Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)
Mengenang Ibrahim Sattah, Cerita-Pendek: Dantje S Moeis, Sajak Terjemahan: Federico GarcĂa Lorca, Tokoh: T.S.Eliot Rehal: Jurai
Festival Sungai Carang
kaki ka pai kini kaki ka pai ka ma katamu kataku kaki ka pai 184 JANUARI 2014 juo -
halaman KULITi
www.majalahsagang.com
halaman KULITii
Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 184 JANUARI 2014 tahun XVI
Ibrahim Sattah Soerang Penyair lahir di Tarempa, Pulau Tujuh 1943, dan meninggal-dunia di Pekanbaru, 19 Januari 1988. Foto.Int
Daftar Isi Catatan dari Lomba Kolaborasi Puisi Sebuah Catatan Kebudayaan ................ 2 Mengenang Ibrahim Sattah - Ibrahim Sattah (1943-1988) ................. 4 - Ibrahim Sattah Mencari dan Menemukan Tempat Oleh Hasan Junus ................................. 6 - Sajak Ibrahim Sattah ...........................12 Cerita-Pendek Aku Bukan Odiseus dan Dia Bukan Penelope oleh Dantje S Moeis ............................ 23 Sajak terjemahan Federico GarcĂa Lorca ......................... 28 Tokoh T.S. Eliot .............................................. 35 Rehal jurai ..................................................... 46 Festival Festival Sungai Carang........................ 49 Notasi Joget Serampang Laut Arranger by Zuarman Ahmad ..............57 Obituari Doktor Mak Yong itu pun Berpulang Oleh Dantje S Moeis ............................ 62 Ilustrasi Ilustrasi halaman 23 karya Purwanto
Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Ngatenang Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Khazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Manager Keuangan: Sri Herliani. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.
halaman 1
tajuk
Ibrahim YANG dimaksud dengan judul tajuk Sagang ini bukanlah Ibrahim sang Nabi, tetapi Ibrahim Sattah sang penyair yang lahir di Tarempa, Pulau Tujuh, 1943, dan meninggaldunia di Pekanbaru, 19 Januari 1988. Kenapa tajuk ini memakai judul namanya? Karena bulan Januari awal 2014 ini merupakan hari meninggal-dunia sang penyair, yang pernah membacakan sajaknya di Rotterdam, Belanda, 1976. Patutlah kiranya pada haul meninggalnya pada Januari 2014 ini diperingati oleh Komunitas Sikukeluang dan konsersiumnya pembacaan puisi tunggal Amesya di laman Bujang Mat Syam Bandar Serai Pekanbaru. Majalah Sagang pun merasa berkewajiban untuk mengetengahkan kembali beberapa puisi Ibrahim Sattah pada nomor sulung 2014 ini; selain dimuat kembali esei Hasan Junus (alm) yang berjudul Ibrahim Sattah Mencari dan Menemukan Tempat. Dapat dibaca perjalanan kepenyairan Ibrahim Sattah yang mengeskplorasi mantera dan permainan kanak-kanak, seperti yang ditulis oleh Hasan Junus (alm): “Penyair Ibrahim Sattah menjumpai proses di kedua kutub itu. Ia tidak mengambil mantera sebagai sosok awal sajaksajaknya. Ia berangkat dari kesederhanaan kanak-kanak, yang mempesona oleh wangi dan cemerlang warna-warni dunia, yang muntah oleh bau busuk matahari, yang menggelagak gembira menerima oleh-oleh dari Sang Bapa, yang menggelugut takut ditinggalkan Ibu sendirian dalam kamar berhantu sehingga meraung berteriak, “Mamma!”. Yang gagap
halaman 2
mengeja kata-kata, yang lemas dalam gaung gaib guna-guna, yang mencabut jembia untuk mengamuk.” Di lain peristiwa, sempena pula dengan haul Ibrahim Sattah pada Januari 2014 ini, seorang kawan seniman DR Yatna Yuana Sumardi, M.Pd meninggal-dunia pula di Rumahsakit Fatmawati Jakarta pada pukul 07.10 WIB tanggal 11 Januari 2014; yang juga merupakan kawan dekat terakhir Ibrahim Sattah bersama Dasri Al-Mubary yang juga telah lama mendahului para seniman yang masih hidup sekarang. Ibrahim. Patutlah diperingati. “Kita sangat beruntung sekali dapat menyaksikan penyair Ibrahim Sattah itu sendiri membentangkan karyanya.,” kata Hasan Junus; “Hal ini saja sudah merupakan penjelasan yang seterangterangnya karena seorang penyair tidak usah dan tidak perlu memberitahu secara verbal. Keterangan yang direntang luas sama sekali bukan pekerjaan sastrawan. Sekali sang penyair muluk berteori maka kaki, tangan dan hatinya bisa terbelenggu. Memang kadang-kadang ada penyair yang tak sabar menunggu datangnya seseorang yang benar-benar memahaminya. Tapi sebenarnya baiklah ia bersabar walaupun ia menjadi seperti Hoerderlin yang harus menunggu lama sekali.” Jadi, mari meninggalkan karya, karena usia manusia boleh pendek, tetapi karyanya akan panjang dan abadi sepanjang masa, menjadi “kenangan zaman” oleh masa atau zaman bilamana saja. Semoga!
Mengenang Ibrahim Sattah (1943-1988) halaman 3
Mengenang Ibrahim Sattah
Ibrahim Sattah (1943-1988)
IBRAHIM SATTAH lahir pada 1943 di Tarempa, Pulau Tujuh (Riau). Ia dikenal ketika puisipuisinya dimuat dalam majalah sastra Horison sekitar tahun 70-an. Kemudian dalam acara Pertemuan Sastrawan Indonesia 1974.
him Sattah membacakan puisi-puisinya di Den Haag, Belanda. Di musim panas 1976 ia terpilih menjadi peserta Festival Puisi Antar Bangsa di Rotterdam, mengikuti program ASEAN Poetry Reading International.
Ibrahim Sattah yang tercatat sebagai anggota Polri ini adalah seorang penyair yang telah mengangkat nama daerah Riau ke jenjang nasional dan internasional. Tahun 1975, Ibra-
Dandandid adalah kumpulan puisinya yang pertama (1975), di antaranya telah diterjemahkan oleh Jan Eijkelboom ke dalam bahasa Belanda dan oleh Sapardi Djoko Damono bersama
halaman 4
McGlinn ke dalam bahasa Inggris. Kumpulan puisinya yang berjudul Ibrahim terbit tahun 1980. Kumpulan puisi ini disiapkan dalam perjalanannya ke Semarang, Jogjakarta, Singapura dan Malaysia. Kemudian Haiti kumpulan puisinya yang terakhir terbit pada tahun 1983. Pada tahun 2006, penerbit Unri Press menerbitkan kembali kumpulan sajak-sajak Dandandid, Ibrahim dan Haiti dalam buku bertajuk Sansauna. Ibrahim Sattah meninggal pada usia 45 tahun pada Selasa pagi 19 Januari 1988. Tentang puisi dia berpendapat bahwa puisi tidak hanya sekadar suasana hati, bukan sekadar cangkir untuk menuang sesuatu dalam diri manusia. Dan manusia yang menemukan puisi adalah manusia yang berada pada pucuk yang paling punca dari misteri kehidupan itu sendiri. Dengan kata lain Sattah hendak meninggalkan paham tentang kesadaran antara bentuk dan isi dalam karya puisi. Meninggalkan pengertian antara wadah dan idenya sendiri. Pendirian semacam ini sesungguhnya tidak baru. Namun, perlu kita perhatikan juga. Sebab apa yang dikemukakan di atas mungkin sejajar dengan apa yang dikemukakan Pierre Reverdy dalam tulisannya ‘’Di Mana Puisi
Kutemui’’ (dimuat dalam Gelanggang Siasat). Pierre Reverdy mengemukakan: ‘’Dalam seni juga seperti dalam alam, bentuk tidak mungkin jadi tujuan. Sattah memilih kata jejak, adam, langit, gerak, laut dan lain sebagainya, lahir dari suatu kesadaran berimprovisasi ketika ia hendak menjawab masalah misteri dirinya, hidup dan maut. Puisinya kaya dengan irama (bunyi) yang mengandung daya kekuatan yang mengguguh kesadaran kita bila dibacakan. Seperti halnya sajak ‘’Sembilu’’. Ia mempertanyakan dirinya secara intens. (http://www.riaupos.co/ 309-spesial-ibrahim-sattah.html) Sumber Foto Indra Maha
halaman 5
Mengenang Ibrahim Sattah
Ibrahim Sattah Mencari dan Menemukan Tempat Oleh Hasan Junus
1 ADA sebuah sampiran sebuah pantun lama Melayu yang berbunyi sebagai berikut : Kalau roboh kota Melaka Papan di Jawa saya teggakkan
Dengan demikian jelaslah bahwa kota di Riau bukan dibangun dengan bahan papan semata. Kota itu ditegakkan di atas fondasi yang tegap kokoh kuat dan kawi.
Dan setelah Melaka jatuh direbut Portugis pada tahun 1511 lalu berganti tangan kepada Kompeni Belanda lalu Inggris, Mayor Farquhar meruntuhkan tembok-tembok kota perkasa itu dengan obat bedil. Menurut catatan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi batubatunya ada yang dibawa ke Betawi dan Riau.
Lihatlah bagaimana para pendeta dan bentara bahasa dan sastra di Riau mempertahankan kontinuitas berupa karyakarya sehingga mata rantai budayanya tidak terputus yang barangkali sempat membangkitkan iri hati para antropolog. Ratapan panjang para pakar antropologi ialah
halaman 6
tentang hilangya suatu mata rantai, yang dalam istilah ilmiah disebut missing link untuk merekonstruksi riwayat panjang umat manusia. Raja Ali Haji umpamanya dalam Pengantar bukunya Busta al-Katibin dengan suara gempita menyatakan bahwa “Segala pekerjaan pedang itu boleh dilakukan dengan kalam / Adapun pekerjaan kalam itu tiada boleh dibuat dengan pedang / Dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus dengan segores kalam jadi tersarung�. Untuk memperkuatnya ia menyitir pula sebaris syair Parsi yang berbunyi: Qalam kuyat kaman syahi jahanam Kata pena akulah raja di ini dunia. Orang-orang asing yang meneliti hasilhasil sastra di Riau tidak puas hanya dengan mempelajari secara mendalam tapi juga menerjemahkannya kedalam bahasa mereka untuk konsumsi orang-orang terdidik di negeri mereka, maka urutan karya Riau yang sudah ditampilkan para sarjana Eropa dapat disusun bermula dari Syair Nasihat karya Raja Ali yang diterjemahkan E Netscher menjadi Raadgeving, karya Raja Ali Raja (bersama Raja Saleha?) Syair Abdul Maluk diterjemahkan oleh P Roorda van Eysinga, karya Raja Ali Haji Bustan al-katibin diterjemahkan van Ronkel, karya Raja Ali Haji Gurindam Dua Belas diterjemahkan oleh E Netscher menjadi De Twaalf Spreukgedichten, Syair Raksi karya Raja Haji Ahmad diterjemahkan oleh H Overbeck, sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri diterjemahkan oleh Harry Aveling dan Toety Heraty Noerhadi dan sajak-sajak Ibrahim Sattah diterjemahkan oleh Jan Eijkelboom, Sapardi Djoko Damono, Toety Harety Noerhadi dan John Mc Glynn. (Tulisan ini dibuat apada 1 Mei 1982 sehingga beberapa karya dari Riau lainnya yang sudah diterjemahkan tidak disertakan. Pada bagian yang tersebut terakhir bahkan sajak-sajak yang berasal dari tradisi lisan Riau pun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa asing). Ada sebuah keterangan (fiktif) dalam dunia sastra yang menyatakan bahwa sajak sebenarnya tidak dapat diterjemahkan. Pendapat ini tidak akan terus merupakan
sebuah “konon� jika orang mengetahui dengan baik batas-batas kemampuan suatu bahasa dan memahami kedalam makna kosa-kata, keluasan, kemampuan, liuklentur dan daya pegas bahasa lainnya. Sebuah sajak Jerman dapat saja diterjemahkan kedalam bahasa Swahili atau bahkan bahasa orang Benin yang miskin sekali kosa-katanya itu dengan memahami kelebihan bahasa Jerman dan kekurangan bahasa Swahili atau bahasa orang Benin, dan sebaliknya. Dan sebuah sajak Indonesia tetaplah dapat diterjemahkan bukan saja kedalam bahasa Arab atau Latin dan Esperanto tetapi juga ke dalam bahasa Eskimo. Conditio qua non untuk terlaksananya pekerjaan ini ialah asal saja si penerjemah mengenal benar roh bahasa-bahasa tersebut. Karena mengenal roh bahasa Melayulah Alesandro Bausani sampai menamatkan bahasa Melayu itu seperti bahasa Itali di Timur. Dari sekian banyak sastrawan yang berasal dan tinggal di Riau paling tidak ada lima nama yang dapat dinikmati karya-karyanya oleh orang-orang asing yang tidak mengerti bahasa melayu / Indonesia. Ini berarti kawasan sastra itu sudah meluas di luar sempadan geografis dan geokultural. Lalu jejak yang ditinggalkan oleh berlima itu hendaklah diteruskan oleh pendatang-pendatang selanjutnya yang mungkin orangnya ada dalam ruangan ini.
2 DALAM perjalanannya mencari tempat di cakrawala kesusastraan kita penyair Ibrahim Sattah berdepan dengan banyak rintangan dan halangan yang kadang-kadang keluar dari kawasan sastra. Tidak sedikit sumpah seranah yang direjamkan di tengah wajahnya di samping acungan jempol dari sisi sebelah lain. Mendatangi sebuah karya seni haruslah dengan diri yang terbuka, lepas dari semua waham wasangka. Dengan telanjang, kata orang Romawi, jangan menghukum (ne jugez pas) kata Andre Gide. Atau seperti yang dikatakan Goethe, setelah dalam
halaman 7
embun Tuhan mandikan diri cuci-cuci. Karena itu alangkah akan bersihnya suatu penilaian jika antara penyair dan pemerhati karya-karyanya yang terbentang jarak. Tapi demi kesaksian historis alangkah beruntungnya orang yang dekat benar dengan sang penyair. Carl Gustav Jung, psikolog yang amat terkemuka dalam penilaiannya tentang penyair berkata, “Bukan Goethe yang menciptakan Faust, tapi Fauslah yang menciptakan menciptakan seorang Goethe”. Dari pernyataan ini dapat ditarik iktibar terhadap para penyair dan karyanya. Dengan bekal dari Jung itu marilah kita berkata tentang sastrawan manapun yaitu bukan sang penyair yang menciptakan karya-karyanya tetapi karya-karyanyalah yang mencipkatan sang penyair. Karya-karya Ibrahim Sattah telah menjadikan ia seorang penyair. Tanpa karyakaryanya mungkin ia hanya seorang anggota Polri atau seorang penerbit buku. Dan tentang karya-karyanyalah kita bertemu disini.
3 ADA dua kutub ekstrim dalam sikap budaya Orang Melayu, yaitu latah dan amuk. Pakarpakar budaya kita belum ada yang mengambil kedua sikap ini sebagai tajuk penelitian ilmiah. Seorang peneliti bangsa Perancis Favre menerangkan tentang latah sebagai “Indisposition nerveuse chez les femmes, dans laguelle alles disent tout ce qui leur vient a la bouche”. Sedangkan tentang amuk baik diperhatikan gambaran Stefan Zweig dalam karyanya Die Amoklaeufer yang seperti menyatakan bahwa amuk ialah tindakan manusia Melayu di titik didih di mana perhitungan terakhirnya ialah mati. Jika kedua sikap di kutub yang bertentangan ini kita terapkan dalam proses penciptaan sastra akan bertemulah kita dengan analogi yang indah dan kokoh yang akan merupakan suatu sumbangan baju dalam kajian ilmu estetika. Penyair Ibrahim Sattah menjumpai proses di kedua kutub itu. Ia tidak mengambil halaman 8
mantera sebagai sosok awal sajak-sajaknya. Ia berangkat dari kesederhanaan kanak-kanak, yang mempesona oleh wangi dan cemerlang warna-warni dunia, yang muntah oleh bau busuk matahari, yang menggelagak gembira menerima oleh-oleh dari Sang Bapa, yang menggelugut takut ditinggalkan Ibu sendirian dalam kamar berhantu sehingga meraung berteriak, “Mamma!”. Yang gagap mengeja katakata, yang lemas dalam gaung gaib guna-guna, yang mencabut jembia untuk mengamuk. Tapi penyair ini tidak datang seperti meteor, tiba-tiba saja mencuatkan sinar terbakar menerangi cakrawala sastra. Ia merupakan mata rantai yang dengan setia melanjutkan kontinuitas persajakan di sungai Melayu. Ia datang dengan kerendahan hati seorang kanak-kanak yang bersama teman-teman sebaya menyanyikan bulan: ‘tu bulan ‘tu bintang wa wa ‘tu pucuk mali-mali Lalu bertemu dengan panorama lain daripada yang pola karena pandangan menjadi tajam: menjuntaikan awan dan tertegun Namun akhirnya bersua juga dengan berbagai bentuk kedahsyatan dunia seperti: wa wa darah siapa yang tumpah wa wa gapai siapa tak sampai wa wa hati siapa tak pedih Ia melawan, ia menentang, ia mengamuk karena tudingan yang menyakitkan hati, barangkali dengan mengatakan seperti ini: Hei elang garang yang bersarang di puncak gunung paling tinggi, jangan nistakan aku, telah kurapah rimba sansauna tempat tak ada naga tak ada singa tak ada rimau tak ada disana, sansauna lebih hebat dari naga lebih bisa dari singa lebih pukau dari rimau, dan walau wa
walau wu walau wi … Lihatlah, seperti seorang pendeta Zen dalam ajaran Buddhisme di Jepang, sang penyair kehilangan kosakata yang tersedia dalam kandungan kamus. Di Jepang sana orang menamakannya Furabo yaitu pendeta dengan jubah tipis menggelebar dalam angin, mabuk dipesona keakraban alam. Gagap dan bisu sudah Ibrahim. Lalu ia rembaskan pagar-pagar leksikografi, kembali seperti Pithecanthropus Erectus atau Homo Mojokertonensis yang belum mengenal kata-kata. Keadaan seperti itu pernah dikatakan oleh seorang penyair piawai Jerman Frederich Hoelderlin: “Ich verstand der Stille des Aether, der menschen worte verstand ich nie” (aku paham keheningan Aether, bahasa manusia tiada kumerti).
4 SEORANG penyair berkata lewat ngangaan lukanya. Ada luka kecil, ada luka parah, sedemikian parah sampai sudah sipi dengan mati. Ada goresan lalang tajam di kulit, ada sayatan pisau bedah, ada tusukan sembilu yang berdenyut sampai ke hulu hati, ada mata tombak lekat di kaki, ada tikaman belati tepat ditengah dada, ada hentakan kapak membelah kepala. Orangpun mungkin mendapat luka karena kasih yang amat mendalam. Orang bisa mati hanya karena dihina, dibenci. Dan seorang penyair berkata lewat ngangaan lukanya. Seorang penyair sejati berkata-kata lewat ngangaan lukanya. Maka terciptalah sajak. Tentu saja ada sajak-sajak kecil dan yang biasa-biasa saja. Ada pula sajak-sajak agung yang dilahirkan dengan perjuangan di depan maut bagaikan melahirkan bayi. Luka-luka jiwa yang besar melahirkan sajak-sajak seperti itu, yang menyeret para penghayat puisi ke dalamnya, yang keluar dari dalamnya setelah mengalami mandi rohani. Luka-luka itu barangkali ada dalam diri Ibrahim Sattah. Adakah luka di kakinya, luka di tangannya, luka di dada, di kening, di kepala, di hati? Ketika memandang ke langit apakah
ia melihat luka di sana? Juga pada angin, pada laut, pada ombak, pada bulan, pada kupukupu? Di mana-mana luka, dimana-mana luka? Luka dimana-mana? Luka-luka manusia dapat kita jumpai pada kata-katanya. Mudahlah kita memahami ucapan Samuel Beckett ketika ia berkata tentang karyanya, “Kata-kataku adalah airmataku, mata dan bibirku”. Kata-kata yang dipakai oleh seorang penyair ialah kata-kata yang kedua menurut ajaran mencapai satori atau pencerahan dalam Zen Buddhisme yang merupakan gapaian terakhir seorang pengamal semacam sufisme dalam agama Islam. Jika seandainya saya seorang Belanda yang tidak mengerti bahasa Indonesia, saya akan dapat membaca sajak-sajak Ibrahim Sattah melalui terjemahan yang dilakukan oleh Jan Eijkelboom dan Toeti Heraty Noerhadi. Sekiranya saya seorang asing yang berbahasa Inggeris, entah dari Inggeris , Kanada, Amerika Serikat, Hongkong, Singapura, dan lainlain negeri yang memakai bahasa Inggeris, saya dapat menikmati sajak “Kau” melalui terjemahan Supardi Djoko Damono bersama Mc Glynn seperti di bawah ini:
You claw of coral claw of you claw of sea claw of you claw of waves claw of light sound of coral sound of you sound of sea sound of you sound of waves sound of you why is it lost where why is it far where why is it erect where why is it upright where why is it where why is it silent where
halaman 9
come you come light come sea come waves come coral can you can light can sea can waves can coral can island you can not light can not sea can not waves can not island can not earth can not not Adam not me not your servants reaching up to the sky
seeking seeking nirvana seeking na seeking ni seeking no seeking na ni no seeking no ni na that’s only na that’s only ni that’s only no that’s only na ni no that’s only no ni na
claw of coral claw of you claw of sea calw of you claw of waves claw of light go home light go home you go home coral go home sea go home waves go home you go home light
left only me but don’t leave me behind go home you go home you go home you do home you me in the direction of You
5 JEDA dari amuk, orang akan merasakan ngilu sengatan sembilu, karena sudahlah menjadi fitrat manusia selamanya ingin menjadi bersih, mandi dalam embun Tuhan cuci-cuci. Penyair mengucapkan kata-kata sakral dan kudus, Bismillah yang sakti itu Meskipun dengan tegas Allah berfirman Wa ma ‘allamnahusy syi’ra (Dan bukan syair yang kami ajarkan ini) tapi ditinjau menurut jalan dan garis nahu, syaraf, mantiq, bayan, ma’ani dan sebagainya, ayat-ayat Al-Qur’an adalah maha puisi. Keanehan yang dijumpai orang dalam ayat-ayatnya dapat diterangkan jika orang memahami makna kedalaman puisi. Misalnya:
Wat tin Waz zaitun Wa turisinina Wa hazal baladil amin Demi pohon Tin Demi pohon Zaitun Demi bukit Tursina Dan inilah negeri yang aman Kaidah “Economic of words” dari keempat ayat itu memperlihatkan petunjuk tentang kekuatan puisi. Tak perlu ada keterangan lebih dari itu. Namun para penafsir seperti terdapat pada Tafsir Al-Jalalain yang memberitahu kita bahwa dengan ayat pertama terangkum seluruh riwayat Nabi Adam, yang kedua dengan Nuh, yang ketiga Musa dan keempat tentang Ibrahim di Mekkah sebagai negeri yang aman. Tak pula terdapat keterangan apakah
halaman 10
Ibrahim Sattah pernah menekuni mantera secara mendalam berikut rajah-rajah dalam benda-benda seperti wafaq dan tangkal. Tapi tipografi sajak-sajaknya menceritakan kepada kita bahwa bentuk dan sosok purba itu kelihatan dari penampilan beberapa sajaknya. Juga tentang improvisai tampaknya Ibrahim Sattah tidak berhutang kepada kebudayaan Barat. Warisan tempat akar batang tubuh Ibrahim Sattah telah menyediakan semua ini. Kita sangat beruntung sekali dapat menyaksikan penyair Ibrahim Sattah itu sendiri membentangkan karyanya. Hal ini saja
sudah merupakan penjelasan yang seterangterangnya karena seorang penyair tidak usah dan tidak perlu memberitahu secara verbal. Keterangan yang direntang luas sama sekali bukan pekerjaan sastrawan. Sekali sang penyair muluk berteori maka kaki, tangan dan hatinya bisa terbelenggu. Memang kadang-kadang ada penyair yang tak sabar menunggu datangnya seseorang yang benarbenar memahaminya. Tapi sebenarnya baiklah ia bersabar walaupun ia menjadi seperti Hoerderlin yang harus menunggu lama sekali.
Pekanbaru, 1 Mei 1982
halaman 11
Sajak Ibrahim Sattah
SANSAUNA Angin berzanji jejak ke punca cemara membawa dunia ke rimba di rimba ke rimba sansauna di sana dia di sana rimbanya di sana sansauna membuka telaga ditimbanya debu dari debu dari situ ditimbanya batu dari batu ditimbanya aku ditimbanya lipan dari lipan dari hewan ditimbanya naga ditimbanya singa dari sana ditimbanya bulan dari bulan dari telaga cahaya nya
halaman 12
sansauna rimba sansauna rimba cahaya ke rimba di rimba ke rimba sansauna di sana angin berzanji jejak ke punca cemara membawa dunia ke rimba di rimba sansauna di sana dia di sana sansauna menyimpan janji nya 1980
halaman 13
KAKI ada kaki kaki kau ada kuku kuku kau ada katak katak kau ada kuda kuda kau ada kuli kuli kau tokkek kuku kuli kuku kau kaki kuli kaki kau kaki kuda kaki kau kuku kuda kuku kau kuku katak kuku kau kaki katak kaki kau tokkek kaki ke kanan jauh ke depan jauh ke matahari mendaki kekiri ke punca ke mana kaki ka pai ka ma katamu kataku kaki ka pai lai kaki ka pai ka ma katamu kataku kaki ka pai kini kaki ka pai ka ma katamu kataku kaki ka pai juo kaki ke mana kita katamu kataku diamlah kau kaki kau kaki katak kuku katak kuku kau kuku kuda kuku kau kaki kuda kaki kau kaki kuli kaki kau kuku kuli kuku kau tokkek
halaman 14
sebut sekian kaki satu sekian kaki kau sebut sekian kali kali sekian kaki kau sebut sekian depa berapa rimba ke kau sebut sekian dupa berapa mantera ke kau sebut sekian kata berapa doa ke kau sebut sebanyak rumput sebut sebanyak mulut tumpahkan tuak biar bijak jejak ke kau ke mana kita katamu kataku diamlah kau 1980-1981
halaman 15
SEBAB ingin kujanjikan laut jadi gurun ikan dan sekalian hewan pindahlah ke bulan sebab laut sebab pantai sebab laut bernama laut sebab pantai bernama pantai sebab maut bernama maut sebab saatnya sampai 1980-1981
IBRAHIM I maaaaaaak bulan menjilat kudaku huu bulan tak malu lihat ‘tu kuda menggeliat talinya putus shiii hausnya putus mak minta parang – mau apa parang – mau nebang pering -
mau apa pering - mau juluk bulan – mau apa bulan – -
maaaaaaak kudaku kaku kudaku kaku kudaku – -
kaku -
halaman 16
?
II alangkah sukanya masa kanak kemanamana main kasti kemanamana lari ke tiangtiang kena rejam maka tak jadi menang cokcok kelupit kelupit tulang daing dilidi dilecit dicubit dilepas sampai jauh mengerling pergi sejauh hati semakin jauh ke rimba di rimba ke rimba sansauna ke mana kita katamu kataku diamlah kau naga tak ada singa tak ada rimau tak ada di sana sansauna lebih hebat dari naga lebih bisa dari singa lebih pukau dari rimba dari walau wa walau wa walau wu walau wi 1980
halaman 17
KAU kuku karang kuku kau kuku laut kuku kau kuku ombak kuku cahaya suara karang suara kau suara laut suara kau suara ombak suara kau mengapa hilang di mana mengapa jauh di mana mengapa tegak di mana mengapa pijak di mana mengapa ada di mana mengapa diam di mana datang aku datang cahaya datang laut datang ombak datang karang
halaman 18
bisa kau bisa cahaya bisa laut bisa ombak bisa karang bisa pulau tidak kau tidak cahaya tidak laut tidak ombak tidak karang tidak pulau tidak bumi tidak Adam tidak ada tidak aku tidak dayang-dayangmu menggapai menggapaigapai ke langit mencari surgawi mencari wa mencari wu mencari wi mencari wa wu wi mencari wi wu wa yang hanya wa yang hanya wu yang hanya wi yang hanya wa wu wi yang hanya wi wu wa
halaman 19
kuku karang ku kau kuku laut kuku kau kuku ombak kuku cahaya pulang cahaya pulang kau pulang karang pulang laut pulang ombak pulang kau pulang cahaya tinggalkan aku di mana tapi jangan tinggalkan aku pulang kau pulang kau pulang kau pulang aku dalam hala-Mu 1972
halaman 20
DUKA duka ? duka itu anu duka itu saya saya ini kau kau itu duka duka bunga duka daun duka duri duka hari dukaku duka siapa dukamu duka siapa duka bila duka apa duka yang mana duka dunia ? : DUKA DUKI Dukaku. Dukamu. Duka diri dua jari dari sepi 1972
halaman 21
TAFAKUR hhhhhhhuuuuuuu allah luangkan ruang kanan di gaunggaib gunaguna-Mu dan kepadanya berikan 1972 1974 burung dan ramarama mengangkat sayapnya pergi berdepan dengan matahari sebelum akhirnya kembali mendiamkan sepi
halaman 22
cerita-pendek
Aku Bukan Odiseus dan Dia Bukan Penelope Oleh Dantje S Moeis halaman 23
ntuk yang y ketiga-kalinya aku kembali menyeduh kopi. Berarti sudah dua gelas besar ukuran mug beer, kopi yang Berart kulicin tandaskan dan berpindah ke perut. Sebetulnya kopi ini i bukanlah kopi pilihan yang selalu kuminum sebagai pemuas hasrat, penghangat badan dan pereda b kantuk saat bekerja. Namun apa boleh buat, hanya ini yang ada. Kopi bubuk milik Kandar, budak se kampung yang numpang kost di rumah kami, dan Kandar bukanlah penikmat kopi sejati. Bagi dia kopi itu sama saja rasanya dan ketika pernah kucoba mencicipi kopi seduhan Kandar, dapatlah dibuat kesimpulan bahwa kopinya Kandar adalah gula yang dibubuhi sedikit kopi, bukan sebaliknya, kopi yang diberi gula sekadarnya. Akhir akhir ini, setiap aku menyalakan komputer, ingin bekerja dan ingin menekan huruf huruf yang tertera pada keyboard, mengarang cerita dari sekian puluh cerita yang pernah dihasilkan. Perasaan muak, bosan dan benci selalu saja semakin menghimpit. Bahkan perasaan itu terkadang muncul juga pada saat menjelang tidur. Seharusnya dan sudah menjadi keinginan setiap orang, bahwa pada saat peralihan dari sadar ke tidak sadar, ingin selalu diantar oleh kekosongan pikiran, atau oleh bayang-bayang yang menyenangkan dengan harapan, akan terbawa menjadi mimpi yang menjadi musik merdu dan gambaran indah penyerta tidur. Perasaan muak, bosan dan benci pada sebuah nama yang aku sendiri tak mengerti entah apa penyebabnya. Sebuah kebosanan yang beralasan lemah untuk menuju pada sebuah perceraian. Bosan yang sudah seharusnya untuk ditimbang-timbang masak sebelum membuat keputusan. Sangat kecil sekali alasan untuk membuang begitu saja sebuah nama yang sudah bertahun-tahun dekat dan lekat dalam pikiranku. Sebuah nama yang bertahun-tahun kusanjung kupuja dan menjadi rahasia khalayak, bahwa di mana ada aku, di sana ada dia. Bak “Mimi lan Mintuno” atau “Rama dan Shinta” dalam legenda Jawa, atau “Sampek dan Engtay” dalam cerita China, atau juga seperti “Romy and Juli” yang menjadi kekasih abadi sampai ke akhir hayat. Sebuah nama yang telah memberikan segala-galanya dalam perjalanan hidupku, baik kepuasan batin maupun lahir yang sampai saat ini masih kunikmati. Untuk menjadi yang setia dan jujur, tampaknya memang sulit dan perlu pengorbanan yang maha besar. Odiseus dan Penelope pasangan percintaan dari Yunani ini yang
halaman 24
sejati memahami makna pengorbanan. Setelah dicabik-cabik, mereka menunggu hari-hari yang panjang yaitu dua puluh tahun untuk bertemu kembali. Perang menyebabkan Odiseus menghilang tak lama setelah pernikahannya dengan Penelope. Meskipun keadaan memberikan hanya sedikit harapan kembalinya sang suami, ia menolak 108 pelamar yang ingin menggantikan suaminya. Begitupun Odiseus sama-sama setia, menolak tawaran seorang penyihir yang cantik dan memang bahwa cinta sejati adalah layak ditunggu. Begitu juga halnya dengan Mintuno yang mengorbankan segalanya untuk selalu lengket dengan Mimi, Rama yang berdarah darah merebut Shinta dari Rahwana dengan bantuan Hanoman dan Jatayu, Sampek yang mati sekubur dengan Engtay dan konon melanjutkan kebahagian mereka di Nirwana sana, begitu juga dengan Romy dan Juli yang rela mati bersama demi cinta. “Mengapa aku tak bisa jadi mereka?” Tak mampu menjadi Horase tokoh fiksi dalam cerita pendek yang berulang kali kubaca, yang dengan cinta kasih tulus tak terhingga, rela melawan jijik dan busuk kudis tubuh Lisbeth, “kekasih batinnya” yang terseok-seok telanjang bulat, berjalan di pelataran gerbang “Bandar Serai,” lalu membersihkan, membawanya pulang dan merawatnya. Walau kebusukan dan kekotoran Lisbeth tersebab oleh pilihan sendiri, menggauli dan digauli para sembarang lelaki yang kini menghindar jauh dan semakin jauh, karena tak sudi menghidu bau busuk di tubuh malang Lisbeth dan mungkin, boleh saja terjadi ada satu atau dua diantara mereka yang lebih gila dari orang gila betulan, karena ingin gratis dan “alih-alih rasa”, tetap saja menggauli Lisbeth si busuk kotor. Pendapat ini bukan tak beralasan, karena pada kenyataannya sangat banyak perempuan kotor, busuk bahkan gila betulan yang bunting berulang kali namun tak berlaki dan yang jelas para lelaki yang lebih gila itu, tentulah bukan Horase si pecinta abadi. Horase adalah Horase dan Horase bukanlah aku, yang kini sama sekali tak dapat menggerakkan jari jemari menekan tuts huruf dan angka pada keyboard komputer. Mataku yang semakin nanar menatap layar komputer dengan baris kalimat yang mengalami macet, terhenti bagai antrian panjang kemacetan jalan raya selama berminggu minggu. Tangan dengan jemari kokoh, meremas remas mouse yang terletak di samping keyboard tak dapat menghasilkan apa apa, kecuali kelelahan batin yang bermuara pada ngilunya sendi sendi pergelangan dan denyut kepala yang semakin menjadi, menahan kebencian tak wajar pada sebuah nama. Selintas terpikir juga akan alasan yang dipaksakan, untuk dapat
halaman 25
meyakinkan bahwa bisa saja aku menghapus namanya dengan rasa ego yang tinggi dan tak berbelas kasih. Karena bukankah aku adalah satu satunya penentu yang boleh atau tidak boleh memasukkan namanya dalam pikiran dan relung hati ini! Bukankah aku, orang satu satunya yang sangat berjasa dan menjadikan ia sebagai primadona di mata masyarakat. Menjadikan ia panutan para perempuan, para gadis belia dan ibu-ibu, yang memberikan kesempatan padanya untuk melanglang buana ke manca negara, yang membuat banyak lelaki merasa iri karena keberhasilanku membuat sebuah nama jadi perempuan cantik, pintar yang setia sekaligus berprediket, “Perempuan Perkasa.” Namun segala pikiran dan alasan seperti yang kurasakan, masih belum kuat untuk menghapus begitu saja, sebuah nama yang terlalu besar dan tentu akan menimbulkan berbagai pikiran tak baik yang ditujukan padaku, dari berjuta khalayak penyanjung dan pecintanya. Dentang lonceng dari gardu ronda yang dipukul para penjaga malam terdengar empat kali. Kini hanya tinggal empat jam, waktu yang diberikan untuk sampai pada keputusan akan perceraianku dengan sebuah nama, atau melanjutkan hubungan kami dan menetapkan ia sebagai bahagian abadi dari kehidupan yang telah kulalui lebih dari separoh jalan. Kegugupan yang timbul akibat janji yang kubuat dan kebencian beralasan bosan dari sosok yang kujadikan sempurna lengkap dengan kecantikan, kepintaran dan kesetiaannya. Kecamuk pikiran yang mengalirkan kucuran deras peluh dingin pada subuh menjelang azan, membuat aku seakan semakin berada pada ruang gelap tak berpelita. Dengan sepitan ibu-jari dan telunjuk, kuraih lempengan metal penarik kancing lipan di dada dari jacket penahan dingin subuh yang kukenakan. Tiba pada tarikan menjelang akhir, tepatnya pada pangkal leher aku mendengar suara gaduh dari televisi yang memang sengaja tidak kumatikan. Aku berpaling dan mengarahkan pandang ke kaca televisi. Ketertarikan pada adegan yang tergambar, membuat aku semakin memelototkan mata. “Kau, kau Shakila. Sungguh tega kau menghianati aku. Kau bunuh bara cinta yang semakin marak di hatiku.” Terlihat cengeng dan sangat verbal kalimat pada adegan itu, namun begitulah film drama versi India yang sangat digemari berbagai kalangan terutama para nyonya yang pengangguran, pelahap duit laki dan banyak kehendak. “Eh…ahch…” hanya itu yang keluar dari mulut Shakila, entah bahasa apa yang ia gunakan merespon kesal dan marah Prakash suaminya yang memergoki ia dan seorang pemuda tegap gagah
halaman 26
sedang bergumul panas di ranjang kamar mereka, kamar Prakash dan Shakila. “Ini dia, aku temukan. Eureka! Eureka!” Spontan aku berteriak girang, mematikan televisi dan mengalihkan padang berkonsentrasi penuh pada tuts keyboard yang dimainkan oleh jari jemariku sedemikian lancar tanpa hambatan. Sebuah ending dengan keputusan yang menentukan bahwa sebuah nama harus hapus dari ingatan ini. Prakash, Shakila dan pemuda itu, telah menolongku dan memberikan inspirasi dan jalan yang cukup beralasan untuk menceraikan Vony, sebuah nama yang membuat aku kini merasa muak dan bosan ketika jari-jari ini menuliskan namanya.. Dingin yang tadi mencekam, sekarang berubah hangat menyegarkan. Aku tak lagi menggunakan jacket. Tak lagi setiap saat menuangkan air panas ke gelas yang berisi bubuk kopi dan gula untuk penyegar dan penghangat tubuh. Kalimat demi kalimat mengalir lancar dari pikiran kreatif, yang dicurahkan pada cerita roman- bersambung yang rutin dimuat di sebuah koran. Vony hanya melengos, pada ending episode cerita yang kubuat, ketika ia kupergoki dengan mata terkebil-kebil sedap, merasakan nikmat kejantanan dari perzinahannya dengan Desmond anak angkat, yang kami pelihara sejak Sekolah Menengah Pertama hingga kini kuliah di Perguruan Tinggi tingkat pertama. Tak ada kalimat lain yang dapat kuucapkan selain kata yang telah lama terpikirkan dan melompat lancar dari mulutku. “Kalian berdua memang binatang! Mulai detik ini nama kau Vony, kuhapus dari pikiranku! Subuh ini kita resmi bercerai dan kau Desmond, inilah langkah awal dan akhir aku menyebut namamu dalam setiap pikiran kreatifku.” Seperti juga dengan Shakila, Vony sedikitpun tidak menggubris dan menganggap kalimat yang kuucapkan hanya sebagai angin lalu. Aku berbalik meninggalkan mereka dengan senyum kemenangan dan rasa bebas, tanpa tekanan siap membuang nama Vony pada karyakaryaku selanjutnya. Karya cerita-bersambung episode mendatang. “Selamat tinggal Vony!” dan episode cerita bersambung nomor ini usai menjelang subuh, kucopy ke flash disc dan kukirim via e-mail ke redaksi sesuai dengan janji tepat pada pukul delapan nanti ***
halaman 27
sajak-terjemahan
Federico García Lorca
ederico G García Lorca (lahir 5 Juni mening 1898 – meninggal 19 Agustus 1936 pada tah umur 38 tahun) adalah seorang penyair dan dramawan Spanyol, yang juga dikenang S sebagai seorang pe pelukis, pianis, dan komponis. Ia mewakili anggota Generasi ‹27, yang dibunuh oleh kaum partisan Nasionalis pada usia 38 tahun pada awal Perang Saudara Spanyol. García Lorca dilahirkan dalam sebuah keluarga pemilik tanah yang kaya namun kurang penting, di desa Fuente Vaqueros, Granada. Ia adalah seorang anak yang cepat matang, meskipun hasil pelajarannya di sekolah tidaklah hebat. Pada 1909, ayahnya memindahkan keluarganya ke kota Granada, dan di sana ia menjadi sangat terlibat dalam kalangan para senimat setempat. Kumpulan puisinya yang pertama, Impresiones y paisajes, diterbitkan pada 1918 dan mendapatkan sambutan masyarakat setempat, namun secara halaman 28
komersial tidak banyak menghasilkan. Hubungan-hubungan yang dijalinnya di Klub Seni Granada kelak menguntungkannya ketika ia pindah pada 1919 ke Residencia de estudiantes yang terkenal di Madrid. Di universitas ia bersahabat dengan Luis Buñuel dan Salvador Dalí, di antara banyak temannya yang lain yang sudah atau kelak menjadi seniman berpengaruh di Spanyol. Sebagian mengklaim bahwa ia menjalin hubungan cinta dengan Dalí, meskipun para kritik yang serius sangat meragukannya. Di Madrid ia bertemu dengan Gregorio Martínez Sierra, Direktur Teatro Eslava Madrid, dan dengan undangannya, ia menulis dan mementaskan dramanya yang pertama, “El maleficio de la mariposa”, pada 1919-1920. Ini adalah sebuah drama puisi yang mendramatisasikan hubungan cinta yang tidak mungkin antara seekor kecoa dan seekor kupu-kupu, dengan peran pendukung dari serangga-serangga lainnya. Di luar panggung pementasan ini ditertawakan oleh para penonton yang tidak menghargainya, hanya setelah empat kali pertunjukan. Hal ini membuat García Lorca bersikap pahit terhadap publik penonton teater selama sisa hidupnya. Belakangan ia selalu mengklaim bahwa Mariana Pineda (1927) adalah dramanya yang pertama. Selama beberapa tahun kemudian García Lorca menjadi semakin terlibat dalam seninya dan seni avant-garde Spanyol. Ia menerbitkan tiga lagi kumpulan puisinya termasuk Romancero Gitano (1928, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai ‘Nyanyian orang-orang Gitana’, 19.. (?) oleh Ramadhan KH), kumpulan puisinya yang terbaik, dan dramanya yang kedua, Mariana Pineda mendapatkan sambutan hangat di Barcelona pada 1927. Namun, menjelang akhir 1920-an, García Lorca merasa menjadi korban depresi yang
kian meningkat. Situasi ini diperparah oleh kecemasaannya karena ia semakin tidak dapat menyembunyikan homoseksualitasnya dari temanteman keluarganya. Dalam hal ini ia sangat dipengaruhi oleh sukses karyanya Romancero gitano, yang kian menambah—melalui pamor yang dihasilkannya—dikotomi kehidupannya yang menyakitkannya: ia terjebak antara pribadi seorang pengarang yang sukses, yang terpaksa ia pertahankannya di muka umum, dengan pribadinya yang tersiksa, yang hanya dapat diakuinya secara privat. García Lorca semakin terasing dari temanteman terdekatnya, dan hal ini mencapai puncaknya ketika dua orang surealis Dalí dan Buñuel bekerja sama dalam film Un chien andalou (“An Andalusian Dog”, 1929), yang ditafsirkan García Lorca, mungkin secara keliru, sebagai serangan keji terhadap dirinya. Pada saat yang sama, hubungannya yang sepihak dan sangat mendalam, namun fatal, dengan pematung, Emilio Aladrén mulai berantakan, karena Aladrén terlibat hubungan yang perempuan yang kelak menjadi istrinya. Ketika menyadari masalahmasalah ini (meskipun mungkin bukan sebab-sebabnya), keluarga García Lorca mengatur agar ia melakukan kunjungan panjang ke Amerika Serikat pada 1929-1930. Masa tinggal García Lorca di Amerika, khususnya di New York— pengalamannya yang pertama dalam kehidupan dewasanya dengan masyarakat demokratis, meskipun ia menganggapnya sangat dipengaruhi oleh komersialisme dan penindasan sosial yang tidak resmi terhadap kelompok-kelompok minoritas—berfungsi sebagai pemicu bagi sebagian dari beberapa karyanya yang paling berani. Kumpulan puisinya, Poeta en Nueva York (Seorang Penyair di New York) menjelajahi keterasingan dan isolasinya
halaman 29
melalui sejumlah teknik puitis yang sangat eksperimental, dan kedua dramanya Así que pasen cinco años (Ketika masa lima tahun berlalu) dan El público (Publik) jauh mendahului waktunya—, bahkan El público baru diterbitkan pada akhir 1970-an dan tidak pernah diterbitkan lengkap. Kepulangannya ke Spanyol pada 1930 bertepatan dengan jatuhnya pemerintahan diktatur Primo de Rivera dan pembentukan kembali Republik Spanyol. Pada 1931, García Lorca ditunjuk sebagai Direktur kelompok teater mahasiswa yang disponsori pemerintah, La Barraca, yang ditugasi berkeliling Spanyol untuk memperkenalkan kepada penonton (yang umumnya di pedesaan) kepada teater ‘klasik’ Spanyol. Sementara berkeliling dengan La Barraca, García Lorca menulis drama-dramanya yang paling terkenal, ‘trilogi desa’ Bodas de sangre (“Perkawinan Darah”), Yerma dan La casa de Bernarda Alba (“Rumah Bernarda Alba”). Ia merumuskan teori-teorinya tentang penciptaan dan pertunjukan artistik dalam sebuah kuliah yang indah berjudul “Play dan Theory of the Duende,” yang pertama kali disampaikan di Buenos Aires pada 1933. Di situ ia mengatakan bahwa seni tergantung pada kesadaran yang hidup akan kematian, hubungan dengan bumi, dan pengakuan akan keterbatasan-keterbatasan nalar. Ketika perang pecah pada 1936, García Lorca meninggalkan Madrid dan pergi Granada, meskipun ia sadar bahwa ia hampir pasti akan menemui ajalnya di kota yang terkenal memiliki oligarkhi yang paling konservatif di Andalucía. García Lorca dan iparnya, yang juga adalah wali kota sosialis Granada, segera ditangkap. Ia dihukum mati, ditembak oleh kaum milisi Falange pada 19 Agustus 1936 dan dilemparkan ke dalam sebuah kubur tanpa tanda apapun
halaman 30
di atau di antara Víznar dan Alfacar, dekat Granada. Ada kontroversi besar, yang serupa dengan kontroversi di sekitar pembunuhan John F. Kennedy, tentant motif dan rincian kematiannya. Arsip yang disusun atas permintaan Franco belum juga dimunculkan. Rezim Franco sama sekali melarang karyanya dan larangan itu baru diangkat ketika pada 1953 karya García Lorca (yang disensor habis-habisan), Obras completas diterbitkan. Obras itu tidak mencakup Sonnets of Dark Love (Soneta cinta gelap) yang ditulisnya belakangan, pada November 1935 dan dipertunjukkan hanya untuk temanteman dekatnya – tulisan-tulisan ini hilang hingga 1983/4 ketika akhirnya diterbitkan. Baru setelah kematian Franco pada 1975 kehidupan dan kematian García Lorca dapat didiskusikan secara terbuka di Spanyol. Pada 1986, terjemahan puisi García Lorca “Pequeño vals vienés” (Watlz Wina kecil) oleh Leonard Cohen dalam bahasa Inggris menduduki peringkat pertama dalam tangga lagu Spanyol (sebagai “Take This Waltz”, musik oleh Cohen). Kini, García Lorca dihormati dalam bentuk sebuah patung yang ditempatkan secara menonjol di Plaza de Santa Ana, Madrid. Filsuf politik David Crocker melaporkan bahwa “patung itu, setidaktidaknya, masih merupakan lambang dari masa lalu yang diperdebatkan: setiap hari, kaum Kiri meletakkan sebuah sapu tangan di leher patung itu, dan seseorang dari golongan Kanan kemudian datang dan menyingkirkannya”. *** (red. dari berbagai sumber)
NYANYIAN MIMPI DI LANGIT TERBUKA
Bunga melur dan lembu di jagal. Jalan tak berujung. Kartu. Ruangan. Sitar. Dan dinihari. Gadis kecil membayangkan seekor lembu dari bunga melur Dan lembu itu adalah senja berdarah yang menjerit Kalau langit adalah anak kecil yang begitu mungil bunga-bunga melur menjadi seorang perempuan yang berduka, Dan lembu itu akrobat biru tanpa pertarungan dengan jantung di kaki sebatang tiang Tetapi langit adalah seekor gajah, bunga melur adalah air kekurangan darah sedangkan gadis adalah serangkum malam di atas jalan besar yang buram. Antara bunga melur dan lembu pengait gading atau orang-orang lelap. Dalam bunga melur seekor gajah dan awan, dalam lembu kerangka badan gadis kecil
halaman 31
NYANYIAN PEREMPUAN TIDUR
Bugil kau telentang, mengingatkan pada Bumi Bumi yang licin dan kuda-kuda gadis, Bumi licin tak keriput, murni ujud, tertutup ke haridepan: bersempadan perak. Aku menengok kau bugil, kupahami dan‌ kecemasan hujan mencari bibit-bibit ranum muda, meriang laut di wajah terbentang tak jumpai kilau permainan. Melalui katil-katil darah menggelora dan datang merengkuh baja-baja mengkilat, namun di mana berlindung akupun tak tahu untuk jiwaku cacat atau lembayung. Pusarmu adalah pertarungan mengakar, bibir-bibirmu adalah fajar tanpa garis-tepi. Di bawah mawar-mawar hangat tilammu Ajal merintih antri menanti
halaman 32
NYANYIAN GADIS EMAS
Gadis emas mandinya di air dan air terpilih Ganggang laut, dedahanan Cemburu dalam bayangan dan burung Bul-bul untuk gadis putih yang berdendang Tiba di cahaya malam bagai loyang yang buruk, gunung-gunung terkubak di bawah kelam yang pecah. Gadis itu kuyup Putih dalam air, Dan bagai nyala air. Datang fajar tanpa cela seribu mulut lembu dalam kaku kain kafan, terangkai beku Gadis kecil itu meratap mandi dalam api, dan burung-burung Bul-bul dengan sayap-sayap yang terbakar, menangis. Gadis emas Adalah burung kuntul putih, di air kencana
halaman 33
NYANYIAN TANGAN YANG SIA-SIA
Aku hanya inginkan satu tangan Kalau bisa, hanya tangan yang luka. Aku hanya menginginkan satu tangan, walau seribu malam aku tak kemana. Katil itu adalah tilam putih kapur semestinya ia seekor merpati yang terkurung di jantungku, semestinya ia penjaga malam kematianku yang tegas melarang bulan menyusup. aku bagai bahan-bakar hari-hari dan alas tilam putih ajalku. Aku hanya menginginkan tangan ini Menyokong sayap-sayap kematianku. Sisanya biarkan. Tanpa nama sudah kemerahan wajah, sejati bintang. Sisanya adalah hal lain: angin nestapa, Sementara dalam rimbunan dedaunan berlari
Terjemahan dari: Federico Garcia Lorca, Poesies III 1926-1936, Editions Gallimard, Paris, 1954 ke bahasa Indonesia oleh Mardi Tambak.
halaman 34
Tokoh
T.S. Eliot (Pencipta Puisi “Sulit� Namun Penuh Kedalaman Makna)
homas Stearns Eliot atau T.S. Eliot merupakan tokoh kesusastraan dunia asal Amerika namun kemudian A ia hijrah dan menjadi warga negara Inggris. Ia membawa tingkatan baru dalam dunia
puisi. Salah satu puisi terbaiknya, Four Quartets mengantarkannya sebagai peraih hadiah Nobel bidang sastra pada tahun 1948. Di tahun yang sama ia juga mendapat gelar kehormatan, Order of Merit yang dianugrahkan langsung oleh Raja George VI
halaman 35
dari Kerajaan Inggris Raya. Selain menulis puisi, Eliot juga piawai menulis naskah drama. Salah satu naskah dramanya, The Cocktail Party mendapat penghargaan Tony Award pada 1950. Puisi-puisi Eliot terbilang sebagai puisi yang sulit namun memiliki makna yang dalam. Bahkan puisi-puisinya menjadi bahan perdebatan hingga kini. Kehidupan pribadi Eliot sendiri bisa dibilang serumit puisi-puisinya. Ia terlahir dari pasangan imigran Inggris di Amerika Serikat. Ia tumbuh besar di Amerika Serikat tapi rupanya dalam hatinya tetap melekat rasa cinta pada tanah leluhurnya. Ia menempuh pendidikan di beberapa universitas ternama dunia. Harvard, Sorbonne, dan Merton College, Oxford merupakan universitas-universitas tempat ia menyelesaikan pendidikannya di bidang filosofi. Rasa cintanya pada Inggris membuatnya memilih untuk menetap di tanah leluhurnya ini dimulai saat ia kuliah di Merton College, Oxford tapi ia tak menyukai kehidupannya di Oxford. Ia jatuh cinta pada wanita Inggris yang membuatnya makin mantap memilih Inggris sebagai negara barunya tapi sedihnya pernikahannya tidak bahagia. Istrinya selingkuh, ia lalu meninggalkan istrinya dan kembali ke Amerika tapi ia akhirnya kembali ke Inggris. Ia dan istrinya tak pernah bercerai meski mereka hidup terpisah. Setelah istrinya meninggal, ia menikah lagi dengan bekas sekretarisnya yang berumur 30 tahun sementara usianya sendiri saat itu sudah 68 tahun. Tapi pernikahannya kali ini lebih baik dari yang pertama meski ia tak memiliki anak dari dua pernikahannya tersebut. Sementara
halaman 36
perjalanan
karirnya
pun
terbilang unik. Ia memang seorang penulis puisi berbakat. Piawai pula dalam menulis naskah drama. Ia juga pernah menjadi direktur sebuah perusahaan penerbitan. Dalam catatan karirnya ia pernah menjadi kepala sekolah dan bahkan pernah pula menjadi pegawai bank. Kejeniusan Eliot dalam merangkai kata bukan sekadar bentuk kecintaannya pada bahasa, tapi ia mampu menantang nalar dan alam pikirnya membentuk sebuah karya yang penuh kompleksitas bahasa. 1. Masa Kecil dan Pendidikan Thomas Stearns Eliot lahir pada 26 September 1888 di St. Louis, Missouri. Ia berasal dari keluarga kelas menengah asal New England tapi kemudian pindah ke St. Louis, Missouri. Ayah Eliot, Henry Ware Eliot (1843-1929) adalah seorang pengusaha sukses di St. Louis sedangkan ibunya, Charlotte Champe Stearns (1843-1929) merupakan seorang penulis puisi dan pekerja sosial, yang pada awal abad 20 merupakan sebuah profesi baru. Saat melahirkan Thomas Eliot, kedua orang tuanya sudah berusia 44 tahun
dan Eliot merupakan anak terakhir mereka dari enam anak mereka yang berhasil tetap hidup. Itu sebabnya jarak usia Thomas Eliot dengan kakak-kakaknya terpaut jauh. Ia memiliki empat orang kakak perempuan yang usianya dengan mereka terpaut antara sebelas dan sembilan belas tahun. Sementara satu-satunya kakak lelakinya delapan tahun lebih tua darinya. Keluarga dan temantemannya kerap memanggilnya dengan nama Tom. Namanya diambil dari nama kakeknya dari pihak ibu, Thomas Stearns. Ada dua faktor yang diperkirakan mempengaruhinya dalam dunia kesusastraan. Faktor yang pertama adalah kondisi fisik Eliot yang terbilang
lemah. Ia menderita penyakit hernia yang membuatnya tak bisa melakukan aktifitas fisik sehingga membuatnya terasing secara sosial dari teman-teman sebayanya. Kondisi keterasingannya inilah yang menumbuhkan kecintaannya pada dunia kesusastraan. Kabarnya begitu ia mulai belajar membaca, ia langsung terobsesi dengan buku dan terpesona oleh kisah-kisah fiksi seperti The Wild West atau cerita legendaris Tom Sawyer karya Mark Twain yang terkenal itu. Dalam memoar T.S. Eliot, seorang teman Eliot, Robert Sencourt mengatakan bahwa Eliot muda “kerap duduk melingkar di tepi jendela sambil membaca buku memberinya impian yang bagaikan obat baginya melawan
halaman 37
rasa sakit terhadap hidupnya.” Faktor kedua Eliot menyebut kota tempatnya lahir dan tumbuh besar sangat berperan dalam memberika visi bagi karir kepenulisannya. “Pengaruh St. Louis bagiku lebih dalam dibanding lingkungan manapun yang pernah kutinggali. Bagiku pasti ada pengalaman berbeda yang dialami seorang anak yang tinggal di dekat sungai besar dengan yang tidak. Aku sendiri menyadari betapa beruntungnya aku lahir di sini dan bukannya di Boston, New York atau London,” demikian ungkapan Eliot. Dari sini bisa terlihat betapa masa kecil Eliot memainkan peranan dalam karir kesusastraan Eliot dan kedua faktor tersebut, kondisi tubuhnya saat kecil juga lokasi tempatnya tumbuh besar sangat mempengaruhinya. Pada tahun 1898 hingga 1905 Eliot masuk Smith Academy, di sini ia belajar berbagai bahasa di antaranya Latin, Yunani Kuno, Perancis, dan Jerman. Ia mulai menulis puisi saat berumur empat belas tahun di bawah pengaruh Rubaiyat of Omar Khayyam karya Edward Fitzgerald, sebuah terjemahan atas puisi karya Omar. Khayyam. Namun Eliot kemudian merasa puisi-puisinya itu terlalu menyedihkan sehingga ia menghancurkan puisi-puisinya tersebut. Tahun 1905 agaknya merupakan awal dari sejarah karir menulisnya. Di tahun ini puisi-puisi dan cerita pendek karyanya mulai dipublikasikan. Puisi pertamanya yang dipublikasikan adalah “A Fable For Feasters” oleh Smith Academy Record pada Februari 1905. Puisi ini ditulisnya sebagai tugas sekolah. Puisinya yang paling tua yang masih berupa manuskrip dan tak memiliki judul kembali dipublikasikan oleh Smith Academy Record pada April 1905 tapi kemudian puisi ini direvisi dan diberi judul “Song” diterbitkan ulang di The Harvard Advocate,
halaman 38
majalah mahasiswa Universitas Harvard. Selain puisi ada pula tiga cerita pendeknya yang dipublikasikan pada tahun 1905 yaitu: “Birds of Prey”, “A Tale of a Whale”, dan “The Man Who Was King”. Yang disebut terakhir itu merupakan hasil eksplorasinya terhadap Kampung Igorot saat mengunjungi World’s Fair of St. Louis tahun 1904. Setelah lulus Eliot masuk Milton Academy di Massachusetts dan di sini ia bertemu Scofield Thayer yang di kemudian hari menerbitkan salah satu puisi terkenalnya, The Waste Land. Thayer pula yang di kemudian hari memperkenalkan Eliot dengan Vivienne Haigh-Wood yang kelak menjadi istri pertama Eliot. Usai itu Eliot belajar filosofi di Harvard College dari tahun 1906-1909 dan mendapatkan gelar sarjananya hanya dalam waktu tiga tahun padahal umumnya membutuhkan waktu empat tahun. Harvard memiliki banyak peranan dalam sejarah kehidupan Eliot. Walau ia sempat melanglang buana mendalami ilmu filosofi tapi berkali-kali ia kembali ke Harvard baik sebagai mahasiswa atau sebagai pengajar. Saat ia sudah menjadi warga negara Inggris pun ia sempat mendapat panggilan dan kembali ke Harvard sebagai pengajar. Beberapa puisinya juga sempat dipublikasikan dalam The Harvard Advocate. Ia sempat menjadi asisten filosofi di Harvard selama setahun yaitu pada 19091910. Usai itu ia pergi ke Paris dan belajar filosofi di Sorbonne dari 1910-1911. Di sini ia mendapat kuliah dari Henry Bergson dan ia membaca puisi bersama Alain-Fournier. Setelah setahun di Sorbonne, Eliot kembali ke Harvard pada 1911 untuk mempelajari filosofi India dan Sansekerta selama tiga tahun sejak 1911 sampai 1914. Pada 1914 Eliot mendapat beasiswa
di Merton College, Oxford. Ia sempat mengunjungi Margburg, Jerman dan berencana mengambil program musim panas tapi niatnya batal karena terjadi Perang Dunia Pertama sehingga ia kembali ke Oxford. Pada masa itu banyak mahasiswa Amerika yang kuliah di Oxford. Eliot tak terlalu menyukai kehidupannya di Oxford, hal ini diungkapkannya dalam suratnya kepada Conrad Aiken, novelis Amerika yang dikenalnya saat kuliah di Harvard. Setelah meninggalkan Oxford, Eliot lebih banyak menghabiskan waktunya di London. Di sinilah Eliot berkenalan dengan Ezra Pound yang membantu Eliot pada masa awal karirnya dengan mempromosikan Eliot di acara-acara sosial dan pertemuan sastra. Eliot sangat menikmati kehidupannya di London dan selama berada di Inggris, Eliot sebisa mungkin menghindari Oxford. 2. Pernikahan dan Kewarganegaraan Inggris Eliot akhirnya meninggalkan Merton dan pada tahun 1915 ia mengajar sastra di Birkbeck, Universitas London. Pada April 1915 Eliot berkenalan dengan seorang guru privat wanita bernama Viviene Haigh-Wood. Tak lama dari perkenalan ini, mereka melangsungkan pernikahan mereka di Kantor Catatan Sipil Hampstead pada 26 Juni 1915. Pasangan pengantin baru ini tinggal di flat seorang filosofer bernama Bertrand Russell. Muncul rumor bahwa Russel tertarik pada Vivienne dan mereka terlibat aair tapi kebenaran dari berita ini tak pernah diketahui. Pernikahan Eliot dan Vivienne ternyata tak bahagia salah satunya adalah karena
masalah kesehatan Vivienne. Dalam suratnya kepada Ezra Pound, Vivienne memberitahu beberapa gejala penyakitnya antara lain: temperaturnya tinggi, kelelahan, insomnia, dan migrain. Hubungan mereka makin renggang terlebih Vivienne kerap dikirim jauh oleh Eliot dan dokternya dengan harapan kesehatannya akan membaik, dan selama itu Eliot makin menjauh dari istrinya. Hubungan mereka ini menjadi dasar dari drama tahun 1984 berjudul Tom and Viv dan pada 1994 drama ini diangkat menjadi sebuah film. Pada 1916 Eliot menyelesaikan disertasi doktoralnya, Knowledge and Experience in the Philosophy of F.H. Bradley, di Harvard tapi sayangnya disertasinya gagal mendapat hasil yang mengesankan. Eliot pergi ke Amerika Serikat seorang diri tanpa membawa Vivenne, dan setelah kunjungan singkatnya ke Amerika sekaligus menjenguk keluarganya, Eliot kembali ke London dan mengajar di Birkbeck College, Universitas London. Pernikahannya yang tak bahagia ini lalu mendasari puisi Eliot yang kemudian sangat terkenal berjudul The Waste Land. Hal ini diungkapkan Eliot saat berumur enam puluhan. Ia mengatakan, ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia mencintai Vivienne karena ia berharap dengan begitu ia jadi memiliki alasan kuat untuk tetap bertahan di Inggris. Dan ternyata Vivienne atas pengaruh Ezra Pound juga meyakinkan dirinya sendiri bahwa demi puisi ia akan membuat Eliot tetap tinggal di Inggris. Tapi nyatanya pernikahan itu tak memberikan kebahagiaan bagi keduanya. “Bagi Vivienne, pernikahan ini tidak memberikan kebahagiaan. Bagiku, pernikahan ini membawa kebuntuan pikiran yang akhirnya melatarbelakngi munculnya The Waste Land�, demikian asumsi Eliot atas
halaman 39
pernikahannya. Meski pernikahannya tak memberikan kebahagiaan seperti yang diharapkannya tapi rupanya hal itu tak mengikis kecintaannya pada Inggris. Pada 29 Juni 1927 Eliot menjadi penganut Anglikan, agama resmi di Inggris dan pada November 1927 ia mendapatkan kewarganegaraan Inggris. Namun secara spesifik ia mengidentifikasikan agamanya sebagai Anglo-Catholic. Sekitar tiga puluh tahun lamanya Eliot mengomentarii pandangan agama yang dianutnya adalah perpaduan antara Katolik secara pola pikir dengan warisan nilai-nilai Calvinist dan temperamen seorang Puritan. Peter Ackroyd, salah seorang penulis biografi Eliot berpendapat ada dua alasan yang melatari keputusan Eliot berpindah agama. Pertama: Gereja Inggris menawarkan harapan bagi Eliot dan menurut Ackroyd, Eliot memang membutuhkan tempat yang bisa menentramkannya. Alasan kedua adalah karena Anglikan bisa membantu Eliot lebih memahami komunitas dan kebudayaan Inggris. Sementara itu pernikahan Eliot makin memburuk. Ketika Harvard menawarinya beasiswa profesor Charles Eliot Norton untuk menjadi untuk tahun ajaran 19321933, Eliot langsung menerimanya dan meninggalkan Vivienne di Inggris. Setelah kembali ke Inggris, Eliot mengatur perpisahannya dengan Vivienne secara resmi. Meski begitu mereka tidak pernah bercerai. Eliot berusaha menghindari setiap pertemuan dengan Vivienne. Sementara pada 1938 Vivienne dirawat di rumah sakit jiwa Northumberland House, Stoke Newington dan ia tetap berada di sana hingga akhir hayatnya. Eliot sendiri, walau masih merupakan suaminya secara sah tapi tak pernah mengunjunginya. Sepanjang masa
halaman 40
itu hanya dua kali Eliot menemui Vivienne yaitu pada 1932 saat ia akan pergi ke Amerika Serikat dan tahun 1947 pada saat kematian Vivienne. Saat itu kabarnya sepanjang 19301957 Eliot menjalin hubungan dengan Mary Trevelyan dari Universitas London dan Mary sangat ingin menikah dengan Eliot tapi tak pernah terjadi. Pernikahan kedua Eliot terjadi pada 10 Januari 1957. Saat itu Eliot yang sudah berumur 68 tahun menikahi Esme Valerie Fletcher yang baru berusia 30 tahun. Meski rentang usia keduanya ini sangat jauh tapi rupanya pernikahan keduanya ini lebih memberinya kebahagian dibanding pernikahan pertamanya karena tak seperti saat menikahi Vivienne, kali ini Eliot sangat mengenal Fletcher yang rupanya tak lain adalah sekretarisnya di Faber and Faber sejak Agustus 1949. Upacara pernikahan mereka berlangsung di gereja pukul 6.15 pagi, waktu yang sangat tak umum dan terlalu pagi untuk upacara pemberkatan pernikahan, dan rupanya mereka memang sengaja ingin merahasiakan pernikahan mereka dengan tak ada yang menghadiri pernikahan mereka inii kecuali orangtua pengantin wanita saja. 3. Kematian dan Karya-karya Monumental Menjelang akhir hidupnya, pada awal 1960-an kesehatan Eliot mulai memburuk, meski begitu ia tetap bekerja sebagai editor di Wesleyan University Press dan mencari puisi-puisi baru di Eropa untuk diterbitkan. Pada 4 Januari 1965 Eliot menghembuskan nafas terakhirnya. Selama beberapa tahun, Eliot memang mengalami masalah kesehatan yang disebabkan oleh kebiasaannya merokok. Eliot memang dikenal sebagai perokok berat dan kerap kali harus dirawat karena menderita bronkhitis sebelum akhirnya ia
menderita emphysema atau pembengkakan pada paru-parunya. Jazad Eliot dikremasi di Krematorium Golders Green dan sesuai permintaannya sebelum wafat, abunya disimpan di Gereja St. Michael di East Coker yang merupakan kampung halaman leluhurnya sebelum hijrah ke Amerika. Sebuah piagam untuk memperingatinya dan tercantum kutipan dari puisinya berjudul “East Coker” yang berbunyi: “In my beginning is my end. In my end is my beginning.” Pada 1967, dua tahun peringatan kematiannya, Eliot mendapat penghormatan dengan pemasangan sebuah batu besar pada ubin di Poets’ Corner (Pojok Puisi) di Westminster Abbey, London. Batu tersebut dipotong oleh desainer keramik Reynolds Stone yang di atasnya terpahat tanggal lahirnya juga gelar kehormatan, Order of Merit yang dianugrahkan Raja George VI pada 1948. Tertera pula kutipan dari puisinya “Little Gidding” yang berbunyi: “the communication / of the dead is tongued with fire beyond / the language of the living.” Selain itu di kota kelahirannya pun Eliot mendapat apresiasi besar dan ia termasuk dalam jajaran bintang di St. Louis Walk of Fame. Nama Eliot juga diabadikan sebagai nama di Universitas Kent di Inggris, Eliot College. Setelah kematian Eliot, istri keduanya, Valerie mendedikasikan waktunya untuk melestarikan hasil karya Eliot. Ia mengedit dan memberikan keterangan/catatan pada The Letters of T. S. Eliot dan sebuah faksimile draft puisi Eliot, The Waste Land. Dari dua kali pernikahannya, Eliot tidak dikaruniai anak. Valerie Eliot meninggal dunia pada 9 November 2012 di rumahnya di
London. Pada 1946 sampai 1957 sebelum menikahi Valerie, Eliot pernah tinggal satu flat dengan temannya, John Davy Hayward. Dia-lah yang mengupulkan dan merapikan naskah-naskah Eliot dan ia mentahbiskan dirinya sebagai “Penjaga arsip Eliot”. Selain itu Hayward juga menyimpan versi awal puisi Eliot, Prufrock. Setelah kematian Eliot, ia mempublikasikan karya Eliot dengan judul: Poems Written in Early Youth (Puisi-puisi yang Ditulis di Masa Muda). Meskipun pada 1957 Eliot dan Hayward tak lagi tinggal bersama tapi Hayward tetap menyimpan karya-karya Eliot tersebut yang kemudian diwariskannya kepada King’s College, Cambridge pada 1965. Untuk ukuran penyair besar, puisi-puisi Eliot tidak terlalu banyak dan ternyata hal ini sangat disadarinya pada awal karirnya. Ia pernah menulis untuk J.H. Woods, salah satu profesornya di Harvard, “Reputasiku di London dibangun di atas sebuah syair dalam edisi kecil dan secara berkesinambungan menerbitkan dua atau tiga puisi lain dalam setahun. Masalahnya, puisi-puisi itu haruslah sempurna sehingga akan tetap abadi.” Puisi-puisi Eliot bisa dibilang merupakan perkembangan jiwanya. Dimulai dari Prufrock (1917) hingga Four Quartets (1943) merefleksikan perkembangan nilai Kristiani sang penulis. Sementara The Waste Land (1922) yang bisa dibilang termasuk karyakarya awalnya secara esensi bisa dibilang berjiwa negatif yang mana puisi tersebut mengekspresikan kengerian (horor) yang berasal dari pencarian sang penulis menuju dunia yang lebih tinggi dan bercahaya. Dalam Ash Wednesday (1930) dan The Four Quartets, dunia yang lebih tinggi itu menjadi lebih jelas. Walaupun Eliot tak bermaksud menulis puisi religius tapi nyatanya kerap
halaman 41
kali tulisannya memang tak lepas dari kisah religius seperti drama-dramanya antara lain Murder in the Cathedral (1935) dan The Family Reunion (1939). - The Love Song of J. Alfred Prufrock Prufrock Merupakan kumpulan puisi pertama Eliot yang diterbitkan pada 1917. Pada 1915, Ezra Pound yang sangat membantu Eliot di awal karirnya dengan memperkenalkannya ke mana-mana, saat ia menjadi editor majalah Poetry (Puisi) merekomendasikan naskah Eliot pada Harriet Monroe, sang pendiri majalah tersebut. Eliot menulis sebagian besar puisi dalam kumpulan puisinya ini saat berumur dua puluh dua tahun. Puisinya ini sangat mengejutkan karena masa itu yang tengah populer dan dipuja adalah Georgian Poetry (Puisi gaya Georgia) yang berasal dari Romantic Poets (Puisi-puisi Romantis) di abad sembilan belas. -
The Waste Land The Waste Land
Diterbitkan pada Oktober 1922, Eliot mendedikasikannya untuk il miglior fabbro (“seniman yang lebih baik) mengacu pada Ezra Pound, kawannya yang telah mengedit dan memperjelas isi dari puisi Eliot yang aslinya lebih panjang disederhanakan menjadi lebih pendek seperti yang terlihat dalam terbitannya yang beredar. The Waste Land ditulis di masa-masa sulit pernikahan Eliot dengan Vivienne. Baik Eliot dan Vivienne sama-sama mengalami gangguan kecemasan. Puisi ini juga kerap dianggap sebagai representasi kekecewaan generasi pasca-perang. Sebelum puisi ini diterbitkan dalam bentuk kumpulan pusi pada Desember 1922, Eliot tengah berusaha
halaman 42
keluar dari keputusasaan sebagaimana yang diungkapkannya dalam suratnya untuk Richard Aldington pada 15 November 1922, “Sebagaimana The Waste Land, masa lalu terlalu jauh untuk kupikirkan dan kini aku merasa tengah menuju ke gaya dan bentuk yang baru.” The Waste Land memberikan sentuhan dalam kesusastraan modern. Kebetulan pula di tahun yang sama novel brilian ‘Ulysses’ karya James Joyce yang tak lain juga merupakan kawan Eliot, diterbitkan. Ada beberapa kalimat dalam The Waste Land yang amat terkenal di antaranya: “April is the cruellest month”; “I will show you fear in a handful of dust”; dan “Shantih Shantih Shantih”, yang diambilnya dari bahasa Sansekerta sebagai penutup puisinya. - The Hollow Men The Hollow Men Muncul pertama kali pada 1925. Kritikus Edmund Wilson menganggapnya sebagai “Titik nadir dari fase keputusaan dan kesepian yang sama ekspresifnya seperti The Waste Land”. Bait yang populer dari The Hollow Men adalah: This is the way the world ends Not with a bang but a whimper. -
Ash Wednesday Ash Wednesday
Merupakan puisi panjang pertama yang ditulis Eliot setelah memeluk agama Anglikan pada 1927. Ash Wednesday dipublikasikan pada 1930 setelah melalui beberapa kesulitan sebelum akhirnya mencapai kesepakatan. Ash Wednesday merupakan puisi dengan nuansa rohani dan aspirasi spiritual Eliot setelah ia menganut agama Anglikan. Ash Wednesday banyak mendapat pujian dari kritikus seni bahkan menurut Edwin
Muir, Ash Wednesday merupakan puisi “yang paling sempurna.” Meski mendapat banyak pujian tapi tak sedikit pula yang tak menerima dengan baik puisi Eliot ini. - Old Possum’s Book of Practical Cats Terbit pertama kali pada 1939. Di edisi pertama ini ada ilustrasi sang penulisnya di sampulnya. “Old Possum” merupakan nama julukan yang diberikan Ezra Pound untuk Eliot. Pada 1954 komposer Alan Rawsthorne membuat sebuah karya orkestra berjudul Practical Cats yang diantaranya mengambil enam puisi dalam kumpulan puisi ini. Setelah kematian Eliot buku ini diadaptasi menjadi sebuah pertunjukan musikal oleh Andrew Lloyd Webber dengan judul Cats. Drama musikal tersebut pertama kali ditampilkan di London’s West End pada 1981 dan setahun kemudian ditampilkan dalam panggung Broadway.
- Four Quartets Four Quartets Terdiri dari empat puisi panjang yang sebelumnya diterbitkan secara terpisah. Burnt Norton (1936); East Coker (1940); The Dry Salvages (1941); dan Little Gidding (1942). Tiap puisi terdiri atas lima bagian. Setiap puisi merupakan meditasi atas alam dan masa dalam sudut pandang secara -teologis, historis, dan fisik- dan semua ini berhubungan dengan kondisi umat manusia. Keempat puisi ini merupakan representasi dari empat unsur utama kehidupan: udara, tanah/bumi (earth), air, dan api. Burnt Norton merupakan puisi meditasi yang diawali dengan seorang narator mencoba untuk memfokuskan diri
pada kekinian sementara alam meditasi membawanya melangkah menyusuri taman sambil memfokuskan diri pada gambaran dan suara-suara seperti burung, mawar, awan, dan kolam yang kosong. Meditasi itu lalu memimpin si narator untuk mencapai “titik” dimana ia akan mengalami suatu “anugrah”. Di sesi akhir, sang narator mengkontemplasi seni (“kata-kata” dan “musik”). Simak beberapa kalimat dalam puisi ini yang diucapkan sang narator yang membawa pada sebuah perenungan: “Words strain, / Crack and sometimes break, under the burden (of time), under the tension, slip, slide, perish, decay with imprecision, will not stay in place, / Will not stay still”. Dan kalimat konklusi sang narator: “Love is itself unmoving, / Only the cause and end of movement, / Timeless, and undesiring.” East Cooker melanjutkan penjelasan akan makna dari waktu. Simak kalimat mengesankan dalam puisi ini, solusi dari Eliot untuk keluar dari kegelapan: “I said to my soul, be still, and wait without hope.” The Dry Salvages merupakan elemen dari air melalui gambaran sungai dan laut. Dalam puisi ini terdapat kalimat kontradiktif : “The past and future / Are conquered, and reconciled.” Little Gidding, element dari api merupakan yang paling antologis dari keempat puisi dalam Quartets ini. Dalam puisi ini Eliot berimajinasi bertemu Dante saat pengeboman Jerman. Dengan kalimat permulaan dalam Quartets : “Houses / Are removed, destroyed” menjadi pengalaman penuh kekerasan yang dihadapi setiap hari namun dalam puisi ini untuk pertama kalinya Eliot membicarakan Cinta sebagai halaman 43
kekuatan di balik setiap pengalaman. Dan Quartets pun diakhiri dengan sebuah kalimat penegasan dari Julian of Norwich: “All shall be well and / All manner of thing shall be well.” Four Quartets tak bisa dipahami tanpa pengenalan akan pemikiran, tradisi, dan sejarah Kristen. Eliot menggabungkan teologi, seni, simbolisasi dan bahasa pada tokoh-tokoh seperti Dante, Yohanes dari Salib, dan Julian dari Norwich. “Persekutuan lebih dalam” tampil di East Coker, “hints and whispers of children, the sickness that must grow worse in order to find healing.” Four Quartets bisa dibilang merupakan puisi terbaik Eliot dan Eliot sendiri yang menyatakan bahwa Four Quartet merupakan mahakarya-nya. Four Quartets pula yang telah mengantarkannya meraih Nobel untuk Sastra yang diterimanya di Stockholm pada 1948. Dengan ini Eliot dianggap sebagai pionir yang telah membentuk dunia puisi modern di masa sekarang ini. Selain puisi ada pula beberapa naskah drama karya Eliot yang monumental dan mendapat perhatian kritikus. Eliot memang dikenal sebagai pengritik sekaligus penggemar penulis-penulis drama era Elizabethan dan Jacobean. Dalam The Waste Land ia bahkan menyindir beberapa tokoh drama terkenal seperti Webster, Thomas Middleton, William Shakespeare, dan Thomas Kyd. Pengalihan kreatifitas kata Eliot dari puisi menuju drama telah diungkapkan Eliot setelah diterbitkannya The Waste Land pada 1922. Ia menyatakan bahwa ia ingin melangkah ke “bentuk dan gaya yang baru.” Pada 1934 drama karya Eliot “The Rock” ditampilkan untuk kepentingan gereja di Keuskupan London. George Bell, Uskup Chichester turut membantu dengan halaman 44
memperkenalkan Eliot pada E. Martin Browne yang kemudian memproduksi The Rock, setelah itu Eliot menulis naskah drama lain untuk Canterbury Festival pada 1935. Naskah inilah yang merupakan salah satu naskah drama Eliot yang fenomenal, “Murder in the Cathedral - Pembunuhan di Katedral” yang berkisah mengenai kematian seorang martir, Thomas Becket. Peter Ackroyd, penulis biografi Eliot mengatakan, “bagi Eliot Murder in the Cathedral dan kesuksesan di panggung drama menawarkan keuntungan ganda; ia bisa mempraktekan kemampuannya menulis puisi sekaligus memberinya kenyamanan untuk jiwa religius-nya.” Beberapa karya drama terkenal Eliot lainnya adalah: The Family Reunion (1939) yang juga merupakan drama bernuansa rohani, The Cocktail Party (1949) yang mendapat penghargaan Tony Awards pada 1950, The Confidential Clerk (1953), dan The Elder. Statesman (1958). Mengenai metodenya dalam menulis naskah, Eliot menjelaskan, “Jika aku sudah siap untuk menulis, aku akan mulai dengan memilih kejadiannya. Aku mengatur situasi emosinya, dengan begitu maka karakterkarakter dan plotnya akan muncul. Setelah itu baris-baris puisi pun bisa tampil, bukan murni berasal dari dorongan hati melainkan dari alam bawah sadar yang terstimulasi.” Karya-karya Eliot memang tak terlalu banyak tapi justru karya-karyanya yang tak terlampau banyak itu justru mengantarkannya pada keabadian dalam kesempurnaan kata.
Karya-karya TS Eliot Poetry Prufrock and Other Observations (1917) Poems (1919) The Waste Land (1922) Poems, 1909-1925 (1925) Ash Wednesday (1930) East Coker (1940) Burnt Norton (1941) The Dry Salvages (1941) Four Quartets (1943) The Complete Poems and Plays (1952) Collected Poems (1962) Prose The Sacred Wood (1920) Andrew Marvell (1922)
For Lancelot Andrews (1928) Dante (1929) Tradition and Experimentation in PresentDay Literature (1929) Thoughts After Lambeth (1931) John Dryden (1932) After Strange Gods (1933) The Use of Poetry and the Use of Criticism (1933) Elizabethan Essays (1934) Essays Ancient and Modern (1936) The Idea of a Christian Society (1940) The Classics and The Man of Letters (1942) Notes Towards the Definition of Culture (1949) Poetry and Drama (1951) Religious Drama: Mediaeval and Modern (1954) The Three Voices of Poetry (1954) Drama Sweeney Agonistes (1932) The Rock (1934) Murder in the Cathedral (1935) The Family Reunion (1939) The Cocktail Party (1950) The Confidential Clerk (1953) The Elder Statesman (1958)*** (Dari berbagai sumber dan http:// hernyyahya.blogspot.com. 5Feb.2014)
halaman 45
rehal
JURAI Luka yang Melahirkan Semangat
Judul buku :
Jurai (Kisah Anak-Anak Emak di Setapak Impian) Penulis :
Guntur Alam Tahun terbit:
Maret 2013 Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Jumlah halaman:
300 halaman Resensi :
Zurnila Emhar (Zech)
halaman 46
e emang benar; rasa sakit bisa membangunkan orang yang m ssedang tidur dan membuat orang yang lemah menjadi kuat. Mungkin inilah inti dari novel Jurai, karangan Guntur Alam ini. Dalam novel terbitan Gramedia ini dikisahkan Catuk kehilangan Ebak (ayah) ketika dia baru kelas lima SD. Kehilangan yang sangat menyakitkan karena kepergian Ebak yang semula dikabarkan meninggal karena diseruduk babi hutan ternyata menjadi korban tabrakan sepeda motor anak Toke Nagap, pemilik kebun karet yang disadap Ebak setiap hari. Namun Toke berhasil mengarang cerita dan meminta cap jempol Emak yang tidak akan melakukan tuntutan apapun. Catuk yang terlahir sebagai bungsu dan merupakan satu-satunya anak lakilaki mengalami dilema berkepanjangan. Sebagai laki-laki, Catuk merasa memiliki beban seorang kepala keluarga. Namun faktor umur membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa untuk Emak dan ketiga kakak perempuannya. Pada saat yang sama, Catuk terpilih mengikuti Porseni di cabang lomba lari. Untuk itu dia membutuhkan sepatu baru. Namun kemiskinan yang melingkupi keluarganya mengurungkan niatnya untuk menyampaikan hal tersebut kepada Emak. Apalagi kedua kakak kembarnya akan mengikuti UN SMP. Dan mereka juga ingin melanjutkan ke SMA. Risau hatinya makin menjadi ketika keluarga mereka harus menjalani ritual empat puluh hari setelah kematian. Mereka harus menyiapkan jamuan untuk para pelayat. Keharusan ini membuat hutang Emak semakin menumpuk. Rupanya luka di hati mereka tidak selesai
sampai di situ. Lepas tahlilan empat puluh hari, istri kedua Ebak dengan dua orang anaknya datang bertamu. Ternyata Ebak telah menikah lagi tanpa sepengetahuan Emak. Pengkhianatan yang tersimpan rapi selama belasan tahun itu didukung keluarga Ebak. Alasannya; mencari anak laki-laki. Dalam adat mereka, ada pepatah mengatakan: sebanyak apapun seseorang memiliki anak gadis, rasanya, ia tak punya anak bila belum punya anak bujang. Anak bujang itu pelita dalam limas. Obor dalam kegelapan. (hal. 120) Kehormatan keluarga terletak pada anak bujang. Rasanya tak cukup sebuah limas bila tak ada anak bujangnya. Berasa tak jadi lanang bila tak mampu punya anak bujang. (hal.128) Hantaman ini membuat Emak terpuruk dalam kesedihan. Apalagi jelas Ebak menikah dengan izin Emak lewat cap jempolnya pada surat pemberian restu. Rupanya ketidakmampuan Emak membaca telah dimanfaatkan. Tidak hanya oleh Toke Nagap tapi juga oleh suaminya sendiri. Selain menceritakan luka, novel ini juga mengetengahkan kehangatan dan kesetiakawanan. Catuk bangkit dari keterpurukannya setelah terus menerus dihibur dan disemangati oleh kawan-kawan akrabnya, yaitu Kus, Gunawan, Sarpin, Pangki, Ivan, Gedo, Noyok dan Ci Rika. Persahabatan ini juga berbuah manis dengan mampunya mereka membeli tujuh pasang sepatu untuk mengikuti Porseni. Tentunya mereka mendapatkan uang bukan dengan menadahkan tangan pada orang tua. Karena hidup mereka hampir sama-sama miskin. Dalam persahabatan itu, pembaca akan menemukan kearifan yang mencengangkan dari pikiran anak-anak seusia mereka. halaman 47
Pada akhirnya novel ini menunjukkan korelasi luka dengan kebangkitan. Demi mengantarkan anak-anaknya menebus mimpi, memberikan hak yang sama antara anak perempuan dan laki-laki, Emak mendobrak kultur masyarakat Tanah Abang. Meskipun harus menjadi orang terbuang. Namun ada dua hal yang sedikit menggangu tentang isi novel ini. Pertama, Emak yang sudah berada di dasar keterpurukan, diselimuti kabut kedukaan yang tebal, jarang ke luar dan menutup diri, tiba-tiba bangkit hanya dengan beberapa patah kata Catuk. “Bukankah Emak mengatakan padaku untuk menerima semua ini sebagai takdir?” Aku kembali bersuara, tidak mempedulikan reaksi Emak yang senyap itu, “Bukankah kita tidak punya kuasa melawan takdir? Semua ini takdir kita, Mak. Emak menjadi janda dan dimadu. Tidak ada yang bisa Emak perbuat. Juga kami. Apa dengan cara Emak berdiam diri di kamar, semua jadi beres? Seperti itu kan yang Emak tanyakan padaku?” “Bukankah Emak meminta kami untuk melupakan semua ini dan belajar yang rajin agar bisa terus sekolah? Sekolah harus bayar, Mak. Kami harus bayar dengan apa kalau Emak tak bergerak?” (hal. 152) Seketika Emak bangkit. Sadar. Langsung menghitung kebutuhan harian dan sekolah. Emak meyakinkan anak-anaknya bahwa dia mampu melunasi iyuran sekolah dengan senyum terkembang. Sekalipun belum tahu mau bekerja apa. Emak bangkit begitu saja tanpa ada gambaran perenungan atau usaha pendekatan terhadap Emak sebelumnya. Kedua, kisah cinta antara Catuk dan Dewi yang terasa berlebihan untuk ukuran anak kelas lima SD. Kebersamaan mereka, hal-hal yang berkelabatan dalam kepala Catuk, seperti penggalan yang terlepas dari halaman 48
kehidupannya selaku anak dusun yang belum mendapat penerangan listrik apalagi televisi di rumah. Jika Catuk hidup dengan kondisi kemajuan zaman seperti sekarang yang setiap hari bersentuhan dengan teknologi, mungkin tidak aneh. Perkenalan mereka secara tak sengaja (tabrakan) terjadi sewaktu Porseni. Catuk yang dipenuhi rasa takjub karena bisa menginjakkan kaki di Muara Enim bercampur minder karena berasal dari SD inpres yang muridnya kebanyakan miskin, ternyata bisa jatuh cinta pada pandangan pertama. Bahkan catuk bisa merekam sosok Dewi dengan sempurna dalam ingatannya saat itu juga. Bibirnya merah, liut basah, dengan mata sebening embun. Pipi penuh berisi, membuatku hendak sekali mencubitnya. Tak hanya itu, kulitnya kuning langsat, berleher jenjang, dengan rambut panjang hitam tergerai. (hal. 188) Walaupun demikian, alur cerita yang cukup mengharukan ini akan kembali mengingatkan pembaca bahwa pintu-pintu kemustahilan akan bisa dibuka dengan tekad yang kuat dan penuh keberanian. Selamat membaca. (Zech)
Festival
FESTIVAL SUNGAI CARANG, dalam rangka hari jadi ke 230 Kota Tanjungpinang, dibuka 31 Desember 2013, dimulai dengan karnaval air di Sungai Carang itu, berupa arak-arakan perahu dan kapal motor di alur sungai Carang sejauh 20 mil dan diikuti oleh 44 perahu dan kapal motor dengan jumlah peserta 500 orang; 3 kapal pandu yang mengarak, mulai dari jembatan Engku Puteri di dului Sungai Carang sampai pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjungpinang; 10 perahu motor yang berasal dari 10 kampung yang ada di sekitar Sungai Carang, seperti Kampung Kota Piring, Kampung Melayu, Kampung Bulang, Tanjungunggat, Kampung Tambak, Kampung Bugis, Gudang Minyak,
Senggarang, Teluk Keriting dan Penyengat; tiap perahu, akan diikuti 23 peserta sehingga berjumlah 230. Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR), ikut menampilkan beberapa nomor dari Opera Bulang Cahaya pada malam penutupan FSC, 4 Januari 2014, di Gedung Daera, tepi laut Tanjungpinang, dihadiri pengurus Lembaga Adat Melayu (LAM) Provinsi Kepri, Kota Tanjungpinang dan Kota Batam. Wali Kota Tanjungpinang H Lis Darmansyah, Plt Sekdaprov Robert Iwan Loriaux, serta FKPD Kepri dan Tanjungpinang, Rida K Liamsi, Dahlan Iskan Meneg BUMN, dan sejumlah seniman Kepulauan Riau.
halaman 49
Mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) berfoto bersama usai menampilkan pementasan Opera Bulang Cahaya pada malam penutupan FSC bersama Dahlan Iskan .
halaman 50
Karnaval air di Sungai Carang itu, berupa arak-arakan perahu dan kapal motor di alur sungai Carang
halaman 51
Festival
Festival Sungai Carang
Menghadirkan Sejarah, Budaya dan Wisata “Ini karnaval budaya, ini karnaval sejarah, ini karnaval ingatan atas masa lampau Sungai Carang dan sumbangannya kepada kehidupan di kawasan ini,” kata Rida K Liamsi, penggagas acara bertajuk “Festival Sungai Carang” ini sempena peringatan hari jadi kota Tanjungpinang Kepulauan Riau.
halaman 52
Festival yang dimulai dengan karnaval air di Sungai Carang itu, akan berlangsung 31 Desember 2013 - 4 Januari 2014 berupa arak-arakan perahu dan kapal motor di alur sungai Carang sejauh 20 mil dan diikuti oleh 44 perahu dan kapal motor dengan jumlah peserta 500 orang, penjelasan Socrates, Deputy COO Riau Pos Grup Divisi Regional Batam yang juga penanggungjawab karnaval.
Tun Abdul Jamil, Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, Sultan Mahmud Ryatsyah serta sebanyak 23 nama yang dilekatkan di arakarakan perahu motor tersebut.
“Perahu dan kapal motor yang menyertai karnaval itu, terdiri dari 3 kapal pandu, yang akan memandu arak-arakan mulai dari jembatan Engku Puteri di hulu Sungai Carang sampai ke pelabuhan Sri Bintan Pura,” paparnya.
Di belakang arakan ini, akan ada dua perahu layar (yacht) di depan sebuah kapal layar motor bertonase 100 ton. Perahu ini merupakan simbolisasi dari kapal bulang linggi, kapal perang Raja Haji Fisbilillah yang termasyhur itu.
Lalu ada 10 perahu motor yang berasal dari 10 kampung yang ada di sekitar Sungai Carang, seperti Kampung Kota Piring, Kampung Melayu, Kampung Bulang, Tanjungunggat, Kampung Tambak, Kampung Bugis, Gudang Minyak, Senggarang, Teluk Keriting dan Penyengat.
Di atas kapal Bulang Linggi ini akan dibawa 10 dulang telur merah dan pulut kuning. Tiap dulang berisi 23 buah telur, sehingga jumlahnya menjadi 230 butir telur menandai 230 tahun Kota Tanjungpinang.
Tiap perahu, akan diikuti 23 peserta sehingga jumlahnya nanti jadi 230 peserta untuk menandai hari jadi ke 230 tahun Kota Tanjungpinang. Semua peserta kampung itu akan membacakan barzanji dan memukul kompang. “Dulu ketika Raja Haji Fisabililah akan berangkat perang, mereka membaca salawat dan barzanji di istana Kota Piring,” kata Socrates mengutip catatan dari Aswandi, sejarawah dan Rida K Liamsi, budayawan Melayu pengagas even Festival Sungai Carang. Pembaca barzanji dan arakan kompang itu untuk mengingat kembali jejak sejarah dan kepahlawanan Raja Haji Fisabililah dan Perang Riau melawan Belanda. Selain itu, ada 23 perahu motor yang merupakan arak-arakan jejak kepemimpinan masa kerajaan Riau Lingga di sepanjang Sungai Carang. Seperti, Sultan Ibrahimsyah,
“Ini arak-arakan kapal tokoh sejarah,” imbuh Socrates. Tiap perahu motor sejarah ini akan membawa 10 peserta yang juga akan membaca barzanji dan memukul gendang, kompang, rebana dan lainnya.
Pulut kuning dan telor merah adalah simbol rasa syukur dan harapan masa depan kehidupan yang lebih baik bagi negeri. Simbol optimisme dan kemenangan dan semangat perjuangan. Pulut kuning dan telor merah itu akan di kawal oleh 40 mahasiswa, sebagai representasi kisah 40 pendekar Melayu Bugis yang sangat terkenal sebagai barisan pertikaman di masa kerajaan Riau Lingga dahulunya. Di belakang Bulang Linggi, ada tigal kapal motor kehormatan yang membawa rombongan Gubernur, Wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota serta ptinggi daerah dan kota lainnya, sebagai simbol upaya mengawal dan menjaga harapan dan masa depan yang diimpikan masyarakat. Di barisan akhir, ada 3 perahu naga yang didayung 33 pendayung dari berbagai kalangan, sebagai simbol dukungan dan harmonisasi budaya berbagai komunitas masyarkat yang hidup dan berkembang di halaman 53
daerah ini. Setibanya di pelabuhan Sri Bintan Pura, telor dan pulut kuning itu diarak ke Gedung Daerah, simbol istana dan pusat pemerintahan sebagaimana dahulunya. Arakan ini disambut silat selamat datang dan arakan bunga manggar oleh 230 orang siswa se Kota Tanjungpinang. Di Gedung Daerah, arakan ini akan diterima oleh para petinggi Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau dengan taburan beras kunyit. Seterusnya, Gubernur atas nama rakyat Kepri, menyerahkan ke 10 dulang telur dan pulut kuning itu ke perwakilan 10 kampung yang ada di sekitar Sungai Carang sebagai simbol dari dukungan pemerintah terhadap kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh masyarakat. Mengakhiri prosesi karnaval perahu ini, ditandai dengan pementasan tari Semah dan kisah percintaan Tengku Buntat, puteri Engku Muda Muhammad dan Raja Djaafar, putera Raja Haji Fisabililah yang terkenal dalam kisah novel Bulang Cahaya, karya Rida K Liamsi. Karnaval Sungai Carang ini merupakan salah satu mata rantai acara Festival Sungai Carang, yang berlangsung sampai 4 Januari 2014 memperingati hari jadi Kota Tanjungpinang ke 230 dan menyambut detik-detik pergantian tahun 2014. Usai acara karnaval perahu, lalu dilanjutkan dengan acara seni budaya yang dikemas dalam acara Semarak Tanjungpinang. Antara lain, akan diisi kegiatan penyalaan 230 lampu colok dan peragaan busana batik gonggong. Lalu dilanjutkan dengan Lentera Udara 2014, yang akan menerbangkan 5.000 lentera ke langit Tanjungpinang. Festival Sungai Carang yang pertama
halaman 54
kali ini, memang meriah dan melibatkan berbagai pihak. Mulai dari generasi muda sampai ke berbagai instansi termasuk Polri dan TNI yang selain akan mengawal dan mengamankan acara, juga ikut serta dalam atraksi. Seperti membentang spanduk besar Festival Sungai Carang dengan menggunakan helikopter, dan atraksi udara lainnya. Festival ini juga akan dimeriahkan dengan karnaval melukis sudut-sudut Sungai Carang dan Kota Tanjungpinang di atas kanvas 230 meter oleh 230 siswa, pembacaan gurindam XII oleh 230 siswa, serta bazar 23 jenis juadah dan kuliner melayu oleh warga 10 kampung Sungai Carang, pameran foto dan peninggalan lama, serta pawai alegoris kemenangan Raja Haji Fisabilillah oleh 230 mahasiswa se kota Tanjungpinang, serta pengibaran bendera perang RHF (Raja Haji Fisabilillah) di monumen RHF. Acara FSC ini, kata Rida harus menjadi ikon baru Kota Tanjungpinang khususnya, dan Kepulauan Riau umumnya dan harus menjadi tradisi tahunan menjelang hari jadi kota Tanjungpinang dan diharapkan makin lama makin baik pelaksanaannya, sehingga menjadi kalender wisata nasional dan internasional. Festival Sungai Carang 2014 merupakan keriuhan kedua, setelah keriuhan pertama yang berlangsung 341 tahun yang lalu. Saat itu, pada tahun 1672, Laksamana Johor Tun Abdul Jamil dititahkan untuk membangun sebuah negeri oleh Sultan Abdul Jalil Syah. Maka Tun Abdul Jamil pun berlayar hingga ke Bintan, dan membuka kesultanan baru di Sungai Carang. Tidak hanya sekadar membangun kesultanan, Tun Abdul Jamil juga berhasil menyulap hulu sungai yang semula lengang, menjadi bandar dagang yang membuat banyak kapal dagang dari segara penjuru berlabuh di sana. Saking
riuhnya bandar dagang tersebut, para pedagang menamai Sungai Carang sebagai ‘riuh’, hingga menjadi Riau yang dikenal sekarang. Sebelum pawai napak tilas sejarah dimulai, diperdengarkan gemuruh tabuh kompang oleh 230 siswa yang akan berbaris memanjang di atas Jembatan Engku Puteri. Lalu, sebagai tanda kehormatan, tetua adat dari Lembaga Adat Melayu menaburkan beras kunyit ke arah perahu yang sudah berbaris memanjang. Penaburan ini dilakukan di sela-sela 230 siswa menabuh kompang seraya membacakan barzanzi. Sementara di bawah jembatan, ada satu replika perahu perang bertipe penjajab bernamakan Bulang Linggi, yang memimpin pawai perahu hias 10 kampung yang berada di sepanjang hulu sungai Riau. Bulang Linggi sendiri merupakan penjajab perang yang digunakan Yang Dipertuan Muda IV Riau Lingga Raja Haji Fisabilillah untuk menumpas Belanda. Di belakangnya, beriring 10 perahu hias dari 10 kampung di sepanjang hulu sungai Riau. Tidak sekadar melintas, di atas kesepuluh perahu itu ada penabuhan kompang dan pembacaan barzanzi oleh 23 warga kampung. Bila dikalikan dengan jumlah perahu hias, maka serupa dengan usia Kota Tanjungpinang. Sepanjang pawai yang bermula dari dermaga Jembatan Engku Puteri sampai dermaga Pelabuhan Sri Bintan Pura, tetabuh kompang dan lelantun barzanzi itu tak putus-putus. Ini, seperti yang diceritakan Aswandi, merupakan rekontruksi sejarah. “Setiap perang, Raja Haji Fisabilillah selalu diiringi oleh pembacaan barzanzi,� kata Aswandi. Setelah deretan 10 perahu hias dari 10 kampung, disusul lagi rombongan pawai kedua yang berisikan 23 perahu hias dari
pihak-pihak pendukung festival. Uniknya, ke-23 perahu ini tidak hanya dihias dan beri nomor urut saja. Melainkan, juga dinamai dengan nama-nama tokoh berpengaruh dalam senarai sejarah panjang kesultanan Riau-Lingga. Seperti Raja Haji Fisabilillah, nama perahu Dispar Tanjungpinang, Sultan Mahmud Riayatsyah, milik Pemkab Lingga, Laksamana Tun Abdul Jamil milik Batam Pos, dan 20 perahu lain dengan nama berbeda-beda. Tidak cukup diberi nama, di bawah tulisannya juga dibubuhi riwayat singkat tokoh-tokoh tersebut. Lalu barisan pawai disusul dengan 1 buah perahu hias yang membawa 230 butir telur di atas 10 dulang pulut kuning. Dulang-dulang itu akan dikawal 44 mahasiswa yang manjadi simbol generasi muda yang akan membangun masa depan. Sedangkan pulut kuning, bagi masyarakat Melayu, adalah simbol harapan, doa, dan rasa syukur. Nantinya, sesampai di dermaga Sri Bintan Pura, kesepuluh dulang ini akan diserahkan kepada masing-masing perwakilan dari 10 kampung. Ini juga simbol harapan dan kesetiaan untuk bersama-sama menjaga nilai-nilai budaya dan situs sejarah yang ada di sepanjang hulu sungai Riau. Setiba di dermaga Sri Bintan Pura, rombongan Gubernur Sani dan petinggi negeri lainnya akan disambut dengan atraksi silat tradisional Melayu. Kemudian, rombongan itu akan diarak menuju Gedung Daerah dengan menyusuri barisan 230 bunga manggar yang dibawa oleh 230 siswa berbusana Melayu di sepanjang jalan menuju Gedung Daerah. Sementara itu, di Pelataran Anjung Cahaya, sudah digelar tiga iven sekaligus. Yakni, pameran foto dan peninggalan sejarah imperium Melayu Riau-Lingga yang ditaja Aswandi Syahri, pameran foto eksotisme
halaman 55
Sungai Carang yang ditaja Dispar Kepri, dan festival juadah tradisional Melayu, hasil olahan masyarakat 10 kampung di sepanjang hulu sungai Riau. Menjelang senja, ditampilkan suguhan megah di Gedung Daerah. Husnizar bersama tim kreatifnya menampilkan Tari Semah yang diadaptasi dari kisah percintaan Raja Jafar dan Tengku Buntat dalam novel Bulang Cahaya karya Rida K Liamsi. Pada suguhan ini, Husnizar menampilkan Eko Supriyanto, penari latar penyanyi Madonna, yang akan berperan sebagai Raja Jafar. “Konsep tariannya menarik,” kata Eko kepada Batam Pos. Usai isya, masyarakat Tanjungpinang disuguhkan panggung kesenian, pesta 230 lampu colok, dan parade batik gonggong di pelataran Anjung Cahaya yang ditaja Disparekraf Tanjungpinang. Kemudian massa akan diarak lagi menuju Gedung
halaman 56
Daerah. Di sana, juga akan ada panggung kesenian hingga detik-detik menjelang pergantian tahun. Sebagai puncak perayaan, Dispar Kepri sudah menyiapkan 5000 lentera yang akan dibagikan gratis kepada setiap pengunjung. Nantinya, ribuan lentera itu akan dilepas bersamaan dengan hitungan detik pergantian tahun. “Ini adalah iven hasil kerjasama Batam Pos Grup, Pemprov Kepri, dan Pemko Tanjungpinang. Jadi, dengan segala persiapan matang, dengan harapan akan selalu dikenang,” kata Kadis Pariwisata Kepri Guntur Sakti. Gubernur Kepri Muhammad Sani dan Wali Kota Tanjungpinang Lis Darmansyah, mendukung penuh kegiatan ini dan mengerahkan segenap jajarannya turun tangan, khususnya Dinas Pariwisata dan industri kreatif. *** (Tim Sagang.Red.)
Notasi
Joget Serampang Laut Arranger by Zuarman Ahmad
halaman 57
halaman 58
halaman 59
halaman 60
halaman 61
Obituari
Doktor Mak Yong itu pun Berpulang Oleh Dantje S Moeis
“Bang Dantje ya?” Begitu sapa seorang anak muda kala saya berpapasan dengannya di Taman Budaya Provinsi Riau, akhir-akhir tahun delapan puluhan. Sungguh tak dibuat-buat, saya samasekali lupa dan tak dapat mengingat siapa anak muda itu. Tampaknya dia paham bahwa saya tak dapat mengingat siapa dia “Saya Yatna bang, yang sering nongkrong di Cikajang tepatnya pelataran rumah makan ‘Gudeg Bu Citro’ tempat biasa juga abang
halaman 62
nongkrong dengan anakanak ‘Legos’ (Geng anak muda yang berpusat di Kebayoran-Baru Jakarta Selatan kala itu) di tahun-tahun enam sembilan dan tujuh puluhan.” Dan untuk lebih memperjelas, dia sebutkan beberapa nama pentolan “Legos” yang sangat akrab di ingatan saya. “Oh ya, maaf saya lupa, maklum, cukup banyak jumlahnya anak-anak muda yang bergabung di Legos kala itu.” Dan itulah awal perjumpaan saya dengan Yatna Yuana Sumardi di Riau ini.
Pertemuan demi pertemuan berlanjut dan lebih banyak pada konteks kepentingan sesama seniman dan pekerjaan pekerjaan kesenian, yang juga digeluti oleh Yatna di samping sebagai tenaga pengajar pada jurusan “Sendratasik” Universitas Islam Riau dan di Sekolah Tinggi Seni Riau, sejak ia menginjakkan kakinya di Riau ini dan hingga akhir khayatnya. Yatna berpulang ke rakhmatullah di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta, pukul 07.10 WIB tanggal 11 Januari 2014. “Selamat jalan adinda DR. Yatna Yuana Sumardi MPd. Semoga Allah menempatkan engkau di tempat yang sebaik-baiknya di sisiNya. Amin” dan itulah kata awal yang terucap dalam hati ketika menerima berita tentang kematiannya. Catatan yang terekam dalam benak saya tentang Yatna, bahwa ia adalah seorang yang berkemauan keras. Pendapat ini didasari dari perbualan-perbualan saya dengan Yatna bahwa ia selalu berorientasi pada keinginankeinginan untuk maju dan itu selalu dapat dia wujud-nyatakan. Terakhir, ketika saya mengucapkan selamat atas gelar akademik yang ia raih tak berapa lama menjelang “kepulangannya” kehadirat Illahi Rabbi. “Alhamdulillah bang, berhasil juga mantan anak geng menyandang gelar Doktor.” Sambil menggenggam erat jabattangan saya. Yatna Yuana Sumardi berhasil menyandang gelar doktor pendidikan setelah lulus ujian terbuka program doktor Ilmu Pendidikan, Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang (UNP), di Gedung
Serbaguna Fakultas Teknik UNP, (3/1/2013). Yatna yang Dosen tetap Universitas Islam Riau (UIR) itu berhak menyandang gelar doktor setelah berhasil mempertahankan disertasinya berjudul ”Nilai-nilai Pendidikan dalam Pertunjukan Topeng Mak Yong” dengan nilai sangat memuaskan. Yatna berhasil meyakinkan para dewan penguji terdiri dari Prof Dr Mukhaiyar, Prof Dr Gusril, Prof Dr Azwar Ananda, Prof Dr Abizar, Prof Jalius Jama, dan Prof Dr Daryusti. ”Dewan penguji sepakat Yatna lulus dengan yudisium sangat memuaskan. Dengan demikian, saudara Yatna sudah bisa menggunakan gelar doktor di depan namanya mulai saat ini,” ujar Prof Dr Mukhaiyar yang juga Direktur Program Pascasarjana UNP sambil menyerahkan ijazah tanda kelulusan ujian doktor. Yatna tampak tak kuasa menyembunyikan rasa harunya di hadapan sejumlah anggota keluarga dan karib kerabat. Yatna mengaku mengambil sampel atau studi kasus pada masyarakat Mantang Arang, Kecamatan Bintan Timur, Kepulauan Riau dalam disertasinya. Untuk dapat merampungkan disertasi tersebut, pria kelahiran Palembang tahun 1959 ini yang mengaku besar di Riau itu halaman 63
harus berkutat di lapangan untuk mengumpulkan semua data yang diperlukan. Lebih kurang tujuh bulan waktu harus dihabiskannya hanya untuk mendapatkan data-data saja. Selama tujuh bulan tersebut, dia harus berkutat langsung dengan kelompokkelompok Mak Yong di Mantang Arang. Selaku orang yang bergelut di dunia seni, tentu bukanlah hal berat bagi dia bersosialisasi dengan kelompok seni Mak Yong dan itulah salah satu perwujudan dari kemauan keras Yatna yang juga memberikan sumbangsih tak ternilai bagi dunia kesenian Melayu di Riau. Yatna yang akrab dengan sapaan “Bung” ini memang meninggalkan kesedihan bagi orang-orang yang pernah bersentuhan dengan dirinya. Aksi aktifnya dalam berbincang menjadi ciri khas yang sulit untuk dilupakan bagi teman-teman. Sebagaimana informasi sebelumnya, DR. Yatna Yuana Sumardi, MPd. yang merupakan salah seorang dosen di Universitas Islam Riau dan di Sekolah Tinggi Seni Riau, menderita penyakit liver. Sejak beberapa bulan yang lalu mengalami perawatan intensif di beberapa rumah sakit di Pekanbaru yang akhirnya atas pertimbangan keluarga dipindahkan ke rumahsakit Fatmawati Jakarta hingga akhir hayatnya. Sekali lagi “Selamat jalan buat Yatna Yuana Sumardi”, semoga amal ibadahmu diterima Allah dan segala dosamu diampuniNya. Amin.” ***
halaman 64
Dukacita
Pimpinan dan Karyawan
Menyampaikan kabar dukacita atas meninggalnya :
DR. Yatna Yuana Sumardi MPd. Akademisi Seni (1959-2014)
Di Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Pukul 07.10 WIB 11 Januari 2014.
Semoga Almarhum diterima di sisi Allah Swt dan keluarga yang ditinggalkan tabah menerima cobaan ini. Amin.
www.tokobuku171.com www.tokobuku171.com
www.tokobuku171.com
www.tokobuku171.com
“...Nyalakan Imajinasi dengan Membaca Buku...“
Kantor Pusat
Pusat Penjualan Pekanbaru
: Jl. HR Soebrantas Km 10,5 Panam, Pekanbaru - Riau
: Jl Inpress No. 2, Pekanbaru
Dumai
: Jl. Jend. Sudirman No. 201, Dumai - Riau Telp (0765) 439 171
Batam
: Gedung Graha Pena Batam Jl. Raya Batam Centre Teluk Jering, Batam Kota Kode Pos 29461 Telp Graha Pena (0778) 462 996
Tanjung Pinang
: Jln Di. Panjaitan Km 9, Plaza Bintan Centre Blok M No. 15, Tanjung Pinang Kepri Telp (0771) 7447039
Padang Sidempuan : Jl. Medan Merdeka, Depan SMAN 2 Padang Sidempuan Telp.081260012768 Bukit Tinggi
: Ramayana Bukit Tinggi - Lantai Dasar halaman lxv
halaman lxvi