DIORAMA

Page 1

DIORAMA [naskah film kelas XI MIA 5] __________________________________________________________________________________________________

Jihan Nabila Fathiyya Maghfirasari Adhani


ADEGAN 1 – Di ruang sidang/interview Detektif: “Arselia Azzara, tolong tuturkan apa yang anda ketahui, secara runut dan detail.” Zara

: “Baiklah. Lagipula, yang satu ini selalu hangat di benak saya.”

ADEGAN 2 Ia tak kuat lagi. Nafasnya terengah-engah. Monster itu semakin mendekat, membayangi derap langkah kakinya. Kakinya terasa remuk, semakin kaku. Kaku yang semakin tegas, membuat rasa takut semakin menjalar. Dihadapkan dengan rasa sakit yang semakin menjalari tubuhnya, ia tidak takut. Yang Ia takutkan adalah, dihadapkan pada kenyataan bahwa monster itu akan mengubahnya. Ia hanya ingin berguna, bisa berjalan dan dianggap nyata oleh dunia ini. Apa yang paling ia takutkan adalah, monster itu akan mengubahnya menjadi orang yang nyata, tetapi tidak hadir di dunia ini. Hadir, tapi tidak berguna. Kaki kanan nya semakin membujur kaku, Ia tak kuasa memaksa dirinya untuk tetap berlari. Dan, Ia pun jatuh. Dihadapannya, sosok monster yang sebenarnya telah berdiri membayangi cahaya. Ya, sosok monster yang sebenarnya. Lihatlah hatinya, bukan rupanya. Langina

: “Mau sampai mana kau berlari? Kau tahu kan, kemanapun kau pergi, kau takkan bisa lari dariku. Aku heran padamu, berjuta-juta orang mendambakan kecantikan abadi, dan aku? Telah menawarkan hal tersebut kepadamu secara gratis. Tetapi? Apa yang kau lakukan? Hahaha, kau malah berlari bagai melihat seorang monster.” (mencengkeram dagu A)

Tara Janata

: “Ya, kau sosok monster yang sebenarnya. Tidakkah kau menyadari itu? Wajahmu tidak akan pernah terlihat cantik, jika terus dibayangi dengan hati bak monster. Dan, ingat ini, aku lebih baik berjalan dengan wajah buruk rupa dan berguna bagi orang lain daripada berdiam kaku dengan wajah jelita tetapi ku takkan berguna bagi orang lain. Untuk apa ku melihat dunia hancur perlahanlahan, dibalik wajah jelita ku?” (menatap benci)

Langina

: “Ooo sudah merasa cukup dewasa untuk menasihatiku rupanya? Kau hanya anak kecil dan belum merasakan menua perlahan bukan? Tidakkah kau merasa sedih, melihat umur menghancurkan wajah cantik dan polos mereka? Bagaimana jika kita bisa mengabadikannya? Jenius bukan? Hahaha.”

Tara Janata

: “Gila.”


Langina

: “Kau bilang apa tadi?!? Anak tidak tahu di untung. Harusnya kau bersyukur ku biarkan hidup sampai detik ini.” (membentak)

Tara Janata

: “Aku tidak takut kepadamu.”

Langina

: “Tidak takut? (menyipitkan mata). Baik, ku tunjukan bahwa hatiku bukanlah monster, ku berikan kepadamu kesempatan untuk hidup dan berjalan di dunia ini, dan….ubahlah dunia yang pedih ini! Ubahlah jika kau sanggup! Berharaplah masih ada orang yang tidak lari ketakutan melihatmu, karena akan ku ubah kau menjadi monster yang sebenarnya.” (menuangkan cat)

______________________________________________________________________________

ADEGAN 3 – Di depan rumah keluarga Farabi Senja hari itu sangat indah, jingga membayangi awan yang terbang melayang menghiasi langit. Keindahan gradasi yang terlukis di langit seakan mengiringi kebahagiaan keluarga kecil yang bahagia itu pindah ke rumah baru mereka. Rumah yang tidak terlalu besar dan mewah, tetapi dianggap nyaman oleh keluarga kecil itu. Kebahagiaan mereka lengkaplah sudah, anak tunggal kesayangan mereka baru saja diterima di sebuah sekolah dasar ternama dekat rumah baru mereka, ditambah rumah yang dibeli dari hasil keringat mereka selama 5 tahun terakhir. Canda tawa mereka dengan anak kesayangan mereka yang berlarian di pekarangan rumah baru, membuat siapa saja yang menatap, cemburu akan kebahagiaan mereka. Bahkan, senja pun urung tuk pamit pulang, tak kuasa menolak kebahagiaan yang langka terjadi di dunia bak arena rintangan. Zara

: “Ayo pa, ma, kita main bajak laut lagi!” (sambil berlari memakai tutup mata bajak laut)

Ari

: “Sebentar sayang, bantu papa memindahkan harta karun ini dulu ke gua tempat persembunyian kita ya! Baru setelah itu, kita berlayar mengarungi lautan luas! Hahaha.” (Sambil memindahkan kardus-kardus)

Rashida: “Kamu dengar kata kapten? Nah, siapa yang patuh kepada kapten? Ayo bantu kapten memindahkan harta karun ini, hari sudah mau malam, kita harus cepat sebelum gelap, nanti ada monster!” (menakut-nakuti anaknya sambil berlari-lari) (Terdengar suara langkah kaki mendekat) Terlihat Darsono dan Langina dengan pakaian yang aneh dan mewah mendatangi mereka.


Langina: “Wah wah ada tetangga baru. Selamat sore pak, bu. Perkenalkan, saya tetangga sebelah. Selamat datang, Pak, Bu. Semoga Bapak dan Ibu betah ya tinggal di perumahan ini. Wah, ini anak Ibu? Lucunya, cantiknya kamu. Halo Adik, berapa tahun umurnya?” (mencubit pipi anak) (anak berlindung ketakutan dibalik sang ibu) Rashida: “Selamat sore pak, bu. Zara, jangan malu sama tante hahaha. Maaf ya bu, Zara memang suka malu kalau ketemu orang baru. Padahal sudah kelas 3 SD hahaha. Sebelumnya, makasih loh Pak, Bu. Aamiin semoga bisa betah hahaha. Ayo Zara salam dulu sama tante.” (menyuruh Zara salam) Ari

: “Iya betul, makasih pak, bu. Mohon bantuannya, untuk lebih mengenal daerah sini hahaha.”

Darsono: “Iya pak, bu. Kami juga sangat senang punya tetangga baru, perumahan ini semakin sepi rasanya.” Langina: “Betul ya Pah, pada pindah ke perumahan baru yang dibangun di deket mall itu loh Pak, Bu. Real estate gedong. Kami senang sekali punya tetangga baru. Apalagi cantikcantik dan ganteng kayak keluarga Ibu hahaha.” (Rashida dan Ari saling berpandangan karena perkataan tetangga barunya) Darsono: “Perlu saya bantu Pak? Untuk mengangkat barang-barang?” Ayah : “Tidak perlu pak, tidak usah merepotkan.” Langina: “Hahaha tidak merepotkan ya pak? Malah kami senang sekali loh Pak bisa membantu. Rashida: “Saya tidak enak hati Bu. Takut merepotkan Ibu dan Bapak.” Darsono: “Tidak apa-apa bu. Mari saya bantu.” (Bapak-bapak mengangkat kardus-kardus) Rashida: “Kapan-kapan main ke rumah ya bu, kebetulan saya tidak kerja, karena mengurus Zara.” Langina: “Kebetulan sekali bu, saya juga bekerja di rumah. Jadi, kita bisa sering ngobrol-ngobrol Bu.” Ibu

: “Ibu kerja dirumah? Wah enaknya, bisa mengurus rumah sambil bekerja. Kalau boleh tahu, Ibu kerja apa?”


Langina: (terdiam beberapa saat) “Ya bisnis jual beli untuk kurator, Bu. Hahaha. Mohon pamit ya Bu. Saya harus memasak makan malam. Semoga Ibu betah di sini. Kalau ada waktu luang, silakan mampir ke rumah.” Rashida: “Iya, terimakasih banyak bu.” Langina: “Sama-sama.” Tanpa sadar, kedua tetangga yang sedang bercengkrama dalam kehangatan silaturahmi itu, diawasi oleh seorang tetangga di sebelah rumah. ____________________________________________________________________________

ADEGAN 3 (II) – Rumah Keluarga Nidhana Ny. Nidhana: “Hal buruk yang kita khawatirkan, telah datang.” Nek Kiba

: “Cepat atau lambat, mereka datang. Kita tahu itu.”

Tara Janata : “Akan ada korban selanjutnya.” _____________________________________________________________________________

ADEGAN 4 – Ruang Makan, Rumah Keluarga Farabi & Teras Keluarga Nidhana Rashida: “Bi, kita gak kenalan ke tetangga sebelah kanan rumah kita?” Ari

: “Ayo mi, sebelum gelap, kita kesana sekarang.”

*sesampainya di depan rumah tetangga sebelah kanan* *Ari mengetuk pintu* Setelah beberapa detik mendengarkan ketukan pintu yang menggema, terdengar suara kikuk langkah kaki dan suara orang berbisik. Ny. Nidhana: “buka pintunya gak bu?” (berbisik) Nek Kiba

: “Buka saja, siapa tau hanya Si Ucup.”

Suara pintu berderik ketika dibuka perlahan. Terlihat sosok wanita paruh baya, ada kilasan rasa takut di wajahnya yang hanya berlangsung sedetik, namun langsung digantikan raut wajah yang tegas. Rashida

: “Assalamu’alaikum Bu…”

Ny. Nidhana

: “Cepat pergi dari sini!” (memotong perkataan tetangga baru)


(dengan cepat menutup pintu) Rashida & Ari : “Bu, tunggu!” (saling berpandangan dengan tatapan heran) (pintu terbanting di hadapan mereka) ______________________________________________________________________________

ADEGAN 5 – Ruang Tamu, Rumah Keluarga Nidhana Pintu ditutup, meninggalkan bunyi yang menggema di rumah yang tidak terawat itu. Tara Janata: “Ibu? Itu siapa?” Ny. Nidhana: “Eee….i….itu….o….orang…..” Tara Janata : “Siapa?! Jawab aku, Ibu!” Ny. Nidhana : “Keluarga yang baru saja pindah.” Tara Janata : “Usir mereka! Usir mereka! Usir!” (Berteriak histeris) Nek Kiba

: “Tenang! Tenanglah. Kita harus bergerak cepat.”

Keluarga Farabi sedang mengeluarkan dan merapikan barang-barangnya. ___________________________________________________________________________

ADEGAN 6 – Ruang Kerja, Rumah Keluarga Farabi Rashida: “Perlu kubantu? Kamu istirahat dulu sana, biar aku yang rapikan.” Ari

: “Boleh. Tanggung kalo istirahat sekarang Bun, sebentar lagi selesai. Zara udah tidur?”

Rashida: “Kebiasaan, nanti kecapekan sakit loh. Iya, udah tidur Yah. Seharian pecicilan terus dia, kayak nggak ada habisnya energinya. Hahaha.” Ari

: “Haduh, anak itu. Aku ragu, jika sudah besar kelak dia bisa jadi anak yang kalem seperti bapaknya.”


(tertawa bersama) Rashida: “Kamu ngerasa ada yang janggal gak?” Ari

: “Hmm, nggak. Kenapa?”

Rashida: “Tetangga kita. Aneh. Tetangga sebelah kanan rumah kita. Sekilas, aku melihat mukanya merasa takut. Terus beberapa detik kemudian, dia udah ngebentak kita nyuruh pergi. Padahal, niat kita kan baik, mau silaturahim. Memangnya kita ada salah apa ya Yah sama dia?” Ari

: “Oh ya? Aku gak melihat dia merasa takut. Tapi, kalau yang kamu maksud aneh itu tibatiba dia bentak nyuruh pergi, itu memang aneh. Mungkin dia lagi ada masalah Bun. Sudahlah jangan terlalu dipikirkan, mendingan kamu istirahat.”

Rashida: “Aku serius Yah. Itu cuma sedetik doang tiba-tiba ada raut takut di wajahnya. Memangnya muka kita seram?” Ari

: “Kalau aku ganteng, mukamu baru seram. Hahaha.”

Rashida: “Astaghfirullah. Narsis banget kamu Yah. Aku serius tau. Terus Yah, kamu nyadar gak, kalo tetangga sebelah kiri bilang “Kami senang sekali ya pak, punya tetangga baru. Apalagi cantik-cantik dan ganteng kayak keluarga Ibu hahaha.” Ari

: “Ya baguslah Bun, berarti kita cantik dan ganteng hahaha.”

Rashida: “Cukup narsisnya Yah. Maksudku, kamu gak ngerasa aneh?” Ari

: “Mungkin saja mereka memang senang punya tetangga cantik dan ganteng Bun. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan.”

Rashida: “Hahaha ada-ada aja kamu. Yaudah, aku mau istirahat. Ayah jangan tidur terlalu malam ya. Assalamu’alaykum.” Ari

: “Iya Bun. Wa’alaykumussalam.” (Rashida melakukan rutinitas OCD) (Ari menelepon)


ADEGAN 7 – Rumah Keluarga Magenra (Suara tersamarkan, muka tak terlihat* Langina: “Kamu lihat anak yang keluarganya baru saja pindah? Cantik bukan? Sebentar lagi kecantikannya akan abadi.” ______________________________________________________________________________

ADEGAN 8 – Di depan rumah keluarga Farabi Ibu

: “Nah, sekarang siapa yang mau pergi ke sekolah baru?”

Anak

: “Aku! Aku!”

Ibu

: “Anak shalehah Umi, semangat banget. Udah selesai makannya?”

Anak

: “Udah mi! Alhamdulillah.”

Ibu

: “Coba, Umi lihat. Wah iya, habis bersih. Anak Umi memang hebat. Anak Shalehah, baca doa selesai makan dulu ya (berdoa bersama). Ayo, ambil tas mu, kita pergi ke sekolah.”

Anak

: “Yeay! Sekolah! Sekolah!” (berlari kecil sambil berjingkrak-jingkrak)

*Ibu dan anak pergi ke sekolah* *Ibu dan anak bernyanyi sambil berjalan ke sekolah* Mungkin yang kau rasakan di hati memang memberikan hidup dan rasa pada suasana di sekitar. Awal tahun ajaran baru, yang dianggap meyebalkan bagi 8 dari 10 orang, malah dianggap terbalik bagi 2 orang yang melangkah dengan ringan di dalam suasana pagi yang menyejukkan. Pagi itu, suasana disekitar seakan-akan hidup, ikut bergembira menyambut semangat anak itu di hari pertama Ia sekolah. Pohon-pohon yang bergerak tertiup angin, bagaikan menari-nari. Burung-burung berkicauan, bak cerita di negeri dongeng, menyanyikan lagu semangat di pagi hari. Tetapi, dibalik tembok yang mereka bangun untuk kegembiraan mereka, bahaya mengancam. *Rashida melihat ada orang yang mengawasi mereka dari rumah tetangga sebelah kanan* *seketika Rashida berhenti bernyanyi*


Zara

: “Umi, kenapa berhenti bernyanyi?”

*Rashida tidak menjawab. Terdiam.* Anak

: “Bunda? Bunda!”

*Ibu tersadar dari lamunan* Ibu : “Iya? Eee……Ayo kita nyanyi lagi Zara.”(bernyanyi kembali sambil berjalan. Rashida melamun) ___________________________________________________________________________

ADEGAN 9 – Ruang Tamu, Rumah Keluarga Nidhana Tara Janata

: “Lihatlah mereka, bahagia sekali. Padahal mereka sebentar lagi akan tiba di ujung jurang.”

Ny. Nidhana

: “Kasihan.”

Tara Janata

: “Kau seharusnya lebih kasihan kepadaku! Aku ini monster!”

Nek Kiba

: “Kau bukan monster.”

Tara Janata

: “Cukup! Mereka semua berkata aku ini monster!”

____________________________________________________________________________

ADEGAN 10 – Rumah Keluarga Magenra [suara tersamarkan, muka tak terlihat]

Darsono: “Kau sudah siapkan rencana untuk menjebaknya?” Langina : “Kau tahu kan, bertahun-tahun aku menjalani profesi ini. Aku punya segudang rencana.” (sambil mengintip dari balik jendela) “Berbahagialah anak kecil, pergi ke sekolah baru mu. Hahaha. Darsono: “Yang satu ini akan kau apakan?” Langina: “Cantik. Tak rela aku memberinya pada Si Gentong kawanmu itu.” Darsono: “Tapi, sepertinya orangtuanya sangat sayang kepada anak itu. Bagian ini tidak pernah menjadi favoritku.” Langina : “Kau tahu, dunia ini memang pedih.”


ADEGAN 11 – Gerbang Perumahan *Rashida berjalan pulang setelan mengantar anaknya sekolah* *Melewati pos satpam* Ucup : (sedang bergoyang atau berolahraga dengan lagu dandut) Rashida: “Assalamu’alaykum pak. Selamat pagi.” Ucup

: “Eeee…..Ibu yang baru pindah, Wa’alaykumussalam bu. Pagi. (kaget, tergesa-gesa mematikan lagu). Habis dari mana bu?”

Rashida: “Habis nganter anak Pak.” (berjalan ke kerumunan tukang sayur) T. Sayur: “Ayo, Ibu-Ibu! Cabe terakhir, cabe terakhir! Masih murah, besok BBM naik!” Emak 1 : “Yu, turuniiin lagi, Yu. Mahal amat, Yu. Masa beda 3000 sama kemaren?” Rashida: “Sama mau, Ayu!” (menyahut dari jauh) (agak lari menghampiri) Emak 2 : “Bu, yang nempatin 18A ya?” (Emak-emak lain ikut mendengarkan) Emak 3 : “Nggak sepi Bu di sana?” Emak 1 : “Iya Ya. 19A udah kayak nggak ade isinye! Die pernah gak sih belanje sama lu Yu?” Emak 4 : “Itu mah belanjanya malem-malem atuuuh. Takut matahari?” (semua tertawa) Emak 2 : “Hus hus. Sayang ya 17A sibuk sekali. Ibu siapa itu namanya?” Emak 1 : “Oooh, si Langine itu!” Emak 3 : “Langine Langine aja kamu. Ibu La-ngi-na Ma-gen-ra. Ramah, cantik, suaminya ganteng, pasti kalau punya anak sempurna sekali…” Emak 2 : “Iya ramah sekali ya. Suami dan istri yang serasi. Saya duluan ya!” Emak 1 : “Orang katanye mandul!” Rashida: “(pelan) Astaghfirullah hati-hati Bu. Ibu-ibu, saya pergi dulu ya. Assalammu’alaikum.” Semua : “Wa’alaikumussalam, Bu!” (terlihat Rashida berjalan ke arah rumahnya, di kejauhan) Emak 3 : “Tuh Nyo, mulutmu harimaumu. Dosa, Nyo.” T. Sayur: “Saya jadi kecipratan dosa juga kan!”


ADEGAN 12 – Jalan sekitar perumahan dan teras rumah keluarga Magenra *Rashida masih berjalan* Sesampainya di sekitar lingkungan rumah, terlihat supir tetangga yang sangat ramah padanya, sedang bersenandung menyanyikan lagu dangdut sambil mencuci mobil. Dadang: “Selamat pagi, Ibu tetangga baru.” Rashida: “Selamat pagi Mas.” (menahan tawa) Tetapi Ia menahan tawanya, dari rumah tetangga sebelah kanan, terlihat baru saja orang menutup tirai setelah menyibaknya. Seketika, rasa gembira yang meletup-letup itu digantikan dengan kekhawatiran. *Ibu tergesa-gesa mencari kunci yang kunjung tidak ditemukan* *tiba-tiba Ia dikagetkan dengan sebuah suara* Langina: “Selamat pagi, Bu!” Rashida

: “Eeeeh Ibu! Bikin kaget saya saja. Selamat pagi Bu.”

Langina

: “Wah wah mengagetkan rupanya. Maaf bu jika mengagetkan. Saya hanya ingin memberi kue. Saya baru mencoba resep yang ditemukan di majalah. Eeeh ternyata enak loh bu. Mudah lagi dibuatnya. Ibu harus coba.” (memberikan kue)

Rashida

: “Terimakasih bu. Baik sekali.” (menerima kue) (terlihat kerepotan)

Langina : “Bukan waktu yang tepat rupanya ya, Bu? Mampir ke rumah saya saja dulu, Bu, siapa tahu nanti kuncinya ketemu. Atau…Pak Yusuf Satpam depan biasanya akan mengantar kunci, Bu, kalau ternyata jatuh di jalan. Haha.” (berusaha ‘menarik’ Rashida ke rumahnya) Rashida

: (sambil berjalan ) “Benar, Bu? Hebat ya Satpam di sini haha.”

Langina

: “Ngomong-ngomong, ibu kenapa sangat takut sekali wajahnya, sebelum saya menyapa ibu? Ibu tampak sangat panik. Ada apa, Bu?”

*Rashida tak menjawab* *sampai di teras keluarga Magenra* *mereka duduk* Langina

: “Ibu tahu, sebisa mungkin saya akan membantu.”

Rashida

: “Maaf Bu, saya ingin bertanya. Apa Ibu kenal dengan….tetangga sebelah kanan saya?”


Langina : (Memastikan tidak ada orang yang mendengar) “Satu pesan saya Bu, jangan sampai Zara bermain di halaman rumahnya. Semenjak kepergian anak perempuannya, Ia jadi agak menutup diri. Entahlah. Tapi yang jelas, selama ini tetangga yang memiliki anak kecil tidak pernah betah di sini. Mungkin untuk yang satu ini saya bersyukur saya tak punya anak.” (tertawa miris) Rashida

: “Benarkah?”

Langina

: “Percayalah bu. Mereka bahkan telah mencoba mengusir setiap orang yang pindah ke rumah ini. Jangan takut kepada mereka bu.”

Rashida

: “Tapi bu…..”

Langina

: “Sudahlah jangan dipikirkan. Oh iya Zara dimana bu?” (memotong perkataan)

Rashida

: “Zara baru saja berangkat sekolah bu. Senang sekali tampaknya, hari ini hari pertama Ia bersekolah.”

Langina

: “Menggemaskan sekali Ia. Andai saja...”

Rashida

: “Maaf…..”

Langina

: “Tidak apa-apa, terkadang hidup tidak adil ya, disaat kau sangat menyukai kegemasan anak-anak, kau tidak juga dikaruniai seorang anak. Padahal di luar sana masih banyak anak yang ditelantarkan oleh orangtuanya.”

Rashida

: “Ibu tidak berniat mengangkat anak?”

Langina

: “Tidak ada yang sesuai kriteria untuk ku akui menjadi anak.” (setengah berbisik)

______________________________________________________________________________

ADEGAN 12 (II) – Ruang Tamu, Rumah Keluarga Nidhana Tanpa sadar, kedua tetangga yang sedang bercakap-cakap di teras rumah tetangga barunya, sedang diamati dibalik jendela berdebu yang terabaikan untuk dibersihkan. Tara Janata

: “Nek Kiba lihat? Tetangga baru kita telah menemukan teman baru rupanya.” (mengamati tetangga baru mereka yang sedang bercakap-cakap tetangga mereka yang sudah tinggal cukup lama)

Nek Kiba

: “Kalau kali ini kita berniat, kita harus bergerak cepat.”

Tara Janata

: “Kau kira aku berniat? Abaikan saja! Biarkan saja mereka!”


Nek Kiba

: “Kau pernah berkata, kau takkan berdiam diri. Kau berkata takkan biarkan dunia hancur!”

Tara Janata

: “Untuk apa kau pergi keluar sana, mencegah dunia hancur, tetapi kau ditertawakan?! Bukankah dunia ini sudah dipenuhi ambisi manusia untuk menjadi boneka pajangan?”

______________________________________________________________________________

ADEGAN 12 (III) – Di pekarangan rumah Keluarga Magenra Dadang

: “Maaf ganggu ngobrolnya, Nyonya, Ibu. Mobilnya sudah siap, Nyonya.”

Darsono : (pintu terbuka lebar) (terlihat sekelibat patung-patung di ruang tamu) “Na, pembukaannya jam setengah 5. Berarti masih ada banyak waktu untuk menyiapkan diri. Hmm, aku harus mencari dasi yang senada dengan kemejaku.” (menunduk, memperhatikan dandanannya) “Dang, ke Senayan dulu ya.” Dadang

: “Siap, Pak Bos Ganteng!” (hormat)

Rashida : “Wah, Ibu? Sibuk ya? Kalau begitu, saya pulang dulu ya Bu, terima kasih.” (dengan nada tidak enak – padahal Ia merasa janggal setelah melihat banyak patung) ______________________________________________________________________________

ADEGAN 13 – Ruang Makan, Rumah Keluarga Nidhana Nyonya Nidhana dan ibunya, Nek Kiba, sedang memeriksa dan membaca kumpulan surat yang mereka terima hari ini. Nek Kiba duduk dengan santai di kursi meja makan sembari menyimak isi surat satu-persatu sedangkan Nyonya Nidhana membantunya sembari memanaskan air. Nek Kiba: “Nduk, kamu to udah bayar listrik belum sih?” Ny. Nidhana: *masih berkutat dengan kompor* “Sudah Bu, dari kemarin lusa.” Nek Kiba: “Lho iki opo? Ada lagi tagihannya. Nanti diputus lho kayak telepon.” Ny. Nidhana: “Nanti Nidha coba ke kantornya lagi ya Bu. Soal telepon, siapa pula yang akan menelepon kita, Bu? Percuma Nidha bayar abodemen 100 ribu setiap bulan.” Nek Kiba: *menghiraukan* *membuka surat lainnya* *membaca* Ny. Nidhana: *berkutat dengan perkakas di lemari* Nek Kiba: “Nduk, coba kamu baca ini.”


Ny. Nidhana: *menarik kursi di dekat Nek Kiba* *menyimak* *semakin lama, mukanya semakin masam* “Ayu…? Ayu Lampung?” *hening* *Nyonya Nidhana menuju kamar Tara dengan tergesa-gesa* Ny. Nidhana: (pengucapannya dingin) “Tolong jangan mengacau karena Ida akan berkunjung. Akan disiapkan makan dan minum untukmu selama Ia ada di sini. Aku tidak akan menguncimu lagi, kau bebas. Tapi tolong jangan sampai mereka melihat kau.”

ADEGAN 14 – Galeri Virya Darsono dan Langina memasuki ruangan yang sudah terisi oleh para tamu dan patung yang memiliki banyak kesamaan; sama-sama termangu dan sama-sama memiliki jantung, walaupun yang satu sudah tak berdetak. Langina: *berjalan dengan anggun sembari merapikan gaunnya sesekali* Darsono: *agak gugup tapi tetap berusaha terlihat tenang* *sesekali meluruskan dasinya* Asmad: *menghampiri* *menepuk pundak Darsono* “Hoi, Bintang Malam Ini!” Darsono: *tergelak* “Apa kabar, Mad?” Asmad: “Baik, sangat baik. Terlebih akhir-akhir ini.” Langina: “Wah, ada yang baru ya?” *semua tertawa kecuali Arreta* Asmad: “Tidak sepenuhnya salah. Cukup spesial juga. Lagipula, saya sedang merasa produktif akhir-akhir ini. Kan saya tidak mau kalah dengan Pasangan Abad Ini, Darsono dan Langina. Hahaha.” *semua tertawa* Guntur: *datang menghampiri* “Daar, Daar, jenius kau! Jenius! Lihat betapa takjubnya para tamuku malam ini! Hahaha! Aku bangga denganmu, Dar.” Darsono: *menggaruk kepala* *tersipu malu* Langina: *tersenyum puas* Guntur: “Orang di seluruh kota akan berbondong-bondong pergi ke sini. Galeri siapa ini? GUNTUR PUTRA PETIRRRRR HAHAHAHAHA. Siapa yang dengan sabar mengukir keindahan ini? DARSONO DAN LANGINAAAA HAHAHAHA.” Asmad: *senyum girang* *ikut ketawa* *semua cheers* *Arreta memasang muka masam* *semua tertawa, creepily*


______________________________________________________________________________

ADEGAN 15 – Ruang keluarga Farabi Jam berdentang, menunjukkan pukul 8 malam. Rashida yang baru menyadari bergegas melakukan ‘penyisiran’ di rumahnya – suatu tradisi yang selalu ia lakukan pada jam, menit, dan detik yang sama. Ari

: “Zara udah tidur, Bun?”

Rashida

: “Sudah, Yah.” (menghiraukan kehadiran Ari) (meluruskan pigura yang miring)

Ari

: (beranjak ke meja telepon) “Halo, Assalammu’alaikum. Bagaimana hari ini?”

(Rashida masih berkutat dengan urusannya) Ari

: “Oh, alhamdulilah Zara baik-baik saja. Ia baru saja tidur.”

ADEGAN 16 – Galeri Virya [di belakang terlihat keluarga Magenras dan Guntur bercengkrama (kamera: Fokus ke Arreta & Asmad)]

Arreta: (menatap salah satu patung dengan kaku) “Bagus.” *terdengar tidak ikhlas* Asmad: “Aku bisa lebih, bila aku mempunyai seseorang yang mendukungku. Sebagai adikku, kau yang harusnya menjadi peran pendukung.” Arreta: “Ha. Cari saja perempuan yang persis seperti kau, kalau beruntung mungkin nasibmu akan seperti kedua kawan karibmu itu. Jujur aku sudah tak tahan menemanimu lagi, Kak.” (melengos)

ADEGAN 17 –Rumah Keluarga Farabi Ruang Keluarga - Pak Ari dan Ibu Rashida sedang membaca Al-Qur’an - suatu hal yang selalu mereka lakukan pasca shalat – ketika Zara yang masih memakai mukena menguap. Rashida: “Adek udah ngantuk? Tidur siang yuk, nggak apa-apa. Kamu pasti capek banget ya tadi di sekolah main voli.” *mengantar Zara ke kamarnya* Ari: *beranjak dari sajadah dan pindah ke balkon* Balkon – Baru beberapa saat Ari termenung di kursi balkon, Rashida yang sudah menidurkan Zara menghampiri Ari.


Rashida: “Mas, aku senang sekali tinggal di sini, dan Zara juga terlihat lebih ceria. Pak Dasrono dan Mbak Langina ramah banget ya, Mas. Kasihan aku sama mereka, padahal kalau mereka punya anak pasti anaknya cakep-cakep ya Mas. Hahaha. Alhamdulilah ya Mas, Zara selama ini tumbuh menjadi anak yang baik dan sholehah. Bersyukur aku mas.” Ari: *tersenyum tapi tidak menatap Rashida* *masih menerawang langit* “Ras, tapi masih ada satu hal yang mengganjal…” Rashida: “Fatih, Mas? Coba dia ada di sini ya Mas…” Ari: “Ya, kau kan ta-“

cut to

Tante Yu, Tante Depcoy, dan Tante Yani: “Assalammu’alaikum, Mbak e!” *mengetuk rumah Nidhana* cut to Ari dan Rashida: *serempak beranjak dari kursi* *mendekati railing balkon* *memandangi* Rashida: “Mas? Tamu?” Ari: *masih ternganga* Rashida: “Apa keluarganya ya?” Ari: “Kukira mereka benar-benar terisolasi.” cut to Ny. Nidhana: *membuka pintu* “Ayu?! Ayuuuuu! *memeluk*” “Deviiiii! *memeluk*” “Haduuu, sama perawannya lagi! Yodia makin cantik aja, pangling aku.” cut to Ari dan Rashida: *ternganga* *this one needs muka pongo total banget* cut to Tante Devi: “Dari mana saja kamu? Lama sekali, di luar panas ini.” Ny. Nidhana: “Hahahaha. Maklum lha, namanya juga Jakarta. Naik apa, Mbak?” Tante Ayu: “Tadi dari Pelabuhan langsung naik Bus, Nid.” Ny. Nidhana: “Wes lah, masuk ayo masuk. Mau apa? Aku bikinin sirup ya.” *mereka masuk* *shoot Ari dan Rashida ternganga* *pintu ditutup, duar!* *A&R kaget* Ari: “Masya Allah! Ramah sekali. Mungkin kamu benar Ras, kita memang dikelilingi oleh orangorang ramah. Seharusnya kita mencoba lebih giat ya.”


Rashida: *masih ternganga* “Mas…beda banget Ibu sebelah sikapnya, Mas. Benar, Mas, kita nggak boleh su’udzon kalau belum kenal. Mungkin waktu aku mencoba silahturahmi, dia lagi sibuk atau ada masalah. Menurutmu aku harus coba lagi nggak?” Ari: “Nggak ada salahnya kan, Ras? Coba saja besok kamu datang ke rumahnya sambil membawa bolu andalanmu itu. Takluk lah dia hahaha.” Rashida: “Bisa, Mas, bisa. Hahaha.”

ADEGAN 18 – Ruang Tamu Keluarga Nidhana Tante Dyani

: “Mana jagoanmu itu, Nid?”

Tante Ayu

: “Yodia saja yang di Bandung masih sering pulang, Nid.”

Tante Devi

: “Ke mana ibumu Nid? Rindu aku sama Budangku itu.”

Ny. Nidhana : “Ibu sedang tidur, Dev. Nata kan, kau tahu sendiri Yan, Yu. Kalian tahu dari baru bisa merangkak saja Ia sudah mempunyai jiwa petualang. Ia tidak rindu rumah…” Yodia

: “Yodia juga besok mau bertualang, Budang. Naik gunung, hehe.”

(terdengar suara panci jatuh di dapur) Tante Devi

: “EEEEEEEE! ELLA ELLA E E! KUMAYAN DISERANG! HANG CINDAAA!”

Tante Dyani

: “Ssst, jaga itu loh, Yuk. Itu suara apa, Nid?”

Ny. Nidhana

: “Tikus, Yan. Maklum, rumah tua…”

ADEGAN 19 – Di halaman depan rumah keluarga Farabi *Ari, Rashida, dan Zara sedang bermain bola* Rashida

: “Waktunya memasak makan malam! Ayah, tolong jagain Zara ya. Bunda masak untuk makan malam dulu. Tolong diperhatikan anakmu yang pecicilan itu. Ingat, jangan lupa.”

Zara

: “Yaah gak main sama kita lagi? Bunda nggak usah masak, main aja!”

Rashida

: “Jangan dong, nanti malem naga di perut Zara bisa meraung kalo gitu.”

Ari

: “GROAAAAR!”

Zara

: “Huuu, yaudah Bunda boleh masak!” (berkata sambil cemberut)


Rashida

: “Senyum dulu dong. Hahaha.”

*Ibu pergi untuk memasak makanan* *Selama beberapa saat ayah dan anak bermain bola* * telepon genggam ayah berbunyi* Ari

: “Sebentar ya Zar, ayah angkat dulu.”

*bola Zara menggelinding ke rumah tetangga sebelah kanan**Zara berlari menghampiri bola* *Tukang koran lewat didepan rumah* Tukang koran : “Eeeeh Dek, jangan ke rumah itu!” *Zara tidak menghiraukan* Ucup : “Gusti……gusti. Anak jaman sekarang susah dibilangin banget ya. Sudahlah saya juga harus cepat-cepat ngasih setoran ke bos, kalo enggak bos marah.”

ADEGAN 19 (II) – Teras dan ruang tamu rumah keluarga Nidhana *Zara mengambil bola di pekarangan rumah tetangga sebelah kanan* *derik pintu* Tara Janata: “Halo.” Zara

: (terlonjak kaget melihat wajah Tara) “Aaaaa! Monster!” (Zara hendak berlari)

Tara Janata: “Jangan takut, aku….bukan monster.” Zara pun terdiam, raut mukanya menunjukkan kebingungan. Zara

: “Lalu, kalau bukan monster, kakak siapa? Mengapa wajah kakak seperti monster?”

Tara Janata: “Aku sama sepertimu. Katakan saja, bahwa monster yang sebenarnya telah mengubah wajahku.” Zara

: “Benarkah? Ada monster sungguhan Kak? Seperti di buku cerita? Serem, kak?”

Zara merasa bahwa tampaknya orang berwajah seperti monster itu tidak berbahaya. Jadi, Ia pun mulai berani untuk masuk ke rumah dan untuk bercakap-cakap dengannya. Tara Janata: (duduk di kursi) “Jika kau sudah besar nanti, kau akan tahu. Terkadang, monster itu tidak harus buruk rupanya. Kau akan tahu orang tersebut monster atau tidak, dari hatinya. Ada orang yang berwajah cantik, tetapi hatinya membuat Ia menjadi monster. Ada pula orang yang berwajah monster, tetapi hatinya baik.”


Zara

: “Orang yang berwajah monster tetapi hatinya baik, kayak kakak ya?”

Tara pun terdiam. Hatinya yang telah pekat oleh keputusasaan seketika luluh oleh perkataan Zara kecil didepannya.

ADEGAN 20 – Rumah Keluarga Farabi dan Jalan Perumahan Hari sudah mulai gelap. Jingga hendak berganti bintang yang bertaburan di angkasa. Bau asap makanan sudah mulai mengepul dari dalam rumah, membuat siapa saja yang menciumnya, menyarankan pembuat masakan tersebut membuka bisnis rumah makan. Rashida: “Ayah….! Ayo, bawa anakmu ke dalam rumah. Makan malam sudah siap.” *hening tidak ada jawaban* “Ayah….! Ayah…..!” (bergegas mencari Ari) Rashida: “Astaghfirullah. Aridan Farabi....! Bercandamu tidak lucu!” (menelepon suaminya) (nada sambung putus) (menelepon nomor lain) “Halo, assalammu’alaikum, Abang. Abang, cepet pulang ya Bang.” (tergesa-gesa) cut to Fatih

: “Wa’alaikumussalam, Ma. Loh, makanan nggak ada yang ngabisin ya? Haha.” cut to

Rashida: “Cepet pulang aja! Jangan tanya kenapa mama butuh kamu. Untuk malam ini mama akan coba selesain sebisa mama, tapi kami cepat pulang!” (menutup) cut to Fatih

: *masih menggenggam handphone di telinga* *geleng-geleng* *lari* cut to

Rashida: “Ya Allah, ke mana suami dan anakku…mereka pasti bercanda. Ari, astaghfirullah, Zara, astaghfirullah. Ya Allah.” (mondar-mandir) *jalanan terlihat sepi* Langina: “Mencari dia?” (menggandeng Zara yang tampak ketakutan) Darsono: “Hahaha. Muka Ibu tampak panik sekali.” *Zara berlari menghampiri orangtuanya, bergegas bersembunyi dibalik Bunda* Ari

: (berlari dari jauh) “Zara!” “Kemana saja kamu nak, Ayah mencarimu sampai ke Blok G!”

Rashida: (bingung kenapa Ari tiba-tiba muncul) (lega) “Kamu kemana nak shalehah? Kamu bikin Bunda jantungan.” Langina: “Mbak Ros tak perlu panik. Tadi, saat kami sedang berjalan-jalan sore, kami menemukan Zara baru saja pergi dari tetangga sebelah kanan rumah kalian.” Rashida: “Astaghfirullah…”


Darsono: “Ini Zara, cokelat untukmu. Hati-hati nak. Bapak, Ibu, kapan-kapan berkunjung ke rumah kami saja. Hahaha.” Langina: “Kami mohon pamit dulu Pak, Mbak Ros. Hahaha.” Ari

: “Iya terimasih Pak, Bu, telah mengantarkan Zara pulang.”

Langina: “Sama-sama Pak. Sore.” Ari dan Rashida: “Selamat sore.” (melihat tetangganya berjalan menjauh dengan wajah heran)

ADEGAN 20 (II) – Ruang Tamu Rumah Keluarga Magenra Darsono: “Untung kita menemukannya dalam keadaan selamat.” Langina : “Jangan sampai Ia bernasib sama, Mas.” (suara dering telepon) Guntur : “Soreeee, Langina. Asmad baru saja mengirimkan proposal karyanya kepadaku, bisakah kau dan Darson kemari untuk mengeceknya? Dua jam lagi, Langina. Terima kasih.” (ditutup) Langina : “Hahaha, Pak Guntur ini memang putra petir ya, Mas. Semuanya serba cepat.” Darsono: “Na, Asmad sudah mengirimkan proposal? Pasti konsepnya hebat, kau tidak takut kalah? Sudah kubilang Na, bisnis ini memang tidak memiliki titik aman.” Langina: “Tidak, dia bukan tandingan kita, Mas. Aku dapat memulainya besok, bila kau mau.”

ADEGAN 21 – Di hutan Fatih baru saja sampai di base camp komunitas Pecinta Alamnya. Helena terlihat sedang asyik mengamati vegetasi liar bersama Nissa, Tavi sibuk mencatat perjalanannya, Yodia dan Devina merapikan dirinya, sedangkan Lino meronta-ronta karena lukanya diberi alkohol oleh Banda. Fatih

: (ngos-ngosan) (mengepak tasnya) “Semuanya, gue pulang duluan ya! Urusan negara!”

Yodia : “Eh-eh-eh! Lo mau pulang? Plis banget gue mau ikut, parah! Janji nggak lama, tas gue udah siap kok. Liat nih, alergi gue udah mulai lagi.”


Fatih

: (hening) “Sekarang, nggak pake lama. Lo gue turunin di Kampus aja Ri, oke?” “Ehem,

terima kasih semuanya atas perjalanan kali ini. See you on the next summit!” (hormat) (semua hormat) (Fatih lari) (Yodia mengejar)

ADEGAN 22 – Di ruang tamu Asmad dan Arreta Arreta : “Kak, masih waras kan? Yakin sekali kau mengirim proposal seperti itu ke Pak Guntur. Memangnya kau tega melaksanakannya? Dan kalaupun kau tega, kau tidak akan bisa menandingi Pasangan Serasi tersebut. Mereka memang serasi, sama-sama gila.” Asmad : “Tunggu saja, Arreta. Tunggu. Sebentar lagi aku dapat melaksanakannya dan, aku janji, kali ini aku dapat menunjukkan ke publik bahwa karya mereka tidak spesial, banyak yang seperti kami. Bukan hanya mereka dan aku saja. Hahaha.” Arreta : “Suatu saat aku akan menyesali ide ini.”

ADEGAN 23 – Jalanan Perumahan Ucup : (sambil menggowes sepeda) “Sambut pagi dengan ceria! Nikmati hari dengan seksama! Ayo beli koran di saya! Hari ini kurs Rupiah bertambah!” “Kring-kring!” Dadang: (mencuci mobil) (Goyang Dumang terdengar dari mobil) (bermain dengan keran) Ucup : (terkena air) “EEEEEE, Semprul!” (turun dari sepeda) (hendak mengajak tinju) T. Jamu: “Jamuuuu?” (Ucup dan Dadang nengok, terus bengong) “Jamu, Mas?” Langina: “Dadang, coba kamu li- nah itu ada Mas Yusuf.” Dadang: (pelan) “Cih, Yusuuuf. Ucup aje.” Langina: “Suf, ini untuk langganan bulan ini ya. Oh ya Mbak, jamunya nggak dulu untuk hari ini. Dadang, kamu saya beri libur sementara. Ini uang jajan, pergi ke mana saja yang kamu mau tapi kamu harus kembali bulan depan ya.” (semua melongo) Dadang: “Alhamdulilah ya Allah, rasanye kayak ketiban Bianglale! Dalam rangka apa, Bu?” Langina: “Hihihi, saya mau berangkat ke Vienna, Dang. Biasa lah, 7 tahunan sama Bapak.” Rashida: (lewat) “Nah ini dia Ucup, saya cariin juga! Ini Cup.” (menyodorkan uang)


Langina: “Pagi, Mbak Ros. Mumpung ketemu sekarang, saya pamit dulu ya Mbak Ros, sampai bertemu bulan depan.” Rashida: “Waaah, jadi, Mbak? Asyik ya. Hati-hati, Mbak.” (cipika-cipiki)

ADEGAN 24 – Rumah + Kos Putri Asmad dan Arreta Yodia : (menutup pagar) (berjalan ke arah kamarnya) Arreta: “Saya kira kamu masih di Gunung, Ri? Hampir saja rumah mau saya tinggalkan, toh anak-anak udah pulang semua.” Yodia : “Alergi saya kambuh, Bu.” Asmad: “Arretaaaa, Retaaa- Wah, halo, pagi Yodia, Kembang Kos hahaha.” Yodia : (tersenyum) “Pagi, Pak. Saya ke kamar ya, Bu Reta, Pak Asmad.” (naik tangga) Asmad: “Pucuk dicinta, ulam pun tiba.” (joget) Arreta: “Setelah ini aku tak ingin mendengar kabar darimu lagi, Kak.”

ADEGAN 25 – SD-nya Zara Rashida: “Zara kok nggak ada di tempat tunggu ya?” (celingak-celinguk) (tiga orang guru yang dikenali Rashida sebagai guru Zara lewat) Ibu Salsa: “Assalammu’alaikum, Mama Ros.” (semua salam-salaman) Rashida : “Wa’alaikumussalam, Ibu. Apa Ibu-Ibu ada yang melihat Zara tadi?” Ibu Aray: “Maaf, Mama Ros. Terakhir saya melihat Zara setengah jam lalu, Bu. Zara sekarang berani pulang naik angkot ya, Bu.” Rashida: “Naik angkot?!” (kaget) “Angkot apa, Bu?” Ibu Aray: “Maaf, Mama Ros, saya tidak ingat persis nomor jurusannya. Yang saya ingat warnanya biru telur asin. Jadi…” Rashida: “Maukah Ibu-Ibu menolong saya? Tolong sebarkan berita hilangnya Zara, Bu.” Ibu Salsa: “Mohon maaf atas kelalaian kami, Mama Ros. Kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk mencari Zara.” (Rashida langsung berlari) ______________________________________________________________________________


ADEGAN 26 – Ruang Tamu Keluarga Farabi Rashida: (membanting pintu) (mondar-mandir) “Ya Allah, astaghfirullah. Mohon ampuni kelalaian hamba Ya Allah. Mengapa ini dapat terjadi berkali-kali? Innalilahi!” Fatih

: (muncul, sambil memakan ciki) “Loh, adikku yang gembul itu mana, Bun?”

Rashida: “Hilang, Fatih…hilang. Untuk kedua kalinya. Bunda akan telepon Ayah, kamu tolong sebarkan kabar hilang ini ya. Setelah itu kamu lapor ke Polisi, atau, apa saja, ARGH.” Fatih : (bergegas mengambil telepon genggamnya) “Malino dan Banda, siap operasi.” (tutup telepon) cut to Rashida: “Assalammu’alaikum! Ayah, cepat pulang! Zara, Yah! Zara!”

cut to

Fatih : “Helena, tolong cek data pemilik, pengelola, atau bahkan semua supir angkot warna biru telur asin di Jakarta. Persempit pencarian dengan rute yang melewati daerah rumah gue. Lo tau kan?” (tutup telepon) [adegan banyak orang saling menelepon, telepon berantai] (Rashida dan Fatih berhamburan menghampiri rumah tetangga) Montase: - Rashida menangis histeris - Teman-teman Fatih ‘bekerja’ (ex: Melacak di internet, berbicara pada polisi, dll) - Orang-orang menempel kertas pengumuman orang hilang di lingkungan sekitar - Ari menyiapkan obat penenang untuk Rashida - Nek Kiba bertabrakan dengan Rashida di jalanan yang ramai - more to come.

ADEGAN 27 – Ruang Keluarga, Rumah Nidhana [ngeshoot pintu kamarnya Tara, hanya terlihat Nyonya Nidhana membentak sambil memegang pisau di balik badannya]

Ny. Nidhana: “Kamu seharusnya merasa beruntung! Beruntung kamu dapat hidup!” (suara menggeram) (doesn’t sound like a girl at all) Ny. Nidhana: “Kau seharusnya dapat mengubahnya! Tapi mengapa kau tetap di sini! Apakah rasanya sakit, gagal menjadi versi dari dirimu yang kau inginkan? Versi dari dirimu yang semua orang dambakan?” (mengangkat pisaunya) “Aku akan mengakhirimu! Aku akan mengakhiri kreasiku sendiri!” (menerjang lawan bicaranya yang tidak disorot)


Nek Kiba : (datang dari luar frame) “Nidhana! Dalam hatimu masih ada kemuliaan, Anakku. Kau tidak membencinya, dia tidak salah apa-apa, terlebih padamu. Biarkan saja ia di sini. Tolong rawat ia. Cobalah untuk memaafkan dirimu sendiri, Nidha. Sementara kau melakukan itu, Ibu akan keluar. Lagipula, Ibu mulai merindukan sang surya.”

ADEGAN 28 – Di ruang klub Pecinta Alam Fatih biasa berkumpul Tavi

: “Belum ada kemajuan, Fat. Maafin gue ya…”

Helena: “Sama, maafin gue juga ya. Gue udah telepon kontak dari hasil pencarian gue, tapi…” (Fatih makin terlihat lunglai)

Malino: “Sebentar, Sob. Jangan sedih dulu, Bray. Tebak apa yang Malino dapatkan, Cing.” Banda : “Karena Polda sejauh ini belum mempunyai tindakan yang signifikan, gue dan Malino berhasil ngebujuk Om gue untuk terjun ke kasus ini secara langsung. Beliau dari Polres Jaksel sih, tapi insya Allah beliau akan membantu prosesnya biar lebih cepet.” (semua bersorak) Fatih : “Alhamdulilah…” Anis : “Dev, Yodia ke mana sih?” (pelan) Evi : “Belum denger kabarnya lagi semenjak pulang nanjak, Nis. Dikontak juga nggak bisa. Kapok kali?”

ADEGAN 29 – Ruang Kreatif milik Asmad Pandangan Yodia gelap. Hanya ada secercah cahaya yang ironisnya justru serasa membutakan mata Yodia. Ia pegal. Hanya Tuhan yang tahu tepatnya berapa lama Yodia diikat dalam posisi seperti ini. Pengalaman bertahun-tahun mengikuti les ballet terasa sia-sia; posisi ini menyiksa tulangnya dan lagu klasik yang disetel sama sekali tidak memberinya ketenangan. [cahaya lampu menyorot Asmad yang tersenyum sembari mengikir pisaunya] [terdengar suara adukan air] [suara lakban dilepas, cepat]

Yodia : “AAAAAAAAAAAAA!” Asmad : “Terima kasih, karena kau akan membantuku untuk mengembalikan prestiseku.” (menuang cat di pundak kiri Yodia) Yodia : “Kenapa aku?”


Asmad : “Kau yang terpilih. Hahaha. Tidaklah, jawabannya jelas, karena kau mudah. Kau terlalu polos. Pandanganmu akan dunia terlalu sederhana. Faktanya, aku tidak sebaik yang kau kira. Kau kira adikku yang menyeramkan? Instingmu jelek.” (menuang semua cat)

ADEGAN 30 – Di pinggir danau/pantai Langina dan Dasrono berhasil membuat Zara mengira bahwa mereka benar-benar ditugaskan oleh Rashida dan Ari untuk menjaga Zara dalam beberapa hari ke depan. Zara sedang menikmati makanan yang disiapkan Langina untuk piknik ini, ketika… Langina : (termenung, menatap kejauhan) Dasrono: “Kamu kenapa, Na?” (Langina bergeming) “Langina Magenra?” Langina : (tersadar) “Aku…sepertinya aku ingin berhenti saja.” Dasrono: “Berhenti apa? Berhenti dari misi ini?” Langina : “Ya…mungkin kita bisa benar-benar liburan. Kamu tahu, menjelajah reruntuhan kuil di Yunani, menikmati kebab asli Turki, menyelinap di bawah gorong-gorong Paris, berteriak dari atas Liberty, atau mungkin mencoba memakai koteka.” (dengan muka datar) Dasrono: “Aku tidak menangkap ke mana arah pembicaraanmu ini.” (mengernyit) Langina : “Lihat kedua anak tak berdosa itu, Nar.” Dasrono: “Kamu mulai menyebut namaku lagi…” Langina : “Aku ingin punya anak.” (hening) (keduanya terdiam) (Zara masih asyik dengan mainannya) Dasrono: “Kamu serius, Na? Akhirnya. Kamu kan paling tahu kalau selama ini aku adalah oposisi terbesarmu, jadi, aku mendukung keputusanmu, Na.” Langina : “Di sisi lain aku tak ingin berhenti. Mungkin aku hanya butuh sebuah jeda…” Dasrono: “Apapun itu, Sena. Aku harap jeda ini dapat berlangsung selam-“ Langina : “Nar. Berhenti. Jangan terlalu berharap padaku. Aku tidak janji ini akan menjadi terakhir kalinya aku mengecewakanmu.” Dasrono: “Zara, ayo kita pulang. Ayah sudah merindukanmu, Nak. Elsya, ibumu pasti sudah panik.”


(Langina masih menatap kejauhan) (Dasrono dan Zara jalan bersisian dengan keranjang yang dipegang bersama) (Langina menyusul) (Telepon genggam Langina berdering) Guntur: “Langina Wanita Jeniusku! Dimana kau? Asmad sudah mengirimkan karyanya, dan, oh astaga! Kau harus melihatnya dengan matamu sendiri, Langina. Ini tidak bisa dideskripsikan. Aku cinta kalian. Aku bangga. Aku tidak perlu menanyakan inspirasi dan motivasi kalian. Dapat memiliki karya-karya hebat kalian di galeriku saja sudah menyenangkan. Kabari aku jika kau sudah di Jakarta.” Langina: “Kami juga senang, Pak Guntur.” (Zara dan Dasrono sudah jauh dari Langina) _____________________________________________________________________________

ADEGAN 31 – Rumah + Kos Putri Asmad dan Arreta Arreta sedang menulis surat perpisahan untuk kakaknya karena Ia sudah tidak tahan hidup bersama orang dengan gangguan jiwa – itu atas diagnosisnya sendiri, karena ia yakin hanya orang tidak waras yang dapat menjadikan manusia lain pajangan keras tak bernyawa. Isi surat dan monolog: Kakakku Asmad, hari ini tepat 30 tahun, 9 bulan, dan 10 hari kita hidup berdampingan. Ibu selalu berkata bahwa

(Arreta menarik napas dengan kuat) (meninggalkan suratnya di meja) (Arreta berjalan ke arah kamera sambil menarik kopernya)

ADEGAN 32 – Pekarangan rumah keluarga Farabi Halaman rumah keluarga Farabi terlihat ramai walaupun mayoritas anggota kepolisian dan tim penyidik lainnya sudah pulang. Dari pihak aparat, hanya tersisa empat orang. Sisa keramaian itu adalah teman-teman dan saudara keluarga Farabi yang turut merasakan kecemasan Rashida, Ari dan Fatih. (taksi berhenti di depan rumah) (Zara turun dari taksi) (Rashida terbelalak) Rashida: “Zaraaaaa! (berlari) (memeluk Zara) (menangis di pundak Zara) Kemana saja kamu, Nak? Bunda cemas. Maafkan Bunda...” (menangis histeris di pundak Zara) (semua orang ikut terharu, tapi tidak ada yang berani menghampiri dan merusak momen IbuAnak ini – bahkan tidak Ari dan Fatih)


Ari : “Fatih, terima kasih. Ayah bangga sama kamu. Sering-seringlah pulang, Nak. Ayah dan Bunda rindu. Mengurus Zara seseorang memang melelahkan, tapi rasanya beda bila kamu nggak ikut meramaikan.” (Ari memeluk Fatih)

ADEGAN 33 – Bandara “Sena? KTP?” “Cek.” “Paspor?” “Cek.” “Visa?” “Cek.” “Kartu keluarga?” Langina: (hening) (keduanya tertawa) “Cek!” (hening 5 detik) “Naro?” Dasrono & Langina: “Mau ke mana kita?” “Tempat baru!” “Mau ke mana kita?!” “Tempat baru!” (berjalan menyeret koper)

ADEGAN 34 – Ruang interview/sidang Zara Dewasa : (diam) (meminum seteguk air) Interviewer

: “Itu saja?”

Zara Dewasa : “Kalau lebih mungkin saya tidak akan berada di sini.” Interviewer

: “Anda boleh pergi, Nona Arselia Azzara.” (Zara beranjak)

(Pintu terbuka) (Arreta versi 12 tahun lebih tua masuk ke ruangan) Interviewer : “Nyonya Arreta Euzi? Tolong ceritakan secara kronologis tentang kakak anda dan apa yang ia lakukan 12 tahun lalu. Bila anda memiliki informasi tentang perkumpulan pematung-pematung ini, bisakah anda juga tolong membeberkannya ke kami?” Arreta

: (diam) “Nona.” (menghela napas)

Interviewer : (nada tinggi) “Kami mohon, Nona.” “Kasus ini belum mencapai titik temu selama 12 tahun ini! Anda sendiri sudah lama tidak bertemu kakak anda, bukan?” Arreta

: “Dua belas tahun. Selama itu.”

ADEGAN 35 – Di lapangan rumput Asmad sedang berbincang di telepon dengan seseorang – mungkin sesama seniman alirannya – setelah berbincang beberapa lama, ia menutup teleponnya. Lalu ia mengetik nomor telepon yang sudah hafal. Muncul nama Sena (Rahasia) di kontaknya. Asmad: “Di mana kau sekarang?” “Oooo.” “Ya, ya.” “Kau yakin?” “Hmm.” “Okelah.” “Oh ya, apakah kau akan melanjutkannya?” (tersenyum)


SELESAI


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.