Menggapai kembali pemikiran rasulullah nabi muhammad s a w copy 2

Page 1

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

423

‘hati nurani’ itu terdapat segala informasi ‘kebenaran’ yang telah dipahami oleh manusianya, walau ‘kebenaran’ ini memang juga bersifat sangat relatif dan subyektif menurut manusianya sendiri. Dan tentunya segala informasi ‘kebenaran’ pada hati nurani itu juga pasti hanya dibangun dan disusun oleh manusianya sendiri, dari mempelajari segala pengajaran dan tuntunan-Nya yang telah disampaikan oleh para nabi-Nya, juga dari mempelajari langsung tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini. Melalui pengetahuan atau pemahaman baru tentang setiap kebenaran-Nya dari hasil bertafakur, semestinya menambah dan memperbaiki segala informasi pada hati nurani menjadi semakin obyektif, sempurna atau semakin benar, bahkan paling idealnya diharapkan bisa mendekati tingkat pemahamannya Nabi. Sedang usaha menyempurnakan isi hati nurani dan juga pemanfaatannya secara maksimal, pada dasarnya usaha untuk “mensucikan ruh”. b. Banyak beribadah dan menyembah Allah. ¾ Sebanyak mungkin beribadah dan menyembah Allah. Minimalnya melaksanakan segala amal-ibadah yang diwajibkan dalam ajaran agama-Nya, agar bisa terbentuk sesuatu ‘disiplin’ pribadi untuk bisa selalu mengingat-Nya, serta mengingat makna dan tujuan dari diciptakan-Nya kehidupan manusia itu sendiri. Lebih lanjutnya, juga sangat diharapkan agar setiap amalperbuatan sehari-hari bisa diwarnai oleh pemahaman atas makna kehidupan itu sendiri, serta agar bisa mengisi kehidupan dunia dengan berbuat segala amal-kebaikan, sebagai bentuk keredhaanNya demi keselamatan dan kemuliaan setiap manusianya sendiri. Pada akhirnya, segala amal-ibadah itu sangat diharapkan bisa pula bermuara kepada ‘bertafakur’ (ruh segala amal-ibadah adalah ‘tafakur’), dengan pemicu awalnya adalah bacaan-bacaan ayat Al-Qur’an pada saat beribadah. Sehingga diharapkan makin terungkap luas berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (alHikmah), di balik ayat-ayat itu. Hal ini juga bisa mencegah tindakan beramal-ibadah itu hanyalah dianggap sebagai ritual rutin semata-mata, yang cukup membosankan, karena bertafakur itulah perwujudan kekhusu’an yang sebenarnya dalam beramal-ibadah. Serta setiap amal-ibadah semestinya tidak dilakukan tanpa sesuatu kesadaran sama sekali.

424

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

c. Banyak berzikir (mengingat Allah). ¾ Sebanyak mungkin berzikir (atau mengingat Allah), di manapun dan kapanpun berada, agar setiap amal-perbuatan bisa jauh lebih terjaga dan tidak dilakukan secara melampaui batas, khususnya dari segala godaan nikmat kehidupan duniawi yang fana, sangat semu dan mudah menyesatkan (seperti: harta, tahta dan wanita). Selain itu, berzikir adalah alat-sarana agar setiap manusia makin lebih terpancing, untuk mengenal hakekat wujud zat Allah (sifat-sifat Allah), Yang menciptakan seluruh alam semesta dan kehidupan manusia di dalamnya, khususnya dengan memahami sifat-sifat-Nya yang tergambar pada berbagai nama terbaik Allah (Asmaul Husna). Dengan begitu, setiap manusia diharapkan bisa menemukan makna kehidupan yang lebih hakiki. Pengenalan atas wujud zat Allah ini juga termasuk suatu tafakur. Namun bukanlah ‘jumlah’ bacaan zikir yang terpenting, melainkan justru pada pencapaian pemahaman atas ‘kandungan isi’ bacaannya. 4) Baca pula topik "Hakekat penciptaan alam semesta", dan topik "Sifat-sifat ciptaan-Nya", tentang Asmaul Husna atau sifat-sifat-Nya. d. Terbiasa berbuat dan berakhlak positif. ¾ Membiasakan diri melakukan segala amal-kebaikan dan akhlak positif yang diajarkan di dalam ajaran agama-Nya, sekaligus pula biasa menghindari ataupun mengurangi segala amal-keburukan dan akhlak negatif, sekecil atau sesederhana apapun bentuknya. Contoh yang sangat dikenal, yaitu: perbuatan dan akhlak nabi Muhammad saw yang tidaklah suka berbohong, sehingga Nabi telah mendapat gelar "Al-Amin" (sangat dipercaya), sejak masa mudanya. Hal inilah yang telah menjadi salah-satu pondasi penting, yang sangat mendukung perolehan kenabiannya. Baca pula uraian di bawah, tentang berbagai pengaruh lanjutan dari akhlak, yang berupa kejujuran ini. Semakin rutin dan konsisten dalam melakukan kebiasaan dan akhlak positif, justru semakin baik, akhirnya diharapkan juga bisa memahami tujuan pelaksanaannya. Sehingga setiap manusia bisa menjawab, mengapa perlu melakukannya?, apakah berbagai keuntungannya (lahiriah dan batiniahnya)?. Pemahaman hikmah


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

425

dan hidayah-Nya yang terbentuk justru bisa tertanam pada alam batiniah ruh, sebagai keyakinan atas tindakan kebiasaan itu. Akhirnya kebiasaan itu menjadi semakin ringan ataupun tanpa beban pada saat dilakukan, bahkan bisa terasa memberikan kebahagiaan atau keuntungan (secara lahiriah dan batiniah), bagi pelakunya, termasuk terasakan kurang sempurna, jika tidak bisa mengerjakannya, karena tidak mengamalkan sesuatu keyakinan yang telah diperoleh. Kebiasaan itu juga suatu latihan bagi setiap manusia, agar menyiapkan segala pondasi spiritual (keadaan batiniah ruhnya), yang lebih memungkinkan untuk bisa lebih memahami berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya lainnya. Hal ini tidak cukup hanya dengan menggunakan nalar-logika akal pikiran saja, yang justru relatif sangat terbatas. Namun sangat perlu didukung pula dengan berbagai latihan ataupun praktek yang terus-menerus dan konsisten (perlunya dimiliki berbagai pengalaman spiritual). Sebaliknya jika tidak pernah dilakukan praktek spiritual langsung (tanpa pondasi spiritual), juga akan sulit bisa diperoleh pemahaman yang utuh tentang berbagai kebenaran-Nya. Bahkan pencapaian pemahamannya bisa terhambat oleh berbagai asumsi dan logika yang telah tertanam sebelumnya, namun sama sekali belum pernah terbukti. Maka perlu dimiliki pengalaman spiritual langsung, agar bisa mengurangi berbagai asumsi dan logika yang kurang berdasar itu, khususnya lagi dalam hal-hal batiniah. Secara sadar ataupun tidak, kebiasaan itu juga akan bisa membentuk benteng yang semakin kokoh-kuat secara batiniah atas berbagai gangguan, khususnya yang terkait langsung dengan kebiasaan itu sendiri. Serta bisa merasa terganggu bila kebiasaan itu terhentikan. Kebiasaan yang tampak sederhana sekalipun bisa menjadi pondasi yang melahirkan serangkaian kebiasaan lainnya (perbuatan dan akhlak positif). Misalnya, jika seseorang telah terbiasa menikmati sikap tidak suka berbohong, bahkan tidak suka menfitnah kepada orang lain, dan jauh lebih pentingnya lagi kepada dirinya sendiri (tidak menentang isi hati-nuraninya), selain membentuk benteng yang bisa menutup diri terhadap berbagai kebohongan lainnya, justru bisa pula menutup diri terhadap hal-hal, seperti misalnya: •

Kemusyrikan (menyekutukan Allah)

426

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

Membohongi dirinya, bahwa Allah Yang Maha Kuasa, Maha Sempurna dan Maha Esa, Yang kemuliaan dan kekuasaanNya justru mustahil bisa dibandingkan dengan ilah-ilah selain Allah, yang sedang disembahnya (lahiriah dan batiniah). •

Kezaliman (menganiaya setiap zat ciptaan-Nya) Membohongi dirinya, bahwa ia sendiri pasti tidak suka pula, jika dianiaya oleh orang lain.

Kekafiran (melanggar perintah-Nya) Membohongi dirinya, bahwa Allah Yang Maha Terpuji pasti memiliki suatu keredhaan tertentu atas setiap amal-perbuatan manusia (yang diperintah ataupun dilarang-Nya), yang justru sebenarnya demi kemuliaan manusia itu sendiri.

Kemungkaran (melakukan keburukan) Membohongi dirinya, bahwa hal itupun pasti merusak dirinya sendiri (secara lahiriah dan batiniah). Padahal ia pasti akan menyukai segala kebaikan, khususnya bagi dirinya sendiri.

Kemunafikan (berpaling dari kebenaran-Nya) Membohongi dirinya, bahwa pasti mustahil ada sesuatu jalan yang lebih sempurna daripada ‘jalan-Nya yang lurus (benar)’.

Kesombongan (merasa lebih baik daripada orang-lain) dan Riya (senang dipuji oleh orang-lain) Membohongi dirinya, bahwa pasti tidak ada sesuatu hal yang bisa disombongkannya di hadapan Allah, dan ia sendiri juga pasti memiliki berbagai kekurangan dan keterbatasan.

Keserakahan dan Mencuri (mengambil hak-milik orang lain) Membohongi dirinya, bahwa ia pasti seorang pemalas, yang justru belum pantas diberikan rejeki-Nya yang lebih baik.

dsb. Hal-hal di atas bisa dicapai, jika manusia juga bisa makin membersihkan atau mensucikan hati-nuraninya (ruhnya), dengan terus-menerus berusaha meningkatkan keimanannya, yaitu makin mendalam pemahamannya dan makin konsisten pengamalannya terhadap berbagai kebenaran-Nya dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan keadaan dan kemampuannya masing-masing. Kenabian adalah tingkat keimanan atau keyakinan yang paling tinggi yang bisa dicapai oleh seseorang manusia, bahkan


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

427

kepada para nabi-Nya itu telah dibukakan-Nya berbagai hakekat atau rahasia alam nyata dan gaib, setelah mereka terpelihara dari setiap perbuatan dan akhlak yang tercela. Sebaliknya kehidupan mereka penuh dengan perbuatan dan akhlak terpuji, karena hal ini justru wujud nyata dari pengamalan keimanan pada para nabiNya yang sangat tinggi dan utuh (secara lahiriah dan batiniah). Selain untuk meningkatkan keimanan, ada pula berbagai kebiasaan pada ajaran-ajaran agama-Nya, yang berupa berbagai cara langsung, untuk membentuk kehidupan manusia yang lebih bermakna dan lebih selamat di dunia. Walaupun setiap ajaran itu belum sepenuhnya bisa dipahami hakekatnya oleh setiap umat. Hakekat utama dari keimanan paling tinggi, adalah pada pemahaman yang relatif sangat mendalam atas berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (bukan taklid buta). Dan semestinya juga disertai dengan pengamalan yang relatif sangat konsisten dan utuh berdasar segala pemahaman itu, yang tata-caranya telah diajarkan-Nya melalui ajaran-ajaran agama-Nya. e. Terbiasa berkumpul dengan orang-orang seiman. ¾ Perbuatan dan akhlak positif akan makin mudah terbangun, jika terbiasa berkumpul atau selingkungan dengan orang-orang yang seiman dan seaqidah, agar terbina suasana "ber-amar ma’ruf nahi munkar" yang terasa lebih kental, ataupun terdapat suasana yang saling mengembangkan diri dalam hal beramal-ibadah. 40) Sebaliknya banyak menghindar berkumpul dengan orangorang yang banyak berbuat segala kemungkaran, keburukan dan segala tindakan tercela lainnya. "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar." (QS.9:119) "Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang, yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." - (QS.4:69) "Sesungguhnya, orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan, yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekalikali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.",

428

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

"Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan, dan berpegang teguh pada (agama) Allah, dan tulus ikhlas (dalam mengikuti) agama mereka, karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman, dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman, pahala yang besar." - (QS.4:145-146) "Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolokolokkan ayat-ayat-Kami, maka tinggalkanlah mereka, sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu. setelah teringat (akan larangan itu).", "Dan tidak ada pertanggungan-jawab sedikitpun atas orang-orang yang bertaqwa terhadap dosa mereka. Akan tetapi (hanya berkewajiban) mengingatkan, agar mereka bertaqwa." - (QS.6:68-69) Dalam Al-Qur’an banyak disebutkan, tentang pentingnya membangun lingkungan kemasyarakatan yang Islami seperti itu, bahkan juga sampai kepada tingkat kehidupan bernegara. Seperti keharusan bagi umat untuk memilih pemimpinnya dari kalangan orang yang beriman, agar bisa makin mendukung terlaksananya pembangunan kehidupan kemasyarakatan yang Islami itu. Tetapi bukan sesuatu keharusan untuk membentuk negara Islam, karena ‘hakekatnya’ (isinya) jauh lebih penting daripada ‘penampilannya’ (kulitnya), juga karena tidak ada sesuatu bentuk perwujudan fisik-lahiriah hasil perbuatan manusia yang memiliki kesempurnaan. Pembentukan negara Islam bukan suatu hal yang wajib, khususnya jika umat Islam sendiri belum siap, serta jika tidak ada jaminan, bahwa hal ini tidak akan menimbulkan segala kemudharatan, dan pasti tercapai keadaan yang diharapkan. Bahkan keimanan umat itu bukanlah hal yang bisa diaturatur, dan mestinya timbul dari kesadaran setiap umat itu sendiri. Apakah pada saat sekarang ada manusia sempurna, yang paling mengetahui keimanan setiap umat, sekaligus bisa mengajarinya?. Tidak ada, setelah wafatnya nabi Muhammad saw, sebagai nabiNya yang terakhir. f. Makin memperdalam ilmu-pengetahuan. ¾ Makin mendalami segala bidang ilmu-pengetahuan, agar pondasi


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

429

keyakinan (keimanan) bisa lebih kokoh, karena setiap keyakinan yang terbentuk berdasar ilmu, jauh lebih sulit tergoyahkan, jika dibanding dengan keyakinan yang justru bersifat dogmatis atau taklid buta. Di dalam Al-Qur’an sangat banyak disebut anjuran-Nya bagi setiap umat Islam, agar berilmu-pengetahuan, berakal atau berpikir, termasuk disebut pula berbagai keutamaannya. Hal ini sangat berguna untuk menghilangkan segala bentuk prasangka ataupun tahayul dalam beragama, tanpa sesuatu dalil-alasan yang jelas dan benar. Bahkan kata "bacalah", sebagai kata pertama dari surat yang telah pertama kali diturunkan-Nya kepada nabi Muhammad saw (surat Al-‘Alaq), pada dasarnya bukanlah bermakna sesuatu anjuran-Nya, agar Nabi bisa membaca atau menuliskan bahasa tulisan (Nabi ketika itu memang masih buta huruf atau 'ummi'). Konteks pemakaian kata anjuran "bacalah" justru kurang tepat, jika dimaknai secara harfiah. Padahal anjuran ini langsung terarah untuk membaca sesuatu, sedang tidak jelas disebut kitab yang harus dibaca oleh Nabi. Bahkan lebih tepat kata "tulislah", untuk bisa mengatasi buta hurufnya Nabi, dan sekaligus pula bisa menuliskan wahyu-wahyu-Nya. Kata "bacalah" lebih tepat bermakna suatu anjuran-Nya, agar Nabi dan umat manusia mau ‘membaca’ atau ‘mempelajari’ tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta, karena sangat jelas dalam surat Al-‘Alaq itu, Allah (melalui perantaraan kalam dan malaikat Jibril), bertindak sebagai guru yang mengajari manusia. Padahal Allah mustahil bisa menurunkan pengajaran dan tuntunan-Nya (kalam atau wahyu-Nya), berbentuk berupa segala ‘tulisan’ yang harus dibaca oleh Nabi. Dan tentunya tanda-tanda kekuasaan-Nya (lahiriah dan batiniah) juga hanya bisa dipelajari, jika umat manusia telah berilmu-pengetahuan. Bahkan seorang ilmuwan terkenal dunia Albert Einstein, telah menyatakan seperti "bahwa ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah pincang". Kata "bacalah" itu agar umat makin banyak mengungkap pula setiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di balik teks-teks ajaran agama-Nya yang lurus, dengan cara memanfaatkan segala bidang ilmu-pengetahuan yang diperoleh secara sangat obyektif,

430

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

seperti yang telah dilakukan oleh sebagian umat-umat terdahulu. Di dalam Al-Qur’an, justru sangat banyak pula ayat-ayat yang menganjurkan umat, agar bisa mempelajari dan memahami tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini. Baca pula topik "Sunatullah (sifat proses)". g. Banyak mengingat kematian. ¾ Lebih banyak mengingat kematian ataupun siksaan-Nya di Hari Kiamat, sekaligus mengingat kehidupan dunia sekarang ini, yang relatif masih panjang. Kombinasi pemahaman yang unik ini bisa berakibat kepada fokus hidup yang makin terarah, untuk banyak melakukan hal-hal yang justru sangat diperlukan bagi kehidupan akhiratnya, terutama dengan banyak beramal-ibadah. Bahkan sekaligus pula tetap akan bisa bersemangat dalam menjalani dan mencapai kehidupan dunia ini, yang bisa dipakai sebagai alat-sarana untuk bisa memperbanyak peluang beramalibadah, dan bisa menjadikan kehidupan dunia fana ini yang pada dasarnya suatu ujian-Nya menjadi rahmat-Nya (‘nafsu-keinginan duniawi yang telah dirahmati-Nya’). Betul, bahwa kehidupan dunia ini hanyalah sekitar 60-70 tahun, bagi sebagian manusia pada umumnya. Tetapi lama waktu ini justru lebih dari cukup bagi manusia, untuk bisa memahami hikmah dan hakekat diciptakan-Nya kehidupan dunia, dan masih cukup banyak waktu pula baginya untuk bisa bertaubat menebus dosa-dosanya, serta makin mengabdi kepada-Nya. Bahkan Allah Maha adil kepada setiap manusia berapapun usia hidupnya. Cakupan amal-ibadah sendiri sangat luas, bukanlah hanya hal-hal yang disyariatkan dalam ajaran agama-Nya, akan tetapi berbagai perbuatan yang perlu dilakukan dengan baik dan benar (berakhlak dan beramal shaleh), justru ibadah dalam pengertian secara luasnya, karena semuanya merupakan wujud pengabdian atau ibadah kepada Allah. Bahkan hasil dari segala ibadah itupun mestinya memang berupa akhlak dan amal shaleh, sebagai wujud akhir pembangunan kehidupan akhirat (kehidupan batiniah ruh). h. Urusan duniawi melihat ke bawah, akhirat ke atas. ¾ Dalam urusan dunia, agar jauh lebih banyak melihat ‘ke bawah’, sedang dalam urusan akhirat, jauh lebih banyak melihat ‘ke atas’. Seperti misalnya agar sebanyak mungkin mengingat orang-orang


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

431

yang berkekurangan materi duniawinya. Namun di lain pihaknya, sebanyak mungkin mengikuti dan mencontohi orang-orang yang tingkat pencapaian rohani-spiritual atau tingkat keimanan relatif sangat tinggi (para nabi-Nya, para wali, para alim-ulama, dsb). Kehidupan dunia adalah sarana yang disediakan-Nya bagi umat manusia, untuk bisa hidup dan menjalani kehidupannya. Paling utama lagi, agar manusia sambil menyiapkan diri dalam menjalani kehidupan akhiratnya yang kekal. Maka tidaklah pada tempatnya bagi setiap umat manusia untuk terlalu menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran, dalam meraih segala pencapaian fisiklahiriah-duniawi (bersifat fana, semu dan mudah menyesatkan). Bahkan kehidupan dunia ini sebagai sesuatu bentuk ujianNya secara lahiriah, sedang jin, syaitan dan iblis sebagai bentuk ujian-Nya secara batiniah. Setiap umat manusia dalam menjalani kehidupan dunia, mestinya justru sambil membangun kehidupan akhiratnya (kehidupan batiniah ruhnya). Jika pencapaian fisik-lahiriah dianggap terpenting, maka Allah justru berlaku “tidak adil”, karena setiap manusia terlahir dengan segala keadaan lahiriah yang justru sangat berbeda-beda, seperti: kaya dan miskin, cacat dan nornal (fisik ataupun mental), anak yang yatim-piatu dan lengkap orang-tuanya, dsb. Dari berbagai uraian di atas, justru ke-Maha adil-an-Nya jelas tampak dari keadaan batiniah ruh setiap bayi manusia, yang ‘sama’ (sangat suci-murni dan tanpa dosa). Hal ini menunjukkan sangat pentingnya untuk bisa mensucikan atau melayani ruhnya (alam batiniahnya), dengan cara sebanyak-banyaknya mengikuti berbagai pengajaran dan tuntunan-Nya. Di mana setiap manusia pasti memiliki kesempatan yang sama pula, untuk bisa menyusun segala kemuliaan dalam kehidupan batiniah ruhnya sendiri. Hal ini juga tampak dari tidak dikenalnya konsep "orang suci" dalam agama Islam, yang memiliki otoritas atas kehidupan batiniah para pengikutnya, seperti halnya pada lembaga, seperti: kerahiban, kerabbian, kependetaan, kepastoran, dsb. Sedangkan kehidupan batiniah ruh itu hanya milik manusianya sendiri, tidak ada manusia lainnya yang bisa mengetahui dan mengaturnya. Semestinya tidak perlu ada seorang perantara (manusia) bagi manusia lainnya, untuk bisa berhubungan dengan Tuhannya. Serta setiap manusia justru bisa membaca dan memahami kitabkitab-Nya (bukan hanya hak para rahib, pendeta, dsb).

432

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

Bahkan semestinya tidak ada sesuatu kedudukan lahiriah dalam beragama (seperti: pastor, uskup, kardinal ataupun paus). Kedudukan tinggi para nabi-Nya hanyalah pada aspek batiniah, sedangkan secara lahiriah, mereka persis serupa dengan manusia biasa umumnya (hidup, berjalan, makan, ke pasar, dsb). Bahkan semestinya tidak ada kelembagaan dalam hal keimanan. Faktor kelembagaan itupun sangat ditolak atau dihindari di dalam agama Islam, karena hal ini dipastikan justru cenderung lebih mementingkan aspek lahiriahnya (orang, tahta, politik dan kultus individu, dsb), bukan aspek batiniahnya (segala nilai yang diajarkannya). Padahal nilai setiap umat manusia justru bukanlah pada aspek lahiriahnya (sosok, gelar, jabatan, dsb), namun pada aspek batiniahnya (segala nilai amal-perbuatannya). Kelembagaanpun biasanya disertai adanya sekolah agama penghasil para pastor, pendeta, rahib ataupun rabbi. Bahkan para lulusan sekolah agama itu biasanya akan mendapat gelar “orang beriman”, “orang bersih” ataupun “orang suci”, yang telah pantas diikuti dan diteladani. Nilai-nilai batiniah dalam agama yang relatif sangat luas, tidak cukup sekedar dipahami selama di bangku sekolah agama. Segala pengalaman dan nilai moral-spiritual (keimanan), tidaklah cukup hanya dicapai melalui suatu kurikulum pelajaran. Bahkan bisa dipastikan hasil dari sekolah agama itupun justru hanya para penghapal bahan pelajaran keagamaan. Dalam agama Islam hanya ada dikenal konsep “pengajar agama” (ustadz), atau lebih umumnya "setiap umat harus saling memberitahu dan mengingatkan tentang kebenaran-Nya". Tidak ada sesuatupun justifikasi resmi, bahwa orang yang memberitahu ataupun mengajari (ustadz, kyai, haji, dsb), juga pasti orang yang lebih beriman ataupun lebih baik. Hanya hak Allah, Yang Maha mengetahui siapa yang paling beriman di antara umat manusia. i.

Banyak bertaubat atas berbagai amal-keburukan.

¾ Berbagai hal pada poin-poin di atas, secara umum masih sebatas “mensucikan ruh”, namun belumlah benar-benar “membersihkan ruh”, karena setiap amal-keburukan pasti bisa mengotori keadaan batiniah ruh setiap manusia pelakunya. Satu-satunya cara-metode yang diajarkan di dalam agama Islam untuk bisa “membersihkan ruh”, hanyalah dengan sebenar-benarnya bertaubat kepada Allah.


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

433

Tentunya semakin banyak amal-keburukan yang telah dilakukan, mestinya semakin banyak taubatnya, karena setiap taubat justru relatif hanya terkait dengan berbagai amal-keburukan tertentu. Baca pula uraian-uraian pada topik-topik di bawah, tentang taubat dan syafaat. Dalam agama Islam tidaklah dikenal adanya penghapusan dosa umat, selain hanya oleh umat itu sendiri (dengan bertaubat). Bahkan para nabi-Nya dan para wali sekalipun sama sekali tidak bisa ikut membantu ‘menghapuskannya’, karena segala keadaan batiniah ruh manusia memang sepenuhnya hanya berada dalam kehendak dan kekuasaan manusianya sendiri. Namun para nabi-Nya dan para wali pada dasarnya hanya bisa mengajarkan kepada umat, agar ia bisa lebih mengendalikan setiap kehendak dan perbuatannya, sehingga pada akhirnya umat itu sendiri kemudian bisa bertaubat. Bahkan syafaatpun dari para nabi-Nya justru sama sekali tidak diterima-Nya di Hari Kiamat, jika berbagai pengajaran dari para nabi-Nya justru belum diamalkan oleh umat, menjadi segala amal-kebaikan (termasuk salah-satu bagian dari usaha bertaubat). Segala amal-keburukan (perbuatan dosa) pada dasarnya menimbulkan berbagai ketidak-seimbangan dan kerusakan pada berbagai keadaan batiniah ruh setiap manusia pelakunya. Sedang usaha bertaubat oleh manusianya sendiri adalah satu-satunya cara untuk relatif mengembalikan keseimbangan tersebut, meski juga mustahil bisa benar-benar kembali pada keadaan keseimbangan sebelumnya (pasti ada bekasnya sekecil atau sesederhana apapun bentuknya). Akan tetapi setiap usaha bertaubat yang telah dilakukan dengan sebenar-benarnya (bisa diterima-Nya), atas ijin-Nya, di samping relatif bisa mengembalikan keseimbangan batiniah ruh pelakunya, juga relatif meredam setiap pengaruh kerusakan yang lebih lanjut dan parah pada alam batiniah ruhnya. Hal inilah yang dimaksud dengan “dimaafkan-Nya suatu dosa manusia”. Tentunya tidaklah semua perbuatan dosa bisa dimaafkanNya, terutama bagi ‘dosa-dosa besar’ yang disebut-sebut dalam ajaran-ajaran agama-Nya. Karena dosa-dosa besar ini justru telah menimbulkan berbagai kerusakan yang relatif sangat parah pada alam batiniah ruh pelakunya, sehingga hampir mustahil keadaan

434

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

batiniah ruhnya bisa diperbaiki ataupun dibersihkan. Serta dosa-dosa besar ini telah membuat setiap pelakunya menjadi ‘buta, tuli, bisu atau pekak’, atas berbagai kebenaranNya, sehingga pelakunya telah tersesat relatif sangat jauh (atau relatif sangat sulit untuk bisa kembali ke jalan-Nya yang lurus). Di lain pihak, perbuatan dosa yang masih bisa dimaafkanNya (taubatnya masih bisa diterima-Nya), misalnya pada: dosadosa kecil; dosa-dosa yang tidak disengaja ataupun tidak disadari betul; dosa-dosa yang belum ada ketentuan syariatnya; dsb. Namun dosa-dosa kecil yang dilakukan dengan sengaja, dan terus-menerus diulangi, secara perlahan-lahan pengaruhnya bagi alam batiniah ruh pelakunya justru bisa serupa seperti pada dosa-dosa besar. Kehidupan akhirat, kehidupan batiniah ruh Segala persoalan pada setiap umat manusia tidak akan pernah selesai, sampai akhir jaman, maka telah dijanjikan-Nya pula kepada seluruh umat manusia, bahwa Allah pastilah akan membukakan segala kebenaran-Nya di Hari Kiamat, untuk menyelesaikan segala ketidaktahuan, keraguan, persoalan dan perselisihan antar umat manusia (atau Allah pastilah memberi segala jawaban atau solusi yang sebenarnya). Maka hal yang paling penting justru bagaimana menghadapi segala sesuatu hal dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan ajaran-ajaran agama-Nya, tetapi bukan untuk menuntaskan atau menghilangkannya. Sedang tujuan utama dari agama-Nya, adalah agar setiap manusia bisa menghadapi segala persoalannya yang paling penting, mendasar dan hakiki dalam kehidupannya sehari-hari (segala persoalan batiniahnya). Karena itulah dalam ajaran agama-Nya yang lurus, justru hal yang menjadi tujuan yang paling penting ataupun tujuan yang terakhir dari kehidupan dunia yang fana ini, adalah pada kehidupan akhiratnya yang bersifat gaib dan kekal (kehidupan batiniah ruh setiap manusia). Namun hal yang justru sangat ironis terjadi pada pemahaman sebagian kalangan umat Islam, antara lain seperti "kehidupan akhirat adalah urusan setiap manusia setelah menjelang usia tuanya (belumlah menjadi urusan para pemuda ataupun anak-anak)", "kehidupan akhirat adalah kelanjutan semata dari kehidupan dunia", ataupun "kehidupan akhirat tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dunia". Khususnya dari pernyataan di atas, "kehidupan akhirat adalah kelanjutan semata dari kehidupan dunia", seolah-olah memang tampak


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

435

benar. Namun pernyataan itu justru kurang tepat, karena disebut dalam Al-Qur’an, antara-lain seperti: - “Ada kehidupan akhirat selama di kehidupan dunia” (QS.30:7). - “Ada orang-orang yang menukar kehidupan dunia dan kehidupan akhiratnya ” (QS.4:74, QS.2:86, QS.16:107, QS.9:38, QS.75:2021, QS.2:200, QS.14:3, QS.13:26, QS.87:16-17) - “Setelah kematiannya ataupun setelah Hari Kiamat, segala amalan setiap manusia telah terputus atau tidak diterima-Nya (kehidupan akhirat hanya bisa dibangun selama di dunia)” (QS.4:18, QS.2:48, QS.2:123, QS.5:36, QS.6:70, QS.57:15, QS.70:14-15, QS.59:18). - “Amalan di dunia dan di akhirat” (QS.2:217, QS.9:69, QS.3:22). Baca pula uraian pada topik di bawah, tentang kehidupan akhirat menurut Al-Qur'an Walau memang kehidupan akhirat yang telah dibangun oleh setiap manusia selama di dunia, juga terus berlanjut (bahkan kekal dan telah pula disempurnakan-Nya), setelah Hari Kiamat (lebih tepat lagi setelah zat ruh setiap manusia telah diangkat-Nya dari tubuhnya untuk kembali ke hadapan–Nya, atau meninggalkan kehidupan dunia ini). Maka "kehidupan akhirat justru ‘telah ada’ selama manusia berada pada kehidupan dunianya", karena manusia mustahil akan bisa membangun suatu hal yang belum ada wujudnya. Serta pernyataan di atas justru lebih tepat lagi maknanya, jika diubah menjadi "kehidupan akhirat bagi setiap manusia pada Hari Kiamat, adalah kelanjutan dari kehidupan akhirat yang telah dibangunnya selama di dunia, sekaligus telah pula disempurnakan-Nya". Dengan sendirinya kehidupan akhirat setiap manusia itu telah ‘selalu’ ada, pada saat ia berusia bayi, anak-anak, dewasa dan tua. Dan bahkan Adam sebelum diturunkan-Nya ke dunia, justru pernah tinggal di Surga. Tentunya kehidupan akhirat sangat erat pula hubungannya dengan kehidupan dunia, dan bahkan dengan zat ruh setiap manusia. Timbullah pertanyaan lanjutan, "apakah wujud dari alam atau kehidupan akhirat?". Justru masih sangat banyak umat Islam sendiri yang belum memahami hal ini. Padahal di lain pihaknya, kehidupan akhirat itu sangat penting, serta kepercayaan kepada kehidupan akhirat dan Hari Kiamat, justru salah-satu ‘rukun iman’ dalam agama Islam. Hal paling mudah diketahui dengan pasti, bahwa kehidupan setiap manusia, sejak dari alam arwah, alam rahim, alam dunia, alam kubur, sampai alam akhirat, justru pastilah selalu melibatkan ‘ruhnya’. Dan hakekat dari setiap makhluk-Nya memang terletak pada ‘ruhnya’.

436

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

Sehingga pertanyaan di atas itu bisa diubah menjadi, "apakah sesuatu hal pada ruh setiap manusia, yang merupakan wujud dari alam atau kehidupan akhiratnya?". Menurut pemahaman pada buku ini, "alam atau kehidupan akhirat setiap manusia, adalah alam, kehidupan atau keadaan batiniah ruhnya". Hal inipun sangat sesuai dengan tujuan akhir dan utama dari segala amal-ibadah yang diajarkan melalui ajaran-ajaran agama-Nya, yaitu untuk bisa membentuk segala akhlak dan budi-pekerti terpuji. Pembentukan segala akhlak terpuji itu justru usaha untuk bisa membersihkan, mensucikan, memuliakan ataupun melayani ruh setiap manusianya. Pembentukan itu sendiri dilakukan dengan cara banyak menghindari perbuatan dosa (amal-keburukan), banyak bertaubat atas setiap perbuatan dosa yang telah dilakukan, dan juga banyak berbuat amal-kebaikan, yang semuanya agar diperoleh banyak pahala-Nya. Padahal semua hal dalam pembentukan akhlak itupun, berupa hal-hal yang hakekat dan tujuannya, justru bersifat ‘batiniah’ (akhlak, taubat, beban dosa, pahala-Nya, dsb). Maka “kehidupan akhirat setiap manusia adalah kehidupan atau perubahan keadaan batiniah ruhnya". Baca pula topik "Makhluk hidup nyata", tentang berbagai kesimpulan atas proses penciptaan nabi Adam as, saat ia masih tinggal di Surga (terutama kehidupan akhirat adalah kehidupan batiniah ruh). Kehidupan akhirat, menurut Al-Qur’an Sangat banyak ayat-ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang alam akhirat (kehidupan, kampung atau negeri akhirat), dan tentang Hari akhirat (Hari Kiamat), seperti diungkap pada tabel berikut.

Definisi dan berbagai keterangan tentang alam akhirat (kehidupan, kampung atau negeri akhirat), dalam Al-Qur'an No

Rangkuman

Ayat-ayat Al-Qur'an

1.

Kehidupan akhirat adalah kehidupan batiniah ruh tiap makhluk-Nya (di dunia dan di Hari Kiamat).

"Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia. Sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat (atau kehidupan batiniah ruh) adalah lalai." (QS.30:7)

2.

Kehidupan akhirat hanya bisa dibangun selama di kehidupan dunia ini.

"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan, apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." - (QS.59:18)


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka) 3.

4.

5.

6.

Keimanan ataupun kedustaan terhadap Hari Kiamat (Hari Akhirat).

437

"dan sesungguhnya, orang-orang yang tidak beriman kepada Hari Akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih," - (QS.17:10) "Ilah kamu adalah Ilah Yang Maha Esa. Maka orangorang yang tidak beriman kepada Hari Akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong." (QS.16:22) dan juga (QS.2:228, QS.7:147, QS.23:33, QS.24:2, QS.30:16, QS.58:22, QS.65:2)

Keraguan, kekafiran, kedustaan, keingkaran, kepercayaan, keyakinan ataupun keimanan terhadap kehidupan akhirat.

"Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk. …" - (QS.16:60) “…Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat, tentu beriman kepadanya (Al-Qur`an), dan mereka selalu memelihara shalatnya." - (QS.6:92) "Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai (ke sana), malahan mereka ragu-ragu tentang akhirat itu, lebih-lebih lagi mereka buta darinya (tidak dapat memahaminya)." - (QS.27:66) dan juga (QS.2:4, QS.6:113, QS.6:150, QS.7:45, QS.17:45, QS.23:74, QS.27:3-4, QS.11:19, QS.28:83, QS.31:4, QS.34:8, QS.34:21, QS.39:45, QS.41:7, QS.53:27, QS.74:53)

Hari Kiamat (Hari Akhirat) adalah awal dari kehidupan akhirat yang seutuhnya dan sebenarnya. Atau Hari Kiamat (Hari Akhirat) adalah akhir dari kehidupan dunia.

“…Allah berkehendak tidak akan memberi sesuatu bagian (dari pahala) kepada mereka di Hari Akhirat, dan bagi mereka azab-Nya yang besar." - (QS.3:176) “…Barangsiapa yang kafir. setelah beriman. Maka hapuslah amalannya, dan ia di Hari Akhirat termasuk orang-orang merugi." - (QS.5:5) "Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia, dan mereka tidak mempedulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (Hari Akhirat)." - (QS.76:27)

Kehidupan dunia bersifat semu, menipu, fana (sementara) dan sebagai tempat pelaksanaan segala ujian-Nya. Sedang kehidupan akhirat adalah kehidupan yang sebenarnya, kekal dan tempat kembali.

"Dan tiadalah kehidupan dunia ini, melainkan sendagurau dan main-main. Dan sesungguhnya, akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui." - (QS.29:64) "Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan ini hanyalah kesenangan (sementara), dan sesungguhnya, akhirat itulah negeri yang kekal." - (QS.40:39) “… Allah berfirman: `Dan kepada orang kafirpun, Aku beri kesenangan sementara (di dunia, namun) kemudian Aku paksa ia menjalani siksaan neraka (di akhirat), dan itulah seburuk-buruk tempat kembali`." – (QS.2:126) dan juga (QS.3:14, QS.4:77, QS.24:57)

438

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

7.

Kehidupan akhirat adalah lebih besar keutamaannya, lebih tinggi tingkatannya dan lebih kekal.

"Dan sesungguhnya, pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui." - (QS.16:41) "Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya." - (QS.17:21) "Dan sesungguhnya, azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal." - (QS.20:127)

8.

Kehidupan akhirat adalah lebih baik, bagi orang-orang yang bertaqwa.

"Dan sesungguhnya, pahala di akhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa." (QS.12:57) dan juga (QS.6:32, QS.7:169, QS.12:109, QS.16:30, QS.28:83)

9.

Kerugian, siksaan, kehinaan, azab, laknat, kesesatan, bagian, pertolongan, ampunan, perlindungan, karunia, rahmat, kesenangan, kegembiraan, kenikmatan, kebaikan, pahala dan pujian di kehidupan dunia dan di kehidupan akhirat.

“… Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." - (QS.22:11) dan juga (QS.2:102, QS.2:114, QS.3:56, QS.3:77, QS.3:85, QS.3:148, QS.4:134, QS.5:33, QS.5:41, QS.9:74, QS.10:64, QS.11:21-22, QS.7:156, QS.11:58, QS.11:103, QS.12:101, QS.13:34, QS.16:41, QS.16:109, QS.17:72, QS.20:127, QS.22:15, QS.24:14, QS.24:19, QS.24:23, QS.27:5, QS.32:21, QS.33:57, QS.37:59, QS.39:9, QS.39:26, QS.41:16, QS.41:31, QS.43:35, QS.54:47, QS.57:20, QS.59:3, QS.68:33, QS.79:25)

10.

Orang-orang yang menukar, mengganti, memilih, menghendaki, menyenangi, menyukai, mencintai ataupun mencari kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

"orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat" - (QS.4:74) dan juga (QS.9:38, QS.2:86, QS.2:200, QS.3:152, QS.8:67, QS.13:26, QS.14:3, QS.16:107, QS.17:19, QS.28:77, QS.42:20, QS.3:145, QS.33:29, QS.75:2021, QS.76:27, QS.87:16-17)

11.

Orang-orang yang berpikir untuk bisa memahami kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

"… Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, supaya kamu berpikir,", “tentang dunia dan akhirat.” - (QS.2:219-220)

12.

Orang-orang yang mencari kebaikan di kehidupan dunia dan di kehidupan akhiratnya.

"Dan di antara mereka ada orang yang berdo`a: `Ya Rabb-kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksaan neraka`." (QS.2:201)

13.

Orang-orang yang selalu mengingat tentang kehidupan akhiratnya.

"Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka, dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi, yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat." - (QS.38:46)

14.

Orang-orang yang

"Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim,


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

bernasib baik di kehidupan akhiratnya.

439

kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya (sebagai utusan Kami) di dunia, dan sesungguhnya, dia di akhirat benar-benar termasuk orang yang shaleh." - (QS.2:130) “…Namanya Al-Masih `Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat. Dan termasuk orangorang yang didekatkan (kepada-Nya)," - (QS.3:45) dan juga (QS.16:122, QS.29:27)

15.

Orang-orang yang siasia amalannya di kehidupan dunia dan di kehidupan akhirat.

"mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat." - (QS.2:217) Dan juga (QS.3:22, QS.9:69, QS.11:16)

16.

Orang-orang yang menyombongkan diri ataupun tidak memahami tentang kehidupan akhirat.

"Katakanlah: `Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu, khusus untukmu dari sisi-Nya, bukan untuk orang lain, maka inginilah kematian(mu, agar kamu dapat segera kembali kepada Allah), jika kamu memang benar`." – (QS.2:94)

17.

Orang-orang yang berputus-asa tentang kehidupan akhiratnya.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu, kaum yang dimurkai Allah, sesungguhnya mereka telah putus-asa terhadap negeri akhirat, sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur, berputus-asa." - (QS.60:13)

18.

Orang-orang yang menyesal di kehidupan akhiratnya.

"Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim." - (QS.15:2)

19.

Segala pujian bagi Allah di kehidupan dunia dan di kehidupan akhirat.

"Dan Dia-lah Allah, tidak ada Ilah (yang berhak disembah), melainkan Dia, bagi-Nya-lah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nya-lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan." - (QS.28:70) dan juga (QS.34:1).

20.

Hanyalah Allah Yang berkuasa di kehidupan dunia dan di kehidupan akhirat, dan sama sekali bukanlah ilahilah selain Alah.

"(Tidak), maka hanya bagi Allah, kehidupan akhirat dan kehidupan dunia." - (QS.53:25) "dan sesungguhnya, kepunyaan Kami-lah akhirat dan dunia." - (QS.92:13) dan juga (QS.40:43)

Relatif cukup jelas bisa disimpulkan secara langsung ataupun tidak dari tabel di atas, antara lain:

Berbagai kesimpulan pemahaman tentang alam & kehidupan akhirat •

Kehidupan akhirat lebih utama, tinggi, hakiki dan kekal daripada

440

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

kehidupan dunia yang fana, semu dan mudah menyesatkan. •

Kehidupan akhirat adalah kehidupan batiniah ruh tiap makhlukNya.

Kehidupan dunia adalah kehidupan saat zat ruh masih menyatu bersama tubuh wadah fisik-nyata-lahiriahnya. Kehidupan dunia berupa kehidupan lahiriah tiap makhluk-Nya, yang bersifat nyata dan fana. Sedang kehidupan akhirat adalah kehidupan dalam benak-pikiran tiap ruh itu sendiri. Kehidupan akhirat berupa kehidupan batiniah tiap makhluk-Nya, yang bersifat gaib dan kekal.

Kehidupan akhirat telah ada ataupun telah berlangsung selama di kehidupan dunia, karena kehidupan akhirat dari tiap makhlukNya memang selalu ada bersama dengan zat ruhnya sendiri. Pada “Gambar 16: Skema umum tahapan kejadian manusia” bisa ditunjukkan, bahwa alam akhirat berada di dalam wilayah B – G, yang justru berupa keseluruhan wilayah kehidupan setiap zat ruh makhluk-Nya (sejak diciptakan-Nya zat ruh, sampai berakhirnya alam semesta). Sedang alam-alam lainnya justru menjadi bagian dari alam akhirat, seperti: alam arwah (B), alam rahim (C), alam dunia (D), alam kubur (E) dan alam akhirat setelah Hari Kiamat (F - G). Pada Gambar 16 itupun hanyalah bersifat umum, karena setiap zat makhluk-Nya memiliki wilayah kehidupannya masingmasing, yang relatif berbeda-beda waktunya. Dan istilah ‘alam akhirat’ bukan bermakna ‘alam yang terakhir’, tetapi justru “alam yang menjadi tujuan yang utama, terakhir dan benar-benar sangatlah penting untuk diperhatikan oleh setiap zat makhluk-Nya”, serta “alam akhirat setelah Hari Kiamat adalah alam akhirat yang sebenar-benarnya atau murni” (alam akhirat di dunia justru masih bercampur dengan alam-alam lainnya, yaitu: alam rahim, alam dunia dan alam kubur). Penekanan ini diperlukan, karena sebagian besar dari umat Islam beranggapan keliru, “bahwa alam akhirat hanya ada setelah Hari Kiamat”.

Kehidupan akhirat serupa dengan kehidupan dunia, di dalam halhal: kerugian, kehinaan, siksaan, azab, laknat, kesesatan, bagian, pertolongan, ampunan, perlindungan, kesenangan, kegembiraan, kenikmatan, kebaikan, karunia, rahmat, pahala ataupun pujian


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

441

dari Allah, karena hal-hal itu memang memiliki aspek lahiriah (di kehidupan dunia) dan aspek batiniah (di kehidupan akhirat). Hal-hal itu juga bisa dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar, yaitu: nikmat-Nya dan hukuman-Nya. Namun pada kehidupan akhirat setelah Hari Kiamat, hal-hal itu telah berkali-lipat daripada perolehan serupa di kehidupan dunia, karena hal-hal itupun memang pasti disempurnakan-Nya di Hari Kiamat (nikmat dan hukuman-Nya pasti dilipat-gandakan-Nya, sekecil apapun bentuknya atau ‘sebesar biji zarrah’ sekalipun). •

Kehidupan akhirat hanyalah bisa dibangun selama di kehidupan dunia, karena kematian tiap manusia (ruhnya terpisah dari tubuh wadahnya), adalah saat terakhir dari segala usaha pembangunan kehidupan akhiratnya (saat segala amalannya telah terputus).

Kehidupan akhirat dibangun melalui pembentukan segala budipekerti, akhlak dan kebiasaan terpuji, yang menjadi tujuan utama dari segala amal-ibadah dalam ajaran-ajaran agama-Nya. Pembangunan kehidupan akhirat ini biasanya disebutkan sebagai membersihkan, mensucikan, memuliakan ataupun melayani ruh.

Hari Kiamat (Hari Akhirat) adalah awal dari kehidupan akhirat yang sebenarnya dan bersifat kekal, sebagai awal kelanjutan dari wujud kehidupan akhirat yang telah dibangun oleh tiap manusia selama di kehidupan dunia, serta telah pula disempurnakan-Nya. Juga Hari Kiamat (Hari Akhirat) adalah akhir dari kehidupan tiap makhluk-Nya di dunia (Hari Kiamat ‘besar’ dan ‘kecil’)..

Keimanan dan pemahaman terhadap kehidupan akhirat dan Hari Kiamat (Hari akhirat), semestinya dimiliki oleh tiap umat Islam.

Dsb.

Membangun kehidupan akhirat (kehidupan batiniah ruh) Keadaan batiniah ruh atau kehidupan akhirat setiap manusia, adalah perwujudan segala pahala dan beban dosa yang telah berhasil dibangun atau diperolehnya, secara sadar ataupun tidak. Disebut ‘tidak sadar’, karena tidaklah setiap manusia bisa memahami bangunan pada alam batiniah ruhnya itu, yang memang sangatlah sulit bisa dijelaskan, penuh subyektifitas dan berwujud gaib. Para nabi-Nya bahkan ‘relatif terbatas’ pula ilmunya atas hal-hal gaib ini. Bahkan tidak sedikit umat manusia yang justru mengabaikan

442

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

tiap keadaan batiniah ruhnya (mengabaikan pembangunan kehidupan akhiratnya), juga secara sadar ataupun tidak. Umumnya karena setiap manusia hanyalah memperhatikan kesenangan dan kenikmatan hal-hal duniawi, yang memang mudah tampak. Padahal kenikmatan duniawi amat mudah menyesatkan, semu dan hanya bersifat sementara (fana). Dan padahal setiap ajaran agama-Nya pada dasarnya berupa cara-cara untuk membangun kehidupan batiniah ruh setiap manusia (kehidupan akhirat), secara benar. 41) Sangatlah banyak aspek pada pembangunan keadaan batiniah ruh setiap manusia, termasuk misalnya, dengan haruslah bisa menjaga keseimbangan batiniahnya terhadap lingkungan sekitar, tidaklah hanya kepentingan pribadi. Sementara pemenuhan kepentingan pribadi yang justru terlalu berlebihan, juga pasti akan bisa merusak keseimbangan lingkungan, secara langsung ataupun tidak, di samping tentunya juga pasti akan merusak keseimbangan pribadi manusianya sendiri. Setiap perbuatan yang justru dilakukan secara berlebihan atau melampaui batas, ataupun yang justru merusak keseimbangan di alam semesta (lahiriah dan batiniah, pada diri sendiri, keluarga, orang lain, alam, dsb), yang lebih umum dikenal sebagai "perbuatan dosa". Setiap perbuatan dosa berbentuk suatu hukuman-Nya di alam batiniah ruh setiap manusia, semacam terjadi suatu pertentangan batin antara kesadaran di dalam berbuat dosa, melawan kesadaran dari hatinuraninya, serta dari berbagai kebenaran-Nya yang telah diketahuinya. Tetapi setiap perbuatan dosa berikut hukuman-Nya, biasanya hanyalah bisa dipahami secara sangat subyektif pula oleh setiap manusia. Dan perbuatan dosa membuat keroposnya keadaan bangunan pada alam batiniah ruh setiap manusia. Bangunan itu adalah bangunan keimanannya (kehidupan akhiratnya di dunia ini), yang pada akhirnya mencerminkan kehidupan akhiratnya, yang bersifat kekal dan telah disempurnakan-Nya di Hari Kiamat. Hanyalah di dunia ini, waktu dan kesempatan untuk membangun kehidupan akhirat setiap manusia. Segala amal-ibadah adalah sarana yang diajarkan-Nya dalam agama-Nya, agar setiap manusia bisa membuat bangunan kehidupan batiniah ruhnya, yang kokoh, kuat dan mendapatkan keredhaan-Nya, agar bisa lebih memahami setiap kebenaran-Nya dalam meningkatkan keimanannya, agar bisa mengenal-Nya dan lalu bisa kembali dekat ke hadapan ‘Arsy-Nya dengan cara menempuh jalan-Nya yang lurus. Juga agar tiap manusia bisa menjalani kehidupannya di dunia fana ini, dengan jauh lebih bermakna, bersih, sehat, teratur, seimbang,


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

443

harmonis, tentram dan bahagia. 42) "Jumlah" pahala-Nya tidak perlu dikejar Di dalam membangun kehidupan akhirat (kehidupan batiniah ruh), bukanlah tiap perbuatan dengan ‘jumlah’ pahala-Nya besar, yang semestinya dicari, dipilih dan dikejar. Tetapi semestinya berusaha agar tiap perbuatan (sekecil atau sesederhana apapun) semaksimal mungkin diusahakan, agar selalu bisa mendapat keredhaan-Nya (minimal sekali dimulai dengan bacaan basmalah dan niat yang benar). Karena mustahil ada seseorang manusiapun (bahkan termasuk para nabi-Nya), yang bisa memastikan nilai amalan dari satu ataupun seluruh amal-perbuatannya di dunia, sedang hal ini hanya hak Allah, Yang Maha mengetahui dan Maha menentukannya. Juga karena setiap manusia (bagaimanapun segala keadaan dan kemampuannya) memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan “pahala-Nya yang paling baik” (Surga), tentunya kecuali bagi orangorang yang telah melakukan berbagai dosa besar yang justru dilaknatNya (sangat sulit dimaafkan-Nya), seperti kemusyrikan. Bahkan tidak ada seseorangpun yang bisa memastikan, bahwa seseorang pastilah pendapat Surga, dan seseorang lainnya pastilah mendapat Neraka. Terutama jika dipahami, bahwa ada dikenal ‘taubat’ di dalam beragama, dan bahwa belum seluruh manusia (yang beragama Islam ataupun tidak), telah bisa memperoleh hikmah dan hidayah-Nya yang sebenarnya. Tiap manusia masih bisa sempat untuk memperolehnya, asalkan bisa tercapai cukup jauh menjelang akhir hidupnya (yang juga tidak bisa dipastikan waktunya). Tindakan menghitung-hitung jumlah pahala-Nya justru bukan hal yang berarti, terutama jika memilih amalan-amalan tertentu, tetapi meninggalkan amalan-amalan lain yang juga telah diperintahkan-Nya. Suatu amal-kebaikan justru relatif berkurang nilainya, jika ada amalkebaikan lainnya yang dikorbankan dengan sengaja. Juga suatu amalkebaikan semestinya tidak akan menimbulkan berbagai keburukan. Beberapa contoh hadits Nabi yang menunjukkan jumlah relatif pahala-Nya, atas sesuatu amal-perbuatan tertentu, misalnya: • Sekali shalat di Masjidil-Haram sama nilainya dengan seratus ribukali shalat di tempat lainnya (di masjid biasa). Sekali shalat di masjid Madinah sama dengan sepuluh ribu-kali shalat di tempat lainnya. Sekali shalat di masjid Al-Aqsha sama dengan seribu-kali shalat di tempat lainnya. • Satu hari berpuasa di bulan Ramadhan, lebih utama daripada tiga

444

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

puluh hari berpuasa di bulan-bulan lainnya. Sementara satu hari berpuasa di bulan Muharam, lebih utama daripada tiga puluh hari berpuasa di bulan lainnya. Barangsiapa berpuasa di hari Kamis, Jum’at dan Sabtu di bulan-bulan Haram, niscaya Allah menuliskan baginya (pahala) ibadah tujuh ratus tahun. • Orang-orang fakir-miskin akan memasuki surga lima ratus tahun sebelum orang-orang kaya memasukinya. • Bersedekah pahalanya sepuluh, memberi hutang tanpa mengambil bunga pahalanya delapan belas, bersilaturrahmi (menghubungkan diri) dengan kawan-kawan pahalanya dua puluh, bersilaturrahmi dengan sanak keluarga pahalanya dua puluh empat. • Pahala sesuatu amalan sama dengan 10x, 100x, 1000x, dsb, dari pahala shalat wajib 5 waktu dalam seharinya. Sekali lagi, jumlah pahala bukanlah hal untuk dihitung-hitung, tetapi hanyalah untuk menunjukkan ‘tingkat keutamaan’ sesuatu amalperbuatan. Sederhananya, apakah seorang Arab yang memiliki rumah di dekat Masjidil-Haram, dan ia bisa shalat wajib 5 waktu di sana tiap harinya, pasti shalatnya jauh lebih afdol daripada orang-orang lainnya, yang bertempat-tinggal di belahan-belahan Bumi lainnya?. Jawabannya semestinya ‘tidak’, karena kandungan isi hadits di atas lebih dimaksud, seperti "setelah mampu pergi menunaikan ibadah haji, umat diwajibkan untuk melakukan thawaf dan shalat di MasjidilHaram. Jika masih mampu, agar bisa berkunjung dan shalat di masjid Madinah, dan jika juga masih mampu, agar bisa berkunjung dan shalat di masjid Al-Aqsha.". Selain hal itu pula, agar bisa makin mengingatkan umat Islam, atas kewajibannya untuk bisa pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah, jika telah mampu dan cukup sekali seumur hidup. Serta juga mestinya diusahakan agar ibadah hajinya bisa ‘mabrur’, sebagai cerminan dari puncak keutuhan segala amal-ibadahnya sebelum berhaji. Dan setelah berhaji, agar bisa tetap menjaga ataupun makin memperbaiki keutuhan segala amal-ibadahnya sampai akhir hidupnya. Kehidupan akhirat, kehidupan dan urusan pribadi Dalam ungkapan "di atas langit masih ada langit", tampak jelas mengandung makna, bahwa manusia memang tidak perlu, atau bahkan pasti akan sia-sia untuk bisa mencapai langit, karena dengan berbagai artinya, "langit" memang tidak berujung. Ke-Maha Luas-an segala zat ciptaan-Nya dan segala aspeknya, termasuk umat manusia dan segala aspek kehidupannya, juga menunjukkan relatif amat terbatasnya umat


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

445

manusia dalam segala halnya. Selain itu pula, bahwa tiap manusia justru pasti hanya diminta pertanggung-jawabannya atas segala amal-perbuatannya sendiri dan ia tidak dianiaya-Nya (tidak ikut menanggung segala beban dosa orang lain). Maka fokus paling penting dari kehidupan di dunia yang relatif amat sangat luas aspeknya ini, justru agar tiap manusia bisa semakin mensucikan atau membersihkan ruhnya masing-masing (membangun kehidupan akhiratnya). Hal ini amat berbeda dengan sikap "egois" pada tiap manusia, atau tidak mau memperhatikan lingkungan sekitar. Justru sebaliknya, segala amal-kebaikan kepada lingkungannya, adalah bagian dari usaha pembangunan kehidupan akhirat pribadinya (atau kehidupan batiniah ruhnya), serta wujud dari pengamalan keimanannya. Seperti misalnya: menjaga kebersihan lingkungan, menyayangi sesama; bersedekah atau menolong orang-lain; beramar ma’ruf nahi munkar; menyapa dengan do'a; dsb, maka pahala-Nya justru pastilah hanya bagi pelakunya sendiri. Juga keseimbangan batiniah pribadi relatif jauh makin mudah tercapai, jika tiap manusia menjaga dan memperbaiki keseimbangan lingkungan sekitarnya. Hal inilah maksud dari anjuran-Nya, agar umat Islam membina atau membangun kehidupan masyarakat yang Islami, karena keseimbangan itupun jauh makin mudah tercapai, jika keadaan lingkungan sekitarnya memang mendukung. Tujuan yang lebih ditekankan di sini adalah, tiap umat manusia pasti hanya bertanggung-jawab atas segala amal-perbuatannya sendiri. Serta bukanlah hak seorang manusia untuk menilai keimanan manusia lainnya, namun hanyalah hak Allah, Yang Maha mengetahui. Sesama manusia pada dasarnya hanyalah perlu saling ‘mengingatkan’ tentang tiap kebenaran-Nya, sama sekali bukan saling ‘menghakimi’. Kehidupan akhirat, sangat sulit dipahami Namun keadaan batiniah ruh (juga tingkat keimanan), adalah hal-hal yang justru amat sulit untuk dinilai oleh manusia, bahkan oleh orang yang banyak beribadah dan hapal dalam membaca kitab suci Al Qur’an. Akhirnya pemahaman tiap manusia atas kondisi atau keadaan batiniah ruh ini cenderung lebih bersifat amat subyektif dan lahiriah. Misalnya orang yang tampak sering pergi shalat ke Mesjid, memelihara jenggotnya, rajin berjubah, bersorban ataupun berkopiah, telah dikatakan telah beriman. Walau sebenarnya, penampilan lahiriah seperti itu belum tentu betul-betul sesuai dengan keadaan batiniahnya.

446

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

Bahkan ada banyak aliran pemahaman dalam agama Islam, yang bisa menganggap alirannya yang paling benar dan paling beriman. Padahal hanyalah hak Allah, Yang Maha mengetahui dan menentukan tingkat keimanan seseorang. Ironisnya, banyak umat Islam yang justru beranggapan, bahwa “kehidupan akhirat adalah urusan setelah Hari Kiamat, ataupun urusan setelah mencapai usia tua”. Padahal kehidupan akhirat itu (kehidupan batiniah ruh) telah ada sejak diciptakan-Nya tiap zat ruh, ataupun telah ada pada kehidupan dunia. Dan kehidupan akhirat itu semestinya telah bisa mulai dibangun, sejak seorang anak manusia terlahir ke dunia ini, dan lebih khususnya lagi sejak usia akil-baliqnya (mulai dewasa). Jika ditinjau pada aspek lahiriah, secara kasat mata seolah-olah tampak ada ‘ketidak-adilan’ Allah pada kehidupan dunia ini, karena segala pencapaian pada aspek lahiriah adalah acuan yang bisa mudah terlihat, walau amat semu dan mudah menyesatkan. Padahal manusia juga belum dikatakan beriman, jika belum menghadapi dan mengatasi segala bentuk ujian-Nya (kesempitan, kekurangan, kesusahan hidup, dsb). Segala hal fisik-lahiriah-duniawi bukanlah wujud dari keimanan, tetapi keimanan seseorang bisa tampak terwujud pada ‘perilaku’-nya sehari-hari. ‘Perilaku’ sebagai perwujudan dari keadaan batiniah ruh, amatlah berbeda dari ‘penampilan’ (wujud lahiriah). Contohnya, orang-orang yang telah banyak berbuat maksiat, dalam kehidupan sehari-harinya bisa tampak amat percaya diri, penuh kemakmuran dan kebahagiaan. Sebaliknya pada orang-orang beriman seolah-olah bisa tampak kurang percaya diri (tepatnya akibat sikapnya yang berrendah diri), bisa penuh kekurangan dan kesusahan hidup. 43) Namun begitu, makin beriman seseorang semestinya juga akan makin berusaha untuk menjaga penampilannya sesuai dengan keadaan kemampuan dan tidak secaca berlebihan, karena penampilan itu relatif mendukung ingatannya untuk tetap menjaga perilakunya. Janji-Nya, kehidupan akhirat yang kekal di Hari Kiamat Untuk membuktikan sifat Maha Adil-Nya, bahkan Allah telah pula menjanjikan kepada umat manusia atas kedatangan Hari Kiamat. Di mana pada Hari Kiamat itu dibukakan-Nya segala tabir hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, agar bisa memutuskan segala ketidak-tahuan, keraguan dan perselisihan antar umat manusia. Pada Hari Kiamat itulah saat diputuskan-Nya hasil akhir dari proses penggodokan umat manusia, sebagai tujuan yang paling utama dari penciptaan seluruh alam semesta dan segala isinya ini, termasuk


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

447

pula saat disempurnakan-Nya segala keadaan batiniah ruh tiap umat manusia (segala pahala dan beban dosanya). 44) Penyempurnaan segala keadaan batiniah ruh tiap umat manusia itu merupakan penyempurnaan atas kehidupan akhirat yang telah bisa dibangunnya selama menjalani ujian-Nya di kehidupan dunia ini. Hal ini terjadi dengan disempurnakan-Nya segala pahala (nikmat-Nya) dan segala beban dosa (hukuman-Nya) pada tiap manusianya, yang sekecil atau sesederhana apapun bentuknya (sebesar biji zarrah), sesuai segala amal-perbuatannya di dunia (baik dan buruk). 45) Dengan segala keterbatasannya tiap manusia memang mustahil bisa menilai tiap amal-perbuatannya (baik dan buruk), sesuai dengan penilaian-Nya, sedangkan pada Hari Kiamat semuanya pasti menjadi amat jelas, diikuti terbentuknya keadaan akhir batiniah ruh (keadaan kehidupan akhirat), yang hakiki dan kekal, yang telah berbentuk hasil akhir dari ‘timbangan’ segala amal-kebaikan dan amal-keburukan tiap manusianya, setelah dihisab-Nya (ditimbang segala nilai amalannya). Dalam hasil timbangan amalan atau penghisaban itupun, justru dipertimbangkan segala nilai taubatnya yang dikabulkan-Nya, begitu pula berat beban ujian-Nya, ketika tiap amal-perbuatan itu dilakukan di dunia. Namun setelah Hari Kiamat itu ataupun setelah kematiannya, segala bentuk taubat manusia justru tidak diterima-Nya lagi. Kehidupan batiniah ruh tiap manusia itu (kehidupan akhirat), adalah wujud akhir dari Surga dan Neraka di Hari Kiamat. Terhadap orang-orang yang dimasukkan-Nya ke dalam Surga, ruh-ruh mereka (batin atau jiwa) bisa merasakan kenikmatan hakiki, yang sangat jauh berbeda daripada kenikmatan duniawi yang sangat semu, dan bahkan relatif lebih sempurna daripada segala kebahagiaan batiniah ruh yang telah diperolehnya di dunia, yang cenderung penuh subyektifitas dan keterbatasan. Serta pada kehidupan akhirat di Surga, keadaan batiniah ruh tiap manusia penuh dengan segala kemuliaan. Sebaliknya di Neraka, tiap manusia bisa merasakan hukuman, siksaan atau azab-Nya yang tidak terperikan ‘panas apinya’, karena keadaan batiniah ruhnya tersiksa, dan penuh dengan penyesalan yang telah sangat terlambat, sedang tiap manusianya juga telah benar-benar memahami, bahwa berbagai amal-perbuatannya selama di kehidupan dunia, penuh dengan kesia-siaan, dan bahkan telah pula merusak atau menghinakan dirinya sendiri, jatuh ke dalam jurang kenistaan. "dan sesungguhnya, Hari Kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya. …." - (QS.22:7)

448

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

"… . Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang Kiamat itu. …." - (QS.43:61) Nama-nama sebutan Hari Kiamat Dalam Al-Qur’an, Hari Kiamat sering disebut pula dengan: - Hari Kebangkitan; - Hari Perhitungan; - Hari Penyesalan; - Hari Pertemuan; - Hari Keputusan, - Hari Akhirat; - Hari Berkumpul; - Hari Pembalasan; - Hari Penghabisan; - Hari Penyaksian; - Hari Ancaman; - Akhir jaman; - Hari Penghisaban; - Hari Kemenangan; - dsb. Daftar dan keterangan yang lebih lengkapnya lagi bisa dilihat pada tabel berikut. Walau pada sumber keterangan lain disebut, bahwa nama sebutan dari Hari Kiamat ada lebih banyak lagi.

Berbagai nama sebutan lain dari Hari Kiamat Nama sebutan

Keterangan

1.

Yaumul Qiyamah

Hari Kiamat.

2.

Yaumul Qaari'ah

Hari Kiamat.

3.

Yaumul Shaakhkhah

Hari yang memekakkan telinga, sebab pada hari itu malaikat Israfil meniup sangkakala.

4.

Yaumul Zilzalah

Hari kegemparan, sebab tiap-tiap jiwa makhluk-Nya pasti bisa mengalami kegemparan, terutama pada jiwa yang telah mengingkari berbagai kebenaran-Nya.

5.

Yaumul Raajifah

Hari gempa besar, sebab tiap-tiap jiwa makhluk-Nya pasti bisa mengalami kegoncangan besar pada alam batiniahnya, terutama pada jiwa yang belum siap kembali ke hadapan ‘Arsy-Nya, atau telah banyak berbuat dosa-dosa besar.

6.

Yaumul Ghasyiyah

Hari pingsan, sebab kehidupan tiap jiwa makhluk-Nya benarbenar terhenti, melalui tiupan sangkakala pertama.

7.

Yaumul Baati

Hari kebangkitan, sebab tiap-tiap jiwa makhluk-Nya pasti dibangkitkan-Nya dari alam kuburnya, untuk kembali ke hadapan ‘Arsy-Nya, melalui tiupan sangkakala kedua.

8.

Yaumul Khuruj

Hari keluar, sebab tiap-tiap jiwa makhluk-Nya pasti dibangkitkan-Nya keluar dari alam kuburnya.

9.

Yaumut Tanad

Hari pemanggilan, sebab tiap-tiap jiwa makhluk-Nya pasti dipanggil-Nya berkumpul ke hadapan ‘Arsy-Nya, melalui tiupan sangkakala sangkakala kedua.

10. Yaumut Talaaq

Hari pertemuan, sebab tiap-tiap jiwa makhluk-Nya pasti dipertemukan-Nya di hadapan ‘Arsy-Nya (Padang Mahsyar), mela-


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

449

450

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

lui tiupan sangkakala sangkakala kedua.

23. Yaumul Khulud

11. Yaumul Jam'i

Hari berkumpul, sebab tiap-tiap jiwa makhluk-Nya pasti dikumpulkan-Nya di hadapan ‘Arsy-Nya (Padang Mahsyar), melalui tiupan sangkakala sangkakala kedua.

Hari kekekalan, sebab tiap-tiap jiwa makhluk-Nya pasti mulai hidup kekal di surga atau neraka.

24. Yaumul Akhir

12. Yaumul Haaqqah

Hari kebenaran, sebab pasti dibukakan-Nya segala kebenaran-Nya, untuk menuntaskan segala ketidak-tahuan, keraguan dan perselisihan antar makhluk-Nya.

Hari akhirat, sebab tiap-tiap jiwa makhluk-Nya pasti mulai bisa menjalani kehidupan akhirat yang sebenarnya dan kekal di surga atau neraka.

13. Yaumul Ardh

Hari penyaksian, sebab dipersaksikan-Nya segala amal-perbuatan tiap makhluk-Nya, disaksikan oleh para malaikat ataupun para saksi lainnya.

25. Yaumu yafirrul maru min akhiihi wa ummihi wa abiihi wa shaachibatihi wa baniihi

Hari di mana seseorang tidak sempat lagi memperdulikan saudara, ibu, bapak dan istrinya, karena sedemikian beratnya keadaan pada hari itu.

14. Yaumut Taghabun

Hari penampakan amalan, sebab segala amal-perbuatan tiap makhluk-Nya pasti dibukakan-Nya kepada dirinya sendiri, oleh para malaikat Rakid dan ‘Atid.

Hari di mana harta-benda dan anak keturunan tidak dapat menyelamatkan seseorang, kecuali segala amal-perbuatannya masing-masing.

15. Yaumul Thaammah

Hari kesulitan, sebab tiap jiwa makhluk-Nya tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri ataupun orang lainnya, kecuali diselamatkan oleh segala amal-perbuatannya masing-masing.

26. Yauma la yanfa'u maalun walaa banuuna illaa man atallaaha bi qalbin saliim

16. Yaumul Waqi'ah

Hari kejatuhan, sebab tiap-tiap jiwa makhluk-Nya yang menyombongkan diri terhadap berbagai kebenaran-Nya, pasti jatuh tertunduk kepalanya dan juga berjatuhan segala kebanggaannya, setelah terbukti segala kekeliruan, kesalahan, keburukan dan kesia-siaannya selama hidup di dunia.

17. Yaumul Hisab

Hari penghisaban / perhitungan, sebab segala arnal perbuatan tiap jiwa makhluk-Nya pasti dihitung-Nya jumlah nilai amalannya.

18. Yaumul Fashl

Hari keputusan, sebab pada hari itu pasti diputuskan-Nya, apakah seorang layak hidup kekal di surga atau di neraka, berdasar segala amal-perbuatannya di dunia.

19. Yaumul Wa’iid

Hari ancaman, sebab tiap ancaman-Nya atas tiap amal-keburukan makhluk-Nya, pasti terlaksana.

20. Yaumul Jaza

Hari pembalasan, sebab setelah hari itu pasti ditentukan bentuk balasan-Nya yang terakhir dan kekal, atas tiap amal-perbuatan makhluk-Nya.

21. Yaumud Din

Hari pembalasan, sebab setelah hari itu pasti ditentukan bentuk balasan-Nya yang terakhir dan kekal, atas tiap amal-perbuatan makhluk-Nya.

22. Yaumul Hasrah

Hari penyesalan, sebab telah tidak ada lagi kesempatan bagi tiap jiwa makhluk-Nya, untuk menebus dosa-dosanya. Sehingga tiap jiwa yang berdosa itu pasti menyesali tiap amal-keburukannya, setelah mengetahui langsung segala bukti kebenaran-Nya.

Tanda-tanda kedatangan Hari Kiamat Pada dasarnya di dalam Al-Qur’an tidak pernah disebut secara pasti, tentang waktu kedatangan Hari Kiamat itu. Karena hal ini juga termasuk sesuatu hal yang justru hanya semata hak Allah Yang Maha mengetahuinya. Para nabi-Nya sekalipun sama sekali tidak memiliki pengetahuan atas hal ini. Namun justru yang disebut-sebut di dalam Al-Qur’an hanyalah berbagai tanda sebelum kedatangan Hari Kiamat itu, yang juga dibagi lagi menjadi tanda-tanda "kecil" (shughra) dan tanda-tanda "besar" (kubra), yang diungkap pada tabel di bawah. Walau dipahami di sini, bahwa pada tanda-tanda itu sebagian besarnya bersifat perumpamaan ‘simbolik’, sebagai peringatan sangat keras bagi umat Islam, agar sangat mewaspadai dan jauh menghindari berbagai kejadian tersebut. Termasuk karena hal-hal itu justru tidak memiliki batasan ukuran yang jelas, sangat sulit diukur, bukan sesuatu yang perlu ditunggu-tunggu, ataupun karena kedatangan Hari Kiamat yang terjadi dengan tiba-tiba. Lebih khususnya lagi pada tanda-tanda "kecil" kedatangan Hari Kiamat, yang telah tampak dan masih sedang terjadi saat ini, ataupun pada tanda-tanda lainnya. Dan ada pula sebagian dari tanda-tanda itu yang dianggap di sini telah keliru penafsirannya, seperti: kekeliruan penafsiran tentang keberadaan dan kedatangan Imam Mahdi, kekeliruan penafsiran atas turunnya nabi Isa as di akhir jaman, dan berbagai kekeliruan lainnya. Baca pula topik "Nabi terakhir, untuk seluruh umat manusia", tentang kemustahilan turunnya nabi Isa as ataupun Imam Mahdi


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

451

di akhir jaman.

Tanda-tanda "kecil" dan "besar" tentang kedatangan Hari Kiamat Dikutip dari buku "Buku pimtar agama Islam", Syamsul Rijal Hamid. Tanda-tanda "kecil" (shughra) di Hari Kiamat : (sebagian di antaranya telah tampak pada kehidupan saat ini) - Ajaran Islam kurang diperhatikan oleh kaum muslim. - Jumlah alim-ulama (ahli agama) yang sesungguhnya semakin sedikit, sebaliknya banyak orang bodoh yang mengaku ulama dan menyesatkan umat. - Perzinahan telah menjadi suatu kebiasaan di masyarakat luas. Tidak hanya di kotakota besar, melainkan juga di kota-kota kecil, bahkan di daerah terpencilpun perbuatan zina telah dianggap sesuatu yang lumrah. - Mabuk-mabukan dilakukan secara terang-terangan, seolah bukan perbuatan yang diharamkan. - Jumlah wanita semakin lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pria, dan mereka telah tidak malu lagi berpakaian setengah telanjang. Sabda Rasulullah saw. "Engkau akan menyaksikan seorang pria akan diikuti empat puluh orang wanita. Para wanita itu berlindung kepadanya, karena sedikitnya jumlah pria dan banyaknya jumlah wanita. " (H.R. Abu Musa). - Banyak wanita yang berdandan / berpenampilan seperti pria, begitu juga sebaliknya. Perhatikanlah, betapa kian banyak wanita yang bertingkah seperti laki-laki. Sebaliknya kian bertambah pula jumlah laki-laki yang berperilaku sebagai wanita. - Umat manusia berlomba menumpuk harta-kekayaan, dengan jalan yang tidak bisa dibenarkan. - Para orang-tua telah menjadi budak dan diperlakukan sewenang-wenang oleh anakanaknya sendiri. - Semakin banyak fitnah yang menimpa umat Islam. - Semakin sering terjadi bencana alam, pembunuhan dan peperangan. Dsb. Tanda-tanda "besar" (kubra) di Hari Kiamat - Waktu berputar semakin cepat, sehingga setahun terasa sebulan, sebulan terasa seminggu. - Ka'bah roboh. - Matahari terbit dari sebelah barat. - Keluar binatang aneh dari perut Bumi yang memakai cincin nabi Sulaiman as, yang dapat berbicara dengan manusia dan memberikan tanda "kafir" kepada orang-orang yang tidak beriman. - Keluar Dajjal (pembohong yang menutupi kebenaran), sosok yang digambarkan oleh nabi Muhammad saw, sebagai keburukan terbesar sejak kelahiran nabi Adam as. - Adanya Ya'juj dan Ma'juj, berupa segolongan umat manusia yang mempunyai kekuatan besar dan berpikiran sesat. - Turunnya Imam Mahdi ke dunia untuk meluruskan syari'at Islam dan menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah saw. - Turunnya nabi Isa as dari langit yang akan menjadi hakim, untuk memperjuangkan kebenaran bersama Imam Mahdi. Dialah yang menumpas Dajjal, menghancurkan salib serta mengajak umat manusia agar meng-Esa-kan Allah, sekaligus menyembah-Nya.

452 -

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

Lenyapnya tulisan-tulisan dalam AI-Quran, dan tiada seorangpun yang hafal bacaannya. Segenap manusia menjadi kafir, dan inilah tanda paling akhir menjelang Hari Kiamat. Dsb.

Dikutip dari buku "Ensiklopedia Islam Al-Kamil", Syaikh Muhammad. Tanda-tanda "kecil" (shughra) di Hari Kiamat :

a.

Tanda-tanda yang telah terjadi dan berakhir. Pengutusan dan wafatnya nabi Muhammad saw. Terbelahnya bulan. Ditaklukkannya Baitul Maqdis. Keluarnya api dari Bumi Hijaz (Saudi Arabia). Dsb.

b.

Tanda-tanda yang telah nampak dan masih terjadi. Bermunculannya berbagai kerusakan. Bermunculannya orang-orang yang mengaku nabi. Tercabutnya ilmu syariat dan tersebarnya kebodohan. Banyaknya para penjahat dan antek-antek kezaliman. Tersebarnya minuman arak, pornografi dan perzinahan, serta penghalalannya. Berbangga-bangga dengan masjid dan hiasannya. Tersebarnya atau banyaknya pembunuhan. Perputaran waktu yang cepat. Diangkat dan dihormatinya orang-orang yang berbuat bejat, dan dihinanya orangorang yang baik. Bermunculannya berbagai kemusyrikan di tengah-tengah umat Islam. Seringnya terjadi gempa. Dikhianatinya orang-orang yang amat dipercaya umat Islam, dan dipercayanya para pengkhianat. Terjadinya jual-beli hukum dan kesaksian palsu. Dsb.

c.

Tanda-tanda yang belum muncul. Tersingkapnya sungai Eufrat dan terlihatnya gunung emas. Ditaklukkannya konstantinopel tanpa senjata. Amat sedikitnya laki-laki dibandingkan perempuan. Kemunculan Imam Mahdi. Dsb.

Tanda-tanda "besar" (kubra) di Hari Kiamat Keluarnya Dajjal. Turunnya nabi Isa as. Munculnya Ya’juj dan Ma’juj. Terjadinya gerhana matahari di jazirah Arab. Kemunculan asap di langit. Matahari terbit dari barat. Keluarnya sejenis binatang melata. - Keluarnya api yang menghalau manusia. Dsb.

-

"Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu, melainkan Hari


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

453

Kiamat (yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba. Karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya, maka apakah faedahnya bagi mereka kesadaran mereka itu, apabila Hari Kiamat telah datang." - (QS.47:18) "Sesungguhnya Hari Kiamat itu akan datang, (namun) Aku merahasiakan (waktu kedatangannya), agar supaya tiap-tiap diri (manusia) itu, (akan) dibalas dengan apa yang ia usahakan." - (QS.20:15) "Mereka menanyakan kepadamu tentang Hari Kiamat: `Bilakah terjadinya`. Katakanlah: `Sesungguhnya pengetahuan tentang Hari Kiamat itu adalah pada sisi Rabb-ku. Tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Hari Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Hari Kiamat itu tidak akan datang kepadamu, melainkan dengan tiba-tiba`. Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: `Sesungguhnya pengetahuan tentang Hari Kiamat itu adalah di sisi Rabb, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui`." - (QS.7:187) Kejadian-kejadian umum di Hari Kiamat, secara ringkas Secara umum dan ringkas pada Hari Kiamat terjadi berbagai hal, sebagai berikut: 46) Tabel 10: Kejadian-kejadian umum di Hari Kiamat, secara ringkas

Berbagai kejadian umum di Hari Kiamat, secara ringkas a. Manusia dibinasakan-Nya dalam suatu kegoncangan yang amat dahsyat (kecuali bagi manusia yang dikehendaki-Nya), melalui tiupan terompet sangkakala pertama. b. Manusia dibangkitkan-Nya, agar bisa ‘hidup kembali’ dari alam kuburnya, melalui tiupan terompet sangkakala kedua. c. Manusia dikumpulkan-Nya, bersama dengan umat-umat manusia lainnya, langsung dekat di hadapan ‘Arsy-Nya. d. Dipanggilkan-Nya para saksi, untuk ikut serta membuktikan tiap amal-perbuatan manusia. e. Dibukakan-Nya segala tabir-Nya atau segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, agar bisa menghilangkan segala ketidak-tahuan, keraguan dan perselisihan antar umat manusia. f. Dihisab-Nya dengan amat teliti dan adil, atas tiap amal-perbuatan manusia (baik ataupun buruk), sesederhana atau sekecil apapun

454

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

(sebesar ‘biji zarrah’). g. Diputuskan-Nya balasan-Nya yang amat setimpal, atas tiap amalperbuatan manusia. h. Diberikan-Nya balasan-Nya yang amat setimpal, atas tiap amalperbuatan manusia, dengan Surga atau Neraka (disempurnakanNya segala nikmat atau hukuman-Nya). i. Manusia hidup kekal tinggal dalam Surga atau Neraka. Baca pula uraian lebih lengkapnya pada topik-topik di bawah, tentang proses kejadian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat itu, dalam bentuk simbolik dan bentuk hakekat yang sebenarnya (proses Penyaksian, dibukakan kebenaran-Nya, Penghisaban, Pemutusan dan Pembalasan). Ada dua macam Hari Kiamat (‘besar’ dan ‘kecil’) Selain pada pengertian umum dalam berbagai uraian di atas, terdapat versi lain yang menyangkut kejadian pada Hari Kiamat itu, yang relatif berbeda daripada pemahaman umat Islam pada umumnya. Pada versi pemahaman inipun dipisahkan antara "Hari Kiamat kecil" (pada kematian tiap manusia) dan "Hari Kiamat besar" (pada kematian seluruh manusia di akhir jaman, atau saat berakhirnya alam semesta). Pada dasarnya kedua Hari Kiamat itu dianggap relatif serupa, termasuk pula tiap kejadian di sekitarnya. Semua keterangan di dalam al-Qur’an yang menyangkut Hari Kiamat, juga dianggap berlaku sama bagi "Hari Kiamat kecil" dan "Hari Kiamat besar" tersebut. Lihat pula uraian-uraian selengkapnya di bawah. Sehingga perbedaan pemahamannya semata-mata hanya pada ‘waktu’ kejadian Hari Kiamat, dengan sendirinya juga pada ‘jumlah’ umat manusia yang akan mengalaminya secara bersamaan. Dan ‘Hari Kiamat besar’ relatif sama dengan ‘Hari Kiamat’ atau ‘akhir jaman’ yang biasa dipahami oleh umat Islam pada umumnya. Tentunya pemisahan definisi tentang Hari Kiamat "besar" dan "kecil" di atas, sangatlah berbeda pula dengan definisi yang biasanya dikenal oleh umat Islam, yaitu tanda-tanda "besar" (kubra) dan "kecil" (shughra), tentang kedatangan Hari Kiamat di atas, sehingga konteks dari pemakaian istilah ‘besar’ dan ‘kecil’ memang berbeda. Pada versi lainnya tentang Hari Kiamat itu, pemakaian istilah ‘besar’ dan ‘kecil’ justru berkaitan langsung dengan ‘harinya’, sedang pada tabel di atas berkaitan dengan ‘tanda-tandanya’. Maka menurut


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

455

versi lain itu, tanda-tanda ‘besar’ dan ‘kecil’ di atas dianggap sebagai segala kejadian pada Hari Kiamat ‘besar’ atau pada akhir jaman (saat berakhirnya alam semesta ini). Lebih lanjut, Hari Kiamat 'kecil' (kematian tiap makhluk) Khusus tentang Hari Kiamat ‘kecil’, yang dianggap sebagai saat kematian dari tiap manusia itu sendiri (atau tiap manusia memiliki Hari Kiamat-nya masing-masing), diungkapkan lebih lengkap beserta berbagai dalil-alasan dan penjelasannya, sebagai berikut:

Berbagai dalil-alasan bagi pemahaman tentang Hari Kiamat 'kecil' a. Hari Kiamat adalah saat kematian tiap manusia itu sendiri (atau tiap manusia memiliki Hari Kiamat-nya masing-masing). Hal ini berkaitan dengan kandungan isi beberapa ayat Al-Qur’an, seperti misalnya: 1. Dalam surat Az-Zumar ayat 68 terkandung pernyataan, "tidak semua makhluk-Nya dibinasakan-Nya di Hari Kiamat (pada saat tiupan sangkakala pertama)". "Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah, siapa yang ada di langit dan di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. …." - (QS.39:68) Hal ini sesuai dengan kematian tiap manusia, sedang manusia lainnya justru memang masih hidup di dunia. Padahal gambaran umum tentang kehancuran dahsyat dunia atau keseluruhan alam semesta ini di Hari Kiamat (atau Hari Kiamat ‘besar’), semestinya membinasakan seluruh manusia, walau zat-zat ruhnya sendiri tidak dibinasakan-Nya. 2. Dalam beberapa ayat terkandung pernyataan, "Orang-orang yang telah dimasukkan ke neraka dan telah mengetahui bukti kebenaran-Nya, ada yang ingin kembali ke dunia. Merekapun berjanji akan berbuat baik pada kehidupan dunia berikutnya. Tetapi hal ini tidak diijinkan-Nya, dan merekapun tetap kekal hidup di neraka". (misalnya: QS.2:167, QS.6:27-28, QS.7:53, QS.14:44, QS.23:99, QS.23:107, QS.26:102, QS.32:12, QS.39:58 dan QS.42:44). Hal ini sesuai dengan kematian tiap manusia, sedang masih ada kehidupan dunia yang justru baru ditinggalkannya. Padahal seperti di atas, setelah kehancuran dunia ini di Hari

456

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

Kiamat, semestinya dunia tidak bisa ditinggali lagi dan tidak ada manusia di dalamnya. Juga semestinya mustahil ada lagi permintaan untuk kembali ke dunia, yang telah tidak ada. 3. Dalam beberapa ayat terkandung pernyataan, "seluruh umat manusia pastilah dikumpulkan-Nya kembali ke hadapan-Nya di Hari Kiamat, tetapi secara bertahap (secara sendiri-sendiri, berbaris-berkelompok, beriringan, tiap umat, dsb)" (misalnya: QS.19:95, QS.6:94, QS.77:17, QS.78:18, dan QS.18:48). Hal ini sesuai dengan kematian sejumlah amat besar manusia ‘tiap saatnya’ secara bertahap sampai akhir jaman. 4. Hari Kiamat kedatangannya tiba-tiba, tanpa bisa disadari oleh manusia dan tanpa ada yang mengetahuinya selain Allah. (misalnya: QS.6:31, QS.7:187, QS.22:55, QS.29:53, QS.36:29, QS.36:51, QS.36:53, QS.37:19, QS.39:55, QS.43:66 dan QS.47:18). Hal ini sesuai dengan kedatangan kematian tiap manusia Sering disebut pula "bahwa waktu kedatangan Hari Kiamat itu dekat, amat dekat, telah dekat, dsb". (misalnya: QS.21:97, QS.33:63, QS.40:18, QS.42:17, QS.53:57, QS.67:27, QS.70:7, QS.72:25 dan QS.78:40). Hal ini sesuai dengan usia rata-rata kematian manusia yang ‘hanya’ sekitar 60 s/d 70 tahun (amat singkat atau dekat). Padahal akhir jaman itu sendiri ("Hari Kiamat besar"), seperti saat berakhirnya usia Matahari, justru masih sekitar puluhan ataupun ratusan ribu tahun lagi (masih amat lama atau jauh). 5. Kematian dan kebangkitan tiap manusia sering terkait dengan ruh (jiwa atau nyawa), juga dengan penciptaan tiap manusia (ditiupkan-Nya ruh). Kematian sering terkait pula dengan dicabut, diangkat atau dibangkitkan-Nya tiap ruh, dari jasadnya di dalam kubur. Padahal Hari Kebangkitan itu sebutan lain dari Hari Kiamat. Lihat pula Gambar 16 di bawah. Juga tidak pernah jelas disebut selisih waktu antara kematian dan kebangkitan (atau selisih waktu antara tiupan sangkakala pertama dan kedua). "Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

457

mati (diciptakan-Nya ruh), lalu Allah menghidupkan kamu (ditiupkan-Nya ruh), kamu dimatikan (kematian teknis tubuh) dan dihidupkan-Nya kembali (diangkat atau dibangkitkan-Nya ruh hidup di akhirat). Kemudian kepada Allah-lah kamu dikembalikan (dikumpulkan-Nya ruh)." - (QS.2:28) "Dan Dia-lah Allah, Yang telah menghidupkan kamu (ditiupkan-Nya ruh), kemudian mematikan kamu (kematian teknis tubuh), kemudian menghidupkan kamu (diangkat atau dibangkitkan-Nya ruh hidup di akhirat). …" - (QS.22:66) "Tidaklah Allah menciptakan (hidup di dunia) dan membangkitkan kamu (dari dalam kuburmu) itu (hidup di akhirat pada Hari Kiamat), melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa (ruh) saja. …" - (QS.31:28) "Kesejahteraan atas dirinya (Yahya) pada hari ia dilahirkan, dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali." - (QS.19:15) "Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan(-Nya) kepadaku (Isa), pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali`." - (QS.19:33) "…. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati (dihidupkan-Nya makhluk dengan ditiupkan-Nya ruh), dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup (dimatikan-Nya makhluk dengan dicabut-Nya ruh). …" – (QS.3:27) dan (QS.6:95, QS.10:31, QS.30:19) 6. Tidak pernah disebut, bahwa semua umat manusia yang telah wafat terlebih dahulu mesti menunggu sampai wafatnya umat manusia terakhir pada akhir jaman, agar bisa bersama-sama dibangkitkan-Nya. Apakah siksa kubur atas manusia terdahulu justru lebih lama dan berat?. ‘Tidak’, Allah Maha adil atai tiap makhluk-Nya. Padahal tidak banyak pula disebut adanya keterangan tentang kehidupan alam kubur (kecuali siksa kubur), jika alam kubur dianggap amat lama waktunya, sejak dari jaman nabi Adam as sampai saat wafatnya manusia terakhir di akhir jaman. Padahal amat banyak keterangan tentang alam akhirat di Hari Kiamat, yang juga gaib seperti halnya alam kubur. Hal ini sesuai dengan kehidupan tiap manusia di alam kubur,

458

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

yang justru relatif amat singkat (sekitar 40 hari, pada uraian poin d di bawah), sehingga relatif amat terbatas pula disebut. 7. Tidak pernah disebut, bahwa zat ruh bisa menetap amat lama (bahkan sampai akhir jaman) pada tubuh wadah tiap makhluk atau pada jasad tubuhnya di dalam kubur. Padahal ruh hanya bisa menetap pada jasad tubuhnya dalam keadaan tertentu saja (terutama masih ada cukup energinya). Baca pula topik "Ruh-ruh", tentang sifat-sifat zat ruh. 8. Kegoncangan amat dahsyat di Hari Kiamat itu disebut, "tidak mengejutkan, tidak menyusahkan ataupun tidak dialami oleh orang-orang yang beriman" - (QS.27:87). Hal ini sesuai dengan orang-orang beriman yang bisa relatif amat tenang dan bahagia dalam menghadapi kematiannya. 9. Dalam beberapa ayat terkandung pernyataan, "Orang-orang terdahulu yang tidak beriman, telah ada yang dimasukkan ke neraka" (misalnya: QS.40:84-85, QS.18:55 dan QS.35:43-44). Maka Hari Kiamat telah ada terjadi dan terus-menerus terjadi sampai akhir jaman (Hari Kiamat ‘besar’ atau terakhir). Dari semua uraian di atas justru memperkuat kesimpulan, bahwa “kematian pada tiap manusia adalah wujud dari Hari Kiamatnya masing-masing (Hari Kiamat ‘kecil’)”, terutama lagi wujud dari tiupan sangkakala pertama yang disebut-sebut dalam Al-Qur’an. Penjelasan lebih lanjutnya pada poin-poin di bawah. b. Kehancuran amat dahsyat alam semesta ini di Hari Kiamat (Hari Kiamat ‘besar’, akhir jaman) yang disebut dalam al-Qur'an, lebih bersifat ‘simbolik’ sebagai peringatan amat keras bagi manusia. Amat penting bagi tiap manusia untuk bisa menjalani kehidupan dunia fana ini (amat singkat) sesuai ‘jalan-Nya yang lurus’, agar selanjutnya ia bisa menjalani kehidupan akhiratnya yang hakiki dan kekal (hidup di surga dengan segala kemuliaan di dalamnya). Hal ini sesuai janji-Nya, serta menjadi hakekat atau tujuan paling utama dari diciptakan-Nya alam semesta ini. Setelah ruh tiap manusia diturunkan atau ditiupkan-Nya, sesuatu saat ruhnya pasti akan dipanggil-Nya kembali ke hadapan ‘ArsyNya (dibangkitkan atau diangkat-Nya), agar ia mempertanggungjawabkan segala amal-perbuatannya di kehidupan dunia.


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

459

Gambaran kehancuran amat dahsyat pada Hari Kiamat (atau Hari Kiamat ‘besar’, akhir jaman), seperti: lautan yang meluap-luap; langit yang terbelah dan hancur berguguran; matahari dan bulan dikumpulkan, serta kehilangan cahayanya; gunung-gunung yang beterbangan dan hancur berbenturan; dsb. Usia tiap manusia amat jauh lebih singkat dibanding dengan usia dunia atau alam semesta ini, maka kehancuran sistem Tata Surya yang masih amat lama misalnya (sekitar puluhan ataupun ratusan ribu tahun lagi), justru bisa dirasakan "tidak cukup penting" bagi sebagian besar umat manusia (Hari Kiamat bisa diabaikannya). c. Tiupan sangkakala pertama adalah ‘simbol’ saat kematian teknis dalam ilmu kedokteran, karena organ-organ penting tubuh tidak berfungsi (seperti: jantung, paru-paru, otak, hati, dsb). 47) Dan sampai pada saat sebelum tiupan sangkakala kedua, zat ruh tiap manusia justru masih menyatu dengan tubuh wadahnya. d. Tiupan sangkakala kedua adalah ‘simbol’ saat zat ruh dicabutNya dari jasad tubuh wadahnya di dalam kuburnya (disebut pula dikeluarkan, dibangkitkan atau diangkat-Nya ruh). 47) Hal ini juga terjadi setelah tubuh wadah manusianya terurai atau membusuk, serta ruhnya tidak lagi memiliki cukup energi untuk hidup di tubuhnya. Keadaan energi pada ‘benih dasar tubuh’ ini kurang dari keadaan energi saat awal ditiupkan-Nya dengan ruh. Selang waktu antar kedua tiupan sangkakala, adalah lama waktu hilangnya energi pada benih dasar, yang bisa berlangsung sekitar puluhan atau ratusan hari (lama waktu pembusukan jasad tubuh di dalam tanah kuburannya misalnya). Pada suatu hadits, hal ini disebut umumnya terjadi sekitar selama 40 hari. Baca pula topik "Ruh-ruh", tentang sifat-sifat zat ruh. e. Selama waktu antara kedua tiupan sangkakala itu, tiap manusia mengalami kegoncangan batin atau jiwa yang amat dahsyat. 47) Kegoncangan ini terutama pada tiap manusia yang memang tidak siap kembali ke hadirat Allah, Yang menciptakannya, karena ia memang telah mendustakan-Nya. Termasuk karena adanya malaikat Munkar dan Nakir yang pasti menanyai dan memeriksa tiap manusia di alam kubur, yang juga. sering disebut sebagai "siksa kubur". Kegoncangan juga karena keadaan tiap manusianya sendiri yang

460

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

telah kehilangan tubuh wadah dan kehidupan dunianya. Keadaan tiap manusia setelah kematiannya relatif serupa dengan keadaan batiniah ruh orang yang pingsan, mati suri, koma atau sekarat, serupa pula dengan keadaan batiniah ruhnya orang yang sedang bermimpi (alam batiniah ruhnya melayang kemana-mana, dengan banyak ragam kandungan isi mimpinya). Bahkan surat Az-Zumar ayat 42 terkandung pernyataan, "Allah memegang jiwa (ruh) orang yang tertidur dan yang mati. Namun ruh orang yang tertidur itupun dilepaskan-Nya kembali atau tidak ditahan-Nya seperti pada ruh orang yang mati " - (QS.39:42). Tentu saja kandungan isi "mimpi" setelah kematian inipun relatif amat berbeda dengan “mimpi biasa”, dan bentuknya relatif lebih "nyata", sesuai tiap amal-perbuatan masing-masing umat selama di dunia ini, termasuk karena pengaruh kehadiran para malaikat pemeriksa atau penyiksa (malaikat Munkar dan Nakir). Dari berbagai uraian di atas, penafsiran tentang adanya "nikmat hidup di alam kubur" menjadi amat tidak relevan. Penafsiran ini justru hanya timbul untuk menggambarkan keadaan orang-orang beriman di alam kubur, terutama dari penafsiran lainnya, bahwa hidup di alam kubur bisa amat lama (dari saat wafat sampai akhir jaman, dan bukan hanya sekitar "40 hari" di atas). Apakah ruh para nabi-Nya (dan ruh manusia terdahulu) haruslah menunggu sampai saat wafatnya manusia terakhir di akhir jaman, agar bisa kembali ke hadapan ‘Arsy-Nya?. Jawabannya ‘tidak’. Padahal seluruh kejadian di Hari Kiamat justru berlangsung amat cepat, seperti yang diuraikan pada poin i di bawah. Baca pula uraian pada topik di bawah, tentang wujud kehidupan manusia di alam akhirat setelah Hari Kiamat. f. Setelah tiupan sangkakala kedua tiap ruh kembali ‘hidup normal’ atau kembali ‘lebih stabil’ dari kegoncangannya (tiap ruh telah mulai menyadari apa yang sedang terjadi saat itu). Hal ini sering disebut “dibangkitkan-Nya hidup kembali”. Keadaan ‘hidup kembali’ inipun sama seperti keadaan kehidupan ruh-ruh para makhluk gaib pada saat sekarang ini di alam gaib (alam arwah atau alam ruh). Sehingga justru bukan tubuh-tubuh kasar yang dibangkitkan-Nya hidup kembali dari dalam kuburannya. Lebih penting lagi, karena


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

461

pemahaman atas kebangkitan tubuh kasar itu, justru bertentangan dengan aturan-Nya (sunatullah). Juga keadaan kehidupan di Surga yang penuh dengan kemuliaan itu, tentunya amat tidak sesuai dengan masih adanya tubuh kasar yang penuh dengan kekurangan, keterbatasan dan kehinaan. Mustahil ada bentuk kehidupan dunia fisik-lahiriah ‘kedua’, yang relatif amat sangat ideal (Surga) ataupun yang relatif amat sangat tidak ideal (Neraka). Sedang hal itu relatif mudah terjawab dalam kehidupan batiniah ruh tiap manusianya, dengan segala kenikmatan dan kebahagiaan batiniahnya (Surga) yang diperoleh setelah mengikuti berbagai pengajaran dan tuntunan-Nya, untuk bisa mencari dan mengenal Allah, serta bisa kembali dekat ke hadapan 'Arsy-Nya. Sebaliknya siksaan batiniah ruh yang amat luar biasa (Neraka), setelah dilakukannya berbagai kebodohan dan kesia-siaan selama di kehidupan dunia fana ini, karena tidak memahami hakekat dan tujuan dari penciptaan alam semesta ini dan bahkan telah sengaja berpaling dari jalan-Nya yang lurus, seperti pada orang yang buta mata batiniahnya dan kehilangan arah tujuan hidupnya pada saat ia berjalan di muka Bumi. Sedang pada alam batiniah tiap ruh justru tidak memiliki segala keterbatasan seperti halnya pada alam dunia-fisik-lahiriah. Serta alam akhirat dengan Surga dan Neraka di dalamnya, yang mestinya suatu alam gaib, justru tidak semestinya jika dianggap kembali sebagai kehidupan atau alam nyata-fisik-lahiriah seperti saat sekarang ini. g. Bersamaan dengan proses kebangkitan di Hari Kiamat, tiap ruh diangkat-Nya ‘kembali’ dekat ke hadapan 'Arsy-Nya, untuk bisa dikumpulkan dan dipertemukan-Nya bersama dengan segala ruh manusia lainnya yang telah wafat. Tentunya tiap manusia yang masih hidup di dunia ini belum turut serta berkumpul, karena mereka memang masih menjalani proses penggodokannya sendiri. Baca pula topik "Jalan-Nya yang lurus", tentang dua macam ‘kembali’ ke hadapan 'Arsy-Nya. h. Segala hal yang berkaitan dengan tiap manusia di Hari Kiamat, justru hanya melibatkan ruhnya saja (batin atau jiwa), tetapi tidak

462

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

berkaitan sama sekali dengan tubuh wadah fisik-lahiriahnya. Hanya ruh manusia yang dikumpulkan-Nya kembali ke hadapan 'Arsy-Nya di Hari Kiamat, bukan tubuh fisik-lahiriahnya. Lebih jelas misalnya, penyaksian, penghisaban, pemutusan dan pembalasan (pemberian balasan-Nya dengan Surga dan Neraka), juga semuanya terjadi pada alam batiniah ruhnya (alam akhirat). Begitu pula halnya pemahaman atas ayat-ayat dalam Al-Qur’an, yang terkandung pernyataan "Allah menciptakan makhluk-Nya pada permulaan, kemudian mengulanginya kembali". (misalnya: QS.10:4, QS.10:34, QS.21:104, QS.27:64 dan QS.29:19). Pemahaman atas kata-kata "mengulanginya kembali" itu adalah, “Allah pasti mengembang-biakkan segala makhluk hidup nyata (termasuk manusia), atau Allah pasti terus-menerus mengulang penciptaan makhluk hidup nyata (sejak dari jaman nabi Adam as sampai akhir jaman)”. Hal ini sama sekali bukan “menghidupkan kembali” jasad tubuh manusia yang telah mati di Hari Kiamat. Serupa pula halnya pemahaman atas ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang terkandung pernyataan, "apabila kami telah mati, dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan (kembali)?" atau "Allah akan mengumpulkan ataupun menyusun (kembali) tulang belulang dan jari jemarinya dengan sempurna.". (misalnya: QS.2:259, QS.17:49, QS.17:98, QS.23:35, QS.23:82, QS.36:78, QS.37:16, QS.37:53, QS.56:47, QS.75:3 dan QS.79:11). Pemahaman atas "dibangkitkan" atau "disusun" tersebut, adalah proses penciptaan manusia dari tanah di Bumi (di dunia, bukan di Hari Kiamat). Maka pada pernyataan di atas ada dua ‘kami’ yang berbeda ("kami yang bangkit" berbeda dari "kami yang mati"). Kata ‘kami’ itupun mestinya ditafsirkan sebagai "kami manusia", bukan "kami pribadi sebagai individu, atau saya". Hal yang penting, justru "dibangkitkan (tubuh)" di dunia ini amat berbeda dengan "dibangkitkan (ruh)" di Hari Kiamat. Baca pula topik "Makhluk hidup nyata", tentang siklus penciptaan manusia dari tanah dan kembali ke tanah. i. Seluruh kejadian di Hari Kiamat bahkan berlangsung amat cepat dan hampir bersamaan, terutama lagi setelah tiap zat ruh manusia


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

463

‘kembali’, sekaligus disertai dengan dibukakan-Nya segala hijabtabir-pembatas (segala hikmah atau hakekat kebenaran-Nya). "…. Tidak ada adalah kejadian Kiamat itu, melainkan seperti sekejap mata atau lebih cepat. …." - (QS.16:77) Seperti disebut "amatlah cepat dikumpulkan-Nya manusia pada Hari Kiamat." - (QS.50:44, QS.36:51, QS.54:8, dan QS.70:43) Atau "amatlah cepat perhitungan-Nya atau hisab-Nya pada Hari Kiamat." - (QS.2:202, QS.3:19, QS.3:199, QS.5:4, QS.6:62, QS.13:41, QS.14:51, QS.24:39 dan QS.40:17) Atau "amatlah cepat siksaan atau balasan-Nya pada Hari Kiamat " - (QS.6:165, QS.7:167 dan QS.10:21) Padahal mudah diketahui pula, bahwa segala proses pada alam batiniah ruh manusia bisa berlangsung relatif amat sangat cepat, seperti segala proses berpikir tiap manusia yang mudah melintasi batas dimensi waktu dan ruang dalam sekejap saja. Hal-hal yang sebaliknya terjadi pada alam lahiriahnya, segala prosesnya justru berlangsung relatif amat sangat lambat (pada Tabel 14). Serta seluruh kejadian atas tiap manusia di hari Kiamat itu juga tidak harus menunggu seluruh zat ruh terkumpul dahulu. Contoh sederhananya, saat ini ruh nabi Muhammad saw semestinya telah berada di Surga, yang paling tinggi tingkat kemuliaannya, justru bukan masih berada di dalam kuburan ataupun di alam kuburnya. j. Seluruh kejadian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat (pada alam akhirat atau alam batiniah ruh), justru berlangsung amatlah cepat dan bersamaan. Baca pula uraian lebih lengkapnya pada topik di bawah, tentang proses kejadian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, dalam bentuk hakekat yang sebenarnya (proses Penyaksian, dibukakan kebenaran-Nya, Penghisaban, Pemutusan dan Pembalasan).48) k. Dari berbagai poin di atas tampak adanya dua macam ‘kembali’. Kembali pertama terkait dengan dibangkitkan dan dikumpulkanNya ruh di Hari Kiamat, sedang kembali kedua terkait dengan usaha tiap umat manusia untuk bisa makin mendekatkan dirinya kepada Allah, selama ia menjalani kehidupannya di dunia. 49) Dan hakekat kedua macam kembali juga berbeda. Pada ‘kembali pertama’, ‘zat’ ruhnya yang dikumpulkan-Nya kembali, sebagai janji-Nya bagi pembuktian akhir atas segala kebenaran-Nya, dan

464

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

‘kembali pertama’ ini bersifat pasti (memaksa). Sedang pada ‘kembali kedua’, segala ‘keadaan batiniah’ ruhnya yang sedang dipersiapkannya untuk kembali, dari hasil kesadaran tiap manusianya sendiri untuk bisa lebih mengenal-Nya, dan bisa lebih dekat ke hadapan 'Arsy-Nya, dengan cara mengikuti ajaranajaran agama-Nya. Baca pula topik "Jalan-Nya yang lurus", tentang kedua macam ‘kembali’ ke hadapan 'Arsy-Nya. Semakin tinggi ketidak-sesuaian antara dua macam kembali itu, maka keadaan batiniah ruh mengalami kegoncangan (hukumanNya) yang semakin tinggi pula. Jika sebaliknya, maka keadaan batiniah ruhnya mengalami ketenangan dan kenikmatan (pahalaNya) yang semakin besar. Keadaan inipun sesuai dengan jumlah nilai amalan tiap manusia, pada uraian poin-poin di atas. l. Segala peranan para malaikat yang terkait dengan kematian dan Hari Kiamat justru berlaku amat sangat halus, tidak terlihat, tidak kentara, dan seolah-olah terjadi dengan begitu saja atau otomatis pada alam batiniah ruh tiap manusia. Ringkasnya, beberapa proses kejadian pada Hari Kiamat (seperti: penyaksian, penghisaban, pengadilan, pemutusan, pembalasan, dsb) justru berlangsung bersamaan (atau tanpa jelas betul jenis dan urutan tahapan prosesnya). Lebih jelasnya, semua proses itu terjadi atas tiap amalan manusia yang sedang diperiksa, maka terus terjadi secara berulang-ulang atas keseluruhan amalannya. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang tugas-tugas para makhluk gaib. Juga tidak ada terjadi dua kali tiupan sangkakala secara ‘nyata’. Hal ini hanya ‘simbol’ bagi dua tahapan perubahan amat penting pada kehidupan batiniah ruh tiap manusia. Demikian pula berbagai kejadian di Hari Kiamat lainnya, karena pada dasarnya seluruh keterangan tentang hal-hal gaib, semata hanya berupa perumpamaan ‘simbolik’, agar relatif lebih mudah bisa dirasakan atau dipahami secara tidak langsung oleh umat. Tentang hal-hal gaib itu, jauh lebih penting bagi tiap umat untuk memahami segala nilai, hikmah ataupun pesan yang terkandung dalam tiap keterangan, gambaran atau perumpamaan itu (seperti: padang Mahsyar, Shirath, Haudh, dsb).


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

465

Namun bentuk ataupun wujud dari perumpamaan itu, justru agar umat tidak menganggapnya terlalu penting betul, kecuali sebagai sarana penyampaian pengajaran seperti yang dilakukan oleh para nabi-Nya, terutama bagi umat-umat kebanyakan yang awam. Hasil dari beriman kepada Hari Kiamat Orang-orang yang beriman kepada kehidupan akhirat dan juga kedatangan Hari Kiamat (awal kehidupan akhirat yang sebenarnya), mestinya menjalani kehidupan di dunia ini dengan penuh rasa percaya diri dan kebahagiaan. Hal ini tentunya setelah sebanyak mungkin bisa mengikuti berbagai pengajaran dan tuntunan-Nya, yang disampaikanNya melalui ajaran-ajaran agama-Nya yang lurus (agama tauhid, yang terakhir agama Islam), dengan sebaik-baiknya sesuai dengan keadaan kemampuan dan pengetahuannya masing-masing. Orang yang beriman kepada Hari Kiamat menjalani kehidupan di dunia ini dengan arah-tujuan yang makin jelas, khususnya agar bisa mengabdi dan mencari keredhaan Allah Yang telah menciptakannya. Agar ia bisa mendapat kehidupan akhirat yang amat baik yang yelah dijanjikan-Nya di Hari Kiamat, yang berupa segala kemuliaan yang amat tinggi dan dekat di sisi ‘Arsy-Nya. Sedang orang-orang yang kafir yang amat berlebihan mengejar kenikmatan duniawi, yang fana, amat semu dan mudah menyesatkan, hanya mendapat segala keinginannya itu sepanjang hidupnya di dunia saja. Apakah tujuan dari penciptaan alam semesta dan segala isinya ini (makhluk hidup dan benda mati, nyata dan gaib), bagi mereka hanya dijalani ataupun dinikmati sekitar 0 s/d 100 tahun usianya saja?, atau apakah tidak ada tujuan yang jauh lebih besar dan hakiki?. Jawaban itu mestinya "tidak". Lebih jelasnya lagi, bahwa telah menjadi fitrah dasar ruh tiap manusia, untuk mengimani adanya Hari Kiamat dan kehidupan akhirat yang kekal. karena tiap manusia justru pasti memahami ada Tuhan, Yang Maha berkuasa atas seluruh alam semesta dan segala isinya ini, dan juga pasti ada tujuan yang jelas dari penciptaan alam semesta ini, yang justru relatif amat sangat sempurna bagi kehidupan umat manusia. Namun orang-orang kafir itu sesungguhnya telah kehilangan kepercayaan atau keyakinan dirinya, untuk mendapat kehidupan yang baik di kehidupan akhiratnya (telah berputus-asa), karena segala beban dosa yang telah diperbuatnya di masa lalu. Maka selanjutnya, mereka itu menjalani kehidupan dunia fana saat ini, hanya semata-mata untuk mengejar kenikmatan duniawi (hidup secara main-main). Serta orang-

466

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

orang kafir itupun justru berusaha mengabaikan kehidupan akhirat dan Hari Kiamat, dan bahkan juga mengingkari keberadaan Tuhan. "Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami, dan orangorang yang beriman pada kehidupan dunia, dan pada hari (Kiamat, pada saat) berdirinya saksi-saksi (atas tiap amal-perbuatan manusia)," (QS.40:51) "Orang-orang yang tidak beriman kepada Hari Kiamat meminta, supaya hari itu segera didatangkan, dan orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya, dan mereka yakin, bahwa Kiamat itu adalah benar (pasti terjadi). Ketahuilah, bahwa sesungguhnya orangorang yang membantah terhadap terjadinya Hari Kiamat itu, benar-benar dalam kesesatan yang jauh." - (QS.42:18) Berbagai tahapan kejadian manusia, sampai akhir jaman Pada Gambar 16 berikut ditunjukkan berbagai tahap kejadian sederhana, dari awal penciptaan alam semesta dan kehidupan manusia di dalamnya sampai akhir jaman (Hari kiamat 'besar'), khususnya yang terkait dengan berbagai perubahan penting atas zat ruh tiap manusia. Secara garis besar, berbagai tahap kejadian itu meliputi: 1. Allah, Maha awal. 2. Awal penciptaan alam semesta dari tak-terhitung Ruh dan Atom. 3. Awal ruh tiap manusia ditiupkan-Nya ke tubuh wadahnya. 4. Awal tiap bayi manusia terlahir ke dunia. 5. Awal suara tiupan sangkakala yang pertama (waktu kematian tiap manusia, Hari kiamat 'kecil'). 6. Awal suara tiupan sangkakala yang kedua (zat ruh tiap manusia diangkat-Nya dari jasad tubuhnya). 7. Awal kematian alam semesta (akhir jaman, Hari kiamat ‘besar’). 8. Hancur-musnahnya alam semesta (jika dikehendaki-Nya). 9. Allah, Maha akhir. Dari Gambar 16 itu pula tampak cukup jelas, antara-lain: 1. Hanya Zat Allah Yang Maha kekal (tanpa awal dan tanpa akhir). 2. Segala zat ruh ciptaan-Nya justru bersifat ‘kekal’ (hanya sebatas usia alam semesta ini saja). 3. Tubuh wadah fisik-lahiriah-nyata pada segala makhluk-Nya (juga termasuk manusia), justru bersifat ‘fana-sementara’ (hanya sebatas usia hidupnya di dunia ini). 4. Setelah tiap zat ruh ditiupkan-Nya ke tubuh wadah masing-masing makhluk-Nya, suatu saat tiap zat ruh inipun pastilah akan kembali kepada-Nya (dicabut, diangkat atau dibangkitkan-Nya untuk hidup


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

467

Keterangan: B-G : Alam akhirat keseluruhannya. B : Alam akhirat sebenarnya ke-1 (suci-murni dan tanpa dosa). C-E : Alam akhirat + alam-alam lain. F-G : Alam akhirat sebenarnya ke-2 (sesuai segala amalan di dunia). Awal kematian alam semesta / akhir jaman / Hari kiamat ‘besar’. Awal tiupan sangkakala pertama / awal kematian tiap manusia / Hari kiamat ‘kecil’ awal.

Awal tiupan sangkakala kedua / awal tiap ruh manusia diangkat-Nya dari tubuh wadahnya. Awal tiap bayi manusia terlahir ke dunia.

D C

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

Keterangan gambar:

Berbagai tahapan kejadian manusia dan alam semesta. Pada dasarnya penggambaran di atas lebih menunjukkan keterkaitan antara kejadian di alam semesta dan berbagai kejadian atas zat ruh tiap manusia. Sedang manusia itu sendiri tak-terhitung jumlahnya, sejak dari manusia pertama (nabi Adam as) sampai manusia terakhir di akhir jaman, sehingga tiap tahapan di atas relatif berbeda waktunya untuk tiap manusia. "Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati (diciptakanNya ruh dan belum utuh sebagai makhluk-Nya), lalu Allah menghidupkan kamu (ditiupkan-Nya ruh ke benih dasar tubuh), kamu dimatikan (kematian teknis tubuh) dan dihidupkan-Nya kembali (diangkat atau dibangkitkan-Nya ruh hidup di akhirat), kemudian kepada Allah-lah kamu dikembalikan (dikumpulkan-Nya ruh)." - (QS.2:28) "Dan Dia-lah Allah, Yang telah menghidupkan kamu (ditiupkan-Nya ruh ke benih dasar tubuh), kemudian mematikan kamu (kematian teknis tubuh), kemudian menghidupkan kamu (diangkat atau dibangkitkan-Nya ruh hidup di akhirat), sesungguhnya manusia itu, benar-benar sangat mengingkari nikmat." (QS.22:66)

Berbagai catatan tambahan tentang tiap tahap / periode: Kolom ‘lama waktu’ pada tabel di bawah hanya ditinjau dalam konteks kerangka waktu ‘tiap’ manusia (antar manusia bisa berbeda). sedang kolom ‘waktu mulai’ dan ‘waktu selesai’ dalam konteks kerangka waktu ‘keseluruhan’ manusia (dari manusia pertama sampai manusia terakhir).

Tahap

Waktu selesai

Lama waktu

A

-tidak terbatas-

Awal penciptaan alam semesta.

Kekal, sampai Allah mulai menciptakan alam semesta ini, agar tiap makhluk-Nya bisa mengenal Allah, serta segala kemuliaan dan kekuasaan-Nya.

B

Sejak awal penciptaan alam semesta, dengan diciptakan-Nya tak-terhitung jenis dan jumlah ‘Atommateri’ (nyata & mati) dan ‘Ruh’ (gaib & hidup). Terjadi setelah diciptakanNya segala ketentuan / ketetapan-Nya bagi alam semesta (termasuk sunatullah atau aturan-Nya).

Awal penciptaan manusia pertama (atau manusia terakhir) di dunia ini.

Milyaran tahun ataupun lebih. Seluruh ruh makhlukNya masih tinggal di Surga. Dan tiap manusia belum menjadi makhluk utuh (masih berupa ruh).

C

Sejak ditiupkan-Nya ruh manusia pertama (nabi Adam as), atau ruh manusia terakhir di akhir jaman,

Awal kelahiran manusia pertama (atau manu-

Sekitar 9 bulan di alam rahim induknya, ataupun lama proses pembentukan tubuh janin.

Allah, Maha awal

Tak-berbatas

A

Awal penciptaan alam semesta, dari tak-terhitung Ruh dan Atom-materi.

B

Awal tiap ruh manusia ditiupkan-Nya ke tubuh wadahnya.

Hancur-musnahnya alam semesta (jika dikehendaki-Nya).

Allah, Maha akhir G E

F

Tiap manusia hidup di alam akhirat (di Surga / Neraka), masa berkumpul. Tiap manusia lahir s/d wafat (± 0-100 thn), masa hidup. Ruh-ruh makhluk masih hidup di Surga (milyaran thn), masa penciptaan alam semesta / dunia.

Segala zat ciptaan-Nya belum diciptakan-Nya, masa perencanaan alam semesta ini.

Tiap manusia di alam rahim induknya (± 9 bln), masa mengandung.

Tiap manusia di alam kuburnya (puluhan hari), masa tubuh jasadnya membusuk.

Seluruh manusua hidup kekal di alam akhirat (di Surga / Neraka), masa pembalasan terakhir.

H

Tak-berbatas

Segala zat ciptaan-Nya telah hancur-musnah, masa kesendirian-Nya (jika dikehendaki-Nya).

di alam ruh atau alam akhirat, yang ‘gaib’ dan ‘kekal’). Gambar 16: Skema umum tahapan kejadian manusia

468

Waktu mulai


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

469

ke tiap benih dasar tubuhnya, menjadi sel janin.

sia terakhir).

D

Sejak kelahiran bayi manusia pertama (nabi Adam as), atau kelahiran bayi manusia terakhir di akhir jaman.

Awal kematian teknis manusia pertama (atau manusia terakhir).

Sekitar 0 tahun – usia terpanjang manusia, ataupun lama usia hidup manusia di dunia.

E

Sejak tiupan sangkakala pertama (Hari kiamat kecil) atau kematian teknis pada tiap manusia di dunia, akibat tidak berfungsinya berbagai organ penting tubuhnya.

Awal kebangkitan ruh manusia pertama (atau manusia terakhir).

Sekitar puluhan hari di alam kubur, ataupun lama pembusukan jasadnya sampai saat kematian sel benih dasar tubuhnya.

F

Sejak tiupan sangkakala kedua, atau saat tiap ruh manusia diangkat-Nya dari sel benih dasar tubuhnya yang mati (dikumpulkan-Nya atau dibangkitkan-Nya ruh), untuk hidup kembali di Surga atau Neraka pada alam akhirat.

Awal hancurnya Bumi ataupun sistem tata surya, sekitar ratusan ribu tahun lagi ataupun lebih.

Sekitar ratusan ribu tahun ataupun lebih di alam akhirat, ataupun lama waktu tahapan berkumpulnya seluruh ruh manusia.

G

Sejak hancurnya Bumi ataupun sistem tata surya (akhir jaman atau Hari kiamat besar), atau kematian pada seluruh manusia di dunia.

Hancurnya alam semesta (jika dikehendaki-Nya).

-tidak diketahui-. Seluruh ruh makhlukNya kekal tinggal di Surga atau di Neraka (sampai dikehendakiNya lain).

H

Jika dikehendaki-Nya, sejak hancurnya alam semesta (akhir alam semesta), atau hancurnya seluruh zat makhluk-Nya. Jika tidak dikehendakiNya, maka tahap H ini sama dengan tahap G.

-tidak terbatas-

Kekal (ruh zat Allah, dengan ataupun tanpa segala ruh makhlukNya).

Tidak ada taubat atau penebusan dosa di Hari Kiamat Orang-orang kafir itu pada umumnya sekaligus pula mengikuti agama-agama yang amat mentolerir tiap dosa yang telah diperbuatnya sebelumnya, sehingga mereka itu telah mendapat pula pengakuan atau pembenaran secara moral dan resmi dari agamanya itu, atas perbuatan dosanya. Agama itu pada umumnya juga menjanjikan kepada mereka, tentang adanya penghapusan atas seluruh ataupun sebagian dosa-dosa mereka di Hari Kiamat, dan bahkan mereka mendapat kehidupan yang amat baik di Surga (pada alam akhirat).

470

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

Penebusan dosa-dosa merekapun umumnya relatif mudah pula untuk dilakukan, bahkan tidak harus ditebus oleh diri mereka sendiri, tetapi oleh sembahan mereka ataupun oleh orang-orang yang mereka anggap suci. Begitu pula relatif ringan konsep mereka tentang taubat, misalnya dengan hanya ‘mengingat’ kepada Sesembahannya, ataupun dengan melakukan pengakuan dosa melalui orang-orang suci mereka, maka dosanyapun relatif bisa langsung hilang. Sedang konsep penebusan seluruh ataupun sebagian dosa di Hari Kiamat, justru tidak dikenal dalam agama Islam. Dosa-dosa tiap manusia hanyalah bisa dimaafkan-Nya, melalui usaha dari manusia itu sendiri, dengan cara sungguh-sungguh bertaubat selama di kehidupan dunia ini, serta semestinya dilakukan jauh sebelum menjelang ajalnya, karena saat mendekati ajal, segala bentuk taubat relatif telah terlambat untuk bisa dikabulkan-Nya. Hal-hal ini relatif makin mudah dipahami, jika umat telah bisa memahami kehidupan akhirat (kehidupan batiniah ruh tiap manusia). Pada saat menjelang ajal misalnya, berbagai keadaan batiniah ruh tiap manusia telah relatif amat sulit untuk bisa berubah. Sedang tiap taubat relatif hanya terkait dengan berbagai perbuatan dosa saja, dan tidaklah cukup hanya dilakukan melalui pikiran dan ucapan saja, namun juga melalui berbagai kebaikan tertentu, yang tentunya pula telah sulit atau tidak sempat untuk bisa dilakukan pada saat menjelang ajal tersebut. Baca pula uraian-uraian di bawah tentang pengertian taubat ataupun syafaat. Konsep taubat atau penebusan dosa dalam agama Islam Konsep taubat atas dosa-dosa dari tiap manusianya, yang justru dikenal dalam agama Islam, pada umumnya meliputi:

Cara-cara dalam bertaubat •

Tegas menyatakan permohonan ampunan dari Allah atas perbuatan dosa terkait (beristighfar). Tentunya hanyalah atas ijin-Nya, maka suatu perbuatan dosa bisa dimaafkan-Nya (taubatnya bisa diterima-Nya), juga karena nilai dari suatu perbuatan manusia pasti hanya dinilai atau ditentukan oleh Allah, Tuhan Yang Maha berkuasa atas segala sesuatu hal. Permohonan ampunan dari Allah umumnya dilakukan oleh umat Islam, dengan mengucapkan kalimat-kalimat ‘istigfar’.

Tegas dan jelas menyatakan rasa bersalah (penyesalan) atas perbuatan


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

471

472

dosa terkait. Hal ini bisa dilakukan secara lisan (namun tidak perlu dilakukan di depan orang-lain) ataupun umumnya cukup di dalam hati saja. Ucapan lisan di depan orang-lain relatif tidak banyak faedahnya dan bisa menimbulkan berbagai kemudharatan, misalnya fitnah secara lahiriah ataupun batiniah dari orang-orang yang telah pula mengetahui perbuatan dosa terkait. Pernyataan ini perlu untuk dilakukan agar bisa lebih menegaskan secara batiniah, bahwa perbuatan terkait adalah perbuatan dosa, dan umat memang jelas mengakui telah berbuat dosa tersebut. Hal ini justru amat penting agar bisa lebih mudah mengingatnya, saat perbuatan dosa itu akan dilakukan kembali (sengaja ataupun tidak), juga agar lebih mudah untuk membatalkannya. •

Tidak mengulangi kembali tiap perbuatan dosa terkait (secara sengaja ataupun tidak). Makin sering umat melakukan sesuatu perbuatan dosa tertentu, maka alam batiniah ruhnya juga akan bisa makin mentolerir tiap perbuatan dosa tersebut. Padahal suatu perbuatan disebut mengandung dosa, justru karena perbuatan itu telah berlebihan atau melampaui batas, juga karena pasti merusak keseimbangan alam semesta (lahiriah dan batiniah, sedikit atau banyak, pada diri sendiri, orang lain, keluarga dan pada alam sekitar, dsb). Pada akhirnya suatu perbuatan dosa pasti merusak keseimbangan alam batiniah ruh pelakunya sendiri, karena perbuatan dosa itu menimbulkan berbagai pertentangan batin, antara kekeliruan tiap dasar alasannya dalam berbuat, terhadap isi hati-nuraninya yang sebenarnya, yang mengandung nilai-nilai kebenaran-Nya (dari hasil segala bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya). Tentunya penilaian atas tingkat kerusakan batiniah ruh menurut tiap manusianya, justru relatif amat subyektif (tergantung kepada pemahaman dan kepekaan hati nuraninya masing-masing). Jika makin sering sesuatu perbuatan dosa dilakukan, maka makin permanen segala kerusakan di alam batiniah ruh pelakunya, yang telah ditimbulkannya, lalu makin sulit pula keadaan batiniah ruh pelakunya itu untuk bisa diperbaiki (makin sulit bisa dimaafkanNya, ataupun makin sulit taubat bisa dikabulkan-Nya).

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

Hal ini bahkan bisa terjadi pula pada dosa-dosa kecil, yang pada awalnya relatif masih mudah untuk bisa dimaafkan-Nya. Tingkat kesadaran dan keterpaksaan di dalam berbuat, juga amat mempengaruhi tingkat kerusakan alam batiniah ruh. Makin sadar dan sengaja sesuatu perbuatan dosa dilakukan (atau makin sesuai dengan pemahaman ataupun kehendak pelakunya), maka makin berat pula tingkat kerusakan pada alam batiniah ruhnya. •

Melakukan berbagai amal-kebaikan tertentu, yang dianggap cukup bisa menutupi beban dari perbuatan dosa terkait. Hal ini amatlah perlu dilakukan untuk bisa menutupi, mengobati ataupun mengurangi kerusakan di alam batiniah ruh, akibat dosadosa yang telah dilakukan. Pada dasarnya kerusakannya memang mustahil bisa dihilangkan sepenuhnya, tetapi jika banyak berbuat amal-kebaikan tertentu yang terkait, yang nilai amalannya relatif seimbang ataupun lebih baik daripada berbagai beban dosa yang telah diterimanya, maka atas ijin-Nya, perlahan-lahan beban dosa itu relatif bisa makin tertutupi, terobati ataupun terkurangi. Karena hal itulah maka segala perbuatan dosa besar, yang tingkat kerusakan batiniahnya amat parah, relatif amat sulit dimaafkanNya (atau taubatnya relatif amat sulit bisa diterima-Nya). Tindakan dalam melakukan segala amal-kebaikan semacam itu, sering disebut ‘usaha membersihkan ataupun mensucikan ruh’.

Taubat atas berbagai dosa batiniah (berpikir buruk) Selain berbagai perbuatan dosa yang umumnya mudah terlihat (secara lahiriah), justru ada pula berbagai perbuatan dosa yang hanya dilakukan secara batiniah dalam pikiran tiap manusia (berpikir buruk), yang pada dasarnya relatif amat kecil beban dosanya. Namun karena segala anggota badan fisik-lahiriah hanyalah tunduk dan patuh kepada segala perintah ruh manusianya, maka suatu perkataan dan perbuatan buruk justru pada dasarnya pastilah berawal dari suatu pikiran buruk. Dengan adanya para jin, syaitan ataupun iblis yang pasti selalu mengikuti tiap manusia tiap saatnya, maka persoalan yang sebenarnya bukanlah pada ‘ada ataupun tidaknya’ berbagai pikiran buruk di dalam pikiran, namun pada bagaimana tindakan tiap manusianya selanjutnya dalam menyikapi atau menghadapi segala jenis bisikan-godaan-ilham negatif-buruk-sesat dari para makhluk gaib itu. Maka fokus utamanya justru bukan pada istilah ‘pikiran’ (kata


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

473

benda), tetapi pada istilah ‘berpikir’ (kata kerja). Karena pada istilah ‘berpikir’, tiap manusianya justru sedikit-banyak telah bersedia untuk mengikuti, menyetujui atau memperturutkan segala jenis ilham negatif tersebut. Hal ini justru perbuatan dosa (dosa pada pikiran), sedang tiap pikiran buruk yang pasti dimulai atau diawali oleh para makhluk gaib itu, justru tidak bisa ditolak oleh manusia (termasuk para nabi-Nya). Maka dalam ‘berpikir buruk’ pada dasarnya juga memerlukan suatu taubat secara batiniah, sebelum bisa berkembang lebih.jauh atau terwujud menjadi berbagai perbuatan dosa yang bersifat nyata-lahiriah yang beban dosanya relatif jauh lebih besar. ‘Taubat secara batiniah’ ini pada dasarnya amat serupa dengan ‘taubat secara lahiriah’ yang telah diuraikan di atas, dengan cara-cara misalnya: a. Segera memohon ampunan-Nya (beristighfar). b. Segera menegaskan secara batiniah tentang penolakannya atas tiap pikiran negatif-buruk-sesat. c. Segera mungkin agar bisa mengabaikan tiap pikiran negatif-buruksesat, yang baru muncul ataupun yang telah lama ada. d. Sebanyak mungkin menghindari atau mengurangi berpikir negatif, dan sebaliknya sebanyak mungkin berpikir positif. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang cara-cara mengatasi segala ‘pikiran buruk’. Tetapi ada pula ‘berpikir buruk’ itu yang beban dosanya relatif besar, sehingga justru amat perlu untuk bisa segera bertaubat dengan sebenar-benarnya, seperti “berburuk sangka dan curiga kepada Allah”, termasuk mencari pengetahuan yang lebih jelas tentang Allah. Syafaat, dan tidak diterima-Nya segala syafaat di Hari Kiamat Ada pemahaman yang relatif keliru terkait dengan ‘syafaat’, yang berkembang luas di kalangan umat Islam, terutama yang berupa seperti "pemberian syafaat bagi tiap umat Islam dari nabi Muhammad saw di Hari Kiamat, akan bisa meringankan atau menolong umat dari ancaman azab atau hukuman-Nya (azab Neraka)". Sebelum dibahas hakekat ‘syafaat’ yang sebenarnya, diungkap terlebih dahulu ayat-ayat terkait dalam Al-Qur’an, seperti:

Berbagai keterangan tentang ‘syafaat’, dalam Al-Qur’an a. Tentang tidak diterima-Nya syafaat di Hari Kiamat. "Dan jagalah dirimu dari (pengadilan di) hari (Kiamat, yang pada

474

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

hari itu) seseorang tidak bisa membela orang lain, walau sedikitpun pembelaan itu. Dan (juga) tidak diterima syafaat dan tebusan darinya, dan tidaklah mereka akan ditolong" - (QS.2:48) "Dan takutlah kamu kepada suatu hari (Hari Kiamat), di waktu seseorang tidak bisa menggantikan (membela) orang lain sedikitpun, dan tidak akan diterima suatu tebusan darinya. Dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafaat kepadanya, dan tidak (pula) mereka ditolong." - (QS.2:123) "…, yang pada hari (Kiamat) itu tidak ada lagi jual-beli, dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab, dan tidak ada lagi syafaat. Dan …." - (QS.2:254) b. Tentang syafaat yang baik dan buruk. "Barangsiapa yang memberikan syafaat yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian darinya (pahala-Nya). Dan barangsiapa yang memberikan syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian darinya (beban dosa). …." - (QS.4:85) c. Tentang syafaat sebenarnya (syafaat baik) yang hanyalah berasal dari Allah. "…. Sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafaatpun selain daripada Allah, agar mereka bertaqwa." (QS.6:51) "…. Tidak akan ada baginya (orang-orang yang kafir), pelindung dan tidak (pula) pemberi syafaat selain daripada Allah. Dan jika ia menebus dengan segala macam tebusanpun, niscaya tidak akan diterima (tebusan) itu darinya. …." - (QS.6:70) "…. Tidak ada bagi kamu, selain daripada Allah, seorang penolongpun, dan tidak (pula) seorang (sesuatu) pemberi syafaat. …" - (QS.32:4) "Katakanlah: `Hanya kepunyaan-Nya syafaat itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi ini. …`." - (QS.39:44) d. Tentang sesuatu tidak bisa memberi ataupun menerima syafaat, tanpa ijin-Nya "…. Siapakah yang bisa memberi syafaat di sisi-Nya, tanpa ijinNya?. …." - (QS.2:255) "…. Tiada seorangpun yang akan memberi syafaat, kecuali setelah ada keijinan-Nya. …." - (QS.10:3) "Pada hari (Kiamat) itu tidak berguna syafaat, kecuali bagi orang yang Allah Maha Pemurah, telah memberi ijin kepadanya, dan


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

475

Dia telah meredhai perkataannya." - (QS.20:109) "Dan tiadalah berguna syafaat di sisi-Nya, melainkan bagi orangorang yang telah diijinkan-Nya memperoleh syafaat itu. …" (QS.34:23) e. Tentang tidak ada syafaat dari ilah-ilah selain Allah. "…. Dan Kami tiada melihat besertamu (orang-orang yang musyrik) pemberi syafaat yang kamu anggap, bahwa mereka itu sekutu-sekutu Allah di antara kamu. …." - (QS.6:94) "Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak bisa mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan. Dan mereka berkata: `Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi-Nya`. Katakanlah: `Apakah kamu mengkhabarkan tentang Allah apa yang tidak diketahuinya di langit dan tidak (pula) di bumi`. …." - (QS.10:18) "Maka kami (orang-orang yang musyrik) tidak mempunyai pemberi syafaat, (tidak) seorangpun," - (QS.26:100) "Dan sekali-kali tidak ada pemberi syafaat bagi mereka, dari berhala-berhala mereka, dan adalah mereka mengingkari berhala mereka itu (pada Hari Kiamat)." - (QS.30:13) "…. Niscaya syafaat mereka (ilah-ilah selain Allah) tidak memberi manfaat sedikitpun bagi diriku. Dan mereka tidak (pula) bisa menyelamatkanku." - (QS.36:23) "Bahkan mereka mengambil pemberi syafaat selain Allah. Katakanlah: `Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatu (syafaat)pun, dan tidak berakal?`." (QS.39:43) "Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, tidak bisa memberi syafaat. Akan tetapi (orang yang bisa memberi syafaat ialah) orang yang mengakui yang hak, dan mereka menyakini (kebenaran-Nya)." - (QS.43:86) f. Tentang syafaat para malaikat kepada orang beriman. "…. Dan mereka (malaikat) tidak memberi syafaat, melainkan kepada orang-orang yang diredhai Allah. Dan …." - (QS.21:28) "Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka (malaikat) sedikitpun tidak berguna, kecuali setelah Allah mengijinkan, bagi orang-orang yang dikehendaki dan diredhai-Nya." (QS.53:26) g. Tentang syafaat hanya bagi orang-orang yang bersyahadat (atau hanya

476

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

bagi umat Islam). "Mereka tidaklah berhak mendapat syafaat, kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian (telah bersyahadat) di sisi Rabb Yang Maha Pemurah." - (QS.19:87) h. Tentang tidak diterimanya syafaat bagi orang kafir "…. (di Hari Kiamat) orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun, dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafaat, yang diterima syafaatnya." - (QS.40:18) "Maka tidak berguna lagi bagi mereka (yang wafat dalam keadaan kekafiran), syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat." - (QS.74:48). Dari ayat-ayat Al-Qur'an di atas bisa disimpulkan pula, bahwa ‘syafaat’ pada dasarnya berupa tiap ‘nilai pelajaran’ bagi tiap manusia (positif dan negatif), yang diperoleh dari: Allah; ilah-ilah selain Allah; para malaikat dan makhluk gaib lainnya; para nabi-Nya, para sahabat, para ulama, dan semua manusia lainnya; benda-benda mati; dsb. Dengan dan hanya atas ijin-Nya, justru tiap syafaat yang bisa diterima-Nya, jika berupa 'pelajaran positif' (mengandung nilai-nilai kebenaran-Nya), dan 'telah diamalkan' oleh tiap umat menjadi segala amal-kebaikan selama di 'kehidupan dunia'. Tanpa suatu pengamalan, syafaat atau pengajaran itu justru sama sekali tidak berguna bagi umat itu sendiri. Maka di Hari Kiamat, syafaat yang diterima-Nya itupun telah melekat pada jumlah nilai amalan tiap manusia, dari hasil segala amalkebaikannya di kehidupan dunianya. Syafaat itupun justru "bukanlah" sesuatu bonus nilai tambahan yang "otomatis" ditambahkan ke jumlah nilai amalan dari segala hasil usaha tiap manusia itu sendiri, yang lalu bisa meringankannya dari segala ancaman hukuman-Nya kepadanya (tidak bisa menebus sebagian ataupun seluruh dosa-dosanya). Tiap manusia pastilah tetap bertanggung-jawab atas tiap amalperbuatannya sendiri ataupun hanya bisa menebusnya sendiri dosanya, sedang hanya tiap manusianya sendiri yang sepenuhnya bisa mengatur keadaan batiniah ruhnya (atau kehidupan akhiratnya), selama di dunia. Maka kehidupan akhirat setelah Hari Kiamat, yang berupa kelanjutan dari kehidupan akhirat yang terbangun selama di dunia, dan telah pula disempurnakan-Nya, pada akhirnya hanyalah semata-mata tergantung kepada segala amal-perbuatan tiap manusia selama di dunia tersebut. Juga tidak ada suatu penebusan dosa secara “otomatis” di Hari


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

477

Kiamat (sebagian ataupun seluruhnya), seperti halnya pada penafsiran tentang “ada syafaat nabi Muhammad saw kepada umat Islam, yang bisa menolong tiap umat Islam dari ancaman api neraka”. Pemahaman atau penafsiran tentang penebusan dosa semacam ini, diyakini amat dipengaruhi dari ajaran agama di luar Islam. Karena pada dasarnya mustahil ada sesuatu hal selain dari tiap manusianya sendiri, yang bisa mengatur keadaan batiniah ruhnya selama di kehidupan dunia ataupun di Hari Kiamat. Sedang Allah justru hanya mengikuti sesuai tiap hasil usaha pengaturan oleh manusianya sendiri selama di dunia. Bahwa syafaat dari nabi Muhammad saw bagi tiap umat Islam, sesungguhnya hanya akan bisa diterima-Nya, jika tiap pengajaran dan tuntunan-Nya yang telah disampaikan oleh Nabi, telah bisa ‘diterima’ dan ‘diamalkan’ oleh umat itu sendiri. Jika tidak diamalkan oleh umat menjadi amal-kebaikan terkait, maka tiap syafaat atau pengajaran dari nabi Muhammad saw itupun sama sekali tidak berguna baginya. Sedang adanya penyebutan syafaat, yang umumnya dikaitkan dengan Hari Kiamat, justru terkait dengan adanya proses ‘Penyaksian’ di Hari Kiamat. Karena pada proses ‘Penyaksian’, tiap amal-perbuatan manusia justru akan dibuktikan, apakah hal itu memang benar-benar hasil pengajaran dari para saksi yang terkait (seperti: nabi Muhammad saw, para nabi-Nya lainnya, para malaikat, dsb). Apabila ‘tidak terbukti’, maka amalan itu tanpa memiliki dasar alasan pembenaran sama sekali, ataupun manusianya hanya mengadaadakan sendiri amalannya itu, dan sebaliknya apabila ‘terbukti’, maka amalan itu memang hasil pengajaran dari pihak-pihak lainnya, yang juga pasti menjadi saksi baginya di Hari Kiamat. Apabila pengajaran itupun bersifat ‘positif’, juga bisa disebut, bahwa amalannya ataupun syafaat dari pihak lainnya baginya bisa diterima-Nya. Lihat pula pada Gambar 17, tentang hubungan antara syafaat dan proses Penyaksian di Hari Kiamat. Anggapan “bahwa syafaat dari nabi Muhammad saw bagi tiap umat Islam, yang bisa menolongnya dari ancaman api neraka di Hari Kiamat”, justru bisa amat menyesatkan, dan juga serupa seperti halnya pemahaman konsep penebusan atau penghapusan dosa secara otomatis di Hari Kiamat, pada beberapa agama lainnya (di luar agama Islam). Apakah jadinya apabila ada umat Islam yang merasa nasibnya telah ‘aman’ di Hari Kiamat, walau dalam kehidupannya sehari-hari ia justru banyak berbuat kemungkaran ataupun kekafiran, tanpa adanya berbagai usahanya untuk bisa memperbaiki dirinya (bertaubat)?.

478

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

Dari ayat-ayat Al-Qur’an di atas, juga bisa terungkap berbagai hal lainnya, seperti:

Berbagai kesimpulan pemahaman tentang ‘syafaat’ a. Syafaat bagi tiap manusia tidak diterima-Nya lagi sejak saat kematiannya ataupun sejak Hari Kiamat. Segala amal-perbuatannya yang dilakukan sejak saat itu memang tidak diperhitungkan-Nya lagi (segala amalannya telah terputus, atau segala keadaan batiniah ruhnya relatif tidak berubah lagi). b. Syafaat baik adalah pengajaran yang bersifat positif (mengandung nilainilai kebenaran-Nya) Syafaat baik bisa berasal dari: para malaikat; para nabi-Nya; para wali; para alim-ulama; orang beriman; manusia biasa; dsb. Syafaat buruk adalah pengajaran yang bersifat negatif (mengandung nilai-nilai kesesatan). Syafaat buruk bisa berasal dari: para jin, syaitan dan iblis; ilahilah selain Allah; orang kafir; manusia biasa; benda mati; dsb. c. Syafaat yang sebenarnya (syafaat baik), hanya berasal dari Allah. Segala kebenaran ‘mutlak’ pastilah hanya milik dan berasal dari Allah, yang bisa dipahami oleh tiap manusia melalui tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya yang ada di seluruh alam semesta ini. Maka segala bentuk pengajaran yang mengandung nilai-nilai kebenaran-Nya (syafaat baik), dari siapapun penyampainya dan pada kitab manapun tertulis, justru pastilah berasal dari Allah. d. Segala sesuatu tidak bisa memberi ataupun menerima syafaat, tanpa ijinNya. Segala hasil pengajaran dan tuntunan-Nya (hikmah dan hidayahNya atas berbagai nilai kebenaran-Nya), pastilah hanya atas ijinNya (pasti mengikuti sunatullah), maka bisa didapat oleh orangorang yang dikehendaki-Nya (para penerima syafaat). Dan hanya atas ijin-Nya pula, maka segala sesuatu zat ciptaanNya (para pemberi syafaat), bisa menyampaikan tiap pengajaran dan tuntunan-Nya bagi umat manusia. e. Tidak ada syafaat dari ilah-ilah selain Allah. Seperti disebut di atas, segala kebenaran pastilah hanya milik dan berasal dari Allah. Dengan sendirinya, segala bahan pengajaran


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

479

480

yang telah diperoleh dari ilah-ilah selain Allah, pastilah tidak ada mengandung sesuatu kebenaran, terutama apabila ditinjau secara ‘keseluruhannya’ (sebagiannya seolah-olah tampak relatif benar), karena pondasi tauhid yang melatar-belakangi pengajarannya itu justru pasti mengandung cacat atau sesat (tauhidnya tidak lurus). Memang relatif banyak dari pengajaran seperti itu (pada ajaranajaran agama yang musyrik), yang ‘seolah-olah’ jelas tampak ada mengandung berbagai kebenaran, tetapi apabila pengamalannya berdasarkan kepada tauhid yang cacat (bukanlah untuk mengabdi kepada-Nya), maka syafaatnya pastilah tidak diterima-Nya. Bahkan terkait hal ini sering disebut dalam Al-Qur’an, "sia-sia segala amal-kebaikan dari orang-orang yang kafir-musyrik". f. Syafaat dari para malaikat kepada orang beriman.

i.

Jika hal ini terkait dengan orang yang ‘berbuat’ kafir (bisa pula dilakukan oleh umat Islam), maka tiap perbuatan kekafiran yang pasti sama-sekali tidak memiliki dasar alasan pembenaran, pasti tidak akan diredhai-Nya ataupun syafaat baginya pasti tidak akan

diterima-Nya. Tetapi jika hal ini terkait dengan orang yang ‘tauhidnya’ kafir (cacat tauhidnya ataupun sesuatu kemusyrikan), maka pada tiap kekafiran semacam ini, tiap amalannya atau syafaat baginya pasti tidak akan diterima-Nya. Kecuali jika ia telah masuk Islam dan telah bertaubat, relatif jauh sebelum menjelang akhir hidupnya. Syafaat yang diterima-Nya, hanyalah terkait dengan ‘tiap’ amal-kebaikan dari ‘tiap’ umat Islam, selama di dunia. Anggapan umum yang keliru, yaitu “syafaat yang diberikan oleh nabi Muhammad saw bagi ‘seluruh’ umat Islam, dengan segala bentuk amal-perbuatannya (baik dan buruk)”. Kalaupun ada, hal ini justru hanya terkait dengan kesamaan dan kelurusan tauhid umat Islam, seperti halnya yang telah diajarkan oleh para nabi-Nya (terutama nabi Muhammad saw), yaitu "tiada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa". Tiap perbuatan kekafiran (melanggar perintah-Nya) yang telah dilakukan oleh umat Islam, ‘umumnya’ tidak berdasar pada suatu kesengajaan untuk mau menentang dan berpaling dari kebenaranNya, tetapi akibat dari kekhilafan ataupun kesesatan sesaat (umat itu sendiri memang masih menyembah Allah). Sehingga beban dosanya bisa relatif lebih ringan daripada beban dosa bagi orang musyrik, yang melakukan suatu perbuatan kekafiran yang persis sama (hanya berbeda pelakunya saja). Maka syafaat bagi tiap amal-keburukan dari tiap umat Islam pasti akan tidak diterima-Nya, walaupun kelurusan tauhidnya memang bisa ‘sedikit meringankan’ beban dosanya.

Hal ini banyak disebut dalam Al-Qur’an, terutama dari malaikat Jibril sebagai utusan-Nya dalam menyampaikan pengajaran dan tuntunan-Nya (atau wahyu-Nya) kepada para nabi-Nya. Dan hal inipun pada dasarnya serupa dengan penyampaian segala hikmah dan hidayah-Nya kepada tiap umat manusia pada umumnya. g. Syafaat hanya bagi orang-orang yang telah bersyahadat (atau hanya bagi umat Islam). Hal ini justru terkait dengan kelurusan tauhid umat Islam (dalam bacaan syahadat), karena secara sadar ataupun tidak, tauhid pasti mendasari segala amal-perbuatan manusia tiap saatnya sepanjang hidupnya. Serta tauhid terkait dengan Tuhan, sebagai tempat bagi tiap manusia untuk menyerahkan atau mengabdikan dirinya, dan bahkan termasuk menyerahkan seluruh kehidupannya. Namun tentunya, perbuatan kekafiran yang bisa pula dilakukan oleh tiap umat Islam, pasti tidak akan mendapat keredhaan-Nya. Dengan sendirinya pula, syafaat baginya yang terkait dengan tiap perbuatan kekafirannya, pasti akan tidak diterima-Nya. Sedang sebaliknya, syafaat baginya atas tiap amal-kebaikannya, pasti akan diterima-Nya. h. Syafaat bagi orang kafir, tidak diterima-Nya.

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

-

-

Juga harus betul-betul dipahami istilah-istilah berikut: ‘Diterimanya syafaat oleh Allah’. Suatu syafaat atau suatu pelajaran positif (mengandung nilai-nilai kebenaran-Nya) justru hanya bisa diterima oleh Allah, jika telah diamalkan menjadi berbagai amal-kebaikan. Maka di Hari Kiamat, segala syafaat tidak diterima oleh Allah, karena sejak saat itu (atau sejak kematian tiap manusianya), segala amalannya telah terputus. ‘Diterimanya syafaat oleh umat’ atau ‘diberikannya syafaat kepada umat’ Segala syafaat (baik dan buruk) justru hanya terjadi di kehidupan dunia ini (diterima oleh umat atau diberikan kepada umat), melalui


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

481

segala bentuk pelajaran yang diperolehnya (positif-baik-benar dan negatif-buruk-sesat), dari berbagai hal, misalnya: Allah; ilah-ilah selain Allah; para malaikat, jin, syaitan dan iblis; para nabi-Nya, para wali, para alim-ulama, segala makhluk dan manusia lainnya; benda-benda mati, dsb. Maka syafaat justru bisa diberikan oleh segala sesuatu hal, yang dianggap telah menjadi sumber pelajaran bagi umat. Bahkan para pemberi syafaat justru belum tentu menyadari langsung, bahwa ia memang telah memberi syafaat kepada umat, atau umat itu sendiri yang justru telah mengambil berbagai pelajaran darinya (dengan ataupun tanpa sepengetahuan para pemberi syafaatnya). Pada akhirnya, syafaat justru sama sekali bukan sesuatu bentuk ‘penghapusan dosa’ bagi segala amal-keburukan dari tiap umat Islam. Namun syafaat yang diterima-Nya justru hanya terkait dengan segala pengajaran-Nya, yang telah diamalkan menjadi segala amal-kebaikan. Lebih lanjut, Syafaat di Hari Kiamat Dari berbagai uraian di atas, bahwa tiap syafaat justru bukan diberikan di Hari Kiamat oleh para pemberi syafaat (para penyampai pengajaran dan tuntunan-Nya, khususnya para nabi-Nya), tetapi telah berwujud berupa seluruh nilai amalan kebaikan yang dilakukan pada kehidupan dunia ini oleh tiap umat yang menerima syafaat, dan juga telah diamalkannya ‘sesuai’ dengan segala pengajaran atau syafaat itu. Bahkan syafaat dari nabi Muhammad saw bagi tiap umat Islam justru bukan ‘dibagikan’ secara merata di Hari Kiamat, agar bisa pula meringankan ataupun menolongnya dari ancaman azab neraka, seperti halnya pemahaman yang berkembang luas di kalangan umat Islam. Fokus utama dari proses ‘diberikannya’ syafaat (oleh pemberi syafaat) ataupun proses ‘diterimanya’ syafaat (oleh penerima syafaat) justru terjadi pada kehidupan dunia ini. Sedang di hadapan Allah dan para saksi di Hari Kiamat, justru hanya sekedar suatu ‘klarifikasi’ atau ‘pengecekan’, “apakah suatu amal-perbuatan manusia di dunia berasal dari ataupun ‘sesuai benar’ dengan hasil pengajaran dari pihak lainnya (para saksi), ataupun tidak?” atau “apakah diada-adakan sendiri oleh manusia pelakunya?”. Maka fokus utama lainnya dari syafaat, adalah harus ada suatu ‘kesesuaian’ antara pengajaran yang telah disampaikan oleh pemberi syafaat (penyampai kebenaran-Nya), dan pemahaman yang ditangkap oleh penerima pengajaran. Jika ‘tidak sesuai’ (penerima pengajaran itu tidak benar-benar memahami hal-hal yang diajarkan), maka penerima

482

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

pengajaran itupun justru bukanlah penerima syafaat yang sebenarnya, apalagi jika tiap pengajaran itu belum diamalkan. Lihat pula pada Gambar 17 berikut, tentang hubungan antara syafaat dan proses Penyaksian di Hari Kiamat. Syafaat bagi tiap umat justru bukanlah diberikan bagi ‘seluruh’ amal-perbuatan umat itu, tetapi hanya bagi ‘tiap’ amal-perbuatannya, yang memang suatu bentuk pengamalan yang benar-benar telah sesuai dengan hasil pengajaran dari pemberi syafaat itu. Sedangkan diketahui pula, manusia justru bukanlah makhluk yang konsisten dalam berbuat. Kalaupun di Hari Kiamat, syafaat ‘seolah-olah’ dianggap bisa sebagai ‘penolong’ bagi tiap manusia atas sesuatu amal-perbuatannya, karena pada pengadilan akhirat (Penyaksian) akan dibuktikan, apakah amalan itu (baik-benar dan buruk-sesat) memang benar-benar berasal dari hasil pengajaran pihak lainnya (para saksi). Jika ‘benar’ diajarkan oleh para saksi tersebut, maka manusia pelakunya relatif memiliki sesuatu dasar alasan pembenaran, di dalam melakukan amal-perbuatannya itu. Jika amal-perbuatannya itu berupa keburukan atau kesesatan, maka para pemberi syafaat buruk ini (para saksi), justru ikut bertanggung-jawab atas amal-perbuatan itu. Sedang di lain pihak, justru para nabi-Nya sebagai penyampai pengajaran dan tuntunan-Nya, mustahil memberi syafaat buruk seperti ini. Sekali lagi, “syafaat baik” dari para nabi-Nya itu memang bisa dianggap sebagai penolong bagi umatnya di Hari Kiamat, karena para nabi-Nya memang justru langsung ikut bertanggung-jawab di hadapan Allah, atas tiap amal-perbuatan umatnya yang dilakukan berdasar hasil dari pengajaran mereka. Selain itu, para nabi-Nya memang harus ikut bertanggung-jawab pula atas segala pengajarannya, “apakah memang sesuai dengan kehendak dan keredhaan-Nya ataupun tidak?”. Sehingga beban tanggung-jawab di pundak para nabi-Nya itu justru amat sangat besar atas tiap pengajarannya. Sedang seluruh umat manusia lainnya yang telah mendapat tiap pengajaran dari para nabiNya (sedikit ataupun banyak, langsung ataupun tidak), sadar ataupun tidak, justru pada dasarnya ikut meletakkan beban di pundak mereka. Hal yang serupa pula pada semua penyampai kebenaran-Nya lainnya, seperti: wali, alim-ulama, ustadz, orang-tua, dsb. Hal itu yang menjadikan suatu pemahaman kenabian memiliki persyaratan yang amat sangat berat, yang amat sulit bisa dicapai oleh manusia biasa pada umumnya, yaitu: amat lengkap (sesuai jamannya), mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan keseluruhan


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

483

pemahamannya. Sehingga dengan pemahaman seperti ini, para nabiNya bisa memiliki keyakinan yang amat kuat, bahwa pemahamannya telah relatif sesuai dengan berbagai kebenaran-Nya di alam semesta ini (tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya). Sekaligus mereka itu bisa amat yakin pula, untuk mengajarkan segala pemahamannya kepada seluruh umat manusia pada jamannya masing-masing, sebagai suatu “pengajaran dan tuntunan-Nya”. Maka bagi tiap umat pengikut para nabi-Nya juga harus benarbenar yakin, “apakah segala pemahamannya sekarang ini telah benarbenar ‘sesuai’ dengan segala hal yang telah diajarkan oleh para nabiNya.(terutama pada tingkat pemahaman al-Hikmah atau hikmah dan hakekat kebenaran-Nya)?”, karena makna tekstual-harfiah tiap ayat alKitab relatif ‘belum tentu’ sesuai dengan al-Hikmah di dalamnya. Khusus bagi tiap umat Islam, tiap amal-perbuatannya tentunya justru harus benar-benar ‘sesuai’ dengan hal-hal yang diajarkan atau dimaksud oleh nabi Muhammad saw, atau sesuai dengan hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (al-Hikmah), di balik teks ayat kitab suci AlQur’an dan Hadits Nabi (Sunnah Nabi), agar tiap amal-perbuatannya ataupun syafaat dari Nabi atas amalan itu, benar-benar bisa diterima oleh Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun. Padahal di lain pihak, tingkat pemahaman tiap umat Islam atas ajaran-ajaran agama-Nya, justru relatif berragam dari yang amat maju (melalui berbagai riset dan penelitian pada saat sekarang ini), sampai yang amat tradisional (memakai berbagai kitab kuno dari para alimulama terdahulu), dari amat mendalam (tingkat hikmah dan hakekat), sampai amat sederhana (tingkat tekstual-harfiah). Sehingga syafaat yang bisa diterima oleh Allah, atas tiap amalperbuatan umat Islam tentunya juga relatif berbeda-beda. Hal ini amat tergantung kepada ‘kedekatan’ pemahaman tiap umat Islam terhadap pemahaman nabi Muhammad saw, makin dekat tentunya syafaat Nabi atas tiap pengamalan oleh umat, juga makin bisa diterima oleh Allah. Tentunya tingkat pemahaman yang relatif ‘sama’ pada seluruh umat Islam, adalah pemahaman atas tauhid “tiada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa.”, sebagai pondasi yang paling dasar bagi kehidupan tiap umat Islam sehari-harinya, sehingga kalimat tauhid ada terhadap dalam kalimat syahadat, sebagai suatu kalimat perjanjian paling awal di hadapan Allah, saat seseorang telah mulai menjadi seorang Muslim. Maka kalimat tauhid inilah ‘penolong’ yang paling utama dan paling dasar bagi seluruh umat Islam di Hari Kiamat.

484

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

Gambar 17: Diagram hubungan syafaat dan Penyaksian di Hari Kiamat Penyaksian atas sesuatu amalan umat.

Malaikat: Apakah saksi pernah mengajarkan amalan itu?

Keterangan:

T

Y

Malaikat: Apakah amalan itu benar‘sesuai’, dengan pengajaran saksi? Y Penyaksian atas amalan dari saksi (pemberi pengajaran).

Malaikat: Apakah dalil penyaksian atas pengajaran saksi, diterima-Nya?

• Penyaksian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, terjadi langsung di hadapan Allah dan para malakat, serta hanya atas tiap amalan umat (satu per satu amalan). • Para saksi adalah orang-orang yang mengajari sesuatu amalan kepada umat (baik ataupun buruk), sehingga mereka juga harus ikut mempertanggung-jawabkannya. • Para saksi tersusun bertingkat-tingkat, sampai ke pengajar yang langsung diajari oleh para makhluk gaib. • Syafaat ‘baik’ adalah segala pengajaran tentang kebenaran (terutama dari para nabi-Nya). Dan syafaat ‘buruk’ adalah segala pengajaran tentang kesesatan. • Segala syafaat hanya diberi dan diterima pada kehidupan dunia (pemberian dan penerimaan pengajaran). Sedang pada penyaksian di Hari Kiamat hanya klarifikasi atau pengecekan silang saja, bersama para saksi.

T

Penyaksian yang terpisah, karena tiap taubat berupa suatu amalan terpisah.

Beban dosa umat agak berkurang. Umat diberi-Nya siksaan, atas amalannya.

Malaikat: Apakah dalil-alasan umat diterima-Nya?

Y

T Penyaksian atas taubat dari umat bagi perbuatan dosanya.

Y

Beban dosa umat tidak berkurang.

T Syafaat ‘buruk’ dari saksi kepada umat, tidak diterima-Nya.

Umat mengada-adakan sendiri amalannya itu.

Penyaksian yang terpisah, karena saksi harus ‘ikut’ bertanggung-jawab atas pengajarannya.

Syafaat ‘baik’ dari saksi kepada umat, bisa diterima-Nya. T Umat diberi-Nya nikmatpahala, atas amalan itu.

Malaikat: Apakah dalil penyaksian atas taubat umat, diterima-Nya?

Y

Beban dosa umat berkurang/tertutupi (sesuai taubatnya).

Gambaran hubungan Syafaat dan penyaksian di Hari Kiamat Pada Gambar 17 di atas telah digambarkan secara sederhana,


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

485

atas hubungan antara syafaat dan proses Penyaksian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat. Walau proses Penyaksian yang digambarkan pada dasarnya justru lebih berbentuk ‘contoh-perumpamaan simbolik’ (bukan fakta-kenyataan-hakekat yang sebenarnya). Segala bentuk kesaksian para saksi pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat (dalam bentuk ‘simbolik’), pada dasarnya telah tersedia semuanya pada catatan amalan dalam tiap ruh manusia (dalam bentuk hakekat yang sebenarnya). Sehingga para saksi sebenarnya ‘tidak ada’ pada proses Penyaksian itu, tetapi saksi yang sebenarnya justru hanya berupa ‘catatan amalan’ tiap manusianya sendiri. Baca pula uraian pada topik di bawah, tentang proses kejadian Penyaksian di Hari Kiamat, dalam bentuk simbolik dan hakekat yang sebenarnya. Proses pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat Pada dasarnya beberapa proses kejadian di Hari Kiamat, yang disebutkan pada “Tabel 10: Kejadian-kejadian umum di Hari Kiamat, secara ringkas” (poin d s/d h), adalah beberapa proses kejadian pada pengadilan akhirat. Proses pengadilan akhirat di Hari Kiamat ini mulai dilakukan, segera setelah umat manusia dikumpulkan-Nya di padang Mahsyar, langsung berada di hadapan ‘Arsy-Nya. Adapun beberapa proses kejadian pada pengadilan akhirat itu, secara terurut yaitu: (dalam bentuk ‘simbolik’) 1. Proses Penyaksian (dipanggil atau dihadirkan-Nya para saksi) 2. Proses dibukakan kebenaran-Nya (dibuka, dibaca atau diberitakan isi buku catatan amalan setiap manusia, oleh para malaikat Rakid dan ‘Atid); 3. Proses Penghisaban (dihisab, dihitung atau ditimbang-Nya seluruh nilai amalan setiap manusia); 4. Proses Pemutusan (diputuskan-Nya tempat tinggal yang terakhir, bagi setiap manusia di kehidupan akhiratnya); 5. Proses Pembalasan (mulai diberikan atau dilaksanakan-Nya segala bentuk balasan-Nya yang terakhir); Uraian lebih lengkapnya atas masing-masing proses kejadian tersebut, bisa dibaca pada topik-topik di bawah, tentang proses-proses kejadian dalam bentuk ‘simbolik’. Disebut ‘simbolik’, karena hampir semua penjelasan dan keterangan di dalam Al-Qur'an tentang hal-hal gaib dan batiniah, justru memakai segala jenis ‘contoh-perumpamaan simbolik’, serta tidak langsung memakai segala fakta-kenyataan yang

486

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

sebenarnya. Sedang uraian atas proses-proses kejadian yang sama, namun dalam bentuk ‘hakekat’ yang sebenarnya, bisa dibaca pada topik-topik di bawah tentang proses-proses kejadian dalam bentuk ‘hakekat’. Dan hal ini memang ‘amat terbatas’ diungkap dalam ayat-ayat Al-Qur'an. Jika umat telah mengalami berinteraksi secara terang-terangan dengan para makhluk gaib, maka berbagai proses kejadian itu dalam bentuk ‘hakekat’ yang sebenarnya, relatif lebih mudah bisa dipahami, karena umat telah bisa mengetahui kehidupan akhirat yang sebenarnya (seperti halnya yang telah dialami oleh sebagian dari para nabi-Nya, termasuk nabi Muhammad saw). Urutan proses-proses kejadian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, dalam bentuk ‘simbolik’ dan ‘hakekat’ pada dasarnya sama, namun ada berbagai perbedaan pada penjelasan atau keterangan atas masing-masing proses kejadian tersebut. Dan keterangan dalam tanda kurung ‘()’ pada daftar urutan di atas, adalah keterangan dalam bentuk ‘simbolik’ (bukan ‘hakekat’). Adapun beberapa proses kejadian pada pengadilan akhirat itu, berubah menjadi: (dalam bentuk ‘hakekat’) 1. Proses Penyaksian (diberikan buku catatan amalan setiap manusia oleh para malaikat Rakid dan ‘Atid) 2. Proses dibukakan kebenaran-Nya (dibuka, dibaca atau diberitakan isi buku catatan amalan setiap manusia oleh para malaikat Rakid dan ‘Atid, bahkan juga dibaca oleh manusianya sendiri); 3. Proses Penghisaban (dihisab, dihitung atau ditimbang-Nya nilai amalan dari setiap amal-perbuatan manusia); 4. Proses Pemutusan (diputuskanlah balasan-Nya yang terakhir atas setiap amal-perbuatan manusia); 5. Proses Pembalasan (mulai diberikan atau dilaksanakan-Nya segala balasan-Nya yang terakhir atas setiap amal-perbuatan manusia); Sehingga segala penjelasan atau keterangan atas proses-proses kejadian dalam bentuk ‘hakekat’, secara umum hanya terfokus pada ‘setiap’ amal-perbuatan manusia. Dan saksi pada proses Penyaksian, justru hanya berupa ‘catatan amalan’ dalam setiap zat ruh manusianya sendiri. Sedang segala penjelasan atau keterangan atas proses-proses kejadian dalam bentuk ‘simbolik’, secara umum justru terfokus pada


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

487

‘seluruh’ amal-perbuatan manusia. Dan saksi pada proses Penyaksian, antara lain: Allah, para malaikat, para nabi-Nya, para pemimpin, para alim-ulama, orang-orang yang beriman, diri manusianya sendiri, tiap anggota badan manusianya, dsb. Proses Penyaksian di Hari Kiamat (simbolik) Proses kejadian Penyaksian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, adalah proses dibuktikan-Nya setiap amal-perbuatan manusia (baik ataupun buruk). Dengan dipanggil atau dihadirkan-Nya sejumlah para saksi, yang ikut mengetahui kebenaran dari amal-perbuatan itu. Para saksi ini misalnya bisa terdri dari: - Orang-orang yang mengetahui berbagai kebenaran-Nya, yang juga terkait dengan amal-perbuatan itu; - Orang-orang yang ikut mengajarkan amal-perbuatan itu (langsung ataupun tidak, persis sesuai diamalkan ataupun tidak); - Orang-orang yang ikut serta terlibat bersama-sama atas terjadinya amal-perbuatan itu; - Setiap anggota badannya yang ikut mengetahui, ataupun ikut serta terlibat dalam mewujudkan terjadinya amal-perbuatan itu; - Orang-orang yang ikut mengetahui ataupun menyaksikan langsung pada saat amal-perbuatan itu dilakukan; - Para malaikat yang setiap saatnya pasti selalu mengikuti, menjaga ataupun mengawasi setiap manusia pelaku amal-perbuatan itu; - Allah Yang Maha mengetahui amal-perbuatan makhluk-Nya; dsb; Dan tentunya sesuatu kewajiban bagi Allah untuk melakukan penyaksian itu, sebagai janji-Nya, terutama untuk membuktikan setiap amal-perbuatan manusia, dan sebagai tujuan dari diciptakan-Nya alam semesta ini. Karena hakekat nilai dari setiap zat makhluk-Nya justru terletak pada segala amal-perbuatannya di kehidupan dunianya. Dalam pembuktian ini tentunya terkait pula dengan proses selanjutnya, yaitu proses dibukakan-Nya segala tabir kebenaran-Nya. Baca pula topik di atas, tentang urutan proses-proses kejadian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, terutama tentang letak proses Penyaksian ini (proses urutan pertama). Lebih spesifik lagi, para saksi yang disebut-sebut di dalam AlQur'an, adalah Allah, para malaikat, para nabi-Nya, para pemimpin, para alim-ulama, orang-orang beriman, anggota-anggota badan, dsb, seperti yang diungkap pula pada tabel berikut.

488

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

Proses penyaksian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, dalam Al-Qur'an No

Rangkuman

Ayat-ayat Al-Qur'an

1.

Saksinya: Allah.

"…, dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu, di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Rabb-mu, biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar daripada itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." - (QS.10:61) "… Dan cukuplah Allah sebagai saksi." - (QS.48:28) dan (QS.3:81, QS.4:79) "Katakanlah: `Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan antaramu (mengenai urusan kita). Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi. …" - (QS.29:52) dan (QS.13:43, QS.6:19, QS.10:29, QS.46:8) "… Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan (dan kerjakan)`." - (QS.28:28) dan (QS.12:66, QS.9:107, QS.10:46, QS.16:91)

2.

Saksinya: Para malaikat-Nya.

"…, tetapi Allah mengakui Al-Qur`an yang diturunkan-Nya kepadamu. Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya. Dan malaikat-malaikat-pun menjadi saksi (pula). Cukuplah Allah yang mengakuinya." - (QS.4:166)

3.

Saksinya: Para nabi-Nya.

"(Dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiaptiap umat seorang saksi (para nabi dan rasul-Nya), atas mereka, dari (kalangan) mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. …" - (QS.16:89) dan (QS.28:75, QS.4:41, QS.16:84, QS.5:117, QS.17:96, QS.22:78, QS.11:17, QS.73:15) "Sesungguhnya, Kami mengutus kamu (Muhammad) sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan," (QS.48:8) dan (QS.33:45) "… Dan di Hari Kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka (para Ahli Kitab)." - (QS.4:159)

4.

Saksinya: Orangorang beriman.

"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. …" - (QS.2:143) "Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang yang Shiddiqin, dan orang-orang yang menjadi saksi di sisi Rabb-mereka. …" - (QS.57:19) dan (QS.3:53)

5.

Saksinya: Umat manusia

"Dan terang-benderanglah bumi (padang mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Rabb-nya. Dan diberikanlah buku (catatan


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

489

umumnya

amal-perbuatannya masing-masing). Dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi, dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan." - (QS.39:69) "Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami, dan orangorang yang beriman pada kehidupan dunia, dan pada hari (Kiamat, saat) berdirinya saksi-saksi," - (QS.40:51) "… (di Hari Kiamat) Mereka itu akan dihadapkan kepada Rabbmereka, dan para saksi akan berkata: `Orang-orang inilah yang telah berdusta tentang Rabb-mereka`. …" - (QS.11:18) dan (QS.11:103, QS.70:33, QS.85:3)

6.

Saksinya: Para ilah selain Allah.

"… Pada hari (Kiamat, Rabb) memanggil mereka: `Di manakah sekutu-sekutu-Ku itu`. Mereka menjawab: `Kami nyatakan kepada Engkau, bahwa tidak ada seorangpun di antara kami, yang memberi kesaksian (bahwa Engkau tidak mempunyai sekutu)`." - (QS.41:47)

7.

Saksinya: Diri manusianya sendiri dan anggota-anggota badannya.

"Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri," (QS.75:14) "pada hari (Kiamat), (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi, atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan." - (QS.24:24) dan (QS.36:65) "Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi, dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu, bahkan kamu mengira, bahwa Allah tidak mengetahui, kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan." - (QS.41:22) dan (QS.41:20, QS.41:21)

Pada dasarnya para saksi pada pengadilan di akhirat itu relatif serupa dengan para saksi pada pengadilan manusia di dunia (kecuali tentunya untuk segala hal yang tidak bisa diformalkan menurut hukum manusia), berupa berbagai hal yang justru ikut mengetahui kebenaran dari suatu kejadian. Proses Penyaksiannya sendiri juga relatif serupa, para saksi berusaha membuktikan kebenaran dari kejadian itu. Sedangkan hakimnya langsung diperankan oleh Allah sendiri, dengan dibantu oleh para malaikat-Nya. Serta terdakwanya dikenakan kepada manusia yang telah melakukan ‘sesuatu’ amal-perbuatan, yang justru sedang dibuktikan kebenarannya. Penting diulangi kembali, bahwa Penyaksian pada pengadilan akhirat itu, hanyalah terjadi atas ‘setiap’ amal-perbuatan umat manusia (‘satu per satu’ amalannya diperiksa, bukanlah seluruhnya sekaligus). Karena hal ini yang memang paling alamiah, mungkin dan logis bisa terjadi, dan juga para saksi tertentu pasti hanya mengetahui sejumlah amal-perbuatan tertentu saja. Kecuali tentunya, apabila proses Penyaksian itu memang untuk

490

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

memeriksa sekaligus ‘seluruh’ amal-perbuatan setiap manusia, yang telah dilakukannya sepanjang hidupnya, dengan sejumlah amat sangat besar jumlah para saksi yang terkait, walau hal ini justru relatif tidak alamiah dan tidak logis. Dan sebagian dari para saksi itu adalah para penyampai atau pengajar tentang berbagai kebenaran-Nya (seperti: para malaikat, para nabi-Nya, para alim-ulama, orang-orang beriman, dsb), kepada umat manusia yang terkait. Sehingga atas ijin-Nya, mereka juga bisa disebut sebagai pemberi ‘syafaat baik’ bagi umat manusia. Baca pula uraian pada topik di atas, tentang syafaat. Dan lihat pula pada Gambar 17, tentang hubungan antara syafaat dan proses Penyaksian di Hari Kiamat. Namun dengan adanya fakta-kenyataan lain dalam Al-Qur'an, bahwa Allah Maha mengetahui atas segala sesuatu halnya, yang amat sederhana atau kecil sekalipun bentuknya (sebesar ‘biji zarrah’). Dan bahkan para makhluk gaib yang selalu mengikuti manusia terkait tiap saatnya sepanjang hidupnya, juga pasti mengetahui segala amalannya, sekaligus mereka mencatatkannya ke dalam ‘catatan amalan’ pada zat ruh manusianya sendiri. Maka keberadaan para saksi itupun justru sebenarnya tidaklah diperlukan, juga proses Penyaksian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat pada dasarnya hanya bersifat ‘contoh-perumpamaan simbolik’ (bukan hakekat kejadian yang sebenarnya), hanya sebagai pengajaranNya semata agar lebih mudah dipahami analoginya oleh umat. Baca pula uraian pada topik di bawah, tentang proses kejadian Penyaksian di Hari Kiamat, dalam bentuk hakekat sebenarnya. Proses dibukakan kebenaran-Nya di Hari Kiamat (simbolik) Proses dibukakan kebenaran-Nya pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, adalah proses dibuka, dibaca atau diberitakannya “kitab catatan amalan” setiap manusia (baik atau buruk) oleh para malaikatNya (terutama para malaikat Rakid dan 'Atid). Karena para malaikat Rakid dan 'Atid itulah, yang pasti selalu mengikuti dan mengawasi segala amal-perbuatan manusia yang terkait setiap saatnya sepanjang hidupnya, yang bentuknya amat sederhana atau kecil sekalipun (sebesar ‘biji zarrah’), sekaligus pula mencatatnya ke dalam catatan amalan pada zat ruh manusianya sendiri. Serta tentunya suatu kewajiban bagi Allah untuk membukakan kebenaran-Nya, sebagai suatu janji-Nya, terutama untuk membuktikan setiap amal-perbuatan manusianya, dan sebagai tujuan dari diciptakan-


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

491

492

Nya alam semesta ini, karena hakekat ‘nilai’ dari setiap zat makhlukNya justru terletak pada segala amal-perbuatannya saat di kehidupan dunianya. Hal yang paling penting, bahwa proses dibukakan kebenaranNya itu amat perlu dilakukan, agar setiap manusia benar-benar makin bisa mengetahui pula dengan amatlah sangat jelas dan terang, hakekat dari setiap amal-perbuatannya menurut penilaian dari Allah. Sekaligus untuk bisa menghilangkan segala bentuk ketidak-tahuan, keraguan dan perselisihan antar umat manusia. Baca pula topik di atas, tentang urutan proses-proses kejadian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, terutama tentang letak proses dibukakan kebenaran-Nya ini. Agak banyak ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an yang menjelaskan tentang dibukakan kebenaran-Nya itu, seperti yang diungkapkan pada tabel berikut.

Proses dibukakan kebenaran-Nya pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, dalam Al-Qur'an No

Rangkuman

Ayat-ayat Al-Qur'an

1.

Catatan amalan dibukakan atau diberitakan

"dan apabila catatan-catatan (amal-perbuatan manusia) dibuka," - (QS.81:10) "Pada hari itu diberitakan kepada manusia, apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya.", "Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri,", "meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya." - (QS.75:13-15) "Pada hari, ketika mereka dibangkitkan-Nya semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka, apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal-perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu." - (QS.58:6) dan (QS.64:7) "‌ Hanya kepada-Nya-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu, apa yang telah kamu perselisihkan itu," - (QS.5:48) dan (QS.6:164)

2.

Dibukakan dengan sangat jelas dan terang

"Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan dia seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi.", "Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu sangat tajam.", "Dan (malaikat) yang menyertai dia berkata: `Inilah (catatan amalnya) yang tersedia pada sisiku`." - (QS.50:21-23)

3.

Para malaikat

"Padahal sesungguhnya, bagi kamu ada (malaikat-malaikat)

4.

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

selalu mencatat tiap amalan (pikiran, perkataan dan perbuatan)

yang mengawasi (pekerjaanmu),", "yang mulia (di sisi-Nya) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu),", "mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan." - (QS.82:10-12) "Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia, dan bisikan-bisikan mereka?. Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka." - (QS.43:80) "Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi balasan, terhadap apa yang telah kamu kerjakan`.", "(Allah berfirman): `Inilah kitab (catatan amal) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh (malaikat, untuk) mencatat apa yang telah kamu kerjakan (di dunia)`." - (QS.45:28-29) "Dan sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia, dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih (dekat) kepadanya daripada urat lehernya,", "(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal-perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan, dan yang lain duduk di sebelah kiri.", "Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." - (QS.50:16-18)

Amalan yang amat sangat sederhana atau kecil, tetap dicatat (Segala sesuatu amalan dicatat)

"Kamu tidak berada dalam suatu keadaan, dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Qur`an, dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu, di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Rabb-mu, biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar daripada itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." - (QS.10:61) "Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Rabb-mu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).", "Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata: `Ambillah, bacalah kitabku (ini)`." - (QS.69:18-19) "Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah, ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: `Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya. Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabb-mu tidak menganiaya seorang juapun`." - (QS.18:49) "Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan.", "Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis." - (QS.54:52-53) "Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu kitab." (QS.78:29)


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

493

5.

Pemeriksaan yang mudah dan yang sulit

"Adapun orang yang diberikan kitabnya, dari sebelah kanannya,", "maka ia akan diperiksa, dengan pemeriksaan yang mudah,", "dan dia akan kembali kepada kaumnya, (yang sama-sama beriman), dengan gembira.", "Adapun orang yang diberikan kitabnya, dari belakang,", "maka dia akan berteriak: `Celakalah aku`.", "Dan dia akan masuk ke dalam api, yang menyala-nyala (neraka)." - (QS.84:7-12)

6.

Tidak dianiaya atau dirugikanNya

"(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu), Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya. Dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya, maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun." (QS.17:71) "Dan terang-benderanglah bumi (padang mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Rabb-nya. Dan diberikanlah buku (catatan amal-perbuatannya masing-masing). Dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi, dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan." - (QS.39:69)

Proses dibukakan kebenaran-Nya pada pengadilan akhirat itu, pada dasarnya relatif serupa dengan proses pengungkapan segala bukti dan fakta (termasuk keterangan para saksi), pada pengadilan manusia di dunia. Tentunya obyek perkara dalam proses dibukakan kebenaranNya itu, adalah ‘setiap’ amal-perbuatan manusia. Sedangkan hakimnya langsung diperankan oleh Allah sendiri, dengan dibantu oleh para malaikat-Nya. Serta terdakwanya dikenakan kepada manusia yang telah melakukan ‘sesuatu’ amal-perbuatan, yang justru sedang diungkap atau dibuktikan kebenarannya. Penting diulangi kembali, bahwa dibukakan kebenaran-Nya pada pengadilan akhirat itu, hanya terjadi atas ‘setiap’ amal-perbuatan umat manusia (‘satu per satu’ amalannya diperiksa, bukan seluruhnya sekaligus), karena hal ini yang memang paling alamiah, mungkin dan logis bisa terjadi. Namun dengan adanya fakta-kenyataan lain dalam Al-Qur'an, bahwa Allah Maha mengetahui atas segala sesuatu halnya, yang amat sederhana atau kecil sekalipun bentuknya (sebesar 'biji zarrah'). Dan bahkan para makhluk gaib yang selalu mengikuti manusia terkait tiap saatnya sepanjang hidupnya, juga pasti mengetahui segala amalannya, sekaligus mereka mencatatkannya ke dalam 'catatan amalan' pada zat ruh manusianya sendiri. Maka keberadaan keterangan para saksi itu justru sebenarnya tidak diperlukan, serta obyek dalam proses dibukakan kebenaran-Nya itu hanya ‘setiap’ amal-perbuatan manusia (bukan ‘seluruhnya’). Dan

494

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

juga proses dibukakan kebenaran-Nya pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat pada dasarnya hanya bersifat ‘contoh-perumpamaan simbolik’ (bukan hakekat kejadian yang sebenarnya), hanya sebagai pengajaranNya semata agar lebih mudah dipahami analoginya oleh umat. Baca pula uraian pada topik di bawah, tentang proses kejadian dibukakan kebenaran-Nya di Hari Kiamat, dalam hakekat sebenarnya. Proses Penghisaban di Hari Kiamat (simbolik) Proses kejadian Penghisaban pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, adalah proses dihisab, dihitung atau ditimbang-Nya jumlah nilai amalan dari ‘seluruh’ amal-perbuatan yang telah dilakukan oleh setiap umat manusia selama hidupnya di dunia ini. Proses perhitungan inipun dilakukan oleh Allah, dengan amat adil, teliti, cepat dan tidak ditunda-tunda. Serta segala sesuatu halnya diperhitungkan-Nya, yang terkait dengan setiap amal-perbuatan manusia (seperti: niat, tingkat kesadaran atau pengetahuan, besar tanggung-jawab, tingkat keterpaksaan, tingkat keimanan atau kekuatan dalil-alasan, besar beban ujian-Nya, dsb). Dan tentunya sesuatu kewajiban bagi Allah untuk melakukan perhitungan itu, sebagai janji-Nya dan sebagai tujuan dari diciptakanNya alam semesta ini, karena hakekat ‘nilai’ dari setiap makhluk-Nya justru terletak pada segala amal-perbuatannya di kehidupan dunianya. Baca pula topik di atas, tentang urutan proses-proses kejadian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, terutama tentang letak proses Penghisaban sekarang ini. Agak banyak ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an yang menjelaskan tentang Penghisaban itu, seperti yang diungkap pada tabel berikut.

Proses penghisaban pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, dalam Al-Qur'an No

Rangkman

Ayat-ayat Al-Qur'an

1.

Dilakukan oleh Allah

"… karena sesungguhnya, tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka." (QS.13:40) "Perhitungan (amal-perbuatan) mereka tidak lain hanyalah kepada Rabb-ku, kalau kamu menyadari." - (QS.26:113) "…. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan." (QS.33:39)

2.

Sebagai kewajiban Allah

"kemudian sesungguhnya, kewajiban Kami-lah menghisab mereka." - (QS.88:26)


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

495

3.

Amat cepat

"Pada hari (Kiamat) ini tiap-tiap jiwa diberi balasan, dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya." - (QS.40:17) dan (QS.14:51, QS.3:19, QS.5:4, QS.13:41) "Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian, dari apa yang mereka usahakan. Dan Allah sangat cepat perhitunganNya." - (QS.2:202) dan (QS.3:199, QS.6:62, QS.24:39)

4.

Amat teliti dan adil

"‌. Sesungguhnya, Allah memperhitungkan segala sesuatu." (QS.4:86) "Kami akan memasang timbangan yang tepat (sangat adil) pada Hari Kiamat, maka tidaklah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (anak timbangan amalan itu) hanya seberat biji sawipun, pasti kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan." - (QS.21:47)

5.

Tidak ditundatunda

"(Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat), maka dia tidak akan dibalas, melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa yang mengerjakan amal yang shaleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rejeki-Nya di dalamnya, tanpa dihisab (tanpa ditunda-tunda dan sesuai dengan usahanya)." - (QS.40:40)

6.

Tiap manusia tidak tahu hisabnya

"Dan aku tidak mengetahui, apa hisab terhadap diriku," (QS.69:26)

7.

Catatan amalannya sebagai penghisab diri manusianya sendiri

"Dan tiap-tiap manusia itu, telah Kami tetapkan amalperbuatannya (seperti tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada Hari Kiamat, sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.", "Bacalah kitabmu (catatan amalanmu). Cukuplah dirimu sendiri pada waktu (Hari Kiamat) ini sebagai penghisab terhadapmu." - (QS.17:13-14)

8.

Sama dengan Hari Kiamat

"Inilah apa yang dijanjikan kepadamu, pada Hari Penghisaban." - (QS.38:53) "Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui Hari Penghisaban terhadap diriku." - (QS.69:20) "Telah dekat kepada manusia, (datangnya) Hari Penghisaban atas segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian (terhadap Hari Penghisaban), lagi berpaling (darinya)." - (QS.21:1) dan (QS.38:26, QS.40:27, QS.38:16) "Ya Rabb-kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu-bapakku dan sekalian orang-orang Mukmin pada hari terjadinya hisab-Nya (Hari Kiamat)`." - (QS.14:41)

9.

Hasil hisab yang berat dan ringan

"Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.", "Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang

496

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat-Kami." - (QS.7:8-9) "Barangsiapa yang berat timbangan (amal-kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang (men)dapat(kan) keberuntungan.", "Dan barangsiapa yang ringan timbangan (amal-kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang (telah) merugikan dirinya sendiri (di dunia), mereka (akan) kekal (tinggal) di dalam neraka Jahanam." - (QS.23:102-103) "Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya,", "maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan.", "dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya,", "maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah." - (QS.101:6-9) 10.

Hasil hisab yang buruk

"‌ Orang-orang itu diberikan kepadanya hisab-Nya yang buruk dan tempat kediaman mereka ialah Jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman." - (QS.13:18) "‌ dan mereka takut kepada Rabb-nya dan takut kepada hisab-Nya yang buruk." - (QS.13:21)

11.

Amalan sia-sia

"Pada hari (akhirat, ketika) mereka melihat malaikat, di hari itu tidak ada khabar gembira bagi orang-orang yang berdosa, dan mereka berkata: `Hijraan mahjuuraa`.", "Dan Kami hadapi (hisab) segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan." - (QS.25:22-23) "Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya, air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya (di akhirat), lalu Allah memberikan kepadanya, perhitungan amal-amalnya dengan cukup, dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya." - (QS.24:39)

12.

Kemusyrikan kecil juga dihisab

"Dan barangsiapa menyembah ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabb-nya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung." - (QS.23:117)

13.

Orang-orang zalim yang tidak takut dihisab

"Sesungguhnya mereka (orang-orang zalim) tidak takut kepada hisab-Nya," - (QS.78:27)

Proses Penghisaban pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat itu pada dasarnya serupa pula dengan proses penilaian oleh para anggota Majelis hakim pada pengadilan manusia di dunia, atas berbagai halnya dalam perkara yang mereka tangani. Tentunya obyek perkara dalam proses Penghisaban adalah ‘seluruh’ amal-perbuatan setiap manusia. Sedangkan hakimnya langsung diperankan oleh Allah sendiri, dengan dibantu oleh para malaikat-Nya. Serta terdakwanya dikenakan


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

497

kepada manusia yang telah melakukan ‘seluruh’ amal-perbuatan yang justru sedang dinilaikan kebenarannya atau dijumlah nilai amalannya. Penting diketahui, bahwa pada proses Penghisaban yang telah umum dipahami oleh umat Islam, adalah dihitung-Nya ‘jumlah’ nilai amalan dari ‘seluruh’ amal-perbuatan setiap manusia. Di lain pihaknya bahwa pada proses Penyaksian dan proses dibukakan kebenaran-Nya di atas, justru terkait dengan ‘setiap’ amal-perbuatan manusia. Namun dengan adanya fakta-kenyataan lain dalam Al-Qur'an, bahwa Allah Maha mengetahui atas segala sesuatu halnya, yang amat sederhana atau kecil sekalipun bentuknya (sebesar 'biji zarrah'). Dan bahkan para makhluk gaib yang selalu mengikuti manusia terkait tiap saatnya sepanjang hidupnya, juga pasti mengetahui segala amalannya, sekaligus mereka mencatatkannya ke dalam 'catatan amalan' pada zat ruh manusianya sendiri. Maka setiap amal-perbuatan manusia sebenarnya pastilah telah bisa ditentukan-Nya nilai amalannya, justru ‘segera’ setelah dilakukan oleh manusianya. Padahal segala bentuk balasan-Nya pada ‘kehidupan dunia’ justru setimpal sesuai dengan setiap amal-perbuatan manusia. Padahal nilai setiap amal-perbuatan manusia justru bersifat ‘absolut’ bagi alam semesta ini. Dan padahal proses Penghisaban hanya sekedar menjumlah-jumlah seluruh nilai amalan yang telah dicapai oleh setiap manusia, yang tentunya justru amat sangat mudah dilakukan-Nya. Sehingga proses Penghisaban pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat pada dasarnya hanya bersifat ‘contoh-perumpamaan simbolik’ (bukan hakekat kejadian yang sebenarnya), hanya sebagai pengajaranNya semata agar lebih mudah dipahami analoginya oleh umat. "Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka, balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan." - (QS.11:15) Baca pula uraian pada topik di bawah, tentang proses kejadian Penghisaban di Hari Kiamat, dalam bentuk hakekat sebenarnya. Baca pula topik "Sunatullah", tentang nilai absolut dari setiap amal-perbuatan manusia, dan tentang segala bentuk balasan-Nya yang pasti setimpal dengan setiap amal-perbuatan manusia. Proses Pemutusan di Hari Kiamat (simbolik) Proses kejadian Pemutusan pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, adalah proses diputuskan-Nya segala perkara dan perselisihan

498

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

antar umat manusia, dan sekaligus pula diputuskan-Nya segala bentuk balasan-Nya atas ‘seluruh’ amal-perbuatan yang telah dilakukan oleh setiap manusianya selama hidupnya di dunia ini. Sehingga di Hari Kiamat, diputuskan-Nya tempat tinggal yang terakhir dan kekal bagi setiap manusia pada kehidupannya di akhirat (di Surga atau di Neraka). Proses pemutusan ini dilakukan oleh Allah dengan adil, dan setiap makhluk-Nya tidaklah dirugikan atau dianiayaNya. Setelah Hari Kiamat setiap keputusan-Nya tidaklah bisa berubah setelah ditetapkan-Nya (berlaku kekal). Dan tentunya sesuatu kewajiban bagi Allah untuk melakukan pemutusan itu, sebagai janji-Nya yang ditunggu-tunggu oleh manusia, terutama dalam menyelesaikan setiap perkara dan perselisihannya, dan sebagai tujuan dari diciptakan-Nya alam semesta ini. Juga karena amat banyak keputusan-Nya yang memang tidak langsung diputuskan-Nya selama manusia masih hidup di dunia (balasan-Nya ditangguhkan). Baca pula topik di atas, tentang urutan proses-proses kejadian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, terutama tentang letak proses Pemutusan ini. Agak banyak ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an yang menjelaskan tentang Pemutusan itu, seperti yang diungkap pada tabel berikut.

Proses pemutusan pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, dalam Al-Qur'an No

Rangkuman

Ayat-ayat Al-Qur'an

1.

Hanya oleh Allah sendiri

"… Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya, dalam menetapkan keputusan`." - (QS.18:26) "…. Maka putusan (di Hari Kiamat sekarang ini) adalah pada Allah, Yang Maha Tinggi, lagi Maha Besar." - (QS.40:12)

2.

Kekuasaan Allah dalam memberi keputusan

"Kekuasaan di hari (Kiamat) itu ada pada Allah, Dia memberi keputusan di antara mereka, (tentang hal yang mereka pertengkarkan). Maka orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, adalah di dalam surga yang penuh kenikmatan." (QS.22:56)

3.

Keputusan-Nya tidak dapat diubah, setelah ditetapkan-Nya

"Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah, (hanya karena pertengkaranmu ini), dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku." - (QS.50:29)

4.

Keputusan-Nya adil dan tidak aniaya

"Dan terang-benderanglah bumi (padang mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Rabb-nya. Dan diberikanlah buku (catatan amal-perbuatannya masing-masing). Dan didatangkanlah para


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

499

nabi dan saksi-saksi, dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan." - (QS.39:69) "Tiap-tiap umat mempunyai rasul. Maka apabila telah datang rasul mereka (sebagai saksi mereka di Hari Kiamat), diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikitpun) tidak dianiaya." - (QS.10:47) "…, dan mereka menyembunyikan penyesalannya, ketika mereka telah menyaksikan azab itu. Dan telah diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dianiaya." (QS.10:54) "Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat, berkumpul di sekeliling `Arsy, bertasbih sambil memuji Rabbnya. Dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah, dengan adil dan diucapkan: `Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam`." - (QS.39:75) 5.

Keputusan-Nya yang terakhir belum terjadi di dunia

"Orang-orang yang menyombongkan diri menjawab: `Sesungguhnya kita semua sama-sama dalam neraka, karena sesungguhnya Allah telah menetapkan keputusan-Nya di antara hamba-hamba-Nya`." - (QS.40:48)

6.

Sama dengan Hari Kiamat

"Ini adalah hari keputusan, (pada hari ini) Kami mengumpulkan kamu dan orang-orang yang terdahulu." - (QS.77:38) "Inilah hari keputusan, yang kamu selalu mendustakannya." (QS.37:21) "Sesungguhnya hari keputusan (Hari Kiamat) itu, adalah hari yang dijanjikan bagi mereka semuanya," - (QS.44:40) "Sesungguhnya Hari Keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan," - (QS.78:17) "(niscaya dikatakan kepada mereka:) `Sampai hari apakah diberikan penangguhan itu (dari mengazab orang-orang kafir itu)?`.", "Sampai hari keputusan." - (QS.77:12-13) "Dan tahukah kamu apakah hari keputusan itu?." - (QS.77:14)

7.

Keputusan-Nya ditunggu-tunggu

"Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah, siapa yang di langit dan di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing)." - (QS.39:68) "Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu, dan bersabarlah, hingga Allah memberi keputusan, dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya." - (QS.10:109) "…, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya`. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." - (QS.9:24) "Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan (Hari Kiamat), (yaitu) ketika segala perkara telah diputus. Dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak (pula) beriman." (QS.19:39) "Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya, sampai suatu

500

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

waktu (saat Rabb akan memutuskan di Hari Kiamat, tentang apa yang mereka perselisihkan itu)." - (QS.23:54) "…`. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka (orang-orang munafik) menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka." - (QS.5:52) 8.

Diputuskan-Nya segala perkara dan perselisihan

"…. Dan sesungguhnya, Rabb-mu benar-benar akan memberi keputusan di antara mereka di Hari Kiamat, terhadap apa yang telah mereka perselisihkan itu`." - (QS.16:124) dan (QS.4:141, QS.32:25, QS.10:93, QS.39:3, QS.45:17) "Katakanlah: `ya Allah, Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui barang gaib dan yang nyata, Engkaulah Yang memutuskan antara hamba-hamba-Mu, tentang apa yang selalu mereka memperselisihkannya`." - (QS.39:46) "…. Kemudian (di Hari Kiamat) hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih mengenainya`." - (QS.3:55) dan (QS.34:26, QS.42:10) "Tiada yang mereka nanti-nantikan, melainkan datangnya (waktu pertemuan mereka dengan) Allah (pada Hari Kiamat), dalam naungan awan dan malaikat, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah, dikembalikan segala urusan." - (QS.2:210) "Sesungguhnya Rabb-mu akan menyelesaikan perkara antara mereka dengan keputusan-Nya, dan Dia Maha Perkasa, lagi Maha Mengetahui." - (QS.27:78) "Sesungguhnya (kepada) orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orangorang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada Hari Kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu." - (QS.22:17) "…. Pengetahuan Rabb-kami meliputi segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakal. Ya Rabb-kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya." (QS.7:89)

9.

Putusan-Nya atas kedatangan azabNya

"…. Menetapkan hukum itu (bagi pemberian azab-Nya) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya, dan Dia pemberi keputusan yang paling baik." - (QS.6:57) "Dan ada (pula) orang-orang yang lain yang diberi penangguhan sampai ada keputusan Allah. Adakalanya Allah akan mengazab mereka dan adakalanya Allah akan menerima taubat mereka. Dan Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana." - (QS.9:106) "Maka pastilah putusan (azab) Rabb kita menimpa atas kita.


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

10.

Keputusan baik

501

502

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

Sesungguhnya kita akan merasakan (azab itu)." - (QS.37:31)

kan." - (QS.11:15)

"(Ingatlah) hari (Kiamat, ketika) Kami mengumpulkan (di surga), orang-orang yang bertaqwa kepada Yang Maha Pemurah, sebagai putusan yang terhormat," - (QS.19:85)

Baca pula uraian pada topik di bawah, tentang proses kejadian Pemutusan di Hari Kiamat, dalam bentuk hakekat sebenarnya. Baca pula topik "Sunatullah", tentang nilai absolut dari setiap amal-perbuatan manusia, dan tentang segala bentuk balasan-Nya yang pasti setimpal dengan setiap amal-perbuatan manusia. Proses Pembalasan di Hari Kiamat (simbolik) Proses kejadian Pembalasan pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, adalah proses diberikan-Nya segala bentuk balasan-Nya bagi seluruh amal-perbuatan yang telah dilakukan oleh setiap manusianya selama hidupnya di dunia ini. Sehingga di Hari Kiamat justru diberikan-Nya tempat tinggal terakhir dan kekal bagi setiap manusia, pada kehidupannya di akhirat (di Surga atau di Neraka). Proses Pembalasan ini juga dilakukan oleh Allah, dengan adil, setimpal, serta setiap makhluk-Nya tidak dirugikan dan dianiaya-Nya. Setelah Hari Kiamat setiap balasan-Nya tidak bisa diubah dan tidak bisa ditebus setelah diberikan-Nya (berlaku kekal). Dan tentunya sesuatu kewajiban bagi Allah untuk melakukan pembalasan itu, sebagai janji-Nya, dan sebagai tujuan dari diciptakanNya alam semesta ini. Juga karena amatlah banyak balasan-Nya yang memang tidak langsung diberikan-Nya selama manusia masih hidup di dunia (balasan-Nya ditangguhkan). Lebih tepat lagi, segala balasanNya di Hari Kiamat adalah segala balasan-Nya di dunia, namun telah pula ‘disempurnakan-Nya’ atau ‘dilipat-gandakan-Nya’. Baca pula topik di atas, tentang urutan proses-proses kejadian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, terutama tentang letak proses Pembalasan ini (proses urutan terakhir). Agak banyak ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an yang menjelaskan tentang Pembalasan itu, seperti yang diungkap pada tabel berikut.

Proses Pemutusan pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat itu pada dasarnya relatif serupa pula dengan proses pemutusan oleh para anggota Majelis hakim pada pengadilan manusia di dunia, atas perkara yang mereka tangani. Tentunya obyek perkara pada proses Pemutusan adalah ‘seluruh’ amal-perbuatan setiap manusia. Sedangkan hakimnya langsung diperankan oleh Allah sendiri, dengan dibantu oleh para malaikat-Nya. Serta terdakwanya dikenakan kepada manusia yang telah melakukan ‘seluruh’ amal-perbuatan, yang justru sedang diputuskan hasilnya. Penting diketahui, bahwa pada proses Pemutusan yang telah umum dipahami oleh umat Islam, adalah diputuskan-Nya suatu bentuk balasan-Nya yang terakhir bagi setiap manusia, berdasarkan ‘seluruh’ amal-perbuatannya. Di lain pihak, bahwa pada proses Penyaksian dan proses dibukakan kebenaran-Nya di atas, justru terkait dengan ‘setiap’ amal-perbuatan manusia. Namun dengan adanya fakta-kenyataan lain dalam Al-Qur'an, bahwa Allah Maha mengetahui atas segala sesuatu halnya, yang amat sederhana atau kecil sekalipun bentuknya (sebesar 'biji zarrah'). Dan bahkan para makhluk gaib yang selalu mengikuti manusia terkait tiap saatnya sepanjang hidupnya, juga pasti mengetahui segala amalannya, sekaligus mereka mencatatkannya ke dalam 'catatan amalan' pada zat ruh manusianya sendiri. Maka seluruh amal-perbuatan manusia sebenarnya pasti telah bisa ditentukan-Nya jumlah seluruh nilai amalannya, justru ‘segera’ setelah manusianya wafat. Padahal segala bentuk balasan-Nya pada kehidupan dunia justru setimpal sesuai dengan setiap amal-perbuatan manusia. Serta padahal nilai amalan setiap amal-perbuatan manusia bersifat ‘absolut’ bagi alam semesta. Sehingga proses Pemutusan pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, justru pada dasarnya hanya bersifat ‘contoh-perumpamaan simbolik’ (bukanlah hakekat yang sebenarnya), sebagai pengajaran-Nya agar bisa lebih mudah dipahami oleh umat. "Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka, balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugi-

Proses pembalasan pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, dalam Al-Qur'an No 1.

Rangkuman

Sama dengan Hari Kiamat

Ayat-ayat Al-Qur'an

"Yang menguasai Hari Pembalasan." - (QS.1:4) dan (QS.82:17, QS.82:18, QS.88:1, QS.51:12, QS.37:20) "Maka berpalinglah kamu dari mereka, dan tunggulah (hari pembalasan), sesungguhnya mereka (juga) menunggu." (QS.32:30)


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

503

"dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan," (QS.70:26) "Dan tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu, melainkan setiap orang yang melampaui batas, lagi berdosa," (QS.83:12) dan (QS.82:9, QS.83:11, QS.74:46, QS.54:6, QS.95:7) "Mereka masuk ke dalamnya (surga atau neraka), pada hari pembalasan." - (QS.82:15) dan (QS.51:13, QS.56:56, QS.38:78) "dan sesungguhnya, (hari) pembalasan pasti terjadi," (QS.51:6) dan (QS.3:9) 2.

Balasan bagi amalan yang amat kecil sekalipun

"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah-pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." - (QS.99:7) "Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." - (QS.99:8)

3.

Balasan kekal

"Dan barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, Kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya, serta menyediakan azab-Nya yang besar baginya." - (QS.4:93) "Sesungguhnya kami telah beriman kepada Rabb-kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami, dan sihir yang telah kamu paksakan kepada kami, (untuk) melakukannya. Dan Allah lebih baik dan lebih kekal (balasan-Nya di Hari Kiamat)`." - (QS.20:73) "Apa yang dari sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisiNya adalah kekal. Dan sesungguhnya, Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar, dengan pahala yang lebih baik, dari apa yang telah mereka kerjakan." - (QS.16:96)

4.

Balasan tidak bisa ditebus

"Bagi orang-orang yang memenuhi seruan Rabb-nya, (disediakan) pembalasan yang baik. Dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan Rabb, sekiranya mereka mempunyai semua (kekayaan) yang ada di bumi dan (ditambah) sebanyak isi bumi itu lagi besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan kekayaan itu (tidak akan sanggup ditebus). Orang-orang itu diberikan kepadanya hisab-Nya yang buruk dan tempat kediaman mereka ialah Jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman." - (QS.13:18) "Dan jagalah dirimu dari (pengadilan di) hari (Kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun pembelaan itu. Dan (begitu pula) tidak diterima syafaat dan tebusan darinya, dan tidaklah mereka akan ditolong. (Hanya diputuskan-Nya sesuai dengan amalperbuatannya masing-masing)" - (QS.2:48) dan (QS.2:123, QS.5:36, QS.6:70, QS.13:18, QS.39:47, QS.57:15, QS.70:1115)

504

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

5.

Balasan yang sempurna

"Maka janganlah kamu berada dalam keragu-raguan, tentang apa yang disembah oleh mereka. Mereka tidak menyembah, melainkan sebagaimana nenek moyang mereka, menyembah dahulu. Dan sesungguhnya, Kami pasti akan menyempurnakan dengan secukup-cukupnya pembalasan (terhadap) mereka dengan tidak dikurangi sedikitpun." - (QS.11:109) "Dan sesungguhnya, kepada masing-masing (mereka yang berselisih itu) pasti Rabb-mu akan menyempurnakan dengan cukup, (balasan) pekerjaan mereka. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan." - (QS.11:111) "Bagaimanakah nanti, apabila mereka Kami kumpulkan di hari (Kiamat), yang tidak ada keraguan tentang adanya (pasti kedatangannya)?. Dan disempurnakan-Nya atas tiap-tiap diri (jiwa), balasan-Nya atas apa yang diusahakannya, sedangkan mereka tidak dianiaya (tidak dirugikan)." - (QS.3:25) dan (QS.39:70, QS.2:281, QS.53:41, QS.16:111)

6.

Balasan berlipatganda

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan-Nya adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiaptiap bulir(nya terdapat) seratus biji (butir benih). Allah melipatgandakan (balasan-Nya), bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya), lagi Maha Mengetahui." (QS.2:261) dan (QS.57:11, QS.64:17) "‌ Tetapi orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amalamal shaleh, merekalah itu yang memperoleh balasan yang berlipat-ganda, disebabkan apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga)." - (QS.34:37)

7.

Balasan sesuai yang diusahakan

"Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan, dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya." - (QS.40:17) dan (QS.14:51, QS.10:30) "Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi balasan, terhadap apa yang telah kamu kerjakan`." - (QS.45:28) dan (QS.56:24) "Dan bagi masing-masing mereka (jin dan manusia), (akan memperoleh) derajat, menurut apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Allah mencukupkan bagi mereka, (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka, sedang mereka tiada dirugikan." (QS.46:19) "Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya, dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka." - (QS.99:6) "Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal (tinggal) di dalamnya. Sebagai balasan atas apa yang telah


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

505

506

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

mereka kerjakan." - (QS.46:14) dan (QS.52:19) "… Mereka tidak diberi balasan selain daripada apa yang telah mereka kerjakan." - (QS.7:147) dan (QS.7:180, QS.10:52) 8.

Balasan setmpal

"Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan, yang setimpal menurut semestinya, …" - (QS.24:25) dan (QS.78:26) "… Kemudian (di Hari Kiamat) tiap-tiap diri akan diberi pembalasan, tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya." (QS.3:161)

9.

Balasan sebaikbaiknya

"Di sana, hanya pertolongan-Nya itu yang Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan." - (QS.18:44)

10.

Balasan kejahatan dengan kejahatan

"… Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu, dan ia tidak mendapat pelindung, dan tidak (pula) penolong baginya selain daripada Allah." - (QS.4:123) "Dan kamu tidak diberi pembalasan, melainkan terhadap kejahatan yang telah kamu kerjakan," - (QS.37:39)

11.

Balasan kejahatan dengan kejahatan, kebaikan dengan kebaikan

"Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik, daripada kebaikannya itu. Dan barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan, kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan." - (QS.28:84) dan (QS.6:160, QS.53:31) "Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya, Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim." - (QS.42:40)

12.

13.

Balasan baik di dunia dan akhirat

Balasan baik

"Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati, melainkan dengan ijin-Nya, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." - (QS.3:145) "Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Yakub, dan Kami jadikan kenabian dan Al-Kitab pada keturunannya, dan Kami berikan padanya balasan di dunia, dan sesungguhnya, dia di akhirat, benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh." - (QS.29:27) "Sesungguhnya Aku memberi balasan (yang baik) kepada mereka di hari ini, karena kesabaran mereka. Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang." - (QS.23:111)

"Barangsiapa yang membawa kebaikan, maka ia memperoleh (balasan) yang lebih baik daripadanya, sedang mereka itu adalah orang-orang yang aman tenteram, dari kejutan yang dahsyat pada hari (Kiamat) itu." - (QS.27:89) "dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Dan orangorang yang Engkau pelihara dari (pembalasan) kejahatan pada hari (Kiamat) itu, maka sesungguhnya, telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya, dan itulah kemenangan yang besar`." - (QS.40:9) "Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shaleh, sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka, pada tempat-tempat yang tinggi di dalam surga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal (tinggal) di dalamnya. Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal," - (QS.29:58) dan (QS.39:74, QS.3:136, QS.18:2) "Balasan mereka di sisi Rabb-mereka ialah surga `Adn, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal (tinggal) di dalamnya selama-lamanya. Allah redha terhadap mereka dan merekapun redha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabb-nya." - (QS.98:8) dan (QS.16:31, QS.25:15, QS.20:76) "Maka Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya)." - (QS.5:85) "Dan Dia memberi balasan kepada mereka, karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera," - (QS.76:12) 14.

Balasan buruk di dunia dan akhirat

"… Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia. Dan pada Hari Kiamat, mereka dikembalikan kepada siksaan-Kami yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat." (QS.2:85) "… Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar," - (QS.5:33) "… kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Rabb-mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan." - (QS.7:152)

15.

Balasan buruk

"(Ingatlah) hari (ketika) Kami menghantam mereka dengan hantaman yang keras. Sesungguhnya Kami adalah Pemberi balasan." - (QS.44:16) "pada hari mereka ditutup oleh azab, dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka, dan Allah berkata (kepada mereka): `Rasakanlah (pembalasan dari) apa yang telah kamu


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

507

kerjakan`." - (QS.29:55) dan (QS.39:24) "Masuklah kamu ke dalamnya (rasakanlah panasnya api neraka). Maka baik kamu bersabar (terhadap siksaan neraka itu) atau tidak, sama saja bagimu. Kamu diberi balasan, terhadap apa yang telah kamu kerjakan." - (QS.52:16) "… Maka cukuplah (balasan bagi orang yang tdak bertaqwa adalah) neraka Jahanam. Dan sungguh, neraka Jahanam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya." - (QS.2:206) "Mereka mempunyai tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang zalim." - (QS.7:41) dan (QS.5:29, QS.59:17, QS.21:29) "Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan, (mendapat) balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan. Tidak ada bagi mereka seorang (pelindung)-pun dari (azab) Allah, seakan-akan muka mereka ditutupi dengan kepingan-kepingan malam yang gelap gulita. Mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal (tinggal) di dalamnya." - (QS.10:27) "Rabb berfirman: `Pergilah, barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu (iblis), maka sesungguhnya neraka Jahanam adalah balasanmu semua, sebagai suatu pembalasan yang cukup." - (QS.17:63) "Demikianlah balasan (terhadap) musuh-musuh Allah, (yaitu) neraka. Mereka mendapat tempat tinggal yang kekal di dalamnya, sebagai pembalasan atas keingkaran mereka terhadap ayat-ayat-Kami." - (QS.41:28) dan (QS.18:106, QS.7:40)

Proses kejadian Pembalasan pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat itu relatif serupa pula dengan proses pelaksanaan pemberian hukuman oleh para anggota Majelis hakim pada pengadilan manusia di dunia, atas perkara yang ditangani. Tentunya obyek perkara pada proses Pembalasan adalah ‘seluruh’ amal-perbuatan setiap manusia. Sedangkan hakimnya langsung diperankan oleh Allah sendiri, dengan dibantu oleh para malaikat-Nya. Serta terdakwanya dikenakan kepada manusia yang telah melakukan ‘seluruh’ amal-perbuatan, yang justru sedang diberikan segala bentuk hukumannya. Penting diketahui, bahwa pada proses Pembalasan yang telah umum dipahami oleh umat Islam, adalah diberikan-Nya suatu bentuk balasan-Nya yang terakhir bagi setiap manusia, berdasarkan ‘seluruh’ amal-perbuatannya. Di lain pihak, bahwa pada proses Penyaksian dan proses dibukakan kebenaran-Nya di atas justru terkait dengan ‘setiap’ amal-perbuatan manusia. Namun dengan adanya fakta-kenyataan lain dalam Al-Qur'an,

508

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

bahwa Allah Maha mengetahui atas segala sesuatu halnya, yang amat sederhana atau kecil sekalipun bentuknya (sebesar 'biji zarrah'). Dan bahkan para makhluk gaib yang selalu mengikuti manusia terkait tiap saatnya sepanjang hidupnya, juga pasti mengetahui segala amalannya, sekaligus mereka mencatatkannya ke dalam 'catatan amalan' pada zat ruh manusianya sendiri. Maka seluruh amal-perbuatan manusia sebenarnya pasti telah bisa ditentukan-Nya jumlah seluruh nilai amalannya, justru ‘segera’ setelah manusianya wafat. Padahal segala bentuk balasan-Nya pada kehidupan dunia justru setimpal sesuai dengan setiap amal-perbuatan manusia. Serta padahal nilai amalan setiap amal-perbuatan manusia bersifat ‘absolut’ bagi alam semesta ini. Sehingga proses Pembalasan pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat pada dasarnya hanya bersifat ‘contoh-perumpamaan simbolik’ (bukanlah hakekat yang sebenarnya), sebagai suatu pengajaran-Nya semata agar bisa lebih mudah dipahami oleh umat. "Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka, balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan." - (QS.11:15) Baca pula uraian pada topik di bawah, tentang proses kejadian Pembalasan di Hari Kiamat, dalam bentuk hakekat sebenarnya. Baca pula topik "Sunatullah", tentang nilai absolut dari setiap amal-perbuatan manusia, dan tentang segala bentuk balasan-Nya yang pasti setimpal dengan setiap amal-perbuatan manusia. Proses Penyaksian di Hari Kiamat (hakekat) Dalam uraian-uraian di atas, bahwa dalam setiap ruh manusia juga tersimpan segala informasi, tentang segala hal yang telah dialami oleh manusianya selama hidupnya di dunia ini, seperti misalnya: - Segala hal yang telah diajarkan-Nya, melalui ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis di alam semesta ini (atau tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya), ketika setiap manusianya berusaha mempelajari alam semesta ini, untuk bisa mencari segala bentuk pengetahuan; - Segala hal yang telah diajarkan-Nya melalui hati-nuraninya (fitrah dasarnya), melalui para malaikat-Nya (segala bentuk ilham tentang kebenaran-Nya pada alam batiniah ruhnya), dan juga melalui para nabi dan rasul utusan-Nya (secara langsung ataupun tidak, seperti kitab-kitab-Nya dan sunnah-sunnah para nabi-Nya);


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

509

-

Segala hal yang telah diajarkan oleh para alim-ulama, para orangtua ataupun semua manusia lainnya; - Segala hal yang telah dipikirkannya (pikiran); - Segala hal yang telah dilakukan oleh anggota badannya (perkataan dan perbuatan); - Segala hal yang telah dialaminya, bersama manusia lainnya; Dsb. Ringkasnya, pada zat ruh setiap manusia tersimpan segala jenis catatan amalannya masing-masing (lahiriah dan batiniah, sesederhana atau sekecil apapun bentuknya). Sehingga keterangan di dalam Al-Qur'an, tentang Allah, para malaikat, para nabi-Nya, para alim-ulama, setiap umat manusia biasa lainnya, dan bahkan anggota-anggota badan, sebagai saksi-saksi atas setiap amal-perbuatan manusia, justru hanya sebagai sesuatu ‘contohperumpamaan simbolik’ semata. Padahal proses dan bahan kesaksian justru bisa terjadi dengan amat cepat dan tersedia amat mudah di alam batiniah ruh setiap manusianya sendiri (beserta catatan amalannya). Maka wujud dari pengadilan di akhirat itu misalnya, tidaklah perlu dibayangkan, para nabi-Nya dan para alim ulama ikut bersaksi, apalagi kaki dan tangannya ikut bersaksi, dsb, Karena adanya saksisaksi inipun relatif amat rumit dan amat sulit bisa diterima oleh akalsehat. Wujud proses Penyaksian pada pengadilan akhirat juga berbeda daripada pengadilan manusia di dunia (proses serupa, wujud berbeda). Baca pula uraian pada topik di atas, tentang proses kejadian Penyaksian di Hari Kiamat, dalam bentuk simboliknya. Tentunya mustahil nabi Muhammad saw misalnya, harus bisa menjadi saksi bagi milyaran jumlah seluruh umat Islam, atau bahkan seluruh umat manusia (apalagi atas ‘setiap’ amal-perbuatan umatnya). Apalagi para saksi justru bisa bertingkat-tingkat, misalnya dari para nabi-Nya, sampai pada para alim-ulama yang langsung membimbing umat terkait. Bahkan apalagi para saksi itu sendiri justru juga haruslah bertanggung-jawab, atas setiap amal-perbuatannya sendiri. Sehingga misalnya, justru amatlah sangat banyak waktu Nabi yang tersita, hanya untuk menjadi saksi bagi seluruh umatnya, belum segala kerumitan dan kerepotan lainnya. Padahal di lain pihak, dalam Al-Qur'an disebut, bahwa segala kejadian pada Hari Kiamat itu justru berlangsung amatlah sangat cepat. Padahal Nabi semestinya telah bisa langsung hidup tenang-tentram di Surga, yang tingkat kemuliaannya paling tinggi. "… Tidak ada adalah kejadian Kiamat itu, melainkan seperti

510

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

sekejap mata atau lebih cepat (lagi). …" - (QS.16:77) "(yaitu) pada hari (Kiamat,) mereka keluar dari kubur dengan cepat, …" - (QS.70:43) dan (QS.36:51, QS.50:44, QS.54:8) "…. Dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya (hisab-Nya pada Hari Kiamat)." - (QS.2:202) dan (QS.3:19, QS.3:199, QS.5:4, QS.6:62, QS.13:41, QS.14:51, QS.24:39, QS.40:17) "… Sesungguhnya Rabb-mu amat cepat siksaan-Nya (pada Hari Kiamat), …" - (QS.6:165) dan (QS.7:167) Bahwa proses Penyaksian yang sebenarnya di Hari Kiamat itu, justru setiap ruh manusianya (beserta catatan amalannya di dalamnya), menjadi saksi bagi setiap diri manusianya sendiri. Juga bahwa hakekat dari setiap makhluk-Nya memang berada pada ruhnya. Hal ini terkait yang disebut dalam Al-Qur'an, yaitu: "Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri," (QS.75:14) "Dan tiap-tiap manusia itu, telah Kami tetapkan amal-perbuatannya (seperti tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada Hari Kiamat, sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.", "Bacalah kitabmu (catatan amalanmu). Cukuplah dirimu sendiri pada waktu (Hari Kiamat) ini sebagai penghisab terhadapmu." - (QS.17:1314) Di mana terjadi 'dialog' ataupun kesaksian yang amatlah sangat ‘jujur’ pada alam batiniah ruh setiap manusia (alam akhiratnya), yang dituntun oleh para malaikat Rakid dan 'Atid, yang memang bertugas untuk selalu mengikuti, menjaga dan mengawasi setiap manusia setiap saatnya, serta sekaligus mencatat setiap amalannya selama di dunia. Pada dialog itu setiap manusia mustahil bisa berbohong, yang amat sederhana atau kecil sekalipun bentuknya ("sebesar biji zarrah"). Lebih jelasnya, segala kebohongannya justru pasti langsung diketahui oleh para malaikat Rakid dan 'Atid, serta pasti langsung diketahui pula oleh Allah, Yang Maha mengetahui segala sesuatu. "…, dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu, di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Rabb-mu, biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar daripada itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." - (QS.10:61)


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

511

"Dan sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia, dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih (dekat) kepadanya daripada urat lehernya,", "(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat setiap amal-perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan, dan yang lain duduk di sebelah kiri.", "Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." - (QS.50:18) dan (QS.82:10-12, QS.43:80, QS.58:6, QS.18:49, QS.45:28-29) Bahkan para jin, syaitan dan iblis juga pasti mengetahui segala amal-perbuatan setiap manusia yang diikutinya setiap saat sepanjang hidupnya, karena tanpa adanya segala pengetahuan tersebut, mustahil jin, syaitan dan iblis bisa amat cerdas dan lihai menggoda manusia. Dialog yang amat sangat jujur serupa itulah yang juga terjadi, ketika para makhluk gaib berinteraksi secara ‘terang-terangan’ dengan berbagai manusia, yang mereka ikuti atau kunjungi. Dialog ini berupa suatu klarifikasi atau pengecekan silang antara pemahaman subyektif dan relatif dari setiap manusia, terhadap kenyataan yang obyektif dan mutlak dari segala bentuk catatan amalan pada ruh manusianya, yang sedang dibuka, dibaca atau diberitakan oleh malaikat Rakid dan 'Atid, bahkan manusianya sendiri juga ikut membaca catatan amalannya itu. Sehingga komponen, unsur atau pihak yang terlibat langsung dalam proses kejadian Penyaksian di Hari Kiamat, justru sebenarnya hanya setiap manusianya sendiri (ruhnya), beserta para malaikat Rakid dan 'Atid. Dan proses seperti ini bahkan juga amat mudah dilakukan, karena tidak memerlukan banyak saksi, dan saksinya hanyalah catatan amalan setiap manusianya sendiri. Sedangkan para malaikat Rakid dan 'Atid hanya sekedar ‘memeriksa’, ‘membuka’ ataupun ‘mempertegas’ saja setiap isi catatan amalannya itu. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang interaksi secara terang-terangan antara para makhluk gaib dan manusia. Juga uraian pada topik di bawah, tentang proses dibukakan kebenaran-Nya di Hari Kiamat, dalam bentuk hakekat sebenarnya. Selain itu, segala proses pada alam batiniah ruh manusia justru berlangsung amat sangat cepat (secepat proses berpikir misalnya). Hal ini justru sesuai dengan hal yang disebutkan dalam Al-Qur'an, bahwa segala kejadian di Hari Kiamat berlangsung amat sangat cepat (pada QS.16:77. QS.70:43, QS.36:51, QS.50:44, QS.54:8, QS.2:202, QS.3:19, QS.3:199, QS.5:4, QS.6:62, QS.13:41, QS.14:51, QS.24:39, QS.40:17, QS.6:165 dan QS.7:167).

512

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

Hal yang penting lainnya, bahwa suatu proses Penyaksian yang saksinya hanya berupa catatan amalan dari setiap manusianya sendiri, bahkan juga berlaku amat adil, karena Penyaksian semacam ini benarbenar sesuai tingkat kesadaran, pengetahuan, pengalaman atau tingkat keimanan setiap manusianya, dalam berbuat suatu amal-perbuatan. Sederhananya di dalam kehidupan beragama, setiap umat yang awam tidak bisa dituntut agar memiliki tingkat pemahaman yang sama persis dengan tingkat pemahaman para nabi-Nya. Sebaliknya jika para nabi-Nya memang langsung dipanggil sebagai saksi, maka akan amat banyak umat Islam yang bisa dianggap keliru dalam mengikuti ajaran agamanya (tidak persis sesuai dengan maksud para nabi-Nya). Padahal setiap manusia pasti tidak bisa dimintai-Nya pertanggung-jawabannya atas segala sesuatu hal yang ‘benar-benar’ di luar batas kesadaran atau pengetahuannya (seperti segala perbuatan pada anak yang belum akil baliq dan pada orang gila). Akhirnya proses Penyaksian ini justru langsung terjadi ‘segera’ setelah setiap zat ‘ruh’ makhluk hidup nyata telah kembali ke hadapan Allah (setelah kematian atau Hari Kiamat ‘kecil’ bagi masing-masing makhluk hidup nyata), atau setelah setiap makhluk hidup nyata telah benar-benar terlepas dari kehidupan fisik-lahiriah-duniawinya, menuju kehidupan akhiratnya (kehidupan batiniah ruh), yang sebenarnya dan bersifat kekal. Kehidupan akhirat setiap manusia setelah Hari Kiamat ‘kecil’ itu, adalah kelanjutan dari kehidupan akhirat yang telah dibangun oleh manusianya sendiri selama di kehidupan dunia, namun sekaligus pula telah ‘disempurnakan-Nya’ atas segala nikmat dan hukuman-Nya. Proses dibukakan kebenaran-Nya di Hari Kiamat (hakekat) Setelah catatan amalan pada setiap zat ruh manusianya dibuka, dibaca atau diberitakan oleh para malaikat Rakid dan 'Atid (bahkan ikut dibaca pula oleh manusianya sendiri), pada proses Penyaksian di atas di mana saksinya hanya berupa catatan amalan pada setiap zat ruh manusianya sendiri, maka secara amat bersamaan dan perlahan-lahan para malaikat Rakid dan 'Atid itu menuntun manusianya, untuk bisa benar-benar memahami setiap hal yang telah dilakukannya. Sekaligus para malaikat Rakid dan 'Atid menguji, mengorekorek, memeriksa atau menanyakan segala sesuatu hal kepada setiap manusia terkait tentang setiap amal-perbuatannya, seperti misalnya: - Apakah ia telah berbohong?; - Apakah ia telah sengaja membelokkan kebenaran?;


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

513

-

Apakah ia telah menyembunyikan kebenaran, yang dengan jelas telah diketahuinya, dan memilih melakukan hal-hal lainnya yang meragukan, ataupun bahkan sesat?; - Apakah ia telah memiliki berbagai dalil-alasan yang benar dalam berbuat?; Dsb; Tentunya setiap pertanyaan di atas bukanlah pertanyaan yang sebenarnya dari para malaikat Rakid dan 'Atid, sedang jawaban atas setiap pertanyaan itu justru telah tersedia semua dalam catatan amalan pada ruh setiap manusia. Sementara seluruh isi catatan amalan itupun sebenarnya telah ‘dihapal’ oleh para malaikat Rakid dan 'Atid. Sehingga tugas para malaikat Rakid dan 'Atid justru hanyalah berusaha untuk memeriksa, mengorek-orek, menguji, membuka atau mempertegas isi pikiran manusia, agar setiap manusianya bisa benarbenar mengetahui, tentang ‘nilai’ dari hal-hal yang telah dilakukannya (pikiran, perkataan dan perbuatannya), yang sesederhana atau sekecil apapun bentuknya, seperti misalnya meliputi: kebohongan, kesesatan, keraguan, dalil-alasan, pengetahuan dan kekonsistenan dalam berbuat. Hasil dari proses dibukakan kebenaran-Nya itu justru berupa terungkapnya berbagai al-Hikmah (hikmah dan hakekat kebenaranNya), yang berkaitan dengan setiap amal-perbuatan manusia, sehingga hal inipun bahkan bisa menghilangkan segala bentuk ketidak-tahuan, keraguan dan perselisihan antar umat manusia. Tentunya tingkat kedalaman al-Hikmah itu tergantung kepada tingkat pengetahuan atau pemahaman masing-masing manusianya. "…. Dan sesungguhnya, Rabb-mu benar-benar akan memberi keputusan di antara mereka di Hari Kiamat, terhadap apa yang telah mereka perselisihkan itu`." - (QS.16:124) dan (QS.10:93) "Sesungguhnya (di Hari Kiamat) Rabb-mu akan menyelesaikan perkara antara mereka dengan keputusan-Nya, dan Dia Maha Perkasa, lagi Maha Mengetahui." - (QS.27:78) Bahkan keseluruhan proses pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat (proses Penyaksian, proses dibukakan kebenaran-Nya, proses Penghisaban, proses Pemutusan dan proses Pembalasan), justru amat terkait langsung. Dan bahkan semua proses itu berlangsung amat cepat dan bersamaan. Juga berlangsung amat alamiah, serupa halnya segala perubahan keadaan batiniah ruh manusia selama hidupnya di dunia. Setiap manusia memang menjadi langsung merasa relatif puas atau senang atas setiap amal-kebaikannya, setelah selesai diungkapkan

514

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

berbagai hikmah dan hakekatnya oleh para malaikat Rakid dan 'Atid, sebaliknya menjadi langsung merasa relatif amat menyesal atau sedih atas setiap amal-keburukannya. Tentunya segala ‘keadaan batiniah’ ruh setiap manusia di Hari Kiamat (puas, senang, menyesal, sedih, dsb), sebagai hasil dari setiap amal-perbuatannya, juga telah bisa amat jelas dan tegas, karena setiap manusianya memang telah memahami berbagai hikmah dan hakekat dari setiap amal-perbuatan itu. Dan segala ‘keadaan batiniah’ ruh setiap manusia inilah yang menggambarkan wujud kehidupan akhirat manusianya di dunia dan di Hari Kiamat nanti. Kehidupan batiniah ruh manusia adalah kehidupan akhirat dari setiap manusianya. Serta kehidupan akhirat itu hanya bisa dibangun oleh setiap manusia, saat sebelum menjelang kematiannya di dunia (saat segala amalannya belum terputus). Sedangkan kehidupan akhiratnya setelah Hari Kiamat justru telah bersifat kekal. "Dan pada hari terjadinya Kiamat, orang-orang yang berdosa terdiam berputus-asa." - (QS.30:12) dan (QS.43:75) "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu, (suatu) kaum yang dimurkai Allah, sesungguhnya mereka telah putus-asa terhadap negeri akhirat, sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur, berputus-asa." - (QS.60:13) "Aku bersumpah dengan Hari Kiamat,", "dan aku bersumpah, dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)." - (QS.75:2) "Berilah mereka (orang-orang yang zalim) peringatan dengan hari yang dekat (Hari Kiamat, yaitu) ketika hati (menyesakkan) sampai di kerongkongan, dengan menahan kesedihan. …" - (QS.40:18) "Hai hamba-hamba-Ku (yang beriman), tiada kekuatiran terhadapmu pada hari (Kiamat) ini, dan tidak pula kamu bersedih-hati." (QS.43:68) dan (QS.7:49) Tentunya besar tingkat kenikmatan (kemuliaan) ataupun besar tingkat siksaan (kehinaan) yang diperoleh setiap manusia, tergantung kepada tingkat kebenaran ataupun tingkat kesesatannya dalam berbuat ‘sesuatu’ amal-perbuatan (seperti: niat, tingkat kesadaran atau tingkat pengetahuan, besar tanggung-jawab, tingkat keterpaksaan, besar beban ujian-Nya, tingkat keimanan, kekuatan dalil-alasannya, dsb). Baca pula topik "Sunatullah", tentang hakekat setiap perbuatan manusia.


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

515

Baca pula uraian pada topik di atas, tentang proses kejadian dibukakan kebenaran-Nya di Hari Kiamat, dalam bentuk simboliknya. Proses Penghisaban di Hari Kiamat (hakekat) Setelah proses kejadian dibukakan kebenaran-Nya yang terkait dengan setiap amal-perbuatan manusia di atas, dan sekaligus pula bisa jelas terjawab segala ketidak-tahuan, keraguan dan perselisihan antar umat manusia. Secara otomatis pula, setiap manusia bisa mengetahui dengan jelas dan terang hasil sebenarnya dari setiap amal-kebaikannya (pahala-Nya), ataupun setiap amal-keburukannya (beban dosa). Dari berbagai pengetahuan itu (berbagai hikmah dan hakekat dari setiap amal-perbuatannya), tentunya keadaan batiniah ruh setiap manusia menjadi relatif makin senang ataupun sedih atas setiap amalperbuatannya, termasuk pula relatif makin mengetahui, apakah setiap amalannya itu telah bermanfaat memuliakan dirinya, hanya sia-sia saja ataupun bahkan telah menghinakan dirinya. “… Dan sesungguhnya siksaan akhirat lebih menghinakan, sedang mereka tidak diberi pertolongan." - (QS.41:16) “…Merekalah yang memperoleh azab atau siksaan-Nya yang menghinakan." - (QS.45:9) dan (QS.58:16, QS.3:178, QS.4:102, QS.11:39, QS.11:93, QS.16:27, QS.22:57, QS.31:6, QS.58:5, QS.2:90, QS.4:14, QS.4:37, QS.4:151, QS.6:93, QS.39:40, QS.33:57) “…Maka pada hari (Kiamat) ini, kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan, karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi, tanpa hak, dan kamu telah fasik`." - (QS.46:20) “…, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal (tinggal) di dalamnya." - (QS.2:217) dan (QS.7:147, QS.9:17, QS.18:103-105) “… Mereka itu, amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat. Dan mereka itulah orang-orang yang merugi." - (QS.9:69) dan (QS.18:103-105) "Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka, balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.", "Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu, apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." - (QS.11:1516) “…Dan do`a orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka." -

516

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

(QS.13:14) dan (QS.40:50) "Dikatakan (kepadanya): `Masuklah ke surga`. Ia berkata: `Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui,", "apa yang menyebabkan Rabb-ku, memberikan ampun kepadaku, dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan`." - (QS.36:26-27) “…Dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan,", "di dalam surga-surga yang penuh nikmat," - (QS.37:42-43) "Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.", "Mereka itu (kekal tinggal) di surga, lagi dimuliakan." - (QS.70:34-35) Hal ini disebut dalam Al-Qur'an, sebagai “disempurnakan-Nya segala pahala dan beban dosa setiap manusia yang diperoleh selama di dunia, yang sebesar biji zarrah sekalipun”, dan berupa disempurnakanNya segala keadaan batiniah ruhnya (keadaan kehidupan akhiratnya). "…. Dan (di Hari Kiamat) disempurnakan-Nya atas tiap-tiap diri, balasan-Nya atas apa yang diusahakannya, sedangkan mereka tidak dianiaya (dirugikan)." - (QS.3:25) dan (QS.16:111, QS.39:70) "…. Dan sesungguhnya, pada Hari Kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. …" - (QS.3:185) Pada pengertian proses Penghisaban secara simboliknya, nilai dari setiap amal-perbuatan manusia dihitung, ditimbang atau dihisabNya ‘jumlahnya’ dengan amat adil, setiap manusianya tidak dianiayaNya (tidak menanggung segala beban dosa dari orang lain, dan bahkan juga tidak menerima segala syafaat dari orang lain). Berdasar ‘jumlah’ keseluruhan nilai amalan sebagai hasil dari timbangan itulah jelas bisa diketahui pula, apakah jumlah nilai amalkebaikan (jumlah pahala), ‘lebih banyak’ daripada amal-keburukannya (jumlah beban dosa). "Timbangan pada hari (Kiamat) itu ialah kebenaran (keadilan), maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.", "Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, …" - (QS.7:8-9) dan (QS.23:102-103, QS.101:6-9) Namun menurut pemahaman pada buku ini, pengertian proses Penghisaban di atas hanya bersifat simbolik, untuk menunjukkan hasil dari ‘keseluruhan’ proses Penghisaban itu sendiri (gambaran seluruh


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

517

keadaan batiniah ruh manusianya), karena hal ini tidak logis dan tidak realistik untuk dilakukan, sedang mustahil segala keadaan batiniah ruh setiap manusia diabaikan begitu saja, serta hanya diwakili oleh sesuatu keadaan saja, yang ditunjukkan melalui sesuatu ‘jumlah’ nilai amalan. Sedang pada pengertian Penghisaban secara hakekatnya yang sebenarnya, tentunya hanya nilai amalan dari ‘setiap’ amal-perbuatan manusianya yang dihitung, ditimbang atau dihisab-Nya. Hal ini karena segala proses pada alam batiniah ruh setiap manusia, secara alamiah justru hanya terjadi atas ‘setiap’ amal-perbuatannya (dihisab-Nya satu per satu dari seluruh amal-perbuatannya), Hal ini sama halnya dengan proses berpikir manusia, yang hanya bisa berpindah-pindah dari suatu hal ke hal-hal lainnya, relatif satu per satu (mustahil segala hal yang telah diketahui, bisa dipikirkan langsung sekaligus). Sehngga makna ‘hisab’ pada buku ini, adalah para malaikat Rakid dan 'Atid justru hanya membuka, membaca atau memberitakan satu per satu, kandungan isi catatan amalan setiap manusia. Kemudian para malaikat Rakid dan 'Atid membahas, memeriksa, mengorek-orek, menguji, membuka atau mempertegas segala sesuatu hal secara amat ‘lengkap dan teliti’, yang terkait dengan ‘setiap’ amal-perbuatan yang sedang dibahas. Sampai akhirnya setiap manusianya sendiri telah benar-benar bisa memahami atau mengetahui, tentang ‘nilai’ dari segala hal yang telah dilakukannya (pikiran, perkataan dan perbuatannya), yang paling sederhana atau kecil sekalipun bentuknya, seperti misalnya: keraguan, kebohongan, kesesatan, dalil-alasan, pengetahuan, kekonsistenan, dsb, dalam berbuat. Proses Penghisaban ini memang pada dasarnya serupa dengan proses dibukakan kebenaran-Nya di atas, namun ada sedikit perbedaan pada fokus proses yang terjadi. Pada proses dibukakan kebenaran-Nya terfokus pada aspek ‘usaha membukanya’, sedang proses Penghisaban terfokus pada aspek ‘kelengkapan atau jumlah yang bisa dibukanya’. Pada proses Penghisaban, para malaikat Rakid dan 'Atid justru bertugas membuka seteliti, sebanyak dan semaksimal mungkin segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya yang terkait dengan ‘setiap’ amalperbuatan,.sampai relatif tidak ada lagi yang bisa diungkap. Baca pula uraian pada topik di atas, tentang proses kejadian dibukakan kebenaran-Nya di Hari Kiamat, dalam bentuk hakekatnya. Juga uraian pada topik di atas, tentang proses kejadian Penghisaban di Hari Kiamat, dalam bentuk simboliknya.

518

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

Proses Pemutusan di Hari Kiamat (hakekat) Ringkasnya, proses Pemutusan ini adalah ‘akhir’ dari proses Penghisaban, di mana para malaikat Rakid dan 'Atid itu telah selesai menghisab setiap manusianya, atas ‘sesuatu’ amal-perbuatannya. Serta relatif tidak ada lagi hikmah dan hakekatnya yang bisa diungkap lebih lanjut oleh para malaikat Rakid dan 'Atid, dari amal-perbuatannya itu. Dan setelah selesainya proses Penghisaban, tentunya Allah langsung memutuskan bentuk balasan-Nya atas amal-perbuatan terkait. Hal ini tentunya benar-benar sesuai pula dengan batas tingkat kesadaran atau pengetahuan dari setiap manusianya, yang ada tersedia dalam catatan amalannya. Juga tentunya tingkat kedalaman dari setiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya yang bisa terungkap, relatif amat berbeda-beda bagi masing-masing manusianya (dari umat yang amat awam, sampai tingkat pengetahuan para nabi-Nya). Hal inipun tentunya sesuai dengan sifat Allah Yang Maha Adil dan Maha Penyayang. Sehingga pada proses Penghisaban atas setiap amal-kebaikan, justru relatif jauh lebih cepat dan mudah bisa diungkap dan diperiksa, karena segala dalil-alasannya dalam melakukan setiap amal-kebaikan (terutama yang diajarkan dalam ajaran-ajaran agama), memang relatif amat kokoh-kuat dan sulit terbantahkan (terutama pada tingkat hikmah dan hakekat kebenaran-Nya). Sebaliknya justru terjadi atas setiap amal-keburukan, di mana para malaikat Rakid dan 'Atid itu pasti terus-menerus mengejar setiap pengetahuan manusia pelakunya, sampai mereka menemukan seluruh dasar pondasi pengetahuannya yang keliru dan sesat, dalam berbuat. Di lain pihak, pada proses Penghisaban atas setiap umat yang amat ‘awam’, justru relatif jauh lebih cepat selesai diperiksa, karena jumlah dalil-alasan dalam melakukan setiap amal-perbuatan, memang relatif amat terbatas dan sederhana. Hal yang sebaliknya justru terjadi atas setiap umat yang amat ‘berilmu’. "(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar supaya ‘tidak alasan’ bagi manusia, untuk membantah Allah. setelah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana." - (QS.4:165) "Aku memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi ‘tanpa alasan’ yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak berfirman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada pe-


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

519

tunjuk, mereka tak mau menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat-Kami, dan mereka selalu lalai darinya." - (QS.7:146) "Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia, sebagai ilah-ilah (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka). Siapakah yang lebih zalim, daripada orang-orang yang mengada-ada(kan) kebohongan tentang Allah." - (QS.18:15) “… Yang demikian itu, karena mereka kafir kepada ayat-ayatNya, dan membunuh para nabi ‘tanpa alasan’ yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas." (QS.3:112) dan (QS.3:181, QS.4:155, QS.17:33) "Katakanlah: `Rabb-ku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan-Nya, dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan tentang Allah, apa saja yang tidak kamu ketahui`." - (QS.7:33) dan (QS.10:23) "Beginilah kamu, kamu ini berbantah-bantahan tentang hal yang kamu telah ketahui. Maka kenapa kamu berbantahan dengan menggunakan alasan yang tidak kamu ketahui. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." - (QS.3:66) Jika dalam pengertian proses Pemutusan secara simboliknya, dari jumlah nilai amalan kebaikan pada proses Penghisaban di atas, diputuskanlah balasan-Nya yang amat setimpal, adil dan terakhir, bagi setiap manusia, dengan Surga atau Neraka. Maka menurut pengertian proses Pemutusan secara hakekatnya yang sebenarnya, justru balasan yang diputuskan-Nya tetap hanya bagi ‘setiap’ amal-perbuatan manusia yang telah dihitung, ditimbang atau dihisab-Nya nilai amalannya (hanya diputuskan-Nya satu per satu dari seluruh amal-perbuatan manusianya). Sehingga hasil keputusan-Nya bagi setiap amal-perbuatan manusia, bisa disebut pula sebagai Surga ‘kecil’ (setiap pahala-Nya) atau Neraka ‘kecil’ (setiap beban dosa). Walau tak-terhitung jumlah Surga ‘kecil’ dan Neraka ‘kecil’ itupun memang bisa menggambarkan keadaan keseluruhannya (Surga ‘besar’ dan Neraka ‘besar’). Serta Surga dan Neraka (besar dan kecil) adalah gambaran dari keadaan batiniah ruh setiap manusia (kehidupan akhiratnya) di Hari Kiamat, sesuai dengan setiap nilai amalannya. Hal yang serupa pada dasarnya terjadi atas kehidupan akhirat

520

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

setiap manusia di dunia (ada pula tak-terhitung jumlah Surga ‘kecil’ dan Neraka ‘kecil’). Walau memang belumlah ‘disempurnakan-Nya’, sepert halnya kehidupan akhiratnya di Hari Kiamat, termasuk karena adanya ‘halangan’ dari segala kesibukan lahiriah-fisik-duniawi, yang membuat manusia relatif melalaikan kehidupan akhiratnya di dunia. "Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia. Sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat (atau kehidupan batiniah ruh) adalah lalai." - (QS.30:7) Proses Pembalasan di Hari Kiamat (hakekat) Pada dasarnya segera setelah selesainya proses Penghisaban, atas ‘sesuatu’ amal-perbuatan manusia, maka segera dilakukan proses Pemutusan atas bentuk balasan-Nya yang terakhir, sekaligus langsung pula dimulainya proses Pembalasan bagi amal-perbuatan itu (berupa pemberian Surga ‘kecil’ dan Neraka ‘kecil’). Hal ini berupa terbentuknya keadaan akhir batiniah ruh setiap manusia di Hari Kiamat (keadaan kehidupan akhiratnya), yang hanya terkait dengan ‘sesuatu’ amal-perbuatan tertentu saja. Keadaan akhir batiniah ruh setiap manusia di Hari Kiamat itu, serupa dengan keadaan batiniah ruh yang merasa mulia, tentram dan bahagia, setelah berbuat suatu amal-kebaikan, dan sebaliknya merasa terhina, bersalah dan menyesal, setelah berbuat suatu amal-keburukan selama di dunia. Namun karena di Hari Kiamat telah disempurnakan-Nya pula atas setiap pahala dan beban dosa, maka setiap manusia juga pasti bisa mengalami nikmat ataupun siksaan-Nya yang relatif amat sangat luarbiasa pada alam batiniah ruhnya (alam akhiratnya). Bahkan terhadap orang-orang yang kafir-musyrik atau orangorang yang murtad dari agama Islam, yang meninggal dunia di dalam kekafirannya itu, keadaan alam akhiratnya justru paling parah, seperti: hampir tidak ada sesuatupun kebanggaan dan kemuliaan; selalu tetap dalam kesesatan; segala amalannya sia-sia; penuh dengan segala rasa penyesalan dan kehinaan; penuh dengan ketidak-konsistenan; dsb. Sedang tentunya sebagai suatu amal-perbuatan yang terpisah, setiap ‘taubat’ relatif serupa dengan berbagai amal-kebaikan lainnya. Namun hasil dari setiap ‘taubat’ yang telah dilakukan dengan sebenarbenarnya (bisa diterima-Nya), justru nilai amalan dari ‘taubat’ itu juga bisa meringankan beban dosa dari setiap amal-keburukan ‘terkait’. Walau nilai amalan dari suatu ‘taubat’ yang bisa diterima-Nya,


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

521

memang bernilai amat tinggi, namun justru relatif tidak bisa menutupi ataupun meringankan beban-beban dosa dari segala amal-keburukan yang relatif ‘tidak terkait’ sama sekali. Hal inilah perwujudan dari Surga dan Neraka yang kekal di Hari Kiamat. Surga sering disebut dalam Al-Qur'an, "pahala, rahmat atau kemenangan yang paling besar", yang diberikan-Nya bagi orangorang beriman. Sekali lagi tinjauan Al-Qur'an dalam hal inipun tetap bersifat simbolik dan umum. Karena setiap pahala dan setiap beban dosa memang tetaplah hanya bisa ditinjau atau diberikan bagi setiap amal-perbuatan, bukan bagi setiap sosok manusia pelakunya. Sedangkan ‘pahala, rahmat atau kemenangan yang paling besar’ hanyalah gambaran umum, atas takterhitung jumlah seluruh pahala ‘kecil’ yang telah didapat oleh setiap manusia di dunia, dari tak-terhitung jumlah amal-kebaikannya. Di samping penyempurnaan atas pahala atau beban dosa dari setiap amal-perbuatan manusia, karena telah amatlah jelas dan terang diungkap hikmah dan hakekatnya oleh para malaikat Rakid dan 'Atid, maka penyempurnaan di Hari Kiamat antara lain pula, karena manusia dilayani, dihormati atau dimuliakan terus-menerus oleh para malaikat, atas setiap amal-kebaikannya, sehingga manusianyapun memperoleh berbagai kemuliaan dan kenikmatan yang amat tinggi, Sebaliknya manusia diganggu atau disiksa secara batiniah dan terus-menerus oleh para jin, syaitan dan iblis (berupa penghakiman), atas setiap amal-keburukannya, sehingga manusianyapun memperoleh berbagai kehinaan dan kesusahan yang amat tinggi. Ringkasnya, lingkungan pertemanan (pergaulan) setelah Hari Kiamat benar-benar relatif terpisah, dan tidak bercampur-baur seperti selama pada kehidupan dunia ini (malaikat, jin, syaitan dan iblis bisa berkumpul secara bersamaan pada alam batiniah ruh setiap manusia). Contoh sederhana misalnya, nabi besar Muhammad saw pada kehidupannya di dunia pada dasarnya setiap saatnya juga pasti selalu digoda ataupun diganggu oleh para jin, syaitan dan iblis. Namun pada kehidupan akhiratnya di Hari Kiamat, Nabi yang telah relatif terhindar dari dosa-dosa kecil, justru hanya ditemani oleh para malaikat. Lebih tepat lagi, setelah Hari Kiamat para makhluk gaib-Nya tidak lagi bertindak ‘netral’ seperti halnya di dunia (membawa nilainilai kebenaran, sekaligus pula nilai-nilai kesesatan), sebagai sesuatu bentuk cobaan atau ujian-Nya secara batiniah bagi setiap manusianya. Namun para makhluk gaib relatif telah jelas ‘berpihak’ kepada setiap

522

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

amal-perbuatan manusia (baik ataupun buruk). Contoh sederhananya, jika seseorang yang dianggap-Nya telah beriman (timbangan segala amal-kebaikan lebih berat daripada amalkeburukannya), justru masih memiliki berbagai amal-keburukan yang tidak bisa dimaafkan-Nya (taubatnya tidak bisa diterima-Nya), maka bagi orang ini pasti tetap ada para makhluk gaib, yang terus-menerus menyiksa dan menghinanya atas berbagai amal-keburukannya itu. Sebaliknya atas segala amal-kebaikannya, pasti tetap ada para makhluk gaib-Nya, yang terus-menerus melayani dan memuliakannya. Secara sederhananya pula tentunya, iapun pasti lebih banyak ditemani oleh para malaikat (para pemulianya), daripada oleh para jin, syaitan dan iblis (para penghinanya). Setiap bentuk amal-perbuatan manusia (baik dan buruk) pasti tetap meninggalkan bekas pada alam batiniah ruh manusia pelakunya (alam akhiratnya), di dunia ini dan di Hari Kiamat. Kecuali atas setiap amal-keburukan yang telah diterima-Nya taubatnya (bekas dari amalkeburukan itu relatif telah tertutupi atau terkurangi oleh taubatnya). Sementara dalam Al-Qur'an dan Hadits diketahui pula, bahwa Surga dan Neraka itu masing-masing memiliki berbagai tingkat, yang diberikan-Nya sesuai tingkat jumlah nilai amalan dari setiap manusia (ataupun tingkat keimanannya). Sebagian dari tingkat kehidupan di akhirat itu memiliki nama sebutan, seperti: - Surga: Surga Firdaus, Surga 'Adn, Surga Na'im, Surga Ma'wa, Surga Darussalam, Surga Khuldi, Surga Darul Muqamah, Surga Al Maqaamul Amiin, dsb, - Neraka: Neraka Jahanam, Neraka jahiim, Neraka Wail, Neraka Hawiyah, Neraka Sa'ir, Neraka Ladha, Neraka Saqar, Neraka Huthamah, dsb. Pada dasarnya berbagai tingkat ataupun nama sebutan di atas, tetap bersifat simbolik dan umum. Serta bukanlah nama sebutan bagi berbagai tempat di kehidupan akhirat, karena justru ada tak-terhitung jumlah Surga dan Neraka, bahkan juga bukan nama-nama tempat. Lebih jelasnya lagi setiap manusia memiliki Surganya masingmasing (atau sebaliknya Neraka), karena Surga atau Neraka memang berupa segala keadaan batiniah ruh setiap manusia (yang tak-terhitung jumlah keadaannya), yang terbentuk dari hasil tak-terhitung jumlah


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

523

amal-perbuatannya masing-masing selama di dunia. Maka tidak perlu dibayangkan, bahwa Surga ataupun Neraka adalah beberapa tempat pada alam akhirat. Juga tidaklah ada terjadi pindah tempat dari Surga ke Neraka ataupun sebaliknya, hanya karena di dalam Al-Qur'an terdapat janji-Nya dengan Surga ataupun Neraka, atas berbagai amal-perbuatan tertentu. Sedangkan selama hidupnya, manusia secara keseluruhannya tentunya bisa ada 'beberapa' kali dijanjikan-Nya dengan Surga ataupun Neraka (seperti halnya pada seorang Mukmin, yang kadang sesekali pernah melakukan dosa besar atau melakukan kekafiran). "Dan orang-orang yang beriman, serta beramal shaleh, mereka itu penghuni surga, mereka kekal di dalamnya." - (QS.2:82) dan (QS.2:25, QS.2:82) "Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayatKami, mereka itu akan menjadi penghuni neraka, dan mereka kekal di dalamnya." - (QS.2:39) “… Orang yang mengulangi (tetap mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya." - (QS.2:275) Justru saat ‘setiap’ amal-perbuatan manusia telah benar-benar tuntas dihisab-Nya, maka bentuk balasan-Nya pada Hari Kiamat, atas amal-perbuatan itu langsung diputuskan-Nya. Serta balasan-Nya yang disebut Surga ‘kecil’ atau Neraka‘kecil’ itu juga telah langsung mulai berlaku secara ‘kekal’ (tidak berubah-ubah). Janji-janji-Nya dengan Surga atau Neraka di dalam Al-Qur'an bagi sesuatu amalan tertentu, justru hanyalah karena nilai amalannya memang relatif amat tinggi (positif atau negatif), dibanding berbagai amalan lainnya. Maka Surga atau Neraka yang dijanjikan-Nya tersebut pada dasarnya hanyalah berupa suatu Surga ‘kecil’ atau Neraka‘kecil’ (dari tak-terhitung jumlah Surga ‘kecil’ atau Neraka ‘kecil’ lainnya). Bahkan suatu amal-kebaikan yang nilai amalannya relatif amat tinggi, justru belum tentu bisa meringankan atau mengurangi berbagai beban dosa dari berbagai amal-keburukan. Sedang segala usaha untuk bisa meringankan atau mengurangi berbagai beban dosa, justru hanya dengan bertaubat yang sebenar-benarnya dan ‘terkait’ (sesuai). Lebih jelasnya, keadaan kehidupan akhirat di Hari Kiamat itu pada dasarnya relatif serupa dengan kehidupan akhirat setiap manusia di dunia (keadaan atau kehidupan batiniah ruhnya), dan perbedaannya

524

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

hanya karena kehidupan akhirat di Hari Kiamat telah disempurnakanNya (dilipat-gandakan nikmat dan hukuman-Nya). Juga karena setiap amal-perbuatan hanya diukur sesuai penilaian mutlak Allah, bukanlah penilaian relatif-subyektif manusia (di dunia). Sekali lagi, Surga dan Neraka adalah 'perasaan atau keadaan' batiniah ruh yang merasa mendapat kemuliaan (Surga) dan kehinaan (Neraka), pada suatu saat tertentu, saat setiap manusianya mengingatingat setiap amal-perbuatannya (baik dan buruk), dan bahkan juga saat para makhluk gaib-Nya ‘membantu’ manusianya mengingat-ingatnya. Maka kadang-kadang setiap manusia berada di Surga, saat ia mengingat-ingat sesuatu amal-kebaikannya tetapi juga kadang-kadang berada di Neraka, saat ia mengingat-ingat sesuatu amal-keburukannya. Hal seperti ini justru berlangsung secara alamiah dan berulang-ulang pada kehidupan akhiratnya setelah Hari Kiamat. Tentunya jika seorang lebih banyak jumlah nilai segala amalkebaikannya daripada segala amal-keburukannya, maka iapun secara simbolik disebut berada atau tinggal di Surga (sebaliknya di Neraka). Sehingga secara simbolik, Surga dan Neraka itu justru berupa suatu rangkuman ataupun pengelompokan atas 'keseluruhan' keadaan batiniah ruh manusianya (rangkuman dari tak-terhitung jumlah Surga ‘kecil’ dan Neraka‘kecil’). Sekali lagi Surga dan Neraka itu bukanlah 'tempat', tetapi justru ‘keadaan batiniah’ ruh setiap manusia (keadaan kehidupan akhiratnya). ‘Wujud’ kehidupan manusia di akhirat setelah Hari Kiamat Akhirnya, bagaimanakah wujud dari kehidupan akhirat umat manusia setelah Hari Kiamat?. Menurut pemahaman pada buku ini, wujudnya serupa seperti kehidupan para makhluk gaib-Nya saat ini (di alam ruh atau di alam arwah), yang bersifat batiniah dan gaib. Tidak ada wujud seperti kehidupan nyata-fisik-lahiriah manusia di dunia ini, yang penuh dengan segala kekurangan, keterbatasan dan kehinaan. Memang amat sedikit jumlah ayat Al-Qur'an yang menjelaskan hal ini, dan bahkan secara tidak langsung. Sehingga pada saat ‘zat’ ruh setiap makhluk hidup nyata (termasuk manusia), telah diangkat atau dibangkitkan-Nya dari kuburannya (telah dicabut atau dilepaskan-Nya dari jasad tubuhnya), maka ‘zat’ ruh setiap manusia juga pasti kembali kepada-Nya (‘hidup kembali’ di alam ruh), serupa dengan kehidupan nabi Adam as sebelum diturunkan-Nya ke muka Bumi (dunia). 98 "Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati (diciptakan-Nya ruh), lalu Allah menghidupkan kamu (ditiupkan-


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

525

Nya ruh), kamu dimatikan (kematian teknis tubuh) dan dihidupkanNya kembali (diangkat atau dibangkit-kan-Nya ruh hidup di akhirat). Kemudian kepada Allah-lah kamu dikembalikan (dikumpulkan-Nya ruh)." - (QS.2:28) dan (QS.22:66) "Tidaklah Allah menciptakan (hidup di dunia) dan membangkitkan kamu (dari dalam kuburmu) itu (hidup di akhirat pada Hari Kiamat), melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa (ruh) saja. …" - (QS.31:28) "Kesejahteraan atas dirinya (Yahya) pada hari ia dilahirkan, dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali (Hari Kiamat)." - (QS.19:15) "Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku (Isa), pa-da hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali (Hari Kiamat)`." - (QS.19:33) "Dan berkata manusia: `Betulkah, apabila aku telah mati, bahwa aku sungguh-sungguh akan dibangkitkan menjadi hidup kembali`.", "Dan tidakkah manusia itu memikirkan, bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu, sedang (sebelumnya) ia tidak ada sama sekali.", "Demi Rabb-mu, sesungguhnya akan Kami bangkitkan mereka bersama syaitan, kemudian akan Kami datangkan mereka ke sekeliling (neraka) Jahanam dengan berlutut, (karena mereka meragukan Hari Kebangkitan)." - (QS.19:66-68)

526

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

yang berpikir." - (QS.39:42) "… Dan Kami tidaklah menjadikan mimpi, yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia, …" (QS.17:60) Hal ini didukung pula oleh kenyataan, bahwa para makhluk gaib berada pada alam batiniah ruh manusia (alam akhiratnya), dalam memberi segala bentuk ‘ilham’ (positif-baik-benar dan negatif-buruksesat), termasuk mereka pulalah yang telah mengatur alam khayalan dan alam mimpi pada setiap manusia selama di dunia. Bagi setiap manusia memang pasti diutus-Nya para makhluk gaib, untuk selalu mengikuti, mengawasi dan menjaganya. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang ilham-bisikan-godaan dari para makhluk gaib. “…Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu hal." (QS.33:52) dan (QS.4:1, QS.89:14) "Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." - (QS.50:18) "Padahal sesungguhnya, bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu),", "yang mulia (di sisi-Nya) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu),", "mereka mengetahui apa saja yang kamu kerjakan." - (QS.82:10-12) "tidak ada suatu jiwapun (diri), melainkan ada (para malaikat) penjaganya." - (QS.86:4) dan (QS.6:61) "Bagi manusia ada malaikat-malaikat, yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah-Nya. …" - (QS.13:11) dan (QS.72:26-27)

Sedang gambaran wujud dari kehidupan manusia di alam ruh, lebih-kurang seperti halnya ketika manusia sedang ‘bermimpi’ dalam tidurnya. Di mana kandungan ‘isi mimpi’ setelah Hari Kiamat relatif jauh lebih nyata, sesuai segala keadaan batiniah ruh setiap manusianya (keadaan kehidupan akhiratnya di Surga ataupun di Neraka), dari hasil segala amal-perbuatannya selama di dunia. Tentunya ‘isi mimpi’ di alam ruh itupun relatif amat berbeda, daripada ‘isi mimpi’ biasa selama di dunia (masih mengandung segala cobaan atau ujian-Nya). Hal inipun hanya dijelaskan amat sedikit dan secara tidak langsung pada surat Az-Zumar ayat 42 berikut.

Sederhananya, orang-orang yang kafir akan mengalami amat banyak mimpi-mimpi buruk dan menyiksa pada kehidupan akhiratnya setelah Hari Kiamat, dan sebaliknya, orang-orang yang beriman akan mengalami mimpi-mimpi menyenangkan, khususnya karena pengaruh kehadiran para malaikat penjaga Surga dan penjaga Neraka.

"Allah memegang jiwa (ruh pada seseorang), ketika matinya, dan (juga memegang) jiwa (ruh pada orang) yang belum mati di waktu tidurnya. Maka Ia tahanlah jiwa (ruh pada seseorang), yang telah Ia tetapkan kematiannya, dan Dia melepaskan jiwa yang lain (ruh pada orang yang tertidur), sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya, bagi kaum

"Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka, melainkan dari malaikat. …" - (QS.74:31) dan (QS.40:49-50, QS.39:71-74, QS.67:6-11) "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan-bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada me-


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

527

reka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." - (QS.66:6) "Rabb-mereka mengembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari-Nya, keredhaan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal,", "mereka kekal (tinggal) di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi-Nya-lah pahala yang besar." (QS.9:21-22) "Sesungguhnya penghuni surga pada hari (Kiamat) itu, bersenang-senang dalam kesibukan (mereka)." - (QS.36:55) "(yaitu) orang-orang (kafir), yang menjadikan agama mereka sebagai main-main atau senda-gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka`. Maka pada hari (Kiamat) itu, Kami melupakan mereka, sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan mereka (juga) selalu mengingkari ayat-ayat-Kami." - (QS.7:51) dan (QS.20:126, QS.9:67, QS.45:34, QS.59:19, QS.32:14) “Kemudian dikatakan kepada orang-orang yang zalim itu: `Rasakanlah olehmu siksaan yang kekal. Kamu tidak diberi balasan, melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan`." - (QS.10:52) "Katakanlah: `Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui,", "siapa yang akan mendapat siksaan-Nya yang menghinakannya, dan lagi ditimpa azab-Nya yang kekal`." - (QS.39:39-40) "…, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka siksaan-Kami yang berat, disebabkan kekafiran mereka." - (QS.10:70) dan (QS.3:105, QS.2:165, QS.2:85, QS.3:4) "Allah telah mengunci-mati (mata) hati mereka. Dan pendengaran dan penglihatan mereka ditutup-Nya. Bagi mereka terdapat siksaan-Nya yang amat berat." - (QS.2:7) “…Mereka di dunia mendapat kehinaan, dan di akhirat mendapat siksaan-Nya yang berat." - (QS.2:114) Adapun proses interaksi antar segala zat makhluk-Nya di alam akhirat pada Hari Kiamat, serupa seperti interaksi antara manusia dan para makhluk gaib, secara terang-terangan dan terselubung selama di dunia (para makhluk gaib hadir pada alam batiniah ruh manusia). Dimana pada interaksi secara terang-terangan dengan manusia, para makhluk gaib bisa bernyanyi, bermain, bercanda-tawa, meledek, berdiskusi, saling menyapa dan memberikan salam, dsb, serupa seperti segala aktifitas ‘verbal’ manusia, tentunya juga segala aktifitas ‘non-

528

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

verbal’ (terutama dalam interaksi terselubung). Pada dasarnya segala sesuatu pada alam batiniah ruh manusia (makhluk-Nya), bisa dipakai sebagai sarana berinteraksi, seperti: catatan amalan, memori-ingatan, intuisi-logika, ilmu-pengetahuan, pahala dan dosa, bahasa, nafsu, hatinurani, perasaan (kecewa, gelisah, sedih, marah, nyeri, bimbang, ragu, takut, berani, senang, gembira, nyaman, cinta, rindu, bahagia), dsb. Ringkasnya, serupa seperti kehidupan pada alam pikiran ataupun pada alam ‘mimpi’. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang interaksi antara para makhluk gaib dan manusia, secara terang-terangan dan terselubung. Juga topik "Benda mati gaib", tentang sarana yang dipakai dalam interaksi antar ruh makhluk-Nya. Tentunya wujud dari kehidupan akhirat setelah Hari Kiamat di atas (pada alam ruh, tanpa tubuh lahiriah), amat bisa diperdebatkan, karena memang relatif amat sedikit penjelasan dan keterangannya di dalam Al-Qur'an. Apalagi relatif amat bertentangan, dengan berbagai makna ‘tekstual-harfiah’ dari berbagai ayat Al-Qur'an lainnya, tentang kehidupan akhirat setelah Hari Kiamat. Barangkali berbagai keterangan dari pengalaman orang-orang yang pernah kembali, dari keadaan pingsan, mati suri, koma ataupun sekarat, yang relatif cukup lama, akan bisa lebih menjelaskan hal ini, juga termasuk penelitian yang lebih mendalam terhadap orang-orang yang pernah berhubungan dengan ruh-ruh para makhluk gaib. Wallahu a'lam bishawwab. Berbagai permasalahan terkait Neraka (dan Surga) Permasalahan tentang neraka (dan surga) adalah kemungkinan masalah logis yang terkait dengan keagamaan, di mana penggambaran tentang Neraka sebagai suatu hal yang amat kejam, menyiksa ataupun membakar, yang dengan demikian seolah tampak bertentangan dengan konsep moralitas, ke-Maha adil-an dan ke-Maha tahu-an Tuhan. Permasalahan tentang neraka (‘problem of hell’) berkisar pada 4 hal pokok, yang terdapat pada hampir semua agama, yaitu: - Neraka itu ada, - Sebagian manusia akan dimasukkan ke neraka, - Tidak ada jalan keluar dari neraka (kekal), dan - Neraka adalah hukuman atas berbagai tindakan manusia (ataupun bahkan bukan tindakan), selama manusianya berada di dunia. Dari hal-hal pokok tersebut telah bisa menimbulkan berbagai pertanyaan cukup penting, seperti:


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

529

a. Apakah neraka dan surga adalah nama-nama tempat? dan apakah kehidupan di neraka dan di surga nantinya berupa suatu kehidupan fisik-lahiriah-duniawi, yang serupa kehidupan dunia saat ini? b. Bagaimana bentuk, berat beban dan kekekalan siksaan neraka? c. Apakah keberadaan neraka sesuai dengan keadilan? d. Apakah keberadaan neraka itu sesuai dengan sifat ke-Maha pemurah-an Tuhan? dan apakah siksaan neraka tidak akan menciderai kebaikan Tuhan? e. Apakah neraka benar-benar pasti akan didiami atau dihadapi oleh tiap makhluk yang berbuat dosa (Tuhan bukannya dianggap nantinya akan memperbaiki kembali segala sesuatu halnya)? f. Apakah hukuman 'tanpa batas' di neraka, ada atau sesuai? g. Apakah hukuman 'tanpa batas' di neraka, bagi tiap makhluk yang telah menentang perintah-Nya (berbuat dosa), hanya terjadi karena ke-Maha kuasa-an Tuhan? h. Apakah berat hukuman di neraka, pasti sesuai dengan besar kerugian yang telah ditimbulkan oleh tiap amal-keburukan atau perbuatan dosa? i. Apakah tiap manusia pasti disalahkan atau mesti bertanggung-jawab atas dosa-dosanya (bukan Tuhan yang disalahkan), sedang Tuhan telah dianggap bersifat Maha mengetahui dan Maha berkuasa menentukan takdir bagi tiap manusia? j. Apakah keadilan menurut akal-sehat manusia bisa berbeda daripada keadilan menurut Tuhan? dan apakah Tuhan tetap disebut berlaku adil, walau keadilan Tuhan justru berbeda daripada keadilan menurut akal-sehat manusia? k. Apakah kebaikan Tuhan bisa sesuai dengan kebaikan, budaya, intuisi dan rasionalitas manusia? l. Apakah adanya siksaan neraka, sebagai konsekuensi dari kebebasan telah diberikan-Nya kepada manusia? dan apakah neraka juga pilihan bebas manusia (bukan hukuman yang memaksa)? m. Apakah manusia yang cacat, bodoh ataupun alpa, pasti bertanggung-jawab atas nasib dan perbuatannya? n. Apakah umat manusia yang belum pernah mendapat pengajaran dan tuntunan-Nya melalui para nabi-Nya, pasti bertanggung-jawab atas tiap perbuatan dosanya? dan bagaimana fitrah dasar tiap manusia untuk mengenal, menyembah dan beriman kepada-Nya? o. Apakah manusia yang berdosa akan disiksa-Nya untuk tinggal kekal di neraka, atau tubuh ataupun ruhnya yang akan dihancur-

530

p. q. r.

s. t.

u.

v.

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

kan-Nya? Apakah seluruh manusia akan bisa mendapat pengampunan, karena cinta dan kasih sayang Tuhan? Apakah balasan-Nya bagi manusia yang kafir-musyrik, namun telah pula berbuat berbagai kebaikan? Apakah semua Muslim pada akhirnya pasti akan bisa kekal di surga, karena telah tidak menyembah Tuhan selain Allah (hanya sementara di neraka, atas segala dosa selain kemusyrikan)? dan apakah neraka pada akhirnya hanya akan dihuni oleh manusia yang kafir-musyrik? Apakah Tuhan bisa berkehendak, untuk memasukkan seluruh manusia ke surga, atau sebaliknya ke neraka? Apakah tiap manusia yang timbangan segala amal-kebaikannya, lebih berat daripada segala amal-keburukannya, pasti akan bisa masuk ke neraka (walau sementara)? Bagaimana balasan-Nya bagi orang yang telah berbuat berbagai keburukan, yang diancam-Nya dengan neraka, namun sebaliknya juga telah berbuat berbagai kebaikan, yang dijanjikan-Nya dengan surga? dan bagaimana keadaan terakhirnya? Di mana letak ke-Maha kuasa-an, ke-Maha tahu-an dan ke-Maha baik-an Tuhan, terkait dengan nasib manusia di alam akhirat (termasuk di neraka)?

Di samping langsung tentang neraka, berbagai permasalahan itu juga sedikit-banyak menyangkut tentang surga; sifat-sifat Tuhan; kebebasan dan tanggung-jawab manusia; akal sehat manusia; takdir; kehidupan dunia dan akhirat; keburukan atau perbuatan dosa; balasanNya dan hukuman-Nya; ampunan-Nya; pengajaran dan tuntunan-Nya; perintah-Nya; kehendak dan perbuatan-Nya; kemusyrikan; timbangan amalan; dsb. Berbagai hal yang melebar cukup luas di atas, bisa ditemukan uraiannya pada bagian lain pembahasan buku ini. Juga telah diuraikan khusus pada topik-topik di atas, tentang alam atau kehidupan akhirat, dan tentang wujud dari kehidupan akhirat di Hari Kiamat (kehidupan di neraka dan di surga). Permasalahan tentang neraka justru berpengaruh amat penting, di satu pihaknya keberadaan neraka diakui oleh hampir semua agama, namun di lain pihaknya sebagian manusia bisa mengatasinya, dengan menolak agama dan kepercayaannya tentang neraka, ataupun menjadi ateis. Hal ini khususnya karena neraka adalah suatu bentuk hukuman


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

531

532

yang hampir pasti ingin dihindari dan ditakuti oleh tiap umat manusia. Sehingga penjelasan tentang neraka, termasuk jawaban atas berbagai permasalahannya yang relatif bisa diterima oleh akal-sehat, mestinya justru bisa makin meningkatkan keimanan umat beragama. Sekaligus agar bisa menghindari berbagai ketakutan dan pemahaman yang amat berlebihan tentang neraka, tanpa dalil-alasan yang memadai. Pada tabel berikut diungkap jawaban atas berbagai pertanyaan atau permasalahan yang berkaitan dengan neraka (dan surga), menurut agama Islam, ataupun khususnya menurut pemahaman pada buku ini. Berbagai pertanyaan itu pada hakekatnya telah terjawab dengan relatif sempurna melalui ajaran-ajaran agama Islam. Namun perlu diungkap lagi, agar umat Islam sendiri bisa semakin tinggi tingkat keimanannya atas ajaran agama Islam. Juga karena berbagai pertanyaan itu bahkan telah amat meluas dan muncul dari para penganut pada hampir semua agama (di samping dari para penganut ateisme dan agnotikisme). Dan berbagai pertanyaan itu belum terjawab dengan relatif cukup memadai dan tuntas, pada berbagai paham dan agama di luar agama Islam. Semua pertanyaan atau permasalahan dalam tabel berikut pada dasarnya telah terjawab secara tidak langsung melalui berbagai bagian pembahasan buku ini. Maka semua jawaban dalam tabel berikut hanya rangkuman ringkas dan padat dari berbagai pembahasan tersebut.

tinggal bersama. Tentunya jumlah neraka dan surga pada dasarnya juga tak-terhitung (bahkan sesuai jumlah seluruh makhluk-Nya). Sehingga adanya beberapa nama sebutan bagi berbagai tingkatan neraka dan surga, pada dasarnya hanyalah bentuk pengelompokan secara ‘simbolik’ saja, atas berbagai kelompok keadaan batiniah ruh tertentu pada para makhluk-Nya yang mendapatkannya. Kehidupan di neraka dan di surga bukanlah berupa kehidupan lahiriah-fisikduniawi, tetapi berupa kehidupan batiniah ruh (kehidupan akhirat), setelah ‘zat’ ruh masing-masing manusia dicabut, diangkat atau dibangkitkan-Nya dari jasad tubuh lahiriahnya pada Hari Kiamat. Kehidupan akhirat manusia pada Hari Kiamat itu, lebihkurang relatif serupa dengan kehidupan para makhluk gaib saat ini, di alam ruh atau alam arwah, namun tentunya dengan keadaan batiniah ruhnya masing-masing yang relatif berbeda-beda pada tiap makhluk. Baca pula uraian pada topik di atas, tentang wujud kehidupan manusia di akhirat setelah Hari Kiamat. Secara umum, tiap manusia relatif pasti memiliki tak-terhitung jumlah ‘neraka kecil’, dan sekaligus pula tak-terhitung jumlah ‘surga kecil’. Karena adanya dua keadaan batiniah yang saling bertentangan tersebut, maka definisi atau pengertian surga dan neraka di atas belumlah cukup, atau masih meninggalkan dilema tentang keadaan ‘terakhir’ tiap manusianya (apakah di surga atau di neraka?). Agar bisa menjawab dilema ini, dalam ajaran agama Islam juga dikenal suatu ‘timbangan amalan’, sebagai sebutan ‘simbolik’ bagi suatu perhitungan rangkuman, atas jumlah nilai keseluruhan ‘pahala-Nya’ dan jumlah nilai keseluruhan ‘beban dosa’. Pada akhirnya, tiap manusia yang secara ‘simbolik’ disebut berada di ‘surga’ pada Hari Kiamat, adalah manusia yang jumlah nilai keseluruhan amal-kebaikan (‘pahala-Nya’), lebih besar daripada jumlah nilai keseluruhan amal-keburukannya (‘beban dosa’). Hal ini biasa disebut “timbangan amalannya positif”, sebaliknya bagi tiap manusia yang secara ‘simbolik’ disebut akan berada di ‘neraka’. Sekali lagi, neraka dan surga secara ‘umum’ adalah sebutan ‘simbolik’, karena hal yang sebenarnya justru tetap berupa ‘neraka kecil’ (‘beban dosa’) dan ‘surga kecil’ (‘pahala-Nya’).

Berbagai permasalahan terkait Neraka (dan Surga) a.

Apakah neraka dan surga adalah nama-nama tempat? dan apakah kehidupan di neraka dan di surga nantinya berupa sesuatu kehidupan fisik-lahiriah-duniawi, yang serupa dengan kehidupan dunia saat ini? Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Neraka dan surga bukanlah nama-nama tempat, tetapi sebutan ‘simbolik’ bagi dua kelompok besar keadaan batiniah ruh tiap manusia. Neraka dan surga masing-masingnya terdiri dari tak-terhitung jumlah ‘neraka kecil’ dan ‘surga kecil’, yang berupa tiap keadaan batiniah ruh, sebagai hasil akhir dari tiap amal-perbuatan manusia (keburukan dan kebaikan), yang mengubah keadaan batiniah ruh kepada kehinaan dan kemuliaan. Dan ‘neraka kecil’ dan ‘surga kecil’ itu masing-masingnya biasa disebut pula sebagai ‘beban dosa’ dan ‘pahala-Nya’, yang justru bersifat batiniah. Karena itu di dalam Al-Qur'an, ‘neraka’ biasanya disebut sebagai “kehinaan, azab atau api yang besar”, “siksaan atau azab yang berlipat-ganda”, dsb. Sedang ‘surga’ disebut sebagai “pahala, rahmat, karunia, kemenangan, atau kenikmatan yang besar”, “keberuntungan yang terbesar”, “balasan (baik) yang berlipat-ganda”, dsb. Karena neraka dan surga dalam pengertian ‘secara umum’, masing-masingnya memang berupa sekumpulan dari tak-terhitung jumlah ‘neraka kecil’ dan ‘surga kecil’ tersebut. Tiap manusia memiliki neraka dan surganya masing-masing (memiliki keadaan batiniah ruhnya masing-masing). Maka neraka dan surga juga bukanlah tempat

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

Istilah-istilah seperti “berada di …”, “tinggal di …”, “hidup di …”, “kekal di …”, “penghuni …”, dsb, yang biasa terkait dengan surga dan neraka, pada dasarnya bermakna seperti “makhluk terkait yang ‘berada’ pada keadaan batiniah yang mulia (dimuliakan-Nya) dan yang hina (dihinakan-Nya), masing-masingnya dari hasil tiap amalkebaikan dan keburukannya”. ‘Kehidupan batiniah ruh’ itu juga biasa disebut sebagai ‘kehidupan akhirat’. Kehidupan akhirat setelah Hari Kiamat pada dasarnya hanya kelanjutan dari kehidupan akhirat, yang telah dibangun atau diusahakan oleh tiap manusianya sendiri (secara sadar ataupun tidak), selama di kehidupan dunianya, namun pada Hari Kiamat sekaligus secara alamiah dan adil telah pula ‘disempurnakan-Nya’ (dilipat-gandakan-Nya). Baca pula topik di atas, tentang alam atau kehidupan akhirat. b.

Bagaimanakah bentuk, berat beban dan kekekalan siksaan neraka? Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Sebagaimana uraian poin a di atas, bentuk siksaan di neraka hanya berupa siksaan batiniah, bukan siksaan fisik-lahiriah. Sehingga siksaan neraka justru bersifat amat alamiah, manusiawi, tidak berlebihan dan amat adil (pasti sesuai dengan tiap amal-perbuatan manusianya).


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

533

Sedang siksaan secara fisik-lahiriah di neraka, yang sering digambarkan pada berbagai kitab suci agama, justru pada dasarnya hanyalah contoh-perumpamaan. Misalnya sebenarnya tidak ada pembakaran tubuh manusia di neraka, oleh api dan bara yang amat sangat panas, tetapi justru berupa berbagai keadaan batiniah ruh atau perasaan, seperti: hina, menyesal, sia-sia, putus-asa, kecewa, galau ataupun tersesat yang relatif amat luar-biasa, terutama setelah dibukakan segala kebenaran-Nya pada Hari Kiamat, oleh para malaikat Rakid dan ‘Atid. Sehingga tiap manusianya benar-benar telah bisa mengetahui tiap aspek dari tiap perbuatannya secara relatif detail, seperti: niat, beban ujian-Nya, beban tanggung-jawab, tingkat keterpaksaan, segala dalilalasan dan tingkat kebenarannya, kerugian dan keuntungan, dsb. Tidak ada hukuman dan kenikmatan secara fisik-lahiriah yang bisa lebih adil, kekal dan sempurna, daripada hukuman dan kenikmatan secara batiniah, pada kehidupan di dunia ataupun pada saat setelah Hari Kiamat. Misalnya siksaan fisik-lahiriah selama di dunia, justru telah relatif amat mudah diatasi oleh ilmu kedokteran modern, ataupun oleh orang-orang yang bertubuh amat sehat dan kekar. Sebaliknya segala siksaan batiniah justru relatif amat sulit diatasi oleh tiap manusia, kecuali dengan cara bertaubat di kehidupan dunia ini. Sedang sejak kematian tiap manusianya ataupun sejak Hari Kiamat, justru segala taubatnya telah tidak diterima-Nya. Beratnya beban siksaan di neraka, justru bersifat amat alamiah, atau pasti sesuai dengan tiap keadaan batiniah ruh tiap makhluk, yang bisa terbentuk secara alamiah berdasar tiap amal-keburukannya di kehidupan dunianya. Juga bersifat amat alamiah sesuai dengan proses berpikir manusia, karena beratnya beban siksaan bisa terasa relatif berkurang, jika manusianya mengingat-ingat berbagai amal-kebaikannya, khususnya dari hasil usaha bertaubat atas perbuatan dosa yang terkait. Namun begitu siksaan batiniah di neraka pada Hari Kiamat itu, memang akan terasa relatif jauh lebih berat, daripada siksaan batiniah pada kehidupan di dunia, karena balasan atau hukuman-Nya juga pasti akan disempurnakan-Nya. Lebih jelasnya, karena telah tidak ada lagi kehidupan fisik-lahiriah-dunia pada Hari Kiamat (tidak ada lagi segala kesibukan duniawi), maka tiap manusia benar-benar hanya berada pada kehidupan akhiratnya (relatif hanya mengingat tiap amal-perbuatannya selama di dunia). Di samping itu dalam kehidupan akhirat pada Hari Kiamat, manusia benar-benar tidak bisa lagi berbohong, karena para malaikat pengawas dan penjaga yang pasti selalu mengikutinya selama di dunia (para malaikat Rakid dan ‘Atid), telah menunjukkan ‘wujud aslinya’ (berinteraksi secara terang-terangan dengan manusianya). Sedang para malaikat inipun pasti amat mengetahui tiap amal-perbuatan manusianya, yang amat sederhana atau kecil sekalipun (‘sebesar biji zarrah’). Kekekalan siksaan di neraka, juga bersifat amat alamiah persis seperti munculnya perasaan berdosa atau bersalah saat mengingat-ingat tiap perbuatan buruk selama di dunia. Begitu pula di neraka pada Hari Kiamat, para malaikat penjaga neraka akan selalu mengingat-ingatkan, menghakimi dan menghina manusianya, atas tiap perbuatan buruknya. Sebaliknya para malaikat penjaga surga juga akan selalu mengingat-ingatkan dan memuliakan manusianya, atas tiap perbuatan baiknya. Kedua hal inipun berlangsung saling bergantian secara alamiah sesuai dengan proses berpikir manusia, sehingga manusia berpindah-pindah dari surga ke neraka, atau sebaliknya, dengan relatif amat cepat (secepat proses berpikir manusia). Jika tiap manusianya lebih banyak berbuat kebaikan, tentunya ia relatif lebih sering pula berada di surga, ataupun sebaliknya di neraka.

534

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

Walau segala amalan tiap manusia telah terputus sejak Hari Kiamat (segala keadaan batiniah ruhnya tidak berubah-ubah lagi), fokus utama dari kekekalan hidup di neraka pada dasarnya bukan pada ‘lamanya waktu’ berada di neraka, tetapi pada kekekalan keberadaan tiap beban dosa atau ‘neraka kecil’ (mustahil bisa dihilangkan dan dilupakan). Tiap beban dosa itu hanya masalah waktu saja, menunggu diingatingatkan oleh para malaikat (“dibaca atau dibukanya tiap catatan amalannya oleh para malaikat Rakid dan ‘Atid”) ataupun bahkan diingat-ingat oleh manusia pelakunya sendiri. Dan hal yang serupa pula tentang surga, beserta ‘surga-surga kecilnya’. Baca pula poin a di atas, untuk penjelasan lengkapnya tentang ‘neraka kecil’ dan ‘surga kecil’ (‘beban dosa’ dan ‘pahala-Nya’). c.

Apakah keberadaan neraka sesuai dengan keadilan? Terutama jika dipandang dari segi amat berat dan kekekalan hukumannya. Walaupun neraka memang juga wujud keadilan Tuhan, dengan menghukum tiap pelaku keburukan atau perbuatan dosa di dunia. Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Keberadaan neraka pasti sesuai dengan keadilan menurut Allah, ataupun menurut akal-sehat manusia (amat obyektif, khususnya pada para nabi-Nya). Segala ‘neraka kecil’ dan ‘surga kecil’ pada tiap manusia (segala ‘beban dosa’ dan ‘pahalaNya’), justru pasti setimpal dengan segala amal-perbuatannya selama di kehidupan dunia. Segala makhluk ciptaan-Nya pasti tidak dirugikan atau tidak dianiaya-Nya. Baca pula poin a di atas, untuk penjelasan lengkapnya tentang ‘neraka kecil’ dan ‘surga kecil’ (‘beban dosa’ dan ‘pahala-Nya’). Dan poin b di atas, tentang berat beban dan kekekalan siksaan di neraka, yang amat alamiah, manusiawi, tidak berlebihan dan amat adil.

d.

Apakah keberadaan neraka itu sesuai dengan sifat ke-Maha pemurah-an Tuhan? dan apakah siksaan neraka tidak akan menciderai kebaikan Tuhan? Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Sifat ke-Maha pemurah-an Tuhan justru bukan terkait dengan keberadaan neraka, tetapi terkait dengan pemberian keringanan siksaan di neraka, terutama karena hal-hal yang terjadi di neraka, justru bersifat amat alamiah, amat manusiawi, tidak berlebihan dan amat adil. Siksaan di neraka justru sebenarnya hanya berupa siksaan batiniah, bukan berupa siksaan fisik-lahiriah yang memang terasa amat kejam, berlebihan dan tidak manusiawi), yang disebut-sebut dalam kitab suci agama, hanya sebagai peringatan ‘simbolik’ bagi manusia agar amat sangat mewaspadainya. Baca pula poin b di atas, tentang bentuk, beratnya beban dan kekekalan siksaan di neraka. Ke-Maha pemurah-an Tuhan juga dari silih-bergantinya proses alamiah perubahan keadaan batiniah ruh manusia. Manusia tidak akan selamanya berada di neraka, tetapi terkadang juga bisa berada di surga, atas segala amal-kebaikannya. Hal ini tidak berlaku bagi manusia yang kafir-musyrik dan murtad, karena segala amal-kebaikannya bahkan pasti sia-sia ataupun pasti diabaikan-Nya. Segala amal-kebaikan dari para penyembah Tuhan selain Allah itu (para pelaku kemusyrikan), memang dilakukan tidak berdasarkan kebenaran, perintah ataupun kehendak-Nya, karena memang tidak berdasarkan penyembahan atau ketundukan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan Pencipta seluruh alam semesta yang sebe-


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

535

narnya. Kelurusan dasar tauhid ini amatlah penting, sehingga tiap umat Islam amat dianjurkan untuk mengucap bacaan basmallah (‘dengan nama Allah’), saat memulai sesuatu amal-kebaikan, agar benar-benar dilakukan dalam rangka pengabdian dan ketundukannya kepada Allah (atau dalam rangka mencari keredhaan-Nya).

536

g.

Apakah neraka benar-benar pasti akan didiami atau dihadapi oleh tiap makhluk yang berbuat dosa (Tuhan bukannya dianggap nantinya akan memperbaiki kembali segala sesuatu halnya)? Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Neraka pasti akan didiami (lebih tepatnya dihadapi), oleh tiap makhluk yang berbuat dosa (bahkan termasuk umat Islam), karena alam semesta memang diciptakan-Nya dengan tujuan yang pasti dan jelas. Baca pula poin c dan d di atas, tentang keberadaan neraka.

Allah pada dasarnya mustahil akan marah bagi tiap makhluk-Nya yang telah berbuat dosa. Bahkan kekafiran makhluk-Nya sama sekali tidak mengherankan Allah, karena tiap makhluk-Nya memang telah diberikan-Nya kebebasan dalam berkehendak dan berbuat (telah diberikan-Nya akal dan nafsu). Segala kebebasan makhluk-Nya justru bagian dari rencana-Nya, untuk menguji keimanannya masing-masing.

Pada Hari Kiamat, Tuhan juga tidak akan memperbaiki segala sesuatu halnya. Jika Tuhan memang berkehendak menciptakan segala hal yang baik-baik dan sempurna, tentunya amat mudah dan sejak awal dilakukan-Nya, bahkan Tuhan tidak perlu menciptakan alam semesta, yang penuh dengan segala kekurangan, keterbatasan dan kehinaan ini. Alam semesta ini memang diciptakan-Nya sebagai sarana untuk bisa menguji keimanan tiap makhluk ciptaan-Nya. f.

Apakah hukuman ‘tanpa batas’ di neraka, memang ada atau sesuai? Padahal hukuman yang tidak sebanding dengan kejahatan yang telah dilakukan, adalah hal yang berlebihan (penganiayaan). Sedang umur manusia amat terbatas dan pasti terbatas pula jumlah dosa yang bisa dilakukannya (tidak ada suatu pelanggaran atau penentangan perintah-Nya, yang ‘tanpa batas’). Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Tidak ada hukuman ‘tanpa batas’ di neraka, yang memang amat tidak sesuai dengan keadilan Tuhan. Segala hukuman atau siksaan di neraka justru pasti sebanding dengan kejahatan yang telah dilakukan manusia selama di dunia. Dan Tuhan memiliki sesuatu aturan yang pasti dan jelas (sunatullah lahiriah dan batiniah), dalam memberi tiap bentuk balasan atau hukuman-Nya bagi tiap amal-perbuatan manusia. Baca pula poin b di atas, tentang bentuk, beratnya beban dan kekekalan siksaan di neraka, yang amat alamiah, manusiawi, tidak berlebihan dan amat adil. Juga tidak ada sesuatu pelanggaran atau penentangan perintah-Nya, yang ‘tanpa batas’, karena segala kemampuan dan kekuasaan tiap umat manusia memang amat sangat terbatas dan sama sekali tidak ada artinya, jika dibanding dengan Allah, Tuhan Yang Maha kuasa, Maha menentukan dan Maha mengatur.

Apakah hukuman ‘tanpa batas’ di neraka bagi tiap makhluk yang telah menentang perintah-Nya (berbuat dosa), hanya terjadi karena ke-Maha kuasa-an Tuhan? Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Sekali lagi, tidak ada hukuman ‘tanpa batas’ di neraka. Allah memang Tuhan Yang Maha berkuasa, namun Allah juga Tuhan Yang Maha mulia dan Maha adil. Sehingga Allah pasti tidak akan memberi balasan atau hukuman-Nya, secara tidak adil, zalim, aniaya, sewenang-wenang, semena-mena, ataupun sekehendak-Nya. Dan segala penentangan perintah-Nya oleh tiap makhluk-Nya (bahkan jika sama sekali tidak ada makhluk-Nya yang beriman), justru sama sekali tidak sedikitpun akan bisa mengganggu, mengurangi dan merusak ke-Maha mulia-an dan ke-Maha kuasa-an Tuhan. Segala zat makhluk-Nya ibaratnya hanya debu-debu yang amat sangat halus dan relatif amat tidak berarti di hadapan Allah, Tuhan Yang Maha besar dan Maha agung. Baca pula poin b di atas, tentang bentuk, beratnya beban dan kekekalan siksaan di neraka, yang amat alamiah, manusiawi, tidak berlebihan dan amat adil. Dan poin f di atas, tentang tidak adanya hukuman ‘tanpa batas’ di neraka, serta adanya aturan yang pasti dan jelas dalam pemberian segala bentuk balasan ataupun hukuman-Nya.

Siksaan neraka sama sekali tidak menciderai kebaikan Tuhan. Segala nikmat dan kebaikan justru telah berlimpah-ruah diberikan-Nya kepada manusia selama hidupnya di dunia. Pada Hari Kiamat, manusia pasti dimintai-Nya pertanggung-jawabannya, atas pemanfaatan segala nikmat dan kebaikan-Nya tersebut. Tanpa adanya neraka dan segala bentuk hukuman di dalamnya, sama halnya dengan anggapan, bahwa Tuhan telah menciptakan alam semesta ini secara main-main atau bersenda-gurau (tanpa suatu tujuan yang pasti dan jelas). Padahal Allah Tuhannya alam semesta yang sebenarnya, justru menciptakan alam semesta ini dengan tujuan yang pasti dan jelas, terutama untuk bisa menguji keimanan tiap makhluk ciptaan-Nya. e.

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

Adapan laknat atau kemarahan Allah bagi tiap makhluk-Nya yang telah berbuat dosa, yang disebut-sebut di dalam kitab-kitab-Nya, justru hanya sebagai bahan pelajaran bagi manusia, agar menghindari dosa-dosa itu, bagi pencapaian kemuliaan manusia itu sendiri, bukan bagi kepentingan Allah, Tuhan Yang Maha berdiri sendiri, Maha tidak bergantung atau tidak memerlukan segala sesuatu dari makhluk-Nya. Demikian pula halnya dengan segala anjuran dan perintah-Nya bagi tiap makhluk-Nya (termasuk agar mau berbakti dan menyembah kepada-Nya), juga hanya semata-mata bagi kepentingan dan kemuliaan makhluk-Nya itu sendiri. h.

Apakah berat hukuman di neraka, pasti sesuai dengan besar kerugian yang telah ditimbulkan oleh tiap amal-keburukan atau perbuatan dosa? Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Berat beban siksaan atau hukuman-Nya di neraka, pasti sesuai atau setimpal dengan besar kerugian yang telah ditimbulkan oleh tiap amal-keburukan atau perbuatan dosa. Tetapi nilai atau besar kerugian justru berdasarkan kepada ukuran-ukuran yang bersifat batiniah, bukan lahiriah. Lebih jelasnya, segala kerugian lahiriah pada puncaknya juga pasti akan bermuara kepada kerugian batiniah, yang dialami oleh diri pelakunya sendiri, serta manusia ataupun makhluk lain di sekitarnya. Baca pula poin b di atas, tentang bentuk, beratnya beban dan kekekalan siksaan di neraka. Lebih jauhnya lagi, tiap makhluk hanya dinilai berdasar tugas atau amanat yang telah diberikan-Nya dan segala amal-perbuatannya sendiri. Tiap makhluk justru sama sekali tidak bertanggung-jawab dan tidak dirugikan oleh segala amal-keburukan


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

537

atau perbuatan dosa dari segala makhluk lainnya. Sebaliknya tiap makhluk justru sama sekali tidak diuntungkan oleh segala amal-kebaikan dari segala makhluk lainnya. Segala perbuatan makhluk lainnya yang merugikan biasanya disebut ‘ujianNya’, dan yang menguntungkan disebut ‘rahmat-Nya’. Sedangkan segala perbuatan makhluk yang merugikan dirinya sendiri disebut ‘beban dosa atau siksaan-Nya (batiniah)’, dan yang menguntungkan disebut ‘pahala atau nikmat-Nya (batiniah)’. Sekali lagi, ‘ujian dan rahmat-Nya’ itu sama sekali tidak merugikan dan tidak menguntungkan, bagi tiap makhluk yang mendapatkannya, karena memang bukan hasil dari perbuatannya sendiri, walau sekilas ‘seolah-olah’ terasa merugikan ataupun menguntungkan. Walau begitu, tiap amal-perbuatan yang dilakukan pada saat suatu makhluk sedang mendapat ujian-Nya, maka ‘beban dosa’ yang diterimanya atas keburukannya pasti diringankan-Nya, sedang ‘pahala-Nya’ atas kebaikannya pasti dilipat-gandakanNya, masing-masingnya sesuai berat beban ujian-Nya (segala kesusahan dari Allah), dibanding dengan keadaan ujian-Nya yang relatif normal atau umum. Serupa itu pula, tiap amal-perbuatan yang dilakukan pada saat suatu makhluk sedang mendapat rahmat-Nya, maka ‘beban dosa’ pasti ditambah-Nya, sedang ‘pahala-Nya’ pasti dikurangi-Nya, sesuai besar rahmat-Nya (segala kemudahan dari Allah). Dan tentunya, hanya Allah Yang Maha mengetahui dan Maha menentukan pahala-Nya dan beban dosa yang sebenarnya diterima. Sementara rumusan penentuan di atas hanya perbandingan ‘relatif’ semata. Dan akhirnya, hasil dari segala amal-perbuatan baik atau buruk pasti hanya diterima oleh pelakunya sendiri, yang berupa perubahan segala keadaan batiniah ruhnya (perubahan kehidupan akhiratnya), dari keadaan awal saat terlahir ke dunia yang masih suci-murni dan tanpa dosa, sampai keadaan akhir saat meninggal dunia. Segala usaha atau amal-perbuatan tiap makhluk-Nya, agar bisa mengubah atau memperbaiki segala keadaan batiniah ruhnya, hanyalah bisa dilakukan selama di kehidupan dunia. Sedang sejak kematiannya ataupun sejak Hari Kiamat, segala amalannya telah terputus atau tidak lagi diperhitungkan-Nya. i.

Apakah tiap manusia pasti disalahkan atau mesti bertanggung-jawab atas dosa-dosanya (bukan Tuhan yang disalahkan), sedang Tuhan telah dianggap bersifat Maha mengetahui dan Maha berkuasa menentukan takdir bagi tiap manusia? Padahal dosa-dosa itu justru mustahil bisa dihindari oleh manusianya, jika dianggap bahwa Tuhan telah mengetahui ataupun telah menentukannya sebelumnya. Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Pertanyaan amat penting ini telah muncul sepanjang kehidupan umat manusia, dan hampir tidak ada jawaban yang relatif tuntas sampai saat sekarang, bahkan dari para penganut pada hampir semua agama (termasuk agama Islam). Pertanyaan ini terutama terkait dengan sifat-sifat-Nya (Maha mengetahui, Maha berkuasa dan Maha menentukan), takdir-Nya dan kebebasan manusia, yang relatif belum dipahami secara memadai, utuh dan lengkap. Jawaban ringkasnya, tiap manusia pasti disalahkan-Nya atau pasti dimintaiNya tanggung-jawab atas segala perbuatan dosanya. Dan hal ini sama sekali bukan kesalahan dan tanggung-jawab Tuhan. Allah memang bersifat Maha mengetahui atas segala sesuatu halnya di alam semesta ini, sejak saat ‘sebelum’, ‘sedang’ sampai saat ‘setelah’ terjadinya. Na-

538

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

mun ada pula sedikit catatan penting, tentang pengetahuan-Nya atas segala hal yang ‘belum’ terjadi, dan yang terkait dengan kebebasan makhluk-Nya dalam berkehendak dan berbuat. Segala pengetahuan-Nya yang tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi ‘Arsy-Nya, bisa dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu: -

Pengetahuan yang bersifat non-kronologis (tidak terkait waktu) Pengetahuan-Nya ini justru telah diketahui-Nya sebelum terciptanya alam semesta ini, karena berupa segala aturan-Nya bagi segala proses atau kejadian yang bersifat mutlak dan kekal di alam semesta (termasuk proses penciptaan), yang biasa disebut sebagai ‘sunatullah’. Tentunya pengetahuan-Nya inipun tetap sama sampai akhir jaman. Pengetahuan-Nya ini sama sekali tidak terkait dengan peran ataupun usaha dari segala makhluk-Nya (tentunya selain para malaikat yang memang pasti tunduk, taat dan patuh kepada-Nya). Dan para malaikat itulah yang mengawal pelaksanaan sunatullah atau aturan-Nya (lahiriah dan batiniah). Di samping sunatullah atau aturan-Nya, pengetahuan-Nya ini juga meliputi berbagai ketentuan atau ketetapan-Nya lainnya.

-

Pengetahuan yang bersifat kronologis (terkait waktu) Pengetahuan-Nya ini terkait dengan peran ataupun usaha dari segala makhluk-Nya (selain para malaikat), maka justru hanya diketahui-Nya tepat setelah tiap makhluk-Nya menentukan pilihan dan mulai berbuat sesuatu hal. Pengetahuan-Nya ini berupa segala keadaan lahiriah dan batiniah tiap saatnya, yang relatif bebas bisa diubah-ubah oleh tiap makhluk-Nya, melalui tiap perbuatannya.

Dari 2 kelompok pengetahuan-Nya tersebut, maka cukup bisa disimpulkan bahwa Allah pada dasarnya justru tidak mengetahui nasib, keadaan atau takdir akhir tiap makhluk-Nya, ‘sebelum’ terjadinya Hari Kiamat. Karena Allah tidak mengetahui tiap hasil pilihan akal dan tiap hasil perbuatan tiap makhluk-Nya, ‘sebelum’ dilakukan. Hal ini cukup jelas disebutkan pada ayat-ayat Al-Qur'an, yang menyatakan seperti “agar Kami mengetahui …” (QS.3:166, QS.47:31, QS.2:143 dan QS.18:12) ataupun “… Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan, yang ada pada diri mereka sendiri. …" (QS.13:11) Allah memang Maha berkuasa dan Maha menentukan nasib, keadaan atau takdir bagi tiap makhluk-Nya, tetapi dalam penentuannya itu ‘sebagiannya’ justru ada pula peran dari tiap makhluk-Nya sendiri. Lebih jelasnya, terdapat 2 macam takdir-Nya, yaitu: qadla-Nya dan qadarNya. Qadar-Nya adalah qadla-Nya yang terakhir pada suatu saat tertentu, dan ada sejumlah tak-terhitung qadla-Nya yang tersusun sejak tiap makhluk-Nya terlahir, sampai saat tercapainya qadar-Nya. Jarak antar dua buah qadla-Nya justru amat sangat singkat (jarak waktu terdekat antara dua usaha yang berbeda dari tiap makhluk-Nya). Dan karena proses batiniah adalah proses yang relatif paling cepat pada tiap makhluk-Nya, maka jarak antar dua qadla-Nya itu relatif hanya secepat proses berpikir. Selama waktu yang amat sangat singkat itulah justru hanya ada peran dari Allah (melalui sunatullah), yang menentukan segala keadaan atau hasil akhir (qadlaNya), dari tiap usaha makhluk-Nya. Tiap qadla-Nya sama sekali tidak bisa diubah oleh segala makhluk-Nya. Tetapi melalui usahanya, tiap makhluk-Nya justru bisa menentukan berbagai keadaan awal, sebelum mulai berlakunya sunatullah. Maka hanya tiap


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

539

540

makhluk-Nya itu sendiri yang memulai suatu perbuatannya, namun hanya Allah yang menentukan atau mewujudkan segala hasilnya, sekaligus pula untuk memberi balasan-Nya secara setimpal atau adil atas perbuatannya itu. Akhirnya hanya tiap makhluk-Nya itu sendiri yang semestinya bertanggungjawab atas segala perbuatannya, karena memang hanya ia sendiri yang berkehendak, memulai, mengawali ataupun menciptakan perbuatannya. Sedang Allah hanya mengikuti, mengakhiri ataupun mewujudkan segala hal yang diusahakan oleh tiap makhlukNya. Maka Allah mustahil bisa disalahkan atas tiap perbuatan makhluk-Nya. Juga sekehendaknya sendiri, tiap makhluk-Nya mestinya bisa menghindar dari berbuat dosa. Sementara berbagai keadaan awal lainnya dari hasil pengaruh segala zat ciptaan-Nya di lingkungan sekitar (ujian-Nya), justru bukan tanggung-jawab bagi Allah (bukan berasal langsung dari Allah) ataupun bagi tiap makhluk-Nya yang mengalaminya. Tetapi Allah tetap merasa bertanggung-jawab untuk menolong tiap makhluk-Nya yang sedang mengalami ujian-Nya, dengan melipat-gandakan pahala-Nya atas kebaikannya, dan meringankan beban dosanya atas keburukannya. Karena segala ujianNya justru bagian dari rencana Allah, untuk bisa menguji keimanan tiap makhluk-Nya.

ruk-sesat) tiap saat sepanjang hidupnya, melalui alam pikirannya (alam batiniah ruhnya atau alam akhiratnya). Segala ilham itulah yang tiap saatnya justru menghidupkan atau merangsang proses berpikir tiap manusia. Sedang segala ilham yang mengandung nilai-nilai kebenaran, juga biasanya disebut berasal dari para malaikat Jibril. k.

Sedangkan kebaikan ‘relatif’ menurut budaya kolektif manusia, yang tidak mengacu kepada ajaran-ajaran dari para nabi-Nya, biasanya bisa relatif jauh daripada kebenaran-Nya. Karena pada budaya kolektif manusia biasanya berupa hasil akomodasi atas berbagai kepentingan dan pemahaman, dari tiap pribadi dalam sesuatu masyarakat. Tentunya budaya manusia juga bisa berbeda-beda, dari jaman ke jaman, sesuai perkembangan kehidupan masyarakat. Padahal tiap al-Hikmah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya) di balik teks-teks ajaran agama-Nya justru bersifat ‘universal’ (bisa melewati batas ruang, waktu dan budaya). Hal inilah yang bisa membedakan antara kandungan al-Hikmah dan al-Kitab (berbagaI kitab-Nya dan sunnah dari para nabi-Nya). Karena al-Kitab adalah rangkuman pemahaman al-Hikmah atas berbagai hal, yang telah terucap, tertulis ataupun terungkap kepada umat, sehingga sedikit-banyak al-Kitab pasti terkait dengan budaya masyarakat. Maka kebaikan menurut manusia juga semestinya mengacu kepada berbagai al-Hikmah, yang terkandung ‘di balik’ teks-teks ajaran para nabi-Nya.

Apakah keadilan menurut akal-sehat manusia bisa berbeda daripada keadilan menurut Tuhan? dan apakah Tuhan tetap disebut berlaku adil, walau keadilan Tuhan justru berbeda daripada keadilan menurut akal-sehat manusia? Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Allah, Tuhan Yang Maha adil justru pasti berlaku adil. Tetapi keadilan ‘relatif’ menurut akal-sehat manusia mestinya bisa relatif amat dekat, dengan keadilan ‘mutlak’ menurut Allah, karena akal yang sehat semestinya dipakai secara amat obyektif, dalam memahami tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini (segala sesuatu hal yang bersifat mutlak dan kekal, pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadiannya di alam semesta) Akal yang sehat juga semestinya dipakai secara apa adanya, tanpa ditambah dan tanpa dikurangi (benar-benar sesuai segala fakta-kenyataan-kebenaran di alam semesta). Umat manusia memang hanya bisa mengetahui segala sesuatu hal tentang Allah (termasuk tentang keadilan Allah), dari mempelajari dan memahami segala sesuatu hal yang ada tersedia di alam semesta. Hal yang persis sama juga dilakukan oleh para nabi-Nya. Tetapi segala pemahaman para nabi-Nya justru relatif paling sempurna dibanding pemahaman seluruh umat manusia lainnya pada tiap jamannya masing-masing, karena segala pemahaman para nabi-Nya itu telah tersusun relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan. Hal inilah yang menjadikan tiap pemahaman para nabi-Nya bisa disebut pula sebagai ‘wahyu, petunjuk atau kebenaran-Nya’ (pada manusia lainnya hanya disebut ‘pengetahuan’ saja). Dan atas perintah-Nya, tiap umat manusia (bukan hanya para nabi-Nya) memang pasti dijaga, diawasi dan diikuti oleh sejumlah para makhluk gaib, terutama dalam memberi segala bentuk ilham-bisikan-godaan (positif-baik-benar dan negatif-bu-

Apakah kebaikan Tuhan bisa sesuai dengan kebaikan, budaya, intuisi dan rasionalitas manusia? Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Kebaikan ‘relatif’ menurut intuisi, rasionalitas atau akal-sehat manusia (amat obyektif) semestinya bisa relatif amat dekat dengan kebaikan ‘mutlak’ menurut Tuhan. Namun kebaikan menurut manusia itupun semestinya mengacu, bersumber atau berdasar kepada ajaran-ajaran dari para nabi-Nya, karena para nabi-Nya itulah yang pemahamannya relatif paling sempurna, tentang berbagai kebenaran-Nya. Baca pula poin j di atas, tentang keadilan menurut manusia dan keadilan menurut Tuhan.

Kalaupun ada, perbuatan makhluk-Nya yang ‘seolah-olah’ dicampuri langsung oleh Allah, adalah segala perbuatan para malaikat, yang memang pasti tunduk, taat dan patuh kepada-Nya. Namun pada dasarnya, campur tangan ini justru sebenarnya juga tidak ada, ataupun kepatuhan para malaikat juga berlangsung ‘amat alamiah’. Karena para malaikat memang relatif paling mengetahui berbagai bukti kebenaran ataupun kekuasaan-Nya, maka mereka juga relatif paling patuh kepada-Nya. j.

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

l.

Apakah adanya siksaan neraka, sebagai konsekuensi dari kebebasan telah diberikanNya kepada manusia? dan apakah neraka juga hasil pilihan bebas manusia (bukan hukuman yang memaksa)? Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Lebih jelasnya, diciptakan-Nya neraka dan segala jenis siksaan di dalamnya, dan diberikan-Nya kebebasan bagi tiap manusia dalam berkehendak dan berbuat, adalah bagian dari rencana Allah, untuk bisa menguji keimanan manusia dan memberi balasan-Nya (nikmat ataupun hukuman-Nya) atas hasil ujian itu. Neraka sama sekali bukanlah hasil pilihan bebas manusia, karena neraka adalah hukuman yang memaksa ataupun pasti dialami oleh tiap manusia, yang telah berbuat keburukan atau perbuatan dosa selama di kehidupan dunianya. Bahkan siksaan neraka ataupun kehidupan akhirat (kehidupan batiniah ruh) justru telah terjadi pada kehidupan dunia. Namun neraka ini masih berupa ‘neraka kecil’ atau ‘beban dosa’ yang pasti diberikan-Nya atas tiap keburukan atau dosa manusia, bahkan ‘segera’ setelah dilakukan. Walau neraka kecil’ di dunia juga relatif belum disempurnakan-Nya, karena hanya akan dilakukan-Nya pada Hari Kiamat. Baca pula poin a di atas, untuk penjelasan lengkapnya tentang ‘neraka kecil’ dan ‘surga kecil’ (‘beban dosa’ dan ‘pahala-Nya’).


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

541

542

tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta (segala hal yang bersifat mutlak dan kekal, pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadiannya di alam semesta). Bahkan tiap saatnya sepanjang hidup tiap manusia, pasti ada sejumlah para makhluk gaib-Nya yang selalu memberi pengajaran dan ujian-Nya secara batiniah, pada alam pikirannya (memberi segala jenis ilham-bisikan-godaan, yang positif-benar-baik dan yang negatif-sesat-buruk). Maka pada dasarnya mustahil ada seorang manusia, yang sama sekali tidak memperoleh sesuatu pengajaran dan tuntunan-Nya, bahkan bagi manusia yang paling kafir dan ateis, juga bahkan tanpa ada para nabi-Nya sekalipun.

Mustahil ada pilihan seperti “Manusia yang tidak beriman atau percaya kepada Tuhan dan Hari Akhirat (termasuk neraka), akan bisa terbebas daripada siksaan neraka, sedang hanya manusia yang beriman yang akan mengalaminya”. Hal seperti ini justru hanya bisa terjadi jika Tuhan tidak ada, Tuhan main-mainan, Tuhan bukanlah Pencipta alam semesta atau Tuhan Yang tidak bersifat Maha berkuasa dan Maha adil. m. Apakah manusia yang cacat, bodoh ataupun alpa, pasti bertanggung-jawab atas nasib dan perbuatannya? Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Allah menilai tiap perbuatan manusia berdasarkan berbagai hal yang bersifat batiniah dan terkait dengan ‘proses berusahanya’ (bukan ‘hasil usahanya’), seperti: niat (terutama dasar tauhidnya); beban ujian-Nya; beban tanggung-jawab; tingkat keterpaksaan; tingkat kesadaran dan keimanan; dsb. Hal-hal ini justru bukan bersifat fisik-lahiriah, dan sebagian besarnya berupa pengetahuan pada pelakunya sendiri. Dan kalaupun ada hal-hal yang relatif agak terkait dengan berbagai keadaan tubuh fisik-lahiriah pelakunya, adalah beban ujian-Nya dan tingkat keterpaksaan. Manusia yang bertubuh cacat misalnya, memiliki beban ujian-Nya dan tingkat keterpaksaan yang relatif lebih tinggi, daripada manusia normal lainnya. Sehingga relatif lebih ringan ‘beban dosa’ baginya atas tiap amal-keburukan yang sama, sebaliknya relatif lebih tinggi ‘pahala-Nya’ baginya atas tiap amal-kebaikan yang sama, dibanding manusia normal lainnya. Manusia yang cacat, bodoh dan alpa, tetap harus bertanggung-jawab atas nasib dan segala amal-perbuatannya, walau masing-masing manusia memang bisa memiliki tanggung-jawab yang berbeda-beda, atas suatu perbuatan yang sama sekalipun. Khusus bagi manusia yang bodoh (keterbatasan pengetahuannya secara relatif permanen) dan alpa (hilangnya pengetahuannya beberapa sesaat), tentunya pastilah memiliki tanggung-jawab yang relatif paling rendah atas tiap perbuatannya. Namun pada kealpaan yang relatif disengaja (dari bermabukan misalnya), justru pasti ada pula tanggung-jawab yang relatif amat besar bagi pelakunya, atas perbuatannya lainnya dalam bermabukan. Baca pula poin i di atas, tentang tanggung-jawab manusia atas dosa-dosanya dan tentang nasib atau takdir. n.

Apakah umat manusia yang belum pernah mendapat pengajaran dan tuntunan-Nya melalui para nabi-Nya, pasti bertanggung-jawab atas tiap perbuatan dosanya? dan bagaimanakah fitrah dasar tiap manusia untuk mengenal, menyembah dan beriman kepada-Nya? Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Segala pengajaran dan tuntunan-Nya melalui para nabi-Nya itu pada dasarnya hanya membawa kesempurnaan, bagi pemahaman umat manusia tentang berbagai kebenaran-Nya. Begitu pula seseorang nabi-Nya secara umum dan alamiah memiliki pemahaman yang relatif lebih sempurna daripada para nabi-Nya terdahulu, sedang nabi yang terakhir adalah nabi Muhammad saw. Tetapi ada pula tuntunan-Nya yang paling dasar bagi tiap umat manusia, berupa hati-nuraninya pada saat terlahir ke dunia (fitrah-fitrah dasar yang masih sangat suci-murni dan tanpa dosa, serta cenderung berkeinginan untuk mengenal, menyembah dan beriman kepada-Nya). Dan pengajaran-Nya yang paling dasar, berupa tanda-

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

Sekali lagi, tiap manusia pasti tetap harus bertanggung-jawab atas segala amal-perbuatannya, walau tiap manusia memang bisa pula memiliki tanggung-jawab yang relatif berbeda-beda, atas sesuatu amal-perbuatan yang sama sekalipun. Besarnya tanggung-jawab itu terutama terkait dengan tingkat pengetahuan atau pemahaman pada tiap manusia pelakunya, atas tiap amal-perbuatannya Sehingga ada ataupun tidak adanya pengajaran dan tuntunan-Nya melalui para nabi-Nya, justru sama sekali tidak terkait dengan ada ataupun tidak adanya tanggung-jawab manusia atas tiap perbuatannya, karena justru hanya membedakan besarnya tanggung-jawab.tersebut. Bagi perbuatan dosa yang belum memiliki ketentuan syariatnya (belum ada pengajaran dan tuntunan-Nya melalui para nabi-Nya) secara umum beban dosanya memang relatif lebih ringan daripada keadaan sebaliknya. Segala keyakinan hati-nurani dan pengetahuan pada tiap umat manusia relatif amat terbatas, tanpa adanya dukungan wahyu-Nya dari para nabi-Nya, terutama tentang halhal gaib dan batiniah, yang justru paling penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan umat manusia. Baca pula poin i dan poin m di atas, tentang tanggung-jawab manusia atas dosa-dosanya dan tentang nasib atau takdir. o.

Apakah manusia yang berdosa akan disiksa-Nya untuk tinggal kekal di neraka, atau tubuh ataupun ruhnya yang akan dihancurkan-Nya? Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Manusia yang berbuat dosa pasti akan tinggal kekal di ‘neraka kecil’ (bukan ‘neraka’ sebagai gabungan dari keseluruhan tak-terhitung jumlah ‘neraka kecil’). Bahkan manusia yang amat beriman yang juga pernah berbuat dosa, pasti akan tinggal kekal di ‘neraka kecil’. Karena tiap ‘neraka kecil’ adalah tiap ‘beban dosa’ yang pasti diberikan-Nya atas tiap perbuatan dosanya selama di kehidupan dunianya, yang relatif sulit bisa dihilangkan dari alam pikirannya bahkan sampai akhir jaman sekalipun (relatif selalu akan bisa diingatnya sampai kapanpun). Tetapi dalam ajaran agama Islam, tiap ‘neraka kecil’ itu justru relatif bisa dikurangi berat bebannya, dengan cara bertaubat selama di kehidupan dunia ini pula (berbuat berbagai amal-kebaikan yang relatif bisa menutupi tiap ‘beban dosa’ terkait). Dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang Allah, ada pula proses taubat yang berlangsung alamiah, sehingga tiap beban dosa pada dasarnya bisa makin berkurang, bersama dengan berjalannya waktu (walau tetap mustahil dihilangkan sama sekali). Hal ini terkait dengan tidak diulang-ulanginya perbuatan dosa tertentu dilakukan. Jika makin sedikit jumlahnya dan makin lama waktu terakhirnya dilakukan, maka atas ijin-Nya, makin sedikit pula beban dosanya, walau proses taubatnya sendiri belum dilakukan secara khusus dan lengkap (belum membaca istighfar misalnya). Baca pula poin a di atas, untuk penjelasan lengkapnya tentang ‘neraka kecil’


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

543

544

dan ‘surga kecil’ (‘beban dosa’ dan ‘pahala-Nya’). Dan poin b di atas, tentang bentuk, beratnya beban dan kekekalan siksaan di neraka.

ri balasan-Nya atas sesuatu perbuatan makhluk-Nya. Jika Tuhannya makin sempurna dalam memberi balasan-Nya, maka para penyembahnya pastilah makin menjaga tiap perbuatannya dari segala hal yang tidak disukai oleh Tuhannya. Di lain pihak, jika makin kurang sempurna kekuasaan dan pengetahuan Tuhannya, maka bisa dipastikan, bahwa makin banyak pula jumlah perbuatan makhluk-Nya, yang ‘tidak dianggap’ sebagai perbuatan dosa.

Segala siksaan di neraka itu (khususnya ‘neraka kecil’) justru berlangsung secara amat alamiah, manusiawi, tidak berlebihan dan amat adil, serta hanya berupa siksaan batiniah (bukan siksaan fisik-lahiriah). Begitu pula bukanlah siksaan bagi ‘zat’ ciptaan-Nya (tubuh atau ruhnya), namun siksaan bagi ‘keadaan batiniah’ di alam pikirannya (alam akhiratnya) pada tiap zat ruhnya, atas tiap perbuatan dosanya. Segala zat ciptaan-Nya justru tidak akan dihancurkan ataupun dimusnahkan-Nya. Kalaupun dikehendaki-Nya lain (berbeda daripada sunatullah saat ini), maka segala zat ciptaan-Nya (baik pada makhluk yang berdosa ataupun tidak) amat mudah bisa dimusnahkan-Nya kapan saja. Namun sampai saat ini justru sunatullah masih tetap berlaku dan tidak berubah-ubah, bahkan sejak awal penciptaan alam semesta ini. p.

q.

Karena itu di dalam ajaran agama Islam, sesuatu kemusyrikan (menyembah ilah-ilah selain Allah), adalah salah-satu dosa yang paling sulit dimaafkan-Nya ataupun amat dilaknat-Nya. Karena manusia yang tidak meyembah Allah Tuhan Yang Maha esa, Maha berkuasa, Maha mengetahui, Maha pencipta, Maha adil dan berbagai sifat-Nya lainnya pada Asmaul Husna, justru segala perbuatannya berdasar sesuatu pondasi tauhid yang keliru. Ajaran-ajaran agama mereka itu cenderung relatif amat mudah menghalalkan atau memaafkan berbagai perbuatan dosa mereka. Karena Tuhan mereka memang tidak memiliki kekuasaan dan pengetahuan untuk bisa menghakimi berbagai perbuatan dosanya itu. Dan segala sesembahan mereka hanya ciptaan Allah, yang sama sekali tidak memiliki sebagian amat kecil saja dari kesempurnaan sifat-sifat Allah. Segala amal-kebaikan yang telah dilakukan dalam keadaan kemusyrikan itu, justru diabaikan ataupun dianggap sia-sia oleh Allah. Selain itu pula, orang yang kafirmusyrik dan ia meninggal dunia dalam keadaan kemusyrikannya (tidak menganut agama Islam), termasuk orang yang tidak akan dimaafkan-Nya atas tiap perbuatan dosanya. Bahkan lebih tegas lagi bagi orang yang murtad (keluar dari agama Islam).

Apakah seluruh manusia akan mendapat pengampunan, karena cinta dan kasih sayang Tuhan? Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Pengampunan, cinta dan kasih sayang dari Allah yang justru berlimpah-ruah telah pula diberikan-Nya di kehidupan dunia. Namun alam semesta ini dan kehidupan segala makhluk di dalamnya, justru diciptakan-Nya dengan tujuan yang pasti dan jelas (alam semesta tidak diciptakan-Nya secara main-main). Sehingga pada dasarnya, tidak ada sesuatu pengampunan dari Allah bagi ‘seluruh’ umat manusia pada Hari Kiamat, atas ‘seluruh’ perbuatan dosanya masing-masing. Bahkan jika hal ini terjadi, justru merupakan suatu bentuk ke-tidak adil-an dan ke-tidak konsisten-an Allah. Segala keadaan tiap manusia pada Hari Kiamat, justru hanya tergantung kepada segala amal-perbuatannya selama di dunia, dari segala hasil usahanya masingmasing, sesuai dengan tugas atau amanat yang telah diberikan-Nya. Umat manusia misalnya, ditugaskan-Nya sebagai khalifah-Nya di muka bumi atau di dunia. Apakah balasan-Nya bagi manusia yang kafir-musyrik, namun telah pula berbuat berbagai kebaikan? Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Tiap manusia ataupun tiap kelompok manusia (para penganut masing-masing agama) pada dasarnya justru bisa memiliki pemahaman yang amat ‘berbeda-beda’, tentang Tuhan Yang Maha pencipta, Yang telah menciptakan dirinya dan seluruh alam semesta ini. Perbedaan ini terutama terkait dengan kesempurnaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya, yang disembah dan diyakini oleh masing-masing penganut agama. Kelurusan ataupun kesempurnaan tauhid justru paling penting dalam beragama, karena tauhid adalah pondasi yang amat mendasar bagi tiap manusia. Dimana segala amal-perbuatannya di dalam kehidupannya (baik dan buruk), pastilah akan berpatokan kepada tauhidnya itu (secara sadar ataupun tidak). Misalnya manusia pastilah akan berharap sesuatu balasan yang baik dari Tuhannya, atas tiap amal-kebaikannya. Sebaliknya manusia pastilah akan memiliki ketakutan tertentu terhadap balasan yang buruk dari Tuhannya, atas tiap amal-keburukannya. Dari perbedaan atas Tuhan Yang disembah oleh berbagai umat manusia, maka merekapun akan berbeda-beda pula sikapnya dalam menyikapi sesuatu perbuatan tertentu. Hal inipun tergantung pada tingkat pemahaman tiap manusia, tentang tingkat kekuasaan dan pengetahuan Tuhannya atas tiap makhluk-Nya, dalam membe-

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

r.

Apakah semua Muslim pada akhirnya pasti akan bisa kekal di surga, karena telah tidak menyembah Tuhan selain Allah (hanya sementara di neraka, atas segala dosa selain kemusyrikan)? dan apakah neraka pada akhirnya hanya akan dihuni oleh manusia yang kafir-musyrik? Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Lebih tepatnya, secara umum tiap manusia (Muslim ataupun non-Muslim) pada dasarnya pasti akan kekal di ‘surga kecil’ dan di ‘neraka kecil’ pada Hari Kiamat (berselang-seling secara alamiah bisa berada di ‘surga kecil’ atas tiap amal-kebaikan, dan berada di ‘neraka kecil’ atas tiap amal-keburukan). Karena sejak Hari Kiamat itu, telah terputus segala amalan dari tiap manusia. Tiap manusia hanyalah hidup dari segala keadaan batiniah ruhnya (atau kehidupan akhiratnya), yang telah dibangun atau diusahakannya sendiri selama di kehidupan dunia. Namun pada Hari Kiamat, kehidupan akhiratnya itu juga pasti akan disempurnakan-Nya terlebih dahulu (walau tetap sebanding atau setimpal dengan kehidupan akhirat yang telah dibangun oleh manusianya sendiri di dunia), berupa dilipat-gandakan-Nya segala pahala dan beban dosanya. Namun bagi tiap umat manusia yang kafir-musyrik dan ia telah meninggal dunia di dalam keadaan kemusyrikannya itu, ia justru juga tidak memiliki ‘surga kecil’ (pahala-Nya), karena segala amal-kebaikan yang telah dilakukannya bahkan memang diabaikan ataupun dianggap sia-sia oleh Allah (memang tidak dalam rangka untuk berbakti kepada Allah). Maka pada Hari Kiamat, seluruh manusia yang kafir-musyrik pasti akan kekal di ‘neraka kecil’. Sedang tiap Muslim yang pernah berbuat berbagai amal-keburukan, juga pasti akan kekal di ‘neraka kecil’, di samping bisa kekal di ‘surga kecil’ atas tiap amal-kebaikannya. Baca pula poin a di atas, untuk penjelasan lengkapnya tentang ‘neraka kecil’


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

545

546

dan ‘surga kecil’ (‘beban dosa’ dan ‘pahala-Nya’). Dan poin q di atas, tentang kemusyrikan. s.

t.

Apakah tiap manusia yang timbangan segala amal-kebaikannya, lebih berat daripada segala amal-keburukannya, pasti akan bisa masuk ke neraka (walau sementara)? Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Jika seorang manusia pernah berbuat dosa, maka ia pasti akan kekal di ‘neraka kecil’ pada Hari Kiamat, karena tiap ‘neraka kecil’ adalah tiap ‘beban dosa’ yang diterimanya atas tiap perbuatan dosanya. Sedang tiap ‘beban dosa’ itu pada dasarnya mustahil bisa dihilangkan atau pasti selalu bisa teringat sampai kapanpun. Namun segala ‘beban dosa’ relatif bisa berkurang bebannya, jika tiap manusianya telah relatif jauh lebih banyak berbuat amal-kebaikan, termasuk dari usahanya bertaubat (timbangan segala amal-kebaikannya lebih berat daripada segala amal-keburukannya, atau lebih ringkasnya, timbangan amal-kebaikannya positif). Timbangan amalan pada dasarnya hanyalah contoh-perumpamaan simbolik tentang gambaran secara ‘umum’ keadaan tiap manusia pada Hari Kiamat. Namun keadaan sebenarnya justru bersifat amat alamiah sesuai segala amal-perbuatannya (baik dan buruk). Maka segala ‘beban dosa’ dari hasil segala amal-keburukannya mustahil hilang atau lenyap dengan begitu saja, walaupun manusianya secara ‘umum’ bisa disebut berada di ‘surga’. Juga sebaliknya pada ‘pahala-Nya’ bagi manusianya, yang secara ‘umum’ bisa disebut berada di ‘neraka’. Baca pula poin a di atas, untuk penjelasan lengkapnya tentang ‘neraka kecil’ dan ‘surga kecil’ (‘beban dosa’ dan ‘pahala-Nya’).

u.

(‘neraka kecil’) dan seluruh ‘pahala-Nya’ (‘surga kecil’) harus dihitung, dijumlah, ditimbang atau dihisab-Nya terlebih dahulu, agar bisa diketahui keadaan akhirnya secara umum pada Hari Kiamat. Baca pula poin a di atas, untuk penjelasan lengkapnya tentang ‘neraka kecil’ dan ‘surga kecil’ (‘beban dosa’ dan ‘pahala-Nya’).

Apakah Tuhan bisa berkehendak, untuk memasukkan seluruh manusia ke surga, atau sebaliknya ke neraka? Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Jika Allah tetap berkehendak, seperti halnya segala kehendak-Nya sejak awal penciptaan alam semesta sampai saat ini (melalui atau disebut ‘sunatullah’), maka Allah pasti tidak akan memasukkan seluruh manusia ke surga atau sebaliknya ke neraka (walaupun hal ini memang amat mudah bagi Allah). Karena di antara seluruh umat manusia, pasti ada yang berbuat kebaikan dan pasti ada pula yang berbuat keburukan. Juga karena alam semesta ini memang diciptakan-Nya dengan sesuatu tujuan yang pasti dan jelas, termasuk untuk bisa menguji keimanan tiap umat manusia dan memberi balasan-Nya secara adil atas hasil ujian-Nya itu.

Bagaimanakah balasan-Nya bagi orang yang telah berbuat berbagai keburukan, yang diancam-Nya dengan neraka, namun sebaliknya juga telah berbuat berbagai kebaikan, yang dijanjikan-Nya dengan surga? dan bagaimanakah keadaan terakhirnya? Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Ancam ataupun janji-Nya dalam memberi balasan-Nya dengan neraka ataupun surga, yang biasa disebut dalam kitab suci agama, pada dasarnya sesuatu contoh-perumpamaan simbolik. Ancam ataupun janji-Nya yang sebenarnya adalah, bagi manusia yang melakukan berbagai amal-perbuatan terkait, masing-masing pasti akan diberikan balasan-Nya berupa ‘beban dosa’ (‘neraka kecil’) ataupun ‘pahala-Nya’ (‘surga kecil’), yang memang relatif amat besar nilainya. Sehingga ancam ataupun janji-Nya itu sama sekali belum bisa menggambarkan keadaan akhir manusianya pada Hari Kiamat. Namun seluruh ‘beban dosa’

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

Seorang Muslim yang telah berjihad misalnya, secara umum ia belum tentu bisa disebut berada di surga, jika timbangan ‘keseluruhan’ amalannya justru bernilai negatif. Tetapi ia pasti akan kekal di ‘surga kecil’ pada Hari Kiamat atas amalan jihadnya itu, yang telah dilakukan dengan ‘sebenar-benarnya’. Walau ia juga pasti akan kekal di sejumlah ‘neraka kecil’, atas berbagai amal-keburukannya. v.

Di manakah letak ke-Maha kuasa-an, ke-Maha tahu-an, dan ke-Maha baik-an Tuhan, terkait dengan nasib manusia di alam akhirat (termasuk di neraka)? Jawaban menurut pemahaman pada buku ini: Maha suci Allah. Allah memang bersifat Maha berkuasa, tetapi Allah sama sekali tidak berbuat sekehendak-Nya di alam semesta ini. Allah justru berlaku Maha adil dalam memberi segala balasan-Nya pada Hari Kiamat. Lebih luasnya lagi, antar seluruh sifat-Nya pada Asmaul Husna justru saling bersinergi secara harmonis, tidak ada sesuatu sifat-Nya yang bisa lebih penting, mendahului ataupun bertentangan atas sifat-sifat-Nya lainnya. Padahal diketahui, seluruh sifat-Nya itu justru bersifat ‘mutlak’ (pasti terjadi) dan ‘kekal’ (pasti konsisten). Sedang mustahil ada 2 hal yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’, yang bisa saling bertentangan atau saling bersingungan, yang bisa menyebabkan alam semesta ini menjadi kacau balau ataupun hancur berantakan. Karena itu, hanya Allah Yang Maha Esa, Yang menciptakan seluruh alam semesta (sama sekali tanpa ada ilah-ilah lain yang ikut berperan dan terlibat dalam penciptaannya). Allah memang bersifat Maha mengetahui, namun pengetahuan Allah tentang segala keadaan tiap makhluk secara detail, justru belum diketahui-Nya ‘sebelum’ terjadinya. Karena tiap makhluk justru telah diberikan-Nya kebebasan dalam berkehendak dan berbuat (diberikan-Nya akal dan nafsu). Sedang pengetahuan Allah tentang tiap makhluk, justru bersifat lebih umum ataupun lebih tinggi. Maka nasib atau takdir bagi tiap makhluk-Nya, justru bukan hal yang telah diketahui ataupun ditentukan-Nya ‘sebelumnya’. Termasuk Allah justru tidak mengetahui nasib akhir tiap manusia pada Hari Kiamat. Contoh misalnya, Allah pasti mengetahui (lebih tepatnya Allah menentukan), bahwa “tiap-tiap yang berjiwa pasti akan mati”. Namun justru Allah tidak mengetahui sebelumnya secara detail (lebih tepatnya Allah tidak menentukan), misalnya: kapan, di mana ataupun bagaimana tiap manusia meninggal dunia. Allah memang bersifat Maha baik, Maha pengasih dan Maha penyayang, tetapi Allah juga bersifat Maha adil. Segala kebaikan Allah sama sekali tidak mengurangi ataupun menghilangkan segala keadilan Allah. Kebaikan dan keadilan Allah justru mustahil bisa saling bertentangan, dan masing-masing harus ditempatkan pada konteks yang semestinya, agar bisa diperoleh pemahaman yang benar (begitu pula halnya dengan seluruh sifat-Nya lainnya pada Asmaul Husna).

Berbagai permasalahan terkait kejahatan atau keburukan Di dalam filosofi dan ilmu agama, "masalah terkait kejahatan"


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

547

(problem of evil) berupa pertanyaan "bagaimana menjelaskan adanya kejahatan, jika justru ada Tuhan Yang Maha mengetahui, Maha kuasa dan Maha baik?". Sebagian para filsuf menyatakan, bahwa keberadaan kejahatan dan keberadaan Tuhan seperti itu secara sekaligus bersamasama, secara logika justru tidak cocok ataupun tidak mungkin. Pertanyaan itu telah sangat lama muncul dalam sejarah filosofi dan ilmu agama. Berbagai usaha telah pula dilakukan untuk menjawab pertanyaan itu, namun belum ada jawaban yang sangat memadai dan tuntas dari hampir semua agama di dunia ini (khususnya di luar agama Islam). Secara ringkas, berbagai respons atau jawaban dari para filsuf dan para ahli agama, antara lain misalnya: - Kehendak bebas yang sebenarnya pada manusia (free will), justru mustahil terjadi tanpa kemungkinan adanya kejahatan. - Manusia tidak bisa memahami sepenuhnya tentang Tuhan. - Kejahatan dan penderitaan diperlukan bagi perkembangan spiritual manusia. - Keberadaan kejahatan adalah konsekuensi dari kejatuhan dunia ini (fallen world). Dsb. Sementara dari kalangan umat Islam sendiri hampir tidak ada usaha, atau memang seolah-olah tidak ingin terlibat dalam menjawab "masalah terkait kejahatan" itu. Syukur-syukur, jika masalah itu bukan persoalan yang penting bagi umat Islam atau telah bisa terjawab tuntas dalam ajaran-ajaran agama Islam. Namun "masalah terkait kejahatan" ini sengaja diungkap dan dijawab pada buku ini, agar setiap umat Islam sendiri bisa makin jelas memahaminya dan sekaligus agar tidak mudah tergoyah keimanannya, jika menghadapi hal yang sama. Serta "masalah terkait kejahatan" ini pada dasarnya serupa pula dengan "masalah terkait neraka" (problem of hell) yang telah diungkap di atas, yang justru muncul dari kalangan para penganut materialisme dan ateisme. Adapun beberapa versi permasalahan logika terkait kejahatan telah diungkap secara ringkas pada tabel berikut.

Beberapa versi permasalahan logika terkait kejahatan •

Versi dari Epicurus: 1. Jika ada Tuhan yang amat berkuasa dan amat baik, maka mestinya tidak ada kejahatan. 2. Faktanya, ada segala bentuk kejahatan di dunia ini. 3. Oleh karena itu, mestinya tidak ada Tuhan yang amat berkuasa dan amat baik.

548

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

•

Versi dari Epicurus (pengembangan): 1. Tuhan itu ada. 2. Tuhan itu bersifat mahakuasa, mahatahu, dan mahabaik. 3. Sesuatu yang mahabaik mestinya akan berkeinginan untuk mencegah segala kejahatan. 4. Sesuatu yang mahatahu mestinya mengetahui segala cara di mana kejahatankejahatan bisa muncul. 5. Sesuatu yang mahakuasa, yang mengetahui segala cara di mana suatu kejahatan bisa muncul, mestinya memiliki kekuatan untuk mencegah terjadinya kejahatan itu. 6. Sesuatu yang mengetahui segala cara di mana suatu kejahatan bisa muncul, yang mampu untuk mencegah terjadinya kejahatan itu, dan yang juga berkeinginan untuk melakukannya, mestinya akan mencegah terjadinya kejahatan itu. 7. Jika ada sesuatu yang mahakuasa, mahatahu dan mahabaik, maka mestinya tidak ada kejahatan. 8. Kejahatan ada di dunia ini (kontradiksi logika).

•

Versi dari William L. Rowe: 1. Ada berbagai contoh penderitaan hebat di mana sesuatu yang mahakuasa dan mahatahu mestinya bisa mencegahnya, tanpa harus kehilangan berbagai kebaikan yang lebih tinggi, atau tanpa harus mengijinkan berbagai kejahatan yang sama-sama buruknya ataupun lebih buruk lagi. 2. Sesuatu yang mahatahu dan mahabaik mestinya akan berusaha semampunya untuk bisa mencegah terjadinya berbagai penderitaan hebat, kecuali jika ia memang tidak bisa melakukannya, tanpa harus kehilangan berbagai kebaikan yang lebih tinggi, atau tanpa harus mengijinkan berbagai kejahatan yang sama-sama buruknya ataupun lebih buruk lagi. 3. Oleh karena itu, mestinya tidak ada sesuatu yang mahakuasa, mahatahu dan mahabaik.

•

Versi dari Paul Draper: 1. Ada berbagai kejahatan yang terjadi secara serampangan. 2. Dugaan sederhananya, misalnya: jika ada sesuatu zat gaib, sedang ia memang bersikap acuh-tak-acuh terhadap berbagai kejahatan serampangan itu, merupakan suatu penjelasan yang lebih baik bagi premis ke-1 di atas, daripada penjelasan secara keagamaan. 3. Oleh karena itu, bukti lebih menunjukkan, bahwa Tuhan itu tidak ada, sebaliknya dari hal yang biasa dipahami oleh para agamawan, bahwa Tuhan itu ada.

Secara umum, "permasalahan logika terkait kejahatan" melalui beberapa versi tersebut pada dasarnya sama, yaitu "Tuhan Yang Maha baik, Maha mengetahui dan Maha kuasa semestinya tidak ada, karena ada segala bentuk kejahatan di dunia ini (Tuhan tidak mencegahnya)". Na’udzubillah. Padahal kehidupan segala zat makhluk ciptaan-Nya di seluruh alam semesta ini justru sengaja diciptakan oleh Allah, dengan segala keterbatasan, kekurangan dan bahkan juga segala kehinaannya. Hal ini


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

549

termasuk dengan menciptakan segala sesuatu halnya di seluruh alam semesta ini secara berpasang-pasangan dan seimbang, serta memang tidak ada sesuatu zat ciptaan-Nya yang sempurna dalam segala halnya (memang sengaja diciptakan-Nya dengan relatif tidak sempurna), agar setiap makhluk ciptaan-Nya bisa mencari dan mengenal Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha sempurna dan Maha mulia, sekaligus pula agar bisa meraih kesempurnaan dan kemuliaannya masing-masing. Tanpa mengenal ketidak-sempurnaan, mustahil mengenal kesempurnaan. "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran-Nya." - (QS.51:49) dan (QS.13:3, QS.36:36, QS.35:11, QS.39:6, QS.42:11, QS.43:12, QS.27:60-64, QS.53:45, QS.78:8, QS.55:52, QS.6:143) "(Rabb) Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Rabb Yang Maha Pemurah, sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah yang kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?." - (QS.67:3) dan (QS.82:7) Sehingga keberadaan 'kejahatan' dan 'kebaikan' memang justru bagian dari kehendak dan rencana-Nya dalam penciptaan seluruh alam semesta ini, khususnya untuk bisa menguji keimanan setiap makhlukNya, yang justru telah diberikan-Nya 'akal' dan 'nafsu'. Hal itu tentu saja di samping berbagai pasangan keseimbangan lainnya, seperti: - maskulin & feminin - sebelum & setelah - sedih & senang - pria & wanita - besar & kecil - susah & mudah - jantan & betina - luas & sempit - pintar & bodoh - tua & muda - tinggi & rendah - berani & takut - baik & jahat - panjang & pendek - positif & negatif - benar & sesat - halus & kasar - subyektif & obyektif - hak & batil - kuat & lemah - mutlak & relatif - dunia & akhirat - bersih & kotor - fakta & khayalan - nyata & gaib - ringan & berat - gagal & berhasil - lahiriah & batiniah - hitam & putih - lurus & bengkok - bumi & langit - terang & gelap - luar & dalam - pahala & dosa - siang & malam - atas & bawah - surga & neraka - kabur & jelas - kanan & kiri - hidup & mati - terlepas & terikat - depan & belakang - ruh & materi - merdeka & terjajah - wangi & bau - cacat & normal - sendiri & bersama - haram & halal - kaya & miskin - hina & mulia - wajib & sunnah

550

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

- jujur & bohong - wajar & aneh - dan banyak lagi. Masih sangat banyak hal lainnya di antara berbagai pasangan keseimbangan itu, sehingga tidak betul-betul "hitam-putih", tetapi ada berbagai tingkat warna kelabu misalnya, dan bahkan sangat berragam seperti halnya warna pelangi. Semuanya justru menunjukkan ke-Maha Luas-an segala zat ciptaan-Nya di seluruh alam semesta ini, sekaligus pula menunjukkan segala kesempurnaan Allah, Yang Maha Pencipta dan Maha merencanakan segala sesuatu. Lebih lanjutnya lagi, segala kejahatan, keburukan, kesusahan, kesulitan, penderitaan, kesengsaraan, kerugian, kehinaan, siksaan, dsb, yang bisa dialami oleh setiap makhluk selama di kehidupan dunia ini, secara lahiriah dan batiniah, dari segi penyebabnya pada dasarnya bisa dibagi menjadi 2 jenis, yaitu: a. Segala hal yang sama sekali memang bukanlah hasil pengaruh dari segala amal-keburukan makhluk tersebut (langsung ataupun tidak). Hal ini biasa disebut sebagai "cobaan atau ujian-Nya", yang sama sekali bukanlah tanggung-jawab makhluk tersebut, dan hanya hasil pengaruh dari segala zat ciptaan-Nya di sekitarnya (bahkan bukan pengaruh langsung dari Allah). b. Segala hal yang memang hanya hasil pengaruh dari segala amalkeburukan makhluk tersebut (langsung ataupun tidak). Hal ini biasa disebut sebagai "hukuman, siksaan atau azab-Nya" bagi makhluk tersebut, sebagai suatu bentuk balasan setimpal yang pasti diberikan-Nya setiap saatnya, atas setiap amal-keburukannya yang terkait, sekaligus sebagai bentuk tanggung-jawabnya. "Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat, maka dia tidak diberi pembalasan, melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (tidak dirugikan)." - (QS.6:160) dan (QS.10:27, QS.3:30, QS.29:4, QS.2:286, QS.27:90, QS.4:123, QS.6:160, QS.22:25, QS.28:84, QS.35:10, QS.37:39, QS.40:40, QS.42:22, QS.42:40) "Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shaleh, maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Rabb-mulah kamu dikembalikan." - (QS.45:15) dan (QS.99:8) "Tidak ada yang ditunggu-tunggu orang kafir, selain daripada datangnya para malaikat kepada mereka, atau datangnya perintah dari


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

551

Rabb-mu. Demikianlah yang telah diperbuat oleh orang-orang (kafir) sebelum mereka, akan tetapi merekalah yang selalu menganiaya diri mereka sendiri`.", "Maka mereka ditimpa oleh (akibat) kejahatan perbuatan mereka, dan mereka diliputi oleh azab yang selalu mereka perolok-olokkan." - (QS.16:33-34) "Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka, bahwa Kami akan menjadikan mereka, seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka. Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.", "Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar, dan agar dibalasi tiap-tiap diri, terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan (tidak dianiaya)." - (QS.45:21-22) Pada "masalah terkait kejahatan" (berikut permasalahan logika di dalamnya), selain tampak jelas tidak adanya pemahaman atas tujuan dari diciptakan-Nya seluruh alam semesta ini, tetapi juga kejahatan itu sendiri tidak dipisah-pisahkan sumber penyebab terjadinya, dan tidak dijelaskan bentuk tanggung-jawab bagi pelaku penyebabnya (lahiriah dan batiniah), seperti diuraikan secara ringkas di atas. Hal inipun tentunya menyebabkan "masalah terkait kejahatan" (berikut permasalahan logika di dalamnya), juga menjadi sangat tidak proporsional, rancu, dipaksakan dan sekaligus menyesatkan. Selain itu menjadi sama sekali bukan sesuatu permasalahan yang berarti, bahkan justru tampak jelas hanya sebagai suatu propaganda ideologi dari para penganut materialisme dan ateisme. Penting diketahui pula, bahwa balasan-Nya yang baik (nikmatNya) dan balasan-Nya yang buruk (hukuman, siksaan atau azab-Nya), secara lahiriah dan batiniah, yang diberikan-Nya bagi makhluk pelaku suatu amal-perbuatan, justru pasti setimpal dan juga pasti terjadi setiap saatnya pada saat amal-perbuatan itu 'sedang' dilakukan. Serta lebih pentingnya lagi, bahwa balasan-Nya secara batiniah (baik dan buruk, nikmat dan hukuman-Nya) yang diberikan-Nya pada alam batiniah ruh makhluk pelakunya sendiri (alam pikiran atau alam akhiratnya), justru bersifat hakiki, kekal dan sebenarnya. Dan balasanNya secara lahiriah pada dasarnya justru bersifat semu, sementara dan mudah menyesatkan. Tetapi persoalan utamanya, justru balasan-Nya secara batiniah (baik dan buruk, nikmat dan hukuman-Nya) pada alam batiniah ruh manusia pelaku suatu amal-perbuatan, yang masing-masing biasanya disebut sebagai 'pahala-Nya' dan 'beban dosa', memang relatif sangat

552

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

sulit bisa dipahami oleh umat manusia pada umumnya. Dan hanya para nabi-Nya dan umat-umat yang berilmu agama relatif tinggi, yang diketahui bisa memahaminya secara relatif sangat mendalam. Hal ini terutama karena kepekaan cermin batiniah mereka yang relatif tajam (hati-nuraninya relatif bersih / tingkat keimanannya relatif tinggi). Sekali lagi, pahala-Nya (Surga kecil) dan beban dosa (Neraka kecil) justru diberikan-Nya secara setimpal, dan terjadi setiap saatnya pada saat suatu amal-perbuatan 'sedang' dilakukan. Sedangkan segala rumus pemberian balasan-Nya (sunatullah lahiriah dan batiniah) justru bersifat 'mutlak' (pasti terjadi) dan 'kekal' (pasti konsisten), sehingga dengan sendirinya pasti adil, tidak sewenang-wenang dan sama sekali tidak merugikan bagi setiap makhluk. Karena sunatullah pasti berlaku sesuai segala keadaan (lahiriah dan batiniah) pada setiap makhluk itu sendiri (yang diusahakannya, ataupun diperoleh dari hasil interaksinya dengan segala zat ciptaan-Nya lainnya di lingkungan sekitarnya). Segala pemberian balasan-Nya (terutama secara batiniah) atas setiap amal-perbuatan manusia, justru pasti dipertimbangkan berbagai keadaan yang bersifat batiniah, antara lain: niat, berat beban tanggungjawab, tingkat keterpaksaan, berat beban ujian-Nya, tingkat kesadaran atau pengetahuan, tingkat keimanan, dsb, dalam berbuat. Dari seluruh keadaan batiniah ini justru hanya "berat beban ujian-Nya", yang tidak diusahakan oleh manusianya sendiri, namun dari pengaruh lingkungan sekitarnya (yang memberatkan atau negatif dari ujian-Nya, serta yang meringankan atau positif dari rahmat-Nya). Perlu diketahui, ujian-Nya dan rahmat-Nya justru sama sekali bukan tanggung-jawab manusia yang mengalaminya (bukan hasil dari segala perbuatannya sendiri), serta pada dasarnya justru tidak sebenarbenarnya memberatkan dan meringankan. Allah hanya menilai 'proses berusaha' manusianya dalam berbuat (batiniah), bukan 'hasil usaha'nya (lahiriah dan batiniah). Sehingga makin berat ujian-Nya misalnya, maka makin berlipat-ganda pahala-Nya atas setiap amal-kebaikannya, sedang makin berkurang beban dosa atas setiap amal-keburukannya. Hal yang sebaliknya bagi rahmat-Nya. Dari uraian-uraian ringkas di atas dan di bagian terkait lainnya pada buku ini, maka berbagai konsep dalam ajaran agama Islam justru telah relatif jelas, tentang kejahatan, keburukan, kesusahan, kesulitan, penderitaan, kesengsaraan, kerugian, kehinaan, siksaan, dsb, yang bisa dialami oleh setiap manusia ataupun segala makhluk lainnya selama di


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

553

kehidupan dunia ini (lahiriah dan batiniah), yang dirangkum kembali secara ringkas, sebagai berikut: • Hakekat setiap manusia ada pada “ruh”-nya, sedang segala anggota tubuhnya pada dasarnya pasti tunduk kepada segala perintah ruhnya.

Hakekat nilai setiap manusia di hadapan Allah, ada pada “segala amal-perbuatan”-nya (lahiriah dan batiniah, melalui pikiran, sikap, perkataan dan perbuatannya), yang justru pada dasarnya pasti mengubah segala keadaan batiniah ruhnya itu sendiri. Keadaan batiniah ruh setiap manusia adalah keadaan kehidupan akhiratnya yang kekal (mengikuti kekekalan zat ruhnya itu sendiri), saat di dunia ataupun saat Hari Kiamat. • Setiap manusia justru hanya dimintai-Nya pertanggung-jawabannya atas segala sesuatu hal yang memang telah diusahakannya sendiri selama di kehidupan dunia ini (segala amal-perbuatannya, baik dan buruk). • Segala amal-perbuatan setiap manusia telah terputus (tidak lagi diperhitungkan-Nya), sejak Hari Kiamat ataupun sejak kematiannya (zat ruhnya diangkat-Nya dari tubuhnya).

Maka kehidupan batiniah ruh setiap manusia (kehidupan akhiratnya) justru hanya bisa dibangunnya sendiri selama di kehidupan dunia ini. Sedang kehidupan akhiratnya sejak Hari Kiamat, justru hanya kelanjutan dari kehidupan akhiratnya di dunia, setelah disempurnakan-Nya pula segala keadaan batiniah ruhnya, yang sebesar biji zarrah sekalipun. • Setiap manusia sama sekali tidak dirugikan atau tidak dianiaya-Nya, juga termasuk sama sekali tidak menanggung segala beban dosa orang-lainnya (para leluhur, orang-tua, anak-keturunan, keluarga, dsb). • Setiap manusia sama sekali tidak dirugikan oleh segala ujian-Nya, dan juga tidak diuntungkan oleh segala rahmat-Nya, karena memang sama sekali bukan hasil pengaruh dari segala amal-perbuatannya sendiri (secara langsung ataupun tidak), tetapi hanya hasil pengaruh dari segala zat ciptaan-Nya lainnya di lingkungan sekitarnya. • Segala kejahatan atau keburukan yang dialami oleh setiap manusia, dari segi penyebabnya terbagi menjadi 2 jenis, yaitu hasil pengaruh dari: segala perbuatan manusianya sendiri (hukuman, siksaan atau azab-Nya) dan segala zat ciptaan-Nya lainnya di lingkungan sekitarnya (ujian-Nya).

554

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

yang justru membentuk seluruh keadaan kehidupan batiniah ruhnya pada Hari Kiamat (keadaan kehidupan akhiratnya yang kekal, di Surga ataupun di Neraka). • Sunatullah (Sunnah Allah) adalah perwujudan dari segala kehendak, tindakan atau perbuatan Allah di seluruh alam semesta ini (lahiriah dan batiniah).

'Hukum alam' hanya aspek lahiriah saja dari sunatullah (lahiriah dan batiniah). • Sunatullah disebut pula sebagai 'aturan-Nya', karena berupa segala aturan atau rumus proses kejadian (lahiriah dan batiniah) di seluruh alam semesta ini, yang bersifat "mutlak" (pasti terjadi) dan "kekal" (pasti konsisten).

Maka segala perbuatan Allah sama sekali tidak relevan jika dinilai, misalnya: tidak baik, tidak adil, zalim, aniaya, sewenang-wenang, semena-mena ataupun sekehendak-Nya, seperti halnya saat menilai segala perbuatan manusia, yang justru bersifat "relatif" (tidak pasti terjadi) dan "fana" (tidak konsisten, atau berubah-ubah). • Sunatullah tidak berubah sejak awal penciptaan alam semesta ini, sampai akhir jaman. • Sunatullah pasti berlaku sesuai dengan segala keadaan (lahiriah dan batiniah, internal dan eksternal) pada diri setiap manusia (yang diusahakannya sendiri, ataupun yang diperolehnya dari hasil interaksinya dengan segala zat ciptaan-Nya lainnya di lingkungan sekitarnya). • Segala aturan atau rumus proses pemberian balasan-Nya (sunatullah lahiriah dan batiniah) tentunya juga bersifat "mutlak" (pasti terjadi) dan "kekal" (pasti konsisten), sehingga pasti adil, tidak sewenang-wenang dan tidak merugikan setiap manusia. • Proses pemberian balasan-Nya (terutama secara batiniah) atas setiap amal-perbuatan manusia, justru pasti dipertimbangkan berbagai keadaan batiniahnya dalam berbuat, seperti: niat, berat beban tanggung-jawab, tingkat keterpaksaan, berat beban ujian-Nya, tingkat kesadaran atau pengetahuan, tingkat keimanan, dsb.

Dari berbagai keadaan batiniah ini justru hanya "berat beban ujian-Nya", yang tidak diusahakan oleh manusianya sendiri, namun dari hasil pengaruh lingkungan di sekitarnya (yang memberatkan atau negatif sebagai ‘ujian-Nya’, serta yang meringankan atau positif sebagai ‘rahmat-Nya’). Rahmat-Nya relatif bersifat ‘kebalikan’ dari ujian-Nya.

• Segala kejahatan atau keburukan adalah bagian dari kehendak dan rencana Allah, untuk menguji keimanan setiap manusia.

• Segala amal-kebaikan dari orang yang kafir-musyrik (penyembah ilah-ilah selain Allah), pasti tidak diterima-Nya, tidak mendapat pahala-Nya atau pasti sia-sia, karena pondasi utamanya dalam berbuat memang keliru (dasar tauhidnya tidak lurus), sehingga tidak berdasar kepada suatu kebenaran-Nya (tidak bertujuan untuk mengabdi kepada-Nya).

• Segala bentuk balasan-Nya (baik dan buruk, nikmat dan hukuman-Nya, lahiriah dan batiniah) pasti diberikan-Nya secara “setimpal” atas setiap amal-perbuatan manusianya, serta pasti terjadi “setiap saatnya” pada saat amal-perbuatan itu 'sedang' dilakukan, sekaligus sebagai bentuk tanggung-jawab manusianya setiap saatnya pula.

• Segala bentuk ujian dan rahmat-Nya sama sekali bukan tanggung-jawab manusia yang mengalaminya (bukan hasil dari segala amal-perbuatannya sendiri), dan justru pada dasarnya tidak benar-benar memberatkan dan meringankannya (justru bersifat 'netral'), walau memang 'seolah-olah' terasa memberatkan dan meringankannya.

• Segala bentuk balasan-Nya secara batiniah (‘pahala-Nya’ dan ‘beban dosa’) yang diberikan-Nya pada alam batiniah ruh setiap manusia (alam pikiran atau alam akhiratnya), atas setiap amal-perbuatannya, justru bersifat hakiki, kekal dan sebenarnya. Sedang balasan-Nya secara lahiriah justru bersifat semu, sementara dan mudah menyesatkan.

Makin berat ujian-Nya, maka makin berlipat-ganda pahala-Nya atas setiap amal-kebaikannya, sedang makin berkurang beban dosa atas setiap amal-keburukannya. Hal yang sebaliknya bagi rahmat-Nya, makin banyak rahmat-Nya, maka makin berkurang pahalaNya atas setiap amal-kebaikannya, sedang makin berlipat-ganda beban dosa atas setiap amal-keburukannya.

• 'Pahala-Nya' dan 'beban dosa' masing-masing biasa disebut sebagai 'Surga kecil' dan 'Neraka kecil'. Tak-terhitung jumlah pahala-Nya dan beban dosa yang telah diperoleh setiap manusia, sebagai hasil dari segala amal-perbuatannya di kehidupan dunianya,

• Allah hanya menilai 'proses berusaha' manusianya di dalam berbuat (bersifat batiniah),


Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

555

di mana ujian dan rahmat-Nya justru meliputi proses itu, serta Allah bukan menilai 'hasil usaha'-nya (bersifat lahiriah dan batiniah). • Setiap manusia memiliki kebebasan sepenuhnya dalam kehendak dan berbuat, dengan diberikan-Nya 'akal' dan 'nafsu'. Walaupun ia pasti diliputi atau dibatasi oleh sunatullah (aturan-Nya), serta ia juga pasti dimintai-Nya pertanggungan-jawaban atas setiap amalperbuatannya (pasti diberikan balasan-Nya secara setimpal di dunia ataupun di akhirat, melalui sunatullah lahiriah dan batiniah). • Allah Yang Maha adil, pasti berlaku 'adil' kepada setiap makhluk-Nya, berapapun panjang umur atau usia hidupnya selama di dunia ini; bagaimanapun segala keadaan fisiklahiriahnya; apapun tingkat kemampuan dan pengetahuannya; berapapun jumlah pengajaran dan tuntunan-Nya yang telah diperolehnya; apapun agama dan alirannya; dsb. • Segala kejahatan atau keburukan yang dialami oleh setiap manusia (secara batiniah dari iblis dan syaitan, ataupun secara lahiriah dari segala zat ciptaan-Nya di sekitarnya), yang sama sekali bukan hasil dari segala amal-perbuatannya sendiri (langsung ataupun tidak), justru sama sekali bukan kesalahan dan tanggung-jawab manusianya.

Hal ini termasuk setiap bencana alam, seperti: gempa bumi, gunung berapi, tsunami, banjir, longsor, kebakaran hutan, petir atau halilintar, segala penyakit, dsb, yang memang bukan hasil dari segala amal-perbuatan manusianya sendiri (sebagai ujian-Nya). • Allah justru pasti mencegah dan tidak bersikap acuh-tak-acuh, atas segala kejahatan ('kezaliman'), karena Allah pasti menghukum pelakunya, secara lahiriah di dunia (nyata, terlihat, jelas) dan terutama secara batiniah di akhirat (gaib, tak-terlihat, amat halus).

Sekali lagi hukuman-Nya secara batiniah yang jauh lebih penting, karena bersifat hakiki, kekal dan sebenarnya. Sedang hukuman-Nya secara lahiriah justru bersifat semu, sementara dan mudah menyesatkan. • Dalam ajaran agama Islam, sama sekali tidak dikenal adanya "dosa keturunan" (original sin), termasuk sama sekali tidak ada tanggung-jawab bagi setiap umat manusia (anakketurunan Adam dan Hawa), atas segala dosa Adam dan Hawa.

Setiap umat manusia hanya semata menanggung setiap beban dosa yang telah diperbuatnya sendiri (sama sekali tidak dirugikan atau tidak dianiaya-Nya). • Allah menciptakan seluruh umat manusia, justru dengan segala keadaan awalnya (keadaan batiniah ruhnya), yang sama-sama masih suci-murni dan bersih dari dosa. • Seorang anak kecil tanpa dosa (belum akil baliq), yang meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, akibat pembunuhan, kejahatan ataupun akibat segala hal lainnya, atas ijinNya, ia pasti bisa langsung masuk Surga.

Karena keadaan batiniah ruhnya pada saat ia meninggal dunia, memang relatif masih suci-murni dan bersih dari dosa (relatif belum ada amal-perbuatannya yang perlu dipertanggung-jawabkannya di hadapan-Nya, setiap amal-perbuatannya relatif belum didasari oleh berbagai kesadaran atau pengetahuan yang memadai, atau ia relatif belum benar-benar mengenal baik dan buruk). • Manusia yang hidupnya amat mudah, enak dan penuh kemewahan (amat banyak memperoleh nikmat-Nya secara fisik-lahiriah-duniawi), justru sama sekali tidak diuntungkan bagi kehidupan batiniah ruhnya (kehidupan akhiratnya), dari segala nikmat-Nya seperti itu. Padahal iapun mempunyai tanggung-jawab amat berat, atas caranya 'memperoleh'

556

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

dan 'memanfaatkan' segala nikmat-Nya itu. • Orang yang cacat tubuhnya, miskin, menderita penyakit, tanpa orang-tua, tidak menikah, tidak mempunyai anak, tidak bisa berbuat banyak dalam kehidupan dunia, dsb, pada dasarnya mendapat berat beban ujian-Nya yang relatif lebih tinggi daripada manusia normal lainnya. Namun berbagai kekurangan seperti ini sama sekali tetap bukan kesalahan dan tanggung-jawab manusia yang mengalaminya.

Hal yang paling penting, justru bagaimana setiap manusia bisa berbuat sebaik-baiknya mengikuti pengajaran dan tuntunan-Nya dalam ajaran agama-Nya, sesuai segala keadaan, pengetahuan dan kemampuannya masing-masing. • Para korban kejahatan, seperti: pembunuhan, perkosaan, pencurian, perampokan, dsb, jika ia masih hidup pada dasarnya justru tidak menanggung apa-apa atas kejahatan terkait (bukan kesalahan dan tanggung-jawabnya), kecuali berbagai berat beban ujian-Nya baginya memang relatif makin bertambah. Sedangkan jika ia meninggal dunia, ia justru tetap hanya semata menanggung segala amal-perbuatannya sendiri. • Seekor anak rusa yang telah terjebak, terbakar dan meninggal dunia secara mengerikan dalam suatu kebakaran hutan, akibat sambaran petir, semestinya tidak perlu dikasihani secara berlebihan, karena hanya Allah semata Yang Maha mengetahui nasib setiap makhluk-Nya pada kehidupan akhiratnya. • Allah telah berlimpah ruah memberi segala kebaikan bagi kehidupan manusia di dunia. Namun Allah pasti berbuat terbaik bagi setiap manusia, justru hanya jika manusianya memang berkehendak dan berbuat, untuk memperbaiki dirinya sendiri.

Seluruh alam semesta ini justru diciptakan-Nya dengan tujuan yang ‘pasti’ dan ‘jelas’, terutama untuk menguji keimanan setiap manusia. Bukan menciptakan kehidupan dunia fana yang sempurna, juga bukan menjadikan seluruh manusia bisa beriman Segala usaha manusia yang paling diredhai-Nya, adalah usahanya dalam memperbaiki kehidupan akhiratnya masing-masing (mensucikan atau membersihkan ruhnya). • Hal-hal di atas pada dasarnya juga pasti berlaku relatif sama, bagi segala zat makhlukNya selain manusia (makhluk gaib dan makhluk nyata).

Segala konsep dalam ajaran agama Islam tersebut di atas, pada dasarnya semestinya pasti bisa dipahami oleh setiap manusia, dengan berusaha menggunakan akal-pikirannya secara relatif sangat obyektif, sekaligus dengan kepekaan batiniahnya secara relatif sangat tajam. Setiap manusia memang tidak semestinya juga bisa memahami secara lengkap dan mendalam, atas segala kehendak dan rencana-Nya bagi alam semesta ini, tetapi telah cukup baginya jika bisa memahami secara umum atas berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya dalam ajaran agama Islam. Di samping tentunya, makin lama, sebaiknya juga bisa makin menyempurnakan pemahamannya (keimanan batiniahnya), serta sekaligus pengamalannya sehari-harinya (keimanan lahiriahnya), sesuai keadaan, pengetahuan dan kemampuannya masing-masing.


¾ Sunatullah (proses) • Berbagai penerapan fungsi sunatullah • Usaha dan jalan hidup makhluk ciptaan-Nya • Jalan-Nya yang lurus • Takdir-Nya ¾ Sifat pembeda ciptaan-Nya (ciri khas)


SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

559

"(Allah) Yang menciptakan, dan menyempurnakan (tiap makhluk ciptaan-Nya)." "dan Yang menentukan kadar (ukurannya, masing-masing). Dan memberi petunjuk." (QS. AL-A'LAA:87:2-3) "Allah mengetahui apa yang dikandung oleh perempuan. Dan kandungan rahim yang kurang sempurna, dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya (di Lauh Mahfuzh) ada ukurannya." (QS. AR-RA'D:13:8) "Dan tidak ada sesuatupun, melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya. Dan Kami tidak menurunkannya, melainkan dengan ukuran tertentu." (QS. AL-HIJR:15:21)

560

SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

Dari tingkat konsistensinya, maka ada sifat yang ‘relatif’ (tidak pasti terjadi, dari segala makhluk-Nya) dan sifat yang ‘mutlak’ (pasti terjadi, dari Allah). Lihat pula pada Gambar 18 berikut. Gambar 18: Diagram umum sifat dan fitrah zat Zat Sifat-sifat internal zat (sifatsifat yang sebenarnya).

Sifat statis zat yang sebenarnya

Sifat dinamis zat yang sebenarnya

Sifat-sifat statis-esensi zat adalah sifat-sifat zat saat diam, tidak berbuat sesuatu, atau tidak berubahubah keadaannya.

Sifat-sifat dinamisperbuatan zat adalah sifat-sifat zat saat bergerak, berbuat sesuatu, atau berubahubah keadaannya.

Perwujudan esensi dan perbuatan zat (‘penampakan’ lahiriah / batiniah)

VI.

SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

Gambaran umum sifat-sifat zat ciptaan-Nya di alam semesta Pada dasarnya ‘sifat’ zat ciptaan-Nya, adalah segala hal yang menunjukkan ciri khas atau karakteristik yang membedakannya secara lahiriah dan batiniah, dari zat-zat ciptaan-Nya lainnya. Segala sifat zat dikelompokkan menjadi 2 macam, yaitu: ‘sifat pembeda-esensi-statis’ dan ‘sifat proses-perbuatan-dinamis’. Kedua kelompok sifat zat ini bisa berubah-ubah atas berbagai perubahan ‘keadaan’ (lahiriah dan batiniah) pada tiap zat ciptaan-Nya. Walau kedua kelompok ini bisa berubah terhadap keadaannya, namun pada tiap keadaan yang persis sama, sifatnya pastilah "sama" pula. ‘Sifat’ dari sesuatu zat adalah segala sesuatu hal tentang zat itu (secara lahiriah dan batiniah), yang telah diketahui, dipahami ataupun dijelaskan oleh sesuatu hal selain zat itu sendiri, pada suatu keadaan tertentu (tetap sama, secara lahiriah dan batiniah). Sesuatu hal disebut ‘sifat’, jika hal itu terjadi secara terus-menerus, berulang-ulang atau konsisten pada jangka waktu tertentu saja ataupun selamanya (kekal).

Pada sifat dinamis, tergantung pilihan zatnya sendiri yang akan diwujudkannya (sifat sebenarnya / fitrah / sifat-sifat lainnya).

Sesuatu selain zatnya sendiri (pengamat)

Sifat statis zat yang terwujud Sifat-sifat esensipembeda pada zat.

Sifat dinamis zat yang terwujud Sifat-sifat perbuatanproses pada zat.

Sifat-sifat internal & dinamis zat, hanya zatnya sendiri yang tahu.

Fitrah zat Sifat-sifat dinamisperbuatan zat, yang lebih dipuji atau dimuliakan oleh zatnya sendiri (sebagian dari sifat-sifatnya yang sebenarnya).

Proses pengamatan dengan alat-alat panca indera (lahiriah / batiniah) atas berbagai hal yang teratur dan konsisten pada zatnya, sebagai hasil perwujudan sifat zatnya. Dari tingkat konsistensinya, ada sifat ‘relatif’ dan sifat ‘mutlak’ pada zat. Sifat-sifat eksternal zat, yang bisa diketahui oleh pengamat. Sifat-sifat statis zat langsung diketahui saat zat ‘terlihat’ atau ‘muncul’.

Sifat pembeda (statis) dan sifat proses (dinamis) "Sifat pembeda" adalah sifat-sifat yang langsung melekat dan tertanam secara internal pada sesuatu ‘zat’ ciptaan-Nya, pada keadaan


SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

561

tertentu. Lebih jelasnya, sifat ini bisa diketahui ketika sesuatu zat di dalam keadaan statis (tidaklah berbuat sesuatu hal, diam atau tidaklah berubah-ubah keadaannya). ‘Sifat pembeda’ ini bisa disebut juga ‘sifat esensi’ atau ‘sifat statis’ zat. Sedangkan "sifat proses" adalah sifat zat ciptaan-Nya tentang prosesnya dalam berinteraksi dengan segala zat ciptaan-Nya lainnya (sejenis ataupun berlainan), maupun segala proses internal pada tiap zat ciptaan-Nya itu sendiri (termasuk proses perubahan pada "sifat pembeda"-nya). Sifat proses ini bisa diketahui ketika sesuatu zat di dalam keadaan dinamis (berbuat sesuatu hal, bergerak, atau berubahubah keadaannya). ‘Sifat proses’ ini bisa disebut juga ‘sifat perbuatan’ atau ‘sifat dinamis’ zat. Lihat pula pada Gambar 18 di atas. Perbuatan zat ciptaan-Nya, yang bersifat mutlak dan relatif Jika zat yang diamati adalah "zat Allah", maka seluruh "sifat proses atau sifat perbuatan-Nya" juga disebut sebagai ‘Sunnah Allah’ (sunatullah atau aturan-Nya), yang berupa segala aturan atau rumus proses kejadiannya, yang bersifat ‘pasti dan jelas’, yang pasti berlaku (‘mutlak’) kepada segala zat ciptaan-Nya (nyata dan gaib, hidup dan mati) dan segala kejadian (lahiriah dan batiniah) di alam semesta ini. Karena mustahil ada segala sesuatu selain Allah, Yang Maha berkuasa, yang bisa mengatur atau memaksa segala zat ciptaan-Nya. Maka perwujudan dari segala kehendak, tindakan atau perbuatan-Nya di alam semesta ini, yang bersifat ‘mutlak’ (pasti terjadi) dan ‘kekal’ (pasti konsisten), justru hanya melalui Sunnah Allah atau sunatullah Dari sudut pandang yang lainnya, segala sesuatu hal di alam semesta ini yang bersifat ‘mutlak’ (pasti terjadi) dan ‘kekal’ (pasti konsisten), adalah hal-hal yang diyakini oleh umat manusia, sebagai hasil perwujudan dari kehendak atau perbuatan Allah, Rabb-nya alam semesta, Yang Maha Esa. Segala hal semacam ini sering pula disebut sebagai ‘kebenaran-Nya’ (tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya, atau ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis). Hanyalah Allah Yang memiliki sifat-sifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’, pada esensi zat Allah (sifat pembeda mutlak) ataupun pada perbuatan Allah (sifat proses mutlak). Dan hanya milik dan berasal dari Allah, segala sesuatu ‘kebenaran mutlak’. Maka sunatullah (Sunnah Allah), adalah sesuatu sebutan lain bagi hasil perwujudan dari segala perbuatan Allah di alam semesta ini (atau segala sifat proses mutlak dari Zat Allah). Juga sunatullah adalah sebagian dari segala kebenaran-Nya di alam semesta ini.

562

SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

Segala sifat proses pada setiap zat ciptaan-Nya, yang bersifat tidak mutlak (tidak memaksa) dan tidak kekal, pasti hasil dari segala perbuatan makhluk-Nya. Juga tiap makhluk-Nya hanya memiliki sifat proses ‘relatif’. Sehingga kebebasan segala zat makhluk-Nya di dalam berkehendak dan berbuat, bukanlah hal yang diatur dalam aturan-Nya (sunatullah), walau kebebasan ini memang pasti dibatasi-Nya pula. Sedang setiap zat ciptaan-Nya selain makhluk-Nya (atau benda mati), yang justru tidak bisa berbuat sesuatu, dengan sendirinya juga sama sekali tidak memiliki sifat proses ‘relatif’. Sifat dari zat ciptaan-Nya, bukan sifat sesungguhnya Walaupun sunatullah adalah sifat proses milik Zat Allah (hasil perwujudan dari segala perbuatan-Nya di alam semesta). Namun pada buku ini, sunatullah justru tetap dianggap sebagai sifat proses ‘milik’ tiap zat ciptaan-Nya. Selain karena sunatullah memang pasti berlaku atas segala zat ciptaan-Nya di alam semesta, juga segala zat ciptaanNya (termasuk seluruh umat manusia) justru pasti tunduk, patuh dan taat kepada segala kehendak-Nya dan aturan-Nya (sunatullah), dengan ataupun tanpa disadari oleh manusia. Juga karena sunatullah memang tidak berubah-ubah dan tetap melekat pada segala zat ciptaan-Nya, sejak saat awal penciptaan alam semesta sampai akhir jaman (berakhirnya alam semesta), dan tentunya karena sunatullah memang hanya bisa dipelajari oleh manusia, melalui segala sesuatu hal yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’, pada zat ciptaanNya dan segala kejadian (lahiriah dan batiniah) di alam semesta ini. Contoh sederhana atas kepatuhan makhluk-Nya selain manusia kepada aturan-Nya, setelah bisa dipahaminya berbagai hal dari seekor singa yang amat liar dan ganas (karena berbagai hal ini memang relatif amat teratur dan bisa dipelajari), maka seorang pawang binatang bisa pula mengendalikan singa itu. Sedang pada manusia misalnya, sama sekali tidak ada seorang manusiapun yang bisa menolak atau menghindari kematiannya. Juga para dokter bisa menyembuhkan berbagai penyakit lahiriah manusia, setelah melalui diagnosa-diagnosa tertentu yang relatif jelas. Dari uraian di atas dijelaskan, bahwa segala zat ciptaan-Nya sama sekali tidak memiliki sifat-sifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’ (“sifat yang sesungguhnya”), karena tiap zat ciptaan-Nya memiliki sifatnya sendiri yang justru bersifat ‘relatif’ (tidak konsisten, pada makhluk-Nya serta kebebasannya), atau bahkan tidak memiliki sifat ‘relatif’ (pada benda mati). Maka semua sifat lainnya pada segala zat ciptaan-Nya, justru


SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

563

telah diberikan-Nya (terutama "sifat proses" mutlak, aturan-Nya atau sunatullah tersebut di atas). Lihat pula pada Gambar 20 di bawah. Akhirnya, segala zat makhluk-Nya (termasuk manusia), justru sama sekali tidak memiliki “sifat proses yang sesungguhnya”. Segala kejadian yang diperbuat oleh tiap zat makhluk-Nya, memang tidak ada yang bersifat ‘mutlak’ (pasti terjadi) dan ‘kekal’ (pasti konsisten). Hal itu juga pada aspek esensi zat ciptaan-Nya, karena segala sesuatu yang diciptakan pada dasarnya tidak bersifat kekal (tiap esensi zat ciptaan-Nya tergantung kepada Zat, Yang telah menciptakannya). Namun Allah telah menjanjikan dalam Al-Qur’an, bahwa ruh manusia tetap akan bisa hidup kekal setelah Hari Kiamat (di Surga ataupun di Neraka), sebagai puncak dari balasan-Nya atas segala amal-perbuatan tiap manusia, selama di kehidupan dunia. Padahal di lain pihak, hakekat dari tiap makhluk-Nya ada pada ruhnya, dan pada segala amal-perbuatannya, sedang pada ruhnya juga tercatat segala amal-perbuatannya itu. Maka justru ruh-ruh itulah yang akan tetap hidup kekal setelah Hari Kiamat (tanpa disertai oleh tubuh wadahnya). Kecuali jika dikehendaki-Nya hal lain yang akan terjadi, misalnya segala ruh makhluk-Nya dibinasakan-Nya atau dihancurkanNya seluruh alam semesta ini. Sekali lagi jika dikehendaki-Nya. Baca pula topik "Benda mati gaib", tentang catatan amalan pada tiap ruh makhluk-Nya. Sedang sifat pembeda-statis-esensi yang sesungguhnya pada segala zat ciptaan-Nya (sifat pembeda mutlak), justru telah ditetapkanNya pada saat awal diciptakan-Nya alam semesta ini. Segala proses selanjutnya pada segala zat ciptaan-Nya sampai saat ini (telah sekitar milyaran tahun), justru diatur-Nya melalui sunatullah. Pada akhirnya, sifat pembeda-statis-esensi dan proses-dinamisperbuatan yang sesungguhnya (sifat mutlak dan kekal) pada segala zat ciptaan-Nya, pada dasarnya juga diciptakan-Nya. Sehingga sifat pada segala zat ciptaan-Nya yang diketahui oleh manusia, adalah gabungan antara “sifat yang sesungguhnya” (mutlak dan kekal, yang diciptakanNya) dan “sifat relatif” (yang diusahakan oleh segala makhluk-Nya). Sifat-sifat-Nya dipahami dari sifat segala zat ciptaan-Nya Bahwa ‘sifat pembeda’ pada Zat Allah, justru hampir tidak ada yang bisa diketahui oleh manusia, kecuali: Ada (wujud), Maha Esa, Maha gaib (Maha tersembunyi), Maha kekal, Maha awal, Maha akhir dan Maha hidup. Bahkan sifat-sifat ini justru sama sekali tidak terkait langsung

564

SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

dengan ‘sifat pembeda-statis-esensi’ pada Zat Allah itu sendiri, yang memang berwujud ‘Maha Gaib’, dan Zat Allah juga sama sekali amat berbeda daripada segala jenis zat ciptaan-Nya. Bahkan sifat esensi Zat Allah mustahil bisa terjangkau oleh manusia, secara lahiriah (melalui mata) dan secara batiniah (melalui akal). Seluruh sifat-Nya pada Asmaul Husna, pada dasarnya sesuatu hasil pemahaman nabi Muhammad saw, atas sifat proses dan pembeda yang sesungguhnya (‘mutlak dan kekal’) pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian di alam semesta ini, yang memang semata hanya hasil dari segala perbuatan-Nya (melalui sunatullah). Dan hanya Allah Yang memiliki sifat ‘mutlak dan kekal’. Segala hal yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’, pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadiannya di seluruh alam semesta, biasanya juga disebut dalam Al-Qur’an sebagai: (semuanya berupa sesuatu hal yang sama, hanya berbeda pada fokus dan konteks pemakaiannya) - Wajah-Nya (bentuk perwujudan dari semua sifat-Nya). - Tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta. - Ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis di alam semesta. - Al-Qur’an atau kitab-kitab-Nya yang berwujud gaib, yang telah tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi ‘Arsy-Nya. - Wahyu atau kalam Allah, dalam wujud yang sebenarnya. - Segala pengetahuan atau kebenaran-Nya di alam semesta. Sederhananya, proses pemahaman atas sifat-sifat-Nya persis serupa dengan usaha untuk bisa mengetahui sifat-sifat zat ciptaan-Nya (termasuk manusia), namun ada perbedaannya antara lain: - Hanya sifat ‘perbuatan’ Zat Allah Yang Maha Gaib, yang masih bisa diketahui oleh umat manusia, sedang sifat ‘esensi’ Zat Allah, Yang Maha Suci, justru mustahil bisa dijangkau dan diketahui. - Sifat-sifat-Nya hanya diketahui, ‘melalui’ segala hal yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’, pada segala zat ciptaan-Nya dan kejadiannya di alam semesta (tidak langsung ‘melalui’ Zat Allah sendiri). - Sifat-sifat segala zat makhluk-Nya yang benar-benar hanya berasal dari hasil perbuatan makhluknya sendiri, justru pasti bersifat ‘tidak mutlak’ (tidak pasti, relatif) dan ‘tidak kekal’ (tidak konsisten). - Sifat-sifat-Nya bersifat gaib, amat sangat teratur, alamiah, halus, tidak kentara ataupun seolah-olah terjadi begitu saja. Dari segala perbuatan-Nya bisa diketahui berbagai kehendakNya, lalu selanjutnya bisa diketahui berbagai sifat-Nya. Lihat pula pada Gambar 19 dan Gambar 20 di bawah.


SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

565

Gambar 19: Diagram umum proses pemahaman sifat-sifat-Nya Allah, Yang Maha Esa Sifat-sifat internal Allah yang sebenarnya, semuanya mutlak semutlaknya.

Sifat-sifat internal & dinamis Allah, hanya Allah sendiri yang tahu.

Fitrah Allah Sifat statis Allah yang sebenarnya Sifat esensi Allah.

Sifat dinamis Allah yang sebenarnya Sifat perbuatan Allah.

Alam semesta dan segala seisinya, sebagai hasil perwujudan dari Fitrah Allah Allah ingin menunjukkan segala kemuliaan & kekuasaan-Nya kepada segala zat makhluk-Nya. Di seluruh alam semesta ini terkandung tandatanda kemuliaan & kekuasaan-Nya, pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadiannya.

Manusia dan segala makhlukNya lainnya (pengamat)

Sifat statis Allah yang terwujud

Sifat dinamis Allah yang terwujud

Sifat esensi Allah, seperti: ‘ada’ (wujud), Maha Esa, Maha gaib, Maha kekal, Maha awal, Maha akhir dan Maha hidup. Hal-hal inipun justru bukan terkait ‘langsung” dengan Zat-Nya.

Sifat perbuatan Allah atau sunatullah (aturan-Nya), berupa segala aturan atau rumus proses kejadian di alam semesta ini, yang ‘mutlak’ (pasti terjadi) dan ‘kekal’ (pasti konsisten).

Sifat-sifat dinamisperbuatan Allah, yang dianggap-Nya terpuji & mulia, yang dipilih-Nya.untuk ditunjukkan-Nya kepada segala zat makhluk-Nya. Proses pengamatan dengan alat-alat panca indera (lahiriah / batiniah) atas tanda-tanda kekuasaan-Nya (segala hal yang mutlak dan kekal di alam semesta), sebagai hasil perwujudan dari Fitrah Allah. Sifat-sifat eksternal Allah pada Asmaul Husna, adalah hasil pemahaman nabi Muhammad saw, atas tandatanda kekuasaan-Nya. Sifat-sifat statis Allah amat sulit dan sedikit bisa diketahui, terutama karena Allah bersifat Maha gaib. Bahkan ZatNya justru mustahil bisa dijangkau oleh segala zat makhluk-Nya.

566

SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

Gambar 20: Diagram umum sifat-Nya pada sifat zat ciptaan-Nya Keterengan: • Pada sunatullah (Sunnah Allah atau sifat dinamis-perbuatan-proses pada Zat Allah) terkandung Fitrah Allah di dalamnya. • Sunatullah mengatur segala zat ciptaan-Nya sampai akhir jaman, berupa segala aturan / rumus proses kejadian (lahiriah & batiniah) di alam semesta, yang bersifat ‘mutlak’ & ‘kekal’. • Segala zat ciptaan-Nya pasti tunduk & taat mengikuti sunatullah. • Pelaksanaan sunatullah dikawal oleh tak-terhitung para malaikat. • Makhluk gaib paling sederhana wujudnya (relatif tanpa tubuh lahiriah / relatif hanya berupa ruh).

Allah, Yang Maha Esa Sifat-sifat internal Zat Allah yang sebenarnya, yang semuanya bersifat ‘mutlak semutlak-mutlaknya’.

Fitrah Allah Sifat-sifat dinamis-perbuatan-proses yang terpuji dan mulia pada Zat Allah (sebagian dari seluruh sifat-Nya), yang ingin ditunjukkan kepada segala makhluk-Nya.

Seluruh alam semesta dan segala isinya, sebagai hasil perwujudan dari Fitrah Allah Seluruh alam semesta diciptakan-Nya dari tak-terhitung jumlah zat paling elementer, yaitu Atom-materi (nyata & mati) dan Ruh (gaib & hidup), serta Energi.

Atom-materi

Ruh Segala makhluk-Nya

Sifat statis (mutlak)

Ruh & tubuh lahiriahnya

Sifat statis yang kekal sejak diciptakan-Nya, terutama sifat ‘materi terkecil’ (penyusun Atom & partikel sub-atom).

Kebebasan berkehendak & berbuat Dengan akal & nafsu Lahiriah

Hasil perbuatan makhluk. Ubah keadaan lahiriah.

Sifat statis (relatif) Sifat statis yang diubah – ubah oleh makhluk-Nya

Sifat benda mati Lahiriah semata, relatif& mutlak, statis&dinamis

Sifat statis (mutlak) Sifat statis yang kekal sejak diciptakan-Nya

Batiniah

Sifat dinamis (mutlak) atau sunatullah Lahiriah

Batiniah

Ruh tidak memiliki sifat statis relatif (tidak bisa diubah oleh makhluk). Hasil perbuatan Allah.

Ubah keadaan batiniah.

Sifat dinamis (relatif) sebagai balasan-Nya Lahiriah

Batiniah

Hasil perbuatan makhluk & Allah. (perubahan pada tubuh lahiriah)

Sifat makhluk-Nya Lahiriah&batiniah, relatif &mutlak, statis&dinamis


SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

567

Catatan dan permasalahan pemahaman atas sifat-sifat-Nya Ada hal-hal yang relatif amat mengkuatirkan, yang terjadi pada sebagian besar kaum Muslimin di seluruh dunia (atau pada sebagian besar aliran-golongan-mazhab), adalah relatif amat sangat terbatasnya pemahaman umat tentang berbagai sifat-Nya. Padahal hal inilah satusatunya wujud pengenalan umat manusia terhadap Allah, Tuhan Yang sesungguhnya, Yang Maha Esa dan Yang telah menciptakannya. Amat ironisnya, keterbatasan pemahaman atau penafsiran umat Islam tentang sifat-sifat-Nya itu, yang justru telah bisa menimbulkan hampir semua perbedaan dan perselisihan di antara aliran-golonganmazhab pemahaman dalam agama Islam. Padahal sesuatu perselisihan lebih logis, jika timbul dari perbedaan tentang sesuatu hal yang jelas bisa diketahui, sedang sifat-sifat-Nya adalah berbagai hal yang gaib, yang memang relatif amat sulit untuk dipahami. Sehingga relatif amat 'tidak wajar', jika hal ini menimbulkan perselisihan keras (semestinya justru saling berusaha memperbaiki pemahamannya masing-masing). Padahal ada banyak ayat Al-Qur’an yang justru mengingatkan umat di dalam membicarakan tentang Allah (ataupun sifat-sifat-Nya), antara-lain: agar tidak mengada-ada ataupun tidak berdusta; agar tidak sibuk berdebat dan berselisih, namun justru melupakan berbuat amalkebaikan; agar tidak melampaui batas; dsb. Bahkan ada ancaman dosa yang amat besar, bagi yang berdusta dan melampaui batas tentang hal ini (suatu bentuk kezaliman secara batiniah). 50) Padahal nabi Muhammad saw sendiri telah menguraikan hal ini melalui sejumlah besar sifat-sifat-Nya pada Asmaul Husna (namanama terbaik yang hanyalah milik Allah). Juga padahal hampir setiap ayat dalam Al-Qur'an, ada disebutkan tentang sifat-sifat Allah (berupa "Yang Maha …"), sebagai pesan yang amat sangat penting dari nabi Muhammad saw, agar umat Islam bisa makin mengenal Allah, sesuai pengetahuan dan kemampuannya masing-masing sepanjang hidupnya. Padahal di lain pihaknya, hanya kepada Allah mestinya setiap umat manusia menyembah dan mengabdikan dirinya, beserta seluruh kehidupannya. Sehingga amat ironis jika setiap umat Islam tidak mau berusaha keras agar bisa mengenal Allah (memahami sifat-sifat-Nya). Berbagai contoh kekuatiran atas pemahaman setiap umat Islam tentang sifat-sifat-Nya, misalnya karena: a. Adanya berbagai bentuk kemusyrikan (disengaja ataupun tidak), termasuk di kalangan umat Islam;

568

SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

b. Adanya pemahaman yang menganggap, bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang relatif kurang sempurna, secara terpisah ataupun keseluruhan; c. Belum dipahaminya secara utuh dan cukup mendalam atas setiap sifat-sifat-Nya pada Asmaul Husna; d. Adanya pemahaman yang justru saling mempertentangkan antar sifat-sifat-Nya; e. Adanya pemahaman yang relatif terlalu berlebihan atas sifat-sifat-Nya; f. Adanya pemahaman yang menganggap, bahwa ‘ada’ sifat-sifatNya lainnya, yang bisa berlawanan dengan sifat-sifat-Nya pada Asmaul Husna; g. Adanya pemahaman yang menganggap, bahwa sifat-sifat-Nya tidak seharusnya dipahami; h. Adanya pemahaman yang menganggap, bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat; i. Adanya pemahaman yang menganggap, bahwa Tuhan dari semua agama adalah sama; dsb; Secara ringkas, berbagai kekuatiran itu diungkap dan dibahas, sebagai berikut:

Berbagai permasalahan pemahaman tentang sifat-sifat-Nya a. Adanya berbagai bentuk kemusyrikan (disengaja ataupun tidak), termasuk di kalangan umat Islam. “Sifat” adalah gambaran tentang sesuatu zat, menurut sesuatu di luar zat itu sendiri. Jika salah-satu saja dari sifat-sifat zat itu yang telah cukup jelas diketahui, yang justru tidak diperhatikan atau diabaikan, maka hal inipun sama halnya dengan mengada-adakan sesuatu, yang berbeda dari zat itu sendiri. Di dalam hal ini, pengabaian salah-satu saja dari sifat-sifat-Nya, justru sama halnya dengan mengada-adakan sesuatu ‘Tuhan lain’ yang berbeda dari Allah, Yang Maha Esa dan Maha sempurna, yang telah bisa dipahami oleh nabi Muhammad saw, dan telah digambarkannya pada Asmaul Husna. Tindakan yang mengada-ada seperti itulah sebagai sumber utama timbulnya segala bentuk kemusyrikan dan politheisme. Di mana


SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

569

kesempurnaan setiap sifat-sifat-Nya sengaja dikurangi, agar bisa memenuhi berbagai kepentingan umat manusia sendiri (terutama setiap kepentingan yang bersifat duniawi). Juga bisa tanpa sengaja dikurangi, karena berbagai keterbatasan akal-pikiran manusia dalam memahami tentang Allah, Tuhannya alam semesta ini Yang sesungguhnya dan Yang Maha Esa. Hal semacam itulah yang telah melahirkan ilah-ilah selain Allah, yang pada umumnya berwujud lahiriah (seperti: patung, berhala, benda keramat, orang ataupun makhluk-Nya yang dianggap suci, dewa-dewa, dsb), karena hanya wujud lahiriah itulah yang bisa dengan cukup mudah dijangkau oleh akal-pikiran pada sebagian dari umat manusia. "Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu serukan selain Allah itu adalah makhluk (yang lemah) yang serupa juga dengan kamu. Maka serulah berhala-berhala itu, lalu biarkanlah mereka memperkenankan permintaanmu, jika kamu memang orang-orang yang benar." - (QS.7:194). Allah Yang Maha sempurna justru pasti bisa dianggap berkurang segala kemuliaan dan kesempurnaan-Nya, jika dipahami secara terpisah dan sepotong-sepotong. Apalagi jika dipahami melalui sesuatu wujud fisik-lahiriah, yang justru pasti ada mengandung segala keterbatasan, kekurangan dan kehinaan. Tanpa disadari oleh para penganutnya justru kemusyrikan seperti ini amat mempengaruhi kesempurnaan segala aspek keyakinan, kehidupan dan nasib mereka. Lebih utamanya tentang kehidupan akhirat, sebagai tujuan akhir kehidupan segala zat makhluk-Nya, yang bersifat hakiki dan kekal. Karena para penganut itupun pasti menghadapi kebingungan saat mengkaitkan antara kehidupan Tuhannya, yang berwujud fisiklahiriah di dunia ini, dengan kehidupan Tuhannya di alam akhirat yang gaib. Selain tentunya banyak pula persoalan lainnya. Baca pula poin i di bawah, untuk uraian lebih lengkapnya. Bentuk kemusyrikan seperti ini (berupa penyembahan ilah-ilah selain Allah), adalah paling besar beban dosanya ataupun paling dilaknat-Nya, karena menyangkut kekeliruan tauhid (keliru dasar pemahaman manusia tentang ketuhanan), sehingga amat sering pula diingatkan dalam Al-Qur'an. Dan hal inipun biasanya berbentuk berupa penyembahan secara

570

SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

fisik-lahiriah, melalui berbagai ritual ibadah. Hal yang umumnya terjadi pada kemusyrikan seperti ini, akibat dari ‘tidak adanya kesempurnaan’ pada Tuhan Yang disembah, adalah para penganut kemusyrikan tidak bisa menggantungkan segala sesuatu hal kepada ‘satu Tuhan’ saja, karena Tuhannya memang tidak sempurna dalam segala halnya. Hal ini cenderung menimbulkan paham politheisme, atau perlunya ‘banyak’ Tuhan, yang dianggap relatif ideal pada setiap hal tertentu. Misalnya sebagian dari sifat-Nya telah disederhanakan menjadi suatu dewa tertentu, dan akhirnya menjadi banyak dewa dengan sifat-sifat khasnya masing-masing. Bentuk dari kemusyrikan yang relatif lebih ringan beban dosanya bukan menyangkut kelurusan tauhid, namun berupa kemusyrikan secara moral-batiniah. Hal ini pada dasarnya justru banyak pula terjadi pada umat Islam sendiri. Hal ini memang tidak berupa penyembahan secara fisik-lahiriah, tetapi hampir serupa pengaruh dari setiap ‘penyembahan’ kepada ilah-ilah selain Allah secara batiniah ini (misalnya: harta, tahta, wanita, anak, keluarga, dsb), karena manusia pada dasarnya bisa pula menghabiskan hidupnya bagi ilah-ilah ini (waktu, tenaga & pikiran). Akhirnya, tempat bergantung dan penuntun hidupnya, bukan hanya Allah semata. Bahkan pada tingkat yang amat parahnya, hal inipun justru akan membuat umat bisa melupakan Allah, Yang Maha Esa. b. Adanya pemahaman yang menganggap, bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang relatif kurang sempurna, secara terpisah ataupun keseluruhan; Setiap anggapan atas adanya ketidak-sempurnaan sifat-sifat-Nya, pada dasarnya relatif serupa dengan kemusyrikan pada poin a di atas. Tetapi di sini, lebih terfokus pada anggapan dari umat Islam sendiri, yang memang belum utuh atau sempurna bisa memahami sifat-sifat Allah, Tuhan Yang disembahnya. Setiap umat Islam memang benar-benar menyembah Allah, Yang Maha Esa, tetapi jika sifat-sifat-Nya (secara keseluruhan ataupun terpisah-pisah pada Asmaul Husna), dianggap bisa mengandung ‘ketidak-sempurnaan’, tanpa sengaja hal ini justru sedikit-banyak bisa membawa kepada ketidak-lurusan tauhidnya. Hal inipun sedikit-banyak pasti akan mempengaruhi pemahaman umat Islam sendiri atas keseluruhan ajaran agama-Nya.


SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

571

Sekali lagi, hal ini memang relatif serupa dengan kemusyrikan di atas, namun prosesnya justru relatif amat berbeda, karena umat Islam memang masih menyakini segala risalah yang disampaikan oleh nabi Muhammad saw, tentang Allah ataupun sifat-sifat-Nya. Persoalannya justru bisa timbul, saat setiap umat Islam memiliki pemahaman yang berbeda-beda atas risalah-risalah itu, dan tentu saja bisa relatif berbeda pula daripada pemahaman Nabi sendiri. Maka hal ini bisa disebut sebagai kemusyrikan yang relatif 'amat ringan' (atau relatif 'sedikit' berbeda daripada Allah, Tuhan alam semesta yang sebenarnya dan disembah oleh Nabi). Kurang sempurnanya pemahaman umat terhadap setiap sifat-Nya secara terpisah memang relatif amat jarang terjadi, karena hampir setiap umat Islam relatif telah memahami makna istilah ‘Maha’ pada setiap sifat-Nya, yang menandakan sifat-sifat-Nya berada di luar batas-batas yang biasa dibayangkan oleh umat manusia pada umumnya, walau umat sendiri belum mendalam pemahamannya. Juga sifat-sifat-Nya amat sangat berbeda ataupun amat jauh lebih sempurna daripada sifat-sifat pada segala zat ciptaan-Nya. "…. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (dari segi zat dan sifat-sifatnya), dan Dia-lah Yang Maha Mendengar, lagi Maha Melihat." - (QS.42:11) Namun kurang sempurnanya pemahaman umat terhadap 'seluruh' sifat-Nya, sebagai suatu 'kesatuan yang utuh', yang justru relatif sering terjadi, seperti misalnya: sifat-sifat-Nya justru dianggap bisa saling bertentangan ataupun berlawanan; sifat-Nya tertentu dianggap bisa lebih diutamakan atau penting daripada sifat-Nya lainnya; sifat-sifat-Nya dianggap selalu ada dalam segala hal dan segala aspeknya (secara bersama-sama ataupun terpisah), tanpa disesuaikan dengan konteks keberadaan sifat-sifat-Nya itu; dsb. Baca pula uraian-uraian terkait pada poin-poin di bawah. Tentunya ketidak-sempurnaan pemahaman yang dimaksudkan di atas, belum termasuk tidak benar-benar dipahaminya, atas setiap sifat-sifat-Nya. Serta sifat-sifat-Nya memang telah bisa 'diyakini' kesempurnaannya (keseluruhan ataupun terpisah), namun hanya dipahami secara garis besarnya saja (belum mendalam). Bahkan para alim-ulama terdahulu ataupun saat ini, relatif amat jarang yang bisa mencapai pemahaman yang relatif mendalam

572

SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

tentang Allah ataupun sifat-sifat-Nya, sedang pemahaman seperti ini memang pemahaman yang paling tinggi (hanya dimiliki oleh para nabi-Nya, dan sejumlah amat terbatas umat lainnya). c. Belum dipahaminya secara utuh dan cukup mendalam atas tiap sifat-sifat-Nya pada Asmaul Husna. Dari uraian pada poin-poin di atas, cukup jelas amat penting dan semestinya bagi setiap umat Islam, untuk bisa memahami seluruh sifat-Nya pada Asmaul Husna secara relatif utuh dan sempurna. Padahal hanyalah dengan aspek keutuhan inilah, maka Allah bisa dipahami oleh setiap umat Islam, relatif seperti halnya yang juga dipahami oleh nabi Muhammad saw. Sekaligus agar tidak menimbulkan suatu kemusyrikan, atau umat tidak menyembah Allah Tuhan yang sesungguhnya (atau berbeda daripada Tuhan-nya nabi Muhammad saw, atau Tuhan-nya alam semesta ini), karena seluruh sifat-Nya pada Asmaul Husna justru suatu kesatuan yang utuh, yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Pemahaman secara relatif amat mendalam terhadap seluruh sifatNya itu memang bukanlah sesuatu keharusan di dalam beragama, tetapi hal paling utamanya, agar setiap umat Islam bisa memiliki ‘keyakinan’ yang kuat atas keutuhan seluruh sifat-Nya tersebut. Telah cukup aman bagi umat Islam yang awam, agar menyakini terlebih dahulu segala hal tentang Allah, yang telah disampaikan oleh nabi Muhammad saw. Namun jika umat ingin makin bisa meningkatkan keimanannya, maka semestinya umat makin bisa memperdalam pemahamannya tentang sifat-sifat-Nya (secara keseluruhan ataupun terpisah). d. Adanya pemahaman yang justru saling mempertentangkan antar sifat-sifat-Nya. Sama-sekali tidak ada pertentangan antar seluruh sifat-Nya pada Asmaul Husna, bahkan hal ini mustahil terjadi, karena jika ada sesuatu pertentangan pada sifat-sifat-Nya, maka alam semesta ini justru mestinya telah kacau balau ataupun hancur-binasa (secara lahiriah dan batiniah). Padahal seluruh sifat-Nya pada Asmaul Husna itu, adalah bentuk pemahaman nabi Muhammad saw, atas tanda-tanda kekuasaanNya di alam semesta ini (bersifat mutlak dan kekal, pada aspek lahiriah dan batiniah). Sedangkan mustahil ada dua ataupun lebih sifat yang mutlak dan kekal, yang bisa saling bertentangan.


SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

573

Dalam hal ada terjadinya suatu pertentangan pada sifat-sifat-Nya, menurut pemahaman pada seorang umat, justru umat itu sendiri yang mestinya mencermati kembali dengan jauh lebih teliti, atas pemahamannya tersebut. Apakah pemahaman umat itu telah berdasarkan pada dalil-alasan yang kuat (bukan sekedar berdasarkan dugaan atau asumsi)?. Biasanya pertentangan di atas bisa muncul, karena adanya suatu penafsiran yang terlalu berlebihan, atas sebagian dari sifat-sifatNya, seperti yang diuraikan pada poin e di bawah. Jika sifat-sifat-Nya yang telah ditafsirkan secara berlebihan itu, dikaitkan dengan berbagai sifat-Nya yang lainnya, hal ini justru biasanya akan terjadi suatu saling pertentangan. Hal ini mestinya mustahil terjadi, bahkan telah dibantah secara ‘tidak langsung’ di dalam Al-Qur`an (baca pula uraian pada topik di bawah) "Maka apakah mereka (umat manusia) tidak memperhatikan AlQur`an?. Kalau kiranya Al-Qur`an itu bukan dari sisi-Nya, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (QS.4:82) e. Adanya pemahaman yang relatif terlalu berlebihan atas sifat-sifat-Nya. Dalam hal ini sifat Allah Maha berkuasa dan Maha berkehendak, yang relatif sering menjadi bahan perdebatan amat tajam sampai saat ini, pada berbagai aliran teologi dalam agama Islam, seperti yang diungkap di Lampiran D, tentang kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya. Segala kekuasaan dan kehendak-Nya ataupun seluruh sifat-Nya, yang semuanya ‘mutlak’ dan ‘kekal’, memang bukan pasti bisa tampak ‘nyata’ dan ‘jelas’ bagi setiap manusia, tetapi justru pasti tampak ‘gaib’ dalam segala halnya (amat sangat halus, alamiah, tidak terlihat kentara dan seolah-olah terjadi begitu saja). Hanya sejumlah umat manusia yang telah berkemampuan ilmupengetahuan relatif amat tinggi (termasuk para nabi-Nya), yang telah memahami sifat-sifat-Nya dengan relatif amat jelas, yang terkandung dalam hal-hal lahiriah dan batiniah di alam semesta. "Apakah kamu tiada melihat, bahwasanya Allah menurunkan air dari langit, lalu jadilah bumi itu hijau. Sesungguhnya, Allah Maha halus, lagi Maha mengetahui." - (QS.22:63)

574

SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

Bahkan sebagian dari para nabi-Nya justru telah bisa memahami (memperkirakan), kejadian-kejadian sejak awal penciptaan alam semesta ini sampai akhir jaman, seperti yang disebut-sebut dalam Al-Qur’an, karena kejadian-kejadian di alam semesta memang ada yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’, sebagai hasil dari segala perbuatan-Nya, namun juga bersifat ‘gaib’ (amat sangat halus). Maka tidaklah semestinya, jika ada umat-umat yang amat terlalu memaksakan pendapat atau pemahamannya tentang Allah (atau sifat-sifat-Nya), tanpa dasar pengetahuan yang relatif mendalam. Dalam mengatasi berbagai pendapat seperti ini, hal paling mudah dilakukan adalah, jika ada pemahaman atas suatu sifat-Nya, yang telah bertentangan dengan sifat-sifat-Nya lainnya, ‘dalam sesuatu hal tertentu’, maka pemahaman itupun pasti keliru (tidak benar). "Di antara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan, dan …" - (QS.22:3) Hal yang penting diketahui pula, bahwa segala kehendak ataupun perbuatan-Nya di alam semesta ini, justru bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’, maka justru mustahil terjadi, “Allah berbuat sekehendakNya di alam semesta ini”. Sesuatu zat yang bisa berbuat 'sekehendaknya', perbuatannya itu justru tidak bersifat ‘kekal’ (berubah-ubah sesuai kehendaknya), di samping itu justru tidak menunjukkan kemuliaan sifat zatnya sendiri (berlaku plin-plan atau tidak konsisten). Sedang Allah berbuat ‘sekehendak-Nya’, justru hanya ‘sebelum’ diciptakan-Nya alam semesta ini (saat memilih dan menentukan segala sesuatu halnya, yang terkait penciptaan alam semesta itu sendiri). Bahkan jika Allah berbuat ‘sekehendak-Nya’ setelah penciptaan itu, justru alam semesta pasti telah kacau balau ataupun hancurbinasa. f. Adanya pemahaman yang menganggap, bahwa ‘ada’ sifat-sifat-Nya lainnya, yang bisa berlawanan dengan sifat-sifat-Nya pada Asmaul Husna. Amat tidak relevan jika sifat-sifat-Nya ataupun segala perbuatanNya dinilai bersifat, seperti: tidak baik; tidak adil; bisa berdusta; bisa melanggar janji; tidak konsisten; sekehendaknya; sewenangwenang; zalim atau aniaya; dsb. Sedang hal-hal ini amat berlawanan dengan sifat-sifat-Nya pada


SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

575

Asmaul Husna, seperti misalnya: Maha pengasih dan penyayang; Maha suci dan mulia; Maha adil, pengampun dan bijaksana; Maha kekal dan kuat; Maha menentukan dan menetapkan; Maha memelihara dan menjaga; dsb. Penilaian seperti itu hanyalah relevan untuk hal-hal yang bersifat relatif, tidak pasti terjadi (tidak mutlak) ataupun tidak konsisten (tidak kekal), seperti yang biasanya terjadi pada setiap makhluk. Bahkan penilaian seperti itupun semestinya mustahil bisa terjadi, karena justru akan bisa menghilangkan berbagai kemuliaan dan kesempurnaan-Nya. Justru orang-orang yang menilai sifat-sifat-Nya seperti itu, yang harus memperbaiki kembali kebenaran penafsirannya, atas setiap perbuatan-Nya di seluruh alam semesta ini, yang memang Maha Halus, bukan justru memaksakan penafsirannya yang amat keliru dan subyektif dalam menilai tentang Allah. Juga ada ancaman dosa yang amat besar bagi umat yang berdusta dan melampaui batas tentang Allah (atau sifat-sifat-Nya), karena hal ini sesuatu bentuk kezaliman (merusak keyakinan umat Islam lainnya atas berbagai kebenaran-Nya, atau menyesatkannya). "…, dan kamu menyangka tentang Allah, dengan bermacammacam purbasangka." - (QS.33:10) dan (QS.3:154) "… . Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan tentang Allah, apa yang tidak kamu ketahui?." (QS.10:68) dan (QS.2:169, QS.6:140, QS.7:28, QS.7:33, dst) "Dan bahwasanya, orang yang kurang akal dari kami dahulu, selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas tentang Allah," - (QS.72:4) dan (QS.4:171) "… . Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta tentang Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." - (QS.6:144) dan (QS.3:75, QS.3:78, QS.3:94, QS.4:50, QS.5:103, QS.6:21, QS.6:93, dst) g. Adanya pemahaman yang menganggap, bahwa sifat-sifat-Nya tidak seharusnya dipahami. Hal inipun ‘kebetulan’ diketahui pada suatu aliran dalam agama Islam, yang pemahamannya, seperti "bahwa Allah bisa berbuat sekehendaknya, termasuk bisa menurunkan sesuatu wahyu yang

576

SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

melarang umat, untuk mengetahui hal-hal tentang Allah". Alam semesta ini justru sengaja diciptakan-Nya, agar setiap umat manusia bisa mengenal Allah, Tuhan-nya semesta alam, dengan segala kemuliaan dan kekuasaan-Nya. Juga bisa mengenal agama atau jalan-Nya yang lurus, agar bisa kembali dekat ke hadapan ‘Arsy-Nya, dengan mendapat kemuliaan yang tinggi, dsb. Maka sesuatu kemustahilan, jika ada anjuran-Nya agar manusia tidak perlu memahami sifat-sifat-Nya (tidak mengenal Allah). Berbagai uraian di atas, justru membuktikan hal yang sebaliknya. Anjuran yang lebih tepatnya barangkali, agar umat manusia tidak memaksakan dirinya, untuk bisa memahami tentang hal-hal gaib (termasuk tentang Allah dan sifat-sifat-Nya), tanpa sesuatu dasar ilmu-pengetahuan yang relatif amat memadai. Sebelum memiliki pengetahuan yang memadai, lebih aman bagi umat yang awam, untuk menyakini terlebih dahulu hal-hal yang telah disampaikan oleh nabi Muhammad saw. Pada dasarnya ‘akal’ bisa mengetahui tentang segala bentuk halhal yang gaib, yang berupa gaib 'tindakan' (segala tindakan atau perbuatan dari zat-zat gaib) di alam semesta, justru karena segala tindakan itupun memang ingin ditunjukkan-Nya kepada manusia, walaupun memang hanyalah para nabi-Nya dan umat-umat yang berilmu amat tinggi, yang diketahui telah bisa memahaminya. Tetapi ‘akal’ manusia mustahil bisa sanggup menjangkau tentang gaib 'zat' (zat Allah dan zat ruh-ruh makhluk-Nya). Sedang gaib 'tindakan' itu pada dasarnya bersifat pasti, jelas dan amat sangat teratur (mengikuti suatu aturan tertentu, aturan-Nya atau sunatullah), walau juga bersifat amat sangat halus dan tidak kentara (gaib), begitu pula para pelakunya yang memang tidak tampak (zat-zat gaib). Sehingga ada kejadian-kejadian di seluruh alam semesta ini, yang seolah-olah otomatis terjadi begitu saja, namun relatif amat pasti dan amat konsisten. Segala gaib 'tindakan' itu semestinya memang bisa dipahami oleh akal manusia, karena Allah dan para makhluk gaib-Nya memang ingin, agar manusia bisa mengenal Allah, Yang menciptakannya, melalui segala tindakan dan kejadian itu. Tetapi Allah memang sengaja untuk tidak terang-terangan dalam menunjukkan kekuasaan-Nya, karena justru bertujuan untuk bisa menguji keimanan setiap manusia. Jika kekuasaan-Nya tampak


SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

577

578

jelas dan nyata, justru seluruh umat manusia pasti beriman. h. Adanya pemahaman yang menganggap, bahwa Zat Allah tidak memiliki sifat-sifat. Dasar pemahaman dari sesuatu aliran ini adalah, semua sifat-Nya semestinya kekal. Tetapi hal inipun akan menimbulkan banyak yang kekal, karena semua sifat-Nya itu kekal. Padahal hanyalah Allah sendiri yang kekal. Maka pemahaman tentang sifat-sifatNya yang kekal dianggap sesuatu bentuk kemusyrikan. Akhirnya lahir anggapan lainnya, bahwa Allah semestinya tidak memiliki sifat-sifat. Hal ini adalah salah-satu bukti kelemahan dan keterbatasan ilmu filsafat, dalam menjelaskan suatu hal, terutama hal-hal yang gaib (ketuhanan, ruh, alam akhirat atau alam batiniah, dsb), karena ilmu filsafat hanyalah memakai bahasa dunia intuisi-nalar-logika manusia semata, ataupun bahasa kehidupan nyata umat manusia sehari-hari. Sehingga ilmu filsafat itu justru mustahil bisa sesuai untuk menjelaskan ketuhanan, alam gaib dan alam batiniah ruh manusia, termasuk dari adanya logika-logika filsafat yang terlalu dipaksakan. Kelemahan yang terpenting dari anggapan di atas, yaitu adanya pemisahan antara ‘zat’ dan ‘sifat’ zatnya. Padahal kedua hal itu justru mustahil bisa dipisahkan, karena “sifat adalah gambaran atas sesuatu zat, menurut sesuatu di luar zat itu sendiri”. Pemaksaan penerapan filsafat di dalam hal-hal batiniah atau gaib, biasanya cenderung akan melahirkan berbagai teori-paham yang bersifat ‘materialistik’ (seperti: HAM, demokrasi, materialisme, kapitalisme, sosialisme, feminisme barat, dsb). Agama-agama yang sering menerapkan ilmu filsafat pada ajaranajarannya, biasanya juga bersifat materialistik dalam memahami Tuhannya (seperti adanya berbagai sesembahan yang berwujud lahiriah). Dan hal ini jelas sesuatu bentuk kemusyrikan. Selain itu pula, ilmu filsafat relatif mudah digunakan, untuk bisa ‘membengkokkan’ intuisi-logika pikiran, sehingga ajaran-ajaran agama yang musyrik itu, secara sekilas seolah-olah tampak bisa diterima oleh akal-sehat (seolah-olah sesuai dengan kebenaran). Baca pula poin a di atas tentang kemusyrikan. Penjelasan tentang hal-hal gaib dalam Al-Qur'an hanya memakai

i.

SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

segala bentuk 'perumpamaan', yang pada dasarnya tetaplah bukan berupa segala penjelasan dan fakta-kebenaran yang sebenarnya. Tujuan paling utamanya, agar secara batiniah, justru umat relatif cukup bisa merasakan suatu 'analogi-pendekatan' atas tiap faktakebenaran yang sebenarnya (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya atau al-Hikmah), melalui segala perumpamaan itu. Sehingga penjelasan tentang hal-hal gaib dalam Al-Qur'an, tanpa harus melalui segala penjelasan dan fakta-kebenaran yang relatif sangat rumit, terutama bagi umat-umat yang awam. Khusus penjelasan tentang esensi 'zat' Allah, bahkan justru tanpa memakai segala analogi yang bersifat materialistik. Bahkan sifat-sifat-Nya yang langsung ataupun tidak, terkait 'zat' Allah, hanyalah seperti: Maha Gaib (Maha Tersembunyi), Maha Hidup, Maha Kekal, Maha Awal, Maha Akhir dan wujud (ada). Sifat 'wujud' ini bukanlah karena 'zat' Allah bisa dilihat (secara lahiriah), ataupun bisa diketahui (secara batiniah), di dunia dan di akhirat, karena Allah Yang Maha Suci dan tersucikan dari segala sesuatu hal. Serta setiap manusia pasti menghadapi segala 'hijabtabir-pembatas' terhadap 'zat' Allah (termasuk para nabi-Nya). Sifat 'wujud' hanyalah sifat paling dasar dari segala sesuatu zat, yang menunjukkan zatnya memang 'ada' (esensi atau perbuatan zatnya). Keberadaan ‘zat’ Allah justru pasti hanya diketahui oleh manusia, dari keberadaan segala hasil ‘perbuatan’ Allah di alam semesta ini, pada aspek lahiriah dan batiniah. Sedang ‘esensi’ zat Allah justru pasti mustahil bisa diketahui dan dijangkaunya. Adanya pemahaman yang menganggap, bahwa Tuhan dari semua agama adalah sama. Pemahaman ini telah berkembang cukup luas pada saat ini, yang diduga bisa muncul karena perkembangan semua agama di dunia telah mengalami ‘stagnasi’, atau menuju ke keadaan yang relatif amat stabil, khususnya dari segi jumlah para pengikutnya. Hal inipun berbeda dari keadaan pada jaman dahulu di mana para pengikut agama-agama besar biasa pergi menjelajah ke seluruh penjuru dan pelosok dunia, untuk bisa menyebarkan agamanya, khususnya kepada umat manusia yang belum beragama, ataupun masih menganut agama-agama tradisional dan primitif. Maka teori-paham yang menyamakan hakekat wujud ketuhanan, menjadi suatu metode baru untuk menyebarkan agama, sekaligus


SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

579

mempertahankan jumlah pengikutnya sendiri. Hal ini sebenarnya amat menyesatkan, serta sesuatu usaha yang mengabaikan begitu saja perbedaan tauhid dari setiap agama. Sedangkan pemahaman atas ketuhanan (tauhid), justru menjadi dasar yang paling utama dari munculnya semua agama, yang memang berbeda-beda. Betul, memang hampirlah semua penganut agama pada dasarnya menyakini, adanya suatu Zat yang amat ideal, yang dianggapnya sebagai Tuhan. Namun fakta-kenyataannya, segala keterbatasan pengetahuan manusia justru mempengaruhi pemahaman tentang Tuhan, yang melahirkan agama-agama berdasarkan setiap bentuk pemahaman dan tingkat keidealan Tuhan, yang berbeda-beda. Baca pula uraian-uraian di bawah, tentang berbagai hijab-tabirpembatas antara manusia dan Allah. Persoalan yang paling utama, suatu perbedaan pemahaman yang relatif amat kecil saja atas sifat-sifat-Nya, yang berasal dari para pembawa agama-agama, secara sengaja (ada segala kepentingan pembawanya) dan tanpa sengaja (ada keterbatasan pengetahuan pembawanya), justru telah bisa melahirkan agama baru. Bahkan pada beberapa agama, bisa lahir akibat dari segala kepentingan dan keterbatasan pengetahuan pada para umat penganut agama itu sendiri (pemahaman umat berbeda dari pembawa asalnya). Bahkan perbedaan pemahaman atas sifat-sifat-Nya itu justru bisa amat mempengaruhi segala aspek keyakinan, kehidupan ataupun nasib umat penganutnya. Lebih khusus lagi, amat mempengaruhi terhadap kehidupan akhirat umat, yang justru bersifat hakiki dan kekal, sebagai tujuan akhir dari kehidupannya di dunia fana ini. Hal ini justru amat penting, sehingga antar umat beragama juga bisa saling berperang dan saling menuduh sebagai ‘kafir’. Dan hal-hal ini memang paling mudah tampak di permukaan. Namun di balik itu ada hal-hal yang jauh lebih penting lagi, yang lahir akibat dari perbedaan tentang Tuhan, Yang disembah oleh setiap umat beragama. Contoh sederhananya: “Tuhan Yang berkuasa” amatlah berbeda daripada “Tuhan Yang Maha berkuasa”. Pada tipe Tuhan yang pertama, hal ini misalnya bisa terjadi pada berbagai ragam jenis Fir’aun (para raja, para diktator dan tiran, penguasa imperium, dsb), yang telah disembah oleh umat berbagai agama tradisional, pada jaman dahulu.

580

SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

Dalam hal Tuhan tipe pertama ini, Tuhan tidaklah benar-benar berkuasa ‘mutlak’. Karena pada saat berada di luar pengetahuan Tuhannya, umatnya bahkan bisa berkehendak dan berbuat, yang tidak sesuai keinginan Tuhannya, ‘tanpa’ ada balasan sama sekali dari Tuhannya. Juga Tuhan tipe ini sama sekali tidak berkuasa, dalam segala sesuatu halnya. Secara sengaja ataupun tidak, umat-umat pengikut agama yang menyembah Tuhan tipe seperti ini, cenderung relatif amat mudah berbuat segala bentuk kekafiran, tanpa ada hukuman sama-sekali dari Tuhannya. Pada Tuhan tipe kedua (“Tuhan Yang Maha berkuasa”), seperti Yang dianut ataupun diyakini oleh umat Islam, justru merupakan Tuhan Yang Maha berkuasa atas segala sesuatu halnya di seluruh alam semesta ini, serta juga Tuhan Yang Maha mengetahui atas segala sesuatu halnya (lahiriah dan batiniah). Sehingga sama sekali mustahil ada sesuatu hal yang terlepas dari kekuasaan dan pengetahuan-Nya. Walau berbagai kalangan umat Islam sendiri memang masih memperdebatkan tentang hakekat dari kekuasaan dan pengetahuan-Nya itu, terutama jika dikaitkan dengan ‘kebebasan manusia’, akibat mereka memang belum bisa mendekati pemahamannya nabi Muhammad saw tentang Allah. Begitu pula setiap bentuk perbedaan pemahaman lainnya tentang sifat-sifat-Nya pada Asmaul Husna. Jika ada salah-satu saja dari sifat-sifat-Nya dikurangi ataupun diabaikan, sama halnya dengan mengurangi berbagai kemuliaan dan kesempurnaan-Nya. Sehingga amat sangat penting bagi setiap umat Islam, untuk bisa menjaga kelurusan dan kesempurnaan tauhidnya, terutama "tiada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa". Dan dari sifat "Maha Esa" ini, mestinya justru berkembang keyakinan dan pemahaman atas semua sifat-Nya lainnya pada Asmaul Husna secara ‘utuh’ (tidak terpisah-pisah atau tidak sepotong-sepotong). Baca pula poin a di atas tentang kemusyrikan, dan adanya ilahilah selain Allah secara batiniah. Hal yang cukup sering dipakai, sebagai jargon-slogan pada teoripaham penyamaan ketuhanan ataupun penyamaan agama di atas, misalnya "agama kita sama-sama menganut Tuhan Yang Maha Esa, yang juga berada di atas ‘langit’ sana" ataupun "tiap agama pada dasarnya pastilah sama-sama mengajarkan kebaikan kepada


SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

581

seluruh umat manusia". Berbagai jargon-slogan yang relatif amat menyesatkan itu, pada dasarnya suatu usaha untuk menyembunyikan atau mengaburkan ‘kemusyrikan’ pada agama-agama tertentu. Sedang setiap bentuk kemusyrikan amat diharamkan dalam agama Islam, serta beban dosanya amatlah besar. Setiap perbuatan dari orang-orang musyrik justru memang bukan ditujukan untuk bisa mengabdi kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan Sempurna, sehingga segala amal-kebaikan mereka justru tidak diterima-Nya (tidak mendapat pahala-Nya, atau sia-sia). "… . Mereka itu (orang-orang musyrik), amalannya menjadi siasia di dunia dan di akhirat. Dan mereka itulah orang-orang yang merugi." - (QS.9:69) "Yaitu orang-orang (kafir) yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka, bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya." - (QS.18:104) "Tidaklah pantas, orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedangkan mereka mengakui, bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka itu kekal (tinggal) di dalam neraka." - (QS.9:17) "… . Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya (agama Islam), lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal (tinggal) di dalamnya." (QS.2:217) "Barangsiapa mencari agama, selain daripada agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (segala amalan) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi." - (QS.3:85) Hal yang penting pula diketahui, bahwa kesempurnaan dari suatu agama relatif amatlah berbeda daripada kesempurnaan dari para umat pengikutnya, karena manusia memang pasti bersifat relatif, sedang agama-Nya justru bersifat universal. Dalam menilai sesuatu agama, relatif tidak relevan apabila dinilai ataupun dibandingkan dari segala hal yang terjadi pada para umat pengikutnya. Hanyalah para nabi-Nya yang telah menyampaikan ajaran agama-Nya, yang telah diketahui relatif ‘sempurna’, atau relatif telah terjaga dari setiap perbuatan dosa. Di lain pihaknya, para umat pengikutnya relatif ‘jauh’ dari kesempurnaan tersebut.

582

SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

Maka pernyataan seperti, "banyak kebaikan yang dilakukan para pengikut berbagai agama, namun ada pula kekurangan mereka, maka berbagai agama itu relatif serupa, dan semua bisa diikuti", adalah pernyataan yang amat tidak relevan dan menyesatkan. Kelompok manusia yang terhijab dari mengenal Allah Terkait dengan persoalan pemahaman umat manusia terhadap sifat-sifat-Nya di atas, dalam bukunya yang berjudul "Misykat cahayacahaya" (hal.: 95-114), Imam Al-Ghazali telah pula mengelompokkan tingkatan pencapaian manusia di dalam memahami cahaya kebenaranNya. Dengan sendirinya, hal ini berupa sesuatu tingkatan hijab (tabir, pembatas atau penutup) yang dihadapi oleh manusia, dalam mengenal Allah (atau dalam memahami sifat-sifat-Nya). Tingkatan manusia yang terkait hijab terhadap Allah itu dibagi oleh Imam Al-Ghazali menjadi 4 kelompok, yaitu: - Manusia yang terhijab oleh kegelapan murni semata-mata. - Manusia yang terhijab oleh cahaya, yang tercampuri pula dengan kegelapan. - Manusia yang terhijab oleh cahaya murni semata-mata. - Manusia yang menjalani pendakian atau mi'raj terakhir. Sedang uraian atas tiap kelompok itu secara ringkas diungkap pada Tabel 11 berikut. Tabel 11: Tingkatan hijab antara manusia dan Allah

Berbagai tingkatan ‘hijab’ antara manusia dan Allah A. Manusia yang terhijab oleh kegelapan murni

Berupa orang-orang mulhid (atau ateis) yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Sehingga kehidupan dunia lebih diutamakannya. Mereka bisa dibagi menjadi: 1. Orang yang menyimpulkan bahwa alam (nature) adalah penyebab terwujudnya segala sesuatu (bukan Allah). 2. Orang yang disibukkan oleh urusan dirinya sendiri, dan tidak sempat memikirkan Ilah atau Tuhan Penyebab kejadian dirinya dan alam semesta ini. Hijabnya adalah diri dan hawa nafsunya sendiri, yang telah tertanam sifat-sifat amat rendah dan gelap. Mereka dibagi lagi menjadi: a) Orang yang beranggapan bahwa tujuan utama hidup adalah pemenuhan ambisi, pelampiasan kesenangan duniawi dan pemuasan hawa nafsu (seks, makanan, minuman dan pakaian). Keberhasilan duniawi adalah puncak kebahagiaannya. b) Orang yang beranggapan bahwa tujuan utama hidup adalah pemenuhan sifat hewani-buas (penaklukan, penguasaan, penangkapan dan pencabutan


SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

c)

d)

583

nyawa). Pengejaran buruannya adalah puncak kebahagiaannya. Orang yang beranggapan bahwa tujuan utama hidup adalah kekayaan dan kemakmuran, karena harta-benda adalah sarana pemuasan hawa nafsu. Harta-benda ditimbun bagi dirinya sendiri, setelah dicarinya dengan segala daya-upaya sepanjang hidupnya (dengan membanting tulang dan menantang segala macam bahaya). Orang yang beranggapan bahwa tujuan utama hidup adalah besarnya pamor pribadi, luas kemasyhuran, serta penambahan jumlah pengikut dan pengaruh.

584

SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

2.

B. Manusia yang terhijab oleh cahaya, yang tercampuri pula dengan kegelapan

Mereka ini dibagi menjadi: 1. Orang-orang yang terhijab oleh cahaya yang tercampur kegelapan inderawi. Mereka dibagi lagi menjadi: a) Kaum Penyembah Berhala. Mereka mengetahui bahwa ada Tuhan, yang mestinya lebih diutamakan di atas dirinya sendiri, dan yang jauh lebih mulia dan berharga dari segalanya. Hijabnya adalah kegelapan indera. Mereka ini menyembah ilah berupa patung yang sangat indah dari emas, permata, dsb. b) Orang yang percaya mempunyai Tuhan, dan Tuhan adalah ‘hal yang paling indah dari segala sesuatu’. Hijabnya adalah cahaya keindahan, disertai kegelapan indera. Tuhan mereka berupa ‘keindahan mutlak dan alami’ (bukan buatan manusia), seperti kuda bagus, pohon indah, wanita cantik, dsb. c) Orang yang beranggapan bahwa Tuhan bersifat nurani zatnya (cahayawi), cemerlang bentuknya, berkuasa, berwibawa dan tidak mungkin bisa didekati. Hijabnya adalah cahaya kecemerlangan dan kekuasaan, disertai kegelapan indera. Tuhan mereka berupa ‘api’. d) Orang yang beranggapan bahwa Tuhan bersifat mulia dan tinggi, sangat indah, cemerlang, serta.manusia berada di bawah kekuasaannya. Hijabnya adalah cahaya keindahan, kecemerlangan, kemuliaan, ketinggian dan kekuasaan, disertai kegelapan indera. Tuhan mereka berupa planet, bintang, dsb. e) Orang yang beranggapan bahwa Tuhan tidak terkait suatu yang kecil-besar dalam ‘jawahir nuraniah’-nya (substansi cahayawinya). Hijabnya adalah cahaya kebesaran, disertai kegelapan indera. Tuhan mereka berupa ‘matahari’, yang dianggap terbesar dari semuanya. f) Orang yang beranggapan bahwa tidak patut ada sekutu bagi Tuhan dalam kecahayaan. Mereka menyembah "cahaya mutlak" yang menghimpun segala cahaya (kebaikan), lalu disebut sebagai Tuhan seru sekalian alam semesta. Tetapi segala kejahatan di dunia ini, mereka anggap tidak pantas dinisbatkan kepada Tuhan, dan dianggap ada pertentangan antara Tuhan

3.

cahaya-kebaikan (Yazdan) dan Tuhan kegelapan-keburukan (Ahraman), dalam menguasai alam semesta. Maka mereka menggangap ada dua Tuhan. Orang-orang yang terhijab oleh sebagian dari cahaya yang disertai oleh kegelapan khayali. Mereka bisa melampaui indera, tetapi juga tidak mampu melampaui daya khayal. Maka ia menyembah "sesuatu Maujud yang duduk di atas ‘Arsy (singgasana)". Kelompok tingkat terrendahnya beranggapan bahwa Tuhan berjisim (bertubuh). Kelompok tingkat tertingginya menafikan bentuk jisim Tuhan, kecuali tentang bersemayamnya Tuhan di suatu arah tertentu yang bisa ditunjuk atau dikhayalkan, yakni "di atas". Orang-orang yang terhijab oleh cahaya-cahaya Ilahiah yang disertai oleh segala kesimpulan akal, berdasar perkiraan analogis yang keliru (diliputi kegelapan). Mereka menyembah Tuhan yang bersifat hidup, mendengar, berkuasa dan berhendak, mengetahui, serta tersucikan dari mendiami arah manapun. Tetapi mereka memahami sifat-sifat ini sesuai dengan sifat-sifat manusiawi pada manusia. Ada mereka yang menyatakan, bahwa firman-Nya terdiri dari huruf dan suara. Ada yang menyatakan, bahwa firman-Nya berupa "bisikan hati" (tanpa huruf dan tanpa suara). Berbagai pemahaman seperti ini telah berwujud berbagai aliran-mazhab yang cukup terkenal dalam agama Islam.

C. Manusia yang terhijab oleh cahaya-cahaya murni 1.

2.

3.

Merekapun terdiri dari berbagai aliran, yang bisa dibagi lagi menjadi: Orang-orang yang benar-benar memahami makna sifat-sifat-Nya berdasar pentahkikan (bukti). Mereka sadar, bahwa sifat-sifat kalam (firman), iradah (kehendak), qudrah (kemampuan, kecakapan), ilm (pengetahuan) dsb, pada Allah, tidak sama dengan sifat-sifat manusia. Sehingga mereka enggan mendefinisikan Allah dengan sifat-sifat itu, kecuali tentang hubungan antara Allah dan zat ciptaan-Nya (seperti: Allah adalah Yang menggerakkan dan mengatur alam semesta ini). Orang-orang yang sadar tentang adanya kemajemukan di alam semesta ini, dan bahwa "penggerak" alam semesta ini adalah para malaikat, yang tak-terhitung jumlahnya. Maka ar-Rabb (Tuhan Yang Maha pengatur dan pemelihara) adalah Penggerak jisim (benda) yang paling utama, dan wajib dinafikan dari segala kemajemukan. Orang-orang yang telah beranggapan bahwa perbuatan malaikat “menggerakkan benda-benda secara langsung” mestinya suatu bentuk ibadat, ketundukan, kepatuhan dan ketaatan hamba-Nya kepada-Nya. Maka Ar-Rabb adalah Al-Mutha’ (yang ditaati oleh segala penggerak), atau Penggerak utama atas segala hal dengan segala tingkatan bagiannya, dengan mengeluarkan perintah-perintah (bukanlah dengan menanganinya secara langsung).


SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

585

D. Manusia yang menjalani pendakian / mi'raj terakhir

Mereka ini berada di akhir perjalanan (al-washilun), karena telah memahami sesuatu rahasia tersembunyi, bahwa al-Mutha' itupun (yang ditaati oleh segala penggerak) masih berlawanan dengan sifat Keesaan murni dan Kesempurnaan mutlak. Mereka beralih dari ‘Yang menggerakkan lelangit’ serta ‘Yang memerintahkan penggerakannya’; ke sesuatu Maujud Yang Maha Qudus dan Yang Maha tersucikan dari segala hal yang bisa terjangkau oleh mata lahiriah dan batiniah makhluk-Nya. Ada kelompok yang mengalami sesuatu keadaan yang menyebabkan terbakarnya segala hal yang pernah diserap oleh penglihatannya, lalu ia terlarut dan luluh, sambil menatap ‘Keindahan’ dan ‘Kekudusan’, di samping menatap dirinya sendiri, dalam ‘keindahan yang diraihnya’, dengan mencapai ke Hadhrat Ilahiyah (amat dekat ke hadapan ‘Arsy-Nya Allah, Yang Maha Mengetahui). Ada pula kelompok "yang khusus di antara yang khusus" (khawas-ul-khawas), yang telah terbakar, terlarut dan luluh sama sekali, atau tenggelam ke gelombang ‘Kekuatan Keagungan’. Perhatiannya semata hanya kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Benar (dirinya sendiri dan segala hal lainnya tertinggalkan). Dalam keadaan batiniah amat luar biasa dan halus ini (dzauq & haal), merekapun mengalami keadaan Ittihad (menyatu dengan-Nya, berupa penyatuan ‘batiniah’ namun bukan penyatuan ‘zat’). Dan mereka telah meraih makrifat tentang kekudusan, serta pensucian sifat keagungan Allah sesuci-sucinya. Termasuk di antara mereka adalah para nabi-Nya.

(dikutip dari buku "Misykat cahaya-cahaya", Imam Al-Ghazali, 1993: 95-114)

"Allah, Pelindung bagi orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka. Mereka kekal (tinggal) di dalamnya." - (QS.2:257) "Alif laam raa. (Al-Qur’an ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepada-mu, supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita, kepada cahaya terang-benderang atas ijin Rabb-mereka, (yaitu) menuju jalan Rabb Yang Maha Perkasa, lagi Maha Terpuji." - (QS.14:1) Akhirnya dari tabel di atas bisa disimpulkan, "bahwa wujud atau hakekat dari 'hijab-tabir-pembatas' antara setiap manusia (ataupun setiap makhluk-Nya) terhadap Zat Allah, pada dasarnya berupa segala bentuk 'pengetahuan' tentang berbagai kebenaran-Nya di seluruh alam semesta ini (pada aspek lahiriah dan batiniah, serta bersifat mutlak dan kekal).". Dan setiap lapisan 'hijab-tabir-pembatas' itupun pada dasarnya berupa setiap 'tingkat kebenaran' pengetahuan pada makhluk-Nya, dari hasil mengamati, mempelajari dan memahami tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaaan-Nya di alam semesta. Lapisan terrendahnya disebut di

586

SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

atas berupa pengetahuan pada orang yang terhijab oleh kegelapan murni. Sedang lapisan tertingginya berupa pengetahuan pada orangorang yang menjalani pendakian atau mi'raj terakhir (termasuk para nabi-Nya). Tentunya jumlah lapisan 'hijab' inipun justru sangat banyak dan ada pada 'setiap' tingkatan pengetahuan atas sesuatu hal tertentu. Makin tinggi tingkat kebenaran dari seluruh pengetahuan pada seorang manusia, maka ia bisa disebut pula makin dekat ke hadapan 'Arsy-Nya. Sedang 'Arsy-Nya adalah 'simbol' tempat beradanya atau tercatatnya segala sesuatu kebenaran-Nya (tempat kitab mulia dan nyata, 'Lauh Mahfuzh'), bukanlah tempat keberadaan yang sebenarnya bagi 'zat' Allah, ataupun bukanlah ‘kursi Allah’ yang sebenarnya. Seperti ketika peristiwa Isra' Mi'raj, nabi Muhammad saw telah bisa berada sangat dekat ke hadapan 'Arsy-Nya, karena Nabi ketika itu memang sedang memperoleh petunjuk-Nya, yang nilai kemuliaannya sangat tinggi, yang berupa berbagai hikmah dan hakekat kebenaranNya (al-Hikmah). Hal ini tentunya bisa tercapai setelah Nabi sambil dituntun pula oleh malaikat mulia Jibril. Sifat-sifat-Nya tersebar dalam segala hal di alam semesta Seperti pada berbagai uraian di atas, bahwa seluruh sifat-Nya pada Asmaul Husna terdapat pada segala halnya di alam semesta, dari hasil berbagai pemahaman nabi Muhammad saw, setelah mempelajari tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta. Namun hal yang perlu diketahui pula oleh umat Islam, bahwa ‘setiap’ sifat-Nya pastilah mustahil bisa terdapat pada "segala halnya". Juga jika ada terdapat pada "sesuatu halnya", maka pastilah mustahil bisa terdapat pada "segala aspeknya". Maka konteks keberadaan sifatsifat-Nya semestinya bisa dipahami dengan jelas. Ringkasnya, seluruh sifat-Nya pada Asmaul Husna 'tersebar' dalam segala hal dan segala aspeknya di seluruh alam semesta ini. Pada suatu ‘hal’ bisa terdapat berbagai macam 'aspek', seperti misalnya dalam hal perbuatan manusia, aspek-aspeknya antara lainnya bisa berupa: - Siapa yang mulai berkehendak dan berbuat. - Daya siapa yang untuk memicu, memulai atau mengawali berbuat, serta daya siapa yang mewujudkannya. - Siapa yang bertanggung-jawab, siapa yang menuntutnya dan apa bentuk dari tanggung-jawabnya. - Siapa yang menerima efeknya dan apa bentuknya. - Apa saja segala keadaan awal dan keadaan akhirnya.


SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

-

587

Siapa yang menyiapkan segala keadaan awalnya. Siapa yang memberikan segala keadaan akhirnya. Bagaimana proses pemberian segala keadaan akhirnya. Siapa yang menilainya dan apa bentuk penilaiannya. dsb.

Dengan memilah-milahnya seperti itu, maka akan makin bisa diperkirakan pada aspek mana saja peranan Allah pada sesuatu halnya (tidaklah mesti pada semua aspeknya), serta pada aspek mana peranan makhluk-Nya, walau tanpa perlu dijelaskan secara lengkap perananperanan itu, beserta proses detailnya (cukup jika hanya bisa dipahami secara garis besarnya saja). Maka memang Allah Maha kuasa dan Maha menentukan atas ‘sesuatu hal’, namun tidaklah mesti pada ‘segala aspek’-nya. Misalnya pada setiap amal-perbuatan manusia, antara lain: - Aturan-Nya pasti membatasi setiap hal yang bisa dilakukan oleh manusia. - Hanyalah daya dan perbuatan Allah yang menjadikan manusia bisa mewujudkannya (manusia pada dasarnya hanyalah memanfaatkan daya dan perbuatan Allah, secara sadar ataupun tidak). Maka segala keadaan atau hasil akhirnya, justru hanya ditentukan oleh Allah. - Aturan-Nya mengatur setiap proses pemberian balasan-Nya yang setimpal (lahiriah dan batiniah), ‘setiap saatnya’ pada saat sedang dilakukan sampai saat selesainya dilakukan. Maka Allah tidaklah berbuat sekehendak saat menentukan segala pemberian balasan-Nya (ada aturan-Nya yang jelas). Segala balasan-Nya sekaligus pula sebagai bentuk tanggung-jawab setiap manusia, dan bentuk penilaian dari Allah yang setimpal (dan tercatat di Lauh Mahfuzh). Dsb. Namun hanyalah kebebasan kehendak dan daya manusia yang memicu, memulai atau mengawali setiap perbuatannya, serta hanyalah usaha manusia yang menyiapkan berbagai keadaan awal sebelum dan selama perbuatannya dilakukan. Hal ini tentunya di samping berbagai keadaan awal dari pengaruh lingkungan di sekitarnya (sebagai sesuatu bentuk rahmat ataupun ujian-Nya). Pemilahan yang serupa mestinya juga dilakukan atas segala hal lainnya di alam semesta. Sedang dari segala hal itulah, terutama yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’ (tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaanNya), bahkan nabi Muhammad saw bisa memahami seluruh sifat-Nya pada Asmaul Husna

588

SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

Sifat-sifat-Nya yang ‘seolah-olah’ saling bertentangan Dengan adanya amat besar jumlah ataupun bentuk hijab (tabir, pembatas atau penutup), antara cahaya kebenaran-Nya dan manusia, maka ada sebagian dari sifat-sifat-Nya yang seolah-olah dianggap bisa saling bertentangan, menurut penilaian ‘relatif’ manusia. Padahal jika telah dipahami hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (al-hikmah), maka seluruh sifat-Nya pada Asmaul Husna mustahil saling bertentangan. Bukti yang sederhananya bahwa setiap sifat-Nya justru bersifat ‘mutlak’ (pasti terjadi) dan ‘kekal’ (pasti konsisten). Padahal dua hal yang bersifat mutlak dan kekal, yang ‘seolah-olah’ ada tampak saling bertentangan, bahkan mustahil bisa saling bertemu secara bersamaan pada "sesuatu hal dan sesuatu aspeknya". Sekali lagi seperti uraian di atas, konteks penempatan atau keberadaan setiap sifat-Nya semestinya bisa benar-benar dipahami dengan jelas. Hal ini justru membuktikan, bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dan mustahil ada sesuatu zat yang bisa memiliki suatupun sifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’, selain milik Zat Allah sendiri (mustahil ada sesuatu zat yang bisa menyaingi kemutlakan kekuasaan Allah). Bahwa alam semesta ini justru mustahil bisa tetap tegak-kokoh sampai saat ini, jika ada banyak Tuhan Yang bisa memiliki kekuasaan yang setara, tetapi juga bisa saling bertentangan dalam mengatur alam semesta ini secara bersama-sama. Contoh secara sederhananya, pada saat Allah sedang memberi hukuman kepada seseorang manusia, atas sesuatu amal-keburukannya (sesuai dengan sifat-Nya, Maha memberi balasan atau Maha memberi hukuman), maka pada saat yang ‘sama’, mustahil bisa diketahui sifatNya Maha pengampun dan penyayang. Karena konteks pengampunanNya justru hanya bisa terjadi ‘setelah’ manusianya berbuat sesuatu hal yang lain, yaitu bertaubat dengan sebenar-benarnya kepada-Nya. Maka hal yang paling penting diketahui dalam hal ini, bahwa sifat-Nya mestinya bisa benar-benar dipahami konteks keberadaannya, dalam sesuatu halnya di seluruh alam semesta ini. Serta mestinya bisa makin mendekati pemahaman nabi Muhammad saw, tentang seluruh sifat-Nya pada Asmaul Husna, agar bisa membuktikan, bahwa seluruh sifat-Nya memang mustahil bisa saling bertentangan. Berbagai contoh dari sifat-sifat-Nya yang ‘seolah-olah’ secara sekilas tampak saling bertentangan, antara lain ditunjukkan pada Tabel 12 berikut.


SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

589

Tabel 12: Beberapa sifat-Nya yang seolah-olah saling bertentangan

Beberapa pasangan sifat-sifat-Nya, yang sekilas ‘seolah-olah’ tampak saling bertentangan Al-Qaabidl (Yang Maha Menyempitkan) Al-Maani' (Yang Maha Menghalangi) Al-Awwal (Yang Maha Awal) Al-Mubdi' (Yang Maha Memulai) Al-Fattaah (Yang Maha Pembuka) Al-Mu'izz (Yang Maha Memuliakan) Ar-Raafi' (Yang Maha Mengangkat derajat) Al-Muta'aaliy (Yang Maha Meninggikan) As-Salam (Yang Maha Memberi Keselamatan) Al-Muqtadir (Yang Maha Kuasa) Al-'Aziz (Yang Maha Kuasa) Al-Qadiir (Yang Maha Menentukan atau Maha berkehendak) Al-Muhiith (Yang Maha Menguasai) Al-Maalik (Yang Maha Menguasai dan Memiliki) Adh-Dhaarr (Yang Maha Memberi Hukuman) Al-Muntaqim (Yang Maha Memberi Balasan) Adz-Dzuntiqaam (Yang Maha Menetapkan Pembalasan) Al-Muhyi (Yang Maha Menghidupkan) Al-Baathin (Yang Maha Gaib)

Al-Jabbaar (Yang Maha Perkasa) Al-Qahhar (Yang Maha Perkasa) Al-Muqaddim (Yang Maha Mendahulukan) Al-Baari' (Yang Maha Mengadakan)

Al-Baasith (Yang Maha Memperluas) Al-Waasi' (Yang Maha Memperluas) Al-Aakhir (Yang Maha Akhir)

Al-Mudzill (Yang Maha Menghinakan) Al-Khaafidl (Yang Maha Merendahkan)

Al-'Adl (Yang Maha Adil) Al-Muqsith (Yang Maha Adil) Al-Hakam (Yang Maha Bijaksana) Al-Hakiim (Yang Maha Bijaksana) Al-Muhaimin (Yang Maha Memelihara) Al-Hafiidh (Yang Maha Menjaga) Al-Ghafuur (Yang Maha Pengampun) Al-Ghaffaar (Yang Maha Pengampun) Ar-Rahiim (Yang Maha Penyayang) Al-'Afuww (Yang Maha Pengampun) Ar-Ra'uuf (Yang Maha Melimpahkan Kasih Sayang) Al-Mumiit (Yang Maha Mematikan) Az-Zhahir (Yang Maha Nyata) Adh-Dhahir (Yang Maha Menjelaskan) An-Nuur (Yang Maha Penerang) Al-Khabiir (Yang Maha Memberi Kabar) Al-Lathiif (Yang Maha Halus) Al-Badii' (Yang Maha Pencipta Keindahan) Al-Muakhkhir (Yang Maha Mengemudiankan) Al-Mu'iid (Yang Maha Mengembalikan)

Penutup tentang sifat-sifat ciptaan-Nya Dari uraian di atas, bahwa penciptaan seluruh alam semesta ini dan segala isinya, juga mengikuti atau melalui sunatullah, yang berupa segala aturan atau rumus proses kejadian yang ‘pasti’ dan ‘jelas’, serta bersifat amat sangat teratur, alamiah, halus, tidak kentara, dan juga

590

SIFAT-SIFAT CIPTAAN-NYA

seolah-olah terjadi begitu saja. Lebih ringkasnya, sunatullah itu justru bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’. Sedang dalam Al-Qur’an juga disebut, bahwa penciptaan alam semesta ini dan kehidupan umat manusia di dalamnya, adalah hasil perwujudan dari Fitrah Allah (sifat-sifat terpuji Allah) (pada QS.30:30). Hal inilah yang dimaksud dalam Al-Qur’an bahwa tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya bisa dipelajari oleh umat manusia, dari segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian di seluruh alam semesta. Karena pada sunatullah itulah (mengatur segala proses penciptaan atau kejadian atas segala zat ciptaan-Nya), justru terkandung di dalamnya segala proses yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’, yang menunjukkan tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya, serta tentunya sekaligus pula menunjukkan seluruh sifat-Nya pada Asmaul Husna. Sedang dari sifat 'pembeda' pada segala zat ciptaan-Nya, yang pada dasarnya hanya tersusun dari Atom-materi dan Ruh, khususnya justru menunjukkan kekayaan khasanah segala zat ciptaan-Nya, yang sangat kaya jenis dan sifatnya. Maka tinjauan pembahasan pada bab ini lebih terfokus kepada sifat-sifat zat ciptaan-Nya, yang justru telah diberikan-Nya sejak awal penciptaan alam semesta ini (yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’). Sifat-sifat inipun lebih dikenal sebagai sifat-sifat alamiah pada setiap zat ciptaan-Nya, yang sama sekali justru bukan hasil pengaruh dan peranan dari segala zat makhluk-Nya.

Judul sub-sub-bab berikutnya dan keterangan ringkasnya o Sunatullah (sifat proses). Semua sifat khas atas tiap zat ciptaan-Nya, tentang proses yang dialaminya pada berbagai keadaan tertentu. Termasuk setiap proses interaksi antar zat ciptaan-Nya. Dan diuraikan lagi pada subbab sebagai berikut: - Berbagai penerapan fungsi sunatullah - Usaha dan jalan hidup makhluk ciptaan-Nya - Jalan-Nya yang lurus - Takdir-Nya o Sifat pembeda ciptaan-Nya (ciri khas). Semua sifat khas atas tiap ciptaan-Nya, yang melekat statis dan membedakannya dari ciptaan-Nya lainnya. Termasuk perubahan sifat ini terhadap perubahan keadaannya.


Sunatullah (sifat proses)

591

"Sebagai sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu). Dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah." (QS. AL-AHZAB:33:62) "Dan memberinya rejeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (QS. ATH-THALAAQ:65:3)

VI.A.

Sunatullah (sifat proses)

Sunatullah, perbuatan atau tindakan-Nya di alam semesta Sifat proses yang ‘sesungguhnya’ (sifat proses ‘mutlak’) pada segala zat ciptaan-Nya di seluruh alam semesta (nyata dan gaib, hidup dan mati), pada dasarnya diciptakan-Nya. Sedang manusia hanya bisa memahami tentang Allah, melalui segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian di alam semesta ini (tanda-tanda kekuasaan-Nya). Maka sifat proses ‘mutlak’ itu adalah hasil perwujudan sifat perbuatan Allah di alam semesta (disebut pula sebagai ‘Sunnah Allah’ atau ‘sunatullah’). Sedangkan penciptaan seluruh alam semesta itu sendiri, adalah hasil perwujudan ‘Fitrah Allah’ (sifat-sifat terpuji Allah), maka dalam sunatullah itu terkandung pula segala proses yang bisa menunjukkan berbagai sifat terpuji Allah (tanda-tanda kemuliaan-Nya). Selain bersifat ‘mutlak’, justru segala hal yang terkait dengan Allah juga bersifat ‘kekal’, karena segala hal tentang Allah mustahil bersifat tidak konsisten, berubah-ubah, tidak jelas, dsb. Maka Sunnah Allah atau sunatullah itu justru bersifat ‘kekal’ (tidak pernah berubah-

592

Sunatullah (sifat proses)

ubah). Sunatullah juga merupakan salah-satu dari ketetapan-Nya yang bersifat ‘kekal’ (atau segala kebenaran-Nya), dan telah ditetapkan-Nya sebelum penciptaan alam semesta, serta telah tercatat pula pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi 'Arsy-Nya, yang amat agung dan mulia. Sunatullah mengatur segala proses di alam semesta Bahwa sunatullah hanya bisa dipahami melalui segala proses yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’ pada segala zat ciptaan-Nya di alam semesta ini, maka sunatullah juga bisa disebut sebagai ‘hukum, aturan atau ketetapan-Nya’ yang pasti berlaku ‘mutlak’ (pasti terjadi), ‘kekal’ (pasti konsisten) dan ‘sama’ (pasti adil) bagi segala zat ciptaan-Nya. Sehingga sunatullah itu mengatur segala proses interaksi antar segala macam zat-zat ciptaan-Nya di alam semesta ini (makhluk hidup dan benda mati, nyata dan gaib), ataupun segala proses kejadian yang dialami oleh setiap zat ciptaan-Nya itu sendiri (berupa segala proses perubahan keadaan internal dan eksternalnya). Ringkasnya, sunatullah yang mengatur segala proses kejadian di seluruh alam semesta ini (lahiriah dan batiniah, bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’), sejak awal penciptaan alam semesta sampai akhir jaman. Serta sunatullah itu berupa sejumlah tak-terhitung aturan atau rumus proses kejadian di seluruh alam semesta ini, dari rumus yang amatlah sederhana sampai yang amatlah kompleks. Antar rumus-rumus itupun juga bisa saling terkait dengan amat sangat kompleks dan sempurna. Hal ini menunjukkan sifat-sifat Allah, Yang Maha Sempurna, Maha Mengatur dan Maha Menguasai dan meliputi segala sesuatu. Sunatullah berlaku sesuai segala keadaan zat ciptaan-Nya Sebagai salah-satu ketetapan-Nya yang Maha sempurna, maka tiap rumus proses kejadian pada sunatullah, pastilah dipertimbangkan segala keadaan pada tiap zat ciptaan-Nya, yang mempengaruhi proses itu, termasuk segala keadaan paling sederhana atau kecil sekalipun. Segala keadaan pada tiap zat ciptaan-Nya bisa meliputi: aspek internal (dalam diri tiap zat ciptaan-Nya) dan eksternal (dari pengaruh lingkungan sekitarnya); aspek lahiriah (nyata-fisik-material di dunia) dan batiniah (gaib-moral-spiritual di akhirat); dsb. Tentunya tiap ‘jenis’ zat ciptaan-Nya mengalami ‘sekumpulan’ sunatullah-nya masing-masing yang berbeda-beda, karena ‘jenis’ itu sendiri adalah salah-satu bagian dari segala keadaan pada zat ciptaanNya. Berbagai jenis zat ciptaan-Nya, antara lain: makhluk hidup dan benda mati; makhluk hidup nyata dan gaib; manusia (pria dan wanita), hewan (jantan dan betina) dan tumbuhan; sel; dsb.


Sunatullah (sifat proses)

593

Hal ini menunjukkan sifat-sifat Allah, Yang Maha Mengetahui dan Maha Menguasai dan meliputi segala sesuatu. Sunatullah mengatur proses pemberian balasan-Nya Sunatullah (aturan-Nya) juga termasuk mengatur segala proses pemberian balasan-Nya ‘langsung’ (pahala, beban dosa, azab, rahmat, dsb), atas segala hasil ujian atau proses penggodokan manusia, ketika manusianya sedang hidup di dunia. Walau balasan-Nya yang terakhir dan telah disempurnakan-Nya pasti diberikan-Nya di Hari Kiamat. Proses pemberian segala bentuk balasan-Nya (secara lahiriah dan batiniah), melalui rumus proses yang bersifat pasti dan jelas, yang di dalamnya justru pasti mempertimbangkan tiap keadaan, yang bisa mempengaruhi tiap amal-perbuatan makhluk-Nya (seperti: niat, berat beban ujian-Nya, tingkat keterpaksaan, besar tanggung-jawab, tingkat kesadaran atau pengetahuan, dsb). Proses pemberian segala balasanNya juga pasti berlaku adil (pasti setimpal sesuai tiap amal-perbuatan makhluk-Nya). 51) Bahkan tiap proses pemberian balasan-Nya melalui sunatullah, mustahil bersifat ‘tidak adil’ dan ‘sewenang-wenang’. Karena segala sesuatu bisa disebut ‘tidak adil’, jika pengaturannya bersifat relatif, berubah-ubah, tidak pasti terjadi ataupun tidak konsisten, sebaliknya pengaturan melalui sunatullah justru bersifat ‘mutlak’ (pasti terjadi) dan ‘kekal’ (pasti konsisten atau tidak berubah-ubah). Walau bersifat ‘mutlak’, Allah juga tidak bisa disebut bersikap ‘sewenang-wenang’, karena sunatullah justru bersifat ‘kekal’. Bahkan sunatullah itu telah ditetapkan-Nya sebelum penciptaan alam semesta ini (bahkan sebelum penciptaan umat manusia di dalamnya), dan tidak pernah berubah-ubah sampai akhir jaman, maka Allah justru mustahil bisa disebut bersikap ‘sewenang-wenang’ kepada tiap umat manusia, ataupun kepada tiap makhluk ciptaan-Nya lainnya. Hal inipun menunjukkan sifat-sifat Allah, Yang Maha Adil, Maha Arif dan Bijaksana. Sunatullah bersifat mutlak dan memaksa Bahwa segala zat ciptaan-Nya pasti mengikuti ataupun tunduk kepada aturan-Nya (sunatullah), dan pasti mustahil bisa melanggarnya (bahkan iblis dan orang paling kafir sekalipun), tetapi memang belum seluruh umat manusia bisa menyadari hal ini. Dan hal yang umumnya terjadi adalah, tiap manusia bisa melanggar anjuran, perintah ataupun larangan-Nya secara sadar ataupun tidak. Walaupun tentunya pasti ada hukuman-Nya baginya (sangat ringan ataupun sangat berat), jika tidak

594

Sunatullah (sifat proses)

mengikuti tiap perintah ataupun larangan-Nya itu. Bahwa sunatullah atau sunnah Allah, perbuatan-Nya, tindakanNya, kehendak-Nya, aturan-Nya, hukum-Nya, ketentuan-Nya ataupun ketetapan-Nya di alam semesta, adalah hal-hal yang bersifat ‘mutlak’ (pasti terjadi), atau memiliki daya paksa kepada tiap zat ciptaan-Nya. Sedang redha-Nya, anjuran-Nya, perintah-Nya ataupun larangan-Nya, sebaliknya lebih bersifat saran dan anjuran yang justru tidak memaksa dan tidak mengikat, hanya untuk menguji keimanan tiap makhluk. 52) Segala sesuatu hal yang telah diperintah-Nya ataupun dilarangNya untuk dilakukan oleh tiap umat manusia, pada dasarnya sematamata hanya demi kepentingan dan kemuliaan manusianya sendiri, dan bahkan sama sekali bukan demi kepentingan Allah. Bahkan jika tidak ada seorang umat manusiapun yang mau beriman, justru Allah pasti tetap berada dalam segala kemuliaan dan kekuasaan-Nya. Segala anjuran-Nya bagi tiap manusia agar sebanyak mungkin memuji dan menyembah Allah, semuanya hanyalah semata-mata agar bisa terbentuk keadaan batiniah ruh manusianya, yang selalu tetap bisa menyadari hakekat tujuan dari diciptakan-Nya seluruh alam semesta dan kehidupan manusia di dalamnya. Juga agar ia tetap bisa menjalani kehidupannya berdasar kesadaran itu, juga bisa mencapai keuntungan yang paling baik, hakiki dan kekal (segala kemuliaan hidup di Surga). Tindakan-Nya di alam semesta, pasti melalui sunatullah Sunatullah (aturan-Nya) adalah bentuk perwujudan dari segala kehendak dan tindakan-Nya di alam semesta, karena Allah mustahil berkehendak dan bertindak dengan melanggar aturan-Nya, yang telah ditetapkan-Nya sendiri. Segala kejadian yang terjadi di alam semesta (di luar hasil dari perbuatan para makhluk-Nya), pasti mengikuti suatu aturan atau rumus proses kejadian tertentu, yang pasti dan jelas (atau pasti mengikuti sunatullah). Tidak ada sesuatu yang "turun dari langit" atau tiba-tiba terjadi dengan begitu saja, seperti sulap. Dengan memahami bagaimana cara sunatullah bekerja, maka bisa diketahui, bahwa segala tindakan-Nya di alam semesta ini bersifat pasti, jelas, amat sangat teratur, konsisten, alamiah, halus, terselubung dan tidak kentara, dan ‘seolah-olah’ terjadi begitu saja. Dalam bahasa yang lebih dikenal, segala tindakan-Nya bisa disebut sangat alamiah, keniscayaan, tuntutan jaman, kehendak sejarah, sesuai kodrat ataupun hukum alam, dsb. Namun dengan mencermati sunatullah itu pula, maka akan bisa tampak relatif ‘jelas’, bahwa segala tindakan-Nya di alam semesta ini,


Sunatullah (sifat proses)

595

hanya mengikuti atau melalui sunatullah. Tentunya hal-hal yang amat jelas dan mudah dipahami adalah sunatullah pada aspek lahiriah, yang biasanya lebih dikenal sebagai ‘hukum alam’. Sedang sunatullah pada aspek batiniah relatif amat sulit bisa dipahami oleh umat manusia pada umumnya, kecuali jika dimilikinya kepekaan batiniah yang amat kuat, dari berbagai pengalaman rohani-moral-spiritual yang relatif amat luas dan lengkap (seperti yang dimiliki oleh para nabi-Nya). Ringkasnya, sunatullah atau ‘Sunnah Allah’ itu hanya sebagai sebutan lain bagi “segala tindakan-Nya di alam semesta ini”. Serupa seperti ‘Sunnah Nabi’, sebagai sebutan lain bagi segala tindakan nabi Muhammad saw (sikap, perkataan dan perbuatannya). Segala tindakan-Nya yang terselubung Namun justru amat mudah dipahami, jika segala tindakan-Nya juga bersifat ‘terselubung, tersembunyi atau gaib’. Selain karena Zat Allah sendiri yang memang Maha gaib, juga karena Allah justru tidak hendak seolah-olah tampak ikut campur tangan langsung atas tiap zat makhluk-Nya, dalam menjalani kehidupan dunianya (semuanya tetap berjalan amat alamiah), walau hal sebaliknya amat mudah bagi Allah. Terutama lagi kepada manusia, dalam menjalani segala proses penggodokan di kehidupan dunia fana ini (pengujian sebagai khalifahNya), padahal tiap manusiapun telah diberikan-Nya ‘akal’ dan ‘nafsu’, agar ia bisa memiliki kebebasan dalam berkehendak dan berbuat, serta ia bisa memilih jalan hidup yang lebih diinginkan atau diharapkannya sendiri. Dengan tujuan paling utamanya, "agar Allah bisa mengetahui, siapa di antara manusia yang beriman dan yang kafir kepada-Nya”. Proses penggodokan manusia itu kemungkinan besar akan siasia ataupun tidak berjalan, jika Allah ‘terlalu kentara’ mengatur segala hal yang terjadi di alam semesta ini. Seperti misalnya, Allah mustahil akan pilih-kasih terhadap manusia dengan terang-terangan jauh lebih banyak memberi rahmat-Nya, bagi hamba-hamba-Nya yang disukaiNya. Hal inipun pasti akan membuat seluruh umat manusia menjadi beriman, karena ada keuntungan langsung dan jelas dari keimanan itu. Serta proses penggodokan itupun justru akan kehilangan maknanya. Namun Allah justru berkehendak, agar segala sesuatu halnya berjalan ‘murni’ sesuai dengan segala amal-perbuatan atau hasil usaha dari tiap manusianya sendiri. Sedang atas tiap amal-perbuatan manusia itu Allah memberi balasan-Nya secara ‘setimpal’, namun juga secara ‘terselubung’ di dunia ini (beban dosa atau hukuman-Nya, dan pahala atau nikmat-Nya). Sebelum pada akhirnya, Allah justru akan memberi

596

Sunatullah (sifat proses)

balasan-Nya yang telah disempurnakan-Nya di Hari Kiamat. Sebenarnya tiap balasan-Nya pada saat di dunia ini justru telah ‘sempurna’ (atau ‘setimpal’ di atas). Tetapi keterbatasan tubuh fisiklahiriah, menjadikan manusia relatif sulit memahami tiap balasan-Nya, yang ‘sebenarnya’ terjadi pada alam batiniah ruhnya masing-masing (alam akhiratnya). Setelah ruhnya terpisah dari tubuh fisik-lahiriahnya di Hari Kiamat, maka tiap balasan-Nya itupun justru baru bisa terasa ‘sempurna’, bahkan atas pahala-Nya dan beban dosa yang sebesar biji zarrah sekalipun (amat sangat kecil atau sederhana sekalipun). Kesempurnaan proses penggodokan manusia itupun akan lebih nyata, jika tiap manusia mestinya mencari, mengenal atau memahami sendiri Tuhannya, Yang menciptakan telah dirinya dan alam semesta ini, melalui pemahaman atas tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaanNya di seluruh alam semesta ini (atau ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis, lahiriah dan batiniah). Juga termasuk melalui pemahaman atas segala kehendak dan perbuatan-Nya yang terselubung (amat sangat alamiah, halus, dan tidak kentara, dan seolah-olah terjadi begitu saja di atas). Walaupun begitu, Allah Yang Maha pengasih dan penyayang telah pula menurunkan segala pengajaran dan tuntunan-Nya, misalnya melalui para nabi dan kitab-Nya (ayat-ayat-Nya yang tertulis), agar manusiapun bisa lebih mudah mengenal Allah. Sekaligus agar selalu timbul kesadaran atas kehadiran Allah pada tiap langkah kaki, tarikan napas atau detak jantungnya, juga Allah amat sangat dekat dengannya. Tentunya penyampaian pengajaran dan tuntunan-Nya itu juga dilakukan-Nya secara ‘terselubung’ kepada para nabi utusan-Nya, dan bahkan kepada seluruh umat manusia. Baca pula topik "Pengajaran dan tuntunan-Nya", tentang proses-proses penyampaian pengajaran dan tuntunan-Nya secara lebih lengkap. "…. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, lagi Maha Dekat`." - (QS.34:50) "…, dan Kami lebih (dekat) kepadanya daripada urat lehernya," - (QS.50:16) "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (hai Muhammad), tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. …" - (QS.2:186) "…. Sesungguhnya Rabb-ku amat dekat, lagi memperkenankan (do'a hamba-Nya)." - (QS.11:61)


Sunatullah (sifat proses)

597

Sunatullah, sebagian dari ilmu-Nya di alam semesta Bahwa sunatullah hanya sebagian dari pengetahuan atau ilmuNya, karena sunatullah hanya terkait dengan segala proses penciptaan dan segala proses lainnya di seluruh alam semesta ini, yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’. Sebagian ilmu-Nya lainnya lagi, misalnya: • Berbagai sifat pembeda-esensi-statis pada segala zat ciptaan-Nya (ciri khasnya masing-masing); • Segala bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya (sebagiannya justru terkandung pula dalam sunatullah) , secara lahiriah dan batiniah; • Hakekat dan tujuan utama penciptaan alam semesta ini dan segala isinya (segala jenis zat ciptaan-Nya); • Segala kejadian pada saat sebelum terciptanya alam semesta ini, dan setelah berakhirnya alam semesta ini; • Dan segala bentuk ketetapan dan kebenaran-Nya lainnya. Namun pemahaman atas sunatullah justru amat penting untuk dimiliki oleh tiap umat Islam, karena sunatullah atau Sunnah Allah itu, adalah sebutan lainnya bagi segala kehendak, tindakan atau perbuatanNya di seluruh alam semesta ini: Beberapa keterangan penting lain tentang sunatullah Berbagai keterangan dan penjelasan amat penting lainnya yang menyangkut sunatullah, antara lain: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q.

Ilmu-pengetahuan manusia, wujud sunatullah. Allah bertindak di alam semesta, melalui sunatullah. Sunatullah berupa tak-terhitung aturan / rumus proses. Perkiraan kejadian, dengan memahami sunatullah. Sunatullah tidak pernah berubah, sampai akhir jaman. Semua sunatullah tidak saling bertentangan. Sunatullah mengatur segala proses lahiriah & batiniah. Alam semesta diciptakan-Nya melalui sunatullah. Sunatullah memiliki unsur pemaksaan (pasti berlaku). Alam semesta kokoh, karena berjalannya sunatullah. Sunatullah menjaga keseimbangan alam semesta. Tiap makhluk-Nya bebas memanfaatkan sunatullah. Allah mengutus para nabi-Nya, melalui sunatullah. Allah menurunkan berbagai hal, melalui sunatullah. Pengetahuan dan pengalaman, wujud sunatullah. Do’a, usaha batiniah yang diatur oleh sunatullah. Pelaksanaan sunatullah dikawal tak-terhitung malaikat.

598

Sunatullah (sifat proses)

Uraian-uraian selengkapnya, yaitu: Tabel 13: Beberapa hal penting tentang aturan-Nya (sunatullah)

Beberapa catatan penting tentang aturan-Nya (sunatullah) a. Ilmu-pengetahuan manusia, wujud sunatullah. ¾ Segala ilmu-pengetahuan (berikut segala teori ataupun rumus di dalamnya), yang dikenal dan dicapai oleh manusia secara “sangat obyektif”, hanya hasil pengungkapan atas sebagian amat sangat sedikit saja dari sunatullah. Bahkan nantinya, segala ilmu yang belum dikenal juga hanya dari hasil usaha mengungkap ataupun memformulasikan sunatullah, yang bahkan telah ditentukan atau ditetapkan-Nya sebelum penciptaan alam semesta ini. 53) Ke-Maha tinggi-an ilmu-Nya yang sebagiannya terwujud melalui sunatullah (lahiriah dan batiniah), mustahil bisa tercapai seluruhnya oleh umat manusia. Hal ini menunjukkan sifat Allah, Yang Maha Luas dan Maha Tinggi. Tetapi segala ilmu-pengetahuan itu justru hasil usaha umat manusia, yang memiliki segala keterbatasan, maka mustahil bisa mutlak benar dan pasti obyektif, seperti halnya segala ilmu-Nya. Bahkan sebagian dari ilmu-pengetahuan hasil usaha atau temuan manusia itu mestinya dipakai secara hati-hati dan selektif, karena relatif mudah menyesatkan, termasuk pula kepada agama, ajaran ataupun paham hasil ‘buatan atau karya’ manusia. Seperti misalnya pada teori-paham: teori evolusi Darwin; teori filsafat dan psikologi (Sigmund Freud, Karl Marx, dsb); paham materialisme, kapitalisme dan sosialisme, berikut segala teori kemasyarakatan dan ekonominya; paham feminisme barat; teori demokrasi dan HAM; dsb. b. Allah bertindak di alam semesta, melalui sunatullah. ¾ Bahwa secara garis besar, hal-hal gaib bisa dibagi menjadi dua kelompok, yaitu gaib "zat" dan gaib "tindakan". Gaib "zat" ini meliputi: zat Allah (ruh Sang Pencipta) dan zat-zat makhluk-Nya (ruh-ruh makhluk ciptaan-Nya). Sedang hal-hal yang gaib di luar gaib "zat" ini, tentunya semua berupa gaib "tindakan". 54) Umat manusia mustahil bisa menjelaskan hakekat dari zatzat gaib (gaib "zat"), karena mustahil mampu dijangkau dengan akal-pikirannya. Bahkan salah-satu dari sifat Allah adalah Maha


Sunatullah (sifat proses)

599

Gaib, yang tidak dimiliki oleh zat ruh-ruh makhluk ciptaan-Nya. Sedang dalam interaksi terang-terangan, manusia bahkan masih bisa mengetahui "wujud asli" dari para makhluk gaib-Nya (mengetahui sebagian dari sifat zat ruhnya), walau terjadi dalam keadaan yang amat khusus, dan hanya pernah dialami oleh amat terbatas jumlah manusia (termasuk sebagian dari para nabi-Nya). Di lain pihaknya, manusia mustahil berinteraksi langsung dengan zat Allah, kecuali terhalang oleh segala ‘tabir’ atau hanya melalui perantaraan malaikat Jibril. Maka hampir tidak ada yang bisa diketahui oleh manusia, tentang ‘esensi’ zat Allah, kecuali: Ada (wujud), Maha Esa, Maha gaib (atau Maha tersembunyi), Maha kekal, Maha awal, Maha akhir dan Maha hidup. Bahkan hal-hal ini juga ‘tidak terkait langsung’ dengan zat Allah sendiri, Yang Maha Gaib, karena hal-hal ini hanya berupa gambaran-fenomena ‘di sekitar’ zat Allah. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang ‘wujud asli’ para makhluk gaib. Serta baca pula uraian-uraian di bawah, tentang keistimewaan akal-pikiran manusia. Tetapi keberadaan zat-zat gaib itu bisa dirasakan, diketahui atau dipahami, dari segala tindakannya yang ada di seluruh alam semesta ini, karena zat-zat gaib itu memang ingin agar manusia bisa mengenal Allah, Yang telah menciptakannya, melalui segala tindakan tersebut. Segala tindakan dari zat-zat gaib itulah yang disebut sebagai gaib “tindakan” di atas. Sederhananya, pada gaib "tindakan" relatif hanya masalah kemampuan dan waktu tiap manusia untuk bisa memahaminya, karena segala tindakan atau proses yang terjadi di alam semesta (dari tindakan-Nya dan ruh-ruh makhluk-Nya, secara lahiriah dan batiniah), justru bersifat ‘amat sangat teratur’ (kekal). Bahkan segala tindakan-Nya bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’, maka gaib "tindakan" itupun pasti mengikuti logika-nalar, aturan atau rumus proses, yang ‘pasti’ dan ‘jelas’ (mengikuti sunatullah atau aturan-Nya). Persoalan amat pentingnya justru ada pada sunatullah yang jumlahnya ‘tak-terhitung’, yang tidak akan pernah bisa dikuasai semuanya oleh manusia. Hanya amat sangat sedikit sunatullah itu yang bisa dikuasai oleh manusia, sehingga hal-hal yang terjadi di alam semesta ini seolah-olah tampak amat sulit dipahami, tidak

600

Sunatullah (sifat proses)

teratur, tidak jelas, tidak kentara atau gaib (gaib "tindakan"). Hal ini menunjukkan sifat Allah, Yang Maha Gaib, Maha Tinggi dan Maha Luas. Bahwa hal-hal yang mustahil bisa dijelaskan atau dinalar, adalah hakekat dari zat Allah dan zat ruh-ruh makhluk-Nya. Juga gaib "zat" ini memang tidak perlu dan tidak ada gunanya untuk dinalar. Bahkan tidak ada sesuatupun ayat Al-Qur’an yang telah menerangkan hal ini (kecuali sifat-sifat ‘tidak langsung’ tentang esensi zat Allah di atas). Hal yang disebut-sebut dalam al-Qur’an hanya gaib "tindakan" (tindakan: Allah, ruh para makhluk gaib, ruh manusia, dsb), yang memang semestinya masih bisa dinalar. Pengungkapan atas gaib "tindakan" inilah yang diusahakan secara maksimal melalui seluruh pembahasan buku ini, terutama berdasar bahan-bahan yang bersumber dari ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan menilai sesuatu tindakan (lahiriah dan batiniah), terutama tindakan yang bersifat pasti, jelas, amat sangat teratur, konsisten atau tidak pernah berubah-ubah, maka bisa diketahui atau dinalar tentang sifat-sifat pelakunya dalam berbuat sesuatu (diketahui sifat proses atau sifat perbuatannya). Istilah "wujud zat Allah" (yang tergambar dalam Asmaul Husna) yang dipakai dalam buku inipun, harus dipahami sebagai "perwujudan dari tindakan zat Allah", Fitrah Allah atau sifat-sifat Allah, tetapi bukan "wujud atau sosok zat Allah", karena segala tindakan Allah ketika menciptakan seluruh alam semesta ini dan segala isinya, adalah hasil perwujudan dari Fitrah Allah tersebut. Sedang hanya apa yang "ada atau terjadi" di alam semesta inilah, yang bisa dilihat dan dipelajari oleh umat manusia tentang Allah dan sifat-sifat-Nya (juga dipelajari oleh para nabi-Nya). Pada Asmaul Husna itu hanya ada 2 jenis kata, yaitu kata "kerja" (Maha Menjaga, Maha Memelihara, Maha Mengatur, Maha Mengetahui, dsb) dan kata "sifat" (Maha Esa, Maha Mulia, Maha Tinggi, Maha Luas, Maha Suci, Maha Adil, dsb). Bahwa Asmaul Husna yang berupa kata ‘sifat’ hanya bisa dipahami dari mempelajari ‘sifat-sifat’ dari segala hasil tindakan Allah di alam semesta ini (tanda-tanda kekuasaan-Nya). Sedang Asmaul Husna yang berupa kata ‘kerja’, dengan sendirinya justru langsung menerangkan tentang tindakan Allah. Akhirnya, "wujud zat Allah", Fitrah Allah atau sifat-sifat terpuji


Sunatullah (sifat proses)

601

Allah adalah gaib "tindakan", yang semestinya masih bisa untuk dinalar oleh akal-pikiran manusia. c. Sunatullah berupa tak-terhitung aturan / rumus proses. ¾ Sunatullah tak-terhitung jumlahnya, yang telah ataupun belum dikenal oleh manusia. ‘Tiap’ sunatullah adalah aturan atau rumus proses yang input-masukannya berupa segala data-variabel, yang bisa menggambarkan ‘keadaan awal’ atas segala zat ciptaan-Nya, sebelum prosesnya sendiri mulai berlaku. Sehingga hasil akhir prosesnyapun akan bisa berbeda, jika salah-satu saja dari variabel input atau keadaan awalnya juga berbeda. Sangat banyak variabel keadaan pada tiap zat ciptaan-Nya (lahiriah dan batiniah), sehingga relatif tidak ada manusia yang bisa memastikan hasil akhir dari tiap sunatullah, pasti tidak bisa mengetahui segala keadaan zatnya selengkapnya (segala variabel dan harganya), serta pasti tidak bisa mengetahui rumus proses sesungguhnya yang berlaku dalam tiap sunatullah itu sendiri. Lihat pula pada "Gambar 21: Diagram sederhana fungsi sunatullah" dan pada "Gambar 22: Diagram siklus proses sesaat fungsi sunatullah" di bawah. Tetapi seperti pada tiap penemuan dari segala bidang ilmupengetahuan hasil temuan manusia, berdasar sesuatu pengalaman empirik lahiriah tertentu, dari menduga, menguji dan mengukur tiap data-variabel-fakta atau faktor yang dianggap amat dominan pengaruhnya bagi sesuatu sunatullah yang relatif amat sederhana. Sedang berbagai variabel lainnya sering disebut sebagai "faktor X" (faktor yang tidak diketahui). Di dalam hal-hal batiniah, "faktor X" ini justru sering lebih dominan pengaruhnya ataupun lebih banyak jumlahnya, karena keadaan batiniah memang sulit bisa dijelaskan dan diukur, lalu di dalam hal ini manusiapun cenderung berserah-diri kepada Allah (bertawakal). Sebaliknya dalam hal-hal fisik-lahiriah seperti pada ilmu pasti-fisik-alam, segala variabelnya justru relatif jauh lebih mudah diduga dan diukur. Salah-satu contoh suatu sunatullah pada ilmu fisika adalah hukum gravitasi, seperti "gaya gravitasi antara dua buah benda, berbanding lurus dengan massa kedua benda itu, dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antar pusat kedua benda", dengan rumus sebagai berikut:

602

Sunatullah (sifat proses)

F

g

= K ×

m1× m

2

2

r Keterangan simbol variabel: Fg : gaya gravitasi K : konstanta gravitasi : massa jenis benda 1 dan 2 m1 & m2 r : jarak antar pusat benda 1 dan 2

Rumus yang telah umum dipakai selama berabad-abad di dalam ilmu pasti ini (fisika), juga hasil ‘pendekatan’ empirik dan praktis atas sesuatu sunatullah, karena ada sejumlah ‘faktor X’ yang telah disederhanakan, misalnya: • Harga konstanta gravitasi (K) tertentu hanyalah bisa berlaku pada keadaan tertentu, misalnya di permukaan laut. Namun harga K yang sama, justru belum tentu bisa berlaku misalnya: di luar angkasa, di pusat Bumi, di permukaan bulan, dsb. • Harga massa jenis kedua benda itupun (m1 dan m2), adalah sesuatu harga pendekatan, selain karena adanya batasan dari ketelitian alat pengukur. Juga pengukurannya tidak akan bisa sepenuhnya menghilangkan pengaruh udara ataupun bendabenda lain di sekitarnya, karena amatlah tidak praktis untuk mengukur massa sesuatu benda dalam keadaan amat idealnya (dalam ruang hampa udara, dan tanpa pengaruh benda-benda lain di sekitarnya). • Harga jarak antar pusat kedua benda (r), juga sesuatu harga pendekatan, karena kedua bendanya dianggap atau diidealkan sebagai benda titik (amat kecil) dan bersifat homogen. Hal ini bukanlah seperti halnya benda-benda nyata pada umumnya, yang memiliki berragam bentuk, ukuran dan distribusi unsurunsurnya (tidak homogen). Dengan ke-Maha Luas-an cakupan sunatullah itu (sebagai sesuatu kesatuan), maka manusia telah memilah-milah sejumlah sunatullah yang dikenalnya menjadi jauh lebih sederhana (seperti halnya rumus gravitasi di atas). agar lebih mudah diformulasikan untuk bisa menjawab suatu persoalan tertentu berdasarkan hasil dari pengalaman empirik tertentu pula. Pada akhirnya, rumus atau sunatullah yang diterapkan bisa berbeda-beda, jika keadaan (internal dan eksternal, lahiriah dan batiniah) yang telah melatar-belakangi suatu pengalaman empirik tertentu, juga berbeda cukup ‘signifikan’. Rumus atau sunatullah


Sunatullah (sifat proses)

603

tertentu yang disederhanakan (bukan suatu kesatuan), hanya bisa berlaku memadai pada ‘lingkup-wilayah’ keadaan tertentu saja. Misalnya, sesuatu rumus gravitasi tertentu hanya memadai pada keadaan tertentu pula, seperti: berlaku pada jarak 0 s/d 100 m di atas permukaan laut; ukuran kedua benda relatif kecil; jarak antar kedua benda tidak terlalu dekat ataupun jauh (relatif setara dengan ukuran kedua bendanya); kedua benda berbentuk seperti bola; bersifat relatif homogen (distribusi unsur-unsur pada kedua benda relatif merata); dsb. Pengungkapan atas sunatullah, melalui pemilah-milahan, pembatasan ataupun penyederhanaan di atas tentunya melahirkan anggapan, bahwa sunatullah adalah suatu kesatuan dari sejumlah tak-terhitung sunatullah yang jauh lebih sederhana, yang masingmasingnya hanya mengatur suatu proses tertentu saja. Namun ada pula anggapan lain, bahwa sunatullah adalah suatu ‘matriks’ yang amatlah sangat besar, kompleks dan Maha Sempurna, yang terdiri dari segala variabel keadaan dan rumus proses kejadian atas segala zat ciptaan-Nya di alam semesta ini. d. Perkiraan kejadian, dengan memahami sunatullah. ¾ Makin luas ilmu-pengetahuan tiap manusianya, khususnya makin banyak bisa dipahaminya proses berjalannya berbagai sunatullah, termasuk keterkaitan fungsi antar sunatullah, bahkan akan makin mendalam pula kemampuan manusianya, untuk memperkirakan peristiwa atau kejadian di alam semesta ini, yang telah, sedang ataupun yang belum terjadi. 55) Bahkan walau perkiraan itu bisa diperoleh hanya berdasar satu ataupun beberapa fakta yang sederhana. Hasil perkiraan itu bahkan bisa menembus batas ‘ruang’ dan ‘waktu’, karena segala kejadian di alam semesta ini pasti tunduk atau mengikuti aturanNya (sunatullah), ataupun berjalan amat teratur. Sekilas memang seolah-olah tampak tidak teratur, karena saling terkaitnya dan tak terhitungnya jumlah sunatullah. Penguasaan pengetahuan, lebih khusus lagi tentang hal-hal lahiriah hampir semuanya telah bisa diungkap oleh para ilmuwan modern (melalui berbagai ilmu pasti-fisik-alam). Tetapi amatlah sedikit tentang hal-hal batiniah, karena memang relatif amat sulit untuk dirumuskan (hanya pada ilmu-ilmu filsafat dan psikologi).

604

Sunatullah (sifat proses)

Seperti halnya keimanan yang amatlah sulit bisa diungkap memakai bahasa ilmiah, tetapi hanya bisa melalui bahasa agama. Pengetahuan atau pemahaman tertinggi tentang hal-hal gaib dan batiniah, umumnya diketahui hanya dimiliki oleh para nabi-Nya. Istilah ‘perkiraan’ ini relatif amat berbeda daripada istilah ‘ramalan’, yang lebih bersifat mistis-tahayul atau tidak memiliki landasan ilmiah-nalar-logika. Sehingga ramalan shio (kambing, ayam, kelinci, dsb) atau ramalan rasi bintang (leo, aries, pisces, dsb), justru tidak dikenal ataupun dilarang dalam agama Islam. Kemampuan ‘perkiraan’ itu bisa makin kuat dengan terusmenerus mengasah akal-pikiran (dalam hal-hal batiniah, dengan banyak melakukan perjalanan batiniah-rohani-spiritual). Dengan amatlah luasnya cakupan sunatullah (lahiriah dan batiniah), maka amatlah luas pula bidang cakupan yang bisa diperkirakan. Namun perlu diketahui pula, bahwa makin luas aspek yang ditinjau, maka makin besar pula pengaruh "faktor X" (atau faktor yang tidak diketahui, pada poin c di atas), karena memang makin banyaknya interaksi segala hal yang ditinjau, yang membuatnya makin sulit diperkirakan. Contoh perkiraan sederhananya misalnya: karakter pribadi seseorang dari raut muka ataupun caranya berjalan; cuaca beserta intensitas air hujan dan waktu turunnya; saat meletusnya gunung berapi; lokasi potensial yang kaya bahan tambang dan minyak bumi (di dalam tanah dan di dasar laut); nilai proyek yang akan dilaksanakan; perkiraan Nabi atas kejadian pada awal dan akhir penciptaan alam semesta ini; dsb. e. Sunatullah tidak pernah berubah, sampai akhir jaman. ¾ Sunatullah tidak pernah berubah sampai akhir jaman, serta tidak ada suatupun kekuasaan makhluk-Nya yang bisa mengubah dan merusaknya. Mustahil ada sesuatu zat selain zat Allah, yang bisa meniru ataupun bertindak seperti proses berjalannya sunatullah, (mustahil bisa bertindak seperti Allah). Contoh sederhananya, pada segala keadaannya yang persis ‘sama’, maka sampai akhir jaman, suatu bola tetap akan jatuh ke bawah, jika bola itu dilepaskan dari sesuatu ketinggian, dengan berlakunya sunatullah, yang berupa hukum gaya gravitasi pada uraian poin c di atas. Namun pada segala keadaan yang persis


Sunatullah (sifat proses)

605

‘sama’ pula, tidak ada sesuatu kekuasaanpun yang bisa membuat bola terjatuh ke atas (kecuali oleh Allah sendiri, walaupun Allah justru tidak akan mengubah-ubah aturan-Nya atau sunatullah). Hal ini menunjukkan sifat Allah, Yang Maha Kuat atau Maha Perkasa. Tiap zat makhluk-Nya justru hanyalah bisa memanfaatkan sunatullah, dengan berusaha memilih agar bisa berlakunya suatu sunatullah lainnya, agar tercapai tujuan yang lebih diinginkannya daripada hasil dari sunatullah yang sedang berlaku. Usaha ‘memilih’ itu pada dasarnya berupa mengubah-ubah "berbagai keadaan awal" sebelum berlaku suatu sunatullah, yang ‘otomatis terpilih’ menurut segala keadaan awalnya. Lihat pula pada "Gambar 22: Diagram siklus proses sesaat fungsi sunatullah" di bawah. Hal di atas seperti halnya tiap usaha umat manusia untuk mengobati berbagai masalah dan penyakit sosial (batiniah), serta untuk bisa membuat hujan buatan, bom nuklir dan semua produk teknologi lainnya (lahiriah), bagi sarana keperluan hidupnya. Bahkan termasuk pula segala usaha umat manusia, dalam mengikuti ajaran-ajaran agama-Nya, yang memang amat penting bagi usaha pencapaian keselamatan dan kebahagiaan kehidupan di dunia, lebih penting lagi bagi kehidupan di akhirat (kehidupan batiniah ruh). f.

Semua sunatullah tidak saling bertentangan.

¾ Seluruh sunatullah justru mustahil bisa saling bertentangan, baik di antara sunatullah-sunatullah yang belum, ataupun yang telah bisa dipahami dan diungkap oleh manusia (berupa berbagai ilmupengetahuan yang amat obyektif, dari hasil temuan manusia). Ilmu-pengetahuan hasil temuan manusia yang dimaksud, misalnya segala hukum alam yang telah dikenal ataupun dipakai oleh manusia, selama berabad-abad (telah teruji atau terbukti), pada berbagai bidang ilmu: Fisika, Kimia, Biologi, Astronomi, Geologi, Matematika, dsb. Misalnya pada ilmu fisika terdapat teori yang telah terbukti berlaku benar, selama berabad-abad, seperti "suatu massa (benda mati atau materi) mustahil bisa dimusnahkan, namun hanya bisa diubah-ubah bentuk dan strukturnya".

606

Sunatullah (sifat proses)

Sejak diciptakan-Nya, tiap benda mati nyata hanyalah bisa ‘hancur’ atau ‘terurai’ menjadi benda-benda yang relatif paling kecilnya (misalnya disebut ‘atom’ atau materi ‘terkecil’). Namun semua atom penyusun benda asalnya mustahil bisa ‘hilang’ dan ‘musnah’ dengan begitu saja (hanya tidak bisa tampak oleh mata telanjang, karena atom memang amat kecil ukurannya). Melalui proses yang relatif lama dan rumit, justru semua atom itu bisa kembali membentuk benda-benda nyata (bisa terlihat kembali). Implikasi penerapan teori itu, seperti: mustahil ada sesuatu benda yang hilang begitu saja pada sesuatu tempat, lalu muncul begitu saja pada tempat lain, seperti sulap; mustahil sosok tubuh Adam diciptakan-Nya pada sesuatu tempat (Surga), lalu pindah begitu saja ke Bumi, setelah diturunkan-Nya dari Surga; mustahil ‘Isra mi’raj berupa sesuatu perjalanan tubuh fisik-lahiriah nabi Muhammad saw, tetapi sebenarnya perjalanan batiniah; dsb. Baca pula topik "Makhluk hidup nyata", tentang penciptaan Adam dari tanah di permukaan Bumi. Tentunya ada pula sebagian dari berbagai bidang ilmu itu yang masih mengandung hal-hal yang bersifat teoretis dan belum terbukti kebenarannya, terutama dalam hal-hal batiniah (seperti ilmu psikologi dan filsafat). Juga ada yang telah terbukti dalam hal-hal yang amat sederhana, tetapi terlalu dipaksakan diterapkan dalam hal-hal yang lebih luas dan kompleks. Contoh paling terkenalnya, adalah ‘teori Evolusi’ Darwin (ilmu biologi). Dalam tingkat yang amat sederhana dan terbatas, memang terjadi evolusi pada tubuh manusia dan hewan. Namun terlalu dipaksakan menjadi "manusia adalah hasil proses evolusi dari kera ataupun simpanse". Bahkan teori Evolusi Darwin justru belum terbukti, khususnya tentang asal-muasal kehidupan. Maka segala sesuatu proses kejadian di alam semesta, pada dasarnya tidak ada yang bisa disebut ‘luar-biasa’ secara lahiriah, karena segala tindakan-Nya dalam hal-hal fisik-lahiriah-nyata ini hampir sebagian besarnya telah bisa diungkapkan oleh manusia. Kecuali jika berlaku segala sunatullah yang belum bisa dipahami oleh manusia, yang mestinya "tidak bertentangan" dengan ilmupengetahuan dari hasil temuan manusia secara amat obyektif. Menurut ilmu-pengetahuan modern pada saat ini kejadian tsunami, gempa bumi, gunung meletus, meteor jatuh, dsb, adalah


Sunatullah (sifat proses)

607

berbagai kejadian ‘biasa’. Baca pula poin m dan n di bawah, tentang mu’jizat pada para nabi-Nya, yang di jaman dahulu telah dianggap ‘luar-biasa’, tetapi di jaman sekarang ini sebagiannya justru telah bisa dijelaskan oleh manusia. g. Sunatullah mengatur segala proses lahiriah & batiniah. ¾ Bahwa sunatullah yang telah mengatur segala proses pada semua sistem dan sub-sistem, yang ada di alam semesta ini (dari yang amat sangat kompleks, sampai amat sangat sederhana), misalnya: sel dan manusia yang berkembang biak; elektron dan planet yang berrotasi; ruh-ruh yang bersatu (hidup) ataupun berpisah (mati) dari tubuh wadahnya; ruh para makhluk gaib yang berinteraksi dengan makhluk nyata, ataupun sebaliknya; timbulnya perasaan manusia; atom dan benda langit yang saling berinteraksi; dsb. Hal ini menunjukkan sifat-sifat Allah, Yang Maha Kuasa, Maha Menghidupkan atau Maha Mematikan. h. Alam semesta diciptakan-Nya melalui sunatullah. ¾ Bahwa sunatullah yang berjalan dengan amat harmonis, teratur, konsisten, sinergis dan sempurna, yang bisa membuat terciptanya seluruh alam semesta dan segala isinya ini, hanya dari dua unsurelemen paling dasar, yaitu: "Atom" (nyata dan mati) dan "Ruh" (gaib dan hidup), dengan segala jenis dan sifatnya. Sedang unsur dasar ketiganya yaitu "energi", justru relatif hanya terjadi dari hasil segala reaksi antar atom-atom itu sendiri, sebagai perwujudan sifat-sifat atom. Seperti halnya energi panas radiasi sinar Matahari dan bintang-bintang lainnya yang terjadi secara alamiah. Atom, Ruh dan Energi tentunya diciptakan-Nya. Baca pula topik "Benda mati nyata" dan topik "Ruhruh", tentang sifat-sifat atom dan ruh itu. Pada berbagai sumber lain, jumlah unsur-elemen dasar itu disebut empat ataupun lima, yaitu: "air, api, angin dan tanah", ataupun "air, api, angin, tanah dan logam". Namun ke-empat dan ke-lima elemen dasar itu justru sebenarnya hanya bersumber dari "atom". Namun "atom" memang tidak bisa tampak dengan mata telanjang, sehingga belum diketahui oleh orang-orang terdahulu, yang telah merumuskan kumpulan elemen tersebut. Dan anehnya unsur-elemen dasar pembentuk kehidupan segala zat makhlukNya, yaitu "ruh", justru telah mereka abaikan.

608

Sunatullah (sifat proses)

Dengan dua macam unsur paling dasar itu (Atom dan Ruh) dan didukung oleh Energi, diciptakan-Nya amat sangat berragam seluruh khasanah zat ciptaan-Nya, yang terdapat di alam semesta ini (nyata dan gaib, hidup dan mati), misalnya: dari anak sampai harta, dari atom sampai galaksi, dari sel sampai dinosaurus, dari malaikat sampai iblis, dari cecak sampai komodo, dari lumut sampai pohon beringin, dari udara sampai besi, dsb. Sekali lagi, penciptaan itu hanya dengan berbagai jenis zat benda mati (Atom) dan zat kehidupan (Ruh). Juga hanya melalui sunatullah, yang mengatur segala proses interaksi antar zat, dan segala proses pada tiap zat itu sendiri, maka telah diciptakan-Nya segala khasanah zat ciptaan-Nya yang amat sangat kaya itu. Bahkan juga diciptakan-Nya pasangan keseimbangan atas segala zat ciptaan-Nya, seperti: maskulin-feminin; jantan-betina; pria-wanita; pahala-dosa; surga-neraka; bumi-langit; nyata-gaib; hidup-mati; dunia-akhirat; baik-buruk; kebenaran-kebatilan; tuamuda; petunjuk-kesesatan; cacat-normal; tinggi-rendah; hitamputih; kaya-miskin; besar-kecil; luas-sempit; bersih-kotor; licinkasar; buram-mengkilap; dsb. Masih amat banyak pula hal-hal lainnya di antara berbagai pasangan keseimbangan itu, sehingga tidak betul-betul "hitamputih", tetapi justru ada berbagai tingkat warna kelabu misalnya. Hal ini bahkan amat berragam seperti pada warna pelangi, yang semuanya justru telah menunjukkan ke-Maha Luas-an segala zat ciptaan-Nya. "(Rabb) Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Rabb Yang Maha Pemurah, sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?." (QS.67:3) Segala sesuatu hal di alam semesta diciptakan-Nya serba ada tersedia, sebagai sesuatu ke-Maha Luas-an rahmat-Nya bagi seluruh umat manusia (demi kepentingan kehidupannya di dunia fana ini). Sekaligus sebagai bahan pelajaran yang berlimpah-ruah pula bagi tiap manusia, untuk bisa mengenal Allah, dan akhirnya untuk bisa kembali dekat ke hadapan ‘Arsy-Nya. Hal ini menunjukkan sifat-sifat Allah, Yang Maha Kaya, Maha Memiliki, Maha Pencipta, Maha Pemberi, Pemurah dan


Sunatullah (sifat proses)

609

610

Dermawan, atau Maha Sempurna. i.

dan tendangan itu telah cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan umat manusia dalam kehidupannya, seperti untuk bermain sepak bola, bola voli, dsb.

Sunatullah memiliki unsur pemaksaan (pasti berlaku).

¾ Bahwa sunatullah memiliki unsur ‘memaksa’ (serupa aturan atau perundang-undangan buatan manusia), misalnya untuk: menjaga keteraturan tatanan kehidupan segala zat makhluk-Nya; menjaga keseimbangan di alam semesta ini, sehingga tidak ada sesuatu zat makhluk-Nya yang bisa mendominasi atau memiliki kekuasaan yang amat melampaui batas; dsb. Pemaksaan atau pembatasan melalui sunatullah itu, hanya untuk menjamin keseluruhan alam semesta ini (bahkan termasuk kehidupan manusia di dalamnya), bisa tetap tegak-kokoh sampai akhir jaman. Baca pula uraian-uraian pada poin di bawah.

Kesempatan yang luas justru tampak lebih jelas pada aspek batiniahnya (aspek lahiriahnya memang relatif terbatas). Karena aspek batiniah itu adalah wujud kehidupan akhirat tiap manusia, di mana manusia memiliki kesempatan yang persis sama untuk bisa membangunnya, bagaimanapun keadaan lahiriahnya. Seperti misalnya, tiap manusia pasti bisa mencapai kebahagiaan batiniah, pada kehidupannya di dunia ataupun setelah Hari Kiamat. Sedang kehidupan lahiriah-duniawi adalah sesuatu bentuk ujian-Nya bagi tiap umat manusia, di samping itu juga untuk bisa mendukung tiap usahanya dalam membangun kehidupan batiniah ruhnya (kehidupan akhiratnya).

Tanda-tanda yang mudah dipahami oleh manusia, tentang kedatangan akhir jaman, bahkan juga telah ‘dipersiapkan-Nya’ melalui sunatullah, yaitu dari adanya penemuan para ilmuwan, tentang berbagai bintang yang telah ‘mati’, yang umum dikenal sebagai ‘lubang hitam’ (black hole) dan ‘bintang neutron’. Tentunya Matahari, sebagai bintang sumber penting bagi energi kehidupan di Bumi, suatu saat akan bisa ‘mati’ pula, yang diperkirakan masih sekitar puluhan ataupun ratusan ribu tahun lagi. Tentunya saat inilah kedatangan akhir jaman itu, jika umat manusia belum bisa pindah bertempat tinggal ke planet lain di luar sistem Tata surya (Matahari). Baca pula topik "Benda mati nyata", tentang ‘bintang mati’ ataupun ‘lubang hitam’ (black hole). Walau membatasi, tetapi sunatullah juga mengatur dengan amat sangat cermat, lengkap dan sempurna, atas segala sesuatu halnya di alam semesta ini. Sehingga tiap manusia tetap memiliki kesempatan dan kebebasan yang relatif amat sangat luas, untuk bisa menjalani, mengatur dan mencapai tujuan kehidupan yang lebih diinginkannya. Semuanya hanya tergantung pada usaha tiap manusianya, sesuai dengan keadaan dan kemampuannya masingmasing. Contoh sederhananya, manusia bisa bebas menendang dan memukul bola ke segala arah, sesuai keinginannya. Namun Allah melalui sunatullah telah mengatur pula, agar manusia hanya bisa melempar bola, sejauh jarak yang terbatas saja. Namun pukulan

Sunatullah (sifat proses)

Ajaran-ajaran agama-Nya adalah berbagai cara yang telah dianjurkan-Nya untuk bisa membangun kehidupan akhirat, agar tiap manusia bisa menjaga keseimbangan dirinya, mengikuti dan ikut menjaga keseimbangan pada lingkungan sekitarnya, secara lahiriah dan batiniah. Juga agar tiap manusianya bisa mencapai segala keadaan kehidupannya, yang aman, tentram dan bahagia. Dengan mengikuti ajaran-ajaran agama-Nya, tiap manusia relatif bisa menjaga keharmonisan dengan irama lingkungannya. Tiap manusia relatif tidak merusak keseimbangan dirinya (tidak ada pertentangan lahiriah dan batiniah), relatif tidak merusak segala keseimbangan pada lingkungan sekitarnya (tidak menjadi biang kerusakan), dan bahkan relatif tidak mencoba-coba untuk "melawan" sunatullah (tidak melampaui batas atau tidak berbuat kezaliman, agar tidak tertimpa azab-Nya). Terkait hal ini, bahkan nabi Muhammad saw diutus-Nya, untuk menjadi "rahmat bagi semesta alam". Hal inipun juga menunjukkan sifat-sifat Allah, Yang Maha Sempurna, Maha Adil atau Maha Menentukan. j.

Alam semesta kokoh, karena berjalannya sunatullah.

¾ Bahwa hanya dengan pasti berlakunya seluruh sunatullah secara konsisten dan sinergis, maka alam semesta bisa tetap dan tegak kokoh (secara lahiriah dan batiniah), sampai seperti sekarang ini. Sebaliknya, jika ada sesuatu sunatullah saja yang tidak berjalan, maka seluruh alam semesta ini akan bisa kacau balau, tidak akan


Sunatullah (sifat proses)

611

612

Sunatullah (sifat proses)

bisa berjalan semestinya, dan bahkan akan bisa hancur-binasa. 56) Bayangkan apa jadinya: jika hukum gaya gravitasi ataupun hukum kekekalan massa dan energi tidak ada; jika iblis berkuasa sepenuhnya untuk mengendalikan manusia, ataupun sebaliknya; jika manusia berkuasa mengendalikan manusia lainnya, dengan bebasnya; jika ruh bisa bolak-balik atau pindah dari satu tubuh ke tubuh lainnya, seperti yang diyakini para penganut penitisan atau reinkarnasi ruh (terutama tentang keadaan akhir ruh); dsb. Baca pula topik "Ruh-ruh", tentang kemustahilan konsep reinkarnasi atau penitisan. Selain hal ini menunjukkan sifat-sifat Allah, Yang Maha Pelindung, Menjaga, Memelihara atau Menegakkan. Juga hal ini bisa menunjukkan sifat Allah, Yang Maha Esa. Karena mustahil dunia ini tetap tegak-kokoh, jika ada ilah-ilah selain Allah, yang kekuasaannya bisa sebanding dengan kekuasaan Allah, dan bisa mengganggu berjalannya salah satu saja dari seluruh sunatullah.

k. Sunatullah menjaga keseimbangan alam semesta. ¾ Bahwa sunatullah-pun menjaga segala keseimbangan yang ada di alam semesta ini. sehingga segala sesuatu hal yang telah merusak keseimbangan itu secara melampaui batas (berbuat zalim ataupun berlebihan), maka melalui sunatullah pula, Allah justru bertindak mengembalikan keseimbangan itu, serta menghukum segala hal yang telah merusaknya.

l.

tidak akan pernah bisa mengalahkan kaum Mukmin. Karena pencarian mereka yang berlebihan atas hal-hal fisik-lahiriah, justru memiliki segala pengaruh amat buruk. Hal terpenting, kaum kafir akan mengalami kerusakan rohani-moral-spiritual (melemah keyakinan batiniah), ketika mereka itu telah terlalu mengagungkan hal-hal duniawi. Padahal amat banyak beban dosa, yang bisa timbul dari pencarian berlebihan atas hal-hal duniawi itu. Padahal dasar utama timbulnya tiap kekafiran, adalah karena tiap manusia terlalu berlebihan dalam memperturutkan nafsukeinginan duniawinya; Pada sesuatu kezaliman (berlaku melampaui batas ataupun berlebihan menganiaya zat-zat makhluk-Nya) pasti ada azabNya. Jika hutan dieksploitasi berlebihan misalnya, maka akan bisa timbul azab-Nya yang berupa banjir; erosi dan longsor; kematian; dsb (bagi ‘korbannya’ hal ini suatu ujian-Nya). Allah pasti akan mengutus para nabi dan rasul-Nya ataupun orang-orang yang arif-bijaksana, untuk bisa membawa segala pengajaran dan tuntunan-Nya (untuk membawa perbaikan), kepada kaum yang banyak melakukan segala kemungkaran, dari lingkup kalangan kaum itu sendiri; dsb.

Tiap makhluk-Nya bebas memanfaatkan sunatullah.

Namun keseimbangan sebagai wujud dari ke-Maha Adilan Allah, hanya tampak lebih jelas jika diperhatikan keseluruhan aspeknya (aspek lahiriah dan terutama aspek batiniah). Bahkan hakekat dari ke-Maha Adil-an Allah itu justru berada pada alam batiniah ruh tiap makhluk-Nya (alam akhiratnya), bukan berada pada alam lahiriah-fisik-duniawi, yang justru amat terbatas, semu dan mudah menyesatkan. Hal ini menunjukkan sifat Allah, Yang Maha Adil, Maha Menjaga atau Maha Penyayang.

¾ Bahwa tiap saatnya tiap zat ciptaan-Nya pasti sedang menjalani berbagai sunatullah secara bersamaan. Serta hasil akhir dari tiap sunatullah tergantung kepada segala keadaan pada tiap zatnya. 57) Tiap saatnya pula, tiap makhluk ciptaan-Nya bisa berusaha mengubah-ubah segala keadaan atau nasibnya, sesuai keinginan dan kemampuannya, dengan mengubah satu ataupun beberapa dari variabel proses pada sesuatu sunatullah tertentu, atau dengan ‘memilih’ sunatullah lainnya (jika ada perbedaan keadaan yang cukup signifikan). Perubahan keadaan itu semestinya diusahakan cukup berarti atau signifikan, agar takdir-Nya atau nasibnya bisa berubah cukup berarti ataupun drastis pula, serta agar usahanya tidak terlalu sia-sia. Lihat pula pada "Gambar 22: Diagram siklus proses sesaat fungsi sunatullah" di bawah.

Contoh sederhananya antara lain: Betapapun hebatnya kaum kafir secara fisik-lahiriah, mereka

Contoh terkenal dari perubahan drastis itu adalah peristiwa pergi berhijrahnya nabi Muhammad saw bersama-sama dengan

Pada tiap aksi pasti ada pula reaksi yang berlawanan, yang sesuai besar pengaruhnya (seperti yang umumnya dikenal dalam teori ilmu-fisika, tentang gaya).


Sunatullah (sifat proses)

613

sejumlah umatnya dari Mekah, di mana Nabi telah amatlah sulit untuk mengembangkan diri dan berdakwah kepada umat, menuju ke Madinah, sebagai usaha Nabi untuk bisa mengubah keadaan dirinya dan umat-umatnya. Tiap manusia semestinya cukup pintar dalam memahami hal-hal seperti: keadaan lingkungan terkait di sekitarnya; keadaan dirinya sendiri; sunatullah tentang persoalan yang dihadapinya; segala variabel yang cukup penting dan dominan pada sunatullah itu; keterkaitan sesuatu sunatullah dengan sunatullah-sunatullah lainnya; dsb, agar bisa maksimal memanfaatkan sunatullah. Namun dengan segala keterbatasan ilmunya, tiap manusia tidak memiliki kemampuan dan pemahaman yang amat lengkap semacam itu, tentang berbagai persoalan dan keadaannya dalam kehidupannya. Maka pada akhirnya, tiap manusia cenderung pula akan berserah diri atau bertawakal kepada-Nya, atas segala nasib kehidupannya, setelah ia sendiri telah berusaha maksimal. Untuk menolong manusia agar bisa mengubah keadaannya (lahiriah dan batiniah), menuju keadaan yang jauh lebih baik dan hakiki, justru telah diturunkan-Nya berbagai bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya, terutama melalui ajaran-ajaran agama-Nya. Baca pula topik "Pengajaran dan tuntunan-Nya". Dan sejumlah tak-terhitung proses memilih dan usaha tiap manusia sepanjang hidupnya di dunia, agar bisa mengubah nasib atau takdirnya, biasanya dikenal sebagai ‘jalan hidupnya’, sedang segala cara yang telah diajarkan dalam agama-Nya, untuk tujuan yang sama, tetapi dengan cara yang lebih diredhai-Nya bagi umat manusia, biasanya dikenal sebagai ‘jalan-Nya yang lurus’. Baca pula topik "Usaha dan jalan hidup makhluk ciptaan-Nya" dan topik "Jalan-Nya yang lurus". m. Allah mengutus para nabi-Nya, melalui sunatullah. ¾ Bahwa melalui sunatullah, saat Allah memilih ataupun mengutus para nabi-Nya, dan juga saat Allah menurunkan agama Islam dan kitab suci Al-Qur'an (agama-Nya yang lurus dan kitab-Nya yang terakhir), bagi seluruh umat manusia. Lebih umumnya lagi, saat Allah menurunkan berbagai bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya (termasuk pula berbagai agama dan kitab tauhid lainnya). Baca pula topik "Pengajaran dan tuntunan-Nya".

614

Sunatullah (sifat proses)

Tidak ada seorang manusiapun yang telah berjalan ataupun hidup di muka bumi, tanpa disertai dengan suatu pengajaran dan tuntunan-Nya. Sedang tuntunan-Nya yang paling dasar, berupa hati-nurani pada zat ruh tiap manusia. Dan pengajaran-Nya yang paling dasar, berupa ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis di seluruh alam semesta ini (tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya). Tiap tarikan napas atau tiap saatnya sepanjang hidup tiap manusia, Allah juga mengutus para makhluk gaib baginya, untuk memberi segala pengajaran dan tuntunan-Nya secara batiniah. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib". Hal ini juga menunjukkan sifat-sifat Allah, Yang Maha Penyayang atau Maha Pemberi Kabar. Segala pengajaran dan tuntunan-Nya justru agar manusia bisa memahami agama atau jalan-Nya yang lurus (Islam), yang telah dirangkum dalam kitab suci Al-Qur'an. Dan kehidupan nabi Muhammad saw yang menyampaikan wahyu-wahyu-Nya dalam Al-Qur'an, telah menjadi suatu contoh pengamalan langsung atas ajaran-ajaran dalam Al-Qur'an, sehingga Nabi justru disebut pula sebagai "contoh hidup Al-Qur'an". Ajaran agama Islam adalah cara-cara yang paling mudah, jelas, aman, benar dan paling sempurna bagi umat manusia, agar bisa menjalani kehidupan sesuai keredhaan-Nya (secara lahiriah dan terutama batiniah). Serta agar manusia bisa hidup berbahagia dan mencapai berbagai kemuliaan di dunia dan di akhirat. Baca pula topik "Jalan-Nya yang lurus". n. Allah menurunkan berbagai hal, melalui sunatullah. ¾ Bahwa melalui sunatullah, saat berbagai kehendak dan tindakanNya dalam menurunkan hal-hal seperti: siksa atau azab; mu'jizat; rejeki; jodoh; kematian; wahyu, ayat dan kitab; nabi dan rasul; ruh (penciptaan segala zat makhluk-Nya); karunia, rahmat dan hidayah; berkah; cobaan atau ujian; dsb. 58) • •

Uraian tentang hal-hal yang diturunkan-Nya itu, misalnya: Siksa atau azab-Nya: Baca pula uraian-uraian di bawah, tentang proses diturunkan atau ditimpakan-Nya, siksa atau azab-Nya. Mu'jizat: Baca pula uraian-uraian di bawah, tentang proses diturunkan atau dilimpahkan-Nya, mu'jizat-Nya.


Sunatullah (sifat proses)

• • •

615

Rejeki, jodoh dan kematian: Baca pula topik "Takdir-Nya". Wahyu, ayat, kitab ataupun para nabi dan rasul-Nya: Baca pula topik "Pengajaran dan tuntunan-Nya". Ruh-Nya (penciptaan segala zat makhluk-Nya): Baca pula topik "Makhluk hidup nyata".

o. Pengetahuan dan pengalaman, wujud sunatullah. ¾ Wujud pemahaman atas sunatullah biasanya juga disebut sebagai ‘pengetahuan’ dan ‘pengalaman’. Baca pula uraian poin a di atas. Dalam masyarakat awam, ‘pengetahuan’ biasanya dikenal sebagai ‘pengalaman’ (bersifat sederhana, aplikatif dan terbatas). Sedang pengetahuan biasanya dihubungkan dengan hal-hal yang diperoleh dari lembaga pendidikan (bersifat kompleks, teoretis dan amat luas). Selain itu pula, suatu pengalaman biasanya tidak memerlukan pemikiran yang tajam, luas ataupun rumit, sehingga relatif mudah dikuasai oleh orang-orang yang awam sekalipun. Namun pengetahuan dan pengalaman pada dasarnya sama, berupa segala pemahaman atas aturan-Nya atau sunatullah. Dari sifat keduanya, maka pemanfaatannya ke dalam suatu perbuatan, hasilnya bisa jauh lebih sempurna diperoleh, jika pengetahuan dan pengalaman bisa dimiliki sekaligus. Di dalam hal-hal batiniah-moral-spiritual khususnya, justru ‘pengalaman’ itulah yang paling penting, karena hal-hal batiniah memang amat sulit untuk bisa dirumuskan, juga relatif amat sulit bisa diperoleh dari lembaga pendidikan (bersifat seragam, massal dan waktu terbatas), termasuk pula dari sekolah-sekolah agama. Di samping itu, hal-hal batiniah juga menyangkut keyakinan tiap pribadi. Lulusan sekolah agama adalah "pengajar agama", bukan pasti berupa "orang beriman". Ajaran agama-Nya justru amat banyak menekankan nilainilai batiniah. Maka dalam beragama, perlu dimilikinya berbagai pengalaman rohani-moral-spiritual, agar bisa dicapai pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di dalam ajarannya. Bahkan tiap praktek atau ritual ibadah di dalam ajaran-ajaran agama-Nya, adalah cara-cara agar bisa memahami nilai-nilai batiniah (rohanimoral-spiritual) di baliknya, secara perlahan-lahan atau bertahap. Tiap praktek-ritual agama itu umumnya amatlah sederhana

616

Sunatullah (sifat proses)

bentuknya, sehingga umat yang awam sekalipun semestinya bisa mengikuti dan memahami agama-Nya. Dan agama-Nya memang bukan hanya bagi para alim-ulama dan umat-umat yang berilmu. Kenabian para nabi-Nya pada dasarnya hanya bisa dicapai, karena mereka itu memahami nilai-nilai batiniah ataupun hakekat penciptaan alam semesta dan kehidupan makhluk di dalamnya. Sedang mereka itu telah menjalani langsung banyak pengalaman rohani-moral-spiritual, termasuk dari segala akhlak, budi-pekerti dan kebiasaan positif yang amat konsisten sepanjang hidupnya. Selain para nabi-Nya memiliki pengalaman rohani-moralspiritual yang cukup lengkap, merekapun memiliki pengetahuan yang lebih tinggi daripada seluruh manusia lainnya di kalangan kaumnya, yang bisa tampak jelas dari mu’jizat yang dimilikinya. Lebih sederhananya, umat pasti tidak akan mau mengikuti orangorang yang lebih tidak berpengetahuan daripada dirinya sendiri. Juga segala pengetahuan yang dimiliki oleh para nabi-Nya, telah utuh dan lengkap (lahiriah dan batiniah). Tentunya khusus pada aspek lahiriah, amat tidak relevan jika pengetahuan mereka dibanding dengan pengetahuan umat manusia modern saat ini. p. Do’a, usaha batiniah yang diatur oleh sunatullah. ¾ Bahwa do'a adalah metode terapi batiniah, yang diajarkan-Nya di dalam ajaran-ajaran agama-Nya. Dengan berdo'a, tiap umat pada dasarnya melakukan sesuatu usaha batiniah (secara sadar ataupun tidak), agar bisa mengubah berbagai keadaan batiniahnya. Walau memang lebih sulit bisa dijelaskan, proses dan hasil dari hal-hal yang bersifat batiniah juga diatur dalam sunatullah, persis seperti pada proses-proses lahiriahnya. Agar keadaan batiniah itupun betul-betul tercapai, dan juga agar do'a itupun lebih memungkinkan untuk dikabulkan-Nya (diijabah), maka kandungan isinya semestinya betul-betul dipahami. Penting diketahui, tiap do'a semestinya bisa membentuk sesuatu semangat batiniah (energi positif), yang justru diperlukan untuk bisa mendukung segala usahanya, dalam mencapai tujuan-tujuan lahiriah ataupun batiniah. Padahal diketahui, bahwa tubuh fisiklahiriah hanya sarana bagi ruh, ataupun hanya tunduk mengikuti perintah ruh, berdasar segala keadaan batiniah ruh itu sendiri. Selain semangat batiniah itu, do'a amat penting pula untuk


Sunatullah (sifat proses)

617

bisa membentuk sikap-sikap batiniah dalam diri manusia, seperti misalnya: • Saat sebelum berusaha, agar manusia bisa bersabar di dalam menghadapi segala keadaannya (lahiriah dan batiniah), yang terutama dari segala bentuk cobaan atau ujian-Nya. • Saat sedang berusaha, agar manusia bisa berikhlas menerima apa adanya, atas segala kehendak-Nya di alam semesta ini. • Saat akhir berusaha, agar manusia bisa berserah-diri kepadaNya (bertawakal), atas tiap hasil usahanya. • Saat setelah berusaha, agar manusia bisa bersyukur menerima apapun pemberian-Nya, atas tiap usahanya. Khusus pada tujuan-tujuan lahiriah, setelah berdo’a, segala usaha yang sesuai semestinya tetap dilakukan oleh tiap manusia itu sendiri. Proses seperti ini pulalah, yang dilakukan oleh orangorang tertentu yang berilmu tinggi, yang do'a-do'anya dianggap "mustajab" (ampuh). Mereka telah pula bisa memahami sebagian dari sunatullah tertentu (lahiriah dan batiniah), khususnya yang terkait dengan do'a-do'a tersebut. Akhirnya, semuanya mestinya tetap kembali pada ‘usaha’, sekeras atau selama apapun usaha itu mestinya dilakukan, untuk bisa mewujudkan kandungan isi sesuatu do'a. Namun pencapaian tujuan-tujuan batiniahnya jauh lebih penting dan hakiki, daripada pencapaian tujuan lahiriahnya yang amat semu dan menyesatkan. Apa peran Allah dalam mengkabulkan do'a hamba-hambaNya?. Sekali lagi, segala tindakan dan kehendak-Nya di seluruh alam semesta justru pasti melalui aturan-Nya (sunatullah). Tidak ada seorangpun yang bisa menyatakan, bahwa do'anya pasti akan dikabulkan-Nya (bahkan termasuk para nabi-Nya), karena umat manusia tidak akan pernah bisa memahami seluruh sunatullah. q. Pelaksanaan sunatullah dikawal tak-terhitung malaikat. ¾ Bahwa segala kehendak, tindakan atau perbuatan Allah di alam semesta disebut 'melalui' sunatullah, karena Allah memang tidak langsung turun tangan, dalam mengurus segala zat ciptaan-Nya dan segala hal lainnya di alam semesta, tetapi justru pelaksanaan sunatullah dikawal oleh tak-terhitung jumlah para malaikat-Nya. Dan para malaikat-Nya itupun justru pasti tunduk, taat dan patuh, dalam melaksanakan segala kehendak dan perintah-Nya ("segala urusan-Nya di alam semesta").

618

Sunatullah (sifat proses)

Bahkan Allah pada dasarnya hanya menyampaikan segala perintah-Nya kepada para malaikat-Nya, bagi proses pelaksanaan sunatullah (lahiriah dan batiniah). Hal lebih jelasnya lagi, segala perintah-Nya itu bukan diberikan-Nya 'tiap saatnya', tetapi justru hanya diberikan-Nya 'sekali' saja (pada saat awal diciptakan-Nya segala zat ruh para malaikat-Nya). Sedang segala perintah-Nya itu pada dasarnya hanya berupa 'fitrah-fitrah dasar' pada tiap ruh mereka, bahkan juga pada segala ruh makhluk-Nya lainnya. "dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit dengan cepat,", "dan mendahului dengan kencang,", "dan mengatur (segala) urusan(-Nya)." - (QS.79:3-5) "Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril, dengan ijin Rabb-nya, untuk mengatur segala urusan(-Nya di dunia)." - (QS.97:4) "Sesungguhnya Rabb-kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas `Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan(-Nya). …" - (QS.10:3) dan (QS.10:31, QS.13:2, QS.32:5) Diturunkan atau ditimpakan-Nya, siksa atau azab-Nya Siksa atau azab-Nya pada dasarnya bukan terjadi karena umat manusia dianiaya oleh Allah, tetapi akibat dari segala perbuatan umat itu sendiri (dengan ataupun tanpa disadarinya). Di mana umat manusia itu sendiri telah melakukan berbagai perbuatan dosa, yang justru bisa mengakibatkan terpilih atau berjalannya berbagai sunatullah tertentu, yang pada akhirnya justru bisa menimbulkan siksa atau azab-Nya itu di dunia (secara lahiriah) dan di akhirat (secara batiniah). Azab-Nya umumnya justru dianggap terkait dengan kematian dan siksa Neraka. Walaupun hal ini kurang tepat dan lengkap, karena kematian yang terjadi bukanlah akibat perbuatan dosa umat itu sendiri misalnya, justru tidak termasuk azab-Nya, tetapi termasuk takdir-Nya bagi umat itu, serta termasuk cobaan atau ujian-Nya bagi keluarga dan orang-orang lainnya yang ditinggalkannya. Sedang tindakan 'bunuh diri', yang amat diharamkan bagi umat Islam misalnya, termasuk azab-Nya,. Karena pelakunya telah sengaja memutus rahmat-Nya (menghilangkan kesempatannya untuk mengisi kehidupannya, dengan bertaubat atau berbuat segala amal-kebaikan), telah kehilangan orientasinya atas diciptakan-Nya kehidupan dunia ini ataupun telah memaksakan dirinya di dalam mendahului pengetahuan-


Sunatullah (sifat proses)

619

Nya tentang kehidupan akhiratnya. Baca pula topik "Benda mati gaib", tentang penilaian-Nya atas setiap amal-perbuatan manusia, jika dikaitkan dengan cobaan atau ujian-Nya. Siksa atau azab-Nya secara ‘batiniah’ justru paling berbahaya dan hakiki, karena bisa mengubah keadaan batiniah ruh. Serta hal itu tetap akan teringat dan mengikuti ruhnya, sampai akhir jaman, walau sebagiannya bisa berkurang melalui usaha bertaubat dengan sebenarbenarnya. Namun atas ijin-Nya, taubat itupun hanya bisa berlaku bagi berbagai dosa tertentu yang masih bisa dimaafkan-Nya, seperti: dosadosa kecil; dosa-dosa yang tidaklah disengaja; dosa-dosa yang relatif amat terpaksa dilakukan dan memiliki dasar alasan pembenaran; dosadosa yang belum ada hukum syariatnya; dsb. Siksa atau azab-Nya secara ‘lahiriah’ justru relatif jauh lebih ringan, apalagi ilmu kedokteran modern telah bisa menghilangkan dan mengatasi banyak penyakit lahiriah. Sedangkan pengaruh lahiriahnya yang paling tinggi berupa kematian, walau kematian juga relatif tidak cukup ‘menyiksa’, apalagi seluruh makhluk hidup nyata memang pasti akan mengalami kematian. Baca pula topik "Benda mati gaib", tentang berbagai keadaan batiniah ruh. Penting diketahui pula, bahwa siksa atau azab-Nya justru amat berbeda dari cobaan atau ujian-Nya, walau ‘seolah-olah’ terasa samasama 'menyiksa'. Karena siksa atau azab-Nya justru murni akibat hasil segala perbuatan dosa, dari umat yang mengalaminya. Dan sebaliknya cobaan atau ujian-Nya justru berasal dari Allah (tidaklah terkait secara langsung ataupun tidak, dengan segala amal-perbuatan umat itu). Bahkan bagi umat-umat tertentu yang dikehendaki-Nya, justru dari berbagai cobaan atau ujian-Nya, bisa diperoleh berbagai hikmahNya (pelajaran positif), yang amat berharga untuk dimanfaatkan dalam menjalani kehidupannya di dunia dan di akhirat. Sekali lagi hal ini amat penting ditekankan, karena umat Islam dan para ulama sekalipun sering keliru, bahwa segala keadaan tubuh fisik-lahiriah tiap makhluk-Nya yang bersifat ‘fana’ dan ‘semu’, relatif amat berbeda daripada segala keadaan rohani-batiniah ruhnya yang bersifat ‘kekal’ dan ‘hakiki’ (segala keadaan kehidupan akhiratnya). Dan seperti disebut pula di atas, bahwa azab-Nya yang sebenarnya dan hakiki, justru azab-Nya secara batiniah. Tiap bentuk kerusakan atau kematian pada tubuh fisik-lahiriah

620

Sunatullah (sifat proses)

manusia (perorangan ataupun massal, kecelakaan ataupun bencana, dari akibat bencana alam ataupun akibat perbuatan manusia, pada saat sedang menderita penyakit amat parah ataupun pada saat sedang tidur amat tenang, dsb), justru pada dasarnya bukan bentuk azab-Nya yang sebenarnya, melainkan berbentuk segala kerusakan keadaan batiniah ruh manusianya pada saat kematiannya itu sendiri, akibat dari segala perbuatan dosanya sepanjang hidupnya. Orang-orang yang tertimpa azab-Nya secara batiniah inipun di dalam Al-Qur'an sering disebut sebagai "orang-orang yang dibiarkanNya terombang-ambing dalam kesesatan ataupun telah buta, tuli, bisu dan pekak", "orang-orang yang tidak bisa kembali lagi ke jalan-Nya yang lurus", "orang-orang yang telah dilaknat-Nya", dsb, yang karena keadaan batiniah ruhnya memang telah rusak relatif cukup parah. Contoh misalnya, pada tindakan orang yang bunuh diri di atas, azab-Nya bukan berupa kematiannya itu sendiri, namun justru berupa berbagai kerusakan keadaan batiniahnya pada saat terjadi kematiannya (bahkan termasuk pula yang telah menimbulkan kematiannya). Sekali lagi, tubuh fisik-lahiriahnya pasti hanya tunduk, patuh dan taat kepada segala perintah ruhnya. Serta hakekat tiap makhluk ada pada ruhnya. Begitu pula pada kasus kemusnahan atau kematian massal atas umat-umat terdahulu yang justru telah menentang para nabi-Nya, serta sering disebut dalam Al-Qur'an. Sekali lagi azab-Nya yang sebenarnya dan hakiki bukan berupa kematian mereka itu sendiri, namun berupa berbagai kekafiran mereka menjelang kematiannya, yang menjadikan berbagai keadaan batiniah ruh mereka telah rusak relatif cukup parah. Sekali lagi, segala bentuk kerusakan atau kematian pada tubuh fisik-lahiriah manusia (perseorangan ataupun massal), bukan suatu hal yang dimaksud sebagai azab-Nya, kecuali jika orang-orang yang mati itu memang telah banyak berbuat amal-keburukan, sedangkan segala amalan dan taubatnya justru telah terputus. Sebaliknya kematian pada orang-orang yang beriman justru sama sekali bukan azab-Nya. Segala bentuk bencana-musibah secara fisik-lahiriah, sebagian besarnya justru tidak memiliki hubungannya dengan tingkat keimanan para korban bencananya, yang memang bersifat batiniah. Kejadian bencana alam (tsunami, gunung berapi, gempa bumi, dsb), relatif sama-sekali tidak ada tanggung-jawab umat manusia atas hal itu, serta bisa pula menimpa umat manusia dengan segala tingkat keimanannya. Sedang pada bencana yang justru terkait hasil perbuatan manusia (banjir, longsor, perang, dsb), para pelaku penyebabnya pada


Sunatullah (sifat proses)

621

umumnya relatif tidak tertimpa akibatnya, namun yang tertimpa justru orang-orang yang sama-sekali tidak terkait ataupun tidak berdosa. Baca pula topik "Usaha dan jalan hidup makhluk ciptaanNya", tentang Allah Maha Adil kepada segala makhluk-Nya, berapapun usia hidupnya masing-masing. Dan topik "Benda mati gaib", tentang azab Neraka dan siksaan Neraka kecil (beban dosa). Hal paling penting bagi tiap umat Islam, agar tiap saatnya bisa selalu berusaha memelihara segala keadaan batiniah ruhnya (sering pula disebut ‘mensucikan ruhnya’), sebelum kedatangan kematiannya, yang justru hanya Allah Yang Maha mengetahui waktunya. Usaha ini pada dasarnya berupa pembentukan berbagai akhlak, budi pekerti dan kebiasaan terpuji, sebagai tujuan utama dari pelaksanaan segala amalibadah yang dianjurkan-Nya melalui ajaran-ajaran agama Islam. Segala keadaan batiniah ruh tiap umat manusia itulah (keadaan kehidupan akhiratnya), yang akan disempurnakan-Nya di Hari Kiamat (dilipat-gandakan-Nya segala nikmat dan hukuman-Nya, sebesar biji zarrah sekalipun), yang lalu atas ijin-Nya, segala keadaan batiniah ruh itu juga tetap kekal bersama zat ruhnya setelah Hari Kiamat (kecuali “jika dikehendaki-Nya” kehancuran segala zat ruh ciptaan-Nya). Diturunkan atau dilimpahkan-Nya, mu’jizat-Nya Mu'jizat adalah hasil dari berlakunya berbagai sunatullah yang tampak luar-biasa, khususnya dari sudut pandang umat manusia pada jaman terjadinya dahulu. Dengan berbagai bidang ilmu-pengetahuan umat manusia modern sekarang ini, sebagian dari mu'jizat para nabiNya terdahulu (sebelum nabi Muhammad saw), relatif tidaklah tampak luar-biasa lagi (terutama bagi mu'jizat yang berbentuk lahiriah). Maka keluar-biasaan mu'jizat juga amat tergantung kepada jamannya. Serta mu'jizat justru berasal dari ‘pengetahuan’ pada para nabi-Nya terkait. Hal ini juga menerangkan, tentang tidak adanya mu’jizat dari nabi Muhammad saw, selain mu’jizatnya yang paling luar-biasa, yang berupa “kitab suci Al-Qur’an”. Sedang umat pada jaman Nabi justru telah jauh berkembang daripada umat para nabi terdahulu, maka relatif makin sulit timbul segala kejadian lahiriah, yang dianggap luar-biasa oleh umat-umat pada jaman Nabi. Bahkan dalam pengetahuan lahiriah, Nabi terkadang meminta pendapat para sahabat, seperti saat menyetujui pendapat salah seorang panglima perang Islam, untuk dibuatnya sesuatu parit pertahanan pada lokasi lain, yang berbeda daripada lokasi yang semula telah diusulkan oleh Nabi.

622

Sunatullah (sifat proses)

Sedangkan hampir seluruh kandungan isi kitab suci Al-Qur’an, berupa hal-hal yang bersifat batiniah, bahkan segala aspek lahiriahnya (ritual ibadah, syariat, dsb), justru untuk bisa mendukung pencapaian aspek-aspek batiniah di baliknya. Keluar-biasaan atau mu’jizat dari kitab suci Al-Qur’an justru pada amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangannya seluruh al-Hikmah di dalamnya (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, ‘di balik’ teks ayat-ayatnya). Sedangkan segala hakekat kebenaran-Nya tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh), di sisi ‘Arsy-Nya, atau berada di alam akhirat (alam batiniah ruh). yang hakiki dan kekal, bukanlah berada di alam dunia (alam lahiriah). yang amat semu, fana dan mudah menyesatkan. Mu’jizat dari Nabi juga bukan berupa mu’jizat yang berbentuk nyata-lahiriah, karena jika keliru pemakaian atas ilmu-ilmu lahiriah, hasilnya justru bisa tidak dibenarkan-Nya, seperti pada mu’jizat yang ‘serupa sihir’ dari nabi Musa as. Padahal ilmu pada nabi Musa as itu justru bukan sihir, namun hanya hasil ilmu-pengetahuan biasa (seperti pesulap dan ilusionis saat ini), serta justru hanya bertujuan untuk bisa menunjukkan ketinggian ilmunya, agar umat kaumnya mau meyakini dan mengikuti segala kebenaran-Nya yang disampaikannya. Baca pula topik "Pengajaran dan tuntunan-Nya", tentang kitab-kitab tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid). Bahkan mu’jizat dari beberapa nabi-Nya, yang disebutkan bisa menghidupkan kembali ‘orang mati’. Hal ini justru bukan benar-benar bisa menghidupkan ‘orang mati’, akan tetapi para nabi-Nya itu pada dasarnya hanya mempunyai kemampuan khusus, untuk menyadarkan kembali orang yang sedang pingsan, mati suri, koma ataupun sekarat (mati sementara). Bahkan kemampuan mereka itupun justru jauh lebih sederhana daripada para dokter pada jaman modern saat ini. Padahal di jaman dahulu (di awal abad masehi ataupun di abad sebelum masehi), kehidupan umat para nabi-Nya terdahulu memang masih relatif amat primitif, jika dibandingkan dengan kehidupan umat manusia modern saat ini. Sehingga amat mudah dipahami, jika orang yang telah ‘pingsan’ relatif lama, justru bisa dianggap oleh umat-umat terdahulu, sebagai ‘orang mati’. Serta orang yang ‘pingsan’ memang benar-benar bisa ‘mati’, jika tidak ada berbagai tindakan pengobatan secara khusus (di jaman dahulu ataupun di jaman sekarang ini). Padahal para nabi-Nya terkait tidak bisa menghidupkan ‘orang mati’ yang telah lama dikuburkan, atau jasadnya telah hancur di dalam tanah. Hal-hal seperti inilah yang terjadi pada segala mu’jizat lainnya


Sunatullah (sifat proses)

623

dari para nabi-Nya. Dasar terjadinya tiap mu’jizat itu adalah berbagai ilmu-pengetahuan (sunatullah) yang telah bisa dipahami dengan relatif amat baik oleh para nabi-Nya terkait (bisa berulang), ataupun berbagai pengalaman tertentu yang terjadi tanpa disengaja (tidak berulang). Mu'jizat pada umumnya dianggap sebagai suatu tanda, bahwa para nabi-Nya itu telah memiliki berbagai kelebihan dan keistimewaan dari segi keilmuan (lahiriah dan batiniah), dibandingkan seluruh umat manusia pada jamannya, terutama agar umat kaumnya mau mengikuti ajaran-ajaran agama-Nya yang sedang disampaikannya. Mu'jizat justru bukanlah hal yang mistis-tahayul. Kesan mistis ‘seolah-olah’ ada, karena memang belum bisa dijelaskan oleh manusia biasa pada umumnya, termasuk karena tidak ada penjelasan lengkap dari para nabi-Nya itu sendiri, tentang ‘ilmu’ di balik tiap mu'jizatnya. Manusia mengenal Allah, dengan memahami sunatullah Dari memahami kesempurnaan dan keindahan atas aturan-Nya (sunatullah), maka umat manusia justru bisa memahami sebagian dari hakekat “wujud zat Allah” (perwujudan dari sifat-sifat terpuji Allah), yang tergambar pada nama-nama terbaik Allah (Asmaul Husna), yang disebut-sebut dalam Al-Qur'an, antara lain: Maha Esa, Maha Adil, Maha Sempurna, Maha Kuasa, Maha Memelihara, Maha Kuat, Maha Pemurah, Maha Penyayang, dsb, seperti yang telah pula disebut pada berbagai uraian di atas. Seperti diketahui pada Gambar 18, Gambar 19, Gambar 20, tentang sifat zat, serta hubungan antara sifat-sifat-Nya dan sifat-sifat segala zat ciptaan-Nya, dan diketahui pula pada uraian-uraian di atas (terutama poin b), bahwa sifat zat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: sifat ‘esensi-statis-pembeda’ dan sifat ‘perbuatan-dinamis-proses’. Sedangkan sifat-sifat ‘esensi’ Zat Allah yang diketahui (walau juga tidak langsung tentang Zat Allah) adalah Ada (wujud), Maha Esa, Maha Gaib (Maha tersembunyi), Maha Kekal, Maha Awal, Maha Akhir dan Maha Hidup. Maka sifat-sifat-Nya lainnya pada Asmaul Husna, pada dasarnya justru berupa sifat-sifat dari segala ‘perbuatan’ Zat Allah di alam semesta ini, yang biasa disebut pula sebagai Sunnah Allah (sunatullah). Sekali lagi, pada dasarnya sifat-sifat ‘esensi’ Zat Allah tersebut tidak terkait langsung tentang zat Allah itu sendiri, tetapi berdasarkan hasil pemahaman atas ‘fenomena umum’ dari segala ‘perbuatan’ Zat Allah. Maka pemahaman atas sunatullah itu sendiri, adalah unsur yang amat sangat penting dalam mengenal Allah dan sifat-sifat Allah.

624

Sunatullah (sifat proses)

Cara memahami sunatullah (Sunnah Allah) Bahwa hakekat dari sunatullah (sunnah Allah) itu sendiri bisa dipahami dari mengamati dan mempelajari berbagai proses kejadian (lahiriah dan batiniah, yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’), atas segala zat ciptaan-Nya di alam semesta ini. Karena segala proses kejadian yang seperti itu memang hanya hasil dari perbuatan Allah, Yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Segala proses kejadian itu biasa disebut pula sebagai “tandatanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya”, “wajah-Nya”, “ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis”, “kalam-Nya atau wahyu-Nya yang sebenarnya”, “segala pengetahuan atau kebenaran-Nya”, atau disebut pula sebagai “Al-Qur’an dan kitab-kitab-Nya lainnya yang berbentuk gaib”, yang tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi ‘Arsy-Nya. Pemahaman atas sunatullah juga bisa amat diperkuat, melalui ilmu-ilmu yang biasanya dipelajari dari bangku sekolah, yaitu: fisika, kimia, biologi, astronomi, matematika, dsb, terutama lagi yang lebih pentingnya berupa teori-hukum-rumus fisik-alam (ilmu fisika, kimia, biologi, dsb) ataupun hukum kausalitas (hukum sebab-akibat). Sebagian dari ilmu-ilmu itu bersifat pasti, dan juga relatif telah teruji dan terbukti kebenarannya. Walaup ilmu-ilmu temuan manusia pada dasarnya justru tidak bersifat ‘mutlak’, seperti halnya ilmu-Nya yang berupa sunatullah, karena ilmu-ilmu itu lebih bersifat pendekatan ‘relatif’ atas berbagai pengalaman empirik lahiriah tertentu. Tepatnya, ilmu-ilmu hasil temuan manusia justru hanya pendekatan atas rumusrumus pada sunatullah, yang telah bisa diformulasikan oleh manusia. Sedangkan dalam ayat-ayat-Nya yang tertulis (ayat-ayat kitabkitab-Nya), sedikit sekali disebut istilah ‘sunatullah’ (Sunnah Allah). Tetapi dalam Al-Qur’an misalnya, justru amat banyak anjuran untuk bisa mempelajari segala proses kejadian di seluruh alam semesta ini, melalui ayat-ayatnya yang berbunyi, seperti: "berjalanlah di muka bumi itu, pelajarilah …"; "perhatikanlah bagaimana cara Allah …"; "… terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya"; dsb. Di dalam Al-Qur’an banyak pula keterangan langsung, tentang berbagai tindakan-Nya, melalui ayat-ayatnya yang berbunyi, seperti: "Dia berkehendak …"; "… kepada siapa yang dikehendaki-Nya …"; "… dengan kehendak-Nya"; "… sebagaimana kehendak-Nya"; "… Demikianlah Allah berbuat, apa yang dikehendaki-Nya"; "Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka …"; dsb. Dan tentunya, penjelasan tentang segala kejadian alam (fisik-


Sunatullah (sifat proses)

625

lahiriah) dalam kitab-kitab-Nya, tidaklah selengkap pengetahuan umat manusia modern saat ini, setelah amat pesatnya perkembangan segala bidang ilmu-pengetahuan lahiriah hasil temuan manusia. Baca pula uraian poin a pada Tabel 13 di atas. Keistimewaan akal-pikiran manusia Akal-pikiran pada tiap manusia, sebagai suatu sarana batiniah ruh manusianya (beserta hati atau kalbu), amatlah jelas diketahui bisa menampung apa saja. Juga bisa membayangkan ataupun memikirkan apa saja, bahkan memikirkan hal-hal yang tak-nyata sekalipun. Luas pikiran manusia adalah tak-terhingga. Tidaklah ada sesuatu benda di dunia ini yang tidak bisa dipikirkannya. Bahkan hal-hal yang tidak ada di dunia, juga bisa dipikirkannya. Hal yang tidak bisa dilihat dengan mata, juga bisa ada dalam pikirannya. Sehingga ‘hampir’ apa saja bisa dipikirkan ataupun ditampung oleh akal-pikiran manusia. Sekali lagi, ‘hampir’ apa saja. Disebut “‘hampir’ apa saja”., karena akal-pikiran tiap manusia justru mustahil memiliki kekuatan, kapasitas atau daya tampung, agar bisa membayangkan ataupun memikirkan hakekat ‘zat’ ruh Allah dan hakekat ‘zat’ ruh makhluk-Nya. Juga hanya amat sangat sedikit sifat esensi zat ruh yang bisa dipahami oleh akal manusia (hanya dipahami fenomena umum di sekitar zat ruh, atau tidak terkait langsung dengan zat ruh itu sendiri). Tetapi khusus tentang hakekat zat ruh makhluk-Nya (terutama para makhluk gaib), telah ada sebagian kecilnya yang bisa diungkap oleh sebagian dari para nabi-Nya dan manusia biasa lainnya (telah bisa mengetahui ‘wujud asli’ para makhluk gaib) Baca pula topik "Benda mati gaib", tentang ‘wujud asli’ para makhluk gaib. Dan uraian di atas, tentang hal-hal gaib yang masih bisa dinalar dengan akal (berupa gaib ‘tindakan’, bukan gaib ‘zat’). Bahkan Imam Al-Ghazali juga menunjukkan segala kelebihan atau keistimewaan ‘akal’ (sebagai indera batiniah ruh tiap manusia), terutama saat dibandingkannya dengan indera lahiriah (‘mata’), yang diungkap pada Tabel 14 berikut. Walau pemahaman pada buku ini, ‘akal’ tidak tepat dianggap sebagai indera batiniah ruh tiap manusia (lebih tepatnya berupa ‘hati atau kalbu’). Sedang ‘akal’ justru bisa berfungsi memilih, mengolah, menelaah, menilai ataupun memutuskan atas segala bentuk informasi batiniah, dari hasil tangkapan ‘hati atau kalbu’. Lebih lengkapnya lagi, dari hasil tangkapan alat-alat indera lahiriah (mata, telinga, hidung,

626

Sunatullah (sifat proses)

lidah, kulit, dsb), yang juga telah terkirim ke ‘hati atau kalbu’. Pada informasi dari ‘hati atau kalbu’ itupun telah disertai pula dengan segala bentuk informasi batiniah tambahan dari para makhluk gaib, yang berupa ilham-ilham positif dan negatif, ke dalam ‘hati atau kalbu’ manusia yang selalu mereka ikuti, awasi dan jaga. Baca pula topik "Benda mati gaib", tentang ilham-ilham dari para makhluk gaib. Juga topik "Awal Penciptaan Alam Semesta, dan Elemen Dasarnya", tentang sifat-sifat ruh. Juga uraian-uraian di bawah, tentang elemen-elemen pada zat ruh dan fungsinya. Tabel 14: Keistimewaan akal manusia (terhadap mata lahiriah)

Berbagai keistimewaan akal manusia (terhadap mata lahiriah) No

Perbandingan antara mata dan akal

1.

Mata : Bisa melihat benda lain, tetapi relatif tidak bisa melihat dirinya sendiri. Akal : Bisa menyerap tak-terhingga pengetahuan di luar dirinya, tetapi juga bisa menyerap dirinya sendiri.

2.

Mata : Tidak bisa melihat suatu yang amat jauh dan amat dekat. Akal : Bisa menyerap suatu yang amat jauh-tinggi dan amat dekat-dalam tanpa ada bedanya, dan dalam sekejap mata.

3.

Mata : Tidak bisa melihat benda-benda yang berada di balik selubung (hijab, tabir, penutup atau pembatas). Akal : Bisa menyerap segala sesuatu hal yang berada di balik selubung, bahkan sampai ke hijab di sekitar ‘Arsy-Nya. Bisa bergerak bebas di alam dunia dan alam malakut (alam gaib). Dan hijab bagi akal, hanya ketika menghijab dirinya sendiri

4.

Mata : Hanya bisa melihat permukaan sesuatu, dan bukanlah bagian di dalamnya. Akal : Bisa menyerap permukaan sesuatu, dan juga bagian di dalamnya (rahasia, hakekat atau ruhnya; sebab-sebab; sifat-sifat; hukum-hukum; dsb).

5.

Mata : Hanya bisa melihat sebagian dari yang maujud saja, dan bukan keseluruhannya. Akal : Bisa menyerap keseluruhan dari sesuatu yang maujud. Bahkan ‘seluruh’ maujudat adalah bidang jangkauan akal. Akal bisa memberi penilaian dengan penuh keyakinan dan kepastian. Semua indera lahiriah hanya sarana bagi akal, dan tunduk kepada akal.

6.

Mata : Hanya bisa melihat sesuatu yang terbatas saja, dan bukan sesuatu yang tak-terbatas. Akal : Bisa menyerap sesuatu yang terbatas, dan juga sesuatu yang tak-terbatas atau tak-terhingga.

7.

Mata : Banyak kesalahan yang bisa terjadi pada saat melihat (sesuatu yang besar bisa tampak kecil, sesuatu yang jauh bisa tampak dekat, sesuatu yang diam bisa tampak bergerak, sesuatu yang tak-bersinar bisa tampak bersinar,


Sunatullah (sifat proses)

627

sesuatu yang kasar bisa tampak licin, dsb). Akal : Jarang ada kesalahan yang bisa terjadi pada saat menyerap sesuatu hal (hanya terjadi jika terkandung khayalan dan anggapan yang keliru). (dikutip dari buku "Misykat cahaya-cahaya", Imam Al-Ghazali, 1993: 18-26)

Islam, agama yang paling sesuai ilmu-pengetahuan Dari pemahaman yang mendalam atas sunatullah, ataupun atas segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya dalam ajaran agama Islam, relatif jelas bisa diketahui bahwa hanya Islam, satu-satunya agama di dunia ini, yang paling sesuai (bahkan semestinya mustahil bisa saling bertentangan), dengan segala ilmu-pengetahuan hasil temuan manusia secara ‘amat obyektif’ (berdasar fakta-kenyataan-kebenaran yang ada di seluruh alam semesta ini, tanpa ditambah dan dikurangi). Bahkan pastilah akan sesuai pula dengan segala bidang ilmupengetahuan yang belum berhasil diungkap oleh manusia modern saat ini (secara ‘amat obyektif’ pula tentunya). Sedang segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya dalam kandungan isi tiap ajaran agama Islam, pada dasarnya justru bersifat ‘universal’ (tidak tergantung pada batas ruang, waktu, konteks budaya manusia, dsb). Dalam ajaran agama Islam justru pada dasarnya tidak pernah diajarkan ‘mistis-tahayul’, yang tidak bisa dijelaskan dengan intuisinalar-logika akal sehat manusia. Walaupun memang ada sebagian dari umat Islam yang menafsirkan ajaran-ajaran agamanya secara ‘mististahayul’ tersebut. Dan tentunya mereka inipun telah melakukan suatu kekeliruan besar. Sedang pada berbagai ajaran di luar agama Islam, ada banyak yang mengandung tahayul, termasuk tahayul yang dikembangkan di sekitar mu’jizat para nabi-Nya, yang justru sulit dinalar dengan akalsehat manusia. Padahal mu’jizat yang ditahayulkan itu pada dasarnya bersifat fisik-lahiriah, sedang hal-hal lahiriah itu sendiri justru hampir semuanya telah bisa dipahami oleh para ilmuwan modern saat ini. Padahal mu’jizat yang bersifat lahiriah, hanya perwujudan dari ‘keluar-biasaan’ hasil ilmu-pengetahuan para nabi-Nya, pada konteks umat ataupun jamannya masing-masing. Ironisnya, justru umat Islam sendiri yang juga ikut serta mengtahayulkan berbagai kisah, tentang mu’jizat lahiriah dari para nabi-Nya itu. Bahkan termasuk dilakukan pula oleh masyarakat barat, yang justru telah maju ilmu-pengetahuan lahiriahnya. Hal ini justru menjauhkan agama dari akal-sehat manusia. Baca pula uraian-uraian tentang mu’jizat di atas. Sedang mu’jizat dari nabi Muhammad saw hanya berupa kitab

628

Sunatullah (sifat proses)

suci Al-Qur’an. Di mana secara lahiriahnya, tidak ada yang luar-biasa dengan mu’jizat dari Nabi tersebut, karena bentuk fisik-lahiriah kitab suci Al-Qur’an persis seperti buku-buku lainnya. Justru keluar-biasaan Al-Qur’an terletak pada seluruh hikmah dan hakekat kebenaran-Nya yang terkandung di balik teks ayat-ayatnya (amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan). Kalaupun ada sebagian dari ajaran agama Islam, yang amatlah menuntut ketaqwaan dan keimanan secara "taklid". Hal ini bisa terjadi karena sebagian besar umat terdiri dari kalangan yang relatif awam, terhadap tiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di balik teks ajaranajarannya, terutama lagi dalam hal-hal yang bersifat batiniah dan gaib, yang memang relatif amat sulit bisa dijelaskan dengan bahasa manusia sehari-harinya (hanya bisa dijelaskan dengan segala perumpamaan). Dan hanya bagi para nabi-Nya, para wali ataupun para alimulama yang memiliki ilmu agama relatif amat tinggi (atas kehendakNya), yang bisa memahami hikmah dan hakekat kebenaran-Nya itu, karena segala kehendak dan tindakan-Nya di alam semesta, memang amat teratur. Namun bagi umat-umat yang awam, sebagian dari ajaran agama Islam seolah-olah dianggapnya sebagai suatu hal yang mististahayul, karena memang belum bisa dijangkau oleh akal-pikirannya. Padahal tidak ada ajaran agama Islam yang bersifat ‘tahayul’. Serta mistisisme dalam ajaran agama Islam semestinya hanya berupa suatu pengagungan yang amatlah tinggi kepada ‘segala ketinggian dan kemuliaan nilai-nilai kebenaran-Nya’ di dalamnya (bukan mistisisme sekaligus tahayul). Cukup mudah diduga, bahwa tiap penafsiran yang cenderung bersifat ‘tahayul’ atas kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah-sunnah Nabi, justru akibat telah dipengaruhi (secara disengaja ataupun tidak), oleh ajaran-ajaran agama lainnya, seperti: hadits-hadits Israiliyat; turunnya nabi Isa as ataupun Imam Mahdi sebelum akhir jaman; dsb. Bahkan berbagai agama itu justru telah timbul ratusan tahun, sebelum kedatangan agama Islam. Padahal berbagai perubahan dan perbedaan penafsiran pada umat-umat di ‘jaman dahulu’, justru secara perlahan-lahan bisa mengubah tiap ajaran agama-agama itu, sekaligus pula melahirkan berbagai tahayul di dalamnya. Dan kedatangan agama Islam justru untuk meluruskannya, sebagai agama-Nya yang lurus dan terakhir, serta umat Islam juga mestinya menghindari segala ‘tahayul’. Contoh misalnya dalam Al-Qur’an disebut “bahwa nabi Isa as diturunkan-Nya ‘pada Hari Kiamat’”, justru bukan ‘pada akhir jaman’,


Sunatullah (sifat proses)

629

‘sebelum akhir jaman’, ataupun bukan ‘beberapa tahun sebelum akhir jaman’. Padahal ‘Hari Kiamat’ relatif berbeda daripada ‘akhir jaman’, juga tentunya kata ‘pada’ berbeda daripada kata ‘sebelum’. Kekeliruan penafsiran atas hal inilah, yang telah menimbulkan tahayul seperti: “nabi Isa as pasti akan diturunkan-Nya sebelum akhir jaman, untuk merobohkan salib-salib dan meluruskan agama-Nya.”. Baca pula topik "Nabi terakhir, untuk seluruh umat manusia", tentang kemustahilan turunnya nabi Isa as di akhir jaman. Dan topik "Benda mati gaib", tentang Hari Kiamat. Bahkan pengaruh dari ajaran-ajaran agama di luar Islam itupun dengan amat jelas dan efektif, telah menimbulkan kemunduran amat drastis atas perkembangan ilmu-pengetahuan di kalangan umat Islam, justru hanyalah beberapa abad setelah wafatnya nabi Muhammad saw. Bisa dikatakan, perkembangan itupun praktis telah terhenti saat ini. Hal ini karena segala pemikiran umat Islam telah berlangsung statis (hanya berjalan di tempat saja), ataupun terus-menerus berkutat mendebatkan hal-hal yang bersifat khilafiyah, hanya berdasarkan dari ‘hasil pemikiran’ para ulama terdahulu saja. Serta umat yang berilmu telah merasa cukup hanya sebagai penghapal Al-Qur’an dan Hadits. Amat ironisnya lagi, bangsa Yahudi yang justru telah berhasil mengacak-acak agama-agama tauhid, justru telah menjadi pemimpin penguasaan ilmu-pengetahuan di jaman modern ini, walaupun banyak ilmu-ilmu mereka yang memang telah diperoleh dan dipakai, dengan melewati batas-batas moral-etika (melampaui batas, berbuat zalim). Di lain pihaknya, segala tahayul yang telah dikembangkan atas ajaran-ajaran agama Islam, justru bisa semakin menjauhkan ataupun semakin memutuskan hubungan antara agama dan akal-sehat manusia. Padahal dalam Al-Qur’an justru amat banyak disebut tentang berbagai keutamaan bagi tiap umat Islam yang berilmu-pengetahuan; berakal (mau memakai akal); mau berpikir, memahami dan mempelajari; dsb. Padahal akal justru dipakai oleh tiap umat manusia, untuk bisa menjawab segala persoalan kehidupannya sehari-harinya. Padahal di lain pihak, ajaran-ajaran agama-Nya justru juga untuk bisa menjawab hal yang sama, walaupun tentunya dengan cara-cara yang justru lebih sesuai dengan keredhaan-Nya, ataupun lebih mendasar dan hakiki. Para ilmuwan Muslim terdahulu Para ilmuwan Muslim pada jaman dahulu, selain dari berusaha amat keras dalam memahami segala aspek yang langsung menyangkut agama-Nya (ilmu-ilmu agama), justru juga berusaha amat keras dalam

630

Sunatullah (sifat proses)

menguasai amat banyak bidang ilmu-pengetahuan umum (ilmu-ilmu non-agama), yang justru amat dianjurkan pula dalam Al-Qur’an. Bahkan mereka itu amat banyak diilhami dari Al-Qur’an untuk mengkaji berbagai kebenaran-Nya di dalamnya (lahiriah dan batiniah), bukanlah hanya semata sekedar menerima apa adanya. Justru banyak pula hasil penemuan ilmu-pengetahuan (terutama ilmu-ilmu lahiriah) sampai pada jaman modern saat ini, yang telah memperkuat kebenaran kandungan isi ayat-ayat Al-Qur’an. Di lain pihaknya, ilmu-ilmu batiniah memang relatif amat sulit untuk bisa dibuktikan dan diukur. Hanya orang-orang yang memiliki kepekaan batiniah amat kuat yang bisa memahami dan menyakininya. Pada Tabel 15 berikut ditunjukkan beberapa ilmuwan Muslim pada jaman dahulu, yang hidup di sekitar abad ke-8 s/d 15. Bahkan sebagian darinya amat dikenal di dunia (termasuk di kalangan negaranegara barat), sehingga merekapun telah memiliki nama-nama barat. Seperti: Ibn Sina sebagai Avicenna; Ibn Rushd sebagai Averroe's; AlIdrisi sebagai Dreses; Ibn Maymun, Musa sebagai Maimonides; dsb. Tabel 15: Daftar para ilmuwan Muslim terdahulu

Para ilmuwan Muslim terdahulu (abad ke-8 s/d 15), dengan berbagai bidang ilmu-pengetahuan yang dikuasainya Masa hidup

Nama ilmuwan

701 (wafat) 721- 803

Khalid Ibn Yazeed Jabir Ibn Haiyan

740

Al-Asma'i

780 776- 868 787

Al-Khwarizmi (Algorizm) Amr Ibn Bahr al-Jahiz Al Balkhi, Ja'far Ibn Muhammas (Albumasar) Al-Fazari, Ibrahim Ibn Habib Ibn Ishaq Al-Kindi (Alkindus) Al-Dinawari, Abu Hanifa Ahmed Ibn Dawud Al Balkhi Thabit Ibn Qurrah (Thebit) Ali Ibn Rabban Al-Tabari Al Battani Abu Abdillah Ibn Masawaih You'hanna Abu Abdullah Al Battani (Albategnius) Al-Farghani, Abu al-Abbas (AlFraganus) Al-Razi (Rhazes)

796 (wafat) 800 815 816 836 838- 870 852 857 858- 929 860 864- 930

Bidang ilmu Ilmuwan kimia Ilmuwan kimia (seorang ilmuwan kimia muslim populer) Ahli ilmu hewan, ahli tumbuh-tumbuhan, ahli pertanian Matematika (Aljabar, Kalkulus), Astronomi Ahli ilmu hewan Astronomi Astronomi Kedokteran, Filsafat, Fisika, Optik Matematika, Sastra Ilmu Bumi (geografi) Astronomi, Mekanik, Geometri, Anatomi Kedokteran, Matematika Matematika, Astronomi, Insinyur Kedokteran Astronomi, Matematika Astronomi, Teknik Sipil Kedokteran, Ilmu Kedokteran Mata, Ilmu


Sunatullah (sifat proses)

973 (wafat)

Al-Kindi

888 (wafat) 900 (wafat) 903- 986 908 912 (wafat)

Abbas Ibn Firnas Abu Hamed Al-Ustrulabi Al-Sufi (Azophi) Thabit Ibn Qurrah Al-Tamimi Muhammad Ibn Amyal (Attmimi) Al-Nirizi, AlFadl Ibn Ahmed (Altibrizi) Ibn Miskawayh, Ahmed Abu Ali Ahmed Al-Tabari Al-Istakhr II Abu Al-Qosim Al-Zahravi (Albucasis) Abu Wafa Muhammad Al-Buzjani Ibn Hawqal Al Majrett'ti Abu al-Qosim Abul Hasan Ali al-Mas'udi Ibn Wahshiyh, Abu Bakar Ibn Al-Haitham (Alhazen) Abu Rayhan Al-Biruni Ibn Abil Ashath Ibn Sina (Avicenna)

923 (wafat) 930 932 934 936-1013 940- 997 943 950 958 (wafat) 960 (wafat) 965-1040 973-1048 976 980-1037 983 1001 1008 (wafat) 1019 1029-1087 1044 1060 (wafat) 1077 1090-1161 1095 1097 1099 1110-1185 1120 (wafat) 1128 1135 1136-1206 1140 1155 (wafat) 1162 1165 1173 1180 1184 1201-1274 1203

Ikhwan A-Safa (Assafa) Ibn Wardi Ibn Yunus Al-Hasib Alkarji Al-Zarqali (Arzachel) Omar Al-Khayyam Ali Ibn Ridwan Abu Hassan Ali Ibn Abi Sadia Abul Qasim Ibn Zuhr (Avenzoar) Ibn Bajah, Mohammed Ibn Yahya (Avenpace) Ibn Al-Baitar Diauddin (Bitar) Al-Idrisi (Dreses) Ibn Tufayl, Abubacer Al-Qaysi Al-Tuhra-ee, Al-Husain Ibn Ali Ibn Rushd (Averroe's) Ibn Maymun, Musa (Maimonides) Al-Razaz Al-Jazari Al-Badee Al-Ustralabi Abdel-al Rahman al Khazin Al Baghdadi, Abdel-Lateef Muwaffaq Ibn A-Rumiyyah Abul'Abbas (Annabati) Rasheed Al-Deen Al-Suri Al-Samawal Al-Tifashi, Shihabud-Deen (Attifashi) Nasir Al-Din Al-Tusi Ibn Abi-Usaibi'ah, Muwaffaq Al-Din

631 Kimia Fisika, Optik, Ilmu Logam, Ilmu Kelautan, Filsafat Mekanika, Ilmu Planet, Kristal Semu Astronomi Astronomi Kedokteran, Insinyur Ilmu Kimia Matematika, Astronomi Kedokteran, Ilmu Kimia Kedokteran Ilmu Bumi (Peta Bumi) Ilmu Bedah, Kedokteran Matematika, Astronomi, Geometri Ilmu Bumi (Peta Dunia) Astronomi, Ilmu Kimia, Matematika Ilmu Bumi, Sejarah Ilmu Kimia, Ilmu Tumbuh-tumbuhan Fisika, Optik, Matematika Astronomi, Matematika, Sejarah, Sastra Kedokteran Kedokteran, Filsafat, Matematika, Astronomi (Kelompok Ilmuwan Muslim) Ilmu Bumi (Peta Dunia) Astronomi, Matematika. Matematika Matematika, Astronomi, Syair Matematika, Astronomi, Penyair Kedokteran Kedokteran Ilmu Bedah, Kedokteran Astronomi, Kedokteran Ilmu Tumbuh-tumbuhan, Ilmu Kedokteran Ilmu Bumi (geografi), Ahli Ilmu Hewan, Peta Dunia (Peta Pertama) Filosofi, Kedokteran Ahli Kimia, Penyair Filosofi, Kedokteran, Astronomi Kedokteran, Filosofi Astronomi, Seni, Insinyur mekanik Astronomi, Matematika Astronomi Kedokteran, Ahli Bumi (geografi) Ahli Tumbuh-tumbuhan Ahli Tumbuh-tumbuhan Matematika Ahli Logam, Ahli Batu-batuan Astronomi, Non-Euclidean Geometri Kedokteran

632 1204 (wafat) 1213-1288 1236 1248 (wafat) 1258 1262 1273-1331 1360 1320 (wafat) 1341 (wafat) 1351 1359 1375 (wafat) 1393-1449 1424

Sunatullah (sifat proses) Al-Bitruji (Alpetragius) Ibn Al-Nafis Damishqui Kutb Aldeen Al-Shirazi Ibn Al-Baitar Ibn Al-Banna (Al Murrakishi), Azdi Abu al-Fath Abd al-Rahman alKhazini Al-Fida (Abdulfeda) Ibn Al-Shater Al Dimashqi Al Farisi Kamalud-deen Abul-Hassan Al Jildaki, Muhammad Ibn Aidamer Ibn Al-Majdi, Abu Abbas Ibn Tanbugha Ibn Al-Magdi, Shihab Udden Ibn Tanbugha Ibn al-Shatir Ulugh Beg Ghiyath al-Din al Kashani

Astronomi Astronomi Astronomi, Ilmu Bumi (geografi) Farmasi, Ahli Tumbuh-tumbuhan (Botani) Kedokteran, Matematika Fisika, Astronomi Astronomi, Ilmu Bumi (geografi) Astronomi, Matematika Astronomi, Fisika Ilmu Kimia Matematika, Astronomi Matematika, Astronomi Astronomi Astronomi Analisis Numerikal, Perhitungan

"Allah memberikan hikmah-Nya, kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah-Nya, sungguh telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali orang-orang yang berakal (mau menggunakan akalnya)." - (QS.2:269) "‌ . Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: `Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb-kami`. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya), melainkan orang-orang yang berakal (mau menggunakan akalnya)." (QS.3:7) "Sesungguhnya, dalam penciptaan langit dan bumi ini, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (mau menggunakan akalnya)," dan "(yaitu) orangorang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): `Ya Rabb-kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksaan neraka." - (QS.3:190-191) "Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) shalat, mereka menjadikan buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal." - (QS.5:58) "Dan tidak ada seorangpun akan beriman, kecuali dengan ijinNya. Dan Allah menimpakan kemurkaan, kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya." - (QS.10:100)


Sunatullah (sifat proses)

633

VI.A.1. Berbagai penerapan fungsi sunatullah

Gambaran sederhana fungsi sunatullah Hal yang paling umum diketahui ‘serupa’ dengan sunatullah di dalam ilmu-pengetahuan modern adalah “Hukum Kausalitas” (hukum sebab akibat) ataupun “Hukum alam”. Tentu saja sunatullah jauh lebih luas aspeknya, karena menyangkut aspek ‘lahiriah-fisik-material’ dan aspek ‘batiniah-moral-spiritual’. Sedang “Hukum Kausalitas” relatif hanya menyangkut hal-hal yang biasa dirumuskan oleh umat manusia saja (aspek ‘lahiriah-fisikmaterial’), karena aspek lahiriah itu memang relatif mudah dibuktikan secara ilmiah (relatif mudah diukur, disimulasikan dan diulang-ulang proses kejadiannya). Sunatullah yang relatif hanya terbatas pada aspek lahiriah-fisik-material itupun sering disebut sebagai "Hukum alam". Tentunya “Sunatullah lahiriah” atau "Hukum alam" di seluruh alam semesta ini, relatif masih amat sedikit yang telah bisa dipahami oleh manusia, karena manusia relatif masih hanya terbatas memahami hal-hal lahiriah, yang berada relatif dekat di sekitar planet Bumi saja. Gambaran sederhana tentang fungsi, aturan atau rumus proses pada sunatullah, yang menghubungkan antar segala keadaan awal dan keadaan akhir pada tiap zat ciptaan-Nya, sebagai hasil dari berlakunya proses pada sunatullah, atau sebagai suatu bentuk balasan-Nya, telah ditunjukkan pada Gambar 21 berikut. Gambar 21: Diagram sederhana fungsi sunatullah Keadaan awal (dipilih oleh makhluk-Nya)

Proses (ditentukan-Nya)

Sebab Keadaan a..z Input a..z Variabel a..z …

Keadaan akhir (balasan-Nya) Akibat / musabab

SUNATULLAH atau RUMUS PROSES (Aturan / Fungsi)

Keadaan a'..z' Output a'..z' Variabel a'..z' …

Pada dasarnya hanya segala zat makhluk-Nya (gaib dan nyata), yang bisa mengubah-ubah segala keadaan awal pada dirinya ataupun pada tiap ciptaan-Nya lainnya. Khusus pada para makhluk gaib, hal yang telah umum diketahui bahwa mereka tiap saatnya selalu berusaha mengubah-ubah atau mempengaruhi segala keadaan batiniah ruh tiap manusia, dengan memberikan segala pengajaran dan ujian-Nya secara

634

Sunatullah (sifat proses)

batiniah, sedang segala zat ciptaan-Nya yang berupa benda mati relatif sama sekali tidak bisa mengubah-ubah keadaannya sendiri. Proses berusaha tiap makhluk-Nya untuk bisa mengubah-ubah berbagai keadaannya sendiri, justru telah diatur pula oleh sunatullah. Sunatullah memang pasti mengatur segala proses kejadian di seluruh alam semesta ini (lahiriah dan batiniah), sesuai dengan segala keadaan tiap zat ciptaan-Nya, yang hanya bisa diubah-ubah oleh makhluk-Nya, setelah diawali dari segala keadaan tiap zatnya, yang justru diberikan atau ditetapkan-Nya, sejak ‘awal’ penciptaan alam semesta ini. Sejak penetapan awal itu, justru sama sekali tidak ada peranan ataupun intervensi dari Allah, dalam mengubah-ubah segala keadaan tiap zat ciptaan-Nya. Kecuali Allah hanya berbuat melalui sunatullah, sesuai ataupun setimpal dengan segala keadaan yang telah diusahakan oleh segala zat makhluk-Nya, sekaligus untuk diberikan-Nya segala bentuk balasan-Nya bagi zat terkait (lahiriah dan batiniah). Sederhananya, sejak awal penciptaan itu justru alam semesta relatif hanya berjalan secara ‘otomatis’, mengikuti sunatullah (aturanNya), dan sesuai dengan amal-perbuatan segala zat makhluk-Nya. Gambaran penerapan fungsi sunatullah Pada Gambar 22, Gambar 23 dan Gambar 25 berikut telah pula ditunjukkan penerapan atau peranan sunatullah dalam setiap perbuatan manusia, setiap saatnya sepanjang hidupnya. Ketiga gambar itu pada prinsipnya relatif serupa. Namun pada Gambar 22 lebih terfokus pada proses perubahan atas segala keadaan awal (lahiriah dan batiniah) pada setiap manusia, dari segala hasil usahanya sendiri, dan dari hasil pengaruh lingkungan di sekitarnya, sehingga bisa berlaku sesuatu sunatullah tertentu, yang ‘terpilih otomatis’ sesuai dengan segala keadaan awalnya itu. Sedangkan pada Gambar 23 (ataupun pada Gambar 24) telah ditunjukkan lebih lengkapnya, atas hal-hal yang terkait dengan setiap perbuatan manusia setiap saatnya (misalnya: perbuatan Allah melalui sunatullah, niat, tingkat kesadaran, beban ujian-Nya, beban tanggungjawab, tingkat keimanan, tingkat keterpaksaan, dsb). Walaupun bukan Allah yang menciptakan setiap perbuatan manusia (hanya manusianya sendiri yang menciptakan atau memulai setiap perbuatannya), namun Allah yang mewujudkan atau menyelesaikan setiap perbuatan manusia (melalui para malaikat-Nya, yang mengawal pelaksanaan sunatullah). Gambar 24 juga persis serupa dengan Gambar 23, namun lebih khusus tentang sumber daya (lahiriah dan batiniah) dan pemakaiannya


Sunatullah (sifat proses)

Segala Keadaan akhir sebagai suatu bentuk balasan-Nya (lahiriah & batiniah, baik & buruk) Lingkungan

Keadaan akhir (sebagai bentuk balasan-Nya) : - Lahiriah & baik : Rejeki / karunia / rakhmat-Nya (lahiriah), dsb - Batiniah & baik : Pahala / hikmah / hidayah-Nya, dsb - Lahiriah & buruk : Kerusakan / hukuman / azab-Nya (lahiriah), dsb - Batiniah & buruk : Dosa / hukuman / azab-Nya (batiniah), dsb

Segala keadaan awal dari hasil usaha & pilihan manusia & dari pengaruh lingkungan (rahmat & ujian-Nya)

Segala Sunatullah yang terpilih ‘otomatis’ sesuai segala keadaan awalnya

Perbuatan Allah Sunatullah n Keadaan awal Z

Keadaan akhir batiniah & buruk …

Keadaan akhir lahiriah & buruk Sunatullah 7

Keadaan eksternal (rahmat & ujian-Nya)

Keadaan awal Q

Keadaan akhir batiniah & baik Sunatullah 6

Keadaan awal P

Keadaan akhir lahiriah & baik

Keadaan awal O

Keadaan awal A

Keadaan internal (dari usaha manusia)

Perubahan baik (berkah) dan buruk kepada lingkungannya

Akhirnya tertinggal kepada keyakinan batiniah manusia, untuk bisa menilai segala bentuk informasi dari alat-alat indera lahiriah dan batiniahnya (mata, telinga, lidah, kulit, hidung, hati atau kalbu, dsb), dengan memakai akal ataupun hati-nuraninya. Lihat pula Gambar 26 di bawah. Baca pula topik "Awal Penciptaan Alam Semesta, dan Elemen Dasarnya", tentang sifat-sifat ruh (hubungan antara ‘akal’ dan keyakinan batiniah manusia pada hati-nuraninya).

Perubahan baik dan buruk kepada diri manusianya

Dalam hal ini, usaha berpikir setiap manusianya pada dasarnya justru amat dibantu dan diperkaya oleh sejumlah makhluk gaib, yang pasti selalu mengikuti, mengawasi dan menjaga setiap manusia setiap saatnya. Sedang di lain pihaknya, setiap manusia pada dasarnya relatif amat malas untuk mau berpikir. Para makhluk gaib justru juga selalu berusaha merangsang dan mengaduk-aduk pikiran manusia, dengan membisikkan segala bentuk ilham positif-benar-baik (dari para malaikat) dan negatif-sesat-buruk (dari para iblis, syaitan atau jin), bahkan pada saat manusianya justru relatif sedang ‘tidak berpikir’ (pada saat melongo, melamun, mimpi, mengantuk, dsb). Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang cara malaikat Jibril menyampaikan wahyu-Nya, serta tentang ilham-ilham dari para makhluk gaib.

Sunatullah 1

Pada Gambar 25 lebih khususnya ditunjukkan setiap perbuatan manusia dalam berpikir dengan memakai akalnya, sekaligus mengatur kehidupan batiniah ruhnya. Di mana setiap manusia bahkan memiliki kebebasan dan otoritas sepenuhnya untuk mengaturnya. Juga termasuk usaha setiap manusianya dalam mencari pengetahuan atau pemahaman atas tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta (pada aspek lahiriah dan batiniah). Dalam proses berpikir itu sama sekali tidak ada daya dari luar, yang bisa memaksa dan mengatur akal-pikiran setiap manusia, kecuali hanya berupa segala bentuk ‘tawaran’ informasi-ilham tambahan bagi akal, dari para makhluk gaib-Nya (di samping segala bentuk informasi yang sebenarnya, dari indera-indera lahiriah). Sedang segala ‘tawaran’ dari para makhluk gaib-Nya itu, justru pasti tetap hanya kembali pada keputusan dan pilihan akal manusianya sendiri, untuk mau mengikuti segala ‘tawaran’ itu ataupun tidak.

Gambar 22: Diagram siklus proses sesaat fungsi sunatullah

Usaha & memilih (A, .., Z)

bagi terlaksananya setiap perbuatan manusia, serta kaitannya dengan daya dan perbuatan Allah.

636

635

Manusia

Sunatullah (sifat proses)


Usaha & memilih

Keadaan awal / murni (lahiriah & batiniah), hasil usaha manusia

Makhluk gaib (batiniah)

Usaha & memilih

Daya awal / murni (lahiriah & batiniah), hasil usaha manusia

Makhluk gaib (batiniah)

Makhluk hidup & benda mati nyata (lahiriah) Perbuatan manusia : - Pencipta : Murni hasil usaha dan daya manusia, bukan Allah. Tetapi daya dan perbuatan Allah pasti selalu "menyertai di belakang" tiap perbuatan manusia (melalui sunatullah), sekaligus untuk memberi balasan-Nya. - Daya awal : Daya murni manusia (dalam dirinya), yang lalu dipengaruhi pula oleh lingkungan (rahmat & ujian-Nya)

Lingkungan / alam semesta

Perubahan baik (berkah) dan buruk kepada lingkungannya

Pengaruh daya buruk (beban ujian-Nya) Pengaruh daya batiniah dan lahiriah

Pengaruh daya baik (rahmat-Nya)

Daya akhir (lahiriah & batiniah) Perbuatan & daya Allah

Sunatullah (aturan)

638

Daya akhir (sebagai bentuk balasan-Nya) : - Lahiriah & baik : Rejeki / karunia / rakhmat-Nya (lahiriah), dsb - Batiniah & baik : Pahala / hikmah / hidayah / wahyu-Nya, dsb - Lahiriah & buruk : Kerusakan / hukuman / azab-Nya (lahiriah), dsb - Batiniah & buruk : Dosa / hukuman / azab-Nya (batiniah), dsb

Daya batiniah manusia pengaruhi pengajaran dari para makhluk gaib

Manusia

Daya aktual / akhir (lahiriah & batiniah), yang mewujudkan perbuatan

Hal yang paling pokok dari Gambar 23 berikut, bahwa setiap perbuatan manusia pastilah selalu dibantu atau disertai oleh perbuatanNya (melalui sunatullah), sebagai rahmat ataupun balasan-Nya. Gambar 23: Diagram siklus proses sesaat perbuatan manusia

Perubahan baik dan buruk kepada daya manusianya

637

- Tanggung-jawab / keterpaksaan - Niat / kesadaran / keimanan

Makhluk hidup & benda mati nyata (lahiriah)

Perbuatan manusia : - Pencipta : Murni hasil usaha dan daya manusia, bukan Allah. Tetapi daya dan perbuatan Allah pasti selalu "menyertai di belakang" tiap perbuatan manusia (melalui sunatullah), sekaligus untuk memberi balasan-Nya. - Daya awal : Daya murni manusia (dalam dirinya), yang lalu dipengaruhi pula lingkungan (rahmat & ujian-Nya)

Lingkungan / alam semesta

Perbuatan Allah

Keadaan akhir (lahiriah & batiniah)

Perubahan baik (berkah) dan buruk kepada lingkungannya

Pengaruh buruk (beban ujian-Nya)

Pengaruh batiniah dan lahiriah

Pengaruh baik (rahmat-Nya)

Sunatullah (aturan)

Perubahan baik dan buruk kepada diri manusianya Keadaan aktual (lahiriah & batiniah), yang mewujudkan perbuatan

Keadaan akhir (sebagai bentuk balasan-Nya) : - Lahiriah & baik : Rejeki / karunia / rakhmat-Nya (lahiriah), dsb - Batiniah & baik : Pahala / hikmah / hidayah / wahyu-Nya, dsb - Lahiriah & buruk : Kerusakan / hukuman / azab-Nya (lahiriah), dsb - Batiniah & buruk : Dosa / hukuman / azab-Nya (batiniah), dsb

Keadaan batiniah manusia mempengaruhi pengajaran dari para makhluk gaib

Manusia

- Tanggung-jawab / keterpaksaan - Niat / kesadaran / keimanan

Sunatullah (sifat proses) Sunatullah (sifat proses)

Hal yang paling pokok dari Gambar 24 berikut, bahwa daya bagi setiap perbuatan manusia pastilah selalu dibantu atau disertai oleh daya Allah (melalui sunatullah), sebagai rahmat-Nya. Gambar 24: Diagram pemakaian daya pada perbuatan manusia


Sunatullah (sifat proses)

639

Keyakinan batiniah / pengetahuan / pemahaman yang ada

Perbuatan batiniah manusia : - Pencipta : Murni hasil usaha dan daya manusia, bukan Allah. Tetapi daya dan perbuatan Allah pasti selalu "menyertai di belakang" tiap perbuatan manusia (melalui sunatullah), untuk memberikan balasan-Nya. - Daya : Daya murni manusia (hanya daya untuk berpikir) Keadaan akhir (sebagai bentuk balasan-Nya) : - Batiniah & baik : Pahala / hikmah / hidayah / wahyu-Nya, dsb - Batiniah & buruk : Dosa / hukuman / azab-Nya (batiniah), dsb Æ Sunatullah tidak mengubah pemahaman dari hasil penilaian akal, tetapi memberi “nilai” atas kebenaran pemahaman tersebut.

Tiap hikmah & hidayah-Nya (pemahaman) disebut “wahyu-Nya”, jika keseluruhannya amat lengkap, mendalam, utuh, konsisten dan tidak saling Pengaruh batiniah baik Pengaruh batiniah buruk bertentangan (pengajaran/tuntunan-Nya) (cobaan/ujian-Nya) dari malaikat atau jin dari jin, syaitan atau iblis Keadaan batiniah manusia pengaruhi pengajaran dari para makhluk gaib Segala zat ciptaan-Nya dan segala Ilham-ilham (baik & buruk) kejadian di seluruh alam semesta dari para makhluk gaib (tanda-tanda kekuasaan-Nya)

Disebut hikmah & hidayah-Nya, jika sesuai kebenaran-Nya

Manusia, termasuk para nabi-Nya

Keadaan awal / murni (batiniah), hasil usaha manusia

Usaha memfilter / memilih informasi dari luar (ilham ke alam batiniah ruh manusia)

Perbuatan Allah

Sunatullah (aturan) Keadaan aktual (batiniah) dari hasil penilaian akal

Usaha berpikir & memilih informasi dari dalam otak

- Tanggung-jawab / keterpaksaan (doktrinasi) - Niat / kesadaran / keimanan

Perubahan baik dan buruk kepada diri manusianya

Keadaan akhir (batiniah)

Gambar 25: Diagram siklus proses sesaat pikiran manusia

640

Sunatullah (sifat proses)

Gambar 26: Diagram detail proses berpikir manusia Alam semesta Penciptaan alam semesta melalui sunatullah.

Terkandung “tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya” (lahiriah & batiniah) pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian di seluruh alam semesta ini, dan disebut juga “kebenaran-Nya”.

Mata, telinga, hidung, lidah, kulit, dsb.

Proses mengamati, mencermati atau meneliti atas segala hal di alam semesta ini.

Para makhluk gaib

Data tangkapan indera lahiriah yang sebenarnya.

Indera lahiriah manusia

Para malaikat mencatat dan perbaiki ingatan lahiriah.

Otak manusia Memori sementara. Para malaikat memeriksa dan mencatat amalan.

Malaikat, jin, syaitan dan iblis. Segala ilham

Catatan amal manusia

(+)

Nafsu manusia

Indera batiniah manusia

Memori tetap pada ruh.

Hati atau kalbu. (-)

Pencatatan tiap proses berpikir. Informasi benar (Y) atau tidak (T) ?

(-)

(+)

Akal manusia

(T) Memilih dan menilai tiap informasi batiniah.

Kebenaran relatif menurut tiap manusia, menambah & memperbaiki informasi pada hati-nurani.

Segala proses pemahaman di atas terhadap kebenaranNya di alam semesta (memakai akal, nafsu, hati-nurani, hati / kalbu, indera-indera lahiriah, dsb).

Para makhluk gaib manfaatkan nafsu.

(Y)

Semangat, keinginan / kemauan untuk maju. Keinginan & niat untuk berpikir. Juga bertambah keyakinan & semangat. Informasi penuntun dan filter bagi akal.

Hati-nurani manusia Informasi kebenaran relatif menurut manusia, bagi dasar keyakinannya

‘Arsy-Nya Keberadaan segala cahaya kebenaran-Nya.

Zat Allah

‘Tabir’ / god spot (batas kesadaran tentang Allah), sebagai hal tertinggi yang bisa dicapai manusia. Makin jernih cermin batinnya (hati nuraninya) makin tinggi pula tingkat pencapaiannya kebenaran-Nya. Allah Pemilik segala kebenaran mutlak & kekal.

Lebih lanjut, proses berpikir manusia Lebih detail daripada Gambar 25 di atas, bahkan pada Gambar


Sunatullah (sifat proses)

641

642

26 ditunjukkan secara sederhana perkiraan fungsi atau kerja sebagian dari alat-sarana batiniah dan lahiriah, yang umumnya terkait langsung dengan proses berpikir setiap manusia, khususnya yang terkait dengan proses pemahaman atas berbagai kebenaran-Nya di alam semesta ini (tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya).

Hati atau kalbu adalah indera batiniah ruh, yang menerima segala informasi dari segala indera lahiriah pada tubuh fisik manusianya (mata, lidah, kulit, telinga, hidung, dsb). Termasuk pula menerima tiap informasi yang justru telah sedikit disimpangkan ke arah positif dan negatif, dari para makhluk gaib (segala bentuk ilham-bisikan-godaan). Hati atau kalbu ini pada dasarnya alat penyimpanan satu-satunya atas segala informasi yang berasal dari luar tiap manusianya. Hati atau kalbu juga bisa disebut sebagai alat penyimpanan tiap informasi batiniah tentang tingkat kesukaan atau perasaan atas segala sesuatu hal.

Tentunya hal inipun banyak berasal dari perkiraan semata, atas kejadian yang dianggap logis pada alam pikiran manusia. Karena hal ini memang relatif amat sulit bisa dipahami, selain karena tidak jelas dan lengkap disebut dalam Al-Qur’an. Maka hal-hal tentang ruh, jiwa, nafsu, hati, kalbu, hati nurani ataupun akal, bahkan juga masih sering diperdebatkan di kalangan para alim-ulama samapi saat ini. Khusus tentang adanya dua istilah ‘hati’ pada Gambar 26 itu, maka ‘hati’ atau ‘kalbu’ bagi pemahaman di sini, dianggap berfungsi sebagai ‘indera’, sedangkan ‘hati-nurani’ dianggap berfungsi sebagai ‘informasi’ dasar penuntun hidup manusia (segala kebenaran ‘relatif’). Seperti halnya Gambar 25, juga pada Gambar 26 ditunjukkan peranan amat penting dari ruh para makhluk gaib, dalam berinteraksi dengan ruh setiap manusia, untuk memberi pengajaran dan ujian-Nya secara batiniah, terutama memanfaatkan setiap informasi dari alat-alat indera (lahiriah dan batiniah), nafsu dan memori-ingatan manusianya (pengetahuan dan pengalamannya). Sekaligus ditunjukkan pula bahwa para makhluk gaib itu justru sama sekali tidak bisa melangkahi segala keputusan akal manusia (ruh para makhluk gaib hanya berperan di luar wilayah keputusan akal). Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang cara para makhluk gaib berinteraksi dengan ruh setiap manusia. Akal, pengendali satu-satunya ruh makhluk-Nya Dari Gambar 26 di atas, telah bisa pula diubah lebih lanjut lagi menjadi Gambar 27, sekedar agar bisa lebih jelas menunjukkan posisi keberadaan sebagian dari elemen pada Gambar 26 (pada ruh atau pada tubuh lahiriah-fisik manusia), serta hakekat fungsi yang lebih tepatnya dari masing-masing elemennya. Menurut pemahaman pada buku ini, elemen-elemen pada tiap ruh manusia pada dasarnya terbagi menjadi 4 fungsi, yaitu:

Fungsi umum dari elemen-elemen pada ruh manusia •

Alat penerima informasi

Sunatullah (sifat proses)

Alat penyimpan informasi

a. Nafsu adalah alat penyimpanan tiap informasi tentang tingkat keinginan atau kemauan atas segala sesuatu hal. b. Hati nurani adalah alat penyimpanan tiap informasi tentang segala sesuatu hal yang telah ‘dianggap’ sebagai kebenaranNya (tentunya bersifat ‘relatif’ menurut tiap manusianya). Jika bisa semakin sesuai dengan tiap kebenaran-Nya di alam semesta ini yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’, maka disebut juga "semakin dekat ke ‘Arsy-Nya", karena pada ‘Arsy-Nya itulah tercatat segala kebenaran-Nya di alam semesta ini. c. Catatan amal adalah alat penyimpanan tiap informasi tentang segala sesuatu halnya, yang telah dilakukan oleh tiap anggota badan (perkataan dan perbuatan), dan oleh tiap akal-pikiran manusianya. Segala proses pencatatan tiap informasi inilah yang dilakukan oleh para malaikat Rakid dan ‘Atid, tiap saatnya selama di dunia, termasuk pula mengungkapkannya pada Hari Kiamat, ataupun pada waktu-waktu lainnya di kehidupan akhirat. •

Alat pengolah informasi Akal adalah alat satu-satunya untuk bisa memilih, menganalisa, mempelajari, menghitung, menilai, memproses, mengiterasikan, mengintegrasikan, mengolah ataupun memutuskan tiap informasi untuk bisa dianggap sebagai suatu ‘pengetahuan baru’ yang akan diproses ataupun dipakai lebih lanjut lagi. Segala informasi tentang proses batiniah pada akal (atau proses berpikir), pasti tercatat pula pada ‘catatan amal‘.


Sunatullah (sifat proses)

643

Segala informasi pengetahuan tentang keinginan atau kemauan atas segala sesuatu hal, tercatat pada ‘nafsu‘. Segala informasi pengetahuan tentang kesukaan atau perasaan atas segala sesuatu hal, tercatat pada ‘hati atau kalbu‘. Dan segala informasi pengetahuan tentang kebenaran relatif dan subyektif menurut manusianya, tercatat pada ‘hati nurani‘. •

Alat pelaksana keputusan Akal adalah alat yang memerintahkan tiap anggota badan untuk berbuat sesuatu hal, berdasar pengetahuan yang telah diperoleh dari hasil pengolahan segala informasi batiniah pada tiap ruh. Gambar 27: Diagram sederhana elemen ruh dan fungsinya Ruh para makhluk gaib yang mengikuti manusia.

Indera lahiriah manusia Mata, telinga, hidung, lidah, kulit, dsb.

Para makhluk gaib

Otak manusia

Malaikat, jin, syaitan dan iblis.

Segala data ‘sementara’ catatan amal-perbuatan.

Catatan amal manusia Segala data ‘tetap’ catatan amal-perbuatan. (-)

Nafsu manusia Segala data tingkat keinginan / kemauan. (+)

Indera batiniah manusia Hati atau kalbu. (-)

(+)

Akal manusia Anggota tubuh manusia

Memilih dan menilai segala informasi batiniah.

Pelaksana segala amalperbuatan lahiriah, yang berdasar perintah akal atau ruh.

Tubuh lahiriah manusia.

Ruh manusia dan elemen-elemennya.

Pengendali ruh satusatunya.

Hati-nurani manusia Segala data kebenaran relatif & subyektif. ‘Tabir’ / hijab / god spot (batas kesadaran tentang Allah).

644

Dari pemahaman pada buku ini, ‘akal’ adalah satu-satunya ‘pengendali’ pada tiap ruh zat makhluk-Nya (bukan hanya manusia). Sedang elemen-elemen ruh lainnya pada dasarnya hanyalah alat-alat penerima dan penyimpan informasi batiniah pada ruh makhluk-Nya, dengan segala macam bentuknya, yang dipakai dan diolah oleh ‘akal’. Bahkan ada pula anggapan lain, bahwa seluruh alat penyimpan informasi batiniah pada hakekatnya juga sama, yaitu ‘catatan amal‘. Sehingga ‘hati atau kalbu’, ‘nafsu’ dan ‘hati-nurani’ dianggap sebagai sebutan lain bagi ‘catatan amal‘ tersebut. Hal yang berbeda hanyalah jenis kelompok informasinya (pikiran dan amal-perbuatan, keinginan atau kemauan, kesukaan atau perasaan, kebenaran, dsb). Maka elemen pada tiap zat ruh pada dasarnya justru hanya terdiri dari ‘catatan amal‘ (penyimpan informasi) dan ‘akal’ (pengolah informasi). Pada pemahaman buku ini, bahwa segala informasi batiniah itu juga termasuk dalam kelompok "benda mati gaib" ciptaan-Nya, seperti halnya: memori-ingatan, intuisi-logika, ilmu-pengetahuan, pahala dan dosa, surga dan neraka, nafsu, hati-nurani, hati-perasaan, bahasa, dsb. Tentunya hal-hal yang diciptakan-Nya hanya segala ‘saranaprasarana’ bagi penyimpanan dan pengolahan informasinya, bukanlah ‘kandungan isi’ dari informasinya sendiri. Kalaupun ada, ‘kandungan isi’ informasi yang diciptakan-Nya pada alam batiniah ruh manusia, justru hanya berupa ‘fitrah-fitrah dasar’ tiap makhluk-Nya pada awal penciptaannya. Selanjutnya segala ‘kandungan isi’ informasi batiniah itu diubah-ubah sendiri oleh tiap makhluk-Nya, sepanjang hidupnya. Baca pula topik "Benda mati gaib". Elemen-elemen ruh, menurut para alim-ulama Di antara sejumlah alim-ulama, alim-ulama terkemuka seperti Imam Al-Ghazali telah diketahui cukup jelas membahas tentang ‘ruh’ dan elemennya, walau relatif berbeda daripada pemahaman pada buku ini (seperti yang ditunjukkan pada Gambar 26 dan Gambar 27 di atas). Pemahaman dari Imam Al-Ghazali atas hal-hal yang berkaitan dengan elemen-elemen pada ruh manusia, serta pada proses berpikir manusia misalnya, telah diungkap pada tabel berikut. Di mana Imam Al-Ghazali telah membagi-bagi tingkatan ruh-ruh cahayawi manusia (tingkatan pemahaman atas berbagai cahaya kebenaran-Nya), menjadi:

‘Arsy-Nya Segala data kebenaranNya (mutlak & kekal).

Sunatullah (sifat proses)

Berbagai tingkatan ruh-ruh cahayawi manusia No

Ruh cahayawi manusia dan keterangannya


Sunatullah (sifat proses)

1.

645

Ruh Inderawi: Menerima tiap keterangan yang dikirim oleh panca indera (lahiriah).

Di Gambar 26 disetarakan dengan ‘hati’ atau ‘kalbu’ (indera batiniah). 2.

Ruh Khayali (imajinatif): Merekam tiap keterangan yang dikirim oleh panca indera (lahiriah). Dan menyimpannya rapat-rapat, untuk kemudian menyampaikannya ke ruh Aqli (inteligensi), pada saat dibutuhkan.

Di Gambar 26 disetarakan dengan ‘otak’ (memori sementara pada tubuh lahiriah) ataupun ‘catatan amal’ (memori tetap pada zat ruh). 3.

Ruh Aqli (akal, inteligensi): Bisa menyerap makna-makna di luar indera (lahiriah) dan khayal. Dan jangkauan penyerapannya adalah pengetahuan-pengetahuan dharuri (aksiomatis) dan universal.

Di Gambar 26 disetarakan dengan ‘akal’ (mengolah informasi). 4.

Ruh Pemikiran: Mengambil ilmu-ilmu aqli (akal) yang murni, lalu melakukan berbagai penyesuaian dan penggabungan. Lalu membuat berbagai kesimpulan menjadi berupa berbagai pengetahuan yang amat berharga.

Di Gambar 26 disetarakan pula dengan ‘akal’ (mengolah informasi). 5.

Ruh Suci Kenabian: (diduga di sini berupa ruh malaikat Jibril) Menyingkap hal-hal gaib dan hukum-hukum akhirat, serta sejumlah pengetahuan tentang kerajaan langit, Bumi dan bahkan ketuhanan. Semua ini tidak mampu dijangkau oleh ruh akal dan ruh pemikiran.

Di Gambar 26 disetarakan dengan ‘hati-nurani’ (informasi kebenaran). Tetapi konteksnya amat berbeda, karena ‘Ruh Suci Kenabian’ ini menurut Imam AlGhazali, hanya khusus bagi para nabi-Nya dan sebagian para wali (sama-sekali tidak dimiliki oleh manusia biasa pada umumnya). Hal ini mestinya mustahil terjadi, karena para nabi-Nya pada ‘zat’-nya (lahiriah dan batiniah) justru juga ‘manusia biasa’. Mustahil ada zat ruh ‘tambahan’ (‘Ruh Suci Kenabian’) yang hanya khusus bagi para nabi-Nya, yang justru berupa suatu bentuk ke-tidak adil-an Allah. Kekhususan para nabi-Nya justru pada relatif amat sempurnanya segala cahaya kebenaran-Nya yang telah bisa dipahaminya (relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan keseluruhan pemahamannya, serta relatif amat konsisten pengamalannya), karena ‘hati-nurani’ (cermin batiniah) mereka yang amat jernih, dari segala hasil usaha mereka sendiri yang amat keras dan setimpal. (dikutip dari buku "Misykat cahaya-cahaya", Imam Al-Ghazali, 1993: 80-82)

Penting untuk diketahui, bahwa urutan atau tingkatan ruh-ruh cahayawi manusia di dalam tabel di atas, telah tersusun sesuai dengan terangnya ‘cahaya’ (tingkat kebenaran) dari informasi atau keterangan pada tiap ruhnya (ruh inderawi, ruh khayali-imajinatif, ruh aqli-akal-

646

Sunatullah (sifat proses)

inteligensi, ruh pemikiran dan ruh suci kenabian). Maka tingkatan itupun pada dasarnya belum bisa menunjukkan daftar elemen ruh, ataupun hubungan fungsional antar tiap elemen ruh, seperti halnya pada Gambar 26. Barangkali Imam Al-Ghazali justru telah menuliskan pada bukunya yang lainnya, tentang hal ini. Namun dalam tabel di atas telah cukup tampak, bahwa seolaholah wilayah pengendalian ‘akal’ dianggap amat terbatas (akal hanya dianggap sebagai salah-satu dari seluruh pengendali pada tiap zat ruh manusia). Sedang pemahaman pada buku ini, bahwa akal adalah satusatunya pengendali pada tiap ruh makhluk-Nya. Tampak pula dalam tabel di atas, bahwa tiap elemen pada ruh manusia juga disebut oleh Imam Al-Ghazali, sebagai ‘ruh’. Tentu saja khusus pada ‘ruh suci kenabian’, yang justru dianggap hanya dimiliki oleh para nabi-Nya (tidak ada pada tiap ruh manusia biasa lainnya). Menurut pemahaman pada buku ini, penyebutan tiap elemen pada ruh manusia sebagai ‘ruh’, bukan sesuatu hal yang tepat, karena ruh adalah elemen paling dasar pembentuk kehidupan tiap makhlukNya, dan sekaligus pula, ruh adalah hakekat dari tiap makhluk-Nya. Maka relatif aneh jika pada tiap ruh manusia ada pula berbagai ruh yang ‘hidup’, ataupun berbagai pengendali secara terpisah-pisah, tanpa sesuatu ‘pengendali’ tunggal, walau berada pada suatu zat ruh yang sama. Sehingga agak aneh misalnya: jika ruh inderawi tidak bisa dikendalikan atau bisa berbeda daripada keinginan ruh manusianya, jika ruh khayali bisa tidak selaras dengan ruh pemikiran, dsb. Mungkin Imam Al-Ghazali mendefinisikan kata ‘ruh’, sebagai ‘sesuatu hal tertentu’ pada alam batiniah ruh manusia (alam akhirat), tanpa memandangnya sebagai suatu hal yang ‘hidup’, ataupun suatu pengendali yang terpisah. Sekali lagi, penyebutan ‘ruh-ruh’ itu dianggap kurang tepat, atau sama sekali bukan ruh-ruh di dalam zat ruh manusia. Justru hanya zat ruh manusianya sendiri yang mengendalikannya (dengan akalnya), dan telah membuatnya seolah-olah ‘hidup’. Bahkan penyebutan ‘ruh-ruh’ itu oleh Imam Al-Ghazali, juga tetap kurang tepat, jika dikaitkan dengan adanya berbagai peranan ruh para makhluk gaib di alam batiniah ruh manusia, misalnya hubungan antara ‘Ruh Suci Kenabian’ dan malaikat Jibril. Karena peranan para makhluk gaib justru relatif amat terbatas (hanya pemberi dan penyalur informasi), dan bukan pengendali utama atas berbagai proses pada ruh tiap manusia (termasuk para nabi-Nya).


Sunatullah (sifat proses)

647

Para makhluk gaib itu terutama hanya menyimpangkan segala informasi yang akan diterima oleh indera batiniah ruh manusia (hati atau kalbu), dengan segala ilham positif-benar-baik dan negatif-sesatburuk (bisikan-godaan). Di mana ilham-ilham ini merupakan berbagai informasi ‘tambahan’, yang mereka berikan untuk menyertai berbagai informasi yang sebenarnya (atau murni), dari berbagai indera lahiriah dan dari hasil pikiran tiap manusianya sendiri. Dan peranan para makhluk gaib lainnya pada dasarnya hanya menyalurkan segala informasi batiniah yang telah diterima, diolah dan diproses oleh akal manusianya sendiri, misalnya malaikat Rakid dan ‘Atid yang mencatat tiap amal-perbuatan manusia. Para makhluk gaib sama sekali tidak bisa melewati, melangkahi ataupun membatasi daya kendali dan keputusan akal. Walau mereka memang bisa ‘mengelabui’ akal, yang tidak dipakai secara maksimal dan benar (tanpa memiliki keyakinan kuat), dengan cara memberi berbagai informasi yang keliru (ilham-bisikan-godaan yang negatif-sesat-buruk dari iblis dan syaitan). Lebih penting lagi, ‘Ruh Suci Kenabian’ dalam tabel di atas, pada dasarnya tidak ada, karena proses diberikan-Nya kenabian itu, justru melalui ‘akal-pikiran’ para nabi-Nya, persis serupa pada proses berpikir manusia biasa pada umumnya. Perbedaan antar tiap manusia hanyalah pada segala ‘keadaan’ alam batiniah ruh (tingkat keimanan), yang memang telah diusahakannya sendiri. Dan ‘keadaan’ tiap zat ruh tentunya amat berbeda dari ‘esensi’ zat ruhnya. Tentunya para nabi-Nya itu telah memiliki kesadaran tinggi, untuk mengatur alam batiniah ruhnya (membangun alam akhiratnya), sehingga cermin batiniah ruh merekapun (hati-nuraninya), telah amat terang dalam menerima pantulan cahaya kebenaran-Nya. Justru Allah Maha adil, sehingga mustahil Allah bersikap ‘pilih-kasih’ hanya bagi umat-umat tertentu, tanpa adanya usaha yang setimpal dari umat-umat itu sendiri (termasuk para nabi-Nya). Baca pula topik "Pengajaran dan tuntunan-Nya", tentang diturunkan-Nya wahyu, nabi ataupun kitab-Nya. Dan baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang cara berinteraksi antara manusia dan para makhluk gaib. Sunatullah batiniah, paling penting dalam beragama Sederhananya, sunatullah pada aspek lahiriah hanya mengatur kehidupan lahiriah manusia di dunia, sedangkan pada aspek batiniah justru mengatur kehidupan batiniah di akhirat (kehidupan batiniah ruh tiap manusia). Padahal segala keadaan batiniah ruh inilah yang justru

648

Sunatullah (sifat proses)

akan tetap kekal setelah Hari Kiamat, pada saat ruhnya telah kembali berkumpul di hadapan ‘Arsy-Nya. Sedang kehidupan lahiriah di dunia ini hanyalah bersifat ‘fana’ (sementara), atau hanya sekitar 0 s/d 100 tahun usia tiap manusianya. Di mana kehidupan dunia ini hanya semata-mata diciptakan-Nya, agar tiap manusianya bisa pula sambil membangun kehidupan akhiratnya masing-masing, agar bisa mencapai segala kemuliaannya yang makin banyak, di samping bersifat hakiki dan kekal. Sehingga segala pengetahuan atau pemahaman atas sunatullah pada aspek batiniahnya itulah, yang justru jauh lebih penting di dalam kehidupan beragama. Bahkan hampir semua ajaran dalam kitab-kitabNya (khususnya kitab suci Al-Qur’an), justru mengandung pengajaran dan tuntunan-Nya, agar bisa memperbaiki dan membangun kehidupan akhirat tiap manusia (kehidupan batiniah ruhnya). Bahkan termasuk pula dalam segala ajaran yang mengandung aspek lahiriah (segala macam ritual-fisik ibadah, ataupun segala amalkebaikan yang dianjurkan-Nya dan amal-keburukan yang dilarangNya), justru agar bisa tercapai berbagai nilai batiniah di baliknya, dari hasil segala pengalaman rohani-spiritual ketika beramal-ibadah. Dan agama-Nya justru bukan diajarkan-Nya, agar tiap manusia bisa meraih segala kekayaan dan kenikmatan duniawi, yang memang bersifat fana (sementara), amat semu dan mudah menyesatkan. Tentunya sunatullah pada aspek batiniah (berwujud ilmu-ilmu batiniah pada manusia) juga bersifat ‘netral’, seperti halnya sunatullah pada aspek lahiriah (ilmu-ilmu lahiriah, dari segala ilmu-pengetahuan fisik temuan manusia). Semuanya kembali tergantung kepada segala bentuk cara ‘perolehan’ dan ‘pemakaian’ atas segala pengetahuannya. Dari cara ‘perolehan’ dan ‘pemakaian’ ilmu-pengetahuan itulah yang menjadikannya seolah-olah bersifat ‘negatif’ dan ‘positif’. Ilmu-ilmu batiniah yang bersifat negatif itu, seperti: sihir, ilmu hitam, santet, gedam, guna-guna, dsb, dan yang bersifat netral, seperti: feng shui, semedi, yoga, dsb. Dan tentunya tiap ‘hasil penerapan’ dari ilmu-ilmu batiniah yang bersifat positif, amat banyak bisa ditemukan pada ajaran-ajaran agama-Nya (segala amal-ibadah atau syariat). Dan tentunya pula, pemahaman atas ilmu-ilmu batiniah hanya dimiliki oleh umat-umat yang berilmu relatif tinggi (seperti para nabiNya). Sedang bagi umat-umat yang awam, telah cukup baginya untuk bisa merasakan segala pengalaman batiniah-rohani-spiritual, dari hasil mengamalkan segala ritual-fisik ibadah yang dianjurkan dalam ajaran-


Sunatullah (sifat proses)

649

ajaran agama-Nya, yang memang berwujud relatif amat sederhana. Umat tidak perlu memaksakan dirinya, untuk harus memahami ilmu-ilmu batiniah di dalamnya, sebelum ia memiliki atau menguasai ilmu-ilmu agama secara cukup mendalam. Terutama karena ilmu-ilmu batiniah itu justru relatif berbeda daripada hal-hal yang biasanya telah diketahui oleh umat, dari berbagai teks ajaran agama-Nya. Lihat pula pada Gambar 35, tentang pengamalan atas ajaranajaran agama oleh umat berilmu dan umat awam. Penjelasan lebih detail atas tiap jenis ilmu-ilmu batiniah, telah berada di luar wilayah pembahasan pada buku ini, terutama karena ilmu-ilmu batiniah relatif amat luas aspeknya, selain itu pula bersifat relatif amat halus, peka dan rumit. Pada dasarnya proses pemahaman atas sunatullah pada aspek batiniah ini, serupa dengan sunatullah pada aspek lahiriahnya. Hanya saja tiap keadaan batiniah yang berpengaruh, relatif sulit diukur (tidak ada alat ukurnya, hanya dengan perasaan dan keyakinan), serta relatif sulit pula untuk dirumuskan, dipahami ataupun dijelaskan. Pemahaman atas sunatullah lahiriah umumnya diperoleh dari mengamati, meneliti atau mempelajari berbagai pengalaman empirik lahiriah tertentu. Di samping tentunya, secara tidak langsung melalui berbagai buku dan tulisan ilmiah. Sedang pemahaman atas sunatullah batiniah, umumnya hanya bisa diperoleh melalui berbagai pengalaman empirik batiniah tertentu, yang biasanya disebut pengalaman batiniahrohani-spiritual, karena memang relatif amat sulit dijelaskan melalui buku dan tulisan. Biasanya hanya melalui segala ritual amal-ibadah, yang juga tidak langsung menjelaskan ilmu-ilmu batiniah terkait. Syariat, ijtihad Nabi dari pemahaman atas sunatullah batiniah Segala hukum, aturan atau ketentuan syariat, pada tiap ajaran agama Islam, pada dasarnya bentuk perwujudan lahiriah yang bersifat praktis-aplikatif dan aktual dari tiap pemahaman nabi Muhammad saw terhadap sunatullah pada aspek batiniahnya (ilmu-ilmu batiniah, atau segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya pada aspek batiniah). Segala aturan syariat itu ditetapkan, pada dasarnya untuk bisa mengatasi segala persoalan batiniah, yang amat penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan tiap manusia (kehidupan akhirat atau kehidupan batiniah ruhnya). Sehingga segala aturan syariat pada dasarnya suatu bentuk ‘ijtihad’, walau memang berasal langsung dari Nabi sendiri. Lihat pula pada Gambar 40, tentang proses pemahaman atas berbagai kebenaran-Nya dari pengajaran-Nya sepanjang masa.

650

Sunatullah (sifat proses)

Ilmu-ilmu batiniah itu diperoleh setelah Nabi menjalani segala pengalaman rohani-moral-spiritual yang relatif lengkap dan mendalam sepanjang hidupnya, melalui segala usahanya yang sangat keras dalam memelihara akhlak dan budi pekertinya yang sangat terpuji. Sehingga dari berbagai pengalaman itu, Nabi memiliki kepekaan batiniah yang sangat tinggi (cermin batiniahnya sangat jernih untuk bisa menerima dan memantulkan berbagai cahaya kebenaran-Nya). Dengan sendirinya, ilmu-ilmu batiniah pada Nabi justru telah sangat tinggi pula, yang relatif sangat sulit bisa dicapai oleh manusia biasa pada umumnya (‘sangat sulit’ berbeda dari ‘mustahil’). Hal inilah yang membuat suatu ketentuan syariat, hanya bisa disampaikan atau diajarkan oleh ‘rasul-Nya’, sedang para ‘nabi-Nya’ hanya meneruskan syariat dari para rasul-Nya terdahulu (para rasulNya relatif lebih tinggi segala pemahamannya tentang kebenaran-Nya daripada para nabi-Nya). Juga dari segala pengalaman rohani-moralspiritual yang telah relatif lengkap dan mendalam, Nabi sebagai salah seorang rasul-Nya, telah bisa memahami keterkaitan antara berbagai olah-gerak tubuh fisk-lahiriah manusia yang relatif sangat sederhana sekalipun, dengan berbagai keadaan batiniahnya yang bisa ikut pula terpengaruh. Termasuk tentu saja, Nabi telah bisa memahami pula berbagai pengaruh dari para makhluk gaib terhadap kehidupan batiniah ruh tiap manusia (kehidupan akhiratnya), dari hasil segala pengalaman rohanimoral-spiritualnya dalam berinteraksi secara terang-terangan dengan para makhluk gaib (termasuk malaikat Jibril). Baca pula topik "Para nabi dan rasul utusan-Nya", tentang perbedaan antara nabi-Nya dan rasul-Nya. Serta topik "Makhluk hidup gaib", tentang cara berinteraksi antara manusia dan para makhluk gaib. Contoh yang sangat dikenal oleh umat Islam, adalah lahirnya ketentuan syariat yang berupa shalat wajib 5 waktu bagi umat Islam, setelah Nabi selesai menjalani pengalaman batiniah-rohani-spiritual yang sangat luar-biasa, yang biasa disebut peristiwa “‘Isra Mi’raj”. Tentunya pada peristiwa ‘Isra Mi’raj itu, Nabi khususnya bisa memahami pula segala aspek yang terkait dengan ibadah shalat wajib 5 waktu tersebut (tujuan lahiriah dan batiniah; bacaan; waktu; jumlah rakaat; olah-gerak tubuh; kiblat; wajib dan sunnah; rukun dan tertib; wudlu dan tayamum; dsb). Hal ini tentunya di luar pencapaian segala hikmah dan hakekat lainnya selama peristiwa ‘Isra Mi’raj itu.


Sunatullah (sifat proses)

651

Tiap hukum, aturan atau ketentuan syariat pada dasarnya pasti mengandung berbagai tujuan batiniah, yang mestinya bisa dicapai oleh tiap umat Islam (secara sadar ataupun tidak), yang telah mengikuti dan mengamalkannya, agar pelaksanaannya tidak menjadi sia-sia. Dari berbagai pengalaman batiniah-rohani-spiritual itulah pada akhirnya bertujuan untuk bisa membentuk segala akhlak terpuji, yang dengan sendirinya, agar bisa memperbaiki dan membangun kehidupan akhirat tiap umat itu sendiri (kehidupan batiniah ruhnya). Lihat pula pada Gambar 35, tentang hubungan antara syariat dan tujuan batiniahnya, secara sederhana dan ringkas.

652

Sunatullah (sifat proses)

VI.A.2. Usaha dan jalan hidup makhluk ciptaan-Nya

"Jalan hidup" dan hubungannya dengan sunatullah ‘Hidup’ adalah proses memilih dan usaha tiap manusia (secara sadar ataupun tidak), agar bisa mengubah tiap keadaan atau nasibnya tiap saatnya, dengan memilih salah-satu dari sejumlah besar pilihan yang tersedia baginya tiap saatnya, sesuai dengan keadaan, keinginan, pengetahuan dan kemampuannya. Rangkaian dari tak-terhitung jumlah proses itu sepanjang hidupnya, biasanya dikenal dengan ‘jalan hidup’.

Tiap pilihan (sepenggalan amat kecil dari garis ‘jalan hidup’) hanya suatu proses memilih dan usaha, untuk bisa mengubah keadaan awalnya saja (bukan keadaan akhir). Sedangkan keadaan akhirnya bisa diperoleh dari hasil berlakunya suatu sunatullah tertentu, yang terpilih ‘otomatis’ menurut keadaan awal tersebut. Maka ‘jalan hidup’ dengan sendirinya juga berupa rangkaian dari tak-terhitung jumlah sunatullah, yang telah dilalui atau dijalani. Segala proses memilih dan usaha itu justru terjadi tiap saatnya, melalui sarana nafsu (daya-kemampuan-keinginan) dan akal (pikiranpengetahuan-pilihan), yang diberikan-Nya kepada tiap manusia. Fungsi akal dalam memilih "Jalan hidup" Akal adalah sarana yang amat penting bagi tiap manusia untuk "memilih" berbagai keadaannya, sesuai dengan harapan-keinginannya. Semakin sering akalnya diasah (khususnya melalui berbagai lembaga pendidikan), maka juga bisa dimiliki kebebasan dan pengetahuan yang relatif semakin luas dalam "memilih". Penting diketahui pula, bahwa apabila sejak awalnya telah bisa ditentukan sesuatu pilihan dengan tepat, sekalipun melalui berbagai usaha yang amat keras, maka pilihan itu akan amat mempermudah dan memperringan berbagai usaha atau langkah selanjutnya. Buah dari tiap usaha yang amat keras dan tepat, pasti bisa dinikmati kemudian. Karena itulah amat penting dianjurkan bagi tiap manusia agar berpendidikan, semakin tinggi justru semakin baik, agar bisa dimiliki peluang semakin besar dalam memilih jalan hidupnya (atau nasibnya), yang lebih diharapkannya, khususnya dalam sesuatu lingkungan yang tingkat persaingannya relatif amat tinggi. Dalam kasus-kasus tertentu, pendidikan (dengan segala ilmupengetahuan teoretisnya), memang bukanlah satu-satunya pilihan, dan pengalaman terkadang justru bisa berperan lebih penting. Pengetahuan teoretis dan pengalaman (pengetahuan aplikatif-praktis), yang justru telah bisa dikuasai sekaligus, tentunya paling baik.


Sunatullah (sifat proses)

653

654

Daya atau kemampuan dalam menjalani hidup Bahwa ‘daya’ (tenaga, potensi, semangat, kemampuan, energi, keinginan, dsb) amat diperlukan dalam melakukan sesuatu usaha, dan bisa memberi peluang yang lebih besar, untuk ‘mengubah’ berbagai keadaan. Kemampuan itu misalnya: tenaga fisik atau kesehatan; uang atau harta; pengetahuan atau pengalaman; kebebasan; kesempatan atau waktu; semangat batiniah (psikologis, energi pikiran positif); dsb.

Daya manusia itupun diciptakan-Nya ‘secara umum’ pada diri tiap manusianya atau diperolehnya dari Allah dengan telah diciptakanNya pada tiap manusia, berupa: ‘akal’ (pengetahuan dan kecerdasan untuk bisa memilih) ataupun ‘nafsu’ (semangat dan keinginan untuk bisa berkembang). Namun secara ‘khusus’, tiap manusia dengan akal-pikiran dan nafsu-keinginannya justru memiliki kesempatan yang relatif amat luas untuk bisa semakin meningkatkan daya atau kemampuannya (lahiriah dan batiniah), sederhananya seperti: •

Tenaga fisik atau kesehatan; Makan secukupnya, menjaga kesehatan, berolah-raga, dsb.

Uang atau harta; Bekerja atau mencari mata-pencaharian.

Pengetahuan dan pengalaman; Banyak belajar, melalui berbagai lembaga pendidikan yang ada ataupun secara autodidak (belajar sendiri), serta banyak memiliki dan melatih berbagai macam pengalaman.

Waktu atau kesempatan; Mengurangi berbuat hal yang sia-sia, agar tersedia lebih banyak waktu untuk melakukan segala amal-kebaikan.

Semangat batiniah (psikis); Banyak berpikir positif dan meningkatkan rasa optimisme dalam menjalani kehidupan. Terutama dengan banyak berdo’a dan ingat kepada Allah, karena adanya daya Allah Yang Maha besar, Yang selalu menyertai segala amal-perbuatan tiap manusia, dan Yang selalu meredhainya dalam berbuat segala amal-kebaikan.

Kebebasan; Walau secara lahiriah relatif terbatas, tetapi secara batiniah tiap manusia memiliki kebebasan yang amatlah luas. Bahkan hakekat manusia terwujud pada alam batiniah ruhnya (alam akhiratnya),

Sunatullah (sifat proses)

juga bukan pada alam dunianya (alam nyata-fisik-lahiriahnya). Serta secara umum, penjajahan secara lahiriah di dunia ini telah relatif hampir tidak ada dan banyak berkurang, karena telah amat jarang adanya negara yang terjajah seperti pada jaman dahulu. Saat ini penjajahan umumnya berasal dari pengaruh kemiskinan. Dengan pemberantasan kemiskinan itu sendiri, maka kebebasan manusia secara lahiriah, relatif makin bisa diperoleh. •

dsb;

Sebagian dari berbagai daya manusia di atas, berada di dalam diri tiap manusia (internal), sedangkan sebagian lainnya berada di luar dirinya (eksternal). Namun semua daya itupun pada dasarnya ‘murni’ berasal dari hasil usaha manusia itu sendiri. Daya di atas yang disebut pula sebagai ‘daya manusia murni’, yang justru sama-sekali tidak ada hubungannya dengan daya Allah, kecuali dengan telah diciptakan atau diberikan-Nya ‘akal’ dan ‘nafsu’ pada tiap manusia. Tetapi penting diketahui pula, bahwa ‘daya manusia murni’ itu justru bukan satu-satunya hal yang mewujudkan tiap amal-perbuatan manusia, lebih tepatnya, bukan hal yang bisa menunjukkan besarnya balasan-Nya atas amal-perbuatan tersebut, pada saat daya ‘murni’ itu dipakai. ‘Daya manusia murni’ pada saat sedang dipakai dalam berbuat sesuatu amal-perbuatan, dipengaruhi pula oleh berbagai aspek, seperti: - Niat (kelurusan tauhid, maksud dan tujuan, dsb); - Tingkat kesadaran, pengetahuan ataupun tingkat keimanan. - Besarnya beban cobaan atau ujian-Nya. - Tingkat keterpaksaan. - Besarnya beban tanggung-jawab. Berbagai aspek di atas pada dasarnya bersifat ‘batiniah’, yang justru amat menentukan besarnya balasan-Nya yang ‘sebenarnya’ dan ‘hakiki’, yang justru juga bersifat ‘batiniah’ (pahala-Nya; nikmat-Nya; beban dosa; siksaan, hukuman ataupun azab-Nya; dsb). Bahkan berbagai aspek batiniah itu yang justru membedakan antara orang beriman dan orang kafir, sedangkan balasan-Nya secara lahiriah tidak berbeda. Orang kafir sekalipun bisa mendapatkan ‘upah’ secara lahiriah (rejeki, karunia atau rahmat-Nya), sama sekali tanpa dihisab atau ditunda oleh Allah, atas usaha-usaha lahiriahnya pula. Lihat pula pada Gambar 24 di atas, tentang daya manusia. ‘Daya manusia aktual’ sebagai sesuatu daya yang sebenarnya


Sunatullah (sifat proses)

655

berperan dalam mewujudkan suatu amal-perbuatan (bisa mewujudkan balasan-Nya), adalah ‘daya manusia murni’ yang telah dikoreksi oleh aspek-aspek: beban ujian-Nya, tingkat keterpaksaan, beban tanggungjawab, niat serta tingkat kesadaran atau keimanan di atas. Aspek-aspek koreksi ini justru bisa mempengaruhi segala keadaan, pada saat ‘daya manusia murni’ sedang dipakai pada sesuatu amal-perbuatan. ‘Daya manusia aktual’ seperti halnya ‘daya manusia murni’, justru sama-sekali tidak ada peran ataupun intervensi dari daya Allah, seperti yang diuraikan di bawah. Serta walaupun bisa berbeda besar dayanya (ada koreksi), tetapi ‘daya manusia aktual’ justru tetap terkait langsung atau tergantung kepada ‘daya manusia murni’ itu sendiri, yang memang murni dari segala hasil usaha tiap manusianya sendiri. Sedangkan satu-satunya aspek yang berasal ‘dari luar’ diri tiap manusia, yaitu ujian-Nya, justru hanya mempengaruhi faktor kelipatan atas ‘daya manusia murni’ itu sendiri. Hal yang dipahami pada buku ini, ada dua alternatif dari adanya pengaruh ujian-Nya tersebut, yaitu: •

Apabila ‘daya manusia murni’ bernilai positif (digunakan dalam berbuat amal-kebaikan). ‘Daya manusia murni’ dilipat-gandakan-Nya. Makin besar beban ‘ujian-Nya’, justru makin besar pula ‘daya manusia murni’ yang sebenarnya (yang lalu mengakibatkan makin dilipat-gandakan-Nya besar pahala-Nya atas amal-kebaikan terkait). Dengan rumus kira-kira seperti: Daya murni akhir = daya murni awal x faktor beban ujian-Nya

Apabila ‘daya manusia murni’ bernilai negatif (digunakan dalam berbuat amal-keburukan). ‘Daya manusia murni’ dikurangi-Nya. Makin besar beban ‘ujianNya’ justru makin kecil ‘daya manusia murni’ yang sebenarnya (yang lalu mengakibatkan makin mengurangi besar beban dosanya atas amal-keburukan terkait, walau tidak bisa menghilangkannya). Dengan rumus kira-kira seperti: Daya murni akhir = daya murni awal / faktor beban ujian-Nya Daya dukungan dari lingkungan bagi manusia Selain 'daya manusia murni', manusia juga mendapat berbagai dukungan ataupun hambatan (lahiriah dan batiniah), dari lingkungan di sekitarnya (eksternal, seperti keadaan alam dan semua manusia lain di sekitarnya), secara langsung ataupun tidak, diketahui ataupun tidak.

656

Sunatullah (sifat proses)

Tentunya dukungan dari luar itupun bukan suatu hal yang bisa menetap.dan bisa diandalkan. Maka dalam Al-Qur’an, ada pula segala anjuran-Nya bagi umat, agar sebanyak-mungkin bisa bergaul dengan umat-umat yang seiman dan seaqidah. karena secara manusiawi, tidak ada umat yang memiliki kemampuan hebat yang tahan banting kepada segala bentuk ujian-Nya. Lingkungan bahkan juga bisa membentuk tiap manusianya menjadi orang baik ataupun jahat, yang terkadang di luar kemampuan manusianya sendiri untuk menghadapinya. Pengaruh lingkungan inipun pada dasarnya justru suatu bentuk ujian-Nya. Pengaruh lingkungan yang bersifat ‘positif’ (mendukung) pada dasarnya meringankan beban ujian-Nya dan sebaliknya pengaruh yang bersifat ‘negatif’ (menghambat), memperberat beban ujian-Nya. Pengaruh lingkungan justru bukan berasal dari diri manusianya sendiri, maka pada dasarnya juga sama sekali tidak akan berpengaruh kepada nilai amalan atas /segala amal-perbuatannya. Anjuran-Nya di dalam Al-Qur’an, agar umat berusaha mencari suatu lingkungan yang lebih sehat dan Islami (seperti peristiwa berhijrahnya nabi Muhammad saw dari Mekah ke Medinah), justru lebih terkait dengan kesempatan dan ketentraman yang lebih tinggi bagi umat, untuk bisa lebih banyak melakukan berbagai amal-kebaikan. Pengaruh daya atau perbuatan Allah bagi manusia Segala sesuatu hal yang berpengaruh kepada tiap manusia (dari luar diri manusianya sendiri), pada dasarnya bisa dibagi menjadi dua aspek, yaitu: •

Aspek lahiriah Pengaruh yang bersifat fisik-lahiriah-nyata dari segala zat ciptaanNya, yang justru selalu saling berinteraksi di seluruh alam semesta ini (terlihat ataupun tidak, berkaitan secara langsung ataupun tidak, menguntungkan ataupun merugikan, dsb).

Aspek batiniah Pengaruh dari para makhluk gaib (malaikat, jin, syaitan dan iblis), yang selalu berusaha mempengaruhi atau menggoda alam pikiran manusia (alam batiniah ruhnya), tiap saatnya sepanjang hidupnya (ke arah yang positif-benar-baik ataupun negatif-sesat-buruk).

Tetapi pada umumnya tiap manusia justru menganggap, bahwa segala sesuatu pengaruh (secara langsung ataupun tidak) yang berasal dari "luar" dirinya dan "tidak diketahuinya", disebut sebagai pengaruh dari segala hasil perbuatan Allah.


Sunatullah (sifat proses)

657

Sementara itu segala sesuatu pengaruh yang berasal dari "luar" dirinya tetapi "bisa diketahuinya", justru disebut sebagai pengaruh dari segala hasil perbuatan dari manusia ataupun zat makhluk-Nya lainnya di sekitarnya. Serta segala pengaruh semacam ini justru relatif jarang dikaitkan dengan perbuatan Allah. Secara sekilas anggapan di atas ‘seolah-olah’ betul, namun hal yang sebenarnya adalah, segala sesuatu hal yang berpengaruh kepada tiap manusianya, justru ‘hanya’ dari hasil saling berinteraksinya segala zat ciptaan-Nya (nyata dan gaib) di seluruh alam semesta ini. Maka ‘pengaruh Allah’ kepada tiap manusianya (biasa disebut ‘ujian-Nya’), pada dasarnya juga ‘hanya’ melalui segala zat ciptaan-Nya (pengaruh ‘tidak langsung’), sehingga justru sama-sekali tidak ada ikut campur tangan ataupun pengaruh ‘langsung’ dari Allah. Akan tetapi pengaruh yang "luar biasa" besar dari Allah, Yang Maha Besar dan Maha Mengatur, justru berada ‘di balik’ segala proses kejadian atas segala zat ciptaan-Nya, dan bahkan sampai segala proses atas zat-zat yang paling elementer penyusun seluruh alam semesta ini, yaitu: Atom-materi (penyusun tiap benda mati) dan Ruh (penyusun tiap makhluk hidup). Justru hanya ‘daya Allah’ (melalui sunatullah) yang pasti telah ‘mewujudkan’ (mengakhiri) segala proses, kejadian atau perbuatan pada segala zat ciptaan-Nya, untuk diberikan balasan-Nya yang amat sesuai atau setimpal, dengan segala keadaan zat ciptaan-Nya terkait. Sedang pada tiap perbuatan manusia, pasti sesuai pula dengan segala keadaan, yang telah dipilih atau diusahakan oleh manusianya sendiri (termasuk 'daya manusia murni' dalam uraian di atas). Manusia melalui tiap usaha atau perbuatannya, pada dasarnya hanya memanfaatkan ‘daya Allah’ (otomatis memilih salah-satu dari sunatullah, secara sadar ataupun tidak), pada saat berusaha mengubah tiap keadaan kehidupannya, sesuai kemampuan, pengetahuan ataupun pengalamannya. Hal ini merupakan suatu rahmat dan nikmat-Nya bagi manusia, karena manusia justru tidak perlu mengetahui secara lengkap segala proses kejadian itu, dan tinggal memanfaatkannya saja. Lihat pula "Gambar 22: Diagram siklus proses sesaat fungsi sunatullah" dan "Gambar 23: Diagram siklus proses sesaat perbuatan manusia" (ataupun Gambar 24), tentang hubungan antara daya dan perbuatan-Nya, terhadap daya dan perbuatan manusia. Perbuatan segala makhluk-Nya, bukan perbuatan Allah Dari uraian-uraian di atas telah bisa diketahui, bahwa daya dan

658

Sunatullah (sifat proses)

pengaruh perbuatan Allah hanya "menyertai" tepat di belakang ‘daya manusia aktual’ (yang berupa sesuatu hasil koreksi dari 'daya manusia murni'). Sedangkan pada tiap perbuatan manusia, hanya 'daya manusia aktual' itulah yang bisa memberi pengaruh kepada besarnya balasanNya yang setimpal (lahiriah dan batiniah). ‘Pencipta’ tiap perbuatan manusia adalah manusia itu sendiri, justru bukan Allah. Tiap perbuatan manusia bukan perbuatan Allah, walau perbuatan Allah memang pasti selalu ‘menyertai’ tiap perbuatan manusia. Sedangkan perbuatan Allah melalui sunatullah justru berlaku sama kepada segala zat ciptaan-Nya, serta tidak berubah sampai akhir jaman. Karena itulah tiap manusianya justru semestinya bertanggungjawab, atas segala amal-perbuatannya sendiri. Contoh sederhananya, tiap nelayan hanya bertindak memasang layar kapal, tetapi justru Allah, Yang meniupkan angin dan membawa kapalnya itu ke tujuannya (melalui sunatullah, yang dikawal oleh takterhitung para malaikat-Nya). Tetapi jika berbagai keadaan terkaitnya memang tidak memungkinkan agar bisa ditiupkan-Nya angin ataupun dibawa-Nya kapal itu misalnya, maka hal itupun mustahil bisa terjadi (ada aturan atau proses yang pasti dan jelas). Misalnya mustahil bisa terjadi, jika nelayannya justru tidak memasang layar kapalnya. "Rabb-mu adalah yang melayarkan kapal-kapal di lautan untukmu, agar kamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyayang terhadapmu." - (QS.17:66) "Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat-Nya, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya. Sesungguhnya …." - (QS.31:31) "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah, bahwa Dia mengirimkan angin sebagai pembawa berita gembira, dan untuk merasakan kepadamu sebagian dari rahmat-Nya dan supaya kapal bisa berlayar dengan perintah-Nya, dan (juga) supaya kamu bisa mencari karunia-Nya. Mudah-mudahan kamu (mau) bersyukur." - (QS.30:46) Masih banyak lagi berbagai ayat Al-Qur'an lainnya, yang juga menunjukkan perbuatan Allah (melalui sunatullah), yang tiap saatnya pasti selalu menyertai di belakang tiap perbuatan manusia, sepanjang hidupnya, sesuai dengan segala keadaan yang telah diusahakan oleh manusia itu sendiri ketika berbuat (termasuk tentunya segala keadaan di lingkungan sekitarnya, sebagai rahmat-Nya ataupun ujian-Nya).


Sunatullah (sifat proses)

659

Adanya pemakaian istilah "perintah-Nya" dalam ayat di atas, karena segala zat ciptaan-Nya selain manusia (khususnya segala benda mati dan para makhluk gaib), mereka selalu patuh dan tunduk kepada segala perintah-Nya. Mereka justru tidak seperti halnya manusia, yang telah diberikan-Nya kebebasan (sebagai bentuk ujian-Nya), untuk bisa memilih mengikuti perintah-Nya, ataupun tidak. Untuk segala hal yang pasti berlaku bagi tiap manusia (bahkan bagi iblis dan orang yang paling kafir sekalipun), di dalam Al-Qur’an justru tidak disebut sebagai "perintah-Nya" (bersifat tidak memaksa), tetapi biasanya disebut sebagai "kehendak-Nya" (bersifat memaksa). "Apakah kamu (hai manusia) tiada mengetahui, bahwa kepada Allah, bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang melata, dan sebagian besar dari manusia. …" - (QS.22:18) Cobaan dan ujian-Nya, bukan siksaan-Nya Manusia umumnya beranggapan, bahwa segala pengaruh dari "luar" dirinya dan "tidak diketahuinya", disebut sebagai pengaruh dari perbuatan Allah. Sedangkan pengaruh semacam ini yang justru terasa merugikannya, relatif umum disebut sebagai ‘cobaan atau ujian-Nya’. Namun segala pengaruh dari "luar" dirinya, yang justru telah "bisa diketahuinya", disebut sebagai pengaruh dari perbuatan manusia dan segala makhluk-Nya lainnya di sekitar. Segala pengaruh semacam ini yang terasa merugikannya, relatif jarang disebut sebagai ‘cobaan atau ujian-Nya’.

Sekilas anggapan itu ‘seolah-olah’ betul, namun seperti uraian di atas, bahwa tiap pengaruh (secara langsung ataupun tidak, yang bisa menguntungkan ataupun merugikan, secara lahiriah ataupun batiniah), bagi tiap manusia, justru ‘hanya’ berasal dari segala zat ciptaan-Nya di seluruh alam semesta ini, sama-sekali tidak ada sedikitpun pengaruh ‘langsung’ dari Allah. Segala cobaan atau ujian-Nya itu pada dasarnya berupa segala pengaruh kepada tiap manusia (secara langsung ataupun tidak), yang ‘murni’ berasal dari segala zat ciptaan-Nya (nyata dan gaib), serta ‘di luar’ diri manusianya sendiri, yang dianggap merugikan, membebani, berpengaruh buruk ataupun tidak menguntungkannya. Sebaliknya, jika segala pengaruh semacam itu ‘murni’ berasal dari hasil segala perbuatan manusianya sendiri, yang secara langsung ataupun tidak telah mempengaruhi lingkungan di sekitarnya (ataupun

660

Sunatullah (sifat proses)

seluruh alam semesta), yang lalu kembali lagi mempengaruhi dirinya, maka hal ini biasanya disebut sebagai ‘siksaan-Nya’. Jika siksaan-Nya relatif amat besar, juga biasanya disebut sebagai ‘azab-Nya’. Ringkasnya, segala ‘cobaan atau ujian-Nya’ itu, adalah segala pengaruh yang murni berasal dari ‘luar’ manusia yang mengalaminya. Serta tidak ada kaitannya sama-sekali dengan hasil dari tiap perbuatan manusia itu sendiri (secara langsung ataupun tidak). Sama-sekali tidak ada tanggung-jawab manusianya, dari segala pengaruh ujian-Nya atas hasil dari tiap perbuatan yang dilakukannya, ketika ia sedang mengalami ujian-Nya itu. Bahkan makin besar beban ujian-Nya itu, makin ‘besar’ pula pahala-Nya (nilai amalannya), yang diperolehnya dari tiap amal-kebaikannya, dan sebaliknya justru makin ‘ringan’ beban dosa dari tiap amal-keburukannya. Hanyalah Allah Yang Maha mengetahui besarnya beban ujianNya, sekaligus pula besarnya balasan-Nya yang sesuai atau setimpal (pahala-Nya dan beban dosa), atas tiap amal-perbuatan manusia. Ujian-Nya memang terasa membebani atau menyiksa, namun sama-sekali ‘bukan’ siksaan-Nya. Walau ujian-Nya memang bukanlah langsung berasal dari Allah (hanya dari segala zat ciptaan-Nya), tetapi Allah tetap berkehendak ikut bertanggung-jawab atas tiap ujian-Nya, sebagai bagian dari rencana-Nya bagi alam semesta, karena ujian-Nya adalah sarana Allah untuk bisa menguji keimanan hamba-hamba-Nya. Sama sekali tidak ada manusia yang tidak pernah mengalami ujian-Nya, secara lahiriah dan khususnya secara batiniah, tiap saatnya sepanjang hidupnya, bahkan termasuk para nabi-Nya dan konglomerat sekalipun. Pada uraian di bawah, justru ujian-Nya secara batiniah dari para makhluk gaib, yang paling penting untuk bisa dipahami. Lihat pula pada "Gambar 23: Diagram siklus proses sesaat perbuatan manusia", tentang pengaruh ujian-Nya atas tiap perbuatan ma-nusia. Cobaan dan ujian-Nya, pasti mampu dipikul manusia Segala hal yang bersifat batiniah pada dasarnya justru paling penting, mendasar, hakiki dan kekal (di dalam kehidupan akhirat atau kehidupan batiniah ruh). Dari mengatur dan membangun sikap-sikap batiniah ruhnya, terutama sikap ikhlas, tiap manusia bisa relatif mudah pula mengatasi segala ujian-Nya (secara lahiriah dan batiniah). Sedang segala hal yang bersifat lahiriah, justru pasti bermuara kembali ke segala hal yang bersifat batiniah. Bahkan makna ‘beban ujian-Nya’ pada dasarnya lebih terkait dengan aspek batiniah.


Sunatullah (sifat proses)

661

Hal inilah yang dimaksud dalam kandungan isi al-Qur’an yang menyatakan, seperti "Allah mustahil memberi beban ujian, yang tidak mungkin dipikul oleh manusia", atau "Allah mustahil memberi cobaan atau ujian-Nya, yang melewati batas kemampuan manusia". Demikian pula maksud dari manusia, yang telah ditunjuk atau mendapat amanatNya, sebagai khalifah-Nya (penguasa) di muka Bumi. Daya-kemampuan lahiriah tiap manusia memang relatif amat terbatas, dan sebaliknya daya-kemampuan batiniah tiap manusia justru relatif amat sangat luas, karena kemampuan batiniah memang hanya milik (atas kekuasaan) tiap manusianya sendiri. Dengan akalnya, tiap manusia justru pasti memiliki kebebasan, kekuasaan dan otoritas yang sepenuhnya, untuk bisa mengatur alam batiniahnya sendiri. Betapapun keadaan lahiriah tiap manusia, ia justru pasti tetap memiliki kesempatan yang amat luas dan sama, untuk mendapat Surga di alam akhirat (alam batiniah ruh). Begitu pula perubahan amat besar pada alam batiniah ruhnya, bisa membuat manusia menjadi setengah malaikat ataupun setengah iblis; menjadi nabi ataupun fir'aun; menjadi orang yang amat berilmu ataupun yang amat bodoh, menjadi penghuni Surga yang paling mulia ataupun Neraka yang paling hina; dsb. Contoh sederhananya, orang buta ataupun cacat tubuhnya, bisa melupakan atau mengabaikan kekurangan lahiriahnya, dan lalu ia bisa menjalani kehidupannya secara ‘lebih normal’, jika ia telah menerima dengan ikhlas dan sabar, atas berbagai kehendak-Nya itu (mendapat cobaan atau ujian-Nya). Dan seorang fakir-miskin dan seorang konglomerat sama-sama tetap bisa pula tersenyum ataupun berbahagia, pada berbagai hal dan saat tertentu dalam kehidupannya masing-masing. Pengaruh ujian-Nya atas kemampuan manusia Ujian-Nya relatif luas cakupannya (lahiriah dan batiniah), serta bisa mempengaruhi seluruh aspek dan jenis kemampuan tiap manusia (‘daya manusia aktual’), yang mewujudkan segala amal-perbuatannya. Beban ujian-Nya menentukan nilai penghargaan-Nya yang sebenarnya atas tiap amal-perbuatan manusia, di samping: niat, beban tanggungjawab, tingkat keterpaksaan, tingkat kesadaran, dsb, saat berbuat. Hal itulah yang terjadi, saat Allah memberikan pahala-Nya (nikmat-Nya), atas tiap amal-kebaikannya, juga saat menimpakan beban dosa (siksaNya), atas tiap amal-keburukannya. Makin berat ujian-Nya yang dialami tiap manusia, makin besar pula pahala-Nya yang diperolehnya di dunia ini (dan khususnya lagi di

662

Sunatullah (sifat proses)

akhirat), atas tiap usahanya dalam keadaan sedang menghadapi ujianNya itu. Juga nilai siksaan-Nya atas tiap perbuatan dosa, makin ringan jika dilakukan dalam keadaan relatif amat terpaksa (akibat dari ujianNya), dibandingkan dalam keadaan normal (tidak terpaksa). Contoh sederhananya orang biasa yang ikhlas bersedekah uang Rp. 50.000,-, akan mendapatkan pahala-Nya yang relatif lebih banyak, dibandingkan pahala-Nya bagi orang kaya, yang bersedekah dengan jumlah uang dan tingkat keikhlasan, yang sama. Pada orang yang sedang amat kelaparan, jika memang tidak tersedia makanan lainnya, asal tidak berlebihan, ia juga diperbolehkan untuk memakan makanan yang telah diharamkan oleh hukum syariat. "Proses berusaha" jauh lebih penting, daripada hasilnya Perlu diketahui pula, bahwa daya-kemampuan dan akal-pikiran pada masing-masing manusia, amat berbeda, sehingga hasil akhir dari proses kehidupannya masing-masing, juga bisa berbeda-beda. Namun justru bukan “hasil akhir” (lahiriah dan batiniah), yang lebih dihargai ataupun dinilai oleh Allah, melainkan "proses berusahanya", di mana segala bentuk beban ujian-Nya meliputi proses ini. Segala “proses berusaha” tiap umat manusia dalam menjalani dan mengisi kehidupannya di dunia fana ini, yang justru dihisab-Nya pada Hari Kiamat (dihitung-Nya jumlah nilai amalannya), dan bukan segala “hasil akhirnya”. Tiap manusia sama-sekali tidak dianiaya-Nya, serta tidak menanggung segala beban dosa manusia lainnya (dihisabNya dengan adil). 59) Dengan mengambil contoh pada orang biasa dan orang kaya, yang ikhlas bersedekah di atas, maka “hasil akhirnya” memang sama, 9jumlah nilai sedekah dan tingkat keikhlasan keduanya sama0. Tetapi perbedaan yang membuat masing-masing mereka mendapat pahalaNya yang berbeda, berupa perbedaan pada “proses berusaha” mereka, saat bersedekah uang senilai Rp. 50.000,- tersebut. Bagi orang biasa, uang senilai itu mungkin hanya cukup untuk belanja sehari sekeluarganya. Sehingga usahanya secara batiniah lebih berat, untuk bisa timbulnya sikap ikhlas saat melepas uangnya. Sedang bagi orang kaya, uang senilai itu mungkin uang saku anaknya dalam seharinya, maka ia jauh lebih ringan melepasnya untuk bersedekah. Ke-Maha Adil-an-Nya pada aspek batiniah, bukan lahiriah Tiap manusia pada hakekatnya pasti memiliki kedudukan dan kesempatan yang sama, bagaimanapun keadaan fisik-lahiriahnya, agar bisa mendapatkan rahmat-Nya yang paling baik (Surga di akhiratnya),


Sunatullah (sifat proses)

663

664

tergantung dari berbagai usahanya, untuk mengikuti segala pengajaran dan tuntunan-Nya dalam berbagai ajaran agama-Nya, dengan sebaikbaiknya sesuai keadaan dan kemampuannya masing-masing. Hal inipun amat sesuai dengan kesamaan keadaan batiniah ruh tiap bayi manusia yang memang amat suci-murni dan bersih dari dosa. Sehingga orang miskin, biasa dan kaya misalnya, justru tidak berbeda di mata Allah, dan pasti sama-sama mendapatkan ujian-Nya (melalui kekurangan dan kelebihan harta). Hal ini diuraikan sebagai berikut: •

•

Orang kaya (berkelebihan harta): Diuji-Nya dengan kelebihan harta, yang perlu kesabaran tinggi ketika berusaha memperoleh ataupun menggunakan hartanya itu, misalnya terhadap ancaman berbagai dosa, seperti: - Kemusyrikan Menjadikan harta sebagai ilah selain Allah. - Kekafiran Menggunakan hartanya untuk berjudi, berzina dan berbagai perbuatan maksiat lainnya. - Kemungkaran Menggunakan harta untuk berpesta-pora, berfoya-foya, dsb. Juga dalam berrebut harta warisan. - Kemunafikan Melupakan, bahwa hartanya adalah amanat-Nya yang perlu dinafkahkannya di jalan-Nya, sekaligus agar mensucikannya. Seperti: membayar zakat, bersedekah, menyantuni anak-anak yatim dan fakir-miskin, dsb. - Kezaliman Mencari harta dengan merusak alam atau lingkungan sekitar. - Kesombongan dan Riya Menunjukkan kelebihan hartanya itu kepada orang lain, agar bisa mendapat pujian. - Keserakahan dan Mencuri Mencari harta dengan makan riba, atau merampas hak-milik orang lain; dsb. Orang miskin (berkekurangan harta): Diuji-Nya dengan kekurangan harta, yang perlu kesabaran yang amat tinggi dalam menghadapinya.

Sunatullah (sifat proses)

Terutama dari rasa curiga dan berburuk-sangkanya kepada Allah, akibat dari kekurangan kenikmatan duniawi, yang diberikan-Nya kepadanya. Akhirnya hal itupun bisa pula menimbulkan berbagai keburukan lainnya, khususnya yang berupa misalnya: merampas hak-milik orang lainnya (mencuri, merampok, dsb), berjudi atau mengadu nasib, dsb •

Orang biasa (kadang berkekurangan ataupun berkelebihan harta): Mengalami dua macam ujian-Nya, sebagian dari ujian-Nya bagi orang kaya, dan sebagian lagi bagi orang miskin.

Sehingga bukanlah hanya pada berkekurangan harta saja, yang mudah membawa manusia kepada kekafiran, namun justru juga pada berkelebihan harta, yang melebihi kebutuhan atau keperluannya. Hal yang berbeda hanya sudut pandangnya saja, orang yang cenderung melihat aspek lahiriah, maka ia akan menilai hidup orang kaya lebih enak. Padahal beban resiko dosa yang dihadapi orang kaya, justru relatif lebih banyak (pada uraian di atas). Bahkan orang kaya, secara batiniah termasuk orang yang perlu dikasihani, karena mereka mendapat ujian-Nya yang lebih berat daripada orang miskin, apalagi atas orang biasa. Walau secara sekilas, hal seperti ini memang relatif sulit dipahami oleh orang awam. Sedang jika dilihat dari aspek batiniahnya, ketiga tipe orang itu justru sama-sama mendapatkan ujian-Nya. Hal yang lebih tinggi lagi jika bisa dipahami, bahwa mereka semua justru sama-sama disayangiNya. Tentunya hal inipun bisa terjadi, jika kesemuanya (orang miskin, biasa dan kaya), adalah orang-orang yang telah beriman. Apabila dikaitkan dengan contoh pahala-Nya bagi orang-orang yang bersedekah di atas, maka bisa diuraikan sebagai berikut. •

Orang biasa (terkadang berkekurangan dan berkelebihan harta): Mengalami ujian-Nya yang relatif paling ringan. Dalam keadaan biasa umpamanya, maka bisa dikatakan pula, bahwa pahala-Nya yang diperolehnya "biasa", ketika ia bersedekah sejumlah uang tertentu yang sewajarnya.

•

Orang kaya (berkelebihan harta): Mengalami ujian-Nya yang relatif paling berat. Dalam keadaan biasa itu maka ia hanyalah bisa memperoleh pahala-Nya seperti bagi orang biasa di atas, ketika ia bersedekah dengan sejumlah uang yang relatif jauh lebih besar.


Sunatullah (sifat proses)

665

Selain itu, ia berkesempatan besar untuk bisa bersedekah, walau godaannya cukup besar, untuk tidak melepaskan hartanya dengan begitu saja (khususnya untuk dinikmatinya sendiri). •

Orang miskin (berkekurangan harta): Mengalami ujian-Nya yang relatif cukup berat. Dalam keadaan biasa itu maka ia bisa memperoleh pahala-Nya seperti bagi orang biasa di atas, walau ia bersedekah dengan jumlah uang yang jauh lebih sedikit (misalnya kepada orang miskin lainnya, yang jauh lebih membutuhkan). Bahkan pahala-Nya seperti itupun bisa pula diperolehnya, jika ia tetap bersabar dan beriman, walau tanpa perlu bersedekah.

Dari gambaran sederhana di atas cukuplah jelas terlihat adanya kesempatan sama bagi tiap manusia, dalam beramal-ibadah dan dalam mendapat pahala-Nya (bersifat batiniah), bahkan termasuk pula untuk mendapat pahala-Nya yang paling baik (Surga di akhirat), betapapun keadaan fisik-lahiriahnya masing-masing. Hal yang paling pentingnya, hanya pada bagaimana ia bisa menghadapi dan menyikapi ujian-Nya, dengan sebaik-baiknya sesuai keadaan dan kemampuannya. Bahkan dengan dipahaminya hakekat dari pahala-Nya, seluruh orang yang beriman juga pasti disayangi-Nya secara batiniah. Setelah mereka bersabar (menghadapi segala ujian-Nya), berikhlas (menerima segala kehendak-Nya), bertawakal (berserah-diri atas hasil usahanya), dan bersyukur (atas segala pemberian-Nya). Dan akhirnya juga setelah mereka itu menyadari, bahwa segala keadaan lahiriahnya yang telah diberikan-Nya, adalah hal-hal yang terbaik baginya (khususnya secara batiniah), dan tentunya setelah berhasil diperolehnya berbagai hikmah dan hidayah-Nya tentang tujuan penciptaan kehidupan manusia. Baca pula topik "Benda mati gaib", tentang dosa, pahala dan ujian-Nya. Hal yang paling ideal tentunya, apabila tiap manusia bisa lebih mencapai keseimbangan batiniahnya, dengan berusaha menghindari kemiskinan, ataupun menghindari mencari kekayaan secara berlebihan (jauh melebihi kebutuhannya). Maka amat dianjurkan di dalam ajaran agama-Nya, untuk saling membantu dan menolong antar sesama umat, melalui anjuran seperti: membayar zakat, bersedekah, berinfaq, dsb. Hal itupun menunjukkan sifat-sifat Allah, Yang Maha Adil dan Bijaksana. Begitu pula halnya dalam menyikapi segala ujian-Nya lainnya

666

Sunatullah (sifat proses)

selain dari harta di atas (kekayaan, uang) secara lahiriah dan batiniah, seperti: tahta (jabatan, kedudukan), wanita (nafsu birahi), dsb. segala ujian-Nya justru suatu sarana Allah untuk mengetahui, siapakah yang beriman ataupun yang kafir kepada perintah-Nya, di antara tiap umat manusia. Paling penting memakmurkan kehidupan akhirat Segala ‘proses usaha’ dalam memakmurkan kehidupan akhirat (kehidupan batiniah ruh), dengan ataupun tanpa penuh kesadaran atau pemahaman, yang justru jauh lebih diredhai-Nya. Kehidupan dunia ini hanya sarana yang disediakan oleh Allah bagi umat manusia, agar bisa membangun kehidupan akhiratnya sendiri yang makin baik. Kehidupan dunia yang fana ini justru bukan tujuan akhir dari diciptakan-Nya seluruh alam semesta ini. Umat manusia bukan hidup atau diciptakan-Nya untuk hanya sekitar 60-70 tahun di dunia ini saja, tetapi untuk hidup di akhirat yang bersifat kekal dan hakiki. Justru suatu kesia-siaan bagi tiap manusia, jika hanya berusaha mengejar kehidupan duniawinya. Padahal kehidupan dunia fana ini hanya suatu bentuk ujian-Nya secara lahiriah, sedang ujian-Nya secara batiniah dilakukan oleh para jin, syaitan dan iblis. Jika tiap manusia dianggap-Nya telah relatif mampu melewati segala ujian-Nya dengan sebaik-baiknya (menurut penilaian-Nya), maka atas ijin-Nya, manusia akan bisa mendapatkan surga pada kehidupan akhiratnya di dunia ini (surga ‘kecil’) ataupun di Hari Kiamat (surga ‘besar’). Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang ujian-Nya secara batiniah melalui para makhluk gaib. Dan topik "Benda mati gaib", tentang kehidupan akhirat. Konsep reinkarnasi, sekedar solusi masalah keadilan duniawi Selain telah cukup jelas bisa dibantah, tentang pemahaman atas ruh makhluk lama yang telah wafat, yang dianggap bisa pindah tempat ke tubuh wadah makhluk baru, yang akan terlahir kemudian (menitis kembali atau berreinkarnasi). Namun justru telah diketahui pula, bahwa konsep reinkarnasi pada beberapa agama itu, timbul berdasarkan pemahaman atas adanya suatu bentuk "ke-tidak adil-an" Tuhan pada kehidupan dunia fana ini (kehidupan nyata-fisik-lahiriah). Baca pula topik "Ruh-ruh", tentang reinkarnasi. Keadilan Tuhan dipahami oleh para penganut agama-agama itu hanya akan bisa terwujud jika manusia terus hidup dan menjalani fasefase kehidupan dunia berikutnya (atau terus terlahir kembali), sampai


Sunatullah (sifat proses)

667

kepada keadaan kehidupannya yang telah bisa dianggap ‘paling tnggi dan agung’, yaitu mencapai Moksha (keadaan menyatu dengan Tuhan) ataupun mencapai kesadaran agung (Nirvana). Sedangkan sebelum mencapai Moksha itu, tiap manusia harus terlahir kembali ke fase kehidupan dunia berikutnya, agar benar-benar bisa menikmati segala hasil perbuatannya pada kehidupannya saat ini, yang justru belum sempat dinikmatinya sampai akhir hidupnya. Dan sebelum terlahir kembali, ruhnya tinggal sementara di Surga ataupun di Neraka, sesuai segala amal-perbuatannya sebelumnya (karmanya). Bagi para penganut reinkarnasi itu, justru Surga dan Neraka hanya suatu tempat tinggal ‘sementara’, dan bukan tempat tujuan yang terakhir. Hal paling penting lainnya, ‘kenikmatan’ kehidupan di dunia ini justru hanya menurut penilaian ‘relatif’ manusia saja, dan tidak ada penilaian ‘absolut’ dari Tuhannya, atas tiap perbuatan manusia. Dan ringkasnya, Tuhan dari agama-agama itu tidak memiliki kekuasaan, untuk langsung memberi penilaian dan balasan yang ‘adil’ atas tiap perbuatan manusia, bahkan apalagi penilaian ‘segera’ setelah perbuatannya itu selesai dilakukannya. Tetapi pemahaman reinkarnasi itupun hanya tahayul yang amat menyesatkan, karena keadaan-keadaan relatif ‘ideal’ yang diidamkan oleh tiap manusianya (pemenuhan segala aspek fisik-lahiriah-duniawi, secara adil), dari segala hasil perbuatannya sebelumnya, justru belum tentu sesuai dengan keadaan lingkungan, pada tiap fase kehidupannya. Maka ia bisa mesti menunggu tanpa akhir, atau bisa tidak memiliki harapan sama-sekali, untuk mencapai kenikmatan yang diidamkan dan dianggapnya harus diperolehnya (dari segala hasil usahanya sendiri). Pemahaman reinkarnasi itu justru amat ditentang dalam agama Islam. Karena seperti diuraikan sebelumnya, bahwa Ke-Maha Adil-anNya justru hanya terwujud pada aspek batiniah, bukanlah pada aspek lahiriah. Sedang kehidupan dunia ini memang bukan diciptakan-Nya, agar tiap manusia bisa meraih berbagai kenikmatan duniawi sematamata, apalagi secara merata, tetapi sebagai bentuk cobaan atau ujianNya bagi manusia, sekaligus sebagai sarana untuk meraih kehidupan akhiratnya masing-masing (kehidupan batiniah ruh), yang paling baik pada Hari Kiamat (Surga besar). Bahkan dengan memahami kehidupan akhirat itu, tiap manusia juga bisa meraih kebahagiaan yang jauh lebih hakiki dalam kehidupan dunianya (berupa surga-surga kecil atau pahala-pahala-Nya). Dan tiap manusia justru memiliki kesempatan yang persis sama dalam berusaha

668

Sunatullah (sifat proses)

mendapat Surga besar dan kecil tersebut, betapapun segala keadaan fisik-lahiriahnya. Semuanya hanya tergantung kepada amal-perbuatan tiap manusia itu sendiri, seperti yang sering disebut dalam Al-Qur’an. Hanya penilaian berdasar ‘amal-perbuatan’ inilah, satu-satunya ukuran justru yang ‘paling adil’ bagi tiap umat manusia. Juga berdasar ‘proses berusaha’, bukan berdasar ‘hasil usahanya’ (hasil lahiriah dan batiniah), bahkan berapapun panjang usia hidup tiap manusia. Bahkan Allah Yang Maha kuasa dan Maha mengetahui, pasti memiliki penilaian yang ‘absolut’ dan balasan yang ‘setimpal’ (adil), atas tiap perbuatan manusia, ‘segera’ setelah perbuatannya itu selesai dilakukan, sesederhana atau sekecil apapun perbuatan itu. Serta suatu bentuk balasan-Nya yang paling hakiki justru bersifat gaib-batiniahspiritual, bukan bersifat nyata-lahiriah-duniawi. Baca pula topik "Sunatullah" sekarang, tentang hubungan antara perbuatan manusia dan balasan-Nya, serta nilai amalan absolut. Allah Maha Adil, berapapun usia hidup tiap manusia Sedangkan jika ditinjau dari panjang usia hidup tiap manusia, justru Ke-Maha Adil-an-Nya juga relatif mudah tampak, karena makin lama hidup seseorang, cenderung makin banyak pula dosa yang bisa diperbuatnya, tetapi justru makin banyak pula tersedia waktu baginya, untuk bisa makin memperbaiki dosa-dosanya itu (dengan bersungguhsungguh bertaubat). Baca pula topik "Benda mati gaib", tentang taubat. Serta makin panjang usia hidup tiap manusia, maka kesadaran dan tanggung-jawabnya dalam berbuat sesuatu hal, makin tinggi pula. Maka dalam ajaran agama Islam, berapapun usia hidup manusia justru segala nilai amalannya justru telah bisa langsung dihitung-Nya dengan adil, saat ia wafat ataupun saat ruhnya kembali ke hadapan ‘arsy-Nya. Dan atas ijin-Nya, anak-anak yang meninggal dunia pada saat sebelum usia akil-baliqnya, pasti bisa langsung masuk surga. Hal yang amat penting pula bagi tiap umat Islam, bahwa amat keliru sesuatu pemahaman, seperti "di usia muda untuk ‘bersenangsenang’, sedangkan di usia tua untuk banyak bertaubat". Padahal tidak ada seorang manusiapun yang bisa mengetahui panjang usia hidupnya. Padahal tidak ada seorang manusiapun yang bisa memastikan, hal-hal yang akan mampu dilakukannya suatu saat, termasuk dalam bertaubat. Justru ‘tiap saatnya’ tiap umat Islam semestinya bisa menjalani kehidupan dunianya dengan sebaik-baiknya, berdasar tiap pengajaran dan tuntunan-Nya yang telah bisa dipahami, sesuai dengan keadaan,


Sunatullah (sifat proses)

669

pengetahuan dan kemampuannya masing-masing. Segala hasil usaha manusia, tetap kembali kepadanya Segala hasil usaha atau hasil amal-perbuatan tiap manusia pada dasarnya semata-mata hanya buat dirinya sendiri (bahkan bukan buat Allah), walaupun tiap amal-perbuatan itu sedikit-banyak bisa memiliki pengaruh baik (berkah) ataupun buruk bagi orang-lain. Pada akhirnya, pahala (nikmat-Nya) dan beban dosa (hukuman-Nya) sebagai balasanNya atas tiap amat-perbuatan itu, justru hanya diberikan-Nya kepada pelakunya. Tentunya makin banyak orang-lainnya yang terpengaruh, makin besar pula balasan-Nya bagi pelakunya (dilipat-gandakan-Nya nikmat ataupun hukuman-Nya), atas tiap amat-perbuatannya. Sedang orang-lainnya yang ikut terpengaruh, justru ia punya tanggung-jawab sendiri, atas pilihannya untuk mengikuti pengaruh itu. Namun besar tanggung-jawab yang sebenarnya, justru ditentukan oleh besarnya beban dari pengaruhnya (tingkat keterpaksaan dan tingkat kesadaran saat berbuat). Serta seseorang pasti tidak akan menanggung segala beban dosa orang-lainnya. Bagi orang-orang yang tingkat keimanannya telah amat tinggi (para nabi dan rasul-Nya, para sahabat nabi, para tabiin, para tabiittabiin, para wali, dsb), justru bisa ‘menikmati’, ketika berbuat amalkebaikan (memberi berkah) dan menyampaikan pengajaran (memberi syafaat) bagi orang-lainnya, karena di balik itu, mereka justru sambil memakmurkan pula kehidupan akhiratnya sendiri (kehidupan batiniah ruhnya). Baca pula topik "Benda mati gaib", tentang syafaat. Makna absolut tiap usaha manusia, yang sebesar biji zarrah Apakah peran dan makna tiap usaha manusia yang amat sangat sederhana atau kecil sekalipun (sebesar biji zarrah, baik dan buruk), di tengah-tengah alam semesta ini dan kehidupan manusia di dalamnya, dengan segala aspeknya yang amat sangat luas ini?. Tiap usaha sekecil apapun juga pasti dinilai oleh Allah, bahkan tiap beban dosa ataupun pahala-Nya dari hasil sesuatu amal-perbuatan, pasti akan dilipat-gandakan-Nya (di dunia dan terutama di akhirat). Bahkan tiap usaha manusia itu bisa memiliki pengaruh sampai selama bertahun-tahun ataupun bahkan ribuan tahun, tergantung pada besar nilai amalannya. Pengaruh itu bisa bagi orang-lain ataupun bagi diri pelakunya sendiri (sesaat ataupun sepanjang hidupnya). Contoh paling idealnya, tiap amal-perbuatan nabi Muhammad saw (termasuk yang amat sederhana sekalipun), bahkan telah menjadi

670

Sunatullah (sifat proses)

contoh dan suri-teladan bagi seluruh umat manusia, sampai sekarang ini ataupun bahkan juga di masa mendatang. 60) Pemahaman atas disempurnakan-Nya pahala atau nikmat-Nya dan beban dosa atau hukuman-Nya pada Hari Kiamat, adalah dilipatgandakan-Nya balasan bagi tiap amal-perbuatan manusia yang sekecil apapun (sebesar biji zarrah), khususnya karena tiap amal-perbuatan manusia bisa memiliki pengaruh absolut bagi "seluruh alam semesta" (memiliki "nilai amalan absolut"). Sesuatu jumlah "nilai amalan absolut", yang akan dihitung atau dihisab-Nya di Hari Kiamat, bagi segala amal-perbuatan tiap manusia. Hal ini pasti berbeda daripada nilai amalan dari penilaian ‘relatif’ dan ‘subyektif’ menurut tiap manusia, selama di dunia. Tiap usaha atau amal-perbuatan tiap manusia yang amat sangat sederhana atau kecil sekalipun (sebesar biji zarrah), pasti ada memiliki pengaruh, peran ataupun makna bagi seluruh alam semesta ini, seperti halnya pada segala amal-perbuatan dari nabi Muhammad saw, selama hidupnya (seperti: cara Nabi berjalan, makan, tidur, dsb). Oleh karena itulah dalam ajaran agama Islam, amat dianjurkan bagi tiap umat Islam, agar jauh lebih bisa memperhatikan tiap pikiran, perkataan dan perbuatannya, kepada segala hal yang benar dan positif, agar iapun bisa membentuk segala akhlak, budi-pekerti dan kebiasaan positif, sekecil apapun (membangun kehidupan akhiratnya). Makna do'a kepada orang yang telah meninggal dunia Dengan adanya makna ataupun nilai amalan ‘absolut’ dari tiap amal-perbuatan manusia, sekaligus pula telah selesainya segala amalperbuatannya setelah ia meninggal dunia, maka bisa timbul pertanyaan "apakah pengaruh dari do'a dan laknat kepadanya, dari berbagai orang yang masih hidup, yang justru telah ikut terpengaruh akibat dari tiap perbuatannya (secara langsung ataupun tidak)?" atau "apakah do'a dan laknat tersebut bisa ikut mempengaruhi jumlah nilai amalannya?". Jawabannya ‘tidak bisa’, karena nilai amalan ‘absolut’ itu tidak bisa diubah oleh tiap do’a dan laknat dari semua orang yang telah ikut terkena akibat (pengaruh baik ataupun buruk, secara langsung ataupun tidak), dari amal-perbuatan terkait, sampai akhir jaman. Hal inipun bisa makin dipahami, dari berbagai uraian sebagai berikut: •

Obyektifitas kandungan isi do'a dan laknat, hanyalah milik Allah, Yang Maha mengetahuinya.


Sunatullah (sifat proses)

671

Suatu perbuatan yang sama, bisa memiliki pengaruh ‘baik’ bagi seseorang, namun juga bisa sebaliknya bagi orang lainnya, relatif tergantung kepada pemahaman ataupun cara pandang dari orangorang yang terpengaruh.

Do'a dan laknat dari manusia bisa tidak jelas atau salah sasaran (misalnya karena tidak kenal benar pelakunya), sedangkan amat sedikit pribadi seseorang (bersifat batiniah), yang bisa diketahui benar atau jelas oleh orang lainnya.

Ada orang beriman yang sengaja mendo'akan kepada orang kafir (misalnya, agar kembali beriman), dan ada pula orang kafir yang sengaja melaknat kepada orang beriman.

Hasil pengaruh dari sesuatu amal-perbuatan tidak bisa diketahui langsung oleh pelakunya sendiri, apalagi jika pelakunya itu telah meninggal dunia. Sehingga berbagai hasil pengaruh dari amalperbuatan itupun relatif tidak bisa langsung mengubah keadaan batiniah ruh pelakunya (informasi ataupun catatan amalan dalam zat ruhnya), yang tentunya dari sudut pandang pelakunya sendiri.

Telah pula diuraikan sebelumnya bahwa do’a adalah suatu cara terapi batiniah, untuk bisa membentuk berbagai keadaan dan semangat batiniah yang positif. Sedang laknat serupa pula dengan do’a, namun lebih khususnya untuk bisa membentuk semangat "melawan" berbagai keadaan batiniah, yang telah dianggap negatif ataupun tidak disukai (kemusyrikan, kezaliman, kebatilan, keburukan, godaan syaitan, dsb), yang tentunya menurut penilaian ‘relatif’ tiap manusianya. Fokus paling penting dari segala do’a dan laknat, yang sering disebut di dalam ajaran agama-Nya, pada dasarnya justru bagi tiap diri pribadi manusia yang masih hidup itu sendiri, agar bisa pula menjalani kehidupan dunianya, dengan keadaan batiniah yang selalu makin baik dan positif (membangun kehidupan akhiratnya selama di dunia). Contohnya, anjuran-Nya bagi umat Iskam agar bisa sebanyak mungkin bersyalawat (atau berdo’a) bagi para nabi-Nya (khususnya bagi nabi besar Muhammad saw), justru bertujuan agar umat semakin menghargai dan menjaga kemuliaan seluruh ajaran yang disampaikan oleh para nabi utusan-Nya itu. Dan tentunya sekaligus pula, agar umat bisa mengamalkan ajaran-ajaran itu, dalam kehidupannya sehari-hari. Di lain pihaknya, kemuliaan "pribadi" para nabi-Nya itu justru sama sekali tidak berubah ataupun bertambah, karena banyaknya umat

672

Sunatullah (sifat proses)

yang bersyalawat. Bahkan mereka sekarang telah berada di Surga dan amat dekat di sisi ‘Arsy-Nya, sedangkan ‘kedekatan’ inipun tentu saja sesuai tingkat keimanannya masing-masing, yang telah diusahakannya sendiri secara setimpal. Baca pula topik "Benda mati gaib", tentang Hari Kiamat dan kehidupan di Surga. Manusia, khalifah-Nya terutama pada aspek batiniah Apabila dikaitkan antara amat pentingnya usaha membangun kehidupan akhirat (kehidupan batiniah ruh), dan juga amat pentingnya peran tiap usaha manusia yang sebesar biji zarrah sekalipun bagi alam semesta ini, maka bisa diketahui pula makna dari "manusia adalah khalifah-Nya (penguasa) di muka Bumi" adalah betapapun keadaan lahiriahnya, tiap manusia memiliki kebebasan, otoritas dan kekuasaan sepenuhnya, untuk mengatur kehidupan akhiratnya sendiri (kehidupan batiniah ruhnya), tanpa bisa dipengaruhi oleh segala sesuatu halpun. Sedang Allah hanya ‘mengikuti’ pengaturan oleh manusianya sendiri (melalui sunatullah batiniah). Tentunya hal yang relatif amat ideal itupun (mampu mengatur kehidupan akhirat), hanya bisa dicapai jika manusia telah cukup bisa mengatasi tiap cobaan atau ujian-Nya, yang justru telah mengganggu keadaan batiniah ruhnya (jika keimanannya telah cukup tinggi). Juga iapun bahkan bisa mengambil berbagai manfaat positif (hikmah-Nya), dari cobaan atau ujian-Nya tersebut. Contoh yang relatif mudah diketahui adalah, tiap manusia (dari fakir miskin sampai konglomerat, dari anak-anak sampai lansia, dari orang normal sampai orang cacat, dari orang pintar sampai orang bodoh, dsb), bisa membangun dan memiliki kebahagiaan batiniahnya masing-masing dalam hidupnya. Juga tidak ada seorangpun yang bisa memastikan, dan berkata misalnya, "si konglomerat yang muda dan tampan itu, jauh lebih berbahagia hidupnya daripada si petani tua dan berkekurangan-miskin", karena segala sesuatu hal yang terlihat-nyatafisik-lahiriah, memang bersifat fana, amat semu dan menyesatkan. Demikian pula halnya dengan para nabi-Nya, yang justru pada umumnya bukan berupa orang-orang yang memiliki kedudukan dan kekuasaan duniawi yang amat tinggi. Namun mereka itu telah berhasil dalam menyempurnakan kehidupan batiniah ruhnya, sehingga mereka mendapat kemuliaan yang amat tinggi dan dekat di sisi ‘Arsy-Nya. Kemampuan batiniah tak-terbatas, jika nafsu telah tenang Maksud dari pernyataan, "Allah tidak akan memberi cobaan-


Sunatullah (sifat proses)

673

Nya, yang melebihi batas kemampuan umat" adalah, segala persoalan batiniah ruh manusia (cobaan atau ujian-Nya), pada dasarnya memang bersumber dari nafsu-keinginan atas pemenuhan berbagai kebutuhan duniawi-lahiriahnya. Segala sesuatu masalah yang timbul dari adanya nafsu itu, akan teratasi jika nafsu itu sendiri bisa dibuat ‘lebih tenang’ (serupa halnya nafsu para malaikat). Padahal nafsu adalah sarana yang paling disukai iblis, untuk bisa menggoda manusia (secara batiniah). Pencapaian nafsu yang ‘lebih tenang’ itu, antara lain dilakukan dengan berusaha membentuk sikap-sikap sabar, ikhlas, tawakal dan syukur yang makin tinggi, yang semuanya hanya perlu dilatih ataupun dibentuk secara batiniah saja (relatif tidak perlu segala usaha-tindakan lahiriah), dan hanya melalui pencarian pemahaman yang relatif cukup mendalam atas sikap-sikap batiniah tersebut (melalui bertafakur). Tentunya hal ini justru relatif pasti "mampu" dicapai oleh tiap umat manusia, karena hanya dengan memanfaatkan akal-pikirannya, tanpa perlu memakai tenaga fisik sama sekali. Bahkan jika nafsunya telah benar-benar ‘tenang’ (seperti halnya pada orang yang Mukhlis), tiap manusia relatif pasti bisa mengatasi segala bentuk ujian-Nya, dan juga bisa memiliki daya-kemampuan batiniah yang relatif amat besar. Serta iapun relatif amat sulit bisa tersesatkan oleh iblis dan syaitan. Tetapi persoalannya, sikap-sikap bersabar (menghadapi segala ujian-Nya), berikhlas (menerima segala kehendak-Nya), bertawakal (berserah-diri kepada-Nya atas segala hasil usaha), ataupun bersyukur (menerima segala pemberian-Nya), bukan hal-hal yang mudah dicapai dan tetap bisa terjaga. Namun justru terus-menerus bisa berubah-ubah, mengikuti keadaan naik-turunnya tingkat keimanan manusianya. Maka dalam ajaran agama-Nya banyak pula anjuran bagi umat, untuk bisa menjalani secara rutin ataupun tidak, berbagai ritual ibadah fisik yang relatif amat sederhana yang semestinya pasti "mampu" pula dilakukan oleh tiap umat, agar diperoleh berbagai pengalaman rohanispiritual-batiniah untuk terus melatih dan menjaga sikap-sikap sabar, ikhlas, tawakal dan syukur tersebut. Semua amal-ibadah itu juga pada dasarnya justru untuk bisa membina segala akhlak, budi-pekerti dan kebiasaan terpuji yang makin kokoh (membangun kehidupan akhirat). "…, dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu di dalam (ber)agama, sesuatu kesempitan (kesulitan). …." - (QS.22:78) Sabar, ikhlas, tawakal dan syukur dalam menjalani hidup Pada tabel berikut ini diuraikan secara ringkas, tentang sikap-

674

Sunatullah (sifat proses)

sikap sabar, ikhlas, tawakal dan syukur, yang sangat penting bagi umat manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia, dengan relatif jauh lebih damai, tenteram, ringan, gembira ataupun bahagia, yaitu: 61) Tabel 16: Sikap-sikap sabar, ikhlas, tawakal dan syukur

Berbagai catatan tentang sikap sabar, ikhlas, tawakal dan syukur •

Sabar (dalam menghadapi segala ujian-Nya) Seperti diuraikan di atas, bahwa tiap manusia tiap saatnya pasti mendapat ujian-Nya, dan tidak seseorang manusiapun yang tidak menghadapinya (dari orang cacat sampai orang normal; dari fakir miskin sampai konglomerat; dari para nabi-Nya sampai manusia biasa; dari orang pintar sampai orang bodoh; dari berusia anakanak sampai lansia; dsb). Sedangkan ujian-Nya itu sendiri suatu kehendak-Nya, agar bisa diketahui-Nya, “siapa di antara umat manusia yang beriman”.

Wujud dari ujian-Nya itu pada dasarnya berupa perbedaan antara berbagai keinginan batiniah, terhadap berbagai aspek lahiriahnya yang bisa terwujud. Padahal kekuasaan tiap manusia untuk bisa mengatur segala aspek lahiriahnya justru relatif sangat terbatas. Di lain pihaknya, tiap manusia memiliki kekuasaan sepenuhnya untuk mengatur keinginan batiniahnya, agar jurang perbedaan itu juga bisa menjadi berkurang. Usaha dalam mengatur keinginan batiniah ruh inilah wujud dari suatu ‘kesabaran’. Maka secara batiniah, tidak bisa dikatakan bahwa si fakir miskin hidupnya jauh lebih susah daripada si konglomerat. Bahkan si konglomerat memiliki suatu amanat (tanggung-jawab) dan resiko batiniah yang justru relatif lebih tinggi, atas kelebihan hartanya itu (tanggung-jawab pada perolehan dan pemakaian hartanya). Dan nilai amalan sebenarnya bukan ditentukan dari ‘hasil usaha dan kemampuan’ lahiriah, tetapi justru dari ‘proses berusahanya’ yang dalam prosesnya justru diliputi oleh cobaan atau ujian-Nya. Si fakir miskin dan si konglomerat juga pasti sama-sama diberiNya kesempatan, untuk mendapat pahala-Nya yang paling baik pada alam akhiratnya (Surga), dan sebaliknya keduanya bisa pula sama-sama mendapat Neraka. Maka ‘tidaklah semestinya’ ada manusia yang merasa perlu lebih dikasihani daripada orang-lainnya, dalam menjalani kehidupan di


Sunatullah (sifat proses)

675

676

dunia, semua justru menghadapi persoalannya masing-masing, yang berbeda hanya sudut pandang tiap manusianya yang relatif sangat subyektif. Padahal semua manusia justru ‘sama’ di mata Allah. Dan kemuliaan atau nilai dari tiap manusia di mata Allah, justru hanya tergantung kepada segala amal-perbuatannya.

Maka tiap manusia mestinya bisa bersikap ikhlas (menerima apa adanya), atas segala kehendak-Nya di alam semesta ini (melalui sunatullah, bersifat ‘memaksa’) ataupun atas segala perintah-Nya di dalam ajaran-ajaran agama-Nya (bersifat ‘tidak-memaksa’). Misalnya, jika orang-orang yang dicintai meninggal dunia, maka tidak ada alasan bagi seorang manusia, untuk terlalu larut dalam kesedihan. Ia semestinya juga bisa mengikhlaskan kepergiannya, karena segala sesuatu halnya justru memang merupakan bagian dari kehendak-Nya (“tiap-tiap yang berjiwa pasti akan mati”).

Banyak disebut dalam ayat-ayat Al-Qur’an, tentang anjuran-Nya dan keutamaan dalam bersabar. Bahkan orang-orang yang paling bersabar, adalah orang-orang yang paling kuat dan tahan banting (secara batiniah), di antara seluruh umat manusia, karena mereka itu relatif paling mampu menghadapi berbagai ujian-Nya. •

Selain itu, keikhlasan amatlah dibutuhkan ketika nafsu-keinginan relatif sulit terpenuhi, karena keikhlasan adalah obat yang sangat ampuh terhadap nafsu yang tidak terpenuhi ataupun berlebihan, yang justru paling sering dipakai oleh iblis dan syaitan untuk bisa menyesatkan tiap manusia (bentuk ujian-Nya secara batiniah). Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang orang-orang Mukhlis, yang tidak mudah tersesatkan oleh iblis.

Ikhlas (menerima apa adanya segala kehendak-Nya) Beberapa ayat di dalam Al-Qur’an, disebutkan "agar umat Islam berlaku ikhlas dalam beragama". Sedangkan pada topik "Kitabkitab tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)" dan pada "Gambar 33: Diagram hubungan Fitrah Allah dan agama Islam", cukup jelas diuraikan hubungan antara agama-Nya dan kehendak-Nya dalam penciptaan seluruh alam semesta ini, melalui aturan-Nya (sunatullah).

Bahwa segala kejadian yang terjadi pada segala zat ciptaan-Nya (termasuk manusia), justru pasti mengikuti sunatullah, walaupun kejadian itu belum tentu berdasar keredhaan-Nya, sebagai wujud dari diberikan-Nya kebebasan kepada taip umat manusia dalam menentukan pilihan jalan hidupnya (ke arah baik ataupun buruk). Termasuk wujud dari saling bercampur-baurnya berbagai ‘jalan hidup’ dari segala zat ciptaan-Nya di alam semesta. Di samping sunatullah itu sendiri yang memang amat sangat luas aspeknya, Baca pula uraian-uraian di atas, tentang kaitan antara jalan hidup setiap manusia dan sunatullah. Maka semakin luas aspek yang sulit diperkirakan dan dipahami, dengan pengetahuan pada tiap manusia. Selain memang tidak ada kekuasaan manusia sama-sekali, dalam memahami segala aturan atau rumus proses kejadian di seluruh alam semesta (sunatullah), juga ada keterbatasan manusia dalam memahami keterkaitan hubungan antar sunatullah, yang berlaku atas masing-masing zat ciptaan-Nya. Sedang manusia justru hanya bisa ‘memilih’ sunatullah (secara sadar ataupun tidak), yang diinginkannya yang memang tersedia baginya tiap saatnya, sesuai keadaan dan kemampuannya.

Sunatullah (sifat proses)

Bahkan dalam keadaan yang idealnya, keikhlasan yang sempurna justru bisa menghilangkan hampir sebagian besar dari persoalan manusia, yang pada umumnya memang hanya berasal dari nafsukeinginan yang relatif berlebihan, dan telah terlalu diperturutkan (menentang kehendak-Nya ataupun perintah-Nya). •

Tawakal (berserah-diri kepada-Nya) Secara sederhananya, segala ‘keadaan akhir’ pasti bisa diketahui, jika segala ‘keadaan awal’ sebagai masukan bisa diketahui pula, sebelum mulai berlakunya suatu sunatullah. Keadaan awal itulah yang bisa dipilih dan diusahakan oleh tiap manusia (melalui tiap amal-perbuatannya), sesuai pengetahuan dan kemampuannya.

Persoalannya tiap manusia pada umumnya tidak bisa mengetahui berbagai ‘keadaan awal’ manakah yang memiliki ‘keadaan akhir’ terbaik sesuai harapannya (selain ‘keadaan awal’ dari pengaruh lingkungan). Walau ajaran agama telah memberi tuntunan-Nya secara garis besar, bahwa tiap usaha manusia untuk mensucikan ‘keadaan batiniah’ ruhnya, justru paling penting dan hakiki. Maka sudah semestinya, jika tiap manusia tetaplah berserah-diri kepada-Nya (bertawakal), ataupun menyerahkan hasil akhir atas segala urusannya kepada kehendak-Nya, karena amatlah terbatas sunatullah dengan segala aspeknya (lahiriah dan batiniah), yang


Sunatullah (sifat proses)

677

Sunatullah (sifat proses)

bisa dipahami dan dimanfaatkan oleh tiap umat manusia (bahkan termasuk para nabi-Nya sekalipun).

dengan hal-hal yang bersifat batiniah (jumlah pahala-Nya dan beban dosa).

Hal itu juga bisa menjelaskan tentang, Allah Yang pasti "selalu" menyertai setiap perbuatan manusia, melalui sunatullah (dikawal para malaikat). Serta pasti hanyalah Allah, Yang menyelesaikan segala urusan atau amal-perbuatan manusia (walau belum tentu sesuai dengan keredhaan-Nya baginya).

Tiap manusia semestinya bersyukur atas segala pemberian Allah baginya, apapun bentuknya (langsung ataupun tertunda, lahiriahnyata ataupun batiniah-gaib), karena Allah Maha mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya, khususnya bagi kehidupan batiniah ruhnya (kehidupan akhiratnya).

Misalnya "Allah memberinya rejeki-Nya" dan "manusia mencari rejeki-Nya", adalah kalimat yang sama-sama benar, dan di dalam sesuatu proses yang sama. Perbedaannya hanyalah pada manusia yang memulai, tetapi Allah, Yang menyelesaikan. Juga kalimat "Pelaut itu menundukkan lautan" dan "Allah Yang menundukkan lautan baginya", adalah sesuatu proses yang sama, demikian pula halnya dengan segala perbuatan manusia lainnya.

Bahkan orang yang paling banyak bersyukur adalah, orang-orang yang paling kaya secara batiniah di antara seluruh umat manusia, karena mereka selalu merasa bercukupan, atas apapun yang telah diberikan-Nya kepadanya.

Namun penting diketahui pula, bahwa Allah pasti Maha adil atau pasti setimpal di dalam menyelesaikan ataupun mewujudkan tiap perbuatan manusia (atau pasti sesuai dengan hal-hal yang telah diusahakan oleh manusianya), sekaligus untuk bisa memberikan balasan-Nya tiap saatnya, selama perbuatan itu sedang dilakukan sampai selesai. Dan balasan-Nya yang paling utama justru bersifat batiniah, dan sesuai dengan ‘proses berusahanya’, bukan ‘hasil usahanya’. •

678

Syukur (menerima segala pemberian-Nya) Relatif jelas dari uraian-uraian di atas, bahwa segala hasil akhir usaha manusia, adalah hasil pemberian Allah melalui sunatullah, sebagai suatu balasan-Nya (seperti: karunia, rahmat, rejeki, azab, dosa-siksa, pahala-nikmat, hikmah dan hidayah, dsb), yang pasti setimpal dengan tiap usaha atau amal-perbuatan manusianya. Walau sebagian dari pemberian atau balasan-Nya justru memang belum tentu sesuai keredhaan-Nya bagi manusia.

‘Setimpal’ itu tentunya menurut penilaian Allah, karena manusia relatif amat subyektif menilai segala sesuatu hal, termasuk relatif amat sulit bisa memahami segala aspek ujian-Nya atas tiap amalperbuatannya sendiri. Sehingga misalnya, suatu amal-perbuatan yang sama, tetapi hasilnya bisa berbeda bagi tiap manusia (secara lahiriah dan batiniah). Dari contoh orang biasa dan orang kaya yang bersedekah dalam uraian di atas, maka maksud dari "setimpal" itu juga lebih terkait

Relatif jelas tampak dari masing-masing uraian di atas, bahwa sikap-sikap sabar, ikhlas, tawakal dan syukur justru amat saling terkait dan saling mendukung satu dengan lainnya. Semuanya juga bisa amat menolong atau membantu tiap manusia, dalam menjalani kehidupan di dunia fana ini, terutama lagi dalam membangun kehidupan akhiratnya (kehidupan batiniah ruhnya). Gambaran sederhana proses pemilihan jalan hidup Proses pemilihan ‘jalan hidup’ makhluk-Nya bisa ditunjukkan secara sederhana pada Gambar 28 di bawah. Hal inipun pada dasarnya berlaku pula bagi tiap zat ciptaan-Nya, yang justru berupa benda mati. Lebih jelasnya, ‘jalan hidup’ dari benda mati, dipilih atau diusahakan oleh segala makhluk-Nya (bahkan termasuk para makhluk gaib, yang mengawal pelaksanaan sunatullah). Sedang segala ‘benda mati’ atau ‘materi’ justru tidak memiliki kebebasan dalam berkehendak dan berbuat seperti halnya pada segala makhluk hidup, yang telah diberikan-Nya ‘akal’ dan ‘nafsu’. Gambar 28: Skema pemilihan jalan hidup (rangkaian sunatullah) S4

An

S3 Bn

S2 A1,B1

B2 S1

A2 U1

S6 S5 B3

S7


Sunatullah (sifat proses)

679

680

Sunatullah (sifat proses)

VI.A.3. Jalan-Nya yang lurus

Keterangan gambar:

Tiap potongan garis utuh (simbol S) Sebagai tiap sunatullah, atau suatu proses yang mengubah keadaan manusia ke keadaan yang baru. Tiap sunatullah itu bisa dimulai hanya melalui usaha sesaat, namun bisa pula usaha yang berlangsung terus-menerus, konsisten dan amat lama, sampai keadaan baru bisa tercapai. Namun proses yang berjalan lancar seperti itu hanya bisa terjadi, jika tidak ada pengaruh internal atau eksternal yang mengganggu jalannya proses, secara cukup berarti atau signifikan. Kalau terjadi gangguan seperti itu, maka justru ‘sunatullah lain’ yang berlaku. Tiap titik belok garis (A1, A2, …, An, B2, B3, dsb) Sebagai titik awal sesuatu usaha atau tindakan baru manusia, yang berbeda dari usaha-usaha yang telah dilakukannya sebelumnya, ataupun karena ada terjadinya ‘gangguan’ yang signifikan atas masukan sunatullah yang ‘semula’, sehingga bisa berbeda pula sunatullah yang akan dilaluinya. Tiap potongan garis putus-putus (simbol U) Sebagai saat terjadinya sunatullah yang ‘baru’, sebagai hasil usaha baru manusia, di tengah-tengah berjalannya sunatullah yang lainnya, yang dianggapnya ‘tidak’ ataupun ‘kurang’ diharapkan hasilnya, untuk bisa mengubah jalan hidupnya, dengan cara memilih jalan hidup yang lain, atau memilih rangkaian sunatullah lain, yang lebih cenderung atau diperkirakan dekat ke keadaan-keadaan akhir baru, yang lebih diharapkannya. Contohnya: jika usaha dari seseorang tetap mengikuti sunatullah S1, maka keadaannya akan berubah dari A1 ke A2 (atau akan cenderung "dekat" ke keadaan akhir An). Namun jika ia merasa kurang sesuai dengan keadaan A2 sampai An, lalu di tengah jalan (sebelum mencapai A2), ia melakukan usahausaha baru, maka keadaannya akan berubah dari A1 ke B3 (atau A1 ke B2 ke B3, atau akan lebih cenderung "dekat" ke keadaan akhir Bn).

"… Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan, yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya. Dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia." - (QS.13:11) "Dan Allah telah berjanji, kepada orang-orang yang beriman di antara kamu, dan mengerjakan amal-amal yang shaleh, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka, agama yang telah diredhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, setelah mereka berada dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku, dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir, setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik." - (QS.24:55)

Jalan-Nya yang lurus, jalan hidup yang diajarkan agama-Nya “Jalan-Nya yang lurus” yang diperintahkan-Nya untuk diikuti, adalah berbagai keadaan yang perlu diusahakan ataupun dipilih oleh tiap umat manusia, agar bisa diterapkannya sejumlah sunatullah yang mengarahkannya, untuk memperoleh tingkat keimanan yang semakin tinggi. Berbagai anjuran atau perintah-Nya dalam ajaran-ajaran agama Islam, adalah cara-cara untuk bisa mencapai atau kembali mengikuti “jalan-Nya yang lurus” itu. Pada akhirnya agar tiap manusia bisa memperoleh rahmat-Nya yang paling baik di kehidupan akhiratnya (surga). Namun juga dengan mengikuti “jalan-Nya yang lurus”, secara sadar ataupun tidak, justru tiap manusia bisa memperoleh limpahan rahmat-Nya pada kehidupan dunia ini, yang sering disebut sebagai ‘surga kecil’ atau ‘pahala-Nya’, yang bersifat batiniah, hakiki dan kekal (bukan nikmat duniawi yang bersifat fisik-lahiriah, amat semu, mudah menyesatkan dan fana).

Tentunya hal-hal yang dimaksudkan dengan rahmat-Nya pada kehidupan dunia itu, terutama pada rahmat-Nya yang bersifat batiniah (atau pahala-Nya). Karena agama bukan diajarkan-Nya untuk mencari rahmat-Nya yang bersifat lahiriah-duniawi, namun agar tiap manusia bisa membangun segala keadaan batiniah ruhnya, sambil menghadapi hal-hal lahiriah di kehidupan dunia ini. Sedang keadaan batiniah ruh itu sendiri, adalah wujud dari keadaan kehidupan akhirat tiap manusia selama di dunia ini, dan juga pasti terus berlanjut setelah Hari Kiamat. Sedangkan pencarian rahmat-Nya yang bersifat lahiriah (rejeki ataupun karunia-Nya), justru lebih ditujukan sebagai alat-sarana bagi tiap manusia, agar ia bisa menjalani kehidupan dunianya, dengan baik dan benar, sekaligus agar memperoleh sebanyak mungkin pahala-Nya (segala keadaan batiniah ruh yang makin positif). Istilah "jalan yang lurus" juga sebutan lain dari istilah "Islam" (nama sebutan dari agama-Nya yang lurus dan terakhir). Maka istilahistilah "jalan-Nya yang lurus", "agama-Nya yang lurus", “agama-Nya” ataupun "Islam", relatif bisa saling dipertukarkan pemakaiannya. Pada hakekatnya “agama-Nya yang lurus” juga meliputi semua agama tauhid lainnya, ataupun seluruh ajaran yang telah disampaikan oleh semua nabi-Nya, karena tauhid dari para nabi-Nya itupun pada dasarnya ‘sama’, yaitu "tiada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa". Namun sebagai agama tauhid yang terakhir, maka semestinya apabila ajaran-ajaran agama Islam itulah yang paling lurus, lengkap, sempurna


Sunatullah (sifat proses)

681

682

Sunatullah (sifat proses)

Gambar 29: Skema beberapa contoh jalan hidup manusia (terkait dengan keimanan)

dan sesuai bagi seluruh umat manusia, sampai akhir jaman. Walau hal ini justru mustahil bisa dicapai, jika ajaran-ajarannya hanya dipahami secara ‘tekstual-harfiah’ (bukan secara ‘hikmah dan hakekat’). Di lain pihaknya, agama-Nya atau agama tauhid yang lainnya (Yahudi dan Nasrani) justru ajaran-ajarannya telah banyak melenceng, dari ajaran-ajaran awalnya, yang telah disampaikan masing-masingnya oleh nabi Musa as (melalui kitab Taurat), dan nabi Isa as (melalui kitab Injil). Padahal kedua nabi-Nya ini beserta ajaran-ajarannya juga diakui dan dibenarkan dalam ajaran agama Islam. Agama Yahudi misalnya telah melenceng dan berubah menjadi agama yang hanya bagi kaum ‘Bani Israil’ saja. Padahal agama-Nya mestinya justru bersifat universal (bagi seluruh umat manusia), sedang agama Nasranipun telah melenceng dan berubah menjadi agama yang menganut kemusyrikan (telah menganggap nabi Isa as sebagai Tuhan). Padahal hanya Allah Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Baca pula topik "Pengajaran dan tuntunan-Nya", tentang para nabi-Nya dan kitab-kitab agama tauhid. Gambaran sederhana berbagai jalan hidup vs keimanan Dengan tingkat keimanan yang makin tinggi yang bisa dicapai dengan mengikuti "jalan-Nya yang lurus", yang jika dikaitkan dengan berbagai jalan hidup yang dijalani oleh manusia pada umumnya, maka digambarkan secara sederhana berbagai contoh jalan hidup manusia, pada Gambar 29 di bawah. Beberapa catatan penting dari gambar tersebut, antara lain: - God spot adalah keimanan, pemahaman atau kesadaran tertinggi tentang Tuhan (dekat ke 'Arsy-Nya yang sangat agung dan mulia). - Tingkat keimanan ‘nol’ (pada bayi yang baru lahir), adalah batas minimal bagi manusia untuk bisa masuk Surga. Gambaran pengaruh pengajaran para makhluk gaib Selanjutnya jika "Gambar 29: Skema beberapa contoh jalan hidup manusia" di bawah lebih diperbesar lagi, maka bisa digambarkan pula pengaruh dari segala bentuk pengajaran dan ujianNya dari para makhluk gaib bagi manusia. Dan pengaruh itu berupa berbagai ilham yang baik dan buruk dalam pikiran manusia, yang terjadi tiap saatnya sepanjang hidupnya, yang selalu mempengaruhi tingkat keimanannya (sebagai ujian-Nya secara batiniah). Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang penjelasan selengkapnya atas berbagai bentuk pengajaran dan ujian-Nya secara batiniah dari para makhluk gaib bagi tiap manusia.

I4: keimanan nol (bayi)

I3: batas bawah keimanan para wali / ulama

XD

I1: God spot

XE

XC

XF

XB XG XA

I2: batas bawah keimanan para nabi

Keterangan gambar:

Jalan hidup yang ditinjau di sini (serangkaian sunatullah yang dijalani), terkait dengan tingkat keimanan (kesadaran batiniah atas kebenaran-Nya), terhadap berbagai keadaan lahiriah manusia. Keadaan lahiriah itu tergantung dari hal-hal yang akan ditinjau seperti: hartakekayaan, tahta-jabatan-profesi, lingkungan-relasi, waktu-kesempatan, umur, keadaan tubuh (kecantikan), kesehatan, kebebasan, semangat, pendidikankeahlian, dsb. Lingkaran batas luar tingkat keimanan dan kesadaran. Makin mendekati ke arah titik pusat lingkaran, maka makin tinggi pula tingkat keimanan (batiniah). Sedang tiap sudut lingkarannya adalah posisi keadaan lahiriah tertentu yang akan ditinjau (dengan variasi keadaan yang berbeda-beda, seperti warna pelangi). Sejak pada saat lahirnya sampai akil-baliq, tiap manusia berada pada tingkat keimanan "nol" (tingkat minimal untuk bisa masuk surga, karena belum ada usahanya yang cukup berarti ataupun yang bisa dipertanggung-jawabkannya, termasuk belum bisa untuk meningkatkan keimanannya). Hal yang relatif serupa juga dialami oleh orang yang hilang ingatannya sejak lahirnya. Tingkat keimanan "nol" itu digambarkan oleh lingkaran terluar (I4). Beberapa lingkaran batas tingkat keimanan itu, seperti: I1 : Batas keimanan tertinggi (God spot / kesadaran tentang Tuhan, atau


Sunatullah (sifat proses)

683

684

'Arsy-Nya yang sangat agung dan mulia).

I2

: Batas bawah keimanan para nabi dan sahabat-sahabatnya.

I3

: Batas bawah keimanan para wali dan alim-ulama.

I4

: Batas bawah keimanan manusia biasa, atau batas keimanan nol (pada bayi yang baru lahir).

Garis jalan hidup manusia. Jalan hidup tiap manusia pasti sangat berliku-liku, karena tergantung kepada keadaan, tingkat keimanan ataupun pilihan hidupnya. Selain itu, juga karena sifat manusiawinya, yang pasti memiliki segala kekurangan dan keterbatasan daya-kemampuannya, termasuk relatif sangat tidak konsisten dalam berbuat. Pada tiap potongan kecil garis pada garis jalan hidup itu, terdapat titik-titik perubahan arah, di mana manusia telah mulai melakukan sesuatu usaha, untuk bisa mengubah keadaan dan keimanannya. Makin panjang potongan garis ini, maka makin keras pula usaha yang harus dilakukan (atau makin tinggi daya-kemampuan diperlukan), juga makin banyak kesibukan yang menyertai usaha itu (makin banyak aspek yang dhadapi). Maka panjang garis ini dibatasi oleh keterbatasan daya-kemampuan, di mana hal ini dipengaruhi oleh sifat manusiawi pada tiap manusia. Beberapa contoh jalan hidup manusia, yaitu: XA : Orang yang kafir-musyrik sejak lahirnya, dan telah meninggal dalam keadaan kekafirannya itu, maka ia tidak akan mendapat surga. Contohnya: orang-orang yang selalu berada dalam kekafirannya. XB

XC

: Orang yang kafir-musyrik sejak lahirnya, namun pada titik-titik tertentu dalam hidupnya, ia telah bisa mendapat hidayah-Nya, lalu bisa pula membawanya kembali ke jalan-Nya yang lurus (atau masuk Islam). Contohnya: orang-orang kafir-musyrik yang telah bertaubat dan lalu ia masuk Islam. : Orang yang muslim sejak lahirnya, dan dengan usahanya yang ‘cukup keras dan konsisten’ untuk tingkatkan keimanannya. Sehingga iapun mendapat tempat yang cukup dekat di sisi ‘Arsy-Nya. Contohnya: para wali dan alim-ulama.

XD

: Orang yang muslim sejak lahirnya, namun hampir tidak ada usaha cukup berarti untuk tingkatkan keimanannya. Sehingga iapun cukup banyak melakukan usaha yang sia-sia sepanjang hidupnya di dunia. Bahkan iapun cukup sering melakukan dosa-dosa kecil. Contohnya: orang-orang biasa yang sangat awam.

XE

: Orang yang muslim sejak lahirnya, dan dengan usahanya yang ‘sangat keras dan konsisten’ untuk tingkatkan keimanannya. Sehingga iapun mendapat tempat yang sangat mulia dan dekat di sisi ‘Arsy-Nya. Contohnya: para nabi dan sahabat-sahabatnya.

XF

: Orang yang muslim sejak lahirnya, dan dengan usahanya yang ‘cukup’ untuk tingkatkan keimanannya. Namun pada titik-titik tertentu dalam hidupnya, setelah mencapai keimanan atau pengetahuan yang cukup memadai, justru ia berpaling arah memilih jalan kesesatan. Lalu iapun meninggal dalam keadaan kemusyrikan. Contohnya: orang-orang munafik dan murtad.

XG

: Orang yang muslim sejak lahirnya, dan sesuai dengan segala ‘kemam-

Sunatullah (sifat proses) puan atau keterbatasan’ yang dimilikinya, ia telah berusaha sebisanya untuk tingkatkan keimanannya sepanjang hidupnya di dunia ini. Kadang-kadang pula ia melakukan dosa-dosa kecil dan cukup besar. Namun akhirnya ia bisa bertaubat dengan sebenar-benarnya secara maksimal, untuk bisa menghapus dosa-dosanya itu. Contohnya: orang-orang biasa pada umumnya.

Jalan-Nya yang lurus. "Jalan yang lurus" terwakili oleh potongan-potongan kecil garis pada garis “jalan hidup”, yang arahnya ‘lebih cenderung’ makin mendekati titik pusat lingkaran, yang merupakan perwujudan dari 'Arsy-Nya yang sangat agung dan mulia, tempat di mana segala kebenaran-Nya tercatat (God spot / kesadaran tentang Tuhan). Sehingga jika garis itu makin ‘cepat terarah’ menuju mendekati ke titik pusat lingkaran, maka bisa disebutkan pula, bahwa makin "lurus" (benar) jalan hidup yang ditempuh. Tentunya arah dari garis ini bisa berbeda-beda bagi tiap manusia, karena tergantung segala keadaannya masing-masing (dari sudut yang berbeda-beda). Tiap manusia pasti memiliki kesempatan yang sama, untuk bisa menuju ‘kembali’ ke hadapan ‘Arsy-Nya, dari arah jalan hidup yang berbeda-beda atau sesuai segala keadaannya masing-masing. Pada tiap garis yang terarah lebih mendekati ke titik pusat lingkaran itu disebut pula manusia mendapat pahala-Nya (nikmat-Nya). Sedangkan pada tiap garis yang terarah menjauh, disebut manusianya mendapat beban dosa (hukumanNya). Pahala-Nya dan beban dosa bersifat batiniah (nikmat dan hukuman-Nya secara batiniah). Pada dasarnya bisa pula dicapai secara bersamaan, antara tingkat keimanan yang makin tinggi, sekaligus pula segala keadaan lahiriah yang makin sesuai harapan atau keinginan. Namun secara manusiawi, ada pula keterbatasannya dalam mencapai kedua tujuan itu secara bersamaan, yaitu daya-kemampuan ataupun segala kesibukan yang diperlukannya. Orang beriman akan cenderung memilih untuk lebih menyibukkan diri dalam meningkatkan keimanannya (memakmurkan kehidupan akhiratnya). Namun juga tidak melupakan kehidupan dunianya, yang justru sangat diperlukan dalam mendukungnya untuk bisa makin banyak beramal-ibadah. Segala usaha duniawi itu tentunya tidak dilakukannya secara berlebihan (hanya secukupnya sesuai keperluannya saja).

Manusia yang berkebebasan memilih jalan hidupnya (dengan nafsu dan akalnya), tiap saatnya pula secara sadar ataupun tidak, pada dasarnya ia memilih-milih salah-satu dari segala ilham tersebut, yang dianggap sesuai dengan keinginannya, walau pengaruh dan pilihan itu belum tentu sesuai dengan keredhaan-Nya bagi manusianya. Pengaruh berbagai bentuk pengajaran atau ujian-Nya dari para makhluk gaib itu, bisa ditunjukkan secara sederhana pada Gambar 30 di bawah. ‘Nafsu’ (semangat atau keinginan untuk berkembang) telah ditunjukkan dengan ‘panjang-pendek’ tiap sepotong garis jalan hidup. Makin panjang garisnya, makin besar pula usaha dan semangat yang


Sunatullah (sifat proses)

685

686

diperlukan, untuk mengubah jalan hidup. Sedang ‘akal’ (pengetahuan atau kecerdasan untuk memilih) telah ditunjukkan dengan ‘arah sudut’ tiap sepotong garis jalan hidup. Dengan memanfaatkan akalnya, tiap manusia (secara sadar ataupun tidak), pada dasarnya memilih salahsatu dari berbagai ilham baru hasil pengajaran dari para makhluk gaib, yang kemudian diolah dan diputuskan, berdasarkan pengetahuan dan keyakinannya yang telah terbangun sebelumnya sepanjang hidupnya. Proses memilih dan berusaha itu juga bahkan berlangsung tiap saatnya sepanjang hidup tiap manusia. Sedangkan hasil akhir dari tiap proses itu ditentukan-Nya melalui rumus-rumus proses kejadian yang pasti dan jelas (atau melalui sunatullah), sesuai dengan segala keadaan yang dipilih dan diusahakan oleh manusianya sendiri. Gambar 30: Skema pengaruh pengajaran para makhluk gaib (terkait dengan keimanan)

tingkat keimanan (kesadaran batiniah tentang berbagai kebenaran-Nya), atas segala pengaruh pengajaran dan ujian-Nya secara batiniah dari para makhluk gaib (malaikat, jin, syaitan dan iblis). Beberapa tanda pada gambar, yaitu: A : Titik atau lingkaran sebagai sesuatu batas tingkat keimanan tertinggi, yang mampu dicapai manusia (God spot / kesadaran tentang Tuhan, atau 'Arsy-Nya yang sangat agung dan mulia). B : Titik posisi keadaan dan keimanan sekarang, atau posisi terakhir dari jalan hidup. C : Lingkaran yang berpusat di titik A dan berpotongan dengan titik B, sebagai batas tingkat keimanan yang sama seperti sekarang. D : Rangkaian beberapa potongan garis yang berkelok-kelok tetapi saling terhubung sampai berakhir di titik B, sebagai gambaran proses-proses jalan hidup yang telah dijalani sebelumnya. E : Garis dari titik B ke titik A, sebagai arah jalan hidup yang paling lurus, benar atau paling dekat, untuk bisa menuju ke 'Arsy-Nya.

A: God spot C: lingkaran berpusat di A (batas keimaman yang tidak berubah)

I2a: jin I3a: syaitan

Ilham-ilham (pengaruh batiniah) E: garis dari B ke A (jalan paling lurus)

B: posisi terakhir

Bahkan segala kecenderungan arah pemikiran tiap manusia (ilham-ilham), amat kuat diyakini semuanya berasal dari para makhluk gaib. Sedang manusia hanya tinggal memilih saja salah-satu atau beberapa dari ilham-ilham itu (pemahaman, pemikiran, pengetahuan, intuisi-logika, memori-ingatan, segala perasaan, dsb), agar bisa dipakainya sebagai bahan atau pengetahuan dalam menentukan arah kehidupannya (ke arah positif ataupun negatif).

jalan hidup

I2b: jin

I4: iblis I3b: syaitan

Keterangan gambar:

Gambaran keadaan yang terjadi "sesaat sebelum" tiap manusia akan memilih jalan hidupnya (rangkaian sunatullah yang akan dijalani), yang terkait dengan

Berbagai bentuk pengajaran dari para makhluk gaib. Makin mendekati ke titik A (God spot / kesadaran tentang Tuhan) atau makin ke arah daerah dalam lingkaran C, maka hasil pengaruh pengajaran ‘positif’ dari para makhluk gaib (terutama malaikat Jibril), jika telah diamalkan, justru akan bisa makin meningkatkan keimanan manusianya. Pengajaran mereka kepada tiap manusia terjadi tiap saatnya sepanjang hidup manusianya (tiap titik jalan hidup), yang berupa segala bentuk ilham-bisikangodaan (benar-baik-positif dan sesat-buruk-negatif) ke dalam pikiran tiap manusianya (berupa ingatan, pemikiran dan pemahaman atas berbagai hal). Kecenderungan arah pemikiran itu (ilham-ilham) digambarkan oleh sejumlah garis lurus berpanah yang ditarik keluar dari titik B, menuju ke segala arah. Panjang-pendeknya garis yang bervariasi, menunjukkan perbedaan besarnya kekuatan pengaruh dari masing-masing ilham itu. Tiap sudut arah garis adalah gambaran dari celah-celah kekuatan ataupun kelemahan di dalam pikiran manusianya yang dipakai oleh para makhluk gaib, dengan memberikan berbagai alternatif (ilham) yang menguntungkan ataupun merugikan bagi manusianya.

I1: malaikat

D: jalan hidup

Sunatullah (sifat proses)

Bentuk pengajaran para makhluk gaib yang amat sangat halus. Pengajaran mereka itu bisa terjadi melalui interaksi secara terang-terangan (mereka menampakkan ‘wujud aslinya’), dengan sejumlah amat terbatas umat manusia, ataupun secara terselubung (bisikan mereka amat sangat halus dan tidak kentara), dengan ‘seluruh’ umat manusia. Namun prinsip kedua cara interaksi itupun sama, mereka itulah yang telah "memancing-mancing" timbulnya segala bentuk ilham. Karena amat sangat halus bisikan mereka, bahkan manusia biasanya menganggap semuanya hanya dari hasil pikirannya sendiri. Hal yang amat penting pula, bahwa pengajaran mereka itupun pasti mengikuti kecenderungan keadaan dan kesiapan manusia dalam menerima pengajaran,


Sunatullah (sifat proses)

687

sehingga pengajaran terasa amat sangat tidak memaksa. Serta manusia tidak mencurigai, bahwa hal itu adalah hasil intervensi pengaruh dari luar. Dan tidak menyebabkan manusia mudah memahaminya atau mudah menolaknya. Hal ini pulalah penjelasan atas "mengapa para nabi-Nya bisa mencapai tingkat keimanan yang sangat tinggi", karena makin utuh keimanan seseorang (makin konsisten antara pikiran, perkataan dan perbuatan), makin tinggi pula nilai tiap pengajaran selanjutnya, yang akan bisa diperolehnya. Melalui cara yang amat sangat halus, tidak kentara dan tidak memaksa itulah yang membuat pengajaran mereka amat sangat efektif, dalam mempengaruhi manusia secara batiniah ke arah kebaikan (sebagai pengajaran dan tuntunanNya) ataupun ke arah keburukan (sebagai cobaan atau ujian-Nya).

Pengelompokan bentuk pengajaran para makhluk gaib. Beberapa pengelompokan dari bentuk ilham-ilham itu, seperti: I1 : Berbagai ilham positif-baik-benar yang diajarkan oleh para malaikat, terutama pengajaran dan tuntunan-Nya oleh malaikat Jibril. I2a & I2b : Berbagai ilham ‘agak’ positif-baik-benar ataupun ‘agak’ negatifburuk-sesat yang diajarkan oleh para jin. I3a & I3b : Berbagai ilham negatif-buruk-sesat yang diajarkan oleh para syaitan. I4 : Berbagai ilham ‘sangat’ negatif-buruk-sesat yang diajarkan oleh para iblis. Selain ilham I1, bentuk ilham-ilham lainnya berupa godaan yang relatif bisa sangat menyesatkan, sebagai cobaan atau ujian-Nya secara batiniah.

Pengajaran bagi para nabi-Nya dari malaikat Jibril (atau penyampaian wahyuwahyu-Nya). Pada dasarnya tiap manusia biasa umumnya, juga pasti mendapat pengajaran positif (petunjuk) dari malaikat Jibril, seperti halnya bagi para nabi-Nya. Dan sekaligus pula tiap manusia pasti mendapat pengajaran negatif (godaan) dari jin, syaitan dan iblis. Namun yang membedakan adalah keadaan dan kesiapan para nabi-Nya yang jauh lebih baik dalam menerima segala pengajaran positif (hidayah-Nya), bahkan bisa mengambil hikmah-Nya dari segala godaan iblis dan syaitan, karena tingkat keimanan para nabi-Nya yang amat tinggi, dari hasil tingkat pemahaman dan pengamalan yang amat tinggi (sering bertafakur dan beramal-ibadah). Hal itu tampak dari segala akhlak dan kebiasaan positif yang telah dilakukan secara amat keras dan konsisten oleh para nabi-Nya itu, sepanjang hidupnya, sehingga terbentuk filter keyakinan yang amat kuat dalam memilah-milah segala pengajaran dan ujian-Nya secara batiniah dari para makhluk gaib, melalui interaksi secara terang-terangan ataupun terselubung.

Wahyu-Nya berupa pengetahuan pada para nabi-Nya. Penyampaian wahyu-Nya oleh malaikat Jibril justru tidak seperti "Hai RasulNya, Allah telah berfirman kepadamu …", namun justru dari pemahaman dan keyakinan kuat yang telah dimiliki sebelumnya oleh para nabi-Nya, yang telah membuat mereka bisa menilai, “apakah berbagai pengajaran yang baru saja diperolehnya, berasal langsung dari Allah (atau mengandung suatu kebenaran-Nya), ataukah bukan?”. Sehingga tiap pengetahuan atau pemahaman yang berupa hidayah-Nya yang telah mereka peroleh dari hasil pengajaran malaikat Jibril, sekaligus pula hik-

688

Sunatullah (sifat proses) mah-Nya dari hasil pengajaran jin, syaitan dan iblis, makin memperkuat segala pemahaman yang telah mereka miliki. Pemahaman pada para nabi-Nya telah bisa disebut sebagai "wahyu-Nya", karena integritas keimanan mereka (konsistensi), dan keutuhan petunjuk atau kebenaran-Nya yang telah mereka miliki, dan juga amat lengkap, sehingga amat sulit dicapai manusia biasa. Bahkan hikmah dan hidayah-Nya pada para nabi-Nya bisa menjawab hampir semua persoalan yang amat penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan umat kaumnya, ataupun bahkan persoalan umat manusia keseluruhannya. Baca pula topik "Pengajaran dan tuntunan-Nya", tentang pemahaman yang lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan. Sedang tiap hikmah dan hidayah-Nya yang diperoleh manusia biasa umumnya, "tidak" pantas disebut sebagai ‘wahyu-Nya’. Juga tidak pernah disebut, bahwa manusia biasa juga mendapat pengajaran dari malaikat Jibril. Hal ini dibedakan, semata-mata bertujuan untuk menjaga kemuliaan wahyuwahyu-Nya. Hal ini juga untuk menjaga, agar tiap manusia tidak mudah mengaku-aku telah mendapat wahyu-Nya, padahal ia sebenarnya tidak bisa memahami ataupun tidak bisa menjawab segala persoalan umat manusia yang amat penting, mendasar dan hakiki. Serta jika ia bisa menjawab berbagai persoalan tertentu, ia hanya mengikuti hasil pemahaman orang-lain (terutama para nabi-Nya), juga ia tidak memahami segala dasar pemikiran di balik timbulnya pemahaman itu. Oleh karena itu, maka tidak dibenarkan ada orang yang mengaku-aku sebagai nabi baru, hanya sekedar karena telah hapal kitab suci Al-Qur’an, kitab-kitab Hadits ataupun kitab-kitab lainnya, ditambah dengan adanya "bisikan" yang didengarnya dari para makhluk gaib. Padahal ia belum bisa memahami secara lengkap, mendalam, konsisten utuh dan tidak saling bertentangan, atas segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, di balik teks-teks kitab suci Al-Qur’an. Baca pula topik "Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia", tentang kemustahilan adanya nabi baru, setelah nabi Muhammad saw.

Jalan-Nya yang lurus dan "kembali" ke hadapan ‘Arsy-Nya Tiap manusia memiliki keadaan ataupun ‘jalan hidup’ berbedabeda, namun tiap usaha yang bisa dilakukannya untuk bisa mencapai ‘jalan-Nya yang lurus’ pada hakekatnya sama, yaitu dengan mengikuti semua yang diajarkan dalam ajaran agama-Nya (Islam), atau agar tiap manusia bisa beriman dan bertaqwa kepada Allah. Karena tiap ajaran agama Islam (agama tauhid terakhir), adalah cara-cara yang paling aman, lengkap, sempurna dan lurus (benar), untuk bisa kembali dekat ke hadapan 'Arsy-Nya. Dalam hal ini tiap umat Islam juga pasti bisa memiliki kesempatan yang persis sama.

Sesuai sifat manusiawi yang penuh dengan segala kekurangan, maka tiap manusia mustahil bisa ‘mencapai’ 'Arsy-Nya, sampai akhir hidupnya, karena pada 'Arsy-Nya itulah terletak segala kebenaran dan kemuliaan-Nya. Sedang tiap manusia mustahil bisa memahami segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (bentuk pemahaman atas ayatayat-Nya yang tak-tertulis), dan hanya Allah Yang Maha mengetahui.


Sunatullah (sifat proses)

689

Namun tiap manusia bisa berusaha makin ‘mendekati’ 'ArsyNya itu. Orang-orang yang bisa mencapai paling dekat ke sisi 'ArsyNya, adalah orang-orang yang paling beriman di antara umat manusia (misalnya: para nabi-Nya, para sahabat nabi, para wali, dsb), karena mereka itu telah bisa memahami sebagian amat kecil saja dari cahaya kebenaran-Nya (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), secara relatif sempurna (konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan). Walau demikian, cahaya kebenaran-Nya yang mereka miliki (khususnya para nabi-Nya), juga telah sangat lengkap dan mendalam, untuk bisa menjadi pengajaran dan tuntunan-Nya, bagi umatnya pada jamannya masing-masing. Tentunya telah cukup untuk bisa menjawab segala tantangan dan persoalan yang paling mendasar dan hakiki, bagi kehidupan umat kaumnya, ataupun bahkan bagi seluruh umat manusia (khususnya ajaran-ajaran dari nabi Muhammad saw). Dua macam "kembali" ke hadapan ‘Arsy-Nya Telah dijanjikan-Nya, bahwa pada Hari Kiamat, tiap manusia akan dikumpulkan-Nya langsung ataupun ‘kembali’ ke hadapan 'ArsyNya, agar dimintai-Nya pertanggung-jawab dan diberi-Nya keputusan atas segala amal-perbuatannya masing-masing selama pada kehidupan dunia. Sehingga ‘kembali’ di sini juga bersifat memaksa dan bertujuan sebagai pembuktian akhir atas segala kebenaran-Nya. Sekaligus pula sebagai pemberian hasil akhir, atas proses penggodokan manusia di dunia. Di sini ‘zat’ tiap ruh yang ‘kembali’ (berkebalikan dari proses diturunkan atau ditiupkan-Nya ruh, atau dihidupkan-Nya manusia). Sehingga jelas, bahwa ‘kembali’ pada Hari Kiamat itu berbeda daripada ‘kembali’ ketika manusianya masih berada di dunia. Di mana ‘kembali’ inipun berupa kesadaran tiap manusianya sendiri, untuk bisa lebih mengenal dan lebih mendekatkan dirinya kepada-Nya, dengan berusaha mengikuti berbagai ajaran agama-Nya yang lurus. Di sini ‘keadaan batiniah’ tiap ruh yang ‘kembali’, karena memang sengaja dipersiapkan oleh manusianya, untuk bisa menghadapi ‘kembali’ pada Hari Kiamat, dengan sebaik-baiknya. Tentunya sesuai makna dari istilah ‘keadaan’ itu sendiri, maka pada kembali ‘keadaan batiniah’ ruh di dunia, justru bersifat ‘sesaat’ (temporer), tergantung kepada tingkat keimanan tiap manusianya tiap saatnya. Sedang diketahui suatu keimanan atau keyakinan yang utuh, semestinya meliputi 2 aspek: aspek batiniah (pemahaman) dan aspek lahiriah (pengamalan), yang saling konsisten. ‘Kembali’ yang terkait pemahaman (batiniah), justru terjadi

690

Sunatullah (sifat proses)

ketika manusia melakukan ‘tafakur’, untuk bisa memahami berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya. Dan seperti halnya pengetahuan, maka ‘kembalinya’ pemahaman secara batiniah ini biasanya bersifat relatif permanen, setelah diperolehnya tiap pemahaman itu sendiri. Hal inilah yang terjadi ketika peristiwa ‘Isra Mi’raj-nya nabi Muhammad saw, ataupun pada para ‘Sufi’, ketika sedang mengalami ‘penyatuan diri dengan Allah’ (wahdat-ul-wujud). Hal ini juga terjadi pada orang-orang yang beriman lainnya, pada uraian di bawah. Sedang ‘kembali’ yang terkait pengamalan (lahiriah), terjadi ketika tiap manusianya telah bisa amat konsisten mengamalkan segala pemahamannya, sesuai dengan amalan-amalan yang diajarkan dalam ajaran agama-Nya. Maka ‘kembalinya’ pengamalan secara lahiriah ini biasanya bersifat relatif berubah-ubah, tergantung kepada keadaan dan kemampuan lahiriah tiap manusianya, tiap saatnya. ‘Kembali’-nya tiap zat ruh pada Hari Kiamat di atas bersifat kekal, di mana tiap ruh manusia telah hidup kekal di Surga ataupun di Neraka, serupa dengan kehidupan para makhluk gaib pada saat ini di alam akhirat ataupun alam ruh. Baca pula topik "Benda mati gaib", tentang proses kebangkitan ‘zat’ ruh, dan tentang wujud kehidupan akhirat di Hari Kiamat. Kembalinya Nabi ke hadapan 'Arsy-Nya pada ‘Isra Mi’raj Contoh yang sangat dikenal oleh umat Islam, tentang ‘keadaan batiniah’ ruh yang ‘kembali’ ke hadapan 'Arsy-Nya, adalah peristiwa 'Isra Mi'raj, yaitu sesuatu perjalanan batiniah-moral-spiritual yang luar biasa yang dialami oleh Nabi besar Muhammad saw. Pada perjalanan batiniahnya ini, Nabi telah bisa memahami dengan relatif sangat jelas dan terang atas berbagai hal, seperti: - Berbagai keadaan kehidupan akhirat di Surga dan di Neraka; - Berbagai bentuk balasan-Nya atas suatu amal-perbuatan manusia (nikmat ataupun hukuman-Nya); - Berbagai keadaan ketaqwaan dan ibadah para nabi-Nya terdahulu kepada Allah; - Berbagai keadaan atau tingkatan para makhluk gaib-Nya; - Berbagai hubungan antara aktifitas tubuh lahiriah dan keadaan batiniahnya (terutama tentang ritual ibadah shalat); dsb. Bahkan Nabipun bisa berada sangat dekat ke ‘Arsy-Nya (bisa memahami dengan sangat jelas dan terang, atas berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya atau cahaya kebenaran-Nya), sehingga Nabi


Sunatullah (sifat proses)

691

juga diliputi oleh ‘cahaya-Nya yang amat sangat terang’. Hal inipun bisa dicapai oleh Nabi, karena berbagai akhlak dan budi-pekertinya yang sangat terpuji dan lengkap. Sehingga keadaan batiniah ruh Nabi sangat bersih-jernih (cermin batiniahnya), dan juga bisa memantulkan berbagai cahaya kebenaran-Nya dengan sangat jelas dan terang. Perjalanan batiniah Nabi ketika peristiwa 'Isra Mi'raj ini pada dasarnya puncak tertinggi dari sejumlah besar usaha Nabi, di dalam bertafakur sepanjang hidupnya (khususnya yang biasanya dilakukan oleh Nabi di gua Hira). Semacam rangkaian terakhir yang utuh dan lengkap, atas berbagai hasil bertafakur yang diperoleh Nabi selama ini (berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), dari hasil mempelajari tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini. "Maha Suci Allah, Yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad), pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha, yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar, lagi Maha Melihat." - (QS.17:1) "Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya. Tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Dia, Rabb (Yang mempunyai) `Arsy yang mulia." - (QS.23:116) "Sesungguhnya Al-Qur`an itu benar-benar firman (atau wahyu-Nya yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril),"; "yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi-Nya, Yang mempunyai `Arsy,"; "yang ditaati di sana (di alam malaikat), lagi dipercaya." - (QS.81:19-21) Kembalinya para Sufi & orang beriman ke hadapan 'Arsy-Nya ‘Kembali’-nya ‘keadaan batiniah’ ruh (pemahaman) ke dekat ‘Arsy-Nya itu juga terjadi pada para ‘Sufi’, yang sedang mengalami ‘penyatuan diri dengan Allah’ (wahdat-ul-wujud), ataupun yang juga terjadi pada orang-orang yang beriman lainnya. Hal ini pada dasarnya berupa perolehan pemahaman yang sangatlah mendalam atas berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, ketika bertafakur. Ttiap msnusia yang mengalaminya ‘seolah-olah’ merasa telah menyatu ataupun memahami dengan relatif sangat dekat atas berbagai kehendak dan tindakan-Nya di alam semesta ini. Dengan kata lainnya, berbagai pemahamannya telah relatif sangat dekat 'menyatu' (sesuai), dengan berbagai kebenaran-Nya di alam semesta ini.

Hal ini bukan suatu ‘penyatuan zat’ yang sebenarnya (zat diri

692

Sunatullah (sifat proses)

umat dan zat Allah), tetapi justru hanya suatu penyaksian yang relatif sangat terang dan jelas, atas tiap cahaya kebenaran-Nya. Cahaya-Nya juga sangat menyilaukan bagi umat yang mengalami (mencapai suatu pemahaman), sehingga ia seolah-olah merasa telah ‘menyatu’ dengan ‘Arsy-Nya (simbol tempat segala kebenaran-Nya tercatat). Padahal umat itu hanya ‘sangat dekat’ saja ke ‘Arsy-Nya, atau berbagai kebenaran yang telah bisa dipahaminya pasti tetap bersifat 'relatif', sedang tiap kebenaran-Nya bersifat 'mutlak'. Selain itu pula, 'seluruh' kebenaran-Nya pasti mustahil bisa dipahaminya. Dan padahal ‘Arsy-Nya bukan kursi yang sebenarnya tempat Zat Allah berada. Hal inipun disebutkan sebagai perolehan kesadaran ketuhanan (God spot), suatu kesadaran atau pemahaman yang tertinggi yang bisa dicapai oleh tiap manusia (umat-umat yang dikehendaki-Nya), atas tiap cahaya kebenaran-Nya (Nur Ilahi, hikmah dan hakekat kebenaranNya, al-Hikmah atau petunjuk-Nya). Bagi tiap manusia biasa pada umumnya, pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya itu juga bisa dicapai, tetapi hal itu terjadi bersamaan dengan makin tingginya tingkat keimanannya (atau makin terang dan mendalam pemahamannya atas tiap cahaya kebenaran-Nya, sekaligus makin konsisten pengamalannya). Sehingga segala keadaan batiniah ruh umat telah sangat bersih (cermin batiniahnya), dan bisa sangat terang dan jelas memantulkan tiap cahaya kebenaran-Nya. Pada dasarnya proses perolehan pemahaman pada tiap manusia serupa pula seperti pada para nabi-Nya, namun perbedaannya hanya pada ‘tingkat terangnya’ keseluruhan cahaya kebenaran-Nya yang bisa diperoleh. Karena para nabi-Nya itu telah memiliki pemahaman yang tersusun relatif sangat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan atas berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, yang menyangkut seluruh aspek kehidupan umat kaumnya, ataupun bahkan kehidupan seluruh umat manusia. Juga disertai pengamalan yang sangat konsisten sepanjang hidup mereka, khususnya lagi dalam melayani dan menjadi contoh suri-teladan bagi umat. Sedangkan pencapaian pemahaman pada tiap manusia lainnya, justru sangat terbantu dari wahyu-wahyu-Nya yang telah disampaikan oleh para nabi-Nya. Juga secara alamiahnya, makin lama pasti makin berkurang kapasitas dan kemampuan tiap manusia, dalam memahami kehidupannya sendiri dan kehidupan umat kaumnya, sejalan dengan tantangan dan persoalan umat sehari-harinya, yang makin kompleks. Pada akhirnya tiap manusia modern saat ini relatif makin sulit


Sunatullah (sifat proses)

693

bisa menyamai tingkat pemahaman pada para nabi-Nya, terlebih-lebih lagi dalam hal pengamalannya. Baca pula topik "Pengajaran dan tuntunan-Nya", dan terutama sub-topik "Nabi terakhir, untuk seluruh umat manusia". Kemustahilan ‘penyatuan’ diri manusia dan Allah Pada sebagian aliran tasawuf telah berkembang sesuatu paham “penyatuan diri setiap manusia (hamba-Nya) dengan Allah” (wahdatul-wujud, hulul, ittihad atau wushul). Seperti sedikit disebut di atas, bahwa hal ini bukan sesuatu 'penyatuan zat' yang sebenarnya (zat diri manusia dan zat Allah), tetapi hanya sesuatu bentuk 'penyaksian' atau 'pengetahuan' yang relatif amat terang dan jelas atas berbagai cahaya kebenaran-Nya. Serta bukan pula 'penyatuan pengetahuan' yang sesungguhnya, karena pengetahuan ‘relatif’ milik setiap umat manusia pasti memiliki jarak tertentu dari pengetahuan ‘mutlak’ milik Allah. Di samping itu, segala pengetahuan-Nya di seluruh alam semesta ini pastilah mustahil bisa dikuasai atau dipahami semuanya oleh umat manusia.

694

Sunatullah (sifat proses)

dan jamannya, terutama tentang hal-hal gaib dan batiniah, yang justru paling penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan umat manusia (ketuhanan; tujuan dari penciptaan alam semesta dan kehidupan segala zat makhluk-Nya; ruh dan para makhluk gaib; kehidupan akhirat; surga; neraka; akhlak; amal-ibadah; dsb). Segala pemahaman para nabi-Nya justru pasti bersifat ‘relatif’, namun juga relatif ‘sempurna’ (relatif sangat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan).

Bahwa Pencipta mustahil serupa dengan segala sesuatu hal yang diciptakannya (dalam hal zat, pengetahuan, kekuasaan, dsb).

Bahwa Zat Allah Yang Maha gaib mustahil bisa dijangkau oleh alat-alat indera lahiriah dan batiniah manusia (mata, hati, dsb). Zat Allah Maha tersucikan dari segala sesuatu hal.

Bahwa segala pengetahuan Allah di seluruh alam semesta (segala kebenaran-Nya), mustahil bisa dijangkau seluruhnya oleh umat manusia. Belum termasuk segala pengetahuan Allah, tentang halhal yang berada di luar atau tidak berkaitan dengan alam semesta (sebelum adanya ataupun setelah berakhirnya alam semesta).

Akhirnya, hal yang sebenarnya terjadi pada para sufi, tentang paham “penyatuan antara manusia dan Allah”, semata hanya sesuatu perasaan ‘sangat dekatnya’ pengetahuan para sufi itu dengan sebagian sangat sedikit dari segala pengetahuan Allah di alam semesta ini (atau segala kebenaran-Nya). Bisa disebut pula bahwa pengetahuannya para sufi hanya bisa ‘makin mendekati’ pengetahuannya para nabi-Nya. Paham “penyatuan antara manusia dan Allah” itu juga pada dasarnya suatu hal yang telah cukup berlebihan, karena segala sesuatu hal pada manusia justru pasti bersifat relatif dan fana, bahkan juga termasuk pada para nabi-Nya (tidak ‘mutlak’ dan ‘kekal’ seperti halnya sifat-sifat Allah). Ka’bah sebagai simbol "kembali" ke hadapan 'Arsy-Nya Sangat penting bagi umat Islam, agar selalu mengingat tentang dua macam "kembali" di atas, disimbolkan dengan kiblat bagi agama Islam, yang disebut Ka’bah, yang berupa batu biasa berukuran besar, berwarna hitam dan berbentuk kubus, yang berada di tengah-tengah Masjidil Haram di kota Mekah - Saudi Arabia. Ka’bah merupakan ‘simbol’ tujuan kehidupan manusia adalah ‘kembali’ menghadap ke hadapan 'Arsy-Nya, yaitu bagi ‘zat’ ruh dan ‘keadaan batiniah’ ruh. Dan Ka’bah juga sebagai ‘simbol’ dari tempat kedudukan Allah (‘Arsy-Nya), tempat di mana seluruh umat manusia dan segala sesuatu urusannya pasti akan kembali.

Bahwa berbagai pengetahuan Allah di alam semesta ini (berbagai kebenaran-Nya) yang masih bisa dijangkau oleh manusia, justru mustahil bisa diketahuinya dengan 'pasti' (mutlak), tetapi hanya sesuatu 'gambaran fenomena umum' ataupun ‘pendekatan relatif’ yang bisa diketahui oleh manusia. Pada tingkat inilah yang telah dicapai oleh para nabi-Nya, karena mereka memang paling memahami tentang berbagai kebenaranNya, dibanding seluruh umat manusia lainnya pada setiap kaum

Pada ‘kembali batiniahnya', disimbolkan melalui ibadah shalat yang selalu menghadap ke Ka’bah, di manapun tiap umat Islam berada di muka Bumi ini (jika memungkinkan), namun sebaliknya, hal itupun bisa dilakukan secara batiniah saja (seperti: saat sakit, tidak tahu arah kiblat, dsb). Hal ini melambangkan tiap umat Islam semestinya selalu menyembah dan mengabdikan diri kepada-Nya, bagaimanapun segala keadaan kehidupannya (lahiriah dan batiniah). Sedang ‘kembali zatnya’, disimbolkan melalui ibadah haji ke

Segala bentuk”'penyatuan antara manusia dan Allah” adalah sesuatu yang mustahil terjadi, dibantah lebih lengkap sebagai berikut:


Sunatullah (sifat proses)

695

kota Mekah, sebagai ibadah paling puncak bagi umat Islam yang telah mampu. Ritual ‘thawaf’ dalam berhaji, agar mengitari Ka’bah sambil berusaha menyentuhnya, melambangkan bahwa umat Islam mestinya berusaha maksimal, untuk bisa menjadi orang yang paling dekat di sisi ‘Arsy-Nya di Hari Kiamat (atau disebut orang yang paling beriman), ketika ‘zat’ ruhnya masing-masing telah kembali kepada-Nya. Dari keseluruhan agama di dunia ini, hanya agama Islam yang paling menampakkan kefanatikannya pada peran sangat penting dan simbolik sesuatu kiblat agama. Bahkan minimalnya 5 kali sehari umat diwajibkan untuk bisa beribadah shalat dengan menghadap ke Ka’bah. Tentunya Ka’bah juga sesuatu simbol penting persatuan di kalangan umat Islam, yang berasal dari berbagai bangsa di seluruh dunia. Selain sebagai simbol-simbol di atas, maka Ka’bah justru tidak mempunyai arti apa-apa (hanya berupa batu kubus, besar, hitam dan sederhana), serta Ka’bah juga tidak sama dengan berhala. Bahkan hal inipun bisa tampak jelas dari gambar Ka’bah pada sajadah (permadani kecil untuk alas di waktu shalat), yang bisa diinjak atau sejajar dengan telapak kaki. Hal itupun karena tempat kedudukan Allah yang sebenarnya (‘Arsy-Nya), justru berada di alam batiniah ruh tiap manusia (dalam hatinya, bukanlah pada Ka’bah). Sekali lagi, tentunya hal ini bukanlah tempat kedudukan ‘Zat’ Allah yang sebenarnya, namun hanya berupa kesadaran tertinggi dalam hati-nurani tiap manusia, tentang Allah. Keadaan manusia saat kembali ke hadapan 'Arsy-Nya Orang yang beriman yang telah berusaha maksimal, di dalam mengikuti jalan-Nya yang lurus, yang memang sangat mengharapkan ‘pertemuannya langsung’ dengan Allah, Yang Maha Pencipta, maka mereka itu menghadapi kedatangan Hari Kiamat (sebagai Hari saat kembalinya tiap ruh makhluk kepada-Nya), dengan perasaan gembira. Seperti halnya ketentraman batiniah pada sejumlah orang yang beriman, saat mereka menjelang ajalnya. Sebaliknya,. orang yang tidak beriman (musyrik, kafir, fasik, zalim, dsb) akan kalang-kabut atau mengalami kegoncangan hebat di Hari Kiamat. Selain karena kedatangan Hari Kiamat itu telah terbukti, padahal dahulunya selalu mereka dustakan dan abaikan. Juga karena mereka telah berpaling dari setiap kebenaran-Nya, atau telah menjauhi “jalan-Nya yang lurus” yang telah diperintahkan-Nya kepada seluruh umat manusia. Sehingga mereka itu justru tidak siap, untuk "kembali" ke hadapan 'Arsy-Nya di Hari Kiamat itu. 62)

696

Sunatullah (sifat proses)

Baca pula topik "Benda mati gaib", tentang ‘kembali’ dan kegoncangan lahiriah dan batiniah di Hari Kiamat. Sedang ‘kembalinya’ keadaan batiniah ruh ke hadapan 'ArsyNya selama kehidupan di dunia pada uraian di atas, bisa menimbulkan suatu kenikmatan yang luar biasa bagi manusianya, yang sangat sulit diungkapkan (para Sufi menyebutnya keadaan ekstase), terutama lagi karena manusia bisa "sangat dekat" (bukan “mencapai”) ke hadapan ‘Arsy-Nya, yang sangat mulia dan agung. Pada sebagian dari umat, hal ini disertai pula dengan luluhnya keseluruhan jiwa-raga, dan hanyut dalam tangis, karena alam batiniah ruhnya larut dalam cahaya keagungan dan kemuliaan-Nya. Menurut Imam Al-Ghazali, hal ini adalah tingkat pencapaian pemahaman yang tertinggi bagi tiap manusia, dalam memahami cahaya kebenaran-Nya (pada Tabel 11). Para nabi-Nya adalah manusia yang telah mencapai tingkatan ini, bahkan jauh lebih tinggi dari manusia lainnya pada tiap jamannya masing-masing. Umat manusia biasa lainnya relatif hanya memahami sebagian kecil saja, dari seluruh cahaya kebenaran-Nya yang mereka peroleh (wahyu-wahyu-Nya). Hal yang lebih penting lagi, bahwa hal-hal di atas masih pada tataran pemahaman, sedang keimanan yang makin tinggi semestinya disertai pula dengan pengamalannya yang makin konsisten, berdasar pemahamannya atas berbagai kebenaran-Nya itu. Bahkan para nabiNya justru juga telah melayani umatnya sepanjang hidupnya. Umat manusia yang dikehendaki-Nya Siapakah "umat ataupun manusia yang dikehendaki-Nya" itu?. Mungkin sebagian dari umat akan menjawabnya dengan mudah, "para nabi-Nya". Namun jawaban inipun kurang tepat, karena "umat yang dikehendaki-Nya" pada dasarnya relatif amat berbeda daripada "umat pilihan-Nya" ataupun "nabi, rasul atau utusan-Nya". Bahkan justru dalam Al-Qur’an, "umat yang dikehendaki-Nya" juga disebut bagi umat yang antara lain: ditunjuki ataupun disesatkanNya, diberikan-Nya Surga ataupun Neraka; diazab ataupun dirahmatiNya; dilapangkan ataupun disempitkan-Nya rejekinya; dsb. Sehingga jawaban atas pertanyaan di atas bisa amat luas, tergantung kepada halhal yang sedang ditinjau. 63) Makna dari "umat yang dikehendaki-Nya" yang lebih tepatnya adalah, "bahwa pada umat itu berlaku sunatullah (aturan-Nya) tentang suatu hal tertentu". Sedang perwujudan kehendak dan tindakan Allah


Sunatullah (sifat proses)

697

di seluruh alam semesta, justru terlaksana melalui sunatullah tersebut (Sunnah Allah atau perbuatan Allah), yang berlaku mutlak dan kekal, sejak saat awal ditetapkan-Nya (sebelum penciptaan alam semesta). Dan sunatullah berlaku sesuai dengan segala keadaan tiap zat ciptaan-Nya, yang telah diberikan-Nya pada saat awal diciptakan-Nya (justru hanyalah keadaan awal ‘Atom’ dan ‘Ruh’), dan segala keadaan selanjutnya yang diusahakan diubah-ubah oleh segala makhluk-Nya. Maka sebutan "umat yang dikehendaki-Nya" itu pada dasarnya justru serupa dengan "umat yang mengkehendakinya", atas sesuatu hal yang terjadi pada diri umatnya sendiri. Karena tiap umat manusia bisa berusaha mengubah-ubah berbagai keadaannya sendiri, walau seluruh keadaannya memang juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya yang terkait, dan bahkan keadaan di alam semesta (yang meringankan sebagai rahmat-Nya, dan yang memberatkannya sebagai ujian-Nya). Namun karena segala keadaannya yang tidak diusahakan oleh umat itu sendiri, pada dasarnya pasti tidak mempengaruhi besar nilai balasan-Nya atas tiap amal-perbuatannya (pasti setimpal), maka "umat yang dikehendaki-Nya atas sesuatu hal, tentunya hanya jika umat itu sendiri memang menghendaki dan mengusahakan hal itu". Penting pula diketahui dan dicermati, bahwa setiap kehendakNya justru melalui setiap proses yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’, maka Allah justru tidak berbuat ‘sekehendak’ di alam semesta ini. Baca pula uraian-uraian di atas, tentang sifat-sifat-Nya dan hakekat setiap perbuatan manusia. "Kemudian Kami tundukkan kepadanya (Sulaiman), angin, yang berhembus dengan baik, menurut ke arah mana saja yang dikehendakinya," - (QS.38:36) "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a, apabila ia berdo`a kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku, dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." - (QS.2:186) "… . Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (QS.3:145)

698

Sunatullah (sifat proses)

VI.A.4. Takdir-Nya

Takdir-Nya, definisi umum dan persoalan pemahamannya Perdebatan tentang Qadar atau Takdir (predestination), beserta kaitannya dengan kebebasan manusia dalam berkehendak dan berbuat (freewill dan freeact), hampir tidak pernah selesai dengan tuntas pada kalangan umat Islam, khususnya setelah wafatnya Nabi. Bahkan hal inipun telah menimbulkan berbagai aliran-mazhab-golongan, dengan segala dasar alasannya masing-masing, yang seolah-olah relatif ‘ada mengandung’ berbagai kebenaran. Adanya perselisihan pemahaman inipun menunjukkan, bahwa masing-masing aliran itu hanya memandang aspek-aspek tertentu saja, dari segala kehendak-Nya bagi alam semesta ini (termasuk qadar atau takdir-Nya). Dan hampir semuanya belum memiliki pemahaman yang relatif utuh dan menyeluruh, terutama yang terkait dengan "bagaimana Allah berkehendak dan bertindak di alam semesta ini, termasuk dalam menentukan qadar atau takdir-Nya, bagi tiap makhluk-Nya".

Padahal keimanan kepada Qadar atau Takdir itu adalah salahsatu dari ‘Rukun Iman’ dalam agama Islam (rukun yang terakhir dari enam rukun, yaitu iman kepada: Allah swt, para malaikat-Nya, kitabkitab-Nya, para rasul-Nya, Hari Kiamat, qadar dan qadla-Nya), yang semestinya telah bisa dipahami dengan baik oleh tiap umat Islam. Padahal pemahaman adalah salah-satu aspek penting keimanan (selain pengamalannya), dan justru para alim-ulama dari jaman dahulu sampai sekarang, umumnya belum ada yang memiliki penjelasan yang memadai atau memuaskan, tentang Qadar atau Takdir-Nya itu. Dalam buku "Ensiklopedia Islam AL-KAMIL" disebut antara lain:

Definisi umum dan keimanan kepada takdir-Nya •

Definisi Qadar atau Takdir: "Qadar adalah pengetahuan Allah tentang segala sesuatu yang ingin Dia wujudkan atau terjadi pada makhluk-Nya, alam semesta, kejadian dan segala sesuatu. Ketentuan tersebut tercatat dalam kitab mulia (Lauh Mahfuzh). Qadar merupakan rahasia Allah atas ciptaan-Nya yang tidak dapat diketahui sekalipun oleh malaikat terdekat maupun para nabi yang diutus-Nya.".

Definisi iman kepada Qadar atau Takdir: "Iman kepada Qadar adalah membenarkan dengan keyakinan yang kuat, bahwa semua yang terjadi meliputi perkara yang baik maupun buruk, serta segala sesuatu merupakan Qadha (keputusan) dan Qadar (takdir).".

Aspek-aspek keimanan kepada Qadar atau Takdir:


Sunatullah (sifat proses)

1. 2. 3. 4.

699

Beriman bahwa Allah Ta'ala Maha mengetahui segala sesuatu halnya. Beriman bahwa Allah menuliskan ke dalam Lauh Mahfuzh tentang takdir atas segala makhluk-Nya, yang isi tulisannya tidak berubah kecuali atas perintah-Nya. Beriman bahwa segala sesuatunya terjadi atas kehendak (maryiah) dan keinginan (iradah) Allah. Beriman bahwa Allah Pencipta segala sesuatu.

Takdir-Nya menurut pemahaman di sini, dan definisinya Dari seluruh pembahasan pada buku ini, telah bisa diperoleh berbagai pemahaman yang terkait dengan takdir-Nya, seperti:

700

but ‘sunatullah’ (lahiriah dan batiniah).

Allah ‘tiap saatnya’ pasti memberi balasan-Nya di dunia dan di akhirat, yang amat setimpal dengan tiap amal-perbuatan makhluk-Nya, dan pasti tidak dianiaya-Nya (tidak menanggung segala beban dosa makhluk-Nya lainnya). Sehingga tiap balasan-Nya bukan hanya diberikan-Nya ‘setelah’ makhluk-Nya selesai melakukan tiap perbuatannya, tetapi justru diberikan-Nya ‘tiap saatnya’ selama proses perbuatan itu sedang dilakukan (saat berbagai keadaannya sedang diubah-ubah).

Hanya kehendak manusia yang menciptakan, memulai atau memicu daya dan perbuatannya. Sedangkan hanya daya dan perbuatan Allah yang mengatur mengakhiri atau mewujudkan perbuatan manusia (Allah ‘tiap saatnya’ pasti selalu menyertai ‘di belakang’ tiap perbuatan manusia), yang setimpal dengan usaha atau perbuatan manusia itu sendiri, untuk sekaligus memberikan balasan-Nya ‘tiap saatnya’. Memang manusia yang menciptakan berbagai keadaan awalnya, tetapi Allah Yang mewujudkan segala keadaan akhirnya, yang setimpal dengan segala keadaan awal itu (melalui sunatullah). Semua keadaan itu meliputi aspek lahiriah dan batiniah.

Berbagai pemahaman terkait tentang takdir-Nya •

Maha suci Allah, Allah justru mustahil bisa mengetahui hasil akhir dari tiap pilihan atau putusan dari akal makhluk tiap saatnya (salah-satu dari amat sangat banyak pilihan), ‘sebelum’ selesai diputuskan oleh makhluknya sendiri. Hal inilah wujud dari kebebasan yang diberikan-Nya bagi tiap makhluk dalam berkehendak dan berbuat. Namun kebebasan ini tetap amat sangat terbatas, jika dibanding dengan ke-Maha Luas-an alam dunia ataupun alam semesta, yang diciptakan-Nya ini. Allah Maha mengetahui segala keadaan tiap zat ciptaan ataupun makhluk-Nya tiap saatnya, tetapi hanya keadaan ‘setelah’ diubah-ubah oleh segala makhluk-Nya (bukan ‘sebelumnya’), terutama terkait dengan kehendak dan perbuatan makhluk-Nya, yang telah diberikan-Nya kebebasan (melalui diciptakan-Nya akal dan nafsunya). Segala kebenaran-Nya di seluruh alam semesta ini, yang telah tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi ‘Arsy-Nya adalah hal-hal yang bersifat ‘mutlak’ (pasti terjadi) dan ‘kekal’ (pasti konsisten atau tidak pernah berubah sejak dicatatkannya). Dari segala kebenaran-Nya itu termasuk di dalamnya segala ketetapan atau ketentuan-Nya bagi alam semesta, yang justru telah diciptakan-Nya sebelum penciptaannya, seperti sunatullah atau Sunnah Allah (sifat perbuatan zat Allah di alam semesta). Baca pula uraian di bawah, tentang kitab mulai (Lauh Mahfuzh) di sisi ‘Arsy-Nya. Segala perbuatan-Nya di seluruh alam semesta ini (sunatullah, lahiriah dan batiniah) bersifat ‘mutlak’ (pasti terjadi) dan ‘kekal’ (pasti konsisten). Sehingga juga bersifat jelas prosesnya (amat sangat teratur), juga amat sangat alamiah, halus, tidak kentara dan seolah-olah terjadi begitu saja.

Sunatullah berupa segala aturan atau rumus proses kejadian, yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’, yang pasti berlaku sesuai dengan segala keadaan tiap saatnya pada tiap zat ciptaan-Nya di seluruh alam semesta ini. Sehingga sunatullah disebut juga ‘aturan-Nya’.

‘Hukum alam’ hanya terkait dengan segala aturan-Nya, yang mengatur segala proses ‘lahiriah’ di alam semesta ini, yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’. Sedang ‘sunatullah’ lebih luas daripada ‘hukum alam’ itu, karena terkait pula dengan segala proses ‘batiniah’.

Kebebasan tiap manusia (lahiriah dan batiniah) pasti dibatasi pula oleh suatu kumpulan aturan tertentu yang disebut ‘hukum alam’ (lahiriah), atau lebih tepatnya lagi dise-

Sunatullah (sifat proses)

Tentunya di antara segala keadaan awal itu, ada pula berbagai keadaan awal dari pengaruh lingkungan kepada tiap manusianya (bahkan dari pengaruh seluruh alam semesta), yang jika terasa memberatkan disebut ‘ujian-Nya’ (sebaliknya ‘rahmat-Nya’). Sebaliknya, tiap perbuatan manusia pada dasarnya memiliki pengaruh bagi seluruh alam semesta, dari segala keadaan akhir yang terwujud atau bisa diusahakannya.

Secara sadar ataupun tidak, tiap manusia (atau makhluk-Nya) pada dasarnya hanya memanfaatkan sunatullah (perbuatan Allah) dalam tiap perbuatannya.

Tiap makhluk-Nya pada saat melakukan sesuatu perbuatan, pada dasarnya ia hanya ‘memulai’ melakukan sesuatu yang relatif sangat sederhana (baik ataupun buruk). Sedangkan ada ‘daya dan perbuatan’ dari Allah (melalui sunatullah), yang justru ‘mewujudkan’ perbuatan itu tiap saatnya (sebagai suatu bentuk rahmat ataupun balasan-Nya atas tiap perbuatan makhluk-Nya), walau juga belum tentu suatu keredhaan-Nya.

Perbuatan manusia bukanlah perbuatan Allah, sehingga tiap manusia pasti harus bertanggung-jawab atas tiap amal-perbuatan di dunia ini ataupun akan ditangguhkan-Nya sampai Hari Kiamat, karena memang hanya manusianya sendiri yang menciptakan, memulai atau memicu tiap perbuatannya.

Tiap amal-perbuatan makhluk-Nya bisa meliputi 2 aspek, yaitu: sebab dan akibat (keadaan awal dan akhir, yang memulai dan yang mewujudkan, dsb). Maka hanya tiap makhluk-Nya yang menjadi penyebab, yang menciptakan berbagai keadaan awal, atau yang memulai tiap amal-perbuatannya sendiri. Sedang hanya Allah, Yang memberi akibat bagi makhluk-Nya (memberi balasan-Nya), Yang menciptakan segala keadaan akhirnya, atau Yang mewujudkan tiap amal-perbuatan makhluk-Nya.

Ujian-Nya sama sekali berbeda daripada hukuman-Nya ataupun siksaan-Nya. Karena ujian-Nya sama sekali tidak ada hubungannya (secara langsung ataupun tidak), dengan segala hasil pengaruh dari tiap amal-perbuatan makhluk-Nya, yang mengalami ujian-Nya itu. Ujian-Nya semata hanya hasil pengaruh dari luar diri makhluk-Nya itu. Namun tiap beban ujian-Nya justru amat berpengaruh atas ‘nilai amalan’ dari tiap


Sunatullah (sifat proses)

701

amal-perbuatan makhluk-Nya, yang dilakukan ketika ia sedang mengalami ujian-Nya itu (termasuk besar nikmat / pahala-Nya ataupun besar hukuman-Nya / beban dosa yang diberikan-Nya), sebagai wujud dari ke-Maha adil-an-Nya.

702

Nya bagi seluruh alam semesta

Dari poin-poin di atas, maka bisa diambil kesimpulan, sebagai berikut:

Rangkuman dan definisi khusus tentang takdir-Nya (menurut pemahaman pada buku ini) •

Rangkuman tentang Qadla-Nya dan Qadar-Nya (Takdir-Nya): Qadla-Nya merupakan segala keadaan ‘tiap saatnya’ yang telah ditentukan-Nya atas tiap zat ciptaan-Nya di seluruh alam semesta ini, melalui berlakunya sunatullah ‘tiap saatnya’, yang setimpal sesuai segala keadaan pada tiap zat itu (lahiriah dan batiniah), yang diubah-ubah oleh segala makhluk-Nya yang terkait. Qadar atau Takdir-Nya adalah sejumlah besar Qadla-Nya yang telah membentuk segala keadaan atau hasil ‘akhir’ pada tiap zat ciptaan-Nya pada saat tertentu ataupun saat terakhirnya sekarang ini. Ringkasnya, Qadar-Nya adalah Qadla-Nya yang terakhir (keadaan, hasil atau nasib yang terakhir), sampai pada waktu yang ditinjau.

Sehingga Qadla-Nya disebut juga sebagai takdir-takdir kecil yang bersifat sementara, atau masih bisa diusahakan ‘terpilih’ takdir-takdir kecil lainnya, di lain waktu. Dan karena jarak waktu antara dua Qadla-Nya amat sangat sempit, atau jarak yang paling sempit antara dua usaha yang berbeda oleh tiap manusia, untuk mengubah keadaannya (lahiriah dan batiniah). Maka Qadla-Nya disebut juga sebagai “ketentuanNya yang tidak bisa dipilih lagi oleh manusia”. Sedang Qadar-Nya masih bisa ‘dipilihpilih’ (dari sesuatu Qadar-Nya ke Qadar-Nya yang lain). Maka Qadla dan Qadar-Nya (Takdir-Nya) pada dasarnya adalah dua hal yang sama. Namun Qadar atau Takdir-Nya dianggap di sini, lebih cocok dipakai pada keadaan yang terakhir saja (keadaan sekarang). Sedangkan Qadla-Nya pada segala keadaan lainnya (sebelumnya). Perbedaan antara Qadla dan Qadar-Nya hanyalah pada konteks waktunya saja, dan dengan sendirinya juga pada tiap keadaan tertentu yang sedang ditinjau (jodoh, rejeki, kematian, dsb). Hal yang relatif jarang disebut atau diketahui, bahwa takdir-Nya atas tiap zat ciptaanNya, justru ditentukan-Nya ‘tiap saatnya’, ketika berbagai keadaan zat itu telah mulai berubah (sekecil apapun perubahannya), sebelum terjadinya takdir-Nya itu. Hal ini justru bukan ditentukan-Nya ‘sebelum’ terjadinya perubahan keadaan itu. Apalagi bukan telah ditentukan takdir-Nya saat Hari Kiamat, bahkan bukan pula takdir-Nya untuk besok, sejam ataupun sedetik lagi.

Definisi khusus tentang Qadla-Nya dan Qadar-Nya (Takdir-Nya): "Qadar atau Takdir-Nya adalah keadaan atau hasil akhir, dari tak-terhitung jumlah proses pada sunatullah atau aturan-Nya, yang ‘telah’ dijalani oleh tiap zat ciptaan-Nya, sejak awal diciptakan-Nya, sampai pada suatu saat tertentu yang ditinjau."

"Qadla-Nya adalah tiap keadaan atau hasil akhir ‘sesaat’ (takdir kecil), sebagai penyusun suatu takdir-Nya."

Maka pengetahuan atau ilmu-Nya yang dimaksud dari definisi pada buku "Ensiklopedia Islam AL-KAMIL" di atas, bukanlah takdirNya, tetapi sunatullah (atau aturan-Nya), yang merupakan salah-satu ketentuan-Nya, dan berupa segala aturan atau rumus proses penentuan takdir-Nya tiap saatnya, bagi tiap zat ciptaan-Nya. Dan ketentuan, pengetahuan atau ilmu-Nya yang telah tercatat dalam kitab mulia (Lauh Mahfuzh), bukanlah data-data tentang takdirNya (sederhananya seperti: "si A nantinya akan menjadi X, di tempat Y pada waktu Z"). Bayangkan saja apa jadinya, jika takdir-Nya berupa hal-hal sederhana semacam ini. Sementara takdir-Nya bersifat mutlak (pasti terjadi). Segala zat makhluk-Nya pasti menjadi seperti "robot" (tidak memiliki kebebasan berkehendak dan berbuat sama sekali). Pada ilmu-pengetahuan modern, tiap proses penentuan takdirNya itu persis seperti proses ‘integrasi’ dalam bidang ilmu matematika (dengan batas atau limit waktu integrasinya, yaitu sejak awal suatu zat diciptakan-Nya, sampai suatu saat tertentu yang ditinjau). Baca pula berbagai uraian di bawah, untuk pemahaman lebih lengkapnya, ataupun topik-topik lain terkait pada buku ini. Perbandingan berbagai pendapat terkait takdir-Nya Berikut diuraikan secara ringkas, tentang hal-hal yang terkait dengan takdir-Nya, menurut berbagai pendapat ataupun pemahaman, khususnya yang kurang pas, kurang utuh ataupun keliru maknanya, yang dianggap telah cukup mewakili segala pendapat yang telah luas berkembang pada kalangan umat Islam, berikut pembahasannya sesuai pemahaman pada buku ini, antara lain:

Berbagai pendapat terkait tentang takdir-Nya, dan pembahasannya menurut pemahaman pada buku ini

Apa jadinya, jika takdir-Nya tiap saatnya justru telah ditentukan-Nya ‘sebelumnya’?. Pasti manusia dan segala makhluk-Nya lainnya persis seperti ‘robot’. Kunci paling utama dari Qadar atau Takdir-Nya justru terletak pada peran dari aturanNya (sunatullah atau Sunnah Allah), yang merupakan suatu sebutan lainnya dari "sifat dinamis-proses-perbuatan’ Allah di seluruh alam semesta ini (bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’)". Tentunya sunatullah inipun juga merupakan perwujudan dari segala kehendak-

Sunatullah (sifat proses)

Berbagai pendapat berikut dikutip dari buku "Cakrawala Tasawuf", Khan Sahid Khaja Khan, BA., 1987: halaman 147-153

a.

–Anonim-: "Kebebasan manusia dalam berkehendak, dicurigai sebagai hasil pengaruh


Sunatullah (sifat proses)

703

704

Sunatullah (sifat proses)

ajaran Kristiani". (hal: 147) ¾

b.

bagi segala zat ciptaan-Nya. Sehingga usaha mempertanyakan kebaikan segala perbuatan-Nya, sama halnya dengan mempertanyakan ke-Maha Sempurna-an segala kehendak atau rencanaNya bagi alam semesta ini, yang justru bersifat kekal. Hal di atas tentunya juga bukan ‘terbaik’, menurut penilaian relatif dan subyektif dari tiap manusia. Allah tidak mengurus tiap makhluk-Nya ‘satu persatu’, tetapi Allah mengurus ‘seluruh’ zat ciptaan-Nya, secara seragam dan Maha Adil (melalui sunatullah).

Tiap manusia justru bebas sepenuhnya dalam berkehendak dan berbuat, dengan telah diberikan-Nya akal dan nafsu. Namun tiap manusia juga tetap dibatasi atau diliputi oleh kehendak dan perbuatan Allah di alam semesta (melalui sunatullah). Hal ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan ajaran agama lain.

Hasan Basri: "Tiap tindakan manusia hanya atas kehendak manusianya sendiri, bukan atas kehendak Allah". (hal: 147)

Bahkan hukuman-Nya bagi manusia atas tiap amal-perbuatannya, justru demi kebaikan manusia itu sendiri, karena ia akan menjadi mengetahui hal-hal yang bisa merugikannya, lalu agar di lain waktu, ia bisa menghindarinya. Begitu pula ujian-Nya (bukan suatu hukuman atau siksaan-Nya), agar tiap manusia bisa memperbaiki sikap-sikap batiniahnya. Sedang hukuman-Nya lebih terarah, agar manusia bisa memperbaiki amal-amal lahiriahnya.

Aliran Mu’tazilah dan aliran syiah: "Tuhan tidak campur-tangan pada segala tindakan manusia". (hal: 148) ¾

Daya dan perbuatan-Nya justru pasti selalu campur-tangan tiap saatnya (lebih tepatnya pasti selalu ‘menyertai’ di belakang), untuk mewujudkan tiap perbuatan manusia (sebagai suatu bentuk rahmat dan balasan-Nya), yang setimpal sesuai dengan segala keadaan yang telah diusahakan oleh manusianya sendiri. Tetapi Allah memang sama sekali tidak campur-tangan dalam memulai, memicu atau mencipta tiap perbuatan manusia (hanya semata atas kehendak dan dayaupaya manusianya sendiri). Allah hanya berkehendak memberi pengajaran dan tuntunan-Nya, secara amat sangat halus dan tidak memaksa, agar tiap perbuatan manusia itu sambil disertai pula dengan usaha untuk memuliakan dirinya sendiri (agar tidak menjadi sia-sia).

c.

¾

Aliran Qadariyah: "Segala perubahan terjadi karena tuntunan Ilahi, dan dalam tiap tindakan manusia selalu ada terdapat campur-tangan Tuhan". (hal: 148) ¾

Maka Al-Qur’an pada dasarnya justru diciptakan-Nya, dan bahkan juga diciptakan oleh nabi Muhammad saw dan dibantu oleh para pengikutnya.

Daya dan perbuatan-Nya (melalui sunatullah) memang tiap saatnya pasti selalu ‘menyertai’ atau bercampur-tangan, ‘di belakang’ tiap perbuatan manusia (baik atau buruk), untuk mewujudkannya sekaligus untuk memberi balasan-Nya tiap saatnya (dengan ataupun tanpa keredhaan-Nya).

Satu-satunya bukti, bahwa segala sesuatu hal memang berasal dari Allah hanya karena hal itu "benar" (bersifat mutlak dan kekal), dan bukan "benar" yang bersifat relatif dan subyektif menurut penilaian tiap manusia. Dan sama sekali bukan tergantung kepada bagaimana kebenaran-Nya itu disampaikan, siapa penyampainya ataupun apa alat-sarana penyampaiannya.

Tetapi balasan-Nya tiap saatnya itu justru hanya setimpal, sesuai dengan segala keadaan (lahiriah dan batiniah), yang telah diusahakan oleh manusianya sendiri (dengan kebebasannya dalam berkehendak dan berbuat). ¾

d.

Segala tuntunan-Nya bukan sesuatu yang memaksa, namun hanya anjuran demi kemuliaan manusia sendiri, jika dikuti. Sehingga segala perubahan kurang tepat atau tidak relevan, jika dihubungkan dengan tuntunan-Nya. Lebih tepatnya, segala perubahan pasti mengikuti segala kehendak-Nya, melalui sunatullah atau aturan-Nya, yang justru bersifat memaksa (mutlak atau pasti terjadi). Segala zat ciptaan-Nya pasti tunduk kepada kehendak atau aturan-Nya.

Keyakinan umat Islam atas "kebenaran seluruh" kandungan isi Al-Qur'an, jauh lebih penting. Keyakinan yang kuat bisa dicapai, dengan berusaha memahami kembali segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), ‘di balik’ teks ayat-ayat Al-Qur’an, dengan semaksimal mungkin agar mendekati pemahaman Nabi. Bukan hanya dari keyakinan atas pribadi Nabi, yang mulia dan terpuji. ¾

Abul Hasan al-Asy’ari: (hal: 148) - "Tuhan akan berbuat yang terbaik (aslah) bagi makhluk-Nya". - "Al-Qur’an tidak diciptakan". - "Manusia dengan matanya akan dapat melihat Tuhan". - "Tidak ada pencipta perbuatan buruk". ¾

Allah pasti berbuat yang terbaik bagi tiap makhluk-Nya, sebagai rencana-Nya dalam penciptaan alam semesta ini. Tetapi segala perbuatan-Nya di seluruh alam semesta ini (melalui sunatullah), justru tidak pernah berubah (kekal), sejak awal penciptaan alam semesta sampai akhir jaman, serta pasti berlaku sama dan adil

Al-Qur’an memiliki 4 macam bentuk, yaitu: (baca pula topik "Kitab-kitab tuntunan-Nya") 1. Al-Qur'an sebagai Fitrah Allah sendiri (sifat-sifat-Nya yang terpuji). 2. Al-Qur'an sebagai tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di seluruh alam semesta ini (ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis). 3. Al-Qur'an sebagai segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), yang telah dipahami oleh nabi Muhammad saw, dalam dada-hati-pikirannya. 4. Al-Qur'an sebagai kitab suci Al-Qur'an (Al-Kitab).

Manusia mustahil bisa melihat (melalui mata lahiriah) dan memahami (melalui mata batiniah), di dunia dan di akhirat, tentang ‘zat’ Allah, karena mustahil bisa sanggup. Padahal manusia juga pasti mustahil bisa sanggup melihat dan memahami segala zat ciptaan-Nya di seluruh alam semesta ini (nyata dan gaib). Bahkan para malaikat dan para nabi-Nya pasti akan menghadapi segala tabir, hijab atau pembatas, terhadap ‘zat’ Allah. Manusia hanya bisa memahami cahaya kebenaran-Nya (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, Al-Hikmah), sebagai pengetahuan yang tertinggi tentang Allah.

¾

Pencipta sesuatu perbuatan buruk (dan baik), tentu saja makhluk pelakunya. Istilah ‘pencipta’ tetap hanya istilah buatan manusia, bukan sesuatu yang mesti dinisbatkan atau dikaitkan dengan Allah. Tergantung kepada hal-hal ‘apa’ yang


Sunatullah (sifat proses)

705

706

Sunatullah (sifat proses)

diciptakan, serta konteks yang ditinjau.

menghitung, menilai dan memutuskan segala informasi (termasuk ‘kehendak batiniah’), untuk dianggapnya sebagai suatu pengetahuan.

Dalam konteks yang paling tinggi, luas dan umum, tentu saja hanya Allah Pencipta segala sesuatu hal di alam semesta ini (zat dan non-zat ciptaan-Nya). Sedang makhluk-Nya hanya bisa mencipta, dengan memanfaatkan hal-hal yang telah diciptakan-Nya tersebut. Istilah ‘pencipta’ bisa disebut pula kepada tiap makhluk-Nya yang telah memulai, mengawali atau memicu sesuatu hal. Ada manusia-manusia pencipta roket, televisi, korek api, dsb. e.

Sedang kebebasan dan kekuatan lahiriah memang relatif amat terbatas, untuk bisa diatur oleh manusia. Namun jika ia bisa mengatur kehidupan batiniah ruhnya dengan ‘benar’ (sesuai jalan-Nya yang lurus), justru ia ‘semestinya’ bisa pula menyelesaikan segala persoalan kehidupan lahiriah-duniawinya. g.

Aliran Sunni (Ahlus-sunnah wal jama’ah): "Kekuatan untuk berbuat baik dan buruk datangnya dari Allah semata". (hal: 148) ¾

Daya-kekuatan dan perbuatan Allah (melalui sunatullah), justru hanya pasti selalu ‘menyertai’ tiap saatnya, ‘di belakang’ tiap perbuatan manusia (baik dan buruk), untuk mewujudkannya atau memberikan balasan-Nya tiap saatnya (dengan ataupun tanpa keredhaan-Nya), secara setimpal sesuai dengan hal-hal yang justru telah diusahakan oleh manusianya sendiri.

Prof. Bain: "Makna sejati dari kebebasan adalah tiadanya dorongan dari luar. Tiap hal yang dapat dipandang sebagai akibat dari pengaruh motif untuk bertindak, dan tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang lain, semuanya adalah bebas.". (hal: 149) ¾

Kebebasan sejati dan mutlak hanyalah hak-milik Allah.

¾

Manusia memang memiliki kebebasan dan kekuasaan sepenuhnya (amat sangat luas), untuk berkehendak dan berbuat, khususnya dalam mengatur kehidupan batiniah ruhnya (kehidupan akhiratnya, yang kekal dan hakiki). Tetapi alam semesta ini diciptakan-Nya dengan sesuatu tujuan yang jelas dan benar (hak). Maka tiap makhluk-Nya pasti akan mendapat balasan-Nya (nikmat ataupun hukuman-Nya), yang setimpal dengan tiap amal-perbuatannya. Sehingga manusia tidak bisa hidup ‘sebebas-bebasnya’, tetapi dianjurkan atau disarankan-Nya (atau pasti didorong-Nya dengan amat sangat halus dan tanpa paksaan), agar manusia mau memilih dan mengikuti jalan-Nya yang lurus, demi kemuliaannya sendiri (dan bahkan bukan demi kepentingan Allah, Yang tidak memerlukan segala sesuatu hal).

Daya-kekuatan dan perbuatan Allah (melalui sunatullah), selain hanya ‘menyertai’ di atas, justru bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’, sehingga juga bersifat ‘netral’ (mustahil bisa dinilai baik ataupun buruk). Hal sebaliknya, tiap daya-kekuatan dan perbuatan manusia yang justru mencipta, memulai atau memicu tiap perbuatannya, dan sekaligus membuatnya bisa menjadi baik ataupun buruk. Tiap perbuatan manusia (baik ataupun buruk) justru pasti selalu melibatkan dayakekuatan manusia itu sendiri (untuk memulainya) dan daya-kekuatan Allah (untuk mewujudkannya), serta bukan daya-kekuatan Allah semata. Karena tentunya terlalu ‘jauh’ jika daya-kekuatan manusia, disebut pula sebagai hasil dari daya-kekuatan Allah, dengan diciptakan-Nya akal dan nafsu pada tiap manusia.

h.

Necessitarianism: "Ada sesuatu yang Luhur, yang mengendalikan kehendak kita dan memperlakukan kita sekehendak-Nya". (hal: 149) ¾

Dengan akal dan nafsunya, justru tiap manusia sepanjang hidupnya bisa membangun daya-kekuatannya sendiri. f.

Walau tiap makhluk-Nya pasti akan mendapat balasan-Nya (nikmat ataupun hukuman-Nya), yang setimpal dengan tiap amal-perbuatannya, karena alam semesta ini diciptakan-Nya dengan suatu tujuan yang jelas dan benar (hak)

Sir Hamilton: "Kemerdekaan tidak terkandung dalam kekuatan, untuk melaksanakan apa yang kita inginkan, namun dalam kekuatan untuk mengingini apa yang kita inginkan". (hal: 149) ¾

Sedikit betul. Karena pengaturan alam batiniah ruh (mengatur segala keinginan), jauh lebih paling penting dan hakiki, daripada melaksanakan segala keinginan.

¾

Manusia memiliki kebebasan dan kekuatan sepenuhnya (amatlah sangat luas), untuk berkehendak dan berbuat, secara lahiriah dan terutama batiniah. Walau hal lahiriahnya memang relatif dibatasi-Nya (melalui sunatullah), hanya ‘secukupnya’ bagi segala kebutuhannya untuk bisa menjalani kehidupan dunianya. Atas ijin-Nya, pada dasarnya hanya hakekat ‘esensi’ zat Allah, yang mustahil terjangkau oleh akal-pikiran manusia, sebagai pengendali satu-satunya di alam batiniah ruhnya. Sedang hal-hal lainnya sedikit-banyak masih bisa dijangkau oleh tiap manusianya. Sehingga tiap manusia memiliki kebebasan dan kekuatan sepenuhnya, untuk bisa mengatur kehidupan batiniah ruhnya (kehidupan akhiratnya, kekal dan hakiki). ‘Perbuatan batiniah’ dari akal-pikiran itu adalah memilih, mengatur, mengolah,

Allah justru sama sekali tidak mengendalikan kehendak dan perbuatan manusia. Bahkan tiap manusia bisa bebas berkehendak dan berbuat, untuk bisa menjadi setengah malaikat (amat mulia) ataupun menjadi setengah iblis (amat hina).

Tetapi Allah justru sama sekali ‘tidak’ berbuat sekehendak-Nya, karena segala kehendak-Nya bagi alam semesta ini (melalui sunatullah), justru ‘tidak berubah’ (kekal) sejak awal diciptakan-Nya (bahkan sebelum ada segala makhluk-Nya). i.

–Anonim- (semua agama yang ber-Tuhan): "Tuhan memiliki Kehendak, dan Dia akan mengarahkan dunia sebagaimana yang dikehendaki-Nya". (hal: 149) –Anonim- (Islam): "Islam berarti berserah kepada segala kehendak Tuhan. Karena itu kehendak manusia harus disesuaikan dengan kehendak Tuhan.". (hal: 149) ¾

Allah memiliki berbagai kehendak dalam penciptaan alam semesta ini (melalui sunatullah). Namun tiap kehendak-Nya justru bersifat ‘mutlak’ (pasti terjadi) dan ‘kekal’ (pasti konsisten), sejak ditetapkan-Nya sebelum penciptaan alam semesta ini, sampai akhir jaman, karena alam semesta ini memang diciptakan-Nya dengan suatu tujuan yang jelas dan benar (hak).

¾

Allah justru tidak berbuat sekehendak-Nya di alam semesta ini. Kehendak-Nya


Sunatullah (sifat proses)

707

708

Sunatullah (sifat proses)

(melalui sunatullah) juga bersifat netral, amat tinggi, umum dan luas cakupannya.

Tetapi segala keburukan secara batiniah, tentunya tetap memiliki beban dosa. Tiap godaan syaitan tetap merusak alam batiniah ruh, jika ‘disetujui atau dinikmati’ (meski memang mustahil bisa dihindari), walaupun beban dosanya relatif kecil. Namun jika telah diamalkan secara lahiriah, beban dosanya justru makin besar.

Mustahil kehendak makhluk (bersifat relatif dan berubah-ubah) bisa disetarakan atau disejajarkan dengan kehendak-Nya (bersifat mutlak dan kekal). ¾

Terkait dengan tiap makhluk-Nya (terutama manusia), justru Allah berkehendak memberinya kebebasan berkehendak dan berbuat (dengan telah diberikan-Nya, akal dan nafsu pada tiap ruh manusia).

Dalam pengembaraan di alam mitsal, lebih baik berdasarkan pengetahuan yang cukup memadai, agar penuh kesadaran (bertafakur), bukan berkhayal atau melamun yang tidak ada gunanya.

Sehingga Allah memang berkehendak mengatur dan mengarahkan seluruh alam semesta ini, tetapi justru bukan mengatur kebebasan manusia.

Namun ada pula dosa yang cukup besar dari pengembaraan di alam mitsal (alam pikiran), seperti misalnya pada timbulnya sikap yang amat keliru, berburuk-sangka ataupun curiga terhadap Allah.

Namun dengan amat sangat halus dan tidak memaksa, Allah hanya ‘mengarahkan’ tiap manusia, dengan ‘tiap saatnya’ memberi balasan-Nya (nikmat dan hukuman-Nya, lahiriah dan terutama batiniah), atas tiap amal-perbuatannya (baik dan buruk), agar manusia bisa mengenal dan mengikuti ‘agama-Nya yang lurus’, sebagai keredhaan-Nya, dan demi kemuliaannya sendiri. Tetapi keredhaan-Nya justru relatif berbeda daripada kehendak-Nya.

Dipahami di sini, siksa-Nya bisa berpengaruh secara lahiriah dan batiniah. Tetapi ‘pahala-Nya’ adalah nikmat-Nya secara batiniah. Sedang nikmat-Nya secara lahiriah, lebih tepat disebut ‘rejeki atau karunia-Nya’ (tidak ada pahala lahiriah). k.

Ringkasnya, Allah memang berkehendak memberi pengajaran dan tuntunan-Nya, tetapi justru sekaligus pula berkehendak memberi cobaan atau ujian-Nya, bahkan iblis dan syaitan adalah bagian dari kehendak-Nya, untuk bisa menguji manusia. Sehingga kehendak-Nya tidak terkait sama sekali, dengan tujuan untuk membuat manusia menjadi beriman. Terlalu mudah bagi Allah, jika dikehendaki-Nya begitu (atau "menjadikan umat yang satu"). ¾ ¾

–Anonim-: "Banyak ayat Al-Qur’an yang menyatakan, bahwa manusia bukanlah agen yang bebas. Tetapi sebaliknya banyak pula ayat yang menunjukkan, bahwa manusia adalah agen yang bebas. Jika manusia menghindari ketetapan (takdir) yang telah ditetapkan baginya, dan akan ditinggalkan pada mereka, yang ingin mencari jalannya sendiri". (hal: 150) ¾

Tiap umat manusia semestinya berserah-diri (bertawakal), atas segala kehendakNya bagi alam semesta ini, dan bagi segala makhluk-Nya. Dan sikap berserah-diri (bertawakal) itu memiliki dua bentuk, yaitu: Bertawakal menghadapi tiap kehendak-Nya, yang berupa aturan-Nya atau sunatullah, yang bersifat mutlak (pasti terjadi) dan kekal (pasti konsisten). Sunatullah mustahil bisa ditolak dan dihindari oleh segala zat ciptaan-Nya di alam semesta (nyata dan gaib, makhluk hidup dan benda mati). - Bertawakal menghadapi tiap kehendak-Nya, yang berupa segala pengajaran dan tuntunan-Nya, sebagai keredhaan-Nya bagi manusia, dan telah berupa ajaran-ajaran ‘agama-Nya yang lurus’ dari para nabi-Nya. Hal ini justru masih bisa dipilih-pilih, untuk diikuti ataupun tidak oleh tiap manusia.

¾

Maka sikap tawakal bentuk pertama, justru relatif paling berat, karena memang mustahil bisa dihindari. Sedang sikap tawakal bentuk kedua relatif ringan, karena umat masih bisa mengikuti agama-Nya, sesuai keadaan dan kemampuannya masing-masing (agama-Nya sama sekali bukan untuk memberatkan umat manusia). Sikap tawakal bentuk kedua ini lebih ditujukan, untuk bisa lebih ‘konsisten’ mengikuti tiap ajaran agama-Nya, demi kemuliaan manusianya sendiri.

¾

-

j.

–Anonim-: "Bahwa selama pengembaraan di alam mitsal, maka jasad tak akan bisa mendapat siksa dan pahala, atas perbuatan yang dilakukannya.". (hal: 149) ¾

Siksa dan nikmat-Nya yang paling utama adalah pada alam batiniah ruh tiap manusia (alam akhiratnya), bukan pada alam lahiriah-fisik-duniawi (pada jasadnya). Orang yang banyak berpikir, berkata ataupun berbuat maksiat, tubuh lahiriahnya bahkan justru bisa tetap sehat-sehat saja.

Manusia adalah agen yang bebas, karena telah diberikan-Nya kebebasan dan kekuasaan sepenuhnya, untuk berkehendak dan berbuat. Namun manusia bukan agen bebas ‘mutlak’, karena ada aturan-Nya (sunatullah) bagi alam semesta ini, yang justru juga membatasi atau meliputi kebebasan manusia. Kedua hal ini justru bukan hal yang saling bertentangan, karena kebebasan manusia memang bukan wilayah yang diatur dalam sunatullah. Walau dibatasi-Nya, masih relatif amat sangat luas kebebasan bagi tiap manusia, untuk bisa mengatur dan menjalani kehidupannya (secara lahiriah dan batiniah). Manusia mustahil bisa ‘menghindari’ takdir-Nya, tetapi hanya bisa ‘memilih-milih’ takdir-Nya, dengan ‘tiap saatnya’ mengubah-ubah berbagai keadaan awal sebelum berlakunya sunatullah, yang menentukan takdir atau keadaan akhirnya ‘tiap saatnya’ (qadla-Nya), yang setimpal sesuai dengan segala keadaan awalnya itu. Secara sadar ataupun tidak, melalui tiap perbuatannya, manusia pada dasarnya hanya memilih dan memanfaatkan berbagai sunatullah yang akan dilaluinya. Karena hanya manusia yang memulai perbuatannya, namun hanya Allah yang mewujudkannya (melalui sunatullah), sekaligus untuk memberi balasan-Nya.

l.

Mustahil ada “mencari jalannya sendiri”, karena sepanjang hidupnya, tiap manusia justru hanya menjalani serangkaian tak-terhitung jumlah sunatullah, melalui segala perbuatannya (lahiriah dan batiniah, baik dan buruk). Manusia justru tiap saatnya sama sekali tidak bisa lepas dari sunatullah (bersifat mutlak dan kekal).

Syeh Muhiyuddin ibn ‘Arabi: "Takdir adalah sesuatu yang bersifat pasti dan tidak dapat berubah. Dan segala sesuatu untuk mewujud hanya memerlukan sabda-Nya: ‘Jadi, maka jadilah’.". (hal: 151 dan 153) Syeh ‘Abdul Karim Jili: "Takdir adalah sesuatu yang bersifat dapat berubah.". (hal: 153)


Sunatullah (sifat proses) ¾

¾

709

710

Sunatullah (sifat proses)

ti mengatur dan pasti berlaku sama kepada segala zat ciptaan-Nya (segala zat ciptaan-Nya pasti berada di bawah kekuasaan-Nya).

Tiap takdir-Nya memang bersifat pasti dan tidak berubah. Tetapi takdir-Nya atas suatu zat justru bukan ditentukan-Nya, jauh ‘sebelum’ terjadinya, tetapi ‘hanya sesaat saja’ segera setelah keadaan zatnya telah berubah.

¾

Sedang ‘tiap saatnya’, keadaan tiap zat ciptaan-Nya bisa berubah-ubah, sebelum berlakunya sunatullah, yang menentukan takdir atau keadaan akhirnya ‘tiap saatnya’ (qadla-Nya), yang setimpal sesuai dengan segala keadaan awalnya. Dan qadar atau takdir-Nya pada ‘suatu saat’ atas tiap zat ciptaan-Nya, justru tersusun dari tak-terhitung jumlah takdir kecil (qadla-Nya), yang telah dialami oleh zat itu, sejak awal diciptakan-Nya.

Manusia bersama Allah memiliki andil-peran pada tiap perbuatan manusia, namun dengan cara yang berbeda. Ringkasnya hanya manusia yang mencipta, memulai atau memicu perbuatannya, sedang hanya Allah yang mengakhiri atau mewujudkannya, sekaligus untuk memberi balasan-Nya yang setimpal.

¾

Bagaimana perbuatan para nabi-Nya misalnya, yang telah diutus-Nya untuk menyampaikan pengajaran dan tuntunan-Nya?. Prosesnya justru tetap sama saja, dan tetap proses yang amat sangat alamiah. Namun kekhususan di sini adalah karena para nabi-Nya memang menyampaikan berbagai kebenaran-Nya, dari segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (AlHikmah), yang telah mereka pahami dari mempelajari tanda-tanda kekuasaanNya di alam semesta ini. Padahal segala kebenaran (yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’), hanya milik dan berasal dari Allah.

Qadar atau takdir-Nya tidak berubah-ubah, tetapi segala keadaan yang menentukan takdir-takdir kecil atau qadla-Nya itulah, yang bisa diubah-ubah oleh segala zat makhluk-Nya, ataupun berubah secara alamiah dari hasil interaksi antar zat. Bahkan qadla-Nya tidak berubah-ubah, karena memang hanya berlangsung ‘sesaat’ saja. Ringkasnya, tiap zat makhluk-Nya bisa ‘memilih-milih’ takdir-Nya, dengan mengubah-ubah berbagai keadaannya, ‘sebelum’ takdir-Nya ditentukan.

¾

Dengan usaha yang amat keras, maka berbagai hikmah dan hakekat kebenaranNya pada para nabi-Nya telah amat lengkap (sesuai konteks tiap jamannya), mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan keseluruhannya (atau telah mencapai tingkat pemahaman ‘kenabian’), dan mereka juga telah pantas disebut ‘nabi utusan-Nya’, sedang tiap pemahamannya bisa disebut ‘wahyu-Nya’.

Sabda-Nya ‘Jadi, maka jadilah’ di atas bukan untuk hal yang terjadi begitu saja, tetapi justru melalui segala aturan atau rumus proses kejadian yang bersifat ‘pasti’ dan ‘jelas’ (sunatullah), yang proses kejadiannya bisa selesai selama milyaran tahun, ataupun hanya selama seper sekian detik saja. ‘Jadilah’ pada penciptaan manusia misalnya, memerlukan waktu ± 9 bulan. Sabda-Nya ‘jadilah’ itu biasanya hanya dipakai, untuk meringkas penjelasan atas proses yang relatif amat sulit, untuk bisa dijelaskan secara ringkas kepada umat.

Sama sekali tidak ada suatu perlakuan khusus dari Allah kepada para nabi-Nya. Semuanya semata dari hasil usaha amat keras mereka yang setimpal, dalam mencari, memahami dan sekaligus mengamalkan tiap kebenaran-Nya. Kalaupun seolah ada perlakuan khusus itu, karena memang ada balasan-Nya tertentu yang setimpal bagi tiap manusia, jika tingkat keimanannya telah amat tinggi (pemahamannya amat sempurna dan pengamalannya amat konsisten).

Berbagai pendapat berikut dikutip dari buku "Qadla dan Qadar", Ibnu Qayyim AlJauziyah, 2006: halaman 361-407.

m. Aliran Jabariyah: "Segala perbuatan manusia adalah perbuatan Allah. Manusia sama sekali tidak punya andil di dalamnya". (hal: 363) Aliran Qadariyah: "Segala perbuatan tertentu manusia, hanyalah khusus dinisbatkan kepada manusia saja, bukan kepada Allah". (hal: 362) Aliran Sunni (Ahlus-sunnah wal jama’ah): "Perbuatan manusia adalah milik-Nya, dan berada di bawah kekuasaan-Nya.". (hal: 363) ¾

Perbuatan manusia bukanlah perbuatan ataupun milik Allah, karena tiap manusia pasti dimintai-Nya pertanggung-jawabannya, atas tiap amal-perbuatannya. Sehingga ‘segala’ perbuatan manusia hanyalah semata-mata dinisbatkan kepada manusia pelakunya saja (bukan hanya perbuatan tertentu saja). Lebih tepatnya, segala perbuatan manusia pada dasarnya semata-mata hanya memilih dan memanfaatkan daya dan perbuatan Allah (melalui sunatullah, secara sadar ataupun tidak). Karena tiap manusia yang memulai perbuatannya (berusaha mengubah berbagai keadaannya), sedang hanyalah Allah Yang mewujudkan perbuatannya itu, yang setimpal dengan segala keadaan yang diusahakan oleh manusianya sendiri. Sehingga Allah sama sekali tidak memiliki tanggung-jawab, atas tiap perbuatan manusia, selain dari menciptakan aturan-Nya (sunatullah), yang tiap saatnya pas-

n.

Aliran Qadariyah: "Ketaatan dan kemaksiatan tergantung kepada kehendak Allah. Dan hal ini terkait dengan pemberian pahala-Nya (balasan-Nya), bukan terkait permulaan perbuatan. Karena Allah bisa memberikan hukuman dan pahala kepada hamba-Nya sekehendak-Nya. Dan Allah juga memberikan hukuman dengan cara menciptakan kemaksiatan dan ketaatan, sebagai kebijaksanaan yang adil dari-Nya. Tidaklah mungkin Allah menciptakan kekufuran dan kemaksiatan dalam diri seorang hamba, sebagai sesuatu permulaan tanpa adanya sebab.". (hal: 373-375) Aliran Sunni (Ahlus-sunnah wal jama’ah): "Segala sesuatu hal tergantung kepada ketetapan dan kehendak-Nya." (hal: 374-375) ¾

Segala sesuatu hal memang pasti tergantung kepada ketetapan dan kehendakNya, tetapi tidak pada seluruh aspek dari tiap halnya. Maka mestinya bisa dipahami, apa hakekat dari ketetapan dan kehendak-Nya, dan bagaimana proses berlakunya tiap ketetapan dan kehendak-Nya, atas segala sesuatu halnya. Bayangkan, apa jadinya jika ketetapan dan kehendak-Nya, yang bersifat ‘mutlak’ (pasti terjadi) tersebut, berlaku pukul rata (atau berlaku atas seluruh aspek, pada segala sesuatu halnya), maka justru mustahil akan ada kehidupan makhluk-Nya, karena segala makhluk-Nya pasti seperti benda mati ataupun robot saja. Pada sesuatu halnya ada memiliki berbagai aspek. Tiap perbuatan manusia mi-


Sunatullah (sifat proses)

711

salnya, memiliki berbagai aspek seperti: - Apa saja keadaan awal dan keadaan akhirnya. - Siapa yang menyiapkan keadaan awalnya. - Siapa yang memberikan keadaan akhirnya. - Bagaimana proses pemberian keadaan akhirnya. - Siapa yang berkehendak dan berbuat. - Siapa yang bertanggung-jawab, siapa yang menuntutnya dan apa bentuk tanggung-jawabnya. - Siapa yang memiliki daya-daya untuk berbuat. - Siapa yang menerima efek perbuatannya, dan apa bentuk efeknya. - Siapa yang menilainya, dan apa bentuk penilaiannya; dsb. Dengan memilah-milahnya seperti ini, maka bisa diperkirakan dan dipahami pada aspek mana saja peranan Allah, pada sesuatu halnya (tidak mesti pada seluruh aspeknya), serta pada aspek mana saja peranan tiap makhluk-Nya (subyek dan obyek perbuatan). Walau pemahaman itu tanpa perlu disertai penjelasan secara lengkap dan detail, tetapi cukup logika atas tiap peranannya. Tanpa adanya pemahaman seperti itu justru bisa berakibat amat fatal dan keliru, misalnya: - Bisa muncul anggapan, bahwa Allah bisa berbuat sekehendak-Nya di alam semesta ini (Allah bisa berbuat adil ataupun tidak, baik ataupun tidak, zalim ataupun tidak, dsb). - Allah bisa menghukum bayi yang baru lahir. - Allah bisa menetapkan takdir-Nya bagi tiap manusia di Hari Kiamat. - Allah bisa memasukkan seluruh manusia ke Surga ataupun seluruh manusia ke Neraka. - Allah bisa mewahyukan agar manusia berbuat dusta, ataupun bertentangan dengan wahyu sebelumnya. - Allah bisa pilih kasih kepada manusia, terutama kepada para nabi-Nya. dsb. ¾

Segala ketetapan dan kehendak-Nya bagi alam semesta ini (termasuk bagi umat manusia), justru tidak pernah berubah (kekal), sejak saat awal penciptaan alam semesta ini (bahkan sebelum ada manusia), sampai akhir jaman. Allah justru sama sekali tidak berbuat ‘sekehendak-Nya’ di alam semesta ini. Istilah ‘sekehendak’ hanya sesuai, untuk sesuatu hal yang bersifat ‘tidak mutlak’ (relatif, tidak pasti terjadi) dan ‘tidak kekal’ (tidak konsisten, bisa berubah-ubah). Allah berbuat ‘sekehendak-Nya’ justru hanya sebelum penciptaan alam semesta ini, pada saat Allah merencanakan, menentukan atau menetapkan segala sesuatu halnya bagi alam semesta ini, dengan Maha Sempurna, sebelum tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi ‘Arsy-Nya.

¾

Segala ‘balasan-Nya’ (nikmat dan hukuman-Nya) atas tiap amal-kebaikan dan keburukan manusia, amat keliru disebut ‘ketaatan’ dan ‘kemaksiatan’. Bahkan rumus proses pemberian balasan-Nya (sunatullah) justru bersifat ‘mutlak (pasti terjadi), ‘kekal’ (pasti konsisten) dan ‘netral’ (pasti setimpal). Amat keliru jika perbuatan-Nya dinilai ‘baik’ dan ‘buruk’ oleh manusia (atau dinilai zalim, sekehendak, sewenang, aniaya, tidak adil, tidak baik, dsb).

712

Sunatullah (sifat proses)

Selain karena memang hanya Allah Yang berhak menilai segala sesuatu halnya, juga karena segala kehendak dan perbuatan-Nya bersifat ‘kekal’ (pasti konsisten, tidak berubah). Menilai perbuatan-Nya, sama halnya dengan menilai kembali keMaha Sempurna-an segala kehendak dan rencana-Nya bagi alam semesta ini. ‘Ketaatan’ dan ‘kemaksiatan’ itu hanya sesuai dinisbatkan atau dikaitkan kepada perbuatan manusia itu sendiri (yang memulainya), bukan kepada perbuatan Allah (yang mewujudkannya, serta sekaligus memberi balasan-Nya). Allah sama sekali tidak menciptakan segala ketaatan dan kemaksiatan tersebut. Hanya manusianya sendiri yang mengakibatkan tiap perbuatannya bisa menjadi suatu kebaikan ataupun keburukan (manusia semata penyebabnya). o.

Aliran Qadariyah: "Allah menciptakan pada diri manusia, iradah (kehendak) dan masyi’ah (keinginan) untuk berbuat. Tetapi pengadaan ini sifatnya tidak permanen, seperti ketika Allah mengadakan petunjuk dan iman bagi yang berhak.". (hal: 375) Aliran Sunni (Ahlus-sunnah wal jama’ah): "Allah memberikan kepada hamba-Nya masyi’ah, qudrah dan iradah, yang memungkinkannya untuk berbuat sesuatu. Allah mengharuskan pemberian anugerah petunjuk dan keimanan kepada orang-orang mulia. Dan Allah tahan anugerah bagi orang-orang tidak layak untuk memperolehnya. Sehingga kekuatan iradah dan masyi’ah-Nya berpaling kepada kebalikannya …." (hal: 375) ¾

Iradah dan masyi’ah hanya diberikan-Nya ‘langsung’, saat awal diciptakan-Nya akal dan nafsu (‘zat’ dan ‘isinya’ sama atau seragam pada tiap ruh bayi manusia, amat suci-bersih dan tanpa dosa). Justru selanjutnya, hanya usaha tiap manusianya sendiri sepanjang hidupnya, yang telah mengasah akalnya dan telah mengendalikan nafsunya (membangun iradah dan masyi’ah-nya). Secara umum iradah dan masyi’ah tiap manusia pada dasarnya bersifat permanen, selama zat ruh manusianya memang masih ada. Karena mustahil akal dan nafsunya bisa hilang-lenyap. Hal yang tidaklah permanen justru ‘besarnya’ iradah dan masyi’ah, yang telah diusahakan oleh manusianya sendiri Juga tidak ada kaitannya sama sekali dengan Allah (iradah dan masyi’ah-Nya), serta bahkan bukan diubah-ubah dan diada-adakan oleh Allah.

¾

Bukan keharusan bagi Allah agar bisa memberi anugerah petunjuk dan keimanan kepada orang-orang tertentu (umat-umat yang layak, berhak atau dikehendakiNya). Lebih tepatnya, keharusan bagi Allah adalah memberi segala bentuk balasan-Nya yang layak atau setimpal, atas tiap usaha atau amal-perbuatan manusia, sebagai salah-satu janji-Nya bagi tiap umat manusia. Maka fokus utamanya bukan pada ada ataupun tidaknya pemberian petunjuk, dan bukan pula pada siapa orang yang diberikan-Nya petunjuk, tetapi pada ada ataupun tidaknya ‘usaha’ tiap manusianya dalam mencari petunjuk. Petunjuk pasti diberikan-Nya, jika ada usaha yang setimpal dari siapapun manusianya. Umat yang layak atau berhak diberikan-Nya petunjuk, justru hanya umat yang memang menghendaki dan telah melakukan usaha yang setimpal. Segala keistimewaan pada para nabi-Nya justru diberikan-Nya, karena mereka memang telah berusaha amat keras untuk mencari petunjuk dan meningkatkan keimanannya. Dan Allah Maha Adil kepada segala makhluk-Nya, atau Allah sama


Sunatullah (sifat proses)

713

sekali tidak berlaku pilih kasih hanya kepada para nabi-Nya, ataupun umat-umat manusia lainnya yang keimanannya amat tinggi saja. Allah sama sekali tidak berbuat sekehendak-Nya di alam semesta ini, tetapi pasti mengikuti aturan-Nya atau sunatullah, yang bersifat ‘mutlak’ (pasti terjadi) dan ‘kekal’ (pasti konsisten, tidak berubah-ubah). Mestinya umat Islam dan para alim-ulama lebih mencermati kembali ayat-ayat AlQur’an yang terkait dengan kehendak-Nya. Apakah kehendak-Nya bisa berubahubah atau justru mengikuti segala proses yang amat teratur dan konsisten?. Bahkan jika segala keistimewaan para nabi-Nya diberikan-Nya tanpa karena adanya usaha yang setimpal dari mereka sendiri, justru mereka sama sekali bukan pribadi-pribadi yang ‘istimewa’ dan ‘mulia’. p.

Aliran Qadariyah: "Sebab-sebab kebaikan dan keburukan itu bukan dari Allah, tetapi mutlak dari diri manusia itu sendiri.". (hal: 380) Aliran Sunni (Ahlus-sunnah wal jama’ah): "Semua kebaikan datangnya dari Allah, dan semua keburukan dan kejahatan itu berasal dari diri manusia itu sendiri.". (hal: 380) ¾

Tiap perbuatan manusia (baik dan buruk) sama sekali bukan perbuatan ataupun berasal dari Allah, tetapi perbuatan manusia yang sebenarnya. Bahkan sama sekali tidak ada paksaan dari Allah, ketika manusia berbuat sesuatu. Segala ‘sebab’ dari tiap perbuatan manusia justru hanyalah berasal dari manusia pelakunya sendiri. Jika ada paksaan dari sesuatu zat ciptaan-Nya lainnya (ujianNya), tentunya tingkat keterpaksaan pasti diperhitungkan-Nya, untuk mengukur segala sebabnya, berikut tingkat tanggung-jawab dari masing-masingnya. Namun segala ‘akibat’ tiap saatnya dari tiap perbuatan manusia, justru hanya diwujudkan ataupun berasal dari Allah (melalui sunatullah). Harus dipisahkan antara awal dan akhir (sebab dan akibat), antara manusia yang berkehendak dan memulai berbuat, dengan Allah Yang mengakhiri atau mewujudkan tiap amal-perbuatan manusia (baik dan buruk), sekaligus untuk memberi balasan-Nya yang setimpal ‘tiap saatnya’. Bahkan tiap amal-kebaikan manusia juga bukanlah berasal dari Allah. Lebih tepatnya, Allah semata-mata hanya memberi pengajaran dan tuntunan-Nya kepada manusia (amat sangat halus dan tidak memaksa), agar manusia berbuat segala amal-kebaikan, demi keselamatan dan kemuliaannya sendiri. Namun tiap manusia justru tetap bebas memilih untuk mau mengikutinya ataupun tidak.

Penentuan takdir-Nya, pasti melalui sunatullah Fokus utama dari penentuan takdir-Nya bukan pada penentuan hasil, nasib atau keadaan akhir, atas sesuatu hal yang dialami oleh tiap manusia (atau makhluk-Nya), "sebelum" hal itu terjadi. Namun justru terkait dengan pasti berlakunya sunatullah atas tiap manusia, berdasar segala keadaan awalnya tiap saatnya. Juga kepastian atas hasil, nasib atau keadaan akhir (takdir-Nya), karena telah berlakunya sunatullah (aturan atau ketentuan-Nya), tiap saatnya atas tiap manusia. Lebih sederhananya, apabila telah diketahui keadaan pada saat

714

Sunatullah (sifat proses)

tertentu tentang sesuatu halnya (atau diketahui keadaan awal, sebagai ‘sebab’), maka pasti bisa ditentukan-Nya sebelumnya, keadaan akhir nantinya (sebagai ‘akibat’), jika suatu sunatullah telah selesai berlaku. Dengan sunatullah itulah cara atau tindakan-Nya, dalam menentukan takdir-Nya bagi manusia, ‘tiap saatnya’. Lihat pula pada "Gambar 21: Diagram sederhana fungsi sunatullah". Kebebasan manusia dalam memilih takdir-Nya Dengan akalnya, tiap manusia justru diberikan-Nya kebebasan untuk memilih (secara sadar ataupun tidak), sebagian dari sejumlah besar sunatullah, yang akan bisa dilaluinya (yang ada tersedia baginya, sesuai keadaan dan kemampuannya). Kesadaran itu amat tergantung kepada tingkat pengetahuan dan pengalaman pada tiap manusianya. Bahkan Allah pasti menghargai tiap usaha manusia, di dalam mengubah keadaan atau nasibnya, ke arah yang lebih baik, yang justru menjadi hakekat dari penciptaan dan penunjukan manusia, sebagai khalifah-Nya (penguasa), di muka Bumi. Di mana manusia diberikanNya akal, sehingga ia bisa bebas memilih jalan hidupnya. Namun begitu, manusia justru tetap dituntun-Nya, agar ia mau memilih jalan-Nya yang lurus. Tinggal kepada pilihan tiap manusia, apakah ia ingin mendapat keredhaan-Nya, Sang Penciptanya, dengan mengikuti jalan-Nya yang lurus itu, ataupun tidak?. Maka amat ironis, jika nasib tiap manusia justru disebut "telah ditakdirkan-Nya ‘sebelumnya’", seperti yang dipahami oleh sebagian umat Islam. Kehidupan di dunia ini pasti mati, karena manusia justru tidak akan mau lagi berusaha akibat telah dipahaminya, bahwa pada akhirnya pasti semua usahanya akan amat sia-sia, jika berbeda antara harapannya dan takdir-Nya. Juga ia akan diam saja, dan dibiarkannya Allah berbuat segala sesuatu halnya baginya. Padahal di lain pihaknya, tiap manusia pasti akan dimintai-Nya pertanggung-jawaban di Hari Kiamat, atas segala amal-perbuatannya, juga sekaligus sama-sekali bukan tanggung-jawab Allah, bahkan tiap perbuatan manusia bukanlah perbuatan Allah. Hanya manusia sendiri yang menciptakan perbuatannya, walau memang hanya Allah, Yang mewujudkannya, sekaligus memberi balasan-Nya yang setimpal. Pemahaman tentang nasib tiap manusia telah ditakdirkan atau ditentukan-Nya sebelumnya, justru keliru. Pada dasarnya bahwa Allah hanya telah menentukan segala rumus proses kejadian di seluruh alam semesta (aturan-Nya atau sunatullah), yang jelas dan pasti berlakunya.


Sunatullah (sifat proses)

715

Namun tiap manusia justru memiliki kebebasan, untuk bisa berusaha memilih dan memanfaatkan sunatullah (secara sadar ataupun tidak), agar bisa memperoleh takdir-Nya yang diharapkannya (diredhai-Nya ataupun tidak). Lihat pula pada "Gambar 22: Diagram siklus proses sesaat fungsi sunatullah". Lebih lanjut, kebebasan manusia dalam memilih takdir-Nya Seperti misalnya, jika sunatullah X ‘telah’ mengubah keadaan seseorang dari keadaan A ke keadaan B, maka bisa dikatakan, bahwa ia telah ditakdirkan-Nya untuk menghadapi keadaan B. Sudut pandang di sini, adalah pada saat keadaan B ‘telah’ tercapai. Namun sebaliknya justru keliru jika dikatakan, bahwa ia telah ditakdirkan-Nya, untuk menghadapi keadaan B, padahal justru masih berada di keadaan A. Karena ia masih bisa melakukan sejumlah usaha lainnya, untuk mengubah keadaannya, misalnya dari keadaan A ke keadaan C, sehingga bukanlah sunatullah X yang justru akan berlaku, melainkan sunatullah lainnya (yang hasilnya belum tentu keadaan B). Lihat pula pada Gambar 28 di atas. Kesimpulannya, keadaan akhir manusia tentang sesuatu hal, bisa disebutkan sebagai takdir-Nya, justru hanyalah jika hal itu ‘telah’ terjadi, dan bukanlah ‘sebelumnya’. Demikian pula atas hal-hal yang cukup sering disebutkan, bahwa takdir-Nya telah ditentukan-Nya bagi tiap manusia, seperti: rejeki, jodoh, dan kematian (baca pula uraianuraian terkait di bawah). Hal yang ditentukan atau dicatat-Nya pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh), bukan ‘hasil akhir’ (takdir-Nya) tiap saatnya, namun justru berupa sunatullah atau aturan-Nya yang pasti mengatur segala ‘proses’ pemberian balasan-Nya, termasuk pemberian takdir-Nya tiap saatnya tersebut. Lihat pula pada Tabel 17 di bawah. Juga ditentukan-Nya tentang pasti berlaku atau berjalannya tiap sunatullah pada serangkaian besar sunatullah, yang mengarahkan tiap manusia ke sesuatu takdir tertentu. Namun sepanjang hidupnya manusia tetap bisa berusaha, agar terpilih rangkaian sunatullah lainnya (atau ‘jalan hidup’ lainnya), sehingga justru akan bisa diperolehnya takdir-Nya yang lain pula. Tiap manusia tidak bisa ‘mengubah-ubah’ takdir-Nya (yang telah terjadi), namun ia justru bisa ‘memilih-milih’ takdir-Nya (yang akan terjadi). 64) Kandungan isi kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi ‘Arsy-Nya “Kitab mulia” (Lauh Mahfuzh) di sisi ‘Arsy-Nya, yang sangat

716

Sunatullah (sifat proses)

mulia dan agung, dalam Al-Qur’an disebut pula dengan “Kitab” (saja), “Kitab di sisi-Nya”, “Kitab yang nyata”, “Kitab yang terpelihara”, “Induk kitab yang nyata”, “Ummul-Kitab” ataupun “Induk Al-kitab”. Tentu saja kitab mulia (Lauh Mahfuzh) itupun berwujud gaib, sebagaimana halnya dengan ‘Arsy-Nya itu sendiri, yang juga berada di alam gaib. Dalam pemahaman pada buku ini, segala hal yang tertulis atau tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh), adalah segala kebenaranNya di seluruh alam semesta ini. Namun dalam Al-Qur’an, segala hal yang dicatat itu disebutkan antara lain berupa: a. Pengetahuan-Nya. b. Ketetapan, ketentuan ataupun aturan-Nya. c. Ancaman balasan-Nya. d. Catatan amal-perbuatan makhluk-Nya. e. Kitab-kitab-Nya dalam wujud gaibnya. Uraian yang lebih lengkapnya tentang hal-hal itu, diungkapkan pada tabel berikut. Tabel 17: Berbagai hal dalam Kitab mulia (Lauh Mahfuzh)

Berbagai hal yang tercatat dalam Kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi ‘Arsy-Nya, dalam Al-Qur’an a. Pengetahuan-Nya "Dan pada sisi-Nya-lah, kunci-kunci semua yang gaib. Tak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." - (QS.6:59) "Kamu tidak berada dalam suatu keadaan, dan tidak membaca suatu ayat dari AlQur`an, dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu, di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Rabb-mu, biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar daripada itu, melainkan (semua tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." - (QS.10:61) "Dan tidak ada sesuatu binatang melatapun di bumi, melainkan Allah-lah Yang memberi rejekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu, dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." - (QS.11:6) "Apakah kamu tidak mengetahui, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi. Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah." (QS.22:70)


Sunatullah (sifat proses)

717

"Dan orang-orang yang kafir berkata: `Hari berbangkit itu tidak akan datang kepada kami`. Katakanlah: `Pasti datang, demi Rabb-ku Yang mengetahui yang gaib, sesungguhnya Kiamat itu pasti akan datang kepadamu. Tidak ada tersembunyi dari-Nya seberat zarrahpun, yang ada di langit dan yang ada di bumi, dan tidak ada (pula) yang lebih kecil dari itu dan yang lebih besar, melainkan tersebut dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)`," - (QS.34:3) Rangkuman tiap ayat: • QS.6:59 : Pengetahuan-Nya tentang hal-hal gaib ("kunci-kunci semua yang gaib"). Pengetahuan-Nya tentang segala sesuatu hal di Bumi ataupun di alam semesta ini ("apa yang ada di daratan dan di lautan"). Pengetahuan-Nya tentang segala sesuatu hal yang amat sederhana dan amat detail sekalipun ("sehelai daun yang gugur; jatuhnya sebutir biji; suatu yang basah atau yang kering"). • QS.10:61 : Pengetahuan-Nya tentang segala keadaan tiap makhluk-Nya ("tidak berada dalam suatu keadaan"). Pengetahuan-Nya tentang segala amal-perbuatan tiap makhluk-Nya ("tidak membaca; tidak mengerjakan suatu pekerjaan"). Pengetahuan-Nya tentang segala sesuatu hal yang amat sederhana dan amat kecil sekalipun di alam semesta ini ("biarpun sebesar zarrah di Bumi ataupun di langit; dan yang lebih kecil ataupun yang lebih besar"). • QS.11:6 : Pengetahuan-Nya tentang segala sesuatu hal pada tiap makhluk-Nya di Bumi ataupun di alam semesta ini ("tidak ada sesuatu binatang melatapun di Bumi; tempat diamnya dan tempat penyimpanannya"). • QS.22:70 : Pengetahuan-Nya tentang segala zat ciptaan-Nya di alam semesta ini, dan segala keadaannya ("apa saja yang ada di langit dan di Bumi"). • QS.34:3 : Pengetahuan-Nya tentang hal-hal gaib ("mengetahui yang gaib"). Pengetahuan-Nya tentang segala sesuatu hal yang amat sederhana dan kecil sekalipun di Bumi ataupun di alam semesta ini ("tidak ada tersembunyi dari-Nya seberat zarrahpun, yang ada di langit dan di Bumi; dan yang lebih kecil ataupun lebih besar").

b. Ketetapan, ketentuan ataupun aturan-Nya "Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta tentang Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya. Orang-orang itu akan memperoleh bagian yang telah ditentukan untuknya dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). …." - (QS.7:37) "Allah mengetahui apa yang dikandung oleh perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya (di Kitab Lauh Mahfuzh) ada ukurannya." - (QS.13:8) "Dan Allah menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perem-

718

Sunatullah (sifat proses)

puanpun mengandung, dan tidak (pula) melahirkan, melainkan dengan pengetahuanNya. Dan sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang, dan tidak pula dikurangi umurnya, melainkan (telah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah." - (QS.35:11) Rangkuman tiap ayat: • QS.7:37 : Ketentuan atau aturan proses pemberian balasan-Nya, bagi orang-orang yang berbuat dosa ("memperoleh bagian yang telah ditentukan untuknya"). • QS.13:8 : Ketentuan atau aturan proses penciptaan tiap makhluk-Nya ("mengetahui apa yang dikandung; yang kurang sempurna dan yang bertambah; dan ada ukurannya"). • QS.35:11 : Ketentuan atau aturan proses penciptaan tiap makhluk-Nya ("dari tanah, ataupun dari air mani, sampai menjadi laki-laki dan perempuan dewasa; mengandung dan melahirkan; dan tidak dipanjangkan dan tidak dikurangi umurnya").

c. Ancaman balasan-Nya "Tidak ada sesuatu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum Hari Kiamat, atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras (di Hari Kiamat). Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh)." - (QS.17:58) "Tiada sesuatu bencanapun yang menimpa di bumi, dan (tidak pula) pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh), sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah." - (QS.57:22) Rangkuman tiap ayat: • QS.17:58 : Aturan proses pemberian balasan-Nya di dunia ("membinasakannya sebelum Hari Kiamat"), dan di akhirat ("azab yang sangat keras"). • QS.57:22 : Aturan proses pemberian balasan-Nya secara lahiriah ("sesuatu bencana yang menimpa di Bumi"), dan secara batiniah ("pada dirimu sendiri").

d. Catatan amal-perbuatan makhluk-Nya "Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati, dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan, dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan, dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (QS.36:12) "Dan sesungguhnya, Rabb-mu benar-benar mengetahui, apa yang disembunyikan hati mereka dan apa yang mereka nyatakan." dan "Tiada sesuatupun yang gaib di langit dan di bumi, melainkan (semua tertulis) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (QS.27:74-75) Rangkuman tiap ayat:


Sunatullah (sifat proses) •

719

QS.36:12 : Segala amal-perbuatan makhluk-Nya ("apa yang telah mereka kerjakan") Segala hasil atau pengaruh dari amal-perbuatan makhluk-Nya ("bekas-bekas yang mereka tinggalkan") QS.27:74-75 : Segala isi pikiran makhluk-Nya ("apa yang disembunyikan hati mereka") Segala amal-perbuatan makhluk-Nya ("apa yang mereka nyatakan"). Segala amal-perbuatan ruh-ruh makhluk-Nya di alam semesta ("sesuatupun yang gaib di langit dan di Bumi").

e. Kitab-kitab-Nya dalam wujud gaibnya "Dan sesungguhnya, Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu, dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul (untuk) mendatangkan suatu ayat (mu`jizat), melainkan dengan ijin-Nya. Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu)." dan "Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)." - (QS.13:38-39) "Dan sesungguhnya, Al-Qur`an itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya), dan amat banyak mengandung hikmah." (QS.43:4) "sesungguhnya Al-Qur`an ini adalah bacaan yang sangat mulia," dan "pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh)," - (QS.56:77-78) "Bahkan yang didustakan mereka itu, ialah Al-Qur`an yang mulia," dan "yang tersimpan dalam Lauh Mahfuzh." - (QS.85:21-22) "Dan sesungguhnya, telah Kami tulis di dalam (kitab) Zabur, setelah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai (bagi) hamba-hamba-Ku yang shaleh." - (QS.21:105) Rangkuman tiap ayat: • QS.13:38-39 : Adanya perubahan dari kitab-Nya yang satu ke kitab-Nya yang lain, dari jaman ke jaman, dari kitab Zabur, Taurat, Injil, sampai kitab terakhir Al-Qur’an. ("menghapuskan dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya"). Adanya Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh), yang berupa ayat-ayat-Nya yang taktertulis di seluruh alam semesta (atau tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya), yang menjadi dasar acuan pokok bagi seluruh kitab-kitab-Nya. • QS.43:4; QS.56:77-78; QS.85:21-22 dan QS.21:105 : Kitab-kitab-Nya dalam wujud gaibnya, yaitu: Zabur, Taurat, Injil dan terakhir Al-Qur’an, yang pada dasarnya berupa ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis di seluruh alam semesta (atau tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya). Setelah ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis telah dipelajari oleh manusia (juga termasuk para nabi-Nya), maka ada yang menjadi al-hikmah dalam hati-dada-pikiran para nabi-Nya, lalu ada yang menjadi al-kitab (kitab-kitab-Nya).

Pengetahuan-Nya, yang bersifat mutlak dan relatif Jika dirangkum lebih lanjut lagi dari Tabel 17 di atas, bahwa

720

Sunatullah (sifat proses)

berbagai hal yang tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh), antara lain meliputi:

Rangkuman atas hal-hal yang tercatat dalam Kitab mulia (Lauh Mahfuzh) a. Segala hal gaib (‘esensi’ dan ‘perbuatan’ zat-zat gaib, berupa zat ruh-ruh makhluk-Nya). Dan juga ‘perbuatan’ Zat Allah (namun tidak ada tentang ‘esensi’ Zat Allah). b. Segala zat ciptaan-Nya di seluruh alam semesta, beserta segala keadaannya. c. Segala hal yang paling sederhana, paling detail dan paling kecil sekalipun di alam semesta ini. d. Segala amal-perbuatan makhluk-Nya (perbuatan, perkataan dan pikiran), beserta segala hasil atau pengaruhnya. e. Segala ketentuan, ketetapan, hukum atau aturan-Nya bagi alam semesta. f. Segala ketentuan atau aturan proses penciptaan zat ciptaan-Nya (makhluk hidup dan benda mati, nyata dan gaib). g. Segala ketentuan atau aturan proses pemberian balasan-Nya di dunia dan di akhirat, secara lahiriah dan batiniah. h. Segala ayat-Nya yang tak-tertulis (ada yang dipahami manusia dan menjadi Al-Hikmah pada para nabi-Nya, lalu sebagiannya ada yang menjadi Al-Kitab. kitab-Nya atau kitab tauhid). Berbagai hal di atas pada dasarnya segala pengetahuan-Nya di seluruh alam semesta (atau segala kebenaran-Nya), dengan berbagai ragam bentuknya. Hal yang justru amat sering diabaikan oleh sebagian besar kalangan umat Islam, bahwa berdasar “bentuknya”, maka segala pengetahuan-Nya pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) itu, bisa dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu: “segala hukum, aturan, ketetapan atau ketentuan-Nya”, dan juga “segala keadaan pada tiap zat ciptaanNya tiap saatnya”. Sedang berdasar "sifatnya", maka segala pengetahuan-Nya itu bisa dibagi pula menjadi 2 kelompok besar, yaitu: segala yang bersifat ‘non-kronologis’ dan yang bersifat 'kronologis'. Pengelompokan sifat pengetahuan-Nya inipun ternyata bersesuaian dengan pengelompokan bentuk pengetahuan-Nya di atas. Hal ini diuraikan lebih lengkap, pada tabel berikut.


Sunatullah (sifat proses)

721

722

bukan berupa segala keadaan zat ciptaan-Nya tiap saatnya. Segala keadaan ‘awal’ segala zat-zat cptaan-Nya (esensi dari zatzat ruh makhluk-Nya dan zat-zat materi benda mati), juga bagian dari ketentuan-Nya tersebut. Demikian pula halnya dengan ayatayat-Nya yang tak-tertulis (kitab-kitab-Nya yang berbentuk gaib di Lauh Mahfuzh), yang akhirnya menjadi ajaran-ajaran agamaNya yang lurus juga telah ditentukan-Nya sejak awal terciptanya seluruh alam semesta ini (perwujudan dari Fitrah Allah). Khusus tentang agama-Nya yang lurus, adanya perbedaan pada tingkat pemahaman tiap manusia (terutama para nabi-Nya), yang menjadikannya seolah-olah tampak berubah-ubah (semakin baik dan sempurna, dari nabi ke nabi). Padahal segala ayat-Nya yang tak-tertulis di seluruh alam semesta ini, justru tetap sama (tandatanda kekuasaan-Nya, bersifat mutlak dan kekal).

Pengelompokan umum atas pengetahuan-Nya •

Pengetahuan-Nya yang bersifat 'non-kronologis’.

Segala pengetahuan-Nya yang sama sekali tidaklah terkait peran makhluk-Nya, ataupun tidaklah terkait keadaan zat ciptaan-Nya ‘tiap saatnya’, seperti: - Segala keadaan pada tiap zat ciptaan-Nya di seluruh alam semesta ini, yang ‘hanya’ dari hasil peran Allah. Pemahaman di sini, tiap keadaan semacam ini justru hanya ditetapkan-Nya pada ‘awal’ penciptaan alam semesta ini, dan segala keadaan berikutnya, hanyalah dari hasil interaksi antar zat-zat cptaan-Nya, dan terutama hasil peran makhluk-Nya. Segala keadaan yang paling dasar dan awal inipun, misalnya: segala keadaan pada tiap atom (atau materi ‘terkecil’), segala fitrah dasar pada hati-nurani tiap zat ruh makhluk-Nya (suci murni dan bersih dari dosa), dsb. - Segala hal gaib, yang berupa ‘esensi’ dari zat-zat gaib (zat ruh-ruh makhluk-Nya), bukan berupa ‘perbuatan’ dari zat-zat gaib itu (bukan pula hasil perbuatannya dalam berpikir). - Segala ketentuan, ketetapan, hukum ataupun aturan-Nya bagi alam semesta, yang ditetapkan-Nya sebelum penciptaannya (seperti: aturan bagi proses penciptaan tiap zat ciptaan-Nya; aturan proses pemberian segala balasan-Nya di dunia dan di akhirat, secara lahiriah dan batiniah; dsb). - Segala ayat-Nya yang tak-tertulis (ada yang dipahami oleh manusia dan menjadi segala al-hikmah pada para nabi-Nya, lalu sebagiannya ada yang menjadi al-kitab). Pengetahuan-Nya ini bersifat ‘mutlak’ (pasti terjadi) dan ‘kekal’ (pasti konsisten, tidak berubah), sejak awal terciptanya seluruh alam semesta, sampai akhir jaman. Juga bersifat universal, amat umum dan luas cakupannya. Pengetahuan-Nya ini pasti bisa diketahui-Nya, sebelum, sedang dan setelah terjadinya sesuatu hal (atau bisa diketahui-Nya kapan saja), karena memang tidak berubah-ubah dan diciptakan-Nya. Dan ringkasnya, bentuk pengetahuan semacam ini berupa segala hukum, aturan, ketetapan atau ketentuan-Nya, akan tetapi justru

Sunatullah (sifat proses)

Pengetahuan-Nya yang bersifat 'kronologis'.

Segala pengetahuan-Nya yang justru terkait peran makhluk-Nya, ataupun terkait keadaan zat ciptaan-Nya tiap saatnya, seperti: - Segala keadaan tiap zat ciptaan-Nya di seluruh alam semesta, dari hasil peran makhluk-Nya, tiap saatnya. - Segala amal-perbuatan tiap makhluk-Nya (pikiran, perkataan dan perbuatan), beserta segala hasil atau pengaruhnya. Pengetahuan-Nya ini bersifat kekal (tidak berubah), hanya sejak saat setelah terjadinya sesuatu hal (setelah makhluk-Nya berbuat sesuatu, ataupun setelah sesuatu keadaan ciptaan-Nya berubah), atau sejak saat setelah tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh). Juga bersifat aktual, amat khusus dan terbatas cakupannya. Pengetahuan-Nya ini justru diketahui-Nya hanya 'segera setelah’ terjadinya sesuatu hal (bukan saat ‘sebelum dan sedang’ terjadi), karena memang bukan diciptakan oleh Allah. Allah hanya telah menciptakan aturan-Nya atau sunatullah, yang mengatur proses perubahan keadaan segala zat ciptaan-Nya, yang berubah secara alamiah mengikuti keadaan pada lingkungan sekitarnya, ataupun diubah-ubah oleh segala zat makhluk-Nya. Pengetahuan-Nya inipun adalah wujud dari kebebasan yang telah diberikan-Nya pada tiap zat makhluk-Nya, di dalam berkehendak dan berbuat (dengan diberikan-Nya akal dan nafsu).


Sunatullah (sifat proses)

723

Dan ringkasnya, bentuk pengetahuan semacam ini berupa segala keadaan zat ciptaan-Nya tiap saatnya, tetapi justru bukan berupa segala hukum, aturan, ketetapan atau ketentuan-Nya. Segala amal-perbuatan makhluk-Nya pada dasarnya usaha untuk mengubah berbagai keadaan lahiriah dan batiniah, pada makhluk pelakunya sendiri, atau pada zat-zat ciptaan-Nya yang terkait. Pemisahan pengetahuan-Nya menjadi dua kelompok di atas, justru amat diperlukan, agar umat bisa menilai sesuatu halnya dengan lebih proporsional, tepat dan benar, seperti misalnya: - Allah ‘bukanlah’ menentukan bagaimana, di mana ataupun kapan kematian datang kepada tiap makhluk nyata, yang justru bersifat ‘kronologis’. Tetapi justru Allah menentukan seperti "tiap-tiap zat ciptaan-Nya yang berjiwa atau tubuh masih menyatu dengan ruhnya, pasti akan menghadapi kematian (ruhnya pasti akan diangkat-Nya kembali).". Karena pengetahuan-Nya yang paling utama atas hal ini, adalah adanya ‘ketentuan-Nya’ tentang ‘batas usia’, bagi tiap jenis tubuh wadah makhluk nyata. - Allah ‘bukanlah’ menentukan bagaimana, di mana ataupun kapan rejeki diberikan-Nya kepada tiap makhluk-Nya, yang justru lebih bersifat ‘kronologis’. Tetapi justru Allah menentukan seperti "tiap-tiap zat makhluk-Nya yang memang telah berusaha mencari rejeki, pasti akan diberikanNya tanpa hisab dan tanpa batas.". Karena pengetahuan-Nya paling utama atas hal ini, adalah adanya ‘ketentuan-Nya’ tentang ‘rumus proses pemberian’ rejeki-Nya, bagi tiap makhluk-Nya. Rumus inipun tergantung kepada berbagai keadaan yang diusahakan oleh makhluk-Nya itu sendiri. - Allah ‘bukanlah’ menentukan bagaimana, di mana ataupun kapan jodoh diberikan-Nya kepada tiap makhluk-Nya, yang justru lebih bersifat ‘kronologis’. Tetapi justru Allah menentukan seperti "tiap-tiap zat makhluk-Nya yang mau berusaha mencari jodoh, pasti akan diberikan-Nya tanpa hisab.". Karena pengetahuan-Nya paling utama atas hal ini, adalah adanya ‘ketentuan-Nya’ tentang ‘rumus proses pemberian’ jodoh bagi tiap makhluk-Nya. Rumus inipun tergantung kepada berbagai keadaan

724

Sunatullah (sifat proses)

yang diusahakan oleh makhluk-Nya itu sendiri. Dsb. Baca pula uraian-uraian di bawah, tentang penentuan takdirNya yang berupa jodoh, rejeki dan kematian. Takdir-Nya tentang jodoh dan rejeki Seperti pada uraian-uraian di atas, bahwa tiap zat ciptaan-Nya (juga selain makhluk-Nya) bisa memiliki "jalan hidup" masing-masing (atau serangkaian sunatullah), sepanjang hidupnya. Tentu saja, "jalan hidup" tiap zat ciptaan-Nya yang berlalu-lalang di alam semesta ini, pada suatu ketika ada yang bisa saling bertemu dan bersesuaian. Hal seperti inilah makna takdir-Nya tentang jodoh dan rejeki. Pada pengertian jodoh secara umum, adalah “jalan hidup” dua orang ataupun lebih, yang bisa saling bertemu, bersesuaian ataupun berjodoh (misalnya: sahabat, teman, dsb). Begitu pula halnya jodoh dalam arti pasangan hidup (suami-istri). Sedangkan pada takdir-Nya tentang rejeki, justru “jalan hidup” seseorang dan hartanya, yang bisa saling bertemu atau bersesuaian. 65) Sekali lagi dari uraian di atas, bahwa pada tiap materi-benda mati, “jalan hidupnya” pasti bukan bisa dipilih-pilihnya sendiri, tetapi justru bisa dipilihkan oleh segala makhluk hidup nyata. Di luar hal ini, “jalan hidupnya” hanyalah mengikuti segala keadaannya tiap saatnya, dari hasil interaksi dengan tiap benda di sekitarnya (tepatnya melalui sunatullah, yang dikawal oleh tak-terhitung jumlah para malaikat). Tiap materi-benda mati tidak bisa memilih segala keadaannya, maka sering disebut di dalam Al-Qur’an, "bahwa tiap benda mati pasti tunduk, patuh dan taat kepada tiap perintah-Nya (bukan hanya kepada tiap kehendak-Nya)". Sedang tiap makhluk-Nya bisa memilih untuk tunduk ataupun tidak pada tiap perintah-Nya (walau pasti ada balasanNya baginya, atas tiap pilihannya itu). Namun tiap makhluk-Nya pasti tunduk, patuh dan taat pada tiap kehendak-Nya (melalui sunatullah). Takdir-Nya tentang kematian Pada takdir-Nya tentang kematian, bisa dipengaruhi oleh aspek internal dan eksternal tubuh makhluk nyata. Secara alamiah, kondisi internal tubuh ‘pastilah’ akan mengalami penyusutan, sejalan dengan bertambahnya usia. Penyusutan inipun amat dipengaruhi oleh berbagai keadaan alam sekitarnya (pencemaran udara, air dan tanah, makanan, iklim, dsb). Kondisi internal ini relatif sulit diubah oleh manusia, atau relatif tidak banyak pengaruh perubahannya. Hal inilah yang membuat adanya berbagai perkiraan, tentang usia rata-rata kematian para lansia pada sesuatu negara (misalnya pada


Sunatullah (sifat proses)

725

usia 66 tahun, ataupun usia lainnya). Sedang proses penyusutan atau penuaan itu pada dasarnya mengikuti sesuatu aturan atau rumus proses tertentu (sunatullah), dengan input-masukannya seperti pada berbagai keadaan alam di atas. Kondisi eksternalnya yang bisa menimbulkan kematian, relatif ‘lebih mudah’ bisa diusahakan untuk dihindari. Dengan lebih banyak berusaha untuk meningkatkan kewaspadaan, terhadap segala hal yang membahayakan tubuh. Tentunya kewaspadaan seperti itupun sulit bisa selalu terjaga tiap saatnya, termasuk pula akibat dari segala pengaruh lingkungan sekitar, yang amat bervariasi dan sulit diperkirakan ("jalan hidup" berbagai zat ciptaan-Nya saling bertemu, termasuk berbagai zat yang bisa menimbulkan kematian itu). Dengan segala perubahan keadaan internal dan eksternal itulah ditakdirkan atau ditentukan-Nya kematian, bagi tiap makhluk hidup nyata. Hal ini justru pasti terjadinya, karena tidak ada makhluk hidup nyata yang bisa terhindar dari kematian. Secara lebih ringkas, bahwa tiap zat ruh yang telah ditiupkanNya ke ‘tubuh wadah’ tiap makhluk hidup nyata (dihidupkan-Nya), suatu saat pasti akan dikeluarkan, diangkat atau dibangkitkan-Nya dari tubuh wadahnya, untuk kembali ke hadapan ‘Arsy-Nya. 66) "Tiap-tiap yang berjiwa (ruh pada tubuh makhluk hidup nyata) akan merasakan mati. …." - (QS.3:185) dan (QS.21:35, QS.29:57) "Sesuatu yang bernyawa (berjiwa atau berruh pada tubuh wadah makhluk hidup nyata) tidak akan mati, melainkan dengan ijin Allah, sebagai suatu ketetapan yang telah ditentukan waktunya. …." (QS.3:145) Manusia memilih takdir-Nya, dari usaha dan kemampuannya Pada dasarnya, kunci utama kehendak dan tindakan-Nya dalam menentukan takdir-Nya atas manusia, adalah aturan-Nya (sunatullah). Sedang dalam Al-Qur’an juga disebut, "tiap-tiap umat atau kaum bisa mengubah nasibnya, melalui daya-upaya umat atau kaum itu sendiri". Lihat pula Gambar 31 dan uraian lebih lengkapnya di bawah.

"…. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan, yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya. Dan …." - (QS.13:11) "Katakanlah: `Siapakah yang bisa melindungi kamu dari (tak-

726

Sunatullah (sifat proses)

dir) Allah, jika Dia menghendaki bencana atasmu, atau menghendaki rahmat untuk dirimu`. …." - (QS.33:17) Gambar 31: Skema sederhana proses pemilihan takdir/qadar-Nya Usaha manusia relatif konstan (serupa dgn usaha sebelumnya)

Ql0

A1

Balasan-Nya setimpal dgn usaha manusia

Ql1

QlA1

AA1

Qadar-Nya = Qadla-Nya yang terakhir

QlA1=QrA (Qadar A) QlB3

AA2

QlB4=QrB AB4

AB1 Usaha memilih qadarNya yang lain (berbeda dari usaha sebelumnya)

(Qadar B)

AB3 QlB1

AB2

Keterangan:

QlB2

Tiap perbuatan sesaat manusia

: Segala keadaan awal yang tersedia ‘tiap saatnya’ (= An)

: Segala pilihan batiniah (diilhami oleh para makhluk gaib) & belum diamalkan : Segala keadaan akhir yang terwujud ‘tiap saatnya’ (= Qadla-Nya = Qln)

: Peranan daya-upaya manusia, untuk mengubah berbagai keadaan awal (mengamalkan pilihan batiniahnya)

: Peranan daya-upaya Allah, untuk mewujudkan segala keadaan akhir (melalui sunatullah / aturan-Nya)

: Tiap perbuatan sesaat manusia, secara lahiriah & batiniah (hanya manusia yang memulai / mengawalinya, namun hanya Allah Yang menyertai & mewujudkannya)

Gambaran sederhana proses pemilihan takdir-Nya Dari memperbesar "Gambar 28: Skema pemilihan jalan hidup (rangkaian sunatullah)", serta dikaitkan dengan "Gambar 30: Skema pengaruh pengajaran para makhluk gaib", tentang proses pemilihan sesuatu hal di dalam pikiran tiap manusia, setelah diilhami oleh para makhluk gaib, yang lalu telah diikuti ataupun diamalkannya, menjadi segala bentuk amal-perbuatan baik atau buruk, maka bisa disusunlah gambaran sederhana tentang proses pemilihan takdir-Nya (Gambar 31 berikut), sekaligus gambaran hakekat dari tiap perbuatan manusia. Tentunya dalam hal ini, dari Gambar 30 lebih terfokus tentang adanya proses pemilihan itu sendiri, bukan tentang nilai-nilai kebaikan atau keburukan dari tiap amal-perbuatannya.

Hal penting diketahui dari Gambar 31, bahwa lamanya waktu proses ‘pemilihan’ takdir-Nya bahkan bisa berlangsung dengan amat cepat (hanya seper sekian detik) serta juga bisa amat lama. Tentunya proses-proses ini meliputi takdir-Nya, secara lahiriah dan batiniah.


Sunatullah (sifat proses)

727

Sekali lagi seperti halnya dari uraian-uraian di atas, bahwa tiap perbuatan manusia, tiap saatnya justru pasti selalu disertai perbuatan Allah (melalui sunatullah, sebagai salah-satu dari ketetapan-Nya), agar bisa mewujudkannya, sekaligus untuk bisa memberi balasan-Nya yang setimpal dengan segala hal yang telah diusahakan oleh manusianya itu sendiri. Hanya manusia yang memulai atau mengawali perbuatannya (berusaha mengubah berbagai keadaan awalnya), namun pasti hanya Allah Yang mewujudkan perbuatannya (menentukan segala keadaan akhirnya tiap saatnya atau Qadla-Nya). Qadar-Nya adalah Qadla-Nya yang terakhir (sampai pada suatu saat tertentu yang ditinjau). Allah tidak tahu pilihan manusia, sebelum terjadi Maha Suci Allah. Bahwa adanya kebebasan pada tiap manusia (diberikan-Nya akal), telah jelas bisa menunjukkan, bahwa Allah pada dasarnya justru tidak mengetahui hasil akhir tiap pilihan manusia tiap saatnya, Allah juga tidak mengetahui segala proses kejadian atas tiap manusia, ‘sebelum’ prosesnya terjadi, ataupun Allah tidak mengetahui ‘nasib akhir’ dari tiap manusia. Bahkan cukup banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an, yang menyebutkan seperti "Agar Allah mengetahui …". Karena hal-hal itu memang terkait erat dengan tiap peran dari manusia dan makhluk-Nya lainnya, dengan kebebasannya itu. 67) "… , melainkan agar Kami mengetahui, siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. …." - (QS.2:143) '"… Dan agar Allah mengetahui, siapa orang-orang yang beriman." - (QS.3:166) Namun amat perlu diketahui pula, bahwa kebebasan yang telah diberikan-Nya kepada tiap manusia ataupun zat makhluk-Nya lainnya, justru berada di dalam daerah-wilayah yang amat sangat sempit dan terbatas, apabila dibandingkan dengan wilayah berlakunya sunatullah (sifat ‘perbuatan’ Zat Allah), yang Maha Luas dan Tinggi. Bahkan kebebasan segala zat makhluk-Nya justru diliputi pula oleh sunatullah. Bahkan lebih jauhnya lagi, tiap usaha atau perbuatan segala zat makhluk-Nya (lahiriah dan batiniah), pada dasarnya justru hanya memanfaatkan sunatullah (satu ataupun lebih sunatullah, secara sadar ataupun tidak). Juga dari Gambar 22 s/d Gambar 25 cukup jelas bisa tampak, bahwa tiap daya dan perbuatan manusia pasti selalu disertai oleh daya dan perbuatan-Nya (melalui sunatullah), sebagai rahmat atau nikmatNya, untuk memudahkan manusia dalam menjalani kehidupannya.

728

Sunatullah (sifat proses)

Tetapi sekali lagi, tiap daya dan perbuatan manusia juga bukan daya dan perbuatan Allah. Serta bukan Allah Yang menciptakan tiap daya dan perbuatan manusia, karena Allah relatif hanya menciptakanNya akal dan nafsu pada tiap manusia, serta menciptakan-Nya segala aturan-Nya (sunatullah), yang pasti mengatur segala zat ciptaan-Nya dan segala proses kejadian di alam semesta ini. Hanya manusia sendiri yang ‘menciptakan dan memulai’ tiap daya dan perbuatannya, sedang pasti hanya daya dan perbuatan Allah, yang mengikuti dan menyelesaikan tiap daya dan perbuatan manusia (melalui sunatullah, yang dikawal oleh tak-terhitung para malaikat). Baca pula uraian di atas, tentang tiap perbuatan makhluk-Nya bukanlah perbuatan Allah. Akhirnya, segala proses kejadian di alam semesta ini sampai akhir jamannya, yang berada di luar wilayah kebebasan tiap makhlukNya (yang amat sangat terbatas, tetapi masih amat sangat luas untuk menjalani kehidupannya, pada Gambar 32), pasti telah diketahui oleh Allah Yang Maha mengetahui, karena segala proses itupun memang bersifat ‘mutlak’ (pasti terjadi) dan ‘kekal’ (pasti konsisten). Sedang segala pengetahuan Allah, yang terkait dengan segala hasil peranan atau hasil perbuatan makhluk-Nya, yang pada dasarnya bersifat ‘relatif’ (tidak pasti terjadi ataupun tidak konsisten), seperti misalnya keimanan ataupun kekafiran tiap manusia, justru bukan halhal yang telah diketahui dan ditentukan-Nya, ‘sebelum’ terjadinya hal itu tiap saatnya, karena tiap manusianya memang telah diberikan-Nya segala kebebasan dalam berkehendak dan berbuat. Baca pula uraian di atas, tentang segala pengetahuan Allah, yang tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh). Penutup tentang Sunatullah (sifat proses) Sekali lagi penting diketahui kembali, bahwa sifat-sifat proses pada segala zat ciptaan-Nya yang dibahas di sini, pada dasarnya hanya tiap sifat yang mutlak dan kekal, yang telah langsung ditetapkan atau diberikan-Nya, pada saat awal penciptaan seluruh alam semesta ini (sunatullah, Sunnah Allah, atau sifat ‘perbuatan’ Zat Allah). Sedang segala sifat proses-dinamis-perbuatan, yang langsung berasal dari tiap makhluk-Nya, justru bersifat ‘relatif’ dan ‘temporer’, yang pada dasarnya untuk mengubah-ubah berbagai keadaan awalnya sendiri ataupun lingkungannya, sebelum berlakunya suatu sunatullah, yang mewujudkan sifatnya itu (menentukan segala keadaan akhirnya), secara setimpal sesuai dengan segala keadaan awalnya itu.


Sunatullah (sifat proses)

729

Jalan hidup manusia terakhir

Wilayah proses yg tlh dijalani manusia

Wilayah proses takterhitung sunatullah (lahiriah & batiniah)

Wilayah kebebasan batiniah-pikiran manusia

Jalan hidup manusia (ubah-ubah keadaan batiniah & lahiriahnya) Batas ‘relatif’ kebebasan tiap manusia

Awal penciptaan umat manusia

Tiap ‘aliran’ proses dari takterhitung sunatullah (segala aturan / rumus proses) Awal penciptaan alam semesta / awal berlaku sunatullah Batas takterhitung proses sunatullah

Wilayah kebebasan tubuh lahiriah-fisik manusia

Wilayah proses yg blm dijalani manusia

Hari Kiamat ‘besar’ (manusia terakhir wafat)

Hancurnya alam semesta

Gambar 32: Skema sederhana wilayah kebebasan manusia

730

Sunatullah (sifat proses)

Tiap perbuatan makhluk-Nya pada dasarnya hanya suatu usaha secara sadar ataupun tidak, untuk bisa memilih ataupun memanfaatkan berbagai sunatullah yang bisa dijalaninya, yang tersedia baginya pada sesuatu saat tertentu, sesuai dengan segala keadaan, pengetahuan dan kemampuannya. Tiap usaha atau perbuatan manusia pada dasarnya mengubahubah berbagai keadaan awalnya, sebelum berlakunya suatu sunatullah yang menentukan segala keadaan akhirnya. Tiap usaha itu juga sama halnya dengan usaha untuk ‘memilih-milih’ suatu sunatullah dari takterhitung jumlah sunatullah, yang sesuai dengan segala keadaan awal tersebut (sunatullah terpilih secara ‘otomatis’ dan berlaku setimpal). Lebih jelasnya lagi, sunatullah terdiri dari tak-terhitung jumlah aturan, rumus atau fungsi ‘keadaan’ (state function), yang mencakup segala rumus proses kejadian dan juga mencakup segala keadaan pada segala zat ciptaan-Nya di alam semesta ini. Sehingga sunatullah relatif serupa dengan suatu ‘matriks’, yang segala rumus proses dan segala variabel keadaannya, amat sangat kompleks dan sempurna. Sedang pada berbagai uraian di atas, tiap ‘rumus proses’ justru terkadang disebut pula sebagai suatu ‘sunatullah’, sehingga sunatullah sebagai sesuatu kesatuan, dianggap terdiri dari sejumlah tak-terhitung sunatullah yang jauh lebih sederhana dan sempit cakupannya. Namun segala keadaan pada tiap zat ciptaan-Nya tiap saatnya pada dasarnya justru pasti selalu berubah-ubah, dari hasil usaha segala makhluk-Nya di sekitarnya, ataupun dari tiap perubahan keadaan di alam semesta, yang terus-menerus berlangsung secara ‘otomatis’ atau ‘alamiah’, sejak awal penciptaannya (dari segala hasil interaksi antar zat-zat ciptaan-Nya di seluruh alam semesta). Maka tiap perbuatan manusia pada dasarnya semestinya bisa mengikuti ataupun harmonis dengan ‘irama’ alam semesta ini (lahiriah dan batiniah), agar ia bisa memperoleh keselamatan hidup di dunia ini. Dan ajaran agama-Nya pada dasarnya mengajarkan berbagai amalan, yang perlu dilakukan oleh tiap umat, agar ia bisa menempuh jalan keselamatan itu (jalan-Nya yang lurus), terutama agar bisa mengatur berbagai keadaan kehidupan batiniah ruhnya (kehidupan akhiratnya).


Sifat Pembeda Ciptaan-Nya (ciri khas)

731

"Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu, menurut ukuran (yang tertentu)." (QS. AL-QAMAR:54:49) "(Allah), Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dan Dia tidak mempunyai anak. Dan tidak sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan. Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu. Dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya, dengan serapi-rapinya." (QS. AL-FURQAAN:25:2)

VI.B.

Sifat Pembeda Ciptaan-Nya (ciri khas)

Gambaran umum sifat pembeda ciptaan-Nya ‘Sifat pembeda’ adalah sifat yang langsung melekat (atau tidak berkaitan dengan proses atau perbuatan), pada tiap zat ciptaan-Nya di seluruh alam semesta, dari sel sampai dinosaurus, dari atom sampai galaksi, dari tumbuhan lumut sampai pohon beringin, dari iblis sampai malaikat, dsb, yang telah ditetapkan-Nya ‘sebelum’ penciptaan alam semesta ini, dan telah tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi 'Arsy-Nya, yang amat agung dan mulia. Karena segala ketetapan-Nya justru diciptakan-Nya ‘sebelum’ penciptaan alam semesta itu sendiri, maka segala hal yang ditetapkanNya hanya berupa sifat-sifat dari zat elemen paling dasar penyusun keseluruhan alam semesta ini, yaitu zat Ruh (gaib dan hidup) dan zat materi ‘terkecil’ (nyata dan mati). Dengan didukung pula oleh energi, maka segala zat ciptaan-Nya di seluruh alam semesta bisa terbentuk (melalui sunatullah), hanya dari dua elemen paling dasar tersebut. Dan segala proses penciptaan atau proses terjadinya segala zat ciptaan-Nya

732

Sifat Pembeda Ciptaan-Nya (ciri khas)

yang ada saat ini, justru hanya mengikuti sifat-sifat dari dua elemen paling dasar itu setelah mengalami tak-terhitung jumlah proses selama sekitar milyaran tahun sampai saat ini. Zat materi ‘terkecil’ itu sering disebut pada buku ini sebagai ‘Atom’, walau hal inipun kurang tepat dan hanya untuk penyebutan praktisnya saja. 68) Baca pula topik "Atom-atom", tentang benda terkecil yang sebenarnya. Dan topik "Ruh-ruh", tentang sifat-sifat zat ruh. Juga dengan kata lain, sifat pembeda itu adalah hal-hal yang menunjukkan perbedaan khas di antara zat-zat ciptaan-Nya pada saat "diam" (statis, tidak berbuat sesuatu, atau keadaannya tidak berubahubah). Sifat pembeda inilah yang umumnya membuat zat-zat ciptaanNya dikelompokkan menjadi berbagai jenis (seperti: manusia, hewan dan tumbuhan; makhluk nyata dan gaib; makhluk hidup dan benda mati; dsb), karena memang langsung mudah terlihat atau diketahui. Sejak saat awal ditetapkan-Nya, sifat pembeda justru juga bisa berubah, atas perubahan keadaan tertentu lingkungan sekitarnya (pada keadaan yang berbeda, sifat pembeda berbeda pula). Tetapi tiap proses perubahan sifat pembeda ini pastilah mengikuti sunatullah (telah pasti dan jelas rumus-rumus proses perubahannya). Tetapi perlu diketahui pula, bahwa sifat-sifat pembeda dari dua elemen paling dasar (zat ruh dan terutama zat materi ‘terkecil’) justru tetap tidak berubah. Sifat-sifat pembeda yang mengalami perubahan di atas, justru hanya terjadi pada materi yang strukturnya lebih kompleks, dari hasil proses interaksi antar zat-zat materi ‘terkecil’-nya (melalui proses penggabungan ataupun proses pemisahan materi). Baca pula topik "Jenis-jenis ciptaan-Nya". Contoh sifat pembeda ciptaan-Nya dan perubahannya Contoh sifat dan karakteristik khas tiap zat ciptaan-Nya, antara lain: bentuk (padat, cair atau gas); ukuran atau dimensi ruang; massa jenis; kadar-kerapatan; pH (keasaman); warna; kelembaban; makhluk hidup atau benda mati (dengan ataupun tanpa ruh); makhluk nyata atau makhluk gaib (ruh dengan ataupun tanpa tubuh wadah); manusia, hewan atau tumbuhan; pria atau wanita; bayi atau lansia; dsb. Beberapa contoh sederhana lainnya tentang sifat zat ciptaan– Nya dan perubahannya, misalnya: •

Syaitan dan iblis yang jelas berupa makhluk gaib, mustahil akan pernah berwujud makhluk yang mengerikan, ataupun berwujud makhluk nyata lainnya, sebab hal ini justru bertentangan dengan


Sifat Pembeda Ciptaan-Nya (ciri khas)

733

sunatullah, begitu pula segala jenis makhluk gaib lainnya. Segala makhluk gaib pasti tetap gaib wujud zatnya. Kalau ada disebut penampakan ini misalnya, justru hanya berupa manusia biasa yang sedang kerasukan, atau pembicaraan dan perbuatannya memang sedang dipengaruhi oleh syaitan dan iblis. Dan manusia yang mengaku pernah melihatnya pasti telah berkhayal, bermimpi ataupun berhalusinasi. Ada pula berupa sesuatu perumpamaan (misalnya tentang iblis yang berwujud makhluk yang mengerikan di atas), untuk sekedar menjadi peringatan bagi anak-anak, agar amat waspada terhadap pengaruh godaan iblis, syaitan ataupun jin. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang syaitan yang berwujud manusia. •

Sesuatu benda padat akan mulai meleleh atau mencair, jika telah dipanaskan melewati sesuatu suhu tertentu (titik leleh atau lebur). Selanjutnya, jika benda itu terus dipanaskan lagi, melewati suhu tertentu lainnya (titik uap), maka cairan itu akan mulai menguap. Tetapi jika keadaan tekanan udara di sekeliling benda itu berbeda dari harga semula, maka titik leleh dan titik uapnya akan berbeda pula. Dan tiap benda mati, memiliki sifat (titik leleh dan titik uap misalnya) yang berbeda-beda pada tiap keadaannya.

Sesuatu ruh ‘tertentu’ hanya bisa ‘masuk’ (ditiupkan-Nya) untuk bisa memberi kehidupan kepada benih tubuh (benda mati), untuk menjadi suatu sel hidup, hanya jika bertemu dengan sesuatu jenis benih tubuh ‘tertentu’ saja, serta dalam keadaan ‘tertentu’ pula (misalnya: belum terisi ruh, cukup energi, dsb). Kekurangan energi itu misalnya sebagai penyebab adanya kemandulan (selnya menjadi mati, ataupun bahkan belum sempat terbentuk sel).

Dan berbagai contoh lain tentang berbagai sifat-sifat zat ciptaanNya, sebagiannya telah terungkap pada topik-topik lainnya pada buku ini.

Penutup tentang sifat pembeda ciptaan-Nya Sekali lagi penting diketahui, bahwa sifat-sifat pembeda pada segala zat ciptaan-Nya yang dibahas di sini, pada dasarnya hanya tiap sifat yang ‘mutlak’ dan ‘kekal’, yang telah ditetapkan atau diberikanNya langsung, pada awal penciptaan seluruh alam semesta ini. Sehingga sifat-sifat pembeda yang diberikan-Nya inipun, pada

734

Sifat Pembeda Ciptaan-Nya (ciri khas)

dasarnya sifat-sifat pada tiap unsur elementer penyusun seluruh alam semesta ini, yaitu ‘Atom’ dan ‘Ruh’. Selanjutnya, sifat-sifat pembeda pada tiap zat ciptaan-Nya, justru berupa hasil gabungan dari sifat-sifat pada ‘Atom’ dan ‘Ruh’ tersebut. Dan tentunya terutama dari sifat-sifat pada Atom, karena hanyalah Atom yang menyusun segala benda atau materi nyata-lahiriah-fisik, yang mudah dilihat oleh manusia (sedang Ruh bersifat gaib). Namun di lain pihaknya, tiap zat Ruh justru amat menentukan segala sifat pada tiap makhluk hidup yang terkait. Proses penggabungan dari berbagai sifat pembeda itupun bisa berlangsung secara alamiah, serta bisa pula dari hasil usaha makhlukNya. Dengan melalui cara apapun segala proses perubahan ataupun penggabungan sifat-sifat pembeda itu, justru pasti mengikuti aturanNya (atau sunatullah), karena segala usaha makhluk-Nya justru pada dasarnya hanya memilih dan memanfaatkan sunatullah. Sifat-sifat pembeda pada segala zat ciptaan-Nya, yang berasal dari hasil usaha makhluk-Nya pada dasarnya pasti bersifat ‘relatif’ dan ‘temporer’, sehingga justru relatif tidak dibahas ataupun disebut-sebut pada uraian-uraian di atas. "Tidakkah kamu melihat, bahwasanya Allah menurunkan air hujan dari langit lalu. Kami hasilkan dari air hujan itu, buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah, yang beraneka macam warnanya, dan ada yang hitam pekat."; "Dan demikian (pula) di antara manusia, binatangbinatang melata dan binatang-binatang ternak, ada yang bermacammacam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya, Allah Maha Perkasa, lagi Maha Pengampun." - (QS.35:27-28) "(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan, dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), …" - (QS.42:11)


他 他 他 他

Para nabi dan rasul utusan-Nya Kitab-kitab tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid) Nabi terakhir, untuk seluruh umat manusia Pemahaman atas agama dan kitab-Nya di jaman modern


PENGAJARAN DAN TUNTUNAN-NYA

737

"Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam (Bani Adam) dari sulbi mereka. Dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa (ruh) mereka, (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Rabb-mu". Mereka menjawab: "Betul (Engkau Rabb-kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu), agar di Hari Kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb)"." (QS. AL-A'RAAF:7:172) "Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada (Rabb), Yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar (perwujudan dari Fitrah Allah). Dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan-Nya." (QS. AL-AN'AAM:6:79)

738

PENGAJARAN DAN TUNTUNAN-NYA

dalam kalbu zat ruh tiap manusia, sebagai tuntunan-Nya yang paling mendasar, agar bisa mengambil pilihan atau keputusan dengan benar dalam menghadapi segala bentuk ujian-Nya. Isi hati-nurani sama pada tiap anak manusia yang baru lahir (amat suci-bersih dan tanpa dosa). Isi hati-nurani awalnya inipun ibarat sesuatu pantulan "sebagian kecil" dari cahaya kebenaran-Nya, pada cermin batiniah yang bersih (kalbu zat ruh tiap manusia). Hal ini juga sebagai kesaksian atau pengetahuan yang paling dasar atas berbagai kemuliaan dan kekuasaan-Nya. Sehingga pada saat tiap manusianya telah berusia dewasa, telah menjadi fitrahnya, bahwa ia relatif pasti berkeinginan untuk mencari dan mengenal Tuhan, Yang telah menciptakannya. "Dan (ingatlah), ketika Rabb-mu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): `Bukankah Aku ini Rabbmu`. Mereka menjawab: `Betul (Engkau Rabb-kami), kami menjadi saksi`. (Kami lakukan yang demikian itu), agar di Hari Kiamat kamu tidak mengatakan: `Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orangorang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb)`." - (QS.7:172)

VII.

PENGAJARAN DAN TUNTUNAN-NYA

Fitrah Allah dalam memberi pengajaran dan tuntunan-Nya Manusia yang telah diberikan-Nya daya-kemampuan akal yang sempurna, menjadi memiliki kebebasan untuk bisa berusaha memilih jalan hidup yang lebih diinginkannya dalam proses penggodokannya, atau dalam menghadapi segala bentuk cobaan atau ujian-Nya sebagai khalifah-Nya (penguasa) di muka Bumi.

Namun juga sesuai dengan Fitrah Allah dalam penciptaan alam semesta ini, Allah Yang Maha Penyayang tidaklah membiarkan begitu saja tiap manusianya, untuk berjalan sendiri tanpa arah tujuan di muka Bumi, dengan hanya bermodalkan daya dan akalnya saja, tanpa suatu pengajaran dan tuntunan-Nya, agar bisa mencari dan mengenal Allah, Sang Penciptanya. Juga agar bisa kembali berada dekat di sisi 'ArsyNya, dengan mengikuti "jalan-Nya yang lurus", yang lebih diredhaiNya bagi umat manusia, demi kemuliaan manusianya sendiri. 69) Hati-nurani, tuntunan-Nya paling dasar Maka Allah juga menciptakan ‘hati-nurani’ (atau mata hati) di

Hati-nurani juga bisa menjadi benteng yang terakhir bagi tiap manusia, saat menghadapi berbagai godaan syaitan dan iblis. Namun jika pikiran dan kalbu ruh manusia tidak dalam keadaan jernih, kalut, tegang ataupun juga dikuasai oleh nafsu dan amarah, maka hati-nurani menjadi agak jarang diperhatikan atau sering terabaikan (menjadi tuli, pekak atau buta mata hatinya, hanya sesaat ataupun seterusnya). Dari adanya kemungkinan pengabaian atas hati-nurani itulah, sekaligus untuk bisa menambah atau melengkapi tuntunan-Nya yang paling mendasar itu, dan sejalan dengan makin bertambahnya usia tiap manusia dan makin kompleks persoalannya, maka Allah menurunkan pula segala bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya, melalui: wahyu atau ayat-Nya; para nabi-Nya; berbagai kitab dan agama-Nya; dsb. 70) Ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis, pengajaran-Nya paling dasar Sedang pengajaran-Nya yang paling mendasar, adalah “ayatayat-Nya yang tak-tertulis” yang terdapat di seluruh alam semesta ini, yang disebutkan pula sebagai “tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaanNya”, “wajah-Nya”, “kalam atau wahyu-Nya yang sebenarnya”, “AlQur'an gaib yang tercatat pada Lauh Mahfuzh di sisi ‘Arsy-Nya” atau “segala kebenaran atau pengetahuan-Nya”. Dari mempelajari segala


PENGAJARAN DAN TUNTUNAN-NYA

739

zat ciptaan-Nya dan segala kejadian di alam semesta, maka manusia pada dasarnya juga bisa memahami berbagai hakekat penciptaan alam semesta ini, bahkan bisa memahami hakekat ‘wujud zat Allah’ atau ‘perwujudan’ sifat-sifat Allah, Sang pencipta alam semesta itu sendiri. Hal seperti itulah yang terjadi pada nabi Ibrahim as misalnya, saat mencari-cari Tuhannya, dengan terlebih dahulu membandingkan kelebihan dan kesempurnaan segala zat ciptaan-Nya di alam semesta, sampai akhirnya beliau bisa menemukan Tuhannya alam semesta ini yang sebenarnya, yaitu Allah Yang Maha Esa dan Maha kuasa. Pada jaman sekarang pengenalan itupun juga justru makin bisa diperkuat lagi, dari mempelajari sebanyaknya berbagai bidang ilmupengetahuan (ilmu-ilmu agama ataupun non-agama), melalui sistem pendidikan ataupun membaca buku (autodidak). Dan juga bisa melalui pengetahuan dan pengalaman dalam mengamati alam di sekitar, agar makin mudah dan jelas dipahami berbagai kejadian di alam semesta. Bahwa ada berbagai proses kejadian di alam semesta ini, yang bersifat ‘mutlak’ (pasti terjadi) dan ‘kekal’ (pasti konsisten, atau tidak berubah-ubah). Berbagai proses kejadian seperti ini justru hanya hasil perwujudan dari segala perbuatan Allah di alam semesta ini (Sunnah Allah, sunatullah). Sunatullah bersifat Maha Teratur dan Sempurna, sehingga penciptaan alam semesta yang amat sangat luas ini, dengan segala aspek di dalamnya, hanya dengan "Atom" dan "Ruh" saja. Serta mustahil ada suatupun yang memiliki kemampuan seperti itu, kecuali hanya Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Sempurna. Baca pula topik "Sunatullah (sifat proses)". Setelah berbagai proses pencarian dan pengenalan, atas wujud ketuhanan itu, maka persoalan yang lebih lanjut lagi adalah, “apakah telah bisa diperolehnya sesuatu tingkat keimanan yang makin tinggi?”, sehingga pada tiap langkah kaki, tarikan napas dan detak jantungnya, manusia telah bisa diwarnai kesadaran atas tujuan dari diciptakan-Nya seluruh alam semesta ini, dan diciptakan-Nya kehidupannya sendiri di dalamnya, serta agar manusia bisa mengabdi kepada segala kehendakNya bagi alam semesta ini. Juga tentunya agar manusia sebanyak mungkin tidak berbuat kesia-siaan yang terlalu menyimpang dari tujuan diciptakan-Nya alam semesta ini, dalam kehidupannya sehari-hari di dunia fana ini. Bahwa kesadaran dari hasil bertafakur seperti itu adalah ruh dari segala amalibadah yang dianjurkan di dalam ajaran-ajaran agama-Nya (kesadaran yang bisa diperoleh saat sebelum ataupun setelah beramal-ibadah).

740

PENGAJARAN DAN TUNTUNAN-NYA

Hal inilah yang berusaha maksimal dilakukan pada buku ini, agar bisa diperoleh kesadaran atau keyakinan batiniah, yang dibangun melalui berbagai pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (alHikmah) dalam kandungan isi ajaran agama-Nya, khususnya melalui judul buku ini ‘Penciptaan Manusia dan Alam Semesta’. Khususnya lagi agar diperoleh pemahaman yang relatif makin mendalam tentang aturan-Nya (sunatullah), yang berlaku tiap saatnya bagi segala zat ciptaan-Nya (dari galaksi sampai atom, dari sel sampai manusia, dari malaikat sampai iblis, dsb), serta juga mengatur segala proses kejadian di seluruh alam semesta (bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’, secara lahiriah dan batiniah). Ringkasnya, pemahaman pada buku inipun bisa diperoleh dari mengamati ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis dan sekaligus pula sambil diilhami dari ayat-ayat-Nya yang tertulis (ayat-ayat al-Qur’an) sebagai bahan utamanya, yang telah disampaikan oleh nabi Muhammad saw. Sehingga diharapkan ayat-ayat Al-Qur’an bisa makin terang dan jelas dipahami kembali berbagai al-Hikmah di dalamnya (diharapkan pula tentunya bisa ‘mendekati’ tingkat pemahaman pada Nabi). Perbedaan pengajaran-Nya dan tuntunan-Nya Dalam Al-Qur’an telah disebut bahwa utusan-Nya terdiri dari golongan ‘jin’ (para makhluk gaib) dan dari golongan ‘manusia’ (para nabi-Nya). Para makhluk gaib itupun biasanya disebut menyampaikan pengajaran, perintah, anjuran, peringatan, larangan, tuntunan, ujianNya ataupun berita gembira (semua disebut “wahyu-Nya”). Sedangkan para nabi-Nya disebut menyampaikan pengajaran, perintah, anjuran, peringatan, larangan, tuntunan-Nya ataupun berita gembira (semua disebut “wahyu yang diwahyukan atau dibacakan”). Baca pula topik "Makhluk hidup gaib”, tentang empat macam atau jenis wahyu-Nya. Pada dasarnya terdapat perbedaan antara ‘pengajaran-Nya’ dan ‘tuntunan-Nya’. Ibaratnya, masing-masingnya adalah awal dan akhir; bahan pelajaran dan pengetahuan; proses dan hasil; dsb. Sehingga dari tiap pengajaran-Nya kepada umat manusia diharapkan bisa diperoleh berbagai pemahaman (keyakinan batiniah), untuk bisa menuntun tiap manusia dalam menjalani kehidupan di dunia. Ringkasnya, untuk bisa mengenal baik dan buruk. Sedang tuntunan-Nya dengan sendirinya bisa secara langsung digunakan oleh manusia, karena relatif tidak memerlukan pemahaman terlebih dahulu, atau relatif amat mudah dimengerti dan dilaksanakan.


PENGAJARAN DAN TUNTUNAN-NYA

741

Hal ini berkebalikan dengan pengajaran-Nya, yang relatif lebih sulit bisa dipahami. Tentunya pengajaran-Nya dan tuntunan-Nya meliputi aspek lahiriah dan batiniah. Serta berbagai hal yang disampaikan para utusan-Nya itu pada dasarnya bisa dikelompokkan menjadi: pengajaran-Nya dan tuntunanNya (seperti: ujian-Nya, perintah-Nya, anjuran-Nya, peringatan-Nya, larangan-Nya, berita gembira, dsb). ‘Ujian-Nya’ adalah segala bentuk kesulitan ataupun kesusahan (lahiriah dan batiniah), yang pasti dihadapi oleh semua manusia, yang memang sengaja diberikan-Nya, agar makin jelas diketahui-Nya siapa yang beriman dan yang kafir kepada-Nya. Ujian-Nya terutama disampaikan oleh para makhluk gaib (jin, syaitan ataupun iblis). Ujian-Nya secara batiniah dari para makhluk gaib adalah puncak terakhir dari segala bentuk ujian-Nya (lahiriah dan batiniah), karena segala ujian-Nya secara lahiriah, pada dasarnya juga pasti bermuara kepada bentuk batiniahnya, pada alam batiniah ruh tiap manusia (tempat sebagian para makhluk gaib itu berada dan bekerja). Baca pula topik "Makhluk hidup gaib”, tentang ujian-Nya secara batiniah. ‘Perintah-Nya dan anjuran-Nya’ adalah segala pengajaran dan tuntunan-Nya tentang hal-hal yang amat perlu ‘dilakukan’ oleh semua manusia, yang bisa menolong, menyelamatkan ataupun memuliakan dirinya (lahiriah dan batiniah). ‘Peringatan-Nya dan larangan-Nya’ adalah segala pengajaran dan tuntunan-Nya tentang hal-hal yang amat perlu ‘diwaspadai atau dihindari’ oleh semua manusia, yang bisa menyesatkan, mencelakakan membinasakan dan menghinakan dirinya (lahiriah dan batiniah). ‘Berita gembira’ adalah berbagai khabar tentang nikmat-Nya (keuntungan secara lahiriah dan batiniah, di dunia dan akhirat), yang dijanjikan-Nya kepada tiap manusia, setelah bisa mengikuti berbagai tuntunan-Nya. Dari tiap tuntunan-Nya ataupun dari tiap pengajaran-Nya yang telah berbentuk tuntunan-Nya, yang dipahami oleh tiap manusia tiap saatnya, pada akhirnya terus-menerus makin menambah tuntunan-Nya di dalam hati-nuraninya (makin menambah keyakinan batiniahnya). Tentunya keyakinan batiniah yang makin kuat bisa diperoleh, jika semua pengajaran dan tuntunan-Nya itupun bisa dipahami dengan makin sempurna, bukan sekedar mengikuti hal-hal yang disampaikan oleh para nabi-Nya, namun tanpa memiliki pemahaman yang relatif

742

PENGAJARAN DAN TUNTUNAN-NYA

memadai, atas hal-hal yang disampaikan itu. Pengajaran dan tuntunan-Nya melalui para nabi dan kitab-Nya Tiap pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya tentang tujuan dan makna penciptaan kehidupan di dunia ini, adalah hal yang relatif sulit bisa dicapai oleh manusia biasa umumnya. Maka kepada tiap kaumnya, Allah telah berkehendak pula untuk menurunkan para nabi dan rasul-Nya dari kalangan kaum itu sendiri, yang telah diberiNya segala limpahan hikmah dan hidayah-Nya, sebagai utusan-Nya untuk bisa menyampaikan wahyu-wahyu-Nya, sebagai pengajaran dan tuntunan-Nya kepada umat kaumnya masing-masing, ataupun bahkan kepada seluruh umat manusia. Selain itu, Allah telah pula menurunkan beberapa kitab-Nya (kitab kumpulan wahyu-wahyu-Nya), kepada beberapa nabi dan rasulNya, yaitu: Zabur (nabi Daud as), Taurat (nabi Musa as), Injil (nabi Isa as) dan terakhir Al-Qur'an (nabi Muhammad saw), sebagai sesuatu pengajaran dan tuntunan-Nya yang ‘relatif lengkap’ bagi seluruh umat manusia pada tiap jamannya (khususnya umat penganut agama-agama tauhid, yaitu: Yahudi, Nasrani dan Islam), walau para nabi dan rasulNya yang terkait telah tiada ataupun wafat. Disebut ‘relatif lengkap’, karena wahyu-wahyu-Nya di dalam kitab-kitab-Nya itu merupakan suatu intisari (rangkuman) dari seluruh pemahaman pada para nabi-Nya itu, yang berupa hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (al-Hikmah), yang bisa dipahaminya dari mempelajari tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta. Serta pemahaman yang makin lengkapnya juga bisa diperoleh pada berbagai budi-pekerti, contoh dan suri-teladan dari para nabi-Nya (sikap, perkataan dan perbuatannya). Dalam agama Islam yang telah disampaikan oleh nabi Muhammad saw, hal-hal ini umumnya dikenal sebagai ‘Sunnah-sunnah Nabi’ (ataupun bentuk tertulisnya, kitab-kitab ‘Hadits’). 71) Gambaran sederhana hubungan Fitrah-Nya dan agama-Nya Secara ringkas dan sederhananya, proses hubungan dari ‘Fitrah Allah’ sampai kepada kedatangan agama Islam, sekaligus pula sebagai ringkasan pembahasan dari keseluruhan isi buku ini, ditunjukkan pada Gambar 33 di bawah. Seperti telah diuraikan di atas, bahwa penciptaan seluruh alam semesta ini merupakan perwujudan dari ‘Fitrah Allah’. Sedangkan tiap ajaran agama-agama-Nya, merupakan hasil dari pemahaman pada para nabi-Nya atas tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta ini, setelah


PENGAJARAN DAN TUNTUNAN-NYA

743

mereka dituntun oleh malaikat Jibril. Gambar 33: Diagram hubungan Fitrah Allah dan agama Islam Fitrah Allah Semua sifat terpuji dan termulia Allah, yang tergambar pada Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik, yang hanya milik Allah).

Aturan-Nya (sunatullah), segala aturan proses di alam semesta Diciptakan-Nya aturan-Nya (sunatullah), sebagai salah-satu dari ketetapan dan kebenaran-Nya, dan telah tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi ‘Arsy-Nya, yang sangat agung dan mulia.

Penciptaan alam semesta Melalui sunatullah, Allah bertindak menciptakan seluruh alam semesta dan segala isinya ini, sebagai perwujudan dari Fitrah Allah.

Tanda-tanda kekuasaan-Nya Di seluruh alam semesta ini terkandung “tanda-tanda kekuasaanNya”, yang juga disebut “wajah-Nya”, "ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis” atau “Al-Qur’an (gaib) yang tercatat di Lauh Mahfuzh”.

Para nabi dan rasul-Nya Allah menurunkan para nabi utusan-Nya (melalui sunatullah), untuk menyampaikan pengajaran dan tuntunan-Nya (berupa ayat atau wahyu-Nya) bagi umat manusia, dari hasil pemahaman mereka atas “tanda-tanda kekuasaan-Nya” atau “ayat-ayat-Nya yang taktertulis”, setelah mereka sambil dituntun pula oleh malaikat Jibril.

Kitab-kitab tauhid (kitab-kitab-Nya) Beberapa nabi utusan-Nya ataupun para pengikutnya, lalu mengumpulkan dan membukukan semua wahyu-Nya yang diperoleh, menjadi suatu kitab (ayat-ayat-Nya yang tertulis), yaitu: Zabur (nabi Daud as), Taurat (nabi Musa as), Injil (nabi Isa as) dan terakhir AlQur'an (nabi Muhammad saw).

Agama-agama tauhid (agama-agama-Nya) Kitab-kitab tauhid menjadi kitab-kitab suci tuntunan bagi umat agama-agama tauhid (Yahudi, Nasrani dan terakhir Islam).

Ringkasnya, dengan melalui segala zat ciptaan-Nya dan segala

744

PENGAJARAN DAN TUNTUNAN-NYA

kejadian yang terdapat di seluruh alam semesta ini, Allah memang ingin menunjukkan sifat-sifat terpuji-Nya (Fitrah Allah), kepada umat manusia, agar manusia bisa mengenal Allah dan mengenal jalan atau agama-Nya yang lurus, sebagai suatu keredhaan-Nya bagi keseluruhan umat manusia, demi kemuliaan umat manusia itu sendiri. Tidak ada seorangpun tanpa pengajaran dan tuntunan-Nya Bisa dipastikan, bahwa tiap manusia telah mendapat berbagai bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya, terutama sesuatu tuntunan-Nya yang paling mendasar pada hati nuraninya ketika ia terlahir ke dunia, yang berupa segala fitrah dasarnya yang masih suci-murni dan tanpa dosa. Serta juga sesuatu pengajaran-Nya yang paling mendasar, yang berupa ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis yang terdapat di seluruh alam semesta ini (tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya). Bahkan tiap manusia tiap saatnya pasti selalu telah mendapat pengajaran dan tuntunan-Nya secara batiniah, dari para makhluk gaib. Sekaligus pula tentu saja, tiap manusia tiap saatnya pasti selalu telah mendapat cobaan atau ujian-Nya secara batiniah, dari mereka. Segala bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya itu, bahkan pada dasarnya pasti telah pula diberikan-Nya bagi orang kafir; orang yang terlahir sebagai orang kafir (anak dari orang kafir); orang yang sama sekali belum pernah mendapat pengajaran dari para nabi-Nya (secara langsung ataupun tidak); ataupun juga bagi orang yang belum pernah membaca kitab-kitab-Nya. Sehingga persoalannya pada dasarnya hanya terserah ataupun tertinggal kepada tiap manusia itu sendiri, untuk mau berusaha dengan sebenar-benarnya untuk ‘memahami’ segala pengajaran dan tuntunanNya tersebut, serta untuk ‘mengamalkan’ hasil pemahamannya, dalam kehidupannya sehari-hari di dunia ini. Tentunya ‘banyak jumlah’ pengajaran dan tuntunan-Nya yang telah bisa diperoleh dan bisa dipahami oleh tiap manusianya, akan bisa mempengaruhi pula besar balasan-Nya atas tiap amal-perbuatannya (baik dan buruk). Bahkan hisab-Nya itu amatlah sangat adil, sehingga tiap manusia pasti tidak akan dimintai-Nya pertanggung-jawabannya, atas hal-hal yang berada di luar kesadaran atau pengetahuannya, serta juga yang di luar kekuasaannya (jika ada keterpaksaan dalam berbuat). Sehingga Allah pasti berlaku adil atas tiap manusia, berapapun usia masa hidupnya, serta berapapun banyak jumlah dari pengajaran dan tuntunan-Nya yang telah bisa diperolehnya dan bisa dipahaminya sepanjang hidupnya, sampai saat wafatnya. 72)


PENGAJARAN DAN TUNTUNAN-NYA

745

Ringkasnya, pada tiap manusia yang pendek umurnya, relatif sedikit segala pengajaran dan tuntunan-Nya yang bisa diperolehnya, sehingga tingkat kesadaran atau pengetahuannya dalam berbuat relatif rendah. Walau kesempatannya untuk bisa memperbaiki dosa-dosanya memang relatif sedikit, namun justru tingkat tanggung-jawabnya atas tiap perbuatannya, juga relatif rendah. Sebaliknya pada tiap manusia yang panjang umurnya, tingkat kesadaran atau pengetahuannya, serta tingkat tanggung-jawabnya atas tiap perbuatannya relatif tinggi, namun kesempatannya juga banyak untuk bisa bertaubat. Maka berapapun panjang umur manusia, pada dasarnya ia pasti mendapatkan kesempatan yang sama dan adil, untuk bisa hidup kekal di Surga pada Hari Kiamat Hal yang relatif sedikit berbeda pada orang-orang yang kafirmusyrik, karena makin tinggi tingkat kesadarannya di dalam berbuat kemusyrikan itu, justru makin tinggi pula beban dosanya, atau makin sulit bisa dimaafkan-Nya, saat bertaubat dan menganut agama Islam. Kemusyrikan yang paling ringan beban dosanya, adalah kemusyrikan pada orang-orang yang hanya mengikuti saja agama orang tua mereka (kemusyrikan akibat keturunan), sementara di lain pihak, mereka juga tetap selalu berbuat kebaikan. Namun sejalan dengan makin bertambahnya umurnya, dengan sendirinya justru makin bertambah banyak pengajaran dan tuntunanNya yang telah bisa diperolehnya. Sehingga semestinya makin banyak kesempatan dan pengetahuan, untuk bisa menilai kembali kekeliruan pada agamanya, dan sebelum menjelang akhir hidupnya, semestinya ia bisa menganut agama Islam, bertaubat dan berbuat segala kebaikan. Pada saat ia telah mulai menganut agama Islam, ia ibaratnya ‘baru terlahir’ kembali ke dunia ini, sebagai seorang Muslim. Dan tiap usaha mengubah keyakinannya yang sangat keras, atas ijin-Nya, bisa menghapus pula dosa-dosa di masa lalunya. Sedang tidak ada usaha keras seperti ini, pada seorang yang memang terlahir sebagai Muslim. "Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu, Rasul di antara (kalangan)mu, yang membacakan ayat-ayat-Kami kepadamu dan mensucikanmu, dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan kepadamu, apa-apa yang belum kamu ketahui." (QS.2:151) dan (QS.3:164, QS.62:2, QS.2:231, QS.2:239, QS.2:129, QS.4:113, QS.96:4-5) “… Dia memberi pengajaran kepadamu, agar kamu dapat

746

PENGAJARAN DAN TUNTUNAN-NYA

mengambil pelajaran." - (QS.16:90) dan (QS.55:2) "… Sesungguhnya, Allah memberi pengajaran yang sebaikbaiknya kepadamu. …" - (QS.4:58) "Dan kamu (Muhammad) sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka (terhadap seruanmu ini), itu tidak lain hanyalah pengajaran bagi semesta alam.", "Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaanNya) di langit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling darinya." - (QS.12: 104-105) "Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Qur`an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rakhmat bagi kaum yang beriman." - (QS.12:111) dan (QS.11:120, QS.20:113, QS.36:69) "Dan Allah akan mengajarkan kepadanya (Isa) Al-Kitab, Hikmah, Taurat, dan Injil." - (QS.3:48) dan (QS.5:46, QS.5:110) “…Dan sesungguhnya, dia (Yakub) mempunyai pengetahuan, karena Kami telah mengajarkan kepadanya. Akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya." - (QS.12:68) dan (QS.2:251, QS.21:48) "Tidak wajar bagi seseorang manusia, yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: `Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah`. Akan tetapi hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab, dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya." - (QS.3:79)

Judul sub-sub-bab berikutnya dan keterangan ringkasnya o Para nabi dan rasul utusan-Nya. Para pembawa tuntunan dan peringatan-Nya. o Kitab-kitab tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid). Kitab-kitab yang diturunkan langsung oleh Allah. o Nabi terakhir, untuk seluruh umat manusia. Bukti ilmiah-alamiah tentang Nabi Muhammad saw adalah nabiNya yang terakhir. o Pemahaman atas agama dan kitab-Nya di jaman modern. Cara-cara ajaran agama Islam dalam menjawab tantangan persoalan dan kebutuhan manusia modern.


Para Nabi dan Rasul Utusan-Nya

747

"Allah memilih utusan-utusan(-Nya) dari malaikat dan dari manusia. Sesungguhnya, Allah Maha Mendengar, lagi Maha Melihat." (QS. AL-HAJJ:22:75) "(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Agar supaya tidak alasan bagi manusia untuk membantah Allah, setelah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana." (QS. AN-NISAA':4:165)

VII.A.

Para Nabi dan Rasul Utusan-Nya

Definisi nabi dan rasul-Nya, serta iman kepada mereka Dalam buku "Ensiklopedia Islam AL-KAMIL" (hal: 133-134) disebut antara lain: •

Definisi iman kepada rasul-rasul Allah: "Membenarkan dan menyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah Ta'ala telah mengutus pada tiap-tiap umat, seorang rasul yang mengajak umatnya menyembah Allah semata, dan mengingkari sesembahan selainnya. Mereka semua adalah para rasul yang jujur dan telah menyampaikan semua misi Allah. Sebagian mereka, Allah sebutkan nama-namanya, sedangkan sebagian yang lain, Allah khususkan hanya Dia saja yang tahu namanya."

Definisi rasul: "Rasul adalah orang yang diberikan wahyu ‘syariat’ dan diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikan kepada orang yang tidak mengetahuinya, atau orang yang mengetahuinya tetapi mengingkarinya."

748

Para Nabi dan Rasul Utusan-Nya

Definisi nabi: "Nabi adalah orang yang Allah berikan wahyu ‘syariat terdahulu’ (syariat dari rasul terdahulu), agar diajarkan kepada orang-orang di sekelilingnya, dari kaum yang mengikuti syariat tersebut, sekaligus sebagai pembaharu. Setiap rasul pasti nabi, tapi setiap nabi belum tentu rasul."

Khususnya dari definisi iman kepada rasul-rasul Allah di atas, masih meninggalkan sejumlah pertanyaan, yang sedikit-banyak justru akan bisa menghambat keimanan itu sendiri, antara lain: - Bagaimana Allah mengutus para nabi-Nya, serta memberi mereka misi, tugas atau amanat?. - Bagaimana para nabi-Nya itu bisa mengenal Allah, Tuhan Yang sesungguhnya, Yang semestinya disembah oleh manusia?. - Apakah hakekat wahyu-Nya? Bagaimana cara atau proses wahyuNya disampaikan-Nya kepada para nabi-Nya?. - Apakah hubungan ataupun kesamaan antara para nabi-Nya, yang telah dikenal ataupun yang tidak dikenal?. - Apa yang membuat umat bisa yakin kepada ajakan para nabi-Nya, untuk mengikuti ajarannya?. - Apakah penerimaan umat atas ajaran para nabi-Nya, cukup hanya mengandalkan sikap kejujuran dan budi-pekerti mereka?. Sebagian besar umat Islam, mungkin jarang mempertanyakan hal-hal di atas, khususnya ketika ilmu agama yang dimiliki, memang masih relatif sangat sedikit, ataupun ketika umat masih berusia muda. Sedang di lain pihak justru pemahaman yang cukup memadai atas halhal itu, juga bisa makin meningkatkan keimanan umat Islam sendiri, serta umat bisa makin mendalam memahami agamanya sendiri (Islam, sebagai agama-Nya yang lurus dan terakhir). Hal-hal itulah yang berusaha dijawab dalam pembahasan pada topik-topik berikut. Sekaligus agar umat bisa memahami, bagaimana agama-agama-Nya dan kitab-kitab-Nya diturunkan oleh Allah. Para calon nabi-Nya, manusia unggul dalam kaumnya Kehendak-Nya menurunkan, menunjuk ataupun mengutus para nabi dan rasul-Nya (para utusan-Nya yang menyampaikan pengajaran, tuntunan, anjuran, perintah, peringatan, larangan, berita gembira, dsb), juga mengikuti ‘sunatullah’, karena para nabi dan rasul-Nya itu adalah sejumlah manusia biasa yang ‘unggul’ (berpengetahuan relatif sangat


Para Nabi dan Rasul Utusan-Nya

749

tinggi dan sangat arif dan bijaksama), yang terlahir dan muncul secara alamiah dari lingkungan kaumnya masing-masing. 73) Setelah manusia unggul ini telah sangat tekun mengamati atau mempelajari hal-hal yang dialami, dalam kehidupan kaumnya seharihari, bahwa kehidupan kaumnya itu dianggapnya telah menyimpang relatif sangat jauh (banyak berbuat kebatilan, kekafiran, kemungkaran, kezaliman, dsb), maka timbul kesadaran pada diri manusia unggul ini, untuk bisa berusaha memperbaiki keadaan kaumnya, dengan selalu berusaha keras untuk mencari berbagai solusi penyelesaiannya (secara lahiriah, dan terutama batiniahnya). 74) Para calon nabi-Nya pada kaumnya yang penuh kezaliman Hal di atas juga sangat alamiah dan sesuai yang disebut dalam Al-Qur’an, "Dia hanyalah mengutus rasul-Nya, kepada kaumnya yang penuh kesempitan, penderitaan dan kezaliman". Karena dalam sesuatu kaum yang keadaannya relatif lebih stabil atau normal, justru relatif hampir tidak ada sesuatu hal yang perlu diubah dan diperbaiki, serta kehadiran seseorang seperti manusia unggul inipun seolah-olah relatif kurang menonjol dan kurang dibutuhkan oleh masyarakat kaumnya. Seperti misalnya, karena kaum semacam ini telah berhasil bisa mengikuti para nabi-Nya terdahulu, serta juga karena kehidupan dan peradaban kaumnya telah sangat maju dan mapan. Sehingga hampir tidak terlalu berarti pula kiprah dan peranan tiap individunya, seperti pada bangsa-bangsa yang dianggap sangat maju pada jaman dahulu (Romawi kuno, Yunani kuno, Mesir kuno, Persia kuno, Cina, India, dsb). Walau agama yang dianut oleh bangsa-bangsa tersebut, memang bukan agama yang benar-benar lurus (masih menyembah para dewa, berhala, patung, dsb). Tetapi sebaliknya, manusia unggul ini justru sangat diperlukan kehadirannya dalam sesuatu kaum, yang kehidupannya penuh dengan berbagai bentuk kezaliman (penuh konflik lahiriah ataupun batiniah), untuk bisa diperbaiki keadaannya atau bisa dituntun kembali ke jalanNya yang lurus. 75) Baca pula topik "Pemahaman atas agama dan kitab tuntunan-Nya di jaman modern", tentang pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya dalam ayat-ayat Al-Qur’an, yang memuat kisah para nabi terdahulu (poin h). "Kami tidaklah mengutus seseorang nabipun kepada suatu negeri, melainkan Kami (telah) timpakan kepada penduduknya kesem-

750

Para Nabi dan Rasul Utusan-Nya

pitan dan penderitaan, supaya mereka tunduk dan merendahkan diri." (QS.7:94) Fitrah manusia untuk mencegah kebatilan di sekitarnya Telah menjadi ‘fitrah dasar’ manusia, bahwa jika melihat suatu kebatilan, maka hati-nuraninya cenderung pasti menolak kebatilan itu. Demikian pula halnya yang terjadi pada diri manusia unggul ini, yang merupakan bagian dari kelompok kecil dalam kaumnya, yang sadar dan merasa tergerak untuk langsung bertindak nyata, dalam berusaha memperbaiki keadaan kaumnya. 76) Kesadarannyapun makin lama makin menguat, selain karena keadaan kaumnya yang relatif ekstrim, seperti: sangat jahiliyah; penuh penyimpangan, kezaliman dan kebatilan; dsb. Serta karena manusia unggul inipun telah mempelajari dan memahami dengan relatif sangat lengkap dan mendalam, atas hampir keseluruhan aspek dari kehidupan kaumnya. 77)

Dengan melihat fakta bahwa orang-orang pada jaman dahulu, seperti jaman nabi Muhammad saw (sekitar abad ke-7), yang bentuk kehidupannya masih relatif primitif atau sederhana. Di samping itu, tiap kaumnya relatif masih berjumlah sedikit, dan tinggal dalam kota ataupun negeri yang relatif kecil. Maka sangat mudah dipahami jika kehidupan kaumnya ketika itu relatif sangat keras, dan sangat kentara sekali kebatilan atau kezaliman yang terjadi dalam masyarakat. 78) Pondasi awal para calon nabi-Nya, akhlak dan budi-pekerti Dengan kesadaran yang telah terbangun, didukung oleh budipekerti, akhlak dan kebiasaan positif sepanjang hidupnya, yang telah membentuk pondasi spiritualnya, manusia unggul ini akhirnya telah memahami berbagai solusi dan kebenaran cukup lengkap, atas hampir seluruh persoalan kaumnya (terutama berbagai persoalan yang sangat mendasar), bahkan bisa sesuai pula bagi persoalan keseluruhan umat manusia (pada jamannya ataupun sampai akhir jaman). 79) Budi-pekerti, akhlak dan kebiasaan positif itu umumnya telah diperolehnya sejak masa kecil, dari hasil didikan orang-tua ataupun keluarganya. Sehingga tidak heran, apabila manusia unggul ini banyak yang berada dalam garis-garis keturunan para nabi terdahulu, secara langsung ataupun tidak (anak tiri, anak asuh ataupun anak angkat), ataupun keturunan dari orang-orang yang sangat arif-bijaksana lainnya di kalangan kaumnya. Akhirnya berbagai keutamaan pada para orangtuanya, telah ikut menurun pula kepada manusia unggul ini. 80)


Para Nabi dan Rasul Utusan-Nya

751

Proses perolehan kenabian oleh para calon nabi-Nya Bahkan pemahaman pada manusia unggul inipun atas berbagai kebenaran-Nya, atau perolehan hikmah dan hidayah-Nya, makin lama juga makin meluas. Pada awalnya hal-hal itu diperoleh dengan intuisinalar-logika akal-pikiran, seperti halnya tiap manusia biasa umumnya. Logika akal-sehatnya telah membentuk berbagai keyakinan batiniahrohani-spiritual yang mendasar, sebagai pondasi awalnya sebelum bisa menuju kepada tingkat pemahaman atas berbagai kebenaran-Nya yang relatif jauh tinggi lagi (tingkat pemahaman kenabiannya). Akhirnya pada tingkatan perolehan spiritualnya yang relatif sangat tinggi, maka manusia unggul ini telah bisa mulai dituntun-Nya (melalui perantaraan malaikat Jibril), agar bisa memahami berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (al-Hikmah), melalui suatu intuisi kenabian (tingkat pemahaman tertinggi atas berbagai kebenaran-Nya, yang bisa dicapai oleh tiap umat manusia). 81)

Manusia unggul ini memahami berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (al-Hikmah), antara lain: penciptaan alam semesta dan segala isinya, serta kehidupan manusia dalamnya; wujud zat Allah, Sang Pencipta alam semesta itu sendiri; para makhluk gaib; alam dunia dan akhirat (surga dan neraka); Hari Kiamat; alam kubur; para nabi dan kitab-Nya terdahulu; ruh-ruh; dsb. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang proses pengajaran malaikat Jibril (penyampaian wahyu-Nya) kepada para nabi dan rasul-Nya. Para calon nabi-Nya memproklamirkan diri sebagai utusan-Nya Maka segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (al-Hikmah), yang terkait dengan kehidupan kaumnya (khususnya), dan kehidupan seluruh umat manusia (umumnya), telah dibukakan-Nya lebih dahulu kepada manusia unggul ini, sebagai sesuatu satu kesatuan pemahaman atas berbagai kebenaran-Nya secara relatif sangat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan, melalui berbagai proses pengajaran dan pembelajaran yang relatif sangat lama, oleh malaikat Jibril (contohnya: nabi Muhammad saw mencapai kenabiannya, pada usia sekitar 40 tahun). 82) Setelah tercapai tingkat spiritual atau keyakinan batiniah yang relatif sangat tinggi dan lengkap, khususnya dianggap telah cukup bisa mengatasi keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan yang paling penting, mendasar dan hakiki pada kaumnya sendiri (hal-hal gaib dan batiniah), maka manusia unggul inipun diutus-Nya kepada kaumnya

752

Para Nabi dan Rasul Utusan-Nya

itu, untuk bisa menyampaikan segala pengajaran dan tuntunan-Nya, sekaligus disertai pula dengan memproklamirkan dirinya, sebagai nabi ataupun rasul-Nya. Proses ‘diutus-Nya’ ataupun ‘proklamir kenabian’ itu, adalah suatu proses sangat lumrah dan alamiah. Persis seperti manusia biasa umumnya, ketika telah berkeyakinan kuat atas sesuatu hal (memahami kebenaran-Nya), lalu ia maju ke depan untuk menyatakan kebenaran tersebut, apalagi jika sedang menghadapi suatu kebatilan. Juga seperti halnya Albert Einstein, ketika telah berkeyakinan kuat atas berbagai landasan ilmiah bagi teorinya, maka iapun lalu mengumumkan teori Relativitasnya yang terkenal itu. Tentunya ada pula suatu keistimewaan tertentu tentang proses ‘proklamir kenabian’, karena hal yang diumumkan itu adalah hal yang amat sangat penting bagi kehidupan umat kaumnya, ataupun bahkan bagi kehidupan seluruh umat manusia, bahkan bisa mengubah seluruh aspek kehidupannya, khususnya lagi karena sangat erat terkait dengan keyakinan umat kaumnya atas ketuhanan. Juga sangat lumrah apabila hal pertama yang disampaikan oleh para nabi-Nya, adalah rangkuman terpenting dari seluruh pemahaman mereka, yaitu tauhid "tiada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa". Selain itu, keseluruhan pemahaman para nabi-Nya semestinya sangat lengkap (relatif sesuai jamannya), mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan, karena para nabi-Nya pasti tidak akan diikuti oleh umat kaumnya, jika ia tidak bisa menjawab hampir semua persoalan umat, ataupun jika tidak konsisten. Sehingga ia juga harus bisa meenjadi contoh suri-teladan langsung bagi umat kaumnya, pada kehidupannya sehari-hari, sesuai dengan segala pemahamannya itu. 83) Lihat pula pada Gambar 38, tentang aspek pemahaman yang lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan. Para nabi-Nya sangat banyak, yang dikenal ataupun tidak Jumlah para nabi-Nya itu pada dasarnya sangat banyak (bisa berjumlah ribuan orang), yang merupakan orang-orang yang berilmu sangat tinggi dan sangat arif-bijaksana pada kalangan kaumnya, yang menyampaikan berbagai kebenaran-Nya yang telah bisa dipahaminya. Namun hanyalah sebagian kecil dari mereka (25 orang), yang dikenal ataupun tercatat di dalam Al-Qur'an dan Hadits Nabi, sebagai sesuatu contoh suri-teladan ataupun perumpamaan bagi seluruh umat manusia sampai akhir jaman (lihat pula pada tabel di bawah). Selain itu, karena para nabi-Nya yang lebih dikenal tersebut,


Para Nabi dan Rasul Utusan-Nya

753

memang juga mengalami berbagai kejadian atau peristiwa yang luarbiasa (mu’jizat), ataupun berbagai hal-hal penting lainnya, sehingga berbagai kisah dan suri-teladan mereka itu, telah menjadi buah tutur umat manusia, dari generasi ke generasi, serta dari negeri ke negeri, sampai sekarang. 84) Baca pula topik "Sunatullah (sifat proses)", tentang hakekat dan proses diturunkan-Nya tiap mu’jizat-Nya.

Daftar sebagian dari para nabi atau rasul-Nya (yang paling dikenal), dan terurut menurut jamannya No Nama nabi atau rasul-Nya Masa hidup (umur) 1 Nabi Adam as. ± 5872 SM - 4942 SM (± 931 tahun) 2 Nabi Idris as. ± 4533 SM - 4188 SM (± 346 tahun) 3 Nabi Nuh as. (rasul ulul azmi) ± 3993 SM - 3043 SM (± 951 tahun) 4 Nabi Hud as. ± 2450 SM - 2320 SM (± 131 tahun) 5 Nabi Saleh as. ± 2150 SM - 2080 SM (± 71 tahun) 6 Nabi Ibrahim as. (rasul ulul azmi) ± 1997 SM - 1822 SM (± 176 tahun) 7 Nabi Luth as. ± 1950 SM - 1870 SM (± 81 tahun) 8 Nabi Ismail as. ± 1911 SM - 1779 SM (± 133 tahun) 9 Nabi Ishak as. ± 1861 SM - 1638 SM (± 224 tahun) 10 Nabi Ya’qub as. ± 1837 SM - 1690 SM (± 148 tahun) 11 Nabi Yusuf as. ± 1745 SM - 1635 SM (± 111 tahun) 12 Nabi Ayyub as. ± 1640 SM - 1420 SM (± 221 tahun) 13 Nabi Zulkifli as. ± 1600 SM - 1425 SM (± 176 tahun) 14 Nabi Syu’aib as. ± 1600 SM - 1500 SM (± 101 tahun) 15 Nabi Musa as. (rasul ulul azmi) ± 1531 SM - 1408 SM (± 124 tahun) 16 Nabi Harun as. ± 1527 SM - 1408 SM (± 120 tahun) 17 Nabi Daud as. ± 1041 SM - 971 SM (± 71 tahun) 18 Nabi Sulaiman as. ± 975 SM - 935 SM (± 41 tahun) 19 Nabi Ilyas as. ± 910 SM - 850 SM (± 61 tahun) 20 Nabi Ilyasa’ as. ± 885 SM - 795 SM (± 91 tahun) 21 Nabi Yunus as. ± 820 SM - 750 SM (± 71 tahun) 22 Nabi Zakaria as. ± 100 SM - 20 SM (± 81 tahun) 23 Nabi Yahya as. ± 1 M - 31 M (± 31 tahun) 24 Nabi Isa as. (rasul ulul azmi) ± 1 M - 32 M (± 32 tahun) 25 Nabi Muhammad saw. (rasul ulul azmi) ± 570 M - 632 M (± 63 tahun) Catatan: Data-data masa hidup ataupun umur di atas, belum diverifikasi keakuratannya. Dan hanya untuk memberi gambaran sangat sederhana, tentang periode keberadaan para nabi-Nya.

754

Para Nabi dan Rasul Utusan-Nya

Utusan-Nya bukanlah perantara-Nya Hal yang perlu diketahui oleh umat Islam, bahwa para nabiNya, ataupun bahkan para malaikat, bukanlah perantara-Nya, namun hanya utusan-Nya yang menyampaikan segala bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya. Bahkan para nabi-Nya itu semata-mata hanya seorang manusia biasa pada ‘zat’-nya. Hal yang berbeda dari manusia biasa lain hanya pada ketinggian ilmu mereka, dari hasil memahami tandatanda kekuasaan-Nya di alam semesta, sekaligus pengamalannya yang sangat konsisten, atas berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (wahyu-Nya atau al-Hikmah), yang telah diperoleh dan dipahaminya.

Sekilas istilah ‘perantara’ dan ‘utusan’ itu memang seolah-olah tampak sama. Tetapi perbedaan pemakaiannya dianggap sangat perlu untuk ditekankan, karena pada istilah ‘perantara’ seolah-olah adanya suatu hubungan ‘dua arah’ antara Allah dan para nabi-Nya itu. Sedang pada istilah ‘utusan’, hanya suatu hubungan ‘satu arah’ (hanya melalui wahyu-Nya). Begitu pula halnya dengan para malaikat (khususnya malaikat Jibril) yang sering disebut-sebut sebagai perantara dalam penyampaian wahyu-Nya kepada para nabi-Nya. Malaikat Jibril itu bukan menjadi penghubung antara Allah dan para nabi-Nya, namun malaikat Jibril itu justru semata hanya menghubungkan antara berbagai kebenaran-Nya di seluruh alam semesta dan pengetahuan para nabi-Nya, melalui alam batiniah ruh para nabi-Nya (alam pikirannya). Perbedaan antara ‘perantara’ dan ‘utusan’ itupun bisa memiliki pengaruh yang relatif sangat besar. Pada ‘perantara’ itu misalnya: nabi bisa mengabulkan do’a umat dan dirinya sendiri; nabi bisa menghapus dosa umat dan dirinya sendiri; nabi bisa meminta sesuatu; dsb. Dan hal-hal sebaliknya pada ‘utusan’, nabi semata-mata hanya penyampai atas berbagai hal yang telah dipahaminya, sebagai kehendak-Nya bagi alam semesta ini, ataupun bagi seluruh umat manusia. Pengutusan ini justru juga suatu proses yang sangat alamiah. Maka ‘perantara’ seperti itu justru tidak dikenal dalam agama Islam, seperti halnya pada agama Nasrani, ataupun pada agama-agama lainnya, yang mengenal adanya perantara antara Allah dan manusia. Di mana Yesus dan pendeta misalnya, bisa ikut menghapus dosa-dosa umatnya (melalui penyaliban, pembabtisan, pengakuan dosa, dsb). Para malaikat juga bukan ‘perantara’ seperti itu, mereka justru hanya ditugaskan-Nya kepada tiap manusia (melalui alam batiniah ruh manusia), agar tiap saatnya bisa selalu menyampaikan pengajaran dan


Para Nabi dan Rasul Utusan-Nya

755

tuntunan-Nya (melalui berbagai ilham positif-baik-benar). Sebaliknya dari para jin, syaitan atau iblis yang menyampaikan cobaan atau ujianNya (melalui berbagai ilham negatif-buruk-sesat). Istilah ‘perantara’ hanya tepat sekedar dimaknai sebagai, “alatsarana-media penyampaian kebenaran-Nya”, namun sama sekali tidak menunjukkan hubungan langsung antara Zat Allah, dengan zat subyek dan zat obyek perantaraannya. Zat Allah Maha Suci justru tersucikan dari segala sesuatu hal, termasuk mustahil bisa dilihat (dengan mata), diketahui, dipikirkan dan dibayangkan (dengan akal-pikiran). "Dan tidak ada bagi seorang manusiapun, bahwa Allah berkata-kata dengan dia, kecuali dengan perantaraan wahyu, atau di belakang tabir, atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat Jibril), lalu diwahyukan kepadanya (manusia itu) dengan seijin-Nya, apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi, lagi Maha Bijaksana." (QS.42:51) "Bacalah (hai manusia), dan Rabb-mulah Yang Paling Pemurah,", "Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (wahyuNya)." dan "Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya." - (QS.96:3-5) "Dan apakah kamu (tidak percaya) dan heran, bahwa datang kepadamu peringatan dari Rabb-mu dengan perantaraan seorang lakilaki dari golonganmu, agar dia memberi peringatan kepadamu, dan mudah-mudahan kamu bertaqwa, dan supaya kamu mendapat rahmat?." - (QS.7:63) Diturunkan-Nya para nabi-Nya, proses alamiah Dari berbagai uraian di atas, cukup jelas bahwa proses diutus atau diturunkan-Nya para nabi dan rasul-Nya juga merupakan proses yang sangat alamiah, keniscayaan, kehendak sejarah, tuntutan jaman, kodrat atau hukum alam, dalam agama juga disebut mengikuti aturanNya (sunatullah). Segala kehendak dan tindakan-Nya di alam semesta justru amat sangat halus (Maha Halus), dan pasti melalui sunatullah.

Proses dipilih, ditunjuk atau diutus-Nya para nabi-Nya, sering terputus-putus atau terpisah-pisah sangat lama (bahkan bisa berabadabad). Hal ini juga sangat jelas menunjukkan, bahwa prosesnya justru memang bukan terjadi dengan begitu saja (sekehendak-Nya), namun melalui proses yang sangat alamiah tersebut. Apabila sebaliknya, tentunya Allah pasti sangat mudah untuk memilih, menunjuk atau mengutus para nabi-Nya, kapan saja dengan

756

Para Nabi dan Rasul Utusan-Nya

sekehendak-Nya. Namun kenyataannya justru tidak demikian, Allah Yang Maha suci dan Maha kekal justru tidak pernah ataupun mustahil berbuat sekehendak-Nya di alam semesta ini. Baca pula topik "Sunatullah (sifat proses)". "Kami tidaklah mengutus sebelum kamu (Muhammad), melainkan orang laki-laki, yang kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. …." - (QS.12:109) "Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka …." - (QS.14:4) "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat-Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang-benderang dan …." - (QS.14:5) "Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, seorang rasulpun, dan tidak (mengutus pula) seorang nabi, melainkan apabila ia (rasul atau nabi itu) mempunyai sesuatu keinginan (yang kuat untuk mengetahui kebenaran-Nya). Syaitanpun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, (namun) Allah menghilangkan apa yang dimaksud oleh syaitan itu, (untuk melindunginya), dan Allah menguatkan ayatayat-Nya. …" - (QS.22:52) "Dan sesungguhnya, telah Kami binasakan orang yang serupa dengan kamu. Maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran." (QS.54:51) dan (QS.54:15, QS.6:80, QS.7:57, QS.7:130, QS.8:57, QS.9:126, QS.10:3, QS.11:24, QS.11:30) “… Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka mengambil pelajaran." - (QS.2:221) dan (QS.54:32, QS.6:126, QS.7:3, QS.14:52) "dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini, dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu, benar-benar terdapat tanda (kekuasaan-Nya) bagi kaum yang mengambil pelajaran." - (QS.16:13) "Allah memberikan hikmah-Nya, kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah-Nya, sungguh telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali orang-orang yang berakal." - (QS.2:269) dan (QS.3:7, QS.13:19)


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

757

"Katakanlah: "Barangsiapa menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu(lah yang justru) telah menurunkan (Al-Qur'an) ke dalam hatimu (Muhammad), dengan seijin Allah. (Al-Qur'an itu) membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya, dan menjadi petunjuk, serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman"." (QS. AL-BAQARAH:2:97) "Apa saja ayat-ayat-Kami yang telah Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, (setelah itu) Kami datangkan yang lebih baik darinya, atau sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui, bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. AL-BAQARAH:2:106)

VII.B.

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (Kitab-kitab Tauhid)

Wahyu-Nya, pengetahuan dan pemahaman para nabi-Nya ‘Wahyu-Nya’ berupa sekumpulan kata atau kalimat yang telah diucapkan oleh para nabi-Nya, pada saat sedang berusaha menjawab ataupun mengatasi berbagai persoalan umatnya (atau menyampaikan pengajaran dan tuntunan-Nya). Kalimat itupun berasal dari rangkuman pemahamannya tentang berbagai hal yang dihadapi oleh umatnya, atas seluruh ‘wahyu-Nya’ (kalimat, petunjuk, kalam-Nya, dsb), yang telah diperolehnya dari malaikat Jibril, di dalam dada-hati-pikirannya. Penekanan dari hal di atas adalah, seluruh ‘wahyu-Nya’ justru telah menjadi bagian dari seluruh pengetahuan atau pemahaman pada para nabi-Nya atas berbagai kebenaran-Nya. Serta penyampaian tiap ‘wahyu-Nya’ dilakukan setelah mereka telah bisa memiliki keyakinan yang relatif sangat mantap, mendalam dan sempurna atas keseluruhan pemahamannya. Hal ini juga serupa seperti halnya para ilmuwan yang menyampaikan teori atau rumus baru hasil temuannya, setelah sangat bisa diyakininya berbagai landasan ilmiahnya. 85)

758

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

Baca pula topik "Para nabi dan rasul utusan-Nya", atau topik "Makhluk hidup gaib", tentang cara-cara Wahyu-Nya disampaikan oleh para nabi-Nya, ataupun oleh malaikat Jibril. Dan juga tentang empat macam atau jenis wahyu-Nya. "Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang sebenar-benarnya. Dan janganlah kamu (Muhammad) tergesa-gesa membaca Al-Qur-'an, sebelum disempurnakan diwahyukan-Nya kepadamu, dan katakanlah: `Ya Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu-pengetahuan`." (QS.20:114) "Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Qur`an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelumnya, adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui." - (QS.12:3) "Dan demikianlah, Kami wahyukan kepadamu (hai umat Muhammad) wahyu (Al-Qur`an), dengan perintah Kami. Sebelumnya, kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur`an), dan tidak pula mengetahui apakah iman itu. …" - (QS.42:52) Wahyu-Nya ‘berdasar’ ilham pada para nabi-Nya Para nabi-Nya seperti halnya manusia biasa lainnya, juga pasti selalu mendapat berbagai godaan dari jin, syaitan ataupun iblis. Semua godaan inipun berupa pengajaran yang sangat keliru dan menyesatkan. Sebaliknya para nabi-Nya pasti selalu mendapat berbagai pengajaran yang mengandung nilai-nilai kebenaran-Nya, dari para malaikat-Nya (khususnya malaikat Jibril).

Semua bentuk pengajaran itu pada dasarnya menyatu di dalam pikiran manusia itu sendiri, berupa segala bentuk ilham (positif-baikbenar ataupun negatif-buruk-sesat). Maka relatif tidak jelas pula antara ilham-ilham yang benar dan yang sesat, serta tidak sederhana, seperti "Saya ini malaikat Jibril, bahwa Allah telah berfirman ….". Penilaian atas berbagai pengajaran para makhluk gaib itu pasti tetap kembali kepada keyakinan batiniah (keimanan) para nabi-Nya itu sendiri. Namun sebaliknya pula, berbagai pengajaran itu justru bisa makin menambah kuat keyakinan mereka, dengan makin banyaknya hikmah dan hidayah-Nya yang telah mereka pahami, dari hasil segala bentuk pengajaran para makhluk gaib tersebut. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang cara interaksi antara manusia dan para makhluk gaib. Tetapi sangat penting diketahui pula, justru bukan ilham-ilham


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

759

dari para makhluk gaib (terutama malaikat Jibril) yang sering disebutsebut sebagai ‘wahyu-Nya’. Ilham-ilham itu justru hanya bahan-bahan dasar atau potongan-potongan kecil informasi, yang menyusun segala pengetahuan atau pemahaman tentang kebenaran-Nya dalam pikiran para nabi-Nya, yang lalu disebut sebagai ‘wahyu-Nya’. Ringkasnya, ilham-ilham itu hanya mendasari penyusunan tiap ‘wahyu-Nya’. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang ilham-ilham dari para makhluk gaib. Pondasi keimanan para nabi-Nya dalam menerima Wahyu-Nya Para nabi-Nya memiliki pondasi pemahaman atau keimanan batiniah yang sangat kuat, yang terbentuk secara bertahap sepanjang hidupnya, atas berbagai kebenaran-Nya. Khususnya akibat didukung pula oleh berbagai akhlak, budi-pekerti dan kebiasaannya yang sangat terpuji. Berdasar pondasi itulah mereka menilai berbagai pengajaran dari para makhluk gaib, sampai akhirnya merekapun bisa mengambil berbagai pelajaran positif yang baru (hikmah dan hidayah-Nya). Sehingga tiap wahyu-Nya berupa sesuatu hikmah dan hidayahNya, dari pemahaman atas berbagai pengajaran secara batiniah dari para makhluk gaib (terutama malaikat Jibril), serta secara lahiriah atas segala hal yang bersifat mutlak dan kekal pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian di alam semesta ini (tanda-tanda kekuasaan-Nya). Pemahaman lahiriah pada dasarnya sama (berjalan bersamaan) dengan proses pemahaman batiniah, karena sama-sama dituntun pula oleh para makhluk gaib. Bahkan segala pemahaman lahiriah itu pada akhirnya bermuara pada alam batiniah ruh para nabi-Nya di mana para makhluk gaib justru berada dan bertugas. Akhirnya, makin lama tiap pemahaman itu makin memperkuat dan menambah pemahaman (atau keimanan batiniah), yang telah ada sebelumnya pada para nabi-Nya. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang filter keimanan manusia atas pengajaran dari para makhluk gaib. Integritas keimanan para nabi-Nya Secara sekilas, perolehan ‘wahyu-Nya’ bagi para nabi-Nya itu tampak serupa dengan hasil perolehan ‘hikmah dan hidayah-Nya’ bagi manusia biasa umumnya, dari berbagai pelajaran dan pengalamannya. Namun perbedaan penting dan utamanya justru terletak pada integritas keimanan para nabi-Nya (integritas pemahaman atas kebenaran-Nya pada hikmah dan hidayah-Nya yang telah mereka peroleh, sekaligus diikuti pula dengan pengamalannya secara amat konsisten). Selain telah mencakup seluruh aspek kehidupan umat manusia,

760

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

perolehan pemahaman pada para nabi-Nya justru terkandung berbagai nilai kebenaran-Nya, tentang ‘rumus kehidupan’ lahiriah dan batiniah, yang relatif sangat mendalam dan sulit bisa dicapai oleh manusia biasa umumnya. Apalagi jika dilihat dari aspek integritas pemahamannya, atas berbagai kebenaran-Nya yang relatif ‘sempurna’ (relatif sangat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan). Bahwa integritas keimanan itupun juga sangat didukung oleh segala budi-pekerti dan akhlak yang terpuji dari para nabi-Nya (wujud dari keimanan lahiriahnya), maka sangat konsisten aspek batiniah dan lahiriah. Sehingga bisa dikatakan, bahwa mereka telah terhindar dari berbagai perbuatan tercela ataupun dosa (termasuk dosa-dosa kecil). Dan mereka selalu sangat konsisten menerapkan segala keyakinannya itu, di dalam kehidupannya sehari-hari dengan berbuat berbagai amalkebaikan, termasuk dalam melayani umat sepanjang hidupnya. Baca pula topik "Para nabi dan rasul utusan-Nya". Hubungan wahyu-Nya dan akal, menurut beberapa aliran Pada Gambar 34 di bawah diberikan gambaran amat sederhana dan ringkas, tentang hubungan antara wahyu-Nya dan akal, menurut beberapa aliran teologi dalam agama Islam, serta menurut pembahasan buku ini. Amat jelas dari Gambar 34 itu, adanya pemisahan yang amat tegas antara wahyu-Nya dan akal, pada pemahaman semua aliran itu. Hal yang sebaliknya dari pemahaman pada buku ini, hubungan antara wahyu-Nya dan akal (khususnya akal-pikiran para nabi-Nya), justru amat erat. Baca pula uraian pada topik di bawah. Dari Gambar 34 dan keterangan pada tabel di bawahnya, jelas tampak, bahwa sebagian besar atau bahkan seluruh aliran, sebenarnya justru tidak memiliki pemahaman yang memadai, atas proses turunnya wahyu-Nya, ataupun atas peran akal-pikiran manusia. Tentunya pula seluruh aliran itupun belum benar-benar memahami hubungan, antara wahyu-Nya dan akal-pikiran para nabi-Nya. Pada tabel tersebut juga jelas terungkap, bahwa seluruh aliran mencampur-adukkan, antara ‘zat’ dan ‘isi’ dari akal. Padahal zat akal para nabi-Nya persis sama dengan zat akal manusia biasa lainnya. Hal yang berbeda hanya ‘isi’ akalnya masing-masing (tingkat pemahaman tentang kebenaran-Nya yang dimilikinya masing-masing). Sudut pandang hampir seluruh aliran itupun hanya diambil dari sisi ‘umat’ para nabi-Nya, bukan dari sudut pandang para nabi-Nya itu sendiri (dalam mencari pemahaman tentang kebenaran-Nya). Bahkan wahyu-Nya justru diturunkan-Nya melalui perantaraan ‘akal-pikiran’


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

761

762

para nabi-Nya. Akhirnya, penafsiran mereka atas cakupan peranan wahyu-Nya dan akal, juga menjadi bercampur-aduk ataupun bermacam-macam. Padahal wahyu-Nya dan akal memiliki hubungan yang amat erat. Hal yang relatif berbeda adalah, para nabi-Nya bisa memahami berbagai kebenaran-Nya relatif hanya melalui akalnya (relatif sedikit dari wahyu-Nya pada para nabi-Nya terdahulu). Sedang manusia biasa umumnya, selain melalui akalnya, justru juga relatif amat dipermudah oleh wahyu-Nya. Tentunya peranan akal justru untuk bisa memahami tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini. Gambar 34: Skema hubungan aplikasi wahyu-Nya dan akal (menurut beberapa aliran) A

Wahyu

A

Wahyu KMT MBJ KMBJ

MT KMT MBJ KMBJ Akal M

MT Akal

Mu'tazilah A

A : Allah

Asy'ariah A

KMBJ

Maturidiah Samarkand

M : Manusia

M

Wahyu

MT KMT MBJ Akal M

MT : Mengenal Tuhan KMT : Kewajiban mengenal Tuhan MBJ : Mengenal baik dan jahat KMBJ : Kewajiban mengerjaan yang baik & menjauhi yang jahat

Wahyu KMT KMBJ

Akal MT KMT MBJ KMBJ

MT MBJ Akal

A

M

Maturidiah Buchara

Wahyu (petunjuk, hikmah & hidayah)

M Pembahasan di sini

(dikutip dari buku "Teologi Islam", Prof.Dr. Harun Nasution, 1986) Keterangan gambar:

Simbol-simbol yang dipakai: - A : Allah - M : Manusia Beberapa bidang cakupan wahyu-Nya ataupun akal, yang diamati:

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

MT KMT MBJ KMBJ

: : : :

Mengenal Tuhan Kewajiban mengenal Tuhan Mengenal baik dan jahat Kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat

Hubungan wahyu-Nya dan akal menurut beberapa aliran teologi dalam agama Islam: Wahyu-Nya dan akal betul-betul dianggap dua hal yang sama sekali tidak berhubungan. Selain itu, di antara aliran-aliran yang diamati, ada perbedaan atau pembagian fungsi wahyu-Nya dan akal manusia. Dari aliran Mu’tazilah yang relatif amat ‘maju’, yang menganggap semua ke-empat bidang cakupan yang diamati, bisa dicapai dengan akal saja (tanpa perlu wahyu-Nya sama sekali), sampai aliran Asy’ariah yang relatif amat ‘konservatif’, yang menganggap akal hanya bisa untuk mengenal Tuhan (MT). Tentunya "maju" atau "konservatif"-nya pemikiran sesuatu aliran, tidak ada hubungannya dengan tingkat kebenaran pemikiran mereka. Hal ini hanya milik dan hak Allah, untuk menilai pemahaman yang paling benar.

Hubungan wahyu-Nya dan akal menurut pembahasan buku ini: Hubungan antara wahyu-Nya dan akal justru amat erat, saling terkait dan saling mendukung, karena wahyu-Nya pada dasarnya serupa dengan hikmah dan hidayah-Nya, yang juga diberikan-Nya kepada manusia biasa umumnya. Prosesnya persis sama, berupa perolehan pemahaman (lahiriah dan batiniah) atas berbagai kebenaran-Nya, dengan menggunakan akal-pikiran. Namun perbedaannya justru hanya pada kualitas keimanan tiap manusia yang menerimanya. Padahal keimanan itu sendiri meliputi pemahaman atas berbagai kebenaran-Nya (keyakinan batiniah) dan pengamalannya (keyakinan lahiriah, melalui pikiran, perkataan dan perbuatan). Perolehan pengetahuan atau pemahaman pada tiap manusia (pada aspek lahiriah dan batiniah, tentang hal-hal yang umum ataupun kebenaran-Nya, bagi orang yang awam ataupun para nabi-Nya, secara sadar ataupun tidak), pada dasarnya pasti hasil pengajaran, tuntunan dan ujian-Nya dari para makhluk gaib, melalui alam batiniah ruh tiap manusianya (alam pikirannya), yang berupa ilham-ilham yang benar ataupun sesat (seperti: memori-ingatan, pengetahuan, perasaan, bahasa, khayalan, dsb). Pengajaran para makhluk gaib itupun terjadi tiap saatnya sepanjang hidup tiap manusianya (digambarkan melalui sejumlah besar lingkaran kecil berbentuk serupa spiral, yang melingkupi "garis pengetahuan akal"). Namun para makhluk gaib hanya mengikuti arah kecenderungan akal-pikiran manusianya, serta tidak memaksakan pemberian ilham kepada akal-pikiran manusia yang tidak siap menerimanya dan tidak mau berpikir. Juga para makhluk gaib hanya memakai tiap celah kelemahan (bagi ilham negatif) ataupun celah kekuatan (bagi ilham positif) dalam pikiran manusia, tiap saatnya. Dengan makin sering belajar atau otak diasah, maka makin luas pula segala pengetahuan yang diperoleh. Proses yang sama pada para nabi-Nya ketika diberikan-Nya wahyu-Nya. Kekhususan pada para nabi-Nya dibanding pada manusia biasa umumnya adalah keimanan dan kemauan berpikir mereka yang amat tinggi, sehingga justru amat sedikit celah kelemahan di dalam pikiran mereka. Akhirnya, berbagai ilham negatif yang amat mengganggu penglihatan batinnya (dari jin, syaitan atau iblis), makin berkurang ataupun bisa lebih mudah diabaikannya.


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

763

Hal inilah yang membuat penglihatan batiniah mereka amat terang, sehingga pengetahuan tentang hal-hal batiniah yang bisa mereka miliki juga amat luas, misalnya hakekat seperti: wujud zat Allah, penciptaan alam semesta ini dan tujuannya, ruh, alam akhirat, dsb. Padahal hampir semua ajaran-ajaran agama-Nya dalam kitab-kitab-Nya justru amat banyak mengandung aspek batiniah, termasuk ‘di balik’ segala aspek lahiriahnya (syariat, ritual ibadah, dsb). Dalam gambar di atas, pengetahuan (lahiriah ataupun batiniah) atas berbagai kebenaran-Nya yang disampaikan-Nya melalui para makhluk gaib (khususnya malaikat Jibril), justru makin menambah pengetahuan yang telah dimiliki oleh umat manusia yang dikehendaki-Nya (umat yang siap menerimanya dan mau berpikir). Maka lingkaran-lingkaran kecil serupa spiral (pengajaran dari para makhluk gaib), justru makin mengantarkan akal makin mendekati pengetahuan tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia, yaitu pengetahuan dan pemahaman tentang ketuhanan (God Spot), ataupun hanya bisa mengantarkannya ke titik tertentu, sesuai batas kemampuan akal-pikiran masing-masing manusianya. Pemahaman yang relatif sempurna tentang kebenaran-Nya yang bisa dimiliki oleh seorang manusia biasanya juga disebut sebagai “pemahaman kenabian”, orangnya disebut “nabi-Nya”. Dan tiap pemahaman itu sendiri (tiap hikmah dan hidayah-Nya) yang diperoleh telah pantas disebut "wahyu-Nya". "Kesempurnaan" ini lebih terkait dengan amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangannya seluruh hikmah dan hidayah-Nya yang dimiliki, juga bisa menjawab segala persoalan yang paling penting, mendasar dan hakiki pada kehidupan umat kaumnya atau bahkan seluruh umat manusia. Akhirnya, ke-empat bidang cakupan yang diamati di atas pada dasarnya justru dicapai dengan wahyu-Nya dan akal secara bersamaan, khususnya pada jaman para nabi-Nya. Namun masalahnya, secara manusiawi di jaman sekarang ini tidak ada lagi manusia yang mampu dan memiliki kapasitas untuk menjawab semua persoalan umat manusia modern, secara ‘sempurna’. Padahal prinsip utama kenabian adalah melayani dan menjawab segala persoalan umat yang paling penting, mendasar dan hakiki, agar pantas menjadi contoh suri-teladan dan panutan. Bahkan menurut umat Islam, kenabian terakhir telah diyakini hanya ada pada nabi Muhammad saw. Dengan sendirinya fungsi akal pada ke-empat bidang cakupan itu makin lama relatif makin berkurang (makin diperlukan ketaatan atas ajaran-ajaran agama). Di lain pihaknya, justru wahyu-Nya yang dibawa para nabi-Nya, amat sangat diperlukan bagi umat, sebagai sumber ilham paling utama bagi tiap perolehan hikmah dan hidayah-Nya. Terlebih lagi bagi mayoritas umat yang relatif sangat sulit bisa memahami tiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (al-Hikmah). Hal ini menjadi kewajiban para alim-ulama sampai akhir jaman, untuk tetap terusmenerus bisa mengungkap tiap al-Hikmah dan mengajarkannya. Walau kapasitas akal manusia modern relatif berkurang untuk memahami segala al-Hikmah yang terkait kehidupannya, tetapi akal justru tetap perlu selalu dipakai, untuk memahami tiap wahyu-Nya ataupun tiap ajaran agama-Nya. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang proses diturunkan-Nya wahyu-Nya melalui perantaraan para makhluk gaib (terutama malaikat Jibril), atau lihat pula "Gambar 25: Diagram siklus proses sesaat pikiran manusia" dan "Gambar 13: Diagram sederhana proses perolehan wahyu".

764

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

Empat macam bentuk wahyu-Nya: Dari uraian di atas, diketahui ada empat macam bentuk wahyu-Nya, yaitu: Wahyu-Nya sebagai Fitrah Allah sendiri (sifat-sifat terpuji Allah). Wahyu-Nya sebagai tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di seluruh alam semesta ini (ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis), yang merupakan bentuk wahyu, kalam, sabda atau kalimat-Nya yang sebenarnya. Wahyu-Nya sebagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), yang telah dipahami oleh para nabi-Nya, di dalam dada-hati-pikirannya. Wahyu-Nya sebagai ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an dan kitab-kitab-Nya lainnya (Al-Kitab). Dan disebut pula sebagai "wahyu yang diwahyukan" (QS.6:145, QS.42:52 dan QS.53:4). Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang 4 macam wahyu-Nya Ringkasan:

Aliran

MT

KMT

MBJ

KMBJ

Mu’tazilah / Qadariah Asy’ariah, Al-Ghazali Maturidiah samarkand Maturidiah buchara -- Pembahasan buku ini -

Akal Akal Akal Akal Akal&Wahyu

Akal Wahyu Akal Wahyu Akal&Wahyu

Akal Wahyu Akal Akal Akal&Wahyu

Akal Wahyu Wahyu Wahyu Akal&Wahyu

Hubungan wahyu-Nya dan akal, menurut pembahasan di sini Bahwa akal adalah satu-satunya alat-sarana pada tiap manusia (termasuk para nabi-Nya), yang memiliki kemampuan untuk menilai, memilih dan memutus segala sesuatu halnya, termasuk segala bentuk informasi batiniah dari para makhluk gaib, yang berupa segala bentuk ilham yang positif dan negatif, pada alam batiniah ruh manusianya.

Para nabi-Nya tiap saatnya justru tidak hanya menerima segala ilham positif-baik-benar dari para malaikat (terutama malaikat Jibril), namun justru tiap saatnya para nabi-Nya juga menerima segala ilham negatif-buruk-sesat dari syaitan dan iblis. Karena bentuk kehadiran para malaikat, jin, syaitan atau iblis, pada alam batiniah ruh tiap manusia, memang melalui cara-cara yang persis sama, yaitu melalui suara ‘bisikan’ mereka pada alam batiniah ruh tiap manusianya. Hal yang berbeda antar para makhluk gaib justru relatif hanya pada ‘kandungan isi’ dari suara ‘bisikan’-nya. Sederhananya, tiap manusia justru pasti bisa merasakan segala pikiran (ilham), yang benar ataupun yang sesat, tiap saatnya sepanjang hidupnya. Sedangkan segala bentuk ilham pada pikiran tiap manusia, memang hanya berasal dari para makhluk gaib. Dan tiap manusia pasti selalu mengalami interaksi secara ‘terselubung’ semacam itu, dengan para makhluk gaib (suara ‘bisikan’ mereka amat sangat halus). Walau memang terdapat sejumlah amat terbatas manusia, yang juga sekaligus mengalami interaksi secara ‘terang-terangan’, dengan


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

765

para makhluk gaib (para makhluk gaib menunjukkan ‘wujud aslinya’), seperti yang telah dialami oleh sebagian dari para nabi-Nya. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang cara-cara para makhluk gaib berinteraksi dengan manusia. Sehingga peran akal justru amat sangat penting, dalam proses turunnya wahyu-Nya dari malaikat Jibril, karena hanya akal-pikiran para nabi-Nya yang bisa memilih ataupun memisahkan, antara segala ilham yang positif-baik-benar dan yang negatif-buruk-sesat. Tentunya dalam melaksanakan peranannya, akal tiap manusia didukung pula oleh segala pengetahuannya tentang kebenaran, yang telah tertanam sebelumnya pada hati-nuraninya. Dengan pengetahuan ini, akal memilih tiap ilham yang baru dari para makhluk gaib, yang bisa dianggap sebagai pengetahuan yang baru tentang kebenaran. Tentunya segala pengetahuan tiap manusia tentang kebenaran pada hati-nuraninya, justru juga pasti berasal dari hasil olahan akalnya sebelumnya, dan segala pengetahuan inipun pasti akan terus-menerus bertambah sepanjang hidup manusianya (jika akalnya terus diasah). Persoalannya, segala kebenaran pada hati-nurani tiap manusia pada dasarnya memang bersifat ‘relatif’, sedang segala kebenaran-Nya justru bersifat ‘mutlak’. Namun ada suatu ‘batas’, yang bisa dianggap sebagai ukuran, bahwa kebenaran ‘relatif’ milik manusia telah relatif ‘amat sesuai atau dekat’ dengan kebenaran ‘mutlak’ milik Allah. Pada pemahaman di sini, batas kesesuaian atau kedekatan itu berupa segala pemahaman manusia tentang kebenaran, yang tersusun dalam bangunan pemahaman yang relatif ‘sempurna’ (sangat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan seluruhnya), terutama tentang segala hal yang paling penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan umat manusia (hal-hal gaib dan batiniah). Tiap pengetahuan pada bangunan pemahaman seperti itu, yang diketahui hanya dimiliki oleh para nabi-Nya, biasanya disebut sebagai suatu “wahyu-Nya”, yang berupa hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (al-Hikmah), di dalam hati-dada-pikiran para nabi-Nya. Sedang wahyu-Nya yang berupa pengajaran dan tuntunan-Nya bagi umat, adalah hasil ‘rangkuman’ atas seluruh al-Hikmah pada tiap nabi-Nya, yang bersifat sederhana, praktis-aplikatif dan aktual, untuk bisa menjawab berbagai keadaan, tantangan dan persoalan umat. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang empat macam bentuk wahyu-Nya.

766

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

Batas kesempurnaan itulah yang membedakan antara seluruh al-Hikmah pada para nabi-Nya dan pada manusia biasa lainnya. Juga sekaligus menjadikan tiap pengetahuan para nabi-Nya itu bisa disebut sebagai ‘wahyu-Nya’. Sedang tiap pengetahuan manusia biasa lainnya tetap hanya disebut sebagai ‘al-Hikmah’ (tentunya jika memang sesuai dengan kebenaran-Nya). Tiap wahyu-Nya tidak diturunkan-Nya dengan begitu saja dari ‘langit’, tanpa melalui proses tertentu yang jelas. Para nabi-Nya pasti memiliki suatu pemahaman yang relatif lengkap atas tiap wahyu-Nya, namun pemahaman ini tidak disampaikan seluruhnya kepada umatnya (relatif hanya tersimpan dalam hati-dada-pikirannya). Para nabi-Nya umumnya relatif hanya menyampaikan segala hal yang bersifat relatif amat ringkas, sederhana, praktis-aplikatif dan aktual, sesuai keadaan, tantangan dan persoalan umat, pada tiap jamannya masing-masing. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang cara para makhluk gaib (termasuk malaikat Jibril), dalam memberi pengajaran dan ujian-Nya. Serta lihat pula pada “Gambar 13: Diagram sederhana proses perolehan wahyu”. Lebih lanjut, hubungan wahyu-Nya dan akal Penting diketahui dari uraian di atas, bahwa perolehan wahyuNya (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, pada aspek lahiriah ataupun batiniah), juga melalui akal-pikiran para nabi-Nya. Tentunya tingkat keimanan mereka yang telah amat tinggi, yang bisa menjadikan akalpikiran mereka relatif ‘berbeda’, daripada akal-pikiran manusia biasa. Hal ini pulalah yang menjadikan adanya perbedaan antara dalil Naqli dan dalil Aqli. Walau hakekat kedua macam dalil itu sama, diperoleh dengan memakai ‘akal’. Dalil Naqli berasal dari akal-pikiran para nabi-Nya, yang digunakan secara ‘amat obyektif’ (sesuai tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya, atau segala kebenaran-Nya di alam semesta). Serupa uraian di atas, bahwa hanyalah akal satu-satunya sarana pada manusia (termasuk para nabi-Nya), yang memiliki kemampuan dan otoritas, untuk menilai, memilih dan memutuskan segala sesuatu informasi hasil tangkapan berbagai indera lahiriah dan batiniah (mata, telinga, hidung, lidah, kulit, hati-kalbu, dsb), untuk dianggap sebagai suatu bahan pengetahuan, fakta, kenyataan ataupun kebenaran (secara lahiriah dan batiniah), walau juga pasti tetap bersifat ‘relatif’. Sehingga makna ‘akal’ dalam hal ini ditinjau dari segi hakekat


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

767

768

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

sebenarnya, yang bersifat umum dan luas, bukanlah hanya akal dalam pengertian yang sempit dan sering dikenal, yaitu sebagai sarana untuk memahami segala bidang ilmu-pengetahuan temuan manusia (bidang ilmu-ilmu fisika, kimia, biologi, matematika, filsafat, psikologi, dsb), yang lebih banyak berupa pengetahuan atau pemahaman atas hal-hal yang bersifat lahiriah. Akal pada dasarnya juga dipakai dalam hal-hal yang bersifat batiniah, yang justru banyak terdapat dalam ajaran-ajaran agama-Nya yang disampaikan oleh para nabi-Nya. Walaupun hal-hal batiniah itu memang relatif amat sulit dijelaskan, dirumuskan dan diformulasikan, berbeda daripada hal-hal lahiriah, yang telah amat banyak dirumuskan dalam ilmu-ilmu alam-fisik (ilmu-ilmu lahiriah).

itu (mempertentangkan antara wahyu-Nya dan akal), karena segala kemuliaan Al-Qur'an justru amat nyata pada bangunan seluruh hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di dalamnya (al-Hikmah), yang tersusun relatif ‘sempurna’ (amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan). Serta bangunan pemahaman seperti inilah yang menjadi dasar utama suatu ‘kenabian’, berikut keseluruhan ajarannya. Justru kewajiban yang semestinya dilakukan oleh para alimulama dan cendikiawan Muslim, adalah berusaha keras mengungkap sebanyak mungkin segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di balik teks ayat-ayat Al-Qur'an. Dan kemudian diajarkan kepada umat secara amat arif-bijaksana, dalam bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya (hasil ijtihad), yang bersifat relatif sederhana, praktis-aplikatif dan aktual.

Sekali lagi, wahyu-Nya adalah hasil dari pemahaman akal para nabi-Nya, melalui perantaraan malaikat Jibril. Karena tidak ada alatsarana lain pada manusia, untuk bisa mengenal Allah, atau untuk bisa memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya di seluruh alam semesta ini, selain ‘akal’. Dan bahkan berbagai pengajaran dari para makhluk gaib, terutama malaikat Jibril (dari hasil berinteraksi secara terang-terangan ataupun terselubung), justru hanya bisa dinilai dengan ‘akal’. Ajaran-ajaran agama Islam pada dasarnya bukan hal-hal yang mistis-tahayul, yang sama sekali tidak memiliki berbagai penjelasan, melalui intuisi-nalar-logika akal sehat manusia. Pada dasarnya hanya masalah perbedaan pada batas kemampuan tiap manusianya saja untuk memahaminya, sehingga ‘seolah-olah’ ada kesan mistis-tahayul pada ajaran-ajaran agama (termasuk atas mu’jizat-mu’jizat para nabi-Nya).

Segala sesuatu ‘kebenaran’ yang amat obyektif, darimana dan bagaimanapun datangnya (siapapun yang menyampaikannya dan pada kitab manapun ditulis), pasti hanya milik dan berasal dari Allah. Maka masalah yang paling utama pada dasarnya bukan pada cara perolehan wahyu-Nya bagi para nabi-Nya, melalui ‘akal’ mereka ataupun tidak, tetapi pada ‘tingkat kebenaran’ dari seluruh kandungan isi wahyu-Nya yang mereka peroleh (berupa hikmah dan hakekat kebenaran-Nya). Penyampaian dan penulisan Wahyu-Nya secara bertahap Penyampaian wahyu-Nya oleh para nabi-Nya justru dilakukan ayat per ayat ataupun secara bertahap, tergantung kepada keadaan dan persoalan umat kaumnya, yang sedang dihadapi ataupun dijawabnya. Lebih penting lagi, hal ini sesuai dengan tahap perolehan pemahaman tentang kebenaran-Nya atas sesuatu hal atau persoalannya. Walaupun berbagai pondasi dasar pemahaman mereka memang telah terbentuk, bahkan sebelum ‘proklamir’ kenabian mereka, terutama tentang segala hal yang amat mendasar (hakekat ketuhanan, ruh dan alam gaib, alam akhirat dan dunia, kehidupan manusia, dsb). Terkait hal ini dalam Al-Qur’an disebut “nabi Muhammad saw pernah berjanji akan menjawab sesuatu persoalan umat pada keesokan harinya. Kemudian Allah menegur Nabi, karena Nabi ketika itu lupa menyebutkan, ‘Insya Allah, dan mudah-mudahan Allah akan memberi kepadaku petunjuk (atau pemahaman)’" - (QS.18:23-24).

Sebagian dari para alim-ulama dan cendikiawan Muslim pada berbagai aliran-mazhab-golongan, dari jaman dahulu sampai saat ini, telah mengabaikan (secara sengaja ataupun tidak), tentang kenyataan peranan akal-pikiran para nabi-Nya, pada saat diturunkan-Nya wahyuNya (seperti ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an). Bahkan mereka itu juga cenderung amat mempertentangkan antara wahyu-Nya dan akal. Padahal para nabi-Nya adalah orang-orang yang paling tinggi ilmu-pengetahuannya dibandingkan seluruh umat kaumnya pada tiap jamannya masing-masing. Padahal mereka adalah orang-orang yang relatif amat banyak dan berusaha amat keras mengamati, mempelajari dan memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta ini. Serta mereka adalah orang-orang yang amat sering menyendiri untuk bisa bertafakur memikirkan penciptaan alam semesta ini. Kemuliaan kitab suci Al-Qur'an tidak semestinya dijaga seperti

Sesuai dengan kemajuan budaya tulis-menulis masing-masing kaum, ada para nabi-Nya serta para pengikutnya yang mengumpulkan dan menuliskan wahyu-wahyu-Nya, pada media yang tersedia saat itu, seperti misalnya: batu tipis; pelepah kurma; tulang; kulit kayu; kulit dan tanduk binatang; dsb.


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

769

Selain itu, juga ada umat pengikut para nabi-Nya yang selalu menghapalkannya terus-menerus secara keseluruhan pada saat selesai diturunkan-Nya wahyu-Nya yang baru. Terkait kitab suci Al-Qur’an, penghapalan ini secara kebetulan amat didukung oleh budaya bangsa Arab, yang justru amat menyukai seni dan keindahan tata bahasa AlQur’an (selain amat tinggi nilai-nilai kebenaran-Nya di dalamnya). 86) Pengaruh keadaan dan sifat manusiawi Nabi pada Al-Qur’an Dengan cermat mengamati tiap ayat Al-Qur'an, secara tekstual bisa tampak relatif jelas, bahwa berbagai keadaan dan sifat manusiawi nabi Muhammad saw, ikut berperan penting dalam turunnya wahyuwahyu-Nya itu. Hal ini justru juga bisa menunjukkan, bahwa proses diturunkan-Nya Al-Qur’an bersifat amat alamiah atau pasti mengikuti aturan-Nya (sunatullah). Bahwa amat alamiah, apabila Nabi mestinya memakai bahasa (lisan dan tulisan), yang justru paling mudah dimengerti oleh umatnya sendiri. Juga Nabi mestinya mengambil bentuk hukum syariat, segala contoh dan perumpamaan, yang ada dalam kehidupan umatnya sehariharinya (bahasa dan kebudayaan umatnya). Selain proses diturunkan-Nya Al-Qur'an melalui budaya dan bahasa Arab, juga antara lain: ada sejumlah pengulangan ayat secara persis sama, ataupun serupa namun sama maknanya; kisah para nabiNya sering diulang-ulang, namun dengan tingkat ketelitian dan fokus pembahasan yang berbeda-beda; ada berragam sebutan bagi Allah di dalam Al-Qur'an (Rabb, Aku, Engkau, Dia, Kami, Nya, dsb); dsb. 87) Sebaliknya amat mustahil jika para nabi-Nya memakai bahasa, contoh dan perumpamaan yang universal, agar bisa langsung dipakai pula oleh umat manusia sampai akhir jaman. Justru menjadi tugas bagi umat dan alim-ulama pada tiap jamannya, untuk bisa memahami tiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya yang sebenarnya, dalam ajaranajaran agama-Nya, secara utuh, wajar dan proporsional. Kemudian disampaikan kembali secara praktis-aplikasi dan aktual, sesuai dengan konteks keadaan umat tiap jamannya (melahirkan berbagai ijtihad). Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang berbagai keterbatasan bahasa tulisan, untuk mengungkapkan berbagai pemahaman batiniah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, atau wahyu-Nya). Pembukuan kitab suci Al-Qur’an dan Hadits Perumpamaan tentang pengulangan sebagai proses yang amat alamiah di atas, adalah persis seperti halnya seorang guru yang sering mengulang-ulang suatu materi pengajarannya kepada murid-muridnya

770

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

yang berasal dari berbagai periode dan generasi, dengan menggunakan kata-kata yang sama, ataupun agak sedikit berbeda. Sedangkan ayat-ayat Al-Qur'an disampaikan oleh nabi besar Muhammad saw, pada saat sedang memberi pengajaran dan tuntunanNya bagi umat-umatnya (selama sekitar 20 tahun). Lalu setelah Nabi memberi ijinnya, suatu wahyu-Nya bisa dicatat dan dihapal oleh para pengikutnya. Ijin dari Nabi amatlah diperlukan, agar para pengikutnya bisa membedakan antara “wahyu-Nya” dan “penjabaran atas wahyu-Nya” (termasuk pengamalan atas wahyu-Nya, berupa Sunnah-sunnah Nabi). Bahkan untuk bisa menjaga kemurnian dari wahyu-wahyu-Nya, yang amat mungkin bisa bercampur-baur dengan hal-hal lain (penjabaran dan pengamalan wahyu-Nya ataupun berbagai ucapan lainnya), maka Nabi telah ‘melarang’ mencatat hal-hal lainnya selain wahyu-Nya itu. Apalagi Al-Qur'an pada saat itu belum berbentuk utuh dan sempurna. Baca pula uraian di bawah, tentang wahyu-Nya sebagai suatu ‘rangkuman’ pemahaman para nabi-Nya, atas ayat-ayat-Nya yang taktertulis yang ada di seluruh alam semesta ini (yang memang mustahil bisa ditulis ataupun dipahami semuanya, atau "tidak cukup dituliskan dengan tinta sebanyak beberapa samudera"). "Katakanlah: `Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Rabb-ku, sungguh habislah lautan itu, sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Rabb-ku, meskipun Kami datangkan tambahan (tinta) sebanyak itu (pula)." - (QS.18:109) Beberapa tahun menjelang Nabi wafat, seluruh wahyu-Nya di dalam Al-Qur'an telah sempurna diturunkan-Nya, walau sampai saat wafatnya Nabi, Al-Qur’an justru belum sempat dibukukan. Maka ada beberapa pengikut Nabi yang mengumpulkan seluruh wahyu-Nya itu, untuk dibuatkan kitab tertulis yang utuh dan lengkap (seperti halnya bentuknya saat ini), sedang sebelumnya masih tertulis terpisah pada berbagai macam media. Proses pengumpulan ini amat didukung oleh banyaknya para pengikut yang telah menghapalnya, yang ketika itu ada sekitar ribuan orang. Sampai saat ini, ada tak-terhitung jumlah umat Islam penghapal Al-Qur’an, yang sekaligus menunjukkan salah-satu keistimewaan dari kitab suci Al-Qur’an daripada kitab suci agama-agama lainnya. Berbagai keterangan atas sikap, perbuatan dan ucapan Nabi (selain dari wahyu-Nya) yang disebut ‘Sunnah-sunnah Nabi’, akhirnya


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

771

juga bisa dibukukan oleh para pengikutnya, yang disebut kitab-kitab ‘Hadits’, terutama setelah tidak ada lagi kekuatiran, bahwa hal itupun akan bisa bercampur-baur dengan teks-teks kitab suci Al-Qur'an (yang telah dibukukan sebelumnya). Hikmah pengulangan ayat-ayat Al-Qur’an Walau pengulangan atas ayat-ayat Al-Qur’an, sebagai hal yang bersifat amat alamiah, namun justru telah membawa berbagai hikmah tersendiri, misalnya: • Mudah mengingat hal-hal yang amat penting dalam ajaran agama Islam (termasuk hal-hal yang amat perlu dilakukan oleh umat, dan hal-hal yang amat perlu dihindarinya). •

Mudah dihapal, karena memiliki ‘warna’ yang berbeda-beda pada tiap pengulangannya. Walau ayat-ayatnya bisa serupa makna atau pemahamannya, namun justru dipakai kata-kata bahasa Arab yang berbeda-beda (sinonim), yang amat kaya dalam bahasa Arab. Bahkan sampai sekarang ini belum ada buku atau kitab yang bisa menandingi keindahan bentuk seni, gaya ataupun tata bahasa AlQur’an, Lebih utama lagi tentunya, pada amat tingginya kemuliaan dan kebenaran kandungan isi Al-Qur’an itu sendiri. Bahkan dengan metode tertentu, keseluruhan isi Al-Qur’an bisa dihapal oleh anak-anak kecil secara cepat. Hal inipun amat mudah dilihat, di dalam acara-acara lomba membaca dan menghapal AlQur’an (MTQ-Musabaqah Tilawatil Qur’an) pada negara-negara Islam, dari lomba tingkat desa sampai tingkat Internasional.

Relatif mudah dilakukan, saat ingin menjawab secukupnya dengan segera atas sesuatu persoalan, dengan bebas mengacu pada bagian mana saja dari Al-Qur’an yang paling disukai, biasa dibaca atau yang telah dihapal terlebih dahulu. Karena pada sesuatu bagian Al-Qur’an (surat, juz, dsb), tidak ada penekanan khusus hanya pada hal-hal tertentu saja. Hampir semua topiknya bercampur-baur relatif merata (misalnya: tauhid, hal-hal gaib, hal-hal lahiriah-batiniah, kisah-kisah para nabi-Nya, anjuran dan larangan-Nya, dsb), walaupun masing-masing topiknya juga memiliki tingkat ketelitian dan fokus yang berbeda-beda. Contohnya tentang kisah nabi Musa as: jumlah kumpulan ayat yang menceritakannya bisa berbeda-beda, dan terletak menyebar pada berbagai tempatnya; fokus masing-masing kumpulan ayat itu juga berbeda-beda (misalnya tentang: keimanan dan kenabiannya,

772

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

mu’jizat atau pengetahuannya, akhlak atau budi-pekertinya; ujian atau cobaannya, para musuhnya, kekafiran kaumnya, perjalanan kehidupan kaumnya, dsb). Sehingga pada bagian manapun Al-Qur’an dibaca, maka akan bisa diperoleh pengetahuan tentang hampir semua topik-topiknya itu. Tetapi tentunya, jika ingin bisa memahami Al-Qur’an secara utuh, mestinya juga membaca, menghapal dan mempelajari seluruhnya. Al-Qur’an, Fitrah Allah pada penciptaan alam semesta Dari berbagai uraian di atas diketahui, bahwa penciptaan alam semesta dan segala isinya, adalah perwujudan dari Fitrah Allah, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang (QS.30:30). Sehingga dengan Fitrah Allah itu juga diciptakan-Nya berbagai bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya, yang juga merupakan hakekat yang sebenarnya dari AlQur'an yang berwujud gaib, yang telah tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuz) di sisi ‘Arsy-Nya. Al-Qur'an berwujud gaib itupun disebutkan sebagai "ayat-ayatNya yang tak-tertulis" atau “tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaanNya”, yang melekat pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian (lahiriah dan batiniah) di seluruh alam semesta ini. 88) Tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya itu terkadang juga disebutkan sebagai "wajah-Nya", karena dalam segala hal yang ada di seluruh alam semesta ini terdapat sesuatu "gambar bayangan potret diri Allah" (atau tergambarkan semua sifat-Nya), agar umat manusia bisa mengenal Allah, Yang telah menciptakannya, serta bisa kembali dekat ke hadapan 'Arsy-Nya dengan mengikuti jalan-Nya yang lurus, sebagai keredhaan-Nya bagi kemuliaan manusia itu sendiri. Terkait hal ini dalam Al-Qur’an disebut seperti, "kemana saja wajahmu menghadap, kamu akan bisa melihat-Ku" atau "Aku berada di mana saja dan Aku sangat dekat". Contoh sederhananya: tiap ‘butir’ atom ataupun udara di sekeliling, pasti tunduk dan mengikuti perintahNya. Hal ini tentunya juga menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya. Al-Qur’an (gaib), telah ada sejak awal penciptaan alam semesta Al-Qur'an yang masih berwujud gaib itu justru telah ada sejak awal penciptaan alam semesta ini, serta telah tertulis pula pada induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi ‘Arsy-Nya, yang sangat agung dan mulia. Sedang Al-Qur'an (gaib) itu berupa segala bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya yang terkandung pada tanda-tanda kekuasaan-Nya di seluruh alam semesta ini. Serta Al-Qur'an (gaib) itu juga disebutkan sebagai "ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis" (lahiriah dan batiniah). 89)


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

773

Serta bisa diibaratkan, bahwa Al-Qur'an (gaib) itu telah lama menunggu, untuk bisa dibaca oleh nabi Muhammad saw, para nabiNya lainnya, dan bahkan oleh keseluruhan umat manusia. Nabi selama hidupnya telah ‘melihat’ gambar wajah-Nya atau telah ‘membaca’ AlQur'an (gaib) itu, lalu Nabipun menggambarkan atau menuliskannya kembali ke dalam kitab suci Al-Qur'an, agar umat manusia selanjutnya bisa ikut pula ‘melihat’ (memahami) dengan makin jelas, atas wajahNya (tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya). Kitab suci Al-Qur’an, rangkuman pemahaman Nabi Kitab suci Al-Qur'an pada dasarnya sesuatu ‘rangkuman’ dari keseluruhan pemahaman pada nabi Muhammad saw (berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), atas pengajaran dan tuntunan-Nya yang terdapat di seluruh alam semesta (atau ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis, lahiriah dan batiniah), yang telah diperolehnya sepanjang hidupnya, melalui perantaraan malaikat Jibril. Kitab suci Al-Qur'an dalam wujudnya yang telah utuh seperti sekarang, keseluruhannya diturunkan-Nya selama sekitar 23 tahun (13 tahun di Mekah sebanyak 86 surat atau 4780 ayat, dan 10 tahun di Madinah sebanyak 28 surat atau 1456 ayat). 90) Terkait ‘rangkuman’ itu, ataupun terkait perbedaan antara AlQur’an (gaib, atau ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis), dan kitab suci AlQur’an (ayat-ayat-Nya yang tertulis), dalam Al-Qur’an disebut, "tidak cukup tinta sebanyak laut dan samudera, untuk bisa menulis seluruh kalimat-kalimat-Nya (ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis)" (seperti pada QS.18:109 dan QS.31:27). Hal inipun tampak jelas dari keterangan tentang sesuatu topik dalam Al-Qur’an, yang hanyalah terdiri dari beberapa ayat. Walaupun jika dikumpulkan dari keseluruhan ayat Al-Qur’an tentang topik yang sama, namun dari sudut pandangnya yang berbeda-beda, maka jumlah ayatnya bisa cukup banyak. Padahal untuk bisa membahas secara lengkap suatu topiknya, para alim-ulama saat inipun, justru bisa mengungkapkannya, melalui sejumlah ribuan lembar tulisan. Apalagi jika hendak membahas pula keseluruhan topik dalam Al-Qur’an. Bahasa kitab suci Al-Qur’an, "bahasa pertengahan" Selain itu perlu diketahui pula, bahwa bahasa tulisan ataupun lisan pada penyampaian ayat-ayat Al-Qur’an adalah bahasa yang telah sengaja disusun, agar relatif mudah dipahami oleh seluruh umat yang membacanya. Termasuk kitab suci Al-Qur’an bisa cocok dipelajari,

774

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

oleh umat yang tingkat pemahamannya relatif amat sederhana (umatumat yang awam), serta juga oleh umat yang tingkat pemahamannya relatif amat mendalam (para alim-ulama atau umat-umat yang relatif cukup berilmu). Bahasa tulisan yang dipakai dalam Al-Qur’an, telah amat arifbijaksana dirangkum dan disederhanakan oleh nabi Muhammad saw (relatif berbeda jika dibandingkan dengan hasil pemahamannya), atas segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya selengkapnya, yang telah diperolehnya. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang berbagai keterbatasan bahasa tulisan, untuk mengungkapkan berbagai pemahaman batiniah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, atau wahyu-Nya). Dengan penyampaian semacam itu, tiap umat bisa memahami kitab suci Al-Qur’an sesuai tingkat pengetahuan ataupun keimanannya masing-masing. Namun tentunya, menjadi tugas dan kewajiban utama bagi para alim-ulama, untuk bisa membimbing atau menuntun umat kepada pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, secara amat arif-bijaksana pula (karena relatif amat mudah menimbulkan berbagai fitnah). Kearifan inipun justru amat diperlukan, terutama karena tiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya memang bisa relatif agak berbeda daripada hal-hal yang dibaca dan diketahui oleh umat, dari teks-teks dalam kitab-kitab agamanya. Padahal dalam kitab-kitab itu justru bisa ditemukan banyak contoh-perumpamaan simbolik, yang bukan suatu fakta-kenyataan yang sebenarnya. Hal ini biasanya dipakai agar bisa memudahkan penjelasan atas hal-hal gaib. Sedang segala pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya juga termasuk mengungkap faktakenyataan sebenarnya, di balik segala contoh-perumpamaan simbolik. Perbedaan "penglihatan" manusia atas cahaya kebenaran-Nya Seluruh umat manusia (seperti halnya para nabi-Nya), berdasar fitrahnya mestinya bisa melihat wajah-Nya, atau bisa mengenal Allah, melalui hati-nuraninya sebagai suatu tuntunan-Nya yang paling dasar, ataupun melalui segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian di alam semesta (lahiriah dan batiniah), sebagai bentuk pengajaran-Nya yang paling dasar (berupa tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya). Para nabi-Nya itupun telah memiliki penglihatan, penyaksian atau pemahaman atas berbagai cahaya kebenaran-Nya, yang jauh lebih terang dan jelas daripada manusia biasa pada umumnya, akibat cermin batiniah ruh para nabi-Nya yang amat bersih, yang bisa terbentuk dari


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

775

segala akhlak, budi-pekerti dan kebiasaan mereka yang amat terpuji, ataupun dari tingkat keimanan mereka yang amat tinggi (pemahamanbatiniah dan pengamalan-lahiriah). Sementara itu mereka bahkan telah menjadi contoh suri-teladan dan panutan bagi seluruh umat manusia, dari jaman dahulu sampai sekarang ataupun di masa mendatang. Namun relatif kurang relevan membanding-bandingkan tingkat keimanan antar para nabi-Nya, karena keimanan itu sendiri memang lebih bersifat batiniah dan personal-pribadi. Baca pula uraian-uraian di atas, tentang wujud dari integritas keimanan para nabi-Nya, serta lihat pula pada Tabel 11. "Penglihatan" dengan keimanan atau pengetahuan Keimanan yang utuh adalah suatu gabungan antara keyakinan batiniah (pemahaman) serta keyakinan lahiriahnya (pengamalan). Dan keimanan paling tinggi berwujud pengetahuan atau pemahaman yang relatif ‘sempurna’ (amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan), atas segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (al-Hikmah), dan juga disertai pengamalan atas segala pemahaman itu secara amat konsisten dalam kehidupan sehari-harinya. Maka di dalam Al-Qur’an amat banyak disebut istilah ‘iman’, ‘ilmu’ dan ‘amal’. Pengetahuan itupun banyak dikaitkan dengan: akal, pikiran, ilmu, membaca, melihat, mengamati, mendengar, memahami, mempelajari, mengetahui, dsb. Serta banyak pula disebut di dalam AlQur’an, atas segala keutamaan bagi umat yang berilmu-pengetahuan. Tetapi dalam pemakaian sehari-harinya, ‘keimanan’ umumnya lebih dikaitkan dengan keyakinan dari pemahaman atas hal-hal yang bersifat batiniah, dan dengan pengamalan atas tiap ajaran agama-Nya. Sebaliknya ‘pengetahuan’ justru lebih dikaitkan dengan pemahaman atas hal-hal lahiriah (penguasaan atas ilmu-ilmu temuan manusia). Padahal segala bentuk ‘pemahaman’ atas hal-hal yang bersifat batiniah dan lahiriah, juga berupa ‘pengetahuan’, tidak ada kaitannya dengan sulit ataupun tidaknya untuk dilihat, diukur, diformulasikan, dipahami atau dijelaskan. Pemahaman pada para nabi-Nya atas hal-hal yang bersifat batiniah dan gaib misalnya, pada dasarnya juga berupa ‘pengetahuan’. ‘Sulit’ dan ‘mustahil’ bisa dipahami ataupun dijangkau oleh akal manusia biasa umumnya, adalah dua hal yang ‘berbeda’. Padahal pemahaman atas hal-hal yang bersifat lahiriah, justru amat penting untuk mendukung pemahaman atas hal-hal batiniahnya. Bahkan pemahaman atas hal-hal lahiriah bisa pula makin mengungkap hal-hal batiniah dan gaib dalam berbagai ajaran agama-Nya (berbagai

776

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

hikmah dan hakekat kebenaran-Nya dalam teks ayat-ayat Al-Qur’an), dan akhirnya juga bisa makin meningkatkan keimanan itu sendiri. Bahkan sebagian besar tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaanNya justru terkandung di dalam hal-hal lahiriah-fisik-nyata di seluruh alam semesta ini, bahkan para nabi-Nya bisa memahami agama-Nya yang lurus (memperoleh wahyu-Nya), setelah banyak mengamati dan mempelajari dengan amat tekun, terhadap berbagai kejadian lahiriah dan batiniah di alam semesta ini.Tiap wahyu-Nya tidak turun dengan begitu saja dari langit (tidak diberikan-Nya dengan begitu saja, tanpa ada keinginan dan usaha yang amat keras dari para nabi-Nya). Pemisahan antara ‘agama’ dan ‘akal’ (antara agama dan ilmupengetahuan, antara keimanan dan pemahaman), justru diyakini amat kuat berperan, atas kemunduran ilmu-pengetahuan di kalangan kaum Muslim, terutama karena sebagian besar umat Islam “kurang berani mengungkap” ajaran-ajaran agama, dengan akal dan pengetahuannya. Padahal kitab suci Al-Qur’an itu sendiri adalah sesuatu sumber ilmupengetahuan yang amat kaya (secara lahiriah dan batiniah). Baca pula topik "Sunatullah (sifat proses)", tentang ‘gaib zat’ yang mustahil bisa dicapai oleh manusia dan ‘gaib tindakan’ yang masih bisa dijelaskan dengan ilmu-pengetahuan (dengan intuisi-nalarlogika akal-pikiran). Gambaran perbedaan keimanan antara umat berilmu & tidak Seperti disebut di atas, keimanan yang utuh adalah gabungan dari keyakinan batiniah (pemahaman) dan juga keyakinan lahiriahnya (pengamalan). Maka pemahaman atas berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya dalam tiap ajaran agama Islam (bukan hanya sekedar pemahaman makna tekstual-harfiahnya), justru amat diperlukan untuk makin meningkatkan keimanan umat. Pemahaman itu bisa diperoleh dari banyak menguasai segala bidang ilmu-pengetahuan (ilmu agama dan non-agama, dalam aspek lahiriah dan batiniah), terutama yang bersifat amat obyektif (berdasar fakta-kenyataan secara apa adanya tanpa ditambah ataupun dikurangi). Serta amat didukung pula oleh pengetahuan praktis atau pengalaman langsung yang utuh dan lengkap atas hal-hal batiniah-rohani-spiritual. Pada Gambar 35 berikut ini ditunjukkan secara sederhana dan umum, mengenai perbedaan keimanan antara umat berilmu dan umat awam, dalam memahami tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di seluruh alam semesta ini (ayat-ayat-Nya yang ‘tak-tertulis’, ataupun yang telah terungkap melalui ayat-ayat-Nya yang ‘tertulis’).


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

777

Gambar 35: Skema umum perbedaan keimanan umat berilmu & tidak Pelajari ayat-Nya yang tertulis & yang tak-tertulis.

Segala pengajaran & tuntunan-Nya Segala ayat-Nya yang tertulis & tak-tertulis.

Umat yang berilmu

Umat yang awam

Segala ilmu-pengetahuan

‘Tanpa’ ilmu-pengetahuan

Ilmu lahiriah & batiniah, yang ‘obyektif’.

Pengajaran praktis dari para alim-ulama.

Pemahaman secara mendalam

Pemahaman secara taklid

Relatif memahami segala dalil-alasan.

Syariat (amal-ibadah)

Kurang memahami segala dalil-alasan. (=)

Pengamalan ajaran agama, dgn segala ritual-amalan fisik yang relatif sederhana.

Syariat (amal-ibadah) Pengamalan ajaran agama, dgn segala ritual-amalan fisik yang relatif sederhana.

Pengalaman rohani / spiritual

Pengalaman rohani / spiritual

‘Pelihara’ disiplin, untuk selalu mengingat segala keadaan batiniah yang penting.

Segala akhlak terpuji

Pelajari ayat-Nya yang tertulis (jarang yang tak-tertulis).

‘Pahami’ segala keadaan batiniah yang penting, bagi kehidupan umat. (=)

Segala akhlak terpuji

Membangun segala keadaan batiniah ruh, yang benar (memsucikan ruh).

Membangun segala keadaan batiniah ruh, yang benar (memsucikan ruh).

Keimanan amat tinggi & utuh

Keimanan agak tinggi & tidak utuh

Keimanan atau keyakinan batiniah dan lahiriah, yang amat tinggi dan utuh.

Keimanan tertinggi = Keimanan batiniah (pemahaman amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh & tidak saling bertentangan) + Keimanan lahiriah (pengamalan amat konsisten).

Keimanan atau keyakinan batiniah dan lahiriah, yang agak tinggi dan tidak utuh.

Kehidupan akhirat di dunia Kehidupan batiniah ruh yang dibangun oleh tiap manusia, selama di dunia.

Kehidupan akhirat di Hari Kiamat Kehidupan batiniah ruh selama di dunia, yang telah disempurnakan-Nya.

778

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

Al-Qur’an berasal langsung dari Allah Di dalam Al-Qur'an memang ada sejumlah pengaruh sifat-sifat manusiawi pada nabi Muhammad saw ataupun pengaruh budaya Arab, tetapi dengan mencermati segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya pada kandungan isinya (bukan makna tekstual-harfiahnya), yang amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh ataupun tidak saling bertentangan secara keseluruhan; mengandung hal-hal gaib dan batiniah yang amat tinggi nilai kemuliaan dan kebenarannya; dsb, cukup jelas, bahwa AlQur'an adalah wahyu dan kitab yang diturunkan langsung oleh Allah. Baca pula uraian di bawah, tentang segala kebenaran ‘mutlak’ hanya milik Allah 91)

Khusus tentang hal-hal gaib, hal ini justru menunjukkan telah amat tinggi dan terangnya pengetahuan, pemahaman, penglihatan atau penyaksian, yang telah dimiliki oleh nabi Muhammad saw, atas segala cahaya kebenaran-Nya (Nur Ilahi, al-hikmah atau petunjuk-Nya), yang hanya diberikan-Nya bagi orang-orang yang ‘dikehendaki-Nya’. Pemahaman Nabi yang cukup banyak atas hal-hal gaib itu juga sekaligus menunjukkan telah amat tinggi dan mendalamnya tingkatan pemahaman kenabiannya. 92) "Benar", bukti utama sesuatu hal berasal dari Allah Segala hal di seluruh alam semesta ini (lahiriah dan batiniah), yang bersifat ‘mutlak’ (pasti terjadi) ataupun ‘kekal’ (pasti konsisten) adalah hal-hal yang diyakini oleh manusia, sebagai hasil perwujudan kehendak dan perbuatan Allah, karena sifat-sifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’ itu hanyalah milik Allah. Tidak ada sesuatupun selain Allah, yang bisa berkuasa mengatur dan memaksa segala zat ciptaan-Nya seperti segala perbuatan-Nya. Segala hal yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’ ini juga sering disebut sebagai ‘kebenaran-Nya’ atau ‘pengetahuan-Nya’. Maka segala ‘kebenaran’, darimanapun datangnya atau dalam kitab manapun tertulis, pasti hanya milik dan berasal dari sisi Allah, sebagai suatu bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya bagi seluruh umat manusia. Seperti halnya yang ditegaskan pada Rukun Iman di dalam agama Islam, yaitu "Percaya kepada nabi-nabi dan kitab-kitab-Nya" (berbagai kebenaran-Nya bisa disampaikan oleh berbagai orang, dan bisa dituliskan dalam berbagai kitab). Dan tentunya kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran ‘relatif’ milik manusia, yang telah amat sesuai dengan kebenaran ‘mutlak’ milik Allah, dari pemahaman secara ‘amat obyektif’ atas tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta ini. Dengan sendirinya, para nabi-Nya yang juga orang-orang yang


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

779

amat berilmu, lurus, amat arif-bijaksana dan telah memperoleh banyak hikmah dan hidayah-Nya, tentu saja pasti bisa saling mengikuti atau saling mengakui kebenaran pemahaman ataupun ajaran, yang justru telah disampaikan oleh para nabi-Nya lainnya, yang sejaman ataupun yang terdahulu sebelum mereka. Persis serupa halnya dengan para ilmuwan saat ini, yang saling mengikuti dan membenarkan rumus-rumus temuan dari para ilmuwan lainnya, setelah mereka juga menguji dan memahami, bahwa rumusrumus itu memang ‘benar’. Namun perbedaannya, rumus-rumus dari para ilmuwan ini biasanya hanya berupa hasil pengungkapan atas ilmu atau pengetahuan-Nya di alam semesta, yang bersifat lahiriah saja. Memang ada pula yang bersifat batiniah, seperti: teori-paham HAM dan demokrasi; teori-teori filsafat dan psikologi (Karl Marx, Sigmund Freud, dsb); teori-paham materialisme, kapitalisme ataupun sosialisme, berikut teori kemasyarakatan dan ekonominya; paham dan teori feminisme barat; dsb. Namun teori-paham ini umumnya bersifat sekuler, dan juga hampir semuanya mengandung hal-hal yang bersifat materialistik, maka amatlah sangat diragukan bisa mengandung nilainilai kebenaran-Nya. Sedang ‘rumus-rumus’ dari para nabi-Nya menyangkut aspek lahiriah dan terutama aspek batiniah yang amat lengkap, atas berbagai kebenaran-Nya, terutama berupa pemahaman tentang ‘rumus-rumus’ kehidupan seluruh umat manusia dan berbagai aspeknya, bahkan juga pemahaman tentang Allah, Tuhannya alam semesta yang sebenarnya, Yang Maha Esa dan Yang menciptakan kehidupan manusia itu sendiri Dari sisi manusia, kebenaran-Nya adalah sesuatu pengetahuan atau pemahaman yang amat obyektif atas tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya, yang ada terkandung pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian di seluruh alam semesta (ayat-ayat-Nya yang tertulis dan tak-tertulis, fisik-lahiriah-nyata dan moral-batiniah-gaib). Walau segala pengetahuan manusia pasti tetap bersifat ‘relatif’ (bahkan juga termasuk pengetahuan para nabi-Nya). Sedang dari sisi Allah, segala kebenaran atau pengetahuan-Nya di alam semesta (atau tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya), justru bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’. Pembenaran Al-Qur’an atas para nabi dan kitab-Nya Tidak mengherankan, apabila dalam kitab suci Al-Qur'an, juga terdapat pembenaran ataupun pengakuan terhadap kitab-Nya (kitab tauhid) selain Al-Qur'an, yaitu: Zabur (kepada nabi Daud as), Taurat (kepada nabi Musa as), dan Injil (kepada nabi Isa as), karena para

780

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

nabi-Nya itu memang telah pula bisa melihat dan memahami tandatanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya yang ‘sama’ di alam semesta ini. Semua kitab-Nya (dalam bentuk ‘aslinya’ yang memang belum termodifikasi oleh berbagai campur tangan manusia, selain para nabiNya yang terkait), juga sesuatu kumpulan ayat atau wahyu-Nya, dan kitab tuntunan bagi umat-umat agama tauhid, yaitu: Yahudi, Nasrani dan Islam. 93) Begitu pula, pembenaran dalam Al-Qur'an terhadap para nabiNya sebelum diutus-Nya nabi Muhammad saw, sejak nabi Adam as, karena para nabi-Nya itu merupakan pembawa berita gembira atau kebenaran-Nya. Dan bahkan dalam ajaran-ajaran agama Islam, mereka semuanya juga dianggap sebagai orang-orang yang amat beriman dan bertaqwa kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. 94) Al-Qur’an ada empat macam bentuknya Dari berbagai uraian di atas, dan dari hakekat perwujudannya, pada dasarnya Al-Qur’an memiliki 4 macam bentuk atau jenis, yang bisa ditunjukkan pada tabel berikut (dan Gambar 36 di bawah): (baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang 4 macam bentuk wahyu-Nya) Tabel 18: Empat macam bentuk dari Al-Qur’an

Empat macam bentuk dari ‘Al-Qur’an’ 1. Al-Qur'an sebagai Fitrah Allah (sifat-sifat terpuji Allah) ¾ Al-Qur'an sebagai Fitrah Allah sendiri (atau sifat-sifat terpuji dan termulia pada zat Allah), yang memang telah dipilih-Nya, untuk ditunjukkan-Nya kepada segala zat ciptaan-Nya di alam semesta (terutama kepada manusia sebagai khalifah-Nya di muka Bumi). Al-Qur'an jenis ini tentunya juga bersifat Maha kekal dan Maha gaib, sesuai dengan sifat-sifat-Nya dan belumlah berwujud sama-sekali (belum ditunjukkan-Nya, atau alam semesta belum diciptakan-Nya). Serta masih berupa kehendak atau rencana-Nya bagi alam semesta (segala rencana-Nya dalam pemberian segala pengajaran dan tuntunan-Nya bagi umat manusia).

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama-Nya (sebagai perwujudan dari) Fitrah Allah, Yang telah menciptakan manusia (dan alam semesta ini) menurut Fitrah itu (pula). Tidak ada perubahan pada Fitrah Allah. (Itulah) agama yang


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

781

lurus. Tetapi kebanyakan umat manusia tidak mengetahuinya," (QS.30:30) Ayat tersebut memang tidak langsung mengaitkan antara Al-Qur’an dan Fitrah Allah. Tetapi diketahui pula, kitab suci AlQur’an adalah kitab-Nya terakhir yang menuntun umat penganut agama Islam (agama-Nya yang lurus dan terakhir). 2. Al-Qur'an sebagai tanda-tanda kemuliaan-Nya ¾ Al-Qur'an sebagai tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di seluruh alam semesta ini (atau ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis), sebagai suatu hasil perwujudan dari Fitrah Allah. Al-Qur'an jenis ini adalah suatu hasil perwujudan dari AlQur'an jenis pertama di atas (Fitrah Allah, atau sifat-sifat terpuji Allah), melalui penciptaan alam semesta ini. Al-Qur'an jenis ini (ataupun kitab-Nya lainnya), bersifat kekal (namun hanya sebatas kekekalan alam semesta), gaib dan universal. Dan telah tercatat pada Kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi 'Arsy-Nya, serta telah berwujud (namun tersembunyi dalam berbagai hal di alam semesta). Juga Al-Qur'an jenis ini mustahil akan bisa diungkap dan ditulis seluruhnya oleh umat manusia. Al-Qur'an jenis inilah bentuk dari kalimat, firman, sabda atau wahyu-Nya yang sebenarnya, yang ‘sebagian’ darinya telah dipelajari dan dipahami oleh para nabi-Nya (dari nabi Adam as sampai nabi Muhammad saw), dengan relatif ‘sempurna’ (relatif sangat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan juga tidak saling bertentangan secara keseluruhannya), khususnya tentang segala persoalan yang paling penting, mendasar dan hakiki, bagi umat manusia pada jaman masing-masing para nabi-Nya. Bahkan Al-Qur'an jenis ini bisa dipelajari dan dipahami pula oleh tiap manusia biasa umumnya, tentunya dengan tingkat kelengkapan dan kedalaman pemahaman masing-masing. Baca pula topik "Sunatullah", tentang cara memahami tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya.

"Dan sesungguhnya, Al-Qur`an itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilai kemuliaannya), dan sangat banyak pula mengandung hikmah." (QS.43:4) dan (QS.56:78, QS.85:22)

782

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

"Dan sesungguhnya, telah Kami tulis di dalam (kitab) Zabur, setelah (Kami tulis ke dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai (bagi) hamba-hamba-Ku yang shaleh." (QS.21:105) "Apakah kamu tidaklah mengetahui, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi. Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). …." - (QS.22:70) 3. Al-Qur'an sebagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (al-hikmah) ¾ Al-Qur'an sebagai segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (al-hikmah), yang telah dipahami oleh nabi Muhammad saw, dari hasil mempelajari tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini (pemahaman atas berbagai kebenaran-Nya). Al-Qur'an jenis ini adalah berbagai hasil pemahaman atas Al-Qur'an jenis kedua di atas (ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis, atau tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya). Al-Qur'an jenis ini bersifat fana (hanya sebatas usia nabi Muhammad saw), gaib dan universal. Dan tercatat dalam dadahati-pikiran Nabi setelah dituntun pula oleh malaikat Jibril, telah berwujud dan terungkap (sebagai pengetahuan pada Nabi). Suatu kenabian adalah keseluruhan pemahaman al-hikmah yang telah tersusun relatif ‘sempurna’ (relatif sangat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan juga tidak saling bertentangan), yang disertai pengamalannya yang sangat konsisten. Hal yang persis serupa terjadi pada para nabi-Nya lainnya (semuanya mendapat al-hikmah), terutama pada para penyampai kitab-kitab-Nya (kitab tauhid, atau ayat-ayat-Nya yang tertulis).

"Sebenarnya, Al-Qur`an itu adalah ayat-ayat-Kami yang nyata, di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat-Kami, kecuali orang-orang yang zalim." - (QS.29:49) "Katakanlah: `Barangsiapa menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkan (Al-Qur`an) ke dalam hatimu dengan seijin-Nya. (Kitab yang) membenarkan apa (kitab-kitab-Nya) yang sebelumnya, dan menjadi petunjuk serta menjadi berita


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

783

gembira bagi orang-orang yang beriman`." - (QS.2:97) 4. Al-Qur'an sebagai kitab suci Al-Qur'an (al-kitab) ¾ Al-Qur'an sebagai kitab suci Al-Qur'an, yang telah biasa dikenal oleh umat Islam saat ini (al-Kitab), yang disampaikan oleh nabi Muhammad saw, berdasarkan kepada segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (al-Hikmah) yang telah bisa dipahaminya (hasil pengungkapan atau penyampaian pengajaran dan tuntunan-Nya). Al-Qur'an jenis ini adalah segala hasil pengungkapan atas Al-Qur'an jenis ketiga di atas (hikmah dan hakekat kebenaranNya atau al-Hikmah), dan biasa disebut sebagai 'al-Kitab'. Al-Qur'an jenis ini bersifat fana (sebatas usia kertas kitab suci Al-Qur'an, ataupun sebatas tingkat aktualitasnya atas segala keadaan umat) dan berwujud nyata. Serta juga biasanya disebut "wahyu-Nya yang diwahyukan, disampaikan atau dibacakan". Teks-teks kitab suci Al-Qur'an itu pada dasarnya bersifat temporer sesuai dengan keadaan umat pada saat disampaikannya (dibatasi oleh konteks ruang, waktu dan budaya), yaitu: di sekitar Jazirah Arab, di sekitar jaman Nabi dan terkait dengan budaya bangsa Arab. Karena hampir mustahil Al-Qur'an bisa pula disampaikan menggunakan bahasa universal (bagi umat manusia sampai akhir jaman), yang pasti akan sulit dipahami atau dimengerti oleh umat pada jaman Nabi, ataupun umat pada jaman-jaman lainnya. Namun hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (al-hikmah), di balik teks ayat-ayat Al-Qur'an, jika sesuai dengan pemahaman Nabi, justru mestinya bersifat ‘universal’ (melewati batas ruang, waktu dan budaya), atau bisa terpakai di manapun, kapanpun dan oleh bangsa manapun.

"Dia menurunkan Al-Kitab (Al-Qur`an) kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya, (yang) membenarkan kitab yang telah diturunkan-Nya sebelumnya. Dan (Dia) menurunkan Taurat dan Injil." - (QS.3:3) "Dan sesungguhnya, Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al-Qur`an) kepada mereka, yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami. (Untuk) menjadi petunjuk

784

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

dan menjadi rahmat bagi orang-orang yang beriman." - (QS.7:52) "Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur`an dengan berbahasa Arab, agar kamu bisa (mudah) memahaminya." - (QS.12:2) "Dan demikianlah, Kami wahyukan kepadamu (hai umat Muhammad) wahyu (Al-Qur`an), dengan perintah Kami. Sebelumnya, kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab (Al-Qur`an), dan tidak pula mengetahui, apakah iman itu. …" - (QS.42:52) Sehingga pernyataan "Al-Qur'an itu bersifat qadim (kekal) dan bukanlah makhluk", ataupun sebaliknya "Al-Qur'an adalah diciptakanNya atau bersifat baru" adalah dua pernyataan yang sama-sama 'benar' (hanya berbeda sudut pandangnya saja). Maka umat Islam semestinya tidak perlu berselisih, dalam hal yang disebutkan sebagai "fitnah Khaiqil Qur'an" itu, karena Al-Qur'an pada dasarnya memang memiliki 4 macam bentuk, termasuk ada yang bersifat qadim (kekal), fana, baru, gaib dan nyata. Walau begitu, Al-Qur'an sangat tidak tepat disebut 'makhluk' (semestinya ‘ciptaan’). Justru kehidupan umat manusialah yang selalu terus berkembang, sehingga perlunya segala penafsiran (atau ijtihad), atas segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya dalam kandungan isi teks Al-Qur'an, bagi penerapan aktualnya yang paling tepat dan sesuai dengan segala keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan di dalam kehidupan umat manusia pada tiap jamannya. Sehingga berbagai wahyu-Nya yang diperoleh para nabi-Nya, seolah-olah berubah atau berbeda (disebut pula "diganti-Nya, dengan ayat-ayat-Nya yang lebih baik"). Padahal segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya justru bersifat ‘universal’ dan mestinya tidak berubahubah. maka hanya 'teks' ayat-ayat-Nya saja yang justru bisa berubahubah makin baik, dari kitab-Nya ke kitab-Nya lainnya. "Apa saja ayat-ayat-Kami yang telah Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, (setelah itu) Kami datangkan yang lebih baik darinya, atau sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui, bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS.2:106) Akhirnya, kitab-kitab tauhid itu sendiri (termasuk kitab suci Al-Qur'an), pada dasarnya sesuatu bentuk "ijtihad" dari para nabi-Nya, agar bisa menjawab atau mengatasi segala kebutuhan, tantangan dan


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

785

persoalan kehidupan umatnya, pada tiap jamannya masing-masing. Sedang umat manusia pada tiap jamannya (khususnya melalui Majelis ulamanya), semestinya berusaha memahami tiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di balik teks ayat-ayat Al-Qur’an, secara utuh, konsisten dan tidak saling bertentangan. Lalu agar Majelis ulama bisa melahirkan berbagai "ijtihad" baru, sesuai dengan keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan kehidupan umat, pada tiap jamannya. Gambar 36: Diagram empat macam bentuk Al-Qur’an Zat Allah

Catatan:

Sifat-sifat Allah Seluruh sifat Allah yang sebenarnya, dan mutlak semutlak-mutlaknya.

Penyampaian Al-Qur’an oleh nabi Muhammad saw, berdasar seluruh pemahaman al-Hikmah yang telah tersusun amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan, dari hasil mempelajari tandatanda kemuliaan & kekuasaan-Nya di alam semesta.

Al-Qur'an jenis ke-1

Proses pemilihan

Bentuk pilihan Allah atas sebagian dari seluruh sifat mutlak Allah.

Fitrah Allah Sifat-sifat terpuji dan mulia pada Zat Allah (sifat-sifat dinamis-proses-perbuatan Allah). Proses penciptaan

Alam semesta Segala ciptaan-Nya (benda mati dan makhluk hidup, nyata dan gaib, zat dan non-zat, dsb).

Sebutan lain: ayatayat-Nya yang taktertulis; kitab-Nya yang gaib dan tercatat di Lauh Mahfuzh; wahyu / kalam yang sebenarnya; segala kebenaran-Nya; dsb.

Proses pemahaman, melalui perantaraan malaikat Jibril. Sebutan lain: petunjuk-Nya; hikmah & hidayah-Nya; dsb.

Nabi Muhammad saw Hikmah & hakekat kebenaran-Nya Al-Hikmah, hasil pemahaman Nabi secara amat obyektif, atas tanda-tanda kemuliaan & kekuasaan-Nya di seluruh alam semesta.

Al-Kitab Al-Hikmah yang tertulis / terucap / terungkap.

Al-Qur’an Kitab suci bagi agama Islam (kumpulan wahyu-Nya).

Tidak berbentuk (kehendak-Nya).

Al-Qur'an jenis ke-2 Bentuk perwujudan dari Fitrah Allah (sifat-sifat terpuji dan mulia Allah). Bersifat relatif kekal (sesuai umur alam semesta). gaib & universal.

Tanda-tanda kemuliaan & kekuasaan-Nya Segala sesuatu hal yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’, pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian di seluruh alam semesta.

Bersifat Maha kekal dan Maha gaib (sesuai sifat-sifat Allah).

Lauh Mahfuzh di sisi ‘Arsy-Nya.

Al-Qur'an jenis ke-3 Bentuk pemahaman dari tanda-tanda kemuliaan & kekuasaan-Nya. Bersifat fana (sesuai umur nabi Muhammad saw). gaib & universal. Pengetahuan dalam hati / dada.

Sebutan lain: ayatayat-Nya yang tertulis / terucap / terungkap; risalah-Nya; dsb. Hanya contoh pengamalan atas al-qu’ran.

Sunnah Nabi Berbagai lisan, sikap dan contohperbuatan dari Nabi.

Al-Qur'an jenis ke-4 Bentuk pengungkapan dari hikmah & hakekat kebenaran-Nya. Bersifat fana (sesuai perkembangan umat manusia), nyata & aktual. Tulisan, lisan, sikap dan perbuatan.

Hadits Nabi Kitab-kitab tertulis tentang Sunnah-sunnah Nabi.

786

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

Tentunya berbagai ‘ijtihad baru’ itu mestinya hanya dilakukan sewajarnya saja dan juga tidak mestinya semuanya serba baru, karena ada banyak pula berbagai hal dalam kehidupan umat pada jaman Nabi, yang relatif serupa dengan kehidupan umat pada saat ini, khususnya pada berbagai hukum syariat yang ‘wajib’ ataupun yang relatif sangat tegas aturan ‘halal-haramnya’. Al-Qur’an bukan produk budaya manusia Makna dari istilah ‘budaya’, yaitu “nilai-nilai (budi) dari hasil daya-upaya suatu masyarakat”. Lalu ada sebagian dari kalangan umat Islam yang beranggapan, bahwa karena kitab suci Al-Qur’an antara lainnya terdiri dari bahasa, huruf dan kertas, yang merupakan berbagai hasil budaya manusia, maka mereka juga beranggapan, bahwa “kitab suci Al-Qur’an adalah produk budaya manusia” Anggapan itupun tentu saja sangat dangkal dan keliru, karena mustahil ada sesuatu hal yang diturunkan-Nya kepada manusia, yang tidak berwujud ‘budaya’, bahkan hal seperti ini pasti selalu melibatkan campur tangan manusia. Karena Allah bersifat Maha gaib atau Maha tersembunyi, begitu pula segala tindakan-Nya di alam semesta (segala kejadian yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’, namun juga Maha halus). Satu-satunya bukti bahwa segala sesuatu hal (catatan, tulisan, ayat, keterangan, ucapan, dsb) pasti berasal dari Allah, justru hanyalah karena hal itu "benar" (atau haq). Suatu kebenaran justru bisa tertulis di manapun, bisa disampaikan dengan cara bagaimanapun, serta bisa disampaikan oleh siapapun, karena berbagai kebenaran yang bersifat ‘mutlak’, ‘kekal’ dan ‘universal’ memang hanya milik Allah. Segala nilai kebenaran-Nya justru sama sekali tidak ada hubungannya dengan sesuatu bentuk ciptaan-Nya (malaikat, para nabi-Nya, bahasa, huruf, kertas, dsb), tetapi menyatu dengan keseluruhan alam semesta. Bahkan setelah kitab suci Al-Qur’an diturunkan-Nya, justru sangat banyak membawa perubahan bagi kehidupan dan budaya pada masyarakat Arab yang sebelumnya penuh dengan kesesatan, kebatilan, kezaliman ataupun penyelewengan. Maka kitab suci Al-Qur’an justru sama sekali bukan produk budaya manusia. Lebih jelasnya lagi, segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya dalam Al-Qur’an pasti hanya bisa disampaikan sesuai dengan keadaan budaya dan kehidupan umat sehari-hari, pada waktu disampaikannya, yang tentunya bersifat positif ataupun netral (seperti: bahasa, keadaan alam, perkembangan kehidupan umat Nabi, dsb). Serta mustahil Al-Qur’an bisa disampaikan melalui pengajaran


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

787

dan tuntunan-Nya, yang justru sulit dipahami atau sulit dilaksanakan oleh umat sehari-harinya pada jaman Nabi. Bahkan dengan sendirinya, juga mustahil Al-Qur’an bisa disampaikan sekaligus bisa sesuai untuk seluruh umat manusia di seluruh muka Bumi, di segala jaman dan bagi segala suku-bangsa. Misalnya pada daerah Arab yang penuh dengan padang pasir, selain disyariatkan agar umat bisa berwudlu dengan air, maka pada keadaan tertentu justru dibolehkan berwudlu dengan debu atau tanah. Tentunya semestinya perlunya ada sesuatu ijtihad (di luar hal-hal yang telah diajarkan Nabi), bagi berbagai umat yang justru kesulitan dengan air, debu dan tanah itu. Seperti bagi suku Eskimo di daerah kutub, yang semata hanya penuh dengan es (juga tidak ada debu); sehingga sangat terlalu dingin untuk bisa berwudlu dengan air es, yang justru mudah membuat umat menjadi sakit ataupun mati; sulit melepas pakaian penghangat; dsb. Dan tentunya.sangat repot jika harus memanaskan air untuk berwudlu. Padahal Al-Qur’an sendiri menyatakan, "… lalu kamu tidak bisa memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur." - (QS.5:6) Sedang hikmah dan hakekat kebenaran-Nya dalam ayat QS.5:6 itu bukan pada cara dan sarana yang dipakai untuk berwudlu (air, debu dan tanah), namun justru pada hal-hal yang bisa ‘membersihkan’ dan ‘tidak menyulitkan’, apapun cara dan sarananya, sesuai keadaan tiap umat. Tentunya dalam keadaan biasa atau memungkinkan, maka air, debu dan tanah sebaiknya dipakai. Perlunya ada perubahan syariat melalui ijtihad di atas bukanlah mengikuti kemauan ataupun budaya manusia, namun justru mengikuti berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya. Dan tentunya mustahil dinyatakan, bahwa ajaran agama Islam hanya bisa sesuai bagi bangsabangsa tertentu, tetapi misalnya tidak bisa sesuai bagi suku Eskimo di atas, ataupun bagi umat-umat lainnya yang relatif sulit melaksanakan syariat yang disebut dalam ‘teks-teks’ Al-Qur’an dan Hadits. Tiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya dalam ajaran agama Islam mestinya bisa sesuai bagi seluruh umat manusia, karena bersifat ‘universal’ (bisa melewati batas ruang, waktu dan budaya), sebaliknya

788

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

syariat justru mestinya disesuaikan dengan tempat, jaman dan budaya umat, yang diberlakukannya syariat itu. Sekali lagi, kitab suci Al-Qur’an bukan produk budaya, walau ‘teks’ ayat-ayatnya memang justru sangat terkait dengan manusia dan budayanya. Dan alam semesta ini bukan diciptakan oleh manusia, atau bukan produk budaya, sedang segala kebenaran-Nya justru berada dan menyatu dengan keseluruhan alam semesta ini. Al-Qur’an bukan kitab sastra Dari segi bentuk, barangkali sebagian dari teks kitab suci AlQur’an serupa dengan suatu hasil karya sastra, karena keindahan tatabahasanya. Hal ini biasanya terjadi hanya pada surat-surat Al-Qur’an yang pendek, seperti adanya ayat-ayat suatu surat yang diulang-ulang untuk menimbulkan penekanan tertentu, atau pada awal dan akhir ayat dipakai kata-kata yang memiliki bunyi sama, ataupun memiliki segala perumpamaan yang menarik. Namun dari segi isi, kitab suci Al-Qur’an sangat jauh berbeda dari sesuatu karya sastra. Isi karya sastra pada umumnya justru jauh lebih mementingkan keindahan tata bahasanya, daripada kebenaran isi kandungannya. Bahkan umumnya terkandung segala fakta, kenyataan atau kebenaran yang sangat sederhana dan aktual yang terjadi dalam masyarakat, yang disembunyikan atau dibungkus menggunakan katakata yang tersusun menarik. Sehingga pembaca menjadi tertarik untuk mengungkap makna-makna tersembunyi di dalamnya (tidak langsung tampak akibat permainan kata-katanya, semakin tersembunyi semakin menarik). Karya sastra juga banyak mengandung segala khayalan. Fakta, kenyataan atau kebenaran itupun juga biasanya bersifat relatif menurut manusia, bukanlah mengandung nilai-nilai kebenaranNya yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’, seperti dalam Al-Qur’an. Dalam posisi di tengah, di antara Al-Qur’an dan karya sastra umumnya itu, ada pula karya puisi dari para sufi. Puisi para sufi itu memang sesuatu bentuk karya sastra. Namun di balik kata-katanya itu disembunyikannya berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (atau makrifat), yang telah bisa mereka pahami. Namun tentu saja, seluruh hikmah dan hakekat kebenaran-Nya pada mereka itu relatif jauh dari kesempurnaan yang telah dimiliki oleh para nabi-Nya (sangat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan). Para sufi itu biasanya menyembunyikan berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, agar menghindari fitnah dan kemudharatan di kalangan umat yang awam, sehingga relatif hanya bisa dipahami dan


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

789

ditujukan kepada umat yang berilmu tinggi saja. Sedang tiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya dalam teks ajaran agama-Nya, bisa sangat berbeda daripada makna tekstual-harfiahnya, yang biasanya dipahami langsung oleh sebagian besar umat, dari teks-teksnya. Juga kebenaran kandungan isi kitab suci Al-Qur’an jauh lebih penting daripada keindahan tata-bahasanya. Walau penyampaian tiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di dalamnya memang telah sangat disederhanakan, agar bisa relatif mudah dipahami dan diamalkan oleh umat yang awam sekalipun, misalnya dengan memakai segala bentuk contoh-perumpamaan simbolik atas hal-hal gaib dan batiniah. Dengan sendirinya, segala kebenaran-Nya yang disampaikan oleh Nabi, secara tertulis (Al-Qur’an), lisan ataupun contoh perbuatan (sunnah-sunnah Nabi), sedikit-banyak pasti lebih sederhana bentuknya daripada pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya yang terkait di dalam dada-hati-pikiran Nabi. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang keterbatasan bahasa lisan dan tulisan dalam penyampaian wahyu-Nya. Contoh sederhananya, Nabi telah mencapai pemahaman yang relatif sangat lengkap dan mendalam atas seluruh nama atau sifat-Nya pada Asmaul Husna, namun hal inipun mustahil bisa cukup dijelaskan secara utuh dan lengkap melalui kitab suci al-Qur’an, barangkali perlu satu atau beberapa buku tersendiri bagi penjelasan selengkapnya. Tentang Asmaul Husna itu, bahkan Imam Ghazali misalnya perlu mengungkapnya dengan cukup lengkap dalam bukunya setebal ±140 halaman berjudul "Al-Maqsad Al-Asna". Tentunya pemahaman Nabi atas hal-hal gaib seperti ini, pasti jauh lebih sempurna lagi (lebih lengkap dan mendalam). Sedang di lain pihak, selain sifat-sifat-Nya itu justru banyak hal penting lainnya yang terkait dengan seluruh aspek kehidupan umat manusia, yang juga mestinya disampaikan pada kitab suci Al-Qur’an. Sehingga penjelasan atas sifat-sifat-Nya itu justru hanya bisa disebut secara sangat sederhana dan ringkas. Hal inipun bahkan hanya tentang beberapa sifat-Nya saja, sebagian lainnya justru melalui Hadits Nabi. Dari pemakaian bahasa yang sangat sederhana, sangat mudah dipahami, serta mengandung nilai-nilai kebenaran-Nya yang bersifat ‘mutlak’, ‘kekal’ dan ‘universal’ di balik teks-teks sederhana itu, maka kitab suci Al-Qur’an justru sangat jauh berbeda daripada berbagai ciri khas suatu karya sastra pada umumnya.

790

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

"dan Al-Qur`an itu bukanlah perkataan orang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya." - (QS.69:41) "Dan Kami tidaklah mengajarkan syair kepadanya (Muhammad), dan bersyair itu tidaklah layak baginya. Al-Qur`an itu tidak lain hanyalah pelajaran, dan suatu kitab yang memberikan penerangan," (QS.36:69) "Bahkan mereka berkata (pula): `(Al-Qur`an adalah khayalan atau) mimpi-mimpi yang kalut, justru diada-adakannya, bahkan ia (Muhammad) sendiri seorang penyair, …`." - (QS.21:5) "Atau mereka (orang kafir) mengatakan: `Dia (Muhammad) membuat-buatnya (Al-Qur`an)`. Sebenarnya mereka tidak beriman."; "Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal AlQur`an itu, jika mereka orang-orang yang benar." - (QS.52:33-34) "Dan para penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat."; "Tidakkah kamu melihat, bahwasanya mereka mengembara di tiaptiap lembah,"; "dan bahwasanya, mereka suka mengatakan, apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan-(nya)?," - (QS.26:224-226) "dan mereka (orang kafir) berkata: `Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami, karena seorang penyair gila?`."; "Sebenarnya dia (Muhammad) telah datang membawa kebenaran, dan membenarkan rasul-rasul (sebelumnya)." (QS.37:36-37) "Bahkan mereka (orang kafir) mengatakan: `Dia (Muhammad) adalah seorang penyair, yang …`." - (QS.52:30) Otentisitas teks kitab suci Al-Qur’an, tak-ternilai harganya Walau keseluruhan pembahasan pada buku ini pada dasarnya sejauh mungkin berusaha menghindari pemahaman ‘tekstual-harfiah’ atas ayat-ayat kitab suci Al-Qur’an. Di lain pihak, justru keotentikan dan kesakralan teks kitab suci Al-Qur’an, adalah suatu yang mestinya dipertahankan oleh tiap umat Islam yang beriman, dan juga tidak bisa ditawar-tawar. Sebaliknya tiap wacana ataupun usaha dekonstruksi kitab suci Al-Qur’an mestinya sejauh mungkin dihindari, antara-lain karena:

Berbagai kelemahan pada usaha dekonstruksi dan desakralisasi atas kitab suci Al-Qur’an a.

Teks kitab suci adalah sumber dasar utama keyakinan umat, yang tidak bisa tergantikan dan harus tetap terjaga otentik dengan cara bagaimanapun, terutama untuk bisa menghindari timbulnya segala bentuk keraguan di kalangan umat.


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

791

Sekali teks ayat kitab suci diubah, maka hancurlah pondasi paling dasar dan utama bagi keyakinan batiniah tiap umat. Karena tiap kitab-Nya adalah suatu sumber pengajaran dan tuntunan-Nya yang paling sempurna, yang bisa dimiliki oleh seluruh umat manusia pada tiap jamannya. b.

Tiap usaha perubahan teks kitab suci, sama halnya dengan membuka sesuatu ‘kotak pandora’, karena pasti diikuti oleh berbagai usaha perubahan berikutnya, yang relatif tidak akan pernah selesai tuntas sampai akhir jaman.

c.

Dengan telah berakhirnya jamannya para nabi-Nya dahulu, justru keotentikan teks kitab-Nya menjadi sesuatu ‘harga mati’ (tidak bisa ditawar-tawar untuk diubah-ubah), karena teks kitab suci amat tak-ternilai harganya, dan bahkan juga amat sulit bisa dibayangkan nilainya oleh sebagian umat. Karena hanya kepada para nabi-Nya itulah yang diberikan-Nya wahyu-Nya, sedang tiap wahyu-Nya adalah tiap pemahaman dalam kesatuan bangunan pemahaman yang berupa segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya yang tersusun relatif ‘sempurna’ (relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan). Serta di antara seluruh umat manusia pada tiap jamannya, memang hanya para nabiNya yang paling memahami berbagai kebenaran-Nya secara relatif ‘sempurna’.

792

manusia (dari umat yang amat awam sampai umat yang amat berilmu). f.

Teks kitab suci yang tetap otentik, justru makin mudah dihapal oleh tiap umat. Makin banyak umat yang menghapalnya, justru makin bisa terjaga keotentikannya, ataupun makin terhindar dari segala perubahan dan campur tangan manusia. Jika teks kitab suci diubah-ubah, dengan sendirinya hilang-musnah pula segala usaha dan potensi amat besar dari para penghapal kitab suci.

g.

Teks kitab suci adalah alat pemersatu seluruh umat penganut sesuatu agama, begitu pula bahasa yang dipakai adalah bahasa pemersatu (lingua franca).

h.

Pemahaman atas makna tiap ajaran agama hanya milik tiap pribadi umat, dari hasil memahami teks-teks kitab sucinya, dengan cara pandang yang berbeda-beda dan tanpa batas-ukuran (bersifat relatif). Maka pemahaman dan maknanya itulah yang justru bersifat ‘tidak sakral’. Sebaliknya teks kitab suci justru bersifat ‘sakral’, karena dipakai oleh ‘seluruh’ umat, walaupun makna-makna tekstual-harfiahnya memang suatu bentuk pemahaman dan makna yang relatif paling sederhana. Sehingga usaha desakralisasi ‘teks’ kitab suci yang justru semestinya dihindari, yang amat berbeda daripada desakralisasi ‘makna’ di dalamnya. Tiap umat pasti bisa relatif lebih bebas dalam memaknai tiap teks kitab suci, asalkan ia tidak terlalu melenceng jauh dari dasar-dasar pokok ajaran agama-Nya.

Maka hanya para nabi-Nya yang memiliki kapasitas untuk menyusun kitab-Nya. Dan kitab suci Al-Qur’an adalah kitab-Nya yang terakhir dan paling sempurna. Sedang setelah wafatnya nabi Muhammad saw sebagai nabi yang terakhir, tentunya pemahaman umat selanjutnya pada dasarnya ‘relatif’ jauh di bawah kesempurnaan pemahaman Nabi, atas kitab suci Al-Qur’an.

i.

Maka tiap hasil perubahan teks kitab suci, juga pada dasarnya pasti tetap bersifat ‘relatif’, walau makna tekstual-harfiahnya barangkali memang bisa menjadi lebih baik. d.

Pemahaman ‘relatif’ namun juga paling sempurna, yang bisa dicapai umat manusia pada tiap jamannya adalah pemahaman pada para nabi-Nya, yang sebagian darinya telah pula menyampaikan kitab-kitab-Nya.

Agar umat yang awam bisa perlahan-lahan makin mendalam pemahamannya, sejalan dengan makin bertambah luasnya pengetahuannya. Juga agar umat tidak merasa dipaksa, untuk meloncat ke tingkat pemahamannya umat yang berilmu tinggi.

Maka pernyataan seperti "Al-Quran bisa dipandang sakral secara substansi, tetapi tulisannya tidak sakral.", adalah suatu yang amat keliru dan aneh (terbalik). Apa yang bisa disakralkan dari ‘substansi’ Al-Quran, yang sama sekali tidak memiliki bentuk atau gaib?. ‘Tidak bisa’, bahkan tiap pemahaman ‘substansi’ pasti tetap bersifat ‘relatif’ sampai Hari Kiamat. Dan tentunya juga tidak akan pernah ‘sakral’.

Bagi umat yang berilmu, ia bisa meningkatkan pemahaman atas berbagai kebenaranNya, melalui segala bahan bacaan lainnya dari berbagai bidang ilmu (ilmu agama dan non-agama), yang dibuat oleh para alim-ulama dan cendikiawan terdahulu.

Teks atau mushaf kitab suci Al-Quran justru mestinya tetap disakralkan, karena ‘hanya’ dari teks-teks itulah, umat-umat yang amat berilmu sekalipun justru bisa jauh lebih sempurna memahami hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di dalamnya.

Maka amat sangat tidak relevan bagi umat yang berilmu, untuk berusaha mengubahubah teks kitab suci, apalagi hanya untuk kepentingan kepuasan pribadinya semata. Agama-Nya bukan hanya milik ataupun hanya untuk umat yang relatif amat tinggi dan mendalam ilmu agamanya saja, tetapi milik ataupun untuk seluruh umat manusia. Bahkan umat yang awam justru jumlahnya mayoritas dari seluruh umat beragama. Demikian pula teks kitab suci agama-Nya, semestinya bisa dipakai oleh seluruh umat

Nilai kemudharatan dari tiap usaha mengubah-ubah teks kitab suci, justru amat sangat jauh lebih besar, daripada segala keuntungan bagi umat yang mengubahnya (bisa memiliki dan mengungkap pemahaman yang jauh lebih mendalam, daripada sekedar memahami makna tekstual-harfiahnya). Padahal nilai kemanfaatan dari keotentikan teks kitab suci justru telah amat sangat jelas, dan juga menyangkut kehidupan beragama seluruh umat manusia. Sedang tiap pemahaman umat atas berbagai kebenaran-Nya pada dasarnya pasti tetap bersifat ‘relatif’ (tidak akan pernah bersifat ‘mutlak’), sampai dibukakan-Nya pada Hari Kiamat. Dan tiap pemahaman juga hanya menyangkut umatnya sendiri, ataupun beberapa umat lainnya yang mengikutinya.

Teks kitab suci memang relatif amat terbatas, untuk bisa mengungkap makna sebenarnya dari tiap wahyu-Nya di dada-hati-pikiran para nabi-Nya (berupa hikmah dan hakekat kebenaran-Nya). Juga teks-teks kitab suci memang sengaja disederhanakan, agar relatif lebih mudah bisa dipahami dan diamalkan oleh umat pada umumnya. Namun justru hanya melalui teks wahyu-Nya yang relatif sederhana itulah, tiap umat (terutama umat yang awam) bisa ‘mulai’ berusaha memahami makna sebenarnya di balik teks-teksnya.

e.

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

j.

Amat aneh bisa timbul pernyataan seperti "otentisitas kitab suci Al-Quran perlu digugat" pada sebagian kecil kalangan ahli ilmu agama, khususnya hanya karena makna teksual-harfiah pada teks ayat-ayat Al-Qur’an, dianggap tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya).


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

k.

793

794

Padahal ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis yang ada di alam semesta ini, “mustahil bisa dituliskan dengan tinta sebanyak beberapa samudera”. Maka kitab-kitab-Nya (juga termasuk kitab suci Al-Qur’an) pada dasarnya suatu bentuk ‘rangkuman’ pemahaman atas sebagian dari ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis, yang telah mampu dipahami para nabi-Nya (melalui perantaraan malaikat Jibril), terutama tentang berbagai hal yang paling penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan umat manusia (Pencipta, tujuan penciptaan alam semesta dan kehidupan makhluk, alam gaib dan akhirat, dsb). Bahkan teks hasil rangkuman inipun telah amat disederhanakan, agar umat bisa relatif mudah memahami dan mengamalkan berbagai pengajaran dan tuntunan-Nya.

an manusia, juga sama sekali tidak terkait dengan perbuatan dan budaya manusia.

Padahal ukuran otentisitas tiap teks tertulis amat sederhana, bahwa teks itu memang berasal dari seseorang (ditulisnya sendiri ataupun tidak), yang diperkuat oleh sejumlah saksi. Dan kitab suci Al-Quran jelas-jelas berasal dari nabi Muhammad saw.

Orang beriman mestinya tidak mengeluarkan pernyataan seperti itu, karena diragukan apakah ia beriman kepada hal-hal gaib (Allah, para malaikat, dsb).

Amat aneh bisa timbul suatu pernyataan seperti "Al-Qur’an adalah perangkap bangsa Arab Quraisy" atau "orang yang mensakralkan Al-Qur’an telah berhasil terperangkap siasat bangsa Arab Quraisy". Padahal kelahiran nabi Muhammad saw sebagai orang Arab, ataupun diturunkan-Nya kitab suci Al-Qur’an melalui bangsa Arab, juga bukan kehendak bangsa Arab Quraisy. Padahal kitab suci Al-Qur’an semestinya disakralkan, karena di dalamnya terkandung berbagai kebenaran-Nya, yang amat tinggi nilai dan kemuliaannya. Hal ini amat berbeda dengan pensakralan Al-Qur’an pada pernyataan sebagian ahli ilmu agama di atas, yang sebenarnya bukan suatu bentuk pensakralan, tetapi suatu pemaksaan kepada bentuk pemahaman secara tekstual-harfiah oleh sebagian alim-ulama. Dari pernyataan di atas, ‘seolah-olah’ bangsa Arab Quraisy telah sengaja berusaha mengambil keuntungan dari pemahaman secara tekstual-harfiah itu. Hal ini sama sekali tidak beralasan, karena ada segala bentuk pemahaman yang berkembang di kalangan umat (bangsa Arab ataupun non-Arab), seperti: dari yang amat maju ataupun sampai yang amat tradisional, amat utuh ataupun parsial, amat mendalam ataupun sederhana, dan pemahaman secara tekstual ataupun hakekat.

Maka pernyataan seperti "Al-Quran adalah produk budaya manusia." adalah sesuatu yang amat keliru dan aneh. Sedangkan segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya ‘di balik’ teks ayat-ayat Al-Al-Qur'an justru bersifat ’mutlak’, ‘kekal’ dan ‘unversal’. Apakah ada sesuatu hal yang diturunkan-Nya kepada manusia, yang tidak berwujud ‘budaya’?. ‘Tidak ada’, semuanya pasti selalu melibatkan campur tangan manusia. Sedang Allah bersifat Maha gaib atau Maha tersembunyi, demikian pula segala tindakanNya di alam semesta ini (berupa segala proses kejadian yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’, namun juga Maha halus).

Baca pula uraian di atas, tentang Al-Qur’an bukan produk budaya manusia. m. Hasil budaya dengan nilai-makna yang bersifat relatif dan temporer di dalamnya, amat berbeda daripada hasil budaya dengan nilai-makna yang bersifat ‘mutlak’, ‘kekal’ dan ‘universal’ di dalamnya. Walau semua nilai-makna ini memang berada di balik hal-hal yang tampak, dan sekaligus hasil buatan manusia. n.

Bukan suatu kewajiban bagi seorang umat kepada umat lainnya, agar mau mengikuti pemahamannya (walau dianggapnya lebih benar dan lebih mendalam). Dalam agama Islam, kewajiban itu hanya semata memberi pengajaran (akan diikuti ataupun tidak). o.

Padahal segala kebenaran di alam semesta ini justru yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’ hanya milik dan berasal dari Allah semata, bagaimanapun cara penyampaiannya, pada kitab manapun tertulis ataupun siapapun penyampainya. Segala kebenaran ’mutlak’ dan ‘kekal’ seperti itu sama sekali berada di luar kekuasa-

Secara batiniah justru pasti berkurang nilai penghargaan seorang umat terhadap segala nilai-makna luhur dalam teks kitab suci, jika ia sendiri menginjak-injak teksnya. Walau memang diawali hanya karena ia tidak menyetujui dan tidak menghargai makna tekstual-harfiahnya, serta karena kekecewaannya kepada sebagian umat lainnya, yang justru memahami agama hanya sebatas makna tekstual-harfiah kitab sucinya.

Bahasa, huruf dan kertas memang hanya alat-sarana hasil budaya, tetapi makna-makna yang disampaikan oleh para nabi-Nya di dalam teks kitab suci agama-Nya (kitabkitab tauhid), tidak berarti dengan sendirinya juga hasil budaya. Bahkan pada saat turunnya agama dan kitab-Nya, justru amat banyak membawa perubahan pada kehidupan dan budaya umat kaumnya para nabi-Nya. Alat penyampaian (wadahnya) pasti tetap berbeda daripada makna yang disampaikan (isinya). Jika tidak dipisah antara wadah dan isi seperti itu (antara sumber dan hasil, antara awal dan akhir, dsb), maka segala sesuatu hal yang ada pada manusia justru pasti bisa disebut ‘produk budaya manusia’.

Hanya dari teks kitab suci, seluruh umat bisa mendapatkan pengajaran dan tuntunanNya, dengan relatif sempurna. Walau tiap umat memiliki tingkat kedalaman pemahaman yang berbeda-beda atas kitab sucinya, dari yang amat sederhana sampai yang amat mendalam. Di samping itu juga bisa berbeda-beda tingkat kebenaran dan tingkat integritas pemahamannya. Pemahaman yang paling ‘sempurna’ adalah amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan keseluruhannya, seperti pada para nabi-Nya.

Dan padahal tidak ada sesuatupun keuntungan yang disebut dalam Al-Qur’an, yang khusus diberikan-Nya hanya bagi bangsa Arab Quraisy, selain tentang ibadah haji ke Mekah. Hal-hal selain itu diyakini hanya disebut dalam hadits-hadits ‘palsu’. l.

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

Ibarat sederhananya, terlalu berlebihan jika seorang mahasiswa menginjak-injak buku pelajaran bagi siswa SD, SLTP atau SLTA, hanya karena buku itu telah tidak sesuai lagi baginya. Padahal ia hanya bisa menjadi mahasiswa setelah membaca buku itu, yang juga tetap diperlukan oleh para siswa yunior. Begitu pula, mestinya si mahasiswa tidak memaksakan diri mengajari siswa-siswa SD, jika buku-buku teks SD terasa terlalu sederhana baginya. Justru ia mestinya mengajari siswa-siswa yang lebih tinggi tingkatan ilmunya. p.

Kekecewaan sebagian alim-ulama kepada alim-ulama lain, yang bersifat konservatif dan ortodoks, yang semata hanya memahami agama sebatas makna tekstual-harfiah dari tiap ajarannya, sama sekali bukan sesuatu alasan, untuk bisa langsung mengubah-ubah teks kitab sucinya. Walau kekecewaan ini memang amat beralasan, karena makna tekstual-harfiah dari


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

795

796

teks ayat-ayat kitab suci adalah hasil pemahaman yang relatif paling sederhana. Khususnya karena penyampaian tiap teks tertulis memang amat tergantung kepada konteks ruang, waktu dan budaya umat, ketika disampaikan. Sedang makna yang sebenarnya atau hikmah dan hakekat kebenaran-Nya mestinya bersifat ‘universal’ (melewati batas ruang, waktu dan budaya). Makna tekstual-harfiah itu justru amat perlu untuk dipakai sebagai pengajaran awal dan sementara bagi umat-umat yang awam. Dari segi pengamalannya, justru terusmenerus bisa lebih diperbaiki, melalui ijtihad para alim-ulama pada tiap jamannya, terutama untuk makna tekstual-harfiah yang telah tidak sesuai lagi bagi pengamalannya.

dari suatu alat-sarana untuk bisa mendapat legitimasi moral, kolektif dan resmi, atas tiap bentuk pemenuhan nafsu kesenangan duniawinya. Akhirnya kebenaran, kesakralan, integritas, validitas dan keotentikan teks kitab sucinya, bukan hal-hal yang terlalu penting bagi mereka, kalau perlu mereka mengubahubah teks kitab sucinya, sesuai keadaan dan kebutuhannya pada tiap jamannya. Namun amat ironisnya, dengan tanpa malu-malu dan ragu-ragu, justru teks-teks kitab suci yang telah diubah-ubahnya itu tetap mereka sebut sebagai ‘wahyu-Nya’. u.

Masing-masing alim-ulama memiliki wilayah dakwahnya tertentu yang sesuai (ada bagi umat yang awam, dan juga ada bagi umat yang berilmu, pada segala tingkatannya).

Suatu kitab suci juga bukan hanya sebatas teks kitabnya saja, tetapi suatu kesatuan yang amat utuh, serta terkait amat erat dengan segala penjelasannya (seperti sunnahsunnah Nabi) ataupun segala catatan tentang konteks keadaan dan sejarah pada saat penyampaiannya (bahasa, waktu, tempat, budaya, dsb). Karena dengan hal-hal inilah teks ayat kitab suci bisa lebih dipahami kembali makna sebenarnya di baliknya (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya).

Ada banyak cara bagi tiap umat, untuk mengungkap segala bentuk pemahaman yang dimilikinya, tanpa harus berusaha mengubah-ubah teks kitab suci Al-Qur’an, seperti melalui pintu ‘ijtihad’ ataupun melalui pembuatan buku-buku, untuk menyampaikan segala pemahaman yang dimiliki. Ijtihad adalah cara yang amat cerdas yang diajarkan dalam agama Islam, sebagai sarana bagi umat yang telah berilmu relatif tinggi dalam hal-hal agama, agar ajaran agama-Nya terus-menerus tetap bisa aktual sesuai dengan segala keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan umat pada tiap jamannya, sampai akhir jaman. Namun karena hasil ijtihad ini menyangkut kehidupan beragama seluruh umat Islam, maka mestinya juga hanya dilahirkan melalui Majelis alim-ulama pada tiap jamannya. Dan penyampaian tiap hasil pemahaman ataupun ijtihad ini mestinya dilakukan secara amat hati-hati dan amat arif-bijaksana, agar tidak pula melahirkan segala fitnah ataupun kemudharatan, yang jauh lebih banyak daripada kebaikannya.

r.

Hampir tidak ada para alim-ulama terkemuka terdahulu, yang berusaha mengubahubah teks kitab suci Al-Qur’an.

s.

Mestinya tiap umat tetap beriman kepada kitab-kitab-Nya, walau tiap umat bisa memiliki pemahaman yang relatif berbeda-beda, atas teks ayat-ayatnya (QS.3:7).

t.

Agama Islam amat berbeda daripada agama-agama lainnya yang telah mengandung kemusyrikan, karena tiap bentuk kemusyrikan justru mustahil diajarkan-Nya. Segala bentuk kemusyrikan justru pasti berasal dari manusia sendiri. Dengan sendirinya, agama-agama musyrik dan bersifat materialistis, juga pada dasarnya hasil buatan dan hasil campur-tangan manusia, yang umumnya demi memenuhi berbagai kepentingan lahiriah-fisik-duniawinya. Walau ada pula agama-agama musyrik, yang bukan demi memenuhi kepentingan tertentu, namun hanya karena amat terbatasnya pemahaman para penyampainya, atas berbagai kebenaran-Nya (khususnya pada keterbatasan pengetahuannya atas hal-hal gaib dan batiniah), sehingga pemahamannya cenderung menjadi bersifat materialistik. Sehingga agama bagi sebagian para penganut kemusyrikan itu, umumnya tidak lebih

Tiap usaha perubahan teks-teks kitab suci, sama halnya dengan makin memisahkan (menambah jarak), antara teks kitab suci dan wahyu-Nya. Karena tiap wahyu-Nya bukan suatu hal yang berdiri sendiri dan terpisah, namun justru suatu kesatuan yang utuh dan lengkap, atas seluruh wahyu-Nya dalam suatu kitab-Nya. Tiap wahyu-Nya adalah tiap hasil pengungkapan oleh nabi penyampainya, dari suatu kesatuan seluruh pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, yang telah tersusun dengan relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan, yang diperolehnya melalui perantaraan malaikat Jibril.

Asalkan tiap alim-ulama tidak bersikap berlebihan, seperti tidak merasa paling benar sendiri, dan terus-menerus mau membuka diri menerima kebenaran, sedangkan para alim-ulama lainnya tidak amat mudah dituduhnya sebagai sesat, tanpa satupun dalilalasan yang jelas, maka atas ijin-Nya, tiap alim-ulama semacam ini pada dasarnya telah berada pada jalan-Nya yang lurus atau benar. q.

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

Maka tiap usaha perubahan teks-teks ayat kitab suci, justru pasti akan mengubah pula segala hal lainnya yang terkait (ayat-ayat lainnya, segala penjelasannya, segala catatan konteks keadaan dan sejarah penyampaiannya, dsb). Lebih parahnya lagi, hasil dari tiap perubahan teks kitab suci itu pasti mengakibatkan nilai-nilai di dalamnya perlahan-lahan makin bergeser jauh dari nilai-nilai kebenaranNya, seperti ketika disampaikan oleh para nabi-Nya kepada umatnya. v.

Jika teks kitab suci akan diubah-ubah, agar makna tekstual-harfiahnya bisa dianggap menjadi relatif jauh lebih baik, ataupun relatif lebih mendekati berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (makna-makna sebenarnya). Maka hampir bisa dipastikan, bahwa kitab suci itu justru akan bisa berubah wujud menjadi puluhan buku tebal, yang bisa jauh lebih banyak dan tebal daripada kitab-kitab tafsir yang ada saat ini. Lebih utamanya lagi hampir bisa dipastikan, bahwa umat tidak akan bisa memperoleh pengajaran dan tuntunan-Nya, yang amat mudah bisa dipahami dan diamalkannya (praktis-aplikatif dan aktual), dari kitab suci yang ‘baru’ itu. Karena dalam kitab suci ‘baru’ itu justru berisi berbagai nilai-nilai kebenaran-Nya yang bersifat ‘universal’ (bisa melewati batas ruang, waktu dan budaya), yang relatif hanya bisa dipahami oleh umat-umat yang berilmu amat tinggi, dan bahkan sama sekali relatif tidak bisa diamalkan oleh umat, dalam kehidupannya sehari-hari. Bahkan justru kitab suci ‘baru’ itupun jauh lebih hebat dan ilmiah, daripada seluruh buku ilmu-pengetahuan yang pernah dibuat oleh umat manusia sepanjang masa. Termasuk pasti jauh lebih hebat dan ilmiah, misalnya daripada buku yang dibuat oleh ilmuwan terkenal dunia seperti Albert Einstein. Karena Albert Einstein hanya bisa berhasil mengungkap sebagian amat sangat sedikit saja dari ilmu-Nya, dan bahkan juga hanya atas hal-hal yang bersifat lahiriah.


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

797

Apalagi ilmu-ilmu batiniah yang banyak disebut dalam Al-Qur’an, yang relatif jauh lebih rumit daripada ilmu-ilmu lahiriah, karena menyangkut hal-hal gaib dan batiniah. Apakah para penggagas kitab suci Al-Qur’an yang ‘baru’ ataupun para penggagas dekonstruksi dan desakralisasi kitab suci Al-Qur’an akan mampu mewujudkan hal ini?. ‘Amat sangat diragukan’, dan bahkan amat sangat tidak bermanfaat bagi umat pada umumnya, karena justru tidak bersifat sederhana, ringkas, praktis-aplikatif dan aktual. Akan jauh lebih baik dan jauh lebih bermanfaat, bagi para penggagas dekonstruksi dan desakralisasi kitab suci Al-Qur’an itu, untuk bisa menjadi ahli tafsir ataupun ahli ijtihad dalam Majelis alim-ulama, agar bisa menerapkan berbagai pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya yang telah dimilikinya, daripada berusaha mengubahubah teks kitab suci Al-Qur’an. w. Dalam Al-Qur’an cukup banyak disebut bersama antara ‘Al-Kitab’ dan ‘Al-Hikmah’ (seperti: QS.2:129, QS.2:151, QS.2:231, QS.3:48, QS.3:79, QS.3:81, QS.3:164, QS.4:54, QS.4:113, QS.5:110, QS.6:89, QS.19:12, QS.33:34 dan QS.62:2). Padahal ‘Al-Kitab’ itulah yang dimaksud dengan kitab-kitab-Nya (kitab-kitab suci agama tauhid). Dari pemisahan ‘Al-Kitab’ dan ‘Al-Hikmah’ ini telah cukup jelas menunjukkan, bahwa segala pemahaman yang lebih mendalam bagi tiap umat yang berilmu justru bukan diperoleh dari ‘Al-Kitab’, tetapi dari ‘Al-Hikmah’. Walau segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah) yang dimiliki oleh Nabi memang amat tidak memadai, jika hanya disejajarkan dengan ‘sunnah-sunnah Nabi’ ataupun ‘hadits-hadits Nabi’, karena tiap ‘Al-Hikmah’ memang relatif amat rumit dan sulit untuk bisa dijelaskan dengan contoh, bahasa lisan dan tulisan sekalipun, dan justru biasanya hanya bisa tersimpan dalam dada-hati-pikiran saja. x.

Dan mudah-mudahan usaha dekonstruksi ataupun desakralisasi kitab suci Al-Qur’an yang disebut-sebut di atas, yang telah terjadi pada sebagian kalangan ahli ilmu agama itu, justru semata-mata hanya terjadi pada tataran ‘pemahaman atau makna’, dan sama sekali bukan pada tataran ‘teks atau musyaf’ kitab suci Al-Qur’an, apalagi dengan menginjak-injak teksnya.

"Mereka menukar ayat-ayat-Nya dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia lain) dari jalan-Nya. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan itu." - (QS.9:9) dan (QS.3:199, QS.2:41, QS.5:44) Allah pastil memelihara Al-Qur’an Dari uraian-uraian di atas seolah-olah dirasakan, bahwa proses pemeliharaan kitab suci Al-Qur’an juga masih amat tergantung kepada segala usaha umat Islam sendiri, dengan cara menjaga keotentikan dan kemuliaan teks kitab suci Al-Qur’an, termasuk pula dengan berusaha memperbanyak jumlah umat yang menghapalnya. Sehingga seolah-olah proses usaha pemeliharaan kitab suci AlQur’an oleh tiap umat Islam itu, selain memang tak-ternilai harganya, namun tetap saja tampak bersifat ‘relatif’, seperti pada saat misalnya:

798

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

jumlah penghapal Al-Qur’an telah makin berkurang; usaha penerbitan Al-Qur’an bisa terhambat oleh berbagai halnya; ada sekelompok kecil umat Islam yang berusaha melakukan desakralisasi Al-Qur’an; dsb. Namun ada hal penting yang barangkali telah dilupakan oleh sebagian umat Islam, bahwa pemeliharaan kitab suci Al-Qur’an justru selalu dilakukan oleh Allah sendiri, seperti yang disebut dalam Surat Al-Hijr ayat 9 (QS.15:9). "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur`an, dan sesungguhnya, Kami benar-benar memeliharanya." - (QS.15:9) Disebut ‘dilupakan’, karena sebagian umat Islam telah kurang memperhatikan, bahwa Al-Qur’an memiliki bentuk lainnya yang telah tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi ‘Arsy-Nya. Dan AlQur’an yang berbentuk gaib ini biasanya juga disebut sebagai: tandatanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya; ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis; kalam atau wahyu-Nya yang sebenarnya; wajah-Nya; dan juga disebut segala kebenaran atau pengetahuan-Nya di seluruh alam semesta. "Dan sesungguhnya, Al-Qur`an itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilai kemuliaannya), dan amat banyak mengandung hikmah." - (QS.43:4) dan (QS.56:78, QS.85:22) Sehingga ‘Al-Qur’an gaib’ itulah yang justru sebenar-benarnya akan ‘menjaga’ kitab suci Al-Qur’an, bahkan ‘Al-Qur’an gaib’ itulah yang telah ‘dibaca’ (atau dipelajari) oleh para nabi-Nya dari jaman ke jaman, dan menjadi semua wahyu dan kitab-Nya. Hal ini bahkan bisa pula dipelajari oleh umat manusia biasa yang berilmu relatif tinggi. Sehingga tiap umat Islam semestinya memahami pula, bahwa dalam teks kitab suci Al-Qur’an terkandung nilai-nilai kebenaran-Nya yang bersifat mutlak, kekal dan universal (yang tidak lapuk oleh hujan dan panas, yang tidak tergantung kepada sejarah dan budaya manusia, yang selalu terjaga kesucian dan kemuliaannya, dsb). Dan nilai-nilai kebenaran-Nya itu biasanya juga disebut sebagai ‘hikmah dan hakekat kebenaran-Nya’ (al-Hikmah), yang mestinya bisa diungkap dari balik teks-teks Al-Qur’an, agar umat benar-benar bisa ikut serta memelihara kitab suci Al-Qur’an. Padahal hanya berdasar hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di dalamnya itulah, Al-Qur’an akan tetap bisa aktual sampai akhir jaman, dengan dilahirkannya segala ijtihad yang bersifat sederhana, ringkas,


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

799

praktis-aplikatif dan aktual, sesuai keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan umat pada tiap jamannya, dari Majelis alim-ulama. Baca pula topik "Pemahaman atas agama dan kitab-Nya di jaman modern", tentang metode pencapaian hikmah dan hakekat kebenaran-Nya. Lebih lanjutnya lagi, berbagai kebenaran-Nya di seluruh alam semesta ini yang makin banyak bisa terungkap oleh umat-umat yang berilmu pada tiap jamannya (para ilmuwan Muslim atau non-Muslim), dengan berbagai ilmu-pengetahuan yang ‘amat obyektif’, justru akan makin bisa membuktikan seluruh kebenaran kandungan isi kitab suci Al-Qur’an. Sekali lagi bukan kebenaran pada tataran makna tektualharfiah ayat-ayat Al-Qur’an, namun pada tataran hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di dalamnya. Hal inilah cara Allah memelihara kitab suci Al-Qur’an, karena memang semestinya tidak ada jarak, antara tiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di balik teks ayat-ayat Al-Qur’an dan tiap kebenaranNya terkait di alam semesta ini. Makin lama semestinya kitab suci AlQur’an justru makin diyakini atau diimani oleh umat Islam khususnya, dan bahkan oleh tiap umat manusia umumnya, sejalan dengan makin bisa jelas terungkapnya berbagai kebenaran-Nya di alam semesta. Wahyu-Nya, hasil ilmu-pengetahuan yang ‘paling benar’ Amat mudah dipahami pula jika para nabi-Nya, dari tiap-tiap jaman, suku-bangsa dan negeri, yang telah bisa memahami berbagai kebenaran-Nya, justru saling mengakui atau membenarkan ajaran atau kitab yang mereka bawa, bahkan ada beberapa di antara para nabi-Nya yang telah bisa meramalkan kedatangan nabi-Nya lainnya berikutnya. Segala kebenaran-Nya sama sekali tidak terkait dengan sejarah umat manusia (pada umat dan kitab manapun disampaikan, dan oleh siapapun penyampainya), namun justru telah menyatu bersama alam semesta itu sendiri. Sehingga hanya tinggal diungkap ‘kapanpun’ saja oleh umat manusia. Namun setelah berakhir jaman para nabi-Nya, tentunya akan jauh lebih mudah bagi tiap manusia untuk berusaha bisa mengungkap berbagai kebenaran-Nya, dengan dimulai diilhami dari kitab suci AlQur’an, sebagai kitab-Nya yang terakhir dan paling sempurna. Tentu saja juga terutama dari usaha pengungkapan oleh umat Islam sendiri. Hal yang paling utama yang mestinya diyakini oleh tiap umat Islam, bahwa sama sekali tidak ada sesuatupun jarak, antara kitab suci Al-Qur’an dan segala ilmu-pengetahuan, yang telah diperoleh secara

800

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

‘amat obyektif’ (ilmu agama dan non-agama, lahiriah dan batiniah). Ilmu-ilmu seperti ini mestinya tidak akan pernah ‘menyatakan diri’ sebagai ilmu yang ‘paling benar’ (yang boleh ada mestinya hanya ‘lebih benar’, karena segala hal dari manusia pasti bersifat ‘relatif’). Hanya ‘wahyu’ atau ‘ilmu’ dari para nabi-Nya, yang berhak disebut sebagai ‘paling benar’ (hal yang ‘hak’ dan berasal dari Allah). Karena keseluruhan wahyu-Nya dari seorang nabi-Nya, adalah penyampaian hasil pemahamannya, atas seluruh hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, yang telah berhasil diperolehnya secara amat lengkap (sesuai dengan jamannya), mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan, dari mengamati, meneliti dan mempelajari tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta, terutama tentang hal-hal yang paling mendasar dan hakiki bagi kehidupan umat manusia (ketuhanan; tujuan penciptaan alam semesta ini dan kehidupan segala makhluk-Nya; ruh dan para makhluk gaib; kehidupan akhirat; surga; neraka; akhlak; amal-ibadah; dsb). Maka tiap nabi-Nya paling mengetahui atas hal-hal itu dibanding seluruh umat manusia pada tiap kaum dan jamannya. Kehidupan dunia ini bersifat sementara (fana), maka pada tiap wahyu-Nya relatif sedikit mengandung ilmu-ilmu pada aspek lahiriah, sebaliknya aspek batiniahnya. Juga ilmu-ilmu lahiriah terus bertambah maju sesuai perkembangan kehidupan lahiriah manusia, bahkan halhal lahiriah ini banyak yang belum ada, pada jaman para nabi-Nya. Sedang ilmu-ilmu batiniah pada wahyu-Nya justru relatif tidak banyak berkembang dari jaman ke jaman, dari nabi ke nabi (hanyalah relatif makin lengkap dan mendalam), karena hal-hal batiniah, yang paling mendasar dan hakiki pada kehidupan manusia, memang relatif hampir tidak berubah. Walau memang relatif amat sangat sedikit umat manusia yang bisa memahaminya, seperti halnya para nabi-Nya. Alat sederhana untuk menguji wahyu-Nya, bagi orang awam Hal-hal di bawah, bisa dipakai bagi penerapan praktis, yang amat sederhana dan cepat, terutama bagi umat-umat yang awam dalam menilai sesuatu keterangan ataupun pendapat (yang sumbernya jelas ataupun tidak), yang disebut oleh seseorang sebagai kebenaran-Nya. Sebagai alat pengukur sederhana untuk membuktikan, bahwa hal-hal itu berasal dari Allah, maka minimal keterangan itupun harus mengandung salah-satu dari maksud untuk: • Doktrin : pengajaran. • Teguran : menghukum, memarahi dan menunjukkan kesalahan. • Koreksi : memperbaiki kesalahan.


Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

• •

801

Instruksi : melatih dan mengajar cara hidup yang benar. Janji : balasan di dunia dan di akhirat, atas tiap perbuatan baik dan buruk.

Selanjutnya pada waktu lainnya yang lebih leluasa, tentu saja semestinya dibanding secara langsung, dengan keterangan yang terkait pada berbagai ajaran agama-Nya. Alat pengukur di atas khususnya ditujukan untuk bisa menguji kebenaran-Nya pada kitab-kitab tauhid yang terdahulu, di dalam usaha menjaring ayat-ayatnya dari hasil campur tangan manusia (selain nabiNya terkait) dan usaha pemenuhan kepentingan duniawinya. Misalnya ayat-ayat yang mengandung teks-teks porno, yang sama sekali tidak mendidik dan tidak berguna, namun justru relatif amat menarik bagi para penganut agama-agama tertentu. Pada akhirnya diharapkan umat Islam bisa relatif lebih siap, ketika mendiskusikan kitab-kitab tauhid. Islam dan Al-Qur’an, agama dan kitab-Nya yang terakhir Bahwa agama Islam dan kitab suci Al-Qur'an, adalah agama dan kitab tauhid terakhir yang telah diturunkan-Nya bagi seluruh umat manusia. Dan bahwa segala proses diturunkan-Nya ayat, wahyu, kitab dan agama-Nya, justru melalui aturan-Nya (sunatullah), atau melalui proses-proses yang amat pasti, jelas dan alamiah. 95) Baca pula topik "Sunatullah (sifat proses)". Sehingga segala mistis-tahayul tentang hal-hal ini, semestinya juga bisa makin dihilangkan, atau bahkan bisa dihapus, karena segala mistis-tahayul ini justru amat merusak proses pengajaran atas agama Islam dan kitab suci Al-Qur'an. Bahkan umat Muslim sendiri ataupun umat non-Muslim justru bisa bersikap ‘antipati’ atas tiap pengajaran semacam itu, yang memang sulit bisa diterima oleh akal-sehatnya. "Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, termasuk Yakub. (Ibrahim berkata): `Hai anak-anakku!. Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu. Maka janganlah kamu mati, kecuali dalam memeluk agama Islam (agama yang lurus)`." (QS.2:132) dan (QS.12:101) "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benarnya taqwa. Dan janganlah sekali-kali kamu mati, melainkan dalam keadaan beragama Islam." - (QS.3:102) "Oleh karena itu, hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus (Islam), sebelum Allah mendatangkan suatu hari (Hari Kiamat), yang tak dapat ditolak (kedatangannya). Pada hari itu mereka terpisah-

802

Kitab-kitab Tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)

pisah." - (QS.30:43) “…Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-redhai Islam itu jadi agamamu. …" - (QS.5:3) "Sesungguhnya, agama (yang diredhai) di sisi-Nya hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberikan Al-Kitab (kaum Yahudi dan Nasrani), kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka (kepada agama-Nya yang terakhir, Islam). Barangsiapa yang kafir terhadap ayatayat-Nya, sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya." - (QS.3:19) "Barangsiapa mencari agama, selain daripada agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi." - (QS.3:85) "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. …" - (QS.2:143) "(Al-Qur`an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk, serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa." (QS.3:138) dan (QS.17:106, QS.45:20) "Dan Al-Qur`an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat (manusia)." - (QS.68:52) "(Al-Qur`an) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Ilah Yang Maha Esa, dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran." (QS.14:52) "… (yaitu) bulan saat awal diturunkan-Nya Al-Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). …" - (QS.2:185) "Dia menurunkan Al-Kitab (Al-Qur`an) kepadamu (Muhammad), dengan sebenarnya, (yang) membenarkan kitab yang telah diturunkan-Nya sebelumnya. Dan (Dia juga) menurunkan Taurat dan Injil.", "sebelumnya, untuk menjadi petunjuk bagi manusia. Dan Dia menurunkan Al-Furqaan. Sesungguhnya, orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat-Nya, akan memperoleh siksaan-Nya yang berat. Dan Allah Maha Perkasa, lagi mempunyai balasan (pahala dan siksaanNya)." - (QS.3:3-4) dan (QS.16:44, QS.39:41)


Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia

803

"Muhammad itu sekali-kali bukanlah (hanya sekedar), bapak dari seorang laki-laki di antara kamu. Tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. AL-AHZAB:33:40) "Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira, dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui." (QS. SABA':34:28)

VII.C.

Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia

Syarat kenabian, bisa menjawab semua persoalan umat Salah-satu syarat penting bagi kenabian, adalah mestinya bisa menjawab berbagai persoalan umatnya ataupun kaumnya. Karena para nabi-Nya merupakan 'tokoh panutan' bagi seluruh umat kaumnya, dan dengan segala persoalannya, dengan cara menyampaikan pengajaran dan tuntunan-Nya bagi umat kaumnya tentang segala kebenaran-Nya. Bahkan juga secara 'tidak langsung' bagi seluruh umat manusia pada jamannya masing-masing, yang pada dasarnya juga bisa mengamalkan ajaran-ajaran dari para nabi-Nya. Sedang ajaran-ajaran ini pada tingkat hikmah dan hakekat kebenaran-Nya memang bersifat 'unversal'. Walau tentunya tidak semua persoalan bisa langsung terjawab, namun ada yang memerlukan waktu untuk bisa mencapai pemahaman dan pendalaman atas persoalannya, disesuaikan pula dengan berbagai hikmah dan hidayah-Nya yang telah diperoleh para nabi-Nya, ataupun dengan berusaha mendapat hikmah dan hidayah-Nya (petunjuk-Nya), yang baru dari Allah.

804

Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia

Serupa halnya dengan seorang guru ketika berusaha menjawab pertanyaan dari para muridnya dengan terlebih dahulu mengumpulkan berbagai pengetahuannya tentang topik pertanyaan terkait, di samping dengan berusaha membaca buku-buku terkait. Juga seperti halnya tiap umat manusia biasa umumnya, dalam mengatasi persoalannya. Tentunya ‘buku’ yang dibaca oleh para nabi-Nya justru berupa tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini (atau ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis). Justru secara bersamaan, bahkan ikut ‘dibacakan’ pula oleh malaikat Jibril kepada mereka, melalui berbagai bisikan pada alam batiniah ruh mereka (alam pikirannya). Dan proses 'pembacaan' inipun biasanya terjadi pada saat proses bertafakur, dalam berusaha mencari pengetahuan tentang berbagai kebenaran-Nya. Batas manusiawi para nabi-Nya dalam menjawab persoalan Sebagai perbandingan, nabi Muhammad saw yang hidup pada abad ke-7, dalam kaumnya yang relatif masih primitif dan sederhana kehidupannya dibanding umat modern saat ini, dan dengan persoalan kehidupan umatnya yang relatif belum terlalu rumit pula. Maka secara manusiawi, Nabi masih bisa memahami dan menjawab relatif hampir ‘semua’ persoalan umat, dari seluruh pelosok wilayah dan negeri. Namun beberapa saat, amat dekat menjelang wafatnya, bahkan justru nabi Muhammad saw masih merasa amatlah sangat kuatir, atas nasib umatnya setelah sepeninggalnya nanti. Hal ini bisa tampak pada salah-satu dari kata-kata terakhir Nabi yaitu "Ya, umati… umati…" ("Ya, umatku… umatku…"), karena segala pengajaran dan tuntunanNya yang telah disampaikan sepanjang hidupnya, masih dirasakannya relatif belum cukup sempurna untuk menuntun seluruh umat manusia, dalam menghadapi berbagai persoalannya pada masa mendatang dan bahkan sampai akhir jaman. Tentunya kata-kata terakhir dari Nabi itu lebih menunjukkan betapa amat tingginya rasa kasih-sayang Nabi, kepada seluruh umatumatnya, khususnya karena dalam Al-Qur'an sendiri telah dinyatakan pula, bahwa “Al-Qur'an telah sempurna diturunkan-Nya”. Maka fokus kekuatiran Nabi tersebut pada dasarnya bukan karena ‘kandungan isi’ keseluruhan ayat Al-Qur'an yang belum sempurna, tetapi justru karena ‘bentuk penyampaiannya’ yang dirasakannya belum sempurna. Hal ini justru bisa menyebabkan umatnya kurang bisa memahami segala hal yang disampaikannya, seperti halnya pemahaman Nabi sendiri (amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan saling tidak bertentangan). 96) Sebagai tambahan dalam pemahaman pada buku ini, kata-kata


Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia

805

806

Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia

terakhir dari Nabi itu juga bisa menunjukkan, betapa amat tingginya kekuatiran Nabi terhadap tingkat pemahaman umat atas ajaran-ajaran yang telah disampaikannya. Karena pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (al-Hikmah) di dalam dada-hati-pikiran Nabi, memang relatif berbeda daripada al-Kitab (al-Hikmah yang telah terungkap), seperti melalui: kitab suci Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Nabi. Dan tentunya Nabi amat kuatir, apakah umat bisa memahami segala rahasia atau al-Hikmah di balik hal-hal yang disampaikannya. Sedang kitab suci Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Nabi itu sendiri hanya berupa berbagai ‘rangkuman’, atas keseluruhan al-Hikmah yang telah diperolehnya sepanjang hidupnya melalui perantaraan malaikat Jibril. Namun tentunya kitab suci Al-Qur'an (beserta sunnah-sunnah Nabi) tetap suatu mu’jizat ataupun suatu hasil pencapaian tertinggi yang bisa diperoleh seseorang anak manusia, sepanjang sejarah umat manusia di sepanjang jaman. Sekaligus sebagai bahan pengajaran dan tuntunanNya bagi seluruh umat manusia, sampai akhir jaman. Baca pula uraian di bawah, tentang Al-Qur’an adalah hasil pemahaman maksimal atas berbagai kebenaran-Nya. Kelengkapan ajaran para nabi-Nya Bahwa tidak mengherankan, apabila ajaran-ajaran yang dibawa oleh para nabi-Nya makin lama makin lengkap, sejak dari nabi Adam as sampai nabi Muhammad saw, karena kehidupan umat kaumnya masing-masing memang relatif makin berkembang (dari segi kuantitas dan kualitas, lahiriah dan batiniah). Secara alamiah mudah dipahami pula, apabila makin lengkap kandungan isi kitab-kitab-Nya sejak dari Zabur (nabi Daud as), Taurat (nabi Musa as), Injil (nabi Isa as), sampai yang terakhir, Al-Qur'an (nabi Muhammad saw), karena ajaran-ajaran dalam kitab-kitab tauhid itu memang ditujukan sebagai tuntunan yang lengkap bagi kehidupan umat kaumnya, walaupun tanpa adanya kehadiran langsung para nabiNya terkait di tengah-tengah umatnya. 97) & 93)

lama daripada ketika diturunkan-Nya kitab-kitab-Nya yang lainnya di atas (Zabur, Taurat dan Injil). Al-Qur’an, pemahaman maksimal atas kebenaran-Nya Secara sekilas, memang seolah-olah bisa tampak adanya unsur subyektifitas pada ‘pernyataan secara eksplisit’ dari nabi Muhammad saw, tentang kenabiannya yang terakhir dalam Al-Qur’an (“nabi bagi seluruh umat manusia” dan “nabi penutup atas seluruh nabi”). Selain dari uraian-uraian di atas, hal inipun bisa dipahami pula sebagai suatu hal yang justru amat alamiah, dimulai dari fakta bahwa kemantapan kenabiannya diperolehnya pada usia sekitar 40 tahun. Pada usia sekitar 40-an tahun, setiap manusia pada umumnya telah mencapai kematangan batiniahnya (psikologis), sehingga pada usia ini telah memahami relatif hampir semua hakekat yang terkait dengan kehidupannya sendiri. Bahkan para nabi-Nya itupun telah bisa memahami, misalnya tentang: hakekat ketuhanan; hakekat dan tujuan dari penciptaan alam semesta, serta kehidupan manusia di dalamnya; hakekat ruh dan alam gaib; hakekat alam akhirat; dsb.

Bahkan kitab suci Al-Qur’an khususnya, kelengkapannya juga tampak dari lama waktu diturunkan-Nya yang hampir sepanjang hidup nabi Muhammad saw, sejak saat bisa mencapai puncak kemantapan kenabiannya pada usia sekitar 40 tahun, sampai beberapa tahun saat menjelang wafatnya pada usia sekitar 63 tahun, sedang wafatnya Nabi pada usia sekitar 66 tahun. Sehingga Al-Qur’an justru telah sempurna setelah selama kirakira 23 tahun diturunkan-Nya. Lama waktu ini juga relatif jauh lebih

Sehingga kitab suci Al-Qur’an adalah ‘hasil pencapaian’ Nabi sepanjang hidupnya bagi seluruh umat manusia, di mana terjadi proses pembentukan dan pemantapan kenabian sejak masa kecil s/d berusia 40 tahun, dan proses penyampaian Al-Qur’an sampai saat menjelang wafatnya (selama 23 tahun). Juga sepanjang hidupnya, Nabipun amat konsisten mengabdikan dirinya bagi kepentingan umatnya, selain bagi umat-umat dalam kehidupannya sehari-hari, bahkan juga bagi seluruh umat manusia sampai akhir jaman, melalui usahanya yang amat keras

Selanjutnya pada saat melewati usia kematangannya itu, maka setiap manusia mulai lebih sempurna menerapkan pemahamannya itu ke dalam kehidupan pribadi, keluarga, lingkungan sekitar, dan dalam kehidupan karirnya. Serta pada usia sekitar 50-an tahun, ia telah bisa mencapai puncak karirnya. Lalu pada sekitar usia 60-an tahun, ia telah bisa mencapai kesempurnaan hidup sebagai seorang manusia (ia telah melihat anak keturunannya tumbuh dewasa, ataupun ia telah memiliki cucu-cucu). Hal serupa ini yang terjadi pada nabi Muhammad saw, ketika usianya sekitar 63 tahun (ketika ayat-ayat Al-Qur’an telah sempurna diturunkan-Nya). Dan ketika usianya sekitar 66 tahun, Nabipun wafat. Padahal setelah melewati usia sekitar 60-an tahun, setiap manusia juga biasanya justru mulai menghadapi berbagai kemunduran lahiriah dan batiniah, sampai saat wafat pada usia rata-rata sekitar 60 s/d 70 tahun.


Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia

807

808

dalam menyampaikan kitab suci Al-Qur’an, sebagai suatu pengajaran dan tuntunan-Nya yang amat lengkap bagi seluruh umat manusia, dan juga melalui segala contoh suri-teladannya bagi umat. Dengan demikian kitab semacam kitab suci Al-Qur’an ini bisa disebut sebagai hasil pencapaian yang telah amat maksimal, yang bisa dicapai oleh seorang anak manusia di dalam kehidupannya, setelah ia berusaha memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta ini. Kemustahilan atas turunnya nabi dan kitab tauhid baru Lalu bisa timbul suatu pertanyaan, seperti “bagaimana tentang manusia modern yang mulai belajar dari Al-Qur’an, dan lalu telah bisa meneruskan langkah-langkah nabi Muhammad saw?”. Di mana telah diketahui, adanya hal-hal semacam ini yang menjadi dasar-alasan bagi kemunculan sejumlah ‘nabi baru’, di samping dasar-alasan lainnya. Lebih jelasnya misalnya, orang itupun telah menghapal, amat memahami dan mengamalkan seluruh kandungan isi Al-Qur’an pada usia tertentu. Kemudian sampai akhir hidupnya, dan berdasar berbagai ‘bisikan’ dari malaikat Jibril, ia bisa menyempurnakan kandungan isi Al-Qur’an, dengan ataupun tanpa membuat kitab suci baru. Ringkasnya, ia telah memiliki sesuatu pemahaman yang amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan atas seluruh hikmah dan hakekat kebenaran-Nya yang dipahaminya, yang minimal telah serupa pemahaman yang dimiliki oleh nabi Muhammad saw, atas seluruh wahyu-Nya dalam Al-Qur’an. Tentunya hal ini pada dasarnya hanyalah sebagai sesuatu bentuk "contoh kemungkinan" saja, yang barangkali bisa saja terjadi pada suatu saat nanti.

Padahal segala aspek kehidupan umat manusia, sejak jaman nabi Muhammad saw sampai sekarang, telah jauh semakin kompleks dan luas bidang cakupannya, dari segi kuantitas dan kualitasnya, lahiriah dan batiniahnya. Padahal mustahil ada manusia saat ini (termasuk nabi-nabi baru itu), yang memiliki kemampuan dan kapasitas, dalam menguasai segala aspek kehidupan umat manusia modern. Padahal amatlah jarang profesor yang paling pintar saat ini, yang bisa menguasai banyak bidang keahlian-keilmuan, seperti halnya para ilmuwan pada jaman dahulu. Padahal Al-Qur’an telah amat lengkap merangkumnya (terutama dalam segala persoalan batiniah, yang paling penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan seluruh umat manusia, serta menjadi tujuan utama dari diturunkan-Nya agama-agama tauhid). Padahal hal ini hanya bisa diatasi oleh sesuatu majelis ulama ahli ijtihad dan ahli tafsir, yang telah bisa menguasai berbagai bidang ilmu-pengetahuan (ilmu agama dan non-agama), bukanlah hanya diatasi oleh seorang ‘nabi baru’. •

Padahal umat manusia modern pada saat ini, ataupun umat Islam khususnya, yang jumlahnya telah mencapai milyaran orang, dari ratusan negeri pada 5 benua, juga mestinya bisa dilayaninya.

Berbagai kemustahilan atas kemunculan ‘nabi-nabi baru’

Padahal dasar utama kenabian lainnya, adalah pengabdian yang amat konsisten dan utuh bagi umatnya, sebagai perwujudan atas pengabdiannya kepada Allah. Maka bukan hanya sekedar berupa suatu pemahaman dan keyakinan pribadi semata, dan bukan pula hanya bagi umat yang dekat di sekitarnya saja.

Bisa memahami dan menjawab secara relatif lengkap atas segala tantangan dan persoalan umat manusia pada jaman modern saat ini (khususnya), ataupun umat sampai akhir jaman (umumnya). Padahal kelengkapan ini adalah salah-satu dari dasar dan syarat yang utama bagi sesuatu kenabian, agar bisa diikuti dan menjadi contoh suri-teladan dan panutan bagi umatnya.

Bisa mengabdikan seluruh hidupnya bagi seluruh umat manusia, untuk menyampaikan pengajaran dan tuntunan-Nya, dari seluruh pengetahuan atau pemahamannya atas tanda-tanda kekuasaanNya yang telah diperolehnya. Juga sekaligus sambil memberikan contoh suri-teladan bagi umatnya. Padahal di era globalisasi saat ini (hubungan antar manusia telah mencapai lintas negara dan benua), tentunya ‘lingkup’ umat bagi nabi baru, adalah seluruh umat manusia di Bumi

Lalu pertanyaan di atas juga bisa dilanjutkan menjadi seperti, “pantaskah orang seperti itu bisa disebut ‘nabi baru’?”. Jawabannya ‘jelas: tidak’, karena setiap kenabian mengandung beberapa syarat, prinsip ataupun konsep tertentu. Sedang relatif amat sulit bisa diterima akal-sehat jika ada nabi-nabi baru, yang misalnya:

Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia

Bisa menyatukan seluruh umatnya nabi Muhammad saw (umat Islam), untuk bisa meneruskan ajaran-ajarannya.


Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia

809

810

Padahal tanpa kemampuan seperti itu, sama halnya dengan telah sengaja berusaha menghancurkan ataupun memecah-belah umat Islam (atau justru membawa berbagai kemudharatan baru).

mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan (relatif makin mendekati tingkat pemahamannya Nabi). Lalu berdasar dari berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya itu, bisa dirumuskan berbagai penerapan aktualnya (berijtihad), yang sesuai segala keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan umat, pada tiap jamannya. Bukannya menghabiskan energi untuk membuat kitab-kitab suci baru (seperti halnya pada beberapa nabi baru).

Padahal para pemimpin umat ataupun ulama terkemuka yang ada saat ini (pada seluruh aliran pemahaman atas Al-Qur’an ataupun Sunnah Nabi), hanya berhasil menyatukan segelintir umat saja. •

Bisa membawa risalah-risalah yang bisa ‘lebih terang’, daripada hikmah dan hakekat kebenaran-Nya dalam Al-Qur’an, atas halhal mendasar bagi kehidupan umat manusia, yang telah diperoleh dan disampaikan oleh nabi Muhammad saw sepanjang hidupnya. Padahal tiap manusia hanya bisa melihat ‘wajah-Nya’ yang sama di alam semesta ini (tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya). Padahal tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya (ayat-ayatNya yang tak-tertulis) tersebut memang mustahil bisa dituliskan semuanya oleh manusia. Maka topik-topik ‘di luar’ hal-hal yang amat penting, mendasar dan hakiki, yang telah disampaikan oleh Nabi, lebih tepat disebutkan sebagai sesuatu pengembangan atau penafsiran baru atas ajaran-ajaran agama-Nya (agar aplikasinya sesuai perkembangan tiap jamannya). Sedang hal ini justru tidak perlu kemunculan nabi-nabi baru, jika mereka memang tidak bisa membawa berbagai hal baru yang relatif amat mendasar. Padahal di balik teks ayat-ayat Al-Qur’an, ada berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, yang justru bersifat ‘universal’ dan relatif amat sulit terbantahkan, yang sama-sekali belum berhasil diungkap semuanya. Terutama dengan masih adanya pertentangan pemahaman antar aliran-mazhab-golongan, walau hal ini memang juga bagian dari fitrah manusia, dalam cenderung saling berselisih. Namun mestinya ada sesuatu aliran pemahaman yang bisa relatif memuaskan menengahi persoalan pemahaman pada semua aliran (pemahamannya relatif ideal atau relatif sulit terbantahkan, dari segala aspeknya). Padahal untuk mengungkap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di balik teks ayat-ayat Al-Qur’an, menjadi tugas-amanat penting bagi umat Islam pada tiap jamannya (khususnya melalui Majelis alim-ulama), dengan menyusun bangunan pemahaman al-hikmah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), yang relatif amat lengkap,

Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia

Bisa menghilangkan segala ambisinya untuk bisa mendapatkan segala kenikmatan duniawi: kekayaan, kedudukan, kemasyhuran, kehormatan, kewibawaan, dsb, karena hal-hal ini memang bukan ciri khas para nabi-Nya, Bahkan nabi Muhammad saw misalnya, hidup dalam kezuhudan atau kesederhanaan.

Bahkan amat tidak wajar, apabila dalam kalangan umat Islam khususnya, bisa diakuinya kemunculan nabi-nabi baru (setelah nabi Muhammad saw). Apalagi jika nabi-nabi baru itupun hanya baru saja mendapat sesuatu suara ‘bisikan’ (berinteraksi terang-terangan dengan para makhluk gaib), namun telah berani langsung menyatakan dirinya sebagai ‘nabi atau utusan-Nya’. Padahal ada banyak umat manusia lainnya (Muslim atau nonMuslim), yang juga telah pernah mendengar suara ‘bisikan’ seperti itu, walau prosentasenya memang relatif amat sedikit, jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan umat manusia di dunia. Namun mereka ini justru tidak ikut menyatakan diri sebagai ‘nabi atau utusan-Nya’. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang cara berinteraksi antara manusia dan para makhluk gaib. Apabila nabi-nabi baru itupun hanya sekedar membawa bentuk penafsiran baru atas ayat-ayat Al-Qur’an, maka mereka ini lebih tepat disebut sebagai ulama ahli ijtihad dan ahli tafsir, bukan seorang ‘nabi’. Apalagi jika mereka inipun menyampaikan ajaran-ajaran, yang justru bertentangan dengan berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di dalam Al-Qur’an, maka mereka juga bukan orang yang beriman. Baca pula uraian-uraian di atas, tentang kelengkapan ajaran para nabi-Nya, khususnya terkait dengan kitab-kitab tauhid yang ada. Gambaran teoretis tentang kenabian terakhir Selain dari hal-hal di atas, berikut ini ditunjukkan pula sesuatu gambaran sederhana secara teoretis, tentang konsep kenabian terakhir (pada Gambar 37 berikut), dengan berdasar acuan utama, yaitu:


Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia

• •

Para nabi-Nya mengemban tugas-amanat paling utama, untuk bisa melayani seluruh umat manusia dalam wilayah jangkauannya pada tiap jamannya masing-masing, sebagai wujud dari pengabdian diri mereka kepada Allah. Jumlah seluruh umat manusia telah jauh makin bertambah, sedang jangkauan wilayah hubungan antar umat manusia juga makin luas (dalam era golobalisasi saat ini, meliputi hampir seluruh penduduk Bumi), yang mestinya juga bisa dilayani oleh seorang nabi. Persoalan seluruh umat manusia tiap jamannya makin lama bahkan makin kompleks dan luas, sedangkan kehidupan umat manusia di jaman para nabi-Nya (dari jamannya nabi Adam as, sampai nabi Muhammad saw), justru masih relatif sederhana. Tiap umat manusia pasti memiliki berbagai keterbatasan (termasuk pula seorang nabi), untuk bisa melayani seluruh umat manusia dan segala persoalannya, di masa sekarang dan masa mendatang. Pengetahuan lahiriah manusia telah makin berkembang, sedangkan segala pengetahuan batiniahnya yang mendasar justru relatif tidak banyak berkembang atau berubah, sejak awal terciptanya manusia. Gambar 37: Skema teoretis sederhana, kenabian terakhir Jumlah persoalan umat (lahir & batin)

811

N1 = A (nabi pertama)

812 Keterangan gambar:

Garis N (garis kenabian) atau garis T (garis jumlah persoalan umat ) Garis perkembangan jumlah semua persoalan (lahiriah dan batiniah) sesuatu kaum ataupun seluruh umat manusia, sejak nabi Adam as sampai akhir jaman. Garis inipun sesuai pula dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman suatu kenabian (garis kenabian), yang semestinya bisa dipakai untuk menjawab atau mengatasi hampir ‘semua’ persoalan yang amat mendasar dan hakiki. Karena para nabi-Nya (dengan tingkat kenabiannya masing-masing), adalah tokoh-tokoh panutan bagi umat kaumnya, yang telah dianggap bisa menjawab semua persoalan umatnya itu. Dan sebaliknya, mereka tidak akan mau diakui sebagai "nabi utusan-Nya" oleh umatnya, jika ada beberapa saja persoalan umatnya yang amat mendasar dan hakiki, yang tidak bisa dijawabnya dengan cukup memadai atau memuaskan (secara langsung ataupun tidak). Terkait dengan hal itu, bahwa kitab-kitab tauhid yang disampaikan-Nya melalui beberapa nabi-Nya itu merupakan pengajaran dan tuntunan-Nya yang lengkap bagi kehidupan umat, walaupun nabi-nabi yang terkait telah tiada atau wafat. Tetapi pada suatu titik tertentu (titik B) garis kenabian – N tidak lagi berimpitan (menyatu) dengan garis jumlah persoalan umat – T. Maka sampai suatu "titik atau masa tertentu", garis kenabian itupun pasti bisa berhenti, karena secara manusiawi, tiap manusia (termasuk pula para nabiNya) pasti ada memiliki segala keterbatasan kapasitas dan kemampuan dalam memahami dan mengatasi semua persoalan umatnya, yang sampai sekarang ini telah berkembang dengan relatif amat pesat. Batas "masa tertentu" itu bisa pula dipahami dari ajaran dalam kitab-Nya yang tersusun sepanjang hidup nabi pembawanya. Sehingga jika masa penyusunan kitab-Nya itu telah mencapai usia rata-rata kematian tiap manusia, maka bisa dikatakan pula bahwa ajaran-ajarannya adalah hasil pemahaman paling tinggi dan lengkap yang bisa dicapai seorang manusia, atas tanda-tanda kekuasaanNya di alam semesta (berbagai kebenaran-Nya), sehingga kitab-Nya seperti ini dan nabi pembawanya adalah kitab dan nabi-Nya yang ‘terakhir’.

N / T : Jumlah persoalan umat manusia, tiap jamannya L : Batas kemampuan tiap manusia, tiap jamannya Nn = B (nabi terakhir)

Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia

Dan "masa tertentu" itulah yang membatasi kehadiran ‘nabi-nabi baru’ setelah aabi Muhammad saw, yang diyakini oleh umat Islam sebagai nabi ‘terakhir’ yang diutus-Nya untuk ‘seluruh umat manusia’. Al-Qur’an diturunkan-Nya, pada saat Nabi telah mencapai tingkat kematangan kenabiannya pada usia sekitar 40 tahun. Lalu Al-Qur’an sempurna diturunkanNya, pada saat Nabi berusia sekitar 63 tahun, menjelang wafatnya pada usia sekitar 66 tahun.

A2: di luar kemampuan tiap manusia

N2

Maka Al-Qur’an telah diturunkan-Nya selama sekitar 23 tahun. Sedang telah diketahui pula, bahwa tidak ada kitab-kitab-Nya lainnya yang diturunkan-Nya lebih lama daripada Al-Qur’an.

A1: di dalam kemampuan tiap manusia

Waktu / jaman

Titik-titik N1, N2, …, Nn (titik batas atau puncak kemampuan tiap nabi-Nya) Titik-titik yang berada pada garis N, adalah batas kemampuan atau kapasitas tiap umat manusia (pengetahuan lahiriah dan batiniahnya), dalam memahami dan mengatasi semua persoalan mendasar pada umat kaumnya (khususnya), atau seluruh umat manusia (umumnya) sesuai dengan jamannya, yang hanya dimiliki oleh para nabi-Nya (dengan tingkat pemahaman kenabiannya). Misalnya: titik N1 / A : batas kemampuan nabi pertama (nabi Adam as) titik Nn / B : batas kemampuan nabi terakhir (nabi Muhammad saw)


Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia

813

Para nabi-Nya adalah manusia yang berpengetahuan dan berkeimanan relatif paling tinggi di antara kalangan kaumnya. Dengan sendirinya nabi Muhammad saw sebagai nabi-Nya yang terakhir, juga berpengetahuan relatif lebih tinggi, lengkap ataupun lebih sempurna daripada para nabi-Nya lainnya. Hal inipun sesuai dengan perkembangan jaman atau perkembangan kaumnya, di mana selisih waktu antara diturunkan-Nya seorang nabi terhadap seorang nabi berikutnya bisa sampai ratusan tahun. Misalnya selisih waktu antara nabi Isa as (nabi kedua terakhir) dan nabi Muhammad saw (nabi yang terakhir) ada sekitar 580 tahun, sehingga jelas bisa dibayangkan perubahan perkembangan masing-masing umatnya para nabi-Nya, yang telah relatif jauh berbeda pula. Sedang umat manusia lainnya pada masing-masing jamannya, relatif berada di bawah titik-titik tersebut. Secara berurutan makin menurun kemampuannya, misalnya yaitu: dari para sahabat atau pengikut langsung nabi; para tabiin (sahabatnya para sahabat); para tabiit-tabiin (sahabatnya para tabiin); para wali, sampai manusia biasa pada umumnya. Dan para nabi dan rasul-Nya itupun telah diutus-Nya agar bisa menyampaikan pengajaran dan tuntunan-Nya kepada umat kaumnya, ataupun bahkan kepada seluruh umat manusia. Dengan kata lain, secara sederhananya mereka telah menyampaikan berbagai pengetahuan (lahiriah dan batiniah) yang telah bisa dimilikinya kepada umat manusia lainnya, di samping sekaligus memberikan berbagai contoh pengamalan atas berbagai pengetahuannya tersebut.

Garis L (garis batas kemampuan seorang manusia) Garis batas tertinggi kemampuan atau kapasitas pengetahuan (lahiriah dan batiniah) yang bisa dimiliki oleh seorang manusia, sesuai tiap perkembangan jamannya, dalam mengatasi seluruh persoalannya sendiri dan umat kaumnya. Sehingga sejak dari jamannya nabi Muhammad saw sampai akhir jaman, kemampuan manusia dalam mengatasi keseluruhan persoalannya makin lama makin berkurang pula. Walau jumlah pengetahuannya sendiri memang terusmenerus bertambah, sesuai dengan perkembangan penemuan segala bidang ilmu-pengetahuan sepanjang masa. Hal inipun amatlah sesuai dengan kenyataan, bahwa persoalan umat manusia tumbuh jauh lebih cepat daripada kemampuan tiap manusia dalam mengatasi seluruh persoalannya. Contoh sederhananya, umat manusia modern saat ini hanya menguasai sebagian spesialisasi bidang keilmuan tertentu saja. Sehingga garis L ini juga suatu gambaran atas perkembangan pengetahuan pada nabi Muhammad saw, apabila ‘diumpamakan’ beliau masih hidup terus sampai akhir jaman. Secara sederhananya, hal inipun bisa memberi suatu gambaran, bahwa nabi Muhammad saw yang juga sebagai seorang manusia biasa, dengan segala keterbatasannya. Sehingga secara manusiawi, Nabi juga tidak akan bisa lagi (tidak memiliki kapasitas), untuk menjawab seluruh persoalan umat manusia modern (lahiriah dan batiniah), terutama yang amat mendasar dan hakiki.

Daerah arsiran A1 (daerah kemampuan seorang manusia) Daerah yang berada di bawah garis L, sekaligus pula di bawah garis N, justru berupa suatu daerah tempat posisi-posisi titik persoalan umat manusia, yang relatif ‘telah’ mampu dijawab hanya oleh ‘seorang’ manusia saja. Di mana tiap titik itu justru hanya untuk bisa menunjukkan batas atau puncak maksimal kemampuan yang dimiliki seorang manusia, walau tidak diungkap lama waktu dari proses kemampuan itu bisa diperoleh. Misalnya titik Nn adalah

814

Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia gambaran kemampuan yang telah dimiliki oleh nabi Muhammad saw, setelah disempurnakan-Nya ajaran agama Islam yang disampaikannya (Al-Qur'an).

Daerah arsiran A2 (daerah di luar kemampuan seorang manusia) Daerah yang berada di atas garis L (dan sekaligus pula di atas garis N), justru berupa suatu daerah tempat posisi-posisi titik persoalan umat manusia, yang relatif ‘belum’ bisa dijawab hanya oleh seorang manusia saja. Akhirnya timbul pertanyaan, "bagaimana ajaran nabi Muhammad saw dalam kitab suci Al-Qur’an dan dalam berbagai Hadits Nabi akan bisa menjawab semua persoalan umat manusia sampai akhir jaman?". Di dalam menghadapi hal ini, justru nabi Muhammad saw telah membukakan pintu Ijtihad (Ijma’, Qiyas, Istihsan, dsb). Sehingga semua persoalan umat manusia modern semestinya bisa diatasi melalui suatu "majelis ulama" pada tiap jaman dan negeri, yang terdiri dari para ahli ijtihad atau ahli tafsir. Baca pula topik "Pemahaman agama dan kitab tuntunan-Nya di jaman modern ini".

Kemustahilan atas turunnya nabi Isa as & Imam Mahdi Berkaitan hal di atas, maka pemahaman tentang akan turunnya nabi Isa as ataupun Imam Mahdi pada akhir jaman, justru merupakan sesuatu kemustahilan. Bahkan kebangkitan "hidup kembali nabi Isa as pada Hari Kiamat", yang disebut dalam Al-Qur'an (bukan ‘pada’ akhir jaman, juga bukan ‘dekat’ sebelum akhir jaman), justru persis sama dengan kebangkitan tiap manusia lainnya pada Hari Kiamat. Lebih khususnya lagi, bahkan sama dengan kebangkitan nabi Yahya as. Tetapi amat ironis dan anehnya, ‘keistimewaan’ nabi Yahya as ini justru amat jarang disebut-sebut. 98)

"Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku (Isa) dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali"." - (QS.19:33) "Kesejahteraan atas dirinya pada hari ia (Yahya) dilahirkan, dan pada hari ia meninggal, dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali." - (QS.19:15) Namun kebangkitan nabi Isa as pada Hari Kiamat itu memang memiliki sesuatu kekhususan, sehingga disebut secara khusus pula di dalam Al-Qur'an. Selain bertindak sebagai saksi bagi umatnya, seperti halnya para nabi-Nya lainnya, jauh lebih pentingnya lagi, nabi Isa as justru bertindak sebagai saksi bagi sebagian dari umatnya, yang telah ‘menyekutukannya’ dengan Allah (nabi Isa as dianggap Tuhan). 99) Dengan sendirinya, sesuatu kemustahilan pula tentang adanya pemahaman, atas turunnya Imam Mahdi pada akhir jaman. Karena lahirnya pemahaman ini dalam kalangan umat Islam amat dipengaruhi


Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia

815

dari adanya kekeliruan pemahaman atas turunnya nabi Isa as tersebut. Maka seolah-olah mestinya ada tokoh dari dalam kalangan umat Islam sendiri (Imam Mahdi), untuk bisa ‘menyaingi’ turunnya nabi Isa as, yang lebih dianggap sebagai milik dari umat Nasrani (agar umat Islam relatif bisa menyaingi kemenangan umat Nasrani pada akhir jaman). Namun pemahaman atas kedatangan Imam Mahdi, selanjutnya justru telah menimbulkan efek yang amat buruk, yaitu banyak dipakai sebagai alat pembenaran atas kedatangan nabi-nabi baru (setelah nabi Muhammad saw), sampai akhir jaman. Padahal sesuatu pengkultusan atas makhluk justru amat ditentang dalam agama Islam. Seperti yang justru telah terjadi atas Imam Mahdi, yang bahkan terjadi sebelum ada orangnya dan belum diketahui wujudnya. Hal ini justru menimbulkan amat banyak mistis-tahayul lebih lanjut yang amat menyesatkan. Ramalan atas kedatangan nabi Muhammad saw dalam Injil Dengan kedalaman ilmunya atau petunjuk-Nya, tidak terlalu mengherankan jika dalam Injil, nabi Isa as memberi ramalan atas akan datangnya pembawa pengajaran dan tuntunan-Nya (nabi baru), yang bisa menjawab persoalan umat manusia dengan relatif lebih lengkap. Sedang nabi Isa as sendiri menyadari, bahwa seluruh persoalan umat manusia ‘di masa depan’ justru makin kompleks (relatif terhadap jamannya sendiri), yang belum cukup untuk bisa diatasi hanya dengan ajaran-ajaran yang telah dibawanya, yang memang hanya khusus bagi kalangan Bani Israil. Apalagi kalangan Bani Israil itu sendiri bahkan telah amat keras menentang kehadirannya sebagai seorang ‘nabi-Nya’, dari usaha mereka dalam melakukan penyaliban atas nabi Isa as. Hal yang relatif serupa pula (adanya ramalan atas kedatangan nabi baru, yang berikutnya), terjadi pada nabi Daud as melalui kitab Zabur, ataupun nabi Musa as melalui kitab Taurat. 100) Alasan lain kemustahilan turunnya nabi Isa as & Imam Mahdi Selain dari berbagai uraian di atas, kemustahilan atas turunnya nabi Isa as ataupun Imam Mahdi pada akhir jaman, sebagai pemimpin spiritual global untuk seluruh umat manusia, serta atas turunnya nabinabi baru (setelah nabi Muhammad saw), juga antara lain karena:

Berbagai kemustahilan atas turunnya nabi Isa as & Imam Mahdi, pada akhir jaman a.

Nabi atau rasul-Nya adalah sosok yang bisa dianggap oleh para pengikutnya, sebagai manusia yang relatif sempurna (dibanding manusia lainnya), dan memiliki kedudukan sosial-politik yang relatif paling tinggi di lingkungan para pengikutnya. Apalagi mereka

816

Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia 101)

justru menjadi utusan Allah di muka Bumi (dunia). Hal ini justru amat mudah melahirkan ‘kultus individu’ kepada seorang nabiNya. Padahal ajaran agama Islam mengajarkan umat, agar jauh lebih memperhatikan kebenaran kandungan isi sesuatu ajaran (ayat) daripada siapa sosok pembawanya, walau sosoknya memang juga ikut menunjang hal-hal yang dibawanya (atau sosoknya menjadi contoh suri-teladan dan pengamalan langsung atas ajaran-ajarannya). Di dalam agama Islam memang ada anjuran-Nya, agar umat bisa banyak mendo’akan (bersyalawat) dan memberi suatu penghargaan amat tinggi kepada para nabi-Nya, yang telah berjasa menyampaikan berbagai risalah kebenaran-Nya. Hal ini juga hanya semata agar bisa menjaga kemuliaan ajaran-ajaran mereka, justru bukan agar memuliakan sosok ataupun pribadi para nabi-Nya. Pemahaman dari sekelompok umat yang menyakini atas kedatangan nabi Isa as dan Imam Mahdi pada akhir jaman, justru telah tidak sesuai dengan ajaranajaran Islam itu sendiri, karena amat jelas tampak pengkultusan yang amat luar-biasa kepada mereka, yang amat diidamkan sebagaimana halnya mitos "ratu adil". Bahkan amat ironisnya, pengkultusan justru terjadi amat jauh sebelum mereka terbukti hadir ke dunia ini, dan sosoknyapun sama sekali belum diketahui. Padahal pengkultusan atas makhluk telah susah-payah berusaha dihapus oleh nabi Muhammad saw sendiri, misalnya dengan mengharamkan umat Islam untuk menampilkan gambar sosok dirinya, bahkan juga mengharamkan atas semua gambar sosok manusia, hewan dan makhluk gaib. Begitu pula ada larangan untuk memakai aksesoris tubuh (kalung, gelang, dsb) yang menampilkan nama atau sosok Nabi, dan banyak lagi upaya lainnya semacam ini oleh Nabi. Karena hal ini bisa berdampak amat buruk, seperti yang terjadi pada umat Nasrani, yang bahkan telah menganggap nabi Isa as sebagai Tuhan. Dan pada umat Nasrani atau jemaat Ahmadiah misalnya, juga selalu mempertontonkan foto ataupun sosok nabi Isa as dan Mirza Ghulam Ahmad. b.

Arti ‘akhir jaman’ itu sendiri amat relatif dan sulit bisa ditentukan, karena hanya Allah Yang Maha mengetahui waktu kedatangan ‘akhir jaman’ itu (atau Hari Kiamat ‘besar’), bahkan para nabi-Nya tidak ada yang tahu. Dan dalam Al-Qur’an ada digambarkan perbedaan kerangka waktu Allah dan manusia, misalnya disebut “sehari menurut Allah 102) setara dengan ribuan tahun menurut manusia”. Sehingga waktu kedatangan akhir jaman atau Hari Kiamat besar yang bisa disebut "tiba-tiba", "amat cepat", dsb, juga dalam kerangka waktu Allah, sehingga lebih bersifat ‘simbolik’. Lebih pentingnya lagi, kedatangannya itupun juga pasti mengikuti sunatullah, seperti halnya pada penciptaan alam semesta selama "milyaran tahun". Para nabi-Nya hanyalah mengetahui tanda-tanda saat sebelum kedatangan Hari Kiamat, yang lebih cenderung sebagai sesuatu peringatan dan pesan moral yang amat penting, agar umat amat berhati-hati dan berusaha semaksimal mungkin, agar bisa menghindari terjadinya hal-hal yang disebut pada tanda-tanda itu. Ringkasnya, waktu saat kedatangan akhir jaman atau Hari Kiamat ‘besar’ itu sendiri justru tidak jelas. Lalu apa perlunya menunggu dan mengangankan sesuatu hal (Imam Mahdi), jika waktu kedatangan dan sosoknya saja tidak jelas. Bahkan ada sebagian dari umat Islam yang berpendapat bahwa Hari Kiamat ‘kecil’ adalah saat kematian pada tiap umat manusia, sehingga makin mustahil atas


Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia

817

818

turunnya nabi Isa as dan Imam Mahdi pada akhir jaman tersebut (Hari Kiamat ‘besar’). Baca pula topik "Benda mati gaib", tentang pemahaman adanya Hari Kiamat ‘besar’ (akhir jaman, kematian seluruh umat manusia) dan Hari Kiamat ‘kecil’ (kematian tiap manusia).

kembali kepada keyakinan masing-masing, karena memang relatif amat sulit untuk bisa diilmiahkan atau diperdebatkan. Bahkan solusi akhirnya pada umumnya berupa, "untukmu agamamu, untukku agamaku" - (QS.109:6). Peperangan pada kaum Muslim pada dasarnya hanya terjadi, jika ada suatu penganiayaan atau kezaliman yang amat berlebihan atas kaum Muslim, bukan hanya sekedar agar bisa meraih kemenangan lahiriah (seperti: luas wilayah, kekuasaan atau kejayaan, jumlah umat Islam, dsb). Apakah pemimpin spiritual global itu ahli debat agama yang ulung, yang bisa menjawab segala persoalan ideologi ataupun agama di atas, agar bisa mengarahkan semua manusia modern kepada agama-Nya yang lurus dan terakhir (Islam)?.

"Mereka tidak menunggu, kecuali kedatangan Hari Kiamat kepada mereka, dengan tiba-tiba, sedang mereka tidak menyadarinya." - (QS.43:66) c.

Allah tidak menciptakan alam semesta, agar seluruh umat manusia menjadi beriman, amat mudah bagi Allah jika menghendaki hal demikian. Namun pada Hari Kiamat itu, tiap manusia justru dihisab dengan amat adil dan secara apa adanya sesuai segala 103) amal-perbuatannya di dunia ini, lalu diberikan balasan-Nya yang amat setimpal. Sehingga amat tidak relevan atas adanya pemimpin global di akhir jaman, yang bisa meluruskan semua agama, ataupun yang bisa memenangkan orang-orang beriman atas orang-orang kafir.

f.

Bahkan amatlah perlu ditanyakan, seperti apakah bentuk kemenangan yang diidamkan oleh sekelompok umat, yang akan dijanjikan dan dibawakan oleh pemimpin spiritual global itu?. "… . Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja). Tetapi Allah hendak menguji kamu, terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada-Nya-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu, segala apa yang telah kamu perselisihkan tersebut," - (QS.5:48) d.

Para nabi-Nya diutus-Nya dengan tujuan utama, agar bisa memberi pengajaran dan tuntunan-Nya bagi umat manusia, dan selanjutnya agar tiap umat juga bisa mendapat kemuliaan yang tinggi dan dekat di sisi-Nya pada kehidupan akhiratnya. Hal inipun bahkan sama sekali tidak bertujuan, agar bisa memenangkan orang-orang 104) beriman terhadap orang-orang kafir pada kehidupan dunia ini. "Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul-Kami hanyalah menyampaikan (petunjuk) dengan terang." - (QS.64:12) "Jika mereka mendurhakaimu, maka katakanlah: `Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab, terhadap apa yang kamu kerjakan`." - (QS.26:216) "Katakanlah: `Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kita perbuat, dan kami tidak akan ditanya (pula), tentang apa yang kamu perbuat`." - (QS.34:25) "Dan ingatlah, ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: `Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab, terhadap apa yang kamu sembah," (QS.43:26)

e.

Di jaman modern sekarang ini telah tidak ada lagi perang atau pertentangan agama, yang bersifat frontal dan tegas, seperti pada jaman perang salib. Biasanya hanya ada perang ideologi atau sistem nilai yang amat halus, yang lebih mengarah kepada adu 105) otak, pendapat atau argumentasi. Bahkan hasil akhir dari pertentangan semacam inipun biasanya diserahkan

Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia

Umat manusia di jaman modern ini amat berbeda daripada umat di jamannya para nabi-Nya, yang relatif primitif dan sederhana, sehingga kekafiran di jaman modern ini relatif amat tidak kentara (bentuk dan pelakunya). Bahkan terbungkus dengan relatif amat rapi oleh nilai-nilai budaya global yang telah diakui oleh sebagian besar umat manusia, misalnya: hak asasi manusia (HAM), demokrasi, kapitalisme, dsb. Bahkan orang-orang kafir terkadang bisa terlihat jauh lebih Islami daripada umat Islam sendiri, dalam hal-hal yang umum seperti: menjaga kebersihan; berkasihsayang; saling menolong dan membantu orang-lain; bersedia mendengar orang lain dan bertoleransi; sopan-santun; dsb. Sehingga amat ‘tidak manusiawi’, jika persoalan kekafiran semacam ini bisa diatasi hanya oleh seorang manusia saja (pimpinan spiritual global itu). Apakah pemimpin global itu ideolog yang ulung, yang bisa mengatasi tiap ideologi global, yang bersifat amat sekuler dan materialistik-duniawi?.

g.

Secara alamiah, telah tidak ada lagi pemimpin global di jaman modern ini, yang bisa diakui dan ditaati oleh banyak bangsa di dunia, apalagi tiap agama juga bisa memiliki banyak aliran yang memiliki pemahamannya masing-masing atas agamanya, beserta 106) kepemimpinan umatnya masing-masing. Bahkan tidak ada sesuatu aliran yang bisa berhak mengaku paling benar dibandingkan aliran lainnya. Maka hampir mustahil ada pimpinan spiritual global yang bisa ditunjuk sebagai pimpinan bagi semua alirannya, dari sesuatu aliran tertentu atau bahkan dari kalangan non-aliran.

Kemenangan hakiki orang beriman, pada kehidupan akhiratnya Bentuk kemenangan yang sebenarnya atau hakiki bagi orang yang beriman atas orang yang kafir pada dasarnya berupa kemampuan untuk menemukan makna yang sebenarnya tentang kehidupan dunia, lebih khususnya dengan mengikuti berbagai ajaran agama-Nya dalam rangka untuk membangun kehidupan akhiratnya masing-masing. Agar orang yang beriman bisa menjalani kehidupan dunianya dengan lebih bermakna dan benar, sekaligus bisa menjalani kehidupan akhiratnya di Hari Kiamat dengan mendapat kemenangan yang paling besar (Surga). Kemenangan pada kehidupan akhirat jauh lebih penting, mendasar dan hakiki daripada kemenangan pada kehidupan fisik-lahiriah-dunia yang justru amat sementara, semu dan mudah menyesatkan. 107) & 104)


Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia

819

Pemahaman secara mendalam atas hakekat kehidupan akhirat semestinya bisa dimiliki oleh orang yang beriman. Bahwa kehidupan akhirat itu berlangsung secara bersamaan (paralel), dengan kehidupan dunianya ini (bukan hanya di Hari Kiamat), karena kehidupan akhirat adalah kehidupan batiniah ruh tiap manusianya sendiri. Apabila kehidupan akhirat itu justru bisa tertata dengan lebih baik, maka kehidupan dunia juga cenderung lebih teratur dan tercapai, walau dengan berbagai cara yang tidak melampaui batas, yang justru mendasari timbulnya tiap jenis perbuatan dosa, seperti: kemusyrikan, kezaliman, kekafiran, kemunafikan, kemungkaran, kesombongan dan riya, kefasikan dan kebohongan, kebatilan, dsb. 108) Dalam sesuatu masyarakat yang telah melupakan ataupun tidak beriman kepada kehidupan akhirat, umumnya diakibatkan oleh amat kuatnya dominasi dari kehidupan duniawi, serta umumnya berbentuk masyarakat yang berbudaya sekuler-materialistik. Hal ini lalu ditandai dengan kehilangan berbagai nilai moral-batiniah-spiritual keagamaan, yang selanjutnya juga bisa menimbulkan berbagai penyakit sosial. Berbagai penyakit sosial itu, misalnya: sex bebas (perzinahan massal), dan manusia ibarat obyek pemenuhan hawa nafsu; eksploitasi manusia atas manusia lainnya; kehilangan nilai-nilai tradisional dalam keluarga; tingkat bunuh diri dan kriminalitas yang amat tinggi; aborsi, perkawinan sejenis, pornografi dan perjudian merajalela; segala jenis hawa nafsu duniawi yang amat diperturutkan; dsb. "Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk. ‌" - (QS.16:60) "Dan (juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat cenderung kepada bisikan (syaitan) itu, mereka merasa senang kepadanya, dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (syaitan) kerjakan." - (QS.6:113) "Dan sesungguhnya, orang-orang yang tidak beriman kepada negeri akhirat, benar-benar menyimpang dari jalan (yang lurus).", "Andaikata mereka Kami belas kasihani, dan Kami lenyapkan kemudharatan yang mereka alami, benar-benar mereka akan terus-menerus terombang-ambing dalam keterlaluan mereka." - (QS.23:74-75) "Apakah dia (orang kafir) mengada-adakan kebohongan tentang Allah, ataukah ada padanya penyakit gila?. (Tidak), tetapi orangorang yang tidak beriman kepada negeri akhirat, berada dalam siksaan dan kesesatan yang jauh." - (QS.34:8)

820

Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia

Pertanyaan lanjutan atas turunnya nabi Isa as & Imam Mahdi Selanjutnya bagi sekelompok kalangan umat Islam yang telah menyakini, atas turunnya nabi Isa as ataupun Imam Mahdi pada akhir jaman, ataupun atas turunnya nabi-nabi baru, amat perlu diajukan pula beberapa pertanyaan berikut:

Berbagai keraguan tambahan atas turunnya nabi Isa as & Imam Mahdi, pada akhir jaman a.

Apakah perlu dan relevansinya bagi sekelompok kalangan umat Islam, yang berusaha menunggu kedatangan nabi Isa as ataupun Imam Mahdi yang begitu diidam-idamkan di akhir jaman, dalam kaitannya dengan ajaran-ajaran agama Islam yang ada saat ini?. Apakah ada sebagian ajaran agama Islam yang dianggap tidak sempurna, atau memang hanya sekedar ada kekurangan pada tataran penafsiran dan penerapannya di kalangan umat saja?. Padahal kelompok itupun masih memeluk atau menyakini kebenaran ajaran agama Islam. Padahal kelangsungan dan kemuliaan tiap ajaran agama Islam, sama sekali tidak berkaitan dengan turunnya mereka itu. Tegaknya agama Islam justru tergantung kepada tiap pribadi umat Islam itu sendiri, dalam berusaha mengkokohkan tiang-tiang agamanya pada dirinya sendiri ataupun pada lingkungannya (memberi pengajaran).

b.

Apakah tidak berlebihan menunggu kedatangan nabi Isa as dan Imam Mahdi di akhir jaman ataupun perlu adanya nabi-nabi baru, hanya untuk melakukan pembaharuan penafsiran atas Al-Qur’an dan Hadits, agar tetap bisa cocok untuk diterapkan sesuai dengan perkembangan jamannya?. Padahal justru bisa dilakukan oleh sekelompok ulama ahli ijtihad dan ahli tafsir pada saat ini (dalam Majelis ulama), dan bahkan hampir mustahil bisa dicapai hanya oleh seorang manusia saja, karena seluruh persoalan umat manusia saat ini sampai pada akhir jaman, relatif amat luas dan kompleks. Padahal masih amat banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang belum ditelaah dan dipahami pada tataran hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, dan bukan sekedar hanya pemahaman pada tataran tekstual-harfiahnya. Padahal kriteria sesuatu kenabian amat tinggi bagi manusia biasa, dan juga memiliki implikasi yang amat penting dan luas bagi kehidupan para pengikutnya.

c.

Adakah pemimpin global yang bisa mengubah seluruh umat manusia di seluruh dunia, "sepanjang hidupnya"? (seperti halnya yang dianggap akan terjadi pada Imam Mahdi). Padahal nabi Muhammad saw yang dianggap sebagai nabi yang terbesar sepanjang sejarah umat manusia, sepanjang hidupnya justru hanya bisa mengubah daerah jazirah Arab saja. Dan bahkan Islam lalu bisa berkembang ke seluruh penjuru dunia, justru setelah Nabi sendiri telah wafat. Padahal pengakuan sebagian umat kaumnya atas Nabi sebagai utusan-Nya memerlukan waktu puluhan tahun, dan bisa mengubah daerah Arab juga dua puluhan tahunan. Belasan tahun pada awal kenabiannya, Nabi justru belum bisa diterima oleh masyarakat Mekah. Belasan tahun kemudian, setelah Nabi berhijrah ke Medinah dan menang pada sejumlah peperangan, baru Nabi bisa mengubah bangsa Arab.


Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia

d.

e.

821

Apakah harapan kelompok itu terhadap kedatangan nabi Isa as ataupun Imam Mahdi, sebagai "ratu adil", yang diidamkan atau diharapkan di akhir jaman?. Padahal diketahui pula, tiap manusia pasti memiliki segala keterbatasan dan kekurangan, termasuk tentunya pada nabi Isa as ataupun Imam Mahdi tersebut. Padahal ada Allah Yang Maha adil dan Maha kuasa, sebagai tempat bagi tiap manusia untuk menggantungkan segala nasib dan harapannya, Yang pasti amat teliti perhitungan-Nya atau pasti amat adil hisab-Nya dan juga Yang telah menjanjikan balasan surga bagi orang yang beriman, sebaliknya neraka bagi orang yang kafir. Apakah sejarah ataupun nasib dari agama Islam tergantung kepada sejarah seorang umat manusia (Imam Mahdi), ataupun kepada ada turunnya Imam Mahdi pada akhir jaman? (seperti halnya agama Nasrani, kepada penyaliban dan kebangkitan Yesus). Padahal segala proses diturunkan-Nya agama-Nya yang lurus, justru sama sekali tidak terkait dengan sejarah umat manusia (termasuk para nabi-Nya), bahkan menyatu dengan Fitrah Allah ataupun segala kehendak-Nya bagi alam semesta ini. Para nabi-Nya adalah umat-umat yang justru ‘kebetulan’ telah memahami ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis yang ada di alam semesta ini, dengan relatif jauh lebih sempurna dibandingkan seluruh umat kaumnya pada tiap jamannya masing-masing. Segala pemahaman masing-masing para nabi-Nya telah tersusun relatif ‘sempurna’ (relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan). Sehingga tidak terlalu mengherankan, jika dasar-dasar pokok ajaran para nabi-Nya bisa ‘sama’ (terutama tauhidnya "Tiada tuhan selain Allah, Yang Maha Esa"), karena ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis di alam semesta (tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya), yang mereka pelajari juga relatif ‘sama’. Proses perolehan pemahaman pada para nabi-Nya, bahkan berlangsung amat alamiah dan lama (relatif sepanjang hidup mereka), bahkan para alim-ulama dan umat-umat biasa pada saat inipun, relatif belum tentu telah memiliki pemahaman atas agama-Nya yang lurus, seperti yang telah dimiliki oleh para nabi-Nya. Sesuatu kemustahilan dan tahayul yang amat luar biasa, jika seorang Imam Mahdi bisa memiliki kemampuan seperti para nabi-Nya, secara tiba-tiba begitu saja. Apalagi jika nasib agama Islam justru dianggap amat tergantung kepadanya.

f.

Apakah ada disebut ‘Imam Mahdi’ dalam Al-Qur’an? (‘tidak ada’). Padahal gambaran tentang turunnya Imam Mahdi itu justru amat luar-biasa, dan seolah-olah ikut menentukan nasib agama dan umat Islam (pada poin e di atas). Jika hal itu benar, maka hal yang dianggap amat penting seperti ini tentunya mestinya juga tercantum secara eksplisit, jelas dan bahkan berulang-ulang dalam Al-Qur’an.

Pengutusan nabi terakhir, proses alamiah Telah bisa disimpulkan, bahwa pernyataan di dalam Al-Qur’an tentang nabi Muhammad saw sebagai nabi yang terakhir untuk seluruh umat manusia, adalah hal yang amat alamiah dan wajar, bahkan bukan semata-mata hanya suatu pengakuan dan keyakinan subyektif sepihak, dari para nabi-Nya sendiri (khususnya nabi Muhammad saw), ataupun dari masing-masing pengikut dari para nabi-Nya ataupun umat agama tertentu (khususnya Islam), tanpa berbagai dasar alasan yang jelas. Bahwa nabi Muhammad saw adalah nabi dan rasul-Nya yang

822

Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia

terakhir, atau nabi penutup dari keseluruhan para nabi-Nya, sejak nabi Adam as. Bahwa segala proses diutus-Nya nabi Muhammad saw bagi keseluruhan umat manusia, juga melalui aturan-Nya (sunatullah) yang bersifat amat alamiah. 109) Baca pula topik "Sunatullah (sifat proses)". Sehingga segala mistis-tahayul tentang hal-hal ini, semestinya justru bisa makin dihilangkan, atau bahkan bisa dihapus, karena segala mistis-tahayul ini justru amat merusak proses pengajaran atas agama Islam dan kitab suci Al-Qur'an. Terutama karena umat Muslim sendiri dan umat non-Muslim justru bisa bersikap ‘antipati’ atas segala bentuk pengajaran semacam itu, yang memang sulit bisa diterima oleh akalsehatnya. "Muhammad itu sekali-kali bukanlah (hanya sekedar), bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." - (QS.33:40) "Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira, dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui." - (QS.34:28) "Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu (Muhammad), maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi." - (QS.4:79) "… Dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi, atas seluruh umat manusia. …" - (QS.16:89) "Dan berjihadlah kamu (hai orang-orang yang beriman) di jalan-Nya, dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam (ber)agama, suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu sekalian (sebagai) orang-orang muslim, dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur`an) ini, supaya Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu, dan supaya kamu semua menjadi saksi atau segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dia-lah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong." (QS.22:78)


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

823

"Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis". Lapangkanlah!, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah (shalat). Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu, dan orang-orang yang diberi ilmu-pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. AL-MUJAADILAH:58:11) "Tidak wajar bagi seseorang manusia, yang Allah berikan kepadanya Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: ‘Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah’. Akan tetapi hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab, dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. ALI-IMRAN:3:79)

824

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

mewakili segala keadaan umat manusia modern secara keseluruhan, karena hampir seluruh bentuk persoalan batiniah yang paling penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan umat manusia, pada hakekatnya serupa, serta tidak banyak mengalami perkembangan dan perubahan. Bahkan lebih khususnya lagi, pada kitab-kitab-Nya justru amat terfokus kepada segala persoalan batiniah-moral-spiritual tersebut, dan kalaupun ada disebut segala bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya atas hal-hal yang bersifat lahiriah (berbagai amal-ibadah), umumnya tidak lebih hanya semata untuk bisa mencapai hal-hal batiniah terkait atau terkandung di dalamnya. Kitab suci Al-Qur’an telah diturunkan-Nya selama sekitar 23 tahun, ataupun diperoleh dalam hampir seluruh usia kematangan Nabi sebagai manusia biasa (sejak usia sekitar 40 tahun sampai amat dekat menjelang wafatnya), maka bisa amat mudah diketahui, bahwa hampir seluruh persoalan batiniah yang paling penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan umat manusia, telah relatif lengkap dalam Al-Qur’an. Contoh sederhananya, ‘mencuri’ (mengambil hak-milik oranglain) pada jaman Nabi Muhammad saw, masih berbentuk sederhana, namun pada saat ini justru memiliki banyak bentuk, seperti: penipuan; penjambretan; perampokan; penyerobotan lahan; pemalakan liar atas hutan; korupsi dan segala kejahatan kerah putih lainnya; dsb.

VII.D.

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

Bagaimana ajaran Islam menjawab persoalan manusia modern? Telah diketahui dari uraian di atas bahwa nabi Muhammad saw adalah nabi yang terakhir yang diutus-Nya bagi seluruh umat manusia, dan juga bahwa suatu kemustahilan tentang kedatangan nabi-nabi baru setelah Nabi. Maka bisa timbul pertanyaan "bagaimana ajaran-ajaran Nabi terutama dalam kitab suci Al-Qur'an, bisa menjawab kebutuhan, tantangan dan persoalan umat manusia modern sampai akhir jaman?". Padahal di lain pihak, kitab-kitab-Nya (terutama kitab suci AlQur’an) telah relatif lengkap menjelaskan tentang persoalan umat pada jamannya, ketika kitab-kitab-Nya diturunkan-Nya kepada setiap nabiNya yang terkait, sebagai kitab-kitab tuntunan-Nya yang lengkap bagi umat kaumnya masing-masing, dan bahkan bagi seluruh umat manusia (terutama Al-Qur’an sebagai kitab-Nya yang terakhir). 110) Perkembangan aspek moral-spiritual dan fisik-material Penting diketahui pula, bahwa segala keadaan ‘batiniah-moralspiritual’ umat pada jaman nabi Muhammad saw, pada dasarnya telah

Maka ‘hikmah dan hakekat’ bentuk hukuman bagi ‘pencuri’ yang disebut dalam Al-Qur’an bagi umat-umat pada jaman Nabi, pada dasarnya semestinya bisa ditafsirkan penerapan aktualnya bagi segala bentuk baru pencurian seperti yang disebut di atas, sesuai dengan ‘rasa keadilan’ yang berlaku dalam masyarakat pada setiap jamannya (bisa relatif berbeda-beda menurut umat pada setiap jamannya). Padahal aspek ‘keadilan’ adalah aspek yang paling utama dan universal dari segala jenis bentuk hukuman lahiriah (sebab-akibatnya sebanding), sedang aspek bentuk hukuman yang disebut dalam setiap ajaran agama, semestinya bersifat relatif, temporer dan aktual sesuai dengan ‘rasa keadilan’ di dalam masyarakat terkait. Sehingga ‘bentuk’ hukuman justru semestinya bisa berubah-ubah dan tidak harus terpaku pada isi dari teks-teks ajaran agama, yang semestinya memang hanya sesuai bagi umat pada jaman saat disampaikannya ajaran-ajaran itu. Baca pula uraian-uraian di bawah, tentang cara-cara penerapan hukum syariat. Hanya aspek lahiriah-fisik-material yang mengalami berbagai perubahan dan perkembangan yang relatif amat signifikan, dari jaman


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

825

ke jamannya, bahkan banyak aspek lahiriah-fisik-material yang justru belum pernah ada pada jaman nabi Muhammad saw, seperti: mobil; penjelajahan manusia ke bulan atau planet lain; internet; komputer; bom nuklir; sepeda; dsb. Sekali lagi, di balik segala hal-hal lahiriah, segala persoalan batiniahnya relatif tetap serupa, bahkan sejak awal adanya kehidupan manusia, lebih khususnya lagi, sejak diutus-Nya nabi Muhammad saw sampai akhir jaman. Tertinggal pada tugas-amanat amat penting bagi umat Islam pada setiap jamannya, untuk mencermati dan memahami setiap persoalan batiniahnya sendiri, lalu bisa merumuskan penerapan aktual lahiriahnya, berdasar setiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di balik teks ayat-ayat Al-Qur’an (bukan makna tekstual-harfiahnya) Contoh persoalan umat Islam modern Beberapa contoh persoalan pada umat manusia modern, seperti misalnya: • Globalisasi, materialisme dan kapitalisme; • HAM, demokrasi dan sekulerisasi; • Kristenisasi; • Aliran-mazhab-golongan, termasuk pada kemunculan nabi-nabi baru; • Kemunduran ilmu-pengetahuan dan teknologi di kalangan umat Islam; • Transplantasi organ babi ke manusia; • Hukum cloning manusia dan hewan; • Persoalan Palestina dan Zionis Israel; • Cara dan waktu shalat di kapal ruang angkasa atau planet; Di samping itu, juga terdapat beberapa isu aktual yang paling sering dipakai untuk menyerang kaum Muslim oleh berbagai kalangan non-Muslim ataupun para orientalis barat, tetapi belum teratasi secara amat memadai oleh umat Islam sendiri, seperti misalnya: • Isu jihad, terorisme dan phobia terhadap Islam; • Isu negara Islam, serta sistem pemerintah dan hukumnya; • Isu pengekangan terhadap wanita; • Isu poligami; • Isu hukum syariat yang tidak populer dan tidak aplikatif; Solusi para nabi bagi kelangsungan ajarannya di masa depan Telah diketahui pula, bahwa pada berbagai ajaran agama-Nya sebelum ada kedatangan nabi Muhammad saw (khususnya pada kitab

826

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

Taurat dan Injil), tantangan dan persoalan umat manusia pada masamasa mendatang, berusaha dijawab melalui ramalan atas kedatangan para nabi-Nya berikutnya, demi terjaganya kelangsungan ajaran-ajaran agama-Nya yang lurus. 100) Sejalan dengan hal itu, justru nabi Muhammad saw telah pula memberi solusi yang relatif berbeda dibandingkan dari para nabi-Nya sebelumnya atas kelangsungan ataupun aktualitas ajaran-ajaran agama Islam yang disampaikannya, dalam menghadapi dan menjawab segala tantangan dan persoalan umat manusia pada masa mendatang. Padahal di lain pihak telah diketahui, bahwa nabi Muhammad saw dan kitab suci Al-Qur'an adalah nabi dan kitab tauhid yang terakhir. Setelah kitab suci Al-Qur'an sebagai dasar paling tinggi ajaran agama Islam, di bawahnya disediakan pula dasar-dasar ajaran lainnya, secara berturut-turut, yaitu: Sunnah Nabi (Hadits), dan Ijtihad para ulama (Ijma’, Qiyas, Istihsan, dsb), untuk menjawab hal di atas. 111) Ijtihad, solusi Nabi bagi aktualisasi ajaran agama Islam Dengan berdasar Ijtihad para ulama itulah, maka ajaran-ajaran agama Islam jauh lebih memungkinkan dan amat terbuka, untuk bisa menjawab segala keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan pada kehidupan umat manusia modern, sampai akhir jaman. Sementara Sunnah Nabi (Hadits) telah tidak berkembang sejak wafatnya nabi Muhammad saw sendiri, yang memang hampir seluruh aspek kehidupannya disebut sebagai "tafsiran hidup atas kitab suci AlQur’an" atau "contoh hidup Al-Qur’an", sehingga secara historis dan budaya, Sunnah Nabi juga memiliki keterbatasan. Banyak hal saat ini tidak ada pada jaman Nabi ataupun tidak cukup hanya dijawab melalui Sunnah-sunnah Nabi (Hadits-hadits Nabi). Bahwa Ijtihad merupakan suatu penafsiran yang amat hati-hati atas Al-Qur'an dan Sunnah Nabi di dalam konteks kekinian, termasuk penafsiran bagi penerapan aktual atas setiap persoalan yang belum ada pada jaman Nabi. Hal inipun dihasilkan oleh sekelompok atau majelis ulama ahli ijtihad ataupun ahli tafsir, yang bisa dipilih oleh umat Islam pada setiap jamannya. Perlunya peran Majelis ulama itu karena pada dasarnya setiap ijtihad justru langsung menyangkut pengamalan umat, atas ajaran-ajaran agamanya dalam kehidupannya sehari-hari. Selain itu, para ulama terkemuka dalam majelis itu semestinya relatif amat menguasai ilmu-ilmu agama, dan juga masing-masingnya semestinya bisa menguasai satu atau lebih dari berbagai bidang ilmuilmu non-agama yang telah berkembang, disesuaikan dengan berbagai


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

827

persoalan lahiriah dan terutama batiniah, yang justru sedang dihadapi oleh ‘seluruh’ umat manusia pada setiap jamannya. 112) Ijtihad di atas ijtihad terdahulu Perlu diketahui pada buku ini, bahwa setiap ijtihad adalah hasil pengungkapan secara bersifat praktis-aplikatif dan aktual, berdasarkan rangkuman dari keseluruhan bangunan pemahaman berupa al-Hikmah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), guna menjawab setiap keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan umat pada setiap jamannya. Maka setiap ijtihad diharapkan bisa relatif mudah dipahami dan diamalkan oleh setiap umat. Hasil ijtihad dari Majelis alim-ulama itu sering pula disebut sebagai ‘fatwa’. Namun mungkin relatif jarang diungkap, bahwa sesuai dengan sifat ijtihad itu sendiri, yang semestinya sesuai dengan perkembangan keadaan umat ketika disampaikan, maka setiap ijtihad semestinya bisa berada ‘di atas’ ijtihad terdahulu yang terkait (atau ijtihad semestinya bisa memperbaiki ataupun menggantikan ijtihad terkait lainnya). Relatif jarang terjadinya hal ini (tepatnya jarang diketahui oleh masyarakat umum), diduga karena Majelis alim-ulama lebih banyak melahirkan berbagai ijtihad atau fatwa baru. Lebih utama lagi, karena seluruh ijtihad atau fatwa terdahulu dari para alim-ulama, mungkin memang dianggap masih tetap aktual dan sesuai, bagi segala keadaan umat saat ini (belum ada perubahan keadaan umat yang cukup berarti). Hal-hal ini dirasakan perlu diungkap, untuk mencegah adanya anggapan bahwa ijtihad atau fatwa adalah sesuatu hal yang tidak bisa diganti, diubah, diperbaiki ataupun dihapus. Kredibilitas Majelis alimulama bukanlah hal yang akan dipertaruhkan dalam perubahan seperti ini. Justru tujuan yang paling penting adalah agar keadaan kehidupan beragama umat terus-menerus bisa makin baik. Walaupun tentunya Majelis alim-ulama semestinya melahirkan setiap ijtihad atau fatwanya dengan relatif amat hati-hati dan sekaligus pula selalu sesuai dengan segala perkembangan keadaan umat. Hikmah dan hakekat Al-Qur’an, untuk atasi tantangan jaman Tetapi penting diketahui pula, bahwa fleksibilitas ajaran agama Islam dalam menghadapi tantangan jamannya, hanyalah bisa tercapai jika seluruh pemahaman tentang Al-Qur'an dan Sunnah Nabi (Hadits), dilakukan pada tataran pemahaman Al-Hikmah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), dalam kandungan isinya atau di balik teks-teksnya. Karena hanya pada tataran Al-Hikmah itulah bentuk Al-Qur'an ketika diturunkan-Nya kepada nabi Muhammad saw (Al-Qur'an sama

828

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

sekali tidaklah diturunkan-Nya dalam bentuk teks tertulis, ataupun AlKitab), bahkan seluruh wahyu pada para nabi-Nya justru diturunkanNya berupa Al-Hikmah. Sedang ‘Sunnah Nabi’ sebagai bentuk contoh pengamalan nyata dan langsung atas Al-Qur'an, pada dasarnya secara umum juga termasuk suatu Al-Kitab (Al-Hikmah yang terungkap). Ringkasnya, Al-Kitab adalah berbagai hasil pengungkapan atas segala pemahaman berupa Al-Hikmah di dalam dada-hati-pikiran para nabi-Nya, melalui berbagai lisan, tulisan, sikap dan contoh perbuatan dari para nabi-Nya. Walau kitab-Nya paling tepat disebut Al-Kitab. Maka mestinya dihindari pemahaman secara tekstual-harfiah; mestinya dipisahkan antara perumpamaan dan hal yang sebenarnya; mestinya bisa dihilangkan batasan ruang, waktu dan konteks budaya; mestinya dijelaskan sesuai perkembangan ilmu-pengetahuan (kecuali atas hal-hal gaib tertentu); mestinya dikurangi ketergantungan kepada pemikiran umat-umat terdahulu (kecuali telah terbukti nyata dan jelas kebenaran kandungan isi dari hal-hal yang dibawanya); dsb. Metode-metode pencapaian hikmah dan hakekat Al-Qur’an Penjelasan lebih lengkapnya atas cara atau metode untuk bisa memahami tiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya dalam kandungan isi teks-teks Al-Qur'an dan Sunnah Nabi (Hadits), antara lain: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q. r.

Menguasai bahasa Arab. Kumpulkan segala keterangan dan penjelasan terkait. Berpengetahuan dan berwawasan amat luas. Pisahkan hal-hal gaib dan bukan. Hindari pemahaman secara tekstual-harfiah. Pisahkan hal-hal sebenarnya dan contoh simbolik. Hilangkan konteks ruang, waktu dan budaya. Berdasar ilmu-pengetahuan yang obyektif. Hindari penafsiran agama dengan ilmu filsafat. Kurangi mengacu dari pemikiran orang terdahulu. Hilangkan segala bentuk dogma. Pisahkan pemahaman atas para nabi-Nya terdahulu. Pahami perbedaan Sunnah Nabi dan Hadits Nabi. Harus utuh, konsisten dan tidak saling bertentangan. Berdiskusi dengan orang berilmu agama tinggi. Banyak mempelajari pemahaman yang berbeda-beda. Memiliki bangunan pemahaman atas ajaran agama. Persiapkan sikap-sikap mental tertentu sebelumnya.


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

829

830

Uraian-uraian selengkapnya, yaitu: Tabel 19: Metode-metode untuk mencapai hikmah dan hakekat

Berbagai metode untuk mencapai pemahaman hikmah dan hakekat, atas ajaran-ajaran agama-Nya a.

Menguasai bahasa Arab.

¾ Harus menguasai betul bahasa Arab. Seperti halnya kitab-kitab suci agama lainnya, Al-Qur'an relatif amat banyak mengandung nilai-nilai batiniah yang relatif 'amat sensitif', terutama hal-hal yang menyangkut keyakinan tiap umat manusia. Sehingga Al-Qur'an mestinya bisa dipahami betul-betul makna dan sejarah pemakaian dari ‘tiap kata’ pada ayat-ayatnya (sesuai konteks keadaan saat disampaikannya).

Hal ini untungnya amat didukung dari otentisitas kitab suci AlQur'an, yang terus tetap terjaga sejak awal dibukukannya sampai saat ini (teks ayat-ayatnya tidak pernah berubah-ubah). Sehingga umat hanya perlu bisa mempelajari sejarah bahasa dan budaya Arab pada jaman Nabi. Lebih khusus lagi, mempelajari segala konteks keadaan ketika Nabi menyampaikan ayat-ayat itu (Asbabun Nuzul), serta tiap hadits terkait yang menjelaskannya. Tentunya umat Islam justru sama sekali tidak perlu mempelajari sejarah tiap adanya perubahan atas kitab sucinya (beserta segala konteks keadaannya), seperti pada kitab suci agama lainnya.

yang dianggapnya relatif paling baik dan cocok terjemahannya, yang memang telah diterjemahkan oleh para alim-ulama, yang relatif amat ahli dalam menguasai bahasa Arab. b. Kumpulkan segala keterangan dan penjelasan terkait. ¾ Harus sebanyak mungkin bisa mengumpulkan segala bahan yang terkait (segala keterangan dan penjelasan), makin banyak justru relatif makin baik. Segala keterangan dan penjelasan yang dimaksudkan, tentunya segala risalah yang telah ditinggalkan oleh Nabi, beserta segala risalah, catatan, keterangan dan penjelasan yang terkait lainnya, seperti: - Kitab suci Al-Qur'an (beserta tafsir ataupun terjemahannya); - Kitab-kitab hadits (catatan atas sunnah-sunnah Nabi); - Segala hasil ijtihad para alim-ulama dari jaman dulu sampai saat sekarang (Ijma’, Qiyas, Istihsan, fatwa, dsb); - Segala catatan atas turunnya wahyu-Nya di dalam Al-Qur'an atau Asbabun Nuzul; - Segala catatan sejarah atas umat-umat pada jaman Nabi, yang terutama tentang budaya dan bahasanya; - Segala kisah para nabi-Nya dan umat-umat terdahulu; - Dsb.

Hal yang justru amat penting pula, adalah tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini (atau ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis), yang berupa segala sesuatu hal yang bersifat mutlak dan kekal, pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadiannya di alam semesta ini. Bahkan sebagian besar dari pengetahuan dan wawasan para nabiNya, justru diperoleh dari mengamati dan mempelajari langsung tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini. Maka segala ilmu-pengetahuan tentang segala kejadian lahiriah dan batiniah di alam semesta, juga amat perlu dimiliki. Baca pula poin c di bawah.

Penguasaan bahasa Arab itupun amat diperlukan, karena bahasa dalam Al-Qur'an juga amat kaya dengan tata bahasa dan makna, terutama karena bahasa Al-Qur'an berasal dari hasil percampuran bahasa-bahasa yang umumnya digunakan oleh berbagai suku di jazirah Arab, pada jaman Nabi. Sedangkan diketahui pula, nabi Muhammad saw adalah seorang pedagang yang biasa berkeliling ke berbagai daerah atau negeri, serta Nabi juga banyak bergaul dengan berbagai suku tersebut. Namun tentunya, bagi sebagian umat Islam yang belum sempat menguasai bahasa Arab (hanya sekedar bisa membaca ayat-ayat Al-Qur'an), juga tidak ada halangan sama sekali untuk bisa ikut memahami berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di balik teks ayat-ayat Al-Qur'an. Umat semacam ini bisa memilih berbagai terjemahan Al-Qur'an,

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

c.

Berpengetahuan dan berwawasan amat luas.

¾ Harus berpengetahuan atau berwawasan yang relatif amat luas, atas berbagai halnya (lahiriah dan batiniah). Hal ini bisa diperoleh dengan melalui segala bentuk pengetahuan dan pengalaman terhadap topik atau hal yang ditinjau, dari hasil


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

831

mempelajari ayat-ayat-Nya yang tertulis (atau kitab-kitab-Nya), ataupun ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis yang ada di seluruh alam semesta ini (atau tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya). Tentunya sebagian terbesar dari pengetahuan tentang ayat-ayatNya yang tak-tertulis itu, yang bersifat lahiriah atau non-agama, telah terwujud di dalam berbagai bidang ilmu-pengetahuan hasil temuan manusia yang diperoleh secara ‘amat obyektif’, dari hasil usaha mengamati, mempelajari dan memahami berbagai kejadian lahiriah di alam semesta. Segala sifat perbuatan-Nya di alam semesta yang disebut sebagai sunatullah (Sunnah Allah), pada dasarnya bersifat 'mutlak' dan 'kekal'. Dan disebutkan pula sebagai aturan dan ilmu-Nya, karena sunatullah justru mengatur segala proses kejadian atas segala zat ciptaan-Nya di alam semesta ini, serta berupa segala aturan atau rumus proses kejadiannya. Sedang ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis adalah hasil perwujudan dari segala kehendak dan tindakan Allah di seluruh alam semesta ini (melalui sunatullah). Tentunya satu-satunya cara, agar umat manusia bisa memahami ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis (atau tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya), dengan cara berusaha seluas-luasnya menguasai segala bidang ilmu-pengetahuanya (ilmu agama dan non-agama, batiniah-moral-spiritual dan lahiriah-fisik-material), yang bersifat relatif ‘amat obyektif’. Pada dasarnya hal ini justru juga dilakukan oleh para nabi-Nya, sehingga mereka bisa memperoleh berbagai wahyu-Nya, melalui ‘akalnya’ (satu-satunya alat-sarana pada tiap ruh manusia, untuk bisa menilai, memilih dan memutus segala sesuatu halnya). Tiap ilmu-pengetahuan yang bersifat amat obyektif, semata-mata hanya milik dan berasal dari Allah (hanya hasil pengungkapan atas berbagai sunatullah ataupun ilmu-Nya di alam semesta). Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang cara dari para makhluk gaib (termasuk malaikat mulia Jibril), dalam memberi pengajaran dan ujian-Nya. Serta baca pula topik "Sunatullah". Selain itu pula, pengetahuan tentang hal-hal batiniah justru hanya bisa dipahami dengan dimilikinya berbagai pengalaman batiniahrohani-spiritual secara langsung. Karena itulah, di dalam ajaranajaran agama-Nya amat banyak diajarkan bermacam praktek atau

832

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

ritual amal-ibadah, yang justru berbentuk relatif amat sederhana, agar relatif mudah diikuti atau diamalkan oleh seluruh umat. Segala bentuk amal-ibadah itu pada dasarnya diajarkan, agar bisa membentuk berbagai budi-pekerti, akhlak dan kebiasaan positif, serta membentuk pemahaman atas hal-hal batiniah ‘di balik’ tiap amalan lahiriahnya. Hal ini tidak cukup hanya semata dijelaskan melalui intuisi-nalar-logika akal-pikiran, dari pendidikan teoretis, tanpa melalui segala pengalaman batiniah-rohani-spiritual secara langsung dan terus-menerus. Dengan banyak beramal-ibadah itu, maka umat diharapkan bisa memahami segala tujuan batiniah yang paling penting, mendasar dan hakiki di balik kehidupan dunia-lahiriah-fisik dan memahami kehidupan akhirat yang kekal (kehidupan batiniah ruh). d. Pisahkan hal-hal gaib dan bukan. ¾ Harus dipisahkan dengan sejelas-jelasnya antar hal-hal yang gaib dan yang bukan, termasuk pula pemisahan jelas atas hal-hal gaib itu sendiri (ada yang masih bisa dinalar ataupun tidak). Pemisahan amat perlu dilakukan, agar pemikiran untuk mencapai pemahaman yang benar tentang segala sesuatu halnya, tidak amat mudah bisa terkungkung atau dibatasi begitu saja oleh kata ‘gaib’ tersebut.

Hal inipun biasanya dibatasi dengan ayat, seperti "Dan pada sisiNya-lah, kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri, dan …." - (QS.6:59) Padahal di lain pihak, justru ada ‘sebagian’ dari hal-hal gaib itu yang dibukakan-Nya kepada umat-umat yang ‘dikehendaki-Nya’ (seperti pada QS.3:179, QS.72:27 dan QS.81:24). Pemahaman atas istilah “umat yang dikehendaki, diutus ataupun dipilih-Nya” itu belum benar-benar dipahami oleh sebagian besar umat Islam. Juga secara umum tentunya, kurangnya pemahaman atas segala tindakan atau perbuatan-Nya di alam semesta. Maka mereka lebih cenderung berpendapat, bahwa pengetahuan atas hal-hal gaib itu hanya bisa dimiliki oleh para nabi-Nya (atas sebagian 'amat sedikit' dari pengetahuan-Nya). Bahkan ada pula yang berpendapat, bahwa hal-hal gaib itupun bukan berupa suatu pengetahuan para nabi-Nya yang diperolehnya dengan berusaha amat keras menggunakan akal mereka tetapi berupa pengetahuan


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

833

834

yang diberikan atau diturunkan-Nya dengan ‘begitu saja’ kepada umat-umat tertentu yang memang telah dikehendaki, diutus atau dipilih-Nya tersebut.

Namun pada ayat muhkamat itupun, pemahaman atas arti-makna yang sebenarnya, belumlah tentu sesuai dengan teks asli ayatnya, khususnya jika ditinjau uraian poin-poin f dan g di bawah. Karena ‘terang dan tegas maksudnya’ itupun lebih terkait dengan konteks keadaan kehidupan dan budaya umat, ketika diturunkanNya ayat-ayat itu (di sekitar jaman Nabi). Maka ayat-ayat muhkamat ini mestinya juga tetap dipelajari dan dipahami secara utuh dan mendalam, bagi penerapan aktual pada kehidupan dan budaya umat pada tiap jamannya.

Hal-hal gaib yang diketahui, misalnya: wujud zat Allah; ruh atau jiwa; para makhluk gaib; alam akhirat (alam batiniah ruh); alam kubur; Surga dan Neraka; Hari Kiamat; tujuan dan hakekat dari penciptaan alam semesta ini dan segala isinya, dan juga berbagai macam hakekat lainnya. Pada dasarnya terdapat dua kelompok hal-hal gaib, yaitu gaib ‘zat’ (‘esensi’ zat-zat gaib itu sendiri) dan gaib ‘tindakan’ (segala tindakan dari zat-zat gaib). Gaib ‘zat’ meliputi: ‘ruh’ Zat Allah dan ‘ruh-ruh’ zat makhluk-Nya.

Sedang ayat-ayat mutasyabihat itu bukan suatu ‘menara gading’ yang tidak boleh disentuh sama-sekali. Mestinya pengelompokan itu lebih ditujukan, agar umat jauh lebih berhati-hati lagi dalam membahasnya, ataupun agar tidak terlalu memaksakan diri untuk menafsirkannya, tanpa memiliki segala dalil-alasan yang kuat.

Manusia mustahil bisa menjelaskan hakekat dari gaib ‘zat’ itu, khususnya Zat Allah Yang Maha gaib. Sedangkan sebagian dari hakekat zat ruh para makhluk gaib, telah terungkap bagi sebagian para nabi-Nya (mengetahui ‘wujud asli’ para makhluk gaib). Tetapi dengan amat cermat dan hati-hati, tiap manusia justru bisa berusaha untuk menjelaskan gaib ‘tindakan’ melalui segala ilmupengetahuan yang dimilikinya. Serupa dengan proses perolehan pemahaman tentang gaib ‘tindakan’ itu oleh para nabi-Nya. Karena melalui segala tindakan zat-zat gaib itulah, justru Allah memang berkehendak untuk menunjukkan segala kemuliaan dan kekuasaan-Nya kepada tiap umat manusia (makhluk-Nya), agar bisa mencari dan mengenal Allah Yang telah menciptakannya. Tentunya hanya para nabi-Nya yang jelas-jelas diketahui telah bisa memiliki pemahaman yang relatif 'sempurna' atas berbagai tindakan zat-zat gaib itu, di antara umat-umat yang amat berilmu lainnya pada tiap jamannya. Baca pula topik "Sunatullah (sifat proses)", tentang pembagian kelompok hal-hal gaib, dan poin-poin di-bawah. e.

Hindari pemahaman secara tekstual-harfiah.

¾ Harus dihindari pemahaman secara tekstual-harfiah semata. Seperti disebut dalam Al-Qur'an, bahwa keseluruhan kandungan isinya bisa dikelompokkan menjadi: ayat-ayat yang 'muhkamat' (telah terang dan tegas artinya) dan ayat-ayat yang 'mutasyabihat' (susah ditentukan ataupun banyak artinya, termasuk tentang halhal gaib, yang ‘hanya’ Allah Yang Maha mengetahuinya).

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

Karena ayat-ayat mutasyabihat itu memang amat terkait langsung dengan keimanan, dan hanyalah orang-orang dengan tingkat ilmu agamanya relatif amat tinggi yang bisa memahaminya (para nabi dan rasul-Nya, para sahabat nabi, para tabiin, para tabiit-tabiin, para wali, para imam, dsb), terutama tentang hal-hal gaib. f.

Pisahkan hal-hal sebenarnya dan contoh simbolik.

¾ Harus dipisahkan antara hal-hal yang 'sebenarnya', terhadap halhal yang hanya berupa 'contoh-perumpamaan simbolik'. Dalam Al-Qur'an cukup banyak ayat-ayat yang memakai istilah ‘perumpamaan’ itu, ataupun ayat-ayat lainnya yang mengandung perumpamaan. Seperti dalam penjelasan atas hal-hal gaib, yang hampir semuanya berupa ‘contoh-perumpamaan simbolik’, agar umat relatif lebih mudah merasakan analogi atau pendekatannya, walau makna yang sebenarnya belum bisa dipahaminya.

Perumpamaan tentang hal-hal gaib, seperti: para makhluk gaibNya terkadang disebut bisa hadir dalam wujud manusia; Surga diibaratkan sebagai taman yang amat indah, dengan mata air dan tanaman kurmanya; Neraka dengan jurang dan apinya; dsb. Bahkan istilah-istilah yang bersifat simbolik, tentang hal-hal gaib justru diadopsikan dari kitab-kitab agama ke dalam bahasa, yang dipakai umat sehari-harinya, seperti: ‘Allah’, ‘Maha’, ‘Malaikat’ sampai ‘Iblis’, ‘Surga’ dan ‘Neraka’, ‘Hari Kiamat’, ‘Takdir’, dsb. Padahal umat sendiri justru memang relatif jauh lebih sulit


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

835

836

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

bisa menjelaskan istilah-istilah itu secara utuh dan lengkap. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang keterbatasan bahasa dalam penyampaian wahyu-Nya.

tidak perlu dipaksakan, khususnya atas hal-hal gaib (lebih-lebih gaib ‘zat’), ataupun hal-hal yang mengandung mistis (metafisika) yang amat terkait dengan keyakinan umat.

Padahal hal-hal ‘gaib’ itu semestinya tetap ditempatkan sebagai ‘gaib’ (mustahil bisa tampak wujud lahiriahnya), dan juga segala perumpamaan semestinya tetap sebagai perumpamaan (mustahil bisa dipakai sebagai fakta-kenyataan yang sebenarnya). Segala sesuatu halnya semestinya tetap ditempatkan semestinya. Segala perumpamaan semestinya hanya untuk suatu pengajaran yang relatif paling dasar saja, terutama bagi umat yang awam.

Ilmu-pengetahuan hasil temuan manusia yang diperoleh secara ‘amat obyektif’ (hanya berdasarkan segala fakta, kenyataan atau kebenaran yang bisa ditemukan di alam semesta ini, yang dipakai secara apa adanya, tanpa ditambah dan dikurangi), justru hanya pengungkapan atas sebagian amat sangat sedikit dari ilmu-Nya. Pengetahuan seperti ini semestinya bisa dipakai pula untuk lebih menjelaskan berbagai ajaran agama-Nya, agar bisa mempertebal atau memperkokoh keyakinan batiniah umat manusia pada tiap jamannya, yang terus-menerus berkembang pula kehidupannya. Keyakinan atau keimanan berdasar ilmu-pengetahuan relatif jauh lebih tinggi dan kokoh (sulit terbantahkan atau tergoyahkan).

g. Hilangkan konteks ruang, waktu dan budaya. ¾ Harus dihilangkan batasan ruang, waktu ataupun konteks budaya. Sebagian ayat-ayat dalam Al-Qur'an memang memiliki konteks ruang, waktu dan budaya, yaitu: di tanah Arab, pada jaman nabi Muhammad saw, dan terkait budaya Arab.

Karena walaupun nilai-nilai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (al-Hikmah) pada wahyu-Nya dalam kitab suci Al-Qur'an, justru bersifat ‘universal’, ketika disampaikan oleh malaikat Jibril ke dalam dada-hati-pikiran nabi Muhammad saw, tetapi ketika Nabi menyampaikan, membacakan ataupun mewahyukannya kembali kepada umat-umatnya, justru Nabi pasti memakai bahasa yang paling mudah dipahami dan diikuti, yang umumnya dikenal atau dipakai oleh umat-umatnya dalam kehidupannya sehari-hari (tiap pengajaran dan tuntunan-Nya dalam Al-Qur'an pasti disampaikan sesuai keadaan dan budaya umat pada jaman Nabi). Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang keterbatasan bahasa (lisan dan tulisan) dalam pengungkapan hikmah dan hakekat kebenaran-Nya. Sehingga pemahaman ‘universal’ atas ayat-ayat seperti itu, hanya bisa dicapai dengan mengeliminasi (menghilangkan) tiap batasan ruang, waktu atau konteks budaya tersebut, agar pada akhirnya pemahaman ‘universal’ ini bisa dipakai di manapun, kapanpun dan oleh siapapun. h. Berdasar ilmu-pengetahuan yang obyektif. ¾ Harus berdasar kepada ilmu-pengetahuan hasil temuan manusia secara relatif ‘amat obyektif’ yang sedang berkembang, apabila bisa memungkinkan ataupun sesuai untuk bisa diterapkan. Tetapi

Tentunya ilmu-pengetahuan manusia relatif amat terbatas dalam menjelaskan hal-hal yang gaib misalnya, karena memang bukan hal-hal yang mudah diukur dan dibuktikan secara empirik, walau memang bisa dinalar. Pengetahuan yang paling tinggi yang bisa dicapai oleh umat manusia pada tiap jamannya, tentang hal-hal gaib dan batiniah, adalah pengetahuan yang telah dimiliki oleh para nabi-Nya (terutana nabi Muhammad saw). Sebaliknya, segala hal yang bersifat lahiriah telah amat luas dan telah mudah bisa dijelaskan dengan memanfaatkan segala bidang ilmu-pengetahuan modern saat ini. i.

Hindari penafsiran agama dengan ilmu filsafat.

¾ Harus dihindari penafsiran atas ajaran-ajaran agama-Nya dengan memakai ilmu filsafat. Karena teori-teori filsafat pada umumnya bisa terarah jauh melewati fakta, kenyataan atau kebenaran yang ada di alam semesta. Dalam ilmu filsafat juga cenderung terlalu memaksakan suatu kesimpulan yang bersifat umum, berdasarkan berbagai fakta yang relatif sederhana. Sehingga hal ini relatif amat berbeda daripada pemakaian ilmupengetahuan, seperti yang dimaksud pada poin h di atas, karena ilmu-pengetahuan yang memang diperoleh secara amat obyektif hanya murni berdasar fakta-kenyataan-kebenaran, yang dipakai secara apa adanya (sama sekali tanpa dikurangi dan ditambah).

Selain itu, karena ilmu filsafatpun memakai bahasa intuisi-nalar-


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

837

logika manusia semata, ataupun bahasa sehari-harinya di dalam kehidupan nyata-lahiriah manusia, sehingga ilmu filsafat relatif amat terbatas bisa menjelaskan hal-hal yang gaib misalnya, yang berada ‘di luar’ kehidupan nyata-lahiriah manusia. Dalam hal-hal lahiriah memang ilmu filsafat relatif bermanfaat, tetapi dalam hal-hal gaib dan batiniah (seperti pada ajaran-ajaran agama), justru amat tidak relevan untuk dipakai. Penerapan ilmu filsafat dalam hal-hal batiniah umumnya melahirkan teori-teori yang bersifat materialistik (pada teori-paham seperti: sosialisme; HAM - hak asasi manusia; demokrasi; kapitalisme; materialisme; feminisme barat; dsb). Penerapan ilmu filsafat dalam agama pada akhirnya justru akan bisa melahirkan 'analogi' atas zat-zat gaib (zat Allah dan zat ruh makhluk-Nya) ataupun hal-hal gaib lainnya, dengan berbagai hal dalam kehidupan nyata-lahiriah manusia. Hal seperti ini yang sering dilakukan oleh para penganut agama Nasrani (Kristiani) ataupun agama-agama lainnya, yang berlaku musyrik dan materialistik. Sedang dalam ajaran agama Islam, hal-hal gaib itu justru hanya dijelaskan dengan segala bentuk contoh-perumpamaan simbolik. Bahkan khususnya tentang 'Zat' Allah, sama sekali tidak dipakai segala contoh-perumpamaan, tetapi hanya dipakai perumpamaan tentang ‘perbuatan’ dan ‘sifat’ Allah secara simbolik. Umat Islam semestinya tidak berfilsafat saat berusaha memahami tiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di dalam ajaran-ajaran agama-Nya, tetapi semestinya diungkap memakai berbagai faktakenyataan-kebenaran yang bisa ditemukan di alam semesta, yang sering pula disebut "tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya" (segala sesuatu hal yang bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’). Hal yang paling mudah, aman dan benar bagi umat Islam, adalah diperoleh ataupun diilhami dari segala keterangan pada ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an itu sendiri, di samping ajaran-ajaran agama Islam lainnya (sunnah Nabi dan hasil ijtihad para alim-ulama). j.

Kurangi mengacu dari pemikiran orang terdahulu.

¾ Harus dikurangi ketergantungan kepada hasil dari penafsiran atau pemikiran umat-umat terdahulu, kecuali jika telah terbukti jelas dan nyata kebenaran kandungan isinya (beserta segala dalilnya).

838

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

Umat-umat terdahulu yang dimaksudkan di sini, khususnya para alim-ulama yang hidup beberapa abad setelah nabi Muhammad saw. wafat (setelah abad ke-7), yang cukup banyak melahirkan segala penafsiran atas Al-Qur’an dan Hadits (Sunnah Nabi). Sehingga fokus utama yang semestinya ditekankan di sini, bukan pada ‘orangnya’, tetapi justru pada ‘kebenaran’ yang dibawanya, walau orangnya telah dianggap amat terhormat dan terpandang ilmu agamanya sekalipun. ‘Isi’ jauh lebih penting dari ‘kulit’. Dalam sejarah justru telah tercatat pula, tentang amat banyaknya hadits-hadits ‘palsu’ dari sejumlah orang yang telah mengatasnamakan nabi Muhammad saw. Hal inipun telah mengakibatkan terpecah belahnya kalangan umat Islam menjadi berbagai alirangolongan-mazhab. Tentunya amat mungkin apabila ada pula pemalsuan yang justru mengatas-namakan para alim-ulama terdahulu tersebut dan tanpa mereka sendiri mengetahuinya. Di mana hal-hal seperti ini relatif amat sulit bisa diperiksa (sulit memeriksa pribadi para perawinya). Tiap pribadi manusia saja relatif amat sulit bisa memeriksa dirinya sendiri, yang memang relatif amat tidak konsisten secara lahiriah dan batiniah, apalagi jika memeriksa satu ataupun lebih orang lainnya. Amat tidak pantas jika kelangsungan ajaran-ajaran agama-Nya yang mestinya bersifat 'universal' justru menjadi amat tergantung kepada ‘sejarah umat manusia’ (misalnya: sejarah para perawi Hadits, sejarah dan pemikiran umat terdahulu dan bahkan sejarah para nabi-Nya). Seperti kelangsungan dari agama Nasrani yang amat tergantung kepada sejarah penyaliban dan kebangkitan Yesus. Padahal ajaran-ajaran agama-Nya yang lurus mestinya memang relatif tetap ‘sama’, dari nabi ke nabi, dari jaman ke jaman. Tetapi umat Islam mestinya bisa bersyukur, karena Allah dengan segala cara justru telah melindungi Al-Qur'an dari campur tangan manusia semacam itu, termasuk dengan menjaga keotentikannya. Selain itu, ada pula ‘ayat-ayat-Nya tak-tertulis’ (Al-Qur'an gaib, yang tercatat pada kitab mulia di sisi ‘Arsy-Nya), yang disebut pula tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta, sebagai dasar acuan pembanding utama bagi segala pemahaman atas ajaran-ajaran agama-Nya yang lurus.


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

839

Maka Al-Qur'an menjadi ‘dasar acuan’ paling aman dan utama, untuk bisa memahami ajaran-ajaran agama Islam lainnya, yaitu: Sunnah Nabi (Hadits) dan Ijtihad para alim-ulama (Ijma’, Qiyas, dsb). Dan Al-Qur'an adalah dasar tertinggi ajaran agama Islam Tujuan di sini, justru bukan agar umat Islam mengabaikan hasil pemikiran para alim-ulama atau cendikiawan Muslim terdahulu, tetapi agar segala sesuatu halnya tetap ditempatkan sebagaimana semestinya, serta tidak berlebihan atau melampaui batas. Padahal sama sekali tidak ada dasar alasan pembenaran, bahwa para alim-ulama terdahulu lebih sempurna, lebih berkemampuan ataupun lebih pintar daripada para alim-ulama saat ini. Padahal faktanya pula, bahwa hasil pemikiran dari orang-orang terdahulu itu sendiri amat berragam, dan bahkan tidak ada yang bisa dianggap relatif paling benar. Maka tindakan yang terbaik bagi umat Islam pada tiap jamannya (khususnya para alim-ulamanya), adalah agar segala bentuk hasil pemikiran dari orang-orang terdahulu itu dijadikan sebagai bahan bacaan dan referensi, pada saat sedang berusaha melahirkan hasil pemikiran dan penafsiran yang lebih baik. Walau hanya berusaha melengkapi dan memperkuat segala hasil pemikiran dari orang-orang terdahulu tersebut, agar segala dalilalasannya bisa makin kuat dan kokoh (makin sulit terbantahkan). Bahkan berbagai usaha semestinya tetap selalu dilakukan, akibat perkembangan jamannya yang selalu berubah-ubah, dan berbagai persoalan dan pengetahuan umat manusia selalu berkembang. Serta karena ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis tidak cukup ditulis dengan “tinta sebanyak beberapa samudera”, maka segala proses pengungkapan hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), justru tidak akan pernah selesai tuntas sampai akhir jaman. Bahkan nabi Muhammad saw telah mewariskan ajaran-ajarannya kepada para alim-ulama pada 'tiap' jamannya. Jadi bukan hanya sekedar kepada umat-umat terdahulu saja, lalu umat pada jaman modern saat ini hanya sekedar mengikutinya saja. Hal yang lebih pentingnya lagi, agar tiap umat Islam semestinya bisa memahami betul berbagai dalil-alasan dan hakekat ‘di balik’ semua pemikiran dari umat terdahulu. Hal ini tentunya selain ‘di balik’ teks ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits (sunnah Nabi).

840

k.

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

Hilangkan segala bentuk dogma.

¾ Amat perlu dihindari segala dogma yang bersifat taklid buta, dari segala hasil pengajaran para alim-ulama terdahulu dan saat ini, tanpa umat bisa memahami segala dasar dalil-alasannya. Segala dogma secara perlahan-lahan semestinya makin diperbaiki, atau bahkan dihilangkan.

Agar umat ataupun para alim-ulama saat ini tidak hanya sekedar bisa berkata seperti "menurut ulama A …, ulama B …, …… dan ulama C …, maka kita menafsirkan …", melainkan bisa pula berkata seperti "pendapat ulama A memiliki kelebihan … tetapi ada pula kelemahan …, karena …, pendapat ulama B memiliki …, …… dan pendapat ulama C …, sedang menurut pendapat kita sendiri adalah, … dengan alasan-alasan …, maka kita lalu menafsirkan …". Segala dogma pada dasarnya justru hanya sesuai bagi umat-umat yang relatif awam ilmu-ilmu agamanya, serta untuk hal-hal yang relatif amat sulit bisa dijangkau dan dipahaminya dalam ajaranajaran agama Islam (terutama hal-hal yang bersifat gaib ataupun batiniah). Tetapi sejalan dengan makin berkembang luas dan mendalamnya pengetahuan umat, maka semestinya perlu bagi umat itu sendiri untuk bisa makin memperbaiki atau bahkan menghilangkan satupersatu atas berbagai dogma yang relatif agak keliru, yang pada awalnya dibuat semata demi pengajaran paling praktis dan aman bagi umat yang awam. Sesuatu dogma pada dasarnya memang relatif amat sangat sulit bisa dihilangkan, terutama karena umumnya telah tertanam amat kuat dalam alam bawah sadar selama puluhan tahun sejak masa kecil, dari para orang tua ataupun para alim-ulama dahulu, yang memang amat diperlukan pada saat-saat awal umat telah mulai menjalani kehidupan beragama. Secara perlahan-lahan semua dogma (yang keliru ataupun yang memang benar) semestinya mulai dipelajari kembali secara amat cermat, untuk mencari berbagai dalil-alasan pendukungnya, dari Al-Qur’an dan Sunnah-sunnah Nabi, agar selanjutnya tidak lagi menjadi dogma semata, namun telah menjadi suatu pemahaman yang utuh dan menyakinkan.


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

841

Dalam ajaran-ajaran dari agama-agama yang tidak sesuai dengan kebenaran-Nya, justru amat penuh mengandung berbagai dogma, karena kebenaran sebagian dari ajaran-ajarannya memang sama sekali tidak bisa dibuktikan dan juga bersifat relatif menurut para penganutnya saja. Seperti adanya segala rahasia ataupun misteri, yang selamanya tetap menjadi misteri, dari ajaran agama mereka. Sebaliknya ajaran-ajaran agama Islam justru berdasar berbagai kebenaran-Nya yang bersifat mutlak (pasti terjadi) ataupun kekal (pasti konsisten), yang ada terdapat di seluruh alam semesta ini. Walau memang hanya umat manusia yang berilmu relatif amat tinggi saja, yang telah berhasil membuktikan dengan relatif jelas atas ajaran-ajarannya (para sahabat, para wali, para imam, dsb). Tetapi bukan berarti, bahwa umat-umat lainnya sama sekali tidak bisa memahaminya pula, apabila pengetahuannya memang telah bertambah secara memadai dan mendalam. Jika ada suatu pemahaman yang masih berdasar dalil-alasan yang bersumber dari dogma-dogma, maka sebaiknya tidak dipaksakan untuk dibahas lebih lanjut saat mencari al-Hikmah, sebelum bisa dimiliki pengetahuan yang lebih memadai. l.

Pisahkan pemahaman atas para nabi-Nya terdahulu.

¾ Khusus atas ayat-ayat Al-Qur'an yang memuat kisah-kisah para nabi-Nya terdahulu (sebelum nabi Muhammad saw), dalam halhal tertentu agar pemahamannya lebih baik dipisahkan dari ayatayat lainnya (tentang ajaran-ajaran langsung dari Nabi). Minimal agar bisa dipahami secara relatif jauh lebih berhati-hati. Ayat-ayat semacam itu relatif banyak mengandung hal-hal yang amat bersifat mistis-tahayul ataupun berlebihan. Hal ini sesuai dengan umat para nabi terdahulu yang memang relatif jauh lebih ‘primitif’ (umat manusia sejak dari jaman nabi Adam as, sampai nabi Isa as), daripada umatnya nabi Muhammad saw, dan bahkan terpisah masa waktunya selama berabad-abad.

Bahkan peradaban yang dianggap paling maju di jaman dahulu (Romawi kuno, Yunani kuno, Mesir kuno, Persia kuno, Cina, India, dsb), memang amat banyak mengandung mistis-tahayul di dalam kebudayaannya, di balik berbagai kemajuan lahiriahnya. Masyarakatnya ada menganut paham animisme dan dinamisme, menyembah dewa-dewa, berhala dan benda-benda keramat, dsb.

842

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

Dan tentunya hal ini terjadi pula pada bangsa-bangsa Arab, pada jaman sebelum kedatangan agama Islam. Di lain pihak, justru di tanah Arab yang budaya lahiriahnya agak kurang maju, telah melahirkan hampir semua nabi. Hal ini bisa dipahami karena makin maju budaya sesuatu kaum, makin kecil pula kiprah tiap individunya (seperti halnya para nabi-Nya), yang justru akan membawa sesuatu sistem nilai baru ke tengah-tengah masyarakat (bahkan bisa merombak hampir seluruh budayanya). Tiap individunya justru cenderung melebur ke dalam pengaruh masyarakat dan budaya kaumnya, yang telah berkembang lama dan maju, apalagi jika berkaitan dengan sistem pemerintahannya, yang telah amat stabil dan kuat. Kesan ‘berlebihan’ pada ayat-ayat tentang kisah-kisah para nabiNya terdahulu tersebut juga mudah bisa dipahami, karena kisahkisah itupun telah berkembang dari mulut ke mulut dalam waktu berabad-abad, sebelum diterima pula oleh nabi Muhammad saw. Maka amat kuat kemungkinan terjadinya segala bentuk distorsi atau penyimpangan informasi, dan melahirkan mistis-tahayul. "Kami tiada mengutus rasul-rasul, sebelum kamu (hai Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki, yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah (kisah-kisah mereka) olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui." - (QS.21:7) dan juga (QS.16:43) Walau saat nabi Muhammad saw menyampaikan kembali kisahkisah itu ke dalam Al-Qur’an, Nabipun telah berusaha maksimal untuk ‘meluruskannya’. Namun sebagai manusia biasa, tentunya Nabi tidak mengetahui persis tiap latar-belakang dan kebenaran di balik kisah-kisah itu. Apalagi kejadiannya telah terjadi berabad-abad sebelumnya, dan kisah-kisah itu telah berkembang luas di kalangan umat, seperti halnya tentang sebagian mu’jizat para nabi-Nya ataupun kisah yang bersifat mistis-tahayul lainnya. Hal itu serupa seperti mahasiswa dan ilmuwan sekarang ini yang belum mengetahui persis, bagaimana latar-belakang cara rumusrumus yang biasa dipakainya, saat dirumuskan oleh penemunya dulu. Biasanya rumus-rumus itupun amat dipercaya dan langsung dipakai saja, karena telah selalu dipakai selama puluhan tahun


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

843

oleh para ilmuwan sebelumnya. Maka secara alamiah, Nabi juga amat kesulitan mengatasi kisahkisah dari para nabi terdahulu yang mengandung mistis-tahayul, padahal kisah-kisah itupun telah menjadi milik rakyat luas (amat sulit bisa diubah). Beberapa dari ayat-ayat seperti itu, misalnya: "Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka): `Sesungguhnya aku (Isa) telah datang kepadamu, dengan membawa suatu tanda (mu`jizat) dari Rabb-mu, yaitu aku dapat membuat untuk kamu tanah berbentuk burung. Kemudian aku meniupnya. Maka ia menjadi seekor burung dengan seijinNya. Dan … . Dan aku dapat menghidupkan orang mati, dengan seijin-Nya. Dan …`." - (QS.3:49) "Lalu Kami berfirman: `Pukullah mayat itu dengan sebagian anggota sapi betina itu (hai Musa)!`. Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati. Dan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kekuasaan-Nya, agar kamu mengerti." - (QS.2:73) "(pada kisah Ibrahim) … . Maka Allah mematikan orang itu selama seratus tahun, dan kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: `Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?`. Ia menjawab: `Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari`. Allah berfirman: `Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya. Lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah. Dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang). …`." - (QS.2:259) Hal yang penting pula tentang pemisahan di atas, secara alamiah sesuai perkembangan jaman tingkat pengetahuan para nabi-Nya relatif berbeda (makin lama, relatif makin sempurna pula tingkat kelengkapan, kedalaman, konsistensi dan keutuhan pengetahuan mereka, atas berbagai kebenaran-Nya). Maka Amat mudah dimengerti, jika ajaran-ajaran para nabi yang muncul ratusan tahun sebelum kehadiran nabi Muhammad saw, bisa kurang sempurna pula dalam penyampaiannya, walau tujuan para nabi-Nya pada dasarnya sama, untuk mengajarkan tentang tauhid dan agama-Nya yang lurus. m. Pahami perbedaan Sunnah Nabi dan Hadits Nabi.

844

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

¾ Harus dipahami tentang adanya sedikit perbedaan antara Sunnah Nabi dan Hadits Nabi, walaupun hakekat makna atau pengertian secara umum memang sama, namun justru berbeda pada hakekat perwujudannya. Makna atau pengertian Sunnah dan Hadits Nabi pada dasarnya sama, yaitu berupa segala amal-perbuatan nabi Muhammad saw (lisan, tulisan, sikap dan perbuatannya), yang telah bisa dijadikan sebagai contoh pengamalan langsung atas ajaran-ajaran di dalam kitab suci Al-Qur’an. Bahkan Nabi disebut pula sebagai "contoh hidup Al-Qur’an".

Namun ada perbedaan dalam hal bentuk perwujudannya, antara Sunnah dan Hadits Nabi. Karena Hadits merupakan catatan dan keterangan tentang Sunnah Nabi, dari orang-orang yang terkait amat dekat dengan nabi Muhammad saw (istri, keluarga, sahabat Nabi, dsb), dan amat jauh (hanya pernah bertemu, atau bahkan hanya pernah mendengar tentang Nabi). Perlu diketahui, bahwa tidak ada sesuatupun Hadits yang berasal langsung dari nabi Muhammad saw, karena tidak ada sesuatupun Sunnah Nabi yang dicatat ketika Nabi masih hidup. Salah-satu faktor penting yang menjadi penyebab terjadinya hal ini, yaitu adanya larangan nabi Muhammad saw untuk mencatat Sunnah-sunnah Nabi. Hal ini khususnya disebabkan oleh alasan teknis atas Al-Qur’an sendiri yang justru belum selesai dicatat, atau baru selesai turun menjelang Nabi wafat. Sehingga dikuatirkan oleh Nabi, bahwa segala catatan atas ayat-ayat Al-Qur’an amat mungkin akan bisa bercampur-baur dengan catatan atas Sunnah-sunnah Nabi (pada saat ini biasanya disebut sebagai ‘Hadits-hadits Nabi’). Baca pula topik "Kitab-kitab tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)", tentang pembukuan kitab suci Al-Qur'an dan kitab Hadits. Hal ini dianggap perlu pula diungkap, karena perbedaan antara Sunnah dan Hadits Nabi, sedikit-banyak telah memiliki pengaruh besar bagi pemahaman umat Islam atas ajaran-ajaran agamanya. Pada kasus yang ekstrim, bahkan ada sebagian umat yang amat mudah mengkafirkan umat lainnya dengan tuduhan telah ‘ingkar’ kepada Sunnah Nabi. Padahal umat-umat yang telah dituduh itu, misalnya hanya tidak mau mengikuti hadits-hadits tertentu, yang masih diragukannya,


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

845

sedang mereka tetap membenarkan segala Sunnah Nabi. Begitu pula timbulnya berbagai perselisihan di kalangan umat dari berbagai aliran-mazhab-golongan, hanya akibat ada berbagai perbedaan penafsiran atas hadits-hadits Nabi. Sejalan dengan adanya perbedaan perwujudan Sunnah Nabi dan Hadits Nabi, maka langkah paling aman adalah ‘kembali’ kepada pemahaman atas kitab suci Al-Qur'an, sebagai dasar paling tinggi ajaran agama Islam, secara relatif lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan juga tidak saling bertentangan, dan bahkan pemahaman secara utuh pula atas seluruh Hadits Nabi (Sunnah Nabi). Maka beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits saja tidak cukup, dan semestinya tidak mudah dipakai sebagai dasar dalil-alasan, untuk membantah dan menuduh pihak lainnya (tanpa dasar alasan yang utuh dan lengkap, berdasar hikmah dan hakekat kebenaran-Nya pada kandungan isi ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi). n. Harus utuh, konsisten dan tidak saling bertentangan. ¾ Hal yang amat penting, juga semestinya amat utuh, konsisten dan tidak saling bertentangannya keseluruhan pemahaman yang telah dimiliki, minimal atas sekelompok pemahaman yang paling jelas diketahui, khususnya harus tidak saling bertentangan antar semua ayat Al-Qur'an dan Hadits yang terkait. Juga harus tidak saling bertentangan terhadap dasar-dasar ajaran agama di atasnya, khususnya kitab suci Al-Qur'an sebagai dasar acuan utama dan tertinggi (bagi pemahaman atas ajaran lainnya).

Pemahaman yang ‘utuh’ diperoleh dengan mengumpulkan semua hal yang terkait dengan suatu topik tertentu dalam Al-Qur'an dan Hadits. Lalu ditarik suatu "benang merah" yang menghubungkan semua hal itu, atau diambil suatu ‘kesimpulan akhir’ yang paling cocok atas topik tersebut (dianggap relatif paling tepat, baik dan benar, serta juga relatif sesuai bisa mewakili semua halnya). Namun pemahaman itupun tidak perlu dipaksakan, jika tiap dalilalasan pendukungnya masih kurang ataupun lemah, ataupun jika tidak didukung pula oleh berbagai pemahaman yang telah teruji (relatif sulit terbantahkan), yang telah diperoleh sebelumnya. Kalau perlu pembahasan atas topik semacam ini ditunda dulu dan pindah ke topik-topik lain, yang dalil-alasannya telah jauh lebih lengkap dan menyakinkan.

846

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

Namun bersamaan pula, proses pengambilan ‘kesimpulan akhir’ (beserta hikmah dan hakekatnya), tetap amat perlu sesuai dengan poin-poin a s/d m di atas. o. Berdiskusi dengan orang berilmu agama tinggi. ¾ Sering bertukar-pikiran dengan pihak lain atas tiap pemahaman yang telah diperoleh, terutama orang-orang yang berilmu agama relatif lebih tinggi (para alim-ulama, guru, orang-orang seiman, keluarga, teman, dsb).

Seluruh ajaran agama-Nya (khususnya pada tataran hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), pada dasarnya mengandung nilai-nilai yang bersifat ‘universal’, yang mestinya bisa diterima pula oleh sesama umat lainnya. Walau "penerimaan" itu bukan sesuatu hal yang harus mutlak diperlukan. Karena keyakinan atau keimanan seseorang hanya milik pribadi, dan tidak selamanya harus sesuai dengan hal-hal yang diyakini oleh orang-orang di sekitar, dan bahkan oleh orang kebanyakan. Namun tujuan utamanya adalah, setelah melalui proses bertukarpikiran, maka bisa diperoleh sejumlah argumen dari pihak-pihak lainnya, yang mungkin bisa memperkuat pemahaman sementara yang diperoleh, dan bahkan sebaliknya, justru bisa menunjukkan berbagai kelemahan dasar argumen pemahaman itu sendiri. Amat penting pula pada kemampuan menyampaikannya, beserta kekuatan berbagai dalil-alasan yang melandasinya, karena hal ini menunjukkan tingkat keyakinan atau keimanan atas kebenaran pemahaman ‘sementara’ itu (harus selalu diperbaiki tanpa akhir). Bagi semua argumen yang makin memperkuat tentunya tidak ada masalah, dan hanya perlu dicatat tiap perbedaannya. Begitu pula halnya bagi semua argumen yang memperlemahnya, tetapi justru dianggap telah relatif memuaskan bisa dibantah atau dijawab. Sedang bagi argumen-argumen lainnya, mestinya bisa dijadikan bahan-bahan pertimbangan baru yang justru makin memperkaya penentuan hikmah dan hakekat kebenaran-Nya yang sebenarnya dicari. Lalu poin-poin a s/d n di atas bisa dipertimbangkan atau diulangi kembali. p. Banyak mempelajari pemahaman yang berbeda-beda. ¾ Selain banyak mempelajari tiap pemahaman yang serupa, untuk bisa memperkuat seluruh dalil-alasan yang telah ada, juga amat


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

847

perlu untuk memahami dengan cermat dan teliti tiap pemahaman yang berbeda (dan bahkan bertentangan), untuk mencari tiap titik kelemahan dan garis pemisahya, agar bisa mencari solusi terbaik dan garis penghubungnya ("benang merahnya"). Padahal tiap pertentangan dan perselisihan antar kalangan umat, umumnya disebabkan oleh pengetahuan yang kurang cermat dan utuh tentang sesuatu halnya, bahkan bukan karena kesengajaan untuk berada dalam keadaan kesesatan, ataupun hanya untuk bisa berseberangan pendapat, khususnya jika terjadi di kalangan umat Islam sendiri. Walau memang ada pula sebagiannya yang justru timbul karena pemenuhan kepentingan pribadi dan kelompok, keadaan politik, pengaruh penjajahan oleh bangsa lain, dsb. Tiap umat memiliki keterbatasan masing-masing dalam mencari pengetahuan; karena “di atas langit pastilah ada langit lagi”; dan kebenaran mutlak hanyalah milik Allah, maka mestinya dihindari pemaksaan pengetahuan atau pemahaman dari seorang umat atas umat lainnya (justru suatu bentuk kezaliman atau tindakan yang berlebihan secara batiniah), serta mestinya dihindari sikap ingin menunjukkan diri paling berilmu dan paling benar. Jauh lebih penting bagi umat Islam, untuk saling mengingatkan dan memberitahu tentang kebenaran-Nya secara arif-bijaksana. Dan umat yang mengingatkan mestinya tidak merasa lebih tahu, dan sebaliknya umat yang diingatkan mestinya juga tidak merasa lebih tidak tahu; Akhirnya, pengetahuan atau pemahaman yang terbentuk tidaklah semata hanya sesuai dengan kepentingan pribadi-kelompok saja, tetapi diharapkan bisa menjawab dengan tuntas seluruh keraguan dan pertanyaan dari semua kalangan umat Islam, atas sesuatu hal. Bahkan idealnya, mestinya juga bisa menjawab pertanyaan dari seluruh kalangan dan golongan umat manusia. q. Memiliki bangunan pemahaman atas ajaran agama. ¾ Untuk mendukung tercapainya tujuan-tujuan dari poin n di atas, yang ruang lingkupnya masih ‘per topik’, maka akan jauh lebih sempurna jika umat Islam bisa bersedia serius membangun atau memiliki suatu ‘bangunan pemahaman’ atas ajaran-ajaran agama Islam. Bukan hanya bisa menghapal ‘teks-teks’ ajarannya, tetapi

848

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

juga memiliki pemahaman yang saling terkait secara utuh (tidak terpisah-pisah, sepotong-sepotong atau parsial). Bangunan pemahaman tersebut agar mulai dibangun dari hal-hal yang mendasar dan relatif sederhana lebih dahulu, dari berbagai ajaran yang telah sering dibaca ataupun dihapal. Khususnya pada berbagai topik yang paling lengkap dibahas, agar pemahamannya juga bisa memiliki berbagai dalil-alasan yang relatif lebih banyak dan kuat. Proses selanjutnya, lalu mengikuti pertimbangan pada poin a s/d n di atas. Sehingga hikmah dan hakekat dari topik-topik mendasar itu bisa membentuk suatu pondasi yang jauh lebih mudah bisa dipahami, kokoh, kuat dan sulit tergoyahkan. Bangunan pemahaman itupun makin lama juga disusun dari hal-hal yang makin kompleks dan rumit, sesuai batas kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki oleh tiap umat. Selanjutnya, bangunan pemahaman yang telah terbentuk relatif mudah dipakai untuk memperoleh tiap pemahaman berikutnya. Bangunan pemahaman ‘seperti’ ini yang telah dimiliki para nabiNya, sehingga segala pengetahuan atau pemahaman mereka (alHikmah, atau hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), bisa disebut sebagai ‘wahyu-Nya’ (seluruh bangunannya relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan). Bahkan bangunan mereka itupun telah terbentuk amat kuat atas hampir semua persoalan umat yang paling penting, mendasar dan hakiki, sebelum memproklamirkan dirinya sebagai utusan-Nya. Hakekat dari segala wahyu-Nya, adalah kesempurnaan bangunan pemahaman para nabi-Nya atas berbagai kebenaran-Nya. Jika tidak, maka hal itu justru serupa dengan tiap al-Hikmah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), pada manusia biasa lainnya. Perolehan pemahaman bagi umat pada saat ini justru telah amat dipermudah oleh wahyu-Nya dari para nabi-Nya, sehingga umat tinggal mengungkap segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di balik teks-teks wahyu-Nya dalam Al-Qur'an. Sedang para nabi-Nya memperolehnya dari mempelajari tandatanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta, sepanjang hidupnya (sambil dituntun oleh malaikat Jibril). Dan pondasi paling mendasar dari bangunan pemahaman yang dimiliki oleh para nabi-Nya pada dasarnya juga sama, yaitu pada


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

849

850

tauhid "Tiada ilah selain Allah, Yang Maha Esa". Tentunya pemahaman mendasar ini juga diawali melalui segala pemahaman terkait lainnya, untuk bisa mencapainya.

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

amat awam). Maka dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman masing-masing yang berbeda-beda atas ajaran-ajaran agamanya, umat justru tetap bisa menjalaninya dengan relatif ‘benar’, walau dengan tingkat keimanan yang berbeda-beda pula.

Seluruh pembahasan pada buku ini pada dasarnya sesuatu usaha, untuk bisa membentuk bangunan pemahaman atas ayat-ayat AlQur’an. Khususnya dimulai dari ayat-ayat yang terkait dengan Fitrah Allah dalam penciptaan manusia (dan alam semesta), serta dalam turunnya agama-Nya yang lurus (surat Ar-Ruum ayat 30). Ternyata bangunan pemahaman di sini telah berkembang relatif amat luas (tidak hanya tentang proses penciptaan), dan juga telah meliputi sekitar 2900 ayat-ayat Al-Qur'an.

Masalah yang justru sering terjadi, adalah saat berbagai golongan umat yang pemahamannya berbeda-beda, justru saling mengakuaku dan mengklaim bahwa segala pemahaman yang dimiliki oleh golongannya adalah pemahaman yang paling benar. Sedang hal seperti ini hanya hak milik Allah, sama sekali bukan hak manusia untuk menilai pemahaman yang paling benar ataupun siapa yang paling beriman.

Suatu bangunan pemahaman amat perlu dimiliki oleh tiap umat, walaupun amat sulit mencapai kesempurnaan, seperti milik para nabi-Nya, dengan tingkat keimanannya amat tinggi. Pengetahuan atau pemahaman yang kokoh atas segala kebenaran-Nya, adalah salah-satu pondasi paling utama dari keimanan (ilmu dan amal). Maka keimanan bisa makin kuat, jika disertai pengamalan yang konsisten melalui sikap, perkataan dan perbuatan sehari-harinya, berdasar atas segala pemahaman terkait (terutama berupa segala budi-pekerti, akhlak dan kebiasaan positif). Sebaliknya, pengamalan tanpa adanya sesuatu pemahaman yang memadai, juga amat pincang atau mudah tergoyahkan.

Wujud dari ‘milik Allah’ tersebut adalah suatu pemahaman yang sesuai atau mendekati hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, yang telah dipahami oleh nabi Muhammad saw. Tentunya disertai pula dengan pengamalan yang konsisten atas pemahaman itu, seperti halnya yang telah dicontohkan oleh Nabi (Sunnah Nabi), sebagai perwujudan dari keimanan Nabi yang telah amat utuh dan tinggi (amat konsisten pemahaman dan pengamalannya).

Juga tanpa dibentuknya bangunan pemahaman seperti itu, segala pemahaman atas ajaran-ajaran agama menjadi terpisah-pisah atau sepotong-sepotong (bersifat parsial), atas berbagai topiknya. Syukur-syukur jika tiap potongan pemahaman itu ‘benar’. Tetapi jika ada salah-satu saja dari potongan yang tidak sesuai, ataupun bahkan justru bertentangan dengan potongan lainnya, maka amat mungkin terjadi, semua potongan terkait lainnya harus diperbaiki kembali.

Baca pula uraian-uraian di bawah, tentang cara lengkapnya untuk menyusun bangunan pemahaman atas ayat-ayat Al-Qur'an.

Sebelum suatu golongan bisa mencapai pemahaman pada tingkat hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, secara relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan secara keseluruhannya, maka pemahamannya relatif belum 'benar'.

r.

Persiapkan sikap-sikap mental tertentu sebelumnya.

Dan celakanya, perbaikan inipun bisa berakibat kegoyahan iman yang relatif luar biasa, jika sebelumnya umat terlalu fanatik atau yakin atas semua potongan pemahaman yang sedang diperbaiki. Segala hal yang relatif belum diyakini betul hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, semestinya hanya dipertahankan sewajarnya saja (tidak secara mati-matian, ataupun tidak taklid buta).

¾ Di luar hal-hal yang terkait langsung dengan pencapaian segala pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya pada poin-poin di atas, semestinya perlu pula agar tiap umat Islam bisa memiliki berbagai sikap mental tertentu, yang telah dipersiapkan sebelum memulai mengungkap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya. Khususnya karena usaha pengungkapan atas sesuatu hikmah dan hakekat kebenaran-Nya adalah usaha yang relatif berbahaya, dan terkait langsung dengan keyakinan batiniah umat itu sendiri atas berbagai kebenaran-Nya, di samping umat lain yang mengetahui pula hasil pengungkapannya.

Seperti diketahui, agama Islam adalah milik seluruh umat Islam (dari umat yang relatif amat tinggi ilmu agamanya sampai relatif

Sehingga dengan persiapan berbagai sikap mental itu diharapkan umat bisa relatif terhindar dari berbagai kegoncangan keimanan


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

851

ataupun efek-efek samping lainnya, yang amat mungkin terjadi. Apabila proses pengungkapan ataupun berbagai sikap mental itu telah relatif benar dilakukan, mestinya justru bisa pula terbentuk keimanan atau keyakinan yang makin tinggi.

852

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

Adapun berbagai sikap mental atau sikap batiniah itu, misalnya: • Tidak merasa benar sendiri; Karena hanya hak milik Allah, Yang Maha mengetahui suatu pemahaman yang paling benar. • Tidak sombong, Karena di atas langit masih ada lagi langit lainnya. Ilmu-Nya Maha tinggi dan luas, juga mustahil bisa diungkap semuanya oleh manusia sampai Hari Kiamat.

Bahkan pengungkapan atas berbagai kebenaran-Nya, justru terus-menerus pasti makin berkembang dan mendalam sesuai tiap perubahan keadaan jamannya dan juga tidak akan pernah tuntas sampai akhir jaman. Seperti halnya pengungkapan dan penyampaian kebenaranNya oleh para nabi-Nya (dari nabi ke nabi, dan dari jaman ke jaman). Setelah jaman para nabi-Nya, tugas pengungkapan dan penyampaian itu justru telah diwariskan kepada Majelis alim-ulama, pada tiap negeri dan jamannya.

Maka telah dijanjikan-Nya pula, bagi dibukakan-Nya segala kebenaran-Nya di Hari Kiamat, agar bisa menuntaskan segala ketidak-tahuan, keraguan, perselisihan dan perdebatan antar umat manusia. Tidak berlebihan atau tidak berbuat zalim; Selain secara fisik, kezaliman justru bisa pula terjadi secara batiniah, melalui pemaksaan sesuatu pemahaman atas ajaran agama-Nya (diperoleh dan disampaikan secara berlebihan). Kebaikan sekalipun pasti akan berakibat negatif jika terlalu berlebihan, karena justru bisa merusak keseimbangan alam. Tiap pemahaman yang ‘benar’ pasti mustahil akan merusak pemahaman yang ‘benar’ atas segala hal lainnya, dan bahkan semestinya justru saling memperkuat bangunan pemahaman keseluruhannya. Tidak berdusta atau tidak berbuat fasik; Tindakan dusta atau kefasikan ini umumnya dilakukan untuk menyembunyikan tiap kebenaran-Nya, yang justru dianggap bisa merugikan kepentingan pribadi dan kelompok. Hal ini mestinya justru bisa dihindari, agar pemahaman atas berbagai kebenaran-Nya bisa menjadi utuh dan konsisten. Tidak mengada-ada; Terutama agar tidak menambah dan mengurangi sesuatu hal pada pemahaman atas berbagai kebenaran-Nya, tanpa disertai segala dalil-alasan yang kuat. Hal seperti ini biasanya terjadi demi nafsu-kepentingan pribadi dan kelompok semata.

Tidak ragu ketika menerima dan menyampaikan kebenaranNya, yang telah memiliki dalil-alasan yang relatif amat kuat dan menyakinkan, sekecil apapun bentuknya; Kebenaran ‘mutlak’ pada dasarnya hanya hak milik Allah, sedangkan kebenaran yang dipahami oleh tiap manusia pasti bersifat ‘relatif’. Maka bukan tiap pemahaman yang ‘paling benar’ yang mestinya dicari, namun mestinya terus-menerus dicari pemahaman yang ‘makin benar’.

Maka dalam agama Islam, amatlah dianjurkan bagi umat agar selalu saling mengingatkan atas tiap kebenaran-Nya. Dan tentunya penyampaian tiap kebenaran-Nya itu mestinya dilakukan secara amat arif-bijaksana, agar tidak melahirkan berbagai kemudharatan.

Khususnya karena telah menjadi fitrah dasar manusia, bahwa tiap manusia relatif sulit mau diperbaiki oleh orang lain, dan bahkan juga relatif sulit mau memperbaiki dirinya sendiri. Manusia cenderung selalu berusaha mempertahankan sesuatu kestabilan yang telah dijalaninya sejak lama, meskipun justru kestabilan itu mengandung kekeliruan. Serupa halnya dengan tiap pemahaman yang dimilikinya, relatif sulit bisa berubah. Tidak ragu dan takut dalam memperbaiki dogma yang keliru; Dalam hal pengetahuan umat tentang ilmu agama yang masih terbatas (awam), maka umumnya tiap dogma dari para alimulama terdahulu yang bersifat ‘taklid’, memang relatif amat diperlukan, karena pada awalnya memang diajarkan, sekedar hanya untuk penerapan paling sederhana, praktis dan aman, bagi umat-umat yang awam. Namun sejalan dengan telah semakin berkembang mendalam dan luas pengetahuan tiap umat, maka semestinya perlu bagi


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

853

umat itu sendiri untuk bisa memperbaiki dogma-dogma yang pada dasarnya ‘agak keliru’. Dogma-dogma semacam ini amat tidak sesuai, bagi tiap umat yang relatif telah cukup berilmu.

Di lain pihak, bagi dogma-dogma masih bisa dianggap benar, semestinya mulai dipelajari kembali, untuk bisa mencari tiap dalil-alasan pendukungnya, agar pada saat selanjutnya tidak lagi menjadi dogma semata, tetapi telah menjadi pemahaman yang utuh. Tidak lalai, tidak terburu-buru dan tidak ada keraguan; Agar tidak terlalu menyakini suatu pemahaman, yang belum memiliki dalil-alasan yang relatif cukup kuat (belum berdasar Al-Qur’an, Sunnah Nabi, Ijtihad para alim-ulama dan segala ilmu-pengetahuan yang amat obyektif). Segala pemahaman yang masih cukup meragukan semacam ini semestinya disimpan dahulu secara pribadi saja, dan tidak terburu-buru disampaikan kepada umat-umat lainnya, sampai telah bisa diperoleh pemahaman yang relatif utuh dan kuat. Penyusunan suatu pemahaman semestinya dilakukan dengan amat cermat, hati-hati dan obyektif, dari hasil memahami atas ayat-ayat-Nya yang tertulis, ataupun ayat-ayat-Nya yang taktertulis di seluruh alam semesta (tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya), agar semaksimal mungkin tidak ada sesuatu fakta, kenyataan dan kebenaran yang amat penting, yang bisa terlewatkan atau terabaikan. Tekad untuk makin konsisten mengamalkan tiap kebenaranNya; Usaha mengungkap tiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah) oleh tiap umat, pada dasarnya bertujuan untuk semakin meningkatkan keyakinan atau keimanan batiniahnya atas ajaran-ajaran agama-Nya, sehingga segala pengetahuan atau pemahaman yang diperoleh justru akan menjadi kurang utuh dan lengkap, jika tidak disertai pula dengan keyakinan lahiriahnya yang semakin konsisten (pengamalannya). Bahkan tanpa adanya pengamalan, hasil usaha itu justru sama halnya dengan melahirkan suatu bentuk kemunafikan ‘kecil’. Dan sebaliknya, justru pemahaman yang diperoleh memang belum memadai, mantap ataupun belum sempurna.

854

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

Pemahaman utuh, konsisten dan tidak saling bertentangan Terdapat berbagai aspek dalam pemahaman atas ayat-ayat AlQur’an dan Hadits, yang semestinya semaksimal mungkin diusahakan bisa terpenuhi, yaitu: utuh, konsisten dan tidak saling bertentangan, secara keseluruhan dari segala hal yang telah dipahami oleh tiap umat. Juga tentunya agar bisa lengkap dan mendalam pemahamannya. Walaupun aspek kelengkapan dan kedalaman pemahaman ini tidak terlalu perlu dipaksakan, namun secara alamiah pasti mengikuti kebutuhan, kemampuan dan pengetahuan tiap umat. Betapapun bentuk pemahaman yang dimilikinya, tiap umat pastilah tetap bisa mengikuti agama-Nya dengan relatif 'benar'. Hanya saja tentunya, ada perbedaan tingkat keimanan pada masing-masing umat. Minimal telah cukup, jika umat bisa mengikuti terlebih dahulu ajaran yang disampaikan Nabi, secara tekstual-harfiah, namun makin lama juga sambil makin mendalaminya, untuk bisa mencapai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (al-Hikmah), di balik teks-teksnya.

Berbagai aspek pemahaman itu diungkap ringkas pada Gambar 39 berikut. Berbagai aspek pemahaman itu amat perlu ditekankan kembali (terutama agar relatif utuh, konsisten dan tidak saling bertentangan), untuk lebih diperhatikan oleh tiap umat Islam. Karena hampir semua kutipan ayat-ayat Al-Qur’an dalam berbagai buku, makalah, artikel, tulisan, dsb, termasuk ayat-ayat yang digunakan oleh berbagai aliran, untuk bisa memperkuat dalil-alasannya, pada umumnya hanya dikutip secara sporadis (relatif asal-asalan). Seolah-olah hanya dikutip secara seadanya saja dari ayat-ayat yang telah dihapal ataupun biasa dipakai. Syukur-syukur jika kandungan isi ayat-ayatnya itu tepat sesuai dengan makna sebenarnya (hikmah dan hakekatnya). Namun hal yang sering terjadi umumnya, kesesuaian makna itupun hanya pada tingkat ‘tekstual-harfiah’. Bahkan jauh lebih buruk lagi, jika teksnya kurang dicermati betul (makna tekstualnya juga tidak tepat sesuai). Semestinya atau idealnya, jika sesuatu ayat yang akan dikutip itu bisa dipilih dengan amat cermat dari sejumlah besar ayat-ayat yang terkait (kalau perlu dari seluruh ayat yang terkait), yang paling tepat sesuai maknanya. Hal ini memang kurang efektif (banyak memakan waktu dan pikiran), walaupun telah amat dipermudah dengan bantuan teknologi komputer. Namun jika dipahami atau dipertimbangkan, bahwa kesesuaian makna tersebut justru amatlah penting, karena menyangkut keyakinan


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

855

856

dan kehidupan beragama umat Islam. Serta atas ijin-Nya, usaha yang amat keras seperti itu memiliki nilai amalan yang besar dan setimpal. Gambar 38: Diagram aspek pemahaman ajaran agama-Nya

Bahwa bahasa lisan dan tulisan ada memiliki berbagai keterbatasan (seperti: jumlah halaman tulisan; perbedaan keyakinan batiniah dengan pengungkapan lahiriahnya melalui tulisan, lisan dan contoh perbuatan; kekayaan kosa-kata bahasa yang dipakai; hanya sesuai dengan keadaan umat, saat disampaikan; adanya perumpamaan, terutama untuk hal-hal gaib; dsb). Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang keterbatasan bahasa dalam pengungkapan wahyu-Nya.

Aspek ‘bangunan pemahaman’ ideal

Para Nabi dan rasul-Nya

Maka semestinya dipahami, jika pengungkapan nabi Muhammad saw atas tiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (wahyu-Nya) melalui teks ayat-ayat AlQur'an, pasti menghadapi berbagai keterbatasan bahasa tersebut. Bahkan teks ayat-ayat Al-Qur'an justru telah sengaja disusun dengan ‘bahasa pertengahan’, agar mudah dipahami dan diamalkan bagi umat yang awam dan sekaligus pula ‘cukup memadai’ bagi umat yang berilmu tinggi.

Umat manusia umumnya

Aspek: Utuh Seluruh pemahamannya ‘benar’ (terutama sesuai hikmah dan hakekatnya). Dan saling terkait utuh sebagai satu kesatuan.

Maka semestinya dipahami pula, jika makna yang sebenarnya dari tiap ayat Al-Qur'an ‘belum tentu’ sesuai betul dengan makna tekstual-harfiahnya. Bahkan secara tekstual-harfiah, sebagian dari ayat-ayat Al-Qur'an seolah-olah ada tampak saling bertentangan dan juga tidak sesuai perkembangan jaman.

Aspek: Tidak saling bertentangan Seluruh pemahamannya tidak saling bertentangan makna-maknanya (terutama hikmah dan hakekat di dalamnya).

Padahal makna yang sebenarnya (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya) dari seluruh ayat-ayat Al-Qur'an, justru mustahil bisa saling bertentangan, bersifat ‘universal’ dan berlaku untuk seluruh umat manusia sampai akhir jaman.

Aspek: Konsisten

Hal penting lain dari keutuhan ini, adalah antar tiap pemahamannya agar bisa saling terkait secara utuh. Sedang kandungan isi Al-Qur'an justru menyangkut hampir seluruh aspek kehidupan umat manusia, karena Al-Qur'an memang bertujuan utama untuk menjawab segala kebutuhan, tantangan dan persoalan kehidupan umat manusia secara relatif amat lengkap, terutama dalam hal-hal yang paling penting, mendasar dan hakiki.

Seluruh pemahamannya kokoh-kuat dan tidak berubah (konsisten). Dan bersesuaian antara pemahaman dan pengamalannya.

Aspek: Amat lengkap

(amat ideal)

Tentunya seluruh pemahaman yang amat lengkap tentang sesuatu hal (dalam hal ini tentang seluruh aspek kehidupan umat manusia), juga semestinya amat utuh, seperti halnya 'rangkuman' seluruh pemahaman nabi Muhammad saw, yang terungkap melalui kitab suci Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Nabi (Hadits). Karena semestinya justru tidak ada hal-hal yang bisa terlewatkan, atau seluruh pemahaman dan segala aspeknya semestinya bisa saling terkait, sebagai satu kesatuan yang utuh.

Seluruh pemahamannya meliputi segala aspek kehidupan umat pada tiap jamannya, terutama yang amat mendasar dan hakiki.

Aspek: Amat mendalam

(amat ideal)

Seluruh pemahamannya pada tataran hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (lahiriah & batiniah), di balik teks wahyu-wahyu-Nya.

Keterangan gambar: (garis putus-putus = pemahaman yang ‘amat’ ideal) a.

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

Pemahaman yang utuh. Keutuhan pemahaman ini bisa terdiri dari 2 hal, yaitu: seluruh pemahamannya relatif 'benar', dan seluruh pemahamannya ‘saling terkait’ secara utuh. Tiap pemahaman umat semestinya relatif ‘benar’, secara keseluruhan (utuh), terutama agar sesuai dengan hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah) di balik teks-teks wahyu-Nya. Jika belum utuh, maka pemahaman yang belum diyakini betul kebenarannya, juga mestinya jelas dipisah (tidak bercampur-baur), dan diperlakukan berbeda. Seperti diketahui, bahwa pemahaman bisa dari bentuk yang amat sederhana (tingkat tekstual-harfiah), sampai yang amat mendalam (tingkat hikmah dan hakekat). Kedua tingkatan inipun amat luas cakupan kedalamannya.

Dan tentunya keutuhan dalam hal ini belum ditinjau dari segi kelengkapannya, namun sementara cukup ditinjau dari segi ‘saling keterkaitannya’. Baca pula uraian pada poin d di bawah, tentang aspek kelengkapannya. b.

Pemahaman yang tidak saling bertentangan. Keseluruhan pemahaman umat yang tidak saling bertentangan, adalah salahsatu tolak ukur yang penting, bahwa tiap pemahamannya telah relatif ‘benar’ (seperti yang telah diuraikan pada poin a di atas). Walaupun hal ini belum tentu menunjukkan, bahwa tiap pemahamannya telah amat mendalam dan amat tinggi tingkat kebenarannya. Hampir bisa dipastikan, bahwa hal ini mustahil bisa terpenuhi melalui segala pemahaman yang bersifat tekstual-harfiah semata, karena adanya berbagai keterbatasan bahasa tulisan seperti disebut pada poin a di atas. Termasuk jika makna tekstual-harfiahnya telah tidak aktual, atau telah bertentangan dengan kebutuhan umat pada suatu jaman, dalam mengatasi berbagai persoalannya. Sedangkan hal ini justru hanya bisa terpenuhi melalui pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (al-Hikmah), 'di balik' teks ayat-ayat Al-Qur'an, yang


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

857

858

bersifat 'universal' (bisa melewati batas ruang, waktu dan konteks budaya), dari pemahaman yang cukup memadai sampai yang amat mendalam. Karena segala al-Hikmah memang berupa pemahaman dari hasil mengamati dan mempelajari berbagai kebenaran-Nya atau tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ('universe'). Selama alam semesta ini masih tetap tegak-kokoh, maka al-Hikmah tentang sesuatu hal tertentu semestinya tetap sama pula, dari nabi ke nabi, dari jaman ke jaman.

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern bisa amat sempurna, seperti halnya kehidupan di Surga?

Keseluruhan wahyu-Nya dalam Al-Qur’an yang tidak saling bertentangan ini, telah dijamin langsung oleh Allah sendiri, pada surat AN NISAA' ayat 82, yaitu

-

Para malaikat diperintahkan-Nya untuk bersujud kepada Adam. Sedang di lain pihak, segala zat makhluk-Nya semestinya hanya bersujud kepada Allah semata, bukan kepada zat-zat ciptaan-Nya (kemusyrikan). Apakah para malaikat-Nya memang benar-benar diperintahkan-Nya untuk bersujud kepada Adam?

-

Para malaikat (terutama malaikat Jibril) disebut amat cerdas akalnya. Sedang di lain pihak, para malaikat tidak bisa menyebutkan nama-nama benda, ketika Adam masih di Surga. Padahal sebagian dari para malaikat justru tiap saatnya pasti selalu mengikuti manusia (juga termasuk Adam). Dan para malaikat juga selalu hidup kekal sejak diciptakan-Nya (sebelum penciptaan Adam). Apakah pada saat Adam masih di Surga, para malaikat memang benarbenar tidak bisa menyebutkan nama-nama benda?

-

Iblis dan syaitan disebut-sebut dilaknat-Nya sampai Hari Kiamat. Sedang di lain pihak, hal-hal yang dibawa oleh iblis dan syaitan, justru agar bisa diketahui-Nya “siapa yang beriman dan yang tidak”. Apakah iblis dan syaitan benar-benar dilaknat-Nya? dan apakah iblis dan syaitan justru memang ditugaskan-Nya, untuk bisa menguji keimanan tiap manusia? dan apakah ujian-Nya bisa berjalan tanpa iblis dan syaitan?

-

Dan masih banyak lagi lainnya.

"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur`an?. Kalau kiranya AlQur`an itu bukan dari sisi-Nya, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." - (QS.4:82) Tetapi justru cukup menarik dicermati, bahwa hampir semua alim-ulama jelasjelas mengakui ataupun menyakini, bahwa tidak ada saling pertentangan antar seluruh ayat Al-Qur’an. Tetapi ironisnya, ada sebagian dari mereka yang berusaha amat keras, agar mempertahankan pemahaman tekstual-harfiahnya, umumnya dengan alasan, seperti "tidak ada seorangpun yang bisa memahami dengan pasti kehendakNya melalui tiap wahyu-Nya, maka kita ikuti saja apa adanya sesuai dengan teks ayat-ayatnya". Padahal jika hanya dipahami secara tekstual-harfiah, justru sebagian dari ayatayat Al-Qur’an secara sekilas seolah-olah tampak saling pertentangan, seperti: -

Allah bersifat Maha kuasa dan Maha berkehendak. Sedang di lain pihak, Allah bersifat Maha adil dan Maha memelihara. Apakah kekuasaan-Nya dibatasi oleh keadilan-Nya? dan kapankah Allah pernah berbuat sekehendak-Nya di alam semesta ini?

-

Allah menentukan takdr-Nya bagi tiap makhluk. Sedang di lain pihak, tiap manusia justru diberikan-Nya kebebasan dalam berkehendak dan berbuat, untuk mengubah-ubah keadaan atau nasibnya. Apakah takdr-Nya memang bisa diubah-ubah-Nya, ataukah hanya karena takdr-Nya memang bisa dipilih-pilih oleh tiap manusia, dari sejumlah 'amat besar' takdr-Nya, yang tersedia baginya tiap saatnya?

-

Surga digambarkan sebagai taman yang indah, dengan pohon kurma dan mata air di dalamnya. Sedang di lain pihak, Surga adalah alam akhirat yang gaib. Apakah Surga adalah alam lahiriah-nyata, yang juga seperti kehidupan di dunia saat ini?

-

Malaikat Jibril digambarkan berwujud seorang pria, yang berkunjung ke rumah sebagian dari para nabi-Nya. Sedang di lain pihak, para malaikat adalah makhluk gaib. Apakah sesekali para makhluk gaib itu bisa terlihat dengan mata lahiriah, dan di lain waktu tetap gaib (tidak terlihat)?

-

Nabi Isa as, nabi Yahya as dan bahkan juga seluruh manusia lainnya pasti dihidupkan-Nya kembali pada Hari Kiamat, untuk tinggal di Surga ataupun di Neraka. Sedang di lain pihak, kehidupan lahiriah-fisik seperti selama di dunia ini justru penuh dengan segala keterbatasan, kekurangan dan kehinaan. Apakah di Hari Kiamat, manusia dihidupkan-Nya kembali beserta segala tubuh fisik-lahiriahnya? dan apakah mungkin kehidupan fisik-lahiriah yang

Maka pada dasarnya umat semestinya bisa memahami hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di balik teks ayat-ayat Al-Qur’an secara relatif mendalam, agar semua pemahamannya benar-benar tidak saling bertentangan. Sekaligus agar umat bisa menjawab segala pertanyaan seperti di atas, secara relatif lebih tepat dan benar. Lebih utamanya, agar umat bisa lebih tegas memisahkan antara tiap contohperumpamaan simbolik semata terhadap tiap hal yang sebenarnya, terutama yang terkait dengan hal-hal yang gaib dan batiniah. Termasuk agar umat bisa memahami berbagai keterbatasan bahasa manusia (bahasa lisan, tulisan dan gerak tubuh), dalam menjelaskan segala sesuatu hal (termasuk bahasa dalam Al-Qur'an). Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang keterbatasan bahasa dalam pengungkapan wahyu-Nya. c.

Pemahaman yang konsisten. Hal ini lebih terkait dengan kokoh-kuatnya tiap pemahaman yang dimiliki, yang semestinya tidak terus ‘bergoyang’ (tetap konsisten), jika berhadapan dengan segala pemahaman terkait lainnya yang relatif berbeda. Hal ini tentunya juga bisa terkait dengan konsistensi atau kesesuaian antara pemahaman (keyakinan batiniah) dan pengamalan (keyakinan lahiriah), Walau konsistensi terakhir ini memang tidak terkait langsung dengan tingkat kebenaran dan bentuk pemahaman itu sendiri. Sesuatu pemahaman bisa kokoh-kuat tentunya jika didukung oleh segala dalilalasan yang kokoh-kuat pula, sehingga pemahaman itu semestinya bisa tetap konsisten atau tidak berubah-ubah. Salah-satu ukuran yang sederhana dan mudah dilihat, adalah amat banyaknya jumlah ayat-ayat Al-Qur'an yang mendukung atau memperkuat berbagai dalilalasan bagi pemahaman itu. Serupa halnya, jumlah hadits, ijtihad para alimulama, ataupun segala bidang ilmu-pengetahuan yang ‘amat obyektif’.


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

859

860

Selain itu pula, umumnya pemahaman seperti itu telah diterima secara relatif luas di kalangan umat islam, walau juga tetap bisa lemah jika berupa sesuatu pemahaman yang bersifat tekstual-harfiah.

Dalam beragama, kelengkapan pemahaman memang bukan hal yang mesti dimiliki oleh ‘tiap’ umat. Pemahamannya telah memadai jika telah cukup bisa menjawab dan mengatasi berbagai persoalan dirinya dan keluarganya, dalam kehidupannya sehari-hari. Kelengkapan pemahaman bisa bertambah secara alamiah, sejalan dengan bertambahnya pengetahuan dan kemampuan umat, terutama tentunya dalam berusaha meningkatkan keimanannya.

Dan umumnya pemahaman yang kokoh-kuat justru menyangkut hal-hal yang relatif amat sederhana, namun juga amat mendasar bagi aqidah umat. Di lain pihaknya, jika makin konsisten pengamalan berdasar pemahaman yang ‘benar’, maka tingkat keyakinan atau keimanan juga disebut makin tinggi. Tentunya pengamalan yang amat konsisten berdasar seluruh pemahamannya yang ‘benar’ dan relatif ‘sempurna’ (relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan), adalah perwujudan dari tingkat keimanan yang paling tinggi dan utuh. Seperti halnya yang dimiliki para nabi-Nya, sehingga mereka menjadi contoh suri-teladan dan panutan bagi seluruh umat manusia sampai akhir jaman.

Sedang bagi tiap umat yang banyak berinteraksi dengan berragam manusia lainnya (seperti halnya para alim-ulama), tentunya amat ideal jika wawasan pemahaman yang dimilikinya juga bisa selengkap ataupun seluas kandungan isi Al-Qur’an. Dari uraian di atas juga ‘seolah-olah’ tampak, bahwa Al-Qur’an telah dianggap kurang lengkap pada saat ini. Hal inipun tentunya tidak benar, karena segala aspek batiniah dalam kehidupan umat manusia (sebagai aspek paling penting, mendasar dan hakiki dari keseluruhan persoalan kehidupan umat manusia), justru telah relatif lengkap terungkap dalam Al-Qur’an. Persoalan batiniah manusia justru relatif sama, sejak jaman nabi Adam as sampai saat ini. Walau aspek batiniah diakui relatif lebih sulit dijelaskan dan dipahami daripada aspek lahiriah, kecuali melalui banyak pengalaman batiniah-rohani-spiritual.

Tanpa ada pengamalan, maka pemahaman umat atas tiap ajaran agama bisa dikatakan masih relatif dangkal, kurang memadai ataupun belum sempurna. Bahkan masih lebih baik pengamalan, walau tanpa pemahaman yang cukup memadai. Misalnya umat hanya sekedar memahami, bahwa amalan itu telah dianjurkan oleh orang-orang yang diyakininya amat lurus dan benar (seperti para nabi-Nya). Hanya umat dengan keyakinan batiniah yang relatif amat kuat dengan ataupun tanpa pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (al-Hikmah), yang bisa mewujudkan pemahamannya menjadi berbagai amal-kebaikan (terutama yang bernilai amalan amat tinggi atau berat dilakukan). Dan tentunya hanyalah hak Allah, Yang Maha mengetahui siapa yang paling beriman (termasuk dari adanya gabungan pemahaman dan pengamalannya). d.

Pemahaman yang lengkap. Kelengkapan pemahaman ini adalah hal yang paling penting daripada tingkat pemahaman kenabian, sesuai perkembangan kehidupan umat atau kaum dari masing-masing para nabi-Nya. Khususnya pemahamannya telah amat lengkap bisa menjawab tiap persoalan kehidupan umat manusia, yang paling penting, mendasar dan hakiki (seperti mengenai: tuhan, tujuan kehidupan makhluk, alam gaib, baik dan buruk, dsb). Kelengkapan inipun tergantung kepada perkembangan jaman dan kehidupan umat manusia, dengan sendirinya ajaran nabi Muhammad saw juga relatif paling sempurna dan lengkap, jika dibandingkan ajaran para nabi-Nya lainnya. Kehidupan umat pada jaman Nabi memang relatif cukup sederhana (dibanding umat manusia modern saat ini), dan jumlahnyapun relatif sedikit. Maka pada saat itu, seorang manusia masih cukup memiliki kemampuan dan kapasitas, untuk relatif lengkap bisa memahami segala aspek kehidupan umat kaumnya (aspek lahiriah dan terutama lagi aspek batiniahnya). Namun tiap manusia saat ini hampir mustahil bisa memahami secara lengkap segala aspek dalam kehidupan umat manusia pada tiap jamannya masing-masing, dengan sendirinya mustahil pula bisa munculnya nabi-nabi baru. Sedang saat ini, pemahaman yang lengkap seperti itu semestinya hanya bisa dicapai oleh sekumpulan atau majelis para alim-ulama dan cendikiawan Muslim, dari berbagai bidang keilmuan (ilmu agama dan non-agama). Baca pula topik "Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia", tentang kelengkapan ajaran Nabi.

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

Tentunya fokus di sini lebih kepada kelengkapan pemahaman pada tiap umat sendiri, bukan kepada kelengkapan pemahaman nabi Muhammad saw, atas wahyu-wahyu-Nya yang diperolehnya. Begitu pula poin-poin lain tabel ini. e.

Pemahaman yang mendalam. Kedalaman pemahaman inipun juga suatu hal yang paling penting dari tingkat pemahaman kenabian, yang berupa pemahaman pada tataran hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah, lahiriah dan terutama batiniah). Hal yang amat mudah diketahui tentang amat mendalamnya pemahaman para nabi-Nya, adalah pemahaman mereka tentang hal-hal yang gaib (‘esensi’ dan ‘perbuatan’ dari zat-zat gaib). Amat sangat sedikit yang bisa diketahui dari ‘esensi’ zat-zat gaib (ruh zat Allah dan ruh-ruh zat makhluk-Nya), karena memang tidak terlihat oleh mata lahiriah dan bahkan juga tidak terjangkau oleh mata batiniah (kalbu dan akal). Dengan mata batiniahnya (hati atau kalbu), justru tiap manusia pada dasarnya semestinya bisa memahami berbagai ‘perbuatan’ zat-zat gaib, karena Allah dan para makhluk gaib-Nya memang hendak menunjukkan segala kemuliaan dan kekuasaan-Nya kepada umat manusia dan segala makhluk-Nya lainnya, agar bisa mengenal Allah Tuhan alam semesta yang sebenarnya, melalui tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di seluruh alam semesta. Tanda-tanda kekuasaan-Nya hanya bisa diketahui atau dicapai melalui mata batiniah yang amat peka. Kepekaan ini perlu makin ditingkatkan, dengan cara terus-menerus berusaha bisa membersihkan cermin batiniah atau mensucikan ruhnya, seperti yang diajarkan pada berbagai ajaran agama-Nya. Bahkan mata batiniah yang peka, juga amat diperlukan untuk bisa memahami sebagian besar dari ajaran-ajaran agama-Nya, yang memang amat banyak mengandung nilai-nilai batiniah. Segala aspek dan persoalan batiniah tiap umat manusia, pada dasarnya sejak dahulu sampai sekarang tidak banyak mengalami perubahan, dan telah relatif lengkap dan mendalam terungkap dalam Al-Qur’an. Sedang aspek lahiriahnya, tentunya amat tidak relevan untuk membandingkan kedalaman pengetahuan para nabi-Nya terhadap umat manusia modern saat


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

861

ini, yang memang telah berkembang pesat segala bidang ilmu lahiriahnya. Namun demikian, dengan mata batiniah yang amat peka pada para nabi-Nya, justru mereka bisa ‘memperkirakan’ berbagai kejadian lahiriah penting di alam semesta ini, bahkan termasuk berbagai kejadian pada saat awal penciptaan alam semesta dan pada saat berakhirnya (akhir jaman), yang relatif amat sulit ataupun terlambat bisa dipahami oleh para ilmuwan modern saat ini, yang paling pintar sekalipun. Hal inipun bisa dimaklumi, karena segala kejadian lahiriah dan batiniah di alam semesta ini, yang bersifat ‘mutlak’ (pasti terjadi) dan ‘kekal’ (pasti konsisten), memang justru hanya hasil dari segala perbuatan atau tindakan-Nya (melalui sunatullah), sedang para nabi-Nya justru telah amat memahami sunatullah itu. Di lain pihaknya, tentunya pemahaman yang amat mendalam seperti itu relatif amat sulit bisa dicapai pula oleh manusia biasa umumnya. Hal ini sama sekali bukan alasan yang bisa menghalangi seluruh umat manusia dalam beragama (berbeda-beda kedalaman pemahamannya). Agama-Nya justru bukan hanya milik para alim-ulama dan orang yang berilmu tinggi saja. Namun pemahaman yang makin mendalam tentunya justru bisa pula makin meningkatkan keimanan tiap umat itu sendiri. Juga tiap amal-kebaikan yang dilakukan berdasarkan dari pemahaman yang telah makin mendalam, atas ijinNya, nilai amalannya bisa makin dilipat-gandakan-Nya.

Pembentukan ‘bangunan pemahaman’ atas ayat Al-Qur’an Seperti telah diuraikan di bagian-bagian awal buku ini, bahwa hampir semua pembahasan pada buku ini, adalah sesuatu usaha untuk menyusun ‘bangunan pemahaman’ atas ayat-ayat Al-Qur'an. Tujuan utama penyusunan suatu bangunan pemahaman seperti ini, khususnya agar seluruh pemahaman yang telah dimiliki oleh setiap umat, menjadi relatif lebih konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan, antar setiap pemahaman itu sendiri, seperti yang telah diuraikan di atas.

Di mana pembangunan diawali dari sesuatu ayat tertentu yang dianggap paling mendasar dan paling kokoh, sebagai ‘batu pertama’ dari pondasi bangunannya. Tentunya, setiap umat bisa bebas memilih ‘batu pertama’-nya tersebut, sesuai dengan keyakinan dan luas ilmupengetahuan yang telah dimilikinya, yang terkait dengan kandungan isi ayat tersebut. Ketika ‘ayat atau batu pertama’ itupun berusaha dibahas atau ditafsirkan segala makna yang sebenarnya di balik teksnya (idealnya bisa mendekati hikmah dan hakekat kebenaran-Nya yang dimiliki oleh nabi Muhammad saw), justru dengan sendirinya amat perlu berbagai dalil-alasan, agar mendukung dan memperkuat hasil penafsiran baru yang dibuat. Tentunya setiap dalil-alasan itu mestinya masing-masing mengacu pada ayat-ayat lainnya yang terkait, ataupun mengacu pada teori-teori ilmu-pengetahuan yang amat obyektif (telah berabad-abad

862

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

teruji dan diakui oleh umat manusia). Bisa pula sebaliknya agar bisa lebih cepat, dalil-alasan beserta ayat-ayatnya telah diketahui atau dipersiapkan lebih dahulu, sebelum dimulai proses pembahasan penafsirannya, karena tidak perlu mencari lagi berbagai dalil-alasannya, yang juga belum tentu bisa ditemukan. Dalil-alasan itu bisa makin diperkaya pula dari bahan lainnya, seperti: Hadits, Ijma’, Qiyas, dsb, walau bukan menjadi dasar utama dalilnya (hanya sebagai bahan perbandingan saja). Karena dalam hal ini, ‘kekuatan pembuktian’ segala dalil-alasan itu sendiri justru paling diperlukan, bukanlah hanya semata jumlah dalil-alasannya. Selain itu, pembuktian shahih/tidaknya suatu Hadits misalnya, relatif amat rumit dan amat tergantung riwayat dan kredibilitas pribadi para perawinya. Ayat-ayat yang terkait dengan setiap dalil-alasan itu, sebaiknya diusahakan mewakili semua aspeknya. Pada setiap aspeknya, juga bisa ada berbagai versi ayatnya (dengan cara pengungkapan yang berbedabeda). Dan setiap versi itu juga diusahakan agar bisa terwakili oleh 1 s/d 5 ayat yang tersedia (makin banyak makin baik). Sehingga ‘ayat-ayat terkait’ yang terpilih dengan cara seperti ini, diharapkan cukup memadai sebagai dasar pembenaran atas setiap dalil-alasannya. Dan cara yang sama juga dilakukan pada semua dalilalasan lainnya. Contoh misalnya, pada ayat-ayat tentang kisah nabi Musa as, bisa meliputi aspek-aspek: keimanan dan kenabiannya, mu'jizat dan pengetahuannya, keluarganya, musuh-musuhnya, kekafiran kaumnya, akhlak dan budi-pekertinya, perjalanan kehidupan kaumnya, ujian atau cobaannya, dsb. Sedangkan setiap aspek inipun bisa terungkap dengan cara atau versi yang berbeda-beda, pada setiap ayat-ayatnya. Ayat-ayat terkait yang baru terpilih itupun dijadikan sebagai pondasi tahap berikut dari bangunan pemahamannya (setiap dalil dan ayat-ayatnya sebagai setiap batu pondasinya). Lalu seluruh ayat baru ini juga dibahas berbagai hal baru yang bisa ditemukan di dalamnya. Proses yang amat sederhana pada setiap tahap pondasi, terus-menerus diulang-ulang sesuai dengan hasil pembahasan yang berkembang (atau sesuai pertambahan jumlah ayat-ayat terkait), serta sesuai kemampuan dan pengetahuan setiap umat penyusun bangunannya. Akhirnya akan terbentuk sesuatu bangunan pemahaman berupa ‘piramida atau kerucut terbalik’ (pada Gambar 39). Hal paling ideal tentunya jika telah bisa lengkap dan meliputi seluruh ayat Al-Qur'an,


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

863

semacam bangunan pemahaman yang dimiliki oleh nabi Muhammad saw, atas berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (al-Hikmah), yang terungkap dan berwujud menjadi ayat-ayat Al-Qur’an (al-Kitab). Selain ‘kelengkapan’ dan ‘kedalaman’ pemahamannya, tujuan penting dari penyusunan bangunan pemahaman, terutama agar segala pemahaman atas ayat-ayat terkait di dalamnya, bisa ‘konsisten’, ‘utuh’ dan ‘tidak saling bertentangan’ secara keseluruhannya. Gabungan dari aspek-aspek amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan itulah yang justru telah mengantarkan nabi Muhammad saw dan para nabi-Nya lainnya kepada ‘kenabian’ dan ‘pemahaman kenabiannya’ (tingkat pemahaman tertinggi atas berbagai kebenaranNya). Hal ini tentunya juga disertai pengamalan amat konsisten oleh para nabi-Nya sepanjang hidupnya (terutama dalam melayani umat). Lihat pula pada "Gambar 38: Diagram aspek pemahaman ajaran agama-Nya". Gambar 39: Skema bangunan pemahaman atas Al-Qur’an Waktu atau kelengkapan pemahaman

864

dsb). Maka pencarian kembali atas hikmah dan hakekat kebenaranNya yang berada di balik teks ayat-ayat Al-Qur’an (ungkap al-Hikmah dari al-Kitab), mestinya terus dilakukan oleh setiap umat Islam, lebih utama lagi oleh para alim-ulama dan cendikiawan Muslim, yang telah mewarisi ajaran-ajaran para nabi-Nya. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang berbagai keterbatasan bahasa tulisan, untuk mengungkapkan berbagai pemahaman batiniah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya atau wahyu-Nya). Catatan tentang ‘bangunan pemahaman’ atas ayat Al-Qur’an Berbagai hal penting lainnya untuk diketahui, tentang sesuatu bangunan pemahaman yang disusun seperti di atas, antara-lain:

Catatan penting tentang penyusunan bangunan pemahaman, atas ajaran-ajaran agama-Nya •

Bahwa bangunan pemahaman milik nabi Muhammad saw, yang tersusun relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh ataupun tidak saling bertentangan, atas seluruh petunjuk-Nya yang telah diperolehnya (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), yang justru telah mengantarkan Nabi ke tingkat pemahaman kenabiannya. Hal yang amat penting lainnya, pemahaman Nabi amat konsisten dengan pengamalannya pada kehidupannya sehari-hari (terutama dalam melayani umat). Gabungan pemahaman yang relatif amat mendalam (keyakinan batiniah) dan pengamalan yang relatif amat konsisten (keyakinan lahiriah), adalah wujud keimanan yang paling tinggi dan utuh.

Bahwa jumlah ayat-ayat yang disertakan, sama sekali belum bisa menunjukkan kedalaman setiap pemahamannya. Karena tingkat kedalaman pemahaman atas ayat-ayat Al-Qur’an relatif berbeda-beda, dari yang amat sederhana (tingkat tekstualharfiah) pada umat yang awam, sampai amat mendalam (tingkat hikmah dan hakekatnya) pada para nabi-Nya. Pada kedua tingkat inipun (harfiah dan hakekat), juga masing-masingnya masih amat luas cakupan kedalamannya.

Bahwa sama sekali tidak ada sesuatu pertentangan di antara ayatayat Al-Qur'an. Jika ‘seolah-olah’ ada terjadi ditemukan sesuatu pertentangan menurut seorang umat, maka hal ini justru karena pemahaman dan penafsiran dari umat itu sendiri yang sebenarnya belum memadai atas ayat-ayatnya.

Tingkat pemakaman terakhir, yang telah dicapai suatu saat

Jumlah ayat makin banyak, jika makin lengkap pemahamannya Tiap tahap pondasi

Keterangan: Bangunan pemahaman adalah perwujudan dari pemahaman yang konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan (berbentuk kerucut terbalik). Tiap tahap pembahasan (pondasi), ayat-ayat terkait mesti dipahami betul, jika ditambahkan. Kenabian adalah tingkat pemakaman yang relatif paling ‘sempurna’ yang bisa dicapai manusia.

tiap penambahan ayat atau tiap pembahasan (batu pondasi)

Suatu ayat tertentu sebagai pondasi pertama Jumlah ayat

Tetapi tentunya pada pengungkapan oleh nabi Muhammad saw atas setiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya yang bisa dipahaminya melalui teks ayat-ayat Al-Qur’an, pasti tetap menghadapi keterbatasan bahasa (jumlah halaman tulisan, perbedaan keyakinan batiniah dengan pengungkapan lahiriahnya, kekayaan kosa-kata bahasa yang dipakai,

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

865

Sebaiknya setiap umat amat berhati-hati jika menghadapi hal-hal semacam ini, karena keimanan (keyakinan batiniah) akan bisa terguncang cukup kuat. Khususnya jika setiap umat sebelumnya terlalu fanatik dengan setiap pemahaman yang telah dimilikinya. Akhirnya umat itu sendiri bisa menjadi ragu-ragu atas bangunan pemahamannya. Hal yang paling aman bagi setiap umat Islam, agar tidak terlalu fanatik atas suatu pemahaman, jika memang belum dimiliki dasar pengetahuan yang memadai terkait pemahamannya itu. Bahkan bukan kefanatikan (keyakinan tanpa pemahaman), yang amat menentukan nilai suatu amal-kebaikan, tetapi justru tingkat pemahaman atau kesadaran dalam berbuat. •

Agar tidak memaksa menyertakan suatu ayat ke dalam bangunan pemahamannya, jika ayat itu sendiri sama-sekali tidak dipahami betul (belum dimiliki pengetahuan terkait yang cukup memadai). Setiap ayat yang menyusun bangunan pemahamannya, sebaiknya bisa dipahami lebih dahulu hikmah dan hakekatnya, minimal dari tingkat secukupnya sampai amat mendalam. Bahwa jika pondasi bangunan pemahaman tidak tersusun dari ayat-ayat yang cukup memadai dipahami, maka pondasinya tidak akan kokoh, ataupun penuh dengan keraguan. Pada suatu saat, bangunan semacam itu akan mudah terhentikan (tidak berkembang ataupun rubuh), jika telah sulit ditemukan lagi ayat-ayat terkaitnya. Terlebih lagi jika telah banyak ditemukan ayat-ayat yang seolah-olah tampak saling bertentangan.

Bahwa jika pondasi bangunan pemahaman itu telah cukup kokoh dan benar, atas ijin Allah, setiap pembahasan atau pengungkapan atas ayat-ayat selanjutnya menjadi makin lancar dan mudah. Tentunya hal ini kurang berlaku atas hal-hal gaib (seperti: ruh zat Allah; ruh zat makhluk-Nya; alam kubur; alam akhirat, dengan surga dan neraka; kehendak, perbuatan, aturan dan ketentuanNya; dsb), yang memang relatif amat sulit bisa dicapai oleh umat pada umumnya. Pemahaman atas hal-hal gaib itu bisa menjadi relatif lebih mudah jika umat telah memahami tentang ruh dan keadaan batiniah ruh.

Bisa saja disusun beberapa bangunan pemahaman yang diawali dari ayat atau topik pembahasan yang berbeda-beda.

866

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

Tetapi usaha seperti ini amat memerlukan energi dan konsentrasi pikiran. Lebih penting lagi, setiap bangunan mudah hancur siasia, jika bertentangan dengan bangunan lainnya. Hal ini relatif tidak terjadi jika pondasi setiap bangunannya telah kokoh-kuat. •

Bahwa bangunan pemahaman ini amat penting dimiliki oleh para alim-ulama ahli tafsir atau ahli ijtihad. Karena mereka amat berkepentingan agar bisa menguasai seluruh ayat Al-Qur’an dan Hadits, secara lengkap dan utuh. Bagi umat pada umumnya, bangunan pemahaman ini juga tetap perlu dimiliki, agar bisa meningkatkan keimanannya. Sedang keimanan atau keyakinan memiliki 2 unsur utama, yaitu: keyakinan ‘batiniah’ (atau pemahaman) dan keyakinan ‘lahiriah’ (atau pengamalan).

Bahwa setiap ayat al-Qur’an bisa dipakai untuk mendukung lebih dari satu dalil-alasan. Maka ayat-ayat seperti ini bisa hadir pada berbagai ‘tahapan’ atau ‘batu’ pondasi bangunan pemahamannya (bisa dipakai terus-menerus di mana saja). Dengan sendirinya, jika semakin banyak ayat seperti ini dipakai, maka relatif semakin kokoh-kuat pula berbagai dalil-alasan yang berdasarkan kepada ayat ini.

Bahwa adanya pembatasan jumlah ayat-ayat yang dipakai untuk mendukung sesuatu dalil-alasan (seperti ‘5 ayat’ yang disebut di atas), lebih bertujuan praktis untuk membatasi jumlah halaman penulisannya (seperti jumlah halaman buku ini, yang sebagian ayat-ayat bagi bangunan pemahamannya, berada di Lampiran E). Sebaiknya, selain ke 5 ayat itu (yang terbaik sebagai dasar setiap dalil-alasan), juga bisa disertakan ayat-ayat lainnya yang terkait dengan dalil tersebut. Bisa seluruh teks ayatnya, jika tidak ada pembatasan penulisannya, sebaliknya bisa hanya dicatat nomor surat dan ayatnya. Penyertaan seluruh ayat terkait ini amat diperlukan, untuk bisa mengetahui aspek ‘kelengkapan’ bangunan pemahamannya. Jika telah meliputi seluruh ayat Al-Qur’an, maka bangunan juga telah lengkap tersusun, dan tinggal membahas ayat-ayat terakhir yang disertakan (atau ayat-ayat lain yang belum sempat dibahas), tentunya jika masih ditemukan topik-topik baru di dalamnya.


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

867

Bahwa pada penerapan praktis-aplikatifnya (termasuk bangunan pemahaman pada buku ini), tentunya tidak persis berbentuk suatu ‘piramida atau kerucut terbalik’ (pada Gambar 39), di mana ayatayatnya tidak ditambah ‘per tahap’ pondasinya, tetapi ‘per batu’ pondasinya. Setiap batu pondasi (atau setiap pembahasan atas sesuatu dalilalasan beserta ayat-ayat penguatnya), juga tidak mesti mengikuti setiap tahap pondasinya, tetapi bisa bebas ditambahkan kapanpun dan di manapun sesuai keinginan dan kemampuan umat. Sehingga serupa seperti saat mengisi papan permainan ‘puzzle’, karena umat bisa mengisi di mana saja, namun hanya di sekitar gambar ‘puzzle’ yang telah terisi. Dan setiap potongan ‘puzzle’ atau setiap batu ‘pondasi’ itu bisa mengambarkan sesuatu ‘topik’ pengetahuan di dalam Al-Qur’an, terutama bagi hal-hal yang perlu ditafsirkan, ataupun bagi hal-hal ‘pendukung’ penafsirannya. Bahwa apabila setiap umat telah bisa memiliki pondasi bangunan pemahamannya yang kokoh-kuat (segala hujjah-dalil-alasannya telah kokoh-kuat), maka bangunan pemahaman inipun telah siap untuk dipakai dalam menghadapi perdebatan, ataupun membuat tulisan, tentang agama Islam dan ajaran-ajarannya. Sebagian dari para alim-ulama dan cendikiawan Muslim pada saat ini, relatif tidak memiliki pemahaman yang utuh atas hal-hal tertentu. Bahkan setiap dalil-alasan mereka seolah-olah disusun secara serabutan, ataupun ayat-ayat Al-Qur’an dipilihnya secara asal-asalan dan sekenanya saja, padahal tidak persis sesuai antara makna yang diinginkannya dan makna yang sebenarnya. Karena tujuan utamanya memang hanya semata agar pihak lawan debatnya bisa kalah secepat mungkin, juga pembaca tulisannya bisa langsung tergiring untuk mengikuti berbagai keinginannya. Tentunya hal ini bukan suatu cara untuk mencari kebenaran-Nya, ataupun mencari pemahaman yang makin baik, yang justru perlu dimiliki segala hujjah-dalil-alasan yang makin kokoh-kuat. Satu-satunya bukti atas kebenaran suatu pemahaman, semestinya didukung oleh segala hujjah-dalil-alasan yang kokoh-kuat, meski sebagian dari dalil-alasan itu justru diletakkan pada pundak para nabi-Nya, yang menyampaikan pengajaran dan tuntunan-Nya.

868

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

Sedangkan para nabi-Nya memang pasti menjadi saksi-saksi bagi umatnya masing-masing pada Hari Kiamat, yang telah menerima segala pengajaran dan tuntunan-Nya dari mereka. Sekaligus para nabi-Nya pasti menerima beban tanggung-jawab yang besar atas hal-hal yang mereka sampaikan, di samping atas ijin-Nya, juga bisa menerima segala kemuliaan dari Allah. Hal serupa pula tentunya bagi para penyampai atau para pengajar ajaran agama-Nya yang lurus lainnya, dengan beban tanggungjawabnya masing-masing. Mereka juga menjadi saksi-saksi pada Hari Kiamat, langsung di hadapan Allah. Hikmah dan hakekat Al-Qur’an yang universal, dan aplikasinya Dengan berbagai cara dan metode di atas diharapkan akan bisa dicapai pula setiap pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya yang terkandung dalam Al-Qur'an ataupun Hadits. Dan hanya dengan pemahaman seperti inilah, maka pemahamannya akan bisa melewati batas ruang, waktu dan konteks budaya (bisa dipakai ‘di manapun’, ‘kapanpun’ dan oleh ‘siapapun’ juga), atau penerapannya bisa dipakai di manapun umat berada di seluruh alam semesta, pada jaman apapun umat hidup dan pada bangsa manapun umat berasal. Tentunya juga diharapkan tidak hanya berbentuk berupa setiap pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, yang terpisah-pisah atau sepotong-sepotong (parsial), tetapi justru berbentuk berupa suatu bangunan pemahaman yang bisa amat konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan keseluruhannya, dan bahkan lebih baik lagi, apabila bisa amat lengkap dan mendalam. 82)

Akhirnya berdasar pemahaman yang amat ideal, sempurna dan universal itu, para alim-ulama di dalam Majelis alim-ulama lalu bisa menyusun penafsiran atas kandungan isi Al-Qur'an dan Hadits (usaha berijtihad), yang bersifat relatif sederhana, ringkas, praktis-aplikatif dan aktual sesuai dengan keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan umat manusia pada setiap tempat dan jamannya masing-masing. Mendekati bangunan pemahamannya nabi Muhammad saw? Dalam berbagai uraian di atas, ada sejumlah pernyataan "agar umat bisa memiliki pemahaman yang mendekati pemahamannya nabi Muhammad saw, atas ‘setiap’ wahyu-Nya", atau idealnya. "agar umat bisa memiliki bangunan pemahaman yang makin mendekati bangunan pemahamannya nabi Muhammad saw, atas ‘seluruh’ wahyu-Nya". Tentunya ukuran ‘kedekatan’ inipun pada dasarnya ‘tidak ada’,


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

869

karena seluruh pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (alHikmah), hanya tersimpan dalam dada-hati-pikiran nabi Muhammad saw. Sedang penyampaiannya secara tertulis (Al-Qur’an), lisan, sikap dan perbuatan (Sunnah Nabi), hanya hasil pengungkapannya, sebagai bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya yang bersifat sederhana, ringkas, praktis-aplikatif dan aktual bagi umat di jaman Nabi (berupa al-Kitab). "Dan sesungguhnya, telah Kami mudahkan Al-Qur`an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?." (QS.54:17) dan (QS.54:22, QS.54:32, QS.54:40) "Sesungguhnya Kami mudahkan Al-Qur`an itu, dengan bahasamu (hai Muhammad), supaya mereka (umat manusia) mendapat pelajaran." - (QS.44:58) dan (QS.19:97) "…. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. …." - (QS.2:185) "… . Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya." - (QS.65:4) "… . Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur`an. Dia mengetahui, bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit, dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia-Nya. Dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan-Nya, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur`an, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. …" - (QS.73:20) Walau Sunnah Nabi itu sendiri suatu penjelasan lanjut atas AlQur’an, namun secara alamiah atau berdasar konteks jamannya justru pasti Sunnah Nabi memiliki keterbatasan. Begitu pula pasti ada jarak antara pemahaman dan hasil pengungkapannya. Apalagi Hadits Nabi sebagai wujud tertulis dari Sunnah Nabi, amat banyak terkait atau ada campur tangan para perawi Hadits, dengan segala sifat, karakter dan kedekatan hubungannya terhadap Nabi. Padahal menilai diri sendiri dan orang lain adalah sesuatu hal yang amat sulit dilakukan, apalagi jika menilai sederet para perawi Hadits. Sunnah Nabi (Hadits Nabi) seperti halnya Al-Qur’an sendiri, pasti tetap tergantung kepada ruang, waktu dan konteks budaya umat ketika disampaikan. Padahal makna-makna sebenarnya di balik setiap ajaran agama-Nya mestinya bersifat universal dan bisa dipakai sampai akhir jaman oleh seluruh umat manusia. Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang suatu keter-

870

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

batasan bahasa tulisan dalam penyampaian wahyu-Nya. Pada akhirnya, penilaian atas ‘kebenaran’ kandungan isi teksteks ajaran agama itu justru jauh lebih penting daripada sosok ataupun pribadi penyampainya (bahkan termasuk pula sosok para nabi-Nya). Karena segala kebenaran pasti hanya hak-milik Allah, walau siapapun penyampainya, bagaimanapun cara penyampaiannya, dan pada kitab manapun tertulis. Satu-satunya bukti bahwa segala sesuatu hal berasal dari Allah, justru karena hal itu ‘benar’ (haq), ataupun hal itu bersifat ‘mutlak’ dan ‘kekal’, serta tentunya juga bersifat ‘universal’. Agar umat Islam bisa memperoleh kembali setiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, yang pada dasarnya bersifat ‘universal’ (bisa melewati batas ruang, waktu dan konteks budaya), maka setiap umat semestinya mengungkap makna-makna sebenarnya di balik teks kitab suci Al-Qur’an dan teks kitab-kitab Hadits. Misalnya dengan memakai metode-metode yang telah diuraikan di atas. "Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan apa yang ada di antara keduanya, tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu, karena mereka akan masuk neraka." - (QS.38:27) "Demi Al-Qur`an yang penuh hikmah," – (QS.36:2) dan (QS.43:4, QS.3:58, QS.44:4, QS.31:2, QS.10:1) "Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Rabb kepadamu. …." - (QS.17:39) "Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu, Rasul di antara (kalangan)mu, yang membacakan ayat-ayat-Kami kepadamu dan mensucikanmu, dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan kepadamu, apa saja yang belum kamu ketahui." (QS.2:151) dan (QS.2:129, QS.3:48, QS.3:81, QS.3:164, QS.4:54, QS.4:113, QS.5:110, QS.12:22, QS.19:12, QS.21:74, QS.21:79, QS.26:83, QS.62:2, QS.28:14, QS.31:12, QS.38:20, QS.43:63, QS.2:231) "Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka kitab, hikmah dan kenabian. …." - (QS.6:89) dan (QS.3:79) "Allah memberikan hikmah-Nya, kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah-Nya, sungguh telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali orang-orang yang berakal." - (QS.2:269) "(Al-Qur`an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk, serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa." -


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

871

(QS.3:138) dan (QS.68:52, QS.34:28) "… . Al-Qur`an ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Rabbmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." (QS.7:203) dan (QS.4:174, QS.22:54, QS.46:2) "Kebenaran itu adalah dari Rabb-mu, karena itu janganlah sekali-kali kamu menjadi orang-orang yang ragu." - (QS.2:147) dan (QS.28:75) Walau ukuran ‘kedekatan’ pemahaman umat dan pemahaman Nabi pada dasarnya ‘tidak ada’, namun seperti pada uraian-uraian di atas, kedekatan bisa makin diperoleh jika tercapai pemahaman yang lengkap, mendalam, utuh, konsisten dan tidak saling bertentangan atas keseluruhan pemahaman yang dimiliki oleh umat. "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur-`an?. Kalau kiranya Al-Qur`an itu bukan dari sisi-Nya, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." - (QS.4:82) Perwujudan dari pemahaman yang utuh dan lengkap itu, secara sederhananya seperti, bisa mencakup seluruh ayat Al-Qur’an dan bisa menghubungkan ‘segala aspek’ di dalam Al-Qur’an dan Hadits (bisa menghubungkan antara: Allah; sifat-sifat Allah; alam semesta; atom dan ruh; segala zat ciptaan ataupun segala makhluk-Nya; alam nyatalahiriah-duniawi dan gaib-batiniah-akhirat; alam kubur, Hari kiamat; Surga dan Neraka, perbuatan makhluk; akhlak; syariat dan amalibadah; pahala dan dosa; ujian-Nya; dsb). Apabila tanpa dimilikinya hubungan antar segala aspek seperti di atas (secara langsung ataupun tidak), pada keseluruhan pemahaman setiap umat (terutama para alim-ulamanya), maka pemahamannya itu pada dasarnya justru masih relatif jauh dari seluruh pemahaman yang dimiliki oleh nabi Muhammad saw. Sedang mustahil pemahaman pada Nabi bersifat ‘parsial’ (terpisah-pisah, sepotong-sepotong atau tidak utuh-menyeluruh), yang justru bisa amat diragukan oleh umatnya. Tentunya hal-hal di atas belum terkait langsung dengan tingkat ‘kedalaman’ setiap pemahaman itu sendiri, yang memang relatif lebih sulit diukur. Namun ukuran secara sederhananya, jika seorang umat telah bisa memahami dengan relatif cukup jelas atas hal-hal gaib dan batiniah, maka pemahamannya bisa dianggap telah cukup mendalam. Sedangkan semua ajaran agama-Nya justru amat terkait dengan segala tindakan-Nya di alam semesta ini, padahal Allah justru bersifat Maha gaib. Juga ajaran agama-Nya terkait dengan hal-hal gaib lainnya.

872

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

Sekali lagi amat penting bagi umat (terutama para alim-ulama) agar memiliki pemahaman atas ajaran-ajaran agama-Nya, secara amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan atas keseluruhan pemahamannya (minimal agar bisa utuh, konsisten dan tidak saling bertentangan, seperti pada Gambar 38). agar setiap umat bisa mengikuti ajaran-ajaran yang disampaikan oleh nabi Muhammad saw, dengan sebenar-benarnya (karena atas ijin-Nya, umat telah bisa makin ‘mendekati’ pemahamannya Nabi dan sekaligus telah pula amat konsisten pengamalannya). Perlunya para alim-ulama menguasai ilmu-ilmu terkait Telah relatif menguatirkan, jika para alim-ulama pada saat ini (termasuk Majelis alim-ulama), belum bisa memiliki pemahaman atas ajaran-ajaran agama-Nya dengan relatif sempurna (utuh dan lengkap), atau relatif makin mendekati pemahaman Nabi. Hal ini justru biasanya terjadi karena para alim-ulama itupun hanya bisa menguasai sebagian saja dari ilmu-ilmu agama dan termasuk pula ilmu-ilmu non-agama. Padahal dengan pengetahuan yang relatif luas atas segala ilmu itulah, para alim-ulama akan bisa memiliki pemahaman yang relatif makin sempurna atas berbagai ajaran agama-Nya. Segala bidang ilmu yang terkait dengan keagamaan bisa digolongkan, seperti berikut: (tentunya ada penggolongan dan penamaan ilmu yang lain pula pada sumber-sumber lain) - Ilmu bahasa Arab, yang meliputi: Ilmu nahwu dan sharaf, ilmu balaghah, ilmu bahasa, dsb. - Ilmu syariat, yang meliputi: Ilmu tafsir, ilmu Hadits dan mushthalah Hadits, ilmu fiqh dan ushul fiqh, dsb. - Ilmu sejarah. - Ilmu hikmah dan filsafat, yang meliputi: Ilmu manthiq, ilmu alam (ilmu kimia, ilmu fisika, ilmu farmasi, ilmu kedokteran, ilmu hewan, ilmu pertanian, dsb), ilmu pasti (ilmu berhitung, ilmu aljabar, ilmu ukur, ilmu mekanika, ilmu falak, ilmu Bumi atau geografi, dsb), ilmu kalam atau ilmu tauhid (metafisika tentang Pencipta, jiwa atau ruh, para makhluk gaib, alam akhirat, dsb), ilmu batin, ilmu tasawuf, ilmu hakekat atau ilmu makrifat, dsb. Bahkan hal yang amat menguatirkan, ada pertentangan relatif amat keras antara para ahli fiqih dan ushul fiqh (ilmu lahiriah), dengan


Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

873

para ahli kalam dan tauhid (ilmu batiniah). Padahal dalam beragama, kedua bidang ilmu itu (ilmu lahiriah dan ilmu batiniah), beserta segala cabang ilmu di dalamnya, justru semestinya amat saling mendukung, sedang ajaran agama-Nya memang mencakup segala aspek kehidupan umat manusia (nyata-lahiriah-fisik dan gaib-batiniah-rohani). Definisi dari ilmu ‘tauhid’ yang diketahui adalah "pengetahuan yang membahas tentang ketuhanan, ke-Esa-an Tuhan dan semua sifatNya", tentunya meliputi pula berbagai hal tentang Allah (takdir-Nya, ujian-Nya, dsb), para utusan-Nya (para malaikat-Nya, para nabi-Nya, dsb), ataupun tujuan dari diciptakan-Nya alam semesta dan kehidupan makhluk-Nya di dalamnya. Ilmu tauhid juga memiliki beberapa nama sebutan lain, seperti: ilmu ‘ushuluddin’, ilmu ‘kalam’, dsb. Padahal tiap hukum fiqih atau syariat yang diajarkan di dalam ajaran-ajaran agama-Nya, bisa dipahami hikmah dan hakekatnya yang sebenarnya (termasuk pula nilai-nilai batiniah dalam tiap syariatnya), justru melalui ilmu kalam dan tauhid. Sedang tiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya hanya bisa sesuai penerapannya dan mudah dipahami oleh umat pada umumnya, justru melalui ilmu fiqih dan ushul fiqh. Sedangkan di lain pihaknya, nabi Muhammad saw sendiri pasti memiliki pemahaman amat lengkap dan mendalam atas segala wahyuNya ataupun pasti menguasai tiap bidang ilmu yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi (Hadits), sesuai perkembangan jamannya. Dan padahal Nabi menyampaikan tiap pemahamannya sebagai suatu pengajaran dan tuntunan-Nya, dalam bentuk yang relatif mudah dipahami dan diamalkan oleh umat manusia umumnya. Sederhananya, segala ilmu kalam dan tauhid pada Nabi justru harus disampaikannya melalui ilmu fiqih dan ushul fiqh. Ringkasnya, Al-Hikmah pada Nabi diungkapkannya melalui al-Kitab (Al-Qur’an dan contoh pengamalannya sunnah-sunnah Nabi). Sedang Nabi menerima wahyu-Nya dari malaikat Jibril, dalam bentuk berupa Al-Hikmah dalam dada-hati-pikiran Nabi. Begitu pula seluruh para nabi-Nya lainnya (dengan ataupun tanpa Al-Kitab). Namun dari sifatnya, sunnah-sunnah dari para nabi-Nya justru pada dasarnya juga termasuk Al-Kitab, di dalam pengertiannya secara umum, yaitu “segala bentuk pengungkapan atas Al-Hikmah, melalui tulisan, lisan, sikap dan contoh perbuatan”. Amat kuat dugaan, bahwa munculnya segala pertentangan dan perselisihan pemahaman antar para alim-ulama dalam hal keilmuan di

874

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

atas, dipicu oleh sikap yang berlebihan atas masing-masing ilmu yang dimiliki, sehingga mereka itu tidak lagi bisa menempatkan ilmunya di tempat kedudukan yang semestinya. Terutama karena masing-masing beranggapan, bahwa ilmunyalah yang paling penting dalam beragama, ataupun yang paling sesuai untuk mengungkap tiap kebenaran-Nya. Padahal segala kebenaran-Nya justru Maha luas cakupannya, yang mustahil bisa diungkapkan hanya melalui satu ataupun beberapa ilmu saja. Sedang "ayat-ayat-Nya mustahil bisa dituliskan dengan tinta sebanyak beberapa samudera", dan bahkan mustahil bisa diungkapkan semuanya oleh manusia sampai akhir jaman. Paling ideal tentunya apabila tiap alim-ulama.bisa menguasai banyak bidang ilmu, minimal secukupnya dan langsung terkait dengan segala hal yang didakwahkannya. Karena penyampaian segala sesuatu hal tentang kebenaran-Nya yang tanpa dasar ilmu-pengetahuan, adalah suatu bentuk kezaliman secara batiniah (memaksa menanamkan halhal yang tidak benar atau keliru ke dalam pikiran umat). Para alim-ulama menjadi saksi bagi umatnya di Hari Kiamat Tentunya setiap materi isi dakwah dari para alim-ulama, akan dianggap sebagai kebenaran-Nya, oleh umat yang menerima dan juga percaya kepada mereka dan hal yang diterimanya. Dan setiap hal yang disebut ‘kebenaran-Nya’, tentunya termasuk “sesuatu tentang Allah”, yang disebut dalam ayat-ayat di bawah. Sehingga beban tanggung-jawab bagi setiap alim-ulama atas segala hal yang telah disampaikannya justru amat berat. Di samping amat besar pula pahala yang diperolehnya, jika hal-hal itu ‘memang’ sebagian dari kebenaran-Nya, telah disampaikan secara arif-bijaksana, dan tentunya atas ijin-Nya. Padahal setiap alim-ulama itupun menjadi saksi bagi setiap umatnya di Hari Kiamat, langsung di hadapan Allah, tentang segala hal yang telah disampaikannya. Beban tanggung-jawab ataupun kesalahan atas segala hal yang disampaikan, justru bisa makin berkurang pula, jika para alim-ulama itu telah makin menguasai berbagai bidang ilmu yang terkait. Tentunya beban tanggung-jawab yang persis serupa justru juga pasti dihadapi oleh para nabi-Nya. Bahkan mereka itu memiliki beban tanggung-jawab yang amatlah sangat besar atas segala pengajaran dan tuntunan-Nya yang telah disampaikannya. Padahal di pundak mereka justru nasib dan kehidupan beragama dari seluruh umat manusia telah digantungkan. Sehingga para nabi-Nya juga pasti menjadi saksi bagi seluruh


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.