Majalah Sagang Edisi 182

Page 1

No. 182 NOVEMBER 2013 tahun XVI www.majalahsagang.com Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Cham Chambert-Loir)

Esei

- Kebudayaan Kebangsaan dan Cabaran Globalisasi oleh Dr. Mohammad Alinor bin

Abdul Kadir Felo Tamu, ATMA, UKM, Malaysia - Membangun dengan Sastra Anak oleh Edi Sarjani Cerita-Pendek

Larem oleh Adi Zamzam Cerita-Pendek Terjemahan Kucing Hitam oleh Edgar Allan Poe

Sajak

-

Leo Putra Muhammad Asqalani eNeSTe Dadang Ari Murtono Ahlul Hukmi

Suluh

Catatan Penting dari Alice Munro (Pemenang Nobel Sastra 2013) Rehal

- Riwayat Yang Terlewat: 111 Cerita Ajaib Dunia Seni hha halaman ala ama man KULI KULITi K KU UL LIIIT Tii T - Buku Sejarah Hak Cipta Lukisan


"SHOW OFF YOUR BUSINESS!" mari kami bantu untuk mencetak media informasi ANEKA RAGAM usaha anda

PAKET PENDIDIKAN - PAKET CSR - PAKET PROYEK PAKET INFO PRODUK - PAKET CETAKAN UMUM - PAKET SCJJ PAKET INFO PRODUK

Menginformasikan produk yang dijual tidak selalu memasang iklan saja, anda perlu memvariasikannya dengan brosur, katalog dan bentuk selebaran lainnya. Pastikan anda mencetak info produk tersebut di tempat kami, dapatkan kerjasama dalam bentuk penyebaran info tersebut dengan menyisipkan via koran-koran kami (Riau Pos / MX / Pekanbaru Pos / Dumai Pos) atau penyebaran di tempat khusus yang anda inginkan. Kami siap membantu, dapatkan juga paket-paket khusus lainnya berupa percetakan info produk + publikasinya di koran-koran kami. syarat dan ketentuan berlaku

MURAH, CEPAT, BERJARINGAN LUAS

Percetakan Riau Pos Grafika Divisi Komersial Printing Hubungi Kami: Gedung Riau Pos Jl.HR Soebrantas Km 10,5 Panam-Pekanbaru Office +62 761 - 566810 Fax +62 761 - 64636 Mobile 081268435929, 081365720503, 081378757569, 085265483504

Bank Riau KCP Panam 134-08-02010 Bank Mandiri Ahmad Yani-Pekanbaru 108-000-126-1990 An: PT Riau Graindo E-mail riauposgrafika@yahoo.com halaman KULITii


Daftar Isi Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 182 NOVEMBER 2013 tahun XVI

Alice Munro (Pemenang Nobel Sastra 2013) Foto.Int

Patung beerhoven.............................2 Esei - Kebudayaan Kebangsaan dan Cabaran Globalisasi oleh Dr. Mohammad Alinor bin Abdul Kadir Felo Tamu , ATMA, UKM, Malaysia .................................3 - Membangun dengan Sastra Anak oleh Edi Sarjani............9 Cerita-Pendek Larem oleh Adi Zamzam ................ 12 Cerita-Pendek Terjemahan Kucing Hitam oleh Edgar Allan Poe18 Sajak Leo Putra ....................................... 30 Muhammad Asqalani eNeSTe .....34 Dadang Ari Murtono .....................42 Ahlul Hukmi ...................................47 Suluh Catatan Penting dari Alice Munro (Pemenang Nobel Sastra 2013) .....55 Rehal - Riwayat Yang Terlewat: 111 Cerita Ajaib Dunia Seni ............59 -Buku Sejarah Hak Cipta Lukisan ...62 Ilustrasi Ilustrasi halaman 12 karya Purwanto

Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Ngatenang Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Khazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Manager Keuangan: Sri Herliani. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


tajuk

PATUNG BEETHOVEN DALAM rangka menutup abad kesembilanbelas (yang dinamakan abad Beethoven), Max Klinger mengerjakan patung Beethoven setinggi 3 meter selama 15 tahun. Patung yang selesai pada tahun 1902 itu pertama kali dipamerkan di Wina bekerjasama dengan Gustav Klimt, yang ikut serta mengerjakan cat pada Beethoven Frieze, dan juga alegori yang merujuk pada sajak Ode to Joy (dalam bahasa aslinya “Ode an die Freude” yang ditulis Friedrich Schiller 1785), sementara Gustav Mahler mengatur kembali orkestrasi untuk movement keempat Final Symphony No 9 in D Minor, Opus 125 (selesai ditulis Beethoven 1824) untuk suara brass dan instrument-musik tiup, pada hari pembukaan. Max Klinger membuat alegori patung Beethoven itu sebagai orang yang tenggelam dalam pikirannya, duduk telanjang di antara malaikat dengan burung elang di kakinya. Mungkin saja, betapa pentingnya patung (seni tiga dimensi) Beethoven ini dibuat sebagai tanda dan penanda, sebagai transisi pintu gerbang dari periode klasik (classical period) ke romantic (romantic period), terutama dalam musik. Patung Beethoven (1770-1827) ini dibuat tentulah bukan sebagai sesembahan seperti patung pada zaman dahulu kala, tetapi patung sebagai seni, memberi tanda kepada kota Wina, Austria, sebagai negeri Ludwig van Beethoven, dan juga tempat darah tertumpah komponis Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791) yang sangat terkenal itu. Begitulah moral dan nilai yang diberikan masyarakat/pemerintah Austria (Wina) kepada senimannya yang bahkan terkenal di dunia, sebagai timbal-balik

halaman 2

yang juga diberikan dua orang komponis ini kepada negara tempat mereka lahir dan meninggal-dunia. Pada cerita yang lain, di mana-mana tempat di Wina, hampir menceritakan tentang Mozart, ada kafe “berwajah” Mozart, ada kedai “berwajah” Mozart, dan hampir di setiap sudut di kota Wina menjual kaset dan VCD musik Mozart, karena itu ibuk Azlaini Agus ketika berkunjung ke Wina menyempatkan diri membelikan kaset musik symphony Wolfgang Amadeus Moszart sebagai oleholeh dari Wina. Cerita beralih. Apakah yang dilakukan masyarakat/pemerintah Riau kepada budayawan dan seniman yang juga memberikan makna dan nilai kepada negeri tempat lahir dan meninggalnya? Barangkali bukan membuat patung, tetapi moral dan nilai semestinya juga dihunjukkan kepada budayawan dan seniman yang juga memberikan nilai kepada negerinya. Apa pentingnya? Mungkin seperti yang pernah dikatakan Beethoven, bahwa ketika raja Austria wafat akan tetap ada dan bahkan banyak sebagai penggantinya, namun apabila Beethoven meninggal-dunia tidak akan ada Beethoven yang lain, yakni Beethoven hanya akan ada satu, sedangkan raja Austria lebih dari satu. Karena itu, berikanlah sesuatu pekerjaan pada yang ahlinya, atau paling tidak bertanyalah kepada yang ahlinya; supaya segala pekerjaan tidak sia-sia, supaya badan tidak tercela, supaya negeri tidak rusak-binasa, supaya tidak menyesal di kemudian masa, supaya anak cucu senantiasa mengenang dalam ingatan yang indah dan selesa. Semoga. ***


esei

Kebudayaan Kebangsaan dan Cabaran Globalisasi oleh Dr. Mohammad Alinor bin Abdul Kadir Felo Tamu , ATMA, UKM, Malaysia

Pendahuluan MAKALAH yang saya tulis ini sebenarnya dibentangkan dalam Forum Persatuan Kebangsaan Pelajar-Pelajar Islam Malaysia (PKPIM), Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia, pada 5/3/2011 di UIA. Tema forum ini adalah “Memartabatkan Budaya untuk Memperkukuh Jatidiri”., dan judul yang saya pilih untuk dibicarakan adalah seperti di atas. Kemudian, saya mengetahui menerusi pembacaan harian bahawa sepuluh hari sebelum penubuhan Lekra (17/8/1950), satu Konferensi Kebudayaan Indonesia yang bertemakan “Kebudayaan Nasional dan Pengaruh Asing” diadakan di Jakarta pada 5-7/8/1950. Tema konferensi inilah yang saya kesan hampir bersamaan dengan judul makalah yang saya tulis ini. Semenjak itu, saya bertekad untuk mendapatkan makalah-makalah yang dibentangkan dalam konferensi tersebut, iaitu oleh S. Takdir Alisjahbana, Ki Hadjar Dewantara dan Trisno Sumardjo. Mungkin,

pembaca-pembaca di Indonesia boleh membantu saya mendapatkan makalahmakalah ini. Juga saya bertekad untuk menerbitkan makalah ini di Indonesia, lalu saya menghantarnya kepada Sidang Redaksi Sagang.

Pengalaman PengajaranPenyelidikan dalam Sains Matematik Biarlah saya jelaskan dahulu dari aspek manakah saya boleh membincangkan tema forum “Memartabatkan Budaya untuk Memperkukuh Jatidiri”. Minat saya terhadap kebudayaan hanyalah dicetuskan daripada pembacaan dan halatuju penyelidikan yang saya mulai lakukan semenjak 10 tahun lepas di UKM. Masalah yang diumpukkan kepada saya oleh Dr. Shaharir Mohd Zain (kini Felo Utama, Pusat Dialog Peradaban, Universiti

halaman 3


Malaya, Malaysia) diwaktu itu adalah isu paling mendasar dalam pendidikan Sains Matematik, iaitu kenapakah pelajar-pelajar Melayu di sekolah dan siswa/i Melayu di universiti amat lemah penguasaan Sains Matematiknya? (Sains Matematik merujuk kepada pelbagainya subbidang di dalam Matematik itu, seperti geometri, kalkulus, aritmetik, statistik dll, bukannya merujuk kepada Sains dan Matematik). Dan, apakah cara/ strategi mengatasinya? Oleh sebab saya mulai mengajar Sains Matematik ini kepada siswa/i UKM semenjak 1994 hingga kini, dan segala hal berkaitan kelemahan penguasaan siswa/i ini saya hadapi berdepan, samada dalam tutorial, kuliah dan penyeliaan tesis, makanya saya amat maklum tentang isu yang dibicarakan oleh Dr. Shaharir tadi. Isunya adalah, apakah jalan keluar kepada masalah ini? Berbagai jawapan dilontarkan bagi merasionalkan isu ini. Antaranya, bukanlah hanya siswa/i Melayu sahaja yang lemah Sains Matematik, malah siswa/i Cina dan India juga lemah, malah, sebenarnya, isu kelemahan penguasaan Sains Matematik ini dirasai oleh semua bangsa di dunia, termasuklah Inggeris, Perancis, Yahudi, Jerman dan Amerika. Kalau tak percaya, bacalah laporan-laporan yang dikeluarkan oleh persatuan-persatuan pendidik Sains Matematik setiap negara di dunia, kalau dinegara tersebut kedapatannya persatuan ini. Pengalaman saya melatih Pasukan Malaysia untuk Olimpiad Matematik Antarabangsa (atau International Mathematical Olympiad) dan berinteraksi dengan dengan pelatih-pelatih serupa seluruh dunia hampir pada setiap tahun menceritakan segala-galanya. Rataratanya, pelajar-pelajar sekolah dan siswa/i universiti seluruh dunia lemah penguasaan

halaman 4

dalam Sains Matematik. Kenyataan ini amat berasas jika dipertimbangkan bahawa pengajaran-pembelajaran Sains Matematik melibatkan penjelasan kepada seluruh struktur ilmu Sains Matematik itu sendiri, seperti falsafah-falsafahnya, teori-teorinya, sistem-sistemnya dan pengunaanpengunaannya. Memanglah nampak kadang-kalanya beberapa pencapaian yang agak baik diperolehi, namun ingin saya tegaskan bahawa, selalunya pencapaian yang agak baik tersebut mengorbankan mutu/kualiti struktur ilmu Sains Matematik tersebut. Sepertinya, bidang Sains Ekonomi menghapuskan langsung subjek Matematik Ekonomi, bidang Fizik menghapuskan Teori Kerelatifan/ Kenisbian dan Mekanik Kuantum, bidang Kejuruteraan merendahkan mutu/kualiti subjek Matematik Kejuruteraan, malah bidang Sains Komputer mengapungkan subjek Mantik dan Matematik Komputeran, malah bidang Sains Matematik sendiri di banyak universiti tempatan hanyalah mengajarkan Aljabar sehingga takat Aljabar Linear sahaja. Seolah-olahnya, kalau mahukan pencapaian yang baik, ertinya peratusan lulus yang lebih banyak, hapuskan sahaja subjek-subjek yang susah difahami itu. Dan, hal ini berlangsung di sekolah, perhatikan sahaja apa jadi kepada subjek Matematik Tambahan. Namun, ada juga jawapan yang memberangsangkan, boleh cari jalan keluarnya. Contohnya, pandangan yang mengatakan bahawa Sains Matematik yang kita semua pelajari ini adalah nukilan sarjana-sarjana Tamadun Barat, yang berteraskan mantik 2-nilai Aristotle. Tentulah, bangsa-bangsa manusia yang berlainan daripada Yunani-Rom-EropahBarat, yang tidak sealiran berfikir dengan


Aristotle, tidak mampu menguasainya. Malah, mantik Aristotle itupun dilontarkan jauh oleh sarjana-sarjana Yunani selepasnya, kemudian cuba dipopularkan oleh Porphyry, tapi gagal masuk kearena perbahasan masyarakat, hanyalah sarjanasarjana Muslim mengembalikannya kedunia ilmiah. Di dunia Islam, ramai juga sarjana yang mengatakan bahawa mantik Aristotle hanyalah produk Yunani/Greek, tidaklah sejagat sifatnya, dan tidak sesuai dengan masyarakat Arab. Bantahan al-Suhrawardi dan Ibn Taimiyyah contohnya. Dan, sarjana-sarjana Muslim membangunkan mantiknya sendiri, seperti yang diusahakan oleh al-Suhrawardi, namun kini kita tidak mengkajinya. Maka, jika Sains Matematik yang berteraskan kepada mantik Aristotle tidak sesuai diajarkan kepada pelajarpelajar dan siswa/i-siswa/i selain YunnaiRom-Eropah-Barat, apakah cara mereka untuk mendapatkan kefahaman terhadap Sains Matematik? Tiada cara langsung, selain daripada mendapatkan mantik yang lain, lalu membangunkan Sains Matematik daripadanya, ini kepada sesiapa yang mendokong mantikisme/ logikisme. Atau membina Sains Matematik yang tidak 100% berteraskan kepada mantik Aristotle. Sarjana-sarjana YunnaiRom-Eropah-Barat juga mengusahakan dua hal ini. Contohnya, adanya bidang mantik 3-nilai, mantik kabur, mantik intuisi, mantik quantum, dll. Malah, adanya mantik Islam dan mantik HinduBuddha, untuk tradisi timur. Bolehkah Sains Matematik dibina berdasarkannya? Juga adanya bidang yang agak besar kini yang digelar Matematik Intuisi, yang mulai dibangunkan oleh Brouwer (sarjana Belanda), berdasarkan mantik Intuisi, yang menolak mantik 2-nilai Aristotle.

Disinilah ruang untuk mengembangkan jawapan kepada pertanyaan awal tadi, iaitu adakah benda yang dinamakan Mantik Melayu? Sehinggakan kita boleh bina Sains Matematik daripadanya. Atau juga, dalam jawapan yang lebih mudah sedikit daripada jawaban sukar itu, apakah Bangsa Melayu pernah membangunkan Sains Matematik? Atau, bolehkah kita pungut semua pembangunan Sains Matematik yang dihasilkan oleh tukang/pandai/cendekia Melayu? Inilah yang mendorong kami berdua dan beberapa yang lain melakukan kajian Etnomatematik Rumpun Melayu, atau dalam bentuk yang lebih umum, Etnosains dan Etnoteknologi Rumpun Melayu. Bolehlah lihat beberapa penulisan dalam www.kesturi.net. Maka, didalam kajian ini kami akan mengumpulkan semula seluruh khazanah Sains Matematik Rumpun Melayu, lalu menyelidikinya. Itu sahaja sudah memberikan nafas baru kepada penemuan-penemuan yang agak memeranjatkan, seperti kami menemui bahawa simbol “0� itu sudah dirakamkan di prasasti Funan sekitar kurun ke-4M. Ini jauh lebih tua daripada rakaman di India sekitar 580M dan di Arab 810M, dalam manuskrip al-Khawarizmi. Apa implikasinya? Yang saya sedang usahakan mengkajinya sekarang adalah istilah pembilangan Rumpun Melayu, yang kemudiannya akan saya usahakan untuk mendapatkan sistem etimologinya, lalu merungkai apakah andasar pembilangan Rumpun Melayu, yang dikatakan sebelum ini berandasar 2, 5 dan 10. Keputusan kajian ini saya bentangkan di Seminar Kebahasaan MABBIM ke-50 di Jakarta pada 22-23 Mac 2011 lepas. Kemudiannya, pungutan khazanah Sains Matematik Rumpun Melayu ini akan dibandingkan

halaman 5


dengan pencapaian Sains Matematik bangsa-bangsa lain didunia, India, Cina, Yunani, Islam dan Rom katakan. Disini, bolehlah diperhatikan apakah taraf pencapaian Sains Matematik Rumpun Melayu? Kemudian lagi, membandingkan khazanah Sains Matematik Rumpun Melayu itu dengan pencapaian Sains Matematik Rumpun Eropah-Barat yang mendominasi dunia sekarang. Apa yang ingin kita lihat? Kita mahu mendapatkan prinsip-prinsip yang diluar daripada pengetahuan sarjanasarjana Eropah-Barat, lalu, prinsipprinsip yang asing kepada Eropah-Barat ini kita perlu bina untuk menjadi suatu bentuk subbidang Sains Matematik yang baru. Contohnya konsep masa lepas-kinimendatang, tradisi India beristilahkan purva-purvaaparante-aparante, sedangkan tradisi Melayu beristilahkan telah-lanikelak. Kepada India, masa kini ditakrifkan oleh masa lepas dan masa mendatang, manakala kepada Melayu, masa kini mentakrifkan masa lepas dan masa mendatang. Jadinya, nampak bahawa pemikiran Bangsa Rumpun Melayu terbalik kepada pemikiran Bangsa Rumpun India tentang apa-apa sahaja pemikiran berkaitan masa. Apakah ini boleh dibuktikan dengan mengkaji Astronomi Melayu berbanding Astronomi India? Kita tahu bahawa masa adalah juzuk paling penting kepada pembinaan Teori Kenisbian/Kerelatifan Poincare-Einstein dan Teori Mekanik Quantum. Malah, kini masa dianggap sebagai dimensi ke-4 tercantum kepada 3 dimensi ruang Euclidean/Cartesian untuk membentuk (x, y, z, t). Apakah past-present-future Inggeris, Jerman dan Perancis berkaitan antara satu sama lain etimologinya? Whitehead mengatakan bahawa masa Inggeris berlainan sedikit

halaman 6

dengan masa Jerman. Adakah konsep masa ini yang mempengaruhi PoincareEinstein menukilkan geometri (x, y, z, t) tersebut? Bolehkah teori ruang-masa Poincare-Einstein ini diperbaiki jika dipertimbangkan bahawa landasannya adalah konsep masa Melayu?

Kebudayaan dan Globalisasi Apabila bercakap tentang globalisasi, atau sebetulnya glokalisasi, kecenderungan perbincangan selalunya hanyalah berkaitan globalisasi ekonomi, sedangkan ada banyak lagi bentuk globalisasi yang tidak dibicarakan secara umum dan ilmiah, contohnya globalisasi kebudayaan. Glokalisasi adalah istilah yang betul sebab sesuatu kebudayaan tempatan/ lokal itulah yang menjadi global/sejagat, Mana mungkin adanya sesuatu unsure kebudayaan yang secara mulanya sudah global. Jadi, globalisasi ekonomi sebenarnya adalah glokalisasi semua perkara yang mentafrifkan ekonomi bagi masyarakat Eropah-Barat. Maksudnya, semua perkara yang mentakrifkan ekonomi bagi masyarakat Eropah-Barat yang berbentuk tempatan/lokal akan diusahakan untuk diterima oleh masyarakat lain didunia, iaitu menjadi global/sejagat. Itu sebab pizza yang kita tak temui pada tahun 1970an dulu kini merupakan diantara makanan popular masyarakat Malaysia. Kenapa kita tidak boleh mengglobalkan sate, nasi lemak, lemang, dodol/gelamai, nasi kerabu, nasi dagang, laksa dll? Bagaimana mungkin kalau masyarakat Malaysia ini di Eropah menjadi lebih Eropah dari bangsa-bangsa Eropah? Dalam usaha mengglobalkan sesuatu unsure kebudayaan, untuk negaranegara maju seperti Perancis dan Jerman, globalisasi kebudayaan asing terhadap


kebudayaannya tidaklah dipaksakan. Dalam ertikata yang lain, masyarakatnya boleh memilih, samada mahu kekal dalam kebudayaan sendiri ataupun memilih sesuatu kebudayaan luar, dalam isu pemilihan bahasa pendidikan disekolah dan universiti katakan. Ini adalah kerana bangsa Jerman dan bangsa Perancis adalah dua buah bangsa yang memiliki jatidiri yang kuat terhadap khazanah kebudayaan mereka. Mereka cumalah memilih sesuatu yang diluar kebudayaan mereka atas halhal kepenggunaan dan bukannya dasar. Ini berlainan dengan negara-negara bekas jajahan Eropah seperti Malaysia dan Indonesia. Untuk negara-negara bekas jajahan ini, globalisasi merupakan suatu proses yang dipaksakan kepada mereka. Lihatlah bagaimana kerajaan Malaysia menanggani isu PPSMI (PengajaranPembelajaran Sains dan Matematik Menggunakan Bahasa Inggeris), hingga kinipun masih berdolak-dalih untuk kembali kepada PPSMM (Pengajaran-Pembelajaran Sains dan Matematik Menggunakan Bahasa Melayu). Pada peringkat universiti, PPSMI masih berleluasa diamalkan, tanpa adanya teguran walaupun melanggar Akta Bahasa Kebangsaan, malah Akta Universiti. Pemaksaan inilah yang akan menghapuskan jatidiri bangsa-bangsa bekas jajahan. Akan hilangnya beransuransur nilai-nilai kebudayaan seperti pakaian, muzik, bahasa, makanan, sastera, adat resam, pertukangan, cerita-cerita rakyat, bangunan, artifaks, teks bertulis, dll. Hilang yang tak akan berganti. Memanglah secara realitinya tidak akan hilang, sebab semuanya akan diletakkan di Muzium Negara, dan kita semua akan melawati kebudayaan kita sendiri suatu masa kelak, tapi tidak mangamalkannya. Kita semua

bangsa Malaysia akan beransur-ansur berkebudayaan Eropah-Barat, malah akan jauh lebih Eropah-Barat dari mereka, sebab kita tidak mengetahui apakah kebudayaan Eropah-Barat itu. Semuanya akan kita ambil tangkap-muat sahaja. Lihatlah nanti perkara ini berlaku didepan mata saudara/i. Secara pemaksaan atau secara pilihan, apakah jalan keluar kepada kita semua untuk mempertahankan kebudayaan sendiri? Saya tiada jawapan sendiri kepada soalan ini, selain daripada meneliti dan belajar bagaimanakah Eropah-Barat menjadikan kebudayaan lokalnya menjadi global. Kepada saya, setelah mentelaah banyak terhadap pembangunan pemikiran Eropah-Barat, saya beranggapan bahawa satu perkara utama yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Eropah-Barat adalah membangunkan ilmu semasa mereka berdasarkan kebudayaan mereka. Dengan kata yang lain, bentuk-bentuk ilmu yang mereka hasilkan dalam aktiviti ilmiah mereka seharian adalah permasalahanpermasalahan yang ditimbulkan oleh halhal yang berkaitan kepada aktiviti-aktiviti kebudayaan mereka sendiri. Contohnya, Teori Tatabahasa Kepenjanaan/Generatif Chomsky dibangunkan daripada pemerhatian beliau terhadap bahasa Ibrani/Hebrewnya sendiri yang berteraskan kepada akar perkataan, sama seperti bahasa Arab. Berdasarkan kajian sejarah terhadap Tatabahasa Arab, beliau melengkapkan kajian yang lebih kurang sama terhadap Bahasa Hebrew, lalu menerbitkan Teori Tatabahasa Kepenjanaan/Generatif, kemudian menggunakannya untuk menerbitkan banyak subteori untuk Bahasa Inggeris, Perancis, Jerman dll, hinggakan kini Bahasa Arabpun menggunakannya. Adakah pengamalnya sedar bahawa Teori

halaman 7


Tatabahasa Kepenjanaan/Generatif ini dikembangkan daripada Bahasa Arab? Sekarang, Teori Chomsky ini, dalam bentuk variasinya yang lebih maju, digunakan berleluasa dalam Bahasa Melayu. Kita tidak langsung peduli apakah sebenarnya Teori Tatabahasa Melayu sebelum Raja Ali Haji dan Za’ba. Pada sarjana-sarjana Bahasa Melayu, Teori Tatabahasa Melayu adalah Teori Tatabahasa Penjana Chomsky digunakan kepada Bahasa Melayu. Bahasa Melayu langsung tidak berkaitan dengan Bahasa Arab dan Bahasa Hebrew, mana mungkin memiliki Teori Tatabahasa Kepenjanaan/Generatif Chomsky. Apakah Teori Tatabahasa Melayu? Kini, kita telah hilang lenggok Bahasa Melayu Klasik, apalagi Bahasa Melayu Kuno. Buktinya, apakah penghargaan masyarakat Melayu terhadap manuskrip Melayu, selain hanyalah mengatakan bahawa dongengan belaka? Malah, malang sekali kini, apabila dikaitkan sahaja sesuatu dengan Bahasa Melayu, sesuatu itu akan dikelaskan sebagai bukan berada pada runag lingkup ilmu. Ringkasnya Bahasa Melayu bukanlah Bahasa Ilmu, hanyalah bahasa pasar. Masyarakat ilmuwan dan awam Melayu diam sahaja.

Penyelidikan Terhadap Kebudayaan Kebangsaan Belajar daripada apa yang dilakukan sendiri oleh sarjana-sarjana Muslim, yang menentang kemasukan mantik Aristotle, kosmologi dan Sains Yunani, lalu bertindak melakukan penyaringan sepertimana dilakukan oleh al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah, juga belajar daripada sarjanasarjana Eropah-Barat yang mengkaji kebudayaan sendiri untuk menyelesaian pemasalahan yang timbul seharian lalu

halaman 8

menerbitkan ilmu-ilmu yang melekat kepada kebudayaannya sendiri, makanya ilmuwan Melayu sepatutnya mengkaji kembali kebudayaan Melayu semenjak awalnya hingga kini, lalu menerbitkan ilmu-ilmu tertentu yang menyelesaikan permasalahan yang ditimbulkan oleh amalan kebudayaan tersebut seharian. Contohnya, menerbitkan ilmu etika/moral (dari ethos(Yunani)=baik, Ethic(Inggeris)) dan moral (dari mores(Latin)=adat) daripada kajian terhadap peribahasa dan pantun. Menerbitkan Sistem Pengurusan Projek daripada kajian terhadap penggunaan masa dalam peribahasa. Mengkaji pembilangan, pertanian, perkapalan, pertukangan, persenjataan, pelayaran, tenunan dll daripada sumber-sumber keilmuan Rumpun Melayu. Matlamatnya adalah untuk mendokumentasikan pencapaian keilmuan Rumpun Melayu semenjak awal, mengkaji taraf pencapaian keilmuan Rumpun Melayu berbanding bangsa-bangsa yang lain didunia dan akhirnya membandingkan pencapaian tersebut dengan pencapaian terkini keilmuan semasa Eropah-Barat, agarnya sesuatu yang baru ditemui dan berpotensi dikembangkan. Saya berharap, dengan dokongan daripada secukupnya ilmuwan Melayu serantau, ini dapat dicapai dalam masa 30 tahun mendatang.

1


esei

Membangun dengan Sastra Anak oleh Edi Sarjani

khir November 1862, Abraham Lincoln merasa kurang percaya saat ia mengetahui perang saudara di Amerika selama empat tahun antara lain disebabkan oleh sebuah karya sastra. Sebaliknya banyak orang percaya, Uncle Tom’s Cabin, sebuah roman karya Harriet Beecher Stowe, memberikan pengaruh yang dalam pada diri masyarakat Amerika yang terlibat dalam perang bersejarah itu. Realitas imajiner seperti termanifestasi dalam realitas konkret. �Jadi

kamu, perempuan kecil yang menyebabkan perang besar ini?� ujar Lincoln, Presiden AS itu, saat ia bertemu Stowe di Gedung Putih. Tidak peduli apa yang dipercaya orang Amerika, tetapi jelas karya seni, sastra dalam hal ini, turut berperan dalam pembentukan sebuah peradaban. Uncle Tom’s Cabin yang sejak abad ke-19 telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dunia hanya sebuah contoh. Dalam bahasa Indonesia, roman itu disadur ke dalam bahasa Belanda oleh

halaman 9


Tartusi pada 1969. Hasil saduran berjudul Pondok Paman Tom yang diterbitkan Balai Pustaka mencantumkan keterangan �Bacaan anak-anak umur 13-16 tahun�. Bagi generasi pada masa itu dan dekade berikutnya, Pondok Paman Tom menjadi salah satu warna yang memengaruhi dunia sastra modern di Indonesia. Namun, pada saat yang sama, bahkan hingga hari ini, sastra anak di Indonesia justru belum mendapat perhatian yang cukup. Belum ada penulisan sejarah sastra anak, apalagi memaknai cerita anak dalam sebuah zaman. Sebuah kelalaian yang dapat menjadi kesalahan karena menafikan dunia imajinasi anak sebagai satu hal yang tak penting dalam sejarah sastra, dalam pendidikan, dan perkembangan budaya. Sastra anak bukanlah sumber dalam wacana kebudayaan kita. Sementara itu, sejarah sastra Indonesia sejak mula ia dianggap ada, sebenarnya juga diisi oleh sub-genre anak ini. Balai Pustaka, penerbit yang muncul sebagai akibat dari politik etis pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan dianggap sebagai perintis lahirnya sastra modern Indonesia, sejak tahun-tahun awalnya sudah menerbitkan beberapa karya sastra khusus untuk anakanak. Kita cukup tahu, pada masa-masa itulah Pujangga Baru memiliki pengaruh penting dalam wacana sastra dan kebudayaan, bahkan politik. Namun, kita tidak menemukan tempat di mana dunia imajiner anak, dalam bentuk literernya, ikut terlibat dalam polemik itu. Tentu berawal dari anggapan, dunia anak bukanlah bagian dari dunia �dewasa� para pemikir elite itu. Tidak ada argumentasi yang cukup kuat menjelaskan mengapa sastra anak dipinggirkan dari diskursus kebudayaan

halaman 10

kita, dari perhitungan sejarah pendidikan, politik, seni, dan seterusnya. Apakah ini akibat lain dari kolonialisme Belanda? Atau karena dunia anak dianggap bukan variabel penting dalam perjalanan dan pembentukan adab serta kebudayaan sebuah bangsa? Sebuah rintisan yang mencoba memaknai secara lebih baik sastra anak baru dilakukan pada 1976 oleh Riris K Sarumpaet dalam bukunya, Bacaan Anakanak. Sarumpaet membahas hakikat, sifat, corak bacaan anak-anak, serta minat anak pada bacaan. Pada masa itu, betapa pun tidak diperhitungkan dalam wacana besar, menurut Sarumpaet, sekurangnya lima penerbit komersial cukup serius menerbitkan berbagai karya sastra anakanak, seperti Indra Press, Balai Pustaka, Djambatan, Gunung Mulia, dan Pustaka Jaya. Namun, kenyataan secara luas tetap memperlihatkan, studi atau pendalaman terhadap peran, posisi, atau fungsi sastra anak dalam masyarakat masih sangat minim. Pengarang-pengarang yang begitu dedikatif pada jenis sastra ini tidak pernah tercatat dalam deretan pengarang utama negeri ini. Sastrawan macam Aman, Julius Sijaranamual, Toha Mohtar, Dwianto Setyawan, misalnya, bukanlah nama-nama yang dirasa pantas dijajarkan dengan nama-nama bertinta emas, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, atau Pramoedya A Toer. Dalam sejarahnya, sastra anak sebenarnya memiliki peran yang cukup penting dalam membentuk watak seseorang yang berimbas pada cara berpikir hingga perilakunya dalam kehidupan dewasanya. Jangan sampai kita mengalami kegalauan dan kerancuan terhadap diri kita sendiri


hanya karena kita telah �membunuh� sastra anak sebagai masa lalu kita. Imajinasi anak-anak yang terpasung atau terbunuh adalah sebuah kematian prematur dari kemampuan fantasional, ide-ide, dan visi kita pada masa berikutnya; kematian inti dari sebuah kebudayaan. Pembelajaran sastra pada anak-anak penting dilakukan karena pada usia ini anak mudah menerima karya satra, terlepas itu masuk akal atau tidak. Oleh karena itu anak-anak mudah untuk menerima nilainilai kemanusiaan adat istiadat, agama, kebudayaan yang terkandung dalam karya sastra. Sehingga sastra dapat merangsang anak-anak berbuat sesuai dengan nilainilai kemanusiaan, adat istiadat agama dan budaya. Selain itu anak-anak akan lebih peka terhadap lingkungan karena dalam dirinya tertanam nilai-nilai kemanusiaan. Melalui karya sastra anak-anak sejak dini bisa melakukan olah rasa, olah batin, dan olah budi sehingga secara tidak langsung anak-anak memiliki perilaku dan kebiasaan untuk membedakan sesuatu yang dianggap baik ataupun buruk melalui proses apresiasi dan berkreasi dengan karya sastra. Burhan Nurgiyantoro (2005) sebenarnya pernah mencatat, bagaimana kontribusi sastra anak dalam perkembangan emosional, intelektual, imajinasi, rasa sosial, rasa etis, serta religiusitas dari seseorang atau sebuah komunitas. Namun, penelitian seperti itu yang begitu minimnya sangatlah tidak memadai untuk mengetahui dari mana sebenarnya gairah penemuan, daya kreatif, perkembangan sebuah bahasa, wawasan multikultural, hingga sebuah nasionalisme itu bersemi. Sastra anak adalah salah satu sumber terpenting untuk kesadaran itu. Kapan kesadaran ini akan muncul? Ketika

dunia imajinasi kita kini hanya dipenuhi oleh materi-materi dan pragmatisme yang membuat visi kita berjangkauan sangat pendek? Apalagi pemerintah sebagai pemeran utama juga hampir tidak menolehkan perhatian dan kebijakan di masalah ini. Apakah harus menunggu kenyataan di mana kita sadar bahwa sumur imajinasi kita yang dahulu tanpa dasar kini telah mendangkal oleh timbunan materi, hedonisme, dan pragmatisme? Bukan kita yang menderita, tapi anaklah yang sensara. Memdidik dengan sastra yang menanamkan moral sejak dini itu merupakan cara untuk membangun karakter bangsa ini.***

Penulis adalah peminat sastra dan bermastautin di Kota bertuah

1

halaman 11


cerita-pendek

Larem oleh Adi Zamzam

eregang tengkuknya saat merah itu melintas. Takut dan cemas baur meruapi dada. Ia harus segera melarang suaminya keluar rumah saat warna merah itu begitu cepat menuju ke arahnya. Tongkat di tangan spontan ia lempar ke arah merah yang tengah mengincarnya. “Aduhh!” terdengar suara parau kesakitan. “Ini aku, Mbah. RT!” Ketika ia telah mendapatkan bothekan1 yang masih penuh berisi daun sirih, merah itu langsung menjauh meninggalkannya. “Pak RT tadi Emak apakan?” Ia masih belum yakin benar bahwa suasana sudahlah aman. Biasanya, setelah ini akan terdengar suara letusan-letusan di Ngebong sana. Karena itulah ia harus segera gegas ke dalam rumah, mencegah suaminya keluar meski sekedar untuk cuci muka sekalipun. Merah adalah tanda bahaya. Ia harus buru-buru menyuruh lelakinya mengisi strongking penuh-penuh agar kuat nyala hingga jelang Shubuh. Kecemasan ini mungkin baru akan mengendap esok pagi, setelah warna kuning atau hijau muncul. Namun suaminya telah tak ada di dalam rumah. “Kang…,” panggilnya berulang-ulang. Di kamar-kamar, di dapur, di kamar mandi belakang rumah, suaminya benar-benar tak ada. Ia mencarinya berulang-ulang. “Emak mencari siapa?” “Diamlah di dalam. Ada larem!2” ***

halaman 12


Ia duduk termangu di kursi rotan tua ruang tamu, menunggu suaminya pulang. Sudah tiga hari, ah tidak, telah satu minggu lelakinya keluar sejak larem itu, dan hingga kini belum kembali. Ia tak tahu suaminya ke mana, karena tak ada pamit. Ia sering dihinggapi prasangka bahwa lelakinya telah dibawa ke Ngebong3 untuk diadili. Ia didera sesalan karena beberapa hari lalu ia mendesak suaminya turut mengambil jatah beras gratis di rumah Pak Lurah. Suaminya pernah bilang, jika ingin menikmati jatah beras itu secara berkala, ia harus bersedia dibaiat. Ia kurang paham buat apa pembaiatan itu dilakukan karena menurutnya hal itu tak begitu penting. Ia sudah bosan makan thiwul dan kawur tiap hari. Jika ada yang bermurah hati membagi-bagikan beras yang amat mahal itu, kenapa harus disiakan? Kemarin ia berniat mencari suaminya ke Ngebong. Tapi di lapangan depan loji4 itu banyak sekali berkibaran bendera larem. Ia terkejut. Panik. Ia langsung balik tubuh berniat pulang. Namun jalan yang tadi ia lewati telah berderet-deret pula warna merah! Ia tak mau ditangkap. Ia kalap. Ia lemparkan apa saja di sekitarnya ke pawai merah yang tampaknya hendak memenuhi lapangan.

halaman 13


Ia langsung teringat perkataan suaminya beberapa hari lalu, suasana memang berubah genting sejak terdengar kabar bahwa beras gratis itu haram. Yang membagi dan yang menerima akan diadili. Terlebih sejak terdengar kabar dari Jakarta bahwa Soe Ban Liong5, pimpinan yang mengusulkan ide pemerataan itu, sudah tamat riwayatnya. Kini, di dalam rumah ia kebingungan memikirkan hal itu. benarkah suaminya telah ditangkap dan akan diadili? Jika suaminya ditangkap, kenapa ia tak? Bukankah ia juga turut menikmati beras itu? “Kita bawa ke panti saja, Mus. Aku sudah nggak tahan.” “Meski dia bukan orangtua kandungku, aku takkan tega membuangnya, Kang.” “Aku kerja, kau juga kerja, lalu siapa yang akan menjaganya? Anak-anak? Atau akan kau biarkan emakmu melempari setiap orang yang lewat?” “Tak semua, Kang. Cuma orang yang berbaju merah yang dilempari.” “Lalu kau akan memasang pengumuman, yang berbaju merah dilarang lewat depan rumah ini, begitu? Kau akan disangka anti partai merah, Mus. Kau mau cari penyakit?” Ia mendengar keributan kecil itu. Musripah dan suaminya sedang meributkan sesuatu. Ia pikir pasti mereka juga kesulitan mencari bapaknya. Suaminya benar. Andai dulu ia tak mengambil bocah malang yang bapaknya tertembak saat larem itu, pasti rumahnya sekarang bagai kuburan. Kini rumahnya selalu penuh riuh anak-anak Mus. Anak-anak bandel yang tak pernah takut akan larem. Mereka keluar masuk rumah tanpa pernah memedulikan teriakannya. “Larem! Larem!” ia melambaikan tangan ke arah cucu-cucunya. Ia mendorong anak-anak manis itu ke dalam rumah agar mereka jangan keluyuran lagi. “Nggak ada yang jualan arem-arem, Mbah!” Anak-anak itu sangat bandel. Mereka berhamburan keluar rumah tanpa memedulikan teriakannya lagi. *** “Itu beras, Mak, jangan dibuang!” Ia rebut beras di tangan anak perempuannya, “Beras haram!” “Ini beras halal, Mak, aku tak mencuri! Kami kerja baik-baik!” “Beras haram!” Ia berniat mengembalikan semua beras haram itu kepada ‘mereka’. Tapi ia tak pernah tahu siapa ‘mereka’. Suaminya tak

halaman 14


pernah bilang siapa mereka yang memberinya beras. Lelakinya hanya pernah berucap, jika mau ikut ‘mereka’, maka akan beroleh jatah beras. Ia pikir jika semua beras itu diletakkan di perempatan jalan, ‘mereka’ akan mengambil kembali beras itu dan lalu bebaslah suaminya dari segala kesalahan. Hanya saja Musripah sepertinya tak setuju dengan caranya itu. *** Ia selalu merasa lelakinya sudah pulang. Menyalakan plaser karena strongking kering minyak tanah(harga minyak tanah bisa untuk beli berkilo jagung), menyuruhnya diam dalam kamar hingga larem benar-benar usai, sambil menghisap berbatangbatang klobot di ruang tamu. Namun ia jengkel setengah mati karena lelaki itu tak pernah menyahut panggilan demi mengurut punggungnya yang sering dicengkeram linu. “Bapak enggak ada, Mak! Bapak telah mati ditembak!” karena jengkel, Musripah menghampiri emaknya. Susah payah ia bangkit. Menegakkan punggung adalah hal yang paling menyiksa. Tak percaya bahwa suaminya belum pulang, tertatih ia melangkah ke ruang tamu. Di balik gorden, gelap meraja. Ia yakin bahwa larem sudah usai. Besok ia harus mencari lelakinya agar segera pulang. Susah betul kehidupannya jika tanpa lelaki. Ia sudah tak kuat lagi menimba air dari sumur. Ia pun sering kepayahan meski hanya untuk berburu nginang dari warung ke warung. Ia juga selalu didera kesepian. Tapi keesokan harinya sangkaannya keliru. Telinga rentanya kembali mendengar riuh letusan-letusan. Ia pun tak mau bergerak dari pembaringan. Ia benar-benar cemas akan nasib suaminya yang mungkin masih berada di rumah Pak Lurah. Ia terus memanggil-manggil lelaki itu. *** Suatu malam ia melihat suaminya pulang. Duduk di kursi rotan tua ruang tamu dengan wajah sendu. Seperti tak pernah dicuci, pakaian yang melekat di tubuhnya amat kusut. Tak membawa beras. Lelaki itu hanya duduk membisu menunggui malam. Entah mengapa ia begitu gagu untuk sekedar menyapa. Tenggorokannya seolah tercekat sesuatu. Gembira atau sedih, keduanya baur. Ia hanya mampu duduk terpaku memandangi lelakinya menemani kekosongan. Hingga tak terasa fajar merekah. Lelaki itu melempar senyum sekilas sebelum membuka pintu keluar rumah. Celakanya, ia benar-benar lupa tak menanyakan hendak pergi ke mana serta ada keperluan apa. Seolah kejadian yang rasanya berjam-jam itu

halaman 15


hanya terjadi sekilas. Bahkan ia pun lupa menanyakan dari mana saja lelakinya itu pergi kemarin, saat terjadi larem. Maka ia menyuruh Musripah untuk menyusul bapaknya.. Ia yakin bahwa suaminya pergi ke rumah Pak Lurah. Sejak menerima beras itu, lelakinya memang jadi sering ke sana. Entah mengurus urusan apa ia tak tahu. “Kau masih betah memeliharanya?” “Dia orangtuaku, Kang. Aku tak tega.” “Lalu kau akan membiarkannya berkeliaran sambil bicara sendiri layaknya orang gila?” *** Agak jengkel ia ketika Musripah selalu bilang itu bukan rumah Pak Lurah. Tak habis pikir ia ketika Musripah menunjuk rumah Pak Lurah adalah sebuah bangunan bertingkat yang mirip loji. Rumah Pak Lurah seharusnya joglo papan kayu. Heran ia karena rumah Pak Lurah tak juga ia temukan. Karena tak juga menemukan rumah dalam ingatannya, ia lantas menyuruh Musripah untuk mengantarnya ke Ngebong. “Buat apa, Mak?!” Ia terus memaksa meski Musripah berkeras tak mau. Meski banyak tempat telah beralih rupa dan menjadi asing, tapi jalan menuju Ngebong masih bisa diingatnya dengan baik. Sebenarnya ia sangat takut memikirkan hal ini. Bisa saja riuh letusan kemarin adalah proses pengadilan bagi mereka yang tertangkap. Ia hanya ingin memastikan. Ada kerumunan orang-orang berseragam loreng di sana. Bendera larem berkibar megah di tengah-tengah pertigaan jalan menuju lapangan itu. Di halaman loji tampak barisan orang menyandang senapan. Tak nampak seorangpun penduduk sekitar. “Jangan ke situ!” seseorang, berseragam loreng hijau, menghadang langkahnya. “Aku mencari suamiku.” “Jangan ke situ!” bentak tentara itu lagi. “Aku mencari Kang Parjo.” “Bapak sudah nggak ada, Mak! Semua orang-orang yang Emak benci itu juga telah terkubur empat puluh tujuh tahun silam.” Merasa aneh ketika suara itu berubah perempuan, ia menoleh ke wajah sang tentara. “Apa Emak nggak lihat, ini kuburan!” Matanya mengikut ke arah telunjuk perempuan di hadapannya. Samar-samar ia melihat ratusan nisan di belakang sana. Di pertigaan

halaman 16


jalan, bendera larem telah gaib. “Ini bukan Ngebong,” ia berbalik arah. “Mak, Bapak sudah nggak ada!” bernada kesal. “Apa Emak mau aku panti-kan?!” ***

Catatan Kaki 1Wadah tempat daun sirih 2Peristiwa ini ditandai dengan dikibarkannya bendera merah sebagai tanda bahaya, bendera kuning sebagai tanda peringatan, lalu bendera hijau sebagai tanda aman. Saat bendera merah dikibarkan, bisa dipastikan ada pembersihan terhadap orang-orang bau Komunis oleh Aparat. 3Berasal dari kata bong pay; pekuburan Cina. 4Sebutan warga lokal untuk rumah besar bekas markas serdadu Belanda. 5Plesetan nama dari Subandrio; Waperdam I/Menlu RI dan kepala Badan Pusat Intelijen 1965

Nur Hadi Adi Zam-Zam merupakan nama pena Nur Hadi, dilahirkan di Jepara, 1 Januari 1982. Tahun 2002, beberapa cerpen dan puisi dipublikasikan di Bahana Sastra-nya RRI Pro II Semarang. Tahun 2004, menang juara harapan Lomba Menulis Cerpen Islami Majalah UMMI. Tahun 2005, juara harapan Lomba Menulis Cerita Pendek Islami (LMCPI ke- VII) majalah ANNIDA. Tahun 2008, menang juara tiga Lomba Menulis Cerita Pendek Islami ( LMCPI ke-VIII) majalah ANNIDA. Tahun 2009 dan 2010, dua buah cerpen menjadi karya favorit dalam LMCR memperebutkan LIP ICE Selsun Golden Award. Tahun 2010, masuk nominasi Krakatau Award 2010. Tahun 2012, juara tiga Lomba Menulis Cerita Pendek Islami (LMCPI ke XI) Majalah ANNIDA. Cerbung dan cerpen, tersebar di Jawa Pos, Surabaya Post, Sumut Pos, Majalah Budaya Sagang, dan sebagainya.

1 halaman 17


cerita-pendek terjemahan

Kucing Hitam oleh Edgar Allan Poe

kan kusampaikan kisah ini dari narasi sederhana namun sangat liar, dan sama sekali tidak berharap atau meyakini apapun. Dipastikan aku akan gila bila mengharapkan sesuatu, karena jelasjelas logika pikiran sehatku pasti menolak kenyataan-kenyataan yang ada. Aku belum gila dan yang pasti, tidak sedang bermimpi. Aku tahu, kematian akan menjemputku esok, untuk itu aku akan melepaskan seluruh beban jiwaku di hari ini. Hasrat utamaku adalah hidup di atas bumi ini secara sederhana, tanpa beban dan tak mengeluh; hanya menjalani rangkaian peristiwa kehidupan yang biasa-biasa saja. Hasrat ini telah banyak mendatangkan gerun tersendiri bagiku menyiksaku, menghancurkanku. Tapi aku tak berhasrat menceritakannya di sini. Bagiku, semua itu adalah kisah horor dalam kehidupanku meskipun bagi sebagian orang mungkin cerita hidupku ini tak sebanding dengan kisah-kisah begaya baroque yang hebat. Beberapa pendapat para ahli mungkin akan mematahkan kisah fantasiku ini di beberapa bagian pendapat-pendapat para pakar yang lebih tenang, lebih logis, dan jauh lebih membosankan dari apa yang akan kukedepankan. Meskipun demikian, aku akan menanggapinya dengan biasa saja, karena semuanya tak lebih dari rangkaian sebab dan akibat alami yang sederhana.

halaman 18


Sejak kecil, aku telah dikenal karena sifatku yang lemah-lembut dan memiliki toleransi kemanusiaan yang tinggi. Kelembutan hatiku begitu jelas terpancar sehingga seringkali menjadi bahan lelucon bagi para sahabatku. Aku pencinta hewan, dan kedua orang tuaku pun memanjakanku dengan mengizinkanku memelihara berbagai jenis hewan peliharaan. Bersama mereka aku banyak menghabiskan sebagian besar waktuku, dan tak pernah kurasakan kebahagiaan yang jauh lebih besar dibandingkan saat-saat aku memberi makan dan bercengkerama dengan para hewan peliharaanku. Karakter aneh ini bertambah kuat sejalan dengan pertumbuhanku, dan begitu aku beranjak remaja, aku semakin menegaskan bahwa ini merupakan salah satu sumber kesenanganku yang utama. Bagi mereka yang telah merasakan cintakasih dari seekor anjing yang setia dan cerdas, maka penjelasanku mengenai apa yang kurasakan mungkin dapat dipahami dengan mudah oleh mereka. Ada sesuatu yang terasa dari cinta-kasih yang begitu tulus dan penuh pengorbanan dari hewan–hewan itu, yang hanya dapat dirasakan secara langsung oleh mereka yang acap mengalami pahit-manisnya jalinan persahabatan dengan sesama manusia biasa. Aku menikah di usia muda, dan menjadi sebuah keberuntungan, saat kudapati bahwa istriku pun memiliki sifat yang sama. Ia tak pernah mengeluh atau menolak keinginanku untuk memelihara hewan peliharaan. Kami memelihara burung, ikan emas, seekor anjing yang manis, beberapa ekor kelinci, seekor kera kecil, dan seekor kucing. Kucing yang kami miliki ini berukuran sangat besar dan sangat cantik, seekor kucing hitam yang luar biasa cerdas. Berbicara mengenai kecerdasan si kucing, istriku, yang sesungguhnya tidak mempercayai hal-hal mistis di luar nalar kebanyakan orang, namun terkadang ia pun mengaitkan kecerdasan hewan tersebut dengan pendapat kuno, yaitu bahwa seluruh kucing berwarna hitam merupakan penjelmaan tukang santet, dukun pengguna-guna. Aku

halaman 19


paham bahwa pendapatnya tersebut tidaklah serius ia kemukakan dan alasan kuceritakan hal ini, hanya karena kebetulan saja terlintas di benakku. Pluto nama kucing itu adalah hewan peliharaan yang paling kusukai dan ia juga merupakan temanku bermain. Aku sendiri yang selalu memberinya makan, dan ia juga selalu mengikutiku kemana pun aku pergi di sekeliling rumah. Dan aku selalu mengalami kesulitan untuk mencegahnya mengikutiku ketika ke luar rumah. Persahabatan kami berlangsung lama, tepatnya selama bertahuntahun, bahkan ketika aku harus melewati masa-masa di mana temperamen dan karakterku mengalami perubahan mendadaksontak menjadi terburuk (betapa malunya aku untuk mengakui ini). Hari demi hari, suasana hatiku berubah menjadi semakin tak menentu, aku menjadi orang yang semakin menyebalkan, dan semakin tak acuh terhadap perasaan orang lain. Aku mulai berbicara dengan kata-kata kasar dan penuh amarah pada istriku, hingga akhirnya berlanjut dengan menyakitinya secara pribadi. Perubahan sifatku ini pun harus dirasakan pula oleh hewan-hewan peliharaanku. Aku tak hanya mengabaikan mereka, namun juga memperlakukan mereka dengan kasar. Namun, khusus bagi Pluto mendapat tempat yang agak istimewa, aku berusaha menahan diri untuk tidak menyakitinya; sedangkan bagi para kelinci, kera, atau bahkan si anjing, aku sama sekali tidak menahan diriku untuk memperlakukan mereka dengan buruk, terutama bila tanpa sengaja mereka melintas atau berada di dekatku. Penyakitku ini kurasakan bertambah semakin parah karena bagiku, penyakit adalah bagaikan Alkohol! hingga pada akhirnya, Pluto, yang kini semakin tua dan semakin mengesalkan, harus pula merasakan dampak dari temperamen burukku. Pada suatu malam, saat pulang dalam keadaan mabuk berat, aku merasa bahwa kucing itu tak mengacuhkan kedatanganku. Aku pun dengan geram langsung menangkapnya; perbuatan kasarku itu membuatnya takut, sehingga ia pun melukai tanganku dengan gigigiginya. Amarahku semakin memuncak seketika, seolah iblis telah menguasaiku. Aku bukanlah diriku lagi. Jiwaku seperti melayang pergi meninggalkan ragaku; dan sebagai gantinya, sesuatu yang lebih buas, kasar serta menakutkan mengisi ragaku yang kosong itu. Tanganku meraih sebuah pisau-lipat dari dalam saku mantelku, kubuka, sementara tanganku yang lain masih memegangi si kucing, kemudian pisau itu kutusukkan ke arah matanya dan mencongkel bola mata kucing malang itu! Aku membara, aku terbakar, aku merasa jijik, saat melakukan perbuatan keji itu.

halaman 20


Begitu pagi datang dan kesadaranku mulai pulih aku jatuh tertidur setelah melalui malam yang melelahkan aku merasakan perasaan yang bercampur-aduk, sebagian dari diriku merasa ketakutan, sebagian merasa amat menyesal, karena perasaan bersalah dari perbuatanku semalam; namun di sisi lain, aku pun merasa lemah dan bimbang, serta merasa bahwa jiwaku tetap tak tersentuh. Aku menenangkan hatiku dengan cara menenggelamkan diriku dengan minum-minum anggur, agar peristiwa itu cepat terlupakan. Sementara itu, kesehatan si kucing perlahan mulai membaik. Matanya yang telah tercongkel sungguh menunjukkan pemandangan yang mengerikan, namun ia tampak tak lagi merasakan sakit. Kucing itu telah mampu menjalani kebiasaannya seperti semula, yaitu berjalan kesana- kemari keliling rumah, namun segera melarikan diri dengan penuh ketakutan begitu kudekati. Hatiku sedih dan merasakan kehilangan yang amat mendalam begitu menyaksikan peristiwa tersebut, menyadari bahwa makhluk yang dulu pernah begitu menyayangiku kini berbalik membenciku. Kondisi ini perlahan mendatangkan rasa kesal bagiku. Lalu pada akhirnya, seolaholah hendak melengkapi keterpurukkan jiwaku, hadirlah sifat jahat yang kemudian mengisiku. Tak ada akal sehat yang menyertai sifat ini. Aku tak lebih yakin bahwa jiwa murniku masih hidup, dibandingkan dengan keyakinanku bahwa kejahatan merupakan bagian dari detak jantung manusia yaitu, salah satu sifat atau sentimen dasar yang mewarnai dan menggambarkan karakter seorang manusia. Mengapa mereka yang telah berulang kali, mendapati dirinya melakukan perbuatan jahat atau bodoh, dengan alasan yang tak lain karena mereka paham bahwa perbuatan itu tak seharusnya dilakukan, masih terus melakukannya? Bukankah kita memiliki kecenderungan yang selalu dilakukan secara berkepanjangan, dalam kemampuan penilaian kita yang terbaik, yaitu bahwa Hukum tercipta untuk dilanggar, semat-amata karena kita sesungguhnya memahami bahwa itulah yang seharusnya terjadi? Sifat jahat ini, seperti yang telah kukatakan, menjadi pelengkap akhir dari keterpurukkan jiwaku. Bagaikan penantian panjang dan hasrat mendalam dari jiwaku untuk menyakiti dirinya sendiri menawarkan kekejaman bagi dirinya sendiri melakukan perbuatan buruk demi keburukan itu sendiri yang mendorongku untuk terus melanjutkannya dan melahap sendiri rasa sakit dari perbuatan kejamku pada makhluk malang itu. Pada suatu pagi, saat kondisi darahku yang dingin, aku melilitkan seutas tali di lehernya dan menggantungkannya di batang sebuah pohon; aku melakukannya dengan berderai air mata, dan kegetiran

halaman 21


dari rasa sesal tersirat di dalam hatiku; aku menggantungnya karena kutahu ia pernah menyayangiku, dan karena ia tak memberiku alasan untuk menyakitinya; aku menggantungnya karena dengan perbuatan itu aku telah melakukan sebuah dosa besar yang balasannya akan diterima oleh jiwaku yang fana jika hal itu memang mungkin terjadi bahkan melampaui jangkauan pengampunan dari Tuhan, Sang Maha Pengampun dan Sang Maha Besar. Malam harinya, pada hari yang sama aku melakukan perbuatan kejam itu, tiba-tiba aku terbangun dari tidur karena suara sambaran api. Tirai-tirai di sekeliling tempat tidurku terbakar terjilat lidah api. Seluruh rumah pun terbakar. Aku, istriku, dan seorang pelayan kami mengalami kesulitan ketika menyelamatkan diri dari kobaran api yang menjilat-jilat. Semua musnah. Seluruh kekayaan duniawiku habis dilalap si jago-merahi, dan aku mengalami kekalahan serta putus asa. Aku berada pada tingkat yang paling lemah untuk mencari rangkaian sebab dan akibat, di antara musibah dan kekejaman ini. Namun berusaha untuk merinci rangkaian fakta-fakta dan bertekad agar tak satupun sambungan rangkaian itu tidak sempurna. Satu hari setelah peristiwa kebakaran itu, aku kembali mengunjungi puing-puing bekas kebakaran. Salah satu dinding di rumahku telah runtuh, tepatnya dinding sebuah bahagian ruangan; ukurannya tidak terlalu tebal dan berdiri di sekitar bagian tengah rumah, serta berada di sisi lain kamar tidurku, berbatasan dengan bagian kepala ranjangku. Bagian plester yang melapisinya, sanggup menahan kobaran api sebuah fakta yang kuyakini ada karena beberapa saat sebelumnya dinding itu baru dilapisi lapisan plester tersebut. Di sekitar dinding ini, beberapa orang tengah berkumpul; mereka memeriksa dan mengamati setiap bagian dengan bersungguhsungguh. Kata-kata “aneh!� “ajaib!� dan berbagai ungkapan lain yang serupa terlontar dari mulut-mulut mereka, dan membuat rasa penasaranku semakin membesar. Aku bergerak mendekat dan melihat, seperti sebuah relief pada permukaan putih, dengan bentuk seekor kucing yang amat besar. Detail ukiran itu tampak sangat akurat dan luar biasa mengagumkan Ada seutas tali yang melilit leher kucing itu. Ketika pertama kali aku melihat pemandangan ini, rasa penasaran dan perasaan takut yang kurasakan sangatlah kuat. Namun tiba-tiba sebuah ingatan sedikit membantuku. Aku masih ingat, kucing itu tergantung di sebuah pohon yang tumbuh di halaman, pohon itu berbatasan langsung dengan rumah. Begitu peristiwa kebakaran terjadi, halaman itu segera dipenuhi oleh

halaman 22


orang-orang yang datang, seseorang pasti telah memotong tali yang menggantung kucing itu dan melemparkannya, melalui jendela yang terbuka, ke dalam kamar tidurku. Hal ini mungkin dilakukan ketika melihatku sudah terbangun dari tidur. Reruntuhan dinding-dinding lainnya telah menekan bangkai dari korban kekejamanku ke dalam cairan plester yang baru saja disapukan beberapa waktu lalu; campuran cairan kapur dan zat amonia dari bangkai itu, ditambah dengan panasnya kobaran api, telah menciptakan suatu bentuk ukiran seperti yang kulihat tersebut. Meskipun aku mencoba berpikir dengan seluruh akal sehatku mengenai kejadian itu, namun fakta yang begitu detail tersebut tak sanggup kuhilangkan dari dalam benakku dan terus mengusik rasa penasaranku. Selama berbulan-bulan, fantasi tentang kucing itu terus menghantuiku; dan sepertinya, selama masa-masa tersebut, jiwa sentimenku yang separuh hilang kini telah kembali, meskipun aku tak sepenuhnya yakin, yaitu perasaan menyesal. Perasaan menyesal itu kurasakan cukup mendalam; aku menyesal bahwa hewan itu telah pergi dan penyesalan pun kurasakan ketika melihat ke sekelilingku, seolah-olah para hewan dari spesies yang sama, atau berpenampilan sama, yang tampak serupa dengan si kucing, kini terus menghantui dan tampak selalu bergentayangan di sekitarku. Pada suatu malam, ketika aku duduk terdiam, masih dalam kondisi jiwaku yang buruk, mataku tiba-tiba terpaku pada sesosok berwarna hitam. Sosok itu tengah berbaring di salah satu patung babi hutan berkuran besar berwarna seperti Gin atau seperti Rum, yang menjadi bagian utama dari seluruh perabotan di apartemen itu. Aku berusaha untuk menatap dengan teliti ke atas patung babi hutan itu selama beberapa menit, dan sesuatu yang membuatku terkejut adalah, aku tak menyadari keberadaan obyek itu sebelumnya. Aku memutuskan untuk bergerak mendekatinya, dan menyentuhnya dengan tanganku. Obyek itu adalah si kucing hitam – dengan ukuran yang sangat besar ukurannya sebesar Pluto, dan setiap detail tubuhnya sangat serupa dengan Pluto. Seluruh bulu di tubuh Pluto sepenuhnya berwarna hitam, tak ada sehelaipun berwarna putih; namun kucing yang satu ini memiliki bagian bulu yang berwarna putih, meskipun tidak terlalu mencolok, bulu-bulu itu menutupi hampir seluruh bagian dadanya. Ketika tanganku akan mendekat untuk menyentuhnya, ia tibatiba bangkit, dan mengeong nyaring, menggosokkan tubuhnya di tanganku, dan tampak senang dengan kehadiranku. Hewan seperti inilah yang selama aku cari. Seketika itu pula aku mendatangi sang pemilik apartemen dengan niat untuk membeli hewan itu; namun

halaman 23


orang itu berkata bahwa ia bukanlah pemilik kucing tersebut ia tak tahu-menahu tentang keberadaan kucing itu ia bahkan belum pernah melihatnya sebelumnya. Aku masih tetap membelaibelai kucing itu, dan ketika aku hendak beranjak pulang, ia menunjukkan sikap ingin turut serta bersamaku. Aku pun mengizinkannya untuk ikut; sesekali aku masih membelai dan mengusapusap bulunya di sepanjang perjalanan kami. Begitu kami tiba di rumah, ia langsung membuat dirinya nyaman seolaholah itu memang rumahnya, dan istriku pun langsung jatuh hati padanya. Sedangkan bagi diriku sendiri, entah dari mana datangnya namun rasa benci itu segera muncul di dalam diriku. Ini merupakan kebalikan dari apa yang selama ini berupaya untuk kuhindari; namun aku sama sekali tak mengerti bagaimana atau mengapa perasaan ini muncul rasa suka itu berubah menjadi rasa jijik dan rasa terganggu. Perlahan, rasa jijik dan rasa terganggu ini semakin tumbuh menjadi kebencian yang pahit. Aku berusaha untuk menghindari makhluk itu; ada rasa malu, dan kilasan kenangan mengenai perbuatan kejamku di masa lalu yang selalu menghantui, sehingga mencegahku untuk berupaya melukai makhluk itu secara fisik. Selama bermingguminggu, aku sama sekali tak berusaha untuk memukulnya atau menciderainya; namun pada akhirnya, secara perlahanlahan sangat perlahan aku melihatnya dengan rasa enggan yang tak terucapkan, dan selalu menghindari keberadaannya yang menjijikkan secara diamdiam, seolah-olah aku ingin menjauhkan diri dari wabah penyakit menular. Untuk semakin menegaskan kebencianku terhadap kucing itu, adalah penemuan yang baru kusadari pada keesokan paginya setelah malam sebelumnya kuambil kucing itu, yaitu, seperti Pluto, kucing itu juga kehilangan salah satu matanya. Namun kondisi kekurangannya tersebut malah membuatnya semakin dicintai oleh istriku, seperti yang telah kukatakan sebelumnya, ia adalah wanita yang memiliki jiwa kemanusiaan yang amat besar, yang dulu pernah pula kumiliki dan kujadikan sebagai sumber kesenanganku, namun kini sifat itu menjadi sangat menjijikan bagiku. Keenggananku untuk berurusan dengan kucing itu semakin meningkat di dalam diriku. Hewan itu, dengan keras hati, terus mengikuti kemanapun kakiku melangkah, hal ini mungkin sedikit sulit untuk kujelaskan kepada pembaca secara rinci. Kapanpun ia berbaring, ia akan selalu merangkak ke bawah kursi yang kududuki, atau naik ke pangkuanku dan bermanjamanja dengan malas. Ketika

halaman 24


aku beranjak berdiri, ia akan berjalan perlahan di antara kedua kakiku hingga hampir membuatku terjatuh, atau, menancapkan cakarcakarnya dengan lembut pada pakaian yang kukenakan, kemudian bergerak ke atas hingga posisinya seperti bergantung pada dadaku. Pada saatsaat demikian, meskipun hatiku begitu kuat ingin menghancurkannya, namun aku masih sanggup untuk menahan diri; sebagian karena kenangan perbuatan kejiku di masa lalu masih terlintas di dalam benakku, namun alasan yang utama adalah izinkan aku untuk mengakuinya kali ini saja karena rasa takutku yang amat besar pada kucing itu. Ketakutan yang kumiliki bukan karena melihat penampilan fisiknya yang menyeramkan sedikit sulit bagiku untuk menjelaskan alasannya di sini. Aku malu untuk mengakui ya, bahkan dengan jiwa jahatku yang besar ini, aku sangat malu mengakui bahwa ketakutan dan kengerian yang ditimbulkan oleh hewan itu bagiku tampak seperti keseraman makhluk chimaera. Istriku telah beberapa kali mengingatkanku bahwa kucing itu memiliki bulu berwarna putih di bagian dadanya, sangat berbeda dengan kucing yang pernah kubinasakan sebelumnya. Pembaca mungkin masih ingat, bahwa bagian tubuhnya yang berbulu putih itu memang cukup lebar namun tidaklah terlalu terlihat mencolok; meskipun pada awalnya bagiku tidak terlihat mencolok bahkan aku bersikeras untuk menganggapnya tidak terlihat sama sekali tapi, semakin lama bagian itu menjadi bagian nyata dan memberikan perbedaan yang tegas. Keberadaan makhluk yang membuatku bergetar untuk menyebutkannya dan untuk hal ini, melebihi segala hal lainya, aku merasa enggan dan amat ketakutan, dan ingin mengenyahkan diriku sendiri dari dekat monster itu kini, seperti berubah menjadi sosok yang sangat menyeramkan, mengerikan yang bangkit dari tiang gantungan! Kesengsaraan dan Kematian oh, mesin pencabut nyawa dan penghukuman yang menyedihkan dan menakutkan. Dan kini aku terpuruk di tengah-tengah keterpurukan sisi kemanusiaanku. Dan hewan itu saudaranya yang telah kubinasakan sebelumnya terus menghantuiku; ia membayangbayangiku dengan kekuatan pengaruhnya yang bagaikan Dewa Tertinggi oh! Aku tak tahan, sialan! kini, siang atau malam, aku tak lagi merasa tenang! Kucing yang sebelumnya tak pernah membiarkanku sendiri; dan kini, kucing yang berikutnya, selalu menghantuiku dengan mimpimimpi menyeramkan dan mendapati makhluk itu menghembuskan napas panasnya di wajahku, serta membebaniku dengan bobotnya yang berat sungguh mimpi buruk yang tak sanggup kujauhkan dari diriku ia terus merongrong hatiku, selamanya!

halaman 25


Di bawah tekanan siksaan yang tak kunjung berhenti ini, sisi lemahku sepertinya memilih untuk menyerah kalah. Namun, pikiran-pikiran jahat muncul dan menjadi sahabat baikku pikiran terjahat dan tergelap. Kegoncangan hati dan jiwaku kini semakin parah menjadi kebencian pada semua hal dan semua orang; meledaknya amarahku yang muncul secara mendadak, sering dan tak terkendali itu telah membutakan hatiku, dan seperti sebelumsebelumnya, istriku yang tak pernah mengeluh dan penyabar itu menjadi korban utama pelampiasan amarahku. Pada suatu hari, istriku menemaniku untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga. Ia mengikutiku pergi ke gudang bawah tanah dari bangunan tua ini, tempat tinggal yang terpaksa harus kami huni karena tekanan kemiskinan yang harus kami alami. Kucing itu mengikutiku menuruni tangga yang curam, dan, ia hampir saja membuatku terjungkal jatuh, hingga mendorongku ke puncak amarahku. Secara spontan, aku mengangkat kapak, dan dengan gelap mata, segala rasa takutku terhadapnya seolah hilang. Kuayunkan senjata itu, dan hendak menghunjamkannya ke tubuh makhluk tersebut, dengan harapan bahwa ia akan segera binasa. Namun tangan istriku segera menahan perbuatanku. Merasa terhalang oleh intervensi tersebut, amarahku semakin menggila, aku menarik tanganku dari genggaman istriku dan menghunjamkan kapak tersebut pada kepalanya. Ia menghembuskan napas seketika itu pula, dan jatuh terkulai tanpa rintihan. Pembunuhan keji itu baru saja terjadi, aku pun segera menyadarkan diriku sendiri; dengan segenap usaha aku berpikir untuk menyembunyikan bangkai wanita itu. Aku tak mungkin membawanya pergi dari rumah, baik di siang maupun malam hari, tanpa risiko bahwa para tetangga mungkin saja melihat. Aku memutar otak, berbagai ide muncul di dalam benakku. Sesaat aku berpikir untuk memotong-motong bangkai itu menjadi beberapa bagian kecil, dan menghilangkan jejak dengan cara membakar potongan-potongan tubuh tersebut. Sesaat kemudian, ide untuk menggali lubang di lantai gudang bawah tanah dan menguburnya di sana terlintas pula di dalam kepalaku. Lalu, berpikir untuk membuang bangkai itu ke dalam sumur di halaman atau, memasukkannya ke dalam kardus dan membungkusnya sedemikian rupa dan serapi mungkin hingga tampak seperti suatu produk pabrik, lalu memanggil kurir untuk membawanya pergi dari rumah. Namun, pada akhirnya aku menemukan ide yang kuanggap terbaik dibandingkan ide-ide lainnya. Aku memutuskan untuk menyembunyikannya di dinding gudang bawah tanah seperti

halaman 26


yang katanya biasa dilakukan oleh para biarawan pada zaman pertengahan, di mana mereka menguburkan para korbannya ke dalam dinding. Aku rasa, inilah salah satu fungsi gudang bawah tanah. Dindingdinding di dalam ruangan ini dibangun secara longgar, dan diberi sapuan lapisan plester seadanya, yang masih terasa basah karena kelembaban di dalam ruangan ini sangat tinggi sehingga sulit bagi lapisan tersebut untuk kering. Selain itu, pada salah satu dindingnya terdapat bagian yang menjorok ke depan, seperti tempat cerobong asap dan perapian, namun bagian itu pun telah diisi dengan material sehingga menjadi selaras dengan bagian ruangan lainnya. Aku sangat yakin bahwa tempat itu cocok bagiku untuk menyembunyikan bangkai tersebut; aku hanya perlu mengeluarkan material yang mengisi rongga itu, lalu memasukkan bangkainya, dan mengisinya kembali dengan material sehingga tetap terlihat sama seperti semula. Aku merasa yakin dengan perincian dan perhitungan rencanaku ini. Dengan bantuan linggis, dengan mudah aku dapat merobohkan batu-batu-bata yang tersusun, dan dengan hati-hati aku kemudian menyandarkan bangkai itu ke dinding di belakangnya. Aku mengalami sedikit kesulitan ketika harus menyusun ulang batubatu-bata tersebut ke tempatnya semula. Telah kusiapkan adonan semen, pasir dan serat, dengan segala perhitungan yang tepat, selain itu, aku pun telah menyiapkan cairan plester yang serupa dengan cairan semula; kusapukan cairan plester tersebut dengan sangat hati-hati di atas dinding bata yang baru kususun. Setelah pekerjaan itu selesai, aku merasa puas dengan hasilnya dan semua tampak biasa-biasa saja. Dinding itu tak menunjukkan perbedaaan dari sebelumnya. Kotoran dan sampah yang berserakan di lantai gudang kuambil satu per satu dengan saksama. Aku melihat ke sekeliling dengan rasa bangga dan lega, kukatakan pada diriku sendiri “Akhirnya, pekerjaanku tak sia-sia.� Tugasku berikutnya adalah mencari kemana perginya kucing itu; kucing yang telah menyebabkan segala kerepotan ini. Aku telah bertekad bulat untuk membinasakannya. Bila aku melihatnya saat itu juga, maka tamatlah riwayatnya saat itu pula; namun, sepertinya hewan cerdik itu mengerti bahwa aku hendak menghabisi nyawanya, terutama setelah melihat betapa murkanya diriku sebelumnya, sehingga kurasa ia memilih untuk menghindariku dalam suasana hatiku yang sedang buruk ini. Sulit bagiku untuk mejelaskan secara rinci, atau untuk membayangkan, betapa dalam dan betapa bahagia serta leganya perasaanku dengan perginya makhluk menjijikkan itu.

halaman 27


Bahkan hingga malam hari datang, ia masih tidak menampakkan batang hidungnya dan untuk pertama kalinya, sejak kehadiran kucing itu di rumahku, aku dapat tidur dengan begitu nyenyak; ya, tidur dengan sangat nyenyak meskipun beban dari rasa bersalah karena telah melakukan pembunuhan masih menggelayuti jiwaku! Hari kedua dan ketiga berlalu begitu saja, dan tetap, pengancam jiwaku itu masih belum menampakkan dirinya. Sekali lagi, aku sanggup bernapas seperti orang yang merdeka. Monster yang terus menghantuiku itu kini telah pergi entah kemana, untuk selamanya! Aku tak perlu lagi melihatnya! Inilah puncak kebahagiaanku! Rasa bersalah dari perbuatan jahatku memang masih mengganggu, tapi sangat sedikit saja. Beberapa pertanyaan memang telah bermunculan, namun semua telah terjawab. Bahkan pencarian pun telah dilakukan namun tentu saja, tak ada yang dapat ditemukan. Aku merasa bahwa kebahagiaan masa depanku sudah terjamin dan aman. Menginjak hari keempat setelah peristiwa pembunuhan itu, sekelompok polisi tanpa terduga, mendatangi rumahku, dan melakukan penyelidikan secara saksama ke seluruh penjuru rumah. Aku merasa aman, tempatku menyembunyikan bangkai itu tak mungkin ditemukan, tak sedikitpun rasa bersalah terpancar dari wajahku. Para petugas kepolisian itu memintaku untuk turut menemani mereka melakukan penyelidikan ke sekeliling rumah. Tak ada celah atau satu sudut pun yang luput dari pengamatan mereka. Kemudian, setelah tiga atau empat kali berkeliling rumah, mereka memutuskan untuk turun ke gudang bawah tanah. Aku tak merasa tegang atau bergetar. Detak jantungku masih berdegup dengan tenang, seperti seseorang yang tengah tertidur dengan lelap. Aku berjalan menyusuri setiap sisi gudang itu. Tangan kulipat di depan dadaku, dan bergerak dengan santai kesanakemari. Para petugas polisi tampaknya telah selesai meneliti ruangan itu dan mereka pun hendak beranjak pergi. Rasa bahagiaku bergelora di dalam dada dan sulit bagiku untuk menahan luapannya. Aku pun berucap kepada mereka, dengan nada yang penuh dengan kemenangan, dan untuk menegaskan kepada mereka bahwa aku tidak bersalah. “Tuan-tuan,� aku berseru, ketika sekelompok polisi itu menaiki anak tangga, “Saya senang karena telah berhasil menjawab segala kecurigaan anda semua. Saya harap anda semua sehat selalu, dan semoga anda dapat bersikap lebih sopan lain kali. Perlu anda semua ketahui, tuan-tuan, ini adalah rumah yang dibangun dengan konstruksi terbaik.� (Dengan hasratku yang menggebu untuk mengatakan sesuatu yang sederhana, pada kenyataannya aku sama sekali tak tahu apa yang keluar dari mulutku) “Saya yakin sekali, ini

halaman 28


rumah yang dibangun dengan tepat. Dinding-dinding ini anda ikut, tuan-tuan? Dinding-dinding ini disusun dengan sempurna�; dan di sini, dengan keberanian yang tak masuk akal, aku menghantam dengan sekeras mungkin, menggunakan tongkat yang ada di dalam genggamanku, bagian dinding bata tempat aku menyembunyikan bangkai istriku. Namun, atas perlindungan Tuhan dan penyelamatanNya atas diriku dari mulut iblis! Tak lama setelah gema pukulan tongkatku pada dinding itu berhenti, aku mendengar suara yang berasal dari balik dinding tersebut! suara tangisan yang mulanya tertahan namun kemudian pecah, seperti anak kecil yang menangis sesenggukan, lalu berlanjut menjadi suara teriakan panjang, nyaring dan terus-menerus, namun suara itu terdengar tidak biasa dan tidak seperti suara manusia lebih tepatnya, seperti suara lolongan memekik dengan lantang, sebagian terdengar seperti sesuatu yang menyeramkan tapi sebagian lagi terdengar seperti suara kemenangan seolaholah suara itu berasal dari neraka. Seperti perpaduan suara jeritan yang keluar dari mulut mereka yang telah dikutuk, memekik kesakitan dan suara para iblis yang bersukaria menghukum para penghuni neraka tersebut. Pikiran-pikiran tak keruan terlintas di dalam benakku, dan akan terdengar begitu bodoh jika kujelaskan. Aku gontai dan sempoyongan, hingga bersandar pada dinding di sisi lain. Selama beberapa saat, para petugas kepolisian yang masih berdiri di anak tangga hanya terdiam dan bergerak, mereka merasa heran dan sedikit ketakutan. Kemudian, selusin lengan yang kuat mulai menghantam-hantam dinding. Semua terasa sangat nyata. Bangkai itu, dalam kondisi yang sudah membusuk dan bersimbah darah, berdiri dengan tegak di hadapan seluruh orang yang berada di dalam ruangan itu. Sementara di atas kepalanya, ada sesosok makhluk seram dengan mulut merah yang terbuka dan satu mata yang tampak seperti dipenuhi kobaran api, bertenggerlah monster yang telah mendorongku untuk melakukan pembunuhan itu, dan suara nyaringnya yang telah mengantarkanku ke tiang gantungan. Jadi, selama ini aku telah mengubur kucing monster itu ke balik dinding!*** (Terjemahan Vergiane Railasha, gambar illustrasi oleh Dantje S Moeis)

1 halaman 29


sajak

Leo Putra Surat Kemenangan dan Surat Manusia Istriku Ketika Ia Jatuh

LEO PUTRA Lahir di Tembilahan Indragiri-Hilir Riau 13 Agustus 1969. Dikenal sebagai pemusik, juga bergabung di dunia teater dan juga rajin menulis karya-karya kreatif. Sekarang sedang dalam proses menggali musik-musik Melayu tradisional dan mendokumentasikan karya-karya Melayu (anonimous). Sebagai penunjang kebutuhan keseharian, ia mengelola dunia usaha di bidang IT, entertainment dan recording dengan label “Icodea� miliknya.

halaman 30


Surat Kemenangan dan Surat Manusia Dengan sirip percaya, ucapan dan laku Aku berenang, alam berenang, makhluk berenang Semua berenang kepada Mu Duhai Tuan Besar ku Tak layak bagi kami untuk diam sejenak Karena; se-per-sejuta mili pun kami tak terlepas dari Mu Telah engkau kalamkan di buku pemisah, kata “RABB” Yang sejajar pada bagian pasal satu surat kemenangan dan surat manusia Duhai Tuan Besar Ku, pemilik sayang tak pernah kering Pemilik kasih yang tak pernah berhenti Seluruh alam, seluruh jiwa jiwa tak memiliki nafsu Jiwa-jiwa yang tak memiliki akal, yang setia dan patuh pada Tuan Besar Ku yang menjatuhkan daun, menghancurkan gunung, menumpahkan samudera yang menerbangkan segala yang ada Raja ku yang Agung dari segala agung, penguasa semua yang awal dan yang akhir “MALIK” sifat yang telah engkau beritakan di dalam buku pemisah bagian pasal ketiga surat kemenangan dan bagian pasal kedua surat manusia Sungguh seluruh alam, seluruh jiwa yang takut, setia memuliakan Mu Tuanku Yang Besar Engkau sendiri, kami beramai-ramai tiarap menjadi tawanan Mu menjadi abdi Mu Seperti yang telah Engkau kukuhkan pada buku pemisah Dengan kata “Na’budu” bagian pasal ke empat surat kemenangan dan kata “ILLAHI” pada bagian pasal ke tiga surat manusia Agar kami bukan bagian dari yang dholal, bukan bagian dari was wis wus jin dan manusia

halaman 31


Istriku Datanglah istriku Kau yang setia tegak di depan yang tiada berawal dan tiada berakhir yang senantiasa mengebat kenyang, tak bergeming Kemarilah duhai istriku Kau yang berhijab karena malu Menjunjung marwah menghujam malu Kau yang selalu melihat berulang pada ciptaan Rabb Yang setia dalam jalur yang tegak, tiada lupa diri Datanglah, datanglah, datanglah duhai istriku Yang menyiram bibir dalam lautan zikir dan kawah syukur yang menghabiskan waktumu mencetak mujahid dan lelaki terhormat, yang tak pernah bergegas dalam laku, yang tak pernah merasa lepas dari dosa atas perbuatan jiwa Datanglah untukku duhai cantik Kau yang selalu takut berhutang kepada lisan Yang setia bersahabat dengan jiwa-jiwa khadijah, aisyah dan maryam Kau yang setia meratakan mizan jiwa dan laku menjaga tauladan dan rapormu Kau yang tak hendak mendekat kepada pintu-pintu ablasa

halaman 32


Ketika Ia Jatuh Aku tak pernah melihatmu lelah Sepanjang malam menghimpun embun Dengan kelopak pertanda cinta Dan ketika pagi menjemput Kau bersanggama dengan cahaya Membesarkan tunas yang direkah Tumbuh menghujam bumi dan menjulang langit Berbuah setiap musim dengan izin Tuhanmu Melapangkan dada para penghuni Aku tak mendengar keluhanmu, tak melihat lelahmu sepanjang hari Bertarung dengan waktu hingga renta Melayang terombang ambing menghempas diri Bersanggama dengan bumi Kering kerontang terinjak-injak dan lebur menjadi tanah Tak sedikit dendam, tak ada sedikit marah dan tak ada sedikitpun cacian yang dilontarkan Ooooh..daun yang jatuh itu tak pernah membenci angin.

1

halaman 33


sajak

Muhammad Asqalani eNeSTe kala episentrum menggempa tintaku : Eko Putra yang tak lagi senggama kerudung waktu : Siti Rahmah rama saudaramukah aku? : Mujahid Hakiki di Negeri yang terluka akulah renta : Jadduna Lobe Wahid kepada tiada : Afifatul Fana pecah neon bulan dan tandatandanya janin matahari dukun

Lahir dan besar di Paringgonan 25 Mei ‘88 Rokan Hulu - Riau. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris - Universitas Islam Riau (UIR). Menulis Puisi sejak kelas 1 Aliyah di PonPes Al-Mukhlishin. Puisinya meramaikan media seperti: Majalah Sagang, Riau Pos, Batam Pos, dll. Buku Puisi bersamanya di antaranya: Kutukan Negeri Rantau, Festival bulan Purnama Majapahit, Dari Sragen Memandang Indonesia, dll. Buku Puisi Tunggalnya yang telah terbit “Tangisan Kanal AnakAnak Nakal” & “Sajak Sembilu tentang Teh Ribuan Gelas” dan “ABUSIA” Mei 2013.

halaman 34


kala episentrum menggempa tintaku : Eko Putra kala episentrum menggempa tintaku terambing luruh menuju jembalang ruh yang tak berlabuh sentuh semisal pengembaraan mencari nadi keabadian atas nama jiwa di harauf mushaf tak bertepian dalam kata ada renaka doadoa yang muntaha nan bertahiyat dan berthawaf tangan nasuha entah puisi atau jalusi narasi fasih mencairkan kancah wisata hati berbulanbulan bertahuntahun kurayu hayyu tuhan dengan celan pantun pun gurindam sedayu malam agar telur tinta yang kueram bukan tetas beracun yang mematikan mata-jiwa-raga nan asa thalibun kala episentrum menggempa tintaku ‘kan kubongkar rubaiyat kata depa demi depa nian kupahat arca tanda sujud di kening rupa

yang tak lagi senggama kelaminku jatuh ke dalam kolam gairah dan naluriku memucat tangan tuhan mencincang selangkangan aku mendongak terisak memerih lindap kelelakianku terbuang ke lubang larangan yang kemarin siang digali ulang

halaman 35


kerudung waktu : Siti Rahmah kaukerudungkan waktu, menutupi dada tarikan demi tarikan usia cungkupi tanda kau kerudungkan waktu, menutupi dada menyaput sekat, mengungkung pandang menadah nafsah, retina cawan Ar-Rahman pernah kaubilang, waktu akan kerudungkan dadamu perlahan, tapi tak perlu kuwebkan ruah kullah airmata tumpah, kuyu menguak setetas hidayah tak perlu kuceritakan, kerudung waktu itu juga melekat di keningku. dalam sujudku pada rubaiyat tahiyat, airmata maujudku

rama kunangkunang hinggap di dada sebidang. lampu neon di ujung peron sendu sendirian, kekupu jatuh sayapnya meracuni kubangan.

halaman 36


saudaramukah aku? : Mujahid Hakiki di Negeri yang terluka di antara dua kalimat kita sama terikat saudaramu tak pilah jauh tak pilih dekat begitu pituah sang Penguasa dalam arif suhuf mukjizat Muhammad itu saudaraku begitu kaumemanggilku kusahut iya dengan raut purapura mengatasnamakan cinta pada sang Esa tuhan kita bersama lalu‌. kauselipkan kering kamboja di antara kabarkabut dan duka cita memohon aku ikut menangis larut mengutuk manusia berhati berhala laknatullah!! tapi aku menutup mata menutup telinga bahkan menutup nurani dan jiwa surat kabar, majalah, tivi, radio dan internet semua kian mengeraskan raungan tangismu yang tak lagi mampu bersuara tapi tak jua aku tersadar, malah makin pingsan tersebab alasan klise tak berkeprimanusiaan “ bagimu negaramu, bagiku negaraku “ ah, masih laikkah aku mengaku saudaramu?

halaman 37


akulah renta : Jadduna Lobe Wahid akulah renta mengeja hela demi hela usia mencari hakikat dunia akulah renta membaca kitab demi kitab usang mencari hakikat pulang akulah renta mencari makna mencari makna entah bila pintu takdir terbuka melepas daundaun ingatan tentang kehidupan menemukan hakikat yang dicari semasa musim di bumi

kepada tiada : Afifatul Fana akhirnya bangkai menyerupai bunga dan kamboja dan kamboja mengaku kehilangan nama jika ya jika ya zigzag zegezege zigzag biarkan lumut menemu batu bisu di mautu

palung nganga keranda siapa nyalakan dupa pada tiada?

halaman 38


pecah neon 1. di tengah jalan kita berciuman lampu padam apa yang kita takutkan selain tuhan? 2. udara bertukar dingin bergetar kita malah berdebar bagai berkobar bagai terbakar bagaimana jika tuhan benarbenar gusar? 3. lampu depan padam lampu tengah padam kita ke belakang menyalakan eram tuhan manatap tajam

halaman 39


bulan dan tandatandanya sejenak aku berhenti menghitung angkaangka kuanggap detak waktu leleh dan akan jeda september yang tinggal dua getar membasahi dadaku yang hampir terbakar oleh cemburu menggebu dan tak tahu-menahu dan januari mendadak sungsang, mengikuti hatiku yang gersang, melahirkan sejuta kesalahan yang terlanjur melebur dan hilang dan februari, menamai diri sebagai merah sewarna jambu, ranum dan membuat kagum maka telah kuumumkan rampungrampung bahwa di kedalaman ruang angan risau tajam keluku bergelimpangan

janin matahari janin matahari tenggelam saat langit dihantam hijau hujan rimbun dan jumpalitan setelah ceciap basah bayi matahari menangis rebah langit yang ia susu tergeletak tak cagak dituba bajang hujan anak matahari merangkak ia dekap dinding mempelam ia biarkan diri terjerat jeram tak kepalang bintang tertelan sepasang bulan 2012

halaman 40


dukun lidahlidah basah terlipat api keanehan kembali terjadi tulangtulang berserakan ini punya siapa? ada lelaki yang menghidupkan lampu tengah malam menelanjangi dingin dengan sepucuk mantra ada mata mengawasinya, merah menyala sesuatu yang turut membesarkan tubuhtubuh nista tanpa dibimbing pun lelaki itu terlalu iblis‌ dia adukaduk ramuan tujuh petala lewat lidahnya tapi keanehan kembali terjadi jemarinya putus dan seluruh kuku kakinya tanggal arggh‌.mantra telah salah diucapkan!

1

halaman 41


sajak

Dadang Ari Murtono jagung bakar di ringin cembor jagung bakar di ringin cembor di bawah beringin cembor kepada gadis ken peracik rujak

Dadang Ari Murtono Lahir dan tinggal di Mojokerto. sebagian tulisannya pernah terbit di beberapa surat kabar, majalah dan jurnal seperti jawa pos, padang ekspres, , surabaya post, dll. sebagian yang lain menjadi bagian dari antologi bersama seperti tentang kami para penghuni sorter, medan puisi, pasar yang terjadi pada malam hari (antologi penyair mutakhir jawa timur 2), manifesto illusionisme, dll.

halaman 42


jagung bakar di ringin cembor kita berhutang terimakasih kepada humus bagus yang menjadikan ia mampu menyembul tanah lalu tumbuh tambah kukuh dalam hijau paling hijau kita berhutang terimakasih kepada bonggol kayu yang merelakan dirinya terbakar dan tinggal arang yang memeluknya erat memadatkan apa yang masih cair dalam buah muda yang belum kenal asam garam kita berhutang terimakasih kepada saus sambal dan kecap manis yang melumurinya yang membingungkan lidah kita dengan lezat yang tak biasa kita berhutang terimakasih kepada kabut dan udara dingin yang membungkus tubuh kita yang membuat kita mengerti bagaimana hangat yang sebenarnya yang merasuk ke diri kita bersama segalur pipil jagung bakar

jagung bakar di ringin cembor di sini, bahasa dibangun dari perkara-perkara bersahaja tape goreng, petis dan sambal rujak pedas juga tuangan air bakal kopi atau teh seorang penyair, kau tahu, duduk di kursi kayu panjang lalu bicara perihal richard parker, patel, chronos dan sebuah cerita tentang kematian zeus dan tak ada yang mengerti ia, barangkali, tak pernah benar-benar berada di sini di warung lantai tanah warung dengan bahasa-bahasa bersahaja

halaman 43


di bawah beringin cembor selain sesungkup kabut, gelas-gelas kopi, beberapa bualan dan setangkup cerita yang tak jelas ujungnya ada sebuah lagu tentang hari lalu hari yang selalu saja, dengan cara yang belum bisa kita pahami menawan seorang penyair mengalahkannya seperti teluh singun yang menelusupkan sawan

“aku mati, aku mati dalam kedalaman matamu!� padahal itu semata mata kenang mata yang dikiranya mata perempuan berkerudung biru yang perlahan menyiluetkan wajah di lapis kabut, di baki dengan kertas bertuliskan: 1. empat gelas kopi 2. dua lencer jagung bakar 3. selapis kabut 4. hawa dingin tak tertangkis ia ingin kertas berisi puisi yang baru selesai ditulis, sebenarnya tapi di sini tidak ada cukup bahasa atau memang tidak ada bahasa tidak ada

halaman 44


kepada gadis ken di sebuah rumah singgah ada segelap kopi dan secangkir teh serta dua buah cerita hari lalu yang begitu berbeda “mari saling bertukar suguh agar masing-masing lidah kita tahu rasa lain yang sebetulnya tidak terlalu kita suka.� tapi ini semata rumah singgah, katamu dan seperti alir air di sendang depan hanya lewat untuk mengelus batu dan tepian dan seperti sunnah setiap yang singgah kepergian adalah sesuatu yang tak mampu kita sanggah “tidak. tidak. akan terlalu banyak sakit yang tumbuh tambah kukuh dalam setiap pertukaran,� katamu tapi bukankah dalam tempo yang begini singkat kita telah saling menukar letak hati dan harapan tentang keseluruhan nasib di hari depan?

halaman 45


peracik rujak ia dan si penyair, sebenarnya adalah sepasang kembaran yang seperti berpisah di sebuah persimpangan: ketika ia belajar memekakan diri pada takaran bumbu saudaranya berupaya memekarkaan bahasa dan berbicara dengan tataran kalimat yang tak pernah ia dengar sebelumnya “aku akan abadi,� kata saudaranya, “seperti sunnah setiap yang dituliskan,� lanjut si penyair itu tapi ia tidak ingin abadi ia hanya terus berusaha mendengar apa yang dikatakan petis hitam itu gula batok itu, asin garam itu, pedas cabe itu, dan bagaimana cara menyatukan segala rasa yang bertentangan itu dan mengukur keikhlasan air yang sebentar lagi kehilangan kejernihannya rasa yang membingungkan lidah “terlalu lama lidah kita kehilangan kesederhanaannya,� katanya dan entah mengapa, saudaranya, si penyair itu merasa ia tengah menyindir puisi-puisi lalu seperti ada yang berbicara kepada mereka “siapa yang lebih penyair sebenarnya mana yang lebih puisi sesungguhnya?�

1

halaman 46


sajak

Ahlul Hukmi Nunggu Gang Datang Ledah Empat Datuk Panthera Tigris Sumatrae Sungai Dumai Saat Menjelang Maut Tiba

Ahlul Hukmi, S.S Lahir di Dumai, Riau, 19 Agustus 1981. Alumni S1 Bahasa & Sastra Inggris FBSS, Universitas Negeri Padang, Sumatera Barat. Pernah Sebagai Pembawa Acara Lomba Bercerita Cerita Rakyat Riau Tingkat SD/MI Kota Dumai Juli 2012. Juara Pertama Sayembara Karya Tulis Ilmiah Potensi Pariwisata Kota Dumai April 2012. Pembacaan Puisi di Eksplorasi Serantau Penyair Kota Dumai “Mandi Puisi” –Teater Bendera, Sekolah Alam – PAB – Bandar Bakau Juli 2011 dan sebagainya.

halaman 47


Nunggu Gang Datang hendak kupesan seratus enam puluh lima edisi tapi dikali lima puluh ribu sudah delapan juta rupiah lebih dimana nak kucekau? nak kupinjam dimana? tiada terpajang di komite sastra tak tampak di pustaka kuunduh saja jika ada ah tak bisa sudah diubah formatnya tak dapatlah kubaca saat malam-malam penuh bintang menyapa malam ini Pelantar Kata kubaca Mak Yong Muda sampul depannya kupinjam dari seniman Indonesia yang telah dipenjara sebab kesalahan rekayasa entahlah macam apa bangsaku ini seniman pun dikriminalisasi aku nunggu gang mungkin minggu depan dia mau datang

Ledah lidah kalian ledah kata bagaikan dadah bemogah-mogah dan segala jenis rasuah tak sudah-sudah kami nak mengamuk tak suai pula dengan sunnah hati kalian juga ledah niat berupa sampah kami nak revolusi sebelum mati dalam stagnansi dan jika 6,7 triliun tak kembali ke Ibu Pertiwi

halaman 48


Empat Datuk “aaaaauuuuuuuuuuummm” Datuk Kilat Senja tak lagi bisa menikmati bias jingga di jalan setapaknya sebab terlalu banyak asap yang menyelimuti pandangan mata. orang-orang sibuk bakar sana, bakar sini. namun tak ada yang mau membakar kezaliman dan penindasan

“aaaaauuuuuuuuuuummm” Datuk Kurus pun makin kurus kerempeng sebab semua makanan dipersembahkan untuk para berhala dan tirani terlalu banyak hawa panas yang mengelumuni jiwa dan raga orang-orang sibuk makan sana, makan sini namun tak ada yang mau memberi makan orang-orang yang tak punya kesempatan cari makan secara adil “aaaaauuuuuuuuuuummm” Datuk Tengkes tak bisa lagi berjalan dengan selesa sebab terlalu banyak jalan yang kopak-kopak orang-orang sibuk sunat sana sunat sini namun tak ada yang berani pukat oknum yang curi alokasi “aaaaauuuuuuuuuuummm” Datuk Tinjau Belukar pun makin sukar bertamasya dan berteduh terlalu banyak rimba dan belukar yang dibakar orang-orang sibuk rambah sana rambah sini namun tak ada yang berniat nak menanam untuk sebenar-benar menghijaukan lagi “aaaaauuuuuuuuuuummm” Empat Datuk galau galau semakin galau sebab terlalu banyak manusia yang lebih buas daripada Harimau

halaman 49


Panthera Tigris Sumatrae Akulah si Raja Rimba yang hendak bertahta di atas takah-takah keturunan Adam dan Hawa Akulah Taring Ganda yang erak-erak di belukar-belukar Aceh hingga ke Lampung sana Akulah Sang Pembaham yang istananya dibakar mata-mata nista Akulah ciptaan-Nya yang mereka gelar Panthera Tigris Sumatrae

Wahai kekuatan jiwa Leuser Wahai kekuatan jiwa Kerinci Wahai kekuatan jiwa Sibayak Wahai kekuatan jiwa Bukit Barisan Wahai kekuatan jiwa Singgalang Wahai kekuatan jiwa Teso Nilo, Bukit Tiga Puluh, Rimbang Baling, Kerumutan, Bukit Bungkuk Wahai kekuatan jiwa Bukit Pelintung dan Tanah Basilam Wahai kekuatan jiwa dalam istana Bukit Gelanggang Menyatulah dalam diriku Menjadi benteng-benteng kehidupan saat gelombang para setan menerjang keseimbangan alam Wahai Kegelapan Malam Penuh Kekuatan O, Kuseru seluruh Sang Pengaum yang dibinasakan Kupersembahkan untuk seluruh Raja Rimba Sumatera yang punah di ujung timah-timah panas

halaman 50


Kupohonkan sebati tatapan matanya untuk menantang tikam jeratjerat ketamakan Kuaumkan derita Panthera Tigris Sumatrae demi hak hidupnya Kuaumkan deritanya dengan nyanyian anak negeri Puteri Tujuh negeri Bertuah Wahai manusia-manusia penyembah kuasa dan harta Kuaumkan tanyaku padamu Hilang habitatku demi konversi untuk HTI Hilang pijakanku demi beton-beton dan baja-baja industrimu Hilang punah keluargaku demi ekspansi populasimu Hilang musnah aumanku ditelan raungan gerigi-gerigi mata besi deforestasimu Hilang belangku dietalase antik jual belimu Hilang sagaku dikomat-kamit mantramu Hilang garangku disabuk-sabuk mistikmu Wahai manusia-manusia nista pembunuh sesama pembunuh ciptaan-Nya Kumengaruk Kumengamuk Karena kalian isolasi dan musnahkan hakku untuk hidup di rimba-rimba belantara Sumatera yang kalian bagi-bagi dengan regulasi Kumengaum Kumengauuum Kumengauuum saat kalian bergelimang dalam konservasi dolar-dolar

halaman 51


Wahai manusia-manusia pecinta dosa pemangsa keturunannya, pemangsa hutan belantara Kuaumkan kekuatan Panthera Tigris Sumatrae dalam kepunahan Wahai merah darah yang mengalir dalam lima ratus raga yang tersisa tetaplah mengalir tanpa henti untuk eksistensi generasi Harimau Sumatera Wahai manusia-manusia pengakah tiada kumangsa dagingmu tanpa ulahmu untuk binasaku Wahai malaikat-malaikat di alam semesta bersaksilah atas kepunahaan ciptaan-Nya O, iblis-iblis terlaknat dalam hati manusia bersenang-senanglah atas binasa Panthera Tigris Sumatrae dan binasanya cinta manusia dengan sesama Wahai mahluk-Nya yang berakal jiwa Tataplah ke dalam pandanganku Rasakan betapa gundah gulananya jiwaku diambang punah Tataplah dalam-dalam sesamamu Tanyakan pada malaikat dan iblis dalam hatimu Untuk apa Dia ciptakan Panthera Tigris Sumatrae? Binasa Binasa Binasalah Para Pemangsa Panthera Tigris Sumatrae Dari Bukit Gelanggang negeri Puteri Tujuh negeri Bertuah Kuaumkan lima ratus gelisah agar Harimau-Harimau Sumatera tetap jadi Raja di Rimbanya

halaman 52


Sungai Dumai Saat Menjelang Maut Tiba Sungai Dumaiku yang menawan hati ku telusuri kala kecilku bersama Oji sahabatku yang tangkas makin ke hulu makin bercabang-cabang memukau mata kulihat ramai orang turun ke dalam berteriak “Udang-Udang....Aruan-Aruan” Kudengar sayup-sayup Udang-Udang berkata lirih ‘habislah kita dituba ke anak cucu’ Kudengar samar-samar Aruan-Aruan mengerang berang “tuba dituba saat kemarau tiba mampuslah kita satu keluarga” Sungai Dumaiku memanglah tak jernih airnya airnya seakan memerah ditimpa sinar matahari payau rasanya kurasa saat itu bersama Oji sahabatku yang cerdas Kini Sungaiku yang berkata dengan pilu kepadaku “Lihatlah hujan asam itu selalu turun padaku” “Entahlah itu apa namanya polusi udara, limbah industri, limbah rumah tangga... tergerus hatiku tergerus wahai anak manusia .....Hatiku tak berdarah-darah seperti hatinya Sutardji. Hatiku hanya tergerus dan perlahan mulai mengering mati”

halaman 53


Lalu pohon-pohon di hutan terlingkung baja-baja yang angkuh dengan rasa bersalah menyela, “ Maafkan kami wahai Sungai Dumai yang malang sebab tiada mampu kami menegah tajam-tajam mata besi meratakan kami dengan bumi...Menjadikan kami kepingan-kepingan untuk kebutuhan manusia...Tiada tertahankan oleh kami rezeki dari langit untuk semua...” Sungai Dumaiku yang kini kanan kiri ditampali padat-padat penambah pundi angka-angka serta merta menjawab, “Tiada lagi kutemui anak-anak yang riang gembira membuncah arusku Tiada lagi kutemui para pemancing yang tersenyum padat mengail ikan-ikanku Tiada lagi kudapatkan fungsiku asal mula jadiku menjadi mata kehidupan” Kuterdedah tanpa penapis” Sungai Dumaiku Sungai Dumai kita ingin berdialog dengan Green Peace, ingin bercakap-cakap dengan Walhi, ingin bertemu ramah dengan Presiden negeri ini... Dari hari ke hari baru Pecinta Alam Bahari yang sering menampakkan muka Namun belum sempat kutanya mengapa Sungai Dumaiku apa hajatnya hendak bersua dengan mereka... Sungai Dumaiku tersenyum dan berkata ‘Kuhanya ingin menyampaikan pesan saja pada mereka sebelum mautku menjelang tiba...Namun nantilah saat cakap-cakap kita di kesempatan selanjutnya...’ Wahai Sungai Dumaiku Sungai Dumai kita Kan kita tunggu apa pesan engkau untuk mereka dan kita semua

1

halaman 54


suluh

Catatan Penting dari Alice Munro (Pemenang Nobel Sastra 2013)

ALICE MUNRO adalah seorang penulis cerita pendek asal Ontario, Kanada yang sangat dihormati dan digemari karyanya. Dia termasuk penulis yang sangat prolifik dengan reputasi tinggi. Pada bulan Oktober 2013, ia menerima Penghargaan Nobel Sastra untuk karya-karyanya yang dianggap “menguak tabir kemanusiaan”. Seperti Anton Chekhov, Alice tidak pernah menulis novel utuh namun setiap ceritanya mengandung elemen-elemen novel yang membuatnya terkesan ‘penuh’. Karya-

karyanya antara lain berjudul: Friend of My Youth, Runaway, Too Much Happiness dan Dear Life. Ada hal yang menarik di samping karyakaryanya yang telah membuahkan berbagai bentuk penghargaan kesusastraan, termasuk hadiah Nobel sebagai puncak penghargaan tertinggi. Alice Munro dikenal sebagai seorang yang “murah hati” berbagi pengalaman kepada siapa saja terutama untuk hal-hal yang berbau kreatifitas di dunia kesusastraan terutama

halaman 55


pengalamannya yang cukup panjang dalam penulisan cerita pendek. Pada majalah budaya “Sagang� nomor ini, kami kutipkan beberapa catatan pengalaman Alice Munro, untuk berbagi dengan para penggiat sastra, ataupun para penyuka dan yang pasti tentu ada manfaatnya. Pembaca Pertama Saya tidak pernah menunjukkan karya yang masih dalam tahap penyelesaian kepada siapapun. Pengalaman diedit Saat cerita pendek saya diterima oleh jurnal The New Yorker, di situlah saya mendapatkan pengalaman pertama dalam hal pengeditan serius. Sebelumnya saya hanya berurusan dengan masalah copy editing dengan sedikit sekali usulan tidak banyak pokoknya. Karena harus ada kesepakatan antara si editor dan saya tentang apa-apa saja yang perlu diganti, dikeluarkan serta ditambahkan ke dalam sebuah karya. Editor saya yang pertama di The New Yorker bernama Chip McGrath dan dia adalah seorang editor handal. Saya sangat terkejut mendapati betapa besar komitmen yang dia berikan terhadap karya saya. Terkadang kami tidak melakukan perubahan besar, tapi ada juga saat di mana dia memberikan arahan yang cukup signifikan kepada saya. Suatu kali saya

halaman 56

pernah menulis ulang sebuah cerita pendek berjudul The Turkey Season yang sudah ia beli untuk diterbitkan di The New Yorker. Saya pikir dia akan menerima perubahan yang saya berikan begitu saja, tanpa banyak protes. Namun saya salah. Katanya, “Ada beberapa hal dalam revisian ceritamu yang saya suka dan ada juga hal lain yang menurut saya lebih menarik dalam versi draft sebelumnya. Kita lihat saja nanti ya.� Dia tidak pernah memberikan kepastian yang mutlak, karena sebuah cerita selalu punya potensi untuk dikembangkan. Saya rasa metode pendekatan seperti itu cukup manjur dalam menghasilkan versi akhir yang lebih menarik. Ide Cerita Dalam cerita pendek saya yang berjudul Thanks for the Ride, saya mengambil sudut pandang seorang pemuda kota yang sombong. Di dalam cerita, pemuda itu mengajak jalan seorang gadis miskin dan akhirnya menidurinya. Pemuda tersebut kemudian merasakan konflik emosi, antara daya tarik terhadap gadis tadi serta kejijikan terhadap kondisi ekonomi gadis itu. Cerita ini saya tulis saat kehidupan saya sudah cukup mapan. Semua diawali dengan kunjungan teman suami saya di musim panas, ketika saya tengah mengandung anak pertama saya. Teman


suami saya menginap di rumah kami selama seminggu. Dia bekerja di Badan Pengkajian Film Nasional, dan saat itu dia sedang ditugaskan untuk mengawasi proses syuting film di Kanada. Dia banyak cerita di rumah kami—anekdot ini-itu tentang kehidupan. Salah satu ceritanya adalah tentang pengalamannya berada di sebuah kota kecil di Georgian Bay dan bagaimana dia mengencani seorang gadis lokal di sana. Pengalaman itu sangat singkat: tentang hubungan antara seorang pemuda kelas menengah ke atas dan seorang gadis dari kalangan menengah ke bawah. Karakter gadis ini sangat familiar buat saya, tapi tidak familiar untuk teman suami saya. Maka saya merasa teramat dekat dengan karakter gadis itu serta keluarga dan situasinya. Saya menulis cerita Thanks for the Ride tidak lama setelah kunjungan itu. Jadwal Menulis Ketika anak-anak saya masih kecil, saya selalu menyempatkan menulis setelah mereka berangkat sekolah. Bisa dibilang saya bekerja sangat giat di masa tersebut. Suami saya dan saya memiliki sebuah toko buku, dan bahkan jika giliran saya tiba untuk jaga toko, saya takkan berangkat dari rumah sampai pukul dua belas siang. Seharusnya saya membereskan rumah, tapi saya justru banyak menghabiskan waktu menulis. Beberapa tahun kemudian, saat saya tidak lagi bekerja di toko buku, saya akan menulis sampai keluarga pulang untuk makan siang, dan disambung lagi saat mereka keluar rumah sehabis makan siang sampai sekitar pukul 2.30 siang. Setelah itu saya akan minum secangkir kopi dan membereskan rumah sebelum anakanak dan suami saya pulang. Sekarang saya menulis setiap pagi, tujuh

hari seminggu. Saya mulai menulis pukul 8 dan selesai pada pukul 11. Setelah itu saya akan melakukan hal lain selama seharian penuh. Kecuali saya sedang menyelesaikan draft terakhir sebuah cerita atau saya sangat terdorong untuk menulis sesuatu pada saat itu saya akan bekerja seharian, dengan sedikit sekali waktu istirahat. Kerangka Cerita Dalam menulis sebuah cerita, saya jarang sekali mengetahui detail plot yang akan terjadi. Bagi saya cerita yang baik selalu mengalami perubahan saat masih dalam proses penulisan. Contohnya: saat ini saya sedang memulai sebuah cerita. Saya menulisnya setiap pagi dan buat saya cerita ini sudah tampak cukup rapi. Tapi saya belum begitu menyukainya; dan saya berharap, entah kapan, saya akan mulai menyukainya. Biasanya saya harus mengenal cerita yang hendak saya sampaikan sebelum saya mulai menuliskannya. Ketika saya tidak punya jadwal menulis yang tetap, saya terbiasa memikirkan cerita yang ingin saya sampaikan di kepala maka saat saya menulisnya, saya sudah mengenal betul setiap elemen dalam cerita itu. Sekarang saya menuliskan hal-hal tersebut di sebuah buku catatan. Saya punya banyak sekali buku catatan berisi tulisan yang semrawut. Saya tidak perduli apa yang saya tulis di dalamnya, karena intinya saya hanya ingin menulis bebas. Saya bukan penulis yang bisa menulis kilat dan menyelesaikan sebuah cerita hanya dengan satu draft saja. Biasanya saya akan melintasi jalur yang salah, sebelum akhirnya saya harus kembali ke titik awal dan memulai perjalanan cerita itu kembali.

halaman 57


Mengenali Potensi Cerita Saya bisa saja menulis lancar suatu hari dari pagi sampai malam dan menghasilkan lebih banyak tulisan dari biasanya. Tapi kemudian keesokan harinya saya sadar bahwa saya tidak suka apa yang saya tulis sehari sebelumnya. Sistem ukur saya adalah: jika saya merasa enggan mendekati cerita yang sedang saya tulis, atau jika saya harus memberikan dorongan ekstra pada diri saya sendiri untuk melanjutkan cerita tersebut, maka pasti ada yang salah dengan cerita itu. Biasanya setelah menuliskan tiga-perempat isi cerita, saya tiba pada titik di mana saya merasa cerita yang sedang saya tulis lebih baik ditelantarkan. Kalau sudah begitu saya pasti rewel selama satu, dua hari. Lantas saya akan memikirkan hal lain yang ingin saya tulis. Antara saya dan proses menulis ada hubungan yang tidak jauh berbeda dengan percintaan. Mengenali potensi cerita itu sama dengan mengenali potensi pasangan. Terkadang kita menghabiskan banyak waktu dengan orang yang tidak begitu kita sukai dan akhirnya mendulang kekecewaan dan kesedihan tapi kita tak sadar di mana kesalahan kita. Namun setelah itu saya juga cenderung menemukan jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan cerita yang sudah saya telantarkan. Sayangnya, jalan keluar itu baru terpikir setelah saya menyerah. Resensi Buku Pendapat atau kritik tentang karya kita bisa penting, bisa juga tidak. Sebagai penulis, tak ada yang bisa kita pelajari dari kritik pembaca; tapi kita bisa menuai perasaan sakit hati dengan mudah dari kritik. Bila karya kita dinilai tidak bagus, kita cenderung merasa dipermalukan di depan umum. Meski kita meyakinkan diri

halaman 58

bahwa tidak ada kritik yang perlu untuk diperhatikan, namun ujung-ujungnya kita selalu berusaha untuk mencari tahu. Jadi‌ Kepercayaan Diri Dalam menulis, saya selalu punya rasa percaya diri yang tinggi tapi saya juga punya kekhawatiran bahwa rasa percaya diri itu tumbuh di tempat yang tidak seharusnya. Menurut saya, rasa percaya diri yang saya miliki datangnya dari kebodohan saya sendiri. Karena karya saya bukan karya populer, saya tidak pernah tahu bahwa profesi menulis seringkali dianggap tabu bagi kaum wanita ataupun mereka yang datang dari kelas menengah ke bawah. Bila kita tahu kita bisa menulis dengan baik di tengah lingkungan di mana orang-orangnya bahkan merasa kesulitan membaca, tentu saja kita berpikir bahwa bakat yang kita miliki sangatlah spesial.*** (Red. Int. The Paris Review: The Art of Fiction).

1


rehal

Judul Penulis Editor Isi Penerbit

: Riwayat Yang Terlewat: 111 Cerita Ajaib Dunia Seni : Agus Dermawan.T : Muhammad Sulhi & Iliana Lie : 174 hlm. : PT Intisari Mediatama,2011 halaman 59


Dunia seni rupa seperti halnya dunia lainnya sejatinya banyak menyimpan kisah tersendiri yang unik. Tak percaya? Dalam buku ini sebutlah pelukis Soenarto Pr kelahiran Banyumas pada 1931 yang mungkin satu-satunya seniman pelukis di sini yang pernah mengajar melukis untuk pasien Rumah Sakit Jiwa. Sekitar tahun 1982-1983 dia mengajar melukis di RSJ Grogol Jakarta. Kemudian, biasanya dalam pernikahan tiada istri manapun rela dimadu. Tapi hal itu pernah terjadi dalam seni rupa. Sebutlah Maryati, istri pelukis besar Affandi yang mengusulkan suaminya untuk menikah lagi. Tak hanya mengusulkan, Maryati bahkan mencarikan perempuan untuk dinikahi Affandi. Dan tak diduga gadis yang kemudian dinikahi Affandi kala itu ternyata masih berusia 16 tahun! Selain itu dalam sebuah pameran seni rupa yang pernah digelar dengan mewah di sebuah hotel ternama, Indonesia tercoreng reputasinya lantaran semua lukisan karya pelukis kaliber internasional dan nasional yang dipamerkan adalah palsu! Pameran itu bertajuk ‘The Old Painting Pre World War II’ yang digelar di hotel The Regent pada 22-24 November 2000. Apalagi peristiwa memalukan ini kemudian diulas banyak media massa asing seperti BBC, Reuters, AP, Strait Times, dan banyak lagi sebagai “pameran lukisan palsu terbesar di dunia”. Yang tak kalah menarik, siapa sangka Gubernur Jakarta Ali Sadikin pada tahun 1967 pernah marah-marah lantas mencoret-coret lukisan Srihadi berjudul “Air Mancar” dengan makian “sontoloyo”! Ini gara-gara lukisan Srihadi yang menurut Ali Sadikin berbuat kesalahan dengan menggambarkan kondisi Jakarta yang tidak

halaman 60

pas dengan realita pada waktu itu yaitu menggambarkan Jakarta sedang dibeli oleh pemodal asing. Buku ini tentu saja terasa menyentil lantaran berbeda dari artikel seni rupa biasanya karena dimaksudkan penulis sebagai kumpulan sketsa sosial yang tidak tercatat. Oleh karenanya buku ini dapat dibaca siapapun bukan pada khalayak penikmat seni rupa saja, melainkan juga kepada semua kalangan yang tertarik pada dunia seni secara lebih luas sebagai informasi jurnalistik. Membacanya pun Anda tak perlu berkerut kening lantaran kisah-kisah yang dikumpulkan Agus sungguh unik dan lucu. Menariknya dalam buku ini tak hanya kisah ulah sosok pelukis atau perupa saja, melainkan juga pelukis yang juga sastrawan seperti Remy Sylado dan Danarto, sampain dunia komik tentang Siauw Tik Kwie yang punya karya besar sebagai ikon dalam sejarah komik nasional, Sie Djin Koei (1954-1961).

Yang Terluputkan Penulis Meski buku ini sekilas terbilang cukup lengkap sebagai catatan “yang terlewat”, ternyata ada beberapa peristiwa penting yang terlewatkan penulis. Misalnya “Pameran Lukisan bukan Pelukis” pada tahun 2002 di Yogyakarta yang melibatkan Sitok Srengenge, Joni Ariadinata (sastrawan), dan Butet Kartaredjasa (teater). Peristiwa unik lainnya yang tak tercatat dalam buku ini adalah ternyata pernah ada kurator seni rupa membuat lagu dan menyanyi! Hasilnya adalah 4 lagu jenaka bernuansa pop-electronica karya kurator Frigidanto Agung bekerja sama dengan


DJ Henry yang diedarkan di internet pada 2010 melalui situs My Space. Kemudian pada tahun 2010 pelukis Mohammad Gatot dari komunitas Serrum (alumnus Fakultas Seni Rupa UNJ) menggelar pameran karya seni rupa di Pasar Seni Ancol, sebagai hasil menantang para seniman grafis dan seni rupa lewat jejaring sosial Facebook memodifikasi sampul buku gambar wajah bulat sedang tersenyum, terkenal sebagai produksi AA dan gambar gunung kembar plus garis petak-petak sawah di bawahnya. Entah disengaja atau tidak, pola itu jadi pola standar jika digambar hampir semua anak-anak Indonesia tatkala sedang belajar menggambar atau mendapat tugas menggambar gunung, rumah, dan sawah dari gurunya!

Langkah penerbitan buku ini patut dipuji dengan menghimpun sebanyak 111 berita seni rupa yang dapat dilihat dari sisi lain yang unik, lucu, “ajaib� walau idenya tak bisa dibilang baru. Dalam dunia pustaka ide penulisan buku ini mirip buku Keajaiban Pasar Senen karya Misbach Yusa Biran (Pustaka Jaya,1971) yang berisi kumpulan kisah “ajaib� para seniman Senen era 1950an. Bedanya Agus menuliskannya sebagai kumpulan reportase, sedangkan Misbach menuliskannya sebagai cerpen yang sebagian besar pernah dimuat di majalah Aneka. Persamaan keduanya adalah kedua buku ini dimaksudkan sebagai sketsa sosial yang terjadi pada masanya. Hm, bukankah pada hakekatnya segala peristiwa yang paling gampang diingat di bidang apapun sebenarnya bukan pada biografi indah mengharu biru, melainkan adalah kelucuan?*** (Red. Internet Donny Anggoro)

1

halaman 61


rehal

Buku Sejarah Hak Cipta Lukisan Judul buku Penulis Penerbit Jumlah halaman

halaman 62

: : : :

Sejarah Hak Cipta Lukisan Inda C. Noerhadi (Komunitas Bambu, 2012) 406


Menjerat Pelukis Palsu Setidaknya terdapat dua problem bagi dunia seni rupa selama ini. Problem pertama adalah sistem dan tindakan ketika karya seni selesai dikerjakan. Lukisan dipasarkan lalu menjadi penghuni rumah seni/koleksi atau hanya menjadi mediasi ide alias selesai dikerjakan lalu hilang begitu saja? Kedua, perkara pemalsuan karya seni. Semaraknya lukisan bodongan akhirakhir ini di Indonesia menjadi fenomena menarik, karena tidak hanya publik yang terjerat, akan tetapi juga para kolektor besar. Kedua problem “dua keping mata uang� ini seakan menjadi jerat pemikiran bagi para pekerja seni rupa di Indonesia. Terbukti sejumlah diskusi di tingkat akademik sampai pengadilan, perkara pemalsuan seni (di Indonesia) tak selalu berujung pada penyelesaian. Sejumlah agenda, peristiwa, dan aksi meskipun sudah dilakukan tak mampu mengantisipasinya. Problema semacam ini akhirnya tidak kunjung surut, malah justru makin kompleks. Buku Sejarah Hak Cipta Lukisan (Komunitas Bambu, 2012) karya Inda C. Noerhadi ini mengemas berbagai problem yang kompleks tersebut. Buku ini berangkat dan diolah dari disertasi penulisnya, yang semula bertajuk “Sejarah Perlindungan Hak Cipta Atas Karya Seni Lukis Modern Indonesia� pada Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Jakarta yang diselesaikan 2004. Buku ini membahas tiga hal besar yang terpilah dalam 6 (enam) bab. Bahasan pertama adalah mengenai dinamika penciptaan & perkembangan seni (lukis), khususnya di Indonesia. Kedua, pembahasan mengenai undang-undang

hak cipta. Ketiga, adalah kriminalitas seni: pemalsuan lukisan dan pelanggaran undang-undang hak cipta. Dalam buku yang berpagina 406 ini, dikisahkan perkembangan undang-undang hak cipta dengan munculnya The Statute of Anne 1709 di Inggris. Undang-undang yang hanya menuliskan kata pengarang dan penerbit sebagai pemegang lisensi kemudian dikembangkan sampai beberapa abad kemudian. Karya seni berikutnya yang mendapat hak adalah seni grafis (jenis engraving) yang kerap dijadikan sarana ilustrasi pada buku maupun poster muncul hak ciptanya pada 1734. Diteruskan dengan Sculpture Copyright Act hingga Fine Art Statute Act 1862 dan gagasan ini lalu diakumulasi dengan modifikasi yang lebih kuat, Copyright Act 1911. Selain Inggris, Denmark menggagas munculnya undang-undang HaKI sejak 1741. Undang-undang ini baru muncul di Amerika Serikat pada 1790. Di belahan negara yang lain undang-undang ini muncul seperti di Prancis sejak 1791, Austria, Spanyol, Amerika Latin, Cile (1834), Peru (1849), Argentina (1869) dan Brazil (1870) dan seterusnya. Barulah pada tahun 1886 di Swiss lahir konvensi hak cipta secara internasional dan diakui bersama. Konvensi ini disebut dengan Bern Copyright Union. Konvensi ini pun mengalami perubahan sejalan dengan berbagai polemik antar negara, lalu dibentuk undang-undang baru oleh UNESCO yang diberlakukan pada 1955. Undang-undang hak cipta pada perupa/ pelukis telah di Amerika dicantumkan dalam undang-undang tahun 1990 yang ditetapkan oleh Konggres Amerika Serikat yang ditandatangani oleh George Bush.

halaman 63


Undang-undang ini menjadi awal bagi seni lukis yang kemudian disebut The Visual Artists’ Right Act of 1990 (VARA). Adapun Indonesia baru memberlakukan undang-undang perlindungan ini melalui undang-undang No. 7 tahun 1987 yang kemudian disempurnakan pada 1997, dan disempurnakan lagi tahun 2002. Indonesia juga memberlakukan Kepres No. 18 Tahun 1997 sejak turut serta sebagai anggota Konvensi Bern. Pemberlakuan dan sosialisasi undangundang HaKI sampai kini rupanya tidak seimbang dengan maraknya pemalsuan lukisan. Banyaknya lukisan bodong di pasar antik dan di kalangan elite hampir tak tersentuh oleh hukum. Agaknya pengawasan atas pelanggaran hak cipta di Indonesia masih jauh dari angan. Padahal pemalsuan yang terjadi di Indonesia tidaklah jauh berbeda pola kerjanya dengan yang terjadi di negara lain. Jika dibandingkan dengan Prancis, Inggris, Jerman, Italia dan Amerika yang berbeda hanya pada persoalan kuantitas dan jaringan. Pola pemalsuan berjenis reproduksi utuh, pemalsuan tanda tangan, gaya & objek telah muncul lama di Indonesia. Sialnya, kita tak punya banyak ahli dan direkomendasi oleh negara untuk menentukan asli palsunya sebuah karya. Perkara keahlian inilah yang belum terbahas pada buku dan pemangku industri kreatif ini. Dengan banyanya perupa yang hidup di Indonesia, negara ini seperti tidak pernah mendorong adanya situasi kondusif. Di dalamnya termasuk munculnya gagasan untuk mendirikan asosiasi atau dewan kurator nasional yang menangani pelanggaran hak cipta. Di samping itu sosialisasi agar para perupa secara sadar mendaftar karyanya. Setidaknya kehadiran buku yang halaman 64

diawali pengantarnya oleh pelukis korban pemalsuan, AD. Pirous ini harus dinilai penting. Ia dapat dipakai sebagai dasar sejarah maupun pencatatan fakta mengenai “dua keping mata uang� problema seni di Indonesia. Buku ini perlu dipakai sebagai referensi dalam setiap kajian sejarah, sosiologi, hukum, dan manajemen seni.*** (Sumber red.int.: http://mikkesusanto.jogjanews.com/ buku-sejarah-hak-cipta-lukisan).

1


www.tokobuku171.com www.tokobuku171.com

www.tokobuku171.com

www.tokobuku171.com

“...Nyalakan Imajinasi dengan Membaca Buku...“

Kantor Pusat

Pusat Penjualan Pekanbaru

: Jl. HR Soebrantas Km 10,5 Panam, Pekanbaru - Riau

: Jl Inpress No 2

Dumai

: Jl. Jend. Sudirman No. 201, Dumai - Riau Telp (0765) 439 171

Batam

: Gedung Graha Pena Batam Jl. Raya Batam Centre Teluk Jering, Batam Kota Kode Pos 29461 Telp Graha Pena (0778) 462 996

Tanjung Pinang

: Jln Di. Panjaitan Km 9, Plaza Bintan Centre Blok M No. 15, Tanjung Pinang Kepri Telp (0771) 7447039

Padang Sidempuan : Jl. Medan Merdeka, Depan SMAN 2 Padang Sidempuan Telp.081260012768 Bukit Tinggi

: Ramayana Bukit Tinggi - Lantai Dasar halaman lxv


halaman lxvi


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.