Majalah Sagang 175

Page 1

No. 175 APRIL 2013 tahun XV www.majalahsagang.com Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)

Esei: Pernaskahan Melayu oleh Dr. Mu’jizah

Cerita-pendek Hasan Junus Pengantin Boneka (The Puppet Bride)

Lunturnya Tradisi Mendongeng oleh Indra KS

Cerita-pendek: Air Mata Mitnah oleh Purwanto

Sajak: - Kerudung Puisi - Muhammad Esqalani eNeSTe Tokoh: Khalil Gibran Rehal: Sepuluh Drama Pendek Samuel Beckett

halaman KULITi


"SHOW OFF YOUR BUSINESS!" mari kami bantu untuk mencetak media informasi ANEKA RAGAM usaha anda

PAKET PENDIDIKAN - PAKET CSR - PAKET PROYEK PAKET INFO PRODUK - PAKET CETAKAN UMUM - PAKET SCJJ PAKET INFO PRODUK

Menginformasikan produk yang dijual tidak selalu memasang iklan saja, anda perlu memvariasikannya dengan brosur, katalog dan bentuk selebaran lainnya. Pastikan anda mencetak info produk tersebut di tempat kami, dapatkan kerjasama dalam bentuk penyebaran info tersebut dengan menyisipkan via koran-koran kami (Riau Pos / MX / Pekanbaru Pos / Dumai Pos) atau penyebaran di tempat khusus yang anda inginkan. Kami siap membantu, dapatkan juga paket-paket khusus lainnya berupa percetakan info produk + publikasinya di koran-koran kami. syarat dan ketentuan berlaku

MURAH, CEPAT, BERJARINGAN LUAS

Percetakan Riau Pos Grafika Divisi Komersial Printing Hubungi Kami: Gedung Riau Pos Jl.HR Soebrantas Km 10,5 Panam-Pekanbaru Office +62 761 - 566810 Fax +62 761 - 64636 Mobile 081268435929, 081365720503, 081378757569, 085265483504

Bank Riau KCP Panam 134-08-02010 Bank Mandiri Ahmad Yani-Pekanbaru 108-000-126-1990 An: PT Riau Graindo E-mail riauposgrafika@yahoo.com halaman KULITii


Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 175 APRIL L 2013 tahun XV

Seni Tari "Perjuangan Cinta" merupakan judul kertas kerja Lilis Suryani untuk memperoleh gelar Diploma III di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR)

Daftar Isi Schiller dan Beethoven (kolaborasi duo seniman) .........................2 Esei - PernaskahanMelayu Oleh Dr. Mu’jizah ..................................3 - Lunturnya Tradisi Mendongeng oleh Indra KS .......................................10 Cerita-pendek Hasan Junus (Alm) Pengantin Boneka................................ 13 The Puppet Bride ................................. 21 Cerita-Pendek Air Mata Mitnah oleh Purwanto .........29 Sajak - Kerudung Puisi ....................................33 - Muhammad Esqalani eNeSTe ............. 41 Tokoh Khalil Gibran ...................................... 48 Rehal Sepuluh Drama Pendek Samuel Beckett ....................................58 Tokoh Bei Dao................................................. 61 Illustrasi Halaman 29 karya Purwanto

Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Ngatenang Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Khazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Manager Keuangan: Sri Herliani. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


tajuk

Schiller dan Beethoven (kolaborasi duo seniman) LUDWIG VAN BEETHOVEN memberikan gambaran tentang sebuah puisi yang bagus lebih sulit untuk mengatur musik dari yang sekadar baik, karena komposer harus di atas lebih tinggi dari penyair, dan bagi komposer handal ini sajak Goethe jauh lebih mudah dilakukan musikalnya daripada yang dilakukannya dalam kasus Schiller, seperti karya Beethoven yang terkenal dalam simfoni kesembilan-nya (Symphony No. 9 in D minor,Op. 125). Sajak Schiller An die Freude atau Ode to Joy yang ditulis tahun 1785 dan direvisi untuk pengaturan musiknya oleh komponis terkenal ini menjadi bagian dari simfoni kesembilan-nya itu. Empat penyanyi solo dan paduan suara membuat simfoni ini menjadi contoh simfoni pertama yang memakai paduan suara (vokal): Wo Dein sanfter Flügel weilt. Seid umschlungen, Millionen! Diesen Kuß der ganzen Welt! Selain Schiller dan Beethoven, seniman dunia lainnya seperti Goethe dan Wagner menjadi contoh kolaborasi yang baik bagi dunia seni. Di dunia musik Melayu, kolaborasi duo seniman, seorang musisi terkenal sekelas P, Ramlee, banyak memakai sajak Jamil Sulong dan Sudarmaji pada lagu-lagunya yang indah dan terkenal. Ada lagu Melayu yang juga sangat indah dan bagus lirik dan musiknya, yang sangat disukai oleh Idrus Tintin dan Hasan Junus (alm) dan juga Al azhar yaitu Disebut Jangan Dikenang Jangan. Pada mulanya disangka lagu ini ditulis oleh P. Ramlee bersama Jamil Sulong atau Sudarmadji, tetapi rupanya ditulis oleh kolaborasi duo seniman Ibrahim Bachik pada lagu atau musiknya dan Rosley Haji Yusuf pada lirik atau seni-katanya. Bagaimana lagu indah ini dapat menyentuh perasaan banyak orang terutama liriknya, dapat disimak bait terakhir syairnya: Sebutir embun menitis Seribu kuntum mengembang Sepatah ku berjanji Ku sebut kau ulang-ulang Mencurah hujan membatu Meresap di telan bumi Segala sumpah janjimu Tak satu yang kau tepati

halaman 2

Chorus : Tiada kuduga Tiada ungkitan Bagimu tuan Ku rela dilupakan Ku diumpat jangan Dikenang jangan Berlalu kisah di taman Bak mimpi diganggu siang Disebut diingat jangan Tak guna di kenang-kenang Kalau ditulis kolaborasi duo seniman dalam dunia musik dan sastra ini, akan memenuhi semua halaman majalah ini, karena itu patutlah beberapa penyair terkenal mengabadikan sajak epitaphnya di batu nisan seniman terkenal sahabatnya, seperti halnya Conrad Ferdinand Meyer (18251898), seorang penyair dan novelis sejarah Swiss mengabadikan sajak epitaph-nya di batu nisan Schiller yang meninggal dalam usia tidak terlalu tua (45 tahun) di Saxe-Weimar, Jerman: “Two dim and paltry torches that the raging storm And rain at any moment threaten to put out. A waving pall. A vulgar coffin made of pine With not a wreath, not e'en the poorest, and no train – As if a crime were swiftly carried to the grave! The bearers hastened onward. One unknown alone, Round whom a mantle waved of wide and noble fold, Followed this coffin. 'Twas the Spirit of Mankind” Dua obor bersahaja redup ketika amukan badai Dan hujan setiap saat mengancam padam. Sebuah selubung melambai. Sebuah peti mati dari kayu pinus terdedah Tak memakai karangan bunga, tak sebuah kemiskinan, dan tak ada kereta api Kejahatan bagai kilat dibawa ke kuburan! Penghela terus melaju. Ketahuilah hanya satu saja, Mantel menggelebang melambai lebar dan mulia melipat, Mengikuti peti mati ini. Sungguh Roh Manusia.*** Redaksi


esei

Pernaskahan Melayu Oleh Dr. Mu’jizah (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa)

1

. Pengantar

Produk budaya Nusantara dalam bentuk sastra mencakupi tiga hal, yakni sastra cetak termasuk di dalamnya sastra modern, sastra lama dalam bentuk tulis tangan yang disebut naskah, dan sastra lisan yang hidup dalam tradisi lisan. Dalam makalah ini penyusunan program difokuskan pada program pengembangan hasil tradisi tulis yang disebut naskah (manuscript). Tradisi ini tersebar luas di beberapa daerah dan menjadi kekayaan Nusantara. Naskah ini ditulis dalam aksara

dan bahasa daerah dan sudah berkembang kurang lebih 1,5 milenium, termasuk di dalamnya prasasti, sedangkan tradisi tulis dalam bentuk naskah berusia seribu tahun lebih. Sebagian besar naskah-naskah itu saat ini tersimpan dalam koleksi publik yang jumlahnya mencapai puluhan ribu dan jumlah itu di luar jumlah naskah yang menjadi koleksi pribadi. Dari sekitar 726 bahasa di Indonesia ada kurang lebih 13 bahasa yang mempunyai sistem tulisan dan meninggalkan dalam

halaman 3


bentuk naskah tertulis. Ketiga belas bahasa itu adalah (1)Aceh, (2) Batak, (3) Melayu, (4) Minangkabau, (5) Bahasa-bahasa Melayu di Sumatra Tengah dan Selatan, (6) Sunda, (7) Jawa, (8) Madura, (9) Bali, (10) Bugis, (11) Sasak, (12) Makassar, (13) Buton. Khazanah naskah tertulis yang menjadi peninggalan masyarakat Riau adalah Melayu yang ditulis dalam aksara Jawi dalam bahasa Melayu. Naskah Melayu ini bukan hanya ada di daerah Riau, melainkan penyebarannya sangat luas di beberapa daerah di Indonensia, seperti (1) Aceh, (2) Minangkabau, (3) Riau, (4) Siak, (5) Bengkulu, (6) Sambas, (7) Kutai, (8) Ternate, (9) Ambon, (10) Bima (11) Palembang, dan (12) Banjarmasin. Naskah-naskah tersebut saat ini disimpan di lembaga-lembaga, seperti museum daerah, Perpustakaan Nasional, yayasan-yayasan, pesantren, masjid, dan keluarga-keluarga atau pemilik naskah. Di Perustakaan Nasional naskah mencapai 9.626 dalam berbagai bahasa. Bagaimana dengan jumlah naskah Melayu? Pendataan yang pasti belum pernah ada karena jumlah terus bertambah dengan ditemukannya koleksi-koleksi baru dan terus berkurang karena banyak naskah yang rusak dan tidak terawat. Mengenai jumlah naskah Melayu Ismail Husein (1974) pernah mengemukakan angka 5.000, ChambertLoir (1980) mengemukakan 4.000, dan Russel Jones sampai pada angka 10.000 (Mulyadi, 1994). Sampai saat ini naskah Melayu tersimpan hampir di 29 negara (1) Afrika Selatan, (2) Amerika, (3) Austria, (4) Australia, (5) Belanda, (6) Belgia, (7) Brunei, (8) Ceko-Slovakia, (9) Denmark, (10) Hongaria, (11) India, (12) Indonesia, (13) Inggris, (14) Irlandia, (15) Italia, (16) Jerman Barat, (17) Jerman Timur, (18)

halaman 4

Malaysia, (19) Mesir, (20) Norwegia, (21) Polandia, (22) Perancis, (23) Rusia, (24) Singapura, (25) Spanyol, (26) Srilangka, (27) Swedia, (28) Swiss, dan (29) Thailand (Chambert-Loir, 1999). Bagaimana dengan naskah Melayu, khusus Riau. Di mana saja naskah tersebut disimpan? Berbagai penelusuran sudah mulai dilakukan. Naskah Melayu yang begitu besar jumlahnya harus segera ditangani dengan perencanaan kerja yang matang. Program pengembangan, pengkajian, dan pemibaan harus terus dipacu sebab kita berpacu dengan waktu. Semakin lama tidak tertangani, semakin rapuh pula naskah, khususnya naskah yang menjadi koleksi masyarakat (pribadi). Pemeliharaan naskah menjadi prioritas utama karena sampai saat ini sudah banyak naskah yang hilang dan rusak. Hilangnya naskah berarti hilang pula hasil pemikiran bangsa. Padahal di dalam naskah itu berbagai hal yang menjadi kekayaan bangsa ada di situ, seperti politik, sosial, budaya, keagamaan, sejarah, dan bahasa. Karena penelitian masih kurang dan sosialisasinya belum maksimal, masyarakat saat ini kurang mengenal warisan budaya mereka. Padahal kekayaan ini sangat penting bagi pengambangan kebudayaan. Sampai saat ini sebenarnya penanganan pernaskahan Melayu dengan kegiatan pengembangan, penelitian, dan pembinaan sudah dilakukan oleh berbagai lembaga di Indonesia, baik lembaga pendidikan maupun lembaga penelitian, negeri dan sawasta. Namun, agaknya kegiatan itu harus terus digalakkan dengan berbagai upaya. Kerja sama dengan lembaga terkait dan lembaga swasta baik dalam dan luar negeri harus segera dijalin bagi penyelamatan warisan budaya ini.


2. Program Pengembangan Pernaskahan Melayu Program kegiatan yang harus segera dilakukan dalam pengembangan dunia pernaskahan Melayu adalah (1) Inventarisasi dan pembuatan katalog, (2) dokumentasi naskah, (3) penyusunan buku sebagai bahan bacaan bagi khalayak ilmiah dan khalayak umum, (4) pangkalan data (data base) A. Inventariasai dan Penyusunan Katalog Sampai saat ini naskah Melayu Riau, tempat penyimpanannya sangat tersebar. Upaya penelusuran harus terus dilanjutkan. Berdasarkan informasi Rudjiati Mulyadi (almarhum) di Daek Lingga juga banyak tersimpan naskah. Untuk itu. Untuk itu buku Naskah Melayu Kuno Daerah Riau I—III yang disusu Hamidy (1985) harus diperkaya lagi dengan data naskah Riau yang lain. Dalam Penelusuran Penyalinan Naskah Riau: Kajian Kodikologis (Mu’jizah 1999), tercatat sekitar 44 naskah koleksi Yayasan Indra Sakti dan dalam koleksi Perpustakaan Nasional sekitar 13. Jumlah yang 13 itu masih harus ditelusur lagi dalam koleksi naskah yang diwariskan Von de Wall, yaitu orang Jerman yang bekerja untuk Pemerintah Hindia-Belanda yang pada tahun 1858 bertugas di Riau. Pada masa itu, ia adalah pengayom untuk kegiatan pernaskahan di Riau. Saat ini koleksinya disimpan di Perpustakaan Nasional. Pada tahun 2003, sebagai penelitian lanjutan saya mendata naskah Riau yang menjadi koleksi Perpustakaan Universitas Leiden dan Perpustakaan KITLV. Dari kedua tempat tercatat sekitar 45-an naskah yang berasal dari daerah Riau. Usaha ini harus terus dilakukan sehingga kita

mendapat gambaran yang jelas tentang kekayaan naskah Melayu Riau. Usaha yang dilakukan Chambert-Loir (1999) agaknya perlu diikuti dengan penelusuran naskah Riau yang berada dalam koleksi lembaga (dalam dan luar negeri) dan koleksi pribadi (masyarakat). Penyusunan katalog memang bukan penelitian mudah karena untuk kegiatan ini diperlukan tim peneliti khusus yang memahami dunia pernaskahan. Langkah awal yang bisa dilakukan adalah menginventarisasi lebih dahulu semua naskah Riau berdasarkan informasi dari berbagai daftar dan katalog yang ada. Setelah itu, diadakan penelitian lapangan untuk penyusunan katalog. Katalog yang ideal yang banyak membantu peneliti adalah katalog deskriptif, sebuah katalog yang lebih terurai isinya dari hanya suatu daftar. Katalog deskriptif naskah Melayu yang pernah disusun, di antanya susunan S. Van Ronkel (1909) yang berisi khazanah naskah Melayu koleksi Perpustakaan Nasional (dulu adalah koleksi Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenscahppen). Katalog naskah Melayu lain yang rinciannya paling lengkap adalah yang dibuat oleh Wieringa (1998) Catalogue of Malay and Minangkabau Manuscripts. Katalog ini sangat membantu dalam pelacakan berbagai topik yang berhubungan dengan naskah karena disertai dengan indeks judul, indeks tempat atau daerah, cap kertas (watermarks), cap kertas tandingan (countermarks), dan indeks surat. Katalog deskriptif naskah Melayu yang lebih baru dan lebih sederhana uraiannya dibuat oleh tim Yanassa (Yayasan Naskah Nusantara) yang diketuai oleh Prof. Achadiati. Lembaga ini bekerja sama dengan Toyota Foundation menyusun Katalog Naskah Buton

halaman 5


(2001). Koleksi yang didata adalah naskah milik pribadi, yakni milik Abdul Mulku Zahari. Tahun 2004, lembaga ini juga bekerja sama dengan Tokyo University Of Foreign Studies menyusun Katalog Naskah Palembang. Naskah yang dikatalogkan juga sebagian besar milik pribadi yang disimpan oleh 10 pemilik,. Dalam penyusunan katalog naskah selain keahlian diperlukan juga kesabaran dan ketekunan. Sebelumnya kita bisa menyiapkan formulir yang bisa kita isi dengan data setiap naskah. Setelah formulir ini terisi, kita tinggal menarasikan. Pokokpokok penting yang didata dalam penyusunan ini pokok yang berkaitan dengan hal umum, gambaran fisik, dan ringkasan isi naskah. (1) Tempat penyimpan naskah adalah nama lembaga (yayasan, perpustakaan, masjid, kantor) atau nama pengoleksi naskah (pemilik/perorangan). (2) Judul naskah biasanya terdapat pada halaman judul (halaman awal teks). Kalau tidak ada, peneliti dapat mencatatkan judul berdasarkan bacaan teksnya. (3) Nomor naskah adalah nomor yang tercatat pada sampul muka, punggung naskah, halaman sampul belakang. Catat pula nomor lama jika naskah tersebut memang mempunyai nomor baru. Jika naskah belum dinomori, peneliti bisa memberikannya. (4) Jumlah teks, apakah terdiri atas satu, dua, kumpulan.(5) Jenis naskah adalah genre naskah, hikayat, syair, atau jenis lain.(6) Bahasa apa yang digunakan dalam naskah. (7) Tanggal penulisan merupakan waktu penulisan yang tercatat dalam teks. (8) Tempat penulisan adalah nama tempat yang tercatat dalam teks. (9) Catat nama penulis/penyalin yang tertera dalam teks. (10) Tuliskan daftar atau katalog lain yang pernah mendata naskah ini.

halaman 6

Hal-hal yang berkaitan dengan fisik naskah yang perlu dicatat adalah seperti berikut. (1) Bahan naskah adalah alas yang dipakai untuk menulis, jika kertas, kertas apa yang digunakan. (2) Cap kertas dapat dilihat dengan mengangkat kertas dan memberikan cahaya. Cap kertas sangat beragam. Untuk sementara mungkin cap kertas dideskripsi saja lebih dahulu, kemudian deskripsi itu dapat dicocokkan dengan daftar cap kertas. Daftar cap kertas yang agak lengkap adalah Churchill (1935) atau Heawood (1924). (3) Kondisi naskah adalah keadaan naskah saat diteliti, deskripsikan dengan cermat dan rinci sehingga pembaca mendapat gambaran bagaimana keadaan naskah tsb. (4) Jumlah halaman dihitung mulai dari awal hingga akhir naskah. (5) Jumlah baris pada halaman kedua, biasanya jumlah halaman awal dan akhir berbeda dengan halaman berikutnya. (6) Ukuran halaman dihitung panjang kali lebar. (7) Penomoran halaman biasanya ditemukan pada pias atas atau pias bawah, biasa ditulis dengan angka Arab atau dengan kata alihan (catcword), yaitu kata yang menjadi penanda halaman berikutnya. Hal yang berkaitan dengan tulisan yang perlu dicatat adalah (1) aksara atau huruf yang digunakan, (2) hiasan huruf adalah kata yang penulisannya dihias, ada pula yang ditulis dalam bentuk kaligrafi, (3) Iluminasi (gambar atau hiasan pada halaman naskah) dapat dicatat dengan menyebutkan halamannya dan bentuk gambarnya. Informasi lain yang perlu didata adalah (1) bahan sampul yang dipakai, (2) ukuran sampul dihitung panjang kali lebar. Selain itu, catat pula (3) kolofon, yakni catatan yang menjelaskan waktu, penulis/penyalin,


dan tempat penulisan. Bagian ini biasanya ada yang bagian ini seperti apa adanya dalam teks.(4) Kepemilikan adalah nama lembaga atau perorangan yang pernah memiliki naskah ini. Informasi sering ditemukan pada bagian sampul (depan atau belakang), halaman pelindung, atau bagian lain. Hal yang berkaitan dengan isi adalah (1) ringkasan isi merupakan rangkuman bagian isi; bagian ini dapat dinyatakan minimal dalam satu paragraf, (2) kutipan teks awal minimal tiga baris, dan (3) teks akhir juga minimal tiga baris saja. Ideanya rincian naskah ini juga dilengkapi dengan foto naskah yang dianggap penting.

Saat ini dengan kemajuan teknologi begitu pesat, pendokumentasi lebih mudah dilakukan, yakni dengan pembuatan foto digital. Dokumentasi ini lebih sederhana dilakukan daripada pembuatan mikrofilm atau mikrofis. Yang dibutuhkan adalah fotografer profesional sehingga foto yang dihasilkan berkualitas. Idealnya dokumentasi ini dilakukan seiring dengan pembuatan katalog karena pada saat itu, kita dapat memilih naskahnaskah yang menjadi prioritas utama untuk diselamatkan. Jika naskah sudah didokumentasi dalam bentuk foto, tentu perawatannya juga harus diupayakan.

B. Dokumentasi Selain katalog, idealnya sebagai bahan pendamping adalah dokumentasi naskah dalam bentuk foto, mikrofilm atau mikrofis. Dokumentasi ini sangat penting agar naskah tidak punah. Warisan budaya dalam bentuk naskah di daerah tropis seperti Indonesia ini sangat rentan dari kerusakan, terutama alas naskah sebab alas seperti kertas dan lontar tidak dapat bertahan terhadap iklim. Di samping itu serangan serangga juga mengancam keberadaan naskah. Untuk itu, perawatan naskah menjadi prioritas utama. Namun, pada kenyataannya perawatan pada benda budaya ini sangat minim, apalagi pada naskah-naskah yang masih disimpan di dalam koleksi pribadi (masyarakat). Untuk menanggulangi kepunahan ini dokumentasi harus segera dilakukan. Beberapa puluh tahun yang lalu dokumentasi dalam bentuk mikrofilm sudah banyak dilakukan, namun perawatan mikrofilm itu juga belum memadai sehingga mikrofilmnya yang dibuat lebih dahulu punah daripada naskahnya.

C. Penyusunan Buku sebagai Bahan Bacaan Naskah warisan nenek moyang ini layaknya jangan hanya ditimang-timang, tetapi harus diolah. Olahan itu bisa berbentuk penelitian dan penyusunan bahan bacaan lain sehingga isinya dapat diketahui masyarakat. Informasi ini penting agar berbagai hasil pemikiran yang ada di dalamnya diketahui masyarakat. Caranya adalah dengan pengadaan berbagai bahan bacaan. Bacaan itu dapat disajikan untuk khalayak ilmiah dan khalayak umum tergantung kepentingannya. Penyusunan itu bisa dalam bentuk (1) edisi Teks, (2) bacaan remaja, (3) antologi atau bunga rampai. Edisi teks merupakan salah satu cara menginformasikan isi naskah, hanya pembacanya lebih terbatas, yakni khalayak ilmiah. Terbitan ini bisa berbentuk edisi faksimile dan edisi kritis. Usaha Manuscripta Indonesica perlu ditiru. Terbitan yang dikelola Universitas Leiden ini berbentuk edisi faksimile, yaitu terbitan naskah dalam

halaman 7


bentuk apa adanya. Belum dilakukan alih aksara, yang diperlukan hanya pengantar yang lengkap tentang naskah yang dipilih. Salah satu naskah Riau yang berada dalam koleksi universitas tersebut, yakni Tawarikh Alwusta pernah dimuat dalam terbitan ini. Edisi kritis adalah edisi yang banyak dilakukan diperguruan tinggi dan lembaga-lembaga penelitian. Dalam edisi ini, teks sudah dialihaksarakan dan diberi catatan yang pertangungjawaban jika ada beberapa perubahan yang dilakukan atas teks asli. Biasanya dalam edisi ini jika teks memakai bahasa daerah, terjemahan juga perlu dilakukan agar pembaca dapat mengerti isinya. Biasanya dalam edisi ini para peneliti menambahkan dengan kajian isi. Topik-topik yang sedang menjadi perhatian digali dari khazanah teks yang ada. Penyusunan bahan bacaan bagi remaja yang bersumber pada naskah juga harus dilakukan agar mereka sebagai generasi penerus bisa mengapresiasi dan mempunyai wawasan pengetahuan dari budaya asalnya. Berbagai edisi ilmiah yang sudah ada bisa dipakai sebagai sumber. Upaya yang dilakukan Inggris dalam memperkenalkan Hamlet dan Shakespeare kepada anak-anak muda perlu ditiru. Tahun ini Pusat Bahasa bekerja sama dengan sastrawan membuat saduran yang bersumber pada naskah. Usaha ini diharapkan berhasil sehingga penulis-penulis muda mengetahui motismitos yang menjadi kekayaan daerahnya dan mereka mengungkapkan kembali dalam karya-karya mereka sehingga terjadi kesinambungan. Upaya ini juga diharapkan dapat menambah krativitas remaja dan membangkitkan minat serta pertumbuhan sastra. Selain itu, bahan bacaan ini dapat juga menjadi alternatif sebagai bahan

halaman 8

pengajaran sastra di sekolah. Penyusunan antologi atau bunga rampai merupakan salah satu upaya pemasyarakatan dan penyebaran informasi. Berbagai penelitian dan edisi yang sudah dilakukan bisa diolah dalam bentuk yang lebih pendek. karya-karya dalam naskah dan memperkenalkan serta meneruskan nilai-nilai dan hasil pemikiran yang ada di dalamnya perlu suatu pengolahan dari karya-karya yang sudah ada, baik edisi yang sudah diterbitkan maupun bahan-bahan kajian. Pengolahan itu dapat berbentuk antologi atau bunga rampai. Sebuah ikhtisar dari karya-karya terpilih bisa dimasukkan dalam kegiatan ini. Sebuah olahan yang didasarkan pada pemilihan pokok tertentu dan memperkenalkan tokoh-tokoh tertentu juga bisa masuk dalam kelimpok ini. Olahan ini biasa dikenal dengan Pokok dan Tokoh. Sebuah olahan yang diambil dari berbagai kajian naskah yang sudah ada juga patut diambil, seperti yang sudah dilakukan Al Azhar dan Elmustian, 2001 Kandil Akal di Pelataran Budi. Upaya ini dilakukan untuk menembus khalayak pembaca umum yang sudah tidak mengenal bahasa dan aksara dalam naskah. Untuk menembus pembaca ini juga perlu diupayakan kumpulan ikhtisar dari beberapa karya yang dianggap penting dan dikumpulkan dalam sebuah buku. Bunga rampai seperti ini bisa menembus pembaca di kalangan remaja sebagai bahan pelajaran. Dalam teknologi informasi yang berkembang pesat, rasanya pangkalan data (data base) tentang kekayaan khazanah karya Melayu perlu segara dibuat. Pangkalan data ini memudahkan pencarian bahan bagi berbagai kegiatan pengembangan, pembinaan dan pengkajian.


3. Penutup Akhirul kata, perkembangan sastra Melayu, khususnya Riau, menjadi tanggung jawab masyarakatnya ada dua kegiatan lagi yang sudah harus dilakukan juga, yakni sosialisasi UU no.5 tahun 1992 tentang pemeliharaan dan pelestarian cagar budaya. Undang-undang ini harus dimasyarakatkan khususnya kepada para pemilik naskah yang jumlahnya belum banyak diketahui. Dengan UU ini diharapkan tidak terjadi lagi perdagangan naskah. Upaya yang juga memerlukan ketekunan dan kesabaran adalah pemerkasaan Aksara Jawi. Aksara ini akan hilang sebagai warisan budaya Melayu jika tidak segera diperkenalkan kepada generasi penerus, baik tingkat sekolah dasar, menengah, dan atas. Upaya ini bisa dilakukan dengan kerja sama pada instansi terkait, pemda atau dikmenum.

Daftar Pustaka Al Azhar dan Elmustian. 2001. Kandil Akal di Pelataran Budi. Pekan Baru: Yayasan Kata. Chambert-Loir. 1999. Panduan NaskahNaskah Indonesia Sedunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Ding Choo Ming. 1999. Raja Aisyah Sulaiman: Pengarang Ulung Wanita Melayu. Bangi: Universiti Kebangsaan Melaysia. Hamidy, UU. 1985. Naskah Melayu Kuno Daerah Riau I—III. Pekanbaru. Gallop, Annabel Teh. 1994. The Legacy of the Malay Letter. London: The British Library. Ikram, Achadiati dkk. 2001. Katalog Naskah Buton. Jakarta: Yayasan Obor Jakarta. ------. 2004. Katalog Naskah Palembang. Tokyo University of Foreign Studies. Junus, Hasan H. dkk. 2004. Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji: Sebagai Bapak Bahasa Indonesia. Tanjung Pinang: Pemerintah Provinsi Riau. Matheson, Virginea McGlynn, John H. dkk. 1996. Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia. Jakarta:Yayasan Lontar. Mu’jizah. 1999. Penelusuran Penyalinan Naskah Riau Abad XIX: Sebuah Kajian Kodikologi. Jakarta: FSUI. Mulyadi, S.W.R. 1994. Kodikologi Melayu Jakarta: FSUI. Putten, Jan van der. 1995. Di dalam Berkekalan Persahabatan. Leiden: Department of Languages and Cultures of South-east and Oceania. Sham, Abu Hasan. 1999. Syair-Syair Melayu Riau. Kuala Lumpur: Perpustakaan Negara Malaysia. Churchill, 1935. Watermarks in Paper. 1935.

halaman 9


esei

Lunturnya Tradisi Mendongeng oleh Indra KS

“

Tadi malam waktu aku mau bobo, aku didongengkan ibu Kancil dan Keong, ceritanya menarik sekali loh temanteman.� apabila yang keluar kata-kata itu dari mulut anak yang sedang bermain dengan teman-temannya. Pastilah amat indah sekali. Pada tahun 90-an sepertinya kita masih akrab dengan dongeng. Orang tua selalu aktif memberikan dongeng sebagai pengantar tidur anak-anaknya. Tetapi pada saat ini, kita sangat jarang menjumpai orang tua yang mau mendongeng untuk anaknya. Anak-anak lebih banyak yang tertidur di depan layar kaca televisi ataupun tidur dengan kehampaan di tempat tidur dan didongengi oleh suara derik jangkrik atau binatang malam lainnya. Dongeng (folktales, folklore) menurut Nurgiyantoro (2004: 115) merupakan salah satu bentuk dari cerita tradisional. Istilah “tradisional� dalam kesastraan (traditional literature

halaman 10

atau folk literature) menunjukkan bahwa bentuk itu berasal dari cerita yang telah mentradisi, tidak diketahui kapan mulainya dan siapa penciptanya, dan dikisahkan secara turun-temurun secara lisan. Jadi dapat disimpulkan mendongeng merupakan kegiatan yang telah mentradisi pada masyarakat sejak dahulu. Namun tradisi mendongeng lambat laun akan hilang dengan sendirinya, apabila orang tua tidak melakukan kegiatan mendongeng seperti yang dilakukan nenek moyang dahulu. Oleh sebab itu, untuk menjaga tradisi yang diwariskan nenek moyang kita harus menggiatkan mendongeng kembali. Walaupun untuk zaman sekarang dirasa sulit dengan beribu alasan. Salah satu faktor yang menyebabkan para ibu atau orang tua enggan untuk memberikan dongeng kepada anakanaknya beranekaragam. Misalnya, tidak


adanya waktu karena sang ibu kerja sampai malam, kecapaian, ataupun karena tidak dapat mendongeng. Kita tahu saat ini banyak kaum ibu yang menjadi wanita karier tidak seperti dahulu yang tahunya hanya dapur, sumur, dan kasur. Jadi wajar saja kalau sang ibu mengalami kecapaian sehingga tidak ada waktu untuk memberikan dongeng kepada anaknya. Bahkan ada ibu yang kerjanya sampai malam. Maka saat pulang anaknya telah tidur dengan nyenyak. Faktor lain karena sang ibu tidak dapat mendongeng yang disebabkan ketidaktahuan tentang dongeng itu sendiri. Ini terjadi karena waktu kecil sama sekali tidak pernah mendengarkan dongeng. Untuk masalah ini sebenarnya ada solusinya sebab berbagai cerita tradisional dewasa ini telah banyak yang dikumpulkan, dibukukan, dan dipublikasikan secara tertulis, antara lain dimaksudkan agar cerita-cerita tersebut tidak hilang dari masyarakat mengingat kondisi masyarakat yang telah brubah. Jadi tidak ada alasan untuk tidak memberikan dongeng dengan dalih tidak dapat mendongeng, sebab buku dongeng saat ini telah banyak beredar di pasaran. Ibu dapat dengan mudah mendongeng dengan membacakannya. Kita tahu Indonesia kaya akan dongeng. Oleh karena itu, orang tua tidak akan kehabisan dongeng setiap malamnya. Dongeng yang akrab di telinga kita antara lain Bawang Merah Bawang Putih, Kancil dan Keong, Kancil dan Buaya, dan lain sebagainya. Dongeng tersebut mengandung ajaran moral yang dapat mendukung perkembangan anak. Contohnya pada dongeng Kancil dan Keong. Pada dongeng tersebut diceritakan tentang Kancil yang sombong dan pada akhirnya Ia termakan

oleh kesombongannya sendiri. Jadi dapat dipetik pelajaran bahwa sombong itu tidak baik. Tingkah laku anak juga akan berbeda, antara anak yang suka mendengarkan dongeng dengan anak yang sama sekali tidak pernah mendengarkan dongeng. Anak yang suka mendengarkan dongeng cenderung lebih pintar, kreatif, dan kaya tentang bahasa. Misalnya apabila anak sedang bergaul dengan teman bermainnya lalu Ia bercerita tentang kancil, anak lain yang tidak pernah diberikan dongeng tentang kancil pastilah tidak akan tahu tentang kancil yang merupakan salah satu dari hewan berkaki empat yang mirip dengan rusa tetapi tidak bertanduk. Jangan biarkan anak-anak tertidur di depan layar kaca yang acara di dalamnya belum tentu sesuai dengan perkembangan anak walaupun ada acara yang memang dikemas untuk anak. Misalnya kartun atau acara anak lainnya. Tapi kita lihat acara tersebut, pada kenyataannya banyak yang menampilan perkelahian ataupun kekerasan. Jadi tidaklah salah apabila kebanyakan anak saat ini berperilaku nakal. Dengan mendongeng setidaknya kita juga ikut menjaga warisan budaya nenek moyang yang tak ternilai harganya ini. Selain itu kita secara tidak langsung juga dapat mengubah topik pembicaraan anak di lingkungan bermainnya dari yang tadinya saling bercerita tentang film-film kartun atau bahkan lagu untuk dewasa beralih topik ke negeri dongeng.***

Indra KS Lahir di desa Tanggeran, 5 Oktober 1989. Tulisannya terbit di Riau Pos, Padang Ekspres, dan sebagainya. Aktif di Komunitas Penyair Institute (KPI) dan Tunas Kata (TK).

halaman 11


cerita-pendek

Pengantar Redaksi Tak terasa setahun sudah, tepatnya 30 Maret 2012 lalu, almarhum Hasan Junus (HJ) berpulang menghadap yang Maha Kuasa. HJ, seorang sastrawan penulis yang boleh dikata hampir sebahagian besar perjalanan usianya, ia dedikasikan untuk kepentingan kebudayaan dan kepenulisan kreatif. Berbagai tulisan telah ia lahirkan, sebagai buah dari pemikiran yang didasarkan pada upaya yang kerap ia lafazkan pada berbagai kesempatan, “cari sesuatu yang baru dan teruslah membaharu” dan ucapannya ini terlihat jelas pada sosok karya-karya HJ. Sebagai salah satu bentuk kenangan yang kami suguhkan kepada para pembaca majalah budaya “Sagang”, pada nomor ini kami muatkan karya cerita pendek almarhum HJ bertajuk “Pengantin Boneka”. Sebuah karya penuh dengan kepiawaian memberi makna kekinian (present meaning) dari sebuah tradisi masa lalu. Sekaligus kami muatkan juga, terjemahan cerita pendek tersebut ke dalam bahasa Inggris yang dikerjakan oleh: Jeanette Lingard, dalam Diverse Lives - Contemporary Stories from Indonesia, Oxford University Press, Kuala Lumpur, 1995.

halaman 12


Pengantin Boneka Oleh Hasan Junus ORANG Barat itu begitulah penduduk menyebutnya seperti biasa memulai acara paginya dengan berenang di pantai. Sudah tiga bulan ia tinggal di pulau kecil itu untuk menyiapkan risalah ilmiahnya tentang duabelas cerita wayang cecak. Dalam simbahan matahari pagi, ia menyelam, berenang dan bersenandung lagu kampungnya di negeri jauh. Tidak seorang pun memperhatikannya lagi. Sudah biasa. Tiba-tiba ia menjerit sejadi-jadinya, bergegas menuju ke darat. Teriakannya mengejutkan perempuan-perempuan yang sedang mencuci di perigi dekat pantai, dan para nelayan yang baru saja pulang dari menangkap ikan malam tadi. Teriak paniknya bersambut dengan gaung di sana sini. Orang-orang berlarian, berkerumun di pinggir air. Di air sedalam pinggang, ia menggendong Nenek Lamah, perempuan tertua di pulau itu. Rambut si nenek tergerai mengalun putih. Lelaki asing itu terus saja menggumamkan kata-kata yang tak dipahami penduduk. Padahal biasanya ia fasih sekali berbahasa setempat. Selangkah demi selangkah ia mendekati kerumunan orang yang makin lama makin bertambah banyak. Permulaannya? Dimulai dari perkawinan. Bukan perkawinan sebenarnya. Hanya permainan. Semacam sandiwara. Ceritanya semua berakhir dengan kematian. Begitulah hidup! Seperti di depan sebuah cermin nyinyin fantasmagoris peristiwa demi peristiwa muncul dan lenyap secara mengejut dalam kehidupannya. Masa kanak-kanak, masa remaja yang kepergiannya selalu ditangisi, menjadi isteri, menjadi janda, semuanya tidak lama. Bahkan usianya yang sudah hampir satu abad itupun terasa baginya tidak lama. Tidaklah lama. Tapi setiap peristiwa selalu melekat dalam ingatannya seperti goresan paku pada permukaan kaca. Di pulau kecil yang dulunya menjadi pusat pemerintahan kerajaan kepulauan itulah dia dilahirkan. Ayahnya, yang cepat sekali menjadi duda karena kelahirannya, memberinya nama Salamah, perempuan pembawa damai. Akan tetapi kita semua tahu nama bukanlah jaminan nasib orang. Nasib baikkah yang mendatanginya ketika dia dikawinkan dengan Encik Muhammad, seorang pegawai mahkamah kerajaan? Na-

halaman 13


mun empat bulan setelah kawin, sang suami pergi ke Mekah untuk memperdalam ilmu nahu dan fiqih. Lelaki itu meninggal dunia nun di negeri tempatnya menuntut ilmu. Salamah tak tahu persis tahun berapa semua itu terjadi. Dia hanya dapat menyandingkan dengan beberapa kejadian. Dia kawin ketika ... Tunggu dulu! Cerita ini harus bermula dari perkawinan yang lain. Bukan perkawinan sebenarnya. Hanya permainan. Semacam sandiwara. Sejak masa gadisnya yang singkat, Salamah sudah dilatih oleh neneknya membuat boneka dari perca kain sepanjang kira-kira sejengkal. Boneka perca kain inilah yang menjadi pemegang peranan dalam sandiwara boneka tradisional daerah itu yang dinamakan ‘wayang cecak’. Kepandaian itu diturunkan oleh Nenek Anjung, perempuan tua yang mengasuhnya sejak kecil dengan keras, mulai dari segala macam pekerjaan rumah tangga, adab sopan santun, sampai menghafal dialog cerita wayang cecak yang tak boleh salah walau sedikitpun. Ada duabelas cerita wayang cecak itu. Semuanya dimulai dari perkawinan dan berakhir dengan kematian. “Begitulah hidup!” kata Salamah menirukan ucapan neneknya setiap mengakhiri cerita. Dia sudah mengucapkan kata-kata itu entah berapa ribu kali selama hidupnya. Pertunjukan resminya yang pertama, setelah hampir satu tahun berlatih, dilakukan pada suatu malam di ruang tengah rumahnya yang besar. Para penonton terdiri dari kira-kira duapuluh orang perempuan dan anak-anak. Tentu saja dengan didahului sebuah upacara. Sore tadi dia disuruh mandi berlangir oleh si nenek karena menstruasinya yang pertama berakhir hari itu. Salamah disolek cantik seperti pengantin kanak-kanak. Bau wangi pakaiannya berasal dari asap dupa dan bunga rampai yang dibuat oleh tangan yang ahli. Dalam benderang cahaya lilin yang bertengger pada empat buah tempat-lilin bercabang lima, Salamah memainkan cerita wayang cecaknya yang pertama, ‘Pengantin Duyung’. Sambil meletakkan satu per satu boneka perca kain ke atas ranjang miniatur tembaga yang berkilau-kilau, dengan suara bening agak gemetar, gadis yang sudah tidak sunti lagi itu mengucapkan prolog yang sudah dihafalnya sekian lama. Suatu hari, seekor lumba-lumba betina yang hamil tua tersadai di beting pasir, lengah karena terpesona oleh hangatnya matahari pagi, sampai lupa pada laut yang terus berangkat surut. Hingga senja tiba, dia masih menghempas-hempaskan tubuhnya di pantai yang kering timpas itu, bergelut sia-sia, sementara lumba-lumba yang jantan berenang ber-

halaman 14


putar-putar di laut yang jauh redam, tak berdaya hendak menolong betinanya. Lemah oleh letih dan sakit, di atas beting pasir itulah sang betina melahirkan sepasang anak, yang dengan susah payah merangkak ke darat, dan menjadi anak manusia. Malam datang bersama bulan cemerlang mengantar pasang. Dengan menangis kedua lumba-lumba itu berenang pulang ke lubuknya, tanpa kedua anak mereka. Beribu-ribu tahun kemudian ... Karena cerita ini dimulai dari perkawinan, upacara perkawinanlah yang berlangsung di atas pentas ranjang miniatur tembaga itu. Pentas yang bersemarak. Pengantin-perempuan duduk di atas pelamin, di depan nasi-hadap: nasi pulut yang dikuningkan dengan kunyit, dihiasi bunga-telur warna warni yang dibuat dari manikmanik. Meskipun sang dalang hanya dapat menggerakkan dua buah boneka,tapi kononnya karena suasana magis, wangi setanggi dan mantera-mantera, boneka-boneka perca kain itu seperti berjiwa. Tak ada bunyi-bunyian mengiringi pertunjukan wayang cecak itu. Tapi ketika Salamah meningkah keramaian dengan nyanyian pengantin berarak, ruangan itu seperti bergemuruh dengan tabuhan rebana dan tiupan nafiri. Penonton terpukau bagaikan menyaksikan upacara perkawinan yang sebenarnya. Mereka menyaksikan lakon yang diperankan oleh manusia-manusia kecil, tapi kadangkdang terasa seperti merekalah yang menciut jadi sebesar bonekaboneka perca kain itu. Ruang tengah rumah besar itu menjadi sepi sekali ketika sampai pada adegan mempelai bersuap-suap makan nasi-hadap. Perempuan pengiring pengantin mengambil sejemput pulut kuning, mengupas telur, meletakkannya ke tangan pengantin-perempuan dan membawakan tangan itu ke mulut pengantin-lelaki. Kemudian si pengiring itu mengambil pula sejemput pulut, mengupas telur, meletakkannya ke tangan pengantin-lelaki dan membawa tangan itu ke mulut pengantin-perempuan. Para penonton bersorak riang. Lalu terjadilah hal yang mengerikan. Tiba-tiba pengantin-lelaki jatuh tersungkur. Mulutnya memuntahkan darah, berselekeh mengotori pelamin. Pengantin-perempuan terkejut, bangkit dan menjerit. Di antara hadirin, seorang perempuan berdiri mendakwa, “Pengantin-perempuan itu telah meracuni suaminya. Lihatlah jarimanisnya berkuku panjang, tempat racun itu disimpannya!� Dengan air mata bercucuran, si pengantin-perempuan pergi keluar meninggalkan ruangan yang hingar. Dia melangkah dengan gontai, telapak kakinya seperti tak jejak di tanah, menuju pantai yang kering kerontang bagaikan padang tandus, karena air surut timpas. Kakinya yang halus dan telanjang tidak lagi merasakan tajam kerikil. Dia melangkah terus ke pinggir air, dan duduk di atas

halaman 15


sebungkah batu-karang. Matahari merah kian redup dan bayangan lebam malam sudah mulai membayang. Bulan pucat siap menggantikan si matahari. Pengantin itu mengorak sanggulnya. Rambutnya yang tergerai panjang mengalun dalam angin. Telah dia tolak air pasang dengan tangisan. Tapi kemudian alam menjadi gelisah dan tak sudi dikalahkan oleh tangisan perempuan. Air-mata pengantin itu pun habis, tinggallah sedu-sedan yang kering. Dan itu terasa lebih pedih. Air laut yang mulai pasang menggelitik telapak kakinya. Pengantin perempuan itu telah meracuni suaminya. Lihatlah jari manisnya berkuku panjang tempat racun itu disimpannya! Air mulai menyapu pergelangan kakinya. Perempuan itu memandang kaku jari-manisnya yang panjang. Dia membungkuk dan menikam telapak kakinya berkali-kali dengan kukunya itu. Air laut di sekitar kakinya berkuah darah. Lututnya sudah dijejaki air. Lalu pinggangnya. Lalu dadanya. Digoresnya belikat dan ketiaknya dengan kuku yang panjang itu. Air telah sampai ke lehernya. Getah darah di sekeliling batukarang tempat perempuan itu duduk telah berbancuh dengan warna malam. Luka-luka di telapak-kaki, belikat dan ketiaknya telah berubah menjadi sisik dan sirip: kulit dan sirip ikan duyung. Sekali lagi dia memandang ke daratan, coba menangis, tapi tetaplah yang tinggal hanya sedu-sedan yang kering, lebih pedih dari semua luka. Lalu dia pun berenang ke dalam laut dan malam. Di ruangan tempat pengantin bersanding yang penuh panik, tiba-tiba masuk mendedas seorang lelaki dengan suara menggelegar, “Mana pengantin-perempuan? Aku pamannya. Sudah kukira ini akan terjadi, karena itu kuletakkan penawar racun pada kuku jari-manis kemanakanku tanpa diketahuinya. Pada kukunya itulah tersimpan obat untuk suaminya.” Lalu lelaki itu mendakwa perempuan yang tadi menuduh pengantin-perempuan telah meracuni suaminya itu yang meracuni pengantin-lelaki dengan bantuan si pengiring-pengantin. “Mana pengantin-perempuan itu. Carilah dia!” Orang-orang segera sadar bahwa pengantin-perempuan telah meninggalkan ruangan itu. Seorang bocah berkepala gundul yang sejak tadi berdiri dekat pintu berkata, “Saya lihat dia duduk di atas batu-karang di pantai. Ketika matahari terbenam dan air laut naik pasang, dia pun berenang ke dalam laut dan malam.” Lilin duapuluh batang yang menerangi ruangan itu sudah pendek sekali. Tujuh di antaranya telah padam. Yang lain bakal menyusul sebentar lagi. Cahaya malap lilin-lilin sisa itu seperti sengaja mengantarkan kisah itu ke ujungnya. Dari jendela masuk cahaya bulan

halaman 16


yang dingin. Tak ada lagi asap setanggi mengepul, tinggal baunya yang masih melekat di udara. Cerita itu memang hampir selesai. Adegan penghabisan menggambarkan ibu dan ayah pengantin-lelaki memasuki ruangan itu. Si ibu mendekati anaknya, duduk dan meriba kepalanya, mengusap-usapnya dengan sayang. Sekali-sekali dia menyeka air-mata. Si ayah duduk di samping isterinya, memegang lengan anaknya. Ia juga menyeka air-mata. Paman pengantin-perempuan pergi ke samping pintu dan duduk di situ. Ia menunduk. Dan ia menyeka air-matanya. Satu per satu hadirin menyeka air-mata. Dengan sekali sentuh, jari-kelingking Salamah melepaskan kait tabir di sebelah depan ranjang miniatur tembaga itu. Tabir itupun jatuh menutup pemandangan di atas pentas. “Begitulah hidup!� katanya menutup cerita. Ceritanya yang pertama. Salamah belum sempat mementaskan cerita wayang cecak yang keduabelas ketika dia dikawinkan. Sekali ini bukan pengantin boneka wayang cecak yang diarak beramai-ramai. Bukan permainan. Bukan semacam sandiwara. Perkawinan yang sebenarnya. Lalu suaminya berangkat ke Mekah. Beberapa bulan sesudah itu Salamah diundang ke istana untuk memainkan wayang cecak di depan keluarga sultan. Dan hal itu terjadi berulang-ulang entah berapa kali. Tapi cerita wayang cecak yang keduabelas ‘Amuk si Biring Kuning’ tak dapat diselesaikan karena ketika sedang mementaskannya orang memberitahu Nenek Anjung meninggal. Sebelum air-matanya kering datang pula dari Mekah tentang kematian suaminya. Lalu waktu bergerak seperti terbang. Seluruh pulau kecil itu pada suatu pagi dipenuhi oleh serdadu asing. Sultan pergi meninggalkan pusat pemerintahannya. Pulau yang molek itu dijarah, istana dan gedung-gedung menjadi puing, hanya tinggal sebuah mesjid yang dipelihara dengan baik oleh penduduk. Raja-raja dan pembesarnya makhluk fana seperti orang lain, hanya Tuhan yang abadi. Waktu benar-benar terbang laju sekali. Dan pada suatu hari seorang pemuda asing diperkenalkan kepada Nenek Lamah, panggilan untuk Salamah yang berubah menurut waktu. Ia telah beberapa bulan tinggal di pulau itu. Ia mengetahui tentang wayang cecak sampai ke hal yang sekecil-kecilnya, kecuali cerita yang keduabelas. Bermacam-macam alasan telah dikemukakannya kepada Nenek Lamah agar mau menceritakan atau kalau mungkin mementaskan cerita yang keduabelas itu. Telah ia gunakan bujukan, uang, dan pengaruh orang-orang lain. Akhirnya ia memakai senjata terakhir menghadapi perempuan tua yang ingatannya sesegar gadis remaja itu. Ia memperlihatkan foto-foto suami Salamah dan buku-buku karangannya, surat-suratnya, dan juga catatan tentang wayang cecak. Di pinggir keputusasaan pemuda as-

halaman 17


ing itu berhasil. Bersama dengan sepuluh orang penduduk pulau mungil itu si pemuda asing menyaksikan Nenek Lamah mementaskan cerita wayang cecak yang keduabelas malam tadi. Setanggi dibakar, mantera pembuka dibaca oleh si nenek dengan suara tuanya yang gemetar. Tapi dari mana perempuan itu mendapatkan suara gadis remaja ketika ia mulai mendendangkan prolog: Hidup ini seperti embun di daun Seperti embun di atas daun Embun di ujung daun ...... Dan dalam embun Tuhan Mari mandikan diri Cuci-cuci! Ketika iringan pengantin lelaki berarak hendak memasuki halaman rumah pengantin-perempuan, si Biring Kuning, ayam-jantan milik pengantin-lelaki yang tak pernah berpisah dengan tuannya itu menjeritkan kokok, “Kukukuuuuuk si Biring Kuning ... Bawa sirih bekal jauh!” Setiap langkah mendekati tempat pengantin-perempuan di pelamin, si ayam sabungan terus menjeritkan kokok, sehingga langkah pengantin-lelaki itu tersandung-sandung, namun diteruskannya juga dengan khawatir. Karena merasa tak diperdulikan, ayam-jantan itu tiba-tiba meronta, melepaskan diri dari tali pengikatnya. Si Biring Kuning terbang dengan murka, ke tengah gelanggang perkawinan, mengamuk dengan dahsyat. Ayam itu seperti telah berubah menjadi rajawali. Dia menyambar ke sana ke mari. Orang-orang semua tengkurap di tanah, ketakutan. Diporakperandakannya segala yang ada di depan matanya. Tabirtabir koyak, telur dan nasi kuning berhamburan menaburi tubuh pengantin-perempuan yang tergolek pingsan. Hanya pengantinlelaki, tuan si Biring Kuning, yang tegak berdiri, bingung sendiri. Penat mengamuk, ayam itu menyembah tuannya. Pengantinlelaki itu menghardik, “Biring Kuning, mengapa kau ini?” “Tuan tidak paham bahasa isyarat. Telah saya beritahu dengan tanda, tapi yang tuan maukan masih juga kata-kata, benda yang lebih tajam dari sembilu, lebih menikam dari belati. Dan inilah dia: Ini perkawinan sumbang! Tak boleh dilanjutkan. Banjir dan gempa akan melanda, sial dan celaka seperti mega di langit menurunkan air mautnya. Pengantin-perempuan itu adik tuan. Boleh tanyakan kepada bunda tuan yang tinggal di ujung tanjung sana.”

halaman 18


Pengantin-lelaki itu menggendong ayamnya. Selangkah demi selangkah ia tinggalkan tempat itu. Tapi di gerbang halaman, ayah pengantin-perempuan meneriakkan perintah, “Penghinaan! Kejar! Tangkap!� Tiga puluh lelaki berseragam hitam muncul dengan keris dan tombak di tangan. Mereka bergegas mengejar pengantin-lelaki itu. Bersama si Biring Kuning, si pengantin-lelaki merobohkan ketigapuluh orang itu dengan mendapat tigapuluh liang luka di badannya sendiri. Duapuluh sembilan kali si Biring Kuning memuntahkan cairan obat dari paruhnya, yang akhirnya kering juga. Kini tuannya terbaring di samping mayat para penyerangnya tak jauh dari ujung tanjung yang menahan amukan gelombang dari laut besar. Malam datang. Pengantin-perempuan siuman. Dia tinggalkan ruangan tempat bersanding itu menuju pantai. Berteman cahaya bulan dia mencari suaminya. Di sepanjang pasir pantai berserakan mayat-mayat. Pengantinperempuan memeriksa mayat-mayat itu satu per satu. Seorang perempuan datang mendekatinya dari tengah temaram malam yang ditingkah debur gelombang. Dialah ibu pengantin-lelaki, ibu tiri pengantin-perempuan. Berdua mereka meratapi mayat lelaki yang mereka sayangi. Di pinggir air tiba-tiba terdengar kokok ayam, suara si Biring Kuning yang putus kedua kepaknya, namun masih sempat berkokok sebelum diseret gelombang. Tabir di depan ranjang miniatur tembaga itu jatuh kena sentuh jari-kelingking Nenek Lamah. “Begitulah hidup!� terdengar suara perempuan itu seperti gemetar dalam angin. Pemuda asing dan tamu-tamu yang menemaninya tadi sudah pulang semua. Dengkur dua orang perempuan yang tinggal bersama Nenek Lamah dalam rumahnya yang besar itu makin keras terdengar. Perempuan tua itu masih duduk di depan ranjang miniatur tembaga yang menjadi pentas sandiwara bonekanya. Satu demi satu boneka-boneka perca kain itu disusunnya di depan pentas. Rebana dan nafiri terdengar, mula-mula sayup, lalu makin mendekat bunyinya, makin gemuruh hingar. Semua boneka wayang cecak itu berbaris-berarak menuju pintu samping yang pelantarnya menghadap ke laut. Si Biring Kuning berkokok, disambut oleh seribu ekor ayam-jantan. Pengantin Duyung membuka pintu yang menghala ke laut, lalu sambil memimpin tangan Nenek Lamah menuruni tangga ke air yang tenang. Bersama dengan semua pengantin boneka dalam duabelas cerita wayang cecak, Nenek Lamah menari di atas permukaan laut yang benderang oleh cahaya bulan.***

halaman 19


int halaman 20


Terjemahan Inggris

The Puppet Bride By Hasan Junus THE Westerner, as the locals called him, started his day as usual with a swim at the beach. For three months, he’d been staying on that small island doing research on the twelve stories of the cecakpuppet theatre. Bathed in the morning sunlight, he dived, swam, and hummed a song of his far-away homeland. No one took any notice of him any more. They were all used to him. Suddenly, he cried out at the top of his voice and raced toward the shore. His shouts starled the women who were doing their washing at the well near the beach and the fishermen on the way home after fishing all night. His cry of panic was echoed here and there and people came running and gathered at the water’s edge. The Westerner waded in through the waist-deep water, carrying in his arms Grannie Lamah, the oldest woman in the village. Her long white hair hung loosely. The foreigner was mumbling intelligibly to the people, although usually he was very fluent in the local language. Step by step, he neared the crowd that grew larger by the minute. *** Where did it begin? It began with a wedding. Not a real one. Only a game. A kind of play. Stories all end with death. That’s life! *** As though standing in front of a phantasmagoric mirror maze, each episode in her life came and went quickly. Childhood, youth, becoming a wife, then a widow, all flashed past. Even her age, which was almost a century, didn’t seem long to her. It may not have seemed long, but every incident was fixed in her memory like nail scratches on the surface of a mirror. She was born on the small island which was formerly the centre of government of that island kingdom. Her father, who had suddenly become a widower when she was born, called her Salamah, which means ‘she who brings peace’. But we all know a name is no guarantee of a person’s fate. Was fate kind to her because she married Encik Muhammad, an official in the high court of the kingdom? Whether it was or not,

halaman 21


four months after they were married, her husband went to Mecca to deepen his knowlwdge of Koranic interpretation and Islamic law. He died there, far away in the country where he’d gone to seek knowledge. Salamah couln’t remember exactly what year all that happened. She could only try to link it with some other incident. She was married when ... But wait. This story has to begin with another wedding. Not a real wedding. Just a game, a kind of play. Since her brief childhood, Salamah had been trained by her grandmother to make dolls from scraps of cloth about a hand’s span in length. It was the dolls that played the parts in the traditional puppet theatre of that region which was called the cecakpuppet theatre. Grannie Anjung, the old woman who raised her strickly from the time she was small, handed the skill down, training her in everything from houseworks, good manners, and correct behaviour, to memorizing the dialogue of the puppet theatre stories, which had to be word perfect. There were twelve of these stories. They all began with a wedding and ended with death. ‘That’s life!’ Salamah would say, copying her grandmother’s words every time she ended a story. She must have said those words thousands of times in her lifetime. Her first official performance, after almost a year of practice, was held oen night in the main room of her large house. The audience consisted of twenty women and children. Naturally, there was a ceremony before the performance. Earlier, she’d been told by her grandmother to bathe and shampoo her hair because her first menstruation had ended that day. Salamah was dressed up like a child bride. Her clothes were fragrant from incense and pot-pourri of flowers made by skilled hands. By the light of the candles in four five-branched candelabra, Salamah performed her first puppet story, called ‘The Dolphin Bride’. Placing the cloth puppets one by one on the miniature stage of gleaming copper, the young girl, who had now reached puberty, spoke the prologue which she had been memorizing for so long. ‘One day a female dolphin that was very pregnant lay in the shallows, careless because she was enchanted by the warmth of the morning sun. She forgot that the tide always goes out. At dusk, she was still thrashing around on the dry sand, struggling in

halaman 22


vain, while the male dolphin swam round and round in the deep water, powerless to help his mate. Weak from exhaustion and pain, in the shallows, the female gave birth to a pair of young that with great difficulty crawled up on to the land and turned into humans. Night came and with it the bright moon to accompany them. Weeping, the dolphins swam back to their deep pool without their babies. ‘Thousands of years later ...’ The story began with a wedding, so it was a wedding that took place on the miniature copper stage. A stage that gleamed. The puppet bride sat on the bridal dais, and in front was ceremonial glutinous rice, which was coloured yellow with turmeric, and decorated with eggs and coloured flowers made of beads. Although the puppeteer could only move two puppets at a time, it was said that because of the magical atmosphere, the fragrance of incense and the mantras, the cloth puppets seemed to be alive. Everyone was watching the performance in silence but when Salamah raised the level of excitement with the song of the weeding procession, it was as though the room thundered with the rattling of tambourines and the blowing of trumpets. The audience was mesmerized, as though witnessing a real wedding ceremony. They were watching a drama acted by tiny people but they that it was they who had shrunk to the size of the cloth puppets. The large room was hushed with silence in the scene where the bridal couple fed each other a mouthful of the special rice. The bride’s attendant took a little rice in fingers, peeled a egg, placed them in the bride’s hand, and raised that hand to the groom’s mouth. Then she did the same for groom and raised his hand to the bride’s mouth. The audience cheered and clapped. Then something terrifying happened. Suddenly, the groom collapsed, vomiting blood. The bride was shocked and leapt to her feet, screaming. A woman among the wedding guests stood up and said accusingly, ‘The bride has poisoned her husband. Look at the long nail on her ring finger. That’s where she hid the poison!’ With tears streaming down her face, the puppet bride left the room that was in uproar. She walked slowly, as though her feet were not touching the ground, and headed for the beach that was as dry as a bone, like an arid desert because the water had all dried up. Her soft, bare feet no longer felt the sharp pebbles. She walked straight to the water’s edge and sat on a rock. The red sun faded and the purple shadows of the night began to appear. The pale moon made ready to replace the sun.

halaman 23


The bride undid the bun in her hair. Her long, loose hair stirred in the breeze. She kept the tide at bay with her tears. But nature became inpatient and unwilling to be defeated by a woman’s tears. They dried up and dry sobs remained which were more painful than the tears. The tide which had begun to come in lapped the soles of her feet. ‘The bride has poisoned her husband! Look at the long nail of her ring finger where she hide the poison!’ Water started to brush her ankles. She looked at her long finger-nail, bent forward, and stabbed the soles of her feet several times with it. Blood mingled with the water around her feet. The water came up to her knees, then her waist, then her chest. She scratched her shoulder blades and armpits with the long nail. The water was up to her neck. The sticky blood around the rock where she was sitting mingled with colour of the night. The wounds on her feet, shoulder blades, and armpits turned into scales and fins, the scales dan fins of a dolphin. Once again, she looked at the land and tried to weep but all that remained were the dry sobs, more painful than all the wounds. Then she swam off into the sea and the night. At the wedding ceremony, there was panic. Suddenly, a man rushed in and in a thundering voice said, ‘Where is the bride? I am her uncle. I had a premonition something would happend tonight. As a precaution, I put some antidote under my niece’s finger-nail without her knowing. It was medicine for her husband that was under her nail.’ The he pointed to the woman who’d accused the bride, and accused her of poisoning the groom with the help of the bride’s attendant. ‘Where is the bride? Find her!’ It wasn’t till then that everyone realized that the bride had gone. A boy who had been standing near the door said, ‘I saw her sitting on a rock on the beach. When the sun set and the tide came in, she swam away into the sea and the night.’ The story was almost finished. The closing scene showed the parents of the groom entering the room. THe mother sat and touched her son’s head, stroking it lovely and wiping her tears. The father sat beside his wife, holding his son’s arm. He too brushed tears from his eyes. The bride’s uncle went and sat by the door, and bowed his head, wiping his tears. And one by one the guests wiped their tears too. With one touch of her little finger, Salamah release the catch of the screen at the front of the miniature stage. The screen came down and hid the stage. ‘That’s life!’ she said, ending the story. Her first story.

halaman 24


*** Before Salamah ever had the chance to perform the twelfth story she got married. This time it wasn’t the puppets which were in the festive bridal procession. It wasn’t game or a kind of play. It was a real wedding. Then her husband went to Mecca. A month or so after that, Salamah was invited to the palace to perform the show in front of the Sultan’s family. And that happened many times. But she was unable to finish the twelfth story which was called ‘Biring Kuning’s Rampage’ because when she was performing it, she received news that Grannie Anjung had died. Before her tears were dry, the news also arrived from Mecca about the death of her husband. Then time seemed to fly. One morning, the small island was full of foreign soldiers. The Sultan left his centre of government. The beautiful island was looted and the buildings fell into ruin. All that remained was the mosque which people looked after carefully. Kings and their high officials are fleeting creatures, only God is eternal. Time raced by. One day, a young foreign man was introduced to Grannie Lamah, as Salamah was now called with the passing of time. He’d been living on the island for a few months. He knew every tiny detail about the cecaktheatre except the twelfth story. He tried in all sorts of ways to persuade Grannie Lamah to tell or maybe even perform the twelfth story. He tried flattery, money, and other people’s influence. Finally, he used his trump card against the old woman whose memory was as fresh as a young girl’s. He produced photos of Salamah’s husband, and books of his writing, and his letters and notes about the puppet theatre. On the brink of despair, the young man was successful. She agreed. Together with ten people from that lovely island, the foreigner hadwitnessed Grannie Lamah performing the twelfth story the previous evening. Incense was burnt and the opening mantra was recited by the old woman in a trembling voice. But from where did she get the voice of a young woman when she began to chant the prologue: Life is like dew on the leaves Dew on the surface of leaves Dew on the tips of leaves And in that God-given dew Let us bathe ourselves And be cleansed.

halaman 25


When the groom’s party came in procession to enter the grounds of the bride’s home, his champion fighting cock, Biring Kuning, which never left his master’s side, started crowing loudly, Biring Kuning is here ... bringing the ceremonial betel from afar!’ But as they got closer to the dais where the bride was waiting, the cock seemed to become agitated and crowed more and more loudly. Concerned by this, the bridegroom faltered in his steps, but then continued moving toward the dais. Because he felt he was being ignored, Biring Kuning suddenly struggled and broke free from the tie that was binding him. He flew furiously into the centre of the bridal area, and went horrifyingly berserk. The cock seemed to become like a huge hawk. He swooped in all directions. Everyone lay face down on the ground, terrified. He wrought havoc with everything in sight. Curtains were ripped, the eggs and yellow rice were scattered and spilt on the body of the bride who had fainted. Only the groom, Biring Kuning’s master, stood firm, but he was confused. Exhausted by his rampage, the cock made obeisance to his master. The groom snapped angrily, ‘Biring Kuning, why did you do this?’ ‘You did not understand my signals. I tried to tell you with signs but you still want words, things sharper than a blade, more piercing than a dagger. Well, here they are. This is an incestuous marriage! It cannot continue. Floods and earthquakes will strike, misfortune and disaster will be like clouds raining death upon us. The bride is your young sister! If you don’t believe me, you can ask the old woman who lives at the end of the headland there.’ The groom picked up the bird and walked slowly away from the place. But when they had reached the gates, the bride’s father called out, ‘They have humiliated me! Go after them! Capture them!’ Thirty men dressed in black uniforms with krisses and spears in their hands appeared and chased after the bridegroom. In the ensuing battle, with Biring Kuning’s help, the groom killed the thirty men, but was himself stabbed thirty times, and mortally wounded. Biring Kuning too sustained many wounds and blood dribbled from his beak. Now his master lay beside the bodies of his attackers, not far from the end of the headland that was buffeted by the raging waves from huge seas. Night fell. The bride regained consciousness. She left the bridal chamber and and hurried to the beach. By the friendly moonlight, she searched for her husband.

halaman 26


Bodies lay strewn along the shore. The bride examined them, one by one. A woman approached her in the gloom of the night that was rent by the roarof the waves. It was the mother of the groom, the bride’s stepmother. Together, the two women mourned over the body of the man they loved. Suddenly, at the water’s edge, a cock crow was heard. It was Biring Kuning. Although his wings were broken, he still managed to crow one more time before being dragged into the waves. The screen in front of the miniature copper stage fell at the touch of Lamah’s finger. As though trembling in the wind, the old woman’s voice was heard saying, ‘That’s life!’ *** It was late. The young foreigner and the guests who accompanied him earlier had all gone home. The snoring of the two women who lived with Grannie Lamah in the big house got louder and louder. The old woman was still sitting in front of the miniature copper platform which was the stage for her puppet play. Then, one by one, she arranged the puppets at the front of the stage. The tambourine and the trumpet were heard, faintly at first, then louder as they got closer. All the puppets lined up in procession and headed for the side door that led to the sea. Biring Kuning crowed and was answered by the crows of a thousand cocks. Taking Lamah’s hand, the Dolphin Bride opened the door that led to the sea and went down the steps and out into the peaceful night. In company with all the puppet brides in the twelve stories, Lamah danced upon the sea in the bright moonlight.

***

halaman 27


cerita-pendek

Air Mata oleh Mitnah Purwanto

halaman 28


BELUM kering-kering juga air mata Mitnah menangisi kepergian suaminya Sarmuni, H. Sarmuni Muntil, SE lengkapnya. Air mata yang sebelumnya sejuk dan bening bak air telaga di bawah bukit, kini berubah menjadi gelombang yang menghempas, marah dan lebat mengucur dari kedua mata Mitnah. Seolah ada yang memompa dari dalam matanya. Mitnah masih terus menangis setiap hari sehingga membuat air mata itu semakin membanjir ke lantai marmer rumahnya yang licin mengkilap. Semakin lama semakin tinggi merendam apa saja yang ada. Karpet merah di depan pintu yang biasa dilalui sang suami, kini sudah mengapung dan berayun-ayun dimainkan irama air matanya. Begitu juga dengan kursi kayu Jati berukir kepala burung Garuda di ruang tamu, sudah tinggal separohnya yang kelihatan. Pokoknya air mata Mitnah kini sudah hampir merendam semua yang ada di dalam rumah itu. Rumah mewah bergaya Eropa yang dibangun oleh almarhum sang suami. Air mata Mitnah masih belum juga berhenti mengalir. Entah sudah berapa hari ia menangis. Bahkan iapun tidak menyadari kalai air mata itu sekarang sudah hampir merendam badannya sendiri. Ia memang sengaja membiarkan air mata itu menenggelamkan rumahnya yang mewah. Baginya tak ada bedanya lagi sekarang, setelah sang suami pergi untuk selama-lamanya, lebih baik iapun mati tenggelam di air matanya sendiri. Sambil menangis ia terus berusaha memanggil El Maut agar menghampirinya, lalu ia meminta untuk diajak terbang ke langit ke tujuh tempat semua roh berkumpul, termasuk roh suaminya, Sarmuni. Mitnah tidak rela ditinggal sendirian di dunia ini. Ia benar-benar tidak mau sepeninggal suaminya, dirinya akan menjadi gunjingan orangorang. Ia juga tidak siap untuk dikucilkan dari pergaulan, apalagi sekarang ia harus menghadapinya sendiri ; sendiri tanpa Sarmuni suaminya ! Dengan harta melimpah justru akan menyulitkan posisinya di pergaulan. Orang-orang akan bertanya dari mana harta sebanyak itu didapat. Kenapa secepat itu ia menjadi kaya raya. Padahal untuk ukuran pegawai seperti suaminya babak perjalanan kekayaan Sarmuni-Mitnah itu baru saja dimulai. Masih banyak cerita di belakang yang nantinya akan bercerita sendiri tentang asal-muasal semua itu. Mitnahpun sadar akan hal itu, makanya ia memilih untuk berdamai dengan sang Maut agar secepat mungkin menjemputnya untuk menyusul sang suami. “Hai sang Maut! Mengapa kau tak juga datang? Huuu‌.Huuuu‌ aaaa !!!â€? begitulah kata-kata yang selalu diucapkan; setiap menit, setiap jam, setiap hari‌. Padahal El-Maut terus-menerus memperhatikan setiap gerak dan permintaan Mitnah. Dengan jubah api yang berkobar-kobar dan mata

halaman 29


yang membara, El-Maut setia menunggu kapan waktu yang pas untuk menjemput Mitnah. Ia biarkan aroma kematian Sarmuni tetap melanglang di sekitar Mitnah. Biar Mitnah tahu bahwa kematian Sarmuni adalah kematian yang telah direncanakan dan telah ditulis di buku taqdirnya. Tak ada yang kebetulan, pun tak ada yang tak disengaja. Mitnah harus tahu bahwa iapun sedang menunggu giliran. Giliran dijemput. Meski bagi Mitnah, ia mau giliran itu dihapuskan, sehingga ia bisa langsung memintanya “segera” ! “El-Maut, kalau tidak secepatnya kau jemput aku…. Aku takut nanti bang Muni sudah semakin jauh meninggalkanku…. hua…. haaaaa….!” “Apa perlu kusogok dulu dengan semua uangku agar kau segera datang ? Iya ?!” kata Mitnah setengah menjerit. “Kau mau berapa ? semilyar, dua milyar atau seratus…?” “Ayo katakan !” ia semakin hiteris. Tak perlu basa-basi untuk urusan orang seperti Mitnah. Dengan satu jentikan jari yang penuh kobaran api saja pasti semua beres. Masalahnya sekarang, waktu itu betul yang belum datang. Jadwal kematian Mitnah masih belum tiba. Bagi El-Maut tidak ada alasan untuk mempercepat atau memperlambatnya walau sedetik. Semuanya tepat waktu. El-Maut memang tidak berhak merubah jadwal kerjanya, termasuk jadwal kapan ia harus menjemput Mitnah. Ia tidak diizinkan bekerja tanpa jadwal. *** Semasa hidup Sarmuni, Mitnah adalah type istri yang setia. Banyak rahasia sang suami yang dia pegang rapat. Karena rahasia suami adalah rahasianya juga. Siapapun Sarmuni sebenarnya, tak ada orang lain tahu kecuali Mitnah. Ia menyimpan rahasia itu di dalam hati yang digembok dengan kunci rahasia. Namun begitu hati Mitnah tetap punya ruang berapapun banyaknya rahasia tentang Sarmuni. Begitu aman dan lapangnya hati Mitnah, sampai-sampai tidak ada kecurigaan sedikitpun di hati Sarmuni. Ia bisa kapan saja mengintip hati yang digembok itu, apakah masih tetap terjaga atau tidak. Kadang-kadang Sarmuni masuk sendiri menyusun rahasia-rahasianya di rak hati Mitnah. Mitnahpun dengan rela membiarkan suaminya berbuat itu. Ia tahu tak mungkin suaminya akan berbuat macam-macam kepadanya. Sebab hampir semua ruangan di dalam hatinya telah manjadi milik suaminya. “Bang, saya akan menyimpan rahasia-rahasia ini sampai saya mati, Bang. Abang tak perlu khawatir.” Kata Mitnah suatu hari. “Aku percaya padamu, Mitnah !” sambil dikecupnya kening istrinya itu. “Besok abang harus jadi tikus lagi ?” tanya Sarmuni lembut. Istrinya hanya tersenyum sedikit sambil mengangguk meng-iyakan.

halaman 30


Bagi Sarmuni untuk merubah menjadi seekor tikus tidaklah susah. Dengan sedikit mantera dan taktik yang dipelajari secara otodidak, tak perlu memakan waktu semenit pasti sudah berubah. Begitu menjadi seekor tikus, seketika itu juga Sarmuni tidak ingat apa-apa lagi. Ia tidak ingat namanya sendiri, tidak ingat waktu, tidak ingat Tuhan, apalagi ingat nasehat-nasehat ibunya waktu kecil saat akan pergi mengaji di kampungnya dulu. Pokoknya ia tidak ingat apa-apa…. Yang ia tahu hanyalah mengendus-endus dengan moncong hidungnya yang panjang, lalu…happpp, happ, happp! Melahap semua yang dihadapannya. Tikus Sarmuni paling tahu aroma uang. Di moncongnya aroma uang adalah aroma paling menggiurkan dan paling tidak pernah disiasiakan. Ia tidak pernah kenyang walau entah sudah berapa banyak menelannya. Uang memang tidak pernah mengenyangkan! Apalagi dari dorongan dan desakan sang istri yang sangat dicintai, membuat ia semakin menikmati cara hidupnya itu. *** Sekarang Mitnah sudah hampir tenggelam dengan air matanya sendiri. Air matanya itu sekarang sudah separas dagu. Ia semakin bersemanagt menangis, agar bisa secepatnya tenggelam. Dengan begitu tidak ada alasan lagi bagi El-Maut untuk tidak menjemputnya. Ia sudah tidak sabar menyusul Sarmuni di “syurga”! Di balik jendela kaca bergrafir motif bunga, tampak jelas kesunyian di luar rumah megah itu. Tak satupun burung mau mencicit, jangkrikjangkrik yang selalu rajin menyanyi dari balik rerumputan juga begitu. Semuanya membisu seribu bahasa. Suara-suara mereka kini menjadi beku bak es batu, semakin lama semakin keras dan keras. Entah kebetulan entah memang ada perintah dari “atas” mereka juga tidak tahu. Padahal suara itu semakin hari semakin ingin meledak. Tapi karena mungkin indra keenam makhluk Tuhan ini masih berfungsi baik, mereka dapat merasakan aroma kematian yang begitu dekat mengintip. Tatapan El-Maut begitu menyeramkan, sampaisampai mereka tak boleh bersuara dan bernyanyi, karena kematian di alam nyata tidak sama dengan di sinetron yang harus diiringi musik. Kematian tidak butuh back ground musik untuk menjalankannya. Maka semuanya harus diam ! Sambil terus menunggu, Mitnah sudah benar-benar siap untuk dijemput El-Maut. Meski tetap menangis ia membayangkan pertemuannya nanti dengan Sarmuni suaminya di “surga”. Ia membayangkan sebuah pertemuan yang romantis di atas awan. Dengan pakaian serba putih mereka bergandengan tangan melayang sambil diiringi musik paling merdu yang berlum pernah mereka dengar

halaman 31


sebelumnya. Mereka akan menghabiskan waktu dengan berduaan saja tanpa harus takut dikucilkan tetangga, tanpa harus takut diperiksa oleh yang berwenang tentang asal-muasal kekayaannya. Di atas awan yang serba putih itu mereka benar-benar berdua…! Sambil membayangkan pertemuan itu, Mitnah tersenyum dan seketika berhenti mengangis!, pikiranya kini dipenuhi angan-angan indah bersama sang suami. Senyuman yang sebelumnya tersungging sedikit, kini mulai berubah menjadi merekah dan tiba-tiba saja berubah menjadi tawa. Mitnah tertawa ! “Bang, aku datang, Bang…!” “Ha…ha… bang, ini aku datang, Bang…!” Sekarang, air mata yang tadinya hampir menenggelamkannya, sudah semakin menyurut. Dari separas dagu menjadi hampir separas dada, terus menyurut, menyurut dan menyurut…. Perabotan yang tadinya sudah mengapung, sekarang perlahan-lahan kembali ke posisi semula. Begitu juga dengan karpet merah yangh digelar di depan pintu, sudah tergelar seperti sedia kala. Air mata Mitnah telah kering kembali. “Bang, sekarang kita bersama lagi. Abang jangan tinggalkan Mitnah, ya ?” Dipeluknya foto Sarmuni erat-erat lalu diciumi berkali-kali. “Na…naa…naaa Abang sayang….” Begitulah akhinya Mitnah. Rambutnya yang dulu terawat dan selalu rapi, sekarang sudah acak-acakan tak dihiraukan. Pakaiannya yang dulu selalu mewah dan rapi, kini semakin kumal dan bau. Berharihari , berbulan-bulan Mitnah terus mendekap foto sang suami, sambil sesekali menyanyi. Kadang matanya berbinar gembira tapi tak jarang tiba-tiba saja berubah menjadi kesedihan luar-biasa. Memang sekarang hati mereka telah bersatu di suatu tempat yang hanya mereka yang tahu. Mungkin di “surga”, atau mungkin di neraka. Wallahu’alam ! *** Di luar rumah burung-burung dan jangkirk-jangkrik sudah berani bersuara. Bayangan kematian yang disebar El-Maut tak lagi terasa. Memang sudah ada kesepakatan antara Mitnah dan El-Maut sejak Mitnah masih di dalam rahim ibunmya, tentang kapan mereka bertemu. Pertemuan yang tak sedetikpun bergeser dari jadwal, tapi pertemuan yang pasti akan berlangsung. Mitnah tetap harus menunggu giliran, seperti yang lainnya…. ***

halaman 32


sajak

Kerudung Puisi “Hanya Puting Beliung” Kata Anak Muda

Aliran Sesat Amanat Kami (Bebek-bebek) Putra Mahkota Kembang Setaman Balada Anak Jelata Swara Durhaka

Kerudung Puisi (Bellinda Puspita Dara). Mahasiswa UNRI FKIP Ekonomi program S1. Ia adalah anggota FLP Cabang Wilayah Pekanbaru Angkatan 8, dan anggota COMPETER. Memiliki motto hidup “Selagi bisa berusaha sendiri kenapa harus mengharap orang lain, selalu berusaha memberikan manfaat untuk orang lain sekecil apapun, lakukan apa yang bisa dilakukan sekarang jangan menunda-nunda”

halaman 33


“Hanya Puting Beliung” Kata Anak Muda

Hanya pusaran angin tergopoh datang Anggap saja tamu nakal tak diundang Memburu pelarian penyamun malam kelam Begitu konyol terang-terangan disulap siluman Sangat leluasa para buronan perwira tuan Hanya mainan baru tak begitu menggebu Disana sini sekedar tanda dunia kelabu Kenyataan kita lebih suka filem biru Dari langit biru atau samudra biru bahkan darah biru Dibalik kelambu begitu mengharu biru qelabu! Konon yang masqul hanya tukang bakul Sebab tak kebagian jatah getah “berpikul-pikul” Walau bau nan lengket namun mudah harum bekatul Pemikir tak beranjak demi kolot dikumuhi takhayul Kejayaan masa lalu berlalu didramatisir hilang timbul Tak terpungkiri ada terselip rasa takabur Kamu, kamu dan kamu pernah ngelindur Dibawah sadar tampil memukau walau ngawur Cobalah mulai berkiprah dengan “laku terukur” Agar gelak tawa, canda ria tak lagi ngelantur

halaman 34


Aliran Sesat

Gerabah lama jadi pusaka Keramik pernik jadi antik Ka’bah tetap jadi poros dunia Pemilik islami jadi pemantik Ajaran sesat sesaat pesat Al-Qiyadah, Almadiyah begitu mewabah Isilah yang esa berkehendak tamat Dalam hitungan detik musnah mudah Manusia modern yang pongah! Sebenarnya sungsang gelisah gesang Bila tampil juru selamat tengadah Serta merta berhamburan datang menjelang Dalam gentai gamang berkurang Tempias bara bagai telaga bagai telaga menggoda Saat dikejar kian jauh terbelakang Dahaga asa kian terasa nestapa Kerling indah jadi tawar Saat mawar terpijak tercampak Tebur mahligai dinanti sabar Melati pengantin atau pusaka sepetak

halaman 35


Amanat Kami (Bebek-bebek)

Negeriku nampak berkabut Awan-awan hitam bergumpal-gumpal bergayut Angin kencang yang dingin pun berhembus-hembus Gemuruhnya bagai pertanda bakal datang bencana Guntur pun berselang-selang bergelegar-gelegar Diiringi kilatan-kilatan putra yang mengerikan Akankah negeriku akan porak poranda? Tangis dan rintih si miskin ibarat lagu wajib Keluhan panjang, ratapan derita ibarat nyanyian jeraka Lolongan insan terjepit ibarat lagu merayap Pekikan jeritan, histeris ibarat lagu rock hura-hura Tuan-tuan yang berkuasa menyapa hanya menonton? Ini bukan tontonan, ini bukan drama pementasan Kami betul-betul menderita, betul-betul sengsara Kami betul-betul merasa disisihkan oleh beruang Kami betul-betul merasa ditindas oleh macan-macan Kami betul-betul merasa dibohongi oleh slogan-slogan Memang kami hanya sekedar bebek-bebek Tapi janganlah memandang kami dengan sorot begitu Kami pun dapat restu tuhan untuk sama-sama makan Kami pun punya hak hidup seperti tuan-tuan Begitulah kami walau setetes itu minuman segar Begitulah kami walau sesuap itu makanan lezat Wahai tuan-tuan yang berkuasa! Sekali-kali memalingkan muka dari kami Atau memasabodohkan nasib kami Atau menelantarkan pengharapan kami Sebab ini berarti pengkhianatan terhadap pahlawan-pahlawan Adalah pula pengkhianatan terhadap amanat-amanat kami Janganlah sampai kami berdoa yang akan menyusahkan tuan-tuan

halaman 36


Putra Mahkota

Bagi orang-orang bisnis Bagi penguasa-penguasa kelas atas Dia bagai malaikat maut yang membawa vonis Dia bagai dewan-dewan yang tak boleh dilawan Dia bagai pangeran-pangeran yang tak boleh dibantah Orang bilang negeriku bukan negeri tirani Tapi ternyata banyak pangeran-pangeran mengangkat diri Perangkat-perangkat negara pun tunduk terhadap mereka Terlebih bagi rakyat jelata yang bagai bebek-bebek Berkompetisi dengan pangeran-pangeran orbitan babeh-babeh Jangan harap menang walau sekalipun! Negeriku sebenarnya sedang mencari identitas diri Konfigurasi yang diciptakan tanpa kompromi Niscaya akan tercipta konflik dan konfrontasi Konsesus atau kebulatan tekad sebenarnya tidak berdasar Itu hanya kreasi oporturis dan penjilat-penjilat Tunggulah masanya kreditor-kreditor menuntut kompensasi Dan kawan-kawan religiius beserta masyarakat luas Menelorkan komitmen suci yang kompak Pasti akan datang massanya meledak Kebathilan diruntuhkan oleh kebenaran Sebab pada hakekatnya hukum Tuhan tak terkalahkan Hanya belum banyak orang yang tahu

halaman 37


Kembang Setaman

Harapan nan menggumpal Tak juga cair didekat perapian Kulit sudah kian keriput Kening malah berkerut-kerut Kelopak mata berlipat-lipat Monumen bertahta nama-nama dua “tanda” Tetap kokoh walau kian kusam Pengenduspun sudah separuh perjalanan Kembang setaman yang dulu kutanam Masih saja kau genggam dalam kelam Beribu senja temaram tidak lagi kita nikmati Berjuta bintang gemintang telah lama tak dicermati Fajar demi fajar telah melarutkan bermilyaran butir embun Bergulirnya waktu demi waktu ku tetap berusaha tersenyum Walau sering tertatih, tak terasa sudah separuh jalan tertimbun Harapan kian menggumpal Akankah hanya membuncah sia-sia? Penghibur jiwa penyejuk rasa kian jauh bersebrangan Sepersekian detik demi sepersekian detik alunan nafas kita menguap Jejak pesona, harum bunga mawar dalam tas sekolah tetap tercium Wewangian kasmaran yang tidak pernah pudar di tepis musim medium Kelopak mawar yang berguguran, terus tumbuh menguncup mengembang lagi “Pohon pengantin” terus mengerling-ngerling tiada henti peduli Sepanjang “kembang setaman” bersemayam dalam singgasana kenangan

halaman 38


Balada Anak Jelata

Anak Jelata menelan air liur Ketika berada didepan restoran VIP Sejoli pasangan muda bercengkrama Dibalik kaca yang tembus pandang Sambil nikmati panggang ayam dan sate kambing Betapa nikmatinya mereka menyantap Anak Jelata terbengong-bengong Ketika dibawa masuk oleh seseorang Ke sebuah bank bonafit yang megah Betapa berada didalamnya sangat membingungkan Hampir menubruk kaca pematang Selalu sempoyongan dalam lift Selalu terkagum-kagum menjumpai segala kemewahan Berdecak-decak heran dan takjub Dan terkesima pula oleh hilir-mudik Bidadari-bidadari metropolitan mendekap map-map Anak Jelata piun iri Manakala setiap saat menatap sedan Terutama yang dikemudikan oleh dara metropolitan Ngeceng-mejeng mereka bercakap Menambah banyak saja air liur yang ditelan Mungkin inilah yang menciptakan kecemburuan sosial Sebab selalu pamer kemewahan dan kekayaan Berkesan ria dan angkuh Malam pun menjelang Dalam keadaan setengah lapar Disudut ibu kota Aku terlelap dalam tidur

halaman 39


Swara Durhaka

Eksotika jadi senjata Erotis jadi swara cara Dunia semarak pesta pora Pesona sesat berselimut budaya Hura-hura gelepar-gelepar Jingkrak-jingkrak konyolan-konyolan Paha betis berserakan Mengundang syahwat dalam remang Selera tinggi kalangan atas Tidak selalu tanpa batas Nilai moral selalu adil Meski penganut pendawa agal Represing pengobat pening Melepas beban dari penat Tidak harus memporoti hati nurani Tidak harus membius hati sanubari Seni apapun bercorak bebas Swara durhaka cap yang pas Misi bagus yang berkumandang Rusak akhlak yang nyata datang

halaman 40


sajak

Muhammad Esqalani eNeSTe Reuni Sunyi Mekar Ingkar I Mekar Ingkar II Kaligrafi Sunyi Orangorangan Gemah Ripah Loh Jenawi Potongan Mimpi Shofia Dari Izka Ke Izka Mengitari Fasih Lengang 3 Sepasang Mata Cahaya

Muhammad Asqalani eNeSTe (Ibnu Thamrin Al-Asqalani A.G) Lahir di Paringgonan 25 Mei 1988. Menulis Puisi sejak 2006. Meraih Gelar “Penulis dan Pembaca Puisi Muda Terpuji Riau 2011� Oleh MMG. Masuk dalam Daftar Peyair versi SiksaMata. Juara I Lomba Penulisan Puisi Remaja se-Riau Xpresi Riau Pos 2010. Meramaikan Media seperti: Riau Pos, Batam Pos, Majalah Sagang, dll. Kumpulan Puisi bersamanya, "Kutukan Negeri Rantau", "Festival Bulan Purnama Majapahit", dll. Kumpulan Puisi Tunggalnya ke-3nya yang akan terbit "ABUSIA".

halaman 41


Reuni Sunyi : Stovvi Salman Leaz

kau tancapkan lagi epitaf negeri sunyi di sepanjang kanal besi tawafan nahari sesekali terlihat halusinasi kafan, menari nari di pusara bagasi tubuh, memetafisikakan nar demi nar memberangus situs seluruh ruh

Mekar Ingkar I

ada cincin cinta di nadi yang kaulingkarkan di waktu kiri aku membuangnya ke lepas janji agar tak terpenjara rindu ke suci

Mekar Ingkar II

di suatu subuh kumenari di bawah alunan misk nurani di lekat lantun ayat ilahi kau telah pergi tapi masih tersimpan Adam dalam diri meski terasa asing dan nyeri

halaman 42


Kaligrafi Sunyi : Gui Susan

Laa Roiba fiihi hudal lil Muttakiin tidak ada keraguan padanya, ketika masamasa futur berserpihan di mana dada terasa kehilangan ruang nafas terasa lelah difiuhkan lengang memagar kamar bathin kita bertanya tentang lembaranlembaran dalam genggaman yang kita jadikan peta menuju pertanggungjawaban ketika orangorang bertanya bagaimana kita memandang tuhan haruskah aku menjawabnya kawan? ketika aku mulai kehabisan makna ruh dalam badan? ketika aku mulai tak sanggup membedakan garis yang memisah siang dan malam? ketika lembaralembaran dalam genggamanku terbiar lusuh? ini kutitipkan padamu alarm yang juga tersambung ke denyut nadi Alladzi na yukminuu nabil ghoibi wayukimu nassholata wa mimma rozaq nahum yunfiquuun baca lagi, baca! biarkan segala memiuh dalam jiwajiwa yang tenang maka kembalilah bertanya. mungkin tentang siapa dan mengapa kita ada!

halaman 43


Orangorangan

di sawah kehabisan marwah hingga tak dapat ia bahasakan tegah kala kera bersetubuh dengan lintah

Gemah Ripah Loh Jenawi

mayat jelata terkapar sunyi di tiap lorong tak dapat lagi sekadar memukat kata tolong pun akan sia(l)sia, takkan ada yang mendengarnya dengan telinga nurani dan ketajaman mata jiwa lapar adalah hak autentik jelata ketika karung tak dapat lagi diusung diisi dengan alatalat buntung atau lalat puntung kelaparan adalah penjara nyata dera tak perlu menangguk ceruk demi ceruk airmata hal itu akan memudahkan penguasa untuk menghanyutkan rupiah ke muara mana yang ia suka, mungkin ke muara tempat kaumengais segala sisa yang masih dapat dipisah dari tinja

halaman 44


Potongan Mimpi Shofia

seandainya ayah dan ibu pulang aku takkan merindui Adam hanya karena ketakutan yang tak kunjung tenggelam sebelum pejam * seandainya Adam tahu apelnya kusimpan ia takkan lagi menapaki hutan larangan dan demi menemukan pakaian kami yang hilang di rimbun dedaunan * seandainya Ababil datang sebelum pejam aku takkan terus berlarilari dan mencari Adam hingga bertemu dengan tuhan * sendainya aku Hawa dan bukan Shofia aku takkan bertemu lagi dengan Izazil untuk kali kedua hingga dadaku terguncang, wajahku bagai hilang * Ayah dan Ibu, Apel dan Adam datanglah‌ aku tak sanggup memakan sekian tempayan kesendirian

halaman 45


Dari Izka Ke Izka

salam pada pepohonan salam jawab daundaun pagi yang tak berembun bergelimbun minta ampun --musafirmusafir tanpa bekal melintasi Taiwan.. melewati hewan-hewan liar di taman yang telah ditinggalkan berabadabad silam jauh sebelum angan diciptakan --bibir siapa yang bertakbir di Padang Pasir Oase bersuara kering dan parau --dari Izka ke Izka berapa jauhkah? tanya Pelepah Kurma mari kita ta’aruf kata angin bunting desau menggunting percakapan kita orang Alim sekaligus Lalim begitulah perjalanan dari Izka ke Izka terjebak di antara dosa dan pahala --bumi bergoyang, sekian kaki tumbang siapa sebenarnya yang berjalan? --air berhenti mengalir segala yang getir tumbuh dari Izka ke Izka

halaman 46


Mengitari Fasih Lengang 3

serigala pulang kepalanya hilang bulan sepenggal malam tak berbadan langit gerimis darah ada yang lebih amis dari kematian

Sepasang Mata Cahaya

kapan lagi matahari tebit dari langit hatimu yang terbelah dua? saat kemilau musim gugur terkubur dengkur laila perkasa reranting pohon poplar terbakar dalam ingatanmu yang berserakan suara sampan menjohu dari biru darahmu tersikat jejaring benalu tun, maafkan aku diam-diam berlari aliri reruntuhan hujan berkarat terbang hinggap kelelawar taat dalam keheningan dzikir rakaat tamat demikian kita sudahi belenggu hantu belau waktu di kompas nafasmu nunnnn, jauh mengharu derudesau risau luluh tersapu debu

halaman 47


tokoh

Khalil Gibran Khalil Gibran (nama lahir Gibran Khalil Gibran, lahir di Lebanon, 6 Januari 1883 – meninggal di New York City, Amerika Serikat, 10 April 1931 pada umur 48 tahun) adalah seorang seniman, penyair, dan penulis Lebanon Amerika. Ia lahir saat Lebanon masuk Provinsi Suriah di Khilafah Turki Utsmani dan menghabiskan sebagian besar masa produktifnya di Amerika Serikat. kat. Khalil Gibran lahir dari keluarga eluarga katholikmaronit. Tempat kelahirannya nya merupakan daerah yang kerap disinggahi hi badai, gempa serta petir. Tak heran bila sejak kecil, mata Gibran sudah terbiasa menangkap ngkap fenomenafenomena alam tersebut. Inilah h yang nantinya banyak memengaruhi tulisan-tulisannya isan-tulisannya tentang alam. Pada usia 10 tahun, bersama ama ibu dan kedua adik perempuannya, Gibran ibran pindah ke Boston, Massachusetts, Amerika erika Serikat. Dampaknya adalah, kemudian n Gibran kecil mengalami kejutan budaya, seperti yang banyak dialami ami oleh para imigran lain yang berbondong-bondong ondong-bondong datang ke Amerika Serikat pada da akhir abad ke19. Keceriaan Gibran di bangku ku sekolah umum di Boston, diisi dengan masa asa akulturasinya maka bahasa dan gayanya dibentuk oleh corak kehidupan Amerika. Namun, proses Amerikanisasi Gibran hanya nya berlangsung selama tiga tahun karena setelah ah itu dia kembali ke Beirut, di mana dia belajar di College de la Sagasse sekolah tinggi Katholik-Maronit lik-Maronit

halaman 48

sejak tahun 1899 sampai 1902. Selama awal masa remaja, visinya tentang tanah kelahiran dan masa depannya mulai terbentuk. Kesultanan Usmaniyah yang sudah lemah, sifat munafik organisasi gereja, dan peran kaum wanita Asia Barat yang sekadar sebagai pengabdi, mengilhami cara pandangnya yang kemudian dituangkan ke dalam karya-karyanya yang berbahasa Arab. Gibran meninggalkan tanah airnya lagi saat

int


ia berusia 19 tahun, namun ingatannya tak pernah bisa lepas dari Lebanon. Lebanon sudah menjadi inspirasinya. Di Boston dia menulis tentang negerinya itu untuk mengekspresikan dirinya. Ini yang kemudian justru memberinya kebebasan untuk menggabungkan dua pengalaman budayanya yang berbeda menjadi satu. Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902. Tatkala itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, “Spirits Rebellious” ditulis di Boston dan diterbitkan di New York City, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang menyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronit. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tibatiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat. Masa-masa pembentukan diri selama di Paris cerai-berai ketika Gibran menerima kabar dari Konsulat Jendral Turki, bahwa sebuah tragedi telah menghancurkan keluarganya. Adik perempuannya yang paling muda berumur 15 tahun, Sultana, meninggal karena Tuberkolosis. Gibran segera kembali ke Boston. Kakaknya, Peter, seorang pelayan toko yang menjadi tumpuan hidup saudara-saudara dan ibunya juga meninggal karena penyakit yang sama dengan adiknya Sultana. Ibu yang memuja dan dipujanya, Kamilah, juga telah meninggal dunia karena tumor ganas. Hanya adiknya, Marianna, yang masih tersisa, dan ia dihantui trauma penyakit dan kemiskinan keluarganya. Kematian anggota keluarga yang sangat dicintainya itu terjadi antara bulan Maret dan Juni tahun 1903. Gibran dan adiknya lantas harus menyangga sebuah keluarga yang tidak lengkap ini dan berusaha keras untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Di tahun-tahun awal kehidupan mereka berdua, Marianna membiayai penerbitan karya-karya Gibran dengan biaya yang diperoleh dari hasil menjahit di Miss Teahan’s

Gowns. Berkat kerja keras adiknya itu, Gibran dapat meneruskan karier keseniman dan kesasteraannya yang masih awal. Pada tahun 1908 Gibran singgah di Paris lagi. Di sini dia hidup senang karena secara rutin menerima cukup uang dari Mary Haskell, seorang wanita kepala sekolah yang berusia 10 tahun lebih tua namun dikenal memiliki hubungan khusus dengannya sejak masih tinggal di Boston. Dari tahun 1909 sampai 1910, dia belajar di School of Beaux Arts dan Julian Academy. Kembali ke Boston, Gibran mendirikan sebuah studio di West Cedar Street di bagian kota Beacon Hill. Ia juga mengambil alih pembiayaan keluarganya. Pada tahun 1911 Gibran pindah ke kota New York. Di New York Gibran bekerja di apartemen studionya di 51 West Tenth Street, sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk tempat ia melukis dan menulis. Sebelum tahun 1912 “Broken Wings” telah diterbitkan dalam Bahasa Arab. Buku ini bercerita tentang cinta Selma Karami kepada seorang muridnya. Namun, Selma terpaksa menjadi tunangan kemenakannya sendiri sebelum akhirnya menikah dengan suami yang merupakan seorang uskup yang oportunis. Karya Gibran ini sering dianggap sebagai otobiografinya. Pengaruh “Broken Wings” terasa sangat besar di dunia Arab karena di sini untuk pertama kalinya wanita-wanita Arab yang dinomorduakan mempunyai kesempatan untuk berbicara bahwa mereka adalah istri yang memiliki hak untuk memprotes struktur kekuasaan yang diatur dalam perkawinan. Cetakan pertama “Broken Wings” ini dipersembahkan untuk Mary Haskell. Gibran sangat produktif dan hidupnya mengalami banyak perbedaan pada tahun-tahun berikutnya. Selain menulis dalam bahasa Arab, dia juga terus menyempurnakan penguasaan bahasa Inggrisnya dan mengembangkan kesenimanannya. Ketika terjadi perang besar di Lebanon, Gibran menjadi seorang pengamat

halaman 49


dari kalangan nonpemerintah bagi masyarakat Suriah yang tinggal di Amerika. Ketika Gibran dewasa, pandangannya mengenai dunia Timur meredup. Pierre Loti, seorang novelis Perancis, yang sangat terpikat dengan dunia Timur pernah berkata pada Gibran, kalau hal ini sangat mengenaskan! Disadari atau tidak, Gibran memang telah belajar untuk mengagumi kehebatan Barat. Karya dan kepengarangan Gibran. Sebelum tahun 1918, Gibran sudah siap meluncurkan karya pertamanya dalam bahasa Inggris, “The Madman”, “His Parables and Poems”. Persahabatan yang erat antara Mary tergambar dalam “The Madman”. Setelah “The Madman”, buku Gibran yang berbahasa Inggris adalah “Twenty Drawing”, 1919; “The Forerunne”, 1920; dan “Sang Nabi” pada tahun 1923, karya-karya itu adalah suatu cara agar dirinya memahami dunia sebagai orang dewasa dan sebagai seorang siswa sekolah di Lebanon, ditulis dalam bahasa Arab, namun tidak dipublikasikan dan kemudian dikembangkan lagi untuk ditulis ulang dalam bahasa Inggris pada tahun 1918-1922. Sebelum terbitnya “Sang Nabi”, hubungan dekat antara Mary dan Gibran mulai tidak jelas. Mary dilamar Florance Minis, seorang pengusaha kaya dari Georgia. Ia menawarkan pada Mary sebuah kehidupan mewah dan mendesaknya agar melepaskan tanggung jawab pendidikannya. Walau hubungan Mary dan Gibran pada mulanya diwarnai dengan berbagai pertimbangan dan diskusi mengenai kemungkinan pernikahan mereka, namun pada dasarnya prinsip-prinsip Mary selama ini banyak yang berbeda dengan Gibran. Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan perkawinan dengan jelas telah merasuk ke dalam hubungan tersebut. Akhirnya Mary menerima Florance Minis. Pada tahun 1920 Gibran mendirikan sebuah asosiasi penulis Arab yang dinamakan

halaman 50

Arrabithah Al Alamia (Ikatan Penulis). Tujuan ikatan ini merombak kesusastraan Arab yang stagnan. Seiring dengan naiknya reputasi Gibran, ia memiliki banyak pengagum. Salah satunya adalah Barbara Young. Ia mengenal Gibran setelah membaca “Sang Nabi”. Barbara Young sendiri merupakan pemilik sebuah toko buku yang sebelumnya menjadi guru bahasa Inggris. Selama 8 tahun tinggal di New York, Barbara Young ikut aktif dalam kegiatan studio Gibran. Gibran menyelesaikan “Sand and Foam” tahun 1926, dan “Jesus the Son of Man” pada tahun 1928. Ia juga membacakan naskah drama tulisannya, “Lazarus” pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah itu Gibran menyelesaikan “The Earth Gods” pada tahun 1931. Karyanya yang lain “The Wanderer”, yang selama ini ada di tangan Mary, diterbitkan tanpa nama pada tahun 1932, setelah kematiannya. Juga tulisannya yang lain “The Garden of the Propeth”. Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hepatis dan tuberkulosis, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent’s Hospital di Greenwich Village. Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran. Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Mar Sarkis, sebuah biara Karmelit di mana Gibran pernah melakukan ibadah. Sepeninggal Gibran, Barbara Younglah yang mengetahui seluk-beluk studio, warisan dan tanah peninggalan Gibran. Juga secarik kertas yang bertuliskan, “Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantuku.”


Beberapa Mutiara Kata Karya Kahlil Gibran

“...pabila cinta memanggilmu... ikutilah dia walau jalannya berliku-liku... Dan, pabila sayapnya merangkummu... pasrahlah serta menyerah, walau pedang tersembunyi di sela sayap itu melukaimu...” (Kahlil Gibran)

“...kuhancurkan tulang-tulangku, tetapi aku tidak membuangnya sampai aku mendengar suara cinta memanggilku dan melihat jiwaku siap untuk berpetualang” (Kahlil Gibran)

“Tubuh mempunyai keinginan yang tidak kita ketahui. Mereka dipisahkan karena alasan duniawi dan dipisahkan di ujung bumi. Namun jiwa tetap ada di tangan cinta... terus hidup... sampai kematian datang dan menyeret mereka kepada Tuhan...” (Kahlil Gibran)

“Jangan menangis, Kekasihku... Janganlah menangis dan berbahagialah, karena kita diikat bersama dalam cinta. Hanya dengan cinta yang indah... kita dapat bertahan terhadap derita kemiskinan, pahitnya kesedihan, dan duka perpisahan” (Kahlil Gibran)

“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu... Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... seperti isyarat yang tak sempat dikirimkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada...” (Kahlil Gibran)

“Jika cinta tidak dapat mengembalikan engkau kepadaku dalam kehidupan ini... pastilah cinta akan menyatukan kita dalam kehidupan yang akan datang” (Kahlil Gibran)

“Apa yang telah kucintai laksana seorang anak kini tak henti-hentinya aku mencintai... Dan, apa yang kucintai kini... akan kucintai sampai akhir hidupku, karena cinta ialah semua yang dapat kucapai... dan tak ada yang akan mencabut diriku dari padanya” (Kahlil Gibran)

halaman 51


Puisi-puisi Cinta Kalil Gibran

Cinta Yang Agung

Adalah ketika kamu menitikkan air mata dan MASIH peduli terhadapnya.. Adalah ketika dia tidak mempedulikanmu dan kamu MASIH menunggunya dengan setia.. Adalah ketika dia mulai mencintai orang lain dan kamu MASIH bisa tersenyum sembari berkata ‘Aku turut berbahagia untukmu’ Apabila cinta tidak berhasil… BEBASKAN dirimu…Biarkan hatimu kembali melebarkan sayapnya dan terbang ke alam bebas LAGI .. Ingatlah…bahwa kamu mungkin menemukan cinta dan kehilangannya.. tapi..ketika cinta itu mati..kamu TIDAK perlu mati bersamanya… Orang terkuat BUKAN mereka yang selalu menang.. MELAINKAN mereka yang tetap tegar ketika mereka jatuh

halaman 52


Waktu

Dan jika engkau bertanya, bagaimanakah tentang Waktu?‌. Kau ingin mengukur waktu yang tanpa ukuran dan tak terukur. Engkau akan menyesuaikan tingkah lakumu dan bahkan mengarahkan perjalanan jiwamu menurut jam dan musim. Suatu ketika kau ingin membuat sebatang sungai, diatas bantarannya kau akan duduk dan menyaksikan alirannya. Namun keabadian di dalam dirimu adalah kesadaran akan kehidupan nan abadi, Dan mengetahui bahwa kemarin hanyalah kenangan hari ini dan esok hari adalah harapan. Dan bahwa yang bernyanyi dan merenung dari dalam jiwa, senantiasa menghuni ruang semesta yang menaburkan bintang di angkasa. Setiap di antara kalian yang tidak merasa bahwa daya mencintainya tiada batasnya? Dan siapa pula yang tidak merasa bahwa cinta sejati, walau tiada batas, tercakup di dalam inti dirinya, dan tiada bergerak dari pikiran cinta ke pikiran cinta, pun bukan dari tindakan kasih ke tindakan kasih yang lain? Dan bukanlah sang waktu sebagaimana cinta, tiada terbagi dan tiada kenal ruang? Tapi jika di dalam pikiranmu haru mengukur waktu ke dalam musim, biarkanlah tiap musim merangkum semua musim yang lain, Dan biarkanlah hari ini memeluk masa silam dengan kenangan dan masa depan dengan kerinduan.

halaman 53


Cinta

AKU bicara perihal Cinta ????‌ Apabila cinta memberi isyarat kepadamu, ikutilah dia, Walau jalannya sukar dan curam. Dan pabila sayapnva memelukmu menyerahlah kepadanya. Walau pedang tersembunyi di antara ujung-ujung sayapnya bisa melukaimu. Dan kalau dia bicara padamu percayalah padanya. Walau suaranya bisa membuyarkan mimpi-mimpimu bagai angin utara mengobrak-abrik taman. Karena sebagaimana cinta memahkotai engkau, demikian pula dia kan menyalibmu. Sebagaimana dia ada untuk pertumbuhanmu, demikian pula dia ada untuk pemaksamu. Sebagaimana dia mendaki kepuncakmu dan membelai mesra ranting-rantingmu nan paling lembut yang bergetar dalam cahaya matahari. Demikian pula dia akan menghunjam ke akarmu dan mengguncang-guncangnya di dalam cengkeraman mereka kepada kami. Laksana ikatan-ikatan dia menghimpun engkau pada dirinya sendiri. Dia menebah engkau hingga engkau telanjang. Dia mengetam engkau demi membebaskan engkau dari kulit arimu. Dia menggosok-gosokkan engkau sampai putih bersih. Dia merembas engkau hingga kau menjadi liar; Dan kemudian dia mengangkat engkau ke api sucinya. Sehingga engkau bisa menjadi roti suci untuk pesta kudus Tuhan. Semua ini akan ditunaikan padamu oleh Sang Cinta,

halaman 54


supaya bisa kaupahami rahasia hatimu, dan di dalam pemahaman dia menjadi sekeping hati Kehidupan. Namun pabila dalam ketakutanmu kau hanya akan mencari kedamaian dan kenikmatan cinta. Maka lebih baiklah bagimu kalau kau tutupi ketelanjanganmu dan menyingkir dari lantai-penebar cinta. Memasuki dunia tanpa musim tempat kaudapat tertawa, tapi tak seluruh gelak tawamu, dan menangis, tapi tak sehabis semua airmatamu. Cinta tak memberikan apa-apa kecuali dirinya sendiri dan tiada mengambil apapun kecuali dari dirinya sendiri. Cinta tiada memiliki, pun tiada ingin dimiliki; Karena cinta telah cukup bagi cinta. Pabila kau mencintai kau takkan berkata, “Tuhan ada di dalam hatiku,� tapi sebaliknya, “Aku berada di dalam hati Tuhan�. Dan jangan mengira kau dapat mengarahkan jalannya Cinta, sebab cinta, pabila dia menilaimu memang pantas, mengarahkan jalanmu. Cinta tak menginginkan yang lain kecuali memenuhi dirinya. Namun pabila kau mencintai dan terpaksa memiliki berbagai keinginan, biarlah ini menjadi aneka keinginanmu: Meluluhkan diri dan mengalir bagaikan kali, yang menyanyikan melodinya bagai sang malam. Mengenali penderitaan dari kelembutan yang begitu jauh. Merasa dilukai akibat pemahamanmu sendiri tenung cinta; Dan meneteskan darah dengan ikhlas dan gembira. Terjaga di kala fajar dengan hati seringan awan dan mensyukuri hari haru penuh cahaya kasih; Istirah di kala siang dan merenungkan kegembiraan cinta yang meluap-luap; Kembali ke rumah di kala senja dengan rasa syukur; Dan lalu tertidur dengan doa bagi kekasih di dalam hatimu dan sebuah gita puji pada bibirmu.

halaman 55


Persahabatan Dan seorang remaja berkata, Bicaralah pada kami tentang persahabatan. Dan dia menjawab: Sahabat adalah keperluan jiwa, yang mesti dipenuhi. Dialah ladang hati, yang kau taburi dengan kasih dan kau tuai dengan penuh rasa terima kasih. Dan dia pulalah naungan dan pendianganmu. Kerana kau menghampirinya saat hati lupa dan mencarinya saat jiwa mahu kedamaian. Bila dia berbicara, mengungkapkan fikirannya, kau tiada takut membisikkan kata “Tidak� di kalbumu sendiri, pun tiada kau menyembunyikan kata “Ya�. Dan bilamana dia diam, hatimu berhenti dari mendengar hatinya; kerana tanpa ungkapan kata, dalam persahabatan, segala fikiran, hasrat, dan keinginan dilahirkan bersama dan dikongsi, dengan kegembiraan tiada terkirakan. Di kala berpisah dengan sahabat, tiadalah kau berdukacita; Kerana yang paling kau kasihi dalam dirinya, mungkin kau nampak lebih jelas dalam ketiadaannya, bagai sebuah gunung bagi seorang pendaki, nampak lebih agung

halaman 56


daripada tanah ngarai dataran. Dan tiada maksud lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya roh kejiwaan. Kerana cinta yang mencari sesuatu di luar jangkauan misterinya, bukanlah cinta , tetapi sebuah jala yang ditebarkan: hanya menangkap yang tiada diharapkan. Dan persembahkanlah yang terindah bagi sahabatmu. Jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah dia mengenali pula musim pasangmu. Gerangan apa sahabat itu jika kau sentiasa mencarinya, untuk sekadar bersama dalam membunuh waktu? Carilah ia untuk bersama menghidupkan sang waktu! Kerana dialah yang bisa mengisi kekuranganmu, bukan mengisi kekosonganmu. Dan dalam manisnya persahabatan, biarkanlah ada tawa ria dan berkongsi kegembiraan.. Karena dalam titisan kecil embun pagi, hati manusia menemui fajar dan gairah segar kehidupan.

(Marrylina Yonita, dari berbagai sumber)

halaman 57


rehal

Sepuluh Drama Pendek

Samuel Beckett

int

Judul Buku

: Sepuluh Drama Pendek Samuel Beckett

Penulus

: Samuel Beckett

Penerbit

: BUKUPOP

Tahun Tebit

: 2006

Jumlah Halaman : 137 hal

halaman 58

Bahasa

: Indonesia

ISBN

: 979-1012-00-8


int

Ringkas Tentang Samuel Beckett (catatan redaksi)

S

BECKETT kelahiran Dublin, Irlandia tahun 1906, tutup usia tahun 1989 di Paris, Prancis. Beckett menurut para pengamat adalah salah satu pengarang/penulis abad ke-20 yang sangat inovatif dengan karya-karyanya yang berpengaruh. Hal ini ditunjang oleh keyakinannya yang selalu tampak jelas pada karya-karya yang dihasikannya, keyakinannya itu ialah, bahwa hidup manusia adalah absurb, tidak jelas, keras, dan akhirnya tidak memiliki tujuan. Secara pribadi, ia gigih menyuarakan metaforametafora tentang malaise. Depresi Besar yang mempengaruhi hidup dan berdampak krisis moral. Beckett terutama dikenal sebagai penulis drama, tetapi ia juga menulis novel dan puisi. Ia telah menulis enam novel, empat naskah drama serta tak terhitung fragmen yang pendek, selain sebuah esai dan satu kumpulan puisi. Namuni yang membuat AMUEL

namanya dikenal adalah karya drama Waiting for Godot (1952) yang disebutsebut sebagai drama paling penting dalam abad ke-20 dan dipentaskan di hampir serata dunia. Dalam keterangan pers-nya, Akademi Swedia menganugerahkan Hadiah Nobel Kesusastraan pada Beckett sebagai pengakuan: â€œâ€Ś.untuk karangankarangannya yang dalam, serta mengungkap kekurangan manusia modern, mendapatkan tempat yang luhur lewat bentuk novel dan drama gaya baru‌.â€? Beckett adalah sastrawan kedua Irlandia (setelah William Butler Yeats tahun 1923) yang memperoleh penghargaan tersebut. Atau sastrawan ketiga setelah George Bernard Shaw (tahun 1925) yang kemudian hijrah dan menjadi warga negara Inggris. Buku Sepuluh Drama Pendek Samuel Beckett, berisi sepuluh terjemahan naskah drama pendeknya, antara lain: 1. Sketsa Teater I Dipenghujung 1950, ditulis dalam bahasa Perancis berdasar naskah asli berbahasa Inggris. Naskah aslinya dipublikasikan pertama kali dalam bahasa Inggris oleh Grove Press, New York, tahun 1976, dipertunjukkan pertama kali di Schiller Theater, Hamburg, Mei 1979. 2. Laku Tanpa Kata I Ditulis dalam bahasa Prancis 1956, dengan musik John Beckett, keponakannya sendiri. Pertama kali dipublikasikan tahun 1957. Oleh penulisnya sendiri, diterjemahkan dalam bahasa Inggris untuk diterbitkan oleh Grove Press, New York, tahun 1958. Pertama kali dipentaskan di Royal Court Theatre, London, 3 April 1957.

halaman 59


3. Laku Tanpa Kata II Menutur Beckett, ditulis hampir bersamaan dengan Act Without Words / (1956). Oleh penulisnya diterjemahkan dalam bahasa Prancis. Diterbitkan tahun 1959 dalam New Departures. Dipentaskan pertama kali di Institut Seni Kontemporer pada Januari 1960. 4. Rekaman Terakhir Krapp Ditulis di Inggris awal tahun 1958. Pertama kali dipublikasikan di Evergreen Review musim panas 1958. Pertama kali dipentaskan di Royal Court Theatre London, 28 Oktober 1958. 5. Bara Ditulis sebagai drama radio dan diselesaikan pada awal 1959. Pertama terbit dalam Evergreen Review akhir 1959. Pertama disiarkan oleh Third Programme BBC tanggal 24 Juni 1959. 6. Datang dan Pergi Ditulis di Inggris, awal 1965. Pertama kali dipublikasikan di Prancis dalam edisi de Minuit, Paris 1966. Pertama kali dipublikasikan dalam bahasa Inggris oleh Calder and Boyars, London 1967. Pertama kali diproduksi dengan judul Commen und Gehen, diterjemahkan oleh Elmar Tophoven, di Schiller Theatre Werkstatt, Berlin 14 Januari 1966. Pertama kali dipertunjukkan dalam bahasa Inggris di Peacock Theatre, Dublin, 28 Februari 1968 dan di Royal Festival Hall, London, 9 Desember 1968. 7. Napas Pertama kali dipublikasikan 1970, dan dipertunjukkan di Eden Theatre New York 16 Juni 1969, kemudian di Close Theatre

halaman 60

Club, Oktober 1969. 8. Kursi Goyang Ditulis dalam dalam bahasa Inggris di tahun 1980. Pertama kali pertunjukkan di Buffalo, New York di tahun 1981 dengan aktris terkenal Billie Whitelaw sebagai w dan v, disutradarai Alan Schneider, produksi Dan Labaeille. Pertama dipublikasikan oleh Grove Press tahun 1981. 9. Bencana Ditulis dalam bahasa Prancis di tahun 1982. Pertama kali dipentaskan di Festival Avignon di tahun 1982, menyambung setahun kemudian di Paris 15 September 1983, 13 Agustus 1984 di Edinburgh Festival. Dipublikasikan pertama kali di New York, USA, 1983 dan Faber Faber, London, 1984. 10. Malam dan Mimpi-mimpi Malam dan Mimpi Mimpi (Nacht und Treume) ditulis dan diproduksi oleh Sueddeutscher Rundfunk tahun 1982. Dipancarkan 19 Mei 1983.

Buku ini layak dimiliki mahasiswa seni (jurusan teater/film, pemerhati dunia teater pada umumnya, maupun seniman teater khususnya.*** (red. 4-2013, Dari berbagai Sumber)


tokoh

Bei Dao “Di satu sisi puisi itu tak berguna, ia tak bisa mengubah dunia secara material. Di lain pihak, puisi adalah bagian dari eksistensi manusia.” (Bei Dao) “Jika seribu penantang berlutut di bawah kaki-mu, Hitung aku sebagai yang ke seribu satu.” (Bei Dao, “The Answer” /Jawabannya)

Zao Zhenkai (Bei Dao) lahir di Beijing pada 2 Agustus 1949. Nama samarannya Bei Dao yang secara harfiah berarti “Pulau Utara,” nama yang disarankan oleh seorang teman sebagai referensi untuk asal sang penyair dari Cina Utara serta sebagai identitas atas kesendiriannya. Bei Dao memperoleh pendidikan yang baik di Sekolah Menengah Ke-empat. Pada usia 17 tahun dia bergabung dengan Revolusi Kultural dan karena itu studinya tertunda. Dari 1969 sampai 1980 dia menjadi pekerja konstruksi. Pada awal 1970-an

Bei Dao mulai menulis beberapa puisi. Pada 1976 sajak-sajak Dao mulai diakui di kalangan Gerakan Demokrasi. Bei Dao mengekspresikan keinginan besar akan kebebasan namun kecewa karena keinginan itu tak terpenuhi. Dia ikut mendirikan majalah sastra tak resmi, Jintian, yang mengumpulkan penyair muda dan pembangkang. Majalah ini terbit antara 1978 dan 1980. Pada saat itu karya-karya Dao bebas dari bentuk-bentuk ortodoks resmi. Para pengecamnya menganggap puisi-puisinya nihilistik. Dao juga berusaha halaman 61


memecahkan masalah perbedaan antara bahasa ucap dengan bahasa tulis Cina pada sajak-sajak eksperimentalnya. Majalah itu kemudian dilarang pada tahun 1980. Dao mulai terkenal secara internasional lewat sajaknya, “Jawaban,” yang diterbitkan dalam jurnal puisi Shi Kan pada 1980. Pada awal 1980-an Dao bekerja di Foreign Language Press di Beijing. Dia menjadi sasaran utama dalam Kampanye Polusi Anti Spiritual dari pemerintah, tetapi pada 1983 dia berhasil bertemu secara rahasia dengan penyair Amerika, Allen Ginsberg. Pada 1983 sajak-sajak Dao dipublikasikan dalam seri East Asia Papers dari Cornell University East Asia Program dan dalam Renditions di Hongkong. Puisi-puisinya juga muncul di Bulletin Concerned Asian Scholars (1984) dan dalam Contemporary Chinese Literature, yang diedit oleh Michael Duke (1985). Sejak pertengahan 1980-an sajakk sajaknya menjadi

int

halaman h ha lama ma an 62 62

semakin pesimistik, dan berpuncak dalam Bai Ri Meng (1986). Buku Bei Dao Shi Xuan (1986), koleksi puisi yang ditulis antara 1970 dan 1986, diterima dengan antusias tetapi buku itu kemudian dilarang oleh penguasa. Selain puisi Bei Dao juga menulis novel; Bodong menjadikan Dao sebagai novelis modernis Cina yang terkemuka. Ceritanya tentang “generasi yang hilang” dari Revolusi Budaya. Pada 1989 Bei Dao bersama 33 intelektual lainnya menandatangani sebuah surat untuk NPC dan Komite Pusat, meminta pembebasan tahanan politik, antara lain aktivis demokratik Wei Jingsheng. Ketika demonstran di Tiananmen dibantai, Dao sedang berada di Berlin. Beberapa sajaknya beredar ditengah-tengah demonstran tahun 1989 itu dan dia dituduh ikut memicu huru-hara. Bei Dao memilih hidup di pengasingan dan menghidupkan kembali Jintian, yang kemudian menjadi majalah sastra Cina yang berpengaruh di luar negeri. Setelah sempat mengajar di Denmark, Swedia, dan Jerman dia pergi Amerika dan mengajar di Universitas Michigan. Dia pernah berkata: “Di satu sisi puisi itu tak berguna, ia tak bisa mengubah dunia secara material. Di lain pihak, puisi adalah bagian dari eksistensi manusia.” Pada 2001 terbit koleksi puisi dari 19911996 dalam edisi bilingual, At the Sky’s Edge: Poems 1991-1996 (2001). Pada tahun 2006, Bei Dao diizinkan untuk pindah kembali ke China. ***


Puisi Bei Dao

Jawabannya Kehinaan adalah kata dasar segala jalan, Aristokrat adalah nisan untuk mereka yang mulia. Tengok bagaimana langit yang disalut sepuh Dengan bayang-bayang berpintal melayang dari orang-orang yang telah mati. Era beku kini tiada lagi, Mengapa ada tangis dimerata tempat? Tanjung harapan indah sudah dijumpai Mengapa beradu beribu-ribu pelayaran ke laut mati? Aku tiba ke dunia ini Hanya membawa kertas, tali dan sebersit bayang, Untuk menyampaikan di sidang penghakiman Suara yang telah dihakimi: Biar kuberitakan kepada kau, dunia, Aku-tak-percaya!

halaman 63


Jika seribu penantang berlutut di bawah kaki-mu, Hitung aku sebagai yang ke seribu satu. Aku tak percaya langit itu biru; Aku tak percaya pada gema guruh; Aku tak percaya mimpi-mimpi itu palsu; Aku tak percaya bahawa kematian tiada pembalasan. Jika laut itu ditakdirkan menjembatani tebing-tebing Biarkan semua air payau itu tertumpah di jantung-mu; Jika daratan itu ditakdirkan bangkit Biarkan kemanusiaan memilih puncak bagi kewujudannya sekali lagi. Penyatuan baru dan bintang-bintang berkerdipan Menghiasi langit yang kini tak terhalang; Mereka adalah lukisan di dinding gua dari lima ribu tahun silam. Mereka adalah mata-mata pemerhati bagi orang-orang masa depan.

(Red. Dari berbagai sumber dengan terjemahan sajak Bei Dao dari teks berbahasa Inggris “The Answer� ke bahasa Indonesia oleh: Rudiman Yulis).

halaman 64


www.tokobuku171.com www.tokobuku171.com

www.tokobuku171.com

www.tokobuku171.com

“...Nyalakan Imajinasi dengan Membaca Buku...“

Kantor Pusat

Pusat Penjualan Pekanbaru

: Jl. HR Soebrantas Km 10,5 Panam, Pekanbaru - Riau

: Kompleks Metropolitan City Giant, Blok A 19 & 20, Jl. HR Soebrantas Km 12

Dumai

: Jl. Jend. Sudirman No. 201, Dumai - Riau Telp (0765) 439 171

Batam

: Gedung Graha Pena Batam Jl. Raya Batam Centre Teluk Jering, Batam Kota Kode Pos 29461 Telp Graha Pena (0778) 462 996

Tanjung Pinang

: Jln Di. Panjaitan Km 9, Plaza Bintan Centre Blok M No. 15, Tanjung Pinang Kepri Telp (0771) 7447039

Padang Sidempuan : Jl. Medan Merdeka, Depan SMAN 2 Padang Sidempuan Telp.081260012768 Bukit Tinggi

halaman lxv : Ramayana Bukit Tinggi - Lantai Dasar


halaman lxvi


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.