Majalah kentingan 20

Page 1

Majalah Mahasiswa Universitas Sebelas Maret Surakarta ISSN 1440 - 4460/ Edisi 20 tahun XX - 2013

Nikmatnya Budaya Makian Kita (?) Rp15.000,00

Laporan Khusus: Keroncong yang Tak Lagi Protol

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

1



Bengkel Redaksi

Maklumat Penerbit LPM Kentingan

Pemimpin Litbang Rizka Maulida

Pelindung Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S.

Staf Pengembangan Dewi Ika Sari, Hanif Dwi Pandoyo, Larasanya Kharissa, Hanputro Widyono, Rifqatin Ulya

Pembina Drs. Hamid Arifin, M.Si. Pemimpin Umum Rochmad Endra S. Sekretaris Umum Eva Patriana Wasekum I Khusnun Puspane Subagja Anindita Prabawati Wasekum II Oktarianto Raharjo Wasekum III Sri Hartati Danur Lambang P. Pemimpin Redaksi Wisnu Renaldi Redaktur Pelaksana Majalah Anna Nur Khasanah Redaktur Pelaksana Buletin Nurrahma Restia Nindya Galuh Redaktur Pelaksana Website Aisha Alfiani Mahardika Editor Ayu Ahsanu Amala Esti Dwi Rachmawati Redaktur Foto Adi Putra Purnama Niken Ayu Redaktur Layout Hesti Ratnafuri Rizal Nur Ichwani

Edisi Sebelumnya

Redaktur Ilustrasi Monica Arti Wijaya

Staf Penelitian Nurhayati, Marcelina, Tiara Saum, Udji Kayang Aditya, Metta Rahma M, Adzin Kondo Nubuat Staf Personalia M. Rodhi Qoribi, Angga Setiawan, Mohammad Haekal K Pemimpin Perusahaan Alifah Hidayati Staf Keuangan Heni Indah Kusumastuti Staf Iklan Elza Sylviana P., Narulita Putri Kusmira, Nugroho Adi, Wiwit Putri Handayani Staf Usaha Almar’atul Awalia, Any Hidayati, Syarafi Nur Ghifari Reporter Rochmad Endra, Wisnu Renaldi, Anna Nur Khasanah, Ainun Nisa, Anandita P, Pandhu Abdisurya, Nurhayati, Redza Dwi, Inang Jalaludin, Khusnun Puspane, Nurrahma Restia, Eva Patriana, King Eden, Monica Arty, Heni Indah, Hanputro Widyono, Naimatur Rofiqoh, Aisha Alfiani, Nindya Galuh, Danur Lambang, Udji Kayang, Dara Ayu Yulianti, Hesti Ratnafuri, Noorma Luthfiana, Dede Suprayitno Ilustrator Pandhu Abdisurya Na’imatur Rofiqoh Abishena Bayu Metika Ida Satria Ningrum

H

arap maklum. Begitu yang terlintas dibenak kami saat payung besar majalah Kentingan edisi XX ini mengangkat tema memaki. Kami berprasangka pembaca yang budiman ini akan memaklumi kenekadan kami menyuguhkan sesuatu yang dekat dengan masyarakat tetapi kadang diingkari, memaki. Harap maklum. Kami juga akan memaklumi jika pembaca yang budiman akan terkekeh, mengumpat, menebar sumpah serapah sampai mengelus dada setelah membaca majalah Kentingan edisi dua dasawarsa ini. Harap maklum, kami bertele-tele meminta kemakluman pembaca yang budiman hingga hampir lupa bercerita bahwa hasrat memaki bagi sebagian orang layaknya beban yang harus dimuntahkan. Sebagian lagi memilih tidak mengizinkan kata-kata makian “berkeliaran” secara bebas tetapi merubah variasi makian yang ia keluarkan. Bagi sebagian remaja memaki justru menunjukkan keintiman hubungan antara penutur dan petuturnya. Makian (mungkin) akan terdengar begitu kasar tetapi percayalah, makian bergantung pada konteks siapa dan di mana makian diucapkan. Seperti Ani Yudhoyono yang (mungkin) kelepasan menulis “bodoh” saat berkomentar di salah satu jejaring sosial hingga menuai silang pendapat antara kepantasan dari ibu negara dan kemakluman. Semua bahasan tentang maki-memaki akan ditemukan dalam rubrik Fokus Utama. Setelah puas memaklumi, kini saatnya mendendangkan Bengawan Solo sembari menikmati rubrik Laporan Khusus yang menyajikan riuh rendahnya perjalanan industri musik keroncong tanah air. Dari Waljinah hingga Sruti Respati menawarkan cerita tersendiri dalam menelusuri cerita penyebaran musik keroncong. Menjajaki piringan hitam sampai panggung festival, keroncong mencoba bertahan di tengah gempuran musik di tanah air. Mari mengingat alunan keroncong ala Gesang, Bondan dan Fade2Black serta Payung Teduh yang masing-masing melantunkan keroncong dengan cita rasa berbeda. Bukan mencoba mengotak-kotakkan genre musik namun mari kita berusaha bersikap arif, memaklumi keroncong yang menyesuaikan dengan keadaan agar tidak habis sampai akarnya dan kehilangan para pengemarnya. Membuka lembaran-lembaran lain dalam majalah ini, pembaca yang budiman akan menemukan bahasan-bahasan lain yang juga menuntut untuk dimaklumi. Semuanya terangkum dalam rubrikrubrik yang menyuguhkan berbagai peristiwa yang (mungkin) terlalu biasa serta klasik untuk dibahas, namun percayalah, tetap menyimpan makna. Semuanya merupakan suguhan spesial yang kami rangkum dalam untain kata-kata, khusus untuk pembaca yang budiman dengan menuntut kemakluman tinggi. Jadi, harap maklum! [*] Redaksi

Alamat Redaksi: Gedung Grha UKM UNS Lt. II, Jalan Ir. Sutami Nomor 36A Kentingan Solo 57126 Email : email@lpmkentingan.com Website : www.lpmkentingan.com

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

3


Daftar Isi

FOKUS UTAMA

8 Nikmatnya Budaya Makian Kita (?) 13 Retorika Panggung Caci Maki Pecas Ndahe 17 Dibalik Makian Sang Ibu Negara

TREN

48 Dalam

Gurat Jejak Backpacker

SOSOK

43 Sosok: Jeannie Park,

Pencarian Jiwa yang Suwung

Laporan Khusus 33 Keroncong yang Tak Lagi Protol

Destinasi

43 Pesona Seribu Mangrove di Pandansari 26 Mendulang Rupiah dari Limbah Kain Perca

3 Bengkel Redaksi 5 Angkringan: -Mahasiswa Sakit Kok Dicuekin! -Mahasiswa Sekarang Mahasiswa Abal-Abal? 6 Cermin: Misuh Pada Tempatnya 7 Editorial: Lain Ladang Lain Belalang, Lain Mulut Lain Makiannya 22 Riset: Menguping Dentum Makian Para Mahasiswa 24 Kolom: Tentang Mereka yang Terburu-buru Beranjak Dewasa 29 Kolom: Pikir-Pikir untuk Kaya

4

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

INOVASI

Lensa

29 “Sate Jamu”, Galaknya Kuliner Solo

38 Pentas: Kelindan Dolanan Bocah 48 Sekitar Kita: Ekspresi Seni Sepanjang Jalan 50 Kolom: Misuh dalam Hidup Saya 52 Bentara: Sedulur Sikep Menyikap Hidup 54 Resensi: -Telisik Feminisme dalam Epos Mahabarata -4 Luni, 3 Săptămâni şi 2 Zile, Sepenggal Kisah Kelam Romania 56 Galeri: Luka Lama 58 Catatan Kaki: Menakar Pengaruh Film


Angkringan

Mahasiswa Sakit kok Dicuekin!

Ilustrasi oleh: Na’imatur Rofiqoh

K

esehatan adalah hal penting yang harus dimiliki setiap orang untuk menjalankan aktivitasnya. Tak heran jika kampus ternama seperti UNS menyediakan fasilitas kesehatan khusus untuk mahasiswa dan staf UNS. Namun, fasilitas kesehatan yang bernama Medical Center (MC) tersebut nampaknya belum memenuhi kebutuhan keluarga UNS. Walaupun dengan menunjukkan kartu anggota sebagai staf atau mahasiswa UNS kita dapat berobat gratis, namun pelayanan yang diberikan dari petugas MC kurang maksimal. Suatu ketika saya menemani teman yang sakit flu untuk berobat ke MC. Saya menemaninya dari mulai masuk hingga selesai. Saya terkejut dan dalam hati bertanya, “Kenapa pelayanannya seperti itu?” Pasalnya petugas yang ada di loket pendaftaran kurang ramah dan tidak sigap. Ia tidak segera menangani teman saya yang pada waktu itu sudah lemah dan terlihat sangat pucat. Begitu masuk ke ruang pemeriksaan, ruangannya sangat sempit dan bahkan hanya cukup untuk satu pasien dan dokter. Saya tidak bisa ikut masuk karena tidak ada kursi di dalam. Saya lebih terkejut ketika kurang dari lima menit, teman saya sudah keluar dari pemeriksaan. Teman saya bercerita bahwa dia tidak mendapatkan pemeriksaan di dalam ruangan. Dia hanya ditanyai

mengenai keluhannya, kemudian diberikan resep untuk ditukarkan di apotek. Teman saya bahkan tidak dicek kondisi tubuhnya. Sangat disayangkan jika satu-satunya fasilitas kesehatan gratis yang ada di kampus justru tidak memuaskan pelayanannya. Seharusnya UNS mampu memberikan fasilitas yang baik bagi semua civitas akademika UNS, terlebih dalam hal kesehatan.[*] Garinda Indraswari

Komunikasi UNS 2010

Mahasiswa Sekarang Mahasiswa Abal-Abal?

A

pakah ada orang yang akan merasa khawatir bila toko buku di sekitar UNS gulung tikar? Saya yakin tidak karena mahasiswa kini tidak lagi haus diskusi, tidak lagi lapar akan ilmu. Bagi kita, nilai akademik itu adalah sudah cukup memuaskan, entah dari mana asalnya. Namun penerapan ilmu kita seringkali tidak menjadi solusi bagi kemaslahatan masyarakat. Tri dharma perguruan tinggi berisi pendidikan, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian masyarakat hanyalah omong kosong! Kualitas mahasiswa yang seperti ini perlu menjadi perbaikan bersama. Pada masa mendatang, jumlah pengangguran terdidik dapat bertambah banyak karena para sarjana itu tidak pernah diwarisi ilmu kehidupan. Kita sedikit sekali memahami sebuah hukum tarik menarik dimana bila kita ingin mendapat sesuatu maka kita harus memberi terlebih dahulu. Kita ingin menjadi orang yang sukses, namun sebelumnya kita tidak pernah berkontribusi meski hanya sedikit atau saat kuliah kita menjalani sambil lalu tanpa memaknai tujuan.

“...jumlah pengangguran terdidik akan semakin banyak, karena para sarjana itu tidak pernah diwarisi ilmu kehidupan” Kawan semua mari berkaca! Sudahkah kita memahami nilai peran kita sebagai mahasiswa yang begitu besar daripada sekadar mengumpulkan tugas dan ikut ujian? Disiplin ilmu kita dapat menjadi solusi masalah lingkungan kita, dapat menjadi gebrakan, sebagaimana para pendahulu kita mengukir sejarah kemerdekaan dan reformasi. Lalu apa prestasi kita hari ini? Mulailah dengan peduli! Perbanyak membaca dan diskusi agar ilmu kita lebih aplikatif dan bermanfaat! Dan mengaktualisasikan diri dalam setiap momentum, tidak harus selalu aktif mengikuti organisasi dalam kampus, namun yang penting kita punya karya. Alqaan Maqbullah Ilmi Pendidikan Fisika/FKIP 2009

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

5


Cermin

beda kandang, beda makian Ilustrasi oleh: Monica Arty

6

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

Teks oleh: Wisnu Renaldi


Editorial

Lain Ladang Lain Belalang, Lain Mulut Lain Makiannya

S

ejak manusia memiliki bahasa yang diverbalkan sebagai alat bantu komunikasi manusia satu dengan lainnya, sejak itulah maki-memaki juga muncul menyertainya, sebagai budaya. Makian tidak bisa luput dan dipungkiri bagian dari budaya dalam masyarakat meski kadangkala berlawanan dengan sopan santun dan tata krama pergaulan sosial. Bagaimanapun, makian merupakan bentuk ragam bahasa. Setiap kelompok manusia yang memiliki bahasa sudah bisa dipastikan juga memiliki aneka bentuk makian dengan jenis, fungsi, dan bentuk masing-masing. Makian adalah salah satu katarsis untuk membuang tekanantekanan dan emosi. Plong. Punya hasrat yang tidak kesampaian, kecewa, terus bilang...arrggghh. Hasrat-hasrat kecewa terhadap yang diharapkan menumpuk, menumpuk, dan lama-lama menjadi emosi yang harus disalurkan. Salah satu caranya adalah dengan mengeluarkan bahasa yang diverbalkan. Plong. Rasa plong yang didapat sehabis memaki tak selamanya berterima dalam masyarakat. Setiap kelompok memiliki standar kesopanan-kesopanan yang mengatur masyarakatnya. Keramatnya sebuah makian bergantung pada nilai historis dan asal bahasanya. Beda daerah beda rasa makiannya. Beda pula fungsinya. Tak perlu rasanya menakar mana yang paling shit! Toh itu budaya, mau bilang apa. Masa muda, masa yang berapi-api, masa yang merdeka untuk memaki. Memaki tak selamanya sekadar penguap emosi. Bagi remaja memaki semacam bentuk pengukuhan jati diri. Merdeka! Merdeka dari belenggu tata krama yang bagi mereka dirasa cukup erat mengikat. “Hi, my dog! Itu bukan asu, tapi rasa sayangku padamu.� Begitulah fungsi makian dalam pergaulan remaja. Sebagai rantai pengikat pergaulan yang menunjukkan keakraban. Bagi sebagian remaja,makian tak melulu menyakitkan. Lain ladang lain belalang, salah makian malah dibilang sialan! Begitu kiranya bila perempuan ikut-ikutan memaki. Tak dipungkiri, masyarakat kita penganut patriarki menjaga sang pemilik empu dengan norma kesopanan sebagai konvensi dalam pergaulannya. Makian yang diucapkan perempuan memberikan sense yang lebih negatif daripada yang diucapkan laki-laki meski dengan kata yang sama. Jadilah perempuan hanya diam yang dengan sendirinya menjadi penyeimbang di antara hiruk pikuk makian. Makian tak selamanya bersifat agresif, bahkan bisa menjadi solutif. Bukan bermaksud permisif hanya saja perlu sikap arif. Selama bahasa masih ada, makian tak pernah dan tak akan bisa dipisahkan. Bagaimanapun juga, makian bagian dari kekayaan budaya.[*]

Ilustrasi oleh: Na’imatur Rofiqoh

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

7


Fokus Utama

Foto-foto oleh: Adi Putra Pratama/LPM Kentingan

Nikmatnya Budaya Memaki Kita (?) Oleh: Rochmad Endra 8

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

Pulang dari sekolah, saya main ke sungai. Saya torehkan kata asu dan tanda seru. Pada punggung batu besar dan hitam. Dengan pisau pemberian ayah. Itu sajak pertama saya. Saya menulisnya. Untuk menggenapkan pesan terakhir ayah: “Hidup ini memang asu, anakku. Kau harus sekeras dan sedingin batu�. Sekian tahun kemudian saya mengunjungi Batu hitam besar itu dan saya bertemu Dengan seekor anjing yang manis dan ramah. Saya terperangah, kata asu yang gagah itu Sudah malih menjadi aku, tanpa tanda seru. Tanda serunya mungkin diambil ayah. - Mengenang Asu Joko Pinurbo, 2012 -


Fokus Utama

S

etiap orang memiliki bermacam cara untuk mengekspresikan sesuatu yang dirasakannya. Salah satu cara pengekspresian tersebut adalah dengan kata-kata. Joko Pinurbo menggambarkan bentuk ekspresi dengan kata-kata melalui puisinya, Mengenang Asu. Dalam puisi tersebut digambarkan seorang ayah yang merasakan ketidakpuasan atas keras laku kehidupannya, kemudian ia mengekspesikan ketidakpuasannya dengan kata-kata, dalam hal ini dengan kata asu. Asu dalam bahasa Jawa berarti anjing. Kata asu sering digunakan masyarakat kebanyakan untuk mengumpat. Aprinussalam, dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM, menjelaskan kata-kata selalu tergantung konteks. “Makna dari sebuah kata akan berbeda tergantung situasi-kondisi, siapa pengucapnya, dan bagaimana diterima oleh lawan bicaranya,” tuturnya. Kata asu terdengar maupun diartikan lebih kasar ketika diterima lawan bicara apabila ada kemarahan/kejengkelan dan konteks di dalamnya. Kata-kata yang dilontarkan dengan kemarahan di dalamnya inilah yang disebut kata makian. Setiap individu pasti pernah memaki, baik itu dilampiaskan dengan ucapan keras maupun hanya di dalam hati. Seperti si ayah yang melampiaskan perasaannya menggunakan kata asu. Sastrawan Yant Mujiyanto, memaknai setiap kata asu yang terdapat dalam puisi Mengenang Asu milik Joko Pinurbo tersebut sebagai kepasrahan sang ayah atas realitas hidup. “Kata asu yang digunakan Jokpin dalam puisi tersebut terasa lembut, ada kepasrahan dalam hidup sang ayah yang mungkin berat. Jadi kata asu merepresentasikan hidup sang ayah,” terang Yan. Lebih lanjut Yan mengiyakan kata asu memang sering digunakan dalam melampiaskan kekecewaan dan kemarahan. Baginya kata asu milik sang ayah adalah bentuk kepasrahan sekaligus makian atas hidupnya sendiri meski tidak agresif. Memaki, bagi sebagian orang mempunyai fungsi untuk melepaskan beban psikologis dalam diri mereka. “Pisuhan/ makian digunakan sebagian orang untuk memuaskan ekspresi kejengkelan atau kemarahan,” jelas Christiana, dosen Sastra Daerah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS. “Pisuhan/makian merupakan bentuk ekspresi yang tidak dapat diwakili kata-kata lain selain kata makian,” lanjutnya.

Dalam masyarakat Bali terdapat larangan sumpah serapah (wak parusia) yang dibentuk oleh penguasa Foto dilansir dari:

Kesantunan dalam berkata Melepaskan kata asu sebagai ungkapan kekecewaan maupun kemarahan ternyata tidak sebebas melepaskan asu –anjing dalam arti sesungguhnya- ke tanah lapang. Ada pagar yang membatasi kata asu berkeliaran di antara penutur dan lawan bicaranya. Pagar tersebut adalah norma adat lingkungan di sekitar penutur. Representasi fenomena tersebut juga digambarkan Joko Pinurbo, ketika si anak menindaklanjuti ucapan dari si ayah. Si anak menuliskan kata asu pada sebuah batu. Selang beberapa waktu kemudian kata asu yang dituliskan pada batu telah berubah menjadi aku. Muncul semacam penolakan atau ketidaksetujuan dari lingkungan sekitarnya. Individu-individu di luar penutur menganggap kata-kata makian tidak boleh diucapkan maupun dituliskan. Kata-kata itu oleh masyarakat dikategorikan dalam tabu bahasa. I Ketut Dharma Laksana menjelaskan tabu bahasa, dalam bukunya Tabu Bahasa (2009), sebagai larangan-larangan menggunakan unsur suatu bahasa dalam masyarakat yang bersangkutan berdasarkan alasan sosial dan religius. Itu merupakan kesepakatan yang dibuat dalam masyarakat. Masyarakat kemudian menjalankan kesepakatan tersebut hingga menjadi norma adat dalam masyarakat. Kita ambil contoh kebudayaan Bali. Dalam masyarakat Bali terdapat larangan atau sumpah serapah yang dalam bahasa Bali disebut wak parusia. Dalam sejarahnya, wak parusia dibuat oleh penguasa masa lalu yang berisikan larangan untuk memaki, baik bagi wangsa (strata) yang lebih tinggi ke rendah dan sebaliknya, maupun warga sesama wangsa. Pelanggaran terhadap larangan memaki itu akan mendapatkan sanksi, baik itu berupa denda maupun sanksi sosial dalam masyarakat. Umpamanya, Brahmana memaki Sudra denda 250 kepeng (uang ringgit), sebaliknya Sudra memaki Brahmana denda 40.000 kepeng. Sanksi yang dialami masyarakat dewasa adalah tercemarnya nama baik atau bahaya kematian menurut kepercayaan Bali. Sampai saat ini tidak ada sumber yang menyebutkan wak parusia telah dicabut dari kebudayaan Bali. Aturan-aturan yang dijalankan dalam masyarakat itu akhirnya merangsang timbulnya budaya dalam kehidupan sosial masyarakat. Bahasa dan kata-kata pun merupakan hasil dari sebuah budaya yang telah disepakati.

Di Jawa, muncul ungkapan ora mriyayeni –tidak kelihatan seperti bangsawan. Ketika seseorang misuh, ia dianggap ora mriyayeni atau tidak memiliki sikap sebagai seorang bangsawan. Christiana menjelaskan, orang Jawa menganggap bahwa menjadi seorang individu haruslah seperti bangsawan/orang keraton. Bangsawan digambarkan memiliki pengetahuan yang luas, berpendidikan dan memiliki tingkah laku yang sopan. “Priyayi di sini bukan diartikan sebagai keturunan, tetapi lebih kepada sikap idaman yang ingin diwujudkan dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa,” papar Chris. Budaya mengatur dan memberi arah pada perbuatan dan karya manusia sehingga mempengaruhi pola-pola perbuatan, bahkan juga mempengaruhi cara berpikirnya (Koentjaraningrat, 1974:7). Budaya tak ubahnya aturan yang dibuat masyarakat dan kemudian mengikat masyarakat itu sendiri. Hal senada juga dipaparkan Aprinussalam, yang mengartikan budaya sebagai sebuah konvensi yang menjadi nilai dalam masyarakat. “Ada nilai-nilai yang masih dipelihara dalam masyarakat, mereka menganggap harus membatasi kata-kata tertentu. Ini adalah sebuah konvensi, konvensi yang menjadi nilai dalam masyarakat dan mereka berusaha menjadi dan seperti nilai-nilai yang berlaku di masyarakat tersebut,” jelasnya. Nilai-nilai yang mengikat itu juga dirasakan oleh Inang yang tinggal di lingkup masyarakat Jepara, Jawa Tengah. Dijelaskan bagaimana ia tidak diperbolehkan mengucapkan kata-kata makian sekalipun ia sudah tergolong dewasa dalam umurnya. Mengucapkan asu, bajingan, jancuk, dan kata-kata sejenisnya adalah KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

9


Fokus Utama Dalam potret masyarakat Jawa, kata makian tidak hanya diguanakan untuk menunjukan rasa marah namun juga sebgai medium keakraban

Eufemisme Makian Norma adat yang mengikat tersebut menyebabkan terbentuknya pola baru pada kata makian. Dalam bahasa Jawa sering kita mendengar kata makian yang dihaluskan, seperti kata asu yang dirasa sangat kasar diganti dengan asem, bajingan menjadi bajigur, dan sebagainya. Ketika penutur terbiasa mengekspresikan sesuatu yang dirasakan dengan memaki, sedangkan di lingkungan tempat dia berada tidak mengijinkan kata-kata makian “berkeliaran”, maka secara sadar si penutur akan merubah variasi makian yang ia keluarkan. Sistem penghalusan kata makian ini dinamakan diglosia. Charles A. Ferguson (1996) dalam Epilogue: Diglosia Revisited menjelaskan konsep diglosia sebagai fenomena seorang penutur suatu bahasa yang menggunakan ragam bahasa tertentu untuk situasi tertentu dan menggunakan ragam itu untuk situasi lain. Diglosia berkenaan dengan pemakaian ragam bahasa rendah dan ragam bahasa tinggi dalam suatu kelompok masyarakat. Ciri-ciri situasi diglosia yang paling penting adalah pengkhususan fungsi masing-masing ragam bahasa. Ragam bahasa tinggi khusus digunakan dalam situasi-situasi formal seperti kegiatan keagamaan, pidato, kuliah, berbicara dengan orang tua, dan sebagainya. Seba-

10

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

tabu bagi masyarakat di sekeliling tempat tinggalnya, terlebih di lingkungan keluarganya yang semuanya merupakan keturunan Jawa. Sebagai ganti makian dengan bahasa lokal, Inang menggunakan “Shit!” atau “Fuck you!” ketika berada di lingkungan keluarga atau tempat tinggalnya. Ia merasa aman karena tidak semua orang tau makna kata tersebut. Masyarakat di lingkungan Inang tinggal dan masyarakat pada umumnya tidak semua merasa dipisuhi karena dalam memaki, nilai rasa bahasa lokal berbeda dengan bahasa daerah lain. Bahasa lokal memiliki nilai historis dan kultural yang berbeda dibanding bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Budaya mempengaruhi nilai rasa sebuah kata. Meskipun kata yang dilontarkan sama, namun memiliki nilai atau rasa bahasa yang berbeda. Nilai inilah yang berlaku pada makian.

...masyarakat pada umumnya tidak semua merasa dipisuhi karena dalam memaki, nilai rasa bahasa lokal berbeda dengan bahasa daerah lain.

liknya, ragam bahasa rendah biasa digunakan dalam situasi-situasi santai seperti percakapan sehari-hari dalam keluarga, antara teman, atau dalam sastra rakyat. Begitu juga dengan makian. Teori ini menjelaskan hirarki makian ke dalam kata makian tinggi dan rendah. Pengklasifikasian makian ini digunakan ketika penutur berada pada situasi tertentu. Klasifikasi makian ini akan berpengaruh pada kapan makian itu dapat dilontarkan secara “bebas” dan kapan kita “menjinakkan” kata-kata yang kita keluarkan. Pengklasifikasian ini sangat dipengaruhi oleh budaya yang mengikat pada lingkungan masyarakat tersebut. Selain tergantung situasi-kondisi, siapa pengucapnya, dan bagaimana diterima oleh petuturnya, makian juga bergantung pada intonasi dan amarah yang terkandung di dalamnya. Penekanan (intonasi) tinggi yang digunakan pada sebuah kata menyebabkan kata tersebut menjadi semakin kasar. Ljung (1986), dikutip oleh Odin Rosidin dalam tesisnya Kajian Bentuk, Kategori, dan Sumber Makian, serta Alasan Penggunaannya oleh Mahasiswa mengelompokkan ungkapan serapah dalam dua jenis. Pertama, ungkapan serapah yang bersifat agresif, yang mencerminkan emosi penutur. Serapah yang bersifat agresif lebih dikarenakan faktor amarah yang terkandung dalam kata-kata tersebut. Serapah agresif sering digunakan untuk melampiaskan kemarahan dan menghujat suatu keadaan maupun lawan bicaranya.


Fokus Utama Makian juga tak melulu bersifat agresif, ia juga bersifat solutif. Aprinussalam menjelaskan dalam kasus tertentu, memaki mendapat pelonggaran makna. Memaki menjadi sebuah mekanisme negosiasi sekaligus solusi. Memaki diharapkan dapat menjadi ujung dari konflik. “Kita juga perlu melonggarkan makian dalam konteks itu sebagai ujung dari konflik, ya nggak masalahlah pisuh-pisuhan daripada sampai bunuh-bunuhan, cukup sampai saling memaki saja,” tegasnya. Kedua, adalah ungkapan serapah yang bersifat sosial, yang menunjukkan keintiman hubungan antara penutur dan petuturnya. Kembali lagi, bahwa makian akan terdengar begitu kasar tergantung konteks siapa dan dimana makian diucapkan. Puncak paradoks dari makian, ketika digunakan sebagai penjalin keintiman hubungan antar individu dalam kelompok tertentu. Meskipun kata tersebut dilontarkan dengan intonasi yang tinggi tetapi tujuan akhir dari kata-kata tersebut digunakan untuk sapaan keakraban atau ekspresi ketakjuban, maka kata tersebut akan masuk ke dalam kategori bahasa halus.

Kasus penggunaan makian sebagai sapaan keakraban sering kita jumpai pada lingkungan remaja. Remaja dalam bersosialisasi, biasa menggunakan makian sebagai tanda keakraban atau kepedulian terhadap sesama anggota kelompoknya. Kata-kata seperti “Piye kabare cuk? Sih urip to? Lha wingi sik diangkatke kae sapa?” (Gimana kabarnya cuk? Masih hidup to? Lha kemarin yang diangkat (dikerandakan) siapa?) akan sering terdengar saat remaja saling bertukar sapa. Mereka menggunakan kata-kata makian sebagai kode yang menunjukkan keberadaan dirinya maupun kelompoknya. Alasan kata-kata tabu yang diikat oleh budaya hilang ketika masuk ke dunia anak remaja. Makian menjadi sebuah kesepakatan antarindividu. Melalui kesepakatan itu pula, remaja menjadi “aktif” mengembangkan bermacam makian. Tela, tikus, cindil (anak tikus dalam bahasa Jawa) dan masih banyak lagi yang bisa diciptakan. Sebagai bagian dari kebudayaan, makian diinsyafi, ditransmisikan, dan diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya melalui perbuatan dan melalui komunikasi.[*]

Penekanan (intonasi) tinggi yang digunakan pada sebuah kata menyebabkan kata tersebut menjadi semakin kasar.

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

11


Lembaga Pers Mahasiswa Kentingan UNS Mengucapkan Selamat dan Sukses atas Diwisudanya Wahyu Aji Putranto, S. I. Kom. (Sekretaris Umum 2009/2010)

Gembong Darmadi Wibisono, S.E. (Redaktur Pelaksana Majalah 2011/2012)

Hendi Pradana Putra, S.T. (Pemimpin Perusahaan 2010/2011)

Haris Amanatillah, S.E. (Pemimpin Umum 2012/2013)

Aviana Cahyaningsih, S.I.Kom (Redaktur Pelaksana Buletin 2010/2011)

Amitha Imania, S.P. (Pemimpin Perusahaan 2012/2013)

Rina Yuli Arti, S. I. Kom. (Pemimpin Litbang 2011/2012)

Ayu Ahsanu Amala, S. Pd. (Pemimpin Litbang 2012/2013)

Erna Widi Rahayu, S. Psi. (Wasekum I 2011/2012)

Pandhu Abdisurya, S.Pd. (Redaktur Layout 2012/2013)

Listiana Widyastuti, S. Pd. (Staf Iklan 2010/2011)

Kepada Mereka Kami Ucapkan Terima Kasih Semoga Sukses

12

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013


Fokus Utama

Retorika Panggung Caci Maki

Pecas Ndahe Oleh: Wisnu Renaldi

... Well, open up your mind and see like me, Open your plans and damn you’re free. Look into your heart and you’ll find love, love, love, love. Tengkyu perimat terima kasih sepuntene. I am sorry tresna sing njero nganti mak leeebb leebb...

So I won’t hesitate no more no more... it cannot wait I am yours that no need to complecate our time is short this is our fate am joss gandos.... Ee dayohe teka ,ee gelarna klasa Ee klasana bedah,tambalen jadah Ee jadahe mambu,ee pakakna asu Ee asune ilang, Ee dadio asu... (I’m Yours ala Pecas Ndahe) KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

13


Fokus Utama

Pisuhan dalam Humor Menyebut kata Pecas Ndahe, sudah tak asing lagi bagi masyarakat Solo. Band parodi dengan formasi teranyar Doel

14

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

M

alam itu, hiasan panggung cukup sederhana, raut-raut wajah tak sabar, sedari tadi menanti sosok-sosok yang dirindukan naik pentas. “Kita sambut, Pecas Ndahe!” Gemuruh tepuk tangan bermunculan, seruan penonton mengiringi kehadiran tujuh sekawan ke atas panggung. Seketika ‘pecah’-lah suasana dingin melihat yang dinanti tiba. Tak lama berselang, sapaan pertama dari sang idola dibalas sorak antusias dari para penikmat yang hadir. Sedikit basabasi sebelum memainkan alat musik yang cukup lama dianggurkan. “I want you... I need you... I love you... Atama no naka gangan natteru music... Heavy rotation.” Kali ini penonton terbahak. Bukan karena lirik lagu yang dilafalkan, namun tingkah dua tokoh idola yang mengundang gelak tawa. Mengaduk-ngaduk perut. Aksi dua sejoli yang jauh dari usia remaja tak mau kalah dengan fresh-nya personil JKT48. Menghentakkan kaki, menggoyangkan pinggul, melambai-lambaikan tangan ala girl band yang sedang naik daun itu. Musik usai, tawa lebar penonton pun mulai redup. Kini dua orang yang sejak tadi polah berganti saling melempar canda. ‘Pingpong’ kata-kata di atas arena membuat mereka yang menyaksikan ‘khusyuk’ menyantapnya. Lambat laun suasana mulai turun dari kekocakkan sebelum akhirnya terlontar asu dari salah satu pemain. Asu yang bikin penonton balik ber-haha hihi. Malam itu, karena asu, suasana pecah kembali.

Foto-foto oleh: Wisnu Renaldi/LPM Kentingan

Itulah seni misuh dalam humor. Butuh kecerdasan untuk mengerti problematika dan memainkan emosi penonton.

Sumbing (vokal, joker), Wisik (vokal), Max Baihaqi (vokal, joker), Pendek Yulianto (gitar), Yoik (gitar, cak, cuk), Toni Tarantula (vokal, lead guitar), dan Tomo (drum), berdiri pada tahun 1993 dengan mengusung tampilan berbalut orkes humor. Dua puluh tahun eksistensinya di dunia tawa, Pecas Ndahe identik dengan pisuhan-pisuhan yang kerap dibawakannya ketika manggung. Wisik bercerita penamaan Pecas Ndahe bersumber dari ekspresi memaki karena kesal mencari nama. Tak kunjung menemukan nama yang tepat untuk grup musiknya, para personil merasa sampai ‘pecah kepala’. “Pecah ndase tenan goleki jeneng.” (Pecah kepala beneran mencari nama). Sontak dari ungkapan spontan tersebut membuat salah seorang menyeletuk, “Nah kui apik kok.” (Nah, itu bagus kok). Akhirnya tercetuslah ide melabeli band mereka dengan nama Pecah Ndase yang diplesetkan menjadi Pecas Ndahe. Maki-memaki di atas panggung dari perspektif Pecas Ndahe tidak berarti apa-apa. “Mungkin secara normatif terkesan kasar hingga jorok. Bagi kami memaki bukan berarti apa-apa dan


Fokus Utama sebenarnya memaki itu manusiawi dengan kadar-kadar tertentu. Yang penting niatan di hati itu seperti apa,” jelas Wisik yang diamini kawan-kawannya. “Pisuhan itu tergantung yang mengartikan. Orang yang tidak tahu pisuhan, menonton hanya ndlongop thok,’ Iki wong ngomong apa (orang ini ngomong apa)’ tidak tahu maksudnya,” tambah Doel. Sampai sekarang, diakui Pecas Ndahe, para penikmatnya ada yang membiarkan mereka bebas ceplas-ceplos. “Ngko pas manggung sak karepmu mas meh misuh-misuh yo rapapa,” (Nanti sewaktu manggung terserah kamu mas mau maki-memaki ya tidak apa-apa) papar Yoik saat menceritakaan pengalaman mereka tampil di daerah Magelang. Bahkan, menurut Yoik, ada juga yang tidak puas jika melihat mereka setengah-setengah dalam membawakan pisuhan. Penonton akan lebih senang jika kata-kata rusuh macam bajingan, ndasmu, delogok, dan sejenisnya fasih disebutkan di atas pentas. Sebagai penonton, Sigit Pramusinta (19) tidak menganggap caci maki dalam panggung Pecas Ndahe sebagai sesuatu yang kasar. “Kelucuan dari makian itu tergantung kepada imajinasi penonton. Kalau tidak bisa tertawa ya mungkin mereka (penonton) tidak bisa berimajinasi, hahaha.... Mereka kan memaki dalam konteks. Beda kalau kita ngomong sayang ke sembarang orang justru orang tersebut bisa marah,” jelas Sigit. Sependapat dengan Sigit, Dhimas Yanuar (21) juga menganggap pisuhan ala Pecas Ndahe

sebagai sesuatu yang biasa. “Kita sering melihat dan mendengar pisuhan tersebut di jalan, dan sebenarnya yang mereka bawakan adalah realitas di pergaulan masyarakat kita, “ begitu alasan Dhimas yang juga seorang Ndaser (sebutan penggemar Pecas Ndahe).

Pisuhan di mata Pecas Ndahe “Ooo… asu i,” hahaha hihihi. Penonton tertawa. Mereka tergelitik mendengar kata-kata umpatan mungkin juga tersentil merasakan asem-nya maki-memaki. Bagi Pecas Ndahe, misuh merupakan salah satu cara untuk total dalam melucu. Ada saja gelak tawa yang dihasilkan, dari yang terpingkal-pingkal sampai yang merasa cukup hanya dengan memberikan senyum simpul. Di mata Doel, membawakan pisuhan dalam panggung Pecas Ndahe harus dengan totalitas. “Kalau kita membawakan pisuhan dengan setengah-setangah, penonton bisa marah. Tetapi kalau kita membawakannya dengan los tanpa beban justru tidak apa-apa,” begitu terang Doel. Tak semua lapisan masyarakat terbuka dengan kata-kata yang dianggap tabu, termasuk kalimat-kalimat umpatan. Pecas Ndahe pun menyadarinya. Bagi mereka tidak ada batasan memaki kecuali segmentasi penonton itu sendiri. Dalam pementasan Pecas Ndahe juga memandang kondisi siapa yang akan menyantap lelucon mereka. Kata-kata pisuhan tak akan meluncur saat di hadapan anak-anak. Mereka memandang ungkapan makian memilki segmentasinya sendiri agar menjadi lucu. Pecas Ndahe beranggapan ungkapanungkapan yang tersaji selama di panggung musik sejenis, seperti halnya Endank Soekamti,” terang merupakan manifestasi dari realitas sosial. Bens yang dihubungi via telepon. Memaki nyatanya bisa Sehingga makian-makiannya dapat diterima jadi hiburan. Maka, memaki harus hati-hati, bisa-bisa selama dalam batas manusiawi. Namun jika pecah ndase tenan![] berbicara segmentasi, penonton mereka sudah memahami keunikan umpatan ala Pecas Ndahe . “Dalam pentas, kami juga selektif. Dari prespektif mereka yang biasa menikmati lelucon kami, kata-kata makian tidak melulu diartikan secara normatif bahwa hal itu adalah jorok ataupun kasar. Mereka mendengarkan makian, namun tidak merasa seperti dipisuhi,” ungkap Wisik. Makian adalah hal yang sangat dekat dengan masyarakat meskipun tingkatannya berbeda-beda. Dari asem yang menurut Pecas Ndahe rendah, hingga bajingan di level yang lebih tinggi. Inilah realita eufimisme maFoto oleh: Rochmad Endra/LPM Kentingan kian yang terjadi dalam seni mengocok perut. Dalam konteks tersebut kata-kata makian pun bertujuan untuk memperhalus makna aslinya. “Asu i, bayem i,” cetus Wisik dengan intonasi gaya memisuhnya. “Jika didengar akan lebih enak, dan sifatnya bukan lagi menghantam,” tambah pria berambut gondrong ini. Memang, nikmat sekali pemirsa Pecas Ndahe menyantap menu-menu ‘semprotan’ yang terhidang dari atas pentas. Membuat si lakon pemisuh semakin girang meracau untuk dipertontonkan. Berbagai macam persediaan umpatan pun terdengar lantang. Satu per satu, dari nama binatang, sifat manusia, hingga sayuran, jadi sasaran untuk menamKENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

15


Fokus Utama

Materi yang dibawakan oleh Pecas kebanyakan kritik sosial. Kalau dibawakan dengan pisuhan akan lebih mengena di hati anak muda

bah kamus caci-maki. Wisik kembali punya jawaban akan hal ini, “Berhumor itu ceklek-ceklekan kata. Terkadang ketika lagi melucu dengan kata-kata lurus terus kita langsung bilang asem, itu kan jadi seger. Untuk tertawa salah satu pemicunya adalah pisuhan.” Bagi Pecas Ndahe, bentuk pisuhan pun ada timing-nya. Kecerdasan komedian ‘dipertaruhkan’ di sini. Jika tak pas, pemirsanya enggan untuk tertawa. “Itulah seni misuh dalam humor. Butuh kecerdasan untuk mengerti problematika dan memainkan emosi penonton. Kita harus tahu bagaimana kondisi psikologi si penikmat humor. Tak selamanya jika ada pisuhan akan mengundang tawa, bisa saja penonton juga bakal enek,” timpal Doel. Totalitas adalah alasannya. Hal tersebut yang sampai saat ini masih dipegang Pecas Ndahe dari awal kelahirannya. Dari musikalisasi hingga bahan lawakan dibungkus seapik mungkin. Begitu juga kilah memilih pisuhan dalam humor yang dianggapnya sebagai pijakan dalam bicara. Emosi saat di panggung keseluruhannya dicurahkan untuk melucu. Sehingga apapun yang menjadi kontennya, penonton akan tetap tertawa hahaha. Bicara Makian di TV Ketika hidup yang serba sulit saat ini, humor menjadi bumbu penyedap untuk sesaat lari menjauh dari kejenuhan. Nonton yang nyemprot bedak, ada. Ala komik-komik strip, ada. Lihat yang agak mikir, juga ada. Terbaru, goyang-goyangan satu komando. Atau pilih yang mengolok-ngolok kekurangan? Banyak juga. Itulah wajah humor di televisi yang dimakan siapa saja tak mengenal batasan usia seperti kata Wisik Pecas Ndahe. Pria yang sudah banyak ma-

16

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

kan asam garam dunia hiburan ini mencoba melihat indusrialisasi media yang sudah membutakan diri pada koridor-koridor layak dan tak layak. Pecas Ndahe dengan kata-kata makiannya masih melihat ‘aturan’ dan memilah konten-konten bagi tiap segmentasi. Berbeda dengan televisi yang dapat disantap oleh siapapun. “Gerak-gerak, pekok-pekokan (bodoh-bodohan), rusuh, banci, misuh, menjelekjelekan orang, gak terlalu mikir. Terus ada yang sithik-sithik(dikitdikit) tepung, ada korban lantas tertawa. Itulah wajah televisi kita,” ungkap Wisik. “Dan kebetulan saja humor dengan olok-olokan yang mengumbar aib itu diterima masyarakat. Sebetulnya masih banyak humor yang lebih cerdas hanya saja tidak laku di industri hiburan sekarang,” imbuh Yoik. Humor yang dibalut dengan makian atau justru makian yang dibalut dengan humor menjadi tontonan dengan rating tinggi sejak pertengahan tahun 2013 tepatnya pada ramadhan tahun itu. Doel melihat fenomena tersebut sebagai humor yang hambar, jika “hiburan” tersebut masih dianggap humor. Hiburan yang disajikan terkesan dipaksakan untuk menjadi hiburan. Televisi memberikan ‘pesakitan’ di balik guyonannya. Dalam bentuk verbal ibarat umpatan yang bertujuan untuk menyakiti seseorang. Muke lo kayak jamban! Ah tutup botol! Ah tukang ketoprak! Dasar nying-nying! Nonverbal, juga tak jauh beda. Wusss… Semprotan tepung. Plakk… Pukulan sterofoam. Hahaha hihihi… Puas, orang lain menderita. “Penonton tetap tertawa. Mau lucu mau nggak, wong dikon ngguyu (orang disuruh tertawa),” cetus Yoik. “Kalau ada tekanan sosial yang cukup tinggi, humor laku. Bahkan humor yang sak-sake juga laku. Sajian yang tidak cerdas di TV lebih dipengaruhi program-program yang sedang berjalan. Sekarang apapun yang membuat rating tinggi akan dilakukan. Jika keadaannya seperti sekarang, memperlihatkan bahwa situasi kultural masyarakat kita berada pada titik nadir yang rendah,” tandas Wisik. Bagi Pecas Ndahe menampilkan humor terutama dalam menyertakan kata-kata makian juga ada batasannya. Inilah yang tidak dapat diperbuat oleh tayangan di televisi. Pecas Ndahe mungkin saja menerima tawaran dari stasiun televisi. Mereka menolak. “Idealisme. Kita masih menjaga itu,” ujar sang drummer mantap. Pecas sudah memiliki ruang di hati masyarakat Solo, khususnya anak muda. Memadang hal tersebut, pengamat musik, Ari Headbang berpendapat sah sah saja. “ Materi yang dibawakan oleh Pecas kebanyakan kritik sosial. Kalau dibawakan dengan pisuhan akan lebih mengena di hati anak muda,” ujarnya. “Jam terbang mereka sudah tinggi. Mereka tahu batasan memaki di atas panggung,” tambah Ari. Sedang Bens Leo, sebagai pengamat musik melihat industri rekaman sebagai tantangan bagi Pecas Ndahe. “Materi yang dibawakan di atas paggung pasti akan berbeda dengan materi rekaman. Hal tersebut menjadi tantangan untuk Pecas dan grup


Fokus Utama

Di Balik Makian Sang Ibu Negara Oleh: Anna Nur Khasanah

Ilustrasi oleh: Abishena Bayu

Seorang perempuan Jawa masih distereotipkan berperilaku dengan pencitraan perempuan keraton. Seperti perempuan-perempuan Arjuna, yang selalu berupaya menyenangkan dalam pergaulan, dengan tindak-tanduk yang menunjukkan persahabatan dan keramahan. Cerita tentang mereka, para istri Arjuna salah satunya termaktub dalam Serat Candrarini ,’Tan regu semune manis, lirih tanduking angling, lumuh ing wicara sendhu, amot mengku aksama’ (tidak banyak bicara, wajahnya manis, halus tutur katanya, tidak pernah mengeluarkan katakata kasar, sangat pemaaf).

P

ertengahan bulan Oktober 2013, sebagian masyarakat pengguna jejaring sosial terperangah dengan berita ”Ani Yudhoyono Marah di Instagram, Pakai Kata Bodoh” (Tempo. co, 17/10/2013). Sebuah akun di salah satu jejaring sosial mengomentari foto ibu negara itu. Sang ibu negara pun tersulut untuk mengomentari. “Subhanallah, komentar anda yang sangat bodoh. Kok anda tidak berpikir bahwa kami sedang melakukan kunjungan dan mampir sebentar ke pantai itu sekalian lewat? Come on, apa tak ada komentar lain yang lebih bisa diterima siapa saja?” begitu tulis Ani di jejaring sosial tersebut. Komentar inilah yang kemudian menjadi buah bibir di kalangan pengguna jejaring sosial.

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013 KE

17


Ada komentar dari akun lain yang menganggap komentar yang meluncur dari akun Ani adalah bentuk kemarahan. Sebagian memaklumi, sebagian menyayangkan Ani menulis kata bodoh. Ellisa Indriyani dalam kuliahnya, Sosiolinguistik, menggolongkan pemakaian kata bodoh yang dilakukan Ani sebagai labeling (penyematan label) pada seseorang. “Bodoh adalah kata yang menunjukkan fakta, yaitu kurang pengetahuan. Sayangnya labeling bodoh memiliki makna yang negatif, selain itu Ibu Ani adalah ibu negara sehingga dampaknya luar biasa,” jelas dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS itu. Tabu dan Bahasa Seksis Sebenarnya saat dilahirkan perempuan dan laki-laki memiliki potensi atau kecakapan yang sama termasuk dalam menggunakan bahasa, termasuk Ani Yudhoyono. ”Masyarakat memperlakukan laki-laki dan perempuan berbeda. Selanjutnya stereotip yang terbentuk adalah bahwa ‘perempuan tidak boleh dan tidak bisa jahat’, maka ‘perempuan tidak mungkin memaki’. Jika perempuan memaki, nilai kejahatannya menjadi berlipat-lipat daripada laki-laki. Padahal itu manusiawi. Masyarakat yang membentuk pembedaan itu,” terang Dewi Candraningrum, salah satu Dewan Redaksi Jurnal Perempuan. Dalam konstruksi ini, masyarakat membiarkan laki-laki ‘bebas’ menggunakan mulutnya. Laki-laki dianggap wajar berkata-kata dengan suara keras, lantang, dan boleh memilih kata-kata yang

Srikandhi, representasi perempuan Jawa yang dituntut memiliki watak pemberani, ramah, gampang bergaul, lincah, dan juga peduli keluarga Foto dilansir dari: wayangku.wordpress.com

18

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

Fokus Utama

Masyarakat memperlakukan lakilaki dan perempuan berbeda. Selanjutnya stereotip yang terbentuk adalah bahwa ‘perempuan tidak boleh dan tidak bisa jahat’, maka ‘perempuan tidak mungkin memaki’. konservatif atau tabu sekalipun. Bahasa serta cara menyampaikannya justru menjadi semacam peneguhan jati diri bagi laki-laki termasuk saat memaki. Perempuan dibentuk sebagai pembawa keteduhan, kedamaian, lemah lembut dalam hal berperilaku dan bertutur kata. Di sisi lain perempuan dijatahi stereotip emosional dan mengandalkan perasaan. Perempuan hidup dalam tatapan norma kesopanan. Keluar dari kesepakatan norma kesopanan di dalam masyarakat, perempuan dicap bukan perempuan baik-baik. Maka ia tidak boleh tidak sopan, tidak diizinkan berkata keras, apalagi memaki-maki. Ani Yudhoyono adalah perempuan keturunan Jawa. Ia dan perempuan Jawa pada umumnya, dididik untuk tidak berbicara keras, berteriak, apalagi menggunakan bahasa tabu. Alih-alih mengumpat bodoh, dlogok (Jawa) yang tak memiliki arti pun tak boleh. Saru! Jika dilakukan, masyarakat akan melabelinya tidak sopan. Terlebih ia seorang ibu negara. “Perempuan Jawa dituntut untuk berperilaku dengan pencitraan istri-istri Arjuna; Wara Sumbadra, Manuhara, Ulupi, Gandhawati, dan Srikandhi. Pemberani, ramah, gampang bergaul, lincah, luwes dan juga peduli keluarga,” terang Insiwi Febriary Setiasih dosen sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS. “Sifat-sifat tersebut diterangkan dalam serat Candrarini dan Jayengsastra yang ditulis pada pertengahan abad XIX pada masa pemerintahan Pakubuwono IX. Jayengsastra mengajarkan perempuan untuk mengusai ilmu pengetahuan, “ lanjut Siwi yang menulis Pemikiran KGPAA Mangkunegara VII Tentang Pendidikan Wanita dan Kebudayaan (1916-1944) sebagai tesisnya. Sedang gambaran Lakoff (1975) tentang perempuan mengatakan bahwa saat masa kanak-kanak, perempuan dituntut oleh orang tua dan masyarakat sekitarnya untuk berperilaku sebagaimana “nyonya kecil” (little lady), yaitu mengindari bahasa yang kasar, seperti berteriak, menendang, atau cara-cara lain yang bersifat kuat saat menyatakan perasaannya. Saat tumbuh dewasa, perempuan berbicara sewajarnya perempuan. Jika twidak, ia akan mendapat label perempuan yang tidak feminin baik oleh sesama perempuan maupun laki-laki. Sejalan dengan Lakoff, Simone de Beauvoir bahkan menyebut perempuan bukan dilahirkan sebagai perempuan melainkan dibentuk sebagai “perempuan”. Meski pada hakikatnya perempuan sama dengan laki-laki, sama-sama dititipi roh, samasama memiliki potensi berbuat kebaikan atau kejahatan, namun pada masyarakat perempuan dibentuk harus lebih halus. Bahkan seribu kali lebih halus. Perempuan menjadi tidak boleh dan tidak bisa jahat, tidak boleh dan tidak bisa berkata kotor, keras atau bahkan memaki. Seandainya perempuan berbuat jahat atau me-


Fokus Utama

Soimah, sebagai pelaku seni memaki dianggap sebuah kewajaran

“

maki, ia akan tampak seribu kali lebih jahat dan lebih kotor dari pada laki-laki meski yang diperbuat atau yang diucapkan adalah sesuatu yang sama. Bertolak dari siapa perempuan di dalam masyarakatnya, muncullah perbedaaan bahasa yang digunakan oleh perempuan dan laki-laki sebagai transmisi dunia perkawanan dan perkawinan keduanya. Laki-laki dan perempuan memiliki status dan peranan yang berbeda serta pola-pola perilaku yang diharapkan oleh masyarakatnya. Sepanjang masyarakat memandang laki-laki dan perempuan berbeda dan tidak setara, perbedaan dalam bahasa laki-laki dan perempuan akan terus berlangsung. Dalam rangka memenuhi peranannya, khususnya saat menjadi ibu, perempuan menggunakan bahasa yang santun. Perbendaharaan kata yang digunakan terbatas. Perempuan dianjurkan untuk berbicara lembut dan tidak berbicara kasar layaknya lelaki. Gao Gao (2008) menyatakan bahasa perempuan memiliki ciri benar, santun, kooperatif, tanpa kekuatan, dan diucapkan sebagaimana selayaknya seorang perempuan. Ciri-ciri itulah yang telah menjadi konvensi untuk menunjukkan bahasa perempuan. Fakta sosial menunjukkan bahwa makian seolah-olah milik laki-laki, mengabaikan variabel status sosial, tingkat kesejahteraan, dan pendidikan. Ada hubungan yang dekat antara bahasa dan gender yang menimbulkan konsep bahasa seksis, bahasa yang menunjukkan gender si penuturnya. Tentu saja bahasa seksis juga tak lepas dari peran masyarakat karena peranan gender juga ditentukan masyarakaat. Bahasa seksis menurut Miller dan Swift (1986) adalah segala bahasa yang menunjukkan stereotip tingkah laku dan prasangka atau asumsi yang menunjukkan bagian superioritas salah satu jenis kelamin terhadap jenis kelamin yang lainnya. Selanjutnya Gradoll dan Swan (2003) menganggap bahasa seksis justru sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang didasari alasan yang tidak rasional. Perempuan menghindari makian yang juga tidak jauh dengan bahasa tabu. Karjalainen (2002) menyatakan bahwa orang mungkin berpikir bahwa kata tabu atau kata yang mengacu pada tabu adalah makian. Meskipun semua kata makian adalah kata-kata tabu, tidak semua kata tabu adalah kata makian. Budaya normatif melarang perempuan mengumbar katakata apalagi kata tabu. Dunia perkawinannya (keluarga) adalah lingkungan pertama yang mena-

Foto dilansir dari: fashion-woman.blogspot.com

Seandainya perempuan berbuat jahat atau memaki, ia akan tampak seribu kali lebih jahat dan lebih kotor dari pada laki-laki meski yang diperbuat atau yang diucapkan adalah sesuatu yang sama.

namkan nilai, norma, sopan santun dalam fase awal kehidupan perempuan. Selanjutnya dunia perkawanan (masyarakat, sekolah, pertemanan) yang mengambil peran. Kebanyakan perempuan memilih menjaga perilakunya saat berada di dunia perkawinannya. Ada semacam konvensi yang memaafkan serta dianggap kelumrahan bila perempuan berekspresi memaki dalam konteks terkejut, senang, penyangatan, hingga konteks menunjukkan amarahnya. Konvensi itu berlaku dalam dunia perkawanan perempuan. Tetapi ada kemungkinan faktor-faktor lain yang tetap membungkam mulut perempuan untuk memaki, meski ia berada dalam dunia perkawanannya. Bahasa yang Berbudaya (?) Menelaah bahasa, gender tak lepas dari budaya dan masyarakatnya. Kemunculan pembagian peranan dalam masyarakat menjatah perempuan mendapat tempat setelah laki-laki. Kesadaran ini membuat laki-laki sering menjadikan perempuan sebagai objek. Kosa kata hingga kamus makian yang dimiliki laki-laki banyak yang merujuk pada bagian tubuh, milik, aktivitas, apapun yang berhubungan dengan perempuan. Pukimai kosa kata yang sangat

kasar bagi masyarakat Kalimantan karena menunjukkan penjatuhan harga diri lawan penuturnya dengan membawa-bawa nama ibu dan bagian tubuhnya. Lonthe, kosa kata yang merujuk pada perempuan penjaja birahi, sering digunakan sebagai makian daripada gigolo. Lonthe sering diucapkan untuk menunjukkan lawan bicaranya adalah perempuan murahan. Laki-laki cenderung terbuka dengan masyarakatnya, sehingga persenggamaan pun bisa didapuk sebagai kosa kata makian. Perempuan sekuat dan sebisa mungkin membuat keberadaannya sejajar dengan laki-laki atau setidaknya diterima masyarakat. Salah satunya dengan pemilihan kosakata hingga bahasa. Perempuan lebih memilih bahasa yang dianggap prestis utamanya saat berbicara dengan lawan jenis. Namun, adakalanya perempuan memaki dan tak segan-segan menggunakan kata-kata tabu, lebih vulgar, dan lebih jorok ketimbang bahasa makian laki-laki. Dalam konteks komunikasi intraseksual, laki-laki justru memilih tidak menggunakan bahasa kotor, vulgar atau boleh dikatakan tidak senonoh. Laki-laki cenderung menggunakan bahasa yang konser-

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

19


Fokus Utama vatif dan standar sebagai bentuk gengsi di mata lawan bicara yang berlawanan jenis. Perempuan pemaki mengundang persepsi yang lebih negatif dari pada laki-laki. Dari sekian banyak jenis makian yang ada dalam masyarakat, penyebutan aktivitas persenggamaan, nama hewan, nama penyakit, bagian tubuh perempuan juga menjadi bagian dalam kosa kata makian. Perempuan seperti menyingkap kain dari tubuhnya sendiri jika memakai kata-kata yang merujuk dengan dirinya. Perempuan

Maka muncullah gradasi kesopanan ala perempuan dalam konteks makian.

kebanyakan bersembunyi dari makian-makian dan membiarkan ‘jancuk’, ‘pukimai’, ‘taek’, menjadi monopoli kaum laki-laki. Saat mengalami keadan tertekan dan ingin menyalurkan amarah hingga sumpah serapah, perempuan memilih diam, mengumpat dalam hati, toh dalam hati siapa yang tahu. Daripada mendapat sanksi sosial sebagai pelaku kejahatan verbal, lebih baik diam! Dewi Candraningrum juga berpendapat bahwa perempuan tentu bisa, tentu boleh memaki, dengan konteks apapun, karena itu manusiawi. Lebih lanjut Dewi memperingatkan, ”Tetapi masyarakat menentukan standar kesopanan berdasarkan jenis kelamin. Perempuan, dalam masyarakat kita, harus sopan seribu kali lipat daripada laki-laki. Maka ketika laki-laki memaki, menjadi biasa. Sedang perempuan memaki, menjadi tidak biasa. Jadi lagi-lagi, masyarakat yang membentuk kultur diskriminasi itu.” Dilihat dari konteks penutur, tidak selamanya perempuan memaki menggunakan kata-kata biasa hingga yang dianggap tabu merupakan penyimpangan, lebih-lebih disebut kejahatan verbal. Memaki itu manusiawi. Ada kelegaan yang didapat setelah memaki. Estrich dan Sperber (1952:39) mengatakan, dengan

20

melontarkan kata makian, itu orang yang bersangkutan merasa tenang kembali karena emosinya telah terlampiaskan melalui saluran kata-kata. Pada situasi biasa perempuan bolehlah enggan memakai kata tabu, tetapi pada waktu seseorang sedang emosi, ia bisa saja menggunakan kata tabu itu sebagai bentuk sumpah serapah. Sedang Insiwi beranggapan masyarakat kita memiliki norma, nilai sebagai pembatas. “Selain itu norma, nilai yang ada dalam masyarakat sebagai sistem kepantasan. Kita menyadari kesamaan potensi antara perempuan dan laki-laki, tetapi apa iya, perempuan juga harus memaki? Biarlah perempuan jadi penyeimbang,” papar Siwi. Asumsi ini memang tidak bisa dipukul rata kepada setiap perempuan. Ada standar kesopanan yang berbeda dari setiap perempuan, termasuk konteks budaya yang melatarinya. “Harusnnya Ibu Ani tidak menggunakan kata-kata frontal. Cukup dengan, ‘Terima kasih komentarnya’ itu sudah cukup,” tambah Siwi. Hal ini terkait juga dengan status, pendidikan dan latar belakang dari perempuan itu sendiri. Ani seorang bangsawan yang tutur katanya sangat diperhatikan oleh masyarakat daripada perempuan biasa. Maka muncullah gradasi kesopanan ala perempuan dalam konteks makian. Ani boleh saja tersinggung, boleh marah, lantas boleh saja bilang bodoh. Toh Ani sebagai ibu negara sadar konsekuensi dan sanksi sosial masyarakat yang ia dapat. Di luar sana, ada perempuan yang bahkan terang-terangan bilang asu, ada juga yang hanya berani menyebut suku kata pertamanya dan melanjutkan dalam hati. Menahan. Ada yang menyebut bagian tubuh dari jenisnya, atau hanya berani menyebut plesetan-plesetan kata untuk melampiaskan makiannya. Ada lagi yang menggantung emosinya dengan melontarkan kata dasar… tanpa berani melanjutkan … bodoh![*]

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013


KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

21


Riset

Menguping Dentum Makian Menguping Dentum Makian Para Mahasiswa

Para Mahasiswa Oleh: Tim Litbang LPM Kentingan

1. Seberapa sering Anda mengeluarkan kata-kata makian?

2. Jika anda pernah memaki, dalam keadaan apa Anda memaki?

3. Jenis makian apa yang pernah Anda gunakan?

22

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

M

aki-memaki, bagaimanapun juga, bagian dari kekayaan budaya masyarakat kita. Namun, setiap bangsa dan daerah mempunyai perbedaan dalam menyikapi makian. Di Indonesia pada umumnya makian merupakan hal yang tabu untuk diucapkan, terlebih di Jawa. Ada ‘ketentuan-ketentuan’ tersendiri untuk mengucapkan makian dalam masyarakat Indonesia. Orang dewasa lebih diperbolehkan mengucapkan makian dibanding anak kecil dan remaja; perempuan lebih tabu untuk mengucapkan makian dibandingkan laki-laki; orang yang berpendidikan dan berpangkat lebih tidak pantas mengucapkan makian dibanding yang tidak berpendidikan dan tidak berpangkat. Lantas bagaimana orang yang dipandang berpendidikan dan berpangkat seperti mahasiswa dalam menyikapi budaya memaki? Rupanya ketentuan itu berlaku bagi mahasiswa. Dari enam ratus mahasiswa yang menjadi subjek penelitian tim Litbang LPM Kentingan, lebih dari 50 persennya mengaku jarang memaki. Bahkan ada yang mengatakan tidak pernah sekalipun memaki, yakni sebesar 10,74 persen. Hanya 10,92 persen yang mengatakan sering memaki. Memaki atau dalam bahasa Jawa disebut dengan misuh pada umumnya diucapkan saat orang dalam keadaan marah, jengkel, atau kesal, sehingga sering bermakna negatif. Maka anak-anak dilarang memaki karena kata-kata makian dianggap kotor dan tidak pantas untuk diucapkan. Hal itu juga diamini oleh sebanyak 40,49 persen responden bahwa makian dikeluarkan saat mereka marah. Namun seiring perkembangan budaya, ada perubahan persepsi mengenai makna tersebut. Makian tak melulu harus berkonotasi negatif, bisa juga bersifat positif. Sebanyak 20,07 persen responden mengucapkan makian untuk tujuan bercanda dan 10,74 persen lainnya untuk keakraban dengan teman. Kosakata makian sangat beragam dan berbeda-beda tergantung masing-masing daerah. Bahasa Indonesia saja mempunyai kosakata yang sangat banyak untuk memaki, misalnya anjing, brengsek, sialan, anjir, gila, bego, kampret, sampai mampus. Belum lagi untuk bahasa-bahasa daerah yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia. Dari sekian banyak kosakata makian, nama-nama binatang seperti anjing, babi, asu, kirik, jangkrik, dan kawan-kawannya menjadi kosakata makian yang sering digunakan oleh sebesar 30,73 persen responden. Disusul kemudian 8,68 persen yang menggunakan kosakata makian bagian tubuh manusia/hewan dan 2,08 persen kosakata aktivitas seksual. Sedangkan 58,51 persen lainnya menjawab kosakata selain tiga kategori di atas yang sering digunakan dalam memaki, seperti kampret, bego, edan, bajingan, shit, dan fuck. Lingkungan sangat berpengaruh bagi seseorang dalam memaki, karena itu menunjukkan dimana orang tersebut bisa leluasa mengekspresikan emosinya dengan bahasa verbal tanpa adanya kekangan dari pihak-pihak tertentu. Lingkungan tempat bermain dipilih sebanyak 39,06 persen responden menjadi tempat dimana


Riset 5. Di lingkungan mana Anda sering mendengar kata-kata makian?

7. Bagaimana pandangan Anda tentang perempuan yang suka memaki?

6. Bagaimana Anda menyikapi budaya memaki?

8. Bagaimana lingkungan sekitar Anda menerima budaya memaki?

Tidak boleh, makian adalah hal yang tabu 27,78%

Boleh saja, Makian adalah hal yang wajar 3,47%

Boleh, dalam hal yang wajar

Selain itu

21,61%

9,90%

Netral 37,85%

mereka paling sering mendengar kata-kata makian. Bisa dikatakan bahwa tempat bermain menjadi tempat yang paling leluasa untuk seseorang mengeluarkan makian, karena hanya teman-teman sebaya yang kebanyakan mereka temui di tempat bermain. Sebaliknya lingkungan keluarga menjadi tempat yang paling tidak leluasa untuk mengeluarkan makian. Kurang dari satu persen responden memilih lingkungan keluarga sebagai tempat mereka sering mendengar kata-kata makian. Lingkungan keluarga difungsikan sebagai lingkungan pengajaran moral sehingga tidak aneh jika kata-kata makian sangat dilarang dalam lingkungan keluarga. Dalam keadaan apapun seseorang tidak boleh memaki karena makian adalah hal yang tabu. Pendapat ini ternyata diamini oleh 27,78 persen responden. Sedangkan 21,01 persennya membolehkan seseorang untuk memaki dalam keadaan tertentu. Sedangkan 3,47 persen responden mengatakan bahwa makian adalah hal yang wajar. Di antara yang menabukan dan membolehkan makian, sebagian besar responden, yakni sebanyak 37,85 persen, menjawab netral saat ditanya mengenai sikap mereka terhadap budaya memaki. Terkait dengan adanya pengaruh budaya patriarki, khususnya perbedaan jenis kelamin, sebanyak 27,08 persen responden menyatakan wajar jika laki-laki yang memaki dan tabu bagi perempuan. Sebanyak 25,35 persen mengatakan sama tabunya, baik makian itu diucapkan oleh laki-laki maupun perempuan. Sedangkan 29,17 sisanya memilih netral dalam menanggapi hal itu.

Lebih lanjut dalam prinsip emansipasi, pada dasarnya perempuan memiliki potensi, kecakapan, dan kompetensi yang sama dengan laki-laki dalam hal bertutur. Begitupun seharusnya dalam hal memaki, karena memaki termasuk dalam kategori bertutur. Namun ternyata 38,37 persen responden tidak menyetujui pendapat ini. Berdasarkan survei yang dilakukan, sebagian besar responden beranggapan bahwa laki-laki dan perempuan tidak bisa disamakan dalam hal memaki. Sedangkan yang mengatakan setuju sebanyak 25,87 persen dan yang memilih aman dengan mengatakan netral sebanyak 35,76 persen. Pada kenyataannya memaki memang menjadi bagian budaya meski tabu bagi sebagian masyarakat Indonesia. Sampaisampai beberapa waktu yang lalu ada buku pelajaran Bahasa Indonesia yang dicekal karena di dalamnya terdapat kata-kata makian. Tapi tetap tidak bisa dipungkiri bahwa memaki merupakan bagian dari ekspresi diri, baik itu marah, jengkel, humor, maupun media keakraban. [*] Jumlah Responden : 600 Mahasiswa Sampling error : 4.08% Teknik Sampling : Cluster Random Sampling Populasi : Mahasiswa aktif perguruan tinggi di Surakarta Tanggal pengambilan : Agustus – Oktober 2013 KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

23


Kolom

Tentang Mereka yang Terburu-buru Beranjak

S

eorang kawan dari karib saya punya pekerjaan sampingan sebagai guru les privat seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Suatu kali ia bercerita, ketika sedang diajar, si adik yang masih lucu dan imut ini tak bisa lepas dari perangkat genggamnya, sebuah handphone yang katanya pintar. Beberapa kali terdengar bunyi centang-centing dan si adik tertawa cekikikan sendiri. Rupanya ia sedang bercanda dengan seorang anak laki-laki yang sudah ia sebut sebagai gebetan. Ketika teman saya itu menunjukkan foto si adik murid, kening saya hanya bisa berkerut. Tidak mungkin ia masih kelas 5 SD dengan dandanan dan kecentilan seorang mahasiswi semester awal! Lain-lagi dengan seorang tetangga yang juga baru kelas 5 SD. Tak sengaja saya melihat laman jejaring sosialnya—ya, bayi yang baru lahir pun sekarang sudah ada yang punya profil di dunia maya—yang penuh dengan update kabar tentang idolanya, sebuah boyband dan girlband yang anggotanya saja baru lahir setelah tahun 2000. Dari belakang punggungnya saya menyimak ia yang tengah asyik mengobrol dengan temannya, menggosip tentang mas-mas yang menurut mereka keren dan gebet-able. Belakangan baru saya tahu bahwa si mas tersebut masih kelas 1 SMP. Alamak, kerut di dahi saya pun bertambah beberapa baris. Untunglah satu kelegaan masih bisa menyusup ketika saya bertanya kepada seorang adik sepupu yang kebetulan juga masih duduk di bangku kelas 5, “Adek udah punya pacar belum, hayo?” Mantap dia menggeleng, “nggak, masih kecil!” Dan saya bersyukur. Saya tidak tahu apa yang saya lewatkan. Pun saya tidak bisa mengira-ira, seberapa jauh lompatan yang dilakukan oleh Generasi Z1 ini. Sejauh yang bisa saya gali dari ingatan, di umur sebaya mereka, hal yang paling saya khawatirkan adalah tidak bisa menonton kartun kesukaan karena harus mengerjakan PR, atau tidak boleh bermain ke rumah si anu yang jaraknya agak jauh, atau melewatkan

1

24

Generasi yang dilahirkan setelah tahun 2000.

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

bapak-bapak tukang es krim yang lewat depan rumah setiap jam dua siang. Sesederhana itu. Belum ada kerisauan karena chat yang tak berbalas, tak ada kata galau karena sang gebetan justru berbalas mention dengan yang lain. Atau ini, bingung menentukan foto mana yang lebih cantik untuk ditampilkan di jejaring sosial! Terlihat sekilas, apa yang sedang terjadi adalah kondisi anak-anak yang kecanduan teknologi, tidak bisa hidup jauh dari colokan listrik, apalagi sinyal 3G. Tak ada yang lebih penting dalam dunia mereka selain si idola A sekarang memacari siapa, atau si teman X sedang check in di mana. Tapi nyatanya, apa yang tengah berkecamuk di dalam diri anak-anak tersebut tidaklah sesederhana itu. Apa yang saya lihat dalam diri mereka, menurut saya bukan hanya sekadar penyalahgunaan teknologi yang dipercayakan terlalu dini dan tanpa pengawasan. Bukan hanya sebatas sikap manja khas anak yang dilimpahi kemewahan. Hampir tidak ada hubungannya dengan mencari-cari perhatian orang tua atau orang dewasa di sekitarnya. Bukan. Anak-anak ini sedang mengalami krisis jati diri. Jangan coba menutup mata, perhatikan dengan lebih seksama, maka yang tampak adalah apa yang saya lihat. Anak-anak ini tak ingin menjadi anak-anak lagi. Mereka ingin cepat tumbuh besar, dewasa, supaya bisa melakukan apa yang mereka mau. Lebih jauh, karena ternyata dunia anak-anak yang seharusnya mereka kecap sekarang bukanlah tempat yang nyaman untuk mereka tinggali. Teknologi hanyalah alat, sebagai sarana bantu memasuki dunia yang seharusnya belum mereka jejak. Menjadi anak-anak di zaman sekarang memang tak seindah masa kita dulu. Mengenang masa kecil, saya merasakan gembiranya bermain dengan bebas di ruang terbuka, tidak takut panas, tidak menghindari hujan, bahkan tidak ragu-ragu untuk berkotor-kotor. Teman bermain adalah sekaligus partner in crime, bukan seseorang yang diam-diam jadi gebetan. Belajar dan berkembang dilakukan seiring sejalan,


Kolom

Dewasa Mahasiswa Hubungan International Universitas Gajah Mada Yogyakarta

Foto: dok. pribadi

Choirunnisa

Dunia semacam apa yang adik-adik kita hadapi sekarang? Kondisi separah apa yang membuat mereka lupa caranya untuk menjadi anak-anak?

sama sekali bukan keterpaksaan. Bisa digambarkan begini, saya belajar di sekolah, dan saya mengembangkan kreativitas dan kepribadian saya di mana saja saya suka. Tak ada hiburan yang lebih menarik daripada berkumpul bersama teman. Pun tak ada hasrat untuk memamerkannya pada siapa pun melalui media apa pun. Tak ada ruang untuk menjadi narsisistik. Semua mengalir apa adanya, sebagaimana mestinya. Dikondisikan demikian, masa kecil saya sangat membahagiakan, nampaknya tak ada yang lebih menarik. Menjadi dewasa atau mengurusi perkara cinta sungguh berada di luar pertanyaan. Sekarang, berapa banyak anak-anak yang memiliki kemewahan demikian? Yang terjadi justru sebaliknya. Betapa banyak anak-anak ditumbuhkembangkan dalam kondisi yang artifisial. Sejak balita sudah dijejali les ini-itu, dipaksa mempelajari ini-anu. Golden age, katanya. Namun jika demikian, saya rasa anak-anak tak akan berkembang secara wajar. Jika hari-harinya sudah penuh dengan kegiatan, maka tak akan ada ruang tersisa untuk sekadar bermain dengan sebaya, bersosialisasi, membangun karakter, dan menikmati masa kecil. Situasi macam ini lebih banyak terjadi di kota-kota besar, di mana ruang-ruang bermain anak kian menyempit, relasi pertemanan antaranak juga tidak begitu erat, tidak seperti di kota-kota kecil. Kota kecil di daerah cenderung memiliki ruang publik yang besar seperti lapangan, sungai, atau pantai, tempat anak-anak bermain dan menjadi diri mereka. Sedangkan anak kota yang serba terbatas ruang geraknya, beralih kepada hiburan elektronik sebagai pengganti.

Televisi dan internet tak ubahnya Pengasuh 2.0. Tak peduli bahwa kini sudah hampir tak ada tayangan yang layak tonton, atau konten digital yang ramah anak-anak. Layar kaca menghabiskan sebagian besar porsinya menayangkan sinetron remaja yang ber-plot ‘sampah’ dan menawarkan gaya hidup yang mengada-ada. Tayangan anak-anak? Ajang kompetisi yang membuat anak-anak bertingkah layaknya orang dewasa itu? Menyanyikan lagu cinta, berlenggak-lenggok di atas panggung, tak ada bedanya. Atau tayangan infotainment yang hanya bertutur bagaimana si anu akan bercerai dengan si ini, si itu berbelanja di negeri antah berantah, dan seterusnya, dan seterusnya. Bagaimana dengan internet? Internet membuat anak terpaku pada kehidupan semu di balik tuts atau keypad. Belum lagi banjir informasi yang tak punya saringan. Tanpa pengawasan orang dewasa di sampingnya, anak-anak hanya akan menelan mentah-mentah apa yang tersaji di hadapan mereka. Tanpa sempat mengunyah, apalagi mengambil sarinya. Dunia semacam apa yang adik-adik kita hadapi sekarang? Lingkungan seperti apa yang menjadikan mereka kehilangan panutan? Kondisi separah apa yang membuat mereka lupa caranya untuk menjadi anak-anak? Jika mereka tahu apa yang tengah mereka hadapi, jika mereka sadar betapa susahnya menjadi orang dewasa dan betapa menjadi anakanak adalah suatu berkah, maka tak akan pernah terlontar pertanyaan macam ini dari seorang sepupu yang masih berseragam putih-biru tua, “Mbak udah punya pacar? Kalo aku baru aja balikan sama mantanku, hihi.” Duh, Dek…. [*]

Yogyakarta, 30 Oktober 2013 KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

25


Inovasi

Mendulang

Rupiah dari Limbah Kain Perca

Oleh: Ainun Nisa Nadhifah, Anindita Prabawati

U

saha-usaha mandiri yang berorientasi ramah lingkungan kini merupakan usaha yang makin banyak dilirik. Inspirasi untuk berinovasi dalam usaha ada kalanya berasal dari hal-hal yang berada di sekitar kita. Sumadi, pengelola usaha daur ulang kain perca, yang juga merupakan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) serta staf tata usaha Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR) Universitas Sebelas Maret (UNS) ini merupakan salah satu sosok yang berpengalaman menemukan inspirasi berinovasi. Sumadi mengawali usahanya karena terinsipirasi oleh pameran kriya Grawisata Sriwedari beberapa tahun silam. Dalam pameran itulah ia pertama kali melihat sebuah mesin yang mampu mengubah sabut kelapa menjadi serat-serat benang. Inovasi memanfaatkan limbah ini dimulai dengan pembelian mesin yang dapat menghasilkan benang dari sabut kelapa tersebut. Sembari mengawasi para pekerjanya, Sumadi bercerita, “Mesin pengubah sabut kelapa itu saya modifikasi menjadi mesin yang da-

26

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

Foto-foto oleh: Adi Putra Pratama/LPM Kentingan

pat menghasilkan kapas. Kain awalnya dari kapas, dan saya coba membalikkan, dari kain menjadi kapas.� Aktivitas dalam usaha ini bisa terbilang turut melestarikan lingkungan, karena bahan utama penghasil kapas berasal dari kain perca limbah pabrik garmen. Berawal dari Kain Perca Surakarta dan daerah sekitarnya terdapat beberapa pabrik garmen yang menghasilkan banyak kain perca sebagai sisa produksi dalam bermacam ukuran dan bentuk. Kain perca dengan ukuran yang cukup lebar sebenarnya dapat didaur ulang menjadi barang-barang pelengkap kebutuhan rumah tangga, seperti serbet, keset, dan sebagainya. Namun, bila dibandingkan dengan kain perca berukuran besar, limbah kain perca dengan ukuran kecil lebih sulit untuk dimanfaatkan menjadi barang daur ulang. Bila tidak dimanfaatkan oleh tangan-tangan yang tepat, kain perca ini tentu dapat menjadi masalah pencemaran lingkungan di daerah Surakarta


Inovasi

Dari seluruh proses yang terjadi, kapas hasil perombakan tersebut akan mengalami penyusutan berat sebesar sepuluh persen dari berat awal kain perca.

“

dan sekitarnya. Hal inilah yang turut menggerakkan usaha yang pertama kali dirintis oleh Sumadi pada tahun 2004 lalu. Pada waktu itu, kasur Palembang yang harganya mahal tengah menjadi tren tersendiri di dalam pasaran furnitur. Melihat peluang ini, mengubah bentuk kain perca menjadi kapas bisa menjadi langkah awal dalam mendaur ulang sekaligus berwirausaha. Alihalih tetap menjadi limbah, kain perca yang tak terpakai itu bisa lebih dioptimalkan bila didaur ulang menjadi kapas. Transformasi Limbah Pada prinsipnya, proses pendauran ulang kain perca menjadi kapas ini lebih banyak membutuhkan tenaga mesin. Proses mendaur ulang kain perca ini dilakukan dalam tiga tahap. Langkah pertama dalam mendaur ulang kain perca adalah penyortiran. Dalam langkah permulaan ini, seluruh kain perca disortir berdasarkan jenis bahannya. Proses penyortiran ini bertujuan untuk menghasilkan luaran kapas yang nantinya seragam. Kain perca hasil penyortiran ini dikelompokkan menjadi kelompok kain perca katun, jeans, nilon, dan jenis-jenis lainnya. Setelah disortir menurut jenis-jenisnya, bahan mentah itu akan mengalami proses pemotongan. Di dalam mesin pemotong, kain-kain perca yang sebelumnya telah dikelompokkan sesuai jenisnya tadi akan dipotong dengan lebar hampir sama, yakni antara dua hingga tiga sentimeter. Tahap pemotongan ini berguna untuk mempermudah proses selanjutnya, yakni penggilingan. Tahap terakhir dalam mendaur ulang kain perca adalah penggilingan. Kain perca yang telah dipotong dengan ukuran sama lebar digiling di dalam mesin silinder. Proses penggilingan ini ber-

langsung empat kali berturut-turut. Untuk menghasilkan benang dengan kualitas sesuai dengan keinginan, terdapat empat mesin penggiling berukuran besar yang digunakan secara berurutan. Dari seluruh proses yang terjadi, kapas hasil perombakan tersebut akan mengalami penyusutan berat sebesar sepuluh persen dari berat awal kain perca. Untung Berlipat Selain mengurangi masalah pembuangan kain perca pada lingkungan, hasil olahan yang berupa kapas daur ulang juga sangat menguntungkan bila dilihat dari segi rupiah. Betapa tidak, harga kapas daur ulang bisa mencapai lima kali lipat dari harga kain perca per kilonya. Sumadi memaparkan bahwa harga kain perca dari pabrik-pabrik garmen adalah Rp500,00 per kilogram, sedangkan setelah diolah harga kapas daur ulang bisa ia jual dengan harga Rp2.500,00 per kilogram. Dalam satu hari, kapas daur ulang yang diproduksi pabrik di daerah Kartasura itu dapat mencapai empat ton. Selanjutnya, kapas tersebut dijual kepada para tengkulak yang sudah menjadi pelanggan. Tidak berhenti sampai di situ, kapas hasil daur ulang juga digunakan untuk mengisi kasur lantai. Kasur lantai dari kapas daur ulang biasanya hanya berumur dua tahun, sehingga produksinya akan terus dibutuhkan. Variasi produk hasil pemanfaatan kapas daur ulang ini tentunya juga berguna untuk menaikkan nilai jualnya di pasar. Harga kasur lantai berisi kapas daur ulang ini dapat berkisar antara Rp60.000,00 hingga Rp70.000,00 per unit. Dari usaha mendaur ulang kain perca menjadi kapas ini, omset kotor yang diperoleh pabrik Sumadi dalam satu hari dapat mencapai enam juta rupiah. Dalam menjalankan inovasi ini, Sumadi mengakui bahwa kendala utama yang ditemuinya adalah masalah sumber daya manusia (SDM). Etos kerja dan kedisiplinan yang kurang telah menjadi penghambat kelancaran aktivitas di pabriknya. Maksud hati ingin mempekerjakan warga sekitar lokasi pabriknya, karyawan-karyawan di pabriknya justru datang dari daerah Wonogiri. Sebagai satu bentuk inovasi yang memiliki prospek besar, daur ulang kain perca membutuhkan pekerja yang memiliki etos kerja tinggi. Sumadi berharap, usahanya tersebut dapat menjadi lapangan kerja yang menjadi jawaban atas masalah pengangguran di daerahnya.[*] KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

27


Kolom

Pikir-pikir untuk Kaya

“Wealth is the product of man’s capacity to think”.

Oleh: Pandhu Abdisurya Pemuda yang Suka Merantau

I

ndonesia memiliki Luthfi Hasan Ishaaq, politisi yang menumpuk harta kekayaan beratus-ratus juta dalam waktu singkat melalui korupsi. Awal bulan Oktober kemarin, Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, menerima suap milyaran rupiah dari sengketa pilkada Kabupaten Gunung Mas Kalteng. Orang-orang seperti Andi Malarangeng maupun Akil Mochtar jelas masih banyak, tetapi mereka bolehlah disebut sebagai dua simbol orang-orang kaya yang culas dan serakah. Dalam iklim seperti saat ini, timbul pertanyaan: Apakah menjadi kaya itu penting? Jawabannya, tentu saja, tetap penting, bahkan sangat penting. Ya, menjadi kaya sangat penting. Kata-kata tersebut memang masih kontroversial bagi sebagian orang yang memandang kekayaan itu tidak dilihat dari materi. Apalagi anak-anak sekolahan tidak diajarkan hal-hal semacam itu. Dalam berbagai cerita dan dongeng, orang-orang kaya sering diidentikkan dengan orang yang kejam, cules, dan kikir. Sebaliknya, orang-orang yang baik sering digambarkan hidup sederhana, ramah, dan sering membantu orang lain. Dalam ceritacerita klenik di Jawa, kita juga sering mendengar bagaimana orang kaya sering diprasangkai buruk dengan memelihara tuyul. Tuyul ditugaskan untuk mecuri kekayaan orang lain dan membawanya ke rumah orang yang memeliharanya. Begitu juga dengan masyarakat Eropa, tetapi orang yang menjadi sasaran kebencian adalah orang-orang dari kelompok ras tertentu, yakni orang-orang Yahudi yang secara ekonomi lebih makmur. Dalam cerita yang berkembang ratusan tahun di Polandia, misalnya, orang-orang Yahudi digambarkan sebagai orang yang sering mencuri dan membunuh bayi non-Yahudi sebagai tumbal lalu melemparkannya ke sumur penduduk. Menurut cerita berbau rasis itulah, para pedagang dan pengusaha Yahudi bisa mempertahankan kekayaan. Seiring dengan majunya peradaban manusia, cerita yang berkembang dari kepercayaan masyarakat itu semakin menghilang meskipun belum sepenuhnya. Orang-orang makin berpikir rasional mengapa sebagian orang bisa menjadi kaya sedang lainnya tetap miskin. Dunia pun bisa mempelajari mengapa orang-orang Yahudi mejadi kelompok paling kaya. Seperti yang dikutip Time melalui penelitian Philip M Parker, orangorang Yahudi memiliki penghasilan rata-rata 16.000 dollar/

28

tahun. Terlepas dari apapun komentar orang, kini orang Yahudi mampu menguasai dunia melalui kekayaan. Karl Marx menyebutkan bahwa uang adalah Tuhan orang-orang Yahudi, mereka kini “menguasai” dunia. Tetapi jelas, orang tidak perlu menjadi Yahudi untuk menjadi kaya, apalagi ketika kekayaan itu membuat mereka menjadi arogan. Ia bisa belajar pada mereka, mengambil pelajaran yang baik dan sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini. Ia mungkin bisa berspekulasi bermain valas seperti George Soros milioner yang dijuluki filantropis sekaligus perampok dan parasit. Tetapi ia juga bisa mengambil pelajaran bagaimana Bill Gates dapat menjadi kaya dan menyumbangkan kekayaannya kepada berjuta-juta orang miskin untuk mengentaskannya dari kemiskinan. Di tengah keterpurukan negeri ini –akibat korupsi dan kemiskinan– berpikir untuk menjadi kaya bukan berarti memupuk sifat serakah. Sudah barang tentu bukan menjadi kaya dengan korupsi, merampok, dan menipu, tetapi menjadi kaya dengan benar dan jujur. Caranya? Dengan bekerja keras dan cerdas. Kaya dan jujur. Betapa indahnya rangkaian kedua kata ini. Ketika beberapa anak muda bermimpi menjadi pegawai negeri lalu terjebak dalam iklim koruptif yang menjadikannya diterima sebagai pegawai, menjadi kaya dalam jalan kejujuran mungkin menjadi impian yang naif. Begitu pula ketika iklim korupsi merajalela, terasa berkhayal saja menjadi pengusaha kaya sejak kuliah tanpa sogok sana-sini, kolusi dan nepotisme. Meskipun korupsi di negeri ini sudah merata, nilai-nilai kejujuran tetap masih dipegang oleh banyak orang. Masih banyak orang yang mau bekerja keras dan cerdas. Dan banyak diantara mereka yang sukses melalui beragam usaha bisnisnya tanpa pernah lupa untuk berbagi. Bagi orang-orang yang seperti itu, ada hak milik orang lain yang harus diberikan, sakbegjo-begjone wong kang lali, iseh begjo wong kang ileng lan waspada. (Seberuntung-beruntungnya orang yang lupa, masih beruntung orang yang ingat (Tuhan) dan waspada). Walhasil menjadi kaya (dengan kejujuran) tetaplah sangat penting. Terlalu banyak orang yang miskin di negeri ini, termasuk miskin wawasan kehidupan. Sudah jelas negeri ini membutuhkan sebanyak-banyaknya orang kaya yang baik hati dan tidak serakah.[*w]

...berpikir untuk menjadi kaya bukan berarti memupuk sifat serakah.

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

Foto: dok. pribadi

-Novelis Amerika Ayn Rand (1905-1982)


Lensa

SATE JAMU,

Galaknya Kuliner Solo KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

29


Lensa

“

Para penjual menyiasatinya dengan mengganti nama warung dengan nama sate guguk, sate waug, sate hug-hug serta menyematkan gambar kepala asu.

30

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013


Lensa

S

ore itu, seperti biasa, para pengunjung di sebuah warung tenda dekat terminal Tirtonadi memesan menu jamu. Ada sate jamu, rica jamu, krengsengan jamu serta jamu goreng. Kesemuanya, olahan dari daging anjing. Kuliner tersebut berkembang pesat sejak sekitar tahun tujuh puluhan di Solo dan sekitarnya. Menurut pemilik warung, bumbu serta cara mengolahnya sama dengan daging kambing. Hanya saja, pelanggan memburu kuliner tersebut karena percaya akan khasiat yang dimiliki. Pelanggan percaya, jamu dari olahan daging anjing mempunyai khasiat sebagai obat kuat, penghangat badan, hingga penawar penyakit kulit. “Ini (sate jamu) buat nyembuhin kulitku. Seminggu sekali pasti makan, ya lumayan berkurang sih,” ujar Eric (20) salah satu pelanggan. Bambang Suprapto, dosen Ilmu Gizi Universitas Sebelas Maret Surakarta, mengungkapkan harus ada koreksi lebih lanjut mengenai khasiat kuliner anjing ini. Rata-rata daging pada umumnya mengandung 25gr/100gr protein. Bagi orang yang kekurangan protein

jika mengkonsumsi protein secara teratur akan merasakan tubuhnya lebih fit. Demi mendapatkan khasiat “jamu” yang maksimal, para pengolah kuliner mematikan anjing dengan cara memukul sampai mati, menenggelamkan anjing di dalam kolam air, atau dicekik dengan bantuan tali. Cara-cara tersebut semata-mata agar darah anjing tetap berada dalam daging. Selain itu konsumen percaya, darah yang tidak keluar menambah kelezatan olahan daging anjing. Deby (20) pelanggan warung Hug Jos di Jalan Pemuda, Solo tidak mempermasalahkan cara penyembelihan. “Yang penting, orang yang masak pintar mengolah, rasanya pasti enak,” tuturnya. Sayangnya, penyebutan sate jamu banyak membuat orang awam keblinger. Mengingat Solo merupakan daerah sentra pembuatan jamu, jamu pada umumnya. Pada awal 2000-an, nama sate jamu tidak diperbolehkan sebagai nama warung olahan anjing. Para penjual menyiasatinya dengan mengganti nama warung dengan nama sate guguk, sate waug, sate hug-hug serta menyematkan gambar kepala anjing.

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

31


Lensa

Solo, kota dengan masyarakat yang memiliki kepercayaan beragam. Pemberian nama warung sate guguk dan nama sebenarnya dirasa dapat memberi penerangan bagi mereka yang kebetulan melihat. Para konsumennya tetap paham dengan nama warung sate guguk, rica waug, ataupun krengsengan hug. Orang awam pun bisa mengerti olahan yang dijual di warung tersebut berasal dari daging anjing. Olahan anjing kini menjadi bagian dari khazanah kuliner Solo. Sate guguk, sate waug, ataupun sate hug-hug punya tempat tersendiri di hati pelanggannya.[*]

Foto oleh: Tim Foto LPM Kentingan UNS Teks oleh: Anna Nur Khasanah

32

KENTINGAN XX. XX EDISI EDISIDESEMBER DESEMBER2013 2013


Laporan Khusus

Keroncong

yang Tak Lagi Protol

Oleh: Nurhayati, Redza Dwi, Inang Jalaludin

Tanjung perak tepi laut Siapa suka boleh ikut Bawa gitar keroncong piul Jangan lupa bawa anggur Tanjung perak.. tepi laut

Foto-foto oleh: Niken Ayu/LPM Kentingan

KENTINGAN KENTINGAN XX. XX EDISI EDISI DESEMBER DESEMBER 2013 2013

33 33


Laporan Khusus

Musik Impor Menurut pendapat para sejarawan, konon, musik keroncong berasal dari Portugis yang dibawa masuk oleh para pelaut dan budak pada abad ke-16. Adalah fado, musik Portugis yang berarti “nasib”, yang diduga menjadi cikal bakal musik keroncong. Penelusuran tentang pengaruh musik Portugis di Indonesia pun banyak dilakukan bahkan sampai ke Maluku, tempat Portugis menetap lebih dari seabad lamanya hingga tahun 1640-an. Sejarawan kontemporer asal Australia, Merle C. Ricklefs

34

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

S

epenggal lirik lagu keroncong berjudul Tanjung Perak tersebut dibawakan Waljinah saat melenggang di atas panggung World Summit Toilet 2013 yang berlangsung di benteng Vastenburg, Surakarta. Suara lembut Waljinah diiringi kolaborasi petikan ukelele dan tabuhan kendang memecah keheningan malam, menemani para peserta perwakilan dari sepuluh negara yang mengikuti perhelatan acara tersebut. Riuh tepuk tangan pun mengakhiri penampilan Sang Maestro Keroncong malam itu. Bicara kejayaan keroncong tahun 50-60an tak lepas dari tembang Bengawan Solo milik Gesang. Tidak hanya sukses di tanah air, tembang tersebut juga mendapat apresiasi di banyak negara, bahkan kabarnya begitu populer di negeri bunga sakura. Lalu apa jadinya seandainya dulu Gesang tidak mencipta lagu Bengawan Solo? Jika dihubungkan dengan masa sekarang mungkin akan banyak anak muda yang geleng kepala jika ditanya tentang lagu keroncong. Kini keroncong memang tidak sepopuler musik lainnya sebut saja pop, rock, jazz bahkan dangdut. Dunia hiburan terus berkembang. Ketika keroncong sudah turun pamornya, industri musik akan menawarkan banyak komoditas baru untuk terus meraup keuntungan dari para konsumennya. Hal itu tak lantas membuat keroncong hilang seketika. Ia bertahan, perlahan bangkit dari kemunduran. Tak perlu berharap banyak pada media, panggung ke panggung menjadi pilihan bagi para penyanyi-penyanyi keroncong.

Adalah fado, musik Portugis yang berarti “nasib”, yang diduga menjadi cikal bakal musik keroncong.

bercerita dalam Sejarah Indonesia Modern (1991) bahwa sejarah panjang munculnya keroncong di tanah air dimulai dengan kedatangan VOC pada tahun 1620-an di Pulau Banda, tempat mereka membuang, mengusir, atau membantai seluruh penduduk Banda. Lantas kemudian mereka ditawan di Batavia sementara sebagian lainnya berhasil melarikan diri ke pulau-pulau di sekitarnya, salah satunya adalah ke Malaka. Namun, naasnya kapal yang ditumpangi oleh tentara Portugis beserta keluarga mereka asal Banda karam di lepas pantai Marunda dan kemudian pada tahun 1661 mereka dibuang ke wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Kampung Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. Mereka lantas membentuk sebuah komunitas Portugis dan menyanyikan lagu-lagu Portugis seperti Moresco dan Cafrinho, diiringi waditra gitar kecil Portugis yang mereka buat sendiri. Melalui komunitas ini musik Portugis tersebar ke Batavia, dan melahirkan apa yang dinamakan sebagai genre Krontjong Toegoe, yang menjadi cikal bakal musik keroncong Indonesia. Dari Kampung Tugu musik keroncong terus berkembang, hingga pada tahun 1920 didirikan komunitas musik Orkes Krontjong Poesaka Moresco Toegoe. Komunitas tersebut kemudian dikenal luas, terutama di kalangan orang-orang Indo-Belanda.”Setelah dibentuk komunitas keroncong di Batavia, keroncong ditampilkan sebagai bentuk hiburan kaum elit di sana. Ditambah lagi keroncong selalu mengiringi acara-acara kaum bangsawan”, jelas Danis Sugianto, dosen etnomusik Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.


Laporan Khusus Akan tetapi, pada tahun 1940-an, ketika Jepang menduduki Indonesia dan mengusir Belanda dari Indonesia, kegiatan bermusik mereka terhenti. Pada masa itu musik keroncong (Tugu) dilarang bermain karena iramanya dinilai cepat dan dikhawatirkan dapat membakar semangat masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang. Kemudian keroncong lebih berkembang di Jawa Tengah yang dimainkan dengan pelan.

Dari Piringan Hitam sampai Panggung Festival Napak tilas perjalanan keroncong dalam memasuki industri musik tanah air, dapat ditelusuri dari keberadaan sebuah tempat yang bernama Lokananta. Bangunan yang berlokasi di Jalan Jenderal Ahmad Yani Solo No.39 tersebut merupakan “rumah” bagi para maestro musik Indonesia. Termasuk di dalamnya para penyanyi keroncong legendaris. Pada tahun 1976, Gesang Martohartono tercatat pernah melakukan rekaman untuk lagu Bengawan Solo yang begitu fenomenal seantero dunia itu. Begitupula Waldjinah, yang dari awal karir hingga kini menjadi penyanyi keroncong kelas internasional selalu melakukan rekaman di Lokananta. Nat King Cole-nya Indonesia, Sam Saimun, juga pernah masuk dapur rekaman di gedung dengan luas lahan 21.500 meter persegi ini. Sejak tahun 1950-an, Lokananta berperan dalam penyebaran musik keroncong di Indonesia. Kala itu Lokananta adalah impian bagi sebagian artis keroncong. Tidak sembarang orang bisa melakukan rekaman di sini. “Tidak gampang untuk mendapat kesempatan rekaman di Lokananta. Harus melewati prosedur yang ketat dan selektif,” kata Waldjinah kepada Gatra (Gatra Nomor 42, beredar Kamis 30 Agustus 2007). Waldjinah sendiri pertama kali melakukan rekaman untuk tembang Kembang Katjang pada tahun 1958. Melalui piringan-piringan hitam, rekaman keroncong diperdengarkan untuk umum setelah disiarkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI). Piringan hitam tersebut juga dikomersilkan secara bebas kepada masyarakat. Bahkan, Nugroho Andi, koordinator dan penanggung jawab studio rekaman Lokananta, mengatakan piringan hitam milik Sam Saimun sudah sampai ke pasar internasional. Tentu saja Lokananta bukan satu-satunya yang berperan dalam penyebaran genre musik ini. Sebelum Lokananta berdiri pada tahun 1956, keroncong sudah mulai menyebar melalui lomba-lomba keroncong (kroncong concours) yang diadakan di kota-kota seperti Surabaya, Tegal, Pekalongan, dan Cirebon dan sudah bermunculan pada pertengahan tahun 1920-an. Dari sinilah bibit-bibit penyanyi keroncong bermunculan. Hal ini didukung oleh pendapat seorang penyanyi keroncong, Budiman B.J yang menulis dalam Mengenal Keroncong Lebih Dekat (1975)

Tidak gampang untuk mendapat kesempatan rekaman di Lokananta. Harus melewati prosedur yang ketat dan selektif,” menyebutkan bahwa beberapa contoh kegiatan lomba tersebut adalah diselenggarakannya lomba keroncong Catur Tunggal/Tri Tunggal yang meliputi RRI Yogyakarta, Surakarta, Semarang, dan Purwokerto; lomba atau festival vokal dalam acara Bintang Radio di RRI (hingga kini masih berlangsung dan berkembang menjadi Bintang Radio dan Televisi); lomba grup musik keroncong di Taman Ismail Marzuki, yang diprakarsai oleh Dewan Kesenian Jakarta; dan festival keroncong tingkat nasional yang pertama kali diadakan padatanggal 28, 29, dan 30 November 1978 di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Lomba yang diprakarsai oleh Direktorat Pengembangan Kesenian tersebut diikuti oleh satu perkumpulan musik keroncong dari setiap propinsi di Indonesia kecuali dari Propinsi Timor Timur dan Irian Jaya tidak mengirimkan wakilnya. Sejak itu berturut-turut media cetak, radio, layar lebar dan pementasan mengambil peranan dalam penyebarluasan musik keroncong di tanah air. Keroncong menjadi budaya pop yang sangat booming waktu itu. Kejayaan keroncong berhenti ketika pada tahun 1965 terjadi pemberontakan Gerakan 30 September (G 30 S) yang menurut banyak sumber didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Tepatnya pada tanggal 1 Oktober 1965, G30S/PKI berhasil menguasai studio RRI pusat di Jalan Merdeka. Jatuhnya RRI yang pada waktu itu merupakan media utama penyeberan keroncong ke tangan para pemberontak tersebut, membuat keroncong sontak mati seketika. “Waktu itu belum ada TV, kita (keroncong, red) hidupnya dari RRI. Ketika RRI katut dimasuki oleh G30S/PKI, ke roncong langsung mati, tidak hidup sama sekali. Sampai tahun 78 baru mulai lagi, seleksi bintang radio ada lagi. Tapi hidupnya sudah tidak seperti sebelum G30S/PKI itu, tidak ngetop seperti itu. Lebih menurun,” cerita Waldjinah ketika ditemui Tim LPM Kentingan di rumahnya. Upaya mengembalikan kejayaan keroncong seperti dahulu terus dilakukan oleh ban-

KENTINGAN XX. XX EDISI EDISIDESEMBER DESEMBER2013 2013

35 35


Laporan Khusus

yak pihak hingga sekarang. Artis-artis keroncong mempelopori usaha tersebut dengan mendirikan Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (HAMKRI) di Jakarta pada tanggal 13 Juli 1975. Dalam blognya, hamkri. blogspot.com, dituliskan bahwa pendirian HAMKRI didasarkan pada suatu tujuan yang mulia yaitu bermaksud melestarikan citra musik keroncong yang diyakini mengandung nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia yang ramah, sopan, santun dan beradab. Pemerintah pun tak mau ketinggalan. Solo, sebagai tempat lahirnya sang legenda, Gesang dan Waldjinah, mempunyai andil yang cukup besar sebagai “benteng pertahanan” musik keroncong di tanah air. Keroncong telah menyatu dalam jiwa dan nafas Kota Solo. Setelah dikukuhkan sebagai Kota Keroncong pada tahun 2007 oleh walikota periode sebelumnya, Ir. Joko Widodo, perlahan keroncong mulai menggeliat kembali. Penyanyi-penyanyi keroncong baru mulai bermunculan. Sruti Respati muncul sebagai ikon baru musik keroncong. Cantik, muda, dan serba bisa. Sruti menjadi harapan baru bagi keroncong untuk tetap eksis dan kembali merambah kancah musik nasional bahkan internasional. Hal itu dibuktikannya dengan terpilih menjadi Duta Indonesia dalam ASEAN-Korean Traditional Music Orchestra selama dua tahun berturut-turut dan berkesempatan menyanyikan keroncong di depan sebelas kepala Negara se-Asean. Untuk mendukung label sebagai Kota Keroncong tersebut, atas prakarsa HAMKRI Solo dan Pemerintah Kota (Pemkot) Solo lahirlah Solo Keroncong Festival (SKF). Acara tersebut pertama kali digelar pada 24-25 Juli 2010 di kawasan ww Ngarsopuran yang kala itu menampilkan satu Orkes Keroncong dari negeri tetangga, Orkes Keroncong Yayasan Warisan Johor Malaysia. Sejak itu, SKF secara konsisten menjadi agenda tahunan Kota Solo dimana tiap tahun selalu bermunculan bibit-bibit baru yang masih muda dengan kreativitas yang semakin mewarnai musik keroncong Indonesia. Pada gelaran SKF 2013, 13-14 September, tak kurang dari 15 orkes keroncong meramaikan acara yang mengusung tema Keroncong Musik Segala Usia tersebut. Selain SKF, eksistensi keroncong di Kota Solo tetap terjaga

Pendirian HAMKRI didasarkan pada suatu tujuan yang mulia yaitu bermaksud melestarikan citra musik keroncong yang diyakini mengandung nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia yang ramah, sopan, santun dan beradab.

36

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

salah satunya lewat Lesehan Keroncong Asli yang rutin diadakan setiap Selasa malam pada minggu ketiga setiap bulannya di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT). Dalam lesehan ini, orkes-orkes keroncong yang hadir tidak hanya membawakan lagu yang memang sudah ada tetapi juga dituntut untuk membawakan minimal satu lagu baru. Setiap bulannya, puluhan pecinta musik keroncong selalu meramaikan Pendopo Agung setiap rabu malam. Diantara mereka banyak muda-mudi yang duduk membaur dengan sesama penggemar keroncong lainnya yang rata-rata memang sudah berumur. Dengan adanya lesehan ini, diharapkan dapat membantu mengembangkan dan melestarikan keroncong dalam kehidupan masyarakat Solo, karena sejatinya, tolak ukur keberhasilan sebuah karya seni tidak lain adalah seberapa banyak para penggemarnya. Mencari Bentuk Baru Keroncong Lepas tahun 1990-an, keroncong mulai ditelan masa. Oleh industri musik, publik dicekoki beragam genre mulai dari pop, rock, dangdut, lalu kemudian jazz. Hingga akhirnya berkembang sterotipe dalam masyarakat bahwa keroncong dianggap sebagai musik jadul milik orang-orang tua, membuat ngantuk, dan sebagainya. Mereka yang nekat menggemari dilabeli kuno dan ketinggalan jaman. Belakangan muncul kreasi dari para “seniman” keroncong muda untuk bereksperiman dengan musik keroncong agar menjadi lebih modern dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Hingga kemudian muncul turunan-turunan keroncong, seperti congrock (keroncong rock), congdut (keroncong dangdut), congjazz (keroncong jazz), congyang (keroncong goyang), dan lain-lain. Si lumba-lumba, Bondan Prakoso, dan Fade2Black melejit menjadi idola para penyanyi keroncong muda ketika sukses dengan hits Keroncong Protol. Mengawinkan dua pakem musik yang berbeda, yaitu keroncong dan hip-hop, adalah gebrakan Bondan


Laporan Khusus

dan kawan-kawan untuk memperpanjang nafas keroncong. Banyak orang yang mengapresiasi namun adapula yang mengkritisi bahwa mereka telah melakukan pencemaran terhadap pakem keroncong yang sakral. Namun tak dapat dipungkiri, Keroncong Protol adalah upaya untuk mematahkan stereotipe lama tentang keroncong dan mendekatkan keroncong pada kuping anak muda. Beda Bondan, beda pula Payung Teduh. Band Indie yang diawaki oleh Is, Comi, Cito dan Ivan ini tak perlu menghibridisasi keroncong dengan musik-musik lainnya. Cukuplah menggunakan bahasa Indonesia dengan gaya puitis sebagai lirik-lirik mereka. Hasilnya adalah tembang Angin Pujaan Hati dalam balutan musik bernuansa keroncong lawas. Indah, tenang, meneduhkan. Atas usahanya ini pantaslah jika Payung Teduh dinobatkan sebagai tokoh seni 2012 pilihan Tempo. Pengamat musik David Tarigan mengatakan sejauh ini mungkin baru Payung Teduh yang dapat membuat remaja hipster menganggap keren musik keroncong (Tempo, edisi 7-13 Januari 2013). Sebenarnya eksperimen terhadap keroncong sudah sejak lama dilakukan. Pengamat musik Denny Sakrie dalam blognya, dennysakrie63.wordpress.com, mengatakan bahwa jika kita menilik kembali perkembangan musik keroncong tanah air, sebetulnya keroncong memang sudah menjadi bagian dari industri musik pop. Kelompok The Steps yang didukung May Sumarna,Didi Hadju,Imron dan Ismet Januar misalnya mulai memperkenalkan istilah “Keroncong Beat”. The Steps memainkan keroncong tanpa menggunakan instrument seperti ukulele,cello maupun seruling.The Steps menggunakan perangkat band yang elektrik,mulai dari bass,gitar,drum hingga keyboards.Suara seruling pun dimanipulir dari bunyi keyboard. Mereka seolah menggabungkan gaya instrumental The Ventures maupun The Shadows tapi dalam nuansa keroncong. Albumalbum keroncong ini dirilis oleh Phillips/Pop Sound di Singapore. Di perusahaan rekaman yang sama,juga beredar album keroncong

Tak hanya keroncong, apapun musiknya, memang harus menyesuaikan dengan keadaan agar tidak habis sampai akarnya dan kehilangan para pengemarnya milik The Rollies bertajuk Halo Bandung (1969),juga kelompok The Peels yang didukung Benny Soebardja,Butje Garna dan Deddy Garna. Lebih lanjut Denny mengatakan, hal yang sama pun dilakukan kelompok Eka Sapta yang didukung Idris Sardi,Ireng Maulana,Itje Kaumonang,Benny Mustafa van Diest dan Bing Slamet.Dalam album Kerontjong Eka Sapta (Canary,1968), kelompok musik ini bahkan mengkroncongkan sederet lagu-lagu pop seperti A Whiter Shade of Pale (Procol Harum), Don’t Forget To Remember (Bee Gees) hingga Love Is Blue (Francis Lai). ”Apa yang dilakukan Eka Sapta ini ibaratnya menampilkan keju tapi tidak diatas piring yang lengkap dengan sendok dan garpu,tapi dihidangkan diatas daun seperti menikmati gado-gado. Jika demikian, sepertinya tidak perlulah mengkotak-kotakan musik dan menuntutnya untuk terus konsisten dengan berdiri sendiri. Tidak bijak pula rasanya jika berteriak tentang pencemaran budaya dan sebagainya. Toh, jaman terus berubah. Tak hanya keroncong, apapun musiknya, memang harus menyesuaikan dengan keadaan agar tidak habis sampai akarnya dan kehilangan para pengemarnya.[] KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

37


Pentas

Kelindan Dolanan Bocah Oleh: Khusnun Puspane, Nurrahma Restia, Anna Nur Khasanah

Soyang, Soyang, mbathik plangi dul Semarang ya ya Bu, ya ya Pa, manuk Endra kawan atus kawan dasa e kawula ngenger, ngengerake sandhang pangan luru dhewe (Soyang, lagu ini sering dinyanyikan saat permainan Soyang)

L

angit di atas Solo pada penghujung November lalu bolehlah mendung, tetapi semarak tawa dan canda bocah-bocah di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) tetaplah membahana. Tampak di deretan bangku penonton, sekelompok bocah berkebaya sedang berpose riang siap difoto. Kelompok lain sibuk membetulkan kostum, sanggul dan make up-nya. Kemudian lampu sorot menyala, mengantarkan para penari cilik memasuki panggung. Rupanya, TBJT malam itu sedang menjadi tempat pergelaran yang bertajuk Opera Bocah Butuh Main suguhan Sanggar Greget Semarang. Tepat pukul 19.30 WIB, yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Giliran penampil utama unjuk kebolehan. Pergelaran pada malam itu, 23 November 2013, merupakan pergelaran penting bagi siswa-siswi Sanggar Greget Semarang sebagai ujian akhir semester mereka. Pengrawit memainkan Yo Pra Kanca, dan nembang bersama mengajak dolanan. Seorang anak berkebaya hijau muncul dengan raut wajah sedih. Ia ingin bermain. Kemudian muncullah sekelompok temannya yang mencoba menghibur. “Ya sudah mari kita bermain saja,” kata salah seorang anak. Kemudian anak-anak itu berpencar. Ada yang bermain Playstation, Dingdong, ada pula yang pura-pura menonton televisi dan ada yang sibuk bermain telepon pintarnya. Bocah berkebaya hijau itu sedih lagi. Rupanya bukan permainan seperti itu yang ia harapkan. “Kita mau bermain di mana? Di sebelah barat ada gedung bertingkat, di sebelah timur ada perbaikan jalan,” kata penampil lain. Dengan logat Semarang yang khas, pemain di sampingnya menimpali, “Ya sudah kita main Soyang saja.”

Soyang, Teater Cah Ndesa Dinginnya udara malam disertai rintikan hujan di TBJT Surakarta tak menyurutkan minat penonton untuk menikmati suguhan perge-

38

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

laran Soyang dari Sanggar Greget. Soyang merupakan permainan tradisional dari Jawa khususnya Semarang yang sering dimainkan saat bulan purnama. Permainan peran ini membutuhkan banyak orang sebagai pemeran. Inti pemainnya, ada yang menjadi janda miskin dengan banyak anak dan ada janda kaya yang akan dititipi anak. Bocah berkebaya hijau itu akhirnya berperan sebagai janda miskin dengan banyak anak. Sedang temannya yang berkebaya merah dengan dandanan glamor menjadi Nyah Bos (Nyonya Bos). Si janda miskin tak sanggup mencukupi kebutuhan anak-anaknya dan ingin mengirim mereka ngenger (ikut bersama orang kaya) kepada Nyah Bos agar bisa tetap sekolah. Nyah Bos menerima permintaan si janda miskin dengan syarat anak-anak yang ingin ikut

Foto-foto oleh: Wisnu Renaldi/LPM Kentingan


Pentas

Gadget-gadget tersebut sudah menghapus kekhawatiran terhadap tanah lapang tempat bermain mereka yang semakin hari semakin menyempit. saat rapat. Selain itu, kritik terhadap persoalan peraturan daerah maupun undang-undang membuat opera malam itu dihujani tepuk tangan penonton. Para pemain cilik yang berjumlah sekitar 70 orang ini juga menyenggol masalah perizinan penyewaan TBJT yang sering dipakai buat mantu. Hasilnya, pergelaran yang berdurasi dua jam ini membuat para penonton enggan beranjak dari tempat duduknya.

Foto oleh: Inang Jalaludin/LPM Kentingan

dengannya harus mempunyai keterampilan. Jadilah pergelaran itu tak hanya sekadar bermain peran. Beberapa anak yang berperan sebagai anak janda miskin memperlihatkan kebolehannya menari, nembang macapat, dan ada pula yang malah bertingkah lucu. Ia tidak memiliki sesuatu untuk ditampilkan karena hobinya makan, makan, makan, dan makan. Untuk yang terakhir itu Nyah Bos tidak menerima. Baginya anak seperti itu hanya akan menghabiskan uangnya saja. Penolakan anak-anak itu membuat si janda miskin sedih. Tingkah dan ekspresi lucu dari pemain atas arahan sutradara Yoyok Piyambodo tak henti-hentinya mengundang tawa penonton. Begitu pula saat dialog antarpemain Soyang ini disisipi kritik yang ditujukan kepada para anggota DPR yang sering tidur

Foto oleh: Inang Jalaludin/LPM Kentingan

Satir dari Bocah “Pendewasaan” yang dilakukan terhadap anak-anak dalam opera kali ini sangat kentara dari kritik sosial melalui dialog-dialog yang dibawakan para pemeran. Pemikiran dan cara tutur yang biasa dilakukan oleh orang dewasa meluncur bebas di panggung malam itu. Meski kita juga tidak memungkiri, hal tersebut mungkin saja terjadi di masyarakat kita, dewasa ini. Apa yang lucu dengan anak-anak yang menggunakan bahasa “orang dewasa”? Benarkah kekhawatiran Neil Postman terhadap hilangnya masa kanak-kanak di barat juga menjadi fenomena di masyarakat kita? Kekhawatiran Postman – juga menjadi kekhawatiran kita – yang di tulis dalam buku The Dissappearence of Childhood (1994) bukan tidak beralasan. “Bukti menghilangnya masa kanak-kanak ini bisa berasal dari berbagai sumber dengan berbagai macam bentuk. Misalnya adalah contoh yang ditunjukkan oleh media sendiri, di mana mereka bukan hanya menghapuskan bentuk dan konteks masa kanak-kanak tetapi juga dengan menghapuskan isinya,” tulis Postman dalam bukunya. Mengingat adegan bocah berkebaya hijau di awal opera, tidak salah jika ia bersedih melihat temannya sibuk dengan permainannya sendiri. Anak-anak itu dan anak-anak pada umumnya sudah sibuk dengan acara televisi, telepon pintar, dan gadget-gadget milik mereka. Gadget-gadget tersebut sudah menghapus kekhawatiran terhadap tanah lapang tempat bermain mereka yang semakin hari semakin menyempit. “Seperti yang kita lihat tadi, permainan tradisional sebetulnya masih banyak, tetapi lahan untuk bermain sudah sangat jarang. Kita ingin menyampaikan misi keprihatinan tersebut,” papar Yasinta , pemimpin produksi opera tersebut. Agaknya, tidak berlebihan jika pergelaran suguhan Sanggar Greget kita sebut sebagai karya satir yang menggunakan anak-anak untuk berpikir seperti orang dewasa. Mereka, para bocah juga berbicara seperti orang dewasa. Namun kita juga tidak menutup mata bahwa sebuah pertunjukan seni bertugas tidak hanya menyampaikan estetika, tetapi juga realita. Sebagai sutradara, Yoyok berhasil membuat para pemain cilik itu menyentil penonton tentang realitas yang sering dipinggirkan dalam masyarakat kita. “Permainan Soyang adalah permainan tradisional dari daerah kami, Semarang. Sebetulnya miris, permainan ini menggambarkan betapa masyarakat kita masih terbelakang. Mau pintar saja harus ngenger dengan orang lain,” papar Yoyok saat ditemui seusai acara. Pentas ditutup dengan barisnya semua penampil di atas panggung. Ada yang mukanya merah menahan malu karena kostumnya mlorot saat memberikan salam perpisahan kepada hadirin. Tak apalah, mereka masih anak-anak. Bocah-bocah dari Sanggar Greget pamit dan berjanji akan melanjutkan dolanannya di rumah.[*] KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

39


Destinasi

Foto-foto oleh: Wisnu Renaldi/LPM Kentingan

Pesona Seribu

Mangrove di Pandansari Oleh: Eva Patriana, Wisnu Renaldi

Berawal dari bencana abrasi pada tahun 80-an, daerah yang pernah hilang termakan gelombang air laut kini disulap menjadi tempat wisata yang menghadirkan rindangnya ribuan mangrove. Kali ini kami akan mengajak berdestinasi ke Pandansari, sebuah dukuh di bibir pantai utara Brebes. 40

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013


Destinasi

M

engalihkan diri dari rutinitas kegiatan sehari-hari dengan menjelajah tempat baru adalah salah satu cara ampuh untuk me-refresh kembali badan dan pikiran. Ditambah alam selalu berhasil menawarkan keindahan-keindahan yang bisa membuat manusia memuja kebesaran-Nya. Dari menyuguhkan keeksotisan pulau yang belum terjamah, megahnya gunung untuk didaki, hingga putihnya pasir pantai. Dukuh Pandansari, tempat di bagian utara Jawa Tengah yang berjarak 66 kilo meter dari Kota Brebes ini menawarkan pesona wisata lain. Bukan jelajah alam biasa yang akan dinikmati, tapi sebuah hutan karya manusia sebagai upaya bertahan diri yang akan tersaji disana. Hutan mangrove, ya memang tempat ini dikelilingi oleh batang-batang tangguh pemecah ganasnya gelombang air laut. Tempat para warga menggantungkan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Ribuan mangrove yang tampak bagai sabuk hijau mengitari Dukuh Pandansari menawarkan sensasi damai bagi yang melewatinya. Tak hanya udang, kepiting, bahkan burung trinil nan anggun mengepakkan sayapnya turun bertengger di ranting-ranting mangrove. Gigihnya usaha warga menjaga daratan tempat tinggalnya terlihat dari tiap akar kokoh mangrove yang menjalar ke permukaan air laut. Ada ungkapan bahwa setiap perjalanan akan menyisakan suatu kenangan yang memberikan cara pandang baru melihat dunia. Lalu apa saja hal yang bisa didapat di Pandansari? Sepenuhnya dalam sebuah perjalanan yang tak hanya berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi kami mencoba menggali lebih jauh dengan berinteraksi dan mengenal budaya masyarakat setempat. Mengenal Dukuh Seribu Mangrove Ada dua pilihan jalan menuju Dukuh Pandansari salah satunya dengan menyeberangi Sungai Pemali. Begitu para warga sekitar menyebut sungai yang memisahkan antara Kota Brebes dengan dukuh nan hijau ini. Cukup membayar Rp10.000,00 sudah bisa menyeberang menggunakan kapal kayu yang digerakan dengan sebilah galah panjang. Aroma air payau yang menyengat penciuman akan menjadi sambutan pertama yang dirasakan bagi siapa saja yang pertama kali datang kesini. Dukuh Pandansari dihuni oleh 750 kepala keluarga yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sehingga nuansa Islami sangat terasa di sini. Seusai belajar di sekolah anak-anak mengikuti pesantren sore. Saat kami bercengkarama dengan warga, mayoritas penduduk berbicara dengan dialek khas daerah tersebut. Dialek Banyumasan atau sering disebut bahasa ngapak ini biasa digunakan di daerah Jawa Tengah bagian barat. Ketika berbicara bahasa Indonesia, aksen ngapak pun masih sangat terasa. Hal itu yang menjadikan orang Brebes mudah dikenali. Tak hanya di tepi-tepi pantai, mangrove juga dapat ditemui di sekitar kediaman warga. Bagi mereka yang membudidayakan udang dan ikan, menanami benih mangrove di sekitar tambak seperti sebuah keharusan. Mangrove tumbuh di sekeliling masyarakat seperti ikut berbaur dan hidup di tengah-tengah mereka.

Foto oleh: Niken Ayui/LPM Kentingan

Menanam Mangrove untuk Pandansari Pada tahun 80-an Pandansari adalah tempat penghasil udang dan ikan yang sangat terkenal. Aktivitas malam di tambak bahkan lebih ramai daripada di desa, sehingga daerah di tambak disebut sebagai kota malam. Meski listrik belum sepenuhnya tersedia tetapi daerah di tambak lebih terang dari pada di desa. Namun berkembangnya budidaya udang ini banyak mengorbankan lahan mangrove.

Ribuan mangrove yang tampak bagai sabuk hijau mengitari Dukuh Pandansari menawarkan sensasi damai bagi yang melewatinya. Mangrove yang sejatinya menjaga abrasi ditebangi, sehingga saat gelombang kuat air laut datang menerpa daratan, tak ada lagi yang dapat menopang. Akibatnya 800 ha dari 1300 ha tanah di Pandansari hilang selama sepuluh tahun terakhir. Air rob (laut) yang semula hanya sekali setahun saat ini bisa sampai lima atau enam kali. Warga menyebutnya sebagai air rob mailing karena cepat datang dan cepat pergi. Kekhawatiran terhadap dukuh Pandansari membuat Din Wahyudin yang merupakan pemuda asli Pandansari tergerak. Kami berkesempatan untuk berbincang dengannya selama berada di dukuh ini. Pemuda yang akrab disapa Din ini adalah pendiri organisasi Mekar Sari. Mekar Sari mengadakan kegiatan-kegiatan yang menunjang SDA dan SDM di Dukuh Pandansari yang berkaitan KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

41

“


“

Destinasi

Jika menyusuri sungai di Kota Venesia, Italia, kita akan diperlihatkan bangunan-bangunan tua bergaya Eropa. Sedangkan menyusuri sungai di Pandansari, di sisi kanan kirinya akan terlihat landscape hijau mangrove. Satgas Gara yang bertugas menjaga kelestarian mangrove dengan berkeliling laut menggunakan kapal. Tak hanya pengamanan berkeliling, Satgas Gara juga berupaya mengajak masyarakat sekitar menjaga mangrove dengan mengadakan penyuluhan akan pentingnya mangrove. Cara yang mereka gunakan sedikit berbeda yaitu melalui pendekatan budaya. Dipakailah calung, alat musik khas dari Banyumas dan Pekalongan yang terdiri dari ruas bambu yang ditabuh untuk mengumpulkan warga. Menurut Din, Calung dipilih karena unik, menarik, dan mudah digunakan. Warga semakin tersentuh karena calung ini dimainkan oleh anak-anak setempat dengan berjalan mengelilingi kampung.

dengan pelestarian mangrove. Setelah banyak bercerita, Din dengan beberapa pemuda Pandansari mengajak kami ke tempat penyemaian mangrove yang dilakukan dekat dengan pantai. Tidak ada pilihan lain, satu-satunya jalan menuju tempat penyemaian adalah melewati pematang tambak yang kondisi jalannya tidak rata. Di sana kami melihat beberapa warga turut andil dalam menyemai mangrove dengan membuat media tumbuh yang terdiri dari tanah yang dicampur dengan pupuk. Jumlah mangrove yang disemai bisa mencapai ratusan hingga jutaan. Namun Din mengungkapkan bahwa sampai saat ini masih ada saja penduduk dari luar Dukuh Pandansari yang berusaha menebangi mangrove dan mengambil batangnya untuk dijadikan kayu bakar. Maka upaya penjagaan terhadap mangrove pun terus dilakukan, diantaranya dengan dibentuknya

42

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

Venesia ala Pandansari Menyusuri hutan mangrove di Pandansari dengan menggunakan kapal kayu memberikan suasana yang berbeda. Benih-benih mangrove hasil budidaya warga menjulang tinggi ke langit. Jika menyusuri sungai di Kota Venesia, Italia, kita akan diperlihatkan bangunan-bangunan tua bergaya Eropa. Sedangkan menyusuri sungai di Pandansari, di sisi kanan kirinya akan terlihat landscape hijau mangrove. Sambil dibawa arus aliran sungai, imajinasi kita akan diajak membayangkan bagaimana kota yang hilang oleh abrasi dua dekade silam. Pesona batang-batang mangrove yang menyelimuti dukuh Pandansari bisa dilihat dari tengah laut dengan menggunakan kapal-kapal kayu yang disewakan warga dengan biaya Rp100.000,00. Jika sudah puas dengan mengitari bagian luar Pandansari, kita bisa berhenti sejenak di sebuah pulau yang dijuluki pulau pasir. Pulau yang hanya terdiri dari pasir ini kerap dijadikan tempat berisitirahat para nelayan untuk melepas lelah setelah berlayar. Saat hari beranjak malam, salah satu tempat terbaik untuk menikmati matahari senja adalah di sekitar penyewaan kapal. Kita akan merasakan angin laut yang berubah menjadi lebih kencang sambil memandangi langit yang berubah kemerah-merahan. Tak sedikit yang bisa diambil dari perjalanan ini. Semua bisa memberi pandangan baru yang menginspirasi yaitu kegigihan warga bersama-sama menjaga tanah airnya dari gerusan gelombang dengan menyumbangkan tenaga dan semangat membuat benteng pertahanan. Ya, kami dapat semuanya di Pandansari.[*]


Sosok

Jeannie

Park,

Pencarian Jiwa yang Suwung Oleh: King Eden, Monica Arty, Heni Indah

“Jika orang menganggap menari itu sulit, ya pasti sulit. Jika orang menganggapnya mudah ya pasti mudah. We do need the challenge, a challenge is always good . Semua butuh keterbukaan, (dan) perjuangan.” Jeannie Park Foto oleh: Wisnu Renaldi/LPM Kentingan

KENTINGAN KENTINGAN XX. XX EDISI EDISI DESEMBER DESEMBER 2013 2013

43 43


Sosok

D

i saat banyak orang yang meragukan kecintaan generasi muda Indonesia terhadap khasanah budaya Jawa, justru ada yang kepincut dengan tari tradisional Jawa. Dialah Jeanni Park, dara keturunan seniman Korea Chong-Gil Park dan Hi-ah Chai Park yang lahir dan besar di Amerika. Perempuan dengan bahasa ibu bahasa Inggris ini sudah tertarik dengan tari tradisional sejak usia sembilan tahun. Kecintaannya bertambah saat menyaksikan penampilan maestro tari klasik Jawa, Kanjeng Raden Tumenggung Sasminta Mardawa, yang menjadi dosen tamu di University of California, Los Angeles, Amerika Serikat. Alangkah beruntung Jeannie muda. Ia mendapat kesempatan belajar tari Jawa langsung di negeri asalnya, Indonesia, pada tahun 1991 dalam program University of California Education Abroad. Pencapaian kesuksesan Jeannie sebagai penari Jawa tidak diragukan lagi: pernah menarikan Bedhaya Sang Amwarbumi di Bangsal Kencono bersama dua putri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Pembayun dan Gusti Candra Kirana, hingga menyuguhkan Bedhaya Sinom dalam Settembre Musica Festival di Turin, Italia.

Saya suka tari Bedhaya. Pertama kali saya suka dengan tarian Jawa karena tarian itu lembut dan membuat saya takjub.

Satu hal yang diyakini dan dirasakan Jeannie, mempelajari tarian Jawa seperti halnya perjalanan yang tiada akhir. Berikut hasil wawancara tim liputan LPM Kentingan bersama Jeanni Park. Bagaimana awalnya Anda tertarik mempelajari budaya Jawa? Rasa tertarik terhadap budaya Jawa tidak muncul begitu saja. Dulu saya di Los Angeles, Amerika, sudah menjadi direktur galeri kontemporer. Saat itu, saya ditawari menjadi partner atas usaha tersebut. Namun saya merasakan suwung (kosong). Kalau hanya belajar dari materi saja akan tidak berguna, tidak berarti. Kemudian suatu ketika datang kesempatan untuk

44

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

JEANNIE PARK Nama Asli : Jee-Hyun Park Tempat, Tanggal Lahir : Seattle, 2 Mei 1969 Suami : Lantip Kuswala Daya Anak : Jivan Aruna dan Mohan Kalandara

Pengalaman Profesional:

Pendidikan:

• Direktur Eksekutif Yayasan Bagong Kussudiarjo (2007 – sekarang) • Pendiri Laboratorium Pembelajaran CAKRAWALA (2004 – sekarang) • Manajer Pelaksana Indonesian Arts Education Residency Fellowship Program, Pusat Pertunjukkan Kebudayaan (2008-2009) • Anggota Manajemen Seni pada Vilar Institute, Bagian Seni Pertunjukkan John F. Kennedy Center (2004-2005) • Direktur dan Pendiri Wahyuning Kuswala (2001- 2007) • Konsultan dan Manajer Proyek Museum Peradaban Asia (20022003) • Konsultan Yayasan KELOLA Solo, Indonesia (2004) • Direktur Kohn Turner Gallery (19931996) • Direktur Jan Turner Gallery (1991 – 1993)

• Kursus Manajemen Seni untuk Seni Pertunjukkan di John F. Kennedy Center, Juni 2005 • Sarjana Muda Jurusan Kebudayaan dan Seni Dunia Program Studi Sejarah Seni, Universitas California, Los Angeles, 1991 • Kursus Bahasa Indonesia Pusat Kajian Indonesia Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (Kerjasama dengan Program Pendidikan Luar Negeri Universitas California), Juni-Oktober 1991. • Kursus Tarian Tradisional Indonesia Program Beasiswa Darmasiswa (Berafiliasi dengan Jurusan Pendidikan Kebudayaan Institut Seni Indonesia Yogyakarta (1996-1999). • Kursus Tarian Jawa Klasik Sekolah Tari Sasminta Mardawa Ndalem Pujokusuman Yogyakarta, 1996 – 2003. • Kursus Tarian Keraton Jawa, Sekolah Tari Keraton Krida Mardawa, Keraton Yogyakarta, 1997-2003.

belajar di Yogyakarta. Kemudian saya merasa jauh berbeda, merasa lebih aktif, lebih hidup, sampai ingin menetap di sini. Entah saya akan hidup sehari-hari di sini atau mampu memfungsikan semangat ini ke dalam faktor yang lain. Saya masih belajar tarian klasik, namun saya pun juga memikirkan bagaimana mengikuti perkembangan zamannya, seperti contohnya makanan dan kesenian di Indonesia itu sendiri. Saya lebih melihat dari keterbukaannya, bukan bentuknya tapi lebih ke kehidupan itu sendiri. Dari sekian banyak tari Jawa klasik, mana yang Anda suka? Apa yang Anda suka dari tarian Jawa? Saya suka tari Bedhaya. Pertama kali saya suka dengan tarian Jawa karena tarian itu lembut dan membuat saya takjub. Ketika saya datang ke Yogyakarta, saya berpikir tempat ini berbeda secara tata krama, adat, dan saya baru sedikit paham tentang itu. saya melihat orang Jawa kalau bicara sedikit muter-muter, meskipun sampai juga pada intinya. Dulu saya berpikir, kenapa seperti itu? Ternyata semua butuh

proses, itu sangat masuk akal karena kita dituntut untuk merasakan pendekatan. Bagaimana Anda menikmati tarian Jawa klasik yang lembut dengan durasi yang cukup lama dan bahkan membuat kantuk? Dalam tari Jawa itu penari lebih menikmati tariannya dari pada penonton. Saya pernah ngobrol dengan suami saya, katanya dia suka melihat tari Jawa. Menurutnya, kalau penari itu kurang menikmati, penonton pun akan mengantuk. Berbeda dengan penari yang lemah gemulai, rasanya akan lebih mantap dan penonton pun bisa menikmati. Dulu fungsi tarian bukanlah suatu show karena esensinya bukan menghibur. Ada fungsi dan transfungsi dalam kehidupan pribadi Jawa. Seperti halnya tari Bedhaya. Sebenarnya tari Bedhaya itu bukan hal untuk dipamerkan tapi punya makna yang dalam dan sekarang mungkin sudah agak persembahan. Sebagian orang berpendapat menari itu harus gemulai agar mampu menjiwai tariannya? Bagaimana dengan Anda?


Sosok Saya memperhatikan kata kontemporer itu merupakan adopsi dari bahasa Inggris. Dan di dalam bahasa Indonesia pengertian kontemporer agak berbeda. Saya percaya bahwa pengertian pemahaman kontemporer itu berbeda-beda. Tapi kalau kontemporer pada seni klasik yang mungkin memiliki tataan lama, diketahui, dan halhal di luar itu sudah ada, ya saya senang. Saya percaya bahwa dari kesenian itu ada fungsi dan nilainya sendiri. Kini banyak orang Indonesia yang justru menyukai dan belajar budaya Korea dari pada mendalami budaya Indonesia sendiri. Bagaimana Anda menanggapi hal tersebut? Saya belum tahu persisnya “budaya Korea” yang sedang jadi perhatian oleh masyarakat Indonesia, jadi saya belum bisa menanggapi secara detail. Tetapi yang jadi menarik bagi saya adalah daya tarik pada sesuatu yang bersumber/berasal dari tempat lain. Contoh konkret tentang hal tersebut adalah saya sendiri yang berasal dari Amerika (secara kultural) yang ingin mendalami budaya Jawa. Yang saya temukan dalam proses pembelajaran budaya Jawa adalah suatu alam seni yang mendukung dan memperbolehkan saya memahami diri saya, hidup saya, dan kehidupan saya bersama manusia lain. Hal tersebut sangat bermakna dan berharga bagi saya dan saya menjadi lebih thankful (berterima kasih) bahwa kesenian yang mengendarai saya untuk menciptakan makna dan nilai kemanusian yang jadi dasar budaya di Jawa/Indonesia. Semoga masyarakat Indonesia yang sedang mempelajari budaya Korea juga menemukan hal serupa yang saya dapatkan dari kebudayaan Jawa.

Dulu sewaktu SMP-SMA saya dan teman-teman tidak merasakan seperti semacam itu. Saya juga berpikir bagaimana supaya bisa menari dengan nyaman. Jika menari tanpa dasar masih terasa kaku, jadi perlu proses untuk mengenal tubuh sendiri. Menurut saya ada juga proses yang mudah untuk menari dengan luwes, seperti melihat orang yang sedang menari. Lalu mengapa kita kesulitan untuk bisa menari dengan luwes, karena harus banyak belajar, semacam melihat praktisi kesenian. Bagaimana menurut Anda tentang tari tradisional Jawa yang sekarang banyak dikreasikan, misalnya Tari Bedhaya? Kita bisa melihat dari berbagai sisi, kalau secara estetika memang benar tari itu telah berbeda bentuknya saat dilihat. Tapi kalau dilihat dari sisi lain, misalnya perasaan, maka itu akan menjadi possessed atau sesuatu yang dimiliki. Lain lagi saat itu hanya dilihat sebagai suatu ciptaan yang ingin disempurnakan, pasti akan gagal. Karena itu berarti kita belum menemukan esensi dalam Tari Bedaya itu sendiri, kita terlalu sibuk untuk mengkreasikan bagaimana Tari Bedaya itu agar lebih dinamis atau tidak nyangku-nyangku. Tapi saya percaya bahwa tari yang dinamis dan penuh energik itu mungkin bagus, namun tergantung untuk apa tujuannya. Intinya adalah dapat mempertahankan esensi Bedhaya itu sendiri. Dalam perkembangan tari Jawa, muncul jenis taritari baru yang kadang keluar pakem dari kategori tradisional. Anda lebih senang tarian jawa klasik atau kontemporer?

Foto oleh: Niken Ayu/LPM Kentingan

Dalam tari Jawa itu penari lebih menikmati tariannya dari pada penonton. Bagaimana perhatian pemerintah Indonesia terhadap perkembangan budaya di Indonesia? Jika dibanding dengan pemerintah Amerika? Di Amerika perhatian terhadap perkembangan budayanya kurang ya, tapi sekarang para pegiatnya sudah mandiri. Di Amerika sekarang sedang membangun sistem “Sylem Perty” (merupakan sistem membangun hubungan baik dengan masyarakat) untuk keberlanjutan kesenian dan seniman itu sendiri. Sistem itu sendiri butuh ratusan tahun untuk membangunnya. Saya yakin kalau hal seperti itu juga ada di Korea dengan ada fokusnya sendiri. Saya pikir sistem-sistem seperti itu tidak terlalu berpengaruh pada kesenian, yang penting tergantung siapa yang memegang program itu. Yang perlu kita perhatikan adalah dampak apa yang akan diperoleh setelah pemerintah ikut andil dalam memperhatikan perkembangan budaya. Seharusnya pemerintah juga memperhatikan manajemen pengelolaan kesenian itu, kapan mereka mandiri, dan juga bagaimana menemukan solusi untuk masalah-masalah kesenian itu sendiri.[] KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

45


Tren

Jejak Backpacker

Dalam Gurat

Oleh: Hanputro Widyono, Aisha Alfiani, Na’imatur Rofiqoh

Rekomendasi suatu tempat yang diberikan Lonely Planet (buku panduan backpacker) juga membuat tempat itu berubah .Surga yang hilang berubah menjadi tempat wisata biasa. Orang banyak datang kesana, memotret,dan diharapkan uangnya oleh penduduk lokal. (Qaris Tajudin dalam Koran Tempo, 2 juni 2013)

S

ebagian besar orang memilih untuk menghabiskan waktu libur mereka dengan berwisata. Salah satu caranya adalah dengan backpacking. Beberapa tahun belakangan, kata backpacking dan backpacker (sebutan untuk pelaku backpacking) makin sering kita dengar seiring dengan makin banyaknya komunitas-komunitas backpacker yang muncul di berbagai kota seluruh Indonesia. Melejitnya istilah tersebut juga karena banyaknya buku-buku dan majalah yang diterbitkan dengan mengangkat tema backpacking, semisal The Naked Traveler, Lonely Planet Story, My Trip, dan sebagainya. Backpacking sendiri belum memiliki suatu definisi yang tetap. Pelaku-pelaku travelling seperti Trinity, Martatuti, Andrei Budiman, Elok Dyah Messwati, Anton Tirta, dan lain-lain mengartikan istilah tersebut dari sudut pandang mereka sendiri. Meskipun begitu, satu garis lurus dapat ditarik dari berbagai definisi backpacking yang mereka ungkapkan. Intinya, backpacking merupakan salah satu style melakukan perjalanan. Ciri utamanya adalah mengenakan ransel, mandiri, menggunakan dana yang minim, dan bebas alias tidak terikat aturan-aturan seperti yang ada dalam group tour. Bebas yang dimaksud adalah dalam hal waktu dan tujuan wisata. Seorang backpacker mungkin saja akan melakukan perjalanan selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Maka dari itulah backpacker memiliki semboyan It’s not the destination, but the journey. Penjelajah dari Masa ke Masa Sejarah perjalanan dunia diawali oleh pedagang asal Venesia, Marcopolo bersama Niccolo dan Maffeo Polo, ayah dan pamannya, dengan menyusuri Jalan Sutera melewati Baghdad,

46

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

Foto-foto oleh: Adi Putra/LPM Kentingan

Kashgar, Beijing, dan bertemu Kubilai Khan, kaisar legendaris cucu Jenghis Khan, pendiri Imperium Mongol. Mereka berdagang permata sampai harta mereka berlipat ganda. Namun, mereka tidak dapat kembali ke Konstantinopel karena terhalang perang. Keluarga Marcopolo meninggalkan Cina sekitar tahun 1292. Catatan perjalanannya tertulis dalam buku Le Divisament Dou Monde (Deskripsi Tentang Dunia), yang sudah ada dalam Bahasa FrankItalia, Perancis, Latin, Tuskani, Venesia, dan Jerman 25 tahun sejak kepulangannya. Pada abad ke-14, Ibnu Battuta muncul sebagai pelopor penjelajah dunia yang melakukan perjalanan sejauh 73.000 mil, melebihi jarak yang pernah ditempuh oleh Marcopolo. Tujuan awal perjalanannya adalah untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun 1325. Namun, niat yang sangat kuat untuk mengenal daerah asal para jamaah haji yang ditemuinya saat kembali ke Mekkah untuk kedua kalinya, membuatnya melakukan pengembaraan yang lebih jauh lagi. Ia juga menyusuri Jalan Sutera dengan rute yang berbeda melewati Bukhara – Samarkand – Pakistan – India – Burma – Vietnam dan menembus Beijing setelah singgah sebentar di kota China Fujian – Quangzhou – Hangzhou. Rute panjang yang dilakukannya dari tahun 1332 hingga 1346 ini bahkan mencapai Pulau Sumatra. Dalam pandangan Eropa, kedua tokoh tersebut telah membuka sejarah baru tentang belahan dunia timur. Sejak saat itu, perjalanan menjelajah dunia semakin banyak dilakukan oleh orang-orang. Dalam buku terjemahan Edward Said, Orientalisme, dijelaskan bahwa negara-negara Eropa seperti Belanda, Inggris, Spanyol, Portugis bahkan secara khusus menjelajah dunia timur untuk memperluas daerah kekuasaan mereka dalam rangka kolonialisme. Orang Eropa selalu menganggap dunia timur sebagai


Tren

Seorang backpacker mungkin saja akan melakukan perjalanan selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Maka dari itulah backpacker memiliki semboyan It’s not the destination, but the journey.”

daerah jajahan mereka yang terbesar, terkaya, dan tertua. Pada 1699, Giovanni Francessco Gemelli Careri melakukan tur dunia menggunakan transportasi publik untuk pertama kalinya. Ia disebut-sebut sebagai backpaker pertama dunia yang menghabiskan delapan puluh hari mengelilingi dunia hanya untuk bersenangsenang. Seperti backpacker zaman sekarang, ia juga mengobrol dengan penduduk lokal dan menjelajahi tempat-tempat eksotis yang belum terjamah. Gemelli Careri menulis buku catatan perjalanan yang ia beri judul Giro del Mondo dan menjadi bestseller di Prancis, Italia, dan Inggris. Meskipun tak ada jawaban pasti mengenai dari mana tepatnya asal backpacker ini, jejak hippie pada tahun 1960 dan 1970-an yang mengikuti bagian-bagian dari jalur sutera tua tak bisa diabaikan. Salah satu rute utama yang mereka tempuh adalah Eropa ke Kathmandu melalui Turki, Iran, Afghanistan, Pakistan, dan India ke Nepal. Daerah-daerah tertentu menjadi terkenal dengan sebutan hippie hangout karena orang-orang berkumpul di sepanjang jalan untuk bermain musik. Backpacking pun mengalami perkembangan yang lebih pesat dengan mulai dibuatnya buku panduan perjalanan. Salah satu buku panduan perjalanan yang sangat memengaruhi cara melakukan perjalanan adalah Lonely Planet yang ditulis oleh Tony dan Maureen Wheeler sejak tahun 1972.

Cara melakukan backpacking pun berubah seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat. Dengan adanya gadget-gadget praktis seperti digital camera dan smartphone, para backpacker semakin mudah mengakses tempat-tempat tujuan perjalanan mereka. Pengalaman perjalanan yang mereka lakukan pun dengan mudah dapat dicatat melalui media online seperti blog atau website pribadi. Backpacker dan Sampah Kegiatan backpacking memberikan kontribusi yang tidak sedikit dalam peningkatan ekonomi daerah wisata yang mereka kunjungi. Terkuaknya daerah wisata yang sebelumnya tidak begitu diketahui, membuat masyarakat berduyun-duyun datang ke sana. Dampak positif yang ditimbulkan oleh banyaknya wisatawan yang tak hanya dari golongan backpacker itu adalah meningkatnya pendapatan daerah wisata tersebut sekaligus pendapatan penduduk lokalnya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, tempat wisata yang awalnya dikenal sebagai surga yang hilang pun berubah menjadi tempat wisata biasa. Semakin banyak dan sering orang datang juga menimbulkan dampak negatif yang tidak dapat dihindarkan: lingkungan yang tidak lagi alami sebagaimana tempat wisata tersebut pada mulanya. Salah satu lokasi wisata yang kini sudah mulai tercemar adalah laguna Segara Anakan yang terletak di Pulau Sempu, Malang. Meskipun merupakan salah satu destinasi favorit para backpacker, kini laguna yang terbentuk dari ganasnya ombak laut selatan yang masuk melalui celah lubang tebing pembatas di sisi pulau ini mulai kehilangan pesonanya. Seperti yang diungkapkan oleh Rabbani Muhammad Reza, pelaku backpacking dari Komunitas Backpacker JOSS alias Backpacker Jogja Solo dan Sekitarnya, kondisi laguna Segara Anakan saat ini kotor karena banyak dipakai untuk nge-camp dan esok paginya sampah ditinggal begitu saja. Sebagai backpacker yang turut serta menikmati keindahan alam, Reza dan kawan-kawannya sering melakukan aksi “bersih pantai” dengan mengumpulkan sampahsampah yang berserakan menggunakan trash bag untuk dibuang ke luar kawasan laguna. “Seringnya spontanitas aja karena liat kondisinya parah. Kalau spontanitas, gak ada wadah buat ngangkut jadi seringnya dikumpulin terus dibakar. Ya gak bagus juga sih tapi mendinglah dari pada berserakan gitu,” ungkapnya. Dari masa ke masa, backpacking tak kehilangan pamornya sebagai cara berwisata yang menyenangkan dan menantang. Pengaruh backpacking juga sangat besar bagi perkembangan pariwisata suatu daerah. Tak hanya pengaruh positif, namun rupanya backpacking juga menimbulkan dampak negatif. Hal itu tergantung bagaimana para backpacker dan wisatawan lainnya meminimalisasi dampak negatif, sehingga berwisata tetap menyenangkan dan menyegarkan. Mari berwisata![*]

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

47


Sekitar Kita

Ekspresi Seni Sepanjang Jalan Oleh: Nindya Galuh, Danur Lambang

Jalanan tak menyurutkan niat para sopir truk untuk menuangkan ekspresi seni mereka. Bak truk yang dulu polos, sekarang menjelma menjadi media refleksi yang jujur dari kehidupan jalanan sang sopir. Berbagai sindiran, makian, ataupun lukisan yang menggoda merupakan hal yang lumrah dan menjadi bagian dari sopir dan truknya yang berlalu-lalang.

D

i setiap daerah-daerah yang dilalui oleh jalur truk-truk besar antarkota maupun antarprovinsi, kerap terlihat truk-truk dengan bak belakang yang dilukis berbagai macam gambar dan tulisan. Lukisan-lukisan ini tak jarang mengundang tawa dari para pengendara lain, misalnya tulisan ‘nek ra sabar maburo’ atau ‘janda 1/3 dis’, bahkan ada yang geleng-geleng kepala menyaksikan lukisan perempuan yang berpose vulgar. Bisa dibilang lukisan-lukisan itu bukan hanya sekadar lukisan biasa. Lukisan pada truk-truk ini merupakan sebuah potret kehidupan para sopir dan kernet truk yang menghabiskan hari-harinya di jalanan. Mereka mencoba menunjukkan jati diri mereka, kehidupan mereka yang keras dan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka di rumah. Karena hampir selalu menghabiskan waktunya di sepanjang perjalanan dan jauh dari keluarga, tak pelak mereka mengangkat tema tentang keluarga seperti ‘wedi karo bojo’ atau ‘buruan mertua’. Bahkan terkadang mereka menuliskan nama anak-anak mereka di bagian depan truk. Selain bertemakan keluarga tentu ada pula gambar-gambar perempuan cantik dengan pose yang menggoda,

tentunya dengan tulisan yang “nakal” seperti tulisan ‘bosku janda gaul’ atau ‘enak tapi dosa’ yang merupakan representasi keinginan sang sopir truk untuk bisa memenuhi hasratnya dengan perempuan-perempuan cantik yang memesona. Lukisan Menawan di Bak Truk Memang bukan hal yang asing terpampang lukisan-lukisan dan gambar yang terlihat vulgar di beberapa bak truk. Lukisanlukisan ini biasanya dibuat dari cat kayu ataupun air brush. Kebanyakan yang memakai gambar vulgar nan erotik di bak truk mereka adalah para sopir yang masih muda. “Kalau sopir muda masih menggebu-gebu soal gairah jadi sukanya gambar cewek cantik, ditambah dengan gaya hidup mereka yang jarang pulang ke rumah, sering “jajan”. Normalnya laki-laki memang suka melihat perempuan cantik,” ujar Untung yang berprofesi sebagai pelukis truk di daerah Palur, Surakarta. Tak heran jika para pengendara sering menyaksikan lukisan para perempuan dengan busana minim berlalu lalang melintasi jalanan. Suyitno, salah seorang pelukis truk di Boyolali berujar bahwa lukisan truk sendiri mulai populer pada tahun 1975. Dikarenakan bak truk yang keluar dari karoseri masih polos dan tak menarik, jadi para sopir truk mulai memikirkan unsur estetika dari truk yang dikendarainya. Tema dari awal munculnya lukisan masih sebatas pada lukisan pemandangan dan kurang bervariasi. Mulai tahun 1990-an, lukisan truk lebih bervarian daripada sebelumnya, seperti lukisan perempuan berjilbab, moto GP, truk built-up, dan lain sebagainya. Banyak di antara para sopir truk yang hanya ikut-ikutan saja melukis truk mereka dengan berbagai macam lukisan dan tulisan. Bagi beberapa sopir truk tersebut gambar-gambar dan tulisan yang menghiasi kendaraan mereka merupakan ajang modifikasi untuk membuat truk mereka tampak lebih bagus. “Saya cuma ikut-ikutan teman, yang lain bikin gambar ya saya jadi ikutan, cuma buat variasi dan bikin ramai aja,” ujar Sukirman salah satu sopir truk yang sering mangkal di daerah ring-road Solo. Gambar yang biasanya dipesan oleh para sopir truk adalah gambar pemandangan, hewan, maupun

Foto oleh: Niken Ayu/LPM Kentingan

48

KENTINGAN XX. XX EDISI EDISIDESEMBER DESEMBER2013 2013


Sekitar Kita

Foto oleh: Niken Ayu/LPM Kentingan

perempuan-perempuan cantik seperti artis-artis ibu kota. Terkadang ada beberapa sopir truk yang memesan gambar perempuan yang berpose vulgar. Untung mengakui bahwa sopir yang masih muda biasanya memesan gambar yang lebih vulgar. Tetapi, masih ada juga beberapa sopir truk yang lebih sopan memilih gambar dan tulisan yang wajar dan tidak vulgar, seperti gambar perempuan berjilbab atau gambar kuda, biasanya mereka adalah sopir-sopir yang berumur lebih tua. Tak jarang, lukisan-lukisan di bak truk dijadikan ajang pamer para sopir truk dan sebagai identitas mereka. “Lukisan truk ini biasanya jadi identitas para sopir truk gaul,” ujar Suyitno.

Cutting sticker juga dinilai lebih aktual dalam mempresentasikan perubahan aksesoris kendaraan agar kendaraan mereka terkesan menarik. Kemudahan, kecepatan, dan murahnya cutting sticker membuat para sopir truk secara otomatis lebih memilihnya. Seperti fenomena sekarang sedang maraknya tulisan-tulisan ,“kepiye le? Isih kepenak jamanku to?” membuat truk-truk semakin dibanjiri oleh cutting sticker yang bernada sama. Menurut Suyitno cutting sticker juga merupakan simbol modernitas bagi para sopir. Mereka memilihnya agar terkesan semakin gaul dan menarik. Mereka lebih banyak memilih cutting sticker biasanya karena lebih nyambung dan cocok dengan selera jiwa mereka. Selaras dengan Suyitno, Dedi yang juga berprofesi sebagi sopir truk, mengatakan bahwa cutting stiker terlihat lebih bagus dan lebih hidup. “Saya memang lebih suka sticker dari pada yang lukis, selain lebih murah yang sticker kelihatan lebih hidup dan keren,” ujarnya. Kebanyakan juga sopir muda meng-custom truk mereka dengan paduan bemper tambahan. Hal ini

Populernya Cutting Stiker Selain menghias truk mereka dengan lukisan yang dibuat dari cat kayu, para sopir truk kini mulai melirik gambar cutting sticker untuk memodifikasi truknya. Teknik pembuatan cutting sticker terbilang jauh lebih mudah daripada teknik melukis di bak truk. Sopir truk hanya tinggal memilih desain yang mereka suka, setelah itu gambar bisa langsung ditempel di truk sesuai dengan keinginan sang sopir. Kebanyakan para sopir truk menempelkan gambar-gambar tersebut di bagian depan truk atau bisa juga di body bak truk mereka. Tak Foto-foto oleh: Anna/LPM Kentingan jarang beberapa sopir truk menempelkan nama anak atau istri Sah-sah saja mereka membuat lukisan, tulisan mereka agar lebih semangat dan dapat mengingatkan merataupun gambar di bak truk mereka, baik untuk eka pada keluarga di rumah. Pada kenyataanya, akh- alasan komersil, mempercantik dan memodifikasi, ataupun ir-akhir ini lukisan yang digam- sebagai pengusir sepi dan curahan hati, selama hal itu tidak bar dengan cat kayu pada truk sudah mulai ditinggalkan. Para melanggar norma kesopanan. sopir truk kini lebih tertarik denjuga salah satu faktor mereka memilihnya sebagai tambahan agar sinkgan adanya sticker sebagai penghias truk mereka. Dilihat dari segi ron dengan custom truk mereka. harga, cutting sticker lebih murah dari pada lukisan dari cat kayu. Hal Seiring berjalannya waktu, kini bak truk telah berubah menjadi ini yang membuat para sopir truk mulai meninggalkan lukisan cat media ekspresi para sopir truk, bukan hanya sekadar pengangkut bayang berkisaran Rp500.000 hingga Rp700.000. “Kalau yang stiker rang. Meski perbedaan selera dan tujuan yang menjadi latar belakang itu lebih simpel dan lebih modern dibandingkan dengan yang lukisan pemilihan tulisan, gambar, dan lukisan truk, tetap saja ekspresi seni ini cat,” cerita Sukirman yang juga menghiasi truknya dengan cutting patut untuk diapresiasi. Sah-sah saja mereka membuat lukisan, tulisan sticker. Selain karena harganya yang relatif murah, para sopir truk ataupun gambar di bak truk mereka, baik untuk alasan komersil, memmemilih cutting sticker karena mereka sering merasa bosan. Menupercantik dan memodifikasi, ataupun sebagai pengusir sepi dan curahan rut Dedi, salah seorang pemilik truk, cutting sticker menjadi alternatif hati, selama hal itu tidak melanggar norma kesopanan. “Lukisan bak truk bagi mereka yang cepat merasa bosan dengan gambar yang diitu juga merupakan seni, pembuat lukisan itu sendiri juga harus punya pasang di truk mereka. Pasalnya cutting sticker mudah untuk dilepas jiwa seni. Nah, yang penting itu gambarnya nggak vulgar dan mengundan tidak merusak body dan bemper truk. dang hawa nafsu bagi orang yang melihatnya,” tutur Suyitno yang suKarena hanya tinggal memilih desain yang disukai dan langdah hampir tujuh tahun ini menjalankan bisnis lukis bak truk. Begitulah sung ditempel, pengerjaan cutting sticker lebih cepat selesai. “Kiraseni, dapat dikritik dari segi negatifnya ataupun diapresiasi dari segi kira kalau cutting itu paling cuma satu jam aja, tapi kalau yang bagian positifnya. Pun jika media seni itu hanya di sebuah bak truk. Tergantung samping truk itu paling dua jam jadi,” jelas Suyitno yang juga memasyarakat yang menilainya.[*] layani pemasangan cutting sticker.

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

49


Kolom

Misuh dalam Hidup Saya Ichwan Prasetyo Jurnalis Solopos Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Bekas Pemimpin Redaksi Majalah Mahasiswa UNS Kentingan dan Bekas Pemimpin Redaksi Tabloid Mahasiswa UNS Saluran Sebelas Foto: dok. pribadi

M

isuh dalam hidup saya bisa bermakna positif, bisa bermakna negatif. Misuh itu dalam bahasa Indonesia adalah ”memaki”. ”Misuh” merupakan kata kerja dalam bahasa Jawa. Mengapa saya memaknai misuh sebagai positif dan negatif? Begini ceritanya. Saya lahir dan tumbuh di keluarga yang kental dengan budaya Jawa. Unggah ungguh, tata krama, dan sopan santun adalah acuan dasar dan utama bagi orang tua saya saat mendidik saya dan saudara-saudara saya. Ibu dan bapak saya sangat memperhatikan tutur kata anak-anak mereka. Bagaimana saya dan saudara-saudara saya menggunakan kata dan kalimat selalu diperhatikan ibu dan bapak saya. Kata-kata kasar selalu mengundang peringatan keras, kadangkadang amarah. Semasa kecil hingga remaja, saya tumbuh menjadi manusia yang punya anggapan bahwa kata-kata kasar, termasuk kata-kata makian atau pisuhan, adalah kata-kata orang-orang tak beradab. Sejak kecil hingga remaja, ketika saya tumbuh di bawah asuhan langsung ibu dan bapak saya, saya memang tak pernah mendengar mereka berdua menggunakan kata-kata makian atau pisuhan, terutama kepada anak-anak mereka. Kata-kata makian, pisuhan, bagi saya ketika itu adalah kotor, negatif, rendah, jelek, biadab. Dalam kosakata bahasa Jawa, kata makian atau pisuhan sangat kaya. Saya memahami kekayaan kosakata pisuhan dalam bahasa Jawa itu setelah lingkungan pergaulan saya kian luas seiring ketika saya meninggalkan rumah dan harus kuliah di Universitas Sebelas Maret (UNS) di Solo, pada 1994. Lambat laun ada perubahan pemahaman dan persepsi dalam diri saya ihwal pisuhan. Saya kemudian bisa menerima eksistensi kata-kata makian atau pisuhan sebagai bagian integral dari kehidupan manusia dan kemanusiaan. “Hai, bajingan, piye kabare?” begitu kata sapaan dan pertanyaan yang sering saya dengar (sampai sekarang) tiap kali saya ketemu dengan seorang jurnalis senior (kini sudah “pensiun” dari dunia jurnalisme) yang bertugas di Kota Semarang.

50

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

Kata sapaan dengan kata makian “bajingan” itu tak membuat saya marah. Justru saya merasa kian dekat dengan jurnalis yang pada awal 2000-an menjadi salah satu guru saya dalam persoalan menjejak atau tracking anggaran, terutama anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Justru kata sapaan “bajingan” itu—yang sesungguhnya kata makian yang sangat kasar, baik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa—menunjukkan jurnalis senior—ya guru saya itu—masih sangat menyayangi saya. Sapaan seperti itu sampai kini masih saya dengar terlontar dari mulut jurnalis senior guru saya itu tiap kali kami bertemu secara tak sengaja, atau ketika dia menelepon saya, atau saat chatting via Facebook dan bertukar obrolan via Blackberry Messenger (BBM). Jurnalis senior guru saya itu memang jurnalis yang sangat matang di sektor jurnalisme bertema keuangan, ekonomi, pasar modal, politik anggaran, asuransi, dan sejenisnya. Dari dialah saya belajar membaca laporan keuangan, membaca manipulasi anggaran, dan membaca celah-celah permainan dalam penyusunan APBD. Saya sempat hidup satu kantor dengan jurnalis senior itu saat saya bertugas di Kota Semarang sebagai reporter. Kebetulan koran tempat saya bekerja sebagai buruh, sebagai jurnalis, adalah anak perusahaan tempat jurnalis senior yang sering “memaki” saya itu bekerja. Selama itu pula saya paham benar bagaimana kehidupan pribadinya. Penggunaan kata-kata makian atau pisuhan, semacam “bajingan” dengan segala variasinya, seperti “bajigur” (aslinya adalah minuman hangat khas Jawa Barat), ”bajindal” (turunan dari ”bajirut”), ”bajirut” (turunan dari ”bajingan”), ”bajingpret” (turunan dari ”bajingan”), dan ”Bang Jiman ngangsu” (turunan dari pisuhan ”bajingan” dan ”asu”), memang jadi dunia sehari-harinya. Setahu saya, selama lebih dari setahun saya sekantor dengan jurnalis senior itu, kata-kata pisuhan yang dia tuturkan itu sangat jarang yang bernada marah, sangat jarang yang ditujukan kepada orang lain sebagai ekspresi kemara-


Kolom han. Saya justru menangkap penggunaan kata-kata pisuhan itu mayoritas dalam dua konteks: menunjukkan keakraban (seperti ketika dia menyapa saya dengan pisuhan ”bajingan”) dan saat dia sedang kecewa karena melakukan kesalahan sendiri yang merugikan dirinya sendiri. Di sini, anggapan saya semasa saya masih kanakkanak hingga remaja terhadap memaki dan misuh terdekonstruksi. Pisuhan ternyata tak melulu bermakna negatif, kotor, rendah, biadab. Pisuhan ternyata mengandung “filosofi” tinggi dan mulia sebagai penghargaan antarmanusia dalam sebuah pergaulan yang akrab dan dekat. Di paragraf di atas saya menyebut salah satu varian kata pisuhan, yaitu ”Bang Jiman ngangsu”, yang sebenarnya gabungan dari kata makian “bajingan” dan “asu”. Sampai kini saya belum menemukan jawaban yang memuaskan atas pertanyaan saya: mengapa dua kata itu menjadi kata bermakna kasar, rendah, biadab, kotor, ketika dilafalkan sebagai pisuhan atau kata makian?

Dari pemaparan saya di atas, saya merasa bisa menyimpulkan bahwa kata makian atau pisuhan merupakan bagian dari kehidupan dan peradaban manusia. Makian atau pisuhan bisa bermakna positif (simbol keakraban), bisa bermakna negatif (merendahkan dan menghina orang lain), tapi bisa juga bermakna kontemplatif sekaligus sebagai katarsis. Terakhir yang akan saya bahas di tulisan (tak bermutu) ini adalah ketika saya membaca berita Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar—kini sudah dipecat--ditangkap aparat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga kuat terlibat suap-menyuap dalam sengketa pemilihan kepala daerah, kata pisuhan yang saya gunakan adalah ”kampret”. Apa salahnya kampret menjadi kata pisuhan? Saya kira jawabannya sama dengan nasib kata “bajingan” dan “asu”. Perlu penelitian dengan metode ilmiah yang akurat. Yang jelas, ketika saya menyebut “kampret” terkait kasus Akil Mochtar itu, setidaknya ada tiga hal yang terwakili.

Pisuhan ternyata mengandung “filosofi” tinggi dan mulia sebagai penghargaan antarmanusia dalam sebuah pergaulan yang akrab dan dekat.

Setahu saya, dua kata yang membentuk frasa “Bang Jiman ngangsu” itu, yaitu “bajingan” dan “asu” adalah dua kata yang “biasa-biasa saja”. “Bajingan” adalah sebutan untuk pengemudi gerobak. Sedangkan “asu” adalah nama hewan, yang dalam bahasa Indonesia “anjing”. Jadi, apa salahnya si “bajingan” dan “asu” itu sehingga kemudian masuk dalam kosakata pisuhan dan selama bergenerasigenerasi menjadi kata makian atau pisuhan terfavorit? Menarik sekiranya ada penelitian dengan metode ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan untuk mengetahui asal usul kata-kata itu menjadi kosakata pisuhan. Yang jelas, sepengetahuan saya yang dangkal ini, kata-kata pisuhan yang kini menjadi perbendaharaan bahasa dalan hidup sehari-hari kita aslinya memang kata-kata yang “biasa-biasa saja”. Nama-nama hewan kini menjadi kosakata pisuhan yang cukup favorit. Nama hewan yang jadi kata pisuhan favorit itu adalah “anjing” yang sama dengan “asu”, dan “babi”. Belakangan kata “wedhus” yang dalam bahasa Indonesia adalah “kambing” juga menjadi kata pisuhan yang cukup favorit dalam khazanah bahasa Jawa. Terlebih lagi yang membuat saya heran, ternyata kini nama-nama manusia pun bisa menjadi kosakata pisuhan. Ini paling mudah ditemui dalam kosakata bahasa Jawa. Anda pernah mendengar nama Paijo, Paijem, Paiyem, yang merupakan nama-nama khas Jawa yang biasa ditemukan di kawasan perdesaan? Kini, Paijo, Paijem, Paiyem, dan mungkin juga nama-nama orang lainnya, bisa tampil sebagai kata makian atau pisuhan. Silakan lafalkan nama-nama itu dengan intonasi dan ekspresi seperti ketika Anda misuh dengan kata ”bajingan” dan ”asu”. Niscaya nada dan konteksnya akan sama persis.

Pertama, saya jelas misuh dalam makna sesungguhnya —jengkel, ingin menghina dan merendahkan- karena mengetahui ada sosok Ketua Mahkamah Konstitusi yang ternyata doyan suap, sosok Ketua Mahkamah Konstitusi ternyata secara sengaja melanggar hukum. Kedua, saya misuh karena sangat gembira. Mengapa gembira? Malam saat Akil Mochtar ditangkap KPK saya kejatah piket bersama dua redaktur lain di koran tempat saya bekerja. Kebetulan berita penangkapan Akil itu muncul sebelum tenggat halaman satu. Malam itu saya laksana mendapat “durian runtuh” karena mendapat berita yang sangat layak jadi headline halaman satu. “Kampret” yang saya ucapkan adalah ekspresi senang. Ketiga, saya misuh sebagai wahana untuk meringankan “beban dalam benak” saya saat mengetahui kian banyak pejabat negara, bahkan pejabat tinggi negara, yang punya kekuasaan besar dan tinggi, serta bergaji melimpah teryata masih doyan suap, mau korupsi, mau merekayasan APBD/APBN demi meraup keuntungan bagi pribadi atau kelompoknya. Dalam konteks ini, misuh saya maknai dan posisikan sebagai jalan bagi rakyat kecil—seperti saya— untuk mengungkapkan kejengkelan karena melihat perilaku elite politik dan penguasa yang begitu bobrok dan busuk. Misuh dalam konteks ini menjadi katarsis sekaligus jalan kontemplatif: jangan sampai saya (dan juga Anda) ikutikutan busuk dan bobrok. Anda tahu Dalang Edan Sujiwo Tejo? Dia telah mengangkat derajat pisuhan terbiadab di tlatah Jawa Timur: ”diancuk” atau “jancuk” menjadi bahasa kebudayaan yang egaliter sekaligus intelektual. Jadi memaki atau misuh, kata makian atau pisuhan, memang bisa bermakna positif dan negatif, setidaknya dalam hidup saya.[] KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

51


Bentara

Sedulur Sikep Menyikap Hidup Oleh: Udji Kayang, Dara Ayu

“Akan tetapi, waktu saya mengunjungi Jawa Tengah, saya bertemu dengan seseorang yang tidak menerima pemikiran “lebih” ini. Di kota kecil yang tidak bisa dibandingkan dengan Jakarta ini, saya merasa telah melihat kearifan dalam peradaban Jawa. Istilah “sakcukupe”, jika dipahami oleh lebih banyak orang, saya pikir akan membuat dunia menjadi sedikit lebih baik. Di Indonesia, kearifan lokal yang penting seperti ini kerap tersembuyi”

Hisanori Kato - “Kangen Indonesia” Foto oleh: Anna Nur Khasanah/LPM Kentingan

Suatu Perkenalan Tak seperti Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, atau Sultan Hasanuddin, nama Samin Surondiko masih asing di telinga masyarakat Indonesia. Mereka semua adalah pejuang di daerahnya masing-masing. Kendati perjuangan mereka bersifat lokal, gelar Pahlawan Nasional telah dianugerahkan kepada mereka, kecuali Samin. Sedangkan Samin Surondiko telah berjasa menggerakkan warga Blora saat itu agar memboikot pemerintah kolonial berikut kebijakan-kebijakannya. Sikap Samin tersebut yang akhirnya memunculkan gerakan serupa di Kudus, Pati, bahkan Bojonegoro. Resah melihat sikap warga, akhirnya pemerintah kolonial membuang Samin Surondiko ke Padang, Sumatera Barat. Berpisah dengan sosok panutan tak memudarkan semangat juang warga Blora, mereka tetap melawan penjajahan, begitu pula dengan pengikut Samin di wilayah lain. Hingga kini mereka masih tak acuh terhadap kebijakan pemerintah, bahkan setelah pemerintahan dipegang oleh bangsa sendiri. Walaupun sering disebut Wong Samin, sebenarnya istilah yang mereka akui adalah Sedulur Sikep. Gunretno, salah satu tokoh Sedulur Sikep di Pati mengatakan, “Tak ngertekno, saktemene

52

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

pengakuan dulur-dulur iki Sedulur Sikep, Samin kuwi nama orang (Saya jelaskan, sebenarnya kami mengaku sebagai Sedulur Sikep, karena Samin itu nama orang)“. Kendati perilaku mereka terinspirasi dari Samin Surondiko, namun mereka enggan menggunakan namanya. Namun apa daya, masyarakat Indonesia banyak yang berpikir sederhana. Pengikut Karl Marx disebut Marxis, pengikut Max Weber adalah Weberian, begitu pula pengikut Samin Surondiko disebut Wong Samin. Seakan para pengikut wajib mencantumkan nama pencetus paham yang dianutnya. Sedulur Sikep enggan disebut sebagai agama, suku, atau kepercayaan, mereka lebih suka menyebutnya “tata cara”. Mereka melestarikan tata caranya secara turun temurun, dengan kata lain orangtua bertanggung jawab mengajarkan tata cara Sikep kepada

W

ong Samin, begitulah masyarakat biasa menyebut kelompok tradisional yang terdapat di Blora, Pati, Kudus, hingga Bojonegoro. Wong Samin sering dipandang sebelah mata dengan label “suku pedalaman”. Mereka dicap terbelakang karena tidak pernah mengikuti pendidikan formal, jauh dari teknologi dan hidup di bawah garis kemiskinan.Namun kondisi Wong Samin tidak sepenuhnya sama seperti persepsi banyak orang. Di Pati misalnya, mereka tinggal di desa Sukolilo yang letaknya tidak jauh dari jalan raya. Rumah yang mereka tempati pun sama dengan masyarakat desa biasa, tak ada kesan bahwa mereka lebih “terbelakang”.

Tak ngertekno, saktemene pengakuan dulur-dulur iki Sedulur Sikep, Samin kuwi nama orang Foto-foto oleh: Wisnu Renaldi/LPM Kentingan


Bentara

Foto oleh: Adi Putra Pratama/LPM Kentingan

Menjalani Keseharian Sedulur Sikep berkomunikasi dengan bahasa Jawa ngoko, tanpa memandang siapa lawan bicaranya. Berbeda dengan orang Jawa pada umumnya yang menggunakan bahasa sesuai unggah-ungguhnya. Secara tidak langsung, mereka menciptakan masyarakat tanpa kelas, seperti yang didambakan oleh Karl Marx. Mereka berbicara dengan efektif, tidak suka berbasa-basi. Ketika berdialog mereka tidak suka mendahului sebelum diberi pertanyaan. Menjawab pertanyaan pun secukupnya saja, tidak melenceng jauh dari pertanyaan yang diberikan pada mereka. Tentunya mereka menjawab dengan bahasa Jawa ngoko, kendati pertanyaan disampaikan dalam bahasa Indonesia. Orang awam sering kesulitan berkomunikasi dengan Sedulur Sikep, karena mereka memahami bahasa dengan cara yang berbeda. Sedulur Sikep memang punya logika sendiri, yang khas, unik, dan berbeda. Ketika orang Jawa ditanya, “Jenengmu sapa? (namamu siapa?)”, mereka menjawab dengan menyebutkan namanya. Namun ketika yang ditanya Sedulur Sikep, “Jenengku wedok (namaku perempuan)”, bagi mereka nama adalah jenis kelamin. Mereka berasumsi bahwa setiap bayi yang lahir sudah memiliki nama, yaitu anak laki-laki atau anak perempuan. Istilah nama bagi orang biasa, mereka memaknainya sebagai sebutan atau pengaran. Selain itu jika ditanya, “Anakmu piro? (anakmu berapa?)”, jawabannya, “Anakku siji, itungan’e loro, ning ganjil (anakku satu, hitungannya dua, tapi masih ganjil)”. Maksudnya, anak selalu lahir dari rahim yang satu, dan itungan atau hitungan artinya jumlah anak. Kemudian ganjil apabila semua anaknya laki-laki, atau kesemuanya perempuan, dikatakan sudah genap apabila anak-anaknya ada yang laki-laki dan ada yang perempuan. Salah satu hal yang unik tentang Sedulur Sikep yaitu mereka tidak makan dari hasil perdagangan. Penghasilan utama Sedulur Sikep adalah sektor pertanian, mereka menanam padi, jagung, dan berbagai macam sayuran. Hasil pertanian tersebut dipakai untuk mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari. Jika membutuhkan bahan makanan lain, mereka melakukan barter dengan Sedulur Sikep lain. Menyadari tidak semua barang bisa didapat dengan barter, hasil pertanian juga dijual untuk mendapatkan uang. Kemudian uang tersebut dipakai untuk membeli kebutuhan lain. Namun mereka tidak setuju jika itu dikatakan perdagangan. “Dagang kuwi yen tuku terus diadol maneh (perdagangan itu kalau beli lalu dijual lagi)”, kata Gunretno. Selama ini Sedulur Sikep memang hanya menjual hasil pertanian, hasil usaha mereka sendiri, bukan dari kulakan.

Gunretno, tokoh Sedulur Sikep Kelompok Sukolilo, Pati. Tampak di atasnya lukisan Samin Surondiko

anaknya. Selain itu tata cara Sikep juga dilestarikan melalui perkawinan, baik dengan sesame Sedulur Sikep atau yang bukan Sedulur Sikep. Sedulur Sikep mengajarkan dasar laku sebagai pondasi kehidupan, seperti“aja dengki srei, tukar padu, dahwen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong” (dilarang berhati jahat, berkelahi, suka mendakwa, iri hati, dan mengambil milik orang).

Mereka tidak menerima bantuan itu karena yakin bahwa apa yang dimiliki sekarang sudah mampu untuk mencukupi kebutuhan mereka, inilah prinsip sakcukupe…” Penyeimbang Bukan Pembangkang “Yo warga kuwi mestine enek sing nulis, enek sing macul. Yen nulis kabeh, sing macul sopo? Apa-apa yen ora imbang apa isa? (warga itu mestinya ada yang menulis, ada yang mencangkul. Kalau menulis semua, yang mencangkul siapa? Apapun kalau tidak seimbang apa bisa berjalan baik)”, begitulah kiasan dari Gunretno. Sedulur Sikep memang membatasi profesi mereka, sektor pertanian adalah pilihan hidup. Selain demi memenuhi kebutuhan harian, bertani merupakan salah satu wujud pengabdian mereka terhadap alam. “Sedulur Sikep kuwi sanajan ora isa dipisahke karo alam, mulai taun 2006 tekan 2009, dulur-dulur Sikep ning kene ki merjuangno alam utawa lingkungane supaya ora ana pabrik semen (Sedulur Sikep itu memang tak bisa dipisahkan dengan alam, sejak 2006 hingga 2009, kami memperjuangkan kelestarian alam agar tidak ada pabrik semen)”, jelas saudara perempuan Gunretno, Gunarti. Mereka takut pabrik semen yang akan dibangun nantinya dapat merusak lingkungan hidup. Selain masalah pembangunan pabrik, Sedulur Sikep juga menolak berbagai bantuan dari pemerintah. Mereka tidak menerima bantuan itu karena yakin bahwa apa yang dimiliki sekarang sudah mampu untuk mencukupi kebutuhan mereka, jadi lebih baik jika bantuan itu ditujukan kepada orang lain yang lebih membutuhkan. Inilah prinsip sakcukupe (secukupnya) ala Sedulur Sikep, sebuah pandangan hidup yang jarang ditemui di masa kini. Sakcukupe adalah penyeimbang, di tengah masyarakat Indonesia yang terlena dalam budaya hedonisme. Alangkah baiknya jika masyarakat meneladani mereka, atau setidaknya memandang Sedulur Sikep sebagai penyeimbang kehidupan, bukan pembangkang pemerintahan. [*] KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

53


Resensi

Telisik Feminisme dalam Epos Mahabarata Oleh Hesti Ratnafuri

Judul Buku Penulis Alih Bahasa Tebal Penerbit

: Perempuan-Perempuan Mahabarata : Kavita A. Sharma : Dewita Kusuma Hakimi, Ining Isaiyas : 177 Halaman : Kepustakaan Populer Gramedia

Foto oleh: Wisnu Renaldi/LPM Kentingan

Perempuan dalam Patriarki Mahabarata mengakui kekuatan dalam diri perempuan bahwa siapapun harus berurusan dengan perempuan apabila ingin mempertahankan kekuasaan negara. Dari sudut pandang patriarkal, perempuan adalah subjek yang penting untuk mengandung dan melahirkan anak laki-laki sebanyak-banyaknya. Penguasa terkuat sekalipun bisa tunduk melalui hasrat seksualitas perempuan, oleh karenanya perempuan diatur oleh setumpuk aturan moralitas dan nilai-nilai, meski masih dibawah kendali seorang pria. Kunti, istri Pandu, yang dari kecil tidak tinggal dengan orang tuanya, diketahui memiliki sikap paling tegas dan berkeinginan kuat. Kemudian ia dimadu dengan Madrim. Madrim adalah perempuan bersuami yang selamanya membutuhkan perlindungan. Kunti melahirkan Yudhistira, Bima, dan Arjuna dari hubungannya dengan para dewa yang memiliki kapasitas kekuatan berbeda-beda seperti apa yang dikatakan Pandu dalam mendeskripsikan anak-anak idamannya. Sedang Pandu, tidak bisa menghasilkan keturunan. Kehadiran Nakula dan Sadewa dari rahim Madrim juga atas dasar sebuah kekuatan yang dimiliki Kunti. Hal ini diupayakan tak lain disebabkan satu muara yaitu mencetak para pewaris tahta Hastinapura. Kunti harus menjadi seorang orang tua tunggal, sepeninggal Pandu. Badai datang dari Drestarasta yang buta dan merupakan kakak dari Pandu. Drestarasta ingin memusnahkan Kunti dan anak-anaknya agar tahta Hastinapura jatuh ke tangan Duryudana, anak pertama Drestarasta dan Gandari. Gandari merupa-

54

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

kan perwujudan ketidakadilan dalam masyarakat patriarki. Perempuan hanyalah sebatas alat untuk membentuk aliansi politik melalui ikatan perkawinan. Namun demikian, Gandari merupakan seorang pemuja Siwa yang saleh hingga dianugerahi seribu anak yang terkumpul dalam tali persaudaraan Kurawa. Dilema seorang ibu dirasakannya dalam masa perang antara membela anak-anaknya yang tak berakhlak atau tidak merestui anaknya dalam perang dan menyerahkan semua pada poros kebenaran.

“

D

i Indonesia, Pandawa dikenal dalam tokoh pewayangan, baik dalam lakon wayang kulit maupun wayang orang, sebagai lima ksatria yang memiliki kegagahan dan kekuatan luar biasa. Wiracarita yang diangkat dari kitab Mahabarata ini juga sangat melekat di hati masyarakat negara asalnya, India. Seperti yang diketahui selama ini, Mahabarata ialah sebuah epos dengan lakon kesatria-kesatria perkasa nan sakti mandraguna yang menganut garis patriarkal yang sangat kuat. Konflik sentral dari Mahabarata adalah ketika Pandawa terlibat dalam perang saudara melawan Kurawa atas dasar perebutan tahta Hastinapura. Namun ternyata, rumor kesaktian para lelaki yang tergambar dalam epik ini bukan satu-satunya faktor kemenangan yang diraih dalam peperangan. Ada tokoh-tokoh yang memiliki kekuatan luar biasa yang menjadi motor pergerakan laki-laki dalam mengambil tindakan dan melakukan perubahan. Mereka adalah perempuan-perempuan Mahabarata. Kavita, seorang cendekiawati India terkemuka mengajak kita untuk menelisik sisi feminisme dalam kisah Mahabarata ini.

...di samping emansipasi, dibutuhkan equilibrasi bahwa perempuan memiliki kodrat...

Seksualitas Kecantikan yang disebutkan berkali-kali dalam buku ini merupakan tolok ukur pertama dan utama dalam membius ketertarikan laki-laki dalam membina hubungan persebadanan. Drupadi, yang mendapatkan porsi paling banyak dalam lembar-lembar buku ini, dideskripsikan memiliki wajah yang luar biasa cantik dan harus menanggung imbas dari apa yang dimilikinya tersebut. Drupadi adalah istri bersama dari Pandawa. Ia meneruskan peran Kunti agar lima bersaudara tersebut tetap satu dalam perjalanannya menduduki Hastinapura. Sebagaimana kalkulasi Kunti, Drupadi melakukan tugasnya dengan baik. Ia melayani dan mencintai Pandawa dengan tulus serta menjaga kelima Pandawa agar tetap fokus dalam merebut Hastinapura. Seksualitas, dalam Mahabarata seringkali menjadi konflik sentral antara perempuan dan para ksatria. Seringkali laki-laki dengan mudahnya terbius nafsu berahi dan ingin memiliki tubuh si perempuan. Penaklukan seksual tersebut berbanding lurus (lagi-lagi) dengan apa yang dinamakan ekspansi politik. Taktik perkawinan sebagai sarana merangkul kekuasaan semacam ini terutama digunakan oleh Arjuna dalam pengembaraannya selama beberapa tahun. Silsilah antar tokoh dalam Mahabarata yang cukup pelik menyebabkan Anda harus bersabar dalam menganalisis tokoh dan peran. Walaupun demikian, buku ini memberikan inspirasi bahwa disamping emansipasi yang selama ini digembar-gemborkan, dibutuhkan equilibrasi bahwa perempuan memiliki kodrat dalam peran vitalnya untuk medorong dan rela berkorban suami serta anak-anaknya dalam mencapai cita-cita dan kemenangan. Kavita membuat kita tersadar bahwa peran perempuan walaupun tak terlihat secara konkrit dalam masyarakat patriarki, namun ketekunannya mengolah akal pikiran dan tingkah laku di balik layar kemenangan para ksatria memang patut untuk diperhitungkan. Seperti yang disebutkan dalam lembar ke-16 buku ini, perempuan adalah individu yang cerdas berani, dan cantik, yang tidak dapat dengan mudah ditaklukkan. Dan Perempuan adalah perempuan. Sekian.[*]


Resensi

4 Luni, 3 Săptămâni şi, 2 Zile

Sepenggal Kisah Kelam Romania

Judul Film Sutradara Pemain Produksi Durasi

: 4 Luni, 3 Săptămâni şi 2 Zile (4 Months, 3 Weeks and 2 Days) : Christian Mungiu : Anamaria Marinca, Laura Vasiliu, Vlad Ivanov : 2007 : 108 menit (1 jam 48 menit)

Oleh: Noorma Luthfiana Aini

Dua puluh enam tahun lalu tak terbayangkan negeri bernama Romania pernah mengalami kisah suram ini: aborsi merajalela, suap menyuap hal biasa, pasar ilegal terserah suka-suka, hingga ketegangan antar manusia karena rasa saling curiga. Waktu itu sedang revolusi Romania.

S

memutuskan untuk mau berhubungan badan dengan mister Bebe sebagai tambahan bayaran. Proses aborsi sepakat dilakukan. Mister Bebe memberikan suntikan kepada Gabita untuk merangsang janinnya agar keluar. Selang beberapa lama, janin keluar dari perut Gabita saat ia pergi ke toilet. Otilia menemukan janin tersebut dengan kondisi penuh darah. Otilia baru menyadari bahwa hal yang baru saja dilakukannya sangat kejam dan ia menyesal. Namun lagi-lagi Otilia segera memendam perasaan carut-marutnya dan bergegas untuk membuang janin itu. Ada ketidakcocokan antara Gabita dan Otilia mengenai cara membuang janin itu. Gabita menyuruh Otilia agar membakar janin itu supaya tidak ditemukan oleh orang lain. Namun, Otilia tidak kuasa untuk membakar bakal bayi yang tidak bersalah itu dan akhirnya ia hanya membuangnya di gorong-gorong. Film ini berlatar tahun 1987 dan merupakan film Romania pertama yang berhasil memenangkan Palme d’Or di Cannes 2007. Christian Mungiu, sang sutradara ingin menjelaskan bahwa pada tahun tersebut telah banyak terjadi demoralisasi remaja dan aborsi ilegal di Romania. Mungiu, yang tumbuh besar pada masa suram itu berhasil memotret kehidupan suram teman-teman perempuannya yang kehilangan harapan hidup karena aborsi. Lewat satu tokoh Otilia, penonton sudah diajak melihat kesuraman Romania. Suap-menyuap Sang sutradara ingin menjelaskan bahwa pada yang dilakukan Otilia saat menawar penginapan tahun tersebut telah banyak terjadi demoralisasi menjadi gambaran masyarakat Romania pada remaja dan aborsi ilegal di Romania. umumnya. Otilia juga representasi korban masalah sosial yang dialami masyarakat kebanyakan. Perempuan yang keluar dari kemiskinan harus menikah dengan Otilia melanjutkan perjalanan menemui mister Bebe. Sesudah keluarga yang lebih terpandang. melewati percakapan yang alot, Otilia dan mister Bebe akhirnya daFilm yang berdurasi hampir dua jam ini tergolong film semi tang ke hotel yang telah dipesan untuk menemui Gabita. Mister Bebe dokumenter, dengan menggunakan teknik kamera handheld, membeberkan semua dampak yang bisa terjadi jika aborsi tetap ditidak ada lighting dan warna yang mencolok, serta tidak ada lakukan. musik. Mungiu berhasil menyajikan keajegan ketengangan lewat Perbincangan alot antara ketiganya timbul. Mister Bebe memsosok Otilia. peringatkan tentang masalah yang bisa timbul akibat kesalahan-ke4 Luni, 3 Săptămâni şi 2 Zile merupakan film yang mensalahan yang telah dilakukan oleh Gabita. Terlebih Gabita membuat gungkap sisi lain dari sejarah Romania. Sutradara sekaligus kesalahan fatal lagi dengan berbohong tentang usia kandungannya. penulis skenarionya berusaha menanamkan karakter yang Pada awalnya Gabita mengatakan usia kandungannya adalah tiga sangat kental di dalam diri pemeran-pemerannya agar dapat bulan, namun setelah mister Bebe memeriksanya ternyata usia kandmenggambarkan dengan jelas situasi pada era komunis masih ungannya sudah hampir memasuki lima bulan. menguasai negara tersebut. 4 Luni, 3 Săptămâni şi 2 Zile bukan Mister Bebe merasa tertipu dan memutuskan untuk pergi. Otilia sekadar film![*] dan Gabita tak punya pilihan lain selain menahan mister Bebe. Otilia emua itu digambarkan dalam film 4 Luni, 3 Săptămâni şi 2 Zile (4 Months, 3 Weeks and 2 Days) yang mengisahkan perjalanan seorang perempuan saat membantu temannya aborsi. Otilia (Anamaria Marinca), teman Gabita (Laura Vasiliu), harus mengalami ketegangan dalam beberapa waktu dari hidupnya karena terlibat dengan masalah Gabita yang mengaku sedang hamil tiga bulan. Diawali dengan pembicaraan antara Otilia dan Gabita di kamar asrama mereka yang sempit. Pembicaran tentang rencana menghilangkan kesalahan dengan kesalahan yang lain. Lalu, Otilia pergi meninggalkan Gabita di kamar dan menemui Adi (Alex Potocean), pacarnya, untuk meminjam sejumlah uang, dari situ mulailah alur ketegangan cerita film ini. Perjalanan yang penuh dengan pertikaian, dan keputusasaan. Setelah mendapatkan uang dari Adi, Otilia pergi mencari hotel yang dianjurkan oleh mister Bebe (Vlad Ivanov), orang yang akan mengaborsi kandungan Gabita. Sayangnya Otilia tidak dapat checkin kamar karena ternyata Gabita belum melakukan reservasi. Otilia berusaha melobi resepsionis hotel dengan menyodorkan sejumlah uang namun gagal, semua kamar penuh. Otilia pun mencari hotel lain dan akhirnya ia mendapatkan sebuah kamar meski dengan harga yang tinggi.

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

55


Galeri

Luka Lama Oleh: Hanputro Widyono

A

ku berdiri dari tempat dudukku. Mulutku menganga. Mataku terbelalak tak percaya. Emas-emas berserakan di halaman kampus, berkubang seperti danau-danau kecil di depan emperan toko. Aku takjub. Hujan emas…!!! Aku berlari menghampirinya. Kurasakan perihnya kulitku bertabrakan dengan emas-emas itu. Kedua tanganku menengadah. “Engkau memang Maha Pemurah. Emas-emas ini cukup membuatku kaya. Thanks God,” batinku dan emas-emas terus berjatuhan. Aku berteriak memanggil teman-temanku. Mengajak mereka bergabung sekaligus berbagi kebahagiaan bersama. Tapi mereka bengong. Mulutnya monyong mirip ikan koi. Matanya dibuka lebar-lebar. Mereka heran menyaksikan tingkahku. Dan beberapa malah melambai-lambaikan tangannya sambil berteriak nggak jelas. “HEI, INI HALAL. BUKAN MENCURI. INI PEMBERIAN TUHAN YANG HARUS KITA SYUKURI,” belaku. Aku mencaruk kepingan emas-emas yang berserakan. Kugenggam erat lalu kuhamburkan ke udara. Aku tertawa renyah. Mereka masih melambaikan tangan. Semakin banyak. “Mereka terlalu kaya rupanya, hingga tak bernafsu dengan emas-emas seperti ini. Mereka tak waras,” gumamku. Mereka tak akan mendengarnya. Denting emas yang jatuh menimpa emas lainnya sangat berisik. Aku berlarian seperti anak usia lima tahun yang selalu keranjingan ketika hujan datang. Tanpa gurat kesedihan. “AWAS, BATANG POHON JATUH!!!” aku berhasil menghindar. Mereka mengelus dada. Ada juga yang menutup matanya dengan tangan. “ENYAH SAJA KAU DENGAN EMAS-EMAS KHAYALANMU ITU,” mereka kembali berteriak. Aku tak paham dengan yang mereka katakan. Otakku sedang sakit. Aku mengobral pandanganku ke setiap sudut gedung. Di sana banyak wartawan rupanya. Lampu flash dari kamera mereka terus memotretku. Kuli tinta itu mendapat berita besar hari ini. Aku mengumbar senyum OKB. Orang Kaya Baru. Hahaha…. Pikiranku menyeberang pada ucapan Ayah Sita tentang uang dan masa depan. “Dasar orang tua!!!” sumpah serapahku tumpah begitu saja.

56

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

Ilustrasi oleh: Metika Ida

Aku tidak bisa mengontrolnya. Tubuhku menjadi lemas. “Duaaaaaarrrr,” bunyi ledakan itu membahana, bersandingan dengan kilatan flash. Aku kaget setengah mati. Wartawan terus memotret. Aku tersungkur, menyatu dengan emas-emas itu. Pandanganku gelap. Teman-temanku semakin keras berteriak. Ada yang mulai berlari mendekat. Dan aku tak tahu apa-apa lagi. *** Jam delapan. Bulan mengintip dari sela-sela awan. Mawar merah itu lesu. Kelopaknya tak lagi mekar. Hanya harum bunga sedap malam yang menyeruak. Dedaunan masih basah karena hujan. Terdengar suara dedaunan yang saling bergesekan diterpa angin. Matamu sudah bosan terpejam. Tiba-tiba turunlah seorang bidadari, duduk di samping ranjangmu. Dia mirip Andah. “Bidadari,” katamu terpesona. “Yeah, jam segini ngigau? Bodoh…,” celoteh Andah sambil menoyor kepalamu. Lalu kalian tertawa. Andah adalah sahabatmu. Bibirnya mungil. Senyumnya manis. Punya lesung pipi yang selalu mengekor di setiap senyuman dan tawanya. Kamu tak pernah jemu memandangnya. “Tadi kenapa kamu hujan-hujan kayak orang gila?” nada suara Andah mirip reserse yang mengintrogasi seorang tersangka. Penuh selidik. Kamu diam menundukkan kepala. Lebih menutupi ekspresi wajahmu yang muram. “Candra cerita banyak tentang itu,” lanjutnya. Kini Andah menggiringmu ke tempat duduk terdakwa. Dia mengeluarkan semua bukti-bukti, juga saksi-saksi. Dia sudah tahu kejadian yang sebenarnya. Dia menunggu kasaksian darimu. Lebih tepatnya, pengakuan diri. “Selesai kuliah aku bertemu Sita di tangga dekat toilet,” jelasmu sambil berusaha menelan riak. Dadamu sesak. Matamu beredar mencari letak bungkus rokok dan cepat menyambarnya. Mencabut sebatang lalu menyulutnya. Kamu menghisapnya


Galeri dalam. Rasanya sedikit manis, tapi dadamu semakin sesak seperti menghirup asap bakaran sampah. Setiap kamu menyedot lintingan tembakau itu, terdengar bunyi kretek-kretek. Kamu membuat bola-bola dari asap yang kauhembuskan. Andah diam seribu detik, bukan seribu bahasa. Otaknya berdemonstrasi menuntut kalimat lanjutan darimu. “Ersita minta putus. Ayahnya yang memaksa. Aku tahu, Ayah Sita memang terlampau kejam, mirip kolonial. Aku pernah dikatai anak jalanan nggak tahu aturan karena penampilanku. Baginya tak ada gunanya jika cinta tanpa masa depan. Dan masa depan itu bisa dibeli dengan uang,” aku diam sejenak. “Uang dari Hongkong? Mungkin kalau ada hujan emas, baru aku punya uang lebih,” kamu mengusap wajahmu yang berkeringat. Pengharapanmu hampa. Tatapanmu juga kabur. Lalu kamu berdiri. Foto-foto Ersita yang ada di kamarmu seakan menghinamu. Menertawakan tangis hatimu. KERE, NO WAY. Rasanya kamu ingin melemparnya. Menginjak-injak kenangan apapun bersamanya. ***

orang-orang yang sok go green. “Put…,” “Rokok itu selalu bisa menghilangkan suntukku. Selalu jadi teman saat kusendiri. Batang tembakau ini juga bisa mengobati sakit yang ada jauh di dalam dadaku. Andai kamu mau melihatnya, hati kecil yang tersayat pecahanw lukisan kaca kita dulu,” aku seperti berbicara pada cermin, lancar dan penuh percaya diri meski tak pernah mendapat jawaban. Sita malah mengedarkan pandangannya ke langit yang mendung. “Ta…, aku pengen kamu ngerti satu hal,” nada suaraku biasa, tanpa dibuat jadi lebih berat tetapi menunjukkan keseriusan. Aku merapatkan posisi dudukku ke arah meja. Tanganku bersedeku di atasnya. Aku mempersiapkan mentalku. Mencoba membuka botol yang berisi sebuah roman kelabu itu. Kuraba perlahan kertas yang telah usang, berwarna coklat dan penuh coretan merah darah. “Keputusanmu untuk meninggalkanku waktu itu benarbenar membuat pohon yang akan berbuah itu tiba-tiba layu. Daun-daunnya menguning,” “Aku nggak tau maksudmu?” Sita benar-benar tak paham. Lalu dia menutup laptopnya. Mengesampingkan tugas kelompok dan penuh konsentrasi menyimak ucapanku. “Dalam peribahasa, aku hidup dua muara cinta. Ada kamu dan Andah. Namun aku hanya memiliki satu pot sebagai tempat tumbuhnya pohon itu. Pot itu adalah hatiku. Aku memilihmu untuk menghiasi pot itu, sedangkan Andah hanya kubiarkan hidup di pekarangan rumah. Seiring berjalannya waktu cinta itu tumbuh hingga rantingnya mencapai seluruh sudut ruang di hatiku. Hanya untukmu. Tapi ketika itulah, tiba-tiba saja kamu memutuskanku,” tatapanku menerawang jauh. “Aku begitu kecewa Sita…,” remang taman di halaman rumah sangat mendukung rengekanku. “Dan justru saat awan gelap memayungiku, petir-petir mencoba menyambarku, pohon yang kubiarkan tumbuh di pekarangan itulah yang melindungiku. Andah-lah yang membuatku nyaman.” Mendengar perbandingan dirinya dan Andah dariku, Ersita merengut. Kilatan matanya siap mencongkel bola mataku. “Kau terlalu puitis rupanya. Analogi-analogimu itu… ah, sudahlah,” Sita menahan pembicaraannya. “Aku memang setuju dengan pemikiran Ayahku tentang masa depan tapi kamu pasti berpikir aku matre kan? Hah…,” dia mengibaskan tangannya. Raut mukanya sinis. Darah dalam tubuhnya mengalir semakin cepat. “Salah. Kau salah. Aku hanya benci bau tembakau dalam napas dan keringatmu. Rokok itu buruk bagi kesehatanmu, juga untuk aku yang sering di sampingmu. Dan aku harap setelah putus dariku, kamu juga putus dari batang tembakau itu. Tapi ternyata kau lebih cinta pada rokokmu,” Sita mengungkap semuanya panjang lebar. “Thanks, untuk perhatianmu. Aku tak tahu seberapa jujur pernyataanmu itu. Satu yang kuyakin benar. Sekarang kamu telah memiliki kekasih yang jauh lebih berduit daripada aku,”kata-kataku menguap begitu saja. Semoga menguap bersama luka lama itu. Lalu kami—aku dan Ersita—terdiam. Kami berlayar kembali pada pikiran masing-masing. Tanpa berusaha menyelamatkan perahu yang karam di lautan. Perahu kecil yang tak mampu membawa kami berlabuh di pantai impian.[*]

Seiring berjalannya waktu cinta itu tumbuh hingga rantingnya mencapai seluruh sudut ruang di hatiku. Hanya untukmu. Waktu dan kewajiban sukses memaksaku. Aku harus bertemu Ersita malam ini. Aku mendapat tugas kelompok bersamanya. “Andah apa kabar, Put?” tanya gadis di sampingku sinis. Pertanyaan itu membuat kakiku seperti terinjak sepatu satpam. Otomatis aku berpaling menatapnya. Ada petasan di dalam bibir Ersita. Bibir kecil yang begitu halus, yang pernah kuusap dahulu. Bibir merah jambu yang sempurna membingkai senyum matahari pagi untuk bumi. “Alhamdulillah, dia baik,” jawabku jujur. Ersita berkicau bagai burung kelaparan. Ia juga memuji persahabatanku dengan Andah. Tetapi secara pragmatis pujiannya menunjukkan kedengkian. Aku kenal betul sifatnya. Terutama kebenciannya terhadap Andah. Ersita memonyongkan bibirnya. Ia mengetik tugasnya kesetanan. Tak melirikku sama sekali. Beberapa kali ia mengibaskan rambut panjangnya. Entah disengaja atau tidak, rambut itu menerpa lenganku. Rambut Ersita memang indah, hitam, panjang, dan lembut. Ketika bangun tidur pun mahkota itu tetap terjaga kilau dan rapinya. Namun satu yang selalu membuatku berusaha mengumpulkan puing-puing kerinduan untuk membelai rambutnya, yaitu aromanya. Aku mengambil sebatang rokok dari saku jaketku. Kucoba menyulutnya berkali-kali namun selalu padam oleh angin. Malah emosiku yang tersulut. Angin sialan. Haruskah aku menggunakan korek Zippo “Windproof Lighter” yang menjadi salah satu icon kerajinan tangan di Amerika itu. Akhirnya aku meletakkan rokok itu. Baru kusadari jika dari tadi Sita memperhatikanku. Tajam. “Kamu masih merokok?” tanya Sita ketika mataku bertemu dengan matanya yang hitam. Retoris. Sudah jelasjelas aku memegang dan menyulut rokok, berarti aku masih merokok. Dasar bodoh. “Kamu ngerti nggak sih kalau rokok itu bahaya buat kesehatan?” “Tau, tapi rokok itu membuatku tampak maskulin dan modern,” protesku. Tak hanya pada Ersita, tetapi juga pada

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

57


MENAKAR PENGARUH FILM Dede Suprayitno Mahasiswa yang suka ke pasar

F

ilm menjadi bagian dalam sejarah manusia. Kehadirannya sebagai media penyampai pesan bersanding dengan bukubuku, surat kabar, majalah, blog, dan lain sebagainya. Alur dan polesan artistik turut mempercantik film dalam menyajikan sebuah cerita kepada audiens. Film menjadi media yang laris manis karena kemampuannya dalam mengemas cerita dengan aspek audio-visual. Dalam sejarah Indonesia, film menjadi alat pendukung revolusi. Soekarno pernah meminta kepada Usmar Ismail mengenai pembuatan film yang cocok bagi semangat revolusi Indonesia. Dengan membandingkan karakteristik film Amerika yang mengisahkan suatu cerita dengan cepat dan lancar. Namun, film tersebut dangkal atau meniru film-film soviet yang mengisahkan dengan intensif dan mendalam, tetapi film-film itu terasa lamban dan membosankan? Soekarno lalu mencari jalan tengah, memutuskan mengambil film yang lancar dan mendalam dengan mengambil film Italia sebagai contohnya. Bila kita menilik sejarah, ternyata film turut andil dalam menentukan arah bangsa. Film dengan segala kekuatannya mampu menciptakan sebuah kerangka persepsi masyarakat. Tentu kita tak lupa dengan sejarah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan korelasinya dengan Gerakan 30 September (G30S). Penggambaran fakta sejarah G30S diceritakan dalam salah satu film propaganda berjudul Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer (1984). Film ini banyak ... dikonsumsi kalangan siswa di sekolah, baik sekolah dasar maupun sekolah menengah. Dengan kebijakan pemerintah, film itu pun wajib ditonton setiap 30 September. Bahkan hingga penulis duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, guru sejarah masih memutar film itu untuk dipertontonkan kepada murid-murid. Film menjadi sumber pelajaran sejarah bagi sekolah-sekolah. Mirisnya sebagian guru tak mengkajinya kembali dengan membandingkan sumber-sumber lain. Seperti informasi lain yang masih menyatakan bahwa peristiwa G30S itu juga melibatkan spionase pihak luar (negeri). Film yang menjadi media pembanding ini justru saklek dijadikan sumber sejarah untuk mengamini isu yang ada. Kekuasaan amat erat kaitannya dengan kekuatan membentuk sejarah. Sejarah menjadi milik mereka yang menang. Lima puluh tahun yang lalu, mungkin kita menganggap bahwa PKI adalah bagian yang biasa dalam kehidupan bernegara masyarakat Indonesia. Gubernur, bupati, dan pejabat lain yang berlatar belakang PKI masih memiliki jabatan-jabatan strategis, dan itu tak menjadi soal. Tetapi setelah tahun 1965, PKI memberontak, gaung penguasa begitu bernafsu untuk menumpas PKI sampai ke akar-akarnya termasuk mengupayakannya lewat film propaganda. Pengaruh film Pengkhianatan G30S/PKI menancap kuat dibenak penonton hingga mampu membuat sejarah baru dalam perjalanan Indonesia. Film itu berperan dalam membangun paradigma masyarakat tentang PKI dan paham sejenis yang dibawa-nya. Pada 1985, Tempo mengadakan survei kepada 900 responden di Jawa dan Sumatera. Dalam survei tersebut ditanya ancaman apa yang

paling berbahaya, jawaban terbesar adalah bangkitnya komunisme (33,65 persen), jauh melampaui korupsi yang dianggap bahaya kedua (18,42 persen). Associate Professor, Australian National University, Ariel Heryanto, dalam penelitiannya menguraikan kerangka berpikir Pengkhianatan G30S/PKI masuk ke sumsum tulang sebagian besar masyarakat. Orang swasta yang tertular kemudian ikut menebar kuman bertutur seperti film propaganda. Dengan beberapa pengecualian kecil, hampir semua karya sastra berlatar sejarah politik 1965-1966 menggambarkan tokoh kiri/komunis sebagai tokoh jahat, penghasut licik yang menjerumuskan orang baik, atau orang jujur tapi lugu sehingga tersesat oleh ajaran komunisme. Keberadaan film propaganda tidak hanya karena kekuasaan di luar film yang hendak memperalatnya tetapi karakter film itu sendiri merupakan medium propaganda yang sempurna. Dengan kata lain, film bisa menjadi medium untuk membangun kekuasaan dan lewat film pula kekuasaan terukir dengan jelas (Budi Irawanto, 2008: 43) Kekuatan Film Itulah film dengan beragam kekuatannya. Dimana kehadirannya mampu mencipta pemahaman bagi masyarakat terkait suatu isu. Jikalau demikian kuatnya sebuah film menancapkan pengaruh dibenak penonton, sudah seharusnya melalui film pulalah kemajuan suatu bangsa itu dapat dibentuk. Film propaganda yang berkualitas dengan semangat perbaikan dan misi-misi kemanusiaan universal tentu akan memberi sumbangsih yang berharga dalam pembangunan. Film memberikan kita sebuah kesadaran bahwa segala macam persoalan dalam kehidupan bernegara adalah sebuah konstruksi besar (master plan) yang perlu disiapkan. Film memberikan kita ruang kontemplasi tentang suatu realitas kehidupan. Tanpa kita sadari, terkadang film yang ditonton memberikan kepuasan batin tersendiri bagi yang memiliki kesamaan latar belakang dengan film itu. Secara tidak langsung film itu mewakili apa yang terjadi pada masyarakat dan menuntut kita untuk arif memahami hikmah yang terkandung di dalamnya. Seorang pakar teori film, Sigfried Kracauer (1974) menyatakan, film suatu bangsa, mencerminkan mentalitas bangsa itu lebih dari yang tercermin lewat media artistik lainnya. Maka tak heran banyak yang menyatakan bahwa film itu lebih dari sekadar hiburan, namun film itu cerminan dari sebagian atau seluruh aspek kehidupan sosial masyarakat. Teringat saya akan sebuah novel berjudul Klub Film karya David Gilmour (2011) dimana dalam novel itu diceritakan kisah nyata seorang ayah yang mengizinkan putranya berhenti sekolah—tidak bekerja, tidak membayar sewa rumah—tapi dengan satu syarat. Dalam seminggu ia harus menonton tiga film yang dipilih ayahnya. Sebegitu kuatkah pengaruh film itu dalam membentuk karakter? Rupanya mulai sekarang kita perlu berhitung, sebanyak apa filmfilm berkualitas itu pernah kita tonton dan memberikan pengaruh terhadap kehidupan kita hingga kini? []

“

film bisa menjadi medium untuk membangun kekuasaan

58

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

Foto: dok. pribadi

Catatan Kaki


KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013

59


60

KENTINGAN XX EDISI DESEMBER 2013


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.