No. 179 AGUSTUS 2013 tahun XV www.majalahsagang.com Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)
Cerita-Pendek:
Kotak Hitam Angelina oleh Sugiarti Lelaki Keempat oleh Adi Zaman Matisme #1 oleh Inung Setyami Sajak
Kartina, S.Pd Irwanto Baiq Ilda Karwayu
Cerita-Pendek Terjemahan
Surat Untuk Tuhan oleh Gregorio Lopes Y Fuentes diterjemahkan dari teks berbahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Arman abee Athar Yauzi Pusaka
Suku Talang Mamak Senirupa
Rembrandt van Rijn Tokoh
Charles Baudelaire
halaman KULITi
"SHOW OFF YOUR BUSINESS!" mari kami bantu untuk mencetak media informasi ANEKA RAGAM usaha anda
PAKET PENDIDIKAN - PAKET CSR - PAKET PROYEK PAKET INFO PRODUK - PAKET CETAKAN UMUM - PAKET SCJJ PAKET INFO PRODUK
Menginformasikan produk yang dijual tidak selalu memasang iklan saja, anda perlu memvariasikannya dengan brosur, katalog dan bentuk selebaran lainnya. Pastikan anda mencetak info produk tersebut di tempat kami, dapatkan kerjasama dalam bentuk penyebaran info tersebut dengan menyisipkan via koran-koran kami (Riau Pos / MX / Pekanbaru Pos / Dumai Pos) atau penyebaran di tempat khusus yang anda inginkan. Kami siap membantu, dapatkan juga paket-paket khusus lainnya berupa percetakan info produk + publikasinya di koran-koran kami. syarat dan ketentuan berlaku
MURAH, CEPAT, BERJARINGAN LUAS
Percetakan Riau Pos Grafika Divisi Komersial Printing Hubungi Kami: Gedung Riau Pos Jl.HR Soebrantas Km 10,5 Panam-Pekanbaru Office +62 761 - 566810 Fax +62 761 - 64636 Mobile 081268435929, 081365720503, 081378757569, 085265483504
Bank Riau KCP Panam 134-08-02010 Bank Mandiri Ahmad Yani-Pekanbaru 108-000-126-1990 An: PT Riau Graindo E-mail riauposgrafika@yahoo.com halaman KULITii
Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 179 AGUSTUS 2013 tahun XV
Kegiatan Mahasiswa STSR Jurusan Teater pada acara Parade Teater Seni Indonesia I di Institut Seni Indonesia Surakarta, Solo.
Daftar Isi Catatan Harian.......................................2 Cerita-Pendek - Kotak Hitam Angelina oleh Sugiarti ...........................................3 - Lelaki Keempat oleh Adi Zaman ....................................10 - Matisme #1 oleh Inung Setyami .............................. 15 Sajak - Kartina, S.Pd..................................... 21 - Irwanto .............................................33 - Baiq Ilda Karwayu .......................... 40 Cerita-Pendek Terjemahan - Surat Untuk Tuhan oleh Gregorio Lopes Y Fuentes diterjemahkan dari teks berbahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Arman abee Athar Yauzi ......................49 Pusaka - Suku Talang Mamak ............................55 Senirupa Rembrandt van Rijn ............................58 Tokoh - Charles Baudelaire .............................. 60 Illustrasi Halaman 9, 20 dan 27 karya Purwanto
Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Ngatenang Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Khazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Manager Keuangan: Sri Herliani. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.
halaman 1
tajuk HAMPIR setiap anak sekolah (paling kurang 1960-an – 1970-an) tergila-gila membuat catatanharian yang disebut diary. Catatan-harian itu biasanya ditulis pada sebuah buku kecil yang agak tebal, bahkan ada buku spesial untuk catatanharian yang bahkan dapat dikunci, sehingga tak mudah dibaca orang, namun, akhir-akhir ini anak-anak sekolah sudah jarang berminat untuk membuat catatan-harian. Ada dua jenis catatan-harian, yang pertama catatan-harian yang sudah dibukukan (diterbitkan), jadi kita akan tahu apa isinya; yang kedua, catatan harian yang belum diterbitkan (dibukukan). Banyak catatan-harian (diary) yang sudah menjadi buku dan terkenal di dunia ini. Catatan-harian dapat saja berupa catatan pribadi, catatan kebudayaan, politik, dan sebagainya. Tennas Effendy banyak membuat dan menerbitkan buku dari mengumpulkan catatan-catatan yang terisa yang beliau sebut remah-remah kebudayaan. Junaidi Syam bersama Taslim F Datuk Mogek Intan membuat dua jilid buku kebudayaan, Trombo Rokan, Buku Besar Alam Manusia dan Budaya Melayu Rokan (2007), dan kebanyakan adalah dari catatan-catatan pak Taslim sebagai Tukang Koba dan juga pengumpul remah-remah kebudayaan. Dan banyak lagi contoh lain dari buku yang diterbitkan berdasarkan catatan-harian, yang ditulis setiap hari. Catatan-harian yang sudah diterbitkan menjadi buku, yaitu catatan-harian Anne Frank. Perempuan ini mulai menulis catatan-harian sejak 12 Juni 1942, dan berakhir 1 Agustus 1944. Mulanya, dia hanya menulis untuk dirinya sendiri, sampaii kemudian dia mendengar sebuah pidato Gerrit Balkestein di stasiun radio London, yang berniat mengumpulkan pelbagai catatan-harian saksi sejarah penderitaan rakyat Belanda semasa penjajahan Jerman. Pidato itu mengilhami Anne Frank untuk menerbitkan buku berdasarkan
halaman 2
Catatan-Harian catatan-hariannya, ketika perang telah usai. Maka, Anne mulai merevisi seluruh catatan-hariannya itu, sampai pada 1 Agustus 1944, dan tiga hari kemudian (4 Agustus 1944), delapan orang yang berembunyi di Secret Annex ditangkap. Miep Gies dan Bep Voskuijl, dua orang sekretaris yang bekerja di gedung itu, menemukan catatan-harian Anne yang berserakan di lantai, dan demi keamanan, mereka menyimpannya di laci meja hingga perang berakhir. Saat Anne meninggal, dia mewariskan buku (dami) yang berdasarkan catatan-hariannya itu kepada ayahnya, Otto Frank, hingga kita membacanya sekarang. Buku yang berasal dari catatan-harian dengan judul aslinya The Diary of a Young Girl, telah laku sebanyak 30 juta eksemplar, dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 60 bahasa. Catatan-harian yang belum diterbitkan menjadi buku, misalnya, catatan-harian Hasan Junus. Hasan, penulis buku kebudayaan, sastra dan juga penulis fiksi ini, dalam bual-bual di kantor majalah Sagang ketika berkantor di komplek Riau Pos, sering mengatakan bahwa ia setiap pukul 24.00, tengah malam, menulis catatan-harian yang berhubungan dengan dirinya, baik yang baik maupun yang buruk, yang ia katakan dalam file Hj 1, Hj 2, dan Hj seterusnya. Pertanyaannya adalah, seperti apakah isi catatan-harian Hasan Junus itu yang ditulisnya setiap hari setiap pukul 24.00 tengah malam itu? Dan betapa banyaknya catatan-harian yang ada di dunia ini yang tidak pernah diterbitkan, kemudian keingintahuan kita akan isinya juga akan pupus, juga karena betapa susahnya untuk menerbitkan catatan-harian yang penuh dengan unsur pribadi si pembuat catatanharian, mengeditnya dengan berbagai-bagai pihak, terutama pewaris terakhir penulis catatan-harian itu, misalnya pewaris terakhir catatan-harian Anne Frank yang masih hidup ketika itu ialah ayahnya sendiri Otto Frank. Dan, kita akan tahu betapa pentingnya sebuah catatan-harian. ***
cerita-pendek
Kotak Hitam Angelina oleh Sugiarti
H
itam, aku seperti terbenam dalam lautan hitam. Pekat, sama sekali tak ada yang tampak. Beberapa kali kucoba menyipitkan mata, mencari kalau-kalau terselip satu titik warna putih yang tersisa. Tapi percuma, usahaku sia-sia. Lagi-lagi hitam yang menghampiri. Beberapa menit kemudian aku hanya pasrah. Tak tau apakah mataku terbuka atau terpejam, tapi kurasa masih saja hitam. Tak selang beberapa lama, aku hampir melonjak, ada seberkas sinar putih yang di sudut ruangan.
halaman 3
*** Angelina Setia Ningsih, itu sebuah nama yang kuperoleh dari kedua orang tuaku. Ayah dan ibuku masih keturunan keraton Solo, mereka sekarang hidup bahagia di kota Jakarta. Ayahku pemilik perusahaan swasta yang maju pesat, dan ibuku sebagai marketing di salah sebuah stasiun televisi swasta nasional. Aku menikmati hidupku dengan gelimangan kebahagiaan dan popularitas. Ya popularitas ku katakan. Di kampusku siapa yang tak mengenal Angelina, ‘mahasiswa cantik berotak cerdas’ begitu dosen-dosenku memberi gelar. Tercatat tiga semester yang kulalui, IPK-ku tak pernah kurang dari 3,8. Luar biasa, puji teman-temanku. Tak sampai di situ, teman-teman aktivis mahasiswa juga mengenalku sebagai sosok yang aktif dan energik, ditambah lagi prestasiku yang melimpah di bidang modeling. Sungguh langka, orang-orang menyebutku sebagai mahasiswi langka, punya banyak keahlian yang seimbang. Dari segi ekonomi, jelas aku sama sekali tak kekurangan. Apapun yang menjadi kehendakku, ayah dan ibu selalu dengan mudah mengabulkannya, maklumlah aku anak semata wayang. Konon katanya dulu Ayah dan Ibuku berkeliling Indonesia selama hampir empat tahun untuk bisa mendapatkanku. Setelah aku lahir, mereka berjanji akan merawatku sebaik-baiknya, mengabulkan apapun yang menjadi permintaanku. Dengan status sebagai mahasiswa berprestasi, modeling dan aktivis kegiatan ekskul di kampus, aku punya agenda yang padat sehari-harinya. Popularitasku menyaingi artis nasional saja, setiap berjalan di koridor kampus, ada-ada saja mahasiswa yang lewat minta foto dan tanda tangan. “Wah, ini Mbak Angelina bintang iklan itu kan?” aku cuma mengangguk saja. Beberapa orang pun berhenti di depanku sambil menyodorkan diary mereka untuk ditandatangani. “Saya lagi capek dan ini ada kelas, dikumpulin aja dulu gih diarynya” “Tapi Mbak, sebentar aja, lagi pula kami jarang-jarang bisa bertemu Mbak” “Memangnya kalian semester berapa?” “Semester satu Mbak” “Hah, pantes aja nggak kenal sama aku. Tau nggak, aku tu paling males ngelayan tanda tangan di jalan-jalan gini. Kalian kan bisa buat acara di kafe belakang sana terus undang aku. Emang aku apaan ditodong tanda tangan di jalan-jalan gini” “Yah, Mbak kok sombong sih?”
halaman 4
“Sombong dari Hongkong, belum pada ngerasa kan punya aktivitas padat kayak aku. Kalian tu baru semester satu di sini, harusnya tanya dong sama senior gimana cara nemuin Angelina” Puih... menyebalkan. Mahasiswa ini suka begitu perangainya. Enak aja main nodong-nodong aku di koridor kampus, emang aku habis show apa? mereka itu kalau kubilang tidak menghargaiku sebagai mahasiswa. Aku kan juga mahasiswa di kampus ini. Harusnya kalau mau minta tanda tangan yang resmi datang noh ke lokasi syutingku. Aku sangat sedikit punya teman di kampus. Ya habisnya itu, aku paling sebel dengan gaya narsis mereka. Kalau ketemu bawaannya nodong minta yang aneh-aneh, traktirlah, foto barenglah, jalan barenglah. Norak menurutku! Mereka sering bilang aku ini sombong dengan segala prestasiku, nggak mau merakyat. Basi tu alasan mereka! yang ada justru sebaliknya, kalau mereka dekat denganku, mereka bisanya cuma manfaatin aku, minta diajak ke lokasi syutinglah, ketemu temen-temen modelku yang lainlah, asli norak dan kampungan. Mungkin cuma dua orang di kampus ini yang bisa sedikit dekat denganku. Ratu dan Dimas. Ratu itu sahabatku dari SMP dulu. Dia sudah tau baik burukku semenjak dulu, kulihat dia juga cukup sabar menasehatiku. Sayangnya nasehat-nasehat yang diberikannya itu kerap tak masuk akal. Bayangkan, dia memintaku bersikap sedikit baik dan ramah pada para junior. Nggak ah, emang aku apaan? mereka itu kalau udah dikasih hati, jantung juga bakalan diminta. Apalagi mereka tau aku jago statistik, paling ujung-ujungnya minta ditunjukin pas kuis. Nggak, aku nggak mau. “Sekali-kali aja Lin, supaya mereka senang.” “Nggak ah, males. Kamu aja sana!” “Aku tu nggak setenar kamu. Junior itu penasaran banget, punya senior orang top tapi nggak pernah ngobrol. Ketemu aja jarang.” “Kan bisa lihat aku di TV, susah amat” “Tapi akan lebih baik kalau kamu temuin mereka di kampus. Mereka kan juga penggemarmu, Lin” “Aku nggak suka dengan penggemar-penggemar norak begitu, kampungan tau nggak. Aku juga biasa ngelayan penggemarku di mall-mall, tapi nggak narsis begitu.” “Tapi, Lin…” “Udah ah, aku capek dengerin nasehat kamu, nggak ada untungnya juga aku ngelayan mereka. Mereka juga nggak pernah membantu pas aku kesusahan, bikin mumet aja” aku berlalu. Ratu kulihat tetap sabar dengan sikapku. Dia sama sekali tak marah. Itulah sikap yang selalu ditunjukkannya padaku. Sebab itu juga
halaman 5
mungkin ia betahan menjadi teman terlamaku. Dimas, ya ada sekelumit kisah lagi yang ingin kuceritakan tentang pria ini. Awalnya lelaki ini sungguh menyebalkan di mataku. Layaknya penggemar-penggemarku yang lain, dia kerap memburu kemana aku pergi. Hampir setahun kulihat dia serius memburuku. Sampai suatu hari ia menyatakan cinta basinya ke aku. “Lin, aku sayang kamu” “Basi tau nggak Mas, aku nggak pernah percaya sama laki-laki. Apalagi dengan posisiku seperti sekarang, aku tau mereka cuma mencintai popularitasku saja. Jadi simpan saja istilah sayang menyayangmu itu. Aku nggak butuh.” Lelaki itu kulihat hanya diam, sepertinya dia bersedih. Bodoh amat, laki-laki mah suka akting begitu. Aku nggak percaya. Semenjak itu dia sepertinya lebih hormat padaku. Bicaranya sopan dan terlihat lebih berwibawa. Anehnya lagi dia kulihat agak dekat dengan Ratu, jangan-jangan mereka jadian, pikirku. Ah, emang gue pikirin. Hidup itu menurutku yang paling penting adalah menggapai cita-cita. Ayah dan ibu selalu mendidikku begitu. Apapun harus kita lakukan untuk menggapai cita-cita itu. *** Pagi itu wajahku tampak murung. Tumben aku menyempatkan diri duduk di teras masjid. Aku juga tak tau kenapa bisa singgah di tempat orang-orang suci ini. Jujur sudah hampir setahun ini aku jarang sholat, seminggu bahkan kadang pernah tak shalat sama sekali. Yah, mau gimana, jadwalku begitu padat. Shalat itu banyak amat, lima waktu. Dan waktu-waktu shalat itu adalah waktu-waktu kesibukanku. Ayah dan Ibuku juga kulihat jarang shalat. Pernah kutanya kenapa mereka jarang shalat, jawabnya ya seperti itu. Kadang nggak sempat, jam shalat pas jam kerja. Lagian buang waktu amat, duduk berdoa tanpa usaha ya percuma. Aku terduduk risih di depan teras berlantai keramik warna putih itu. Rasanya aku sudah cukup asing memasuki tempat ini. Kulihat mahasiswa yang ada ditempat ini berpakaian tertutup dan panjang. Risih amat, pikirku. Hari gini masih aja orang-orang berpenampilan kolot begitu. Menurutku pakaian mereka itu kelak akan menghambat masa depan mereka. Sulit cari jodoh dan kerja. Ah, terserah mereka lah, aku juga jarang berinteraksi dengan mereka. “Angelina ya? Assalamualaikum”, sebuah suara lembut berhembus di telingaku. Busyet, makhluk-makhluk itu mendekatiku. Haduh, ngapain juga tadi pake acara duduk-duduk segala di sini. “Waalaikumsalam, eh, iya”, aku tersenyum kecut. Makhlukmakhluk ini pasti bakal menceramahiku, huff… aku harus siap-siap
halaman 6
cari alasan buat kabur. “Ada kuliah pagi, Dek?”, salah seorang dari mereka bertanya. Aku cepat menggeleng, lalu kupasang sebuah senyum garing. Beberapa menit kemudian, tanpa alasan yang jelas aku berhasil meloloskan diri dari kitaran mereka. Huah..., sesuntuk-suntuknya aku menghadapi fans-fans norak, masih lebih suntuk kalau harus menghadapi pertanyaan makhluk-makhluk suci itu. Huah...!! Aku terduduk sendiri di taman jurusan. Tumben tak ada yang menghampiriku. Menatapku pun mereka tidak, kenapa ya?. aku sedikit heran, apa mereka sudah mengerti dengan keinginanku, atau?. Ah, aku coba menenangkan pikiranku. Tetap tak bisa kubohongi, tetap saja kalut. Kubuka beberapa lembar tugas kuliahku. Seharusnya sudah kuselesaikan, tapi otakku betul-betul buntu. Seperti ada keresahan yang menyeruak di hatiku. Ya Allah, opss..., aku sudah cukup lama tak menyebut nama itu. Hah, ternyata sekarang aku menyebut-Nya kembali. Aku merasa letih, tapi entah apa yang membuatku letih. Pagi ini aku membatalkan jadwal syuting. Kepalaku sakit, menejerku itu seenaknya saja mengaturku. Dia pikir aku ini robot apa?. Ah, semalam juga ada hal tak menyenangkan dengan dosen yang biasanya sangat menyayangiku. Dia marahmarah tak jelas padaku, katanya tugasku ini asal copy aja dari internet. Alasan yang dibuat-buat. Jelas-jelas aku satu jam lebih menganalisis dan menyelesaikan tugas itu. Lalu aku berkata sedikit kasar padanya. Suaminya itu juga bawahan ayahku di kantor. Sok pula dia memarah-marahiku. Kontan saja aku gertak, “Saya bisa laporkan ibu ke ayah saya” “Kurang ajar kamu, apa hubungannya dengan suami saya?” “Makanya ibu jangan macam-macam! Tugas saya itu saya yang menyelesaikan sendiri dengan susah payah. Kalau ibu kurang suka silahkan saja, tapi besok pagi ibu bisa lihat suami ibu sudah jadi pengangguran” Dosen wanita itu kontan menangis. Aku tak peduli. Kadang-kadang dosen itu memang harus diberi pelajaran. Seenaknya saja main tuduh. Ratu, temanku yang paling sabar itu masih saja menasehatiku, “Jangan terlalu kasar Lin, bagaimana pun dia itu pendidik kita kan?” “Capek deh Tu, kamu masih belain dia! dia itu nggak nganggap aku ini siapa. Makanya harus diberi pelajaran.” Aku mengurut-urut kepalaku, tiba-tiba pusing menghinggapi. Kuraih kotak kecil dari tasku. Benda ini, mungkin benda ini yang bisa membantuku. Aku menyelinap di balik batang pohon. Beberapa butir benda itu kutelan. Aku terduduk kembali, pikiranku mulai
halaman 7
tenang kembali. Huff, dan beberapa menit kemudian semangatku kembali pulih rasanya. Aku bangkit, berjalan menuju parkir. Jadwal kuliah hari ini tak kuhiraukan. Serombongan mahasiswa lewat di depanku, sepertinya mereka mahasiswa baru, “Wah, Mbak Angelina…. Mbak aku suka sekali dengan penampilan Mbak, bahkan aku bermimpi bisa ketemu dengan Mbak,” seorang mahsiswi berkaca mata tebal tiba-tiba menghambur ke pelukanku, hah…, apa-apain ini? aku mendorong keras tubuhnya ke belakang, tak ayal lagi tubuh itu terjatuh ke tanah. Beberapa temannya terdiam dan tertegun menatapku. Aku tak peduli, lagian mereka itu sama sekali nggak mikir, main peluk aja. Emang aku siapanya dia? pakaian juga dekil, merusak penampilanku aja. “Mbak Angelina..., kok galak sih?” gadis itu terisak sambil berusaha berdiri. Beberapa temannya ikut membantu. Aku masih diam dengan perasaan kesal. “Makanya lain kali nggak usah norak begitu. Emang aku temen kamu apa? kalau sama orang ngetop ya tau diri dikitlah!”. “Lin, ada apa?”, Ratu tiba-tiba muncul di belakangku. Dia menatapku heran, lalu beberapa teman mahasiswi yang terjatuh itu memberi tahu. “Lin, kamu keterlaluan. Kamu tidak memanusiakan manusia” “Nggak usah ikut campur deh Tu, anak ini memang harus diberi pelajaran. Dia nggak ngaca apa? masak tiba-tiba main peluk aja. Kalau dia artis ngetop meluk aku sih nggak apa-apa” “Keterlaluan kamu Lin,” wajah ratu memerah, dia sepertinya betul-betul marah. Aku tak peduli, kutinggalkan mereka yang sibuk menolong si gadis yang terjatuh tadi. Aku berjalan ringan menuju parkir. *** Sinar putih yang sekejap kulihat tadi tiba-tiba kembali sirna. Dan saat ini hitam pekat sekali di sekelilingku. Aku tak melihat apa-apa. Ya Allah, aku dimana? Untuk kesekian kali aku kembali memanggil nama itu. Tanganku meraba-raba apa yang bisa kusentuh. Ah, hanya kain yang terasa di telapak tanganku. Aku ingin berteriak memanggil ayah dan ibu. Tapi aneh, mulutku sama sekali tak bisa bersuara. “Bu, Angel sepertinya sudah siuman,” ah itu suara yang pernah kudengar, dimana? aku mencoba mengingat-ingat. Ya, itu suara lembut milik mahasiswi di masjid itu. Ya Allah, apa yang terjadi denganku? Aku terisak-isak pedih. Namun sepertinya tak ada yang mendengar. Kudengar suara ibuku menangis. Kenapa ibu menangis? Aku masih bingung dengan keadaanku sendiri.
halaman 8
“Walaupun dia sadar, dia tak akan bisa bicara dan melihat lagi. Kecelakaan itu telah menyita masa depan anakku,” Ya Allah, berita apa ini? aku buta? aku bisu?. Air mata, mungkin aku tak akan pernah punya air mata untuk kesedihanku lagi, sebab mata ini memang tak bisa lagi mengeluarkan air mata.
***
Nafi’ah Al-Ma’rab (Sugiarti). Penulis yang berdomisili di Pekanbaru Riau ini sehari-hari bekerja sebagai ghost writer, merupakan alumni jurusan kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Nafi’ah juga aktif bergiat di Forum Lingkar Pena Wilayah Riau dan tercatat sebagai koordinator bidang humas FLP Riau. Menulis di beberapa media seperti; Riau Pos, Majalah Sagang, Majalah Sabili, dan sebagainya. Beberapa karyanya yang telah dibukukan diantaranya: Belajar Kimia dari Al Quran, Antologi Dua Warna, Kerdam Cinta untuk Palestina, Curhat Jalan Raya, Menulis Tradisi Intelektual Muslim, Lagu Opick Inspirasi, Why Self Publishing, Kumcer Remaja Balai Bahasa Pekanbaru 2009, Fragmen Waktu (Antologi Puisi Pilihan Riau Pos 2010), Antologi Puisi Munajat Sesayat Doa, Antologi Fiksi Mini Selaksa Makna Ramadhan, Antologi Aku dan Dosenku, Antologi Kumpulan Surat Cinta untuk Murabbi dsb.
halaman 9
cerita-pendek
Lelaki Keempat Oleh: Adi Zaman
K
okok ayam jago nyelonong tanpa permisi ke telinga Dewi, membuatnya menggeliat, menoleh ke weker yang berpose gagah di meja cermin rias (weker itu berbentuk seorang binaragawan), lalu kembali lagi tergelepar di pembaringannya. Namun kedua matanya terlanjur terbuka lebar. Takkan bisa ia kembali meneruskan mimpi
halaman 10
yang terlanjur pudar. Kesadarannya kini telah kembali penuh. Galau pun kembali mendekatinya dengan angkuh, membawa kenangan yang hampir dua bulanan ini membuanya risau. Kira-kira sedang apa lelaki itu sekarang? Lelaki itu pernah bilang, selisih waktu antara Cisarua dengan Jeddah hanya empat jam. Cisarualah yang lebih dulu melihat matahari. Di negeri berpasir itu rembulan pasti masih menjadi ratu malam sekarang. Apakah lelaki itu sudah bisa nyenyak tidur sekarang? Baru dua hari lalu ia menelepon dan bilang masih sulit tidur. Ya, bagaimana ia bisa membohongi tubuhnya sendiri? Itu bukanlah perkara gampang karena tiga bulan lebih tubuh itu pernah terbiasa menjalani rutinitas di sini, di rumah yang jarang sekali disapa hawa hangat, terlebih ketika musim penghujan tiba. Jika saat itu ia menelepon pukul satu dinihari, itu berarti ia tengah kerepotan melawan kebiasaan tubuhnya ketika jam lima pagi di sini. Dewi tersenyum membayangkan hal itu, karena ia tahu betul kebiasaan lelaki itu ketika matahari masih malu-malu mengintip puncak Ciburial. Dia terbiasa mengusir dingin shubuh dan memanggil semangat untuk memulai hari dengan bercinta. Jadi wajarlah jika ia selalu terserang gelisah saat malam merangkak lelangit Jeddah. Dewi meraih guling di sampingnya. Dipeluknya erat keharuman kenangan itu. Di samping weker, Blackberry-nya diam menunggu. Hadiah dari lelaki itu ketika usianya resmi menginjak tigapuluh. Hingga setengah jam berlalu, benda itu masih saja membisu. Entah mengapa ada sesak yang kurang ajar datang bercokol dalam dadanya kemudian. ***
halaman 11
Cahaya telah amat benderang ketika Dewi menyibak kelambu di ruang tamu rumah kosnya. Hawa dingin semakin terasa ketika ia membuka pintu. Segar sekali. Apalagi ketika penglihatannya disuguhi pemandangan daerah bawah yang amat menakjubkan. Seperti lukisan abstrak, warna-warni atap bangunan bertebaran di sana-sini. Cantik benar Dewi pagi itu. Dengan jaket dan celana jins selutut ia terlihat seperti gadis dua puluhan. Dengan wajah berseri ia melangkah ke sebuah toko tak jauh dari rumah kosnya. Membeli kopi, rokok, dan beberapa kebutuhan harian. Meski Mak Naenah—pemilik toko itu—telah berkali memperingatkan bahwa kopi dan rokok tak baik untuk kecantikannya, tapi Dewi masih belum mengindahkan. Sejak lelaki keempat itu masuk ke dalam kehidupannya, mengopi dan merokok telah jadi kegiatan yang menyenangkan untuk melupakan sepi dan jenuh. Meski kadang masih juga mencari teman ngobrol jika ternyata dua musuh bebuyutan itu tak mampu ia usir. Kebetulan sekali, sepulang dari toko, Nina dan Aya memanggilnya. Mereka telah terlihat cantik di teras rumah kos Nina. Tampaknya sudah ada banyak cerita yang asyik untuk dipergunjingkan pagi ini. “Bagaimana bayinya, sudah bisa tidur nyenyak?” seloroh Nina begitu Dewi bergabung dengan mereka. “Rupanya diriku yang jadi menu pagi ini?”, meletakkan segelas kopi dan kudapan yang ia bawa sendiri dari rumah. “Serius, Wi. Bagaimana kabarnya Faisalmu?”, tanya Nina lagi. “Pokoknya aku tak mau jadi TKW.” “Kalau menurut penglihatanku sih, Faisal beda jauh dengan Rasheedmu yang dulu itu,” ganti Aya berujar. “Buktinya dia masih mengirimimu uang belanja.” Dewi menyeruput kopinya yang masih mengepul. Beberapa saat kemudian dia pun menyalakan sebatang rokok. “Please deh, Wi, jangan ngempus1 di dekatku,” Nina mengibasngibaskan tangan di depan hidung. Tak peduli dengan keberatan itu, “Kalian membuat kangenku dengannya bangun lagi.” “Apa dia bilang akan ke sini lagi nanti?” tanya Nina. “Buat apa aku menanyakan itu? Dia memilih nikah KUA daripada nikah resmi di Kedubes. Aku masih kurang percaya dia akan menceraikan istri pertamanya jika aku bersedia diboyong ke sana.”
1
Merokok
halaman 12
“Kurang percaya atau kurang gede talinya, hayooo…,” seloroh Nina menggoda. “Kalau benar serius, mestinya dia sanggupi saja seberapapun biayanya. Cinta tak butuh hanya ucapan, tapi juga modal.” Nina turut mencomot makanan di meja. “Penghasilannya di sini bisa saja tak sebesar itu kan?” “Aku tak tahu berapa penghasilannya di sini. Aku selalu diparkir di penginapan ketika ia mengajakku ke Bogor, Bandung, Jakarta, dan Jepara untuk mengurus barang-barang yang ia cari. Aku tak mau mencampuri urusan pekerjaannya.” “Susah juga kalau persyaratanmu setinggi itu, Wi,” ujar Nina. “Tapi dirimu ada benarnya juga. Mungkin aku pun akan begitu jika berada di posisimu. Sayangnya aku belum pernah bertemu yang seperti Faisal.” Sesaat kemudian ketiga perempuan itu terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hawa dingin perlahan berkurang ketika cahaya telah merangkak ke puncak. Hijau perbukitan yang mengelilingi kawasan itu amat memanjakan mata. Suasana yang nyaman untuk menenggelamkan segala kekalutan pikiran. Namun tidak bagi Dewi saat ini. Sebenarnya ia telah berusaha menghindar, tak mau terjerat perasaan yang mendalam seperti ini. Namun ternyata tak semudah yang ia ingini. Dari sejak pertamakali datang ke tempat ini, hingga akhirnya ia pun mahir berbahasa Arab seperti kebanyakan orang di kawasan ini, baru kali inilah seorang lelaki berhasil membuatnya galau. Lelaki pertama, hebat sekali dalam soal merayu. Sayangnya pemalas. Dan tersebab dialah Dewi terperosok di tempat ini dua tahun silam. Lelaki kedua, asal Kuwait, yang datang hanya niat berlibur selama sebulan. Cintanya pun terkesan hanya semacam liburan. Lelaki ketiga, asal Mesir. Lelaki ini merahasiakan semua urusannya dan hanya datang kala malam hari. Katanya ia didatangkan oleh Pemerintah dan terikat kontrak selama dua bulan. Mungkin karena itulah ia tak mau ketahuan telah memperistri seorang perempuan di daerah sini. Baru lelaki keempat inilah yang paling merepotkan. Perlakuan Faisal melebihi perhatian Dadang—lelaki pertamanya dulu. Baru dua hari kenal, Faisal bahkan langsung bilang akan menceraikan istrinya yang memang sudah tak ada kecocokan dengannya. Keroyalannya juga selalu membuat teman-teman Dewi iri; dari mulai baju-baju baru, BB, perhiasan, bahkan motor. Dewi coba bersikap biasa-biasa saja menanggapinya karena keroyalan
halaman 13
para lelaki adalah hal lumrah di sini. Tapi, meski kontrak cinta telah habis dan dia telah pulang ke negaranya, rekening Dewi masih saja mendapatkan kiriman. Bahkan hampir setiap hari lelaki itu masih saja menelepon menanyakan kesediaan Dewi untuk diboyong ke sana. “Hai, Ron, ada kenalan?!” teriakan Nina menghentikan kembara lamunan Dewi. Dewi kerap melihat lelaki berperawakan tegap bermata sipit yang sering membawakan kenalan untuk Nina itu. Tingkah lakunya sering menjadi perhatian Dewi akhir-akhir ini. Lelaki itu mengacungkan dua jempolnya, “Guru asal Kuwait. Tapi nanti dulu ya?! Mau cari tempat tidur dulu!” “Ron siapa sih namanya?” tanya Dewi ketika lelaki itu telah tertelan kembali Kijang birunya. “Roni, kenapa?” Nina langsung menoleh. “Sudah punya istri?” “Ya ampun, Wi, kamu suka padanya?” sela Aya. “Kamu benarbenar mau melupakan Faisalmu yang…” “Heeh… tak apa,” Nina menepuk paha Aya. “Bagus juga kalau kamu sudah punya rencana untuk meninggalkan tempat ini dan memulai hidup baru, Wi. Nanti malam saat dia mengantar tamu, akan kusuruh dia mampir ke tempatmu.” Dewi meraih gelas kopinya untuk tegukan yang terakhir. *** Dewi tertegun dengan HP yang mesih menempel di telinga. Di seberang sana, Faisal masih saja berceloteh panjang lebar. Dan Dewi masih belum menyahut dengan sepatah katapun. Saat mual itu kembali datang, Dewi kembali tersandera di persimpangan jalan. Apakah lebih baik berterus terang saja kepada Faisal bahwa janinnya telah berumur dua bulan, agar lelaki itu benar-benar berani menikahinya secara sah? Apakah lebih baik matikan HP saja dan biarlah Faisal tak tahu apa-apa? Belum ada yang tahu perihal janin itu, bahkan Nina dan Aya juga. Kata Nina, sebentar lagi Roni tiba. Dan jika tak ada seorangpun yang tahu tentang janin itu, semuanya pasti akan lebih mudah. Kepala Dewi terasa pening sekali. Sementara di seberang sana, Faisal memanggil-manggil namanya dengan nada khawatir. *** Adi Zam-zam (Nur Hadi). Lahir di Jepara, 1 Januari 1982, tahun 2012, juara tiga Lomba Menulis Cerita Pendek Islami (LMCPI ke XI) Majalah ANNIDA. Cerita-bersambung dan cerita-pendeknya tersebar di Jawa Pos, Surabaya Post, Sumut Pos, dan sebagainya.
halaman 14
cerita-pendek
Matisme #1 oleh Inung Setyami
C
raaash! Begitu aku menebas tuntas sayap kuda terbang yang telah siap kutunggangi menuju langit ketujuh itu. Mati! Selalu saja aku gagal. Waktu demi waktu aku merangkak dalam gelap, menuju lorong-lorong pengap yang menyisakan ingatan-ingatan ngilu masa lalu. Ini filosofi gelembung sabun itu. Gelembung yang menawarkan pesona warna di permukaan yang tembus pandang. Ia akan terbang melayang, jika di tiup angin sedikit saja. Tapi keindahan itu takkan lama, gelembung akan pupus meletus, dan menyisakan percikan air sabun yang memedihkan jika mengena mata.
halaman 15
#2 Tiba-tiba ada yang menarikku. Sangat kuat dan menyakitkan. Aku merasa rambutku dijambak hingga kulit kepalaku terkelupas. Terkelupas hingga leher, dada dan..., kulihat seorang lelaki tergolek tak berdaya dengan peralatan medis serba canggih yang terhubung ke seluruh tubuhnya. Mata cekung itu terpejam serupa kubangan hitam mencekam. Tubuh kaku terbujur mengeja diam. Layu kelopak mawar tertanam lunglai di wajah pasi. Gurun yang tandus terpeta jelas di bibir yang beku. Denyut jantung yang ragu berdegup. Bukankah itu tubuhku? Aku mengapung di atas tubuhku sendiri. Menyaksikan tubuhku sendiri. Mendengar percakapan orang berbaju putih dengan seorang perempuan yang matanya basah kesedihan, ibu. “Juna sudah meninggal, jantungnya kini sudah tidak berdegup lagi.” Kata dokter, sambil menunjukkan monitor denyut jantung yang berubah garis lurus itu. “Tidak! Juna masih hidup, Dok!”, Teriak ibu disela tangisnya yang pilu. Para suster sibuk mengecek dan memeriksa kembali tubuhku. Lalu ia segera mencopoti alat-alat medis dan menutup wajahku dengan kain putih. “Jangan! Saya mohon jangan lepas alat-alat itu. Juna masih hidup.” Kata ibu parau. Para suster menghentikan aktivitasnya. Dan lamat kudengar dokter itu berkata pada ibu. “Putera ibu sudah meninggal. Alat-alat medis tidak akan membantunya. Tabahkan hati Ibu.” Ucap dokter lirih. Ibu tergugu. “Saya akan bayar semuanya, Dok...saya mohon...” kata-kata itu terpotong. Telingaku tak lagi mampu merekam percakapan ibu dengan dokter. Pun mataku, tak mampu melihat aktivitas di ruangan dimana tubuhku berada. Aku terpental jauh. Entah dimana. Tak kulihat lagi tubuhku di sini. Tak ada ibu, tak ada dokter dan suster. Hanya ada lubang pekat. Aku terdorong, memasuki lorong panjang yang berkelok-kelok. Kakiku tak menjejak apapun, tubuhku melayang. Melesat pada kecepatan sangat dengan posisi yang berubah-ubah. Kadang kepalaku di atas, di bawah, atau berputar seperti gasing. Lorong panjang itu kulewati hingga akhirnya aku terhempas tiba-tiba. Tersungkur pada tanah lapang gersang. Tempat yang asing untuk kuingat karena sebelumnya aku tak pernah berada di tempat ini. Seseorang dengan perawakan tinggi besar, berbaju serba hitam datang padaku, membawaku, melewati jalan lurus yang panjang seakan tanpa titik henti. Perjalanan yang seakan kulalui berharihari lamanya. Perjalanan melelahkan itu akhirnya menghentikan
halaman 16
langkahku pada sebuah kubangan maha luas dengan jembatan kecil. Satu-satunya jalan yang harus kulewati! Perlahan kakiku menginjakkan jembatan itu, sementara mataku tak pernah terpejam menyaksikan semuanya. Lautan apakah namanya? Penuh kobaran api dan lahar mendidih. Entahlah, tak begitu jelas kulihat dari atas, Namun panasnya terasa, semakin lama semakin menyengat saja. Tak ada pilihan lain bagiku kecuali melewati jembatan kecil penuh duri itu. Duri-duri begitu garang menusuk dan merobek kulit kakiku hingga berdarah-darah. Sementara, panas jembatan itu menggosongkan telapak kaki bercampur darah yang terus mengucur, seketika mengering. Tak lama kakiku telah berselimut darah gosong berwarna kehitaman. Perih! Tak ada aturan berbelok arah, apalagi berhenti barang sejenak karena di belakang banyak orang yang juga menjadi penyeberang jembatan ini. Orang-orang berwajah sama itu tak saling bertegur sapa satu sama lain. Mereka saling mendorong saking tak tahan melewati panas jembatan yang makin lama makin amat panas itu. Kain yang mereka kenakan serba putih, sementara aku hanya memakai baju putih seragam sekolah yang telah berlumuran darah. Mimik wajah mereka beraneka seperti para tokoh di panggung sandiwara, ada yang bengis, gembira, kecewa, ada juga yang membawa duka teramat dalam. Mereka berjalan berurutan, dan aku berada di barisan paling depan. Inikah jembatan Sirotol Mustaqim itu? Aku terhenyak, berhenti sejenak, hingga terasa seseorang telah mendorong punggungku. Ouuugh...Tiba-tiba tubuhku terasa melesat dan kakiku tak menjejak apapun. Menggantung seakan mengapung. Terpantul pantul dari ketinggian. Rupanya aku terpeleset saat melewati jembatan panas itu. Dan kerah bajuku masih tersangkut duri yang bercokol di sepanjang jembatan itu. Tak bisa kubayangkan apa jadinya jika tak ada duri yang menahan kerah bajuku. Barangkali tubuhku akan terbakar dan gosong seperti daging panggang di atas bara. Atau jadi abu tak tersisa dijilat kobar api. Aku bergidik. Dengan bibir bergetar kusebut asma Allah tak henti-henti. Lalu tiba-tiba ada suara dengung yang memekakkan gendang telingaku. “Kenapa lidahmu baru bisa menyebut Tuhan sekarang hai manusia tak beriman!?� Kata-kata itu teramat keras. Mendebarkan denyut jantung. Aku bergidik. Dimanakah ini, ampuni hamba Tuhan? Gumamku dalam hati tak henti-henti. “Lihat! Itulah ne-ra-ka. Tempat manusia tak beriman disiksa setelah mereka meninggalkan dunianya.� Aku menangis meraungraung, namun raunganku hanya membuat tubuhku memantul
halaman 17
naik turun. Duri itu rupanya semakin tak kuat menyangga berat badanku. Bergerak sedikit saja, duri itu akan semakin condong ke bawah dan melepaskan kerah bajuku. Lalu... Kulihat sendiri beberapa manusia berkain putih itu ada yang gagal menyeberang, mereka jatuh ke kubang bara. Ia berenang di lautan darah hingga seluruh tubuhnya berwarna merah. Ia hendak mencari tepian namun sia-sia. Kubangan itu terlampau luas tak terbatas. Tak ada ujung tak ada tepi. Lalu ia terbenam, muncul, terbenam, muncul, dan seterusnya. Tampak kulitnya kian melepuh. Ia berteriak, meneriakkan rasa sakit hingga akhirnya mati. Sekejap, manusia-manusia itu hidup lagi. Mereka memohon ingin dikembalikan ke dunia untuk beramal. Kulihat manusia yang lain penuh bisul dengan kaki dan tangan yang diikat dengan rantai besi. Ia menatapku, tatapan permintaan tolong. Pada pundaknya dibebani kepingan besi yang teramat berat hingga mereka tak mampu berdiri tegak. Berjalan tertatih dilecut rotan hingga dagingnya terkelupas. Di bawah sana, tampak serupa biorama gaduh yang menyeramkan. Jeritan dan tangis yang menyayat-nyayat siapapun yang mendengarnya. Manusia yang lain, kulihat berteriak teramat kencang, sepasang matanya melotot merasakan sakit yang luar biasa. Ia dihunjam besi panas hingga tembus ke punggungnya. Aku terpejam, mataku tak sanggup lagi menyaksikan semuanya. Tubuhku bergetar hebat. Kurasakan pelan-pelan, duri penyangga kerah bajuku itu kian melengkung. Ya Tuhan, berikan hamba kesempatan memperbaiki semua kesalahan hamba. Gumamku dalam hati. Krekkk! Kerah bajuku terlepas, aku merasa diterjunkan seketika....aaaaaaaaaagggh. Aku benar-benar telah jatuh ke dasar genangan merah bara itu kah? Pelan-pelan kubuka mata. Tak ada merah bara. Hanya ada manusia-manusia penuh kesedihan. Manusia yang kukenali, salah satunya ibu. Kulihat ibu terisak di sisiku. Ingin aku memeluknya, tapi siasia. Seluruh tubuhku terasa kaku. Barangkali darahku pun sudah beku sehingga otot-otot terasa tegang. Aku tak kuasa sekedar menggerakkan jari-jemari tubuhku sekalipun. “Bangunlah Juna. Bangunlah, Nak.” Kata ibu disela isaknya. Maafkan aku ibu. Begitu hatiku berkata. Hanya hatiku karena lidah dan mulutku telah terkunci. “Bagaimana anak saya, Dokter? Tolonglah ia. Ia harapan kami satu-satunya, Dokter.” Ucap ayah mengiba. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Semua ini sudah menjadi kehendakNya.” Kata dokter itu.
halaman 18
“Lalu bagaimana harapan hidup anak saya, dokter?” Sela ibu dengan sejuta harap yang terpintal. “Beberapa bagian tubuh putra ibu sudah tidak berfungsi dengan normal. Selama ini peralatan medis tidak membantu secara optimal, itu yang membuat putera ibu meninggal. Tabahkan hati ibu, semua sudah menjadi suratan takdir.” “Tidak. Ia akan terus hidup, Dokter!” Teriak getir. Bibirnya bergetar, matanya bersimbah air mata. Ibu lunglai, wajahnya kian kuyu. Tangannya kuat menggoncang-goncangkan tubuhku yang terbujur. Oh tidak, benarkah aku telah mati dan ruhku gentayangan karena Tuhan tak menerimaku. Dan...dan itu artinya aku akan kembali ke neraka! Gumamku. Kulirik alat deteksi detak jantung, tak ada kehidupan di sana. Aku menyadari kini, ruhku sedang berkelana. Kini aku berhadapan dengan duniaku dulu, dunia manusia yang aku tak lagi mampu menggapainya. Dunia yang kini menghadirkan serentetan memori sebelum aku berada di ruang putih ini. Aku kesepian! Dan sepi itu selalu kusingkirkan dengan mudah sejak aku mengenal butiran-butiran setan. Bahkan demi mendapat butiran-butiran yang telah membuatku kecanduan itu, aku telah berani memukul kepala teman dengan botol minuman hingga berdarah-darah dan masuk UGD. Butiran-butiran itu pula yang telah membuat aku berani membobol lemari ibu, mencuri perhiasannya, kujual sekedar untuk bersenang-senang. Saat ibu pulang dan ternganga menjumpai perhiasannya hilang. Aku pura-pura tak tahu, kukatakan saja pada ibu, Minahlah yang telah mengambil hingga pembantu tak bersalah itu masuk bui. Oooh ini salahku. Sial! Ada operasi di sekolah hingga akhirnya aku tertangkap basah saat membawa pil-pil setan itu. Tertuduh sebagai pengedar obat terlarang, padahal aku hanya pemakai. Aku diseret ke kantor polisi. Sungguh kecewa aku, saat ayah dan ibuku tidak lagi membela untuk melindungiku. Bahkan mereka menyetujui jika aku mendapat hukuman kurungan penjara atas perbuatanku. Bayangan hidup di penjara benar-benar membuatku stress. Aku tak lagi punya perlindungan. Ayah dan ibuku telah ku kecewakan. Aku berpikir keras, walau buah pikirku tidak jernih. Apapun akan aku lakukan, asal aku tidak mendekam di penjara. Entah bagaimana rasanya, hidup di tempat sempit yang pengap. Seakan segala kebebasan dan kesenangan telah terenggut. Bahkan jika harus makan dan buang air di tempat yang sama. Iya, aku ingat sekarang. Aku telah berusaha membunuh diriku
halaman 19
sendiri. Aku menelan 40 butir obat-obatan di lemari apotik keluarga namun obat-obatan itu tak kunjung membuatku mati. Obatobatan itu hanya membuat kepalaku berputar hebat. Aku merasa dipermainkan oleh maut...lalu aku mengambil pisau di dapur. Kutusukkan pisau itu tepat di lambungku. Perih tak tertahankan. Dan segalanya tak lagi dapat kuingat. Sudah matikah aku? Kuraih Ibu, tapi tangan ini tak menggapai apa-apa. Kubisiki telinga ayah, ayahpun tak bereaksi. Oh, sudah matikah aku? Aku bergidik tentang neraka. Ya, aku harus kembali masuk ke tubuh itu. Tapi jika aku kembali, betapa sakit diriku mendekam di tubuh itu. seluruh kaki dan tanganku serupa diikat dengan besi yang panas. Dadaku terasa sempit dan setiap aku hendak menghirup nafas kehidupan, terasa nyeri. Paruku seperti tertusuk jarum-jarum. Jarum-jarum itu bergerak liar menusuk seluruh pori-pori. Terlebih lambungku, terasa diiris-iris. Aku ingin menjerit. Berteriak sekencang-kencangnya untuk mengekspresikan luka yang teramat sangat ini, tapi lihat bibir itu sudah beku, dan lidah telah kaku. Dengan mata yang selalu terpejam, aku seperti di ruang gelap yang pengap. Sekuat tenaga, aku akan masuk tubuhku. “Ini suatu keajaiban. Degup jantung Juna kembali ada.� Kata dokter, lamat-lamat kudengar. Dokter menujuk monitor deteksi detak jantung, yang perlahan kembali bergerak zig-zag. “Lihat, jari-jari itu kini bergerak.� Teriak suster setengah tak percaya. dengan berat, aku mampu menggerakkan lidah dan bibirku. Lamat-lamat, mataku mampu melihat sekeliling. Mati, tak jadi menjemputku! ***
Inung Setyami. Mahasiswi S-2 Ilmu Sastra. Fakultas Ilmu Budaya UGM. Berkegiatan di UNSTRAT (Unit Studi Sastra dan Teater) dan PSP (Pondok Seni Peran) Karya-karya tergabung dalam antologi: Hari ini tak ada Hujan Turun, Ia Ibu yang Memanggilku Srigala, Perempuan Hujan dan Lelaki, Keluarga Cinta, Catatan Bulan Desember, Lelaki yang dibeli, dan Tiga Musim.
halaman 20
sajak
Kartina, S.Pd Amarah Kata Terakhir Cinta dan Penyengat Cerita Kecil Pantai Ku Luka Dalam Lelap Belitik Masa Kecil Kartina, S.Pd, mengajar Bahasa Indonesia di SMP Negeri 5 Kota Tanjungpinang. Sejumlah tulisan berupa opini, cerpen, resensi buku dan puisinya juga pernah dimuat di Batam Pos, Haluan Kepri, Tanjungpinang Pos.
halaman 21
Amarah Kusembunyikan segala ceracau Walau risau tak dapat kutaklukkan dengan sempurna Keluar juga akhirnya ia Lewat lidah dan kilatan mata Susah payah kubolak balik hati Yang berlari tanpa mata dan kaki Menjangkau seluruh sudut kehendak Menolak semua isyarat Liar menepis segala harap Kujangkau dan kutaklukkan pusat kendali Memagari dengan tangan iman Agar ia lebih arif Memuja kesabaran Oi‌‌.! Kupekikkan segala makian pada diri Enyahlah engkau, Jangan sampai merajai
Kata Terakhir Kata terakhir menutup keputusan Walau kau tak mendengarnya Telah kusayat satu bagian keinginan Yang diinginkan semua orang Yang melebihi segala keinginan Luka dihati takkan kau lihat Karena pedihnya telah kutelan Bulat-bulat malam tadi Telah kuhentakkan ke dasar Yang melebihi segala dasar Jika kau terbangun disaat malam mengiggil Takkan pernah kau temukan Seonggok cinta yang tersisa Karena dia sudah lebur Dibola mata yang menyala
halaman 22
Cinta dan Penyengat Penyengat kota tua sejarah Sayup memanggil Antara gemericik air Dan jungnya pengail Kurentang cinta pertamakali Antara keraguan. Dan cerita sumbang sana sini Keajaiban sejarahmu ternodai Kisah kasih terputus Jodoh tak jadi Untuk pasangan yang berani menginjakkan kaki Cinta adalah gejolak Mengepakkan sayapnya di setiap hembusan napas Menggeliat menyusup ditabir dosa Tak kenal pantangan Apalagi rintangan Sejarah Penyengat Sejarah cinta kami Sama-sama punya keajaiban Sama kokoh Sama-sama tak terkalah Antara kisah Penyengat dan kasih kami Kini lahir�Wiska Adelia Putri� Yang mengalahkan segala alibi
halaman 23
Cerita Kecil Rumahku panggung Lantainya nibung Atapnya pelepah sagu bersusun Berdetak rentak kaki menginjak Terpulas lelap dibuai angin Dari segala celah Di tengah terik ditengah lelah Setiap senja menjelang Kulihat awan memerah saga Antara gurat gelap yang merentang Di ujung pandang Kunanti ayah dengan harapan Mengayuh sampan dengan pelan Menyangkut kail mengurai jala Menghitung tangkapan Yang kian hari kian berkurang Waktu berganti Usiaku jadi saksi Dentum bom dan pukat harimau Riuh rendah antara‌ Penduduk tempatan yang kurang akal Para tauke yang berutal Para penguasa yang punya andal Dan tatapan kosong anak nelayan Hari ini ayam masih berkokok Mentari perlahan menyonsong pagi Tangan keriput ayah bergetar mengayuh sampan Tatapan gelisah terpatri diwajah Antara celah nibung kupandang kebawah Riak air tenang tanpa cerita ikan disudut tiang Semuanya tersapu sepi‌
halaman 24
Pantai Ku Luka Kaki kaki telanjang Menorehkan luka Dihamparan putih mutiara Pantai yang dulu tiada celah Tempat nelayan ramah menyapa Tempat bocah riang bersenda Tempat siminah berbagi rasa Kini sumbang! Wajah buram berganti warna Butiran putihnya Sudah tak berkilau Pecah buncah Ketika beribu pasangan Di tengah remang Menapakkan kaki-kaki telanjangnnya Riak gelombang berteriak Desau angin merisau Awan tak lagi berkawan Hening pantai tak lagi bening Sepi sudah tercemari Pantai! Aku! Luka!
halaman 25
Dalam Lelap Kehidupan yang terurai Terhenti sebentar Pada pulas dan lelap Dalam dekapan malam Mengembara tak tentu rimba Dalam istirahat dalam rahmat Tuhan Antara pengharapan dan kecemasan Semoga besok masih ada sebuah senyuman Dalam pulas dan lelap Coba Tanya kemana roh pergi Kemana dicari jika ia tak kembali Kemana lari jika bencana jadi tirani Kemana? Cerita malam memang panjang Terentang luas tak terungkap Menyulap lelap dalam rahmat Menuai silap dalam lelap Tepat disepertiga perjalanannya Puja, pinta, dan air mata Apakah tertuang dalam khusuknya doa?
halaman 26
Belitik Belitik slalu menggelitik Kilasan cerita lama menguak lewat tingkap pintu zaman Telusuri kembali Jalan setapak tak berujung Dengan kaki-kaki kecil beradu kerikil Menyapu embun mengejar hari Menyapa serunai juga nuri Menghirup keakraban yang begitu kental Disatu titik impian Antara desauan pohon petai disudut Kokohnya batu besar dihalaman belakang Jambu batu dan belimbing berjuntai Kicau burung yang tak selesai Air pancuran yang berderai Sebutir telur dibalik rumput Ubi rebus dan rempek kepala tamban Atap nibung dinding bambu Jerit jangkrik dibalik malam Burung hantu yang cemburu Bangsawan di udara mendayu di radio kecilku Jung bergoyang dicelah gelombang dan batu Menebar anyir yang merindu Belitik memang menggelitik Menyeruak mengoyak Dinding angan masa lalu Tak ada kemiskinan Tak ada angan Tak ada kenistaan
Desa kelahiranku, diasuh oleh Ayah dan ibu, BELITIK.
halaman 27
Masa Kecil Dengan harapan bertabur doa Ayahanda duduk dengan resahnya Menantikan anak lahir ke dunia Rahmat Ilahi Tuhan semesta
Di bilik bambu ibu bertarung Menahan sakit di balik sarung Di tangan tua si bidan kampung Pertaruh diri maut di ujung
Tangis bergema memecah malam Bertepatan dengan kumandang azan Gembira hati tak tertahankan Sibuah hati suah dilahirkan
Bersimbah peluh jugalah darah Anak pertama membawa berkah Dengan senyuman penuh sumringah Hilanglah sudah payah dan lelah
halaman 28
Siti Aminan diberi nama Wajahnya comel putih kulitnya Didagu kanan tanda lahirnya Hitam dan kecil manis rupanya
Mata bercahaya penuh bahagia Bidadari kecil darilah surga Siapa memandang akan terpesona Sigadis kecil luar biasa
Hari berjalan bagai senarai Sahdu dan indah jugalah ramai Riangnya hati takkan selesai Melihat sihati cantik gemulai
Sudah berlalu tujuhlah hari Acara digelar kekah diberi Dipotong kambing perintah Ilahi Diundang tetangga untuk bersanggi Ayah berpelekat marahlah muda Ibu berselendang tekatnya lingga Aki dan uwan bersongket senada Pak long, pak ngah cerah wajahnya
halaman 29
Tetangga berbondong bersusun laksa Kaum kerabat juga saudara Baik yang dekat yang jauh juga Memenuhi undangan kewajiban manusia
Pulut kuning telornya merah Dihelat dengan penih meriah Haripun tampak begitu cerah Semuanya terasa begitu mudah
Siti Aminah dijaga bagaikan arca Tiada cacat tiada juga celah Semua dibuat begitu sempurna Oleh ibu juga ayahnya
Harap maklum anak pertama Ditunggu sepuluh tahun lamanya Berbagai usaha juga doa Akhirnya Allah perkenankan jua
halaman 30
Hari berganti waktupun berjalan Aminah berdiri juga ditatihkan Dia ayun pelapah juga dienjutkan Didukung dengan kainlah panjang
Masa bermain segeralah tiba Masa sekolahpun dijalani juga Menghias mengisi masa kecilnya Dengan tawa penuh canda
Dentuman ombak di dekat pantai Daun kelapa tinggi menjuntai Ditambah angin rajin membelai Kilauan pasir sungguh aduhai
Aminah bermain berkawan-kawan Terasa hidup tiada beban Beralas pasir beratap awan Berlindung dibawah payungnya Tuhan
halaman 31
Pasir dibuat bagai istana Ombak menyapu semua sirna Dibuat lagi tanpa bosannya Seolah semua memang sengaja
Jongkong dan kayu sudah di tangan Berpacu menuju tengah lautan Ombak dan angina sudah berkawan Laut yang dalam juga ditaklukkan
Aminah memang jago berenang Mengaku kalah kawan dan lawan Bermain jongkong dia andalan Menyelam dalam tidak ditakutkan
Suatu hari Aminah berlari Kakinya ditancap sebatang duri Emak khwatir setengah mai Uwannya pula pucat pasi
Duri bukan sembarang duri Duri beracu sakit tak terperi Jampi an sembur sudah diberi Tingal Aminah menahan diri
Maklumlah tinggal diceruk jauh Tak hendak orang melempar sauh Susah senang jangan dikeluh Hendak keluar sungguhlah jauh
Sebulan lamanya menahan derita Segala ikhtiar juga usaha Tanpa perawat apalagi dokternya Aminah sembuh kehendak Allah Ta’alah
halaman 32
sajak
Irwanto Pujangga Riau Gerbang abad 21 Tiung Sri Gading Orang Orang Minyak Di Langgar Terubuk Zapin dan Lelaki Nol Sajak Bisu Tajuk Serentang Hala Muara Karat Tajuk Menakik Hidu
Irwanto Lahir di Tanjung Batu, Kundur, Kepulauan Riau, 05 Januari 1982, karya-karya sajak dan puisi diterbitkan di Batam Pos, Haluan Kepri, Pekanbaru Pos, sajaknya di bukukan di Antologi Sajak 64 Penyair, segera menyusul di Antologi Puisi Segantang Lada.
halaman 33
Sajak-sajak ini kupersembahkan untuk mengenang Ayahanda Hj, karena beberapa karyaku yang merasuk deras diinpirasiku.
Pujangga Riau Gerbang abad 21 lambaian kuning gadingmu memetik kata meyulam rindu talkin kehilir kehulu pun tidak bersama samudra yang menelurkan telaga siul dan bunyi diujung alir dawat marhum ketapang bersendikan penggubah Gurindam Dua Belas engkau pun tak sudah bertepuk tawar di Hulu Riaow.
Tiung Sri Gading Ketertarikanku pada tanah kuwakilkan pada kerja akar kugapai awan kuwakilkan pada pucuk daun kujemput setia kuwakilkan pada ranting kurindu badai kuwakilkan pada batang kuingat engkau kuwakilkan pada Tiung yang hinggap dipohon engkau membawa kain kuning gading ke pusara zaman . Al -Fatihah Catatan: Depok, 01 April 2012 Ku dedikasikan Sajak untuk Pujangga Riau dan Kepulauan Riau, Alm Raja Hasan Junus (HJ).
halaman 34
Orang Orang Minyak aku beradat menjadi orang minyak di kampungku terhampar pemandianku jika aku tersesat dihutan pun dirimba raya kiri dan kananku semua itu adalah bedak dan lantaiku
berkat kerja keras musim panen tahun nanti hitam ini adalah keniscayaan yang mesti ku parut di batang-batang kayu tunggul batu aku pernah terkubur ratusan tahun menatap tumbuh Candi Muara Takus menyusunnya satu persatu menjadi almanak bisu
di segala simpang ini, tiap lekuk, ceruk dan muara tak dikenal lagi kupendam segala peta, ku ingin keluar dari rimba tajuk segala hala berpanggul keterasingan , kini engkau berkabar tentang sesosok pondok cinta
sudah bertahun-tahun lamanya ku ikut dengan mu akhirnya aku keluar dari persembunyian ini inilah saatnya kuakan membuat huru hara dikampungku sendiri, selama ini sudah letih ku menunggu saat-saat yang tepat menjadi buah bibir orang tubuh ku masih berlinyang dan legam berkat bertapa di bekas bekas lubang harimau kini tenggorokanku ingin mengaum, sekuat harimau Sumatera terakhir
halaman 35
Di Langgar Terubuk aku menunggu kedatangan mu menyabuk angin di penjuru perjumpaan perjumpaan pendurhakaan ini sesaat menyulam buih bukau di rempuhan badai sepurnama hasrat biarlah aku berumah di bukit batu diiringi sepasukan zapin patah patah menikam pulau pulau dan bersimpai langkah malu malu dari kempunan telur telur mu yang terakhir aku pun terus menghala di pelantar paling timur ku curi sajak sajak idrus tintin kulayangkan ia di anjung anjung di tambur limbung di lanun waktu lalu ku sulut api dapur mak kita menyalai alun gelombang gelombang berbungkus daun keladi bertali parut helai pucuk paku berisi taman taman musim berkendi lebam marawis yang bertalu-talu di lindungan kajang yang berlipat siku
halaman 36
Zapin dan Lelaki Nol beberapa detik yang lalu kebekuan ini telah usai mari kita serentak membawa tumbuh batu engkau lelaki cadangan yang menari di putaran zafana menekuk mata sekandang siku puan..! berlarilah paling timur.
Sajak Bisu bisakah engkau membisukan laut agar riak riak alun gelombang ini tak mendengar kedatangan ku kali ini beberapa detik yang lalu, wajah ku telah bersempadan dengan tepian pantai dan saat itu juga kakiku ini berlari lari kecil menuju pasang surut syarat Mu
halaman 37
Tajuk Serentang Hala Sepasukan gelombang gelombang mengantarkan ganjil menyudut di sepangkalan rimba, sejak belanak, cucut dan todak jatuh ke tanah, masa lalu berputik tulang lenyaplah dan kita lupa menuliskannya menjadi sajak sajak, pegon tua inipun melepaskan huruf-hurufnya sendiri, dan nasib sekujur tubuhmu gundul bersama cericit musim panen dan lukis batu
Muara Karat : Sajak untuk saudaraku Firdaus bin Abdul Mu’in di Selat Lalang Sejak pagi lagi hanyut ini berisi besi tua yang berkarat lendir muara satu persatu anak musim pun menidurkan sepasukan lukah lukah masih dapatkah aku bermimpi memancung surut dan pasang tak kenal muka lampu lampu telah mengernyitkan cahaya se-silau selais, pantau, baung dan udang galah. igaulah aku di tombak di kurung waktu padahal engkau sudah pun berpetang bertampar di Selat Malaka.
halaman 38
Tajuk Aku berpacu hanyut pulang pergi ke Leiden dan bertemu aib di Formosa Palmeral pun menjadi tukang timbo yang membuang Laut sesekali menguras dangkal fasifik kita bermimpi Venesia yang timur hingga berganti dayung di arung sayang kemudi kemudi pun dijemput diarak musim lantas, kapan kau tulis janji kita setinggi bukit batu.
Menakik Hidu sambil menganyam secangkir kopi ku ajak pak belalang datang menghirup sampai mengadu kampung pada zuriat yang menggali laut menepuk nepuk buih berkecipak pantai di sudut benua selat ini surga terkepung menjadi berbait rima yang tak tentu hala
halaman 39
sajak
Baiq Ilda Karwayu Syzygium Aromaticum Morfem yang Buram Makan Malam Di Samping Pagar Bulan Mengetuk Daun Pintu Ramayana Padamu, Setelah Tarian Doblin Madu Pisang Stempel Penulis Bersama Sekretarisnya Di Rumah Duka Empat Malam Dua Kata (atau) Lebih Mata Hari
Baiq Ilda Karwayu Lahir di Denpasar, 10 Juli 1993. Mahasiswa Jurusan Bahasa Inggris FKIP Universitas Mataram. Puisinya terbit di Bali Post, Radar Surabaya, Haluan Kepri dan Waspada. Disamping berpuisi juga aktif di Pers Mahasiswa. Memperdalam sastra pada Pengajian Sastra Senin Sore, Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.
halaman 40
Syzygium Aromaticum Liu Bang di tanah hijau sepahit camellia sinensis Sailendra di tanah hijau sehangat syzygium aromaticum mereka paham sejarah tak kan rela besilih
Morfem yang Buram aku berputar pada morfem yang buram geraham telah karam malam jadi senyap kekata menatap
halaman 41
Makan Malam Bagaimana bisa aku Menelan nasi ini Sementara lidahmu Masih melumat benih
Di Samping Pagar bunga harmoni milikmu masih kusimpan di samping pagar agar kelak jika kau kehilangan alas kaki kau dapat membawanya kembali beserta punggungku
halaman 42
Bulan Mengetuk Daun Pintu bulan mengetuk daun pintu di balik mataku bersamanya aku mengaduh terlalu banyak sintaks usang dalam otakku
Ramayana rumusnya singkat, membunuh atau dibunuh Rahwana terbaring dalam danau yang anyir Ia bersandar pudar
halaman 43
Padamu, hingga tikus-tikus melompat riang malam ini mata kami masih memahat cinta padamu pusaran waktu tanpa cincin padamu, kami tak siap berucap mesra karena teh yang kau hidangkan tiap pagi selalu kami minum diam-diam
Setelah Tarian setelah tarian tadi subuh aku dikaruniai mata yang rapuh bagai kotak pandora di malam natal ingin kutukar mataku dengan matamu
halaman 44
Doblin kurasa, telapak fikir Doblin lebih tangkas dari televisi karena, ibu angsa pernah berbisik; “jangan tertipu pada asam dan jamur.�
Madu Pisang di tangannya sesisir jadi sepiring peluhnya memanis semanis lelehan madu pisang dalam piring yang licin selicin minyak panas yang mendingin jejari menatap jatuh betapa ia pada peluh
halaman 45
Stempel stempel pak lurah seperti ijab kabul seperti teori di bukuku seperti kekata yang mengubah tapak
Penulis Bersama Sekretarisnya seorang penulis bersama sekretarisnya sedang berdiri sedang berbicara mencerca tata bahasa dalam sara dalam sesari tinta kering, mereka berbalik arah dan meludah meludahi yang ditata meludahi yang menata
halaman 46
Di Rumah Duka mulut ini banyak melapis getah jika hujan telah reda telinga menjemput di pelapah siapkah kau tanpa meminta di rumah duka?
Empat Malam selama empat malam menari dengan selendang hujan si ronggeng lupa bahwa ia telah melubangi hati seorang pemulung
halaman 47
Dua Kata (atau) Lebih sejak lembar demi lembar hanya ada kolokasi dan idiom bersama frasa mereka sukses merajut dua kata (atau) lebih menjadi bunga tidur dalam dengkur
Mata Hari pada mata hari ini aku berjemur menanti si tuan singa menyelam
halaman 48
cerita-pendek terjemahan
Surat Untuk Tuhan
Oleh Gregorio Lopes Y Fuentes diterjemahkan dari teks berbahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Arman abee Athar Yauzi. halaman 49
anya satu, rumah yang ada di lembah itu dan ditegakkan pada lahan puncak sebuah bukit kecil. Juka dilihat dari atas ketinggian, siapa saja bebas memandang sungai dan di sebelah pekarangan dimanfaatkan untuk memelihara ternak, kebun tanaman jagung yang siap panen dan diselingi taburan bungabunga kacang merah yang selalu menjanjikan panen yang memuaskan. Satusatunya yang diperlukan bumi hanyalah curah hujan atau setidaknya sedikit hujan pun jadilah. Sepanjang pagi itu Lencho, yang sangat mengenal selok-belok ladangnya, tidak berbuat apapun selain hanya mengamati langit ke arah timur laut. “Sekarang kita pasti akan mendapatkan air, Bu.” Istrinya yang sedang menyiapkan makan menjawab: “Mudah-mudahan saja, insya Allah.” Anakanak lelaki mereka yang sudah besar sedang bekerja di ladang, sedang yang masih kecil bermainmain di dekat rumah, dan kemudian si istri memanggil mereka semua: “Ayo ke sini semua, makan dulu!” Tepat ramalan Lencho. Saat mereka makan, butir-butir air hujan yang besarbesar mulai jatuh ke bumi. Di sebelah timur laut, gumpalan awan tebal berukuran sangat besar terlihat berangsur mendekat. Udara menjadi segar dan nyaman. Pria itu beralih ke luar untuk melihat laman tempat memelihara ternaknya, sematamata hanya ingin menikmati hujan yang mengguyur tubuhnya dan ketika kembali ia berseru: “Yang jatuh dari langit itu bukan butir-butir air hujan, namun kepingankepingan logam uang baru. Yang besarbesar sepuluh centavo dan yang kecilkecil lima ….” Dengan mimik yang menujukkan kepuasan ia memandang ladang jagung yang masak dengan bungabunga kacang merahnya yang dihiasi tabir hujan. Tapi tibatiba angin kencang berhembus dan bersamaan dengan air hujan bongkahanbongkahan es yang sangat besar mulai berjatuhan. Bentuknya memang persis seperti lempengan uang logam perak yang masih baru. Anakanak lelaki membiarkan tubuh mereka diguyur hujan berlarilarian untuk mengumpulkan mutiaramutiara beku itu. “Sekarang benarbenar semakin buruk!” seru pria itu, resah. “Harapanku keadaan seperti ini semoga cepat berlalu.” Ternyata tidak cepat berlalu. Selama satu jam hujan es itu menimpa rumah, kebun, lereng bukit, ladang jagung, di seluruh lembah. Ladang itu menjadi putih seperti tertimbun hamparan kristal ga-
halaman 50
ram. Tak sehelai daunpun masih tersisa menggelayut di pepohonan. Tanaman jagung itu sama sekali musnah. Bungabunga pun berguguran dari pokok kacang merah. Jiwa Lencho dipenuhi kesedihan. Ketika badai itu telah berlalu ia berdiri di tengahtengah ladangnya dan berkata kepada anakanaknya: “Hama belalang masih menyisakan lebih banyak daripada ini. Hujan es sama sekali tak menyisakan apapun. Tahun ini kita tidak punya jagung atau kacang ….” Malam itu penuh kesedihan. “Semua jerih payah kita ternyata siasia!” “Tak seorangpun yang dapat menolong kita!” “Kita akan kebulur tahun ini ….” Tapi di hati semua orang yang tinggal di rumah yang terpencil di tengah lembah itu masih tersisa satu harapan yaitu: pertolongan dari Tuhan. “Jangan terlalu sedih meskipun kelihatannya seperti kerugian total. Ingatlah, tak ada orang yang mati karena kelaparan!” “Itulah yang mereka katakan: tak seorangpun mati karena kelaparan ….” Sepanjang malam itu Lencho hanya memikirkan harapan satusatunya: pertolongan dari Tuhan, yang mataNya (sebagaimana diajarkan kepadanya) melihat segala sesuatu, bahkan sampai ke dalam lubuk hati seseorang yang paling dalam sekalipun. Lencho adalah seorang pekerja keras yang bekerja seperti binatang di ladang, tapi dia masih bisa menulis. Pada hari ahad berikutnya, ketika dinihari, setelah meyakinkan dirinya bahwa masih ada zat yang melindungi, ia mulai menulis sepucuk surat yang akan dibawanya sendiri ke kota dan dimasukkan ke pos. Itu tidak lain adalah surat kepada Tuhan. “Tuhan …,” tulisnya, “kalau Kau tidak menolongku, aku dan keluargaku akan kelaparan tahun ini. Aku membutuhkan seratus peso untuk menanami kembali ladangku dan untuk kebutuhan hidup sampai saatnya panen nanti, karena badai es ….” Dituliskannya “Kepada Tuhan” di atas amplop lalu dimasukkannya surat itu kedalamnya, dan masih dengan pikiran dan perasaan yang galau ia pergi ke kota. Di kantor pos diberinya surat itu perangko kemudian dimasukkannya ke dalam kotak pos. Salah seorang pegawai di sana, seorang tukang pos yang juga ikut membantu di kantor pos itu, mendatangi atasannya sambil tertawa terpingkalpingkal dan memperlihatkan kepadanya surat kepada Tuhan tadi. Selama karirnya sebagai tukang pos, ia tidak pernah tahu di mana alamat itu. Sedangkan sang kepala pos, seorang yang gemuk dan periang, juga tertawa terbahakbahak. Namun hampir ti-
halaman 51
batiba saja ia berubah menjadi serius, dan sambil mengetukngetukkan surat itu di mejanya iapun berkomentar: “Keimanan yang hebat! Seandainya imanku seperti imannya orang yang menulis surat ini. Punya kepercayaan seperti kepercayaannya. Berharap dengan keyakinan yang ia tahu bagaimana caranya. Melakukan suratmenyurat dengan Tuhan!� Dengan demikian untuk tidak mengecewakan keajaiban iman itu, yang disebabkan oleh surat yang tak dapat disampaikan, sang kepala pos mengajukan sebuah gagasan: menjawab surat tadi. Namun ketika ia memulainya ternyata untuk menjawabnya ia membutuhkan tidak hanya sekedar kemauan, tinta dan kertas. Tapi tekadnya sudah bulat: ia memungut iuran dari para anak buahnya, ia sendiripun ikut menyisihkan sebagian gajinya dan beberapa orang temannya juga diwajibkan untuk ikut memberikan “sumbangan�. Akan tetapi tidak mungkin baginya untuk mengumpulkan uang sebanyak seratus peso, ia hanya bisa mengirim kepada si petani sebanyak setengahnya lebih sedikit saja. Dimasukkannya lembaranlembaran uang itu ke dalam amplop yang dialamatkan kepada Lencho dan bersamanya hanya ada selembar kertas yang bertuliskan satu kata sebagai tandatangan: Tuhan Pada hari ahad berikutnya Lencho datang sedikit lebih awal daripada biasanya untuk menanyakan apakah ada surat untuknya. Si tukang pos sendiri yang menyerahkan surat itu kepadanya. Sementara sang kepala pos, dengan perasaan puas sebagai orang yang baru saja berbuat kebajikan, menyaksikan lewat pintu keluarmasuk ruang kerjanya. Lencho sedikitpun tidak terkejut menyaksikan lembaranlembaran uang tadi, sesuai keyakinannya, namun ia menjadi marah setelah menghitung jumlahnya. Tuhan tidak akan keliru atau menyalahi apa yang diminta Lencho! Segera saja Lencho pergi ke loket untuk meminta kertas dan tinta. Di atas meja tulis untuk umum iapun mulai menulis sampaisampai keningnya sangat berkerut saking bersemangatnya dalam menuangkan gagasannya. Setelah selesai ia pergi lagi ke loket untuk membeli perangko yang lalu dijilat dan kemudian ditempelkannya di atas amplop dengan pukulan kepalan tangannya. Setelah surat itu dimasukkan ke dalam kotak pos, sang kepala pos membukanya. Bunyinya: “Tuhan, dari uang sebanyak yang kuminta itu, hanya tujuh puluh peso saja yang sampai ke tanganku. Kirimkanlah kekurangannya kepadaku karena aku sangat memerlukannya. Namun jangan kau kirimkan kepadaku lewat pos, karena para pegawai
halaman 52
di kantor pos itu adalah orangorang yang tak jujur. ttd. Lencho.� ***
Gregorio Lopez Y Fuentes. Dia lahir dan dibesarkan di kalangan orang Indian Mexico pada tahun 1895. Selain mengarang fiksi ia juga seorang penyair dan wartawan. Memenangkan The National Prize of Mexico untuk novelnya El Indio pada tahun 1935. Cerita di atas diterjemahkan dari teks berbahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Arman abee AtharYauzi.
halaman 53
pusaka
Suku Talang Mamak Suku Talang Mamak tergolong Melayu Tua (Proto Melayu) merupakan suku asli Indragiri, mereka juga menyebut dirinya “Suku Tuha”. Sebutan tersebut bermakna suku pertama datang dan lebih berhak terhadap sumber daya di Indragiri Hulu. Menurut Orang Talang-Mamak. F.Int
halaman 54
mitos Suku Talang Mamak merupakan keturunan Adam ketiga yang berasal dari kayangan turun ke bumi, tepatnya di Sungai Limau dan menetap di Sungai Tunu (Durian Cacar, tempat Pati). Hal ini terlihat dari ungkapan “Kandal Tanah Makkah, Merapung di Sungai Limau, menjeram di Sungai Tunu”. Itulah manusia pertama di Indragiri nan bernama Patih. Suku Talang Mamak tersebar di empat kecamatan yaitu : Kecamatan Batang Gangsal, Cenaku, Kelayang dan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu Riau. Dan satu kelompok berada di Dusun Semarantihan Desa Suo-suo Kecamatan Sumai Kabupaten Tebo Jambi. Pada tahun 2000 populasi Talang Mamak diperkirakan ±1341 kepala keluarga atau ±6418 jiwa. Kepercayaan Talang Mamak masih animisme dan sebagian kecil Katolik sinkritis khusunsya penduduk Siambul dan Talang Lakat. Mereka menyebut dirinya sendiri sebagai orang “Langkah Lama”, yang artinya orang adat. Mereka membedakan diri dengan Suku Melayu berdasarkan agama. Jika seorang Talang Mamak telah memeluk Islam, identitasnya berubah jadi Melayu. Orang Talang Mamak menunjukkan identitas secara jelas sebagai orang adat langkah lama.
Foto Kemeriahan suasana acara sabung ayam ala talang mamak. F. Int
Mereka masih mewarisi tradisi leluhur seperti ada yang berambut panjang, pakai sorban/songkok dan gigi bergarang (hitam karena menginang). Dalam selingkaran hidup (life cycle) mereka masih melakukan upacara-upacara adat mulai dari melahirkan bantuan dukun bayi, timbang bayi, sunat, upacara perkawinan (gawai), berobat dan berdukun, beranggul (tradisi menghibur orang yang kemalangan) dan upacara batambak (menghormati roh yang meninggal dan memperbaiki kuburannya untuk peningkatan status sosial). Kebanggaan terhadap kesukuan tersebut tidak lepas dari sejarah kepemimpinan Talang Mamak dan Melayu di sekitar Sungai Kuantan, Cenaku dan Gangsal. Kepemimpinan Talang Mamak tercermin dari pepatah “Sembilan Batang Gangsal, Sepuluh Jan Denalah, Denalah Pasak Melintang; Sembilan Batin Cenaku, Sepuluh
Jan Anak Talang, Anak Talang Tagas Binting Aduan; beserta ranting cawang, berinduk ke tiga balai, beribu ke Pagaruyung, berbapa ke Indragiri, beraja ke Sultan Rengat”. Ini menunjukkan bahwa Talang Mamak mempunyai peranan yang penting dalam struktur Kerajaan Indragiri yang secara politis juga ingin mendapatkan legitimasi dan dukungan dari Kerajaan Pagaruyung. Hingga sekarang sebagian besar kelompok Talang Mamak masih melakukan tradisi «mengilir/ menyembah raja/datok di Rengat pada bulan Haji dan hari raya» sebuah tradisi yang berkaitan dengan warisan sistem Kerajaan Indragiri. Bagi kelompok ini ada anggapan jika tradisi tersebut dilanggar akan dimakan sumpah yaitu “ke atas ndak bepucuk, ke bawah ndak beurat, di tengah halaman 55
pecah, untuk posisi patih diduduki 3 orang yang mempunyai pendukung yang fanatis, demikian juga konflik terhadap perebutan sumber daya. Walaupun otonomi daerah berjalan, konflik kepemimpinan Talang Mamak sulit diresolusi. Sebagian besar penduduk Talang Mamak buta huruf yang disebabkan oleh upacara adat nikah kawin orang talang. F. Int berbagai faktor dan kendala. Di dalam taman nasional, wilayahnya tidak terjangkau, dilarik kumbang� yang artinya tidak sarana prasarana tidak memungkinkan. berguna dan sia-sia. Di luar taman seperti di Lintas Timur, Mereka memiliki berbagai kesenian sekolah baru ada akhir-akhir ini dan yang dipertunjukkan pada pesta/gawai kurang diminati sebab pendidikan dirasa dan dilakukan pada saat upacara seperti tidak dapat memecahkan masalah mereka pencak silat yang diiringi dengan gendang, di samping ekonomi yang subsistem. Di main gambus, tari balai terbang, tari wilayah Tigabalai sebagian besar menolak bulian dan main ketebung. Berbagai pendidikan, karena anak-anak mereka penyakit dapat disembuhkan dengan yang bersekolah dan mengecap pendidikan upacara-upacara tradisional yang selalu akhirnya keluar dari kelompoknya. dihubungkan dengan alam gaib dengan Tanah dan hutan bagi Suku Talang bantuan dukun. Mamak merupakan bagian dari kehidupan Prinsip memegang adat sangat kuat yang tidak dapat dipisahkan. Sejak bagi mereka dan cenderung menolak beratus-ratus tahun mereka hidup damai budaya luar, tercermin dari pepatah “biar dan menyatu dengan alam. Mereka hidup mati anak asal jangan mati adat�. dari mengumpulkan hasil hutan dan Kekukuhan memegang adat masih kuat melakukan perladangan berpindah. Dari bagi kelompok Tigabalai dan di dalam dulu mereka berperan dalam penyediaan taman nasional, kecuali di lintas timur permintaan pasar dunia. Sejak awal abad karena sudah banyaknya pengaruh dari ke-19 pencarian hasil hutan meningkat luar. seiring dengan meningkatnya permintaan Dengan berlakunya UU Pemerintah dunia terhadap hasil hutan seperti Desa No. 5 tahun 1979, mengakibatkan jernang, jelutung, balam merah/putih, berubahnya struktur pemerintahan desa gaharu, rotan. Tetapi abad ke-20 hasil yang sentralistik dan kurang mengakui hutan di pasaran lesu atau tidak menentu, kepemimpinan informal. Akhirnya namun ada alternatif ekonomi lain yaitu kepemimpinan Talang Mamak terpecahmengadaptasikan perladangan berpindah
halaman 56
dengan penanaman karet. Penanaman karet tentunya menjadikan mereka lebih menetap dan sekaligus sebagai alat untuk mempertahankan lahan dan hutannya. Mereka mulai terusik dan diporakporandakan oleh kehadiran HPH, penempatan transmigrasi, pembabatan hutan oleh perusahaan dan sisanya dikuasai oleh migran. Kini sebagian besar hutan alam mereka tinggal hamparan kelapa sawit yang merupakan milik pihak lain. Penyempitan lingkungan Talang Mamak berdampak pada sulitnya melakukan sistem perladangan beringsut dengan baik dan benar dan harus beradaptasi, bagi yang tidak mampu beradaptasi kehidupannya akan terancam. Oleh sebab itu, sekelompok suku Talang Mamak yang di Tigabalai di bawah kepemimpinan Patih Laman gigih mempertahankan hutannya. Demi memperjuangkan hutan adat, ia menentang dan menolak segala pembangunan dan perusahaan serta
rela mati mempertahankan hutan. Kegigihan dan perjuangan “orang tua si buta huruf ini� diusulkan menjadi nominasi dan memenangkan penghargaan International “WWF International Award for Conservation Merit 1999� dari tingkat grass root. Beliau juga mengharumkan nama Riau dan Indonesia di bidang konservasi yang diterimanya di Kinabalu Malaysia bersama dua pemenang lainnya dari Malaysia dan India. Pada tahun 2003, Patih Laman mendapatkan penghargaan KALPATARU dari Presiden Republik Indonesia. *** (Red. dari berbagai sumber)
Kuburan orang talang-mamak. F. Int
halaman 57
senirupa
Sketsa Rembrandt van Rijn-Two Women Teaching a Child to Walk, 1640. F. int
Rembrandt van Rijn Nama lengkapnya adalah, Rembrandt Harmenszoon van Rijn seorang pelukis Belanda yang merupakan salah satu pelukis terbesar dalam sejarah seni Eropa. Wajah Rembrandt Van Rijn diabadikan oleh Google di suatu hari guna merayakan hari lahirnya (Rembrant), yang jatuh pada 15 Juni 1606 alias 407 tahun lalu. halaman 58
Rembrandt adalah salah seorang pelukis terbesar dalam sejarah seni Eropa, dan telah menciptakan lebih dari 600 lukisan sepanjang hidupnya. Rembrandt yang lahir dari keluarga yang berkecukupan, mulai ‘menapakkan langkahnya’ menjadi seorang pelukis dengan mengangkat tema religius. Menjadi
mahasiswa di Universitas Leiden, ketertarikannya terhadap dunia lukis tak terelakkan lagi. Maka, dikirimlah Rembrandt kepada Jacob van Swanenburgh, seorang penulis kenamaan di Leiden. Ini adalah titik baru dalam sejarah hidupnya. Belajar pada berbagai pelukis terkenal membuat karyanya makin matang. Mereka yang dianugerahi kemampuan hebat dari Tuhan, kadang mesti menjalani hidup yang tak sempurna sebagai ‘kompensasi’. Demikianlah yang terjadi pada Rembrandt. Ia menikah dengan Saskia van uylenburgh pada tahun 1634 dan hari-hari pilu berlalu. Pemasukan sang pelukis ketika itu sangat besar dengan posisinya sebagai seorang maestro. Namun, pengelolaan keuangan yang buruk, ditunjang sifat boros membuat krisis ekonomi menggerogoti keluarga itu. Belum lagi meninggalnya Rumbartus, anak lelaki pasangan ini setelah dua bulan lahir. Dua anak yang sama-sama dinamai Cornelia juga bernasib sama. Hanya Titus, anak keempat mereka yang selamat. Namun, ini harus ditebus dengan kematian Saskia beberapa saat setelah melahirkan sang buah hati. Kematian beruntun yang menimpa keluarganya, dan kehidupan yang yang pedih menjadi inspirasi getir bagi lukisan Rembrandt pada waktu-waktu berikutnya. Gaya hidup Rembrandt yang terlalu jatuh cinta pada seni dan membayar berapa pun demi karya-karya yang dianggapnya indah, membuat kehidupannya memburuk dan terus memburuk. Ia berhubungan dengan Hendrickje Stoffels, tapi tidak menikah karena dengan jalan itulah ia tetap bisa menjaga Titus. Namun, takdir yang lebih pahit bergulir. Keuangannya makin hancur, dan sang pelukis harus menjual rumahnya.
Pada tahun 1660, Hendrickje dan Titus kemudian membangun toko barang seni, sementara Rembrandt menjadi karyawan di sana. Kegetiran berlanjut ketika Rembrandt meninggal pada 1669. Ia hidup terpisah dari sang kekasih dan sang anak. Bahkan ia dikubur tanpa upacara; makamnya pun tak diberi tanda nisan. Meskipun menjalani hidup yang berantakan, Rembrandt memiliki selera yang luar biasa dalam lukisan. Karyanya didominasi dengan potret diri. Empatinya terhadap kehidupan manusia yang dituangkan dalam lukisan, membuatnya disebut-sebut sebagai salah satu ‘nabi’ pada zamannya. Adapun yang terlihat di Google untuk memperingati hari kelahirannya adalah, potret dirinya yang dibuat pada tahun 1659. *** (Red. Dari berbagai sumber)
halaman 59
tokoh
Charles Baudelaire Matinya Sang Pencinta Bakal kita punyai ranjang menghidu lembut wangi Bakal Kita punyai dipan seluas pusara Dan pohonan elok di birai-birai tinggi bawah langit terbiru bermekaran bagi kita Letihkan jiwa kita hingga gairah penghabisan Semua mereka bakal serupa dua pijar bara Memantulkan cahaya api mereka bergandaan Di seberang kembar cermin jiwa kita berdua. Sebuah malam langit biru yang mistis, Kita bakal bertukar cahaya sekerjap cuma Bagai lambai perpisahan di padat tangis Kemudian malaikat bakal bahagia tiba Lintasi pintu separuh terbuka, menyempurnakan dan membasuh obor padam dan gelas mengusam. Terjemahan Agus R. Sarjono
halaman 60
Charles Baudelaire Pierre, seorang penyair Perancis yang menghasilkan karya terkenal dalam bentuk esais, kritik seni, dan perintis penerjemahan karya Edgar Allan Poe . Karyanya yang paling terkenal, Les Fleurs du mal (The Flowers of Evil), mengungkapkan perubahan sifat keindahan alam modern, era industrialisasi Paris selama abad ke-19. Gaya yang sangat asli Baudelaire pada prosa-puisi mempengaruhi seluruh generasi penyair termasuk Paul Verlaine , Arthur Rimbaud dan Stéphane Mallarmé dan banyak lainnya. Dia mendapat julukan pencipta istilah “modernitas” (modernité) untuk menunjuk sekilas, pengalaman fana kehidupan di sebuah kota metropolis, dan seni memiliki tanggung jawab untuk menangkap pengalaman itu. “Siapa di antara kita belum bermimpi, di saat-saat ambisi, keajaiban dari prosa puitis, musik tanpa irama dan sajak, kenyal dan staccato cukup untuk beradaptasi dengan kepeduliannya liris jiwa, undulations mimpi, dan tiba-tiba melompat dari kesadaran. Ini ide yang obsesif adalah di atas semua anak kota raksasa, dari memotong hubungan segudang mereka. “ Baudelaire adalah salah satu inovator utama dalam sastra Perancis. Puisinya dipengaruhi oleh penyair romantis Perancis abad ke-19 awal, meskipun perhatian ke fitur formal ayat menghubungkannya lebih dekat dengan pekerjaan ‘Parnassians’ kontemporer. Adapun tema dan nada, dalam karya-karyanya dapat kita lihat penolakan terhadap keyakinan dalam supremasi alam dan kebaikan dasar manusia sebagai biasanya didukung oleh romantisme dan diungkapkan oleh mereka dalam retorika, dan suara publik berlebihan demi sebuah kota baru
sensibilitas, kesadaran kompleksitas moral bersifat individu, suatu kepentingan wakil (dihubungkan dengan dekadensi) dan kesenangan sensual dan estetika halus, dan penggunaan materi pelajaran perkotaan, seperti kota, kerumunan, individu lewat, semuanya dinyatakan dalam ayat dan sangat memerintah, kadang-kadang melalui suara sinis dan ironis. Secara formal, penggunaan suara untuk menciptakan suasana, dan ‘simbol’, (gambar yang mengambil fungsi diperluas dalam puisi), mengkhianati bergerak menuju mempertimbangkan puisi sebagai objek self-referensial, ide dikembangkan lebih lanjut oleh simbolis Verlaine dan Mallarmé, yang mengakui Baudelaire sebagai pelopor dalam hal ini. Selain inovasi dalam syair dan teori-teori simbolisme dan ‘korespondensi’, kesadaran yang penting untuk setiap apresiasi nilai sastra karyanya, aspek karyanya yang secara teratur menerima (atau telah menerima) banyak diskusi kritis termasuk peran perempuan, arah teologis karyanya dan dugaan advokasi tentang ‘satanisme’, pengalamannya imbas obat mempengaruhi pikiran, sosok pesolek, sikapnya tentang demokrasi dan implikasinya bagi individu, respon kepada spiritual ketidakpastian waktu, kritiknya terhadap kaum borjuis, dan advokasi tentang musik modern dan lukisan (misalnya, Wagner, Delacroix). Baudelaire lahir di Paris, Prancis pada tanggal 9 April 1821 dan dua bulan kemudian dibaptis di Gereja SaintSulpice Katolik Roma. Ayahnya, François Baudelaire, seorang pegawai negeri senior dan seniman amatir, adalah tiga puluh empat tahun lebih tua dari ibu Baudelaire. François meninggal selama masa kanakkanak Baudelaire, pada tahun 1827. Tahun berikutnya, Caroline menikah dengan
halaman 61
Letkol Jacques Aupick, yang kemudian menjadi duta besar Prancis untuk berbagai pengadilan tingkat tinggi. Penulis biografi sudah sering melihat ini sebagai momen penting, mengingat bahwa menemukan dirinya tidak lagi satu-satunya fokus kasih sayang ibunya meninggalkan dia dengan trauma. Dia menyatakan dalam sebuah surat bahwa, “Ada di masa kecil saya masa gairah cinta untuk Anda”. Baudelaire dididik di Lyon, Baudelaire di usia empat belas tahun, digambarkan oleh teman sekelas: “Dia jauh lebih halus dan dibedakan daripada sesama murid kami, kita terikat satu sama lain oleh selera dan simpati, kasih yang halus bersama karya sastra “. Baudelaire tidak menentu dalam studinya, pada waktu rajin, di lain waktu rawan “kemalasan”. Kemudian, ia menghadiri Lycée Louis-le-Grand di Paris, belajar hukum, kursus populer bagi mereka belum memutuskan beralih pada karir tertentu. Baudelaire mulai sering berhubungan badan dengan banyak pelacur dan berkemungkinan telah terjangkit gonorhoe dan sifilis selama periode ini. Baudelaire mulai berkenalan dengan hutang, terutama untuk kepentingan bersolek dan pakaian-pakaian mahal. Setelah mendapatkan gelar pada tahun 1839, ia mengatakan kepada saudaranya “Saya tidak merasa saya memiliki panggilan untuk apa pun.” Ayah tirinya hanya memikirkan karir di bidang hukum atau diplomasi, sedang Baudelaire memutuskan untuk memulai pada karir sastra. Ibunya kemudian bercerita: “Oh, apa kesedihan Jika Charles telah membiarkan dirinya dibimbing oleh ayah tirinya, kariernya akan sangat berbeda ... Dia tidak akan meninggalkan nama dalam literatur, memang benar, tapi kita memiliki
halaman 62
kebahagiaan untuk kami bertiga “. Ayah tirinya mengirimnya untuk melakukan perjalanan ke Calcutta, India pada tahun 1841 dengan harapan mengakhiri kebiasaan tak bermoral nya. Perjalanan memberikan kesan kuat dari laut, berlayar, dan pelabuhan eksotis, yang kemudian ia bekerja untuk puisinya. Baudelaire kembali ke bar di mana ia mulai menulis beberapa puisi Les Fleurs du Mal. Pada usia dua puluh satu, ia menerima warisan dalam skala lumayan, namun sebagian besar lesap dalam beberapa tahun. Keluarganya membuat keputusan untuk menyimpan sisa hartanya akibat hilangnya kepercayaan yang membuat ia menjadi benci pada pengalaman pahit ini. Puncanyanya hanya pada satu titik yaitu alasan bahwa membiarkan dia gagal sendiri secara finansial akan menjadi salah satu cara yang diyakini dapat mengajarinya nilai mempertahankan keuangan yang tertata dengan baik. Baudelaire menjadi dikenal di kalangan artistik sebagai pesolek dan pemboros serata penganut pergaulan bebas. Selama waktu ini Jeanne Duval menjadi kekasihnya. Ibunya berpikir Duval “Black Venus” yang, “menyiksanya dalam segala hal” dan dikucurkan dia uang di setiap kesempatan. Dia ditolak oleh keluarganya yang membuat dia berusaha bunuh diri. Baudelaire ambil bagian dalam Revolusi 1848 dan menulis untuk surat kabar revolusioner. Pada tahun 1850an awal, Baudelaire berjuang dengan kondisi kesehatan yang buruk, tekanan para penagih hutang, dan output sastra yang tidak teratur. Ia sering berpindahpindah dari satu penginapan ke yang lain untuk melarikan diri kreditur dan penagih bayaran. Dia menerima banyak proyek yang
ia tidak mampu menyelesaikan, meskipun ia menyelesaikan terjemahan cerita karya Edgar Allan Poe. Setelah kematian ayah tirinya pada tahun 1857, Baudelaire tidak disebutkan sebagai penerima warisan, tapi ia cukup berbesar hati karena ia mendapatkannya dari pembagian ibunya. Pada usia tiga puluh enam ia menulis nya: “Saya percaya bahwa benar-benar milik anda, dan bahwa saya hanya milik anda”. Karya pertamanya diterbitkan adalah seni ulasan “Salon 1845,” yang menarik perhatian segera karena berani. Banyak pendapat dan kritik yang baru, termasuk memperjuangkan Delacroix, dan beberapa pandangannya tampak sangat selaras dengan teori-teori masa depan pelukis impresionis. Pada tahun 1846, Baudelaire menulis review Salon kedua, mendapatkan kredibilitas tambahan sebagai pendukung dan kritikus Romantisisme. Dukungannya terhadap Delacroix sebagai artis Romantis terutama diperoleh dalam catatan. Baudelaire adalah seorang pekerja yang lambat dan rewel, sering teralihkan oleh kemalasan, gangguan emosi dan penyakit. Baudelaire adalah peserta aktif dalam kehidupan artistik zamannya. Sebagai kritikus dan esais, ia menulis secara ekstensif dan perceptively tentang tokohtokoh dan tema dari budaya Perancis. Dia jujur dengan teman-teman dan musuh, jarang mengambil pendekatan diplomatik dan kadang-kadang merespon kekerasan verbal, yang sering menggerogoti tujuannya. Asosiasi-Nya yang banyak dan mencakup: Gustave Courbet, Honoré Daumier, Franz Liszt, Champfleury, Victor Hugo, Gustave Flaubert, Balzac dan para seniman dan penulis yang mengikuti.
Pengaruh Baudelaire pada arah budaya Perancis (dan Inggris) sastra bahasa modern sangat besar. Para penulis Perancis yang paling signifikan untuk datang setelah dia dengan murah hati tanpa upeti, dan berbuah pujian empat tahun setelah kematiannya. Arthur Rimbaud memujinya dalam sebuah surat sebagai ‘raja penyair yang sejati’. Pada tahun 1895, Stéphane Mallarmé menerbitkan soneta dalam memori Baudelaire, ‘Le Tombeau de Charles Baudelaire’. Marcel Proust, dalam sebuah esai yang diterbitkan pada tahun 1922, menyatakan bahwa bersama dengan Alfred De Vigny , Baudelaire adalah penyair terbesar abad kesembilan belas. Di dunia berbahasa Inggris, Edmund Wilson dijuluki sebagai Baudelaire yang memberikan dorongan awal untuk gerakan simbolis, berdasarkan terjemahannya untuk karya Poe. Saat ini, Vanderbilt University telah “mengumpulkan salah satu koleksi penelitian yang paling komprehensif di dunia dan ada pada Baudelaire.”
halaman 63
Karya-karya Charles Baudelaire: Salon de 1845 (1845) Salon de 1846 (1846) La Fanfarlo (1847) Les Fleurs du mal (1857) Les paradis artificiels (1860) Reflexions sur Quelques-uns de mes Contemporains (1861) Le Peintre de la Vie Moderne (1863) Curiosités Esthétiques (1868) L’art romantique (1868) Le Limpa de Paris (Paris Limpa) / Petits Poèmes en Prosa (1869) Oeuvres Posthumes et Correspondance Générale, 1887-1907 Fusées (1897) Mon Coeur Mis à Nu (1897) Cermin Seni (1955) Esensi Tertawa (1956) Curiosités Esthétiques (1962) The Painter Kehidupan Modern dan Essay Lainnya (1964) Baudelaire sebagai Kritik Sastra (1964) Arts di Paris 1845-1862 (1965) Tulisan-tulisan yang dipilih pada Seni dan Artist (1972) Surat Dipilih dari Charles Baudelaire (1986) Dua puluh Puisi Prosa (1988) Kritik seni d’, Kritik musicale (1992). *** (Murjani Semiun, dari berbagai sumber)
halaman 64
www.tokobuku171.com www.tokobuku171.com
www.tokobuku171.com
www.tokobuku171.com
“...Nyalakan Imajinasi dengan Membaca Buku...“
Kantor Pusat
Pusat Penjualan Pekanbaru
: Jl. HR Soebrantas Km 10,5 Panam, Pekanbaru - Riau
: Kompleks Metropolitan City Giant, Blok A 19 & 20, Jl. HR Soebrantas Km 12
Dumai
: Jl. Jend. Sudirman No. 201, Dumai - Riau Telp (0765) 439 171
Batam
: Gedung Graha Pena Batam Jl. Raya Batam Centre Teluk Jering, Batam Kota Kode Pos 29461 Telp Graha Pena (0778) 462 996
Tanjung Pinang
: Jln Di. Panjaitan Km 9, Plaza Bintan Centre Blok M No. 15, Tanjung Pinang Kepri Telp (0771) 7447039
Padang Sidempuan : Jl. Medan Merdeka, Depan SMAN 2 Padang Sidempuan Telp.081260012768 Bukit Tinggi
halaman lxv : Ramayana Bukit Tinggi - Lantai Dasar
halaman lxvi