Majalah Sagang Edisi 181

Page 1

No. 181 OKTOBER 2013 tahun XV www.majalahsagang.com Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir) Cham

Yayasan Sagang dan Anugerah 2013 untuk Seniman, Budayawan Catatan budaya:

Menuju Pusat Kesenian dan Kebudayaan :Catatan Kebudayaan, menjelang Anugerah Sagang 2013

Esei:

- Mitos Tentang Petalangan dalam Bujang Tan Domang (Kajian Mitos Roland Barthes) oleh Alvi Puspita

- Melihat Kelahiran Kebangkitan Teater Modern Indonesia dalam “Opera Primadona” oleh Husin

- Dari Hingga ke Kritik Sebagai… (Obat Sekaligus Racun) oleh Dantje S Moeis

Cerita-pendek C i d k terjemahan j h Warna Kelabu oleh James Purdy Sajak: Syafrizal Sahrun Hadiah Nobel: Dari Governor General’s Award hingga ke Nobel Prize Alice Munro Meraih Nobel Sastra 2013 Teater:

Drama Satu Babak Bulan Bujur Sangkar Karya Iwan Simatupang Rehal : Seni Setelah Berakhir

halaman ha h ala lama man KU KULITi K LITi


"SHOW OFF YOUR BUSINESS!" mari kami bantu untuk mencetak media informasi ANEKA RAGAM usaha anda

PAKET PENDIDIKAN - PAKET CSR - PAKET PROYEK PAKET INFO PRODUK - PAKET CETAKAN UMUM - PAKET SCJJ PAKET INFO PRODUK

Menginformasikan produk yang dijual tidak selalu memasang iklan saja, anda perlu memvariasikannya dengan brosur, katalog dan bentuk selebaran lainnya. Pastikan anda mencetak info produk tersebut di tempat kami, dapatkan kerjasama dalam bentuk penyebaran info tersebut dengan menyisipkan via koran-koran kami (Riau Pos / MX / Pekanbaru Pos / Dumai Pos) atau penyebaran di tempat khusus yang anda inginkan. Kami siap membantu, dapatkan juga paket-paket khusus lainnya berupa percetakan info produk + publikasinya di koran-koran kami. syarat dan ketentuan berlaku

MURAH, CEPAT, BERJARINGAN LUAS

Percetakan Riau Pos Grafika Divisi Komersial Printing Hubungi Kami: Gedung Riau Pos Jl.HR Soebrantas Km 10,5 Panam-Pekanbaru Office +62 761 - 566810 Fax +62 761 - 64636 Mobile 081268435929, 081365720503, 081378757569, 085265483504

Bank Riau KCP Panam 134-08-02010 Bank Mandiri Ahmad Yani-Pekanbaru 108-000-126-1990 An: PT Riau Graindo E-mail riauposgrafika@yahoo.com halaman KULITii


Daftar Isi Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 181 OKTOBER 2013 tahun XVI

Pertunjukan Seni Teater Mahasiswa Seni Teater AKMR berjudul Warning Karya Husin, S.Sn. Foto Facebook @uchien.chien

Yayasan Sagang dan Anugerah 2013 untuk Seniman, Budayawan ..................2 Catatan-Budaya Menuju Pusat Kesenian dan Kebudayaan :Catatan Kebudayaan, menjelang Anugerah Sagang 2013 ...............6

Esei - Mitos Tentang Petalangan dalam Bujang Tan Domang (Kajian Mitos Roland Barthes) oleh Alvi Puspita................................... 8 - Melihat Kelahiran Kebangkitan Teater Modern Indonesia dalam “Opera Primadona” oleh Husin ............................................ 17 - Dari Hingga ke Kritik Sebagai… (Obat Sekaligus Racun) oleh Dantje S Moeis ............................. 19 Cerita-Pendek Terjemahan Warna Kelabu oleh James Purdy.........25 Sajak - Syafrizal Sahrun ................................. 38 Hadiah Nobel Dari Governor General’s Award hingga ke Nobel Prize, Alice Munro Meraih Nobel Sastra 2013 .....................45 Teater Drama Satu Babak Bulan Bujur Sangkar Karya Iwan Simatupang ........49 Rehal - Seni Setelah Berakhir ...........................62 Ilustrasi Ilustrasi halaman 23 karya Purwanto

Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Ngatenang Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Khazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Manager Keuangan: Sri Herliani. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


tajuk

Yayasan Sagang dan Anugerah 2013 untuk Seniman, Budayawan embalik-balik halaman Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-dua tahun 1991, dinyatakan bahwa kata Anugerah adalah bermakna, “Pemberian dari pihak atas kepada orang bawah”. Dalam konteks pemberian anugerah “Sagang” yang berlangsung untuk ke 18 kalinya ini (diberikan pada bulan tertentu di setiap tahun). Kami yakin makna seperti di atas tidaklah begitu “pas” dengan yang dimaksud oleh yayasan “Sagang” dan kami coba menerjemahkan lagi kalimat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut sebagai: sebuah penghargaan yang diberikan oleh sebuah lembaga dalam hal ini, Yayasan “Sagang” yang layak dan berkemampuan, untuk memberikan penghargaan (apresiasi), kepada seniman secara individu ataupun kelompok yang telah berupaya keras dalam menghasilkan karya kreatif yang bermanfaat dan berpengaruh bagi tumbuh kembangnya kebudayaan Melayu secara khusus dan kebudayaan nasional secara lebih luas lagi.

halaman 2

Definisi anugerah ini sejalan dengan definisi di dalam bahasa Inggris. Definisi di dalam bahasa Inggris ini diambil dari bahasa asli (Yunani) yaitu “Charis” yang berarti “Free gift” (pemberian cuma-cuma). Definisi ini berdasarkan konkordansi (asas keselarasan) Yunani-Inggris (J.B. Smith). Sebagai langkah awal proses penjaringan nama-nama atau lembaga yang akan dipertimbangkan menjadi penerima anugerah di tahun ini seperti juga yang diberlakukan pada tahun-tahun sebelumnya, Yayasan Sagang kembali membuka peluang sebesar-besarnya kepada masyarakat untuk mengusulkan seniman dan budayawan sebagai nominator anugerah sagang 2013. Ini dilakukan sebagai apresiasi atas karya dan kerja keras para pelaku seni di bumi melayu lancang kuning. Seperti yang disampaikan Ketua Yayasan Sagang, Kazzaini Ks, melalui berbagai media massa, Ahad (30/6) di Pekanbaru. Menurutnya, panitia sudah memulai persiapan untuk kembali menganugerahkan penghargaan


tertinggi kepada seniman dan budayawan sesuai kategori penilaian. “Untuk itu, kita mengimbau kepada masyarakat yang peduli akan pengembangan seni dan budaya melayu agar dapat memberikan usulan,’’ papar Kazzaini. Untuk katagori Anugerah Sagang 2013, dia mengatakan kategori yang dinilai tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Dimana, tujuh kategori masih akan menghiasi apresiasi budaya yang sudah masuk ke tahun 19 tersebut. Katagori Anugerah Sagang 2013 antara lain seniman/budayawan pilihan Sagang, buku pilihan Sagang, karya non-buku pilihan Sagang, institusi lembaga seni budaya pilihan Sagang dan seniman/ budayawan serantau pilihan Sagang. Selain itu katagori lainnya adalah karya jurnalistik budaya pilihan Sagang dan karya penelitian budaya pilihan Sagang. ‘’Para seniman/budayawan, buku, karya nonbuku, institusi/lembaga, seniman/ budayawan serantau, karya jurnalistik budaya dan karya penelitian budaya yang diusulkan atau mencalonkan diri dan mengirimkan usulan beserta data yang diperlukan ke Panitia Anugerah Sagang 2013 jelasnya. Dari beberapa katagori tersebut, tambah Kazaini memberikan peluang kepada seniman dan budayawan untuk mendapatkan apresiasi atas hasil karyanya. Sehingga, dapat menjadi catatan sejarah dalam pengembangan budaya sebagai warisan sejarah. Dia menilai apresiasi masyarakat setiap tahunnya semakin baik. Ini terlihat dengan sering munculnya nama-nama baru dengan karya yang berkualitas. Kondisi tersebut diharapkan dapat

terus bekembangan dalam memperkaya khasanah budaya melayu di Riau. Setelah melewati beberapa tahapan, akhirnya Yayasan Sagang melalui penilaian dewan juri menetapkan dan mengumumkan para Nominator Penerima Anugerah Sagang 2013. Penilaian akhir penetapan para nominator ini, dilakukan dalam rapat dewan juri Sabtu (5/10), di Gedung Riau Pos, Pekanbaru. Ketua Dewan Juri yang juga Ketua Dewan Penasehat Yayasan Sagang Rida K Liamsi menyatakan, dalam penilaian kemarin, terjadi perdebatan panjang dan alot di kalangan dewan juri. Adapun nama-nama dari para nominator penerima anugerah “Sagang” tahun ini adalah: Kategori Seniman/Budayawan Pilihan Sagang: - Gde Agung Lontar (sastrawan) - Fedli Aziz (teaterawan/sutradara) - Hang Kafrawi (akademisi/sastrawan/ teaterawan) - Harry B Koriun (sastrawan) - Junaidi (akademisi/kritikus sastra) - Kunni Masrohanti (penyair/teaterawan/ sutradara) - Muhammad Amin (sastrawan) - Musa Ismail (Sastrawan) - Prof. Suwardi MS (Budayawan) Kategori Buku Pilihan Sagang: - Numbai Antologi Cerpen (karya Bambang Kariyawan) - 99 Puisi Muhammad Asqalani EnEsTe (karya Muhammad Asqalani EnEsTe) - Ayah Keduaku (karya novel Muhammad Amin) - Diaspora Melayu, perantauan dari Riau ke Tanah Semenanjung

halaman 3


- (karya Prof. Suwardi MS) - Destinasi Terakhir Bapak (antologi puisi karya Parlindungan) - Kemana nak Melenggang (antologi puisi karya Jefry Al Malay) - Sastra dan Kemiskinan (kritik sastra oleh Dessy Wahyuni) Karya non Buku Pilihan Sagang: - Sayang Sasuku 2 Kisah Cinta Arya Nazel Film (karya Ikhwan Fitra MW) - Album Musik Blacan Aromatic Ethnic Project (karya Zalfandri Zainal/Mat Rock) - Pementasan Teater Sengketa Cinta Prod. Rumah Sunting (sutradara Kunni Masrohanti) - Pementasan Teater Protagonis produksi Sanggar Matan (sutradara Monda Gianez) - Pementasan Teater Opera Primadona produksi Sanggar Selembayung (sutradara Fedli Aziz) Kategori Institusi atau Lembaga Seni Budaya Pilihan Sagang: - Keletah Budak (sanggar Teater) - Komunitas Pragraf (komunitas Penulis, Pekanbaru) - Bathin Galang (Sanggar Seni Bokor, Meranti) - Lisendra Dua Terbilang (sanggar seni UIR,Pekanbaru) - Sikari/Sindikat Kartunis Riau (Komunitas Perupa Pekanbaru) Anugerah Serantau Pilihan Sagang: - Abdul Kadir Ibrahim (Sastrawan Tanjungpinang Kepri) - Asizal Noor (Penyair/sastrawan Jakarta) - Prof. Henri Chambert Loir (budayawan

halaman 4

Prancis) - Prof. Margareth Kartomi (budayawan Australia) - Prof. Zainal Burhan (budayawan Malaysia) Karya Jurnalistik pilihan Sagang: - Gendang Nafiri Generasi tak Terputus diselamatkan Bidin (Parlindungan Majalah Venus) - Pantun Penyemangat Kerja Itu Tinggal Kenangan (Novry Yandi, Pekanbaru MX) - Genggong Enou, Alat Musik Tradisional Kampar yang Nyaris Punah dengan Romantis si Pemanggil Gadis (Kunni Masrohanti, Riau Pos) - Melihat Tradisi Buka Lubuk Larangan di Kenegerian Padang Sawah Kampar Kejujuran dan Seutas Tali (Gema Setara, Riau Pos) - Kehidupan Pengambil Madu di desa Pusako, Siak Berkah Lebah di Tengah Malam (Erwan Sani, Riau Pos) Penelitian Budaya Pilihan Sagang: - Tidak ada nominator. Ketua Dewan Juri yang juga Ketua Dewan Penasehat Yayasan Sagang Rida K Liamsi menyatakan, dalam penilaian kemarin, terjadi perdebatan panjang dan alot di kalangan dewan juri. Terjadinya perdebatan ini, terutama untuk beberapa kategori, antaranya pada kategori Seniman/ Budayawan Pilihan Sagang, Kategori Buku Pilihan Sagang, Kategori Karya Non-buku, dan Karya Penelitian Pilihan Sagang. ‘’Untuk beberapa kategori, terjadi perdebatan sengit. Untuk Seniman dan Budayawan Pilihan Sagang misalnya, dari sekitar 40 nama yang muncul, memakan waktu


cukup lama untuk mengerucutkan menjadi sepuluh nama,’’ jelas Chairman Riau Pos Group ini. Selain itu, tambahnya, pada Karya Buku Pilihan Sagang perdebatannya juga seru. Karena susah menemukan kata sepakat, akhirnya yang biasanya karya buku hanya ada lima nominator, untuk tahun ini ditetapkan tujuh nominator. Katanya lagi, perdebatan yang paling sengit terjadi pada penetapan Kategori Karya Penelitian. Pada kategori ini, terjadi perbedaan pendapat yang cukup tajam. Untuk kategori ini, perdebatan bukan pada karya mana yang patut dijadikan nominator, tapi antara perlu atau tidak adanya nominator. Sebagian juri berpendapat, harus ada nominator. Sebagian lagi menyatakan, untuk apa dipaksakan, bila memang tak memenuhi kriteria yang diinginkan dewan juri. ‘’Akhirnya, untuk kategori karya penelitian, untuk tahun ini dewan juri sepakat untuk tanpa nominator. Alasannya, dari sejumlah karya yang ada, dinilai belum memenuhi kriteria sebagaimana yang diinginkan Yayasan Sagang selaku penyelenggara kegiatan ini. Jadi, untuk tahun ini Kategori Karya Penelitian Budaya Pilihan Sagang tidak ada penerimanya,’’ jelas Penulis Kumpulan Puisi Ombak Sekanak ini. Sedangkan untuk Kategori Penelitian Budaya Pilihan Sagang 2013 tidak ada nominator. “Dari kesemua kategori karya pilihan Sagang ini, untuk Kategori Penelitian Budaya dengan pertimbangan tak ada yang memenuhi kriteria, tahun ini tidak ada nominatornya. Berarti, untuk 2013 ini, untuk kategori Karya Penelitian Pilihan Sagang tidak ada penerimanya,” tegas Rida. Dengan telah diumumkannya para nominator ini, Rida, mengajak berbagai pihak, terutama kalangan seniman dan budayawan untuk ikut memberi masukan dan

saran. ‘’Sumbang saran dari berbagai kalangan diperlukan,” ujarnya. Nah, setakat ini. Dari deretan namanama di atas, bagi berpandangan jeli, jauh dari pretensi tertentu terlebih lagi di luar pandang kepentingan kebudayaan, tampaklah beberapa nama yang sangat layak sebagai pengisi ruang kategori yang sudah ditetapkan. Dan hasil tersebut berdasarkan penilaian final dari dewan juri adalah sebagai berikut: Kategori Seniman/Budayawan Pilihan Sagang: Prof. Suwardi MS. (Budayawan) Kategori Buku Pilihan Sagang: Ayah Keduaku. (Karya novel Muhammad Amin) Karya non Buku Pilihan Sagang: Album Musik Blacan Aromatic Ethnic Project. (Karya Zalfandri Zainal/Mat Rock) Kategori Institusi atau Lembaga Seni Budaya Pilihan Sagang: Sikari/Sindikat Kartunis Riau. (Komunitas Perupa Pekanbaru) Anugerah Serantau Pilihan Sagang: Abdul Kadir Ibrahim. (Sastrawan Tanjungpinang Kepri) Karya Jurnalistik pilihan Sagang: Melihat Tradisi Buka Lubuk Larangan di Kenegerian Padang Sawah Kampar Kejujuran dan Seutas Tali. (Gema Setara, Riau Pos) Selamat bagi penerima anugerah.*** (redaksi)

halaman 5


catatan budaya

Menuju Pusat Kesenian dan Kebudayaan :Catatan Kebudayaan, menjelang Anugerah Sagang 2013

JACQUES DERRIDA dan Milan Kundera mengemukakan bahwa meskipun pengalaman akal merupakan pengalaman diri sendiri, tetapi sifatnya tetaplah relatif belaka. Karena itu kedua orang hebat ini menawarkan pemikiran-pemikiran baru sebagai “pengetahuan” baru bagi dunia yang relatif itu. Seniman pencipta, sebenarnya berada dalam usaha di locus (tempat) yang disebutkan oleh Derrida dan Kundera itu. Seorang seniman pecipta; koreografer, composer, sastrawan, pelukis, dalam niat akal-nya yang awal ketika mencipta seni pastilah membuat sesuatu yang baru, genre (jenis) maupun ide. Ketika lahir genre seni pantun, zapin, gendang-gong, masyarakat biasa maupun masyarakat seni akan menganggapnya sesuatu yang “baru”. Kalau kita mau menyimak, bahwa setiap zaman akan lahir pencipta seni yang mewakili suatu kesenian yang sifatnya “baru” itu. “Pusat” kesenian seharusnya bertolak dari tawaran Derrida dan Kundera tentang pemikiran “pengetahuan” baru itu, jika tidak penciptaan kesenian itu menjadi biasa-biasa saja, refetitif (pengulangan),

halaman 6

tidak menjadi pemikiran “pengetahuan” yang baru. “Pusat” kesenian tidak hanya sekadar banyaknya jumlah kesenian (kuantitas), atau ramainya penampilan (event) kesenian yang diadakan maupun dira’ikan, akan tetapi akan menjadi tempat mata dan telinga senantiasa menuju (focus) dan sebagai bujanngi zamannya, sebagaimana halnya ka’bah “semacam” pusat religious umat Islam, walaupun “hati” secara makrifat merupakan “pusat” religious yang hakiki, namun dunia kesenian adalah dunia nyata, dan bukan dunia fiktif, walaupun dasar pikiran untuk menciptakannya dimulai dari konsep “dunia” fiktif imajinatif. Pekanbaru, Riau, yang “diimpikan” atau dihajati (?) sebagai “pusat” kesenian Melayu di Asia Tenggara, jika dihitung dari penampilan atau pera’ian atau banyaknya seni yang diciptakan, sudahkah menjadi “pusat” kesenian? Harus ada penelitian atau catatan yang menyatakan tentang hal itu, dan penelitian atau catatan pada kesenian yang berada di luar Pekanbaru, Riau, sehingga ada data yang nyata


Apresiasi dan Peluncuran buku Ombak Sekanak dan Rose karya Rida K Liamsi, Foto Riau pos Edisi Minggu 20 Okober 2013

(pasti dan jelas) yang kemudian menjadi suatu kesimpulan. Jika tidak, beberapa penciptaan kesenian saja “seperti” yang ditawarkan Derrida dan Kundera itu lahir, akan menjadi “pusat” kesenian (tempat mata terus tertuju) yang sesungguhnya, yakni pemikiran-pemikiran “pengetahuan” baru. Sebagai bahan referensi, Majalah Budaya Sagang mencatat kesenian, sebagai event (penampilan, dira’ikan) maupun yang lahir, paling kurang yang dapat dilihat di “depan mata”, yakni Anjung Seni Idrus Tintin dan karya-karya seni yang dilahirkan. Di antaranya adalah: beberapa pertunjukan teater seperti KOOR (Kidung Orang Orang Rakus), Sengketa Cinta, Protagonis, Segera, Opera Primadona, Rarak Cipta Musik Dewan Kesenian Riau, Musik Inovatif Berdasarkan Tradisi (Sastra) Lisan

Riau (Taman Budaya, Dinas Pariwisata Riau), karya-karya musikm, teater, dan tari mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR), karya fiksi di beberapa koran dan majalah di Pekanbaru, Riau; dan yang harus menjadi catatan, selain penerbitan beberapa buku fiksi, juga lahirnya Ombak Sekanak Rida K Liamsi (otobiografi) Rida K Liamsi, dan Rose, Selected Poems, buku puisi pilihan karya Rida K Liamsi. Pada segala itu, sebagai renungan, Milan Kundera mengingatkan kita pada “tandatanda” dan “pencarian” bagi penciptaan kesenian yang baru itu: “Qui se cherchent agrave; travers la memoire des vieux signes”. Yaitu, “Siapa yang mencari lebih jauh; akan menempuh ingatan-ingatan tentang tanda-tanda kuno.” ***

halaman 7


esei

Mitos Tentang Petalangan dalam Bujang Tan Domang (Kajian Mitos Roland Barthes) oleh Alvi Puspita

Latar Belakang Buku Bujang Tan Domang Sastra Lisan Orang Petalangan merupakan sebuah buku hasil kerja Tenas Effendy yang disunting oleh Al Azhar dan Henri Chambert-Loir. Cetakan pertama diterbitkan pada tahun 1997 oleh Yayasan Bentang Budaya bekerjasama dengan Ford Foundation dan The Toyota Foundation. Cetakan kedua diterbitkan oleh Ecole francaise d’Extreme-Orient dan Yayasan Obor Indonesia pada bulan Desember tahun 2008. Buku ini terdiri dari tiga bagian utama. Bagian pertama adalah prakata dari Henri Chambert-Loir yang

halaman 8

ia sertai dengan ringkasan cerita Bujang Tan Domang. Bagian kedua merupakan pendahuluan oleh Tenas Effendy yang berisikan sedikit pemaparan tentang metode yang ia gunakan serta sedikit penjabaran tentang Petalangan, Nyanyi Panjang dan kandungannya. Bagian ketiga yaitu cerita Bujang Tan Domang yang terdiri dari teks dalam bahasa Petalangan dan teks terjemahan Indonesia. Sedangkan bagian buku berikutnya adalah daftar kata Petalangan dan ringkasan. Buku ini mengangkat sebuah teks yang hegemonik milik masyarakat Petalangan


di Riau yaitu teks Nyanyi Panjang tombo. Nyanyi Panjang tombo berisikan kisah perjalanan tokoh wira pesukuan (cerita asal usul) , hukum-hukum adat, tunjuk ajar serta batas-batas tanah wilayat. Oleh karena itu teks ini sangat berperang penting dalam masyarakat pemiliknya sehingga pewarisannya pun harus sesuai dengan ketentuan adat Petalangan. Hanya orang-orang tertentu saja yang boleh menyampaikan Nyanyi Panjang tombo setelah serangkaian proses seleksi ketat yang dilakukan secara adat. Persoalannya adalah teks ini diangkat ketika kondisi Petalangan dan Riau sedang mengalami pergeseran dan bertolak belakang dengan situasi yang dulu pernah dialami masyarakat Petalangan dan Riau. Hal ini sebagaimana yang digambarkan oleh Tenas Effendy pada bagian pendahuluan buku. Selain hal tersebut, teks Nyanyi Panjang tombo Bujang Tan Domang diubah dari lisan ke tulisan dengan metode penyempurnaan. Tenas dengan para narasumber terpilih bersama-sama mengadakan musyawarah untuk melengkapkan ingatan mereka pada teks tersebut untuk kemudian diperbaiki dan ditranskripkan ke dalam tulisan yang terangkum dalam buku Bujang Tan Domang, Sastra Lisan Petalangan. Oleh karena itu, Bujang Tan Domang dijadikan objek penelitian dengan menggunakan teori mitos Roland Barthes. Menurut Barthes, segala sesuatu yang bersifat naratif mengandung mitos di dalamnya . Barthes memaparkan bahwa mitos adalah sistem penandaan (sistem semiologi) yang merupakan sebuah tipe wicara untuk menjalankan fungsi utamanya mengubah sejarah menjadi alam dengan tujuan untuk membangun

mitos dan menancapkan ideologi tertentu. Dalam sistem semiologi itu terdapat bentuk (form) dan konsep (concept) yang melakukan proses saling petak umpet. Konsep memanfaatkan bentuk namun bentuk tidak dikuras habis, ia masih meninggalkan sisa-sisa. Tapi sisa-sisa itu dibuat menjadi tidak kelihatan oleh konsep sehingga yang tertinggal hanyalah maknamakna sebagaimana yang diingini konsep. Mengikuti asumsi dari teori mitos Roland Barthes, maka buku Bujang Tan Domang dilihat sebagai sebuah sistem semiologi untuk mengungkapkan mitos, ideologi dan kepentingan yang terdapat di dalamnya. Peneliti disini memposisikan diri sebagai seorang mitolog yang tugasnya menghentikan permainan pintu berputar antara bentuk dan konsep kemudian menganalisis satu-satu bagian-bagian tersebut. Setelah itu dicari hubungan antara keduanya sehingga dapat menemukan distorsi-distorsi yang dilakukan untuk kemudian bisa mengungkapkan ideologi dan kepentingan yang terkandung didalamnya. Rumusan Masalah Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada latar belakang maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah sistem semiologi pada buku Bujang Tan Domang 2. Ideologi dan kepentingan apakah yang terdapat dari buku Bujang Tan Domang Landasan Teori Penelitian ini menggunakan teori mitos Roland Barthes. Teori mitos Roland Barthes merupakan salah satu bentuk pengembangan semiologi yang ia lakukan sehingga semiologi memiliki kemungkinan

halaman 9


yang lebih luas untuk membedah sesuatu termasuk produk-produk budaya massa seperti film, iklan, pertunjukan gulat, foto dan lain-lain. Berangkat dari konsep dasar semiologi yang dicetuskan oleh Saussure, Barthes melakukan beberapa pengembangan. Gagasan Saussure pada dasarnya berkisar pada hubungan antara penanda dengan petanda dan antara tanda dengan realitas. Dia mengabaikan bagaimana relasi ketika tanda bertemu dengan pengguna tanda baik itu pembaca ataupun penulis. Barthes, sebagaimana dijelaskan dalam Fiske (2004: 117), mengembangkan lebih lanjut gagasan Saussure dengan menekankan pentingnya interaksi antara pengguna tanda dengan tanda guna menghasilkan makna. Sebuah interaksi yang dikenal dengan sebutan penandaan (signification). Barthes memaksudkan teorinya ini untuk membongkar budaya massa atau budaya media, tapi penelitian ini menggunakannya untuk membongkar sebuah karya sastra lisan yang telah ditulisankan. Hal ini karena melihat latar belakang teks Bujang Tan Domang serta bagaimana teks tersebut ditampilkan kembali. Pembahasan Bujang Tan Domang merupakan sistem semiologi yang terdiri dari dua tataran sistem, yaitu sistem linguistik dan sistem mitis. Pada sistem linguistik terdapat makna konotasi sedangkan pada sistem mitis terdapat makna konotasi. Makna denotasi terdapat pada bentuk sedangkan makna konotasi terkandung dalam konsep. Pada buku tersebut, yang merupakan bentuk adalah bagian teks kisah Bujang Tan Domang yang telah ditranskripsikan dari lisan ke tulisan, dari bahasa Petalangan

halaman 10

ke dalam bahasa Indonesia, sedangkan konsep terdapat pada bagian pendahuluan buku dan latar historis tempat buku diterbitkan (Riau). Adapun ideologi dan kepentingan dari buku ini dapat ditemukan dari pembacaan terhadap hubungan antara bentuk dan konsep, makna denotasi dan makna konatasi, pembacaan terhadap hubungan antara sistem linguistik dan sistem mitis. Sistem Linguistik dan Makna Denotasi Teks kisah Bujang Tan Domang bercerita tentang perjalanan hidup Bujang Tan Domang, seorang tokoh wira yang merupakan cikal bakal dari pesukuan Monti Raja, salah satu pesukuan pada masyarakat Petalangan. Latar cerita tersebut adalah pada zaman dahulu kala saat masyarakatnya masih masyarakat kerajaan. Kisah tersebut terdiri dari makhluk-makhluk, peristiwaperistiwa, ruang dan waktu. Berdasarkan pembacaan pada makhluk, ruang dan peristiwa dapat dipaparkan sebagai berikut: Makhluk: manusia dan bukan manusia bangsawan dan rakyat wira dan bukan wira baik dan jahat Ruang: alam dunia dan alam lain bumi dan lawang langit Waktu: zaman dahulu kala ketika tatanan, kejadian dan keadaan jauh berbeda dengan sekarang Persitiwa: perang dan damai perjalanan keharusan dan perjalanan pilihan sadar


Dari semua itu, maka makna denotasi dari buku ini bahwa ada sebuah buku yang disusun oleh Tenas Effendy. Buku tersebut berisikan kisah tentang Bujang Tan Domang yang merupakan tokoh wira dari pesukuan Monti Raja, salah satu anggota pesukuan masyarakat Petalangan. Kisah Bujang Tan Domang terjadi pada zaman dahulu kala, ketika manusia masih memiliki hubungan yang erat dengan yang bukan manusia, ketika alam dunia masih bersangkut paut dengan alam sana. Bercerita tentang perjalanan yang dialami oleh tokoh wira Bujang Tan Domang yang kelak menjadi cikal bakal pesukuan Monti Raja yang bertempat di Sialang Kawan. Kehidupan masyarakat dalam cerita adalah masyarakat yang hidup dalam sistem kerajaan. Ada raja, permaisuri, putri, hulubalang, menteri dan dayang-dayang. Di dalam kisah juga penuh dengan penjelasan hukum-hukum adat dan undang-undang serta segala petatah-petitih dan tunjuk ajar. Kawasan tempat tinggal mereka dalam cerita adalah kawasan di sepanjang Laut Ombun (Sungai Kampar sekarang) yang dulu masih dipenuhi hutan lebat. Sistem Mitis dan Makna Konotasi Pada sistem mitis terdapat konsep. Konsep terdiri dari intensi, motivasi dan konteks. Intensi terdapat pada bagian prakata dari Henri Chambert-Loir, sedangkan motivasi terdapat pada bagian pendahuluan Tenas Effendy. Adapun yang merupakan konteks adalah historis Riau dan Melayu, Petalangan dan Riau. Latar historis yang penting di belakang Bujang Tan Domang adalah masa panjang keterjajahan yang dialami oleh Riau sebagai provinsi dan puak Melayu setelah berabadabad pula hidup dalam masa kegemilangan

dan kejayaan imperium Malaka. Hal tersebut selalu menjadi ingatan masa silam yang menjadi kobar semangat untuk pergerakan masa kini. Membandingbandingkan keterpurukan sekarang dengan kegemilauan masa dulu dan kemudian memunculkan semangat romantisme pada masa lalu itu. Berdasarkan pembacaan pada intensi, motivasi dan konteks serta dihubungkan dengan bentuk yang terdapat pada sistem linguistik, maka ditemukanlah makna konotasi dan mitos dari Bujang Tan Domang. Hal tersebut adalah bahwa buku Bujang Tan Domang merupakan salah satu usaha untuk menjadikan Petalangan sebagai sebuah mitos yang berhubungan erat dengan Riau dan Keriauan juga tentang Melayu. Mitos yang sengaja dibangun bahwa Petalangan adalah gambaran tentang Riau dan Melayu yang memiliki kemurnian dan keidealan namun telah dirusak. Petalangan dimitoskan sebagai representasi Riau. Ideologi dan Kepentingan Barthes, tidak mengeksplisitkan definisi ideologi dalam eseinya Myth Today. Namun, perspektif Barthes terhadap ideologi sama dengan Marx bahwa ideologi adalah sebuah kesadaran palsu dengan sebuah maksud tersembunyi atau kepentingan di belakangnya. Oleh karena itu, penelitian ini selain memaparkan ideologi yang terkandung dari penyusunan buku juga disertai dengan paparan kepentingan disebalik ideologi tersebut. Adapun maksud dari istilah ideologi yang digunakan, sederhananya adalah cara pandang atau hal-hal yang diyakini dan diperjuangkan, sedangkan kepentingan adalah tujuan disebalik hal-hal tersebut.

halaman 11


Ideologi Berdasarkan analisis terhadap sistem linguistik dan sistem mitis pada Bujang Tan Domang maka ditemukan dua ideologi utama dalam buku ini yaitu nasionalisme Riau dan penjunjungan nilainilai Melayu. Pada bagian pendahuluan, hal yang ditekankan Tenas adalah porakporandanya kehidupan masyarakat Petalangan baik secara struktural maupun kultural semenjak negara Indonesia menanca pkan kuasanya lewat undang-undang dan peraturan-peraturaan pengelolaan alam pada masa Orde Baru. Selain itu juga ditekankan tentang kebijaksanaan masyarakat Petalangan lewat adat dan budaya yang mereka miliki yang salah satunya adalah Nyanyi Panjang Bujang Tan Domang dengan seorang tokoh wira gagah bijaksana bernama Bujang Tan Domang. Bujang Tan Domang, pertama kali diterbitkan pada tahun 1997, bersamaan dengan masa-masa akhir pemerintahan Orde Baru dan di Riau juga sedang dihimpun kekuatan untuk melawan dominasi pusat yang puncaknya Gerakan Riau Merdeka pada tahun 1999. Hal ini bisa menjadi semacam garis merah, bawah Bujang Tan Domang bisa jadi adalah salah satu bentuk dari semangat perjuangan elite lokal Riau ketika itu. Grosby dalam bukunya Sejarah Nasionalisme memaparkan alur yang menarik tentang proses terbentuknya sebuah negara yang dimulai dengan kesadaran kolektif suatu kelompok yang kemudian menguat menjadi bangsa yang akhirnya semangat itu bisa mewujudkan sebuah institusi negara. Dan Bujang Tan Domang juga berada dalam alur yang seperti itu. Ingatan-ingatan dimunculkan. Sejarah-sejarah ditampilkan. Kegagahan

halaman 12

Bujang Tan Domang dikemukakan. Selain persoalan ini, hal yang cenderung dari buku Bujang Tan Domang adalah persoalan pengangkatan nilai-nilai, dan Petalangan ditampilkan sebagai gambaran dari masyarakat yang memiliki kemurnian nilai-nilai itu. Pada bagian pendahuluan, Tenas menyertakan kutipan isi Nyanyi Panjang Bujang Tan Domang yang berisikan tunjuk ajar. Hal ini bisa diartikan sebagai munculnya kesadaran-kesadaran akan persoalan penguatan jati diri dan munculnya kerinduan akan kemurnian akibat gempuran-gempuran nilai-nilai baru yang dibawa oleh peradaban gelombang kedua (industrialisasi) dan juga gelombang ketiga (teknologi informasi). Dalam konteks ini, maka apa yang dilakukan Tenas adalah usaha yang berhubungan dengan hal tersebut. Tenas adalah orang yang masih haqqul yakin akan kebertahanan keluhuran yang terkandung dalam nilai-nilai adat, tombo pesukuan, cerita-cerita rakyat dll sehingga usaha yang senantiasa ia lakukan adalah usaha-usaha untuk tetap mengangkat nilai-nilai dulu itu. Kepentingan Nasionalisme Riau semakin mencuat pada masa-masa akhir Orde Baru dan puncaknya adalah Gerakan Riau Merdeka pada tahun 1999. Dan buku Bujang Tan Domang terbit dalam rentang waktu itu dengan cara yang hampir sama yaitu memunculkan ingatan tentang kejayaan masa silam dan menyandingkannya dengan kepahitan kondisi masa kini. Namun, jika Gerakan Riau Merdeka berjuang lewat jalur politik maka Bujang Tan Domang lewat jalur budaya. Jika Gerakan Riau Merdeka berangkat dari kejayaan imperium Malaka, maka Bujang Tan Domang


bertolak dari kebijaksanaan, kewiraan dan kesejahteraan masyarakat lisan Petalangan (masyarakat marginal). Dan keduanya tetap bermuara pada semangat yang sama yaitu nasionalisme Riau. Menurut Suryadi (2008: 80,102-110), dari pelbagai bahan bacaan, munculnya Gerakan Riau Merdeka lebih disebabkan persoalan ekonomi terutama pembagian rezeki yang sangat tidak adil. Gerakan tersebut merupakan respon terhadap isuisu lokal, diantaranya, eksploitasi sumber daya alam, isu kerawanan pangan di Riau dan isu hubungan pusat-daerah tentang bagi hasil minyak. Jika melihat paparan pendahuluan pada Bujang Tan Domang, maka juga tersirat hal yang sama. Hal yang ditonjolkan Tenas pada bagian tersebut adalah persoalan tanah wilayat. Capaian akhirnya atau kepentingan utama dari semua itu adalah tentu untuk meningkatkan kesejahteraan hidup dari segi ekonomi. Pun juga, penjunjungan nilai-nilai Melayu, selain untuk persoalan penguatan jati diri juga sebenarnya berhubungan dengan persoalan ekonomi. Budaya bisa menjadi salah satu senjata untuk melakukan penawaranpenawaran tertentu yang bisa memberikan keuntungan kepada masyarakat pemiliknya atau pula kepentingan kepada pihak-pihak tertentu yang paham akan itu. Sisi Lain Adalah wajar ketika suatu puak, bangsa atau kaum kemudian melakukan sebuah bentuk perlawanan ketika ketidakadilan terjadi. Adalah wajar ketika kesadaran etnisitas menguat ketika ketimpangan dilakukan oleh negara. Adalah wajar juga ketika kegelisahan penguatan jati diri begitu menjadi saat gerak dunia

semakin cepat dan segala pintu terbuka. Karenanya menjadi berterima jika ideologi dan kepentingan Tenas Effendy dalam menyusun buku BTD adalah berkenaan dengan hal-hal tersebut, ketika Petalangan sengaja dimitoskan untuk kepentingankepentingan yang seperti itu dan juga atas kepentingan ekonomi. Namun, perlu dilihat juga bahwa pada Bujang Tan Domang juga terdapat distorsidistorsi. Distorsi-distorsi tersebut terdapat pada bentuk dan konsep. Di dalam bentuk (teks kisah Bujang Tan Domang), terdapat banyak tokoh, namun tokoh yang sengaja diangkat Tenas adalah tokoh wira Bujang Tan Domang. Sejak awal buku, kita selaku pembaca sudah digiring kepada tokoh itu. Padahal, selain tokoh wira, juga terdapat tokoh-tokoh lain dalam cerita diantaranya adalah tokoh rakyat jelata dengan mental inferior seperti Nek Lombut, Tuk Lemah, serta Bujang Kocik dan ibunya. Tapi, ada satu tokoh yang menarik yaitu Ando Kasian (Janda Kasihan), seorang janda tua miskin namun memiliki resistensi dan nilai tawar . Ia tidak serta merta menghamba-hamba pada raja, tidak membungkuk-bungkuk dan gemetaran ketika berjumpa dengan raja, dan tidak begitu saja menyerahkan apa yang ia miliki kepada raja apalagi jika raja menurutnya tidak memiliki sopansantun adat yang berlaku. Sosok Janda Kasihan ini adalah suara lain dari teks BTD yang sebenarnya memiliki daya juang tersendiri. Jika dikaitkan dengan konteks Riau dan Petalangan, semangat dan mentalitas Janda Kasihan sebenarnya malah lebih sangat radikal dan resisten dibandingkan sosok Bujang Tan Domang. Bujang Tan Domang adalah keturunan bangsawan dengan latar lingkungan yang memungkinkan dirinya untuk berkembang,

halaman 13


sedang gurunya adalah makhluk dari kayangan sehingga wajar jika ia tumbuh menjadi seorang wira dengan kekuatan dan kebijaksaan yang lebih dibanding yang lain. Sementara Janda Kasihan hanyalah golongan rakyat biasa, miskin, dan berumah di ujung kampung namun ternyata ia juga memiliki kebijaksanaan dan memiliki mentalitas yang kokoh dan tidak inferior. Pada akhirnya hal yang sangat penting dari keinginan akan perubahan dan perjuangan adalah persoalan mentalitas dan kesadaran akan potensi ‘Janda Kasihan’ yang sebenarnya ada pada setiap diri individu. Penghadiran sosok kewiraan Bujang Tan Domang di tengah situasi sekarang hanyalah semacam ilusi atau malah semacam menciptakan mentalitas ketergantungan, yaitu mentalitas tergantung dan berharap pada sebuah ‘sosok’ yang seperti Bujang Tan Domang. Sikap seperti itu tentu mematikan potensi ‘Janda Kasihan’ yang terdapat dalam setiap diri individu. Setidaknya ada tawaran lain dari teks BTD selain tawaran pemaknaan yang digiringkan oleh Tenas Effendy. Tawaran lain itu bahwa setiap diri individu baik jelata maupun bangsawan, baik di pinggir maupun di kota, baik terpelajar maupun tidak terpelajar ia bisa menjadi ‘wira’ dengan benteng pertahanan yang kuat terhadap segala gempurangempuran ataupun rayuan-rayuan yang datang, karena di dalam dirinya terdapat potensi untuk itu. Pada konsep, terutama bagian pendahuluan buku, jika paragraf-paragraf Tenas ditelisik lebih teliti maka akan ditemukan hal-hal yang paradoks. Disatu sisi Tenas mengangkat Petalangan dengan unsur kemurnian nilai-nilai yang mereka miliki. Namun disisi lain, secara tidak langsung Tenas diam-diam mengakui bahwa

halaman 14

masyarakat Petalangan sedang mengalami degradasi tertentu. Akhirnya, persoalan Petalangan adalah sebuah persoalan yang kompleks. Bukan hanya persoalan Petalangan dengan Negara (wacana yang dicoba hadirkan oleh Tenas), tetapi juga persoalan internal dalam masyarakat Petalangan itu sendiri seperti bagaimana persepsi mereka terhadap diri mereka, terhadap yang diluar diri mereka atau juga bagaimana pergeseran-pergeseran laku mereka terhadap kehidupan, serta juga bagaimana persepsi orang Melayu di luar Petalangan terhadap Petalangan. Oleh karena itu, nasionalisme Riau dan penjunjungan nilai-nilai Melayu yang lebih mengarah pada kepentingan ekonomi, perlu ditilik ulang lagi. Riau telah mendapatkan otonominya. Putera daerah juga telah memiliki kesempatan untuk duduk di pemerintahan. Bagi hasil minyak yang diberikan malah lebih besar dari yang dituntut. Lalu masih relevankah kesadaran etnisitas yang mewujud menjadi nasionalisme lokal? Masihkah kita dalam proses-proses men-daku dan men-kalian atau juga mendengung-dengungkan tentang kemurnian niali-nilai masa lampau? Karena tantangan yang mesti dijawab adalah sesuatu yang lebih besar dari itu. Tidak lagi oposisi lokal-pusat, atau perlawanan terhadap Jawa, tetapi bahkan pun perjuangan untuk tetap menjaga kesadaran dari segala kemungkinan bentuk penjajahan yang mungkin saja adalah putera daerah itu sendiri dan tentunya juga dunia global ini. Kesimpulan Buku Bujang Tan Domang merupakan sebuah buku yang politis dan ideologis. Teks kisah Nyanyi Panjang Bujang Tan


Domang adalah form yang dimanfaatkan concept (intensi, motivasi dan konteks) untuk membangun sebuah mitos bahwa Petalangan adalah representasi Riau. Pemitosan Petalangan sebagai Riau berhubungan dengan dua ideologi utama dalam buku ini yaitu nasionalisme Riau dan penjunjungan nilai-nilai Melayu. Kedua ideologi tersebut bermuara pada kepentingan ekonomi. Nasionalisme Riau adalah sebuah semangat untuk menuntut pusat (negara) agar melakukan pembagian hasil alam yang adil antara negara dan Riau sebagai provinsi. Penjunjungan nilainilai Melayu selain sebagai usaha untuk penguatan jati diri dalam era global, juga adalah sebuah strategi yang menjadikan budaya sebagai alat untuk memperoleh bantuan-bantuan yang bersifat ekonomi.

Daftar Pustaka Barthes, Roland.2004. Mitologi. Yogyakarta : Kreasi Wacana _____________ 2007. Petualangan Semiologi. Wening Udasmoro (ed.). Penerjemah: Stephanus Aswar Herwinarko. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Culler, Jonathan. 2003. Barthes. Alih bahasa: Ruslani. Yogyakarta : Jendela Effendy, Tenas. 2008. Bujang Tan Domang Sastra Lisan Orang Petalangan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Effendy. Tennas. 1997. Petalangan Society and Changes in Riau. In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition 153 (1997), no: 4, Leiden, 630647 Fatah, Eef Saefullah. 2002. Pengkhianatan Demokarasi Orde Baru. Bandung : Pt.

Remaja Rosda Karya Fiske, John. 2004. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Alih bahasa: Yosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim,Yogyakarta : Jalasutra Grosby, Steven. 2011. Sejarah Nasionalisme. Alih Bahasa: Teguh Wahyu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hamidy, UU dan Muchtar Ahmad. 1993. Beberapa Aspek Sosial Budaya Daerah Riau. Pekanbaru: UIR Press Harris, H.M. 2011. Langgam dengan Adatnya. Pekanbaru : Gurindam Press Hoed, Benny.H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu Jamil, Taufik Ikram dkk. 2001. Dari Percikan Kisah Membentuk Provinsi Riau. Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau Kang, Yonhee. 2005. Untaian Kata Leluhur : Marginalitas Emosi dan Kuasa Kata- Kata Magi di Kalangan Orang Petalangan Riau. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium sampai Imperium (Jilid 1). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Kleden, Ignas. 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Jakarta : Pustaka Utama Grafiti Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang : Indonesia Tera Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta Lan, Thung Ju dan M. 窶連zzam Manan (penyunting). 2011. Nasionalisme dan Ketahanan Budaya di Indonesia Sebuah Tantangan. Jakarta: LIPI Press dan Yayasan Obor Indonesia Lembaga Peneliti Universitas Islam

halaman 15


Riau. 2009. Masyarakat Hukum Adat Petalangan dan Hak-Hak Tanah Adat Tradisionalnya di Provinsi Riau. Pekanbaru: Universitas Islam Riau Mubyarto, dkk. 1993. Riau Menatap Masa Depan. Yogyakarta : Aditya Media ____________ 1992. Riau dalam Kancah Perubahan Ekonomi Global. Yogyakarta : Aditya Media Noth, Winfried. 1990. Handbook of Semiotics. USA: Indiana University Press. Parera, Frans.M dan T. Jakob Koekerits (penyuntung). Demokratisasi dan Otonomi Mencegah Disintegrasi Bangsa. Jakarta: Kompas Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna.Yogyakarta : Jalasutra Pudentia (ed.). 2008. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta : Asosiasi Tradisi Lisan Strinati, Dominic. 2007. Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Alih bahasa: Abdul Mukhid. Yogyakarta: Jejak Sunardi, ST. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta : Kanal Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Sastra Lisan. Surabaya : Citra Wacana Sujamto. 1990. Otonomi Daerah. Jakarta : Gahlia Indonesia Sumarsono, dkk. 1997. Sistem Pemerintahan Tradisional di Riau. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI Suryadi, Hery. 2008. Gerakan Riau Merdeka, Menggugat Sentralisme Kekuasaan yang Berlebihan. Yogyakarta : Pustaka Belajar Toffler, Alvin. 1988. Gelombang ketiga. Jakarta : Pt. Pantja Simpati

halaman 16

Triponas, Peter Pericles. 2003. Barthes dan Imperium Tanda. Alih bahasa: Sigit Djatmiko. Yogyakarta : Jendela. Turner, Ashley. 1997. Cultural survival, identity and the performing arts of Kampar’s suku Petalangan. In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition 153 (1997), no: 4, Leiden, 648671 Wibowo, Fred. 2007. Kebudayaan Menggugat. Yogyakarta : Pinus Yusuf, Yusmar. 2009. Studi Melayu. Jakarta: Wedatama Widya Sastra Zainuddin, M.Diah, dkk. 1987. Sastra Lisan Melayu Riau : Bentuk, Fungsi dan Kedudukannya. Pekanbaru : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.


esei

Melihat Kelahiran Kebangkitan Teater Modern Indonesia dalam “Opera Primadona” oleh Husin Penonton seakan terus diajak pada peristiwa sandiwara masa lalu. Keterlibatan penonton tidak hanya pada saat pertunjukan berlangsung, namun juga berada pada saat kelahiran sandiwara itu sendiri. seakan penonton ikut terlibat dan bertanggung jawab pada setiap persoalan yang dimainkan. Cinta, persahabatan, pengkhianatan, persaingan hidup, berbaur menjadi satu.

Naskah Lakon “Opera Primadona”, yang ditulis oleh Nano Riantiarno ini seperti mengisahkan tentang kehidupan sebuah grup yang lahir pada masa kebangkitan teater modern Indonesia (1925-1934). Periode kebangkitan teater modern adalah; Teater Miss Riboet’s Orion dan Teater Dardanella Opera. Di dalamnya memilki lika-liku kehidupan yang dialami oleh para pendukung grup, baik itu pemodal, sutradara, actor, penata artistic, penata rias busana, dan lain sebagainya. Oleh sutradara, Fedli Aziz disadur ulang sesuai dengan kebutuhan daerah Melayu. Hal ini dapat terdengar pada nama-nama tokoh, seperti Megat, Seroja, Mis Kecubung, Atan Sengat, dan lain sebagainya. Mereka sangat terkenal dan digemari oleh penonton pada masanya. Seperti yang terlihat pada adegan dalam pementasan

Opera Primadona di Gedung Seni Idrus Tintin, pukul 19.30, hari kamis-sabtu, 2931 Agustus 2013. Actor begitu disanjungsanjung oleh penonton jika permainannya bagus dan dapat menghibur penonton, sehingga setiap actor tidak bisa menolok pemberian bingkisan dari penonton. Bahkan penonton bisa-bisa menaruh hati pada actor. Seperti yang dialami oleh Seroja (Chairanny Putri) ia seorang Primadona baru dalam grupnya yang menggeser Mis Kecubung (Mimi Suryani) yang telah lama menyandang predikat sebagai Primadona. Setiap kali usai pementasan Seroja selalu didatangi oleh tiga orang pria yang berbeda suku. Ia didatangi oleh Raden Haryo (Sendi Alpagari) dari Jawa, Tuan Astuman (Kusnanto Eko Wibowo) dari Minang Kabau, dan Tuan Godam Pulungan (Roy Hendrikson) dari Batak.

halaman 17


Namun tidak satupun dari ketiga pria ini cintanya diterima oleh Seroja. Cinta Seroja hanya bertaut pada Abang Megat (Ekky Gurin Andika) yang telah dikenalinya sejak lama. Ketenaran Seroja membuat Mis Kecubung menjadi cemburu dan sakit hati, karena Mis Kecubung menganggap Seroja telah merayu suaminya, Tuan Rojali (Sujarhadi) seorang sutradara di dalam grupnya. Sehingga Seroja terpilih menjadi Primadona yang telah menggantikan posisinya. Mis Kecubung tidak bisa terima, ia harus menyingkirkan Seroja. Meskipun dengan bantuan seorang Dukun/Bomo (Rehulina Senuhaji), untuk diguna-guna. Cerita ini diawali dengan penampilan seorang biduan di depan kanan panggung yang menyanyikan lagu tempo dulu. Lalu layar terbuka, di atas panggung terlihat tempat tidur dan di sampingnya kursi goyang. Seorang Nenek (Seroja) sedang asyik membaca surat cinta dari Megat yang selalu disimpannya. Setiap kali Seroja rindu dengan Megat, ia selalu membaca surat dari Megat. Hal demikian pulalah yang membuat Atan Sengat (M. Fikri Satria Kamal), suami Seroja dilanda cemburu. Namun apalah daya, Atan Sengat tidak bisa marah. Karena dia sudah berjanji kepada istrinya untuk tidak marah, jika istrinya merindukan Megat. Dahulunya pernikahan mereka hanya siasat Mis Kecubung saja, supaya Seroja tidak dapat diganggu lagi oleh laki-laki lain. Padahal Seroja tidak mencintai Atan Sengat. Sekejap, suasana menjadi berubah. Penonton dibawa pada dimensi yang berbeda, dimensi masa lalu. Terlihat bangunan sett seperti awan besar di panggung, ada juga yang bergantungan. Tiga sosok Jin, yang berpakaian ala Persia keluar dari awan, mereka menari dan bernyanyi. di dalam nyanyian, mereka halaman 18

ingin menculik seorang putri yang cantik, untuk melampiaskan hawa nafsu Raja Jin. Dengan cepat mereka beranjak untuk melancarkan rencana penculikan. Dengan cepat sett kembali berubah. Terlihat seorang Putri Cina sedang kesal. Lalu ia memerintahkan pembantunya untuk menyediakan makanan kesukaannya. Pada saat pembantunya membawa makanan, datanglah sekelompok Jin ingin menculik Tuan Putri. Bermaksud ingin menculik Tuan Putri langsung dibatalkan, karena pembantunya lebih cantik. Keributan terjadi, Tuan Putri protes kepada Jin, kenapa bukan dirinya yang diculik. Namun Jin langsung mencela, ia mengatakan Tuan Putri seperti karung beras. Pada saat Jin hendak membawa, tibalah pendekar Melayu hendak menolong. Pertunjukan menjadi kacau, cerita keluar dari jalur, tidak sesuai dengan yang diinginkan. Karena pemain sudah tidak terkontrol lagi, Sutradara muncul di panggung dan meminta-minta maaf kepada penonton. Setelah pementasan inilah segala konflik bermula. Setelah pementasan, grup teater ini berkumpul. Sutradara marahmarah kepada para pemain. Megat dianggap biang dari keributan ini, Mis Kecubung tidak bisa menerima kalau dia dibilang seperti karung beras oleh Megat pada saat pementasan, padahal itu tidak ada di dalam naskah. Megat tidak mau kalah, karena dia menganggap Mis Kecubung memang sudah tidak cantik lagi, sudah tidak pantas lagi menjadi Primadona dalam grup mereka. Sudah harus ada Primadona baru yang menggantikan Mis Kecubung. Dari sekian banyak perempuan di dalam grup mereka, pilihan tertuju pada Seroja. Mis Kecubung tidak mau terima, karena Seroja dianggap masih terlalu muda, masih berusia enam


belas tahun. Tapi pilihan itu tidak dapat dicegah, karena sudah kesepakatan bersama. Mulai saat itu, grup teater mereka menjadi kacau dan berantakan. Megat memetuskan untuk keluar dari grup dan hendak membentuk grup baru. Megat mengajak Seroja untuk ikut dengannya, tapi sayang Seroja menolak. Karena Seroja merasa Tuan Rojali dan Mis Kecubung yang telah menghidupinya selama ini. Setelah Rojali mendirikan grup teater, persaingan antar grup teaterpun terjadi. Tercatat bahwa pada masa kebangkitan teater modern Indonesia hal serupa pernah terjadi. Pada tahun 1930-an terjadi persaingan keras antara Orion dengan Dardanella . Pada masa kejayaan Miss Riboet’s Orion di tahun 1926, A. Piedro seorang Rusia kelahiran Penang, mendirikan grup The Malay Opera Dardanella yang berambisi keras untuk menyaingi kepopuleran Orion. Kalau Orion menjadi popular berkat bintang panggungnya Miss Riboet, maka Dardanella juga mengandalkan seorang bintang, yakni Tan Tjeng Bok. Karena Miss Riboet ahli dalam bermain pedang, maka Tan Tjeng Bok juga mampu memainkan pedang pada saat pertunjukan. Pada tahun 1931 terjadilah persaingan keras antara grup Orion dan Dardanella. Perang teater itu dilakukan lewat publikasi berupa posterposter menyolok, iklan di surat kabar dan majalah, propaganda di jalan-jalan dan lain sebagainya. Dalam persaingan ini rupanya Orion harus menyerah kepada Dardanella. Setelah tamatnya riwayat Orion, pada tahun 1934 penulis handal dari Orion, Nyoo Cheong Seng bersama istrinya menyeberang ke pihak Dardanella. Hal persaingan juga terjadi pada pementasan Opera Primadona

Tidak lama setelah Megat keluar dari grup yang dipimpin Oleh Rojali, Serojapun juga ingin angkat kaki dari grup Rojali. Karena Seroja tidak tahan dengan perlakuan Mis Kecubung terhadap dirinya. Alasan untuk untuk meninggalkan grup Rojali sangatlah kuat. Seroja ingin kembali kepada laki-laki yang sangat dicintainya, Seroja bisa menjauh dari kejahatan Mis Kecubung, dan grup yang dipimpin oleh Megat sudah sangat terkenal. Keprgian Seroja tentulah membuat hati Mis Kecubung menjadi senang, karena di dalam grup sudah tidak adalagi Primadona yang akan menyaingi dirinya. Tapi malang tidak dapat dihindari, setelah kepergian Seroja, Tuan Rojali meninggal dunia. Cinta Megat yang diharapkan oleh Seroja berakhir dengan rasa kecewa. Megat yang berjanji hanya mencintai Seroja seorang dan tidak akan bercinta dengan perempuan lain, walaupun memang sudah tabiat Megat yang suka “bermain� dengan perempuan. Seroja sangat kecewa sekali dengan Megat, pada saat Seroja melihat sendiri Megat bercumbu dengan perempuan lain. Megat sangat kaget sekali, ketika tiba-tiba Seroja memergokinya. Pada saat itu juga, Megat menjadi sangat malu dan menyesali perbuatannya. Padahal jauh sebelum kejadian, suami yang tidak dicintai oleh Seroja, yakni Atan Sengat sudah pernah mengingatkan Seroja, bahwa prilaku Megat yang suka bermain dengan perempuan tidak akan pernah berubah. Tapi apa mau dikata, semuanya sudah terjadi. Seroja dilanda kecewa yang paling dalam. Megatpun mengakhiri hidupnya. Begitu banyak lika-liku kehidupan yang dialami oleh para grup pemain sandiwara. Tidak bisa lagi membeda antara dunia panggung dengan dunia nyata. Cinta,

halaman 19


persahabatan, pengkhianatan, persaingan hidup, berbaur menjadi satu. Segala kerumitan hidup selalu dihadang meskipun berakhir dengan kematian. Dunia teater tidak hanya menyiapkan naskah, biaya pertunjukan, mengurusi latihan rutin para actor, membangun sett property, memilih tempat pertunjukan, menjual ticket, mengelola penonton. Tapi juga ikut mengurusi dan memanegerial kehidupan nyata para pendukung grup, kelompok, kominitas, atau sanggar itu sendiri. Banyak prilaku dan sikap para pendukung yang harus dinetralisir oleh pimpinan agar grup harus terus hidup dan berjalan dengan lancar. Kerumitan bisa juga terjadi pada saat pertunjukan berlangsung. Seperti yang juga dialami oleh grup Teater Selembayung pimpinan Fedli Aziz dan grup Teater Senja SMA Negeri 5 pimpinan Ekky Gurin Andika yang juga binaan Teater Selembayung. Pertunjukan teater “Opera Primadona� karya Nano Riantiarno yang disutradarai oleh Fedli mengalami banyak kerumitan dan persoalan yang harus dihadapi. Pertunjukan yang digelar selama tiga malam, menjalani tahapan peningkatan dan kerja keras.Hampir seluruh pendukung, baik itu pemain, crew panggung, penata sett, penata laighting, dan penata music bingung dengan lintasan pertunjukan. Kecelakaan pada saat pertunjukan tidak dapat dihindari. Cahaya yang terlalu cepat menyala, crew panggung yang kurang gesit memposisikan sett, pemain music yang tidak tahu lagi bagian apa yang dimainkan, pemain yang bingung keluar masuk panggung, belum lagi fasilitas listrik yang mati, segala kerumitan saling bersahutan pada malam pertama. Tentulah kerumitan yang terjadi pada

halaman 20

malam pertama, tidaklah dipelihara oleh pimpinan grup. Sutradara harus cepat mengambil tindakan dan sikap, segala kecelakaan panggung mulai diinfentaris satu persatu. Seluruh pendukung harus bertanggung jawab dengan tugasnya masing-masing, kecelakaan yang terjadi pada malam pertama tidak akan terulang kembali. Belajar dari segala kesalahan, syukur Alhamdulillah segala kerumitan, kecelakaan, persoalan, dan kesalahan bisa diminimalisir pada malam kedua dan ketiga, meskipun vocal pemain terasa serak. Ternyata segala kerumitan bukan membuat grup menjadi berantakan, malah yang terjadi solidaritas semakin tinggi antar pendukung. Suatu kerja keras yang patut diapresiasi. Penonton yang juga harus bertanggung jawab dengan jalan cerita berdurasi hampir dari tiga jam ini, menjadi lega sekali dengan terbunuhnya kerumitan yang dialami oleh para pemain. Hingga penonton bisa mengerti dan setia menunggu akhir dari cerita Opera Primadona. Akhirnya terjawab, “Oh.. ternyata nenek yang membaca surat cinta adalah Seroja bersama suaminya, Atan Sengat yang belum pernah berhubungan layaknya suami-istri selama lima puluh tahun usia pernikahan mereka. Malam itu Seroja sadar dan mengalah dengan kenyataan, lalu ia mengizinkan Atan Sengat untuk menyetubuhinya. Malam itu Atan Sengat sangat senang sekali bisa bermalaman dengan mantan seorang pemain teater sang PRIMADONA..!� Husin Dosen Teater di Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) dan pengamat teater. Saat ini melanjutkan study di Program Pasca Sarjana Institut Seni Indinesia (ISI) Padangpanjang.


esei

Dari Hingga ke Kritik Sebagai… (Obat Sekaligus Racun) oleh Dantje S Moeis

Disadari ataupun tidak, beban yang dipikul seniman (dalam kaitan dengan tulisan ini adalah seniman perupa) kian hari terasa kian berat. Betapa banyak persoalan yang kemudian terus-menerus bermunculan jauh di luar sudut pandang standard estetika yang tampil dari suatu karya, yang semula menjadi ukuran umum bagi penilaian kualitas dan kepiawaian seniman pengkarya.

Mungkin karena persoalan itulah, seorang teman saya yang semula hanya berprediket sebagai pelukis “sahaja” dengan hasil karya-karyanya yang cukup mumpuni. Kemudian buat menambah wawasan katanya, ia “nyambi” kuliah dan berhasil meraih gelar sarjana (S1). Walhasil, bukanlah sebuah usaha yang siasia. Setelah menyandang gelar Sarjana Seni (SSn), karya-karya yang dihasilkan tampak

halaman 21


banyak berubah. Tidak lagi menampakkan karya dengan hasil sederhana, yang muncul kemudian adalah karya senirupa sarat muatan, sarat pencarian, sarat pesan dan yang paling menonjol adalah munculnya sebuah identitas baru dalam perkembangan senirupa di negeri ini. Namun persoalannya tak tamat hingga di situ. Di tengah booming dan hirukpikuk orang-orang yang membicarakan kemunculan karya-karyanya, baik yang jujur, dengan argumentasi berukuran maupun yang asal bicara dan berpretensi meruntuhkan. Hal ini cukup menjadi ganjalan kemulusan hubungannya dengan kolektor maupun pebisnis seni (art dealer) yang menjadi mitra utama sekaligus pelecut semangat berkreatifitas. Persoalan yang membuat ia menjadi gagap, gugup dan gentar melakukan hujjah tangkisan ataupun counter attack. Sigap dengan latar belakang mencintai seni ini, plus kemapanan ekonomi yang diraih dari keteguhannya dalam membuat pilihan profesi, serta keinginan untuk melanggengkan eksistensinya di dunia senirupa, teman saya ini berkeputusan melanjutkan pendidikannya untuk meraih gelar Magister Seni (MSn). Langkah ini tampaknya pun berhasil dan sambil mengucapkan selamat, sekedar untuk mengingatkan, via telepon saya sampaikan bahwa, “semua itu ada batasnya dan yang pasti seperti yang disampaikan dalam ungkapan Melayu, ‘makhluk hidup takkanlah dapat menongkat langit’. Itu saja”, kata saya mengakhiri percakapan. Penyelesaian yang bertolak belakang dari yang dibuat oleh teman saya. Ketika membaca sebuah cerita pendek yang dimuat di “Koran Tempo” (23 Jan. 2011), karya Patrick Suskind seorang penulis

halaman 22

Jerman dan diterjemahkan oleh Anton Kurnia dari teks berbahasa Inggris oleh: Peter Howarth, berjudul “Racun Kritikus”. Baris-baris pembukanya saya kutipkan seperti ini: Pada pembentangan karya seni rupa perdananya, seorang perempuan muda dari Stuttgart yang membuat sketsa dengan sempurna indah, mendapat komentar dari seorang kritikus yang sesungguhnya tak bermaksud negatif, bahkan dengan jujur berniat untuk menyemangati si perupa perempuan muda itu. Sang kritikus berkata, “Yang Anda lakukan pada karya sketsa anda cukup menarik dan Anda memang berbakat, tapi karya Anda belum menunjukkan kedalaman.” Selanjutnya dalam cerita Patrick Suskind: Perempuan muda itu tampak sama sekali tak paham apa yang dimaksud oleh sang kritikus dan perkataannya itu sebagai angin lalu. Namun, selang dua hari kemudian tulisan tentang pameran itu muncul di koran, ditulis oleh kritikus tersebut. Pada tulisannya kritikus itu menyatakan, “Seniman muda itu berbakat dan pada sekali pandang karyanya tampak menyenangkan. Namun, sayangnya dia tak memiliki kedalaman.” Si perempuan muda itu mulai menggangap komentar sang kritikus tak lagi seperti angin lalu, kini ia mulai memikirkan soal itu. Selanjutnya pada suatu malam, ia diundang menghadiri sebuah acara. Orang-orang di acara itu seakanakan telah membaca tulisan di koran tentang karyanya dan berulang-ulang mengatakan bahwa sketsanya mampu membangkitkan rasa senang dalam sekali pandang, juga bahwa dia memang


berbakat. Namun, dari gumaman di belakang dan dari mereka yang memunggunginya, perempuan muda itu dapat mendengar bisik-bisik, “Tak ada kedalaman. Itulah. Dia tidak jelek, tapi sayangnya dia tak memiliki kedalaman.” Sepanjang minggu itu sang seniman muda tak menggambar apa pun. Dia duduk diam di flatnya, merenung, dengan hanya satu pertanyaan di benaknya yang merengkuhnya seperti gurita dan melahap segala sisa isi kepalanya, “Mengapa aku tak memiliki kedalaman?” Segala upaya ia lakukan, segala buku tentang senirupa ia lahap dan tak cukup hingga di situ, semua galery senirupa bergengsi ia sambangi, namun tetap ia tak mampu memahami makna kedalaman seperti yang dikatakan si kritikus terhadap karyanya. Dia hanya berkurung di studionya dan tak juga mampu berkarya. Mulai ketagihan obat anti depressant. Ketika terasa lelah, dia tertidur di kursi, seakan ia takut tidur terlalu pulas jika pindah ke ranjang. Dia mulai kecanduan alkohol, terus merokok sepanjang malam dan tak lagi menggambar. Ketika seorang pedagang barang seni dari Berlin meneleponnya untuk meminta beberapa sketsanya, dia berteriak ke gagang telepon, “Jangan ganggu aku! Atau tak punya kedalaman!” Akhirnya, karena lama tak muncul, saat flatnya diperiksa, kondisinya amat kacau. Ribuan botol kosong berserakan; tandatanda keruntuhan tampak di manamana; sketsa-sketsa terkoyak; gumpalan lilin mainan menodai dinding; bahkan ada bekas tinja menumpuk di sudut-sudut ruangan! Koran-koran bukan hanya meliputnya di berita utama halaman satu, tapi juga

menjadi kepala berita halaman dua dan tambahan reportase di halaman tiga! Di rubrik ulasan sebuah koran, sang kritikus yang tadi sempat kita sebut menulis satu paragraf singkat yang merenungkan mengapa perempuan muda itu mengalami akhir yang menyedihkan. Dia menulis, “Sekali lagi kita menyaksikan setelah terjadinya sebuah sebuah peristiwa mengejutkan seorang muda yang berbakat tak mampu memiliki kekuatan untuk menyesuaikan diri di panggung kehidupan. Tidak cukup bila seorang seniman memiliki dukungan publik dan inisiatif pribadi, tapi hanya sedikit pemahaman atas atmosfer seni. Pastilah benih dari akhir yang tragis ini telah ditanam sejak lama. Tidakkah itu bisa dicerna dari karya-karya awalnya yang naif? Itu mencerminkan agresi monomaniak yang melanda diri sendiri dan dorongan introspektif yang berkubang menjemukan serupa spiral di dalam batin dua-duanya sungguh emosional dan tak berguna, sekaligus mencerminkan pemberontakan terhadap takdir. Saya menyebutnya kehendak memiliki kedalaman yang berakhir secara fatal.” Dua tokoh diatas adalah dampak dari sebuah gambaran yang berlatar sama, namun dengan pemaknaan yang berbeda. Dua cerita kejadian tersebut dapat saja terus berlanjut dan salah satu dari kedua pilihan berbeda yang diambil dua tokoh diatas saya yakini akan tetap berlanjut, sadar atau tak sadar. Namun seni rupa terus berkembang melepaskan diri dari yang pernah ada, terbang tanpa batas, dengan komentar, tanggapan dan pemaknaan yang juga terus berkembang. Dan Arthur C Danto, kritikus yang setia menulis

halaman 23


itu mengkaji perkembangan itu dalam bukunya After the End of Art (1997). Ia menduga bahwa diperlukan cara pandang berbeda pada dunia seni rupa dengan segala prasarananya ketika senirupa bukan lagi terutama diapresiasi lewat melihat, namun juga dirasakan selanjutnya dimaknai. Sanento Yuliman (1941-1992) seorang kritikus senirupa, menulis dalam katalogus pameran Seni Rupa Baru Indonesia, bahwa tak mungkin lagi kita hanya menikmati kaya-karya yang disajikan lewat ritme garis, nuansa warna, dan beragam bentuk ketika karya seni rupa bukan lagi susunan liris unsur kesenirupaan saja. Dengan kata lain, karya senirupa pada perkembangan setelah senirupa modern sesungguhnya seperti hendak menggeser sang rupa ke samping dan di tempat itu ditaruhlah mungkin itu tema, cerita, wacana, dan lain sebagainya, dan itulah bahagian-bahagian dari “kedalaman”. Di Riau, beberapa upaya yang dilakukan untuk pemuatan makna dan kedalaman pada hasil karya senirupa pernah dilakukan Dewan Kesenian Riau kala itu, seperti kegiatan yang diberi tajuk “Eksplorasi Dunia Raja Suran”. Sebuah maha-karya sejarah (legenda Melayu) yang menjadi “inspiring” sekaligus sumber gagasan penciptan dengan tentu saja, membuahkan pemaknaan yang berbeda dengan kadar pendalaman yang berbeda pula pada setiap individu perupa. Selanjutnya, kegiatan berhasrat sama dan diberi tajuk “Bedah Idiom Alam”. Entah siapa yang duluan memulai, Riau atau pusat bukanlah menjadi persoalan. Di pusat sana, Agung Hujatnikajennong dan kemudian Wahyuddin menyodorkan gagasan, mengapa para senirupawan tak berkarya bertolak dari seni yang lain,

halaman 24

dan yang dimaksudkanya adalah seni sastra. Sebelumnya, adalah penyair Sitok Srengenge menggagas pameran karya seni rupa yang diciptakan berdasarkan puisi-puisi yang dipilih, yang kemudian diwujudkan bersama Wahyuddin sebagai kurator. Tiga pameran yang lahir dari gagasan Jennong (“Magainin”, Jakarta Art Distric, akhir Februari 2010), Wahyuddin (“Tansfiguration”, Jakarta Art Distric, April 2010), dan Sitok (“Perang, Kata, dan Rupa”, Galeri Salihara, Juli 2009) menggoda kita ketika beranjak dari karya ke karya di ruang pameran (kalau berminat atau dianggap perlu) untuk mencocokkan yang kita lihat dengan karya sastra yang menjadi sumber diciptakannya karya tersebut. Sebagai baris-baris penutup tulisan ini, usul-saran saya sampaikan tertuju kepada organisasi atau institusi formal yang mengurusi seni jenis ini, agar tak mengabaikan perihal asah-mengasah agar lebih “tajam” dalam hal konsep dan hasil akhir tentu-saja. Agar dapat sekedar tak berprediket “udik” dari daerah yang tak memiliki sebuahpun sekolah senirupa dan tentu saja agar tak menjadi tokoh cerita pendeknya Patrick Suskind yang drug addicted lalu mati tragis. Karena tumbuh kembangnya senirupa atau seni apasaja, tak hanya selesai dengan berpamerpameran, setelah itu selesailah tugas dan menunggu lagi di tahun depan.***


cerita-pendek terjemahan

Warna Kelabu

oleh James Purdy

JAMES PURDY Lahir di Ohio pada tahun 1923. Memperoleh pendidikan di Midwest dan memperoleh gelar MA dari Universitas Chicago. Setelah itu ia melanjutkan studinya di Universitas Madrid, Spanyol. Novel pertama Purdy, Malcolm (1959), mendapat sambutan yang luar biasa sebagai sebuah komentar satire atas nilai-nilai kultur masyarakat urban Amerika. Judul asli cerita-pendek ini adalah Color of Darkness terjemahan dari buku Short Story: A Thematic Anthology hal 149-158. Terjemahan ke bahasa Indonesia oleh: Fauziar Darvish.

halaman 25


Hanya kadang-kadang saja ia memikirkan istrinya, tapi semuanya mulai terlambat, biasanya setelah anak laki-lakinya pergi ke kamar tidur, sesuatu yang seharusnya mengerikan namun nyatanya tidak, ia sekarang ini tak bisa lagi mengingat rupa istrinya. Dan yang pasti dan tak dapat diingatnya adalah warna mata wanita itu. Namun itulah yang paling menggoda pikirannya. Dan sepaling tidak yang dapat ia sampaikan kepada sesiapa saja. Tentu di kota itu ada orang yang masih ingat seperti apa warna mata istrinya. Namun berangsur-angsur ia pun mulai lupa bentuknya. Yang tertinggal dalam kenangannya hanya suara wanita itu, suara hangat yang menyenangkan hati. Kemudian ada anak laki-laki mereka, namanya Baxter. Tentunya dengan banyak hal yang diketahui maupun yang tidak diketahuinya. Terkadang Baxter seakan tahu segala hal. Ketika bocah itu berpegangan pada pinggiran kursi memandang ke ayahnya, mengamatinya dengan sungguh-sungguh. Tampak seolah-olah bocah itu tidak begitu akrab dengan ayahnya. Sang ayah mendugaduga bahwa Baxter tahu segala sesuatu. “Bax…,” sang ayah ingin berucap dan menatap dalam-dalam ke mata anaknya. Bocah itu benar-benar mirip dengan ayahnya. Tak ada tanda-tanda di wajahnya tentang sesuatu dari ibunya. “Kau akan cepat besar,” kata sang ayah pada malam itu, tanpa pernah disadarinya sendiri mengapa ia berkata begitu. Ucapan itu terlontar begitu saja tanpa dipikirkannya. “Kukira tidak,” jawab anaknya. ”Mengapa tidak?” Sang ayah terheran-heran, terkejut oleh jawaban anaknya seperti terkejutnya oleh pertanyaannya sendiri. Si bocah juga memikirkan apa yang akan dikatakannya. “Berapa lama?” tanyanya. “Oh, masih lama,” jawab ayahnya. “Bolehkah aku tetap tinggal dengan Papa?” tanya si bocah menyelidik. Sang ayah mengangguk. “Tentu saja, Sayang,” sahutnya. Anak itu berkata “Oh “ dan berlari mengitari kamar. Lalu ia jatuh menimpa salah satu mainannya dan menangis. Bu Zilke masuk ke dalam kamar dan mendiamkannya dengan kata-kata yang menghibur. Sang ayah bangkit dan menggendong si bocah. Kemudian ia duduk lagi dan meletakkan anaknya dalam pangkuan. Wajahnya memerah karena mengerahkan tenaga menggendong anaknya. Dengan nafas tersengal, ia berkata kepada Bu Zilke, “Anda lihat, saya sudah tua.”

halaman 26


Bu Zilke tertawa. “Jika Anda tua, saya sudah mati,” sahutnya. “Anda harus menjaga kemudaan Anda,” lanjutnya dengan suara agak parau kepada sang ayah. Sang ayah memandang wanita tua itu. Baxter tiba-tiba menggeliat di dalam dekapan ayahnya. Ia mengamati sang ayah dengan penuh rasa ingin tahu. Kemudian diciumnya wajah ayahnya. “Ayah masih muda,” katanya kepada Bu Zilke. “Memang. Tentu saja ayahmu masih muda,” sahut Bu Zilke. Sang ayah tertawa dan Baxter beranjak pergi ke kamar tidurnya dengan Bu Zilke. Sang ayah menimang-nimang kalimat dari kata-kata Bu Zilke dan ia memperhatikan kata-kata itu sebagaimana saat ini ketika mendengar wanita tua itu sedang membacakan cerita untuk anaknya dari sebuah buku dongeng. Baginya cerita yang dibacakan wanita tua itu membosankan dan ia berpikir anaknya tidak akan mendapat kesan mendalam dari cerita itu. Ia tahu, sungguh aneh kalau ia tidak dapat mengingat warna mata istrinya. Ia merasa yakin masih mengingatnya, dan mungkin secara tak sadar ia mencoba melupakannya. Kemudian ia mulai berandai-andai bahwa ia juga tidak dapat mengingat warna mata anaknya. Padahal ia baru saja melihatnya! “Apa yang diketahuinya?” Sang ayah bertanya kepada Bu Zilke ketika ia sudah turun dari tangga dan duduk sejenak membaca koran. Bu Zilke menyalakan rokok dan menghembuskan asapnya sebelum menjawab. Sementara sang ayah melihat ke luar jendela seolah-olah ia sudah lupa kehadiran wanita tua itu dan pertanyaannya sendiri barusan tadi. “Ia tahu segalanya,” jawab Bu Zilke. Sang ayah tersadar dan memandang wanita tua itu dengan ramah. “Memang mereka begitu sekarang, ya kan?” kata sang ayah, maksudnya adalah anak-anak. “Tampaknya memang demikian,” wanita tua itu membenarkan. “Ya,” lanjutnya sambil berpikir. “Mereka tahu segalanya.” “Saya menganggap semua orang yang saya jumpai berusia empat puluh tahun,” kata sang ayah. “Bahkan juga terhadap anak-anak, mungkin. Namun mereka benar-benar menjadi misteri bagi saya. Saya tidak tahu bagaimana cara berbicara dengan mereka. Mungkin saya tak paham jalan pikiran mereka.” “Oh, saya maklum. Saya membesarkan delapan anak dan dulupun saya juga berpikiran seperti itu,” kata Bu Zilke. “Okelah, paling tidak saya jadi terhibur mendengar itu,” kata

halaman 27


sang ayah. Wanita tua itu tersenyum. Tetapi sang ayah merasa dalam senyumnya ada sesuatu yang masih tersisa dalam benaknya yang tidak diungkapkannya. “Memang kita tidak mengetahui apa yang ada dalam pikiran orang lain, ya kan?” katanya kepada Bu Zilke ragu-ragu. Wanita tua itu mengangguk, menikmati rokoknya. “Anak jantan Anda kesepian,” katanya tiba-tiba. Sang ayah berpaling pandang dari wanita tua itu. “Maksudnya kasihan sekali karena ia anak semata-wayang,” lanjutnya. “Ah… Saya pikir….ia kan punya teman di sekitar sini.” “O, itu tak akan sama,” potong Bu Zilke. “Bermain dengan anak-anak lain seperti pada saat hari libur saja dan itu tidak cukup.” “Saya sangat sibuk dibebani pekerjaan.” “Anda memang sibuk.” “Lalu, bagaimana lagi?” Sang ayah tertawa. “Saya seorang yang sukses.” Bu Zilke tidak ikut tertawa. Sang ayah memperhatikan wanita tua yang sangat giat itu. Ia mengaguminya. Ia senang wanita tua itu tidak ikut tertawa bersamanya. “Seharusnya tak seorangpun hanya punya seorang anak,” kata wanita tua itu kepadanya. “Anda tahu,” kata sang ayah dengan gaya yang meyakinkan, “ketika kita sedang disibukkan pekerjaan, seperti yang saya alami ini, orang-orang akan menjauh dari kita.” Sang ayah memandang botol brandy di rak. “Bersediakah Anda minum satu sloki brandy dengan saya, Bu Zilke?” Wanita tua itu akan berkata tidak, karena ia betul-betul tidak menyukai alkohol berat, tetapi ia melihat sesuatu di wajah laki-laki muda itu. Ia mengangguk agak segan lalu sang ayah bangkit dan menuangkan dua sloki brandy. “Terima kasih bersedia menemani saya minum,” tiba-tiba sang ayah berkata, seperti untuk menghapus bersih sesuatu yang berada di antara kata-kata dan kenangannya. “Harum sekali,” kata Bu Zilke sambil meneguk perlahan. “Anda pandai sekali,” puji sang ayah. “Saya paham sekali mengenai aroma,” tanggap wanita tua itu dingin. “O, bukan saja soal aroma. Tapi juga hal-hal lainnya.” “Ah, saya ini apalah…,” Bu Zilke merendah. “Anda tahu semua hal,” lanjut sang ayah, “sedangkan saya cuma halaman 28


punya pekerjaan saja.” “Itu lebih dari cukup. Mereka membutuhkan Anda.” Sang ayah duduk, tapi ia tidak menyentuh brandy-nya lagi. Sementara Bu Zilke setelah membaui brandy-nya ia juga menurunkan gelas kecilnya. Mereka berdua duduk dalam lengang seakan-akan berada di tengah orang banyak. “Saya lupa warna mata istri saya,” kata laki-laki muda itu. Dan ia kelihatan sakit. Bu Zilke duduk sambil mempertimbangkan apakah yang dibicarakan pria itu cukup penting atau lebih baik mengalih topik pembicaraan mereka. “Dan malam ini mungkin Anda tidak akan percaya, saya bahkan tak dapat mengingat warna mata anak saya!” “Matanya biru seperti laut,” Bu Zilke berkata agak ketus tetapi dengan nada kesedihan yang dalam. “Tetapi ada apa dengan masalah sepele itu,” lanjut wanita tua itu. “Anda adalah orang penting.” Sang ayah tertawa sangat keras atas perkara ini. Dan Bu Zilke tiba-tiba ikut tertawa juga. Sang ayah mengangkat gelasnya lalu mengucapkan kata-kata murahan sementara Bu Zilke juga mengambil gelasnya dengan pandangan sedikit terganggu dan menggogok minuman. “Saya dapat merasakan rasa anggur di dalamnya,“ katanya. “Memang, inilah anggurnya karena itu saya beli,” diulanginya dengan nada yang mungkin biasa diucapkannya di bar kaum pria. “Anda tidak perlu mempedulikan apa warna mata mereka sekarang atau dulu,” kata Bu Zilke. “Ya, itulah ingatan saya tentang orang-orang,” katanya kepada wanita tua itu. “Dan itu berarti saya tidak mengenal mereka dengan baik.” “Memang demikian,” sahut Bu Zilke. “Tetapi Anda punya hal-hal lain.” “Tidak, sungguh. Bukan begitu. Saya dapat mengingat orang-orang kalau saya mau.” “Jika Anda mau,” ulang Bu Zilke. “Baiklah, mengapa saya tidak dapat mengingat mata istri saya,” ia menumpahkan uneg-unegnya. “Dapatkah Anda mengingat,” tanyanya ingin tahu, “warna mata anggota keluarga Anda.” “Semuanya ada empat puluh dua mata,” wanita tua itu tertawa. “Ya, ya … suami Anda, putera dan puteri Anda.” “O, saya kira saya dapat,” wanita tua itu mencoba mengelak. “Tetapi Anda bisa Bu Zilke, Anda bisa.” “Benar, tetapi saya hanya seorang perempuan rumahan. halaman 29


Sedangkan Anda di luar melihat dunia. Mengapa Anda harus menghiraukan warna mata manusia? Aduh, kasihan sekali!” Wanita tua itu meletakkan gelasnya lalu mengambil beberapa kaos kaki yang telah dijahitnya sebelum mengantar Baxter ke ranjangnya tadi. “Saya akan berbual sambil menjahit,” katanya menegaskan seolah ia akan sedikit bicara sekarang dan mungkin tidak akan minum brandy lagi. Sang ayah tiba-tiba menutup matanya rapat-rapat. Laki-laki muda itu menyadari bahwa ia tidak tahu warna mata Bu Zilke. Namun tiba-tiba ia tidak cemas lagi. Ia tidak peduli. Dan ia yakin Bu Zilke pun tidak akan peduli, apakah ia tahu atau tidak. Tadi wanita tua itu mengatakan padanya untuk tidak menghiraukan. Baginya yang lebih penting adalah ia masih mengingat wanita tua itu. Ia ingat kebaikan wanita tua itu kepadanya dan kepada anaknya. Dan betapa pentingnya mereka berdua bagi wanita tua itu. “Berapa umur Papa?” Baxter bertanya kepada ayahnya yang sedang duduk di kursi besarnya dengan minumannya. “Dua puluh delapan,” jawabnya tidak jelas. “Apakah itu cukup tua untuk mati?” anak laki-laki itu menyelidik. “Ya dan tidak,” jawab sang ayah. “Apakah aku cukup tua untuk mati?” “Papa rasa tidak,” sang ayah menjawab pelan, sementara pikirannya di tempat lain. “Mengapa kita tidak mati?” Tanya bocah itu sambil menerbangkan pesawat terbang kertas yang baru dibuatnya. Kemudian ia mengambil burung mainan yang dibuatnya dari kertas coklat dan melemparkannya ke udara. Burung-burungan itu menabrak tanaman philodendron dan tersangkut di sana seperti dilakukan dengan sengaja. “Papa selalu memikirkan sesuatu yang lain, ya kan?” kata Baxter. Bocah itu naik ke tempat ayahnya duduk dan memandang wajahnya. “Matamu biru,” kata sang ayah. “Biru seperti laut.” Baxter tiba-tiba mencium ayahnya, sedangkan sang ayah memandanginya lama-lama. “Jangan pandangi aku begitu,” kata si bocah tersipu. “Begitu bagaimana?” tanya sang ayah dan menurunkan pandangannya. Si bocah beringsut dengan kikuk, menyeret sepatu kecilnya di atas karpet. “Seperti Papa tidak tahu sedikitpun,” kata bocah itu dan ia lari ke dapur mencari Bu Zilke. Setelah Bu Zilke pergi ke kamar tidurnya, kira-kira hampir empat jam setelah Baxter lelap, sang ayah biasa duduk di lantai bawah memikirkan masalah pekerjaannya, tetapi ketika ia ada di rumah seperti ini ia sering memikirkan tentang dia, istrinya dulu. Istrinya halaman 30


‘lari’, itulah istilah yang dipakainya untuk menyebut kepergian wanita itu sejak dulu. Dan pernikahannya dengannya demikian singkat hingga seolah-olah Baxter adalah pemberian orang. Istrinya menghadiahinya, dan menjadi pemberian yang bertambah nilai dan tanggung jawabnya, hubungannya dengan peristiwa itu semakin bimbang dan samar. Akan tetapi Bu Zilke tampak lebih nyata baginya daripada orang lain, siapapun. Meski ia tidak dapat mengingat warna matanya juga, namun ia sangat nyata. Wanita tua itu sudah dianggapnya ibunya sendiri. Sedangkan Baxter adalah seorang “adik laki-laki kecil” yang tidak begitu dikenalnya dengan baik tapi suka menanyakan hal-hal yang sulit. Di lain pihak istrinya yang ‘lari’ itu, hanyalah seorang wanita yang seakan pernah pergi dengannya. Dan kini ia tidak dapat lagi mengingatnya sama sekali. Ia iri melihat cara Bu Zilke mengatur segala sesuatu. Seolah-olah wanita tua itu memahami hal-hal yang diurusnya. Ia dapat mengenal dan mengingat semua hal yang dilihatnya dan di bawah wewenangnya. Dunia ini bagi wanita tua itu adalah bundar, kokoh dan diterangi dengan sempurna. Sedangkan menurutnya hanya pekerjaannya yang memiliki arti nyata. Dan ia ingat Bu Zilke menyebutnya orang penting. Tetapi apalah artinya pekerjaan terhadap sesuatu yang lain. Ketika malam itu ia naik ke atas menengok anaknya, ia terperanjat melihat Baxter sedang tidur dengan boneka buaya raksasa. Mata boneka itu agak mengagetkannya. Untuk beberapa saat ia ragu apakah harus memindahkan boneka itu atau tidak. Tapi kemudian diputuskannya untuk tidak mengganggunya. Kemudian ia pergi ke kamarnya sendiri. Melepaskan semua pakaiannya dan berdiri telanjang menghirup udara segar di depan jendela terbuka. Lalu ia cepat-cepat naik ke ranjang. “Itu boneka kesayangannya,” kata Bu Zilke ketika sarapan pagi. “Baxter tidak mau berpisah dengannya bagaimanapun juga,” lanjutnya menjelaskan. “Saya rasa boneka itu akan menyebabkannya bermimpi buruk,” kata sang ayah. “Ia tidak pernah mengalami mimpi buruk,” bantah Bu Zilke sambil mengoleskan mentega di atas roti panggang. “Ini untuk Anda, Pak,” kata wanita tua itu menyodorkan sarapan paginya. Sang ayah terdiam sejenak. “Saya terperanjat ketika melihat boneka buaya di ranjangnya itu,” katanya lagi kepada Bu Zilke. “Yaah, itu hanya perasaan Anda saja,” sahut Bu Zilke. “Saya rasa demikian. Tapi kenapa bukan boneka anak beruang atau boneka anak perempuan saja.” halaman 31


“Baxter juga sudah punya. Kebetulan tadi malam ia bersama boneka buaya itu,” kata Bu Zilke menerangkan sambil sibuk di dapur. “Baiklah,” kata sang ayah, lalu ia membuka lembaran koran dan mulai membaca tentang Mesir. “Putera Anda memerlukan seekor anjing,” kata Bu Zilke tiba-tiba tanpa peringatan. Ia masuk dan duduk di meja dengan sang ayah. Di tangannya masih terlihat bekas-bekas air sabun. “Yang seperti apa?” tanya sang ayah. “Anda tidak menolaknya nanti?” tanya Bu Zilke. “Mengapa saya menolak anjing?” lanjutnya sambil melihat koran. “Ia harus memiliki sesuatu,” kata Bu Zilke meneruskan. “Tentu,” sahut sang ayah sambil meneguk kopi kemudian memandang wanita tua itu. “Maksud anda sekarang ini Baxter tidak punya apa-apa?” “Selama orang tua masih hidup, siapa pun orang tua, seorang anak biasanya memiliki sesuatu. Maksud saya bukan tentang anjing,” jawab Bu Zilke tanpa maksud membela diri dan sang ayah berharap memang tidak begitu. “Saya lebih suka ia tidur dengan anjing daripada buaya itu.” “O, begitu?” desak Bu Zilke dengan gusar. Kemudian sang ayah berkata, “Baiklah.” Ia tetap menunduk ketika Bu Zilke pergi meninggalkan ruangan. Ia duduk memandangi cincin kawin yang masih dipakainya. Tiba-tiba dilepaskannya cincin itu dari jarinya untuk yang pertama kalinya sejak dipasangkan di sana oleh perintah pendeta. Ia sengaja membiarkan cincin itu di jarinya selama bertahun-tahun dengan alasan yang sederhana, memang. Ia ingin orang menganggapnya menikah, dan entah bagaimana ia harus menikah, bagaimanapun caranya, ia tahu itu. Tetapi ia tinggalkan cincin kawinnya di atas meja lalu ia pergi ke ruang depan. “Pak…,” Bu Zilke memanggil dan mengejarnya. “Biarkan cincin itu di sana,” katanya menyangka wanita tua itu menemukan cincinnya. Tetapi di wajah Bu Zilke ia melihat sesuatu yang lain. “Anda harus mengantar Baxter membeli anjing. Anda kan tahu saya tak dapat lagi berjalan di atas trotoar yang keras.” “Pokoknya beres, Bu Zilke,” sahutnya sekedar menanggapi apa yang dikatakan wanita tua itu. Anjing yang mereka beli di toko adalah seekor anak anjing geladak dengan ekor panjangnya yang lucu. Sang ayah menatapnya dari dekat: mata coklat. Hampir yang pertama kali dilakukan anjing halaman 32


itu adalah kencing di dekat meja kerjanya. Sang ayah menyuruh membersihkannya. Dan Baxter hanya menonton ketika Bu Zilke bersungut-sungut sendirian di dapur. Kemudian wanita tua itu masuk dan menaburkan bubuk putih anti bakteri di atasnya. Anjing itu juga memandang mereka dari tempatnya di pojok ruangan. Tapi tampaknya binatang itu tidak ingin menghampiri mereka. Baxter memandangnya, tapi tidak melakukan apa-apa. “Dekatilah,” kata ayahnya. Baxter berjalan ke pojok ruangan dan menatap anjing kecilnya. Sementara sang ayah duduk dan mulai meneruskan korannya. “Apakah Papa juga pernah punya anjing?” tanya Baxter. Sang ayah berpikir di tempatnya. Ia terdiam dalam waktu yang lama. “Pernah,” akhirnya ia menjawab. “Apa warnanya?” Sang ayah memutar kursinya. “Sudah sangat lama dulu,” jawabnya seolah-olah mengutip dari dirinya sendiri. “Apakah abu-abu?” desak Baxter ingin tahu. Ayahnya mengangguk. “Seekor anjing abu-abu,” ulang Baxter dan ia mulai bermain dengan peliharaan barunya. Anak anjing itu mengangkat cakarnya yang basah dan memukul Baxter pelan. Bocah itu menjerit kecil. “Anjing itu sedang senang,” kata ayahnya sambil lalu. Baxter menangis kecil dan berlari ke dapur. Sedangkan anjing kecil itu tetap berada di tempatnya. “Sekarang jangan takut lagi dengan teman kecilmu itu,” kata Bu Zilke. “Kembalilah dan ajak dia bermain lagi.” Baxter keluar dari dapur dan menghampiri anjingnya. “Beri dia nama,” saran Bu Zilke. “Apakah aku harus memberinya nama, Papa?” tanya bocah itu. Sang ayah mengangguk. Setelah makan malam mereka bertiga duduk di ruang depan. Baxter agak mengantuk. Sang ayah duduk di kursi malas sambil menghisap pipa rokoknya dengan segelas brandy di dekatnya. Mereka berkumpul di sana untuk mencarikan nama bagi anjing itu. Tetapi tampaknya belum seorangpun yang mendapat gagasan. Sementara sang ayah tak peduli terhadap mereka. Ia tenggelam dalam kenikmatan merokok dengan pipa mahalnya. Seakan-akan ia sudah di ibu kota lagi dan jauh terpisah dengan mereka. Baxter terkantuk-kantuk beberapa kali lagi dan Bu Zilke berkata, “Hey, belum waktunya tidur. Tapi kenapa laki-laki kecil ini sudah mengantuk.” Terdengar jeritan anjing kecil itu dari gudang bawah di mana mereka menempatkannya. Tapi mereka pura-pura tak halaman 33


mendengarnya. Akhirnya Bu Zilke berkata, “Kalau ia sudah jinak nanti kamu bisa tidur dengannya, Baxter.” Baxter membuka matanya dan memandang wanita tua itu. “Apa maksudnya?” tanyanya. “Bila ia sudah pandai mengurus dirinya sendiri, tidak lagi buang kotoran sembarangan, kamu dapat mengajaknya ke tempat tidur.” “Tidak mau!” sahut si bocah. Bu Zilke menatap sang ayah sambil menahan perasaannya. “Kenapa tidak mau, Sayang?” tanya wanita tua itu tanpa menunjukkan emosi. “Aku tidak ingin,” kata Baxter. Bu Zilke kembali menatap sang ayah. Tapi laki-laki muda itu bahkan lebih tidak menghiraukan mereka lagi. “Apa yang di mulutmu itu?” kata Bu Zilke tiba-tiba memancing perhatian. Ia membetulkan letak kaca matanya dan melihat ke mulut si bocah. “Ini,” bocah itu menunjuk bibirnya yang agak memerah. “Permen karet,” ia berkata. “Oh,” kata Bu Zilke. Jam berdentang menunjukkan pukul delapan. “Saya kira sekarang waktu tidurmu,” kata Bu Zilke. Ia memandang si bocah. “Kamu mau ke tempat tidur, Baxter?” tanyanya samar-samar. Bocah itu menunduk. “Cium Papa dan ucapkan selamat malam padanya,” perintahnya sepintas lalu. Baxter bangkit dan menghampiri ayahnya, tapi langkahnya terhenti di depan lingkaran asap rokok. “Selamat malam,” katanya dengan suara aneh. “Apa itu di mulutmu?” Sang ayah menunjukkan perhatiannya kepada Bu Zilke dan kepalanya keluar dari gumpalan asap rokok. Bu Zilke bangkit dengan susah payah dan mengganti kaca matanya untuk mengamati si bocah. “Apa yang kamu kulum itu?” tanya Bu Zilke dan kedua orang dewasa itu memandang kepadanya. Baxter melihat mereka seolah-olah telah memasang jaring di sekitar dirinya. Dari perasaan tidak peduli yang lama terpendam terhadap dua orang ini tiba-tiba muncul perasaan aneh secara perlahan dalam kebingungannya, pelan-pelan perasaan itu menggerakkan pikirannya. Ia bergerak selangkah ke belakang seakan-akan ingin memancing perhatian mereka. “Baxter sayang…,” bujuk Bu Zilke dan mereka berdua halaman 34


memandangnya seolah-olah mereka baru mengenali siapa anak itu. “Apa yang ada di mulutmu itu, nak?” tanya sang ayah. Dan kata ‘nak’ terdengar aneh berkumandang. Diterima oleh Baxter dengan rasa berat dan dorongan rasa jijik. Sejijik melihat kencing anjing kecil itu tadi sore. “Apa itu, nak?” ulang sang ayah. Bu Zilke memandangnya. Ada kesan khawatir tersirat di wajah tuanya yang merah terhadap bocah itu. “Aku sedang mengunyah permen karet,” jawab Baxter kepada mereka. “Tidak, Baxter. Kenapa kamu tidak mau mengatakannya kepada kami?” keluh Bu Zilke. Baxter berjalan ke pojok ruangan di mana anak anjing tadi berada. “Anjing itu nakal, ya?” Baxter tertawa terkekeh-kekeh. Dan tiba-tiba ia tertawa lebih keras lagi ketika diingatnya apa yang telah dilakukan anak anjing itu. Sementara Bu Zilke dan ayahnya sedang berbisik-bisik di tengah asap rokok. Baxter duduk di lantai sambil berbicara dengan dirinya sendiri dan bermain dengan potongan boneka rusak. Dari mulutnya masih terdengar samar-samar suara seperti logam. Kemudian perlahan-lahan Bu Zilke menghampirinya. Terbayang keprihatinan dan kebaikan hati di wajahnya, seperti seorang perawat terlatih. “Kamu tidak bisa tidur dengan benda itu di mulutmu, manis.” “Ini cuma permen karet,” kata Baxter. Kaki Bu Zilke yang sudah lemah tak dapat lagi berlutut di atas lantai di sisi Baxter sebagaimana yang ingin dilakukannya. Wanita tua itu ingin berbicara empat mata dengan si bocah, sebagaimana ia biasa duduk di tepi ranjangnya. Namun sayangnya ia hanya bisa berdiri di samping Baxter. Begitu jauh terpisah. Napas pendeknya yang berat terdengar menjijikkan di kamar itu. Ia hanya mampu berkata, “Kamu tidak pernah berbohong kepadaku selama ini, Baxter.” “Memang tidak,” sahut Baxter. “Ini cuma permen karet,” dan ia kembali membuat bunyi di mulutnya. “Akan kulaporkan pada papamu,” ancam wanita tua itu seakan-akan sang ayah sudah jauh di Washington. “Permen karet,” ulang Baxter dengan nada jenuh. “Kukira seperti logam,” gumam Bu Zilke sambil memandang penuh kecemasan kepada Baxter. “Ini cuma permen karet,” bocah itu sekarang bersenandung dan bermain dengan boneka. halaman 35


“Anda harus mengajaknya bicara,” Bu Zilke menyarankan sang ayah. Laki-laki muda itu kemudian berjongkok bersama anaknya. Sementara Baxter sedikit demi sedikit menyadari bahwa ini adalah untuk yang pertama kalinya ayahnya pernah membuat gerak bermain dengannya. Ia menatap ayahnya, tetapi tidak mendengarkan apa yang dibicarakannya. “Jika Papa masukkan jari Papa di mulutmu, maukah kau memberikannya pada Papa?” tanya sang ayah. “Tidak,” jawab Baxter. “Kamu tidak boleh menelan benda di mulutmu itu,” kata sang ayah. “Mengapa?” tanya si bocah menyelidik. “Benda itu akan melukaimu,” kata sang ayah menerangkan. “Kamu akan dibawa ke rumah sakit,” sambung Bu Zilke. “Aku tidak peduli kemana aku pergi,” kata si bocah.”Di mulutku ini hanya sebuah mainan.” “Mainan apa?” tanya ayahnya menyelidik. Ia dan Bu Zilke tiba-tiba tertarik dan penasaran terhadap benda di mulut Baxter itu. “Mainan berwarna keemasan,” si bocah tertawa, tetapi kedua bola matanya berkaca-kaca dan memancarkan sorot aneh. “Kemarikan, Sayang,” kata sang ayah sambil secara perlahan mencoba meletakkan jarinya di mulut Baxter. “Jangan sentuh aku!” tiba-tiba si bocah berteriak. “Aku benci Papa!” Sang ayah mundur perlahan seolah ia kini akan kembali ke pekerjaan dan kertas-kertasnya lagi. Bu Zilke berteriak, “Memalukan!” “Aku betul-betul benci dia,” kata si bocah. “Dia tak pernah ada di sini.” “Baxter,” bujuk sang ayah. “Berikan pada papamu benda di mulutmu itu atau kamu akan menelannya dan terjadi bencana pada dirimu.” “Biarin!” sahutnya ketus, menantang. Lalu ia melemparkan bonekanya pada Bu Zilke. “Sekarang lihatlah kemari, Baxter,” kata sang ayah, tetapi dengan wajah mengantuk dan tanpa ekspresi. “Tutup mulutmu, brengsek!” tiba-tiba si bocah memaki ayahnya. Sang ayah secepat kilat menangkap dagu dan rahang Baxter kemudian memaksanya memuntahkan apa yang ada di mulutnya. Cincin kawinnya jatuh menggelinding di karpet. Mereka semua memandang ke cincin itu. Namun tiba-tiba tanpa peringatan Baxter menendang ayahnya dengan sangat keras pada selangkangannya lalu berlari ke tangga

halaman 36


atas. Ia berhenti pada tempat yang aman di anak tangga dan mengucapkan kata-kata kotor kepada ayahnya seakan kata-kata itu sudah lama terpendam untuk dilontarkannya. Bu Zilke menjerit kecil. Sang ayah menggeliat kesakitan di tempat di mana Baxter tadi menendangnya. Setelah berjuang keras ia berupaya berkata, “Katakan padaku di mana ia tahu kata-kata seperti itu?” Bu Zilke berjalan ke tempat cincin itu tergeletak di dekat boneka. “Saya tidak tahu apa yang sedang terjadi pada anak itu,” katanya sambil meletakkan cincin tadi di atas meja. Kemudian kelelahan menjalar pada suaranya lalu ia berkata, “Apakah Anda terluka, Pak?” Air mata menetes dari kedua mata sang ayah karena perasaannya tertusuk. Beberapa saat ia tak mampu mengucapkan sepatah katapun. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya wanita tua itu lagi. “Tidak, terima kasih,” jawabnya. “Terima kasih,” dadanya bergemuruh karena rasa sakit luar biasa. “Saya letakkan cincin Anda di atas sini biar aman,” kata Bu Zilke memberitahu. Sang ayah mengangguk dari lantai di mana ia tekilir dan sengal luar biasa.

***

halaman 37


Sajak

Syafrizal Sahrun

Kamar Abu Pesankan Lagi Padaku Malam Mampir Ke Rumah Arus MenujumuSuatu Ketika Perantau Nyanyian Tanpa Pantang Di Kota Ini Malam Jum’at

Syafrizal Sahrun. Lahir tanggal 4 November 1986 di desa Percut. Memperoleh gelar sarjana dari UISU dan sekarang tengah mengikuti PPs di UMN. Beberapa karya puisi dan esai sastra di muat pada Batak Pos, Lampung Pos, Haluan Kepri, Haluan Padang, dan sebagianya. Puisinya juga di muat pada Antologi puisi Suara peri dan mimpi, Antologi puisi Cahaya, Antologi Puisi Tarian Angin dan Antologi puisi Menguak Tabir. Bekerja sebagai guru di SMK Y.P. Citra Harapan Percut.

halaman 38


Kamar Abu pada kamarmu yang abu aku sering masuk dan keluar tanpa mengetuk pintu lebih dulu ketika aku membawa sesuatu keluar siang hari malamnya kau bawa masuk kembali kau hampir kini tua lihat uban di kepala suka menjerat waktu pada jam yang kau harap membesar dan mekar ketika hendak beranjak tidur pada kamar yang abu ada sesuatu yang masuk dalam kuapku memberat mataku lalu pertengkaran akan kita buru seperti waktu-waktu lalu

Pesankan Lagi Padaku Pesankan lagi kepadaku Di perjumpaan ada yang berlalu Yang datang hilang Yang pulang mengambang Di lidahku Ada yang berlalu Aku tak tahu Dia datang dari hulu Atau di ujung lama menunggu Sungguh Pesankan lagi padaku

halaman 39


Malam Mampir Ke Rumah malam membekam kelam hujan jadi mainan di jendela : kau berlari kecil mengelak dera di jalan cuil berapa kata lagi kau akan jadi sajak ciummu membajak di ladang retak malam jadi pintu sudah kita merapat memburai rindu dan resah mengurat

Arus Menujumu Di hulu kita mencita Menimba Alir sejurus, kudakap kau Sampai muara, inginnya Batu merentang hadang Di air muka tertancap Bara dan lara Basah lara Basah bara Tapi adamu abadi ada Di dada kau mengembang Kilau kilat jua berderap di sukma

halaman 40


Suatu Ketika Dan suatu ketika Setelah perang dingin Angin berhembus mistis Pohon-pohon kembali menunduk bak sebuah penghormatan tapi bukan suatu keharusan malam dan siang menjadi mimpi lelaki dan perempuan seperti kunang-kunang tawaf di sebuah pohon menjulang dan merentang akankah kehidupan hanya sekadar gula-gula atau racun asik dukunyah sepanjang masa dan suatu ketika setelah perang dingin air laut rasanya tawar saja semuanya semacam bola yang dipentalkan dari diam ke diam

halaman 41


Perantau laki-laki dari kampung datang ke kota di tengah kota dia ditanya oleh orang yang serba lain muka dan perangainya “kau tahu berapa jumlah waktu tambah waktu?� laki-laki dari kampung bengong apa perhitungan itu pernah diajarkan oleh ibu si orang bertanya menghalau ibanya lalu ia bertanya lagi “berapa harga sajak yang terpasang di tubuhmu?� laki-laki dari kampung bengong tak mampu bohong ibunya tak ajarkan jual beli atau dia lupa di pikiran keberapa jawaban itu terpatri dengan bergegas dan yakin kali dia permisi pulang untuk tanya lagi pada ibu berapa jarak antara jasad dan nurani

halaman 42


Nyanyian Tanpa Pantang berderai rambutmu dihembus angin pergi ke tepi tapi bukan ini jadi pinta pantang pun tak jadi halang berderak usia kau singkap daun tingkap kupak petanda masa mukamu masih yang dulu derai rambutmu jadi pelagu kau tak pinta pulang atau datang ini nyanyian tanpa pantang

Di Kota Ini Di kota ini kita sama-sama jadi dendam Kota yang ibanya tak dipupuk dan disiram Dan orangnya asik terus berjalan siang malam Di kota ini pertumbuhan jadi angan-angan Pertumbuhan untuk siapa? Jantan kecil itu bertanya Kehidupan di kota ini tak ubah seperti celana Kalau mau dipakai ya dipakai Kalau mau telanjang ya tak ada yang larang Paling orang akan menganggap kau seorang edan Tapi peduli amat dengan orang Kehidupanmu ya kamu yang punya Jalanmu kamu yang suka Tapi di kota ini kita sama-sama jadi dendam Yang tak bisa padam-padam

halaman 43


Malam Jum’at Kau hembuskan padaku Jum’at yang sejuk Rumaku meliting Dalam tidur Aku mengigau Yang kau hembuskan Buatku menegang Tinggi Lampaui bubungan Jum’at yang baru di lahirkan Kamis pun rela jadi tumbal Di situlah Engkau curi selendang Bidadari tak pulang-pulang Di kepala Sungai mengalir mengisi ruang Walau kahyangan Membendung jalan

halaman 44


Hadiah Nobel

Dari Governor General’s Award hingga ke Nobel Prize Alice Munro Meraih Nobel Sastra 2013

“Imprévisible”, sebuah kalimat pendek dalam bahasa Perancis, yang terlontar dari mulut seorang teman, ketika via telepon saya menanyakan pendapatnya tentang Alice Ann Munro (kini berusia 82 tahun) si peraih Nobel sastra tahun ini 2013 (diumumkan Jumat (11/10/2013) Pada kenyataan memang demikian. “Sangat di luar dugaan”, karena memang panitia Nobel sama sekali tidak pernah

membiaskan bayang tentang orang-orang yang masuk kriteria unggulan meraka untuk meraih hadiah yang paling bergengsi ini. Dalam “minda” kami para pengasuh majalah budaya “Sagang” dan para “pebual budaya” yang mangkal di “Kantin ‘Teselit’ kompleks Dewan Kesenian Riau Pekanbaru”, hanya tersemat nama nama seperti, Bei Dao (Zhao Zhenkai) seorang penyair China yang kemudian pendapat

halaman 45


para pengunggulnya jadi melemah karena ia telah didahului oleh rekan se-asalnya Mo Yan (pemenang Nobel sastra 2012). Kemudian selain Bei Dao, terdapat Svetlana Alexievich dari Belarus, yang menggunakan sisi pandang orang pertama “saya” dalam bercerita. Menyusul penulis Jepang, Haruki Murakami, yang namanya melejit berkat karya-karya seperti “Norwegian Woods” dan „1Q84“. Tulisan-tulisan Murakami yang bercerita mengenai absurditas dan perasaan sepi dalam kehidupan modern dan memiliki jutaan pembaca. Sementara, Alexievich yang dengan karya-karya kesaksiannya sedang sangat populer di kawasan utara Eropa, dianggap berpeluang besar karena selain memiliki komitmen politik, tulisannya dekat dengan citarasa barat. Munro menjadi penulis perempuan ke13 yang memenangkan hadiah Nobel Sastra yang mulai diselenggarakan pada tahun 1901. Sekretaris tetap Akademi Swedia, Peter Englund mengakui bahwa masih terlalu sedikit penulis perempuan yang mendapat hadiah ini. Penulis perempuan terakhir yang memenangkan Nobel Sastra adalah Herta Muller, penulis Jerman asal Romania, pada tahun 2009. Dugaan-dugaan bahwa kali ini, para anggota tim penentu memiliki bias terhadap sastra Eropa dan memiliki kecenderungan untuk memilih penulis yang kurang terkenal dan dugaan itu menjadi terbukti. Oleh sebab itu, nama Murakami juga banyak diragukan, apalagi berkisar pendapat bahwa konteks politik akan mendapat porsi lebih besar kali ini. Karenanya, nama-nama penulis Korea Utara Ko Un, penyair dan penulis Suriah, Ali Ahmad Said Esber juga dikenal sebagai

halaman 46

Adonis serta penulis Kenya, Ngugi wa Thiong’o juga dibicarakan. Selain itu nama-nama penulis Albania, Ismail Kadare, Jon Fosse dari Norwegia dan penulis Belanda, Cees Nooteboom berada dalam daftar nama bandar taruhan pemenang Nobel Sastra. Persisnya apa pertimbangan untuk menetapkan pemenangnya baru akan diketahui 50 tahun lagi saat kurun waktu kerahasiaan dokumen-dokumen Nobel berakhir. Mungkin inilah yang memicu daya tarik terhadap hadiah Nobel Sastra. Yang pasti hanya bahwa usia rata-rata pemenang Nobel adalah 64 tahun. Alice, saat ini berusia 82 tahun, merupakan penulis berkebangsaan Kanada dan menjadi wanita Kanada pertama yang meraih Nobel bidang Sastra serta menjadi wanita ke-13 dari seluruh dunia. Peraih Nobel Sastra wanita sebelumnya adalah novelis Rumania Hertha Müller (2009). Dari press conference yang dilakukan, Alice mengaku sedang tertidur di rumah anaknya di Victoria, British Columbia ketika tiba-tiba dibangunkan pada pukul 4 pagi bahwa sebuah telepon telah masuk dan berasal dari Komite Nobel Norwegia. Nama Alice Munroe diumumkan pada pukul 1 dini hari waktu setempat oleh Sekretaris Permanen Akademi Nobel Peter Englund di Gamla Stan, Stockholm. Berbeda dengan kisah para penerima Nobel Sastra sebelumnya, termasuk Mo Yan (2012), yang akrab dengan bentuk sastra kisah panjang berupa novel, Alice Munro diganjar hadiah ini justru karena karya-karyanya yang berupa kumpulan cerita pendek. Terkecuali untuk beberapa edisi pemenang Nobel Sastra seperti Tomas Transtromer (2011) yang lebih akrab dengan puisi-puisi dan Ernest Hemingway


(1954) yang tulisannya banyak terpengaruh karya jurnalistik. Pertama kali berkarir di usia 37, Alice muda banyak terinspirasi oleh pekerjaan suaminya (yang kemudian bercerai) James Munroe yang menjalankan bisnis toko buku. Sejak saat itu ia banyak berlatih kemampuannya bercerita lewat tulisan yang sebagian hasilnya ikut disumbangkan untuk pengembangan toko tersebut. Berbekal latar pendidikan Sastra dari University of Western Ontario sampai akhirnya keluar karena menikah tahun 1951, Alice konsisten mencoba banyak bentuk sastra, termasuk novel. Hanya saja, itu tidak kunjung membuatnya menemukan jiwa kepenulisan yang dicari. “Dari tahun ke tahun, saya berpikir bahwa cerita pendek hanyalah bentuk latihan,” kata Alice kepada New York Times 2012 silam. “Sampai akhirnya saya menyadari bahwa hanya itulah yang saya bisa. Hal yang kemudian membuat saya menumpahkan banyak hal ke dalam bentuk cerita, dan semuanya terbayar.” “Saya sangat berharap ini akan menjadikan orang-orang melihat cerita pendek sebagai seni yang penting, bukan sekadar sesuatu yang kau main-mainkan sampai bisa menulis sebuah novel.” Kata Alice Munro kemudian. Peter Englund menyebutnya sebagai “penulis minimalis.” Oleh kalangan sastrawan dunia, Alice kemudian dijuluki “master of contemporary short stories“. Karya Alice banyak bercerita tentang kehidupan-kehidupan sulit di sudut kota Ontario, polemik sosial, dan juga banyak melibatkan tokoh-tokoh anak perempuan kecil yang dengan lihai dikelolanya dengan sentuhan pemikiran modern. Itu kurang lebih sama dengan karakter kehidupan

nyata Alice yang tidak banyak menyentuh publisitas. Kritikus sastra Amerika David Homel pernah menyebut Alice Munro sebagai “bukan tipe sosialita. Dia jarang tampil di publik dan bahkan tidak mengadakan tur untuk buku-bukunya.” Karya Alice Munro yang pertama diakui berjudul “Dance of the Happy Shades“, berupa buku kumpulan cerita pendek yang diterbitkan tahun 1968 dan langsung mendapat apresiasi dari publik Kanada saat itu. Bahkan, pemerintah Kanada mengapresiasi karya tersebut dengan penghargaan Governor General’s Award. Sejak saat itu Alice memilih berfokus membuat buku-buku kumpulan cerpen sampai sekarang, meski ia tak memungkiri terus mempelajari bentuk novel. Penghargaan tinggi yang diraihnya sebelum Nobel termasuk Man Booker International Price pada 2009. Sampai saat ini Alice telah menerbitkan 14 karya koleksi cerpennya yang terjual hampir di seluruh dunia, di antaranya Karyanya baru-baru ini, “Dear Life“, diterbitkan tahun lalu dan akan menjadi “karya terakhirku sebelum pensiun,” kata Alice. Alice Munro berhak atas hadiah setara $ 1,24 juta. Penyerahan akan dilakukan di Stockholm pada 10 Desember mendatang, bertepatan dengan peringatan kematian Alfred Nobel, fisikawan yang mewasiatkan penghargaan ini. Munro juga menyebut hadiah ini sebagai momen penting bagi harapannya agar masyarakat dapat menganggap cerita pendek sebagai salah satu seni yang penting. Karya Alice Munro menjadi istimewa karena, kumpulan cerpen pertama Alice Munro terbit pada tahun 1968, berjudul

halaman 47


Dance of the Happy Shades, dan langsung memenangkan Governor General’s Award (penghargaan sastra tertinggi di Kanada). Pada tahun 1978 Alice memenangkan penghargaan bergengsi tersebut untuk kedua kalinya berkat kumpulan cerpennya yang berjudul Who Do You Think You Are (di Amerika diterbitkan dengan judul The Beggar Maid: Stories of Flo and Rose). Pada tahun 2006 salah satu cerpennya yang berjudul A Bear That Come Over A Mountain diadaptasi menjadi film oleh Sarah Polley dengan judul Away From Her, dan mendapatkan nominasi Oscar untuk kategori Best Adapted Screenplay, namun kalah kepada No Country for Old Men. Tak berhenti sampai di situ, pada tahun 2009 putri seorang peternak rubah dan guru sekolah ini memenangkan salah satu penghargaan sastra paling bergengsi di dunia (selain Nobel Prize tentunya) yaitu The Man Booker International Prize. “Alice Munro dikenal sebagai penulis cerita pendek namun tulisannya memiliki kedalaman, kearifan dan ketepatan seperti yang hanya dimiliki para novelis yang sudah menulis seumur hidup. Membaca karya-karya Alice Munro selalu terasa seolah kamu sedang mempelajari sesuatu yang sebelumnya tak pernah terpikirkan olehmu.” Pernyataan itu dilontarkan oleh panel juri Man Booker saat itu. Kemenangan Alice Munro disambut gembira oleh para insan sastra yang sepertinya sudah lelah dengan buku-buku para pemenang nobel sebelumnya yang cenderung lebih berat, rumit, dan berbau politik. Karya-karya Alice disukai karena selalu membahas hal-hal yang sederhana namun di saat yang sama berhasil menampilkan sifat manusia dengan cara terbaik. Selain itu, karyanya juga dinilai karena memiliki deskripsi yang sangat detil dan indah se-

halaman 48

hingga berhasil membuat kejadian seharihari menjadi sesuatu yang istimewa. Mengetahui bahwa dirinya berhasil memenangkan penghargaan Nobel yang diadakan oleh The Swedish Royal Academy of Sciences ini, Alice mengatakan, “Hal ini sepertinya tidak mungkin terjadi. Seperti suatu hal yang terlalu luar biasa, aku tidak bisa menjelaskannya. Kemenangan ini melebihi sesuatu yang bisa kuungkapkan dengan kata-kata.” Kemenangan Alice Munro, seorang cerpenis, dianggap sebagai tanda bahwa golden age cerpen baru saja dimulai. Alice Munro adalah orang Kanada pertama dan perempuan ke-13 yang pernah memenangkan Nobel Prize. Di bulan Juni lalu, Alice Munro mengumumkan bahwa Dear Life, kumpulan cerpennya yang diterbitkan pada tahun 2012 adalah karya terakhirnya dan saat itu pula perempuan 82 tahun ini menyatakan pensiun sebagai penulis kreatif.*** (Redaksi dari berbagai sumber)


Teater

Drama Satu Babak Bulan Bujur Sangkar Karya Iwan Simatupang

ADEGAN ORANG TUA: (Sibuk Menyiapkan Tiang Gantungan). Kau siap. Betapa megah. Hidupku seluruhnya kusiapkan untuk mencari jenis kayu termulia bagimu. Mencari jenis tali termulia. Enam puluh tahun lamanya aku mengelilingi bumi, pegunungan, lautan, padang pasir. Harapan nyaris tewas. Enam puluh tahun bernapas hanya untuk satu cita-cita. Akhirnya kau ketemu juga olehku. Kau kutemukan jauh di permukaan laut. Setangkai lumut berkawan sunyi

yang riuh dengan sunyinya sendiri. Kau kutemui jauh tinggi. Sehelai jerami dihimpit salju ketinggian, yang bosan dengan putihnya dan tingginya. Kau siap! Kini kau bisa memulai faedahmu! MASUK PEMUDA, BERTAMPANG LIAR, LETIH, DAN MENENTENG MITRALIUR. IA KAGET, MELIHAT TIANG GANTUNGAN DAN ORANG YANG BERDIRI TENANG DI SAMPINGNYA. IA MENODONGKAN MITRALIURNYA. ORANG TUA:

halaman 49


Tunggu! Jangan tergesa. Mari kita tentukan dulu tegak kita masing-masing. Agar jangan silap menafsirkan peran kita masing-masing. Yang mematikan atau yang dimatikan. ANAK MUDA: Maksud Bapak? ORANG TUA: Tingkah laku harus senantiasa sesuai dengan watak yang ingin digambarkan. (Ia bisa mengambil mitraliur dari tangan anak muda) Sifat lahir harus sesuai dengan sifat rohani, agar … (Anak muda sadar dan mendepak mitraliur. Terdengar serentetan tembakan). … agar dicapai kesatuan waktu, kesatuan ruang, kesatuan laku. ANAK MUDA: Bapak ingin bunuh saya? ORANG TUA: Siapa hendak bunuh siapa? ANAK MUDA: Bapak ingin bunuh saya. ORANG TUA: Membunuh kau? Aku? Hendak bunuh kau? ANAK MUDA: Ya, Bapak hendak bunuh saya! ORANG TUA: Mengapa? Dengan alasan apa? Dengan tujuan apa aku harus membunuh kau? ANAK MUDA: Jahanam! Alasan! Tujuan! IA MENYERGAP ORANG TUA ITU. ORANG TUA MENGELAK. ORANG TUA: Tunggu dulu! Jangan tergesa. Tiap laku harus mentaati suatu gaya. ANAK MUDA: Laku? Gaya? Persetan semuanya! Yang penting bagiku adalah kesudahan lakon.

halaman 50

Berakhir! Alangkah bahagianya aku bila aku tahu, akulah pembuat keakhiran itu. LAGI IA MENYERGAP. ORANG TUA MENGELAK SIGAP. ORANG TUA: Maksudmu? ANAK MUDA: Lakon Bapak berakhir kini! Kini! Akulah yang mengakhirinya. ORANG TUA: Lakon tak dapat diakhiri, tapi mengakhiri diri sendiri. Tenaga lakon sudah hadir dalam dirinya, sejak semula. Adegan demi adegan, babak demi babak. ANAK MUDA: Tapi, sekali ia toh mesti tamat? ORANG TUA: Tamat? Betapa kerap tamat justru berarti permulaan? Pengarang melukiskan pada akhir lakonnya kata-kata “layar turun”. Apa nyatanya? Layar turun, ruang pertunjukan terang kembali. Barulah lakon sesungguhnya mulai bagi penonton. Ia pulang ke rumah, meletakkan dirinya di ranjang untuk menggoreskan titik ke dalam kelam biliknya. Apa selanjutnya terjadi, sesudah layar turun untuk kali penghabisan tadi? ANAK MUDA: Tanya yang bukan tanya; bila “tamat” berarti “mati”. Ha ha ha. Apa yang terjadi sesudah mati? Tentu tak apa-apa, sebab mati adalah keakhiran mutlak. MENYERGAP. Mutlak! ORANG TUA: Alangkah simpelnya, menganggap mati sebagai keakhiran mutlak. Kata siapa? Lihat setiap agama, satu per satu mereka memperoleh rangsang asasinya dalam rumus “Maut sebagai Awal mutlak”.


ANAK MUDA: Kesudahan dan kemulaan, sama saja. Pokok. Mutlak. ORANG TUA: Apa maksudmu dengan “Maut Multak” itu? ANAK MUDA : Lawan dari “Kehidupan Mutlak”. ORANG TUA: Maksudmu? ANAK MUDA: Kita. Bapak, aku. Aku yang hendak bunuh Bapak. ORANG TUA: Sedang tadi? ANAK MUDA: Tadi? Tadi … Bapak yang hendak bunuh aku. ORANG TUA: Bagus! Bagaimana hal ini dapat kau jelaskan? ANAK MUDA" Entah. Mungkin karena waktu. ORANG TUA: ANAK MUDA: Kelanjutan waktu mengantar Bapak ke taraf di mana kematian bagi Bapak bukan tak mungkin menjadi kenyataan. PAUSE. Tapi karena taraf itu ikut dalam kelanjutan waktu, maka kematian Bapak itu mengantar dirinya sendiri ke muka. Di sini ia sudah bukan kematian lagi. ORANG TUA: Bukan kematian lagi? Lalu apa? ANAK MUDA: Kematian Bapak mengimbangi dirinya sendiri. ORANG TUA: Lalu? ANAK MUDA: Kematian Bapak menjadi kehidupan.

ORANG TUA: Kematianku menjadi kehidupan? Oh, alangkah indahnya kematian kalau begitu. MEREKA BERPELUKAN. ANAK MUDA: Ini tiang gantungan. Bukankah begitu, Pak? ORANG TUA: Seperti kau lihat. Indah, bukan? ANAK MUDA: Punya siapa? ORANG TUA: Saya ANAK MUDA: Sendiri? ORANG TUA: Ya, sendiri. ANAK MUDA: Bapak seorang algojo? ORANG TUA: Jelaskan dulu, apa yang kaumaksud dengan algojo itu?! ANAK MUDA: Pelaksana hukuman mati, kalau tidak salah. ORANG TUA: Dari mana kau menarik kesimpulan bahwa aku punya sangkut paut tertentu dengan hukum, dengan hukuman, dan terlebih dengan hukuman mati?! Aku tak menyukainya! ANAK MUDA: Kalau begitu, apakah arti tiang gantungan ini? Fungsinya? ORANG TUA: Kau telah mengatakan setepatnya Fungsi! Apakah mesti sama arti fungsi dengan mencipta perbedaan antara sesama manusia? Yang menghukum lawan yang dihukum, yang menggantung lawan yang digantung.

halaman 51


ANAK MUDA: Saya tak mengerti lagi. Bapak dirikan tiang gantungan. Tentu maksud Bapak nanti akan ada seseorang atau lebih yang digantung di sini, hingga mati. Bukankah begitu? Saya tak dapat menerima anggapan, Bapak dirikan tiang gantungan di kaki gunung sini sekadar iseng saja atau sekadar menggantung orang hingga separuh mati saja. ORANG TUA: Tentu saja tidak. Tiang gantungan ini merupakan mahkota cita-cita yang dianut sepanjang suatu hidup penuh, 60 tahun. Dari semula sudah sejelasnya tafsiran ini pada diri saya. ANAK MUDA: Apakah tafsiran itu? ORANG TUA: Bahwa pada mulanya, pada akhirnya, hidup adalah maut juga. ANAK MUDA: Sungguh menarik. Sungguh menarik. Tapi, apakah ini Asli? ORANG TUA: Tidak. Bahkan sudah sebaliknya, Basi. ANAK MUDA: Jadi penganut cita yang Basi? Adakah ini sesuai dengan apa yang disebut sebagai Cita? ORANG TUA: Tidak. Oleh sebab itulah aku merencanakan sesuatu yang asli padanya. ANAK MUDA: Apakah itu? ORANG TUA: Mempraktekkannya. ANAK MUDA: Caranya? ORANG TUA: Mematikan yang hidup, sudah tentu. ANAK MUDA:

halaman 52

Ha ha ha. Apakah ini juga Asli? Saya khawatir, Bapak sedemikian menggolongkan diri ke dalam barisan pembunuh-pembunuh yang memenuhi penjara-penjara. Sedangkan Bapak adalah Seniman. Seorang seniman besar! ORANG TUA: Tentu saja aku tak ingin menyamakan diri dengan mereka. Tidak. Sungguh tepat penamaan yang kauberi tadi. Pembunuhan yang kurencanakan ini adalah seni. Ya, aku seniman. Seniman besar. ANAK MUDA: Akan jadi seniman. ORANG TUA: Kau benar. Akan jadi seniman. ANAK MUDA: Dan bila bapak berniat benar? Jadi seniman itu? ORANG TUA: Pada saat ia, yang hidup, yang akan kumatikan, menyatakan kehadirannya padaku. ANAK MUDA: Ia Bapak gantung begitu saja. ORANG TUA: Maksudmu? ANAK MUDA: Tanpa basa-basi lebih dulu? Tanpa tanya apa rela ia dimatikan? ORANG TUA: Tentu! Tentu. Ia tak akan menolak. Segalanya punya taraf. ANAK MUDA: Bapak yakin ia akan menjawab “Ya.� ORANG TUA: Tentu ANAK MUDA: Alasannya? ORANG TUA: Kau bertanya alasannya? ANAK MUDA:


Ya, alasannya! ORANG TUA: Oleh sebab itu ia, seperti kukatakan tadi, dari semula adalah maut. ANAK MUDA: Ia pasti tak akan ajukan protes? Protes terhadap subtitusi kedua kondisinya itu? ORANG TUA: Aku tak melihat alasan kuat yang menyebabkan ia mesti protes terhadap kematiannya. ANAK MUDA: Menurut Bapak, bukan tak mungkin saya korban itu. ORANG TUA: Ha ha ha. Bukan tak mungkin! ANAK MUDA: Adakah saya akan menjawab “Ya.” ORANG TUA: Pertanyaan ini untukku atau untukmu? ANAK MUDA: Menurut Bapak? ORANG TUA: Untuk kau sendiri. ANAK MUDA: Bila saya menjawab “Tidak.” ORANG TUA: Ya atau Tidak, sama saja bagiku. Yang penting nilainya! Kematian berguna bagi aku. Sederhana, bukan? ANAK MUDA: Bapak ingin memaksa saya? Ini membunuh saya namanya. Sedang rencana Bapak itu bertolak dari kemauan bebas. ORANG TUA: Bukankah Maut adalah Pembebasan? ANAK MUDA: Kebebasan maksud Bapak? ORANG TUA: Apa bedanya? ANAK MUDA: Kebebasan dari semula. Pembebasan,

masih harus lagi. ORANG TUA: Ah, sama saja. Lagipula bagaimana mungkin Maut dapat digambarkan sebagai sifat Semula? ANAK MUDA: Soal ini bagi saya atau Bapak? ORANG TUA: Menurut kau untuk siapa? ANAK MUDA: Untuk Bapak. ORANG TUA: Pertanyaan itu bukan soal. ANAK MUDA: Sungguh suatu Soal. Itulah hakikat cita Bapak itu. Oleh sebab ituh saya protes terhadapnya. Ia dapat dijadikan dalil kesewenangan. ORANG TUA: Ha ha ha. Apakah anak hendak meyakinkan aku? Tampang kau dengan rambut panjang kusut begini, dengan pakaian rimba, dengan senjata pencabut nyawa, dengan dua mata yang menyinarkan keadaan di perbatasan dua bumi, dengan nada-nada suara yang mendambakan penjungkiran seluruh alam. Bukankah ini tampang seorang anarkis? ANAK MUDA: Kesenangan tidak sama dengan Anarkis. ORANG TUA: Tapi sama-sama memuja kemutlakan tiada batas. ANAK MUDA: Dapatkah penampikan batas dicerca, bila batas sudah tidak dapat lagi dialami sebagai jaminan mungkinnya keyakinan dan khayal? ORANG TUA: Dicerca mungkin tidak, tapi dikasihani mungkin ya! ANAK MUDA:

halaman 53


Bapak lebih buas dari sangkaku semula. ORANG TUA: Mengapa? Karena aku tak dapat meyakini citamu yang mencari batas di tempat persembunyiannya, di keterasingan tingginya pegunungan? Tidak, nak. Aku tak ada melihat kebulatan caramu itu. Pada hakikatnya kau adalah pengnut batas juga. Penganut tata tertib, tata krama, tata negara. ANAK MUDA: Bapak tidak? ORANG TUA: Apa kau kira hakikat tiang gantungan ini? (Di kejauhan terdengar tembakan, disusul suara-suara. Salah satunya menyerukan perintah) “Mat! Kau tempuh jalan yang mendaki lereng gunung itu. Mungkin ia mendaki. Mungkin ia menempuh itu. Begitu kau lihat dia, tembak! Kita akan bertemu di lereng sana.” (Suara lain) “Saya, Pak.” LALU SUARA-SUARA ITU MENDEKAT. ANAK MUDA; Nah, Pak. Para pemuja batas itu sudah menyusul aku. Aku mesti pergi lagi. Mereka belum boleh mendapatkan aku. Selamat tinggal algojoku. ORANG TUA: Mengapa batas yang kaucari itu, tak ingin kautemui saja pada tali ini. Ia terbuat dari tali jenis bangsawan. Dari bawah salju puncak tertinggi di dunia. Lekas! Waktu tak banyak lagi bagi kau. ANAK MUDA: Tidak, Pak! Pun tali ini terlalu lurus. Terlalu licin seperti tata tertib, tata krama, tata negara. Batas yang kau cari itu menolak tiap yang lurus, yang licin, yang bagus,

halaman 54

yang sopan, yang indah, yang beradab, yang berkebudayaan. DERAP SEPATU MAKIN MENDEKAT. ANAK MUDA: Jangan menangis, Algojo; ingat, tingkah laku harus sesuai dengan…. ORANG TUAL: … dengan watak yang ingin dilukiskan ANAK MUDA: Bagus! Bagus! Buat apa menangis; Ayo berpestalah! Berhari besarlah! Rayakan keberangkatan suatu watak ke kerajaannya. Kerajaan dari tiada batas. ORANG TUA: Ya, pesta hari besar. ANAK MUDA: Selamat tinggal. ORANG TUA: Watak, Besar. ADEGAN II SUARA SEPATU MENDEKAT. TEMBAKAN. PERGULATAN. LANTAS SENYAP. PANGGUNG TERANG. PADA TIANG GANTUNGAN TERAYUN-AYUN MAYAT BERPAKAIAN DINAS, LENGKAP DENGAN SENJATANYA. ORANG TUA: Hari Besar. Hari ini aku merayakan berangkatnya suatu watak besar ke kerajaan tiada batas. Watak kecil harus selamat tinggal. Peranannya terdiri atas cuma mengucapkan kata-kata “Selamat tinggal!” saja. Sesudah itu ia mesti menghilang lagi. Lari ke belakang layar, terus ke jalan raya. Di situlah wajahnya. Sesekali ia memperkenankan dirinya libur ke kakilima-kakilima, menyorakkan “eli eli lama sabachtani” kepada setiap orang yang lalu, yang berangkat. (Pause).


Itulah duka ceritamu, Pahlawan. Kau tak lagi puas dengan ukuranmu yang kecil. Kau ingin memperbesarnya dengan menyatukan diri dengan pengertianpengertian, seperti “mengejar”, “memburu”. Darimana kauperoleh hak berbuat demikian, sedang “mengikut” saja tak pernah kaulakukan? Tidak, Pahlawan. Mengejar, bahkan mengikuti dari belakang adalah hak-hak istimewa yang hanya dikaruniakan dewadewa kepada mereka yang sudah mengalami kenikmatan berangkat. Dari mengucapkan “selamat tinggal”. Tahukah kau, bagaimana sikap seseorang yang berangkat? Ia menjabat tangan-tangan kerdil kotor dan berbau kesetiaan harian dari mereka yang tinggal. Bila perlu, ini dilakukannya dengan iringan senyum palsu di mulutnya. Senyum ini perlu untuk menenteramkan mereka agar sabar dengan hasilnya. Kedok seperti ini perlu bagi mereka yang tinggal. Sebab segera ia berangkat, manusia-manusia yang tinggal ini meletuskan perang saudara. Kedok itu mereka perebutkan. Bila Magrib tiba, pulanglah mereka ke rumahnya masingmasing. Sambil membaca manteramantera dan jampi-jampi, mereka gulung sobekan-sobekan kedok tadi menjadi azimat. Azimat baru! Bila anjing melengkingkan gonggongan terakhirnya, mengantar binatang berangkat dini hari, dengan rahasia digoreskannyalah sebuah kata pada azimat itu. (Kepada mayat.) Tahukah kau, Pahlawan! Kata apa? “Selamat Tinggal!” Ha ha ha. “Selamat Tinggal!” Tapi aku telah hindarkan penggulungan azimatmu. (Memegang jari mayat). Tangan dan jari-jayang kaubikin kasar

bentuknya dengan kesibukan mengejar dan mencabut nyawa ini, tidak perlu kausiksa lebih lama lagi dengan memegang kalam untuk menuliskan “Selamat Tinggal!” Ha ha ha. Aku telah muncul di panggung. Berangkatmu dari bumi adalah berangkat tanpa selamat tinggal. Berangkat yang human, humanitis, psikologis, social paedagogis, sosiologis, ekonomis; berangkat yang prosais, puitis, liris, ritmis. (Pause) Berangkat yang hina. Tanpa rasa puas dari seorang yang telah memperolokkan orang lain; memperolokkan masyarakat; memperolokkan umat manusia. Berangkatmu adalah persis jatuhnya cangkir yang sudah punya retak, diletakkan tak hati-hati di pinggir meja. Kau jatuh berserakan. Nyonya rumah menjawab tuan rumah “O, hanya mangkok yang sudah retak itu, Pak; ia toh sudah lama hendak kubuang saja.” Tahu apa kata tuan rumah? “Bagus. O, Mien. Bawakan aku lagi teh secangkir, tapi dalam mangkok porselin yang baru kita beli itu, hmm?” Kau dicampakkan dalam tong sampah oleh seorang babu pengomel. Ha ha ha. Tong sampaj! Selamat tinggal. Ha ha ha. SEORANG PEREMPUAN MASUK. USIANYA LEBIH KURANG 25 TAHUN. WAJAHNYA KUATIR, LETIH. MELIHAT MAYAT DIGANTUNG IA TERKEJUT. ORANG TUA MELIHATNYA, TERUS TERBAHAK, DAN SESEKALI MENERIAKKAN “SELAMAT TINGGAL!” PEREMPUAN: Selamat petang! ORANG TUA: Selamat....

halaman 55


PEREMPUAN: ... petang! ORANG TUA: Siapa kau? PEREMPUAN: Aku? ORANG TUA: A.... PEREMPUAN: ... ku! DI KEJAUHAN TERDENGAR LETUSAN-LETUSAN SENAPAN, SAHUT MENYAHUT. SESUDAH MITRALIUR BERUNTUN, IA TAMPAK LEGA. SAMBIL MENGUCAPKAN SYUKUR, IA TERISAKISAK. MENANGIS. ORANG TUA: Syukurlah, ia masih hidup. Teriakannya yang terakhir tadi belum akhir baginya. Akhirnya ia sampai juga ke kerajaannya. PEREMPUAN: Bapak mengenalnya. ORANG TUA: Siapa tak mengenalnya!? Itulah cacat dari tiadanya batas. Garis yang membulatkan diri kita tak ada. Kita hanya lobang saja di udara. PEREMPUAN: Ia singgah di sini? ORANG TUA: Di mana dia tak singgah? Lobang ada di segala, ada di tiada. Baginya tak ada perairan. Teritorial. Ia dapat berlabuh di mana ia suka. Yang penting baginya adalah singgah. Itu pengertian gaib antara Tiba dan Berangkat. PEREMPUAN: Bila ia tiba di sini? ORANG TUA: Pada saat ia berangkat lagi. PEREMPUAN:

halaman 56

Bila ia berangkat dari sini? ORANG TUA: Pada saat ia hendak tiba lagi. PEREMPUAN: Ia baru saja dari sini. Baunya masih mengendap di sini. Bagaimana rupanya kini, Pak? Kuruskah? Gemukkah? Masih utuhkah tubuhnya? Belum pincang? Tuli? Buta? Adakah masih tahi lalat pada keningnya atas alis matanya sebelah kiri? Tahi lalat sebesar biji delima? Tahi lalat berwarna ungu tua, sandaran bibirku di kala rindu. Tahi lalat, bukit dalam impianku, dari balik mana Bulan Bujursangkar terbit. Tapi kini, kebun belakang rumah kami habis dirusak babi hutan berturunan dari pegunungan. Delima habis mereka injak-injak, bijinya berserakan. Bulan Bujursangkar tak muncul lagi. Ke mana bibirku harus kusandarkan? ORANG TUA: Ke mari. MENUNJUK TIANG GANTUNGAN. PEREMPUAN: Agar ia menjadi bibir yang hilang montoknya, hilang merahnya? ORANG TUA: Apa kurangnya bibir yang tak punya sifatsifat yang kausebut itu? PEREMPUAN: Adakah yang lebih jelek daripada Garis Lurus? Bibir yang mencari sandaran pada tiang gantungan adalah Garis Lurus. ORANG TUA: Mengapa? PEREMPUAN: Bibir mayat. Hendak ke mana segalanya yang serba lurus ini mengunjuk? ORANG TUA: Hampir lupa aku, kau adalah tunangannya. (Menunjuk gunung di


kejauhan). Tunangan seorang penantang yang serba lurus. PEREMPUAN : Cinta kami bukan pertemuan Dua Garis Sejajar. ORANG TUA: Tentu. Kau bukan pencipta Ilmu Ukur baru. PEREMPUAN: Cinta kami bukan persilangan ORANG TUA: Bukan Salib?! PEREMPUAN: Bukan! Bukan Salib! Sama sekali bukan Salib! ORANG TUA: (mengejek). Salib adalah cinta dengan huruf besar. PEREMPUAN: Kata siapa? (Orang tua hendak menjawab). Cinta di seberang sana dari Maut. ORANG TUA: Coba sebutkan perasaan besar manusia, yang bukan tegak di seberang sana dari maut. PEREMPUAN: Kata siapa kita mesti menyeberang? ORANG TUA: Mesti tidak! Tapi sebaiknya! PEREMPUAN: Sebaiknya? Adakah tiang gantungan ini bapak dirikan berasas Susila yang dikandung pengertian “Sebaiknya� ini juga? Saya kuatir, sampai kiamat tak akan ada orang yang Bapak gantung. ORANG TUA: ( menunjuk mayat. ) Dan ini? PEREMPUAN: Ia Bapak paksa, Bapak bunuh! ORANG TUA: Kata siapa? PEREMPUAN:

Kesimpulan satu-satunya yang dapat ditarik dari keadaan di sini. ORANG TUA: Kau hamba logika. PEREMPUAN: Justru algojonya. ORANG TUA: Jadi, menurut pendapat kau, akulah pembunuh pahlawan kita yang mencoba melakukan tugasnya ini? Begitulah jadinya, kalau kau terlalu lama jadi ditelan filsafat. PEREMPUAN: Bapak rupanya sarjana, ya? ORANG TUA: Persetan sarjana. Kesarjanaan! Ha ha ha. Mari kita bangun kembali peristiwa ini. (Menunjuk mayat). Ia datang ke mari untuk apa? PEREMPUAN: Melakukan kewajibannya. ORANG TUA: Bagus. Bagaimana ia kini? PEREMPUAN: Mati digantung. ORANG TUA: Bagus. Apa kesimpulannya? PEREMPUAN: (sinis) Berkewajiban berarti dibunuh. ORANG TUA: Bagus! Bagus! PEREMPUAN: Adakah penolakan terhadap kesarjanaan itu berarti Bapak lalu menganut kepurapuraan. ORANG TUA: Persetan Sofisme. Pahlawan kita ini harus berterima kasih padaku. Ia telah kubebaskan dari peranannya yang pelik. Yakni mempunyai kewajiban. Kewajiban membuat kita terlalu sadar akan diri sendiri. Kita menjadi angkuh. Bila ukuran

halaman 57


watak yang mendukungnya tak seberapa, maka celakalah. Kewajiban itu lalu menjadi bentuk tertentu dari kesewenangan. Ya, tunanganmu tadi menolak dalilku yang menyatakan bahwa kesewenangan sama saja dengan Anarki. PEREMPUAN: Tapi.... ORANG TUA: Tunggu. Ha ha ha. Mengapa aku hampir lupa, cinta kadang-kadang berarti kesamaan-kesamaan. Dalilku tak mengandung arti meremehkan Anarki maupun kesewenangan. Aku hanya ingin mengemukakan hierarki dari pengertianpengertian saja. Anarki hanyalah sebagian kecil dari kesewenangan. PEREMPUAN: Atau sebaliknya? ORANG TUA: Tidak. Hingga kini, anarki hanya dapat mempertahankan dirinya lewat rasa tal puas, lapar, rapat-rapat rahasia, sabotase, peledakan-peledakan bom waktu, dan penyebaran pamflet-pamflet gelap. Penghadapan wajah ke bawah tanah inilah yang senantiasa tak dapat kusetujui. Bagaimana bahagia di atas tanah dapat diperjuangkan di bawah tanah? Tidak! Bahagia adalah juga masalah sinar matahari. Masalah harmoni. PEREMPUAN: Bapak seorang klasikus juga. ORANG TUA: Karena harmoni yang kukatakan itu? Aku bahkan terus bertarung melawan klasikisme. Aku ingin memancungnya bila saja, di mana saja kutemui. PEREMPUAN: Mengapa? ORANG TUA: Karena ia memperkenankan dirinya

halaman 58

menciptakan pada manusia kini rasa asing terhadap dirinya sendiri. Masa kita kini adalah masa yang justru mengabdi kepada yang serba tak harmonis. Disharmoni. Demikian ibadah zaman baru. Lihat saja seni ... musik modern, sastra modern, drama modern. PEREMPUAN: Bapak seorang modernis? ORANG TUA: Tidak! PEREMPUAN: Mengapa?! ORANG TUA: Modernisme juga cuma satu istilah saja. PEREMPUAN: Apakah kalau begitu paham Bapak? ORANG TUA: Ketiadanamaan, yang mencoba sinonimnya pada tiang gantungan. SUARA-SUARA RIMBA, TANDA PETANG MENJELANG. AGAK DEKAT, ALUNAN SERUNAI MEMAINKAN SEBUAH LAGU RAKYAT YANG SANGSAI. SESEKALI SERUNAI ITU BERHENTI, LALU TERDENGAR SUARA GEMBALA KECIL, 15 TAHUN UMURNYA, MENYERUSERUKAN DOMBANYA AGAR TIDAK TERLALU JAUH. PEREMPUAN : Siapa itu? ORANG TUA: Harmoni. PEREMPUAN: Menyatakan dirinya lewat siapa? ORANG TUA: Seorang gembala cilik. Tiap hari ia ke lereng gunung ini menjagai dombadombanya. Anak haram jadah?! PEREMPUAN: Mengapa Bapak marah?!!


ORANG TUA: Sawangku menjadi olehnya. PEREMPUAN: Karena nada-nada serunai itu terlalu harmonis? ORANG TUA: Ya, setiap kali ia kudengar, aku selalu dan seolah dihadapkan dengan sebuah lukisan yang oleh suatu prasangka tertentu dalam diriku tak kusukai. PEREMPUAN: Adakah lukisan itu jelek? ORANG TUA: Tidak. PEREMPUAN: Warna-warnanya barangkali tak sesuai? Pelukisnya tak tahu membagi bidang? Tak pernah mempelajari psikologi dalam filsafat warna? Bingkainya barangkali terlalu menyolok! ORANG TUA: Ia sama sekali tak berbingkai. PEREMPUAN: O, jadi, lukisan yang bertemakan keabadian? ORANG TUA: Bukan! Bukan! Bukan! PEREMPUAN: Siapa pelukisnya? ORANG TUA: Aku tak tahu. PEREMPUAN: Dugaan Bapak? ORANG TUA: Aku tidak tahu. PEREMPUAN: Tentang apa lukisan itu? ORANG TUA: Aku tidak tahu. PEREMPUAN: Dugaan Bapak? ORANG TUA:

Sorga. PEREMPUAN: Alasan Bapak? ORANG TUA: Terlalu damai. PEREMPUAN: Alasan Bapak. ORANG TUA: Tanpa konflik. (Suara serunai. Sesekali gembala menyeru dombanya. Orang tua gelisah). Stop! Hentikan! SERUNAI TERHENTI. ORANG TUA BINGUNG. SERUNAI MULAI LAGI. TERHARU, DIAM-DIAM PEREMPUAN PERGI ADEGAN III ORANG TUA BERHENTI MENANGIS. ORANG TUA: Haaaaai!!! (Gaung bersahutan.) Haaai! Siapa perempuan muda tadi. Ia Cuma menyebut dirinya Aku. Haai Akuuu!! (Gaung kembali bersahutan). Ke mana ia pergi? Mengapa ia pergi? Bodoh aku ini. Kubiarkan ia pergi. Sedang kesempatan sudah begitu bagusnya. Aku ngomong saja tentang lobang, peraturan teritorial, tahi lalat, warna ungu tua, bulan bujursangkar, delima, celeng, ilmu ukur baru. Ia perempuan cantik. Begitu cantik. Buah dadanya, buah dadanya! Ia akan kurebahkan di sini. Ah, peduli apa kalau pun ada orang melihatnya. Dan apabila ia meronta? Tentu saja ia meronta Ronta keperawanan. Tiap terjang tumitnya di dadaku ini, merupakan medali cinta tertinggi bagiku. Kebetinaan harus ditemui di balik kerusakan. Di balik kutang dan celana sutra yang dirobek paksa. Di balik rintih penyerahan tubuh dengan paksa.

halaman 59


Tanpa kekerasan segalanya hanya akan menjadi masalah garis lurus. Mengapa aku harus enggan memperkosanya? Aku, yang sudah berusia 60 tahun. Yang tak pernah berani membuka hatiku kepada kejelitaan jenis betina dari umat manusia. 60 tahun adalah usia yang patut diakhiri. Atas kehendak bebasku, siapa sanggup melarangnya? Seperti juga, siapa yang sanggup melarang aku memperkosa perempuan tadi, andai ia masih di sini sekarang. Dan mesti dia orangnya. Gadis, remaja, jelita, cendekia, jenial, setia, penuh cita-cita. Pendeknya perempuan sempurna. Dan dia ini tunangan dari pemuda sempurna. Laki-laki sempurna. Gagah, tampan, jujur, berani, berperadaban jasmani dan rohani yang tinggi, suka malam sunyi dengan gonggong anjing di kejauhan. Suka memandangi bintang-bintang. Suka puisi, suka drama, suka segala yang indah. Pendeknya laki-laki sempurna, Perempuan sempurna dengan laki-laki sempurna. DI KEJAUHAN TERDENGAR LETUSANLETUSAN SENAPAN. LANTAS DIBALAS SEBUAH MITRALIUR. LANTAS SORAK KEMENANGAN. ORANG TUA: Sempurna. (Terdengar Serunai). Gembala jahanam. Stop! Hentikan! (Serunai Berhenti). Akhirnya ia berhenti juga. Akhirnya ada manusia yang mematuhi aku. Berhentiiii. (Gaung Bersahutan). Nah, aku kini beroleh titik mula. Hai bimbang, enyah kau! Serunai dan gembala telah tunduk. Aku kini mulai dengan babak pertama pelaksanaan citaku. Apa kata filsuf Perancis yang kenes itu? Cogito... Persetan bahasa latin. Biar

halaman 60

kucoba dengan bahasa ibuku sendiri. Aku membunuh oleh sebab itu aku ada!!! Nah, itu dia. Aku membunuh oleh sebab itu aku ada! Ayo para sarjana, catat filsafat baru ini. Lekas tulis buku-buku pengantar tentangnya. Filsafat sekarang adalah “Filsafat pengantar filsafat” saja. Itulah daya maksimum manusia – pengantar. Mengantar hingga sampai pintu tertutup saja. Apa di balik pintu tertutup itu? Kamar kosong. Pada kuncinya tersangkut sobekan kertas karton kecil dengan tulisan eli eli lama sabachtani. Ha ha ha. Eli eli lama sabachtani. SUARA SERUNAI KEMBALI. ORANG TUA BERHENTI TERTAWA. GEMBALA KECIL MUNCUL, IA KAGET MELIHAT MAYAT TERGANTUNG, DAN HENDAK PERGI. ORANG TUA: Ada apa, Nak? GEMBALA: Ada prajurit. Banyak prajurit! Mereka mengusung sebuah mayat. ORANG TUA: Mayat? Mayat siapa? GEMBALAL: Seorang laki-laki. ORANG TUA: Pemuda? Rambutnya panjang? Pakaiannya macan loreng? Tahi lalat atas alis sebelah kiri? Berwarna ungu tua? Di mana ia sekarang? GEMBALA: Di sana. ORANG TUA: Beristirahat? GEMBALA: Bukan. Menurunkan mayat lain dari pohon. ORANG TUA: Mayat lain? Mayat siapa?


GEMBALA: Seorang perempuan yang menggantung dirinya di atas pohon. ORANG TUA: Bagaimana rupanya? GEMBALA: Ia telanjang. ORANG TUA: Telanjang? GEMBALA: Pakaiannya dirobek-robek jadi tali gantungannya. ORANG TUA: Apakah ia masih gadis? Buah dadanya! Buah dadanya!

GEMBALA PERGI DIAM-DIAM. SUARA BELANTARA MAKIN RAMAI. ORANG TUA (Berbisik). Babi hutan berturunan dari pegunungan. Buah delima habis mereka injak-injak. Bulan bujursangkar tak terbit lagi. Tak terbit lagi. PAUSE. Aku membunuh, oleh sebab itu aku ada. Aku yang menyumbangkan bab terakhir pada ilmu filsafat. Haai sarjanasarjana filsafat, catat ini Aku membunuh, oleh sebab itu aku ada. SAYUP-SAYUP SUARA SERUNAI. LAGU RAKYAT. AMAT SANGSAI. ORANG TUA: MENGAKHIRI HIDUPNYA. Aku membunuh, oleh sebab itu aku ada. PANGGUNG GELAP

*** Red. dari majalah “Siasat” No 667Tahun XIV, 23 Maret 1960.

halaman 61


Rehal

Seni Setelah Berakhir

Judul buku : After The End of Art Penulis : Arthur Coleman Danto Penerbit : Princeton University Press, Tahun penerbitan: 1997

Danto lahir di Ann Arbor , Michigan , 1 Januari 1924, dan dibesarkan di Detroit . Setelah menghabiskan dua tahun masa wajib militer di Angkatan Darat , Danto belajar seni dan sejarah di Universitas Wayne (sekarang Wayne State University ) dan kemudian mengejar studi pascasarjana filsafat di Columbia University. Dari tahun

halaman 62

1949 sampai 1950, Danto belajar di Paris dengan beasiswa Fulbright di bawah Maurice Merleau Ponty dan pada tahun 1951 kembali mengajar di Columbia , di mana dia bergelar Profesor Emeritus dari cara menulis dengan pola pikir yg terkenal sombong dan bermuatan filsafat . Dalam bukunya, “ Seni rupa “ dan


Definisi Seni hadir lebih dari satu dekade yang lalu, Arthur Danto mengatakan di hadapan khalayak dunia bahwa, seni yang sebenarnya seni, akan berakhir pada tahun enam puluhan. Sejak deklarasi itu, Danto telah berada di garis depan pada barisan kritikus dengan bentuk kritik yang bersifat radikal terhadap sifat seni yang kemudian menjadi lazim di zaman kita sekarang ini. Setelah Seni berakhir menyajikan Danto menjadi kritikus pertama yang melakukan reformulasi dalam skala penuh dari wawasan aslinya, secara gamblang ia menunjukkan bagaimana, dengan gelap abstrak ekspresionisme, seni telah menyimpang tidak dapat ditarik kembali dari muatan narasi. Selain itu, dia mempelopori cara baru untuk mengkritik dan itu sangat membantu kita memahami seni secara posthistorical per-zaman, misalnya, seorang seniman dapat menghasilkan sebuah karya secara visual dalam gaya Rembrandt dan di mana teori tradisional tidak dapat menjelaskan perbedaan antara Andy Warhol Brillo Box dan produk yang ditemukan di toko kelontong. Disini kita terlibat dalam serangkaian percakapan mendalam dan menghibur pada masalah estetika dan filosofis seni yang paling relevan, yang dilakukan oleh seorang pengamat terutama yang berkutat pada kancah seni hari ini. Awalnya ucapan itu disampaikannya sebagai materi ceramah pada pertemuan bergengsi terkait senirupa, tulisan-tulisan ini meliputi sejarah seni, seni pop, “seni rakyat,” peran masa depan museum, dan kontribusi kritis Clement Greenberg yang membantu membuat rasa modernisme atas dua generasi yang lalu, melalui kritik estetika berdasar. Menelusuri sejarah seni dari tradisi mimesis (gagasan bahwa seni

adalah representasi realitas semakin lebih memadai) melalui era manifesto modern (ketika seni didefinisikan oleh filsafat seni). Pendapat Danto, pemikiran tradisional tentang estetika tidak bisa lagi berlaku untuk seni kontemporer. Sebaliknya ia berfokus pada filsafat kritik seni yang dapat menangani, mungkin fitur yang paling membingungkan dari seni kontemporer: bahwa segala sesuatu adalah mungkin. Danto meletakkan dasar bagi definisi kelembagaan seni yang berusaha untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh fenomena yang muncul dari seni abad kedua puluh . Definisi dari istilah “seni” adalah subjek pertikaian konstan dan banyak buku dan artikel jurnal telah diterbitkan berdebat jawaban atas pertanyaan , Apa Art ? Definisi dapat dikategorikan ke dalam definisi konvensional dan non konvensional . Definisi non - konvensional mengambil konsep seperti estetika sebagai karakteristik intrinsik dalam rangka untuk menjelaskan fenomena seni . Definisi konvensional menolak koneksi ini perihal estetika , sifat formal, atau ekspresif sebagai unsur penting untuk mendefinisikan seni. Esai “ dunia seni “ di mana Danto menciptakan istilah “ seni rupa “ , yang maksudnya konteks budaya atau “ suasana teori seni, “ pertama kali muncul dalam Journal of Philosophy ( 1964) dan sejak itu telah banyak dicetak ulang . Hal ini telah berpengaruh besar terhadap filsafat estetika dan menurut profesor filsafat Stephen David Ross , “ terutama pada teori institusional George Dickie tentang seni. Dickie mendefinisikan karya seni sebagai artefak yang telah diberikan kepadanya status calon apresiasi oleh beberapa orang atau orang yang bertindak atas nama sebuah lembaga sosial tertentu ( seni rupa

halaman 63


)“ Menurut Ensiklopedia Stanford Filsafat , Definisi Danto sebagai berikut : sesuatu adalah karya seni jika dan hanya jika ( 1 ) memiliki subjek ( 2 ) tentang yang memproyeksikan beberapa sikap atau sudut pandang ( 3 ) melalui elipsis retoris (biasanya metafora ) yang ellipsis melibatkan partisipasi penonton dalam mengisi apa yang hilang, dan ( 4 ) di mana pekerjaan tersebut dan penafsiran daripadanya memerlukan seni konteks sejarah. ( Danto , Carroll ) Ayat ( 4 ) adalah apa yang membuat definisi jadi melembaga. Arti dasar dari istilah “seni” telah berubah beberapa kali selama berabad-abad , dan terus berkembang selama abad ke-20 juga. Danto menggambarkan sejarah seni dalam versi kontemporer sendiri sejarah dialektis seni Hegel . Danto tidak mengklaim bahwa tidak ada orang yang membuat seni lagi, . Ia juga tidak mengklaim bahwa tidak ada seni yang baik sedang dibuat lagi Tapi dia berpikir bahwa sejarah seni tertentu barat telah berakhir , pada sekitar cara yang Hegel menyarankan itu akan. “end of art “ mengacu pada awal era modern seni di mana seni tidak lagi melekat pada batasan teori imitasi tapi melayani tujuan baru . Seni dimulai dengan era imitasi, diikuti oleh era ideologi , diikuti oleh era pascasejarah kita di mana, dengan kualifikasi , apapun itu ... Arthur Danto adalah kritikus seni untuk The Nation 1984-2009 , dan juga telah menerbitkan banyak artikel dalam jurnal lainnya . Selain itu, ia adalah editor Journal of Philosophy dan editor kontribusi dari Naked Pukulan Review dan Artforum . Dalam kritik seni , ia telah menerbitkan beberapa esai yang dikumpulkan , termasuk Encounters dan Refleksi : Seni di Hadir

halaman 64

Sejarah ( Farrar , Straus & Giroux , 1990) , yang memenangkan National Book Critics Lingkaran Prize untuk Kritik pada tahun 1990 , Di luar Kotak Brillo : The Seni Visual di Post - Perspektif Sejarah ( Farrar , Straus & Giroux , 1992) ; Bermain dengan Edge : The Photographic Pencapaian Robert Mapplethorpe ( University of California , 1995) , dan The Madonna Masa Depan : Esai dalam Seni Majemuk Dunia ( Farrar , Straus & Giroux , 2000 ) dan tidak wajar Wonders : Esai dari Celah Antara Seni dan Kehidupan . Pada tahun 1996 , ia menerima Jewett Mather Frank Award untuk kritik seni dari Asosiasi Art College. Danto juga adalah, salah satu penandatangan Manifesto Humanis. *** [ZawaherMaznah Bakhtiar (ZM Tiar), dari berbagai sumbar].


www.tokobuku171.com www.tokobuku171.com

www.tokobuku171.com

www.tokobuku171.com

“...Nyalakan Imajinasi dengan Membaca Buku...“

Kantor Pusat

Pusat Penjualan Pekanbaru

: Jl. HR Soebrantas Km 10,5 Panam, Pekanbaru - Riau

: Jl Inpress No 2

Dumai

: Jl. Jend. Sudirman No. 201, Dumai - Riau Telp (0765) 439 171

Batam

: Gedung Graha Pena Batam Jl. Raya Batam Centre Teluk Jering, Batam Kota Kode Pos 29461 Telp Graha Pena (0778) 462 996

Tanjung Pinang

: Jln Di. Panjaitan Km 9, Plaza Bintan Centre Blok M No. 15, Tanjung Pinang Kepri Telp (0771) 7447039

Padang Sidempuan : Jl. Medan Merdeka, Depan SMAN 2 Padang Sidempuan Telp.081260012768 Bukit Tinggi

: Ramayana Bukit Tinggi - Lantai Dasar halaman lxv


halaman lxvi


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.