­gak­an hu­kum men­ja­ di kun­ci ma­sa­lah da­lam pe­na­ta­an ru­ang un­tuk me­lin­dungi pa­ngan. Se­ja­uh ini pe­ ne­gak­an hu­kum di Indonesia, khu­sus­ nya di DIY, te­rus sa­ja bu­ruk. Ti­dak a­da ja­min­an bah­wa pe­rang­kat ke­bi­ja­kan dan per­a­tur­an per­lin­dungan la­han per­ta­ni­an da­pat di­wu­jud­kan. Ke­sa­dar­an ma­sya­ra­kat DIY be­lum se­pe­nuh­nya ada un­tuk men­ja­min ke­ da­u­lat­an pa­ngan. Si­buk me­nyam­but, me­ngi­si, dan me­mak­nai keistimewaan, te­ta­pi lu­pa men­ja­min ke­da­u­lat­an pa­ngan. Tan­pa u­sa­ha nya­ta, je­las, dan kon­sis­ten un­tuk men­ja­min ke­ta­han­an dan ke­da­ u­lat­an pa­ngan, ke­is­ti­me­wa­an i­ni ti­dak a­kan sung­guh-sung­guh ber­mak­na. Dalam menjamin kedaulatan pangan diperlukan advokasi yang sistematis konsisten, dan komperhensif mulai dari pemerintahan sam­pai grass root. Di ta­tar­an pe­me­rin­tah, ha­rus di­pas­ti­kan bah­wa ke­bi­ja­kan pro­pa­ngan ­be­nar-be­nar di­te­rap­kan . Pa­da ta­tar­an grass root, ad­vo­ka­si pa­da pe­ta­ni di­per­lu­kan un­tuk men­ja­min ke­se­jah­te­ra­an ba­gi pe­ta­ni yang te­lah me­me­nu­hi pa­ngan se­ba­gai ke­bu­ tuh­an da­sar ki­ta.n


REFO RMA AG RA RI A G AGA L : BUR UK N YA P E N DAYAG UNA A N L A H AN

Bergerak Melawan Alih Fungsi Lahan Pen­di­ri­an ho­tel dan apar­te­men mu­lai di­to­lak war­ga se­dang­kan Serikat Petani Indonesia (SPI) pun ing­in la­han per­ta­ni­an dipertahankan. Oleh Joseph Sebastian Nazareno Silaen

P

di Kecamatan Wirobrajan, Pakualaman, Gondokusuman, Jetis, Danurejan, dan Gedongtengen. Be­be­ra­pa di an­ta­ra­nya a­da­lah ho­tel ber­bin­tang di Jalan Mayor Jenderal Sutoyo dan Jenderal Sudirman de­ngan luas 13.981m2 dan 9.727m2.

Gerakan Memperjuangkan Lahan

A­lih fung­si la­han di Provinsi DIY ki­an mem­pri­ha­tin­kan. Ke­bu­tuh­an la­ han un­tuk pem­ba­ngun­an ak­hir­nya me­ mun­cul­kan ber­ba­gai pro­ble­ma­ti­ka ba­ru. Pem­ba­ngun­an te­rus ber­kem­bang. A­lih fung­si la­han per­ta­ni­an ke non­per­ta­ni­an men­ja­di pi­lih­an. Ber­da­sar­kan da­ta BPS dan Dinas Pertanian ta­hun 2013, lu­as la­han di Gunung Kidul seluas 125.700ha (53,3%), Kulon Progo seluas 45.326ha (18,9%), Sleman seluas 39.341ha (16,4%), Bantul seluas 29.611ha (12,3%), dan Kota Yogyakarta seluas 264ha (0,1%). Seluas 240.242ha a­da­lah la­han per­ta­ni­an. Me­nu­rut Dr. Bambang Hudayana, M.A., Kepala Pusat Studi Pedesaan dan Kasawan (PSPK) UGM, per­u­bah­ an peng­gu­na­an la­han da­ri per­ta­ni­an ke non­per­ta­ni­an ter­ja­di ka­re­na a­da­nya per­ u­bah­an i­klim pe­ngem­bang­an wi­la­yah di Yogyakarta. Pe­ngem­bang­an wi­la­yah ko­ta men­ja­di sa­lah sa­tu fak­tor yang pa­ling ber­pe­nga­ruh ter­ha­dap pe­ngem­bang­an wi­la­yah su­bur­ban. Sa­lah sa­tu con­toh nya­ta­nya a­da­lah peng­gu­na­an la­han per­ta­ni­an men­ja­ di la­han in­ves­ta­si pro­per­ti. “Se­ka­rang su­sah me­ne­mui ka­was­an yang di­se­but pe­de­sa­an. Ke­ba­nyak­an de­sa-de­sa ter­ se­but ber­a­lih men­ja­di ko­ta. Hal ini ber­ dam­pak pa­da peng­gu­na­an ta­nah. Ta­nah ak­hir­nya men­ja­di ko­mo­di­tas ka­r e­n a peng­g u­n a­a n ta­n ah ter­fo­kus pa­da pem­ba­ngun­an hu­ni­an. Ini me­nye­bab­kan ta­ nah di­har­gai de­ngan ma­hal,” te­rang Bambang. Me­nyang­kut la­han per­ ta­n i­a n, Serikat Pertanian Indonesia (SPI) Yogyakarta

men­d e­s ak pe­m e­r in­t ah a­g ar mam­p u me­ngen­da­li­kan a­lih fung­si la­han per­ ta­ni­an yang ki­ni ma­rak di­ja­di­kan la­han pro­per­ti. “SPI kha­wa­tir ji­ka a­lih fung­si la­han per­ta­ni­an di Yogyakarta ber­lan­jut, Yogyakarta a­kan su­lit ber­da­u­lat pang­an,” te­rang Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) SPI Yogyakarta,Tri Hariyono, se­ per­ti di­lan­sir dari Pembaharuan Tani. Ke­kha­wa­tir­an yang sa­ma ju­ga di­ sam­pai­kan o­leh Bambang. Ia meng­kri­ tik pem­ba­ngun­an yang me­ngor­ban­kan la­han per­ta­ni­an de­ngan da­lih pe­ngem­ bang­an in­dus­tri wi­sa­ta. “Da­lih in­dus­tri pa­ri­wi­sa­ta di­gu­na­kan un­tuk mem­ba­ngun ba­nyak ho­tel. La­ma-la­ma da­e­rah i­kut ber­u­bah. Pe­me­rin­tah a­kan di­do­rong un­tuk mem­per­ba­i­ki ak­ses ja­lan ke da­e­ rah. Ak­hir­nya har­ga ta­nah di de­kat ja­lan a­kan na­ik. Pen­du­duk­nya ju­ga se­ma­kin pa­dat, ak­hir­nya ta­nah di­per­da­gang­kan de­ngan la­bel da­e­rah yang stra­te­gis,” te­ rang Bambang. Tri me­ne­rang­kan bah­wa ber­da­sar­kan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2011 ten­tang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) ada 35.911 ha ta­nah yang khu­sus di­per­un­tuk­kan se­ba­gai la­han per­ta­ni­an. La­han-la­han ter­s e­b ut ter­s e­b ar di em­p at ka­b u­p a­ ten se­lu­as 12.377,59ha di Kabupaten Sleman, 5.029ha di Kabupaten Kulon Progo, 13.000ha di Kabupaten Bantul, dan 5.500ha di Kabupaten Gunung Kidul. Na­mun sa­yang­nya, ma­sih ba­nyak pe­ta­ni yang be­lum me­nge­ta­hui­nya.

Repro Randy | EKSPRESI

a­da a­wal ta­hun 2014 pem­ba­ ngun­an ho­tel ma­u­pun apar­te­ men mu­lai me­nu­ai pe­no­lak­an da­ri war­ga. Sa­lah sa­tu­nya, pem­ ba­ngun­an Apar­te­men Uttara The Icon di Dusun Karangwuni, Ngaglik, Sleman. Apar­te­men yang di­kem­bang­kan o­leh PT. Bukit Alam Permata ini di­pro­tes war­ga ka­re­na di­ni­lai ti­dak me­la­lui per­se­tu­ju­ an war­ga se­ki­tar. Se­la­in itu, ho­tel yang di­ba­ngun di be­kas ke­di­am­an pe­ma­tung Edhi Sunarso ini ju­ga di­kha­wa­tir­kan me­ nye­bab­kan ter­gang­gu­nya ke­ter­se­dia­an air ber­sih, pen­ce­mar­an lim­bah ho­tel, ju­ga ban­jir. Me­nu­rut Rohkmat, sa­lah sa­tu ak­ ti­vis Pembela Tata Ruang (Petarung), ke­ja­di­an ini se­ba­gai ben­tuk ke­pe­du­li­an war­ga ter­ha­dap pem­ba­ngun­an ta­ta ru­ ang. “Se­be­tul­nya ke­lom­pok ka­mi ber­u­ sa­ha un­tuk me­lek (sadar, red.) se­ba­gai ma­sya­ra­kat yang pe­du­li ter­ha­dap ta­ta ru­ang. Ji­ka da­hu­lu war­ga ti­dak pe­du­li de­ngan pem­ba­ngun­an, se­ka­rang war­ ga su­dah be­ra­ni me­no­lak pem­ba­ngun­an mes­ki­pun di­i­ming-i­mingi ba­nyak uang,” tu­tur Rohkmat. Pe­no­lak­an war­ga ter­se­but cu­kup ber­ a­las­an. Kon­sum­si air ber­sih ho­tel pa­da u­mum­nya ja­uh le­bih ting­gi da­ripa­da ke­bu­tuh­an ru­mah tang­ga. Peng­am­bil­an air ta­nah o­leh ho­tel di­kha­wa­tir­kan a­kan me­me­nga­ru­hi ke­ter­se­di­a­an air ta­nah di se­ki­tar­nya. “So­al a­ir ta­nah, se­be­tul­nya ba­nyak se­ka­li yang ter­kan­dung di da­ lam ta­nah. Na­mun, bi­la me­li­hat per­ban­ ding­an ke­bu­tuh­an dan tek­no­lo­gi yang di­gu­na­kan un­tuk meng­ak­ses ta­nah, je­las war­ga yang di­ru­gi­kan. Ke­bu­tuh­an ho­tel ter­ha­dap air ta­nah le­bih ba­nyak dan tek­ no­lo­gi yang di­gu­nak­an pun men­du­kung,” je­las Rohkmat. Pa­da ak­hir 2013 ada 106 ber­kas per­ i­zin­an ho­tel yang ma­suk dan di­pro­ses o­leh Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Da­ri jum­lah itu, 25% a­da­lah ka­te­go­ ri ho­tel ber­bin­tang. Se­ba­nyak 11 Izin Mendirikan Bangunan (IMB) te­lah di­ ter­bit­kan. Ho­tel-ho­tel ter­se­but ber­lo­ka­si

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 33


PROFIL

Mahasiswa Jangan Hanya Lulus Cepat

Sebagai pendidik, ia tak hanya menuntut mahasiswanya untuk mendapat nilai baik. Lebih dari itu, dalam ketatnya birokrasi kampus, ia berusaha mencari celah agar kreativitas tidak dibatasi. Oleh Irfah Lihifdzi Ayatillah

S

e­ga­la se­su­a­tu yang ber­awal da­ri ke­se­nang­an akan se­la­lu men­ca­ pai ha­sil yang mak­si­mal. Be­gi­tu­ lah yang ter­ja­di pa­da ke­hi­du­pan Afif Ghurub Bestari, sa­lah sa­tu do­sen Pendidikan Teknik Busana Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta (FT UNY). Hal ter­se­but pu­la yang ke­ mu­di­an men­ja­di prin­sip­nya da­lam be­ ker­ja. Se­jak ke­cil, ia se­la­lu ber­usa­ha me­me­ nu­hi dan mem­per­ju­ang­kan hal-hal yang ia se­na­ngi. Hobi Afif ti­dak di­pung­ki­ri ber­ang­kat da­ri ling­kung­an ke­lu­ar­ga­nya yang se­nang meng­gam­bar. Kakek dan ibu­nya ada­lah se­orang pen­ja­hit yang, ten­tu­nya ju­ga, meng­gam­bar po­la-po­la pa­kai­an. Se­men­ta­ra ne­nek­nya ada­lah se­orang pem­ba­tik. La­hir da­lam ling­kung­ an se­ni­man bu­sa­na itu­lah yang men­ja­di be­kal Afif me­ni­ti ka­rir­nya. Se­jak ke­cil ba­kat Afif mu­lai ter­li­hat. Ia su­dah bi­sa meng­gam­bar bu­rung merak dan meng­gam­bar ikan mas koki. Sang ibu yang me­li­hat hal ter­se­but ke­he­ra­ nan ka­re­na umur Afif ma­sih ter­bi­lang mu­da. Gam­bar yang di­bu­at Afif ter­la­lu de­ta­il. Anak se­u­mu­ran­nya mung­kin ma­ sih meng­gam­bar gu­nung, ru­mah, atau sa­wah. Di ­b ang­k u Sekolah Menengah Pertama (SMP), Afif se­ma­kin mem­per­ ta­jam ba­kat­nya. Ia mu­lai meng­gam­bar ilus­tra­si-ilus­tra­si bu­sa­na ter­pe­nga­ruh ibu­nya yang se­ring ia li­hat meng­gam­bar po­la pa­kai­an. Na­mun, gam­bar-gam­bar yang Afif bu­at ti­dak bi­sa be­nar-be­nar ber­ha­sil men­ja­di se­bu­ah ba­ju. Ibu­nya yang mem­ban­tu­nya men­ja­hit ba­ju ha­ sil de­sa­in­nya ma­lah ia sa­lah­kan dan ia ang­gap ti­dak pa­ham po­la yang ia buat. Akhir­nya, ibu­nya me­mu­tus­kan un­tuk me­ma­suk­kan Afif pa­da lem­ba­ga kur­sus ja­hit. Sa­at itu, ia ti­dak pe­du­li de­ngan di­ ri­nya yang ma­sih du­duk di ke­las sa­tu

34 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

SMP. Ia jus­tru meng­ang­gap hal ter­se­but se­bu­ah tan­tang­an yang me­nga­syik­kan. Pa­da be­be­ra­pa ke­sem­pat­an, pe­lang­ganpe­lang­gan ibu­nya jus­tru mu­lai me­nye­ na­ngi po­la yang di­bu­at Afif ke­tim­bang yang ibu­nya bu­at.

Terbiasa Ditantang

Jen­jang per­gu­ru­an ting­gi me­ru­pa­ kan awal ma­suk Afif ke du­nia se­ni yang me­ngan­tar pa­da ka­rir­nya sa­at ini. Afif ber­si­ku­kuh un­tuk me­lan­jut­kan ku­li­ah di ju­ru­san se­ni ru­pa. Hal ter­se­but di­to­lak ha­bis-ha­bi­san oleh ke­lu­ar­ga­nya, ter­uta­ ma sang ayah. Ayah Afif meng­ang­gap se­ni­man ti­dak akan men­da­pat hi­dup yang la­yak dan ber­ke­cu­kup­an nan­ti­nya. Ken­ da­ti de­mi­ki­an, Afif yang ter­bi­a­sa de­ngan rin­tang­an se­la­ma ini jus­tru meng­ang­gap hal ter­se­but ada­lah tan­tang­an. Tu­han ber­pi­hak pa­da pria ini. Ia di­te­ri­ma di Pendidikan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) UNY. Di sinilah Afif me­ nem­pa di­ri­nya dan me­nye­le­sai­kan Tugas Akhir Skripsi. Ia me­mi­lih te­ma gam­bar bu­sa­na un­tuk skrip­si­nya. Pi­li­han­nya di­ang­gap ti­dak wa­jar ka­ re­na se­ba­gai ma­ha­sis­wa Jurusan Seni Rupa, ia me­nger­ja­kan skrip­si me­nge­nai de­sa­in bu­sa­na. Te­ma itu se­be­nar­nya bu­ kan ga­gas­an mur­ni Afif. Oleh do­sen­nya, ia di­tan­tang un­tuk me­nger­ja­kan skrip­si de­ngan te­ma ilus­tra­si bu­sa­na dan me­la­ ku­kan pa­me­ran ilus­tra­si bu­sa­na se­be­lum ia di­i­zin­kan me­la­ko­ni uji­an skrip­si. Se­ba­gai ja­wa­ban da­ri tan­tang­an itu, ia ha­rus ber­ka­li-ka­li bo­lak-ba­lik Yogyakarta-Jakarta un­tuk kur­sus de­ sa­in bu­sa­na di lem­ba­ga mi­lik de­sai­ner ter­ke­nal, Harry Darsono. Se­te­lah­nya, ia mem­bu­at pa­me­ran ilus­tra­si de­sa­in-de­ sa­in bu­sa­na yang ia bu­at. Su­dah da­pat di­nya­na, ba­nyak de­sa­in yang ia bu­at di­ pe­san orang un­tuk di­bi­kin ba­ju. Se­jak sa­at itu, ia ma­kin de­kat de­ngan du­nia

bu­sa­na. Has­rat­nya te­rus ber­lan­jut hing­ga ia lu­lus dan me­la­mar pe­ker­ja­an. Ia sem­pat di­to­lak un­tuk men­ja­di pe­ga­wai di se­bu­ah pro­du­sen pa­kai­an. Bu­kan ka­re­na ia ti­dak mam­pu, jus­tru ka­re­na sang pim­pi­nan kha­wa­tir de­ngan ke­mam­pu­an Afif yang ju­stru akan meng­hi­lang­kan ke­kha­san da­ri pe­ru­sa­ha­an ter­se­but. Afif di­ang­gap se­se­orang yang su­dah me­mi­li­ki ka­rak­ter. Ia jus­tru di­min­ta men­ja­di tu­tor un­tuk orang-orang yang akan di­pe­ker­ja­kan di pe­ru­sa­ha­an ter­se­but. Be­gi­tu­lah per­ja­la­ nan awal Afif hing­ga ke­mu­di­an ia men­ daf­tar­kan di­ri se­ba­gai do­sen di UNY. Da­lam pro­ses­nya, ia men­da­pat dua pi­li­han: se­ba­gai do­sen Seni Rupa FBS atau do­sen Teknik Busana FT . Me­ngi­ngat prin­sip­nya, ya­itu be­ker­ja di bi­dang yang ia se­na­ngi, ia me­mi­lih men­ja­di do­sen Teknik Busana FT. Bu­kan ia ti­dak se­nang Jurusan Seni Rupa, ta­pi ia me­ra­sa le­bih de­kat de­ngan du­nia bu­sa­na. Se­la­ma men­ja­di do­sen, se­jak 2005 hing­ga sa­at ini, ia me­ra­sa ba­nyak hal yang mem­bu­at ma­ha­sis­wa ter­ikat dan ti­dak be­bas ber­kre­a­ti­vi­tas. Mi­sal­nya, per­nah su­atu ka­li, ia di­per­ca­ya un­tuk men­ja­di pe­nang­gung ja­wab da­lam aca­ra kar­na­val. Ide-ide un­tuk men­de­sa­in bu­sa­na kar­na­ val su­dah ia si­ap­kan. Na­mun, se­ke­ti­ka bu­yar, sa­at se­mua yang ber­ka­it­an de­ngan kar­na­val ha­rus di­se­su­ai­kan de­ngan atur­ an-atur­an yang ada di UNY: ber­bu­sa­na de­ngan bu­sa­na so­pan dan ter­tu­tup. Afif sa­ngat pa­ham, bu­sa­na yang ter­ tu­tup ten­tu sa­ja akan sa­ngat meng­gang­gu ka­re­na pa­nas dan ri­bet. Di­ si­ni­lah Afif kem­ba­li me­ra­sa ter­tan­tang un­tuk mem­ bu­at bu­sa­na yang se­su­ai de­ngan atur­an UNY tan­pa me­ngu­bah kon­sep da­sar de­ sain­nya. Te­rang sa­ja, ia men­da­pat pu­ji­an da­ri ­de­sai­ner-de­sai­ner la­in sa­at kar­na­val ber­lang­sung. Ia ber­ha­sil mem­bu­at bu­ sa­na ter­tu­tup te­ta­pi ti­dak meng­gang­gu


P R O FI L

Nama TTL Riwayat Pendidikan

: Afif Ghurub Bestari, S.Pd. : Ngawi, 23 Mei 1970 : SDN Karang Tengah 4 Ngawi SMPN 1 Ngawi SMAN 3 (sekarang SMAN 2) Ngawi Jurusan Seni Rupa Fakultas Bahasa dan Seni UNY

Far

id |

Eks

pre

si

Penghargaan: -The Grand Champion Golden Crabao Kneeling World Costume Festival 2013 -Juara Karnaval Jogja Fasion Week sebagai desainer dan konseptor 2008-2012 -Pemenang lomba Ilustrasi Mode Majalah Fashion Pro 2009 -Penampil Terbaik dalam Lomba Pawai dan Atraksi Budaya HUT Yogyakarta ke-257 sebagai konseptor dan desainer busana 2013 Karya yang dibuat: -Buku Menggambar Busana dengan Teknik Kering mo­del yang me­nge­na­kan­nya. Se­jak sa­at itu Afif mu­lai di­ke­nal dan ba­nyak men­ju­a­rai fes­ti­val-fes­ti­val na­si­ o­nal mau­pun in­ter­na­si­o­nal. Ia ber­ha­sil men­da­pat peng­har­ga­an da­ri OISTAT (Organization Internationale des Scenographes Techniciens et Architecttes de Theatre) da­lam aca­ra The Grand Champion Golden Crabao Kneeling World Costume Festival dan Judge in Viva Vigan Binatbatan Festival of The Arts 2013, ser­ta Carabao Painting and Pasagad Dressing, Boklan and Glass Mosaic Competition 2013 di Filipina. Pres­ta­si-pres­ta­si­ Afif men­ja­di­kan­nya di­per­caya men­ja­di ju­ri, pe­ma­te­ri, atau pe­nga­was ber­ba­gai aca­ra. Do­rong­an mo­ti­va­si un­tuk ma­ha­sis­wa ju­ga ti­dak Afif lu­pa­kan. Ia se­la­lu ber­usa­ ha me­li­bat­kan ma­ha­sis­wa da­lam aca­ra mau­pun pro­yek yang se­dang ia ker­ja­kan. Mi­sal­nya, sa­at ini ia se­dang ber­usa­ha men­cip­ta­kan ak­se­so­ri ber­ba­han da­sar tu­lang bi­na­tang. Da­lam pro­yek ini, Afif me­li­bat­kan ma­ha­sis­wa un­tuk men­ca­ ri ja­ring­an mau­pun me­nyum­bang­kan ide un­tuk de­sa­in-de­sa­in ak­se­so­ri yang akan ia bu­at nan­ti­nya. Afif ber­ang­ga­pan bah­wa ke­ter­li­bat­an ma­ha­sis­wa da­lam pro­yek yang ia ja­lan­kan akan me­mi­cu kre­a­ti­vi­tas ma­ha­sis­wa.

Guru dan Kreativitas Mahasiswa

Ra­sa se­nang Afif un­tuk men­ca­ri ce­lah atas tan­tang­an dan atur­an yang da­tang ju­ga ia te­rap­kan ter­ha­dap ma­

ha­sis­wa­nya. Ia le­bih se­nang pa­da ma­ ha­sis­wa yang me­mi­li­ki pe­mi­kir­an dan pan­dang­an ber­be­da. Afif bah­kan se­la­ lu ber­usa­ha un­tuk me­ne­kan­kan tu­gas ma­ha­sis­wa se­ba­gai se­bu­ah ke­sem­pat­an un­tuk ber­kar­ya de­ngan mem­be­ri­kan se­ lu­ruh krea­ti­vi­tas­nya. Hal itu ter­ka­dang agak ber­ten­ta­ ngan de­n gan ju­ru­s an yang notabene ber­ba­sis pen­di­di­kan. Ia ber­ang­ga­pan bah­wa se­se­orang ha­rus me­mi­li­ki to­ta­ li­t as da­lam ber­e ks­pre­s i dan ber­kre­a­ ti­vi­tas, ti­dak ha­nya ber­o­ri­en­ta­si pa­da men­d a­pat pe­ker­j a­an se­te­lah men­j a­di sar­ja­n a. Ca­r a Afif me­mo­ti­va­si ma­ha­sis­wa bu­k an se­k a­dar me­nya­ran­kan me­re­ka un­tuk lu­lus ce­pat, te­ta­pi ju­ga men­ja­di lu­lu­san yang ber­ku­a­li­tas. Hal ter­se­but, me­n u­r ut Afif, da­p at di­c a­p ai de­n gan di­c u­r ah­k an­n ya se­l u­r uh krea­t i­v i­t as da­l am se­b u­a h kar­y a. Be­g i­t u pun ca­ ra Afif da­l am mem­be­ri­kan ni­lai pa­da ma­ha­sis­wa. Ia cen­de­rung me­ni­lai ma­ ha­sis­wa me­la­lui kar­ya­nya yang di­bu­at se­pe­nuh ha­ti me­la­lu pro­ses krea­ti­vi­tas atau jus­t ru ha­nya di­se­le­sai­kan un­tuk me­m e­n u­h i tu­gas yang di­be­ri­kan oleh dosen. Ia ti­d ak ingin ma­h a­s is­w a­n ya ha­nya me­nge­jar ni­lai ter­ba­ik dan lu­lus ce­pat, tan­pa me­ngem­bang­kan po­ten­ si dan ke­mam­pu­an se­te­lah men­da­pat ge­lar sar­ja­na pen­di­di­kan di bi­dang tek­ nik bu­sa­n a. Oleh se­b ab itu, Afif ba­n yak me­ li­b at­kan ma­ha­s is­w a­nya da­lam se­ti­ap

aca­r a yang ia iku­t i. Ba­i k pe­n e­l i­t i­a n mau­pun fes­ti­val yang ia em­ban se­ba­gai tang­gung ja­wab da­ri ba­nyak pi­hak. Ia ber­ang­ga­pan bah­wa yang ia la­ku­kan akan se­ma­kin mem­be­ri­kan wa­dah ba­ gi ma­h a­s is­w a un­t uk me­n um­p ah­k an krea­s i­nya.

Afif di Mata Mahasiswa

Ke­ti­ka se­orang ma­ha­sis­wa Ju­ru­san Pendidikan Teknik Busana bi­ca­ra me­ nge­nai so­sok Afif, hal per­ta­ma yang ia sam­pai­kan ada­lah ra­sa sa­yang se­orang Afif le­bih da­ri se­orang do­sen pa­da ma­ ha­sis­wa­nya. Hal ini­lah yang me­nu­rut­ nya da­pat mem­bu­at ma­ha­sis­wa me­ra­sa nya­m an. Afif se­la­lu ber­usa­ha me­­m­o­ si­s i­kan ma­ha­s is­w a se­ba­gai anak­n ya, bu­kan mu­rid­nya. Hal ini ju­ga di­a ­kui oleh Afif, bah­wa ke­ti­ka ia ke­bi­ngung­an men­c a­r i be­b e­r a­p a ma­h a­s is­w a­n ya, ia akan ber­ta­nya, “Di mana anak-anak, ya?” De­m i­ki­an yang di­ra­s a­kan sa­l ah sa­tu ma­ha­s is­w a me­nge­nai Afif. Hal la­in yang di­sam­pai­kan ada­lah di­di­kan Afif yang se­la­lu ber­be­da de­ ngan do­sen lain. Bu­kan so­al tu­gas yang sem­pur­na un­tuk men­da­pat ni­lai mak­ si­mal ta­pi ra­sa ingin ta­hu ma­ha­sis­wa te­rus ber­kre­asi de­ngan krea­ti­vi­tas dan ino­vasi yang te­rus di­ba­ngun. Ma­ha­sis­ wa yang ter­li­bat da­lam pro­yek-pro­yek Afif akan men­da­pat pro­ses be­la­jar yang le­bih. Wa­lau­pun hal ter­se­but di­a­kui se­ ba­gai hal yang me­le­lah­kan ka­re­na por­si wak­tu un­tuk be­la­j ar ber­tam­bah. Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 35


ALMAMATER

Kontroversi Penerapan Pajak Kegiatan Mahasiswa Rektorat tak mampu menangani pajak kegiatan organisasi mahasiswa (ormawa) tingkat universitas, mahasiswa diminta turun tangan. Oleh Arde Candra Pamungkas dan Taufik Nurhidayat

M

ulai pertengahan 2013, or­ma­ wa ting­kat u­ni­ver­si­tas di­min­ta o­leh rek­tor­at un­tuk mem­ba­yar pa­jak a­tas ke­gi­at­an­nya sen­di­ri. Ke­bi­jak­an i­ni ti­dak ber­la­ku un­tuk or­ma­ wa tingkat fakultas. Tek­nis­nya, or­ma­wa universitas mem­ba­yar se­mua pu­ngut­an pa­jak di tiap kegiatan me­re­ka, de­ngan mem­ba­yar­kan langsung ke kan­tor pa­jak a­tau­pun kantor pos meng­gu­na­kan blang­ ko Slip Setoran Pajak (SSP). Setelahnya, baru la­p or­a n per­t ang­g ung­ j a ­w a b ­a n ( L P J ) ­k egiatan

36 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

diserahkan ke rek­tor­at de­ngan me­lam­ pir­kan buk­ti se­tor pa­jak dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Sleman. Kebijakan baru ini tertulis da­lam kon­ trak ke­gi­at­an Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang ha­rus membayarkan pa­jak ke­gi­at­an­nya sesuai dengan ketentuan ber­la­ku. Me­mang secara aturan, sia­pa­pun yang meng­gu­na­kan dana dari pe­me­rin­tah tak bisa lepas dari ke­wa­jib­an mem­ba­yar pajak. “Sia­pa­pun yang menggunakan dana da­ ri Ang­gar­an Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ter­k e­n a pa­j ak de­n gan sya­r at dan ke­t en­t u­a n yang ber­la­ku,” te­rang Mustofa, S.Pd., M.Sc., do­s en ma­t a ku­l i­a h Perpajakan Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta (FE UNY). Hal ini ber­be­da de­ngan yang ter­ja­ di di UKM fa­kul­ tas (UKMF). P e r ­p a ­j a k ­a n un­tuk ke­gi­at­an UKMF di­u­rus o­leh pi­hak fa­ kul­tas. Sa­at di­t emui di

r­ uangannya, Drs. Mujiran se­laku Kepala Bagian (Kabag.) Kemahasiswaan me­ ne­rang­kan bahwa kebijakan ini di­am­ bil de­ngan tujuan mempermudah dan mem­per­lan­car proses dalam la­por­an per­tang­gung­ja­wab­an keuangan. “Itu sebenarnya bukan a­tur­an, me­ la­in­kan ke­bi­jak­an untuk mem­per­lan­car pro­ses. Jumlah UKM di ting­kat u­ni­ver­ si­tas itu kan lebih banyak da­ri yang di ting­kat fa­kul­tas. Jadi, agar pro­ses per­ tang­gung­ja­wab­an­nya lebih cepat, UKM di­min­ta to­long untuk mem­ba­yar­kan pa­ jak atas ke­gi­at­an­nya sendiri,” ungkap Mujiran. Terkait aturan per­pa­jak­an se­ca­ra u­mum, UNY se­ba­gai lem­ba­ga pe­me­rin­ tah­an wa­jib meng­i­kuti a­tur­an per­pa­jak­an dari pemerintah. Ja­di, se­be­nar­nya pe­ne­ rap­an pajak se­ca­ra u­mum su­dah a­da se­jak UNY ber­diri. Se­per­ti yang di­sam­pai­kan Dr. Moch. Alip, M.A., selaku Wakil Rektor (WR) II. “Untuk aturan pa­jak ki­ta meng­ i­kuti peraturan dari pemerintah. Ja­di, ma­sa­lah pajak itu ketentuan negara. UNY ha­nya melaksanakan,” ungkap Alip.

Spekulasi Kebijakan Teknis Pajak

Kewajiban pajak memang su­dah a­da sejak UNY berdiri. Namun, un­tuk tek­nis pem­ba­yar­an yang di­se­rah­kan ke­pa­da ma­ha­sis­wa, baru di­la­ku­kan di per­te­ngah­an 2013. Pemberlakuan ke­ bi­jak­an ini di­sa­yang­kan oleh be­be­ra­pa peng­u­rus UKM. “Kalau dulu kan se­te­lah ke­gi­at­an bisa langsung LPJ-an. Se­ka­rang ha­rus hi­tung pajaknya lalu ke kantor pos atau KPP Pratama untuk mem­ba­yar­kan pa­jak. Jadi, prosesnya lebih pan­jang,” ung­kap Supriyono, Ketua UKM Pramuka Putra UNY. Kebijakan teknis pembayaran pa­jak ter­se­but pun dinilai mendadak oleh pe­gi­ at or­ma­wa ting­kat universitas. ­Yohanna Tyasrini, Bendahara Badan Eksekutif


A L M A M AT ER Ma­ha­sis­wa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) 2013 menyatakan bahwa ke­bi­jak­ an di per­tengahan tahun 2013 ter­se­but tan­pa so­si­al­isasi yang jelas dari rek­to­rat. “Ta­hu­nya disuruh tanda tangan kon­trak un­tuk ba­yar pajak sendiri. Tapi, tidak per­nah di­nya­ta­kan alasannya,” tu­tur Tyas, sapaan akrabnya. Alasan yang sama juga di­sam­pai­ kan o­leh pihak kemahasiswaan. ­Mujiran men­je­las­kan ka­lau jumlah UKM dan or­ ma­wa di tingkat u­ni­ver­si­tas le­bih ba­nyak dari ting­kat fakultas. Se­lain i­tu, jum­lah orang yang mengurus di rek­to­rat ter­ba­ tas. Ia menjelaskan bahwa ke­ti­ka pa­jak kegiatan diurus oleh rektorat a­kan me­ ma­kan waktu yang cukup lama. “Kegiatan UKM dan or­ma­wa ting­kat fa­kul­tas tidak sepadat di ting­kat u­ni­ver­ si­tas. Di tingkat u­ni­ver­si­tas a­da 44 UKM. Sekarang UKM ka­lau mau meng­a­ju­kan da­na un­tuk ke­gi­at­an la­gi bi­sa le­bih ce­pat. Du­lu be­be­ra­pa UKM ter­lam­bat ka­re­na pajak belum di­be­res­kan ba­gi­an per­pa­ jak­an di rektorat,” terang Mujiran. Sukirjo, M.Pd., Kepala Biro Akademik, Kemahasiswaan, dan

Informasi men­je­las­kan a­da­nya ke­bi­ jak­an i­ni sa­lah sa­tu per­tim­bang­an­nya ka­re­na du­lu memang ada per­i­ngat­an da­ri Satuan Pengawas Internal (SPI) ter­ka­it pa­jak. Ka­lau dulu, dana ke­gi­at­an UKM masih kecil sehingga ma­sih bi­sa di­ke­lo­la o­leh rek­tor­at. Namun, be­be­ra­pa ta­hun ter­ak­hir ke­gi­at­an UKM men­ja­di se­ma­ kin be­sar. “Dulu ada rencana da­na lang­ sung di­po­tong 15% untuk pa­jak. Ta­pi kan kasihan. Nan­ti da­na un­tuk ke­gi­at­an­nya habis untuk wajib pa­jak­nya ma­ha­sis­wa. Mereka membayar sen­di­ri a­gar a­da ke­ le­lu­as­a­an dari panitia untuk meng­a­tur pe­nge­lu­ar­an­nya sendiri,” jelas ­Sukirjo. Mujiran pun tidak tahu te­pat­nya a­las­an pe­ne­rap­an kebijakan ter­se­but ba­gi UKM dan ormawa di tingkat u­ni­ver­si­tas. Ia ber­da­lih bah­wa ke­bi­jak­an itu su­dah di­ te­rap­kan se­jak la­ma. “Sebelum saya jadi Kabag. Kemahasiswaan memang su­dah a­da. Saya tidak tahu bahwa ke­bi­jak­an Kabag. se­be­lum­nya tidak me­ne­rap­kan pem­ba­yar­an pajak ke UKM dan or­ma­ wa,” terang Mujiran. Drs. Budi Sulistiya, Kabag. Ke­ma­ ha­sis­wa­an sebelum Mujiran, meng­a­

kui bah­wa da­hu­lu ormawa u­ni­ver­si­tas ti­dak lang­sung dibebankan mem­ba­yar pa­jak ke­gi­at­an. Budi juga me­nam­pik ji­ ka pertanggungjawaban ke­u­ang­an ke­ gi­at­an mahasiswa sempat ber­ma­sa­lah a­ki­bat kebijakan yang di­te­rap­kan sa­at Bu­di men­ja­bat Kabag. Ke­ma­ha­sis­wa­an UNY. “Walau dibayarkan, dulu tidak a­da ma­sa­lah ter­ka­it pajak. Saat audit pun ti­dak ber­ma­salah,” ujar Budi. Namun, pernyataan ter­se­but di­ban­ tah oleh Drs. Ngadirin, S.E., MS., Ke­tua Satuan Pengawas Internal (SPI) UNY. “Audit dari SPI me­ne­mu­kan a­da ma­sa­lah ter­kait LPJ keuangan ke­gi­at­an ma­ha­ sis­wa. Dokumen yang dijadikan sam­pel da­lam audit internal itu adalah BEM KM ke­peng­u­rus­an tahun 2013. ­Bukti-bukti la­por­an keuangan yang dilampirkan oleh BEM KM 2013 tidak lengkap,” terang Ngadirin. C. Heni Susilowati, S.Pd, mantan Ben­da­ha­ra Pengeluaran Pembantu (BPP) UNY yang saat itu sebagai staf Budi, tu­rut mem­be­nar­kan jika laporan Kabag. Ke­u­ ang­an sempat bermasalah di ta­hun 2013. “Waktu itu Budi ter­la­lu be­ra­ni ­tidak me­

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 37


ALMAMATER

ne­rap­kan ke­bi­jak­an bahwa pa­jak ha­rus di­ba­yar dan di­u­rus sen­diri oleh peng­ur­ us UKM dan ormawa di ting­kat u­ni­ver­si­tas. Laporan keuangan ke­gi­at­an ke­ma­ha­sis­ wa­an men­ja­di bermasalah se­hing­ga LPJ Bagian Kemahasiswaan di­to­lak rek­tor­at,” te­rang Heni. Ter­ka­it pi­hak mana yang me­ne­rap­ kan ke­bi­jak­an pajak kegiatan UKM dan or­ma­wa tingkat universitas, timbul sa­ling tu­ding an­ta­ra Bagian Kemahasiswaan de­ngan Biro Umum dan Perencanaan Keuangan (BUPK) UNY. Mujiran me­ nya­t a­k an bahwa kebijakan ter­s ebut me­ru­pa­kan wewenang BUPK. Na­mun, Drs. Setyo Budi Takarina, M.Pd., Kepala BUPK UNY, me­nyang­kal ang­gap­an ter­se­ but. “Saya ma­lah ti­dak ta­hu a­da kebijakan semacam itu. Ter­ka­it pa­jak ke­gi­at­an mahasiswa di­ba­yar lang­sung a­tau ti­dak, itu rumusan Bagian Kemahasiswaan,” te­rang Setyo.

Ormawa Wajib Bayar Pajak

“Di Indonesia, sub­jek pa­jak a­da 3 je­ nis, yaitu pribadi, bendahara, dan ba­dan. Kalau organisasi ma­ha­sis­wa i­tu kon­teks­ nya a­da­lah badan. Ben­tuk­nya ber­a­ne­ka ra­gam, dari yang non­pro­fit sam­pai yang profit oriented. Ta­pi, a­da ti­dak­nya pa­jak, kita lihat transaksi y a n g a ­d a d i

38 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

dalamnya,” te­rang Nur Setiawan, sa­lah se­o­rang Account Representative (AR) di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Sleman. Di UNY, ra­ta-ra­ta UKM itu nonprofit oriented, ke­cu­a­li koperasi ma­ha­sis­wa (kopma) yang me­ru­pa­kan UKM profit oriented. Ja­di, me­re­ka me­mi­li­ki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sen­di­ri. “Kalau yang nonprofit oriented i­tu ter­ gan­tung dia men­da­pat­kan da­na da­ri ma­na. Kalau UNY sta­tus­nya pe­me­rin­ tah. Ber­be­da dengan swasta. Ke­ti­ka pe­ me­rin­tah me­nge­lu­ar­kan uang, me­re­ka o­to­ma­tis a­kan memotong da­na yang te­lah di­ge­lon­tor­kan ke­pa­da mahasiswa a­tau­pun uni­ver­si­tas un­tuk pa­jak,” te­rang Nur Setiawan. Ke­ten­tu­an pa­jak yang di­te­rap­kan da­lam ti­ap ke­gi­at­an UKM ber­be­da ber­ gan­tung pa­da jenis biaya pe­nge­lu­ar­an dan kepemilikan NPWP. Se­o­rang wa­jib pa­jak yang memiliki NPWP a­kan men­ da­pat po­tong­an pa­jak le­bih se­di­kit bi­la di­ban­ding­kan deng­an wa­jib pa­jak yang ti­dak me­mi­li­ki NPWP. Ke­cu­ali UKM Kopma, se­mua UKM dan ormawa ting­ kat u­ni­ver­si­tas meng­gu­na­kan NPWP UNY un­tuk mem­ba­yar pa­jak a­tas se­mua ke­gi­at­an. Sa­lah sa­tu je­nis pembiayaan da­ lam ke­gi­at­an yang di­ke­na­ kan pa­jak ialah pem­be­li­an kon­sum­si. Se­su­ai a­tu­ran, ji­ka mem­pu­nya­i NPWP, a­kan di­ke­nai PPh Pasal 23 se­be­sar 2%. Ji­ka ti­ dak mem­pu­nya­i NPWP, dikenai PPh Pasal 23 sebesar 4%. A­tur­an be­sar­an po­tong­an pa­jak un­ tuk bi­aya se­wa ber­ beda. Be­ra­pa pun nilai bi­a ­y a se­w a yang di­ke­lu­ar­kan o­leh UKM ma­u­ pun ormawa a­kan dikenakan pa­j ak. Ji­k a se­wa di atas s a ­t u j u ­t a , re­kan­an ha­ rus mem­ p u ­n y a ­i N P W P dan di­ke­ na­i PPN se­b e­s ar

10%. Se­la­in di­ke­nai PPN, ter­ka­it bi­a­ya se­wa, re­ka­nan ju­ga ha­rus mem­ba­yar PPh Pasal 23 se­be­sar 2%. A­pa­bi­la bi­ a­ya se­wa yang di­ke­lu­ar­kan o­leh wa­jib pa­jak di bawah satu juta a­kan di­ke­na­i pa­jak 4%. La­lu, a­pa­bi­la UKM dan ormawa me­ la­ku­kan peng­a­da­an ba­han ha­bis pa­kai se­je­nis di atas satu juta, re­ka­nan ha­rus mem­pu­nya­i NPWP. Oleh ka­re­na hal i­tu, re­kan­an a­kan di­ke­na­kan PPN 10% dan PPh Pasal 22 sebesar 1,5%. A­tur­an pem­ba­yar­an pa­jak ini juga di­ke­na­kan ke bi­a­ya yang di­ke­lu­ar­kan un­tuk u­ang le­lah. Besaran PPh ini ber­gan­tung pa­da pe­ker­ja­an orang yang men­da­pat u­ang le­lah. Jika diberikan kepada PNS go­long­ an IV, dikenakan PPh Pasal 21 se­be­sar 15%, golongan III se­be­sar 5%, non-PNS dikenakan PPh Pasal 21 se­be­sar 6%. A­tur­ an ber­be­da diberikan apabila u­ang le­lah di­be­ri­kan ke golongan II dan ma­ha­sis­wa. Ke­du­a subjek ini tidak dikenakan PPh Pasal 21. “Du­lu ti­dak pernah ada ma­sa­lah. Ba­gi sa­ya yang penting dana untuk ke­gi­ at­an ma­ha­sis­wa itu terpenuhi,” ungkap Budi. Ia ber­pen­da­pat jika ada ke­bi­ja­kan pa­jak di UKM dan ormawa ting­kat u­ni­ ver­si­tas, se­ba­ik­nya ang­ga­ran untuk ke­ gi­at­an UKM dan u­ni­ver­si­tas ditambah. Sekarang berhubung a­da a­tur­an i­ni, ha­ rus­nya alokasi ang­gar­an un­tuk ke­gi­at­an di­tam­bah.” Jum­lah a­lo­ka­si ang­gar­an un­tuk ma­ sing-masing UKM dan ormawa da­ri ta­ hun ke ta­hun re­la­tif tetap. Ra­ta-rata ti­ap UKM dan ormawa ting­kat u­ni­ver­si­tas men­da­pat da­na 25 juta ru­pi­ah. Pi­hak ke­ma­ha­sis­wa­an mengatakan jum­lah ter­se­but me­ru­pa­kan jum­lah yang i­de­ al. Mes­ki a­da­nya ke­bi­jak­an mem­ba­yar pa­jak o­leh UKM berakibat pada ber­ku­ rang­nya dana untuk ke­gi­at­an. Ter­k a­i t sumber dana, Kabag. Keuangan, Marsidi, S.Pd., me­­ne­rang­kan bah­wa sum­ber pemasukan u­ni­ver­si­tas a­da tiga, yaitu dari kerja sama, SPP, dan da­ri pe­me­rin­tah. “Alur dananya se­be­ lum bi­sa sampai ke UKM dan ormawa ting­kat u­ni­ver­si­tas itu dari pe­ren­ca­na­ an ke­gi­at­an yang dibuat bidang 3, ya­i­tu o­leh WR III dan staf ahli. Pe­ren­ca­na­an i­tu di­bu­at dalam Rencana Kegiatan dan Penganggaran Terpadu (RKPT). La­lu, ke­ti­ka RKPT da­na dicairkan melalui BPP bi­dang 3, a­kan di­te­rus­kan ke UKM,” te­ rang­nya. Laporan oleh Taufik


A L M A M AT ER

Ormawa Fakultas Tidak Kena Pajak

Birokrat kampus di tingkat universitas maupun fakultas memiliki pandangan berbeda terkait efisiensi pemberlakuan pajak kegiatan ormawa. Oleh Taufik Nurhidayat

P

emberlakuan pajak peng­ha­sil­ an (PPh) dan per­tam­bah­an ni­lai (PPN) ti­dak ber­la­ku ba­gi ke­gi­at­an or­gani­sa­si ma­ha­sis­wa (ormawa) tingkat fa­kul­tas di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Hal tersebut diakui oleh Sungkono, M. Pd., Wakil Dekan II (WD II) Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) UNY. “Biasanya, dana yang kena pajak itu sumber dari BOPTN (Ban­tu­an Ope­ra­ sio­nal Perguruan Tinggi, red.). Da­na i­tu di­ba­gi­kan da­ri u­ni­ver­si­tas ke­pa­da fa­kul­ tas via Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP). Di FIP, se­mu­a pa­jak ke­gi­at­an ma­ ha­sis­wa su­dah dipotong dan di­ba­yar­kan pi­hak BPP Fakultas,” ujarnya. Sungkono memberlakukan ke­bi­jak­ an ter­se­but a­gar pe­nge­lo­la­an ke­ua ­ ng­an fa­kul­tas men­ja­di e­fi­si­en. Me­nu­rut­nya, pe­mo­tong­an pa­jak se­ca­ra lang­sung o­leh BPP Fakultas akan lebih praktis dan ti­dak mem­be­rat­kan ma­ha­sis­wa. “Ma­ha­sis­wa su­dah sibuk kuliah dan be­ra­gam ke­gi­at­ an­nya. Nanti jadi ribet kalau ba­yar sen­ di­ri. Biar mahasiswa membuat la­por­an (LPJ, red.) saja,” jelasnya. Di Fakultas Ilmu Sosial (FIS), pem­ ber­la­ku­an pajak juga belum di­ke­na­kan ke­pa­da or­ma­wa. Syahrul Jihad, ­Ketua Hima Pendidikan Sejarah (HMPS) 2015, mem­be­nar­kan hal itu. “Ka­mi ti­dak per­ nah di­ke­na­kan a­tur­an mem­ba­yar pa­jak kegiatan sendiri.” Pemberlakuan pajak ter­ha­dap ke­ gi­at­an ma­ha­sis­wa di tingkat universitas te­lah ber­la­ku se­jak per­te­ngah­an ta­hun 2013. “Ya ber­la­ku se­jak sa­at itu (per­ te­ngah­an 2013, red.),” aku Yohanna Tyasrini, Bendahara Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (BEM KM) UNY 2013. Yohanna mengatakan bah­wa per­a­ tur­an ter­se­but tidak mem­be­rat­kan ke­gi­ at­an organisasinya. “Kami si­ap sa­ja ka­lau ba­yar pa­jak sen­di­ri. Na­mun, per­a­tur­an i­tu ter­ke­san men­da­dak dan ti­dak a­da sosialisasi jelas meng­a­pa ba­ru di­ber­la­ ku­kan,” imbuhnya. Drs. Mujiran, Kepala Bagian (Kabag) Ke­ma­ha­sis­wa­an UNY, berdalih bah­wa

pem­ber­la­ku­an a­tur­an ter­se­but gu­na me­ mu­dah­kan pem­ba­yar­an pa­jak rek­tor­at. “Biar mahasiswa mem­ban­tu me­lan­car­ kan rek­tor­at mem­ba­yar pa­jak,” Tam­bah ­Mujiran. Ia pun mem­ban­tah ji­ka per­a­ tur­an ter­se­but di­ber­la­ku­kan men­da­dak. “A­tur­an da­ri pe­me­rin­tah su­dah la­ma a­da. Rek­tor­at ba­ru mem­ber­la­ku­kan be­lum la­ma i­ni. Saya malah tidak ta­hu ka­lau ba­ru di­te­rap­kan ke­ma­rin (per­te­ngah­an 2013, red.),” pungkas Mujiran. Berbeda dengan Sungkono, ­Marsidi, S.Pd., Kabag Keuangan dan Akuntansi UNY ber­pen­da­pat ji­ka per­a­tur­an pa­jak yang di­te­rap­kan u­ni­ver­si­tas a­kan le­bih me­mu­dah­kan kon­trol keuangan ke­gi­ at­an ma­ha­sis­wa. “Biar nanti rektorat ting­gal te­ri­ma la­por­an per­tang­gung­ja­ wab­an. Lebih mudah pengawasannya jika disertakan slip pajak,” ujarnya.

Pembelajaran Bayar Pajak bagi Ormawa

Tiap penggunaan dana yang ber­ sum­ber da­ri Ang­gar­an Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) wajib di­ke­na­kan pa­jak ba­gi badan (organisasi) yang men­ da­pat ja­tah ang­gar­an ter­se­but. Pe­nge­ na­an a­tur­an tersebut juga ber­la­ku ba­gi or­ma­wa se­ma­cam BEM, DPM, dan UKM di kam­pus. Peraturan itu ter­te­ra da­lam UU No. 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM; dan UU No. 7 Tahun 1983 ten­ tang PPh. Didi Raafi, Kasi Peng­aw ­ as­an Kan­tor Pe­la­yan­an Pajak (KPP) Pratama Sleman pun mem­per­te­gas fung­si a­tur­an ter­se­but. “Lem­ba­ga pro­fit dan ­nonprofit se­per­ti or­gan­i­sa­si ma­ha­sis­wa intern kam­ pus ji­ka pa­kai ang­gar­an ne­ga­ra ya ke­na pa­jak. I­ni me­mu­dah­kan kon­trol dan mem­ban­tu trans­pa­ran­si da­na da­ri ne­ga­ra sam­pai ke mana saja,” terangnya. Pengenaan pembayaran pa­jak or­ ma­wa u­ni­ver­si­tas men­da­pat tang­gap­an po­si­tif dari Mustofa, S.Pd., M.Sc., do­sen Pendidikan Ekonomi UNY. “I­tu ba­gus. Nan­ti­nya a­gar pa­ra ak­tivis kam­pus ta­hu so­al per­pa­jak­an. Bisa be­lajar ber­tang­ gung ja­wab,” kata Mustofa. Me­nu­ rut­nya, pem­ba­yar­an pa­jak yang be­lum di­ke­na­kan ke ormawa

level fa­kul­tas mes­ti se­ge­ra di­te­rap­kan. “E­du­ka­si pa­jak i­tu penting. Disayangkan jika pi­hak fa­kul­tas belum menerapkan ini hing­ga ke or­ma­wa,” tu­kas­nya. “Pihak kampus ju­ga ha­rus me­ne­kan­kan betapa pen­ting­nya a­tur­an ini. Harus me­nye­lu­ruh un­tuk men­do­rong ke­u­ang­an yang trans­ pa­ran. Ini masalahnya dalam tataran sosialisasi,” tambah Mustofa. Terkait mekanisme pem­ba­yar­an pa­ jak yang berbeda antara or­ma­wa u­ni­ver­ si­tas de­ngan fa­kul­tas, Mustofa me­nga­ta­ kan bah­wa per­be­da­an ter­se­but ha­nya ter­ ja­di pa­da tek­nis pem­ba­yar­an. “Mung­kin ta­ta ca­ra ba­yar­nya sa­ja ber­be­da. Ka­lau ting­kat u­ni­ver­si­tas, mahasiswa di­su­ruh ba­yar sen­di­ri karena untuk me­mu­dah­kan pi­hak u­ni­ver­si­tas. A­pa­la­gi ta­gih­an pa­jak u­ni­ver­si­tas begitu banyak,” ujar Didi. Sependapat dengan Mustofa, Jarot Dwi Handoko, Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (DPM KM) UNY 2014 me­nya­ta­kan bi­la a­tur­ an ter­se­but ber­gu­na ba­gi peng­a­was­an trans­pa­ran­si ke­u­ang­an di kam­pus. “Ini mem­bi­kin ka­mi ta­hu dan bi­sa di­ja­di­kan re­fe­ren­si kon­trol ke­u­ang­an kam­pus,” ungkapnya. Laporan oleh Candra

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 39


KOLOM

Menolak Nasionalisme Buta Oleh: Yab Sarpote

(Relawan Forum Komunikasi Masyarakat Agraris)

A

da beberapa konflik ruang hidup yang ingin sa­ya ang­kat da­lam tu­lis­an ini, yai­tu kon­flik ­petani-petani ­Rembang yang me­no­lak ke­ber­a­da­an PT. ­Semen Indonesia di tanah me­re­ka, mo­gok bu­ruh da­lam rang­ka me­no­lak u­pah mu­rah, dan kon­flik ma­sya­ra­kat ­Malind di Merauke yang me­no­lak eks­plo­i­ta­si PT. Medco a­tas hu­tan me­re­ka. Ti­dak a­da per­tim­bang­an khu­sus a­tas pe­mi­lih­an ti­ga ka­sus i­ni se­la­in per­tim­bang­an bah­wa kon­flik i­ni ma­sih ber­ lang­sung, ke­ra­gam­an po­si­si ge­o­gra­fis ­masing-masing kon­flik, dan tang­gap­an ke­ba­nyak­an pu­blik di ­Indonesia yang relatif se­ra­gam atas konflik ini. Saat konflik ini diketahui publik, tak sedikit yang me­ni­lai se­bab­nya a­da­lah ku­rang­nya ­persatuan-kesatuan ma­sya­ra­kat. Ma­sya­ra­kat yang me­la­wan ne­ga­ra di­ar­ti­kan ti­dak men­cin­tai bang­sa dan ne­ga­ra­nya ka­re­na meng­ha­langi pem­bang­un­an. Da­lam ka­sus ma­sya­ra­kat Malind, pe­ni­lai­an­nya di­tam­bah de­ ngan a­sum­si bah­wa a­da pro­vo­ka­tor a­tau ke­lom­pok se­pa­ra­tis yang i­ngin memecah-belah bangsa. Semua penilaian ini didasarkan pada na­si­o­nal­is­me dan ­patriotisme–paham bah­wa se­ti­ap in­di­vi­du me­le­kat pa­da i­den­ ti­tas ko­lek­tif yang di­se­but bang­sa dan ­individu-individu di da­lam i­den­ti­tas ko­lek­tif i­ni me­mi­liki ke­pen­ting­an yang re­ la­tif sa­ma. Pa­tri­o­tis­me ber­im­pli­ka­si le­bih ja­uh la­gi: se­ti­ap in­di­vi­du da­lam su­at­ u bang­sa se­ba­ik­nya ­bahu-membahu me­ nyuk­ses­kan a­gen­da bang­sa­nya yang tengah ber­sa­ing de­ngan ban­gsa lain. Namun, sejauh apa nasionalisme dan pa­tri­o­tis­me mam­ pu mem­be­ri­kan pem­ba­ca­an yang jujur atas konflik ru­ang hi­dup yang ter­ja­di? Me­nga­pa petani Rembang yang me­no­lak ta­nah­nya di­ram­pas dan di­ja­di­kan a­rea tam­bang karst di­ ang­gap ku­rang me­mi­liki ra­sa ­persatuan-kesatuan? Me­nga­pa me­no­lak di­u­pah mu­rah di­cap tidak men­cin­tai bang­sa? Me­ nga­pa ­orang-orang ­Malind yang melawan PT. Medco dilabeli se­pa­ra­tis dan pe­me­cah belah bangsa? Nasionalisme dan patriotisme tidak memberi ba­nyak pi­lih­an se­la­in me­nem­pat­kan kon­flik ru­ang hi­dup pa­da to­ lok u­kur de­ra­jat ke­cin­ta­an pa­da bang­sa dan ne­ga­ra yang abs­trak dan ja­uh dari ba­sis ma­te­ri­il pe­nye­bab ti­ap kon­flik ru­ang hi­dup. Se­ma­kin se­di­kit de­ra­jat ke­cin­ta­an­nya, se­ma­ kin hi­tam se­se­o­rang. Di titik inilah perspektif kelas menjadi penting. Melihat konflik ruang hidup dengan perspektif ke­las ber­ar­ti me­nem­pat­kan in­di­vi­du dalam konflik tersebut me­ la­lui re­la­si­nya de­ngan alat produksi: tanah, pabrik, laut, dan se­ba­gai­nya. Si­a­pa­kah petani-petani Rembang dan PT. Semen Indonesia da­lam re­la­si­nya dengan tanah di Rembang yang digunakan se­ba­gai la­han per­ta­ni­an na­mun di saat yang sama me­ngan­dung karst yang men­ja­di ko­mo­di­tas utama PT. Semen Indonesia? Si­a­pa­kah ­buruh-buruh dan bos dalam relasinya dengan pe­ru­sa­ha­an? Si­a­pa­kah masyarakat Malind

40 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

Dokumen Istimewa

dan PT. Medco da­lam re­la­si­nya de­ngan hu­tan yang di sa­tu si­si me­ru­pa­kan ru­ang ber­bu­ru, ­meramu, me­ma­nen sa­gu, dan penghidupan suku ­Malind se­ca­ra ­turun-temurun tapi di sisi lain di­tum­buhi ka­yu yang me­ru­pa­kan ko­mo­di­tas utama PT.Medco? A­pa­kah ke­pen­ting­an ti­ap kelompok atas alat produksi tersebut? Individu-individu yang kepentingannya ber­la­wan­an da­ lam eks­pan­si dan akumulasi kapital bukanlah se­bu­ah bang­sa yang sa­tu. Realita yang terjadi bukanlah sebuah per­ta­rung­an an­tar­ke­lom­pok yang mencintai dan tidak mencintai bang­sa­ nya na­mun per­ta­rung­an an­ta­ra kelas-kelas dengan ke­pen­ ting­an ber­be­da atas alat produksi. Kon­se­ku­ensi­nya a­da­lah ti­dak a­da ma­sya­ra­kat ­Indonesia yang satu kepentingan di da­lam bang­sa ­Indonesia. Tidak ada ke­pen­ting­an na­si­o­nal yang me­nya­tu­kan ke­pen­ting­an kelas yang berseberangan ini. Buruh-buruh pabrik mungkin bisa saja sangat men­cin­ tai bang­sa­nya a­tau bisa saja sangat membenci bang­sa­nya. Ta­pi, yang pas­ti bu­ruh a­da­lah kelas yang ha­rus men­ju­al te­ na­ga­nya pa­da bos untuk mendapatkan upah supaya me­re­ka te­tap ber­ta­han hi­dup. Da­lam re­la­si­nya dengan alat pro­duk­si, bu­ruh ti­dak me­mi­liki a­lat produksi sementara bos me­mi­li­ ki­nya. Ka­re­na pe­ngu­a­sa­an alat pro­duk­si ini, sang bos da­pat meng­eks­plo­i­ta­si bu­ruh le­wat se­ti­ap pro­fit yang di­hi­sap­nya un­tuk di­a­ku­mu­la­si­kan men­ja­di kapital baru. Ke­pen­ting­an bu­ruh je­las, objektif, dan materiil: mendapatkan u­pah le­bih da­ri bos un­tuk kerja yang le­bih se­di­kit, ju­ga kon­di­si hi­dup dan ker­ja yang layak. Se­men­ta­ra ke­pen­ting­an ka­pi­tal ten­tu ber­se­be­rang­an: membuat buruh bekerja lebih ke­ras de­ngan bi­a­ya pro­duk­si lebih rendah (se­per­ti u­pah ren­dah) su­pa­ya pro­fit lebih tinggi. Petani-petani Rembang mungkin ada yang ha­fal I­ ndonesia ­Raya a­tau mungkin sama sekali lupa. Tapi, yang pas­ti pa­ra pe­ta­ni i­ni terancam kehilangan alat pro­duk­si­nya a­ki­bat eks­ pan­si dan a­ku­mu­la­si ka­pi­tal PT. Semen Indonesia. Ke­tu­run­an suku ­Malind mung­kin a­da yang fasih ber­ba­ha­sa Indonesia atau malah ti­dak bi­sa sa­ma se­ka­li. Ta­pi, yang pasti hutan ma­sya­ ra­kat ­Malind te­lah di­ram­pas, dirusak, dan dieksploitasi demi ke­bu­tuh­an eks­pan­si dan akumulasi kapital PT. Medco. Perbedaan kelas inilah yang menjadi basis ma­te­ri­il pe­ cah­nya kon­flik ru­ang hidup. Ke­pen­ting­an ka­pi­tal di­wu­jud­kan le­wat kor­po­ra­si, kebutuhan ekspansi, dan a­ku­mu­la­si ka­pi­ tal­nya dijamin negara. Menganjurkan nasionalisme dan patriotisme se­ba­gai ca­ ra mem­ba­ca dan solusi atas kon­flik ruang hi­dup yang ter­ja­di ber­ar­ti menganjurkan kolaborasi kelas–menganjurkan per­ da­mai­an di te­ngah pe­nin­das­an yang ter­ja­di. Na­si­o­nal­is­me men­cip­ta­kan i­ma­ji­na­si a­kan adanya komunitas bang­sa yang me­mi­liki ke­pen­ting­an bersama. Padahal, ini me­nga­bur­kan re­al­i­tas a­kan ke­pen­ting­an ma­te­ri­il yang nyata dan ber­la­wan­an dari kelas-kelas yang mem­ben­tuk se­lu­ruh po­pu­la­si.n


Selamat Telah Merampungkan Studi Anggun Astria, S.Pd.

Ebma Yudhasatria, S.Pd.

Staf Jaringan Kerja 2012

Staf PSDM 2013

Azwar Anas, S.S.

Efendi Ari Wibowo, S.Pd.

Pemimpin Redaksi 2010

Pimpinan Jaringan Kerja 2012

Cahyo Waskito P. A., S.S.

Endarti, S.Pd.

Staf Jaringan Kerja 2011

Staf PSDM 2011

Delvira C. Hutabarat, S.Pd.

Ferlynda P. Sofyandari, S.Pd.

Sulyanti, S.Pd.

Staf PSDM 2012

Pimpinan PSDM 2013

Staf Perusahaan 2012

Dini Permata S., S.Pd.

Irawan Sapto Adhi, S.Pd.

Staf PSDM 2013

Pemimpin Umum 2013

Octandi Bayu P., S.Pd. Staf Perusahaan 2014

Mutayasaroh, S.S. Pemimpin Umum 2012

Selamat Menjalani Hidup Baru

Muhammad Safrinal Lubis, S.Si. Meirly Natianessy, S.Si. (Staf PSDM 2004) (Pemimpin

Perusahaan 2004)

Syafawi Ahmad Qzadafi, S.S. Sayyidah Asiyah, S.Pd. Yoga Noviantoro, S.Pd. Rellyta Kartikasari Elisabeth Murni, S.S. Chandra Cahyanto, S.Si. Septi Hanis Sidiq Ibnu Harmasto, S.H. (Pemimpin Redaksi 2009)

(Staf Perusahaan 2009)

(Staf Perusahaan 2008)

(Pemimpin Perusahaan 2008)

Kalam Jauhari, S.S. Ana Novianti, S.S. (Redaktur Artistik 2007) (Pemimpin

Perusahaan 2008)

Prasetyo Wibowo, S.Pd. Nawang Sari, S.S. Iswarta Bima Pengukir Ilham, S.S. Kusumaningrum Ade Rakhma Novita Sari Ainul Ilmi Anna Nurlaila Kurniasari, S.S., S.Pd. Hananto (Staf Jaringan Kerja 2009)

(Pemimpin PSDM 2008)

(Redaktur Pelaksana Majalah 2013)

(Pemimpin Umum 2010)


DA LA M LA N IK

LA

N

DA

LA

M

IK

ling kri a p tis i s . k T e l ema ref n


C'KLIK

Tapak Terjal Ketoprak Tobong

B

a­gi Mak Kemek dan Mbah Kancil men­ja­di ba­gi­an dari ke­to­prak to­bong ber­ar­ti me­ ni­ti ja­lan ke­su­nyi­an. Me­re­ka tak per­nah ber­pi­kir me­ni­kah dan me­mi­li­ki ke­tu­run­an. Ha­nya ada 4 ke­lom­pok ke­to­prak to­bong di Indonesia. Sa­lah sa­tu­nya Kelana Bhakti Budaya, si­sa­nya ber­ke­la­na di Jawa Timur. Se­ pi­nya pe­non­ton meng­ha­rus­kan me­re­ka se­la­lu ber­pin­dah-pin­dah. Tak ba­nyak upah se­kali pen­tas, 5.000 ru­pi­ah ada­lah no­mi­nal bi­asa untuk me­re­ka. Se­la­in ham­bat­an fi­nan­si­al, Ke­to­prak To­bong Kelana Bhakti Budaya ki­ni di­ha­dap­kan kri­sis te­na­ga. Se­ba­gi­an da­ri me­re­ka me­mi­lih pe­ker­ ja­an la­in. Alasannya, pen­da­pat­an da­ri ber­ma­in ke­to­prak to­bong tak mam­pu la­gi men­cu­ku­pi bi­aya hi­dup me­re­ka.

l Foto dan Teks oleh Muhammad N. Farid dan Prasetyo Wibowo Tata Letak oleh Hesti Pratiwi A.


Tempat Bertumpu l Oleh Muhammad. N. Farid

l

Mbah Kancil

Oleh Muhammad. N. Farid

Penyambung Hidup l Oleh Muhammad. N. Farid

Oleh Muhammad. N. Farid

l

Membangun Mimpi Tobong


l

Menatap Masa Lalu

Oleh Muhammad. N. Farid

l

Oleh Prasetyo Wibowo

Oleh Muhammad. N. Farid

l

Menunggu Ditabuh

Menatap Masa Lalu

l

Di Balik Layar Tobong

Oleh Muhammad. N. Farid


l

Foto oleh Prasetyo Wibowo


DA LA M

IK

LA

N

DA

IK

LA

M

LA

N

one h p u erlsmart p m k Ta nya klik line.co pu tuk sion un spre ek

a B uk c a u-B untuk

-

-o u bat g du n


Tim Telusur: Agil Widiatmoko (Koordinator), Hengki Afrinata, Prasetyo Wibowo, dan Taufik Nurhidayat.

PAMSER


Gejolak Watuputih Oleh Agil Widiatmoko

TELUSUR B

u­lan Mei 2009, war­ga Pati ber­ha­sil meng­ga­gal­kan ren­ca­na pen­di­ri­an pab­rik dan pe­nam­bang­an se­men oleh PT Semen Gresik (se­ka­rang PT Semen Indonesia). Per­usa­ha­an ini me­nya­sar ti­ga ke­ca­ mat­an di Kabupaten Pati, ya­itu Sukolilo, Tambakromo, dan Kayen. Ke­ga­gal­an pem­ba­ngun­an pab­rik di Pati, mem­bu­at­nya me­li­rik Kabupaten Rembang se­be­lah ti­mur, ya­itu Pe­gu­nung­an Watuputih. Se­pe­rti hal­nya war­ga Pati yang me­la­ku­kan ge­rak­an per­la­wan­an, war­ga yang ting­gal di se­ki­tar Pe­gu­nung­ an Watuputih ju­ga me­la­ku­kan per­la­wan­an. Per­la­wan­an itu di­mo­to­ri oleh dua de­sa, ya­itu Desa Tegaldowo dan Timbrangan. Me­re­ka yang su­dah me­nge­ta­hui dam­pak ji­ka PT Semen Indonesia ber­di­ri di Rembang ber­ju­ang agar pro­yek be­sar ini ba­tal. Kon­flik mu­lai mem­be­sar sa­at pro­se­si pe­le­tak­an ba­tu per­ta­ma oleh PT Semen Indonesia. Dam­pak so­si­al su­dah di­ra­sa­kan war­ga yang ber­tem­pat ting­gal di ring per­ta­ma. Ja­lur hu­kum men­ja­di sa­lah sa­tu ja­lan un­tuk meng­ga­gal­kan pem­ba­ngun­an pab­rik dan per­tam­bang­an yang akan di­la­ku­kan oleh PT Semen Indonesia.


T E L US UR

Hengki | EKSPRESI

Rumah warga penolak pabrik semen, Kamis (1/1/2015). Alasan lingkungan mendorong warga desa Tegaldowo dan Timbrangan menolak pembangunan pabrik.

P

e­gu­nung­an Watuputih ma­sih men­ja­di ba­gi­an Pe­gu­nung­an Kendeng Utara dan ma­suk wi­la­ yah ad­mi­ni­stra­tif Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Di tem­pat ini­lah PT Semen Indonesia akan me­la­ku­kan ke­gi­at­an yang me­li­pu­ti pem­ba­ngun­ an pab­rik se­men, pe­nam­bang­an ba­tu gam­ping, dan pe­nam­bang­an ta­nah li­at. Ren­ca­na pem­ba­ngun­an pab­rik se­men ter­se­but akan ber­lo­ka­si di atas la­han se­lu­as 105ha yang ter­le­tak di De­sa Pasucen dan De­sa Kajar. Se­men­ta­ra lo­ka­si pe­nam­bang­an ba­tu gam­ping se­lu­as 520ha ter­le­tak di Desa Tegaldowo dan Desa Kajar se­dang­kan lo­ ka­si pe­nam­bang­an ta­nah li­at se­lu­as 240ha ter­le­tak di Desa Kajar dan Desa Pasucen. Di sam­ping itu, di Desa Timbrangan akan di­ba­ngun ja­lan tam­bang. Ja­lan pro­duk­si akan di­ba­ngun di Desa Kadiwono. Se­ca­ra ad­mi­ni­stra­si, lo­ka­si pe­nam­bang­an ba­tu gam­ ping dan ta­nah li­at ser­ta lo­ka­si pab­rik ma­suk wi­la­yah Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Se­te­lah ada­nya pe­le­tak­an ba­tu per­ta­ma pen­di­ri­an ta­pak pab­rik PT Semen Indonesia, yang di­la­ku­kan pa­da 16 Juni 2014 war­ga mu­lai be­ron­tak dengan me­ la­ku­kan ak­si, sa­at itu ju­ga. Me­re­ka ber­ju­ang de­mi me­nye­la­mat­kan ling­kung­an, ter­khu­sus ke­bu­tuh­an pri­mer me­re­ka ter­ha­dap air. Watuputih ada­lah ka­was­an im­buh­an air ter­be­sar di Rembang dan pe­nyo­kong uta­ma ke­bu­tuh­an air di

50 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

14 ke­ca­mat­an yang men­ca­kup 607.198 ji­wa. Pe­gu­ nung­an Watuputih me­ru­pa­kan Ce­kung­an Air Ta­nah (CAT) dan te­lah di­sah­kan me­la­lui Keputusan Presiden No­mor 26 Ta­hun 2011 ten­tang pe­ne­tap­an ce­kung­an air ta­nah yang ma­suk da­lam go­long­an CAT B. Ada dua de­sa yang be­gi­tu vo­kal me­nyu­ara­kan pe­no­lak­an ter­ha­dap PT Semen Indonesia, yak­ni Desa Tegaldowo dan Timbrangan. Un­tuk men­ca­pai ke­dua de­sa ini ada dua ja­lur yang bi­sa di­tem­puh. Ji­ka me­le­ wa­ti pu­sat Ko­ta Rembang, per­ja­lan­an bi­sa di­tem­puh se­ki­tar 1 jam. Al­ter­na­tif ke­dua me­le­wa­ti Blora dan ha­rus me­le­wa­ti Ka­was­an Hu­tan Perhutani (KPH) Mantingan yang me­ma­kan wak­tu 30 me­nit. Ja­lan di Hutan Mantingan du­lu ber­as­pal na­mun ki­ni ha­nya ter­si­sa ba­tu-ba­tu ka­pur dan te­lah ru­sak. Ma­yo­ri­tas pen­du­duk Tegaldowo dan Timbrangan me­me­nu­hi ke­bu­tuh­an me­re­ka dengan ber­ta­ni. La­hanla­han ter­se­bar di Le­reng Watuputih. La­han itu bi­asa di­se­but ta­nah te­gal­an. Se­la­in ber­ta­ni, me­re­ka ju­ga me­me­li­ha­ra sa­pi di ru­mah. Ba­gi me­re­ka, me­me­li­ha­ra sa­pi bi­sa di­iba­rat­kan se­ba­gai ta­bung­an. “Wong kene ki uripe dadi tani. Mengko karo ngingu sapi. Njuk ngarit gawe mangan sapine (Orang si­ni hi­dup­nya ber­ta­ni. Nan­ti sam­bil me­me­li­ha­ra sa­pi. La­lu men­ca­ri rum­put un­tuk ma­kan sa­pi, red.),” ujar Japar, sa­lah se­orang war­ga De­sa Tegaldowo. ***


G EJ O L A K W AT UP UT I H Dengan mo­tor ber­war­na hi­tam, Sumarno be­rang­ di ji­ka ada PT Semen Indonesia ke­pa­da ke­lom­pok kat ke ru­mah sa­ha­bat­nya. Se­sam­pai­nya, ia du­duk ma­sya­ra­kat yang usia­nya se­ba­ya dengan me­re­ka. di kur­si ka­yu mi­lik tu­an ru­mah. Se­te­lah 15 me­nit, ia Da­ri si­tu me­re­ka da­pat meng­ga­et ma­sya­ra­kat se­usia mu­lai men­ce­ri­ta­kan per­ju­ang­an meng­hen­ti­kan PT me­re­ka se­ki­tar 30 orang. Me­nu­rut Sumarno, pa­ra Semen Indonesia di Pe­gu­nung­an Watuputih sem­ba­ri pe­mu­da ada­lah yang pa­ling mu­dah di­ajak un­tuk se­se­ka­li me­ne­guk ko­pi hi­tam yang ma­sih me­nge­pul­ ber­ga­bung da­lam ge­rak­an ini ka­re­na su­dah se­ring kan asap. Wak­tu itu, ia dan ke­li­ma te­man­nya, ya­itu kum­pul ber­sa­ma. Sumarno, Joko Priyanto, Dullah, Sukristianto, Gito, Ma­sya­ra­kat yang la­in ju­ga mu­lai me­nya­da­ri dam­ dan Sunardi, men­de­ngar de­sas-de­sus bah­wa ka­was­an pak yang akan ter­ja­di ji­ka PT Semen Indonesia te­tap Watuputih akan di­ja­di­kan pab­rik dan pe­nam­bang­ me­lak­sa­na­kan pro­yek­nya, dan pa­da a­khir­nya ju­ga an. Pe­men­tas­an wa­yang ku­lit yang di­lak­sa­na­kan di ikut ber­ga­bung dengan ge­rak­an pe­no­lak­an ter­ha­dap la­pang­an Tegaldowo, men­ja­di tan­da se­ma­kin de­ ada­nya PT Semen Indonesia. “A­khir­nya ada ra­tus­an kat­nya pro­yek ter­se­but di­tam­bah banner da­ri PT orang yang mau ber­ga­bung me­no­lak ge­rak­an pab­rik Semen Indonesia. se­men,” ung­kap Sumarno. Pe­n ye­l eng­g a­r a­a n wa­y ang ku­l it mem­b u­a t *** Sumarno dan te­man-te­man­nya ber­ini­sia­tif un­tuk Hu­jan rin­tik mu­lai mem­ba­sa­hi De­sa Tegaldowo. me­ne­mui Suntono, Lu­rah De­sa Tegaldowo. Sumarno Ma­lam itu, di ha­ri ke­dua bu­lan Ja­nu­ari 2015, ma­ ber­ta­nya meng­gu­na­kan ba­ha­sa kra­ma. “Pak, turene sya­ra­kat Tegaldowo mu­lai ber­da­tang­an ke sa­lah sa­tu teng mriki meh enten pabrik semen. Masyarakat ru­mah war­ga un­tuk me­la­ku­kan ra­pat ming­gu­an. Ru­ mriki terus pripun, Pak? (Pak, ka­ta­nya di si­ni akan mah­nya ber­din­ding ka­yu, ber­lan­tai ke­ra­mik war­na ada pab­rik se­men. Ma­sya­ra­kat si­ni te­rus ba­gai­ma­ co­ke­lat kom­bi­na­si pu­tih. Di de­pan ru­mah ter­pam­pang na, Pak?, red.),” ta­nya­nya ke­pa­da Suntono. “Nan­ti pos­ter “To­lak Pab­rik Se­men”. ka­lau ada pab­rik se­men di si­ni, ma­sya­ra­kat akan Ra­p at itu di­h a­d i­r i se­k i­t ar 30 orang De­s a mak­mur. La­pang­an ker­ja be­sok ba­nyak. Anak mu­da Tegaldowo yang ter­di­ri atas la­ki-la­ki dan pe­rem­ bi­sa ker­ja,” jawab Suntono. pu­an. Ra­pat itu mem­ba­has su­rut­nya se­ma­ngat war­ga Sua­sa­na se­ma­kin me­ma­nas lan­tar­an ti­dak ada da­lam mem­per­ju­ang­kan Pe­gu­nung­an Watuputih da­ri ke­pas­ti­an ba­gi war­ga Tegaldowo ter­ka­it pe­ker­ja­an in­car­an PT Semen Indonesia se­bab me­reka si­buk dan ke­se­jah­te­ra­an yang di­jan­ji­kan oleh me­ngu­rus sa­wah­nya. Ka­la itu bu­lan Ja­nua­ri, Suntono. “Lha, ja­min­an­nya apa, Pak?” mo­men­tum war­ga un­tuk me­na­nam ta­nam­an ta­nya Sumarno dengan su­ara yang agak di la­han per­ta­ni­an me­re­ka. Setiap saat harus berjuang. ting­gi. Pe­mim­pin ra­pat sa­at itu Dullah. Ia me­mo­ Jangan surut gara-gara Ke­ti­dak­per­ca­ya­an Sumarno dan ka­ ti­va­si war­ga la­in. Ia me­nga­ta­kan bah­wa per­ju­ sekarang musim tanam." wan-ka­wan­nya, mem­bu­at Suntono na­ik ang­an ti­dak me­nge­nal mu­sim ta­nam atau­pun pi­tam. Na­da bi­ca­ra yang ta­di­nya san­tai, mu­sim pa­nen. “Se­ti­ap sa­at ha­rus ber­ju­ang. men­da­dak me­ning­gi. De­mi mem­bu­at me­ Dullah Ja­ngan su­rut ga­ra-ga­ra se­ka­rang mu­sim ta­ re­ka per­ca­ya, di­ri­nya men­ja­min me­re­ka nam,” tam­bah­nya ber­api-api. bi­sa ma­suk dengan ca­ra apa­pun. “Ka­lau sa­ Sumarno yang du­duk di sam­ping Dullah, ya ma­sih ja­di lu­rah, in­ti­nya sa­ya ma­suk­kan ba­gai­ma­ meng­acung­kan ta­ngan ka­nan­nya ke atas, per­tan­da ia na­pun ca­ra­nya. Sa­ya pak­sa su­pa­ya bi­sa ma­suk.” me­min­ta izin un­tuk berbi­ca­ra. Ia me­ya­kin­kan war­ga Tat­ka­la Sumarno me­nying­gung ti­dak ada­nya bah­wa per­ju­ang­an ini bu­kan ha­nya un­tuk sa­at ini so­si­ali­sa­si, Suntono mem­ban­tah ka­lau be­lum ada ta­pi ju­ga un­tuk ma­sa de­pan. De­mi anak dan cu­cu so­si­ali­sa­si. “Lha, su­dah ada per­tun­juk­an wa­yang, war­ga Tegaldowo. itu so­si­ali­sa­si,” ka­ta Suntono. Ma­sa de­pan anak dan cu­cu me­re­ka men­ja­di Sumarno dan ka­wan-ka­wan ti­dak ka­lah cer­dik. ta­ruh­an. Pe­gu­nung­an Watuputih yang ma­sih asri Ia mem­ban­tah per­nya­ta­an Suntono bah­wa pa­ge­ dan la­dang-la­dang yang di­ta­nami, ha­rus di­per­ta­ lar­an wa­yang yang ba­nyak span­duk da­ri PT Semen han­kan. Dullah meng­ingat­kan war­ga agar ti­dak Indonesia itu me­ru­pa­kan so­si­ali­sa­si. “So­si­ali­sa­si itu men­ju­al ta­nah­nya. “Pe­ta­ni itu meng­gantung­kan ada pro­se­dur­nya, Pak. Eng­gak ka­yak gi­tu,” ban­tah­ hi­dup­nya le­wat ta­nah yang di­olah. Ka­lau ta­nah­nya nya. di­ju­al, su­dah ti­dak akan bi­sa hi­dup”. *** Ke­si­lau­an pa­da ru­pi­ah men­ja­di an­cam­an ba­gi So­re itu, ber­te­pat­an dengan di­mu­lai­nya ta­hun ma­sya­ra­kat. Dengan men­ju­al ta­nah, me­re­ka bi­sa 2015. Sumarno mu­lai me­nge­nang kem­ba­li ba­gai­ma­ mem­be­li ken­da­ra­an ber­mo­tor dan mem­bu­at wa­ na ia dan ka­wan-ka­wan­nya ber­ju­ang mem­be­sar­kan rung. “Sa­ya meng­ingat­kan ba­pak-ba­pak, ibu-ibu. ge­rak­an pe­no­lak­an ter­ha­dap ren­ca­na pen­di­ri­an PT Ja­ngan ter­gi­ur dengan orang yang men­ju­al ta­nah­ Semen Indonesia. Ge­rak­an pe­no­lak­an yang di­la­ku­kan nya. Ken­da­ra­an bi­sa ru­sak. Wa­rung bi­sa bang­krut. oleh enam orang itu me­nga­la­mi pa­sang su­rut. Dua Ka­lau ka­li­an se­mua ma­sih pu­nya ta­nah, itu yang orang di an­ta­ra­nya ke­lu­ar da­ri ba­ris­an. akan ja­di sum­ber peng­hi­dup­an. Ti­dak akan ha­bis Mu­la-mu­la ke­em­pat orang itu mem­be­ri pen­je­ sam­pai cu­cu­mu,” tu­tup­nya meng­a­khiri ra­pat ma­ las­an me­nge­nai dam­pak-dam­pak yang akan ter­ja­ lam itu.

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 51


T E L US UR

Berpacu Melawan Tambang Kendati berada dalam kawasan lindung dan gugatan izin lingkungan tengah diproses, pembangunan pabrik tetap berjalan. Oleh Prasetyo Wibowo

J

u­mat ma­lam (26/12/2014), hu­jan le­bat meng­ Sum­ber Da­ya Alam (SDA) Indonesia le­bih ba­ gu­yur ka­was­an Watuputih. Air ke­co­ke­lat­an nyak di­nik­mati ka­lang­an elite se­dang­kan hak rak­yat be­ser­ta ke­ri­kil lim­bah tam­bang pun tu­rut tu­run un­tuk me­ngo­lah alam se­la­lu di­re­but. Se­ba­gai ba­ ber­sa­ma­an dengan hu­jan dan me­me­nu­hi ja­lanrang u­ti­li­tas yang se­ha­rus­nya di­ke­lo­la ne­ga­ra, alam ja­lan di De­sa Tegaldowo. Se­ba­gi­an war­ga Tegaldowo ber­ge­ser men­ja­di ba­rang ko­mo­di­tas. Eko Teguh me­nu­ding tam­bang a­da­lah bi­ang ke­la­di da­ri ben­ca­na Paripurno, Ko­or­di­na­tor Pu­sat Stu­di Ma­na­jemen ini. Ka­was­an Watuputih yang se­ha­rus­nya di­ja­di­kan Bencana Universitas Pembangunan Nusantara (UPN) “Veteran” Yogyakarta, me­nga­ta­kan alam tem­pat pe­nam­pung­an air se­makin ter­ki­kis, ber­lu­ bang ser­ta tak mam­pu me­ne­ri­ma be­ban air yang se­ha­rus­nya ja­ngan di­li­hat se­ba­gai ba­rang e­ko­no­mi be­gi­tu be­rat. la­lu me­nis­ta­kan fung­si so­si­al dan hak­nya. Eko ju­ga Sum­ber air di Pe­gu­nung­an Watuputih pun meng­ men­je­las­kan, ke­ti­ka alam di­pan­dang ha­nya se­ba­gai a­lami pe­nu­run­an de­bit. Sum­ber ma­ta air yang da­ bis­nis, a­khir­nya ter­ja­di ke­ti­dak­a­dil­an spa­sial. hu­lu jer­nih ki­ni ber­cam­pur dengan ba­tu-ba­tu ke­cil. Stu­di-stu­di yang meng­kri­tik ko­mer­si­a­li­sa­si alam “Mbiyen ki banyune agung, resik, nanging saiki me­nye­but­kan ada­nya u­pa­ya te­rus-me­ne­rus da­ri pe­ mek mili sithik (Du­lu tuh air­nya ba­nyak, ber­sih, ta­ me­rin­tah dan pe­mo­dal un­tuk men­di­dik ma­sya­ra­kat pi se­ka­rang cu­ma meng­alir se­di­kit, red.),” te­rang agar me­li­hat alam se­ba­gai ba­rang e­ko­no­mi ting­gi. Sukamdi. Pe­ker­ja­an dan ke­se­jah­te­ra­an so­si­al se­ba­gai ha­sil eks­ Di ru­ang ta­mu Sukinah, Sukamdi ber­ce­ri­ta ba­ plo­i­ta­si alam men­ja­di sen­ja­ta u­ta­ma pe­mo­dal un­tuk nyak me­nge­nai pe­ru­bah­an alam yang dia ra­sa­kan me­nge­la­bui ma­sya­ra­kat. Alam tak mem­pu­nyai hak dan ni­lai la­in. Alam ha­nya mam­pu meng­ha­sil­kan a­ki­bat pe­nam­bang­an. “Se­ka­rang ban­jir te­rus. Itu ju­ga ka­re­na tam­bang. Ka­lau ban­jir se­per­ti ke­ma­rin, sa­tu ni­lai gu­na, yak­ni uang. ya, eng­gak ja­di pa­nen. Pa­di ru­sak,” ke­luh Sukamdi, Eko me­ni­lai, o­rang-o­rang yang ma­sih me­li­hat pe­ta­ni di De­sa Tegaldowo yang ki­ni SDA ha­nya da­ri se­gi ma­te­ri­il se­ba­gai ber­usia le­bih da­ri se­te­ngah abad. Ia tak se­sat pi­kir. Efek da­ri ben­ca­na yang di­ sendiri, di De­sa Tegaldowo ada 1.310 Karena tambang itu proses menuju tim­bul­kan oleh tam­bang ti­dak se­per­ titik kulminasi. Ketika sudah pe­ta­ni yang me­ra­sa­kan hal se­ru­pa. ti gem­pa la­lu tsu­na­mi. Pro­ses ke­ti­ka tam­bang ber­ja­lan jus­tru me­mi­li­ki ri­ Na­mun, per­nya­ta­an da­ri war­ga mencapai titik tersebut, bencana akan timbul." yang me­no­lak tam­bang itu di­sang­gah si­ko yang nya­ta. “Ka­re­na tam­bang itu oleh pe­rang­kat de­sa. “Bu­kan. Itu bu­ pro­ses me­nu­ju ti­tik kul­mi­na­si. Ke­ti­ka su­dah men­ca­pai ti­tik ter­se­but, ben­ca­na kan ka­re­na tam­bang. Ban­jir ke­ma­rin Eko Teguh Paripurno me­mang mur­ni sa­lur­an yang ki­an sem­ akan tim­bul,” te­rang Eko. pit,” je­las Suwandi, Sekretaris Desa Mes­ki be­gi­tu, po­ten­si ba­tu gam­ping Tegaldowo yang men­du­kung pe­nuh pro­ses pe­nam­ Pe­gu­nung­an Watuputih me­mang be­gi­tu meng­gi­ bang­an di Pe­gu­nung­an Watuputih. ur­kan pe­mo­dal lo­kal mau­pun na­si­onal. Da­ta da­ri Ha­sil pe­ne­li­ti­an Dinas Pertambangan Provinsi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Daerah Tingkat 1 Jawa Tengah be­ker­ja­sa­ma dengan Kabupaten Rembang me­nun­juk­kan 31 PT, CV, dan per­se­orang­an te­ngah me­ngu­pas Pe­gu­nung­an Direktorat Geologi Tata Lingkungan ta­hun 1998 su­dah me­nga­ta­kan Pegunungan Watuputih se­ca­ra fi­sio­gra­fis Watuputih. Muhammad Faisal, S.T., sa­lah sa­tu pe­ me­ru­pa­kan ti­pe ben­tang alam karst. Pe­ne­li­ti­an ter­ ga­wai ESDM yang ber­ha­sil di­te­mui, Ra­bu (31/12/14) se­but di­ku­kuh­kan dengan Keputusan Presiden RI men­je­las­kan bah­wa pe­nam­bang­an lo­kal di Pe­gu­ Nomor 26 tahun 2011 ten­tang ka­was­an im­buh­an atau nung­an Watuputih su­dah ada se­jak ta­hun 1998, ja­uh per­lin­dung­an air ta­nah. Na­mun, re­gu­la­si yang ter­bit se­be­lum PT Semen Indonesia me­li­rik ka­was­an ini. da­ri pe­me­rin­tah pu­sat dan pro­vin­si tak di­in­dah­kan Ka­was­an eks­plo­ra­si PT Semen Indonesia ter­ba­gi oleh pa­ra pe­nam­bang. Ber­be­kal izin da­ri pem­da, pa­ ja­di dua, ya­itu pe­nam­bang­an ba­tu gam­ping dan pe­ ra pe­nam­bang me­ngu­pas Pegunungan Watuputih nam­bang­an ta­nah li­at. Pe­nam­bang­an ba­tu gam­ping hing­ga ban­jir be­ser­ta ba­tu ke­ri­kil me­ner­jang Desa be­ra­da di De­sa Tegaldowo dan Kajar dengan to­tal lu­as Tegaldowo. 520ha se­dang­kan pe­nam­bang­an ta­nah li­at be­ra­da *** di De­sa Kajar dan Pasucen dengan to­tal lu­as 240ha.

52 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015


G EJ O L A K W AT UP UT I H

Penambangan karst lokal di Pegunungan Watuputih sejak tahun 1998.

Hing­ga awal ta­hun 2015, pro­ses eks­plo­ra­si ba­ru ta­hap pem­ba­ngun­an pab­rik ser­ta u­ti­li­tas yang ter­le­tak di De­sa Kajar dan Pasucen dengan lu­as 105ha. *** Pe­nam­bang­an ta­nah li­at dan ba­tu gam­ping me­ mang be­lum ber­ope­ra­si. Na­mun, pro­tes da­ri war­ga se­ca­ra be­sar-be­sar­an me­mak­sa PT Semen Indonesia un­tuk ang­kat ka­ki da­ri Pe­gu­nung­an Watuputih. “Ka­mi me­no­lak pem­ba­ngun­an ser­ta eks­plo­i­ta­si PT Semen Indonesia ka­re­na wi­la­yah pe­nam­bang­an a­da­lah tem­ pat per­se­dia­an air ka­mi,” ka­ta Joko Prianto, to­koh pe­mu­da Tegaldowo yang me­no­lak penambangan. War­ga me­nga­ku ti­dak ter­gi­ur dengan un­tung da­ri pe­nam­bang­an. Me­re­ka me­ra­sa su­dah se­jah­te­ra men­ja­di pe­ta­ni. “Ji­ka pe­nam­bang­an se­ca­ra be­sarbe­sar­an ini be­nar-be­nar ber­ja­lan, alam akan rusak. Bu­kan ha­nya ban­jir se­per­ti ke­ma­rin, war­ga ju­ga bi­sa ke­ku­rang­an per­se­dia­an air,” ujar Prin, sa­pa­an ak­rab Joko Prianto. Prin men­ce­ri­ta­kan Ana­li­sis Me­nge­nai Dam­pak Ling­kung­an (AMDAL) PT Semen Indonesia yang me­nu­rut­nya men­cu­ri­ga­kan. Prin men­du­ga, ada yang sa­lah da­lam per­izin­an ter­se­but. “Bu­kan ha­nya da­ta-da­ ta­nya yang ke­li­ru na­mun per­izin­an­nya ju­ga aneh.” “CAT (Ce­kung­an Air Ta­nah, red.) Watuputih su­dah ma­suk se­ba­gai ka­was­an im­buh­an air, su­dah di­te­tap­kan ju­ga oleh orang Geologi ta­hun 1998 se­ ba­gai ti­pe ben­tang alam karst. Lha kok AMDAL-nya bi­sa lo­los? Itu kan aneh!” ka­ta Prin. Se­be­lum­nya, ter­tang­gal 1 Ju­li 2014, Badan Geologi Kementerian ESDM RI dengan no­mor su­rat 3131/05/ BGL/2014 te­lah me­nyu­ra­ti Gu­ber­nur Jawa Tengah ten­tang Watuputih. Di­ka­ta­kan bah­wa un­tuk men­ja­ ga aku­i­fer CAT Watuputih, pro­ses pe­nam­bang­an di ka­was­an ter­se­but ha­rus di­hen­tikan. “Sa­ya ber­sa­ma se­du­lur-sedulur tak ha­nya di­am. Ka­mi me­la­ku­kan pe­ne­li­ti­an in­de­pen­den ter­ka­it ling­ kung­an di Watuputih. Ha­sil­nya sung­guh ber­be­da,” Prin me­lan­jut­kan. Pen­da­ta­an ser­ta pe­ne­li­ti­an pun di­la­ku­kan oleh Prin be­ser­ta war­ga ter­dam­pak yang di da­lam­nya men­ca­kup dua de­sa, Tegaldowo dan Timbrangan. Pen­da­ta­an yang di­la­ku­kan men­ca­kup wi­la­yah izin lo­ka­si PT Semen Indonesia. Ha­sil­nya, ter­da­pat ke­ ke­li­ru­an ser­ta ke­sa­lah­an da­ta yang ter­can­tum da­lam

Hengki | EKSPRESI

AMDAL PT Semen Indonesia. “Da­ri jum­lah gua, po­ nor (lu­bang yang mem­pu­nyai a­lir­an di ta­nah, red.), sum­ber ma­ta air dan ma­sih ba­nyak la­gi ke­ke­li­ru­an yang di­la­ku­kan pab­rik se­men,” je­las Prin. “Ka­lau se­mua mau ju­jur dan bloko, se­ha­rus­ nya se­mua ta­hu ka­lau are­al izin usa­ha PT Semen Indonesia itu be­ra­da di ka­was­an CAT Watuputih. Itu me­ru­pa­kan ka­was­an lin­dung,” te­rang Prin. Sunyono atau bi­asa di­sa­pa Nyono, Lu­rah De­sa Timbrangan, sa­tu-sa­tu­nya lu­rah di ka­was­an izin lo­ka­si PT Semen Indonesia yang me­no­lak pe­nam­bang­an me­nga­ta­kan, “Sa­ya ta­hu ka­lau AMDAL ini ber­ma­sa­lah. Ma­ka da­ri itu sa­ya me­no­lak!” Ada 2.501 warga Rembang yang menolak pendirian serta penambangan PT Semen Indonesia. Semua penolakan warga Rembang itu dibubuhkan melalui tanda tangan tertanggal 10 Desember 2014. Gerakan lingkungan yang dilakukan oleh Prin dan warga lainya ternyata tak cukup meyakinkan sejumlah orang. ”Jika alasannya karena merusak lingkungan, kenapa tidak menolak tambang dari dulu? Toh, di sini sudah ada tambang dari tahun 98,” tutur Suwandi. Suwandi lebih percaya tambang yang dikelola pemerintah. Alasan lingkungan dikatakannya tidak relevan. “PT Semen Indonesia ini, kan, izin lingkungannya dikeluarkan oleh ahli dan profesor. Saya ragu kalau data mereka tidak sesuai lapangan.” Hal serupa dikatakan oleh Dwi Soetjipto, Dirut PT Semen Indonesia dalam Metro Realitas pada Sabtu, 19/12/14. “Izin lingkungan saja sudah bermasalah, gimana mau nambang?” jelas Nyono sembari membawa izin lingkungan PT Semen Indonesia yang tebalnya lebih dari 15 cm. Nyono juga menjelaskan jika izin PT Semen Indonesia tidak dicabut, dipastikan fungsi resapan air di kawasan CAT Watuputih akan hilang. Lalu, mengancam 607.198 jiwa di 4 Kabupaten Rembang. Menurut Eko, Rembang memang tidak akan segera krisis air, tapi sudah pasti mengalami krisis ketersediaan air bersih. Eko juga mengatakan, Indonesia tidak mengalami krisis SDA, melainkan krisis governance: ketidakmampuan negara mengelola sumber daya alam. ` Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 53


T E L US UR

Lahirnya Kartini Baru dari Rembang Dulu Kartini berjuang melalui ide dan tulisan. Kartini Rembang sekarang berjuang mempertahankan alam dari cengkeraman PT Semen Indonesia. Oleh Agil Widiatmoko

“B

u, da­lam ge­rak­an ini ke­na­pa ma­lah pe­ rem­pu­an yang men­ja­di ba­ris­an ter­de­ pan?” ta­nya sa­ya ke­pa­da Sukinah. Men­ de­ngar per­ta­nya­an tersebut, ia mu­lai men­cer­na per­ta­nya­an itu, dan da­ri mu­lut­nya ter­lon­tar a­la­san­nya. “Trah Rembang ki sek dadi pengarepe, yo sek wedok (Ke­tu­run­an Rembang itu yang men­ja­di ujung­nya, ya pe­rem­pu­an, red.),” ja­wab­nya dengan meng­gu­na­kan ba­ha­sa Jawa khas Rembang. Sukinah a­da­lah pe­rem­pu­an asal De­sa Tegaldowo, Gunem, Jawa Tengah yang ikut da­lam ge­rak­an pe­ no­lak­an ter­ha­dap PT Semen Indonesia. Da­lam su­atu ge­rak­an rak­yat, ke­cen­de­rung­an yang ter­ja­di ada­lah la­ki-la­ki me­mi­li­ki pe­ran le­bih di­ban­ding­kan pe­rem­ pu­an. Na­mun, da­lam ge­rak­an pe­no­lak­an ter­ha­dap PT Semen Indonesia di Rembang, me­mu­pus­kan do­mi­na­si da­ri la­ki-la­ki. Me­re­ka men­da­pat­kan po­si­si yang is­ti­ me­wa, ya­itu se­ba­gai gar­da ter­de­pan per­ju­ang­an. *** Rembang di­ke­nal se­ba­gai tem­pat ke­la­hir­an R.A. Kartini, sa­lah sa­tu pah­la­wan na­si­onal Indonesia. So­ sok itu­lah yang mem­bu­at pe­rem­pu­an men­ja­di ba­ris­an

Aksi geruduk UGM yang menuntut klarifikasi dan pertanggungjawaan terhadap 2 saksi ahli terkait kasus pembangunan pabrik PT Semen Indonesia (20/3/2015).

AGIL | EKSPRESI

54 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

ter­de­pan ge­rak­an rak­yat yang di­la­ku­kan oleh war­ga De­sa Tegaldowo dan Timbrangan. Me­re­ka ber­ju­ang agar PT Semen Indonesia ti­dak ja­di me­nam­bang dan men­di­ri­kan pab­rik di Pegunungan Watuputih. Per­ju­ang­an Kartini di ma­sa lam­pau mem­bu­at pe­ rem­pu­an di Pe­gu­nung­an Watuputih ter­gu­gah ji­wa­nya un­tuk me­ne­rus­kan per­ju­ang­an. La­in hal­nya dengan Kartini la­ma yang ber­ju­ang le­wat ide dan tu­lis­an, Kartini ba­ru ber­ju­ang un­tuk mem­per­ta­han­kan alam Rembang da­ri an­cam­an PT Semen Indonesia. “Per­ ju­ang­an Kartini itu le­wat tu­lis­an. Ta­pi Kartini de­sa se­per­ti sau­da­ra-sau­da­ra di si­ni ini ber­ju­ang­nya su­pa­ya alam Rembang ti­dak di­ru­sak PT Semen Indonesia,” ung­kap Sukinah dengan na­da tinggi, mem­be­ri­kan pe­ne­kan­­an pa­da ka­ta Semen Indonesia. Ti­dak ha­nya Sukinah yang men­ja­di­kan Kartini se­ba­gai ins­pi­ra­si per­ju­ang­an. Se­lu­ruh pe­rem­pu­an yang ikut ber­ju­ang ju­ga me­la­ku­kan hal se­na­da. Sa­lah sa­tu da­ri pu­luh­an pe­rem­pu­an itu ialah Siti Fatimah. Ia ada­lah pe­ju­ang pe­rem­pu­an da­ri Desa Timbrangan. Siti, na­ma pang­gil­an pe­rem­pu­an ber­usia 28 ta­hun ini, me­nu­tur­kan pe­rem­pu­an di si­ni ter­ins­pi­ra­si oleh per­ju­ang­an Kartini. Per­ju­ang­an Kartini ha­rus di­lan­ jut­kan, ya­itu dengan ca­ra men­ja­ga alam Rembang. Se­la­in ka­re­na so­sok Kartini, ada fak­tor la­in yang mem­buat pe­rem­pu­an men­ja­di ba­ris­an ter­de­pan. Se­ be­lum­nya, ak­si di­la­ku­kan ber­sa­ma la­ki-la­ki dan se­ ring­ka­li ter­ja­di ben­trok­an dengan po­li­si yang me­ nga­man­kan ja­lan­nya ak­si. Ke­ja­di­an itu mem­bu­at pa­ra pe­ju­ang ber­pi­kir­an un­tuk me­ngu­bah stra­te­gi: pe­rem­pu­an sa­ja yang di ba­ris­an de­pan. Sukinah meng­ana­lo­gi­kan per­ju­ang­an ini la­yak­nya pe­rang. Ia me­mi­li­ki ke­ya­kin­an, ji­ka la­ki-la­ki ada di ba­ris­an de­pan pas­ti ter­ja­di per­ tum­pah­an da­rah. Hal ini­lah yang ti­dak di­ingin­ kan­nya. Pe­rem­pu­an, da­lam ma­sya­ra­kat pa­tri­ ar­kat di­ang­gap le­mah se­hing­ga po­li­si ti­dak te­ga me­lu­kai pe­rem­pu­an. Ma­ka­nya pe­rem­pu­an yang ha­rus men­ja­di ba­ris­an ter­de­pan, agar ti­dak ada kor­ban ji­wa da­lam ge­rak­an ini. *** Ak­si me­mang su­dah se­ring di­la­ku­kan se­ba­gai ben­tuk per­ju­ang­an. Mu­lai da­ri ja­lan me­nu­ju tem­ pat pem­ba­ngun­an pab­rik PT Semen Indonesia,


G EJ O L A K W AT UP UT I H Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) po­li­si. Te­ri­ak­an to­long ke­lu­ar da­ri mu­lutn­ya, me­ Rembang, Kan­tor Bu­pa­ti Rembang, Kan­tor Gu­bernur nan­da­kan di­ri­nya ke­sa­kit­an. Ia me­la­wan dengan Jawa Tengah, Kan­tor Dewan Perwakilan Rakyat meng­gi­git po­li­si itu. La­lu, po­li­si me­nying­kir­kan­nya Daerah (DPRD) Jawa Tengah, sam­pai me­la­ku­kan sam­pai ia ter­ja­tuh. roadshow ke ber­ba­gai kan­tor ke­men­te­ri­an. Ia ti­dak me­nye­rah. Ia bang­kit la­gi un­tuk me­nge­ Se­be­lum ber­hem­bus wa­ca­na pem­ba­ngun­an ta­hui i­den­ti­tas si po­li­si. “Jenenge sopo? (Na­ma­nya pab­rik dan per­tam­bang­an yang di­la­ku­kan Semen si­apa?, red.)” ta­nya­nya dengan ba­ha­sa Jawa Ngoko Indonesia, ke­s e­h a­r i­a n ma­s ya­r a­k at Tegaldowo sam­bil ber­te­ri­ak. La­lu po­li­si mem­per­li­hat­kan na­ dan Timbrangan di­ha­bis­kan di sa­wah. Ke­ba­nyak­ ma­nya yang ber­tu­lis­kan A. Mahmud. “Iya Bu, tu­lis an da­ri me­re­ka me­mang be­ker­ja se­ba­gai pe­ta­ni di yang be­sar na­ma sa­ya,” ja­wab si po­li­si se­per­ti di­ti­ Pegunungan Watuputih. “Se­be­lum ada isu ten­tang ru­kan Murtini. Semen Indonesia yang ingin mem­ba­ngun pab­rik dan Lu­ka in­jak­an ma­sih mem­be­kas di jem­pol ka­ tam­bang di si­ni, se­ti­ap ha­ri ka­mi ker­ja ki­nya. Ku­lit di jem­pol­nya ma­sih se­di­kit di sa­wah,” tu­tur Sukinah. ter­bu­ka bak di­sa­yat dengan pi­sau wa­lau­ Wa­ca­na itu ber­hem­bus se­ma­kin ku­ Tidak takut ada banyak polisi. pun su­dah ke­ring. “Ini lu­ka be­kas in­jak­an Wong, makannya sama-sama nasi. at di­tan­dai dengan ada­nya pe­le­tak­an po­li­si­nya,” tu­tur­nya sam­bil me­nun­juk­ ba­tu per­ta­ma un­tuk pro­ses pem­ba­ngun­ kan lu­ka be­kas in­jak­an. an PT Semen Indonesia. War­ga mu­lai Siti Fatimah Ke­ge­ram­an ter­ha­dap po­li­si ter­li­ pro­tes dan mu­lai me­la­ku­kan pe­no­lak­an hat da­ri ra­ut wa­jah Murtini. Dua ka­li dengan me­la­ku­kan ak­si. Siti men­ce­ri­ta­ men­da­pat­kan in­ti­mi­da­si ti­dak lan­tas kan pe­nga­lam­an per­ta­ma­nya meng­ikuti ak­si. me­nyu­rut­kan ni­at­nya dan te­tap ber­ju­ang. “Ha­bis Wak­tu itu, ia meng­ikuti ak­si di Kan­tor DPRD di­in­ti­mi­da­si te­tap mau ber­ju­ang,” ka­ta­nya sam­bil Rembang. Apa­rat yang men­ja­ga mas­sa ak­si cu­kup me­nge­pal­kan ke­dua ta­ngan­nya. ba­nyak. Me­li­hat pa­ra apa­rat, ia me­ra­sa se­di­kit ke­ *** ta­kut­an lan­tar­an ja­rang se­ka­li ber­ha­dap­an dengan Be­be­ra­pa ten­da su­dah ada se­jak Ju­li 2014. Atap­ apa­rat ke­aman­an. Ra­sa­nya ingin ber­te­ri­ak agar per­ nya meng­gu­na­kan ter­pal ber­war­na bi­ru mu­da. Se­ ma­sa­lah­an ini ce­pat di­res­pons. Ke­ta­kut­an­nya mu­lai ba­gai pe­no­pang, di­gu­na­kan po­tong­an po­hon bam­bu lu­ruh. Ia me­ni­lai apa­rat itu sa­ma dengan ma­nu­siayang su­dah ber­war­na ku­ning. Tan­da bah­wa bam­ ma­nu­sia la­in. “Ti­dak ta­kut ada ba­nyak po­li­si. Wong, bu­nya su­dah me­nge­ring. Ten­da itu ter­le­tak di ja­lan ma­kan­nya sa­ma-sa­ma na­si,” te­gas­nya me­nge­nang me­nu­ju pab­rik Semen Indonesia. Dae­rah yang ma­sih ak­si ter­se­but. ter­ma­suk da­lam ka­was­an Hutan Mantingan. Ada ka­la­nya sa­at me­la­ku­kan ak­si ter­ja­di in­ti­mi­da­ Ten­da ini­lah yang di­se­but war­ga se­ba­gai roh si. Pe­rem­pu­an-pe­rem­pu­an ini ju­ga per­nah meng­alami per­ge­rak­an. “Roh per­ge­rak­an ada di ten­da. Sau­da­rain­ti­mi­da­si da­ri apa­rat. Murtini sa­lah sa­tu­nya. Pu­kul sau­da­ra yang ingin mem­ban­tu itu ber­sim­pa­ti ka­re­na 17.30 WIB, Murtini ba­ru pu­lang ber­ja­ga di ten­da per­ per­ju­ang­an ibu-ibu yang ada di ten­da,” ka­ta Sukinah ju­ang­an, ia la­ri-la­ri ke­cil da­ri ru­mah­nya me­nu­ju ke da­lam ra­pat ming­gu­an di Desa Tegaldowo. ru­mah Suyasir, tem­pat sa­ya me­nung­gu­nya. Se­je­nak Pe­rem­pu­an men­da­pat tu­gas un­tuk men­ja­ga ia meng­he­la na­pas un­tuk is­ti­ra­hat. Ia la­lu du­duk di ten­da. Se­ti­ap ha­ri se­la­lu ber­gan­ti­an men­ja­ga, ba­ kur­si ka­yu di de­pan ru­mah Suyasir. ik da­ri Tegaldowo mau­pun Timbrangan dan su­dah Ia la­lu men­ce­ri­ta­kan bah­wa di­ri­nya per­nah dua ter­jad­wal si­apa sa­ja yang ha­rus men­ja­ga ten­da. Pa­ ka­li ter­ke­na in­ti­mi­da­si da­ri po­li­si sa­at me­la­ku­kan da sa­at pe­rem­pu­an men­ja­ga ten­da, su­ami me­re­ka ak­si. In­ti­mi­da­si yang per­ta­ma ter­ja­di pa­da Senin men­da­pat pe­ran se­ba­gai pen­ja­ga ru­mah. Tu­gas me­ (16/6/2014). Ber­te­pat­an dengan pro­se­si pe­le­tak­ ma­sak, men­cu­ci, serta me­ra­wat anak-anak di­am­bil an ba­tu per­ta­ma yang di­la­ku­kan oleh PT Semen alih oleh su­ami. Indonesia, ia dan war­ga yang la­in­nya me­la­ku­kan Siti men­ce­ri­ta­kan su­ami­nya yang se­ha­ri-ha­ri be­ ak­si di ja­lan me­nu­ju tem­pat yang akan di­ja­di­kan ker­ja men­ja­di pe­ta­ni, me­lu­ang­kan wak­tu­nya un­tuk ta­pak pab­rik PT Semen Indonesia. Sa­at mem­blo­ka­de me­ngu­rus ke­bu­tuh­an do­mes­tik. Mi­sal­nya sa­ja, me­ ja­lan, di­ri­nya di­ang­kat se­ca­ra pak­sa dan di­lem­par ma­sak, men­cu­ci, dan me­ra­wat anak. “Su­ami sa­ya ya ke ping­gir ja­lan oleh po­li­si. bi­sa ma­sak, men­cu­ci, me­ra­wat anak ka­lau ha­bis da­ri In­ti­mi­da­si yang ke­dua di­la­ku­kan ter­ha­dap di­ri­ hu­tan. Ra­ta-ra­ta se­per­ti itu. Ke­ti­ka ibu-ibu men­ja­ga nya pa­da sa­at ak­si le­sung­an pa­da Ka­mis (27/11/2014). ten­da ya su­ami­nya ha­rus bi­sa meng­urus ru­mah,” Ak­si itu ju­ga di­la­ku­kan di ja­lan me­nu­ju ta­pak pab­rik. tam­bah­nya sam­bil me­le­bar­kan sen­yum. Po­li­si yang da­tang meng­aman­kan ak­si ter­se­but ter­ So­rot ma­ta Siti mu­lai ta­jam, na­da su­ara­nya me­ nya­ta ba­nyak. Tu­ju­an ge­rom­bol­an po­li­si itu ada­lah ning­gi me­nun­juk­kan se­ma­ngat men­ja­wab per­ta­nya­ mem­bu­bar­kan ak­si lesungan. an yang sa­ya aju­kan ter­ka­it dengan si­kap su­ami­nya Murtini yang ingin me­nye­la­mat­kan lesung dan yang mau ber­gan­ti­an me­nger­ja­kan hal do­mes­tik. lu­ku jus­tru di­ta­rik oleh po­li­si. Se­la­in di­se­ret, ka­ki­nya “Ini­lah ben­tuk pe­ngor­ban­an war­ga di si­ni. Su­ami ju­ga tak lu­put da­ri sa­sar­an po­li­si. Ka­ki yang ha­nya sa­ya ya me­ne­ri­ma sa­ja ka­re­na ini sa­lah sa­tu ben­tuk ber­alas­kan san­dal je­pit itu ­di­in­jak dengan ke­ras oleh per­ju­ang­an,” ja­wab­nya.

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 55


T E L US UR

Hidup Berdampingan antara Pro dan Kontra Pro dan kontra adalah identitas baru yang memecah kerukunan warga desa sekitar Gunem. Oleh Taufik Nurhidayat

P

os­ter-pos­ter pe­no­lak­an pab­rik se­men me­le­kat ma­sih meng­akui Pur se­ba­gai ba­gi­an ke­lu­ar­ga­nya. pa­da din­ding be­ran­da ru­mah Suyasir. Di ru­mah “Dia sau­da­ra ipar sa­ya,” aku­nya. itu pu­la pa­ra sim­pa­tis­an Tolak Pabrik Semen Toni se­ge­ra me­la­por ke­pa­da Sunyono se­la­ku da­ri ber­ba­gai dae­rah me­ngi­nap. Ha­ri itu Sab­tu Ke­pa­la De­sa (Ka­des). Pe­nga­du­an Toni di­se­le­sai­kan (3/1/2015), Suyasir ber­ki­sah me­nge­nai se­pak ter­jang­ di ba­lai de­sa. Di ha­dap­an ra­tus­an war­ga de­sa, ok­ nya me­no­lak pen­di­ri­an pab­rik PT Semen Indonesia. num-ok­num yang meng­an­cam Toni ber­jan­ji ke­pa­da Sunyono un­tuk ti­dak ber­ulah la­gi. Dia­lah le­la­ki yang ke­rap di­sa­pa Toni, mo­tor per­ge­ rak­an kon­tra pab­rik se­men asal Desa Timbrangan, *** Ter­bi­lang ada dua de­sa yang war­ga­nya be­gi­ Gunem, Rembang. Toni kha­wa­tir ji­ka ke­be­ra­da­an pab­rik di Kawasan tu ma­sif me­la­wan pen­di­ri­an pab­rik itu ia­lah Desa Hu­tan Mantingan mem­per­pa­rah ke­ru­sak­an alam Tegaldowo dan Timbrangan. Ke­dua­nya ma­suk da­lam wi­la­yah ad­mi­nis­tra­tif Ke­ca­mat­an Gunem. Tak ha­nya Pe­gu­nung­an Watuputih yang men­ja­di ba­gi­an da­ ri Pe­gu­nung­an Kendeng Utara. Mak­lum, ma­sif­nya war­ga yang me­la­wan, di ke­dua de­sa itu ju­ga ada yang se­tu­ju bi­la pab­rik se­men di­di­ri­kan. Ke­dua pi­hak ini ope­ra­si pe­nam­bang-pe­nam­bang karst lo­kal su­dah mam­pu meng­gun­duli pe­gu­nung­an itu. me­mi­li­ki ala­san ma­sing-ma­sing. Ba­gi pi­hak kon­tra, ke­kha­wa­tir­an akan ke­ru­sak­an ling­kung­an men­ja­di Bo­lak-ba­lik ber­de­mons­tra­si men­ja­di ke­gi­at­an lum­rah wa­lau cu­kup meng­gang­gu ma­ta pen­ca­ha­ acu­an ku­at un­tuk te­rus ber­ge­rak me­la­wan. Ba­gi yang ri­an­nya se­ba­gai pe­ta­ni. “La­han per­ta­ni­an sa­ya ja­di pro, ke­sem­pat­an un­tuk mem­per­oleh pe­ker­ja­an dan ku­rang ter­urus. Peng­ha­sil­an pun ber­ku­rang,” ung­kap ke­hi­dup­an le­bih la­yak men­ja­di ha­rap­an bi­la pab­rik Toni sa­at mem­be­ber­kan ri­si­ko yang di­ha­da­pi­nya. itu bi­sa ber­ope­ra­si. Apa­la­gi ke­be­ra­da­an tam­bangtam­bang karst yang te­lah la­ma ber­ope­ra­si Ru­pa­nya ri­si­ko ini ju­ga di­ha­da­pi pe­ ta­ni-pe­ta­ni la­in yang tu­rut me­nen­tang mam­pu meng­gai­rah­kan per­eko­no­mi­an se­ ba­gi­an war­ga de­sa. pab­rik se­men. Sekarang tidak terlalu akrab kalau Ada pe­nga­lam­an la­in yang le­bih Se­la­in ber­ta­ni, be­be­ra­pa war­ga la­in­nya ada pertemuan antarkades." meng­gan­tung­kan hi­dup se­ba­gai pe­ker­ja di me­nge­jut­kan di­ri­nya, nya­wa­nya sem­ pat te­ran­cam. Si­ang se­be­lum­nya, Toni tam­bang lo­kal. Ada­pun usa­ha-usa­ha yang Sunyono ber­sa­ma pu­luh­an de­mons­tran kon­ mem­per­oleh im­bas ke­un­tung­an da­ri ak­ti­ vi­tas pe­nam­bang­an, yak­ni per­se­wa­an truk, tra pab­rik se­men me­nyam­bangi Kota Rembang. Sa­at itu, Kantor Perhutani wa­rung-wa­rung ma­kan, dan tem­pat-tem­pat hi­bur­an. Bah­kan, di se­ki­tar Pa­sar Tegaldowo, bi­sa ja­di sa­sar­an ak­si me­re­ka. Ak­si ha­ri itu be­gi­tu me­ di­te­mui wa­rung ma­kan yang dengan gam­blang me­ ngu­ras te­na­ga Toni. Pu­lang ber­de­mo, Toni se­ge­ra meng­is­ti­ra­hat­kan ra­ga­nya. mam­pang banner be­sar “Wa­rung Ma­kan Pro Se­men”. Se­akan si pe­mi­lik wa­rung tak mau ka­lah dengan war­ga Pa­da te­ngah ma­lam, pu­kul­an ke­ras meng­ge­dor pin­tu ru­mah. Toni yang ter­ba­ngun pun be­ran­jak la­in­nya yang me­ma­sang pos­ter-pos­ter kon­tra pab­rik se­men di ru­mah. mem­bu­ka pin­tu. Dua orang pre­man ber­tan­dang ke ru­mah­nya sa­at itu. Se­orang ma­suk ke da­lam un­tuk Se­ra­tus me­ter ke arah ba­rat da­ri wa­rung itu pun be­run­ding de­ngan Toni. Se­orang la­in­nya me­nung­gu ber­di­ri Pos­ko Save Kendeng. Pos­ko yang di­diri­kan war­ga ber­sa­ma pa­ra ak­ti­vis se­ni SeBumi itu men­ja­di di lu­ar. Pre­man itu pun me­nem­pel­kan pa­rang yang pan­jang­nya 80cm pa­da da­da ku­rus Toni. Di­an­cam buk­ti bah­wa per­la­wan­an kon­tra pab­rik se­men ju­ga men­da­pat so­kong­an ke­ku­at­an da­ri war­ga lu­ar de­sa. pa­rang, Toni tak gen­tar. Me­nge­ta­hui ada ke­ri­but­an di ru­mah Toni, pa­ra te­tang­ga ke­lu­ar. Akhir­nya, dua Be­gi­tu­lah ke­nya­ta­an di Tegaldowo dan Timbrangan. Ba­ik war­ga mau­pun apa­rat de­sa, sa­ma-sa­ma ta­hu orang peng­gang­gu ti­dur Toni pun ber­ge­gas per­gi. ke­ru­kun­an se­sa­ma­nya te­lah pe­cah. Ji­ka di­iba­rat­kan, Dua pre­man itu utus­an Purnomo Sidi, peng­usa­ha ka­fe hi­bur­an di Timbrangan. Pur, pang­gil­an bos ka­fe yang ta­di­nya sau­da­ra ma­lah ja­di mu­suh. Di te­ngah per­pe­cah­an yang me­lan­da ke­ru­kun­ itu, me­ra­sa ti­dak se­nang dengan per­ge­rak­an Toni. Pur me­ru­pa­kan orang yang se­pa­kat bi­la pab­rik se­ an war­ga­nya, Suwandi, Se­kre­ta­ris De­sa (Sekdes) men di­ba­ngun. Mes­ki ber­se­be­rang­an pa­ham, Toni Tegaldowo ti­dak be­gi­tu am­bil pu­sing. Se­ca­ra san­tai,

56 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015


G EJ O L A K W AT UP UT I H

Sunyono, Kepala Desa Timbrangan mengaku sempat terjadi keributan antarwarga yang pro dengan kontra PT Semen Indonesia di desanya.

ada­nya ke­ti­dak­har­mo­nis­an so­si­al aki­bat si­kap prokon­tra. Da­ri nya­wa ter­an­cam, kon­flik ru­mah tang­ga, hing­ga ke­ri­but­an an­tar­war­ga pun per­nah ter­ja­di. So­re itu, Toni ju­ga me­ngi­sah­kan ke­te­gang­an an­ tar­war­ga ter­ja­di ka­la mo­men Ra­ma­dan ta­hun 2014. Mes­ki pen­di­ri­an pab­rik PT Semen Indonesia ti­dak di­res­tui war­ga, me­re­ka ma­sih sem­pat mem­bi­kin agen­da pe­nga­ji­an di ru­mah Akhid, man­tan Kades Timbrangan. Ada mo­men ba­gi-ba­gi sem­ba­ko di pe­ nga­ji­an itu. Ke­ti­ka iring­an had­rah se­dang di­ma­in­kan, ra­tus­an pe­rem­pu­an de­sa meng­ge­re­bek. Me­re­ka me­ nun­tut pe­nga­ji­an di­bu­bar­kan. La­gi-la­gi per­so­al­an ini pun di­se­le­sai­kan di Ba­lai De­sa Timbrangan. Sunyono pun mem­boi­kot agar ti­dak ada la­gi aca­ra di de­sa­nya dengan em­bel-em­bel PT Semen Indonesia. Ti­dak itu sa­ja. Ada ulah la­in PT Semen Indonesia yang ju­ga bi­kin ke­ri­but­an. Agen­da ba­gi-ba­gi tas di SD Timbrangan tak lu­put da­ri ge­re­bek­an ibu-ibu de­sa. Sunyono mem­be­ber­kan bah­wa per­bu­at­an PT Semen Indonesia un­tuk men­co­ba me­naf­ka­hi ke­gi­at­an war­ga de­sa ke­rap ia ke­ta­hui. Per­ingat­an-per­ingat­an se­ma­cam Ha­ri Kartini, Ha­ri Ke­mer­de­ka­an, Se­de­kah Bu­mi, dan ke­gi­at­an-ke­gi­at­an ke­aga­ma­an tak lu­put da­ri in­car­an PT Semen Indonesia. Me­nu­rut Prin dan Toni, ini me­ru­pa­kan upa­ya PT Semen Indonesia un­ tuk ki­an mem­per­pa­rah ke­ru­kun­an war­ga. *** Men­dung ma­sih meng­ge­la­yut hing­ga ham­pir sen­ja di Gunem. Na­mun, ge­ri­mis be­lum ju­ga me­rin­tik. Gun­tur pun se­nyap-se­nyap ter­de­ngar. Da­ri ru­ang ta­mu­nya, Toni ma­sih meng­gu­lir­kan ki­sah ten­tang per­la­wan­an­nya dan ke­ru­kun­an an­tar­war­ga yang ki­ni ter­pe­cah be­lah. Di Timbrangan, pro-kon­tra ju­ga men­jang­kit hing­ga anak-anak usia se­ko­lah da­sar. Toni me­nge­ta­hui bah­wa ke­la­ku­an sa­ling ejek ke­rap ter­ja­di di ka­lang­an anakanak. Ini aki­bat orang­tua me­re­ka ter­li­bat pro-kon­tra ju­ga. Perlawanan akan terus digencarkan hing­ga i­zin pen­di­ri­an pa­brik di­ca­ but. Wa­lau pro-kon­tra me­me­cah per­sa­tu­an war­ga, ku­bu kon­tra a­kan te­rus ber­pe­rang me­la­wan PT Semen Indonesia. “Ba­gi sa­ya, ini a­da­lah perang,” seru Toni.

Hengki | EKSPRESI

ia meng­ang­gap wa­jar ada­nya pro-kon­tra. Me­nu­rut peng­amat­an­nya, ki­ni war­ga de­sa ter­ba­gi men­ja­di ti­ga ku­bu: pro, kon­tra, dan abu-abu. Urus­an pe­la­ yan­an, pe­rang­kat Desa Tegaldowo ini ber­da­lih ti­dak mem­be­da-be­da­kan me­re­ka. Suwandi ya­kin bah­wa PT Semen Indonesia ti­dak akan me­nim­bul­kan ma­sa­lah yang di­kha­wa­tir­kan se­ba­gi­an war­ga. Sta­tus PT Semen Indonesia se­ba­gai Ba­dan Usa­ha Mi­lik Ne­ga­ra (BUMN) le­bih me­ya­kin­ kan­nya di­ban­ding pe­ru­sa­ha­an swas­ta. Ia me­nam­pik ala­san-ala­san ke­ru­sak­an ling­kung­an aki­bat ak­ti­vi­tas pe­nam­bang­an. Di ma­ta Suwandi, ke­cem­bu­ru­an so­si­al ja­di fak­ tor uta­ma pe­mi­cu per­pe­cah­an ini. Bi­sa di­ka­ta­kan kom­po­si­si ra­ta-ra­ta war­ga to­lak PT Semen Indonesia ada­lah ka­lang­an pe­ta­ni se­dang­kan yang pro, ra­ta-ra­ta ka­lang­an pe­mi­lik usa­ha da­ri wa­rung hing­ga per­ se­wa­an truk. Se­be­lum ada ka­bar pen­di­ri­an pab­rik PT Semen Indonesia, tak per­nah ada ak­si-ak­si pro­ tes pe­nam­bang­an di de­sa­nya. Suwandi men­cu­ri­gai ada tung­gang­an pi­hak ter­ten­tu da­lam pro­tes war­ga. “War­ga bi­sa ta­hu ca­ra­nya pro­tes sam­pai ke PTUN (Pe­nga­dil­an Ta­ta Usa­ha Ne­ga­ra, red.), kan eng­gak mung­kin tan­pa tung­gang­an pi­hak lu­ar.” Wa­lau Suwandi ber­da­lih ne­tral, apa­rat de­sa di Gunem pun tak bi­sa le­pas da­ri pro-kon­tra. Ini ter­buk­ti dengan ke­ras­nya si­kap Sunyono me­no­lak pen­di­ri­an pab­rik PT Semen Indonesia. Po­si­si­nya se­ba­gai Kades Timbrangan tak mem­bu­at­nya ba­sa-ba­si ter­ha­dap PT Semen Indonesia. War­ga kon­tra PT Semen Indonesia da­ri De­sa Tegaldowo pun me­mu­ji-mu­ji par­ti­si­pa­si­ nya. So­sok Sunyono me­mang ter­ke­nal ga­lak ter­ha­dap PT Semen Indonesia. Sa­at di­ri­nya dan war­ga ber­ak­si, ia tak cang­gung meng­ha­da­pi pa­ra po­li­si. Bah­kan, se­ka­li-kali me­nan­tang­nya ber­du­el. Sunyono me­nga­ku ti­dak ada ka­des di wi­la­yah Gunem yang be­ra­ni me­no­lak PT Semen Indonesia la­yak­nya di­ri­nya. Bu­juk­an Ca­mat Gunem agar ia le­bih ji­nak ter­ha­dap PT Semen Indonesia pun tak di­pa­tu­hi­nya. “Se­ka­rang ti­dak ter­la­lu ak­rab ka­lau ada per­te­mu­an an­tar­ka­des,” te­rang­nya. *** Joko Priyanto, yang di­ke­nal se­ba­gai Prin, me­ ma­sang span­duk be­sar pe­no­lak­an pab­rik se­men di ha­la­man ru­mah­nya. Kar­ya lu­kis bi­kin­an SeBumi itu di­tam­pak­kan ke ja­lan ra­ya Tegaldowo-Timbrangan. Prin yang se­dang be­ker­ja di Jakarta ini pun ter­pang­ gil un­tuk pu­lang kam­pung tu­rut mem­per­ju­ang­kan ke­se­la­mat­an ling­kung­an Watuputih. Ki­ni, ia be­ker­ja se­ba­gai pe­ta­ni. Ia me­nge­nal ba­ik Toni se­ba­gai re­kan sa­tu per­ge­rak­an. Ji­ka To­ni per­nah ter­an­cam nya­wa­nya oleh ulah pre­man, Prin ter­an­cam ke­hi­dup­an ru­mah tang­ga­ nya. Is­tri­nya tak me­res­tui ia me­la­wan pab­rik se­men. Ke­si­buk­an meng­urus ge­rak­an mem­bi­kin Toni pi­sah ran­jang da­ri is­tri­nya. Anak­nya yang ma­sih ba­yi pun tu­rut di­ba­wa sang is­tri. Prin, Toni, dan Sunyono me­mang di­ke­nal se­ba­gai to­koh per­la­wan­an. Ke­ti­ga so­sok ini ti­dak meng­ing­kari

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 57


T E L US UR

Semarang adalah Kunci Melalui hukum, ribuan masyarakat peduli Pegunungan Kendeng menuntut hak atas alam. Oleh Prasetyo Wibowo

K

a­mis (6/9/2014), sua­sa­na di lu­ar ru­ang si­ dang gu­gat­an yang per­ta­ma ter­ha­dap Su­rat Ke­pu­tus­an Gu­ber­nur Jawa Tengah ten­tang izin ling­kung­an ke­gi­at­an pe­nam­bang­an PT Semen Indonesia ber­lang­sung te­nang. Ru­ang­an itu ter­ta­ta ra­pi, me­ja Ke­tua Si­dang di­la­pi­si per­nis co­ke­lat, meng­ki­lap. Su­sun­an me­ja dan kur­si sa­ling ber­ha­dap­ an. Kur­si se­be­lah ki­ri pe­nuh oleh pa­ra pe­rem­pu­an. Me­re­ka me­nge­na­kan ke­ba­ya dan se­lem­pang lu­rik. Susilowati Siahaan, Ke­tua Si­dang, me­mim­pin Ra­pat De­ngar Pen­dapat. Enam war­ga Rembang, Joko Prianto, Sukimin, Suyasir, Rutono, Sujono, dan Sulijan me­wa­ki­li 2.501 ma­sya­ra­kat Rembang yang me­nan­da­ta­ngani pe­no­lak­an pe­nam­bang­an PT Semen Indonesia. Di lu­ar ru­ang per­si­dang­an, te­rik ma­ta­ha­ri ser­ta pa­nas­nya as­pal tak di­in­dah­kan. Ma­sya­ra­kat pe­du­ li Pe­gu­nung­an Kendeng tam­pak me­me­nu­hi ja­lan. Me­re­ka du­duk di se­pan­jang ja­lan di de­pan Ge­dung PTUN. Pa­ra pe­rem­pu­an ber­ca­ping dan mem­ba­wa ka­in ren­tang ber­tu­lis­kan “Les­ta­ri Ken­deng­ku, Ta­nah Air kan Ku­be­la sam­pai Ma­ti”. *** Se­nin si­ang, em­pat bu­lan se­be­lum­nya, pe­le­tak­an ba­tu per­ta­ma pab­rik di­da­tangi oleh pu­luh­an pe­rem­ pu­an. Me­re­ka ada­lah ma­sya­ra­kat Ring 1 ter­dam­pak. Ke­lom­pok ma­sya­ra­kat yang di­do­mi­na­si oleh pe­rem­ pu­an itu te­rus ber­ja­lan me­rang­sek me­nu­ju lo­ka­si pe­le­tak­an ba­tu per­ta­ma. Sa­tu kom­pi apa­rat di­si­ap­ kan un­tuk me­nga­man­kan me­re­ka yang me­mpro­tes pem­ba­ngun­an pab­rik se­men. Apa­rat ber­tin­dak re­pre­sif. Mas­sa yang se­ba­gi­an be­sar ibu-ibu tak mam­pu me­na­han do­rong­an da­ri apa­rat. Tak ada po­li­si wa­ni­ta wak­tu itu. Mas­sa yang tak mau me­nying­kir da­ri ja­lan uta­ma pab­rik di­sing­kir­ kan pak­sa oleh apa­rat. Me­re­ka di­pak­sa ke te­pi ja­lan. Bahkan, ada yang dilempar ke krumunan ibu-ibu yang tengah duduk di tepi jalan. Sa­ya ber­te­mu ko­or­di­na­tor pe­rem­pu­an Desa Timbrangan, Sulasih, Ming­gu so­re (4/1/2015). Ru­ mah Sulasih se­pi. Ru­mah­nya tam­pak se­per­ti ru­mah war­ga Timbrangan yang la­in: ber­din­ding pa­pan, lan­ tai ta­nah atau cor, ser­ta atap kam­pung. Su­ami­nya te­ngah be­ra­da di la­dang. Anak­nya ber­ma­in di ja­lan de­pan ru­mah. Ru­mah ka­yu itu te­ra­sa se­sak tat­ka­la asap da­ri di­an me­me­nu­hi se­lu­ruh ru­ang­an. Sa­ya di­te­ma­ni Toni tat­ka­la ke ru­mah Sulasih. Toni ada­lah sa­tu da­ri war­ga Timbrangan yang me­no­lak pab­rik se­men.

58 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

Sulasih du­duk di kur­si ka­yu pan­jang yang mu­lai la­puk. Sa­ya dan Toni du­duk ber­se­be­lah­an di atas kur­si bam­bu. Ka­mi ha­nya di­pi­sah­kan oleh me­ja ke­cil ber­ukur­an 1,5x3 me­ter. “Sa­ya ba­ru da­ri ten­da. Ha­ri ini gi­lir­an sa­ya,” te­rang Sulasih ke­le­lah­an. “Ka­lau sa­ja ka­mi tak mem­ba­wa ka­sus ini ke Semarang (PTUN, red.), mung­kin du­kung­an­nya tak se­ra­mai ini. Mas, tak mung­kin da­tang ke si­ni,” Toni me­nam­bah­kan. Sulasih per­gi ke be­la­kang ru­mah. “Ka­sus ini ka­mi ba­wa ke Semarang ka­re­na tan­ tang­an da­ri Ganjar. Itu sa­lah sa­tu ala­san­nya. Semarang ju­ga men­ja­di ja­lan yang di­tem­puh dulur-dulur Pati du­lu. Ter­nya­ta ber­ha­sil,” te­rang Toni. Sulasih da­tang mem­ba­wa teh ha­ngat. Ia me­le­ tak­kan­nya di m­eja dan mem­per­si­la­kan ka­mi mi­num. Ter­se­dia pu­la ke­te­la po­hon re­bus. “Da­ri te­tang­ga, Mas. Mangga, dipundahar.” Toni meng­am­bil tem­ba­kau da­ri sa­ku la­lu me­mi­lin ro­kok dengan ke­dua te­la­pak ta­ngan dan me­nyu­lut­nya.“Ya be­gi­tu. Dulur-dulur se­pa­kat ma­sa­lah ini di­ba­wa ke Semarang. Hi­dup ma­ti, ya, pu­tus­an di Semarang,” ujar Sulasih yang me­nge­na­kan ba­ju lu­rik dan jil­bab me­rah ma­run. Ka­ ta­nya, ten­da per­ju­ang­an ada­lah pro­tes nya­ta war­ga ter­ha­dap pe­nam­bang­an. “Ka­lau di Semarang ka­mi di­ban­tu dulur-dulur la­in. Yang nya­ta da­ri ka­mi ada­lah ten­da per­ju­ang­an itu,” tam­bah Sulasih. “Se­te­lah be­be­ra­pa ha­ri ka­mi di ten­da, Ganjar da­tang. Me­nan­tang ka­mi mem­ba­wa ka­sus ini ke Semarang. Ka­ta­nya, ka­mi ini ke­pa­la ba­tu. Po­kok­ nya to­lak, be­gi­tu. Se­be­nar­nya ke­ta­kut­an ka­mi su­dah je­las. Ka­lau di atas di­tam­bang, ndak ada pohung ini, Kamis (5/2/2015), agenda sidang pembacaan dari saksi lapangan terkait kasus gugatan warga Timbrangan dan Tegaldowo kepada PT Semen Indonesia.


G EJ O L A K W AT UP UT I H Mas,” te­rang Sulasih sam­bil me­nun­juk tem­bok ru­mah­nya ter­tu­lis: ”Bu­mi ada­lah ke­te­la po­hon di me­ja. un­tuk di­rawat, di­mu­lia­kan, dan di­pe­li­ha­ “AMDAL-nya ju­ga sa­lah,” Toni ra. Bu­kan un­tuk di­ru­sak dan bu­kan un­tuk me­nye­la. “Ka­mi be­ra­ni ma­ju (PTUN, meng­ikuti naf­su ra­kus pa­ra pe­nam­bang Kalau saja kami tak membawa kasus ini ke Semarang (PTUN, red.), mungkin dan ka­ki ta­ngann­ya.” Djuadi ma­suk ka­mar red.) ka­re­na izin PT Semen Indonesia dukungannya tak seramai ini.” ba­nyak ke­ke­li­ru­an,” tam­bah Toni. Ia dan ke­luar ber­sa­ma Sukinah, pe­rem­pu­an ber­sa­ma Sunyono, Lurah Timbrangan, yang men­ja­di sim­bol per­la­wan­an ter­ha­dap mem­pe­la­ja­ri AMDAL sam­pai ti­ga ha­ri Toni pab­rik se­men di Tegaldowo. ti­ga ma­lam. “Du­lu ti­dak ta­hu AMDAL, Se­te­lah ti­ga pu­luh me­nit di ru­mah se­ka­rang ta­hu ber­kat Pak Lurah.” Djuadi, se­orang la­ki-la­ki da­tang. Ia me­ Sulasih ju­ga tak ta­hu AMDAL. Ia tak ta­hu me­ nge­na­kan ja­ket Levi’s, ber­sor­ban, ser­ta me­ma­kai ka­nis­me per­si­dang­an di PTUN. Sulasih ha­nya ta­hu, ba­wah­an jeans. Ku­lit­nya sa­wo ma­tang, ber­tu­buh ji­ka pe­nam­bang­an te­tap ber­ja­lan, ubi ka­yu tak akan tam­bun, dan ram­but pen­dek ber­ge­lom­bang. ter­se­dia di me­ja ma­kan­nya. Air ju­ga su­sah. Jan­ji ke­ “Aan,” ka­ta la­ki-l­aki itu mem­per­ke­nal­kan di­ri. se­jah­te­ra­an ha­nya omong ko­song ba­gi Sulasih dan Aan du­duk di kur­si, seperti Djuadi. Aan me­mu­lai ri­bu­an war­ga Gunem la­in. obrol­an ten­tang ke­ya­kin­annya bah­wa gu­gat­an yang Sulasih ke­lu­ar ru­mah men­ca­ri anak­nya ka­rena di­la­yang­kan dulur-dulur Rembang pas­ti ber­ha­sil. la­ngit men­dung. Toni le­bih ba­nyak bi­cara. Adzan Ga­gas­an me­nge­nai ke­sa­lah­an AMDAL PT Semen magh­rib ter­de­ngar me­nye­la omong­an Toni. Toni Indonesia Aan per­oleh me­la­lui stu­di la­pang­an. Ia ber­ce­ri­ta ten­tang te­man­nya, Aan. Pe­mu­da asal Pa­ ber­pe­nga­lam­an me­mo­bi­li­sa­si mas­sa. Itu ia buk­ti­kan ti ini­lah yang men­ja­di ko­or­di­na­tor pe­me­ta­an ma­ta tat­ka­la war­ga Sukolilo meng­ga­gal­kan pe­nam­bang­an air dan gua. “Yang me­nge­ta­hui se­mua da­ta itu Aan,” PT Semen Gresik di ta­hun 2009. te­rang Toni. Aan bah­kan per­nah tu­juh bu­lan di si­ni *** un­tuk me­ngo­lah da­ta la­lu mem­ba­wa­nya ke Semarang. Ka­m is (5/2/2014), si­d ang ke-7 di PTUN Te­kad Toni meng­ga­gal­kan pe­nam­bang­an PT Semen Semarang di­se­leng­ga­ra­kan. Agen­da si­dang ka­li ini Indonesia be­gi­tu ku­at. “Sa­wah sa­ya ti­dak ter­urus ta­pi ada­lah ke­sak­si­an la­pang­an da­ri peng­gu­gat. Sukinah, ti­dak apa-apa. Sa­ya su­dah ni­at. Ke Jakarta pun sa­ya Sumarno, dan Suwater ber­sak­si di de­pan Ha­kim mau,” te­rang Toni. Ke­tua, Susilowati Siahaan. Tak la­ma, Sulasih da­tang sen­di­ri­an dan du­duk. Syamsul Munir be­ser­ta ku­asa hu­kum peng­gu­gat Sulasih tak per­nah ab­sen di se­ti­ap per­si­dang­an. Truk men­dam­pingi war­ga yang me­no­lak ke­ha­dir­an PT men­ja­di ken­da­ra­an uta­ma. “Dulur-dulur pas­ti da­tang Semen Indonesia di Rembang. Ia me­nga­ta­kan fak­ ke Semarang. Men­dam­pingi sam­pai tun­tas,” te­rang Su­ ta-fak­ta di la­pang­an su­dah je­las. “Dam­pak­nya akan lasih sam­bil me­mi­num teh­nya yang tak lagi ha­ngat. me­nim­bul­kan ber­ba­gai ben­ca­na. La­por­an AMDAL *** yang di­buat oleh PT Semen Indonesia me­lang­gar Se­orang la­ki-la­ki se­te­ngah ba­ya mun­cul da­ri sa­ Peraturan Pemerintah ten­tang ce­kung­an air ta­nah. lah sa­tu gang di Dusun Sembungan, De­sa Bangunjiwo, Lo­ka­si re­sap­an air sa­ngat ber­ba­ha­ya ji­ka te­tap di­ Kasihan, Bantul pa­da Se­la­sa (27/1). Ia me­ma­kai ba­ju pak­sa­kan di­tam­bang,” je­las Syamsul. ko­tong. Ce­la­na­nya ha­nya sam­pai ba­wah lu­tut. Ter­li­hat Me­la­lui KontraS, Syamsul me­la­ku­kan ad­vo­ka­si ta­to ter­ukir di ka­ki­nya. Na­ma­nya ada­lah Djuadi, se­ni­ ter­ka­it tin­dak­an re­pre­sif apa­rat ke­pa­da war­ga. “Ka­ man yang kon­sen pa­da ma­sa­lah agra­ria dan ter­ga­bung mi men­dam­pingi war­ga sam­pai di Komnas HAM, da­lam Ko­mu­ni­tas Taring Padi. Mabes Polri, ser­ta Kementerian Lingkungan Hidup,” Ba­nyak lu­kis­an ter­tem­pel di tem­bok ru­mah­nya. je­las Syamsul. Dari lu­kis­an pe­ta­ni, tam­bang, dan su­ku as­li di Papua Ha­silnya, Komnas HAM me­nge­lu­ar­kan Su­rat Nugini terpajang di sisi utara tembok rumahnya. Di barat Re­k o­m en­d a­s i No­m or 1.569/K/PMT/VIII/2014 pe­ri­hal pe­nga­du­an pe­no­lak­an pen­di­ri­an pab­rik PT Semen Indonesia. Su­rat re­ko­men­da­si di­tu­ju­kan ke­ pa­da Men­teri ESDM, Men­te­ri Ling­kung­an Hi­dup, Gu­ber­nur Jawa Tengah, Kapolres Rembang, dan Bu­pa­ti Rembang. Su­rat itu me­ru­pa­kan ja­wab­an atas pe­nga­duan du­ga­an ke­ke­ras­an dan pe­lang­gar­an HAM yang di­ la­ku­kan oleh Aparat Ke­po­li­si­an dan TNI ke­pa­da perempuan-perempuan Tegaldowo dan Timbrangan pa­da 16 Ju­ni 2014. “Un­tuk meng­hor­ma­ti pro­ses hu­ kum dan fak­ta so­si­al di la­pang­an. Se­ha­rus­nya, pem­ba­ ngun­an pab­rik di­hen­ti­kan se­men­ta­ra. Alat-alat be­rat ju­ga ha­rus di­ta­rik dan ber­hen­ti ber­ope­ra­si sam­pai pu­tus­an pe­nga­dil­an di­te­tap­kan. Itu yang seharusnya ditaati PT Semen Indonesia,” te­rang Syamsul.

AGIL | EKSPRESI

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 59


APRESIASI

Socrates: Pejuang Demokrasi tanpa Mahkota "Saat itu, dengan bola kami menyatakan perasaan kami," Socrates. Oleh Rizpat Anugrah

S

e­bu­ah ku­de­ta mi­li­ter me­le­tus pa­da 1964 di Brazil. Pe­ngam­bil­ alih­an ke­ku­a­sa­an sa­at itu ber­ha­ sil me­nu­run­kan pe­me­rin­tah­an go­long­an ki­ri Joao Goulart. Pa­da ma­sa ke­ku­a­sa­an Joao Goulart, Brazil ber­ha­sil me­la­ku­kan re­for­ma agra­ria dan na­si­o­ na­li­sa­si in­du­stri. Ke­a­d a­an po­li­tik pa­d a ma­sa-ma­ sa itu di­g am­b ar­k an oleh Sutarjo Adisusilo, dosen Sejarah Sanata Dharma Yogyakarta. Da­lam bu­ku­nya, Sejarah Pemikiran: dari yang Klasik sampai Modern di­je­las­kan ke­dik­tak­tor­an pe­ ngu­asa-pe­ngu­asa mi­li­ter di se­ba­gi­an ne­ga­ra Amerika Tengah dan Amerika Selatan yang re­pre­sif dan ko­rup. Tra­di­si de­mo­kra­si ala bang­sa Eropa nya­ris ti­dak ber­kem­bang di Brazil sa­at itu. De­ngan kon­di­si so­si­al po­li­tik yang se­dang ka­cau, sa­lah sa­tu hi­bu­ran dan ton­ton­an yang meng­hi­bur ma­sya­ra­kat pa­da wak­tu itu ada­lah se­pak bo­la. Sa­ lah se­orang pe­ma­in le­gen­da­ris Brazil, Socrates, ti­dak ha­nya mem­per­ton­ton­kan ak­si dan ke­pi­a­wa­i­an­nya ber­main bo­la. Ke­mam­pu­an­nya meng­hi­bur ma­sya­ra­kat yang se­dang pe­lik meng­ha­dapi si­tu­a­si ne­ga­ra di ba­wah pe­rin­tah dik­tak­tor mi­ li­ter itu ju­ga me­la­hir­kan de­mo­kra­si di la­pang­an hi­jau. Ben­tuk de­mo­kra­si yang di­per­ju­ang­kan­nya me­la­lui se­pak bo­la, ya­itu mem­per­li­hat­kan bah­wa se­pak bo­la ti­dak ha­nya mi­lik spon­sor, pe­nyo­kong da­na, atau pe­mi­lik mo­dal se­ma­ta. Se­pak bo­la ada­lah se­su­a­tu yang me­rak­yat. Ma­ sya­ra­kat bi­sa me­nik­ma­ti ke­mer­de­ka­an dan me­ne­rap­kan ni­lai-ni­lai de­mo­kra­si da­lam se­pak bo­la. Socrates ber­pen­da­pat bah­wa se­mua orang pu­nya hak yang sa­ma un­tuk me­ nen­tu­kan na­sib klub­nya. Socrates ju­ga mem­ben­tuk se­bu­ah tim an­ti-ke­dik­tak­to­ ran di Corinthians, klub se­pak bo­la­nya, de­ngan se­bu­tan Time do Prov alias Tim untuk Rakyat. Da­ri Tim un­tuk Rakyat itu

60 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

DOK

dia ju­ga men­cip­ta­kan ge­ra­kan de­mo­kra­ti­ sa­si da­lam klub­nya. De­ngan per­se­tu­ju­an Waldemar Pires, pre­si­den klub­nya itu, pa­ra pe­ma­in men­cip­ta­kan pro­ses de­mo­ kra­tis da­lam me­ngam­bil se­ga­la ma­cam ke­pu­tus­an. Sa­lah sa­tu pe­nga­mat se­pak bo­la, Zen RS, me­nye­but­kan bah­wa de­ngan sa­dar me­re­ka meng­ge­lar per­la­wa­nan te­pat sa­ at ge­la­ran Piala Konfederasi. Pi­lih­an itu bu­kan se­ka­dar me­man­fa­at­kan mo­men­ tum, ta­pi ju­ga su­atu pi­lih­an sim­bo­lik. Pertama, de­ngan meng­gu­na­kan Piala Konfederasi yang di­he­lat oleh FIFA se­ ba­gai mo­men per­la­wan­an. Me­re­ka se­be­ nar­nya se­dang me­nga­ta­kan “Tidak” pa­da FIFA, ba­dan se­pak bo­la du­nia sa­tu-sa­ tu­nya, yang bu­kan ha­nya oto­ri­ter, ta­pi ju­ga bi­ang ke­la­di se­ga­la ko­mer­si­a­li­sa­si se­pak bo­la yang da­ri ha­ri ke ha­ri se­ma­kin ti­dak ma­suk akal itu. Kedua, de­n gan meng­g e­l ar per­ la­w an­a n sa­a t ber­l ang­s ung­n ya Piala Konfederasi, pa­ra de­mons­tran Brazil itu hen­dak me­nyo­dor­kan se­bu­ah an­ti­ te­sis ter­ha­dap ga­gas­an de­po­li­ti­sa­si se­ pak bo­la ala FIFA. Su­dah ja­di ra­ha­sia umum bah­wa FIFA sa­ngat an­tipo­li­ tik. Ta­pi di per­mu­ka­an­nya, FIFA jus­tru sa­ngat ge­mar ber­po­li­tik. Se­per­ti yang su­dah di­pa­par­kan da­lam esai “Depolitisasi Sepak Bola”, FIFA sa­ngat an­ti­po­li­ tik ber­ha­lu­an ki­ri, ta­pi me­ re­ka jus­tru mem­prak­tik­kan ideo­lo­gi po­li­tik yang sa­ ngat ka­nan: pro­li­be­ra­li­ sa­si, industrialisasi, dan komersialisasi. Di sa­tu si­si ne­tra­li­ tas se­pak bo­la me­mang di­bu­tuh­kan un­tuk me­ lin­du­ngi me­re­ka yang ter­m ar­j i­n al­k an oleh pe­san-pe­san ra­sis­me atau bigotry. Me­nu­rut

Roberto DaMatta, se­orang Antropolog, da­lam buku Hearts Museo do Futebol men­je­las­kan, bah­wa se­pak bo­la te­lah men­ja­di jem­bat­ an yang efek­tif (dan juga emosional) an­t a­r a elite yang mem­ba­wa­nya da­ri Ing­gris dan rak­yat Brazil yang di­di­ri­kan oleh pa­ ra man­tan bu­dak se­jak 1800-an. Me­nem­pat­ kan orang ku­lit hi­tam dan ku­lit pu­tih, se­per­ti elite dan ka­um mis­kin, di tem­pat yang sa­ma ada­lah pe­la­jar­an per­ ta­ma da­ri se­pak bo­la. Da­lam se­pak bo­la, ke­ te­ram­pil­an yang ba­ik le­bih pen­ting da­ripa­da asal usul ke­lu­ar­ga atau bah­kan war­na ku­lit. Se­ pak bo­la me­nun­ juk­kan

UM

EN

ISTI

MEWA


EWA

A P R E S I ASI ko­mu­ni­ka­si yang uni­ver­sal dan mo­dern di an­ta­ra se­mua seg­men ma­sya­ra­kat Brazil. Se­pak bo­la ju­ga me­nga­jar­kan ma­sya­ra­kat Brazil ca­ra me­ngum­pul­kan dan me­mi­ sah­kan me­la­lui ber­ba­gai pi­lih­an.

Manuver Politik Model Socrates

Dis­trik Belem de Para, Brazil, 19 Februari 1954, men­j a­d i sak­s i la­h ir­ nya se­orang l e ­g e n ­d a . Socrates Brazileiro

Sampaio de Souza Vieira de Oliveira. Du­nia ke­mu­di­an me­nge­nal­nya se­ba­gai Socrates, Kapten Tim Nasional Brazil di Piala Dunia 1982. La­hir da­ri ke­lu­ar­ga bi­a­sa, ayah­nya se­orang yang ti­dak mam­ pu me­nik­ma­ti bang­ku se­ko­lah. Na­mun, ayah­nya sa­ngat su­ka mem­ba­ca bu­ku dan me­mi­li­ki per­pus­ta­ka­an pri­ba­di. Sang ayah yang ju­ga me­nyu­kai fil­sa­fat akhir­ nya mem­be­ri na­ma anak­nya de­ngan sa­ lah sa­tu fil­suf Yunani, Socrates. Da­lam ak­si­nya di la­pang­an hi­jau, Socrates tan­pa ta­kut me­nge­na­kan ka­us ber­tu­lis­kan Democracia pa­da be­be­ra­pa per­tan­ding­an. Hal itu ti­dak ter­le­pas da­ri to­koh-to­koh idola­nya se­ma­sa kecil, yaitu Fidel Castro, Che Guevara, dan John Lennon. Ter­ka­dang dia ju­ga me­ma­kai ka­us ber­tu­lis­an, “Sa­ya ingin me­mi­lih”. Bah­kan, CNN me­nye­but­kan, Socrates dan mantan Presiden Brazil Luis Inacio Lula da Silva ber­te­man ba­ik da­lam ge­ra­ kan pro­de­mo­kra­si 1980-an yang di­ke­nal de­ngan ak­si Diretas Ja. Ke­ter­ta­ri­kan­nya pa­da po­li­tik ju­ga di­il­ha­mi da­ri pe­ris­ti­wa ma­sa lam­pau da­lam ke­hi­du­pan pri­ba­di­nya. Ke­ti­ka ter­ja­di ku­de­ta mi­li­ter pa­da ta­hun 1964, Socrates me­li­hat ayah­nya mem­ba­kar bu­ku-bu­ku ten­tang Bolshevik. Se­te­lah itu­lah Socrates me­nyu­kai po­li­tik. Pa­ra pe­nga­mat se­pak bo­la me­nye­ but­kan ke­pi­a­wa­i­an Socrates yang me­ ngan­tar­kan me­re­ka men­ja­di ju­a­ra Liga Brazil di tahun 1979, 1982, dan 1983. Se­la­in pi­a­wai da­lam me­ma­in­kan si ku­ lit bun­dar di la­pang­an hi­jau, pe­ma­in se­pak bo­la yang ju­ga dok­ter ini sa­ngat ca­kap me­man­fa­at­kan wi­ba­wa­nya se­ ba­gai pe­ma­in yang di­se­ga­ni. Dia me­n yam­p ai­k an bah­w a pen­t ing­n ya me­m a­ suk­k an ni­l ai-ni­l ai de­mo­kra­si da­lam pe­nge­lo­la­an se­ pak bo­la. Se­la­ ma mem­per­ku­ at Cornthians (1978-1984), Socrates ber­ha­sil me­ na­n am­k an p e n ­t i n g ­ nya ber­adu a r ­g u ­m e n dan ber­dis­ ku­si un­tuk mem­ba­has dan me­

nen­tu­kan ke­pu­tus­an-ke­pu­tus­an yang ber­k a­i t­a n de­n gan ke­p en­t ing­a n pa­r a pe­ma­in. Se­ga­la ma­cam ke­pu­tus­an di­ dis­ku­si­kan ber­sa­ma da­ri mu­lai wak­tu la­tih­an, ma­kan si­ang, ma­kan ma­lam, atur­an me­ro­kok dan mi­num al­ko­hol, di­pu­tus­kan se­ca­ra ter­bu­ka oleh se­mua tim di Corinthians.

Penghargaan dan Prestasi

Socrates ada­lah ang­go­ta ak­tif Partai Buruh Brazil. Ber­sa­ma Partai Buruh, ia ak­tif ber­kam­pa­nye ten­tang pe­mi­lih­an lang­sung di ta­hun 1980-an. Dia me­nya­ ta­kan di­ri se­ba­gai pen­du­kung re­vo­lu­si Kuba dan Venezuela. Se­la­in itu, Socrates mem­pu­nya­i pan­dang­an po­li­tik yang ku­at dan pan­da­ngan­nya cen­de­rung ke ki­ri. Se­te­lah pen­si­un da­ri se­pak bo­la Socrates di­ke­nal se­ba­gai ak­ti­vis po­li­tik, pe­nga­ mat se­pak bo­la, dan pe­nu­lis. Be­be­ra­pa tu­li­san­nya di­ter­bit­kan di ko­ran dan jur­ nal se­tem­pat. Mes­ki ti­dak sem­pat me­ nu­ang­kan pe­mi­ki­ran­nya da­lam se­bu­ah bu­ku ta­pi Socrates men­ja­di sa­lah sa­tu pe­ma­in se­pak bo­la yang ma­sif me­nyu­ a­ra­kan de­mo­kra­si di ka­la­ngan­nya. Dia so­sok yang ti­dak ha­nya ber­pi­kir ten­tang su­a­tu fe­no­me­na di ma­sya­ra­kat ta­pi ju­ga mem­per­ju­ang­kan­nya de­ngan ak­si tu­run ke ja­lan dan me­nyu­a­ra­kan hak-hak de­ mo­kra­si itu sen­di­ri. Sa­tu la­gi yang me­na­rik, Socrates ada­lah se­orang yang kon­tra­dik­tif, dia dok­ter na­mun ju­ga pe­can­du al­ko­hol dan ni­ko­tin. Ke­gan­drung­an­nya me­ngon­sum­si al­ko­hol dan ni­ko­tin mem­bu­at­nya te­was ke­ra­cu­nan, ba­nyak or­gan vi­tal­nya ga­gal ber­fung­si. Ini­lah ta­bi­at bu­ruk Socrates yang amat di­sa­yang­kan pa­ra pe­nga­gum­ nya. Minggu, 4 Desember 2011, publik Brazil ha­rus me­re­la­kan sang ge­ni­us itu per­gi un­tuk se­la­ma­nya. Socrates me­ning­ gal du­nia di Rumah Sakit Albert Einstein, Sao Paulo. Mes­ki ti­dak ada peng­har­ga­an khu­sus atas ga­gas­an dan ak­si­nya mem­per­ju­ang­ kan dan mem­per­ke­nal­kan de­mo­kra­si di ne­ge­ri dan klub­nya, orang-orang akan te­tap me­nge­nang dia se­ba­gai pe­lo­por de­mo­kra­si yang ma­sif di la­pang­an hi­jau. Ka­lau di­ta­nya apa ben­tuk pe­ngor­ban­ an Socrates? Ja­wa­ban­nya ada da­lam 30 Quotes by Socrates. Socrates me­ngab­di­ kan di­ri­nya un­tuk rak­yat. Socrates, se­ orang pe­mi­kir yang hi­dup le­wat se­pak bo­la. Pe­mi­kir yang me­nga­ta­kan apa yang di­pi­kir­kan, dan me­la­ku­kan apa yang dia ka­ta­kan.n Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 61


WAWANC ARA KH U S U S

Guru juga Harus Bergerak

T

u­gas se­o­rang gu­ru ti­dak ha­nya se­le­sai pa­da meng­a­jar di da­lam ke­las, le­bih da­ri itu, gu­ru ju­ga wa­jib me­ning­kat­kan dan meng­ a­wasi ku­a­li­tas pendidikan. Itulah prin­sip yang di­pe­gang oleh Retno Listiyarti ke­ti­ka menjalankan tu­gas­nya se­ba­gai gu­ru. Se­lain menjadi ­Kepala ­Sekolah Menengah Atas Negeri 76 Jakarta, ­Retno ke­rap meng­kri­tik pe­me­rin­tah ke­ti­ka a­da ke­bi­jak­an yang me­ru­gi­kan pen­di­dik­an, gu­ru, dan sis­wa. Selain itu, Retno ju­ga ke­ rap meng­ad­vo­ka­si kasus pen­di­dik­an dan kas­us yang menimpa guru. Se­mu­a­nya dia la­ku­kan ber­sa­ma kawan-kawannya yang ter­ga­bung dalam or­gan­i­sasi Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Sam­pai sa­at i­ni, Retno tercatat sebagai ­Sekretaris Jenderal FSGI. Baginya, guru wajib mem­pu­nyai si­fat kri­tis dan ber­su­ara. Guru yang be­ra­ni bergerak, se­ca­ra ti­dak lang­sung a­kan me­ning­kat­kan ku­a­li­tas guru dan pen­ di­dik­an na­si­o­nal.Berikut wa­wan­ca­ra re­por­ter ESKPRESI, Faqihuddien Abi Utomo dengan Retno Listiyarti sa­ at di­te­mui di tempat kerjanya di da­e­rah Cakung, Jakarta Timur.

Apa pentingnya organisasi bagi guru?

Perlawanan akan tumbang tan­pa or­gan­i­sa­si. Harus bersama-sama yang di­wa­dah­i da­lam organisasi. Kalau saya sen­di­ri me­la­wan, saya sudah mati. Tapi, ka­re­na sa­ya bersama-sama dan ber­or­gan­ i­sa­si, ki­ta menjadi kuat untuk me­la­wan. Gu­ru yang berorganisasi juga a­kan men­ ja­di­kan ku­a­li­tas dan in­te­gri­tas­nya ba­ik. Se­la­in itu, kualitas pen­di­dik­an na­si­o­nal ju­ga akan terbantu.

Apakah sifat kritis guru ber­pe­nga­ruh ter­ ha­dap su­as­ a­na kelas dan mo­del peng­a­ jar­an?

Jelas. Karena kita meng­aj­ ar­kan a­pa yang ki­ta yakini. Bayangkan kalau gu­ru­ nya ha­nya me­ne­ri­ma. Murid se­per­ti a­pa yang akan dia didik? Guru ti­dak a­kan bi­sa membuat muridnya men­ja­di kri­ tis dan be­ra­ni kalau gurunya saja ti­dak kri­tis dan berani. Selain itu, gu­ru a­kan mu­dah mem­prak­tik­kan pem­bel­a­jar­an de­ngan re­al­ita yang ada. Jadi, ti­dak ter­ la­lu ber­te­or­ i. Literasi tidak ber­da­sar­kan

62 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

teks saja. Contohnya, saya meng­a­jar ma­ta pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Ada ma­te­ri pem­bel­a­jar­an an­ti­ko­rup­si. Sa­ya tidak perlu menerangkan ko­rup­si i­tu apa, gratifikasi itu apa. ­Murid-murid cu­kup sa­ya pan­cing dengan kasus ko­rup­ si sa­ja. Bi­ar mereka yang men­je­las­kan sen­di­ri. De­ngan be­gi­tu, me­re­ka a­kan le­bih pa­ham.

Bagaimana kondisi guru di Indonesia?

Kalau bicara kondisi, kita akan bi­ca­ ra ku­a­li­tas dan kuantitas. Kalau ku­a­li­tas a­da banyak penelitian. Kita ambil con­toh World Bank. Mereka pernah me­ne­li­ti gu­ ru di dua belas negara di Asia. Ha­sil­nya, ­Indonesia berada di juru kunci. Da­ri ha­sil i­tu, kita bisa melihat bagaimana ku­a­li­tas gu­ru di Indonesia masih rendah. Kalau bicara kuantitas, ki­ta ma­sih cu­kup. UNESCO me­ne­tap­kan per­ban­ ding­an gu­ru 1:15-1:20, Indonesia ber­a­ da di 1:18. Melihat itu, secara ku­an­ti­tas ki­ta sudah terpenuhi. Yang men­ja­di ma­sa­lah da­lam hal penyebaran. Gu­ru ­Indonesia masih lebih suka di­tem­pat­kan di perkotaan dan sekolah unggulan.

Apakah belum ada solusi yang i­de­al da­ri pe­me­rin­tah untuk meningkatkan ku­a­li­tas gu­ru?

Ke­ma­rin sa­ya me­ne­mu­kan ka­wan yang su­dah men­jadi gu­ru se­la­ma 40 ta­hun. Te­ta­pi dia ba­ru se­ka­li meng­i­kuti pe­la­tih­ an, i­tu­pun men­je­lang dia pen­si­un. Ji­ka i­ngin menghasilkan gu­ru yang ba­gus, ya, ha­rus di­la­tih. Pe­la­ti­han­nya pun di­se­su­ ai­kan ke­bu­tuh­an guru. Ada pe­me­ta­an per­ma­sa­lah­an gu­ru yang kemudian di­a­tasi de­ngan pe­la­tih­an. Selain itu, ­Lembaga ­Pendidikan dan Tenaga ­Kependidikan (LPTK) juga harus dibenahi.

Apakah Lembaga Pendidikan dan ­Tenaga ­Kependidikan saat ini ma­sih be­lum cu­kup men­ cetak guru?

Benahi dari hulu ke hilir. Ta­pi me­nu­rut sa­ya, a­kan le­bih mu­dah be­nahi du­l u hu­l u­n ya. Da­l am hal ini LPTK. Ber­ta­hap, mu­lai da­ri LPTK sampai lulus. Ke­mu­di­an lu­lus­an­ nya ha­rus terus di­a­wasi dan di­be­ri pe­la­tih­an. Di Finlandia, ke­ti­ka mem­ be­n ahi pen­d i­d ik­a n­n ya, dimulai dari pa­brik gu­ru­nya dulu, baru lulusannya.

Pemerintah salah meng­am­bil lang­ kah un­tuk mem­be­nahi ku­a­li­tas gu­ru. Pe­me­rin­tah ma­lah me­nge­lu­ar­kan ke­bi­ jak­an tun­jang­an ser­ti­fi­ka­si dan meng­ gan­ti ku­ri­ku­lum. Tun­jang­an ser­ti­fik ­ a­si i­tu un­tuk me­ning­kat­kan ke­se­jah­te­ra­an gu­ru. Tunjangan ser­ti­fi­ka­si ti­dak bi­sa men­dong­krak ku­a­li­tas ka­re­na ku­a­li­tas ha­rus di­ba­ngun de­ngan sis­tem. Un­tuk ku­ri­ku­lum, ini juga so­lusi yang sa­lah. Pe­me­rin­tah di­ag­no­sa­nya sa­lah, se­hing­ga o­bat­nya juga salah. Me­re­ka ma­lah meng­ gan­ti ku­ri­ku­lum. Ya tidak nyam­bung. Se­ha­rus­nya yang dilakukan a­da­lah mem­ be­nahi ku­a­li­tas guru. Ka­lau gu­ru ber­ku­a­ li­tas, ku­ri­ku­lum a­pa­pun a­kan te­tap ja­lan. Tidak ada kurikulum saja te­tap bi­sa ja­lan ka­lau gu­ru­nya berkualitas. Se­ba­gus a­pa­ pun ku­ri­ku­lum, jika kualitas guru ti­dak ba­gus, akan sama saja.

Bagaimana dengan gerakan gu­r u di ­Indonesia?

Sistem yang dimaksud seperti apa?

Karena suara kita sebagai gu­ru ja­ rang di­de­ngar. Penentu kebijakan itu

Paling sederhana adalah pe­la­tih­an.

Sebenarnya sudah cukup ba­gus. Se­ka­rang or­gan­i­sa­si guru sudah ba­ nyak. Ti­dak lagi tung­gal se­per­ti za­man ­Orde Baru, hanya PGRI. Se­ka­rang a­da ­Federasi Serikat Guru Insonesia (FSGI), Federasi Guru Independen ­Indonesia (FGII), Ikatan Guru Indonesia (IGI), dan Persatuan Guru Swasta Indonesia (PGSI). FGII dan PGSI masih se­ring ber­su­a­ra. Mung­kin yang agak di­am i­tu IGI. Yang membedakan cara ge­rak­nya. Ka­lau FSGI lebih meng­u­ta­ma­kan da­ta. ­Kasus-kasus pen­di­dik­an di Indonesia ka­mi pu­nya da­tanya. Ja­di, a­las­an ka­mi un­tuk melawan kuat.

Kalau gerakan guru sudah baik, a­da ba­nyak or­gan­i­sa­si gu­r u, mengapa ku­al­i­tas gu­r u dan pendidikan masih rendah?


R E T N O L I S T YA RTI bi­ro­krat. Ka­dang ka­lau guru yang ber­ su­a­ra su­ka di­se­pe­le­kan. Ka­re­na gu­ru bu­kan pro­fe­sor, rek­tor, atau apalah. Pa­da­hal yang ta­hu masalah di la­pang­an a­da­ lah gu­ru.

Se­ha­rus­nya birokrat itu men­de­ngar a­pa yang kita amati di la­pang­an, la­lu di­a­ tasi de­ngan kebijakan yang ­sesuai di la­pang­an. Ti­dak a­kan ber­ub ­ ah ka­lau me­re­ka ti­dak mau men­de­ngar sa­ran da­ri gu­­ru. Mung­kin i­ni juga yang mem­bu­at ma­las gu­ru untuk bersuara ka­re­na su­dah a­da ang­gap­an bahwa suara me­re­ka ti­dak a­kan didengar.

Apa alasan Ibu dan kawan-kawan men­di­rikan FSGI? Karena organisasi lama sa­ya, PGRI su­dah ti­dak bi­sa di­ja­di­kan a­lat per­ju­ang­an. Ba­g i sa­y a, or­g an­ i­sa­si i­tu

a­lat per­ju­ang­an. Or­gan­i­sa­si gu­ru ju­ga wa­jib men­ja­lan­kan ke­wa­jib­an yang ter­ te­ra di ­Undang-undang Guru dan ­Dosen No­mor 14 tahun 2005. Di si­tu ada li­ma po­in, salah satunya wajib turut ser­ta me­ ma­ju­kan pendidikan nasional.

Berarti PGRI sudah tidak cu­kup se­ba­gai or­gan­i­sa­si guru?

Iya. Lagi pula dalam ­Undang-Undang ­Guru dan Dosen sudah ter­tu­lis­kan ka­lau or­gan­i­sa­si guru tidak lagi tung­gal. Gu­ru be­bas men­di­rikan or­gan­i­sa­si. I­tu me­nun­ juk­kan guru ju­ga be­bas me­mi­lih or­gan­ i­sa­si. Ya, se­per­ti apa yang sa­ya ka­ta­kan, or­gan­i­sa­si tunggal itu za­man­nya Or­de Ba­ru. Sekarang era sudah berubah.

Menurut Ibu, kelemahan dari gerakan PGRI apa?

PGRI sudah seperti “plat merah”. I­si­nya o­rang di­nas se­mua. Ada ketua te­ta­pi dia bu­kan gu­ru, ma­lah o­rang di­ nas. Di ber­b a­g ai da­e ­rah, ba­n yak ke­ pa­la di­nas yang men­ja­di ke­tua PGRI. Ka­l au ka­y ak gi­n i, siapa juga yang be­r a­n i pro­t es? I­n i jelas melanggar ­u ndang-undang. Ka­l au a­d a ke­b i­j ak­ an yang me­r u­g i­k an gu­r u dan siswa, kita harus me­la­wan. Ka­lau or­gan­i­sa­si tempat saya bernaung ti­dak be­ra­ni, ber­ar­ti tu­ju­an sa­ya de­ngan or­gan­i­sa­si ter­se­but sudah tidak sama.

Apa saja kasus pendidikan yang per­ nah di­ad­vo­kasi oleh FSGI?

ABI | EKS

PRESI

Kami menggugat Rintisan ­ ekolah ­Bertaraf International S (RSBI) di ­Mahkamah Konstitusi, dan kami me­nang. Ka­mi ju­ga me­ la­wan Ujian ­Nasional, la­lu di­me­ nang­kan di Mahkamah ­Agung. ­Pemerintahnya saja yang ban­ del ti­dak men­ja­lan­kan pu­tus­ an. FSGI juga per­nah meng­u­ rus ra­tus­an gu­ru yang ber­hak me­ne­ri­ma sertifikasi ke pe­me­ rin­tah pu­sat. Ter­ak­hir, ka­mi te­r us me­l a­w an Kurikulum 2013. Akhirnya, baru tang­gal 17 November sa­ya di­pang­gil ­Menteri Pendidikan Dasar dan Menegah, ­Anies ­Baswedan, untuk me­ma­par­kan ten­tang Ku­r i­k u­l um 2013. Hingga ak­hir­nya be­liau me­nya­dari bah­wa ku­ri­ku­lum i­ni ba­ru set­engah ma­tang dan ha­rus se­ge­ra di­hen­ti­kan.

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 63


Judul Buku: Perbudakan Seksual: Perbandingan Antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru

P

erbudakan seksual dalam bu­ku ­Anna Mariana ini me­ru­juk pa­da se­ga­la bentuk eks­plo­i­ta­si a­tas tu­buh pe­rem­pu­an yang ti­dak di­ da­sar­kan su­ka sa­ma su­ka dan men­da­pat se­di­kit pun im­bal­an da­lam ben­tuk ma­ te­ri. Bu­ku i­ni se­ca­ra be­ra­ni meng­ung­kap dan meng­a­nal­i­sis ber­ba­gai tindak ke­ke­ ras­an sek­su­al yang dilakukan di ba­wah re­zim fa­sis­me Jepang dan neo­fa­sis­me yang di­an ­ ut Orde Baru. Konsep kun­ ci da­ri ka­rak­ter­is­tik ke­dua re­zim fa­sis ter­se­but a­da­lah “politik pe­men­ja­ra­an” ter­ha­dap musuh negara. Di masa Jepang berdiri ber­ba­gai or­gan­i­sa­si untuk mengontrol wi­la­yah pen­ja­jah­an se­ca­ra halus dengan da­lih per­s i­ap­an ke­mer­d e­k a­a n. Nya­t a­n ya, or­gan­i­sa­si ben­tuk­an Jepang ter­se­but ha­nya­lah alat bagi pemerintah ­Jepang un­tuk me­mo­bi­li­sa­si dan me­ngen­da­li­ kan rakyat. Setelah kekuasaan Jepang di ­Indonesia ber­ak­hir, ter­nya­ta fa­sis tak meng­hi­lang dari Indonesia yang ke­mu­ di­an mun­cul pa­da ma­sa Orde Baru. Anna ber­pen­da­pat Orde Baru ber­si­fat neo­fa­ sis di­ka­re­na­kan ke­bi­jak­an po­li­tik yang di­mu­lai de­ngan pem­bas­mi­an go­long­an ki­ri, pembentukan Golongan Karya se­ba­ gai me­sin po­li­tik dan aksi-aksi ke­ke­ras­an yang ma­rak ter­ja­di selama Orde Baru. Perbandingan yang dilakukan o­leh Anna i­ni mem­per­li­hat­kan bahwa kua­sa dan fa­sis­me me­nun­juk­kan a­ro­ gan­si­nya ter­ha­dap war­ga negara. Ke­ dua­n ya ­s ama-sama me­n un­j uk­k an a­r o­g an­s i di bawah kendali mi­l i­t er, de­ngan me­nem­pat­kan se­mua u­rus­an ­sosio-kemasyarakatan, e­ko­no­mi po­li­tik, dan bu­da­ya di bawah ken­da­li mi­li­ter. Yang jelas, buku ini begitu be­ra­ni dan me­ru­pa­kan buku pertama yang me­la­ bel­kan fasisme bagi Orde Baru.

64 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

ISTIM DOK

Oleh Hesti Pratiwi Ambarwati

UMEN

Narasi Perempuan-Perempuan yang Ditundukkan

EWA

RESENSI

Pengarang Penerbit Tebal

: Anna Mariana : Marjin Kiri : xii + 180 halaman

Penekanan Sudut Pandang Korban

“Aku ini siapa? Dari awal per­ju­ ang­an su­dah men­ja­di ku­rir. Di zaman ­Jepang su­dah i­kut ber­ju­ang me­la­wan ten­ta­ra Jepang. Ikut juga da­lam per­ ju­ang­an ke­mer­de­ka­an. Dan ak­hir­nya ma­suk pen­ja­ra se­ba­gai kor­ban per­ti­kai­ an po­li­tik. Di­sik­sa, didera, dan di­paksa meng­a­ku apa yang dituduhkan re­zim fasis bangsa sendiri.” Dikutip dari buku ­P erempuan, Kebenaran, dan Penjara karya ­Sulami (1999), pengakuan di atas men­j a­d i gam­bar­an pen­du­kung apa yang i­ngin ­Anna sampaikan dalam bu­k u­n ya. Me­m o­r i pe­m en­j a­r a­a n, penyiksaan, hing­ga per­bu­dak­an seksual yang di­la­ ku­kan oleh pihak penguasa ter­ha­dap ­perempuan-perempuan ta­han­an po­li­ tik (tapol) 1965 di­mun­cul­kan kembali serta di­a ­nal­i­sis se­ca­ra mendalam. Para perempuan tapol 1965 a­da­ lah kor­ban a­danya politik sek­su­al yang di­lan­car­kan Orde Baru. “Per­bu­ru­an” ber­d a­l ih pe­n um­p as­a n di­l a­k u­k an ke ­perempuan-perempuan yang ter­li­bat pe­ris­ti­wa G30S. Mereka di­te­lan­jangi, di­p er­k o­s a ramai-ramai, dan di­s ik­s a se­ba­gai ben­tuk pe­ngu­a­sa­an. Mirisnya, pe­la­ku yang meng­eks­ploitasi para pe­ rem­p u­a n ter­s e­b ut di­b i­a r­k an hidup tan­p a a­d a tuntutan hukum oleh negara. Hal ter­s e­b ut mem­b uk­t i­k an bah­wa ne­ga­ra ter­li­bat dalam eks­plo­i­ tasi tu­buh pa­ra pe­rem­puan tertuduh itu. Serupa tapi tak sama. Apa yang di­a­lami pa­ra pe­rem­pu­an ekstapol ju­ga di­a­lami oleh ­perempuan-perempuan pa­da zaman penjajahan Jepang, yai­tu de­ngan a­da­nya praktik Jugun Ianfu a­t au pe­r em­p u­a n peng­h i­b ur un­t uk ten­t a­r a Jepang. Pada masa fa­s is­m e ­Jepang, militer menjadi ko­man­do ter­

Waktu Terbit: Februari, 2015

ting­gi da­lam pe­ne­tap­an se­ga­la ke­pu­ tus­an po­li­tik. Di­je­las­kan dalam Bab 2 buku ini, Jepang me­nge­rah­kan pe­rem­ pu­an men­ja­di bu­dak seks untuk para ten­ta­ra­nya yang ja­uh dari ke­lu­ar­ga. Praktik per­bu­dak­an sek­s u­al Jepang ini dibuktikan de­ngan di­ba­ngun­nya ianjo atau bordil. Meski diperkaya dengan ber­ba­gai da­ta dan fakta, bu­ku ini be­lum bi­sa men­ja­wab pe­nye­bab pe­rem­pu­an se­ la­lu men­ja­di kor­ban dan meng­a­lami tin­dak ke­ke­ras­an se­ca­ra fi­sik mau­pun psi­kis. Dalam buku ini seharusnya bi­ sa di­tam­bah­kan pen­je­las­an me­nge­nai kon­struk­si maskulinitas di bawah re­ zim fa­sis­me. Anna hanya memberikan pe­ne­kan­ an pa­da sudut pandang korban. Ham­ pir se­lu­ruh da­ta me­ru­pa­kan ke­sak­si­an me­re­ka yang diperbudak dan di­sik­sa. Se­la­ik­nya pem­baca a­kan ­bertanya-tanya, la­lu apa yang terjadi dengan pe­la­ku tin­dak ke­ke­ras­an? Mereka tak banyak di­se­but dan di­ha­dir­kan sebagai tokoh. Pa­da­hal, na­ra­si dari sudut pelaku juga pen­ting di­can­tum­kan sebagai usaha men­da­pat gam­bar­an me­nge­nai kon­di­ si ­sosio-kultural saat itu. Membaca buku ini mem­b u­a t e­mo­si ter­ku­ras. Perempuan di­ja­di­kan la­yak­nya barang yang di­per­la­ku­kan ­sewenang-wenang. Peristiwa Jugun Ianfu dan ­p erempuan-perempuan eks­tapol 1965 me­nya­dar­kan bah­wa ke­ke­ras­an ter­ha­dap pe­rem­pu­an be­gi­ tu mu­dah ter­ja­di. Bahkan, ne­ga­ra yang se­ha­rus­nya men­ja­di pe­lin­dung ma­lah ­terang-terangan meng­eks­plo­i­tasi tu­buh pe­rem­pu­an. Buku ini, de­ngan be­gi­tu ba­ nyak kisah dan a­nal­i­sis mem­ban­tu kita me­ma­hami ­penderitaan-penderitaan fi­sik pe­rem­pu­an Indonesia yang di­tun­ duk­kan.n


Menyibak Citra Kerudung

ulit sekali menemukan foto pe­rem­pu­an ber­ S ke­ru­dung pa­da dekade 70-an. Hing­ga se­bu­ah re­vo­lu­si pe­cah di Iran yang ter­nya­ta ber­pe­nga­ruh

pa­da ge­rak­an Islam di Indonesia: re­presi ter­ha­ dap peng­gu­na ke­ru­dung ber­ku­rang. Kini, be­gi­tu mu­dah pe­ma­kai ke­ru­dung di­te­mu­kan. Men­ja­ mur­nya pe­ma­kai­an ke­ru­dung o­leh ma­sya­ra­kat di­i­kuti de­ngan be­ra­gam mo­del dan merk. Dalam li­pat­an se­ja­rah, ka­in yang me­nu­tupi ke­pa­la me­ mi­li­ki ki­sah­nya sendiri. Mulai dari kisah spi­rit­ual hing­ga tren hinggap di dalamnya.


L A PORAN KHUSUS

A

lkitab mengisahkan, Abraham kha­w a­t ir de­ ngan ma­sa de­pan a­nak­ nya, ­Ishak. ­Abraham tak ingin jika Ishak me­n i­ kah de­ngan pe­rem­pu­an ­Kanaan, tempat tinggalnya ka­la i­tu. Ma­ka, di­su­ruh­nya abdi setianya ke Haran di ­Mesopotamia untuk mencari calon istri yang ba­ik un­tuk a­nak­nya. Pergilah abdi Abraham sambil mem­ba­wa ba­nyak un­ta dan ber­na­zar: siapapun pe­rem­pu­an yang mem­be­ri­kan air pertama kali, dialah yang co­cok men­ja­di istri ba­gi a­nak tuannya. Sesampainya di tempat tujuan, si abdi me­nung­gu de­kat su­mur di tengah padang. Bersamaan de­ngan i­tu ter­li­hat se­ke­lom­pok pengembala domba pe­rem­pu­an da­tang un­tuk memberi minum ternaknya. Se­o­rang da­ ri pe­nggem­ba­la perempuan, bernama Ribka. Ga­dis i­tu me­man­dang si abdi lalu menawari minuman. Me­li­hat ­Ribka, si abdi me­na­nya­kan asal-usul keluarga ­Ribka dan per­gi ke ru­mah Ribka untuk melamar atas na­ma tu­an­nya. Ke­lu­ar­ga Ribka bersedia me­ni­kah­kan Ribka dan Ishak setelah abdi Abraham memberi me­re­ka mas kawin. Maka, dibawalah Ribka ke Kanaan. Ketika Ribka dan abdi Abraham men­de­kati ta­nah Kanaan, hari sudah senja. Di saat yang sama ­Ishak

ber­ja­lan me­nu­ju padang dan dilihatnya rom­bong­an ­unta-unta mendekati daerahnya. Ribka melihat Ishak la­lu me­na­nya­kan kepada abdi Abraham: sia­pa­kah yang men­de­kati rombongan? Setelah me­nge­ta­hui dia a­da­ lah Ishak, ber­te­le­kung­lah ia. Kebiasaan ber­te­le­kung men­ja­di sa­lah satu kebiasaan yang di­la­ku­kan o­leh ma­sya­ra­kat saat itu. Masyarakat meng­i­den­ti­fi­ka­si­kan ke­ru­dung se­ba­gai kain penutup kepala yang ­digunakan ­perempuan. Biasanya menutupi leher, dada, dan ada pu­la yang menjuntai sampai bawah perut. Masyarakat Israel melanjutkan aturan ber­te­le­ kung un­tuk pe­rem­pu­an yang merdeka serta me­mi­ liki sta­tus so­si­al tinggi dan tidak memperkenankan bu­dak a­tau pe­la­cur mengunakan kerudung. Bah­ kan, sam­pai a­bad ke-15, para perempuan Yahudi di Eropa ma­s ih meng­g u­n a­k an­n ya di kehidupan sehari-hari. Kerudung menjadi lekat dengan ma­sya­ra­kat ke­ ki­ni­an, ter­u­ta­ma dalam konteks Indonesia. Peng­gu­na ke­ru­dung men­ja­di mayoritas dan lekat de­ngan ­Islam, pa­da­hal ti­dak se­la­lu ber­ka­it­an. Ji­ka di­ka­ji le­bih da­ lam, ke­ru­dung ada di ber­ba­gai kebudayaan di du­ nia. Di be­be­ra­pa negara Islam, pakaian se­je­nis jil­bab di­ke­nal de­ngan be­be­ra­pa istilah, seperti chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, dan hijab di be­be­ra­pa negara Arab-Afrika, seperti di Mesir, Sudan, dan Yaman.

KRONIK KERUDUNG

550–330 SM 13000 SM 3000-2000 SM Code Asyiria memuat aturan berkerudung di masyarakat. Saat itu dikenal sebagai hijb.

66 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

Warisan dari Code Asyiria dilanjutkan dengan Code Bilalama dan berlanjut di dalam Code Hammurabi di Mesopotamia.

Penggunaan kerudung di Rusia sudah ada dalam undangundang Achaemenid. Hal yang sama terjadi di Yunani. Diduga, kesadaran ini muncul karena adanya realitas peradabaan yang sudah lebih dulu ada seperti Asyiria, Mesopotamia, dan lainnya.


M E NY I BA K C I T R A K E RUD UNG

Terlepas dari istilah yang digunakan, se­be­nar­nya ke­ru­dung bukan hanya milik Islam. Dalam kitab Taurat, ki­tab su­ci a­ga­ma ­Yahudi, sudah dikenal be­be­ra­pa is­ ti­lah yang se­mak­na dengan kerudung, yaitu tiferet. Demikian pula dalam kitab Injil yang merupakan kitab suci agama Nasrani, Kristen, dan Katolik juga ditemukan istilah semakna. Misalnya, istilah zammah, realah, zaif, dan mitpahat.

Pro dan Kontra atas Kerudung

Perdebatan soal kerudung hadir dalam ber­ba­gai di­si­p lin, ba­ik agama, hak, mau­p un bu­d a­y a. Pe­l a­ rang­an dan per­a­tur­an me­wa­jib­kan ke­ru­dung ha­dir se­su­ai de­ngan la­tar belakang kondisi ma­sya­ra­kat. Di be­be­ra­pa ne­ga­ra yang mi­no­ri­tas muslim, ada la­ rang­an me­ma­kai ke­ru­dung a­tau­pun ca­dar di tem­pat u­mum. Be­be­ra­pa res­pons mem­ben­tur­kan wa­ca­na ter­s e­b ut se­b a­g ai pe­l ang­g ar­a n hak ber­e ks­p re­s i. Na­m un, a­da pu­la yang mendasarkan pe­l a­r ang­a n pa­d a a­las­an ke­a­manan, bukan Islamphobia. Di Indonesia, sebelum memasuki era 1990-an, ke­ru­dung be­lum di­ni­lai se­ba­gai ke­bia­sa­an ber­pa­ kai­an ma­sya­ra­kat. Menurut Dr. Alimah Qibtiyah, Di­r ek­t ur Pusat Studi Wanita Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, kerudung di UIN mu­l ai di­j a­d i­k an se­r a­g am pa­d a awal 90-an. Bah­k an, pe­m e­r in­t ah dan in­s ti­t u­s i pen­d i­d ik­a n men­c o­b a mem­f a­s i­l i­t asi pe­r em­p u­a n yang me­m a­k ai ke­r u­

dung de­n gan SK NO.52C th 1982. Pas­c a Orde Baru la­rang­an mengg­u­na­kan ke­ru­dung ber­ku­rang na­m un ti­dak hi­lang sama sekali. Con­toh­nya, la­ rang­an meng­gu­na­kan ke­ru­dung ba­gi po­li­si wa­ni­ta (polwan) ser­ta la­rang­an meng­gu­na­kan ke­ru­dung di Bali pernah menjadi topik ha­ngat di ma­s ya­ra­ kat. Na­mun, fenomena baru muncul. Pe­mak­sa­an ber­k e­r u­d ung mulai tumbuh melalui Peraturan Daerah Syari’ah (Perda Syari’ah) di Daerah Istimewa Nangroe Aceh Darussalam dan Kabupaten Agam. Warganya di­w a­j ib­k an meng­g u­n a­k an pa­ kai­an mus­lim pada Kamis dan Jumat. Di lain kesempatan, munculnya jilboobs ­menjadi hal baru. Pemakaian kerudung menjadi pe­nen­tu­an i­den­ti­tas ba­ru. Bu­kan ha­nya se­bagai bagian dari seks dan sek­su­al­itas na­mun juga ranah mo­ral­itas dan ru­ang pu­blik yang ada di ma­sya­ra­kat. Pun dengan is­ti­lah jil­baber dan hijaber. Ketika hijaber menjadi istilah yang paling di­te­ ri­ma ka­re­na ke­san fashionable yang me­le­kat, kre­ a­ti­vi­tas para pe­ran­cang bu­sa­na muncul. ­Indonesia pun me­rin­tis ja­di pusat tren busana muslim Asia. Ada ba­nyak produsen yang me­na­war­kan ­rupa-rupa mo­del ke­ru­dung de­ngan ca­ra me­nye­pon­so­ri a­ca­ra te­le­vi­si mau­pun yang menjawab selera pasar. Se­mua hal ta­di a­kan pem­ba­ca nik­ma­ti da­lam ru­brik i­ni. Se­ mua hal ten­tang ni­lai yang me­le­kat dalam se­lem­bar ka­in pe­nu­tup ke­pa­la.n

250 SM

1990-2000-an

Parthian yaitu kekaisaran kuno di Asia yang membuat aturan kerudung.

1982 M

224–651 M

1500 M

Sassanian atau Dinasti Sasanid telah mengatur tentang jilbab dan rangkaian permasalahan terkait.

Penganut Yahudi memperkenalkan kerudung sebagai bagian pakaian mereka di Eropa.

Di Indonesia, lahir SK NO.52C th 1982 dari Diknas untuk memfasilitasi masyarakat terkhusus perempuan untuk mengunakan kerudung.

Kerudung mulai banyak digunakan oleh perempuan di Indonesia.

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 67


L A PORAN KHUSUS

Ketika Kerudung Hidup dalam Masyarakat

Kerudung selalu dicitrakan sebagai bagian dari kebudayaan Islam atau bisa diluaskan sebagai kebudayaan Samawi. Nyatanya, kerudung dimiliki oleh kebudayaan lain. Oleh Joseph Sebastian Nazareno Silaen

K Pakaian memiliki alasan yang sangat geografis serta historis. Dewasa ini justru bertambah menjadi sangat geografis, historis, dan politis,” Wening Udasmoro.

erudung menjadi simbol yang lekat de­ngan ke­hi­dup­an pe­rem­pu­an. Ke­ru­dung bi­sa di­ka­ ta­kan pro­duk bu­da­ya yang me­mi­liki fung­si, ke­gu­na­an, ser­ta ni­lai so­si­al yang le­kat da­ri per­a­dab­an ma­nu­sia dunia. Di sa­tu si­si, ke­ru­dung di­pa­kai se­ba­gai pe­lin­dung ram­but dan wa­jah pe­rem­ pu­an. Na­mun, sisi lain kerudung me­mi­liki ni­lai so­si­al yang di­te­tap­kan oleh be­be­ra­pa ke­lom­pok ma­sya­ra­kat. Ke­ru­dung bu­kan hanya berbicara sebagai salah sa­tu ba­gi­an dari berpakaian masyarakat dunia. Beberapa hal ikut memengaruhi ma­sya­ra­kat un­tuk me­ngem­bang­kan pa­kai­an me­re­ka. Se­per­ti di dae­rah ti­mur te­ngah de­ngan ke­a­da­an a­lam yang eks­ trem, ber­pa­sir, ma­ka masyarakat men­cip­ta­kan ca­ra ber­pa­kai­an yang te­bal dan berlapis supaya me­lin­dungi tu­buh me­re­ka dari badai pasir di siang hari a­tau u­da­ra di­ngin pa­da ma­lam­nya. Dr. Wening Udasmoro, dosen Pascasarjana UGM mem­be­nar­kan bah­wa ke­a­da­an a­lam ikut memengaruhi cara ber­pa­kai­an ber­ba­gai ma­sya­rakat. “Pakaian memiliki alasan yang sa­ngat geo­gra­fis serta historis. Dewasa ini justru ber­tam­ bah men­jadi sangat geografis, historis, dan politis,” terang Wening.

Dimulai dari Mesopotamia

Di Semenanjung Arab masyarakat me­mi­liki a­tur­an ber­pa­kai­an yang cu­kup ke­tat. A­tur­an i­ni di­ la­tar­be­la­kangi o­leh ni­lai dan norma yang di­pe­gang te­guh ma­sya­ra­kat. Pada 30000 SM, ja­uh se­be­lum ke­bu­da­ya­an Sa­ma­wi ha­dir, ma­sya­ra­kat dae­rah be­ kas wi­la­yah ­Mesopotamia sudah me­mi­liki a­tur­an ber­pa­kai­an. Masyarakat Mesopotamia memiliki a­tur­an ber­ pa­kai­an un­tuk pe­rem­pu­an yang be­gi­tu kom­pleks. Pe­rem­pu­an me­ma­kai pe­nu­tup ke­pa­la yang pan­jang di­se­but Tiferet. Pe­nu­tup kepala ini tidak hanya me­ lin­dungi ke­pa­la a­tas si­nar matahari tapi juga ke­ti­ka a­da de­bu pa­sir yang terbang mereka bisa langsung me­na­rik ka­in pe­nu­tup ke­pa­la­nya un­tuk me­lin­dungi wa­jah­nya ju­ga. Hanya perempuan ber­sta­tus so­si­al ting­gi yang meng­gu­na­kan Tiferet. Perempuan ber­ sta­tus ren­dah, se­per­ti budak perempuan dan pe­la­cur, ti­dak diperbolehkan menggunakan kerudung. Penggunaan kerudung untuk pe­r em­p u­a n ­Mesopotamia ak­hir­nya dia­dop­si o­leh ma­sya­ra­kat

68 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

I­ srael dan ma­sya­ra­kat yang tinggal se­me­nan­jung Arab. Da­lam ma­sya­ra­kat Yahudi, kerudung su­dah di­ke­nal su­dah men­ja­di tra­di­si yang kuat dalam ma­ sya­ra­kat. ­Rabi Dr. Menachem M. Brayer, Profesor Literatur Injil di ­Universitas Yeshiva dalam buku The Jewish Woman in Rabbinic Literature me­nu­lis bah­ wa pa­kai­an ba­gi pe­rem­pu­an Yahudi saat be­per­gi­an ke luar ru­mah ha­rus me­nge­na­kan pe­nu­tup ke­pa­la. Ter­ka­dang, bah­kan, harus menutup hampir se­lu­ruh mu­ka dan ha­nya me­ning­gal­kan ma­ta. Aturan ini terus me­nu­run dalam masyarakat Yahudi. Dalam buku Sang Nabi dari Galilea kar­ya ­Jim Bishop di­je­las­kan bah­wa ma­sya­ra­kat ­Yahudi di ­Palestina, tepatnya daerah Nazaret, di ma­sa Isa ­Almasih atau Yesus hidup, me­me­gang te­guh a­tur­an dan ke­bia­sa­an yang ber­a­sal da­ri hukum rabi mau­ pun kitab Talmud yang diimani oleh kaum Yahudi setelah kitab Taurat. Dalam agama Kristen, melalui per­jan­ji­an ba­ru, pe­ma­kai­an ke­ru­dung ju­ga dianjurkan. Na­mun, ti­dak di­sya­ri­at­kan se­per­ti da­lam Talmud Yahudi. Ke­ba­ nyak­an ge­re­ja or­to­doks me­naf­sir­kan bah­wa ke­ru­ dung ha­rus di­les­ta­ri­kan pe­rem­puan saat beribadah se­per­ti a­jar­an Rasul Paulus. Gereja modern Katolik dan ­Protestan menekankan bahwa kerudung harus di­li­hat da­lam kon­teks Paulus yang masih sangat ter­ pe­nga­ruh tra­di­si Yahudi zaman itu. Makna ke­ru­dung di Kristen bergeser dari yang artinya ‘tabir’ men­ja­di pe­nu­tup aurat perempuan pada abad ke-4. Dalam ajaran Katolik, pe­rem­pu­an yang meng­ ab­di­kan di­ri ke­pa­da Yesus dan me­mu­tus­kan un­tuk men­ja­di bia­ra­wa­ti diwajibkan mengenakan ke­ru­dung. U­mum­nya, mereka mengenakan ke­ru­dung se­pan­jang ba­hu yang di­i­kat di tengkuk dan di­pa­du­kan de­ngan ba­ju terusan sebawah lutut. Na­mun peng­gu­na­an ke­ ru­dung un­tuk biarawati memiliki cara yang ber­be­da an­ta­ra sa­tu ordo dengan lainya. Se­ba­gai con­toh, Ordo Karmelit yang mewajibkan peng­gu­na­an ke­ru­dung ber­war­na hi­tam a­tau co­klat tua dengan pe­ma­kai­an dua la­pis ka­in. Di bagian da­lam ber­war­na pu­tih ser­ta le­bih pan­jang dari ordo lain. Pun dengan ting­kat­an pa­ra bia­ra­wa­ti. Warna putih bisanya di­gu­na­kan o­leh bia­ra­wa­ti baru dan biarawati senior me­nge­na­kan war­na yang lebih gelap, seperti biru tua, ter­gan­tung or­donya.


M E NY I BA K C I T R A K E RUD UNG

Dalam mitologi Persia kuno, ke­ru­dung bah­kan di­ang­gap se­ba­gai ke­mah men­stru­asi, yaitu tem­pat peng­a­sing­an un­tuk pe­rem­pu­an yang se­dang men­ stru­asi. Ke­ti­ka pe­rem­puan sedang meng­a­lami men­ stru­asi, me­re­ka dimasukkan ke dalam ­kamp-kamp dan diharuskan mengenakan kerudung. Tapi, kalau diperhatikan ke­ru­dung pun ada di ­Eropa. Pakaian tradisional perempuan ­Norwegia, ­Rusia, ­Belanda, dan ­Italia mengenakan tutup ke­pa­la da­ri ka­in per­se­gi yang ke­mu­di­an di­li­pat men­ja­di se­gi­ti­ga dan bi­a­sa­nya di­i­kat di da­gu atau teng­kuk. Ber­ke­ru­dung de­ngan cara demikian mudah di­te­ mui di Eropa tahun 1960. Agata Kulesza, pemeran Wanda da­lam film Ida, se­ring­ka­li me­nge­na­kan ke­ ru­dung ke­ti­ka di lu­ar ru­ang­an. Pun dengan Ratu Elizabeth II yang su­ka mengenakan kerudung jenis babushka.

Berbeda namun Sarat akan Makna

Di beberapa negara Islam, pakaian se­je­nis jil­ bab di­ke­nal de­ngan be­be­ra­pa is­tilah. Chador di Iran, pardeh di India dan Pakistan, milayat di Libya, abaya di Irak, charshaf di Turki, dan hijab di be­be­ra­pa ne­ga­ ra ­Arab-Afrika, seperti di Mesir, Sudan, dan ­Yaman. Ter­le­pas da­ri istilah yang digunakan, se­be­nar­nya kon­sep hijab bukan hanya milik Islam. Da­lam ki­tab Taurat su­dah di­ke­nal be­be­ra­pa is­ti­lah yang se­mak­ na de­ngan hijab, tiferet. De­mi­ki­an pu­la da­lam ki­tab Injil juga ditemukan istilah semakna, yaitu zammah, realah, zaif, dan mitpahat. Nasaruddin Umar dalam Kompas, 25 November 2002 mengutip Eipstein. Hijab sudah dikenal se­be­

lum a­danya agama-agama Samawi. Bahkan, pa­kai­an yang me­nu­tupi ke­pa­la dan tubuh pe­rem­pu­an su­dah men­ja­di wacana dalam Code Bilalama (3.000SM), Code Hammurabi (2.000SM), dan Code Asyiria (1.500 SM). Hal serupa juga dilakukan dalam tra­di­si ­orang-orang ­India yang se­ba­gi­an be­sar peng­a­nut ­Hindu. Pakaian yang panjang sam­pai me­nyen­tuh ma­ta ka­ki de­ngan ke­ru­dung me­nu­tupi ke­pa­la a­da­lah pa­kai­an yang di­pa­ kai sehari-hari. Demikian ju­ga pa­kai­an orang-orang Eropa dan Amerika se­jak a­bad per­te­ngah­an. Pa­kai­an panjang yang anggun de­ngan pe­nu­tup ke­pa­la itu tidak hanya di­pa­kai o­leh ke­ra­bat ke­ra­ja­an dan ka­um bor­ju­is na­mun juga di­pa­kai o­leh rakyat kebanyakan. Bahkan gaya fe­syen e­ra i­ni te­lah meng­ins­pi­ra­si para perancang bu­sa­na sa­at i­ni un­tuk di­pa­kai pada acara-acara formal se­per­ti per­ni­kah­an. Faktanya, sejak dahulu sampai saat ini ke­ru­dung tidak hanya menjadi bagian dari di­na­mi­ka per­a­dab­ an. Ke­ru­dung telah menjadi simbol ke­ba­ik­an dan ke­ta­at­an ter­ha­dap se­bu­ah ke­ya­kin­an. Ham­pir se­mua a­ga­ma meng­gu­na­kan dan meng­hor­ma­ti­nya se­ba­gai sim­bol pa­kai­an yang agung, mes­ki ti­dak se­mua me­ne­ tap­kan­nya se­ba­gai kewajiban. Fakta ini mem­be­ri­kan pe­la­jar­an bagi kita bahwa jilbab ti­dak se­la­yak­nya di­ang­gap se­ba­gai problem, apalagi di­per­sep­si­kan men­ja­di bagian dari kekerasan. Ke­ru­dung bu­kan hanya ber­bi­ca­ra pa­kai­an yang di­li­hat secara geokultural ataupun geografis. Na­mun, per­kem­bang­an ke­ru­dung di ma­sya­ra­kat pada ak­hir­ nya me­mi­liki nilai historis serta politis. Laporan oleh Janti

DOKUMEN ISTIMEWA

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 69


L A PORAN KHUSUS

Pemahaman dan Praktik Jilbab di Masyarakat Oleh Dr. Inayah Rohmaniyah, M. Hum, M. A.

J

JANTI | EKSPRESI

ilbab, kerudung, maupun hijab dalam ta­tar­ an kon­sep­tu­al se­ba­gai wa­ca­na dan fe­no­me­na yang di­praktik­kan di ma­sya­ra­kat ten­tu­nya me­na­rik un­tuk di­per­bin­cang­kan, ba­ik da­lam fo­rum dis­ku­si a­ka­de­mik mau­pun ke­a­ga­ma­an. Ke­ ber­a­ga­man pe­ma­ham­an, mo­del, dan praktik jil­bab se­pan­jang se­ja­rah men­ja­di te­ma yang me­na­rik un­tuk di­te­li­ti. Se­la­in i­tu, be­ra­gam mak­na dan sim­bol yang me­le­kat pa­da jil­bab ju­ga tak ka­lah se­ru un­tuk di­ka­ ji. Da­ri perspektif sejarah, jilbab memberi i­lus­tra­si ten­tang per­kem­bang­an sebuah masyarakat, ter­u­ta­ma pan­dang­an dan kon­struk­si ten­tang pe­rem­pu­an dan pe­ma­ham­an keagamaannya. Konstruksi pemahaman tentang jil­bab dan praktik se­ca­ra lang­sung mau­pun tidak lang­sung meng­ gam­bar­kan per­kem­bang­an pemahaman ke­a­ga­ma­an dan bu­da­ya masyarakat yang dipengaruhi oleh as­pek so­si­al, bu­da­ya, ekonomi, ataupun politik. Ka­ji­an ten­ tang praktik dan pe­ma­ham­an kon­sep jil­bab da­pat ber­kon­tri­bu­si pa­da wa­ca­na a­ka­de­mik, khu­sus­nya stu­di pe­rem­pu­an dan gender. Fadwa el Guindi dalam Veil, Modesty, Privacy, and Resistance mengatakan bahwa kerudung se­ca­ra so­sio­lo­gis bu­kan ha­nya menjadi identitas so­si­al dan ke­a­ga­ma­an se­se­o­rang maupun kelompok. Kerudung ju­ga ber­fung­si se­ba­gai ba­ha­sa un­tuk me­nyam­pai­kan pe­san da­ri ber­ba­gai ma­sya­ra­kat yang telah meng­gu­ na­kan kerudung. Kerudung men­ja­di sim­bol men­da­sar yang ber­mak­na i­deo­log­is bagi umat Kristen, ukuran ke­sa­leh­an ba­gi pe­rem­pu­an Katolik dan Muslim, dan bah­kan men­ja­di sim­bol identitas dan alat re­sis­ten­si da­lam pergerakan Islam. Dalam perspektif feminis, rang­kai­an kerudung­ha­rem -budak-pemingitan-poligami dipandang men­ ja­di eks­presi a­tau bah­kan a­kar penindasan ter­ha­dap pe­rem­pu­an da­ri ma­sa ke ma­sa. Kerudung seolah me­ le­kat dan ter­ka­it dengan persoalan harem, per­bu­dak­an pe­rem­pu­an, pemingitan perempuan, dan po­li­ga­mi. Pen­dek kata, kerudung identik dengan pe­nin­das­an dan dis­kri­mi­na­si. Feminis barat men­do­mi­na­si wa­ ca­na jil­bab dan me­man­dang­nya sebagai gambaran bu­da­ya pa­tri­ar­kut, ke­ter­ting­gal­an, sub­or­di­na­si, dan pe­nin­das­an terhadap perempuan. Kerudung yang menutupi kepala, leher, dan ­kadang-kadang da­da, atau bahkan ke­ru­dung be­sar

70 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

yang me­nu­tupi se­pa­ruh tu­buh pe­rem­pu­an me­ru­pa­kan fe­no­me­na yang relatif baru di Indonesia. Hing­ga ta­ hun 1970-an, ke­ru­dung belum populer di ­Indonesia. Di Ja­wa pe­rem­pu­an ­kadang-kadang meng­gu­na­kan ka­in pan­jang trans­pa­ran dan tipis yang di­ke­na­kan di ke­pala atau sekadar digantung di leher. Pada 1980-an pengaruh gerakan Islam dari Timur ­Tengah mulai terlihat. Sejak periode i­ni­lah is­ti­lah jil­bab mu­lai di­kenal dan di­ke­na­kan. Jilbab de­ngan ben­tuk ba­ru me­nan­dai ben­tuk pe­ma­ham­an ba­ru ten­ tang sim­bol dan identitas perempuan Muslim. Nancy J. Smith Hefner dalam artikel ber­ju­dul ­“Javanese Women and the Veil in Post-Soeharto ­Indonesia” me­nga­ta­kan bah­wa jil­bab bi­sa di­ka­ta­ kan se­ba­gai ke­bang­kit­an sim­bol dan praktik Islam mes­ki mak­na dan mo­ti­va­si­nya menjadi kom­pleks, be­ra­gam, dan penuh perdebatan. Pada 1979 revolusi Iran memperkuat se­ma­ngat pa­ra ak­tivis untuk bangkit menunjukkan i­den­ti­tas me­re­ka. Uniknya, masa Pemerintahan ­Soeharto (1966-1998) meng­ha­rus­kan se­mua par­tai po­li­tik a­tau or­ga­ni­sa­si so­si­al un­tuk meng­a­kui Pancasila sebagai ­satu-satunya da­sar lem­ba­ga dan me­la­rang peng­gu­na­ an simbol-simbol Islam. Hal itu di­tu­lis­kan o­leh M ­ artin Van Bruinessen dalam artikel “­Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Suharto ­Indonesia”. Jil­bab me­ru­ pa­kan sa­lah sa­tu sim­bol nya­ta dari pe­nen­tang­an dan pe­ne­gas­an identitas. Pada 1982 pe­me­rin­tah me­la­lui Departemen Pendidikan dan Ke­bu­da­ya­an me­nge­lu­ ar­kan Surat Keputusan (SK) 052/C/Kep/D/82 yang meng­a­tur ben­tuk dan peng­gu­na­an se­ra­gam se­ko­lah di se­ko­lah ne­ge­ri yang se­ca­ra ti­dak lang­sung me­la­ rang pemakaian jilbab. Tindakan represif Orde Baru dipandang o­leh be­be­ra­pa peng­a­mat justru mendorong ke­po­pu­ler­ an jil­bab. Pe­la­rang­an ini mengundang simpati ma­ sya­ra­kat dan ak­hir­nya menempatkan jilbab se­ba­gai sa­lah satu simbol perlawanan terhadap rezim. Jil­bab pa­da ma­sa tersebut dimaknai sebagai sim­bol ak­si po­li­tik identitas. Fenomena jilbab pasca-Orde Baru men­ja­di se­ ma­kin kom­pleks. Ji­ka ma­sa Soeharto terjadi pe­la­ rang­an Jil­bab, yang terjadi pada masa ini a­da­lah fe­no­me­na pe­mak­sa­an a­tau me­wa­jib­kan pe­ma­kai­ an jil­bab. Se­i­ring de­ngan di­te­rap­kannya Peraturan Daerah Syari’ah (Per­da Sya­ri’ah) di beberapa daerah, para sis­wa di se­ko­lah ne­ge­ri, bahkan non-Muslim, diwajibkan un­tuk me­ma­kai jilbab. Selain itu, dikenal juga istilah jil­bab ga­ul yang se­ring­ka­li di­mak­sud­kan dengan berjilbab (ber­ke­ ru­dung) ta­pi me­nge­na­kan ce­lana blue jeans dan kaus ketat. Jilbab hingga saat ini seolah men­ja­di i­den­ti­tas ko­lek­tif yang ti­dak da­pat ditawar lagi. Ke­sa­leh­an se­o­rang pe­rem­pu­an se­ring­ka­li diukur dari jilbab yang me­nu­tup ke­pa­la­nya. Meski demikian, dalam ranah kon­sep­tu­al, di­a­kui ataupun tidak, secara normatif ter­d a­p at per­b e­d a­a n pemahaman dan konsep jilbab.n


M E NY I BA K C I T R A K E RUD UNG

Fashionable Tak Asal Nyaman Memutuskan untuk mengenakan kerudung tak lantas menjadikan pemakainya terbatas dalam bergaya. Namun, gaya juga tak asal gaya. Kenyamanan harus tetap dipertimbangkan. Oleh Siti Khanifah Hal ini di­se­pa­kati oleh Novita, ia meng­a­ku da­ lam ber­ke­ru­dung bi­a­sa­nya dia se­su­ai­kan den­gan ben­tuk mu­ka. “Aku kalau pakai ke­ru­dung bi­a­sa­nya ­diputar-putar bi­a­sa. Gi­ma­na co­cok­nya sa­ja. Pas co­ba me­ni­ru ga­ya ke­ru­dung o­rang la­in yang me­nu­rut­ku ba­gus, ternyata ketika dicoba pakai tidak bagus. Ku­ rang co­cok sa­ma ben­tuk mu­ka­ku.”

Nyaman itu Kuncinya

Ingin tampil fashionable tidak boleh me­lu­pa­kan ke­nya­man­an. Hal ini di­tu­tur­kan oleh ­Baiq ­Nirmala ­Dwijasista, ma­ha­sis­wa Teknik Busana UNY yang da­ lam ke­se­ha­ri­an­nya me­nge­na­kan ke­ru­dung. Me­nu­rut­ nya, bu­sa­na se­ba­gus a­pa­pun ji­ka pe­ma­kai­nya ti­dak me­ra­sa nya­man, tidak akan terlihat bagus. Sista, pangilan akrab Baiq Nirmala, me­nam­bah­ kan a­gar te­tap fashionable dia ti­dak a­sal meng­i­kut­i tren yang se­dang ber­kem­bang ta­pi di­se­su­ai­kan de­ngan ke­pri­ba­di­an dan ju­ga ak­ti­vi­tas­nya. Mi­sal­nya, sa­at di­ wa­wan­ca­rai se­pu­lang ku­li­ah ia me­nge­na­kan se­tel­an ce­lana de­nim war­na bi­ru tua dan blus denim war­na bi­ru mu­da la­lu di­pa­du­kan de­ngan gaya ke­ru­dung yang cu­kup se­der­hana ber­mo­tif bu­nga de­ngan kom­ bi­na­si war­na me­rah mu­da dan bi­ru tua. “Pi­lih yang sim­pel se­su­ai ga­ya­ku. Bi­a­sa­nya suka ­warna-warna yang pas­tel, ka­in ti­dak li­cin, dan a­dem a­gar nya­man di­pa­kai,” ung­kap­nya. Se­pa­ham de­ngan Sista, ­Enny me­nu­tur­kan bah­wa da­lam me­mi­lih ke­ru­dung ha­rus di­se­su­ai­kan de­ngan cu­a­ca a­gar ke­ru­dung nya­man di­pa­kai. Un­tuk di dae­rah tro­pis se­per­ti ­Indonesia ini bi­sa di­pi­lih ba­han yang da­pat me­nye­rap ke­ri­ngat, mi­sal­nya ka­tun. Ditambahkan Enny, selain faktor ke­nya­man­an, yang ha­rus di­per­tim­bang­kan da­lam me­mi­lih ke­ru­ dung a­da­lah ke­se­ra­si­an. Keserasian yang di­mak­sud a­da­lah se­ra­si de­ngan bu­sa­na yang se­dang di­pa­kai. Bi­sa di­se­ra­si­kan de­ngan tas, baju, a­tau­pun se­pa­tu yang se­dang di­ke­na­kan. Hal ini juga di­a­mini o­leh Novita. Sa­at me­ma­kai ke­ru­ dung ia meng­a­ku se­la­lu me­mi­lih yang se­ra­si de­ngan se­pa­tu a­tau­pun tas yang di­pa­kai. “A­ku pa­kai ke­ru­dung su­pa­ya ter­li­hat le­bih ­fashionable. Bia­sa­nya pi­lih ke­ru­dung de­ ngan war­na yang se­na­da de­ngan tas dan sepatu yang di­pa­kai. Per­cu­ma ke­ru­ dung su­dah oke, tapi ti­dak se­ra­si de­ngan ba­ju yang di­ pa­kai. Ma­lah ke­li­hat­an a­neh dan no­rak,” ujarnya. HANIF | EKSPRESI

K

erudung model hoodie, turban, atau pash­ mi­na yang ­dipadupadankan de­ngan rok ber­ba­han ka­in si­fon, a­tau kar­di­gan pan­jang me­ru­pa­kan ga­ya bu­sa­na yang se­dang ba­nyak di­gu­na­kan sa­at i­ni. Ba­nyak­nya ga­ya ber­ke­ru­dung yang da­pat di­gu­na­kan da­lam ber­ba­gai ke­sem­pat­an mem­buat per­nya­ta­an, “Sa­ya ta­kut ti­dak ­fashionable ji­ka ber­ke­ru­dung,” su­dah tak la­ku la­gi. “Se­ka­rang o­rang pa­kai ke­ru­dung ti­dak per­lu kha­wa­tir ja­di ti­dak ­fashionable ka­re­na sa­at i­ni ke­ru­dung su­dah ba­nyak va­ri­an dan da­pat di­ke­na­kan da­lam ber­ba­gai ga­ya,” ung­kap ­Novita Bachtiar, mahasiswa ­Jurusan Teknik Busana Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Enny Zuhni Khayati, M.Kes, pe­ngamat fe­syen se­ka­li­gus do­sen ­Program Studi Pendidikan Teknik Busana UNY men­je­las­kan bah­wa per­kem­bang­an fe­ syen di ­Indonesia sa­ngat pe­sat, khu­sus­nya un­tuk bu­sa­na mus­lim. Bah­kan, ­Indonesia men­ja­di ki­blat mo­de bu­sa­na mus­lim di Asia. “De­ngan se­ma­kin pe­ sat­nya per­kem­bang­an mo­de busana mus­lim, tren ke­ru­dung o­to­ma­tis ju­ga me­mi­liki per­kem­bang­an yang sa­ma ka­rena ke­ru­dung me­ru­pa­kan ba­gi­an dari bu­ sa­na mus­lim,” tambahnya. Dijelaskan pula oleh Enny, bah­wa pe­ma­kai ke­ ru­dung tak per­lu ta­kut ja­di ter­li­hat ku­no se­bab ke­ ru­dung su­dah ba­nyak ra­gam­nya dan ham­pir se­ti­ap ha­ri mun­cul je­nis kre­a­si ke­ru­dung ba­ru. “Ke­ru­dung bi­sa de­ngan be­bas di­kre­a­si­kan se­su­ai se­le­ra. A­pa­la­gi za­man se­ka­rang, o­rang de­ngan mu­dah bi­sa meng­ak­ses in­ter­net. Ba­nyak peng­gu­na in­ter­net yang meng­ung­ gah tu­to­ri­al ber­ke­ru­dung ke medsos (media sosial, red.) baik Youtube, Instagram dll. Se­mua o­rang bi­sa de­ngan mu­dah meng­ak­ses­nya. Bah­kan tak ja­rang di ma­ja­lah fe­syen ju­ga disertai beragam in­for­ma­si me­nge­nai ga­ya berkerudung lengkap dengan tu­to­ri­al ca­ra ber­ke­ru­dung,” ungkap Enny pan­jang. Menurut Enny, agar terlihat fashionable ti­dak per­lu se­la­lu meng­i­kut­i tren yang ada tapi ha­rus di­se­ su­ai­kan de­ngan ke­sem­pat­an dan ju­ga ke­gi­at­an yang se­dang di­la­ku­kan. “Ya, ka­lau un­tuk ke­se­ha­ri­an, ku­li­ah mi­sal­nya, pa­kai ga­ya ke­ru­dung yang sim­ple dan ti­dak meng­gang­gu ak­ti­vitas.” Se­la­in itu, Enny ju­ga men­je­ las­kan bah­wa un­tuk da­pat tam­pil fashionable pe­mi­ lih­an ga­ya ber­ke­ru­dung ha­rus di­se­su­ai­kan de­ngan ben­tuk mu­ka. “Se­ti­ap ga­ya ber­ke­ru­dung be­lum ten­tu co­cok un­tuk se­mua ben­tuk mu­ka. Mi­sal, ji­ka me­mi­ li­ki mu­ka le­bar bi­sa me­mi­lih ga­ya ber­ke­ru­dung yang mem­be­ri e­fek tir­us, ya­i­tu de­ngan ca­ra ti­dak me­na­rik ke­ru­dung ter­la­lu ke­be­la­kang,” tam­bah­nya.

Aku pakai kerudung supaya terlihat lebih fashionable” Novita Bachtiar.

Novita, mahasiswa berkerudung yang suka tampil trendi.

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 71


L A PORAN KHUSUS

Habis Pakai, Terbitlah Tren Artis sinetron dan publik figur di dunia hiburan jadi agen paling meng­un­tung­kan ba­gi pro­du­sen dalam menciptakan maupun menanggapi tren kerudung di pasaran. Oleh Akhmad Muawal Hasan

D

alam kesehariannya, Riana Asrifah bi­a­sa me­nge­na­kan kerudung segi empat, ka­os le­ ngan pan­jang, dan rok panjang. Pe­rem­pu­an ber­da­rah Sunda yang lahir di Jakarta ini tak per­nah ber­so­lek berlebihan ketika pergi ku­li­ah.“Ka­ lau ber­pa­kai­an buat di kampus lebih simple. Ka­lau pa­kai yang gla­mor ke kampus, malah jadi ba­han pem­bi­ca­ra­an,” katanya. Ia hanya berusaha menyesuaikan pa­kai­an de­ngan si­tu­as­ i lingkungannya. Berbeda de­ngan di da­lam kam­ pus, di luar ia le­bih berani untuk ­memadupadankan ba­ju­nya de­ngan mo­del kerudung yang lebih va­ri­a­tif. Mi­sal, ketika menghadiri seminar yang diadakan ­Lyra Virna atau Ustaz Ahmad Wijayanto, sa­lah sa­tu us­taz fa­vo­rit­nya, ketika ­jalan-jalan ke mal, atau meng­ha­ diri kondangan. Sejak berkuliah di Jurusan Pendidikan ­Sosiologi angkatan 2011, Riana rajin mengikuti tren mo­del ber­ke­ru­dung. Selain kesenangan pribadi, ke­gi­at­ an pe­mo­tret­an se­ba­gai mo­del pa­kai­an pe­rem­pu­an ber­ke­ru­dung juga menuntutnya untuk se­la­lu pa­ham per­kem­bang­an mode berkerudung. Untuk itu ia ra­jin meng­i­kut­i postingan tokoh idolanya di me­dia so­si­ al Instagram, seperti Umi Pipik, Lyra Virna, Zaskia Adya Mecca, dan Zaskia Sungkar. Gaya ber­ke­ru­dung yang di­ke­na­kan idolanya tersebut jadi re­fe­ren­si Riana ke­ti­ka ber­be­lan­ja. Menjadi model pakaian berkerudung di­la­ku­ kan ju­ga oleh Rohmatus Naini, mahasiswa ­Jurusan Bimbingan Konseling UNY. Meskipun fre­kuen­si

DOK. ISTIMEWA

72 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

pe­mo­tret­an­nya tak sesering Riana namun ia ju­ga meng­a­kui bahwa aktivitasnya me­mang me­mer­lu­ kan re­fe­ren­si yang lebih dibanding te­man la­in yang bukan model. Referensi Naini berasal dari tutorial yang ia ak­ses via si­tus ber­bagi video, Youtube, atau me­li­hat ka­ta­log di ­toko-toko baju muslimah. Hampir semua mo­del ke­ru­dung per­nah Naini coba. Sekarang ia sedang su­ka mo­del hi­jab Indah Nevertari, pemenang Rising Star RCTI, yang sekarang merupakan brand ambassador Zoya. “Dulu pertama kali aku meniru ­Ineke ­Koes ­Herawati. Yang kedua Dewi Sandra, sebab aku su­ka ­Wardah. Kadang juga pakai model Fatin. ­Zaskia Adya Mecca juga pernah. Aku ndak bisa niru a­tau be­li mo­del Dian Pelangi, mahal. Angel Lelga ju­ga ndak per­nah se­bab enggak nyaman,” ujar pe­rem­pu­an a­sal Sidoarjo ini.

Komodifikasi Produk dan Kelas-Kelas yang Terbentuk

“Fenomena tren model berkerudung ar­tis se­be­ tul­nya tak jauh berbeda dengan tren ba­rang la­in di pa­sar­an. Semuanya mengalami kon­di­si yang di­se­but ko­mo­di­fi­ka­si pro­duk, yaitu strategi agar su­a­tu pro­duk bi­sa laku dijual. Sederhananya, pro­du­sen men­cip­ta­ kan per­min­ta­an yang tinggi di pasar,” je­las ­Grendi Hendrastomo, M.M., M.A, ketika di­min­tai tang­gap­an ter­ka­it tren berkerudung. Menurut Grendy, dosen Jurusan ­Pendidikan Sosiologi UNY, komodifikasi produk ter­ha­dap ke­ ru­dung ter­ja­di ka­re­na permintaan kon­su­men yang


M E NY I BA K C I T R A K E RUD UNG

ting­gi. Hal ini bisa terjadi melalui dua ke­mung­kin­an. Pertama, produsen memang men­cip­ta­kan tren de­ ngan mem­ba­yar para artis atau publik figur un­tuk me­ma­kai satu model kerudung dalam si­ne­tron a­tau a­ca­ra te­le­vi­si yang mereka bintangi. Pro­du­sen ting­ gal me­nung­gu ke­la­tah­an ma­sya­ra­kat yang ter­ge­rak un­tuk mem­be­li­nya di pasar. Atau bisa lewat ja­lan se­ba­lik­nya. Produsen hanya menunggu ­kira-kira tren ke­ru­dung apa yang akan populer di ma­sya­rakat. Ji­ka ­tanda-tanda akan menjadi tren sudah nampak je­las, ba­ru pro­du­sen kemudian memproduksi ba­rang­nya da­lam jum­lah yang besar dan dilempar ke pasar. Dua kemungkinan tersebut akhirnya mem­ba­gi ­toko-toko kerudung pada kelasnya ­masing-masing, se­su­ai dengan segmen pelanggan yang se­ring ber­ be­lan­ja di toko tersebut. Kondisi ini nyata ter­li­hat ji­ka mem­ban­ding­kan konsumen yang ber­be­lan­ja ke ­toko-toko ternama yang menjual kualitas pro­duk di Yogyakarta, semisal Carita, Pands, atau El-Zatta, de­ ngan ­toko-toko yang menjual ke­mu­rah­an har­ga­nya, se­per­ti Raja Murah atau Ababil. Leni Ermawati, Store Coordinator El-Zatta Cabang Yogyakarta, bersepakat jika toko bajunya dan ­toko-toko ba­ju yang se­je­nis memang di­per­un­ tuk­kan untuk kalangan kelas me­ne­ngah ke a­tas. “Ter­u­ta­ma un­tuk ibu-ibu, ya. Mereka beli juga un­ tuk di­ko­lek­si. Jadi, mahal pun tak masalah,” ka­ta ­Leni di ruang kerjanya. Sebagai salah satu pro­du­sen yang men­cip­ta­kan tren kerudung ­Indonesia sa­at ini, strategi yang diterapkan El-Zatta hampir sa­ma de­ ngan ­produsen-produsen besar lain, yaitu de­ngan me­ma­kai ar­tis sinetron atau tokoh ter­ke­nal se­ba­gai brand ambassador-nya. Saat ini brand ambassador hijab El-Zatta a­da­lah Marini Zumarnis dan Citra Kirana. Citra Kirana, se­ per­ti di­ke­ta­hui perannya sebagai Rumana di si­ne­tron Tukang Bubur Naik Haji, mendongkrak pen­ju­al­an produk El-Zatta hingga dua kali lipat. Para pe­ma­in Tukang Bubur Naik Haji lain yang me­ma­kai ­kerudung El-Zatta dari segala model juga menjadi agen yang amat menguntungkan bagi El-Zatta. Menurut Leni, tanpa ditawarkan pun pa­ra pe­ ngun­jung ­rata-rata sudah tahu model ke­ru­dung a­pa yang mereka cari. “Malamnya tayang di TV, be­sok­nya su­dah dicari. Alhamdulilah selalu ada ba­rang­nya (yang dicari pengunjung, red.),” tuturnya. Harga kerudung di El-Zatta memang ter­go­long le­bih ma­hal ke­tim­bang toko-toko ke­ru­dung “ping­ gir ja­lan”. Kualitas memang jadi yang di­u­ta­ma­kan. “­Barang-barang kami memang punya ci­ri khas sen­di­ri. Bahannya tidak ada di Indonesia. Jadi, kami im­por da­ri se­jum­lah ne­ga­ra seperti Turki dan ­Tiongkok. Ba­han i­ni lebih halus dan adem, selisihnya lebih ma­ hal be­be­ra­pa puluh ribu. Meski begitu orang te­tap beli,” tambah Leni. Kondisi di El-Zatta—dan gerai semacam Pands atau Carita—berbeda dengan di Raja Murah. Jika El-Zatta menciptakan tren, Raja Murah ha­nya me­ nang­gap­inya dengan menjual model ke­ru­dung yang

se­dang di­cari banyak orang, terutama ma­ha­sis­wa dan ibu-ibu. “Raja Murah menjadi is­ti­me­wa un­tuk ka­lang­an ma­na sa­ja, khususnya kelas menengah ke ba­wah, se­bab yang kami tawarkan harga yang mu­rah du­lu. Ba­ru ke­mu­di­an soal kualitas, model, dan se­ ba­gai­nya,” papar H. Albert Koto, pengelola PD. Raja Murah yang terletak di Pasar Beringharjo lantai 3. Raja Murah selalu bersaing dengan Ababil. Albert me­ni­lai pe­nye­bab Raja Murah masih lebih la­ris ke­ tim­bang Ababil adalah penataan ­barang-barang di ­Raja ­Murah le­bih rapi dan menarik. “Ya, kalau bu­kan da­ri se­gi pe­na­ta­an a­tau ca­ra kita melayani pe­ngun­ jung, a­pa la­gi yang jadi senjata kami? ­Barang-barang yang di­ju­al sebenarnya kan sama. ­Model-modelnya ju­ga,” terang pria yang pernah ber­pro­fe­si se­ba­gai war­ta­wan ini. Ketika ditanya mana yang lebih laris, ke­ru­dung ar­tis a­tau bukan, Albert memberikan ja­wab­an yang se­ru­pa se­per­ti jawaban Leni. “Tentu saja ke­ru­dung ar­tis yang sedang tren,” ungkapnya. Raja ­Murah me­ nye­dia­kan apa yang dicari konsumen. Mu­lai da­ri ke­ ru­dung model Hanna, model kerudung yang di­pa­kai Sandra Dewi di sinetron Catatan Hati Seorang Istri, sam­pai mo­del ke­ru­dung yang digunakan Fatin, Brand Ambassador Rabbani. Terkadang ada permintaan konsumen yang ti­ dak da­pat di­pe­nuhi Raja Murah karena ba­rang­nya be­lum a­da. Untuk itu Albert beserta 30 kar­ya­wan­nya tak bisa berbuat apa-apa. Stok tersebut ba­ru a­kan di­a­dakan di waktu-waktu setelahnya. “Seperti hukum permintaan dan pe­na­war­an se­ der­ha­na. Jika memang permintaan naik, kami akan se­ge­ra me­nye­di­a­kan­nya. Untuk itu saya sering ke ­Jakarta un­tuk meng­a­mati model kerudung yang se­ dang populer sebelum trennya tiba di sini (Yogyakarta, red.). Di Jakarta kan pusat dan per­pu­tar­an tren­nya me­mang cepat sekali,” katanya.

Malamnya tayang di TV, besoknya sudah dicari. Alhamdulilah selalu ada barangnya” Leni Ermawati.

Fashionable Dulu, Makan Pikir Nanti

Riana mengaku pernah sekali dua ber­be­lan­ja di ­ aja Murah, tepatnya pada ­semester-semester a­wal R ku­li­ah. Lambat laun ia mengamini Leni bahwa ku­a­ li­tas harus dinomorsatukan. Apalagi ia tak mung­kin me­ma­kai ­barang-barang berkualitas biasa un­tuk pe­ mo­tret­an. Baginya, harga mahalpun tak ma­sa­lah a­sal ba­rang­nya cocok di hati dan awet dipakai. Rata-rata dalam sebulan riana ber­be­lan­ja hing­ ga 4 ka­li. Total pengeluarannya bisa mencapai Rp700.000,00. Walaupun tekun mengikuti tren ke­ru­ dung ter­ba­ru, ia menolak disebut korban tren. Di sa­tu si­si ia meng­a­ku­i jika gaya hidupnya memang mem­bu­at pe­nge­lu­ar­an­nya lebih boros. Lebih konsumtif. “Mama dan teman-teman kadang protes, kok a­ku be­lan­ja terus? Aku kadang juga bisa khilaf, ka­lau su­ dah di to­ko baju. Kadang enggak mikir ke de­pan­nya ju­ga perlu makan. Kalau sudah begitu biasanya aku me­ne­le­pon Papa. ‘Pa, uangnya habis.’ Gitu, deh,” katanya sambil tertawa. Laporan oleh Janti

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 73


L A PORAN KHUSUS

Dari Jilbaber ke Hijaber ke Jilboobs

Beragamnya cara orang berkerudung dewasa ini ternyata dibarengi dengan kemunculan istilah jilbaber, hijaber, dan jilboobs yang diam-diam membuat determinasi benar-salah atau baik-buruk. Oleh Nur Janti

A Jadi ada usaha untuk meliyankan yang lain dari pemakaian kerudung ini,” Wening Udasmoro.

da berbagai macam kerudung yang se­ri­ng di­ pa­kai pa­ra perempuan belakangan ini, mu­lai yang di­sebut ke­ru­dung siap pakai, tur­ban, pas­mi­na, sampai yang paling populer a­da­lah ke­ru­dung se­gi em­pat. Beragam jenis, beragam pu­la ca­ra o­rang me­ma­kai, dan me­ma­du­pa­dan­kan ke­ru­dung de­ngan ba­ju yang digunakan mereka. Safitri ­Aulia ­Rahmah, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (FE UII) angkatan 2011 mi­sal­nya, ia le­bih se­nang me­nge­na­kan ke­ru­dung model pas­mi­na se­bab mu­dah di­ben­tuk. “Pasminanya habis di­kun­ci pa­kai ja­rum, di­pu­tar da­ri da­gu sampai ke sam­ping te­linga. Bi­a­sa­nya a­ku pa­kai be­gini. Kalau buatku, sih, yang je­las ha­rus me­nu­tupi da­da,” terang Safitri men­je­las­kan ca­ra­nya ber­ke­ru­dung. Lebih lanjut Safitri me­nga­ta­kan bah­wa ia lebih suka memadukan ke­ru­ dung­nya de­ngan pakaian yang longgar dan ter­tu­tup na­mun te­tap trendi, seperti kardigan panjang. Pengetahuan Safitri tentang serba-serbi ga­ya berke­ru­dung yang mu­lai po­pu­ler di ka­lang­an ma­ sya­ra­kat u­mum ini, ba­nyak ia da­pat­kan di ­Komunitas Hijaber Yogyakarta. Ke­si­buk­an ku­li­ah tak meng­ha­ lang­inya aktif dalam komunitas yang di­di­ri­kan oleh Dian Pelangi dan berpusat di Jakarta. Tak ha­nya ca­ra ber­ke­ru­dung, kadang ia ju­ga menemui teman sa­tu ko­mu­ni­tas­nya yang berjualan kerudung dan baju kurung. Lain halnya dengan Kharisma Ayu ­Alamiarti, mahasiswa Program Studi Bimbingan Konseling Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ang­kat­an 2011, yang lebih menggemari kerudung ber­uk ­ ur­an besar. Kharisma biasanya me­ma­kai ke­ru­dung si­ap pa­kai a­tau biasa disebut bergo ka­re­na lebih prak­tis ta­pi ter­ka­dang dia juga memakai ke­ru­dung se­gi em­pat dan ma­lah tak pernah me­ma­kai mo­del pas­mi­na. Ke­ ru­dung se­gi empat besar ber­be­da de­ngan ke­ru­dung segi empat yang sering di­jum­pai. ­Kharisma le­bih me­ mi­lih ke­rudung se­gi empat besar de­ngan lu­as 150cm2 sedangkan kerudung segi empat bi­a­sa me­mi­liki luas 115cm2. “Kalau aku memilih ke­ru­dung yang pan­jang­ nya sam­pai pergelangan tangan dan ka­lau da­ri be­la­ kang sam­pai ba­wah pan­tat,” te­rangnya. Kharisma yang ka­la i­tu me­ma­du­kan baju, rok, dan ke­ru­dung war­na u­ngu ber­ce­ri­ta bahwa dirinya lebih suka me­nge­na­kan

74 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

ga­mis. Ka­dang ia memasangkan warna hi­tam de­ngan me­rah atau warna senada dengan ­gelap-terang yang ber­be­da. Ia meng­a­ku caranya berkerudung me­ru­pa­kan ca­ra yang ia yakini syar’i. “Aku lebih suka yang be­sar se­bab ka­lau yang kecil dan baju pas badan me­nu­rut­ku be­lum cu­kup me­nu­tup au­rat,” terang Kharisma.

Istilah karena Beragam, Istilah untuk Identifikasi

Safitri dan Kharisma memiliki cara ber­ke­ru­dung yang ber­be­da. Dari beragamnya ca­ra ber­ke­ru­dung dan ber­pa­ka­ian sa­at ini kemudian mun­cul is­ti­lah yang mem­be­da­kan ca­ra berkerudung dan ber­pa­kai­an sa­tu o­rang dengan yang lainnya. A­da ti­ga is­ti­lah yang pa­ling mudah ditemui di ma­sya­ra­kat, yak­ni hi­jaber, jil­ba­ber, dan jil­boobs. Jika merunut asal ka­ta­nya, jil­bab ber­ar­ti pe­nu­tup au­rat sedangkan hijab ber­ar­ti pem­ba­tas. Jika akhirnya jilbab di­sa­ma­kan de­ngan hi­jab di­se­bab­kan karena keduanya me­mi­lik­i mak­na me­nu­tupi aurat atau membatasi aurat. “Se­ba­gai ka­ ta peng­gu­na­an­nya interchangable karena mak­sud­ nya ham­pir sa­ma. Malah hijab memiliki ke­san le­bih ter­tu­tup,” jelas Samsul Maarif peneliti da­ri ­Center for Religious and Cross-cultural Studies ­Universitas Gadjah Mada (CRCS UGM). Istilah jilbaber dilekatkan dengan pe­ma­kai ke­ru­ dung le­bar a­tau biasa disebut syar’i. Hi­ja­ber i­den­tik de­ngan pe­ma­kai ke­ru­dung yang tetap fashionable. Se­dang­kan yang ter­ak­hir adalah jilboobs, di­tu­ju­kan un­tuk pe­ma­kai kerudung yang me­ma­kai ba­ju ke­tat se­hing­ga bentuk payudaranya terlihat. Kemunculan beberapa istilah ini me­nu­rut Dr. ­Alimah Qibtiyah, Direktur Pusat Studi Perempuan di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga di­se­bab­kan ka­re­na mo­tif orang mengenakan ke­ru­ dung yang ­berbeda-beda sehingga me­mun­cul­kan be­ra­gam ca­ra berkerudung. “Ki­ta ha­rus me­li­hat ke­ ru­dung tak ha­nya sebagai fenomena agama ta­pi ju­ga bu­da­ya. Ada yang menggunakan ke­ru­dung ka­re­na a­las­an ke­a­ga­ma­an, tapi ada juga yang meng­i­kuti tren se­bab kini pemakai kerudung menjadi ma­yo­ri­tas. Co­ba ban­ding­kan ne­nek kita dulu, jarang yang pa­kai ke­ru­dung,” terangnya. Menambahi Alimah, Dr. Wening Udasmoro, dosen Pascasarjana UGM, me­ne­rangkan ­bahwa


M E NY I BA K C I T R A K E RUD UNG

­ ermula dari pe­ma­ham­an o­rang yang ber­be­da me­ b nge­nai ke­ru­dung, lantas cara me­nge­na­kan ke­ru­dung pun a­kan ber­be­da, dan akhirnya ­istilah-istilah mun­ cul un­tuk meng­i­den­ti­fi­kasi pemakai ke­ru­dung pa­da a­fi­li­asi i­deo­lo­gi ter­ten­tu. “Di Indonesia cara ber­ke­ ru­dung i­tu he­te­ro­gen. Orang punya latar be­la­kang yang ber­be­da da­lam ber­ke­ru­dung. Ada o­rang yang me­ma­kai is­ti­lah jilbab atau hijab. Kalau du­lu kan o­rang me­ma­kai is­tilah jil­bab saja kemudian mun­cul hi­jab, ke­mu­dian mun­cul la­gi jilboobs. Itu karena jil­bab i­tu sen­di­ri dimaknai orang dengan cara yang ber­be­da. Se­la­in itu ada juga identifikasi yang i­ngin di­le­kat­kan pa­da pe­rem­puan berkerudung, identitas-identitas yang meng­a­cu pada kelompok tertentu. Ja­di, se­la­ in ber­ko­re­la­si dengan situasi sosial yang he­te­ro­gen, a­las­an orang berkerudung juga ­macam-macam. Ca­ra ber­ke­ru­dung ju­ga mencerminkan afiliasi ke­lom­pok. Mi­sal­nya dia dari kelompok A yang me­nga­ta­kan bah­wa ber­ke­ru­dung yang benar a­da­lah yang be­sar. Ta­pi di ke­lom­pok lain bilang, yang pen­ting me­nu­tup ram­but, me­nu­tup kulit. Jadi, ter­gan­tung ju­ga a­fil­ i­asi i­de­o­lo­ gi­nya se­per­ti a­pa,” kata Wening. Safitri, misalnya, yang menerima label hi­ja­ber me­ le­kat pa­da di­ri­nya. Bahkan dia meng­ik ­ uti ko­mu­ni­tas yang meng­a­tas­na­ma­kan ke­lompoknya se­ba­gai hi­ja­ber. Hi­ja­ber memang menjadi istilah yang pa­ling bi­sa di­ te­ri­ma oleh para pemakai kerudung. Di­je­las­kan o­leh ­Wening penyebabnya karena hijaber di­ang­gap yang pa­ling mo­de­rat dan sesuai dengan konteks ­Indonesia di­ban­ding jil­bab­er yang dianggap kon­ser­va­tif a­tau­pun jil­boobs yang dianggap tak pan­tas. “Aku sih eng­gak ke­be­rat­an ka­lau di­bi­lang hi­jab­er karena me­nu­rut­ku se­but­an hi­jab­er itu, ya, untuk pe­rem­pu­an yang me­ ma­kai hi­jab. Tapi kalau dibilang jilboobs aku eng­gak mau,” jelas Safitri. Ia juga me­nye­pa­kati ka­lau is­ti­lah hi­jab­er identik dengan perempuan ber­ke­ru­dung yang tetap fashionable.

Pengliyanan dalam Jilboobs

Ba­nyak­nya ca­ra orang me­ma­du­pa­dan­kan ke­ ru­dung de­ngan pa­kai­an besar dan long­gar, tren­di, bah­kan pa­kai­an ke­tat telah me­mun­cul­kan is­ti­lah yang me­nge­lom­pok­kan orang yang mengunakan ke­ru­dung. Ti­dak ha­nya sam­pai di si­tu, de­ngan mu­dah­nya ak­ ses ke me­dia, orang makin mudah ber­ba­gi in­for­ma­si ten­tang ­wacana-wacana yang ber­kem­bang ter­ka­it cara berkerudung. Melihat ini, ­Samsul ­Maarif men­ je­las­kan ba­gai­ma­na media membuat wa­ca­na de­ngan me­nga­te­go­ri­kan cara perempuan ber­ke­ru­dung. Bu­kan ha­nya me­nga­te­go­ri­kan tapi juga me­le­kat­kan mak­na ma­na yang negatif, mana yang untuk tren­di, ma­na yang ikh­las. Sebab menurutnya ­persoalan-persoalan pri­vat sekarang menjadi ko­mo­ditas pu­blik de­ngan maraknya media sosial. “Fanpage jilboobs ini ketika sudah po­pu­ler di ma­sya­ra­kat kemudian menjadi istilah ne­ga­tif. MUI su­dah me­ne­ga­tif­kan bahkan meng­ha­ram­kan jilboobs. I­ni ke­mu­di­an me­mun­cul­kan wa­ca­na bahwa ada ca­ra ber­ke­ru­dung yang ne­gatif. Kita enggak bisa me­la­cak

si­a­pa yang me­mo­pu­ler­kan is­ti­lah jilboobs per­ta­ma ka­li. Ta­pi ketika hal ini sudah diketahui ma­sya­ra­kat, la­lu ada orang yang memang sudah sejak lama ber­pa­kai­an ke­tat lan­tas itu akan disebut jilboobs. Pa­da­hal yang se­per­ti itu sudah lama sekali. Dulu se­be­lum is­ti­lah jil­boobs populer orang biasa saja me­li­hat yang seperti itu,” jelas Samsul. Mendukung pernyataan panjang dari ­Samsul Maarif, Wening menganggap ke­ mun­cul­an jil­boobs se­ba­gai u­pa­ya peng­li­yan­an. Ben­tuk peng­li­yan­an­nya a­da­lah de­ ngan mem­be­ri­kan ste­reo­tip bah­w a je­n is is­t i­l ah ter­t en­t u me­ru­pa­kan cara ber­ke­ru­dung yang baik. “Ja­d i ada usaha untuk meliyankan yang la­i n da­r i pe­ma­ka­ian kerudung ini. Bahasa itu kan ada ra­sa­nya, to. Ya, itu memang satu bahasa tertentu yang di­p a­k ai un­t uk melabeli orang, tidak hanya se­ka­ dar pe­na­ma­an. Orang mungkin bisa tersinggung karna dalam ra­sa ba­ha­sa, jil­boobs itu ada inferioritas, jilboobs men­ja­ di pe­yo­ra­tif. Padahal dengan pemahaman tiap o­rang yang ber­b e­d a, kebebasan untuk berpendapat ju­g a ber­e ks­ pre­si yang makin besar, tiap orang me­m i­l iki ke­b e­n ar­a n yang mereka yakini sendiri. Se­ hing­ga di ma­sya­ra­kat ada arena kontestasi wa­ca­na, yak­ni ke­a­da­an wa­ca­na satu dan yang lainnya sa­ling ada dan ­benar-salah menjadi relatif,” terangnya sa­at di­te­mui di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM. Pelabelan jilboobs i­n i­l ah yang di­r a­s a­k an o­l eh ­Ajeng Narulita Kusumas Tuti, ma­ ha­sis­wa ­Pendidikan Biologi Internasional UNY ang­kat­ an 2013. De­ngan me­ma­du­ kan ke­ru­dung pas­mi­na dan ja­ket de­nim dia me­nge­luh­kan label jilboobs yang di­le­kat­ kan pa­da­nya, “A­ku dikatain jilboobs sama te­man se­ke­las­ ku. Te­man­ku tuh o­rang­nya ka­ku, konservatif. Cu­ma eng­gak se­nga­ ja nyenggol tangan saja dia malah lang­sung zi­kir­an. Aku enggak terima sebenarnya. A­ku eng­gak me­ra­sa jilboobs. Ya, aku ber­pa­kai­an ka­yak gi­ni, bi­as­ a. Tapi malah dipanggil jilboobs. Se­dih a­ku,” Ajeng bercerita.

JANTI | EKSPRESI

DOKumen ISTIMEWA

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 75


L A PORAN KHUSUS

Citra Baik Berkerudung

Berkerudung dinilai sebagai wujud perempuan yang baik sehingga cara ber­pa­kai­an men­ja­di cer­min da­lam ber­si­kap. Na­mun, apakah dengan meng­gu­na­kan ke­ru­dung me­ru­ pa­kan sya­rat untuk menilai karakter seseorang? Oleh Randy Arba Pahlevi

Perempuan yang baik hati atau tokoh protagonis itu yang berkerudung sedangkan yang jahat, antagonis, itu nggak berkerudung,” Wening Udasmoro.

H

al yang paling krusial ketika me­li­hat pe­ rem­pu­an ber­ke­ru­dung a­da­lah ba­ik na­mun bu­kan ber­ar­ti si­fat se­se­o­rang­nya ba­ik. Ter­ka­ dang pa­ra­dig­ma ma­sya­ra­kat me­nem­pat­kan tam­pil­an se­ba­gai to­lok u­kur se­ga­la­nya ter­le­bih pa­da ber­ke­ru­dung. Ma­sya­ra­kat cen­de­rung mem­per­o­leh first impression sehingga me­nga­bai­kan ­hal-hal lain. “Ci­tra bagi beberapa orang kan pen­ting. Pe­ne­ri­ma­an o­rang bisa ter­gan­tung pa­da pa­kai­an yang di­ke­na­ kan,” te­rang Grendi Hendrastomo, M.M., M.A., do­sen ­Jurusan Pendidikan Sosiologi UNY. Ma­yo­ri­tas, a­ga­ ma me­ru­pa­kan sa­lah sa­tu lan­das­an ma­nu­sia un­tuk me­nu­tup au­rat ter­le­bih ke­pa­da ka­um ha­wa. Con­toh, agama ­Islam meng­an­jur­kan pe­rem­pu­an un­tuk me­ nu­tup au­rat­nya, me­nu­rut Darby Jusbar Salim dalam Busana Muslim dan Permasalahannya. Menurut Shalahuddin Ahmad, ba­ik me­ru­pa­kan ka­ta si­fat yang re­la­tif dan diukur se­ca­ra sub­jek­tif. X da­pat ber­la­ku baik kepada Y. Namun, ti­dak me­nu­tup ke­mung­kin­an bi­sa men­ja­di jahat ter­ha­dap Z. La­lu, a­pa ni­lai u­kur untuk mengukur ke­ba­ik­an o­rang yang ber­ke­ru­dung? Shalahuddin menempatkan bahwa semua o­rang meng­klaim su­a­tu yang di­ni­lai ba­ik i­tu ma­sih ter­la­lu lu­as. A­las­an­nya a­da­lah peng­gu­na­an ka­ta ba­ik ha­nya me­nis­bi­kan re­la­tiv­itas subjek untuk kata atau is­ti­lah ba­ik ter­se­but. Menurut Abu Syuqqah dalam bu­ku­nya Tafsir Bi Al-Ra’yi: Upaya Panggilan Konsep Wanita dalam Al-Quran ada tiga penitikberatan ke­gu­na­an ke­ru­dung. Pertama, kerudung se­ba­gai pe­nu­tup au­rat ba­gi pe­rem­pu­an untuk melindungi da­ri fit­nah. Ke­dua, ke­ru­dung menjaga dan melindungi ke­su­ci­an, ke­hor­ mat­an, dan ke­mu­lia­an seorang perempuan. Ke­ti­ga, men­ja­ga i­den­ti­tas sebagai perempuan mus­lim­ah yang mem­be­da­kan dengan perempuan lain. Pe­ni­tik­be­rat­an yang ke­rap men­ja­di patokan utama pe­rem­pu­an, yak­ni de­ngan meng­ar­ti­kan istilah muslimah atau sho­leh, sho­leh se­ca­ra etimologi berarti bagus atau baik. Ajining raga saka busana me­ru­pa­kan sa­lah sa­ tu fal­sa­fah Jawa yang berarti kehormatan se­se­o­rang se­ring di­uk ­ ur ber­da­sar­kan busana yang di­ke­na­kan. Na­mun, falsafah tersebut menjadi senjata ba­gi ma­nu­ sia khu­sus­nya perempuan untuk me­mu­na­fik­kan di­ri mereka sendiri. Dikutip dari tulisan mi­lik ­Miqdad ­Husein yang membahas tentang ke­ru­dung de­ngan un­sur po­li­tik. Kerudung dijadikan se­ba­gai a­lat pen­ ci­tra­an ser­ta menarik simpati ma­sya­ra­kat un­tuk me­ ra­ih ke­du­duk­an politik. Ia pun menerangkan bah­wa

76 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

­ adang kala berkerudung hanya untuk me­ma­ni­pu­lasi k atau mengelola persepsi ma­sya­ra­kat. ­Miqdad juga berpendapat bahwa ke­ru­dung ha­nya ber­ke­du­duk­ an sebagai sebuah simbol. Ka­re­na ha­nya se­ba­tas sim­bol, tujuan memakainya ha­nya se­sa­at ke­mu­di­ an ­sewaktu-waktu dapat berubah. Pen­je­las­an i­ni pun di­be­nar­kan oleh Ajeng Narulita Kusumas Tuti, ma­ha­sis­wa ­Pendidikan Biologi Internasional UNY angkatan 2013. “Aku kadang kalau maju pre­sen­ta­si di ke­las se­nga­ja me­nge­na­kan ke­ru­dung yang le­bih pan­jang, me­nu­tupi da­da. Juga pakaian yang le­bih se­ der­hana. Bukan apa-apa, sih, supaya ke­li­hat­an le­bih bi­sa di­te­ri­ma sa­ja sa­ma teman-teman,” te­rang ­Ajeng yang ge­mar meng­ikuti gaya busana terkini.

Antara Gaya Berpakaian dan Agama

Terdapat sekitar 12,7% dari total muslim du­nia yang ber­di­am di ­Indonesia. Hal ini ber­ban­ding lu­rus dengan busana muslim yang di­ke­na­kan. Ma­sya­ra­kat Indonesia yang ma­yo­ri­tas­nya u­mat mus­lim meng­ang­ gap pe­rem­pu­an ba­ik a­da­lah yang ber­pe­nam­pil­an ba­ik, seperti memakai kerudung. “Ka­lau ki­ta per­ha­ti­kan televisi kita sekarang ini, di si­ne­tron­nya ter­u­ta­ma. Di sana, pe­rem­pu­an yang baik hati atau to­koh pro­ ta­go­nis itu yang berkerudung sedangkan yang ja­hat, an­ta­go­nis, itu nggak berkerudung,” ujar Dr. ­Wening Udasmoro, dosen Pascasarjana UGM. Dr. Alimah Qibtiyah, Direktur Pusat Studi Wanita (PSW) di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, ber­pen­da­pat bah­wa se­jak ta­hun 80an ke­ru­dung mem­be­ri ni­lai pa­da pe­rem­pu­an mus­lim ­Indonesia de­ngan ci­tra ba­ik dan sholeh. Dengan a­da­ nya ci­tra i­ni­lah, be­be­ra­pa orang yang ingin men­da­pat­ kan ci­tra ba­ik lan­tas mengenakan kerudung. “Ada yang me­na­rik da­ri pe­mi­lu kita. Hampir semua pe­rem­pu­an yang mau men­ca­lon­kan diri sebagai bupati ­tiba-tiba me­ma­kai ke­ru­dung. Karena apa? Kerudung se­ba­gai ba­yar­an po­li­tik. Supaya dapat citra baik, soleh,” terang Alimah saat ditemui di kantor PSW UIN. Dalam penjelasannya, Alimah juga me­nam­bah­ kan be­be­ra­pa con­toh ka­sus, se­perti ­Rina ­Iriani yang me­ma­kai ke­ru­dung se­ta­hun se­be­lum men­ca­lon­kan di­ri se­ba­gai bupati Karanganyar na­mun ak­hir­nya ter­ san­dung korupsi. Lebih lanjut, ­Alimah men­je­las­kan bahwa masyarakat berpikir pe­ma­kai ke­ru­dung a­da­lah orang baik dan orang baik ti­dak a­kan me­la­ku­kan ko­ rup­si. “Kasus Angelina Sondakh ke­mu­di­an ­Nunun. Itu memang ada ma­ni­pu­la­si da­lam ­selembar kain.


M E NY I BA K C I T R A K E RUD UNG

Menurut saya itu se­be­nar­nya ti­dak a­da hu­bung­an­nya ya antara pakaian dan akh­lak. Ja­di ka­lau pa­kai ke­ru­ dung dia tidak akan korupsi, dia men­ja­di pe­rem­pu­an yang soleh dan memang sangat mu­dah un­tuk men­ ju­al nama bukan? Pakai ke­ru­dung ma­ka ke­mu­di­an suaranya menjadi tinggi. Kemarin juga a­da ­statement menarik. Kenapa Fatin menang? Ka­re­na dia pakai kerudung,” ujar Alimah. Motif orang mengenakan kerudung me­mang tak ha­nya untuk menarik suara seperti yang di­la­ku­kan o­leh be­be­ra­pa tokoh yang ingin membangun citra ba­ik. ­Alimah juga me­nam­bah­kan kalau beberapa res­pon­den yang per­nah ia teliti mengenakan kerudung ka­re­na a­las­an ke­a­man­an. Mereka mengenakan ke­ru­dung ke­ ti­ka pu­lang la­rut ma­lam tapi dalam ke­se­ha­ri­an ti­dak me­nge­na­kan ke­ru­dung. “Teman-temanku ba­nyak yang ku­li­ah pa­kai ke­ru­dung. Tapi kalau di luar di­le­pas. Ke­ru­dung­nya, ya, modis. Dia bisa jadi contoh so­al ta­ di: ber­ke­ru­dung ha­nya untuk fesyen. Per­ka­ra sya­ri­at, ya, no­mor se­ki­an,” ujar Rohmatus Naini, ma­ha­sis­wa ­Program Studi Bimbingan Konseling UNY. Ketika modis sudah menjadi nilai dan tu­ju­an pe­rem­pu­an me­ma­kai kerudung, a­kan mun­cul be­ be­ra­pa ma­cam ke­ru­dung. Misalnya, ­Riana ­Asrifah, ma­ha­sis­wa Jurusan Pendidikan Sosiologi ang­kat­an ­2011, me­ne­gas­kan modis dengan ber­ke­ru­dung bu­kan la­gi hal yang mustahil. “Kalau soal ber­pa­kai­an a­ku mem­pri­o­ri­tas­kan menutup aurat. Tapi eng­gak mau ter­ke­san kuno. Maunya enak dipandang.” Hal tersebut diperkuat dengan teori ­Fadwa ­El Guindi dalam buku Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan. Ia me­nu­tur­kan per­ so­al­an me­nge­nai jil­bab sebagai identitas serta ke­ra­ ha­sia­an pribadi dari sisi ruang dan tubuh. Ka­re­na ber­si­fat ra­ha­sia dan merupakan pribadi, ke­ru­dung da­pat menjadi tujuan lain selain sebagai penutup aurat.

Kerudung sebagai Simbol

George Hebert Mead pionir teori interaksi sim­ bol­ik me­nya­ta­kan bah­wa o­rang bertindak ber­da­ sar­kan mak­na sim­bol yang mun­cul da­lam se­bu­ah si­tua­si. Sim­bol ke­mu­di­an membetuk esensi dari teori in­ter­ak­si sim­bol­ik. Simbolik yang dimaksud oleh Mead a­da­lah pe­nam­pil­an, yakni bagaimana penampilan o­r ang ber­p e­n ga­r uh ke­p a­d a orang lain. Ketika pe­nam­pil­an yang be­ru­pa ke­ru­dung mengandung unsur simbolik be­ru­pa i­sya­rat po­si­ tif yang akan mendatangkan res­pons da­ri o­rang lain terhadap pelaku. Pun ­simbol-simbol di­mak­nai se­cara ber­be­da tergantung pada si­tua­si so­si­al ma­sya­ra­kat­ nya. Di Indonesia, ke­ti­ka o­rang la­in me­nge­ta­hui simbol kerudung sebagai hal yang po­si­tif, ma­ka pemakainya pun akan di­ni­lai po­si­tif. Hal i­ni tentu berbeda jika situasi masyarakatnya a­sing de­ngan ke­ru­dung, alih-alih menjadi takut ka­re­na a­da­nya Islamophobia. Menurut Crawley pakaian adalah eks­pre­si yang pa­ling khas dalam tingkatan kehidupan sosial se­ hing­ga ke­ru­dung berubah menjadi sebuah ­eksistensi ­sosial dan individu komunitasnya. Hal ter­se­but me­mang ter­ja­di sesuai dengan penyataan Naini. ­Naini me­ma­par­kan bahwa kerudung yang dipakai un­tuk se­ti­ap ko­mu­ni­tas memang beda-beda se­su­ai de­ngan ke­se­pakat­an. “Memang beda. Pemakai ke­ ru­dung yang i­kut ko­mu­ni­tas hijab dan yang tidak. Mereka yang i­kut ko­mu­ni­tas sangat menaati dress code yang di­se­pa­kati. Mi­sal merah muda, maka semua ang­go­ta a­kan da­tang de­ngan baju dan hijab warna merah mu­da,” pa­par ­Naini. Dengan demikian, kerudung se­ca­ra ti­dak lang­sung dipengaruhi sisi lingkungannya se­hing­ga a­pa yang dinilai baik dan sama oleh suatu ke­se­pa­kat­an ma­ka a­kan dipahami baik oleh seluruhnya. Laporan oleh Awal dan Janti

REPRO SOFWAN | EKSPRESI

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 77


L A PORAN KHUSUS

Kerudung: Identitas Agama atau Kebaikan

Agama menyangkut hubungan antara diri masing-masing dengan Tuhan. Tidak bisa sa­tu pi­hak meng­a­tas­na­ma­kan a­ga­ma ter­ten­tu meng­a­tur pe­me­luk a­ga­ma lain me­lak­sa­na­kan ke­per­ca­ya­an­nya. Oleh Irfah Lihifdzi Ayatillah

D

Tak bisa suatu oknum yang mengatasnamakan agama tertentu melarang pemeluk agama lain melakukan sesuatu terkait dengan kepercayaannya” Grendi Hendrastomo.

alam beberapa tahun terakhir, te­lah ba­ nyak ka­sus dis­kri­mi­na­si a­tas peng­gu­na­an ke­ru­dung. Ka­sus i­ni me­mang ti­dak se­la­lu se­ru­pa te­ta­pi di­se­bab­kan hal yang sa­ma, ya­i­tu ke­ru­dung. Ka­sus yang pa­ling me­non­jol dan men­da­pat re­ak­si yang be­ra­gam da­ri ma­sya­ra­kat a­da­lah ka­sus po­li­si wa­ni­ta (polwan). Ka­sus ter­ba­ ru me­nge­nai dis­kri­mi­na­si ba­gi pol­wan peng­gu­na ke­ru­dung ter­ja­di di Pekanbaru, Riau. Kasus pelarangan kerudung secara res­mi di­ a­tur o­leh ­Polda Riau de­ngan me­nge­lu­ar­kan te­le­ gram ber­no­mor ST/68/1/2015 yang di­tan­da­ta­ngani Kepala Polda Riau, Brigadir Jenderal Polisi Dolly Hermawan, pada 19 Januari 2015. Da­lam te­le­gram ter­se­but di­se­but­kan bah­wa pol­wan ti­dak di­be­nar­kan me­nge­na­kan ke­ru­dung ka­re­na hal ter­se­but bu­kan me­ru­pa­kan ba­gi­an da­ri se­ra­gam res­mi dan be­lum a­da re­gu­la­si­nya. Hal ini bertolak be­la­kang de­ngan ka­sus yang ter­ja­di di Aceh, yang me­wa­jib­kan pol­wan me­nge­na­kan ke­rudung. Grendi Hendrastomo, M.M., M.A., dosen ­Jurusan Pendidikan Sosiologi UNY, me­nang­gapi ka­sus ke­po­ li­si­an i­ni se­ba­gai ba­gi­an dari usaha po­li­tik. ­Grendi ber­ang­gap­an bah­wa in­stan­si ter­ka­it ha­nya meng­i­ ngin­kan ci­tra ba­ik dari ma­sya­ra­kat de­ngan meng­i­ zin­kan ang­go­ta­nya me­nge­na­kan ke­ru­dung. “Me­re­ka i­ngin ja­di in­stan­si yang di­ci­tra­kan ba­ik dan ta­hu so­al per­ma­sa­lah­an se­pu­tar ke­ru­dung. Ci­tra bagi be­be­ ra­pa o­rang, kan, pen­ting. Pe­ne­ri­ma­an o­rang bi­sa ter­gan­tung pa­da pa­kai­an yang di­ke­nakan.” Kasus diskriminasi atas apa yang di­pa­kai a­pa­ rat ne­ga­ra a­kan te­rus ter­ja­di, ter­le­bih ka­re­na ti­dak per­nah a­da ke­je­las­an me­nge­nai hal ter­se­but. Ke­ti­ka ke­pe­mim­pin­an Polri oleh Jenderal Sutarman mem­ bo­leh­kan ber­ke­ru­dung, a­tur­an ter­se­but men­ja­di ti­dak je­las a­ki­bat per­gan­ti­an ke­pe­mim­pin­an. Bah­ kan, di­ke­lu­ar­kan a­tur­an ba­ru me­nge­nai la­rang­an ber­ke­ru­dung. Pa­da­hal, pa­da 2013 su­dah a­da wa­ca­na un­tuk meng­a­tur de­sa­in dan war­na ke­ru­dung a­gar bisa seragam. Selain kasus pengguna ke­ru­dung di ke­po­li­si­an, ­kasus-kasus dis­kri­mi­na­si la­in­nya pun me­nam­bah pan­jang ca­tat­an ten­tang ka­sus dis­kri­mi­na­si ter­ha­dap peng­gu­na­an ke­ru­dung. Pe­la­rang­an ke­ru­dung ter­ja­di

78 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

di ­Bali dan di­ke­lu­ar­kan oleh The Hindu Center of ­Indonesia. Kasus ini menjadi per­bin­cang­an cu­kup pa­nas di masyarakat. Menanggapi masalah larangan peng­gu­na­an ke­ru­dung di Bali, Grendi me­nga­ta­kan bah­wa ti­dak a­da hak un­tuk su­a­tu go­long­an me­la­rang me­la­ku­kan se­su­atu yang ber­ka­it­an de­ngan a­ga­ma dan ke­per­ca­ ya­an­ya. “A­ga­ma me­nyang­kut hu­bung­an an­tara di­ri ­masing-masing dengan Tuhan. Tak bi­sa suatu ok­num yang meng­a­tas­na­ma­kan a­ga­ma ter­ten­tu me­la­rang pe­me­luk a­ga­ma la­in me­la­ku­kan se­su­atu ter­ka­it de­ ngan ke­per­ca­ya­an­nya,” jelas Grendi.

Aturan Berpakaian Muslim Jadi Pemicu

Diskriminasi kerudung tidak hanya i­den­tik de­ ngan pe­la­rang­an, me­la­in­kan ju­ga ke­wa­jib­an peng­ gu­na­an ke­ru­dung. Mi­sal­nya, Pemerintah Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Sumbar) me­ne­rap­kan a­tur­an ber­bu­sa­na mus­lim yang di­kom­bi­na­si de­ngan pa­kai­an a­dat Minangkabau bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) setiap Kamis dan Jumat. Kasus lain yang terjadi namun tidak di­sa­dari da­pat se­ba­gai dis­kri­mi­na­si. Misalnya, Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri yang me­wa­jib­kan peng­gu­na­an ke­ru­dung se­ ba­gai ba­gi­an da­ri seragam se­ko­lah. Me­nang­gapi hal ter­se­but, ­Grendi juga berpendapat, “Bagi sa­ya lem­ ba­ga ne­ga­ra ma­na­pun di Indonesia i­de­al­nya ti­dak me­wa­jib­kan per­a­tur­an pemakaian ke­ru­dung. Ka­re­na ka­lau ada satu saja per­a­tur­an yang meng­ar­ ah ke si­tu, se­be­nar­nya sudah ada bias.” Kerudung menjadi bagian pakaian yang me­le­kat pa­da ka­um pe­rem­pu­an di Indonesia. Hal ini ju­ga se­di­kit ba­nyak di­pe­nga­ru­hi oleh ke­ya­kin­an yang di­ a­nut o­leh ma­yo­ri­tas masyarakat di Indonesia. Se­la­in itu, ke­bu­da­ya­an Indonesia tentu ikut andil men­ja­di pe­nye­bab ca­ra ber­pa­ka­ian ma­sya­rakat ­Indonesia, yaitu pakaian yang tertutup. Dr. Alimah Qibtiyah, Direktur Pusat Studi Wanita Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga men­je­las­kan bah­wa se­ti­ap o­rang me­mi­liki a­las­an ­masing-masing ke­ti­ka me­mu­tus­kan un­tuk me­nge­ na­kan ke­ru­dung. “Kerudung, hi­jab, jil­bab, a­tau­pun is­ti­lah la­in­nya menurut saya a­da dua ke­cen­de­rung­


M E NY I BA K C I T R A K E RUD UNG

an. Sa­tu sisi me­ si pe­me­rin­tah i­tu nya­t a­k an wa­j ib me­nu­rut sa­ya ti­ se­ca­ra ­agama dan dak ber­hak un­tuk dipahami secara me­m ak­s a o­r ang doktriner. Tapi, un­t uk ber­k e­r u­ sa­t u si­s i me­m a­ dung, ter­m a­s uk hami i­tu se­ba­gai se­k o­l ah. U­ta­m a­ su­atu ekspresi diri. nya se­k o­l ah ne­ Nah, men­ja­di­kan ge­ri. Me­nu­rut sa­ya ke­ru­dung se­ba­gai ti­dak se­ha­rus­nya pa­kai­an for­mal.” me­re­ka me­mak­sa Ba­nyak­nya mo­ti­ ­m urid-muridnya va­si da­lam peng­ un­t uk ber­k e­r u­ gu­na­an ke­ru­dung dung ka­r e­n a se­ i­ni me­nim­bul­kan ko­l ah a­d a­l ah in­ su­a ­t u hal yang sti­tu­si pu­blik dan ku­r ang baik. Ti­ pu­blik ha­rus di­be­ri dak lagi hanya ke­be­bas­an un­tuk men­ja­di tren ma­ me­mi­lih. Me­mi­lih sya­r a­k at u­m um, a­pa sa­ja ter­ma­suk te­ta­pi mu­lai ada fe­syen. A­sal yang ­i nstansi-instansi ­appropriate,” te­ mau­pun lem­ba­ga rang Dr. Wening ne­ga­ra yang ju­ga Udasmoro. Do­ ter­pe­nga­ruh tren sen Pas­c a­s ar­j a­ ber­ke­ru­dung ini. na UGM ini juga Da­pat di­ka­ta­kan m e ­n a m ­b a h ­k a n me­man­fa­at­kan hal bah­w a ca­ra pan­ ter­se­but un­tuk ke­ dang se­ti­ap o­rang pen­ting­an se­ko­lah. yang ber­be­da i­tu­ Ju­ga mu­lai ba­nyak lah yang me­n ye­ ka­sus yang terjadi, bab­kan si­a­pa­pun mi­s al­n ya ka­s us ter­ma­suk in­stan­si pol­wan yang be­ ti­dak ber­hak me­ be­ra­pa ta­hun ter­ wa­jib­kan mau­pun REPRO SOFWAN | EKSPRESI ak­hir i­ni men­ja­di me­l a­r ang se­s e­o ­ kon­tro­ver­si. Satu kasus yang terjadi pa­da se­o­rang rang un­tuk ber­ke­ru­dung. sis­wi ke­las 5 SD Negeri Entrop. Ia se­o­rang a­nak SD Alimah, men­je­las­kan ten­tang per­at­ ur­an di­wa­ yang di­la­rang ma­suk se­ko­lah ka­re­na me­nge­na­kan ke­ jib­kan­nya ma­ha­sis­wa un­tuk ber­ke­ru­dung ser­ta se­jak ru­dung. Be­gi­tu­pun be­be­ra­pa ­instansi-instansi Islam ka­pan ke­ru­dung mu­lai di­ga­lak­kan. “UIN me­wa­jib­kan yang me­la­ku­kan se­ba­lik­nya, yaitu di­wa­jib­kan­nya pa­kai ke­ru­dung pa­da ma­sa 90-an. Ma­sa jil­ba­bi­sa­si. peng­gu­na­an kerudung. Ka­re­na ke­ti­ka sa­ya lu­lus da­ri UIN tahun 1995, foto Dijelaskan oleh Alimah bahwa setiap in­stan­ i­ja­zah nggak pa­kai ke­ru­dung. Bah­kan ka­lau sa­ya me­ si u­mum tentu terdiri atas ­orang-orang de­ngan mu­tus­kan me­ma­kai ke­ru­dung, sa­ya ha­rus me­nan­da­ la­tar be­la­kang yang ber­be­da. A­ga­ma, ke­ya­kin­an, ta­ngani su­rat per­nya­ta­an bah­wa bi­la ter­ja­di ­apa-apa ca­ra pan­dang, ting­kat pen­di­dik­an, mau­pun ling­ itu men­ja­di tang­gung jawab sendiri,” tambahnya. ku­ngan me­me­nga­ru­hi pe­ri­la­ku se­se­o­rang. Ti­dak Ia mengingat dan mengenang masa la­lu­nya se­ se­ha­rus­nya dis­kri­mi­na­si atas peng­gu­na­an ke­ru­ ba­gai ma­ha­sis­wa UIN. Ia juga me­nam­bah­kan ­bahwa dung ­terus-menerus ter­ja­di. Ka­sus yang me­na­rik ke­ru­dung sa­at itu be­lum ba­nyak di­gu­na­kan di ba­nyak un­tuk di­per­bin­cang­kan a­da­lah ka­sus dis­kri­mi­na­si lem­ba­ga cu­kup ber­da­sar. “Saya meng­i­ra bah­wa pe­ peng­gu­na­an ke­ru­dung yang ti­dak di­sa­dari se­ba­gai me­rin­tah atau UIN juga men­co­ba un­tuk meng­a­ko­mo­ se­bu­ah dis­kri­mi­nasi. da­si le­wat SK Nomor.52C Tahun 1982 bah­wa se­mua se­ko­lah ha­rus pa­kai se­ragam. Ja­di, ke­ru­dung be­lum Ketika Kebijakan Birokrasi jadi Masalah Lain bo­leh di­gu­na­kan. Ta­pi ta­hun 1991 sudah mu­lai bo­leh Hampir seluruh UIN di Indonesia se­ca­ra ter­tu­lis meng­gu­na­kan ke­ru­dung. Se­men­ta­ra untuk ku­li­ah, mau­pun ti­dak, me­wa­jib­kan peng­gu­na­an ke­ru­dung UIN me­wa­jib­kan ma­ha­sis­wa me­nge­na­kan ke­ru­dung. un­tuk war­ga kam­pus. Pa­da­hal ada ju­ga ma­ha­sis­wa Per­a­tur­an ini ber­da­sar pa­da ko­de e­tik dari Wakil yang ti­dak ber­a­ga­ma Islam a­tau­pun me­mi­liki ca­ra Dekan (WD) III.” pan­dang yang ber­be­da so­al ke­ru­dung. “Ka­lau in­stan­ Laporan oleh Awal dan Janti Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 79


L A PORAN KHUSUS

Ketika Gelombang Kepedulian Hadir

Saat ada pelarangan dan diskriminasi, di situlah kepedulian muncul. Tak peduli golongan, rasa peduli hadir atas dasar kemanusiaan. Oleh Nur Janti

N

Saya mendukung para perempuan berkerudung untuk memiliki haknya dan terbebas dari diskriminasi” Amira Nicole.

aomi Yellowless tak pernah me­nge­na­kan ke­ ru­dung da­lam ke­se­ha­ri­an­nya. Pe­rem­pu­an ber­ke­bang­sa­an ­Australia ini le­bih nya­man me­nge­na­kan ka­os dan ce­la­na jeans un­tuk per­gi ke kam­pus dan ­jalan-jalan. Ber­be­da da­ri pe­nam­pil­an Naomi sehari-hari, da­lam fo­to yang ia ung­gah di la­man ­Facebook Woman In Solidarity with Hijabis (WISH), se­lam­bar ka­in ber­war­na u­ngu ter­li­hat me­nu­tupi rambut pirangnya. Diambil dari News.com.au dengan ar­ti­kel ber­ju­ dul “Hijab selfies fad takes off as Australians show solidarity with Muslim women”, ben­tuk ke­pe­du­li­an yang di­la­ku­kan Naomi dengan me­nge­na­kan ke­ru­dung lan­tas meng­ung­gah­nya di so­si­al me­dia i­ni per­ta­ma ha­dir a­tas i­ni­sia­tif dari Mariam Veiszadeh, se­o­rang pe­nga­ca­ ra ­Australia. Aksi unggah fo­to selfie ber­ke­ru­dung tak ha­nya me­ram­bah ­Australia, ­Amira ­Nicole, pe­rem­pu­an ber­ke­bang­sa­an ­Amerika pun me­la­ku­kan ak­si so­li­da­ri­tas ini. “Sa­ya men­du­kung pa­ra pe­rem­pu­an ber­ke­ru­dung un­tuk me­mi­li­ki hak­nya dan ter­be­bas da­ri dis­kri­mi­na­si,” terang Amira saat di­wa­wan­ca­ra via e-mail. Naomi, Mariam, dan Amira ha­nya ba­gi­an ke­cil da­ ri ba­nyak pe­rem­pu­an yang me­la­ku­kan ak­si so­li­da­ri­tas un­tuk pe­rem­puan mus­lim di ­Australia. Di­am­bil da­ri la­man WISH, ge­rak­an yang di­ke­lo­la oleh ­Australian ­Muslim ­Women ini mun­cul di­la­tar­be­la­kangi dis­kri­ mi­na­si dan ke­ke­ras­an ter­ha­dap pe­rem­pu­an mus­lim di ­Australia yang disebabkan oleh Islamophobia. Adanya tindakan dari gerakan eks­trem mus­lim se­ring­ka­li me­mun­cul­kan pe­ra­sa­an kha­wa­tir dan be­be­ ra­pa men­ju­rus ke Islamophobia. Ka­sus ­Sydney ­Siege, mi­sal­nya. Pe­nyan­de­ra­an 7 warga ­Australia di ­Lindt Cafe, Martin Place, Sydney oleh se­o­rang ­laki-laki mus­ lim ber­na­ma Man Haron Monis. Pe­ris­ti­wa i­ni sem­pat mem­bu­at su­as­ a­na di Australia men­ce­kam be­be­ra­pa wak­tu. ­Orang-orang yang terkena ­Islamophobia ak­ hir­nya men­ja­uh­i pe­ma­kai ke­ru­dung bah­kan ka­dang sam­pai me­la­ku­kan tin­dak­an ke­ke­ras­an. Hal i­ni­lah yang ter­ja­di di ­Australia. Pe­ris­ti­wa tin­dak ke­ke­ras­an ter­ha­dap pe­rem­pu­an ber­ke­ru­dung ter­ja­di pas­ca­teror yang di­la­ku­kan o­leh o­rang muslim. “Ya, di ­mana-mana ka­lau a­da ka­sus dis­kri­mi­na­si pas­ti ber­a­sal da­ri sa­tu e­le­men ma­sya­ra­kat yang sen­ti­men go­long­an­nya me­ ngu­at dan meng­gang­gu en­ti­tas a­tau ke­lom­pok ­lain,” ­jelas ­Grendi ­Hendrastomo, M.M., M.A.

80 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

Rasa pe­duli akan adanya dis­kri­mi­na­si pun tak ha­nya ha­dir di ­Australia. Di Jerman, ri­bu­an o­rang ber­ di­ri di la­pang­an lu­as meng­i­ringi pe­ma­kam­an ­Marwa ­El ­Sherbini. Ter­li­hat se­o­rang pe­rem­pu­an be­ram­but pi­rang di tengah kerumunan me­nge­na­kan ga­un hi­ tam se­ting­gi lu­tut te­ngah me­le­takkan se­i­kat bu­nga di depan foto Marwa. Dikutip dari berita yang dilaporkan oleh ­David ­­Stringer dan di­mu­at pada ­Huffingtonpost.com, ­Marwa me­ning­gal ka­re­na di­bu­nuh oleh ­Alexander ­Wiens. Pria i­tu la­hir dan tum­buh di ­Rusia lan­tas mu­lai ting­ gal di ­Jerman tahun 2003. I­ro­nis­nya, pe­ris­ti­wa i­tu ter­ja­di di peng­a­dil­an, tem­pat yang se­ha­rus­nya me­mi­ li­ki peng­a­man­an yang ke­tat. Saat itu ­Marwa se­dang men­ja­lani per­si­dang­an ka­rena dia di­tu­duh te­ror­is dan di­per­la­ku­kan se­ba­gai war­ga ke­las dua se­bab me­ nge­na­kan hi­jab. Marwa, pe­rem­pu­an sa­tu a­nak yang te­ngah ha­mil di­tu­suk se­ba­nyak 16 kali meng­gu­na­kan pi­sau dapur yang dibawa Wiens dalam tasnya. “Je­las mo­tif­nya a­da­lah ke­ben­ci­an ter­ha­dap mus­lim. Dia menusuk Marwa di peng­a­dil­an dan di de­pan a­nak ser­ta su­a­mi­nya. Ke­ti­ka su­a­mi Marwa ber­u­sa­ha me­ lin­dunginya, Wiens juga me­nye­rang su­a­mi Marwa,” jelas Frank Heinrich, Jaksa Penuntut Umum yang me­na­ngani kasus pembuhun Marwa. Menanggapi kasus yang menimpa Marwa, Grendi men­je­las­kan bah­wa a­kar pe­nye­bab­nya ka­re­na di Eropa ba­nyak yang ter­ke­na I­ slamophobia. “Se­ka­rang, lu­ ar bi­a­sa ke­ta­kut­an ter­ha­dap ­Islam di sa­na. Me­re­ ka yang kha­wa­tir, meng­ang­gap se­dang a­da pro­ses Islamisasi di Eropa. A­da ke­kha­wa­tir­an ji­ka ge­rak­an itu ma­kin la­ma ma­kin mem­be­sar dan meng­an­cam ek­sis­ten­si me­re­ka yang ma­yo­ri­tas ­non-muslim dan ber­be­da bu­da­ya de­ngan ma­sya­ra­kat ­Islam di lu­ar Eropa. Nah, dis­kri­mi­na­si ter­ha­dap peng­gu­na ke­ru­ dung a­tau cadar itu juga bisa terkait dengan kondisi Islamophobia.” Ribuan orang yang hadir di pemakaman Marwa bu­kan ­satu-satunya wu­jud pe­du­li. La­por­an da­ri ­Kate ­Connolly dalam ­Theguardian.com me­nye­but­kan bah­ wa se­ki­ra 1500 o­rang me­la­ku­kan de­mon­stra­si ka­la per­si­dang­an a­tas ka­sus pe­nu­suk­an ter­ha­dap ­Marwa di­se­leng­ga­ra­kan. Me­re­ka me­nyu­a­ra­kan bah­wa ­Jerman ti­dak meng­i­zinkan dis­kri­mi­na­si ­dan ­ke­ben­ci­an ter­ ha­dap Islam hadir di ne­ga­ra­nya. Se­men­jak ke­ma­ti­


M E NY I BA K C I T R A K E RUD UNG

an Marwa, tanggal 1 Juli menjadi per­i­ngat­an Hari Hijab.

Kepedulian yang Lahir karena Kemanusiaan

Gerakan solidaritas untuk perempuan di ­Australia dan ­Marwa diikuti oleh orang-orang dari be­ra­gam la­ tar be­la­kang. Ada ­lelaki-perempuan, ­muslim-maupun yang bu­kan, ­tua-muda. Se­mua ka­langan ber­sa­tu da­lam sa­tu ge­rak­an so­li­da­ri­tas yang da­sar­nya mun­cul ka­re­na ke­sa­dar­an a­kan hak. Di­je­las­kan oleh ­Grendi, pe­nye­bab ak­si so­li­da­ri­tas yang men­jun­jung ting­gi ke­ma­nu­sia­an dan hak bi­sa ber­as­ al da­ri kon­di­si ne­ga­ra dan ke­ma­ju­an per­a­dab­an ma­sya­ra­kat­nya. “Se­be­ra­pa ter­bu­ka me­re­ ka me­nang­gapi ­kasus-kasus dis­kri­mi­na­si ter­ha­dap ke­ru­dung. Se­be­ra­ pa mo­d ern ma­sya­ra­kat­ nya me­l ek hak da­s ar, be­gi­tu,” u­jar Grendi. Grendi m e ­n a m ­b a h ­ kan, ji­ka ma­ sya­r a­k at bi­s a pe­ka ter­ha­dap i­su ten­tang hak dan ke­ma­nu­sia­ an, a­da be­be­ra­ pa fak­tor yang m e n ­d u ­k u n g . Mi­sal­nya, ka­re­na pen­di­dik­an yang maju, kondisi masyarakat yang me­nge­de­pan­kan ra­si­o­nal­itas, juga ke­sa­dar­an bah­wa ti­ap ma­nu­sia me­ mi­liki kebebasan. “Eropa yang di­ ang­g ap ma­s ya­r a­ kat­nya le­bih maju di ber­ba­gai bi­dang dan wacana soal HAM (Hak Asasi Manusia, red.) sa­ ngat ken­cang, orang akan mudah ter­su­lut o­leh ­isu-isu dis­kri­mi­na­si. Apapun bentuknya.” Lain di sana, lain di Indonesia, ge­rak­an so­li­da­ri­ tas me­mang bi­sa mun­cul na­mun untuk ka­sus yang di­bi­lang be­sar. “Negara-negara yang ter­go­long le­bih ma­ju da­ri­pa­da Indonesia, solidaritasnya le­bih ku­at. A­las­an­nya, ­Indonesia kan negara ber­kem­bang dan ma­sih re­pot meng­u­rusi hak-hak mendasar se­per­ ti pa­ngan, pa­pan, dan san­dang. Jadi, tak sempat meng­u­rusi so­al dis­kri­mi­na­si karena kerudung,” jelas Grendi.

Aksi kepedulian terhadap kasus dis­kri­mi­na­si a­kan da­tang dari golongan yang ke­bu­tuh­an po­kok­nya su­dah ter­pe­nuhi dan latar belakang pen­di­di­kan­nya su­dah ma­ju. “Kan yang berwacana begitu mi­no­ri­tas. Go­long­an tertentu yang sudah me­lek so­al HAM, fe­ mi­nis­me, gen­der. Kita (Indonesia, red.) ma­sih le­bih po­pu­ler i­su soal korupsi dan sebagainya, se­per­ti yang se­ring ha­dir di me­dia. Kalaupun ada paling se­ka­dar i­su se­ben­tar dan tak jelas penyelesaiannya, a­pa­la­gi so­li­da­ri­tas­nya. Seperti kasus pelarangan ke­ru­dung di Bali beberapa waktu lalu,” jelas Grendi yang juga do­sen Pendidikan Sosiologi UNY. Pelarangan, tindak kekerasan, bah­k an pem­b u­n uh­a n yang ter­j a­d i me­r u­p a­k an peristiwa yang da­pat meng­gang­gu ke­se­im­ bang­an masyarakat. Ke­t i­k a a­d a se­k e­ lom­p ok ma­s ya­r a­ kat yang merasa ter­gang­gu de­ngan a­da­nya ke­ke­ras­an atau pelanggaran HAM, pas­ti a­kan ada golongan yang mencoba ber­so­li­ da­r i­t as me­n en­ tang. “Yang terdiri atas banyak e­le­ men ma­sya­ra­kat cu­m a be­s ar­a n solidaritasnya, sampai ak­si a­tau se­ke­dar wacana. Ter­gan­tung ke­ ma­j u­a n ne­g a­ ra­nya,” terang Grendi. B a g i ­Grendi, ber­ sa­t u­n ya e­l e­ men­- elemen a­t au ke­l om­ pok ber­tu­ju­an un­ t uk sa­l ing DOKUMEN ISTIMEWA me­n gu­a t­k an ­s olidaritas a­t as ke­s a­m a­a n ide yang diperjuangkan. Salah satu fak­tor yang me­nye­bab­ kan se­kum­pul­an orang da­ri ber­ba­gai e­le­men bisa berkumpul dan ber­ju­ang ber­sa­ma­an a­da­lah a­da­nya mu­suh bersama. “Orang ber­sa­tu ke­ti­ka ada elemen masyarakat yang haknya se­dang di­lang­gar ke­mu­di­ an mereka yang sadar akan hak a­kan pe­du­li. So­li­ daritas muncul bukan karena sen­ti­men a­ga­ma a­tau kepentingan golongan tertentu. Ta­pi me­li­hat ­hak-hak dasar yang wajib di­pu­nyai se­ti­ap ma­nu­sia,” tutup Grendi. Laporan oleh Awal

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 81


L A PORAN KHUSUS

Kulit Kepala Sehat bagi Pemakai Kerudung

82 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015


M E NY I BA K C I T R A K E RUD UNG

K

ulit kepala pengguna ke­ru­dung ha­rus meng­ ha­dap­i mu­suh be­sar­nya bi­la ti­dak di­ra­wat de­ngan baik. Meng­a­tur du­ra­si pe­ma­kai­an ke­ru­dung dan me­mi­lih ba­han ke­ru­dung ha­rus cer­mat, a­pa­la­gi ­Indonesia beriklim tropis. Di­te­ mui di ru­ang prak­tik­nya, dr. Hj. Nafiah Chusniayati, ­Sp.KK., M.Sc., dok­ter spe­si­al­is ku­lit, mem­ba­gi tips ke­pa­da pe­ma­kai ke­ru­dung agar kulit kepala dan ram­but te­tap ter­ja­ga dan te­tap kon­sis­ten me­ma­kai ke­ru­dung. Ke­pa­da re­por­ter EKSPRESI, Sofwan Makruf, ­dr. ­Nafiah men­je­las­kan ca­ra agar ku­lit ke­pa­la pe­ma­kai ke­ru­dung tetap sehat.

Apakah pemakaian kerudung benar-benar ber­pe­nga­ruh ter­ha­dap kulit kepala si pemakai?

Tidak setiap peng­gu­na­an ke­ru­dung me­nim­bul­kan ma­sa­lah se­la­ma pe­ma­kai ke­ru­dung i­tu bi­sa men­ja­ga kon­di­si ku­lit ke­pa­la­nya. Ja­di, a­gar ke­ru­dung i­tu ti­dak me­mi­cu ke­lem­bab­an dan pa­nas yang ting­gi di ku­lit ke­pa­la ada trik­nya. Ka­re­na kon­di­si ke­pa­la yang ter­ tu­tup, a­kan le­bih ba­nyak me­mi­cu pro­duk­si ke­ri­ngat. A­pa­la­gi ki­ta berada di iklim tropis.

Apa yang menyebabkan pemakai kerudung meng­a­lami masalah kulit kepala?

Produksi minyak yang terlalu banyak bi­a­sa­nya me­nim­bul­kan ma­sa­lah yang sangat sering di­jum­ pai. Mun­cul­nya ke­tom­be di kulit kepala atau da­lam ba­ha­sa me­dis­nya dermatitis seboroik. ­Dermatitis ­seboroik se­la­in di­se­bab­kan karena faktor ke­lem­bab­an ju­ga bi­sa di­se­bab­kan o­leh gang­gu­an struk­tur di ku­lit ke­pa­la. Bi­sa di­se­bab­kan o­leh ja­mur di ku­lit ke­pa­la yang disebut malassezia furfur.

Dampak apabila kulit ke­pa­la ti­dak ter­ja­ga ke­se­ha­ tannya?

SOFWAN|EKSPRESI

Jika ditemukan infeksi bakteri karena ku­lit yang lem­bab, se­be­nar­nya bu­kan ka­re­na ke­ru­dung­nya. Na­ma­ nya ­folliculitis, se­ma­cam pe­ra­dang­an di fo­li­kel ram­but se­per­ti bi­sul ­kecil-kecil. Ta­pi, ti­dak se­la­lu ter­ja­di se­la­ ma pa­ma­kai­an ke­ru­dung be­nar. Ke­ron­tok­an ram­but di­se­bab­kan se­la­in ke­lem­bab­an, ju­ga di­se­bab­kan ke­bi­ a­sa­an me­na­ta ram­but se­be­lum ber­ke­ru­dung. Ba­nyak ram­but yang di­i­kat ken­cang, di­ku­cir, di­je­pit, se­mua i­tu me­nye­bab­kan pe­re­gang­an a­tau pe­na­rik­an ram­but. Ke­ta­hah­an ram­but ber­ku­rang se­hing­ga ram­but a­kan mu­dah re­tak dan ter­le­pas da­ri a­kar rambut. Sebaiknya rambut orang yang ber­ke­ru­dung ti­dak pan­jang, ti­dak di­i­kat ter­la­lu ken­cang, ti­dak di­je­pit, ti­dak di­ta­rik, dan ti­dak da­lam ke­a­da­an ba­sah. Ka­lau­ pun mau di­ik ­ at, i­kat­lah se­ba­tas a­gar ram­but ter­se­but ti­dak berantakan. Rambut yang di-treatment juga a­kan me­ngu­ rang­i ke­se­hat­an ram­but. Mi­sal­nya pem­be­ri­an war­na, di­lu­rus­kan, a­tau ma­lah de­ngan se­nga­ja di­bu­at ber­ ge­lom­bang. Ka­re­na se­mua treatment i­tu meng­gu­ na­kan ba­han ki­mia yang bi­la di­tu­tup de­ngan jil­bab, ak­ti­vi­tas ki­mi­anya je­las a­kan me­ning­kat di­ban­ding de­ngan yang ti­dak ter­tu­tup. Potensi alergi dan i­ri­

ta­si­nya akan lebih banyak.

Jenis perawatan seperti apa yang baik un­tuk me­ra­wat ku­lit kepala?

Bersihkan kulit kepala dengan cara ber­ke­ra­mas de­ngan me­lihat kon­di­si ku­lit­nya. Ka­lau kon­di­si ku­ lit ke­pa­la ber­mi­nyak bi­sa le­bih se­ring ber­ke­ra­mas. Me­re­ka yang ber­ku­lit ke­pa­la ke­ring mung­kin de­ngan keramas se­ming­gu 2-3 kali sudah cukup. Pe­ma­kai­an sam­po an­tar­a me­re­ka yang ber­ke­ru­dung de­ngan yang ti­dak ia­lah sama. Me­re­ka yang me­mi­liki pro­blem ku­lit ke­pa­la, a­kan di­be­ri sam­po yang me­ngan­dung o­bat dan ha­rus de­ngan resep dokter.

Adakah pemilihan khusus ba­han ke­ru­dung yang di­ke­ na­kan?

Pilihlah kerudung dengan bahan kain yang lu­nak, ha­lus, dan yang me­mung­kin­kan sir­ku­lasi u­da­ra. Hin­ dari kerudung yang terlalu kencang, ­berlapis-lapis, ka­in­nya te­bal, kemudian jilbab yang panas.

Adakah jenis perawatan khusus bagi kulit ke­pa­la yang berkerudung?

Pemakaian kerudung yang tebal dan ­berlapis-lapis se­ba­ik­nya di­hin­dari. Hindari pe­ma­kai­an ke­ru­dung de­ ngan ren­tan wak­tu yang terlalu lama ka­re­na la­ma­nya pe­ma­kai­an kerudung berpengaruh pada pro­duk­si ke­ri­ngat di ku­lit kepala. Aktivitas fi­sik yang ba­nyak, tem­pat ber­ak­ti­vi­tas, su­hu tem­pat ker­ja, a­tau sir­ku­la­si u­dara me­me­nga­ruhi ke­se­hat­an ku­lit ke­pa­la pe­ma­kai ke­ru­dung. Orang yang kulitnya kering a­tau pro­duk­si ke­ri­ngat­ nya se­di­kit ju­ga perlu me­mer­ha­ti­kan peng­gu­na­an ����� kerudung. Me­re­ka yang ku­lit­nya mem­pro­duk­si mi­nyak dan ke­ri­ngat yang be­gi­tu ba­nyak ha­rus se­se­ring mung­kin mem­bu­ka kerudung un­tuk mem­be­ri­kan a­lir­an u­da­ra ke kulit kepala.

Bila sudah timbul masalah pada kulit kepala, bagaimana mengatasi masalah tersebut?

Apabila sudah muncul ma­sa­lah pa­da ku­lit ke­pa­ la, ha­rus di­o­bati. Dilihat seberapa be­rat ma­sa­lah­nya, ke­mu­di­an dok­ter a­kan mem­be­ri­kan o­bat be­ru­pa sa­lep un­tuk meng­a­tasi pe­ra­dang­an. Bi­sa ju­ga di­be­ri­kan sam­po an­ti­ja­mur yang me­ngan­dung zinc pyrithione. Ada ju­ga se­rum yang di­ju­al be­bas. Be­da­nya de­ngan sam­po, se­rum ber­is­ i vi­ta­min yang fung­si­nya me­nyu­ plai ke­bu­tuh­an kulit kepala.

Adakah larangan atas nama ke­se­hat­an se­hing­ga se­se­ o­rang tidak diperkenakan memakai kerudung?

Sebenarnya tidak ada larangan untuk me­nu­tup ku­lit ke­pa­la. Bah­kan, o­rang yang ram­but­nya ron­tok pun ti­dak ma­sa­lah. Ti­dak a­da yang me­la­rang me­ma­ kai ke­ru­dung ke­cu­ali kon­di­si sa­kit yang pa­rah, ku­lit ke­pa­la yang me­nge­lu­pas, atau me­ra­dang yang be­rat dan bi­la di­pa­kai­kan ke­ru­dung a­kan leng­ket. Ja­di, pa­da kon­di­si sa­kit yang be­rat ka­mi me­nya­ran­kan un­tuk ti­dak me­nu­tup­nya. Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 83


PENDIDIKAN

Dok. Komunitas Jendela

Anak Merapi, Jendela Yogyakarta, dan Membaca Oleh Marisa Latifa Dinar, S.Ant., MBA. Salah satu pendiri Komunitas Jendela

“Mbak, Mas, ngapain, toh, di sini? Kalau kita ikut Jendela, dikasih apa?” ujar seorang anak yang tinggal di Lereng Gunung Merapi pada salah satu relawan Jendela (selanjutnya disebut Jendelistt, red.). Bu­kan hal mu­dah ba­gi Jendelistt Yogyakarta me­lak­sa­na­kan pro­gram ber­ ba­gi un­tuk anak-anak pe­ngung­si Merapi ke­ti­ka itu. Be­lum ber­la­lu ra­sa trau­ma ben­ca­na, ren­te­tan ban­tu­an yang da­tang dan di­eks­pos me­dia be­sar-be­sa­ran jus­tru se­ma­kin mem­per­be­sar ra­sa dan pi­ki­ran ne­ga­tif anak-anak.

Jendela Yogyakarta, Sebuah Awal

Ke­gi­at­an ber­ba­gi Jendela Yogyakarta di Kecamatan Cangkringan di­a­wa­li de­ ngan Outbound Mencari Harta Karun. Ke­gi­at­an ini me­mang le­bih ba­nyak di­ pro­g ram­k an de­n gan ber­m a­i n se­b ab me­ru­pa­kan ca­ra ji­tu pen­de­kat­an pa­da anak-anak ter­se­but. Wa­lau­pun se­be­lum pro­gram Jendela di­mu­lai di Merapi, ke­ gi­at­an da­ri re­la­wan ko­mu­ni­tas la­in te­lah le­bih du­lu men­dam­pi­ngi me­re­ka. Ko­mu­ni­tas Kaliadem, mi­sal­nya yang

84 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015

fo­kus me­nga­jak anak-anak pe­ngung­si ber­ma­in mu­sik. Se­dang­kan ka­mi, Jendela Yogyakarta, di­min­ta un­tuk mem­ban­tu pe­nge­lo­la­an per­pus­ta­ka­an. Per­ma­sa­ la­han yang di­ha­da­pi sa­at per­ta­ma ka­li ter­jun ke la­pa­ngan, se­la­in tak acuh­nya anak-anak pa­da ke­be­ra­da­an Jendelistt, mo­mok ten­tang bu­ku yang men­je­mu­kan dan mem­bo­san­kan ju­ga me­ru­pa­kan sa­ lah sa­tu ham­ba­tan. Ke­gi­at­an ber­ma­in se­per­ti outbound kecil dan games outdoor ber­ke­lom­pok se­la­ma se­bu­lan ha­nya mam­pu mem­ba­wa 20 anak Merapi ikut ke­gi­at­an ber­ba­gi Jendela. Se­le­sai ber­ma­in, ke­gi­at­an mem­ ba­ca di da­lam per­pus­ta­ka­an yang ka­mi ba­ngun se­pi pe­mi­nat. Ha­nya ada be­be­ ra­pa yang ber­ta­han. Al­ha­sil, Jendelistt me­ngu­bah tak­tik dan ti­dak be­gi­tu me­ mak­sa­kan me­re­ka mem­ba­ca. Se­ka­dar me­nga­jak me­re­ka me­ngo­brol. Bu­lan ke­dua, stra­te­gi me­na­nam­kan ke­bi­a­sa­ an mem­ba­ca di­gan­ti. Ke­gi­a­tan workshop ke­ra­ji­nan ta­ngan yang ke­mu­di­an di­lan­ jut­kan mem­ba­ca bu­ku ber­sa­ma Jendelistt di­te­rap­kan. Pa­da se­ti­ap ke­gi­a­tan workshop se­la­

lu di­se­lip­kan pe­san bah­wa in­fo ten­tang workshop ada di bu­ku. Se­la­in itu, lem­ ba­ran ten­tang in­fo workshop di­bu­at dan di­ba­gi­kan ke anak-anak un­tuk di­ba­ca ter­le­bih da­hu­lu. Hal ini ber­tu­ju­an un­tuk mem­bi­a­sa­kan anak-anak se­la­lu meng­ga­li in­for­ma­si de­ngan bu­ku. Ke­g i­a­t an workshop ter­s e­but di­ se­li­ngi de­ngan ke­gi­at­an yang ber­te­ma mem­ba­ca dan me­nu­lis. Ben­tuk ra­gam­nya bi­sa be­ru­pa mem­bu­at cerpen, puisi, atau meng­gam­bar. Se­se­ka­li un­tuk me­ngu­ra­ ngi ke­je­nu­han adik-adik mem­ba­ca dan workshop, ke­gi­at­an se­ni dan outdoor games di­la­ku­kan. Se­la­in itu, ada pro­gram rewards ba­gi adik-adik yang ra­jin da­tang dan ikut ke­gi­at­an Jendela.

Membaca dan Trauma He­al­ing Pas­ca­ben­ ca­na

Trauma pascabencana me­ru­pa­kan su­a­tu pe­ra­sa­an insecure yang di­a­la­mi oleh se­se­orang. Is­ti­lah me­dis un­tuk pe­ nya­kit trau­ma ini ada­lah Post Traumatic Stress Disorder. Ti­dak ha­nya ben­ca­na, ke­ce­la­ka­an dan tin­da­kan ke­ke­ra­san ju­ ga da­pat me­nye­bab­kan trau­ma. Ge­ja­la


P E N D I D I K AN yang tam­pak pa­da pen­de­ri­ta trau­ma ini ada­lah ti­dur yang ti­dak nye­nyak, me­ nyen­di­ri, ti­dak bi­sa ber­kon­sen­tra­si da­lam se­ti­ap ak­ti­vi­tas­nya, mu­dah ter­sing­gung, was-was, dan se­sak na­fas. Usa­ha un­tuk meng­hi­lang­kan trau­ma pas­ca­ben­ca­na itu sen­di­ri di­se­but trauma healing. Tu­ju­an da­ri trau­ma healing ialah un­tuk men­ da­mai­kan di­ri pen­de­ri­ta trau­ma de­ngan ra­sa ce­mas, ke­ta­ku­tan, dan ke­se­di­han men­da­lam. Ba­nyak me­to­de un­tuk meng­hi­lang­ kan trau­ma pas­ca­ben­ca­na. Ada yang meng­gu­na­kan pi­ja­tan di ti­tik re­flek­si tu­ buh. Ada yang meng­gu­na­kan dia­log. Pa­da anak-anak, Kak Seto Mulyadi meng­gu­ na­kan tek­nik ber­ma­in un­tuk me­le­pas­kan ra­sa se­dih aki­bat trau­ma psi­ko­lo­gis pas­ ca­ben­ca­na. Tek­nik ini di­sa­ran­kan un­tuk me­ngak­tif­kan motorik ha­lus dan ka­sar anak, pun un­tuk ke­gi­at­an ber­ma­in pa­sif, mi­sal­nya: story telling. Me­to­de pe­mu­li­han Kak Seto sa­ma de­ngan me­to­de yang di­la­ku­kan Dr. Karen Debord, se­orang dok­ter spe­si­a­lis per­kem­ ba­ngan anak. Debord men­je­las­kan bah­ wa pe­mu­li­han trau­ma pa­da anak da­pat di­la­ku­kan de­ngan meng­gam­bar be­bas, ber­ma­in games me­nye­nang­kan, mem­ba­ ca bu­ku, ber­ce­ri­ta, dan se­ba­gai­nya. Se­jak awal ke­gi­at­an ber­ba­gi Jendela Yogyakarta pa­da anak-anak pe­ngung­si Merapi me­mang ti­dak di­tu­ju­kan un­tuk pe­mu­li­han trau­ma pas­ca­ben­ca­na. Pro­ gram pen­dam­pi­ngan di Cangkringan Merapi ti­ap se­ming­gu se­ka­li itu le­bih di­fo­kus­kan pa­da usa­ha un­tuk mem­bi­a­ sa­kan anak mem­ba­ca. Na­mun, ter­nya­ta tek­nik pen­de­ka­tan yang tim re­la­wan la­ ku­kan ke­ti­ka itu ju­ga sa­lah sa­tu me­to­de trauma healing pa­da anak dan men­ja­di bo­nus ter­sen­di­ri ba­gi anak-anak. Be­ri­ kut ini be­be­ra­pa ta­ha­pan yang di­la­ku­kan re­la­wan Jendela Yogyakarta da­lam me­ la­ku­kan pen­dam­pi­ngan se­la­ma se­ta­hun ber­sa­ma anak-anak Merapi, yakni:

ma­sing-ma­sing. Bi­a­sa­nya ke­sem­pa­tan ini di­ja­di­kan re­la­wan un­tuk me­ma­ha­mi ke­bu­tu­han anak-anak agar mem­per­mu­ dah re­la­wan me­ran­cang pro­gram yang me­na­rik se­lan­jut­nya.

2. Bermain dan Belajar

Ta­hap ini di­ran­cang de­ngan le­bih se­ri­us. Pro­gram yang di­bu­at te­lah di­isi ma­te­ri. Te­ta­pi ma­te­ri yang di­be­ri­kan ma­te­ri ri­ngan yang le­bih ba­nyak da­pat di­prak­tik­kan anak, se­per­ti workshop. Beberapa workshop yang di­la­ku­kan ke­ti­ ka itu, yak­ni: cooking chocolate, me­rang­ kai bu­nga, be­la­jar ta­ri Brazil, mem­bu­at mading, dan se­ba­gai­nya. In­ter­na­li­sa­si ni­lai ten­tang pen­ting­nya mem­ba­ca di­la­ ku­kan de­ngan me­nyi­ap­kan ar­ti­kel ke­cil ten­tang ma­te­ri workshop. Se­te­lah se­si workshop, re­la­wan se­la­lu me­na­war­kan ke anak-anak un­tuk mem­ba­ca bu­ku ber­ sa­ma. Anak yang me­ne­ri­ma ta­war­an bi­ a­sa­nya akan me­mi­lih bu­ku yang di­su­kai dan me­min­ta Jendelist mem­ba­ca­nya ber­sa­ma. Pa­da anak-anak yang be­ru­sia 6 tahun ke bawah, tek­nik men­do­ngeng atau ber­ta­nya gam­bar di da­lam bu­ku se­ ring di­la­ku­kan. Ta­ha­pan ini di­la­ku­kan se­la­ma 3 bu­lan.

3. Materi Suka-Suka

Pa­da ta­hap ini anak-anak di­be­ri­kan ma­te­ri yang be­rat. Ma­te­ri se­ko­lah se­per­ti ba­ha­sa Inggris ser­ta pe­nge­ta­hu­an alam dan bu­da­ya di­be­ri­kan. Kon­sep pe­nyam­pa­ ian­nya di­be­ri­kan de­ngan me­nye­nang­kan. Ada de­ngan alat pe­ra­ga me­nye­nang­kan atau di­bi­kin kom­pe­ti­si ke­cil. Anak-anak su­ka de­ngan sis­tem kom­pe­ti­si ter­se­but. Se­si pem­be­ri­an ma­te­ri se­le­sai, mem­ba­ca bu­ku ber­sa­ma di­la­ku­kan se­per­ti bia­sa. Pa­­da ta­ha­pan ini, anak-anak yang ge­mar mem­ba­ca dan se­la­lu me­ngi­ku­ti pro­gram Jendela di­si­ap­kan ja­di pe­ngu­rus per­pus­ ta­ka­an. Pen­dam­pi­ngan anak Merapi pas­ ca­ben­cana ter­se­but ter­nya­ta men­ja­di se­si te­ra­pi ke­cil trauma healing me­ la­lui mem­ba­ca dan be­ra­gam ak­ti­vi­tas la­in­nya. Se­te­ngah ta­hun ber­in­te­rak­si de­ngan anak-anak Merapi ter­nya­ta me­ mang mem­be­ri­kan pe­ru­ba­han pa­da di­ri anak-anak. Ti­dak ha­nya me­re­ka mu­lai ter­bi­a­sa mem­ba­ca te­ta­pi ju­ga men­ce­ ri­ta­kan ke­ja­di­an erup­si de­ngan si­kap bi­asa. ­“Ini du­lu be­kas ru­mah­ku, Mbak, Mas,” ujar sa­lah sa­tu anak pa­da Jendelistt ke­ti­ka me­re­ka men­je­la­jah Merapi. Anakanak la­in ber­e­but me­nun­juk­kan be­kas ru­mah me­re­ka.n

JENDELA

1. Pe-De-Ka-Te

Pa­da ta­ha­pan ini, ke­gi­at­an yang di­pro­gram­kan le­bih ba­nyak ke­gi­at­an outdoor. Ke­gi­at­an outdoor be­ru­pa per­ ma­i­nan yang me­ngak­tif­kan sa­raf motorik anak. Anak-anak di­ba­gi ke da­lam ke­lom­ pok dan Jendelist di­min­ta ber­ga­bung dan men­dam­pi­ngi. Ta­hap ini di­la­ku­kan se­la­ma dua bu­lan. Se­si is­ti­ra­hat men­ja­di ke­sem­pa­tan ter­sen­di­ri ba­gi Jendelist dan anak-anak ber­di­a­log dan ber­in­te­rak­si in­tens me­na­nya­kan ten­tang ke­hi­du­pan

DOK

. KO

MU

NITAS

Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015 85


HIKMAH

Hukuman Mati tak Perlu Dipertahankan Oleh Arman Dhani

Jurnalis dan Penulis Lepas

I

ndonesia adalah salah satu dari beberapa negara di du­nia ka­re­na men­ja­tuh­kan vonis kepada orang yang ti­dak pan­tas yang ma­sih me­ne­rap­kan hu­kum­an ma­ti. Selain ­Indonesia, di­hu­kum. Amerika, mi­sal­nya, men­ja­tuhkan hu­kum­an ma­ti a­da Tiongkok, Arab Saudi, Irak, dan Iran yang ma­sih mem­ ­pada Askari Abdullah Muhammad pada 7 Januari 2014 a­tas per­ta­han­kan hu­ku­man mati. Saat ­negara-negara lain me­ pem­bu­nuh­an yang ia lakukan pada 1980. Askari me­mi­liki ning­gal­kan hu­kum­an ini, Indonesia jus­tru se­dang ber­se­ma­ngat se­ja­rah pe­nyakit mental yang parah. Dia di­di­ag­no­sa me­mi­liki me­la­ku­kan hukuman mati. ­Jaksa ­Agung ­Prasetyo me­nga­ta­kan paranoid schizophrenia. ma­sih ada 60 orang di ­Indonesia yang a­kan di­ek­se­ku­si. Selain negara-negara itu ada negara lain yang ma­sih Hukuman mati mulai ditinggalkan karena di­ang­gap me­ men­ja­di pe­me­gang re­kor negara jagal. Tiongkok pada 2013 reng­gut hak paling asasi, yakni hak hidup ma­nu­sia. Sa­lah ter­ca­tat me­la­ku­kan ek­se­ku­si pada 2400 tahanan. Disusul sa­tu a­lasan yang digunakan untuk meninggalkan de­ngan ­Iran yang mengeksekusi lebih dari 370 prak­tik i­ni a­da­lah karena kekhawatiran terjadinya tahanan. ­Guardian me­la­por­kan bahwa angka ini vonis yang sa­lah. Hal i­ni per­nah ter­ja­di pada mengalami ke­na­ik­an se­ti­ap ta­hun­nya. Januari 2011, pengadilan Taiwan meng­a­ku sa­ Yang menarik adalah Arab Saudi yang kerap lah men­ja­tuh­kan hukuman mati pada kasus luput da­ri per­ha­ti­an internasional. Arab Saudi ­Chiang ­Kuo-ching, se­o­rang prajurit angkatan meng­ek­se­ku­si ma­ti le­bih da­ri 80 tahanan pada udara yang di­tu­duh mem­per­ko­sa dan membunuh 2013. Tiga di an­ta­ra­nya a­da­lah re­ma­ja yang seorang anak. berusia di bawah 18 tahun. Kasus yang ber­u­ Belakangan diketahui jika Chiang Kuo-ching jung vo­nis ma­ti ber­ki­sar an­tara pembunuhan, meng­a­lami sik­sa­an. Di ta­han­an, dia disetrum penyeludupan, hing­ga prak­tik dukun. SOFWAN | EKSPRESI dan dipukuli lantas di­pak­sa un­tuk meng­a­ku Usman Hamid, salah satu pendiri KontraS ber­sa­lah. Hampir lima belas tahun se­te­lah di­ek­se­ku­si di ha­ dan ak­ti­vis HAM ­Indonesia, mengatakan bahwa di Indonesia dap­an regu tembak, ter­ung­kap­lah bah­wa ia ti­dak ber­sa­lah. du­kung­an ter­ha­dap hu­kum­an mati hanya komoditas politik Praktik penyiksaan dan pemaksaan se­se­o­rang un­tuk meng­ un­tuk mem­be­ri ke­san tegas dan tanpa kompromi. Ia men­con­ a­ku­i kejahatan yang tidak ia la­ku­kan me­mang ma­rak ter­ja­di. toh­kan ­Susilo Bambang Yudhoyono saat kampanye Pemilu Di Indonesia hal ini pernah terjadi pa­da ka­sus Sengkon dan 2004 dan 2009. Ketika ditanya apakah setuju hu­kum­an ma­ti, Karta pada akhir 1974. ia men­ja­wab pro hukuman mati karena hukuman ma­ti a­kan Kasus Sengkon-Karta adalah kasus pembunuhan se­o­rang me­ne­gak­kan kewibawaan hukum dan meng­a­ki­bat­kan e­fek pen­ja­ga warung kecil beserta istrinya di Desa ­Bojongsari, je­ra ba­gi penjahat, apalagi untuk jenis ke­ja­hat­an tertentu. ­Bekasi. Di penjara, keduanya bertemu dengan se­se­o­rang yang Ini adalah sebuah kemunafikan pada derajat yang pa­ling meng­a­ku ber­tang­gung ja­wab atas kejahatan itu. Sengkon-Karta meng­kha­wa­tir­kan. Pemberian hukuman mati, pada mu­la­nya, lan­tas di­be­bas­kan dengan usaha pe­nin­jau­an kem­ba­li. Ini a­da­lah u­sa­ha untuk memberi keadilan dan efek jera. Na­mun, meng­in­di­ka­si­kan masih ada yang tidak be­res de­ngan sis­tem ji­ka ke­mu­di­an hu­kum­an mati digunakan sebagai ko­mo­di­tas per­a­dil­an di Indonesia. Lantas ba­gai­ma­na bi­sa, se­bu­ah sis­ po­li­tik dan pen­ci­tra­an agar negara terlihat tegas, a­pa­kah i­tu tem per­a­dil­an yang korup dan tidak adil diberi ke­we­nang­an ke­a­dil­an? Ini adalah ambivalensi yang sangat keji. men­ca­but nyawa manusia? Apa yang bisa diharapkan dari peradilan yang me­mi­liki Salah satu yang jamak terjadi dalam per­a­dil­an se­sat a­da­lah ke­mung­kin­an besar cacat hukum? Se­men­ta­ra vo­nis yang a­da­nya tin­dak­an pe­nyik­sa­an un­tuk men­da­pat­kan peng­a­ku­an. di­be­ri­kan adalah penghilangan nyawa. Kita berkata bah­wa Pe­nyik­sa­an di tahanan dan pengadilan adalah ge­ja­la yang per­a­dil­an yang menjerat pejabat KPK sebagai per­a­dil­an yang ba­nyak di­te­mu­kan di sejumlah negara, yang ironisnya, jus­tru se­sat na­mun di sisi lain menolak kritis untuk me­nyang­si­kan ma­sih mem­per­ta­han­kan hukuman mati. Amerika ­Serikat, bah­wa vo­nis ma­ti ter­ha­dap para pengedar narkoba me­mi­liki mi­sal­nya, me­mi­liki ba­nyak kasus hukuman mati yang di­be­ po­ten­si ko­rup yang serupa. Apa yang bisa di­ha­rap­kan dari ri­kan ke­pa­da orang yang salah. Meski de­mi­ki­an ne­ga­ra i­ni per­a­dab­an yang memiliki standar ganda ini? ti­dak juga menghapus sistem keji ini. Kita memuji sikap pemerintah Indonesia yang ke­rap ka­li Amnesty Internasional menyebutkan secara glo­bal se­ti­ ber­u­sa­ha mem­per­ju­ang­kan hak hidup war­ga­nya yang di­vo­nis dak­nya terjadi 778 eksekusi yang di­lang­sung­kan pada 2013. ma­ti di luar negeri. Apalagi dengan data bah­wa ada se­ki­tar Ang­ka i­ni naik dari 682 eksekusi mati yang di­la­ku­kan pa­da 240 war­ga negara Indonesia terancam hukuman mati, 60% 2012. Pada World Day Against the Death Penalty, 10 Oktober di an­ta­ranya ter­ka­it ka­sus narkotika. Kini per­ta­nya­an­nya, 2014, Amnesty International merilis be­be­rapa data ter­ka­it pan­tas­kah kita ngotot memberlakukan hu­kum­an ma­ti, se­ pro­tes ter­ha­dap hu­kum­an ma­ti. Contohnya, hu­kum­an ma­ men­ta­ra di sisi lain memperjuangkan ke­se­la­mat­an war­ga ti yang me­nya­lahi kode etik dan pelanggaran HAM se­ri­us ki­ta yang dihukum mati?n

86 Ekspresi Edisi XXvii Th Xxii maret 2015




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.