Majalah Sagang Edisi186

Page 1

Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)

Mengenang Hasan Junus

- Si Penyeru Semangat

Catatan pendek dan Rampai Hasan Junus

- Dari Seberang Perbatasan oleh Hasan Junus

- Di Seberang Perbatasan (drama singkat) karya Hasan Junus

- Pujangga Hasan Junus dalam Kenangan oleh drh. Chaidir, MM

Esei Reading Society:

Sebuah Cara Membangun Kebudayaan Intelektualitas oleh Agung Yuli TH

Cerita-Pendek Terjemahan Hanya Buih Saja oleh Hernando Tellez Terjemahan dari bahasa Inggris oleh Yane Syifa Khairunissa Sajak

Irma Agryanti

Sajak Terjemahan

Walt Whitman Rehal

Masyarakat Sakit Zaman Modern

186-MARET 2014 www.majalahsagang.com

halaman h ha alla a ama ma m an K KULITi KU ULITi


halaman KULITii


Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 186 MARET 2014 tahun XVI

Hasan Junus (Alm) Lahir di Pulau Penyengat, 12 Januari 1941 dan meninggal di Pekanbaru 30 Maret 2012

Daftar Isi Bonjour Tristesse ...................................2 Mengenang Hasan Junus - Si Penyeru Semangat Catatan pendek dan Rampai Hasan Junus .....................................................7 - Dari Seberang Perbatasan ...................26 - Di Seberang Perbatasan (drama singkat) ................................... 31 - Pujangga Hasan Junus dalam Kenangan oleh drh. Chaidir, MM .......36 Esei Reading Society: Sebuah Cara Membangun Kebudayaan Intelektualitas oleh Agung Yuli TH .....39 Cerita-Pendek Terjemahan Hanya Buih Saja oleh Hernando Tellez Terjemahan dari bahasa Inggris oleh Yane Syifa Khairunissa ................42 Sajak Irma Agryanti ......................................49 Sajak Terjemahan Walt Whitman .....................................59 Rehal Masyarakat Sakit Zaman Modern .......62

Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Ngatenang Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Ilustrator Tetap: Purwanto Manager Keuangan: Sri Herliani. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


Tajuk

Bonjour Tristesse MENGENANG Haul SP (Seniman Perdana) Hasan Junus (12 Januari 1941 – 30 Maret 2012, sebagai salah-seorang sastrawan Nasional dari Riau dan Kepri, dan sebagai Pimpinan Redaksi Majalah Budaya Sagang selama lebih-kurang 13 tahun sebelum beliau meninggal-dunia, ada satu tulisan beliau yang berjudul Bonsoir Tristesse, yakni Selamat-malam Dukacita. Bonjour Tristesse, dalam tajuk ini mengambil judul novel Françoise Sagan yang beliau suka, yang berarti Selamat pagi dukacita. Bonjour Tristesse juga sebuah film yang disutradarai dan diproduksi oleh Otto Preminger, 1958, dari skenario Laurents Arthur berdasarkan novel sulung Françoise Sagan yang terbit 1954 oleh penerbit terkemuka Rene Julliard. Siapakah Françoise Sagan? Hasan Junus menulis di rubrik cakrawala Majalah Budaya Sagang, bahwa pengarang François Mauriac mengelu-elukan karya sulung Françoise Sagan di halaman muka surat-kabar Figaro di Paris dengan menggelari pengarang remaja 19 tahun itu sebagai ‘’charmant petit monstre’’ untuk mengatakan dia sebagai gergasi kecil yang menawan. Begitulah dari seorang gadis belia bernama Françoise Quoirez muncullah pengarang bernama Françoise Sagan. Semangat kemudaannya yang lepas bebas dan lama bertahan dan ciri-ciri kediriannya dan gaya yang enteng dalam lebih-kurang 30 karya yang berhasil dikarangnya. François Mitterrand sebelum dan sesudah menjadi Presiden Perancis ialah salahseorang teman pengarang ini selain dari teman-teman lainnya seperti pengarang Raymond Queneau, filsuf eksistensialis Jean-Paul Sartre, sutradara film Orson halaman 2

Welles, penyanyi Juliette Gréco, dan lainlain. Selanjutnya, Hasan Junus mengenalkan bahwa Françoise Sagan berteman dengan penyanyi Juliette Gréco yang sering dijuluki sebagai penyanyi eksistensialis karena kedekatannya dengan Raymond Queneau dan Jean-Paul Sartre. Juliette Greco menyanyi dari satu bar ke suatu bar, dari satu café ke suatu café di Paris yang dikenal sebagai bar dan café eksistensialis. Dengan Raymond Queneau dia punya himpunan nyanyian berjudul Si tu t’imagines, dan dengan JeanPaul Sartre Rue des Blancs-Manteaux. Bagaimanakah lagu-lagu dalam album yang berjudul Si tu t’imagines itu? Dalam dunia serba canggih sekarang ini dapat kita lihat dan didengar melalui apa yang disebut dengan istilah youtube, tulis saja Si tu t’imagines, Juliette Gréco. Dan karena itulah juga Hasan Junus menulis halnya Françoise Sagan seringkali dinyatakan bahkan ditahbiskan sebagai pengarang wanita muda yang sedikit banyak punya hubungan dengan sastrawan dan filsuf eksistensialisme. Dan, bagaimanakah kisah film dari novel Bonjour Tristesse Françoise Sagan itu? Untuk mengetahuinya dengan cara membaca hendaklah mendapatkan buku novel Françoise Sagan itu, namun dapat juga ditonton melalui film Bonjour Tristesse, yaitu tentang seorang ayah yang bernama Raymond (yang diperankan oleh David Niven) dan anak gadisnya yang bernama Cécile (yang diperankan oleh Jean Seberg), yang senantiasa mengejar gaya hidup mereka yang mewah, egois, tapi kosong. Selamat membaca dan menonton, Bonjour Tristesse, Selamat malam dukacita. *** Redaksi


Galeri Foto

empen dengan peringatan hari berpulangnya ke empena rakhmatullah sastrawan Hasan Junus (12 Januari 1941-30 rakhma Maret2012), majalah budaya “Sagang”, komunitas seni Maret2 “Pinang Merah”, yayasan “Sagang” dan seniman, baik secara pr pribadi maupun kelompok, berinisiatif mengadakan haul hari perpulangnya almarhum dengan mengadakan kegiatan bertajuk “Menyeru Semangat Seniman Riau, pementasan seni mengenang Hasan Junus”. Inti dari kegiatan yang diadakan pada hari Minggu 30 Maret 2014 ini, diisi dengan pembacaan surat Yasin, doa serta serta short-story reading karya almarhum yang dibacakan oleh sastrawan Jefri al Malay dan dilanjutkan dengan acara pentas musik, pembacaan puisi. Pada halaman ini kami muatkan beberapa foto acara haul tersebut (Foto Indra Maha/Pinang Merah).

halaman 3


halaman 4


halaman 5


halaman 6


Mengenang Hasan Junus

Hasan Junus

Pulau Penyengat, 12 Januari 1941 Pekanbaru 30 Maret 2012

Si Penyeru Semangat, Catatan pendek dan Rampai Hasan Junus halaman 7


ebelum ebelum, maupun sesudah kepergian Hasan Junus kepergi (selanjutnya disingkat HJ) (selanju menghadap yang maha kuasa, mengha (lahir di Pulau Penyengat, 12 Januari 1941meninggal di Pekanbaru, 30 Maret 2012). Cukup, atau sangatlah banyak komentarkomentar tentang karya-karya kreatif dalam bentuk tulisan yang tersebar di berbagai bentuk penerbitan, di dalam dan di luar negeri. Dari berbagai bentuk karya kreatif yang dilahirkan HJ. Karyanya yang rutin mengisi kolom harian pagi “Riau Pos” pada halaman budaya terbitan Ahad lah yang dia beri tajuk “Rampai” yang banyak mendapat komentar, atau menjadi topik bahasan pada pertemuanpertemuan peminat sastra/budaya baik formal maupun tak formal, tertulis maupun tak tertulis. Yang hampir kesemuanya mirip chorus gerejani yang berisi puji-pujian. Dari sekian komentar yang kami anggap lugas, tak berbasa-basi dan tak pula berbau “kampus sentris”. Sehingga dengan mudah dimamah dan dicerna oleh berbagai kalangan pembaca. Kami kutipkan komentar dari Harnata Simanjuntak seperti teks di bawah ini: “Rampai adalah oksigen bagi otakku. Setidaknya jika hendak mencoretkan sesuatu. Kebuntuan selalu berakhir di Rampai. Setelah membacanya, akan mengalir kembalilah inspirasi yang tadi mampet. Sungguh, kukagumi Hasan Junus. Beberapa kali kulihat wajahnya di koran terbitan Pekanbaru. Hm, inikah sosok yang menyemangati seorang Rida hingga menuntaskan novelnya? Aku tentu tak seberuntung itu, mengenalnya secara pribadi. Namun, tulisan-tulisan ‘sang pembaca’ yang sangat menggugah diterbitkan berkala di harian Riau Pos edisi ahad - hendak kuagih-agihkan, agar tergugah

halaman 8

jugalah engkau.... untukmu”. (oleh lambok harnata ranto tolopan at http://harnatasimanjuntak.blogspot.com) Pada majalah budaya “Sagang” nomor ini, untuk mengenang HJ yang juga pernah menjadi nakhoda majalah ini. Kami sebagai pelanjut pengelolaan media yang bertahan cukup lama dan menjadi satu-satunya media budaya yang terbit di luar luar pulau Jawa, ingin juga mengagih-agihkan (memberikan) seperti yang dikatakan Harnata Simanjuntak kepada para pembaca, beberapa karyakarya HJ semasa hidup, berupa esai-esei pendeknya (Rampai), terutama bagi yang belum berkesempatan membacanya setiap Ahad di harian pagi Riau Pos.(DaSMo. Red.03-14)

NIR ORANG Nama ‘’Cyberpunk” bermula dari sebuah fiksi yang terbit pada tahun 1982 karya Bruce Bethke. Tepatnya pengarang fiksi sains itu menggunakan kata ‘’cybernetics” untuk menyatakan tentang suatu jenis sains yang menggantikan tempat manusia sehingga kalau kita memakai pengamatan filsuf JeanFrançois Lyotard maka sosok makhluk-takmakhluk, manusia-tak-manusia, orang-takorang itulah barangkali yang diberi nama oleh Lyotard sebagai ‘’Inhumain” atau Nirorang. Sedangkan kata ‘’punk” dipadankan dari nama kelompok musik cacaphonous yang merupakan pelengkap pandangan hidup nihilistis di kalangan para pemuda di tahuntahun 1970 dan 1980-an kemarin. TAHUN 1984 diprediksikan oleh George Orwell dalam novelnya Nineteen Eighty– four sebagai tahun kegerunan mendalam


karena dunia kita ini sedang dikuasai oleh totalitarianisme yang buas ganas tak tanggung-tanggung dan tak kenal ampun. Akan tetapi pada tahun 1984 itulah pula terbitnya sebuah fiksi sains berjudul Neuromancer karya William Gibson yang merupakan punca gerakan atau aliran Cyberpunk. Gerakan atau aliran ini tentulah berakar di masa lampau yang jauh, puncanya mungkin saja dari mitologi Yunani, lalu tiba-tiba orang menyebutkan serangkaian fiksi karya Jules Verne (1828-1905) seperti Voyages extraodinaires – Cinq semaines en ballon (1863; ‘’Perjalanan istimewa – Lima Minggu dalam Balon”), Le Voyage au centre de la terre(1864; ‘’Perjalanan ke Pusat Bumi”), De la Terre à la Lune (1865; ‘’Dari Bumi ke Bulan”), Vingt Mille Lieues sous les mers (1870; ‘’Dua Puluh Ribu Kaki di Bawah Laut”), dan lainnya. Karyakarya fiksi sains yang digolongkan klasik di Perancis itu dapat disandingkan dengan masakini seperti Dark Carnival (1947) dan The Martian Chronicles (1950; dibuat film 1966) oleh Ray Bradbury di Amerika Serikat. Meskipun pencetus gerakan ini seorang pengarang bernama Bruce Bethke dan pemimpin ‘’Cyberpunk” dipercayakan kepada pengarang lain yang bernama William Neuromancer Gibson, ada seorang tokoh penting lainnya yang memutar roda gerakan ini. Ia seorang editor fiksi sains yang sangat terkenal sekali dan namanya ialah Gardner Dozois. Maka tiga serangkai inilah, BethkeGibson-Dozois, paling diperhitungkan dalam melahirkan serangkaian karyakarya yang tokoh utamanya ialah Nirorang. Sedangkan para anggota gerakan atau aliran Cyberpunk lapisan pertama terdiri dari para penulis fiksi sains seperti Samuel R Delany, Bruce Sterling, John Shirley dan Rudy Rucker.

Di dalam ruang dan tempat yang artifisial diperlukan bahasa yang artifisial. Bukan seperti bahasa Esperanto yang dicipta oleh Lejzer Ludwik Zamenhof (1859-1917) untuk mempersatukan orang-orang dari golongan tertentu, tapi semacam bahasa Klingon yang dituturkan oleh para alien yang entah berasal dari planet mana di ruang angkasa dan dapat Anda saksikan dalam film-film tentang semacam Star Trek atau Perang Bintang. Kalau sesosok alien berdepan dengan Anda dan hendak mengatakan, ‘’Menyerahlah kau atau mati?” ia atau dia akan mengucapkan, ‘’blejeghbe’chugh vaj blHegh.” Untuk bertanya, ‘’Di mana restoran yang bagus?” menjadi, ‘’nuqDaq ‘oH Qe’ QaQaq’e.” ‘’Aku tak mengerti” dalam bahasa Klingon ialah ‘’jlyajbe.” ‘’Anda bisa berbahasa Klingon?” sama dengan ‘’Hol Dajatlh’a’.” ‘’Aku pening” yaitu ‘’jlwuQ.” ‘’Di mana kamar mandi?” yaitu ‘’nuqDaq ‘oH puchpa”e.” Saya tak pernah belajar bahasa Klingon. Berani sumpah! Saya hanya membacanya dalam majalah berita TIME bertanggal 5 April 1993. Bahasa Klingon yang digunakan oleh para alien ini semangat penciptaannya dapat dibandingkan dengan bahasa yang muncul di bumi ini setelah revolusi informasi yang dahsyat habis-habisan. Hal ini karena mungkin sekali kebudayaan makhluk angkasa luar itu melangkah dimulai dari teknologi informasi dengan seperti yang kita alami di zaman serba cyber sekarang ini. Keadaan ruang yang sebenarnya bukan ruang dalam pengertian yang konvensional, waktu yang juga bukan waktu yang konvensional, memerlukan ‘’inhumain” yaitu Nir-orang yaitu manusia yang bukan manusia seutuhnya sebagaimana dikenal dalam pengertian yang konvensional, pada gilirannya Nir-orang itu memerlukan bahasa yang juga bukan bahasa yang konvensional.

halaman 9


Jadi keadaan ekstrim seperti ini dapat dipahami dengan mengikuti perkembangan teknologi informasi yang sekarang ini. Kehidupan yang artifisial pada gilirannya memang akan menghasilkan kecerdasan artifisial @Artilect yang tak lain dari Artificial Intelect. Akan tetapi keseragaman yang menjadi ciri alam cyber juga menghadapai tantangan. Sama benar halnya kekhawatiran JeanFrançois Lyotard sekitar tahun 1990 dengan kekhawatiran Karel apek dalam karya monumentalnya Válka s mloky (1936; ‘’Perang dengan Biawak”). Pada mulanya ialah kata. Dan kata-kata kemudian yang membentuk diri menjadi bahasa. Kapten J van Toch dengan kapalnya ‘’Kandong Bandoeng” di suatu kawasan sebelah Barat Pulau Sumatra mengajarkan kepada biawak-biawak bahasa manusia yang kemudian meningkat dengan pengetahuan teknologi sehingga selangkah demi selangkah para biawak menjajah dan nyaris mengalahkan manusia. Keadaan hampir dikalahkan oleh bangsa biawak inilahyang kemudian mempersatukan manusia dan melawan penjajahan totaliter yang dilakukan oleh makhluk yang berhasil mengadopsi bahasa dan teknologi. Seperti itulah kira-kira dan kurang lebih atau lebih kurang keadaan orang-orang di sekitar kita pada masa depan yang sudah dimulai sekarang berhadapan dengan kelompok baru yang samasekali baru karena belum ada contoh dalam sejarah pada masa lalu, yaitu kelompok nir-orang yang dibina dari pencapaian terakhir teknologi informasi. Sama halnya dengan para biawak dalam gambaran Karel apek begitu pula dengan para nir-orang yang diteropong oleh Jean-François Lyotard, hendaklah kita ketahui sejak awal dan seterusnya bahwa manusia mempunyai suatu andalan yang bernama bahasa. Bahasa

halaman 10

yang dikuasai para makhluk cerdas yang telah mengembangkan teknologi bernama biawak dan bahasa cyber yang dipakai oleh orang-tak-orang yang adalah nir-orang pasti akan berhadapan dengan bahasa manusia yang memadukan hati dan pikiran. Tugas manusia, baik ketika berhadapan dengan makhluk seperti biawak maupun dengan para nir-orang ialah terus membina bahasa sebagai karya terbesar manusia yang merupakan paduan sebati dari hasil perahan pikiran dan hati, dan sudah tertulis di lauhul mahfuz ditentukan sebagai pemenang pada akhir pertembungan besar antara manusia dengan manusia yang tercuri miliknya atau antara manusia dengan yang bukan manusia sejati. Bahasa dapat saja diarahkan untuk membangun teknologi infomasi yang selalu hambar dan kering, tapi bahasa dapat melahirkan sastra, terutama puisi, yang memang tugasnya menyiram kekeringan itu. Di Riau ada sesuatu yang unik karena orang yang tahu berbahasa biasa mengungkapkan pikiran dan perasaan sebagai ‘’pikir hati”. ***

ERENDIRA Eréndira tak menghiraukan lelaki itu. Dia mendedas berlari ke arah angin, lebih laju dari rusa, dan tak suatu suarapun di dunia ini dapat menghentikannya. Tanpa menoleh dia mencapai ke batas tempat sains alam kelautan berakhir dan gurun pun bermula, namun dia terus berlari dalam hujan panas jarum-jarum emas matahari terbenam yang tak pernah terbenam dan tiada terdengar lagi suara malapetaka yang menandai kehidupannya. DEMIKIANLAH cerita ‘’Eréndira Tak Berdosa dengan Nenek Tak Berhati’’


karya Gabriel García Márquez ditutup. Dengan penutup seperti itu berarti si perempuan malang bernama Eréndira itupun terbebaskan. Si nenek berhasil mempertahankan status quo dengan hidupnya yang nyaman dan harmonis dengan mendapat penghasilan tetap. Caranya ialah dengan menjadikan Eréndira seorang pelacur untuk dapat mengganti rumahnya yang terbakar karena kesalahan cucunya itu. Agar impas maka lamanya Eréndira harus menjadi pelacur itu tak tanggung-tanggung yaitu 8 tahun 7 bulan dan 11 hari lamanya. Setelah itu Eréndira pun bebas. Bebas? Pengarang dari Republik Kolombia Gabriel García Márquez berasal dari seorang wartawan. Artinya bagi orang ini segala aktualitas dunia sudah biasa tercerna di dalam pikirannya. Ketika ia kemudian memilih menjadi sastrawan sampai berhasil meraih Hadiah Nobel bidang kesusastraan tahun 1982 ia sudah terbiasa dengan segala aktualitas dunia yang sekarang juga harus dicernakannya juga dengan hati bukan dengan pikiran saja. Dengan hati dan pikiranlah ia menemukan aliran seni realisme magis yang menjadi tiara karya-karyanya. Pilihannya terhadap aliran itu merupakan pilihan individual dan sekaligus kolektif. Sebab sebelum ia menyentuh aliran itu dalam karya-karyanya sudah banyak sastrawan Amerika Latin yang memanfaatkannya. Akan tetapi baru di tangan García Márquezlah aliran itu dapat mencapai sosok yang sempurna. Kisah dibuka ketika berhembusnya angin malapetaka yang barangkali berasal dari neraka. Waktu itu Erendira berusia 14 tahun. Dia sedang memandikan neneknya yang tersergam besar seperti ikan paus yang tampan di dalam bak mandi. Márquez

selalu

berkisah

tentang

Macondo atau tempat semacam itu yakni suatu kawasan yang sangat tenteram dan amat harmonis sebagaimana yang selalu dilukiskan oleh para seniman tradisionalis. Mereka menginginkan tempat damai itu tak tersentuh oleh waktu yang bergerak terbang. ‘’Tegakkan tugu atau prasasti dan pahatkan angka tahun kini yang abadi,’’ begitu kira-kira sang pemimpin berkata. Gerakan sang waktu dan bergeraknya sang waktu berarti terjadinya disharmoni dan kekacauan. Kamus harus berhenti ditambah dengan kata-kata baru, tak boleh muncul kata-kata yang membuat sebuah kamus masih bergerak. Setelah waktu dan kamus benar-benar berhenti barulah penduduk Macondo atau apapun namanya merasa hidup mereka tenteram. Bukanlah tenteram dan harmonis ialah cita-cita atau dambaan tertinggi kaum tradisionalis? Bagi mereka konflik tak boleh ada. Padahal tanpa konflik jangankan sejarah, cerita saja tak jalan. Jangan sekali-kali berbicara dengan mereka tentang dialektika dan dinamisme. ‘’Syaksyikanlah bahwa itu syemua hanya omong kosyong!’’ Bagi mereka barangkali tak pernah ada bunyi atau huruf s yang semuanya mereka ganti dengan sy supaya berbeda dengan kita dan semua orang. Mereka memakai pakaian model warisan nenek moyang pada setiap hari kerja sehingga sulit sekali bagi orang miskin yang tak punya mobil tapi cuma punya sepeda. Mereka lupa bahwa setiap masa mempunyai ciri yang tak pernah sama dengan masa lain. Karena itu kita yang hidup di sini dan kini tak usah dan tak perlu mengikuti atau meniru nenek moyang kita yang hidup di situ dan dulu. Bahkan kelak anak cucu kita mempunyai kehidupan sendiri yang berbeda dengan kita. Eréndira menjalani hidup sebagai pelacur untuk memenuhi kehendak si nenek agar rumahnya yang terbakar, hartanya yang halaman 11


lesap, dapat kembali lagi. Dan dia menjalani pekerjaannya itu sambil berdendang dan berpikir bahwa dia hidup di sini dan kini, bukan di situ dan dulu dan di sana dan lusa. Apa yang dipikirnya itulah yang disenandungkannya dengan semangat tinggi. Dari kawasan Riohacha para saudagar berdatangan membawa bermacam ensiklopedia dan bermacam buku-buku pengobatan untuk dijual. Agar tidak menjadi keledai yang membawa buku-buku, orang-orang berupaya membaca bukubuku yang menjadi beban si keledai setiap hari. Eréndira menyaksikan Rafael Escalona bercerita tentang kisah anak manusia sampai ketika badai yang dahsyat menurunkan tabir kehidupan orang. Suatu hari tak ada Rafael Escalona, tak Hasan Junus (alm) dan Mostamir di Paris. foto red terdengar suara dendang melantunkan cerita dari kisah yang disenandungkan Rafael. Tidak rumahnya. Tak ada lagi mengapa! Begitulah hidup. Begitulah balada-balada disenandungkan dari atas tukang cerita. Begitu pula tukang dendang kudanya yang mungkin bernama Rosinante yang senantiasa mendatangkan keriangan keturunan sah dari kuda Don Quijite de la dalam hidup ini. Sepilu apakah kisah yang Mancha. Seorang perempuan tua yang alim, didendangkan tetaplah itu membawa riang seorang gadis centil keletah, seorang lelaki dan bahagia. tua tukang besi datang dan berbisik ke telinga Suami si nenek, Amadís, ialah seorang Eréndira dengan takut-takut mengatakan penyeludup legendaris. Mereka punya anak bahwa Rafael Escalona telah mati. Namun lelaki yang dinamakan Amadís, ayah Eréndira. cerita-ceritanya masih dikisahkan orangKedua Amadís itu mati, yang seorang karena orang lain. Memang sedikit berbeda dengan halaman 12


demam melankoli, yang satu lagi dihantam peluru karena memperebutkan perempuan. Amadís yang mana kena demam dan mana kena peluru tak seorangpun yang tahu. Lalu si nenek menguburkan kedua Amadís itu di halaman rumahnya agar setiap memandang kubur mereka dia terus terkenang kepada suami dan anaknya. Tanpa kebencian berapi-api Eréndira bersiap untuk menyingkirkan neneknya dari kehidupan ini. Mengapa? Karena orang harus hidup dan meneruskan kehidupan dengan cara yang baru. Bukan dengan memakai tata tertib lama seperti yang diamalkan si nenek tapi dengan tata tertib baru yang hendak diamalkan oleh Eréndira dengan mata terbelalak dan suara lepas bersipongang di dinding lembah. Kehidupan masa kini yang akan dijalankannya tidak lagi mengenal keadaan sentimen tragis kehidupan, tidak lagi dengan lagu riang menyenangkan dan menggirangkan hati. Juga tiada lagi sisi hodoh atau buruknya manusia. Tiada pula sisi tak berdosanya makhluk manusia. Tidak juga cinta berpesona dapat menundukkan kekuatan jahat. Semua itu sudah tak ada lagi. Sudah hangus jadi debu, terlupakan dan tiada lagi dapat serap dalam ingatan. Jadi rupa dan sosok hidup yang bagaimana yang datang sekarang? Eréndira ialah manusia masa kini. Dia hidup di sini. Karena itu sosok dan rupa hidup yang akan dijalaninya tak sama dengan punya si nenek. ‘’Mari berhidup!’’ ajaknya. ***

Bonsoir tristesse! Suatu pagi beberapa hari yang lalu, Bung Sudjatie, pengelola Pusat Dokumentasi dan Perpustakaan Riau Pos melambai ketika lewat di depan pintu Sagang. ‘’Ada Label France, pak. Sudah lama tak datang. Menumpuk!’’ Dengan riang saya menjemput ke sebelah (perpustakaan itu bersebelahan dengan Sagang). Dalam Label France No 57 1st rubrik Literature ada semacam obituari atas meninggalnya pengarang Perancis Françoise Sagan. Karena itu tak salah kalau ada orang yang menyambut kabar duka itu dengan berseru, ‘’Bonsoir tristesse!’’ artinya ‘’Selamat malam dukacita!’’ Mengapa begitu? Sebabnya ialah roman sulung karya Françoise Sagan yang terbit ketika pengarangnya baru berusia 19 tahun diberi judul oleh pengarang yang baru saja dewasa itu ‘’Bonjour tristesse!’’ yaitu ‘’Selamat pagi dukacita!’’ FRANÇOISE Sagan meninggal-dunia pada 24 September 2004 pada usia 69 tahun. Pada tahun 1954 karya sulungnya mengejutkan Paris, Eropa, dan dunia yang membaca sekaligus memecut nama pengarangnya ke cakrawala kesusastraan. Ensiklopedia Sastra Dunia yang saya miliki semuanya bertahun di bawah 2004 sehingga tak mendapat berita tentang kematian Françoise Sagan. Dia dilahirkan di Cajarc, kawasan Lot, baratdaya Perancis 21 Juni 1935 sebagai Françoise Quoirez. Ayahnya seorang usahawan yang pindah ke Lyon lalu ke Paris ketika Françoise baru berusia 10 tahun. Di ibukota Perancis itu Françoise Quoirez memasuki universitas dengan memilih belajar di Sorbonne. Juli 1953 dia gagal ujian kenaikan tingkat, tapi kegagalan itu menyebabkan lahirnya seorang pengarang remaja. Musim panas ketika itu. Karena tidak lagi

halaman 13


mengikuti kuliah, gadis itu mengucilkan diri di rumahnya sambil menyiapkan sebuah roman selama 32 hari. Dia mengetik dengan dua jari yang menari-nari lincah. Ketika roman itu akan diterbitkan pengarangnya tetap memakai nama kecilnya Françoise dan mengganti nama keluarganya Quoirez menjadi Sagan. Nama Sagan itu diambilnya dari nama Puteri Sagan dalam roman karya Marcel Proust (1871-1922) yang terkenal À la recherche du Temps perdu (‘’Mengingati Waktu yang Lalu’’). Dari tokoh dalam karya Marcel Proust nama Sagan barangkali mengandung tuah sebab segera pengarang belia itu terkenal berkat karya sulungnya yang mengucapkan selamat pagi kepada dukacita. Françoise Sagan berteman dengan penyanyi Juliette Gréco yang sering dijuluki sebagai penyanyi eksistensialis karena kedekatannya dengan Raymond Queneau dan Jean-Paul Sartre. Juliette Greco menyanyi dari satu bar ke suatu bar, dari satu café ke suatu café di Paris yang dikenal sebagai bar dan café eksistensialis. Dengan Raymond Queneau dia punya himpunan nyanyian berjudul Si tu t’imagines, dan dengan Jean-Paul Sartre Rue des Blancs-Manteaux. Dengan demikian Juliette Greco sering dinyatakan sebagai penyanyi eksistensialis. Demikian juga halnya dengan Françoise Sagan seringkali dinyatakan bahkan ditahbiskan sebagai pengarang wanita muda yang sedikit banyak punya hubungan dengan sastrawan dan filsuf eksistensialisme. Sebagai pengarang wanita yang juga menulis repertoir drama Françoise Sagan dikenal oleh Ariane Mnouchkine tokoh teater wanita yang mengelola Théâtre du Soleil di Paris. Kalau Ariane Mnouchkine mengenal karya-karya pentas Françoise Sagan berjudul Château de Suède (1960; ‘’Puri di Swedia’’) dan L’Excès contraire (1987; ‘’Oposisi terdahsyat’’) maka Françoise Sagan barangkali sangat halaman 14

mengetahui ucapan tokoh teater masakini Perancis Ariane Mnouchkine yang seringkali diulang-ulangnya yaitu (dalam terjemahan bahasa Inggeris di Label France 4th QUARTER 2005 halaman 14): ‘’I am in the present and only the present matters to me.’’ Karena itulah salah-satu panduan bagi orang yang mengamalkan filsafat eksistensialisme seringkali dinyatakan dengan ungkapan orang Itali niente domani yaitu ‘’tak ada hari esok’’ karena esok berarti hari kita diantar ke kubur. Baik diketahui bahwa langkah pertama menjadi penganut eksistensialisme ialah menyingkirkan sejauh-jauhnya amalan tradisionalisme dalam karya seni dan filsafat. Jadi dua amalan filsafat dan estetik di antara sekian banyak yang sangat keras menolak tradisionalisme ialah eksistensialisme dan futurisme. Bagi saya dan barangkali juga bagi banyak orang yang mengenalnya Françoise Sagan bukanlah pengarang perempuan berusia 69 tahun yang sudah meninggal-dunia pada 24 September 2004 tapi seorang gadis belia berusia 19 tahun yang baru menyelesaikan karya sulungnya setelah 32 hari mengarang. Akan tetapi sejak pagi-pagi dia sudah mengucapkan selamat pagi kepada dukacita. Karyanya Bonjour tristesse secara sangat tepat melukiskan semangat zamannya yang dipenuhi oleh rasa putus-asa dan ketiadaan harapan. Dengan kedua jari telunjuk kiri dan kanan gadis 18 tahun itu menarikan jari-jarinya di atas tuts mesin-tik, karena pada tahun 1950an untuk mengarang orang belum memakai komputer. Karya sudah rampung namun harus menunggu sebentar dan diterbitkan setelah pengarangnya berusia 19 tahun. Si pencerita dalam Bonjour trristesse ialah seorang gadis berusia 17 tahun. Bersama bapanya dan perempuan simpanan si bapa


yang agak kasar dan kurang adab @ mal èlevè, mereka itu pergi berlibur di kawasan pantai Laut Tengah yang hangat. Kemudian datang pula mantan simpanan si bapa yang anggun dan beradab, terjadi pertentangan di antara kedua wanita. Mantan perempuan simpanan itu meninggal-dunia karena kecelakaan lalulintas, padahal sebenarnya dia mati karena membunuh-diri. Lalu musim-gugur pun tiba dan orang-orang akan pulang ke ibukota serta berakhirlah sebuah kisah cinta di musim-panas yang penuh dukacita, Bonjour tristesse! Selamat pagi, dukacita! Dalam roman yang berkerangka bentuk klasik ini ada ungkapan amoralisme, rasa bosan yang teramat sangat pada kehidupan dan dunia sampai-sampai membangkitkan rasa loya mau muntah tak tertahankan, watak dan tokoh yang hidup dalam kesepian yang berbunyi nyaring, waktu merangkak lamban dicengkam dan dicengkeram oleh kebosanan dan kesunyian, dunia yang seperti apapun harus diisi dengan mendapatkan nikmat hidup, setiap orang lain harus diperalat untuk memeras kenikmatan itu, pikiran yang memperlihatkan pengaruh awal JeanPaul Sartre dan Simone de Beauvoir, semua yang diajarkan eksistensialisme tersedia di dalam karya itu, Françoise Sagan dalam usia sebegitu muda telah menghidangkan suatu sisi relita yang sangat keras dan tak mengenal kompromi sedikitpun. Sastrawan dan kritikus sastra Perancis termasuk François Mauriac seperti berebut tempat mengelu-elukan karya sulung Françoise Sagan itu.. Koran-koran Paris hampir semuanya memuat sorak semarak Bonjour tristesse! Karena itu kita tidaklah terlalu perlu mengucapkan Bonsoir tristesse! untuk menanggapi kematian pengarang yang bernama Françoise Sagan itu. Kematian yang bukan kematian, samasekali bukan.***

Bibi Komala Kalau Anda sampai ke India, sempat melihat Taj Mahal dan mengunjungi makam Akbar, singgah jugalah ke desa Kako di Bihar, karena ada suatu kubur yang sangatlah istimewa di situ. Istimewa? Istimewanya ialah itu kubur seorang yang dianggap suci, sebangsa wali atau orang keramat. Biasanya wali keramat itu seorang lelaki tapi Bîbî Kamâlo yang empunya kubur di Kako, Bihar, sejak abad ke-14 ini seorang perempuan. Saya tak pernah sampai menjejakkan kaki di India tapi karena baru-baru ini mendapat kiriman sebuah buku setebal 588 halaman dari École française d’Extrême-Orient hasil kumpulan Henri Chambert-Loir dan Claude Guillot ‘’Ziarah dan Wali di Dunia Islam’’ saya menjadi tertarik pada tokoh wali keramat perempuan ini seperti tertariknya saya kepada Syaripah Syuhada dan seorang wali keramat di Penyengat dalam buku kumpulan ‘’Cakap-cakap Rampai-rampai Bahasa Melayu Johor’’ karya Haji Ibrahim tahun 1868. BARANGKALI nama-nama seperti Bîbî Kamâlo di Kako dan Syaripah di sebuah pulau di kawasan Riau, seorang keramat keturunan Arab di Penyengat, orang gila tak dimakan api di Senggarang akan saya tuliskan dengan senafas atau sambil satu kali bernafas dalam novel yang tak juga selesai. Kalau tokoh perempuan yang hanyut dari pantai utara Pulau Jawa ke Riau lalu jatuh hanyut di laut Riau dan tersadai telanjang bulat berbungkus daun di sebuah pulau itu berasal dari tulisan Haji Ibrahim, tokoh Bibi Kamâlo saya dapatkan dari tulisan Catherine Champion ‘’Wali Perempuan di India – Bibi Kamâlo di Kako’’ dari halaman 261 sampai 267 dalam buku Ziarah dan Wali di Dunia Islam hasil kumpulan Henri Chambert-Loir & Claude Guillot terbitan bersama Serambi

halaman 15


& École française d’Extrême-Orient & Forum Jakarta-Paris & Jakarta 2007. Bîbî Kamâlo rajin dan tunak beribadat, tapi dia juga seorang yang suka membangkang dan juga dikenal sebagai seorang tukang sihir yang hebat. Pada kata ‘’tukang sihir’’ ini kita berhenti sejenak. Karena perempuan ini seorang muslimah yang sangat taat, baiklah kata ‘’tukang sihir’’ diartikan sebagai seorang yang bisa mengobat orang-orang sakit secara gaib. Le Petit Larouse Illustré 1993 halaman 1183 mencatat bahwa Bihar ialah suatu negara bagian India seluas 174 000 kilometer persegi, berpenduduk 69 823 000 jiwa, dengan ibukota Patnâ. Keterangan Catherine Champion tentang Bihar ialah bahwa agama Islam masuk ke kawasan itu pada akhir abad ke-12 dan sekarang jumlah penganut agama itu sebanyak 14% dari jumlah penduduk. Enam tariqat besar Islam yang dikenal di kawasan ini ialah Firdausiyah, Suhrawardiyah, Chistiyah, Qâdiriyah, Shattâriyah, dan Madâriyah. Di antara kubur keramat para wali yang bertebaran di sekotah Bihar itu ada pula kubur keramat Bîbî Kamâlo yang terletak di desa Kalo, distrik Jahanabad.. Orang-orang bersalut mistis seringkali menyakitkan hati kebanyakan orang dan orang kebanyakan. Konon suami Bîbî Kamâlo bosan dengan isterinya yang terlalu saleh, lalu pada suatu malam meninggalkannya dengan diam-diam. Namun setiap kali si suami tiba di ujung jalan, ternyata ia berada di samping ranjang suaminya. Demikian terjadi sekian kali sehingga suami ingin lari itu berkesimpulan Bîbî Kamâlo memang seorang perempuan dan isteri yang sakti sehingga suami itupun mengalah. Wali keramat perempuan ini berasal dari keturunan sederetan panjang sufi-sufi

halaman 16

Bihari terkenal sebagai pengamal tariqat Suhrawardiyah dan Firdausiyah. Dari garis ayahnya dia berasal dari pakar ilmu qalam Jerusalem Tâl Faqîh yang datang menyebarkan agama Islam ke India tahun 1180. Sedangkan garis ibunya membabit kadi-kadi penyebar Islam dari Turkestan di Bihar pada abad ke-13. Cerita lain tentang Bîbî Kamâlo ialah mirip dengan cerita Haji Ibrahim dalam bukunya Cakap-cakap Rampai-rampai Bahasa Melayu Johor (huruf Arab, Percetakan Gubernemen Batavia, 1868) tentang orang gila tak dimakan api yang kononnya terjadi di Senggarang atau Seberang (dari Pulau Penyengat). Bukankah para wali keramat sering dipandang oleh anggota masyarakat sebagai orang yang intimewa, genius, dan kadang-kadang mungkin gila? Ketika api mendekati rumahnya, Bîbî Kamâlo tetap dan terus saja tidur. Dan begitu api sudah sangat mendekati rumahnya kebakaran itu lenyap dengan menakjubkan. Konon dari peristiwa inilah munculnya ungkapan orang Kako yang berbunyi, ‘’Sekotah Kako terbakar, tetapi Bîbî îKamâlo tidur nyenyak.’’ Begitulah bunyi sindiran terhadap seorang wali keramat perempuan dilantunkan berbancuh dengan kekaguman yang jujur. Kalau Anda berziarah ke kubur Bîbî Kamâlo sambil berobat penyakit gaib Anda akan disuruh melakukan ritual khusus, mula-mula ditanya hal-hal semacam ini: ‘’Siapa Anda? Agama Hindu atau Islam? Anda jin? Atau kirat (semacam hantu kubur), atau dev (yaitu iblis), atau devî (roh gadis yang meninggal sebelum kawin), atau curail (perempuan yang meninggal sebelum melahirkan), atau bhût (roh orang yang mati sebelum waktu kematiannya), atau pari (yaitu semacam peri). Apakah Anda roh petapa Hindu yang mati tak wajar? Tinggal di mana? Mengapa kau mengganggu


orang ini? Mau apa Anda? Apa yang harus kami lakukan agar Anda pergi?’’ Tempat kuburan keramat Bîbî Kamâlo di tempat ketinggian itu ialah sebuah situs suci agama sebelumnya. Ada tersebar legenda bahwa tempat itu dulu digunakan untuk praktek religius lokal Hindu membabit nama Dasaratha dalam epos Ramayana. Konon danau yang ada di bawah sengaja dibuat oleh isteri sang raja yang bernama Kaikeyi. Selain dari Hindu tempat itu juga membabit Buddhisme karena seorang arkeolog menemukan sebuah arca Buddha yang memperlihatkan bahwa di situ dulu ada sebuah biara. Bîbî Kamâlo berupaya keras mempertahankan tempat itu sebagai kawasan suci Islam. Ketua umat Buddha bernama Kanaka merasa terganggu oleh kehadiran wali keramat perempuan itu. Ia pun mencari akal agar dia pergi dari kawasan tersebut. Lalu diantarnya persembahan yang khas kepada Bîbî Kamâlo yang terdiri dari daging tikus. Ajaibnya ketika perempuan wali keramat itu hendak menyantap makanan itu tikus-tikus hidangan itu tiba-tiba hidup. Lalu Bîbî Kamâlo melepaskan kutukan kepada ketua umat Buddha itu dengan pengikut dan keturunannya. Tak lama setelah kejadian itu raja dan keturunannya dibunuh oleh para penduduk yang adalah rakyatnya sendiri. Ketertarikan Anda dan/atau saya kepada Bîbî Kamâlo boleh kita tingkatkan sampai setinggi-tingginya sehingga mungkin kita menjadikan perempuan wali keramat itu sebagai salah-seorang tokoh utama atau tak-utama dalam sebuah karya sastra, entah dari genre apapun. Dengan semangat postmodernisme yang menggebu-gebu kita berdua mengajak para pengarang di sini mengisi luang dan ruang yang ada dalam mengisi gelanggang kesusastraan yang

tersedia bagi kita. Bîbî Kamâlo mungkin berteman atau bertengkar dengan Syaripah karena mereka bertemu di Singapura. Mereka berdua sama-sama mandi air sulung di dua perigi suluk di belakang mesjid Pulau Penyengat. ***

JEMBATAN Terjemahan ialah jembatan. Penerbit Balai Poestaka di Batavia yang juga menerbitkan karya-karya terjemahan seperti membuat jembatan yang menghubungkan suatu kebudayaan dengan kebudayaan lain. Dalam rentang masa selama 82 tahun kehidupannya Nur Sutan Iskandar telah berbuat banyak kepada kesusastraan Indonesia. Ia lahir di Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat pada tanggal 3 November 1893 dan meninggal-dunia di Jakarta 28 November 1975. Selain menghasilkan sederetan karya sastra dalam bentuk roman @ novel di antaranya ‘’Salah Pilih’’ (1928), Hulubalang Raja (1934), ‘’Katak Hendak Jadi Lembu’’, ‘’Neraka Dunia’’ (1937), ‘’Cinta Tanah Air’’ (1944), ‘’Cerita Tiga Ekor Kucing’’ (1954) ia juga menerjemahkan karya-karya asing, termasuk beberapa karya pengarang Perancis tersohor Alexandre Dumas (1802-1870) yang terdiri dari ‘’Tiga Panglima Perang’’, ‘’Dua Puluh Tahun Kemudian’’ dan ‘’Graaf de Monte Cristo’’. Akan tetapi ada dua orang yang menyandang nama Alexandre Dumas yaitu Alexandre Dumas sang Ayah (lahir di Villiers-Cotterêts di Aisne 24 Juli 1802 – meninggal di Puys dekat Dieppe 5 Desember 1870). Sedangkan Alexandre Dumas sang Anak (lahir di Paris 27 Juli 1824 – meninggal di Marly-le-Roi 27 November 1895).

halaman 17


44-45 dengan judul ‘’Alexandre the Magnificent’’ menyatakan tentang empat panglima sastra Perancis yaitu sebagaimana dikatakannya, ‘’Seandainya Balzac ialah dunia, Stendhal inteleknya, Hugo inspirasi dan Dumas (sang Ayah) ialah tubuhnya.’’ Honore de Balzac, Stendhal, Victor Hugo dan Alexandre Dumas memang sangat tepat apabila diumpamakan sebagai empat pahlawan sastra Perancis seperti halnya tiga pengawal raja Perancis dalam Tiga Panglima Perang karya Alexandre Dumas (sang Ayah) yang terdiri dari Athos, Porthos, Aramis, dan ditambah satu anak muda pendatang baru yang berasal dari kawasan Gascogne yang bernama D’Artagnan.

UNTUNGLAH di samping banyak mengarang Nur Sutan Iskandar juga menyempatkan diri menerjemahkan karyakarya Alexandre Dumas yang terdiri dari ‘’Les Trois Moussquetaires’’ (karya tahun 1844) menjadi ‘’Tiga Panglima Perang’’ dan diterbitkan oleh Balai Poestaka, Batavia, 1922. Menurut pandangan filologis kerja penerjemahan itu agak cacad sedikit karena terjemahan itu dilakukannya bukan dari sumber asli dalam bahasa Perancis tapi mungkin sekali dari terjemahan bahasa Belanda. Hal ini lebih kentara pada terjemahan karya-karya Alexandre Dumas yang lain oleh Nur Sutan Iskandar yaitu kisah lanjutan dari karya pertama tersebut di atas berjudul ‘’Dua Puluh Tahun Kemudian’’ (Balai Poestaka, Batavia, 1925) yang tentulah terjemahan dari karya asli ‘’Vingt Ans après’’ (karya tahun 1845) dan ‘’Graaf de Monte Cristo’’ (Balai Poestaka, Batavia, 1929) yang tentulah terjemahan dari karya asli ‘’Le Comte de Monte Cristo’’ (karya tahun 18441845).

Pemuda Gascogne ini begitu penting peranannya dalam Les Trois Mousquetaires sehingga meskipun judul karya Alexandre Dumas ini dalam bahasa Indonesia berarti Tiga Musketir atau Tiga Panglima Perang namun ketiganya agak redup atau malap cahaya wajahnya digagahi oleh kecemerlangan D’Artagnan.

Gelar kebangsawanan Perancis ‘’le Comte’’ sederajat dengan gelar kebangsawanan Belanda ‘’Graaf’’ dan sederajat pula dengan gelar kebangsawanan Inggeris ‘’the Count’’. Hal ini menjadi jelas kalau kita bandingkan judul-judul karya Alexandre Dumas dalam sosok asli berbahasa Perancis dengan terjemahan dalam bahasa Indonesia yang asalnya dari terjemahan bahasa Belanda. Judul asli Le Comte de Monte Cristo menjadi Graaf de Monte Cristo dalam terjemahan bahasa Indonesia yang diterjemahkan dari bahasa Belanda, dan menjadi The Count of Monte Cristo dalam terjemahan bahasa Inggeris.

Tiga wira cerita ditambah satu calon pengawal raja Perancis bersaing ketat dengan para pengawal Kardinal Richelieu, pejabat spiritual yang kekuasaan melingkupi duniawi yang berbau busuk. Tangan kotor kardinal itu tak berhasil mencederai permaisuri Anne d’Autriche berkat Sang 3+1 yang perkasa. Upaya jahat selanjutnya juga gagal karena 3+1 berhasil mengembalikan kalung berlian yang diberi sang permaisuri kepada kekasihnya Buckingham. Athos menjadi Comte de la Fère, Porthos menjadi Comte du Vallon, Aramis menjadi Chevalier d’Herblay, dan D’Artagnan berhasil menjadi musketir sang panglima perang.

Daniel Bermond dari majalah sastra Perancis Lire dalam berkala Label France N° 47 July 2002 rubrik ‘’Literature’’ halaman

Jembatan demi jembatan yang menghubungkan suatu kebudayaan dengan kebudayaan lain telah dibangun. Dengan

halaman 18


menerjemahkan karya Soeman Hs Kasih Tak Terlarai ke bahasa Sunda oleh Moh Amri menjadi Teu Peugat Asih (Serie No 981, 1932) dan Percobaan Setiaditerjemahkanoleh Marta Perdana menjadi Tjotjoba (No 1033, 1932) telah terentang jembatan antara kebudayaan Melayu (Riau) dengan kebudayaan Sunda. Demikian juga telah terentang jembatan yang menghubungkan kebudayaan Perancis dengan kebudayaan Melayu (Indonesia) dengan diterjemahkannya beberapa karya Alexandre Dumas (sang Ayah) ke bahasa Melayu (Indonesia) oleh Nur Sutan Iskandar.

dari terjemahan ke bahasa Belanda, Inggeris, Jerman, Arab, Jepang dan lain-lain.

Lebih jauh kerja Balai Poestaka di Batavia juga menggapai pada bidang menerjemahkan karya-karya dari bahasa Melayu ke berbagai bahasa daerah di Indonesia dan sebaliknya menerjemahkan karya-karya dari bahasa Melayu (Indonesia) ke bahasa-bahasa daerah. Jembatanjembatan kebudayaan telah bersilang lintang menghubungkan suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Peristiwa dan pekerjaan kebudayaan seperti ini hendaklah mendapat perhatian untuk dilanjutkan atau diperbaiki bagian-bagian yang kurang tepat. Nur Sutan Iskandar ialah seorang di antara penegak jembatan kebudayaan dan jembatan-jembatan lainnya harus terus diperbaiki, didirikan kembali, dibangun baru untuk mencapai harapan terdalam manusia sehingga tak ada anehnya manusia ini bagi siapa saja. Karena sudah menjadi tuntutan manusia hidup terus menerus ingin menggapai matlamat senantiasa menuju ke kesempurnaan (toujours à la perfection) maka seyogianya suatu karya terjemahan berasal dari bahasa sumber. Karena itu untuk senantiasa menggapai ke kesempurnaan karya Alexandre Dumas sang Ayah diterjemahkan dari bahasa sumber yaitu bahasa Perancis, bukan terjemahan

***

Untuk mencapai matlamat yang sempurna seperti ini diperlukan adanya pertama lembaga-lembaga pendidikan berbagai bahasa asing di sini dan kini, dan diperlukan pula adanya lembaga-lembaga pendidikan menerjemah yang berkualitas tinggi dan dapat diandalkan sehingga bermanfaat dan membangkitkan rasa bangga yang tepat pada tempatnya. Beberapa tahun terakhir ini kedua hal itulah yang saya dengungdengungkan pada berbagai kesempatan.

Le diable au corps Françoise Sagan ialah seorang gadis Perancis yang mulai menulis roman sulungnya pada usia 18 tahun. Raymond Radiguet, seorang pemuda tanggung yang sudah berhasil menyiapkan karya perdananya pada usia 15 tahun. Akan tetapi baik Françoise Sagan maupun Raymond Radiguet bukanlah pengarang ‘’chicklit’’ atau ‘’teenlit’’. Meskipun berusia muda mereka telah berhasil melahirkan karya sastra tanpa embel-embel ‘’chick’’ atau ‘’teen’’ atau sastra yang masih muda atau belum cukup umur atau masih mentah. Karya-karya mereka benar-benar tergolong dalam kesusastraan tanpa embel-embel yang ujung-ujungnya tak enak seperti ‘’karya penulis muda usia’’ atau ‘’hasil karangan pengarang yaang masih junior’’ atau ‘’ciptaan para pemula’’ atau ‘’karya sastra yang belum masak’’ atau ‘’cuma chicklit’’ atau ‘’hanya teenlit’’ dan semacam itu lainnya. SI PENCERITA, seorang remaja tanggung berusia 15 menjelang 16 tahun membuka

halaman 19


cerita tentang pengalaman dan pergaulan dirinya dengan Marthe, isteri Jacques yang berusia 19 tahun. Hubungan seperti api yang disiram minyak karena perang meletus dan Jacques diwajibkan pergi ke medan perang. Si pencerita mengajukan suatu pertanyaan kepada dirinya sendiri, ‘’Est-ce ma faute si j’eus douze ans quelques mois avant la declaration de la guerre?’’ karena pertanyaannya itu berarti, ‘’Salahkah daku kalau aku berusia dua belas tahun semasa pernyataan perang diumumkan?’’ Dan dari si pencerita itu pula kita tahu tentang tempat tinggalnya. Tertulis masih di bagian pembukaan bahwa ‘’Nous habitions à F…, au bord de la Marne’’ (Kami tinggal di F…, di pinggir sungai Marne). Pernyataan singkat ini sangat penting karena Raymond Radiguet sang pengarang Le diable au corps pun tinggal di kawasan bahkan rumah yang sama dengan si pencerita dalam kisah yang diberi judul Le diable au corps. Dalam keluasan korpus sastra adalah hal yang biasa jika antara pengarang dan tokoh karyanya tak terpisahkan. Tak dapat dipisah dan tak mungkin dibelah karena mereka memang menyatu, begitu bersatu sehingga pengarang sama dengan tokoh dan sebaliknya tokoh sama dengan pengarang. Bahkan dalam ‘’Borges y Yo’’ (Borges dan Saya) peengarang Jorge Luis Borges meragukan siapakah yang menulis halaman cerita itu, mungkin Borges, barangkali sang Kembaran, ‘’I do not know which of us has written this page’’. Tokoh utama yang adalah si pencerita kisah itu mengisahkan tentang kematian kekasihnya Marthe, isteri Jacques karena melahirkan anak. Bayi itu adalah buah cinta antara Marthe dengan si pencerita. Bukan hasil hubungan dengan suaminya karena Jacques segera dikirim ke medan perang

halaman 20

begitu mereka menikah. Namun tak ada orang yang memberitahu tentang kehidupan si pencerita selanjutnya dan juga tentang kehidupan Jacques, suami Marthe.Yang dicatat orang ialah kematian pengarang karya ini karena Raymond Radiguet yang dilahirkan di Saint-Maur pada 18 Juni 1903 meninggal-dunia di Paris 12 Desember 1923. Karena itu pernyataan Stendhal dalam karyanya Le Rouge et le Noir (1830), ‘’Une mouche éphémère naît à neuf heures du matin dans les grands jours d’été, pour mourir à cinq heures du soir; comment compredraitelle le mot nuit? Donnez-lui cinq heures d’existence de plus, elle voir et comprends ce que c’est la nuit’’ ditujukan bukan saja kepada tokoh utama karyanya Julien Sorel tetapi juga kepada Raymond Radiguet dan juga kepada tokoh karyanya si pencerita dalam Le diable au corps, atau kepada pengarang dan / atau bukan pengarang orang-orang yang mati muda, karena sitiran karya Stendhal itu berarti, ‘’Serangga pendek usia yang lahir pada pukul sembilan pagi pada hari-hari cemerlang musim-panas, untuk mati pada pukul lima petang; bagaimanalah dia tahu arti kata malam? Berikan padanya lima jam lagi hidup, dia akan melihat dan memahami apa itu malam.’’ Raymond Radiguet ialah hasil temuan seniman serigunting Jean Cocteau (18891964). Dikenal luas sebagai penyair, Cocteau juga seorang pengarang roman, teaterawan, perupa, bahkan seorang sineas yang telah menghasilkan film kontroversial ‘’La Belle et la Bête’’ Ia melihat dalam diri Raymond Radiguet ada seorang Arthur Rimbaud (1854-1891) yang pernah menggoncangkan Perancis dengan puisi-puisinya yang amat dahsyat yang dihasilkan pada usia sangat muda, 16 atau 17 tahun; salah-satu di antaranya berjudul Une Saison en enfer


(Semusim di Neraka). Persahabatan mereka melahirkan Raymond Rimbaud Radiguet yang menggetarkan gelanggang sastra Perancis dengan kisah seorang belia yang mengalami keadaan seperti kerasukan setan menggauli seorang isteri muda sampai perempuan muda itu melahirkan hasil hubungan mereka. Marthe meninggaldunia karena melahirkan, sedangkan usia kekasihnya yang memaparkan kisah itu hampir sama dengan usia dan jalan kehidupan Raymond Radiguet. Jorge Luis Borges (1899-1986) yang sangat suka dengan imaji ‘’cermin’’ mengingatkan dalam banyak sajak dan kisah-kisah pendeknya bagaimana kalau kita bercermin maka di dalam cermin ada cermin, ada cermin, ada cermin. Seperti juga dalam hidup ada mimpi, ada mimpi, ada mimpi-mimpi. Dan bahwa mimpi itu pada gilirannya bermimpi-mimpi.

Raymond Radiguet, entah si pencerita yang mungkin sekali Si Kembaran sang pengarang untuk membandingkan dengan karya sangat singkat Jorge Luis Borges ‘’Borges y Yo’’ sekilas dikisahkan bahkan ‘’La seule fois que j’aperçus Jacques, ce fut quelques mois après. Je voulus voir l’homme auquel Marthe avait accordé sa main.’’ (Cuma sekali aku bertemu dengan Jacques, terjadinya beberapa bulan kemudian. Aku ingin melihat lelaki yang tangannya disambut oleh Marthe). Pertemuan antara kekasih dan suami Marthe itu baru terjadi ketika sang kekasih setengah mati merintih menahan hati yang terlalu pedih. ‘’Marthe! Kecemburuanku terus mengikuti sampai ke dalam kubur… Marthe! Ma jalousie la suivant jusque dans la tombe … ***

Cocteu bersama Radiguet berhasil menyusun karya bersama berjudul Paul et Virginie, sebuah tragedi percintaan kasih tak sampai Perancis yang terkenal yang memantul dari dan oleh karya semacam Le diable au corps. Akan tetapi Raymond Radiguet dengan usianya yang singkat tidak hanya berkarya tunggal. Roman karyanya yang cukup luas dikenal memakai judul Le bal du comte d’Orgel (1924) yang menggambarkan tentang pesta tari bertopeng yang meriah dan semarak namun mengandung bahaya dan ancaman cemburu, khianat, fitnah dan pertaruhan nyawa. Orang menyembunyikan diri dengan topeng, bukan saja terhadap orang lain tapi juga terhadap diri sendiri. Namun untuk memperkenalkan pengarang yang meninggal pada usia 20 tahun memadailah menyebutkan karyanya Le diable au corps yang dihasilkan pada tahun 1923. Pada bagian penutup Le diable au corps entah

ATAKA Beberapa orang guru yang telah bertungkus lumus dan berhempas pulas menuntun para siswa mereka memperkenalkan, berakrab dan menggauli sampai menyatukan diri dengan kesusastraan seperti yang dilakukan oleh Musa Ismail, Hafney Maulana, MT Siallagan, dan lainlain seyogianya perlu mendapat perhatian masuyarakat sastra dan masyarakat umumnya. Setidak-tidaknya para siswa yang sudah diarahkan dan dituntun ke gelanggang kesusastraan itu dapat muncul dan lahir sebagai penyair belia atau pengarang karyakarya yang dikenal sebagaui ‘’chicklit’’ atau ‘’teenlit’’ sebagaiamana yang berlangsung di bagian negeri kita terutama di Jakarta dan di beberapa kota besar di Pulau Jawa. NAMA lengkap Ataka ialah Ahmad Ataka Awwalul Rizqi. Anak Taufiqurrahman,

halaman 21


pegawai sebuah lembaga swadaya masyarakat di Yogyakarta. Tinggal di Jalan Turonggo No. 27, Pakuncen, Kecamatan Wirobrajan. Umurnya 14 tahun. Siswa SMPN 5 Yogyakarta. Ada dua sosok manusia yang mempengaruhi Ataka sampai menjadi seorang pengarang chicklit atau teenlit, karya sastra yang dikarang dan diperuntukkan bagi mereka yang belum dewasa. Pada mulanya karya chicklit atau teenlit dikarang oleh orang yang sudah dewasa, kemudian umur pada pengarang karya jenis ini menurun sampai pada setingkat SMA, dan terus menurun pada usia SMP, bahkan ada juga yang SD atau setingkat itu. Pada usia semuda itu Ataka telah berhasil melahirkan karya berjudul Misteri Pedang Skinhead 660 halaman. Karena karya ini akan diterbitkan pengarangnya sebagai trilogy, jadi kelak kira-kira tebal karya ini menjadi 3 kali 660 halaman, maka Ataka dapat dipandang sebagai pengarang chicklit (teenlit) dan juga pengarang novel monster yang ukuran tebalnya lebih dari 1000 halaman. Tak dapat disangkal bahwa Ataka ialah orang muda pertama yang mencapai gelar seperti itu. Ada dua tokoh yang sangat berpengaruh pada kepengarangan Ataka. Tokoh pertama ialah guru bahasa Indonesia di sekolah SMPN 5 di Yogyakarta yaitu Yosepha Niken Sasati. Tokoh kedua ialah Faiz Ahsoul, salahseorang aktivis Akademi Kebudayaan Yogya yang adalah sebuah komunitas penulis usia muda di Yogyakarta. Ibu guru Yosepha berpengaruh karena dia mengajarkan bahasa Indonesia , sedangkan Faiz Ahsoul karena bimbingan intelektual yang diberikannya. Karena mereka pernah memancing di sebuah sungai kecil Ataka lalu melukiskan Sungai Tak Bernama dalam karyanya. Riwayat

halaman 22

kepengarangan

Ataka

tidak

lengkap kalau tidak disertai dengan kisah ia meraih juara kedua Olimpiade Fisika di Semarang. Dengan uang sebesar 4 juta rupiah itu ia membeli laptop seharga 6,95 juta. Kekurangan hampir 3 juta rupiah itu dipenuhi oleh ayahnya. Maka jadilah Ataka seorang pengarang muda yang menjanjikan. Ataka tak pernah merasakan dinginnya salju, karena ia belum pernah menjejakkan kaki di Eropa. Tapi perjalanan fisik tidak sama dengan pengembaraan rohani. Nuansa Eropa dalam karyanya ialah hasil pengembaraan rohani. Tapi Ataka juga menghasilkan karya yang berjejak di bumi atau beraroma local; dua karya yang pantas disebutkan ialah Kenangan di Bumi Rencong dan Bulan Sabit di Langit Parang Tritis. Ataka tidak sendiri. Sederetan nama yang muda yang berkarya dapat disebutkan seperti Nabila Nurkhalisah Harris, Ali Riza, Sri Izzati, Sha Sha, Melisa dan lain-lain melengkapi taman para penulis berusia muda ini. Dr Murti Bunanta mengkhawatirkan para penulis usia muda ini hendaklah dijaga agar pertumbuhannya tidak terganggu. Dia membandingkan dengan para pemenang lukisan Asia yang setelah dewasa langsung menghilang. Tapi pertanyaan kita di sini dan kini mengapa pengarang berusia muda kita belum lahir seperti yang sudah hadir di Yogyakarta dan ibukota? Tentulah seyogianya kita harus memikirkan kenapa sampai hari ini di daerah kita belum muncul seorang sastrawan ‘’chicklit’’ atau ‘’teenlit’’ yang meyakinkan sebagaimana dicontohkan oleh sederetan nama-nama yang tercantum di atas. Sebagai langkah-langkah awal hadirnya Ataka, Nabaila Nurkhalisah Harris, Ali Riza, Sha Sha, Melisa, dan lainnya patut benar diperkernalkan seluas-luasnya kepada para siswa yang berat berminat kepada


kesusastraan di sini sebelum meningkat pada perkenalan kepada sastrawan seluruh negeri kita, lalu seterusnya berkenalan dan bergaul dengan sastrawan dari segala penjuru dunia. Pada awalnya hendaklah terbina suatu pilihan bebas di kalangan para siswa dari sekolah apapun. Jenis fiksi yang menjadi pilihan seorang siswa mungkin saja fiksi yang bermuatan kisah kriminal atau juga dikenal dengan cerita detektif. Dalam kawasan ini kesusastraan dunia memiliki George Simenon yang cukup luas membangkitkan perhatian bahkan seorang André Gide yang adalah seorang sastrawan Perancis yang sangat terkenal lagi pula peraih Hadiah Nobel. Dalam lingkungan sastra Indonesia di Riau cerita detektif diolah oleh tak kurang oleh sang pelopor Soeman Hs. Perlu dicatat karya Soeman Hs Percobaan Setia sampai-sampai diterjemahkan ke Bahasa Sunda yang dikenal sebagai Tjotjoba. Karya bahasa Melayu / Indonesia yang diterjemahkan ke bahasa Sunda, Jawa, Madura, dan bahasa-bahasa daerah di Indonesia lainnya merupakan suatu peristiwa budaya ayang unik dan menarik. Kajian pada bisang ini terlihat belum terlalu banyak menarik perhatian. Khusus tentang diterjemahkannya beberapa karya Soeman Hs ke bahasa Sunda jejak masa lalunya dapat dicari dari dikirimnya seorang guru dari Bandung Raden Marta Atmaja untuk belajar bahasa Melayu dengan pendeta budaya Raja Ali Haji di Pulau Penyengat. Ia membawa Kitab Pengetahuan Bahasa kembali ke Bandung. Untuk mendalami hal ini Jan van der Putten dan Al Azhar telah menerbitkan surat-surat Raja Ali Haji yang juga berisi hal tersebut dalam buku Dalam Berkekalan Persahabatan Surat-surat Raja Ali Haji Kepada Von de Wall, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2007. Pilihan bebas itu bisa saja pada jenis

kisah-kisah yang lain misalnya cerita silat atau cerita kongfu atau karate, cerita Western atau cerita koboi, cerita hantu atau peri-peri. Dari kawasan dan gelanggang inilah kelak calon-calon pengarang itu diarahkan sampai memiliki suatu visi yang orisinal dan yang inovatif. Untuk mencapai pergaulan sastra yang total maka para guru yang berdidikasi seperti nama-nama yang telah tertera di atas seyogianya diberi semangat agar terus berbuat tanpa jemu. Kelak apabila hadir seorang sastrawan yang cemerlang bersinar dan mengibas dan mengibarkan bau yang harum di sekitarnya maka tak dapat tiada semua itu berpunca dari upaya tuan-tuan dan berpuncak pada apa yang bernama kesusastraan. Pada mulanya dalah perhatian, dan pada akhirnya ialah karya sastra. ***

HUJAN HITAM Diiringi musik khas Jepang yang menyentak-nyentak penuh kejutan di layar mula-mula muncul huruf Cina ‘’koku’’ yang dibaca oleh orang Jepang dengan tiga cara yaitu ‘’kuro’’, ‘’kuroi’’, ‘’kuromu’’, ‘’kurozumu’’ artinya ‘’hitam’’, lalu di bawahnya muncul pula huruf Cina ‘’u’’ yang dibaca oleh orang Jepang sebagai ‘’ame’’ artinya ‘’hujan’’. Film Jepang hasil produksi tahun 1989 berjudul ‘’Kuroiame’’ yang diterjemahkan ke bahasa Inggeris sebagai ‘’Black Rain’’ itu tentulah berarti ‘’Hujan Hitam’’ dalam bahasa Indonesia. Film itu dibuat berdasarkan sebuah novel atau roman berjudul ‘’Kuroi-ame’’ karya Ibuse Masuji, seorang pengarang Jepang yang lahir di Kamo, perfektur Hiroshima 15 Februari 1898 dan meninggal-dunia di Tokyo 10 Juli

halaman 23


1993. ‘’Kuroi-ame’’ ialah novel @ roman karya Ibuse Masuji yang terpanjang dan terpenting, sebuah elegi sunyi tentang jatuhnya bom atom di Hiroshima. IBUSE menghabiskan masa kecilnya di desa sebagai anggota keluarga petani yang sederhana, bebas dan bahagia. Pada tahun 1917 ia pindah ke ibukota Jepang sambil memperdalam sastra dan lukisan. Ibuse Masuji memilih kesusastraan Perancis yang kelak juga menjadi pilihan dua peraih Hadiah Nobel bidang kesusastraan yaitu Kenzaburo Oe, orang senegerinya dengan Ibuse peraih tahun 1994, dan Gao Xingjian peraih tahun 2000 dari Cina. Persamaan Ibuse Masuji dengan Kenzaburo Oe juga pada tokoh yang sama-sama pilih yaitu John Manjiro yang dalam karya Ibuse ada dalam Jon Manjiro hyoryuki, karya yang terbit tahun 1937. Terjemahan ke bahasa Melayu karya Ibuse Masuji Hujan Hitam (Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur, 1993) hasil alih-bahasa Fatimah Ahmad & Zulkifli Ahmad dari terjemahan bahasa Inggeris Black Rain saya dapatkan dari kiriman Dr Bazrul Bin Bahaman dari Universiti Malaya sebagai tanda ingat yang seringkali dilakukannya kepada saya. Kecenderungan mutakhir dalam menerjemahkan karya sastra ialah terjemahan karya sastra itu seyogianya dilakukan dari bahasa sumber yang orisinal dan bukan terjemahan dari terjemahan. Tetapi yang itupun memadai daripada samasekali tiada. Ketika harus memilih satu di antara dua kekasih yang sama-sama dicintainya Ibuse Masuji memilih Sastra Perancis meskipun ia juga dikenal sebagai peminat berat karyakarya Tolstoy dan Chekov dalam Sastra Rusia. Hujan Hitam ialah elegi sangat pahit tentang sebuah kota dan penduduknya.

halaman 24

Pengarangnya memang tak mau menggambarkan tentang bencana yang menimpa kota Hiroshima tapi membuat latar cantik di kawasan Selatan negeri Jepang, adat istiadat lama penghuni kawasan itu, orang-orang yang terdiri dari pribadi-pribadi yang tak pernah tunduk kalah, segala hal tentang kehidupan seharihari masyarakat, semua berbeda sangat dengan keganasan yang diakibatkan jatuhnya bom atom yang menutup suatu babak penting dalam sejarah Jepang. Di desa Kobatabe yang terletak kirakira seratus kilometer di sebelah Timur kota Hiroshima Shigematsu Shizuma dan isterinya disangka penduduk menyembunyikan kenyataan bahwa anakbuahnya Yasuko terkena radiasi akibat bom. Sementara itu pada tanggal 6 Agustus 1945 pagi di Jembatan Temma guru-guru sebuah Sekolah Menengah di Hiroshima memimpin paduan suara murid-muridnya menyanyikan lagu yang liriknya berarti lebih-kurang kalau aku pergi ke laut mayatku akan dibungkus ombak, kalau aku ke gunung mayatkan akan diselimuti rumput, ‘’Umi yu-kaba mizu ku kabane, yama yu-kaba kusa musu kabane…’’ Lagu yang dinamakan juga nyanyian selamat tinggal terhadap dunia dan kehidupan ini sangat dikenal di kalangan orang-orang Asia Tenggara yang pernah diduduki oleh pemerintah Balatentera Dai Nippon di sekitar Perang Dunia Kedua. Pada hari itu pada pukul 8:15 pagi sebuah bom atom dijatuhkan oleh pihak Amerika Serikat di atas kota yang molek itu. Bom berkekuatan 22 kiloton bahan peledak itu telah menghancurkan kota Hiroshima dan sekitarnya. Penduduk Hiroshima pada waktu itu lebih-kurang 420 ribu jiwa, sedangkan jumlah korban bom dahsyat itu menurut Le Petit Larousse Ilustré 1993 berjumlah 140


ribu jiwa. Konon 60% kawasan Hiroshima musnah dan punah-ranah. Lalu datang giliran Nagasaki yang merenggut korban berjumlah 70 ribu jiwa. Lalu yang tinggal dari kedua kota molek yang ditata dengan semangat seni bangun kesenimanan tinggi Jepang itu hanyalah kesedihan. Cuma sendu dan sedu sedan! Barangkali murid-murid Sekolah Menengah yang menyanyikan lagu Umi yu-kaba di Jembatan Temma pagi-pagi sebelum jam 8 itu banyak yang langsung meninggal-dunia. Atau karena panas luarbiasa yang sampai ratusan derajat Celcius itu menyebabkan beberapa murid lenyap menghilang dan cuma meninggalkan bayang-bayang di tanah. Radiasi bahkan menyebabkan hujan yang turun siang dan petang itu menakutkan rupanya karena berwarna hitam. ‘’Hujan hitam!’’, ‘’Hujan hitam!’’, ‘’Kuroi ame!’’ teriak penduduk Hiroshima bersahut-sahutan. Sejak itu rangkaian dukacita berjela-jela mengikuti bayang-bayang para penduduk. Banyak di antara mereka yang sudah tak ingat lagi bilakah terakhir mereka mencecap lezatnya kue mochi di lidah. Entah kapan mereka merasakan nasi pulut kepal dibungkus dalam daun bambu muda? Suatu kali mereka mendapat pembagian beras barley dengan beberapa kaleng daging yang membangkitkan selera. Tapi seperti diungkapkan oleh pengarang Ibuse Masuji, ‘’Terasa mubazir memakan sesuatu yang sangat bagus di tengah-tengah kemusnahan kota ini.’’

tengah kota yang kelaparan, angsa panggang bukanlah angsa panggang.’’ Begitu di Moskwa dalam karya Boris Pasternah, begitu pula di Hiroshima dalam karya Ibuse Masuji. Tidak boleh ada the hegemony of meaning dalam karya sastra sehingga bencana dan malapetaka hanya boleh ada dalam sastra Rusia dan sastra Jepang, tidak dalam sastra Indonesia, lebih tidak dalam sastra Indonesia yang ditulis di Riau. Kebuluran karena perang yang ada di Moskwa dan Hiroshima juga pernah dirasakan oleh orang Riau pada masa Konfrontasi dengan Malaysia ketika kita sibuk dengan Ganyang Malaysia yang tertulis Ganjang Malaysia. Orang Riau pernah makan bulgur dan bukan beras pada suatu masa tertentu. Bencana, malapetaka atau prahara pernah dan sudah pula kita alami dalam peritiwa seperti Tsunami di Aceh dan Gempa di Yogyakarta. Semua itu pasti menggamit para seniman, dan jangan bilang engkau tak tahu pada itu semua. Satu kata untukmu, ‘’Perdulilah! ***

Gambaran ini mengingatkan saya pada suatu bagian dari Doktor Zhivago karya Boris Pasternak ketika di tengah kota Moskwa yang dikelilingi bencana kelaparan, tetapi di suatu rumah seseorang sedang menghadapi angsa panggang. Orang itu berkata, ‘’Di

halaman 25


Mengenang Hasan Junus

Dari Seberang Perbatasan

SHORT MESSAGE SYSTEM Hamdan yang terakhir sudah saya hapus dari layar ponsel. Tapi isi pesannya tak dapat saya hapus dari hati dan pikiran. Tidak bisa. Benar-benar tidak bisa. Beberapa hari yang lalu saya menyatakan kerinduan yang amat sangat pada laut. halaman 26


‘’Jangan khawatir, sahabatku. Sebab dalam dirimu ada laut, langit, gunung dan kekasih,’’ demikian jawaban Hamdan dengan SMS-nya. Kami berteman sejak kecil. Apa katanya tadi? Selain laut, langit dan gunung? Kekasih? Kekasih macam apa? Kata kekasih mengandung makna yang sangat beragam. Seorang mahasiswi bahkan membuat pernyataan pada lembaran dedikasi skripsinya tentang novelet saya “Pelangi Pagi” bahwa saya kekasihnya. Tak tahu kekasih macam apa sebab dia lalu menikah segera setelah tamat. Saya kenal baik dengan keluarga Hamdan. Kalau saya datang ke rumahnya, kesan yang saya dapatkan ialah keluarga Hamdan cukup berbahagia. Tapi bagaimana mengukur benda bernama bahagia? Lagi pula kekasih belum tentu berarti perempuan lain selain isteri. Detik-detik ini saya sedang menunggu seorang teknisi memasang peralatan receiver untuk video. Kabel-kabel sudah dipasang. Akhirnya dengan beberapa klik-klik-klik gambarpun muncul di layar televisi. Teknisi itu pulang. Dan saya mengunci kamar-kerja agar tidak diganggu. Malam kemarin ada seorang pemuda mengantar sebuah kaset video ke rumah. Waktu itu kami sedang makan malam. Dan ia pun nampaknya terburu-buru. Katanya kiriman itu dari Oom-nya, Hamdan almarhum. Katanya lagi dalam laci sebelah atas meja tulis Oom-nya ada amplop yang bertulisan: Sampaikan anvelop kepada temanku Hasan Junus setelah aku TIADA. Lalu kulakukan klik-klik-klik dan gambar Hamdan pun muncul di layar televisi. Pastilah rekaman itu pekerjaan seorang yang sangat amatir. Atau dikerjakan oleh Hamdan sendiri dengan memakai teknik montase candid camera. Gambar dan suaranya tak terlalu bagus. Tapi semua itu tak penting. Isi rekaman itu yang penting bagi saya justru karena Hamdan telah meninggal-dunia tiga hari yang lalu, jauh dari sini di gugusan Kepulauan Natuna, ketika menyelam di suatu terumbu karang. Ia tak timbul setelah ditunggu lama. Jenazah teman sejak kecil saya itu dibawa pulang ke sini. Gambar Hamdan di layar berkata barangkali denga suara biasa saja tapi terdengar sangat sangat sangat syahdu. ‘’Sahabatku Hasan Yunus. Ketika kau menatap wajahku sekarang ini dan mendengar suaraku, aku sudah tiada. Jangan percaya cerita burung yang tersebar di Pekanbaru yang mengatakan aku ditulari penyakit dari kekasihku.’’ ‘’Jadi kau benar-benar punya kekasih?’’ ‘’Ha ha ha ha! Kita tak lagi bisa berhubungan. Ada sempadan api antara tempatmu hidup dengan tempatku berada. Cerita itu tidak benar. Ketika bertemu dengan kekasihku di sekitar Bandar Serai, aku baru pulang dari pemeriksaan dokter-dokter spesialis di Singapura.

halaman 27


Mereka bilang aku menderita kanker ganas sekali.’’ Mata Hamdan di layar terus menatap saya dengan pandangan garang, miliknya yang istimewa, meskipun dari balik kacamatanya yang tebal. Hamdan memang seorang lelaki penuh passi menjalani hidupnya penuh gelora. Itu yang membuat dirinya unik, seperti sidik jari yang tak pernah ada duanya. Dada saya gemuruh karena menyadari bahhwa orang yang sedang berkata-kata itu telah berada di dunia lain. ‘’Aku sempat mendalami spiritualisme, dengan tujuan sebelum aku mati dapat memasukkan rohku ke dalam diri kekasihku. Kalau pada suatu kali kelak kau berbicara dengan dia dan kau merasa berdepan dengan aku, jangan kaget, karena kau memang berdepan dengan aku. Dan apakah itu berarti di dalam dirinya ada dua kepribadian? Spiritualisme yang kupelajari hanyalah teknik menumpang tubuh. Bukan merusak mindanya. Ini dapat dijumpai dalam peradaban lama di seluruh dunia.’’ Pandangan mata Hamdan yag terus menatap saya menyebabkan tiba-tiba ada rasa gerun menyusup ke dalam hati. ‘’Orang yang katam mempelajari spiritualisme bila dilihat sekali imbas seperti manusia cacad: tak lagi memiliki rasa benci, marah dan cemburu. Kau boleh saja memeluk Mariani tapi dia tak akan pernah menerima kau dengan hatinya.’’ Ia melanjutkan, ‘’Jangan harap kau mendengar warna dan kuncu suaraku. Karena arus suaraku harus lebih dulu melalui alat-alat tubuh orang lain. Tapi kau bisa mengenal gaya dan retorikaku yang senantiasa khas dan unik. Pemain teater yang paling piawai pun tak akan berhasil menyalinnya kecuali akan berkesan sebagai tiruan. Bahkan mimik dan gerak anggota badannya pun kadang-kadang berubah seperti mimik dan gerak anggota badanku. Di India seorang Brahmin melingkari gelanggang permainannya dengan dengan abu pembakaran jenazah. Ia memanggil seorang gadis penonton. Lalu yang mereka lakukan berdua dalam lingkaran itu tak terlihat oleh mata kasar penonton. Dalam lingkaran yang dibuat dari abu pembakaran jenazah itu sepertinya hanya mereka berdua yang ada. Orang-orang dan benda-benda lain, pohon, bangunan, debu, matahari, semua seperti menghindar, pergi menjauh membiarkan mereka berdua mengisi ruang. Di Cina kuno ada tradisi panjang dari masa yang jauh lampau dan kadang masih dilakukan sekarang. Apa? Perkawinan setelah mati. Ini menunjukkan upaya minda manusian menggapai keabadian dengan kemungkinan yang diperkirakan sebagai yang terbaik. Perkawinan yang tak terjadi di

halaman 28


waktu hidup, di dunia sanalah tempatnya.’’ Saya hanyut dalam pidato Hamdan. "Agaknya kami memang dilahirkan ke dunia untuk menjadi satu sebagai Hamdanmariani atau Marianihamdan. Ada cara khusus agar rohku dapat memasuki tubuh Mariani sehingga jasadnya menjadi tempat tinggal kami berdua. Jangan mengira yang bukan-bukan, misalnya kau berpikir tentang coitus dan pembuahan dan yang semacam itu karena dia tidak mengandung anakku tapi diriku. Walau hanya roh, yang juga dinamakan semangat.’’ Lalu Hamdan mengatakan bahwa ia bisa saja menggunakan kekuatan diabolis. Misalnya dengan memasukkan kutuk. ‘’Tapi itu berarti aku memakai kebencian yang amat tinggi, teramat sangat berbisa seperti sengatan kalajengking di pusat jantung. Dan kalaulah tenaga diabolis itu yang kupakai maka denyut kasih yang menghubungi aku dan Mariani menjadi runtuh. Tenaga diabolis hanya cocok untuk orang yang imannya sudah rusak berat. Amalan spiritualisme yang menggunakan sisi diabolis dekat sekali dengan sihir. Sebagai seorang Muslim aku harus menjauhinya. Lagi pula seorang kekasih macam apa aku ini kalau bukan memberikan kesenangan kepada Mariani tapi penderitaan?’’ Suara Hamdan tak berubah sedikitpun. "Dalam sosok estetika yang kuamalkan sebagai pengarang, semua yang ada di dunia ini harus berguna. Harum berguna, busuk pun berguna. Kalau kita kreatif, bukan harum dan kasih saja membawa ke karya seni yang agung. Juga benci, amarah, cemburu. Itulah sebabnya saya terus menganggap Mariani penting, biar seperti apapun dia, biar bagaimanapun tingkah polahnya. Mengapa justru dia. Karena hanya dia, cuma dia, satu-satu gadis di kota ini yang menghargaiku ketika semua orang menganggap aku tak lebih dari sebatang pohon meranggas tiada berbuah dan tiada berdaun, kering tiada berguna. Kau tahun, sahabatku, mengalami atau tak mengalami nampak dalam karya. Karya agung senantiasa memperlihatkan pengalaman pengarangnya." Hamdan batuk sedikit. Lalu melanjutkan, "Dalam pandangan batinku seperti visi futuristik, suatu hari kulihat Mariani berjalan kaki menyusuri jalan berpagar pohon dari gedung Dang Merdu sampai ke Bandar Serai. Jalan kenangan kami. Dia sakit, terlihat dari langkahnya yang sempoyongan dan tubuhnya penuh kudis berbau busuk. Para lelaki yang pernah menyentuhnya menghindar jijik. Kutup tubuhnya dengan jaket, menggendongnya, membawa pulang. Sekarang aku tanya kau: maukah sederet lelaki yang dulu pernah menkasir dia berbuat seperti aku? Mereka cuma mau yang cantik dan harum saja!

halaman 29


Aku memeliharanya dengan sepenuh kasih.’’ ‘’Lalu apa jahatnya sisi diabolis yang kaudisebut tadi?’’ tanya saya tanpa mengharap jawaban. Di luar dugaan Hamdan berkata seperti menjawab, seperti menyambung hubungan yang tiada antara kami, ‘’Kalau kupakai sisi diabolis yang jahat itu, kuletakkan diriku di Tempat Terkutuk dan membangkitkan rasa benci tinggi-tinggi lalu kukatakan dengan cara mempertemukan bahasa lisan dengan bahasa hati, ‘’Hai penggerak segala, mulai detik ini letakkan sebesar-besar sial dalam diri Mariani. Siapa saja lelaki yang menyentuh dia akan kejangkitan sial yang besar itu. Buktinya akan kelihatan pada detik pertama setelah kutukan ini diucapkan. Akan tetapi, setelah itu lelaki kekasih macam apa aku ini? Kalau itu yang kulakukan aku bukan lagi pencinta abadi seperti yang selama ini dikenal orang.’’ Hamdan batuk agak lama. "Tapi tahukan kau, sahabatku, mengapa aku tersingkir dari gelanggang masyarakat seni kita? Setelah sekian lama aku diam dalam Mariani, anggota komunitas seni jadi terlalu sering berhadapan dengan aku yang ada dalam diri Mariani. Dan aku yang di sini pun mulai terlupakan. Barangkali mereka berpikir apa lagi gunanya Hamdan karena ada Mariani yang menggantikannya. Mariani menjadi bintang cemerlang di cakrawala sastra dan aku harus minggir dengan lega. Lega? Memang! Sama seperti kalau kita menyaksikan bagaimana anak kita berhasil mewarisi semua kepandaian kita. Karena aku tetap menyayangi Mariani bagaimanapun dia. Harum atau busuk. Cinta itu berarti menghormati. Kalau tidak, itu mungkin bukan cinta tapi sisi sebelah sana dari uang logam cinta yaitu nafsu. Satu lagi sisi cemerlang cinta ialah apabila orang tidak merasa rugi meski apapun yang diberi. Aku harus terus menyayangi Mariani .....’’ ‘’Sampai akhir?’’, serbu saya lupa bahwa hubungan antara kami cuma jalan searah. Tapi anehnya Hamdan menjawab. ‘’Ya, sampai akhir. Sekarang aku sudah tamat. The Sky is Falling! Au revoir, mon ami!’’ Rekaman video itu sebenarnya belum tamat. Tamat memang belum datang bersama kematian. Tamat datang setelah kematian.

halaman 30


Mengenang Hasan Junus

Di Seberang Perbatasan (drama singkat)

Di Seberang Perbatasan Dramatis personae: MARIANI HAMDAN DOKTER PERAWAT ADEGAN PERTAMA Di Panggung Satu. Dua ruang yang dibatasi oleh tirai tipis. Pada ranjang pertama sang pasien seorang lelaki dan pada ranjang kedua seorang perempuan. Dokter masuk, Perawat menggeser kursi dekat ranjang pasien, dan Dokter itu lalu duduk di kursi, memeriksa pasien lelaki. halaman 31


HAMDAN:Siapa itu? DOKTER: Saya dokter. HAMDAN: Siapakah kau? DOKTER: Dokter. HAMDAN: Siapa aku? DOKTER. (Memegang kartu yang di ikatkan pada sandaran ranjang). Hamdan. Umur lima puluh tujuh tahun. Pakar astronomi. Ya, astronomi bukan astrologi. Astronomi. (Menggelenggelengkan kepala; kepada diri sendiri) Pekerjaan yang sepi. Ketika orang-orang sedang nyenyak menikmati tidur, ia terus memperhatikan bintang-bintang di langit malam. Seorang diri. Ginjal dalam keadaan sangat gawat.

MARIANI: Siapakah kau? Tak kau dengar aku bertanya? Siapakah kau? He, siapakah kau? DOKTER. (Menggeleng-gelengkan kepala dan berbisik dengan Perawat yang segera menempalkan sehelai kartu bertulisan: KOMA. Dokter itu memandang si pasien sambil terus menggeleng-gelengkan kepala, diperhatikan oleh Perawat): Absurd! Sudah hampir tiga bulan! Dengan lelaki yang di sebelah itu dia seperti pencinta dalam dongeng yang masuk ke klinik ini dalam keadaan koma. Kurang dua hari jadi tiga bulan mereka terbaring di sini. Absurd! (Lampu yang menyorot kedua ranjang perlahan-lahan padam. Dokter dan Perawat bergerak hendak keluar dan lampu yang menyoroti merekapun perlahan-lahan padam.)

HAMDAN: Siapakah kau? Dokter itu berdiri, menggeleng-gelengkan kepala dan berbisik dengan Perawat yang segera menempelkan sehelai kartu bertulisan: KOMA pada sandaran ranjang. Ia lalu masuk ke bagian perempuan, diikuti Perawat yang menggeser kursi mendekati ranjang. Dokter itu duduk di kursi dan memeriksa pasien perempuan. MARIANI: Siapa itu? DOKTER: Saya dokter. MARIANI: Siapakah kau? DOKTER: Dokter. MARIANI: Siapa aku? DOKTER: (Memegang kartuyangdiikatkan pada sandaran ranjang). Mariani. Dua puluh empat. Mahasiswa Fakultas Ekonomi. Hobi: Memanjat tebing. Ginjal dalam keadaan gawat.

halaman 32

ADEGAN KEDUA Lampu menyoroti Panggung Dua. Mariani dan Hamdan sedang duduk di terap sambil termenung. MARIANI: (Memandang Hamdan) Siapakah kau? HAMDAN: (Memandang Mariani) Siapa kau? MARIANI: Kau siapa? HAMDAN: Kau siapa? MARIANI: Kau dulu! HAMDAN: Kaulah dulu! MARIANI: Kaulah! HAMDAN: Baiknya kau! Lady first! MARIANI: Masih laku sikap manis formal warisan orang Eropa itu di tempat seperti ini? HAMDAN: Tempat maksudmu?

seperti

ini?

Apa


MARIANI: Tak tahu kau? Betul kau tak tahu? Percuma kau sudah hidup lama, beberapa tahun lebih tua dari ayahku. Tapi di mana tempat kau berada sekarang pun tidak tahu. HAMDAN: Mari kita selesaikan satu per satu. Mula-mula tentang nama. Namaku ... MARIANI: Hamdan! HAMDAN: Dari mana kau tahu? MARIANI: Itulah beda kita. Selain usia juga keparahan penyakit. Kau tertidur ketika dokter membaca kartu identitas dan keterangan tentang penyakitku, atau barangkali telingamu tidak setajam telingaku. Aku mendengar baik-baik dan dengan baik ketika dokter membaca kartu identitas dan keterangan tentang penyakitmu. Jadi aku lebih mengenalmu, sedang kau tak mengenalku. HAMDAN: Kita berada di mana? MARIANI: Di ambang antara hidup dan mati. Di tempat seperti ini gula dan garam kehilangan rasa, menjadi tawar. Tak ada lagi panas dan dingin. Semua yang berhubungan dengan perasaan telah mendapat kadar dan nama yang baru di tempat kita berada sekarang ini. HAMDAN: Dari mana kau tahu? MARIANI: Selain perbedaan kelamin, lama atau baru sebentar menjalani kehidupan dapat membedakan pandangan. Namun perbedaan itu pun akan segera sirna setelah kita memasuki ruang di depan yang pintunya sudah mulai terbuka itu. HAMDAN: Apa maksudmu? MARIANI: Jangan pura-pura dan jangan jatuh bodoh, profesor! Perhatikan, mana berani aku berengkau-aku denganmu sesuai perbedaan kita kalau berada ruang kehidupan dunia di sebelah sana itu!

HAMDAN: Perbedaan? MARIANI: semuanya.

Yang

sudah

hampir

punah

HAMDAN: Tunggu dulu! Tunggu dulu! Masih ada yang belum beres. Namamu? MARIANI: Mariani! HAMDAN: Teruskan, Mariani! MARIANI: Karena masih bertahan di ruang Koma maka sebagian besar perbedaan antara kita sudah lenyap. Salah-satu yang masih bertahan ialah perbedaan kelamin. Tepatnya perbedaan alat kelamin. Karena kita masih memiliki tubuh dan nyawa, masih memerlukannya, meskipun sedikit. Kita harus tetap mempertahankan perbedaan itu, Hamdan. Bagitu ruang ini kita tinggalkan, segala perbedaan yang ada di antara kita pun tak lagi kita punyai. HAMDAN: Tak kau lihat sesuatu yang aneh pada diriku, Mariani? MARIANI: Aneh apa? Kau biasa-biasa saja! HAMDAN: Coba perhatikan baik-baik! MARIANI: Apa? Ada apa, Hamdan? HAMDAN: (Menunjuk ke lantai) Aku telah kehilangan sesuatu yang akrab dengan semua manusia, sesuatu yang akrab dengan semua makhluk, bahkan dengan semua benda. Aku kehilangan bayang-bayang di tengah puncak terang lampu. Coba aku ingat-ingat dulu semua yang terjadi padaku akhir-akhir ini. (Mereka diam sebentar) Ya, aku juga sudah kehilangan mimpi. Ke mana perginya semua mimpi-mimpiku? Dulu mimpi-mimpi itulah yang membuat semangat hidupku tetap menggelegak. Ke mana perginya semua itu sekarang? Apakah ini tanda kematian? MARIANI: (Melihat ke lantai dan merabaraba ke tempat bayang-bayang Hamdan yang hilang. Dia tiba-tiba menggeletar seperti

halaman 33


diserang malaria). Dingin sekali! Hamdan, aku kedinginan sekali! HAMDAN: Dengan apa hendak kutolong kau mengurangi kedinginan di tempat seperti ini? MARIANI: Dengan dirimu. Dengan dirimu seluruh. HAMDAN: Dengan diriku seluruh? MARIANI: Peluk aku erat-erat dengan hati dan dengan lenganmu yang sudah hampir kehilangan tugas itu. HAMDAN: (Mengulur lengan seperti hendak memeluk tapi tak sampai) Mariani, induk lautan, harapanku yang penghabisan! MARIANI: Cukuplah sudah kata-kata seperti itu, Hamdan. Di tempat ini bebek buruk dan merak cantik sudah tidak lagi berbeda. HAMDAN: Tapi aku hanya punya kata-kata. MARIANI: Sudah sejak lama aku tahu siapa kau, Hamdan. Bukankah kau sudah melampaui prestasi professimu? HAMDAN: Sepertinya tak ada lagi yang terlindung tentang diriku padamu. Mengapa semua ini baru kuketahui setelah berada di ujung perjalanan? MARIANI: Mungkin kita sudah berada di bagian ujung perjalanan. Tapi belum habis, Hamdan. Belum. Kita masih punya nyawa, masih punya tubuh. Mari kita satukan nyawa dan tubuh kita, agar harapan yang tinggal sedikit itu dapat bersambung, agar dapat memberimu suatu hadiah yang mungkin mengurangi kepedihan hidupmu. Dengan penuh kerelaan akan kuberikan kepadamu sesuatu yang tak pernah kau dapatkan dalam hidupmu. Kau tahu aku bukan perempuan bodoh. Apa yang kuharapkan darimu kalau bukan jawab pada kasihmu dengan kasih pula? Aku ini seorang pemanjat tebing. Kaulah tebingku. Dengarkan ucapan jujur yang keras dan menyakitkan ini. Kaulah tebingku, meski mungkin sekali

halaman 34

bukan tebingku yang penghabisan. Kalau tebingku yang sekarang runtuh, aku akan bertahan dengan melebur diri dan bersatu pada dinding tebing. Bangkit, Hamdan! Bangkitkan semangatmusebagaimana kau telah membangkitkan semangatku dulu. Mari kubantu engkau! Kita harus berupaya mengalahkan keadaan ini. Mengalahkan kekuatan yang terkandung dalamnya sampai habis kikis. HAMDAN: Dingin yang menyerangmu tadi datang padaku. Peluk aku, Mariani! Peluklah aku erat-erat dengan dirimu seluruh, dengan hati dan lenganmu. Di depanku yang ada cuma gelap dan kosong. Kedua lenganmu akan mengusir dingin, dan hatimu akan membelokkan aku dari gelap dan kosong. Jangan biarkan kegelapan dan kekosongan itu memelukku. Mariani, dengan lengan dan hatimu kegerunanku berkurang menghadapi pintu itu. (Mereka mengeratkan pelukan lalu saling melepaskan diiri. Lalun Mariani menuntun tangan Hamdan, menuju ke Panggung Satu yang masih dalam liputan kegelapan. Sementara Hamdan berupaya hendak pergi ke bawah panggung di arah yang bertentangan. Mereka berseret-seretan dalam gelap dan dalam temaram). ADEGAN KETIGA Lampu menyorot ke Panggung Satu. Mariani terbangun dan duduk di ayas ranjang. Hamdan mencoba bangun, tapi hanya tangannya yang menggerapai di udara, tangan yang jatuh terkulai di atas dadanya. Mariani bangkit dan merejuk ke arah tempat-tidur Hamdan, mundur beberapa langkah dengan mata terbelalak. Dia maju dan mundur beberapa kali. Lalu berdiri seperti patung, patung pualam seperti yang banyak terlihat di kuburan orang Nasrani pada masa lalu.


MARIANI. (Seperti lolong serigala yang kehilangan anaknya dia meratap sambil memegang perut) Teruskan perjalanan dukamu, Hamdan! Cukuplah sampai di sini. Aku tak kuasa menuntunmu sampai ke ujung jalan. Masuklah ke pintu dunia sana dengan langkah gagahmu seperti yang selama ini kaulakukan. Tenanglah sekarang karena aku berjanji akan memilihara milikmu, milikku juga, milik kita. Akan kupelihara dia dengan seluruh kumpulan rasa sayangmu kepadaku. Besok kejadian ini akan menjadi pembicaraan orang sekota. Seorang perempuan muda dan seorang lelaki seusia ayahnya yang sudah hampir tiga bulan dalam keadaan koma telah saling berhubungan dan berbuah; padahal mereka melakukannya di dimensi lain dari alam terkungkung ini. Di sana orang barangkali menamakannya mukjizat, tapi di sini, di seberang perbatasan ini semua itu merupakan hal yang biasa-biasa saja. Bangkit, bangkitlah Hamdan, sayangku, buah rinduku, dewaku, bangkitlah! Berikan semangat padaku menjalani hidup di ruang sempit ini. Hamdan, teruslah kau ke sana, aku melanjutkan perjalanan kembali ke laman tempat kita bermain yang dinamakan hidup. Di seberang perbatasan ini hanya tempat singgah. Sepanjang apapun hidup, rentang waktunya tetap tidak lama. Tidaklah lama! Hamdan! Hamdan! Hamdaaan!

Dokter datang terburu-buru diikuti Perawat. Mereka tercengang melihat tingkah Mariani dan berupaya menenangkan dia. Tapi perempuan yang sudah seperti kesurupan itu mengamuk sambil memanggil-manggil nama Hamdan. Dan Hamdan memang sempat menggerakkan tangan ke atas sebentar, lalu tangan itu terhempas atas dadanya. Jerit Mariani menjadi-jadi. DOKTER: (Sambil memegang tangan Mariani yang marah sambil meneriakkan nama Hamdan) Tenang! Tenang! Ada apa ini? Ada apa? Perawat! Cepat! Lampu padam perlahan-lahan. Selesai.

halaman 35


Esei

Pujangga Hasan Junus dalam Kenangan Oleh: drh. Chaidir, MM

PUJANGGA Hasan Junus telah berlayar meninggalkan dermaga, sendirian di samudera sepi tak bertepi, dan tak akan pernah kembali. Pepatah Latin, verba volant scripta manent, sangat tepat menggambarkan eksistensi sosok Hasan Junus. Kata-kata lisan itu bisa terbang hilang melayang, mudah dilupakan, sebaliknya apa yang ditulis akan tetap tinggal.

halaman 36


Karyanya dalam berbagai genre yang lahir dari kecendekiawanan, kecerdasan, kepedulian dan kesetiaannya kepada sastra berupa puisi, cerpen, naskah sandiwara, novelet, esai, kritik sastra mengalir deras semasa hidupnya. Tulisannya bertebaran dimana-mana, dalam bentuk buku, berbagai majalah dan surat kabar. Hasan Junus memang terlahir sebagai seorang pujangga. Intelektual Melayu, Abdul Malik, sebagaimana dimuat www. tamadunmelayu.info (22/10/2011) menulis, “di dalam diri Hasan Junus mengalir darah kepengarangan Raja Ali Haji, pujangga terkenal Melayu, pahlawan nasional, dan Bapak Bahasa Indonesia. Kakek dari ayahanda Hasan Junus, Raja Haji Muhammad Junus adalah Raja Haji Umar tak lain tak bukan adalah saudara kandung Raja Ali Haji. Kedua orang itu adalah Raja Haji Ahmad Engku Haji Tua. Bukankah Engku Haji Tua adalah seorang pengarang?” Abdul Malik selanjutnya menyebut, Aisyah Sulaiman, pengarang dan pejuang marwah perempuan adalah ibu saudara dua pupu Hasan Junus. Darah kepujanggaan Hasan Junus itu memperkuat dalil dalam pepatah Latin lainnya, Poeta nascitur non fit. Pujangga itu dilahirkan bukan dibentuk. Oleh karena itu Hasan Junus tak akan tergantikan. Penguasaan bahasa asing seperti bahasa Inggris, Perancis, Spanyol, Jerman yang diperolehnyasecaraotodidak memungkinkan Hasan Junus melakukan “pengembaraan” intelektual untuk mendalami karya sastra barat. Oleh karena itu tak berlebihan bila budayawan Prof Dr Yusmar Yusuf menyebut, “Dia adalah samudera pengetahuan bagi Melayu. Dalam diri Hasan Junus bertemu segala sayap Bumi: ya Barat ya Timur. Semua berjalin menjadi satu jahitan mengukuhkan identitas Melayu. Hasan Junus mewarisi segala khazanah kebudayaan dunia: Timur setimur-timurnya, Barat sebarat-baratnya, dengan tidak meninggalkan setitik pun

sumber mata air Melayu itu.” (Riau Pos, 1/4/2012). Artinya, kendati Hasan Junus banyak memberi apresiasi terhadap sastra Barat, dia tetaplah seorang pujangga yang sangat sadar akan jati dirinya sebagai pewaris tradisi kepengarangan di negerinya. Sejarah Kesultanan Riau-Lingga tersohor bukan karena keberaniannya menghunus pedang, tetapi oleh agenda kesusasteraan. Hasan Junus bukanlah pujangga yang berkarya sekadar berkarya. Namanya tak hanya dikenal di peringkat daerah Kepulauan Riau dan rantau Riau, tetapi juga dikagumi di persada nusantara, bahkan sampai ke luar negeri. Oleh karena itulah pecinta kesusasteraan nusantara menyebutnya sebagai Paus sastra Indonesia, menyandingkannya dengan HB Jassin. Hebatnya, Hasan Junus tidak hanya menulis esai kritik sastra seperti HB Jassin, tapi ia juga menulis puisi, cerpen, novel dan naskah drama. Cerpen karyanya, Pengantin Boneka, misalnya, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Jeanette Lingard dan diterbitkan dalam Diverse Lives-Contemporary Stories from Indonesia oleh Oxford University Press (1995), sebuah penerbit bergensi di dunia. Bukunya Corak dan Ragi Tenun Melayu Riau, diterbitkan oleh penerbit Adicita, Yogyakarta (2003) yang ditulis bersama Abdul Malik, Tenas Effendy, dan Auzar Thaher, kini menjadi bacaan di Australia dan dikoleksi oleh National Library of Australia. (Abdul Malik, www.tamadunmelayu.info 22/10/2011) Hasan Junus memiliki dedikasi yang sangat tinggi terhadap sastra, tak ada yang meragukan sama sekali. Di usianya yang sudah senja dan kesehatan mulai menurun, selama beberapa tahun terakhir ia masih rajin menulis secara kontinyu. Rubrik esai sastra Rampai Pujangga Hasan Junus yang terbit setiap hari Ahad di harian pagi Riau Pos, yang ditulisnya dengan bahasa sangat menarik penuh frasa berona (colorfull word), tak akan pernah lagi muncul selamanya.

halaman 37


Kita sungguh merasa kehilangan. Rasanya ada sesuatu yang hampa di halaman di mana biasanya rubrik Rampai Sang Pujangga. Suatu kali saya hampir pingsan membaca Rampai Hasan Junus. Dengan judul “Ombak” Rampai tersebut nampaknya khusus sebagai bentuk apresiasi Sang Pujangga terhadap buku kumpulan esai saya, Membaca Ombak yang diberi Kata Pengantar oleh sastrawan Goenawan Mohamad. Saya sungguh merasa tersanjung. Sebuah karya tulis, menurut Hasan Junus, mendapat tempat yang terhormat kalau ada seseorang yang terilhami atau inspire par karya itu. Dan buku Membaca Ombak nampaknya berhasil memancing Sang Pujangga menoleh. Tidak hanya sekedar menoleh, dia pun memberi petuah agar saya mengambil teladan dari sosok leluhur Melayu, Demang Lebar Daun, mertua Raja Sri Tri Buana. Demang Lebar Daun memposisikan diri sebagai wakil rakyatnya untuk membuat kontrak sosial pertama di alam Melayu. Sang Raja dan mertua yang mewakili rakyat bersepakat untuk saling setia. Bahkan Demang Lebar Daun menegaskan, sebagaimana ditulis Hasan Junus, apabila dari keturunannya melakukan kesalahan, hukumlah. Kalau kesalahannya besar dan sepadan untuk dibunuh, maka boleh dibunuh, tapi sekalisekali jangan dipermalukan. Demang Lebar Daun itu pulalah kemudian yang menjadi judul buku kumpulan esai saya setelah Membaca Ombak. Buku tersebut sebenarnya sebuah buku kumpulan esai biasa, namun menjadi kenangan tak terlupakan ketika diberi judul Demang Lebar Daun, yang dipilih atas restu Hasan Junus. Dan buku tersebut secara khusus pula diberi Kata Pengantar oleh Sang Pujangga. “Hanya Anda yang boleh menggunakan judul Demang Lebar Daun, karena Anda Demang Lebar Daun masa kini” kata Sang Pujangga bergurau. Ketika itu (2007) saya memang masih menjabat sebagai wakil rakyat dengan

halaman 38

posisi Ketua DPRD Provinsi Riau. Kini “Paus Sastra Indonesia” itu telah berangkat dengan lambaian mesra meninggalkan aroma harum mewangi yang melekat pada nama, karya sastra dan kenangan indah yang ditorehkannya. Selamat jalan Signor, ci vediamo. ***


Esei

Reading Society:

Sebuah Cara Membangun Kebudayaan Intelektualitas oleh Agung Yuli TH

erakan intelektualitas adalah awal suatu kebangkitan bangsa. Sejarah telah mencatatnya. Itu membuktikan bahwa kebudayaan berpengaruh dalam hal tersebut. Akan sangat membantu jika dalam suatu masyarakat terdapat kelompok yang mengamalkan gerakan tersebut. Jadi, kemajuan demi kemajuan dalam berbudaya dapat berkesinambungan dari masa ke masa. Otomatis secara lambat laun akan terbentuk masyarakat yang cerdas gemilang.

halaman 39


Terlepas dari argumen di atas, lalu beralih pandangan pada kebudayaan yang tumbuh di Indonesia; bagaimana taraf pendidikan di suatu daerah, sejauh apa kecerdasan mereka, tentu perlu diperhatikan. Faktor yang paling berperan dalam perkembangan intelektualitas individu adalah keluarga dan lingkungan. Faktor itu pula yang sekaligus menjadi kemerosotan suatu nilai intelektual, bahkan dapat menyebabkan kebudayaan yang menyimpang. Jadi, keadaan lingkungan sangatlah berpengaruh. Sebagai orang tua atau lingkungan terdekat individu, diharuskan untuk mendidik individu dengan baik, serta mampu memberi contoh langsung dalam tindakan-tindakan setiap saat. Sedangkan untuk lingkungan luar, sekolah tentu menjadi tempat yang sangat membantu untuk menyerap pengetahuan dan pemahaman, sekaligus aktivitas bersosialisasi secara intelektual antar individu lainnya. Pertanyaannya adalah, sudah cukup baguskah standar pendidikan di lingkungan sekolah ini untuk mencetak calon cendekiawan? Semuanya kembali pada meteri ajar dan intensitas pemahaman siswa dan penerapannya di masyarakat. Secara umum, hasil dari dua ligkungan di atas, yakni keluarga dan sekolah, dapat dijadikan sebagai bayangan yang muncul dari cermin kebudayaan masyarakat. Namun masih terlalu picik jika dikatakan sekolah, orang tua, maupun masyarakat setempat sudah cukup untuk membuat kebudayaan intelektual di tempat tersebut hanya dari pandangan mereka akan pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan. Pada dasarnya, perkembangan akan menuntut pengetahuan-pengetahuan tenhalaman 40

tang segala macam aspek kehidupan. Untuk itu, tentu pengetahuan tentang di dunia harus sering didapatkan. Dan membaca adalah alternatif bijak, sebab buku adalah sarana untuk berinteraksi antara individu dengan dunia. Maka, masyarakat aktif membaca atau reading society perlulah untuk dibentuk. Sebagai salah satu perbandingan yang mencolok antara kemajuan negara satu dengan yang lainnya bisa dilihat dari aktifitas keseharian masyarakatnya, yakni membaca. Bahkan, ada suatu negara dengan masyarakatnya yang begitu bangun tidur, saat sarapan, atau berangkat kerja, sudah terbiasa dengan membaca. Membaca buku apa saja, terutama sekali novel. Mereka terbiasa dengan kegiatan membaca di mana pun mereka berada, bahkan di kereta api, bus, pesawat, taman-taman, dan semua tempat yang bisa diduduki dengan nyaman. Bandingkan dengan masyarakat kita saat ini! Untuk menciptakan reading society, melibatkan dua komponen utama, yakni orang tua dan peran pendidikan formal. Orang tua, sebagai lingkungan terdekat individu harus memberi contoh sebagai orang yang aktif membaca. Orang tua atau dewasa harus memantau dan mengarahkan individu pada tujuan atau maksud dari buku yang dipelajarinya. Bagaimana seorang individu tiba-tiba bisa suka membaca jika sejak dini orang tua tidak menerapkan disiplin ini? Tentu jarang terjadi. Di pendidikan formal, membaca perlu dijadikan sebagai mata pelajaran yang tetap, seharusnya. Suatu topik bacaan harus bisa dipahami dan diceritakan oleh siswa secara keseluruhan. Tujuannya adalah agar siswa menjadi terbiasa dengan membaca. Otomatis dengan kebiasaan ini, aktifitas


untuk belajar pada mata pelajaran lainnya pun bisa mudah dilakukan sebab terbiasa membaca. Di negara-negara maju, membaca sudah dari dulu memnjadi mata pelajaran pokok. Biasanya berbasis sastra. Di Inggris, misalnya, puisi-puisi Shakespeare menjadi bacaan wajib sejak SD. Tujuannya untuk menanamkan tradisi etik dan kebudayaan masyarakatnya. Di Swedia, beragam spanduk dibentangkan di hari raya. Isinya kutipan dari karya-karya kesusastraan. Di Malaysia dan Jepang, warga usia sekolah diwajibkan membaca sedikitnya dua puluh lima karya sastra. Di indonesia sendiri, sejak jaman kolonial belanda, saat memasuki awal tingkat menengah atas, siswa diharuskan menamatkan membaca lima belas karya sastra yang semuanya dalam bahasa Inggris, Belanda dan Melayu. Ditingkatan kedua malah sampai tiga puluh karya sastra. Hanya saja setelah Indonesia merdeka, kebijakan itu dihapuskan dan difokuskan pada ilmu pengetahuan umum saja, dengan alasan agar dapat menciptakan pelajar yang terampil dalam suatu bidang untuk pembangunan Indonesia.

Sedangkan, dari hasil yang didapat dari reading society adalah setelah terciptanya individu yang cerdas, akan timbul komunitas yang aktif membicarakan suatu permasalahan dalam bidang-bidang tertentu, progresifnya teraplikasikan kedalam tatanan kehidupan. Semakin luas jaringan itu terbentuk, kebodohan akan dengan mudah hilang dari masyarakat. Nah!

Sumber Rujukan: Nur, Arafat. 2012. Sastra dan Minat Baca yang Suram. Dalam Majalah Frasa edisi keempat. T.H, Agung Yuli. 2013. Sastra: Sebuah Alternatif Untuk Pendidikan Karakter. Dalam Majalah Bong-Ang edisi kedua. Widarmanto, Tjahjono. 2013. Masa Depan Sastra. Sidoarjo: Satukata Book@art Publisher ***

halaman 41


Cerita-Pendek Terjemahan

Hanya Buih Saja Oleh Hernando Tellez

Terjemahan dari teks berbahasa Inggris yang berjudul “Just Lather That’s All” oleh Yane Syifa Khairunissa

Ia tak berkata sepatahpun saat masuk. Saat aku tunak mengasah pisau-pisau cukur terbaikku di kulit pengasah. Aku mulai gemetar saat mengenalinya. Namun hal itu tidak menjadi perhatiannya. Aku meneruskan mengasah sebilah pisau, untuk menyembunyikan perasaanku. Kemudian aku coba ketajamannya pada jangat di ibu jariku lalu mengamati ke cahaya. Saat itu ia telah melepas sabuk di pinggang bertatahkan pelor di mana sarung pistolnya tergantung. Lalu disangkutkannya pada sangkutan yang terpaku di dinding dan menyangkutkan pula topi tentaranya di sana. Kemudian ia berpaling ke arahku sambil menlonggarkan ikat dasinya dan berkata, “Gerah sekali. Tolong cukur aku”. Iapun lalu duduk di kursi. Kuperhatikan ia mempunyai janggut yang tak tersentuh pisau cukur sekitar empat hari. Empat hari yang dihabiskan dalam misi untuk memburu pejuang-pejuang kami. Wajahnya kelihatan memerah karena terbakar matahari. Dengan telaten aku mulai menyiapkan sabun. Kuiris beberapa potongan kecil-kecil dan kumasukkan ke dalam mangkok kemudian mencampurnya dengan sedikit air hangat lalu mengaduknya dengan setangkai kuas. Busapun segera muncul. “Para anggota regu yang lain agaknya juga sudah janggutan sebanyak ini”. Aku meneruskan mengaduk busa.

halaman 42


“Tapi kerja kami tidak sia-sia. Kami menangkap banyak. Kami bawa pulang sebagian yang sudah mati dan lainnya yang masih hidup. Tapi sebentar lagi mereka semua juga akan mati.” “Berapa jumlah yang sudah anda tangkap?” tanyaku. “Empat belas. Kami harus masuk agak jauh ke dalam hutan untuk menemukan mereka. Tapi kami akan mendapatkan mereka semua. Tak seorangpun dari mereka yang keluar dalam keadaan bernyawa, tak seorangpun.” Ia menyandarkan punggung-nya ke sandaran kursi ketika melihatku memegang kuas pemoles busa. Aku masih harus menyelimutinya. Tak dapat disangkal aku memang bingung. Kukeluarkan selimut dari laci dan memasangnya di leher tamuku. Agaknya ia tidak akan berhenti bicara. Mungkin ia berpikir aku bersimpati pada pihaknya. “Penduduk kota ini seharusnya sudah mendapat pelajaran dari apa yang kami lakukan beberapa waktu lalu,” katanya. “Ya,” jawabku sambil mengikat simpul di lehernya yang hitam dan berpeluh. “Pertunjukkan yang menarik, kan?” “Sangat menarik,” jawabku sambil beralih kembali kepada kuas tadi. Pria itu memejamkan matanya dalam posisi kelelahan dan duduk menanti usapan busa sabun yang dingin. Belum pernah aku berada sedekat ini dengannya. Pada hari itu, ketika ia memerintahkan seluruh penduduk kota berbaris di halaman belakang sekolah untuk menyaksikan empat orang pemberontak yang digorok di sana, aku berhadapan muka dengannya pada suatu jarak. Namun pemandangan dari tubuh-tubuh yang dibuntungi itu mengalihkan perhatianku dari wajah orang yang memerintahkan itu semua, wajah yang sebentar lagi akan berada di tanganku ini. Sesungguhnya wajahnya tidaklah buruk. Dan janggut yang membuatnya tampak sedikit lebih tua dari usia sesungguhnya ini sama sekali tidak membuatnya kelihatan dekil. Namanya adalah Torres. Kapten Torres. Seorang yang senewen, sebab siapa lagi yang punya pikiran untuk memancung para pemberontak dalam keadaan bugil dan kemudian menjadikan beberapa bagian tertentu dari tubuh mereka sebagai sasaran latihan tembak? Aku mulai memoleskan lapisan pertama dari busa sabun. Dengan mata terpejam ia melanjutkan, “Dengan mudah aku bisa tertidur,” katanya, “tapi ada pekerjaan yang harus dilakukan petang ini.” Aku berhenti memoles dan bertanya dengan lagak seakan-akan tidak begitu tertarik, “Regu tembak?” “Seperti itulah, tapi sedikit lebih pelan.” halaman 43


Aku melanjutkan mengolesi busa di janggutnya. Kedua tanganku mulai menggigil. Pria itu mungkin tidak tahu dan inilah keuntunganku. Namun sesungguhnya aku lebih suka kalau dia tidak datang. Rasanya seperti banyak dari kelompok kami yang melihatnya waktu masuk tadi. Dan seorang musuh di bawah atap seseorang bisa menimbulkan masalah. Aku mesti mencukur janggut itu seperti yang lainnya, dengan penuh kecermatan dan kelembutan, seperti kepada tamu-tamu yang lain, berusaha keras memperhatikan agar tak satu pori-poripun menitikkan darah. Memperhatikan secara cermat agar tumpukan rambut yang kecil-kecil jangan sampai membuat mata pisau kesasar. Memastikan bahwa pada akhirnya nanti kulitnya akan bersih, lembut, dan sehat, sehingga bila kugesekkan punggung tanganku di atasnya aku tidak akan merasakan sehelai rambutpun. Ya, diam-diam aku sedang menangani seorang pemberontak, tapi aku juga seorang tukang cukur yang cermat dan bangga akan ketepatan profesiku. Dan janggut berumur empat hari ini adalah tantangan yang tak terduga. Kuambil sebilah pisau cukur, kukeluarkan dari sarungnya sehingga mata pisaunya berada di luar dan memulai tugasku dari salah-satu sisi pipinya terus menurun ke bawah. Pisau cukur itu menjalankan tugasnya dengan baik. Janggutnya kaku dan keras, tidak terlalu panjang tapi tebal. Sedikit demi sedikit permukaan kulitnya muncul. Pisau cukur itu berjalan terus dan mengeluarkan suara yang khas saat busa dan potongan rambut yang kecil-kecil menumpuk di sepanjang mata pisaunya. Aku berhenti sejenak membersihkannya, lalu mengambil kulit pengasah untuk menajamkannya lagi, karena

halaman 44


aku adalah tukang cukur yang melakukan pekerjaan dengan cermat. Pria yang tadi terpejam itu kini membuka matanya, menggerakkan salah satu tangannya dari bawah selimut, merasakan bagian di wajahnya yang baru saja bersih dari busa sabun dan berkata: “Datanglah ke sekolah hari ini pukul enam.” “Seperti yang dulu itu?” tanyaku cemas. “Lebih baik lagi,” jawabnya. “Apa yang rencanakan?”

Anda

“Saat ini aku belum tahu. Tapi kami akan bersenang-senang.” Sekali lagi ia menyandarkan punggung dan memejamkan mata- nya. Aku mendekatinya dengan pisau cukur teracung. “Apa Anda punya rencana untuk menghukum mereka semua?” tanyaku agak takut. “Ya…Semuanya.” Sabun di wajahnya mulai mengering. Aku harus cepat. Di cermin aku melihat ke jalanan. Semuanya seperti biasa, toko penjual bahan makanan dengan dua atau tiga pembeli yang ada di sana. Kemudian aku melihat jam: pukul dua siang lewat dua puluh menit. Pisau cukur terus berjalan ke bawah. Kali ini dari belahan pipi yang satu lagi terus ke bawahnya. Janggut biru yang tebal. Seharusnya dipeliharanya saja seperti yang dilakukan oleh beberapa orang penyair atau pendeta. Sangat cocok untuknya. Orang banyak tidak akan mengenali. Hal itu akan sangat menguntungkan baginya, pikirku, sementara sedang mengerjakan bagian leher dengan lancar. Di bagian ini pisau cukur harus dikendalikan dengan ahli karena rambut di situ meskipun lebih lembut, tumbuh-nya sedikit merebang. Bulu-bulu yang keriting. Sebuah pori-pori bisa lecet dan menitikkan darah. Seorang tukang cukur yang baik seperti aku ini bisa berbangga

halaman 45


karena tidak akan membiarkan hal ini sampai terjadi pada seorang pelanggan. Apalagi ini pelanggan kelas satu. Berapa banyak dari kami yang ditembak atas perintahnya? Berapa banyak pula dari kami yang penggal atas perintahnya? Lebih baik tidak usah memikirkannya. Torres tidak tahu kalau aku adalah musuhnya. Dia tidak tahu, juga yang lainnya. Ini adalah sedikit rahasia yang bocor, justru dengan demikian aku dapat memberitahu para pejuang tentang apa yang sedang dikerjakan Torres di kota dan tentang apa yang direncanakannya setiap kali melakukan safari memburu pemberontak. Namun dengan demikian juga akan sulit sekali untuk menjelaskan bahwa aku pernah menguasainya di tanganku dan melepaskannya dengan selamat, dalam keadaan hidup dan tercukur rapi. Kini janggutnya sudah hampir hilang seluruhnya. Ia kelihatan lebih muda, tidak terlalu tampak dibebani usia dibandingkan ketika baru datang tadi. Kukira hal ini selalu terjadi pada para pria yang mendatangi tukang cukur. Dengan sentuhan pisau cukurku, Torres menjadi muda lagi. Ia menjadi muda lagi karena aku adalah seorang tukang cukur yang handal, bahkan terhandal di kota ini kalau aku boleh sedikit menyombongkan diri. Sedikit busa lagi di sini, di bawah dagunya, pada jakunnya dan di atas pembuluh darah balik yang besar ini. Betapa panasnya! Torres pasti berkeringat banyak seperti aku. Tapi ia tidak takut. Ia seorang pria yang tenang, yang bahkan tidak memikirkan tentang apa yang akan dilakukannya nanti atas para tahanan itu petang ini. Sementara di pihak lain aku dengan pisau cukur di tanganku, yang sedang berulang-ulang mengikis kulit ini dan berusaha menjaga agar darah tidak sampai keluar dari pori-porinya, bahkan tidak dapat berpikir jernih. Sial‌ mengapa dia datang ke sini segala, karena aku seorang revolusioner dan bukan seorang pembunuh. Dan betapa mudahnya untuk membunuhnya. Bukankah sebenarnya hal itu memang pantas untuknya? Tidak! Setan busuk! Tak seorangpun pantas menyebabkan orang lain menjadi pembunuh. Apa untungnya bagimu? Tak ada. Orang-orang lain akan mengikutinya dan terus begitu, yang pertama membunuh yang kedua dan mereka akan mendapat giliran yang berikutnya; dan akan berjalan terus seperti itu sampai semuanya menjadi lautan darah. Aku bisa saja menggorok kerongkongan ini: sit! sit! Kata pisau. Aku takkan memberinya kesempatan untuk mengaduh dan karena kedua matanya sedang terpejam ia takkan melihat kilauan mata pisau

halaman 46


ini atau kilatan mataku. Tapi aku terus menggigil, tak seperti seorang pembunuh sungguhan. Dari lehernya nanti berdesau darah dan akan tumpah di atas selimut, kursi, di kedua tanganku, di lantai. Aku harus menutup pintu. Dan darah itu akan mengalir perlahan di atas lantai: hangat, tak bisa dihilangkan, tak bisa dicegah, sampai turun ke jalan, seperti aliran anak sungai berwarna merah pekat. Aku yakin dengan satu tekanan yang kuat, satu sayatan dalam, tidak akan terasa sakit. Dia tidak akan menderita. Tapi apa yang akan kulakukan terhadap tubuhnya? Ke mana aku harus menyembunyikannya? Aku nanti juga harus pergi meninggalkan semuanya dan mengungsi sejauh-jauhnya. Namun mereka akan terus mengejarku sampai berhasil. “Pembunuh Kapten Torres. Ia menggorok kerongkongannya ketika sedang mencukurnya, seorang pengecut!” Dan di pihak lain: “Pembalas dendam kita semua. Nama yang akan selalu dikenang (dan di sini mereka akan menyebut namaku). Dia adalah seorang tukang cukur di kota ini. Tak ada yang menyangka ia berpihak pada kita.” Lalu apa artinya semua ini? Pembunuh atau pahlawan? Kini nasibku tergantung pada ujung mata pisau ini. Aku dapat memutar tanganku sedikit lagi, menekankan pisau cukur ini agak keras dan membenamkannya. Kulit itu akan tembus seperti sutera, seperti karet atau seperti kulit pengasah. Tak ada yang lebih lembut dibandingkan kulit manusia dan darah selalu berada di sana, siap menyembur. Mata pisau seperti ini tidak akan gagal. Ini pisau punyaku yang terbaik. Tapi aku tidak ingin jadi pembunuh, tidak Tuan. Kau datang padaku untuk cukur. Dan aku melaksanakan pekerjaanku secara terhormat. Aku tidak mau ada darah di tanganku. Cukup busa sabun saja. Kau seorang algojo sedangkan aku hanyalah seorang tukang cukur biasa. Tiap orang punya kedudukan masing-masing pada tempatnya. Ya, pada tempatnya masing-masing. Sekarang dagunya telah tercukur bersih dan licin. Pria itu duduk tegak dan memandang ke cermin. Ia mengusapkan kedua belah telapak tangannya di atas kulitnya dan merasakannya segar, seperti baru. “Terima kasih,” katanya. Ia beranjak ke gantungan untuk mengambil ikat pinggang, pistol, dan topinya. Aku pasti sangat pucat, bajuku lembab karena peluh yang terus mengucur. Torres telah selesai meluruskan pistol di sarungnya dan setelah secara reflek mengelus

halaman 47


rambutnya ke bawah, ia memakai topinya. Kemudian dari dompetnya ia mengeluarkan beberapa keping uang logam untuk membayar jasa yang telah kuberikan. Selanjutnya ia melangkah menuju ke pintu. Di pintu keluar-masuk ia berhenti sejenak, dan sambil berpaling kepadaku berkata: “Mereka bilang kau akan membunuhku. Aku ke sini untuk membuktikannya. Tapi memang, menjadi pembunuh itu tidak mudah. Kau bisa pegang ucapanku ini.� Dan iapun meneruskan langkahnya menuju lebuh raya.***

HERNANDO TELLEZ (1908-1966) Seorang penulis kreativ asal Columbia. Sebahagian besar karya ceritanya berlatar belakang kejadian ditanah airnya sendiri. Hampir semua karya-karyanya menggambarkan kejadian memprihatinkan, kenyataan yang brutal yang membunuh kehangatan dan kegembiraan yang seharusnya dirasakan oleh setiap manusia.

halaman 48


Sajak

Irma Agryanti Imlek Ke Arah Matahari Angin Yang Menyelinap ke Dalam Kamar Seekor Kumbang Tersesat ke Dalam Televisi Ibu Kota di Rumah Dinas Kota, pagi-pagi Sore di Ruang Tunggu Lempuyangan Ramalan Telemos Kembara Tua Teater Kantor

Irma Agryanti. Lahir di Mataram, Lombok. Karyanya berupa puisi, cerpen dan opini dimuat beberapa media seperti Kompas, Bali Post, Lombok Post, dan sebagainya. Bergiat di Komunitas Akarpohon.

halaman 49


Imlek

Suatu purna, ketika biji-biji lotus lepas dari kuncupnya. Kepadamu aku berkisah tentang dongeng naga terakhir. Tiang-tiang kelenteng yang dibangun dari doa, kertas angpau dan kue bulan. Perayaan akan pertemuan sepasang kekasih.

Yin, esok pagi adalah sepi yang panjang dan perpisahan. Sedang harummu, hio yang tak habis dibakar. Mengundang laron-laron datang berkunjung ke jauh malam, di mana segalanya meremang, seperti nyala lilin merah.

Tapi matamu, yin, kolam yang dipenuhi ikan-ikan koi. Dan gaunmu, cahaya lampion berjatuhan, bagai musim gugur peony.

halaman 50


Ke Arah Matahari

Setelah dering jam weker. Setelah berita pagi. Ke arah matahari, dia akan berdiri, berlama-lama. Di teras, di mana atmosfer demikian dekat, sedang perasaannya dipenuhi bisikan dari jauh. Pandangannya layuh ke daun mapel, ke lengang kamar, pintu dan jendala yang terbuka. Betapa leluasa hangat terpaan, menumbuhkan berkat januari. Tapi arah hanyalah penanda. Setelah dadanya menjelma kupu-kupu, dan segalanya dilepaskan ke langit.

halaman 51


Angin Yang Menyelinap ke Dalam Kamar

ia datang di malam hari dan aku setia merentangkan jalan baginya membuka tirai dan menebalkan diri kami tak tahu, siapa begitu lancang menyelinap tenang. menerobos ke dalam kamar kami tak pernah saling menatap dibutakan kesedihan sementara jalan-jalan telah lama mengenalnya tapi jarak mengungsikanku teramat jauh tiba kemarau dan ia musnah aku tak lantas bersembunyi di balik selimut atau telanjang meski kami, tak saling menghangatkan

halaman 52


Seekor Kumbang Tersesat ke Dalam Televisi

seekor kumbang tersesat ke dalam televisi yang dulu berwarna abu televisi yang mencintai tanggal-tanggal merah roman-roman fiksi ada yang tak berani menonton juga takut masuk ke dalamnya sebab diajak bercinta dan melahirkan tokoh kartun kita penonton setia mata, ruang kosong yang terbuka

halaman 53


Ibu Kota di Rumah Dinas

pagi tadi, aku bertemu ibu kota di rumah dinas, di depan jalan besar dengan pohon-pohon palm dan gambar diri ada jembatan di sanggulnya selopnya lincah bergerak dia ingin jalan-jalan, tapi jalan-jalan tak punya hari libur ibu kota menjabat tanganku tersenyum, bibirnya merah seperti kembang sepatu seorang pelayan menghidangkan teh panas tangannya, warung-warung di kampung menanti sedang mimpinya mampir ke pusat toko aku bertemu ibu kota di rumah dinas, di depan jalan besar dengan pohon-pohon palm dan gambar diri ibu kota itu, orang-orang mendandani wajahnya

halaman 54


Kota, pagi-pagi

tuhan sudah pergi pagi-pagi subuh basah rambut perempuan itu dimandikan dari maninya

Sore di Ruang Tunggu Lempuyangan : Eri D

kita bukan lagi kanak-kanak yang hendak berwisata menunggu kereta dari ragam cuaca orang-orang berjalan dengan langkah berat kau ceritakan padaku tentang sesuatu berkelindan rindu bukan sia-sia meski hanya sebagai kenang semacam karat kau rawat di bangku-bangku tunggu dan jadwal keberangkatan memang, kita bukan lagi kanak-kanak yang hendak berwisata menunggu kereta atau menyusun tualang melainkan berpisah menyisa cemas

halaman 55


Ramalan Telemos

bila ada yang mengenyangkan dari 9 ekor kambing ialah cyclop mengurung kami dalam gua besar sebelum lolos di perutnya kubuatkan tongkat dari pohon zaitun halus meruncing lebih daya dari tongkat musa sebab ujungnya terbakar melepuh segala yang disentuh matanya kutusukkan sampai asap (sewaktu mabuk gelas ke tiga) tak perlu mengeluh pada poseidon tiba gemetar ia seisi gua bergetar dikira ramalan telemos telah sampai padahal ia terlampau bodoh hingga jadi buta tak paham bahwa firasat butuh ditimbang agar kami pulang lapang

halaman 56


Kembara Tua

dalam interval gerimis malam tak lagi temaram dan sulur bakau kian menggigil di utara, kabut tipis mengantar restu sebuah tangis di dadanya gemuruh di matanya menjadi ngilu lebur di buku-buku angin, garam laut, serta pengembaraan ia tak lupa pada batang mimpi mudanya pada kota-kota, dan tas ransel di punggung penuh kembang sesaji dan dingin abu dupa seorang kembara tua wajahnya mengusung udara lampau dengan setumpuk puisi berlalu begitu saja menuju estuari

halaman 57


Teater Kantor

arsitektur panggung monitor dan dinding-dinding pucat menyorot padaku diamnya, penuh kebimbangan ia bukan tempat singgah dimana waktu adalah tidur-tidur panjang tanggalan yang mengubah diri jadi monolog tempat ini tonil mengingatkanku pada teater orang-orang fasih bermain adegan lakon tanpa babak, pentas yang tak selesai tapi ia tak dibuat dari lembar-lembar naskah semisal narasi, prosa dalam rangkaian farce

halaman 58


Sajak Terjemahan

Walt Whitman

en enurut Mark van Doren (kritikus Do sastra) adalah sa “penyair Amerika “p yang paling orisinal dan memukau”, Walt Whitman (1819-1892) berhasil membangun batang tubuh puisi yang yang khas miliknya. Tidak konvensional, tidak kurang akan irama atau matter, menyenandungkan segala macam objek dengan kekuatan, kepekaan, paparan yangmenghidupkan pembaca. Karyanya yang paling terkenal adalah “Leaves of Grass” sebuah proyek raksasa Whitman setara dengan membangun sebuah katedral atau bagaikan sebatang pohon yang tumbuh pelan membesar dengan pasti. Karya ini merupakan sebuah serial dan ketika Whitman hidup ia sudah terbit dalam sembilan edisi antara 1855 dan 1892. “Leaves of Grass” sekarang dipandang sebagai salah satu tonggak dalam sejarah sastra Amerika.***

halaman 59


Kudengar Amerika Berdendang

Aku simak Amerika sedang berdendang, aku mendengar rupa-rupa doa, Senandung para tukang yang menyanyikan lagu dengan resa dan perkasa, lagu tentang diri mereka sendiri Tukang kayu menyanyi ketika menjengkal papan dan menokok Tukang batu berlagu saat selesai dan usai bekerja Pengayuh mendendangkan milik mereka di perahu, jurumudi menyanyi di belakang jentera Tukang sepatu menyanyi saat mereka mencangkung, tukang cukur menyanyi ketika berdiri, Nyanyian penguak semak, anak pembajak menyusur pagi dan petang saat rembang sedang berganti Merdu lantun lagu ibu dan istri belia sedang bekerja atau gadis-gadis sedang menjahit atau menyesah Semua menyanyi menyanyikan yang dipunyai hari ini sedang malam meriah pesta para remaja, penuh semangat dan rasa bersaudara Mereka menyanyi dan mendendangkan dengan mulut menganga terbuka lagu-lagu merdu perkasa.

halaman 60


Berawal dari Paumanok

Apa gerangan yang kau telisik hingga diam dan menekur? Apa gerangan yang kau perlukan camerado? Kau kira itukah cinta, puteraku tersayang? Dengar nak, anakku, putera ataupun puteri, dengarkan Amerika. Memang pahit ketika berkelebihan mencintai seorang lelaki atau perempuan tapi memuaskan, dan memang hebat. Namun masih ada yang lebih hebat lagi memungkinkan segala menjadi terjadi Dia sangat luar biasa mengatasi segala yang ada, dengan tangan-tangannya ia menyapu dan menyiapkan untuk segala.

Terjemahan ke bahasa Indonesia oleh: Sri Vestynora Naendita Dari: “Walt Whitman Selected Poems�, Dover Publications, Inc. New York,1991.

halaman 61


Rehal

Masyarakat Sakit Zaman Modern

Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard Medhy Aginta Hidayat Jalasutra, 2012 xii + 176 hlm.

MODERNISME sebagai paradigma peradaban modern tak sepenuhnya menjamin kebahagiaan hidup manusia. Di banyak hal, paradigma modernisme justru dianggap gagal membuat pencerahan dalam kehidupan manusia. Lebih jauh lagi, modernisme dipandang

halaman 62

sebagai penyebab munculnya berbagai anomali bahkan penyakit sosial masyarakat modern atau patologi modernitas. Sebagai antitesis modernisme muncul kerangka berpikir baru yang disebut postmodernisme. Yakni wacana kesadaran yang mencoba menggugat kembali batas-batas, implikasi


dan realisasi asumsi-asumsi modernisme. Postmodernisme menghadirkan kegairahan utuk memperluas cakrawala estetika, tanda, dan kode seni modern. Wacana kebudayaan ini menyertai kejayaan kapitalisme, kemajuan teknologi informasi yang menggiring lahirnya budaya konsumerisme, realitas semu, dunia hiperrealitas dan simulasi disertai dengan tumbangnya nilai guna dan nilai tular oleh nilai tanda dan nilai simbol. Kajian mengenai postmodernisme muncul sebagai bentuk gugatan terhadap kegagalan wacana modernisme sebagai pencerahan hidup manusia. Pauline M. Rosenau (1992) setidaknya mencatat lima alasan penting munculnya gugatan postmodernisme terhadap modernisme. Pertama, modernisme dipandang telah gagal menciptakan perbaikan menuju masa depan kehidupan yang lebih baik sebagaimana diharapkan. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak bisa lepas dari tindakan penyalahgunaan untuk kepentingan kekuasaan yang menyimpang. Ketiga, terjadi banyak ketidaksesuaian antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, pudarnya keyakinan bahwa ilmu pengetahuan modern serbamampu memecahkan persoalan-persoalan manusia. Munculnya berbagai anomali dan penyakit sosial sebagai pembuktiannya. Kelima, ilmu modern kurang memperhatikan dimensidimensi mistik dan metafisik manusia karena terlalu berpatokan pada paradigma fisik. Jean Baudrillard (filsuf Perancis) merupakan sosok penting pemikir kebudayaan postmodern. Pemikiran Baudrillard menjadi kunci penting untuk memahami pengertian dan watak postmodernisme. Menurut Baudrillard, masyarakat Barat (dan dunia secara umum)

sekarang ini adalah masyarakat konsumen, yakni masyarakat yang haus mengonsumsi segala sesuatu tidak hanya yang berwujud riil, tapi juga objek tanda. Sesuatu tidak lagi dinilai berdasar manfaat atau harganya, tapi berdasar prestise dan makna simbolisnya. Kalau mengacu pada telaah dan definisi yang dilakukan Baudrillard tersebut, sangat pas dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Di saat sebagian dunia mengalami krisis ekonomi, Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang mampu menunjukkan kinerja perekonomiannya untuk tetap tumbuh. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi terutama karena sokongan konsumsi di dalam negeri. Setiap hari bermunculan geraigerai waralaba, minimarket maupun malmal. Pola konsumsi masyarakat, terutama kelas menengah-atas, kerap hanya mengacu pada lifestyle, gengsi, dan persaingan. Gontaganti aneka aksesori, gadget atau kendaraan hanya untuk mengejar ?wah? dari pihak lain atau semata untuk prestise pribadi. Soal kegunaan barang atau besaran harga tak lagi menjadi ukuran. Gejala masyarakat yang tergila-gila akan simbol pribadi ditangkap dengan baik oleh para produsen berotak kapitalis. Setiap saat kaum kapitalis menambahkan satu atau beberapa fitur baru pada satu merek barang. Tujuannya mengeksploitasi kerakusan konsumen pada ?produk baru? yang bisa mendongkrak gengsi bila memilikinya. Tak heran terjadi antrean panjang setiap ada launching produk baru, yang kenyataannya hampir tidak berbeda dengan produk sejenis sebelumnya. Dalam era kapitalis sekarang ini nilai guna dan nilai tukar telah dikalahkan oleh suatu nilai baru, yakni nilai tanda dan nilai simbol (hlm. 60 ). Inilah gejala mayarakat yang sakit di era modern sekarang.

halaman 63


Buku ini berisi percik-percik pemikiran Jean Baudrillard yang menelanjangi akibat modernisme yang menyebabkan masyarakat modern menjadi masyarakat yang ?sakit? karena tergila-gila pada simbol. Terjadilah eksploitasi nafsu konsumtif masyarakat ?sakit? tersebut oleh kapitalis lokal maupun global. Buku ini memberi pencerahan teoritis yang gamblang dan komprehensif bahwa tak selamanya modernisme membawa kebaikan.***

Dukacita

Pimpinan dan Karyawan

Menyampaikan kabar dukacita atas meninggalnya :

Anwar Bin Abdul Rahman Danang Probotanoyo, Pusat Studi Reformasi Indonesia, alumnus UGM (Sumber, http://mediasangsufi.blogspot.com)

Ayahanda dari Armansyah Anwar (Seniman Musik)

Di Rumah Sakit Santa Maria Usia 78 tahun, (1 Januari 1936 - 1 Maret 2014)

Semoga Almarhum diterima di sisi Allah Swt dan keluarga yang ditinggalkan tabah menerima cobaan ini. Amin.

halaman 64


halaman lxv


halaman lxvi


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.