Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)
Esei: Imaji Puisi Kali
oleh Bambang Widiatmoko Cerita-Pendek Terjemahan:
Pemikiran yang Tak Terkendali oleh Shirley Jackson Sajak: -
Kinanthi Anggraini
- A. Warits Rovi Sajak Klasik: Puisi Spanyol (Copla) Tokoh: Du Fu Khasanah: Menikmati Tradisi
Begawai Talang Mamak Rehal: -
Islam Politik
- Kumpulan Puisi 3
Penyair Muda Malaysia Obituari
Gabriel Garcia Marquez
187
-
APRIL 2014
www.majalahsagang.com
halaman h hala ha alla aman man KU ma KULITi K UL LIITi Ti
halaman KULITii
Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 187 APRIL 2014 tahun XVI
Gabriel García Márquez (1927 - 2014) (Kematian yang ditangisi di seluruh dunia) merupakan penulis Amerika Latin paling terkenal sepanjang masa. foto internet
Daftar Isi Gabriel (6 Maret 1928 – 17 April 2014) ....2 Esei Imaji Puisi Kali oleh Bambang Widiatmoko ...................3 Cerita-Pendek Terjemahan Pemikiran yang Tak Terkendali oleh Shirley Jackson ............................. 8 Sajak - Kinanthi Anggraini .............................. 13 - A. Warits Rovi ......................................26 Sajak Klasik Puisi Spanyol (Copla) ..........................32 Tokoh Du Fu ...................................................42 Khasanah Menikmati Tradisi Begawai Talang Mamak .................................... 50 Rehal - Islam Politik.........................................53 - Kumpulan Puisi 3 Penyair Muda Malaysia ...............................................56 Obituari Gabriel Garcia Marquez ......................58
Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Ngatenang Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Ilustrator Tetap: Purwanto Manager Keuangan: Sri Herliani. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.
halaman 1
Tajuk
Gabriel Garcia Marquez (6 Maret 1927 – 17 April 2014) Eréndira tak menghiraukan lelaki itu. Dia mendedas berlari ke arah angin, lebih laju dari rusa, dan tak suatu suarapun di dunia ini dapat menghentikannya. Tanpa menoleh dia mencapai ke batas tempat sains alam kelautan berakhir dan gurun pun bermula, namun dia terus berlari dalam hujan panas jarum-jarum emas matahari terbenam yang tak pernah terbenam dan tiada terdengar lagi suara malapetaka yang menandai kehidupannya. DEMIKIAN alinea penutup (coda: dalam istilah musik) dari cerita ‘’Eréndira Tak Berdosa dengan Nenek Tak Berhati’’ karya Gabriel García Márquez, yang pernah ditulis oleh Hasan Junus dalam Rampai, Ahad, di Riau Pos. Pengarang besar dunia yang dikagumi oleh alm Hasan Junus, Gabriel García Márquez, peraih Hadiah Nobel bidang kesusastraan 1982 asal Kolombia ini akhirnya meninggalkan dunia yang fana ini juga pada hari Kamis 17 April 2014 dalam usia 87 tahun di Mexico City, dan sepatutnya Tajuk majalah Budaya Sagang edisi April 2014 ini mengemukakan tentang pengarang besar dunia ini - pun jika alm Hasan Junus masih hidup, pastilah ia membuat tajuk tentang Gabriel dan akan mengarahkan isi majalah Sagang ini tentang Gabriel Garcia Márquez. Karena itu, redaksi majalah Sagang, juga mengetengahkan tentang novelis dunia yang mengukuhkan aliran seni realisme magis dalam karya-karyanya ini, yakni obituary Gabriel Garcia Márquez, Sekilas Tentang Realisme Magis Gabriel Garcia Márquez, selain esei, cerita-pendek, budaya, dan sajak, seperti biasanya isi majalah Sagang ini. Ketika membicarakan pengarang ini, ada satu nobel Gabriel García Márquez yang senantiasa menjadi perbincangan ketika nama pengarang ini terlontar di ruang redaksi majalah Sagang yang ketika halaman 2
itu masih berada di kantor Riau Pos. Maka, alm Hasan Junus pun dengan tak sabar menceritakan segala tentang Gabriel dan isi novel yang terjual lebih dari 10 juta eksemplar ini, yang kemudian bersipongang memenuhi ruang redaksi majalah Sagang. Satu novel pengarang besar ini adalah One Hundred Days of Solitude atau Seratus Tahun Kesunyian (dalam bahasa aslinya Cien años de soledad) terbit pada 1967. Jadi, ketika nama pengarang ini disebut, tak dapat tidak pembicaraan tentang novel Cien años de soledad ini harus ada. Dan, patutlah, jika seorang pengarang besar dunia lainnya dari Peru, Mario Vargas Liosa, memberikan rasa hormat yang dalam tentang Gabriel Garcia Márquez. “Seorang pria hebat telah meninggal, karya-karyanya memberikan literatur bahasa kita mencapai besar dan prestise.” Selain rasa hormat yang lain juga diberikan oleh beberapa presiden seperti Barack Obama, Bill Clinton (yang menyebutnya sebagai pahlawan sastera), Presiden Kolombia Juan Manuel Santos, dan Presiden Mexico Enrique Pena Nieto. “Pak Hasan (alm)! Gabriel Garcia Márquez meninggal-dunia. Semoga kalian bercerita satu-sama-lain di kehidupan yang abadi itu – dan semoga kalian tidak merasa kesunyian selama seratus tahun. Semoga! ***
Esei
Imaji Puisi Kali oleh Bambang Widiatmoko
/1/ ADA ingatan pada masa kanak-kanak saya tentang kali (sungai) yang membuat hati saya berdesir tiap kali mengingatnya. Kali itu adalah kali Code yang mengalir di tepian desa tempat tinggal kakek nenek buyut saya, berbatasan dengan kampus Universitas Gadjah Mada. Tiap liburan sekolah saya bermalam di rumah leluhur yang tentu pada saat itu listrik belum tersambung. Tanah pekarangannya sangat luas berbatasan dengan makam Cina dan kali Code. Pohon kelapa, nangka, melinjo, dan bambu adalah
tanaman yang tumbuh lebat di pekarangan. Saya terkadang mengintip lobang sumur dan tampak permukaan airnya terlihat sangat dalam. Menjelang tidur nenek saya mendongeng bahwa tiap kali gunung Merapi mau meletus, kereta yang membawa Nyai Roro Kidul dan pengiringnya selalu melewati kali Code menuju Merapi. Terdengar suara gemerincing pada saat kereta itu lewat. Entah benar atau sekadar mitos berbau mistis tetapi cerita itu teringat terus sampai
halaman 3
kini. Sayangnya, sampai saat ini saya tidak berhasil merekam ingatan tersebut menjadi karya sastra berbentuk puisi. Kali, tentunya tidak sekadar menorehkan kenangan dan kebahagiaan masa kecil siapa pun dan di mana pun. Kali bisa mengandung muatan sejarah yang panjang, Kali, bisa berarti ada kehidupan yang bertopang pada aliran dan kandungan isinya. Kali dapat berfungsi sebagai pembatas geografis, kultural atau kekuasaan dari sebuah wilayah dengan wilayah lainnya. Kali, bisa berarti ada keindahan dan mungkin juga kengerian. Kali, adalah lingkungan hidup kita, yang telah menjadi perhatian bersama karena pencemaran. Kali, telah mencatat segala peristiwa dalam keberlangsungan hidup manusia. Banyak puisi yang mengungkapkan tentang (tema) kali, telah ditulis oleh penyair dari berbagai daerah di Indonesia. Tema adalah gagasan utama di dalam karya sastra. Di balik tema ada amanat atau pesan yang disampaikannya. Selain puisi bertema kali, kata kali juga menarik untuk dijadikan judul buku kumpulan puisi. Misalnya Akulah Musi, Riak Bogowonto, Ziarah Batanghari. Kali, juga muncul menjadi nama komunitas sastra, misalnya Komunitas Sastra Kalimalang. Hal itu menarik untuk menjadi kajian tersendiri.
diangkat sebagai wali (Atmodarminto, 2000: 50-60). Konon, sebutan Kalijaga muncul dari perintah Sunang Bonang yang menyuruh Ki Mas Sahid “bertapa� di pinggir kali. Cerita tradisi di Jawa memunculkan tokoh bernama Ratu Kalinyamat. Cerita ini mengisahkan Kalinyamat sebagai pusat kerajaan dan keagamaan pelabuhan Kota Jepara yang pada awalnya didirikan oleh Wintang, seorang saudagar Cina yang kapalnya terdampar di Jepara. Wintang adalah seorang muallaf setelah diislamkan oleh Sunan Kudus dan menikah dengan putri Sultan Trenggana dari Demak. Selanjutnya, istri Wintang menjadi ratu Jepara, yang pada masa kejayaan perniagaan menyandang gelar Ratu Kalinyamat (Reid, 2004: 90). Ritus atau perayaan-perayaan yang dilakukan terhadap keberadaan sungai pun dilakukan di berbagai daerah. Penyair dapat menangkap suasana ritus dan dengan berbagai persepsi dan imajinasinya, lantas dituangkan dalam bentuk puisi. Anwar Putra Bayu menulis puisi berikut ini: Ritus Sungai Segenap ikan menggoyangkan ekor menyelam dan pergi limbah pabrik menggenang. Jadi pembunuh para penjala letih saling menatap kau kehilangan mata air air sungai kepedihan
/2/ Dalam mitologi tokoh di pulau Jawa yang berkaitan dengan kali tentu melekat nama Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga semasa kecil bernama Ki Mas Sahid, seorang putra Tumenggung Wilatikta, Bupati Tuban (Aria Teja). Ia menjadi Muslim yang taat berkat wejangan dari Sunan Bonang, dan selanjutnya
halaman 4
yang mengalir di wajah anak-anakmu. 2012 (Sauk Seloko, Dewan Kesenian Jambi, 2012: 41)
Ritus Sungai telah menghadirkan kehidupan baru tentang sungai yang tercemar akibat limbah pabrik. Suasana kepedihan pun terbangun membaca puisi tersebut. Pencemaran yang terjadi di sungai dapat dilihat di berbagai kota akibat dampak dari industrialisasi. Pencemaran yang terjadi di sungai Musi juga menarik perhatian penyair lainnya. A. Rahim Qahhar menulis puisi Kurakit Puisi di Sungai Musi dalam kutipan sebagai berikut://musi, dahulu siti jernih bercermin/dari pagi hingga malam hari/dari sri susuhunan Abdurrahman/ hingga sultan ahmad najamuddin/aku menanti berabad-abad/kisah ini belum pernah tamat/kini rumah rumah dan limbah industri/menyamak paras arca seni amarawati//(Akulah Musi, hal. 8-9). Perjalanan sungai pun terus berlanjut dan akhirnya membawa nasib tersendiri, seperti yang ditengarai Eka Budianta: //Sungai yang dulu menangis/Di antara batu-batu di pegunungan/Sekarang telah sampai di kota/ Dan terus menuju ke laut/Tak lagi terdengar derai air terjun/Udara sejuk, nyanyian burung, semerbak bunga/Telah berganti panas terik dan polusi/Sampah, minyak bekas, ikan-ikan mati//(Perjalanan Sungai, hal. 8-9). Secara tersirat segala perubahan yang terjadi pada kehadiran sungai menjadi daya tarik dalam penulisan puisi. Jumardi Putra menuliskannya dalam kutipan bait terakhir://Terus kudaki jalan terjal ke arah sana/Meski sunyi dipayungi duri/Sepanjang jalan, terdengar nandung/anak-anak sungai ipuh://�Bertahun yang lalu, kami menyusun/ batu-batu cantik di bibir sungai/Kini, entah oleh siapa, bebatuan itu/memilih darat lain�//(Balada Sungai Ipuh, hal. 24). Menurut Reid (1992: 64-65), sebagian besar masyarakat Asia Tenggara terbiasa
melakukan ritus tahunan dengan tujuan untuk membersihkan desa dari roh jahat. Di wilayah pemeluk Islam, misalnya, bertahan tradisi mandi safar, yaitu suatu ritus mandi bersama yang dilakukan pada hari Rabu terakhir dari bulan Safar. Di wilayah pemeluk Buddha, bertahan ritus membersihkan boneka-boneka yang diikuti dengan aktivitas bersendau-gurau sambil melempar air. Adapun dalam pelarungan sesajen, biasanya mereka membuat rakit besar dari rotan yang berisi berbagai makanan yang di atasnya diletakkan sebuah kursi. Mereka melarungnya di Kali sambil berseru mengusir Sang Roh Jahat atau Sang Wabah, Ritual di kali terbukti lintas agama. Umat Hindu begitu mengagungkan sungai Gangga sebagai sungai yang suci, Belum lagi yang ada dalam tradisi sebagian masyarakat di Jawa yang menganggap kali dapat menyucikan diri lahir dan batin. Tradisi mandi di tempuran, tempat bertemunya aliran dua kali menjadi satu aliran, sampai saat ini masih banyak yang melakukan. Beredam di tempuran sungai pada waktu malam tertentu dilakukan sebagian masyarakat Jawa dalam kaitannya dengan kepercayaan Kejawen. “Kali atau wilayah perairan sebagai sumber kekuasaan dapat dijumpai pada kisah cinta Senapati dengan Nyai Roro Kidul – Ratu Laut Selatan dan Retna Dumilah – Pangeran Timur/Panembahan Madiun (Moedjanto dalam Wasith, 2006: 139). Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di antaranya memiliki wilayah kabupaten bernama Kulon Progo. Kabupaten ini sesuai namanya terletak di kulon atau barat kali Progo. Menurut hasil penelitian Suhindriyo disebutkan, Progo berasal dari Pragya atau Praga, artinya partirtan di anak kali Gangga. Kali Progo memiliki aliran sepanjang 135
halaman 5
kilometer, mencakup wilayah Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Magelang (Jawa Tengah), serta Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul (DIY). “Mitologi keagamaan dari Kali Progo mengisahkan aliran Progo sampai daerah Mungkid (Magelang) bertemu dengan aliran Kali Elo. Kata Elo berasal dari Ayla atau Eyla, yaitu sebutan Kali Yamuna di India yang dimitoskan sebagai kali suci. Daerah pertemuan dua kali tadi disebut prayaga, yaitu tempat suci di pertemuan Elo-Progo, sebagai tempat pembangunan kompleks percandian Buddha yang terdiri dari tri suci candi: Mendut, Pawon, dan Borobudur yang terletak dalam satu garis lurus (Suhindriyo, 2001: 49-55). Tentang imaji Kali Progo ditulis Triman Laksana dalam puisi berjudul Sketsa Kali Progo berikut ini: Air yang baru saja habis Di pematang-pematang garis tanah Telah memberi titik harapan Tergambar begitu menyilaukan mata Untuk segera dicari pada gerak menanam segala jenis masa lampau Di panggul pemula masa depan Masih mampu menghadirkan nafas hari Yang menggetarkan semangat kaki Dengan hamparan warna hijau hanya air yang bersumber dari keabadian Dijunjung tinggi bersama kemenangan Tak habis menjalani kesuburan bumi Segala yang tertata di mata
Berbeda dengan puisi sebelumnya yang menyiratkan kemuraman. Puisi Triman Laksana tetap menawarkan harapan -terhadap air yang bersumber pada keabadian. Kearifan alam yang bersumber pada air pun selalu terjaga.//Tanpa harus kembali meminta/ini hari/air kembali berkata//. Di tempat lain, melalui panjangnya aliran sungai, mengalir pula sejarah dan kehidupan yang panjang. M. Raudah Jambak menulis puisi sebagai berikut: Sungai Siak Dari jembatan leighton kukunyah riak air menitip intip patin-patin. Entahlah, mungkin muntah pasar bawah mungkin batuk tanjung datuk dari jembatan leighton kuhapus tetes air merayap jatuh di pipinya yang keruh, Entahlah, mungkin gertak tongkang Mungkin gerah limbah Dari jembatan leighton kusaksikan peluh air terkenang sejarah sirih yang pedih. Entahlah, mungkin sejarah pohon-pohon batu mungkin rerak sendi tanah-tanah retak dari jembatan leighton siak begitu kepompong rumbai, 10-11 (Sauk Seloko, Dewan Kesenian Jambi, 2012: 182)
Tanpa harus kembali meminta Ini hari Air kembali berkata. (Minggu Pagi No. 05 Th. 57, 1 Mei 2004)
halaman 6
Ada sejarah panjang diungkapkan oleh penyairnya tentang keberadaan sungai Siak. Dari “terkenang sejarah sirih yang pedih� sampai “gertak tongkang/mungkin gerah
limbah”. Meski “dari jembatan letong/siak begitu kepompong,” kita bisa merasakan pengaruh atau kejayaan sungai Siak sejak dahulu hingga kini. Dalam sejarahnya sungai Siak memegang peranan penting sebagai jalur perdagangan atau pelayaran. Hilir Kali dinilai strategis dan biasanya dijadikan sebagai ibu kota kerajaan tempat aktivitas perpindahan antara kapal samudra dan perahu, seperti negeri-negeri di Sumatra bagian timur – Palembang, Jambi, Indragiri, dan Siak. (Reid dalam Wasith 2006: 139). Sungai Siak juga dapat memberikan gambaran suasana yang romantis, seperti yang ditulis Satmoko Budi Santosa dalam kutipan ini://demikianlah sampanmu terayun-ayun/semanyun gadis-gadis melontar balasan pantun//. (Cincin Kawin di Sungai Siak, hal. 283).
Daftar Pustaka Atmodarminto, R. 2000. Babad Demak dalam Tafsir Sosial-Politik. Jakarta: Millineum Publisher. Budianta, Eka.2004. Rumah Sejati: Penyegaran Rohani. Magelang: Indonesia Tera. Herfanda, Ahmadun Yosi dkk. (Editor). 2011. Akulah Musi. Palembang: Dewan Kesenian Sumatera Selatan. Moedjanto, G. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius. Qahhar, A. Rahim at. al. 2012. Sauk Seloko Bunga Rampai Puisi Pertemuan Penyair Nusantara VI. Jambi: Dewan Kesenian Jambi. Reid, Anthony. 2004. Sejarah Modern Awal Asia Tenggara: Sebuah Pemetaan. Jakarta: Pustaka LP3ES. Suhindriyo. 200l. Anugerah Kali Progo. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. Wasith, Muhammad.”Berkahnya Akal yang Mili dari Sebuah Kali.” Wacana. (April 2006), Hal. 138=143.
/3/ Kali, memegang peranan penting dalam kehidupan manusia sejak dahulu sampai sekarang. Sebagai sebuah pilihan, tema kali selalu menarik untuk dituliskan dalam bentuk puisi. Melalui puisi, kita bisa melihat keberadaan dan segala peristiwa yang melingkupinya. Membaca imaji atau citraan dalam puisipuisi bertema Kali, dapat dilihat makna dan pesan yang disampaikan penyairnya. Puisipuisi tentang kali memiliki keragaman nilai dan terus berkembang nilai-nilai estetiknya sebagai objek estetika dalam perjalanan sejarahnya. Perjalanan sungai. ***
halaman 7
Cerita-Pendek Terjemahan
Pemikiran yang Tak Terkendali oleh Shirley Jackson
antap antap-malamnya sungguh nikmat; Margaret duduk santai memegangi buku di pangkuannya sambil mengamati mem suaminya yang lagi asyik membaca, sebuah kegiatan yang suam banyak menyita masa dan pikirannya. Saat ia menatap banya begitu, sang suami menaruh rokoknya dan tanpa melihat kemudian menggunakan tangannya yang lain untuk membalik halaman koran. Margaret berpikir dengan bangga, bahwa tidak seperti kebanyakan laki-laki lain yang ia ketahui, suaminya tidak lalu tidur setelah usai
halaman 8
santap malam yang istimewa. Ia membalik-balik halaman halaman-halaman bukunya dengan malas; tak ada yang menarik. Ia tahu bahwa jika ia mengajak suaminya pergi nonton film, atau keluar sekadar menikmati segarnya malam naik kendaraan, atau main kartu, laki-laki itu pasti tersenyum padanya dan setuju. Suaminya senantiasa selalu bersedia melakukan apa saja untuk menyenangkan hatinya, selalu begitu, meskipun mereka telah menikah sepuluh tahun. Sebuah pikiran yang ganjil melintas di benaknya: Ia ingin memungut asbak kaca yang berat itu dan menghantamkannya tepat ke atas kepala suaminya. “Mau nonton film?” tanya suaminya. “Tak lah, terima kasih,” jawab Margaret. “Kenapa?” “Kamu kelihatannya sedang suntuk,” kata suaminya. “Memang kamu tadi memperhatikan aku?” Margaret bertanya, “Kupikir tadi kau sedang asik membaca.” “Cuma sekilas melihat kamu.” Laki-laki itu tersenyum kepada istrinya, senyum dari seorang pria yang setelah sepuluh tahun menikah, masih sangat menyayangi istrinya. Gagasan untuk menghantamkan asbak kaca ke atas kepala suaminya belum pernah terlintas di benak Margaret, namun sekarang pikiran gila itu tidak mau pergi dari benaknya. Ia memutar-mutar kursinya dengan gelisah sambil berpikir: betapa pikiran yang sangat mengerikan, apa yang membikin aku bisa berpikir begitu? Barangkali karena bentuk penyimpangan dari ungkapan rasa sayang, dan ia pun tertawa. “Ada yang lucu?” tanya suaminya. “Ah, tak apa-apa kok,” jawab Margaret. Lalu ia bangkit dari duduknya dan menuju ke pintu, tak tentu tujuan. Ia merasa tidak karuan, dan dengan menatap tajam suaminya yang tidak dapat membantu mengatasi perasaan itu. Tali yang menyibak gorden membuatnya berpikir: bagaimana kalau aku menjeratnya saja. Kata hatinya: Ini bukan karena aku tidak mencintainya, aku cuma sedang merasa agak tak waras malam ini. Seakan sesuatu yang buruk sekejab lagi akan terjadi. Ada telegram datang, atau kulkasnya rusak. Membenamkannya ke dalam air, gagasan itu muncul saat melihat akuarium ikan mas. Hai, batin Margaret dengan sengit pada dirinya sendiri, sambil berdiri di sisi luar pintu ruangan sehingga suaminya tidak akan bisa melihat ke arahnya bila nanti mengalihkan pandangannya dari korannya, hai, ini sangat konyol. Seorang wanita dewasa punya ketakutan-ketakutan bodoh seperti itu seperti ketakutan terhadap hantu atau apalah. Tak akan terjadi apa-apa padanya, Margaret, katanya dengan suara hampir keras, tak akan ada yang dapat menyakitimu dan suamimu atau siapapun yang kau cintai. Kau sangat halaman 9
aman. “Margaret?” sapa suaminya. “Ya?” “Ada yang tak beres?” “Tak, sayang,” jawab Margaret. “Aku cuma sedang minum.” Meracuninya? Mendorongnya ke mobil? Kereta api? Aku tak ingin membunuh suamiku, ujar Margaret dalam hati. Aku tidak pernah bermimpi membunuhnya. Aku ingin dia hidup. “Berhenti, berhenti”. Ia pun meneguk minumannya, ia perlu bersandiwara sedikit karena tadi ia bilang pada suaminya bahwa ia akan minum, setelah itu ia pun berjalan kembali ke ruang tengah dan duduk. Sang suami menengadahkan pandangannya saat ia masuk. “Kau kelihatan sangat gelisah malam ini,” kata laki-laki itu. “Barangkali tersebab cuaca,” jawab Margaret. “Panas selalu menggangguku.” “betul ni tak ingin nonton film?” tanya suaminya. “Atau kita bisa jalan-jalan, cari udara sejuk biar segar.” “Tak ah, terima-kasih,” jawabnya. “Aku ingin tidur lebih awal.” “Gagasan yang bagus,” kata suaminya. Apa yang akan kulakukan tanpa dia? Margaret bertanya-tanya pada diri sendiri. Bagaimana aku hidup, siapa yang akan menikahiku, kemana aku mesti pergi? Apa yang mesti kulakukan dengan semua perabot ini, menangis setiap kali aku menatap foto-fotonya, membakar surat-suratnya yang dulu. Aku bisa menyedekahkan baju-bajunya, tapi apa yang mesti kubuat dengan rumah ini? Siapa yang akan mengurusi pajak pendapatan? Aku mencintai suamiku, kata Margaret pada dirinya sendiri secara empatis. Aku mesti segera berhenti berpikir seperti ini. Ini seperti nyanyian konyol yang mengiang di benakku. Ia pun bangkit lagi dari duduknya dan menyetel radio. Suara pembawa acara yang datar membosankannya dan ia pun mematikannya lagi, melangkah melewatinya menuju ke rak buku. Ia mengambil sebuah buku kemudian sebuah lagi. Membuka-buka buku itu tanpa memperhatikan halaman-halamannya. Ia sedang berpikir: Sepertinya aku punya satu motif; mereka tak akan menangkapku. Mengapa aku akan membunuh suamiku? Ia dapat membayangkan dirinya sedang berbicara dengan air mata berlinang di depan seorang pejabat polisi berpangkat letnan: “Tapi aku mencintainya aku tak sanggup menerima kematiannya!” “Margaret,” kata suaminya. “Apa kamu sedang mencemaskan sesuatu?” “Tidak, sayang,” jawabnya. “Kenapa?” “Kamu malam ini betul-betul kelihatan sangat gelisah. Demam ya?”
halaman 10
“Tak,” jawabnya singkat. “Mungkin panas dingin.” “Coba sini biar kuperiksa keningmu.” Wanita itupun datang dengan patuh dan membungkuk sehingga suaminya dapat meletakkan tangannya di atas keningnya. Dengan sentuhannya yang lembut begitu, Margaret berpikir, oh sungguh pria baik yang tercinta. Ingin rasanya ia menangis karena apa yang terlintas dipikirkannya tadi. “Kau benar,” kata suaminya. “Kepalamu terasa dingin. Sebaiknya pergi tidur saja.” “Sebentar lagi,” katanya. “Aku belum ngantuk saat ini.” “bagaimana kalau aku bikinkan minum?” tanya suaminya. “Atau semacam limun?” “Terimakasih banyak, sayang,” jawabnya. “Tapi tak usahlah.” Katanya kalau sebatang rokok direndam semalaman di dalam air, maka air tersebut pada pagi harinya akan berubah menjadi nikotin murni, dan menjadi racun yang sangat mematikan. Dapat dimasukkan ke dalam kopi dan tidak akan terasa. “Mau kubikinkan kopi?” tanyanya, mengagetkan dirinya sendiri. Sang suami mendongak lagi, mengerutkan dahinya. “Aku udah minum dua cangkir waktu makan malam tadi,” jawabnya. “Terimakasih, tak perlu.” Aku cukup berani melakukannya, pikir Margaret. Apa artinya ini seratus tahun lagi? Aku pun juga akan mati saat itu, dan siapa yang akan mengurusi perabot-perabot ini? Ia pun mulai berpikir pasti. Perampokan. Pertama-tama mesti telepon dokter, lalu polisi, baru kemudian ipar laki-lakinya, selanjutnya saudara perempuannya sendiri. Menceritakan hal yang sama kepada mereka semua, dengan suara yang patah-patah karena tangisan. Tak perlu repot-repot melakukan persiapan: makin teliti dan rinci merencanakan sesuatu maka makin kecil pula peluang kesalahannya. Ia dapat lolos dari hal ini tanpa tertangkap bila ia memikirkannya dengan sudut pandang yang luas dan bukan cuma memikirkan detaildetail kecilnya saja. Mulanya ia mulai khawatir dengan hal-hal seperti sidik jarinya yang hilang. Apa saja yang kau khawatirkan itulah yang menimpamu, setiap kali. “Apakah kamu punya musuh?” tanyanya pada suaminya, tanpa maksud tertentu. “Musuh,” ujarnya. Untuk sesaat ia memandang istrinya dengan serius, dan kemudian tersenyum dan berkata, “Mungkin aku punya ratusan. Musuh-musuh tersembunyi.” “Aku tak bermaksud bertanya begitu kepadamu,” katanya, sekali lagi mengagetkan dirinya sendiri. “Kenapa aku punya musuh?” tanya suaminya, dengan tiba-tiba
halaman 11
serius lagi, dan meletakkan korannya. “Apa yang membuatmu berpikir aku punya musuh, Margaret?” “Ah, aku memang bego,” jawabnya. “Pikiran orang bodoh.” Ia tersenyum dan sesaat kemudian suaminya pun tersenyum lagi. “Sepertinya tukang susu itu benci padaku,” katanya. “Soalnya aku selalu lupa meletakkan botol-botol susunya di luar.” Hampir tak mungkin tukang susu itu begitu, ia pun tahu, dan itu tidak akan membantu menghibur perasaan istrinya. Pandangan Margaret tertumbuk pada asbak kaca tadi, mengkilat warna-warni terkena cahaya dari lampu baca. Ia telah mencuci asbak itu tadi pagi dan ketika itu tak terlintas apa pun di benaknya. Kini ia pun berpikir: sepertinya memang asbak itu; gagasan awal selalu lebih baik. Ia beranjak lagi dari duduknya untuk yang ketiga kalinya dan berjalan menghampiri untuk menyandarkan diri di kursi belakang suaminya. Asbak itu berada di sisi kanannya sekarang. Ia membungkuk untuk mengecup ubun-ubun kepala suaminya. “Belum pernah aku mencintaimu lebih dari sekarang,” katanya, dan suaminya pun mengulurkan tangannya tanpa mengalihkan pandangannya untuk meraih rambut istrinya dengan penuh rasa sayang. Dengan sangat hati-hati ia memindahkan cerutu suaminya dari asbak itu dan meletakkannya di atas meja. Untuk sesaat pria itu tidak memperhatikan, lalu kemudian, tatkala ia mencari cerutunya, dilihatnya bahwa cerutu itu kini berada di atas meja dan segera memungutnya, sambil menyentuh bagian bawah meja itu untuk mengecek apakah mejanya terbakar. “Membakar rumah,” katanya sambil lalu. Ketika sang suami melihat ke korannya lagi Margaret memungut asbak itu diam-diam. “Aku tak menginginkannya,” katanya seraya menghantam kepala suaminya dengan sepenuh tenaga.***
Shirley Jackson (1919 – 1965) Pengarang kelahiran California. Hampir sebagian besar dari ceritacerita dan novelnovel yang ia hasilkan, sangat berbau horor dan biasanya dari keadaan sekitar seharihari. Hasil karyanya termasuk The Lottery, We Have Always Lived in the Castle, dan The Haunting of Hill House. Judul asli cerita dari cerita pendek ini adalah What A Thought. Diterjemahkan dari teks aslinya ke bahasa Indonesia oleh: Vergiane Railasha.
halaman 12
Sajak
Kinanthi Anggraini Bayi Gerimis Paes Ageng Kopi Air Hujan Enam Rupa Ronce Ketulusan Lembu Suro Namsan Papan Pengumuman Mata Elang Biru : Lasinta Ari Nendra Wibawa
Surya Kencana Gerimis Cinta Terlarang : Wiji Thukul
Lembaran Tinta
Kinanthi Anggraini Lahir di Magetan, 17 Januari. Menulis puisi dan reportase. Karya puisinya pernah dimuat Sumut Pos, Sriwijaya Post, Tanjungpinang Pos, dan lain-lain. Juga dimuat dalam buku antologi Merawat Ingatan Rahim (2013), Kisah yang Berulang di Hari Minggu (2014), Solo Menulis Puisi (2014), Timur Gumregah (2014). Mahasiswi Pascasarjana Pendidikan Sains, UNS Solo ini juga pernah menjadi model Hijab Moshaict tahun 2011.
halaman 13
Bayi Gerimis
kami bercanda dengan manusia di celah jendela villa, milik orang kaya tubuh polos tanpa bulu sweeter ataupun syal menyaksikan mata edelweis menetes lebih awal sore ini, kukunjungi belantara makluk tanah bersama mantra langit, yang terbakar memerah budak gerimis di bawah kasta cuaca melayang di sela hidung, para pencari udara hari ini jalan berdinding putih cerah bersemayam di pinggir bibir permukaan tanah namun barangkali selimut ini adalah penganggu bagi pejalan yang mengendarai mesin kuda pacu ibu, aku mendiami pucuk benih yang menanti rindu diantara jarum cemara berkilau warna ungu tubuhku berubah rintik, kala terik datang memantik menunggu mekar si cantik, bersama putik lentik.
halaman 14
Paes Ageng
tentang kemuliaan dan keutuhan seorang wanita yang dikawal layang citak dan dua gelang naga menolak bala dan mencegah datangnya bencana kala menyatukan sumpah hidup-mati bersama dengan kesucian yang berpinggir emas prada cengkrongan hitam, sulam rias di tepi dahinya tiga macam ukir; unggul, pangapit dan panatis serupa ujung bunga teratai, runcing dan tipis dan tegarlah menahan cobaan yang menerpa tatkala memulai, mengarungi rumah bahtera makna jahitan mata tergambar di ujung alis bercabang tanduk rusa, serupa tubuh keris Inilah tiga hakekat manusia hidup di dunia makna kalung tiga susun, terpasang di dada untuk lahir, menikah dan kembali ke pencipta sejajar sanggul bokor dari melati dan kenanga berhias bunga emas, bertabur putik permata cunduk mentul di kepala, yang berjumlah lima perlambang kuasa Tuhan dan empat angin-Nya tempat manusia berpegang sepanjang hidupnya.
halaman 15
Kopi Air Hujan
rintik jendela berjalan keringkuhan. mendayu di atas daun yang mengering di rantingranting jalanan. air menggenang berupa ruh yang menempati hutan bening belantara tersendat hujan, mengeringkan ngilu surga yang terbakar oleh senja awan berabu. mengering tertiup angin yang bersembunyi di tali sulur ubi ungu. tali yang memeluk nyawa dan bergelang saraf menjuntai sepanjang gerai rambutku. diintai oleh pencuri garam yang berdiri di genangan air mata, berderai di setiap titik senyum sketsa sementara mesin air masih berongga di tempurung kaki. yang tak berhasil dikeringkan senja absurd yang menyisakan lembab keringat di tubuh puisi himne kematian hati yang meniru gasing, bersama purnama yang menanggalkan sinar kuning gading. di lain tempat, rumput mimpi mulai tumbuh di sela duriduri kelopak mata yang berwarna lelah sayapku menggigil dan memerih. sepanjang hujan luruh bersama bayi gerimis yang malang akhirnya dingin mengundang senyap mengering diremuk angin yang mulai terlelap. sementara labalaba hijau memintal jaring biru yang berubah menjadi kelambu kamarku dan mantramantra ini telah lepas di ujung langit bersama daundaun yang tak juga mekar. bunga kamboja membucah,melayarkan sesal dan menggaibkan bayangan berbaju putih yang bersandar di dinding tembok kecemburuanku tak kunjung usai. pada tanah yang bersekutu dengan dinding merah yang menculik, aroma harum yang menafasiku lantas aku mengasingkan dari keriuhan setelah dipinang pelepah hati, dari genangan paruparu.
halaman 16
Enam Rupa Ronce
-
bangun tulak
kuncup melati melintang di sanggul rambut cekungan dalam harapan yang kini bersambut kupasrahkan hidup untuk nama yang kusebut ketulusan cinta hingga nyawa tercabut -
kolong keris
adalah keperkasaan yang berbalut kelembutan lambang kegigihan kesatria mencari pasangan berjubah kuncup melati setengah bermekaran pemanis cemburunya kantil dalam percintaan -
gombyok keris
rangkaian kuncup berujung mawar merekah kelopak melati bersusun arah tengadah melilit megahnya kesetian, tak kenal lelah pagar keutuhan hingga darah bertumpah -
tiba dodo
inilah aroma yang bermuara di ujung dada bunga rangkai tiga tangga sesuai panjangnya tiga lapis ketegaran kala ujian datang me beriqhtiar dan berdo’a hingga pertemuan tiba -
kalung
bukanlah permata ataupun butir mutiara namun kelopak ringkih berjajar pada benangnya perlambang terjaganya kasih sebuah asmara tali suci di atas dada, dua insan yang mencinta -
lar laran
adalah batas antara kejujuran dan kepalsuan walau akhirnya yang terlahir adalah kecantikan dirangkai oleh melati, kantil dan mawar kebersamaan merajut bahtera yang telah mekar.
halaman 17
Ketulusan Lembu Suro
hingga saat ini cintaku masih tertimbun di bumi eloknya parasmu adalah sihir pemikat lelaki beraroma lembut, kuning gading kembang melati persembahan untukmu pujaan, duhai putri kediri inilah kesungguhan untuk memilikimu, dewi kilisuci sumur kawah pintamu, telah selesai kupenuhi entah berapa dalam, saat kau menanyakan kembali lantas kuukur dengan cara menceburkan diri barangkali terlambat aku menyadarinya, dewi kala tubuhku terbakar oleh kawah berbala api sementara kau menimbunku bersama ratusan abdi lekas mengubur cinta dan jasad yang telah mati akhirnya sang melati telah ingkar pada setiap janji anak dari jenggala manik penguasa kerajaan kediri tak apalah dewi kilisuci barangkali nyawa adalah persembahan yang kau cari jika saja bisa kutukar kepala kerbau*) yang Tuhan beri mungkin tak begini, caramu mengukur ketulusan hati.
halaman 18
Namsan
malam ini sebuah kunci kulempar di atas kota bersama lampu yang berkelip di bawah senja mereka hidup di tepian salju yang bertumpuk berongga di jaket dan syal ungu yang kupeluk kakiku menggantung di menara komunikasi menjulang setinggi 263 meter di atas bumi diantara jajaran gedung 605 kilo meter persegi dalam perut gunung namsan, 24 tahun berdiri disinilah ribuan merpati rapat berpejam janji dengan gembok yang sengaja kehilangan kunci ribuan nama dan pesan yang dahulu menghuni dari sepasang harapan yang merayu untuk abadi sementara ujung hidungku mulai memerah di kota seoul, dengan kerudung kuning cerah.
halaman 19
Papan Pengumuman
barangkali sudah sepuluh bulan usiaku kini bertempat di tepi jalan, bertonggak sebatang besi tepat satu meter dari lampu merah perempatan tempat berpapasan para pelancong dan pejalan sesekali aku mendapatkan pandangan dan lirikan dari sepasang mata yang berkerut penasaran tetap tabah dinaungan terik dan hujan sampai kulit telah penuh dengan retakan tak ada masker khusus melintang di pipiku sebab, telah lama aku hidup bersama debu hanyalah rintik rinai yang ikhlas memandiku setiap jengkal tubuh dari asap kendaraanmu hingga datang badai suatu saat nanti kaki penyangga telah roboh tuk berdiri itulah saat kewajibanku telah berhenti menyampaikan pesan ataupun informasi.
halaman 20
Mata Elang Biru : Lasinta Ari Nendra Wibawa
kala itu, kutemukan parasmu diantara gerimis pada pendaran embun di kaca korneaku yang tipis kala puisi berubah menjadi rindu yang mengikis diantara jingga bianglala dan kismis kue pukis waktu adalah jam dinding yang teramat mahal menyambung ikatan diantara bingkai yang terjal di setiap cengkrama dengan sujud yang pelan yang tersambung diantara do’a dan ingatan kerap kali kau memeluk dada yang diasuh amarah sembari mengingat pentingnya menjaga amanah tak lupa kau sematkan ertus dari sucinya tanah berjanji saling memapah dan tak pernah goyah suaramu selalu melekat di helai hijab kesayangan kenangan dan kebiasaan yang sukar tuk dilupakan jari manis dari perempuan yang kau panggil istri selau siap menyambutmu saat pulang kembali inilah bait-bait yang tak habis bermuara layaknya puisi yang hidup bersama rima maka selalu utuhlah padamu setia hingga fajar habis bersuara.
halaman 21
Surya Kencana
langit berbuah bintang terbakar kala pagi menjelang lembah berjajar dinding tebing pagar alam bagi para pendaki asing rasi bintang pecah dengan sendirinya berganti bintang tunggal merah merona ilalang silang menyilang di lereng gunung membangunkan edelweis di kebun Agung telah siap landasan pinus di tubuh putri cuaca di atas permukaan laut 2.800 meter tingginya lembah pesona kepunyaan gunung gedhe hunian anak dandelion hidup meronce disinilah tempat ilalang memecah api tempat relaksasi untuk para pendaki bertikar bunga abadi di setiap sisi pijakan kaki, 8 jam mendaki.
halaman 22
Gerimis Cinta
sore waktu di waktu hujan aku berjumpa denganmu sudah sejak dulu aku ingin bertemu denganmu kau tidak memakai payung maka kutawarkan, masuk ke dalam payungku kita menyusuri jalan berdua kala itu dengan payung kecil yang membuat bahuku basah kuyup kau mengatakan padaku kau boleh mendekat ke arahku saat aku mendengar tetesan hujan menetes di payung kehangatan aku mendengar hujan cinta bertemu saat aku mencintai hujan, dan juga mencintaimu.
halaman 23
Terlarang : Wiji Thukul
suara beradu menggelegar bersama gerak mulut menggelepar tangan-tangan yang bergetar yang belum sepenuhnya gentar kami beradu argumen diantara dinding semen permanen sementara tak beradu mata namun kami beradu kata kata yang dipasung diobrakabrik tak karuan kau hanya ingin aku menyaksikan permainan adegan di pelataran dengan segala bualan kepemimpinan mengubur dan mengintimidasi papan dimanapun sepanjang kau berjalan dengan senyum hanyut pilu menimbun tubuh bersama tulisanku.
halaman 24
Lembaran Tinta
tiada dicairkan tinta di atas lembar buku diulangulang oleh mimpi dan bayangan dipahami oleh cinta, meneguk rasa kasa dalam jubah yang kian menipis kainnya dia mungkin berbaur dengan kerajaan fana kepada siapa aku menyanyikannya tersimpan dalam relung sukmaku karna aku risau, dia takkan bersamaku perilaku tanganku saksi kebisuan bagai danau yang tak terjamah pusaran sayup sayu, air mataku menandai sendu membongkar rahasia mawar layu dikumandangkan kesunyian, suara sentuhan lembut yang mengisahkan rasa jemari angin meraba mulut bunga mawar meniupkan desah napas kenikmatan itulah permulaan getarangetaran memisahkan kekasih dari ruang kehidupan semakin teringat kejadian demi kejadian yang sunyi laksana pemakaman ia memadukan tanaman yang berbunga gelombang berwarna merah delima.
halaman 25
Sajak
A. Warits Rovi Sketsa Awal Tahun Tausiyah Alam Saat Gerimis Menulis Huruf Alif di Jendela Patung Tanah I Bungduwak
A. Warits Rovi. Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karyanya dimuat di Seputar Indonesia, Radar Madura, Jejak dan sebagainya. Kumpulan puisinya di antologi komunal; Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan (Dewan Kesenian Mojokerto, 2010), Bulan Yang Dicemburui Engkau (Bandung, 2011) dan lainnya. Kini aktif di Komunitas SEMENJAK dan membina penulisan sastra di Sanggar 7 Kejora serta mengajar seni rupa di Sanggar Lukis DOA (Decoration of Al-Huda). Naskah drama yang ia tulis dan telah dipentaskan antara lain Hijrah ke Lubang Jarum, Siul Patung Besi dan Kacong.
halaman 26
Sketsa Awal Tahun
Kau tertegun mengamati kalender baru dengan mata penuh ulat. Menyerupai tanggal-tanggal hitam yang kau lingkari. Besok kau berkehendak menuliskannya pada pohon kamboja. Membiarkan ulatulat menghabisi daun dan kembangnya. Hingga kau yakin kematian tak bakal datang. Dan diam-diam kau mengusung tanggal-tanggal itu ke ruang rahasia tempat kau menimang sunyi di penghujung sajak-sajak yang kau cipta. Tanggal itu kau jadikan kata-kata. Kata-kata yang tak sedikitpun membicarakan ihwal kamboja, dan kau semakin yakin kematian masih jauh dari jendela. Namun di bawah jendela, Sebuah terompet tahun baru tergeletak dengan mulut tersobek dan menganga. Amat beku dan tanpa uraian kata-kata. Kau pun berkata � beginilah sesuatu yang ditinggal musimnya�.
halaman 27
Tausiyah Alam
Berhadap-hadapan dengan batu. Akupun jadi makhluk bisu Menyambut matahari tanpa kata. Kubiar seekor belalang hinggap di punggung tanpa sapa. Aku pun batu. Batu pun aku. Menatap tanah sedang dibajak. Kubayangkan indahnya jadi padi. Kubiar diri hijau tumbuh ke arah langit mata menjangkau. Sebut aku padi. Padi sebut aku. Aku akan diam yang batu dan bersembah ke arah langit dengan sujud yang padi.
halaman 28
Saat Gerimis Menulis Huruf Alif di Jendela
Aku beranjak dari wajah langit mengunjungi separuh malammu yang membentang tanpa kunang-kunang. Tempiasku membuat goresan lurus berkilau semacam lelehan memanjang di jendelamu. Bacalah! Itu huruf pertama dari bahasa bintang yang kesepian. Kutulis untukmu yang sedang termangu menyerut lagu serangga penuh luka. Bintang dan matamu malam ini seperti anak kembar yang sendu menemui kelam tanpa seorang ibu. Aku beranjak dari wajah langit mengunjungi separuh malammu sebagai ibu. Menulis alif di jendelamu dengan jasadku yang cair. Dari dalam kamar kau samar-samar mengejaku: huruf, gerimis, bahasa bintang satu dalam diriku. Diri seorang ibu.
halaman 29
Patung Tanah I
Ia terdiam melewati musim dingin. Menjaga keheningan langit kelam hari Pada kulitnya yang kecoklatan, tahun-tahun mengendap datang dan pergi. Lumut menjalari kerut dan lekukannya seraya memahat nafiri hidup yang semestinya tak diam seperti ini. Di sisi kakinya. Rumput teki membiak subur. Hijau bergoyag lentur. Halus bertegur. Pertemanan sejati di bawah sentakan guntur. Angin mengepung tiada guna. Wajahnya yang terus pasrah menatap hujan membidik tanah. Tak hirau akan siapa. Biarkan kuku cuaca mencengkeram tubuhnya. Karena ia tak pernah bersekutu dengan darah. Hari ini aku bertatapan dengannya. Dengan tatapan mata dan perasaan yang sebenarnya. Dalam kegaiban matanya kutemukan muasalku yang sebenarnya. Tanah itulah ibunda.
halaman 30
Bungduwak
Pulang ke Bungduwak, barisan bambu senantiasa menjaga jalan setapak dengan warna daun yang lebih hijau dari semula. Seekor kupu-kupu mengusung mimpinya ke lereng bukit: tempat pendakian dimulai dari sejengkal tanah milik sendiri. Kumasuki rumah ibu. Jam tua yang melawan jahitan sarang laba-laba rekat di dinding. Seperti berkali-kali memahat bebayang tahun-tahun yang pergi. Membiarkan dua gelas kuno di atas meja bebas bercakap dengan bahasanya sendiri. Memberi waktu bagi jendela menatap wajahku dengan sorotan mata zaman dulu. Dari balik pintu. Kusambut tangan ibu. Matanya sebening kunang menjamu kelam di atas danau. Setelah kelahiranku, ibu terus melahirkan anak-anak bernama kerinduan, yang ingin bermain tak menemukan halaman. Kecuali halaman di hati kecilku ini: tempat setiap pertemuan dimulai dari balik rimbun kembang. Pulanglah!
halaman 31
Di Malaga aku nnaik kapa kap Dan kapal itu karam. ka Ba Barang siapa kawin muda Ia mempunyai hutang pada setanBulan anBulan nBulan naik di atas at laut lau Dan pergi ke Valentia. Valentia Kawin dengan kau terima kasih,Tak ada pikiran padaku
Sastra ra a Klasik si sik
Puisi Spanyol (Copla) opla, ada adalah salah satu bentuk puisi-puisi pandak Spanyol. Pantu adalah puisi rakyat dan mempunyai persamaanPantun persamaa dengan puisi rakyat di seluruh dunia. persamaan Seperti pantun, Copla merupakan puisi rakyat yang tidak bernama, yang sering dinyanyikan dengan iringan alat musik. Copla terdiri dari empat baris. Dua baris pertama biasanya membayangkan maksud yang akan dinyatakan dalam dua baris yang kemudian.
halaman 32
l, a, a t, a u.
Di Malaga aku naik kapal, Dan kapal itu karam. Barang siapa kawin muda, Ia mempunyai hutang pada setan Bulan naik di atas laut, Dan pergi ke Valentia. Kawin dengan kau terima kasih, Tak ada pikiran padaku.
Di atas senar-senar gitar, empat baris yang keluar langsung dari lubukhati, rakyat Spanyol, termasuk Andalusia, menyenandungkan duka-lara mereka. Gitar dan puisi. Federico Garcia Lorca pernah mengatakan bahwa Spanyol akan sepi tanpa gitar. Sebuah jendelapun lalu lebar terbuka dari mana kita bisa memandang wajah jiwa seorang anak manusia yang sedang berlagu. Dan itulah copla. Jarang ada penyair dari negeri manapun yang mempunyai daya ungkap begitu intens dengan kata-kata demikian ekonomis ketika berbicara tentang bunga, gelora cinta dan kesedihan yang mendekati keputusasaan. Para penyanyi copla pun mengungkapkan diri tanpa pretensi untuk disebut dan menjadi penyair atau menciptakan suatu karya seni karena yang terpenting bagi para penyanyi copla adalah membuka pintu dan jendela hati mereka agar burung-burung hitam duka bisa terbang leluasa keluar mengarung angkasa luas di atas perbukitan atau dataran terhampar Andalusia. Yang mereka perlukan adalah menyanyi menendangkan kegembiraan, bersenandung untuk melagukan dukalara mereka. Ketika berbicara tentang cinta, mereka sering menghubungkannya dengan kematian. Mereka jarang sekali menyambungkan cinta dengan kegembiraan. Copla tidak ditulis, ia dinyanyikan. Para penyanyi membiarkan perasaan mereka terbang menyatu dengan angin dan mengelanai penjuru demi penjuru. Setiap copla adalah ungkapan
lugas tentang hidup dan perasaan yang merasuk, motif-motif abadi, kebersamaan ataupun yang khusus bersifat perseorangan, tentang perempuan dan lelaki, cinta, benci, kemiskinan, kesedihan dan kematian. Daya copla, oleh orang-orang Andalusia sering disebut mendekati kekuatan mantra dalam masyarakat berbagai etnik di Indonesia. Melalui copla kita menyaksikan gambaran menyeluruh kehidupan sebagai sebuah drama.Kita mendengar tetapi lebih-lebih lagi kita menyaksikannya. Malangnya, tapi ini adalah juga kenyataan, yang ditampilkan lebih banyak kesedihan sebagaimana halnya dengan keadaan kehidupan itu sendiri. Copla menuturkan segalanya ini dengan kesederhanaan ironis menusuk, terkadang mendekati suara jeritan.Isi copla lebih dekat kepada kepercayaan yang jauh dari Tuhan. Di Andalusia copla hidup sangat subur, merupakan pengungkap diri utama yang digunakan dalam Kantata Flamenco atau Kantata Jondo. Ia banyak ditemukan di lingkungan para gitana jipsi. Jadinya, copla bisa disebut sebagai Andalusia dan gitana itu sendiri. Andalusia termasuk salah satu daerah yang langka, di mana puisi demikian abadi menyatu dengan nyanyian, menyuarakan segala pahit-manis yang dikecap dalam kehidupan sehari-hari, memancar dari setiap bintang malamnya, menyenandungkan kepahlawanan dan kekalahan. Copla adalah tempat di mana raga dan jiwa bertemu. Dan inilah, Romansero Spanyol, inilah Cancionero dan Kantata Jondo. Copla mengingatkan aku akan sansana kayau, khususnya Sansana Kayau Pulang di Katingan, sungai kelahiranku di Kalimantan Tengah, yang tentunya juga kau kenal. Selanjutnya akan kusertakan contoh menyusul apa yang sudah kusampaikan terdahulu.
halaman 33
Copla Cinta Andalusia:[1]
hari kau dilahirkan matahari tentu akan berduka oleh munculnya tandingan dari dirinya lebih bercahaya kembang mawar kembang anyelir demikian pun cengkeh yang wangi, menyertai bibirmu ketika kau tersenyum matamu, wahai si kulit sawomatangku demikian bijak bestari pembunuhmu pun merunduk memberikan salut wajahmu bernama Sierra Morena dan matamu, para pencuri yang melintasinya - dengan apa gerangan wajahmu kau basuh hingga berwarna kencana? - kubasuh dia dengan air jernih
halaman 34
selebihnya tuhanlah yang lakukan nafasmu, nafasmu bunga nafas limau, mungil: di dadamu ada sebuah limau semarak bunga aku tak tahu gimana dan pabila ia datang ke kalbu cercah api pelan menyala tapi tak nampak lidah cahayanya sebuah derita lembut kecil di sini kupunyai bernama cinta dari mana gerangan ia masuk tiba maka sampai tak terasa? bukan salahku tentu saja kalau mawar jadi milikmu sedangkan wanginya berasal dari diriku kau menatapku dan kau kupandang kepalamu merunduk, demikianpun aku: tak tahu apa yang kau harapkan akupun tak tahu apa yang kutunggu
halaman 35
para pastur padaku berkata agar aku jangan mencintaimu kepadanya kukatakan: “ah, pasturku andaikan kau melihatnya‌!â€? andaikan cinta yang kukandung ini menjelma jadi gandum di sevilla tak kan ada lumbung tak menyimpannya kalau kau berangkat perang gantungkan fotoku di dada ketika peluru melanda abang kita terbunuh bersama-sama kau memandangku dan kau kupandang sedang apa yang ingin kau bilang melalui pandang kudengar dengan terang kau adalah cinta pertamaku kaulah yang mengajarku cinta tapi jangan ajarkan aku lupa yang tak ingin kutahu kalau kau ingin melupakan aku lebih baik kau membunuhku yang kuminta adalah kematian samasekali bukan melupakan
halaman 36
Copla Cinta Andalusia [2]
bawalah hatiku ke sana ; kalau mau bunuh saja, jika bisa; tapi karena kau juga di dalamnya , membunuhnya kau ikut binasa. ambillah belati kecil ini, buka dadaku maka wajahmu di situ kau dapati sempurna tertata rapi. ambillah jeruk ini, o perempuan demi cinta kepadamu kuberikan tapi jangan belah dengan belati kerna jantungku di dalamnya ada. kulempar ke langit sebuah limau ingin tahu apakah ia berobah merah; naik hijau dan jatuhpun hijau; seperti harapanku warna hijau pada laut kucari limau tapi laut tak punya; ke dalam air tangan kucelup harapan memberiku rasa hidup.
halaman 37
kalau boleh mencintaimu wangikan diriku dengan pandan penghapus semerbak cinta-cintamu semula kau satu dan juga dua juga tiga dan empatpuluh kau juga bagai gereja di mana berbondong orang tiba pinjamkan matamu kepadaku hingga mataku jadi empat karena dengan dua aku tak bisa menangiskan duka-petaka gitar yang kupetik ini punya mulut dan bisa bicara; hanya yang kurang adalah mata yang membantuku untuk menangis.
halaman 38
terasa ada perih di dada, ku tak tahu di mana, lahir dari mana pun aku juga alpa; ketika sembuh akupun lupa penyembuhnya pun aku tak tahu siapa. kuterjuni air dalam sepinggang tunanganku dibawa orang dan dingin tiba-tiba menyusup belulang ketidakmungkinan membunuhku aku terbunuh oleh ketidakmungkinan; ketidakmungkinan pun sampai tepian ketidakmungkinan yang kurindukan.
halaman 39
Copla Cinta Andalusia
tiga kali pena kuangkat tiga kali pula aku teriak tiga kali aku tergeletak dibanting hatiku aku merasa sangat menderita, alangkah perihnya! aku merasa sangat sakit dan alangkah pahitnya! aku merasa ada paku menancap di tengah jantungku kepada Tuhan kupinta untuk mengakhiri dukaku ini Dia berkata:�Ini berarti tanpa dia kau tak bisa hidup lagi�. kalau begitu rajamlah aku, kawan-kawan; lepaskan anjing-anjing, biarkan ia menggigitku; gadis yang berumah di jalan ini kepadaku ia berkata tidak mencintaiku!
halaman 40
tersandung aku di pintumu terjerembab aku di jendelamu; lalu berpegangan di kisi-kisi; maafkan jika kau anggap aku melecehi. agak keras memang ibuku, o kebahagiaanku; agak keras memang ibuku, tapi segalanya hanya pada diriku. perawan sepiku, perawan! di pelukan buah jiwa kuasa ia membuatku meronta-ronta‌! Santo Jesus penaka baja tapi aku telah membuatnya menangis ia menangis bagaikan baja o, apakah juga demikian raganya? janganlah menangis hatiku janganlah berduka; karena yang sudah tak lagi nyata bagaikan tak pernah ada. (Red. dari berbagai sumber/Int.)
halaman 41
Tokoh
Du Fu
Du Fu (712770), merupakan seorang penyair China yang terkenal pada masa dinasti Tang. Ia bernama lengkap Du Zimei (杜子 美). Bersama dengan Li Bai ( Li Po), Ia sering kali disebut sebagai penyair terbesar China. Ambisinya yang terbesar adalah untuk membantu n e g e r i n y a dengan menjadi pejabat negara yang sukses, namun Ia tidak mampu untuk memenuhi ambisinya tersebut. Hidupnya, seperti juga seluruh negeri pada saat itu, hancur karena pemberontakan An Lu Shan yang terjadi pada tahun 755, dan 15 tahun terakhir dari
halaman 42
masa hidupnya penuh dengan pergolakan politik. Walaupun pada awalnya ia tidak terlalu dikenal, namun karya-karyanya membawa pengaruh yang besar bagi budaya China dan Jepang. Ia disebut sebagai penyair sejarah dan penyair bijak oleh para kritikus China. Di dunia barat karya-karyanya disetarakan dengan Shakespeare, Hugo, Horace, dan penyair besar lainnya. Ia terkenal dengan karyanya “Tiga Pembesar” dan “Tiga Perpisahan” Apa yang kita ketahui dari kehidupan Du Fu didapat dari puisi-puisinya. Seperti kebanyakan penyair China lainnya, Du Fu berasal dari keluarga bangsawan yang telah jatuh miskin. Ia lahir pada tahun 712 di daerah sekitar Luoyang, provinsi Henan sekarang.
Tidak lama setelah ia lahir, ibunya meninggal, Du Fu pun dibesarkan oleh bibinya. Ia mempunyai seorang kakak lelaki yang meninggal dunia ketika masih muda. Ia juga mempunyai 3 saudara tiri laki-laki dan seorang saudara tiri perempuan yang sering disebutkannya dalam puisi-puisi karangannya, namun tak sekalipun ia tak pernah menyebut-nyebut ibu tirinya. Sebagai seorang anak sarjana dan pejabat kecil, masa kecilnya dihabiskan dengan pendidikan standar bagi calon pejabat negara, yaitu mempelajari dan menghafalkan tulisan-tulisan klasik Kong Hu Cu tentang filsafat sejarah dan puisi. Du Fu mengatakan bahwa, ia telah membuat beberapa puisi yang baik pada masa remajanya, namun puisi-puisi ini hilang. Awal tahun 730-an, Du Fu mengunjungi daerah Jiangsu dan Zhejiang. Puisi-puisi awalnya yang masih tertinggal melukiskan suatu pertandingan puisi, diperkirakan dari periode ini, yaitu sekitar tahun 735 M. Pada tahun itu juga ia pergi ke Chang’an untuk mengikuti ujian kenegaraan, namun ia gagal. Hung menyimpulkan bahwa alasan kegagalan Du Fu adalah karena gaya prosanya pada masa itu terlalu dangkal dan tidak jelas, sementara Chou beranggapan bahwa kegagalan Du Fu dalam memelihara hubungan dan jaringan di ibukota merupakan alasan utama tidak berhasilnya Du Fu dalam ujian negara. Setelah kegagalan ini Du Fu kembali melakukan perjalanan dan mengunjungi Shandong dan Hebei. Sekitar tahun 740 M ayah Du Fu meninggal. Dengan kepergian ayahnya ia bisa mendapatkan kedudukan di pemerintah, namun Ia memberikan jabatan tersebut kepada salah satu saudara tirinya. Ia menghabiskan 4 tahun tinggal didaerah Luoyang, mengerjakan kewajibannya dalam urusan keluarga. Pada musim semi tahun 744 M, Du Fu bertemu dengan Li Bai untuk pertama kalinya, kedua penyair ini membentuk suatu hubungan pertemanan, walaupun hanya dari satu sisi. Du Fu lebih muda beberapa tahun
dari Li Bai, yang pada saat itu sudah menjadi seorang penyair yang terkenal. Ada sekitar 12 puisi mengenai dan kepada Li Bai dari Du Fu, tapi hanya dari sisi Du Fu saja. Mereka bertemu sekali lagi pada tahun 745 M. Pada Tahun 746 M, Du Fu pindah ke ibukota untuk membangkitkan kembali kariernya. Pada tahun berikutnya Ia mengikuti ujian negaranya yang kedua, namun semua kandidat tidak diluluskan oleh perdana menteri (sebagai aksi pencegahan adanya rival dari kadidat yang lulus). Setelah itu ia tidak pernah lagi mencoba untuk ikut ujian negara. Ia menikah sekitar tahun 752 M, dan pada tahun 757 M Ia mempunyai lima orang anak, tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan, namun salah satu anak laki-lakinya meninggal pada saat balita. Sejak tahun 754 M Ia mulai mempunyai masalah dengan pernapasannya, pertama dari sekian banyak penyakit yang mengikutinya sepanjang masa hidupnya. Pada tahun 755 ia mendapatkan sebuah posisi kecil di kantor komandan di istana putra mahkota, namun belum saja ia mulai bekerja pergolakan politik pun terjadi. Pemberontakan An Lu shan yang terjadi pada tahun 755 M dan baru bisa dipadamkan 8 tahun kemudian, telah mengakibatkan perubahan yang drastis pada masyarakat China. Sensus pada tahun 754 M menunjukan populasi sebesar 52,9 juta jiwa, namun pada tahun 764 M berkurang sampai dengan 16,9 juta jiwa. Pada periode inilah Du Fu menjalani hidup yang tidak pasti karena adanya perang yang juga mengakibatkan kelaparan dan goncangan politik. Namun pada periode ini pulalah Du Fu mengembangkan dirinya sebagai penyair, banyak puisi-puisinya yang terkenal ditulisnya pada periode ini. Pada masa perang ini Du Fu tetap setia pada kekaisaran, Ia diberi jabatan pada tahun 757 M, tetapi bukan jabatan penting. Tahun 760 M, Ia pindah ke Chengdu, dan menghabiskan 4 tahun disana. Walaupun hidup dengan sangat kekurangan namun hari-harinya di Chengdu merupakan masa yang paling bahagia. halaman 43
Pada tahun 765 M, Du Fu berusaha kembali ke Luoyang, daerah kelahirannya, yang sudah direbut kembali oleh pemerintah. Karena kondisinya yang lemah dan penyakitan, Du Fu dan keluarganya menetap di Kuizhou selama dua tahun, periode ini merupakan masa terakhir bagi puisi-puisi Du Fu, Ia menulis 400 puisi. Maret, 768 M Ia dan keluarganya melanjutkan perjalanan, Du Fu meninggal pada tahun 770 M, saat Ia berusia 59 tahun di Tanzhou ( Sekarang Changsha). Karya-karya Du Fu terpusat pada alur sejarah, pengaruh moral dan keahliannya dalan menulis. Sejak zaman dinasti Song, Du Fu sering disebut sebagai “Penyair Sejarah” (诗史shī shǐ). Puisi-puisinya mengomentari taktik militer atau kesuksesan atau kegaggalan dari pemerintah, juga puisi nasihat yang ditulisnya untuk kaisar. Secara tidak langsung, ia menulis mengenai pengaruh ketidakstabilan politik yang terjadi pada saat itu kepada dirinya dan juga rakyat China lainya. Komentar politik Du Fu lebih berdasarkan emosi, bukan kalkulasi: anjuran-anjurannya telah diparafrasekan demikian, “Marilah kita mengurangi sikap mementingkan diri sendiri, marilah kita melakukan apa yang harus kita lakukan”. (Chou hlm. 16) Namun, karena pandangan-pandangannya sulit dibantah, pemahamannya tentang apa yang baik yang dinyatakannya dengan kuat memungkinkan ia diangkat sebagai tokoh utama dalam sejarah puisi Tiongkok. Pada masa hidupnya karya-karya Du Fu tidak banyak dikenal dan lebih banyak tidak dihiraukan. Namun karya-karya mulai dinikmati pada abad ke 9 M, setelah memasuki abad ke 11, ketika masa dinasti song selatan, puisi dan tulisan karya Du Fu mencapai puncaknya. Perkembangan neo-konfusianisme pada masa itu juga memengaruhi kepopuleran karya-karya Du Fu. Ia dianggap sebagai contoh puitis dari neo-konfusianisme. kemampuannya untuk merangkul dua oposisi, kaum konservatif yang tertarik dengan kesetiaannya terhadap negara halaman 44
dan kaum radikal yang tertarik dengan perhatiannya pada kaum miskin, juga membantu menyebarkan pengaruhnya di masyarakta China pada masa itu. Pada masa Republik Rakyat China, karya Du Fu yang lebih banyak menceritakan tentang penderitaan rakyat dan tentang kesetiaan pada negara, juga dalam menggunakan bahasa rakyat menjadi salah satu daya tarik masyarakat China.*** (Red. dari berbagai sumber)
Formasi Delapan
prestasimu telah dibayangi, oleh siapapun pada zaman tiga negara, paling termasyhur dari kesemuanya adalah desain mu, adalah Delapan Formasi, melawan terjangan sungai, mereka berdiri kokoh, tak tergoyahkan, sebuah monumen untuk penyesalan terakhirmu, pada kegagalan untuk menelan Wu
Cahaya Rembulan Malam
malam ini istriku pasti memandang dalam kesendirian, bulan purnama diatas Fu-Zhou, saya mengingat dengan sedih putra-putriku yang jauh, terlalu kecil untuk memahami perpisahan ini, atau mengingat kehidupan kita di Chang-An, di dalam kabut yg harum, rambutnya mengalir lembab, dibawah sinar purnama yang jelas, lengan giok putihnya menjadi dingin, kapan kita bersandar pada tingkap yang terbuka bersama2, sementara cahaya bulan mengeringkan air mata kita yang berkilauan
halaman 45
Balada dari Cemara Tua
Di depan Kuil K’ung-ming berdiri sebuah cemara tua, Dengan cabang seperti perunggu hijau dan akar seperti granit; Dengan kulit keperakan, jauh melingkar, berkilau diguyur air hujan, Dan warna biru tua, menjulang tinggi, bersebati dengan Surga: Dahulu kala pernyataan, Raja Waktu terus menagih janji ini, Tapi tetap pohon ini berdiri memiliki pengabdian pria, Bersatu dengan kabut dari ngarai hantu, Melintas bulan yang membawa dingin dari pegunungan bersalju.
halaman 46
(Saya ingat dekat gubukku pada Sungai bak kain brokat Kuil lain dibagi oleh Raja dan pernyataan Pada masyarakat, dataran kuno dengan cemara megah: Catnya sekarang buram, jendela yang tak leluasa menyerap cahaya ...) Lebar, menggeliat akar yang luas meskipun mempertahankan perhentiannya, Jauh, jauh di ketinggian kesepian, banyak adalah badai Ketika cengkeramannya adalah kekuatan Kebijaksanaan Illahi Dan kelurusan oleh karya Sang Pencipta ... Namun jika Balai runtuh diperlukan suatu dinding belantara, ternak akan beriman, memutar kepala, menggagalkan pada gunung ini: Dengan seni masih terpajang semua telah mengaguminya; Tapi kapak meskipun tidak menolak, yang bisa mengangkutnya? Bagaimana inti pahit menyangkal penginapan semut, Semua sementara beraroma dahan memberikan mukzizat hunian? Oh, tidak diketahui ambisius, mendesah tidak lebih sedih: Menggunakan kayu yang besar tidak pernah mudah!
halaman 47
Pemikiran pada sebuah Situs Kuno:
Tempat lahir Wang Qiang Melalui sekawanan gunung, lembah selaksa, Aku tiba di Jingmen, dimana Ming-Fei lahir dan dibesarkan, desanya masih ada, Setelah ia meninggalkan beranda merah, tidak ada apa-apa kecuali padang gurun tak berujung, hanya makam hijaunya di sebelah kiri, untuk menghadapi senja, Sekumpulan lukisan telah mencatat, wajahnya yang sesegar musim semi, denting dari bentara kalung liontin, jiwanya yang sia-sia telah kembali oleh cahaya bulan, Selama reribu tahun pipa, telah meratap dalam bahasa asing tersebut, seakan-akan senar-senar meratap di dalam lagu, kisah tragisnya yang penuh ratapan
halaman 48
Kuil Zhuge Liang
Nama besar seorang Zhuge, menggantung diatas seluruh dunia, lukisan dari seorang negarawan yang dihormati, kejeniusan dengan segala keagungannya, Kekaisaran diukir menjadi tiga, terhalang dari rancangannya, namun ia menerjang selama berabad-abad, sebuah bulu sendirian di atas langit, Ia seimbang kehebatannya seperti, sebagai Yi Yin dan Lu Shang, jika ia yang telah mendirikan kontrol, Xiao dan Cao akan terlupakan, Tapi siklusnya sudah lewat, keberuntungan Han tidak bisa dikembalikan, Strategi militernya sebuah kegagalan, harapannya telah sirna, tubuhnya pun telah tiada (Puisi diterjemahkan dari teks berbahasa Inggris oleh, Mirna Sarifan)
halaman 49
Khasanah
Menikmati Tradisi Begawai Talang Mamak
Begawai adalah kegiatan budaya, merayakan atau meramaikan upacara adat perkawinan, bebulian (pengobatan) dan juga bila mendapatkan keberuntungan atau malapetaka bagi masyarakat Suku Talang Mamak yang mendiami pedalaman hutan atau daerah penyanggah Taman Nasional Bukit Tiga Puluh di Kabupaten Indragiri Hulu Propinsi Riau. halaman 50
Bagi masyarakat Talang Mamak yang berkemampuan dalam merayakan perkawinan putra putrinya, mereka akan mengadakan “ Begawai Tiang Gelanggang�, Begawai Besar selama 7 hari 7 malam dengan menggelarkan upacara perkawinan, Prosesi Pancung Telutuk (Sunatan), Tindik Dabung (memasang anting-anting di telinga anak perempuan), bersilat, Gendang Serama,
Menyabubg ayam dan kegiatan adat yang bernuansa sakral.
sumber alam yang terdapat di Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
Pergelaran “Begawai Tiang Gelanggang” mempersembahkan ragam budaya masyarakat pedalaman Talang Mamak yang dibungkus dengan cerita petualangan pemuda Melayu dari kota yang ingin mengetahui lebih jauh tentang adat istiadat dan kehidupan masyarakat pedalaman Talang Mamak, cintanya tersangkut dengan gadis Talang Mamak yang kelanjutannya ke jenjang perkawinan yang dilaksanakan dengan adat budaya “ Gawai Tiang Gelanggang”.
Dalam pandangan hidup Talang Mamak, sumber daya alam harus dikelola secara adat. Hutan tak dipandang sebagai uang, tetapi tempat bersemayamnya nenek moyang mereka, juga dewa-dewa mereka yang dapat mengatur kehidupan, sistem kepercayaan dan sistem adat.
Pergelaran “ Begawai Tiang Gelanggang” dimeriahkan dengan : - Prosesi dan demonstrasi “ Memutar Makam Tiang Tunggal”. - Sendratari menumbuk padi lesung gelagaran. - Lakon betandang. - Arakan pengantin di Tiang Gelanggang -
Upacara tegak tiang gelanggang, ditingkah musik dan lagu Melayu, sastra lisan.
- Tari Kreasi Rentak Bulian. Bagi masyarakat pedalaman Talang Mamak, Riau, setiap momen kehidupan memiliki arti penting. Hampir semuanya selalu dirayakan dalam sebuah upacara ritual. Masyarakat pedalaman Talak Mamak memiliki adat istiadat turun temurun yang disebut Langkah Lama. Hal ini ditunjang eksistensi Kepala Adat mereka, Patih Laman. Tak cukup itu, nenek moyang Talang Mamak memiliki pepatah «biar mati anak, asal jangan mati adat». Jumlah warga yang tak sampai 10.000 jiwa tak menghalangi mereka mewariskan/mangajarkan dan mengamalkan adat mereka dari generasi ke generasi. Tampaknya mereka tak hanya solid dalam menjalankan tradisi leluhur mereka, tetapi juga dalam menjalani roda kehidupan sehari-hari yang hanya bergantung pada
Hutan mereka bagi dalam tiga kawasan: hutan lindung/keramat (tak boleh sembarangan ditebang sekalipun oleh warganya sendiri), pemukiman dan perladangan. Mereka hanya memanfaatkan hutan lindung dengan memanfaatkan akarakar tumbuhan sebagai obat, juga daundaun maupun air dari dalam kayu. Kayukayu bekas pun mereka kreasikan menjadi aneka kerajinan/perabotan. Salah satunya adalah Tepak, tempat sirih khas Suku Talang Mamak. Pentingnya menghargai hutan dan tanah ulayat diamanatkan nenek moyang Talak Mamak kepada keturunannya, dalam sebuah pepatah, «langit diaku bapak, bumi diaku ibu», sehingga menjual tanah adat adalah durhaka. Kegiatan budaya yang digelar dengan permainan dan seni tradisi dikalangan Suku Talang Mamak disebut Begawai. Ritual Begawai ada bermacam-macam, karena itulah ada begawai yang digunakan untuk merayakan atau menyemarakkan upacara-upacara adat perkawinan, upacara bulean (pengobatan), juga begawai untuk mengungkapkan rasa syukur atas keberuntungan. Ada pula begawai untuk mengekspresikan kesedihan atas malapetaka yang menimpa. Bagi masyarakat Talang Mamak di Kebatinan Talang Gedabu, Kecamatan Kelayang. Jika ada warga yang meninggal dunia dan keluarga/ahli warisnya memiliki cukup banyak uang, maka warga yang meninggal tersebut akan dibangunkan makam yang disebut Makam Tiang Pusing. Makam ini terdiri dari lima tingkat, dengan Balai Pusing, Tiang Tunggal disertai hiasan tradisional. Ketika membangun makam tersebut, bakal
halaman 51
digelar upacara pemakaman yang disebut acara Naik Tambak Tiang Pusing. Upacara tersebut setelah 40 hari jenazah dimakamkan. Setelah bangunan (tambak) didirikan di pemakaman, di lokasi pemakaman diadakan beberapa acara seperti mengadu ayam sabung, meratap (meratapi makam), mengasap sesajian di balai dan mengelilingi Balai Tiang Pusing dengan mantra dan sastra lisan serta bunyi-bunyian. Jika ada warga khususnya anak-anak Talang Mamak yang sakit, misalnya kerasukan roh ataupun terjangkit wabah suatu penyakit, maka diadakan acara pengobatan Balai Terbang, yang dipimpin oleh dua orang dukun yang menari, menjunjung balai terbang guna menjinakkan dan mengusir roh jahat yang mengganggu. Begawai juga digelar pada Bulean (acara tolak bala), Betimbang Adat (melanggar adat), membuang sumbang, mematikan tanah, mengamankan binatang buas yang mengamuk, mengangkat Kumantan yang baru, dan mengobati bermacam penyakit massal. Bagi masyarakat Talang Mamak, Bulean dipimpin seorang dukun besar yang disebut Kumantan. Ia memimpin acara bulean satu malam suntuk. Pada kesempatan itu para gadis Talang Mamak mengikuti irama musik sakral. Dari Upacara Bulean ini, lahirlah seni pertunjukan Tari Rentak Bulean. Bagi kalangan mampu di Suku Talang Mamak, mereka akan merayakan pernikahan putra-putri mereka dengan menggelar Begawai yang sangat meriah. Namanya Begawai Tiang Gelanggang. Ini adalah begawai besar yang dirayakan selama tujuh hari tujuh malam, dengan kegiatan adat bernuansa sakral. Sebelum bujang dan gadis dinikahkan lebih dulu digelar upacara Tiang Gelanggang Ditegakkan, diiringi rekan-rekannya menari, pasangan yang akan menikah diharuskan pula Meniti Batang. Kegiatan tersebut tampak semarak, namun tetap terkesan sederhana. Seperti keseharian para warga Suku Talang Mamak yang hidup penuh kesederhanaan dan kesahajaan.
halaman 52
Talang Mamak adalah salah satu suku yang tinggal di pedalaman Kecamatan Seberida dan Pasir Penyu, tepatnya di kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Obyek lain yang dapat dilihat antara lain Baju Bersyahadat dan Pedang Perantas tanda kebesaran Patih Suku Talang Mamak di Desa Talang Durian Cacar. Ada juga Makam Suku Talang Mamak yang dibuat berbentuk Nisan dari kayu dan disusun menyerupai atap. Potensi wisata budaya ini terletak di Kecamatan Seberida dan Kecamatan Kelayang.*** (red. dari berbagai sumber)
Rehal
Islam Politik Sebuah Analisis Marxis oleh : Deepa Kumar Penerjemah : Fitri Mohan Resist Book, 2012 xx + 74 hlm
MATERIALISME historis sebagai salah satu pintu masuk melihat perkembangan sejarah masyarakat, tanpa terkecuali pada Islam, menarik untuk dicermati. Berpijak pada kondisi-kondisi material, analisis terhadap perkembangan sejarah masyarakat Islam memunculkan keterpisahan pelbagai peran. Peran yang dulu diampu oleh
Muhammad, dalam perjalanannya menurut kenyataan (secara de facto) mulai terpisah. Sewaktu masih hidup, semua peran utuh berada pada diri Muhammad, baik urusan agama, sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Pasca-Nabi wafat, muncul beragam konflik. Secara singkat, mulai dari siapa menjadi pengganti beliau, peristiwa tahkim pada halaman 53
perang SiďŹƒn, luas wilayah kekuasaan Islam, sampai pada masa kemunduran peradaban Islam di Eropa. Dari pascawafat Nabi itulah peran mulai terpisah, terbagi. Kemunduran peradaban Islam, pada pihak lain, Barat (Kristen) mencapai puncak, setelah keluar dari Abad Pertengahan. Kegemilangan peradaban Islam dahulu, kini pada masa modern, mulai bergolak. Islam muncul sebagai kekuatan politik atau disebut sebagai Islam politik. Islam politik ditengarai sebagai bentuk perlawanan dan penolakan Islam terhadap peradaban Barat yang sekuler. Orientalis menyebut bahwa Islam politik merupakan bentuk keterpisahan yang alamiah, disebabkan oleh kondisi material yang menyelimuti perkembangan sejarah masyarakat Islam. Preseden paling menonjol adalah tragedi 11 September 2001 dan tesis Samuel Huntington. Menambah deretan bagi Islam untuk bergerak melawan. Lantas, bagaimana melihat perkembangan Islam berangkat dari kondisi-kondisi material yang melatarbelakangi perkembangan sejarah masyarakat Islam? Islam Politik Sebuah Analisis Marxis, (judul asli, Political Islam: A Marxist Analysis) karya Deepa Kumar, secara padat menjelaskan kondisi demikian di atas. Bahwa, perkembangan peradaban Islam tidak melulu berlandaskan pada nilai ajaran, tetapi pula oleh kondisi material yang mengiringi sekaligus juga menuntut untuk menjaganya. Coen Husain Pontoh dalam kata pengantar buku, memberi andil jalan masuk paparan secara singkat materialisme historis, metode Marx. Masih dari kata pengantar, diketahui pula perhatian buku Kumar ini ada tiga poin. Pertama, tesis tentang menyatunya agama dan politik dalam Islam sebagai sesuatu yang alamiah tidaklah benar. Kedua, konsekuensi dari tesis itu, Islam politik merupakan akibat dari situasi politik kontemporer. Ketiga, kelas menengah sebagai basis utama dari kalangan Islam politik, (hlm. xiii).
halaman 54
Ketiga poin itu, beranjak pada materialisme historis bahwa sejarah terjadi bukan dari dalam (gagasan) manusia itu sendiri, tetapi dari kondisi luaran (kondisikondisi material) membentuk manusia yang menyejarah. Keterpisahan antara agama dan politik, sekaligus juga munculnya keterpisahan pelbagai peran dalam Islam, disebabkan oleh makin luasnya wilayah penguasaan Islam. Akibat dari itu dan beragamnya adat kebiasaan masyarakat serta untuk disatukan ke dalam satu kesatuan Islam. Dari sini dikembangkan serangkaian aturan hukum untuk diterapkan kepada seluruh umat Islam secara seragam. Ulama kemudian ditugaskan untuk memformulasikan hukum baku, syariat, (hlm. 8). Peran ulama, meskipun di bawah kekuasaan pemimpin, khalifah atau sultan, tetapi keberadaanya berdiri pada posisi yang berbeda. demikian pula dengan mereka yang menulis dan mereka yang menghunus pedang (hlm. 10). Demikian juga dengan tugas-tugas panglima perang, para bala tentara, juru administrasi, dan keuangan, masingmasing diampu oleh orang yang berbeda. Hal ini yang kemudian menjadikan peran itu terpisah, terbagi kebutuhan. Namun, keterpisahan yang dimaksud bukan berarti secara tegas, secara de facto dalam bahasa Kumar. Berbeda halnya dengan sekulerisme Barat, pemisahan antara domain agama dan peran negara. Pascaperistiwa 9/11, akibat lanjut adalah stigma negatif terhadap Islam. Islam dicap sebagai agama teror. Barat, terutama Amerika Serikat, lantas menyuarakan perang terhadap terorisme. Perang dilakukan tidak hanya memburu pelaku teror, Al Qaeda, tetapi juga invasi militer (awalnya) terhadap Irak, dengan dalih (mencari) senjata pemusnah massal. Islam lantas menjadi ?musuh utama? dari segala unsur kedigdayaan Amerika. Berlangsung sampai musim semi Arab
sekarang ini. Balasan dari gerakan Islam disebutnya teror, pelaku teror adalah kelompok fundamentalis. Kelompok ini berusaha mengembalikan peradaban Islam, memakai Islam sebagai basis politik perlawanan. Masyarakat Islam kian kepalang akibat perkembangan kapitalisme lanjut. Pada posisi demikian, Islam politik seperti dua sisi mata uang. Amerika memanfaatkan posisi Islam dan Islam politik, guna membendung kekuatan blok timur, kelompok kiri, yang berseberangan dengan demokrasi, liberalisme Amerika. Sekaligus juga sebagai palang pintu pascakekosongan ideologi, era perang dingin. Pada sisi lain, Amerika sendiri terus melancarkan perluasan wilayah dan dominasi penjajahan. Intervensi dan dominasi imperialis berhasil membentuk kekuatan ekonomi neoliberal. Apresiasi lebih buku Kumar, padat berisi, mengejutkan, memberi terang bagaimana
operasi kondisi material pada Islam politik. Namun, di luar konteks buku, dilema lain sebenarnya juga muncul. Terkait dengan term para orientalis, Barat dalam mengkategorikan gerakan yang bernapas Islam. Bagaimana term itu bisa tersemat pada gerakan Islam untuk keluar dari hegemoni Barat. Perlu juga dilihat kategori-ketegori apa yang menjadikan gerakan Islam disebut sebagai gerakan revivales, fundamentalis, dan radikalis. Sedangkan penamaan itu muncul dari luar. Dari dalam gerakan sendiri, perjuangan yang dilakukan semata adalah untuk keluar dari jerembab intervensi dan imperalisme Amerika dan sekutu. Meskipun Islam itu sendiri, seperti menjadi dasar gerak, diformulasi mendulang massa, spirit perlawanan, dan keberpihakan atas kondisi yang ada. Nur Wahid, Alumnus UIN Sunan Kalijaga, asal Pujodadi, Pardasuka, Pringsewu. Pegiat di Marakom Institute Yogyakarta. (sumber, http://mediasangsufi.blogspot.com)
halaman 55
Rehal
Kumpulan Puisi 3 Penyair Muda Malaysia
Judul
: Pinggir Malam yang Mati Pengarang : Tramisi Hussin, Shafiq Halim, Zulwaqar Akram Tebal : 10 + 50 halaman Ukuran : 12,5 x 18 cm Penerbit : Jargon Books, Malaysia Tahun terbit : Juni 2011
Buku ini merupakan antologi puisi tiga penyair muda Malaysia dengan lini penerbitan kecil/indie yang bernama Jargon Book. Ketiga penyair tersebut adalah Tramizi Hussin, Shafiq Halim dan Zulwaqar Akram. Selain tampilan puisi-puisi mereka yang jauh berbeda dengan gaya puisi lama Malaysia yang teologis dan panjang, puisipuisi mereka lebih padat, ringkas dan perhitungan diksi yang cukup matang. Tampilan bukunya pun mendapat polesan seni yang menarik. Ketiga anak halaman 56
muda yang sama-sama tergabung dalam penerbit Jargon Books ini memiliki peran sendiri-sendiri dalam pra-cetak. Tramizi Hussin berperan sebagai editor, Shafiq Halim menjadi lay-outer dan Zulwaqam Akram menjadi fotografer. Uniknya lagi buku ini tak memiliki biodata penyair, atau daftar isi. Demikianlah, ketiganya merupakan generasi terkini yang paham dan bekerja dalam beberapa gendre seni sehingga tampilan buku dan persoalan-persoalan yang diangkat dalam puisi mereka pun menjadi
cukup beragam. Menurut Shaira Amira dalam pengantarnya, ketiga penyair ini telah berhasil mengungkapkan pengalaman dan perasaan mereka dalam bentuk sajak yang mudah dipahami dan luas pengertiannya serta ide dan pemikiran yang serius. Jika ditelisik, persoalan kesasteraan bagi penyair muda di Malaysia tak jauh berbeda dengan apa yang teralami oleh penyair muda kita. Eksistensi, kedirian, ideologi dan dunia yang ditekuni menjadi tema-tema utama dalam sajak-sajak mereka, begitu pun upaya pencarian bentuk dan gaya bertutur dan bentuk puisi. Simak puisi Bosan Menulis karya Tramizi Hussin berikut:
Sajak-sajak suasana dan potret peristiwa bisa dilihat dalam puisi Zulwaqar Akram. Sebagai misal: aku duduk di atas bangku usang di atas tanah di luar rumah di bawah pohon yang sedang menyanyi kebenaran tak pernah menjadi tetamu si burung ketakutan
menulis ialah kesepian yang dilakar dalam kata-kata
dan terus mati
penulis ialah pencari kata berdengung salam sunyi, yang terkait pada kata tiada apa-apa, iya, penulis ialah manusia sepi yang berselirat dalam bising dunia.
memberi kekuatan
Pemikiran, filsafat, tokoh menjadi bagian tak terhidarkan bagi proses kepenyairan. Seorang penyair bisa jadi terpengaruh, terinspirasi oleh banyak pengalaman dan peristiwa orang lain yang mereka baca dan dengar dalam teks-teks liteter. Sajaksajak suasana, cinta dan kegamangan memandang masa depan mendapat tempat bagi generasi yang dibesarkan oleh abad modern, pernyataan diri, eksistensi sekaligus resistensi. .... mereka akan berkata kepada aku tentang kertas-kertas koyak, ponsel yang patah matanya, batang-batang rokok yang masih tinggal sepertiga,
menjadi bangkai untuk pohon terus bernyanyi (Sirkulasi, Zulwaqar Akram) Antologi ini bisa menjadi pembanding yang bagus bagi perkembangan puisi kita akhir-akhir ini. Buku ini bisa dibeli dnegan menghubungi 081802717528 sekarang juga. Stok terbatas. Segera miliki dengan menghubungi 081802717528. Selanjutkan silahkan transfer sesuai harga buku dan ongkos kirim ke no rekening 0117443522, BNI Cabang UGM Atas Nama Indrian Toni. Konfirmasi dan kirim alamat begitu transaksi selesai. Buku segera meluncur ke alamat. Sumber: Internet, http://jualbukusastra.blogspot.com.
jalan-jalan tar yang basah dihujani kegelapan, puing-puing yang kekal jadi momen yang mortal, aku hilang dalam kebesaran mereka (2, Shafiq Halim)
halaman 57
Obituari
Gabriel Garcia Marquez One Hundred Years of Solitude (6 Maret 1927 – 17 April 2014) (Kematian yang ditangisi di seluruh dunia) halaman 58
Bangun tidur dan melihat berita ringkas: raksasa kesusastraan abad 20, Gabriel García Márquez wafat pada umur 87 tahun (17 April 2014). Seharusnya itu tak mengejutkan. Ia sudah uzur, dan beberapa hari lalu masuk rumah sakit dan alam semesta seperti juga manusia menciptakan segala sesuatu tidak untuk terus hidup abadi. Tapi bahkan dengan kesadaran seperti itu, serasa ada lubang menganga dalam peta kesusastraan di benak kami pengelola majalah budaya “Sagang” Bagi kami, ia melebihi apa yang sering disematkan kepadanya: peraih Nobel Kesusastraan, patriarch fenomena el-boom, maskot realisme magis. Ia sesederhana raksasa kesusastraan abad 20 dengan sedikit pesimisme, barangkali kesusastraan dunia tak akan pernah menghasilkan manusia semacam ini lagi. Bagi kami, hanya sedikit raksasa pernah dilahirkan dan dikenal. William Shakespeare dan Miguel de Cervantes merupakan raksasa yang menandai suatu era kesusastraan modern. Setelah itu, saya ingin menyebut Herman Melville, yang terlihat seperti anak kandung dari perkawinan tak sah Shakespeare dan Cervantes. Abad 19 merupakan abad yang barangkali paling gegap-gempita, manusia mulai menengok wilayah yang selama ini seringkali diabaikan: di dalam dirinya. Era ini ditandai dua raksasa dari Rusia: Tolstoy dan Dostoyevsky. Di luar nama-nama itu, ada nama-nama penulis, ratusan atau bahkan ribuan. Mereka penulis-penulis hebat, besar, mengagumkan, tapi saya rasa kesusastraan dunia sebelum abad 20 hanya perlu dipatoki oleh lima nama itu saja. Anda bisa berdebat soal ini, tapi saya yakin kelima nama tersebut tak akan ke mana-mana. Mereka dengan penuh kepongahan telah mengencingi hampir seluruh karya kesusastraan yang
diciptakan umat manusia. Abad 20 datang, dengan sisa-sisa kolonialisme yang renta, dua perang dunia, revolusi di mana-mana, negera-negara baru diciptakan, globalisasi merekatkan mereka. Penulis lahir di setiap sudut dunia, mereka hebat dan melahirkan karya-karya besar; tapi seperti sebelumnya, semua itu hanya perlu diberi tanda sederhana: abad ini melahirkan raksasa tunggal. Gabriel García Márquez. Kematian Gabriel Garcia Marquez ditangisi di seluruh dunia. Bagi orang-orang yang mengenal dia atau karyanya, Marquez dipuji sebagai raksasa sastra modern. Sepanjang hayatnya, Marquez menegaskan bahwa dia selalu adalah seorang wartawan. Marquez adalah penulis dari novel dan cerpen yang memabukkan, penuh dengan nuansa khas Amerika Latin, seperti takhayul, kekerasan, dan kesenjangan sosial. Dia secara luas dianggap sebagai penulis berbahasa Spanyol paling populer setelah Miguel de Cervantes yang hidup pada abad ke-17. Lahir di Kolombia 87 tahun lalu, pemenang Nobel Sastra pada 1982 ini disandingkan kebesarannya dengan Mark Twain dan Charles Dickens. Karya-karyanya, antara lain Chronicle of a Death Foretold, Love in the Time of Cholera, dan Autumn of the Patriarch, laris manis melebihi karya cetak apa pun dalam bahasa Spanyol, selain Injil. Novel epik yang dia tulis pada 1967, One Hundred Years of Solitude, terjual lebih dari 50 juta kopi dan diterjemahkan ke lebih dari 25 bahasa. Cara Marquez bertutur tentang kehidupan sehari-hari membuat dia terkenal sebagai praktisi sastra realisme magis. Dia bisa menulis sebuah cerita fiksi dengan unsur fantastis, seperti ketika bertutur tentang anak laki-laki yang lahir dengan ekor babi atau seorang pria yang terseret awan kupu-
halaman 59
kupu kuning. Lewat akun Twitter, Presiden Kolombia menuliskan ungkapan dukacitanya untuk Marquez, dengan menyisipkan salah satu judul novel Marquez di dalamnya. “A thousand years of solitude and sadness at the death of the greatest Colombian of all time,” tulis dia. Seribu tahun kesendirian dan kesedihan karena kematian dari orang Kolombia terbesar sepanjang masa. Juga lewat Twitter, Perdana Menteri Spanyol Mariano Rajoy mengungkapkan, “Rasa sayang dan kekaguman terhadap seorang penulis penting, sastra Spanyol maupun universal, di paruh kedua abad ke-20.” Kalimat pertama pada novel One Hundred Years of Solitude telah menjadi salah-satu dari sekian kalimat pembuka yang sangat terkenal. “Bertahun-tahun kemudian, saat ia menghadapi regu tembak, Kolonel Aureliano Buendia ingat tentang satu sore saat ayahnya membawa dia menemukan es.” Gerald Martin, penulis biografi setengah resmi tentang Garcia Marquez, mengatakan kepada Associated Press bahwa One Hundred Years of Solitude adalah novel pertama yang menggambarkan pengakuan Amerika Latin tentang diri mereka sendiri, mendefinisikan keberadaan mereka, merayakan semangat mereka, intensitas mereka, spiritual sekaligus takhayul, serta kecenderungan mereka untuk gagal. Keluarga Marquez merencanakan upacara pribadi untuk memberikan penghormatan terakhir bagi penulis ini. Rencananya, jasad Marquez akan dikremasi. Sementara itu, Pemerintah Meksiko menjadwalkan upacara penghormatan publik pada Senin (21/4/2014), bertempat di Palace of Fine Arts, pusat art deco yang bersejarah di Mexico City, Palace of Fine Arts. Duta Besar Kolombia untuk Meksiko, Julio
halaman 60
Gabriel Ortiz, lewat wartawan mengusulkan agar abu Marquez ditebar di antara Meksiko dan Kolombia. Belum ada konfirmasi dari keluarga soal disetujui atau tidaknya usul tersebut. “Akan ada sebagian (abu) di Meksiko, tentu saja. Saya bepikir bahwa ada bagian lain yang juga bisa berada di Kolombia,” ujar Ortiz. “Kami ingin mendapatkan kehormatan itu, memiliki bagian abunya yang beristirahat dengan tenang di sana.” Ketika menerima Nobel pada 1982, Marquez dalam pidatonya menggambarkan Amerika Latin sebagai sumber kreativitas yang tak pernah terpuaskan, penuh kesedihan sekaligus keindahan, bergantian dengan keberuntungan. Puisi dan pengemis, musisi dan para nabi, prajurit dan bajingan, sebut dia, menjadi realitas tak terkendali. “Kami harus bertanya dengan sedikit imajinasi saja, mengenai masalah penting kami, tentang kurangnya cara konvensional yang bisa membuat hidup kami dapat lebih diyakini,” kata Garcia Marquez. Seperti kebanyakan penulis Amerika Latin, Garcia Marquez melampaui dunia huruf. Dia menjadi pahlawan bagi kaum kiri Amerika Latin, menjadi sekutu awal pemimpin revolusi Kuba Fidel Castro, sekaligus pengkritik intervensi Washington ke Vietnam hingga Cile. Selama bertahun-tahun, Garcia Marquez tak bisa mendapatkan visa kunjungan ke Amerika Serikat, tetapi para pemimpin negara, termasuk Amerika, terus mendekatinya. Bill Clinton dan Francois Mitterand adalah dua di antara presiden yang menjadi temannya. Bersama Norman Mailer dan Tom Wolfe, Garcia Marquez adalah pelaku awal penulisan nonfiksi sastra yang kemudian dikenal sebagai “new journalism”. Jejak jurnalisme sastrawinya berupa karya-karya seperti Story of A Shipwrecked Sailor, yang
bertutur tentang kehidupan pelaut yang bertahan hidup selama 10 hari terombangambing di lautan. Tulisan lain non-fiksi Marquez adalah profil pemimpin Venezuela, Hugo Chavez. Dia menggambarkan dengan sangat jelas tentang Pablo Escobar yang menyobek tatanan sosial dan moral di tanah kelahirannya, Kolombia. Pada 1994, Garcia Marquez mendirikan Iberoamerican Foundation for New Journalism, yang membuat pelatihan dan kompetisi untuk meningkatkan standar jurnalistik naratif dan investigatif bagi para wartawan di seantero Amerika Latin. “Dunia telah kehilangan salah satu penulis terbesar yang visioner dan salah satu favorit saya saat saya muda,” kata Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Garcia Marquez lahir di Aracataca, sebuah kota kecil dekat pantai Karibia, Kolombia, pada 6 Maret 1927. Ia adalah anak tertua dari 11 anak-anak Luisa Santiaga Marquez dan Gabriel Garcia Elijio, pengirim kawat dan apoteker homeopati yang suka mengembara, yang juga adalah ayah dari setidaknya empat anak-anak di luar pernikahannya. Sesaat setelah lahir, Marquez dititipkan kepada kakek dari pihak ibu yang kemudian pindah ke Barranquilla untuk membuka apotek. Cerita tentang kakekneneknya merupakan inspirasi dari cerita fiksi “Macondo”, dan Arataca menjadi rujukan lokasi novel yang sama. Sebuah desa dikelilingi perkebunan pisang, yang kemudian juga menjadi latar novel One Hundred Years of Solitude. “Saya sering diberi tahu oleh keluarga bahwa saya mulai menceritakan banyak hal, cerita dan sebagainya, sejak mulai bisa bicara,” kata Garcia pada suatu ketika dalam sebuah wawancara. Menjalani pendidikan di
sekolah berasrama, dia menjadi bintang kelas dan sekaligus pembaca yang rakus, dan menggemari karya-karya Hemingway, Faulkner, Dostoevsky, dan Kafka. Karya pertama Marquez adalah cerita fiksi pendek untuk koran El Espectator, pada 1947. Meski dipaksa ayahnya belajar ilmu hukum, kebosanan mengantarkan Marquez mendedikasikan diri untuk jurnalisme. Namun, haluan tulisannya adalah pandangan politik kiri. Pembantaian di dekat Aracataca pada 1928 dan pembunuhan kandidat presiden dari sayap kiri, Jorge Eliecer Gaitan, pada 1948, sangat memengaruhi gaya tulisan Marquez sesudahnya. Sempat tinggal beberapa tahun di Eropa, Marquez kembali ke Kolombia pada 1958, menikahi Mercedes Barcha yang adalah anak tetangganya sejak kecil. Pasangan ini memiliki dua anak. Pada 1981, dia meninggalkan Kolombia setelah dituduh bersimpati kepada pemberontak M-19 dan mengirimkan sejumlah uang untuk gerilyawan Venezuela. Mexico City menjadi tempat tinggal dia berikutnya sampai meninggal. Pada 1976, Marquez pernah terlibat perseteruan terkenal dengan penulis Peru, Mario Vargas Llosa. Mereka adu tinju di luar bioskop di Mexico City, dan pada sebuah kesempatan, alasan perkelahian itu pernah dibahas secara terbuka. “Seorang pria hebat telah meninggal. Karya-karyanya telah membuat sastra kita menjadi besar dan bergengsi,” ujar Vargas Llosa, Kamis, dalam wawancara televisi. Melewati kemiskinan hingga sebagian besar masa dewasanya, Marquez sedikit berubah oleh ketenaran dan kekayaan pada kemudian hari. Namun, dia adalah tuan rumah yang ramah bagi tamu-tamunya, yang dengan penuh semangat menceritakan
halaman 61
kisah-kisah panjang untuk para tamu. Garcia Marquez menolak tawaran menjadi duta besar, juga menolak untuk dicalonkan sebagai presiden Kolombia. Namun, dia terlibat dalam upaya mediasi Pemerintah Kolombia dan pemberontak sayap kiri. Pada 1998, dalam usia 70-an tahun, dia mewujudkan impian seumur hidup dengan membeli saham mayoritas sebuah majalah berita Cambo di Kolombia, memakai uang dari hadiah Nobel-nya. Pada tahun berikutnya, dia terserang kanker getah bening. Hingga jatuh sakit, dia masih berkontribusi besar bagi majalah itu. “Saya adalah jurnalis. Saya selalu adalah seorang wartawan,” kata Marquez pada suatu ketika kepada Associated Press. “Semua buku saya tak mungkin saya tulis jika saya bukan wartawan karena semua bahan (buku itu) berasal dari kejadian nyata.”*** (red. Dari berbagai sumber)
Sekilas Tentang Realisme Magis Gabriel García Márquez Gabriel García Márquez adalah salah satu penulis Amerika Latin paling terkenal sepanjang masa. Ia memenangkan penghargaan Nobel di bidang sastra pada tahun 1982. Dua karyanya yang terkenal, “Seratus Tahun Kesunyian” (One Hundred Years of Solitude) dan “Cinta Sepanjang Derita Kolera” (Love in the Time of Cholera), melambungkan namanya ke seluruh penjuru dunia. Marquez lahir di kota Aracataca, Kolombia, tanggal 6 Maret 1927. Masa kecilnya lebih banyak dihabiskan dengan kakeknya yang suka mendongeng. Marquez kecil sering menghabiskan waktu mendengar cerita neneknya mengenai cerita-cerita rakyat dan pejuang-pejuang lokal. Ia sempat kuliah di Fakultas Hukum di Universitas Cartagena. Saat itu, April 1948, suhu politik Kolombia memanas. Jorge Eliécer Gaitán, pemimpin oposisi yang diharapkan membawa Kolombia keluar dari oligarki, ditembak mati dari jarak dekat. Kejadian itu memicu kemarahan spontan massa rakyat. Dan Márquez muda menyaksikan kejadian itu. Ia kemudian memutuskan meninggalkan bangku kuliah dan menjadi wartawan. Ia pernah bekerja di harian terbitan di Cartagena, El Universa. Ia juga tercatat sebagai koresponden asing di Roma, Paris, Barcelona, Caracas, dan New York. Lalu, ia mulai menulis fiksi. Tak lama kemudian, pada tahun 1967, Gabo— panggilan akrab Márquez—menerbitkan
halaman 62
novel “Cien Años de Soledad/Seratus Tahun Kesunyian”. Novel ini menceritakan tentang tujuh generasi keluarga besar Buendia dan segala macam hiruk-pikuknya di kota fiksi Macondo. Melalui novel ini, Márquez berusaha mengajak kita mengenang wabah pes, pembantaian ribuan orang pekerja di perkebunan pisang, dan musim hujan yang turun terus menerus selama 4 tahun. Novel inilah yang, menurut banyak kritikus dan sastrawan, menjadi fondasi gaya realisme magis-nya Gabriel Márquez. Ia mengaku, novel itu sangat dipengaruhi oleh pengalamannya ketika masih kanakkanak dan tinggal di rumah kakeknya. Ia teringat bagaimana kakeknya seringkali mendongenginya cerita-cerita fantastis dengan gaya yang dingin. Pada suatu hari, ketika ia dan istrinya beserta anak-anaknya pergi Acapulco, Ia mendapat wahyu: aku seharusnya menceritakan sejarah itu, seolaholah nenekku yang telah menceritakan sejarahnya, dan dari kepergian sore hari itu, dimana seorang ayah membawa anakanaknya, dan mengenal es. Dalam novel “Seratus Tahun Kesunyian”, Gabriel Márquez seakan menghadirkan sesuatu yang magis menjadi peristiwa biasa dalam kehidupan keseharian. Misalnya, tentang si cantik Remedios yang digambarkan terangkat naik ke atas langit paling tinggi; karakter Melquiades, seorang gypsi yang datang dari luar Mocondo dan selalu membawa pengetahuan-pengetahuan baru, bisa hidup kembali. Realisme magis kemudian tumbuh dan meledak di Amerika latin. Sastrawan Sihar Ramses menggambarkan realisme magis ala Gabriel Marquez sebagai berikut: .. memadukan pandangan tokoh, mitologi masyarakat, menggabungkan cerita
magis dengan sejarah sosial yang berlaku. (Rawannya Sejarah di Novel Kita, 3 November 2012, Sinar Harapan) Franz Roh, seorang sejarahwan Jerman, menyebut ralisme magis sebagai kemampuan menciptakan makna (magis) dengan membayangkan hal-hal biasa dengan cara luar biasa. Realisme magis memang akrab dalam cerita-cerita rakyat di Amerika Latin. Novelis kuba, Alejo Carpentier, dalam novelnya “The Kingdom of this World”, juga bercerita tentang budak bernama François Mackandal, yang diceritakan punya kekuatan magis, dalam perjuangannya melawan dominasi kolonial di Haiti. Mackandal ditangkap oleh penguasa kolonial. Namun, sebelum dieksekusi di hadapan para budak, ia berubah menjadi kupu-kupu yang terbang bebas. Inilah yang memicu pemberontakan kaum budak di Haiti. Ketika ditanya mengapa Eropa tidak bisa menangkap realisme magis ini, Gabriel Márquez langsung menjawab, “Ini pasti karena rasionalisme mereka mencegah mereka melihat realitas yang tidak sebatas pada harga tomat dan telur.” Namun, terlepas dari perdebatan soal realisme magis itu, gaya Gabriel Márquez ini sangat cocok dengan konteks masyarakat Amerika Latin. Bukankah sebuah karya sastra memang harus menjejak ke bumi— kepada akarnya di mana ia dilahirkan. Nama Gabriel Márquez begitu populer di Amerika Latin. “Dia adalah Don Quixote-nya Amerika Latin,” kata penyair Chile Pablo Neruda. Di Indonesia, selain karyanya “Seratus Tahun Kesunyian” dan “Cinta Sepanjang Derita Kolera”, beberapa karya Gabriel García Márquez juga sudah diterjemahkan, seperti “Tumbangnya Seorang Diktator” (El otoño del patriarca), “Selamat Jalan Tuan halaman 63
Presiden� (Bon Voyage, Mr. President), Klandestin di Chile (La Aventura de Miguel Littin, Clandestino in Chile), Sang Jenderal dalam Labirinnya ( El general en su laberinto), dan lain-lain.*** (http://www.berdikarionline.com/ sekilas-tentang-realisme-magisgabriel-garcia-marquez.html /Ricky Sukmadinata)
Dukacita
Pimpinan dan Karyawan
Menyampaikan kabar dukacita atas meninggalnya :
Raja M Zein (74 Tahun) Ayahanda dari Yoserizal Zen (Seniman)
Usia 74 tahun (1940 - 2014)
Semoga Almarhum diterima di sisi Allah Swt dan keluarga yang ditinggalkan tabah menerima cobaan ini. Amin.
halaman 64
halaman lxv
halaman lxvi