Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)
Esei: Perkembangan
Senirupa Riau (Sebuah Catatan Ringan)
oleh Dantje S Moeis Cerita-pendek: Pulang
Sajak: Dalasari Pera dan
Novy Noorhayati Syahfida
oleh Vivi Al-Hinduan dan
Senirupa: Para Maestro
oleh R. Eko Wahono
Drama: Lakon Ayahku Pulang karya Usmar Ismail
Ayahku (Katanya) Seorang Pelaut
Cerita-pendek Terjemahan:
Permainan Ganda
oleh Alberto Moravia
Seni Rupa Indonesia
Tokoh: Djoko Pekik dan
Anton Pavlovich Chekhov
189 - JUNI 2014 www.majalahsagang.com halaman KULITi
halaman KULI KULITii LIITi L Ti
Daftar Isi
Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 189 JUNI 2014 tahun XVI
Kali Ini, Seni-rupa .................................2 Esei Perkembangan Senirupa Riau (Sebuah Catatan Ringan) oleh Dantje S Moeis ...3 Cerita-pendek - Pulang oleh Vivi Al-Hinduan ..............7 - Ayahku (Katanya) Seorang Pelaut oleh R. Eko Wahono.......................... 12 Cerita-pendek Terjemahan Permainan Ganda oleh Alberto Moravia ........................ 21 Sajak - Dalasari Pera ..................................... 31 - Novy Noorhayati Syahfida ................39 Senirupa Para Maestro Seni Rupa Indonesia ..45 Drama Lakon Ayahku Pulang karya Usmar Ismail .......................... 50
Kulit depan: Lukisan karya Djoko Pekik "Berburu Celeng". Sumber int
Tokoh - Djoko Pekik ...................................... 60 - Anton Pavlovich Chekhov .................62
Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Dra. Erda Yulfi Pemimpin Redaksi: Kazaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Ilustrator Tetap: Purwanto Manager Keuangan: Erda Yulfi. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.
halaman 1
Tajuk
Kali Ini, Seni-rupa unia seni rupa seperti halnya dunia lainnya sejatinya banyak dun menyimpan kisah tersendiri yang men unik. Contohnya, Hendra adalah seniman yang menghabiskan hidupnya di penjara sebagai tahanan politik. Dia dituduh terlibat pemberontakan PKI dan dipenjara selama belasan tahun. Padahal sejatinya Hendra tidak terlibat politik praktis. Dia hanya menjadi anggota Lekra, lembaga kesenian bentukan PKI. Hendra disebut dekat dengan rakyat karena dia melukis masalah keseharian rakyat. Meski dipenjara, menurut Oei Hok Djin (OHD) seorang kolektor sekaligus kurator ternama negeri ini, Hendra tak dendam. “Dia bahkan melukis potret diri Presiden Soeharto,” kata OHD. Hendra juga melukis beberapa lukisan mengenai kejadian di lubang buaya, menurut versi yang diceritakan Orde Baru. Widayat pelukis yang karyanya kemudian memilih berubah menjadi abstrak. Widayat banyak terpengaruh Picasso, juga dalam melukis tubuh telanjang. Tapi lukisan telanjang karya Widayat berbeda dengan karya Affandi yang penuh gairah. “Lukisan nude karya Widayat lebih lucu, bernuansa romantik,” kata OHD. Affandi, Meski Affandi hanya satu orang, ternyata lukisan yang dihasilkan selalu berbeda karena moodnya saat melukis tak akan pernah sama. Contohnya, dua lukisan halaman 2
self portrait yang dibuat tahun 1960 dan 1961 tapi sangat berbeda. Menurut OHD, lukisan merupakan penyaluran jiwa Affandi, dari apa yang ada dalam pikirannya, disalurkan dalam lukisan serta merta. Bahkan, Affandi kadang tak memakai kuas dalam melukis. “Affandi sangat emosional, dia mencurahkan jiwanya melalui subyek yang dilukisnya,” kata OHD. Kemudian masih terkait Affandi, biasanya dalam pernikahan tiada istri manapun rela dimadu. Tapi hal itu pernah terjadi dalam seni rupa. Sebutlah Maryati, istri pelukis besar Affandi yang mengusulkan suaminya untuk menikah lagi. Tak hanya mengusulkan, Maryati bahkan mencarikan perempuan untuk dinikahi Affandi. Dan tak diduga gadis yang kemudian dinikahi Affandi kala itu ternyata masih berusia 16 tahun! Namun kesemua mereka bukanlah seniman-seniman yang sekedar “nganehi” dalam perilaku kehidupan. Mereka mampu menghasilkan karya yang juga nganehi dalam arti berbeda dengan pelukis-pelukis lain masa itu. Pada halaman majalah budaya “Sagang” nomor ini, buat para pembaca kami suguhkan lima pelukis Indonesia yang mendapat julukan “Lima Maestro Senirupa Indonesia” yang kami harapkan dapat menjadi motivasi bagi para perupa kini dan mendatang.***
Esei
Perkembangan Senirupa Riau (Sebuah Catatan Ringan) oleh Dantje S Moeis *
eriod eriodisasi sejarah dan perkembangan senirupa Riau, setakat saya bagi hanya menjadi dua tahapan zaman, ini dapat d yang keduanya berkait-kelindan dengan kondisi sosial dengan zamannya, bentuk dan kecenderungan budaya sesuai se peruntukan karya, serta jangkauan pengaruh dari zaman ke zaman.
*Dantje S Moeis adalah seorang perupa, penulis kreatif dan pengajar pada Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR). Tulisan ini dimuat sebagai pengantar pada katalogus Pameran Senirupa Riau, 10 -14 Juni 2014 di Taman Budaya Provinsi Riau Pekanbaru
halaman 3
Zaman kejayaan senirupa tradisional Sesuai makna kata tradisional. Senirupa tradisional Melayu Riau, adalah karya-karya senirupa unggulan dan terpilih berdasarkan seleksi yang bersifat alami, sangat dekat dengan kecenderungan rasa yang dimiliki masyarakat hingga senirupa pada masa-itu mampu bertahan dari masa ke masa hingga kini dan memberikan sumbangan besar bagi pembentukan identitas kultur Melayu Riau. Karya-karya senirupa tradisional Melayu Riau, merupakan sebuah karya komunitas dan bersifat anonimous (penciptanya menjadi tidak dikenal secara individu) walau pada awalnya peran individu-individu tentulah ada. Disinilah letak kebesaran jiwa manusia-manusia masa lalu, karena pada wilayah pembangunan budaya, kepentingan komunal jauh lebih penting bagi mereka, daripada kepentingan orang-per-orang. Apalagi sampai kepada hal-hal yang berbau komersial. Sehingga karya-karya tradisional ini hampir-hampir jauh dari permasalahan yang berkaitan dengan sengketa bersifat intellectual property right and law atau hukum hak atas kekayaan intelektual, kecuali kalau sudah sampai kepada hal-hal atau sengketa yang bersifat pada pengakuan kepemilikan atau hak cipta. Karya-karya senirupa Melayu Riau, sama seperti halnya dengan karya-karya senirupa tradisional di kawasan lain, lebih bersifat applied art, seni-guna, seni-pakai atau seni peruntukan. Faktor inilah yang menjadi penentu bertahannya seni ini dari masa ke masa karena disamping perannya sebagai salah satu bentuk local genius/kepiawaian lokal sekaligus bermuatan kearifan (local wisdom) yang menjadi ciri etnik, suku atau puak. Senirupa jenis ini mempunyai peran bagi kepentingan upacara-upacara budaya
halaman 4
yang “tak lapuk karena hujan dan tak lekang karena panas�. Hal ini dapat dibuktikan pada helat budaya dan perilaku keseharian serta banyak hal lain yang membuktikan bahwa senirupa tradisional ini mampu bertahan bahkan memberikan nilai pemartabatan tersendiri bagi pengguna senirupa jenis ini. Di samping kesadaran masyarakat masa lalu akan pentingnya seni sebagai salah satu bentuk penentu identitas budaya sebuah bangsa, peran penguasa dalam hal ini istana kerajaan Melayu di Riau masa lalu tidaklah dapat di pandang sebelah mata. Istana di samping berfungsi sebagai sentrum pemerintahan/penguasa di Riau masa lalu, juga merupakan pusat pelestarian, pengembangan budaya dan pusat penciptaan produk kesenian “tertapis� yang kemudian menjadi karya-karya unggul yang bertahan hingga kini.
Senirupa Riau di era kebimbangan menghadapi kecenderungan senirupa modern berorientasi Eropa. Pada awal-awal kemerdekaan hingga ke era konflik vertikal antara pemerintah pusat dan daerah yang bermuara pada pemberontakan PRRI, hingga terbentuknya provinsi Riau, menjelang tahun enampuluhan, terjadi hambatan pembacaan sejarah aktifitas dan perkembangan senirupa di kawasan Riau yang menjadi bahagian provinsi Sumatera-Tengah masa itu. Namun angin segar di segala lini kehidupan terlihat, setelah terbentuknya provinsi Riau. Dan dari sinilah dapat dimulai kembali pembacaan dan sejarah perkembangan senirupa Riau. Kemunculan perupa Riau yang mulai beradaptasi dengan perkembangan baru (modern), yang utama untuk di catat tentulah yang berorientasi
pada karya ciptaan, walau pada masa itu bermunculan “penggambar-penggambar� pesanan yang berkemampuan lumayan menyalin bentuk-bentuk karya populer masa itu dan sangat european style. Lalu cukup banyak pula jumlahnya penggambarpenggambar pendatang yang nota-bene mengkhususkan diri menggambar potret di atas kertas dengan pinsil conte dan bubuk charcoal dengan transparent layering putih telur sebagai pelapis. Perupa Riau di era senirupa modern yang berorientasi pada penciptaan, sejauh pengamatan saya untuk kota Pekanbaru jumlahnya tidaklah terlalu banyak, namun selalu ada dan begitu juga di kota-kota lain di Riau, yang karena berbagai faktor belum terpantau. Minimnya kemampuan pemantauan ini tentulah memiliki sebab. Faktor utama yang saya rasakan adalah, bahwa mereka-mereka pelaku awal senirupa di Riau ini sangatlah tidak berorientasi ekonomi sehingga promosi, pemberitaan yang meluas dalam bentuk apapun tidak dilakukan. Seni merupakan kebutuhan batiniah yang wajib dipenuhi dan bukan untuk pemenuhan kebutuhan lahiriah. Namun sejalan dengan perkembangan, pendapat seperti ini mulai meluntur pada generasi perupa berikutnya. Ditambah lagi dengan fasilitas dan dukungan yang dilakukan oleh berbagai pihak, baik lembaga-lembaga yang mengurusi kesenian secara formal maupun pihak swasta sebagai partisipan aktif, yang terus menerus mengupayakan agar karya-karya senirupa dari para perupa Riau, dapat tampil sejajar dengan karyakarya perupa dari luar Provinsi Riau pada skala Nasional. Terutama karya-karya yang berasal dari sentrum-sentrum penghasil
karya senirupa potensial seperti Jogyakarta, Jakarta, Bandung, Bali, Solo dan beberapa kota lainnya di luar pulau Jawa. Riau selama ini, dalam perpetaan senirupa (fine art) pada kenyataannya secara jujur disampaikan barulah setakat titik kecil yang sukar ditilik keberadaanya secara nasional. Walau aktifitas berkarya secara kontinuitas tetap ada dan keadaan ini dapat ditandai dengan berbagai pameran (bersifat lokal) yang dilakukan dan ditaja oleh institusi formal seperti Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Riau, Dewan Kesenian Riau, atau secara independen oleh individu perupa maupun komunitas-komunitas yang ada. Namun, kegiatan-kegiatan yang bersifat lokal tersebut, disadari belumlah memadai untuk dijadikan sebagai alat pemetaan atau pengakuan akan eksistensi perupa Riau secara nasional. Memang pernah ada, kegiatan-kegiatan yang bertujuan mengupayakan pengakuan keberadaan perupa Riau, pada bidang kanvas senirupa nasional. Seperti keikutsertaan perupa Riau pada pameran-pameran bersama daerah lain di berbagai kota. Namun aktifitas tersebut dilakukan dengan kontinuitas yang kurang terjaga, sehingga keberadaannya dengan segala kondisi kultur budaya, problematika sosial dan kedalaman yang disampaikan sebagai muatan karya tak selalu tampak (timbul-tenggelam). Namun hal yang cukup menggembirakan bahwa pemahaman lama yang masyarakat miliki, bahwa kerap terjadi pengulanganpengulangan proses, minim pemaknaan, miskinnya kreatifitas. Namun kini perupa Riau saat tampil di setiap pameran selalu membawa kita pada ujud-ujud @ suguhan menu yang selalu baru. Konsekuensinya, mungkin saja kita akan menemui berbagai
halaman 5
hambatan penikmatan, karena apa yang selama ini sudah kita pahami tentang karya-karya perupa Riau terdahulu, jauh berbeda dengan tampilan karya-karya yang tersuguhkan kini. Karya-karya yang mulai jauh dari bayangan kita, karena pokok bahasan, rupa-kias dan kerangka acuan yang digunakan oleh setiap individu dalam berkarya mulai menampakkan indentitas diri masing-masing. Naturalisme dan realisme yang ditampilkan telah mengalami pergeseran cara dan karakter. Untuk itu, penting kiranya jika di dalam proses penyimakan saat ini, ditawarkan semacam ajakan untuk menggeser pula cara pandang terhadapnya. Istilah kaji-ulang sekonyong menjadi penting. Ia akan membimbing kita untuk memasuki wilayah kesadaran cara pandang baru para perupa Riau di dalam kerangka membangun keseimbangan peradaban. Kaji-ulang yang berarti di dalamnya terkandung makna perubahan
halaman 6
sikap dan pengetahuan yang dipersiapkan untuk menghadapi sesuatu yang terus berubah. Sekali lagi, upaya perimbangan ini hanyalah suatu ajakan menurut sebuah alternatif versi. Di luar ajakan tersebut, bisa saja siapa pun dapat mengembangkan cara dan proses pembacaan yang kiranya dianggap lebih tepat. Sebagai penutup tulisan pengantar pameran ini, tentu kita berharap pameran kali ini bukan hanya sekedar helat yang bersifat sesaat, namun dapat dipetik manfaatnya bagi berbagai kalangan terutama bagi para perupa Riau, sebuah daerah yang konon “kaya� namun tak memiliki sebuahpun lembaga pendidikan senirupa. Terutama dan yang pasti adalah manfaat dari terbangunnya “Persahabatan Seni� dan perluasan wawasan yang akan memperkaya khasanah senirupa nasional. Semoga...***
Cerita-pendek
Pulang oleh Vivi Al-Hinduan Dwi Septiana Alhinduan, kelahiran Pontianak, 5 September 1980. Alumni Univ. Tanjungpura, Fak. Ekonomi, Jurusan Akuntansi Tulisan cerpen pernah terbit di Majalah NOOR, Kompas.com, Harian Pontianak Post.
halaman 7
adang antara datang dan pulang, hanyalah soal perbedaan adang, sudut pandang, seperti ketika kita memandang separuh bening di dalam gelas yang hening. Apakah gelas itu air ben separuh kosong? Apapun jawabannya, tidak ada separuh terisi atau a yang benar-benar benar. Pulang. Sebuah kata yang sangat kurindukan. Sepuluh tahun sudah aku merantau di Jakarta. Akhirnya, sekarang aku bisa pulang ke Pontianak. Mumpung tiket pesawat sudah murah. Atau barangkali daya beli masyarakat Indonesia yang meningkat, sehingga barang yang dulu dianggap mahal, sekarang bisa terjangkau. Aku tiba di bandara Soekarno-Hatta yang megah. Ini pertama kalinya aku naik pesawat. Aku begitu cemas dan takut ketinggian. Namun disisi lain, aku juga tak sabaran. Berbagai perasaan berkecamuk dihatiku. Aku ingat pembicaraanku di telepon dengan ibuku-yang kupanggil Mamak-tadi malam. “ Jadi besok sore kau sampai di Supadio ya?”, tanya Mamak. “ Iya, Mak. Ardi jam tiga sore berangkat dari Jakarta.”, sahutku. “ Nanti Mamak sewa oplet Bang Yanto ya? ” “ Jangan, Mak. Ardi naik taksi saja.” “ Janganlah! Masak anak Mamak yang sudah sepuluh tahun ndak balek kampong mau naik taksi? Mamak nyewa oplet biar Mamak, Bapak, Nenek, dan tiga keponakanmu bisa sekaligus ikut menjemput.” “ Baiklah, Mak.”, aku tak kuasa membantah. “ Besok pagi Mamak mau ke Pasar Flamboyan. Mamak mau belanja dan masak asam pedas ikan patin dan sayur paceri nenas kesukaanmu. Kami akan menyambut kedatanganmu, Nak. Anak Mamak yang sukses merantau di Jakarta.” Sukses? Ach! Rasanya selama aku bekerja di sini, aku merasa lebih akrab dengan kata kerja berawalan ‘di’ daripada kata kerja yang berawalan ‘me’. Kata-kata seperti disuruh, diperintah, dicaci, diusir, dijambret, dipalak, seolah begitu akrab dengan keseharianku, dan sekaligus menunjukkan level pekerjaanku. Apakah seperti itu bisa disebut sukses? Aku menyibak kerumunan manusia yang memadati SoekarnoHatta. Orang-orang bergegas menuju tujuan mereka masing-masing. Berburu dengan waktu. Kerumunan manusia di depanku semakin bertambah sesak. Mengerucut di satu sudut. Aku mendekati sumber suara itu. “ Maskapai penerbangan ini gimana, sih? Delay mulu! Mana Saya
halaman 8
sudah ditunggu sama Pak Gubernur lagi.” “ Maaf, Pak. Mohon ditunggu sebentar. Pesawat kami sedang mengalami kerusakan teknis.” “ Halah! Saya nggak mau tahu! Saya minta ganti rugi! Sudah dua kali saya mengalami kejadian ini. Saya sudah rugi waktu, tahu!”, ujar si Bapak sambil menggebrak meja. Aku berlalu meninggalkan mereka. *** “ Ayuh, cepetan dihabisin atuh donatnya, Neng! Bentar lagi pesawat kita mau berangkat.” “ Idih, Mami! Sabar atuh, Mi. Donatnya sampai belepotan nih. Si Mami gimana sih? Kan aku malu kalo di pesawat nanti mulutku belepotan donat.” Anak itu terburu-buru menghabiskan donatnya, dan membuang kertas kecil pembungkus donat di ruang kecil di antara kursi yang ia dan ibunya duduki. Tiba-tiba anak itu berjalan ke arah dinding dan mengeluarkan ponsel pintarnya. Sambil tersenyum manis, ia memotret dirinya sendiri. Lalu ia kembali berpose dengan mulut dimoncongkan seperti bebek. Setelah itu, ia duduk kembali di dekat ibunya, tepat di depanku. “ Idih! Kamu teh ngapain lagi pake moto-moto segala? Potoin Mami dong sekali-sekali.” “ Idih, Mami! Aku kan mau upload foto-fotoku ke Facebook. Mau aku pamerin ke teman-teman di sekolah.” “ Cepetan atuh, Neng! Pesawat kita udah mo berangkat tuh. Ntar kita ditinggal lagi.” “ Bentar dong, Mi. Aku lagi nulis tweet nih, ngasih tau ke followerku posisi aku sekarang. Followerku nambah loh, Mi.” *** Penumpang yang terhormat, berhubung ada kendala teknis pada mesin pesawat, penerbangan dari Jakarta menuju Pontianak kami tunda untuk waktu yang belum dapat ditentukan, bunyi pengumuman dari pengeras suara. Para penumpang mulai gelisah. Aku melirik jam tanganku. Setengah lima sore. Gawat! Jam berapa aku sampai di Pontianak nanti? Jangan-jangan sayur paceri nenasnya sudah keburu basi. Aku segera menelepon adikku. Berkali-kali kutelepon, nomornya tidak aktif. Akhirnya aku mengirim pesan singkat ke ponselnya. Suara keras seorang perempuan membuatku menoleh. “ Iya, ini pesawatnya rusak! Sedang diperbaiki! Mama mungkin
halaman 9
malam baru sampai ke Ponti! Bilang Papa, ya!” Aku tersenyum. Suara si Ibu mengingatkanku dengan cerita bibiku yang tinggal di Entikong, perbatasan Kalimantan Barat dengan Sarawak, Malaysia. Karena di sana sinyal ponsel sangat sulit dijangkau, terpaksa bibiku harus berteriak setiap berbicara di telepon seluler, agar suaranya terdengar jelas. Aku duduk kembali di bangkuku. Di sampingku, duduk seorang pria setengah baya. Ia menyalakan rokok, menghisap rokoknya dengan santai, seolah lupa kalau ruangan itu ber-AC. “ Mau ke Pontianak juga, Mas?”, Ia bertanya. Aku mengangguk. “ Kerja di mana?”, tanya si Bapak lagi. “ Saya kerja di Jakarta. Di Priok.”, jawabku acuh. “ Oh, buruh pelabuhan ya? Hebat dong bisa naik pesawat.” Sok tahu! Darimana dia tahu kalau aku buruh? “ Bapak kerja di mana?”, tanyaku. “ Sintang. Perkebunan Sawit.” “ Oh.” Kembali sunyi. Si Bapak tenggelam dengan ponsel pintarnya. Tibatibanya ponselnya berdering. Ia mengangkatnya. “ Iya, sayang. Pesawatnya mengalami kerusakan teknis, mungkin jam sembilan malam baru tiba di Supadio.” Terdengar suara perempuan di seberang sana. “ Nanti jemput aku sekitar jam delapan aja. Kita langsung ke hotel. Besok pagi baru aku ke Sintang.” *** Aku mencari tempat duduk di dalam pesawat. Aku senang mendapat tempat di pojok dekat jendela. Aku ingin merebahkan diri sejenak di kursi empuk itu, setelah hampir tiga jam menunggu. Aku mengintip langit dari jendela. Bintang-bintang bertaburan menghias malam. Indah, meski tanpa kehadiran bulan. Didepanku, kudengar tiga orang ibu sedang berbincang dengan suara keras, “ Eh, Jeng, kemaren aku baru pulang dari Paris loh.”, Ibu pertama membuka pembicaraan. “ Saya barusan dari Bali, jenguk cucu yang baru lahir. Sekalian menghadiri peresmian butik putri saya di sana.”, ujar si Ibu ketiga, tanpa ditanya. “ Aduh, ke Paris mulu nih Jeng Ratna. Ngapain aja? Ngeborong
halaman 10
ya?”, tanya Ibu kedua. “ Nggak kok, aku cuma ikut suami studi banding aja.” “ Hah? Studi banding apaan, Jeng?” , Ibu ketiga nimbrung. “ Studi membandingkan harga tas Hermes di Indonesia dengan di Paris.” Mereka bertiga tertawa bahagia. Sedang asik melihat dari jendela, suara pramugari mengumumkan agar penumpang segera mematikan ponselnya. Dua bangku disebelahku masih kosong. Aku memejamkan mata , berusaha keras menenangkan diri agar tidak takut ketinggian. Ketika pintu pesawat hampir ditutup, tiba-tiba dua orang penumpang bergegas masuk, setelah ribut sebentar dengan pramugari yang menjaga pintu. Seorang bapak setengah baya, dengan anak perempuan berumur kira-kira sembilan tahun, tergesa mendekati dua kursi kosong di sampingku. Si Bapak itu menghampiriku. “ Maaf Mas, bisa tukeran tempat duduk nggak? Anak saya pengen duduk dekat jendela. Pengen lihat bintang dari dekat, katanya. Maklum, anak saya ini baru pertama kali naik pesawat.” ***
halaman 11
Cerita-pendek
Ayahku (Katanya) Seorang Pelaut oleh R. Eko Wahono
ak ada yang lebih indah selain menutup rapat-rapat setiap sudut biografi ini dari udara kotor. Kilau pelangi yang terbenam di telaga tela pun tak akan sanggup mewarnai kegelapan dalam ruang biografiku. Dan, riuhnya sekawanan gagak hanya meninggalkan kegaduhan di peralihan musim. Tak lama lagi, musim penghujan bermigrasi membawa semerbak gandum dan aroma ilalang yang kerap membangkitkan kenangan kita pada ladang, gemericik air dan romantisme alam agraris. Juga ribuan, bahkan jutaan serbuk bunga matahari dari arah tenggara menuju benua Asia yang subur dan tanah-tanah perawan yang luas dipenuhi pinus serta jati.
R. Eko Wahono Lahir di Maumere, NTT. Pada dekade 90-an cerpennya banyak dimuat media, semisal Suara Pembaruan, Swadesi, Bali Post, Nusa Tenggara. Kumpulan Cerpennya Potret Kita ( 2000 ) dan Bibir Perkusi ( 2005 ). Selain sebagai cerpenis juga dikenal sebagai pekerja teater dan movie maker. Sekarang tinggal di Mataram, Lombok.
halaman 12
Sementara, di suatu pagi yang tampak biasa-biasa saja, ibu menyajikan abon daging rusa buah tangan ayah selepas berburu di pulau Moyo. Sebuah daratan dekat pelabuhan Alas di Sumbawa Besar. Di mana hewan-hewan terutama kijang menjadikannya sebagai taman surga. Daratan Moyo serta aroma laut kerap membawa ayah untuk berlayar menuju dunia lelakinya. Ibu selalu menutup rapat untuk bercerita tentang ayah. Lukisan realis yang terpampang di dinding bedeg kulit itu ternyata sebagai pemanis. Agar aku tak selalu menangis jika meminta sesuatu atau ingin bertemu ayah. Kadang usahanya meredam tangisku berhasil, namun tak jarang pula gagal. Selebihnya, lukisan itu tetap sebagai lukisan yang terpajang di belakang tempat ibu berdagang. Dan kini, aku baru menyadari bahwa lukisan itu bukan lukisan ayahku. Lukisan itu terpampang pula di berugaq Husein ataupun di atas selasar beranda Amar. Ah.. hangat mentari di sepanjang pantai kerap melarung setiap kenangan kita. Tentang burung camar. Kecipak air di buritan kapal yang merangsang setiap kelenjar otot-ototnya untuk berlayar. Berlayar dan terus berlayar. Tanpa membuang waktu, ia bergegas melanjutkan episode baru dengan kostum ala Peterpan yang konon selalu dilindungi peri-peri cantik dan seksi itu. Di depan matanya terbayang gelombang buas dan ganas. Seperti penghuni semesta biru yang selalu menyimpan misteri. Namun, tak ada kata menyerah dalam kamus hidupnya. Kata ayah, kita harus memainkan peran itu dengan baik. Sebab, jika tidak maka kita akan selalu kecolongan dan tak akan pernah mendapatkan poin sebagai tiket untuk menuju terminal akhir. Ia juga mengatakan bahwa hidup itu seperti sekeping logam yang kedua sisinya tak dapat dipisahkan. Itulah takdir manusia. Baginya hidup dan mati tak lebih dari sebuah permainan. Atau sebuah jeda untuk mengulur setiap kematian. Lantas, lelaki itu membuang sauhnya untuk menepi di Tanjung Menangis. Mencari seorang putri yang konon terdampar di loronglorong goa yang dingin dan gelap gulita. Orang pesisir pelabuhan Alas menyebut ujung daratan itu Tanjung Menangis. Konon, di ujung daratan itu seorang perempuan muda menunggu dengan setia kedatangan lakinya dari seberang. Singkat cerita, pria idaman yang dinanti-nantinya itu tak kunjung datang. Maka, menangislah ia di bibir pantai sepanjang siang dan malam. Dan, menurut cerita dari para leluhur itu, suara tangis perempuan tersebut menyebar hingga ke seluruh daratan dan pesisir sekitar pelabuhan Alas.
halaman 13
Maka, malam itu, menurut cerita orang-orang pesisir, ayah menyusuri lorong-lorong goa yang gelap dan dingin di Tanjung Menangis. Semua usaha itu tak lebih hanya untuk mencari kepastian apakah cerita itu nyata atau hanya mitos para penduduk di sekitar pulau Sumbawa. Meski ayah telah menginjakkan kakinya di pulau kosong itu, namun, suara rintihannya masih saja terdengar. Orangorang pesisir tak tahu apa saja yang dilakukan ayah di sana. Apakah ia telah menemukan putri itu atau sedang bertempur habis-habisan melawan raksasa. Bahkan, sebagian orang pesisir (yang mungkin iri kepada ayah) mengatakan bahwa ayah berkonspirasi dengan jin penghuni di sana untuk mendapatkan perempuan lain. Kata ibu, ayah adalah tipe seorang lelaki sejati. Namun, ibu tak menjelaskan lebih rinci apa yang dimaksud dengan kata sejati itu. Apa yang dilakukan ayah, menurut aku, sangatlah bertentangan dengan apa yang dijelaskan ibu selama ini. Ayah sering melukai hati ibu dengan mempermainkan perasaannya. Bukankah peristiwa di Tanjung Menangis itu sebagai bukti kompensasi ayah sebagai seorang lelaki yang selalu lapar dan haus akan kebutuhan syahwatnya. *** Ayah jarang memperhatikanku apalagi mengajakku bertamasya. Di keluarga kami tamasya adalah barang mahal. Sesuatu yang harus dipersiapkan secara matang dengan rapat-rapat yang membosankan anak-anak seusiaku. Tamasya juga merupakan sebuah pilihan yang rumit. Setidaknya selalu terjadi perdebatan antara ayah dan ibu dalam menentukan lokasi maupun jarak yang akan ditempuh serta alat transportasi apa yang akan digunakan. Bagi kebanyakan orang tamasya adalah hal yang menggembirakan. Namun, sebaliknya di keluarga kami tamasya adalah sebuah pekerjaan tambahan di akhir minggu. Para perempuan selalu terjebak dalam kesibukan mempersiapkan
halaman 14
perbekalan hingga tengah malam. Dan keesokan harinya kami hanya menemukan ruparupa yang lelah. Pendek kata, tamasya, hanyalah sebatas mimpi belaka. Kata ayah, hidup harus diisi dengan kerja. Bukan untuk bersenang-senang seperti yang dilakukan ambtenar kota. Orang seperti kami tak layak untuk berpikiran seperti itu. “Bekerjalah. Dengan bekerja pikiran kita jadi sehat. Kerja membuat tubuh kita jadi kuat. Dengan bekerja kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan,� begitu kata ayah menepis harapan orang-orang di rumah. Tapi suatu malam, mimpi itu datang juga pada akhirnya. Sesuatu yang jauh dari kenyataan dan menjadi barang mahal dalam keluargaku. Sesuatu yang sangat rumit dengan tetek-bengek yang membuat ricuh hati. Dalam mimpi itu, ayah mengajakku bertamasya ke sebuah danau di bawah kaki gunung mati. Dalam waktu singkat kami telah berada di bibir danau yang termangu dalam tafakur yang lama. Sebatangkara di antara ranting-ranting kering. Kelompok batu-batu cadas merah yang masih menyisakan sedikit kesunyian yang membungkus kelumit rahasia Tuhan. Ikan-ikan seukuran lengan orang dewasa berlompatlompatan seakan-akan girang melihat kedatangan kami. Kulihat ayah mencabik-cabik air bagai naga kecil yang baru kali pertama bertemu alam bebas. Dari lengannya ia lemparkan jala ke tengah danau. Tak berapa lama jala itu telah penuh karper. Ah, tapi mungkin juga bukan, ia lebih menyerupai mujahir. Tapi barangkali juga bukan keduanya, karena secara jujur aku kurang paham dengan baik jenis-jenis ikan baik tawar maupun laut. Kemudian ia mengajarkan kepadaku bagaimana caranya seorang pelaut mempersiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan
halaman 15
perlengkapan kapal. Tangannya seolah-olah sedang mengenggam tali gadung dan mengikatkan pada tiang layar. Tentu saja, walau dalam mimpi, aku menolak untuk diajak berlayar. “Ayolah, ini hanya permainan. Nggak berbahaya. Kalau kamu ingin jadi seorang lelaki sejati kamu harus berani menyeberangi lautan yang luas dan biru,� bujuk ayahku. Namun, aku menolak sewaktu tangannya terus mendesak tubuhku. Aku menangis. Aku kira itulah proteksi teraman dari orang yang lemah terhadap keinginan dan paksaan seseorang yang mempunyai kekuasaan. Tapi yang terjadi pada ayahku justru sebaliknya. Semakin keras tangisku semakin giranglah ia dalam usahanya mengajakku untuk merenangi danau luas dan biru serta gelap. Nampaklah ia semakin gemas dan riangnya mempermainkan diriku diiringi tawanya yang memenuhi seluruh ruang mimpiku. Aku meronta. Lengan ayah semakin kuat. Seluruh otot-otot tangannya berkelejatan di bawah sinar matahari. Secara refleks kedua tangannya membungkam serta meredam seluruh nyaliku. Ayah tertawa terpingkal-pingkal. Kapal kami limbung. Dan perahu kami terus semakin ke tengah diiringi tawa ayah yang saling berpantulan di dinding-dinding batu. “Berhentilah menangis! Sekarang kita berdua berlayar menuju dunia lelaki. Mereka saksi bahwa kita berdua adalah lelaki sejati yang pantang menyerah pada keadaan yang paling gawat sekalipun. Kamu harus kuat. Kamu harus berani, nak. Di dunia ini yang sanggup bertahan hidup hanya lelaki yang kuat dan berani. Alam menyeleksi seluruh isi bumi. Ayo! Tunjukkan pada bapakmu bahwa kamu adalah anak yang kuat dan berani!� ia berhenti ketawa. Jari telunjuknya menunjuk ke birunya air danau. Waktu seakan mandek. Sekumpulan mega tampak tak bergerak. Dinding batu membeku. Wajah danau membisu. Pohonan meranggas di atas batu-batu cadas. Tak ada apa-apa lagi yang tersisa setelah itu. Yang terdengar hanya kecipak air di bibir perahu. Aku masih di ujung kecemasan. Matahari tak nampak dalam mimpiku. Yang terasa hanya kehangatannya yang asing merambat perlahanlahan ke dalam lubang pori-poriku. “Kenapa diam saja! Anakku tak pernah diam apalagi membisu seperti arca. Apa kau sudah tuli dan bisu sehingga tak lagi mendengar setiap kata-kataku. Kenapa, kenapa kamu diam saja! Jangan bersikap tolol seperti itu. Mereka akan mentertawai sikapmu. Seluruh isi alam
halaman 16
mencari setiap tindakan lelaki yang ragu-ragu. Sekarang, aku yakin bahwa kamu bukan anakku. Mereka benar. Orang-orang pesisir itu bilang, kamu anak haram! Mereka juga bilang, bahwa ibumu tak lebih dari pelacur murahan. Barang dagangannya memang selalu laris manis. Pajangan spesial untuk para pelaut sejati semacam aku. Sekarang, enyahlah kamu dari perahuku!� tanpa buang waktu kedua lengannya yang perkasa mengangkat tubuhku dan melemparkannya ke udara. Dinding-dinding langit pecah berserakan mengenai tubuhku. Aku terjatuh ke lantai yang dingin dan lembab. Ibu terbangun, terkejut melihat aku terjatuh dari tempat tidur. Segera ia membantuku berdiri dan kembali ke ranjang untuk tidur kembali. Hingga keesokan harinya aku hanya diam saja tak berani untuk menceritakan mimpi semalam kepada siapapun, tak terkecuali ibu. Apa yang sedang terjadi pada ayah sebenarnya? Apakah ia sedang berencana hendak membunuhku? Namun setelah peristiwa semalam ayah tak pernah lagi tampak. Aku juga tak bertanya apa-apa kepada ibu. Ia juga hanya diam dan bekerja di warung kopi seperti biasanya. *** Jerit weker pagi buta kerap memaksa jantungku bekerja lebih aktif. Aku bergegas melawan kecepatan matahari. Meski akhirnya aku selalu kalah. Dan matahari selalu menang. Ha.. ha.. ha..! Dengarlah, ia mentertawakan diriku. Ia tak perlu membuka matanya lebar-lebar. Karena jawabannya sudah pasti. Aku selalu terlambat masuk sekolah. Kerap menerima hukuman berdiri dengan kaki sebelah di depan papan tulis. Namun, pagi ini matahari nampak lesu dan tak bersemangat untuk diajak berpacu. Mendung memayungi seluruh daerah pelabuhan. Sekawanan burung-burung entah dari mana terbang di atas gudang beras dan berlalu entah kemana. Wajah para buruh nampak riang sekali menyambut datangnya hujan. Itu artinya mereka tak akan bekerja di bawah sengat matahari yang tajam seakan-akan hendak merobek kulit. Mereka menari-nari di depan truk-truk yang akan mengangkut beras ke luar pelabuhan. Gerimis mulai membasahi bongkah-bongkah tanah kami yang kering dan hitam. Hililintar kambuh marahnya dan ia tumpahkan ke segala sudut penjuru dunia. Para ibu sering menakut-nakuti anak-anaknya dengan bercerita, “Halilintar tak akan pernah punya sepasang matanya. Itu adalah kutukan para dewa karena sifatnya yang
halaman 17
kurang terpuji. Sering naik pitam dan emosinya sulit dikontrol. Maka, jika hujan turun siang hari, halilintar akan membakar kedua matamu. Ia telah berjanji untuk membalas kutukan para dewa kepada setiap isi bumi…” Sejak mendengar nasehat itu kami merasa selalu dipantau dan diawasi setiap gerak-gerik kami. Walaupun sudah di atas ranjang kedua mata kami sulit terpejam membayangkan kemarahan halilintar. Saat gerimis mulai turun aku dan kawan-kawan berlarian mencari tempat untuk berlindung. Suara halilintar mulai bersahut-sahutan laksana pesawat jet tempur yang sedang melakukan terbang rendah dengan kecepatan yang sangat tinggi. “Apa yang sedang terjadi di atas sana?” tanya kawanku. Aku hanya diam. Memandangi langit yang tampak gelap dan sesekali robek oleh jari-jari halilintar. “Tuhan murka. Ini bukti nyata bahwa kita sudah melupakan seluruh kebaikan Tuhan. Musim kemarau yang panjang adalah bukti lain, tetapi muka kita sudah seperti badak. Tebal muka. Pohonpohon ditebang seenak udelnya hanya untuk kepentingan diri sendiri tanpa memikirkan nasib masa yang akan datang. Ada juga yang doyan membakar untuk membuka lahan baru. Membangun rumah atau menanam kacang hijau, setelah bosan pindah dan membakar lagi hutan yang lain. Ini sudah benar-benar keterlaluan!” jelas temannya sedikit emosi. Aku masih terdiam. Langit tak menunjukkan tanda hujan akan reda. “Ya. Aku yakin Tuhan marah. Ia pasti juga marah kepada lelaki yang tidak punya tanggungjawab dan belas kasihan terhadap perempuan. Terlebih-lebih perempuan itu istrinya sendiri. Bukankah para wanita di pelabuhan selalu menjadi pecundang para nahkoda dan pelaut iseng. Mereka jadikan para wanita seperti ladang liar yang bebas digarap siapa saja. Apakah kelak jika kita menjadi seorang pelaut kita akan memperlakukan para wanita seperti yang mereka lakukan terhadap ibu kita?” tanya rekannya yang satu semakin gusar. Aku menggelengkan kepala. Pandanganku jatuh ke tanah yang mulai basah. “Aku kurang begitu yakin. Hanya saja aku tak ingin menjadi seorang pelaut aku ingin menjadi seorang guru,” jawabku sekenanya. “Mungkin kalian benar. Tuhan sedang marah, tapi aku tidak tahu kepada siapa. Mungkin kepada para tuan tanah yang kikir dan sombong,” imbuh seseorang di sebelahkan tak mau kalah.
halaman 18
Jawaban itu mengingatkanku peristiwa dua hari lalu. Ketika kami sedang melintasi sepetak tanah yang dirimbuni tumbuhan kacang panjang. Karena lapar kami memetik apa saja yang bisa dimakan. Nah, saat itu pula seorang lelaki berjanggut putih dengan wajah berkeriput menghardik kami dengan mengacung-acungkan sebilah badik seukuran lengan orang dewasa. Melihat badik yang mengkilap itulah kami lari tunggang-langgang. Berhamburan seperti kelereng yang terjatuh dari sebuah meja kayu di atas lantai. “Anak setan, jangan lari kamu!� maki si orang tua sembari berkacak pinggang. Namun, sedikitpun kami tak berani menoleh ke belakang. Kami terus berlari mencari tempat paling aman. Dan pondok tempat kami berteduh saat ini adalah tempat yang paling aman dan tak mungkin terlintas dalam pikirannya bahwa kami akan bersembunyi di situ. Di samping letaknya yang jauh dari tanah miliknya, pondok ini berdampingan dengan kuburan. Menurut orang-orang pesisir, kuburan itu sudah lama tak dipakai sejak Belanda kalah melawan Jepang. Kata orang, orang-orang komunis konon, juga dibantai secara massal di situ. Sehingga, kuburan itu terkesan angker. Saat berjongkok menatap gerimis pandanganku nanar ke arah yang sangat kelabu. Gerimis itu seakan-akan membentuk tirai berlapislapis. Dan di balik lapis-lapis itu aku mendengar alunan senandung yang entah berasal dari mana. Ia seperti sedang menawarkan sesuatu yang indah dan memabukkan. Aku tergoda. Terbuai. Tanpa kusadari kedua kakiku menyeretku turun dari pondok dan selanjutnya berlari menembus tirai-tirai kelabu itu. Alunan nada itu terus menjalari seluruh jaringan otakku. Aku berlari sekencang badai taufan yang memporak-porandakan seluruh kota-kota tua di Mexico. Kedua kakiku bergerak bagai tentara Spartha yang mengamuk di depan benteng musuh serta meluluhlantakkan sebaris konvoi pasukan berkuda dengan seragam yang gagah. “Lihat ayah, kini aku kuat dan tegar! Di matamu aku memang lelaki pecundang. Tapi, aku bukan lelaki lemah! Kini, badai takkan mampu menghadang setiap langkahku..� udara beku menyelimuti seluruh tubuhku yang ringkih. Suara gelombang laut mendesir selintas menggemuruhi kedua telingaku. Tubuhku serasa terbang melintasi seluruh dataran. Dari yang paling tinggi hingga paling curam.
halaman 19
Lumpur basah tercerabut dan terhempas berserakan ke masa laluku. Aku tak peduli bahkan aku semakin kesetanan menembus setiap tirai di depanku. Satu lapis telah kulewati. Namun, di depan telah menunggu berlapis-lapis tirai. Aku berlari dan terus berlari menembus lapis berikutnya. Semakin kudekati suara itu bagai mengajakku untuk menarikan sebuah ritus kematian. Mendadak tak jauh di depanku aku melihat sosok ayah dan ibu berdiri di balik tirai hujan. Mereka diam di situ dan hanya memandang dengan perasaan hampa. Ibu melambai-lambaikkan tangannya kepadaku. Sementara ayah berkacak-pinggang sembari melengos di belakang tubuh ibu. Aku mencoba berdiri namun kedua kakiku seperti benang basah yang semakin tertanam jauh ke dalam lapisan bumi. Aku panggil ibu sekali lagi dengan suara yang lebih lantang. Namun, yang terdengar hanya hardik halilintar. Gerimis lambat laun semakin jauh dan terus menjauh dari pendengaranku. ***
halaman 20
Cerita-pendek Terjemahan
Permainan Ganda oleh Alberto Moravia Alberto Moravia Asli orang Roma dilahirkan pada tahun 1907. Terkenal secara internasional pada umur dua puluh dua tahun dengan novelnya, The Indierent Ones. Ia banyak menulis novel lainnya dan juga cerpen, drama dan esai. Caranya bertindak yang bersahaja serta pandangan yang tajam menjadikannya panutan di seluruh dunia. Terjemahan ke bahasa Indonesia dari tulisan berbahasa Inggris oleh, Attar Waliman Putra.
halaman 21
“Umberto macam ini, Umberto macam itu, Umberto rangking atas di sekolah. Ibunya bilang dia dapat piala, Umberto bekerja, Umberto balik ke rumah bawa duit, Umberto beli sepeda motor dengan duitnya sendiri, Umberto baru saja beli mobil‌.â€?
halaman 22
eum eumur hidupku, sejak dari balita, Umberto selalu membayangbayangi. Hal ini wajar karena kami tinggal di me gedung yang sama di Via Candia, dalam dua flat kecil di lantai ged dasar yang satunya milik ayah Umberto yang buka toko penjual ayam dan bebek. Lagi pula ibuibu kami berteman dan kami berdua pun tumbuh besar bersama. Memang wajar manakala aku tumbuh menjadi seorang tukang keluyuran, pengangguran dan pemalas, ibuku akan menunjuk Umberto sebagai model. Aku cuma bisa bilang, ini sungguh, bahwa jari kelingkingku masih lebih berharga daripada si Umberto yang licik, angkuh dan jahat itu. Tapi apa gunanya? Sebagaimana lazimnya, para ibu selalu saja begitu, dan kalau dunia ini harus mengikuti seperti keinginan para ibu tadi maka di dalamnya akan dipenuhi oleh orangorang yang sama sekali tak berguna: licik, angkuh, dan jahat seperti Umberto. Aku dendam pada Umberto, tapi hubungan kami sangat sopan, kalau berjumpa kami saling menyapa dan bertukar kabar. Sesungguhnya hubungan itu adalah perang dingin di antara dua orang yang menanti kesempatan pertama untuk memulai pertengkaran. Dan saat itupun tiba pada hari yang sama ketika aku dipecat karena tidak efisien dari pekerjaan vulcanite di Via Dandolo. Ketika aku menuruni anak tangga dengan katakata ibuku masih terdengar di telingaku; “Puteraku, kau akan menghancurkan hati ibu… sekarang lihatlah si Umberto itu, dia adalah contoh anak yang baik bagimu…. Jadikanlah dirimu seperti dia, anakku…!” Aku berpapasan dengan Umberto yang juga baru saja hendak keluar. Akupun segera menghentikannya. “Hey, katakan sejujurnya padaku, benarkah kau selalu berbuat baik?” tanyaku. “Apa maksudmu?” “Maksudku, kau tak pernah berbuat satu kesalahanpun, bahwa kau melakukan sesuatu yang seharusnya tak kau lakukan, misalnya, kau pakai berjudi uang mingguanmu?” Sungguh tak bisa dipercaya. Kalaulah orang lain yang berada pada posisi Umberto saat ini, pastilah akan marah. Namun dia, dengan wajah liciknya yang seakanakan penuh kearifan, meletakkan tangannya di bahuku dan berkata, “Peppe, lakukanlah seperti yang aku lakukan dan nanti kau akan merasa baik.” Aku berkata dengan geram, “Singkirkan tanganmu itu dari pundakku! Aku menyetopmu bukan untuk minta nasihatmu. Tapi justru akulah yang akan memberikan satu nasihat kepadamu: jauhi Clara! Dia hampir bertunangan denganku.”
halaman 23
“Hampir bertunangan?â€? “Pokoknya, dia itu pacarku dan kau jangan ganggu dia, paham?!â€? “Memang apa salahnya kalau aku‌?â€? “Cukup, yang penting kau sudah kuperingatkan!â€? Maksudku bilang begitu karena sebenarnya saat ini aku sedang mengejarngejar Clara. Dia seorang gadis yang samasama tinggal di Via Candia, di gedung yang sama denganku, sebuah bangunan kuno dan jelek yang halamannya dikelilingi temboktembok besar seperti piazza dengan tingkattingkat yang diberi urutan dari A sampai F. Pada salah satu lantai bangunan ini terdapat flat kecil milik ibunya Clara yang dipanggil atau menyebut dirinya sendiri Dolores, dan ia melakukan pekerjaan aneh: meramal rajah tangan. Dia seorang perempuan berusia kirakira lima puluh tahunan yang lemah, sakitsakitan, seputih hantu dengan wajah yang kelihatan seperti ditutupi tepung dan dua mata hitam yang membuat wajah ini seperti masker dari gips. Kasihan, dulunya dia kaya, begitulah katanya, dan sekarang ia bersusahpayah bekerja meramal dengan kartukartu dan membaca rajah tangan. Orangorang bilang dia ahli di bidang itu, lagipula para wanita tetangga sekitar yang modern di Via Candia, baik yang masih lajang ataupun yang sudah menikah, biasa datang padanya. Adapun Clara, dia sungguh amat berbeda dengan ibunya. Dia sehat, rapi, cantik, ekspresif, bersih, ceria, kedua bola matanya seperti bintang, dan bibirnya yang ungu muda sungguh indah. Ketika sedang tersenyum gigigiginya tampak seperti buah badam yang dikupas, bibir seorang gadis yang masih belum belajar tersenyum dengan genit. Clara bekerja di sebuah kantor sebagai juru ketik dan penulis steno, dan kelihatannya dia memang cocok dengan pekerjaannya itu. Kala sedang berada di rumah dan ibunya melayani para klien, ia duduk di meja dapur mengetik dengan mesin ketiknya atau belajar tata bahasa Inggris. Clara, seperti kukatakan tadi, kalem. Bisa kukatakan bahwa ia begitu kalemnya sehingga karena saking cintanya aku padanya, aku tak dapat membandingkan kekalemannya dengan air yang tenang. Tidaklah berlebihan bila ada peribahasa yang mengatakan air tenang menghanyutkan, atau lebih tepat lagi, laut tenang yang indah di bulan Agustus, pada malam hari di mana cahaya bulan dan bintangbintang terpantul dari permukaannya dan menimbulkan hasrat untuk bercinta dengan gaya klasik; bergandengan tangan, merangkul pinggangnya, meletakkan kepala di pundaknya‌. Oh ya, dia memang sungguhsungguh air yang tenang, dalam kedua pengertian tadi.
halaman 24
Pada hari yang sama kuceritakan pada Clara bahwa aku baru saja berhadapan dengan Umberto. Ia pun tertawa dengan lembut. “Masak iya sih kamu cemburu sama orang kayak si Umberto itu?” “Yaah… karena dia kan lelaki.” “Iya sih, tapi lelaki kayak apa dulu!” Sedikit merasa senang, kutanyai apa maksudnya. Dan masih tertawa dengan caranya yang kekanakkanakan, tenang dan memikat, ia meneruskan, “Ehm, aku tak ngerti deh. Mulanya sih, dia tuh kayak si Fagiolino yang main di teater boneka itu, seseorang yang hobinya selalu mencela, berwajah lonjong dan rambutnya seperti peniti bantal. Dan andainya kamu tahu betapa sangat membosankannya dia itu! Dia hanya memikirkan dunianya sendiri. Ia melakukan segala sesuatu dengan baik, dia cerdas, dia beginilah, dia begitulah. Pokoknya dia selalu membicarakan tentang dirinya sendiri. Dan lagi pula dia punya pikiranpikiran aneh. Menurut dia nih; seorang istri itu harus tinggal di rumah, memasak dan mengasuh anak. Dan betapa hinanya kalau dia sampai terlalu banyak bicara sama lakilaki lain, meski itu saudaranya sendiri. Lebih baik aku mati daripada kawin dengannya, ihh…!” Pendek kata, Clara memberikan gambaran buruk tentang Umberto sehingga pada akhirnya aku benarbenar tenteram dan kubiarkan dia bertemu dengan Umberto sesering dia suka. Sejak saat itu aku merasa telah membalas dendam atas apa yang selalu dikatakan ibuku dari hari ke hari mengenai Umberto sebagai model. Ibuku memujamujanya, sedangkan Clara justru sebaliknya, menjelekjelekkannya. “Aku benarbenar tak senang sama lelaki itu,” katanya lagi padaku di suatu ketika. “Aku pergi dengannya ke pekarangan di mana dia menjadi mandor. Dia berbicara kepada para pekerja di sana seakanakan mereka itu sampah saja. Ketika sang insinyur datang, mendadak dia pun berubah seratus delapan puluh derajat: rendah hati, penuh perhatian, menjilat. Atau, kuceritakan padamu kejadian terakhir, ia memberi seratus lira kepada seorang pengemis, dan menurutmu kenapa dia melakukan itu? Karena uang tadi palsu. Atau lagi: dia punya kebiasaan tertentu yang membuat aku tak tahan. Kalau dilihatnya aku tak rapi, iapun mulai mengorekngorek hidungnya.” Clara telah merendahkannya sedemikian rupa sehingga kadangkadang aku hampir sampai pada titik di mana harus membela Umberto, sematamata hanya karena ingin mendengarnya mengulangulangi lagi. “Tapi dia kan anak yang baik,” aku akan bilang begitu. Lalu iapun
halaman 25
membantah, “Namun dia perlakukan ibunya seperti budak begitu?” “Tapi kan,” kataku, “dia membawa pulang duitnya ke rumah?” “Bawa pulang duitnya ke rumah?” bantahnya. “Tidak pernah dia lakukan hal itu, bahkan sekarang ini uangnya disimpan di bank.” “Ia bekerja keras,” ujarku. “Bekerja keras?” ulangnya. “Dia tukang keluyuran. Dia itu sukanya menyuruh orang lain yang kerja, sedangkan dirinya sendiri mengambil keuntungan dari mereka.” Pada saat ini aku begitu yakin pada Clara sehingga suatu hari kukatakan kepadanya bahwa sudah saatnya bagi kami berdua untuk memperjelas hubungan kami dan bertunangan secara resmi. Diapun segera berkata, “Akupun sedang memikirkan hal itu, tapi aku tak berani menyatakannya kepadamu. Namun hal ini harus dilakukan dengan semestinya, kau harus pergi dan bilang kepada ibu. Kamu tahu dia kan?” Maka kamipun sepakat bahwa aku akan mengunjungi ibunya sore itu juga, sementara itu Clara akan menemui Umberto, tapi untuk yang terakhir kalinya. “Aku benarbenar tak tahan sama dia,” ujar gadis itu, “dia sungguh membosankan.” Aku menyetujui rencana ini, meski bukannya tanpa menaruh setitik rasa iba sama sekali kepada si Umberto malang itu, yang tentu saja tidak pernah mengharapkan hal ini. Dan sekitar pukul tujuh aku meninggalkan rumah, menyeberangi Via Candia dan memasuki pintu utama yang menuju ke blok tempat flat Clara. Pada lantai tiga D, pintu Signora Dolores tampak terbuka sedikit. Aku mendorongnya dan masuk ke dalam. Aku mendapati diriku berada di dalam ruang tunggu yang kecil dan penuh orang. Di situ ada dua atau tiga orang perempuan gundul, warga Via Candia, serta seorang gadis kulit hitam yang cakep yang tinggal di bagian yang sama, dan aku hanya mengenalnya sepintas lalu, juga ada seorang nyonya setengah baya yang tampaknya agak tua dan bermakeup tebal, terbungkus mantel bulu cokelat. Kelihatannya usahanya bagus, batinku sambil duduk dan mengambil selembar majalah bergambar dari sebuah meja. Dan memang Signora Dolores sedang melakukan pekerjaan yang bagus, kenyataannya menghasilkan banyak uang. Aku menunggu beberapa saat dan kemudian pintu itu terbuka dan seorang wanita muda yang elok keluar, ia menciumi kedua pipi Signora Dolores dengan antusias sekali sambil berkata, “Terima kasih, terima kasih, sayangku!” Ibunya Clara itu, yang memakai kimono sutera hitam dengan
halaman 26
bordiran gambar naga berwarnawarni pada ujung jaketnya dan pipa cerutu sepanjang lengan di antara gigigiginya, memandangku sekilas dan berkata: “Rinaldi, tunggu sebentar dan setelah ini kamu bisa masuk”. Iapun mengantar wanita setengah baya bermantel bulu tadi masuk ke dalam dan menghilang. Dari nada bicaranya aku merasa, barangkali ia tidak tahu apa yang akan kusampaikan padanya. Lalu akupun memperoleh ide cemerlang: aku akan memintanya meramal nasibku, untuk melihat kalaukalau pernikahanku dengan Clara ditunjukkan di tanganku, dan segera sesudah itu barulah akan kusampaikan maksudku. Aku tersenyum sendirian memikirkan hal ini dan menunggu giliranku dengan tak sabar. Setelah seperempat jam, nyonya bermantel bulu tadi menyelinap keluar secara misterius, hatihati, dan tergesagesa, lalu pergi menjauh. Dan Signora Dolores memberi isyarat agar aku masuk. Aku tahu karena sempitnya ruangan, ia bekerja di kamar tidurnya, meskipun begitu aku kaget juga. Ruangan itu panjang, dalam setengah bayangan, terdapat sebuah ranjang besar yang ditutupi dengan selembar benda kuning, dan aku tak bisa membayangkan bahwa Clara tidur di ranjang itu bersama ibunya. Sedangkan di jendela terdapat gorden dengan sulaman burungburung dan keranjangkeranjang bunga. Sementara di dekat jendela ada meja kecil yang di atasnya terdapat setumpuk kartu dan kaca pembesar. Seluruh ruangan itu dipenuhi dengan bendabenda kecil, perhiasan kecil, fotofoto dengan tandatangan dari pelanggan-pelanggan penting, piagam dan cenderamata. Tanpa berkatakata Signora Dolores duduk di atas meja dan menyuruhku duduk di depannya. Pertama kali yang dilakukannya adalah mengambil korek api, menyalakannya dan membakar selembar kertas hitam kecil, yang kemudian segera mengeluarkan asap putih yang wangi. “Ini namanya carta d’Armenia,” ujarnya dengan suara letih yang dihaluskan. “Adakah engkau mencium baunya yang harum? Oke, Rinaldi, apa yang bisa kubantu?” Kujawab bahwa aku ingin diramal. Kemudian iapun, setelah meletakkan pipa cerutu di asbak, mengambil telapak tanganku lalu meletakkan kaca pembesar di atasnya dan memeriksanya dengan cermat. Setelah beberapa waktu berlalu kemudian dengan nada hampir
halaman 27
mengejutkan ia berkata, “Dengan lakilaki macam apa aku kini sedang bicara?” Dengan bingung aku bertanya, “Kenapa?” “Ya, karena ini telapak tangannya seorang lakilaki penyuka perempuan,” jawabnya. “Bagaimanapun juga,” ujarku, “saya kan seorang lakilaki muda.” “Ya,” sahutnya, “tapi untuk hal itu ada batasnya. Dan kau kelihatannya tidak punya batas tadi. Hatimu seperti kelopak bunga arthicoke.” “Kalau Anda bilang begitu….” “Telapak tanganmulah yang bilang begitu: kau adalah seorang Mata keranjang!“ “Oh sudahlah, jangan dilebihlebihkan.” “Aku sama sekali tidak melebihlebihkannya. Perhatikan garis hatimu ini, seperti sebuah rantai kan, setiap hubungan dengan seorang perempuan….” “Lalu lainnya?” “Lainnya tak ada apaapa lagi. Sedikit keberuntungan dalam usaha … sedikit kemauan untuk kerja … karakter yang sedikit serius … sedikit rasa tanggung jawab ….” Mulai tersinggung, akupun berkata, “Anda tidak menemukan apapun, kecuali keburukankeburukan saja dalam diri saya.” “Itu bukan keburukankeburukan, tapi tabiat,” katanya. “Sungguh, kalau aku seorang ibu, aku takkan mengijinkan anak gadisku menikah denganmu.” Mendengar ini aku jadi panas dan berkata kepadanya, “Ehm, begitu. Coba lihat dan perhatikan, apakah ada garis pernikahan.” Dengan sangat cermat iapun memainmainkan kembali kaca pembesarnya, memutarmutar telapak tanganku ke segala arah, kemudian berkata, “Petualanganpetualangan, sebanyak yang kamu mau, tapi tak ada pernikahan.” “Signora Dolores,” kataku, “mari kita jalin saling pengertian, saya tidak datang menemui Anda untuk minta dibacakan rajah tangan saya, tapi ingin mengatakan bahwa puteri Anda dan saya saling mencintai dan hari ini kami telah memutuskan untuk bertunangan.” Mendengar katakataku ini, ia dengan sangat kalem meletakkan kaca pembesarnya dan menjawab, “Tapi begini, anakku yang malang….” “Apa?” halaman 28
“Anakku yang malang, telapak tangan itu, sebagaimana adanya, mengatakan kebenaran: kau tidak akan menikah. Setidaknya saat ini.” “Mengapa, bukankah antara saya dan Clara telah ada kesepakatan?” “Kalian tidak dalam kesepakatan. Kamu pikir, kamu dalam kesepakatan bersama Clara, tapi Clara tidak dalam kesepakatan denganmu.” “Siapa yang bilang begitu?” “Aku yang bilang begitu. Clara baru saja bertunangan.” “Tapi kapan…?” “Dia telah bertunangan selama sepekan ini dengan Umberto Pompei. Clara tidak punya keberanian mengatakannya kepadamu karena dia gadis pemalu, dan di samping itu, ia baik hati dan tidak suka menyakiti orang lain. Namun dia sedang cemas, kamu tidak tahu betapa cemasnya dia. Dan harus kukatakan bahwa dalam keadaan begini Umberto telah menunjukkan dirinya sebagai seorang perwira sejati: Clara minta ijin padanya untuk pergi menemuimu selama beberapa hari lebih lama, sampai ada kejelasan penuh di antara kalian berdua, dan pemuda itupun langsung setuju. Aku tidak tahu berapa banyak pasangan yang telah bertunangan dalam situasi begini bisa melakukan hal seperti itu.” Aku tercengang. Dan ketika wanita itu berkata padaku secara hipokrit, “Ehm, ayo kita lihat kartukartunya. Aku bertaruh lebih banyak lagi perempuan yang akan muncul.” Secara mekanis kurogoh seribu lira dari sakuku, meletakkannya di meja dan keluar tanpa sepatah katapun. Aku merasa dipukul telak. Seolaholah Signora Dolores, bukannya membaca rajah tanganku, tapi justru memukulkan palu ke kepalaku. Dan di tengahtengah perasaan mau pingsan ini, mulai merayap sejumlah kecurigaan, bagaikan sejumlah ular yang perlahanlahan bangun dari setumpuk jerami karena hangatnya matahari. Jadi ketikaaku berlaku baik kepada Umberto karena membiarkannya menjumpai Clara, sesungguhnya justru dia sendirilah yang sedang berbuat baik kepadaku karena mengijinkan Clara menemuiku. Jadi ketika aku menikmati bagaimana Clara merendahmerendahkan Umberto, barangkali di pihaknya ia pun asyik menikmati betapa Clara merendahmerendahkan diriku. Jadi, pendek kata, Clara telah melakukan permainan ganda selama ini, hanya saja pada buntutnya, akulah yang jadi pecundang. Sementara pikiranpikiran ini melintasi kepalaku pastilah aku tampak kusut sehingga tibatiba cewek hitam manis yang menunggu
halaman 29
di ruang depan tadi memberiku isyarat dengan huysh, huysh…seperti dilakukan seseorang kepada seekor kucing, bersamaan dengan itu matanya ikut pula memberi isyarat. Aku membungkuk ke bawah dan ia pun bertanya, “Ada apa? Apa dia tadi mengatakan halhal yang mengerikan?” “Sangat mengerikan,” jawabku, “terutama bagiku.” Dengan cepat iapun bangkit dari duduknya. “Kalau begitu aku tak jadi masuk lah,” katanya. “Aku takut sekali kalau nanti dia mengatakan kabarkabar buruk.” Secara mekanis aku keluar dari pintu dan diapun mengikutiku. Setelah berada di bawah, aku memandanginya dari samping. Dia sangat hitam, dan rambutnya dipotong pendek seperti lakilaki, tampak seperti memeluk dan melingkari wajah bundarnya kemudian terus menipis bagai sebuah bayangan di seputar kedua belah pipi dan dagunya. Kupikir dia sangat cantik dan diapun seakan menebak pikiranku, berpaling ke arahku dan tersenyum lalu berkata: “Kamu tidak kenal aku, tapi aku mengenalmu. Kita tinggal dalam satu gedung!” Tibatiba dari tangga bawah terdengar derai tawa yang jernih, merdu dan kekanakkanakan, tawanya Clara. Dan pada saat yang sama juga terdengar suara Umberto yang agak nyaring. Tanpa raguragu kuletakkan tanganku di pinggang gadis tadi. “Siapa namamu?” tanyaku. “Namaku Angela,” katanya sambil memberiku tatapan yang berani. Saat itu juga Clara dan Umberto berjalan ke arah kami. Dan kuperhatikan ketika Clara menyaksikan kami tengah berangkulan begitu, dia pun kemudian menundukkan pandangannya dengan santun. Lihat nih! batinku sengit. Mereka terus berjalan menaiki tangga dan kami pun turun ke bawah. Kulepaskan tanganku dari pinggang Angela dan berkata padanya, “Angela manis, ayo kita pergi dan cari minuman untuk merayakan pertemuan kita ini”. Gadis itupun memegang lenganku dan kami pun keluar bersamasama turun ke jalan. ***
halaman 30
Sajak
Dalasari Pera Di Dalam Pesawat Anak Daro Es Tebu Kepada Batu Pagi Di Muaro Jambi Hikayat Selembar Sarung Sutera Mawas
Dalasari Pera Lahir di Belawa (Sul-Sel), founder Komunitas Lego-Lego Makassar. Menghadiri Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) VI Jambi 2012. Selain tergabung dalam sejumlah antologi, karyanya juga dimuat di pelbagai media; Riau Pos, Bali Post, Majalah Dunia Pendidikan dan sebagainya.
halaman 31
Di dalam Pesawat
Semenjak masuk dalam perut pesawat sedikit pun tak bisa bersembunyi gentar nyalimu Setengah berbisik, kau bertanya “Puan melihat Tuhan?” Dia di kelas bisnis, jawabku. “Ah Puan bergurau.” Bergurau bukankah penguat nyali? Aku mendengar doamu menampung keseluruhanku Sedang aku serampangan memberi nama lain kematian
halaman 32
Anak Daro
Sebaki siri Pengetuk pintu Di rumah si bujang Memerahkan wajahmu Mencurah rancak Hingga patah patahlah Cericau orang Sebab Dengan bilangan tak genap Inai di jemari Adalah bilah pedang
halaman 33
Es Tebu
Di antara gemetar ampas Aku menghitung nasibku sendiri Semisal menjumlahkan gentar Dari setiap potongan tebu Kalut meratapi pemipih Aku seperti tak punya kehendak sendiri Pada dahaga pendatang aku bertandang “Beri kami segelas pelepas. Lekas!� Kiranya waktu selalu berujud gegas Orang-orang senang memburu Seolah hidup di tengah belantara Pada kami, mereka terburu-buru Dan kulihat maut kian dekat Sekejap lagi kami hilang Menjadi kemarau yang dilupakan tanah basah
halaman 34
Kepada Batu
Dendam siapakah yang tersembunyi Yang lebih patut kami curigai Sampai kelak anak cucu tak lagi pinak Malam-malam yang ganjil Ketika bulan jatuh mengganjil Kami menduga-duga rupamu adalah lidah Dan tubuh perempuan penuh serapah Menyampah sumpah leluhur yang luhur Tersebab dipinang darah dagingnya sendiri Ataukah Anak lelaki yang silau oleh pukau Dewi-dewi perontok kemuliaan kembara Meminang sembilan puluh sembilan ngilu Ataukah Segumpal hati yang dibawa Malin Kundang Sebab itulah kau pekat Ataukah Kau kelahiran yang kelima dari jenuh Cakra Punarbhawa pencari rahim Barangkali juga kau adalah kupu-kupu Jiwamu yang tualang tersesat kutukan masa lampau
halaman 35
Pagi Di Muaro Jambi
Tanah basah Menggambar kakiku Seusai aku melambai Ke hutan-hutan perawan Bebatu tua mencatatkan sajak Sedang matahari memanjangkan bebayang Seperti Musi yang berjalan ke muaranya Panjang berkelok Dan segelas es tebu Memaniskan cerita Seketika aku lupa Jalan pulang Ke seberang
halaman 36
Hikayat Selembar Sarung Sutera
Ibumu tukang tenun yang ramah Datang dari negeri tanpa kelok sungai Ditemukan sebagai tulang rusuk petani Murbai Ujung rambutnya yang lembut dan harum Menggantungkan kau bagai buah ranum Jejak-jejak kakinya menaut Sebagaimana kain ditautkan walidah Membuat matanya kian hari kian rabun Di bawah alis setebal tabah tanggungan Menenduhkan kau bagai ulat berkepompong Pada hari kau matang Ibu memanen air mata lalu mendidihkannya Tiba masanya menenun isi rahim sendiri Seorang pedagang dari seberang Akan meminang dengan girang Pada hari menjelang kau berlayar Ia mendadahkan mimpi Setelah menemukanmu Melilit di pinggang orang dagang Berkilat-kilat melepas lambai
halaman 37
Mawas
Anak-anak api Lincah memainkan Didih di dada Pandailah kaki Memilih pijak Sebelum panggang Meninggalkan bebayang Di telapak
halaman 38
Sajak
Novy Noorhayati Syahfida Badai Masa Lalu Karma Dan Kabar
Novy Noorhayati Syahfida. Lahir di Jakarta pada tanggal 12 November. Puisipuisinya telah dipublikasikan di Sulbar Pos, Lampung Post, Majalah Islam Annida,dan sebagainya. Buku antologi bersama antara lain adalah: Dian Sastro for President! (AKY-Bentang, 2002), Ensiklopedi Penulis Indonesia Jilid 1 (Penebit FAM Publishing, 2014) Dari Negeri Poci 5: Negeri Langit, Antologi 153 Penyair Indonesia (Kosa Kata Kita, 2014) dan sebagainya. Namanya juga tercantum dalam Profil Perempuan Pengarang & Penulis Indonesia (Kosa Kata Kita, 2012). Dua buku kumpulan puisi tunggalnya yang berjudul Atas Nama Cinta (Shell-Jagat Tempurung, 2012) Kuukir Senja dari Balik Jendela (Oase Qalbu, 2013) telah terbit.
halaman 39
Badai
Kau, badai di teluk hatiku porak-porandakan ingatan di keheningan waktu tetaplah setia mengeja jarak yang begitu piatu pada ombak yang menulis namaku di pasir kalbu pada nyiur yang melambai di sepanjang pantai biru Kau, badai dalam semesta diri diam-diam meranggas di kesunyian hari ciumanmu bagai hujan di tanah tandus hilangkan kemarau asa yang penuh cemas menebas keraguan yang terkadang singgah menyapu curiga yang tiba-tiba rebah Kau, badaiku‌ nyanyi rindu dari laut mamuju
halaman 40
Masa Lalu
malam pecah di matamu ada yang hilang terbawa waktu : masa lalu terbata kususun lisan yang terlanjur kelu dan menghapus semua cerita di kelokan itu kenangan akan selalu menjadi benalu maka izinkan aku melepaskanmu, mendoakanmu
halaman 41
Karma
perempuan itu menyimpan rindu di dadanya. menanti seribu janji, satu makna. dari bibir kekasih yang dipuja. yang kelak diserunya sebagai maha cinta. perempuan itu adalah aku. yang fasih mengeja pendar badai. dan setia menjadikan gemuruh namamu. sebagai karma yang telah tertulis dalam prasasti diri.
halaman 42
Dan
dan akhirnya luka itu selalu saja bermuara pada satu nama yang tak juga pernah paham arti pengorbanan atau janji sebuah kesetiaan namun hidup, seperti katamu tidak melulu tentang nyeri rindu
halaman 43
Kabar
pada lipatan-lipatan yang mengabarkan waktu kita saling pandang dan menyeru : tunggu! meski sekedar kicau burung yang lewat, sebut saja sekelebat katakan sebelum semua terlambat katakan meski hanya sesaat
halaman 44
Senirupa
Para Maestro Seni Rupa Indonesia elajar tentang lukisan artinya sama dengan mempelajari sejarah. Itu deng motivasi kolektor dan kurator moti ternama OHD Hong Djien saat memilih lima pelukis sebagai maestro seni rupa Indonesia. “Mereka adalah tokoh yang punya kekuatan dan kontribusi yang besar bagi seni rupa modern di Indonesia,� kata OHD Hong Djien, selanjutnya disingkat OHD, saat membuka pameran karya lima maestro itu di museum pribadinya di Magelang, 5 April 2012. Lima maestro dipilih turut berjuang untuk kemerdekaan sambil meletakkan pondasi untuk seni rupa Indonesia. Era mereka berbeda dengan Raden Saleh yang hidup dalam masa kolonial. Lima maestro
ini hidup dalam masa pra kemerdekaan, dan terus berkarya saat masa revolusi. Hidup dalam masa peralihan, sejarah Indonesia bisa dilihat dari karya-karya mereka. OHD menjelaskan, saat ini dunia seni rupa terus berkembang seiring dengan berkembangnya teknologi. Dari medium tradisional, seni rupa kini bisa diterapkan dalam aneka medium. “Sedangkan lima maestro ini berkarya secara konvensional, secara ekonomi mereka juga mengalami masa-masa sulit saat miskin dan sengsara,� kata OHD. Dia berharap karya-karya lima maestro ini bisa dinikmati lebih banyak orang melalui pameran di museum pribadinya yang dibuka untuk publik. Koleksinya lebih
halaman 45
Lukisan karya hendra. int
dari 2000 ribu lukisan yang akan diungkap sedikit demi sedikit. “Seniman Indonesia tak kalah dengan seniman luar,” kata dia. Berikut ini sekilas mengenai lima maestro Indonesia itu seperti dituturkan oleh OHD yang mengenal baik mereka pada masa hidupnya. Masing-masing punya ciri khas sendiri-sendiri. Hendra Gunawan: Bebas pengaruh asing. Hendra adalah seniman yang menghabiskan hidupnya di penjara sebagai tahanan politik. Dia dituduh terlibat pemberontakan PKI dan dipenjara selama belasan tahun. Padahal sejatinya Hendra tidak terlibat politik praktis. Dia hanya menjadi anggota Lekra, lembaga kesenian bentukan PKI. Hendra disebut dekat dengan rakyat karena dia melukis masalah keseharian rakyat.
halaman 46
Di penjara Hendra melukis. Hal itu menjadikan dia sebagai pelukis Indonesia yang paling bebas dari pengaruh gaya dan aliran dari luar negeri. “Hendra tidak kena pengaruh dari luar karena selalu berada di penjara. Dia murni pelukis Indonesia,” kata OHD. Lukisan Hendra dikenal karena pemilihan warnanya yang berbeda. Hendra juga dikenal sangat memuliakan wanita. Seiring berjalannya waktu, pilihan warna pada lukisan Hendra menjadi makin cerah. Meski dipenjara, menurut OHD, Hendra tak dendam. “Dia bahkan melukis potret diri Presiden Soeharto,” kata OHD. Sayang lukisan itu belum dapat dipamerkan karena sedang direstorasi. Hendra juga melukis beberapa lukisan mengenai kejadian di lubang buaya, menurut versi yang diceritakan Orde Baru.
Widayat: Picasso Indonesia Widayat dijuluki OHD sebagai Picasso Indonesia. Meski demikian, Widayat bukan hanya melukis abstrak. Lukisan pertamanya tahun 1953. Saat itu lukisan Widayat masih beraliran realis. Tahun-tahun berikutnya lukisan Widayat berubah menjadi abstrak. Widayat banyak terpengaruh Picasso, juga dalam melukis tubuh telanjang. Tapi lukisan telanjang karya Widayat berbeda dengan karya Affandi yang penuh gairah. “Lukisan nude karya Widayat lebih lucu, bernuansa romantik,” kata OHD. OHD menyebut Widayat sebagai Picasso Indonesia karena kreativitasnya. Widayat punya etos kerja tinggi, tak ada satu haripun yang dia lewatkan tanpa melukis. “Karyanya apolitis tapi punya sifat magis,” kata OHD. Affandi: Emosi dalam potret diri Lukisan Karya Widayat " bersama adik". int
Lukisan karya Affandi " Potret diri".int
Affandi mungkin pelukis paling terkenal dibanding empat maestro lain. Sebagian besar lukisan Affandi bertema potret diri. Meski Affandi hanya satu orang, ternyata lukisan yang dihasilkan selalu berbeda karena moodnya saat melukis tak akan pernah sama. Contohnya, dua lukisan self portrait yang dibuat tahun 1960 dan 1961 tapi sangat berbeda. Menurut OHD, lukisan merupakan penyaluran jiwa Affandi, dari apa yang ada dalam pikirannya, disalurkan dalam lukisan serta merta. Bahkan, Affandi halaman 47
Lukisan karya Sudjojono " perjuangan belum selesai". Int
kadang tak memakai kuas dalam melukis. “Affandi sangat emosional, dia mencurahkan jiwanya melalui subyek yang dilukisnya,” kata OHD.
Komunis Indonesia karena kelihaiannya berpolitik. Sudjojono lepas dari tuduhan makar karena dia sudah lebih dulu keluar dari keanggotaan PKI karena menikah lagi.
Selain potret diri, Affandi sangat dipengaruhi budaya Bali. Dia banyak melukis barong dan adu ayam. OHD juga punya satu lukisan Affandi yang disebutnya sebagai mahakarya lukisan interior. Lukisan itu menunjukkan interior kelenteng di Jogja dengan warna dominan merah dan hitam. Lucunya, Affandi adalah satu-satunya pelukis yang pada masa itu memperbolehkan kolektor membeli lukisannya dengan cara dicicil. “Terserah berapa kali, berapa lama. Akibatnya lukisan Affandi paling laku,” kata OHD sambil tertawa.
Sebagai politikus, lukisan Sudjojono juga paling politis. Selalu ada pesan yang dia ingin sampaikan melalui lukisannya. Misalnya, penari topeng menggambarkan ketidakjujuran. Bahkan, kerapkali dia menuliskan tulisan untuk menjelaskan maksud lukisannya. Dalam lukisan berjudul ‘Perjuangan belum selesai’, Sudjojono menulis “Perdjuangan belum selesai, djalan masih pandjang menuju gerbang kemerdekaan.”
S Sudjojono Berbanding terbalik dari Hendra, Sudjojono justru politikus Partai Komunis Indonesia tapi tak dipenjara. Padahal Sudjojono menjadi anggota DPR dari Partai
halaman 48
Sudjojono adalah pelukis yang intelek. Karyanya diciptakan melalui proses pemikiran dan punya konsep. Tapi dia sering dikritik karena dianggap disusupi ideologi kiri dalam melukis. Tak banyak karya buatan masa revolusi yang tersisa. Hampir 50 karya dibakar Belanda saat kumpeni menyerbu Jogja.
zaman revolusi bernuansa kelam dan meununjukkan kekerasan. Dia kemudian menghilang, dan kembali lagi dengan gaya lukisan yang lebih lembut. “Setelah dia muncul, semua kekerasannya hilang. Pada akhir hidupnya, lukisannya menjadi bergaya dekoratif,” kata OHD. Hidup Soedibio melarat. Lukisannya banyak yang dijual untuk menghidupi lima anaknya yang masih kecil. Kini istri Soedibio sudah tak punya satupun lukisan karya almarhum suaminya. Soedibio meninggal tahun 1981, meninggalkan lima anak. Si bungsu berusia 40 hari dan sulung berusia 9 tahun. “Kalau saya kangen lukisan Bapak, saya pergi ke tempat kolektor untuk melihat karya suami saya,” kata istri Soedibio, Saitem, saat menghadiri pameran lima maestro di Magelang.*** Lukisan karya Soedibio "kelam". int
(Red. dari berbagai sumber)
Soedibio: Bapak surealis Indonesia Lukisan kelam Soedibio.Tidak tanggungtanggung, OHD menyebut Soedibio sebagai bapak surealis Indonesia. “Tahun 40-an dia sudah membuat karya surealis, sangat melampaui zamannya,” kata OHD. Sayang, karena persoalan pribadi Soedibio menghilang dari dunia seni rupa selama 15 tahun. Akibatnya, nama Soedibio paling tidak terkenal dibanding yang lain. Karyanya masih dihargai lebih murah daripada beberapa pelukis muda. Keunikan Soedibio ada pada gaya lukisannya yang berubah dengan drastis sesuai kisah hidupnya. Lukisannya pada
halaman 49
Drama
Lakon Ayahku Pulang karya Usmar Ismail
Dramatic Personae 1. RADEN SALEH Ayah. 2. T I N A Ibu / Isteri Raden Saleh. 3. GUNARTO Anak laki-laki tertua Raden Saleh dan Tina. 4. MAIMUN Adik laki-laki Gunarto / anak kedua Raden Saleh dan Tina. 5. MINTARSIH Adik perempuan Gunarto dan Maimun / anak bungsu Raden Saleh dan Tina.
anggung menggambarkan sebuah ruangan dalam dari sebuah rumah yang sangat sederhana dengan sebuah je jendela agak tua. Di kiri kanan ruangan terdapat pintu. Di sebelah kiri ruangan terdapat satu set kursi dan meja yang agak tua, Di sebelah kanan terdapat sebuah meja makan kecil dengan empat buah kursinya, tampak cangkir teh, kue-kue dan peralatan lainnya di atas meja. suara adzan di latar belakang menunjukkan saat berbuka puasa. Sebelum
halaman 50
layar
diangkat
sebaiknya
terlebih dahulu sudah terdengar suara beduk bersahut-sahutan diiringi suara takbir beberapa kali sebagai tanda kalau esok adalah hari raya idul fitri. Suara bedug dan takbir sebaiknya terus terdengar dari mulai layar diangkat/sandiwara dimulai sampai akhir pertunjukkan ini. Ketika sandiwara dimulai/ layar panggung diangkat, tampak ibu sedang duduk dikursi dekat jendela. ekspresinya kelihatan sedih dan haru mendengar suara beduk dan takbiran yang bersahut-sahutan itu. Kemudian masuk kepanggung gunarto.
GUNARTO: (Memandang Ibu Lalu Bicara Dengan Suara Sesal) Ibu masih berfikir lagi... IBU: (Bicara Tanpa Melihat Gunarto) Malam Hari Raya Narto. Dengarlah suara bedug itu bersahut-sahutan. (Gunarto Lalu Bergerak Mendekati Pintu) Pada malam hari raya seperti inilah Ayahmu pergi dengan tidak meninggalkan sepatah katapun. GUNARTO: (Agak Kesal) Ayah...... IBU: Keesokan harinya Hari Raya, selesai shollat ku ampuni dosanya... GUNARTO: Kenapa masih Ibu ingat lagi masa yang lampau itu? Mengingat orang yang sudah tidak ingat lagi kepada kita? IBU: (Memandang Gunarto) Aku merasa bahwa ia masih ingat kepada kita. GUNARTO: (Bergerak Ke Meja Makan) Mintarsih kemana, Bu? IBU: Mintarsih keluar tadi mengantarkan jahitan, Narto. GUNARTO: (Heran) Mintarsih masih juga mengambil upah jahitan, Bu? Bukankah seharusnya ia tidak usah lagi membanting tulang sekarang? IBU: Biarlah Narto. Karena kalau ia sudah kawin nanti, kepandaiannya itu tidak sia-sia nanti. GUNARTO: (Bergerak Mendekati Ibu,Lalu Bicara Dengan Lembut) Sebenarnya Ibu mau mengatakan kalau penghasilanku tidak cukup untuk membiayai makan kita sekeluarga kan, Bu? (Diam Sejenak. Pause) Bagaimana dengan lamaran itu, Bu? IBU: Mintarsih nampaknya belum mau bersuami, Narto..Tapi dari fihak orang tua anak lelaki itu terus mendesak Ibu saja.. GUNARTO: Apa salahnya, Bu? Mereka uangnya banyak!
IBU: Ah... uang, Narto?? GUNARTO: (Sadar Karena Tadi Berbicara Salah) Maaf Bu... bukan maksud aku mau menjual adik sendiri.. (Lalu Bicara Dengan Dirinya Sendiri). Ah... aku jadi mata duitan.... yah mungkin karena hidup yang penuh penderitaan ini... IBU: (Menerawang) Ayahmu seorang hartawan yang mempunyai tanah dan kekayaan yang sangat banyak, mewah diwaktu kami kawin dulu. Tetapi kemudian... seperti pokok yang ditiup angin kencang...buahnya gugur..karena...... (Suasana Sejenak Hening, Penuh Tekanan Bathin, Suara Ibu Lemah Tertekan) Uang Narto! Tidak Narto, tidak...aku tidak mau terkena dua kali, aku tidak mau adikmu bersuamikan seorang Hartawan, tidak...cukuplah aku saja sendiri. biarlah ia hidup sederhana Mintarsih mestilah bersuamikan orang yang berbudi tinggi, mesti, mesti... GUNARTO: (Coba Menghibur Ibu) Tapi kalau bisa kedua-duanya sekaligus,Bu? Ada harta ada budi. IBU: Di manalah dicari,Narto? Adik kau Mintarsih hanyalah seorang gadis biasa. Apalagi sekarang ini keadaan kita susah? Kita tidak punya uang dirumah? Sebentar hari lagi uang simpananku yang terakhirpun akan habis pula. GUNARTO: (Diam Berfikir, Kemudian Kesal) Semua ini adalah karena ulah Ayah! Hingga Mintarsih harus menderita pula! Sejak kecil Mintarsih sudah merasakan pahit getirnya kehidupan. Tapi kita harus mengatasi kesulitan ini,Bu! Harus! Ini kewajibanku sebagai abangnya, aku harus lebih keras lagi berusaha! (Hening Sejenak Pause. Lalu Bicara Kepada
halaman 51
Dirinya Sendiri)
cuma teman sekerja, Bu.
Kalau saja aku punya uang sejuta saja....
IBU: Tapi Ibu rasa pantas sekali dia buat kau, Narto. Meskipun Ibu rasa dia bukanlah orang yang rendah seperti kita derajatnya. Tapi kalau kau suka ....
IBU: Buat perkawinan Mintarsih, lima ratus ribu rupiah saja sudah cukup,Narto. (Ibu Coba Tersenyum) Sesudah Mintarsih nanti, datanglah giliranmu Narto... GUNARTO: (Kaget) Aku kawin,Bu?? Belum bisa aku memikirkan kesenangan untuk diriku sendiri sekarang ini, Bu. Sebelum saudara-saudaraku senang dan Ibu ikut mengecap kebahagiaan atas jerih payahku nanti Bu. Suara bedug dan takbir terdengar lebih keras sedikit. IBU: Aku sudah merasa bahagia kalau kau bahagia, Narto. Karena nasibku bersuami tidak baik benar. (Kembali Fikirannya Menerawang) Dan kata orang bahagia itu akan turun kepada anaknya. (Pause Lalu Terdengar Suara Bedug Takbir Lebih Keras Lagi. Ibu Mulai Bicara Lagi) Malam hari raya sewaktu ia pergi itu, tak tahu aku apa yang mesti aku kerjakan? Tetapi .... (kembali sedih dan haru) GUNARTO: (Tampak Kesal Lalu Mengalihkan Pembicaraan) Maimun lambat benar pulang hari ini, Bu? IBU: Barangkali banyak yang harus dikerjakannya? Karena katanya mungkin bulan depan dia naik gaji. GUNARTO: Betul bu itu? Maimun memang pintar, otaknya encer. Tapi karena kita tak punya uang kita tak bisa membiayai sekolahnya lebih lanjut lagi. Tapi kalau ia mau bekerja keras, tentu ia akan menjadi orang yang berharga di masyarakat! IBU: (Agak Mengoda) Narto...siapa gadis yang sering ku lihat bersepeda bersamamu? GUNARTO (Kaget. Gugup) Ah...dia itu
halaman 52
GUNARTO: (Memotong Bicara Ibu) Ah... buat apa memikirkan kawin sekarang, Bu? Mungkin kalau sepuluh tahun lagi nanti kalau sudah beres. IBU: Tapi kalau Mintarsih nanti sudah kawin, kau mesti juga Narto? Kau kan lebih tua. (Diam Sebentar Lalu Terkenang) Waktu Ayahmu pergi pada malam hari raya itu... ku peluk kalian anak-anakku semuanya.. hilang akalku.... GUNARTO: Sudahlah Bu. Buat apa mengulang kaji lama? Masuk Maimun. Dia tampak kelihatan senang. MAIMUN: (Setelah Meletakkan Tas Kerjanya Lalu Bicara) Lama menunggu, Bu? Bang? GUNARTO: Ah tidak... IBU: Agak lambat hari ini, Mun? Dimana kau berbuka puasa tadi? MAIMUN: Kerja lembur, Bu. Tadi aku berbuka puasa bersama teman dikantor. Tapi biarlah, buat perkawinan Mintarsih nanti. Eh, mana dia Bu? IBU: Mengantarkan jahitan.. MAIMUN: (Menghampiri Gunarto Lalu Duduk Disebelahnya) Bang, ada kabar aneh, nih! Tadi pagi aku berjumpa dengan seorang tua yang serupa benar dengan Ayah? GUNARTO: (Tampak Tak Terlalu Mendengarkan) Oh, begitu? MAIMUN: Waktu Pak Tirto berbelanja disentral, tiba-tiba ia berhadapan dengan
seorang tua kira-kira berumur enam puluh tahun. Ia kaget juga?! Karena orang tua itu seperti yang pernah dikenalnya? Katanya orang tua itu serupa benar dengan Raden Saleh. Tapi kemudian orang itu menyingkirkan diri lalu menghilang dikerumunan orang banyak! GUNARTO: Ah, tidak mungkin dia ada disini.... IBU: (Setelah Diam Sebentar) Aku kira juga dia sudah meninggal dunia atau keluar negeri. Sudah dua puluh tahun semenjak dia pergi pada malam hari raya seperti ini. MAIMUN: Ada orang mengatakan dia ada Singapur, Bu? IBU: Tapi itu sudah sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu kata orang dia mempunyai toko yang sangat besar disana. Dan kata orang juga yang pernah melihat, hidupnya sangat mewah. GUNARTO: (Kesal) Ya! Tapi anaknya makan lumpur!
(ibu lalu masuk kedalam) GUNARTO: (Setelah Diam Sebentar) Pak Tirto bertemu dengan orang tua itu kapan, Mun? MAIMUN Kemarin sore, Bang. Kira-kira jam setengah tujuh. GUNARTO: Bagaimana pakaiannya? MAIMUN: Tak begitu bagus lagi katanya. Pakaiannya sudah compang-camping dan kopiahnya sudah hampir putih. GUNARTO: (Acuh Saja) Oh begitu? MAIMUN: Kau masih ingat rupa Ayah, Bang? GUNARTO: (Cepat) Tidak ingat lagi aku. MAIMUN: Semestinya abang ingat, karena umur abang waktu itu sudah delapan tahun. Sedangkan aku saja masih ingat, walaupun samar-samar. MAIMUN: (Agak Kesal) Tidak ingat lagi aku. Sudah lama aku paksa diriku untuk melupakannya.
IBU: (Seperti Tidak Mendengar Gunarto) Tapi kemudian tak ada lagi sama sekali kabar apapun tentang Ayahmu. Apalagi sesudah perang sekarang ini, dimana kita dapat bertanya?
MAIMUN: (Terus Bicara) Pak Tirto banyak cari tanya tentang Ayah.
MAIMUN: Bagaimana rupa Ayah yang sebenarnya, Bu?
IBU: Ya, kata orang Ayahmu seorang yang baik hati. (MENERAWANG) Jika ia berada disini sekarang dirumah ini, besok hari raya, tentu ia bisa bersenang-senang dengan anak-anaknya...
IBU: Waktu ia masih muda, ia tak suka belajar. Tidak seperti kau. Ia lebih suka berfoya-foya. Ayahmu pada masa itu sangat disegani orang. Ia suka meminjamkan uang kesana kemari. Dan itulah.... GUNARTO: (Kesal Lalu Mengalihkan Pembicaraan) Selama hari raya ini berapa hari kau libur, Mun? MAIMUN: Dua hari, Bang. IBU: Oh ya! Hampir lupa masih ada makanan yang belum Ibu taruh dimeja.
Ibu keluar kembali membawa makanan lalu bergabung lagi dengan mereka.
GUNARTO: (Mengalihkan Pembicaraan) Eh, Mintarsih seharusnya sudah pulang sekarang.. jam berapa sekarang ini? MAIMUN: Bang Narto. Ada kabar aneh lagi nih! Tadi pagi aku berkenalan dengan orang India. Dia mengajarkan aku bahasa Urdu, dan aku memberikan pelajaran bahasa Indonesia kepada dia!
halaman 53
GUNARTO: Baguslah itu. Kau memang harus mengumpulkan ilmu sebanyakbanyaknya. Supaya nanti kau dapat banggakan kalau kau bisa jadi orang yang sangat berguna bagi masyarakat! Jangan seperti aku ini, hanya lulusan sekolah rendah. Aku tidak pernah merasakan atau bisa lebih tinggi lagi, karena aku tidak punya Ayah. Tidak ada orang yang mau membantu aku. Tapi kau Maimun, yang sekolah cukup tinggi, bekerjalah sekuat tenagamu! Aku percaya kau pasti bisa memenuhi tuntutan zaman sekarang ini! Masuk Mintarsih seorang anak gadis yang tampak riang.Ia membawa sesuatu yang tampaknya untuk keperluan hari raya besok. MINTARSIH: Ah.... sudah berbuka puasa semuanya? IBU: Tadi kami menunggu kau, tapi lama benar? (Mintarsih Bergerak Mendekati Jendela Lalu Melongokkan Kepalanya Melihat Keluar) Makanlah. Apa yang kau lihat diluar? MINTARSIH: Waktu saya lewat disitu tadi...(Menoleh Melihat Gunarto Yang Tampak Acuh Saja) Bang Narto... dengarlah dulu.. GUNARTO: (Tenang) Ya, aku dengar. MINTARSIH: Ada orang tua diujung jalan ini. Dari jembatan sana melihat-lihat kearah rumah kita. Nampaknya seperti seorang pengemis. (Semua Diam) Yah... kenapa semua jadi diam? GUNARTO TERTUNDUK MEMBISU MAIMUN: (Dengan Cepat) Orang tua?? bagaimana rupanya? MINTARSIH: Hari agak gelap. Jadi tidak begitu jelas kelihatannya... tapi orangnya.... Tinggi atau pendek tergantung
halaman 54
pemeran. suara bedug agak keras terdengar. MAIMUN: (Bangkit Dari Duduknya Lalu Melihat Ke Jendela) Coba ku lihat! Kemudian Maimun keluar tak lama masuk kembali, lalu melongokkan kepalanya ke jendela lagi GUNARTO: (Menoleh Sedikit Kepada Maimun) Siapa Mun? MAIMUN: Tak ada orang kelihatannya?! DUDUK KEMBALI IBU: (tampak sedih) Malam hari raya seperti ini ia berlalu dulu itu... (Terkenang) Mungkin .... GUNARTO: (agak kesal) Ah Bu, lupakan sajalah apa yang sudah berlalu itu. Suara bedug dan takbiran terdengar agak jelas ketika suasana hening, sambil menunggu dialog. IBU: Waktu kami masih sama-sama muda, kami sangat berkasih-kasihan. Sejelek-jelek Ayahmu, banyak juga kenangan-kenangan di masa itu yang tak dapat Ibu lupakan. Nak, mungkin ia kembali juga? Suara bedug dan takbiran makin sayup-sayup lalu terdengar suara orang memberi salam dari pintu luar. R. SALEH: Assalamualaikum, assalamualaikum... apa disini rumahnya Nyonya Saleh? IBU: Astagfirullah! Seperti suara Ayahmu, nak? Ayahmu pulang, nak! Ibu bergerak mendekati pintu rumah lalu membuka pintu lebih lebar. Dan nampak raden saleh berdiri dihadapannya. Suasana jadi hening tiba-tiba. Hanya terdengar suara bedug dan takbiran yang sayup-sayup namun jelas terdengar.
R. SALEH: (setelah lama berpandangan) Tina? Engkau Tina?? IBU: (agak gugup) Saleh? Engkau Saleh?? Engkau banyak berubah, Saleh. R. SALEH: (tersenyum malu) Ya. Ya aku berubah, Tina. Dua puluh tahun perceraian merubah wajahku. (kemudian memandangi anak-anaknya satu persatu) Dan ini tentunya anak-anak kita semua? IBU: Ya, memang ini adalah anak-anakmu semua. Sudah lebih besar dari Ayahnya. Mari duduk, dan pandangilah mereka... R. SALEH: (ragu) Apa? Aku boleh duduk, Tina? Mintarsih menarik kursi untuk mempersilahkan Raden Saleh duduk. IBU: Tentu saja boleh. Mari.... (Menuntun raden saleh sampai ke kursi) Ayahmu pulang, Nak. MAIMUN: (gembira lalu berlutut dihadapan raden saleh) Ayah, aku Maimun. R. SALEH: Maimun? Engkau sudah besar sekarang, Nak. Waktu aku pergi dulu, engkau masih kecil sekali. Kakimu masih lemah, belum dapat berdiri. (Diam sebentar lalu melihat mintarsih) Dan Nona ini, siapa? MINTARSIH: Saya Mintarsih, Ayah. (lalu mencium tangan ayahnya) R. SALEH: Ya, ya... Mintarsih. Aku dengardari jauh bahwa aku mendapat seorang anak lagi. Seorang putri. (Memandang wajah mintarsih) Engkau cantik, Mintarsih. Seperti Ibumu dimasa muda. (Ibu tersipu malu) Aku senang sekali. Tak tahu apa yang harus ku lakukan? IBU: Aku sendiri tidak tahu dimana aku harus memulai berbicara? Anak-anak semuanya sudah besar seperti ini. Aku kira inilah bahagia yang paling besar.
R. SALEH: (tersenyum pahit) Ya, rupanya anak-anak dapat juga besar walaupun tidak dengan Ayahnya. IBU: Mereka semua sudah jadi orang pandai sekarang. Gunarto bekerja diperusahaan tenun. Dan Maimun tak pernah tinggal kelas selama bersekolah. Tiap kali keluar sebagai yang pertama dalam ujian. Sekarang mereka sudah mempunyai penghasilan masing-masing. Dan Mintarsih dia ini membantu aku menjahit. MINTARSIH: (malu) Ah, Ibu. R. SALEH: (sambil batuk-batuk) Sepuluh tahun aku menjadi seorang saudagar besar disingapur. Aku menjadi kepala perusahaan dengan pegawai berpuluh-puluh orang. Tapi malang bagiku, toko itu habis terbakar. Lalu seolah-olah seperti masih belum puas menyeret aku kelembah kehancuran, saham-saham yang ku beli merosot semua nilainya sehabis perang ini. Sesudah itu semua segala yang kukerjakan tak ada lagi yang sempurna. Sementara aku sudah mulai tua. lalu tempat tinggalku, keluargaku, anak isteriku tergambar kembali didepan mata dan jiwaku. Kalian seperti mengharapkan kasihku. (Batuk-batuk. Lalu memandang gunarto) Maukah engkau memberikan air segelas buat ku Gunarto? Hanya engkau yang tidak.... IBU: (gelisah serba salah) Narto, Ayahmu yang berbicara itu. Mestinya engkau gembira, nak. Sudah semestinya Ayah berjumpa kembali dengan anak-anaknya yang sudah sekian lama tidak bertemu. R. SALEH: Kalau Narto tak mau, engkaulah Maimun. Maukah kau memberikan Ayah air segelas? MAIMUN: Baik, Ayah. Maimun bergerak hendak
halaman 55
mengambilkan air minum, tapi niatnya terhenti oleh teguran keras Gunarto. GUNARTO: Maimun! Kapan kau mempunyai seorang Ayah! IBU: Gunarto! (SEDIH, GELISAH DAN MULAI MENANGIS) GUNARTO: (bicara perlahan tapi pahit) Kami tidak mempunyai Ayah, Bu. Kapan kami mempunyai seorang Ayah? IBU: (agak keras tapi tertahan) Gunarto! Apa katamu itu! GUNARTO: Kami tidak mempunyai seorang Ayah kataku. Kalau kami mempunyai Ayah, lalu apa perlunya kami membanting tulang selama ini? Jadi budak orang! Waktu aku berumur delapan tahun, aku dan Ibu hampir saja terjun kedalam laut, untung Ibu cepat sadar. Dan jika kami mempunyai Ayah, lalu apa perlunya aku menjadi anak suruhan waktu aku berumur sepuluh tahun? Kami tidak mempunyai seorang Ayah. Kami besar dalam keadaan sengsara. Rasa gembira didalam hati sedikitpun tidak ada. Dan kau Maimun,. Lupakah engkau waktu menangis disekolah rendah dulu? Karena kau tidak bisa membeli kelereng seperti kawan-kawanmu yang lain. Dan kau pergi kesekolah dengan pakaian yang sudah robek dan tambalan sana-sini? Itu semua terjadi karena kita tidak mempunyai seorang Ayah! Kalau kita punya seorang Ayah, lalu kenapa hidup kita melarat selama ini! Ibu dan Mintarsih mulai menangis dan Maimun merasa sedih. MAIMUN: Tapi bang, Narto. Ibu saja sudah memaafkannya. Kenapa kita tidak? GUNARTO: (sikapnya dingin, namun keras) Ibu seorang perempuan. Waktu aku kecil
halaman 56
dulu, aku pernah menangis dipangkuan Ibu karena lapar, dingin dan penyakitan, dan Ibu selalu bilang “Ini semua adalah kesalahan Ayahmu, Ayahmu yang harus disalahkan.� Lalu kemudian aku jadi budak suruhan orang! Dan Ibu jadi babu mencuci pakaian kotor orang lain! Tapi aku berusaha bekerja sekuat tenagaku! Aku buktikan kalau aku dapat memberi makan keluargaku! Aku berteriak kepada dunia, aku tidak butuh pertolongan orang lain! Yah.. orang yang meninggalkan anak dan isterinya dalam keadaan sengsara. Tapi aku sanggup menjadi orang yang berharga, meskipun aku tidak mengenal kasih sayang seorarng ayah! Waktu aku berumur delapan belas tahun, tak lain yang selalu terbayang dan terlihat diruang mataku hanya gambaran Ayahku yang telah sesat! Ia melarikan diri dengan seorang perempuan asing yang lalu menyeretnya kedalam lembah kedurjanaan! Lupa ia kepada anak dan isterinya! Juga lupa ia kepada kewajibannya karena nafsunya telah membawanya kepintu neraka! Hutangnya yang ditinggalkan kepada kita bertimbuntimbun! Sampai-sampai buku tabunganku yang disimpan oleh Ibu ikut hilang juga bersama Ayah yang minggat itu! Yah, masa kecil kita sungguh-sungguh sangat tersiksa. Maka jika memang kita mempunyai Ayah, maka Ayah itulah musuhku yang sebesarbesarnya!! IBU: Gunarto! (mintarsih dan ibu menangis) MAIMUN: Bang! MINTARSIH: Bang! (kalau mungkin dialog mereka bertiga tadi diucapkan berbarengan) MAIMUN: (dengan suara agak sedih) Tapi, Bang. Lihat Ayah sudah seperti ini sekarang. Ia sudah tua bang Narto.
GUNARTO: Maimun, sering benar kau ucapkan kalimat “Ayah� kepada orang yang tidak berarti ini? Cuma karena ada seorang tua yang masuk kerumah ini dan ia mengatakan kalau ia Ayah kita, lalu kau sebut pula ia Ayah kita? Padahal dia tidak kita kenal. Sama sekali tidak Maimun. Coba kau perhatikan apakah kau benarbenar bisa merasakan kalau kau sedang berhadapan dengan Ayah mu? MAIMUN: Bang Narto, kita adalah darah dagingnya. Bagaimanapun buruknya kelakuan dia kita tetap anaknya yang harus merawatnya. GUNARTO: Jadi maksudmu ini adalah kewajiban kita? Sesudah ia melepaskan hawa nafsunya dimana-mana, lalu sekarang ia kembali lagi kesini karena sudah tua dan kita harus memeliharanya? Huh, enak betul! IBU: (bingung, serba-salah) Gunarto, sampai hati benar kau berkata begitu terhadap Ayahmu. Ayah kandungmu. GUNARTO: (cepat) Ayah kandung? Memang Gunarto yang dulu pernah punya Ayah, tapi dia sudah meninggal dunia dua puluh tahun yang lalu. Dan Gunarto yang sekarang adalah Gunarto yang dibentuk oleh Gunarto sendiri! aku tidak pernah berhutang budi kepada siapapun diatas dunia ini. Aku merdeka, semerdeka merdekanya, Bu! Suara bedug dan takbir bersahutsahutan diiringi suara tangis Ibu dan Mintarsih. R. SALEH: (diantara batuknya) Aku memang berdosa dulu itu. Aku mengaku. Dan itulah sebabnya aku kembali pada hari ini. Pada hari tuaku untuk memperbaiki kesalahan dan dosaku. Tapi ternyata sekarang.... yah, benar katamu Narto. Aku
seorang tua dan aku tidak bermaksud untuk mendorong-dorongkan diri agar diterima dimana tempat yang aku tidak dikehendaki. (Berfikir,sementara maimun tertunduk diam dan mintarsih menangis dipelukan ibunya) Baiklah aku akan pergi. Tapi tahukah kau Narto, bagaimana sedih rasa hatiku. Aku yang pernah dihormati, orang kaya yang memiliki uang berjuta-juta banyaknya, sekarang diusir sebagai pengemis oleh seorang anak kandungnya sendiri.... tapi biarlah sedalam apapun aku terjerumus kedalam kesengsaraan, aku tidak akan mengganggu kalian lagi. (berdiri hendak pergi, tetap batukbatuk) MAIMUN: (menahan) Tunggu dulu, Ayah! Jika Bang Narto tidak mau menerima Ayah, akulah yang menerima Ayah. Aku tidak perduli apa yang terjadi! GUNARTO: Maimun! Apa pernah kau menerima pertolongan dari orang tua seperti ini? Aku pernah menerima tamparan dan tendangan juga pukulan dari dia dulu! Tapi sebiji djarahpun, tak pernah aku menerima apa-apa dari dia! MAIMUN: Jangan begitu keras, Bang Narto. GUNARTO: (marah, dengan cepat) Jangan kau membela dia! Ingat, siapa yang membesarkan kau! Kau lupa! Akulah yang membiayaimu selama ini dari penghasilanku sebagai kuli dan kacung suruhan! Ayahmu yang sebenar-benarnya adalah aku! MINTARSIH: Engkau menyakiti hati Ibu, Bang. (SAMBIL TERSEDU-SEDU) GUNARTO: Kau ikut pula membela-bela dia! Sedangkan untuk kau, aku juga yang bertindak menjadi Ayahmu selama ini! Baiklah, peliharalah orang itu jika memang
halaman 57
kalian cinta kepadanya! Mungkin kau tidak merasakan dulu pahit getirnya hidup karena kita tidak punya seorang Ayah. Tapi sudahlah, demi kebahagiaan saudarasaudaraku, jangan sampai menderita seperti aku ini. Ibu dan Mintarsih terus menangis. sementara Maimun diam kaku. Suara bedug dan takbir terus bersahutsahutan. Lalu terdengar suara gemuruh petir dan hujanpun turun. R. SALEH: Aku mengerti... bagiku tidak ada jalan untuk kembali. Jika aku kembali aku hanya mengganggu kedamaian dan kebahagiaan anakku saja. Biarlah aku pergi. Inilah jalan yang terbaik. Tidak ada jalan untuk kembali. Raden Saleh bergerak perlahan sambil batuk-batuk, sementara Maimun mengikuti dari belakang. MAIMUN: Ayah, apa Ayah punya uang? Ayah sudah makan? MINTARSIH: (dengan air mata tangisan) Kemana Ayah akan pergi sekarang? R. SALEH: Tepi jalan atau dalam sungai. Aku cuma seorang pengemis sekarang. Seharusnya memang aku malu untuk masuk kedalam rumah ini yang kutinggalkan dulu. Aku sudah tua lemah dan sadar, langkahku terayun kembali. Yah, sudah tiga hari aku berdiri didepan sana, tapi aku malu tak sanggup sebenarnya untuk masuk kesini. Aku sudah tua, dan .... Raden Saleh memandangi anakanaknya satu persatu lalu keluar dengan perlahan sambil batuk-batuk. Berjalan lemah diiringi suara bedug dan takbiran yang sayup-sayup masih terdengar, sementara hujan mulai turun dengan deras.
halaman 58
IBU: (sambil menangis) Malam hari raya dia pergi dan datang untuk pergi kembali. Seperti gelombang yang dimainkan oleh angin topan. Demikianlah nasib Ibu, Nak. MINTARSIH: (sambil menangis menghampiri gunarto, lalu bergerak kedekat jendela) Bang.... bagaimanakah Abang? Tidak dapatkah Abang memaafkan Ayah? Besok hari raya, sudah semestinya kita saling memaafkan. Abang tidak kasihan? Kemana dia akan pergi setua itu? HUJAN SEMAKIN DERAS. MAIMUN: (kesal) Tidak ada rasa belas kasihan. Tidak ada rasa tanggung jawab terhadap adik-adiknya yang tidak berAyah lagi. MINTARSIH: Dalam hujan lebat seperti ini, Abang suruh dia pergi. Dia Ayah kita Bang. Ayah kita sendiri! GUNARTO: (memandang adiknya) Janganlah kalian lihat aku sebagai terdakwa. Mengapa kalian menyalahkan aku saja? Aku sudah hilangkan semua rasa itu! Sekarang kalian harus pilih, dia atau aku!! MAIMUN: (tiba-tiba bangkit marahnya) Tidak! Aku akan panggil kembali Ayahku pulang! Aku tidak perduli apa yang Abang mau lakukan? Kalau perlu bunuh saja aku kalau Abang mau! Aku akan panggil Ayahku! Ayahku pulang! Ayahku mesti pulang! Maimun lari keluar rumah. Sementara hujan makin lebat diiringi suara bedug dan takbiran sayup-sayup terdengar. GUNARTO: Maimun kembali! Gunarto cepat hendak menyusul maimun tapi tidak jadi lalu perlahanlahan duduk kembali. Ibu dan Mintarsih menangis. suasana hening
sejenak hanya terdengar suara bedug dan takbiran serta gemuruh hujan. Tak berapa lama tampak Maimun masuk kembali. Namun ia hanya membawa pakaian dan kopiah ayahnya saja. Maimun kelihatan menangis. MINTARSIH: Mana Ayah, Bang?
GUNARTO: (berbicara sendiri sambil memeggang pakaian dan kopiah ayahnya. Tampak menyesal) Dia tak tahan menerima penghinaan dariku. Dia yang biasa dihormati orang, dan dia yang angkuh, yah, angkuh seperti diriku juga.... Ayahku. Aku telah membunuh Ayahku. Ayahku sendiri. Ayahku pulang, Ayahku pulang......
IBU: Mana Ayahmu? MAIMUN: Tidak aku lihat. Hanya kopiah dan bajunya saja yang kudapati.... GUNARTO: Maimun, dimana kau dapatkan baju dan kopiah itu? MAIMUN: Dibawah lampu dekat jembatan... GUNARTO: Lalu Ayah? Bagaimana dengan Ayah? Dimana Ayah? MAIMUN: Aku tidak tahu.... GUNARTO: (kaget. Sadar) Jadi, jadi Ayah meloncat kedalam sungai!! IBU: (menjerit) Gunarto....!!!
Gunarto berteriak memanggilmanggil ayahnya lalu lari keluar rumah dan terus berteriak-teriak seperti orang gila. Ibu Mintarsih dan Maimun berbarengan berteriak memanggil Gunarto “Gunarto....!!� suara bedug bersahut-sahutan diiringi takbir. Sementara hujan masih saja turun dengan derasnya. Lampu panggung perlahan-lahan mati lalu layar turun. Selesai Dari: http://bandarnaskah.blogspot.com
halaman 59
Tokoh
Djoko Pekik
Pelukis Satu Miliyar
alah seorang pelukis Indonesia yang namanya akhir-akhir ini banyak diperbincangkan media massa adalah Djoko Pekik. Pria berperawakan kurus yang selalu tampil trendi dengan warna-warna mencolok ini dijuluki “pelukis satu miliar” karena lukisannya “Berburu Celeng” yang dibuatnya pada tahun 1998 laku terjual dengan harga satu miliar rupiah pada suatu pameran di Yogyakarta pada tahun 1999. “Berburu Celeng” sebenarnya adalah bagian dari trilogi “Susu Raja Celeng” (1996) dan “Tanpa Bunga dan Telegram Duka Cita” (2000). Lukisan karya Djoko Pekik sendiri jumlahnya sudah lebih dari 300 buah. Djoko Pekik lahir di tahun 1938 di desa Grobogan, Jawa Tengah dan lulusan dari ASRI di Yogyakarta, di mana dia menjadi murid dari Hendra Gunawan ketika itu. Ini sangat menarik, mengingat Djoko tidak lulus SD dan pendidikan menengah. Kematangan
halaman 60
melukisnya sebenarnya juga tidak terasah di ASRI, tapi di Sanggar Bumi Tarung. Banyak orang yang baru mengenal nama Djoko Pekik sekarang, padahal dia sudah menjadi pelukis terkenal pada tahun 1964, namun kemudian dipenjarakan sampai tahun 1972 akibat keterlibatannya dengan salah satu partai terlarang. Lepas dari
penjara, dirinya masih dikucilkan saudara, tetangga, dan seniman lainnya sampai tahun 1990. Djoko pun vakum melukis dan beralih profesi menjadi tukang jahit untuk membiayai keluarganya. Nasib baik baru datang lagi kepadanya ketika karya-karyanya dijadikan bahan penelitian oleh Astari Rasyid, yang lalu memperkenalkan karyakarya Djoko kepada dunia. Pada tahun 1989, Djoko ikut dalam sebuah pameran politik di Amerika Serikat, dan peristiwa ini menuai banyak protes seniman Indonesia karena Djoko saat itu masih berstatus sebagai tahanan kota. Karena nada-nada sumbang inilah, beritanya jadi masuk ke banyak koran dan majalah. Hal ini justru menguntungkan bagi Djoko, karena sejak itu para kolektor jadi memburu lukisannya sampai suatu ketika Djoko tidak lagi mau menjual lukisannya. Orang-orang yang ingin melihatnya cukup datang dan melihat, tapi tidak dapat membelinya. Menurut banyak pengamat, lukisan-lukisan Djoko tidak ada yang sama, padahal menurut pelukisnya teknis melukisnya tidak pernah berubah dari dulu. Harga lukisan Djoko Pekik yang sudah beredar semakin lama semakin naik, dan saat ini banyak plagiat-plagiat yang meniru karya-karyanya dan menjual lukisan-lukisan palsu itu sekitar Rp250.000. Keunikan Djoko Pekik terletak pada kemampuannya untuk mengubah sumpah serapah menjadi sesuatu yang penuh kelakar atau bahkan sensual. Ketika kita bertemu langsung dengannya, beliau adalah sosok yang bicara apa adanya, ceplas-ceplos, dan kadang naif. Sama seperti ketika kita melihat karya-karyanya. Saat ini Djoko Pekik tinggal bersama
keluarganya di Desa Sembungan, Yogyakarta. Pameran terakhirnya tengah berlangsung di Galeri Nasional, Jakarta, sampai tanggal 17 Oktober 2013 dan diberi judul “Jaman Edan”. Menurut Djoko, ini adalah pamerannya yang terakhir. Dari 29 lukisan yang dipamerkan, hanya ada 1 lukisan yang dibuat di tahun 2013. Lukisan itu berjudul “Pawang Kesurupan” yang menggambarkan sekumpulan koruptor, dan di dalamnya juga ada Angelina Sondakh. Dalam lukisan yang berjudul “Bengawan Solo” juga “Kali Brantas” yang dibuat di tahun 2008, digambarkan pembunuhan massal yang terjadi di tahun 1965. Djoko Pekik.Pria berperawakan kurus ini, secara keseluruhan nampak karikatural sering tampil trendi dengan pakaianpakaian berwarna mencolok lengkap dengan suspender serta telpon genggam di tangannya. Djoko Pekik yang berbicara apa adanya, ceplas-ceplos dengan gaya punokawan, kadang-kadang naif yang semakin mempertegas citra dan identitas dirinya. Persinggungannya dengan Sanggar Bumi Tarung yang berorientasi kerakyatan dengan jagoan-jagoan politik yang sangat keras dan mengarah pada aksi-aksi anti imprialisme, anti kolonialisme,anti kapitalisme dan anti feodalisme ini. Karena adanya perubahanperubahan arah politik pemerintahan. Akhirnya mengharuskan dia menjadi tahanan politik dan sempat mendekam beberapa tahun di balik jeruji besi Benteng Vredeburg, yang pada waktu itu berfungsi sebagai rumah tahanan. Dewasa ini Pekik adalah pelukis yang karyanya banyak diburu kolektor dalam maupun luar negri. Hal ini bertolak belakang dengan masa-masa saat ia baru keluar dari
halaman 61
jeruji besi tanpa proses pengadilan. Saat ini harga lukisannnya sangat fantastis. Ada orang yang berani membayar 1 Miliyar untuk satu lukisannya. Lukisan Djoko pekik makin diburu orang meski harganya terus melambung. Keunikan Djoko Pekik ialah terletak pada kemampuannya mengubah kata-kata sumpah-serapah menjadi subyeksubyek utama. Lebih jauh Dwi Maryoto menulis: Djoko pekik mampu menyulap ekspresi-ekspresi pisuhan (rasa kesal) menjadi komoditas. Dibenaknya wanita cantik ialah yang pakai kebaya berkain panjang dan rambutnya disanggul, model rambut tradisional jawa. Beberapa karya Djoko Pekik diantaranya ialah: Tukang Becak Main kartu (1988), WTS nagih Janji (1966), Radja Celeng (1996) dan Indonesia 1998 Berburu Celeng (1998). Karena konsistensinya dalam Realisme Sosial inilah maka Asri Wright dalam bukunya “Soul, Spririt and Mountain� menempatkan Djoko Pekik dalam jajaran tokoh-tokoh pelukis Realisme Sosial.
halaman 62
Djoko Pekik dapat diformulasikan kriteria-kriteria bagaimana sebuah lukisan dapat diminati orang banyak, Formulasi dari kriteria itu adalah: 1. Berbobot 2. Ada sejarah Khusus yang melingkupi seniman dengan karya dan karya yang dimaksut 3. Karya itu dan seluk-beluk yang melingkupi seniman kreatornya terpublikasikan secara luas 4. Ada tidaknya wahyu yang jatuh pada seniman tersebut Saat ini Djoko pekik sedang mengendong Bejo (keberuntungan) ini bersama keluarganya tinggal di Desa Sembungan, Tamantirto, Kasihan Bantul, Yogyakarta.*** (Red. Dari berbagai sumber)
Tokoh
Anton Pavlovich Chekhov
ahir di Taganrog, T Ukraina (dahulu wilayah kekaisaran masih termasuk term Rusia), Rusia dekat laut Azov pada 17 Januari 1860. Ia terkenal sebagai Janu seorang yang dramawan yang hebat dan penulis cerpen modern. Chekhov lahir dari keluarga pedagang yang religius. Masa kecil Chekhov dihabiskan di toko orang tuanya. Ia melihat beragam orang yang membeli barang di tokonya dengan segala katakternya. Ketika ayahnya bangkrut, semua keluarganya pindah ke Moskwa. Sedangkan Chekhov memutuskan untuk tetap tinggal di kampung halamannya selama tiga tahun lagi sampai lulus sekolah.
seringkali bersikap apatis yang mendukung kisah-kisah yang tragis. Sejak masih belajar di Sekolah Kedokteran, Chekhov sudah mulai menerbitkan cerpenkomik, yang hasil dari penjualannya ia gunakan untuk biaya hidupnya serta keluarganya. Dan pada tahun 1886, ia telah dikenal oleh masyarakat luas sebagai penulis yang hebat. Karya-karyanya bahkan pernah dipublikasikan di Peterburgskaya Gazeta (Koran Peterburg) pada tahun 1885 dan di Novoye Vremya (Zaman Baru) pada tahun
Setelah lulus, Chekhov melanjutkan ke Sekolah Kedokteran di Universitas Moskwa. Pengalaman Chekhov di dunia medis ini memengaruhi karyanya, di mana tokoh-tokoh dalam karyanya
halaman 63
1886, dua media cetak yang terkenal di masanya. Chekhov lulus dari Sekolah Kedokteran pada tahun 1884 dan ia melakukan praktik medis hingga tahun 1892. Dalam kesibukannya sebagai dokter, ia masih tetap menjadi kontribusi tetap di Novoye Vremya, yang dari karya-karyanya ia mendapat pujian dari Lyev Tolstoy dan Nikolay Leskov. Chekhov mendapat Penghargaan Pushkin, yakni penghargaan dalam bidang sastra Rusia pada tahun 1888. Tahun berikutnya, ia terpilih sebagai anggota Masyarakat Pecinta Sastra Rusia. Namun setelah kegagalan dramanya, “Iblis Kayu” pada tahun 1889, membuatnya mengundurkan diri dari dunia sastra untuk sementara waktu. Chekhov yang sedang enggan menyentuh sastra, mulai kembali ke dunia kedokteran dan melakukan perjalanan ke Sakhalin, sebelah Utara Siberia. Di sana ia mengadakan penelitian terhadap ribuan narapidana yang dihukum di tempat itu. Tak cukup sampai di situ, ia juga berkelana ke Asia Tenggara, anak Benua India, dan Timur Tengah. Pada 1892, Chekhov membeli sebuah rumah di Melikhove dan kembali menjadi seorang penulis yang sangat produktif. Ia menerbitkan beberapa cerita yang terkenal, seperti “Tetangga” (1892), “Juara ke Enam” (1892), “Pendeta Hitam” (1894), “Pembunuhan” (1895), dan “Ariadne” (1895). Pada tahun 1897 ia mulai sakit-sakitan, kemudian pindah ke Yalta. Di sana ia masih menulis, dan menghasilkan karya-karyanya, seperti “Lelaki di dalam Cangkang”, “Buah Frambus”, “Wanita dengan Anjing”, dan “Dalam Jurang Ini”. Pada 1901 Chekhov menikah dengan seorang aktris, Olga Knipper yang telah bermain untuk drama-dramanya. Akan
halaman 64
tetapi, kebahagiaan mereka berumur pendek, karena Chekhov meninggal pada 15 Juli 1904, di Badenweiler, Jerman. Ia kemudian dimakamkan di Pemakaman Biara Novodeviche, Moskwa. Setelah Perang Dunia I, karya-karyanya banyak diterjemahkan ke bahasa lain, termasuk ke bahasa Inggris. Anton Chekhov merupakan seorang penulis yang brilian, di mana ia dapat menghasilkan sebuah cerita pendek hanya dalam waktu satu jam, atau bahkan kurang dari itu! Drama-dramanya juga masih sering dipentaskan di teater. Salah satu dramanya, “Burung Camar”, merupakan drama yang membuat nama Chekhov harum di sepanjang sejarah seni teater Rusia. Selain itu, karya lainnya seperti “Kebun Ceri”, “Paman Vanya”, dan “Tiga Saudari”, juga masih sering ditampilkan di Teater Seni Moskwa, dan telah terkenal di seluruh dunia. Nama Anton Chekhov tak hanya di kenang oleh masyarakat Rusia, tapi juga oleh masyarakat dunia. *** (Red. dari berbagai sumber)
halaman lxv
halaman lxvi