Perspektif - M. Sadli Umasangaji

Page 1

PERSPEKTIF M. Sadli Umasangaji


Refleksi Kepemudaan


Tantangan dan Tradisi Intelektual KAMMI M. Sadli Umasangaji (Anggota Biasa KAMMI) Dimuat di Malut Post Edisi 08 April 2015 “Kekanglah luapan perasaan dengan pandangan akal dan terangilah kecemerlangan akal dengan gelora perasaan� (Syekh Hasan Al-Banna) Jika melihat rentang sejarah, kita akan mempelajari bahwa dinamika perubahan sosial merupakan interaksi dari empat elemen utama: manusia, ide, ruang dan waktu. Manusia adalah pusat dari perubahan karena ia adalah pelaku atau aktor dimana ruang dan waktu merupakan panggung pertunjukkannya. Ide menjadi penggerak manusia dalam seluruh ruang dan waktu. Setiap kali ada perubahan yang penting dalam ide-ide manusia, maka kita akan menyaksikan perubahan besar dalam masyarakat mengikutinya. Manusia bergerak dalam ruang dan waktu secara dialektis, antara tantangan dan respon terhadap tantangan tersebut. Ide atau gagasan yang memenuhi benak manusia merupakan manifestasi dari dinamika dialektis itu. Hidup manusia bergerak dan terus bertumbuh karena ia merespon tantangan di sekelilingnya. Hasil respon baru itu selanjutnya melahirkan tantangan-tantangan baru yang menuntut respon-respon baru. (Matta, 2014). Tentunya yang penulis sadari bahwa yang membuat daya hidup KAMMI dan terus berkembang adalah ranah Dakwah Tauhidnya. Disisi lain KAMMI dalam usianya yang berjalan 17 tahun, maka KAMMI perlu reposisi sebagai tambahan daya hidupnya. Karena jika kecemasan merupakan kekuatan utama yang menggerakkan para pahlawan kebangkitan, maka kekuatan apakah yang paling agresif menggerakkan para pahlawan di jaman kejayaan? Jawabannya adalah obsesi kesempurnaan (Matta, 2013). Homo Islamicus dan Intellectual Freedom KAMMI sendiri memiliki output pengkaderan yaitu Muslim Negarawan. Karakter Muslim Negarawan, yakni memiliki basis ideologi Islam yang mengakar, basis pengetahuan dan pemikiran yang mapan, idealis dan konsisten, berkontribusi pada pemecahan problematika umat dan bangsa, serta mampu menjadi perekat komponen bangsa pada upaya perbaikan. Selain Muslim Negarawan, ada sebuah frasa yang pernah didiskusikan dalam Jurnal KAMMI Kultural, yakni Homo Islamicus. Karena Muslim Negarawan yang terkesan mengandung makna bentuk perjuangan yang melalui ranah politik dan kekuasaan Negara. Maka Homo Islamicus, yang dituliskan Dharma Setyawan yang dikutipnya dari Seyyed Hossein Nasr, Homo Islamicus adalah bentuk konsistensi manusia sebagai makhluk berTuhan. Dia meramu segala bentuk kebaikan-kebaikan yang hadir pada nalar dan wahyu untuk menciptakan maslahah (manfaat). Homo Islamicus membuat kader bisa berdiaspora dimana saja sesuai kompetensinya dengan bersandar pada nilai-nilai keislaman. Homo Islamicus adalah intelektual profetik dalam arti yang lebih makro (Setyawan, 2013). Intelektual Profetik sendiri dalam GBHO KAMMI, Gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan yang meletakkan keimanan sebagai ruh atas penjelajahan nalar akal. Gerakan Intelektual Profetik merupakan gerakan yang mengembalikan secara tulus dialektika wacana pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal. Sebagaimana Idea Of Progress dan Intellectual Freedom yang dituliskan Nurcholish Madjid (2013), Idea Of Progrees bertitik tolak dari konsepsi atau doktrin bahwa manusia pada dasarnya adalah baik, suci, dan cinta kepada kebenaran atau kemajuan (manusia diciptakan oleh Allah dalam fitrah dan berwatak hanif). Jadi, sejalan dengan Intellectual Freedom, harus bersedia mendengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spektrum seluas mungkin, kemudian memilih mana yang, menurut ukuran-ukuran objektif,


mengandung kebenaran. Rasionalitas yakni dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran, proses penemuan kebenaran-kebenaran yang relatif, menuju ke penemuan Kebenaran Yang Mutlak. Intelektual Kolektif Untuk mengembalikan otonomi intelektual yang kian terancam oleh kekuatan ekonomi dan politik serta untuk memperbarui modus tindakan politik, Bourdieu mengajukan gagasan apa yang disebut dengan intelektual kolektif. Intelektual kolektif merupakan gerakan intelektual dari beragam bidang ilmu atau kompetensi sekaligus bersifat lintas negara dan budaya. Gerakan ini menjadikan kemandirian intelektual dan keterlibatan politik sebagai fondasi utamanya (Sugiarto, 2013). Intelektual kolektif berupa gerakan lintas budaya, bangsa, negara dan multidisipliner. Gerakan ini memiliki struktur bebas, jaringan informal, dan tidak terkonsenterasi di satu pusat. Beragam aliran pemikiran, perspektif dan cita-cita juga diakomodasi (Safitri, Alikta, 2014). Maka Intelektual Kolektif untuk memelihara opini umum yang akarnya adalah Dakwah Tauhid dan Intelektual Profetik. Dalam GBHO KAMMI, Gerakan Dakwah Tauhid merupakan gerakan yang menyerukan deklarasi tata peradaban kemanusiaan yang berdasar pada nilai-nilai universal wahyu ketuhanan (Ilahiyyah) yang mewujudkan Islam sebagai rahmat semesta (rahmatan lil ‘alamin). Dan Gerakan Intelektual Profetik adalah gerakan yang mempertemukan nalar akal dan nalar wahyu pada usaha perjuangan perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan manusia secara organik. Hingga ujung dari Dakwah Tauhid adalah kita akan membina diri, sehingga setiap kita menjadi seorang muslim sejati. Kita akan membina rumah tangga, sehingga menjadi rumah tangga muslim. Kita akan membina bangsa kita, sehingga menjadi bangsa yang muslim. Kita akan berada di tengah-tengah bangsa Muslim ini dan akan berjalan dengan langkah pasti menuju akhir perjalanan, tujuan yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kita, bukan tujuan yang kita tetapkan untuk diri kita. Dan, dengan izin dan pertolongan Allah, kita akan sampai ke tujuan. Karena Allah SWT, tidak menghendaki, kecuali menyempurnakan cahaya-Nya (al-Banna, 2012). Maka tantangan intelektual KAMMI adalah semakin menjamurnya pemikiran kader dan tokoh-tokoh KAMMI. Baik dalam ranah-ranah pemikiran maupun dalam bentuk karya dan lembaga-lembaga intelektual. Dengan tradisi kader, membaca, berdiskusi, dan menulis. Menghidupkan dialetika wacana dalam budaya literasi dan dalam perspektif Islami. Sebagaimana masa-masa kejayaan Islam. Kepahlawan zaman kejayaan didominasi oleh semangat perfeksionisme dan inovasi. Ini menjelaskan tipikal kepahlawan zaman kejayaan, biasanya terjadi paling banyak pada bidang pemikiran, kebudayaan, bahasa, seni, dan ilmu pengetahuan, dan pembangunan fisik, serta berorientasi pada spesialisasi yang rumit dan detil sebagai simbol kesempurnaan. Seperti kreativitas Imam Syafi saat beliau merumuskan kaidah-kaidah Ushul Fiqh, atau temuan dan inovasi Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dalam bidang kedokteran, atau kedalaman Imam Ghazali, Ibnu Jauzi, Ibnu Qayyim dalam bidang akhlak atau Al-Jahiz dalam bidang sastra, dan seterusnya (Matta, 2013). Atau sebagaimana ungkapan Syekh Said Hawa (2014), penelitian harus dihadapi dengan penelitian, institusi harus dihadapi dengan institusi, penerbitan harus dihadapi dengan penerbitan, dan sloganpun harus dihadapi dengan slogan. Semua harus dilihat dalam perspektif Islam. Prinsip dasar ini didapatkan dalam kehidupan Rasulullah, beliau menghadapi syair dengan syair, pidato dengan pidato, dan perang juga dengan perang. Maka tantangan dan tradisi intelektual KAMMI adalah ledakan karya sebagai reposisi dan daya hidup KAMMI yang baru. Selamat Milad KAMMI yang ke 17, (29 Maret 1998 - 29 Maret 2015).


Imagine KAMMI dan Sipil Keummatan (Refleksi Milad KAMMI ke XVI, 29 Maret 2014) M. Sadli Umasangaji (Pengurus Daerah KAMMI Kota Ternate) Dimuat di Posko Malut Edisi 29 Maret 2014 Tatkala era reformasi bergulir, berbagai wacana yang mengembang adalah terkait kebebasan. Demokrasi pun menjadi salah satu pilihan terbaik diantara sistem terburuk lainnya. Ini pula seiring dengan bergulir demokrasi yang menempatkan peran partisipasi rakyat. Taktala kebebasan terbuka dan partisipasi individu mengemuka dan menyebar, disatu sisi efek kebebasan itu belum terkontrol, maka atas nama transisi, demokrasi cenderung semu. Transisi dari rezim otoriter ke demokratis seringkali menyisahkan masalah. Kehendak untuk meninggalkan masa lalu dengan berbagai warisannya acapkali berbenturan dengan realitas kini yang tak pula memetik harapan. Kesemuan demokrasi, salah satunya menghasilkan orang-orang tak bermoral. Dan moral pun cenderung didefinisikan secara abstrak. Berkutat akan hal ini, maka gagasan demokrasi hendaknya memiliki landasan rasionalitas, moralitas, dan etika yang kuat. Demokrasi sejalan dengan ide-ide modernisasi yang menuntut adanya perubahan di segala bidang kehidupan. Demokrasi sebagai sarana misi ideal dan menjadi instrumen. Akan hal ini maka gagasan KAMMI sebagai gerakan mahasiswa, gerakan kebangsaan, dan gerakan keummatan harus menjadi bagian dari peran didalamnya. KAMMI sebagai organisasi pengkaderan harus mampu mengkader para kadernya dalam mengelaborasi dirinya sebagai bagian gerakan intelektual organik dan gerakan moral. KAMMI harus menyadari posisinya seperti dipahami ‘kalangan Gramscian’ yang menempatkan masyarakat sipil yang menghadapi ideologi negara yang dihuni kalangan intelektual organik. Istilah yang dikemukan Gramsci, intelektual organik adalah intelektual reflektif atas konteks historis dan revolisioner dalam memperjuangkan manifes perenungannya, intelektual-akademisi yang mendedikasikan proses pembelajaran sebagai upaya membuka ruang atas terjadinya gap antara teori dan praktik. Dan KAMMI tidak terjebak pada intelektual tradisional. Intelektual tradisional adalah mereka yang secara terus menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi, penyebar ide dan mediator antara massa rakyat dengan kelas atas. Maka di posisi ini harus dimaknai KAMMI seperti apa yang dituliskan Rijalul Imam (Ketua PP KAMMI Periode 2009-2011), dengan konsep “Medan Kompetisi KAMMI�. Pertama, dirinya sendiri. Konteks ini akan bisa saja berlaku pada kader selama masih berkutat secara aktif di KAMMI ataupun setelah paska KAMMI. Tapi akan lebih cenderung ketika secara aktif di KAMMI. Dirinya sendiri adalah medan pertarungan pertama. Masa mudanya yang penuh godaan adalah tantangan tersendiri. Kader KAMMI harus bisa melaluinya dengan sukses. Kader KAMMI harus menempatkan masa mudanya dengan masa muda lebih mengedepankan pemikiran peradaban. Kader KAMMI harus belajar menjadi teladan. Kuncinya adalah belajar mempersepsi dirinya sebagai teladan terbaik, menyetting dirinya dengan setting mental pemimpin, dan bergerak dengan perencanaan yang matang dan tertulis. Kedua, kampus. Kampus adalah medan kompetisi kedua, kampus adalah ruang terbuka dan miniatur negara pertama bagi gerakan mahasiswa untuk berkiprah di publik. Dari kampuslah keluar berbagai kebijakan yang sedikit banyak berpengaruh pada kehidupan sivitas akademika. Di kampus juga bermunculan berbagai dialektika pemikiran. Di kampus juga berkembang berbagai aliran dan kelompok. Atas dasar itu kampus menjadi medan kompetisi strategis bagi mahasiswa terkhusus kader KAMMI untuk mengasah bibit kepemimpinannya.


Ketiga, negara. Konteks ini bisa saja berlaku untuk kader yang masih berkutat aktif di KAMMI ataupun paska KAMMI (senior KAMMI). Konteks ini pula adalah bagian dari KAMMI sebagai gerakan mahasiswa, gerakan kebangsaan, gerakan keummatan. Sebagai gerakan mahasiswa, sejatinya KAMMI adalah organisasi intelektual kritis berbasis mahasiswa dan pemuda. Di bidang intelektual, KAMMI harus memiliki benchmark intelektual dalam dunia pergerakan mahasiswa, agar aksi-aksi KAMMI tidak dinilai reaksioner dan hampa intelektual. Justru kehadiran KAMMI harus merupakan bagian dari kedalaman intelektual kader di berbagai sisinya. Karena itu KAMMI harus lebih banyak menulis gagasan atau beropini yang argumentatif, berani berdebat secara intelektual, dan mendalam dalam berbagai kajian strategis. Sebagai gerakan kebangsaan, KAMMI adalah bagian inheren elemen penting perubahan bangsa karena kelahirannya di Indonesia dan di fase reformasi. Dan sebagai gerakan keummatan, kelahiran KAMMI adalah bagian tak terpisahkan dalam upaya mewujudkan “Sipil Keummatan”. Dalam konteks negara pula, dapat diselaraskan dengan mihwar gerakan KAMMI, fase-fase KAMMI yang dikonsepkan Rijalul Imam, Fase Ideologisasi (…-1998), Fase Resistensi (1998-2004), Fase Reformulasi (2004-2009), Fase Rekonstruksi (2009-2014), Fase Leaderisasi (2014-2019), Fase Internasionalisasi (2019-2024). Akan hal ini penulis memaparkan tentang fase leaderisasi, sebagai fase dimana bagi penulis sebagai batu loncatan kader KAMMI untuk menjadi bagian dari benih-benih terciptanya “Sipil Keummatan”. Maka akan hal ini konteks negara cenderung berkutat dengan kader-kader paska KAMMI. Menyadari bahwa visi KAMMI adalah wadah perjuangan permanen yang akan melahirkan kader-kader pemimpin dalam upaya mewujudkan bangsa dan negara Indonesia yang Islami. KAMMI sebagai wadah bagian pembentukan kadernya sebagai gerakan intelektual organik dan gerakan moral yang menyadari bahwa hal ini adalah bagian dari terciptanya “Sipil Keummatan”. Jadi paska KAMMI pun kader KAMMI yang berkutat sebagai politisi, sebagai birokrat, sebagai pengusaha, sebagai akademisi dan profesi apapun menyadari dirinya sebagai bagian dari visi KAMMI yang menjadi anasir untuk “Sipil Keummatan”. Sipil Keummatan merupakan masyarakat yang berperadaban tinggi dan maju dimana berbasiskan pada nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh keimanan, menghormati pluralitas, bersikap terbuka dan demokratis serta bergotong-royong menjaga kedaulatan Negara. Akan hal ini kader KAMMI menginteralasi antar generasi baik kader KAMMI aktif dan paska KAMMI serta menempatkan peradaban itu lahir karena akumulasi dari setiap generasi. Kondisi ini membuat kader KAMMI aktif (junior) sebagai gerakan intelektual organik dan gerakan moral. Sedangkan akumulasi dari kader KAMMI aktif dan kader paska KAMMI (alumni KAMMI) adalah bagian inheren dari anasir dengan organisasi kepemudaan lain, organisasi masyarakat lain, lembaga swadaya masyarakat lain, partai politik manapun, kalangan masyarakat manapun untuk terciptanya “Sipil Keummatan”. Enam belas tahun sudah KAMMI sebagai bagian dari kelanjutan sejarah gerakan mahasiswa, gerakan kebangsaan, dan gerakan keummatan. Dan KAMMI berani mengatakan untuk Indonesia, “Bangkitlah Negeriku, Harapan Itu Masih Ada, Jalan Itu Masih Terbentang”.


Menuju Paradigma Masyarakat Otentik (M. Sadli Umasangaji) Anggota Biasa KAMMI Kota Ternate Dimuat di Radar Halmahera Edisi 21 Juli 2014 “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi� (Q.S. Al-Araf :7:96) Menurut Huntington, Amerika, Uni Eropa, Rusia, Cina, Jepang, India, Brasil, Afrika Selatan dan negera-negara Islam seperti Iran, Arab Saudi, juga Indonesia mempunyai tanggung jawab untuk meredusir konflik yang terjadi pada peradaban mereka sendiri dan menengahi konflik antar kelompok yang ada. Selama beberapa dekade terakhir, tiga kecenderungan utama telah terjadi di dunia. Pertama, barangkali yang paling mendasar, perkembangan ekonomi dan globalisasi ekonomi, kedua, meningkatnya kesadaran identitas etnis, kultural, dan agama, ketiga, terjadi transisi dari rezim yang otoritarian ke bentuk sistem politik demokrasi pada banyak negara di seluruh dunia. (Huntington dalam Harefa, 2008). Pergeseran paradigma yang mengubah pemahaman mengenai siapakah yang layak disebut pemimpin. Sebab ketika kepemimpinan tidak lagi dipahami sebagai sebuah kedudukan atau jabatan, tetapi sebuah pekerjaan, tanggung jawab, serta peran maka orangorang memegang jabatan tinggi seperti manajer dan eksekutif puncak di sebuah perusahaan (juga pejabat negara, presiden, raja) belum tentu layak disebut pemimpin. Sebaliknya, orangorang yang tidak memiliki jabatan tetapi melakukan pekerjaan dan menunjukkan tanggung jawab serta memainkan peran sebagai pemimpin adalah pemimpin sejati. Dalam pengertian yang terakhir ini dapat mencakup para seniman, sastrawan, filosof, intelektual, pemuka agama (ulama, ustad, kiai), atau karyawan biasa yang tidak memiliki bawahan secara formal. Anis Matta menuliskan pahlawan bukanlah orang suci dari langit yang diturunkan ke bumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mukjizat, secepat kilat untuk kemudian kembali ke langit. Pahlawan adalah orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar dalam sunyi yang panjang sampai waktu mereka habis. Mereka tidak harus dicatat dalam buku sejarah. Atau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Mereka juga melakukan kesalahan dan dosa. Mereka bukan malaikat. Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekelilingnya. Mereka merakit kerja-kerja jadi sebuah gunung, karya kepahlawanan adalah tabungan jiwa dalam masa yang lama. Beberapa pernyataan ini penulis tuliskan sebagai gambaran peralihan paradigma untuk menuju masyarakat otentik. Perlunya kesadaran identitas etnis, kultural, dan agama dalam masyarakat serta terjadi pergeseran paradigma mengenai kepemimpinan yang lebih didefenisikan sebagai orang biasa yang melakukan pekerjaan besar dengan memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekelilinganya dalam sunyi yang panjang hingga waktu mereka usai. Masyarakat otentik bagi penulis diisi oleh tiga aktor yaitu pembelajar di tingkat dasar, pemimpin di tingkat menengah, dan manusia guru di tingkat atas (Harefa, 2008). Manusia sebagai makhluk yang berproses atau belajar memanusiakan dirinya yang menempatkan dirinya dalam suatu hubungan dengan yang menciptakannya, Sang Pencipta. Dan masyarakat adalah kumpulan-kumpulan manusia. Masyarakat otentik merupakan individu-individu yang terdiri dari pembelajar, pemimpin dan titik akhirnya manusia guru yang merasa bertanggung jawab kepada Sang Pencipta. “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku� (Adz-Zariyat: 51: 56).


Pembelajar di tingkat dasar. Bila seorang anak manusia menolak tugas, tanggung jawab, dan panggilan untuk menjadi dirinya sendiri, maka ia telah kehilangan fondasi untuk menjadi manusiawi. Pembelajaran sebenarnya mendapatkan inti artinya untuk menjadi sangat manusiawi (humanis). Melalui pembelajaran kita menciptakan kembali diri kita. Melalui pembelajaran kita dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat pernah kita lakukan sebelumnya. Melalui pembelajaran kita merasakan kembali dunia dan hubungan kita dengan dunia tersebut. Melalui pembelajaran kita memperluas kapasitas kita untuk menciptakan, menjadi bagian dari proses pembentukan kehidupan (Peter Senge dalam Harefa, 2008). Pembelajar menjadi landasan utama dalam masyarakat otentik dan pembelajar adalah masyarakat atau individu-individu itu sendiri dalam masyarakat otentik. Pemimpin di tingkat menengah. Pemimpin dan kepemimpinan selalu berurusan dengan soal efektivitas, mengurus manusia, memberdayakan dan memerdekakan potensi orang secara manusiawi. Bila seorang anak manusia menolak tugas, tanggung jawab dan panggilan untuk menjadi pemimpin sejati, maka ia telah kehilangan kesempatan untuk menjadi lebih manusiawi dan menciptakan masyarakat pembelajar. Jelas bahwa pemimpin adalah landasan kedua dalam proses menuju paradigma masyarakat otentik. Kepemimpinan adalah pemberdayaan sekelompok orang atau masyarakat agar berhasil mencapai suatu sasaran bersama. Dalam melakukan hal itu, pemimpin harus menyentuh seluruh potensi masyarakat. Manusia guru di tingkat atas. Mereka ini pada dasarnya adalah segelintir orang yang selalu berusaha mengingatkan umat manusia dimanapun, kapan pun, dan dari latar belakang yang bagaimanapun, akan kehidupan yang akan datang. Baik ucapan maupun tindakan mereka mencerminkan suatu hidup yang nyaris sempurna atau bahkan sempurna dalam arti sepenuhnya diarahkan oleh hati nurani yang bersih, penalaran yang sehat, dan kehendak yang tunduk pada hukum-hukum Allah (Tuhan). Tugas dan panggilan tertinggi seorang anak manusia adalah manusia guru. Ia bertanggung jawab untuk menciptakan suatu masyarakat pembelajar yang melahirkan pemimpin-pemimpin baru bagi sebuah bangsa, bagi bangsabangsa dan bagi umat manusia di masa depan. Perjuangan mereka secara langsung maupun tidak, selalu melahirkan dan menumbuhkembangkan pengharapan masyarakat tentang kemungkinan terciptanya masyarakat manusia yang lebih manusiawi di masa depan. Tentunya kita berharap pemimpin kita (presiden, gubernur, bupati) adalah pemimpin yang memerdekakan orang untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan dengan cara yang paling efektif dan semanusiawi mungkin sehingga tumbuh pengharapan masyarakat tentang kemungkinan terciptanya masyarakat manusia yang lebih manusiawi di masa depan. Dan kita sebagai rakyat yang menjadi lebih manusiawi dan memperluas kapasitas untuk menciptakan, menjadi bagian dari proses pembentukan kehidupan. Akhirnya masyarakat otentik menempatkan masyarakat yang memiliki rasa tanggung jawab kepada Sang Ilahi yang didorong oleh adanya kesadaran mengenai hakikat diri sebagai makhluk moral-spiritual, makhluk sosial-emosional, makhluk yang berhukum pada kebenaran, dan makhluk ekonomi-politik. Mengutip taujih Ustad Hilmi Aminuddin, maka masyarakat otentik adalah masyarakat yang bertanggung jawab kepada keIslaman (agama), bertanggung jawab kepada dakwah (menyeru kepada kebaikan), bertanggung jawab kepada nasional, bertanggung jawab kepada Internasional, bertanggung jawab atas kemanusiaan dengan menempatkan jiwa persatuan, semangat bermusyawarah, menghargai pluralitas (tetapi bukan pluralisme), bersikap moderat, semangat hidup berbangsa dan bernegara.


Imagine KAMMI dalam Masyarakat Otentik M. Sadli Umasangaji (Anggota Biasa KAMMI Kota Ternate) Tulisan ringkasnya dimuat di Radar Halmahera Edisi 26 Juli 2014 dengan judul “Konsepsi Gerakan Mahasiswa (Muslim) dalam Masyarakat Otentik” Sayyid Qutbh menuliskan Islam tidak akan mampu menuaikan perannya kecuali apabila ia tampil dalam sebuah masyarakat, yakni tampil dalam suatu umat (ummah; komunitas pemeluk agama). Manusia tidak akan mau mengindahkan, lebih-lebih pada masa sekarang, seruan akidah semata, mereka enggan memandang bukti nyata dalam kehidupan kekinian. Mengutip kata-kata penyair Ralph Waldo Emerson, “Anda berpikir saya adalah anak dari lingkungan, saya menciptakan lingkungan saya sendiri”. Dan kata-kata sastrawan, George Bernard Shaw, “Orang sering menyalahkan situasi dan lingkungan mereka. Saya tidak percaya pada lingkungan. Orang-orang yang berhasil adalah mereka yang mencari lingkungan yang mereka inginkan, dan bila mereka tidak menemukannya, mereka menciptakannya”. Dari pernyataan ini membuat penulis berpikir, bagaimana KAMMI menempatkan gerakannya dalam masyarakat otentik? Sebagai proses penciptaan masyarakat. Masyarakat otentik menurut penulis adalah masyarakat yang memiliki rasa tanggung jawab kepada Sang Ilahi yang didorong oleh adanya kesadaran mengenai hakikat diri sebagai makhluk moral-spiritual, makhluk sosial-emosional, makhluk yang berhukum pada kebenaran, dan makhluk ekonomi-politik. Mengutip taujih Ustad Hilmi Aminuddin, maka masyarakat otentik adalah masyarakat yang bertanggung jawab kepada keIslaman (agama), bertanggung jawab kepada dakwah (menyeru kepada kebaikan), bertanggung jawab kepada nasional, bertanggung jawab kepada Internasional, bertanggung jawab atas kemanusiaan dengan menempatkan jiwa persatuan, semangat bermusyawarah, menghargai pluralitas (tetapi bukan pluralisme), bersikap moderat, semangat hidup berbangsa dan bernegara. Dengan itu masyarakat otentik merupakan individu-individu yang terdiri dari pembelajar, pemimpin dan titik akhirnya manusia guru. Manusia adalah satu-satunya makhluk ciptaan yang dibekali kemampuan untuk ‘belajar tentang’, agar ia dapat ‘belajar menjadi’ dengan cara ‘belajar melakukan’. Karena tugas, tanggung jawab, dan panggilan pertama seorang manusia adalah menjadi pembelajar. Sedangkan pelajaran pertama dan terutama yang perlu dipelajarinya adalah belajar menjadikan dirinya semanusiawi mungkin. ‘Belajar tentang’ erat definisinya dengan mempelajari ‘teori-teori’ terkait sesuatu. Hasil dari belajar tentang adalah mengetahui sesuatu. ‘Belajar melakukan’ berarti mempraktikkan sesuatu. ‘Belajar menjadi’ berarti proses untuk memanusiawikan dirinya. Belajar tentang manusia berarti mempelajari biologi, psikologi, sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat, teologi, dan berbagai kajian ilmu yang meletakkan manusia sebagai objek dan teori. Lalu ‘belajar melakukan’ berarti mencoba menerapkan perilaku dan kebiasaan tertentu yang menurut teori hanya dapat dilakukan oleh manusia. Dan ‘belajar menjadi’ yakni ia harus belajar dengan merenungkan hakikat dirinya terlebih dahulu, mencari jati dirinya, menghayati keberadaannya sebagai apa dan siapa. Belajar tentang identik dengan knowledge (ilmu pengetahuan), belajar melakukan identik dengan skill (kemampuan), dan belajar menjadi identik dengan wisdom (ilmu kehidupan). Hal ini menjelaskan pendefinisian terhadap ‘hidup untuk belajar’ dan ‘belajar untuk hidup’. ‘Belajar untuk hidup’ berarti untuk mendapatkan pekerjaan, memperoleh jabatan, dan sebagainya, maka ia akan menjadi ‘pemburu gelar’ dan atribut-atribut simbolis kepriyayian yang tidak esensial. Mereka akan merasa puas bila sudah diwisuda dan merasa sudah tamat belajar. Ini membuat mereka berhenti membaca dan menulis setelah usai sekolah atau lulus


universitas. Mereka sudah dianugerahi surat tanda tamat belajar, sudah kelar, tidak perlu belajar lagi. ‘Hidup untuk belajar’ maka ia tidak memandang gelar atau simbol-simbol seperti ijazah dan diploma, bahkan juga semua implikasi kenikmatan hidup yang menyertainya. Yang terpenting adalah mengeluarkan potensi dirinya dan membuat dirinya menjadi nyata bagi sesamanya. Dan, proses ini tidak pernah selesai hingga waktunya usai. (Jakob Sumardjo dalam Harefa, 2008). Tapi yang terpenting adalah kesadaran akan keterpaduan antara belajar tentang, belajar melakukan, belajar menjadi, knowledge, skill, wisdom, hidup untuk belajar dan belajar untuk hidup agar bertumbuh semakin bertanggung jawab atas diri sendiri dan menolak pendiktean atau pemaksaan kehendak dari apapun yang berada di luar diri. Mampu menyatakan, mengaktualisasi, mengeluarkan, potensi-potensi yang dipercayakan Sang Pencipta akan dirinya. Semakin berdaya, semakin merdeka, dan semakin manusiawi. Mengaktualisasi segenap potensi dengan mana ia diciptakan, menjadi otentik dalam arti unik dan tak terbandingkan dengan yang apapun atau siapapun yang bukan dirinya. Ia adalah manusia yang berproses atau belajar untuk memanusiawikan dirinya. Dalam hal ini penulis menempatkan KAMMI sebagai belajar menjadi, wisdom, dan hidup untuk belajar. Sebagai bentuk tugas pertama manusia dalam proses menjadi dirinya yang sebenarnya adalah menerima tanggung jawab untuk menjadi pembelajar bukan hanya di gedung sekolah dan perguruan tinggi tetapi terlebih penting lagi dalam konteks kehidupan. Dengan itu maka imagine KAMMI dalam masyarakat otentik terbagi atas pembelajar (kaderisasi KAMMI), pemimpin (visi KAMMI), dan manusia guru (cita-cita kader KAMMI). Pembelajar. Menurut Andiras Harefa (2008), setiap manusia yang bersedia menerima tanggungjawab untuk melakukan dua hal penting, yakni pertama, berusaha mengenali hakikat dirinya, potensi, dan bakat-bakat terbaiknya, dengan selalu berusaha mencari jawaban yang lebih baik tentang beberapa pertanyaan eksistensial seperti “siapakah aku?”, “darimanakah aku datang?”, “kemanakah aku akan pergi?”, “apakah yang menjadi tanggungjawabku dalam hidup ini?”, dan “kepada siapa aku harus percaya?”, dan kedua, berusaha sekuat tenaga untuk mengaktualisasi segenap potensinya itu, mengekspresikan dan menyatakan dirinya sepenuhpenuhnya, seutuh-utuhnya dengan cara menjadi dirinya sendiri dan menolak untuk dibanding-bandingkan dengan segala sesuatu yang ‘bukan dirinya’. Pembelajaran sebenarnya mendapatkan inti artinya untuk menjadi sangat manusiawi (humanis). Melalui pembelajaran kita menciptakan kembali diri kita. Melalui pembelajaran kita dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat pernah kita lakukan sebelumnya. Melalui pembelajaran kita merasakan kembali dunia dan hubungan kita dengan dunia tersebut. Melalui pembelajaran kita memperluas kapasitas kita untuk menciptakan, menjadi bagian dari proses pembentukan kehidupan (Peter Senge dalam Harefa, 2008). Pemimpin. Menurut Max DePree, seni kepemimpinan adalah memerdekakan orang untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan dengan cara yang paling efektif dan semanusiawi mungkin. Dwi D Eisenhower menyebutkan kepemimpinan sebagai seni dalam mempengaruhi orang lain untuk melakukan apa yang menurut Anda harus dilakukan, karena ia ingin melakukan hal itu. Dan Ross Perot mendefinisikan kepemimpinan adalah pemberdayaan sekelompok orang agar berhasil mencapai suatu sasaran bersama. Dalam melakukan hal itu, Anda harus menyentuh seluruh potensi mereka. (Harefa, 2008). Tentunya definisi tentang kepemimpinan sangatlah beragam tapi tiga definisi ini yang paling penulis sukai. Manusia guru. Ini merupakan titik fokus penulis dalam menempatkan kader KAMMI dalam masyarakat otentik. Ada beberapa kriteria dalam hal ini, pertama mereka adalah orangorang yang melepaskan kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasi primordialnya (suku-suku bangsa, partai-partai politik, golongan, dan seterusnya) untuk mengabdi dalam kancah memperjuangkan kepentingan sebuah negara kebangsaan dan


bahkan kemanusiaan universal. Konsistensi mereka dalam menembus batas-batas ikatanikatan kelompok dan organisasi primordial itu, membuat mereka tidak dapat lagi diklaim sepenuhnya sebagai bagian atau milik dari suatu organisasi atau kelompok primordial tertentu. Mereka adalah milik bersama atau milik semua manusia. Kedua, meski adakalanya sangat sulit untuk dihindarkan, tetapi perjuangan mereka pada dasarnya dilandasi oleh semangat anti-kekerasan (non-violence action), karena mereka amat mencintai perdamaian. Ketiga, mereka secara konsisten melandaskan sikap hidup dan perbuatannya pada keyakinan nurani, bukan hanya pada ilmu pengetahuan maupun kerja keras. Karena itu mereka mendemonstrasikan intergritas moral secara amat meyakinkan, meski tak selalu sempurna, dan rela mengorbankan dirinya untuk mempertahankan hal itu. Keempat, karena sikap hidup dan perbuatan mereka selalu diarahkan dari dalam, maka tiga hal dasar yang selalu menjadi fokus perhatian mereka adalah kebenaran, keadilan, cinta kasih dalam arti yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Kelima, pusat perhatian mereka tidak hanya menciptakan suatu negara kebangsaan (identitas politik), tetapi lebih dari itu, menciptakan suatu komunitas masyarakat manusia yang memperlakukan dan diperlakukan semanusiawi mungkin. Keenam, dalam setiap perjuangannya mereka tidak menganggap kedudukan, harta, dan kekuasaan sebagai tujuan akhir tetapi lebih menganggap semua itu sebagai sarana untuk suatu maksud yang lebih mulia. Ketujuh, perjuangan mereka secara langsung maupun tidak, selalu melahirkan dan menumbuhkembangkan pengharapan masyarakat tentang kemungkinan terciptanya masyarakat manusia yang lebih manusiawi di masa depan. Dengan demikian mereka sesungguhnya menabur tanpa henti benih-benih kehidupan masyarakat bangsa dan umat manusia untuk masa yang akan datang (Harefa, 2008). Sehingga wujud KAMMI sebagai gerakan kepemudaan yang disatukan oleh ikatan akidah, dipersaudarakan oleh iman, dan bekerja untuk kepentingan agama yang memandang suatu ketidakpuasan yang mendalam mengenai realitas faktual masa kini dibarengi dengan suatu pandangan yang amat tajam mengenai kemungkinan menciptakan realitas baru di masa depan, yang secara mendasar lebih baik.


Memaknai Keberagaman Karakter Kader Sebagai Alur Gerakan Mahasiswa M. Sadli Umasangaji (Anggota Biasa KAMMI Kota Ternate) Dimuat di Radar Halmahera Edisi 10 Septermber 2014 Umumnya organisasi mahasiswa atau organisasi kepemudaan identik dengan gerakan mahasiswa. Dan ini pula yang paling diminati oleh mahasiswa, bentuk gerakan mahasiswa seperti aksi-aksi demonstrasi atau yang sejenisnya (defenisi secara sempit). Pertanyaan mendasarnya adalah bolehkah ada mahasiswa yang tidak tertarik dengan aksi-aksi demonstrasi terlibat dalam organisasi kepemudaan sejenis ini? Atau sebaliknya bagaimana organisasi kepemudaan menampung orang-orang yang tidak terlalu tertarik dengan aksi-aksi demonstrasi? Sebut sajalah organisasi kepemudaan populer seperti HMI, PMII, KAMMI, GMNI, PMKRI, GMKI, LMND, Gema Pembebasan, dan lainnya. Yang cenderung identik dengan gerakan-gerakan mahasiswa. Hilmi Aminudin dalam salah satu arahannya mengatakan kehidupan senantiasa berbasiskan gerak (defenisi secara luas) dan itu adalah sunatullah. Kehidupan didasari oleh adanya gerak. Ketiadaan gerak sering kali diindikasikan sebagai tidak adanya kehidupan dan sunatullah gerak dalam kehidupan ini adalah sunatullah kauniyah, yakni mencakup seluruh semesta alam dan semesta makhluk. Seluruh makhluk bergerak, termasuk galaksi-galaksi, matahari, bintang-bintang, dan bulan. Seluruhnya bergerak tetapi tetap dalam porosnya. Ada keseimbangan antara keharusan bergerak dan keharusan untuk tetap terikat pada porosnya. Dalam hal ini akan berimplikasi dalam beberapa hal yakni, karakter kader, kepemimpinan, dan tata kelola organisasi. Pertama, karakter kader, menjadi jawaban agar organisasi kepemudaan yang cenderung menempatkan sebagai gerakan mahasiswa (‘secara sempit’) dapat menampung segala karakter pemuda. Dalam sebuah dialog antara Yusuf Qardhawi dengan beberapa aktivis Harakah Islam. Mengenai ini ada sebuah jawaban menarik dari Yusuf Qardhawi yang penulis kutip sebagai mengenai karakter kader, “dalam setiap kelompok, kemampuan dan sumber daya yang dimiliki biasanya sangat beragam dan berbeda-beda. Ada yang pakar dalam bidang pemikiran, yang lainnya mahir dalam berdakwah, yang lain tidak ahli dalam keduanya tapi sukses dalam berinteraksi sosial. Oleh sebab itu, mengapa potensi yang sangat beragam ini tidak diikat agar semuanya dapat dimanfaatkan untuk membantu masyarakat dan meringankan beban mereka. Sedang Allah akan menolong seseorang, selama ia mau menolong saudaranya�. Kedua, kepemimpinan. Kesadaran akan keberagaman karakter kader sebagai alur gerakan akan berkaitan dengan kepemimpinan. Secara mendasar Ustad Hilmi membagi kepemimpinan dalam dua hal, yakni, pertama, kepemimpinan lahiriah, ada proses pertumbuhan kepemimpinan yang bersifat pemberian dari Allah SWT. Dicontohkan seperti versi Thalut dan versi Nabi Musa, keduanya memiliki kekuatan dari segi ilmu dan fisik serta mentalitas dan integritas pribadinya. Atau mungkin dapat disebut sebagai kepemimpinan lahiriah. Kedua, kepemimpinan muktasabah, jenis kepemimpinan yang dibentuk dan diusahakan. Kepemimpinan juga bisa ditumbuhkan melalui jalur pengkaderan dan pelatihan serta pembinaan. Dua jenis kemunculan pemimpin yakni lahiriah dan melalui pengkaderan mempunyai karakternya masing-masing. Pada umumnya tipe pemimpin lahiriah sejak awal telah memiliki kharisma sehingga sosoknya merupakan pemimpin kharismatik yang memiliki aura kepemimpinan. Sementara jenis atau tipe pemimpin (melalui pengkaderan), biasanya kharismanya baru akan tumbuh seiring bertambahnya pengalaman dan kebijaksanaannya. Ia akan diakui integritas kepemimpinannya karena pengalamannya selama ini. Tapi keduanya juga memiliki kelemahan masing-masing, yakni biasanya jenis kepemimpinan lahiriah bila tidak terus digali, dilatih, dan ditingkatkan kemampuannya boleh jadi memiliki kelemahan


dalam hal manajemen atau tata kelola organisasi. Dan kepemimpinan (melalui pengkaderan) biasanya memiliki kelemahan dalam keberanian moral sehingga tidak cepat dalam mengambil keputusan dan kurang berani mengambil resiko. Tentu saja hal yang terbaik adalah bila tipe pemimpin lahiriah dan pemimpin (melalui pengkaderan) bisa dipadukan yakni pemimpin lahiriah yang terlatih sehingga didapatkan kepemimpinan pengkaderannya dalam tata kelola. Atau sebaliknya pemimpin (melalui pengkaderan) yang meningkatkan integritasnya yang terus ditempa oleh pengalaman dan juga pembinaan. Dengan ini penting pemahaman mengenai kepemimpinan organisasi sesuai dengan kompetensi inti atau pusat keunggulan. Anis Matta menuliskan “Para pahlawan mengajarkan sebuah kaidah kepada kita, seseorang hanya akan menjadi besar dan meledak sebagai pahlawan, jika ia bekerja secara optimal pada kompetensi intinya”. Kompetensi ini atau pusat keunggulan itu menurut Anis Matta biasanya dicirikan oleh beberapa hal. Misalnya, adanya minat yang tinggi terhadap suatu bidang, kemampuan penguasaan yang cepat dalam bidang itu, kegembiraan natural saat menjalaninya, optimisme pada kemampuan pengembangan lebih jauh. Dengan begini peran-peran terdistribusi dalam banyak bentuk. Dan begitulah Rasulullah mendistribusi peran-peran para pahlawan (sahabat). Inilah yang menggambarkan antara Khalid bin Walid dan Umar bin Khatab. Mereka sama-sama berasal dari klan Bani Makhzum, memiliki postur tubuh yang tinggi dan besar, wajah yang sangat mirip, dan bangunan karakter yang sama. Tapi keduanya memiliki perbedaan yang tipis pada tipologi keprajuritan. Keprajuritan Khalid bersifat agresif sementara keprajuritan Umar bersifat pembelaan. Sehingga Khalid bin Walid selalu mendapat peran sebagai panglima perang. Dan Umar bin Khatab walaupun memenuhi semua kualifikasi sebagai panglima perang tapi ia tidak pernah ditunjuk menjadi panglima perang. Dan ternyata Umar bin Khatab ditempatkan sebagai negarawan besar, khalifah. Ketiga, tata kelola organisasi. Untuk mengelola keberagaman perlu ada tata kelola organisasi. Dalam salah satu taujih Ustad Hilmi, beliau mengkonsepkan pertama, istiqamah, konsisten. Kedua, memiliki orientasi yang jelas. Ketiga adalah tawazun (keseimbangan). Keempat, istimrariyah, kontinuitas. Kelima, taurits, pewarisan. Dengan demikian memaknai keberagaman karakter kader sebagai alur gerakan merupakan gerak yang memiliki porosnya sehingga ia menjadi amal jama’i. Dan semua itu ia memiliki orientasi dimana dapat terukur, teratur, dan terstruktur sebagai sunatullah pergerakan. Jadi, apapun bentuk karakter kadernya ia tetap otentik dengan karakternya, tapi akarnya tetap ‘tarbiyah’, seperti kata Ustad Hilmi, “Saya hanya ingin mengingatkan bahwa titik tekan perjalanan kita memasuki tatanan dakwah ini adalah melalui pintu tarbiyah dan itu adalah satu-satunya pintu masuk ke dalam dakwah ini. Tidak ada pintu ekonomi, pintu politik, atau pintu budaya, yang ada hanya pintu tarbiyah. Walaupun setelah masuk, bisa saja menjadi aktivis politik, pengusaha, budayawan, seniman, ekonom, pendidik, atau apapun profesi lainnya”. Wallahu’alam.


Momentum Perekrutan; Akar Peradaban Kita M. Sadli Umasangaji (Pengurus Wilayah KAMMI Maluku Utara Periode 2014-2016) Dimuat di Malut Post Edisi 07 Agustus 2015 Kedatangan mahasiswa baru di kampus adalah hal yang menarik. Seharusnya tak kalah menarik dengan momentum pilkada serentak ataupun momentum hari kemerdekaan. Kedatangan mahasiswa baru menjadi menarik khususnya bagi berbagai organisasi kepemudaan. Dan seharusnya begitu. Karena inilah momentum perekrutan. Dan inilah akar peradaban kita. Sehingga dengan ekspresif, Anies Baswedan pun katakan, “Masa mahasiswa adalah masa mengembangakan diri. Merugilah yang waktunya hanya dipakai di ruang kuliah saja”. Atau perkataan menantang seperti kata Chandra Hamzah, “Kuliah adalah hobby, aktivis itu wajib”. Dan inilah akarnya, “Sesungguhnya kader adalah rahasia kehidupan umat dan motor penggerak kebangkitannya. Sejarah seluruh umat adalah sejarah para pemudanya yang cerdik, memiliki kekuatan jiwa, dan kebulatan tekad. Kuat atau lemahnya umat diukur dengan tingkat kesuburannya melahirkan kader-kader yang memenuhi syarat kesatria yang benar. Dan sejarah ‘membuktikan’ bahwa satu orang kader dapat membangun umat jika sifat kesatrianya benar. Juga mampu menghancurkan umat jika sifat kesatrianya di arahkan pada aspek penghancuran, bukan pembangunan”. Kiranya begitulah uraian Imam Hasan al-Banna. Momentum perekrutan akan bertolak dari tantangan kekinian pada sebuah gerakan kepemudaan membutuhkan pembangunan jiwa, pengokohan akhlak, dan pembentukan kaderkadernya pada mentalitas kepemudaan yang benar sehingga tegar menghadapi berbagai tantangan dan mampu mengatasi berbagai kesulitan yang menghadang. Transformasi Gerakan dan Komunitas Ada dugaan bahwa pergerakan pemuda kini dalam masa yang stagnan. Atau disisi lain diasumsikan gerakan mahasiswa sedang bertransformasi dalam bentuk yang lain. Dalam diskusi Pusat Studi Globalisasi dan Gerakan mengamsusikan, jika memang bertransformasi, apakah itu akan menjadi pola gerakan baru yang bertahan dalam waktu panjang atau hanya tren sesaat yang akan padam dalam waktu dekat. Pusat Studi Globalisasi dan Gerakan, membagi dalam 2 gerakan, gerakan modern dan gerakan post-modern. Gerakan modern diasumsikan organisasi formal baik intra kampus seperti BEM, HMJ, LDK maupun ekstra kampus seperti KAMMI, IMM, HMI, PMII, dan lainnya. Sedangkan gerakan post-modern, diasumsikan dengan ciri utama, tidak memiliki bentuk baku, struktur organisasi hampir tidak ada kecuali hanya struktur sederhana, tidak ada aturan yang mengikat, program kerja satu atau dua dan biasanya sangat aplikatif, sert jangka waktu yang fleksibel. Mereka berasumsi bahwa jika ada yang berkata hari ini jumlah aktivis mahasiswa turun, bisa jadi itu kurang tepat. Bahkan mungkin jumlahnya bertambah. Yang berkurang adalah proporsi mahasiswa yang aktif di gerakan modern, dimana sebagian berpindah ke gerakan post-modern. Sedangkan yang awalnya sama sekali tidak terlibat, memutuskan bergabung ke gerakan post-modern. Sehingga jika parameternya hanya terlibat di gerakan modern memang terlihat sedikit, tapi kalau ditotal bisa lebih banyak. Titik lain yang menarik dari diskusi Pusat Studi Globalisasi dan Gerakan adalah mereka yang tidak lagi membahas idelogi berarti ada dua kemungkinan, pertama dia memang sudah selesai masalah diskursus ideologi, bahkan sudah memilih sehingga sudah merasa tidak perlu lagi membahasnya. Atau kedua, dia tidak menyadari bahwa dirinya sedang berpijak pada ideologi tertentu dan memperkuatnya.


Kekuatan Kuantitatif Dalam gerakan kepemudaan, kekuatan kuantitatif menjadi penting. Karena setidaknya kekuatan kuantitatif adalah bentukan pembuktian dari kekuatan kualitatif. Sederhananya semakin ‘berkesan’ sebuah gerakan kepemudaan seharusnya semakin banyak yang tertarik mengikutinya. Maka inilah momentum perekrutan. Karena faktor jumlah menjadi salah satu kekuatan strategis yang tidak dapat diabaikan. Islam sendiri membanggakan jumlah umatnya yang banyak pada hari akhir nanti. Sebab itu pengukuran kuantitatif menjadi niscaya bagi gerakan kepemudaan, sehingga proses representasi harus dilakukan melalui penyederhaan yang bersifat kuantitatif. Akan tetapi, selain itu juga terdapat sebuah kenyataan bahwa kekuatan kuantitatif pada saatnya dapat diubah menjadi kekuatan kualitatif. Kita dapat berkesimpulan bahwa gerakan kepemudaan ideologis adalah gerakan modern. Tapi dalam pola perekrutan dapat digunakan perspektif gerakan post-modern. Maka yang dimaknai adalah paradigma keterbukaan. Hal ini sebagai pijakannya bahwa akar peradaban kita adalah bentuk ajakan untuk bergelut dalam kebaikan dan mencegah kemungkaran. Karena itu kita terbuka kepada siapa saja untuk bergaul dengan mereka, dengan tetap menjaga ciri khas kita. Imunitas Ideologi Dunia gerakan kepemudaan adalah dunia gagasan, dunia ide-ide, dan dunia wacana. Muhammad Quthb mendefinisikan tarbiyah dalam satu kalimat sederhana, tarbiyah adalah seni menciptakan manusia. Maka gerakan kepemudaan adalah bagian dari itu, seni menciptakan manusia. Di lain sisi dapat kita sebut dengan seni menciptakan ulang. Bentuk upaya untuk membentuk bagaimana akal individu melebur dalam akal kolektif, semangat individu menyatu dalam semangat kolektif, dan kreativitas individu menjelma menjadi kreativitas koletif. Sehingga momentum perekrutan adalah akar proyek peradaban yang bertujuan menciptakan sebuah taman kehidupan, saat disana berbagai bunga kebaikan, kebenaran, dan keindahan tumbuh bersemi. Sekiranya seperti kata imajinasi Sayyid Qubth, “Teruntuk para pemuda yang aku raba dalam imajinasiku datang untuk memurnikan kembali ajaran agama ini seperti sedia kala. Mereka berjuang di jalan Allah�. Mari bergabung dalam gerakan mahasiswa Muslim.


Sumpah Pemuda; Refleksi Multikultural Gerakan M. Sadli Umasangaji (Pegiat KAMMI Maluku Utara) Dimuat di Malut Post Edisi 27 Oktober 2015 Indonesia adalah negara multikultural dengan beragam suku, agama, adat istiadat, tradisi, dan ras. Indonesia adalah komunitas politis yang sendi-sendinya terbangun melalui proses komunikasi. Ia lahir dari kehendak bebas individu-individu yang membangun relasi bebas dan setara satu sama lain. Dengan kata lain, terbentuknya Indonesia merupakan bentuk pelepasan masing-masing individu dari perspektif kesukuannya untuk mencapai kebebasan melalui proses komunikasi intersubjektif yang bebas dan setara. Individu-individu, pada awalnya mulai “meninggalkan” keluarganya dan memasuki arena publik untuk berkomunikasi dengan individu lainnya. Dalam komunikasi dengan individu lain tersebut, harapan dan tujuan bersama pun akhirnya terbentuk. Setelah itu, individu-individu yang saling berkomunikasi secara jujur, bebas, dan setara itu, akan berjuang bersama untuk mencapai cita-cita dan harapan bersama pula. Komunikasi pun akan melebarkan ruang-ruangnya. Ia tidak lagi membatasi diri pada pembangunan jaringan di dalam suatu organisasi, tetapi meluas menjadi antar organisasi. Puncak kulminasi komunikasi tersebut adalah peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. (Hamzah, 2010). Pada dasarnya setiap pemuda memiliki masa yang berbeda, kondisi yang berbeda, maka tantangan yang juga berbeda. Tapi kita (pemuda) tetap penting mengambil pelajaran dari pemuda-pemuda sebelumnya. Termasuk sejarah sumpah pemuda, yang terjadi selang 87 tahun lalu. Dan menjelang memperingati Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2015. Pada dasarnya kita tahu bahwa pemuda-pemuda (sejarah sumpah pemuda) itu tergabung dalam simpul-simpulnya masing-masing (organisasi kepemudaan) kemudian menggabungkan diri dalam simpul yang besar (Kongres Pemuda). Mereka mensejarahkan momentum mereka. Dan momentum Sumpah Pemuda adalah salah satu refleksi terhadap multikultural gerakan. Maka pelajaran pertama yang kita petik, adalah menemukan momentum, mengenal momentum, menyiapkan momentum, kalau tidak ya menciptakan momentum. Anis Matta, menuliskan “seseorang tidak menjadi pahlawan karena ia melakukan pekerjaan-pekerjaan kepahlawanan sepanjang hidupnya. Kepahlawanan seseorang biasanya mempunyai momentumnya. Ada potongan waktu tertentu dalam hidup seseorang dimana anasir kepahlawanan menyatu padu. Saat itulah ia tersejarahkan”. Dan Imam Hasan Al-Banna menegaskan “Setiap masa ada pemudanya, setiap pemuda ada masanya dan yang terbaik adalah mereka yang mengetahui masanya”. Kedua, menyatu dalam simpul besar dari simpul-simpul kecil. Imam Hasan Al-Banna, menuliskan “Wahai para pemuda, perbaruilah iman dan tentukan tujuan serta sasaran kalian. Sebab kekuatan pertama adalah iman, buah dari iman ini adalah kesatuan, dan konsekuensi logis kesatuan adalah kemenangan yang gilang gemilang. Oleh karenanya, berimanlah kalian, eratkanlah ukhuwah, dan bekerjalah”. Dan bila kita telaah periodisasi gerakan kepemudaan di Indonesia, dari tahun 1908 (Budi Utomo), 1928 (Sumpah Pemuda), 1945 (Kemerdekaan), 1966 (Peruntuhan Orde Lama), 1998 (Peruntuhan Orde Baru), dan kini Era Reformasi. 1908 dan 1928 terjadi pergulatan pemikiran dengan pembentukan organisasi kepemudaan serta kongres sebagai momentum. Dan 1966 dan 1998 adalah gerakan massa dan aksi demonstrasi sebagai momentum. Pada konteks itu maka kita dapat merumuskan sama halnya untuk trend gerakan kepemudaan era Reformasi yang momentumnya bukan lagi aksi demonstrasi dan gerakan massa untuk meruntuhkan rezim. Tapi trend gerakan kepemudaan kini adalah berafiliasi dalam pengkaderan yang berbasis moralitas (moral force), sosial kemasyarakatan, dan sinergi


pergulatan pemikiran tanpa mengabaikan gerakan ekstraparlementernya, yang semua itu implikasinya adalah ledakan karya. Sehingga ledakan karya itu menyatukan kekuatan pemuda dari simpul-simpul kecil ke simpul besar dengan mengutamakan pusat keunggulannya. Realitas Masalah, Ilmuwan, Pemikir, dan Teknokrat; Sebuah Solusi Pada kondisi kini Indonesia sedang dirunut masalah seperti kabut asap, korupsi yang tak henti, pembakaran rumah ibadah, perekonomian yang tidak stabil, nilai rupiah yang lemah, bahan bakar minyak diliberalisasi pada pasar bebas, dan ditambah dengan momentum pilkada serentak, dan berbagai masalah-masalah klasik diantaranya termasuk pemuda yang hedonis, di satu sisi hal-hal positif dalam pembangunan juga berjalan. Apa peran pemuda dalam membantu berbagai masalah negara. Apakah terbatas pada gerakan parlemen jalanan, atau terlebih-lebih ditambah kepedulian yang terpatri dalam gerakan sosial independen. Ataukah sebuah tranformasi yang bernafas panjang yang terpatri dalam tiga bentuk; ilmuwan, pemikir, dan teknokrat. Ahmad Wahib menuliskan “itu tergantung juga sampai dimana kemampuan intelektualitas yang dimiliki intelektual tadi. Kalau dia hanya kreatif, dedikatif, responsif, setia pada kebenaran dan akal sehat, pokoknya berkepribadian baik tapi sama sekali kosong dari kemampuan akademis maka dia hanya menjadi orang pencetak moral atau kepribadian, sedang karya-karyanya hanya bermanfaat bagi tingkat desa atau kecamatan. Kalau di samping memiliki kepribadian yang indah-indah tadi ditopang oleh kemampuan akademis yang tinggi, maka dialah orang yang paling ideal, bermoral dan berilmu tinggi�. Teknokrat didefenisikan sebagai mereka yang tidak mempersoalkan siapa yang berkuasa. Mereka hanya bekerja membantu yang berkuasa (Wahib, 2013). Wahib (2013) menuliskan, “Pendapat-pendapat yang saya lontarkan selama ini lebih banyak terdominir oleh keinginan-keinginan sebagai idealis daripada suatu pendapat yang betul-betul dipikirkan landasan ilmiahnya. Memang ada perbedaan antara pemikir dan ilmuwan. Pemikir terutama memeras otaknya untuk menemukan apa yang baik untuk masa depan. Ilmuwan memeras otaknya untuk mengerti kenyataan-kenyataan yang ada�. Karena itu keterlibatan kita secara kreatif dalam pergolakan kultural zaman adalah keharusan. Lari pada ketenangan dan ketenteraman dan meninggalkan arena pergolakan yang selalu menggelisahkan adalah sikap yang tidak bertanggungjawab kepada masa depan. Kita maju karena kita berani gelisah. Dan tantangan ini adalah tantangan bagi para pemikir, ilmuwan, dan para calon pemikir dan ilmuwan. (Wahib, 2013). Freelance inteligentia perlu mutlak untuk suatu masyarakat, walau tidak perlu banyak. Orang-orang yang beginilah yang mampu menciptakan pikiran-pikiran yang melampaui ruang dan zamannya. Inilah dasar pikiran mengapa bahwa seorang sarjana yang hidup dalam menara gading itu baik, bahwa universitas itu untuk sebagian harus merupakan ivory tower (Wahib, 2013). Transformasi Manusia; Sebuah Harapan Tentu harapannya dalam waktu-waktu mendatang itu kita akan disajikan sebuah masyarakat dengan multikultural gerakan tersebut. Karena di negeri ini nanti orang-orang menggunakan kebebasannya secara bertanggung jawab, karena mereka telah memiliki rasa cinta. Di negeri ini nanti orang-orang memiliki harapan untuk hidup sejahtera karena mereka memiliki semangat kerja. Di negeri ini pula nanti orang-orang hidup dalam keragaman yang bersatu padu dan tidak menjadi sumber konfilk berkepanjangan, karena mereka memaknai rasa harmoni. (Matta, 2013). Karena suatu nanti di negeri ini kita akan menyaksikan suatu tatanan masyarakat yang menjaga adab, tatanan hidupnya murni, dan tradisi yang kokoh, sebagaimana mereka


membela tanah airnya dari penjajahan, memelihara kehormatannya agar tidak dirusak, menjaga kekayaannya agar tidak dirampas, dan menjaga kemuliaannya agar tidak direndahkan. Karena semuanya berakar dari nilai-nilai multikultural gerakan.


Peran Kekinian Organisasi Kepemudaan dan Kilas Sumpah Pemuda (Momentum Spirit Pemuda di Hari Sumpah Pemuda) M. Sadli Umasangaji (Pengurus Daerah KAMMI Kota Ternate Periode 2012-2014) Dimuat di Malut Post Edisi 02 November 2013 “Allah-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa� (Q.S Ar-Rum [30] : 54) Simfoni pergerakan pemuda untuk Indonesia telah terekam jejak. Pemuda merupakan salah satu elemen penting dalam setiap episode panjang perjalanan bangsa ini. Potret perkembangan pemikiran pemuda dan gerakan pemuda Indonesia terajut mulai tahun 1908, 1928, 1945, 1966, hingga 1998 dan pada Era Reformasi ini. Periode 1928, Periode Sumpah Pemuda 1928, ditandai dengan Kongres Pemuda yang dilangsungkan pada 26-28 Oktober 1928. Isi deklarasi tersebut adalah pernyataan para pemuda: kami putra putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia, kami putra putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, kami putra putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Dari peristiwa ini dapat kita gambarkan bahwa pemikiran pemuda Indonesia pada masa ini mencerminkan keyakinan di dalam diri mereka bahwa mereka adalah orang Indonesia dan semangat perjuangan mereka dilandasi oleh semangat persatuan. Pemuda adalah suatu umur yang memiliki kehebatan sendiri, menurut DR.Yusuf Qardhawi ibarat matahari maka usia muda ibarat jam 12 ketika matahari bersinar paling terang dan paling panas. Pemuda mempunyai kekuatan yang lebih secara fisik dan semangat. Pemuda mempunyai potensi yang luar biasa, bisa dikatakan seperti dinamit atau TNT bila diledakan. Pada hakikatnya usia muda, seorang pemuda merupakan usia yang penuh dengan citacita tinggi dan darah yang gemuruh serta idealisme yang luas, usia yang memberi pengorbanan dan menembus semua. Usia yang menabur jasa, memberi kesan dan emosional. 85 Tahun yang lalu, 28 Oktober 1928. Berkumpullah para pemuda sebagai peserta Kongres Pemuda II yang terdiri dari berbagai organisasi kepemudaan seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia), Pemuda Kaum Betawi, dan lainnya. Kumpulan Organisasi Kepemudaan inilah yang memprakasai semangat persatuan. Merumuskan Sumpah Pemuda. Hingga kini telah terekam dalam pusaran sejarah sebagai Hari Sumpah Pemuda. Sebagaimana Hasan Al-Banna katakan “Sesungguhnya, sebuah pemikiran itu akan berhasil diwujudkan manakala kuat keyakinan kepadanya, ikhlas dalam berjuang di jalanya, semakin semangat dalam merealisasikannya dan siap untuk beramal dan berkorban dalam mewujudkannya. Itu semua tidak terdapat, selain pada diri pemuda. Oleh karena itu, sejak dahulu hingga sekarang, pemuda merupakan pilar kebangkitan setiap umat, rahasia kekuatan pada setiap kebangkitan, dan pembawa bendera setiap fikrah�. Kata-kata Hasan Al-Bana inilah yang harusnya dipahami Organisasi Kepemudaan pada kondisi kekinian. Maka peran kekinian dari Organisasi Kepemudaan yang bermain dalam ruang lingkup intelektual muda (mahasiswa) seharusnya terkonsep untuk mampu menghasilkan pemudapemuda yang mengusung nilai-nilai intelektual, penanaman keimanan, dan penguatan jiwa negarawan.


Organisasi Kepemudaan seharusnya difungsikan sebagaimana kata-kata Anis Matta, “Berorganisasi tidak hanya terkait dengan fitrah sosial kita, tapi terutama terkait kebutuhan kita untuk menjadi lebih efisien, efektif dan produktif. Kita menyadari dengan kesadaran bahwa keterbatasan-keterbatasan yang ada pada setiap individu sesungguhnya dapat dihilangkan dengan mengisi keterbatasan kita itu dengan kekuatan-kekuatan yang ada pada individu-individu yang lain. Jadi, kebutuhan setiap individu perlu berorganisasi bukan saja lahir dari kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi dan produktivitasnya tapi juga lahir dari kebutuhan untuk bekerja dan beramal pada level yang setara dengan tantangan zamannya”. Bekerja dan beramal dalam organisasi kepemudaan adalah melalui kepekaan sosial, gerakan sosial, dan gerakan akar rumput. Untuk menuju “Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lain”. Ibnu Jauzi pun mengungkapkan, “Wahai para pemuda, kerahkan potensi dirimu selagi masih muda karena belum pernah aku lihat karya yang paling berharga selain yang dilakukan oleh para generasi muda”. Karena masa muda menjadi masa strategis untuk belajar dan mulai berkontribusi. Ketika otak masih lebih fresh dan idealisme masih tinggi inilah sejatinya pemuda bisa mengawali pembentukan masa depannya. Namun demikian, masa depan itu hendaknya tidak selalu dikaitkan dengan jabatan atau sekadar legitimasi. Kalaupun kita mendapatkannya, jadikan ia sebagai sarana mencapai tujuan. Kontribusi pada masyarakat, agama, dan negara adalah kerangka utama peran di masa depan. Organisasi Kepemudaan seharusnya mau mengkonsep pemuda-pemuda menuju sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka (Sang Pencipta), dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk” (QS. Al-Kahfi:13). Pemuda-pemuda yang menginterelasikan spirit keintelektualan, keimanan, dan kenegarawanan. Akhirnya Organisasi Kepemudaan harusnya mampu menyatukan potensi dan kekuatan pemuda, kemudian meledakannya pada momentum sejarahnya, menjadi pohon peradaban yang teduh, yang menaungi kemanusiaan. Sebagaimana ungkapan Hasan AlBanna, “Setiap masa ada pemudanya, setiap pemuda ada masanya dan yang terbaik adalah mereka yang mengetahui masanya”. Salam Hari Sumpah Pemuda, Salam Muslim Negarawan.


Makna Kelahiran M. Sadli Umasangaji (Pengurus Wilayah KAMMI Maluku Utara) Dimuat di Malut Post Edisi 01 April 2016 Apa sebenarnya yang menjadi makna dalam setiap menjelajah kembali kelahiran sebuah gerakan. Maka yang menjadi pandangan adalah makna kelahiran, pandangan refleksi, dan gagasan baru. Kita tidak akan lahir ke dunia tanpa adanya cinta, kita lahir karena adanya cinta dan kasih sayang dari orang tua. Kita lahir melalui kasih sayang kedua orang tua kita dan kelahiran kita disambut oleh kasih sayang kerabat, saudara kita. Olehnya itu kata Hilmi Aminudin, pertama kelahiran kita adalah untuk menebarkan kasih sayang kepada seluruh lapisan ummat, seluruh lapisan bangsa, bahkan seluruh lapisan kemanusiaan. Kita lahir untuk membawa misi rahmatan lil alamin. Kedua, selain dilahirkan dengan penuh cinta dan kasih sayang, kita pun lahir dengan kehormatan dan kemuliaan. Karena kita lahir dengan kehormatan dan kemuliaan setelah diberi kehormatan dan kemuliaan oleh Allah, insya Allah kelahiran kita juga adalah untuk membangun kehormatan dan kemuliaan umat, bangsa dan negara serta kemanusiaan. Ketiga, kita pun lahir ke dunia dengan mengemban amanah dan memikul tanggung jawab. Kita lahir dengan membawa misi ibadah dan tugas kekhalifahan di dunia ini. Makna Kelahiran KAMMI dalam kelahirannya ddasari keprihatinan mendalam terhadap krisis ekonomi nasional dan didorong oleh rasa tanggung jawab moral mahasiswa terhadap penderitaan rakyat. KAMMI dimaknai kehadirannya karena perlu dibentuknya kesatuan aksi yang menghimpun potensi mahasiswa muslim, terutama yang bergabung dalam LDK. Kemudian Deklarasi Malang lahirkan KAMMI. Kesepakatan di komisi pada acara FSLDK Nasional X. Kesepakatan tersebut bermaksud diperlukannya koordinasi dan konsolidasi antar kampus. Guna membangun kekuatan yang dapat berfungsi sebagai peace power untuk melakukan tekanan moral terhadap pemerintah. KAMMI dalam kelahirannya dimana pada waktu-waktu itu berbagai elemen gerakan mahasiswa gencar melakukan aksi 1998. Maka menarik KAMMI disebut sebagai versi “alim” Forkot dan “merah”-nya LDK. Makna Refleksi Apa yang paling perlu direfleksikan oleh gerakan kepemudaan dalam sejarahnya? Tak terlepas juga KAMMI. Maka bagaimana peran “senior” atau “alumni” KAMMI menjadi penilaian tersendiri dalam tubuh KAMMI terhadap perkembangan KAMMI. Tentu pula perkembangan KAMMI sebagai gerakan sendiri dan termaktub kader-kader “junior”-nya. Apakah KAMMI masih seperti dahulu? Ini menjadi pertanyaan refleksi paling mendalam tentunya. KAMMI yang dalam romantika sejarahnya, disebut sebagai anak muda yang bernilai istimewa; "energik", "kreatif", "bening-moralis", dan tentu saja `anti status quo'. Bahkan terlebih-lebih dengan romantikanya itu dia disebut sebagai "pengusung pesanpesan kenabian". Yang ditampilkan dengan citra, "sederhana, sopan, rendah hati, rajin ibadah, dan menegakkan sunnah". Terlebih-lebih dengan gambaran "berwajah teduh bermata sejuk--lugu dan murni, tetapi tampil dengan gagah, berani dan mungkin sedikit angkuh". Kini, mungkin KAMMI bertransformasi, tak terlepas dari elegan para “senior” yang telah masuk dalam berbagai lini. Atau patron klien umumnya dalam gerakan mahasiswa sebagai lanjut dari gerakan jalanan ke perjuangan lewat parlemen. Tak terlepas dari itu


KAMMI membentuk warna barunya sendiri. Atau memang ikut-ikutan tergolong seperti gerakan mahasiswa yang lahir lebih dulu darinya. Makin bertingkah “politis”, politik praktis. Atau karena transformasinya itu KAMMI, makin terbuka dalam gerakannya. Hingga lahir perspektif dalam tubuhnya sendiri Seperti umumnya dalam organisasi sering terbagi beberapa tipikal, diantaranya konseptor, organisatoris, berpikir taktis. Dalam organisasi gerakan, mungkin kalangan konseptor lebih identik dengan berbagi gagasan, mencintai tradisi intelektual, tulis menulis. Kalangan organisatoris mungkin identik dengan manajerial organisasi, senang bergelut dengan tongkat kepemimpinan, bertarung dalam gerakan. Kalangan berpikir taktis, cenderung identik dengan pandangan politik-praktis, sepertinya merupakan mayoritas yang mencintai politik praktis dan kerja-kerja teknis, bergelut dengan berbagai jaringan. Akhir-akhir ini malah muncul kalangan “merah” dalam tubuh KAMMI, sosialis-religius. Atau memang seperti begitu adanya, seperti kata Imron Rosyadi “Kami dulu mencoba memikirkan ideologi apa yang cocok untuk KAMMI. Karena generasi kami lahir dari nuansa Tarbiyah yang kental, dan Tarbiyah mengambil referensi gerakan dari Ikhwanul Muslimin, kami terapkan Ikhwanul Muslimin dalam latar ke-Indonesia-an. Tetapi tentu saja IM bukan sesuatu yang final dan tunggal. Diadopsilah beberapa referensi lain yang berasal dari Indonesia. Menurut pemikiran kami pada waktu itu, biarlah Ikhwanul Muslimin menjadi salah satu inspirasi gerakan KAMMI, yang berdialetika, bertarung, serta beradaptasi dengan gagasan lain yang juga berkembang seiring dengan berkembangnya KAMMI. Ideologi KAMMI bukan sesuatu yang final, dan tak boleh final”. Terlebih-lebih KAMMI sudah layaknya seperti tulis Pram dalam Bumi Manusia, kata Jean Marais pada Minke, “Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Warna Baru dan Kembali Secara pribadi, saya memang lebih senang KAMMI dengan konsepsi Ikhwan-Centris. Atau tidak minimal kedekatannya. Atau memang saya mengenal KAMMI dengan konsepsi itu. Tinggal bagaimana meng-KAMMI-kan Ikhwan. Mungkinkah KAMMI masih seperti dahulu? Kembali adalah makna inti refeleksi. Seperti ditulis DR. Yusuf Qardhawi, “Diantara prioritas yang dianggap sangat penting dalam usaha perbaikan ialah memberikan perhatian terhadap pembinaan individu sebelum membangun masyarakat atau memperbaiki diri sebelum sistem dan institusi”. Warna baru adalah tabiat berikut dari pandangan refleksi. Warna baru yang menarik perhatian saya adalah konsepsi tentang pandangan kebudayaan KAMMI. Terlebih-lebih hadirnya Bidang Kebudayaan, Seni, dan Olahraga dalam Pengurus Pusat KAMMI periode ini. Tentu yang menarik makin banyak komunitas yang mewarnai ini. Terlebih-lebih sastra mulai menjadi ranah baru bagi KAMMI. Seperti tulis Pram dalam Bumi Manusia, kata Magda Peters, “Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjaanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai”. KAMMI bagiku tetap KAMMI, “dan Allah yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu infakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka. Tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka...” (Q.S Al-Anfaal : 8 : 63). Selamat Hari Refeleksi KAMMI (29 Maret 1998-29 Maret 2016).


Demokrasi, Orang Muda dan Media Massa M. Sadli Umasangaji (Pengurus Daerah KAMMI Kota Ternate Periode 2012-2014) Dimuat di Malut Post Edisi 01 Maret 2014 Pembicaraan terkait demokrasi memang akan cenderung untuk berbicara secara general, nasional ataupun global. Karena demokrasi merupakan sistem tatanan negara, bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara. Alam demokrasi memungkinkan peran dan partisipasi rakyat yang lebih besar dalam lingkup kekuasaan. Kekuasaan adalah amanah berdasarkan kebebasan dan kedaulatan rakyat yang diembankan di atas pundak para pengelola negara. Tulisan ini adalah bagian dari wacana lanjutan ketika penulis menghadiri agenda “Dialog Politik Orang Muda”. Dengan pembicara Bapak Saiful Ruray, Bapak Husen Alting, Ibu Irene Yusiana Roba Putri, dan Pembanding, Bapak Muhammad Syadri. Dengan Tema “Menimbang Masa Depan Demokrasi di Maluku Utara”. Dan judul tulisan inipun, berkaitan erat sub tema yang waktu itu dibawakan oleh para pembicara. Dibalik nilai dan cita-cita demokrasi, realisasi kondisi ideal tersebut seringkali membentur kerasnya dinding-dinding kekuasaan. Potensi monopoli disertai fasilitas dan legitimasi kekuatan seringkali dipakai sebagai tameng untuk menepis tujuan mulia demokrasi. Akibatnya, kekuasaan semakin lekat dengan tipikal hegemonik yang sulit untuk dibendung oleh rakyat sekalipun. Tipikal kekuasaan yang hegemonik inilah yang menjadi ancaman bagi terwujudnya pemerintah demokratis. Sebab ia mampu mendikte negara dan masyararakat yang memiliki kepentingan tertentu serta mendistorsi partisipasi menjadi partisipasi yang semu. Secara umum, hegemoni tersebut tidak lepas dari akibat pergulatan berbagai kepentingan yang bernuansa ekonomi dan politik. Salah satu nilai ideal demokrasi yang mampu membius penganutnya adalah peran dan partisipasi rakyat yang sangat dijunjung tinggi. Kondisi ini memungkinkan otoritarianisme kekuasaan terkikis lewat kewajibannya mempertanggungjawabkan kekuasaan di hadapan rakyat. Lembaga kekuasaan yang diwakili oleh negara bukan lembaga sakral yang tak tersentuh publik. Lembaga tersebut adalah rangkaian dari kerelaan individu dan publik untuk menyerahkan kedaulatan mereka diatur oleh negara, sehingga pada hakikatnya yang memerintah adalah rakyat. Kondisi inilah tak lepas peran media dan orang muda di dalamnya. Fungsi media dalam komunikasi politik, memberikan informasi kepada masyarakat tentang apa yang terjadi, mendidik masyarakat mengenai signifikasi dan arti terhadap fakta yang ada, menyediakan diri sebagai platform untuk menampung masalah-masalah, membuat publikasi terhadap pemerintah dan intitusi politik. Dimana media berperan sebagai pula pengawasan dalam menciptakan good govermance. Media massa dan sistem politik demokratis, pertama watch, media harus memonitor semua aktivitas dan berani mengungkapkan penyalahgunaan. Kedua, information and debate. Media massa mesti mampu memberikan saluran komunikasi antara pemerintah dan rakyat. Ketiga voice of the people. Inipun terskema dalam political actor, media, and people. Kondisi demokrasi sedemikian juga melahirkan para politisi muda yang bebas untuk mengikuti pemilihan legislatif dari berbagai daerah pemilihan baik dalam perwakilan untuk DPRD maupun DPR-RI. Politisi muda ini juga akan menarik perhatian untuk pemilih muda karena mungkin pemilih terbanyak adalah usia muda. Selain kaitannya konteks “orang muda” adalah tak terlepas dengan organisasi kepemudaan yang semakin bebas berekspresi dalam era demokrasi ini. Organisasi kepemudaan juga sebagai tempat pendidikan politik yang banyak melahirkan politisi muda.


Di balik kilasan harapan yang besar, realitas demokrasi seringkali mengandung paradoks pada dirinya sendiri. Terlepas dari kenyataan bahwa proses demokrasi membutuhkan kerelaan yang tulus dan pengorbanan tak sedikit, efek sosial dan politik yang harus diemban dari sebuah proses menuju demokrasi tidak sedikit memunculkan kejenuhan sebagai bagian sejarah panjang otoritarianisme. Kenyataan itulah yang mengemuka pada saat ini. Seringkali pertanyaan ironis menyapa, dimana demokrasi saat harga-harga kebutuhan pokok yang terkait dengan hajat dasar hidup, sulit terjangkau? Apakah demokrasi yang menghasilkan pemisahan eksekutif, legislatif, dan yudikatif menitip wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif dan ekskutif yang lebih asyik mempersoalkan nasib kepentingan sendiri? Asumsi lain adalah dalam masyarakat modern, sulit merepresentasikan kehendak masyarakat yang sesungguhnya. Konteksnya dengan mediapun seringkali kehendak tersebut dimanipulasi dan diselewengkan oleh media atau kepentingan kekuasaan. Pertama banyaknya informasi bukan berarti informasi yang lebih baik, kedua teknologi bisa mengurangi makna demokrasi, ketiga technology can serve the powerfull. Akan hal ini maka yang sering dipertanyakan adalah keindependenan media dan keberpihakan media. Dan hal ini adalah realitas di alam transisi demokrasi. Transisi demokrasi juga erat kaitannya dengan organisasi-organisasi kepemudaan dan kemasyarakatan. Organisasi-organisasi ini harus mampu memegang teguh konsistensi ruang gerak mereka dan visi mulianya sehingga tidak mudah terombang-ambing hegemoni kekuasaan. Sebab dari sinilah kita bisa mengukur sejauh mana organisasi tersebut bergerak sebagai wujud partisipasi politik untuk memperkuat dirinya atau sekedar bagian dan mobilisasi kepentingan politik tertentu. Ataupun dengan visi yang mulia ataukah berlandaskan pada kesekuleran (kecintaan pada dunia yang fana). Gagasan demokrasi begitu ideal sebagai tipikal hidup berbangsa dan bernegara. Begitu ideal hingga terkadang sulit dipraktikkan pada tataran ril. Gagasan itupun seringkali hanya menjadi konsumsi politik demi meraup suara rakyat. Namun di balik itu, nafsu terhadap kekuasaan dan praktik politik yang menempatkan kekuasaan sebagai tujuan, masih sangat kental dibandingkan nilai ideal demokrasi yang memikul tanggung jawab moral pada rakyat. Menyadari hal ini sulit diwujudkan di balik ragam kepentingan manusia. Karena itu gagasan demokrasi hendaknya memiliki landasan rasionalitas, moralitas, dan etika yang kuat. Konteks moralitas cenderung didefinisikan secara abstrak, maka penulis mencoba mengutip pendapat Hasan Al-Bana “Aku memperhatikan perilaku orang banyak, aku bergaul dengan mereka dan aku melihat berbagai peristiwa. Kemudian aku keluar dari kondisi ini dengan keyakinan yang kuat bahwa kebahagian yang dicari oleh semua manusia berasal dari jiwa dan hati mereka. Kebahagian itu tidak akan datang dari luar hati mereka. Hati yang hidup dan selalu berhubungan dengan Allah adalah sumber kebahagiaan�. Inilah yang penulis anggap sebagai bagian dari moralitas. Demokrasi bukan sekedar nilai ideal yang berlangsung dalam relung filosofi dan berkutat pada atas kesadaran, namun juga praktik sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Karena itu, demokrasi harus menghasilkan masyarakat politik. Karena demokrasi tidak sekedar dijadikan sebagai cita-cita ideal tapi juga instrumen untuk meraih cita-cita ideal kehidupan bernegara.


Sipil Keummatan


Politik Cinta M. Sadli Umasangaji (Pengurus Wilayah KAMMI Maluku Utara) Dimuat di Malut Post Edisi 10 Desember 2015 Begitulah 09 Desember 2015 adalah momentum pilkada serentak. Berbagai masyarakat yang partisipatif akan keterlibatan di dalamnya. Sementara para ‘calon pemimpin’ akan bergelut dalam stateginya. Menang. Mungkin itulah kata taruhannya. Tak ada kata kalah. Itu lirih mereka yang telah bertuai. Begitulah pada masa-masa itu perhatian dari sang calon pemenang adalah nilai utama yang digaungkan pada calon pemilihnya. Tapi tentu kita berharap bahwa itu bukan sekedar perhatian. Bukan sembarang perhatian. Perhatian adalah akar dari keinginan untuk memberi. Begitulah seharusnya. Dan buah dari perhatian, harusnya adalah kebajikan. Perhatian, memberi, dan kebajikan harus membuat orang yang mendapat perhatian terus menumbuh, mengembangkan dirinya. Karena perhatian memiliki integrasi dengan pesona kematangan. Itulah lakon yang dilakukan sang calon pemenang. Perhatian, memberi, kebajikan, bertumbuh, dan penuh pesona. Itulah seharusnya Politik Cinta. Sarana yang dipakai sang calon pemenang itu adalah kampanye, janji politik, tim sukses, hingga yang paling usang sekalipun tapi yang paling ‘seksi’, mahar politik, ditingkat paling sederhana, money politic. Usang memang tapi paling laris. Apalagi di detik-detik terakhir. Kadang-kadang ia bisa jadilah penentu sang calon pemenang. Tapi itulah kekeringan politik cinta. Politik cinta memang rumit. Yang penonton memang penonton. Sukanya hanya menilai. Yang pelakon bermain mati-matian. Hidup atau mati. Tapi pilihannya cuman satu; menang. Kalah adalah penghabisan. Ya, tapi politik cinta bukan sekedar politik. Politik yang penuh dengan lumpur pekat. Bukan. Politik cinta adalah cinta misi. Yang jikalau kau mengenangnya maka kerinduan ruhani yang timbul. Jika kau merindunya, maka akal batin yang berbicara. Politik cinta bukan sekedar politik karena ia terbalut dalam cinta penuh misi. Misi yang bertaut dengan kerinduan pada kebaikan. Politik cinta memang rumit. Seperti lakon para PNS yang diminta utamakan netralitas tapi tetap harus memilih. Cinta memang pilihan. Tapi kalau dalam ranah ‘intervensi’, maka cinta adalah kerumitan. Kau memilih yang ini. Dan yang itu yang menjadi sang pemenang. Maka cintamu dibuang. Dan kau jangan terlena karena cinta. Begitulah politik kadangkadang cinta menjadi usang karena pilihan yang salah. Mungkin Politik Cinta adalah ilusi. Sebab jangan kau bicara tentang kesejahteraan. Sementara kau lupa tentangnya. Apalagi harus melihatnya. Apa harus menunaikannya nanti. Jangan kau bicara tentang kesejahteraan. Sementara kau direlung nestapa. Atau tidak, nestapa itu telah hilang. Hilang dari rasa ‘mereka’. Jangan kau janji tentang keadilan. Tapi jauh disana tidak merata. Jauh disana bersusah payah. Terjerit dalam kehidupan. Jangan kau bicara tentang keadilan. Kalau hanya untuk kesenangan. Sementara jauh disana mereka bergelut dalam terik panasnya matahari siang. Jangan kau bicara tentang kesejahteraan. Kalau jauh disana komunikasi saja sulit. Transportasi saja rumit. Keseharian penuh kerinduaan pertapaan. Bisa jadi keadilan dan kesejahteraan adalah ilusi. Percayalah, itu ilusi. Tak ada pengecualian dewa sekalipun. Tapi tidak politik cinta itu adalah sejarah. Seperti Sang Khalifah yang termenung gundah. Sedih. Tampaknya belum ada tanda-tanda kalau kelaparan yang melanda kota Madinah akan segera berakhir. Puluhan orang meninggal sudah. Di tingkat teknis operasional rasanya semua upaya sudah ia lakukan. Tapi masih adakah upaya lain yang mungkin ia lakukan?


Tidak jelas betul hubungannya. Tapi sang Khalifah kemudian merasa kalau ia membutuhkan tekad yang lebih besar. Cinta pada rakyat harus diekspresikan lebih nyata. Perasaan itulah yang mengantarnya pada keputusan kecilnya, selama kelaparan ini masih berlangsung, Umar bin Khatab tidak akan membiarkan seorang pun dari anggota keluarganya untuk makan daging, dan tidak boleh menggauli satu dari ketiga istrinya. Tidak ada korelasi tekhnis. Tapi sebagai pemimpin Sang Khalifah telah menyatakan tanggung jawab dan kepeduliannya pada rakyatnya (Matta, 2012). Begitulah politik cinta. Ia adalah cinta misi. Cinta pada sebuah misi mendorong kita mencintai semua orang dan pekerjaan yang ada di sepanjang jalan menuju misi itu. Disini cinta bekerja seperti mesin kendaraan. Tidak penting betul siapa penumpangnya, dan jalan mana yang harus dilalui. Sebab keluruhan misi mengusai jiwa sang pencinta. Politik cinta adalah gerak yang lahir dari bentuk dari gerak manusia sebagai sebuah masyarakat di alam raya. Maka cinta ini tertuju pada gerak bukan bentuk, maka semua pekerjaan yang terkait dengan pencapaian misi, juga jadi niscaya (Matta, 2012). Ia seperti ejawantahan pada karya-karya ilmiah para ulama, pada darah dan air mata para syuhada, pada keadilan para pemimpin, pada kasih sayang para pendakwah, pada kelembutan para guru. Itulah seharusnya seperti Khalid bin Walid lebih menyukai berkecamuk dalam perang walau malam yang dingin, Usman bin Affan yang dikenal dengan kedermawanannya, senang berinfak, Umar bin Khatab yang mau mengantarkan gandum di tengah malam pada rakyat miskin. Atau seperti kata Imam Hasan al-Banna, “kami ingin agar umat mengetahui bahwa mereka lebih kami cintai daripada diri kami sendiri. Sungguh, jiwa-jiwa kami ini senang gugur sebagai penebus bagi kehormatan mereka, jika memang tebusan itu yang diperlukan. Atau melayang untuk membayar kejayaan, kemuliaan, agama, dan cita-cita mereka, jika memang mencukupi. Tiada yang membawa kami pada sikap seperti ini kepada mereka, kecuali karena rasa kasih sayang yang telah mencengkeram hati kami, menguasai perasaan kami, menghilangkan kantuk kami, dan mengalir air mata kami. Sungguh, kami benar-benar sedih melihat apa yang menimpa umat ini, sementara kita hanya sanggup menyerah pada kehinaan, ridha pada kerendahan, dan pasrah pada keputusasaan. Sungguh, kami berbuat di jalan Allah untuk kemaslahatan seluruh manusia, lebih banyak dari apa yang kami lakukan untuk kepentingan diri kami. Kami adalah milik kalian wahai saudara-saudara tercinta, bukan untuk orang lain. Sesaat pun kami tak akan pernah menjadi musuh kalian�. Adapun seorang pemimpin yang dilahirkan oleh keadaan selalu ingin segera memperoleh hasil sebelum menyiapkan sarana, serta tertipu oleh keangkuhan mereka sebagai pemimpin dan tertipu pula oleh berbagai perangkap politik. Mereka menyangka, gurun pasir yang tandus dan kering sebagai air, lantas mengejarnya. Akan tetapi, ketika ia mencapainya, mereka tidak menemukan apa-apa, kecuali sekedar menghamburkan tenaga, mengorbankan waktu, dan menghabiskan bekal. Mereka terpaksa mundur kembali ke titik permulaan dan menelan kerugian, tidak maju dan tidak pula meraih keuntungan. (Aziz, Jum’ah, 2007). Pada akhirnya politik cinta haruslah bersumber pada kehendak kuat serta niat yang tulus dari masyarakat itu sendiri sambil didukung oleh kebijakan pemerintah yang adil, karena kita semua adalah contoh bagi yang lainnya. Kuatnya pemerintahan pada gilirannya dibuktikan oleh kuatnya masyarakat sebagai penompang pemerintahan itu sendiri. (Hamzah, 2010). Politik cinta memang rumit. Apalagi mereka sebagai pelakon. Akankah semuanya tetap terlihat sebagai lumpur pekat, dan tetap ada yang lupa ‘mencuci diri’ dengan air yang bersih, oh tidak minimal dengan air yang keruh. Tapi tetaplah, mungkin aku, kau, dan mereka, rindu pada politik cinta, sebagai cinta misi, sementara dia sebagai pelakon?


Realitas Demokrasi Kekinian M. Sadli Umasangaji (Anggota Biasa KAMMI Kota Ternate) Dimuat di Radar Halmahera Edisi 16 Oktober 2014 Salah satu persoalan yang mengemuka dalam relasi rakyat, masyarakat sipil dan negara adalah sejauh mana batasan hubungan antaranya. Rangkaian dilema dalam hubungan tersebut seringkali terjadi. Di satu sisi, negara adalah pihak yang memiliki otoritas kebijakan yang berhak menerapkannya dalam masyarakat. Di sisi lain, rakyat adalah pihak yang memiliki kebebasan. Melalui negara demokrasi mengandaikan kebebasan yang sepenuhnya pada individu, tanpa adanya intervensi dari pihak luar, termasuk negara, dalam hal urusan privat. Posisi kekinian adalah membesarnya perbedaan pandangan antara pemilihan kepala daerah melalui pemilihan langsung dan pemilihan melalui DPRD. Pemilihan langsung dinilai dari sisi positif adalah semakin meningkatnya peran partisipasi masyarakat, penguatan nilainilai demokrasi, di satu sisi (sisi negatif) dinilai banyak biaya yang dikeluarkan baik biaya pemilihan umumnya maupun biaya partisipasi pemilu dari para calon kepala daerah, rentannya konfilk, semakin menjamur money politic dan berbagai masalah prosedural lainnya dalam pemilu yang belum matang. Pemilihan melalui DPRD, secara positif, dinilai dapat mengurangi beban anggaran negara dalam pembiayaan pemilu, mengedapan nilai-nilai pancasila (permuswayaratan perwakilan), penguatan lembaga legislatif. Secara negatif, tentu dinilai menghilangkan partisipasi masyarakat secara langsung (sehingga dikatakan kembali mirip dengan gaya Orde Baru), disatu sisi trust (kepercayaan) masyarakat terhadap legislatif bisa dinilai rendah sehingga merasa bukan bagian keterwakilan suara mereka, bahkan dikatakan rentan pula money poltic antara calon kepala daerah dengan anggota legislatif. Pada dasarnya ini hanya masalah demokrasi prosedural dan seharusnya lebih penting adalah demokrasi substansial. Demokrasi Prosedural dan Substansial Menurut Asghar Saleh dalam sebuah diskusi menguraikan 5 aspek permasalahan demokrasi kini, pertama, pandangan politik itu kotor. Dalam hal ini orang (umumnya masyarakat) berpandangan politik dinilai hanya semata berpikir tentang kekuasaan. Sinisme politik. Politik berbanding lurus dengan kemajuan demokratis. Hari-hari ini demokrasi mengedepankan oligarki kekuasaan. Kedua, politik membutuhkan kekuasaan. Bentuk perwakilan representatif terkadang tidak merasa terwakili. Representasi masih berhenti pada cita-cita belum pada tataran realitas. Adanya dominasi kaum pemilik modal, orang-orang seperti sangat dominan dalam pemilihan. Ketiga, partisipasi langsung, ini yang membuat representasi masih dalam tataran cita-cita. Keempat, ada upaya pembatasan berorganisasi atau berkelompok. Kelima, munculnya aktor-aktor yang terintegrasi dalam sistem. Ketika Abraham Lincoln mengumandangkan hakikat demokrasi sebagai tatanan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sebagian besar penduduk bumi menaruh harapan besar pada gagasan tersebut. Di balik kilasan harapan yang besar, realitas demokrasi seringkali mengandung paradoks pada dirinya sendiri. Terlepas dari kenyataan bahwa proses demokrasi membutuhkan kerelaan yang tulus dan pengorbanan tak sedikit, efek sosial, dan politik yang harus diemban dari sebuah proses menuju demokrasi tidak sedikit memunculkan kejenuhan sebagai bagian dari sejarah panjang otoritarianisme (Hamzah, 2010). Salah satu nilai ideal demokrasi yang mampu membius penganutnya adalah peran dan partisipasi rakyat yang sangat dijunjung tinggi. Yang terkadang fana, demokrasi hanya pesta hura-hura rakyat. Lihatlah ‘rakyat-rakyat yang lain’ merasa menang di atas ‘rakyat-rakyat


yang lain’ dan orang-orang saling mengatasnamakan atas nama ‘rakyat’. Hura-hura rakyat dengan kemenangannya bahkan kini menanti pelantikan presiden dengan kemenangan hurahura tanpa dasar partisipatif kesadaran apalagi kesadaran tauhid, tidak ada sama sekali. Kenyataan itulah yang mengemuka saat ini. Seringkali pertanyaan ironis menyapa, dimana demokrasi saat harga-harga kebutuhan pokok yang terkait hajat dasar hidup, sulit terjangkau? Dimana demokrasi, kalau banyak titipan asing dalam undang-undang kita? Bahkan bebas dalam segala hal hingga kebebasan tak bertanggungjawab. Paham demokrasi pada dasarnya bersumber dan berpijak pada prinsip liberalisme dan individualisme, karena itu demokrasi dipandang berwajah ramah. Bahkan demokrasi berstandar ganda. Dan konstalasi demokrasi memang menjadi dominan negara-negara Eropa dan Amerika. Bahkan tanpa kita sadari demokrasi berhimpitan dengan kapitalisme. Mereka bebas membuat undang-undang dengan rayuan-rayuan investasi. Dalam negara berkembang, kondisi transisi demokrasi cenderung rawan. Bahkan atas dasar nama demokrasi, tergambar penghancuran besar-besaran, pembersihan massal, hingga pembunuhan besar-besaran atas dari kolonialisasi atau perluasan kekuasaan, dan bahkan memporak-poranda sistem negara dari dominan negara lain. Lihatlah yang dialami Ikhwanul Muslimin ketika memimpin Mesir, lihatlah kondisi Hamas di Palestina dan gonjang-ganjing perpolitikan negara-negara Timur Tengah, tentu tidak terlepas dari negara dominan kapitalis dan liberal, Amerika dan negaranegara Eropa dengan dalangnya Israel. Sudah saatnyakah demokrasi dicampakkan? Sisi baiknya dan salah satu substansialnya, menurut Fahri Hamzah, dalam demokrasi negarawan dihasilkan oleh partai politik. Maka yang diperlukan adalah kaderisasi. Kaderisasi menjadi batu loncatan ideologis dalam berpartai. Pemilu secara langsung, media massa, organisasi kemasyarakatan yang kritis hanya imbas dari berkah demokrasi dan bagian dari demokrasi prosedural serta bukanlah hakikat demokrasi itu sendiri. Selama nilai-nilai kebebasan (liberte), persamaan (egalite), dan persaudaraan (fraternate), belum berimbas pada kesejahteraan rakyat, selama itu pula demokrasi pemanis bibir. Demokrasi prosedural dan substansial harus berjalan beriringan, karena demokrasi bukan sekedar nilai ideal yang berlangsung dalam relung filosofis dan berkutat pada aras kesadaran, namun juga praktik sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Fahri Hamzah berpandangan demokrasi adalah seni mengelola perbedaan dengan kata-kata dan agama adalah kata-kata yang baik (nasihat). Kedemokrasian Islam Salah satu sumber yang mengurai sejarah pertautan agama dan negara adalah riwayat kehidupan Nabi Muhammad SAW di Madinah. Risalah kenabian Nabi Muhammad dengan cerita hidupnya pasca hijrah dari Mekkah tersimpul dalam klaim bahwa Islam tidak menganut pemisahan antara agama dengan negara. Nabi Muhammad SAW membangun negara-kota (city-state) di Madinah yang bersifat ketuhanan. Persoalan-persoalan sosial dan masyarakat tidak jarang diselesaikan dari proses dialog yang intens antara Nabi Muhammad SAW dengan para sahabat dan pengikutnya. Proses inilah yang disebut syura hingga melahirkan sebuah konsep piagam madinah. Menurut Robert N Bellah, masyarakat Muslim klasik (dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW dan Khulafaur Rasyidin) itu modern (terbuka, demokratis, dan partisipatif). Kontekstualisasi masyarakat Madinah di bawah pimpinan Nabi Muhammad merupakan penerapan demokrasi di alam modern. Seperti adanya nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan universal yang terwujud dalam kehidupan sosial dan masyarakat yang tidak hanya dihuni umat Islam. Tidak lagi dapat dipersoalkan bahwa di bawah (Nabi) Muhammad, masyarakat Arab telah membuat lompatan jauh ke depan dalam kecanggihan sosial dan kapasitas politik. Ketika struktur yang telah terbentuk di bawah Nabi dikembangkan oleh para khalifah pertama untuk menyediakan prinsip penyusunan suatu imperium dunia,


hasilnya ialah sesuatu yang untuk masa dan tempatnya sangat modern. Ia modern dalam hal tingginya tingkat komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang diharapkan dari kalangan rakyat sebagai anggota masyarakat. Dalam sejarah, Islam lebih identik dengan perwakilan. Yang paling penting masyarakat partisipatif itu adalah atas dasar kesadaran tauhid. Itulah demokratisnya di bawah kepemimpinan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Jadi kesadaran masyarakat dengan kesadaran tauhid menghasilkan senator yang demikian (sadar akan ketauhidan) dan bekerja untuk umat, dengan konsep perwakilan itu menghasilkan pemimpin yang bekerja untuk umat atas dasar kesadaran tauhid. Motif dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat, itu ternyata fana. Bagaimana kalau rakyatnya buruk? Tentu kemungkinannya adalah implikasi yang buruk, menghasilkan demokrasi prosedural bukan demokrasi substansial. Seutuhnya yang kita harapkan kuatnya demokrasi prosedural dan implikasi baiknya pada demokrasi substansial. Seperti halnya kata Robert N Bellah terhadap demokratisnya kepemimpinan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin. Itulah demokrasi substansial dengan partisipatif atas dasar ketauhidan (demokrasi prosedural). Dalam hal ini meliputi elemen-elemen dengan prinsip-prinsip tertentu seperti syura (musyawarah), musawah (kesejajaran), adalah (keadilan), amanah, masuliyah (tanggung jawab), dan hurriyah (kebebasan). Islam sebagai cita-cita adalah pemerintahan yang accountable. Dalam hal ini menjadi hal yang wajar secara esensial bagi sistem partisipatoris. Kepemimpinan dan pemegang otoritas bertanggung jawab pada rakyat dalam kerangka Islam. Kerangka Islam disini bermakna bahwa semua umat Islam secara teologis bertanggung jawab pada Allah dan wahyu-Nya. Sementara dalam tataran praksis akuntabilitas berkaitan dengan rakyat. Oleh karena itu, khalifah sebagai kepala negara bertanggung jawab pada dan berfungsi sebagai representasif pemimpin dan representasi umat Islam sekaligus. Menurut Fahri Hamzah, dengan dasar itu kita meyakinkan orang yang meragukan maksud baik agama karena tidak mungkin Tuhan bermaksud buruk. Dan dengan itu kita meyakinkan bangsa Indonesia bahwa agama adalah berkah bagi demokrasi. Terbentuknya negara madani (negara sipil keummatan). Kuatnya negara pada gilirannya dibuktikan oleh kuatnya masyarakat sebagai penopang negara itu sendiri. Masyarakat yang partisipatif ketauhidan. Wallahu’alam.


Native Democracy M. Sadli Umasangaji (Anggota Biasa KAMMI Kota Ternate) Dimuat di Radar Halmahera Edisi 23 Juni 2014 “Ketika kita hidup untuk kepentingan pribadi, hidup ini tampak sangat pendek dan kerdil. Ia bermula saat kita mengerti dan berakhir bersama berakhirnya usia kita yang terbatas. Tapi apabila kita hidup untuk orang lain, yakni hidup untuk (memperjuangkan) sebuah fikrah, maka kehidupan ini terasa panjang dan memiliki makna yang dalam. Ia bermula bersama mulanya kehidupan manusia dan membentang beberapa masa setelah kita berpisah dengan permukaan bumi� (Sayyid Quthb) Demokrasi bisa saja terjebak sekedar pada ajang prosedural dimana masyarakat hanya berkutat pada hiruk-pikuk imbas kebijakan alam demokrasi, mulai dari terbukanya akses demokrasi langsung lewat pemilihan umum langsung, ataupun penyebaran dan akses infromasi yang lebih merata di ruang publik serta sikap kritis lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam menganalisa setiap tindakan-tindakan pemerintah. Imagine native democracy, menempatkan hubungan antara masyarakat, media, negara, partai politik, dan lembaga-lembaga kemasyarakatan. Dalam konteks transisi demokrasi, yang tergambar dalam realitas masyarakat adalah kepragmatisan masyarakat. Bisa kita sebut kepragmatisan masyarakat ini terjadi karena kepragmatisan partai politik dan politisi itu sendiri. Di satu sisi bisa kita katakan pula efek dari transisi rezim mencampuri di dalamnya. Kepragmatisan masyarakat ini bisa berupa berbagai hal bahkan kepada konteks yang menganggap politik tidak mempengaruhi hal-hal signifikan secara individu, timbulnya keinginan diberi uang untuk partisipasi dalam politik (mencoblos), apatis dengan politik, dan seterusnya. Partai politik dan politisi pun berlaku demikian, tidak adanya fit and proper test terhadap calon legislatif yang diusung yang merata dari pusat hingga ke daerah, tidak menunjukkan kualitas kinerja yang baik sebagai nilai jual, tidak memiliki ideologi yang kental dalam berpolitik yang menjadi jalur partai politik, mayoritas mengandalkan tokoh bukan platform partai. Media pula turut mengambil peran didalamnya, bisa kita lihat dalam beberapa pemberitaan media nasional khususnya media televisi dalam beberapa waktu yang lalu mempengaruhi elektabiltas partai politik dan tokoh calon pemimpin kini. Maka disana media memainkan peran pencitraan terhadap tokoh-tokoh partai. Sehingga muncul tokoh-tokoh yang dicitrakan media ‘secara tidak merata’ itu menghasilkan tokoh-tokoh dengan gaya blusukan, sederhana, apa adanya, hanya tokoh-tokoh itu yang disorot media menghasilkan pencitraan, disisi lain segilintir politisi dan pengamat mengatakan tokoh-tokoh itu tidak punya gagasan tapi elektabilitasnya tinggi. Anehnya disatu sisi yang lain partainya dengan tokoh seperti ini malah menurut beberapa hasil survei termasuk dalam beberapa partai terkorup di Indonesia. Inilah kesalahan mengandalkan tokoh bukan platform partai. Transisi demokrasi memang cenderung berkutat kepada “orang brengsek memilih orang brengsek, orang baik memilih orang brengsek, orang brengsek memilih orang baik, dan orang baik memilih orang baik�. Pemaknaan ini berlaku umum seperti halnya bisa dianalogikan secara seorang pemabuk dan seorang ustad. Dalam demokrasi pula suara seorang pemabuk sama dengan suara seorang ustad. Akan hal ini imagine native democracy, untuk menjadikan transisi demokrasi hanya berkutat kepada “orang brengsek memilih orang baik, dan orang baik memilih orang baik� maka perlu ada peran kaderisasi partai politik, bisa dikatakan hanya segelintir partai yang


memiliki kaderisasi partai terhadap kadernya, dengan bahasa lain imagine native democracy seharusnya menghasilkan partai kader. Hal ini dalam konteks masyarakat maka masyarakat perlu terbentuknya masyarakat yang berlandaskan pada rasionalitas, moralitas dan etika yang kuat. Dan menyadari seperti kata-kata Ali bin Abi Thalib ketika dikritik oleh rakyatnya, “Mengapa kepemimpinanmu tidak sama dengan kepemimpinan Abu Bakar, Umar bin Khatab, dan Usman bin Affan. Ali pun menjawab ketika kepemimpinan Abu Bakar, Umar bin Khatab, dan Usman bin Affan, aku adalah bagian dari rakyatnya, dan sekarang aku adalah pemimpinnya dan kalian adalah rakyatnya”. Ini menunjukkan bahwa pemimpin adalah cerminan dari rakyatnya. Bila kita adalah rakyat yang memilih pemimpin dan wakil rakyat karena citra dan kepragmatisan kita maka itulah cerminan pemimpin dan wakil rakyat kita. Beberapa pengamat berpandangan calon-calon pemimpin dan calon legislatif miskin narasi dan gagasan, jangan-jangan itulah cerminan kita sebagai rakyat. Hal ini juga karena menunjukkan sebuah peralihan pada era reformasi dimana perhatian kita dari politik dan ekonomi kepada masyarakat. Beralih dari politik sebagai panglima, ekonomi sebagai panglima dan saatnya menuju masyarakat sebagai panglima. Pada konteks ini, maka Imagine native democracy merupakan generasi baru, generasi yang sejak lahir hanya mengenal demokrasi. Native democracy juga adalah entitas masyarakat yang lahir di akhir era order baru, dan dibesarkan di era reformasi, mayoritas berkutat dengan demokrasi, mayoritas usia muda dengan usia produktif (45 tahun ke bawah), mayoritas orang muda, umumnya hanya kenal satu bendera, yaitu merah putih saja. Bahkan pada pemilih pemula adalah mereka yang lahir pada rentang 1992-1997. Pergulatan mencari sistem tidak pernah berujung dengan pilihan benar-salah, tetapi akan berhenti sementara pada suatu titik dimana kita menemukan kesesuaian dan kecocokan. Sistem itu sendiri akan terus mengalami penyesuaian dan penyempurnaan. Ledakan demokrasi harus menuju kepada demokrasi substansial. Terutama pada perubahan-perubahan ide-ide dan nilai-nilai yang kemudian membentuk budaya baru dari masyarakat Indonesia. Hal ini juga menghasilkan toleransi dalam politik yang merupakan bagian dari pemahaman kesadaran tentang kemungkinan semua pihak untuk bersaing sesuai kualitas dan kapasitas individualnya. Anis Matta mengistilahkan hal ini dengan bagian dari “Gelombang Ketiga”, walaupun gelombang ketiga itu sendiri lebih luas dari wacana imagine native democracy. Model masyarakat baru dalam “Gelombang Ketiga” adalah masyarakat yang religius, berpengetahuan, dan sejahtera. Agama memberi orientasi dan moral sementara pengetahuan menjadi pemberdaya. Kesejahteraan merupakan hasil dari pengetahuan menjadi faktor katalis agar masyarakat makin berkualitas hidupnya termasuk soal spiritual. Imagine native democracy, masyarakat menjadi aktor utama yang mengimbangi peran negara. Dan membutuhkan pemimpin dan wakil rakyat yang mengandalkan gagasan, memiliki kemampuan persuasif, dan kemampuan koordinasi. Dengan menyatukan agama, pengetahuan dan kesejahteraan, Indonesia diharapkan akan menjadi bangsa yang religius, lebih berpengetahuan, tetapi sejahtera. Agama akan memberikan basis orientasi dan basis moral, pengetahuan memberikan basis kompetensi dan basis produktivitas, dan kesejahteraan sebagai cita-cita Indonesia. Minimal, masyarakat yang menjadi aktor utama dan berkata mengutip kata-kata Anis Matta “Tidak! Kaulah pahlawan yang ku rindu itu. Dan beratus jiwa di negeri sarat nestapa ini. Atau jika tidak, biarlah kepada diriku saja aku berkata: jadilah pahlawan itu”. Imagine native democracy, masyarakat jadilah pahlawan itu.


Kerinduan Pada Masyarakat Islami M. Sadli Umasangaji (Anggota Biasa KAMMI Kota Ternate) Dimuat di Malut Post Edisi 15 Agustus 2014 “Kita akan memerangi manusia dengan senjata cinta” (Hasan Al-Banna) Fenomena Daulah Islamiyah yang ‘didirikan’ oleh Gerakan ISIS (Islamic State Of Iraq and Syiria) menjadi pemberitaan diberbagai media di beberapa waktu akhir ini. Daulah Islamiyah yang dibangun ISIS ‘dianggap’ identik dengan kekerasan, yang ‘dinilai’ sebenarnya bukan keterwakilan dari nilai-nilai Islam. Pro kontra pun terjadi bahkan di Indonesia ada penegasan bahwa ISIS yang di Indonesia tidak melakukan kekerasan sama halnya dengan ISIS di Irak dan Suriah karena beda medan dakwah dan jihad, wallahua’lam. Mengutip beberapa tanggapan ulama terkait hal ini, diantaranya pernyataan asySyaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, Amir Hizbut Tahrir, beberapa hal yang penulis kutip pertama, sesungguhnya tanzhim (organisasi) apapun yang ingin memproklamirkan al-Khilafah di suatu tempat, yang wajib baginya adalah mengikuti thariqah Rasulullah Saw dalam hal itu. Diantaranya adalah, organisasi itu memiliki kekuasaan yang menonjol di tempat tersebut, yang menjaga keamanannya di dalam dan di luar negeri. Harus ada pilar-pilar negara di daerah yang di situ diproklamirkan al-Khilafah. Kedua, sementara itu, organisasi yang memproklamirkan al-Khilafah tersebut, tidak memiliki kekuasaan atas Suriah dan tidak pula atas Irak. Organisasi itu juga tidak merealisasi keamanan dan rasa aman di dalam negeri dan tidak pula di luar negeri, hingga orang yang dibaiat sebagai khalifah saja tidak bisa muncul di sana secara terbuka, akan tetapi keadaannya tetap tersembunyi seperti keadaannya sebelum proklamasi daulah. Ketiga, proklamasi yang terjadi adalah ucapan yang sia-sia (laghwun), tidak memajukan dan tidak memundurkan dalam hal realita organisasi ISIS. ISIS adalah gerakan bersenjata, baik sebelum proklamasi dan setelah proklamasi. Posisinya seperti gerakan-gerakan bersenjata lainnya yang saling memerangi satu sama lain dan juga berperang melawan rezim, tanpa satu pun dari faksi-faksi itu bisa meluaskan kekuasaan atas Suria atau Irak atau keduanya. Seandainya ada faksi dari faksi-faksi itu, termasuk ISIS, yang mampu meluaskan kekuasaannya atas wilayah yang memiliki pilar-pilar negara dan memproklamasikan al-Khilafah serta menerapkan Islam, niscaya layak untuk dibahas guna dilihat jika al-Khilafah yang didirikannya sesuai hukumhukum syariah. Persatuan Ulama Muslim Se-Dunia (IUMS), yang dipimpin oleh Syaikh Yusuf Qaradhawi, menekankan bahwa deklarasi khilafah yang dilakukan ISIS untuk wilayah cukup luas di Irak dan Suriah tidak sah secara syariah Islam dan juga tidak membantu proyek kejayaan Islam. Kami juga mengharapkan khilafah Islam bisa berdiri dengan cepat. Hari ini, tidak menunggu esok hari. Tapi khilafah yang didasarkan pada manhaj Nabi SAW, dan syura. Menurut IUMS, deklarasi khilafah dan mengangkat seorang khalifah, dilanjutkan dengan menuntut umat Islam seluruh dunia untuk tunduk dan taat kepadanya dilakukan tanpa standar syariah dan realitas. Bahkan sisi bahayanya lebih besar daripada sisi manfaatnya. Hal lain yang perlu disikapi adalah sikap kita (termasuk penulis) sebagai orang awam dalam hal ini. Hal ini kemungkinan secara tidak langsung akan menanamkan paradigma yang negatif terhadap dakwah Islam karena diidentikkan Islam sebagai bentuk gerakan kekerasan padahal mungkin ISIS tidak bermaksud demikian. Tapi mungkin seperti kata Felix Siauw, dalam Islam, segala sesuatu amalan tergantung pada niatnya, selain tergantung pada niat, nilainya juga tergantung caranya maka walau niat ikhlas karena Allah, bila salah dalam caranya maka amal itu hanya akan jadi amal yang sia-sia. Apakah itu shalat, zakat, puasa, menolong orang, ataupun belajar, semua amal baik harus dilakukan dengan niat dan cara


yang benar. Karena amalan ikhlas namun tidak sesuai cara Rasulullah pasti akan menghasilkan kerusakan dan juga musibah. Maka pejuang-pejuang Islam ini senantiasa harus bijak dan sabar karena mereka duta Islam yang akan selalu disorot untuk belajar. Di satu sisi lain, pandangan terhadap harakah Islam yang ada pun disama-ratakan sehingga orang awam akan takut masuk dalam sebuah gerakan jamaah Islam. Kemungkinan semangat untuk keber-Islaman akan menurun karena paradigma takut mempelajari Islam. Padahal untuk bisa mencapai kebangkitan Islam, menurut Yusuf Qardhawi, diperlukan beberapa persyaratan. Pertama, hendaknya kita selalu bangga dengan ke-Islaman kita. Kita harus merasa bahwa segala yang membuat kita bangga, yang membuat kita percaya diri, yang membuat kita berani menghadapi orang lain adalah Islam. Kedua, selain bangga, Islam harus menjadi cara berpikir, menjadi perilaku, menjadi cara bermuamalah kita. Ketiga, hendaknya bersatu melakukan berbagai kebaikan yang harus kita lakukan, jangan sampai ada perpecahan. Keempat, hendaknya negeri ini pandai memilih pemimpin mereka. Sayyid Qutbh menuliskan “Islam membangun umat Islam berlandaskan prinsip yang sesuai dengan manhaj. Eksistensinya mengokohkan fundamen masyarakat organik yang dinamis, dan menjadikan akidah sebagai tali pengikat masyarakat ini. Islam bertujuan menampilkan “kemanusiaan manusia�, mengokohkannya, dan menegakkannya dalam semua dimensi dari dunia manusia. Hendaknya persoalan akidah menjadi fundamen dakwah Islam kepada manusia, karena akidah sedari awal memang menjadi fundamen dakwah Islam kepada manusia. Akidah Islam haruslah tercermin dalam jiwa yang dinamis, dalam tatanan nyata, dalam masyarakat organik, dan dalam harakah. Umat Islam juga harus memahami bahwasanya Islam sebagaimana hadir untuk mereformasi konsepsi teologis sekaligus dinamis, hadir dengan misi mereformasi manhaj yang dibangun oleh konsepsi teologis tersebut, dilanjutkan dengan mereformasi realitas dinamis. Islam hadir untuk membangun akidah sekaligus membangun umat. (Quthb, 2012). Ketika sisi kemanusiaan manusia menjadi nilai tertinggi dalam suatu masyarakat dan ciri-ciri khas kemanusiaan didalamnya menjadi hal yang dimuliakan dan dipertimbangkan, maka masyarakat tersebut menjadi masyarakat yang berperadaban. Islam memasukkan perikemanusiaan ke dalam tatanan nilai dan moralitasnya. Perikemanusiaan inilah yang mengembangkan dalam diri manusia aspek-aspek yang mengunggulkan. Akidahlah yang menyusun konsideran dan menetapkan nilai-nilai moralitas. Peradaban Islami adalah peradaban yang mengakomodasi implementasi nilai-nilai kemanusiaan, bukan kemajuan teknologi, ekonomi, ataupun ilmu pengetahuan yang diiringi keterbelakangan nilai-nilai kemanusiaan. (Quthb, 2012). Sayyid Quthb menuliskan peradaban Islami bisa mengambil format yang beraneka ragam berkenaan dengan komposisi materi dan desainnya. Hanya saja, asas-asas yang melandasinya bersifat permanen, karena hal inilah yang menopang peradaban tersebut. Diantara asas dan nilai itu adalah pertama beribadah kepada Allah semata, kedua, berhimpun atas dasar ikatan akidah, ketiga, meninggikan sisi kemanusiaan manusia di atas kepentingan materi, keempat, membumikan nilai-nilai humanis yang mengembangkan sisi kemanusiaan manusia, bukan sisi kebinatangannya, kelima, menghormati ikatan keluarga, keenam, menjalankan peran khalifah di bumi sesuai dengan perintah dan ketentuan Allah, ketujuh, hanya berpedoman pada manhaj dan syariat Allah berkaitan dengan tugas-tugas khalifah.


Ikhwanul Muslimin dan Demokrasi; Senyuman Lelaki di Balik Jeruji M. Sadli Umasangaji (Pengurus Wilayah KAMMI Maluku Utara Periode 2014-2016) Dimuat di Malut Post 07 Juni 2015 Pengadilan pidana kudeta Mesir menjatuhi vonis awal berupa hukuman mati kepada para pemimpin gerakan Ikhwanul Muslimin. Termasuk diantara yang dijatuhi vonis mati tersebut adalah presiden Mesir, Muhammad Mursi, Syaikh Yusuf al-Qardhawi, Mursyid Ikhwanul Muslimin, Muhammad Badi’, Khaerat Syathir, Muhammad al-Baltaji dan tokoh Ikhwanul Muslimin lainnya. Sebelumnya itu pengadilan Mesir juga mengatakan Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi yang dilarang di Mesir, dan Hamas dan Brigadir al-Qassam sebagai organisasi teroris. Dalam tulisan ini penulis ingin menguraikan tentang Ikhwanul Muslimin yang penulis ketahui dari berbagai sumber beberapa buku yang ditulis oleh tokoh Ikhwanul Muslimin tentang Ikhwanul Muslimin. Untuk menguraikan bahwa Ikhwanul Muslimin bukanlah organisasi yang terlarang (teroris) dengan tujuan serta demokrasi sebagai sarananya. Said Hawwa pernah tuliskan, Hasan al-Banna berkata, “Kekuatan juga bukan satusatunya sarana. Sungguh, dakwah yang benar sesungguhnya berbicara kepada ruh, lalu berbisik kepada hati, selanjutnya mengetuk pintu-pintu jiwa yang terkunci. Adalah mustahil ia tertanam dengan tongkat atau tercapai tujuannya dengan ketajaman kata-kata dan tombak. Akan tetapi sarana yang dipergunakan untuk memantapkan pijakan setiap dakwah dapat diketahui dan dibaca oleh setiap orang yang memiliki perhatian kepada sejarah berbagai pergerakan. Ringkasnya ada dua kalimat: iman dan amal, kasih sayang dan persaudaraan�. Hasan al-Banna juga menuliskan, mereka memahami bahwa peringkat pertama kekuatan adalah kekuatan akidah dan iman, kemudian kekuatan kesatuan dan ikatan persaudaraan, lalu kekuatam fisik dan senjata. Sebuah jamaah tidak bisa dikatakan kuat sebelum memiliki cakupan dari kekuatan tersebut. Manakala sebuah jamaah mempergunakan kekuatan fisik dan senjata padahal ikatannya masih berserakan, sistemnya masih kacau, akidahnya masih lemah, dan cahaya imannya padam, maka kesudahan akhirnya adalah kehancuran dan kebinasaan. Said Hawaa menuliskan bahwa jalan utama yang dipergunakan Ikhwan untuk menegakkan pemerintahan yang Islami bukanlah jalan yang menggunakan senjata. Hasan alHudaibi (Muryid Ikhwanul Muslimin yang kedua) pernah menuntut sistem pemerintah parlementer di Mahkamah pada tahun 1954 dan Hasan al-Banna pernah mencalonkan dirinya untuk menjadi anggota parlemen di awal-awal tahun empat puluhan. Jalan utama kita pergunakan untuk menuju tegaknya pemerintahan ini ialah dengan memberi kebebasan dalam dakwah, aktivitas sosial, dan tarbiyah, serta memberikan kesempatan kepada umat untuk mengemukakan pendapatnya dalam memilih wakil-wakilnya. Ikhwanul Muslimin, kata Hasan al-Banna, kita akan membina diri, sehingga setiap kita menjadi seorang muslim sejati. Kita akan membina rumah tangga sehingga menjadi rumah tangga muslim. Kita akan membina bangsa kita, sehinga menjadi bangsa yang muslim. Kita akan berada di tengah-tengah bangsa Muslim ini dan akan berjalan dengan langkah pasti menuju akhir perjalanan, tujuan yang telah ditetapkan Allah bagi kita, bukan tujuan yang kita tetapkan untuk diri kita. Dan dengan izin dan pertolongan Allah, kita akan sampai (ke tujuan). Karena Allah SWT tidak menghendaki kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, meski orang-orang kafir tidak menyukainya. Realitas dan Sejarah Dakwah juga menikmati demokrasi karena dalam demokrasi semua orang menemukan kebebasan untuk bertemu dan berinteraksi secara terbuka dan langsung dengan semua objek


dakwah. Tapi disini pula kenikmatan demokrasi tedapat nilainya. Dakwah memang bebas tapi para pelaku kemungkaran juga bebas melakukan kemungkaran. Yang berlaku dalam kenikmatan demokrasi bukan hukum benar-salah, tapi hukum legalitas. Sesuatu itu harus legal walaupun salah. Dan sesuatu yang benar tapi tidak legal adalah salah. Begitulah aturan main demokrasi, tulis Anis Matta. Tapi karena otoritarianisme dan kediktatoran membuat dakwah tidak bisa bernafas lega. Di sana tidak ada tempat bagi ekspresi yang lepas. Kejadian pengadilan hukuman mati kepada berbagai tokoh Ikhwanul Muslimin juga mendapat kecaman dari Erdogan, Presiden Turki, yang mengatakan bahwa seorang pemimpin “yang percaya pada demokrasi” dia tidak menganggap Abdul Fattah as-Sissi sebagai Presiden Mesir. Mursi adalah presiden yang sah, dipilih secara demokratis di Mesir dengan meraup suaru mayoritas 52% suara. Vonis mati ini menurut Erdogan telah membuat Mesir kembali pada masa sebelumnya. Erdogan turut pula kecewa dengan sikap Barat yang tidak mengecam keputusan hukuman mati ini. Ini dapat kita sebut sebagai ancaman serius terhadap demokrasi dan kebebasan. Sangat menyedihkan dunia harus melihat kenyataan demokrasi dan kebebasan dipasung di Negara Mesir. Presiden pertama yang terpili secara demokratis kemudian dikudeta dan kini menghadapi vonis mati bersama ratusan pendukungnya. Vonis mati terhadap berbagai tokoh Ikhwan harus dimaknai sebagai tragedi demokrasi paling memiluhkan pada era modern ini dengan demokrasi dan perubahan sebagai landasan bernegara. Hal ini sekaligus menohok rasa kemanusiaan dan hak asasi manusia yang dikampanyekan oleh negara-negara modern. Tokoh Ikhwan dalam sejarah pula di hukum mati, Ustadz Sayyid Qutbh beserta tokoh Ikhwan lainnya mati di tiang gantung. Syaikh Hasan al-Banna dan Syaikh Ahmad Yasin pun mati dibunuh. Dan Sayyid Qutbh berkata, “Tidak akan pernah! Aku tidak akan pernah bersedia menukar kehidupan dunia yang fana ini dengan akhirat yang abadi”. Sayyid Qutbh menuliskan seperti kisah Ashhabul Ukhdud, dimana orang-orang yang beriman tidak selamat sedang orang-orang kafir malah tidak diazab, diekspose dalam alQur’an dengan tujuan supaya jiwa kaum mukmin, pengemban dakwah, siap menerima kenyataan bahwa dakwah mereka bisa jadi berakhir seperti akhir kisah tadi. Dan bahwa akhir semua itu bukanlah menjadi urusan mereka, melainkan nasib mereka dan nasib akidah berada di tangan Allah. Biarlah Allah yang memutuskan seperti apa akhir perjalanan mereka: apakah seperti akhir perjalanan keimanan ataukah seperti akhir kisah-kisah yang lain? Hanya Dia-lah yang Mengetahui. Senyuman lelaki di balik jeruji. Sejarah masih akan mencatat berbagai peristiwa yang memiliki akhir yang berbeda-beda. Sejarah akan menyimpannya selama berabad-abad. Wallahu’alam.


Demokrasi, Gerakan Fundamentalis dan Kudeta M. Sadli Umasangaji (Pengurus Wilayah KAMMI Maluku Utara) Dimuat di Malut Post Edisi 18 Juli 2016

Beberapa waktu ini, berbagai sarana media diantaranya media sosial diramaikan oleh berita rencana kudeta terhadap pemerintahan Turki saat ini. Kudeta ini dilakukan oleh kelompok kecil dari militer Turki. Satu hal yang menjadi perbincangan kemudian adalah kegagalan kudeta yang digagalkan oleh aksi massa masyarakat Turki. Itu pula atas seruan Sang Presiden, Erdogan. Puluhan juta rakyat Turki turun ke jalan untuk menolak usaha kudeta dari para oknum militer, turun ke jalan dan melakukan demo adalah himbauan Erdogan. People power in democracy. Loyalitas rakyat kepada pemimpin. Terselip seruan Menteri Agama Turki, Mehmet Gormez yang menyatakan bahwa turun ke jalan melawan oknum militer yang melakukan kudeta terhadap pemerintah yang sah adalah jihad. Seluruh masjid mengumandangkan adzan dan takbir sebagai penyemangat jihad. Erdogan pernah berkata “Masjid adalah barak kami. Kubah masjid adalah topi baja kami. Menara masjid adalah bayonet kami. Orang-orang beriman adalah tentara kami�. Kudeta pada Fundamentalis Fundamentalis mungkin dapat dikata adalah penganut gerakan keagamaan menempatakan perlu mengembalikan sesuata kepada hal-hal pokok ajaran agama. Atau seperti uraian Erbakan, “Muslim yang tidak pedulikan politik, akan dipimpin oleh politik yang tidak pedulikan orang Islam�. Atau yang meyakini bahwa hukum dan ajaran Islam itu menyeluruh. Mengatur urusan dunia di dunia dan akhirat. Seperti keyakinan Ke-Islam-an Ikhwanul Muslimin. Islam adalah akidah dan ibadah, tanah air dan kewarnegaraan, agama dan negara, spiritualisme dan amal, serta mushaf dan pedang (al-Banna, 2012). Ikhwanul Muslimin di Mesir misalnya melalui Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) mendulang suara mayoritas pada pemilu legislatif Mesir. Bahkan Mursi adalah presiden yang sah, dipilih secara demokratis di Mesir dengan meraup suaru mayoritas 52% suara. Akhirnya dikudeta oleh Militer. Dalam hal ini Turki, kalau bisa dikata AKP sebagai perpanjangan IM di Turki. AKP juga meraih suara terbanyak 41 persen dalam pemilu. Bahkan hasil pemilu ulang, kemenangan telak bagi AKP, dengan perolehan suara lebih dari 49,5%. Dan Erdogan yang sebelumnya sebagai Perdana Menteri menjadi Presiden. Sementara kita patut bertanya kudeta adalah tindakan yang mencederai tatanan demokrasi. Apakah kudeta karena ketidakpuasaan terhadap kinerja pemerintah ataukah pemerintahan yang semakin otoriter ataukah karena lawan politik ataukah karena perlawanan ideologi? Sebagaimanapun, kudeta militer adalah ancaman serius terhadap demokrasi dan kebebasan. Sangat menyedihkan dunia harus melihat kenyataan demokrasi dan kebebasan dipasung. Tatanan yang dipilih secara demokratis kemudian dikudeta. Mungkinkah gerakan fundamentalis akan selalu berhubungan dengan kudeta militer? Mungkin demokrasi untuk muslim adalah semu?


Semunya Demokrasi Islam? Apakah konsep demokrasi yang dianggap ‘ideal’, seiring waktu akan semakin semu. Di tengah diporak porandanya “Gerakan Islamis” yang meraup suara di tengah pilihan demokratis, di tengah suara mayoritas suara rakyat? Akankah konsep demokrasi menjadi semu akan intriknya permainan politik atas perlawanan ideologi? Ataukah sedemikian mungkin resiko yang harus diemban “gerakan Islamis” dalam pertarungan politiknya? Walaupun seiring waktu “Gerakan Islamis” itu semakin bertransformasi menjadi gerakan “post-islamisme”. Imam Hasan al-Banna beranggapan walaupun demokrasi bukan sistem Islam, tapi inilah sistem politik modern yang lebih dekat dengan Islam. Secara historis kemudian kita lihat bahwa penajajahan Eropa atas Dunia Islam, munculnya penguasa-penguasa tiran, dan pemerintahan militer represif setelah kemerdekaan, telah mematikan potensi umat secara keseluruhan. Disatu diterimanya pandangan demokrasi Islam. Transformasi dari Islam Demokrasi ke Demokrasi Islam seperti Gerakan Demokratisasi di Tunisia melalui An-Nahda. Menurut Dawam Rahardjo bahwa perbedaan antara Ikhwanul Muslim (Mesir) dan An-Nahda walaupun An-Nahda adalah versi Ikhwanul Muslim di Tunisia, yang pertama menganut haluan “Islam Demokratis” sedangkan di Tunisia melalui konseptualisasi Ghonnoushi, Islamisme telah berkembang dari Islam Demokrasi menjadi Demokrasi Islam. Dimana dalam “Demokrasi Islam”, Islam itu inheren dengan demokrasi. Akankah yang demikian membuat “Gerakan Post-Islamis” lebih mendapat tempat dalam pertarungan “politik ideologi” di tengah realitas demokrasi? Ataukah masih tetap terjebak dalam kubangan semu demokrasi, melalui kudeta militer. Nilai-nilai kebebasan dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia adalah syarat sosial yang akan memicu proses kreativitas dan produktivitas masyarakat. Kontrak sosial adalah sebentuk kerelaan masyarakat untuk hidup dalam satu tubuh negara. Aturan moral dan politik bergantung pada kontrak atau kesepakatan antar individu dalam pola kehidupan yang lebih luas (masyarakat). Atau mungkin seperti kata Dr. Yusuf Qardhawi, “Kalau saja para penguasa tiran yang bercokol di panggung kekuasaan di negara-negara Islam itu, mau membiarkan kita bekerja membangun umat secara tenang dan aman, tanpa tekanan dan gangguan keamanan, maka kita mungkin hanya membutuhkan waktu 20 tahun untuk mengembalikan kejayaan Islam”. Erdogan sendiri dalam platform kinerja AKP misalnya lebih banyak mengusung tentang persoalan hidup sehari-hari rakyat semisal tentang pemberian santunan rakyat bagi setiap lulusan perguruan tinggi hingga mereka mendapat pekerjaan. Atau semisal isu di bidang kesejahteraan keluarga, pemerintah membantu 15% dari biaya pernikahan dan perabotan rumah tangga. Di lain sisi, Ikhwan bukanlah sekedar partai politik, tetapi pembangkit nilai cita Islam yang telah mereka sumbangkan kepada Alam Islamy telah menumbuhkan semangat baru dalam Islam. Buya Hamka, menuliskan, “Ingatlah bahwasanya bangunnya Ikhwan adalah sebagai gejala daripada kebangunan Islam kembali, beratus tahun Islam dan umat Islam jatuh tersungkur dihadapan pikiran-pikiran Barat dan penajajahan Barat. Sudah hampir putus asa umat Muslimin memelihara aliran ideologi yang simpang siur di dunia ini. Al Ikhwan Al Muslimin adalah pelopor daripada penggalian cita-cita itu kembali. Sebagai organisasi massa di Mesir, ia dapat dilumpuhkan oleh kekuatan senjata dan adikara diktator di Mesir. Tetapi, sebagai suatu cita-cita, ia telah tumbuh dan telah menjalar ke mana-mana ke pelosok dunia. Buah pikiran mereka telah dibaca ke seluruh dunia Islam”. Ataukah bila semunya demokrasi, harus membuat gerakan Islami, kembali perenungan Sayyid Qutbh, “Pergerakan Islam harus berangkat dari pengertiannya sebagai gerakan untuk menghunjamkan kembali akidah Islam ke dalam hati dan pikiran setiap


individu Muslim, serta melakukan pembinaan kepada siapapun yang mau menerima dakwah dan pemahaman yang benar, dengan pola-pola pendidikan Islam yang benar. Tanpa harus membuang-buang waktu berdebat soal peristiwa politik yang tengah menjadi pembicaraan hangat”. Kembali pada “Membangun komunitas, harakah dan akidah dalam waktu bersamaan. Pembangunan masyarakat dan harakah yang berakidah dan membangun akidah yang memiliki masyarakat dan harakah. Akidah menjadi realitas masyarakat yang berharakah dan menghendaki realitas masyarakat berharakah yang sebenarnya menjadi entitas riil dari akidah”. (Qutbh, 2012). Akhirnya tentu kudeta adalah ancaman terhadap kemurnian demokrasi. Untuk kepemimpinan manapun termasuk kepemimpinan di luar “Gerakan Post-Islamisme”. Kudeta tetap harus ditolak. Tapi menolak kudeta bukan berarti harus menerima kepemimpinan otoriter. Apabila kepemimpinan otoriter baik dari kalangan manapun termasuk pada Gerakan Post-Islamisme, maka people power tentu harusnya berbicara lantang.


Tantangan Islam Politik dan National Identity M. Sadli Umasangaji (Anggota Biasa KAMMI) Dimuat di Malut Post Edisi 17 Februari 2015 Ada asumsi dasar yang mempengaruhi Islam Politik. Menurut Ustad Hilmi Aminudin, suara partai Islam semakin turun dari pemilu ke pemilu, padahal kondisi kekinian semangat keber-Islaman seorang Muslim semakin meningkat dan terlihat dimana-mana. Mungkin, pertama, Muslim (‘jamaah’) yang tidak mau terlibat dalam politik tapi hanya fokus dalam dakwah Islam. Kedua, Muslim (‘jamaah’) yang memandang Islam politik tapi tidak setuju dengan sistem politik yang dianut sekarang selain sistem Islam. Ketiga, Muslim yang tidak fokus ‘dakwah Islam’ dan bebas memilih partai politik manapun entah partai sosialis, partai nasionalis, maupun bisa saja ‘partai berbasis Islam’. Keempat, Muslim sebagai basis massa ‘organisasi masyarakat berbasis Islam’ dengan basis politiknya. Dalam keadaan inilah rakyat Indonesia didorong oleh suatu kewajiban mencari kepribadian nasional (national identity). Sebab, bukankah Tuhan tidak akan mengubah nasib sesuatu bangsa sebelum mereka mengubah apa yang ada pada jiwa mereka, yaitu yang berupa set of ideas, attitudes, and convictions (sekumpulan pikiran, sikap, dan keyakinan)? Maka disinilah letak pentingnya penekanan agar kita menjaga orientasi nasional kita. Sebab dengan sendirinya, kepribadian nasional itu harus dicari bibit-bibit dan sumber-sumbernya dalam milikan murni nasional (Madjid, Nurcolish, 2013). Lanjutnya Nurcholish Madjid (2013) menuliskan, keislaman merupakan milik nasional kita yang paling banyak berpengaruh. Oleh karena itu, penonjolan keislaman hanyalah merupakan penonjolan milik nasional yang paling penting. Barangkali inilah yang disebut ideology-oriented. Agaknya memang demikianlah keadaannya. Dan kita akan mempertahankan kebebasan kita untuk berideologi, sebab hal ini termasuk menganut keyakinan, asalkan masih konsisten dengan dasar negara. Karena, hidup tanpa keyakinan adalah tidak mungkin. HOS Cokroaminoto sejak awal mengingatkan bahwa melalui Islam, nasionalisme dapat tumbuh subur. Senada dengan Cokroaminoto, Muhammad Natsir menyatakan bahwa sebelum digunakan istilah ‘nasionalisme Indonesia’, ketika berbagai organisasi masih membatasi diri pada suku bangsa masing-masing, pergerakan berdasarkan Islam sudah lama memiliki ikatan kebangsaan. Pergerakan Islam telah menanam bibit persatuan dan menyingkirkan sifat kesukuan. Lebih jauh, Natsir perlu dicatat sebagai pencetus awal konsep ‘nasionalisme-religius’. Ia menempatkan Islam sebagai dasar nasionalitas Indonesia. (Matta, 2014). Di sisi lain, slogan yang pernah diusung Nurcholish Madjid, “Islam, Yes, Partai Islam, No?”. Dengan asumsi Nurcholish Madjid bahwa jika partai-partai Islam merupakan wadah ide-ide yang hendak diperjuangkan berdasarkan Islam, jelaslah bahwa ide itu sekarang dalam keadaan tidak menarik. Dengan perkataan lain, ide-ide dan pemikiran-pemikiran Islam itu sekarang sedang menjadi absolut, memfosil, kehilangan dinamika. Ditambah lagi, partaipartai Islam tidak berhasil membangun citra positif dan simpatik bahkan yang ada ialah citra sebaliknya (Madjid, 2013). Menurut Sayyid Qutbh sendiri dalam bukunya Detik-Detik Terakhir, sebagai Memoar Sayyid Qutbh ketika dipenjara dan digantung oleh rezim Mesir waktu itu, “Pergerakan Islam harus berangkat dari pengertiannya sebagai gerakan untuk menghunjamkan kembali akidah Islam ke dalam hati dan pikiran setiap individu Muslim, serta melakukan pembinaan kepada siapapun yang mau menerima dakwah dan pemahaman yang benar, dengan pola-pola pendidikan Islam yang benar. Tanpa harus membuang-buang waktu berdebat soal peristiwa politik yang tengah menjadi pembicaraan hangat”. Umat manusia secara umum sudah jauh


dari pemahaman dan pengertian tentang esensi dari nilai-nilai Islam itu sendiri, tidak lagi sekedar jauh dari etika Islam, aturan Islam, dan syariat Islam. Maka dari itu, gerakan Islam manapun wajib bertitik tolak dari dari usahanya dalam memberikan pemahaman kepada umat tentang makna Islam dan esensi akidah, yaitu mengabdi hanya kepada Allah semata, baik pada tataran keyakinan (mengenai hak Allah sebagai satu-satunya tujuan ibadah) maupun pada tataran praktis (menjalankan syiar-syiar peribadahan kepada-Nya, dan hanya tunduk dan patuh terhadap hukum dan syariat-Nya). Pergerakan ini harus berangkat dengan misi menyelamatkan masyarakat, rakyat, dan pemimpinnya secara bersama-sama, dari pemahaman konvensional menuju pemahaman Islam yang benar, lalu membangun sebuah fondasi (bila bagi masyarakat secara keseluruhan itu tidak mungkin, maka setidaknya itu dapat dilakukan terhadap unsur-unsur dan sektor-sektor yang memiliki kontrol dan pengaruh kuat di masyarakat). Membangun komunitas, harakah dan akidah dalam waktu bersamaan. Pembangunan masyarakat dan harakah yang berakidah dan membangun akidah yang memiliki masyarakat dan harakah. Akidah menjadi realitas masyarakat yang berharakah dan menghendaki realitas masyarakat berharakah yang sebenarnya menjadi entitas riil dari akidah (Qutbh, 2012). Maka pertanyaan berikutnya adalah akankah dalam momentum pilkada yang serentak 2015, partai politik Islam dapat mengambil momentum lewat basis massanya dan masyarakat Islam umumnya dengan citra Islamnya dan sebagai national identity atau tetap dengan koalisi yang ada (KMP dan KIH, atau bentukan koalisi lain secara lokal), hingga semuanya tetap berjalan ke tengah, entah partai Islam, ataupun partai Sosialis, ataupun partai lainnya, semua bergerak ke tengah. Atau mungkin perubahan paradigma dengan asumsi, kanannya kiri, kirinya kanan, kanannya kanan, kirinya kiri. Rasanya tidak ada lagi, yang ada hanya kiri dan kanan yang terus bergerak ke tengah. Mungkin mengutip yang dituliskan Nurcholish Madjid (2013) dalam Islam, Kemodernan, dan Ke-Indonesiaan, “Dalam menjalankan ‘politik sopan’ inilah pandanganpandangan seorang ahli Islam (Islamologi), Snouck Hurgronje, sangat berpengaruh. Ketika menasihati Pemerintah Kolonial Belanda untuk menghadapi umat Islam Indonesia, Snouck Hurgronje mengemukakan pendapatnya bahwa Pemerintahan Kolonial harus mengembangkan sikap netral terhadap Islam sebagai agama dan sikap keras-tegas terhadap Islam sebagai gerakan politik.” Kalimat Nurcholish Madjid ini sebagai tantangan Islam Politik untuk menegaskan citra Islamnya dalam lakon politik. Sehingga akhirnya seperti kata Sayyid Qutbh (2012), “Konsepsi Islam harus tercermin dalam kemanusiaan, sistem yang dinamis, dan harakah yang nyata”. Masyarakat Islami yang dalam pengertian kita mengusung peradaban tersendiri bukan semata-mata momentum bersejarah, yang dibicarakan dalam peringatan-peringatan atas masa silam, namun juga menjadi keniscayaan masa kini dan harapan masa depan. Wallahua’lam bishawab.


Pancasila dan Wujud Sosialisme Religius (M. Sadli Umasangaji) Pengurus Wilayah KAMMI Maluku Utara Dimuat di Malut Post Edisi Jumat, 17 Juni 2016 Dalam bulan Juni ini telah ditetapkan 01 Juni sebagai Hari Pancasila. Staf khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi mengatakan Presiden Joko Widodo akan mengumumkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila. Penentuan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila akan diumumkan melalui Keputusan Presiden. (Kompas, 2016). Presiden Indonesia berujar “Pancasila harus diamalkan. Pancasila harus menjadi ideologi yang bekerja. Pancasila harus dijaga kelanggengannya�. (BBC, 2016) Kenyataannya seharusnya dalam memperingati Hari Pancasila dibersamai dengan peningkatan kesejahteraan rakyatnya. Jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat terus meningkat pada 2015. Berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Kemiskinan, jumlah penduduk miskin terus meningkat pada 2015 yakni sebesar 11,13 persen atau sebanyak 28,51 juta orang. Sedangkan pada 2014 jumlah penduduk miskin sebesar 10,96 persen atau 27,73 juta orang. Naiknya harga beras pun disebutkan memberikan kontribusi yang besar terhadap penurunan daya beli masyarakat miskin. Kondisi ini kemudian menyebabkan kemiskinan meningkat. (Republika, 2016). Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 28,51 juta jiwa atau 11.13 persen dari total penduduk sampai September 2015. (CNN Indonesia, 2016) Pancasila dan Pandangan Hari Lahir Pancasila mengacu pada pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 di hadapan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam pidato itu, Soekarno membeberkan lima dasar bagi Indonesia Merdeka, yaitu kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, Bung Karno dengan tegas menyatakan Pancasila adalah kiri. Bung Karno mengatakan unsur utama pancasila adalah keadilan sosial. Pandangan lain, perumpamaan yang diberikan oleh Prof. Buya Hamka, tentang pancasila sebagai suatu bilangan 10.000 (sepuluh ribu) dimana angka 1 (satu) merupakan perumpamaan sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa), dan empat angka nol berikutnya merupakan perumpamaan empat sila selanjutnya. Sekarang hilangkan angka 1 (satu) itu, maka yang akan terjadi ialah deretan angka nol itu, nilanya akan tetap juga. Pendeknya, Ketuhanan Yang Maha Esa itulah yang secara mutlak memberi arti bagi pancasila dan sila apapun dalam kehidupan manusia (Madjid, 2013). Dan Bung Hatta, salah seorang penanda tangan Piagam Jakarta, yang didalamnya, untuk pertama kalinya secara resmi nilai-nilai kelak disebut Pancasila itu dirumuskan bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila primer dan utama yang menyinari dan menjadi sumber dalam kehidupan manusia ini. Ketuhanan Yang Maha Esa itulah yang mendasari dimensi-dimensi moral yang akan menopang setiap perdaban manusia (Madjid, 2013). Karena sikap mengembalikan segala permasalahan kepada ajaran Tuhan Yang Maha Esa adalah sikap yang konsekuen kepada nilai-nilai Pancasila. Benturan Pandangan dan Kebebasan Semisal terjadi diskusi tentang NKRI Harga Mati, Khilafah yang dianggap degradasi nasionalisme dan anti-Pancasila. Mengapa tidak kita jadikan sikap membebaskan sebagai persatuan. Persatuan Indonesia, sila ketiga. Mau apapun, mau khilafah, nasionalisme, yang paling mendasar adalah terwujudnya keadilan sosial sebagai bentuk kesejahteraan. Bentuk


nasionalisme tapi ternyata semakin marak penyelewangan terhadap peradaban manusia, semakin marak kemiskinan, maka nyatanya adalah sikap terhadap degradasi pancasila. Sikap yang naif. Bila Khilafah ternyata menjamin semua hal terkait kesejahateraan maka mengapa kita menafikan hal demikian. Seperti yang diuraikan Nurcholish Madjid, pengertian keadilan yang menyeluruh ini, yaitu keadilan dalam maknanya sebagai sikap yang fair dan berimbang kepada sesama manusia, melahirkan hal-hal lain yang merupakan kelanjutan logis-nya. Yang amat penting dalam hal ini ialah adanya pengakuan yang tulus bahwa manusia dan kelompoknya selalu beraneka raga, plural atau majemuk. Dengan kata lain, pandangan kemanusiaan yang adil itu melahirkan kemantapan bagi prinsip yang dijiwai oleh sikap saling menghargai dalam hubungan antarpribadi dan kelompok anggota masyarakat itu. Persatuan tidak mungkin terwujud tanpa adanya sikap saling menghargai. Jangan sampai ada satu kelompok yang menjunjung sesuatu dan kemudian menafikan sesuatu. Maka kemanusiaan yang beradab hanya ada dalam keadilan, dan hanya kemanusian yang adil yang mampu mendukung peradaban. Keadilan Sosial dan Sosialisme Religius Tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia kita semua telah mengetahui kedudukan cita-cita pada kehidupan bernegara. Ia merupakan sumber tujuan sebenarnya Republik yang merdeka ini, dan merupakan sumber semangat bagi mereka yang hendak berdharma kepada rakyat. Sosialisme dapat dianggap sebagai suatu cara lain untuk mengungkapkan ciri masyarakat yang dicita-citakan oleh pancasila, yaitu masyarakat berkeadilan sosial. Keadilan sosial itulah, jika ditilik dari sudut susunan Pancasila, yang merupakan tujuan kita bernegara. (Madjid, 2013) Sayyid Qutbh (1994) dalam buku “Keadilan Sosial dalam Islam� menuliskan, asasasas dimana Islam menegakkan keadilannya itu adalah kebebasan jiwa, persamaan kemanusiaan yang sempurna, dan jaminan sosial yang kuat. Islam benar-benar memulai dengan melakukan pembebasan jiwa dari segala bentuk peribadatan dan ketundukkan kepada apapun selain Allah. Lanjutnya Sayyid Quthb menerangkan politik pemerintahan dalam Islam dibangun atas asas, keadilan penguasa, ketaatan rakyat, dan permusyawaratan antara penguasa dengan rakyat. Nurcholish Madjid (2013), menyatakan tentang prinsip-prinsip dalam agama Islam dengan kaitan semangat sosialisme. (1) seluruh alam raya ini beserta isinya adalah milik Tuhan. Tuhan-lah pemilik mutlak segala yang ada, (2) benda-benda ekonomi adalah milik Tuhan (dengan sendirinya), yang kemudian dititipkan kepada manusia (kekayaan sebagai amanah), (3) penerima amanah harus memperlakukan benda-benda itu sesuai dengan ‘kemauan’ Sang Pemberi Amanah (Tuhan), yaitu hendaknya diinfakkan menurut jalan Allah. (4) kesempatan manusia memperoleh kehormatan amanah Allah itu (yaitu mengumpulkan kekayaan) harus didapatkan dengan cara bersih dan jujur (halal). (5) setiap tahun, harta yang halal itu dibersihkan dengan zakat. (6) penerima amanah harta tidak berhak mengunakan (untuk diri sendiri) harta itu semaunya, melainkan harus dengan timbang rasa begitu rupa sehingga tidak menyinggung rasa keadilan umum. (7) orang miskin mempunya hak yang pasti dalam harta orang-orang kaya. (8) dalam keadaan tertentu, kaum miskin berhak merebut hak mereka dari orang-orang kaya, jika kedua ingkar. (9) kejahatan tertingi terhadap kemanusiaan ialah penumpukan kekayaan pribadi tanpa memberinya fungsi sosial. (10) cara memperoleh kekayaan yang paling jahat adalah riba. (11) manusia tidak akan memperoleh kebajikan sebelum menyosialisasikan harta yang dicintainya.


Perlabelan Islam; Problematika Umat Kontemporer M. Sadli Umasangaji (Anggota Biasa KAMMI Kota Ternate) Dimuat di Radar Halmahera Edisi 26 September 2014 Nurcholish Madjid pernah menuliskan bahwa untuk dapat melaksanakan tugas (kekhalifahan), manusia dilengkapi Allah dengan petunjuk-pentunjuk dan hidayah-hidayah. Petunjuk dan hidayah itu dimulai dengan adanya fitrah dalam diri manusia sendiri, yaitu kejadian asalnya yang suci dan baik. Manusia, pada dasarnya adalah makhluk suci dan baik. Sebab, manusia dilengkapi oleh Penciptanya dengan kemampuan dan bakat alami untuk mengenali sendiri mana hal-hal yang buruk, yang bakal menjauhkan dari kebenaran, dan mana hal-hal yang baik, yang bakal mendekatkan dirinya kepada kebenaran. Maka, dengan fitrahnya itu manusia menjadi makhluk yang hanif, yaitu secara alami cenderung dan memihak kepada yang benar, yang baik, dan yang suci. Dengan segala keterbatasan diri, dan kepahaman penulis, penulis merasa ‘ketidaksetujuan’ dengan perlabelan Islam. Perlabelan Islam ini cenderung mendera berbagai kalangan masyarakat bahkan disinyalir mendera berbagai organisasi-organisasi mahasiswa dan kepemudaan yang mengatasnamakan Islam, tapi cenderung ditempatkan sebagai ‘perlabelan Islam’ semata. Hal ini karena disebutkan ‘perlabelan Islam’, saya melihat ‘mereka’ cenderung bergumul dengan ‘teori’ tanpa melakukan aplikatif dan implementasi Islam terutama dalam hal ibadah. Bahkan tak segelintir dari ‘mereka’ ‘mungkin’ jarang sholat, ‘mereka’ tetap merokok, tidak terjaga interaksi dengan teman-teman perempuannya, dan teman perempuannya segelintir ‘tidak berpakaian’ muslimah dengan baik. Bahkan sering diantara mereka cenderung mempertanyakan ‘eksistensi Tuhan’ dalam pengkaderanpengkaderan mereka. Ini bagi saya bukan karena kita eksklusif dan tidak bersifat inklusif tapi ‘kekeliruan berpikir’. Ini benar-benar mendera berbagai organisasi kepemudaan yang bahkan mengatasnamakan diri sebagai Islam. Perlabelan Islam. Ini problematika umat kekinian. Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khathab ra. Berkata Aku pernah mendengar Rasulullah saw. Bersabda, “Islam dibangun atas lima pilar: (1) persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Rasul Allah, (2) mendirikan sholat, (3) mengeluarkan zakat, (4) melaksanakan ibadah haji, dan (5) berpuasa Ramadhan. Sayyid Qutbh menuliskan persoalan akidah adalah persoalan manusia yang tidak pernah berubah. Persoalan ini menyangkut persoalan eksistensi dan perjalanan manusia di dunia ini. Yakni, menyangkut persoalan hubungan manusia dengan semesta dan kehidupan ini, dan menyangkut hubungan manusia dengan semesta dan kehidupan ini. Persoalan pokok ini tidak akan pernah berubah, sebab ini menyangkut persoalan eksistensi manusia. Dekadensi akidah dengan segala bentuknya menjadi cerminan masyarakat. Beginilah kondisi masyarakat jahiliyah, baik jahiliyah kuno ataupun modern. Adalah salah besar, dalam parameter Islam, jika akidah mengkristal dalam format ‘teori’, sebatas kajian intelektual atau episteme budaya. Bahkan pandangan semacam ini sangat membahayakan Islam. Kita harus menyadari kekeliruan langkah sekaligus bahayanya dalam mentransformasi akidah Islam yang dinamis dalam realitas yang senantiasa berkembang dan dinamis, juga dalam masyarakat organik yang dinamis. Yakni, ketika akidah ditransformasikan, dari karakternya, hanya demi keinginan kita bergumul dengan teori-teori kemanusian yang kering dari teori Islam. (Qutbh, 2012). Akidah Islam, dalam konsep seperti ini, haruslah mengarahkan hati dan akal, juga kehidupan ini, dalam ruang lingkup yang lebih besar, lebih luas dan lebih komprehensif dibandingkan hanya sebatas teori. Pastinya, akidah ini juga meliputi dalam hal cakupannya ruang lingkup teori dan materinya akan tetapi ia tidak hanya sebatas teori. (Qutbh, 2012).


Kembali mengutip pendapat Nurcholish Madjid, jadi disebabkan oleh adanya fitrah, yang dalam diri manusia diwakili oleh hati nurani, setiap pribadi manusia mempunyai potensi untuk benar dan baik. Semangat saling menghormati yang tulus dan saling menghargai yang sejati adalah kelanjutan wajar dan perwujudan logis dari pengertian dasar bahwa setiap pribadi (terutama orang lain), karena unsur fitrahnya, selalu mempunyai kemungkinan untuk benar dalam pandangan-pandangannya. Dan setiap pribadi pula (terutama diri sendiri), karena unsur kedhaifan dan ‘ajalah-nya, selalu mempunyai kemungkinan untuk salah. Maka setiap pribadi, karena potensinya untuk benar, berhak mengajukan gagasan-gagasan, dan sebaliknya, karena kemungkinannya untuk salah, berkewajiban mendengar gagasan orang lain dengan penuh penghargaan dan hikmah. Maka, dihadapan manusia tersedia pilihan dua jalan hidup. Pertama ialah jalan hidup yang benar, yang bakal mempertahankan ketinggian martabat kemanusiaan. Inilah jalan Tuhan, yaitu jalan hidup karena iman, yang mengejawantahkan dalam amal perbuatan orang saleh. Dan yang kedua ialah jalan hidup tanpa iman dan amal saleh. (Madjid, 2013). “Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), sungguh rugi orang yang mengotorinya” (Q.S Asy-Syams : 91 : 8-10). Sehingga orang yang terlalu bergumul dengan teori tanpa aplikatif dan implementasi itu (perlabelan Islam), mereka telah ‘kehilangan’ fitrahnya. Mengutip kata Andrias Harefa, mereka terkena sindrom ‘kemunafikan psiko-spritual’, atau mungkin juga bahkan ‘kemunafikan psiko-intelektual’. Atau kata Sayyid Qutbh sebagai ‘intelektual-intelektual yang minder’. Bahkan ‘mereka-mereka’ ini lebih ‘jahat’ dari yang disebut sebagai ‘Islam radikal’, ‘mereka-mereka’ ini adalah problematika umat kontemporer. “Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah sholat untuk mengingat Aku” (Q.S Taha : 20 : 14). Kembali mengutip kata Sayyid Qutbh, sungguh sempurna semua itu. Sementara orang-orang yang menegakkan agama ini dalam konsep negara, peraturan, perundangan, dan hukum-hukum, sebelumnya mereka telah menegakkannya di dalam sanubari dan kehidupan mereka dalam konsep akidah, akhlak, ibadah, dan tingkah laku. Mereka mengejar satu janji ketika hendak menegakkan agama Islam. Satu janji yang tidak bisa ditundukkan atau dikalahkan. Hanya demi tegaknya agama Islam di tangan mereka. Satu janji yang tidak berkaitan dengan apa pun di dunia ini. Satu janji itu adalah surga. Setelah menyelesaikan tulisan ini saya masih tetap berpikir dan merenung. Setidaknya saya meneguhkan tekad untuk terus bersama ‘orang-orang baik’, memilih mempertahankan fitrah, dan terlebih lagi tetap bersemangat mengejar kebaikan, mengaplikatif kebaikan sebagai bentuk membenarkan kebaikan, kalau bukan untuk mengatasnamakan ‘kebenaran’. Wallahu’alam.


Jebakan Massa Kepahlawanan Sang Gubernur M. Sadli Umasangaji (Anggota Biasa KAMMI Maluku Utara) Dimuat di Malut Post Edisi 21 April 2015 Tidak ada orang yang menyukai tekanan. Semua kita akan selalu berusaha menghindari segala bentuk tekanan hidup. Tekanan mencabut kenyamanan hidup kita, dan dalam banyak hal, membatasi ruang gerak kita, dan menyulitkan proses kreativitas kita. Sebab disini ada jebakan kepahlawanan yang sering tersipu banyak orang. Sahabat para pahlwan belum tentu juga pahlawan. Inilah ilusinya. Para pahlawan mungkin tidak tertipu, tetapi orang-orang yang bersahabat dengan para pahlawanlah yang lebih sering tertipu. Dalam lingkaran pergaulan, para pahlawan adalah parfum. Apabila berada di tengah kerumunan, maka semua orang akan kecipratan keharumannya. Apabila ada orang lain yang mulai mendekat dan mencium keharuman itu, mungkin ia sulit mengenali dari mana keharuman itu berasal. Situasi ini tentu saja menguntungkan orang-orang yang mengerumuni sang pahlawan, peluang untuk diduga sebagai pahlawan, begitulah tulis Anis Matta. Akan tetapi untuk mengetahui berapa besar pajak yang telah mereka bayar untuk keharuman itu. Manusia pada umumnya selalu mempunyai dua sikap terhadap keharuman itu. Pertama, mereka biasanya akan mengagumi para pahlawan itu. Kedua, mereka akan kasihan kepada para pahlawan karena mereka tidak sempat menikmati hidup secara wajar. Keharuman, mungkin merupakan sesuatu yang indah bagi banyak orang. Namun, para pahlawanlah yang membayar harga keharuman itu. Dan, harga itu yang tidak diketahui orang banyak. Orang mengagumi kedermawanan sang pahlawan, tetapi tidak merasakan kemiskinan yang mungkin diciptakan oleh kedermawanan. Orang mengagumi keberanian sang pahlawan, tetapi mereka tidak merasakan luka yang menghantarkan menuju keperihan. Didorong oleh ketaatan, keluguan, ketulusan, serta kecintaan, ‘masyarakat para pahlawan’ biasanya menghargai para pahlawan dengan cara yang berlebihan. Itu merupakan rintangan bagi para pahlawan, dimana mereka sering merasa memiliki hak prerogratif untuk menikmati semua kemurahan ‘masyarakat para pahlawan’. Dalam kerangka itulah, salah satu jebakan itu adalah ilusi massa. Jebakan massa tidak saja terletak pada sikap kagum yang berlebihan yang membuat seorang pahlawan berhenti berkarya karena terlalu cepat merasa puas. Jebakan itu juga tidak saja terletak pada sikap kritis mereka yang berlebihan yang membuat seorang pahlawan berhenti berkarya karena merasa tertolak atau tidak diterima. Namun, jebakan massa juga menyimpan godaan-godaan mereka kepada kita untuk bertindak lebih jauh. Mereka semua adalah pahlawan. Pertama, mereka adalah ‘mereka’ yang mungkin lapar tetapi ‘mereka’ lebih banyak merenungkan kemiskinan sebagai fenomena sosial yang harus diubah. ‘Mereka’ mungkin dari keluarga tidak terdidik, tetapi ‘mereka’ kemudian berpikir menjadi otodidak dan bagaimana mengembangkan ‘pendidikan’. Kedua, mereka yang selalu tampak santai dalam kesibukan, tersenyum dalam kesedihan, tenang di bawah tekanan, bekerja dalam kesulitan, optimis di depan tantangan, dan gembira dalam segala situasi. Kedua-duanya adalah pahlawan. Berjuang dan menikmati, berdarah dan amanah, yaitu ‘mereka yang lapar dan peduli pada fenomena sosial’ dan ‘mereka yang tenang di bawah tekanan’, keduanya adalah pahlawan. Para pahlawan yang mendapat harta karun dan para pahlawan yang tidak mendapatkan harta karun, tetaplah pahlawan. Kedua-dua pahlawan ini mendapatkan ujiannya masing-masing. Pahlawan yang mendapatkan harta karun tidak berhak merasa bahwa kepahlawanannya itu adalah atas usaha dan perjuangannya sendiri. Dan para pahlawan yang tidak mendapatkan harta karun tidak perlu menjadi apatis.


Karena para pahlawan itu seperti kata Hasan Al-Banna, “kami ingin agar umat mengetahui bahwa mereka lebih kami cintai daripada diri kami sendiri. Sungguh, jiwa-jiwa kami ini senang gugur sebagai penebus bagi kehormatan mereka, jika memang tebusan itu yang diperlukan. Atau melayang untuk membayar kejayaan, kemuliaan, agama, dan cita-cita mereka, jika memang mencukupi. Tiada yang membawa kami pada sikap seperti ini kepada mereka, kecuali karena rasa kasih sayang yang telah mencengkeram hati kami, menguasai perasaan kami, menghilangkan kantuk kami, dan mengalir air mata kami. Sungguh, kami benar-benar sedih melihat apa yang menimpa umat ini, sementara kita hanya sanggup menyerah pada kehinaan, ridha pada kerendahan, dan pasrah pada keputusasaan. Sungguh, kami berbuat di jalan Allah untuk kemaslahatan seluruh manusia, lebih banyak dari apa yang kami lakukan untuk kepentingan diri kami. Kami adalah milik kalian wahai saudara-saudara tercinta, bukan untuk orang lain. Sesaat pun kami tak akan pernah menjadi musuh kalian”. Dan para pahlawan itu sebenarnya cinta pada ‘dunia kepahlawanan’. Karena ‘dunia kepahlawanan’ ini adalah bertujuan untuk terus menghasilkan ‘para pahlawan baru’. Dan menuju tujuan para pahlawan, ‘peradaban dunia pahlawan’. Tidak, kata Khalid. Tidak akan ada pemberontakan, selama Umar masih hidup, tandas Khalid. Karena para ‘pahlawan kecil’ menyukai ‘pahlawan besar’ dan karena ‘para pahlawan’ itu mengajarkan bahwa uang muka itu berupa ketentraman hati, perasaan bangga, konsepsi yang indah, lepas dari segala ikatan dan daya tarik, serta kebebasan dari rasa takut dan gelisah dalam situasi apa pun. Karena para pahlawan itu, kata Hasan Al-Banna, bangga dengan kesatuan yang tulus ini, sangat senang dengan ikatan rabbani yang kokoh ini, dan sangat optimis menatap masa depan selama kalian tetap bersaudara karena Allah, saling mencintai, dan saling tolongmenolong. Karena itu jagalah persatuan ini, sebab ia merupakan senjata dan bekal utama kalian. Dan suatu nanti para pahlawan akan bertanya dalam benaknya mampukah ia hidup dalam ‘dunia kepahlawanan’ dan menghidupinya ketika posisinya seperti ini. Wallahu’alam.


Sang Kiai dan Ideologi Ikhwan M. Sadli Umasangaji Anggota Biasa KAMMI Dimuat di Radar Halmahera Edisi Rabu, 31 Agustus 2016 Dalam beberapa waktu akhir ini berbagai opini menggambarkan tentang Sang Kiai, ya Gubernur kita, Pemimpin Maluku Utara. Mulai dari masalah birokrasi, pergantian (reshuffle) di tingkat pimpinan birokrasi, gambaran beliau sebagai seorang ulama, dan terlebih masalah hubungan dengan pihak asing. Penulis tertarik untuk melihat peran gubernur dari sisi ideologi. Mungkin tak lepas dari pusaran kekuasaan sebagai “turbulensi moral” karena pusaran yang didominasi berbagai kepentingan, antara kepentingan kekuasaan, kepentingan swasta, dan kepentingan publik. Tak tentu tak terlepas pula yang menarik dilihat kepentingan ideologi Sang Kiai. Entah dapat dibenarkan atau tidak. Dakwah Yang Menegara Sebagaimana kita ketahui bahwa Sang Kiai diusung salah satu dari “Partai Dakwah”, Partai Keadilan Sejahtera. Dan Sang Kiai pula adalah salah satu kader terbaik partai itu pula, “teladan dalam partai”. Maka bisa diasumsikan bahwa secara ideologi, Sang Kiai akan bergerak ke arah itu. Partai Keadilan Sejahtera adalah Partai Da'wah yang bertujuan mewujudkan masyarakat madani yang adil dan sejahtera yang diridlai Allah Subhanahu Wata'ala, dalam negara kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Untuk mencapai tujuan tersebut diusahakanlah hal-hal sebagai berikut : Membebaskan bangsa Indonesia dari segala bentuk kezaliman, Membina masyarakat Indonesia menjadi masyarakat Islami, Mempersiapkan bangsa Indonesia agar mampu menjawab berbagai problema dan tuntutan masa mendatang, Membangun sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang sesuai dengan nilai-nilai Islam serta Membangun negara Indonesia baru yang adil, sejahtera dan berwibawa. Dalam pandangan PKS, Masyarakat Madani adalah masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada: nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong-royong menjaga kedaulatan Negara. Pengertian genuin dari masyarakat madani itu perlu dipadukan dengan konteks masyarakat Indonesia di masa kini yang merealisasikan Ukhuwwah Islamiyyah (ikatan keislaman), Ukhuwwah Wathaniyyah (ikatan kebangsaan) dan Ukhuwwah Basyariyyah (ikatan kemanusiaan), dalam bingkai NKRI. Tapi dunia politik penuh dengan warna. Tempat orang-orang cerdas (dan juga licik) saling bertarung, berdebat, dan memamerkan “otot-otot” pengetahuan dan ambisi. Dunia politik mempunyai satu sisi yang sangat dinamis dan menjadi semakin dinamis di alam demokrasi: dunia gagasan, dunia ide-ide, dunia wacana. Ketika kita memasuki dunia politik dan mencoba memikul beban batu dakwah, di hadapan kita terbentang sebua persoalan: seberapa kuat daya tahan ideologi dan mental kita di dunia rumit iitu? Begitulah tulis Anis Matta (2002) dalam Menikmati Demokrasi. Itulah masalah kita. Kita ingin mengembalikan kekuasaan ke tempat sebenarnya. Tetapi dengan segala realitas, ia menjadi dua kemungkinan yang saling berselisih, kita bisa “membersihkan” atau kita yang “ternodai”. Paradigma Birokrasi? Kesuksesan kontrol kekuasaan atau perilaku sosial dan politik masyarakat tercermin dari kuatnya peran birokrasi. Saat itu, masyarakat tidak mendapat tempat sebagai subjek


politik, sebab sumber kekuasaan politik dan kepemimpinan politik ada dalam perangkat negara sendiri dijabat oleh para pejabat birokrasi. Dalam pandangan Imam Hasan al-Banna menuliskan beberapa aspek, pertama aspek politik, hukum, dan administrasi serta ekonomi, diantaranya yang penulis mengganggap “relevan dengan realitas”, membangkitkan semangat keislaman di kantor-kantor pemerintah, sehingga seluruh pegawai merasa bertanggung jawab terhadap ajaran agamanya, mengontrol perilaku pribadi para pegawai dan tidak memisahkan antara aspek pribadi dan pekerjaaan, menghapus suap dam komisi, serta hanya bertumpu pada kehidupan sesuai dengan hal-hal yang diperbolehkan undang-undang, melindungi masyarakat dan penindasan perusahaanperusahaan yang monopoli memberlakukan aturan yang ketat dan memberikan manfaat yang logis bagi masyarakat, menggalakan proyek-proyek perekonomian dan memperbanyak jumlahnya, membuka lapangan pekerjaan bagi warga negara yang menganggur dan mengambil alih kekayaan yang dikuasai asing untuk kepentingan nasional, merampingkan pegawai khususnya yang jumlahnya banyak, mencukupkan pada tugas-tugas pokok, dan membagi kerja kepada para pegawai secara adil dan cermat. Syaikh DR. Yusuf Qardhawi menuliskan bahwa masyarakat Islam yang sebenarnya adalah masyarakat yang menjaga adab, tatanan hidupnya yang murni, dan tradisinya yang kokoh, sebagaimana mereka membela tanah airnya dari penjajahan, memelihara kehormatannya agar tidak dirusak, menjaga kekayaan agar tidak dirampok, dan menjaga kemuliaannya agar tidak direndahkan. Dilema atau Refleksi? Bisakah orang-orang masjid bermain politik? Bisakah mereka mempertahankan kesalihan di tengah kegalauan moral perpolitikan? Mungkinkah kebersihan moral dan ketaatan kepada Tuhan, sesuatu yang berada di lubuk diri orang seorang, sesuatu yang bisa membentuk pribadi seseorang, menyelesaikan berbagai krisis di dunia birokrasi? Beginilah kiranya pandangan Goenawan Mohamad, “Di sebuah negeri yang berulang kali menyaksikan dusta dan patgulipat, memang mudah tumbuh hasrat umum untuk membuat yang moral menjadi politis dan yang politis menjadi moral. Ada keyakinan bahwa jika keteguhan moral dan takwa seseorang disebarluaskan menjadi sebuah mufakat, maka sebuah komunitas akan berubah jadi baik. Tapi benarkah demikian?”. Ungkapan Goenawan Mohamad, bahkan ia melanjutkan “saya tidak yakin”. Olehnya itu Sayyid Qutbh (1994) dalam buku Keadilan Sosial dalam Islam, menuliskan politik pemerintahan berbasis Islam dibangun atas asas, keadilan penguasa, ketaatan rakyat, dan permusyawaratan antara penguasa dengan rakyat. Keadilan penguasan merupakan keadilan mutlak yang tidak akan miring keputusannya karena terpengaruh oleh perasaan cinta maupun benci, yang tidak dapat berubah kaidahnya karena adanya suka dan tidak suka, suatu keadilan yang tidak terpengaruh oleh hubungan kerabat antara berbagai individu dan tidak pula oleh perasaan benci antar suku. Disini setiap individu menikmati keadilan yang sama, tidak ada diskriminasi antara mereka yang muncul karena nasab dan kekayaan, karena uang dan pangkat. Terakhir mengutip yang dituliskan Imam Hasan al-Banna, “Terkadang prinsip yang benar dituangkan dengan kalimat multitafsir dan rancu, sehingga terbuka kemungkinan dipermainkan. Disamping itu, sebuah teks yang jelas untuk sebuah prinsip yang benar masih memungkinan diterapkan sesuai dengan hawa nafsu dan syahwat, sehingga hilanglah nilai manfaatnya”. Atau “Jika jiwa manusia lurus dan jernih, maka apa saja yang muncul darinya akan shalih dan indah. Mereka berkata bahwa keadilan itu sesungguhnya bukan terletak pada teks perundang-undangan, akan tetapi terletak pada jiwa sang hakim. Mungkin anda membawa undang-undang yang sempurna dan adil pada seorang hakim yang terkuasai nafsu dan mempunyai tujuan terselubung, maka ia akan menerapkan undang-undang itu secara


zhalim; tiada keadilan bersamanya. Atau, mungkin anda membawa undang-undang yang kurang sempurna dan zhalim pada seorang hakim yang mulia, adil dan jauh dari hawa nafsu dan ambisi tertentu, maka ia akan menerapkannya secara mulia dan adil, sehingga dalam keputusan-keputusannya terkandung berbagai kebaikan, kebajikan, rahmat, dan keadilan�. Mungkin sebagai asas dalam birokrasi ideologi.


Anomali Kenaikan BBM M. Sadli Umasangaji (Anggota Biasa KAMMI Kota Ternate) Dimuat di Radar Halmahera Edisi 20 November 2014 Dengan adanya penegasan bahwa bumi, langit, dan seisinya adalah milik Allah semata, maka siapakah yang berani melakukan klaim kepemilikan atas itu? Demikian pula siapakah yang berani mencegah seseorang dari mengusahakan sesuatu di muka bumi ini? (Fahri Hamzah) Jika kita memperhatikan wacana yang berkembang dari zaman ke zaman mengenai pasar dan perekonomian, kita akan mendapati perdebatan yang tak pernah selesai antara pengutamaan pasar dan peran negara. Sebuah perdebatan yang sejatinya lahir dari sebuah salah kaprah dan kekhawatiran yang dilandasi oleh keserakahan akan kebebasan meraup untung. Lambat laun, kesalahan pemahaman ini pun benar-benar merasuk baik ke dalam pasar itu sendiri maupun ke dalam lembaga negara. Pasar di sini telah kehilangan maknanya karena dikooptasi oleh segelintir kaum partikelir yang mengklaim legitimasi atau institusi pasar. Sementara banyak negara juga telah kehilangan keterkaitannya dengan rakyat karena pemerintahannya tidak lagi memedulikan amanah para pemilih untuk mewakili mereka dalam urusan memajukan kesejahteraan umum. Pasar sebagai suatu sistem memiliki berbagai wajah yang selama ini sering saling silap baik dalam pemahaman konseptualnya maupun dalam konteks peletakannya sebagai suatu institusi. Secara konseptual, sistem pasar mengacu pada mekanisme interaksi antara permintaan dan penawaran yang mengarah kepada penentuan nilai tambah yang paling efisien. Konsep ini lebih tepat ditujukan bagi istilah mekanisme pasar yang mendasarkan asumsinya pada kesetaraan posisi tawar antara berbagai pihak yang terlibat dalam proses tawar-menawar tersebut sehingga tidak ada pertimbangan lain di luar nilai dan harga. Sebagai institusi, pasar merupakan suatu bangunan sosial dari masyarakat yang menggabungkan lebih banyak variabel di luar permintaan dan penawaran itu sendiri seperti ideologi, tujuan politik, ada istiadat, nilai-nilai agama, dan lain sebagainya. (Hamzah, 2010). Bapak Joko Widodo sebagai presiden Republik Indonesia telah menyampaikan pengumumannya atas kenaikkan bahan bakar minyak (BBM) yang berlaku pada tanggal 18 November 2014 pukul 00.00 WIB. Dengan berbagai alasan. Diantaranya salah sasaran penggunaan BBM yang lebih dimanfaatkan oleh kelompok borjuis (mapan), dan penimbunan BBM serta perlunya pemanfaatan subsidi BBM pada sektor produktif seperti infrastruktur, agraria, dan perikanan. Selain itu pula terkait dengan Kartu Sakti-nya, Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Menurut ekonom Kwik Kian Gie, kenaikan BBM tidak berlandaskan hanya salah satu bentuk pemaksaan Joko Widodo terhadap pencitraan kartu saktinya. Di satu sisi kenaikkan harga BBM dianggap sebagai bentuk liberalisasi dimana pemerintah berpijak pada alasan adanya kenaikan harga minyak dunia. Alih-alih naik, harga minyak dunia saat ini justru sedang turun. Menurut ekonom Ichsanuddin Noersy, kenaikan harga BBM ini hanya untuk disamakan dengan harga minyak dunia, itu yang diinginkan IMF, dan Bank Dunia. Inilah bentuk liberalisasinya. Membuka ruang untuk pemanfaatan oleh partikelir (swasta). Ini juga bentuk neo-imprealisme. Penjajahan gaya baru oleh asing yang berkepentingan. Secara sederhana, nilai keekonomian ini menimbulkan multitafsir tersendiri. Bagi pemerintah, bisa saja harga keekonomian ini ditafsirkan sebagai harga yang tidak memberatkan APBN. Sedangkan bagi masyarakat, utamanya rakyat miskin, nilai keekonomian adalah harga yang sesuai dengan kemampuan mereka. Kita memahami bahwa


BBM adalah salah satu penggerak roda perekonomian. Olehnya itu ada saling keterkaitan antara kebutuhan energi dengan proses produksi sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan sosial dan keseharian masyarakat. Maka secara pasti kenaikan harga BBM relevan dengan dampak pada sendi-sendi sektor ekonomi terutama harga kebutuhan bahan pokok dan memicu inflasi. Menurut BPS (2013) jumlah rakyat miskin di Indonesia yang mencapai 28,28 juta orang, atau sekira 11,25 persen merupakan tantangan besar bagi pemerintah untuk melindungi mereka dari bencana ekonomi. Kenaikan harga BBM bukan saja memberatkan rakyat dalam konsumsi BBM untuk kendaraan, peralatan pertanian, ternak, dan sebagainya. Akan tetapi, jauh lebih besar adalah efek domino ekonomi secara umum. Harga bahan pokok secara umum akan naik. Di sisi lain pendapatan rakyat tidak meningkat atau hanya sedikit kenaikannya. Selisih kerugian dari dampak dengan nilai keuntungan yang tidak sebanding inilah yang merupakan bencana besar dalam konteks ekonomi yang akan dihadapi oleh rakyat kelas menengah hingga miskin di Indonesia. Maka perlu peran pemerintah (terkhusus pemerintah daerah) untuk mengatur regulasi mengenai efek domino kenaikan BBM ini baik masalah kenaikan harga bahan pokok, harga bensin enceran, harga angkutan umum dan transportasi lainnya, meningkatkan harga komiditi (pala, cengkeh, kopra) sebagai hasil pertanian umum masyarakat Maluku Utara sebagai bentuk stabilitas. Dan sudah umum bahwa pemerintah pusat harus berani melakukan revitalisasi aset nasional. Hentikan liberalisasi sektor perminyakan, politik luar negeri yang berpihak pada asing (kapitalisme), memberantas penimbunan BBM dan penyalahgunaan BBM. Kenaikan BBM juga berdampak pada efek sosial. Dapat kita lihat dengan banyaknya gerakan mahasiswa melakukan aksi di seluruh Indonesia. Aksi mahasiswa juga dilakukan oleh berbagai elemen gerakan mahasiswa di Maluku Utara sebagai bentuk gerakan sosial dan gerakan ekstraparlementer. Gerakan mahasiswa ini juga turut menjadi benturan dengan pihak keamanan (kepolisian). Dimana tugas kepolisian yang mengayomi masyarakat dalam keamanan tapi malah menjadi benturan dengan gerakan mahasiswa. Bahkan aksi-aksi konfrotasi cukup ramai seperti di Makkasar, Sulawesi Selatan. Ini salah satu efek sosialnya. Seharusnya pemerintah bertanggung jawab mengenai ini. Di sisi lain, padahal partai pengusung Joko Widodo, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah partai yang paling ‘ngotot’ menolak kenaikan harga BBM ketika pada kepemimpinan SBY. Joko Widodo juga bersikap sama. Tapi kini Joko Widodo ketika berkuasa bahkan sebelum dilantik sebagai presiden sudah menyatakan keinginan menaikkan harga BBM. Anomali. Distorsi. Pasar yang bebas nilai ini nyatanya memang terbukti efektif dalam mengakumulasi keuntungan, tetapi tidak demikian halnya dalam meningkatkan kesejahteraan. Demikian pemerintahan seharusnya lahir dari masyarakat, dan secara bersamasama membangun suatu lembaga yang bernama negara untuk membela kepentingan mereka bersama.


Seks Bebas; Akar HIV Aids, Solusi Konstruktif M. Sadli Umasangaji (Anggota Biasa KAMMI Kota Ternate) Dimuat di Radar Halmahera Edisi 02 Desember 2014 “…Tidaklah tampak perzinaan pada suatu kaum sehingga mereka berani terang-terangan melakukannya, melainkan akan menyebar di tengah mereka penyakit tha’un dan penyakitpenyakit yang belum pernah menimpa umat-umat yang telah lalu…” (HR. Ibnu Majah) Acquired Immunodeficiency syndrome (Aids) pertama kali dikenal tahun 1981 dan disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Pada dua dekade selanjutnya, Aids tumbuh menjadi penyebab utama kedua beban penyakit di seluruh dunia dan menjadi penyebab utama kematian di Afrika. Penularan HIV Aids dapat terjadi secara seksual, parenteral (penerima darah atau produk darah, penyalah guna obat suntik). (Mandal, 2006). Data Kementerian Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa jumlah orang yang terinfeksi HIV Aids di Indonesia hingga Maret 2013 mencapai 103.759 orang, jumlah pengidap AIDS 43.347 orang, jumlah kematian karena HIV Aids mencapai 8.288 orang. Data Kementerian Kesehatan RI tahun 2011 menunjukkan bahwa pengidap HIV Aids tertinggi ada di kelompok usia 20-29 tahun. Data Kementerian Kesehatan juga menunjukkan bahwa 71% penularan HIV Aids berasal dari perilaku seks bebas yang terindikasi ODHA (orang dengan HIV Aids), 18,7% berasal dari infeksi jarum suntik narkoba atau bekas ODHA, dan sisanya adalah dari penularan Ibu yang terindikasi HIV Aids kepada bayinya (Soetopo, 2013). Berbagai aspek budaya, sosial, dan perilaku yang berbeda menentukan karakteristik penyakit HIV di setiap daerah. 01 Desember adalah Hari Memperingati Hari Aids Se-Dunia. Memperingati Hari Aids Se-Dunia adalah salah satu kontekstual untuk perenungan terhadap moralitas. Karena sejauh ini berdasarkan data di atas terkait usia rentan HIV Aids adalah 2029 tahun dan penularan HIV Aids berasal dari perilaku seks bebas dan menyimpang (seperti heteroseksual dan biseksual yang beresiko). Maka persoalan HIV Aids harus menyentuh persoalan yang lebih mendalam dan hakiki, yaitu persoalan nilai-nilai kehidupan (morality) dan gaya hidup (life style). Lifestyle atau gaya hidup diasumsikan sebagai gambaran dari dunia modern atau yang biasa disebut modernitas. Kajian Michael Focault pada masyarakat Eropa sebelum abad ke18 menunjukan bahwa seks diungakapkan tanpa ragu. Perilaku vulgar, jorok, tidak santun, dan sangat bebas. Tetapi waktu Ratu Viktoria (1837-1900) berkuasa di Inggris budaya ini di direpresi dan fenomena ini kemudian menyebar ke wilayah Eropa lain. Insure class menarik masalah seksualitas diposisikan sejajar dengan gaya hidup lain seperti berpakaian, musik, selera makan dan gaya bahasa. Fungsi rekreasi hubungan seksual diangkat kepermukaan disejajarkan dengan fungsi prokreasi, melanjutkan keturunan, bahkan fungsi rekreasi dalam seksual sangat dikedepankan. Golongan sosial yang menjadi bagian insure class adalah remaja sehingga banyak sekali yang menerima sekaligus penyumbang aktif yang meragamkan gaya hidup ini (Mansur, Nur Eda, 2013). Memperhatikan pola dan gaya hidup pemuda saat ini, sungguh telah berada dalam kualitas moral yang sangat memprihatinkan karena mulai terpengaruh dengan wilayah Eropa seperti yang dijelaskan dari beberapa perkembangan sexual lifestyle di atas. Norma-norma budaya dan agama diabaikan begitu saja sampai batas yang sangat akut, demi sekedar mendapatkan predikat “generasi modern” atau anak gaul. Artinya siapa pun yang terjun dalam dunia pacaran berarti menyiapkan diri terjun ke dunia “seks pranikah” atau ”seks bebas” (Mansur, Nur Eda, 2013). Kita seharusnya mencoba memandang bahwa HIV Aids bukan hanyalah penyakit medis belaka. Akan tetapi bila kita mengubah paradigma terhadap akar masalahnya maka


HIV Aids adalah bagian dari yang disebabkan oleh penyakit masyarakat. Maka perlu dipandang dari berbagai aspek, berupa aspek kesehatan, aspek sosial, aspek budaya, aspek teknologi informasi, aspek pendidikan dan aspek hukum. Maka dalam hal ini penulis mencoba mengurai solusi konstruktif dari sisi preventif, promotif, dan kuratif. Tindakan preventif dan promotif. Tindakan ini perlu benar-benar ditopang oleh pemerintah dalam bentuk apapun. Tindakan ini pula harusnya berlangsung dalam rentan waktu yang lama dengan bentuk kesadaran apapun. Pertama, mencoba membentuk sebuah gerakan sosial yang memberikan sosialisasi kepada tatanan masyarakat, dan dimulai pada tatatan masyarakat yang paling kecil yaitu keluarga. Keluarga diposisikan sebagai pelopor dalam mencegah HIV Aids. Kedua, karena pemuda cenderung dapat menjadi salah satu kelompok rentan dari penyakit ini. Maka perlu dilibatkan peran pemuda dalam hal ini. Dengan membentuk sebuah gerakan sosial yang bernama Pemuda Peduli HIV Aids. Dalam hal ini pula dapat melibatkan berbagai peran Organisasi Kepemudaan untuk menjadi salah satu pelopor dalam mencegah HIV Aids dengan segala pembinaannya. Ketiga, dari sisi aspek teknologi informasi. Perlu ada iklan sebagai bentuk sosialisasi dan adanya keterbukaan penderita terhadap keadaannya serta memberanikan diri untuk melaporkan terhadap dinas terkait, komisi terkait, dan ataupun kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menaungi masalah ini. Iklan juga harus dioptimalkan sebagai bentuk antidiskriminasi terhadap penderita HIV Aids. Keempat, dari aspek budaya, perlu adanya pengembalian kearifan lokal. Penamanan kembali nilai-nilai budaya yang melahirkan rasa malu terhadap perbuatan penyakit masyarakat. Era kekinian yang terjadi adalah degradasi budaya malu sehingga penyakit masyarakat ini menjadi hal yang biasa bagi pelaku bukan lagi hal yang tabu. Kebudayaan seharusnya menciptakan orang-orang yang lebih berbudaya. Kelima, aspek sosial, perlu adanya sebuah penanaman sanksi sosial terhadap pelakunya sebagai bentuk efek jera dan penguatan peningkatan nilai-nilai kebudayaan yang lebih berbudaya. Keenam, penguatan serta pengevaluasian terhadap peraturan daerah (perda) terkait ini. Pemerintah berperan penting dalam hal ini sebagai penguatan terhadap aspekaspek lainnya. Tindakan kuratif. Tindakan ini harus bersifat masif, sistematis, dan memerlukan rentan waktu yang cukup lama. Kita pahami dan menyadari bahwa HIV Aids sulit untuk didata dan bersifat seperti gunung es. Olehnya itu perlu adanya penguatan pendataan terhadap penderita HIV Aids. Dengan membuat surveilans yang lebih masif. Setelahnya perlu adanya jaminan yang menjamin keterbukaan penderita baik melalui iklan atau sosialisasi yang bersifat grass root sehingga tidak ada perasaan diskriminasi dari penderita. Akhirnya kalaupun semua hal di atas ini telah dicanangkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah maka langkah berikutnya adalah tetap penguatan surveilans, pengevaluasian terhadap semua yang dicanangkan, dan pengevaluasian terhadap keoptimalan kerja-kerjanya. Terakhir mengutip apa yang disampaikan oleh Dr. Anis Byarwati, M.Si, “Tidak ada hal yang instan untuk mengatasi sebuah persoalan besar, perlu proses dan kerja keras. Ayo keluarga Indonesia, bentengi diri dari narkoba dan HIV/AIDS, sayangi keluarga Anda, berikan segenap cinta untuk mereka�.


Kemiskinan, Birokrasi, dan Gizi Buruk M. Sadli Umasangaji (Pengurus Daerah KAMMI Kota Ternate 2012-2014) Dimuat di Malut Post Edisi 25 Januari 2013 “Rakyat Indonesia memang tidak mengalami kelaparan kronis. Namun, dianalogikan bagaikan the phenomena of iceberg or snowball, kita menderita kelaparan tersembunyi yang menyebabkan persoalan kurang gizi tak kunjung teratasi� (Prof. Ali Khomsan) Tulisan ini sekedar kajian non formal dari gejolak-gejolak, keresahan, sebuah kondisi ketidaknyamanan akan realita yang terakumulasi pada masalah gizi. Tulisan ini pula merupakan suatu penghormatan terhadap suatu hari sakral yang selalu rutin diperingati, Hari Gizi Nasional, 25 Januari 2013. Dalam hal ini penulis hanya ingin berbagi referensi, pemahaman, dan konteks, ataupun juga bisa menjadi sebuah konsep yang aktual dikaji, dalam hal ini mengenai “Kemiskinan, Birokrasi, dan Gizi Buruk�. Masalah gizi buruk tidak hanya didasari dengan masalah kurangnya asupan makanan (energi dan protein) dan juga masalah penyakit infeksi. Penanganan gizi buruk pun tidak hanya didasari pada konteks ketidakmampuan ahli gizi untuk menuntaskannya. Maka akan hal ini penulis lebih mengkaji pada konteks yang lebih besar yang menyebabkan masalah gizi buruk, yaitu masalah kemiskinan dan birokrasi. Tak bisa kita pungkiri bahwa masalah gizi pada hakikatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, akan tetapi dalam penanggulannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan semata. Akar timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, sebabnya pendekatan penangggulangannya harus melibatkan berbagai sektor yang terkait. Menurut Data Depkes, awal Maret 2008, jumlah balita penderita malnutrisi pada 2007 adalah 4,1 juta jiwa. Sebanyak 3,38 juta jiwa berstatus gizi kurang dan 755 ribu termasuk kategori risiko gizi buruk. Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan penurunan prevalensi gizi kurang menjadi 17,9% dan gizi buruk menjadi 4.9%. Artinya kemungkinan besar sasaran pada tahun 2014 sebesar 15,0% untuk gizi kurang dan 3,5% untuk gizi buruk dapat tercapai. Menurut Badan Pusat Statistik, Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2011 sebesar 29,89 juta orang (12,36 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2011 yang berjumlah 30,02 juta (12,49 persen), jumlah penduduk miskin berkurang 0,13 juta orang selama enam bulan tersebut. Tak bisa diingkari bahwa kemiskinan sangatlah erat dengan masalah gizi buruk. Kemiskinan erat kaitan dengan masalah ekonomi. Masalah gizi meskipun berkaitan dengan masalah kekurangan pangan, pemecahannya tidak selalu berupa peningkatan produksi dan pengadaan pangan. Pada kasus tertentu seperti pada keadaan kritis (bencana kekeringan, permasalahan sosial, dan krisis ekonomi). Dalam hal ini, masalah gizi tidak lagi semata-mata masalah kesehatan tetapi juga masalah kemiskinan, pemerataan, dan masalah kesempatan kerja. Kemiskinan adalah akar timbulnya masalah gizi. Persoalan gizi akan stagnan dan tidak kunjung teratasi dengan baik, apabila program pengentasan kemiskinan juga tidak dilaksanakan secara baik. Kemiskinan adalah bagian dari masalah birokrasi pemerintah. Dalam undang-undang kita juga diatur tentang kesejahteraan rakyatnya. Dasar pokok dari suksesnya kebijakan pangan dan gizi adalah dukungan pemerintah. Beberapa alasan dari kurangnya dukungan pemerintah yang belum mau menyakini bahwa permasalahan di bidang gizi adalah masalah penting. Ataupun permasalahannya diyakini tapi pemerintah tidak memberikan prioritas penanganan atau kadang-kadang pihak pemerintah hanya berhasrat untuk melaksanakan program yang hanya mempunyai manfaat jangka pendek, dan apabila pemerintah tidak


mempunyai kemauan politik menyelesaikan permasalahan di bidang pangan dan gizi, maka tidak akan dijumpai program-program gizi jangka sedang maupun jangka panjang. Pertumbuhan anak-anak di negara berkembang termasuk Indonesia ternyata selalu tertinggal dibandingkan anak-anak di negara maju. Pada awalnya diduga faktor genetik adalah penyebab utamanya. Namun kajian tentang tumbuh kembang anak membuktikan bahwa bayi di Indonesia sampai dengan usia 6 bulan mempunyai berat badan sama baiknya dengan bayi Amerika. Perlambatan pertumbuhan kemudian mulai terjadi pada periode usia 624 bulan. Penyebabnya tak lain adalah pola makan yang semakin tidak memenuhi syarat gizi dan kesehatan. Ini erat kaitannya dengan kemiskinan yang menyebabkan jauhnya makanan yang memenuhi syarat gizi. Istilah lost generation, digambarkan untuk potensi kecerdasan yang hilang akibat anak-anak menderita gizi buruk. Secara tidak langsung kita telah mengingkari para calon-calon pemimpin, anak-anak penerus bangsa ini. Pada hal dalam Islam, setiap manusia adalah pemimpin. “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi� (QS. Al-Baqarah [2] : 30). Dalam hal ini kita perlu meyakinkan para birokrat, politisi ataupun pemimpinpemimpin informal masyarakat tentang pentingnya menempatkan agenda pembangunan gizi sebagai prioritas untuk perbaikan sumber daya manusia. Indonesia adalah negara dengan penduduk miskin yang cukup memperihatinkan, dan masalah gizi akan senantiasa mengintip kelengahan kita. Tak diingkari juga masalah kesehatan (terlingkup di dalamnya masalah gizi) juga selalu menjadi trend dalam iklan politik. Kita perlu kritisi itu, sejauh mana para elit politik itu memahami masalah kesehatan dan selalu menjadikan kesehatan sebagai iklan politik, tapi sejauh mana mereka mau menseriusi itu. Para politisi yang duduk sebagai anggota dewan, serta para birokrasi tentu sudah menyadari, bahwa masalah gizi yang tidak kunjung dapat diatasi selama ini mungkin disebabkan oleh rendahnya anggaran atau kurang cermatnya menyusun program gizi. Kita sibuk ketika muncul berita gizi buruk di mana-mana. Program gizi bukan sekedar menghitung berapa jumlah penderita gizi buruk dikalikan sumbangan yang akan dianggarkan. Pembiayaan untuk mengatasi masalah gizi adalah merupakan investasi jangka panjang. Dampak perbaikan gizi tidak akan muncul secara instan. Hilangnya identitas gizi dalam pembangunan harus dicegah yaitu dengan menjadikan gizi sebagai isu politik. Perlu ada komitmen dari birokrat dan politisi sehingga pembiayaan program-program pembangunan di bidang gizi mempunyai nilai yang signifikan dan dijamin keberlanjutannya. Investasi di bidang gizi adalah investasi jangka panjang. Gizi perlu menjadi indikator keberhasilan pembangunan yang tidak terlepas dari program pengentasan kemiskinan. Dengan cara ini niscaya dengan izin Allah, kita akan mampu mengurangi masalah gizi secara nyata. Masalah birokrasi juga erat kaitannya dengan tenaga pekerjanya. Sudah seharusnya pemerintah perlu memberikan bantuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pekerja kesehatan. Bagaimana bisa menyusun dan melaksanakan program gizi dengan baik kalau ternyata puskesmas-puskesmas kekurangan tenaga gizi. Secara kualitas, pemerintah perlu memberikan bantuan untuk meningkatkan kualitas tenaga kesehatan karena secara rata-rata tenaga gizi di puskesmas setara DIII. Terkadang pula terjadi pengambilan profesi yang akhirnya perawat ataupun bidanlah yang menangani persoalan gizi. Dalam hal lain, dalam perekrutan Pegawai Negeri Sipil sudah selayaknya tidak perlu ada permainan di dalamnya. Selain itu para lulusan gizi juga seharusnya ikhlas untuk bekerja di daerah-daerah terpencil yang masih kekurangan tenaga gizi serta perlu juga memperkuat akidah agar tidak mudah “tercemar dengan permasalahan birokrasi�.


Pendekatan secara keseluruhan dalam pemecahan masalah gizi sangat diperlukan. Persoalan gizi buruk bukan sekedar kurangnya asupan makanan (energi-protein). Banyak faktor yang menyebabkan mengapa masalah gizi muncul, tenggelam dan kemudian merebak lagi. Pemecahan gizi buruk memerlukan kemauan politik (political will) dari berbagai pihak. Korban gizi buruk adalah mereka yang tidak mempunyai suara (kebijakan). Oleh sebabnya, kita perlu membantu menuntaskan penderitaan mereka. Masalah gizi buruk merupakan interelasi beragam intervensi seperti ekonomi, budaya, pengetahuan, dan perilaku. Penanganan masalah gizi sendiri termasuk dalam capaian Millennium Development Goals (MDG’s). Sejalan dengan kebijakan pembangunan kesehatan, telah dibuat pula rencana program aksi pangan dan gizi yaitu: Pengembangan kelembagaan pangan dan gizi, Pengembangan tenaga pangan dan gizi, Peningkatan ketahanan pangan, Kewaspadaan pangan dan gizi, Pencegahan dan penanggulangan gizi kurang dan gizi lebih, Pencegahan dan penanggulangan kurang zat gizi mikro, Peningkatan perilaku sadar pangan dan gizi, Pelayanan gizi di Institusi, Pengembangan mutu dan keamanan pangan, serta Penelitian dan pengembangan. Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan mayarakat yang optimal. Pada akhirnya sejauh ini segala permasalahan gizi dan juga masalah kemiskinan telah terjadi penurunan, dan memang segala sesuatu tidak harus dilakukan secara instan tapi butuh proses yang panjang. Tapi yang perlu dicermati adalah sejauh mana keseriusan dalam menangani permasalahan ini dalam proses yang panjang itu agar tidak semakin berlarut-larut. Masalah gizi bukan hanya masalah ahli gizi, ataupun masalah pekerja kesehatan lainnya, masalah gizi juga bukan hanya masalah yang dibebankan kepada pemerintah semata, tapi masalah gizi adalah masalah yang perlu diseriusi oleh semua sektor terkait. “... Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan ...� (Al-Maidah [5]: 2). Salam, Hari Gizi Nasional (HARGIZNAS)


Pemantauan Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Sebagai Basis Paradigma Gizi (M. Sadli Umasangaji) Anggota KAMMI Maluku Utara Dimuat di Radar Halmahera Edisi 26 Januari 2015 Secara keseluruhan Riskesdas 2011 masih mencatat beberapa masalah gizi yang memerlukan perhatian penanggulangannya dengan kerja keras. Angka BBLR (Berat Badan Bayi Lahir Rendah) masih 11,5%, kurus (underweight) 17,9%, kurus-pendek (“wasted”) 13,6%, pendek (“stunted”) 35,6%, dan anak gemuk (“overweight”) 12,2%. Dengan catatan bahwa angka-angka tersebut adalah angka rata-rata nasional dengan disparitas yang lebar antar daerah yang menunjukkan adanya kesenjangan sosial dan ekonomi (Dokumen Gerakan 1000 HPK, 2013). Penilaian pertumbuhan anak mencakup penimbangan berat badan dan pengukuran panjang atau tinggi badan dan dibandingkan dengan standar pertumbuhan. Tujuan penilaian pertumbuhan adalah menentukan apakah anak tumbuh secara normal atau mempunyai masalah pertumbuhan atau ada kecenderungan masalah pertumbuhan yang perlu ditangani. Di masa lalu, rujukan pertumbuhan dikembangkan menggunakan data dari satu negara dengan mengukur contoh anak-anak yang dianggap sehat, tanpa memperhatikan cara hidup dan lingkungan mereka. Mengingat hal tersebut World Health Organization (WHO) telah mengembangkan standar pertumbuhan yang berasal dari sampel anak-anak dari enam negara yaitu Brazil, Ghana, India, Norwegia, Oman, dan Amerika Serikat. WHO Multicenter Growth Reference Study (MGRS) telah dirancang untuk menyediakan data yang menggambarkan bagaimana anak-anak harus tumbuh, dengan cara memasukkan kriteria tertentu (misalnya: menyusui, pemeriksaan kesehatan, dan tidak merokok). MGRS menghasilkan standar pertumbuhan yang bersifat preskriptif (bagaimana anak harus tumbuh optimal), berbeda dengan acuan atau rujukan (reference) sebelumnya yang bersifat deskriptif (gambaran bagaimana anak tumbuh). Standar baru memperlihatkan bagaimana pertumbuhan anak dapat dicapai apabila memenuhi syarat-syarat tertentu misalnya pemberian makan, imunisasi, dan asuhan selama sakit. Standar ini dapat digunakan di seluruh dunia, karena penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dari negara manapun akan tumbuh sama bila gizi, kesehatan, dan kebutuhan asuhan dicapai (Dirjen Bina Gizi dan KIA, 2011). Dalam waktu setahun sesudah kelahiran, bayi normal akan bertambah berat badannya sebanyak tiga kali lipat, sedangkan panjang badannya bertambah sebanyak 50%. Selama satu tahun pertama ini, makanan bayi dan zat gizi yang dikandungnya memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fisik serta psikososialnya. Enam bulan pertama kehidupan merupakan masa yang kritis untuk pertumbuhan otak yang dipengaruhi oleh pertumbuhan fisik secara keseluruhan. Pertumbuhan paling cepat dalam kehidupan terjadi selama empat bulan pertama sesudah dilahirkan. Masa empat bulan hingga delapan bulan berikutnya merupakan masa transisi ke pola pertumbuhan yang lebih lambat, pada usia delapan bulan pola tumbuh bayi sama dengan usia dua tahun. Penilaian pola tumbuh fisik merupakan cara utama untuk menetapkan status gizi bayi (Almatsier, 2011). Pentingnya Posyandu Pos Pelayanan Terpadu atau disingkat Posyandu merupakan salah satu bentuk upaya kesehatan berbasis masyarakat yang dikelola dan diselenggarakan melalui prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat diharapkan sebagai wadah yang mampu memberikan pelayanan kesehatan dan sosial dasar masyarakat. Posyandu yang terintegrasi adalah kegiatan pelayanan sosial dasar keluarga dalam aspek pemantauan tumbuh kembang anak.


Posyandu memang salah satu sarana yang difasilitasi pemerintah untuk pelayanan kesehatan berbasis partisipasi masyarakat sebagai salah satu sarana pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak. Manfaat Posyandu diantaranya pemantauan pertumbuhan balita, pemberian vitamin A, pemberian imunisasi, pemberian tablet Fe, pelayanan KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), pemantauan ASI Eksklusif, dan lainnya. Sehingga pada dasarnya bila partisipasi masyarakat (D/S) sudah sesuai indikator capaian dapat mendukung indikator capaian yang lain (ASI Eksklusif, status gizi, perawatan gizi buruk, dan lainnya). Sehingga dari Posyandu diharapkan terwujud perilaku, balita naik berat badannya setiap bulan sesuai standar pertumbuhan, balita tidak menderita kekurangan gizi, ibu hamil tidak anemia, balita dan ibu nifas tidak menderita kurang vitamin A, keluarga mengonsumsi garam beriodium, wanita usia subur tidak menderita kurang energi kronis, menurunkan jumlah kematian ibu dan anak, masyarakat semakin menyadari pentingnya gizi dan kesehatan. 1000 Hari Pertama Kehidupan Gerakan perbaikan gizi dengan fokus terhadap kelompok 1000 hari pertama kehidupan pada tataran global disebut Scaling Up Nutrition (SUN) dan di Indonesia disebut dengan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka 1000 Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan dan disingkat Gerakan 1000 HPK). SUN (Scaling Up Nutrition) Movement merupakan upaya global dari berbagai negara dalam rangka memperkuat komitmen dan rencana aksi percepatan perbaikan gizi, khususnya penanganan gizi sejak 1.000 hari dari masa kehamilan hingga anak usia 2 tahun. Gerakan ini merupakan respon negara-negara di dunia terhadap kondisi status gizi di sebagian besar negara berkembang dan akibat kemajuan yang tidak merata dalam mencapai Tujuan Pembangunan MDGs. Status gizi dan kesehatan ibu dan anak sebagai penentu kualitas sumber daya manusia, semakin jelas dengan adanya bukti bahwa status gizi dan kesehatan ibu pada masa pra-hamil, saat kehamilannya dan saat menyusui merupakan periode yang sangat kritis. Periode seribu hari, yaitu 270 hari selama kehamilannya dan 730 hari pada kehidupan pertama bayi yang dilahirkannya, merupakan periode sensitif karena akibat yang ditimbulkan terhadap bayi pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi. Dampak tersebut tidak hanya pada pertumbuhan fisik, tetapi juga pada perkembangan mental dan kecerdasannya, yang pada usia dewasa terlihat dari ukuran fisik yang tidak optimal serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi. Ada dua jenis intervensi dalam 1000 HPK dalam kebijakan pemerintah, yaitu intervensi gizi yang spesifik dan sensitif. Intervensi gizi spesifik, adalah tindakan atau kegiatan yang dalam perencanaannya ditujukan khusus untuk kelompok 1000 HPK. Kegiatan ini pada umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan, seperti imunisasi, PMT ibu hamil dan balita, monitoring pertumbuhan balita di Posyandu, suplemen tablet besi-folat ibu hamil, promosi ASI Eksklusif, MP-ASI dan sebagainya. Intervensi gizi spesifik bersifat jangka pendek, hasilnya dapat dicatat dalam waktu relatif pendek. Sedang intervensi gizi sensitif adalah berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan. Sasarannya adalah masyarakat umum, tidak khusus untuk 1000 HPK. Namun apabila direncanakan secara khusus dan terpadu dengan kegiatan spesifik, dampaknya sensitif terhadap keselamatan proses pertumbuhan dan perkembangan 1000 HPK. Dampak kombinasi dari kegiatan spesifik dan sensitif bersifat tetap dan jangka panjang. Beberapa kegiatan tersebut adalah penyediaan air bersih, sarana sanitasi, berbagai penanggulangan kemiskinan, ketahanan pangan dan gizi, berbagai program jaminan kesehatan masyarakat, fortifikasi pangan,


pendidikan dan KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) Gizi, pendidikan dan KIE Kesehatan, dan lain-lain. (Dokumen Gerakan 1000 HPK, 2013). 1000 Hari Pertama Kehidupan juga relevan dengan proses pembentukan kepribadian, dan karakter anak nanti, maka pada masa-masa ini ibu dianjurkan untuk perbanyak tilawah Al-Qur’an, pengenalan ketauhidan, pembiasaan jam biologis sholat, dan lainnya yang memicu kepribadian Islami. Sehingga melalui program Posyandu sebagai sarana pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak, dan program 1000 Hari Pertama Kelahiran sebagai rencana pembentukan generasi sehat, cerdas, dan berakhlak melalui pemenuhan gizi dan penanaman kepribadian Islami sejak hamil hingga periode emas (2 tahun). Dan akhirnya tulisan ini sekadar sebagai bagian dari sarana KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) yang merupakan salah satu bentuk intervensi sensitif dari program 1000 HPK. Selamat Hari Gizi Nasional (25 Januari 2015).


Realita Sosial dalam Kasus Gizi Buruk M. Sadli Umasangaji (Anggota Biasa KAMMI Maluku Utara) Dimuar di Malut Post Edisi 20 April 2016 Beberapa orang yang menggunakan seragam berwarna krem, keki, berbaju dinas, tanda sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil. Terlebih jauh ternyata petugas kesehatan dari salah satu Puskesmas X yang turun pelacakan di Desa B. Di saat pelacakan menarik orangorang yang memakai baju seragam ini menemukan seorang anak yang dengan badan berbungkus kulit, bermuka “kelihatan tua”, berambut kusam, tipis dan jarang, sang bayi pun terlihat rewel dan cengeng, sering-sering menangis. Nafsu makan sang bayi juga berkurang. (Lihat Supariasa, 2002 tentang tanda-tanda klinis marasmus). Pandangan lebih jauh ternyata sang bayi memiliki orang tua yang masih muda, sang ibu ternyata sedang melanjutkan studi pendidikan. Sang ayah ternyata telah pergi meninggalkan mereka, tak lagi bersedia bertanggung jawab. Betapa mirisnya. Kemungkinan keluarga ini menikah karena married by accident. Sang bayi harus dirawat neneknya. Neneknya sudah tua. Sang bayi bahkan kadang diberi hanya air. Alasan keluarganya karena tak mampu membeli gula, apalagi susu. Setelah itu karena kejadian demikian sang petugas kesehatan meminta keluarga kasus untuk dirujuk ke rumah sakit X terdekat. Bahkan sang petugas bersedia membantu keluarga kasus untuk bersama-sama merujuk ke rumah sakit terdekat. Sang keluarga kasus menolak dengan halus dengan berbagai alasan, tak ada biaya, anak masih tidur, tidak ada yang jaga nanti, mau ke kebun dan alasan lainnya. Keesokkan petugas datang lagi untuk meminta sang anak dirujuk agar diberikan perawatan. Dengan menjelaskan akan membantu, bahkan pelayanan kesehatan di daerah X gratis, tanpa biaya. Sang keluarga masih menolak. Petugas memberikan dua opsi, pertama, tetap rujuk, rawat inap. Kedua, rawat jalan dengan pemberian susu. Berselang kejadian itu, mirisnya media X yang harus menjadi sumber informasi positif bagi masyarakat mulai mencari berita. “Mungkin” tujuan sebagai “lahan” berita. Sang wartawan memandang ini sebagai “kasus” untuk “menggugat” Sang Pimpinan Dinas X terkait. Sang pimpinan kelabakan dengan media, khawatir. Tanpa pandang bulu kinerja petugas atau staf dibawahnya. Marah menjadi jalan solusi. Sang Bupati tahu, marah-marah pada sang kadis. Sang kadis marah lagi pada sang petugas. Sang “pencari berita” juga tak melihat skema diatas, hanya yang penting beritakan bahwa sang petugas tak becus bekerja. Titik. Itu yang diberitakan. Siapakah yang patut disalahkan? Begitulah realita. Kinerja? Hampir semua kasus yang terjadi identik dalam tiga ranah, gizi sangat kurang, pekerjaan orang tua, dan pendidikan orang tua. Semisal dalam beberapa kasus, pendidikan orang tua anak berpendidikan SD, dan pekerjaan orang tua sebagai “petani”. Perlu diketahui ada tiga indikator dalam melihat status gizi balita, diantaranya yang utama BB/U (Berat Badan menurut Umur), PB atau TB/U (Panjang atau Tinggi Badan menurut Umur), dan BB/PB atau TB (Berat Badan menurut Panjang atau Tinggi Badan) ditambah IMT /U (Indeks Massa Tubuh menurut Umur). Empat indikator ini yang akan menjadi rujukan untuk melihat status gizi balita. Faktor Berpengaruh Menurut Suhardjo (2003) dalam buku Perencanaan Pangan dan Gizi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi masalah gizi, diantaranya, faktor ekonomi, budaya, dan fisiologi. Pertama, faktor ekonomi, kemiskinan sebagai penyebab gizi kurang menduduki posisi pertama pada kondisi yang umum. Hal ini harus mendapat perhatian serius karena keadaan ekonomi ini relatif mudah diukur dan berpengaruh besar pada konsumsi pangan. Golongan


miskin menggunakan bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan, di mana untuk keluarga-keluarga di negara berkembang sekitar dua pertiganya. Kedua, faktor budaya. Faktor budaya sangat berperan dalam proses terjadinya masalah gizi di berbagai masyarakat dan negara. Unsur-unsur budaya mampu menciptakan suatu kebiasaan makan, kebiasaan hidup yang kadang-kadang bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu gizi. Semisal bahan-bahan makanan tertentu oleh sesuatu budaya masyarakat dapat dianggap tabu untuk dikonsumsi karena alasan-alasan tertentu. (Suhardji, 2003). Ketiga, faktor fisiologi dan infeksi. Faktor fisiologi dalam kebutuhan gizi atau kemampuan dalam metabolisme zat gizi merupakan faktor utama yang berpengaruh dalam pemanfaatan pangan oleh tubuh. Ibu hamil atau menyusui yang mengalami kurang gizi akan mempengaruhi janin yang dikandungnya atau bayi yang disusuinya. Berikutnya antara status gizi kurang dan infeksi terdapat interaksi bolak-balik. Infeksi dapat menimbulkan gizi kurang melalui berbagai mekanismenya. Keterpaduan Political Will dan Kesadaran Sosial Realita mendasar, sang petugas kesehatan (sebagai staf) telah berusaha menangani masalah gizi buruk, karena tidak maksimal, sang wartawan meliput sebagai berita, atau sebagai “lahan memungut� sang kadis. Sang kadis takut karena berita dan citra, terhadap berita media. Sang bupati yang baca berita di media marah sang kadis. Sang kadis marah sang petugas. Nestapa bagi sang petugas. Memandang anggaran dalam kesejahteraan petugas. Anggaran dalam menangani masalah ini masih berbasis dalam satu mata anggaran yakni BOK, Bantuan Operasional Kesehatan. Padahal dalam realita anggaran dalam BOK hanya dibayarkan transportasi petugas. Dan bila kalau desanya kecil maka yang terbayar hanyalah kurang lebih hanya Rp. 20.000-50.000 (untuk petugas puskesmas). Inipun masih untung kalau sang kepala puskesmas tak makan anggaran itu sekian. Bandingkan dengan biaya perjalanan dinas seorang anggota dewan. Realita kemauaan politik mendasar adalah anggaran baik untuk pencegahan dan pemulihan gizi anak tapi juga kesejahteraan petugas. Dalam kemauan politik baik legislatif dan eksekutif, tentu sudah menyadari, bahwa masalah gizi yang tidak kunjung dapat diatasi selama ini mungkin disebabkan oleh rendahnya anggaran atau kurang cermatnya menyusun program gizi. Kita sibuk ketika muncul berita gizi buruk di mana-mana. Program gizi bukan sekedar menghitung berapa jumlah penderita gizi buruk dikalikan sumbangan yang akan dianggarkan. Pembiayaan untuk mengatasi masalah gizi adalah merupakan investasi jangka panjang. Dampak perbaikan gizi tidak akan muncul secara instan. Hilangnya identitas gizi dalam pembangunan harus dicegah yaitu dengan menjadikan gizi sebagai isu politik. Perlu ada komitmen dari eksekutif (Bupati dan Gubernur) dan politisi sehingga pembiayaan program-program pembangunan di bidang gizi mempunyai nilai yang signifikan dan dijamin keberlanjutannya. Program mendasar bukan hanya dalam anggaran seperti BOK tapi perlu penganggaran dalam APBD misalnya, seperti pemulihan gizi buruk, PMT untuk gizi kurang, 2T, BGM, gizi kurus. Atau program mendasar dan membutuhkan anggaran semisal menyediakan susu kotak atau susu sachet atau pengadaan makanan lokal untuk balita (1-5 tahun). Ditambah kerja-kerja birokrasi dalam perencaaan, serta pelaporan dan administrasi menjadi poin sekunder yang penting. Semisal bila ada anggaran untuk gizi kurang, 2T dan BGM bukan hanya temporal sekali pemberian, langsung selesai, tapi bagaimana mengatur hingga memenuhi HMA (Hari Makan Anak) selama 90 hari untuk PMT-nya. Bagaimana melihat monitoring dan evaluasinya hingga pengukuran antropometri balita untuk indikator status gizinya. Ditambah partisipasi kesadaran masyarakat. Ini sisi pengetahuan dan sosial. Penyuluhan gizi menjadi salah satu lahan. Atau sosialisasi gizi. Sebagai contoh, potret bayi-


bayi dari Chili dapat membuktikan pengaruhnya terhadap keberhasilan penyuluhan, potret tersebut menimbulkan berbagai penelitian dilakukan dan dapat meyakinkan masyarakat serta pembuat kebijakan akan akibat dari kekurangan gizi kronis pada bayi. (Suhardjo, 2003). Selain karena realitas sosial seperti kemiskinan tentu membutuhkan penanganan dinas terkait. Semisal dana bansos untuk keluarga miskin. Dan tentu jaminan kesehatan. Yang paling terpenting pula kesadaran ibu-ibu balita untuk mendatang anak saat penimbangan di posyandu. Ini sebagai deteksi awal dalam pertumbuhan anak. Semua ini harus berbasis pada kebijakan dan kemauan politik. Menurut Suhardjo (2003), pengetahuan yang paling mutakhir menyatakan bahwa kebijakan pangan dan gizi sangat penting untuk memecahkan masalah gizi kurang dalam jangka panjang. Ditambah advokasi sebagai lahan memantau dan mengevaluasi kinerja birokrasi. Baik LSM berbasis bidang kesehatan ataupun organisasi profesi, atau organisasi kepemudaan dengan bidang kesehatan. Tentu semuanya saling keterkaitan, media sebagai pembawa berita “positif� untuk watch dog, pengawas kinerja pemerintah, pengambil kebijakan baik legislatif dan eksekutif sebagai kemauaan politik dalam anggaran, dan petugas sebagai pelaksana, dan keinginan partisipasi masyarakat. Kuatnya negara pada gilirannya dibuktikan oleh kuatnya masyarakat sebagai penopang negara itu sendiri. Semua dalam partisipasi yang berbasis kepada kejujuran.


Nilai-Nilai Bawah Tanah dalam Birokrasi M. Sadli Umasangaji (Anggota Biasa KAMMI Kota Ternate) Dimuat di Radar Halmahera Edisi 09 Januari 2015 Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy Chrisnandi akan menghadirkan budaya baru, era birokrat yang priyayi, berganti menjadi birokrat pelayan rakyat. Ditambah dengan slogan Presiden kita yang ketujuh, Joko Widodo dalam kepemimpinannya kini, Revolusi Mental. Reformasi birokrasi melalui konsep Revolusi Mental. Hal ini karena birokrasi di Indonesia terkenal dengan kerumitan dan ketidakefisiensiannya. Beberapa konsepsi implementasi revolusi mental dalam reformasi birokrasi diantaranya yang dikatakan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, revolusi mental di instansi pemerintahan akan dimulai dari audit organisasi. Audit tersebut bertujuan memangkas peta-peta birokrasi yang selama ini mempersulit publik dalam mendapatkan pelayanan. Selain itu, mengurangi jumlah pegawai yang tidak memberikan nilai tambah, mengurangi meja-meja perizinan, mempercepat pengambilan keputusan, dan mengubah mindset aparatur negara yang selama ini kurang aktif dalam menyelesaikan persoalan. Revolusi mental dalam konteks reformasi birokrasi kita memiliki 3 sasaran yang dipaparkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, pertama, cara berpikir (mindset). Masuk ke dalam era birokrat yang melayani rakyat, jadi implementasinya dalam public service (pelayanan publik), dan mengakhiri era birokrat yang priyayi. Kedua, perampingan struktur. Struktur organisasi harus ramping, harus efisien, tidak boleh gemuk, tidak boleh ada organisasi-organisasi dalam pemerintahan yang duplikasi fungsi. Ketiga, merombak kultur budaya kerja PNS. Meminta para aparatur sipil negara meninggalkan ego sektoral. Para PNS harus bekerja secara lintas sektoral. Berdasarkan situs Kemenpan, ukuran keberhasilan Reformasi Birokrasi diantaranya, tidak ada korupsi, tidak ada pelanggaran atau sanksi, APBN dan APBD baik, semua program selesai dengan baik, semua perizinan selesai dengan cepat dan tepat, komunikasi dengan publik baik, penggunaan waktu (jam kerja) efektif dan produktif, penerapan reward dan punishment secara konsisten dan berkelanjutan, hasil pembangunan nyata (propertumbuhan, prolapangan kerja, dan propengurangan kemiskinan artinya, menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan, dan memperbaiki kesejahteraan rakyat). Perlu kita ketahui dahulu nilai-nilai yang dominan di dalam masyarakat industrial, sebab dehumanisasi adalah suatu proses yang menyangkut masalah nilai-nilai. Masyarakat industrial menutut dan melahirkan nilai-nilainya sendiri yang tidak dapat dihindarkan. Untuk menjadi industrial, masyarakat harus disiapkan untuk menerima nilai-nilai yang menunjang proses industrialisasi itu. Tetapi lebih penting lagi ialah bahwa setiap industrialisasi itu, dikehendaki ataupun tidak, pasti melahirkan tata nilai yang kebanykan tidak dikenal oleh suatu masyarakat non-industrialisasi. Keharusan-keharusan itu, betapapun buruknya, menjelma menjadi tata nilai resmi. Pelanggaran atas nilai-nilai itu akan mengakibatkan sanksi-sanksi yang langsung dirasakan oleh pelakunya menurut ukuran-ukuran masyarakat industrial itu sendiri. Jock Young menyimpulkan tujuh nilai formal yang mendasari masyarakat industrial; pertama, kesenangan yang tertunda, kedua, perencanaan kerja atau tindakan masa datang, ketiga, tunduk kepada aturan-aturan birokratis, keempat, kepastian, pengawasan yang banyak kepada detail, sedikit kepada pengarahan, kelima, rutin, dapat diramalkan, keenam, sikap instrumental kepada kerja, dan ketujuh, kerja keras yang produktif dinilai sebagai kebaikan (Madjid, Nurcholis, 2013).


Perubahan nilai-nilai waktu senggang kepada nilai-nilai waktu kerja itu secara sederhana diringkaskan oleh Herbert Marcuse sebagai berikut; dari (nilai waktu senggang) diantaranya, kepuasaan yang segera didapat, kenikmatan, kesenangan dan main, sikap reseptif, dan tidak ada tekanan. Ke (nilai waktu kerja) diantaranya; kepuasaan yang tertunda, pengekangan kenikmatan, garapan atau kerja, sikap produktif, keamanan dan ketertiban. Nilai-nilai resmi yang diterangkan adalah nilai-nilai di atas tanah. Nilai-nilai itu diakui sah oleh masyarakat, dan setiap orang diharuskan untuk bertindak dengan mengikuti ketentuang-ketentuannya. Tetapi nilai-nilai itu mengakibatkan dehumanisasi. Dan dehumanisasi adalah penderitaan sekalipun bersifat immaterial. Maka dalam masyarakat selalu ada kecenderungan laten untuk membebaskan diri dari nilai-nilai tersebut. Penyaluran keluar kecenderungan itu secara resmi ialah melalui hari-hari libur, cuti, atau waktu senggang. (Madjid, Nurcholis, 2013). Ataupun argumen semisal, kerja-kerja kepegawaian seharusnya bersifat substansi, seperti apabila laporan atau kerja-kerja manajemen atau kerja-kerja kantor telah selesai maka dapat menikmati waktu-waktu senggang, terutama dalam dinas-dinas yang tidak terkait dengan pelayanan publik secara langsung yang kerja-kerjanya sebatas pelaporan. Dalam konteks ini maka kedisplinan menjadi nomor dua. Jadi, proses pemasyarakatan termasuk yang dialami oleh orang dari masa kanakkanak sampai masa dewasa, menyangkut perpindahan dari prinsip kesenangan kepada prinsip kenyataan, dari dunia kebebasan dan kenikmatan kepada dunia yang diliputi keharusankeharusan. Setiap orang yang telah mengecap surga permainan pada masa kanak-kanak menyimpan dalam hati kecilnya suatu utopia tentang dunia yang didalamnya keharusankeharusan ekonomi tidak menjadi beban dan yang didalamnya dia dapat menyatakan keinginan-keinginannya secara bebas. Itulah dasar psikologis nilai-nilai waktu senggang atau bawah tanah. Karena aspirasiaspirasi itu melekat pada manusia sebagai manusia, sering ia tidak merasa puas dengan penyaluran-penyaluran formal yang disahkan seperti hari libur tersebut. Maka muncullah perseorangan atau kelompok yang ingin mengabaikan norma-norma formal tadi secara total. Karena aspirasi-aspirasinya tidak dapat dinyatakan dalam aturan kultural yang resmi dan dapat diterima masyarakat, orang itu membentuk masyarakatnya sendiri, yaitu masyarakat bohemian. (Madjid, Nurcholis, 2013). Sedangkan konsepsi Revolusi Mental (secara umum) terdiri dari enam nilai modern versi Indonesia, (1) citizenship (sebagai warga negara sadar akan hak dan kewajibannya dan aktif berpartisipasi untuk masyarakat), (2) jujur (dapat dipercaya), (3) mandiri (dapat menyelesaikan persoalan sendiri, tidak hanya bergantung kepada pemerintah atau pihak lain), (4) kreatif (mampu berpikir alternative, mampu menemukan terebosan, berpikiran fleksibel), (5) gotong-royong, dan (6) saling menghargai (yang kuat menghargai yang lemah, yang mayoritas menghargai menghargai yang minoritas, yang laki-laki menghargai perempuan, yang generasi senior menghargai yang muda, dan seterusnya, dan tentu saja sebaliknya). (Sarwono, 2014). Akhirnya, pemerintah perlu mempadukan Nilai-Nilai Bawah Tanah, konsepsi Revolusi Mental secara umum, dan Konsepsi Revolusi Mental melalui Reformasi Birokrasi, dan Kesejahteraan Pegawai. Disatu sisi kesejahteraan pegawai menjadi penting untuk peningkatan pelayanan publik. Semisal Umar bin Khatab memberikan gaji guru sebesar 15 dinar setiap bulan (Rp. 31.875.000). Secara otomatis peningkatan pendidikan relevansi dengan gaji guru. Atau kata Marcuse, ialah bahwa produktivitas harus dikekang untuk memberikan dasar material bagi pelaksanaan nilai-nilai bawah tanah. Wallahu’alam.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.