Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)
Esei Zurnila Emhar Ch:
“Namaku Hiroko” dan “Kau Bidadari Surgaku” Antara Harta, sastus Sosial dan Cinta Cerita-pendek Mawaidi D. Mas:
Di Jalan Banyak Bahaya Cerita-pendek terjemahan Anton Chekov: Bertaruh Sajak: Irdas Yan dan Husen
Arifin Sajak terjemahan: Sajak
Dinasti Tang yang Cemerlang dan Jalaluddin Rumi Musik Gambus Talang Mamak Tokoh: Usmar Ismail
188 - MEI 2014 www.majalahsagang.com
halaman ha h alla am ma an K KULITi KU ULI L Ti
halaman KULI KULITii LIITi L Ti
Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 188 MEI 2014 tahun XVI
Daftar Isi Pem(baca)anSastra................................2 Esei “Namaku Hiroko” dan “Kau Bidadari Surgaku” Antara Harta, sastus Sosial dan Cinta oleh Zurnila Emhar Ch ..........................4 Cerita-pendek Di Jalan Banyak Bahaya oleh Mawaidi D. Mas .............................9 Cerita-pendek terjemahan Bertaruh oleh Anton Chekov ............... 15 Sajak - Irdas Yan ..............................................23
Usmar Ismail(1921-1971) merupakan seorang tokoh perfilman Indonesia. foto.int
- Husen Arifin ....................................... 28 Sajak terjemahan - Sajak Dinasti Tang yang Cemerlang ...36 - Jalaluddin Rumi ..................................44 Musik Musik Gambus Talang Mamak ...........58 Tokoh - Usmar Ismail .......................................63
Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Dra. Erda Yulfi Pemimpin Redaksi: Kazaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Ilustrator Tetap: Purwanto Manager Keuangan: Erda Yulfi. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.
halaman 1
Tajuk
Pem (baca) an Sastra KENAPA kitab (tulisan) sastra: syair, sajak (puisi), cerita-pendek, dan lain sebagainya, begitu penting dibaca (perlakuan membaca dengan memaknai) atau dibaca dengan bentang-saji (pertunjukkan) di depan audien (seperti baca syair/bersyair, baca cerita-pendek, baca sajak atau puisi, baca/ bentang-saji naskah drama/sandiwara, dll). Will Derks (1994) seorang peneliti genre tradisi-lisan (oral tradition) koba di Rokan yang menulis disertasinya berjudul The Feast of Storytelling On Malay oral tradition memberikan pertanyaan tentang, kenapa orang mesti juga membaca puisi, membaca syair, membaca cerita-pendek (dalam hal mengadadakan bentang-saji. Performing), padahal telah ditulis dan dapat dibaca saja sendiri (di kamar peribadi, di pesawat, di dalam monil, atau bahkan di WC kalau mau). Untuk menjawabnya sementara, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan itu
halaman 2
terjadi karena kehidupan tradisi (sastra) lisan (oral tradition) sangat berpengaruh di tengah-tengah masyarakat kita (baca: Timur). Tidak hanya bentuk-bentuk puisi dan syair (literacy) itu saja yang berubah menjadi kelisanan (orality), tetapi ceritapendek juga sering dibaca sebagai suatu seni pertunjukan yang diharap untuk didengar dan ditonton oleh orang ramai (audien). Apakah ada hubungan bahasa dengan dunia realitas bagi orang Melayu yang di sisi lain suka memakai bahasa sindiran, dan mungkinkah dengan ’membaca syair’ cerita dan ’sindiran-sindiran’ itu lebih mengena barangkali daripada membacanya? Hal ini mungkin memerlukan perhatian dan penelitian, baik secara acak maupun secara ilmiah. Pada sisi yang lain, mungkinkah fungsi musikal (bunyi) sangat berpengaruh dalam kehidupan ini? Bahasa dalam bentuk
(Muhammad SAW) meminta Jibril (malaikat penyampai wahyu) untuk membacakan saja ayat yang pertama diturunkan itu. Sanggahannya mungkin, ”kan Nabi butahuruf? Tetapi dapat dijawab juga, ”kan Allah Mahakuasa untuk membuat Nabi tidak buta-huruf? Oleh sebab semua itu, membaca puisi, membaca cerita-pendek, membaca syair (bersyair), untuk suatu bentangsaji (performing), lebih menekan makna dan memaktubkannya di dalam jiwa (hati), karena seni adalah halus dan yang menerimanya juga haruslah sesuatu yang juga halus, yakni jiwa (hati). ***
%
syair ini sangat berirama, sedangkan jika seorang berbicara dengan bahasa lisan, akan kelihatan bunyi suara yang turun naik, sekali-sekali keras, sekali-sekali lembut, kadang-kadang suara itu tinggi, dan kadang_kadang teredengar rendah. Gelombang suara yang demikian itu dalam buku Prama Sastra Bahasa Indonesia oleh Muhammad Nuh Hudawi (Penerbit Madju Medan, 1955) disebut dengan irama. Irama sangat berkait-kelindan dengan musik. Seseorang menyampaikan/menggunakan bahasa lisan akan terdapat tekanan nada, tekanan dinamik, dan tempo, yang ketigatiganya adalah unsur yang terpenting dari bahan baku musik. Apalagi jika bentuk syair itu lazim dan biasa dinyanyikan dengan beberapa irama tertentu, sehingga fungsi musikal (bunyi) inilah yang barangkali menarik perhatian pendengar. Wilhelm Muller, seorang penyair mengatakan bahwa ”Sajak-sajak akan lebih berbicara jika ia mencantumkan melodi pada sajak-sajaknya itu.” ”Im Amfang war der Rhythmus”. ”Pada awalnya adalah irama”, kata Hans von Bulow, seorang kunduktor terkenal kelahiran Dresden 1830 dan meninggal-dunia di Cairo 1894. Penyair Albert Verwey mengatakan ”... penyair maupun musikus hanya mengenal irama dan untuk mereka birama tidak ada. Yang kita ucapkan tidak lain daripada irama-irama yang memaksa keluar dari diri kita, tapi kita tahu, bahwa sebelum mereka hadir dalam diri kita, mereka dalam bawah sadar bersatu dengan yang telah mati, yang kita sebut birama-birama. Biramabirama sebetulnya adalah hal-hal mati yang mengerikan. Tidak ada yang melihat mereka, kita hanya melihat semata-mata irama-irama.” Di lain hal, dapat diajukan jawaban sekaligus pertanyaan, kenapa Nabi
halaman 3
Esei
“Namaku Hiroko” dan “Kau Bidadari Surgaku” Antara Harta, sastus Sosial dan Cinta oleh Zurnila Emhar Ch
pa yang dipikirkan oleh seseorang jika mendengar kata pelacur? Tentulah sesuatu yang berkaitan Ten dengan yang buruk. Pelacur adalah perempuan yang menjual diri, wanita tunasusila. Bahkan terkadang cap pelacur juga disandangkan pada istri-istri simpanan sekalipun mereka tidak menjual diri. Apapun alasan dan tujuan hingga seorang perempuan mendapat cap tersebut, dalam nilai-nilai masyarakat dia tetap salah. Label buruk yang terlanjur melekat pada
halaman 4
seseorang akan serta-merta menyudutkannya dalam pergaulan. Sekalipun masyarakat umum tidak turut menanggung konsekuensi perbuatannya. Tapi, begitulah. Pertobatan pun belum tentu bisa menghapus citra yang ada. Dalam sastra Indonesia, tidak sedikit novel yang bercerita tentang pelacuran. Di antaranya “Namaku Hiroko” karangan NH. Dini. Berikut ini saya menulis sedikit ulasan mengenai Namaku Hiroko dan novel “Kau Bidadari Surgaku” karangan Ade Kurniawan,
seorang penulis pendatang baru. Sinopsis Novel Namaku Hiroko menceritakan tentang gadis Jepang yang berasal dari desa. Ibunya telah meninggal. Namun ibu tirinya membesarkannya penuh cinta. Hiroko memiliki dua orang adik laki-laki seayah. Pamannya mengajar bahasa asing di sebuah perguruan agama. Hiroko merantau ke kota Kobe untuk mengubah hidup. Dia mendapat pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga. Seiring waktu, gemerlap kota telah menghipnotis Hiroko untuk mencari uang sebanyakbanyaknya. Mulanya dia hanya ingin membeli gaun malam seperti milik bibinya. Namun ketika bertemu Michiko, Hiroko mulai berpikir untuk memiliki pakaianpakaian dan aksesoris yang mahal. Untuk mencapai keinginannya, Hiroko berhenti bekerja sebagai pembantu. Kemudian dia menjadi pegawai toko pakaian. Karir melesat dengan cepat. Penghasilannya terus meningkat. Kemudahan dalam hal keuangan juga didapatnya dari pacarpacarnya, Kishihara Yukio dan Suprapto. Tetapi Hiroko tidak puas. Dia menginginkan uang yang bisa menjamin ketenangannya di masa tua. Dia juga ingin memiliki rumah mewah di kawasan elit seperti milik atasannya. Ketika mendengar kabaret Teratai mencari penari striptease, Hiroko menyanggupinya. Dia juga tidak menolak melayani lelaki hidung belang selama bayarannya pantas. Profesi sebagai pegawai toko, penari telanjang, wanita pengibur telah membuat Hiroko bergelimang harta. Dengan mudah dia bisa mengirim uang untuk keluarga dan membantu kerabatnya. Walaupun begitu, Hiroko tidak berhenti sampai di sana.
Selain uang dia ingin mendapatkan lakilaki idamannya. Ketika suami sahabatnya, Yoshida Okamura, menunjukkan ketertarikan padanya, Hiroko memberinya harapan. Yoshida memenuhi kriterianya; muda, kaya dan tampan. Pilihan hidup yang sama juga diambil Marwah, tokoh utama dalam novel Kau Bidadari Surgaku (KBS). Marwah berasal dari keluarga sederhana di pinggir rel kereta api di Kroya. Dia hidup bersama ibu dan dua orang adik laki-laki seibu. Ayahnya meninggal saat mengetahui kalau Marwah bukan anak kandungnya. Ternyata ibunya telah hamil sebelum menikah. Marwah merantau ke Jakarta, terluntalunta dan menjadi wanita panggilan. Pekerjaan itu dilakukannya dengan senang hati karena darinya dia mendapatkan limpahan materi. Marwah bisa menopang perekonomian keluarga. Di kampung pun dia dikenal sebagai penderma. Tujuan Marwah hanya satu; menjadi kaya dan dihormati. Setelah berpindah dari satu lakilaki ke laki-laki lainnya, Marwah seakan menemukan jalan pulang setelah berkenalan dengan Hamzah, seorang guru ngaji. Diam-diam Marwah menyukainya dan mulai meninggalkan dunianya. Dengan dukungan sahabatnya, Marwah mulai rajin sembahyang, mengikuti pengajian dan mengubah penampilannya. Ketika sahabatnya muncul di berita televisi sebagai perempuan simpanan yang dijadikan alat cuci uang oleh seorang pengusaha yang merangkap ketua partai, Marwah makin mendekat kepada tuhan. Rasa bersalah karena membohongi ibunya terus membayanginya. Dalam sebuah doanya, Marwah bermunajat, “Berikanlah
halaman 5
aku jalan keberanian untuk mengakui semua kebusukanku di hadapan ibu, dan selamatkanlah ibu, lindungi hati dan jasadnya dari rasa sakit karena dosaku.� (hal. 260) Pada akhirnya Hamzah melamar Marwah. Namun usia pernikahan mereka tidak lama. Marwah meninggal akibat penyakit magh kronisnya. Kebebasan menentukan pilihan hidup Hiroko meninggalkan pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga saat majikannya sedang hamil tua. Dia bahkan tidak mau menunggu kedatangan penggantinya. Dia tidak mau direpotkan dengan mengurus bayi. Pergaulan Hiroko dengan temantemannya di kota Kobe telah mengubahnya 180 derajat. Hiroko yang pemalu dan lugu berubah menjadi berani dan materialistik. Sejak menjalani hubungan intim pertamanya dengan Sanao, adik majikannya, Hiroko selalu menunggu-nunggu malam berikutnya. Pun ketika dia tidak begitu menyukai suami majikannya yang menghendakinya, Hiroko tetap melayaninya. Bagi Hiroko seks dan uang sama pentingnya. Sesuatu yang mulanya tabu dibicarakan oleh perempuan di desa, telah menjadi buah bibir di keseharian Hiroko. Tanpa malu dia menceritakan pada teman-temannya dan atasannya tentang laki-laki yang pernah menidurinya. Ketika memilih menjadi simpanan Yoshida, suami Natsuko, dia menjalaninya dengan santai dan tanpa rasa bersalah. “Yoshida juga tidak mau melepaskanku. Dia berkata membutuhkan aku. Malam itu dia berkata, Natsuko barangkali seorang istri
halaman 6
dan ibu yang baik. Tetapi sebagai kekasih, kurang bernapsu. Aku tidak mengetahui apa sebabnya. Pihak perempuan harus menurut dan menerima. Tanpa kehangatan maupun sifat tantangan. Aku termasuk kelompok lain. Dari jenis di luar pagar. Kemahiran untuk mengecap kenikmatan tidak terbatas hanya pada bentuk menerima. Kami pun bisa memberi, memulai, dan mengambil langkah pertama. Juga dalam mencinta. Tidur dengan perempuan seperti kami, laki-laki dapat menghayal memiliki sepuluh perempuan sekaligus. (hal. 240) Begitu pula Marwah, niat semula datang ke Jakarta untuk menjadi pembantu rumah tangga. Kemudian tertarik menjadi wanita panggilan seperti Shinta walau sahabatnya itu telah menentangnya. Namun, Marwah masih memiliki rasa malu akan profesinya. Dia berusaha menutupi pekerjaannya dan tempat tinggalnya dari orang lain. Hanya Shinta satu-satunya yang mengetahui keburukannya. Tiga tahun lamanya Marwah menjalani profesinya. Selama itu dia menikmati hidupnya. “Yang penting buatku adalah aku tidak pernah merugikan orang lain serta bisa membuat orang-orang di sekitarku bahagia. Biar aku sendiri yang menanggung beban dosanya.� (hal. 30) Hiroko dan Marwah mempunyai tujuan yang sama datang ke kota, sebagai pembantu rumah tangga. Lalu, memilih jalan yang sama pula untuk dilaluinya akibat teman pergaulannya. Materi menjadi tujuan hidup Hiroko sebenarnya sudah kehidupan yang lumayan
memiliki dengan
bekerja di toko pakaian. Namun dia tahu penghasilannya itu tidak akan cukup untuk membeli rumah besar idamannya. Hiroko butuh jaminan untuk masa tuanya. Itulah alasan dia menjadi penari telanjang dan bersedia melayani laki-laki yang berdompet tebal. Ketika Suprapto, pacarnya yang merupakan mahasiswa Indonesia menawarkan pernikahan sebagai tujuan hidup seperti umumnya perempuan, Hiroko tidak menggubrisnya. “Pernikahan itu seperti sebuah pintu. Orang-orang yang berada di dalamnya ingin ke luar. Dan orang yang di luar ingin masuk.” Perkataan Emiko tersebut terus membayanginya. Sedangkan dalam hal percintaannya, bila telah bosan dengan pasangannya Hiroko akan berlalu meninggalkannya. Prinsipnya, “Aku suka pada laki-laki yang pandai dan berotak. Tetapi aku lebih menghargai lelaki yang tahu berbicara tentang kehidupan sekeliling, dan lebih-lebih yang mengerti dan menganggapi kemauanku sebagai perempuan.” (hal. 234) Sedangkan bagi Marwah, materi yang dikumpulkan lebih pada rasa ingin dihormati. Karena dalam masyarakatnya keluhuran budi bukanlah jaminan seseorang akan dipandang dan disegani. Marwah menyesuaikan pemikirannya dengan pemikiran umum masyarakat dalam bersosialisasi. Memiliki harta yang banyak adalah satu-satunya pilihan untuk mendapatkan tempat yang dihargai. Dengan uang segalanya bisa dibeli. Mungkin begitu. Namun demikian, sekalipun uangnya berasal dari pekerjaan yang salah, Marwah tetaplah pemurah.
Nilai-nilai agama Dalam novel Namaku Hiroko sulit ditemukan nilai-nilai agamanya. Urusan agama hanya tampak ketika Hiroko dan kawan-kawannya pergi sembahyang ke kuil. Saat itu terlintas di pikirannya untuk membuatkan meja pemujaan yang baru dan besar untuk rumahnya di kampung. Selain itu Hiroko ataupun tokoh-tokoh lainnya tidak pernah menyinggung dan membahas segala sesuatu yang berbau agama. Berbeda dengan Hiroko, tokoh Marwah dalam KBS, masih sering mengingat tuhan dan kerap berdoa. Dia menyadari pekerjaannya tidak benar, walau terus menjalaninya. “Semoga Tuhan mengampuniku atas apa yang aku lakukan selama ini. Karena apa yang aku lakukan bukan semata-mata agar aku bergelimang harta, tapi ini semua aku lakukan agar aku bisa bermanfaat untuk sesama dan keluarga, terutama ibu.” (hal. 34) Memang benar, Marwah tercatat sebagai donatur tetap sebuah yayasan. Lalu ketika Hamzah melamarnya, Marwah tidak langsung menerima. Dia sadar siapa dirinya. Dia merasa tidak pantas menjadi istri seorang ustadz. Baginya mencintai Hamzah secara diam-diam itu sudah cukup. Jika kemudian dia menikah dengan Hamzah semata-mata agar dia memiliki imam yang akan membimbing dalam pertobatannya. Sedangkan Hiroko, selain jauh dari agama, dia benar-benar memerdekakan dirinya dari rasa bersalah. Perselingkuhannya dengan Yoshida sedikitpun tidak membuatnya merasa bersalah pada Natsuko. Baginya Yoshida membutuhkan kehangatannya dan dia membutuhkan uang laki-laki itu. Mereka impas.
halaman 7
Waktu Yoshida tidak mendatanginya pada suatu malam karena Natsuko masuk rumah sakit setelah mencoba bunuh diri, Hiroko hanya berpikir, “Apakah yang membuat temanku itu berkehendak mengakhiri hidupnya? Atau karena keberaniannya menantang kematian? Itu semua masa bodoh bagiku. Namun aku terpaksa menghadapinya karena justru menyentuh kepentinganku; Yoshida tidak datang malam itu.� (hal. 226) Pada akhirnya Hiroko benar-benar menjadi istri simpanan Yoshida. Dari lakilaki itu dia mendapatkan rumah besar di Kyoto seperti impiannya, Bar Manhattan atas namanya, dan beberapa saham di toko tempatnya bekerja dulu yang menjadikannya sebagai orang penting dalam rapat. Mereka hidup bersama dan memiliki dua orang anak. Hiroko merasa bahagia dan puas dengan pencapaiannya saat itu. ***
Kedua novel tersebut bercerita tentang permasalahan yang serupa. Berangkat dari kondisi dan struktur keluarga yang nyaris sama pula, Hiroko dan Marwah menjalani pilihan hidupnya dengan suka rela. Namun cara mereka memaknai hidup dan nilai spiritual yang melekat pada keduanya jelas berbeda. Dalam alur cerita, Hiroko digambarkan sebagai pekerja keras. Pembaca bisa melihat dengan jelas kesibukannya menjalani rutinitasnya. Tugas-tugasnya di kantor, di kabaret dan saat bersama laki-laki. Semua terpampang nyata. Pada KBS, profesi Marwah tidak begitu tampak. Tidak ditemukan kebersamaan Marwah dengan para pelanggannya, tidak ada juga penggambaran kuliyahnya. Status Marwah sebagai mahasiswa hanya disinggung dalam percakapan antar tokoh. KBS lebih menitikberatkan pada proses pertaubatan Marwah. ***
%
halaman 8
Cerita-pendek
Di Jalan Banyak Bahaya oleh Mawaidi D. Mas
“
Bayangkan, jika orang itu berdiri di kejauhan lampu yang terang, dan kamu lewat di sana dengan tenang. Sementara orang itu mulai menyiapkan kematian,” cerita nenek.
Nenek adalah malaikat bagi aku. Karena nenek aku bisa berjalan, karena nenek aku tahu warna dan aroma jalan, karena nenek aku dan nenek dulu bisa jalan-jalan. Nenek yang kutahu ia tidak pernah berbohong, sama sekali ia tidak akan pernah berbohong kepada cucunya. Lantaran nenek tahu bagaimana rasanya dibohongi semasa dulu ia juga menjadi cucu. Beban yang dipikul nenek dengan kehadiran aku dalam kehidupannya tak jua menjadi alasan diberi kesibukan. Justru ketika kudengar nenek bercakap dengan seseorang yang katanya ingin membeli aku, ia tidak akan bisa damai seperti saat ini jika aku tak ada. Kakek meninggal, ibu dan ayah tidak pernah diceritakan oleh nenek. “Le, nenek pergi dulu sebentar. Jangan keluar rumah bila nenek tak ada.” “Cale ikut ya, Nek?” “Jangan. Jangan keluar rumah bila nenek tak ada. Pisang di kebun sudah lama nenek lupakan. Siapa tahu masih ada dan tidak busuk. Hari ini kita makan kolek pisang. Nenek hanya sebentar.” Melangkah nenek. Ia berjalan pelan seperti anak kecil yang baru bangun dari tidur. Rambut nenek dikundai. Bila nenek hilang ditelan belokan jalan, aku juga bergegas menutup pintu dan masuk ke dalam.
Mawaidi D. Mas, kelahiran 14 Oktober 1993. Mahasiswa di Universitas Negeri Yogyakarta Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni.
halaman 9
Selalu demikian cara ia menghormati aku. Kutahu dulu ketika nenek sedang keluar dan aku disuruh di rumah, sepulangnya nenek menanyai aku apa yang aku lakukan. “Kamu tidak tidur kan Le sejak nenek keluar?” “Tidak, Nek.” “Terus kamu tadi lagi apa?” “Jaga rumah, Nek.” Tertawa nenek. Sekarang aku tidak ingin nenek menertawaiku lagi ketika ia bertanya aku sedang apa semenjak ditinggal. Di dalam rumah aku duduk di kursi. Kuperhatikan rumah. Di dinding tertempel pigura berukuran besar menjadi hiasan, sebesar kalender di atas lemari. Tidak pernah kutemukan di dalam pigura foto nenek bersama kakek atau foto ayah bersama ibu. Pigura yang mewarnai seisi rumah itu posisinya tidak terlalu tinggi, seukuran ketika aku berdiri atau paling tinggi seukuran ketika aku berdiri di atas kursi. Aku menjaga rumah yang sesekali terdengar cecuit burung di luar jendela. Masih duduk aku di kursi memandangi pigura-pigura yang halaman 10
terpaku di dinding. Setiap pigura terdapat lukisan di tengah-tengah tulisan pada kertas itu. Setiap pigura yang kupandangi berbeda antar lukisan yang lain. Kepalaku mulai menaruh curiga nenek adalah seorang pelukis. Sepertinya nenek mulai membohongi aku diam-diam sejak lama. Kalau nenek seorang pelukis, aku pasti menemukan kanvas, cat acrylic, cat air, kuas atau lainnya. Hummm, di kamar nenek hanya ada mesin ketik yang dimuseumkan di lemarinya. Di kamar nenek juga terdapat pigura-pigura berserakan di dinding. “Ini yang membuat nenek seperti ini, bertemu denganmu.” Menunjuk ke arah mesin ketik. Dulu, dulu sekali ketika aku belum menaruh rasa curiga. Mungkin kali ini aku akan menuntaskan rasa penasaranku pada pigura-pigura itu. Dengan membaca tidak lain adalah jalan untuk tahu siapa nenek sebenarnya. Sebuah pigura yang sama besarnya dan tidak terlalu tinggi kudekati. Sebuah lukisan seorang wanita dengan rambut tergerai dan tangannya menggenggam jatuhan air hujan. Wanita dalam pigura membuat aku penasaran dan makin penasaran. Aku ambil pigura yang kumaksud. Sebelum akhirnya, terdengar olokan salam dari luar pintu dan aku mengurungkan niat. Nenek sudah pulang. Aku boleh keluar rumah. “Cale mau keluar?” “Sebentar ya, Nek!” “Di jalan banyak bahaya.” Aku menelusuri seruas jalan. Jalan ini pernah dilewati aku bersama nenek. Terdapat jalan yang tidak terlalu kecil bagi dua orang yang saling berseberangan. Jalan tadi dari rumah nenek menuju entah ke mana. Aku hanya berjalan melalui jalan yang pernah nenek tunjukkan. Barangkali jalan memang tak pernah memiliki ujung. Bila nenek mengatakan di jalan banyak bahaya, sebenarnya tidak kupungkiri itu memang sebuah kenyataan. Ada banyak teman dibunuh, diculik, diperkosa, atau ditemukan di semak belukar yang tak jauh dari jalan dalam keadaan tidak bernyawa. Kakek dulu pernah dirampok ketika hendak menjual kelapa ke pasar. Kakek luka. Lama sekali kakek terbaring sakit, kata nenek. Di jalan inilah kakek bertemu dengan seorang lelaki yang pura-pura menanyakan sebuah alamat pada kakek. Begitu dekat dengan kakek, perampok itu menendang kakek hingga terjungkal ke samping jalan yang curam dan tubuhnya tertimpa belukar. Kakek dua hari tidak ditemukan kata nenek.
halaman 11
Selama keluar rumah, di jalan aku mempelajari segala hal tentang orang-orang yang ramah, tentang orang-orang yang angkuh, tentang jalan yang penuh makna. Barangkali kakek dulu berada di antara orang yang ramah, dan orang angkuh. Atau barangkali tidak sama sekali sehingga akhirnya dihempaskan dari kehidupanku. Matahari melayang, meninggi dan naik hingga pandanganku mendongak ke atas. Aku memanggul matahari dan membawa pulang dan kuhadiahkan kepada nenek. *** Dari matanya, hidungnya, bibirnya yang kulihat separuh, dagunya yang lancip, sama sekali tidak ada kemiripan dengan punya nenek. Rambut nenek suka digelung, perempuan dalam pigura itu dilepaskan melambai. “Itu nenek, Le.” “Masak sih, Nek?” “Itu nenek yang lain. Itu potret nenek masa lalu sewaktu kehilangan kakekmu.” “Nenek foto di mana?” “Mereka tidak pernah tahu nenek. Nenek dalam pigura itu adalah ilustrasi dalam cerita itu.” “Ini, Nek?” “Bacalah jika kamu kangen kakekmu. Nenek juga kangen kadang, Le.” “Jadi ini nenek yang nulis?” “Kamu kangen kakekmu, Le?” “Ada di mana dia, Nek?” “Baca cerita dalam pigura di sebelahnya itu.” Sebuah jalan, dilalui seseorang yang memikul kelapa. Aku hanya menangkap lukisan yang ada di dalam pigura itu. Aku menoleh ke arah nenek yang tengah duduk di kursi. Menatapku. Jalan lain nenek ketika merindukan kakek adalah membaca cerita dalam pigura itu, tuturnya. Bila aku bangun tidur, pagi hari dan suara burung di luar jendela masih asyik berkicau sementara kudengar suara mesin ketik nenek menyiangi rutinitasnya. Berlangsung tiap hari nenek melakukan itu yang aku mulai tahu nenek sedang menulis cerita untuk diletakkan dalam pigura.*** Tiap nenek pulang dari kebun entah mengambil buah pisang atau buah kelapa, aku selalu keluar rumah. Pamit pada nenek. Aku keluar halaman 12
ke jalan yang pernah nenek tunjukkan. Aroma jalan berbeda dengan hari-hari sebelumnya sewaktu aku pertama kali keluar rumah. Warna jalan penuh teriakan dan langkah orang-orang yang berseliweran. Orang-orang itu seperti nenek. Ada pula lelaki yang tergopoh-gopoh. Seorang ibu yang di tangannya bakul langsung dibuang menangis tangis histeris. “Kejar orangnya!” teriakan seorang ibu. “Kasihan sekali kamu, Nimas.” Perempuan yang sama mengeluselus sosok di pangkuannya. Dia menangis. “Heh, anak kecil. Kamu sendirian? Mau mati?” lelaki bertubuh ringking memaki. Sambil lari mendekati seorang ibu yang memangku sosok tubuh tadi. Aku bergidik. “Siapa? Siapa yang memperkosa Nimas?” dari arah jauh, lelaki muda larinya tertatih-tatih. Wajahnya kacau. Antara sedih dan dendam yang membakar. “Tenangkan hatimu, Lung. Ibu juga tidak menginginkan ini terjadi pada Nimas.” Kata seorang ibu itu pada lelaki muda yang napasnya masih tersengal-sengal. Aku menerka-nerka seisi jalan. Orang-orang yang angkuh dan orang-orang yang ramah kembali terbayang seperti kelebatan bayang-bayang. Tidak seperti hari-hari kemarin pelajaran di jalan yang kudapatkan tidak membawakan matahari untuk nenek. Aku mendongak ke atas, langit berawan. Aku memilih pulang. Akan kuceritakan kejadian di jalan kepada nenek yang tidak pernah kujumpai. “Makanya jangan suka keluar. Di jalan banyak bahaya, Le.” “Apa nenek akan menjadikan mereka seperti kakek? Seperti dalam pigura itu.” “Terlalu banyak orang-orang dalam pigura itu. Mereka adalah tetangga, teman, dan kawan lama. Sekarang nenek ingin seperti kakekmu dalam pigura itu.” “Cale boleh baca ya, Nek?” Mengangguk nenek disertai sekuntum senyumnya yang dibawa masuk ke kamar. *** “Kemarin ada orang mati malah mau keluar, Le. Di jalan banyak bahaya.” Kematian kemarin membuat aku penasaran tentang pembunuhnya.
halaman 13
Meski dilarang nenek, aku seperti tak mengacuhkan. Aku berjalan di jalan yang pernah nenek tunjukkan. Di sekelilingku jalan terjal mirip jurang. Kulihat bukit jauh dipandang. Kurasakan di telingaku dari setiap yang mengirim suara; angin, hawa dan napasku sendiri. Tidak juga aku menemukan peristiwa yang aku inginkan. Apa orang-orang sudah tidak menyukai jalan? Barangkali karena kemarin ada kematian. Gagak terbang. Kupandangi ketika ia berkeliling di atas langit yang tak jauh. Berkoar. Sesekali menjauh dan kembali lagi. Lalu hilang setelah kuperhatikan dan leherku sakit. Selalu saja tiap aku keluar rumah membawakan sesuatu yang berbeda pada nenek. Awalnya matahari kuhadiahkan pada nenek. Lalu langit berawan, dan sekarang gagak. Jalan memang banyak cerita dan orang-orang tahu itu tidak menyenangkan. Tanpa kuberi salam, aku masuk dan seperti biasanya memandangi pigura-pigura di dinding. Suara jarum jam berdetak. Bau masakan nenek segar di hidungku. Nenek habis bersih-bersih, pikirku. Nenek merapikan segalanya; gorden, kursi tamu, serta baju-bajuku dalam lemari. Sebuah buku dikembalikan ke rak. Jendela sudah ditutup. Pigura-pigura memancarkan wajah nenek. Mula-mula aku kagum dengan isi rumah yang sepi. Namun kecurigaan muncul setelah selang kemudian tak juga muncul tubuh nenek. Barangkali nenek keluar rumah. Nenek bilang, jangan keluar rumah bila nenek tidak ada. Baru saja aku keluar rumah, mengapa nenek keluar? Aku memberanikan diri masuk ke kamar nenek yang sejak tadi hanya memandangi pigura-pigura. Dari luar pintu, kulihat mesin ketik berada di atas meja. Lalu kulihat lagi ada tubuh membujur di tempat tidur nenek dan kaku. Nenek? Tidak. Aku tidak mempercayai ini semua. Nenek tetap masih hidup. Nenek hanya singgah ke dalam pigura-pigura itu. Aku sangat yakin demi jalan dan Tuhan. Beginikah cara nenek meninggalkan aku sewaktu di jalan? Nenek‌. ***
%
halaman 14
cerita-pendek terjemahan
Bertaruh oleh Anton Chekov
ANTON CHEKOV lahir di Taganrog, Laut Azov, Rusia. Cerpennya yang berjudul “Bertaruh” (“The Bet”, judul dalam bahasa Inggris) Terjemahan dari teks berbahasa Inggris oleh Didot Dasmo.
halaman 15
aat it itu malam musim gugur yang gelap. Seorang bankir tua berjalan mondarmandir di ruang kerjanya, teringat akan berja pesta yang pernah diselenggarakannya pada musim gugur lima belas tahun lalu. Banyak cendekiawan yang hadir diisi bual-bual bernas di sana. Di antara halhal yang mereka bualkan adalah masalah hukuman mati. Para tamu, tidak sedikit di antaranya adalah para sarjana dan wartawan, sebagian besar tidak setuju atas pelaksanaan hukuman tersebut. Mereka menganggap hal itu sebagai suatu bentuk hukuman purbakala, tidak cocok untuk negara beragama dan tak bermoral. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hukuman mati hendaknya diganti saja dengan hukuman penjara seumur hidup secara keseluruhan. “Aku tak sependapat dengan kalian,” kata sang tuan rumah. “Aku sendiri belum pernah mengalami hukuman mati atau penjara seumur hidup, tapi bila kita boleh mengambil pertimbangan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, menurut pendapatku hukuman mati lebih bermoral dan lebih manusiawi daripada penjara. Eksekusi langsung membunuh, sedang penjara seumur hidup membunuh perlahanlahan. Siapakah algojo yang lebih manusiawi, orang yang membunuhmu dalam beberapa detik ataukah seseorang yang mencabut nyawamu selama bertahuntahun?” “Keduanya samasama tak bermoral,” ujar seorang tamu, “karena tujuan keduanya sama, membunuh kehidupan. Negara bukan Tuhan. Ia tak punya hak untuk mengambil apa yang tak dapat diberikannya kembali.” Di antara mereka terdapat seorang pengacara muda yang berusia sekitar dua puluh lima tahun. Ketika dimintai pendapatnya, ia berkata: “Hukuman mati dan penjara seumur hidup samasama tak bermoral, tapi kalau aku disuruh memilih di antara keduanya, aku pasti memilih yang kedua. Bagaimanapun juga, hidup lebih baik daripada tidak hidup sama sekali.” Terjadilah perdebatan yang seru. Sang bankir yang saat itu masih muda dan agak “pemanas” tibatiba naik darah, ia menggebrak meja dan berteriak kepada pengacara muda tadi: “Bohong! Aku berani bertaruh Dua Juta Dollar, kau takkan betah ngendon di sel walau hanya untuk lima tahun saja!” “Kalau kau serius,” sahut sang pengacara, “aku bertaruh akan ngendon bukan hanya selama lima, tapi lima belas tahun.” “Lima belas tahun. Jadi!” seru sang bankir. “Tuantuan, aku mempertaruhkan Dua Juta!”
halaman 16
“Setuju. Kau bertaruh dengan Dua Juta, aku dengan kebebasanku,” kata sang pengacara. Maka Bertaruh gila-gilaan itu pun terjadilah. Sang bankir yang saat itu memiliki banyak uang tak dapat mengendalikan dirinya. Selama makan malam ia berkata kepada sang pengacara dengan canda: “Sadarlah sebelum terlalu terlambat, anak muda. Dua Juta tak ada artinya bagiku, namun kau akan kehilangan tiga atau empat tahun terbaik dalam hidupmu. Kubilang tiga atau empat, karena kau takkan kuat ngendon lebih lama lagi. Juga jangan lupa, hai orang malang, bahwa sukarela lebih berat daripada melaksanakan hukuman penjara sesungguhnya. Pikiran bahwa kau punya hak untuk membebaskan dirimu kapan saja, akan mengacaukan seluruh kehidupanmu di dalam sel. Aku iba padamu.” Dan kini sang bankir berjalan mondarmandir mengenang ini semua dan bertanya pada dirinya sendiri: “Kenapa kulakukan pertaruhan ini? Apa manfaatnya? Si pengacara itu kehilangan lima belas tahun kehidupannya dan aku membuang Dua Juta. Apakah ini akan meyakinkan masyarakat bahwa hukuman mati lebih buruk atau lebih baik daripada penjara seumur hidup? Tidak, tidak! Semua ini kesiasiaan belaka. Di pihakku itu sematamata akibat pikiran mendadak dari seorang yang kaya raya; sedang bagi si pengacara, sematamata karena tamak harta.” Ia mengenang lebih jauh tentang apa yang terjadi setelah pesta malam itu. Diputuskan bahwa sang pengacara harus menjalani masa kurungannya di bawah pengawasan yang sangat ketat di sebuah paviliun yang terletak di kebun milik sang bankir. Juga telah disepakati bahwa selama masa itu ia akan kehilangan hak untuk melintasi ambang pintu, melihat kehidupan masyarakat, mendengar suarasuara manusia, dan menerima surat serta koran. Ia diijinkan memiliki sebuah alat musik, membaca bukubuku, menulis surat, minum anggur dan menghisap tembakau. Berdasar kesepakatan ia bisa berkomunikasi dengan dunia luar, namun hanya dengan keheningan, melalui sebuah jendela kecil yang khusus dibangun untuk itu. Semua kesepakatan itu telah tertulis secara rinci, yang membuat masa kurungan itu amat sangat sunyi dan terasing, dan sang pengacara diwajibkan untuk tinggal tepat selama lima belas tahun mulai dari pukul dua belas pada tanggal 14 November 1870 berakhir hingga pukul dua belas tanggal 14 November 1885. Sedikit saja ia melakukan pelanggaran atas syaratsyarat tadi, melepaskan diri walau hanya kurang dua menit dari waktunya, membebaskan sang bankir untuk membayarnya Dua Juta. halaman 17
Selama tahun pertamanya di penjara, sang pengacara, sepanjang kesimpulan yang dapat ditarik dari catatancatatan kecilnya, sangat menderita karena kesendirian dan kesepian. Siang malam dari kamarnya terdengar suara piano. Ia menolak anggur dan tembakau. “Anggur,� tulisnya, “membangkitkan keinginankeinginan yang merupakan musuh utama bagi seorang tahanan, lagi pula tak ada yang lebih membosankan daripada minum anggur yang baik sendirian, sedangkan tembakau mengotori udara di kamarnya.� Selama tahun pertama itu sang pengacara mendapat kiriman bukubuku tentang para tokoh, novelnovel kisah percintaan yang rumit, ceritacerita kejahatan dan fantasi, komedi, dan sebagainya. Pada tahun kedua tidak terdengar lagi suara piano dan sang pengacara hanya meminta sastra Yunani dan Romawi kuno. Dalam tahun kelima suara musik kembali terdengar dan sang tahanan meminta anggur. Orangorang yang mengawasinya mengatakan bahwa dalam waktu setahun itu ia hanya makan, minum dan berbaring saja di ranjangnya. Ia sering menguap dan bicara sendiri sambil marahmarah. Ia tidak lagi membaca buku. Terkadang di malam hari ia duduk sambil menulis. Ia menulis dalam waktu lama kemudian merobekrobek semuanya di pagi hari. Lebih dari sekali terdengar ia menangis. Dalam pertengahan tahun keenam, sang tahanan mulai mempelajari bahasabahasa, filsafat dan sejarah dengan penuh semangat. Ia menekuni bidangbidang ini dengan laparnya sehingga sang bankir bersusah payah mencari waktu untuk memenuhi kebutuhan bukubukunya. Dalam masa empat tahun telah sekitar enam ratus volume yang dibeli atas permintaannya. Ketika gairah itu surut, sang bankir menerima surat berikut ini dari sang tahanan: “Sipirku yang baik, kutulis barisbaris ini dalam enam bahasa. Tunjukkanlah kepada para ahli. Biar mereka membacanya. Jika mereka tak menemukan satu kesalahanpun, kuminta kau memerintahkan orangmu melepas tembakan di kebun. Dengan keributan itu, aku akan tahu bahwa usahaku selama ini tidaklah siasia. Para cendekiawan dari segala masa dan negeri berbicara dalam bahasabahasa yang berbeda, namun dalam diri mereka semua menyala semangat yang sama. Oh, seandainya kau tahu betapa bahagianya aku kini karena telah mengerti bahasabahasa mereka!� Keinginan sang tahananpun terpenuhi. Dua tembakan dilepas di kebun atas perintah sang bankir. Selanjutnya, setelah tahun ke sepuluh, sang pengacara duduk tak bergeming di depan mejanya dan hanya membaca Kitab Perjanjian halaman 18
Baru. Sang bankir merasa heran bahwa seorang pria yang selama empat tahun telah menguasai enam ratus volume ilmu pengetahuan, akan menghabiskan hampir satu tahun hanya untuk membaca sebuah buku saja, yang mudah dipahami dan sama sekali tidak tebal. Perjanjian Baru itu kemudian digantikan dengan sejarah agamaagama dan teologi. Selama dua tahun terakhir dari masa kurungannya sang tahanan dengan edanedanan membaca luar biasa banyak. Sekarang ia menekuni ilmuilmu alam, kemudian melahap karyakarya Byron dan Shakespeare. Ia mengirim catatancatatan kecil minta dikirimi dalam waktu yang bersamaan sebuah buku tentang kimia, sebuah textbook tentang kedokteran, sebuah novel, dan beberapa risalah filsafat atau teologi. Ia membacanya seakanakan sedang berenang di lautan di antara kepingankepingan kapal pecah, dan dalam perjuangan menyelamatkan nyawanya ia mencengkeram kepingkeping itu satu per satu dengan bersemangat. Sang bankir mengenang semua ini dan berpikir: “Pukul dua belas besok ia memperoleh kebebasannya. Berdasar kesepakatan, aku nanti harus membayarnya Dua Juta. Kalau kubayar, tamatlah riwayatku. Aku bangkrut selamanya….” Lima belas tahun silam uangnya berjutajuta, tapi sekarang ia bahkan takut bertanya kepada dirinya sendiri manakah yang lebih banyak dimilikinya, uang ataukah hutang. Berjudi di pasar modal, spekulasi yang beresiko, dan kesembronoan yang tidak dapat dihilangkannya bahkan sampai tuanya, perlahanlahan telah mengantar bisnisnya kepada kehancuran. Dan pengusaha yang dulu pemberani, penuh percaya diri dan angkuh itu kini telah berubah menjadi seorang bankir biasa yang gemetar setiap kali terjadi ketidak stabilan harga di pasar. “pertaruhan terkutuk itu,” bisik pria tua tadi sambil memegangi kepalanya dalam keputusasaan. “Kenapa orang itu tidak mati saja? Umurnya baru empat puluh tahun. Ia akan membawa pergi sampai recehan terakhirku serta mengakhiri semuanya; pernikahanku, hidupku yang enak ini, perjudian di bursa saham, dan aku akan kelihatan seperti seorang kere yang iri dan mendengar katakata yang sama darinya setiap hari: ‘Aku berhutang budi padamu untuk kebahagiaan hidupku. Biarlah aku menolongmu.’ Tidak, itu terlalu banyak! Satusatunya cara melepaskan diri dari kebangkrutan dan aib adalah pria itu harus mati.” Jam baru saja berdentang menunjukkan pukul tiga. Sang bankir menyimaknya. Di rumah itu semua orang sudah tidur, dan yang terdengar hanyalah bunyi pepohonan beku yang menderuderu di halaman 19
luar jendela. Dengan berusaha agar tidak menimbulkan suara, ia mengeluarkan kunci pintu yang tidak pernah dibuka selama lima belas tahun dari peti besinya kemudian mengantongi di mantelnya lalu keluar dari rumah. Di kebun suasananya gelap dan dingin. Saat itu sedang hujan. Ada kabut dan hembusan angin yang menderuderu, membuat pepohonan tidak bisa diam. Meskipun telah memaksakan matanya, sang bankir tetap tak dapat melihat tanah, patungpatung putih, paviliun ataupun pepohonan di kebun itu. Ketika sedang mendekati paviliun, ia memanggilmanggil sang pengawas dua kali. Namun tak ada jawaban. Agaknya sang pengawas telah mencari perlindungan dari cuaca buruk dan kini sedang tertidur di dapur atau rumah kaca. “Kalau aku punya keberanian untuk menjalankan niatku,� pikir lakilaki tua itu, “kecurigaan pertama kali akan ditujukan kepada si pengawas.� Di dalam kegelapan ia merabaraba mencari jalan dan pintu kemudian memasuki aula paviliun. Selanjutnya ia meneruskan langkahnya melewati sebuah celah sempit dan menyalakan sebatang korek api. Tak ada seorangpun di sana. Terlihat tempat tidur tanpa seprei dan selimut serta sebuah kompor besi samarsamar di sudut ruangan. Segel yang tertempel di pintu masuk kamar tahananpun masih utuh. Ketika koreknya mati, pria tua itu, yang gemetaran karena gejolak di dalam dirinya, mengintip lewat jendela kecil. Di kamar tahanan terdapat sebatang lilin yang menyala remangremang. Sang tahanan duduk sendirian di depan meja. Hanya punggung, rambut dan kedua belah tangannya saja yang nampak. Bukubuku yang terbuka berserakan di atas meja, kedua kursi, dan karpet di dekat meja. Lima menit berlalu dan sang tahanan tak sekalipun menoleh. Lima belas tahun dalam kurungan telah mengajarkannya untuk duduk tak bergeming. Sang bankir mengetukngetuk jendela dengan jarinya, tapi sang tahanan tidak melakukan sebuah gerakanpun sebagai tanggapan. Lalu sang bankir dengan hatihati merobek segel pintu dan memasukkan kunci ke lubangnya. Lubang kunci yang berkarat mengeluarkan suara serak dan pintu pun berderit. Sang bankir mengharap segera mendengar seruan kaget dan bunyi langkahlangkah. Tiga menit berlalu dan suasana tetap hening di dalam, sebagaimana sebelumnya. Iapun memutuskan untuk masuk. Pria itu duduk di depan meja, tidak seperti manusia biasa. Nampak mirip tengkorak terbalut kulit yang berambut gondrong keriting seperti perempuan dan berewokan. Wajahnya kuning pucat
halaman 20
karena tak pernah tersentuh sinar matahari, kedua belah pipinya kempot, punggungnya panjang dan kecil, dan tangannya yang dipakai untuk menopangkan kepalanya sangat kurus dan lemah sehingga menyedihkan sekali bagi yang melihatnya. Rambutnya sudah beruban, dan tak seorangpun yang melihat sekilas ke wajah tua yang peot itu akan percaya bahwa ia baru berusia empat puluh tahun. Di atas meja, di depan kepalanya yang tertunduk, tergeletak secarik kertas yang berisi tulisan tangan yang kecilkecil. “Manusia malang,” batin sang bankir, “dia sedang tertidur dan barangkali sedang melihat uang jutaan dalam mimpinya. Aku tinggal mengangkat dan melempar benda setengah mati ini ke atas dipan, membekapnya sebentar dengan bantal, dan otopsi yang paling teliti sekalipun tak akan menemukan sebab kematian yang tidak wajar. Tapi, pertamatama, mari kita baca apa yang telah ditulisnya di sini”. Sang bankirpun mengambil kertas itu dan membacanya: “Besok pukul dua belas tengah malam aku akan memperoleh kebebasanku dan hak untuk bergaul dengan masyarakat. Namun sebelum kutinggalkan ruangan ini dan melihat cahaya matahari, kupikir aku perlu menyampaikan beberapa patah kata kepadamu. Dengan nurani yang jernih dan Tuhan sebagai saksinya, kunyatakan kepadamu bahwa aku memandang hina kebebasan, kehidupan, kesehatan, dan semua yang disebut oleh bukubukumu sebagai rahmat di dunia ini.” “Selama lima belas tahun aku dengan rajin telah mempelajari kehidupan duniawi. Memang benar, aku tidak melihat dunia maupun orangorang, tapi dalam bukubukumu aku meminum anggur yang wangi, menyanyikan lagulagu, berburu rusa dan babi hutan di rimba, mencintai wanitawanita….” “Dan wanitawanita cantik, selembut awan, yang diciptakan oleh sihir kejeniusan para pujangga, mengunjungiku di malam hari dan membisikkan dongengdongeng yang menakjubkan, membuat aku mabuk kepayang.” “Dalam bukubukumu aku mendaki puncak Elbruz dan Mont Blanc dan dari sana menyaksikan bagaimana matahari terbit di pagi hari, dan ketika senjanya menutupi langit, samudera, dan punggung pegunungan dengan warna lembayung keemasan. Dari sana kulihat betapa di atasku kilat berkilauan membelah awan, kulihat hutanhutan yang hijau, ladangladang, sungaisungai, danaudanau, kotakota, kudengar nyanyian sirene dan permainan pipapipa Pan, kusentuh sayap iblisiblis cantik yang terbang mendatangiku untuk berbicara tentang Tuhan…. Dalam bukubukumu kuterjunkan diriku ke
halaman 21
dalam jurang tanpa dasar, membuat berbagai keajaiban, membakar kotakota sampai rata dengan tanah, mengajarkan agamaagama baru, menaklukkan seluruh negara….” “Bukubukumu memberiku kebijaksanaan. Semua pemikiran manusia yang tak jemujemunya diciptakan selama berabadabad telah terkumpul di dalam otakku yang kecil. Aku tahu bahwa aku lebih pandai darimu dalam segala hal.” “Dan aku memandang hina bukubukumu, memandang hina semua rahmat duniawi dan kebijakan. Semua itu hampa, lemah, dan khayali bagai bayangbayang. Sekalipun engkau hebat, bijaksana, dan tampan, kelak kematian akan menghapuskanmu dari muka bumi seperti tikus di bawah tanah. Dan keturunan, sejarah serta monumen kejeniusanmu akan menjadi ampas beku yang habis terbakar bersama bola bumi ini.” “Engkau sinting, dan menyusuri jalan yang salah. Engkau menukar kesejatian dengan kepalsuan dan kecantikan dengan keburukan. Kau akan heran bila pohon apel dan jeruk menghasilkan kodok dan kadal, bukannya buah. Dan jika bungabunga mawar mengeluarkan bau keringat kuda. Demikian pula aku heran padamu yang telah menukar sorga dengan dunia. Aku tak ingin memahamimu.” “Kutunjukkan padamu kejijikanku atas cara hidupmu, kutolak Dua Juta itu yang pernah kuimpikan sebagai sorga, dan yang kini kuanggap hina. Aku cabut hakku atasnya, aku akan keluar dari sini lima menit sebelum waktunya, dengan demikian akan batallah persetujuan itu.” Setelah membacanya, sang bankir meletakkan kembali kertas tersebut di atas meja, dikecupnya kepala orang asing itu, dan iapun mulai menangis. Ia keluar dari paviliun itu. Tak pernah sebelumnya, bahkan juga setelah mengalami kerugian besar di bursa saham, ia merasa begitu jijik kepada dirinya sendiri seperti sekarang ini. Setelah tiba di rumah, ia membaringkan tubuhnya di atas dipan, tapi gejolak batin dan air mata menahannya untuk tidur selama beberapa saat. Pada paginya sang pengawas yang malang mendatanginya dengan berlarilari dan melaporkan bahwa mereka telah melihat pria yang tinggal di paviliun itu memanjat jendela dan turun ke kebun. Ia telah pergi ke pintu gerbang dan menghilang. Sang bankir segera pergi bersama para pembantunya ke paviliun tadi dan mendapatkan tahanannya telah melepaskan diri. Untuk menghindari desasdesus yang tak diinginkan ia mengambil surat yang berisi pernyataan penolakan itu dari atas meja dan setelah kembali ke rumah menyimpannya di peti besinya. ***
halaman 22
Sajak
Irdas Yan Sekolah Fotokopi Jemu Setakat Cinta
Irdas Yan Kelahiran Lalang, Sungai Apit. Aktif di FLP Riau sebagai koordinator kajian sastra dan budaya. Karya-karyanya terbit di beberapa media masa lokal maupun nasional. Salah satu puisinya termaktub di beberapa buku antologi seperti, Kerdam Cinta Palestina “antologi puisi dan cerpen FLP se-sumatera” (2010) dan Selayang Pandang Penghambaan “Antologi Puisi Islami” (2012).
halaman 23
Sekolah : Pejabat Kami
Di deretan bangku kedua, engkau tersenyum busung mengkiblatkan diri. Setelah menjadi johan dengan mengemis simpati masyarakat dini hari. Pada kapur yang patah, engkau mengingkarkan janji kelatmu di hadapan Tuhan. Setelah rakyat kau benamkan dengan warna kelabu. Hafalan surat pendek yang tersendat-sendat, seperti itulah engkau memproklamirkan visimu di telinga kami. Hingga tempiasnya menyimbah busuk di bibir pahit tak berperi. Sudahlah, mereka sudah hafal naskahmu, bung. Sama seperti naskahnaskah mereka yang duluan terjerembab di ruang tahanan VIP itu. Sama saja.
halaman 24
Fotokopi :Pilgubri
Persis! Seperti secawan kopi, pekat. Puisi yang kau rangkai ini teramat rumit. Sama halnya dengan naskah undang-undang yang mulai lekang diganyang politisi. Wajahmu mirip dengan para akademisi yang menanak ilmu dengan can tepi. Padahal tanpa tanda jasa sudah menjadi mantra yang awam bagi kami. Sama dengan Tukang Jahit yang meramu warna dengan benang. Hanya bermodalkan goyangan kaki, kau memakan hak rakyatmu sendiri. Selamat datang di perseteruan ini. Sloganmu tak lagi menjadi bias kebodohan kami. Cukuplah tahun lalu. Sama dengan yang fotokopi, dulu.
halaman 25
Jemu
Itulah aku yang memeram cemas, menahan asak. Ada semacam resah yang dianjak layu diumput mati. Padahal senja sudah bertakzim lain, sedang riaknya sudah pula hinggap di tebing. Aku teringin memeram huruf Alifitu. Seperti bertuahnya Dang Merdumemeram buah hati perkasanya. Seperti undang-undang yang tak lagi terus menelan revisi. Seperti media yang terus mengais sensasi. Begitu juga dengan aku yang ini meminangmu dengan beralaskan resam, berpahatkan rindu. Pada sejalar lafaz penghulu yang mentatihku mengeja syahadat, mengulum amanat. Sepanjang dahan cinta kita yang berkelindan tidak bersimpul, aku masih memilihmu sebagai puisi kedua. Tersebab emaklah yang menjadi sajak utama saat wanita tak lagi bisa dipercaya. Seperti menjernihkan kusut, menguraikan keruh. Apalah itu, jemu.
halaman 26
Setakat Cinta
Aku ingin mengecupmu dengan sebatang rokok yang gamang. Menjunjung gairah yang tercucur di sebaris pancutan dendam. Baru saja semalam kita berdikari membangun ceritera merah jambu, dalam secelik mata saja Semua lesap terkaram ombak rindu. Cintaku semakin menjulur, tak tahu ke mana hendak dilabuhkan, garang. Setakat resam yang memisahkan kita, biarlah bentan menjadi tanggungan. Setakat kawan menjadi punat tak jadi, biarkanlah aku menuju pergi. Cinta tak setakat perkara mustahak, ada niat yang terpancang di setiap sendi-sendinya. Semua sudah tahu, Puan.
% halaman 27
Sajak
Husen Arifin Pemakaman Surat Tanda Kasih Pengalih Perang Bibir Tua Ular Hijau Di Tangan yang Lain
Husen Arifin Husen Arifin lahir di Probolinggo 28 Januari 1989. Karya-karyanya dalam kumpulan puisi dan cerpen bersama: 100 Puisi Terbaik Indonesia-Tionghoa (INTI) DKI (2007), Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Trowulan (2010), Menolak Lupa (2010), dan lainnya.
halaman 28
Pemakaman
kau bercanda pada rumput dan tanah permainan anak aneh yang menantang kabar tentang ibu dan ayah tapi, ah, ini memang waspada menuju pulang kau punya jalan lain lihatlah si tabah yang penantang maut, dan lihatlah pedang yang ditancapkan di gelanggang kau selalu angkuh saat berbicara pada burung gagak melantangkan suara seperti gemuruh dan memutar lagu di suatu senja yang galak
halaman 29
dalam rumah sederhana ini kau minum embun, percikan cahaya doa dan kau mencoba kurang ramah kau punya jalan kuno dari peta bergambar tato bahwa yang pantas percaya pada saat terpuruk adalah tidur di beranda dengan anggur penghabisan kau tidak bermimpi di sini kau berkelahi dengan suasana nyaris mati, lihatlah burung gagak di ranting pohon kamboja sudah melawat ke pemakamanmu
halaman 30
Surat Tanda Kasih
aku ragu menerima surat tanda kasih yang terselip di dalam peperangan pada suatu sore di kerajaan aku berbicara kedamaian yang sengkarut dan sebotol anggur mengejutkan pertemuan ini perang masih mengesankan bagi lelaki tua dengan bayangan memesra di tengah perjanjian dia dengan gadis tidak bodoh untuk berdekatan lagipula permata yang berkesan adalah menyangkal semua perselingkuhan kusudahi membaca kisah berbakat lelaki tua pengkhianat dalam muslihat sungguh, surat tanda kasih di suatu perang akan susah dikenang
halaman 31
Pengalih Perang
pengalih itu seorang perempuan bertopi, kulit putih, tangkas dan penyamar ulung seperti ia bilang, musim yang berubah tapi cinta tak pernah ia menggeledah kapal-kapal di kanal, ia bergerak di siang hari memutar lagu abadi mengelilingi lelaki dengan bibir seksi ia suka warna merah dan kucingnya bermata Persia ia menandai hari Selasa dalam sebuah perang di dermaga ia penyamar yang lemah suatu ketika tertangkap dan tabah memang waktu kekalahan tiba dan kekekalan terburu-buru dimilikinya ia serahkan diri pada dunia yang kecil setidaknya ia berani hidup tanpa pelatuk api ia pernah tidur dalam sebotol anggur bersama perempuan kerajaan yang tolol
halaman 32
Bibir Tua Ular Hijau
ingin kuterjemahkan bibir-bibir dalam pesta yang ranum dipolesi anggur dan vodka bibir-bibir manis milik lelaki yang berteduh di bawah kelamin dan berahi ritual ini seperti peristiwa bulanan yang jam dan tempatnya merupai tasyakuran kadang lelaki adalah kunang-kunang yang berpesta di bawah selimut usang di dalam pesta ini bibir-bibir menjadi sebotol fantasi yang dituang ke gelas-gelas berlidah api
halaman 33
riuh musik dan tawa bertindihan bibir mengulum bibir bergantian semakin lama semakin kuat ihwal berahinya menjungkir balik posisi, menjungkir tubuh entah sehadap apa dinding-dinding retak, kamar ini terasa sesak bibir-bibir berjatuhan mimpinya berserak bibir tuaku, dahulu, adalah lelaki berlidah ular hijau bisaku telah kutuang di dalam gelas dan bibirmu kiranya dalam pesta ini, bibir tuaku ingin masuk lagipula bibir tuaku adalah masa lalu yang busuk
halaman 34
Di Tangan yang Lain
di tangan yang lain aku hidup meresah pada dunia yang angslup aku dan tangan bersisihan mempertanyakan waktu dan cinta rekayasa hidup di tangan yang lain ia memberi perintah juga sebagai penentang noktah dan ia pemilik amarah maka di tangan yang lain aku hanyalah pelengkap dan aku berharap menanti pertolongan entah, pertolongan itu dari tangan siapa, dan yang terbaik adalah Tuhan!
% halaman 35
Sajak terjemahan
Sajak Dinasti Tang yang Cemerlang
inas Tang adalah satu zaman yang inasti penting dalam sejarah Tiongkok, pen di mana ekonominya makmur, masyarakatnya tenteram dan kebudayaannya mencapai hasil yang cemerlang. Khususnya pada masa Dinasti Tang, penciptaan sajak klasik mencapai masa emasnya dalam sejarah, dan menjadi salah satu isi utama kegiatan sosial dan kebudayaan pada masa Dinasti Tang. Oleh karena itu, isi ujian negara pada masa itu juga berubah dari makalah menjadi sajak atau syair. Dalam Analekta halaman 36
Sajak Tang, salah satu kitab sastra klasik yang beredar sejak zaman kuno, tercantum hampir 50.000 sajak hasil karya 2.300 lebih penyair. Perkembangan sajak masa Dinasti Tang secara kasar terbagi dalam empat tahap, yaitu Tang Awal, Tang Makmur, Tang Tengah dan Tang Akhir. Pada masa Dinasti Tang Awal (tahun 618-712 Masehi), empat penyair yang paling terkenal pada masa awal Dinasti Tang,
yaitu Wang Bo, Yang Jiong, Lu Zhaolin dan Luo Binwang, yang dijuluki sebagai “Empat Bujangga” masa itu berangsur-angsur membentuk irama puisi yang tetap sehingga penciptaan sajak pada masa Dinasti Tang berwajah baru. Berkat upayanya, tema dan isi sajak pada waktu itu berangsur-angsur berubah dari kehidupan mewah istana menjadi kehidupan rakyat, dengan gayanya pun berubah dari mengutamakan kehalusan dan kelemahan menjadi mengutamakan kesederahanaan, dan rasa gembira yang memberi kesan serba baru. Chen Zi’ang adalah penyair yang paling terkemuka pada masa awal Dinasti Tang. Ia menganjurkan pemulihan tradisi unggul sajak dalam mencerminkan kehidupan nyata. Sajak karya Chen Zi’ang bergaya gagah berani, dan sederhana bahasanya, dan merintis jalan bagi perkembangan puisi pada masa Dinasti Tang. Masa antara tahun 712 dan 762 adalah masa makmur Dinasti Tang, di mana penciptaan sajak pun memasuki masa emasnya. Karya sajak yang diciptakan pada waktu itu juga dianggap bernilai paling tinggi. Pada masa itu, sajak bertema luas dengan aneka ragam gayanya. Ada penyair yang menyenandungkan alam dan mendambakan kehidupan di daerah terpencil nan jauh, ada juga yang menyenandungkan pahlawan, tapi ada juga yang mabuk dalam kekecewaan terhadap kehidupan. Pendek kata, penyairpenyair pada waktu itu dapat menciptakan karyanya secara bebas dalam suasana yang romantis, dan bersama-sama membina “gejala makmur Dinasti Tang”, yang memberikan kesan mendalam terhadap masa kemudian.
sampai 827) adalah Bai Juyi, Yuan Zhen dan Li He. Sajak Bai Juyi terkenal dengan isi yang menyindir gejala buruk, seperti perang, kekuasaan dan sebagainya. Selain itu, Bai Juyi pandai memakai bahasa yang sederhana untuk mengekspresikan isi yang mengandung makna mendalam. Bahasa sajaknya lancar dan mudah dimengerti, dan sangat mengharukan pembaca, sehingga ia menjadi salah seorang penyair yang paling populer di kalangan rakyat. Penyair Li He sangat pendek umurnya karena sudah meninggal dunia pada umur 20 tahun lebih. Ia hidup sengsara dan karirnya sebagai pejabat pun tidak mulus. Namun isi sajaknya sangat kaya akan imajinasi, bahasanya indah dan susunannya halus, dan isinya penuh diwarnai romantisme dan estetisisme, serta emosi yang sedih. Masa antara tahun 827 dan 859 merupakan masa akhir Dinasti Tang, dan dengan Li Shangyin dan Du Mu, dua penyair sebagai wakil sastrawan pada waktu itu. Sajak Du Mu menggabungkan gaya kesederhanaan dan ketegasan, karena ini sangat cocok untuk mengekspresikan ambisi dan inspirasi politik yang tersembunyi dalam lubuk hatinya. Sedangkan Li Shangyin dengan karya syairnya mengekspresikan liku-liku yang dialaminya dalam karirnya sebagai pejabat pemerintah. Sajaknya menunjukkan nuansa sedih yang tebal. Mengenai sajaknya yang berjudul: Tak Berjudul masih terdapat perdebatan, yaitu apakah sajak itu termasuk karya asmara atau sajak yang mengandung isi politik tersembunyi, sampai sekarang masih belum dipastikan.
Sedangkan penyair yang terkenal pada masa tengah Dinasti Tang (tahun 762
halaman 37
Liu Zongyuan: Menghuni Tepi Kanal
Sejak lama aku digari pangkat dan jabatan kini bersyukur dicampakkan ke selatan, ranah luas dan liar. Waktu senggang aku ikut para petani hidup bertetangga dengan mereka kadang serupa petapa dari hutan dan gunung yang sedang bertandang Mulai fajar menggarap tanah mata bajak mencungkil rumput dihinggap embun Malam hari berlayar Kayuh sampan terantuk batu-kali di dasar kanal. Berkeliaran kesana kemari sekehendak hati Tak jumpa jua pejalan kaki, lepas suara bernyanyi muka menengadah langit negeri Chu yang luas ya langit maha biru sejauh mata memandang.
halaman 38
Li Bai: Rindu Musim Semi
Oh‌ rumput musim semi di tanah Yan menghampar hijau tua seperti sutera, sedangkan pohon murbeiku di tanah Qin lebih dahulu merunduk berat tangkainya lunak hijau muda saat hari-hari engkau rindu kembali ke rumah hari-hariku pun demikian rindu kesumat padamu Oh‌ engkau sepoi musim semi yang mengusik, kau dan aku saling tak kenal, mengapa tanpa sebab musabab menyelinap masuk ke tirai dan kelambuku?
halaman 39
Meng Jiao: Senandung Pengelana
Jarum dan benang di tangan ibunda, sedang menjahit baju anaknya yang akan pergi jauh ketika menjelang si anak berangkat jahitannya dirapatkan dan dikuatkan dalam hatinya ia was-was anaknya tak cepat kembali. Oh, siapa bilang secuil warna hijau dari rumput kecil bisa membalas budi cahaya matahari di sepanjang musim semi?
halaman 40
Chen Zi Ang: Balada Mendaki Gardu Jaga You Zhou Tai
Sebelum tuan, wahai Raja Yan Zhao Wang belum pernah menyaksikan orang dahulu membangun pentas emas menghimpun cendekiawan berbudi luhur dan cakap Setelah tuan tak pernah lagi melihat raja yang setara dengan tuan. Oh, mengingat sangat luasnya dunia ini maha luas, tak berbatas akhir, aku sendiri haru dan sedih mengusap air mata.
halaman 41
Wang Wei: Sabur-limur Musim Gugur di Kampung
Pada lembah luas menghampar sesaat usai dicurah hujan hawa sejuk segar akhir musim gugur terasa ‘kan tiba sabur limur nanti rembulan menyinari hutan pohon pinus oh, air sungai jernih gemericik mengalir di celah bebatuan. Di tengah semak buluh, gemerisik suara perempuan-perempuan yang pulang sehabis menyesah pakaian daun teratai bergoyang muncul sampan-sampan kecil penangguk ikan Oh walau musim semi yang merbak telah berlalu namun pemandangan di gunung masih juga menambatku untuk tinggal di sini.
halaman 42
Wang Wei: Saat Pulang Ke Gunung Song San
Sisi-sisi tepi sungai bening membayang hamparan rumput digenangi air kereta yang kutumpangi melaju dengan tenang, santai dan nyaman oh, arus air, seakan membersitkan rasa cinta yang dalam burung-burung senja bergerombol, satu per satu pulang ke sarang Benteng gersang dan sunyi tepat di depan dermaga purba sisa cahaya mentari senja penuh sinari gugusan gunung di musim gugur, perjalanan panjang tak kunjung henti akhirnya aku pulang ke kaki gunung Song San, sekali kembali takkan kuterima tamu sering pula kututup pintu ini.
Terjemahan sajak DN Tan dan dari berbagai sumber.
% halaman 43
Sajak
Jalaluddin Rumi “Saya debu di jalan Muhammad yang terpilih” (I am dust on the path of Muhammad the chosen one)
Singkat Tentang Jalaluddin Rumi Rumi – nama lengkapnya, Maulana Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al-Khattabi al-Bakhri – lahir di Balkh (Afghanistan sekarang) pada tanggal 30 September 1207. Para Orientalis di Barat mengakui Rumi sebagai penyair yang terbesar dari semua penyair mistik yang pernah ada dalam peradaban Islam. Dan para sufi di Timur Tengah mengakui bahwa karyakaryanya dianggap sebagai Al-Qur’an kedua karena kedalaman maknanya. Jalaluddin Rumi adalah pendiri “Tarekat Mevlevi” di Turki. Sebelum Perang Dunia II, pengikut Tarekat Mevlevi berjumlah 100.000 yang tersebar di seluruh Balkan, Afrika, dan Asia. Tidak ada penyair di dalam sejarah – tidak juga Shakespeare Atau Dante – yang secara nyata mempunyai dampak pada peradaban seperti yang dilakukan oleh Rumi. Dan tak ada puisi yang mampu membangkitkan ekstase mistik dan kebahagiaan kepada pembacanya
halaman 44
seperti puisi-puisi yang ditulis oleh Rumi. Rumi adalah satu pribadi di antara sedikit pribadi di bumi yang memiliki kesadaran universal – selain Ramakrishna, Aurobindo, dan Kabir – yang dihasilkan oleh agama, dan telah mewarnai kehidupan serta peradaban manusia dengan kemuliaan cinta. Maka, pada saat ini, ketika kita membutuhkan suatu inspirasi untuk mencintai dunia yang tengah terancam kehancuran, ketika kita sudah melupakan identitas Keilahian, kebahagiaan, serta tanggung jawab kemanusiaan kita, Rumi hadir sebagai seorang pemandu dan seorang saksi atas kemuliaan Tuhan serta keagungan jiwa manusia. Rumi hadir membawa esensi agama yaitu cinta yang universal. Bagi Rumi, cinta melebihi semua dogma agama, cinta hadir untuk memeluk keseluruhan ciptaan, cinta adalah hakekat agama yang mempersatukan seluruh umat manusia dalam cahaya Keilahian.***
Lima-puluh Puisi-puisi “Kasih”
1 Aku bukanlah orang Nasrani, Aku bukanlah orang Yahudi, Aku bukanlah orang Majusi, dan Aku bukanlah orang Islam. Keluarlah, lampaui gagasan sempitmu tentang benar dan salah. Sehingga kita dapat bertemu pada “Suatu Ruang Murni” tanpa dibatasi berbagai prasangka atau pikiran yang gelisah.
2 Di dalam cahaya-Mu aku belajar mencintai. Di dalam keindahan-Mu aku belajar menulis puisi. Kau senantiasa menari di dalam hatiku, meski tak seorang pun melihat-Mu, dan terkadang aku pun ikut menari bersama-Mu. Dan “ Penglihatan Agung” inilah yang menjadi inti dari seniku.
3 Hakikat Yang Maha Pengasih hadir secara langsung laksana sinar matahari yang menerangi bumi. Namun, kasih-Nya tidaklah berasal dari berbagai bentuk yang ada di bumi. Kasih-Nya melampaui setiap bentuk yang ada di bumi, sebab bumi ini dan segala isinya tercipta sebagai perwujudan dari kasih-Nya.
4 Jika kau ingin melihat wajah-Nya, maka tengoklah pada wajah sahabatmu tercinta.
halaman 45
5 Sekian lama aku berteriak memanggil nama-Mu sambil terusmenerus mengetuk pintu rumah-Mu. Ketika pintu itu terbuka, aku pun terhenyak dan mulai menyadari sesungguhnya selama ini aku telah mengetuk pintu dari dalam rumahku sendiri.
6 Demi Allah, ketika kau melihat Jatidirimu sebagai Yang Maha Indah, maka kau pun akan menyembah dirimu sendiri.
7 Di mana saja kau berada, apa pun keadaanmu, cobalah selalu menjadi seorang pecinta yang senantiasa dimabuk oleh kasih-Nya. Sekali kau dikuasai oleh kasih-Nya, maka kau akan hidup menjadi seorang pecinta yang hidup bagaikan dalam pusara. Dan kau akan tetap hidup hingga hari kebangkitan itu tiba, lantas kau pun akan dibawa ke dalam surga dan hidup kekal selamanya. Namun, jika kau belum menjadi seorang pecinta, maka pada hari pembalasan seluruh pahalamu tidak akan dihitung.
8 Pada Hari Kebangkitan, orang-orang akan berjalan sempoyongan. Di depan-Mu, mereka akan menggigil dengan wajah pucat karena ketakutan. Maka, aku akan memeluk kasih-Mu dan berkata kepada mereka: “Mintalah apa pun; mintalah atas namaku.�
halaman 46
9 Ketika aku mati sebagai manusia, maka para malaikat akan datang dan mengajakku terbang ke langit tertinggi. Dan ketika aku mati sebagai malaikat, maka siapa yang akan mendatangiku? Kau tak akan pernah dapat membayangkannya!.
10 Hari ini, seperti hari lainnya, kita terjaga dengan perasaan hampa dan ketakutan. Namun, janganlah tergesa melarikan diri dari kenyataan pahit ini dengan pergi berdoa atau membaca kitab suci. Lepaskan semua tindakan mekanis yang berasal ketaksadaran diri. Biarkan keindahan Sang Kekasih menjelma dalam setiap tindakan kita. Ada beratus jalan untuk berlutut dan bersujud kepada-Nya.
11 Diamlah! Cinta adalah sebutir permata yang tak bisa kaulemparkan sembarangan seperti sebutir batu.
12 “Mintalah sesuatu kepada-Ku,� begitu Kau berkata suatu ketika. Aku tertawa dan berkata: “Aku telah cukup bersama-Mu. Tanpa kehadiranMu, seluruh dunia ini hanyalah sebatang kayu yang mengapung dan terombang-ambing di samudera-Mu.�
halaman 47
13 Yakinlah, di Jalan-Cinta itu: Tuhan akan selalu bersama-Mu.
14 Tak ada pilihan lain bagi jiwa, selain untuk mengasihi. Namun, pertama kali jiwa harus merangkak dan merayap di antara kaki para pecinta. Hanya para pecinta yang dapat lepas dari perangkap dunia dan akhirat. Hanya hati yang dipenuhi dengan cinta yang dapat menjangkau langit tertinggi. Bunga mawar kemuliaan hanya dapat bersemi di dalam hati para pecinta.
15 Segalanya yang kau lihat mempunyai akarnya di dalam dunia yang tak terlihat. Bentuk akan berubah, namun intisarinya tetaplah sama.
16 Ketika sedih, aku bersinar bagaikan bintang pagi. Ketika patah hati, hakekatku justru tersingkap sendiri. Ketika aku diam dan tenang seperti bumi, tangisku bagaikan guntur yang menggigilkan surga di langit tertinggi.
17 Hati manusia selalu terbuka dan dapat menerima segalanya: semua yang baik dan buruk menjadi bagian dari Sufi.
halaman 48
18 Aku kehilangan duniaku, ketenaranku, dan pikiranku. Ketika matahari terbit, maka semua bayang-bayang lenyap. Aku berlari mendahului bayang-bayang tubuhku yang lenyap saat aku berlari. Namun, cahaya matahari itu berlari mendahuluiku dan memburuku, hingga aku pun terjatuh dan bersujud pasrah ditelan samudera kilauNya yang mempesona.
19 Aku ingin melihat wajah-Mu pada sebatang pohon, pada matahari pagi, dan pada langit yang tanpa warna.
20 Karena Cinta segalanya menjadi ada. Dan hanya karena Cinta pula, maka ketiadaan nampak sebagai keberadaan.
21 Badan ini hanyalah suatu cermin surga. Energinya membuat para malaikat cemburu. Kemurniannya membuat malaikat Seraphim terkejut. Dan Iblis yang berdiam di urat-urat syarafmu pun menggigil takut.
22 Kau lebih mahal dibanding surga dan bumi. Apa yang bisa kukatakan lagi? Kau tak mengetahui bahwa selama ini segala yang berharga telah menjadi milikmu. Janganlah menjual dirimu dengan harga murah, sesungguhnya dirimu sangatlah mahal di mata Tuhan.
halaman 49
23 Cintaku pada-Nya adalah hakikat jiwaku. Hidupku adalah gelora yang selalu merindukan-Nya. Aku hidup seperti seorang gipsi pengembara, aku tak pernah menetap di tempat yang sama, namun setiap malam aku selalu bernyanyi dan menari ditemani bintang-bintang di bawah langit yang sama.
24 Kematianku adalah perkawinanku dengan keabadian.
25 Meski aku terbakar habis, namun aku tetap tertawa, karena abuku masih tetap hidup! Aku telah mati ribuan kali: namun abuku selalu menari dan lahir kembali dengan ribuan wajah baru.
26 Di gurun pasir tanpa batas, aku kehilangan jiwaku, dan menemukan bunga mawar ini.
27 Aku telah melihat wajah mulia Sang Raja. Dia adalah mata dan matahari surga. Dia adalah teman seperjalanan dan penyembuh semua mahluk. Dia adalah jiwa dan alam semesta yang melahirkan jiwa-jiwa. Dia menganugerahkan kebijaksanaan pada kebijaksanaan, kemurnian pada kemurnian. Dia adalah tikar sembahyang bagi jiwa orang-orang suci. Setiap atom di tubuhku berlompatan sambil menangis dan berkata: “Terpujilah Tuhan.�
halaman 50
28 Apapun juga yang mereka katakan atau pikirkan, aku tetap ada di dalam Kau, karena aku adalah Kau. Tak seorang pun dapat memahami hal ini, sampai ia mampu melampaui pikirannya.
29 Jika kau dapat bertemu dengan Jatidirimu meski hanya sekali, maka rahasia dari segala rahasia akan terbuka bagimu. Wajah dari Yang Maha Tersembunyi, yang ada di luar alam semesta ini, akan nampak pada cermin persepsimu. 30 Setiap penglihatan tentang keindahan akan lenyap. Setiap perkataan yang manis akan memudar. Namun, janganlah kau berputus asa, karena mereka semua datang dari sumber yang sama, dari Keabadian. Masukilah Keabadian itu, maka kau akan melihat segala sesuatu tumbuh dan berkembang, memberi hidup baru dan kegembiraan baru bagimu.
31 Ayat-ayat Tuhan itu tersimpan di hati langit yang paling rahasia. Suatu hari, seperti hujan, ayat-ayat Tuhan itu akan jatuh dan menyebar, sehingga misteri Keilahian akan tumbuh menghijau di seluruh dunia.
halaman 51
32 Jika kau berputar mengelilingi matahari, maka kau pun akan menjadi matahari. Jika kau berputar mengelilingi seorang Guru, maka kau pun akan bersatu dengan-Nya. Kau akan menjadi sebutir permata, jika kau menari mengelilingi-Ku. Dan kau akan berkelip seperti emas, jika kau menari mengelilingi-Nya.
33 Kau hanya memerlukan aroma anggur, karena makrifat akan menyala dengan sendirinya dari kesunyian hatimu setelah mencium aroma anggur itu, seperti juga nyala api akan tersilap dan berkobar dari aroma anggur! Bayangkan jika kau adalah anggur itu sendiri.
34 Sufi adalah seorang lelaki atau seorang perempuan yang telah patah hati terhadap dunia.
35 Kekasih, beri aku kesempatan untuk selalu mengetahui bagaimana cara menyambut-Mu, dan sulutkanlah obor di tangan-Mu agar membakar habis rumah ke-ego-an di dalam diriku.
36 Sembunyikan rahasia-Ku di dalam harta karun jiwamu. Sembunyikan perasaan ekstase itu di dalam dirimu. Jika kau menemukan Aku, maka sembunyikan Aku di dalam hatimu. Sadarilah kemabukan ini sebagai Kebenaran Mutlak!
halaman 52
37 Ingatlah bahwa Nabi Muhammad pernah berkata: “Satu penglihatan tentang-Nya adalah suatu berkah yang tak terhingga.” Setiap daun dari suatu pohon membawa suatu firman dari dunia yang tak terlihat. Lihatlah, tiap-tiap daun yang jatuh ke tanah sebagai suatu berkah dariNya. Segala sesuatu di alam ini senantiasa menari dalam harmoni, bernyanyi tanpa lidah, dan mendengar tanpa telinga, ya, semua itu adalah berkah yang tak terhingga dari-Nya.
38 Isi aku dengan anggur dari sunyi-Mu, biarkan anggur itu merendam pori-poriku, hingga Keindahan dari Yang Maha Agung akan terungkap bagiku. Inilah arti berkah bagiku!
39 Jika kau mendefinisikan dan membatasi “Aku” dengan berbagai konsepmu, maka kau akan kelaparan dengan dirimu sendiri. Lalu “Aku” pun akan jatuh ke dalam suatu kotak yang terbuat dari katakata, dan kotak itu adalah peti mayatmu sendiri.
40 Aku tidak tahu siapa sebenarnya “Aku”. Tetapi, ketika aku berjalan ke dalam diriku sendiri, maka aku pun terkejut: ternyata “Aku” adalah suara milik-Mu, gema yang terpantul dari “Dinding-Keilahian”.
halaman 53
41 Jatidiri kita adalah Cahaya. Cinta-Ilahi adalah Matahari-Keagungan. Sinar-Nya adalah firman. Dan mahluk adalah bayang-bayang-Nya.
42 Perkecillah dirimu, maka kau akan tumbuh lebih besar dari dunia. Tiadakan dirimu, maka Jatidirimu akan terungkap tanpa kata-kata. 43 Ketika kami mati, jangan cari pusara kami di bumi. Tetapi, temukan di dalam hati para pecinta.
44 Ketika pikiran dilampaui, maka keindahan cinta pun datang menghampiri, berjalan dengan anggun, serta membawa secangkir anggur di tangannya. Ketika cinta dilampaui, maka Yang Maha Esa pun datang menghampiri – Ia adalah Zat yang tak dapat diuraikan dengan kata-kata dan hanya bisa disebut sebagai “Itu�.
halaman 54
45 Setiap orang yang tinggal jauh dari sumber-Nya, dari Jatidirinya, maka ia akan selalu rindu untuk kembali ke masa ketika ia masih dipersatukan dengan-Nya.
46 Surga dibuat dari asap hati yang terbakar habis. Dan orang yang diberkahi oleh Tuhan adalah orang yang hatinya telah terbakar habis.
47 Awan-awan berada dalam keheningan meski penuh dengan berjuta kilat. Cinta akan memberi kelahiran baru bagi para filsuf berkepala batu. Jiwaku adalah ombak di dalam samudera kemuliaan-Mu. Dan di dalam keheningan: alam semesta beserta segala isinya tenggelam di dasar samudera kemuliaan-Mu.
halaman 55
48 Manusia ibarat suatu pesanggrahan. Setiap pagi selalu saja ada tamu baru yang datang: kegembiraan, kesedihan, ataupun keburukan; lalu kesadaran sesaat datang sebagai suatu pengunjung yang tak diduga. Sambut dan hibur mereka semua, sekalipun mereka semua hanya membawa dukacita. Sambut dan hibur mereka semua, sekalipun mereka semua dengan kasar menyapu dan mengosongkan isi rumahmu. Perlakukan setiap tamu dengan hormat, sebab mereka semua mungkin adalah para utusan Tuhan yang akan mengisi rumahmu dengan beberapa kesenangan baru. Jika kau bertemu dengan pikiran yang gelap, atau kedengkian, atau beberapa prasangka yang memalukan, maka tertawalah bersama mereka dan undanglah mereka masuk ke dalam rumahmu. Berterimakasihlah untuk setiap tamu yang datang ke rumahmu, sebab mereka telah dikirim oleh-Nya sebagai pemandumu.
halaman 56
49 Saat kau datang ke dunia ini, suatu tangga telah ditempatkan di depanmu, dan tangga itu akan mengantarmu kepada-Nya. Dari bumi ini, kau pun naik menjadi tumbuhan. Dari tumbuhan kau pun naik menjadi hewan. Setelah itu kau pun naik menjadi manusia – mahluk yang mewarisi pengetahuan melalui akal dan iman. Lihatlah, tubuhmu merupakan turunan dari debu, tetapi bagaimana bisa tubuhmu menjadi begitu sempurna? Lalu, mengapa kau takut dengan kematian? Ketika kau berhasil melampaui bentuk manusia ini, maka tak diragukan lagi kau akan menjadi malaikat dan membumbung melampaui lapisan-lapisan langit tertinggi. Tetapi, janganlah berhenti di sana, bahkan badan surgawimu itu akan tetap tumbuh menjadi tua, lampaui lagi surga itu dan melompatlah ke dalam “Samudera Kesadaran Yang Maha Luas”. Biarkan dirimu – yang bagaikan setetes air itu – menjelma menjadi seratus samudera. Tetapi, jangan berpikir bahwa hanya setetes air itulah yang telah menjelma menjadi samudera, sebab samudera juga telah menjelma menjadi setetes air. 50 Sssttt! Diamlah! Dengarkan suara dalam dirimu. Ingatlah firman pertama-Nya: “Kita melampaui setiap kata.” (Red. dari berbagai sumber)
% halaman 57
Musik
Musik Gambus Talang Mamak
usik Gambus Talang Mamak punya keunikan tersendiri jika p disandingkan dengan Gambus Melayu lainnya, bentuk badannya kecil ramping bertali nilon. Gambus dimainkan oleh anak-anak, bujang dan gadis juga orang tua-tua sepulang dari ladang dan kala istirahat dimalam hari. Tradisi bergambus talang mamak kian punah “ Anak cecak dibawah bantal Anak cecak dibawah bantal
halaman 58
Entah bajari entahkan tidak Entah bajari entahkan tidak Kalau tapijak kasungai gangsal Kalau tapijak kasungai gangsal Entahkan balik entahkan tidak Entahkan balik entahkan tidak� Itulah cuplikan syair yang biasa dinyanyikan oleh para penyanyi muda-mudi yang sedang menanggung rindu dengan diringi petikan dawai gambus. Jari-jari pemetik gambus terlihat mahir
Perempuan suku talang mamak di Indragiri Hulu sedang memetik gambus. Sumber Int.
dan lincah. Tidak ada rumus atau kunci kusus dalam bermain Gambus, lain hal nya dengan gitar atau alat musik lain. Hanya perasaan yang di gunakan. Menurut mereka para pemetik gambus, alat musik gambus ini sudah ada di Desa Rantau langsat sejak lama. Telah diwarisi dari generasi kegenerasi, tak tahu siapa orang pertama yang menciptakan atau yang membawa Gambus kedesa rantau langsat. Tapi menurut cerita para tetua yang kerap bercerita tentang musik gambus Talang Mamak, mengatakan gambus erat kaitannya dengan sejarah masuknya islam kedesa Rantau langsat dan perang Paderi. Namun, mereka tak tahu persis seperti apa cerita
tersebut. Dari cara mereka melantunkan dan bersyair, terdengar khas syair melayu daratan, diiringi musik gambus, sepintas bunyi dawai yang dipetik tersebut, mengeluarkan bunyi ala musik timur tengah. Hal unik Gambus Desa Rantau langsat tetap mempertahankan sisi tradisonalnya. Meskipun saat ini senar gitar sudah mudah ditemukan di Desa rantau langsat, namun masyarakat sana tetap mempertahankan tali pancing berbahan nilon sebagai senar. Lirik syairnya pun khas, biasanya berisi pantun. Ada banyak syair yang paling dikenal oleh masyarakat Rantau Langsat, seperti bidukbiduk, anak ayam. Biasanya syair-syair
halaman 59
yang dinyanyikan jika diiringi oleh Gambus biasanya dinyanyikan dengan tempo cepat (alegro). Inilah hal unik dari dari Gambus masyarakat desa Rantau Langsat, salah satu desa yang ada dalam kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT). Namun seiring perkembangan zaman dan teknologi, saat ini tak banyak lagi masyarakat Rantau langsat yang bisa bermain Gambus. Hanya orang-orang tertentu, sebagian besar mereka yang paham bergambus adalah orang tua. Jika dilihat dari bahan pembuatan, tidak semua kayu bisa dijadikan Gambus. Karena jenis kayu menentukan kualitas suara Gambus tersebut. Biasanya, masyarakat rantau langsat yang berada di tepi sungai Gangsal membuat Gambus dari kayu Pulai, kapas hutan, Lapis kulit. Tapi menurut tradisi nenek moyang mereka akan lebih bagus lagi jika kayu tersebut ditemukan dalam keadaan patah oleh angin ribut.
saat itu masyarakat Talang Mamak menanam padi. Menggunakan bantuan kayu runcing. Kayu tersebut ditancapkan ketanah lalu biji padinya dimasukkan kelobang tersebut. Kayu yang ditancapkan ketanah dalam bahasa masyarakat sana disebut menugal. Biasanya musik Gambus ini disandingkan dengan tarian zapin. Namun bagi pemuda Rantau langsat tempo dulu, Gambus merupakan life style (gaya hidup) . Menurut cerita salah seorang tokoh masyarakat Desa Rantau Langsat, bagi pemuda tempo dulu. Selain tradisi, Gambus merupakan sebuah kebanggaan. Pemuda dan pemudi saat itu sangat menghargai orang- orang yang bisa bergambus. Makanya tak heran orang zaman dulu, banyak yang Pandai memainkan alat musik Gambus. Mulai dari Gambus yang mudah hingga Gambus yang terumit, mulai dari Gambus yang berukuran kecil sedang dan besar.
Bila dilihat dari jumlah dawainya Gambus masyarakat desa Rantau langsat mempunyai banyak jenis. Mulai dari dawai yang rumit hingga dawai yang sederhana. Ada yang berjumlah 3,6,7,12 dawai. Semakin banyak jumlah dawai semakin rumit dan susah dalam memainkannya. Dawai 12 misalnya, saat ini di Desa Rantau langsat sulit untuk menemukan siapa yang bisa memainkannya. Kebanyakan saat ini yang sering dipakai dan dimainkan masyarakat adalah Gambus berdawai 3 dan 6.
Selain ditentukan oleh bahannya, ukuran Gambus juga menentukan suara Gambus tersebut. Semakin kecil Gambusnya maka semakin nyaring bunyi yang dihasilkan oleh Gambus tersebut. Biar lebih terlihat menarik biasanya Gambus-gambus tersebut di poles dengan Getah Jernang. Jernang salah satu jenis rotan yang ada di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh ( TNBT), Indragiri Hulu. Jernang pada saat sekarang sulit ditemukan. Karena Rotan jenis ini, memiliki harga ekonomi yang cukup tinggi. Satu kilo gram getah jernang harganya bisa mencapai dua jutaan.
Tradisi bergambus masyarakat Talang mamak yang berada di tepi sungai Gangsal biasanya dimainkan dalam upacara tertentu. Biasanya malam menugal, hiburan masyarakat seperti acara pernikahan.Malam manugal adalah malam sebelum menanam padi di sawah. Disebut manugal karena pada
Makanya, tak heran sebagian besar masyarakat Talang Mamak bergantung hidup pada alam, baik itu didarat/ hutan maupun di sepanjanhg sungai gangsal. Ada yang mencari jernang, menjerat dan sebagainya. Namun, ada sebagian masyarakat yang tinggal tinggal di tepi Sungai Gangsal
halaman 60
kerjanya meneres karet, seperti masyarakat dusun lemang, tualang dan siamang. Karet-karet tersebut akan di jual pada pengepul sebulan sekali. Uang-uang tersebut digunakan untuk memebeli kebutuhan sehari-hari. Bagi masyarakat Talang Mamak yang masih jauh dari dunia modren, seperti dusun Nunusan, Datai dan Sadan. Untuk memenuhi kebutuhan seharihari seperti beras mereka berladang. Jika ada waktu luang mereka akan menangkap ikan disungai dengan cara tradisional. Entah itu dengan Tekalak, Lukah atau menembak ikan dengan cara menyelam.
(red. DSM. Dari berbagai sumber)
%
Namun, seiring dengan perkembangan teknologi dan budaya. Tradisi bergambus semakin hilang. Generasi penerus untuk bergambuspun sulit ditemukan. Kebanyakan mereka adalah orang-orang tua. Menurut keterangan. Hal ini disebabkan karena pengaruh dari perkembangan teknologi. Anak-anak muda rantau langsat sudah punya hiburan lain. Entah itu bermain gitar, mendengar radio, atau menonton TV. Apalagi sebagian dusun yang ada di desa Rantau Langsat, seperti dusun Lemang, Pebidaian, siamang. Masyarakatnya sudah mulai mengikuti dunia luar. Ditiga dusun tersebut, sebagian kecil rumah masyarakat sudah memiliki TV. Bahkan rumah mereka tidak lagi terbuat dari kulit kayu, seperti rumah masyarakat Talang Mamak pada tempo dulu.
masih sulit dijangkau dunia luar. Rumah masyarakat sebagian besar masih dari kulit kayu. Namun sulit untuk menemukan orang yang bisa bergambus. Lain halnya, dengan Nasir tokoh masyarakat Rantau Langsat. Meskipun sudah berusia setengah baya, ia tetap bermain Gambus. Kadang ia meluangkan waktu satu hingga dua jam sehari, hanya untuk bermain Gambus.***
Namun, untuk dusun Datai, Nunusan, dan Suit masyarakatnya masih bersifat tradisional. Rumahnya, terbuat dari kulit kayu, atapnya pun masih dari daun kayu yang diambil dari hutan. Daun kayu tersebut mereka anyam sehingga jadilah atap. Meskipun, masyarakat Talang Mamak yang berada di Dusun Datai, Suit, dan Nunusan
halaman 61
Tokoh
Usmar Ismail (1921-1971) Peletak Batu Pertama Idealisme Film Indonesia “Sutradara Indonesia yang sesungguhnya”. (Soekarno, Presiden Republik Indonesia)
sma Ismail sebagai seorang smar tokoh perfilman Indonesia, toko berbekal pendidikan formal berb perfilman karena sebagai orang yang terpilih mendapat tugas belajar ke University of California, Los Angeles, AS, mendalami sinematografi. Pengalaman dan pendidikan yang ia peroleh, sangat berbekas dan meninggalkan jejak yang tak akan terhapus pada sejarah perfilman nasional kita. Hari Film Nasional, setiap tanggal 30 Maret, tidak lepas dari sosok Usmar Ismail (alm). Hari yang diperkuat dengan Keputusan Presiden RI Bacharudin Jusuf Habibie Nomor 25 Tahun 1999 itu, berdasarkan hari pertama syuting film Darah dan Doa (The Long March of Siliwangi) yang disutradarai Usmar Ismail pada 30 Maret 1950. Sebetulnya Darah dan Doa bukanlah film cerita Indonesia pertama, karena pada halaman 62
1926 sudah ada Loetoeng Kasaroeng. Usmar sendiri, pada 1949, sudah menjadi asisten sutradara Andjar Asmara untuk Gadis Desa, lalu menjadi sutradara untuk Harta Karoen (berdasarkan karya pujangga Prancis, Moliere) dan Tjitra (berdasarkan lakon karya Usmar sendiri tahun 1943). Namun, Usmar tidak mengakui ketiga filmnya terdahulu. “Sebab semua produksi Belanda dan dalam penulisan skenario maupun pembuatannya banyak diberi petunjuk oleh pimpinan orang Belanda, yang tidak selalu saya setujui,” ungkap Usmar Ismail, dalam salah satu tulisannya. Menurut Usmar, sebuah film nasional Indonesia adalah yang dibuat oleh orang dan perusahaan Indonesia dengan berpijak pada budaya Indonesia. Dan itu, baru dimulai dari Darah dan Doa, produksi Perusahaan Film Nasional Indonesia (PERFINI) dengan
produser Djamaluddin Malik dan sutradara Usmar Ismail. Itu sebabnya, H. Misbach Yusa Biran, sutradara dan penulis skenario yang dekat dengan Usmar Ismail, menyebut, “Pak Usmar ialah peletak batu pertama idealisme film Indonesia.” Menurut H. Rosihan Anwar, wartawan senior yang adalah adik ipar sekaligus sahabat Usmar Ismail, dalam pengantar pertunjukan film retrospektif Usmar Ismail di Festival Film Indonesia 1986, film Darah dan Doa dibuat pada saat Usmar berusia 29 tahun. Film yang skenarionya ditulis Usmar berdasarkan cerita pendek Sitor Situmorang itu, berlatar long march Siliwangi dari Yogyakarta ke Jawa Barat pada 1948, bercerita tentang kisah sedih Sudarto, seorang guru yang ikut revolusi fisik dengan menjadi kapten angkatan darat. Dibumbui hubungan dengan gadis Jerman, kemudian dengan jururawat, Sudarto merasakan perjuangan batin di dalam peristiwa Madiun karena harus menumpas teman-temannya yang terlibat pemberontakan PKI. Setelah sempat ditangkap dan dianiaya Belanda, ketika akan menyambut kedatangan Bung Karno di Jakarta, Sudarto mati ditembak oleh temannya yang membalas dendam atas peristiwa Madiun. “Saya tertarik kepada kisah Sudarto, karena menceritakan secara jujur kisah manusia dengan tidak jatuh menjadi film propaganda yang murah,” ujar Usmar Ismail. H.Rosihan Anwar menilai Usmar Ismail sejak muda memang cinta Tanah Air, mempunyai nasionalisme yang tinggi, dan idealisme yang menyala-nyala. “Usmar juga orang yang mendalam sekali
religiositasnya. Sajak-sajak yang digubahnya dalam kumpulan Puntung Berasap, tidak saja bernapaskan nasionalisme, tetapi juga perasaan keagamaan dengan keyakinan kukuh kepada Tuhan dan agama. Segi religiositas ini tidak tampak penuh dalam film Darah dan Doa, tetapi kentara dalam film berikutnya, Dosa Tak Berampun,” tulis Rosihan Anwar. Kelahiran Bukittinggi (Sumatera Barat), 20 Maret 1921 ini, menurut Gayus Siagian wartawan, penulis skenario, pengamat film yang sejak lama menjadi sahabat Usmar sejak masa remajanya sudah membayangkan kariernya. Usmar, anak kedua dari enam anak pasangan Datuk Tumenggung Ismail guru Sekolah Kedokteran di Padang dan Siti Fatimah, setamat dari HIS dan MULO di Padang, melanjutkan ke AMS bagian sastra di Yogyakarta. “Waktu kami masih sekolah, sering saya membaca catatan dan karangankarangan Usmar. Masih percobaan dan tidak dipublikasikan, tetapi sudah jelas menunjukkan bakatnya,” tulis Gayus Siagian, yang pada masa itu tinggal satu tempat kos dengan Usmar Ismail serta Rosihan Anwar, dan menyebut Usmar yang paling serius di antara mereka. Maka ketika di Jakarta, pada zaman Jepang, Usmar meniti karier sebagai pemain sandiwara radio dengan honor Rp5. Bakatnya berkembang setelah bekerja di Keimin Bunka Sidosho (Kantor Besar Pusat Kebudayaan Jepang). Di kantor tersebut, Usmar mengumpulkan seniman-seniman dari berbagai bidang, antara lain Sanusi Pane, Armyn Pane, dan Cornel Simanjuntak. Di situlah ia berkenalan dengan Sonia Hermien binti Moh.Sanawi, putri asli Betawi yang kemudian dinikahinya pada 24
halaman 63
September 1944. Di situ pula Usmar banyak membuat syair untuk lagu-lagu Cornel, yang seni maupun pesanan Jepang.
dengan pangkat mayor sambil menerbitkan majalah mingguan Tentara dan Patriot serta majalah kebudayaan Arena.
Agar dapat lebih menyalurkan bakat seninya, Usmar kemudian membentuk perkumpulan sandiwara Maya, bersama kakaknya Abu Hanifah (alm), Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak (alm), dan H.B.Jassin (alm). Di sini dia merasa bisa mengerjakan banyak hal, antara lain mementaskan karyanya Liburan Seniman dan mengumpulkan naskah-naskah dramanya dalam Sedih dan Gembira, menulis cerita bersambung Tjitra, dan mengumpulkan puisinya dalam Puntung Berasap.
Ketika kembali ke Jakarta karena Nyonya Usmar Ismail melahirkan Irwan, anak kedua, Usmar bergabung di Antara sebagai wartawan politik. Pada 1948, ketika meliput perundingan Belanda-RI di Jakarta, ayah lima orang anak ini ditangkap Belanda, dengan tuduhan subversi. Keluar dari penjara Cipinang pada 1949, dalam kondisi lebih gemuk, Usmar memutuskan melepas ketentaraan untuk menekuni perfilman. Apalagi sutradara Anjar Asmara yang sudah mengetahui aktivitas Usmar ketika di teater, mengajaknya menjadi asistennya di film Gadis Desa.
Tjitra, yang menjadi “lagu kebangsaan” Festival Film Indonesia hingga sekarang, awalnya dari pertengkaran kecil Usmar dan Cornel. Pada suatu pagi, Usmar dan Cornel menikmati pemandangan di perkebunan kapas di Jawa Barat. Seorang gadis dari sungai melewati mereka, diiringi semburat sinar fajar, menimbulkan siluet yang eksotik. Pada saat Usmar sedang menikmati karya alam yang menakjubkan itu, Cornel malah mendekati si gadis, sehingga buyarlah pemandangan itu. Dengan geram, Usmar melempar kertas yang sudah ia remas-remas. Cornel membukanya, ternyata isinya sebuah syair: ‘Tjitra, engkaulah bajangan ...’. Cornel langsung memekik, ”Ini syair bagus! Biar aku buatkan lagunya!” Begitu akrabnya mereka, sehingga ketika Cornel meninggal pada September 1946, Usmar merasa sangat kehilangan. Sebagai pengarang, nama Usmar masuk di angkatan ’45 bersama H.B.Jassin, tetapi segera setelah proklamasi kemerdekaan ia menjadi redaktur surat kabar Rakyat, lalu pada 1946, ia menjadi tentara di Yogyakarta
halaman 64
Kesuksesan sekaligus ketidakpuasannya membuat film untuk orang Belanda, mendorongnya untuk mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (PERFINI), pada Maret 1950 bersama teman-temannya ex-Maya dan ex-Yogyakarta. Setelah Darah dan Doa, ia memproduksi film perjuangan lagi yaitu Enam Jam di Yogya dan Dosa Tak Berampun. Pada 1951, selama setahun, Usmar mendapat tugas belajar ke University of California, Los Angeles, AS, mendalami sinematografi. Sepulangnya ke Indonesia, sederet film laris ia buat. Di antaranya Krisis yang sampai empat pekan di bioskop kelas atas, serta Harimau Campa dan Lewat Tengah Malam yang mendapat piala Citra. Film Tamu Agung yang diproduksi tahun 1956, mendapat penghargaan Film Komedi Terbaik Festival Film Asia (FFA) di Hongkong. Ditambah pula beberapa film komersial seperti Tiga Dara (1956), Delapan Penjuru Angin (1957), dan Asmara Dara (1958).
“Film-film PERFINI selalu mengandung kritik sosial dan politik, dan punya relevansi dengan apa yang berlangsung dalam masyarakat. Sebagaimana jelas pada film Lagi-Lagi Krisis dan Tamu Agung,” jelas Misbach. Usmar juga banyak melahirkan bintang baru sekitar 1950-1970. Di antaranya Raden Ismail, Rendra Karno, Fifi Young, Bambang Hermanto, AN Alcaff, Mieke Wijaya, Chitra Dewi, Indriati Iskak, Suzanna, Widyawati, dan yang terakhir Lenny Marlina melalui film Ananda. Sedangkan sineas didikan Usmar Ismail, selain Misbach Yusa Biran, juga D.Djajakusuma, Sumardjono, dan Wahyu Sihombing. “Beliau biasa membentuk Sidang Pengarang untuk membahas cerita yang akan difilmkan. Pak Usmar Ismail sebagai ketua, Suryo Sumanto (penulis skenario), Gayus Siagian (kritikus film), Nur Alam (yang luas bacaannya), dan saya sendiri (yang ketika itu paling muda, 21 tahun),” tutur Misbach Yusa Biran, yang diterima bekerja di PERFINI setelah Usmar membaca kritik film Misbach di sebuah majalah. Sayang, kondisi itu tak berlangsung lama. Karena situsi politik yang kurang mendukung saat itu filmnya, Anak Perawan di Sarang Penyamun (1962) sempat diboikot peredarannya. Situasi semacam itu membuat Usmar bergabung dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan ditunjuk menjadi ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi), organ kebudayaan NU. Tahun 2011 ini, tepat 40 tahun Usmar Ismail meninggalkan kita. Sederet jasa di bidang perfilman membuat ia pantas disebut Bapak Perfilman Indonesia. Dialah yang bersama Asrul Sani (alm) mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI),
yang kelak menghasilkan aktor, sutradara, dan sineas ternama seperti Teguh Karya (alm), Tatiek Malijati, W.Sihombing (alm), Pietradjaja Burnama, dan Galeb Husin. Usmar pula bersama Djamaludin Malik yang merintis Persatuan Pengusaha Film Indonesia (PPFI), lalu mengadakan FFI pertama pada 1955 dengan tujuan meningkatkan mutu film Indonesia. Sebelumnya, pada 1954, membentuk Federation of Motion Picture Producers in Asia (FPA) yang kegiatan utamanya menyelenggarakan Festival Film Asia dan Pasific (FFAP). “Saya menyaksikan bagaimana tegarnya beliau membela kepentingan film Indonesia, di rapat-rapat Dewan Film Nasional yang dibentuk pada 1969,” ujar drs. Narto Erawan, SH., MM., mantan Direktur Film Kemenbudpar, yang ketika kuliah di Akademi Teater Film (1963) sempat pula mendapat kuliah umum dari Usmar Ismail. Usmar juga pernah menyatakan ketidakpuasannya terhadap sensor film di Indonesia, semasa bernama Panitia Pengawas Film. Kebetulan film produksinya, Terimalah Laguku, mendapat potongan di bagian yang menurut Usmar adalah bagian penting. Di antaranya adegan seorang suami menjewer telinga istrinya yang terlalu serius mendengarkan seorang penyanyi asing di televisi. Menurut Usmar, sensor film berlawanan dengan asas-asas demokrasi, apalagi melanggar salah satu tiang demokrasi yang terpenting, yaitu kemerdekaan berpikir, berbicara, dan menyatakan pendapat. Sebagai orang yang kenal dekat dengan Usmar Ismail sejak 1953, Misbach Yusa Biran yakin, seandainya Usmar Ismail sekarang masih ada, sikap tersebut tidak
halaman 65
akan berubah. Namun, kata Misbach, dalam menghadapi film ‘kacangan’, Usmar akan menganjurkan agar sensor lebih teliti untuk menjaga masyarakat yang baru mendapatkan kemerdekaan. “Dalam keadaan LSF sekarang yang sedang kelabakan memelototi sekian banyak produksi kejar tayang, tentu akan banyak mendapat kritik beliau. Tetapi, saya rasa, beliau masih setuju sikap LSF yang bertindak tegas terhadap kebebasan yang kebablasan,” ujar Misbach Yusa Biran. Sampai pada 31 Desember 1970, Usmar Ismail pulang dari Italia untuk mengurus kopifilm Adventure in Bali kerja sama Perfini dan Italia yang ternyata untuk peredaran di Indonesia tidak dikirim. Padahal ia sedang berjuang untuk mempertahankan PERFINI, meskipun untuk menggaji karyawan harus dengan melego peralatan studio. Di tengah rasa kecewanya dengan rekanan Italianya, setiba di Indonesia dia harus memPHK 160 karyawannya di PT Ria Sari Show & Restaurant Management di Miraca Sky Club, karena bisnis yang ia bangun sejak 1967 itu dilikuidasi oleh Sarinah. “Baru pertama kali ini dalam sejarah hidup saya harus berpisah dengan karyawan. Ini sangat berat bagi saya,” kata Usmar, dengan nada terbata-bata. Malamnya, ia masih sempat menyelesaikan pengisian suara film Ananda di studio PERFINI. Pada saat itu, menurut Syamsul Fuad, asistennya, Usmar tertidur di bangku panjang hingga mendengkur. Karena akan pengambilan gambar, maka mereka membangunkan Usmar. Setelah itu, menjelang pergantian tahun, seperti biasa ia mengajak keluarga dan sahabat-sahabatnya ke Miraca Sky Club. Sebetulnya semua orang film diundang bermalam tahun baru di rumah Turino
halaman 66
Junaedy (alm), tetapi karena kali itu Usmar sekaligus mengadakan perpisahan dengan karyawan, ia mengatakan akan menyusul. Tidak biasanya, malam itu dia mengajak semua bawahannya untuk berfoto bersama. Kemudian tepat pukul 00.00, ia memeluk satu per satu istri kolega dan bawahannya untuk mengucapkan selamat tahun baru sekaligus kata-kata perpisahan. Ia juga menghendaki sahabat-sahabatnya untuk tetap duduk di dekatnya. Yang dianggap paling aneh, Usmar yang ketika muda pernah belajar dansa, malam itu ber-soul sendiri. Kemudian terdengar kabar, esok sorenya pukul 17 ia tak sadarkan diri, hingga wafatnya tanggal 2 Januari pukul 5.20 WIB. Atas permintaan keluarga, H.Usmar Ismail dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Karangan-karangan bunga menutupi makamnya, termasuk dari Presiden Soekarno, yang menyebut Usmar sebagai “Sutradara Indonesia yang sesungguhnya”. Pada 21 Juni yang lalu hingga beberapa minggu sesudahnya bagi Anda yang sempat menonton hasil restorasi dari film jadul Lewat Djam Malam di Plaza Senayan 21, maka Anda beruntung bisa menyaksikan mahakarya dari Usmar Ismail yang aslinya dirilis pada 1954. Sutradara, penulis skenario, dan produser kelahiran Sumatra Barat, 20 Maret 1921 ini, dipandang telah meletakkan dasar yang kuat bagi kelahiran dan perkembangan perfilman Indonesia. Lewat Djam Malam bukan saja karya, tetapi mahakarya dari Usmar Ismail. Film itu bercerita tentang mantan pejuang bernama Iskandar yang turun gunung-gunung kira-kira awal 1950 ke kota Bandung. Dia menemui kekasihnya Nourma dan diminta mencari pekerjaan oleh mertuanya. Pada masa itu memasyarakatkan kembali bekas
pejuang adalah problem besar yang harus dihadapi. Bukan hanya satu atau dua orang tetapi ribuan orang. Ternyata Iskandar bukan hanya tidak bisa menyesuaikan diri dengan zaman tetapi juga bertindak emosional dan gegabah. Terutama ketika ia tahu bahwa mantan komandannya menjadi kaya karena setelah tenaganya dulu untuk membunuh seorang pengungsi dari Jakarta. Di sini Usmar melontarkan kritik sosial yang tajam pada zaman itu, orang yang lurus berjuang dan emmathui perintah kerap terbuang. Namun ada mantan pejuang bisa menjadi kaya, punya mobil dan rumah mewah. Bukankan kritik itu masih relevan untuk saat sekarang ketika menyoroti mantan aktifis 1966 bahkan 1998? Usmar Ismail membawakan semangat zamannya. Karyanya tentang Darah dan Do’a (judul lainnya adalah Long March) (1950) berkisah tentang Long March Siliwangi kembali ke Jawa barat dari Yogyakarta setelah Belanda melanggar perjanjian Renville. Bukan hal heroik diceritakan, tetapi sisi kemanusiaan seoarng perwira pertama. Enam Djam di Djogja berkisah tentang serangan umum 1 Maret 1949. Film ini bukan tokoh elite ditonjolkan, tetapi sisi rakyat atau tentara yang berpangkat rendah. Usmar Ismail memang mahir mengangkat tema-tema kemanusiaan ke layar lebar. Dosa tak Berampun (1951) berkisah tentang seorang ayah yang tega meninggalkan rumahnya karena seorang wanita muda. Isteri dan anak tertuanya harus banting tulang. Ketika jatuh miskin, si ayah kembali dan menghadapi sikap permusuhan anak sulungnya. Bukankah tema seperti ini juga menjadi inspirasi bagi beberapa film Indonesia puluhan tahun kemudian?
Tiga Dara adalah karya Usmar lain yang brilian. Film yang dirlis pada 1965 mengangkat kembali perfilman Indonesia yang waktu itu nyaris terpuruk karena tergusur oleh film Amerika dan India. Drama musikal ini bercerita soal tiga dara yang diasuh nenek dan ayahnya, karena sang ibu meninggal. Karena ada amanat almarhumah ibu mereka , sang nenek berusaha mencarikan jodoh untuk si sulung. Adegan dalam Tiga Dara (Sumber Foto : Raditherapy.com)) Sayangnya calon suami itulah yang kemudian menjadi rebutan dua dari tiga dara, di mana si bungsu Neni berkomplotan untuk menyelesaikan konflik. Cerita yang sederhana dan paling digemari penonton Indonesia masa itu? Bagaimana ceritanya Usmar bisa mendapatkan ide-ide brilian? Setelah menamatkan pendidikan dasarnya di HIS Batusangkar, Sumatera Barat, Anak bungsu dari enam bersaudara melanjutkan belajar ke MULO-B (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang tahun 1935-1939. Di sinilah Usmar Ismail mulai berkenalan dengan film dengan menjadi pecandu film-film yang diputar di bioskop Pondok, Padang. Alumnus MULO 1941 ini kemudian melanjutkan sekolahnya ke Yogyakarta. Ia masuk AMS-A II (Algemene Middelbare School) bagian A jurusan Klasik Barat. Pada 1953 Usmar Ismail mendapatkan beasiswa dari Rockfeller Foundation untuk mendalami sinematografi di Universitas California Los Angles (UCLA). Pada masa pendudukan Jepang Usmar Ismail pernah mendirikan sandiwara amatir “Maya� pada tahun 1944 bersama kakaknya Dr. Abu Hanifah dan sahabatnya Rosihan Anwar. Kelompok ini secara teratur
halaman 67
mementaskan lakon di Gedung Komidi (sekarang Gedung Kesenian Jakarta). Kelak dari kelompok ini cikal bakal teater modern di Indonesia. Pada masa revolusi Usmar menjadi tentara dengan pangkat Mayor. Tugas domisilinya di pusat pemerintahaan RI, Yogyakarta. Di situ dia memimpin harian Patriot dan majalah Arena, sebagai gelanggang bagi seniman muda, sembari mengetuai Badan Musyawarah Kebudayaan Indonesia, Serikat Artis Sandiwara dan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Saat itu ia sudah mulai jelas perhatiannya pada film. Dengan para seniman ex anggota Maya dia selenggarakan diskusi-diskusi mengenai film. Usmar Ismail pernah bertandang ke Amerika Serikat pada 1950-an dan setelah pulang ini membuat kariernya di bidang film makin menanjak. Film - film yang disutradarainya antara lain: Krisis (1953), Lewat Djam Malam (1954), Tamu Agung (1955), Tiga Dara (1956) yang mendapat sambutan besar di kalangan penonton. Bahkan Tamu Agung mendapat perhargaan sebagai film komedi terbaik dari Festival Film Asia sedangkan Lewat Djam Malam mendapat perhargaan sebagai film terbaik FPA pertama tahun 1955, dengan Usmar Ismail sebagai produsernya. Sepanjang karirnya Usmar Ismail telah menghasilkan 25 judul film, bersama H Djamaludin Malik mempelopori terbentuknya Federasi Produser Asia (Federation of Motion Picture Producers in Asia) di Manila. Usmar Ismail juga mempelopori diadakannya Festival Film Indonesia yang pertama kali diadakan tanggal 30 Maret - 5 April 1955, di mana pemenang dari Festival Film Indonesia ini akan akan memperebutkan FPA.
halaman 68
Usmar Ismail wafat di Jakarta, 2 Januari 1971. Histoire est Repite (sejarah berulang) atau Usmar Ismail punya analisis tajam yang jauh ke depan. Saya beruntung mendapatkan sejumlah tulisan Usmar Ismail pada 1953 di harian Pikiran Rakjat. Salah satu di antaranya tulisan dari Usmar Ismail yang menganalisis film Indonesia ketika Republik masih muda yang membuat saya teringat kebangkitan film Indonesia kedua pada 2000-an. Polanya seperti sebangun film yang punya “cita-cita� atau bahasa yang sekarang harus bertanding dengan film yang hanya semata-mata untuk komersial (kebanyakan dengan budget yang rendah). Pada 1950-an menurut Usmar Ismail orang Indonesia sebagai pengusaha film benar-benar seperti orang baru. Mereka memulai usaha ini semuanya sebagai orang baru sejak penyerahan kedaulatan. Niat sineas Indonesia waktu itu sekurangkurangnya menyaingi pengusaha Tionghoa yang berpengalaman selama puluhan tahun dan praktis menguasai produksi film dalam negeri. Mereka ingin film Indonesia disalurkan kenasionalannya dan dilepaskan dari sifatsifat yang semata-mata hanya ditujukan untuk menghiburan dan cari duit. Para sineas Indonesia rupanya ingin membuat film seperti The Long March (Judul lain adalah Darah dan Doa) yang dibuat dengan biaya yang mahal pada waktu itu. Sementara pengusaha-pengusaha Tionghoa memperhitungkan laba-rugi untuk membuat film separuh biaya pembuatan film The Long March sekalipun. Di sisi lain sukses komerasial film Djauh di Mata dan Bengawan Solo telah memulai perlombaan produksi film sesudah perang.
Sesudah perang perusahaan-perusahan film tumbuh sebagai cendawan. Keinginan untuk membuat film kebanyakan didorong oleh nafsu untuk menjadi lekas kaya dan lekas dibutakan oleh sukses film-film Indonesia pertama. Dalam tulisannya yang berjudul “3 Tahun Film Indonesia: Diperlukan dengan Segera Politik Film Jang Aktif” dalam Pikiran Rakjat 3 Januari 1953 Usmar menyuarakan bahwa perindustrian film sebetulnya mempunyai tanah yang subur di Indonesia. Namun banyak kendala yang dihadapi. Di antaranya ialah kekuarangan penanaman modal ke dalam industri ini. Kalau kegentaran swasta untuk memasukan modalnya dapat difahami, namun ketakutan itu juga menjalar pada instansi pemerintah yang merupakan sumber harapan satu-satunya bagi pengusaha Indonesia. Usmar mengingatkanInggris yang mempunyai perindustrian film yang sama tuanya denagn Hollywood masih dilindungi pemerintahnya. Pemerintah harus obyektif menyelidiki masalah film. Peraturan yang dikeluarkan pemerintah pada saat itu hanya memperkeras sensor, suatu tindakan yang negatif. Sensor bukan hal yang terpenting yang harus diselesaikan. Kegiatan syuting pada 1950-an (Sumber foto: Sunardian.blogspot.com) Pengamatan Usmar Ismail pada 1950-an orang Indonesia masih banyak yang belum tahu apa yang disebut produser. Produser film Hollywood seperti Zukor, Fox dan Lasky secara aktif ikut dalam seluruh bagian pembuatan sebuah film. Mereka mencari uang, menyewa kamera dan studio, (ikut) menulis rangka cerita hingga menjadi penjual dan melaksanakan distribusi film. Sineas Holywood seperti Jesse Lasky
berkata bahwa produser menjadi nabi, jenderal, diplomat dan pendamai, penyayang tetapi tidak royal. Namun di Hollywood ada golongan produser yang menimbulkan pertentangan, karena mau menjqdi ditaktor, merusak film dengan pengetahuan mereka yang sempit dan tidak mempunyai kehormatan terhadap film sebagai medium kesenian dan terhadap pencipta yang bekerja di bawah mereka (Usmar Ismail, “Inilah Hollywood: Tjerita tentang Djenderal Nabi dan Diplomat”, dalam Pikiran Rakjat, 5 Maret 1953). Dalam tulisan lain yang berjudul “Tentang Para Maharadja Hollywood: Rebutan kekuasan Jang Tak Kenal Ampun” dalam Pikiran Rakjat, 9 Januari 1953 Usmar Ismail menganalisis persaingan keras antar “Big Five” yaitu Metro- Goldwyn Mayer-Studios (MGM), Twentieth Century Fox, Paramoutn Pictures Inc, Warner Bros pictures dan Raio Keith Orpheum (RKO) juga the Little Three (Universal Corp, Columbia Pictures Corp dan United Artist Corp). Usmar menceritakan kesukarannya bertemy Frank Y Freeman Vice President Paramount Pictures sekaligus Kepala Paramount Studio di Hollywood. “Saya bicara dengan dia di dalam kantornja jang sama besarnja dengan 4 kali kantor Om Monanutu Meneteri Penerangan (dalam Kabinet Wilopo) . Meja tulisnya 2 x 3 meter. Dia heran Usmar ismail adalah Presiden kongsi film di Indonesia. Film Indonesia diperintah oleh orang-orang muda” Dalam kunjungannya Usmar mengungkapkan bahwa Hollwydood masa itu sedang cemas denagn kebangkitan industri televisi. Peraturan import terhadap film-film AS yang dijalankan berbagai negara asing seperti Inggris, Meksiko, Prancis dan Italia
halaman 69
menganggu mereka. Mereka juga protes terhadap kenaikan pajak. Fenomena cinta lokasi dan gosip percintaan antara para artis dilakukan studio-studio film di Hollywood pada 1930an hingga 1950-an sebagai publikasi gratis film-nya. Usmar Ismail dalam tulisannya “Inilah Hollywood: Tjerita tentang Amor di Kota Film” dalam Pikiran Rakjat 10 Februari 1953 mengungkapkan bahwa R.K.O (Radio-Keith-Orpheum Pictures) pernah menghembuskan kabar adanya roman antara pemain Farley Granger dan Shelley Winter karena kebetulan mereka main dalam satu film. Studio M.G.M (Metro-GoldwynMayer Studios) juga menggunakan kisah percintaan Lana Turner dan Fernando Lamas untuk publisitas film Merry Widow.
Bukankah jurus –jurus gosip, cinta lokasi dan rekayasa percintaan antar bintang ini ini juga digunakan untuk publisitas film Hollywood bahkan tidak tertutup kemungkinan juga digunakan produser film Indonesia saat ini?
halaman 70
Setiap tahun pada 1950 Jepang mampu memproduksi 230 buah film yang membuatnya menjadi tiga negara di dunia yang paling banyak memproduksi film bioskop, sesudah AS dan India. Film-film Jepang dalam setahun ditonton 750 juta penonton dan menghasilkan 35 milyar yen. Yang menarik Jepang menggunakan perlaatan buatan sendiri (tangan) daripada mesin modern. Jepang juga pada 1950-an membuat film yang anti AS yaitu Battleship Yamato.*** (Red Dari berbagai sumber)
%
Menurut catatan Usmar kebanyakan berita-berita tentang para bintang film yang dimuat dalam berpuluh-puluh fan magazine, seperti Photoplay, Modern Screen, Silver Screen(pada masa 1950-an) adalah berita-berita berdasarkan kejadian yang disengaja disandiwarakan oleh studiostudio. Para pemeran laki-laki disuruh membwa pemain-pemain perempuan ke berbagai pesta atau ninght club. Kemudian studio yang bersangkutan menelepon para wartawan tentang kejadian istimewa ini yang datang berduyun-duyun lengkap dengan alat-alat pemotret. Semua ongkos-ongkos makan-minum-hiburan kedua pemain yang di-romancekan (istilah Usmar) menjadi tanggungan studio.
Selain mengamati film-film Hollywood, Usmar rupanya juga mengamati perfilman Jepang. Dalam tulisannya yang berjudul “Industri Film Djepang Tangan Lebih dipertjaja dari Mesin” dalam Pikiran Rakjat, 25 September 1953, dia memberikan apresiasi terhadap film Ha Ha No Uta (Lagu Ibu), karena cara pemotretan yang liris dari suatu cerita dramatis dan Rashomon sebuah film sesudah perang.
halaman lxxi
halaman lxxii