Majalah Sagang 177

Page 1

No. 177 JUNI 2013 tahun XV www.majalahsagang.com Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)

Esei Ibu Adalah Puisi Oleh: Alex R. Nainggolan

Sihir Negeri Manasuka; Perusak Eksistensialisme Manusia renungan kecil bersama “Avontur” (Kumpulan Puisi Ragil Sukriwul)

Oleh: Ahmad Moehdor al-Farisi

Cerita-Pendek Kupu-kupu Senja oleh Irdas Yan

Tokoh - Bahrum Rangkuti - Sana’i, - Emily Dickinson.

Rehal - Pucuk Gunung Es:

Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Kebudayaan Melayu-Indonesia

oleh Maman S Mahayana,

- In Cold Blood Pengarang Truman Capote

Sajak - Kerudung Puisi, - Syafrizal ahrun, - A.S Nurul Anam

Berita-Budaya Pada FPRN Medan Salimi Yusuf Sebagai Sutradara Terbaik

Pentas Di Seberang Perbatasan

halaman KULITi


"SHOW OFF YOUR BUSINESS!" mari kami bantu untuk mencetak media informasi ANEKA RAGAM usaha anda

PAKET PENDIDIKAN - PAKET CSR - PAKET PROYEK PAKET INFO PRODUK - PAKET CETAKAN UMUM - PAKET SCJJ PAKET INFO PRODUK

Menginformasikan produk yang dijual tidak selalu memasang iklan saja, anda perlu memvariasikannya dengan brosur, katalog dan bentuk selebaran lainnya. Pastikan anda mencetak info produk tersebut di tempat kami, dapatkan kerjasama dalam bentuk penyebaran info tersebut dengan menyisipkan via koran-koran kami (Riau Pos / MX / Pekanbaru Pos / Dumai Pos) atau penyebaran di tempat khusus yang anda inginkan. Kami siap membantu, dapatkan juga paket-paket khusus lainnya berupa percetakan info produk + publikasinya di koran-koran kami. syarat dan ketentuan berlaku

MURAH, CEPAT, BERJARINGAN LUAS

Percetakan Riau Pos Grafika Divisi Komersial Printing Hubungi Kami: Gedung Riau Pos Jl.HR Soebrantas Km 10,5 Panam-Pekanbaru Office +62 761 - 566810 Fax +62 761 - 64636 Mobile 081268435929, 081365720503, 081378757569, 085265483504

Bank Riau KCP Panam 134-08-02010 Bank Mandiri Ahmad Yani-Pekanbaru 108-000-126-1990 An: PT Riau Graindo E-mail riauposgrafika@yahoo.com halaman KULITii


Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 177 JUNI 2013 tahun XV

Mahasiswa jurusan Seni Teater di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) sedang berteater di Gedung Dewan Kesenian Riau

Daftar Isi Esei - Ibu Adalah Puisi Oleh: Alex R. Nainggolan ....................... 3 - Sihir Negeri Manasuka;Perusak Eksistensialisme Manusia renungan kecil bersama “Avontur” (Kumpulan Puisi Ragil Sukriwul) Oleh: Ahmad Moehdor al-Farisi ........... 6 Cerita-Pendek - Kupu-kupu Senja oleh Irdas Yan .......... 11 Sajak - Kerudung Puisi ......................................15 - Syafrizal ahrun ..................................... 26 - A.S Nurul Anam ...................................31 Berita-Budaya Pada FPRN Medan Salimi Yusuf Sebagai Sutradara Terbaik ................... 38 Pentas Di Seberang Perbatasan ....................... 40 Tokoh - Bahrum Rangkuti ................................. 45 - Sana’i (Guru Para Penyair Sufi) .......... 49 - Emily Dickinson ................................... 52 Rehal - Pucuk Gunung Es: Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Kebudayaan Melayu-Indonesia oleh Maman S Mahayana..................... 58 - In Cold Blood ........................................ 62 Illustrasi Halaman 11 karya Purwanto

Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Ngatenang Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Khazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Manager Keuangan: Sri Herliani. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


tajuk Catatan dari Lomba Kolaborasi Puisi Sebuah Catatan Kebudayaan Karya seni sebagai bagian dari curah ide, pikir dan juga gagasan serta adanya gejolak jiwa yang dituangkan ke dalam bahasa kesenian menjadi kian kukuh maknanya saat keberadaannya diakui. Karya semacam itu mempunyai arti saat ia diletakkan pada suatu sistem yang bertolak dari lingkup komunikasi untuk kemudian digelar agar dapat menjadi suplemen buat kesehatan cara berfikir manusia. Dalam kaitan ini, karya seni menjadi alat atau media komunikasi yang dapat diterima pihak lain, sebagai bagian dari kebutuhan pengayaan pengalaman jiwa. Sejalan dengan pertumbuhannya, banyak bermunculan bentuk-bentuk karya baru dari percabangan seni yang sudah lama ada. Di samping sejalan dengan kemunculan karya baru dari percabangan seni konvensional, muncul pula percabangan seni baru yang rata-rata berasal dari pengolahan kreativitas yang berasal dari orang-orang luar sana. Namun jarang terlihat seniman-seniman kita yang berorientasi pada pemikiran pemunculan percabangan seni baru. Mungkin bertolak dari pemikiran di atas, pada tahun ini Dewan Kesenian Riau merealisasikan pemikiran dan kehendak kreatifitas yang di wujudkan kedalam bentuk percabangan kesenian yang “mungkin baru” (karena diperlukan penelitian lebih lanjut) yang di beri tajuk “Lomba Kolaborasi-Puisi”. Nama percabangan ini masih berpeluang untuk diperbincang menuju ke pembakuan. Dari hasil pandang yang diperoleh kami (majalah budaya “Sagang”), dapat dibuat sedikit catatan yang diharapkan dapat memberi sekedar asam-garam memperlemak percabangan seni baru ini. Pada ajang lomba ini, hal yang paling penting bagi para peserta adalah pemahaman tentang makna dari kata KOLABORASI-PUISI. Kolaborasi dalam konteks ini adalah bahwa seni-seni di luar sastra(puisi), diikutsertakan terlibat pada sebuah pertunjukan yang merupakan satu bentuk pemaknaan pada karya puisi yang dipilih untuk dibacakan. Secara lebih sederhana, bahwa karya seni yang terlibat mendapat porsi untuk memaknai puisi yang dibacakan dan diaplikasikan kebentuk seni masing-masing pada satu bingkai pertunjukan. Dari beberapa penampilan kelompok peserta, terlihat

halaman 2

adanya proses segmentasi yang memberi porsi penampilan percabangan seni tersendiri, bahkan tampak lepas dari makna puisi yang menjadi acuan pertunjukan. Sehingga makna puisi sebagai patron kolaborasi terkesan terbaikan. Durasi atau running-time atau rentang masa tampil, pada beberapa penampil yang terlalu panjang. Sedangkan sajak yang dibacakan tak menghendaki masa tampil dengan rentang waktu yang seakan dipanjang-panjangkan sehingga terlihat mengurangi kualitas kemampuan pemaknaan atau pemahaman penampil pada teks puisi yang dibacakan. Kemampuan menginterpretasi yang lemah secara otomatis berakibat atau mempunyai andil menghilangkan atau menurunkan kekuatan makna kata demi kata yang terkandung pada teks puisi yang dibacakan. Sebagai contoh, sebuah puisi yang sarat dengan makna magis, yang kemudian direspon oleh percabangan seni lain dalam kolaborasi, namun tidak menyumbangkan nilai magis sehingga menghapus kekutan teks magis yang menjadi unsur kekuatan pada puisi yang dibacakan. Unsur rupa-kias atau metaphora-rupa pada pemaknaan puisi, dalam kontek keterlibatan percabangan seni-rupa pada pertunjukan, terkesan minim eksplorasi atau minim pencaharian sehingga terlihat gamblang dan tidak diwujudkan pada bahasa seni. Nah…saran kami kepada pihak penyelenggara, dalam hal ini Dewan Kesenian Riau. Ke depan perlu diperkuat kemampuan para peserta tentang pemahaman makna atau deskripsi yang jelas dari apa yang disebut dengan salah-satu percabangan seni pertunjukan baru ini. Untuk itu, dianggap perlu dilakukan pembahasan menuju ke sebuah rumusan yang menjadi acuan dasar bagi pengkarya yang bergerak pada bidang percabangan seni pertunjukan Kolaborasi Seni Puisi. Selanjutnya perlu dilakukan Coaching Clinik atau Workshop atau Sarasehan atau apun namanya, secara berkala kepada para seniman atau para siswa/pelajar yang berkeinginan berkreasi pada bidang seni ini. Selamat berkreatifitas


esei

Ibu Adalah Puisi Oleh: Alex R. Nainggolan *

IBU adalah puisi. Puisi bagi kehidupan. Puisi yang panjang terbentang. Di setiap denyut nadinya, langkahnya, ataupun helaan napasnya. Maka berbahagialah kaum hawa—yang notabene kelak menjadi Ibu bagi anak-anak mereka. Dengan segala kegetiran dan kesenangan terhadap kehidupan, pula setelah mengandung anak mereka selama kurang lebih sembilan bulan. Mereka (kaum Ibu) paham bila mereka tengah menjalani kodrat. Menyimpan apa yang ada di pikirannya saat menjalani masa kehamilan. Menangguhkan segenap derita—yang mungkin akan dialaminya bagi anaknya. Saat melahirkan seorang anak manusia, kaum Ibu merupakan manusia yang hebat dan kuat. Mereka seperti sebuah “pintu” yang mengantarkan sosok manusia baru. Konon, saat di kandungan kehamilanpun, para Ibu sudah dapat berbicara dengan bayi yang dikandungnya. Mereka merasakan setiap denyut kehidupan yang menghuni

janinnya. Ketika si jabang bayi berdetak ataupun mulai menendang-nendang di dalam perut. Dan, bagi saya di sanalah mula kata pertama terbentuk. Semacam bahasa Adam yang purba. Rangkaian percakapan saat dalam kandungan itu tak bersifat verbal belaka. Melainkan menelisik pada kesatuan yang padu. Ketika itu, kaum Ibu seperti teguh untuk memahami tabiat yang ada di kandungannya. Katakanlah untuk bercakap atau mengajari si-anak dengan “kata pertama”. Kata-kata yang memang tak terbentuk dari rangkaian vokal dan konsonan. Meskipun demikian, hadir semacam bahasa batin, yang tak tercakapkan. Hematnya, itulah sebuah puisi. Kata-kata itu tak berwujud, tapi menemukan maknanya sendiri. Dan hal tersebut dirasakan pula oleh bayi yang ada dalam kandungannya. Simak saja, bagaimana upaya penyair Oka Rusmini “memotret” rahim—yang

halaman 3


Betapa rahim dengan segenap misteri yang meliputinya, menjelma jadi “rumah pertama” bagi umat manusia—melalui napas sang Ibu. Jalinan itu menjelma kelindan yang panjang, menciptakan sebuah sejarah bagi kehidupan itu sendiri. Rahim yang tersesak, ketika terjadi pertalian yang akrab antara Ibu dan sijabang bayi. Dan tak mengherankan pula, saat di dalam kandungan—si bayi dapat menangkap auran bunyi. Dengan kata lain, jika bunyi itulah yang simetris dengan puisi. Ia, dengan segala keterbatasan sebagai manusia, tentunya merupakan titik nol dari kehidupan itu sendiri. Sebuah perjalanan dari umur manusia. Mula segala amsal dengan ratusan sejarah yang melingkupinya kelak. Di titik permulaan ini, sosok Ibu menjadi guru pertama—yang mengajarkan makna kata. Sosok Ibu—yang notabene kaum Hawa, mengingatkan pula kita pada perkataan masyhur dari Napoleon Bonaparte,”Di belakang lelaki kuat, pasti terdapat sosok perempuan hebat; ialah Ibu.”

cukup dalam, jika kasih Ibu, memang tak pernah mudah pudar. Ia akan terus bergetar dan berdenyar, sepanjang hidup si-anak. Meninggalkan guratan panjang, jika kasih Ibu senantiasa ada dan terasa. Di sepanjang napas hidup anaknya. Dengan kasihnya pula, sang Ibu mengajarkan anak-anaknya untuk berkata. Ia mengenalkan kata pertama—saat bayi mulai belajar mengucap. Kata-kata yang dieja layaknya sebuah puisi. Maka, kata-kata dari seorang Ibu merupakan pengenalan pertama terhadap makna. Ia dengan segala penjelasannya, menciptakan sebuah tatanan baru bagi si-anak. Yang menghidupkan sebuah cakrawala baru, khazanah ataupun pengetahuan. Kasih Ibu ini akan terus memanjang, bahkan ketika si-anak yang dilahirkannya telah dewasa sekalipun. Seperti tak putus. Tak heran pula, jika Wiji Thukul “mengadu” kepada Ibunya dalam sajak yang ditulisnya: ibu pernah mengusirku minggat dari rumah/tetapi menangis ketika aku susah/ibu tak bisa memejamkan mata/ bila adikku tak bisa tidurkarena lapar/ ibu akan marah besar/bila kami merebut jatah makan/yang bukan hak kami/ibuku memberi pelajaran keadilan/dengan kasih sayang/ketabahan ibuku/mengubah rasa sayur murah/jadi sedap// Sajak ini ditutup dengan kalimat: dengan kebajikan/ibu mengenalkan aku kepada tuhan// (Aku Ingin Jadi Peluru, Indonesiatera, 2004; hal. 14) Atau bagaimana penyair Joko Pinurbo bertutur tentang Ibu:

Kasih Ibu Sepanjang Jalan Ada sebuah pepatah berujar,”Kasih Ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah.” Meninggalkan pengertian yang

Ibu suka membacakan buku untuk menghantar tidurku. Aku terbuai mendengarkan ibu dan buku, mendengarkan ibuku

kelak dihuni janin—dalam sajaknya: dari darah aku terbentuk/ari-ari yang membungkus tubuh/menguliti rasa takut/ dinding-dinding itu/menyembunyikan setiap daging manusiaku//dua bentuk makhluk/menyekutukan kekuatan/ menembus waktu/melubangi rasa/ laut pecah dalam kebersamaan// (sajak “Rumah Rahim”; Warna Kita; Grasindo, 2007; hal. 30).

halaman 4


Sambil membayangkan dan bertanya ini itu. Akupun terlelap dalam mimpi, terbang ke tempat-tempat yang belum kukenali. Ketika bangun kurasakan basah di celana. Wah, beta telah ngompol dalam dekapan bunda. Bila aku pamit sekolah, ibu tak pernah bilang jangan nakal dan bodoh, jangan membantah guru dan menyanggah buku. Ibu hanya mengecup jidatku: buka hidupmu dengan buku. Pada saatnya, beta harus meninggalkan bunda sebab tak bisa selamanya menyusu pada ibu. Aku harus mencari susu baru. Sambil menahan airmata, ibu memeluk dan menciumku: Pergilah. Terbanglah. Akupun terbang bersayapkan buku ke antah berantah yang bagiku sendiri masih entah. Ketika suatu saat aku pulang ke rumah ibu, Ibu sudah menjadi buku yang tersimpan manis di rak buku. (Sajak “Ibuku”) Betapa Ibu acapkali hadir menggugah dari dunia kanak-kanak, yang begitu hangat. Terasa ada getir parodi yang menelusup di sana. Justru menciptakan aura mistis yang tak bisa ditipu. Ibu menyimpan sebuah dunia yang dirindukan, untuk tetap diingat. Dengan pelbagai kedekatannya terhadap anak. Ia, menjelma sebuah proses yang tak lengkang dari ingatan. Kenangan yang kukuh dan ingin direngkuh. Senantiasa tumbuh di setiap perjalanan langkah sang anak.

Tentunya, kita mesti melupakan pula sejumlah kegetiran yang lain. Mengapa banyak janin bayi yang di-aborsi. Ataupun ada seorang Ibu yang tega membuang bayi yang baru saja dilahirkan ke tempat sampah, kardus, atau ke dalam kantong kresek hitam. Juga Ibu yang tega memukuli anaknya hingga meninggal dunia. Saat dunia terasa begitu durjana, dengan berita tragedi ihwal seorang Ibu yang tega meninggalkan anaknya dari bayi. Dan berusaha melupakannya. Sekaligus melupakan jati dirinya sebagai Ibu. Memang dengan sejumlah paradoks itu, kita kerap dihinggapi kenyataan yang menyesakkan dada. Namun setidaknya, peranan Ibu tak akan pernah pudar. Bahkan dalam Islam sendiri, betapa sosok Ibu hadir begitu luhur: bila sorga berada di telapak kakinya. Ia, dengan belaian lembut perempuan senantiasa menjaga “katakata” di puisi kehidupan, hingga sang anak beranjak dewasa. Dan si-anak membuat sendiri puisi dengan kata-katanya. Katakata dari Ibunya sendiri. Semacam yang ditulis Iwan Fals dalam lagunya—yang bagi saya adalah puisi juga: Ribuan kilo jalan yang kau tempuh/ lewati rintang untuk aku anakmu/ Ibuku sayang masih terus berjalan/walau tapak kaki, penuh darah/ penuh nanah/seperti udara/kasih yang kauberi/tak mampu ku membalas/ Ibu...

Alex R. Nainggolan Lahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku pernah muat di Jawa Pos, Riau Pos, Majalah Sagang, dll. Salah satu karyanya yang terbaru dimuat dalam antologi Akulah Musi (PPN V, Palembang 2011).

halaman 5


esei

Sihir Negeri Manasuka; Perusak Eksistensialisme Manusia

renungan kecil bersama “Avontur” (Kumpulan Puisi Ragil Sukriwul) Oleh: Ahmad Moehdor al-Farisi*

Sekedar Selingan: Sastra “Kumal” dalam “Celoteh” Pendidikan Hebat, sastra dewasa ini di tanah air semakin kencang meneriakkan suaranya. Di beberapa wilayah sudah terbentuk komunitas sastra dengan segala pernakpernik kegiatan dan yang dicita-citakan. Mulai dari kegiatan menggodok orangorangnya sendiri hingga menjaring lembaga-lembaga pendidikan agar tidak lagi kesurupan—oleh sistem negara yang kapitalis ini. Sebuah kondisi yang patut kita apresiasi dan pertanyakan, apakah “penghuni Indonesia” membutuhkan sastra sebagai sebutir obat “dahaga kehidupan” dan sumbangsih tersendiri di batin maupun perannya di masyarakat? Perlukah membicarakan karya sastra dalam konteks kehidupan yang pincang dan jenis kelamin masyarakat yang belum jelas? Bayangan

halaman 6

sastra sekarang seakan-akan semata ritual bagi mereka-mereka yang menggelutinya, seiring situasi bangsa yang sungsang dan dihajar disorientasi, carut-marut politik dan krisis jati diri bangsa yang akut tak henti terasa benar telah memojokkan kita pada ketidakpastian. Dunia yang berkedok pendidikan saja mulai mabuk dengan dandan kehidupan yang cabul, melucuti disiplin ilmu hingga telanjang bulat. Tenaga kerja didik yang sering didewa-dewakan mulai buntu telinganya, disumbat lembaga-lembaga yang mensyetankan sastra. Bagaimana tidak mungkin krisis jati diri semakin menjadi-jadi bila kegiatan belajarmengajar lebih sering dihabiskan untuk ngoceh di depan pasukan penerus kehidupan. Doktrin-doktrin kotor bahwa sastra bukanlah disiplin ilmu yang mampu


menyeimbangi disiplin ilmu lainnya terus dihantamkan. Tak menghiraukan apakah peserta didiknya babak belur atau cacat kesadaran. Sastra adalah rumah orangorang kumal, angkuh, dan menjijikkan. Kalau lembaga pendidikannya saja seperti itu lantas bagaimana pandangan mayarakat yang tak mengkonsumsi pendidikan? Saya tak berniat menghakimi dunia pendidikan negara kita masa kini. Anggap saja semua itu hanyalah sejarah yang tak bagus. Apalagi teladan. Jadi tak usah ditiru atau di abadikan. Sebagaimana banyak lembaga pendidikan di negara-negara tetangga yang lebih sering menuntun peserta didiknya untuk lebih cerdas dan peka terhadap realita kehidupan. Bukan menyancang di bangku kelas untuk mendengarkan celoteh gurunya yang menjenuhkan. Kita hormati saja mereka, tapi jangan ditiru. Riwayat tragis itu sepenuhnya tanggung jawabnya, dan kita mari saling merangkul untuk menyadarkannya. Kita tetap berterimakasih, karena berkat merekalah kita tahu sejarah yang tak bagus ini. Saya juga tak berniat mendesakkan sistem pendidikan negara ini dengan rumusan-rumusan sistem pendidikan yang (mungkin) diangap baru. Setiap kepala memiliki ide sisitem pendidikan yang bereda-berbeda. Tapi pengalaman membaca dan menulis membuat orang lebih cerdas dan peka dari pada mendengarkan celoteh yang menjenuhkan. Mungkin akan lebih baik jika peserta didik lebih ditekankan untuk membaca, membaca, dan membaca. Setelahnya diminta untuk bercerita di depan kelas dari isi buku yang dibacanya. Dan ini semua sudah dicontohkan oleh Tuhan Semesta dengan mengutus Jibril untuk menyampaikan

pesan-Nya pada Nabi Muhammad; Iqro’, iqro’, dan iqro’ (baca, baca, dan bacalah). Sedikit bumbu sebagai pembanding pendidikan di Indonesia dengan Negara tetangga. Semua data-data berikut saya dapatkan dari rumah Puisi Taufiq Ismail bulan Maret lalu. Tugas membaca buku di 1210 SMA Amerika Serikat; 44 halaman / minggu, 1582 halaman / tahun, 6336 halaman / 4 tahun. Bagaimana dengan di Indonesia? NOL!! Saya jadi ingin menangis sekaligus marah menyebutkannya. Pelajaran Bahasa dan Sastra di Amerika Serikat; Sastra 50 %, Mengarang 28 %, Tata Bahasa 10 %, Bicara 9 %, Lain-lain 3 %. Sedangkan di Indonesia lebih bangsat dari semua itu. Kegiatan belajar-mengajarnya dihabiskan untuk berceloteh, banyak bicara. Itu baru beberapa kegiatan belajar, belum lagi kegiatan belajar menulis yang lebih mengarah pada karya sastra. Siapkan diri kita agar tidak mencak-mencak membacanya. Tugas Menulis Karangan di Hindia Belanda dan SMA banyak Negara lain; 1 minggu 1 karangan, 1 semester 18 karangan, 1 tahun 36 karangan, 3 tahun 108 karangan. Tugas Menulis Siswa Malaysia (SMA Kolej Melayu): 14 halaman ketik / minggu, 504 halaman ketik / tahun, 2016 halaman ketik / 4 tahun. Membaca dan sesekali menulis membuat orang punya selera yang mungkin keliru dan bangsat bagi orang lain. Tak perlu memprovokasi selera, kecuali bunyi iklan produk makanan instan, begitu kata Binhad Nurrohmat. Dan saya tak bermaksud memprovokasi semua itu, hanya saja memasang woroworo bahwa pendidikan di Indonesia gelap sastra. Perhatikan saja baleho berikut ini: Tugas menulis karangan di SMA Indonesia mulai tahun 1950-2008 rata-rata 1 tahun 5 karangan, 3 tahun 15 karangan. Itu hanya

halaman 7


di sebagian kecil SMA Indonesia. Sebagian besarnya bagaimana? Mirip sholat Idul Fitri, 1 kali dalam satu tahun. Bagaimana, hebat bukan?

yang ketenangan dan kedamaiannya semata demi para investor yang ketentraman dan kesejahteraannya hanya untuk para birokrat

“Di Negeri Manasuka”, Ragil Sukriwul Berbicara Lagi-lagi saya dikagetkan oleh Penyair gondrong. Setelah munculnya Alek Subairi (Penyair Madura) beberapa bulan lalu yang mengobok-ngobok saya dalam antologi puisi “Jual Beli Bibir”, kini datang Ragil Sukriwul dengan antologi puisinya “Avontur”. Dulu saya diobok-obok oleh Alek Subairi—si gondrong itu—kini saya malah diminta untuk mengobok-obok antologinya Ragil Sukriwul—yang juga gondrong. Ternyata Tuhan cukup adil. Dari 53 puisi dalam antologi Avontur ini ada satu puisi yang menggebuk saya dari belakang untuk menjelajahi negeri manasuka Ragil Sukriwul. Seperti Rendra dengan puisinya “Sajak Sebatang Lisong” yang secara tidak langsung memaksa saya untuk segera berdiri dan berlari membaca ketidakadilan. Atau Afrizal Malna bersama puisinya “Persahabatan dengan Seekor Anjing” yang menyeret saya untuk terus bertanya-tanya tentang negara. Ternyata Ragil Sukriwul sama dengan dua penyair di atas, ikut-ikutan kesurupan di negeri manasuka. Perhatikan saja puisinya yang ditulis untuk (me-)‘Refleksi Kemerdekaan’—negeri manasukanya.

di senyampang semua borok ini kita masih saja menjaga pekik merdeka untuk para arwah yang berlinangan air mata karena waktu terus meyakinkan ironi lagu frustasi

berapa puisi lagi harus membakar kata kata berapa kata lagi untuk menikam kehampaan sedang janji selalu terlontar dari dubur yang terbiasa diceboki madu dusta begitu manis ini hidup di negeri manasuka

halaman 8

kenapa bukan “pukimai kau!” yang kita teriakkan untuk warna bendera yang mengabarkan banjir darah dan kibar kafan buat saudara sendiri

cuma

sungguh di negeri manasuka ini rakyatnya telah hidup merdeka yang tanahnya subur menyemai luka dengan air nanah nestapa (Puisi “Tentang Kemerdekaan”) Saya jadi teringat pendapatnya Taufiq Ismail seawaktu berbincang-bincang di Rumah Puisinya; Saat ini manusia dilanda krisis kepekaan. Kehidupan telah mencabik-cabik hati manusia. Tak ada obat yang paling manjur kecuali puisi yang lahir dari kesadaran hati penyairnya. Iya, penyair adalah tabib dan puisi adalah obat untuk menyadarkan manusia. Melalui puisi “Menyayat Bulan”, Ragil Sukriwul (sepertinya) siap menjadi tabib yang dimaksud itu, sekarang aku harus tegap dan mangap/. Biarpun negerinya manasuka, Ragil Sukriwul tetap menyambut pejabat pemerintahnya dengan tarian Togo. mari katong ba togo/ ketak ketuk korak


bertalu talu/ harum ketela dan ubi bakar/ memanggil manggil hati yang sepi/ tak perlu banting hewan/ kerna ini pesta rakyat/ bukan pameran harta bangsawan/ (Puisi “Mari Katong ba Togo”). Sopan santun yang menampar. Tapi, kadang-kadang Ragil merasa ketakutan hidup di dalamnya. Ia jadi teringat dengan kenangan-kenangan yang dalam. begitu seperti ketakutanmu:/ aku tiba tiba teringat akan kakak kakakku/ di masa kecilku/ kedua orang tua kami yang begitu sibuk berbakti/ untuk negara terkadang lupa, kalau beras dalam peti, bekas/ peti amunisi itu, telah habis pelurunya/ (Puisi “Aku Seperti Ketakutan Seperti Ketakutanmu”). Sungguh sihir manasuka yang menggetarkan. Jiwa ragil dikoyak tak karukaruan. Ia merasa dirinya selalu salah, salah, dan salah. katub bibirku disangka cerca/ kata nada mulut kira maki/ kapan kau kan tenang bila/ kepala masih penuh hujat/ (Puisi “Berontak .1”). Keterguncangan Ragil semakin kentara dalam puisinya “Berontak .2”. kesederhanaanku/ cacian/ keasalahanku/ kesombongan/ kritisku/ kemapanan/. Hingga ia bertanya-tanya, lalu sampai kapan harus/ menetap pada gemuruh stagnasi/ sampai kapan terus/ menyalahkan roda peradaban/ (Puisi “Diselamatkan Kiamat”). Ternyata keterguncangan itu tidak hanya melanda manusia lain, seorang tabib dari kalangan penyair pun ngilu atas semua itu. Tapi, ada nilai emas pada Ragil, keterguncangan itu dipoles dengan syair-syair, tanpa merusak fasilitas negeri manasuka. Sungguh pelajaran berharga bagi kita. Dari beberapa puisi yang saya sebutkan di atas telah sedikit banyak memberikan

pelajaran. Belum lagi membaca puisi-puisi lain yang terantologi dalam “Avontur”. Beberapa puisi di atas terjun ke glanggang otak saya bahwa Ragil berada dalam dunia manasuka yang tak busuk baunya. Semoga saja Anda juga merasakan hal yang sama sehingga kita bisa menerima puisi-puisi Ragil dalam konteks negeri manasuka yang sesungguhnya. Sebenarnya puisi-puisi di atas tak bernafsu memamerkan opini dan pembelaan penyairnya terhadap ketertindasan melalui lirik yang estetik, tapi mempersembahkan ruang dan waktu pada pembaca yang dibohongi oleh realita. Puisi-puisi itu bukan sekedar penyambung lidah. Puisi-puisi itu bahkan memberikan lidahnya pada pembaca, sebagai tanda bukti keperihatinan penyair melihat keangkuhan realita yang secara terus menerus mengeroposkan kehidupan. Ragil Sukriwul begitu fasih mengingatkan kita, berusaha menyatukan kembali persaudaraan yang hampir putus, kembali bersatu walau dalam keterpurukan. saudaraku sekandung pulau karang/ kita adalah anak nusa/ yang disemai debu tanah kering dan/ lambaian rumput coklat/ diteduh sela julang karang karang/ tempat kita bermain/ (Puisi “Sajak Kepada Kawan”). Sebagai sejarah mentalitas, karya sastra adalah wujud renungan atas realitas, wujud pandangan kritis atas realitas, dan wujud pemikiran alternatif atas realitas. Seperti yang dikatakan Supaat I. Lathief dalam bukunya “Sastra Eksistensialisme”, obyek karya sastra adalah realitas. Keberadaan realitas di mata seorang pengarang dioalah, diinternalisasi dan ditransendensikan melalui penjelajahan secara mendalam ke dalam wilayah pemikiran dan perasaan. Dalam tata kehidupan sosial pada

halaman 9


zaman modern ini semua serba manasuka. Mulai dari manusiannya, negaranya, ataupun sistem pemerintahannya, semua serba manasuka. Bebas. Tanpa kita sadari nilai-nilai keluhuran manusia perlahan mulai sirna. Mereka lupa akan dirinya, membiarkan status humanistiknya digerogoti oleh dunia manasuka yang hedonis. Erosi mental mulai menyerang, kebutuhan manusia sebagai makhluk yang berestetika sudah mulai sedikit demi sedikit terisolalsi dari induknya, dari kepribadian sebagai manusia atau dari kesadaran sebagai manusia. Kepribadian yang terisolasi menjadikan kehampaan hidup tanpa makna, akhirnya eksistensinya bagaikan sebatang pohon yang diam tak berarti dan berdiri untuk selama-lamanya, eksistensi humanistiknya mulai rapuh dan melayang. Dalam pengertian ini, benar apa yang dikatakn Rendra, “Orang-orang harus Dibangunkan�. Manusia membutuhkan sesuatu yang mampu menyadarkan dirinya, tentang eksisitensinya, dan mampu memberikan kesenangan dan kesegaran batin. Lantas dengan apa untuk melakukan semua itu? Kesenangan dan kesegaran batin adalah tenaga psikis. Untuk memperbaiki psikis itu tak ada cara lain selain dengan cara yang mengandung unsur psikis, yaitu kesenian (sastra). Sebab, sesuai dengan estetiknya, kesenian (sastra) mampu memberikan kelembutan hati, menghaluskan sukma manusia. Dengan kesenian (sastra) itulah yang mampu memberikan sumbangsih untuk menyadarkan manusia tentang dirinya, tentang eksistensinya. Dalam hal ini Supaat I. Lathief juga berpendapat, kesenian (sastra) sebagai penghias kehidupan dalam konteks

halaman 10

penyajiannya haruslah merupakan daya kreasi yang otentik murni, sehingga ekspresi dari intrik-intrik yang terdapat dalam jiwa manusia akan mampu terwujud melalui kemandirian kesenian. Begitu pula dalam knteks arti (meaning) haruslah memperhatikan kebudayaan, sosial kemasyarakatan yang terjadi. Dengan demikian terdapat kesesuaian antara obyek kesenian itu sendiri dengan eksistensi manusia sebagai peminat seni dan sebagai seniman, apalagi kalu kesenian itu sebagai penghibur keberadaan manusia di dalam kosmos ini. Sepertinya melalui Avontur, Ragil Sukriwul menyatakan diri siap untuk memasuki ranah tersebut, aku akan terus lurus di atas jalan hitam ini/ sampai ke titik yang nun di sana menghitam/ (Puisi “Sajak Hitam�).

*Ahmad Moehdor al-Farisi, penulis kelahiran Sampang Madura, 26 Juni 1990 yang lalu. Presiden KOSTRA (Komunitas Sanggar Sastra) UNIROW Tuban (2011/2012). Beberapa puisi, cerpen, esai, dan artikelnya nyangkruk di beberapa media cetak lokal maupun nasional. Bukunya yang terbit dalam antologi bersama: Jual Beli Bibir (Coretan Pena, 2011), Sehelai Waktu (Antologi Puisi Penyair Jawa Timur, 2011), Fiksi Mini (Pekik Merdeka, 2011), Di Sebuah Surau ada Mahar untukMu (Antologi Cerpen dan Puisi Penulis Jawa-Sumatera, 2011), Sepucuk Surat untuk Rasulullah (FLP Sumsel, 2011), Mimpi Kecil (KOSTRA, 2011), Menyirat Cinta Haqiqi (antologi bersama Penyair Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunai Darussalam, NUMERA, 2012), Poetry Poetry 120 Indonesian Poetry (adalah antologi puisinya yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan diterbitkan di AS, Jerman, Ukraina, Indonesia). Antologi bersamanya yang akan segera terbit: KAPRAH (antologi puisi 3 penyair lintas kota). Antologi tunggalnya; Malam pun Menyetubuhiku (Puisi, Sruni IKAPI, 2012) dan Sebongkah Kertas dan Wajah Emak (Esai, Sruni IKAPI, 2012).


cerita-pendek

Kupu-kupu Senja oleh Irdas Yan isra memang tinggal sendiri. Semenjak kepergian Syu’aib ke rantau orang untuk mengadu nasib, dia hanya bertemankan jiran tetangga. Zuriat pun belum Tuhan amanahkan kepada mereka. Sesekali pucuk surat dari Syu’aib tiba untuk menemani kerinduannya dan itu pun hanya sebatas menanyai kabar dan mengirim uang yang tak seberapa. Dia harus mencari penghasilan lagi agar kebutuhan sehari-harinya tercukupi.

halaman 11


Sudah sebulan surat yang biasa ditunggu Misra tidak lagi tiba di rumah. Rumah yang menjadi tempat bermastautin semenjak ia bersuami. Rumah ini hanya beratapkan rumbia yang memberikan kesan klasik dibandingkan dengan tetangga yang lain. “Misra, kapan laki engkau pulang? Sudah lama aku tak nampak batang hidungnya.” Pertanyaan dari Mak Cik Piah––jiran sebelah rumah––ini terasa pedih di hati Misra. Namun dengan berat hati ia balas dengan senyum yang terkesan memaksa. “Belum tahu lagi lah Mak Cik. Insya Allah dalam dua tiga hari ini, pulanglah.” Jawab Misra sedikit memberi keyakinan. Terkadang terbesit di pikirannya untuk bersuamikan orang lain, semenjak kepergian suaminya ini yang tak terlalu jelas kabarnya. Ditambah lagi dia memiliki perawakan yang tergolong memikat. Namun hati kecilnya berkata tidak. Ia memang harus menunggu suaminya yang dulu sudah berjanji akan menjaganya hingga mati. *** “Misra, aku tengok laki engkau tak pernah pulang lagi. Dan dengar kabar dari kawan-kawanku, katanya laki engkau sudah dengan wanita lain di bandar. Aku kasihanlah tengok engkau ni.” Goda lelaki betubuh tegap. Pagi itu Rahmad menghampiri Misra yang sedang menyidai pakaian di samping rumah. Sepertinya Rahmad baru saja pulang berburu dari hutan belakang kampung. “Engkau jangan mengada-ngada, Mad. Bang Syu’aib tidak macam itu.” Jawab Misra sinis. “Ha..ha..ha.. untuk apa aku berbohong, Mis. Ini kabar dari kawan-kawan aku yang pernah terjumpa Syu’iab dengan wanita lain di bandar tu.” Bela Rahmad. “Sudahlah. Engkau tak perlu ambil berat soal aku. Engkau urus saja diri engkau tu.” “Sebenarnya aku sangat prihatin melihat kondisimu ini, Mis. Lebih baik aku yang mengurusimu, dan engkau pun tak perlu bersusah payah menjadi orang gaji di rumah Pak penghulu lagi. Ceraikan saja Syu’aib tu, daripada engkau sakit hati.” Suara bariton Rahmad terkesan meyakinkan. Ini sudah kali keenam Rahmad menawarkan perkawinan itu. “Engkau jangan macam-macam, Mad. Tak sudi aku menikah denganmu. Aku tahu perangai busuk engkau tu. Lebih baik aku menjanda seumur hidup, daripada harus menikah dengan engkau.” Umpat Misra. “O... masih berani engkau tolak aku lagi. Oke. Oke. Tunggu saja tanggal mainnya.” Suara Rahmad terdengar mengancam,

halaman 12


sambil mengarahkan ujung telunjuknya tepat ke arah wajah Misra. Rahmad pun dengan wajah angkernya pergi meninggalkan Misra yang masih menyidai kain itu. Misra memang wanita yang setia. Sudah banyak yang mencoba melamarnya semenjak kepergian Syu’aib ke rantau orang. Namun dengan percaya diri ia tolak semua pinangan tersebut. Tentu dengan resiko dibenci oleh lelaki yang mencoba meminangnya itu. Terkadang juga disertai dengan ancaman seperti halnya rahmad tempo hari. Orang tua Misra sudah lama meninggal dunia. Tak ada lagi sanak saudara Misra di kampung itu yang bisa dijadikan tempat mengadu. Ia harus pandai-pandai berinteraksi dengan jiran tetangga. Sehari-hari Misra harus mengeluarkan tetesan peluhnya untuk bekerja sebagai orang gaji di rumah pak Wahid, penghulu kampung itu. Rumah penghulu memang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Selain bekerja sebagai orang gaji, ia juga sempat menoreh getah yang hanya beberapa batang di belakang rumahnya. Walau uangnya tidak seberapa, namun untuk sekedar menambahi perbekalan makan sehari-hari lumayan tercukupi. *** Petang itu dihiasi cahaya saga dari arah ufuk barat. Hembusan angin pun terdengar harmoni di celah-celah batang akasia yang berjejer di samping rumah mungil itu. Misra sedang menyapu dedauan kering yang berserakan di halaman rumahnya. Rumah yang mengingatkan ia tentang Syu’aib yang dulu setiap petang hari selalu bersenda gurau dengannya. Rumah yang menyisakan senyuman suaminya. Seketika ia ingin masuk ke dalam rumah untuk mengambil parang, tiba-tiba gerombolan kupu-kupu menyerbu masuk ke dalam rumah. Sekitar sembilan hingga sebelas ekor kupu-kupu mengerumuni ruang tamu petang itu. Kupu-kupu itu mengingatkan Misra tentang cerita Emaknya dahulu. Jika ada kupu-kupu masuk ke dalam rumah kita, berarti akan ada tamu yang akan datang. Misra tertegun sejenak. Tiba-tiba bibirnya mengukir senyum yang selama sangat jarang muncul di wajahnya. Mukanya sangat berseri ketika ia menatapi ekor demi ekor kupu-kupu yang berkerumun di rumahnya. “Berarti akan ada tamu sebentar lagi yang akan datang. Tamu itu pasti Bang Syu’aib. Iya, aku yakin pasti Bang Syu’aib.” Senyumnya semakin mengembang. Ia langsung bergegas mandi. Mengemas-ngemas rumah kecil

halaman 13


itu. Tumpukan daun kering yang tegeletak tak berdaya di halaman depan tadi dilupakannya. Dandannya pun sangat berbeda petang itu. Seperti anak dara yang akan dilamar seorang pemuda kaya. Wajahnya berseri. Setelah ia mendandani dirinya, ia segera duduk tepat di anak tangga depan rumahnya sambil menghadap ke arah luar. Menanti kedatangan tamu specialnya, Syu’aib. Senja mulai beranjak ke malam. Kupu-kupu yang tadi berkerumun di dalam rumah pun satu per satu meninggalkan Misra yang sedang duduk termenung menanti kedatangan suaminya. Hari pun sudah mulai gelap dan Misra berpindah tempat duduk. Ia bangun dari duduknya sambil menutup pintu segera duduk di kursi kayu ruang tamu sambil menghadap ke arah jendela kayu itu. Sekian menit sudah berlalu. Tamu itu belum saja muncul. Mulailah terbesit di pikirannya, “Mungkin kupu-kupu itu membohongiku. Hm... tapi tak mungkin. Perkataan Emak dulu itu benar kalau ada kupu-kupu pasti ada tamu.” Adzan Maghrib terdengar sayup. Suara binatang senja pun mulai bersahutan. Seiring dengan ketukan pintu rumah Misra yang membuat lamunan Misra terpecah. Tok..tok...tok... Misra langsung tersenyum. Ia bergegas sambil berlari kecil menuju pintu dengan begitu semangat. “Bang Syu’aib ya?” teriak Misra girang sambil membuka pintu. Namun tuhan berkata lain. Tiba-tiba muncul pisau yang mengiris leher Misra oleh seseorang yang Misra sangat kenal, Rahmad. Tamu yang tak diundang itu pun tersenyum puas. Karena sudah berkalikali dia melamar tubuh wanita yang tak lagi bernyawa itu, namun ditolak dengan kasarnya. Kupu-kupu pun menjadi saksi kedatangan tamu ini. ***

Irdas Yan adalah penulis yang bermastautin di Pekanbaru, Riau. Begiat di FLP Riau. Pernah Membina Komunitas METAFORA. Karya-karyanya termaktub di berbagai media cetak Lokal maupun Nasional.

halaman 14


sajak

Kerudung Puisi Telur Ular Dalam Eraman Angs Sajak Obsesi Sederas Pelimbahan Berhala Tumpah Amarah Freedom Persimpangan Sembilan Lipatan Waktu Nikmat Dalam Nyeri Desas-Desus

Kerudung Puisi merupakan nama pena dari Bellinda Puspita Dara, mahasiswi UNRI FKIP Ekonomi program S1. Ia adalah anggota FLP Cabang Wilayah Pekanbaru Angkatan 8, selain itu ia menjadi anggota COMPETER. Dan ia memiliki motto hidup yang sangat luarbiasa “ Selagi bisa berusaha sendiri kenapa harus mengharap orang lain, selalu berusaha memberikan manfaat untuk orang lain sekecil apapun, lakukan apa yang bisa dilakukan sekarang jangan menunda-nunda�

halaman 15


Telur Ular Dalam Eraman Angsa

Cermin bangsaku kian carut marut Aku prajurit kecil semakin kehabisan peluru Di tengah kecamuk perang besar omong besar Pemberondongan membabi buta atas nama ketuhanan Sementara dua puluh tujuh juta tetap berkaparan Sementara “Si kecil� dihargai tanahnya dengan recehan Sementara “Sang Petualang� dimodali seharga dua kali pulau jawa Sungguh telur-telur ular leluasa menyelinap ke eraman angsa Mataku, telingaku, hatiku ingin kumatikan Tapi kaleng-kaleng, kotak-kotak, botol-botol tetap dijejalkan Mejaku tak pernah henti dikirimi bungkusan plastik Semakin kuat hempaskan aku ke rumput duri Anta takjub dan kecut, kurindu suara azan Sambil menyisir pantai kuratapi segala yang terapung Sambil kusibak belantara ku tangisi nasib penghuninya Sambil kudaki gunung ku sangat kehilangan aroma angin Sungguh dimana-mana ada angsa menyerami telur ular

halaman 16


Sajak Obsesi

Lampung bercampur garam Jangan dulu karam Senyap pula belantara hutan Sajak biar mengambang-terbang Melarut bersenyawa asam-gula Sajak biar timbul tenggelam Menghirup hawa pegunungan Betapapun kental nian belenggu melengket Pagi memanjang dalam rintihan Pekan merayap dalam sayatan Musim pun sangat lama usai Ranting-ranting usah dipatahkan Biarlah jadi puritan dalam hayatan Hidup lecutan tempa diri Tawar hambar hukum alami Sajak galau ke papar dalam kelabu Sajak sufi kuhembus saat bersuci Selama fajar masih mengingsing Tunas menumbuh kembang Cinta menderai-derai Jiwa, ruh, nurani, qalbu tetap membisik obsesi

halaman 17


Sederas Pelimbahan

Pelimbahan merambah melayah Dibanyak altar pelataran Kepala mengepala jasad Menyemburat kata-kata Menghentak langkah goyah Mengayun tangan lunglai Hati beku menuntun diri Pelimbahan memekat melekat Merangsang memburu persucian Benteng iman diseringai ramai Gemerincing tokat dajjal nyaring Globalisasi lebarkan sayap taring Menyemut merentang merubung Bersama mengalir pelimbahan Dengus memburu syahwat menghebat Kian deras kian menyalak Kian cepat kian bias Angkara murka dibalik kedok arjuna Roh iblis merasuk san Dewi Pelimbahan dijunabi syahwat hajat

halaman 18


Berhala

Aku tak ingin apapun jadi berhala Tapi terkadang kehendak begitu menglunjak Kelenjar aliran darah dahsyat bergelegak Sendi tulang-belulang linu menggerus hentak Menggapai peluh, ekor kilat hajat syahwat Mengejar sungguh, simbol keharusan peradaban Entah semakin menurun atau mendaki derajat diri ini? Aku tak ingin apapun jadi berhala Namun dalam terbaring kekasih merampas, khayal Dalam terjaga, disibukkan urusan duniawi Dalam kesenggangan, masyarakat mencuatkan persoalan Anak istri pun tetap berebut kesempatan luang Posisi kesadaran kritis kian tenggelam ke dasar muatan Aku tak ingin apapun jadi berhala Cengkraman angin syurga nyaris jadi embun Atau maha raja mahir menteror berjuta jurus rekayasa Kan kucoba tali pegangan iman ke genggam erat Hamba Mu ini asik kerap lalai terpecundangi ilusi Sifat tumpas serta fakir sering terlupakan kemilau duniawi

halaman 19


Tumpah Amarah

Bedah diri Sesudah terkelucak darah Renas tercampak azad Lunglai mengepak rangsak Orang hanya tengok korok Dengus nan menohok bobrok Membedah diri Sekusut air muka perawan Memilah duka rekanan Dewa Cuma mengucek mata Desis berkacak pinggang belaka Mengarah diri Mengukur waktu julang Menghimpun daya juang Memanggang ethos pedang Ketika ramah punah Selaksa ranjau ditebarkan Sejuta moncong diarahkan

halaman 20


Freedom

Dalam kebisingan deru “GAS TURBIN� Aku menyimak merenungi menginsyafi diri Ternyata aku bukan sekedar kecing uduk ceking Yang pincang kepayahan, tuk sekedar berjalan pelan Aku bukan sekedar anjing kurap dekil Yang kecut berjalan dengan ekor sembunyi diselangkangan Detik aku baru menyadari dengan nyata Bahwa aku manusia merdeka, miliki kebanggaan hidup Miliki mimpi, miliki pintu-pintu pilihan Serta punya hak azazi yang bebas universal Disamping miliki kewajiban yang sepantasnya Sewajarnya selaku warga desa, warga negara, warga dunia Lebih utama sebagai darma bakti, selaku umat beragama Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya Aku bebas mendesah masa depanku sendiri Aku tidak akan merunduk bila digertak Aku pun tidak akan gentar bila dituntut berpikir Rasa takut dan kerdilku ku kepit didalam sayap-sayapku Terbanglah aku memasuki suasana alam dunia bebas Berenanglah aku mengarungi dasar-dasar samudra lepas Kemerdekaan hanya tunduk pada konsesus luhur Kebebasanku hanya patuh terhadap titah-titah tuhan

halaman 21


Persimpangan Sembilan

Aku berada dipersimpangan sembilan Tanda panah menuju aliran-aliran sampahan Aku masih saja bingung linglung tertegun Sementara yang lain berduyun limbung terhuyung Menuju cahaya gemerlap penuh gelak canda tawa Menuju pintu-pintu bercat gelap tanpa aksara Menuju titik pusat daya magnetik aneka sendawa Aku berada dipersimpangan sembilan Acap berdecak kagumi kebrilianan kaum teknohrat Kerap merasa terpedaya dipecundangi para birokrat Sering tercengang dengan sepak terjang sang demokrat Sementara golongan abdi bergelayut buritan Sementara lapisan petinggi menghela cekoki sayatan Sementara gerombolan jelata megap-megap kembang kempis Menohok kemuliaan jadi keping-keping kayu tatal fatal Menyodok getar keillahian dengan impian-impian pertaruhan Tiada mampu saksama dalam arena kompetisi jejal petal

halaman 22


Lipatan Waktu

Aku tak bosan melipat-lipat waktu Walau harus telusuri jalan tikus Bahkan membuat seruak rintisan baru Susuri bibir ceruk curam meliuk-liuk Dalam dingin hingga terguyur limpahan langit Dalam panas sampai khayangan terik amarah sengit Dalam tempias air nan mengembun setubuhi kulit Oohh... mengembaralah batin menyibak juraian hari Aku tak jera melipat-lipat waktu Lembayung pelangi melengkung tujuh warna-warni Kemuning jiwanya memudar memancar cahaya Beku, tercairkan gemulai pawai pengiring sangkakala Arak-arakan mega menuju pesta gagap gempita Gelegar dahsyat gagah, buraikan cendawan raksasa Ramadhan tiba, hirup hawa seliwir aroma khas syurga Ya...allah bentangan langit, bumi karya Agung Mu Aku tak jemu melipat-lipat waktu Betapa pun sering kutahan gelembung batinku Ngarai hati terkucilselagi memburial buih Barut-barut gorok tergelitik gatal dahaga raba Dimensi relung nan tersuci terharumkan aroma bidadari Mampetlah pangkal dendam jurang durja sendawa Bendunglah empat karam curam bursa durga petaka Duhai tuangan di cawan cristal masih ilusi teka-teki

halaman 23


Nikmat Dalam Nyeri

Berat.... Menggenggam pesan Dinanti diujung hati Kabut lampaui risau Layaru riak kemilau biru Menuju dermaga intuisi sejati Setelah ditulari seluruh tubuh terpasung Ingin ku bernujub berkali-kali Menepis titisan sisik bisik benci Berat... Lindungi gurat kasih Dari aliran empedu cemburu Dari genangan telaga rindu Dari luapan simpati berseteru Hiasan kasmaran ingin ku suci Relung sakral berkelambu berpeniti Walau tempias culas membias-bias Dinasti cinta tetap utuh bertahan Kelana dalam nikmati nyeri abadi

halaman 24


Desas-Desus

Seputar tempo, editor dan detik membingungkan lenguhan Entah kata makna apa yang pantas diteriakkan Telah letih akar-akar demokrasi tembusi sekat beton Kini malah digergaji lagi, disumbat lagi jalarannya Menggigilkah, sesak nafaskah, berkeringat dingin kah? Orang-orang berkaresteral tinggi dan gendut subur Terlalu takutkah terhadap gumpalan-gumpalan alamiah Tubuh demokrasi babak belur lagi Ranting-ranting berduri coba ditimpakan Palu, Gagang, pistol coba gedor nyali panji-panji Hampasan ombak kebengisan, gelombang amarah ditaumpah ruahkan Kepalanya, lambungnya, kaki tangannya coba ditelungkup Ya...tuhan apapun yang terjadi aku tak bisa jadi batu Antara desas-desus dengan fakta

halaman 25


sajak

Syafrizal ahrun AWAL JUNI JUNI DI JENDELA JUNI INI KANCING /1 KANCING /2 DI JENDELA

Syafrizal Sahrun. Lahir tanggal 4 November 1986 di desa Percut. Memperoleh gelar sarjana dari UISU dan sekarang tengah mengikuti PPs di UMN. Beberapa karya puisi dan esai sastra di muat pada Batak Pos, Lampung Pos, Haluan Kepri, Haluan Padang, dan sebagianya. Puisinya juga di muat pada Antologi puisi Suara peri dan mimpi, Antologi puisi Cahaya, Antologi Puisi Tarian Angin dan Antologi puisi Menguak Tabir. Bekerja sebagai guru di SMK Y.P. Citra Harapan Percut.

halaman 26


AWAL JUNI

Kita berjalan-jalan senja itu Di antara kepulangan dan kedatangan Kapal melepas sauh Lambai membayang terang Tapi kita bagai hidup berdua Di alam raya Kepulangan dan kedatangan Seperti syair yang mengalun Kita terus berjalan-jalan di bibirnya

JUNI DI JENDELA

Di jendela Angin mambawa harummu Mengabarkan kabar di perbatasan Tentang burung-burung yang murung Tentang ikan-ikan yang melahap Punggung kolam Di jendela Rambutmu terkibar Senyummu di tawan kasih di seberang Menghitung tanggal Juni hampir tanggal bayangan Bak jalan lempang yang panjang

halaman 27


JUNI INI

Ada 5 batu lagi Dari Juni ini Kita punguti ia Seperti pasir di bibir samudera Juni ini Tekat menyusun bulat Batu mengeras harap Mahligai kita berdekap

halaman 28


KANCING /1

Dari satu kancing yang kurindu Kau beri seribu Dari seribu Tak mapu jua kupilih Satu

KANCING /2

Jika kau lepas satu kancing Aku ingin membuka yang lain dan jika yang lain telah terbuka Mataku jua hampa Lembut belailah dalam dada

halaman 29


DI JENDELA Di jendela si janda menopang kepala Tak lagi ia mengalun dengkur Liurpun kandas Panas Ia bertandang pada jendela Di jendela Dipanahnya bulan sepauh baya Di dadanya racun Dipaksa jadi cahaya Karena gulita Teman setia Di jendela Lamunnya rubuh Lengking anaknya Melepas bulan dari gantungnya

halaman 30


sajak

A.S Nurul Anam

Penyerahan diri Perantau di jalur Selatan dan Utara Mengenang yang terlupaEtalase Rumah tua Gus Z.A

Romansa sebuah hari Mikrofon Tellasan

A.S NURUL ANAM, lahir di sungenep madura 19 mei 1991. Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY). mahasiswa Ushuludin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

halaman 31


Penyerahan diri

Takkan ada lagi doa Takkan ada lagi air mata Bila dunia selesai bersandiwara Langit tak akan menjadi langit Bumi tak akan menjadi bumi Manusia dan satwa tinggal menunggu cerita baru

Perantau di jalur Selatan dan Utara

Seperti sediakala, perjalanan Memenuhi tubuh kota Pepohonan beku Orang-orang memancar mengejar waktu Adalah ruang yang mereka buru Pada jalan ini kau dan aku tumbuh Mengejar mitos yang hampir runtuh Dan pada jalan ini kita melubangi nasib sendiri Pada jantung kota yang sudah menua Itu sebabnya selatan dan utara adalah peta Orang-orang yang terluka

halaman 32


Mengenang yang terlupa

Non, mata air air mata ini menyuburkan harapan Daun-daun yang mengring dipuncak kemarau Menjadi saksi musim gugur Kini aku tak bisa lagi bermimpi Memanjat tubuhmu dengan janji Dulu aku memutuskan pergi berkelana Lantaran aku tau bahwa rindu Akan candu, gelak tawa masa lalu Namun rindu tak pernah selesai Menghitung angka-angka hingga tahun-tahun membuat kita rabun Memandang masa depan Kau pun tumbuh di hati yang lain Memanenkan sumpah sehidup semati Non, bukan sukun yang mabni Tapi jarak yang membuat alif ini memanjang Sampai aku lupa jalan pulang Ku kirimkan seperangkat doa Mengenang yang terlupa Non, yang membuat kabut di mata

halaman 33


Etalase Rumah tua Gus Z.A

Rumah tua ini selalu asik berbicara Mengajak kita bercakap dan sesekali bermunajat Disini sebuah ornamen masa silam bermula Ketika cinta masih malu bermuara Danau-danau hanya menjadi cerita Sebuah pulau yang waktu itu belum kau beri nama Kini setelah engkau tiada Rumah tua ini menanggalkan cerita baru Tak ada lagi ritual atau ulur tangan Kepada kita yang selalu merasa risau Rumah tua ini seakan menyimpan tangis Melihat anak-anak hidup seperti gerimis Selalu ingin menjadi angin Menggetarkan kehidupan yang lain Mimpi memang selalu ada Sebab kita adalah manusia Engkau adalah sejarah orang-oang yang berdarah Dan kita adalah sejarah orang-orang yang kalah Rumah tua ini akan selalu mengenangnya Sebagai ornamen masa silam yang kini sumbang

halaman 34


Romansa sebuah hari

Aku pergi ke sebuah pagi Embun masih beku Padahal timur telah melahirkan matahari Dan awan telah abu-abu Aku pulang pada siang Ku temukan banyak orang Menghitung hari Dan mimpi-mimpi Pada sebuah malam Aku duduk terdiam Angin membawa berita pagi dan siang Telah terjadi banyak keributan Aku bingung harus pergi kemana Sebab pagi, siang dan malam Hanya sebuah ilusi panjang Dari waktu menuju ruang

halaman 35


Mikrofon

Mendengarnya, seribu kenangan tentangmu Berdetak kembali, membuka harapan-harapan Yang sumbang pada catatan harian Kenangan ini yang membuat hari-hari kumal Dan membuat aku hidup dalam hayal Rasanya, ingin kubanting suara ini Tapi setiap ruang menganak lelah dan gelisah Sampai pasrah adalah rumus palig indah Mengenangnya sebagai bianglala yang terus menyala Pada ceruk kota

halaman 36


Tellasan

Batang-batang pisang akan berhenti berbuah Ricik air di sungai membahasakan malam paling kelam Pada waktu itu orang-orang mengganti warna Setelah sebulan bermain cinta Wajah-wajah ranum berselip dosa Lelap pada jabat tangan alam semesta Inilah penantian panjang yang berlubang Manusia kota maupun desa Jauh dari abad yang ditikam sejarah Nenek moyang kita merayakannya dengan darah Darah yang selalu merasa kalah Ritual ini selaksa rindu dan cinta Tak dapat di pisahkan Tapi gampang mendapatkan Cuma tidak semua orang dapat enyah di dalamnya Merapikan tawa dalam keluarga Menyusun maaf pada tetangga Karena ruang selamanya mempunyai batas dengan waktu

halaman 37


berita-budaya

Pada FPRN Medan Salimi Yusuf Sebagai Sutradara Terbaik

Salimi Yusuf, Sutradara tim seni pertunjukan rakyat Kabupaten Indragiri Hulu dinobatkan sebagai sutradara terbaik pada Festival Pertunjukan Rakyat Nasional dalam rangka Pekan Informasi Nasional tahun 2013 di Medan, Sumatera Utara, Minggu (26/5/2013) malam. ‘’Alhamdulillah, prestasi ini kebanggaan bagi saya, sebab selama 33 tahun saya menggeluti seni teater, baru kali ini dinobatkan sebagai sutradara terbaik tingkat nasional. Mudah-mudahan ini juga menjadi kebanggaan bagi masyarakat

halaman 38

Inhu,’’ ungkap Salimi Yusuf, Senin (27/5/2013) kepada sejumlah wartawan di Pematang Reba Prestasi Salimi Yusuf ini merupakan kebanggaan bagi Kabupaten Inhu yang tampil mewakili Provinsi Riau pada ajang bergengsi tiap tahun yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia tersebut. Sedangkan tim seni pertunjukan rakyat asal Inhu harus puas sebagai juara harapan satu. Salimi menyebutkan, berdasarkan keterangan dewan juri, ia dinobatkan


sebagai sutradara terbaik karena tingkat kesulitan cerita Pulau Sicaram yang ditampilkan para pemain serta mampu menggabungkan antara teater tradisional dengan sentuhan modren. ‘’Ini pencapaian terbaik saya selama menekuni dunia teater. Kedepan saya mungkin akan pensiun dan hanya fokus untuk pembinaan bakat-bakat muda, baik itu untuk pemain maupun sutradara,’’ ujar Salimi yang juga Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Indragiri Hulu ini. Sementara itu, Manajer Tim Seni Inhu Mailiswin mengungkapkan, tampil sebagai juara pertama pada Festival Pertunjukan Rakyat Nasional tahun ini adalah tim tuan rumah Sumatera Utara dengan nilai 715. Juara kedua diraih Jawa Barat dengan nilai 710 dan juara ketiga diraih Papua dengan nilai 700. Sedangkan ditempat keempat atau harapan satu diraih Provinsi Riau yang diwakilkan tim seni pertunjukan rakyat asal Inhu dengan nilai 679, harapan dua Jawa Tengah dengan nilai 668 dan harapan tiga Jogjakarta dengan nilai 666. Sementara tim seni pertunjukan rakyat asal Sulawesi Barat, Jambi dan Kalimantan Barat harus puas sebagai juara hiburan satu, dua dan tiga. ‘’Kami mengucapkan terimakasih atas dukungan dari Bupati Inhu yang juga Dewan Kesenian Indragiri Hulu, Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi Inhu serta STIE Indragiri yang memberikan kesepatan kepada mahasiswa dan mahasiswinya untuk berpartisipasi pada kegiatan ini,’’ ungkap Mailiswinyang juga merupakan Ketua Dewan kesenian Indragiri Tim Seni Pertunjukan Rakyat asal Kabupaten Inhu tampil pada malam final Festival Pertunjukkan Rakyat Tingkat

Nasional tahun 2013 di Medan, Sumatera Utara mewakili Provinsi Riau dan wilayah Sumatera. Pada ajang yang sama tingkat Provinsi Riau, tim seni pertunjukan rakyat asal Inhu tampil sebagai juara pertama. Dimana pada seleksi yang diikuti 33 provinsi se Indonesia di Jakarta, tim seni pertunjukkan Inhu masuk sebagai tiga besar finalis mewakili Sumtera bersama tim dari Jambi dan Sumatera Utara.Tim seni pertunjukan Inhu membawakan cerita Pulau Sicaram.Cerita ini berkisah tentang perkawinan seorang putri dari khayangan dengan rakyat biasa. Dalam cerita ini terkandung pesan-pesan moral dan pembangunan yang berguna bagi masyarakat. Sedangkan para pemain yang memperkuat tim seni pertunjukan Inhu berasal dari Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Indragiri Rengat yang dikoordinir Komite Teater Dewan Kesenian Indragiri Hulu.*** (red. Dari int. inhukab.go.id dan berbagai sumber)

halaman 39


pentas

Di Seberang Perbatasan (drama singkat)

Pengantar Redaksi Pernyataan yang mengatakan bahwa menghasilkan sebuah karya seni yang piawai, sama seperti perempuan melahirkan anak. Hendaklah dilihat dari sisi susah payahnya suatu karya hadir di dunia ini. Karena itulah ada karya yang mengarahkan konsumen seni ke proses pembodohan manusia, tapi adapula karya yang mengarahkan orang menuju ke kecerdasan. Samasekali tidak salah menokohkan hantu dan semacamnya dalam sebuah cerita pentas atau film; Faust karya Goethe atau Spoksonaten (Sonata Hantu) karya Hendrik Ibsen ialah cerita tentang makhluk-makhluk halus; karena itu kita di sini tentulah boleh-boleh saja menokohkan polong, pelesit, serindai, atau sijundai dan lainnya, asal saja keseluruhan cerita mempunyai bobot filsafat yang meyakinkan. Setiap baris dialog dari cerita yang disebutkan di atas membentangkan panorama pencerahan kepada siapa saja orang yang membaca atau mendengarnya. Harus seperti itu pulalah faal setiap baris dialog dalam karya-karya setempat tentang hantu-hantu kalau tak ingin disebut memperbodoh orang. Di bawah ini sebuah petikan dari naskah cerita sandiwara karya Hamdan Yasin yang merupakan antitesis dari naskah-naskah sampah yang dapat memperbodoh penonton. Pemadatan karya dilakukan oleh pengarangnya sendiri dan naskah lengkap ada pada pengarang. Pemuatan karya ini dengan seizin pengarangnya diiringi catatan: dilarang menyebar-luaskannya dalam bentuk apapun kecuali untuk majalah budaya “Sagang�.

halaman 40


Di Seberang Perbatasan Dramatis personae: MARIANI HAMDAN DOKTER PERAWAT ADEGAN PERTAMA Di Panggung Satu. Dua ruang yang dibatasi oleh tirai tipis. Pada ranjang pertama sang pasien seorang lelaki dan pada ranjang kedua seorang perempuan. Dokter masuk, Perawat menggeser kursi dekat ranjang pasien, dan Dokter itu lalu duduk di kursi, memeriksa pasien lelaki. HAMDAN:Siapa itu? DOKTER: Saya dokter. HAMDAN: Siapakah kau? DOKTER: Dokter. HAMDAN: Siapa aku? DOKTER. (Memegang kartu yang di ikatkan pada sandaran ranjang). Hamdan. Umur lima puluh tujuh tahun. Pakar astronomi. Ya, astronomi bukan astrologi. Astronomi. (Menggeleng-gelengkan kepala; kepada diri sendiri) Pekerjaan yang sepi. Ketika orang-orang sedang nyenyak menikmati tidur, ia terus memperhatikan bintang-bintang di langit malam. Seorang diri. Ginjal dalam keadaan sangat gawat. HAMDAN: Siapakah kau? Dokter itu berdiri, menggeleng-gelengkan kepala dan berbisik dengan Perawat yang segera menempelkan sehelai kartu bertulisan: KOMA pada sandaran ranjang. Ia lalu masuk ke bagian perempuan, diikuti Perawat yang menggeser kursi mendeka-

ti ranjang. Dokter itu duduk di kursi dan memeriksa pasien perempuan. MARIANI: Siapa itu? DOKTER: Saya dokter. MARIANI: Siapakah kau? DOKTER: Dokter. MARIANI: Siapa aku? DOKTER: (Memegang kartu yang diikatkan pada sandaran ranjang). Mariani. Dua puluh empat. Mahasiswa Fakultas Ekonomi. Hobi: Memanjat tebing. Ginjal dalam keadaan gawat. MARIANI: Siapakah kau? Tak kau dengar aku bertanya? Siapakah kau? He, siapakah kau? DOKTER. (Menggeleng-gelengkan kepala dan berbisik dengan Perawat yang segera menempalkan sehelai kartu bertulisan: KOMA. Dokter itu memandang si pasien sambil terus menggeleng-gelengkan kepala, diperhatikan oleh Perawat): Absurd! Sudah hampir tiga bulan! Dengan lelaki yang di sebelah itu dia seperti pencinta dalam dongeng yang masuk ke klinik ini dalam keadaan koma. Kurang dua hari jadi tiga bulan mereka terbaring di sini. Absurd! (Lampu yang menyorot kedua ranjang perlahan-lahan padam. Dokter dan Perawat bergerak hendak keluar dan lampu yang menyoroti merekapun perlahan-lahan padam.)

ADEGAN KEDUA Lampu menyoroti Panggung Dua. Mariani dan Hamdan sedang duduk di terap sambil termenung.

halaman 41


MARIANI: (Memandang Hamdan) Siapakah kau? HAMDAN: (Memandang Mariani) Siapa kau? MARIANI: Kau siapa? HAMDAN: Kau siapa? MARIANI: Kau dulu! HAMDAN: Kaulah dulu! MARIANI: Kaulah! HAMDAN: Baiknya kau! Lady first! MARIANI: Masih laku sikap manis formal warisan orang Eropa itu di tempat seperti ini? HAMDAN: Tempat seperti ini? Apa maksudmu? MARIANI: Tak tahu kau? Betul kau tak tahu? Percuma kau sudah hidup lama, beberapa tahun lebih tua dari ayahku. Tapi di mana tempat kau berada sekarang pun tidak tahu. HAMDAN: Mari kita selesaikan satu per satu. Mula-mula tentang nama. Namaku ... MARIANI: Hamdan! HAMDAN: Dari mana kau tahu? MARIANI: Itulah beda kita. Selain usia juga keparahan penyakit. Kau tertidur ketika dokter membaca kartu identitas dan keterangan tentang penyakitku, atau barangkali telingamu tidak setajam telingaku. Aku mendengar baik-baik dan dengan baik ketika dokter membaca kartu identitas dan keterangan tentang penyakitmu. Jadi aku lebih mengenalmu, sedang kau tak mengenalku. HAMDAN: Kita berada di mana? MARIANI: Di ambang antara hidup dan mati. Di tempat seperti ini gula dan garam kehilangan rasa, menjadi tawar. Tak ada lagi panas dan dingin. Semua yang berhubungan dengan perasaan telah mendapat kadar dan nama yang baru di

halaman 42

tempat kita berada sekarang ini. HAMDAN: Dari mana kau tahu? MARIANI: Selain perbedaan kelamin, lama atau baru sebentar menjalani kehidupan dapat membedakan pandangan. Namun perbedaan itu pun akan segera sirna setelah kita memasuki ruang di depan yang pintunya sudah mulai terbuka itu. HAMDAN: Apa maksudmu? MARIANI: Jangan pura-pura dan jangan jatuh bodoh, profesor! Perhatikan, mana berani aku berengkau-aku denganmu sesuai perbedaan kita kalau berada ruang kehidupan dunia di sebelah sana itu! HAMDAN: Perbedaan? MARIANI: Yang sudah hampir punah semuanya. HAMDAN: Tunggu dulu! Tunggu dulu! Masih ada yang belum beres. Namamu? MARIANI: Mariani! HAMDAN: Teruskan, Mariani! MARIANI: Karena masih bertahan di ruang Koma maka sebagian besar perbedaan antara kita sudah lenyap. Salahsatu yang masih bertahan ialah perbedaan kelamin. Tepatnya perbedaan alat kelamin. Karena kita masih memiliki tubuh dan nyawa, masih memerlukannya, meskipun sedikit. Kita harus tetap mempertahankan perbedaan itu, Hamdan. Bagitu ruang ini kita tinggalkan, segala perbedaan yang ada di antara kita pun tak lagi kita punyai. HAMDAN: Tak kau lihat sesuatu yang aneh pada diriku, Mariani? MARIANI: Aneh apa? Kau biasa-biasa saja! HAMDAN: Coba perhatikan baik-baik! MARIANI: Apa? Ada apa, Hamdan? HAMDAN: (Menunjuk ke lantai) Aku telah kehilangan sesuatu yang


akrab dengan semua manusia, sesuatu yang akrab dengan semua makhluk, bahkan dengan semua benda. Aku kehilangan bayang-bayang di tengah puncak terang lampu. Coba aku ingat-ingat dulu semua yang terjadi padaku akhir-akhir ini. (Mereka diam sebentar) Ya, aku juga sudah kehilangan mimpi. Ke mana perginya semua mimpi-mimpiku? Dulu mimpimimpi itulah yang membuat semangat hidupku tetap menggelegak. Ke mana perginya semua itu sekarang? Apakah ini tanda kematian? MARIANI: (Melihat ke lantai dan merabaraba ke tempat bayang-bayang Hamdan yang hilang. Dia tiba-tiba menggeletar seperti diserang malaria). Dingin sekali! Hamdan, aku kedinginan sekali! HAMDAN: Dengan apa hendak kutolong kau mengurangi kedinginan di tempat seperti ini? MARIANI: Dengan dirimu. Dengan dirimu seluruh. HAMDAN: Dengan diriku seluruh? MARIANI: Peluk aku erat-erat dengan hati dan dengan lenganmu yang sudah hampir kehilangan tugas itu. HAMDAN: (Mengulur lengan seperti hendak memeluk tapi tak sampai) Mariani, induk lautan, harapanku yang penghabisan! MARIANI: Cukuplah sudah kata-kata seperti itu, Hamdan. Di tempat ini bebek buruk dan merak cantik sudah tidak lagi berbeda. HAMDAN: Tapi aku hanya punya katakata ... MARIANI: Sudah sejak lama aku tahu siapa kau, Hamdan. Bukankah kau sudah melampaui prestasi professimu? HAMDAN: Sepertinya tak ada lagi yang terlindung tentang diriku padamu. Men-

gapa semua ini baru kuketahui setelah berada di ujung perjalanan? MARIANI: Mungkin kita sudah berada di bagian ujung perjalanan. Tapi belum habis, Hamdan. Belum. Kita masih punya nyawa, masih punya tubuh. Mari kita satukan nyawa dan tubuh kita, agar harapan yang tinggal sedikit itu dapat bersambung, agar dapat memberimu suatu hadiah yang mungkin mengurangi kepedihan hidupmu. Dengan penuh kerelaan akan kuberikan kepadamu sesuatu yang tak pernah kau dapatkan dalam hidupmu. Kau tahu aku bukan perempuan bodoh. Apa yang kuharapkan darimu kalau bukan jawab pada kasihmu dengan kasih pula? Aku ini seorang pemanjat tebing. Kaulah tebingku. Dengarkan ucapan jujur yang keras dan menyakitkan ini. Kaulah tebingku, meski mungkin sekali bukan tebingku yang penghabisan. Kalau tebingku yang sekarang runtuh, aku akan bertahan dengan melebur diri dan bersatu pada dinding tebing. Bangkit, Hamdan! Bangkitkan semangatmusebagaimana kau telah membangkitkan semangatku dulu. Mari kubantu engkau! Kita harus berupaya mengalahkan keadaan ini. Mengalahkan kekuatan yang terkandung dalamnya sampai habis kikis. HAMDAN: Dingin yang menyerangmu tadi datang padaku. Peluk aku, Mariani! Peluklah aku erat-erat dengan dirimu seluruh, dengan hati dan lenganmu. Di depanku yang ada cuma gelap dan kosong. Kedua lenganmu akan mengusir dingin, dan hatimu akan membelokkan aku dari gelap dan kosong. Jangan biarkan kegelapan dan kekosongan itu memelukku. Mariani, dengan lengan dan hatimu kegerunanku berkurang menghadapi pintu itu. (Mereka mengeratkan pelukan lalu

halaman 43


saling melepaskan diiri. Lalun Mariani menuntun tangan Hamdan, menuju ke Panggung Satu yang masih dalam liputan kegelapan. Sementara Hamdan berupaya hendak pergi ke bawah panggung di arah yang bertentangan. Mereka berseret-seretan dalam gelap dan dalam temaram).

ADEGAN KETIGA Lampu menyorot ke Panggung Satu. Mariani terbangun dan duduk di ayas ranjang. Hamdan mencoba bangun, tapi hanya tangannya yang menggerapai di udara, tangan yang jatuh terkulai di atas dadanya. Mariani bangkit dan merejuk ke arah tempattidur Hamdan, mundur beberapa langkah dengan mata terbelalak. Dia maju dan mundur beberapa kali. Lalu berdiri seperti patung, patung pualam seperti yang banyak terlihat di kuburan orang Nasrani pada masa lalu. MARIANI. (Seperti lolong serigala yang kehilangan anaknya dia meratap sambil memegang perut) Teruskan perjalanan dukamu, Hamdan! Cukuplah sampai di sini. Aku tak kuasa menuntunmu sampai ke ujung jalan. Masuklah ke pintu dunia sana dengan langkah gagahmu seperti yang selama ini kaulakukan. Tenanglah sekarang karena aku berjanji akan memilihara milikmu, milikku juga, milik kita. Akan kupelihara dia dengan seluruh kumpulan rasa sayangmu kepadaku. Besok kejadian ini akan menjadi pembicaraan orang sekota. Seorang perempuan muda dan seorang lelaki seusia ayahnya yang sudah hampir tiga bulan dalam keadaan koma telah saling berhubungan dan berbuah; padahal mereka melakukannya di dimensi lain dari alam terkungkung ini. Di sana orang barangkali

halaman 44

menamakannya mukjizat, tapi di sini, di seberang perbatasan ini semua itu merupakan hal yang biasa-biasa saja. Bangkit, bangkitlah Hamdan, sayangku, buah rinduku, dewaku, bangkitlah! Berikan semangat padaku menjalani hidup di ruang sempit ini. Hamdan, teruslah kau ke sana, aku melanjutkan perjalanan kembali ke laman tempat kita bermain yang dinamakan hidup. Di seberang perbatasan ini hanya tempat singgah. Sepanjang apapun hidup, rentang waktunya tetap tidak lama. Tidak lah lama! Hamdan! Hamdan! Hamdaaan! Dokter datang terburu-buru diikuti Perawat. Mereka tercengang melihat tingkah Mariani dan berupaya menenangkan dia. Tapi perempuan yang sudah seperti kesurupan itu mengamuk sambil memanggilmanggil nama Hamdan. Dan Hamdan memang sempat menggerakkan tangan ke atas sebentar, lalu tangan itu terhempas atas dadanya. Jerit Mariani menjadi-jadi. DOKTER: (Sambil memegang tangan Mariani yang marah sambil meneriakkan nama Hamdan) Tenang! Tenang! Ada apa ini? Ada apa? Perawat! Cepat! Lampu padam perlahan-lahan. SELESAI.


tokoh

Bahrum Rangkuti

Mungkin tak banyak yang tahu bahwa sastrawan kita Bahrum Rangkuti bertumpah-darah atau bertanah kelahiran di Riau pada tanggal 7 Agustus 1919, tepatnya di Galang, Provinsi Kepulauan Riau sekarang. Ayahnya bernama M. Tosib Rangkuti dan ibunya, Siti Hanifah Siregar. Rangkuti adalah marganya. Bahrum dibesarkan dalam keluarga Islam yang kental, ayahnya mendalami tarikat dan ibunya menyenangi tasawuf dan mistik. halaman 45


Bahrum mengawali pendidikan formalnya di kota Medan. Ia masuk ke HIS (Hollands Inlandse School) , sekolah Belanda, setingkat sekolah dasar. Dari HIS, ia melanjutkan ke HBS (Hogere Burger School), setingkat dengan sekolah menengah pertama. Tamat dari HBS, Bahrum pindah ke Yogyakarta dan melanjutkan studinya di AMS (Algemene Middekbare School), setingkat dengan sekolah menengah atas. Dari AMS ini ia melanjutkan lagi pendidikannya ke Faculteit de Lettern, yang kemudian menjadi Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Ia belajar bahasa-bahasa Timur sampai tingkat sarjana muda. Ia juga pernah belajar di Jamiatul Mubasheren, Rabwah, di pakistan pada tahun 1950. Rabwah adalah sebuah desa kecil di tepi sungai Cenaab, tempat latihan para misionaris Islam yang bertugas ke seluruh dunia. Akan tetapi, ternyata, Bahrum tidak berminat menjadi misionaris. Sekembali dari Pakistan, Bachrum melanjutkan kuliahnya di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, untuk mendapatkan gelar sarjana penuh dan tamat pada tahun 1960. Ia menguasai tujuh bahasa, Inggris, Prancis, Jerman, Belanda, Arab, Urdu, dan bahasa daerahnya. Dengan pengetahuan bahasa yang dimilikinya, Bachrum, kemudian bekerja sebagai penerjemah. Ia bekerja sebagai penerjemah bahasa Inggris dan Prancis, di samping menjadi wartawan freelance dan guru di sebuah sekolah menengah atas di Jakarta. Bachrum Rangkuti pernah berceramah mengenai aspek sosial hari raya di depan para perwira ALRI pada saat Angkatan Laut RI itu dipemimpin oleh Edi Martadinata. Ternyata, ceramahnya itu sangat memukau

halaman 46

Edi dan para perwira. Lalu, Edi meminta Bachrum untuk menjadi Ketua Dinas Perawatan Rohani Islam di AL dan diberi pangkat kolonel tituler. Walaupun telah menjadi kolonel tituler ALRI, Bahrum tidak dapat mengabaikan kecintaannya terhadap dunia sastra. Dunia itu selalu menarik dan memanggil hati nuraninya. Oleh karena itu, ia pun muncul di Pusat Kesenian Jakarta pada tanggal 28 September 1969 membacakan sajak-sajak Iqbal, pengarang dari Pakistan.

Karya-karya Bahrum Rangkuti: Puisi: a. Sajak-sajak yang Sudah Diterbitkan: 1. “Tuhanku” Pandji Poestaka (1943) 2. “Langit dan Bumi Baru” Pandji Poestaka (1944) 3. “Peperangan Badar” Pandji Poestaka (1944) 4. “Prajurit Rohani” Pandji Poestaka (1944) 5. “Akibat” Pantja Raja (1946) 6. “Borobudur” Pantja Raja (1946) 7. “Cita-Cita” Pantja Raja (1946) 8. “Doa Makam” Pantja Raja (1946) 9. “Hidupku” Pantja Raja (1946) 10. “Insyaf” Pantja Raja (1946) 11. “Kembali” Pantja Raja (1946) 12. “Laut Kenangan” Pantja Raja (1946) 13. “Sakura” Pantja Raja (1946) 14. “Tugu Kenangan” Pantja Raja (1946) 15. “Laila” Gema Suasana (1948) 16. “Pasar Ikan” Gema (1948) 17. “Sajak-Sajak Muhammad Iqbal” Siasat (1951) 18. “Syuhada” Hikmah (1952) 19. “Iqbal” Hikmah (1953) 20. “Malam dari Segala Malam” Gema


Islam (1962) 21. “Pesan” Gema Islam (1966) 22. “Nafiri Ciputat” Horison (1970) 23. “Anak-Anakku” Horison (1971) 24. “Dunia Baru” Horison (1971) 25. “Ayahanda” Horison (1971) 26. “Bunda” Horison (1971) 27. “Lebaran di Tengah-Tengah Gelandangan” Horison (1971) 28. “Mercon Malam Takbiran” Horison (1971) 29. “Pejuang” Horison (1971) 30. “Rumah” Horison (1971) 31. “Sembahyang di Taman HI” Horison (1971) 32. “Tuhan di Tengah-Tengah Insan” Horison (1971) 33. “Sumbangsih” Koninklijke Boekhandel dan Drukkery G. Kollf dan Co 34. “Hikmah Puasa dan Idul Fitri” Koninklijke Boekhandel dan Drukkery G. Kollf dan Co b. Sajak-sajak yang Belum Diterbitkan dan Tahun Ciptaannya: 1. “Tao Toba” (1970) 2. “Sipirok” (1970) 3. “Natalandi Gita Bahari” (t.th.) 4. “Nunukan” (1970) 5. “Mesjid di Tanjung Selor” (1970) 6. “Ka’bah” (1971) 7. “Bungan Bondar” (1971) 8. “Mina” (1971) 9. “Madinah” (1971) 10. “Arafah” (1971) 11. “Makkah” (1971) 12. “Hajir” (1971) 13. “Nisbah” (1971) 14. “Yang Genap dan Yang Ganjil” (1971) 15. “Bengkel Manusia” (t.th.) 16. “meluruskan bahtera” (1973) 17. “Nyanyian di Pohon Kelapa” (1973)

18. “Mi’raj” (t.th.) 19. “kepada Biniku A. Bara” (t.th.) 20. “Isa a.s.” (1969) 21. “Idul Fitri” (t.th.) 22. “Mula Segala” (1969) 23. “Muhammad s.a.w.” (1969) 24. “Beton, Beling, dan Besi” (t.th.) 25. “Laut Lepas Menanti” (t.th.) (PDS. H.B. Jassin)

Drama 1. “Laila Majenun” Gema Suasana (1949) 2. “Sinar memancar dari Jabal Ennur” Indonesia (1949) 3. “Asmaran Dahana” Indonesia (1949) 4. “Arjuna Wiwaha”

Cerpen 1. “Ditolong Arwah” Pandji Poestaka (1936) 2. “Rindu” Poedjangga Baroe (1941) 3. “Renungan Jiwa” Pandji Poestaka (1942) 4. “Ngobrol dengan Cak Lahama” gema Suasana (1946) 5. “Sayuti Parinduri Alfaghuru” atau “Antero Krisis Cita, Moral, dan benda” Zenith (1952) 6. “Laut, Perempuan, dan Tuhan” Gema Tanah Air (1969)

Esai 1. “Setahun di negeri Bulan Bintang I” Zenith (1951) 2. “Setahun di negeri Bulan Bintang II” Zenith (1951) 3. “Setahun di negeri Bulan Bintang II” Zenith (1951)

halaman 47


4. “Angka dan Penjelmaannya” Zenith (1951) 5. “Pengantar kepad Cita Iqbal” Indonesia (1953) 6. “Kandungan Al Fatihah” (1953) 7. “Nabi Kita” Bacaan untuk Anak-anak (t.th.) 8. “Islam dan kesusastraan Indonesia Modern”: skripsi s-1 (1961). Diterjemahkan ke Ddalam dalam bahasa Inggris dengan judul “Islam and “Modern Indonesian Literature” 9. “Pramudya Ananta Toer; dan Karya seninya” (1963) 10. “Terapan Hikmah Isra dan Mikraj dalam kehidupan Sehari-hari” Operasi (1968) 11. “Muhammad Iqbal Pemikir dan Penyair” ceramah di TIM (1969) 12. “Ceramah Tentang Cita-Cita M. Iqbal” TIM (1976) 13. “Al Quran, Sejarah, dan Kebudayaan” Pidato pengukuhan sebagai Guru Besar (1976) 14. “Sejarah Indonesia I dan II” 15. “Metode Mempelajari Tafsir Qur’an dan Bahasa Arab” 16. “Sejarah Khalifah Usman r.a” 17. “Sejarah Nabi Muhammad s.a.w” 18. “Islam dan PEmbangunan” 19. “The Spritual Wealth in Islam”

Terjemahan 1. “Puisi Dunia” karya Sophocles dari Antagone (1948) 2. “Dengan Benih Kemerdekaan” karya Alexander Pushkin (1949) 3. “Kepada Penyair” karya M. Iqbal 4. “Insan dan Alam” karya M. Iqbal (1953) 5. “Waktu itu Adalah Pedang” karya M.

halaman 48

6. 7. 8. 9.

Iqbal (1953) “Iqbal Di Hadapan Rumi” karya M. Iqbal (1953) “Soledad Montoya” karya Lorca “Lintas Sejarah Dunia” karya Jawaharlal Nehru “Asrar-J. Khudi” karya Dr. Muhammad Iqbal.*** (Red. Dari berbagai sumber)


tokoh

Sana’i

(Guru Para Penyair Sufi)

Hakim Abul-Majd bin Adam Sana’i Majdūd Ghaznavi. Ia dikenal sebagai salah satu guru Jalal al-Din Rumi. Annemarie Schimmel memujinya setinggi langit sebagai «guru para Sufi Persia». Hanya sayang, catatan biografinya dan karyanya masih sedikit yang dipublikasikan. Masih banyak tulisan mengenainya dalam bentuk manuskrip yang tersimpan di berbagai institusi dan museum. Seorang ahli yang bernama Zakariyya Al Qazwini menggambarkan Sana’i sebagai seorang bijak dan mistikus yang hidup di ”tempattempat berantakan”, dalam kemiskinan yang menekan diri dan mengembara dengan kaki telanjang. Banyak lika-liku hidupnya yang menarik. Salah satunya Sanai pernah digolongkan sebagai orang yang keluar dari Islam. Sana’i adalah seorang sufi penyair Persia yang tinggal di Ghazna, di tempat yang sekarang Afghanistan antara abad 11 dan abad ke-12. Beberapa orang mengeja nama sebagai Sanayee. Dia meninggal sekitar 1131. Dia cukup memiliki kedekatan dengan seorang sultan dari Dinasti Ghaznawi, yakni

Sultan Bahram-Syah yang memerintah 1118-1152. Dikatakan bahwa setelah saat mendampingi Sultan Bahram shah pada ekspedisi militer ke India, Sana’i bertemu dengan guru Sufi di Lai-khur. Sang Sufi tersebut menyatakan bahwa Sultan adalah seorang yang rakus karena menyerang India. Bagi Sana’i sendiri, sang Sufi menyatakan bahwa Sana’i hanyalah “Menyair hanya untuk menyenangkan para penguasa dan demi mengharapkan

halaman 49


imbalan.” Lai Khur kemudian mengatakan bahwa penyair yang memuji sultan adalah sikap yang bodoh. Kata-kata ini seperti gempa bumi bagi Hakim Sana’i. Mendengar hal tersebut Sana’i “kaget” dan tak lama kemudia ia berhenti mengabdi pada Bahramshah sebagai penyair istana meskipun ia dijanjikan kekayaan dan putri raja dalam pernikahan jika dia tetap bekerja untuknya. Ia mulai belajar sufisme dengan seorang guru sufi bernama Yusuf Hamdani. Sana’i menulis karya yang cukup banyak, dalam bait bait mistis, yakni Walled Garden of Truth atau The Hadiqat alHaqiqah (‫)ﻩﻕیﺭﻁﻝﺍ ﻩﻉیﺭﺵ ﻭ ﻩﻕیﻕﺡﻝﺍ ﻩﻕیﺩﺡ‬. Karya ini merupakan masterpiece dan epik mistis Sufisme Persia pertama. Karya ini didedikasikan untuk Bahram Shah, dan juga merupakan karya yang dimaksudkan sebagai mengekspresikan ide-ide kepenyairannya pada Allah, filsafat cinta, dan filsafat “hikmah”. Selama hampir 900 tahun Walled Garden of the Truth telah secara konsisten dibaca sebagai klasik dan bekerja sebagai sufi buku teks. Menurut Stephenson T. Mayor: “Ketenaran Sana’i yang selalu didasarkan pada karya Hadiqa. Karya ini adalah yang terbaik, dan di Timur karya ini paling terhormat dari karyakaryanya. Karenanya, berbagai kebajikan dalam karya ini telah membentuk salah satu dari trio guru Sufi terkenal- Sana’i, Attar , Jalaludin Rumi”. Sana’i mengajarkan bahwa nafsu, keserakahan dan kegembiraan emosional berdiri di antara umat manusia dan pengetahuan ilahi, yang merupakan satu-satunya realitas sejati (Haqq). Cinta (Ishq) dan hati nurani sosial baginya dasar agama, umat manusia sedang tidur, hidup di dunia sepi. Untuk Sanai agama umum hanya kebiasaan dan ritual. Syair-syair Sana’i telah memliki pengaruh

halaman 50

yang besar terhadap sastra Persia-Muslim. Dia dianggap sebagai penyair pertama yang menggunakan qasidah (ode), ghazal (lirik), dan Masnawi (kuplet berirama) untuk mengekspresikan ide-ide filosofis, mistis dan etika tasawuf. Rumi mengakui bahwa Sana’i dan Attar merupakan dua inspirasi utama. Ia mengatakan, « Attar adalah jiwa dan Sana’i mata dua, saya datang setelah Sana’i dan Attar.» Beberapa Contoh Karya Sastra Sana’i Puisi Sana’i yang menekankan kemungkinan «kebangkitan»; While mankind remains mere baggage in the world It will be swept along, as in a boat, asleep. What can they see in sleep? What real merit or punishment can there be? (Sementara manusia tetap bagasi hanya di dunia ini akan menyapu bersama, seperti dalam kapal, tertidur. Apa yang bisa mereka lihat dalam tidur? Apa manfaat nyata atau hukuman bisa ada?) Dia yang tidak tahu dirinya sendiri, bagaimana dia tahu jiwa orang lain? dan ia yang hanya tahu tangan dan kaki, bagaimana dia tahu Ketuhanan? Para nabi tidak sama untuk memahami hal ini, mengapa engkau mengaku bodoh untuk melakukannya? Ketika Engkau membawa ke depan demonstrasi subjek ini, maka engkau mengetahui esensi murni dari iman, jika tidak apa yang memiliki iman dan Engkau di dalam umum? Engkau hadst baik tidak berbicara, dan berbicara tidak


kebodohan. Omong kosong bicara belajar semua, karena agama yang benar adalah bukan tenunan tentang kaki setiap orang. Berarti Nya bagi kebangkitan ini adalah penyerahan kepada Tuhan, puisinya telah disebut “aroma esensial dari jalan cinta”. Ia memukul keluar pada kemunafikan dan kebodohan manusia; Lainnya lalai,-jangan engkau bijaksana, dan di jalan ini terus lidahmu diam. Kondisi seperti diletakkan pada salah satu adalah bahwa ia harus menerima semua makanan dan minuman dari orang yang menyebabkan sesuatu, bukan dari penyebab. Pergilah, sabarlah menderita, jika engkau akhirnya akan lenyap harus dihargai, dan jika tidak, berbahagialah dengan jalan ke neraka. Tidak ada yang pernah mencapai tujuannya tanpa kesulitan yang abadi. Saat ummat manusia tetap merupakan benda semata di dunia Maka akan dibawa serta, seperti dalam kapal, tertidur. Apa yang dapat mereka lihat dalam tidur? Manfaat atau hukuman apa yang ada? Kemudian salah satu bunyi puisi lainnya: Jangan membicarakan kepiluanmukarena Dia yang berbicara. Jangan mencari-Nya-karena Dia yang mencari. Dia bahkan merasakan sentuhan kaki semut; Bila batu di bawah air bergerak Dia mengetahuinya. Jika ada cacing di bebatuan Dia tahu tubuhnya, lebih kecil dari atom. Suara doanya, dan maksudnya yang tersembunyi, Dia tahu melalui pengetahuan Ilahiah-

Nya. Dia memberi cacing makanannya; Dia telah menunjukkan kepadamu jalan Ajaran. Tentang kehampaan As Sanai berkata ,” Setiap orang di dunia pada umumnya tidur. Agama mereka agama dunia yang lazimadalah kehampaan, sama sekali bukan agama.” Sedangkan tentang kelaparan ”Orang-orang puas dengan diri mereka sendiri disebabkan oleh kelaparan mereka akan sesuatu yang lain. Oleh karena itu mereka lapar. Mereka yang kembali dari perbuatan salah, mereka adalah orangorang yang shalat; bukan mereka yang semata tampak sujud ketika sedang shalat. Shalat adalah suatu kegiatan.” Anekdot Kisah si tolol dan onta yang sedang makan rumput Bahlul (seorang Tolol) memperhatikan seekor unta yang sedang makan rumput. Katanya kepada binatang itu, “Tampangmu mencong. Kenapa begitu?” Unta menjawab, “Dalam menilai kesan yang timbul, kau mengaitkan kesalahan dengan hal yang mewujudkan bentuk. Hati-hatilah terhadap hal itu! Jangan menganggap wajahku yang buruk sebagai suatu kesalahan. Pergi kau menjauh dariku, ambil jalan lintas. Tampangku mengandung arti tertentu, punya alasan tertentu. Busur memerlukan yang lurus dan yang bengkok, pegangannya dan talinya.” Orang tolol, enyahlah: “Pemahaman keledai sesuai dengan sifat keledai.”

(Dari berbagai sumber antara lain: http://en.wikipedia.org/wiki/Sanai http://rira.ir/rira/php/?page=view&mod=cl assicpoems&obj=poet&id=28)

halaman 51


tokoh

Emily Dickinson Emily Dickinson Elizabeth adalah seorang penyair Amerika. Lahir di Amherst, Massachusetts, dari sebuah keluarga yang sukses dengan ikatan kekeluargaan yang kuat, sebagian besar menganut pola kehidupan tertutup dan penyendiri. Setelah ia belajar selama tujuh tahun di Akademi Amherst, di masa mudanya ia menghabiskan masa hidupnya yang singkat di Seminari Perempuan Mount Holyoke sebelum kembali ke rumah keluarganya di Amherst. halaman 52


Ia dianggap sebagai perempuan eksentrik oleh penduduk setempat dan menjadi terkenal karena kegemarannya berpakaian putih dan keengganan untuk menyambut tamu, oleh karena itu sebagian besar persahabatannya hanya dilakukan melalui surat-menyurat. Meskipun Dickinson adalah seorang penyair produktif, dan hampir seribu delapan ratus puisi yang diterbitkan selama hidupnya. Karya yang diterbitkan selama hidupnya biasanya diubah secara signifikan oleh penerbit agar sesuai dengan aturan puitis konvensional saat itu. Puisi Dickinson yang aneh dan unik untuk era di mana ia menulis, yang berisi baris-baris pendek dan sering menggunakan huruf miring serta kapitalisasi konvensional dan tanda baca. Banyak puisinya berkaitan dengan tema kematian dan keabadian, dua topik yang kerap berulang dalam surat kepada teman-temannya. Meskipun sebagian besar kenalannya yang mungkin menyadari tulisan Dickinson, hal itu tidak sampai setelah kematiannya pada tahun 1886-ketika. Koleksi puisi pertamanya diterbitkan pada tahun 1890 oleh sahabatnya Thomas Wentworth Higginson dan Mabel Loomis Todd. Meskipun review yang tidak menguntungkan dan skeptisisme kehebatan sastranya selama akhir abad 19 dan awal abad ke-20, kritikus sekarang mempertimbangkan Dickinson menjadi penyair besar Amerika Emily Dickinson Elizabeth lahir di rumah keluarga di Amherst, Massachusetts, pada tanggal 10 Desember 1830, menonjol namun tidak kaya. Kakek Emily Dickinson, Samuel Dickinson, hampir seorang diri mendirikan Amherst College. Pada 1813 ia

membangun wisma, sebuah rumah besar di kota Main Street, yang menjadi fokus dari kehidupan keluarga. Putra sulung samuel Dickinson, Edward, adalah bendahara Amherst College selama hampir empat puluh tahun, sekaligus menjabat sebagai Legislator Negara, dan mewakili distrik Hampshire di Kongres Amerika Serikat. Pada tanggal 6 Mei 1828 ia menikah Emily Norcross dari Monson. Mereka memiliki tiga anak: William Austin (1829-1895), yang dikenal sebagai Austin, Aust atau Awe; Emily Elizabeth, dan Lavinia Norcross (1833-1899), yang dikenal sebagai Lavinia atau Vinnie. Dari semua catatan, Emily muda adalah seorang gadis berperilaku baik. Dickinson menyiapkan sekolah dasar di sebuah bangunan berlantai dua di Pleasant Street. Pendidikannya adalah “ambisius klasik untuk seorang gadis Victoria”. Ayahnya ingin anak-anaknya terdidik dan ia memonitor kemajuan mereka bahkan ketika pergi berbisnis. Ketika Emily berusia tujuh tahun, ayahnya membuat catatan di rumah, mengingatkan anak-anaknya untuk “menjaga sekolah, dan belajar, lalu membuat laporan, ketika saya pulang ke rumah, berapa banyak hal baru yang telah Anda pelajari”. Sementara Emily kontinyu dijelaskan ayahnya dengan cara yang hangat. Dickinson menghabiskan tujuh tahun di Akademi, mengambil kelas dalam bahasa Inggris dan sastra klasik, Latin, botani, geologi, sejarah, “filsafat mental,” dan aritmatika. Daniel Taggart Fiske, kepala sekolah pada saat itu, mengatakan bahwa Dickinson adalah “sangat cerdas” dan “seorang mahasiswa yang sangat baik,

halaman 53


tingkah laku teladan, setia dalam segala tugas akademik”. Meskipun ia memiliki beberapa istilah off karena sering sakit yang tercatat pada rentang 1845-1846, dia hanya mampu hadir selama sebelas minggu, namun dia sangat menikmati studi berat nya dan menulis kepada seorang teman bahwa Akademi adalah “sekolah yang sangat baik” . Dickinson merasa terganggu sejak usia muda oleh “ketatnya ancaman” kematian, terutama kematian orang-orang yang dekat dengannya. Ketika Sophia Holland, kedua sepupunya dan teman dekat, tumbuh sakit dari tifus dan meninggal pada April 1844, Emily trauma. Mengingat kejadian dua tahun kemudian, Emily menulis bahwa “tampaknya aku harus mati juga jika saya tidak bisa diizinkan untuk mengawasinya atau bahkan melihat wajahnya.” Dia menjadi begitu melankolis bahwa orang tuanya mengirim dia untuk tinggal dengan keluarga di Boston untuk pulih. Dengan kesehatan dan semangat yang semakin pulih, ia segera kembali ke Amherst Academy untuk melanjutkan studinya. Selama periode ini, ia pertama kali bertemu orang-orang yang menjadi teman koresponden dan menjadi sahabat sehidupsemati, seperti Abiah Akar, Abby Wood, Jane Humphrey, dan Susan Huntington Gilbert (yang kemudian menikah dengan saudaranya, Austin). Pada tahun 1845, kebangkitan agama terjadi di Amherst, yang mengakibatkan 46 pengakuan iman antara rekan-rekan Dickinson. Dickinson menulis kepada seorang teman pada tahun berikutnya: “Aku tidak pernah menikmati kedamaian yang sempurna dan kebahagiaan dalam waktu waktu singkat di mana aku merasa

halaman 54

telah menemukan penyelamat ku.” Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa “kesenangan terbesar untuk berkomunikasi dengan Tuhan yang kuasa & merasa bahwa ia akan mendengarkan doa saya.” Pengalaman itu tidak berlanjut; ia pernah membuat pernyataan resmi tentang iman dan menghadiri kebaktian secara teratur hanya untuk beberapa tahun. Terakhir dia pergi ke gereja, sekitar 1852, ia menulis puisi pembukaan: “ Memelihara beberapa Sabat pergi ke Gereja - / Aku tetap, tinggal di rumah”. Selama tahun terakhir dia tinggal di Akademi, Emily menjadi ramah dengan Leonard Humphrey, kepala sekolah baru, populer dan muda. Setelah menyelesaikan jangka terakhirnya di Akademi pada tanggal 10 Agustus 1847, Dickinson mulai mendatangi Seminary Wanita Mary Lyon Mount Holyoke (yang kemudian menjadi Mount Holyoke College) di South Hadley, sekitar sepuluh mil (16 km) dari Amherst. Dia berada di seminari tersebut hanya sepuluh bulan. Meskipun ia menyukai gadis-gadis di Holyoke, Dickinson tidak membuat


persahabatan yang erat dengan mereka di sana. Penjelasan untuknya singkat tinggal di Holyoke sangat berbeda: baik dia dalam kesehatan yang buruk, ayahnya ingin memiliki dia dan menetap di rumah, dia memberontak terhadap semangat injili yang melekat di sekolah, dia tidak menyukai guru dengan disiplin ketat. Apapun alasan khusus untuk meninggalkan Holyoke, kakaknya Austin muncul pada tanggal 25 Maret 1848, untuk “membawa dia ke rumah di dan mengisi kegiatannya”. Kembali di Amherst, Dickinson mengisi waktunya dengan kegiatan rumah tangga. Dia mengambil kue untuk keluarga dan menikmati, menghadiri acara local. Ketika dia berusia delapan belas tahun, keluarga Dickinson berteman dengan seorang pengacara muda bernama Benjamin Franklin Newton. Meskipun hubungan mereka mungkin tidak romantis, Newton adalah berpengaruh formatif dan menjadi yang kedua dalam sejumlah pria yang lebih tua (setelah Humphrey). Newton pulalah yang memperkenalkannya kepada tulisan-tulisan William Wordsworth. Dickinson akrab tidak hanya

dengan Alkitab tetapi juga dengan sastra populer kontemporer. William Shakespeare juga berpengaruh kuat dalam hidupnya. Pada awal 1850 Dickinson menulis bahwa “ Menyenangkan hidup di Amherst dengan musim dingin ini ... Oh, ini adalah sebuah kota yang sangat besar!” Semangat tingginya segera berubah menjadi melankolis setelah kematian demi kematian orang-orang di sekitarnya. Leonard Humphrey, meninggal mendadak akibat “kelumpuhan otak” pada usia 25. Dua tahun setelah kematiannya, ia mengungkapkan kepada temannya Abiah Akar akan tingkat depresinya: “... beberapa teman saya hilang, dan beberapa teman saya sedang tidur - tidur tidur gereja - jam malam sedih - itu sekali jam studi saya - tuanku telah pergi untuk beristirahat, dan helai buku terbuka, dan mahasiswa di kampus saja, memburait air mata, dan aku tidak bisa menahan mereka pergi, aku tidak akan melakukannya kalau bisa, karena mereka adalah satu-satunya upeti saya yang bisa membayar kepergian Humphrey “. Selama tahun 1850-an, hubungan terkuat penuh rasa sayang Emily adalah dengan Susan Gilbert. Emily akhirnya mengirimnya lebih dari tiga ratus surat, lebih dari kepada koresponden lainnya, selama persahabatan mereka. Sue (Susan Gilbert) adalah yang mendukung kepenyairannya, memainkan peran “Teman yang paling dicintai, pengaruh, perenungan dan penasehat” yang memberii saran kadang dan kebanyakan diikuti Dickinson, Susan memainkan peran utama dalam proses kreatif Emily. Austin dan keluarganya mulai melindungi privasi Emily, memutuskan bahwa dia tidak menjadi subjek diskusi dengan pihak luar.

halaman 55


Meskipun pengasingan fisiknya, namun, Dickinson secara sosial aktif dan ekspresif melalui apa yang membuat dua-pertiga dari catatan-catatan yang masih hidup dan huruf. Ketika pengunjung datang ke salah satu Homestead atau krans, dia sering meninggalkan atau mengirim lebih dari hadiah kecil dari puisi atau bunga. Dickinson juga memiliki hubungan yang baik dengan anak-anak dalam hidupnya. Mattie Dickinson, anak kedua dari Austin dan Sue, kemudian mengatakan bahwa “Bibi Emily berdiri untuk kesenangan.” MacGregor (Mac) Jenkins, anak temanteman keluarga yang kemudian menulis sebuah artikel pendek pada tahun 1891 disebut “Perenungan Seorang Anak Emily Dickinson”, menganggapnya sebagai selalu menawarkan dukungan kepada anak-anak tetangga. Scholar Judith Farr mencatat bahwa Dickinson, selama hidupnya, “dikenal lebih luas sebagai tukang kebun, mungkin, selain sebagai penyair”. Dickinson mempelajari botani dari usia Sembilan tahun dan bersama dengan adiknya, cenderung berada di taman pekarangan rumah Selama hidupnya, ia mengumpulkan koleksi tanaman yang tertanam di halaman, lebih kurang enam puluh enam herbarium kulit. Lainnya 424 ditanam spesimen bunga yang ia kumpulkan, diklasifikasikan, dan diberi label menggunakan Sistem Linnaeus. Pekarangan yang terkenal dan dikagumi secara lokal pada waktunya. Pada tanggal 16 Juni 1874, saat berada di Boston, Edward Dickinson menderita stroke dan meninggal. Ketika pemakaman sederhana diadakan di aula pintu masuk pekarangan, Emily diam di kamarnya dengan pintu sedikit terkuak. Dia juga

halaman 56

tidak menghadiri upacara peringatan pada tanggal 28 Juni. Dia menulis kepada Higginson bahwa ayahnya “Hati murni dan mengerikan dan saya pikir ada yang lain seperti itu.” Setahun kemudian, pada tanggal 15 Juni 1875, ibu Emily juga menderita stroke, yang menghasilkan kelumpuhan lateral yang parsial dan gangguan memori. Meratapi tuntutan fisik maupun mental ibunya, Emily menulis bahwa “Rumah menjadi begitu jauh dari rumah”. Meskipun ia terus menulis di tahuntahun terakhirnya, Dickinson berhenti mengedit dan mengorganisir puisinya. Dickinson menemukan dunianya terbalik. Pada musim gugur 1884, dia menulis bahwa “The Dyings telah terlalu jauh bagi saya, dan sebelum aku bisa mengangkat my Heart dari satu, yang lain telah datang.” Musim panas itu ia telah melihat “kegelapan besar datang” dan pingsan saat memanggangnya di dapur. Dia tidak sadarkan diri larut malam dan diikuti sakit yang membuat ia terbaring. Emily Dickinson meninggal pada usia 55. Austin menulis dalam buku hariannya bahwa “hari yang mengerikan ... Dickinson dimakamkan, diletakkan dalam peti mati putih dengan heliotrope beraroma vanila, seorang Lady Slipper anggrek, dan “simpul violet bidang biru” ditempatkan di situ. Upacara pemakaman, diadakan di perpustakaan Homestead, secara sederhana dan singkat, Higginson, yang hanya bertemu dua kali, baca “ Gudang inspirasi dan tidak berjiwa pengecut “, sebuah puisi oleh Emily Brontë yang menjadi favorit Dickinson. Atas permintaan Dickinson, peti matinya tidak didorong namun diusung melalui bidang


buttercup� untuk dimakamkan di tanah keluarga di West Cemetery. Meskipun tulisan produktif Dickinson, puisinya kurang dari selusin yang diterbitkan selama hidupnya. Setelah adik-adiknya Lavinia menemukan koleksi hampir seribu delapan ratus puisi, jilid pertama Dickinson diterbitkan empat tahun setelah kematiannya. Sampai tahun 1955 publikasi Lengkap Puisi Dickinson oleh Thomas H. Johnson. Sejak tahun 1890 karya Dickinson tetap terus di cetak. Beberapa puisi Dickinson muncul di Samuel Bowles ‘Springfield Republik antara tahun 1858 dan 1868. Karya tersebut diterbitkan secara anonim dan diedit, dengan tanda baca conventionalized dan judul resmi. Pada tahun 1864, beberapa puisi yang diubah dan diterbitkan dalam Beat Drum, untuk mengumpulkan dana bagi perawatan medis bagi tentara gabungan dalam perang. Lainnya muncul pada Bulan April 1864 di Brooklyn pada Harian Union. Setelah kematian Dickinson, Lavinia Dickinson menepati janjinya dan membakar sebagian besar korespondensi sang penyair. Secara signifikan meskipun, Dickinson tidak meninggalkan petunjuk tentang empat puluh notebook dan lembaran lepas berkumpul di penyimpanan terkunci. Volume pertama Puisi Dickinson, diedit bersama oleh Mabel Loomis Todd dan TW Higginson, muncul pada bulan November 1890. Meskipun Todd mengklaim bahwa hanya perubahan penting dibuat, puisi yang ekstensif diedit untuk mencocokkan tanda baca dan kapitalisasi dengan standar abad ke-19 akhir, dengan rewordings sesekali untuk mengurangi miring Dickinson. Volume pertama 115-puisi adalah sukses

kritis dan keuangan, akan melalui sebelas cetakan dalam dua tahun. Puisi: Seri Kedua diikuti pada tahun 1891, berlanjut ke lima edisi pada tahun 1893, sebuah seri ketiga muncul pada tahun 1896. Satu reviewer, pada tahun 1892, menulis: “Dunia tidak akan beristirahat sampai puas setiap potongan tulisannya, huruf serta karya sastranya, telah diterbitkan�.*** (Red. Dari berbagai sumber)

halaman 57


rehal

Pucuk Gunung Es:

Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Kebudayaan Melayu-Indonesia

oleh Maman S Mahayana Penulis: Amin Sweeney Pengantar: Jan van der Putten, Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia dan Majalah Sastra Horison Tahun terbit: 08 Januari 2012 Pangkal akar budaya masyarakat Nusantara tidak lain adalah tradisi lisan. Ketika bangsa Eropa datang dan melakukan penyeragaman pemakaian huruf Latin, tradisi lisan tiba-tiba diapkir dan dipandang usang. Pemakaian huruf Jawi, Pegon, dan huruf lain yang sudah dikenal beberapa etnis di Nusantara seketika terbenam.

halaman 58


Pemberlakuan huruf Latin di Nusantara secara sosiologis berdampak pada pembutahurufan massal. Mereka yang tidak bisa baca-tulis Latin dianggap niraksarawan meski mereka bisa baca-tulis huruf setempat. Inilah politik bahasa yang pengaruhnya begitu dahsyat, lalu merembet pada pandangan dikotomis: lisantulisan, tradisional-modern, lama-baru, statis-dinamis, masyarakat terbelakang-maju. Amin Sweeney (13 Desember 1938-13 November 2010) mencoba membentangkan jembatan tradisi masa lalu yang sekian lama terkubur. Lantaran satu kakinya berada di Indonesia dan kaki lainnya di Malaysia, jembatan itu laksana menghubungkan tradisi kedua negara dan secara keseluruhan dengan dunia Melayu-Nusantara. Bagaimana duduk perkaranya hingga tradisi kesusastraan di kawasan ini seperti berjalan sendiri-sendiri? Sebagai negara merdeka dan berdaulat, tentu Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei bebas mengembangkan kesusastraan-kebudayaan bangsanya. Namun,jangan lupa, dari mana pangkal kesusastraan-kebudayaan di kawasan ini bermula? Indonesia, dengan tiga pilar peradaban agungnya, yaitu Hinduisme,Buddhisme, dan Islam, berkelindan dengan tradisi kebudayaan setempat, lalu menyerap pengaruh Asia Timur, terutama China, bersama-sama menghadapi kebudayaan Barat yang dibawa Belanda. Malaysia, Singapura, dan Brunei lain lagi. Di ketiga negara itu, pengaruh Barat diperkenalkan melalui cara Inggris yang lebih percaya diri sebagai negara besar. Maka, meski perkembangannya seolah-olah makin melebar,akar tradisinya tetap berpangkal pada sumber yang sama. Di sinilah peranan Sweeney dalam mengembalikan akar tradisi ke pangkalnya menjadi penting. Ia meneroka jauh ke tradisi sebelum terbentuk jalan persimpangan. Oleh karena itu, subjudul �Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Kebudayaan Melayu-Indonesia� menjadi mata kunci guna menelusuri perjalanan tradisi di kawasan Nusantara. Tiga jalur pemikiran Sebagai filolog paripurna yang menggeluti dunia Melayu dan kenusantaraan selama lebih dari setengah abad, Amin Sweeney telah memancangkan berbagai gagasannya lewat sejumlah karya fenomenal. Dari sana, kita dapat mencermati tiga jalur pemikiran berkaitan dengan kemelayuan-kenusantaraan. Pertama, Sweeney menghancurkan kategorisasi tradisionalmodern yang diperkenalkan Sutan Takdir Alisjahbana sebagai

halaman 59


kesusastraan lama-baru. Dikatakan Jan van der Putten, ”Amin berjuang menentang pembatasan dan pembagian yang didasarkan kategori di luar sistem noetika Melayu sendiri…”(halaman xx). Penghancuran yang dilakukan Sweeney atas kategorisasi yang salah kaprah itu sekaligus menempatkan tradisi lisan dan kelisanan (orality ) berada di posisi sepatutnya. Maka, penyebutan sastra lisan untuk membedakannya dengan sastra tulis (cetak) menjadi tak relevan lagi. ”Perlu ditekankan disini bahwa sarjana kolonial umumnya tidak menyadari adanya perbedaan dalam tradisi lisan antara bentuk istimewa dan bentuk bersahaja” (halaman 12). Ketidaksadaran itulah yang menyebabkan muncul anggapan tradisi lisan sebagai sastra lisan. Ketika kemudian dipindahkan ke tradisi tulis atau cetak, seketika disebut sastra tulis. Kedua, pemikiran Sweeney berkaitan dengan usahanya mengembalikan posisi Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi ke jalan yang benar. Tiga jilid bukunya, Karya Lengkap Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi (Jakarta: KPG, 2005, 2006, 2008), menegaskan peranan Abdullah sebagai intelektual (Melayu) yang inklusif, moderat, dan kritis dalam menyikapi perilaku masyarakatnya. Justru lantaran itu, posisi Abdullah berada dalam persimpangan: sebagai ”kaki tangan” Inggris yang dianggap berkhianat pada puaknya dan sebagai pemikir-perintis yang memberikan penyadaran pentingnya pendidikan dan kemajuan. Sweeney, berdasarkan kajian filologis dan sosiologis atas seluruh karya Abdullah, menemukan banyak penyelewengan pada naskah asli Abdullah. Dari sana tampak bahwa posisi Abdullah berada sebagai jembatan penghubung antara kelisanan dan keberaksaraan di semenanjung Melayu yang pada zamannya terjadi di Batavia ketika alat-alat cetak didatangkan dari Belanda. ”Sebenarnya, lebih banyak naskah Melayu lama berasal dari wilayah Indonesia daripada Malaysia. Itu dimiliki bersama. Tidak ada dikotomi antara kemelayuan dan keindonesiaan. Raja Ali Haji tidak asing sebagai tokoh sastra Melayu di Malaysia, begitu juga karya Munsyi Abdullah merupakan warisan seluruh bangsa Indonesia” ( halaman 330). Ketiga, kelenaan Sweeney pada dunia Melayu dan keterpesonaannya pada budaya etnik di Nusantara memberinya kebebasan untuk meracik sendiri bahasa Melayu-Indonesia sebagai alat ekspresinya. Sebagaimana dapat kita rasakan dalam buku ini, Sweeney berkabar dalam bahasa Indonesia selera Melayu atau bahasa Melayu selera Indonesia. Kecuali perkara penyebutan nomor halaman pada indeks yang luput koreksi, style khas itu rupanya

halaman 60


sengaja dibiarkan penyunting. Mungkin untuk menegaskan: inilah gaya Melindo atau Indomel (Indonesia-Melayu) Sweeney yang suka menabrak dan membongkar-pasang. Maka tak perlu risau jika kosakata khas Malaysia bertaburan disana-sini dan beberapa tokoh atau lembaga ditabrak-dibongkar, toh semuanya disajikan dengan selera Indonesia. Himpunan kajian Buku ini diberi pengantar Jan van der Putten, sekaligus penyunting, bersama Jamal D Rahman dan Sastri Sunarti. Menghimpun setumpuk tulisan Amin Sweeney yang tersebar di berbagai publikasi, bahkan yang tersimpan dalam hard disk eksternalnya. Itulah serangkaian kajian mendalam tentang sastra Melayu. Meski masih banyak kajian profesor berdarah Irlandia itu yang terpaksa disisihkan, setidaknya buku ini merepresentasikan pucuk pemikiran dan gagasan peneliti ekstrem dan piawai itu tentang dunia Melayu. Seluruhnya berisi 26 kajian yang dibagi ke dalam tiga bab. Memang, yang tampak baru pucuk gunungnya. Di dalamnya masih tersedia banyak hal yang jauh lebih rumit, kompleks, dan memesona. Kini, Amin Sweeney, Bapak Tradisi Lisan Melayu itu, pergi sudah meninggalkan kita, meninggalkan setumpuk buku dan esaiesai yang masih tercerai-berai. Namun, kajian tentang kelisanan dan keberaksaraan, jika ditelusuri, niscaya bakal menguak tabir missing link pangkal kesusastraan Indonesia, sekaligus membongkar ketersesatan perjalanan sejarah sastra yang terjadi selama ini. Semoga begitu.*** Maman S Mahayana, Pengajar FIB-UI (Red. Sumber http://www.gramedia.com 18/05/2013.)

halaman 61


rehal

In Cold Blood

Pengarang: Truman Capote Penerbit: Folio Society Tahun : 2011 Tebal : 367 hal

embaca cerita kriminal (pembunuhan) merupakan sesuatu yang sangat menarik dari masa ke masa. Apalagi cerita-cerita berjenis ini cukup banyak A jumlahnya dan diterbitkan dalam berbagai media salah satunya di majalah Intisari. Kini, frekuensi penerbitan cerita berjenis ini terlihat agak menyurut. Namun menurut saya membaca In Cold

halaman 62


Blood ternyata dapat membuat rangsangan membaca cerita criminal menjadi tumbuh kembali, karena sangat menarik. Sebagai karya klasik modern, In Cold Blood mengisahkan pembunuhan satu keluarga di sebuah kota kecil di Amerika pada tahun 1959 dengan bentuk baru, yaitu seperti novel. Menurut pengarang, dengan bentuk ini ia hendak mengungkapkan tidak saja sebuah peristiwa, tetapi juga cerita tentang sebuah kota, dan latar belakang kehidupan korban maupun pembunuhnya secara rinci. Keluarga Clutter – yang menjadi korban pembunuhan - adalah pemilik tanah pertanian yang cukup berada dan aktivis gereja. Clutter dikenal sebagai orang yang saleh, pekerja keras, dan murah hati. Kedua anak mereka yang berusia tujuh belas dan empat belas tahun merupakan anak-anak yang ramah, berprestasi, dan tidak segan membantu orang lain. Sebagai keluarga teladan yang terpandang, pembunuhan keempatnya secara kejam pada suatu malam menimbulkan shock berat bagi penduduk di kota kecil tersebut. Tidak saja hal tersebut menumbuhkan rasa takut dan ketidak-percayaan diantara warga, karena mereka berpikir bahwa pembunuhnya adalah salah satu diantara mereka sendiri, namun juga depresi, sebagaimana diungkapkan salah satu warga kota tersebut, “…well. it’s like being told there is no God. It make life seem pointless. I don’t think people are so much frightened as they are deeply depressed.” Memang, kekejaman dan penderitaan yang sangat atau bencana dahsyat yang membuat usaha dan hidup manusia tampak jelas kesiasiannya selalu mengundang pertanyaan akan ada tidaknya eksistensi Tuhan. Benarkah Ia ada? Penyelidikan terhadap kasus tersebut akhirnya menemukan bahwa pembunuhnya adalah dua orang pemuda miskin yang memiliki masa kecil yang suram. Penulis mencurahkan banyak perhatian pada kehidupan kedua pembunuh ini, khususnya Perry, yang melakukan semua pembuhunah tersebut. Membaca kisah Perry, yang berasal dari keluarga miskin dan berantakan, mengalami kekerasan di panti penitipan anak, dan memendam marah karena ayahnya tidak mengizinkannya bersekolah, pembaca akan merasakan simpati penulis terhadapnya, dan memikirkan, mungkinkah jika ia memiliki kehidupan dan pendidikan yang lebih baik, ia tidak akan melakukan pembunuhan tersebut? Pembunuhan tersebut sangat kejam, dan pelaku tidak menampakkan penyesalan, namun uraian mengenai masa kecil Perry sangat menyentuh dan mampu membuat pembaca merasa sedih pula. Kisah ini ditulis seperti novel detektif, dengan uraian yang

halaman 63


berganti-ganti antara kegiatan warga kota maupun upaya para detektif dengan kisah masa lalu serta kegiatan kedua pembunuh selama melakukan kejahatan dan sesudahnya. Suasana tanah pertanian, keadaan kota kecil, dan karakter semua yang terlibat di dalamnya digambarkan dengan rinci agar pembaca mendapatkan suasana kota tersebut. Diuraikan pula, bahwa setelah berita pembunuhan ini, terdapat beberapa pembunuhan lain terhadap satu keluarga, namun para pelakunya tidak pernah terungkap. Tampaknya sejak dulu berita kejahatan seperti menjadi contoh untuk melakukan hal yang sama. Jika penulis ingin membuat kisah nyata ini seperti sebuah novel, maka hal itu telah tercapai, karena membaca buku ini seperti membaca sebuah novel yang bagus. Buku ini telah diterjemahkan pula dalam bahasa Indonesia.oleh penerrbit Bentang pada tahun 2007.Truman Capote adalah juga penulis buku Breakfast at Tiffany, dan penulisan buku ini dibantu oleh Harper Lee, pengarang To Kill a Mockingbird.*** (red. Dari berbagai sumber).

***

halaman 64


www.tokobuku171.com www.tokobuku171.com

www.tokobuku171.com

www.tokobuku171.com

“...Nyalakan Imajinasi dengan Membaca Buku...“

Kantor Pusat

Pusat Penjualan Pekanbaru

: Jl. HR Soebrantas Km 10,5 Panam, Pekanbaru - Riau

: Kompleks Metropolitan City Giant, Blok A 19 & 20, Jl. HR Soebrantas Km 12

Dumai

: Jl. Jend. Sudirman No. 201, Dumai - Riau Telp (0765) 439 171

Batam

: Gedung Graha Pena Batam Jl. Raya Batam Centre Teluk Jering, Batam Kota Kode Pos 29461 Telp Graha Pena (0778) 462 996

Tanjung Pinang

: Jln Di. Panjaitan Km 9, Plaza Bintan Centre Blok M No. 15, Tanjung Pinang Kepri Telp (0771) 7447039

Padang Sidempuan : Jl. Medan Merdeka, Depan SMAN 2 Padang Sidempuan Telp.081260012768 Bukit Tinggi

halaman lxv : Ramayana Bukit Tinggi - Lantai Dasar


halaman lxvi


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.