No. 180 SEPTEMBER 2013 tahun XV www.majalahsagang.com Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)
Esei:
Cerita-Pendek:
Sastra Profetik Dalam Karya Kuntowijoyo
oleh Syarif Hidayatullah
Naib Suaib
oleh Edi Sarjani
Cerita-Pendek Terjemahan:
Sihir Negeri Manasuka; Perusak Eksistensialisme Manusia
Menimbang Sayang Emak oleh Bertolt
renungan kecil bersama “Avontur� (Kumpulan Puisi Ragil Sukriwul) oleh Ahmad Moehdor al-Farisi
Brecht Sajak:
-Hendrik Efriadi -Alex R. Nainggolan
Senirupa: Sepenggal Sejarah Seni Rupa Modern
Indonesia dari Kritisisme Persagi sampai Permasalahan HAKI Nyoman Gunarsa
Teater: Opera Primadona
(Sebuah Upaya Penyegaran Teater) di Riau
halaman KU KULITi ULITi
"SHOW OFF YOUR BUSINESS!" mari kami bantu untuk mencetak media informasi ANEKA RAGAM usaha anda
PAKET PENDIDIKAN - PAKET CSR - PAKET PROYEK PAKET INFO PRODUK - PAKET CETAKAN UMUM - PAKET SCJJ PAKET INFO PRODUK
Menginformasikan produk yang dijual tidak selalu memasang iklan saja, anda perlu memvariasikannya dengan brosur, katalog dan bentuk selebaran lainnya. Pastikan anda mencetak info produk tersebut di tempat kami, dapatkan kerjasama dalam bentuk penyebaran info tersebut dengan menyisipkan via koran-koran kami (Riau Pos / MX / Pekanbaru Pos / Dumai Pos) atau penyebaran di tempat khusus yang anda inginkan. Kami siap membantu, dapatkan juga paket-paket khusus lainnya berupa percetakan info produk + publikasinya di koran-koran kami. syarat dan ketentuan berlaku
MURAH, CEPAT, BERJARINGAN LUAS
Percetakan Riau Pos Grafika Divisi Komersial Printing Hubungi Kami: Gedung Riau Pos Jl.HR Soebrantas Km 10,5 Panam-Pekanbaru Office +62 761 - 566810 Fax +62 761 - 64636 Mobile 081268435929, 081365720503, 081378757569, 085265483504
Bank Riau KCP Panam 134-08-02010 Bank Mandiri Ahmad Yani-Pekanbaru 108-000-126-1990 An: PT Riau Graindo E-mail riauposgrafika@yahoo.com halaman KULITii
Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 180 SEPTEMBER 2013 tahun XV
Kegiatan Malam Apresiasi Teater (MASTER) "Siung Sang Raja" oleh Sulaiman di gedung Dewan Kesenian Riau.
Daftar Isi Catatan Harian.......................................2 Esei - Sastra Profetik Dalam Karya Kuntowijoyo oleh Edi Sarjani ................3 - Sihir Negeri Manasuka; Perusak Eksistensialisme Manusia renungan kecil bersama “Avontur� (Kumpulan Puisi Ragil Sukriwul) oleh Ahmad Moehdor al-Farisi .............7 Cerita-Pendek Naib Suaib oleh Syarif Hidayatullah ...................... 12 Cerita-Pendek Terjemahan Menimbang Sayang Emak oleh Bertolt Brecht ...............................18 Sajak - Hendrik Efriadi .............................. 34 - Alex R. Nainggolan .............................. 41 Senirupa Sepenggal Sejarah Seni Rupa Modern Indonesia Dari Kritisisme Persagi sampai Permasalahan HAKI Nyoman Gunarsa ................................ 50 Teater Opera Primadona (Sebuah Upaya Penyegaran Teater) di Riau ..................................................62 Illustrasi Halaman 12 dan 18 karya Purwanto
Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Ngatenang Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Khazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Manager Keuangan: Sri Herliani. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.
halaman 1
tajuk
Kampong Boso Seboghang Nandung-lah dik nandung ke pantai-lah Jenandi Orang bergajah nak sayang, dua beranak Kalaulah terlangsung emak kau kemari Memenuhi perintah nak sayang, orang yang banyak Begitulah satu bait dari beberapa bait Nandung yang disenandungkan oleh Mimi Maslah, perempuan paruh baya asal Kampung Boso Seboghang (Kampung Besar Seberang) Rengat Kabupaten Indragiri Hulu, ba’da Magrib pada tanggal 5 September 2013. Suaranya begitu merdu dan lemak terdengar diselingi sayup suara orang mengaji Yasin di masjid kecil yang tak jauh dari rumah perempuan tukang Nandung itu. “Tidak banyak lagi perempuan Kampung Boso Seboghang ini lagi yang dapat atau mau membuaikan anaknya dengan Nandung,” kata Mimi Maslah ketika selesai menyanyikan beberapa bait Nandung. “Sekarang, kalau orang menidurkan anak dinyanyikan dengan lagu Dangdut,” celotehnya lagi. Mimi Maslah, perempuan Kampung Boso Seboghang Rengat ini tidak hanya menguasai Nandung (tradisi lisan membuaikan anak dengan menyanyi), tetapi di rumahnya setiap minggu sekali diadakan latihan Gebano atau Dikir Berdah, khusus para perempuan saja. Gebano, yaitu gendang bentuk rebana yang
halaman 2
agak besar. Beberapa orang perempuan selain Mimi, yakni, Eni Fitriyati, Hj. Umi Kalsum, S.Pd., Maizimah, Asnida, dan Jusnarti serempak menyanyikan lagu-lagu pujian kepada Nabi (kitab Al Barzanji) dengan suara tinggi melengking, diiringi dengan tabuhan Gebano. Selang, tak berapa datang dua orang tukang Surat Kapal, yaitu sejenis tradisi menyanyikan kisah dua pengantin mempelai semenjak berpacaran sampai akad-nikah yang sudah ditulis dalam upacara nikah-kawin di Rengat Indragiri Hulu. Kemudian muncul lagi satu grup Dikir Berdah Assalam dari Desa Rantau Mapesai yang juga dalam wilayah Kampung Boso Seboghang Rengat, yang pada malam itu juga ikut menyanyikan lagu Assalam, Bisyahari, Tanaqol, Wulidal Habi, Badad Talana, Tabarakallah, dan Ma’fullatan, yang juga dalam lengkingan yang lebih tinggi sebagaimana umumnya Dikir Berdah dilaksanakan. Dan, patutlah Mailiswin, Kabid Kebudayaan Dinas Pemuda Olahraga, Budaya dan Pariwisata Kabupaten Indragiri Hulu memberikan wadah dan fasilitas bagi seniman dan budayawan Kampung Boso Seboghang ini. Dan saya berpikir dalam hati, Kampung Boso Seboghang adalah “kampung seni”. redaksi
esei
Sastra Profetik Dalam Karya Kuntowijoyo oleh Edi Sarjani
Sastra Profetik adalah sastra demokratis. Ia tidak otoriter dengan memilih satu premis, tema, teknik, dan gaya (style), baik yang bersifat pribadi maupun yang baku. Dahulu, di negeri-negeri yang terpengaruh Komunisme sastra memilih realitas sosialis dan agresif, dan berusaha mematikan aliran lain, ada bureaucratization of the imaginative. Keinginan Sastra Profetik hanya sebatas bidang etika, itupun dengan sukarela, tidak memaksa.(Kuntowijoyo, 2006)
Sastra Profetik Sastra profetik mempunyai kaidahkaidah yang memberi dasar kegiatannya, sebab ia tidak saja menyerap, mengekpresikan, tetapi juga memberi arah realitas. Sastra Profetik juga sastra dialetik, artinya sastra yang berhadapan dengan realitas, melakukan penilaian dan kritis sosial budaya secara beradab. Sastra merupakan suatu wujud dan hasil dari kebudayaan. Sastra merupakan salah satu bentuk ekspresi manusia dalam menyikapi
realitas kehidupan dengan menggunakan bahasa simbol khususnya terjadi pada puisi, sajak, syair dan yang lain. Dalam sejarah perkembangan sastra merupakan ungkapan atas rasa yang terjadi pada manusia. Hal ini dapat dilukiskan dengan pengalaman religius orang-orang sufi dalam bercinta dengan kekasih-Nya. Ungkapan yang keluar merupakan suatu bentuk karya yang cukup dasyat di dalam kehidupan. Proses pengungkapan kalimat yang indah ketika manusia menyatu dengan
halaman 3
Tuhan, dikarenakan pancaran Ilahi masuk kedalam hatinya. Persatuan yang terjadi pada orang sufi memunculkan suatu karya yang universal dan berada dalam genggaman orang-orang sufi. Dalam konteks sejarah sastra Indonesia pengaruh sufi sangat kental, hal ini dapat dilihat dari sastra karya Hamzah Fansuri dan Abdul Hadi. Sebenarnya jika mau dilihat lebih jauh lagi semua sastra memiliki bobot transcendental dalam proses pengungkapannya karena dilihat dari teologis dan metafisis. Dalam kesastraan Indonesia sebenarnya ada dua macam kubu yakni sastra kemanusiaan dan sastra pembebasan. Oleh karena itu, Konto menawarkan konsep sastra yang transcendental guna menanggapi isu yang ada dalam perkembangan sastra pada saat itu. Karya Kuntowijoyo Upaya Mengetahui Jejak Pemikiran Kunto merupakan sosok figure yang fenomenal pada masa itu dikarenakan konsep yang ia tawarkan dalam melihat realitas. Dilihat dari latar belakang pendidikannya ia merupakan seorang yang ahli sejarah. Sejarah yang ia ungkapkan dengan menggunakan pendekatan sosial, hal ini dapat dilihat dari disertasinya yang membahas tentang perubahan sosial masyarakat Madura. Walaupun ia seorang sejarahwan tetapi apa yang dilakukan oleh Kuntowijoyo lebih dari sejarahwan. Hal ini dikarenakan ia banyak sekali memberikan konstribusi pada bidang yang lain seperti sastra, ilmu sosial dan pengintegrasian ilmu agama dengan pengetahuan dengan konsep pengilmuan Islam. Dalam membicarakan tentang alur pemikiran yang dilontarkan oleh Kunto, kita dapat membahas dari sastra yang ia goreskan pada kertas, dan
halaman 4
karya-karyanya. Kunto dalam karyanya memerlukan refleksi yang dalam menyikapi realitas. Ketika kita mencoba membaca karyanya merupakan suatu gagasan yang bersifat filosofis, paradigmatis dan perlu diterjemahkan ke dalam dataran yang lebih praktis. Sebagaimana dalam teori sastra bahwa dalam pembagiannya terbagi menjadi tiga macam yakni sastra yang bercorak kemanusiaan, pembebasan dan sastra yang bersifat trasendental. Sastra yang bercorak kemanusian ini dapat dilahat dari tokoh yang melakukan pengkajian kemanusiaan dan kebebasan manusia, sedangkan sastra yang bercorak pembebasan diketahui dengan seorang yang mengkaji tentang sosial kemasyarakatan. Sedangkan sastra yang bercorak transcendental merupakan karya sastra hasil religius pengalaman keagamaan sebagaimana yang terjadi pada orang-orang sufi. Terus yang menjadi pertanyaan bagaimanakah sastra yang dibawa oleh Kunto? Melihat dari sastra yang ada bahwa Kunto dalam perkembangan pemikirannya terbagai menjadi dua arus besar yakni sastra yang bercorak transendental (religius) dan sastra yang bercorak profetik. Sastra yang bercorak transendental dapat kita lihat dalam Novelnya seperti Kotbah di Atas Bukit, Impian Amerika, dan cerita pendek seperti Dilarang Menyintai Bunga-Bunga, AnjingAnjing Menyerbu Kuburan serta kumpulan puisi-puisinya dengan judul Suluk Awang Uwung. Sastra profetik merupakan pengembangan dari sastra yang bercorak religius dimana dalam sastra profetik ada unsur yang harus terpenuhi bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan. Sastra profetik merupakan inspirasi dari Jalaludin Rumi dan Muhammad Iqbal, dimana
manusia memiliki sikap kebebasan apa yang menjadi pemimpin. Seni merupakan menjadi alat perubah dan pengerak realitas sosial dan seniman menjadi inspirator perubahan serta bagaimana menciptakan yang lebih baik. Sebagaimana unsur sastra yang bercorak profetik menurut pandangan Jalaludin Rumi dan Muhammad Iqbal, meliputi kebesaran makna Illahiah, manusia merupakan mahluk yang merdeka dan kreatif, manusia menjadi khalifah dan melibatkan diri dalam proses sosial, sedangkan yang terkhir keseimbangan antara dimensi vertikal dengan horizontal. Sedangkan Kunto juga merumuskan tentang etika profetik dalam surat alImron ayat 110, yang menjiwai dari sastrasastranya. Unsur dalam surat al-Imron 110 yakni; amar ma’ruf (menyuruh kebaikan), nahyi munkar (mencegah kejelekan), dan iman (tu’minuna) bil Allah (beriman kepada Allah). Ketiga hal ini adalah unsur yang tak terpisahkan dari etika profetik. Sekarang perlu melihat puisi atau tulisan sastranya Kunto dalam melihat sejarah pemikirannya. Cerpen Dilarang Mencintai Bunga-bunga, misalnya, berkisah tentang seorang tua, seorang anak yang mencintai bunga-bunga, dan seorang bapak yang melarang anaknya mendekati bungabunga. “....Hidup harus penuh dengan bungabunga. Bunga tumbuh, tidak peduli hiruk pikuk dunia. Ia mekar. Memberikan kesegaran, keremajaan, keindahan. Hidup adalah bunga-bunga. Aku dan kau salah satu bunga. Kita adalah dua tangkai anggrek...�.
Sisi ketuhanan tampak menonjol disini, penggambaran kehidupan yang serba indah penuh cinta, yang banyak dijumpai dalam puisi-puisi sufistik, bukan hanya puisi melankolis cinta antara anak manusia. Seperti dalam cerpen dilarang mencintai bunga-bunga Kunto mencoba menawarkan cara pandang terhadap lingkungan menggunakan logika agama bukanya dengan logika kerja seperti yang dilakukan oleh ayah gadis dalam cerita tersebut. Dimana dengan menggunakan logika agama menjadikan kita hidup dengan damai dan indah dalam suatu taman serta tidak menimbulkan kekerasan. Tetapi begitu pula sebaiknya ketika gadis dalam cerita tersebut menggunakan logika dunia menimbulkan ketidakpuasan dalam diri untuk kepentingan yang sesaat. Sastra Kunto dalam pemikirannya lebih cenderung religius dan sufistik dengan menentangkan kehidupan yang ideal dengan yang tak ideal seperti dalam cerpen tersebut. Ini merupakan pemikiran Kunto yang bercorak religius dan cenderung sufistik dalam era pemikirannya, dan berakhir pada tahun 1990-an. Sedangkan dari puisinya yang bercorak religius Angin gemuluh di hutan Memukul ranting yang lama juga Tak terhitung jumlahnya Mobil di jalan dari ujung ke ujung Aku ingin menekan tombol Hingga lampu merah itu berhenti Angin, mobil dan para pejalan Pikirkanlah, ke mana engkau pergi Makna yang diinginkan oleh penulis merupakan nasehat bahwa kita sering terjebak pada rutinitas dunia, sehingga lupa kemana arah tujuan hidup ini. Seperti
halaman 5
pada kata aku ingin menekan tombol hingga lampu merah itu berhenti bermakna ia berusaha ingin menghentikan ritualitas manusia yang kehilangan makna hidup. Sedangkan pada kata angin, mobil dan para pejalan pikirkanlah kemana engkau pergi merupakan sikap untuk merenungi apa yang telah dilakukan dan apa yang direncanakan, sehingga tidak terjebak dengan rutinitas kehidupan. Selanjutnya pemikiran yang bercorak profetik dalam puisi yang dibuat oleh Kunto. Sebagai hadiah Malaikat menanyakan apakah aku ingin berjalan di atas mega dan aku menolak karena kakiku masih di bumi sampai kejahatan terakhir dimusnahkan sampai dhuafa dan mustadh’afin diangkat Tuhan dari penderitaan (Makhrifat Daun Daun Makhrifat) Secara umum, romantisisme karyakarya Kuntowijoyo dapat dipahami dari dunia ideal yang dibangun, empati, perasaan, dan pemilihan kata. Daya gugah bahasanya yang sederhana salah satunya adalah bahasa simbol. Bahasa simbol adalah sejenis retorika yang bersisi ganda, yang menyatakan sesuatu tapi mensyaratkan pengetahuan tentang sesuatu yang lain. Pemikiran Kunto secara garis besar, ada dua gagasan utama yang dibahas di sini: pengilmuan Islam dan integrasi ilmu dengan etika. Meskipun di tulisan-tulisan awalnya (80-an dan awal 90-an) ia tampak bersimpati pada gerakan Islamisasi ilmu, belakangan ia membedakan gagasannya tentang pengilmuan Islam dari gerakan tersebut, bahkan mengatakan bahwa “gerakan Islamisasi Ilmu mesti
halaman 6
ditinggalkan�. Kuntowijoyo meyakini objektifitas ilmu, namun menolak klaim bebas-nilainya, dalam artian netralitas/ ketakberpihakan. Di satu sisi, Islam mesti dijadikan ilmu (diobjektifikasi); di sisi lain, ilmu-ilmu (khususnya sosial) mesti menyatakan keberpihakan yang jelas, yaitu kepada cita-cita profetik universal agama-agama: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Hal ini juga dapat terlihat dari karya sastra yang mencoba melakukan pengilmuan Islam dan proses integrasi ilmu dengan agama. Misalkan dalam Novel terbarunya Wasripin dan Satinah ia mencoba menggambarkan tentang rasionalasasi agama dan melakukan objektifikasi terhadap agama. Sastra Profetik tidak bisa memberikan arah serta melakukan kritik terhadap realitas jika sendirian saja, tapi sebagai bagian dari collective intelligence. Dengan caranya sendiri Sastra Profetik diharapkan menjadi arus intelektual terhormat, menjadi sistem simbol yang fungsional, bukan sekedar rutinitas sehari-hari dan biasa-biasa saja.*** Edi Sarjani, penikmat sastra tunak di bumi lancang kuning.
esei
Sihir Negeri Manasuka; Perusak Eksistensialisme Manusia renungan kecil bersama “Avontur” (Kumpulan Puisi Ragil Sukriwul)
oleh Ahmad Moehdor al-Farisi
Sekedar Selingan: Sastra “Kumal” dalam “Celoteh” Pendidikan Hebat, sastra dewasa ini di tanah air semakin kencang meneriakkan suaranya. Di beberapa wilayah sudah terbentuk komunitas sastra dengan segala pernakpernik kegiatan dan yang dicita-citakan. Mulai dari kegiatan menggodok orangorangnya sendiri hingga menjaring lembaga-lembaga pendidikan agar tidak lagi kesurupan—oleh sistem negara yang kapitalis ini. Sebuah kondisi yang patut kita apresiasi dan pertanyakan, apakah “penghuni Indonesia” membutuhkan sastra sebagai sebutir obat “dahaga kehidupan” dan sumbangsih tersendiri di batin maupun perannya di masyarakat? Perlukah membicarakan karya sastra dalam konteks kehidupan yang pincang dan jenis kelamin masyarakat yang belum jelas? Bayangan sastra sekarang seakan-akan semata ritual
bagi mereka-mereka yang menggelutinya, seiring situasi bangsa yang sungsang dan dihajar disorientasi, carut-marut politik dan krisis jati diri bangsa yang akut tak henti terasa benar telah memojokkan kita pada ketidakpastian. Dunia yang berkedok pendidikan saja mulai mabuk dengan dandan kehidupan yang cabul, melucuti disiplin ilmu hingga telanjang bulat. Tenaga kerja didik yang sering didewa-dewakan mulai buntu telinganya, disumbat lembaga-lembaga yang mensyetankan sastra. Bagaimana tidak mungkin krisis jati diri semakin menjadi-jadi bila kegiatan belajarmengajar lebih sering dihabiskan untuk ngoceh di depan pasukan penerus kehidupan. Doktrin-doktrin kotor bahwa sastra bukanlah disiplin ilmu yang mampu halaman 7
menyeimbangi disiplin ilmu lainnya terus dihantamkan. Tak menghiraukan apakah peserta didiknya babak belur atau cacat kesadaran. Sastra adalah rumah orangorang kumal, angkuh, dan menjijikkan. Kalau lembaga pendidikannya saja seperti itu lantas bagaimana pandangan mayarakat yang tak mengkonsumsi pendidikan? Saya tak berniat menghakimi dunia pendidikan negara kita masa kini. Anggap saja semua itu hanyalah sejarah yang tak bagus. Apalagi teladan. Jadi tak usah ditiru atau di abadikan. Sebagaimana banyak lembaga pendidikan di negara-negara tetangga yang lebih sering menuntun peserta didiknya untuk lebih cerdas dan peka terhadap realita kehidupan. Bukan menyancang di bangku kelas untuk mendengarkan celoteh gurunya yang menjenuhkan. Kita hormati saja mereka, tapi jangan ditiru. Riwayat tragis itu sepenuhnya tanggung jawabnya, dan kita mari saling merangkul untuk menyadarkannya. Kita tetap berterimakasih, karena berkat merekalah kita tahu sejarah yang tak bagus ini. Saya juga tak berniat mendesakkan sistem pendidikan negara ini dengan rumusan-rumusan sistem pendidikan yang (mungkin) diangap baru. Setiap kepala memiliki ide sisitem pendidikan yang bereda-berbeda. Tapi pengalaman membaca dan menulis membuat orang lebih cerdas dan peka dari pada mendengarkan celoteh yang menjenuhkan. Mungkin akan lebih baik jika peserta didik lebih ditekankan untuk membaca, membaca, dan membaca. Setelahnya diminta untuk bercerita di depan kelas dari isi buku yang dibacanya. Dan ini semua sudah dicontohkan oleh Tuhan Semesta dengan mengutus Jibril untuk menyampaikan
halaman 8
pesan-Nya pada Nabi Muhammad; Iqro’, iqro’, dan iqro’ (baca, baca, dan bacalah). Sedikit bumbu sebagai pembanding pendidikan di Indonesia dengan Negara tetangga. Semua data-data berikut saya dapatkan dari rumah Puisi Taufiq Ismail bulan Maret lalu. Tugas membaca buku di 1210 SMA Amerika Serikat; 44 halaman / minggu, 1582 halaman / tahun, 6336 halaman / 4 tahun. Bagaimana dengan di Indonesia? NOL!! Saya jadi ingin menangis sekaligus marah menyebutkannya. Pelajaran Bahasa dan Sastra di Amerika Serikat; Sastra 50 %, Mengarang 28 %, Tata Bahasa 10 %, Bicara 9 %, Lain-lain 3 %. Sedangkan di Indonesia lebih bangsat dari semua itu. Kegiatan belajar-mengajarnya dihabiskan untuk berceloteh, banyak bicara. Itu baru beberapa kegiatan belajar, belum lagi kegiatan belajar menulis yang lebih mengarah pada karya sastra. Siapkan diri kita agar tidak mencak-mencak membacanya. Tugas Menulis Karangan di Hindia Belanda dan SMA banyak Negara lain; 1 minggu 1 karangan, 1 semester 18 karangan, 1 tahun 36 karangan, 3 tahun 108 karangan. Tugas Menulis Siswa Malaysia (SMA Kolej Melayu): 14 halaman ketik / minggu, 504 halaman ketik / tahun, 2016 halaman ketik / 4 tahun. Membaca dan sesekali menulis membuat orang punya selera yang mungkin keliru dan bangsat bagi orang lain. Tak perlu memprovokasi selera, kecuali bunyi iklan produk makanan instan, begitu kata Binhad Nurrohmat. Dan saya tak bermaksud memprovokasi semua itu, hanya saja memasang woroworo bahwa pendidikan di Indonesia gelap sastra. Perhatikan saja baleho berikut ini: Tugas menulis karangan di SMA Indonesia mulai tahun 1950-2008 rata-rata 1 tahun 5 karangan, 3 tahun 15 karangan. Itu hanya
di sebagian kecil SMA Indonesia. Sebagian besarnya bagaimana? Mirip sholat Idul Fitri, 1 kali dalam satu tahun. Bagaimana, hebat bukan?
yang ketenangan dan kedamaiannya semata demi para investor yang ketentraman dan kesejahteraannya hanya untuk para birokrat
“Di Negeri Manasuka”, Ragil Sukriwul Berbicara Lagi-lagi saya dikagetkan oleh Penyair gondrong. Setelah munculnya Alek Subairi (Penyair Madura) beberapa bulan lalu yang mengobok-ngobok saya dalam antologi puisi “Jual Beli Bibir”, kini datang Ragil Sukriwul dengan antologi puisinya “Avontur”. Dulu saya diobok-obok oleh Alek Subairi—si gondrong itu—kini saya malah diminta untuk mengobok-obok antologinya Ragil Sukriwul—yang juga gondrong. Ternyata Tuhan cukup adil. Dari 53 puisi dalam antologi Avontur ini ada satu puisi yang menggebuk saya dari belakang untuk menjelajahi negeri manasuka Ragil Sukriwul. Seperti Rendra dengan puisinya “Sajak Sebatang Lisong” yang secara tidak langsung memaksa saya untuk segera berdiri dan berlari membaca ketidakadilan. Atau Afrizal Malna bersama puisinya “Persahabatan dengan Seekor Anjing” yang menyeret saya untuk terus bertanya-tanya tentang negara. Ternyata Ragil Sukriwul sama dengan dua penyair di atas, ikut-ikutan kesurupan di negeri manasuka. Perhatikan saja puisinya yang ditulis untuk (me-)‘Refleksi Kemerdekaan’—negeri manasukanya. berapa puisi lagi harus membakar kata kata berapa kata lagi untuk menikam kehampaan sedang janji selalu terlontar dari dubur yang terbiasa diceboki madu dusta
di senyampang semua borok ini kita masih saja menjaga pekik merdeka untuk para arwah yang berlinangan air mata karena waktu terus meyakinkan ironi lagu frustasi
begitu manis ini hidup di negeri manasuka
kenapa bukan “pukimai kau!” yang kita teriakkan untuk warna bendera yang mengabarkan banjir darah dan kibar kafan buat saudara sendiri
cuma
sungguh di negeri manasuka ini rakyatnya telah hidup merdeka yang tanahnya subur menyemai luka dengan air nanah nestapa (Puisi “Tentang Kemerdekaan”) Saya jadi teringat pendapatnya Taufiq Ismail seawaktu berbincang-bincang di Rumah Puisinya; Saat ini manusia dilanda krisis kepekaan. Kehidupan telah mencabik-cabik hati manusia. Tak ada obat yang paling manjur kecuali puisi yang lahir dari kesadaran hati penyairnya. Iya, penyair adalah tabib dan puisi adalah obat untuk menyadarkan manusia. Melalui puisi “Menyayat Bulan”, Ragil Sukriwul (sepertinya) siap menjadi tabib yang dimaksud itu, sekarang aku harus tegap dan mangap/. Biarpun negerinya manasuka, Ragil Sukriwul tetap menyambut pejabat pemerintahnya dengan tarian Togo. mari katong ba togo/ ketak ketuk korak
halaman 9
bertalu talu/ harum ketela dan ubi bakar/ memanggil manggil hati yang sepi/ tak perlu banting hewan/ kerna ini pesta rakyat/ bukan pameran harta bangsawan/ (Puisi “Mari Katong ba Togo”). Sopan santun yang menampar. Tapi, kadang-kadang Ragil merasa ketakutan hidup di dalamnya. Ia jadi teringat dengan kenangan-kenangan yang dalam. begitu seperti ketakutanmu:/ aku tiba tiba teringat akan kakak kakakku/ di masa kecilku/ kedua orang tua kami yang begitu sibuk berbakti/ untuk negara terkadang lupa, kalau beras dalam peti, bekas/ peti amunisi itu, telah habis pelurunya/ (Puisi “Aku Seperti Ketakutan Seperti Ketakutanmu”). Sungguh sihir manasuka yang menggetarkan. Jiwa ragil dikoyak tak karukaruan. Ia merasa dirinya selalu salah, salah, dan salah. katub bibirku disangka cerca/ kata nada mulut kira maki/ kapan kau kan tenang bila/ kepala masih penuh hujat/ (Puisi “Berontak .1”). Keterguncangan Ragil semakin kentara dalam puisinya “Berontak .2”. kesederhanaanku/ cacian/ keasalahanku/ kesombongan/ kritisku/ kemapanan/. Hingga ia bertanya-tanya, lalu sampai kapan harus/ menetap pada gemuruh stagnasi/ sampai kapan terus/ menyalahkan roda peradaban/ (Puisi “Diselamatkan Kiamat”). Ternyata keterguncangan itu tidak hanya melanda manusia lain, seorang tabib dari kalangan penyair pun ngilu atas semua itu. Tapi, ada nilai emas pada Ragil, keterguncangan itu dipoles dengan syair-syair, tanpa merusak fasilitas negeri manasuka. Sungguh pelajaran berharga bagi kita. Dari beberapa puisi yang saya sebutkan di atas telah sedikit banyak memberikan
halaman 10
pelajaran. Belum lagi membaca puisi-puisi lain yang terantologi dalam “Avontur”. Beberapa puisi di atas terjun ke glanggang otak saya bahwa Ragil berada dalam dunia manasuka yang tak busuk baunya. Semoga saja Anda juga merasakan hal yang sama sehingga kita bisa menerima puisi-puisi Ragil dalam konteks negeri manasuka yang sesungguhnya. Sebenarnya puisi-puisi di atas tak bernafsu memamerkan opini dan pembelaan penyairnya terhadap ketertindasan melalui lirik yang estetik, tapi mempersembahkan ruang dan waktu pada pembaca yang dibohongi oleh realita. Puisi-puisi itu bukan sekedar penyambung lidah. Puisi-puisi itu bahkan memberikan lidahnya pada pembaca, sebagai tanda bukti keperihatinan penyair melihat keangkuhan realita yang secara terus menerus mengeroposkan kehidupan. Ragil Sukriwul begitu fasih mengingatkan kita, berusaha menyatukan kembali persaudaraan yang hampir putus, kembali bersatu walau dalam keterpurukan. saudaraku sekandung pulau karang/ kita adalah anak nusa/ yang disemai debu tanah kering dan/ lambaian rumput coklat/ diteduh sela julang karang karang/ tempat kita bermain/ (Puisi “Sajak Kepada Kawan”). Sebagai sejarah mentalitas, karya sastra adalah wujud renungan atas realitas, wujud pandangan kritis atas realitas, dan wujud pemikiran alternatif atas realitas. Seperti yang dikatakan Supaat I. Lathief dalam bukunya “Sastra Eksistensialisme”, obyek karya sastra adalah realitas. Keberadaan realitas di mata seorang pengarang dioalah, diinternalisasi dan ditransendensikan melalui penjelajahan secara mendalam ke dalam wilayah pemikiran dan perasaan. Dalam tata kehidupan sosial pada
zaman modern ini semua serba manasuka. Mulai dari manusiannya, negaranya, ataupun sistem pemerintahannya, semua serba manasuka. Bebas. Tanpa kita sadari nilai-nilai keluhuran manusia perlahan mulai sirna. Mereka lupa akan dirinya, membiarkan status humanistiknya digerogoti oleh dunia manasuka yang hedonis. Erosi mental mulai menyerang, kebutuhan manusia sebagai makhluk yang berestetika sudah mulai sedikit demi sedikit terisolalsi dari induknya, dari kepribadian sebagai manusia atau dari kesadaran sebagai manusia. Kepribadian yang terisolasi menjadikan kehampaan hidup tanpa makna, akhirnya eksistensinya bagaikan sebatang pohon yang diam tak berarti dan berdiri untuk selama-lamanya, eksistensi humanistiknya mulai rapuh dan melayang. Dalam pengertian ini, benar apa yang dikatakn Rendra, “Orang-orang harus Dibangunkan�. Manusia membutuhkan sesuatu yang mampu menyadarkan dirinya, tentang eksisitensinya, dan mampu memberikan kesenangan dan kesegaran batin. Lantas dengan apa untuk melakukan semua itu? Kesenangan dan kesegaran batin adalah tenaga psikis. Untuk memperbaiki psikis itu tak ada cara lain selain dengan cara yang mengandung unsur psikis, yaitu kesenian (sastra). Sebab, sesuai dengan estetiknya, kesenian (sastra) mampu memberikan kelembutan hati, menghaluskan sukma manusia. Dengan kesenian (sastra) itulah yang mampu memberikan sumbangsih untuk menyadarkan manusia tentang dirinya, tentang eksistensinya. Dalam hal ini Supaat I. Lathief juga berpendapat, kesenian (sastra) sebagai penghias kehidupan dalam konteks
penyajiannya haruslah merupakan daya kreasi yang otentik murni, sehingga ekspresi dari intrik-intrik yang terdapat dalam jiwa manusia akan mampu terwujud melalui kemandirian kesenian. Begitu pula dalam knteks arti (meaning) haruslah memperhatikan kebudayaan, sosial kemasyarakatan yang terjadi. Dengan demikian terdapat kesesuaian antara obyek kesenian itu sendiri dengan eksistensi manusia sebagai peminat seni dan sebagai seniman, apalagi kalu kesenian itu sebagai penghibur keberadaan manusia di dalam kosmos ini. Sepertinya melalui Avontur, Ragil Sukriwul menyatakan diri siap untuk memasuki ranah tersebut, aku akan terus lurus di atas jalan hitam ini/ sampai ke titik yang nun di sana menghitam/ (Puisi “Sajak Hitam�).
Ahmad Moehdor al-Farisi Penulis kelahiran Sampang Madura, 26 Juni 1990. Presiden KOSTRA (Komunitas Sanggar Sastra) UNIROW Tuban (2011/2012). Beberapa puisi, cerpen, esai, dan artikelnya nyangkruk di beberapa media cetak lokal maupun nasional. Menyirat Cinta Haqiqi (antologi bersama Penyair Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunai Darussalam, NUMERA, 2012), Poetry Poetry 120 Indonesian Poetry (adalah antologi puisinya yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan diterbitkan di AS, Jerman, Ukraina, Indonesia).
halaman 11
cerita-pendek
Naib Suaib oleh Syarif Hidayatullah
Angin bergetar-getar pada janur kuning yang berpaut dengan bambu yang menjulang tinggi melengkung. Janur itu meliukliuk membentuk semacam mahkota, lalu berantai-rantai menuju pangkal bambu yang tertancap pada tanah. Cahaya matahari dari barat melompat-lompat dari batang pohon palma lalu ke pohon jambu dan mengekal pada dagu tanah yang basah. Saat itu, Aisyah tengah berusaha sekuat tenaga menahan tangisnya karena wajahnya telah dipoles dengan bedak tebal, bibir bangirnya dilapisi lipstik merah, bulu matanya telah diperlentik selentik mungkin dan matanya yang merah telah dilapisi oleh lensa optik sehingga tampak cantik. Tentu saja air mata akan merusak semua itu. Aisyah pun berusaha menghilangkan gelisahnya yang mematut di dadanya itu dengan mempersibuk diri. Ia melirik setiap sudut kamar yang telah dipenuhi oleh kain lembut berwarna merah dan kuning emas yang melekuk-lekuk indah. Begitu pula dengan sprainya yang kini dibalut gaun putih susu. Sesekali memperhatikan wajahnya dalam busana gaun pengantin dalam cermin besar. Anehnya, ia sungguh tidak merasa bahagia. Di depan cermin itu tiba-tiba hadir wajah Suaib dengan matanya yang tajam serupa elang. “Datangkah dia hari ini?� desahnya dalam hati nyaris meruntuhkan hujan dari matanya yang mendung. Ia kemudian berusaha segera menahannya. Tapi kenangan telah berubah menjadi tali panjang yang mengikat kuat kepalanya. Lalu dalam hitungan detik, tali itu ditarik begitu keras hingga ia benar-benar tersungkur pada saat-saat indah bersama Suaib. Saat itu, Suaib datang ke pernikahan temannya.
halaman 12
Suaib memakai peci hitam dengan baju koko putih. Tubuhnya yang kokoh dan tegap itu sangat cocok mengenakan pakaian naib. Entah mengapa ketika ia melihat Suaib, hatinya bergetar dan ia yakin bahwa dirinya itu telah merasakan apa yang selalu perawan matang seperti dirinya bicarakan. Cinta. Secara bersamaan Suaib pun merasakan hal yang sama. Pertemuan-pertemuan ganjil selalu disusun, mulai memaksakan diri untuk saling berpapasan sampai Aisyah selalu datang lebih awal pada setiap akad nikah sanak karabat maupun temannya dilangsungkan. Akhirnya cinta itu bersemi pula, Suaib pada akhirnya memberanikan diri untuk menyatakan perasaan itu kepada Aisyah. Dengan debar yang begitu luar biasa dan penantian yang terlampau panjang, akhirnya mulut yang selalu dirindukannya itu menyatakan cinta pula. Suaib hampir setiap minggu datang ke rumah Aisyah. Memberikan berkat yang diterimanya dari pernikahan. Bersandagurau dengan Aisyah di halaman depan hingga hampir seluruh tetangga Aisah tahu jika sebentar lagi pastilah lamaran dari
halaman 13
Suaib akan tiba. “Benar-benar cocok kalian berdua. Undangannya kami tunggu lho,” terang tetangga Aisyah. Saat itu mereka tersenyum dan menyatakan bahwa tentu saja tentangganya itu akan diundang. Tetangga itu pun tertawa. Tak jarang pada hari-hari Suaib tak menjalankan tugasnya sebagai naib, ia mengajak Aisyah berjalan-jalan ke luar kota. Melihat pohon-pohon tua nan besar di kebun raya Bogor atau menikmati curug tujuh di Puncak. Suaib sendiri telah menyusun rencana bila gajinya sudah cukup untuk merayakan suatu pernikahan, ia akan segera melamar Aisyah. Saat itu Aisyah benar-benar menantikan peristiwa itu tiba. “Setiap minggu, selalu saja ada orang yang aku nikahkan. Aku selalu melihat pasangan kekasih itu sebagai kita. Kau yang memakai gaun putih dan aku memakai jas dan peci hitam. Selendangmu melingkar pula di kepala kita. Sesekali ibumu akan membenarkan letak selendang yang kadang jatuh itu karena kita sama gemetarnya,” terang Suaib kepada Aisyah tiap kali ada pasangan yang ia nikahkan. Di mata Aisyah, tak ada satu kekurangan pun yang ada pada Suaib. Meski Suaib hidup dengan pas-pasan dari gajinya sebagai naib dan salam tempel yang diterimanya dari para pasangan yang berbahagia, keluarga Aisyah pun tak lebih mampu dari hidup Suaib. Oleh karena itu, mahar serta perangkat pernikahan semuanya harus Suaib pikirkan sebab tak mungkin keluarga Aisyah membantu. Namun pada akhirnya, mimpi itu harus pupus pula. Takdir Tuhan tidak selamanya sejalan dengan apa yang diinginkan. Malam itu tak ada dalam skenario hidup Aisyah. Bahkan tak pernah ia duga sebelumnya. Datang keluarga perantau yang kaya, berniat melamar Aisyah. Pada awalnya Aisyah menolak keras, tapi setelah tahu apa yang jadi sebabnya. Aisyah seperti tidak memiliki pilihan yang lain. Sebagai anak tertua, Aisyah pada akhirnya mengorbankan dirinya demi keluarganya. Hutang yang membengkak dan tak mungkin terlunasi dari upah seorang penggarap sawah tetangga, tentu membuatnya berpikir ribuan kali untuk terus mempertahankan mimpinya. Dan Suaib pun menahan isaknya di depan Aisyah. Pelukan terakhir dirasakan lebih hangat karena dipenuhi oleh air mata Aisyah yang terus saja mengalir. Suaib sendiri menabahkan dirinya. “Kau akan bahagia. Ini memang yang terbaik. Aku akan mendoakanmu,” terang Suaib kepada Aisyah ketika itu. “Tidak mungkin,” jawab Aisyah sambil terisak.
halaman 14
“Aku yang akan menikahkanmu,” tegas Suaib. “Tapi....” Aisyah ragu. “Aku akan baik-baik saja.” Dan hari ini, Suaib belum juga datang. Padahal waktu telah menginjakkan kakinya pada angka yang tepat untuk memulai acara. Biasanya setengah jam sebelum acara di mulai, Suaib sudah duduk di antara orang-orang yang menghadiri akad nikah. Besan pun sudah datang setengah jam lalu dan mereka tampak mulai gelisah. Rupanya bisik-bisik mengenai naib yang akan menikahkan anak mereka itu telah sampai pada telinganya. “Bagaimana ini? Sudah kubilang cari saja naib yang lain. Memang tidak ada naib yang lain?” calon mempelai lelaki terlihat gusar. Orang tuanya berusaha menenangkan anaknya itu. Ayah-ibu Aisyah juga telah mundar-mandir dari dalam rumah, mengintip ke arah gang tempat biasanya naib Suaib bertandang ke rumah itu. Tapi batang hidung Suaib belum juga terlihat. “Kasihan Suaib. Pastilah sakit hati ia menikahkan orang yang dicintainya itu,” terang salah seorang tetangga. “Padahal aku yakin jika mereka berdua akan menjadi pasangan yang serasi. Lihat Aisyah, benar-benar tidak tega pula aku padanya,” ujar tetangga yang lain. “Tapi mau bagaimana? Ia itu anak tertua. Jika tak begini. Satusatunya harta berharga milik keluarga ini yaitu rumah ini. Pastilah akan dijual untuk melunasi hutang.” “Kasihan.” “Ya, benar-benar mengharukan penikahan hari ini.” Jendela yang menghadap ke utara mengantarkan mata Aisyah pada cahaya matahari yang semakin lama-semakin merangkak ke tengah. Daun-daun melinjo yang hijua dan tinggi, menggaris bayangannya ke permukaan tanah yang penuh rumput liar. Aisyah tak yakin jika Suaib akan datang. Ia tahu lelaki itu begitu mencintai dirinya. Detak-detak jari waktu telah berputar-putar menunjuk angka yang telah lewat lima belas menit dari acara itu semestinya dimulai. Ibunya mengintip dari balik tirai, lalu datang menghampiri Aisyah. “Benar Suaib akan datang?” “Entahlah Bu,” Aisyah kemudian memeluk ibunya itu. Ibunya berusaha menenangkan Aisyah dengan mengusap-usap punggungnya. Aisyah masih ingat malam ketika pertama kali Suaib datang ke rumahnya. Berbincang-bincang sebentar dengan ayahnya lalu agak
halaman 15
lama bersama dirinya. Selepas Suaib meninggalkan rumah, ibu datang menghampirinya. “Kau pandai memilih suami,” bisik ibu padanya. Aisyah hanya tersenyum mendengar bisikan ibunya itu. Ibu sejak ia kecil, selalu tahu apa yang dirasakan dirinya. Termasuk saat penolakan yang datang dari Aisyah ketika hendak dinikahkan dengan orang selain Suaib. Jika tidak ibunya yang berbicara, tentulah ia akan menolak mentah-mentah. “Ibu tahu ini hal sangat berat bagimu, tapi ibu tak tahu bagaimana cara yang lain untuk menyelesaikan masalah ini,” ujar ibu terisak ketika itu. Aisyah akhirnya memutuskan menerima hal tersebut, meski benar-benar menyakitkan hatinya. “Kau yang sabar ya Nak. Jangan menangis. Ini hari bahagiamu. Ibu yakin kau akan bahagia. Kau harus dapat melupakan dia,” terang ibunya yang kemudian pergi meninggalkannya. “Panggil naib yang lain saja,” mempelai lelaki sudah tidak sabar menanti. Suara itu sampai ke telinga Aisyah. Tak biasanya naib itu tak melaksanakan tugasnya dengan baik, Aisyah selama ini tahu jika naib Suaib pasti datang sebelum acara di mulai. Ia akan menasehati terlebih dahulu kedua mempelai dengan nada suara yang akrab diselingi canda yang selalu berhasil membuat kedua mempelai cekikikan. Sehingga ketika acara akad berlangsung, mempelai itu tampak tenang dan dengan mudah mengucapkan janji suci. Itulah sebabnya naib Suaib sering dipanggil. Tak jarang, keramahan yang diberikan naib Suaib membuat lelaki itu selalu meroleh berkat yang banyak. Keluarga Aisyah selalu menampung semua berkat itu. “Tak ada yang memakan di rumah,” terang Suaib ketika datang ke rumahnya. Aisyah tahu, Suaib selama ini tinggal sendiri. Sejak ayahnya yang seorang naib pula meninggal dua tahun yang lalu sedang ibunya telah meninggal setahun sebelumnya. Tiga kakak dan dua adiknya telah merantau ke luar kota sehingga rumahnya itu hanya dihuninya seorang diri. Aisyah mengintip ke luar kamar. Ia melihat kedua orang tuanya itu gusar. Semestinya langkah ini tidak ia lakukan. Aisyah menyesal jika semalam ia telah memastikan bahwa naib Suaib akan datang dan menikahkan dirinya. Padahal ia tahu, lelaki itu pastilah sangat terpukul dan barangkali tidak mungkin datang. Wangi bunga melati merebak. Orang-orang terus berdatangan dan membuat spekulasi yang ganjil mengenai naib mereka yang baik hati tetapi nasibnya begitu malang itu. Sebagian dari mereka
halaman 16
memuji kejantanan naib Suaib yang menunjukan sikap yang bijaksana dengan tetap mau menikahkan orang yang telah cukup lama jadi pacarnya, sedang yang lain lagi menganggap bahwa hal ini hanyalah siasat untuk merusak pernikahan mantan kekasihnya itu. Pada saat itulah seorang anak kecil datang dan berteriak-teriak menyebut nama naib Suaib. Semua orang berkerumun dan Aisyah pun turut keluar dan mendengar kabar yang sangat mengenaskan. “Naib Suaib meninggal. Ia tertabrak truk ketika hendak datang kemari. Di tikungan tajam pojok desa, Suaib diterkam truk yang disetir oleh supir yang mabuk.� Orang-orang yang ada di tempat itu, sebagian bergegas menuju tempat kejadian. Aisyah yang hendak turut serta susah payah ditahan kedua orang tuanya. Ia kemudian meraung-raung dan air matanya yang mengalir membuat wajahnya terlihat aneh ketika hiasannya telah luntur. Ketika orang-orang itu sampai, alangkah terkejut melihat tubuh Suaib yang telah remuk. Darah tergenang di atas tanah. Dari kepalanya sungai merah masih deras melangkah-langkah. Orangorang telah memukul supir itu hingga tak sadarkan diri. Seorang saksi mata yang berusaha menolong Suaib dengan air mata bercerita. Bahwa naib Suaib terus mengigau ketika hendak ditolong. “Tolong saya. Saya hendak menikahkan orang yang saya cintai....�***
Syarif Hidayatullah Lahir di Bogor, 2 Agustus 1988. Cerpen dan puisi dimuat di berbagai media, seperti Majalah Sastra Horison, Republika, Suara Pembaruan, Seputar Indonesia, Sinar Harapan, Surabaya Post, Lampung Post, Padang Ekspress, Jurnal Bogor, Radar Madura, Sabili, Annida, UMMI, Kuntum, dan lain-lain.
halaman 17
cerita-pendek terjemahan
Menimbang Sayang Emak oleh Bertolt Brecht
halaman 18
Tiga Puluh Tahun perang berkecamuk memporak-porandakan segala-gala, seorang Swiss Kristen Protestan bernama Zingli pebisnis pengawetan kulit berskala besar di kota Augsburg yang berada di luar wilayah kerajaan namun masuk kawasan Lech. Menikahi seorang wanita Augsburg dan mereka dikaruniai seorang putera. Ketika orang-orang Kristen Katolik menyerbu kota itu, temantemannya mengajaknya untuk segera mengungsi. Namun entah karena keluarga kecilnya atau sayang meninggalkan bisnisnya, ia enggan mengungsi dan menganggap ketika itu masih ada waktu. Iapun masih tetap bertahan di situ saat para prajurit kerajaan menyerbu kota. Dan sorenya ketika terjadi penjarahan besar-besar-an, ia menyuruk di dalam lubang tempat penyimpanan kulit yang telah selesai diawetkan dan terletak di halaman rumahnya. Sementara, istrinya sudah siap berangkat dengan anak mereka menuju ke tempat keluarganya di pinggiran kota, namun wanita itu menghabiskan terlalu banyak waktu untuk mengemas barang-barangnya yang berupa baju-baju, perhiasan, dan perabotan tempat tidur. Maka kejadianlah, ketika tiba-tiba dilihatnya melalui sebuah lobang jendela di lantai pertama satu regu tentara kerajaan yang sedang berusaha menerobos masuk ke dalam halaman, ia tak kuasa mengatasi rasa takutnya dan menjatuhkan semua barangnya lalu melarikan diri melalui pintu belakang. Anaknyapun tertinggal di dalam rumah. Bayi itu terbaring di dalam ayunan di ruang tengah rumah yang luas dan asyik bermain dengan sebuah bola kayu yang digantungkan dari langit-langit dengan seutas tali. Hanya seorang gadis pembantu yang masih berada di rumah tadi. Ia sedang sibuk dengan panci-panci dan periuk-periuk tembaga di dapur ketika terdengar suara heboh di jalanan. Iapun berlari cepat ke salah satu jendela, dari sana terlihat para tentara yang sedang melempar berbagai macam barang rampasan ke jalanan dari lantai pertama rumah seberang. Lalu ia berlari ke ruang tengah dan baru saja hendak mengambil si kecil dari ayunannya ketika terdengar hantaman keras di pintu depan yang terbuat dari kayu pinus. Sang gadis dirasuki kepanikan luar biasa dan berlari ke atas tangga. Ruang tengah yang lapang itupun dipenuhi para prajurit yang mabuk, mereka memporak-porandakan apa saja hingga berkecaikecai. Mereka tahu bahwa saat itu sedang berada di rumah seorang Protestan. Sungguh suatu keajaiban bagi Anna, sang gadis pembantu, ia tetap tak diketemukan selama terjadi penggeledahan dan penjarahan itu. Setelah para serdadu tadi enyah, dengan buru-buru Anna segera keluar dari lemari tempat persembunyiannya tadi dan
halaman 19
mendapati si kecil yang berada di ruang tengah juga dalam keadaan selamat. Ia lalu mengangkatnya dan berjalan mengendapendap menuju halaman. Ketika itu malam telah turun, namun cahaya merah dari rumah sebelah yang terbakar menerangi halaman itu. Dan dengan perasaan takut iapun bisa menyaksikan mayat majikannya. Para tentara tadi telah menyeret pria itu dari liang persembunyiannya kemudian menyembelihnya. Baru kini gadis itu menyadari betapa berbahayanya kalau sampai ia tertangkap di jalanan bersama anak Protestan tersebut. Dengan berat hati dibaringkannya lagi sang balita ke dalam ayunannya, memberinya susu dan mengayun-ayunkannya hingga lelap. Kemudian ia cobai mencari jalan ke wilayah lain di kota itu di mana kakak perempuannya yang telah menikah bermukim. Pada sekitar pukul sepuluh malam dengan ditemani abang iparnya, gadis itu berjalan di antara kerumunan gerombolan serdadu yang sedang merayakan kemenangan mereka. Ia pergi ke pinggiran kota dan mencari Nyonya Zingli, ibu anak tadi. Mereka mengetuk-ngetuk pintu sebuah rumah yang bagus, dan setelah agak lama barulah pintunya dibuka sedikit. Seorang pria tua berperawakan kecil, paman Nyonya Zingli, menjulurkan kepalanya. Dengan terengahengah Anna memberitahu bahwa Tuan Zingli telah meninggal tapi anaknya masih selamat di rumah itu. Lakilaki tua tersebut memandangnya dengan dingin dan mengatakan bahwa keponakan perempuannya sudah tidak lagi berada di situ, sedangkan dirinya sendiri tak ambil perduli terhadap anak “jadah� Protestan tersebut. Setelah berkata demikian iapun kembali menutup pintu. Ketika mereka beranjak, kakak ipar Anna memperhatikan sebuah gorden bergerak-gerak dari salah satu jendela dan merasa yakin bahwa Nyonya Zingli berada di sana. Tampaknya perempuan itu tidak merasa malu sedikitpun tidak mengakui anaknya sendiri. Anna dan kakak iparnya berjalan berdampingan dalam kebisuan untuk beberapa saat. Kemudian ia menyatakan bahwa ia akan kembali ke tempat pengawetan kulit tadi dan mengambil si kecil. Kakak iparnya, seorang pria yang terpandang, terperanjat mendengarnya dan berusaha mencegah gagasan yang berbahaya ini. Memangnya orangorang itu apanya dia? Bahkan selama ini diapun tidak pernah mendapatkan perlakuan yang layak dari mereka. Anna mendengarkannya sampai selesai berbicara dan berjanji tidak akan melakukan tindakan yang gegabah. Meski demikian, ia harus singgah secepatnya ke tempat pengawetan itu untuk melihat apakah sang balita membutuhkan sesuatu. Dan ia ingin pergi send-
halaman 20
iri. Ia berkeras melaksanakan niatnya. Di tengahtengah ruang tengah yang porakporanda si kecil terbaring dengan damai dan lelap dalam tidurnya. Dengan hatihati Anna duduk di sisinya dan memandanginya. Ia tidak berani menyalakan lampu, namun rumah sebelah masih terbakar dan dari cahayanya gadis itu dapat memandang sang balita dengan agak jelas. Di lehernya yang mungil terdapat tahi lalat kecil. Ketika ia memandangi si kecil yang sedang menarik napas dan mengisap jempolnya yang mungil selama beberapa saat, kirakira satu jam, ia menyadari bahwa ada semacam perasaan berat untuk meninggalkan anak itu. Dengan enggan iapun bangkit dan menyelimuti si kecil dengan lembut dengan menggunakan alas kasurnya, kemudian menggendongnya membawanya pergi dari situ. Ia berjalan mengendapendap seperti seorang maling. Setelah berbahas agak lama dengan kakak perempuan dan iparnya, dua pekan kemudian ia membawa anak tadi ke desa di Daerah Grossaitingen, di mana kakak lakilaki tertuanya tinggal sebagai petani. Tanah pertanian di sana adalah milik istrinya, yang karena itu ia nikahi. Sesuai kesepakatan semula bahwa langkah terbaik adalah tidak menceritakan kepada orang lain kecuali kakak lakilakinya tersebut tentang jati diri anak itu, sebab mereka tidak percaya kepada istri yang masih muda itu dan tidak tahu bagaimana sikapnya nanti dalam menerima tamu kecil yang sangat berbahaya ini. Anna menginjakkan kaki di desa itu sekitar tengah hari. Kakak lakilaki dan istrinya serta para pekerja sedang berada di meja makan. Ia disambut dengan baik, namun setelah sekilas melihat sikap kakak ipar perempuannya yang baru, ia memutuskan untuk memperkenalkan balita itu sebagai anaknya sendiri. Mulanya mereka agak ragu sampai ia menjelaskan bahwa suaminya mendapat pekerjaan di sebuah pabrik di desa tetangga yang agak jauh dan mengharap agar ia dan anaknya sementara berada di situ dulu selama beberapa pekan. Hati wanita petani itupun akhirnya bisa diluluhkan dan si kecil bisa diterima dengan wajar. Lepas tengah hari ia menemani kakak lakilakinya mengumpulkan kayu. Saat mereka berdua duduk di atas tumpukan potongan kayu, Anna pun menceritakan kejadian yang sebenarnya. Dia dapat melihat kesulitan pada diri kakaknya. Posisi pria itu di tanah pertanian ini masih belum kuat dan ia menghargai Anna karena telah menjaga lidahnya waktu di depan istrinya tadi. Adalah jelas bahwa pria tersebut tidak menganggap istrinya memiliki kelapangan hati
halaman 21
terhadap anak Protestan itu. Ia meminta sandiwara ini terus dilanjutkan. Meskipun demikian, tidaklah mudah ketika waktu terus bergulir. Anna ikut membantubantu ketika mereka panen dan mengasuh ‘anaknya’ di saat senggang. Dengan rutin ia bolakbalik dari ladang ke rumah ketika yang lainnya sedang istirahat. Si kecilpun tumbuh besar dan montok, ia tertawa tergelakgelak ketika melihat Anna dan berusaha mengangkat kepalanya. Namun kemudian datanglah musim dingin dan sang kakak ipar pun mulai bertanyatanya tentang suami Anna. Bagi Anna sendiri tidak ada masalah tinggal di tanah pertanian itu, ia bisa ikut membantubantu. Masalahnya adalah bahwa para tetangga sudah mulai curiga tentang siapa ayah dari ‘anaknya’ Anna itu, sebab lakilaki tersebut tak pernah datang menjenguk keadaan anaknya. Kalau Anna tidak dapat mencarikan seorang ayah bagi anaknya, maka tak lama lagi tanah pertanian itu akan menjadi bahan pergunjingan. Pada suatu hari ahad pagi sang petani mempersiapkan kudanya dan berteriak memanggil Anna mengajaknya serta untuk mengambil seekor anak sapi di desa tetangga. Ketika mereka sedang terguncangguncang duduk di perjalanan, sang kakak memberitahukan kepadanya bahwa ia telah menemukan calon suami untuknya. Lelaki yang dimaksud adalah seorang pemilik gubuk yang ketika mereka berdua bertandang ke gubug buruknya itu, hampir tak dapat mengangkat kepalanya yang tak terawat dari selimut kumuhnya. Ia sanggup menikahi Anna. Sementara ibunya, seorang perempuan berkulit pucat, berdiri di pinggiran dibalai-balai. Perempuan tua itu akan mendapat imbalan atas jasanya kepada Anna. Perhitunganpun selesai dalam waktu sepuluh menit, lalu Anna dan kakaknya pun bisa melanjutkan perjalanan untuk membeli anak sapi. Pernikahan pun dilangsungkan pada akhir pekan itu juga. Ketika pendeta sedang melaksanakan upacara pernikahan, lakilaki yang tengah sekarat tadi tak sekalipun melihat ke arah Anna. Kakaknya tidak ragu lagi bahwa adiknya nanti akan mendapat sertifikat kematian dalam waktu beberapa hari saja. Lalu suami Anna tersebut, ayah dari si bocah, akan mati di suatu tempat di sebuah desa dekat Augsburg di tengah perjalanan menemui istrinya dan tak seorangpun akan punya pikiran lain jika sang janda tinggal di rumah kakak lakilakinya. Anna pulang dengan suka-cita dari pernikahan “sumbang”nya itu, di mana tidak terdengar loncenglonceng gereja atau adanya pita kuning, pengiring pengantin, dan tamutamu undangan. Seb-
halaman 22
agai jamuan pernikahan ia menyantap sepotong roti dengan seulas daging babi di atas meja makan. Setelah itu ia berjalan bersama kakaknya ke peti kayu di mana si kecil berada dan yang kini sudah punya nama. Dirapatkannya kain penutup lebih rapat dan tersenyum kepada kakaknya. Surat kematian itu pasti akan tiba. Akan tetapi tak ada berita dari perempuan tua tadi pada pekan berikutnya dan setelahnya. Di tanah pertanian itu Anna telah memberitahukan bahwa suaminya sedang dalam perjalanan ke tempatnya. Ketika ia ditanyai kenapa lakilaki tersebut sampai sekarang belum datangdatang juga, ia mengatakan bahwa pasti salju yang tebal menyulitkan perjalanannya. Namun setelah tiga pekan berikutnya berlalu, kakaknya yang sangat kebingungan berangkat ke desa dekat Augsburg. Ia pulang kembali ketika malam telah larut. Anna masih terjaga dan berlari ke pintu saat didengarnya bunyi roda di pekarangan. Ia memperhatikan betapa lambannnya sang petani melepas ikatan kudanya dan ketegangan pun menyelinap di hatinya. Pria itu membawa berita buruk. Tadi ketika berkunjung ke pondok dilihatnya lakilaki yang dulu sekarat itu sedang asyik duduk di depan meja makan dengan berpakaian santai dan tengah menikmati santapan malamnya dengan lahap. Ia benarbenar telah pulih. Sang petani tidak melihat ke wajah Anna ketika ia meneruskan ceritanya. Pemilik gubuk tadi, yang singkat kata bernama Otterer, dan ibunya samasama takjub atas perubahan yang terjadi dan barangkali belum memutuskan tentang apa yang akan dilakukan. Otterer tidak menunjukkan kesan yang tidak menyenangkan. Ia hanya bicara sedikit, tapi langsung ke pokoknya. Ketika sang ibu menyesali bahwa kini ia telah dibebani oleh seorang istri yang tak dikehendaki dan seorang bocah asing, ia menyuruh ibunya itu diam. Sementara ia terus melahap kejunya dengan santai sepanjang percakapan dan masih terus makan saat sang petani beranjak pulang. Di harihari berikutnya Anna punya banyak masalah. Di selasela pekerjaan rumah tangganya ia mengajari si kecil berjalan. Ketika bocah itu dilepas oleh kerabatnya dan berjalan tertatihtatih kepadanya dengan membentangkan kedua lengan kecilnya, Anna menahan isaknya dan mendekapnya eraterat ketika mengangkatnya. Suatu ketika ia pernah bertanya kepada kakaknya, “Seperti apa sih lakilaki itu?� Dulu ia hanya melihatnya ketika terbaring di atas ranjang kematian dan kemudian pada sore itu di bawah cahaya lilin yang remangremang. Kini baru ia tahu bahwa suaminya itu seorang pria pekerja keras berusia lima puluh tahunan.
halaman 23
Tak lama setelah itu, ia pun menjumpainya. Dengan penuh kerahasiaan seorang pedagang keliling menyampaikan pesan kepadanya bahwa seorang kenalan ingin bertemu dengannya pada tanggal tertentu, di saat tertentu, pada desa tertentu, di sebuah tempat di mana terdapat jalan setapak yang menuju ke Landsberg. Maka pasangan pengantin itupun bertemu di tengahtengah jalan yang menghubungkan desa mereka, di tempat terbuka yang diselimuti salju. Anna tidak menyukai pria itu. Giginya kecilkecil berwarna abuabu. Ia memandangi Anna dari atas ke bawah, padahal wanita itu terbungkus rapat di dalam bulu domba yang tebal dan tak banyak yang bisa dilihat, lalu mengucapkan sakramen pernikahan. Dengan ketus ia mengatakan kepada pria itu bahwa ia harus berpikir lagi dan bahwa lakilaki itu harus menyuruh beberapa orang pedagang dan tukang daging yang melewati Grossaitingen untuk memberitahukan kepadanya di depan kakak ipar perempuannya bahwa pria itu akan segera datang sekarang dan bahwa kemarinkemarinnya ia telah jatuh sakit di perjalanan. Otterer mengangguk dengan santai. Pria itu lebih tinggi satu kepala darinya dan terusmenerus menatap ke leher kirinya selama mereka berbicara sehingga membuatnya jengkel. Namun pesan itu tak pernah datang, dan Anna pun menimbangnimbang untuk meninggalkan saja tanah pertanian itu bersama si kecil dan mencari kerja jauh ke selatan, barangkali ke Kempten atau Sonthofen. Hanya karena resiko di jalan raya yaitu terlalu banyak perbincangan dan kenyataan bahwa saat itu sedang di tengahtengah musim dingin yang mengurungkan niatnya. Tapi sekarang keberadaannya di tanah pertanian itu semakin sulit. Kakak iparnya mengajukan pertanyaanpertanyaan bernada curiga kepadanya tentang suaminya saat mereka sedang berada di meja makan di depan semua pekerja ketika sedang makan malam. Pada suatu ketika saat ia sudah keterlaluan yaitu sambil memandang bocah itu sekilas kemudian berseru dengan perasaan iba yang dibuatbuat, “Oh, anak yang malang!� Anna pun memutuskan untuk pergi apapun resikonya, tapi ketika itu si kecil jatuh sakit. Ia terbaring gelisah di peti kayunya dengan wajah yang merah dan mata sembab. Anna pun mengawasinya terusmenerus setiap malam dengan perasaan cemas. Ketika si kecil mulai pulih lagi dan senyumannya pun kembali, terdengar ketukan di pintu pada suatu pagi dan Otterer pun masuk ke dalam. Tak ada orang lain di ruangan itu kecuali Anna dan si kecil. Mereka berdua berdiri mematung beberapa saat tanpa kata, kemudian Otterer menyatakan bahwa dari pihaknya ia telah mempertimbang-
halaman 24
kan, dan datang kemari untuk menjemput mereka. Sekali lagi ia mengingatkan ke sakramen pernikahan. Anna menjadi marah. Secara tegas meski dengan pelan ia mengatakan bahwa tidak terpikir olehnya untuk hidup bersama lakilaki tersebut. Ia mau menikahinya hanya sematamata demi anak itu dan tidak menginginkan apapun darinya kecuali memberikan namanya untuk dia dan anak itu. Sementara Anna menyebut anak itu Otterer melirik sekilas ke peti kayu di mana si kecil sedang mendegukdeguk tanpa ada niatan sama sekali untuk mendekatinya. Hal ini membuat Anna makin benci kepadanya. Pria itu menyampaikan beberapa hal; Anna hendaknya mempertimbangkan lagi, di rumahnya ada sedikit makanan dan ibunya bisa tidur di dapur. Beberapa saat kemudian sang kakak ipar perempuan pun masuk ke dalam, menyapa sang suami dengan rasa ingin tahu dan mengundangnya makan malam. Lakilaki itu baru saja duduk di depan meja ketika ia menyapa sang petani dengan sebuah anggukan yang acuh tak acuh, tapi juga tidak berpurapura kalau dia tidak mengenalnya atau mengingkari kalau sudah kenal. Atas pertanyaanpertanyaan yang diajukan oleh ipar perempuannya, hanya dijawabnya dengan singkatsingkat saja tanpa pernah mengalihkan pandangan dari piringnya. Dikatakannya bahwa ia mendapat sebuah pekerjaan di Mering dan Anna bisa bergabung bersamanya. Namun ia tidak lagi menyarankan untuk ikut saat itu juga. Selama lepas tengah hari ia menghindari untuk kumpulkumpul bersama kakak ipar lakilaki dan temantemannya, namun justru membelah kayu sendirian di belakang rumah, padahal tak seorangpun yang memintanya. Setelah makan malam di mana pria itu sekali lagi ambil bagian dengan diam, kakak ipar perempuannya sendiri yang mengantarkan kasur bulu ke kamar Anna agar suaminya bisa bermalam di sana. Namun justru karena itu, entah kenapa, ia malahan bangkit dengan canggung dan menggerutu bahwa ia mesti pulang malam itu. Sebelum pergi, ia menatap dengan pandangan kosong ke peti tempat si kecil terbaring, namun tidak mengatakan apapun dan tidak pula menyentuhnya. Malam itu Anna jatuh sakit dan menderita demam sampai beberapa pekan. Kebanyakan waktunya dihabiskan dengan lesu, hanya sesekali ketika menjelang tengah hari, saat demamnya agak reda, ia merangkak ke peti si kecil dan menyelempitkan selimutnya. Pada pekan ke empat dari sakitnya, Otterer memacu keretanya memasuki pekarangan dan membawa pergi Anna serta bocah itu. Anna membiarkan saja tanpa berkata sepatahpun. Agak lama barulah ia memperoleh kembali kekuatannya karena
halaman 25
hanya menyantap sop encer di gubug itu. Tapi pada suatu pagi ketika ia memperhatikan betapa si kecil nampak demikian kotor dan terabaikan maka iapun memutuskan untuk bangkit. Si kecil menyambutnya dengan senyum akrabnya, yang oleh kakak lakilakinya selalu dikatakan seperti senyumannya Anna. Bocah itu terus tumbuh dan kini merangkak ke seluruh ruangan dengan cepatnya, memukulmukulkan telapak tangannya di atas lantai dan menjeritjerit kecil tiap kali jatuh tertelungkup. Anna memandikannya di bak kayu dan memperoleh kembali kepercayaan dirinya. Beberapa hari kemudian, bagaimanapun juga, ia tidak dapat tinggal di gubug itu lebih lama lagi. Ia membungkus si kecil dengan sedikit selimut, membawa sepotong roti dan keju di dalam tasnya lalu minggat. Ia bermaksud mencapai Sonthofen, tapi tak berhasil berjalan jauh. Kedua lututnya masih sangat lemah sementara jalan raya masih licin dan sebagai dampak peperangan, masyarakat di desadesa sangat sensitif dan mudah curiga. Pada hari ketiga pengembaraannya, salah satu kakinya terperosok ke dalam sebuah selokan dan setelah berjamjam mengkhawatirkan keadaan si kecil, iapun dibawa ke sebuah tanah pertanian di mana ia bisa berlindung di gudang. Si kecil merangkakrangkak di antara kakikaki sapi dan hanya tertawatawa saja ketika Anna berteriakteriak dengan cemas. Pada akhirnya ia harus mengatakan kepada orangorang di tanah pertanian itu tentang nama suaminya dan lakilaki itupun membawanya kembali ke Mering. Mulai sekarang ia tidak lagi berusaha melarikan diri dan pasrah menerima nasibnya. Ia bekerja keras. Sungguh sulit memperoleh suatu hasil dari sebidang tanah yang kecil dan menjaganya agar tetap berjalan. Meski demikian lakilaki itu tidak berlaku buruk kepadanya dan si kecil juga bisa makan sekenyangkenyangnya. Lagi pula kakak lakilakinya pun kadangkadang berkunjung sambil membawakan aneka bingkisan. Dan suatu ketika Anna bahkan bisa memperoleh sebuah mantel mungil yang dicelup warna merah untuk si kecil. Menurutnya mantel itu sangat pantas untuk anak seorang saudagar kulit. Seiring irama waktu ia semakin menikmati dan mengalami banyak kesenangan dalam mengasuh si kecil. Maka beberapa tahun pun berlalu. Namun suatu hari ketika ia pergi membeli sirup ke desa dan sekembalinya mendapati bocah itu sudah tidak berada lagi di pondoknya dan suaminya pun menceritakan padanya bahwa tadi ada seorang wanita berpakaian elok singgah dengan kereta kudanya
halaman 26
dan membawa si kecil. Anna pun terhuyunghuyung menuju tembok dengan histeris. Dan sore itu juga dengan tidak membawa apapun kecuali sebungkus makanan ia pergi ke Augsburg. Pertama kali yang dikunjunginya di kota kerajaan itu adalah tempat pengawetan kulit. Di sana ia tidak diijinkan masuk dan tidak bisa melihat si kecil. Kakak perempuan dan iparnya siasia saja menghibur Anna. Ia pergi mengadu kepada para penguasa dan tak dapat menahan dirinya untuk berteriak bahwa anaknya telah dicuri. Bahkan ia pun bertindak lebih jauh lagi sampaisampai mengisyaratkan bahwa orangorang Protestan telah mencuri anaknya. Tapi kemudian dia tahu bahwa kini jaman telah berubah dan perdamaian telah berlaku antara orangorang Katolik dengan Protestan. Hampir saja usahanya tidak akan mencapai hasil apaapa kalau tidak karena sepotong keberuntungan yang datang membantunya. Kasusnya diserahkan kepada seorang hakim yang sungguh luar biasa. Ia adalah hakim Ignaz Dollinger yang tersohor di seluruh Swabia karena kekasaran dan pengetahuannya yang luas. Dikenal oleh para anggota dewan Bavaria yang sengketa hukum mereka dengan Kota Kerajaan diselesaikan dan diputuskan olehnya. Sebagai ‘orang tolol dari Latin ini’ tapi dikenang oleh masyarakat dalam sebuah balada yang panjang. Dengan ditemani oleh kakak perempuan dan ipar lakilakinya, Anna pergi menghadapnya. Seorang lakilaki tua yang pendek tapi sangat gendut duduk di antara setumpuk dokumen di sebuah ruangan kecil yang sama sekali tanpa hiasan dan mendengar seluruh pengaduannya dengan sangat singkat. Lalu ia menulis sesuatu, setelah itu menggeram; “Jalan ke sana dan cepatlah!” Dan dengan telapak tangannya yang kecil tapi gemuk ia menunjuk ke sebuah tempat di ruangan itu di mana cahaya bisa masuk melalui sebuah jendela sempit. Selama beberapa menit ia mempelajari wajah Anna dengan cermat, lalu menyuruhnya pergi dengan sebuah dengusan. Pada hari berikutnya ia mengirim seorang petugas untuk menjemput Anna, dan ketika wanita itu masih berada di ambang pintu ia sudah berteriak: “Kenapa engkau tidak bilang saja bahwa kau sedang mengincar tempat pengawetan kulit itu beserta kekayaan yang ada bersamanya, ha?!” Anna bersikeras mengatakan bahwa yang diinginkannya adalah si kecil. “Jangan cobacoba berpikir bahwa kau bisa menyerobot tempat
halaman 27
pengawetan kulit itu!” teriak sang hakim. “Kalau anak haram jadah itu memang milikmu, maka harta tadi akan jatuh ke tangan para kerabat Zingli!” Anna mengangguk tanpa melihat ke arahnya, lalu berkata: “Anak itu tidak membutuhkan tempat pengawetan kulit itu.” “Dia anakmu?!” tanya sang hakim membentak. “Ya,” jawab Anna dengan lembut. “Kalau aku dapat memeliharanya sampai bisa berkatakata, sejauh ini ia hanya tahu tujuh.” Sang hakimpun batukbatuk dan membereskan dokumendokumen di mejanya. Kemudian ia berkata lebih pelan meskipun dengan nada yang masih menyakitkan: “Kau menginginkan anak bengal itu sementara perempuan jalang yang punya lima rok sutera itu juga menginginkannya. Namun yang diinginkan si bocah adalah seorang ibu sejati.” “Ya,” sahut Anna dan iapun menatap sang hakim. “Selesai denganmu,” geramnya. “Sidang dilangsungkan hari sabtu.” Pada hari sabtu jalan utama dan halaman di luar balai kota sampai dengan Menara Perlach disemuti oleh massa yang ingin mengikuti jalannya sidang atas anak Protestan tersebut. Kasus yang luar biasa ini telah menimbulkan kegemparan hebat sejak awalnya. Dan di rumahrumah serta di kedaikedai minum pun terjadi perdebatanperdebatan seru mengenai siapa sesungguhnya ibu yang asli dan yang palsu. Lebih dari itu, si tua Dollinger telah dikenal luas karena proses persidangannya yang sederhana serta ucapanucapan sengit dan ungkapanungkapan bijaknya. Pengadilannya lebih populer daripada pertunjukan dan pasar malam. Dengan demikian maka bukan hanya penduduk Augsburg saja yang bergerombol di luar balai kota, tidak sedikit para pemilik tanah pertanian yang datang dari desadesa sekitarnya. Jum’at adalah hari pasaran dan untuk mengantisipasi pengadilan besok, mereka menginap di kota itu. Ruang tengah di mana Hakim Dollinger biasa mendengarkan argumentasi persidangan disebut Ruang tengah Keemasan. Terkenal di seluruh Jerman sebagai satusatunya balai yang seukuran itu yang tanpa pilarpilar. Langitlangitnya digantungkan dari kasok dengan rantairantai. Hakim Dollinger duduk, ia seperti segumpal daging bundar kecil, di depan sebuah gerbang logam yang tertutup sepanjang sebuah tembok. Terlihat seutas tali tambang sebagai pembatas publik membentuk lingkaran. Tapi sang hakim duduk di atas lantai terbuka dan tak ada meja di depannya. Ia telah membuat tatanan sep-
halaman 28
erti ini sejak bertahuntahun yang lalu, dia sangat percaya dalam hal penataan segala sesuatu pada tempatnya yang sesuai. Di dalam lingkaran tali tadi terdapat Nyonya Zingli beserta kedua orang tuanya, dua orang kerabat Tuan Zingli yang baru saja datang dari Swiss dengan penampilan mereka yang necis seperti orang kaya dan Anna Otterer bersama kakak perempuannya. Seorang perawat yang membopong si kecil nampak berdiri di sisi Nyonya Zingli. Masingmasing orang, para pihak yang bersengketa dan para saksi, berdiri. Hakim Dollinger biasa berkata bahwa sidang akan lebih cepat kalau para pesertanya berdiri. Tapi barangkali juga dia menyuruh mereka berdiri agar bisa menyembunyikan dirinya dari publik, dengan begitu seseorang hanya dapat melihatnya kalau berjinjit dan melongokkan kepalanya. Ketika proses persidangan itu dimulai terjadilah satu insiden kecil. Ketika Anna melihat bocah itu, spontan ia memekik dan melangkah maju dan anak itupun berusaha pergi arahnya. Ia merontaronta sekuat tenaga dan menjeritjerit di dalam gendongan sang perawat. Sang hakim memerintahkan agar ia dibawa keluar dari balai itu. Selanjutnya iapun memanggil Nyonya Zingli. Wanita itupun maju ke depan dengan berisik dan bercerita sambil sesekali menyeka matanya dengan sapu tangan kecil bagaimana ketika para serdadu kerajaan itu merenggut sang putra dari tangannya waktu terjadi penjarahan. Pada malam yang sama si gadis pembantu datang ke tempat ayahnya dan melaporkan bahwa si kecil masih berada di rumah, barangkali dengan harapan untuk memperoleh imbalan. Namun ketika salah seorang tukang masak ayahnya diutus ke pengawetan, ia tidak menemukan anak itu. Dan iapun lalu menduga bahwa orang ini, maksudnya Anna, telah membawanya dalam rangka supaya bisa memeras sejumlah uang dengan suatu cara atau apalah nantinya. Tak diragukan bahwa cepat atau lambat pada akhirnya dia akan datang dengan suatu permintaan sebelum melepaskan anak itu. Hakim Dollinger memanggil dua orang kerabat Tuan Zingli dan menanyai mereka apakah mereka telah mencari tahu tentang keadaan Tuan Zingli saat itu dan bagaimana jawaban Nyonya Zingli. Mereka bersaksi bahwa Nyonya Zingli telah memberitahu kepada mereka bahwa suaminya telah terbunuh dan bahwa wanita itu telah mempercayakan puteranya kepada seorang gadis pembantu di mana ia akan mendapat pemeliharaan yang baik. Mereka berbicara tentang Nyonya Zingli dengan cara yang sangat tidak bersahabat yang tentu saja tidaklah aneh karena kekayaan itu akan jatuh ke tangan mereka kalau Nyonya Zingli sampai kalah dalam perkara
halaman 29
ini. Untuk membuktikan kebenaran mereka sang hakim beralih kembali kepada Nyonya Zingli dan ingin tahu darinya kenapa dengan mudahnya ia tidak kehilangan lehernya saat serangan itu dan mengabaikan anaknya. Nyonya Zingli menatapnya dengan kedua bola mata birunya yang pucat seakanakan keheranan dan berkata dengan nada pedih bahwa ia tidak mengabaikan anaknya. Hakim Dollinger menyeka lehernya dan menanyainya dengan penuh selidik apakah wanita itu percaya bahwa tak ada ibu yang sampai hati mengabaikan anaknya. Ya, ia yakin akan hal itu, jawab wanita tadi dengan tegas. Lalu apakah ia percaya, tanya sang hakim lebih jauh, bahwa seorang ibu yang meskipun begitu telah melakukannya, harus didera punggungnya tanpa memandang berapapun banyaknya rok yang dia pakai? Nyonya Zingli tidak menjawab dan sang hakim pun memanggil sang mantan gadis pembantu, Anna. Iapun melangkah dengan cepat dan dengan suara pelan mengatakan kembali apa yang pernah dikatakannya pada pemeriksaan awal sebelumnya. Namun ia berbicara dengan seakanakan juga sambil mendengarkan pada saat yang bersamaan, dan sesekali melirik ke pintu besar di mana si kecil tadi dibawa, seolaholah ia khawatir balita itu masih menjeritjerit. Anna bersaksi bahwa meskipun ia telah mengunjungi rumah paman Nyonya Zingli pada malam itu, ia tidak kembali lagi ke tempat pengawetan kulit karena takut terhadap tentaratentara kerajaan dan karena khawatir atas keadaan anak tidak sahnya yang dititipkan bersama orangorang baik di desa tetangga Lechhausen. Si tua Dollinger dengan kasar memotong pembicaraannya dan menghardik bahwa pada akhirnya ada juga seseorang di kota itu yang punya perasaan seperti takut. Ia senang menemukan kenyataan itu, yang membuktikan bahwa setidaknya ada seseorang di kota itu yang punya perasaan semacam itu saat itu. Tentu saja tidak lucu bagi seorang saksi bahwa ia hanya mempedulikan anaknya saja, tapi di sisi lain sebagaimana dinyatakan dalam sebuah ungkapan yang terkenal, bahwa darah lebih kental daripada air. Dan seorang ibu akan berusaha keras mencuri demi anaknya meski hal ini sangat dilarang oleh hukum. Kemudian iapun menyampaikan salah satu pelajaran yang bijak dan tajam mengenai kekejian orangorang yang menipu pengadilan sampai wajah mereka hitam, dan setelah melantur sedikit tentang para petani yang mencampur air pada susu sapinya dan dewan kota yang memungut pajak terlalu tinggi kepada para petani, yang mana hal tersebut tentu saja tidak ada hubungannya sama sekali dengan halaman 30
kasus ini, ia menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap para saksi telah selesai dan tidak berhasil menarik kesimpulan. Kemudian ia jeda dalam waktu lama dan memperlihatkan tandatanda menyerah. Tampak seolaholah ia berharap ada seseorang yang bisa memberikan saran bagaimana caranya untuk mencapai penyelesaian. Orangorang pun saling melihat satu sama lain dengan bingung dan beberapa dari mereka mengangkat lehernya agar bisa melihat sekilas hakim yang tidak berdaya itu. Namun di balai itu suasananya tetap hening, hanya terdengar suara kerumunan orang yang berada di jalan di bawah sana. Kemudian sambil mendesah sang hakim berbicara lagi. “Ini bukan untuk menentukan siapa ibu kandung sesungguhnya,” katanya. “Anak itu harus dikasihani. Kita semua pernah mendengar tentang para ayah yang mengelak dari tanggung jawabnya dan tidak mau menjadi ayah, namun para bajingan! Tapi di sini terdapat dua orang ibu yang samasama menuntut. Sidang pengadilan telah mendengarkan mereka selama selayaknya, yakni masingmasing lima menit penuh, dan sidang pengadilan pun telah diyakinkan oleh argumenargumen mereka berdua. Namun, sebagaimana telah dikatakan tadi, kita masih harus memikirkan tentang si kecil yang harus mendapatkan seorang ibu. Oleh sebab itu harus dibuktikan, tidak cukup hanya dengan ocehan, siapakah ibu anak ini yang sesungguhnya.” Dan dengan suara kesal dipanggilnya seorang petugas kemudian menyuruhnya membawa sebatang kapur. Petugas itupun pergi dan mengambilnya. “Gambarlah sebuah lingkaran yang cukup besar dengan kapur itu di atas lantai agar bisa muat untuk tiga orang berdiri di dalamnya!” perintah sang hakim selanjutnya. Petugas itupun berjongkok dan menggambar lingkaran tadi dengan kapur seperti yang diperintahkan. “Sekarang bawa anak itu kemari!” lanjutnya. Bocah itupun dibawa masuk. Ia menangis lagi dan berusaha pergi ke arah Anna. Si tua Dollinger tidak mempedulikan tangisan itu dan sematamata hanya memberikan instruksinya dengan suara yang agak lebih keras. “Ujian yang sebentar lagi akan dilaksanakan,” ujarnya, “kutemukan dalam sebuah buku kuno dan tampaknya sangat baik. Secara sederhana, ide dasar dari ujian dengan lingkaran kapur ini adalah bahwa ibu yang sesungguhnya akan diketahui dari kecintaannya kepada sang anak. Di sinilah kekuatan dari cinta tadi harus diuji.
halaman 31
Petugas, letakkan bocah itu ke dalam lingkaran kapur tad!” Sang petugas pun mengambil anak yang masih menangis tadi dari tangan sang perawat dan membawanya ke dalam lingkaran tersebut. Sang hakim melanjutkan sambil berpaling kepada Nyonya Zingli dan Anna: “Kalian berdua masuklah dan berdiri di dalam lingkaran itu juga. Masingmasing memegang salah satu lengan si kecil dan kalau aku berkata: Ya! tarik sekuatkuatnya anak itu keluar dari lingkaran. Siapa saja di antara kalian yang paling kuat cintanya, pastilah juga akan menarik dengan kekuatan yang lebih besar dan dengan demikian akan membawa anak itu ke sisinya.” Balai itupun menjadi gempar. Para penonton berjinjit dan memperingatkan orangorang yang berdiri di depan mereka. Namun mendadak terjadi keheningan lagi ketika kedua wanita tersebut melangkah masuk ke dalam lingkaran dan masingmasing memegang sebelah tangan si kecil. Bocah itupun juga langsung terdiam, seperti mengerti apa yang sedang dipertaruhkan. Ia memalingkan wajah mungilnya yang berlinang air mata kepada Anna. Lalu sang hakimpun memberikan abaabanya: “Ya…!” Dan dengan sekali sentakan kuat Nyonya Zingli merenggut si kecil keluar dari lingkaran. Terpana dan tak percaya, pandangan mata Anna mengikutinya. Karena khawatir kalau sampai si kecil cedera bila kedua lengannya yang mungil itu ditarik serentak ke dua arah yang berbeda, Anna segera melepasnya. Si tua Dollinger berdiri. “Nah, akhirnya kita tahu!” serunya, “siapa ibu yang sesungguhnya. Ambil si kecil dari sundal itu. Ia akan mencabikcabiknya sampai hancur dengan darah dingin!” Dan iapun lalu mengangguk kepada Anna dan segera meninggalkan balai itu untuk menyantap sarapan paginya. Dan pada pekanpekan berikutnya para petani, yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, secara tak langsung memperbincangkan bagaimana saat sang hakim sambil mengedip menghadiahkan si kecil kepada wanita dari Mering itu.***
halaman 32
Bertolt Brecht Eugen Berthold Friedrich Brecht (Bertolt Brecht), Lahir, 10 Februari 1898, Augsburg , Bavaria , Jerman dan Meninggal, 14 Agustus 1956, Berlin, Jerman akibat serangan jantung, pneumonia. Bertolt Brecht salah seorang penyair paling berpengaruh, dramawan dan penulis skenario. Karyanya yang paling terkenal adalah musik “The Three Penny Opera“ (dengan Kurt Weill), tapi dramanya seperti “Ibu Keberanian dan Anak-Nya“ atau “The Good Person of Sezuan" sama-sama sukses. Saat ia menentang gerakan Nazi, ia melarikan diri dari Jerman pada tahun 1933 dan akhirnya beremigrasi ke Amerika Serikat. Ia meninggalkan Hollywood dan kembali ke Eropa dan menetap di Jerman Timur. Dia meninggal pada tanggal 14 Agustus 1956 di Berlin Timur. Istri-istri Helene Weigel (10 April 1929-4 Agustus 1956), (kematiannya) 2 anak Marianne Zoff (1922-1927), (bercerai) 1 anak Bertolt Brecht merupakan salah seorang tokoh puncak drama di abad dua puluh. Juga belajar sains dan pengobatan, namun ia segera menemukan bakat dan minat utamanya adalah pada dunia teater. Di amerika karya kolaborasinya bersama Kurt Weill mendapat sukses luar biasa. (Red. Riwayat singkat dari berbagai sumber.Terjemahan cerpen dari teks berbahasa Inggris oleh Windasari Zainun)
halaman 33
sajak
Hendrik Efriadi Savana Tentang sebuah ingatan Belantara Waktu Lembayung Anggur Derai Ombak Akhir Sebuah Penantian Merpati yang Tak Mau Pulang Amsal Air Tentang Sebuah Sejarah
Hendrik Efriadi Lahir di desa Mandiraja Wetan, Madiraja, Banjarnegara, 1 februari 1994. beberapa karyanya penah di publikasikan di Satelit Post, Solo pos, Radar Banyumas, dll. Antologi bersama Mata Yang Enggan Berkedip.
halaman 34
Savana menengok sisa rerumputan mencari yang masih tumbuh meski liar
Tentang sebuah ingatan kusisiri setiap helai hujan yang tak berhulu dekap erat pesona mata yang terus kusimpan di balik dompet ingatkanku pada senyum belati yang selalu terlihat sayu
halaman 35
Belantara Berkali kali aku dirajam sepi Cerita lirih itu belum mampu kukalahkan Sebab bersembunyi di rongga batinku Aku berlari di belantara malam Memunguti butir butir senyuman Yang telah menjelma dahaga
Waktu setiap ingatan tentangmu senantiasa menjelma mawar yang runtuh di musim tak beriklim pada detak-detik paling piatu
halaman 36
Lembayung Di pelataran hati yang paling samudra Ombak bertabur memandikan karang Yang ingin menghapus sengatan bulu babi Hari ini lembayung mulai berganti Dan sisa jejak menjadi sejarah Pada setapak yang ku amini
Anggur sampai batas senja diam diam aku menuang anggur yang berdenting sunyi untuk merayakan pertemuan kau aku yang berakhir padam
halaman 37
Derai Ombak demi waktu yang terus menggerus pesisir tersapu ombak yang kau kirimkan maka izinkan aku berlayar melarungi samudaramu
Akhir Sebuah Penantian -Sukma setiaji
Dan pada nafasmu Yang mulai memanjang Aku termeditasi sepi Yang mengantarku Pada penantaian paling piatu
halaman 38
Merpati yang Tak Mau Pulang sampai fajar tiba merpati itu tak kunjung pulang padahal dingin yang merupa pisau terus menusuk setiap pori pori dan merayakan gerimis pada rindu yang begitu batu
Amsal Air embun yang telah senja tak pernah mengenal hari serupa kau yang selalu dahaga menembus akar waktu agar bisa menyentuh ampas kopi pada perjamuan esok pagi
halaman 39
Tentang Sebuah Sejarah tiupan angin menyapa telinga mata berkedip letih di hamparan malam, di antara batu yang meditasikan sunyi malam masih panjang cahaya lampau telah lunak untuk menembus lorong keadaan tapi jelaga asap rokok masih setia mengingatkan pada tarian sejarah
halaman 40
sajak
Alex R. Nainggolan Pada Sebuah Taman - buat gus dur Gus Dur Mengenangmu : gus dur Negeri Tanpa Moyang Kopiah dan Sarung : k.h.a.w. Engkau Tak Pernah Pergi - bagi g.d.
Alex R. Nainggolan Lahi di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku sempat nyasar di Jawa Pos, Seputar Indonesia, Riau Pos, dll. Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi di LPM PILAR FE Unila.
halaman 41
Pada Sebuah Taman - buat gus dur
pada sebuah taman engkau duduk sendiri. memandang rerumput hijau rimbun bunga, tiang-tiang lelampuan. juga segerombol anak kecil yang berlarian membaca sketsa negeri. tapi beberapanya malah memilih untuk mencabuti rumput, bahkan yang tidak kering. lalu menginjak-injaknya. dan kau tersenyum, “matahari masih bundar,” ucapmu. agak parau menahan pahit kenyataan. sembari mengingat Symphoni no. 5 in c minor dari Beethoven. juga beberapa baris puisi. semestinya, ada kicau burung parkit dari reranting. tapi di atas, langit murung mendung tertenung. “ah, hujan akan turun,”gumammu sembari menghilangkan para pembisik dari kepalamu lalu kaupun teringat pada hujan yang turun di muka tahun itu, seperti kau kenal sebagaimana gambar buram kartu pos yang nyengat dingin menghapus genang kemarau, membasuh debu-debu, menyabik kulit tubuh. kita jadi kena teluh “sudah berapa lama kita hilang hari?” apabila mimpi tiba-tiba beranjak pergi, serupa kelokan-kelokan yang terendam di halaman depan
halaman 42
suatu hari nanti, kau akan turut serta denganku jalan entah kemana. menyimpan nama, tanda, sekaligus cuaca yang pernah ada ketika itu, aku sedang merapikan sepotong malam yang jatuh di halaman kudapati senyummu yang mengambang. di atas tanah, berkisah daun-daun rebah barangkali di sebuah taman yang lama kaukenal yang sempat akrab di di gigir waktu terlambat dan kau menata langkah, sembari menuntun segerombol anak kecil ingin kau membelikan mereka es krim sekadar mengobati tahun-tahun lama yang pucat. namun yang kau ucapkan, “pulanglah anak-anak. lebih baik kembali ke rumah. hangat dan rapat. sebentar lagi hujan tiba,� pada sebuah taman engkau masih saja duduk sendiri langit masih mendung angin basah gerombolan anak kecil telah lama pulang matamu berkaca entah buat siapa
halaman 43
Gus Dur 1. maafkan kami jika tak pernah berbuat baik padamu padahal engkau selalu berbuat baik buat negeri semua tangan telah tengadah sekarang semua dosa terbelah di angkasa, engkau mungkin akan mencatat sebuah ulasan tentang pesantren atau sepakbola sedangkan kami hanya sibuk memikirkan akan guyonmu yang sebenarnya tak pernah selesai engkau gambar 2. di kursi roda itu, engkau tak pernah sendirian seperti gema azan semua akan bertandang menuju arah pulang sahut-menyahut tak kunjung sudah dari balik kacamata tebalmu engkau seperti melukis sketsa lain sebuah rencana yang urung selesai melulu terkulai
halaman 44
Mengenangmu : gus dur jalanan hitam. arak-arakan demonstran memasuki lorong-lorong tubuh negeri yang kecut, pengap, dan lembap jiwa yang lelah. tangis lungkrah berdarah negeri yang hampir terbelah dan engkau di sana sendirian mungkin kesepian lupa pada tawa membaca satu-satu peristiwa di kepalamu terpangku tanda tanya; luka ini milik siapa? jalanan hitam. suara-suara pecah waktu terbenam engkau masih di sana meski langit negeri tetap kelabu tak mampu berdamai dengan cuaca
halaman 45
Negeri Tanpa Moyang
Selalu kau ajak aku tiba di tanah pecah. Mengapungkan derit patah, suara yang resah. Tetapi, kita acap kehilangan moyang. Menggapai sekujur malang. Tak punya silsilah yang biasa ditulis dalam halaman buku sejarah. Kini, telah kudapati masa kecil yang tak beralamat. Miskin petuah dan renungan. Kehilangan hari demi hari. Dari geriap lengkung wajahmu, kucium bau matahari dan amis darah kemarin sore. Yang tak kunjung mengendapkan petualangan baru. Hanya dendam hitam yang tak habis semalam. Sekadar mencari pijak tanah bagi langkah kaki yang bersembunyi, di hamparan lumut. Mungkin, tanganmu akan gemetar, menyingkap siang-malam, ketika matahari tiba-tiba terbenam. Runcing ingatan tentang sebuah senja yang luka. Kau tikam berkali, namun tak berdarah. Kita selalu kehilangan waktu. Musim-musim yang makin dingin, menyilet rindu yang tak pernah terkirim. Bahkan, ketika kau kunjungi kantor pos yang selalu mendentangkan keterjagaanmu. Pada suatu tempat, yang biasa kau datangkan sepucuk surat. Di mana kau bentangkan semua inginmu, pada pintu rumah yang kerap terbuka. Membawa semerbak angin, merujuk keturunan yang sungsang. Dan, tanah ini berdarah. Kau masih saja menuliskan sajak cinta. Tentang rasa takutmu di masa remaja, di mana tak ada perempuan yang mau singgah.
halaman 46
Aku sendiri heran. Kau begitu melongo, melihat jendela yang luka. “Aku lahir dari kelamin waktu, tak sempat menulis sejarah.” Ah. Kau? Mengapa selalu kau percakapkan sejarah. Apakah penguasa sedang menetapkan darurat militer? Di genting rumah yang mulai cabik, karena cuaca kerap tergesa dan lupa. Kini, mimpimu terlihat begitu sendiri. Tak mau menjulang tinggi, dijerat kenangan yang serapah. Seperti pelepah-pelepah pisang, mendadak tumbang. Mungkin, anak cucu kita akan lahir penuh derita. Dengan demam tubuh yang menahun, wajah yang melulu dihuni koreng. Tak punya moyang. Selalu menanam berang. Coretan takdir yang semilir. Sebagaimana kau tatap aku, penuh tanya—menghabiskan sisa petualangan yang makin membulir. Hanya dering telepon, yang selalu ingin diangkat, berucap, “Halo, kematian. Apa kabarmu?” Selalu kau kabari aku. Benjana cemas baru, dari gigilmu yang sampai ke puncak bukit itu. Melihat layar televisi. Yang mengguratkan sejarah lalu, jika moyang telah lama hilang. Merenda pemakaman baru, di tanah pecah. Tak mampu menyelematkan matahari, juga waktu.
halaman 47
Kopiah dan Sarung : k.h.a.w.
kabarkanlah identitas negeri ini ketika semua sudah tak punya ciri kita kehabisan pangkal imaji tak punya budaya sendiri namun engkau bersikeras untuk tetap mengenakan kopiah dan sarung bahkan di istana megah di televisi orang-orang tertenung bukan sebagai lambang gengsi yang kauberikan canda cuma isyarat jika kita masih punya negeri masih punya mimpi yang bisa didaki
halaman 48
Engkau Tak Pernah Pergi - bagi g.d.
engkau tak pernah pergi bahkan ketika tanah di pemakaman telah kering masih saja mengalir seribu peziarah dalam dengus tahmid dan zikir engkau tak pernah pergi meski negeri ini masih saja menangis cengeng dengan masalahnya dengan airmata yang tak sudah dari pelosok-pelosok tapi setelah kematianmu engkau tak juga benar-benar pergi segala kabar masih tersebut namamu masih saja tersengut seperti nyala bara api tak kunjung padam walau hujan bertandang semalaman
halaman 49
senirupa
Sepenggal Sejarah Seni Rupa Modern Indonesia Dari Kritisisme Persagi sampai Permasalahan HAKI Nyoman Gunarsa Tulisan ini adalah sepenggal perjalanan Seni Rupa Modern Indonesia, yang meliputi berbagai peristiwa yang menjadi tonggak sejarah, mulai dari: kritisisme Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang mengemuka pada paruh kedua 1930-an; berbagai aksi pro-kemerdekaan dan/atau antikolonial dari berbagai kelompok seniman; berdirinya beberapa
halaman 50
lembaga pendidikan tinggi seni, lembaga kebudayaan, dan sanggar seniman yang mempengaruhi wacana dan praktik berkesenian; beberapa perdebatan dan polemik ideologis antar kelompok yang berujung dengan kemunculan kelompok baru yang lebih dominan, atau yang berakhir dengan tragedi; fenomena booming transaksi penjualan karya seni
yang menggejala sejak 1980-an sampai 1990-an yang bereksis dengan terjadinya pemalsuan atas karya seni para perupa terkenal dan penjualbelian karya palsu atas nama perupa yang terkait. Masing-masing dari semua peristiwa kesenian itu adalah manifestasi wacana dan dinamika sosiokultural yang muncul dari situasi unik dari periode masing-masing yang terkait. Baik maupun buruk, rasa dan perwajahan Seni Rupa Modern Indonesia tidak lepas dari peristiwa-peristiwa yang mengemuka di negeri ini. Sejarah Seni Rupa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran suatu organisasi intelektual seni yang radikal bernama Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) yang dibentuk di Batavia (yang kemudian menjadi Jakarta), pada paruh kedua 1930an. Ini adalah organisasi ahli gambar yang mewadahi aspirasi perupa-perupa pribumi, yang ber-asal dari berbagai daerah di Nusantara; dipimpin oleh Agus Djaja, L. Setijoso, dan S. Sudjojono. Dalam beberapa as-pek organisasi ini terbilang visioner dan kritis, alasannya: Mereka telah menggunakan kata ‘Indo-nesia’, walau waktu itu belum ada negara Republik Indonesia; mampu mendiferensiasi perbedaan kelas dan identitas, seperti: penjajah versus terjajah; expatriate versus pribumi; eksotisisme versus realisme. Dalam menamai organisasinya pun, mereka sengaja tidak menggunakan istilah ‘seniman’ (artist) atau ‘pelukis’ (painter), melainkan ‘ahli gambar’. Pada dimensi teknis, mereka mengritisi formula teknis dan konsep melukis yang telah terpola, misalnya mempertanyakan pola pelukisan awan dengan warna biru tertentu. Sudjojono (eksponen Persagi, yang paling vokal dan artikulatif via
tulisan) dan kawan-kawan menangkap ketimpangan sosio-kultural yang dialami oleh masyarakat-masyarakat pribumi akibat kolonialisme, yang secara simbolis terrepresentassi melalui karya-karya Mooi Indie dari para perupa asing, atau perupa pribumi yang mindset artistiknya telah menjadi kolonial. Dengan pengataan lain, orang-orang pribumi terlukiskan sebagai orang asing di lingkungan yang salah; kalau materi-subjeknya perempuan pribumi, aspek erotisnyalah yang dinampakkan sebagai objek tontonan dalam lingkungan yang serba molek. Persagi menyosialisasi praktik berkesenian yang menegasi pola melukis mooi indie yang mereka anggap berkembang bersamaan dengan kolonialisme, yaitu dengan menganjurkan observasi atas kehidupan nyata dari masyarakat kebanyakan sebagai sumber ide seni. Perjalanan Persagi berakhir di zaman Pendudukan Jepang yang merebut kekuasaan dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, namun demikian spirit Persagi terus berpengarung, berevolusi dan berkembang dalam berbagai versi, dan masih tetap dipandang relevan oleh generasi-generasi berikutnya di Indonesia. Pada 1943 Pemerintah Pendudukan Jepang mendirikan satu lembaga payung kebudayaan yang dinamakan Putera (Pusat Tenaga Rakyat), mengakomodasi sejumlah intelektual yang terdiri dari seniman, pendidik, dan pimpinan agama. Putera berhasil menyelenggarakan satu pameran seni lukis modern yang diikuti oleh 60 orang pelukis, peristiwa ini sangat signifikan, karena jadi wahana yang berhasil mewacanakan seni modern perupa pribumi. Sebagian dari mereka adalah para seniman yang nantinya menjadi tokoh utama Seni Rupa Modern Indonesia, diantaranya:
halaman 51
Affandi, Hendra Gunawan, Sudjojono, Kartono Yudhokusumo, Mochtar Apin, dan Henk Ngantung. Melalui Putera semangat Persagi menemukan momentum yang tepat, dan merangsang semangat prokemerdekaan di kalangan seniman. Lembaga Pendidikan Seni dan Sanggar Seni Seputar Revolusi Kemerdekaan RI. Pada 17 Agustus 1945, atau tiga hari setelah Jepang menyerah dari Kekuatan Sekutu, Republik Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno dan M. Hatta. Kondisi politik waktu itu belum memungkinkan republik yang baru ini berfungsi optimal, karena pihak Belanda berusaha keras mengambil kembali kekuasaan yang tadinya direbut Jepang. Belanda melakukan aksi polisional dan mendirikan negara-negara boneka di sejumlah wilayah Nusantara, guna memperkecil ruang gerak kaum republik. Hasilnya, beberapa kota berhasil direbut kembali oleh Belanda, diantaraya Bandung dan Jakarta. Pada awal 1946 Ibu Kota RI untuk sementara dipindahkan, dari Jakarta ke Yogyakarta. Yogyakarta yang dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono IX – Raja Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat yang pro Republik Indonesia - segera menjadi pusat pemerintahan dan militer RI; juga menjadi sentra bertemunya orangorang dari berbagai budaya, profesi, dan golongan, termasuk pula seniman-seniman dari berbagai daerah, seperti Sudjojono (Sumatera Utara), Hendra Gunawan (Bandung), Affandi (Cirebon). Mereka adalah tokoh Putera yang telah terbiasa dengan aksi-aksi pro-kemerdekaan menentang kolonialisme Belanda. Di masa Revolusi Kemerdekaan pada dekade 1940an itu muncul Sanggar Seniman Indonesia
halaman 52
Muda (SIM) yang mulanya didirikan di Surakarta, dengan dua anak cabang di Madiun dan Yogyakarta. SIM di Surakarta mengelola majalah Seniman yang disunting oleh pelukis dan penulis radikal bernama Trisno Sumarjo yang sangat kritis terhadap anasir asing (baca Eropa) dan kecenderungan estetik yang kebaratbaratan. Di akhir paruh kedua tahun 1940-an ini muncul pula Sanggar Pelukis Rakyat (PR) yang dipimpin oleh Hendra Gunawan dan Affandi di Yogyakarta. PR adalah sanggar pelukis yang paling aktif sampai tahun 1957, dan mengembangkan realisme sosial dalam berkesenian, dalam arti mengobservasi kehidupan nyata masyarakat kebanyakan guna menjaring ide-ide untuk direpresentasi via seni. Pada paruh kedua 1940-an ini pula, tepatnya 1947, di Bandung berdiri satu unit pendidikan seni yang merupakan bagian dari Fakultas Ilmu Teknik, ITB, dirintis oleh Simon Admiral dan Ries Mulder. Di kemudian hari unit ini menjadi Fakultas Seni Rupa dan Disain. Artinya sudah dimulai pembelajaran tentang keilmuan seni secara akademik di wilayah Republik Indonesia. Setelah era Admiral dan Mulder berakhir, tongkat estafet pendidikan dipegang oleh dosen-dosen pribumi, yaitu: Syafe’i Sumardja, Srihadi, Ahmad Sadali, Mochtar Apin, But Muchtar, Sudjoko, Gregorius Sidharta, A.D. Pirous. Secara umum yang mendominasi perwajahan seni di ITB sampai 1970-an adalah abstrak-geometris. Lembaga ini memiliki interes besar pada epistemologi seni, atau memberi tekanan serius pada aspek keilmuan seni, juga lebih mendapat penekanan, dan punya perhatian lebih pada isyu-isyu universal. Namun, selanjutnya muncul seniman-intelektual dari generasi-generasi berikutnya yang
punya paradigma yang lebih kritis dalam menyikapi kecenderungan abstrakgeometris yang dipelopori oleh Ahmad Sadali, dan terhadap praktik berkesenian yang terlalu akademis , diantaranya: Semsar Siahaan, Tisna Sanjaya, Asmujo Irianto, Aminuddin Siregar. Yogyakarta yang menjadi Ibu Kota sementara RI baru mempunyai akademi seni pada awal 1950 (tepatnya 15 Januari 1950), dengan nama ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia), dengan logo figur Dewi Saraswati - shakti (istrinya) dari Dewa Brahma – yang dalam Hinduisme dipercaya sebagai dewi ilmu pengetahuan, budaya dan seni. Generasi pertama pengajar di ASRI kebanyakan adalah para praktisi seni yang aktif terlibat pada masa prakemerdekaan dan/atau Revolusi, diantaranya: Hendra
G u n a w a n , Suromo, Trubus Sudarsono, Kusnadi, Affandi, Abdul Salam (pegrafis). Pada 1960-an dosen-dosen yang menonjol diantaranya: Widayat, Fadjar Sidik, dan I Nyoman Gunarsa. Delapan bulan setelah Republik I n d o n e s i a berdaulat penuh pada akhir 1949, di Surakarta berdiri satu lembaga kebudayaan yang besar pengaruhnya t e r h a d a p konstelasi seni dan budaya Indonesia pada waktu itu, yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), yang tujuan keberadaannya mengupayakan perkembangan kebudayaan rakyat Indonesia, yang bebas dari kolonialisme dan imperialisme. Secara faktual sejumlah tokoh Seni Modern Indonesia terlibat dalam aktivitas dan keorganisasian LEKRA, diantaranya Sudjojono, Affandi, Trubus, Hendra Gunawan, Suromo, Abdul Salam, Basuki Resobowo. Mereka memandang LEKRA sebagai wadah yang dapat melembagakan cita-cita sosial-politik lama mereka melalui seni. Namun, dalam perkembangan selanjutnya kelembagaan LEKRA menjadi terlalu dekat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia), dan pada
halaman 53
tahun 1960-an gerakan budaya LEKRA menjadi identik dengan Realisme Sosialis. Sifat ideologinya linier, tidak toleran dan sangat reaktif terhadap pihak-pihak yang berseberangan secara ideologis, mengakibatkan terjadinya berbagai konflik politis. Konflik politik itu berujung tragedi dan trauma, yaitu dengan pembubaran terhadap LEKRA, yang diiringi dengan hilangnya sebagian besar anggota dan simpatisannya, berikut ajaran dan karyakarya mereka. Keadaan penuh kekerasan ini sejalan dengan gerakan penumpasan terhadap PKI yang berlangsung selama bertahun-tahun sejak Oktober 1965 sampai akhir 1970-an. Akibatnya, terjadilah lubang hitam besar dalam sejarah Seni Modern Indonesia, karena secara mendadak dan menyeluruh aktivitas, seniman, karya dan wacana seni yang berasosiasi dengan LEKRA, sejak 1950 sampai 1965, hilang dari konstelasi wacana, diskusi, dan perhelatan seni dan budaya Indonesia, baik di tingkat lokal, provinsial maupun nasional. Akibatnya, realisme, realisme sosial, dan realisme sosialis tersingkir dari percaturan Seni Modern Indonesia, karena mengalami stigmatisasi sebagai mazhab yang berafiliasi dengan golongan kiri. Periode Abstrak, Eksplorasi, dan Kontroversi. Semasa LEKRA berkuasa seni abstrak dan abstrak geometris tidak memperoleh ruang gerak yang leluasa karena gencarnya serangan kaum realis-sosialis yang didukung oleh PKI. Setelah PKI dan LEKRA dibersihkan dari percaturan sosio-politik RI, karya-karya abstrakgeometris bermunculan kembali, wewarnai perwajahan Seni Modern Indonesia, dengan tokoh-tokoh seperti: Ahmad Sadali,
halaman 54
But Muchtar, Mochtar Apin, Srihadi, Jusuf Affendi, A.D. Pirous (semuanya bermukim di Bandung); Handrio, Fadjar Sidik, Bagong Kussudiardjo, Abas Alibasyah, Amri Yahya (di Yogyakarta); dan Oesman Effendi (tinggal di Jakarta). Materi subjek karya mereka adalah abstraksi liris dari bentukbentuk yang ada di alam, tanpa sebelumnya mengamati subjek yang direpresentasi secara empirik. Disamping itu, mengemuka antusiasme bereksperimentasi dan bereksplorasi atas bahan, media, dan teknik guna mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Teknik jahit, las, kolase, dan membatik jadi pilihan populer. Tendensi ini rupanya menjadi wilayah jelajah alternatif, sebab masyarakat seniman dalam periode ini masih segan membicarakan subjek-subjek yang berkait dengan perpolitikan di dunia kesenian, sebab trauma politik di seputar peristiwa G-30-S/PKI belum hilang sampai 1970-an. Konflik politik yang terjadi pada akhir 1965 yang menyebabkan banyak orang tewas, hilang, dan dipenjara tanpa proses pengadilan. Sebagai catatan kecil, Trubus Sudarsono - salah seorang dosen ASRI Yogyakarta, pelukis realis piawai, mantan anggota SIM dan PR – ‘hilang’ pada akhir 1965. Sementara itu di bawah permukaan, debat dan polemik antara kubu Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta masih terus berlanjut. Seakan-akan Seni Modern hanya bergulir dan berkembang di Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta. Padahal ada tokoh-tokoh lain yang tidak kalah bobotnya, misalnya seniman-seniman Bali, seperti: pelukis I Gusti Nyoman Lempad, pematung Cokot, dan Anak Agung Gde Sobrat pendiri kelompok Pita Maha. Menanggapi keadaan itu beberapa perupa kelahiran Bali – dosen dan mahasiswa
STSRI “Asri� Yogyakarta - mendirikan Sanggar Dewata Indonesia, di Baciro, Yogyakarta, pada 5 Desember 1970, dan masih berkegiatan aktif sampai sekarang. Pendiri SDI adalah I Nyoman Gunarsa yang berstatus sebagai dosen STSRI ‘Asri’, dan tiga mahasiswa dari lembaga yang sama, yaitu: Made Wianta, Wayan Sika, dan Pande Gde Supada. Nyoman Gunarsa adalah salah satu dosen yang punya karakter menonjol di Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta, selain Fadjar Sidik dan Widayat. Nyoman Gunarsa adalah seniman serba bisa, ia dapat menari dan menabuh gamelan Bali; mampu memprovokasi dan memotivasi para mahasiswanya untuk aktif berkarya dan menggembleng diri menjadi seniman yang tangguh dan militan. Kepiawaiannya dalam sketching dan drawing sering didemonstrasikan dalam berbagai perhelatan. Daya provokatif dan kemampuannya memotivasi mahasiswanya dapat disejajarkan dengan Hendra Gunawan yang dulu menginspirasi para rekan dan juniornya. SDI dimaksudkan sebagai wadah berkegiatan bagi para seniman Bali yang berada di luar Bali, dalam hal ini di Yogyakarta, namun sistem keanggotaannya terbuka bagi siapa saja. Heri Dono, Eddy Hara, dan Boyke Aditya adalah mantan anggota SDI yang bukan orang/kelahiran Bali; Heri Dono dan Eddy Hara sampai sekarang terus bergiat seni secara signifikan di dalam dan luar negeri. Disamping itu SDI berperan sebagai wahana ekspresi dan pandangan baru tentang seni dan seni Bali dalam cakrawala dan sikap modern yang terbuka. Dalam bahasa Nyoman Gunarsa sendiri, SDI bersifat nasionalis, religius, artistik, dan tidak fanatik. Pendirian SDI pada akhir 1970 itu merupakan suatu kejutan
di masa yang vakum setelah Sanggar Bambu yang didirikan oleh Soenarto Pr pada 1959; keberadaan dan aktivitasnya merupakan terobosan baru agar orang tidak terpancang pada pusat-pusat seni tertentu saja. Wawasan Nyoman Gunarsa untuk membawa SDI sebagai sanggar yang berwawasan nasional dan universal, dinyatakan dengan diadakannya Lempad Prize[20] sejak tahun 1980. Ini adalah suatu penghargaan yang diberikan kepada individu yang dipandang telah berprestasi secara kreatif atau inovatif di dunia pendidikan, atau dalam pengembangan dan pembinaan seni / budaya untuk bangsa Indonesia.[21] Sementara itu antusiasme untuk bereksperimentasi dan bereksplorasi atas media dan teknik di kalangan para perupa tidak berlangsung lama. Seni abstrak, seni dekoratif, dan seni dengan pendektan formalistik yang mendominasi perwajahan seni lukis mulai dipertanyakan relevansinya oleh para perupa muda. Tendensi artistik macam ini dianggap steril. Gugatan ini sejalan dengan berbagai pergolakan politik yang ditandai dengan berbagai protes dan demonstrasi mahasiswa, menantang regim Orde Baru yang berkuasa sejak 1966. Salah satunya adalah peristiwa MALARI yang terjadi pada 15 Januari awal 1974 dalam mana terjadi kerusuhan besar, produkproduk asing menjadi sasaran. Senyampang dengan itu, di dunia seni kerap mengemuka perdebatan tentang seni antara generasi tua dan muda. Seniman-seniman muda mempertanyakan paradigma pendidikan seni yang formalistik. Sifat anti kemapanan seni para seniman ternyatakan pada perdebatan seputar Pameran Besar Seni Lukis Indonesia pada 1974, dalam mana dewan juri memilih karya-karya dari: A.D.
halaman 55
Pirous (ITB), Irsam (pegawai Direktorat Jendral Kesenian), Aming Prayitno, Abas Alibasyah, dan Widayat (ketiganya adalah dosen STSRI ‘Asri’ Yogyakarta. Hasil penjurian itu diprotes oleh para seniman muda dari Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta. Mereka menuduh dewan juri tidak peka terhadap semangat eksperimental dan eksploratif para kaum muda, yang menggejala waktu itu. Kontroversi dan polemik itu memuncak pada suatu pameran bertajuk “Pameran Seni Rupa Baru” yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki pada Agustus 1975, diikuti oleh sejumlah perupa dari Yogyakarta, Bandung dan Jakarta. Tampil disana karya-karya seni yang konsep kreatifnya berbeda sama sekali dari konvensi estetik yang mendominasi perwajahan seni lukis periode itu. Pameran ini menggelar karya-karya seni instalasi, karya yang terbuat dari barang-barang jadi, kolase, gambar-gambar dengan gaya pop, dan artefak tiruan yang diberi tandatanda tertentu secara sarkastik guna menertawakan bahkan melecehkan artefak klasik Indonesia. Konvensi seni dan estetika yang ada sengaja dijungkirbalikkan, ini kurang-lebih senyawa dengan gerakan Dada di Eropa pada tahun 1920-an yang secara simbolis menjungkirbalikkan nilai dan konsepsi etik dan estetik kelas menengah di Eropa. Pada skala yang lebih kecil kecenderungan untuk menjungkir-balikkan nilai seni yang dianggap mapan juga terjadi di Yogyakarta. Sejumlah seniman muda, yang kebanyakan mahasiswa STSRI “Asri” Yogyakarta mempersiapkan satu pameran dengan berbagai media tidak-konvensional di Galeri Seni Senisono. Tajuknya “Seni Kepribadian Apa?”. Pameran itu dimaksudkan sebagai ejekan terhadap
halaman 56
karya-karya lukis di “Asri” yang mereka anggap hanya sekedar indah, manis, dan formalis. Salah satu gaya seni yang mereka ejek adalah gaya seni Fadjar Sidik, yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Jurusan Seni Lukis. Ironisnya kebanyakan mahasiswa yang mempersiapkan pameran itu justru berasal dari jurusan yang sama, ditambah dengan dua orang musisi: Sapto Raharjo dari Yogyakarta, dan Jack Body musisi kontemporer dari New Zealand. Panitia kerja “Seni Kepribadian Apa?” sudah cukup lama meminta ijin dari pihak kepolisian untuk penyelenggaraannya. Mereka sudah menyiapkan karyakarya eksperimental, dua maupun tigadimensional, juga karya-karya instalasi. Namun sampai pada malam hari pada tanggal yang direncanakan (1 September 1977), ijin tidak juga diberikan, sehingga menyebabkan demonsttrasi di dalam ruang pameran, sehingga berbuntut pada penginterogasiaan terhadap semua anggota kelompok yang merencanakan pemeran itu. Boom dan Masalah HAKI Sejak akhir 1960-an di zaman Orde Baru yang dipimpin Presiden kedua RI, Suharto, investasi asing masuk ke Indonesia secara besar-besaran, konsekuensinya industri periklanan berskala besar ditumbuhkan guna mendukung investasi tersebut. Industri periklanan memang berkembang cepat, menggunakan metode promosi modern melalui televisi, radio, dan poster, serta dengan pendekatan visual dari trend periklanan mengambil model-model iklan yang berhasil di negara-negara industri. Faktanya di akhir 1970-an perekonomian Indonesia membaik, dan pada 1980-an mengalami booming (kemajuan pesat
dengan hasil melimpah). Ledakan ekonomi itupun berdampak pada transaksi jualbeli karya seni. Banyak pelukis mengalami kemudahan menjual karya mereka, dan memperoleh kelimpahan finansial. Dalam tulisannya “Boom! Ke Mana Seni Lukis Kita?” Sanento Yuliman menyoroti 4 pelukis yang mengalami boom penjualan lukisannya pada pertengahan 1970-an sampai 1980-an, yaitu: Jeihan, I Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Djoko Pekik. Dalam membahas Jeihan, Yuliman secara sinis menggambarkan perubahan kehidupan Jeihan akibat mendapat kelimpahan rejeki yang besar, yang membuatnya mampu membeli sebidang tanah yang luas dan mendirikan beberapa rumah, akibatnya Jeihan sering menjadi bingung mau tidur di rumah yang mana karena begitu banyak rumahnya. Sejak booming seni lukis pada 1980-an kenyataannya memang banyak perupa yang jadi kaya-raya dari karya seninya, bukan cuma pelukis saja, tetapi juga perupa-perupa lain, termasuk pula perupa demonstan / pengkritik sosial yang karyanya telah jadi komoditas atau fetish dengan ‘menjual’ isyu-isyu non-estetik, dan bahkan beralih predikat menjadi karya-karya dekoratif yang digelar di café atau restauran untuk menarik perhatian pelanggan. Hal lain berkait dengan booming seni yang signifikan untuk disoroti adalah kenyataan bahwa terjadi pemalsuan atas karyakarya seni yang telah jadi komoditas, atau atas karya-karya para tokoh, diantaranya pemalsuan atas karya Trubus, Affandi, Djoko Pekik, Widayat, Srihadi, Fadjar Sidik, Le Mayeur dan Hofker di Bali. Selain itu patut dikemukakan bahwa memang ada seniman yang mendapat ‘durian runtuh’ dalam arti mendapat kelimpahan
rejeki dari keadaan yang membuat seni dipandang sebagai komoditas dan investasi yang menguntungkan. Namun ada pula seniman yang memang memiliki kualitas dan kecakapan teknis yang membuatnya mampu menyipta karya yang baik, dan oleh karenanya layak diapresiasi tinggi. Berkait dengan topik ini kiranya kasus Nyoman Gunarsa yang dimasukkan oleh Sanento ke dalam daftar pelukis-pelukis yang mengalami booming, perlu ditelaah secara lebih kritis, detil dan komprehensif. Nyoman Gunarsa adalah salah satu dari sejumlah seniman Indonesia yang sukses dari profesinya sebagai seniman. Ia pun masuk dalam jajaran seniman populer yang karyanya dipalsukan, dan karya-karya palsu itu diperjualbelikan atas nama dirinya. Yang membedakan adalah bahwa Nyoman Gunarsa memperkarakan pemalsuan atas karyanya, dan pengomersialkan karya-karya palsu atas nama diri Nyoman Gunarsa, melalui jalur hukum pada awal 2000-an. Nyoman Gunarsa adalah seniman pekerja keras yang punya ketrampilan dan kepekaan artistik yang memadai. Namun demikian ia tidak cuma memperhatikan proses kerja dan capaian estetisnya saja, Nyoman Gunarsa telah menyadari betapa pentingnya strategi marketing agar ia dapat survive sebagai seniman. Sejak masih menjadi mahasiswa ia telah berupaya keras dengan berbagai cara untuk memasarkan kemampuan seni dan karyanya. Dulu pada tahun 1970-an sampai 1980-an dia dijuluki sebagai seniman yang memasarkan lukisan dan sketsanya secara door to door, ini berkait dengan usahanya membawa karya lukisnya sendiri dari Yogyakarta ke Jakarta naik kereta api, guna menemui para kolektor dan orang-orang yang perlu
halaman 57
diprospek. Ia pun sering melukis atau membuat drawing model on the spot untuk berbagai kalangan, termasuk orang-orang dari kalangan diplomatik. Kadangkala ia mengajak mahasiswanya ke Jakarta, untuk melihat langsung bagaimana ia melakukan pendekatan kepada orang-orang dari berbagai latar-belakang, diantaranya Duta Besar USA Paul Wolfowitz. Dalam perkembangan selanjutnya, Nyoman Gunarsa menjadi seniman yang dikenal banyak orang, baik di dalam dan luar negeri. Kelak pada tahun 1988 ia diundang ke USA dan memberi kuliah di East West Center, Hawaii; salah satu karyanya dipasang disana, yaitu di Gedung Jefferson, dimana terpasang pula lukisan Affandi. Di dalam negeri ia pun mampu membangun komunikasi yang baik dengan para tokoh nasional, dan ia memiliki relasi pribadi dengan hampir semua presiden RI sejak Presiden Soekarno. Di Yogyakarta Nyoman Gunarsa ikut mendinamisasi kehidupan seni kontemporer dengan mendirikan Museum Seni lukis Kontemporer Indonesia di daerah Papringan, Yogyakarta, pada tahun 1987. Ia memrakarsai pameran karyakarya seni kontemporer dan memfasilitasi berbagai diskusi tentang seni. Museum yang lokasinya tidak jauh dari Studio Affandi itu telah menggelar berbagai pameran, diantaranya yang memamerkan karya tokoh-tokoh dari beberapa lembaga pendidikan seni, atau unit di universitas yang memiliki program seni, yaitu dari: ITB, IKJ, UNS Surakarta, Universitas Udayana, dan tentu saja ISI Yogyakarta. Tokohtokoh Seni Modern Indonesia yang karyakaryanya pernah dipamerkan di Museum Seni Kontemporer Indonesia di Yogyakarta, diantaranya: Sunaryo, But Muchtar, AD
halaman 58
Pirous (ketiganya dari ITB); Nashar, Mustika, Sri Warso Wahono (IKJ); Narsen Afatara, Suatmaji Agustinus Sumargo, Amir, Edi Sudadi (UNS); Rai Kalam, Made Surata, Gung Cidra, Ni Made Rinu, Cok Astiti (Universitas Udayana). Kritikus Sanento Yuliman dan Sudjoko – keduanya tokoh senior ITB – juga diundang ke MSKI untuk memberi ceramah. Perlu dicatat bahwa pengaruh Museum Seni Kontemporer Indonesia di Papringan cukup besar dalam mengondisikan terjadinya booming lukisan di Yogyakarta, yang kemudian menyebar ke Jakarta dan beberapa daerah lain. Nyoman Gunarsa pada tahun 1980-an telah menjadi seniman selebritis yang pertama kali mengalami booming penjualan lukisannya di Yogyakarta. Ia mampu mengundang para kolektor dan relasi bisnisnya untuk datang ke pameran-pameran yang diselengarakannya di museum miliknya di Yogyakarta. Kemampuan Nyoman Gunarsa untuk menarik interest pemodal besar, terbukti, dengan terpilihnya sebagai bintang iklan ‘Master Card’ pada 1992. Ini adalah kartu kredit yang pertama kali beredar di Indonesia dan dioperasikan dalam jaringan internasional yang berkantor pusat di New York. Alasannya adalah karena waktu itu karya lukis Nyoman Gunarsa sudah diminati banyak kolektor mancanegara, dan mereka dapat bertransaksi dengan Master Card. Hadirnya para investor asing di Indonesia dan marketing yang berhasil bagi karya seni para perupa Indonesia secara langsung maupun tidak langsung telah mengakibatkan terjadinya booming penjualan lukisan dan karya seni lain di akhir 1980-an sampai 1998. Kemudian di tahun 1994, Nyoman Gunarsa mendirikan Museum Seni Lukis Klasik Bali di daerah kelahirannya, Klungkung.
raden saleh sumber int
Lukisan Nyoman Gunarsa dikoleksi oleh banyak kolektor di dalam dan luar negeri. Ekses negatifnya adalah bahwa beberapa karya Nyoman Gunarsa dipalsukan, berikut tanda-tangan serta bingkai bertatah yang telah jadi trademark seni Gunarsa. Lukisan-lukisan palsu, berbingkai palsu, dengan tandatangan palsu ‘I Nyoman Gunarsa’ bahkan dipajang di sebuah galeri seni komersial di Denpasar - Cellini Art Design - milik Ir. Hendra Dinata alias Sinyo, dimana lukisan-lukisan
palsu itu secara terbuka diperjualbelikan. Ada 6 lukisan palsu atas nama ’I Nyoman Gunarsa’ yang berhasil diperkarakan oleh Nyoman Gunarsa di Pengadilan Negeri Denpasar. Proses hukumnya memakan waktu hampir 7 tahun, terhitung sejak kasus itu dilaporkan pada 17 Juni 2000, dan ketika dilaporkan keduakalinya pada 13 Juli 2004. Hasil penelitian forensik POLRI Cabang Denpasar atas 6 lukisan yang diperkarakan, menyatakan bahwa karya-karya itu memang bukan hasil
halaman 59
cipta Drs. Nyoman Gunarsa. Alias palsu. Namun, yang terjadi adalah bahwa Majelis Hakim menyimpulkan bahwa terdakwa Hendra Dinata tidak bersalah, karena Nyoman Gunarsa dianggap tidak punya hak untuk mempermasalahkan keenam karya palsu “Nyoman Gunarsa� yang dianggap bukan karya Nyoman Gunarsa. Hasilnya, Pengadilan Negeri Denpasar 2007, menyatakan bahwa terdakwa Ir. Hendra Dinata, pemilik Cellini Art Design yang memajang lukisan, bingkai berikut tanda tangan ‘Nyoman Gunarsa’, dan memperjualbelikannya secara resmi, diputuskan tidak bersalah, oleh karenanya divonis bebas oleh majelis hakim. Patut dicatat bahwa dengan kasus ini, Nyoman Gunarsa adalah seniman Indonesia yang pertama kali memperjuangkan keadilan terhadap pelanggaran hak-cipta atas karya seninya, namun berhadapan dengan satu budaya yang dikontrol oleh mafia peradilan yang bertekuk lutut dihadapan kuasa uang. Dari perjalanannya sejak Persagi sampai sekarang (2012) Seni Rupa Modern Indonesia tidak berbeda dari Seni Modern Dunia, dalam arti tidak lepas dari kritisisme, debat, polemik, serta wacana pertentangan kelas dan identitas. Gerakan dan kritisisme Persagi tercatat baik dan masih kerap dibicarakan sampai kini, ini dikarenakan Persagi mampu secara kritis dan kontekstual melihat permasalahan khas yang mengejala di seputar kehidupan para eksponennya, mereka mampu menangkap rasa zaman pada dekade 1930-an dimana terjadi kontras sosio-kultural akibat kolonialisme. Tercatat pada kumpulan tulisan Sudjojono (salah satu eksponennya yang sangat aktif), bahwa Persagi mampu menawarkan suatu kesadaran baru agar para perupa mau melihat dan mengamati
halaman 60
realita sesungguhnya dari keadaan alam dan budaya masyarakat kebanyakan, daripada hanya meromantisasi eksotikanya saja melalui kacamata kolonial. Setelah Republik Indonesia diproklamirkan perhatian dan wacana para perupa memusat ke permasalahan di seputar permasalahan Revolusi Kemerdekaan, dan pada permasalahan pencarian identitas kebangsaan melalui seni. Di era ini pendidikan seni rupa dan pembangunan karakter bangsa melalui karya seni sudah dimulai. Akademi Seni di ITB dan Akademi Seni Rupa Indonesia di Yogyakarta menjadi pelopor lembaga pendidikan seni yang berpengaruh bagi perkembangan seni di Indonesia. Kedua lembaga ini berkembang dengan karakter masing-masing, seiring dengan lingkungan sosiokultural masingmasing. Kompetisi yang mengemuka antara kedua lembaga itu, yang menggejala pada 1960-an dan 1970-an, mendinamisasi perjalanan Seni Modern Indonesia. Dalam konteks keindonesia karena kedua lembaga yang berbeda karakter itu bersifat saling melengkapi. Perdebatan, polemik atas wacana, dan konflik ideologis seni tak pernah menjauh dari dunia Seni Rupa Modern Indonesia. Perdebatan ideologis antara kelompok yang percaya pada realisme sosial dan realisme sosialis, dan kelompok yang percaya pada pada pendekatan abstrakgeometris, berakhir drastis setelah Revolusi Oktober 1965, dalam mana Partai Komunis Indonesia dihancurkan oleh Angkatan Darat, dan menjadi parta terlarang. Lembaga-lembaga seni dan kebudayaan, terutama LEKRA, dibubarkan; para pendukungnya kocar-kacir, dan nyaris musnah secara keseluruhan. Ini adalah lembaran hitam dalam Sejarah Seni Rupa
Modern Indonesia. Walau begitu, perdebatan dan polemik seni terus saja terjadi, menjiwai kehidupan berkesenian di Indonesia. Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia yang muncul pada paruh pertama 1970-an, dan gerakan mahasiswa seni “Kepribadian Apa?� yang terjadi di Yogyakarta hanyalah dua dari berbagai peristiwa oleh para perupa muda di berbagai daerah, yang menggugat kemapanan senior mereka dan dan konvensi estetis yang ada. Walau begitu, perlu dicatat pula, di kemudian hari beberapa beberapa seniman aktivis yang menggugat kemapanan seniman senior dan konvensi estetis yang dianggap mapan, masuk kedalam zona kemapanan pula dan mengalami booming karena di kemudian karya-karya dari sebagian dari mereka menjadi fetish dan berubah statusnya menjadi komoditas nan laris manis pula. Booming lukisan yang terjadi pada 1980-an terus berlanjut sampai awal 2000an, berimbas pula atas karya-karya dengan media lain, khususnya karya patung. Embusan booming seni itu merangsang pemunculan galerigaleri seni di berbagai kota / daerah di Indonesia, ada yang bertahan, ada yang jatuh bangun, dan ada pula yang berdiri langsung lunglai. Senyampang dengan booming seni, muncul pula tindakantindakan pemalsuan atas karya dari perupaperupa selebritis, untuk diperjualbelikan secara gelap. Tindak pelanggaran HAKI ini terjadi pula atas karya lukis Nyoman Gunarsa, yang kasusnya diproses dalam peradilan di Pengadilan Negeri Denpasar. Vonnis bebas terhadap pemilik galeri seni yang memalsu lukisan Nyoman Gunarsa dan memajang karya-karya palsu untuk diperjualbelikan, tahun 2007, merupakan
satu dari banyak kasus peradilan di Indonesia, dimana terjadi korupsi dan konspirasi yang beroperasi dalam jaringan para pejabat dan praktisi hukum, aparat kepolisian, serta petinggi lembaga negara yang kini sering disebut dengan istilah “Mafia Hukum�. Terlepas dari itu semua itu seni rupa modern Indonesia terus berlangsung. Produk seni melalui berbagai pendekatan teknis, media, dan pendekatan estetis terus bergulir. Booming seni masih terjadi pada perupa-perupa selebritis yang karyanya telah menjadi komoditas, dan sesekali melimpah ke perupa-perupa yang punya jaringan pemasaran nan canggih. Yang perlu dicatat adalah kenyataan bahwa kini nampaknya di bawah rezim pemerintahan sekarang kehadiran negara dalam pembinaan, pengembangan, konservasi, serta perawatan karya-karya seni dari para tokoh seni Indonesia semakin menyusut atau kabur. Museum dan galeri seni yang seharusnya jadi ruang strategis untuk menggelar karya seni dan budaya bangsa terbengkalai, atau diserahkan sepenuhnya pada inisiatif dan swadaya swasta. Dari sisi ini, Seni Rupa Modern Indonesia kini seakan menjadi anak tiri: peran, makna dan potensinya bagi pencerdasan masyarakat, terlupakan.*** (Red. Dari: http://www. martinus-dwi-marianto.com)
halaman 61
teater
Opera Primadona (Sebuah Upaya Penyegaran Teater) di Riau PERTUNJUKAN teater Opera Primadona Produksi Sanggar Selembayung yang dipentaskan selama tiga malam berturut dengan kualitas dan jumlah penonton yang cukup padat, tak jauh berbeda dengan malam pertama, sebagai malam pertunjukan yang lazim menunjukkan
halaman 62
puncak kemampuan dan vitalitas pemain. Antusias dan ramainya penonton yang datang ke Anjung Seni Idrus Tintin pada Kamis malam (30/8) hingga Sabtu malam (1/9) membuktikan apresiasi terhadap seni teater di Riau semakin berkembang. Dan upaya itu tampak sekali keberhasilannya,
seperti yang dikatakan oleh sastrawan Fakhrunnas Ma Jabbar: “Ada hal menarik terkait pertunjukan Opera Melayu ini. Naskah dan alur cerita yang sangat bernuansa Jawa -sebagaimana rumah kebudayaan Nano Riantiarno- ternyata dijamah dan diaduk oleh Fedli Azis dengan tafsir Melayu sepenuhnya. Tak ayal lagi, nama-nama tokoh dalam cerita diadaptasi ke suasana kultural Melayu. Begitu pula dialog-dialog yang lancar dan kocak dan penuturan khas Melayu benarbenar membuat para penonton terpingkal seolah sedang berada dalam sebuah ranah kehidupan alam Melayu. Apalagi dukungan penata musik yang mengaloborasi kekuatan Matrock (Zalfandri) dan Iskandar, Indra Permana, Hardi Wahyudi, Rakis Fadly dan vokalis Siska Mamiri dan Ririn Jauharaini. Rangkaian musik dan nyanyian yang benar-benar beranjak dari irama Melayu modern membuat Opera Primadona sangat menghibur. Pertunjukan Opera Primadona yang didukung para pemain muda berbakat dari Sanggar Selembayung dan Sanggar Senja di bawah pembinaan SMAN 5 Pekanbaru ini boleh dibilang berhasil. Para pelakon yang bersuara lantang di tengah system akustik gedung teater yang kurang memadai. Namun, teriakan demi teriakan saat berdialog menimbulkan kesan seolaholah jalinan kisahnya begitu sarat konflik. Pasalnya, para pemain yang memiliki keterbatasan olah vocal mau tak mau harus berteriak keras. Tafsir Melayu yang dilakukan Fedli tampak benar-benar menyeluruh. Dialek Melayu begitu kental terasa dalam sepanjang pertunjukan. Penonton benarbenar merasa bahwa tragedi yang terjadi di
grup teater Miss Kecubung ini seolah-olah terjadi di Tanah Melayu sendiri. Terasa dialek daerah yang khas bila disaksikan oleh para pengguna bahasa yang berasal dari daerah yang sama menjadi komunikatif, menarik dan mempesona. Begitu pula, latarbelakang dan setting panggung yang umumnya memperlihatkan suasana interior seperti kamar tamu, kamar tidur, katil dan tilam, meja rias benar-benar mencerminkan kehidupan keseharian orang Melayu”. ‘’Kita sengaja menggaet komposer muda Riau, Matrock dalam garapan ini karena dalam pementasan Selembayung kali ini, musik memiliki peran yang lebih. Ada 12 lagu yang dinyanyikan di beberapa adegan tertentu yang kesemua lagu itu diciptakan Matrock,’’ ucap Fedli Ketua Teater Selembayung tersebut. Diakui Fedli, pementasan Opera Primadona adalah pementasan dengan durasi terpanjang dari pementasanpementasan sebelumnya dalam dekade 17 tahun. ‘’Pementasan yang berdurasi hampir tiga jam ini, adalah sebagai sebuah tantangan bagi kelompok kami untuk melakukan sesuatu yang di luar kebiasaan Teater Selembayung yang selama ini menggarap naskah-naskah pendek,’’ jelasnya. Ditambahkan Fedli, akhirnya berbagai upaya dan solusi yang harus kami susun guna menjaga suguhan pemenentasan tetap memikat dan menarik. Dalam hal itu disebutkan Fedli, kerja sama semua elemen sangat diperlukan baik sutradara, aktor, penata musik, penata artistik, penata kostum, penata lampu, penata make up, kru panggung dan lainlainnya. Diakui Fedli juga, hal tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah dengan
halaman 63
hal ini ada juga hiburannya di samping konflik-konflik yang tajam. ‘’Pada bagian akhirnya bagus sekali menurut saya, bagaimana mengakhiri sebuah pertunjukan dengan simbolik. Menarik,’’ ucapnya. Pada kenyataannya meskipun durasi pementasannya panjang tapi penonton terlihat tidak merasa jenuh. Berbagai triktrik yang disuguhkan sutradara, bermula dari penempatan tokoh yang terasa pas dan ditunjang oleh setting panggung serius dan sangat menunjang, hingga menjadi sebuah wajah baru yang segar dalam pertunjukan teater di Riau.*** (red. Sept.13)
tingkat kerumitan yang lumayan tinggi, misalnya bagaimana perubahan set dekor dalam 26 adegan, pergantian kostum, pencapaian tata cahaya. ‘’Tapi, ya itulah tantangannya,’’ tegasnya. Dia juga berharap, semua pendukung pementasan tetap bersemangat dan tetap saling berkoordinasi agar pementasan ke tiga pada Sabtu (31/8), malam tadi, tetap mengalir dan penonton bisa betah sampai akhir seperti seperti malam pertama dan ke dua. Rida K Liamsi, penyair dan budayawan Riau yang turut hadir menyebutkan upaya yang dilakukan Teater Selembayung adalah rangka mendidik penonton untuk mencintai teater. Terkait dengan pementasan, dia mengatakan bagus karena sutradara mengemas pertunjukan sesuai dengan selera penonton di Riau dalam
halaman 64
www.tokobuku171.com www.tokobuku171.com
www.tokobuku171.com
www.tokobuku171.com
“...Nyalakan Imajinasi dengan Membaca Buku...“
Kantor Pusat
Pusat Penjualan Pekanbaru
: Jl. HR Soebrantas Km 10,5 Panam, Pekanbaru - Riau
: Kompleks Metropolitan City Giant, Blok A 19 & 20, Jl. HR Soebrantas Km 12
Dumai
: Jl. Jend. Sudirman No. 201, Dumai - Riau Telp (0765) 439 171
Batam
: Gedung Graha Pena Batam Jl. Raya Batam Centre Teluk Jering, Batam Kota Kode Pos 29461 Telp Graha Pena (0778) 462 996
Tanjung Pinang
: Jln Di. Panjaitan Km 9, Plaza Bintan Centre Blok M No. 15, Tanjung Pinang Kepri Telp (0771) 7447039
Padang Sidempuan : Jl. Medan Merdeka, Depan SMAN 2 Padang Sidempuan Telp.081260012768 Bukit Tinggi
halaman lxv : Ramayana Bukit Tinggi - Lantai Dasar
halaman lxvi