Volume 41, Nomor 2, November 2011
Volume 41, Nomor 2, November 2011
Model Manajemen Pendidikan Berbasis Solusi untuk Mengatasi Sekolah Miskin
Pengaruh Pendekatan Pembelajaran dan Locus Of Control terhadap Kemampuan Penalaran Matematika Siswa
Model Pengembangan Bank Soal Berbasis Guru dan Mutu Pendidikan
Show and Tell Edukatif untuk Pengembangan Empati, AfiliasiResolusi Konflik, dan Kebiasaan Positif Anak Usia Dini
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dalam Mewarnai Kualitas Pendidikan di Sekolah
Relevansi Praktik Laboratorium Pendidikan Administrasi Perkantoran dengan Jenis Pekerjaan Mahasiswa PKL
Identifikasi Kesulitan Peserta Didik dalam Belajar Matematika dan Sains di Sekolah Dasar
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Guru SMA/MA di Kabupaten Alor
Pengembangan Perangkat Pembelajaran Biologi Berbasis Masalah
Volume 41, Nomor 2, November 2011
PANDUAN PENULISAN NASKAH 1. 2. 3. 4.
Penerbit Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Negeri Yogyakarta Dewan Redaksi Ketua : Dr. Maman Suryaman Sekretaris : Sumarno, Ph.D. Anggota : Prof. Dr. Pujiati Suyata Prof. Sarbiran, Ph.D. Prof. Dr. Mundilarto Prof. Dr. Ajat Sudrajat Dr. Siswantoyo Bambang Sugeng, Ph.D. Dyah Respati Suryo S, M.Si. Sekretariat Martutik, S.IP. Rini Astuti, S.IP. Periode Terbit Dua kali setahun setiap bulan Mei dan November Terbit Pertama Mei 1980 Alamat Redaksi/Tata Usaha Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Negeri Yogyakarta Karangmalang, Yogyakarta. 55281 Telp. (0274) 550839, 555682; Fax. (0274) 518617, 550839 e-mail: lppm@uny.ac.id atau lppm.uny@gmail.com Website: http://lppm.uny.ac.id Alamat e- journal http://journal.uny.ac.id./index.php/jk
5. 6.
7. 8. 9.
Jurnal Kependidikan menerbitkan artikel hasil penelitian tentang pendidikan yang memberikan kontribusi pada pemahaman, pengembangan teori, konsep keilmuan, serta aplikasinya terhadap pendidikan di Indonesia. Artikel harus asli dan belum pernah dipublikasikan atau sedang diajukan untuk dipublikasikan dalam jurnal lain. Artikel yang pernah disajikan dalam suatu forum, misalnya seminar, harus disebutkan forumnya. Penulisan naskah menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Inggris secara benar. Panjang naskah 15 – 20, kertas ukuran A4, diketik satu setengah spasi, font times new roman 12 dengan program window MS Word. Artikel ditulis dengan ketentuan dan sistematika sebagai berikut: a. Judul: ditulis dengan singkat dan padat, maksimum 14 kata mengandung kata kunci, dan harus mencerminkan substansi kependidikan yang diuraikan pada batang tubuh artikel. b. Nama penulis: ditulis di bawah judul, tanpa gelar. Penulis dapat individu atau tim dan semua penulis dicantumkan. c. Instansi dan alamat penulis: ditulis instansi asal penulis, alamat email, yang letaknya di bawah nama penulis. d. Abstrak: ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris, yang terdiri dari 100 sampai dengan 150 kata dan ditulis dalam satu paragraf yang berisi (1) tujuan, (2) metode, dan (3) hasil penelitian. e. Kata kunci: diisi kata atau istilah yang mencerminkan esensi konsep dalam cakupan permasalahan, dapat terdiri atas beberapa buah kata/istilah. Kata kunci ditulis di bawah abstrak dengan jarak satu baris dan dicetak miring. f. Batang tubuh: terdiri atas (1) pendahuluan yang memuat latar belakang, (2) prosedur/cara/metode, (3) hasil penelitian dan pembahasan, (4) simpulan. 1) Pendahuluan: berisi latar belakang, masalah, dan kajian pustaka. 2) Pendekatan/prosedur/cara/metode: berisi pendekatan/cara/metode yang digunakan. 3) Hasil penelitian dan pembahasan: berisi hasil penelitian dan pembahasan hasil tersebut. 4) Simpulan: berisi garis besar simpulan penelitian sejalan dengan permasalaan yang dibahas. g. Daftar pustaka: diusahakan dari sumber primer (jurnal/majalah ilmiah atau laporan penelitian) dan mutakhir/terbaru. Daftar pustaka hanya mencantumkan sumber yang dirujuk di dalam batang tubuh artikel. Sebaliknya nama yang dirujuk dalam batang tubuh harus ada dalam daftar pustaka. Penulisan daftar pustaka mengikuti contoh berikut. ● Jurnal: nama pengarang, tahun, judul artikel (di antara dua tanda kutip), nama jurnal (cetak miring), volume, nomor, dan halaman seperti berikut. Rosana, Dadan, 2009. “Pengembangan Budaya Kualitas Melalui Penerapan ISO 9001:2000 di UNY”. Cakrawala Pendidikan, XXVIII (3), 296-307. ● Buku: nama pengarang (jika lebih dari satu kata, nama belakang yang dijadikan entri), tahun, judul buku (cetak miring), kota penerbit, dan penerbit, seperti berikut. Brown, D.H. 2001. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy. San Francisco: Addison Wesley Longman, Inc. ● Buku yang terdiri dari beberapa artikel, ditulis seperti berikut. Winch, C. 2006. “Graduate Attributes and Changing Conceptions of Learning” dalam Hager, P. & Holland, S. Graduate Attributes, Learning and Employability, hal 67-90. Dordrecht: Springer. ● Internet: pengarang, tahun, judul artikel, alamat situs, dan tanggal mengunduh. Lamy, M.N., & Mortensen, H.J. 2009. “Using Concordance Programs in the Modern Foreign Languages Classroom”, dari http://www.ict4lt.org/-en/en mod2-4.htm. Diunduh 22 Agustus 2012. ● Artikel dalam surat kabar/majalah: nama penulis, tahun penerbitan, judul artikel/tulisan (dalam tanda petik), nama terbitan (dicetak miring), tanggal, dan halaman seperti contoh berikut. Arman, S.A. 2013. “Mempertimbangkan Kembali Pemberlakuan Kurikulum Baru. Kompas, 19 Januari 2013, halaman 5. Cara merujuk pengarang di dalam batang tubuh artikel menyebutkan nama belakang pengarang (sesuai dengan daftar pustaka), tahun, dan halaman. Contoh: (Woodside, 2010:53) atau Woodside (2010:53). Rujukan langsung (tanpa mengubah apapun), diketik satu spasi menjorok masuk ke kanan 7 ketukan, rata kiri dan kanan. Tabel dan ilustrasi dapat berupa gambar, grafik, diagram, peta dan foto disajikan dengan ketentuan: a. foto untuk gambar, peta, harus cukup tajam, b. ukuran gambar, grafik, tabel, dan sebagainya disesuaikan dengan ukuran kertas, c. gambar dan grafik dibuat di atas kertas putih dan diberi nomor urut, d. tabel menggunakan garis horisontal, tanpa garis vertikal serta judul tabel di atas tabel dan diketik dari tepi kiri, e. gambar, grafik, dan foto diberi kotak serta judul berada di bawah diketik di tengah dan diberi nomor urut. Naskah softfile dalam format “doc” dikirim dikirim via email ke lppm@uny.ac.id atau lppm.uny@gmail.com. Artikel Jurnal Kependidikan yang sudah dipublikasikan dapat diakses melalui e-journal dengan alamat: http://journal.uny.ac.id./index.php/jk Artikel yang masuk ke meja redaksi diseleksi oleh penyunting ahli atau mitra bestari. Artikel dapat diterima tanpa perbaikan, diterima dengan perbaikan, atau ditolak, dan artikel yang ditolak tidak dikembalikan kecuali diminta oleh penulis.
Volume 41, Nomor 2, November 2011
DAFTAR ISI halaman Model Manajemen Pendidikan Berbasis Solusi untuk Mengatasi Sekolah Miskin Rambat Nur Sasongko ....................................................................................... 101 - 107 Pengaruh Pendekatan Pembelajaran dan Locus Of Control terhadap Kemampuan Penalaran Matematika Siswa Sahat Saragih ..................................................................................................... 108 - 119 Model Pengembangan Bank Soal Berbasis Guru dan Mutu Pendidikan Pujiati Suyata, Djemari Mardapi, Badrun Kartowagiran, dan Heri Retnawati ............................................................................................. 120 - 128 Show and Tell Edukatif untuk Pengembangan Empati, Afiliasi-Resolusi Konflik, dan Kebiasaan Positif Anak Usia Dini Tadkiroatun MusďŹ roh ........................................................................................ 129 - 143 Pembelajaran Pendidikan Agama Islam dalam Mewarnai Kualitas Pendidikan di Sekolah Rochidin Wahab .................................................................................................. 144 - 150 Relevansi Praktik Laboratorium Pendidikan Administrasi Perkantoran dengan Jenis Pekerjaan Mahasiswa PKL Purwanto ............................................................................................................. 151 - 161 Identifikasi Kesulitan Peserta Didik dalam Belajar Matematika dan Sains di Sekolah Dasar Heri Retnawati, Badrun Kartowagiran, Samsul Hadi, dan Kana Hidayati..... 162 - 174
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Guru SMA/MA di Kabupaten Alor Fredrik A. Kande . ............................................................................................... 175 - 184 Pengembangan Perangkat Pembelajaran Biologi Berbasis Masalah Paidi .................................................................................................................... 185 - 201
MODEL MANAJEMEN PENDIDIKAN BERBASIS SOLUSI UNTUK MENGATASI MASALAH SEKOLAH MISKIN Rambat Nur Sasongko
FKIP Universitas Bengkulu email: rambatnur@yahoo.com Abstrak Studi ini bertujuan untuk menguji dan menyempurnakan model Manajemen Pendidikan Berbasis Solusi (MPBS) dalam mengatasi sekolah miskin di pesisir kota Bengkulu dan kabupaten Bengkulu Utara. Studi ini menggunakan desain penelitian tindakan kelas yang dilakukan selama tiga siklus. Setiap siklus terdiri atas perencanaan, implementasi, observasi dan evaluasi, dan refleksi. Penelitian diselenggarakan di Taman Kanak-kanak/Raudatul Anfal, Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiah, dan Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliah di pesisir Kota Bengkulu dan kabupaten Bengkulu Utara. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Data dianalisis dengan statistik deskriptif dan analisis induktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model MPBS yang didukung peran kepala sekolah kreatif mampu membantu sekolah miskin dalam memenuhi standar pelayanan minimal. Kata kunci: manajemen pendidikan, model manajemen pendidikan berbasis solusi, sekolah miskin, standar pelayanan minimal
EDUCATION MANGEMENT SOLUTIONS MODEL TO OVERCOME POOR SCHOOL PROBLEMS Abstract The study aims to test and to complete model of Education Management Solutions (EMS) in solving poor school problems in the coastal town of Bengkulu and North sub-province Bengkulu. Three cycles classroom action research was applied in this research. Each cycle of it consists of planning, implementation, observation and evaluation, and reflection. This research was conducted in Nursery school/Raudatul Anfal, Elementary school/Madrasah Ibtidaiyah, Junior high school/ Madrasah Tsanawiah, and Senior high school/Madrasah Aliah in coastal town of Bengkulu and North sub-province Bengkulu. Data were collected by interview, observation and documentation technique. Descriptive and inductive analysis were employed to analyze the data. This study found that model of EMS supported by the role of creative school principal was able to help poor schools in fulfilling minimum service standard (MSS). Keywords: education management, solution, poor school, minimum service standard
PENDAHULUAN Para pakar pendidikan di Indonesia belum banyak yang memopulerkan terminologi sekolah miskin. Selain belum ada karya tulis ilmiah yang mengaji konsep dan fenomena tersebut, juga belum ada terminologi yang baku untuk mengangkat perbaikan nasib sekolah miskin. Penelusuran melalui internet
ditemukan dalam karya populer Aprianti (2008:2) yang memberikan terminologi sekolah miskin sebagai pendidikan yang membebaskan iuran dan pungutan segalagalanya dari siswa. Temuan yang lain juga terdapat pada tulisan Malik (2008:1). Malik memberikan definisi sekolah miskin sebagai pendidikan untuk anak-anak miskin.
101
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 101 - 107 Sekolah miskin sesungguhnya tidak hanya memiliki makna sempit seperti dikemukakan di atas dengan dibatasi pada satu sisi kajian. Sekolah miskin sesungguhnya mempunyai makna luas, yakni miskin atau kurang dari standar baku penyelenggaraan sekolah. Sekolah miskin didefinisikan sebagai ketidakmampuan sekolah memenuhi standar pelayanan minimal penyelenggaraan sekolah yang telah ditetapkan oleh Pemerintah (Kepmendiknas No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan TK, SD, SMP, SMA; PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; Permendiknas No. 19/2007 tentang Standar Pengelolaan Satuan Pendidikan; dan Permendiknas No. 24/2009 tentang Standar Sarana dan Prasarana). Penyelenggaraan sekolah di Provinsi Bengkulu secara komprehensif masih sedikit. Hasil penelitian yang dilakukan Susanti (2007:67-72) menunjukkan bahwa SPM tentang standar pendidik dan tenaga kependidikan SD di Provinsi Bengkulu hanya mencapai 53% dan SMP di Provinsi Bengkulu hanya mencapai 76%. Hasil penelitian Saiful (2008: 83-84) tentang kondisi sarana dan prasarana di SMA Kabupaten Bengkulu Utara menunjukkan bahwa keterpenuhan SPM-nya hanya sebesar 68%. Penelitian Rahmi (2008:75-77) tentang penyelenggaraan TK di Argamakmur Kabupaten Bengkulu Utara menunjukkan bahwa 86% guru TK belum memenuhi kualifikasi dengan rincian keterpenuhan sarana dan prasarana hanya sebesar 52% dan keterpenuhan pembiayaan sebesar 78%. Di samping itu, masih terdapat sejumlah permasalahan yang berkaitan dengan penyelenggaraan sekolah. Data-data tersebut menunjukkan bahwa dampak ketidakterpenuhan SPM menyebabkan sekolah kurang bermutu (prestasi rendah), kurang mampu bersaing (jarang memenangkan lomba), dan penyelenggaraan sekolah asal jalan. Implikasinya, sebagai bagian dari manajemen, manajemen pendidikan yang kurang bermutu akan memberikan kontribusi
102
pada pembentukan sekolah miskin. Hasil penelitian Sasongko (2006:7886) dan Sasongko (2008:8-12) menunjukkan bahwa sekolah unggul dapat terwujud melalui penerapan model manajemen berbasis sekolah (MBS) yang memberdayakan potensi sekolahnya sesuai dengan karakteristik keunggulannya masing-masing. Penelitian ini juga merumuskan model manajemen pendidikan berbasis solusi (MPBS) dan direkomendasikan untuk mengatasi sekolah yang kurang unggul dalam memenuhi SPM. Model MPBS merupakan proses merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, dan mengevaluasi penyelenggaraan sekolah yang didasarkan kepada upaya mengatasi permasalahan yang dihadapi. Permasalahan tersebut tidak seluruhnya mampu diatasi oleh sekolah, namun sekolah perlu memberdayakan seluruh stakeholders terutama Dinas Diknas agar terlibat dan turut aktif mengatasi. Model ini diduga efektif mengatasi ketidakterpenuhan SPM di sekolah miskin. Oleh karena itu, melalui penelitian ini dapat menguji kehandalan model MPBS dalam mengatasi sekolah miskin. Rumusan masalah umum penelitian ini adalah apakah model manajemen pendidikan berbasis solusi (MPBS) dapat mengatasi sekolah miskin di pesisir Kota Bengkulu dan Kabupaten Bengkulu Utara. Rumusan masalah umum tersebut selanjutnya dijabarkan dalam subrumusan khusus sebagai berikut. Pertama, apakah model MPBS dapat mengatasi ketidakterpenuhan SPM pada TK/RA, SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA di di pesisir kota Bengkulu dan kabupaten Bengkulu Utara. Kedua, rumusan model MPBS yang bagaimanakah yang efektif mengatasi ketidakterpenuhan SPM. Ketiga, faktor-faktor apakah yang perlu disediakan agar model MPBS secara efektif dapat mengatasi ketidakterpenuhan SPM. Keempat, bagaimanakah rumusan kebijakan dalam bidang manajemen pendidikan untuk mengatasi sekolah miskin.
Rambat Nur Sasongko: Model Manajemen Pendidikan Berbasis Solusi...
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menguji dan menyempurnakan model MPBS yang efektif mengatasi sekolah miskin di Kota Bengkulu dan Kabupaten Bengkulu Utara. Adapun tujuan khususnya untuk menguji kehandalan model MPBS dalam mengatasi ketidakterpenuhan SPM pada TK/RA, SD/MI, SMP/MTs dan SMA/ MA di pesisir kota Bengkulu dan kabupaten Bengkulu Utara; merumuskan model MPBS yang efektif mengatasi ketidakterpenuhan SPM; mendeskripsikan faktor-faktor yang perlu disediakan agar model MPBS secara efektif dapat mengatasi ketidakterpenuhan SPM; dan merumuskan kebijakan dalam bidang manajemen pendidikan untuk mengatasi sekolah miskin. Penelitian bermanfaat bagi perbaikan dan peningkatan pendidikan. Secara teoretis penelitian ini memunyai manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan tentang konsep sekolah miskin dan manajemen pendidikan. Secara praktis penelitian ini memunyai manfaat bagi pemecahan masalah sekolah miskin di berbagai wilayah, terutama pemenuhan standar pelayanan minimal, peningkatan citra diri sekolah, dan perbaikan mutu sekolah. METODE Penelitian ini menggunakan metode educational action research (penelitian tindakan kependidikan). Penelitian tindakan mengacu kepada model yang dikembangkan Burn (2005). Penelitian tindakan kependidikan dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan pendidikan yang dihadapi sekolah melalui intervensi suatu tindakan yang efektif. Metode penelitian tindakan kependidikan intinya dilakukan selama tiga siklus. Tiap siklus terdiri atas empat langkah, yakni perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta refleksi yang dilakukan secara sirkuler dan terus-menerus sehingga indikator dapat dicapai. Tindakan yang dilakukan berupa penerapan model Manajemen
Pendidikan Berbasis Solusi (MPBS). Model ini intinya meliputi pemberdayaan seluruh komponen guru, staf, dan komite sekolah secara terpadu dan mandiri. Kepala sekolah dalam memberdayakan segenap komponen tersebut harus lincah dan kreatif serta ditempuh dengan kekeluargaan, sehingga lebih akrab, terjalin hubungan emosional yang harmonis dan bertanggungjawab. Orientasi utama pada pengatasan keterpenuhan SPM. Dalam memenuhi SPM ini, baik guru, staf dan komite sekolah diberi keleluasaan berkreativitas dan tanggung jawab, sehingga SPM bisa terpenuhi secara optimal. Subjek penelitian adalah sekolah miskin yang merupakan lembaga pendidikan formal yang tidak dapat memenuhi SPM pada jenjang TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA di Kota Bengkulu dan Kabupaten Bengkulu Utara. Sumber dan obyek data yang diteliti terdiri atas Sumber Daya Manusia (Kepala Sekolah, Guru, Kepala Dinas Diknas, Pengawas, Staf Tata Usaha, Siswa, orang tua siswa, Pengelola Komite Sekolah, dan masyarakat sekitar); dan struktur kurikulum, peserta didik, ketenagaan, sarana dan prasarana, organisasi, pembiayaan, peran serta masyarakat, dan manajemen sekolah. Pemilihan Subjek penelitian ditentukan secara purposive (bertujuan). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif (persentase dan weighted mean score) dan perhitungan perbedaan (t-tes) diolah dengan SPSS versi 16.0 untuk menganalisis dampak penerapan model MPBS terhadap keterpenuhan SPM, dan analisis induktif sirkuler untuk mengolah informasi penerapan model MPBS dan faktor-faktor yang harus dipedulikan serta kebijakan manajemen pendidikan. Hasil PENELITIAN dan PEMBahasan Hasil analisis data, baik secara kuantitatif maupun kualitatif diperoleh
103
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 101 - 107 makna penelitian dan dipaparkan sebagai berikut. Pertama, kemampuan model MPBS dalam mengatasi keterpenuhan SPM amat tergantung dengan kepemimpinan kepala sekolah dan faktor pendukung lainnya. Model MPBS yang dilaksanakan dengan kepemimpinan kepala sekolah yang kreatif, lincah dan mampu memberdayakan stakeholders secara kekeluargaan, hubungan emosional yang harmonis dan bertanggung jawab lebih mampu mengatasi keterpenuhan SPM. Model MPBS ini mampu mengatasi keterpenuhan bidang kurikulum, peserta didik, ketenagaan, sarana dan prasarana, organisasi dan manajemen sekolah secara bermakna. Namun pada komponen pembiayaan dan peran serta masyarakat, model ini kurang optimal dalam mewujudkan keterpenuhan SPM. Hal itu karena menyangkut hambatan dalam mencari dukungan keuangan sekolah, kebijakan pemerintah tentang Bantuan Operasional Sekolah (BOS), tidak adanya perusahaan swasta yang mendukung, dan status orang tua murid yang kurang mampu secara ekonomis sehingga tidak dapat memberikan partisipasi keuangan. Kedua, model MPBS yang efektif mengatasi keterpenuhan SPM sekolah bercirikan (1) orientasi utama mengatasi keterpenuhan SPM, (2) peran kepala sekolah yang kreatif, lincah dan pemberdayaan seluruh komponen guru, staf, dan komite sekolah secara terpadu dan mandiri dalam suasana kekeluargaan, akrab, terjalin hubungan emosional yang harmonis dan bertanggungjawab, (3) memberikan keleluasaan kepada guru, staf dan komite sekolah untuk berkreativitas dan tanggung jawab dalam memenuhi SPM, dan (4) melakukan tindakan perencanaan perbaikan baru, pelaksanaan, observasi, evaluasi dan refleksi secara terus menerus. Kunci sukses penerapan model amat tergantung kepada kepemimpinan kepala sekolah dan dukungan operasionalisasi pemenuhan SPM. Ketiga, faktor-faktor yang perlu disediakan agar model MPBS efektif
104
mengatasi ketidakterpenuhan SPM adalah (1) kepemimpinan, (2) kebijakan, (3) struktur organisasi dan job deskripsi, (4) sarana dan prasarana, (5) pembiayaan, dan (6) pengawasan. Kepemimpinan merupakan faktor utama bagi implementasi MPBS. Kepala sekolah yang mempunyai kemampuan yang kreatif, lincah, dan selalu mempartisipasikan stakeholders (guru, staf, siswa, dan komite sekolah) dalam mewujudkan program pemenuhan SPM cenderung lebih berhasil mencapai target. Sebaliknya kepala sekolah yang hanya mengandalkan rutinitas dan mengerjakan tugasnya sendiri, cenderung kurang berhasil dalam mewujudkan memenuhi SPM di sekolah tersebut. Demikian pula kebijakan juga merupakan faktor yang menentukan keberhasilan implementasi MPBS. Kebijakan yang dibuat kepala sekolah mampu memperbaiki standar keterpenuhan SPM. Faktor struktur organisasi dan job deskription yang lengkap dan operasional juga amat mempengaruhi pelaksanaan penerapan model MPBS. Sekolah yang struktur organisasi dan job deskription-nya jelas, ternyata mampu memberikan kontribusi terhadap kelancaran pelaksanaan penerapan model MPBS. Faktor sarana dan prasarana juga menentukan keberhasilan implementasi MPBS. Misalnya dalam memenuhi SPM pada komponen kurikulum (penyusunan silabus dan RPP pada mata pelajaran tertentu) membutuhkan komputer dan printer. Selanjutnya faktor pembiayaan juga mempunyai peranan vital menentukan keberhasilan penerapan model MPBS dalam memenuhi SPM. Sekolah yang relatif memiliki dana untuk modal awal lebih mampu memenuhi SPM daripada sekolah yang kurang memiliki dana. Faktor yang terakhir yaitu pengawasan juga amat menentukan keberhasilan penerapan model MPBS. Kepala sekolah yang kreatif menyusun agenda pengawasan cenderung lebih konsisten dan berhasil dalam membina staf untuk memenuhi SPM. Demikian pula kepala sekolah yang cerewet dalam bingkai
Rambat Nur Sasongko: Model Manajemen Pendidikan Berbasis Solusi...
kekeluargaan cenderung lebih mampu memenuhi SPM daripada yang diam dan menunggu perintah atasan (Kabid Dikdas dan Dikmen). Keempat, rumusan kebijakan dalam bidang manajemen pendidikan untuk mengatasi sekolah miskin berisikan tentang: (1) pengatasan sekolah/madrasah miskin sebagai prioritas Dinas Diknas dan Depag Kota/Kabupaten, dan (2) penugasan kepala sekolah/madrasah yang kreatif, lincah dan partisipatif untuk mengatasi sekolah miskin. Langkah yang ditempuh dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: (a) identifikasi dan penentuan sekolah/madrasah miskin, (b) identifikasi dan perumusan solusi, (c) penyusunan langkah-langkah konkrit untuk memenuhi SPM, (d) penyediaan fasilitas dan pembiayaan, (e) monitoring dan evaluasi, (f) jadwal kerja, dan (g) penanggung jawab. Kebijakan diorientasikan kepada pengatasan kekurangterpenuhan SPM yang menyangkut komponen kurikulum, peserta didik, ketenagaan, sarana dan prasarana, organisasi, pembiayaan, peran serta masyarakat, dan manajemen sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model MPBS yang memberdayakan seluruh komponen guru, staf, dan komite sekolah secara terpadu dan mandiri mampu meningkatkan keterpenuhan SPM. Kepala sekolah dalam menjalankan tugasnya dilakukan dengan kreatif, lincah dan memberdayakan stakeholders. Kepala sekolah dalam memberdayakan segenap komponen tersebut ditempuh dengan jalur kekeluargaan, sehingga lebih akrab, terjalin hubungan emosional yang harmonis dan bertanggungjawab. Model MPBS yang berhasil tersebut mampu mengatasi keterpenuhan bidang kurikulum, peserta didik, ketenagaan, sarana dan prasarana, organisasi dan manajemen sekolah secara bermakna. Namun pada komponen pembiayaan dan peran serta masyarakat, MPBS kurang optimal dalam mewujudkan keterpenuhan SPM.
Penerapan model MPBS ternyata tidak secara keseluruhan mampu mengatasi SPM. Hal itu karena menurut Andrey (2006: 34) bahwa untuk bisa mengatasi permasalahan yang dihadapi sekolah, memerlukan fokus dan pengatasan satu persatu. Amat sulit bagi sekolah untuk dapat mengatasi masalah secara keseluruhan tuntas. Demikian pula menurut Badan Nasional Standar Pendidikan (BNSP, 2007: 45) bahwa upaya memenuhi SPM perlu dilakukan setahap demi setahap dan pada gilirannya harus mampu memenuhi secara menyeluruh. Hal itu karena standar popok tersebut merupakan jaminan mutu dan akuntabilitas sekolah terhadap masyarakat. Hasil penelitian Haeniah (2008: 87) mengungkapkan bahwa pengatasan sekolah yang kurang memenuhi standar amat sulit. Amat sulit bagi sekolah memenuhi kecukupan dalam sarana dan prasarana, pembiayaan, partisipasi masyarakat yang optimal. Beberapa faktor tersebut merupakan dilema yang dihadapi sekolah. Penelitian ini menghasilkan model MPBS yang efektif. Model MPBS yang diterapkan pada siklus ketiga yang menekankan kepala sekolah kreatif, lincah dan pemberdayaan seluruh komponen guru, staf, dan komite sekolah secara terpadu dan mandiri lebih mampu mengatasi keterpenuhan SPM. Model MPBS yang efektif diterapkan oleh kepala sekolah melalui serangkaian perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pelaporan dalam rangka memenuhi SPM; lebih menekankan orientasi kepada pengatasan masalah. Kepala sekolah yang kreatif dan inovatif jauh lebih berhasil jika dibandingkan dengan yang hanya mengandalkan rutinitas. Kenyataan ini memang diakui oleh Sasongko (2006: 55) yang memberikan gambaran bahwa kepala sekolah yang kreatif mampu menciptakan programprogram baru, berupa aktivitas baru seperti kegiatan penelitian tindakan perbaikan mutu pendidikan di sekolah dan dilombakan ternyata mampu meningkatkan kinerja guru
105
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 101 - 107 dalam memperbaiki mutu sekolah secara keseluruhan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Monk, Brent, and Roellke (2008: 3) tentang kinerja guru dalam memenuhi tugasnya melalui pemberian motivasi oleh kepala sekolah secara periodik, mampu meningkatkan hasil pembelajaran berupa dokumen pembelajaran yang lengkap dan hasil belajar siswa yang meningkat, serta memenuhi standar kurikulum sekolah. Kondisi ini amat penting bagi perbaikan mutu sekolah, sebab melalui kepala sekolah yang cerdas dan kreatif akan mampu memberikan kontribusi bagi perbaikan mutu sekolah. Model MPBS jika diterapkan memerlukan persyaratan tertentu. Terdapat enam faktor yang perlu disediakan agar model MPBS dapat memenuhi SPM yaitu: (1) kepemimpinan, (2) kebijakan, (3) struktur organisasi dan job deskripsi, (4) sarana dan prasarana, (5) pembiayaan, dan (6) pengawasan. Beberapa faktor tersebut, sesungguhnya menurut Aprianti (2008: 3) merupakan faktor yang utama dalam konstalasi terjadinya sekolah miskin. Sekolah miskin terjadi karena kepala sekolah kurang peduli memperjuangkan sekolahnya menjadi standar, kebijakan pemerintah dan kepala sekolah kurang fokus terhadap pengatasan masalah pendidikan di sekolah, kurangnya sarana dan prasarana, dan pembiayaan dalam realisasi program sekolah. Demikian pula Andrey (2006: 35) juga menjelaskan bahwa mutu sekolah amat dipengaruhi oleh ketersediaan pembiayaan dan sarana dan prasarana. Pembiayaan merupakan faktor utama sekolah dapat mengoperasionalkan program-program sekolah. Senada dengan Andrey, Monk, Brent, and Roellke (2008: 3) juga memberikan klarifikasi bahwa selain pembiayaan faktor kepemimpinan kepala sekolah menentukan mutu sekolah. Mutu sekolah amat ditentukan oleh kepemimpinan yang mampu menghimpun pembiayaan, sarana dan prasarana, dan memberdayakan seluruh staf menggapai cita-cita sekolah. Selain hal
106
tersebut pengawasan juga merupakan faktor penentu dalam sebuah pembinaan sekolah (Sobri, Jihad dan Rochman, 2009: 41). Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk mengatasi sekolah miskin membutuhkan kebijaksanaan dari pihak yang berwewenang (otoritas). Hal itu dibutuhkan mengingat bahwa kebijaksanaan merupakan acuan bagi operasionalisasi program-program sekolah/ madrasah. Kebijaksanaan yang perlu dirumuskan berisikan tentang: (1) pengatasan sekolah/madrasah miskin sebagai prioritas Dinas Diknas dan Depag, dan (2) penugasan kepala sekolah/madrasah yang kreatif, lincah dan partisipatif untuk mengatasi sekolah miskin. Rumusan kebijakan ini menurut Gramage (2008: 2-3) amat penting dalam mengatasi sekolah miskin. Pemerintah perlu merumuskan kebijaksanaan yang sesuai dengan kondisi daerah dan sekolah. Oleh karena itu Sasongko (2008: 12) menyarankan agar sekolah perlu diberi otonomi untuk merumuskan kebijaksanaan sekolah yang lebih operasional dan memahami kebutuhan dan persoalan sekolah. SIMPULAN Berdasarkan hasil dan bahasan, beberapa simpulan dapat dirumuskan. Pertama, Model Manajemen Pendidikan Berbasis Solusi (MPBS) yang diorientasikan kepada pemenuhan standar pelayanan minimal (SPM) sekolah, kepala sekolah mampu berperan secara kreatif, lincah dan memberdayakan stakeholders dalam suasana kekeluargaan, akrab, menjalin hubungan emosional yang harmonis dan bertanggung jawab, mampu membantu sekolah miskin dalam memenuhi SPM. Penerapan model MPBS kurang dapat memenuhi SPM secara keseluruhan, namun dilihat dari hasil intervensi mampu menunjukkan perbaikan yang signifikan. Kedua, penerapan model MPBS perlu memperhatikan faktor kepemimpinan yang kreatif, kebijakan yang berpihak kepada sekolah miskin, struktur organisasi dan job
Rambat Nur Sasongko: Model Manajemen Pendidikan Berbasis Solusi...
deskripsi yang jelas, sarana dan prasarana yang memadai, pembiayaan yang mencukupi, dan pengawasan yang sistematis. Sekolah miskin dapat diatasi dengan efektif, jika pemerintah sungguh-sungguh merumuskan kebijaksanaan berisi tentang pengatasan sekolah miskin yang menjadi prioritas di jajaran Dinas Diknas dan Depag dan pengangkatan kepala sekolah yang kreatif inovatif, berdedikasi, lincah dan memberdayakan stakeholders. Ketiga, strategi operasional yang perlu ditempuh oleh Wali Kota/Bupati dan pimpinan di jajaran Dinas Pendidikan dan Depag dalam mengatasi sekolah miskin perlu memilih pimpinan (kepala sekolah/ madrasah) yang kreatif inovatif, berdedikasi, lincah dan mampu memberdayakan stake-holders, serta dalam penunjukan hendaknya tidak melakukan jalur KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), namun lebih menekankan kepada profesionalisme tugas. DAFTAR PUSTAKA Andrey. Robert J. 2006. “Teacher and Parent Causal Perception of School Problems”. American Educational Research Journal, Spring 2006, Vol. 89, No.1, 29-37. Aprianti, Yenti. 2008. “Pendidikan Sekolah Miskin, Gratis Segala-galanya”. http:// www2.kompas.com/kompas-cetak/ 0708/13/Jabar/25207.htm. Diunduh pada tanggal 4 Februari 2010 Badan Standar Nasional Pendidikan. 2007. Standar Sarana dan Prasarana, Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. StandarPenilaian. Jakarta Burn, Robert B. 2005. Research Methods: Action Research. Sidney: Longman Gramage, David T. 2008. Three Decades of Implementation of School-Based Management inThe Australian Capital Territory and Victoria in Australia. http://nces.ed.gov/surveys/databased/ Ed34652312. Diunduh pada tanggal 14 Januari 2010.
Haeniah, Een Y. 2008. “Kondisi Pendidikan di Kecamatan Bahuga sebagai Daerah Perbatasan Sumatera Selatan dengan Lampung”. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran. FKIP Unila, Vol. 6, No.1, 83-90. Kepmendiknas Nomor 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan TK, SD, SMP, SMA. Monk, David H., Brent, Brian O., and Roellke, Christopher F. 2008.”Teacher Resource Usewithin New York State Secondary Schools”. http://nces.ed.gov/ pubs97/97535/97535e.asp. Diunduh pada tanggal 7 Januari 2010. Peraturan Pemerintah No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Permendiknas No. 19/2007 tentang Standar Pengelolaan Satuan Pendidikan Permendiknas No. 24/2009 tentang Standar Sarana dan Prasarana Rahmi, Ratu Ya. 2008. “Kondisi Keterpenuhan Standar Penyelenggaraan TK dan Upaya untuk Memenuhinya”. Tesis. Bengkulu: Prodi MMP Unib. Saiful. 2008. “Kondisi Sarana dan Prasarana di SMA Kabupaten Bengkulu Utara”. Tesis. Bengkulu: Prodi MMP Unib. Sasongko, Rambat Nur. 2006. “Manajemen Pendidikan pada Sekolah Unggul (Studi Deskriptif Kualitatif pada SMP Unggul di Kota Bengkulu)”. Laporan Penelitian. Tidak diterbitkan. Bengkulu: Prodi MMP Unib. Sasongko, Rambat Nur. 2008. Manajemen Berbasis Sekolah dan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Bengkulu: Prodi MMP Unib. Sobri, Jihad, Asep, dan Rochman, H. Chaerul. 2009. Pengelolaan Pendidikan. Yogyakarta: Multi Pres-sindo Susanti, Erfi. 2007. “Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan di SD Provinsi Bengkulu”. Laporan Penelitian. Tidak diterbitkan. Bengkulu: Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi Bengkulu.
107
PENGARUH PENDEKATAN PEMBELAJARAN DAN LOCUS OF CONTROL TERHADAP KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIKA SISWA Sahat Saragih
FMIPA Universitas Negeri Medan email: pm.pps_un@yahoo.co.id Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kemampuan penalaran matematika siswa dengan pendekatan pembelajaran open ended secara konvensional; perbandingan kemampuan penalaran matematika siswa yang memiliki locus of control internal dengan siswa yang memiliki locus of control eksternal pada pendekatan pembelajaran open-ended maupun pada pendekatan pembelajaran konvensional; ada-tidaknya interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan locus of control yang dimiliki siswa dalam memengaruhi penalaran matematika siswa. Populasi penelitian ini adalah seluruh SMP Negeri Kota Lhokseumawe. Melalui teknik purposive sampling terpilih SMPN 11 dan SMPN 13 sebagai sampel dengan responden sebanyak 135 orang. Penelitian ini menggunakan metode kuasi eksperimen dengan desain faktorial 2x2. Instrumen yang digunakan adalah tes kemampuan penalaran matematika dan angket locus of control dengan reliabilitas masing-masing sebesar 0,923 dan 0,611. Berdasarkan hasil analisis varians (ANAVA) diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan signifikan kemampuan penalaran pada pendekatan pembelajaran open ended dengan konvensional; terdapat perbedaan signifikan kemampuan penalaran pada kedua jenis locus of control, kemampuan penalaran matematika siswa yang memiliki locus of control internal lebih baik dari locus control eksternal; tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan locus of control yang dimiliki siswa. Kata kunci: kemampuan penalaran matematika, lokus kontrol
EFFECT OF LEARNING APPROACH AND LOCUS OF CONTROL ON STUDENTS’ REASONING ABILITY IN MATH Abstract This study aims to determine: (1) The differences in mathematical reasoning ability of students in based on open-ended and conventional approaches; (2) The differences in mathematical reasoning ability of students possessing internal and external locus of control on the open-ended and conventional approach; and (3) The interaction between learning approach and the locus of control in students’ mathematical reasoning ability. The population of this study consisted of all students at SMP Negeri Lhokseumawe with SMP 11 and SMP 13. Sample consisted of 135 persons was drawn by purposive sampling. This study employed quasi-experimental 2x2 factorial design. The instruments used were the mathematical reasoning ability test and locus of control questionnaire with the reliability of each of respectively were 0.923 and 0.611. Based on the analysis of variance (ANOVA), this study found: (1) there was a significant difference in reasoning ability on learning approach with conventional open-ended. (2) there was asignificant difference in reasoning abilities possessing internal and external locus control. (3) there was no interaction between the learning approach and locus of control. Keywords: mathematical reasoning ability, locus of control
108
Sahat Saragih: Pengaruh Pendekatan Pembelajaran...
PENDAHULUAN Matematika merupakan pengetahuan untuk mengembangkan cara berpikir. Di dalam berpikir seseorang menyusun hubunganhubungan antara bagian-bagian informasi yang telah direkam dalam pikirannya sebagai pengertian-pengertian. Dari pengertian itu terbentuklah pendapat yang pada akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan. Artinya, pada proses belajar matematika terjadi proses berpikir. Berdasarkan salah satu alasan inilah belajar matematika sangat diperlukan, baik untuk keperluan hidup sehari-hari maupun untuk mengantisipasi kemajuan Ipteks. Perkembangan bidang teknologi komunikasi dan informasi yang sangat pesat sekarang ini, tidak terlepas dari perkembangan daya pikir manusia. Sebagai akibat dari kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, arus informasi datang dari berbagai penjuru dunia secara cepat dan beragam. Untuk tampil unggul pada keadaan yang selalu berubah dan kompetitif ini, diperlukan kemampuan memeroleh, memilih dan mengelola informasi, kemampuan untuk dapat berpikir secara kritis, sistematis, logis, kreatif, dan kemampuan untuk dapat bekerja sama secara efektif. Sikap dan cara berpikir seperti tersebut di atas dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran matematika. Hal ini dimungkinkan karena tujuan pembelajaran matematika lebih menekankan pada kemampuan berpikir. Kemampuan ini mengarah pada menyiapkan peserta didik untuk memiliki kesanggupan peserta didik di dalam menghadapi perubahan di dalam kehidupan yang selalu berkembang. Di samping itu, peserta didik diharapkan dapat menggunakan matematika sebagai suatu pola pikir matematika dalam kehidupan seharihari. Kemampuan untuk menghadapi permasalahan, baik dalam permasalahan matematika maupun permasalahan dalam kehidupan nyata merupakan daya matematis
(mathematical power). Untuk dapat menumbuhkembangkan daya matematis siswa dalam pelaksanaan pembelajaran, kegiatan pembelajaran harus membawa siswa kepada kemampuan menjawab permasalahan dengan berbagai cara serta dengan berbagai alternatif jawaban (yang benar). Dengan demikian, matematika akan menggugah kemampuan penalaran siswa dan mampu meningkatkan potensi intelektual serta pengalaman siswa dalam proses menemukan sesuatu yang baru (Sumarmo, 2003). Pengembangan penalaran berarti juga pengembangan berpikir dasar, berpikir kritis, dan berpikir kreatif. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan pembelajaran di sekolah menengah pertama berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2006 adalah siswa mampu menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. Secara empiris, proses pembelajaran yang dilaksanakan guru pada umumnya belum sampai kepada hakikat dan tujuan matematika. Di dalam melakukan penilaian, guru matematika hanya melakukannya pada hasil akhir. Sementara itu, guru belum memerhatikan proses penyelesaian masalah menuju ke hasil akhir. Padahal, proses penyelesaian suatu masalah menuju ke hasil akhir merupakan salah satu daya pikir (penalaran) yang interaktif antara siswa dengan matematika. Jika proses dijalankan, dampaknya adalah siswa mampu menyelesaikan suatu masalah, baik itu matematika maupun masalah dalam kehidupan sehari-hari dengan berbagai macam strategi penyelesaian. Kurang terbukanya siswa dalam komunikasi dengan guru untuk membicarakan materi matematika di kelas juga menjadi penyebab siswa masih merasa takut dan belum terbiasa dengan suasana pembelajaran matematika yang memberikan keleluasaan siswa dalam memberikan ide atau gagasan.
109
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 108 - 119 Proses pembelajaran matematika saat ini masih didominasi oleh metode ceramah dengan menjelaskan apa-apa yang telah dipersiapkannya dan siswa menjadi penerima informasi yang baik. Proses pembelajaran yang demikian mengakibatkan siswa hanya mencontoh apa yang dikerjakan guru (Armanto, 2009). Di dalam menyelesaikan masalah, siswa beranggapan bahwa segala yang dikerjakan seperti apa yang dicontohkan guru. Hal ini menyebabkan siswa kurang memiliki kemampuan di dalam menyelesaikan masalah dengan alternatif lain. Padahal, proses berpikir untuk mendapatkan penyelesaian masalah lebih dari satu alternatif merupakan salah satu kemampuan penalaran yang harus dikembangkan pada siswa. Di dalam praktiknya, pembelajaran matematika saat ini masih sangat konvensional. Misalnya, salah satu permasalahan yang banyak dilatihkan kepada siswa adalah berupa pertanyaan berapakah hasil 8 dikalikan 2. Siswa akan menjawab tanpa berpikir panjang, yakni 16. Namun, jika diberikan pertanyaan “Bagaimanakah cara mendapatkan nilai 16?�, tentulah para siswa akan berpikir tentang angka-angka yang bila dioperasikan menghasilkan nilai 16. Siswa mungkin akan meresponsnya. Misalnya, beberapa alternatif jawaban akan muncul, seperti 2 + 2 + 2 + 2 +2 + 2 + 2 + 2; 4 + 4 + 4 + 4; 8 + 8; 8 x 2; (2+2) x (2+2); dan sebagainya. Semua jawaban tersebut merupakan jawaban benar dengan alasan masing-masing siswa. Hal seperti inilah yang dapat menggugah siswa untuk bernalar pada suatu masalah dan siswa akan berani mengemukakan ide-idenya karena pertanyaan tersebut adalah terbuka. Selain itu, dengan sendirinya siswa akan saling menghargai keragaman ide-ide yang muncul dalam menjawab pertanyaan. Jadi, proses pembelajaran seperti ini merupakan hasil dari refleksi pembelajaran yang mengedepankan masalah terbuka. Pembelajaran yang mengedepankan masalah terbuka dengan banyak alternatif
110
jawaban atau banyak alternatif untuk mendapatkan jawaban sering disebut dengan pendekatan pembelajaran openended. Penerapan pendekatan ini di dalam pembelajaran matematika dapat memberikan keleluasaan siswa untuk berpikir secara aktif dan kreatif. Keleluasaan ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya nalar siswa serta mengeksplorasi secara terbuka hasil pemikiran/penalaran dalam memecahkan masalah tertentu dan mengomunikasikan hasil pemikiran tersebut dalam bentuk lisan maupun tulisan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nohda (2001) bahwa tujuan pembelajaran dengan pendekatan openended adalah mendorong kegiatan kreatif dan pemikiran matematik siswa dalam memecahkan masalah secara simultan. Dengan demikian, pendekatan open-ended merupakan salah satu pendekatan yang membantu siswa untuk melakukan pemecahan masalah melalui berpikir atau bernalar untuk memecahkan masalah dan menghargai keragaman berpikir yang mungkin timbul selama proses pemecahan masalah. Keberhasilan siswa dalam belajar matematika tidak terlepas dari pengaruh locus of control. Menurut Rotter (1966) locus of control adalah salah satu aspek kepribadian yang dimiliki oleh setiap individu, yang pada dasarnya menunjukkan pada keyakinan individu mengenai sumber penyebab dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada dirinya. Selanjutnya, dikatakan bahwa locus of control merupakan derajat keyakinan individu bahwa mereka mampu mengontrol event-event dalam kehidupannya (locus of control internal) atau keyakinan individu bahwa lingkunganlah yang mampu mengontrol event-even dalam kehidupannya (locus of control eksternal). Siswa yang mempunyai locus of control internal cenderung bersifat lebih aktif dalam mencari, mengolah dan memanfaatkan berbagai informasi, serta memiliki motivasi intrinstik untuk berprestasi tinggi, memiliki rasa percaya diri lebih tinggi sehingga
Sahat Saragih: Pengaruh Pendekatan Pembelajaran...
akan memiliki peluang yang lebih besar untuk memeroleh hasil belajar yang lebih baik. Sebaliknya, locus of control eksternal merupakan keyakinan individu bahwa keberhasilan atau kegagalan ditentukan oleh kekuatan yang berada di luar dirinya, yakni nasib dan keberuntungan atau kekuatan lain. Artinya, siswa yang mempunyai locus of control eksternal lebih pasif. Hal ini disebabkan sikap seperti ini dilandasi oleh kerangka berpikir bahwa kejadian-kejadian dalam hidupnya ditentukan oleh situasi atau orang yang berkuasa dan adanya masalah peluang keberuntungan atau nasib sehingga ini akan memengaruhi sikap belajar siswa ke arah yang negatif. Jika dihubungkan antara penalaran dengan locus of control, siswa yang mempunyai locus of control internal akan cenderung mempunyai kemampuan penalaran yang lebih baik (Jung, 1978). Hal ini ditandai dengan munculnya kesadaran pribadi mengenai suatu keberhasilan atau kegagalan dan dianggap sebagai keberhasilan yang tertunda sehingga akan menimbulkan kerja keras untuk mencapai keberhasilan. Kerja keras inilah yang akan menciptakan sifat lebih aktif dalam mencari solusi-solusi dari permasalahan-permasalahan dan mampu memanfaatkan sumber-sumber belajar yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi. Dengan kerja keras akan timbul keberanian mengeluarkan ide, baik pada forum diskusi sesama teman maupun pada forum yang lebih besar. Penyebabnya adalah siswa mampu memanfaatkan informasiinformasi yang merupakan dasar dari ide siswa tersebut. Dengan kecenderungan seperti ini kemampuan penalaran dan pemecahan masalah matematika siswa akan lebih baik. Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan diungkap dan dicari penyelesaiannya adalah “Apakah terdapat perbedaan kemampuan penalaran matematika siswa yang diberi pendekatan pembelajaran open ended dengan siswa yang diberikan
pendekatan pembelajaran secara konvensional ditinjau dari keseluruhan siswa maupun dari Locus of Control siswa?� METODE Untuk menjawab permasalahan tersebut, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuasi eksprimen. Adapun desain yang dipilih adalah disain kelompok kontrol prates-pascates. Pada desain ini, pengelompokan subjek penelitian dilakukan secara kelas acak (A). Kelompok eksperimen diberi perlakukan pembelajaran dengan open-ended (X). Kelompok kontrol diberi perlakuan pendekatan konvensional, kemudian masing-masing kelompok diberi prates dan pascates (O). Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa SMP yang ada di Kota Lhokseumawe. Namun, untuk keseragaman dalam hal standar pengelolaan, populasi yang diambil adalah siswa SMP negeri. Untuk level SMP negeri dilihat berdasarkan ranking ujian nasional pada pelajaran matematika dari tahun 2008 sampai dengan 2009. Namun, perbedaan ranking dari 12 SMP negeri yang berada di Lhokseumawe tidak ada perbedaan yang signifikan. Penetapan proporsi sekolah didasarkan pada 50% sekolah yang berada pada level menengah setelah 100% dikurangi 25% untuk sekolah yang berada pada level tinggi dan bawah (Saragih, 2007). Selanjutnya, Saragih (2007) memberikan alasan penetapan 50% sekolah level menengah adalah agar peluang memeroleh sekolah yang memiliki siswa dengan kemampuan yang lebih heterogen dapat terpenuhi. Adapun yang menjadi sampel penelitian adalah sekolah yang mempunyai level menengah. Menurut Saragih (2010) sekolah dengan level menengah mempunyai kemampuan akademik yang heterogen, yakni mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi dapat terwakili. Dengan pertimbangan ini teknik pengambilan
111
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 108 - 119 sampel dalam penelitian ini dilakukan secara purposive sampling. Dari enam sekolah yang mempunyai level menengah diambil dua sekolah dengan unit sampling dua kelas dari setiap sekolahnya. Dengan cara acak terpilih SMP Negeri 11 dan SMP Negeri 13 Lhokseumawe sebagai sampel penelitian. Data berupa skor yang diperoleh dari tes kemampuan penalaran dalam matematika dan angket locus of control siswa dikelompokkan menurut kelompok pendekatan pembelajaran (open-ended, konvensional) dan kelompok locus of control siswa. Keterkaitan antarvariabel bebas, terikat, dan kontrol disajikan dalam model Weiner yang disajikan pada Tabel 1. Hasil PENELITIAN dan PEMBahasan Secara deskriptif hasil penelitian yang berke-naan dengan kemampuan penalaran mate-matika siswa berdasarkan kelompok pembe-lajaran dan kelompok locus of control disajikan pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Berdasarkan Tabel 2 diperoleh gambaran bahwa skor rata-rata dan simpangan baku pada kelompok pembelajaran open-ended berturutturut sebesar 9,71 dan 3,035, sedangkan pada kelompok pembelajaran konvensional sebesar 7,29 dan 2,970. Perbedaan rata-rata antara kedua kelompok pembelajaran tersebut dengan rata-rata pembelajaran melalui openended lebih tinggi daripada pembelajaran konvensional. Berdasarkan Tabel diperoleh gambaran bahwa skor rata-rata dan simpangan baku pada kelompok internal berturut-turut sebesar 9,11 dan 3,203, sedangkan pada kelompok eksternal sebesar 7,36 dan 2,986. Perbedaan rata-rata antara kedua kelompok locus of control, yakni rata-rata locus of control internal lebih tinggi dari locus of control eksternal. Untuk menguji signifikansi kebenaran kesimpulan di atas perlu dilakukan perhitungan pengujian statistik. Pengujian statistik terhadap hipotesis dalam penelitian ini menggunakan
Tabel 1. Tabel Weiner tentang Keterkaitan antar-Variabel Bebas, Terikat dan Kontrol (locus of control Siswa)
Keterangan: A1B1 adalah kemampuan penalaran siswa kelompok control internal yang pembelajarannya dengan pendekatan Open-Ended
Tabel 2. Deskripsi Data Pada Kelompok Pembelajaran Open-Ended dan Kelompok Pembelajaran Konvensional
Catatan: Skor maksimum tes kemampuan penalaran matematika adalah 24
112
Sahat Saragih: Pengaruh Pendekatan Pembelajaran...
Tabel 3. Deskripsi Data pada Kelompok Locus of Control Internal dan Kelompok Locus of Control Eksternal
Tabel 4. Uji ANAVA Faktorial 2 x 2 Berdasarkan Faktor Pembelajaran dan Faktor Locus of control
a R Squared = ,217 (Adjusted R Squared = ,199) teknik analisis varians (ANAVA) dua jalur. Adapun hasil uji ANAVA disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 menyajikan hasil uji hipotesis. Hipotesis pertama adalah terdapat perbedaan kemampuan penalaran matematika siswa yang diberi pendekatan pembelajaran open ended dengan siswa yang diberikan pendekatan pembelajaran secara konvensional. Berdasarkan Tabel 4 diperoleh nilai F hitung sebesar 24,306 dan nilai signifikansi kurang dari 0,05. Dengan demikian, Ho ditolak yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan penalaran matematika antara siswa yang diajar melalui pendekatan open-ended dengan siswa yang diajar melalui pendekatan konvensional dapat diterima. Karena perbedaan tersebut signifikan dan rata-rata penalaran matematika siswa dengan menerapkan pendekatan open-ended lebih besar (m A1 > m A2) dari pada siswa yang
pembelajarannya secara konvensional, maka penalaran matematika siswa dengan menerapkan pendekatan open-ended lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya dilakukan secara konvensional Hipotesis kedua adalah terdapat perbedaan kemampuan penalaran matematika siswa yang memiliki locus of control internal dibandingkan dengan siswa yang memiliki locus of control eksternal. Berdasarkan tabel 4 diperoleh nilai F hitung sebesar 12,326 dan nilai signifikansi kurang dari 0,05 sehingga Ho ditolak. Hal ini dapat dimaknai bahwa terdapat perbedaan kemampuan penalaran matematika siswa yang memiliki locus of control internal dibandingkan dengan siswa yang memilik locus of control eksternal dapat diterima. Karena perbedaan tersebut signifikan dan rata-rata penalaran matematika siswa yang memiliki locus of control internal lebih besar (mB1 > mB2) daripada siswa yang
113
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 108 - 119 memiliki locus of control eksternal, maka siswa yang memiliki locus of control internal mempunyai penalaran matematika yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki locus of control eksternal. Hipotesis ketiga adalah terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan locus of control siswa terhadap penalaran matematika siswa. Berdasarkan Tabel 4 diperoleh nilai F hitung sebesar 0,525 dan nilai signifikansi sebesar 0,470. Karena nilai signifikansi lebih besar dari nilai taraf signifikan sebesar 0,05, maka Ho diterima, yang berarti tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan locus of control terhadap kemampuan penalaran matematika siswa dapat diterima. Hal ini berarti bahwa selisih antara kemampuan penalaran matematika siswa yang mempunyai locus of control internal pada pembelajaran open ended dengan pembelajaran konvensional tidak berbeda secara signifikan daripada selisih antara kemampuan penalaran matematika siswa yang mempunyai locus of control ekstenal pada pembelajaran open ended dengan pembelajaran konvensional. Hal ini juga terlihat jelas pada gambar 1. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh di atas, berikut akan diuraikan
faktor-faktor yang terlibat dalam penelitian ini, yakni faktor pembelajaran dan locus of control terhadap kemampuan penalaran matematika siswa. Penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan penalaran matematika siswa yang diajarkan dengan pembelajaran openended lebih baik dibandingkan dengan siswa yang diajarkan dengan pembelajaran secara konvensional. Pendekatan pembelajaran openended dalam penelitian ini menggunakan metode diskusi kelompok. Hasil temuan ini diperkuat oleh temuan Dahlan (2003) dalam penelitiannya terhadap siswa kelas III SLTP sebanyak 108 siswa diperoleh hasil bahwa pembelajaran matematika melalui pendekatan open-ended dengan strategi belajar kooperatif memberikan pengaruh yang berarti terhadap kemampuan penalaran dan pemahaman matematika. Siswa yang belajar matematika melalui pendekatan open-ended dan strategi kooperatif signifikan lebih baik dibandingkan dengan siswa yang belajar melalui pendekatan ekspositori dan pembelajaran biasa (tradisional). Secara teoretis karakteristik pendekatan pembelajaran open-ended mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Berikut ini keunggulan pendekatan pembelajaran
Gambar 1. Interaksi antara Faktor Pembelajaran dengan Faktor Locus of Control Siswa terhadap Kemampuan Penalaran Matematika Siswa
114
Sahat Saragih: Pengaruh Pendekatan Pembelajaran...
open-ended berdasarkan karateristik pembelajarannya. Pertama, penyajian masalah bersifat terbuka. Pendekatan pembelajaran open-ended merupakan sebuah pendekatan yang diawali dengan pemberian masalah terbuka kepada siswa. Menurut Syaban (2008) yang dimaksud dengan masalah terbuka adalah sebuah masalah yang penyelesaiannya dapat dilakukan melalui berbagai macam cara atau untuk mendapatkan satu jawaban ataupun banyak kemungkinan jawaban yang benar. Dengan masalah terbuka seperti ini terdapat daya rangsang siswa untuk aktif dan menekankan proses berpikir melalui penalaran dalam menemukan pemecahan masalah. Dalam proses berpikir siswa mampu menghubung-hubungkan konsepkonsep matematika yang telah dipelajari dengan permasalahan yang dihadapinya melalui penalaran. Berbeda halnya dengan pembelajaran konvensional, menurut Hudojo (1988) kegiatan pembelajaran konvensional diawali langsung oleh guru yang memberikan penyajian isi pelajaran. Guru merupakan satusatunya sumber informasi sehingga siswa menjadi pendengar yang aktif. Siswa tidak ikut terlibat langsung dalam pembelajaran, terkecuali pada saat sesi guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya seputar isi pelajaran yang belum dipahami yang sesuai dengan penyajian yang diberikan oleh guru. Kemudian, guru balik bertanya kepada siswa atau menyuruh siswa untuk mengulang mengenai hal-hal yang baru diajarkan oleh guru sebagai tolok ukur akan pemahaman siswa mengenai pelajaran yang baru diajarkan. Pengetahuan siswa atas pelajaran tersebut sangat terbatas hanya pada apa yang diajarkan oleh guru. Kedua, pada pembelajaran openended media pembelajaran yang diberikan pada penelitian ini merupakan alat peraga (dalam hal ini setiap kelompok dibagikan dua buah kotak yang terbuat dari triplek dengan ukuran yang berbeda). Pemberian alat peraga ini dimaksudkan agar penyajian masalah
langsung dirasakan siswa dalam situasi fisik sehingga siswa dapat langsung mengamati, mengaji, dan mencobanya pada alat peraga tersebut. Dengan demikian, hal ini akan memudahkan siswa memahami permasalahan dan penalaran siswa dalam mencari penyelesaian masalahpun akan lebih cepat dan berkembang. Perbedaan yang sangat menonjol pada pembelajaran konvensional adalah penggunaan media pembelajaran, yakni alat peraga yang disajikan oleh guru melalui demontrasi. Siswa hanya memerhatikan penjelasan alat peraga tersebut oleh guru. Setelah selesai guru mendemontrasikan alat peraga, terkadang guru mengulang kembali demonstrasinya, yang kali ini giliran siswa yang menjawab pertanyaan dari guru mengenai demonstrasi alat peraga yang telah disampaikan oleh guru tersebut sebelumnya. Kegiatan pembelajaran seperti ini tidak membuat siswa mampu mengembangkan ide-ide mereka, karena informasi yang diperoleh hanya satu arah, yaitu hanya didominasi oleh guru. Ketiga, peran guru dalam pembelajaran open-ended sebagai fasilitator, mediator, dan sekaligus partner dalam mendampingi siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan sebagai upaya penyelesaian masalah terbuka. Peran aktif guru dalam pembelajaran open-ended dimulai sejak mempersiapkan materi ajar sampai guru harus mampu mempersiapkan diri dengan berbagai jawaban atas banyaknya kemungkinan pertanyaan yang muncul dan harus mampu memahami dan memberikan keputusan (setuju atau tidak setuju) terhadap ide-ide matematis yang dikemukakan oleh siswa. Selain itu, guru juga harus kreatif dalam membuat permasalahan-permasalahan yang bersifat terbuka sekaligus alternatifalternatif penyelesaiannya. Dalam pembelajaran secara konvensional, guru berperan sebagai sumber belajar. Menurut Marpaung (2001), pembelajaran konvensional berlangsung hanya satu arah, dimana transfer ilmu terjadi
115
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 108 - 119 hanya dari guru ke siswa tanpa melibatkan siswa untuk berpikir terhadap suatu masalah. Guru memberikan penjelasan tentang materi dan contoh penyelesaian soal, siswa hanya memperhatikan saja. Selanjutnya, guru memberikan latihan dengan harapan siswa mampu menyelesaikan masalah seperti yang dicontohkan. Selain itu, penyelesaian masalah tidak memperhatikan bagaimana proses penyelesaian masalah menuju hasil akhir. Guru hanya melihat hasil akhir sehingga tidak ada peluang dalam hal komunikasi pikiran siswa. Keempat, pada pembelajaran openended dibentuk kelompok-kelompok diskusi siswa. Setiap kelompok diberikan lembar kerja siswa (LKS), yang berisikan masalahmasalah yang bersifat terbuka. Setiap siswa dalam kelompok berperan aktif dalam menyelesaikan permasalahan pada LKS. Diskusi dan saling bertukar pendapat terjadi dalam tiap kelompok sampai menghasilkan ide-ide yang kreatif dalam penyelesaian masalah. Jika muncul masalah dalam kelompok atau ada pendapat sesama siswa dalam kelompok yang meragukan mereka sendiri, mereka akan bertanya kepada guru. Kemudian, guru akan mendatangi kelompok tersebut dan membantu menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Semangat untuk menyelesaikan masalah terjadi karena setiap kelompok menginginkan kelompok mereka yang terbaik dan tercepat dalam menyelesaikan permasalahan tersebut pada saat presentasi kelas sehingga seluruh anggota dalam satu kelompok memahami masalah dan bagaimana menyelesaikannya. Dengan peran aktif seperti ini akan membuat kemampuan penalaran matematika siswa semakin baik dan juga komunikasi matematika siswa semakin terasah. Sebaliknya dalam pembelajaran secara konvensional, siswa berperan sebagai penerima informasi secara penuh dari guru dan siswa bekerja secara individual pada saat berlatih menyelesaikan soal. Alternatif-
116
alternatif penyelesaian soal sangat tergantung pada bagaimana guru menyelesaikan soal sehingga hanya bersifat pengulangan, peniruan, dan hapalan sebagai pembentukan pengetahuan dengan guru sebagai model dan sumber belajar. Dengan demikian, peran aktif siswa sangat kecil dalam pembelajaran. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa kemampuan penalaran matematika siswa yang memiliki locus of control internal lebih baik dibandingkan siswa yang memiliki locus of control eksternal. Hal ini dapat dipahami karena beberapa hal berikut ini. Pertama, siswa yang memiliki locus of control internal mempunyai usaha keras, karena siswa seperti ini lebih percaya akan kemampuannya dan tidak mudah putus asa. Berbeda dengan siswa yang memiliki locus of control eksternal yang mudah menyerah sehingga jika usaha yang dilakukannya gagal akan banyak berharap orang lain yang dapat menyelesaikan permasalahannya. Artinya, siswa yang memiliki locus of control internal lebih aktif dibandingkan dengan siswa yang memiliki locus of control eksternal. Kedua, siswa yang memiliki locus of control internal dalam menyelesaikan suatu permasalahan lebih banyak memanfaatkan pengalamanpengalaman yang dialami dan informasiinformasi yang berhubungan dengan masalah yang sedang dihadapi. Berbeda halnya dengan siswa yang memiliki locus of control eksternal. Kecenderungannya adalah siswa sukar menghubungkan permasalahan dengan pengalaman yang dialami dan informasi yang diperoleh sebelumnya. Ketiga, siswa yang memiliki locus of control internal mempunyai inisiatif yang tinggi dalam menyediakan alternatif-alternatif penyelesaian masalah. Hal ini dikarenakan mereka mempunyai pandangan bahwa untuk mencapai suatu keberhasilan harus dengan usaha yang keras dan individu seperti ini takut akan kegagalan. Hal ini berbeda dengan siswa yang mempunyai locus of control eksternal, yakni kurang mempunyai inisiatif yang disebabkan
Sahat Saragih: Pengaruh Pendekatan Pembelajaran...
pandangan mereka bahwa keberhasilan atau kegagalan dikarenakan faktor keberuntungan atau nasib. Keempat, kemampuan pemahaman suatu masalah untuk dapat diselesaikan bagi siswa yang memiliki locus of control internal lebih unggul dibandingkan siswa yang memiliki locus of control eksternal. Siswa yang memiliki locus of control internal tidak memerlukan banyak petunjuk dan teratur dalam menyelesaikan masalah, karena individu seperti ini cenderung menggunakan peranan akal yang kuat. Beda halnya dengan siswa yang memiliki locus of control eksternal yang membutuhkan penjelasan yang sangat rinci dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Berdasarkan beberapa hal di atas dapat disimpulkan bahwa siswa yang mempunyai locus of control internal mampu berpikir dengan menghubung-hubungkan fakta-fakta atau konsep-konsep sebelumnya sehingga melahirkan alternatif-alternatif penyelesaian masalah. Dengan demikian, siswa yang memiliki locus of control internal mempunyai penalaran matematika yang lebih baik. Kemampuan penalaran matematika yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa untuk mengambil suatu kesimpulan dari hasil penalaran yang dinyatakan dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang saling berelasi. Penalaran yang diberikan berdasarkan materi ajar, hal ini dikarenakan agar siswa mampu memahami lebih dalam akan konsep materi tersebut. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum kemampuan penalaran matematika siswa masih sangat jauh dari yang diharapkan. Hal ini terlihat dari persentase siswa yang mampu mencapai 60% hingga 66% hanya 9 siswa (6,67%) dari 135 responden. Berbesa halnya dengan pendekatan pembelajaran open-ended yang secara signifikan mampu melatih dan mengembangkan kemampuan penalaran matematika siswa. Hal ini dapat dilihat dari skor yang dicapai siswa 60% hingga 66% sebanyak 11,59%. Persentase ini lebih besar dibandingkan dengan pendekatan
pembelajaran secara konvensional yang hanya sebesar 1,52%. Berdasarkan beberapa temuan, dapat disimpulkan bahwa bila permasalahanpermasalahan dapat mudah dipahami, namun penyelesaian masalah akan sangat sulit dipecahkan jika permasalahan-permasalahan tersebut menyangkut konsep atau informasi yang harus diketahui sebelumnya. Di sinilah pentingnya penalaran bagi siswa, karena dengan penalaran, siswa akan mudah mempelajari materi-materi baru yang berhubungan dengan materi-materi yang pernah dipelajari sebelumnya dan kegiatankegiatan yang pernah dilakukan. Selain itu dengan penalaran akan mempermudah siswa di dalam membangun ilmu pengetahuan pada dirinya sehingga akan membuat siswa berpikir kreatif dan kritis. Hasil penelitian menunjukkan pula bahwa tidak terdapat interaksi antara pendekatan pembelajaran dengan locus of control terhadap penalaran matematika siswa. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang berarti antara pendekatan pembelajaran open ended maupun konvensional dengan kedua jenis locus of control dalam meningkatkan kemampuan penalaran matematika siswa. Ini dikarenakan pada pembelajaran open-ended yang sangat diharapkan siswanya aktif di dalam setiap tahapan pembelajaran. Siswa yang memiliki locus of control internal lebih dominan dalam penyelesaian masalah. Penyebabnya adalah siswa seperti ini mampu mempelajari berbagai sumber, informasi, dan pengalaman yang relevan dengan permasalahan yang sedang dihadapi sehingga siswa tersebut akan lebih memahami prosedur dan cara-cara menyelesaikan permasalahan tersebut. Pada pembelajaran ini lebih mampu mengeksplorasi kemampuan diri siswa yang memiliki locus of control internal. Siswa yang memiliki locus of control eksternal pada pembelajaran open-ended akan merasa kurang nyaman dan was-was, karena
117
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 108 - 119 mereka pada dasarnya kurang mempunyai inisiatif dalam mencari berbagai sumber dan informasi yang relevan terhadap permasalahan yang dihadapi sehingga mereka terlihat tidak begitu aktif di setiap tahap pembelajaran. Dalam penyelesaian permasalahan mereka lebih banyak menyerahkan kepada teman dan bila mereka berusaha untuk menyelesaikan permasalahan, mereka lebih banyak meminta petunjuk-petunjuk secara detil pada teman yang mereka anggap lebih mampu. Namun demikian, siswa yang mempunyai locus of control eksternal sedikit banyaknya akan dipengaruhi oleh sikap siswa yang mempunyai locus of control internal sehingga siswa seperti ini mempunyai kemampuan penalaran matematika yang lebih baik. Sebaliknya, pada pendekatan pembelajaran secara konvensional, siswa yang mempunyai locus of control eksternal akan merasa lebih nyaman dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini disebabkan semua informasi yang dibutuhkan oleh siswa secara rinci telah diberikan oleh guru, dan contoh-contoh penyelesaian masalah diberikan petunjuk-petunjuk secara detil oleh guru dengan harapan siswa mampu menguasai materi. Siswa seperti ini lebih mengandalkan informasi yang diperoleh dari guru dalam bentuk meniru dan menghapal. Sementara siswa yang mempunyai locus of control internal akan cepat jenuh dan akan menganggap pembelajaran yang sedang diikuti sangat membosankan. Hal ini dikarenakan posisi siswa hanya menjadi pendengar tanpa ada kesempatan untuk mengungkapkan ide-ide yang baru yang dihasilkan dari inisiatif mereka sendiri. Namun demikian, siswa seperti ini akan banyak bertanya bila informasi-informasi yang diberikan oleh guru kurang relevan dengan pemikiran mereka. Siswa yang memiliki locus of control internal lebih mampu memanfaatkan dan mengembangkan informasi relevan yang diberikan oleh guru.
118
SIMPULAN Kemampuan penalaran matematika siswa dalam pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran open-ended lebih baik dibandingkan siswa yang diajarkan dengan pendekatan pembelajaran secara konvensional. Secara umum kemampuan penalaran matematika siswa yang memiliki locus of control internal lebih baik dari siswa yang memiliki locus of control eksternal. Tidak terdapat interaksi antara pendekaan pembelajaran dengan locus of control terhadap kemampuan penalaran matematika. Pendekatan pembelajaran openended sangat potensial untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika, terutama pada saat pengenalan konsep dasar suatu materi. Pendekaan pembelajaran openended akan sangat baik diterapkan dalam rangka memenuhi tujuan mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan dasar dan menengah. Diharapkan kepada guru untuk dapat memperhatikan karakteristik siswa terutama locus of control yang dimiliki siswa. Setidaknya dengan perhatian ini, guru akan mencari cara untuk memotivasi siswa untuk dapat mengubah locus of control yang negatif yang dimiliki siswa. DAFTAR PUSTAKA Armanto, D. 2009. “Pengembangan Model Pembelajaran Matematika SD/MI Berbasis Kompetensi dan Berkonteks Cerita Rakyat Sumatera Utara�. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas. Dahlan, J.A. 2003. “Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama melalui Pendekatan Open-Ended�. Disertasi. Tidak diterbitkan. Bandung: PPS UPI. Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: P2LPTK, Dirjen Dikti.
Sahat Saragih: Pengaruh Pendekatan Pembelajaran...
Jung, J. 1978. Understanding Human Motivation. New York: Macmillam Publishing, Co Inc. Nohda, N. 2001. “A Study of ‘Open-Approach’ Method In School Mathematics Teaching - Focusing on Mathematical Problem Solving Activities”. http://www.nku. edu/~sheffield/nohda.html.Diunduh pada tanggal 31 Maret 2008. Marpaung, Y. 2001. “Implementasi Pendidikan Matematika Realistikdi Indonesia”. Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional Sehari: Penerapan Pendidikan Matematika Realistik pada Sekolah dan Madrasah, 5 November 2001, Medan. Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Rotter J.B. 1966, “Generalized Expectancies for Internal Versus External Control of Reinforcement”. Psycologycal Monographs, 80 Whole.No. 69.
Saragih, S. 2007. “Mengembangkan Kemampuan Berpikir Logis dan Komunikasi Matematik Siswa Sekolah Menengah Pertama melalui Pendekatan Matematika Realistik”. Disertasi. Tidak diterbitkan. Bandung: PPS UPI. Saragih, S. 2010. “Pengembangan Berpikir Matematika Tingkat Tinggi Siswa SMP melalui Pendekatan Matematika Realistik”. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun I. Tidak diterbitkan. Medan: IKIP Medan. Sumarmo, U. 2003. “Daya dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa dan Bagaimana Dikembangkan pada Siswa Sekolah Dasar dan Menengah”. Makalah. Disajikan pada Seminar Sehari di Jurusan Matematika ITB, Oktober 2003. Syaban, M. 2008. “Menggunakan OpenEnded untuk Memotivasi Berpikir Matematika”. http://educare.e-fkipunla. net/index.php?option=com_content&t ask=view&id=54&Itemid=4. Diunduh pada tanggal 19 Mei 2008.
119
MODEL PENGEMBANGAN BANK SOAL BERBASIS GURU DAN MUTU PENDIDIKAN Pujiati Suyata, Djemari Mardapi, Badrun Kartowagiran, dan Heri Retnawati Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta email: pujiati_suyata@uny.ac.id Abstrak Penelitian tahun kedua ini bertujuan untuk meneliti karakteristik perangkat tes buatan guru, melakukan analisis penyetaraan karakteristik butir antarwilayah sehingga karakteristik butir antarkabupaten berada pada skala yang sama, dan melakukan analisis penyetaraan karakteristik butir soal antartahun. Penelitian ini menggunakan pendekatan Research and Development. Data diperoleh dari dokumen, yang dianalisis dengan metode analisis kuantitatif dan kualitatif. Responden adalah guru penyusun soal ujian semester bersama mata pelajaran IPA, Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia yang tergabung dalam MGMP dari dua kabupaten, yaitu Sleman dan Gunungkidul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan sejumlah butir soal buatan guru yang baik, berdasarkan teori pengukuran klasik maupun teori respons butir, yang dapat dimasukkan ke dalam tabungan bank soal, diketahuinya perbandingan kualitas karakteristik butir soal buatan guru antartahun antara Kabupaten Sleman dan Kabupaten Gunungkidul, terkait dengan organisasi guru dalam MGMP dan MKKS, serta keterlaksanaan ujian akhir semester bersama yang dilakukan pada setiap kabupaten, dapat disusun model pengembangan bank soal melalui penyusunan soal oleh MGMP atau MKKS, serta keterlaksanaan semua ini meningkatkan kualitas pengujian dan pendidikan di Provinsi DIY. Kata kunci: model pengembangan bank soal, kualitas butir soal, karakteristik instrumen test
MODEL OF DEVELOPING TEST ITEM BANK BASED ON TEACHER AND QUALITY OF EDUCATION Abstract This second year study aimed at (1) finding the test instrument characteristics made by teacher for test item bank development, (2) doing an equality analysis by calibrating inter-regional test item characteristics and among districts, (3) doing inter year calibration analyses. A research and development (R&D) approach was used. Data from documents were used for this research. Quantitative and qualitative data analyses were carried out. Respondents for this study were teachers who are members of subject matters of mathematics, science, Indonesia, and English groups constructed test items for local semester exams in Sleman and Gunung Kidul districts. The study found: (1) a number of test items made by teachers were good items of the classic and item response theory criteria and are added up to the test item bank. (2) teacher made test items were comparable inter-years in Sleman and Gunung Kidul districts. (3) an item test bank development might be built using the available grouping of MGMP, KKS and their supporting systems of the districts, and (4) it was implied that based on findings (1), (2), and (3) an improvement of the educational quality can be achieved. Keywords: item test bank development model, quality of item test, test instrument characteristic
120
Pujiati S, Djemari M, Badrun K, dan Heri Retnawati: Model Pengembangan Bank Soal...
PENDAHULUAN Dalam pendidikan, evaluasi memegang peran penting. Melalui evaluasi, kualitas pendidikan dan perkembangannya dapat dievaluasi dari waktu ke waktu (Jahja Umar, et al, 1998:1, Djemari Mardapi, 2001). Penilaian dapat dilakukan di antaranya melalui kegiatan pengukuran. Dalam pengukuran diperlukan alat, dan alat yang digunakan untuk melakukan pengukuran, salah satu di antaranya adalah tes (Mehrens & Lehmann, 1973). Sebagai contoh, tes prestasi belajar siswa digunakan untuk mengetahui pencapaian hasil belajar siswa. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas tes yang digunakan akan memengaruhi hasil pengukuran dan kualitas hasil pengukuran mempengaruhi hasil evaluasi dalam pendidikan. Pada era otonomi daerah, pemerintah daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan ujian akhir semester beserta kualitasnya. Oleh karena tidak setiap sekolah mampu menyiapkan sendiri ujian akhir ini, pelaksanaannya dilakukan di Provinsi DIY. Soal tes dikembangkan oleh Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) ataupun Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), yang memunyai wilayah kerja pada setiap kabupaten/kota. Ujian akhir semester tingkat menengah pertama dilaksanakan dengan tujuan yang sama, yakni mengukur kompetensi siswa pada akhir pembelajaranyang dikembangkan dari standar kompetensi pokok yang sama. Terkait dengan hal tersebut, tes-tes yang dibuat diharapkan mengukur konstruk yang sama dan memenuhi syarat tes yang baik, terutama ditinjau dari karakteristik butirbutir penyusunannya. Mengingat perangkat ujian akhir semester di Provinsi DIY dibuat oleh MKKS yang berbeda, butir-butir penyusunannya memunyai tingkat kesulitan yang berbeda pula. Hal tersebut berakibat pada pencapaian sekolah berbeda satu dengan yang lain, dan pemerintah mengalami kesulitan untuk membandingkan mutu antarsekolah (Heri Retnawati, Kana Hidayati, 2007).
Berdasarkan hasil prasurvei yang telah dilakukan, karakteristik perangkat tes yang digunakan dalam ujian akhir semester tingkat menengah pertama belum dianalisis untuk mengetahui karakteristiknya dan belum diketahui apakah tes-tes yang digunakan tersebut telah tersusun atas butir-butir yang baik. Selain itu, bank soal untuk keseluruhan mata pelajaran pada setiap daerah belum ada. Padahal, bank soal sangat diperlukan sebagai rujukan dalam mengembangkan perangkat tes dan dapat dipergunakan untuk membandingkan karakteristik butir yang akan digunakan. Terkait dengan tugasnya dalam melakukan evaluasi pendidikan, guru memunyai peran yang sangat besar. Guru merupakan evaluator terdepan dalam memantau keberhasilan pendidikan. Selain itu, guru juga mempunyai potensi untuk dapat meningkatkan kualitas pendidikan. Salah satu di antaranya dengan memperbaiki sistem evaluasi yang selama ini telah digunakan. Potensi guru dalam evaluasi tersebut perlu diberdayakan sehingga dapat menjadi ujung tombak untuk peningkatan kualitas tes yang merupakan parameter keberhasilan pemahaman konsep dan nilai-nilai dalam pelaksanaan pendidikan. Adanya beberapa kesenjangan di atas perlu dijembatani. Pengembangan bank soal berbasis guru di Provinsi DIY menjadi hal urgen untuk dilakukan. Bank soal yang biasa dikenal guru didefinisikan sebagai kumpulan butir tes. Padahal, bank soal tidak hanya mengacu pada sekumpulan butir. Bank soal mengacu pada proses pengumpulan soal, pemantauan, dan penyimpanan dengan informasi yang terkait sehingga mempermudah pengambilan jika akan merakit soal-soal (Thorndike, 1982). Millman (Jahja Umar, 1999) mendefinisikan bank soal sebagai kumpulan yang relatif besar, yang mempermudah dalam memperoleh pertanyaan-pertanyaan penyusun tes. Mudah memiliki pengertian bahwa pada soal-soal
121
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 120 - 128 tersebut diberikan indeks, terstruktur, dan diberikan keterangan sehingga mudah dalam memilih untuk disusun sebagai perangkat tes pada suatu ujian. Senada dengan pengertian-pengertian di atas, Choppin (dalam J. Umar, 1999) memberikan definisi bahwa bank soal merupakan sekumpulan butir tes yang diorganisasikan dan dikatalogkan untuk mencapai jumlah tertentu berdasarkan isi dan karakteristik butir. Karakteristik butir tersebut meliputi tingkat kesulitan, reliabilitas, validitas, dan ketentuan lain. Ide pengembangan bank soal terkait dengan kebutuhan merakit tes lebih mudah, cepat, dan efisien. Selain itu juga adanya tuntutan kualitas butir soal yang baik pada penyusunan tes. Dengan adanya bank soal, kualitas butir soal pada penyusunan tes dapat dijamin kualitasnya. Van der Linden (Jahja Umar, 1999) menyatakan bahwa pengembangan bank soal merupakan praktik baru dalam pengembangan tes, sebagai hasil dari pengenalan teori respons butir dan kegunaan ekstensif dari pengetahuan komputer pada masyarakat modern. Pada suatu bank soal yang dikembangkan dengan teori respons butir, program tes dapat dibuat lebih fleksibel dan sesuai. Hal ini disebabkan karena karakteristik butir perangkat tes pada teori respons butir tidak tergantung pada karakteristik peserta tes pada saat kaliberasi. Selain itu, kemampuan siswa peserta tes dapat diketahui dan dapat dibandingkan, karena parameter kemampuan dapat diestimasi pada skala yang sama (Jahja Umar, 1999). Terkait dengan perkembangan ilmu dan teknologi, pengembangan bank soal berdasarkan teori respons butir dapat diset untuk dikembangkan menjadi computerized adaptive testing (Hambleton, Swaminathan, dan Rogers, 1991). Keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh dengan adanya pengembangan bank soal sangat besar. Beberapa di antaranya adalah kebijakan desentralisasi
122
pada program tes nasional dapat dikenalkan tanpa mengorbankan hasil tes dan dapat; biaya dan waktu yang diperlukan pada kegiatan konstruksi tes dapat direduksi; makin besar jumlah butir soal yang terdapat pada bank soal, permasalahan keamanan menjadi lebih terjamin; kualitas program tes dapat ditingkatkan, dengan adanya butirbutir dalam bank soal yang telah diketahui karakteristiknya; pendidik dapat mendesain perangkat tes yang akan digunakan, dengan memanfaatkan butir-butir yang baik dalam bank soal; guru dapat mengonsentrasikan diri pada usaha untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, tanpa harus membelanjakan banyak waktu untuk penyusunan perangkat tes (Jahja Umar, 1999). Choppin (dalam Jahja Umar, 1999) berpendapat bahwa keuntungan dalam pengembangan bank soal dapat dikelompokkan menjadi empat kategori. Pertama, kategori ekonomi. Dengan adanya sistem bank soal, memungkinkan adanya penggunaan butir-butir soal yang baik secara berulang. Kedua, dengan adanya bank soal, panjang tes dapat disesuaikan dengan kebutuhan, yang merupakan kategori fleksibilitas. Ketiga, kategori konsistensi. Dengan adanya bank soal, dapat dikembangkan tes yang paralel dan hasil tes dapat diperbandingkan karena kemampuan peserta tes dapat diketahui dengan skala yang sama. Keempat, keamanan. Dengan adanya bank soal, pengembang tes dapat menyusun beberapa tes alternatif untuk menjaga kebocoran soal pada tes yang bertujuan sangat penting. Selain itu, terdapat beberapa kegiatan penting dalam pengembangan bank soal, yakni penulisan butir soal, validasi dan kaliberasi butir soal, penyimpanan dan pengamanan soal, pengaitannya dengan butir-butir baru dalam bank soal (equiting), dan mempertahankan bank soal (Jahja Umar, 1999). Proses penulisan butir soal merupakan hal penting dalam pengembangan bank soal. Penulisan butir soal ini bukan merupakan
Pujiati S, Djemari M, Badrun K, dan Heri Retnawati: Model Pengembangan Bank Soal...
suatu hal yang mudah. Pada penulisan butir soal, diperlukan rekrutmen dan pelatihan (training) bagi penulis, yang memerlukan biaya besar. Pada pengembangan bank soal, penulis butir soal terlebih dahulu memperhatikan tujuan tes yang akan dikembangkan dengan menggunakan butir-butir bank soal. Apakah tes yang akan dikembangkan tersebut untuk seleksi, tes penalaran, ataukah tes prestasi belajar. Tujuan pengembangan tes perlu diperhatikan, mengingat sifat-sifat tes tersebut berbeda-beda. Hal lain yang perlu diperhatikan pada penulisan butir soal untuk pengembangan bank soal adalah lingkup materi pelajaran. Dengan memperhatikan ruang lingkup atau cakupan materi sebagai bahan tes, diharapkan butir soal tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sulit. Butir soal seperti ini yang dapat membedakan peserta tes berdasarkan kemampuan. Terkait dengan hal ini, pembuatan kisi-kisi menjadi strategi yang tepat untuk mempermudah penulisan butir soal. Langkah selanjutnya adalah validasi dan kaliberasi. Pada tahap ini, terlebih dahulu butir-butir soal yang ada disusun menjadi perangkat tes kemudian diujicobakan. Ujicoba disesuaikan dengan peserta tes yang akan merespons perangkat tes. Pada pengembangan bank soal berdasarkan teori tes klasik, peserta ujicoba harus berasal dari berbagai strata siswa secara proporsional. Hal ini disebabkan pada teori tes klasik, karakteristik peserta ujicoba memengaruhi karakteristik butir soal yang diujicobakan. Jika menggunakan pendekatan teori respons butir, yang perlu diperhatikan adalah jumlah peserta ujicoba, mengingat model parameter berbeda akan memerlukan ukuran peserta ujicoba yang berbeda pula agar karakteristik butirnya stabil (Hambleton dan Swaminathan, 1985). Validasi merupakan proses menentukan validitas perangkat tes. Validitas ini dapat
diketahui dari isi, konstruk, maupun dikorelasikan dengan kriteria lain. Adapun kaliberasi merupakan proses yang digunakan untuk menentukan karakteristik butir soal. Pengembangan bank soal berdasarkan teori tes klasik diestimasi tingkat kesulitan, daya beda, dan reliabilitas, sedangkan pengembangan soal berdasarkan teori respons butir yang diestimasi adalah parameter butirnya. Pada model satu parameter, butir soal yang diestimasi adalah tingkat kesulitan, nilai fungsi informasi, dan kesalahan pengukuran. Agar lebih mudah dilakukan, kaliberasi ini dapat dilakukan dengan bantuan komputer, dengan program Iteman, Ascal, Rascal, Bigstep, Bilog, Multilog, atau yang lain. Dari hasil kaliberasi, dapat ditentukan butirbutir soal yang baik. Butir soal yang baik ini merupakan bank soal yang terjadi. Langkah selanjutnya adalah mengaitkan butir-butir soal yang ada dengan butir soal yang baru (linking new items). Langkah ini bertujuan agar butir-butir baru yang ditambahkan dalam bank soal terkait dengan butir-butir yang lama berdasarkan kaliberasi yang telah dilakukan. Proses tersebut dinamai penyetaraan (equiting), yang bertujuan untuk memastikan kualitas butir soal dan mengestimasi konstanta hubungan dengan perangkat tes yang lama (Dorans, 2004). METODE Penelitian ini merupakan tahap revisi atas penelitian model bank soal berbasis guru yang telah dihasilkan sebelumnya (Pujiati Suyata, 2009), dengan indikator kinerja sebagai berikut. Pertama, terevisinya model pengembangan bank soal berbasis guru pada penelitian sebelumnya. Kedua, bertambahnya tabungan butir-butir soal buatan guru yang baik. Ketiga, dilakukannya penyetaraan horisontal karakteristik butir tes buatan guru antarkabupaten. Keempat, terselenggaranya penyetaraan vertikal karakteristik butir tes buatan guru antartahun (tahun 2009 dan tahun 2010).
123
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 120 - 128 Dengan menggunakan butir-butir perangkat tes buatan guru berikut respons siswa terhadap tes tersebut, dapat dikembangkan bank soal di wilayah provinsi DIY. Setelah melalui analisis kualitatif oleh ahli dan analisis kuantitatif berdasarkan respons peserta terhadap tes tersebut, dapat diketahui sekumpulan butir tersebut baik atau tidak. Terhadap butir-butir yang baik, dilakukan penyetaraan (equating) antarwilayah dan antarsatuan waktu untuk memperoleh skala parameter butir dan parameter peserta agar berada pada ukuran yang sama. Setelah tahap ini, model pengembangan bank soal mulai dari butir-butir ini diorganisasikan, disimpan, dijaga keamanannya, ditemukannya sistem guru untuk mengakses dan menambahkan butir baik dari tahun ke tahun perlu. Kesemuanya itu dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas perangkat tes yang digunakan untuk ujian akhir semester. Penelitian ini merupakan penelitian research and development dalam rangka. merevisi model pengembangan bank soal yang dilakukan sebelumnya, menambah tabungan butir-butir soal yang baik, serta melakukan penyetaraan karakteristik butir antarwilayah dan antartahun. Penelitian dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang meliputi dua kabupaten yakni Kabupaten Gunungkidul dan Sleman Secara garis besar metode pengumpulan data penelitian ini menggunakan metode dokumentasi. Dokumen yang berupa lembar
jawaban ujian semester siswa digunakan untuk mengumpulkan data karakteristik butir soal tes. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode analisis kuantitatif dan kualitatif. Hasil PENELITIAN dan PEMBahasan Secara umum, hasil penelitian ini dapat dirangkum sebagai berikut. Pertama, tes ujian akhir semester sudah disusun oleh MGMP/ MKKS setiap kabupaten/kota. Namun, tingkat kesulitan soal tidak sama. Padahal, soal dikembangkan dengan tujuan dan standar kompetensi yang sama pula. Hal tersebut mengakibatkan pencapaian sekolah berbeda-beda sehingga mutu antarsekolah sulit dibandingkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyetaraan karateristik butir antarwilayah sehingga estimasi butir berada pada skala yang sama. Kedua, karakteristik butir soal antarwilayah yang dapat dimasukkan ke dalam bank soal harus berada pada kategori sedang. Berdasarkan teori tes klasik, butir soal dengan indeks kesulitan antara 0,25-0,75 (berkategori “sedang”) dengan daya beda asal bukan negatif dan teori respons dengan tingkat kesulitan (berkategori “mudah” jika -2, “sedang” jika berada di antara –2 dan 2, dan “sulit” jika +2.) dapat disimpan dalam bank soal. Berikut ini disajikan rekap butir mata pelajaran. Berdasarkan Tabel 1 yang tergolong ke dalam butir yang baik adalah butir dalam kategori sedang.
Tabel 1. Karakteristik Butir Soal Mata Pelajaran Matematika
124
Pujiati S, Djemari M, Badrun K, dan Heri Retnawati: Model Pengembangan Bank Soal...
Tabel 2. Karakteristik Butir Soal Mata Pelajaran IPA
Tabel 3. Karakteristik Butir Soal Mata Pelajaran B. Indonesia
Tabel 4. Karakteristik Butir Soal Mata Pelajaran B. Inggris
Ketiga, perbandingan tingkat kesulitan antartahun digunakan pendekatan teori tes klasik dan teori respons butir dengan teknik concurrent caliberation memanfaatkan program BILOGMG. Teknik ini dilakukan untuk mendapatkan hasil estimasi parameter butir berada pada skala yang sama. Hasil selengkapnya disajikan dalam Gambar 1. Jika dianalisis dengan teori tes klasik, pada mata pelajaran Bahasa Indonesia persentase menjawab benar di Kabupaten Sleman lebih tinggi dibandingkan dengan di Kabupaten Gunungkidul. Ini berarti bahwa rerata tingkat kesulitan butir perangkat tes di Kabupaten Gunungkidul lebih tinggi dibandingkan dengan di Kabupaten Sleman.
Jika dibandingkan antartahun, rerata tingkat kesulitan tahun 2009 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2010. Pada mata pelajaran Matematika, rerata tingkat kesulitan pada tahun 2009 hampir sama di Kabupaten Sleman dan Gunungkidul. Pada tahun 2009 dan 2010, butir-butir di Sleman lebih mudah dibandingkan dengan butir soal di Kabupaten Gunugkidul. Hasil selengkapnya disajikan pada Gambar 2, Gambar 3, dan Gambar 4. Pada mata pelajaran IPA tahun 2009 dan 2010, butir-butir perangkat IPA di Kabupaten Gunungkidul lebih sulit dibandingkan dengan di Kabupaten Sleman. Hal ini ditunjukkan dengan rerata proporsi menjawab benar di Kabupaten Sleman lebih
125
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 120 - 128 pada Gambar 5. Hasil ini menunjukkan bahwa selama tahun 2009 dan 2010, tingkat kesulitan butir di Kabupaten Gunugkidul untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia lebih sulit jika dibandingkan dengan tingkat kesulitan di Kabupaten Sleman. Gambar 1. Perbandingan Tingkat Kesulitan Antartahun Bhs. Inggris
Gambar 5. Perbandingan Tingkat Kesulitan Antartahun Bahasa Indonesia Gambar 2. Perbandingan Tingkat Kesulitan Antartahun B. Indonesia
Gambar 3. Perbandingan Tingkat Kesulitan Antartahun Matematika
Untuk mata pelajaran bahasa Inggris di Kabupaten Gunungkidul rerata tingkat kesulitan tahun 2009 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2010. Namun, di Kabupaten Sleman yang terjadi adalah kebalikannya, rerata tingkat kesulitan tahun 2009 lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2010. Di tahun 2010, tingkat kesulitan di kedua kabupaten hampir sama. Hasil analisis ditunjukkan pada Gambar 6 Untuk mata pelajaran Matematika pada tahun 2009, rerata tingkat kesulitan lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2010 untuk Kabupaten Gunungkidul. Namun, untuk kabupaten Sleman, terjadi sebaliknya. Rerata tingkat kesulitan tahun 2010 di Kabupaten Gunungkidul jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Kabupaten Sleman. Hasil selengkapnya disajikan pada Gambar 7.
Gambar 4. Perbandingan Tingkat Kesulitan Antartahun IPA tinggi dibandingkan dengan di Kabupaten Gunungkidul. Perbandingan tingkat kesulitan antartahun dengan pendekatan teori respons butir untuk tahun 2009 dan 2010 disajikan
126
Gambar 6. Perbandingan Tingkat Kesulitan Antartahun Bhs. Inggris
Pujiati S, Djemari M, Badrun K, dan Heri Retnawati: Model Pengembangan Bank Soal...
Kabupaten Gunungkidul. Sementara itu, jumlah butir soal IPA dan bahasa Indonesia baik terdapat di Kabupaten Gunungkidul. Hal itu menginformasikan bahwa kualitas butir soal untuk kedua kabupaten relatif sama.
Gambar 7. Perbandingan Tingkat Kesulitan Antartahun Matematika
Gambar 8. Perbandingan Tingkat Kesulitan Antartahun IPA Di Kabupaten Gunungkidul dan Sleman, tingkat kesulitan untuk mata pelajaran IPA di tahun 2009 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2010. Pada kedua tahun ini, tingkat kesulitan di Kabupaten Sleman jauh lebih rendah dibandingkan dengan di Kabupaten Gunungkidul Tabel 5 memperlihatkan bahwa menurut teori tes klasik, butir soal Kabupaten Sleman hampir sama dengan di Kabupaten Gunungkidul. Untuk mata pelajaran matematika dan bahasa Inggris, jumlah butir baik Kabupaten Sleman lebih banyak daripada
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, terkait dengan organisasi guru dalam MGMP dan MKKS dan keterlaksanaan ujian akhir semester bersama yang dilakukan di tiap kabupaten dan tiap mata pelajaran, dapat disusun model pengembangan bank soal berbasis guru di Provinsi DIY. Pada tahun II penelitian ini (2010), telah dilakukan revisi model awal bank soal berbasis guru di DIY. Kedua, model bank soal yang telah direvisi (2010), butir-butir soalnya telah disetarakan baik antarwilayah maupun antartahun. Dengan demikian, butir soal antarwilayah maupun antartahun telah berada pada skala yang sama. Ketiga, dengan model tersebut, telah dihasilkan sejumlah butir soal baik, baik dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Matematika, maupun IPA yang dapat dijadikan tabungan bagi bank soal di wilayah-wilayah. Keempat, dengan dihasilkannya butir-butir baik, menurut teori klasik maupun teori respons butir, keberadaan bank soal berbasis guru di wilayah dapat meningkatkan mutu pengujian di wilayah-wilayah tersebut.
Tabel 5. Jumlah Butir Soal Baik Teori Tes Klasik
Tabel 6. Jumlah Butir Soal Baik Teori Respons Butir
127
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 120 - 128 DAFTAR PUSTAKA Dorans, N.J. 2004. “Equating, Concordance and Expectation”. Jurnal Applied Psichological Measurement, Vol. 28. No. 4, July 2004, p. 219-226. Hambleton, R.K., Swaminathan, H., & Rogers, H.J. 1991. Fundamental of Item Response Theory. Newbury Park, CA: Sage Publication Inc. Hambleton, R.K. & Swaminathan, H. 1985. Item Response Theory. Boston, MA: Kluwer Inc. Retnawati, Heri & Kana Hidayati. 2007. “Perbandingan Metode Concordance Berdasarkan Teori Tes Klasik”. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Lembaga Penelitian UNY. Mardapi, Djemari. 2001. “Ebtanas dalam Tinjauan Evaluasi Pendidikan”. Bahan Kuliah Umum Mahasiswa
128
Baru Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, tanggal 8 September 2001. Mehrens, W.A. & Lehmann, I.J. 1973. Measurement and Evaluation in Education and Psychology. New York: Hold, Rinehart and Wiston, Inc. Suyata, Pujiati. 2009. “Identifikasi Need Assessment Model Bank Soal Berbasis Guru di DIY”. Jurnal Kependidikan. 3(1).24-37. Thorndike. 1982. Measurement and Evaluation in Psychology and Education, 7thed. New Jersey: Pearson Eduction INC. Umar, Jahja. 1999. “Item Banking”. Dalam Masters, G.N. dan Keeves, J.P. (Ed). A d v a n c e s i n M e a s u re m e n t i n Educational Research and Assessment. New York: Pergamon.
SHOW AND TELL EDUKATIF UNTUK PENGEMBANGAN EMPATI, AFILIASI-RESOLUSI KONFLIK, DAN KEBIASAAN POSITIF ANAK USIA DINI Tadkiroatun Musfiroh
FBS Universitas Negeri Yogyakarta email: itadzuny@yahoo.co.id Abstrak Penelitian ini bertujuan mengembangkan show and tell edukatif untuk mengembangkan empati, afiliasi-resolusi konflik, dan kebiasaan positif AUD yang sudah divalidasi oleh ahli dan diuji coba di lapangan. Pendekatan yang digunakan dalam keseluruhan penelitian adalah Research and Development (R&D). Subjek penelitian adalah 11 KB-TK, 22 orang pendidik, dan 247 anak usia dini di Kelompok Bermain dan Taman Kanak-kanak di DIY yang dipilih melalui teknik purposive. Lokasi yang dipilih meliputi satu TK di Kabupaten Sleman, tiga KB-TK di Kabupaten Kulon Progo, tiga KB-TK di Kabupaten Bantul, dan empat KB-TK di Kota Yogyakarta. Pengumpulan data dilakukan melalui metode angket, observasi, wawancara, dan focus group discussion. Data dianalisis secara deskriptif, kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media show and tell anak didominasi oleh benda-benda pribadi anak; uji coba menunjukkan komponen kebiasaan positif naik 1,15 poin, empati naik 0,96, afiliasi dan resolusi konflik naik 0,87; pelaksanaan show and tell secara keseluruhan memiliki skor 8,17 (skor tertinggi 15), yang berarti anak cukup dalam kegiatan show and tell; anak-anak sudah mampu bercerita, bertanya, dan menjawab pertanyaan sederhana hingga relatif sulit meskipun harus terus-menerus difasilitasi guru; anak-anak juga memiliki kemauan untuk mengamati benda pribadi dan mengelaborasinya pada saat bercerita sehingga meningkatkan aspek isi show and tell, walaupun aspek bahasa dan refleksi belum optimal; dan perbaikan terjadi dalam beberapa kali pertemuan. Kata kunci: show and tell edukatif, empati, afiliasi-resolusi konflik, kebiasaan positif, kecakapan sosial, anak usia dini
EDUCATIVE SHOW AND TELL FOR DEVELOPING EMPATHY, CONFLICT RESOLUTION AFFILIATION, AND POSITIVE HABITS OF EARLY AGE CHILDREN Abstract This study was aimed at developing the educative show and tell to develop empathy towards affiliation-resolution conflicts and positive habits of early-aged children which had been tried out and field validated by experts. Using the research and development (R & D) research method, a purpose sampling was taken from 11 play groups/kindergartens, 22 teachers, and 247 early-aged children in Yogyakarta area. Data collection was conducted through questionnaires, observation, interviews, and focus group discussions. Data were analyzed descriptively, quantitatively, and qualitatively. Research findings showed that the media for the show and tell education were dominated by the children’s personal belongings. Data analyses showed that positive habits increased by 1.15 points, empathy increased by 0.96 points, and affiliation-resolution conflicts increased by 0.87 points. The implementation of the show and tell produced a score of 8.17 as a whole (highest score = 15) indicating that the children did quite well in the activities. They were able to tell stories, ask questions, and answer questions though they were continuously facilitated by the teacher. They
129
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 129 - 143 showed the willingness to observe objects of their belonging and made elaborations about the objects during story telling which increased the content aspect of the show and tell, even though the language aspect was not yet optimal and corrections were given in several of the meetings. Keywords: show and tell education, empathy, affiliation-resolution conflicts, positive habit, social skill, early-age children
PENDAHULUAN Show and tell mengacu pada tiga bidang utama, yakni edukasi, musik, dan teater. Di antara ketiga bidang tersebut, show and tell edukatiflah yang paling diandalkan di dunia pendidikan Barat. Show and tell dimanfaatkan untuk tiga tujuan sekaligus, yakni untuk mengembangkan kemampuan berbicara, untuk mempromosikan alat main, dan untuk mendorong kecintaan terhadap buku. Di kalangan pendidik TK hingga SD, show and tell educative merupakan metode yang cukup populer (Love and Reilly, 2005). Show and tell dimanfaatkan untuk mengembangkan berbagai aspek perkembangan anak. Pertama, show and tell mampu mengembangkan keterampilan berbicara atau oral language skills dan sangat efektif untuk mengenalkan kemampuan public speaking karena berkenaan dengan kemampuan bertanya dan berbicara dalam gramatika yang lengkap (speaking in complete sentences, asking questions). Kedua, show and tell mampu mengembangkan kecakapan sosial dalam berbagai aspeknya, terutama listening attentively, dan speaking in turn. Ketiga, show and tell mendorong anak untuk melakukan problem solving. Keempat, show and tell memberi kesempatan anak untuk hands-on dengan materi keaksaraan melalui kegiatan associating beginning letters and sounds with real objects (Webbervilleschools’s team, 2010). Meskipun demikian, di Indonesia, metode ini hampir-hampir tidak dimanfaatkan oleh pendidik. Di lain pihak, pembelajaran di sekolah, termasuk pendidikan anak usia dini, masih cenderung teoretik dan tidak terkait dengan
130
konteks lingkungan tempat peserta didik berada. Akibatnya, peserta didik tidak mampu menerapkan apa yang dipelajari dalam pemecahan masalah kehidupannya (Blazety, et al., 1997). Berdasarkan pendapat Blazety, perlu dikembangkan kegiatan untuk mengembangkan keterampilan hidup. Salah satu di antaranya adalah kecakapan sosial (social skills) Pengembangan kecakapan sosial pada anak memiliki beberapa arti penting. Pertama, kecakapan sosial harus dimiliki anak sejak dini agar anak-anak belajar menghadapi problematika hidup dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial yang terus menerus berinteraksi. Kedua, masa kanak-kanak merupakan usia yang tepat untuk penerapan pembiasan. Sifat dan sikap empati, penuh pengertian, dan seni berkomunikasi dua arah, dan kemampuan berkomunikasi sangat berperan dalam menumbuhkan hubungan yang harmonis. Ketiga, kecakapan sosial sejak dini sangat menentukan perilaku anak di masa-masa mendatang. Hal ini penting karena orientasi teoretik formal, seperti pemaksaan baca-tulis-hitung (calistung) dalam bentuk latihan intensif meniadakan kesempatan anak untuk belajar kecakapan sosial, keterampilan yang seharusnya mereka pelajari sejak dini. Akibatnya, anak-anak mengalami kegamangan memainkan peran dalam kehidupan nyata Berdasarkan permasalahan di atas perlu kiranya ditemukan strategi pengembangan kecakapan sosial yang sesuai untuk anak usia dini, antara lain melalui pembiasaan, pemodelan, penugasan dan pengalaman, serta pengenalan show and tell. Di antara metode
Tadkiroatun Musfiroh: Show and Tell Edukatif Untuk Pengembangan Empati...
di atas, metode show and tell merupakan metode yang masih abu-abu sekaligus rancu bagi guru. Sebagian guru menyamakan antara metode bercerita dengan metode show and tell. Uraian di atas mengisyaratkan pentingnya pemanfaatan metode show and tell educative untuk pengembangan kecakapan sosial anak sejak dini. Penggunaan show and tell educative untuk pengembangan kecakapan sosial memiliki banyak kelebihan. Pertama, anak-anak akan terbiasa observatif terhadap benda-benda di sekitarnya. Bentuk, sifat, sejarah keberadaan, warna, bau, dan fungsi benda akan selalu menjadi titik fokus anakanak setiap saat. Sifat observatif ini memicu sikap positif lain, yakni teliti, atensif (menaruh perhatian besar pada sesuatu), dan absorbtifreseptif (menerima informasi secara cepat). Kedua, anak-anak akan terbiasa menyatakan hasil pengamatannya melalui kata-kata yang tertata baik secara gramatik, komunikatif, dan berazaskan fungsi-fungsi bahasa yang semakin lama semakin sempurna, baik secara pragmatik maupun secara sosiolinguistik. Ketiga, anak-anak akan terasah dalam hal keterampilan public-speaking. Mereka belajar berbicara efektif dua arah, menjalin kerja sama, menghindari konflik, berbicara sopan, dan mempertanggungjawabkan setiap informasi yang diberikan. Lebih lanjut, anakanak memiliki bekal vokasi sejak dini, karena berbicara untuk kecakapan sosial, merupakan landasan penting berbagai vokasi yang ada. Selain itu, metode show and tell untuk pengembangan kecakapan sosial memiliki keunggulan dibandingkan dengan metode lain (pembiasaan, pemodelan, dan pembelajaran), yakni metode show and tell educative mendorong keberanian berbicara anak; membantu perkembangan struktur diskursus anak; membantu perkembangan kosakata anak; dan membantu perkembangan pragmatik anak. Pengenalan dan pengembangan show and tell pada anak usia dini, membutuhkan
sebuah pola dasar yang dapat dimanfaatkan oleh pendidik. Hal ini penting, sebab pendidik belum memiliki pengalaman menggunakan metode ini, sekaligus belum pernah memperoleh acuan atau panduan pengenalan show and tell educative hingga saat ini. Permasalahan penelitian difokuskan pada bagaimana pengenalan show and tell pada anak usia dini demi mengembangkan kemampuan empati, afiliasi-resolusi konflik, dan kebiasaan positif mereka. Show and tell sebagai sebuah metode, berorientasi edukatif, dan diterapkan di dalam kelas dengan landasan pengalaman, pengetahuan tentang benda, proses dan fungsi benda. Oleh karena itu, masalah penelitian ini dapat dirumuskan ke dalam beberapa rumusan berikut ini. Pertama, media apakah yang dominan dipilih anak dalam melakukan show and tell untuk pengembangan, afiliasiresolusi konflik, dan kebiasaan positif. Kedua, indikator kemampuan empati, afiliasi-resolusi konflik, dan kebiasaan positif apa sajakah yang dapat dikembangkan melalui show and tell. Ketiga, bagaimana hasil uji lapangan panduan pengenalan show and tell untuk mengembangkan kemampuan empati, afiliasiresolusi konflik, dan kebiasaan positif anak usia dini. Show and tell adalah kegiatan menunjukkan sesuatu kepada audiens dan menjelaskan atau mendeskripsikan sesuatu itu. Show and tell biasanya dilatihkan di Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar guna menumbuhkan kemampuan public speaking. Pada awal-awal, anak akan membawa bendabenda pribadi dari rumah dan menjelaskannya secara sederhana, seperti nama benda dan bagaimana mereka mendapatkan benda tersebut. Menurut Taher (2009) Penerapan show and tell pada anak usia dini difokuskan pada beberapa hal. Pertama, menarik minat anak pada permasalahan sosial, seperti hubungan perkerabatan, gotong royong, jual-beli,
131
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 129 - 143 pendidikan, kebersihan, kemiskinan, dan tolong menolong. Kedua, mendorong anakanak untuk bekerja sama memecahkan masalah-masalah sosial, mendorong mereka untuk berbagi gagasan, dan belajar menentukan pilihan. Ketiga, mendorong anak belajar menerapkan strategi berbicara dalam kaitannya dengan interaksi sosial, yakni mengidentifikasi permasalahan yang akan dibawakan, mengumpulkan informasi, mencoba mengaitkan dengan masalah lain, menyampaikan permasalahan kepada khalayak sebaya, dan mengembangkan rencana show and tell selanjutnya. Show and tell memiliki relatif banyak manfaat bagi anak. Manfaat tersebut menurut Taher (2009) dapat dirinci setidak-tidaknya sebagai berikut. Pertama, show and tell memungkinkan anak-anak memahami problem-problem sosial secara lebih baik, yang hal tersebut membantu pemahaman teoretis mereka. Kedua, terdorongnya sikap demokratis oleh pendidik melalui pendekatan partisipatoris dalam proses pembelajaran. Ketiga, pendidik dan anak-anak memiliki kesempatan untuk melakukan refleksi implikasi pedagogik terhadap problematika sosial. Keempat, pendidik dapat meningkatkan proses pembelajaran yang membantu anak didiknya memperoleh keberanian dan hasrat untuk terlibat dalam permasalahan sosial. Show and tell memungkinkan seorang individu menunjukkan jati diri dengan bahasa yang baik. Jati diri yang dimaksud terkait dengan benda, gambar, bahkan simbol keyakinan yang dimiliki. Selama ini, jati diri tersebut merambah hingga ke wilayah keyakinan beragama, terutama di sekolahsekolah internasional. Seorang anak muslim, misalnya, ber-show and tell tentang konsep halal-haram dengan menunjukkan beberapa gambar binatang, buah, dan sayuran. Anak yang lain tiba-tiba menanggapi dengan menawarkan roti yang berisi daging sapi, “is it halal for you?� Hal demikian menunjukkan bahwa show and tell menimbulkan saling
132
pengertian, empati, dan tanggung jawab sosial. Di beberapa negara, show and tell telah dimanfaatkan sebagai metode pembelajaran multicultural. Bahkan, menurut Bentham (2010) show and tell juga bagus untuk mengenalkan konsep matematika dan sains untuk anak-anak. Beberapa aspek kecakapan sosial dapat dirangsang melalui show and tell. Menurut tim Teacheranitores (2008), show and tell merangsang anak untuk berminat pada lingkungannya, lebih mengenal orang lain dan atribut di sekelilingnya. Hal ini mendorong anak untuk memiliki rasa tanggung jawab sosial. Menurut Patsalides (2008) show and tell menguatkan aspek-aspek belajar bagaimana berbicara dan menyimak (learn to speak and listen), belajar bagaimana menjadi pendengar dan bagaimana memperkenalkan diri (learn how to be an audience and introduce themselves), belajar bagaimana membuat penyelidikan berdasarkan pertanyaanpertanyaan (learn how to ask inquiry based questions), belajar membuat hubungan antara respons siswa dengan yang lain (learn to make connections between student responses), antisipasi dan observasi (anticipate and observe), praktik keterampilan berbincang kritis (practice critical reasoning skills), praktik bercerita (practice storytelling), belajar kesamaan dan perbedaan (learn same and different), menggunakan kosakata boneka, komputer, mainan, dan wayang-wayangan (use vocabulary-doll, computer, toy car, puppet), menggunakan bahasa deskriptif atau bahasa untuk menggambarkan sesuatu (use descriptive language), mengucapkan terima kasih (say thank you), dan meningkatkan rasa percaya diri (increase confidence). Aspek-aspek di atas merupakan bagian dari kecakapan sosial versi Pellegrini (melalui Brewer, 1995), yakni pengambilan peran sosial, pemecahan problem sosial, dan kerja sama atau interaksi kooperatif dengan yang lain.
Tadkiroatun Musfiroh: Show and Tell Edukatif Untuk Pengembangan Empati...
Empati adalah keadaan mental seseorang yang dapat merasakan keadaan dirinya sama seperti yang dirasakan oleh orang lain. Empati merupakan aspek kecakapan sosial yang mengandung tiga indikator utama, yakni tenggang rasa, kepedulian pada sesama, dan penuh pengertian (Ayriza, 2005). Termasuk dalam empati adalah meminta ijin, tidak menyalahkan orang lain, tidak mengejek karya orang lain, menghibur orang lain yang sedang bersedih, menghargai kelebihan orang lain, dan menunggu giliran (empati), berbagi makanan, mendoakan teman yang sakit, meminjamkan mainan, memberikan pertolongan, menunggui teman yang sedang berkegiatan, membantu pekerjaan guru, membantu pekerjaan orang tua (kepedulian sesama teman), membantu tanpa diminta, memaafkan orang yang bersalah, meminta maaf, menunggu giliran, membersihkan lingkungan, mendengarkan teman yang berbicara, dan tidak memaksakan kehendak (penuh pengertian). Afiliasi berkaitan dengan pertalian atau hubungan dengan orang lain. Hal ini menunjukkan kemampuan untuk mengidentifikasi perilaku yang dapat diterima secara sosial. Resolusi konflik adalah penyelesaian masalah atau konflik. Afiliasi dan resolusi konflik mengandung tiga komponen, yakni komunikasi dua arah, penyelesaian konflik, dan kerja sama. Komunikasi dua arah adalah kecakapan menjalin hubungan antarpribadi meliputi berbicara dengan baik dan sopan, menyampaikan pesan dengan runtut, menceritakan kejadian yang dialami, bercerita di depan kelas, memanggil dan menyapa teman sebaya, mendengarkan orang yang sedang berbicara, dan mengambil pola pergiliran bicara (Musfiroh, dkk., 2007). Kemampuan dua arah dipengaruhi oleh lingkungan yang bebas tekanan dan memungkinkan anak berkomunikasi dan terciptanya kebutuhan anak untuk berbahasa.
Seorang anak yang memiliki kemampuan komunikasi dua arah adalah menyapa teman apabila bertemu, berkomunikasi saat pembelajaran, mengucapkan permintaan tolong apabila membutuhkan pertolongan, menyimak penjelasan, bertanya apabila tidak jelas, menyimak orang yang sedang berbicara, dan bercerita (Tim Pusdi PAUD, 2009). Resolusi konflik (dari resolve yang artinya ‘menyelesaikan’ atau ‘memecahkan masalah’) merupakan keterampilan yang diperoleh melalui latihan dan pembiasaan penyelesaian konflik secara berulang-ulang. Melalui konflik yang terjadi, anak-anak belajar mengurangi cara berpikir egosentrik, merasakan pengaruh diri dan teman sebaya (Musfiroh, dkk. 2007). Resolusi konflik meliputi kemampuan untuk mengucapkan maaf, menerima kritik, berusaha bersabar, menghargai nilai persatuan, merasakan rasa saling membutuhkan, merasa diri berharga, menghargai apa yang dimiliki orang lain, dan bertoleransi dengan teman sebaya. Kerja sama merupakan kegiatan yang mendorong anak menemukan kesenangan membantu orang lain dan kelompoknya, membantu anak belajar cara-cara yang diterima secara sosial, membantu anak belajar tentang tempat mereka, meningkatkan kemampuan anak mengambil bagian dari suatu kelompok (Catron& Allen, 1999). Yang termasuk dalam kerja sama adalah berkasih sayang, bermain bersama, berbagi dengan teman sebaya, membantu orang lain, merespons permintaan orang lain, dan kesungguhan dalam membantu orang lain. Kebiasaan positif meliputi tata karma (sopan santun), kemandirian, dan tanggung jawab sosial. Kebiasaan ini memberikan bekal kepada anak menjadi manusia yang berbudaya, tidak selalu bergantung pada orang lain, dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Anak-anak perlu belajar bagaimana perilaku positif terinternalisasi dalam diri mereka.
133
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 129 - 143 Kebiasaan positif subaspek tata krama memiliki sumber nilai langsung dari masyarakat dan dipraktikkan pada suatu etnik, kesukuan, keagamaan, atau pun perpaduan ketiganya (G.C. baker, 1994). Yang termasuk dalam tata krama adalah ucapan salam ketika berjumpa dan berpisah, terima kasih ketika menerima pemberian, menjawab ucapan terima kasih, komentar positif, dan perilaku fisik positif, seperti membungkuk dan memohon izin lewat, menatap wajah pada saat berbicara, mendengarkan orang yang mengajak berbicara, dan merespons lambaian-bersalaman (Sidharto & Izzaty, 2007). Kemandirian anak dimulai dari keinginan anak untuk mengurus diri sendiri, dan belajar menyesuaikan dengan lingkungan sosialnya. Hal ini dapat dilihat ketika anak dapat memerhatikan kebutuhan orang lain, dan dalam proses perkembangan keterampilan untuk bekerja sama dengan orang lain (Arthur, 1998). Tugas kemandirian anak usia dini dibagi ke dalam dua kelompok utama, yakni berkembang menjadi pribadi yang mandiri dan belajar bermacam-macam peran dalam masyarakat (Triyon dan Liliethal melalui Izzaty, 2004). Yang termasuk dalam kemandirian adalah mandi dan menggosok gigi sendiri, memakai sepatu dan pakaian sendiri, belajar mengemukakan keinginan serta memutuskan apa yang harus dilakukan sendiri, berani menyatakan apa yang dirasakan, dan menanamkan rasa percaya diri (Sidharto & Izzaty, 2007). Tanggung jawab sosial anak tidak sama dengan tanggung jawab orang dewasa, karena tanggung jawab sosial masih abstrak bagi anak-anak. Anak-anak baru memahami tentang kemampuan fisiknya, kemampuan bernalar dan matematika, serta interaksi sosial (Van Hoorn, 1999). Tanggung jawab sosial dilakukan melalui kesadaran akan kebutuhan bersama, kesadaran mematuhi ketentuan bersama, kebiasaan meminta izin, membangun kepedulian, mampu menyampaikan pesan,
134
tidak merusak fasilitas umum, menyesuaikan diri dengan aturan, tidak berbohong, dan menyelesaikan tugas (Sidharto & Izzaty, 2007). METODE Penelitian ini memiliki pendekatan Research and Development (R&D) (Borg and Gall, 2003) yang telah disederhanakan. Penelitian diawali dengan need assessment mengembangkan topik dan materi show and tell edukatif yang sesuai untuk anak usia 4, 5, dan 6 tahun. Setelah itu, dilanjutkan dengan focus group discussion (FGD) tentang indikator tiga wilayah, yakni empati, afiliasi-resolusi konflik, kebiasaan positif yang dikembangkan melalui show and tell. Tahap selanjutnya adalah perencanaan draf awal, meliputi pendefinisian show and tell, perumusan tujuan, urutan kegiatan, penyiapan media, dan evaluasi. Pengembangan produk awal berupa penyusunan materi show and tell, penyusunan instrumen observasi, dan integrasi show and tell ke dalam tiga wilayah empati, afiliasi dan resolusi konflik, dan kebiasaan positif. Langkah berikutnya adalah uji lapangan permulaaan di beberapa KBTK, dilanjutkan dengan observasi. Langkah terakhir adalah revisi produk awal. Subjek penelitian ini adalah pendidik dan peserta didik di KB dan TK di Provinsi DIY. Subjek untuk Need Assesment dan FGD adalah pendidik KB dan TK di Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul, dan Kota Yogyakarta. Pendidik yang dikumpulkan berjumlah 20 orang dari 20 lembaga, yakni 3 lembaga dari Kabupaten Sleman, 6 dari Kabupaten Bantul, 6 dari Kota Yogyakarta, dan 5 dari Kabupaten Kulon Progo. Subjek untuk uji coba lapangan adalah pendidik beserta peserta didik di 11 KB dan TK atau sebanyak 22 guru yang dipilih secara purposif dari 20 lembaga, sejumlah 247 anak. Subjek tersebar di Kabupaten Sleman dua orang guru, Kabupaten Bantul enam orang guru, Kabupaten Kulon Progo enam orang
Tadkiroatun Musfiroh: Show and Tell Edukatif Untuk Pengembangan Empati...
guru, dan Kota Yogyakarta delapan orang guru. Pengumpulan data dilakukan dengan berbagai teknik, yakni observasi, angket, studi dokumentasi, studi pustaka, wawancara, dan focus group discussion. Teknik-teknik tersebut disesuaikan dengan tujuan khusus tiap tahap penelitian. Need Assessment diperoleh melalui teknik studi pustaka dan observasi atau pencermatan dokumen. Digunakan juga teknik wawancara dan angket. Pengembangan indikator empati, afiliasi-resolusi konflik, kebiasaan positif yang dikembangkan melalui show and tell dilakukan dengan teknik FGD, wawancara, dan angket. Pengembangan draf awal dilakukan dengan metode pengembangan outline yang didampingi dengan studi pustaka dan FGD. Uji coba lapangan terbatas dilakukan dengan eksperimen semu. Data diambil dengan observasi dan angket checklist. Instrumen yang digunakan adalah pedoman observasi, angket checklist, dan catatan lapangan. Teknik tes tidak dilakukan karena penelitian ini dikenakan pada anak usia dini. Data yang diperoleh dianalisis dengan berbagai teknik. Teknik pertama adalah teknik komparasi, yakni dengan mencocokkan topik show and tell dengan kurikulum, mencocokkan aspek dan butir dengan tiga wilayah (empati, afiliasi-resolusi konflik, kebiasaan positif). Teknik analisis selanjutnya adalah teknik analisis statistik untuk menemukan uji beda (uji-t) antara skor tiga wilayah kecakapan sosial sebelum dan sesudah perlakuan melalui
SPSS 16. Teknik analisis terakhir adalah teknik editing atau teknik sunting. Validitas data diperoleh melalui berbagai metode, yakni (1) pengumpulan data ganda, meliputi observasi, wawancara, FGD, dokumentasi, dan angket; (2) sumber data ganda, yakni sumber data lisan, sumber data tertulis, dan sumber data perilaku (geraklisan); (3) ketekunan pengamatan; dan (4) interrater reliability. Hasil PENELITIAN dan PEMBahasan Media Show and Tell dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yakni benda pribadi, makanan, foto-gambar, dan benda baru. Seorang anak dapat membawa bendabenda pribadi yang sangat dibutuhkan dan menunjukkannya pada khalayak publik anak betapa pentingnya benda tersebut bagi dirinya. Obat-obatan, misalnya, merupakan contoh benda pribadi yang penting bagi anak yang menderita sakit relatif menetap, seperti asma dan alergi. Benda pribadi yang dipakai anak dalam show and tell dapat dilihat pada Tabel 1. Benda pribadi yang diterapkan anak di atas dibawa sendiri oleh anak. Sebagian telah disediakan oleh pihak lembaga. Beberapa benda yang dibawa anak seperti tongkat penyangga, kaca mata, dan sarung tangan tidak jadi dipraktikkan anak karena anak lebih memilih menggunakan mainan sebagai penggantinya. Hal ini menunjukkan bahwa anak lebih dekat dan lebih menguasai bendabenda pribadi daripada benda lain, walaupun benda tersebut penting bagi dirinya.
Tabel 1. Show and Tell dengan Benda Pribadi
135
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 129 - 143 Show and tell dengan benda pribadi sangat disukai anak dibandingkan dengan benda-benda yang lain. Anak-anak begitu antusias menunjukkan benda pribadi mereka pada khalayak sebaya. Publik anak menjadi paham bahwa benda-benda itu memiliki karakteristik, fungsi, sejarah, dan kegunaan positif untuk mengundang empati, untuk membangun afiliasi, dan memandirikan mereka. Makanan merupakan “benda� yang dibutuhkan anak dan memiliki daya jangkau yang kuat untuk pengembangan empati. Makanan dapat dimanfaatkan untuk memahamkan anak tentang rasa, manfaat, sekaligus menunjukkan bagaimana ketiadaannya bagi orang yang membutuhkan. Keberadaan makanan dapat menjadi media bagi anak untuk berempati pada orang lain yang tidak mendapatkannya. Hal ini merangsang anak untuk mengenang pengalaman lapar dan berempati pada anak-anak lain (seperti anak-anak jalanan) yang kelaparan. Makanan merupakan benda yang efektif untuk dibagi dalam pengertian yang riil. Pada saat show and tell, anak menceritakan bagaimana rasa makanan, apa bahan utamanya, dan apa keunggulannya. Publik anak dapat merasakan, tekun menyimak, sekaligus menerima rangsang untuk meminta. Anak sebagai pembicara akan memahami dan selanjutnya berbagi. Bahkan mungkin, untuk makanan berlabel agama, misalnya saja makanan halal bagi anak muslim di tengahtengah anak muslim sendiri menimbulkan efek atensi yang baik, bahkan memunculkan pertanyaan. Syarat halal akan dipahami sebagai syarat penting bagi makanan anakTabel 2. Show and Tell dengan Makanan
136
anak muslim. Makanan tertentu yang diperuntukkan bagi anak yang sedang sakit, dapat digunakan sebagai media show and tell yang mendatangkan empati. Publik akan memiliki kehati-hatian. Sebelum menawarkan makanannya, anak akan bertanya apakah pembicara diperbolehkan makan makanan yang lain? Apakah anak yang sakit pilek boleh makan es krim, apakah anak yang alergi telur ayam boleh makan telur bebek? Di sinilah peran guru sebagai komunikator dan advisor dibutuhkan. Berikut ini makanan yang digunakan dalam show and tell dapat dilihat pada Tabel 2. Makanan, meskipun penting, dalam penelitian ini justru jarang dipakai anak dalam kegiatan show and tell. Anak tidak dapat banyak bercerita dengan media makanan. Mereka hanya dapat menceritakan asal dan rasa. Show and tell tidak berjalan dengan baik sehingga peran guru terus-menerus dibutuhkan agar anak-anak dapat mengembangkan isi cerita. Guru memancing dengan pertanyaanpertanyaan yang memungkinkan munculnya percakapan alamiah antaranak. Dalam percakapan inilah butir-butir dalam empati, afiliasi dan resolusi konflik, serta kebiasaan positif difasilitasi kemunculannya. Selain mainan dan makanan, gambar dan foto juga merupakan media show and tell yang relatif efektif untuk merangsang kemampuan berempati anak. Gambar dapat dimanfaatkan untuk memahami kondisi buruk orang lain, menerima keterbatasan orang lain, menaruh rasa iba, merasakan kesedihan orang lain, mendengarkan orang lain, dan menempatkan diri pada posisi orang lain. Bagi
Tadkiroatun Musfiroh: Show and Tell Edukatif Untuk Pengembangan Empati...
anak, hal-hal tersebut dapat diterima dengan lebih baik melalui cerita yang dibantu dengan media gambar atau foto. Gambar dan foto relatif efektif untuk merangsang balikan empati dari anak, seperti memberikan bantuan pada orang yang
membutuhkan, tidak mencela, menunggui teman yang “bekerja�, bersedia antre, tidak memaksakan kehendak. Di antara semua media, gambar dan foto merupakan media yang paling fleksibel untuk menanamkan nilai-nilai dalam social life skills pada anak.
Tabel 3. Show and Tell dengan Gambar dan Foto
Tabel 4. Indikator Empati untuk Show and Tell
137
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 129 - 143 Gambar dan foto merupakan media pemodifikasi manakala media lain tidak dapat digunakan. Hal ini menunjukkan keunggulan gambar dan foto sebagai bercerita dalam cerita. Gambar dan foto dapat diisi oleh hampir semua indikator dari empati, afiliasiresolusi konflik, hingga kebiasaan positif. Dalam kaitan ini, guru umumnya menggambar sendiri atau mengambil dari internet, baik berupa gambar seri maupun gambar tematik. Sebagian guru juga memanfaatkan gambar anak untuk media. Meskipun unggul, media foto dan gambar justru tidak banyak dipilih oleh anak. Anak cenderung menghindari media ini, meskipun ketika “dipaksa�, mereka dapat menggunakannya dalam kegiatan show and
tell. Bagi anak, foto dan gambar kurang menarik. Empati, afiliasi dan resolusi konflik, dan kebiasaan positif adalah komponen social life skills dan memiliki 63 butir indikator. Secara lengkap, dimensi dari tiap-tiap komponen adalah empati meliputi: penuh pengertian, tenggang rasa, kepedulian pada sesama; afiliasi dan resolusi konflik: komunikasi dua arah atau hubungan antar-pribadi, kerjasama, penyelesaian konflik; kebiasaan positif meliputi: tatakrama dan kesopanan, kemandirian, tanggung jawab sosial. Berdasarkan FGD dengan guru, 13 dari 63 butir indikator tersebut tidak dapat dikembangkan, sedangkan 50 butir yang lain dapat dikembangkan dengan show and
Tabel 5. Indikator Afiliasi dan Resolusi Konflik untuk Show and Tell
138
Tadkiroatun Musfiroh: Show and Tell Edukatif Untuk Pengembangan Empati...
tell. Butir yang dapat dikembangkan tersebut dikategorikan ke dalam butir indikator yang dapat dikembangkan langsung dan dikembangkan melalui modifikasi. Posisi indikator yang dimaksud dapat dilihat pada Tabel 4. Berikutnya adalah indikator afiliasiresolusi konflik. Komponen ini memiliki 21 butir indikator, empat di antaranya tidak bisa dikembangkan melalui show and tell,
satu dikembangkan langsung, dan sisanya (16 butir indikator) dikembangkan secara modifikatif, yakni menggunakan media yang memiliki cerita yang bernilai social life skills. Selengkapnya disajikan pada Tabel 5. Berikutnya adalah indikator kebiasaan positif. Komponen ini memiliki 21 butir indikator, tiga di antaranya tidak bisa dikembangkan melalui show and tell, dua dikembangkan langsung, dan sisanya (16 butir
Tabel 6. Indikator Kebiasaan Positif untuk Show and Tell
139
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 129 - 143 indikator) dikembangkan secara modifikatif, yakni menggunakan media yang memiliki cerita yang bernilai social life skills. Berdasarkan matriks hasil FGD di atas jelas bahwa 63 butir indikator yang social life skills terdapat 10 butir tidak bisa dikembangkan. Dengan demikian terdapat 50 butir indikator yang dapat dikembangkan dengan show and tell, dan delapan di antaranya dapat dikembangkan dengan media asli, dan 42 butir dikembangkan dengan modifikasi atau menceritakan cerita melalui gambar dan foto. Hal ini menunjukkan betapa fleksibelnya gambar dan foto sebagai media show and tell untuk mengembangkan empati, afiliasiresolusi konflik, dan kebiasaan positif anak usia dini.
Untuk mengukur efektivitas metode show and tell ini peneliti membandingkan skor awal dan skor akhir. Dengan teknik Uji-t hasil perbandingan tersebut dapat diketahui. Berdasatkan olahan SPSS dapat diketahui peningkatan rerata ketiga viariabel tersebut, sebagaimana dalam Tabel 7, Gambar 1, dan Gambar 2. Sebelum kegiatan Show and Tell, rerata skor empati mencapai 8,05 bila dikonversikan pada kriteria maka skor tersebut pada level “baik�. Setelah kegiatan Show and Tell terjadi sedikit kenaikan skor empati, yaitu mencapai rerata skor 9,01 dengan rentang kenaikan rerata sebesar 0,98. Kenaikan ini cukup signifikan mengingat hasil uji-t menunjukkan angka 12.955, sementara t-tabel hanya
Tabel 7. Rerata Skor Awal dan Skor Akhir Show and Tell
Gambar 1. Peningkatan Empati, Afiliasi-Resolusi, Kebiasaan Positif Skor Awal dan Skor Akhir
Gambar 2. Peningkatan Empati, Afiliasi-Resolusi, Kebiasaan Positif
140
Tadkiroatun Musfiroh: Show and Tell Edukatif Untuk Pengembangan Empati...
sebesar 1,67 untuk taraf signifikansi 95%. Sementara itu koefisien korelasi antara skor pretes dan postes variabel ini sangat tinggi, yaitu 0,943. Adapun kenaikan skor afiliasi dan resolusi konflik, yaitu mencapai rerata skor postes sebesar 7,40 dari skor pretes sebesar 6,53, dengan rentang kenaikan rerata sebesar 0,87. Kenaikan ini cukup signifikan mengingat hasil uji-t menunjukkan angka 12.553, sementara t-tabel hanya sebesar 1,67 untuk taraf signifikansi 95%. Sementara itu koefisien korelasi antara skor pretes dan postes variabel ini sangat tinggi, yaitu 0,948. Hal di atas juga terjadi pada variabel kebiasaan positif. Rerata skor kebiasaan positif mencapai 8,79 bila dikonversikan pada kriteria maka skor tersebut pada level “baik�. Setelah kegiatan Show and Tell terjadi sedikit kenaikan skor empati, yaitu mencapai rerata skor 9,94 dengan rentang kenaikan rerata sebesar 1,15. Kenaikan ini cukup signifikan mengingat hasil uji-t menunjukkan angka 13,594, sementara t-tabel hanya sebesar 1,67 untuk taraf signifikansi 95%. Sementara itu koefisien korelasi antara skor pretes dan postes variabel ini sangat tinggi, yaitu 0,919. Berdasarkan analisis statistik di atas dapat diinterpretasikan bahwa kegiatan show and tell mampu meningkatkan skor variabel empati, afiliasi & resolusi konflik, serta kebiasaan positif. Meskipun kenaikan skor ketiga variabel tersebut hanya berkisar antara 0,87 sampai 1,15, namun kenaikan tersebut signifikan. Kemampuan anak dalam melakukan show and tell diukur dengan menggunakan rubrik penilaian yang memiliki rentang skor 0-15. Berdasarkan hasil analisis statistik, kemampuan melakukan show and tell subyek pada level cukup yaitu 8,17. Secara visual, keseluruhan skor hasil evaluasi show and tell tertera pada grafik dan tabel.
Gambar 3. Kemampuan Show and Tell Anak Tabel 8. Sebaran Kemampuan show and tell anak usia dini
Pengembangan empati, afiliasiresolusi konflik, dan kebiasaan positif dapat dikembangkan melalui Show and Tell . Hasil FGD yang menunjukkan bahwa sebagian besar indikator empati, afiliasi-resolusi konflik, dan kebiasaan positif dikembangkan melalui modifikasi mengindikasikan bahwa social life skills ini masih merupakan bentukan guru atau bersifat top-down. Para guru masih melihat bahwa empati, afiliasi-resolusi konflik, dan kebiasaan positif dilatihkan pada anak setelah proses pema-haman terhadap nilai terjadi. Pemahaman tersebut disampaikan melalui dua cara, yakni cerita-demonstrasi (sebagai inti dari show and tell) dan melalui pengembangan tanya jawab selama show and tell serta pengembangan setelah kegiatan
141
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 129 - 143 terjadi. Hal ini didukung dengan dipilihnya indikator yang dapat dikembangkan langsung oleh anak tetapi justru hanya sedikit dipilih oleh guru. Penggunaan benda-benda pribadi anak sebenarnya sangat efektif untuk mengembangkan, afiliasi-resolusi konflik, dan kebiasaan positif. Hanya saja, media ini cenderung tidak dapat berdiri sendiri dan akan efektif apabila didampingi oleh media lain, yakni gambar dan foto. Pada uji coba pertemuan kedua, benda pribadi mulai berperan. Mainan anak lebih bervariasi dan butir berbagi, bermain bersama semakin terlihat menonjol. Matriks pada hasil juga menunjukkan bahwa benda pribadi lebih dipilih anak untuk mengembangkan butirbutir indikator empati, afiliasi-resolusi konflik, dan kebiasaan positif. Anak-anak lebih memiliki keleluasaan untuk menunjukkan dan menceritakan detil fitur pada benda-benda pribadinya. Anak relatif mengenal setiap detil dari benda-benda pribadinya. Demikian halnya dengan media makanan, terutama makanan ringan. Hasil uji lapangan terbatas menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan pada skor awal dan skor akhir. Hal ini mengindikasikan bahwa show and tell cukup efektif untuk meningkatkan kemampuan empati, afiliasiresolusi konflik, dan kebi-asaan positif anak usia dini. Rerata peningkatan menunjukkan bahwa komponen kebiasaan positif justru naik paling tinggi (1,15) baru kemudian empati (0,96) dan terakhir afiliasi dan resolusi konflik (0,87). Kondisi ini sejalan dengan observasi penggunaan media yang semakin bervariasi dalam pengembangan indikator komponen kebiasaan positif. Anak semakin menunjukkan kesenangan sekaligus kompetisi sehat. Anak mulai tertantang untuk memanfaatkan bendabenda pribadi untuk membangun kemandirian dan tanggung jawab sosial. Pelaksanaan show and tell secara keseluruhan dengan skor 8,17 (skor tertinggi 15) menunjukkan bahwa anak cukup dalam
142
kegiatan show and tell. Mereka sudah mampu bercerita, bertanya, dan menjawab pertanyaan sederhana hingga relatif sulit meskipun harus terus menerus difasilitasi guru. Hal yang menonjol terjadi justru pada kemauan anak mengamati benda pribadi dan mengelaborasinya pada saat bercerita sehingga meningkatkan aspek isi show and tell, walaupun aspek bahasa dan refleksi belum optimal. Perbaikan terjadi dalam beberapa kali pertemuan. SIMPULAN Berdasarkan pembahasan pengembangan empati, afiliasi-resolusi konflik, dan kebiasaan positif melalui show and tell dapat disimpulkan hasil sebagai berikut. Pertama, media show and tell anak didomonasi oleh penggunaan benda pribadi seperti mainan, alat, dan benda kebutuhan sehari-hari. Ada pun makanan dan foto justru bukan menjadi pilihan utama anak, meskipun pendidik menyiapkan media ini. Kedua, butir indikator empati, afiliasi-resolusi konflik, dan kebiasaan positif berjumlah 63 butir, 50 di antaranya bisa dikembangkan melalui show and tell, 8 di antaranya langsung dan 42 melalui modifikasi. Modifikasi dilakukan melalui penggunaan beberapa media dalam satu kegiatan dan melalui pengembangan saat dan pasca kegiatan. Ketiga, penggunaan show and tell untuk mengembangkan empati, afiliasi-resolusi konflik, dan kebiasaan positif menunjukkan tingkat siginifikansi yang tinggi. Meskipun tidak semua butir dapat diisi oleh anak, kemunculan indikator empati, afiliasiresolusi konflik, dan kebiasaan positif relatif baik. Peningkatan tertinggi dicapai dalam kebiasaan positif, baru kemudian empati, dan resolusi konflik. Keempat, pencapaian anak dalam kemampuan show and tell berada pada kategori cukup. Anak dapat bercerita dengan isi yang relatif baik, bahasa kurang bagus, cara relatif baik. Meskipun demikian, refleksi belum begitu bagus.
Tadkiroatun Musfiroh: Show and Tell Edukatif Untuk Pengembangan Empati...
DAFTAR PUSTAKA Arthur, L., Beecer, B., Dockett, S., Farmer, S., and Death, E. 1998. Programming and Planning in Early Childhood Settings. Sydney: Harcourt Brace. Ayriza, Y., Izzaty, R.E., & Setiawati, F.A. 2005. “Pengembangan Modul Social Life Skill untuk Anak-Anak Prasekolah dan Model Sosialisasinya”. Yogyakarta: Laporan Penelitian Hibah Bersaing Baker, Gwendolyn C. 1994. Planning and organizing for multicultural instruction. Menio Park California: Addison-Wesley. Beaty, J. Janice. 1996. Skills for Preschool Teachers. New Jersey: Merill Prentice Hall. Bentham, Patricia. 2010. “Show and Tell A Springboard for Math and Science Education”. http://ezinearticles.com. Diunduh pada tanggal 11 Maret 2010. Brewer, J.A. 1995. Introduction to Early Childhood Education. Boston: Allyn & Bacon. Catron, Carol E. & Allen, Jan. 1999. Early Childhood Curriculum: A CreativePlay Model. New Jersey: Merill Prentice-Hall. Gall, Meredith, Gall, Joyce P., & Borg, Walter R. 2003. Educational Research. New York: Longman Izzaty, R.E. 2004. “Mengenali Permasalahan Perkembangan Anak Usia TK”. Buku Ajar Bidang PGTK. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Love, Elizabeth and Reilly, Sue. 2005. “Show and Tell” dalam Love and Reilly Newsletter No. 13 Oktober 2005. Melbourne: Pearson Education. Musfiroh, Tadkiroatun, Ni Nyoman, Seriati, dan Yulia Ayriza. 2007. Afiliasi & Resolusi Konflik. Yogyakarta: Tiara Wacana. Sidharto, Suryati & Izzaty, Rita Eka. (2007). Pengembangan kebiasaan positif. Yogyakarta : Tiara Wacana. Taher, Amode. 2009. “Addressing Social Factors in The Classroom: Some Pedagogical Method and Processes”. Makalah. Program Director and Civitas Mauritius.Santo Domingo, 12-16 Maret 2009. Teacheranitores, Team. 2008. “Show and Tell”. http://www.edarticle.com/classroom mana-gement/show-and-tell.html. Diunduh pada tanggal 11 Maret 2010. Tim Pusdi PAUD Lemlit UNY. 2009. Buku Panduan: Program Pembelajaran untuk Menstimulasi Kecakapan Sosial Anak bagi Pendidik Taman KanakKanak. Yogyakarta: Logung Pustaka. Van Hoorn, J., Nourot, P. M., Scales, B., & Alward, K. R. 1999. Play at the Centre of the Curriculum. Columbus, Ohio: Merril & Prentice Hall. Webbervilleschools’s Team.2010. “Show and Tell”.http://webbervilleschools.org. Diunduh pada tanggal 11 Maret 2010.
143
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM MEWARNAI KUALITAS PENDIDIKAN DI SEKOLAH Rochidin Wahab
Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Bandung email: rochidinwahab@yahoo.co.id Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi pengembangan pembelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) yang dapat merespons dan memecahkan masalah yang terdapat di dalam kehidupan sehari-hari anak didik. Penelitian ini mengambil kasus pada tiga SMK, yakni SMKN 15 Bandung Jurusan Pekerjaan Sosial (Peksos), SMK Al-Husna Bandung Jurusan Informatika dan SMK Nurul Islam Cianjur Jurusan Informatika. Sedangkan waktu yang dipergunakan untuk penelitian ini adalah sekitar tiga bulan. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Berdasarkan hasil dan bahasan, dapat ditarik beberapa simpulan. Pertama, prioritas kegiatan pendidikan yang berhubungan dengan pembelajaran saat sekarang ini adalah dalam kondisi kurang baik karena yang dilakukan belum maksimal pemaknaannya dan kadang-kadang masih bersifat parsial. Kedua, sebagai peluang peningkatan kualitas pendidikan melalui pembelajaran PAI di masa yang akan dating pemaknaannya adalah mengutamakan pendidikan keimanan, untuk menghasilkan lulusan yang baik akhlaknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, strategi pembelajaran yang diberdayakan dalam mewarnai kualitas pendidikan di sekolah tidak hanya dilakukan dalam bentuk intrakulikuler saja, tetapi secara maksimal dilakukan dengan ekstrakulikuler melalui berbagai bentuk dan cara. Kata Kunci: Pembelajaran PAI, Kualitas Pendidikan
ISLAMICS EDUCATION LEARNING IN COLOURING SCHOOL EDUCATION QUALITY Abstract This study was aimed at analyzing the implementation of PAI learning development that would respond to and solve problems in the students’ daily lives. The research was a case study of three vocational schools: SMKN 15 Bandung of the Social Work Department, SMK Al-Husna Bandung of the Informatics Department, and SMK Nurul Islam Cianjur of the Informatics Department. The study was completed in three months. The study used the descriptive qualitative approach. Based on the findings and discussions, three items of conclusion could be drawn. First, the present priorities of education activities were not in the favourable conditions because they did not show maximum meanings and were very often partial. Second, opportunities for the improvement of education through PAI in the future were faith education in order to produce graduates who had noble conducts in the life of the state and nation. Third, learning strategies enforced in schools that will have an effect in the quality of education should not only be in the forms of intracurricular activities, but they should also include extracurricular activities in different forms and manners Keyword: PAI, quality education, faith education
144
Rochidin Wahab: Pembelajaran Pendidikan Agama Islam...
PENDAHULUAN Memasuki abad XXI atau millenium ketiga ini dunia pendidikan dihadapkan kepada berbagai masalah yang cukup pelik. Apabila tidak segera diatasi secara tepat, tidak mustahil dunia pendidikan akan tertinggal. Kesadaran akan tampilnya dunia pendidikan harus merespons kehidupan masyarakat yang timbul pada setiap zaman. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Jamal (1992:19) bahwa pendidikan merupakan salah satu pranata yang terlibat langsung dalam mempersiapkan masa depan umat manusia. Kegagalan dunia pendidikan dalam menyiapkan masa depan umat manusia merupakan kegagalan bagi kelang-sungan hidup bangsa. Secara sederhana pendidikan Agama Islam dapat juga diartikan sebagai pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana yang tercantum dalam AlQur‘an dan Al-Hadits. Berbagai komponen dalam pendidikan Islam dimulai dari tujuan, kurikulum, guru, metode, pola hubungan guru murid, evaluasi, sarana-prasarana, lingkungan dan evaluasi pendidikan harus didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam. Jika berbagai komponen tersebut satu dan lainnya membentuk suatu sistem yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam, maka sistem tersebut selanjutnya dapat disebut sebagai sistem Pendidikan Islam (Tafsir, 1995;15). Sistem pendidikan Islam dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh aliran-aliran atau faham keislaman. Pengaruh sistem pendidikan Barat terhadap sistem pendidikan Islam terbukti berakibat tidak lagi berorientasi sepenuhnya pada tujuan dan cita-cita Islam yang kita harapkan, yakni bisa menciptakan manusia yang berakhlaqul karimah dan bertanggung jawab pada bangsa dan negara. Ajaran Islam sebagaimana dijumpai dalam Al-qur‘an dan penjabarannya dalam hadis telah meletakkan dasar-dasar yang khas tentang berbagai aspek kehidupan mulai dari masalah sosial, politik, ekonomi,
hubungan antara umat beragama, hukum ilmu pengetahuan, dan teknologi. Dalam bidang sosial, Islam mencitacitakan suatu masyarakat yang egaliter, yakni sistem sosial yang didasarkan atas kesetaraan dan kesederajatan sebagai makhluk Tuhan. Atas dasar ini, kedudukan dan kehormatan manusia di hadapan Tuhan dan manusia lainnya bukan didasarkan atas perbedaan suku bangsa, golongan, bahasa, warna kulit, pangkat, keturunan, harta benda, tempat tinggal, dan lain sebagainya, tetapi didasarkan atas ketaqwaannya kepada Tuhan dan darma baktinya terhadap masalah-masalah kemanusiaan. Hal ini sebagaimana di dalam QS:13 yang artinya “Hai manusia sungguh Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersukusuku agar kamu saling mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa�. Dalam pandangan hukum Islam cita-cita tegaknya supremasi hukum yang didasarkan pada keadilan, tidak pilih kasih, manusiawi, konsisten, dan objektif diarahkan untuk melindungi seluruh aspek hak asasi manusia. Hak asasi tersebut meliputi hak hidup, hak beragama, hak memiliki dan memanfaatkan harta, hak memiliki keturunan, serta hak-hak untuk mengembangkan cita-cita dan mengisinya dengan ilmu pengetahuan (Al Syatibi, t.t:3-4). Di dalam bidang ilmu pengetahuan Islam mencita-citakan ilmu pengetahuan yang integrated antara ilmu agama dan ilmu umum, sedangkan dalam bidang kebudayaan Islam menolerir masuknya kebudayaan disertai dengan nilai dasar ajaran Islam, khususnya bidang akidah dan akhlak (Nasution, 1984:123). Cita-cita Islam dalam berbagai bidang kehidupan yang demikian ideal itu, selain harus disosialisasikan kepada masyarakat melalui jalur pendidikan, sekaligus harus menjadi dasar atau prinsip dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Dengan
145
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 144 - 150 demikian, posisi dan tugas pendidikan Islam adalah memasyarakatkan secara efektif dan efisien mengenai cita-cita Islam dalam pola kehidupan sehari-hari dan harus dibangun dengan dasar keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Proses pendidikan Islam pada hakekatnya ialah menampilkan sosok manusia yang bermoral tinggi (kuat) dan benar, mau menegakkan kewajiban hidup, tumbuh sifat kemanusiaannya, beraktivitas atas landasan ilmu dan pijakan hidupnya dalam keutamaan dan kebaikan, mampu menjauhi segala kerusakan, serta senantiasa mendekatkan dirinya kepada Allah, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang. Tujuannya untuk meraih kebahagiaan, keamanan, dan ketenteraman dalam kehidupan dunia maupun di akhirat. Hal ini dijelaskan Allah dalam QS Toha:75 “Dan barangsiapa yang datang kepada-Nya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh telah beramal saleh, maka mereka itulah orang-orang yang memperoleh derajat yang tinggi (mulia)�. P e r n y a t a a n y a n g d i k e m u kakan Bustanil Arifin selaku Ketua Badan Pendiri Yayasan Anakku (Rambay, 1997:9) bahwa kami menginginkan sekolah-sekolah yang melahirkan kader pemimpin dan intelektual Islam dengan wawasan luas. Yang dimaksud dengan wawasan luas adalah wawasan yang melihat agama Islam sebagai pembawa misi kedamaian dan kesejahteraan dalam berbagai aspek bagi seluruh umat manusia, tanpa dibedakan latar belakang agama, suku bangsa, dan sebagainya. Dengan wawasan yang demikian itu, maka peserta didik dari sekolah dapat berinteraksi dengan siapapun yang membawa kepada nilai-nilai kebenaran dan kedamaian dan berupaya mewujudkan nilainilai keislaman di tengah-tengah kehidupan. Seorang kader pemimpin Islam yang berwawasan luas, selain memiliki cita-cita dalam komitmen untuk mewujudkan citacita ajaran Islam seperti tersebut di atas secara terpadu dan serempak, juga memiliki
146
pandangan paham keagamaan yang pluralis inklusif. Artinya, suatu pandangan yang meyakini akan adanya kebenaran agama yang dianutnya dan mengamalkannya secara sungguh-sungguh. Namun, pada saat yang bersamaan keyakinan itu harus juga diikuti dengan keyakinan untuk mengakui eksistensi (keberadaan) agama lain dan sikap toleran serta mau berdialog dengan penganut agama lain secara terbuka, langsung, dan jujur (Shihab, 1991:40). Apabila konsep pluralisme agama di atas diterapkan di Indonesia dengan benarbenar, mereka berarti masing-masing telah memegang keyakinan yang dianutnya. Artinya, mereka memiliki komitmen yang teguh terhadap agamanya masing-masing sehingga akan terjadi interaksi dengan baik. Berdasarkan permasalahan tersebut, perlulah dilakukan penelitian terkait dengan implementasi pembelajaran PAI di sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi pengembangan pembelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) yang dapat merespons dan memecahkan masalahmasalah yang dihadapi masyarakat di dalam kehidupan sehari-hari. METODE Pendekatan di dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini mengambil kasus pada tiga SMK, yakni SMKN 15 Bandung Jurusan Pekerjaan Sosial (Peksos), SMK Al-Husna Bandung Jurusan Informatika, dan SMK Nurul Islam Cianjur Jurusan Informatika. Masa penelitian berlangsung selama tiga bulan. Fokus di dalam penelitian ini adalah implementasi pembelajaran PAI dalam mewarnai kualitas pembelajaran di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) negeri/swasta di Wilayah Bandung dan Cianjur. Subjek di dalam penelitian ini adalah orang-orang yang termasuk dalam struktur organisasi sekolah yang terdiri atasi 9 guru agama, dan 18 siswa. Kemudian,
Rochidin Wahab: Pembelajaran Pendidikan Agama Islam...
pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan teknik purposive sample. Teknik pengumpulannya berupa wawancara, dokumentasi, studi dokumenter, serta teknik analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk mengungkap gambaran penerapan pembelajaran PAI dalam mewarnai kualitas pendidikan di sekolah. Langkah-langkah analisis dalam penelitian ini melalui pengumpulan data, reduksi data dan analisis yang berkecenderungan untuk memperoleh hasil yang sebenarnya sehingga dapat dikategorikan dan dapat ditarik kesimpulan yang benar. Subjek di dalam penelitian ini adalah orang-orang yang termasuk dalam struktur organisasi sekolah yang terdiri atasi 9 guru agama, dan 18 siswa. Kemudian, pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan teknik purposive sampling Teknik pengumpulannya berupa wawancara, doku-mentasi, studi dokumenter, serta teknik analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk mengungkap gambaran penerapan pembelajaran PAI dalam mewarnai kualitas pendidikan di sekolah. Langkah-langkah analisis dalam penelitian ini melalui pengumpulan data, reduksi data dan analisis yang berkecenderungan untuk memperoleh hasil yang sebenarnya sehingga dapat
dikategorikan dan dapat ditarik kesimpulan yang benar. Hasil PENELITIAN dan PEMBahasan Pertama, prioritas kegiatan pendidikan Islam yang dilakukan pada tiga sekolah berdasarkan hasil penelitian adalah kondisi pembelajaran PAI di sekolah-sekolah yang dilakukan oleh guru-guru agama dalam mewarnai kualitas pendidikan di sekolah masih belum maksimal, guru agama dalam pembelajaran PAI belum banyak menyentuh bagian-bagian yang terkait dengan segala kebutuhan anak dan kurang berpartisipasi aktif dengan para siswa untuk membahas materi-materi yang diajarkan, pembelajaran PAI yang dilakukan di sekolah-sekolah secara bermakna (meaningfull) belum maksimal diterapkan model pengembangannya, kadangkadang bersifat liberal atau bersifat parsial, kurangnya sumber daya pendukung yang berupa fasilitas pembelajaran di sekolahsekolah. Kedua, peluang pendidikan Islam untuk persiapan masa depan bahwa kaitannya dengan profesi guru agama dalam pengembangan pembelajaran PAI pada para siswa diharapkan secara sinergitik dapat memberikan nilai tersendiri dengan hasil yang cukup baik (rerata nilai 70%).
Tabel 1. Indikator Pembelajaran PAI (Sumber Penelitian tahun 2011 pada 3 SMK Negeri/Swasta)
147
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 144 - 150 Ketiga, strategi peningkatan kualitas dan cara mengukurnya pada tiga SMK berdasarkan data saat ini bahwa strategi peningkatan kualitas pembelajaran PAI tidak saja dilakukan secara intrakulikuler tetapi dilakukan juga secara ekstrakulikuler melalui Studi Islam Intensif (SII) antarsekolah. Pelaksanaannya dilakukan pada setiap Hari Besar Islam (PHBI), seperti Peringatan Maulid Nabi, Isra Mi‘raj, Peringatan Tahun Baru Islam (Tahun Hijriah), acara silaturahmi (Halal bil Halal) antara guru, siswa dan aparatur sekolah, bakti sosial ke Panti Asuhan se-Wilayah Kota Bandung dan sekitarnya, Tadabbur Alam (TA), pelatihan shalat khusyu dan Musabaqoh Tilawatil Qur‘an (MTQ) antarsekolah pada umumnya dan lomba pidato (Khitobah), pelatihan Khutbah Jum‘at untuk para guru umum dan para siswa, serta Baca tulis Al-Qur‘an (BTQ) yang dilakukan dalam bentuk Tabligh Akbar. Di dalam kenyataannya tingkat keberhasilan kegiatan-kegiatan tersebut baru sekitar 75%. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemetaan berdasarkan skala prioritas terkait dengan kegiatan pendidikan Islam yang terdapat di sekolah-sekolah. Skala prioritas yang paling utama adalah seharusnya kegiatan-kegiatan tersebut diarahkan untuk mencapai tujuan dihasilkannya para lulusan yang memiliki pandangan ajaran Islam yang luas dan menyeluruh. Sikap keberagamaan yang seperti itu amat dibutuhkan dalam memasuki abad ke-21 yang ditandai oleh empat karakteristik, yakni saling ketergantungan terhadap sosial ekonomi bangsa, kompetisi antarbangsa yang semakin keras, makin beratnya usaha negara berkembang untuk mencapai posisi menjadi negara maju, dan munculnya masyarakat hiperindustrial yang akan mengubah budaya bangsa. Sejalan dengan pemikiran di atas, kegi-atan pendidikan Islam harus lebih diarahkan kepada lima hal berikut ini. Pertama, pembelajaran PAI yang berjalan di sekolah-sekolah bukan hanya untuk
148
mentransformasikan paham keagamaan secara internal kepada generasi-generasi tertentu dan tidak memberlakukan anak didik sebagai konsumen dari sebuah paham keagamaan atau gugusan ilmu-ilmu tertentu, melainkan harus mampu mengungkapkan konsep agama yang luas, panggilan Islam yang suci, berpusat pada tauhid, berpangkal pada pengendalian diri, dan bermakna bagi kehidupan pribadi dan masyarakat lingkungannya (DITBINPERTAIS, Depag RI 1981:127). Kedua, bentuk pengembangan pengajaran pendidikan Islam hendaknya menghindari kebiasaan-kebiasaan menggunakan andaian-andaian model yang diidealisasikan, yang kadang-kadang menjebak. Misalnya, rasa kerinduan yang ditekankan dalam proses pembelajaran agar para siswa dapat mengulangi pengalamanpengalaman dan pengetahuan yang pernah diperoleh di sekolah seperti anak ditentukan untuk bisa mengaji, shalat, puasa, dan sebagainya. Ketiga, bentuk pembelajaran PAI hendaknya lebih ditekankan kepada pembentukan akhlak yang menekankan pembentukan hati nurani, menanamkan sifatsifat Ilahiyah yang jelas dan pasti, baik dalam berhubungan dengan Maha Pencipta, dengan sesamanya maupun dengan alam sekitarnya. Keempat, visi Pendidikan Agama Islam harus diterjemahkan dalam ruang lingkup atau lingkungan pendidikan yang menanamkan keharuan emosional keagamaan, berperilaku yang baik, dan memiliki sifat terpuji. Dengan kata lain, perlu penekanan di dalam program pendidikan agama, baik pada lingkungan formal, nonformal, dan informal. Kelima, pola pembelajaran PAI yang diterapkan di sekolah perlu dilakukan melalui kerjasama antara orang tua dan masyarakat. Di samping itu, diperlukan adanya rumusan yang jelas dan efektif sehingga anak-anak memiliki kemampuan mempersepsi ilmu pengetahuan dan kondisi lingkungan sosialnya berdasarkan
Rochidin Wahab: Pembelajaran Pendidikan Agama Islam...
nilai-nilai normatif agama dan memiliki sikap etika sosial serta memiliki pandangan hidup yang etis dalam membentuk kesadaran beragama yang dalam. Melalui bentuk-bentuk latihan refleksi religius terhadap problematika sosial dengan menyuguhkan bahan paedagogik yang dilematic seperti itu, diharapkan anak dapat memilih jenis-jenis atau pilihan-pilihan etika. Dampak yang diharapkannya adalah terbentuknya sikap dasar dan tingkah laku yang kuat sebagai individu maupun sebagai masyarakat. Prioritas-prioritas seperti tersebut di ataslah yang diperlukan di dalam pendidikan Islam, yakni bagaimana agar agama Islam dapat meletakkan kerangka dasar bagi manusia sehingga mampu menunaikan tugas pokoknya sebagai khalifah di bumi, sebagai pengemban tugas sejarahnya semasa hidup di dunia. Pendidikan Islam sesungguhnya adalah bagian yang sangat penting dari proses penyerapan tugas sejarah itu kepada setiap anak didik (generasi umat manusia) demi keberangsungan peradaban yang intinya mengemban fungsi kekhilafan. Tentulah dalam pola pedagogis yang berubahubah, sesuai dengan perubahan waktu dan lingkungan tempat generasi itu menemukan tantangan sejarahnya masing-masing. Pendidikan Agama Islam yang futuristik untuk pendidikan di sekolah adalah Pendidikan Agama Islam yang mengutamakan pendidikan keimanan (Tafsir 2006:206). Sejarah telah membuktikan bahwa pendidikan yang tidak atau kurang memperhatikan pendidikan keimanan akan menghasilkan lulusan yang lemah akhlaknya. Akhlak yang lemah sangat berbahaya bagi kehidupan bersama, dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan bersama, bahkan dapat menghancurkan bangsa, negara, dan dunia. Lulusan sekolah yang kurang kuat imannya akan sangat sulit menghadapi kehidupan pada zaman yang benar-benar global kelak.
Sebagai perwujudan manusia yang sanggup menghadapi tantangan, peluang dan kendala dalam memasuki kehidupan masa depan itu, pendidikan Islam memiliki peluang yang amat luas. Hal ini mudah dimengerti karena pendidikan Islam sebagaimana telah disebutkan di atas adalah pendidikan yang seimbang dalam mempersiapkan anak didik, yakni anak didik yang tidak hanya mampu mengembangkan kreativitas intelektual dan imajinasi secara mandiri, tetapi juga memiliki ketahanan mental spiritual serta mampu beradaptasi dan merespon problematika yang dihadapi sesuai kerangka dasar ajaran Islam. Atas dasar ini pula tidaklah mengherankan jika pada saat ini masyarakat lebih banyak menaruh minatnya untuk mendidik anak didiknya pada sekolah-sekolah yang memiliki keunggulan sesuai ajaran agama Islam. Para orang tua murid selain menginginkan anakanaknya menjadi orang yang berguna bagi dirinya, negara dan bangsanya, tetapi juga menjadi anak yang berakhlak baik dan berjiwa Islami. Agar sekolah-sekolah menjadi sekolah unggulan yang bernuansa Islam tetap bertahan dan mampu merespon kebutuhan masyarakat pada setiap zaman, sekolah harus memiliki strategi peningkatan kualitas dan cara pengukurannya yang efektif. Strategi tersebut pada dasarnya bertumpu pada kemampuan memperbaiki dan merumuskan visinya setiap zaman yang dituangkan dalam rumusan tujuan pendidikannya yang jelas. Tujuan tersebut selanjutnya dirumuskan dalam program pendidikan yang aplicable, metode dan pendekatan yang partisipatif, guru yang berkualitas, lingkungan pendidikan yang kondusif, serta sarana dan prasarana yang relevan dengan pencapaian tujuan pendidikan. Inti dari strategi tersebut bertolak dari pandangan terhadap pendidikan sebagai alat untuk membantu atau menolong masyarakat agar eksis secara fungsional di tengah-tengah masyarakat sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
149
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 144 - 150 Substansi bahan ajar pendidikan agama Islam yang berupa dasar-dasar agama Islam (wudlu, shalat, puasa, zakat, haji, perkawinan, dan lain-lain) cukup diajarkan saja secara manual. Di sisin lain, panduan manual tersebit diberi penjelasan tambahan/makna dan falsafah serta dalil (Rahim, 2001:41). Dengan cara manual ini anak diajak untuk memraktikkan/mengamalkan ajaran agama secara benar dan dibiasakan terus-menerus, bukan untuk dihafalkan. Berhasil tidaknya strategi tersebut dapat dilihat melalui berbagai indikator berikut ini. Pertama, secara akademik lulusan pendidikan tersebut dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kedua, secara moral, lulusan pendidikan tersebut dapat menunjukkan tanggung jawab dan kepeduliannya kepada masyarakat sekitarnya. Ketiga, secara individual, lulusan pendidikan tersebut semakin meningkat ketakwaannya, yaitu manusia yang melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Keempat, secara sosial, lulusan pendidikan tersebut dapat berinteraksi dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitarnya. Kelima, secara kultural, ia mampu menginterpretasikan ajaran agamanya sesuai dengan lingkungan sosialnya. Dengan kata lain, dimensi kognitif intelektual, afektif-emosional, dan psikomotor praktis kultural dapat terbina secara seimbang. Inilah ukuran yang dapat dibangun untuk melihat ketetapan strategi pendidikan yang diterapkan di masa depan. SIMPULAN Berdasarkan hasil dan bahasan, dapat ditarik beberapa simpulan. Pertama, prioritas kegiatan pendidikan yang berhubungan dengan pembelajaran saat sekarang ini adalah dalam kondisi kurang baik karena yang dilakukan belum maksimal pemaknaannya dan kadangkadang masih bersifat parsial. Kedua, sebagai
150
peluang peningkatan kualitas pendidikan melalui pembelajaran PAI di masa yang akan datang pemaknaannya adalah mengutamakan pendidikan keimanan, untuk menghasilkan lulusan yang baik akhlaknya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, strategi pembelajaran yang diberdayakan dalam mewarnai kualitas pendidikan di sekolah tidak hanya dilakukan dalam bentuk intra-kulikuler saja, tetapi secara maksimal dilakukan dengan ekstrakulikuler melalui berbagai bentuk dan cara. DAFTAR PUSTAKA Al-Syatibi. t.t. Al-Muwafaqot Fil Ushul AlAhkam, 3-4 Mesir Jilid I Dar Al-Rasyad al-Haditsah. Depag RI. 2002. Al-Qur‘an dan Terjemahannya QS Al Hujurat 13. D I T B I N P E RTA I S D e p a g R I . 1 9 8 1 . Metode Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama IAIN Syarif Hidayatullah. Jamal, Fadil. 1992. Menerobos Krisis Pendidikan Dunia Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Nasution, Harun. 1984. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek. Jakarta: Bulan Bintang. Rahim, Husni. 2001. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Cetakan I. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu. Rambey, Arbain AW. 1997. Yang Kukasihi di Sekitarku. Jakarta: Perguruan alAzhar. Shihab, Quraish. 1991. Agama antara Absolusitas dan Relativitas Ajaran. Jakarta: Bulan Bintang. Tafsir, Ahmad. 1995. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: PT Rosdakarya. Tafsir, Ahmad. 2006. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT Rosdakarya.
RELEVANSI PRAKTIK LABORATORIUM PENDIDIKAN ADMINISTRASI PERKANTORAN DENGAN JENIS PEKERJAAN MAHASISWA PKL Purwanto
Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta email: purwandaru34@yahoo.com Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui relevansi materi pembelajaran praktik laboratorium dengan jenis pekerjaan administrasi perkantoran. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Responden penelitian adalah seluruh peserta PKL mahasiswa Program Studi Pendidikan Administrasi Perkantoran yang berjumlah 106 orang, sedangkan untuk pembimbing berjumlah 30 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan penyebaran angket setelah uji validitas dan reliabilitas. Data dianalisis dengan teknik statistik deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan sebagai berikut: 1) terdapat relevansi materi praktik di laboratorium dengan jenis pekerjaan di lembaga mitra dengan kategori tinggi antara hasil analisis mahasiswa dan pembimbing sebesar 50,90% dan 53,30%; 2) pembelajaran praktik di laboratorium sudah sesuai dengan jenis pekerjaan di lembaga mitra dengan hasil tinggi antara analisis data mahasiswa dan pembimbing sebesar 48,10 dan 53,30%; 3) tingkat keterampilan mahasiswa dalam melakukan praktik sesuai dengan harapan lembaga mitra dengan hasil tinggi antara analisis data mahasiswa dan pembimbing sebesar 48,10% dan 53,30%; 4) sarana dan prasarana laboratorium pendidikan administrasi perkantoran sudah layak dalam membentuk kompetensi bidang administrasi bagi mahasiswa Prodi Pendidikan Administrasi Perkantoran dengan hasil tinggi sebesar 48,10%. Kata kunci: relevansi praktik laboratorium pendidikan, jenis pekerjaan, mahasiswa PKL
RELEVANCE OF LABORATORY PRACTICE AND FIELD JOB TYPES AT ADMINISTRATIVE OFFICE EDUCATION STUDENTS Abstract This study was aimed at finding out the relevance of the lab practicum instructional materials with jobs available in office administration. Using the descriptive research method, the study involved 106 students and 30 teachers of the practicum classes of the Office Administration Education Study Program. Data were collected by using questionnaires and were analyzed by using descriptive statistics. Research findings were as follows. 1) There was relevance in the instructional materials of the lab practicum with the kinds of jobs in the fields on a high category from students and teachers of 50.90% and 53.30% respectively. 2) The lab practicum activities matched with the expectations of the jobs in the fields on a high category from students and teachers of 48.10% and 53.30%. 3) Students’ levels of performances matched with the expectations of the fields from students and teachers of 48.10% and 53.30%. 4) Equipment and facilities for the lab of the Administration Education Study Program were adequate for the learning processes with a high category of 48.10%. Keywords: instructional relevance, office administration, job kinds, lab practicum
151
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 151 - 161 PENDAHULUAN Proses pendidikan tenaga kependidikan bidang teknologi dan kejuruan, kelompok bisnis dan manajemen, yang didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai dapat menghas ilkan lulus an tenaga kependidikan yang kompeten dan profesional. Kompetensi adalah keterampilan yang diperlukan oleh seseorang yang ditunjukkan oleh kemampuannya dengan konsisten memberikan tingkat kinerja yang memadai atau tinggi dalam fungsi pekerjaan spesifik. Safei (2009) menyatakan bahwa kompetensi harus dibedakan dengan kompeten, walaupun istilah ini sering dipertukarkan dalam penggunaannya. Kompetensi dapat dilihat dari dua pendekatan, yakni pendekatan input (upaya awal untuk menentukan kualitas dari seseorang manajer yang efektif) didasarkan pada sejumlah sifat kepribadian manajerial dan keterampilan yang ideal serta pendekatan output, (pendekatan ini fokus pada keterampilan yang dibutuhkan untuk mengerjakan suatu pekerjaan, keterampilanketerampilan ini merupakan kompetensi yang mencerminkan kemampuan potensial untuk melakukan sesuatu. Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa kompeten menunjukkan pada kualitas seseorang (manajer) yang efektif didasarkan pada sejumlah sifat kepribadian manajerial dan keterampilan yang ideal, sedangkan kompetensi lebih mengarah kepada pelaksanaan suatu proses menuju ke arah seseorang menjadi lebih kompeten dalam bidang pekerjaannya. Kompetensi juga mengarah kepada sejumlah potensipotensi yang dimiliki oleh seseorang dalam praktik dapat dilihat pada saat menyelesaikan kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan setiap hari dalam dunia kerja. Belakangan ini kompeten dan kompetensi adalah dua kata yang semakin sering diucapkan dalam lingkup bisnis maupun organisasi. Oleh karena itu, makna hakiki kedua kata itu pun cenderung disederhanakan. Kompeten dan
152
kompetensi dianggap sama dengan keahlian atau kemampuan. Orang yang ahli di bidang bangunan dianggap sertamerta memiliki kompetensi di bidang teknik bangunan. Hal ini terjadi karena mereka berangkat dari pengalaman dan kebiasaan yang berulangulang dilakukan sehingga mereka mempunyai kemampuan dalam bidang pekerjaannya. Padahal, dilihat dari sudut kewenangannya tidak demikian. Sementara itu, kompetensi tidak bisa berdiri sendiri hanya sebatas berangkat dari pengalaman dan kebiasaan yang berulang-ulang dilakukan. Kompetensi, di samping memiliki seperti ciri-ciri di atas, berhubungan erat dengan tugas, kewenangan, dan profesi yang dijalankan seseorang dalam menjalankan pekerjaan. Memang kompetensi individu tidak bisa dilepaskan dari kompetensi inti (core competence) dalam suatu perusahaan. Seseorang yang sejatinya kompeten di bidangnya, mungkin dianggap tidak kompeten bila bekerja di perusahaan atau tempat lain dengan kompetensi inti yang berbeda. Bagaimana profil kompetensi lulusan Program Studi Pendidikan Administrasi Perkantoran (PSPAP) yang diharapkan? Profil kompetensi tenaga kependidikan teknologi dan kejuruan untuk menghadapi era global, berdasarkan Spektrum yang diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan SMK Tahun 2007, dinyatakan bahwa kompetensi lulusan SMK ditandai oleh menguasai konsep dan metodologi ilmu teknologi dan kejuruan, mampu mengidentifikasi perubahan dan mampu mencarikan pemecahannya, mampu berperan dalam tim kerja multidisiplin, mampu berkomunikasi secara efektif, mampu menggunakan teknik-teknik, keterampilan, dan peralatan teknik modern yang diperlukan untuk praktik, memahami dampak penyelesaian teknik dalam konteks sosial global, serta memahami tanggung jawab dan etika profesi. Sehubungan dengan hal tersebut Stulz (2009:18) menyatakan bahwa seorang
Purwanto: Relevansi Praktik Laboratorium Pendidikan Administrasi Perkantoran...
administratif profesional membutuhkan beberapa keterampilan, seperti communication (listening, reading, verbal presentation, and writing), interpersonal relations, time management, critical thinking, decision making, creative thinking, teamwork, technology, and leadership stress management. Profil kompetensi lulusan Program Studi Pendidikan Administrasi Perkantoran (PSPAP) mestinya konsisten dengan spektrum bidang dan program keahlian sekolah menengah kejuruan yang ditetapkan oleh Direktorat Pembinaan SMK, Ditjen Mandikdasmen Tahun 2007, yang berisi tentang deskripsi cakupan pekerjaan yang ditangani oleh tamatan SMK Kelompok Bisnis dan Manajemen Program Keahlian Administrasi Perkantoran seperti yang telah disebutkan di atas. Alasannya, karena lulusan Prodi Pendidikan Administrasi Perkantoran kelak menjadi guru SMK Kelompok Bisnis dan Manajemen Bidang Kompetensi Administrasi Perkantoran. Pekerjaan yang ditangani/dilakukan oleh tamatan SMK tersebut mencakup bidang administrasi perkantoran meliputi: “1) penataan pengelolaan arsip, 2) penataan pengelolaan surat/ dokumen, 3) penanganan telepon (phone handling), 4) penanganan
tamu (front liner), 5) pengetikan naskah/ dokumen, 6) membantu mempersiapkan pertemuan rapat, 7) membantu penanganan kas kecil, 8) penyebaran informasi umum, 9) data entry� Kegiatan pembelajaran dalam membentuk kompetensi lulusan PSPAP dicerminkan dengan penguasaan materi praktik pekerjaan perkantoran. Selanjutnya diperkuat melalui Praktik Kerja lapangan (PKL). Proses pembelajaran ini jika diilustrasi dapat dilihat pada Gambar 1. Proses pembelajaran bidang vokasi harus mengintegrasikan berbagai komponen dalam suatu sistem instruksional, mengacu pada pengintegrasian seluruh komponen sebagai seperangkat yang saling bergantung satu sama lain untuk mencapai tujuan, Djamarah, dkk. (1994: 10) menyatakan: agar tujuan dapat tercapai semua komponen yang ada harus diorganisasikan sehingga antar komponen saling terintegrasi. Saat terjadinya proses pembelajaran guru tidak boleh hanya memperhatikan salah satu komponen tertentu saja misalnya tujuan, peserta didik, situasi, metode, bahan, atau evaluasi saja, tetapi guru harus memperhatikan semua komponen secara keseluruhan.
Gambar 1. Proses Pembelajaran Kompetensi Administrasi Perkantoran.
153
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 151 - 161 Interaksi antar komponen, meliputi: tujuan, peserta didik, bahan, metode, evaluasi dan situasi tersebut merupakan komponen yang saling berkaitan dalam keseluruhan proses belajar mengajar. Interaksi ini dapat dilihat pada Gambar 2. Pembentukan kompetensi dibutuhkan sarana dan prasarana pendidikan praktik berupa laboratorium, workshop studio. Pembelajaran teknologi dan kejuruan menuntut setiap peserta didik memiliki pemahaman, wawasan, dan keterampilan yang luas dalam bidangnya. Proses pembelajaran laboratorium bidang vokasi harus didukung ketersediaan laboratorium yang fungsional dan memadai. Sebab tanpa didukung laboratorium yang baik, maka output dari pendidikan ini tidak akan memperoleh pengalaman di bidangnya, sehingga produk yang dihasilkan LPTK semu dan menjadi beban masyarakat/user. Untuk melakukan kegiatan itu perlu diwujudkan tempat simulasi terhadap fenomena-fenomena yang sedang diamati. Sehubungan dengan itu Matson, 2007: 84) menyatakan, “A laboratory is a facility and provides controlled conditions in which scientific research, experiments, and measurement may be performed the title of laboratory is also used for certain other facilities where the processes or equipment used are similar to those in scientific laboratories�
Upaya mengoptimalkan pembelajaran di laboratorium perlu mempersiapkan tenaga pendidik/guru yang memahami beberapa karakteristik alat yang digunakan, sehingga dapat mengoptimalkan proses pembelajarannya. Ada beberapa hal yang dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran vokasi. Leighbody, (1968: 2122), menyatakan: It will be observed that the preparation step consists of two part. The first deals with the preparation by the teacher for teaching the lesson. This does not mean merely that the teacher refreshes himself matter of lesson, although he should always do this. In additions: 1) Deciding how each part of the lesson will be carried out (methods), 2) Deciding upon all teaching materials needed, 3) Securing or preparing teaching facilities and materials and arranging for they use at the right time as the lesson develops. Secara umum tujuan pembelajaran praktik laboratorium adalah menyelenggarakan pendidikan praktik untuk menghasilkan tenaga kependidikan bidang administrasi perkantoran yang unggul dan relevan dengan kebutuhan pasar, melakukan inovasi dalam bidang pekerjaan perkantoran, komunikasi,
Gambar 2. Komponen-komponen dalam Pembelajaran
154
Purwanto: Relevansi Praktik Laboratorium Pendidikan Administrasi Perkantoran...
dan etika kerja. Menyelenggarakan vocational guidance, dalam upaya untuk membantu individu memilih dan mempersiapkan suatu pekerjaan. Menyediakan fasilitas penelitian bagi yang berminat untuk pengembangan ilmu dan teknologi, menyiapkan sarana dan prasarana bidang teknologi kejuruan administrasi perkantoran dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat, berperan aktif dalam bidang uji kompetensi SMK Kelompok Bisnis dan Manajeman, serta melakukan kerja sama dan kemitraan dengan lembaga pendidikan lain dan dunia usaha/industri bidang pengembangan teknologi kejuruan (Direktorat Pembinaan PSMK, 2007). Adapun tujuan pembelajaran pendidikan vokasi menekankan pada tiga karakter penting, yakni menekankan pada ranah psikomotorik, mengikuti perkembangan teknologi, dan berorientasi pada bidang pekerjaan (Sonhadji, 2002:5). Pengajaran mata pelajaran keterampilan pendukung kerja seperti pengajaran komputer, mengetik, kearsipan, teknik pergudangan, teknik kelistrikan, teknik mesin, serta teknik-teknik yang lain memiliki karakter tersendiri yaitu menekankan pada ranah psikomotorik. Selanjutnya, dalam proses pembelajaran totalitas ketiga ranah dalam pembelajaran keterampilan (pembelajaran teknik) saling terkait satu dengan yang lain, ketiganya t e r i n t e g r a s i u n t u k m e n c a p a i tujuan pembelajaran keterampilan, yaitu kognitif, psikomotorik, dan afektif. Hal ini ditegaskan oleh Paul Harmon, Finch dan Crukilton (Sonhadji, 2002: 6) mengatakan: Mengasosiasikan ranah psikomotorik ini dengan tujuan kinerja fisik (physical performance objectives). Tujuan kinerja fisik tersebut meliputi (1) membuat identifikasi fisik, (2) melakukan tindakan fisik sederhana, (3) melakukan tindakan fisik kompleks, (4) melakukan tindakan keterampilan fisik, (5) melakukan tindakan keterampilan yang tepat untuk memecahkan masalah,
dan (6) menentukan kualitas produk fisik yang layak. Sementara itu, ranah kognitif diasosiasikan dengan tujuan kinerja verbal (verbal performance objectives), dan ranah psikomotorik diasosiasikan dengan tujuan kinerja sikap (attitudional performance objectives). Teknologi menghasilkan prosedurprosedur untuk membangun dan menciptakan sesuatu, misalnya dalam bentuk prototipeprototipe, model-model produk, dan pirantipiranti baru. Konsekuensinya begitu teknologi berkembang pesat dan menjadi semakin kompleks, para ahli teknik dan teknisi harus lebih banyak menyesuaikan dan banyak berlatih. Tuntutan ini harus direfleksi dalam program-program pendidikan, pembelajaran dan program pelatihan. Refleksi dimaksudkan untuk menghasilkan dan menciptakan tenagatenaga yang terampil, siap kerja, dan untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja. Colhoun dan Finch (Ahmad Sonhadji, 2002:6) menyatakan bahwa program instruksional untuk bidang ini perlu dikembangkan secara fleksibel untuk merespons perubahan-perubahan akibat dari perkembangan teknologi. Oleh karena itu, program-program pendidikan teknik diselenggarakan pada lembaga pendidikan tinggi di samping pada sekolah-sekolah menengah kejuruan. Pendidikan teknik merupakan pendidikan yang erat hubungannya dengan pekerjaan. Maka McMahon (Sonhadji, 2002:7) menyatakan: Preparation for technical occupation requires on understanding of, and ability to apply, those levels of mathematics and science appropriate to occupation. And in those occupations that can be properly defined as technical, the mathematic and science required is more advanced than that required for a middle-type craft or skilled-trades occupation.
155
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 151 - 161 Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam proses pembelajaran di laboratorium, guru harus menyiapkan langkah-langkah pembelajarannya secara baik, memahami karakteristik peralatan dan bahan atau material praktik, serta selalu berpegang pada tahap-tahap pembelajaran serta sistemik dan terprogram. Permasalahan yang dihadapi PSPAP FIS UNY yang menyebabkan lulusannya belum sesuai dengan keinginan pengguna (user) adalah kurikulumnya bersifat kaku, keterbatasan sarana dan prasarana laboratorium yang tidak segera terbarui, semakin tingginya tuntutan pasar kerja, kehadiran teknologi informasi yang sangat cepat, tingkat kesiapan lulusan masih rendah, keragu-raguan mahasiswa dalam menghadapi tugas/pekerjaan masih tinggi, dan kompleksitas pekerjaan pada dunia kerja, serta rendahnya keterampilan yang dimiliki mahasiswa dalam menyelesaikan
tugas. Selanjutnya, Suhartanta, dkk. (2011) menyatakan bahwa kualitas pendidikan di SMK diukur dari kualitas dan relevansi lulusannya dengan kebutuhan di lapangan�. Sehubungan dengan fakta tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengaji bagaimana relevansi praktik laboratorium pendidikan administrasi perkantoran dengan jenis pekerjaan di Kantor Regional I Badan Kepegawaian Negara Yogyakarta. Adapun kerangka pikirnya digambarkan pada Gambar 3. Berdasarkan kerangka pikir tersebut, dapatlah dilacak masalah penelitiannya sebagai berikut. Pertama, bagaimana relevansi antara materi praktik dan jenis pekerjaan bidang administrasi perkantoran dengan materi pekerjaan di lembaga mitra. Kedua, apakah proses pembelajaran praktik di laboratorium sudah dapat diterapkan di lembaga mitra? Ketiga, apakah tingkat keterampilan mahasiswa dalam melakukan
Gambar 3. Bagan Alur Kerangka Pikir
156
Purwanto: Relevansi Praktik Laboratorium Pendidikan Administrasi Perkantoran...
praktik kerja sudah memenuhi harapan lembaga mitra. Kelima, apakah sarana dan prasarana laboratorium PSPAP sudah layak dalam membentuk kompetensi administrasi perkantoran. METODE Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Tujuannya adalah untuk menggali fakta tentang bagaimana relevansi pembelajaran di laboratorium dan peranan praktik kerja lapangan dalam membentuk kompetensi administrasi perkantoran. Untuk mengetahui tingkat relevansi materi kuliah praktik laboratorium PSPAP dalam membentuk kompetensi bidang administrasi perkantoran menggunakan pendekatan statistik Program SPSS for Windows versi 12.0. Data dideskripsikan berdasarkan perhitungan hasil analisis kuesioner dan dokumentasi di lapangan. Penelitian ini adalah penelitian populasi karena seluruh mahasiswa strata 1 (S1) PSPAP FIS UNY peserta mata kuliah PKL perkantoran sebanyak 106 mahasiswa dijadikan subjek penelitian. Penentuan sampel instruktur atau dosen pembimbing dari Kanreg I BKN Yogyakarta menggunakan teknik purposive sampling sebanyak 30 orang. Artinya, melalui pertimbangan tertentu penelitian ini melibatkan sejumlah sumber sebagai pembimbing praktik di lapangan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah angket dengan memberikan pertanyaan terbuka kepada responden (praktikan dan dosen pembimbing). Teknik ini digunakan untuk mengungkap data tentang hal-hal yang terkait dengan materi kuliah, relevansi jenis tugas/pekerjaan, keterampilan kerja selama PKL, dan sarana/ prasarana yang ada di laboratorium PSPAP; teknik observasi, yakni dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan. Observasi ini dimaksudkan untuk memperoleh data pelengkap dan untuk mengamati secara
langsung bagaimana cara kerja praktikan/ mahasiswa PKL, serta mengamati sejumlah peralatan kerja yang dimiliki oleh kantor tempat pelaksanaan PKL; teknik dokumen, yakni untuk memeroleh data penunjang penelitian yang terkait dengan permasalahanpermasalahan penelitian. Data yang diambil berkisar tentang Kantor Regional BKN Yogyakarta. Informasi lainnya seperti jenis dan macam-macam pekerjaan yang dipraktikkan serta rekomendasi dari dosen pembimbing. Masalah penelitian meliputi relevansi materi praktik di laboratorium PSPAP dengan jenis pekerjaan di lembaga mitra dalam membentuk kompetensi bidang administrasi perkantoran; materi praktik di laboratorium PSPAP apakah sudah sesuai dengan jenis pekerjaan di lembaga mitra; tingkat keterampilan dalam melakukan praktik apakah sudah memenuhi harapan lembaga mitra; dan kelayakan sarana dan prasarana laboratorium yang dimiliki PSPAP. Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kuantitatif dan disajikan dalam bentuk persentase. Hasil PENELITIAN dan PEMBahasan Untuk membahas hasil penelitian ini disajikan deskripsi data masing-masing variabel berdasarkan data yang diperoleh di lapangan. Pada analisis data disajikan informasi meliputi mean, median, mode, dan standar deviasi masing-masing variabel penelitian. Di samping itu juga disajikan distribusi frekuensi masing-masing variabel penelitian. Deskripsi data masing-masing variabel secara rinci dapat dilihat dalam Tabel 1. Hasil analisis pertanyaan penelitian pertama menunjukkan bahwa terdapat relevansi antara materi praktik di laboratorium pendidikan administrasi perkantoran dengan jenis pekerjaan yang ada di lembaga mitra sinergis. Hasil analisis data mahasiswa dengan analisis data dari dosen pembimbing masuk dalam kategori tinggi. Perhitungan
157
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 151 - 161 statistik masing-masing dikategorikan ke dalam tiga kelas sebagai berikut: pertama untuk mahasiswa rendah = 20,80, sedang = 28,30, dan tinggi = 50,90; kedua untuk pembimbing rendah = 16,70, sedang = 30,00, dan tinggi = 53,30 (Lihat Tabel 1). Hasil analisis statistik sebesar (50,90%) untuk mahasiswa dan (53,30%) untuk pembimbing, secara umum lebih besar dari kriteria statistik > (Mi+1SDi) = >39,00 untuk mahasiswa dan >20,33 untuk pembimbing. Keberhasilan ini tentunya juga didukung oleh keberhasilan PSPAP dalam penyusunan kurikulum. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Oemar Hamalik (2008: 13) bahwa fungsi kurikulum adalah fungsi integrasi (The Integrating Function) serta didukung dengan keberhasilan dalam pengelolaan laboratorium sehingga mampu Tabel 1. Hasil Analisis Data Penelitian
158
mengoptimalkan pelaksanaan materi praktik. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Sonhadji (2002:15) bahwa manajemen laboratorium adalah proses pendayagunaan sumber daya secara efisien untuk mencapai tujuan laboratorium yaitu sebagai tempat latihan dan menghasilkan temuan-temuan. Manajemen laboratorium difokuskan pada enam hal, yakni perencanaan tata ruang (layout), pengendalian peralatan dan bahan, kondisi lingkungan kerja, keselamatan kerja, pemeliharaan, perbaikan, dan penggantian fasilitas. Hasil analisis pertanyaan penelitian kedua menunjukkan bahwa materi praktik di laboratorium PSPAP sesuai dengan jenis pekerjaan di lembaga mitra. Hasil analisis mahasiswa dengan pembimbing menunjukkan hasil tinggi, yaitu sebesar (48,10%) untuk mahasiswa dan sebesar (53,30%) untuk
Purwanto: Relevansi Praktik Laboratorium Pendidikan Administrasi Perkantoran...
pembimbing. Hal ini lebih besar dari hasil analisis statistik >15,00% dan >19,33. Perhitungan dapat dikategorikan ke dalam tiga kelas, yakni untuk mahasiswa rendah = 18,90; sedang = 33,00; dan tinggi = 48,10, sedangkan perhitungan untuk pembimbing rendah = 23,30, sedang = 23,30, tinggi = 53,30 (Lihat Tabel 1). Hasil analisis statistik untuk mahasiswa sebesar (48,10%) dan (53,30%) untuk pembimbing. Secara umum hal ini lebih besar dari kriteria statistik > (Mi+1SDi) = >15,00 untuk mahasiswa dan >24,33 untuk pembimbing (Tabel 1). Proses pembelajaran materi praktik di laboratorium PSPAP sudah sesuai dengan jenis pekerjaan di lembaga mitra dan didukung oleh kesiapan dosen pengampu dalam menyiapkan perangkat pembelajarannya. Kesiapan ini dapat ditunjukkan dengan tersedianya media dan peralatan praktik dalam jumlah yang cukup dan terbaharui serta dilengkapi dengan jobsheet pada setiap pokok bahasan praktik dan tahapan-tahapan pembelajarannya. Hasil analisis pertanyaan penelitian ketiga menunjukkan bahwa terdapat relevansi antara tingkat keterampilan mahasiswa dengan praktik kerja di lembaga mitra. Hal ini ditunjukkan dengan hasil tinggi antara analisis data mahasiswa dengan analisis data dari pembimbing. Mahasiswa menjawab paling banyak sebesar 48,10% dan pembimbing sebesar 53,3%. Berdasarkan perhitungan di atas dapat dikategorikan ke dalam tiga kelas, yakni pertama untuk mahasiswa rendah = 19,80, sedang = 32,10, dan tinggi = 48.10; kedua untuk pembimbing rendah = 23,30, sedang 26,70, dan tinggi 53,30 (Lihat Tabel 1). Hasil analisis statistik sebesar (48,10%) untuk mahasiswa dan (53,30%) untuk pembimbing yang secara umum lebih besar dari kriteria statistik > (Mi+1SDi) = >15,00 untuk mahasiswa dan >19,33 untuk pembimbing. Hasil tersebut mendukung pendapat yang dikemukakan Oemar Hamalik (2008:
12-13) bahwa kurikulum berperan dalam berbagai kegiatan kreatif dan konstruktif. Artinya, suatu kegiatan yang menekankan pada proses untuk menciptakan dan menyusun suatu hal yang baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat di masa sekarang dan masa mendatang. Untuk membantu setiap individu dalam mengembangkan potensi dalam rangka mengembangkan pengalaman dan cara berpikir, kemampuan dan keterampilan yang baru, serta yang memberikan manfaat bagi masyarakat. Di sisi lain Stulz (2009: 11-12) menyatakan bahwa seorang administratif profesional membutuhkan beberapa keterampilan, seperti communication (listening, reading, verbal presentation, and writing), interpersonal relations, time management, critical thinking, decision making, creative thinking, teamwork, technology, leadership, stress management� Hasil analisis pertanyaan penelitian keempat menunjukkan bahwa sarana dan prasarana di laboratorium yang dimiliki program studi sudah layak. Hal ini ditunjukkan dengan hasil analisis mahasiswa yang masuk ke dalam kategori tinggi sebesar 48,10%. Perhitungan di atas dapat dikategorikan dalam tiga kelas, yakni rendah = 19,80%, sedang = 32,10%, dan tinggi = 48,10% (Lihat Tabel 1). Hasil analisis statistik sebesar 48,10% secara umum lebih besar dari kriteria statistik > (Mi+1SDi) = >19,00. Laboratorium dapat didefinisikan sebagai suatu tempat dilakukannya percobaan dan penelitian. Matson (2007: 84) menyatakan bahwa “A laboratory is a facility and provides controlled conditions in which scientific research, experiments, and measurement may be performed The title of laboratory is also used for certain other facilities where the processes or equipment used are similar to those in scientific laboratories�. Seperti halnya dengan kegiatan-kegiatan lain, kegiatan laboratorium yang melibatkan banyak orang dan peralatan kegiatan di dalamnya diperlukan pengorganisasian dan
159
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 151 - 161 pengelolaan yang baik. Hal ini dimaksudkan agar kegiatan-kegiatan proses pembelajaran dapat berjalan dan berhasil seperti fungsi dan tujuannya. Pembelajaran di laboratorium pada hakekatnya merupakan suatu tipe pembelajaran yang teratur atau tipe pembelajaran pengalaman terstruktur (structured experiential learning). Dengan kata lain, dalam bidang pendidikan dan pengajaran laboratorium di perguruan tinggi berfungsi untuk memberikan keterampilan dan pengalaman spesifik sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan. Secara umum jika hasil penelitian ini ditarik benang merahnya senada dengan hasil penelitian yang dilakukan Suhartanta, dkk. (2011) yang menyatakan bahwa “model networking yang dikembangkan melalui penelitian dimaksudkan untuk menemukan pendekatan yang efektif dan efisien dalam menjaring informasi stakeholder. Hal ini sangat penting agar SMK mampu mengembangkan kualitas dan relevansi terhadap kebutuhan lapangan kerja. SIMPULAN Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil analisis yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut. Pertama, relevansi antara materi praktik di laboratorium Program Studi Pendidikan Administrasi Perkantoran dan jenis pekerjaan yang ada di lembaga mitra. Ditunjukkan dengan hasil tinggi antara analisis data mahasiswa dengan analisis data dari Pembimbing/Instruktur masuk dalam kategori tinggi. Hasil ini ditunjukkan mahasiswa dengan menjawab sebesar 50,90% dan pembimbing/instruktur sebesar 53,30%. Kedua, materi praktik di laboratorium Administrasi Perkantoran FIS UNY sudah sesuai dengan jenis pekerjaan atau dapat diterapkan di lembaga mitra. Hal ini ditunjukkan dengan hasil analisisnya tinggi antara hasil analisis data mahasiswa dengan analisis data dari Pembimbing/ Instruktur, yakni dengan menjawab sebesar
160
48,10% dan Pembimbng/Instruktur menjawab sebesar 53,30%. Ketiga, terdapat relevansi antara tingkat keterampilan mahasiswa dalam memenuhi harapan lembaga mitra. Hal ini ditunjukkan dengan hasil tinggi antara analisis data mahasiswa dengan analisis data dari Pembimbing/Instruktur dengan kecenderungan mahasiswa menjawab sebesar 48,10% dan kecenderungan Pembimbing/ Instruktur menjawab sebesar 53,30%. Keempat, sarana dan prasarana laboratorium Pendidikan Administrasi Perkantoran sudah layak dalam membentuk kompetensi bidang administrasi bagi mahasiswa Program Studi Pendidikan Administrasi Perkantoran FIS UNY yang ditunjukkan dengan hasil tinggi. Hasil ini ditunjukkan mahasiswa dengan menjawab sebesar 48,10%. Namun, masih perlu diwaspadai bahwa berdasarkan hasil penelitian, tingkat keterampilan kerja mahasiswa masih rendah, yakni berkisar antara 20% s.d. 22%. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah ini disarankan Prodi Pendidikan Administrasi Perkantoran lebih meningkatkan kerjasama dengan lembaga mitra. Peningkatan kerja sama dapat dilakukan dengan memantapkan penyusunan silabus dan rencana pelaksanaan pengajaran berorientasi pada kebutuhan stakeholders, mengundang praktisi/pembimbing PKL untuk memberikan kuliah praktik di laboratorium; perlu ditingkatkannya pembelajaran praktik dengan mengoptimalkan penggunaan worksheet dan jobsheet yang telah sesuai dengan langkah dan prosedur kerja yang ada di Du/Di; disarankan kepada universitas khususnya bidang pendidikan dan pengajaran untuk melakukan resceduling waktu kuliah praktik. Kuliah praktik selama ini jam tatap muka per SKS sama dengan mata kuliah teori; memrogramkan pengiriman dosen mengikuti pelatihan vokasional; dan memrogramkan pengiriman dosen mengikuti magang di perusahaan dalam upaya memperoleh pengalaman praktis.
Purwanto: Relevansi Praktik Laboratorium Pendidikan Administrasi Perkantoran...
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Pembinaan SMK. 2007. Spektrum Bidang dan Program Keahlian Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta: Direktorat Pembinaan SMK. Djamarah, Saiful Bahri dan Zain, Aswin. 1994. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Hamalik, Oemar. 2008. Pendidikan Guru, Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: Bumi Aksara Leighbody, Gerald B. 1968. Method of Teaching Shop and Technical Subjects, Albany, New York: Delmar Publisers. Matson, Michael L., Fitzgerald, Jeffrey P., S h i r l e y, L i n . 2 0 0 7 . “ C r e a t i n g Customized, Relevant, and Engaging Laboratory Safety Videos”. Journal of Chemical Education Safety. 84 (10).
Safei, Buyung Ahmad. 2009. “Kompeten dan Kompetensi”. http://deroe.wordpress. com/2007/ 10/05/. Diunduh pada tanggal 9 November 2009. Sonhadji, Ahmad. 2002, “Laboratorium sebagai Basis Pendidikan Teknik di Perguruan Tinggi”. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Malang: UNM. Stulz, M.A.E., Karin, M. 2009. Procedures & Theory For Administrative Proffesionals, 6 th edition. Mason, Ohio: Cengage Learning. Suhartanta, Sukoco, dan Arifin, Zainal. 2011. “Model Networking Sekolah sebagai Basis Peningkatan Kualitas Pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan”. Jurnal Kependidikan, Volume 41(1), Mei 2011.
161
IDENTIFIKASI KESULITAN PESERTA DIDIK DALAM BELAJAR MATEMATIKA DAN SAINS DI SEKOLAH DASAR Heri Retnawati, Badrun Kartowagiran, Samsul Hadi, dan Kana Hidayati Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta email: retnowati_heriuny@yahoo.co.id
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kesulitan peserta didik dalam pembelajaran matematika dan sains berdasarkan daya serap dan tingkat kesulitan butir tes. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif eksploratif. Data utama yang digunakan adalah respons peserta didik terhadap tes INAP 2007 untuk mata pelajaran matematika dan sains di kelas 5 SD. Tes ini merupakan dokumentasi Puspendik Balitbang Kementrian Pendidikan Nasional untuk wilayah Yogyakarta. Data dianalisis melalui pendekatan deskriptif kuantitatif dengan menggunakan daya serap (proporsi menjawab benar) pada pendekatan teori tes klasik dan tingkat kesulitan model Rasch pada pendekatan teori respons butir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kesulitan peserta didik dalam pembelajaran matematika berdasarkan daya serap meliputi 88,57% dari keseluruhan materi yang seharusnya dikuasai peserta didik; (2) materi untuk mata pelajaran matematika yang dianggap sulit yang dianalisis melalui pendekatan teori respons butir adalah perbandingan dan skala; jarak, waktu, dan kecepatan; operasi hitung campuran; serta luas bangun datar; (3) kesulitan peserta didik dalam pembelajaran sains berdasarkan daya serap meliputi 80% dari keseluruhan materi yang seharusnya dikuasai peserta didik; (4) materi untuk mata pelajaran sains yang dianggap sulit yang diketahui melalui pendekatan teori respons butir adalah proses fotosintesis tumbuhan air, magnet, katrol, perubahan wujud, sistem aliran darah, adaptasi, lapisan bumi, dan tanda gunung berapi meletus. Kata kunci: kesulitan peserta didik, daya serap, tingkat kesulitan butir tes
IDENTIFICTION OF STUDENT’S LEARNING DIFFICULTIES ON MATHEMATICS AND SCIENCE AT ELEMENTARY SCHOOL Abstract This study is aimed at identifying learners’ difficulties in the mathematics and science classes based on absorption levels and test-item difficulties. Using the descriptive explorative research method, the main data were collected through students’ responses to the 2007 INAP test of the mathematics and science subject for the fifth grade of the elementary school. The test was a document from the Research and Development Body of the Ministry of Education for Yogyakarta area. Data were analysed using proportion of correct answers to the test and Rasch model for item response theory. Research findings show the following results. (1) Based on the absorption level, students’ difficulties in mathematics cover 88.57% of all the instructional materials that are expected to be mastered. (2) Based on the item response analyses, difficult materials are ratios and scales; distance, time, and speed; mix math operations; and flat shape width. (3) Students’ difficulties in physics cover 80% of all the instructional materials that are expected to be mastered. (4) Difficult materials in physics are photosynthetic processes of water plants, magnets, crane, shape changes, blood circulation system, adaptation, earth layers, and signs of erupting volcanoes. Keywords: learners’ difficulty, absorption level, test-item difficulty level
162
Heri Retnawati, Badrun K, Samsul Hadi, dan Kana Hidayati: Identifikasi Kesulitan...
PENDAHULUAN Evaluasi ataupun survei pendidikan di Indonesia merupakan hal yang menarik untuk dicermati. Hasil survei internasional, misalnya Trend International in Mathematics and Science Study (TIMSS), menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara lain. Pada TIMSS 1999, dari 38 negara yang diteliti prestasi peserta didik SLTP Indonesia menduduki ranking ke-34 yang berada di atas Cili, Maroko, Filipina, dan Afrika Selatan. Pada TIMSS 2003, prestasi peserta didik Indonesia berada pada ranking ke-35 dari 46 negara peserta yang melibatkan lebih dari 200.000 peserta didik. Demikian pula pada TIMSS 2007, hasilnya belum terlalu menggembirakan. Padahal TIMSS merupakan survei yang telah diakui oleh masyarakat dunia untuk mengetahui kompetensi matematika dan sains di antara para pelajar dari berbagai negara. Selain itu, TIMSS diakui representatif untuk mengetahui kompetensi peserta didik karena setiap negara peserta diwakili oleh ribuan pelajar, untuk mengukur kualitas pendidikan antar-negara. Pelajar-pelajar ini berasal dari berbagai sekolah dan berbagai provinsi yang ada di suatu negara di berbagai belahan dunia. Data empiris tersebut menjelaskan bahwa kemampuan peserta didik Indonesia dalam bidang matematika dan sains masih sangat rendah. Sebagian besar memberikan penjelasan bahwa penyebab rendahnya kemampuan peserta didik ini disebabkan oleh kegagalan di dalam pembelajaran di sekolah. Di sisi lain, kegagalan ini sebagai gambaran umum akan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Hasil survei TIMSS ini ditanggapi prihatin oleh berbagai pihak. Padahal secara teori, matematika dan sains merupakan pengetahuan dan ilmu yang sangat penting bagi manusia untuk menjalani hidup dan kehidupan. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa keduanya dianggap sebagai
mata pelajaran yang dianggap sulit. Anggapan ini berbanding lurus dengan indikator rendahnya prestasi belajar peserta didik dalam matematika dan sains yang ditunjukkan oleh hasil survei internasional. Permasalahan ini akan menjadi lebih kompleks jika dikaitkan dengan variabel lain dalam pembelajaran matematika dan sains. Salah satu variabel di antaranya adalah sistem evaluasi yang mencakup karakteristik butir dan sistem administrasi tes. Terdapat dua sistem utama evaluasi secara nasional yang ada di Indonesia, yakni UN (Ujian Nasional) dan INAP (Indonesian National Assement Programme). INAP merupakan program pemerintah untuk mengetahui kualitas pendidikan di Indonesia. Data yang tersedia terkait dengan program ini meliputi data tentang guru, peserta didik, dan sekolah. Hasil survei INAP pada data peserta didik diperoleh hasil tes (skor mentah) peserta didik untuk mengukur kemampuan matematika, bahasa Indonesia, sains, dan IPS di SD. Dengan menggunakan data ini, materi-materi yang dianggap sulit atau materi yang memiliki daya serap rendah dan tingkat kesulitan yang tinggi berdasarkan teori respons butir dapat diketahui. Berdasarkan hasil analisis ini kesulitan peserta didik dalam menguasai konsep matematika dan sains dapat diketahui. Terkait dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, data-data INAP terkait dengan peserta didik dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi kesulitan peserta didik dalam belajar matematika dan sains. Hasil identifikasi ini dapat dimanfaatkan sebagai saran dan masukan dalam pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru di sekolah. Berdasarkan fenomena di atas, diperlukan penelitian tentang identifkasi kesulitan peserta didik dalam belajar matematika dan sains, khususnya di jenjang SD (studi menggunakan respons peserta
163
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 162 - 174 didik terhadap tes inap 2007) dalam rangka memanfaatkan hasil asesmen nasional untuk perbaikan pembelajaran. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi kesulitan peserta didik dalam pembelajaran matematika dan sains berdasarkan daya serap tingkat kesulitan butir tes. Secara teori, evaluasi dalam pendidikan dilaksanakan untuk memperoleh informasi tentang aspek yang berkaitan dengan pendidikan. Menurut Gronlund (1976), evaluasi dalam pendidikan memiliki tujuan untuk memberikan klarifikasi tentang sifat hasil pembelajaran yang telah dilaksanakan, informasi tentang ketercapaian tujuan jangka pendek yang telah dilaksanakan, masukan untuk kemajuan pembelajaran, informasi tentang kesulitan dalam pembelajaran, dan untuk memilih pengalaman pembelajaran di masa yang akan datang. Di samping itu, informasi evaluasi dapat digunakan untuk membantu memutuskan kesesuaian dan keberlangsungan dari tujuan pembelajaran, kegunaan materi pembelajaran, dan untuk mengetahui tingkat efisiensi dan keefektifan strategi pembelajaran (termasuk metode dan teknik belajar-mengajar) yang digunakan. Gronlund (1976) lebih lanjut menjelaskan bahwa evaluasi memiliki fungsi untuk membantu guru dalam penempatan peserta didik dalam kelompok-kelompok tertentu, perbaikan metode mengajar, mengetahui kesiapan peserta didik (sikap, mental, material), memberikan bimbingan dan seleksi dalam rangka menentukan jenis jurusan maupun kenaikan tingkat. Dalam evaluasi pendidikan, diperlukan alat (instrumen). Salah satu alat yang digunakan untuk melakukan evaluasi adalah tes. Tes ini digunakan untuk mengetahui informasi tentang aspek psikologis tertentu. Tes merupakan suatu prosedur sistematis untuk mengamati dan menggambarkan satu atau lebih karakteristik seseorang dengan suatu skala numerik atau sistem kategorik. Berdasarkan hal ini, tes memberikan informasi
164
yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Pelaksanaan evaluasi biasanya dilaporkan. Prosedur, tipe, atau teknik pelaporan hasil evaluasi dapat bervariasi, seperti dalam bentuk huruf, angka, lulus tidak lulus, dan sebagainya. Pada prinsipnya, laporan ini menggambarkan pencapaian/ penguasaan peserta didik terhadap materi tertentu. Laporan hasil evaluasi dapat disusun dan diinterpretasikan secara normatif dan secara kriteria. Evaluasi untuk kepentingan perbaikan hasil belajar mengajar atau penilaian formatif (dikenal pula sebagai assesment for learning), acuan yang sebaiknya digunakan adalah acuan kriteria. Hal ini disebabkan karena informasi yang diperoleh berupa penguasaan materi pelajaran yang telah dipelajari. Berdasarkan informasi ini, pendidik akan mengetahui teknik dan strategi mengajar agar materi pelajaran dapat diserap lebih baik. Hasil evaluasi dapat pula dimanfaatkan untuk penentuan kelulusan. Pada keperluan ini, hasil ujian sebagai hasil pengukuran dipergunakan untuk menentukan seorang peserta didik lulus atau tidak lulus (penilaian sumatif). Bagi peserta didik, pemanfaatan hasil evaluasi dipergunakan untuk mengetahui apakah dirinya sudah meguasai bahan yang disajikan guru, untuk mengetahui bagian mana yang belum dikuasai, sebagai penguatan bagi peserta didik yang sudah memperoleh skor tertinggi sehingga menjadi motivasi untuk belajar lebih giat, sebagai alat diagnosis bagi peserta didik yang bersangkutan, dengan mengetahui bagian mana yang sukar dikuasai peserta didik. Bagi guru, pemanfaatan hasil evaluasi harian dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana peserta didik menguasai bahan pelajaran yang diajarkan guru, baik secara kelompok maupun individual; untuk mengetahui bagian mana saja dari materi pelajaran yang belum dikuasai peserta didik, terlebih bagian itu merupakan
Heri Retnawati, Badrun K, Samsul Hadi, dan Kana Hidayati: Identifikasi Kesulitan...
prasyarat bagi bahan pelajaran selanjutnya, sehingga dapat melakukan upaya perbaikan; dapat memberikan gambaran baik peserta didik untuk memperkirakan pencapaian keberhasilan terhadap keseluruhan program yang akan dilaksanakannya. Bagi pengelola pendidikan, mulai dari kepala sekolah, dinas, pengawas, kepala bidang, kepala kantor wilayah, direktur jendral sampai menteri dapat mengambil manfaat dari hasil evaluasi. Setiap pengelola pendidikan dapat menemukan jawab dari pertanyaan/permasalahan mengenai apakah program pendidikan yang ditetapkan sudah tepat untuk suatu jenjang sekolah; apakah alat/sarana dan prasarana belajar sudah memadai untuk mencapai yang maksimal dari peserta didik; apakah metode penyajian yang disarankan dan petunjuk bagi guru sudah tepat; serta apakah kualitas pendidikan sudah tersebar merata. Untuk dapat memanfaatkan hasil evaluasi, ada beberapa pendekatan teori yang dapat digunakan, yakni pendekatan teori tes klasik (Classical Test Theory) dan teori respons butir (Item Response Theory). Teori tes klasik atau disebut teori skor murni klasik (Allen & Yen, 1979) didasarkan pada suatu model aditif, yakni skor amatan merupakan penjumlahan dari skor sebenarnya dan skor kesalahan pengukuran. Ada beberapa parameter butir yang terkait dengan teori tes klasik, yakni proporsi menjawab benar, tingkat kesulitan, reliabilitas, daya pembeda, dan kesalahan pengukuran. Tingkat kesukaran suatu butir soal yang disimbolkan dendan pi merupakan salah satu parameter butir soal yang sangat berguna untuk menganalisis suatu tes. Dengan melihat parameter butir ini, akan diketahui seberapa baik kualitas butir soal. Jika pi mendekati 0, soal tersebut terlalu sukar. Jika pi mendekati 1, soal tersebut terlalu mudah sehingga perlu dibuang (butir tersebut tidak dapat membedakan kemampuan seorang peserta didik dengan peserta didik lainnya).
Allen dan Yen (1979) menyatakan bahwa secara umum indeks kesukaran suatu butir sebaiknya terletak pada interval 0,3 – 0,7. Pada interval ini, informasi tentang kemampuan peserta didik akan diperoleh secara maksimal. Dalam merancang indeks kesukaran suatu perangkat tes, perlu dipertimbangkan tujuan penyusunan perangkat tes tersebut. Untuk menentukan indeks kesukaran dari suatu butir pada perangkat tes pilihan ganda, digunakan persamaan sebagai berikut. ΣB pi = ––––––– ................................. (1) N dengan : pi = proporsi menjawab benar pada butir soal tertentu ΣB = banyaknya peserta tes yang menjawab benar N = jumlah peserta tes yang menjawab Prosedur penyekoran di dalam evaluasi pendidikan dalam pendekatan teori tes klasik didasarkan atas jawaban yang benar. Jika peserta didik menjawab dengan benar tes pilihan ganda, diberi skor 1 dan jika menjawab dengan salah, diberi skor 0. Prosedur penyekoran semacam ini dinyatakan dengan skor total yang diperoleh peserta didik. Prosedur ini kurang memerhatikan interaksi antara setiap orang peserta didik dengan butir. Pendekatan teori respons butir merupakan pendekatan alternatif yang dapat digunakan dalam menganalisis suatu tes. Terdapat dua prinsip yang digunakan pada pendekatan ini, yakni prinsip relativitas dan prinsip probabilitas. Pada prinsip relativitas, unit dasar dari pengukuran bukanlah peserta didik atau butir, tetapi lebih kepada kemampuan peserta didik relatif terhadap butir. Jika βn merupakan indeks dari kemampuan peserta didik ke-n
165
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 162 - 174 pada trait yang diukur dan δi merupakan indeks dari tingkat kesulitan dari butir ke-i relatif yang terkait dengan kemampuan yang diukur, bukan βn atau δi yang merupakan unit pengukuran, melainkan lebih didasarkan kepada perbedaan antara kemampuan dan dari peserta didik relatif terhadap tingkat kesulitan butir atau (βn - δi) yang perlu dipertimbangkan. Sebagai alternatifnya perbandingan antara kemampuan terhadap tingkat kesulitan dapat digunakan. Jika kemampuan dari peserta didik melampaui tingkat kesulitan butir, respons peserta didik diharapkan benar. Jika kemampuan peserta didik kurang dari tingkat kesulitan butir, respons peserta didik diharapkan salah (Keeves dan Alagumalai, 1999). Pada teori respons butir, prinsip probabilitas menjadi perhatian utama. Misalnya, kemampuan peserta didik ke-n dinyatakan dengan θn dan tingkat kesulitan dari butir dinyatakan dengan ∆i. Sesuai dengan prinsip relativitas, jika θn > ∆i peserta didik diharapkan menjawab dengan benar, maka θn < ∆i peserta didik diharapkan menjawab salah. Dalam teori respons butir, selain asumsiasumsi yang telah diuraikan sebelumnya, hal penting yang perlu diperhatikan adalah pemilihan model yang tepat. Pemilihan model yang tepat akan mengungkap keadaan yang sesungguhnya dari data tes sebagai hasil pengukuran. Ada tiga model hubungan antara kemampuan dengan parameter batir, yakni model 1 parameter (model Rasch), model 2 parameter, dan model 3 parameter. Model Rasch dituliskan sebagai berikut: e(θ-bi) Pi(θ) = –––––––, dengan i : 1,2,3, …,n .. (2) 1 + e(θ-bi) Keterangan: Pi (θ) : probabilitas peserta tes yang memiliki kemampuan θ dipilih secara acak dapat menjawab butir i dengan benar
166
θ bi e n
: tingkat kemampuan subyek (sebagai variabel bebas) : indeks kesukaran butir ke-i : bilangan natural yang nilainya mendekati 2,718 : banyaknya butir dalam tes
Parameter bi merupakan suatu titik pada skala kemampuan agar peluang menjawab benar sebesar 50%. Misalnya, suatu butir tes mempunyai parameter bi = 0,3. Artinya, diperlukan kemampuan minimal 0,3 pada skala untuk dapat menjawab benar dengan peluang 50%. Semakin besar nilai parameter bi, semakin besar kemampuan yang diperlukan untuk menjawab benar dengan peluang 50%. Dengan kata lain, semakin besar nilai parameter bi, semakin sulit butir soal tersebut. Hubungan peluang menjawab benar Pi (θ) dengan tingkat kemampuan peserta (θ) dapat digambarkan sebagai kurva karakteristik butir (item characteristic curve atau ICC). Gambar 1 berikut merupakan ilustrasi kurva karakteristik butir untuk model Rasch (1 parameter, 1P), dengan butir 1 (b=-0,5), butir 2 (b=0) dan butir 3 (b=0,5). Pada model logistik dua parameter, probabilitas peserta tes untuk dapat menjawab benar suatu butir soal ditentukan oleh dua karakteristik butir, yakni indeks kesukaran butir (bi) dan indeks daya beda butir (ai). Parameter a i merupakan indeks daya pembeda yang dimiliki butir ke-i. Pada kurva karakteristik, ai proporsional terhadap koefisien arah garis singgung (slope) pada titik θ = b. Butir soal yang memiliki daya pembeda yang besar memunyai kurva yang sangat menanjak, sedangkan butir soal yang memunyai daya pembeda kecil memunyai kurva yang sangat landai. Secara teoretis, nilai ai ini terletak antara –∞ dan +∞. Pada pada butir yang baik nilai ini memunyai hubungan positif dengan performen pada butir dengan kemampuan yang diukur, dan a i terletak antara 0 dan 2 (Hambleton & Swaminathan, 1985).
Heri Retnawati, Badrun K, Samsul Hadi, dan Kana Hidayati: Identifikasi Kesulitan...
Gambar 1. Kurva Karakteristik Butir untuk Model 1P, dengan b=0,5 Menurut Hambleton, Swaminathan, & Rogers (1991) dan Hullin, et all (1983), secara matematis model logistik dua parameter dapat dituliskan sebagai berikut. eDai( θ - bi) Pi(θ) = –––––––––––––– 1 + eDai( θ - bi) dengan i : 1,2,3, …,n …......................… (3) Keterangan : θ : tingkat kemampuan peserta tes Pi(θ) : probabilitas peserta tes yang memiliki kemampuan θ dapat menjawab butir i dengan benar ai : indeks daya pembeda bi : indeks kesukaran butir ke-i e : bilangan natural yang nilainya mendekati 2,718 n : banyaknya butir dalam tes D : faktor penskalaan yang harganya 1,7 Selain model respons butir dikotomi, ada model lain yang dapat digunakan untuk menyekor respons peserta terhadap suatu butir tes, yakni model politomi. Model-model politomi pada teori respons butir antara lain nominal respons model (NRM), rating scale model (RSM), partial credit model (PCM), graded respons model (GRM) dan generalized
partial credit model (GPCM) (Van der Linden & Hambleton, 1997). Model respons butir politomous dapat dikategorikan menjadi model respons butir nominal dan ordinal, tergantung pada asumsi karakteristik tentang data. Model respons butir nominal dapat diterapkan pada butir yang memunyai alternatif jawaban yang tidak terurut (ordered) dan adanya berbagai tingkat kemampuan yang diukur. Pada model respons ordinal terjadi pada butir yang dapat diskor ke dalam banyaknya kategori tertentu yang tersusun dalam jawaban. Skala Likert diskor berdasarkan pedoman penyekoran kategori respons terurut, yang merupakan penyekoran ordinal. Butir-butir tes matematika dapat diskor menggunakan sistem parsial kredit. Langkah-langkah menuju jawaban benar dihargai sebagai penyekoran ordinal. Model penyekoran yang paling sering dipakai ahli salah satunya adalah Graded Respons Model (GRM). Respons peserta terhadap butir j dengan model GRM dikategorikan menjadi m+1 skor kategori terurut, k=0,1,2,...,m dengan m merupakan banyaknya langkah dalam menyelesaikan dengan benar butir j, dan indeks kesukaran dalam setiap langkah juga terurut. Hubungan parameter butir dan kemampuan peserta dalam GRM untuk kasus homogen (aj sama dalam setiap langkah) dinyatakan oleh Muraki & Bock (1997) sebagai berikut. P*(θ) = P*jk(θ) - P*jk+1(θ) ........................(4) exp[Daj (θ - bjk)] Pjk(θ) = –––––––––––––––––– ................(5) 1 + exp[Daj (θ - bjk)] Dengan P*j0(θ) = 1 dan P*jm+1(θ)=0 aj : indeks daya beda butir j θ : kemampuan peserta, bjk : indeks kesukaran kategori k butir j Pjk(θ) : probabilitas peserta berkemampuan θ yang memperoleh skor kategori k pada butir j
167
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 162 - 174 P*jk(θ) : probabilitas peserta berkemampuan θ yang memperoleh skor kategori k atau lebih pada butir j D : faktor skala METODE Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini menggunakan dokumentasi INAP 2007, yang berupa butirbutir soal, perangkat tes, dan karakteristik butir INAP 2007, khususnya butir tes matematika dan sains. Pada penelitian ini data yang digunakan adalah data SD kelas 6 di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini dilaksanakan selama 10 bulan, yakni sejak bulan Februari 2010 sampai dengan November 2010. Analisis data dilakukan secara kuantitatif, dimulai dengan menganalisis keseluruhan butir untuk mengetahui daya serapnya (berdasarkan teori tes klasik) dan tingkat kesulitannya (berdasarkan teori respons butir). Pada data dikotomi estimasi parameter butir dilakukan dengan pendekatan teori respons butir dikotomi. Pada data politomi estimasi parameter butir dilakukan dengan pendekatan teori repons butir politomi. Estimasi parameter butir dan parameter kemampuan dilakukan dengan bantuan software Parscale dari SSi (Muraki & Bock, 1997). Hasil PENELITIAN dan PEMBahasan Identifikasi kesulitan yang dialami peserta didik didasarkan pada dua pendekatan, yakni daya serap peserta didik dan tingkat kesulitan butir dengan model Rasch. Daya serap peserta didik diketahui dengan proporsi menjawab benar. Proporsi peserta didik yang menjawab benar merupakan tingkat kesulitan butir dengan pendekatan teori tes klasik. Adapun tingkat kesulitan butir dengan model Rasch merupakan teori respons butir dengan pendekatan teori respons butir. Untuk mata pelajaran matematika, masing-masing diuraikan secara terpisah.
168
Hasil analisis untuk proporsi menjawab benar pada tes matematika disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan tabel tersebut, diperoleh gambaran bahwa dari 35 butir soal yang terdiri atas 20 butir pilihan ganda, 10 butir isian singkat, dan 5 butir essay (constructed response), hanya sebanyak empat butir soal yang proporsi menjawab benarnya lebih dari 0,65. Dengan kata lain, sebanyak 34 butir soal proporsi menjawab benarnya kurang dari 65%. Mengingat kurikulum pada saat ini yang dipakai adalah kurikulum berbasis kompetensi, yang menjadi titik tekan evaluasi pun adalah kompetensi peserta didik dalam segi keutantasan belajar. Peserta didik dikatakan mengalami kesulitan jika proporsi menjawab benar kurang dari 65% atau sebesar 0,65. Pada keadaan ini, peserta didik belum dapat dikatakan belajar tuntas untuk mata pelajaran matematika, khususnya materi kelas 5. Dengan melihat jumlah butir soal yang dikuasai peserta didik sebanyak empat butir (11,43%) dari 35 butir, artinya sebesar 88,57% peserta didik masih mendapatkan kesulitan dalam mengerjakan soal. Kesulitan ini bervariasi dan terjadi pada hampir seluruh materi pada standar kompetensi di kelas 5. Materi yang dianggap sulit meliputi materi bilangan dan operasinya, perbandingan, bangun datar, serta dimensi tiga. Sementara itu, materi yang tergolong ke dalam kategori mudah adalah materi simetri. Tingkat kesulitan terdapat pula pada bentuk butir soalnya. Dengan mencermati Tabel 1, 10 butir yang memiliki tingkat kesulitan paling tinggi terdapat pada bentuk soal Constructed Response (CR) (4 butir soal, 40%), butir isian singkat (5 butir soal, 50%), dan butir pilihan ganda (1 butir soal, 10%). Butir-butir lain yang memilki tingkat kesulitan didominasi oleh butir isian singkat dan pilihan ganda. Sementara itu, butir-butir yang memiliki tingkat kemudahan adalah butir-butir pilihan ganda.
Heri Retnawati, Badrun K, Samsul Hadi, dan Kana Hidayati: Identifikasi Kesulitan...
Model Rasch digunakan untuk mengestimasi tingkat kesulitan butir soal. Hasil estimasi tingkat kesulitan disajikan pada Tabel 2. Butir soal dikatakan mudah jika tingkat kesulitan berada pada skala kurang
dari -2,00. Butir yang tingkat kesulitannya lebih besar dari 2,00 merupakan butir soal dengan tingkat kesulitan tinggi, sedangkan yang tidak termasuk ke dalam kedua-duanya merupakan butir dengan tingkat kesulitan
Tabel 1. Proporsi Menjawab Benar Mapel Matematika Berdasarkan Teori Tes Klasik
169
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 162 - 174 sedang. Butir yang termasuk pada kategori sulit yakni butir yang mengukur kompetensi peserta didik untuk penguasaan materi perbandingan, jarak, waktu, serta kecepatan, bilangan dan operasinya.
Seperti halnya pada teori tes klasik, tingkat kesulitan butir yang tinggi terjadi pada butir soal yang berjenis pilihan ganda dan isian singkat. Materi yang dirasakan sulit oleh peserta didik yakni perbandingan dan skala,
Tabel 2. Hasil Estimasi Tingkat Kesulitan Butir Tes Matematika dengan Teori Respons Butir
170
Heri Retnawati, Badrun K, Samsul Hadi, dan Kana Hidayati: Identifikasi Kesulitan...
Tabel 3. Proporsi Menjawab Benar untuk Sains
171
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 162 - 174 jarak, waktu, dan kecepatan, operasi hitung campuran, dan luas bangun datar. Hasil analisis untuk proporsi menjawab benar pada tes sains disajikan pada Tabel 3.
Berdasarkan tabel tersebut, dapat diperoleh gambaran bahwa dari 40 butir soal dengan rincian 25 butir pilihan ganda, 10 butir isian singkat, dan 5 butir essay (constructed
Tabel 4. Tingkat Kesulitan Butir Tes Sains Berdasarkan Teori Respons Butir
172
Heri Retnawati, Badrun K, Samsul Hadi, dan Kana Hidayati: Identifikasi Kesulitan...
response), sebanyak 8 butir soal yang proporsi menjawab benarnya lebih dari 0,65. Dengan kata lain, pada sebanyak 32 butir soal, proporsi menjawab benarnya kurang dari 65%. Dengan mencermati lebih lanjut atas banyaknya butir yang dikuasai peserta didik hanya sebanyak 8 dari 40 butir atau sebanyak 20%, dapat diartikan bahwa sebanyak 80% peserta didik merasa kesulitan dalam mengerjakan soal-soal sains. Tingkat kesulitan ini bervariasi dan terjadi pada hampir seluruh materi pada standar kompetensi di kelas 5. Sementara itu, untuk materi magnet dan adaptasi terhadap lingkungan tergolong ke dalam materi yang berkategori yang mudah. Tingkat kesulitan juga terdapat pada bentuk butir soalnya. Dengan mencermati kembali Tabel 3, 10 butir yang sulit terjadi karena dipengaruhi pula bentuk soalnya. Seluruh butir Constructed response (5 butir soal) merupakan materi sulit. Sebanyak 8 butir isian singkat (dari 10 butir soal), meskipun sebanyak 19 butir pilihan ganda (dari 25 butir soal) merupakan butir yang sullit. Dengan menggunakan model Rasch, tingkat kesulitan butir soal dapat diestimasi. Hasil estimasi tingkat kesulitan disajikan pada Tabel 4. Tingkat kesulitan butir bervariasi, meskipun mengukur kompetensi dasar yang sama. Seperti halnya pada teori tes klasik, tingkat kesulitan butir yang tinggi terjadi pada butir soal yang berjenis pilihan ganda dan isian singkat. Materi yang mudah adalah materi tentang menyesuaikan makluk hidup terhadap lingkungan, magnet, aliran listrik, keseimbangan, pelapukan batuan, proses fotosintesis, adaptasi, dan akibat penebangan hutan. Materi yang sulit adalah proses fotosintesis tumbuhan air, magnet, katrol, perubahan wujud, sistem aliran darah, adaptasi, lapisan bumi, dan tanda gunung berapi meletus. Peserta pada tes INAP adalah peserta didik kelas 6 SD. Materi yang digunakan sebagai bahan tes adalah bahan pelajaran
yang asumsinya telah dipelajari peserta didik di kelas 4 dan kelas 5. Kisi-kisi tes disusun berdasarkan standar isi meliputi standar kompetensi dan kompetensi dasar yang ditetapkan pemerintah. Butir-butir tes ini telah divalidasi oleh Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Diknas tahun 2007. Mencermati tingkat kesulitan butir tes, baik ditinjau dari proporsi menjawab benar berdasarkan teori tes klasik maupun berdasarkan teori respons butir untuk mata pelajaran matematika dan sains, dapat dikatakan hasil belajar peserta didik selama ini belum memuaskan. Hasil belajar yang belum memuaskan ini disebabkan adanya indikator sebagian besar materi yang diteskan belum dikuasai secara tuntas oleh peserta didik, yang mengindikasikan belum berhasilnya pembelajaran yang dilakukan oleh guru selama di sekolah. Belum berhasilnya pembelajaran yang dilakukan oleh guru dapat disebabkan oleh berbagai hal. Penyebab tersebut di antaranya selama ini pembelajaran ditekankan pada pencapaian kompetensi dengan pembelajaran student center, belum tentu dilakukan oleh guru. Terlebih lagi keterlibatan peserta didik untuk menemukan konsep matematika dan sains, dan penekanan pembelajaran sebagai proses dalam pendidikan. Misalnya, masih kurangnya pelaksanaan praktikum sains di sekolah dasar. Dengan belum dilaksana-annya kedua hal tersebut, kebermaknaan konsep matematika dan sains dalam diri peserta didik menjadi kurang. Sebagai akibatnya, penguasaan konsep matematika dan sains belum seperti yang diharapkan. Bentuk soal yang digunakan pada TIMSS juga berbeda dengan tes biasa. Biasanya peserta didik lebih sering dihadapkan pada tes pilihan ganda dan jarang menggunakan soal isian singkat dan uraian. Hal ini juga menyebabkan peserta didik terbiasa dengan jawaban yang disediakan dan menjadi kurang terbiasa dengan mengonstruk jawaban sendiri melalui penalaran. Hal inilah
173
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 162 - 174 yang menyebabkan peserta didik merasa lebih mudah dihadapkan butir soal yang berbentuk pilihan ganda dibandingkan dengan bentuk soal isian singkat maupun constructed response. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, kesulitan peserta didik dalam pembelajaran matematika berdasarkan daya serap meliputi 88,57% dari keseluruhan materi yang seharusnya dikuasai peserta didik. Kedua, materi yang dirasakan sulit untuk mata pelajaran matematika oleh peserta didik yang diketahui dengan pendekatan teori respons butir yakni perbandingan dan skala, jarak, waktu, dan kecepatan, operasi hitung campuran, dan luas bangun datar. Ketiga, kesulitan peserta didik dalam pembelajaran sains berdasarkan daya serap meliputi 80% dari keseluruhan materi yang seharusnya dikuasai peserta didik. Keempat, materi yang sulit untuk pelajaran sains yang diketahui dengan pendekatan teori respons butir yaitu proses fotosintesis tumbuhan air, magnet, katrol, perubahan wujud, sistem aliran darah, adaptasi, lapisan bumi, tanda gunung berapi meletus. Terkait dengan hasil penelitian dapat disarankan hal-hal berikut. Pertama, terkait dengan sebagian besar peserta didik mengalami kesulitan dalam pembelajan matematika dan sains, terlebih lagi peserta didik kelas 5 sekolah dasar, maka pendidik perlu merefleksikan. Kedua, kembali pembelajaran yang telah dilaksanakan dan kemudian merencanakan perbaikan. Ketiga, dalam pembelajaran, perlu digunakan pembelajaran yang menekankan pendekatan poses dan berpusat pada peserta didik, sehingga berbagai kompetensi matematika dan sains dapat dikuasai. Keempat, pembelajaran perlu dilakukan dengan Perbaikan pembelajaran dapat pula menggunakan hasil-hasil evaluasi yang telah dilaksanakan, baik oleh pemerintah maupun
174
sekolah (assessment for learning. Kelima, dalam pelaksanaan pendidikan, khususnya dalam evaluasi, perlu digunakan macammacam jenis tes, tidak hanya pilihan ganda saja, misalnya menggunakan uraian, sehingga peserta didik dapat melatih kemampuan penalarannya untuk mengkonstruk sendiri jawabannya. DAFTAR PUSTAKA Allen, M. J. & Yen, W. M. 1979. Introduction to Measurement Theory. Monterey, CA: Brooks/Cole Publishing Company. Gronlund, N.E. 1976. Measurement and Evaluation in Teaching. New York: Macmillan Publishing Co. Hambleton, R.K. & Swaminathan, H. 1985. Item Response Theory. Boston, MA: Kluwer Inc. Keeves, J.P. dan Alagumalai, S. 1999. “New Appoaches to Measurement”. Dalam Masters, G.N.dan Keeves, J.P.(Eds). Advances in Measurement in Educational Research and Assesment. Amsterdam: Pergamon. Muraki, E., & Bock, R.D. 1997. Parscale 3: IRT Based Test Scoring and Item Analysis for Graded Items and Rating Scales. Chicago: Scintific Software Inc. Van der Linden, W.J. dan Hambleton, R.K. 1997. “Item Response Theory: Brief History, Common Models and Extentions”. Dalam Van der Linden, W.J. dan Hambleton, R.K. (Eds). Handbook of Item Response Theory. New York: Springer.
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KINERJA GURU SMA/MA DI KABUPATEN ALOR Fredrik A. Kande
FKIP Universitas Kristen Artawacana Kupang email: kandefredrik@yahoo.com Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja guru. Faktor-faktor tersebut meliputi tingkat pendidikan guru, pengetahuan tentang standar pendidikan, dukungan sesama guru, gaya kepemimpinan kepala sekolah, dan lingkungan fisik sekolah dengan kinerja guru SMA/MA Negeri di Kabupaten Alor. Metode penelitian yang digunakan adalah ex-post facto. Populasi penelitian adalah guru SMA/MA se-Kabupaten Alor dengan sampel guru pada SMA Negeri 1, SMA Negeri 2 Kalabahi, SMA Negeri Alor Barat Daya, dan MA Negeri Kalabahi Kabupaten Alor. Metode pengumpulan data menggunakan angket. Adapun teknik analisis data digunakan teknik analisis korelasi dan regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) tingkat pendidikan guru memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan kinerja guru dengan r < 0,05; (2) pengetahuan guru tentang standar pendidikan memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan kinerja guru dengan r < 0,05; (3) dukungan sesama guru memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan kinerja guru dengan r < 0,05; (4) gaya kepemimpinan kepala sekolah memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan kinerja guru dengan r < 0,05; (5) lingkungan fisik sekolah memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan kinerja guru dengan r < 0,05; (6) terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat pendidikan guru, pengetahuan tentang standar pendidikan, dukungan sesama guru, gaya kepemimpinan kepala sekolah, dan lingkungan fisik sekolah secara bersama-sama dengan kinerja guru dengan sumbangannya terhadap kinerja guru sebesar 35%. Kata kunci: tingkat pendidikan, standar pendidikan, gaya kepemimpinan, lingkungan fisik, dan kinerja guru
FACTORS RELATED TO THE TEACHER SENIOR HIGH SCHOOL PERFORMANCE (SMA/MA) IN ALOR REGENCY Abstract This study aims to reveal the relationship between teachers’ educational level, understanding of standards of education, fellow teachers’ support, principals’ leadership style, and physical school environment and teachers’ performance in State Senior High Schools (SSHSs)/Islamic Senior High Schools (ISHSs)in Alor Regency. The study uses an ex post facto research method. The population of the study consists of teachers of SMA/MA in Alor Regency with teachers of SMA Negeri 1 and SMA Negeri 2 Kalabahi, SMA Negeri 1 South West Alor, and MA Negeri Kalabahi as the sample. The data were collected by using a questionnaire and were analyzed by using a correlation technique. The results of the study show that: (1) teachers’ educational level has a significant and positive correlation with teachers’ performance in SSHSs/ISHS in Alor Regency at r < 0.05, (2) teachers’ understanding of standards of education has a significant and positive correlation with teachers’ performance in SSHSs/ ISHS in Alor Regency at r < 0.05, (3) fellow teachers’ support has a significant and positive correlation with teachers’ performance in SSHSs/ISHS in Alor Regency at r < 0.05, (4) principals’ leadership style has a significant and positive correlation with teachers’
175
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 175 - 184 performance in SSHSs/ISHS in Alor Regency at r < 0.05, (5) physical school environment has a significant and positive correlation with teachers’ performance in SSHSs/ISHS in Alor Regency at r < 0.05, and (6) teachers’ educational level, understanding of standards of education, fellow teachers’ support, principals’ leadership style, and physical school environment as an aggregate have a significant and positive correlation with teachers’ performance with a contribution of 35%. Keywords: education level, education standard, teachers’ support, leadership style, physical environment, teacher’s performance
PENDAHULUAN Studi tentang guru dewasa ini semakin penting dilakukan mengingat adanya tuntutan masyarakat dan amanat undang-undang yang menghendaki profesionalisme guru. Lahirnya UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merupakan bukti dari pengakuan negara dan masyarakat yang menempatkan guru sebagai faktor determinan dalam penyelenggaraan pendidikan. Guru tidak saja mendapat pengakuan tetapi juga dituntut untuk dapat mengembangkan kemampuannya sesuai standar. Tuntutan akan kemampuan guru inilah yang mengharuskan berbagai upaya konkrit untuk meningkatkan profesionalisme guru. Profesionalisme guru mengalami perkembangan karena meningkatkanya kualifikasi pendidikan dan bertambahnya pengalaman. Semakin tinggi kualifikasi pendidikan guru dan bertambahnya pengalaman yang relevan dengan intensitas yang tinggi maka akan meningkat pula profesionalismenya. Sebalikya guru dengan kualifikasi pendidikan yang minim, juga pengalaman dengan intensitas yang rendah memiliki tingkat profesionalisme yang cenderung rendah. Untuk meningkatkan profesionalisme guru diperlukan berbagai upaya yang dipandang selaras dengan tuntutan profesionalisme guru, misalnya melalui program studi lanjut, dan program pengembangan profesi, seperti penataran, pendidikan dan pelatihan (Diklat). Program-program tersebut diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme guru. Dengan meningkatnya profesionalisme guru pada
176
gilirannya dapat meningkatkan kualitas output sekolah. Salah satu indikator profesionalisme guru adalah kinerja. Guru juga dituntut memiliki kinerja yang tinggi. Kinerja dipengaruhi oleh kompetensi dan motivasi untuk mencapai hasil yang optimal. Dalam melaksanakan tugasnya profesionalisme guru perlu ditunjukkan dengan kinerja yang tinggi. Dengan kinerja yang tinggi maka faktor guru sebagai faktor determinan proses pembelajaran akan memiliki sumbangan yang lebih nyata bagi peningkatan kinerja sekolah. Untuk meningkatkan kinerja guru dapat digunakan berbagai pendekatan, misalnya melalu pelatihan jabatan, melalui kepemimpinan yang efektif, dan melalui riset. Riset sangat penting, oleh karena permasalahan guru tidak cukup dilihat pada praktik, maupun pada konsep, dan teori yang mendasarinya tetapi juga perlu dilacak pada riset yang releven. Suatu riset ilmiah tidak saja diharapkan dapat memotret dan mengungkap berbagai fakta mengenai guru tetapi juga dapat melahirkan rekomendasi yang berbobot. Dengan rekomendasi tersebut maka berbagai upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja guru memiliki kekuatan antisipatif dan nilai adaptibilitas yang tinggi. Dalam rangka mewujudkan harapan di atas maka tepat jika riset akademik ini diarahkan pada upaya mencari tahu penyebab atau hal-hal yang memengaruhi kinerja guru pada tingkat SMA/MA Negeri di Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur. Untuk mengungkapkan alasan yang mendasari
Fredrik A. Kande: Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Guru...
pemilihan isu ini, berikut akan diungkapkan berbagai permasalahan menyangkut potret guru di SMA/MA Negeri se-Kabupaten Alor. Di Kabupaten Alor sampai dengan tahun 2008 terdapat 11 SMA/MA; lima SMA/MA Negeri dan enam SMA/MA swasta (Dinas Pendidikan Kabupaten Alor, 2007). Khusus pada SMA/MA negeri jumlah guru sebanyak 149 orang yang terdiri atas guru tetap 104 orang dan guru tidak tetap sebanyak 15 orang (Dinas Pendidikan Kabupaten Alor, 2006). Dari jumlah tersebut yang memiliki kualifikasi pendidikan S1 sebanyak 66,42% (Dinas Pendidikan Kabupaten Alor, 2005). Dari jumlah tersebut guru harus mengajar siswa yang juga tersebar pada lima SMA/MA Negeri sebanyak 2.335 orang. Kalau dilihat dari rasionya, rasio guru murid di Kabupaten Alor untuk jenjang SMA/ MA adalah 1:20 orang, satu guru mengajar 20 orang. Jika melihat standar pendidikan, perbandingan guru-siswa ini tidaklah ideal. Tetapi walaupun begitu para guru tetap melaksanakan tugas profesinya. Persoalan sebagaimana diuraikan di atas atas dapat memengaruhi kinerja guru. Fokus studi ini semakin memiliki arti jika dikaitkan dengan potret hasil belajar siswa di SMA/MA di Kabupaten Alor yang masih rendah. Tampak bahwa mayoritas siswa SMA/ MA di Kabupaten Alor tahun sejak tahun 2002 masih memperlihatkan hasil belajar yang cukup memprihatinkan. Selengkapnya data menyangkut tingkat hasil belajar siswa SMA/ MA sejak 2002 sampai 2008 dapat dilihat pada Gambar 1. Grafik perkembangan hasil Ujian Nasional SMA/MA enam tahun terakhir cenderung menurun. Pada Tahun Ajaran 2002/2003 sebesar 82.52%; Tahun Ajaran 2003/2004 sebesar 82.80%; Tahun Ajaran 2004/2005 46.18%; Tahun Ajaran 2005/2006 52.12%; Tahun Ajaran 2006/2007 20.27%; Tahun Ajaran 2007/2008 24.41%. Sementara perkembangan hasil Ujian Nasional MA enam
tahun terakhir cenderung fluktuatif. Pada Tahun Ajaran 2002/2003 sebesar 69.29%; Tahun Ajaran 2003/2004 sebesar 98.99%; Tahun Ajaran 2004/2005 49.64%; Tahun Ajaran 2005/2006 94.57%; Tahun Ajaran 2006/2007 53.71%; Tahun Ajaran 2007/2008 92.44%. Data ini belum memperlihatkan hasil keadaan yang stabil.
Gambar 1. Grafik Persentase Hasil Ujian Nasional SMA & MA 6 Tahun Terakhir Potret hasil belajar di atas merupakan indikasi dari belum baiknya kualitas pengelolaan pembelajaran pada jenjang SMA/MA. Disamping itu patut diakui bahwa persoalan kualifikasi dan kompetensi, dan kinerja guru pun dapat menjadi faktor penyebab. Faktor guru merupakan faktor determinan oleh karena sepanjang pembelajaran masih mengandalkan tatap muka di kelas otomatis peran guru menjadi sentral. Dalam hal ini persoalan kinerja guru tentu ikut memengaruhi hasil belajar siswa sebagaimana data di atas. Sejumlah persoalan yang mengitari pelaksanaan pendidikan pada SMA/MA di Kabupaten Alor, di antaranya (1) belum semua guru SMA/MA Negeri memiliki kualifikasi pendidikan yang memadai. (2) masih terbatasnya pengetahuan guru tentang standar nasional pendidikan. (3) masih rendahnya kualitas kepemimpinan kepada sekolah SMA/ MA Negeri. (4) masih rendahnya kualitas pengelolaan pendidikan pada SMA/MA Negeri. (5) ada trend penurunan tingkat kelulusan siswa SMA Negeri di Kabupaten Alor enam tahun
177
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 175 - 184 terakhir. (6) belum stabilnya kecenderungan tingkat kelulusan siswa MA di Kabupaten Alor. (7) masih rendahnya mutu sarana dan prasarana pendidikan pada SMA/ MA Negeri di Kabupaten Alor. (8) masih rendahnya kualifikasi kepala sekolah SMA/ MA Negeri di Kabupaten Alor. (9) peran komite sekolah dan partisipasi orang tua siswa yang masih minim. (10) kerja sama guru dalam mendukung pelaksanaan tugas yang masih sangat bervariasi. Melihat fenomena di atas, muncul pertanyaan (1) apakah ada hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat pendidikan guru dengan kinerja guru? (2) apakah ada hubungan yang positif dan signifikan antara pengetahuan tentang standar pendidikan dengan kinerja guru? (3) apakah ada hubungan yang positif dan signifikan gaya dukungan sesama guru dengan kinerja guru? (4) apakah ada hubungan yang positif dan signifikan antara gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru? (5) apakah ada hubungan yang positif dan signifikan antara lingkungan fisik sekolah dengan kinerja guru? Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pada permasalahan yang dianggap penting, yaitu (a) kinerja guru (b) tingkat pendidikan (c) pengetahuan tentang standar pendidikan (d) dukungan sesama guru (e) gaya kepemimpinan kepala sekolah, dan (f) lingkungan fisik sekolah. Kinerja merupakan kemampuan mengoperasikan dengan sangat efisien, dan cepat suatu proses mencapai target yang tinggi. Rogers (1994) mengatakan, “kinerja merupakan suatu konstruk yang bersifat multidimensional, pengukurannya juga bervariasi tergantung pada kompleksitas faktor-faktor yang membentuk kinerja” (Mahmudi, 2005: 6). Sementara Smith’s dalam Landy dan Farr (1983:5) mengatakan performance menunjuk kepada tiga level, yaitu behavior (perilaku), results (hasil-hasil), dan organizational effectiveness (keefektivan organisasi). Alexander, et.al. (2005: 2)
178
memahami sebagai sebuah mekanisme untuk mengukur hasil dan keefektifan, sebagaimana dinyatakan “…to performance as a mechanism for measuring outcomes and effectiveness”. Berangkat dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah gambaran perilaku individu atau kelompok yang terbentuk dari kombinasi beragam faktor yang memenuhi standar. Kalau dihubungkan dengan kinerja guru maka definisinya menjadi, kualitas kerja yang dicapai guru melalui kombinasi beragam faktor sesuai standar. Menurut Decenzo & Robbins (1999: 297), indikator kinerja meliputi kuantitas kerja (quantity of work), kualitas kerja (quality of work), pengetahuan pekerjaan (job knowledge), kerjasama (cooperation), loyalitas (loyality), kehadiran (attendence), kejujuran (honesty, integritas (integriy), sikap (attitudes), dan inisiatif (initiative), sedangkan menurut Mitchel (1978: 343) indikator kinerja dapat diukur dengan menggunakan indikator sebagai berikut: (1) kualitas kerja, (2) ketepatan waktu, (3) inisiatif, (4) kapasitas, (5) komunikasi. Faktor pendidikan mencakup dua hal, yaitu kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan. Kualifikasi pendidikan merupakan tingkat pendidikan seseorang yang diperoleh melalui bangku pendidikan. Menurut Sugiyono (2007), “dalam dunia kerja yang tamat Sekolah Dasar umumnya menjadi tenaga kasar; SMP umumnya menjadi juru teknik pembantu, pelatih; SMA umumnya Juru teknik, pelatih (ahli pembantu); D1 umumnya menjadi teknisi, ahli muda; D3 umumnya menjadi teknisi, ahli madya; DIV/ Sarjana (S1) umumnya menjadi ahli; S2/ pascasarjana menjadi spesialis I; dan S3/ Doktor menjadi spesialis II). Kualifikasi pendidikan dinyatakan dalam lama pendidikan yang merupakan faktor penentu dalam jenjang ketenagakerjaan. Semakin tinggi kualifikasi pendidikan, maka semakin tinggi pula jenjang ketenagakerjaan. Sebaliknya semakin rendah
Fredrik A. Kande: Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Guru...
kualifikasi pendidikan semakin rendah pula jenjang ketenagakerjaan. Jenjang ketenagakerjaan merepresentasikan adanya jenjang tugas yang berbeda-beda dan sudah pasti tugas yang berbeda-beda menuntut kemampuan yang berbeda-beda pula. Pengetahuan tentang standar pendidikan berkaitan dengan pengetahuan tentang apa yang diharapkan dari seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Bloom (2001:1-3) membagi pengetahuan ke dalam dua belas macam, yaitu 1) knowledge of specifics; 2) knowledge of terminology; 3) knowledge of specifics facts; 4) knowledge of ways and means of dealing with specifics; 5) know-ledge of conventions; 6) knowledge of trend and sequences; 7) knowledge classification and categories; 8) knowledge of criteria; knowledge of methodology; 9) knowledge of universals and abstractions in the field; 10) knowledge of principles and generalizations; 11) knowledge theories and structures Knowledge of criteria, knowledge of methodology; 12) dan knowledge of principles and generalization merupakan syarat penting. Knowledge of criteria merupakan jenis pengetahuan mengenai persyaratan dan standar. Bagi guru pengetahuan kriteria berkaitan dengan pengetahuan menyangkut persyaratan guru yang profesional atau standar pendidik. Pengetahuan akan standar proses, standar pengelolaan, dan seterusnya. Knowledge of methodology merupakan jenis pengetahuan mengenai prosedur atau tata cara. Bagi guru pengetahuan prosedur berkaitan dengan pengetahuan mengenai langkah-langkah penyusunan KTSP dan proses pembelajaran (rencana pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi pembelajaran). Knowledge of principles and generalizations merupakan jenis pengetahuan akan prinsip-prinsip dan hal-hal umum. Bagi guru pengetahuan ini berkaitan dengan pengetahuan akan prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran. Misalnya, prinsip pemerataan, relevansi,
mutu, fleksibilitas, keefektifan, efisiensi, dan seterusnya. Dukungan sesama merupakan faktor eksternal yang ikut memengaruhi kinerja individu. Kinerja karyawan tidak saja ditentukan oleh faktor-faktor internal seperti pengetahuan, kompetensi dan motivasi, tetapi juga oleh dukungan sesama. Menurut Wallach dan Jackson (Timpe, 1987: 181), “dukungan merupakan tingkat di mana manajemen dan karyawan lain dipandang membantu, mendorong, dan umumnya sensitif terhadap kebutuhan dan nilai-nilai orang lain.” Kerjasama kelompok merupakan tingkat di mana karyawan terdorong untuk bekerja bersama-sama dan secara bersama untuk memecahkan masalah sebagai satu kelompok. Dan komunikasi merupakan tingkat di mana karyawan merasakan bahwa ada saluransaluran yang cukup bagi komunikasi yang efektif antara kelompok-kelompok kerja dari dan kepada para pengawas mereka.” Aspek dukungan dilihat dalam kaitan dengan hubungan antar karyawan. Hiller (Timpe, 1987:23) mengatakan bahwa “hubungan yang baik yang berkaitan dengan manusia di dalam sebuah organisasi adalah faktor penyumbang yang paling penting terhadap keberhasilan perusahaan.” Pendapat Hiller merupakan suatu argumentasi penting betapa kuatnya pengaruh hubungan antar manusia di dalam organisasi bagi keberlangsungan dan kesuksesan organisasi. Kendatipun aspek kompetensi individu menjadi penting tetapi mustahil individu bekerja sendiri untuk mencapai keberhasilan, sebab diperlukan adanya kolaborasi, bahkan sinergi dalam organisasi. Hubungan antarkaryawan dalam o rg a n i s a s i s u d a h s e m e s t i n y a d a p a t memperlihatkan nilai-nilai sebagaimana disebutkan di atas, jika salah satu nilai saja hilang, maka akan ikut menggeser nilai lainnya. Oleh karena itu penting sekali memelihara nilai-nilai tersebut sebagi modal untuk memperlihatkan kualitas hubungan
179
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 175 - 184 yang dapat berkontribusi bagi penciptaan lingkungan kerja yang kondusif sebagai prasyarat pencapaian kinerja karyawan organisasi. Untuk aspek ini Hiller mengatakan, dalam ungkapan, “berbuatlah kepada orang lain sebagaimana Anda mengharapkan mereka berbuat kepada Anda (Timpe” 1987: 21). Gaya kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kinerja karyawan. Wallach dan Jackson (Timpe, 1987:181) mengatakan bahwa, “gaya kepemimpinan merupakan tingkat dimana karyawan merasakan bahwa manajemen mendorong partisipasi dan reseptif serta responsif terhadap masukan, gagasan, dan saran-saran karyawan.” Gaya kepemimpinan merupakan salah satu bentuk penciptaan suasana organisasi. Jika suasana organisasi yang tercipta berasal dari gaya kepemimpinan yang tidak reseptif dan responsif maka kegagalan karyawan organisasi merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Menurut Hiller bahwa, “kegagalan seseorang di dalam suatu organisasi jarang diakibatkan oleh orang itu sendiri, tetapi dapat diakibatkan oleh kepemimpinan yang buruk. Untuk mencegah kegagalan, kepemimpinan setiap organisasi harus menerima tanggung jawab penuh, dan terikat kepada tindakan-tindakan positif yang penting bagi manajemen sumberdaya manusia agar berhasil” (Timpe, 1987:21). Hiller tiba pada simpulan demikian oleh karena banyak dijumpai faktor kepemimpinan sering sekali menjadi penyebab kegagalan organisasi. Kepemimpinan yang tidak mampu menggerakan karyawannya, memberikan garis besar rencana organisasi, dan mengabaikan potensi dan keterampilan karyawan merupakan penyebab kegagalan organisasi. Seorang bawahan akan merasa termotivasi bekerja jika ia didengar, diakui, dan dilibatkan secara penuh oleh pemimpinnya dalam kegiatan organisasi. Indikator lingkungan fisik menunjuk kepada kondisi fisik tempat kerja. Organisasi seyogyanya dapat memberikan jaminan fisik
180
tempat kerja yang nyaman dan kondusif bagi karyawannya. Kondisi fisik yang dimaksudkan di sini adalah ruang kantor tempat kerja. Menyangkut hal ini Airson (Timpe, 1987: 1020 mengatakan bahwa, “penerapan konsep ruang kantor terbuka dapat memo-tivasi pegawai. Dalam rancangan kantor terbuka, lingkungan fisik (terutama pencahayaan, pengaturan suhu udara dan akuistik) menciptakan suatu suasana di mana pekerjaan merupakan hal yang menyenangkan bagi pegawai. Suatu latar belakang terus berlanjut, tetapi lembut dan tersebar (karena merupakan ciri dari akuistik) sehingga tidak menarik perhatian. Pandangan orang lain pada pekerjaan merupakan bagian dari suasana umum, bekerja sebagai stimulan dan membuat pekerjaan sebagai suatu dorongan, sehingga menambah motivasi dan efisien. Fakta bahwa anggota organisasi lebih sering saling melihat dibandingkan dengan bila mereka berada dalam ruang kantor yang konvensional, mengurangi intrik dan prasangka antara sesama pegawai dan antara atasan dan bawahan. Hal ini akan menambah kerjasama dan meningkatkan keterikatan. Kesadaran akan organisasi total mengurangi “egoisme kelompok” dan menambah kerjasama tim dan kerjasama, sambil memperkuat identifikasi dan keterlibatan dengan tujuan dan kegiatan total departemen. Rancangan terbuka dilandaskan pada dua prinsip, keluwesan dan penghematan biaya” (Timpe, 1987:138-139). Dalam konteks sekolah guru merupakan subjek yang perlu dipertimbangkan moral kerjanya. Di samping jenis pekerjaan yang mereka lakukan berbeda dengan karyawan di instansi yang berbeda. Ciri pekerjaan guru yakni mengajar, sehingga ia membutuhkan ruang kelas. Namun, ruang guru sebagai tempat melakukan persiapan dan menerima konsultasi siswa juga perlu mempertimbangkan aspek moral para guru. Menurut Airson ada tiga pertimbangan tambahan lagi yang harus dikaji, (1) komunikasi visual dan lisan apa yang diperlukan antara pegawai, (2) kepadatan
Fredrik A. Kande: Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Guru...
sosial, atau peta dari kemungkinan kemudahan akses fisik pegawai dengan kawan sekerjanya juga penting, karena erat hubungannya dengan jenis pekerjaan yang dilakukannya. (3) seringkali pegawai memerlukan tempat pribadi untuk melakukan kegiatan seharihari. Keterbukaan yang diasosiakan dengan penyekat dapat berdampak negatif bila pembicaraan bersifat rahasia dan peka dilakukan dalam kantor â&#x20AC;&#x153;individualâ&#x20AC;? (Timpe, 1987: 142). Kinerja guru pada hakekatnya adalah gambaran kualitas perilaku guru yang merepresentasekan dua hal penting, yaitu kompetensi dan motivasi. Kompetensi merupakan akumulasi dari pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh setiap individu. Kompetensi dan motivasi guru antara lain akan tampak pada sikap disiplin, kecepatan atau ketepatan kerja, inisiatif dalam kerja, komunikasi, mencari informasi baru, suka pekerjaan yang menantang, berpegang pada standar, penggunaan kewenangan, dan ketegasan dalam memberlakukan standar kualitas.
Kinerja guru bukan merupakan variabel tunggal yang berdiri sendiri, melainkan berhubungan dengan sejumlah faktor. Faktorfaktor tersebut terdiri dari pertama faktor pendidikan guru, pengetahuan tentang standar pendidikan, faktor dukungan sesama, gaya kepemimpinan, dan lingkungan fisik. Visualisasi dari uraian di atas, sebagaimana tertera pada Gambar 2. Penelitian ini dilaksanakan di tingkat SMA/MA Negeri di Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur. Populasinya yakni seluruh guru yang berada pada empat SMA/ MA Negeri di Kabupaten masing-masing SMA Negeri 1 Kalabahi, SMA Negeri 2 Kalabahi, SMA Negeri 1 Alor Barat Daya, dan MA Negeri Kalabahi, yang berkedudukan di kota dan pinggiran Kota Kalabahi sebanyak 139 guru. Pengambilan sampel menggunakan teknik proporsional random sampling (Sugiyono, 2008:120) Sampel penelitian diambil dari guru-guru pada pada sebanyak 95 orang dengan taraf kesalahan 5% (Isaac dan Michael, dalam Sugiyono, 2008: 128).
Gambar 2. Hubungan Tingkat Pendidikan Guru, Pengetahuan tentang Standar Pendidikan, Dukungan Sesama Guru, Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah, dan Lingkungan Fisik Sekolah dengan Kinerja Guru.
181
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman Halaman 175 - 184 Dalam penelitian ini terdapat satu variabel terikat dan lima variabel bebas. Variabel terikat yakni kinerja guru (Y), dan. variabel bebas, yakni tingkat pendidikan guru (X 1), pengetahuan tentang standar pendidikan (X2), dukungan sesama guru (X3), gaya kepemimpinan kepala sekolah (X4), dan lingkungan fisik sekolah (X5). Instrumen pengumpulan data menggunakan angket, dan data yang telah terkumpul dianalisis dengan menggunakan analisis korelasi dari Pearson. Analisis dilakukan dengan bantuan program komputer SPSS 16.0. Analisis korelasi dimaksudkan untuk menguji hipotesis penelitian berkaitan dengan hal berikut. Pertama, ada hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat pendidikan guru dengan kinerja guru. Kedua, ada hubungan yang positif dan signifikan antara pengetahuan tentang standar pendidikan dengan kinerja guru. Ketiga, ada hubungan yang positif dan signifikan antara dukungan sesama guru dengan kinerja guru. Keempat, ada hubungan yang positif dan signifikan antara gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru. Kelima, ada hubungan yang positif dan signifikan antara lingkungan fisik sekolah dengan kinerja guru. Keenam, ada hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat pendidikan guru, pengetahuan tentang standar pendidikan, dukungan sesama guru, gaya kepemimpinan kepala sekolah, dan lingkungan fisik sekolah secara bersama-sama dengan kinerja guru. Hasil PENELITIAN dan PEMBahasan Hasil penelitian disajikan dalam dua kelompok yaitu hasil analisis deskriptif dan hasil analisis regresi ganda. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa tingkat pendidikan guru menunjukkan 70.50% berkualifikasi S1 (rerata=16.47); pengetahuan tentang standar pendidikan dalam kategori sedang (rerata=32.73) dengan persentase tingkat pengetahuan tentang standar pendidikan sebesar 55.78% dari kriteria yang
182
ditetapkan; dukungan sesama guru dalam kategori baik (rerata = 21.62) dengan tingkat persentase sebesar 77.90% dari kriteria yang ditetapkan; gaya kepemimpinan kepala sekolah dalam kategori baik (rerata = 23.75) dengan tingkat persentase sebesar 67.37% dari kriteria yang ditetapkan; lingkungan fisik sekolah dalam kategori baik (rerata = 20.16) dengan tingkat persentase sebesar 84.22% dari kriteria yang ditetapkan; kinerja guru dalam kategori baik (rerata= 37.62) dengan tingkat persentase sebesar 61.05% dari kriteria yang ditetapkan. Analisis korelasi dilakukan dilakukan untuk menguji hipotesis yang diajukan. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat pendidikan guru dengan kinerja guru dengan r sebesar 0.37, dan Ď < 0.05; ada hubungan yang positif dan signifikan antara pengetahuan tentang standar pendidikan dengan kinerja dengan r sebesar 0.23, dan Ď < 0.05. ada hubungan yang positif dan signifikan antara dukungan sesama guru dengan kinerja guru dengan r sebesar 0.41 dan Ď < 0.05; ada hubungan yang positif dan signifikan antara gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru dengan r sebesar 0.45 dan Ď < 0.05; dan ada hubungan yang positif dan signifikan antara lingkungan fisik dengan kinerja guru dengan r sebesar 0.47 dan Ď < 0.05. Tingkat pendidikan guru SMA/ MA Negeri di Kabupaten Alor menunjukkan 70.50% berkualifikasi S1. Hal ini berarti kualifikasi pendidikan guru belum semuanya mencapai standar tenaga pendidik. Dugaan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat pendidikan guru dengan kinerja guru SMA/MA Negeri di Kabupaten Alor tersebut didukung oleh data yang telah ditemukan sampai dengan saat penelitian dilakukan. Dapat dikatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan guru maka semakin tinggi pula kinerja guru. Secara umum pengetahuan tentang standar pendidikan menunjukkan dalam
Fredrik A. Kande: Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kinerja Guru...
kategori sedang, dengan tingkat persentase 55,78%. Dugaan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara pengetahuan guru tentang standar pendidikan dengan kinerja guru SMA/MA Negeri di Kabupaten Alorâ&#x20AC;? tersebut didukung oleh data yang telah ditemukan sampai dengan saat penelitian dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan analisis data pada pengujian hipotesis yang positif dan signifikan. Dapat dikatakan bahwa semakin baik pengetahuan guru tentang standar pendidikan maka semakin baik pula kinerja guru. Pengetahuan guru tentang standar pendidikan memang tidak mencakup delapan standar dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005. Pengetahuan guru dalam studi ini hanya sebatas pada pengetahuan tentang standar isi pasal 16 dan 17, standar proses pasal 19, 20, dan standar penilaian pasal 63, dan 64. Kesemuanya meliputi hal penyusunan KTSP, proses pembelajaran, prosedur penyusunan KTSP, dan prosedur pembelajaran. Tingkat persentase tersebut dapat dimaknai bahwa belum baiknya pengetahuan guru tentang standar pendidikan. Menyangkut dukungan sesama guru secara umum dalam kategori baik dengan persentase 77.90%. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan sesema guru belum sepenuhnya maksimal. Persentase tersebut dapat dimaknai bahwa belum semua guru merasakan dukungan antara sesama. Dugaan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara dukungan sesama guru dengan kinerja guru SMA/MA Negeri di Kabupaten Alorâ&#x20AC;? tersebut didukung oleh data yang telah ditemukan sampai dengan saat penelitian dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan analisis data pada pengujian hipotesis yang signifikan. Dapat dikatakan bahwa semakin baik dukungan sesama guru maka semakin baik pula kinerja guru. Secara umum gaya kepemimpinan kepala sekolah dalam kategori baik dengan persentase 67.37%. Hal ini menunjukkan
bahwa kepala sekolah belum secara maksimal memperlihatkan kepemimpinan yang baik khusus dalam hal petunjuk-petunjuk sederhana dan keterbukaan dalam menerima masukan. Persentase tersebut dapat dimaknai bahwa belum semua guru merasakan kepemimpinan yang baik dari kepala sekolah. Dugaan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru SMA/MA Negeri di Kabupaten Alorâ&#x20AC;? tersebut didukung oleh data yang telah ditemukan sampai dengan saat penelitian dilakukan. Hal ini ditunjukkan dengan analisis data pada pengujian hipotesis yang positif dan signifikan. Dapat dikatakan bahwa semakin baik gaya kepemimpinan kepala sekolah maka semakin baik pula kinerja guru. Secara umum lingkungan fisik sekolah dalam kategori baik dengan persentase 84.22%. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan sekolah masih belum sepenuhnya menjamin kenyamanan bagi warga sekolah. Dugaan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan antara lingkungan fisik sekolah dengan kinerja guru SMA/MA Negeri di Kabupaten Alor tersebut didukung oleh data yang telah ditemukan sampai dengan saat penelitian dilakukan. Hal ini sudah sesuai dengan teori yang dikemukakan. Ini ditunjukkan dengan analisis data pada pengujian hipotesis yang signifikan. Dapat dikatakan bahwa semakin baik kondisi lingkungan fisik, maka semakin baik pula kinerja guru. Secara umum kinerja guru dalam kategori baik dengan persentase 61.05%. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja guru belum sepenuhnya maksimal khusus dalam hal disiplin, kecepatan atau ketepatan kerja, inisiatif, komunikasi, mencari informasi baru, suka pekerjaan menantang, berpegang pada aturan, penggunaan kewenangan, dan ketegasan dalam memberlakukan standar kualitas.
183
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 175 - 184 SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, diperoleh simpulan sebagai berikut. Tingkat pendidikan guru, dukungan sesama guru, gaya kepemimpinan kepala sekolah, lingkungan fisik sekolah, dan kinerja guru SMA/MA Negeri di Kabupaten Alor dalam kategori baik. Tingkat pendidikan guru, dukungan sesama guru, gaya kepemimpinan kepala sekolah, lingkungan fisik sekolah memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan kinerja guru. Meskipun demikian, sumbangan dalam meningkatkan kinerja guru masih belum maksimal. Guru yang masih memiliki kualifikasi pendidikan yang rendah perlu ditingkatkan. Di samping itu untuk meningkatkan pengetahuan guru tentang standar pendidikan maka kepada Dinas Pendidikan Kabupaten Alor agar terus memfasilitasi kegiatan sosialisasi standar nasional pendidikan kepada sekolah. Oleh karena guru juga cukup merasakan bantuan dan kerja sama dari sesama guru maka disarankan kepada para guru agar dapat mengoptimalkan kerja sama dan sinergi dalam pelaksanan tugas. Kepala Sekolah disarankan agar terus mendorong dan memfasilitasi kerja sama antar guru dalam hal persiapan maupun evaluasi pembelajaran di sekolah. Dalam hal kepemimpinan oleh karena guru cukup merasakan langsung kepemimpinan Kepala Sekolah maka disarankan Kepala Sekolah agar dapat mengintensifkan komunikasi dengan guru tidak hanya untuk menyerap aspirasinya, tetapi juga membantu mencari jalan keluar dari kesulitan yang dihadapinya dalam melaksanakan tugas. Pada pihak lain oleh karena kondisi lingkungan fisik sekolah juga cukup dirasakan langsung oleh guru dalam melaksanakan tugas maka pihak sekolah agar dapat membuat rencana pengembangan fisik sekolah sesuai standar nasional pendidikan. DAFTAR PUSTAKA Alexander, Bryant K., Anderson, Gary L . , G a l l e g o s , B e r n a r d o . 2 005.
184
Performance Theories in Education, Power, Pedagogy, and The Politicsof Identity. London: Lawrence Erlabaum Associates, Publishers. Anderson, L. W., Krathwohl, D. R., & Bloom, B. S. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing: A Revision of Bloomâ&#x20AC;&#x2122;s Taxonomy of Educational Objectives. New York: Longman. Decenzo, D.A, & Robins, P.S. 1999. Human Resource Management. Sixth edition. New York: John Wiley & Sons, Inc. Dinas Pendidikan Kabupaten Alor. 2008. Daftar Peserta UN/US SMA/MA & SMK TP. 2002-2008. Landy, F. J., & Farr, J. L. 2005. The Measurement of Work Performance. Methods, Theory, and Applications. San Diego, New York, Berkeley, Boston, London, Sydney, Tokyo, Toronto: Harcourt Brace Jovanovich, publisher. Mahmudi. 2005. Manajemen Sektor Publik. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Mitchell, Terrence R. 1978. People in Organization. Tokyo: McGraw Hill Sugiyono. 2007. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. Timpe, D. A. 1991. Seri Manajemen Sumber Daya Manusia Memotivasi Pegawai (Terjemahan Susanto Budidharmo). New York: KEND Publishing. (Buku asli diterbitkan tahun 1987). Timpe, D.A.1992. Seri Manajemen Sumber Daya Manusia Kinerja (Terjemahan Sofyan Cikmat). New York: KEND Publishing. (Buku asli diterbitkan tahun 1988). Timpe, D.A. 1991. Seri Manajemen Sumber Daya Manusia Memimpin Manusia. Terjemahan Sofyan Cikmat. New York: KEND Publishing. (Buku asli diterbitkan tahun 1987.)
PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BIOLOGI BERBASIS MASALAH Paidi
FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta e-mail: paidiuny@yahoo.com Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran biologi berbasis masalah pada siswa SMA. Prosedur pengembangan perangkat pembelajaran dalam penelitian ini mengadaptasi prosedur 4-D (Define, Design, Develop, dan Disseminate). Pengembangan perangkat pembelajaran dimulai dengan tahapan analisis kebutuhan, penyusunan prototipe, penyusunan draft, dan validasi. Validasi dilakukan melalui langkah review internal, review eksternal, dan uji coba terbatas. Keefektifan perangkat pembelajaran terhadap kemampuan metakognitif dan pemecahan masalah dilakukan melalui penelitian eksperimen. Hasil validasi menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran berbasis masalah mempunyai kualitas baik dan potensial efektif untuk diterapkan dalam pembelajaran biologi di SMA guna peningkatan kemampuan metakognitif, pemecahan masalah, serta penguasaan konsep biologi bagi siswa SMA di Sleman-DIY. Hasil ujicoba terbatas, menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran biologi berbasis masalah ini dapat dilaksanakan oleh guru di sekolah dengan kualitas dan kategori kefavoritan sedang. Implementasi perangkat pembelajaran yang dihasilkan berpengaruh signifikan terhadap kemampuan metakognitif dan penguasaan konsep biologi; berpengaruh sangat signifikan terhadap kemampuan pemecahan masalah biologi. Ada korelasi positif antara kemampuan metakognitif dengan penguasaan konsep biologi. Ada korelasi positif antara kemampuan pemecahan masalah dengan penguasaan konsep biologi. Ada kecenderungan korelasi antara kemampuan metakognitif dengan pemecahan masalah. Kata kunci: Metakognitif; pembelajaran biologi berbasis masalah; pemecahan masalah
DEVELOPMENT OF PROBLEM-BASED LEARNING KITS FOR BIOLOGY Abstract This study is aimed at developing a problem-solving based learning kits for Senior High School students. The development procedure adapted the 4-D model (Define, Design, Develop, Disseminate). The development proceeds with needs analysis, prototype development, draft development, and validation. The validation is conducted through internal review, external review, and limited try-out. The effectiveness of of the learning kits is assessed through experimentation. The results show that the problem-solving based learning kits for metacognitive skills and problem solving is categorized as having a good quality and has the potential to be implemented in the Senior High School for biology learning to promote metacognitive skills, problem so lving, and concept mastery for Senior High School students in Sleman-DIY. The results of the limited try-out show show that the learning kits can be implemented by the school teachers with adequate preference. The implementation of the learning kits has a significant effect on metacognitive skills and concept mastery; has a high effect on problem solving. There is a positive correlation between metacognitive skills and concept mastery. There is a positive correlation between problem solving and concept mastery. There is a positive correlation between metacognitive skills and problem solving. Keywords: metacognitive skills, problem-based learning, problem solving
185
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 185 - 201 PENDAHULUAN Kemampuan metakognitif dan pemecahan masalah, yang banyak memberdayakan berpikir reflektif, kritis, dan analitis, dituntut dimiliki para siswa, siswa SMA di era pengetahuan, seperti yang tercantum dalam Standar Isi (Permen 22, tahun 2006) dan juga Global Studentâ&#x20AC;&#x2122;s Learning Outcome (YCCD, 2005). Kemampuankemampuan ini diyakini mampu membantu siswa membuat keputusan yang tepat, cermat, sistematis, logis, dan mempertimbangkan berbagai sudut pandang. Kemampuan metakognitif dan pemecahan masalah berkaitan dengan strategi bagaimana seseorang belajar atau learning how to learn dan thinking about thinking (Slavin, 2000; Livingston, 1997). Menurut Flavell (Cooper, 2004), metakognisi memainkan peran penting dalam hal komunikasi, pengontrolan diri, ingatan, pemecahan masalah, dan pengembangan kepribadian. Kemampuan metakognitif terkait dengan pengontrolan komponenkomponen kognitif yang memungkinkan anak memahami tugas atau persoalan yang dihadapi kemudian berusaha meyakinkan bahwa semua persoalan ini telah diselesaikan dengan benar. Salah satu bagian dari proses pemecahan masalah adalah pengambilan keputusan, yang didefinisikan sebagai memilih solusi terbaik dari sejumlah alternatif yang tersedia. Pengambilan keputusan yang tidak tepat, akan mempengaruhi kualitas hasil dari pemecahan masalah yang dilakukan. Dalam hal pemecahan masalah biologi, latihan-latihan menghadapi masalah biologi yang sulit, yang dilakukan oleh seorang siswa dengan bantuan guru dan siswa lainnya, akan mampu meningkatkan kemampuan metakognitif siswa tersebut, yang sebelumnya tidak pernah dicapainya (Peng, 2004). Dengan demikian, matapelajaran biologi dipandang potensial digunakan sebagai bahan kajian untuk meningkatkan kemampuan anak memecahkan masalah dan juga kemampuan metakognitif, selain kemampuan penguasaan konsep biologi itu sendiri.
186
Di lain pihak, hasil penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa kemampuan-kemampuan tersebut belum berkembang di kalangan siswa SMA di Kabupaten Sleman-Yogyakarta, daerah yang merupakan salah satu barometer pendidikan di Jawa Tengah dan DIY. Pembelajaran biologi yang dipandang potensial untuk memberdayakan kemampuan berpikir siswa, dalam kesehariannya justru guru hanya banyak mengandalkan metode pengajaran yang memperkuat aspek ingatan siswa saja (Paidi, 2003; 2008). Dalam rangka pemberdayaan berpikir siswa, khususnya peningkatan kemampuan memecahkan masalah dan kemampuan metakognitif ini pada para siswa SMA, beberapa alternatif model dan atau strategi pembelajaran konstruktivis dinilai sangat potensial, sehingga perlu dicoba digunakan oleh para guru, termasuk guru matapelajaran biologi. Sebagian dari sekian banyak model pembelajaran yang potensial tersebut adalah model pembelajaran berbasis masalah atau Problem-Based Learning (Barrows, 1988; Sage, 2003; Arends, 2004). Pembelajaran berbasis masalah, yang juga sering disebut Problem-Based Learning (PBL), merupakan model pembelajaran yang memberdayakan siswa untuk melakukan penyelidikan, memadukan teori dan praktik, serta menerapkan pengetahuan dan keterampilan untuk mengembangkan sebuah solusi praktis atas suatu problem tertentu (Savery, 2006). pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu jenis model pembelajaran yang bersifat learner-centered atau pembelajaran yang berpusat pada siswa, di samping Project-Based Learning, CaseBased Learning, dan Inquiry-Based Learning (Eggen & Kauchak, 1996; Savery, 2006). Beberapa ahli terdahulu telah mendeskripsikan karakteristik pembelajaran berbasis masalah, di antaranya adalah Peter Ommundsen, (Ommundsen, 2001), yang memaknai dan memandang Pembelajaran
Paidi: Pengembangan Perangkat Pembelajaran Biologi Berbasis Masalah
berbasis masalah sebagai sebuah sarana untuk mempelajari biologi dan juga cocok untuk pembelajaran dalam segala ukuran kelas serta untuk segala jenjang pendidikan. Jadi, menurut Peter Ommundsen, PBL cocok sebagai strategi belajar biologi (bagi siswa) dan pembelajaran biologi (bagi guru). Dalam kegiatan pembelajaran ini, guru dapat mengajak siswa memecahkan masalah dengan tingkat kesulitan dan sifat masalah yang bervariasi. Sementara Hmelo-Silver (Savery, 2006), lebih condong mendeskripsikan PBL sebagai sebuah metode pembelajaran (bagi guru); sementara siswa belajar melalui pemecahan masalah pada suatu masalah kompleks atau ill-structured problem, yang tidak hanya mempunyai satu macam solusi. Dalam model ini, siswa bekerja berkelompok secara kolaboratif untuk mengidentifikasi hal-hal yang mereka perlukan untuk belajar guna memecahkan masalah, mengarahkan belajar mandiri, menerapkan pengetahuan baru mereka untuk permasalahan itu, serta merefleksi apa yang telah mereka pelajari dan keefektifan strategi yang telah mereka gunakan. Hasil penelitian pendahuluan (Paidi, 2008) juga menghasilkan kesimpulan bahwa pembelajaran berbasis masalah (ProblemBased Learning) sebenarnya potensial dapat diimplementasikan dalam pembelajaran biologi di SMA-SMA di Kabupaten Sleman, karena adanya dukungan lingkungan dan sumber belajar relevan. Namun data juga menunjukkan lebih dari 60% guru (responden) menyatakan kurang memahami makna pembelajaran berbasis masalah, apalagi menerapkannya; belum satupun dari mereka yang secara eksplisit menerapkannya. Ada beberapa responden yang menyatakan sangat memahami pembelajaran berbasis masalah dan pernah menggunakannya di kelas, ternyata tidak. Melalui observasi di kelas yang bersangkutan, ternyata pengimplementasian pembelajaran berbasis masalah tersebut
belum (belum pernah) dilakukan, karena berbagai alasan. Salah satu alasannya adalah belum adanya model, contoh, dan perangkat pembelajaran yang mendukung. Merupakan pertanyaan untuk dijawab melalui penelitian, adalah bagaimana menyiapkan, mengadakan, dan atau mengembangkan perangkat pembelajaran berbasis masalah bagi siswa SMA dalam matapelajaran biologi, yang potensial efektif bagi peningkatan kemampuan metakognitif, pemecahan masalah, dan penguasaan konsep biologi. Merupakan pertanyaan pula, seberapa efektif perangkat-perangkat tersebut bagi peningkatan kemampuan-kemampuan hasil belajar pada siswa. METODE Penelitian ini tergolong Penelitian pengembangan (research and developmental). Adapun model yang diacu pada penelitian pengembangan ini adalah 4D atau 4-D, yang merupakan singkatan dari Define, Design, Develop, dan Disseminate (Thiagarajan, S., et. Al., 1974; Campbell et. al, 2003). Rincian mengenai 4-D diuraikan berikut. Define merupakan tahapan analisis situasi, urgensi penelitian, analisis kompetensi, dan kondisi peserta didik, yang terkait dengan materi perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Design, merupakan tahapan pengembangan draft perangkat pembelajaran. Develop merupakan tahapan pelengkapan dan atau penyempurnaan perangkat pembelajaran melalui validasi (review) dan ujicoba. Disseminate, merupakan tahapan publikasi dan atau penyebarluasan hasil penelitian, dalam upaya penerapan hasil penelitian ini pada skup yang lebih luas. Tahapan define telah dilakukan dalam penelitian sebelumnya. Jadi, dalam penelitian ini hanya diprogramkan melakukan tahapan design, develop, dan disseminate. Secara skematis, prosedur dan tahapan penelitian ini digambarkan sebagai Gambar 1.
187
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 185 - 201
Gambar 1. Bagan Alir Penelitian Penelitian eksperimental ini dilakukan untuk menguji keefektifan perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan pada tahapan penelitian sebelumnya. Penelitian ujicoba ini dimaksudkan untuk mengetahui keefektifan perangkat pembelajaran berbasis masalah terhadap kemampuan metakognitif, pemecahan masalah, dan penguasaan konsep biologi siswa SMA. Penelitian dirancang menggunakan quasi experimental atau eksperimen semu jenis two groups pretest-postest design. Sebagai variabel bebas macam atau model pembelajaran, ialah pembelajaran yang mengimplementasikan perangkat pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran konvensional. Kelas yang pembelajarannya mengimplementasikan perangkat pembelajaran berbasis masalah disebuat sebagai grup eksperimen, sedangkan
188
kelas dengan pembelajaran konvensional, disebut sebagai grup kontrol. Rancangan penelitian dengan pengimplementasian perangkat pembelajaran berbasis masalah sebagai treatmen, diskemakan sebagai Gambar 2. Rancangan ini diadaptasi dari Ary et al. (1982). Populasi dalam penelitian eksperimental ini adalah seluruh siswa Kelas X SMA di Wilayah Kabupaten Sleman. Untuk penentuan sampel penelitian, dari 40 SMA (negeri dan swasta) yang ada di wilayah Kabupaten Sleman, diambil 2 SMA saja. Dengan purposive sampling, 2 SMA yang terpilih adalah SMAN 2 Sleman dan SMAN 1 Ngaglik. Kedua SMA berkategori sedang ini masing-masing mempunyai 4 dan 6 kelas paralel untuk kelas X. Pada masing-masing SMA tersebut, diambil 2 kelas secara acak
Paidi: Pengembangan Perangkat Pembelajaran Biologi Berbasis Masalah
Gambar 2. Desain Penelitian untuk dilibatkan dalam penelitian ini. Untuk SMAN 2 Sleman, kelas yang terambil adalah Xa dan Xb sedangkan untuk SMAN 1 Ngaglik, kelas-kelas yang terambil adalah Xb dan Xf. Ke-4 kelas yang dilibatkan dalam penelitian tersebut masing-masing berisi sekitar 35 siswa sehingga total siswa yang merupakan sampel dalam penelitian eksperimental ini adalah sekitar 140 siswa. Penelitian eksperimental untuk menguji keefektifan perangkat pembelajaran tersebut dilakukan di 2 sekolah, karena adanya maksud untuk melakukan pengulangan. Dari segi kategori kefavoritan sekolah, kedua SMAN tersebut tergolong sekolah-sekolah berkategori sedang, bersama dengan sekitar 10 SMAN lainnya di Kabupaten Sleman. Selain sama-sama bertipe B dan berkategori sedang, kedua SMAN ini juga diampu oleh guru-guru biologi dengan latar belakang pendidikan, pelatihan, dan pengalaman mengajar yang relatif sama. Untuk penentuan kelompok-kelompok perlakuan, pada kelas-kelas yang terambil tersebut dilakukan pengacakan. Hasil pengacakan untuk SMAN 2 Sleman adalah: Xa sebagai kelompok eksperimen dan Xb sebagai kelompok kontrol, sementara untuk SMAN 1 Ngaglik, hasil pengacakan tersebut adalah: Xb sebagai kelompok eksperimen dan Xf sebagai kelompok kontrol. Keterlaksanaan pengimplementasian pembelajaran berbasis masalah sebagai variabel bebas, diukur menggunakan
instrumen observasi proses, berupa lembar keterlaksanaan pembelajaran. Instrumen ini divalidasi menggunakan logical validation, ialah berupa masukan dari expert dan empirical validation, ialah digunakan pada ujicoba terbatas. Kemampuan metakognitif, sebagai variabel tergantung, diukur menggunakan instrumen inventori kesadaran metakognitif untuk anak remaja, atau Metacognitive Awareness Inventory-Junior (MAI-Jr), yang dimodifikasi. Empirical validation instrumen ini dilakukan dengan ujicoba. Kemampuan pemecahan masalah, sebagai variabel tergantung, diukur menggunakan instrumen tes pemecahan masalah. Instrumen disusun dalam bentuk tes model tes hubungan konteks/ wacana. Instrumen divalidasi menggunakan logical validation dan ujicoba. Kemampuan penguasaan konsep biologi, yang juga sebagai tambahan variabel tergantung, diukur menggunakan instrumen berupa soal-soal tes, yang disusun berdasarkan soal-soal buatan guru MGMP Biologi Kabupaten Sleman dan konteks materi pelajaran terkini yang relevan. Soal tes divalidasi melalui expert judgement dan empirical validation. Data pada penelitian eksperimental dikumpulkan selama 1 semester penuh pada semester genap dan semester gasal tahun pelajaran 2009/2010. Subjek pengumpul data adalah peneliti dibantu 1 orang mahasiswa semester VIII dan para guru pengimplementasi perangkat pembelajaran itu sendiri..
189
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 185 - 201 Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif dan inferensial. Analisis data secara deskriptif mengggunakan statistika deskriptif dilakukan untuk pendeskripsian beberapa variabel, sementara analisis inferensial dilakukan untuk mengetahui signifikansi pengaruh treatmen terhadap beberapa variabel tergantung (hasil belajar). U n t u k m e n g e t a h u i k e e f e k tif an pengimplementasian perangkat pembelajaran berbasis masalah, data dianalisis secara statistik inferensial menggunakan Anakova dari SPSS for Windows Ver. 12. Sebagai kovariat dalam analisis ini adalah kemampuan awal siswa yang terkait. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini dirinci menjadi dua bagian besar, ialah hasil penelitian pengembangan dan hasil penelitian eksperimental. Hasil penelitian pengembangan terfokus pada hasil-hasil pengukuran, penilaian, atau masukan-masukan ketika menyusun perangkat pembelajaran sampai dengan ujicoba terbatas. Sementara hasil penelitian eksperimental terfokus pada hasilhasil yang diperoleh terkait dengan pengujian perangkat pembelajaran tersebut untuk melihat keefektifan perangkat pembelajaran ini bagi kemampuan metakognitif dan pemecahan masalah biologi pada siswa-siswa SMA di Sleman, DIY. Hasil review dan validasi perangkat pembelajaran berbasis masalah untuk matapelajaran biologi SMA diuraikan berikut. Review oleh reviewer internal, khususnya para dosen pembimbing dan kolega, menyimpulkan secara garis besar perangkat pembelajaran baik, dapat diteruskan dilihat keefektifannya bagi hasil belajar tertentu. Beberapa masukan penting dari reviewer internal, antara lain adalah: 1) silabus di samping mengacu pada standar isi, juga perlu mengacu kepada potensi lokal, dalam arti materi-materi pelajaran sampai dengan sumber belajarnya memanfaatkan konteks-konteks lokal, 2)
190
silabus perlu dibuat yang lebih sederhana, baik penampilan atau format maupun isinya; isi yang lebih rinci dituangkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), 3) RPP dibuat yang betul-betul operasional, yang dapat membimbing guru memasuki kelas serta membawa siswa belajar secara optimal, 4) RPP juga perlu mempedomani guru bagaimana mengelola waktu pelajaran, 5) Teaching guide perlu dibuat per aspek yang potensial menimbulkan kesulitan bagi guru, 6) LKS disusun bukan sekedar latihan soal, namun benar-benar menjadi panduan bagi siswa untuk belajar dengan optimal, 7) Hand-out siswa perlu membekali materimateri pelajaran yang esensial, 8) teknik dan instrumen penilaian disiapkan yang komprehensif namun betul-betul operasional, dalam arti dapat dilakukan atau dikelola guru dengan kondisi yang wajar, 9) pengukuran dan penilaian juga direncanakan dengan baik agar dalam pelaksanaannya tidak membebani siswa. Hasil review oleh reviewer eksternal, secara umum juga menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran memadai, jelas, dan operasinal untuk diujicobakan di kelas riil. Selain memberikan penilaian numerik, para reviewer eksternal juga memberikan catatancatatan sebagai masukan. Beberapa catatan menarik dari para reviewer eksternal antara lain: 1) Rumusan kompetensi dasar, indikator, dan tujuan pembelajaran dalam silabus dan RPP harus mempunyai isi yang cocok dengan rumusan tujuan belajar dalam LKS, walaupun menggunakan bahasa yang berbeda, 2) guru perlu dibuatkan panduan khusus bagaimana menggunakan LKS. Kalau tidak, dalam skenario pembelajaran perlu dirinci kapan dan bagaimana LKS-LKS dipedomani oleh siswa dalam belajarnya, 3) rumusan indikator, tujuan pembelajaran, dan tujuan belajar perlu disusun yang singkat dan lugas agar guru atau siswa mudah memahami maksudnya, 4) perlu dipikirkan dan dicek lagi rencana jumlah materi pelajaran atau kegiatan beserta
Paidi: Pengembangan Perangkat Pembelajaran Biologi Berbasis Masalah
alokasi waktunya, mengingat sekolah atau guru sering mempunyai kegiatan insindental (tidak terkalenderkan), yang pelaksanaannya menggunakan jam-jam belajar efektif, 5) perlu mengoptimalkan fungsi handout dalam membekali materi pelajaran, melalui belajar mandiri. Hasil penilaian numerik oleh para reviewer eksternal telah dengan jelas menyatakan kehandalan perangkat pembelajaran untuk diimplementasikan dalam kelas. Trend, median, modus, atau â&#x20AC;&#x153;meanâ&#x20AC;? skor dari para reviewer ini sudah di atas 3, atau di atas kategori cukup untuk semua aspek yang direview. Rekapitulasi hasil review para reviewer eksternal, ditabulasikan dalam Tabel 3. Catatan-catatan penting hasil review tersebut telah diakomodasi dalam merevisi perangkat pembelajaran. Sebagai contoh, dalam mengatasi keterbatasan waktu, beberapa macam kegiatan dibuat sebagai kegiatan paralel kelompok. Untuk 3 buah submateri atau wacana dalam suatu LKS misalnya, dari 9 kelompok siswa, 3 kelompok pertama mengerjakan atau mencermati submateri pertama, 3 kelompok berikutnya mengerjakan submateri kedua, dan sisanya mengerjakan submateri ketiga. Komunikasi, diskusi, dan sharing antarkelompok submateri, dilakukan dalam forum diskusi kelas. Lembar Kegiatan Siswa (LKS) yang dinilai sudah baik oleh para ahli dan praktisi pendidikan tersebut, ternyata juga sudah cukup terbaca menurut siswa, baik keterbacaan atas istilah-istilah, kalimat-kalimat, maupun isi dari tiap wacana yang digunakan dalam LKS. Hasil review menunjukkan tingkat keterbacaan ini oleh beberapa siswa yang rekapitulasinya ditabulasikan dalam Tabel 3. Tabel 4 menunjukkan bahwa LKS dan hand-out sudah terbaca oleh siswa. Sebagai contoh, istilah atau kata-kata yang terdapat dalam LKS dan hand-out dipandang tidak asing atau tidak sulit dimengerti. Kalimat dan isi dalam wacana-wacana juga dipandang
tidak asing, menarik, dan dapat dipahami. Fakta yang lebih menarik adalah, adanya keyakinan dari hampir seluruh responden bahwa alat, bahan, serta sumber bacaan yang dituntut disiapkan siswa, dapat mereka jangkau, temukan, atau siapkan. Hal ini berarti pembelajaran dapat diterapkan, tanpa harus ada persiapan ekstra dari guru, terkait dengan sumber bahan ini. Seperti halnya silabus, RPP, teaching guide, LKS, dan handout, instrumen penilaian oleh para reviewer, secara umum juga dinilai cukup baik, relevan dengan kompetensi, tujuan pembelajaran, dan kegiatan belajar yang dirancang. Hasil review para reviewer internal atas beberapa instrumen pengukuran nontes, seperti MAI-Jr (instrumen pengukuran kemampuan metakognitif), dan lembarlembar observasi, menghasilkan catatancatatan penting. Beberapa catatan ini antara lain adalah: 1) walaupun diadaptasi dari instrumen yang sudah digunakan para peneliti internasional, MAI-Jr tetap perlu divalidasi, paling tidak dengan logical validation (review oleh para expert terkait), 2) instrumen perlu dibuat sesederhana mungkin, agar responden tidak terbebani saat memberikan tanggapan pada instrumen-instrumen tersebut, 3) walaupun dibuat sederhana, self validation tetap perlu diakomodasi dalam instrumen, khususnya MAI-Jr, agar ketidaksungguhan dalam mengisi dapat sedikit dideteksi. Mengikuti saran reviewer internal, instrumen MAI-Jr selain dengan logical validation, juga diujicoba secara empiris. Ujicoba untuk melihat keterbacaan instrumen ini dilakukan pada 12 siswa sampel acak yang diambil dari luar subjek penelitian. Hasil emphirical validation MAI-Jr direkap dalam Tabel 5. Tabel 5 tersebut secara umum menunjukkan bahwa angket atau inventori MAI-Jr terbaca oleh siswa dan dapat digunakan untuk menjaring data yang sesungguhnya di kelas-kelas penelitian.
191
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 185 - 201 Tabel 3. Rekapitulasi Hasil Review Ahli dan Praktisi Pendidikan Biologi terhadap Perangkat PBL
Catatan Umum Skor: 5=sangat baik; 4=baik; 3=cukup; 2=kurang; 1=sangat kurang
192
Paidi: Pengembangan Perangkat Pembelajaran Biologi Berbasis Masalah
Tabel 4. Rekapitulasi Hasil Review Siswa terhadap Perangkat Pembelajaran Berbasis Masalah (LKS dan Hand-out) menggunakan PBL
Catatan: SS=sangat setuju ; S=setuju ; R=ragu-ragu ; T=tidak setuju ; ST=sangat tidak setuju
Tabel 5. Rekapitulasi Tanggapan Siswa terhadap Keterbacaan MAI-Jr
Hasil Review para reviewer internal, atas soal tes pemecahan masalah, menunjukkan bahwa soal model hubungan konteks yang dibuat, sangat menarik dan cocok untuk mengajak siswa SMA berlatih memahami masalah sains di sekitarnya. Catatan penting terkait dengan soal pemecahan masalah oleh para reviewer internal ini, adalah terkait dengan cakupan wacana. Wacana perlu lebih dipersingkat, agar tidak banyak menuntut waktu untuk memahaminya. Sementara, soal penguasaan konsep yang validasinya dilakukan melalui ujicoba
di kelas, menunjukkan bahwa secara umum butir-butir soal valid dan soal dianggap reliabel. Hasil analisis butir soal dengan ITEMAN atas 45 butir soal pilihan ganda, memberikan informasi bahwa sebagian besar soal valid, beberapa perlu direvisi. Hasil analisis dengan ITEMAN juga memberikan informasi mengenai keterandalan perangkat soal. Nilai alpha, yang mengindikasikan kekonsistensian butir soal, juga memperkuat bahwa soal penguasaan konsep cukup baik. Harga alpha yang lebih besar dari 0,70 mengandung arti soal handal. Nilai alpha
193
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 185 - 201 dan rangkuman output hasil ITEMAN, selengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 6. Tabel 6. Rangkuman atau Summary Output Hasil Analisis Butir Soal
Dari summary tersebut dapat dinyatakan bahwa secara umum soal TPK dinilai valid dan reliabel. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata indeks kesukaran (Mean P), ialah 0,472, ratarata indeks daya beda (Mean Item-Tot), ialah 0,360, serta koefisien korelasi Hoyt (Alpha), ialah 0,857. Soal buatan guru dianggap valid apabila rata-rata indeks kesukarannya 0,25-0,7 dan rata-rata indeks daya bedanya minimal 0,25. Menurut Bambang Subali & Paidi (2002), soal buatan guru dianggap reliabel apabila koefisien korelasi Hoyt-nya minimal 0,7. Dari 20 butir soal yang ditandai perlu direvisi tersebut, selanjutnya dicek lagi menggunakan program kalibrasi, yang merupakan analisis lebih lanjut dari ITEMAN, ialah program ASCAL. Program ini digunakan untuk melihat rincian soal yang perlu direvisi dan atau perlu diganti. Kalibrasi dengan ASCAL, dari 21 butir soal tersebut, ternyata hanya menyisakan 6 butir soal yang kurang baik dan perlu direvisi, ialah soal nomor 21, 22, 23, 31, 35, dan 44. Butir-butir soal yang mempunyai X2hitung > X2tabel ini selanjutnya
194
direvisi dan divalidasi ulang secara terpisah. Hasil ujicoba terbatas menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran dapat diimplementasikan di kelas dengan baik. Hasil observasi intensif menunjukkan bahwa sintaks pembelajaran berbasis masalah dapat berlangsung. Keterlaksanaan ini tidak saja dilihat dari kemunculan tahapan-tahapan sintaks pembelajaran yang bersangkutan, melainkan juga dikaitkan dengan alokasi waktu, sarana, sumber belajar, dan kinerja guru, serta respon siswa. Pada awal pembelajaran, guru mampu mengajak siswa mengenal kawasan permasalahan dan menggiring mereka mendekati pokok permasalahan yang akan mereka temukan, pecahkan, dan pelajari selanjutnya. Satu hal yang menjadi catatan terkait dengan Tahap 1 sintaks ini, ada kecenderungan alokasi waktu terlampaui, ketertarikan siswa pada pancingan permasalahan oleh guru, cenderung siswa mengejar pancingan dan jawaban guru lebih banyak. Ini dalam ujicoba, maka perlu langkah antisipatif yang lebih efektif dan efisien. Merupakan catatan penting, ketika menghadapi langkah kegiatan dalam LKS, di mana siswa perlu melakukan konfirmasi data melalui pengamatan langsung, guru pengujicoba mengalami sedikit kesulitan. Hal ini terkait dengan ketidaktersediaan objek pengamatan seperti yang direncanakan dalam LKS, ialah objek keanekaragaman gen, jenis, dan ekosistem yang ada kebun sekolah, sawah, atau kolam air tawar. di SMAN 2 Sleman sama sekali tidak memiliki kebun dan kolam, serta agak jauh dari persawahan. Guru akhirnya memilih menggunakan beberapa macam tanaman dalam pot yang ada di halaman sekolah. Siswa kurang maksimal dalam melakukan pengamatan, akibat keterbatasan jumlah objek. Diskusi pascapembelajaran memberikan beberapa rekomendasi utnuk mengatasi keterbatasan objek pengamatan akibat tidak tersedianya kebun, kolam, dan juga jauh dari persawahan. Salah satu
Paidi: Pengembangan Perangkat Pembelajaran Biologi Berbasis Masalah
rekomendasi adalah guru menggunakan objek alternatif, misalnya para siswa sendiri. Keanekaragaman gen dipelajari menggunakan objek manusia. Sementara keanekaragaman lainnya, guru menggunakan beberapa gambar yang tersedia di laboratorium. Hal ini menarik untuk dipikirkan, agar Tahap-3 dapat terlaksana dengan lebih baik. Pada tahap-4, juga ada catatan menarik. Ketika siswa harus mempresentasikan hasil pengerjaan LKS-1 dan LKS-2, presentasi tidak dapat berjalan dengan optimal. Siswa menyatakan keberatan menulis presentasi dalam plastik transparensi dan kesulitan menelusuri referensi, khususnya dari internet. Guru kurang memfasilitasi siswa. Diskusi pascapembelajaran memberikan rekomendasi solusi, ialah guru menyediakan referensi dan mempersilakan siswa membuat bahan presentasi model transparensi atau presentasi power point. Untuk itu guru perlu menyediakan plastik transparensi, menyiapkan OHP, LCD beserta komputer yang dapat digunakan siswa di sekolah. Guru meminjamkan buku-buku sekolah. Guru juga memberikan petunjuk singkat cara membuat bahan presentasi OHP maupun presentasi power point. Ini merupakan catatan penting yang juga dijadikan bahan masukan
untuk diakomodasi dalam revisi perangkat pembelajaran selanjutnya. Tahap 5, dalam ujicoba ini dapat berjalan, namun kurang optimal, di lokasi ujicoba tersebut. Salah satu catatan penting dari tahap-5 ini adalah, guru kekurangan waktu untuk melakukan klarisifikasi, analisis, dan evaluasi proses pembelajaran yang telah berlangsung. Berbagai kekeliruan, kekurangan, perbedaan pendapat, hal-hal positif yang ditemukan atau terjadi dalam proses pembelajaran sebelumnya, belum dapat dianalisis, dibahas, dan diklarifikasi secara tuntas. Tahap ini penting, untuk meluruskan yang salah, menambah yang kurang, dan memberikan penegasan atas sesuatu yang meragukan, serta memantabkan yang sudah benar. Karena pentingnya tahapan ini, oleh karenanya langkah antisipatif menghadapi kendala keterbatasan waktu perlu diupayakan. Uji statistik atas kerangka teoretik atau model hubungan antarvariabel yang telah dirumuskan pada bab-bab terdahulu, guna mengetahui signifikansi hubunganhubungan itu, dimulai dengan penetapan macam hubungan. Rekap hasil penetapan macam hubungan antarvariabel penelitian ini disajikan dalam Gambar 3.
Gambar 3. Model hipotetik Hubungan Antarvariabel Penelitian
195
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 185 - 201 Dalam Gambar 3 terlihat bahwa ada dua macam hubungan dalam uji hipotesis pada penelitian ini, ialah hubungan korelasional sejajar dan kausal. Korelasional sejajar dalam bagan ditandai dengan huruf r, yang menyatakan besarnya koefisien korelasi. Sedangkan hubungan korelasional kausal ditandai dengan huruf F, yang menyatakan besarnya pengaruh suatu faktor/perlakuan, yang dalam hal ini adalah pengimplementasian pembelajaran berbasis masalah. Melalui uji hipotesis ini, akan ditunjukkan ada tidaknya: 1) pengaruh implementasi perangkat pembelajaran berbasis masalah terhadap hasil belajar siswa, dan 2) pengaruh kemampuan awal sebagai kovariat terhadap masing-masing kemampuan hasil belajar siswa, dan 3) saling hubungan (interkorelasi) antarkomponen hasil belajar. Hasil analisis kovarian (anakova) pengaruh pembelajaran berbasis masalah dan kemampuan awal sebagai kovariat terhadap kemampuan metakognitif, pemecahan masalah, dan penguasaan konsep, ditunjukkan dalam Tabel 7. Dari Tabel 7 terlihat bahwa implementasi perangkat pembelajaran (berbasis masalah berpengaruh secara signifikan sampai dengan sangat signifikan terhadap kemampuan metakognitif, pemecahan masalah, dan penguasaan konsep biologi. Dari tabel tersebut juga terlihat bahwa perbedaan kemampuan
siswa antarkelompok perlakuan umumnya adalah akibat implemenyasi perangkat tersebut, bukan kemampuan awalnya. Hasil analisis korelasi antartiga variabel hasil belajar, ialah kemampuan metakognitif, kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan penguasaan konsep, menunjukkan bahwa ada kecenderungan adanya interkorelasi antartiga variabel ini. Kemampuan metakognitif berkorelasi signifikan (p<0,05) dengan kemampuan penguasaan konsep. Demikian juga hubungan antara kemampuan pemecahan masalah dengan kemampuan penguasaan konsep. Hanya, hubungan antara kemampuan metakognitif dengan kemampuan pemecahan masalah adalah kurang signifikan (p>0,05). Rekapitulasi hasil analisis korelasi antarvariabel hasil belajar ini ditabulasikan sebagai Tabel 8. Catatan dari reviewer, tentang kualitas dan potensi perangkat pembelajaran berbasis masalah terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis dan juga penguasaan konsep, salah satunya terletak pada kesempatan siswa untuk mengaktualisasi kemampuan pikirnya, melalui persoalan yang menjadi titik pangkal. Model group work dan fasilitasi dari guru, juga mendukung potensi ini. Arends (2004), memberikan contoh RPP untuk PBL (PBL Lesson), yang juga memandang perlunya aktivitas siswa dari fase pertama (orientasi pada masalah) sampai dengan
Tabel 7. Rekapitulasi Hasil Analisis Kovarian Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Hasil Belajar
196
Paidi: Pengembangan Perangkat Pembelajaran Biologi Berbasis Masalah
Tabel 8. Rekapitulasi Hasil Analisis Korelasi Antarkomponen Hasil Belajar
fase kelima (analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah) dapat berjalan dengan baik. Arends (2004) menegaskan perlunya guru mencermati dan memposisikan perannya untuk memastikan bahwa aktivitas siswa pada setiap fase atau tahapan pembelajaran berbasis masalah ini dapat berjalan dengan baik. Masalah kompleks atau ill-structured problem, yang mewarnai lembar kegiatan siswa (LKS) dalam pembelajaran ini, sangat potensial melatih kemampuan siswa mengenal masalah autentik dan menemukan alternatif-alternatif solusinya. Permasalahan kompleks memerlukan analisis, upaya kooperatif, serta pemikiran dari berbagai sudat pandang untuk dapat mengenal dan memecahkannya dengan baik. Dalam pembelajaran berdasarkan ill-structured problem ini, White (1997) menekankan perlunya siswa bekerja berkelompok secara kolaboratif untuk mengidentifikasi hal-hal yang mereka perlukan untuk belajar guna memecahkan masalah, mengarahkan belajar mandiri, mengaplikasikan pengetahuan baru mereka untuk permasalahan itu, serta merefleksi apa yang telah mereka pelajari dan keefektifan strategi yang telah mereka gunakan. Refleksi diri atau self reflection yang ada pada setiap akhir materi pokok LKS, dinilai mempunyai potensi untuk pengembangan kesadaran diri atau self awareness, yang merupakan bagian dari metakognisi. Penilaian reviewer terkait LKS ini juga sesuai dengan pendapat Novak & Gowin (1995). Dukungan materi dalam handout yang dinilai memadai dan media pembelajaran yang dinilai relevan, juga memberikan kontribusi terhadap potensi perangkat pembelajaran itu sendiri.
Adanya signifikansi pengaruh pengimplementasian perangkat pembelajaran berbasis masalah (PBL) ini terhadap kemampuan pemecahan masalah, adalah sesuai dengan pendapat White (2007), mengenai keefektifan PBL bagi kemampuan analis (analyst) dan pemecah masalah (problem solver). Lebih lanjut White menyatakan bahwa keuntungan PBL dibanding model pembelajaran lainnya, adalah di mana guru mengajak siswa mengenali permasalahan, menganalisis, menemukan alternatif-alternatif solusi, memilih solusi, dan mengevaluasi proses pemecahan masalah yang telah dilakukan. Dengan demikian, PBL dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam melakukan analisis dan pemecahan masalah (White, 2007). Arends (2004) juga melihat keefektifan PBL yang mampu membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan pemecahan masalah, belajar peranan orang dewasa yang autentik dan menjadi pebelajar yang mandiri. PBL selalu memfasilitasi dan memberikan peluang pada para siswa belajar 1) mengenal masalah, 2) menemukan alternatif solusi, 3) memilih alternatif solusi, 4) melakukan pemecahan masalah, dan 5) melakukan refleksi keberhasilan pemecahan masalah, seperti yang diungkapkan Peng (2004). Signifikansi pengaruh pembelajaran berbasis masalah terhadap penguasaan konsep, menunjukkan bahwa pengimplementasian perangkat pembelajaran memberikan pengaruh lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran konvensional. Hasil analisis tersebut dapat diinterpretasikan bahwa PBL mampu meningkatkan penguasaan konsep. Hasil tersebut menunjukkan perbedaan
197
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 185 - 201 dibandingkan dengan temuan sebelumnya, misalnya Paidi (2008) dan juga kekhawatiran Savery (2006), tentang kemungkinan kekurangefektifan PBL untuk meningkatkan penguasaan materi pelajaran. Signifikansi pengaruh pengimplementasian perangkat pembelajaran berbasis masalah dalam peningkatan penguasaan konsep, dimungkinkan karena adanya dukungan handout dan media pembelajaran, yang banyak memberikan asistensi kepada siswa untuk memahami materi pelajaran dengan lebih baik dan terstruktur. Hasil analisis korelasi antartiga variabel hasil belajar, ialah kemampuan metakognitif, kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan penguasaan konsep, menunjukkan adanya kecenderungan interkorelasi antartiga variabel ini. Kemampuan metakognitif cenderung berkorelasi posistif dengan kemampuan pemecahan masalah dan juga dengan kemampuan penguasaan konsep. Kemampuan pemecahan masalah berkorelasi positif dengan penguasaan konsep dan juga kemampuan metakognitif. Demikian juga sebaliknya, kemampuan penguasaan konsep berkorelasi positif dengan kemampuan metakognitif dan juga dengan kemampuan pemecahan masalah. A d a n y a t re n d k o r e l a s i p o s i t i f antara kemampuan metakognitif dengan kemampuan pemecahan masalah adalah sesuai dengan pendapat Hollingworth & McLoughlin (2001). Melalui kajian dan penelitiannya yang sangat teliti, Hollingworth & McLoughlin mengemukakan keyakinannya bahwa kemampuan metakognitif siswa dapat meningkat secara signifikan melalui pengimplementasian pendekatan yang proaktif penyiapan sumber belajar bagi berlangsungnya kegiatan pemecahan masalah. Lebih lanjut Hollingworth & McLoughlin mengusulkan untuk selalu memfasilitasi siswa melakukan self-monitoring atas kegiatan problem solving mereka masing-masing. Untuk
198
berkembangnya kemampuan metakognitif ini, Hollingworth & McLoughlin menyatakan perlunya penyiapan situasi dan sumber belajar yang kontekstual yang memungkinkan siswa melakukan eksplorasi, pemecahan masalah, dan refleksi atas langkah yang mereka pilih atau lakukan. Korelasi positif antara kemampuan metakognitif dengan kemampuan penguasaan konsep, yang ditemukan dalam penelitian ini, sesuai dengan pendapat Flavell (dalam Cooper, 2004). Lebih lanjut Flavell menyatakan bahwa kemampuan metakognitif memainkan peranan yang penting dalam proses pembelajaran. Pernyataan yang sama dikeluarkan oleh Brown (1987). Lebih lanjut Brown menyatakan bahwa pembelajaran yang memungkinkan siswa secara aktif meregulasi dan memperbaiki tindakan mereka, akan memperbaiki hasil belajar mereka. Sulit dipungkiri bahwa kesadaran metakognitif memainkan peranan yang penting dalam proses belajar seseorang siswa. Seperti yang dikemukakan oleh Flavell (dalam Cooper, 2004), bahwa siswa yang melakukan pengontrolan atau memonitor proses kognitifnya akan memperoleh kepu tusan kognitif yang lebih baik dibandingkan siswa yang tidak melakukannya. Flavel lebih lanjut mengungkapkan bahwa usaha meningkatkan kuantitas dan kualitas pengetahuan metakognitif dan keterampilan melakukan monitoring proses kognitifnya, merupakan langkah yang perlu dilakukan oleh masing-masing siswa. Brown (1987) juga mempertegas peran metakognitif bagi hasil belajar. Brown mengemukakan bahwa kemampuan metakognitif sepÂerti menyimak, memantau, merancang, dan meramal merupakan ciri khas proses pemikiran yang eĂťsien. Menurut Brown selanjutnya, siswa yang dalam belajarnya secara aktif meregulasi dan memperbaiki langkah-langkahnya, akan memperbaiki hasil belajarnya (Brown, 1987).
Paidi: Pengembangan Perangkat Pembelajaran Biologi Berbasis Masalah
Pembelajaran sains yang memungkinkan siswa proaktif, eksploratif, mampu menumbuhkan kemandirian siswa dalam belajar serta sangat positif dalam membangun pemahamannya. Dengan latihan mengidentifikasi masalah dan memecahkannya ini, siswa terlatih untuk dapat menemukan keterampilan-keterampilan metakognitif atau keterampilan berpikir tingkat tinggi (Eggen & Kauchak, 1996). Adanya korelasi positif antara kemampuan pemecahan masalah dengan kemampuan penguasaan konsep dapat dipahami dengan menyimak pendapat Peng (2004) bahwa kemampuan pemecahan masalah juga merupakan bentuk keterampilan berpikir (thinking skill). Lebih lanjut Peng menyatakan bahwa kemampuan untuk melakukan pemecahan masalah bukan saja terkait dengan ketepatan solusi yang diperoleh, melainkan kemampuan yang ditunjukkan sejak mengenali masalah, menemukan alternatifalternatif solusi, memilih salah satu alternatif sebagai solusi, serta mengevaluasi jawaban yang telah diperoleh. Dengan demikian, wajar jika kemampuan problem solving dianggap sebagai fungsi intelektual yang paling kompleks (Peng, 2004). Kemampuan mencari, menemukan, dan memilih solusi atas permasalahan yang telah diidentifikasi, terkait dengan pemahaman isi atau materi pelajaran. Dengan demikian, keberhasilan melakukan pemecahan masalah pada suatu topik atau materi pelajaran merupakan penanda yang baik bagi tingginya penguasaan materi pelajaran ini. Sedangkan Cotton (1991) mencatat banyaknya hasil penelitian eksperimental, baik true maupun quasi experimental, yang menunjukkan keefektifan dan kaitan antara peningkatan keterampilan berpikir (thinking skill) dengan peningkatan hasil belajar (learning achievement). Lebih lanjut Cotton menambahkan bahwa pelaksanaan penelitian pembelajaran dalam upaya meningkatkan thinking skill siswa, ternyata mampu
mempercepat peningkatan penguasaan materi pelajaran di antara para partisipan (siswa) tersebut. Catatan Cotton ini memperkuat simpulan bahwa siswa yang mempunyai kemampuan pemecahan masalah yang tinggi juga menunjukkan penguasaan konsep yang tinggi pula. Besarnya koefisien korelasional sejajar (r) dan koefisien korelasional kausal (F) untuk masing-masing segmen model hubungan hipotetik antarvariabel, dipandang merupakan petunjuk tingkat keeratan dan besarnya pengaruh suatu faktor terhadap kemunculan respons tertentu. Dalam hal ini, model hipotetik hubungan antarvariabel penelitian belum dapat diterangkan secara penuh, karena hubungan korelasional sejajar baru dapat ditunjukkan sebagian segmen saja (yang diketahui koefisien r-nya). Segmen kerangka teoretik yang dihubungkan dengan F belum dapat dilihat hubungan korelasional sejajarnya, karena variabel pengimlementasian perangkat pembelajaran berbasis masalah berskala ukur ordinal, belum interval atau rasio, yang menjadi syarat untuk dapat diketahui koefisien r-nya). SIMPULAN Pertama, penelitian dan pengembangan ini telah menghasilkan perangkat pembelajaran berbasis masalah yang potensial efektif diterapkan dalam pembelajaran biologi di SMA untuk peningkatan kemampuan metakognitif, pemecahan masalah, serta penguasaan konsep biologi bagi siswa SMA di Sleman-DIY. Kedua, perangkat pembelajaran yang dihasilkan dari penelitian ini diketahui dapat diterapkan dan terlaksana dalam pembelajaran biologi di di Sleman-DIY. Ketiga, implementasi perangkat pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan metakognitif siswa. Keempat, implementasi perangkat pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah biologi. Kelima, implementasi perangkat pembelajaran berbasis masalah
199
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011, Halaman 185 - 201 dapat meningkatkan kemampuan penguasaan konsep biologi. Keenam, ada korelasi positif antara kemampuan metakognitif dengan penguasaan konsep biologi. Ketujuh, ada korelasi positif antara kemampuan pemecahan masalah dengan penguasaan konsep biologi. Kedelapan, ada kecenderungan korelasi antara kemampuan metakognitif dengan kemampuan pemecahan masalah Daftar PUSTAKA Arends, R. 2004. Learning to Teach. Sixth Edition. New York: McGrawHill. Ary, Donald, Jacobs, Lucy C., Razavieh, Asghar. 1982. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Terjemahan Arief Furchan. Surabaya: Usaha Nasional. Barrows, H. S. 1988. The Tutorial Process. Springûeld: Southern Illinois University School of Medicine. Brown, A. L 1987. Metakognisi, Kontrol Eks eku tif, Self-per a tur an , dan Mekanisme lebih Misterius Lainnya. Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum. Campbell, T, Dawson, A. 2003. “Distance Education Best Practices Manual”. University of Phoenix. http://www. ivcc.edu/-malcolm/distance-education_ best_practice.htm.htm. Diunduh pada tanggal 14 Juli 2007. Cooper, Susan Sunny. 2004. “Metacognition in the Adult Learner”. http://.www.wsu. Metacognition and Its Instrument.htm. Diunduh pada tanggal 28 Maret 2007. Cotton, K. 1991. Teaching Thingking Skills. Northwest Regional Educational Laboratory, School Improvement Program. Eggen, P.D & Kauchak, D.P. 1996. Strategies for Teachers: Teaching Content and Thinking Skill. (Third edition). Boston: Allyn and Bacon. Hollingworth, R.W. and McLoughlin, C. 2001. “Developing Science Students’ Metacognitive Problem Solving Skills”.
200
Australian Journal of Educational Technology, 17(1). Livingston, Jenifer A. 1997. “Metacognition: An Overview”. http://www.gse.buffalo. edu/fas/-shuell/cep564/-Metacog.htm Diakses tanggal 18 September 2006. Novak, Joseph D., and Gowin, D. Bob. 1995. Learning How to Learn. New York: Cambridge University Press. Ommundsen, P. 2001. “Problem-Based Learning With 20 Case Examples”. www.saltspring.com/capewest/pbl. htm. Diunduh pada tanggal 8 Feb. 2007. Paidi. 2003. “Monitoring dan Evaluasi Pembelajaran MIPA di Sekolah”. Laporan Kegiatan IMSTEP-JICA. Yogyakarta: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, UNY. Paidi. 2008. “Studi Kesiapan Guru dan Siswa SMA di Sleman Mengembangkan PBL dan Strategi Metakognitif bagi Peningkatan Kemampuan Metakognitif, Pemecahan Masalah, dan Penguasaan Konsep Biologi”. Penelitian Pendahuluan dalam Rangka Penyusunan Disertasi pada PPS UM Malang. Laporan Penelitian. Tidak Dipublikasikan. Malang: PPs UM. Peng, C.N. 2004. Successful ProblemBased learning for primary and secondary Classrooms. Singapore: Federal Publications. Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Sage, S. 2003. Problem-Based Learning Workshop. http://www.-iusb.edu/ edu~ssage. Diunduh pada tanggal 30 Oktober 2006. Savery, J.R. 2006. “Overview of Problembased Learning: Deûnitions and Distinctions”. The Interdisciplinary Journal of Problem-based Learning volume 1 (Spring): 9-18.
Paidi: Pengembangan Perangkat Pembelajaran Biologi Berbasis Masalah
Slavin, Robert R. 2000. Educational Psychology Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon Subali, Bambang dan Paidi. 2002. Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Biologi: Individual Textbook. JICA-IMSTEP. Thiagarajan, S., Semmel, D. S., Semmel, M.I.1974. Instructional Development for Training Teachers of Exceptional Children. Broomington: Indiana University. White, H.B. 1997. “Tries Problem-Based Learning: A Case Study”. New Forums Press and the Professional
and Organizational Network in Higher Education, Vol 15: 75-91. Department of Chemistry and Biochemistry. Newark: University of Delaware. White, H. 2007. “Problem-Based Learning in Introductory Science Across Disciplines”. http://www.udel.edu/ chem/white/finalrpt.html. Diunduh pada tanggal 27 Maret 2010. YCCD. 2005. “Student Learning Outcomes”. www.mt.liu.se/edu/-Bologna/LO/-slo. pdf. Diunduh pada tanggal 27 Juni 2007.
201
202
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011 INDEKS SUBJEK JURNAL KEPENDIDIKAN VOLUME 41 A Analysis interactive model, 14 Akhlak mulia, 46, 47, 48, 49, 51, 52 Afiliasi, 122, 124, 126, 127, 128, 129, 131, 132, 133, 134, 135, 136
L Long life education, 12 Learning Management System, 34, 35, 44 Locus of control, 87, 89, 90, 91, 92, 93, 95, 96, 97
B Bank soal, 99, 100, 101, 102, 103, 106, 107
M Model Penemuan Terbimbing, 23 Masyarakat madani, 48 Model networking, 71, 73, 74, 75, 76, 78 Model Networking Sekolah, 69, 73 Manajemen Pendidikan Berbasis Solusi, 79, 80 Model Manajemen Pendidikan Berbasis Solusi, 81, 84 Model Pengembangan Bank Soal, 99, 102, 103
E E-learning, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44 Educational action research, 129 Estimasi parameter butir, 163 Empati, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 133, 134, 135 G Gaya kepemimpinan, 155, 158, 160, 161, 162, 163, 164 Grounded theory, 3, 10 I INAP (Indonesian National Assement Programme), 109 J Jejaring kerja sama, 70, 71, 73 K Konstruktivisme, 24 Kinerja guru, 54, 58, 60, 61, 62, 65, 68 Kualitas pendidikan, 55 Kebiasaan positif, 122, 124, 126, 127, 128, 129, 131, 132, 133, 134, 135, 136 Kecakapan sosial, 122, 123, 124, 125, 126, 128, 136 Kompetensi, 156, 157, 159, 161
P Perubahan sosial, 1, 2, 3, 8, 10 Pembelajaran kewirausahaan, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 21 Pendidikan nonformal, 12 Pembelajaran kooperatif, 25, 29, 31, 32 Pembinaan karakter siswa, 45, 46, 48, 49, 50, 52 Pendidikan karakter, 45, 46, 47, 50, 52, 53, 65 Profesionalime guru, 50, 156 Penilaian portofolio, 56 Penelitian tindakan kependidikan, 81 Pendekatan pembelajaran open-ended, 89, 93, 94, 96, 97 Pengembangan penalaran, 88 Penelitian model bank soal, 102 Penelitian eksploratif, 114 Pendidikan Agama Islam, 139 Pluralisme, 139 Pembelajaran di laboratorium, 147, 149
203
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011 R Research and Deveopment, 49 Resolusi konflik, 122, 124, 126, 127, 128, 129, 131, 132, 133, 134, 135, 136 S Software Moodle, 34, 35, 38, 40, 42, 43, 44 Sertifikasi guru, 54, 55, 56, 57, 60, 61, 62 Stakeholder, 69, 70, 71, 73, 74 Standar Nasional Pendidikan, 58, 60, 70, 72 Sekolah miskin, 79, 80, 81, 83, 84, 85 Show and tell, 122, 123, 124, 125, 127, 128, 129, 131, 132, 133, 134, 135, 136
204
T Teori fenomenologi, 8 Transformasi sosial, 8 Total Quality Management, 72 Tingkat kesulitan soal, 103 Trend International in Mathematics and Science Study (TIMSS), 109 U UN (Ujian Nasional), 109
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011 INDEKS PENGARANG JURNAL KEPENDIDIKAN VOLUME 41 A Azhar, 11 Ariyawan Agung Nugroho, 34 A K Projosantoso, 54 B Badrun Kartowagiran, 120, 162 D Djemari Mardapi, 120 F Fredrik A. Kande, 175 H Heri Retnawati, 120, 162 K Kana Hidayati, 16208 L Lantip Diat Prasojo, 34 M M. Murdiono, 45 Marzuki,, 45 Margana, 79 Marwanti, 94 Mundilarto, 54 Muniya Alteza, 94
P Paidi, 185 Prapti Karomah, 94 Pujiati Suyata, 120 Purwanto, 151 R Rahmad Santosa, 1 Rambat Nur Sasongko, 101 Rochidin Wahab, 144 S Setya Raharja, 34 Samsuri, 45 Sukardjo, 54 Sukarno, 79 Suparwoto, 54 Suhartanta, 69 Sukoco, 69 Sahat Saragih, 120 Samsul Hadi, 162 T Tadkiroatun Musfiroh, 129 Y Yoppy Wahyu Purnomo, 23 Z Zuhdan Kun Prasetya, 54 Zainal Arifin, 69
205
JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 2, November 2011 UCAPAN TERIMA KASIH KEPADA MITRA BESTARI Dengan hormat, Dewan Redaksi JURNAL KEPENDIDIKAN (JK) mengucapkan terimakasih atas bantuan Bapak/Ibu yang telah bersedia menjadi mitra bestari JURNAL KEPENDIDIKAN, Volume 41, Nomor 1, Mei 2011 dan Nomor 2, November 2011, yaitu: Dr. Heru Kuswanto (Universitas Negeri Yogyakarta) Dr. Haryanto (Universitas Negeri Yogyakarta) Prof. Dr. Ajat Sudrajat (Universitas Negeri Yogyakarta) Dr. Heri Retnawati (Universitas Negeri Yogyakarta) Dr. Marzuki (Universitas Negeri Yogyakarta) Prof. Dr. Muhyadi (Universitas Negeri Yogyakarta) Dr. Sugito (Universitas Negeri Yogyakarta) Prof. Kumaidi, Ph.D (Universitas Muhammadiyah Surakarta) Prof. Dr. Anik Ghufron (Universitas Negeri Yogyakarta) Dr. Cepi Abdul Jabar (Universitas Negeri Yogyakarta) Dr. J. Bismoko (Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)
206
BERITA PENGIRIMAN UANG LANGGANAN JURNAL KEPENDIDIKAN (JK) Dengan ini saya kirimkan uang sebesar: Rp. .................... x ...... eksemplar, untuk langganan mulai edisi ............ Nomor: ............ Rp. .................... x ...... eksemplar, untuk langganan mulai edisi ............ Nomor: ............ Uang tersebut telah saya kirimkan melalui: Bank : BTN Cab Yogyakarta No Rekening : 00005-01-30-000366-5 Atas nama : Rektor Universitas Negeri Yogyakarta Pos Wesel dengan Resi Nomor .............................. Tanggal .............................. Formulir berlangganan Jurnal Kependidikan Mohon dicatat sebagai pelanggan JK. Nama
: ....................................................
Status
: Lembaga/Perorangan (coret yang tidak perlu)*)
Alamat : .......................................................................................................................... ........................................................................................ kode pos .................. Harga Langganan Untuk lembaga dan perorangan Rp. 50.000,-/tahun (2 nomor/edisi) ditambah **)
*)
Ongkos kirim Wilayah Jawa : Rp. 15.000,-/eksemplar Wilayah Luar Jawa : Rp. 20.000,-/eksemplar Wilayah Papua, Sulawesi, NTT, NTB : Rp. 25.000,-/eksemplar **)
.........................................
( ...................................... ) Keterangan: Formulir ini boleh difotocopy