Edisi191

Page 1

Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)

Esei: Dari Sudut Puisi

Iswadi yang Bergema oleh Alex R. Nainggolan dan Pencak Silat Puitik

Dody Christianto

Sajak: M Noeris Anwar dan Edi Sarjani

oleh Tjahjono Widarmanto Cerita-pendek: Ladang yang Ada di Balik Ladang

oleh Dadang Ari Murtono

Sajak Terjemahan: Guillaume Apollinaire dan Walt Whitman Peristiwa Budaya: Pemprov Riau Beri Penghargaan Seniman

191 AGUSTUS 2014

www.majalahsagang.com

Cerita-pendek Terjemahan:

Anak-anak Jantan dan Betina

Rehal: Asal-Usul Seni Rupa

oleh Alice Munro

Modern Indonesia halaman KULITi


halaman KULI KULITii LIITi L Ti


Daftar Isi

Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 191 AGUSTUS 2014 tahun XVI

Kulit depan Lukisan karya Amron Omar’s (b. 1957), berjudul Study for Pertarungan II, 1980, Charcoal on paper, 78 x 108 cm. Sumber Int

Tiba Waktu, Bawa Sembahyang Rindu Hati, Bawa Bernyanyi ................2 Esei - Dari Sudut Puisi Iswadi yang Bergema Alex R. Nainggolan..............................3 - Pencak Silat Puitik Dody Christianto oleh Tjahjono Widarmanto ............... 16 Cerita-pendek Ladang yang Ada di Balik Ladang oleh Dadang Ari Murtono ................... 21 Cerita-pendek Terjemahan Anak-anak Jantan dan Betina oleh Alice Munro .................................26 Sajak - M Noeris Anwar ................................43 - Edi Sarjani .........................................53 Sajak Terjemahan - Guillaume Apollinaire .......................57 - Walt Whitman ...................................58 Peristiwa Budaya Pemprov Riau Beri Penghargaan Seniman .............................................. 60 Rehal Asal-Usul Seni Rupa Modern Indonesia .............62

Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Dra. Erda Yulfi Pemimpin Redaksi: Kazaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Ilustrator Tetap: Purwanto Manager Keuangan: Erda Yulfi. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


Tajuk Tiba Waktu, Bawa Sembahyang Rindu Hati, Bawa Bernyanyi SERGEI RACHMANINOFF, salah-seorang komposer dan pianis dunia dari Rusia pada abad ke-20, mengatakan bahwa “Musik cukup untuk seumur hidup, tapi seluruh hidup tidak cukup untuk musik”. Semua orang tahu dan mengenal tentang musik, namun mungkin tidak menyadari bahwa musik mempunyai fungsi, nilai, dan pilosofi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kenyataannya bahwa musik memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia sampai hari ini. Musik dapat menyesuaikan dengan suasana hati manusia dan berguna sepanjang kehidupan, juga merupakan terapi jiwa untuk perubahan positif dalam perilaku manusia. Musik juga mempengaruhi emosi manusia. Berbagai jenis musik yang berbeda dapat mempengaruhi emosi orang banyak, baik secara fisik (raga) maupun mental (jiwa). Dalam kehidupan orang Melayu, musik juga mempunyai peranan penting dalam jati-diri orang Melayu tersebut, yakni fisik (raga) dan jiwa (spiritual). Musik (orang Melayu menyebutnya “bunyi-bunyian”) dan syair, dalam kehidupan sehari-hari orang Melayu merupakan keperluan raga dan jiwa, bagi diri sendiri, maupun bagi kelompok, suku, dan terutama bagian dari keperluan perangkat adatistiadat, seperti upacara nikah-kawin, peringatan hari-hari bersejarah (seperti Maulid Nabi), dan upacara-upacara ritual lainnya. Keperluan jiwa (spiritual) dari seni (musik) juga masuk dalam peribadatan latihan suluk golongan tarikat (sufi) di

halaman 2

rumah-rumah suluk. Hal ini dapat dilihat dari lahirnya Syair Munajat, Syair Burung Garuda, Syair Tarikat, dan Syair Sindiran oleh Tuan Guru Syeikh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi an-an-Naqsabandiyah (18111926), tuan guru awal Tariqat Naqsyabandi di wilayah Rokan (Riau) dan Langkat (Sumatera Utara). Pandangan hidup orang Melayu tentang musik dan syair ini, dapat kita perhatikan dari ucapan Ganti (alm), seorang tukang Koba, dalam disertasi (Kitab Katam Kaji Tingkat Tertinggi) Will Derks The Feast of Storytelling On Malay Oral Tradition dalam sebuah pantun: Kelelatu layang-layang terpaut di rumpun seleguri tiba waktu bawa sembahyang rindu hati bawa bernyanyi. Bahwa kehidupan dunia dan akhirat tidak dapat dipisahkan, masing-masing mempunyai laku dan nilai tersendiri, nyanyi (musik) dan syair menjadi bagian dari kehidupan dunia, dan syair yang mempunyai nilai kebaikan dan pengajaran untuk kehidupan akhirat. Perhatikan pembuka Syair Munajat yang digubah oleh Tuan Guru Syeikh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi anNaqsyabandi: Ya Allah ya Tuhan kami Tiliki olehmu ya Allah akan diri kami Siang dan malam sepanjang waktu kami Inilah pinta kami ya Allah ya tuhan kami


Esei

Dari Sudut Puisi Iswadi yang Bergema oleh Alex R. Nainggolan

UISI adalah rangkaian imaji imajinasi. Setiap pilihan kata, jeda antarkalimat a merupakan kesatuan yang menciptakan sebuah kes dunianya sendiri. Penyair dalam ruang d i kesadaran batinnya, tentu akan bergerak mengambil sekelumit jarak, merefleksikan semua daya yang pernah singgah dalam hidupnya. Dalam dunia puisi yang dibentuknya, penyair mengolah timbunan tragedi, kenangan, separuh napas kesunyian, atau pernyataan hidup yang getir. Pun untuk sebuah cinta, puisi dapat menyentak, jika hidup tak melulu dipandang hitam putih, ada yang kelabu. Puisi pula serupa sebuah ruang yang tumbuh di antara suara sunyi dan gaduh. Kata-kata yang terangkum di setiap baitnya seperti berebut untuk merengkuh segala makna. Di sinilah sayap imajinasi puisi bergerak. Menciptakan gejala hubungan timbal-balik

terhadap kehidupan itu sendiri. Saya tak bermaksud mengungkapkan teori, bagi saya teori hanyalah cecapan lidah, yang terkadang abai untuk dipraktekkan secara menyeluruh ketika berhadapan dengan karya sastra. Merupa sebuah masakan, kerja menikmati puisi sepenuhnya berhubungan dengan rasa. Sehingga ketika membacanya ada cecap yang lezat ataupun terasa hambar. Ihwal rasa pula, yang membuat kita terkadang begitu subyektif ketika membaca sebuah puisi. Dan puisipun ditulis, mungkin semacam yang diungkapkan Iswadi Pratama dalam kumpulannya “Gema Secuil Batu� (Penerbit Akar Indonesia, Yogyakarta, 2008) hanya merupakan sebuah usaha: menangkap sesuatu yang pendar dan sementara barangkali hendak mengabarkan kedalaman. Sebuah kerja keras dari getirnya kehidupan, yang tertuang melalui imajinasi. Imajinasi yang ternyata mesti pula bersandar

halaman 3


pada realitas (peristiwa). Buku ini terdiri dari 49 puisi yang ditulis dari kurun waktu bertitimangsa tahun 1993 sampai 2006. Lalu, adakah sesuatu yang tertinggal saat selesai membaca sebuah puisi? Mungkin ya, sebuah hal yang merupakan usaha dari kerja keras si penyair itu sendiri. Katakanlah dengan mengolah diksi sekaligus pengetahuan yang dimiliki. Membaca puisi-puisi Iswadi, dengan selusup sunyi yang melingkupinya, membuat saya tertegun jika ternyata puisi dapat “berbicara” dengan sendirinya. Dengan rangkaian kata-kata, bersama arsiran bangunan bahasa yang dimilikinya ia menyatu-padu di dalam karsa dan rasa. Maka puisipun terasa hidup. Simak saja dalam puisi pembuka di buku ini “ Rumah Sunyi”: rumahku sunyi seperti labirin dengan gerimis abadi orang-orang datang dan pergi di rumah itu aku pernah tak berani pulang sebab di atap ada genting bocor serupa mata yang selalu mengawasi kalau hujan, air netes dari situ nimbulin bunyi wingit merambat ke dinding, ke ranjang, ke setiap sudut ruangan di rumahku orang-orang jarang se-omongan paling sering suara langkah diseret sesuatu dibanting, bapak berdehem, dan ibu memecahkan piring (selebihnya nafas tertahan-tahan, detak jam)

halaman 4

Betapa Iswadi menulis dengan ingatan kolektif dari individu dengan sudut pandang seorang bocah. Kenangan masa kanak, yang justru membekas di saat dewasa. Yang sendirian, kesunyian hanya mampu mengisahkan secara datar ihwal fragmen yang diingat. Keadaan “sunyi” itu terjelembab dengan sendirinya, membungkus setiap bening peristiwa (yang mengabarkan sebuah kegagalan komunikasi dalam sebuah keluarga). Irama kessunyian dari sebuah rumah semacam sebuah “jeda’ yang panjang. Sehingga menyisakan ingatan si aku lirik bahkan sampai dewasa. Puisi ini ditutup dengan kenyataan yang mencekam juga: sekarang—kalau kepingin pulang/ sesekali aku ngintip dari balik jendela/ ke kamar di mana aku selalu terjaga// (kulihat diriku selalu masih di sana/seperti rambu-rambu di atas jalan dan kabut masa lalu)// Memang gaya narasi yang ditawarkan Iswadi, tak bisa dilepaskan dari pengaruh Sapardi Djoko Damono, misalnya yang membuat sebuah puisi lepas dari peristiwanya. Atau apa yang dikerjakan Joko Pinurbo. Sehingga puisi yang ditulis terasa begitu hidup. Sepertinya pula, narasi puisi-puisi di buku ini, terasa begitu kuat. Semacam kumpulan fragmen yang disuling dari diksi yang murni. Puisi terkadang gagal menemukan bentuknya di hadapan publik pembaca. Terutama dengan keseriusan para penyair untuk merajut makna yang dianggap aneh, bertolak belakang, atau mungkin tak dipahami oleh pembacanya. Maka kita hanya dihadapkan pada sebuah asal-mula, yakni proses terbentuknya puisi itu sendiri. Sebagai sebuah nalar yang melingkar, puisi menjadi niscaya mengambil bagian sebuah publik untuk intim, sekaligus menyeluruh,


dengan tidak ingkar pada lingkungan sekitar. Persoalan yang banyak ditemui ialah kedalaman makna, di mana sejumlah diksi gagal membangkitkan aura, sehingga acapkali ditemui bentuk puisi yang datar, tak lagi mengejutkan, atau imajinasi yang terkesan biasa saja. Tentu ini persoalan mendasar bagi seorang penyair. Setiap penyair percaya, sebuah makna kata memerlukan kerja yang serius, bermainmain, atau tapak hari-jauh sebelum puisi itu dibentuk. Dan, apa yang ditulis H.B. Jassin beberapa tahun lampau, nampaknya masih pantas dijadikan sebuah rujukan, jika kita tak pernah tahu apa maksud si penyair dalam puisinya, maka masukilah bagaimana keseharian seorang penyair. Bagaimana ia mesti berkelahi dengan sejumlah kalimat, mencoret-coret sketsa, sebelum puisi itu dilempar dan menemui publiknya. Sebagai suatu bentuk lingua yang lumayan tua, puisi memang harus menjaga semua komponennya. Dalam bahasa Hasif Amini, ibarat sejumlah mekanik yang membutuhkan tenaga dari luar (arus) listrik untuk membangkitkannya. Dengan demikian, puisi akan bersimpuh, kemudian menggeletar di antara aura bunyi lainnya. Sebab lingkar pikir manusia terkadang selalu membelenggu. Yang membuat kita membatasi gerak, sehingga imajinasi yang tertuang dalam sejumlah diksi berhenti, setelah kita selesai membacanya. Seorang penyair pernah berucap kepada saya, puisi yang baik itu, yang tetap berdenyar sepanjang masa. Di mana seluruh rangkuman jejak tertinggal di sana. Kata-kata penuh pukau, memotret seluruh unsur depan sadar manusia. Getarannya membangunkan semua ketertinggalan kita. Wah, kalau sudah begitu, saya kira puisi

merupakan sebuah benda yang hebat. Memaparkan sejumlah aura, setiap kelindan di dalamnya terbungkus jadi satu. Sebuah tumpangan kalimat yang memaksa kita mengembara ke negeri-negeri yang tak “bernama”. Imajinasi mungkin sebuah formula ajaib, untuk itu seorang penyair harus rajin-rajin mengasah kepekaannya. Mengamati kehidupan, mendengarkan apa yang dirisaukan, menanam gelisah, menjemput seluruh kenangan yang pernah tinggal di kepalanya. Puisi merupakan percikan yang sederhana, rumit, dan gampang. Pengalaman “berkelahi”dengan kata itu yang makin membuncahkan nurani dalam teks sebuah puisi. Sebuah makna yang murni. Setidaknya, itu pula yang saya kira dihadapi Iswadi. Penyulingan makna yang hinggap dalam sejumlah puisinya, menyisakan sejumlah idiom-idiom khasyang bagi saya seperti ingin “menggugat”. Semacam dalam puisi di “Lubuk Mabuk”, Iswadi mengungkapkan: sejarah dan bukubuku/ akhirnya cuma kalimat tak selesai di tengah pasar/ melahirkan sysiphus yang mencintai kutuknya// (hal. 30). Pun dalam puisi “Fragmen-fragmen Hujan” sunyi yang ribuan kali kau terjemahkan/ ke dalam puisi/ dalah sunyi yang dulu gemetar di rahim ibu/ khuldi yang melontar kau ke pusaran waktu// (hal. 36). Membaca puisi-puisi Iswadi semacam tamasya ke sebuah ruang yang sederhana, remeh, dan terabaikan. Setiap metafora yang tergambar dalam puisi-puisinya, begitu dekat dengan keseharian, ia memang berkisah tentang diri masing-masing. Puisipuisinya berkisaran di wilayah individu, yang bergerak di tatanan persona. Setiap untaian diksi seperti bercakap dengan sendirinya.

halaman 5


Puisi seakan membaurkan semua sisisisi kehidupan, yang paling hitam, putih, mungkin pula abu-abu. Tantangan para penyair ialah bagaimana menelurkan sebuah realitas ide itu menjadi ayam. Hal yang sama pula terjadi dalam pola pemikiran Plato, tentang sebuah konsep dunia ide, yang pernah ditulisnya. Jika dunia ide, tak pernah habis, akan terus ada. Puisi yang bagus, memang bersifat multi tafsir. Ia meneguk seluruh ruang yang bisa disentuh pembaca. Ia membentuk sebuah medan kata-kata yang maksimal dieksplorasi. Tapi apakah perkembangan puisi kita sudah mencapai tahap ini? Berbagai eksplorasi memang telah dilakukan, bahkan tak jarang hadir ungkapan, bila sesudah Chairil Anwar, tak ada lagi sebuah puisi yang ditulis. Pendeknya, seorang penyair menulis puisi bukan semata-mata menulis secara utuh realitas yang ditangkapnya. Dengan melakukan pengosongan, sehingga yang nampak hanyalah realitas yang murni tanpa bayang-bayang. Penyair, bagaimanapun, harus membuka sekat-sekat yang menghalanginya-dengan tidak serta merta menuliskan sebuah kejadian secara mutlak. Penyair menulis puisi, karena ingin bicara sebuah hal yang berbeda. Suatu hal yang mungkin menggugah kesadaran dalam dirinya, entah itu cinta, ketimpangan, maut, atau kehidupan yang sederhana ini. Dalam salah satu suratnya kepada H.B.Jassin, Chairil Anwar pernah menulis, “Setiap puisi yang kutulis akan kugali sedalam-dalamnya, akan kukorek ke akarakarnya,”. Itulah, mengapa puisi-puisinya, semacam “Aku” dapat hidup, sebagaimana yang dingini penyair: seribu tahun lagi. Mungkin, saat ini kita tak dapat menemukan puisi semacam itu. Sejumlah alasan pun

halaman 6

dikemukakan, bahwa puisi sekarang, tulis Sutardji, hampir menyerupai tissue, sebab banyak penyair-penyair baru yang tengah menemukan ungkapan yang lebih menyegarkan dari sebelumnya. Kejadian ini kerap berlangsung, sehingga puisi yang bagus, tertutup dengan puisi lainnya. Sebenarnya, puisi sekarang telah mengalami gejala traumatik. Kehilangan sekat-sekat kepercayaan dari publik sastra yang minim kritik untuk berdiri kokoh. Sehingga puisi yang ditulis dianggap selesai setelah ditulis, seperti kematian pengarang yang dipopulerkan Rolland Barthes dalam Semiologi-nya. Tugas penyairlah yang, mungkin menemukan lagi sebuah puisi untuk melakukan regenerasi posisi dirinya dengan sebuah teks puisi. Dan sebuah puisi ditulis untuk melakukan penyucian ulang, seperti melepaskan perasaan yang berkerlip, membentuk sebuah transenden baru yang perlu. Dalam bahasa Wahyu Wibowo, penyucian macam itu disebut katarsis. Dalam tubuh sebuah puisi, barangkali cuaca akan menjadi lebih gelap, padahal yang dilihat pembaca begitu bterang. Puisi akan menjelma jadi gumam yang monolog, meski para pembacanya merasakan ada sebuah dialog yang dibentuk. Sehingga terlihat sebuah pergeseran bentuk dan makna. Puisi terlihat makin lengkap, utuh dan mendalam. Terkadang pula, para penyair merasa telah begitu girang, menemukan mainan baru, karena si-penyair telah memosisikan dirinya sebagai “tuhan”, terlebih lagi dengan anggapan bahwa seorang penyair merupakan seorang pencipta dari puisinya. Sebuah lahan penciptaan yang ekuivalen dengan tugas Tuhan. Ada sebuah momen yang mungkin terbalik, tidak lengkap, dan


tugas penyair adalah menuliskan momenmomen yang sepotong-sepotong itu, untuk menggabungkannya dengan lirik kata dalam puisi. Saya percaya, tubuh puisi itu akan nampak dihadapan para pembacanya. Puisi yang akan berbentuk sebagaimana yang dimaksud penyair. Ia bisa saja langsing, sedang, mungkin juga gemuk. Saya tiba-tiba teringat tentang seorang penyair, yang sampai saat ini belum diketemukan. Yang menulis puisi secara otodidak (Wiji Thukul). Puisi yang dituliskannya teramat sederhana, tentang kejadian-kejadian yang kecil, teramat remeh, namun luput dari kesigapan kita dalam memaknai sebuah peristiwa. Ia pernah bilang begini: seekor tikus tertabrak di jalanan/tubuhnya terburai/siapa yang tak tega melihat seekor binatang diperlakukan seperti itu/terlebih lagi manusia… Dalam tubuh puisi semacam itu akan terbuka petualangan yang menelusur ke ruang-ruang lebih dalam. Permainan imaji, dengan tidak meninggalkan kondisi nyata yang berlangsung di masyarakatnya. Penyair tak mesti melulu berbaring di kamar, menemukan sebuah kata-kata penuh sembilu dan bertenaga, pada suatu malam. Barangkali, lewat puisi yang penuh imajinasi itu pembaca akan tersesat, tak punya jalan keluar. Namun, di tubuh itu pula pembaca kembali pulang dengan lengkap. Jelas, puisi merupakan sebuah proses yang penuh, yang menandakan keseluruhan kegiatan yang terus berulang. Kegiatan yang tak kunjung berkesudahan. Kerja kreatif seorang penyair tak hanya terbatas oleh waktu semata.

Ironi Puisi dan Keterasingan yang Abadi Beberapa puisi yang ditulis Iswadi, turut pula memungut ironi tentang puisi itu sendiri. Sebuah puisi yang berbicara tentang puisi (atau dunia yang melingkupi di sekelilingnya); semacam dalam “Lubuk Sajak”, Iswadi menulis: sekali waktu/ aku hanya ingin menulismu/ seperti kata yang gemetar/ dan hampir tak terdengar// kupilih sisi pada sajak ini/ serupa lekuk dalam suluk/ yang tak dapat kau peluk/biarpun jauh kau masuk// (hal. 59) atau dalam “Penyair” : aku selalu tumbuh/ bagi teman-teman,/ untuk setiap orang// menciptakan kubangan/ cahaya kata-kata/ dari separuh kesedihan// (hal. 60) Pada mulanya adalah kata, tulis Sutardji Calzoum Bachri, suatu ketika. Kemudian aura kata-kata itu bersusun dengan sistematis, melengkapi setiap ruang kosong. Memadat. Mencairkan semua suarasuara yang tak pernah selesai ditangkap oleh relung telinga. Setiap tabir. Seorang penyair, barangkali dapat diibaratkan sebagai pemancing yang selalu membawa umpan agar kata-kata tertangkap kailnya. Ia, mungkin hanya menunggu, menjelajah, tidur-tiduran, kemudian berharap segera umpannya kena oleh sambaran yang ingin menyantapnya. Maka kata-kata yang terdapat dalam puisi, memang merupakan bauran warna, sepotong riwayat, katakata yang asing, kalimat yang tak pernah selesai—untuk segera dibuka tafsirnya. Di hadapan pembaca, puisi menjadi kalimat yang dirangkaikan kembali, dibaca perlahanlahan, satu per satu. Diksi demi diksi coba dicerna kembali, menghamburkan-atau sekadar menghubungkan jejak-jejak yang pernah terekam oleh sejarah sebelumnya.

halaman 7


Pun puisi selalu memiliki bentuknya sendiri. Tergantung pada individu yang menulisnya, tidak lagi membawa komunitas yang digelutinya. Puisi telah membuka medan yang baru, memaknai kejadiankejadian yang baru. Seluruh sejarah yang terangkum, barangkali hanya sekadar penjelasan-penjelasan semu. Jika memang puisi tetap ditulis, maka memang itu kewajibannya. Puisi bertindak sebagai the other voice-meminjam ucapan Oktavio Paz. Si penyair sebagai pengolah kata, tentu tidak mengerti mengapa puisi yang ditulis dapat berubah jadi seperti itu. Sebagai sebentuk aura suara, yang bisa menyuarakan keinginan-keinginan di masa mendatang. Seseorang duduk termenung, mencari sesuatu. Mencari dirinya, di antara bayanganbayangan yang selalu menyergap dirinya, bisa saja menipu puisi. Bisa saja menuliskan imaji-imaji yang dipenuhi dengan ‘kebohongan’. Tetapi setidaknya, seseorang tersebut-telah membacanya, melihatnya, mendengarkannya, sehingga memulai untuk menuliskannya. Pengertian ini-dirujuk pula oleh Goenawan Mohammad, “jika sesungguhnya penyair adalah seseorang yang bersedia dan memasrahkan dirinya menjadi orang yang tak memiliki batas. Menjadi orang tanpa warga negara,� keidentikan puisi akan membulat, hingga kerap dihubungkan pada prinsip yang dipegang teguh H.B. Jassin, sebagai humanisme universal. Prinsip kemanusiaan secara menyeluruh yang mungkin telah lama menghilang dari kehidupan manusia. Membuat begitu mudah kekerasan diciptakan, yang kerap membuat kita trauma, mengelus dada. Atau bisa pula, berpura-pura tak sedih, sembari melenggang ke mall-mall, tertawa dalam pesta sekeras-kerasnya melupakan apabila di

halaman 8

belahan dunia lain telah terjadi suatu tragedi kemanusiaan, yang menyebabkan hilangnya nyawa, darah tumpah, pembunuhan massal. Atau juga jerit kemiskinan ketika kita keluar dari pusat perbelanjaan di sebuah daerah, dengan para gelandangan yang bertubuh dekil, dengan kuku-kuku kehitaman yang menyodorkan mangkuk plastik, dengan mata yang penuh harap meminta sekeping uang logam. Bisakah puisi menerjang batas-batas semacam itu? Dapatkan puisi menjadi cermin realitas, atau apa hanya sekadar menelingkup sebatas sakit hati, frustasi, pencarian yang tak kunjung habisyang membuat puisi menjadi sekadar metafora. Semacam kulit manusia yang busuk di perempatan jalan, di sebuah pusat perbelanjaan? Bangunan puisi, tak pernah tuntas ia bisa menjelma ke segala lingkup. Di mata pembaca, kesemua itu ditangkap. Maka, sebagaimana yang pernah dilansir Ahmadun Y. Herfanda, sesungguhnya letak kekayaan dari bangunan puisi tersebut tergantung pada kekayaan intelektual pembaca. Tetapi benarkah kita memiliki massa pembaca yang kuat? Dengan rendahnya tingkat bacatulis, yang membuat masyarakat lebih suka menghamburkan waktunya dengan tertawa keras-keras, menonton film-film asing, menonton sinetron. Pembaca sastra kita, saya pikir, tak pernah menampakkan dirinya secara utuh. Pembaca kita hanya segelintir orang, yang mungkin jumlahnya terus menurun sepanjang tahun. Padahal, jumlah karya sastra tetap saja ditulis. Puisi masih juga ditulis. Ini yang membuat saya takjub; di tengah realitas semacam ini ternyata masih banyak orang yang menulis puisi. Bagaimana tidak? Seorang yang memulai untuk mencoba-coba menulis, dimulakan


dari puisi. Ketika pertama kali menuliskan suatu ihwal dalam diary-nya. Lalu bagaimana hal itu bisa terjadi? Seorang teman pernah berujar, wajar jika puisi merupakan salah satu karya sastra yang paling banyak ditulis. Dengan kata lain, wilayah kreatif penciptaan puisi selalu mengalami reproduksi kata, di mana semua parodi, keseriusan, intrik, intipmengintip, pengaruh dari sajak-sajak lain, kekesalansegala yang bermuara pada perasaan, senantiasa mudah diungkapkan dalam kata-kata puisi. Bahkan, puisi yang hanya kesamaan bunyi, hanya berupa pertautan iklim, atau kegilaan dalam melakukan penjelajahan kata-kata, sudah sedemikian banyak ditemukan. Tetapi, seperti apakah puisi yang baik? Benarkah puisi hanya sekadar ucapan igau seseorang bagi para penulis puisi untuk menjadi penyair? Ini pertanyaan yang tidak mudah, kata-kata terkadang memang begitu terasa sombong, untuk secepat mungkin dicatatkan. Atau setidaknya, direkam dalam ingatan. Tetapi, seberapa panjang ingatan manusia? Adakah sebuah ingatan akan (dapat) pula bercakap sesuatu dengan utuh perihal apa yang diingini oleh penyair. Setidaknya, ironi puisi-puisi semacam ini turut pula melingkupi sejumlah ihwal yang dipercakapkan Iswadi, meskipun terkadang ia mengabarkan hanya secara eksplisit. Namun berusaha membuka ruang keterjagaan setiap indoividu yang membacanya. Usaha “penggugatan” yang dilakukan Iswadi memang tak begitu kentara secara nyata namun hadir, sehingga puisinya tak jadi verbal. Sebagaimana dalam puisi “ Di antara Batuk-Batuk, di Mana Kamu”, ia menutup puisinya begini: malam ini/-juga malam-malam sebelumnya--/ sambil

merindukan kasap susu/ dan sepah pahamu/ kucari jalan pulang/ suara batuk-batukmu/ dan resep dokter yang belum kutebuskan/ dikoyak hujan// (hal. 27) Pun sejumlah puisi menghadirkan aroma keterasingan yang begitu panjang. Semacam sebuah alienasi panjang bagi kehidupan pribadi, namun setiap kata tetap berkisah. Semacam ingin berhitung dengan keadaan yang tumbuh di sekelilingnya. Sebuah pertemuan yang ternyata menyisakan kenangan, lalu mendadak jadi hambar. Saat kita berusaha mengakrabi seseorang dengan upaya menghubungkan peristiwa di masa lalu (kenangan) itu. Pernyataan Iswadi tentang sebuah kota, yang ternyata tidak meninggalkan ingatan riang akan hal tersebut. Semacam ada kesia-siaan panjang, terlunta, dan kesendirian. Maka Iswadipun “memotret” nuansa itu dalam puisinya “Fragmen Tanjungkarang”ia merasakan kehilangan akan kenangan dalam bagian yang keempat: seharusnya aku tak meninggalkanmu/ tapi aku ingin selalu menempuh lagi kota ini/ pada suatu hari, sendirian, diam-diam./ barangkali masih ada serpih sepi/ yang belum dikumpukan, tercecer di jalan,/ di antara bau lembab taman, nyala lampu,/ dan lesap bayangbayang// sebenarnya banyak kawan yang bisa dikunjungi/ tapi kami tak bisa lagi berbagi/ setiap pertemuan terasa menggelikan/ karena masing-masing untuk dirinya sendiri// (hal. 51) Kegundahan aku lirik ihwal segala yang tersia-sia. Ternyata kenangan tak mengikatnya dengan erat. Seperti menemukan sebuah selat, bahkan ketika mencoba bercakap dengan masa lalu itu sendiri. Iswadi seperti gundah, sebab yang didapatinya bukan sebuah kenangan

halaman 9


yang riang, melainkan muram, dipenuhi dengan perasaan-perasaan yang kalah. Nuansa keterasingan yang menggugat itupun hadir pula dalam puisi “Dongeng Pepohonan� Iswadi berujar: lalu suatu malam dan mungkin ini sering terjadi/ kau akan duduk di depan meja,/ membaca, menuliskan/ sesuatu dengan amat rahasia, atau memastikan/ kembali wajahmu di depan kaca dan berdoa/ mengingat-ingat segala peristiwa/ menanti-nanti impian yang sudah lama/ tidak muncul dalam tidur// dan kau merasa/ telah melakukan semua yang sangat berharga/ sepanjang hidup sambil membaca lagi seluruh/ dongeng dari masa silam. dan tiba-tiba kau ingin/ sekali ke luar, mengunjungi kembali tempat-tempat/ tanpa alamat, menemui kawan-kawan lama/ mencoba lagi yang sempat atau terlewat/ tetapi yang kau dapati hanya hari-hari cokelat/ lorong-lorong gelap, bekas-bekas sunyi berkarat// Kerinduan akan masa lalu begitu kental, namun nyatanya si-aku lirik turut terpental dan terpenggal. Menghadapi kenyataan di depan yang ternyata tak ekuivalen dengan masa lalu. Sehingga penyair pun seperti tersendak: sementara hidup/ ada di sisi lain/ rapat terkunci/ dan tak bisa/ kau masuki// (hal. 47) Dan di sinilah, puisi menjelma sebuah ruang jeda. Ia membuka pintu waktu ingatan tersebut. Sebagaimana kita mahfum pula, jika memang masa lalu tak pernah bisa diulang. Sebab bagi Iswadi sendiri, segalanya terasa menggelikan. Karena, ternyata, setiap pribadi hanya memikirkan diri sendiri. Lalu, Iswadi menutup fragmen itu dengan kalimat:barangkali kami harus saling melupakan/ sebab kenangan hanyalah tangan dari masa silam/ yang selalu

halaman 10

merenggutku ke batas/ paling tepi dari jeri// Agaknya pula, apa yang ditulis Heidegger kebenaran ada, dan hanyalah puisi yang mampu menjangkaunya. Kebenaran yang bahkan identik dengan tuhan. Seorang penyair, sejatinya merupa pula sebagai seorang pemikir dan mistikus, mengambil secara penuh langkah mundur untuk keluar dari metafisikan—yang berpuisi berdasarkan pengalaman akan kebenaran.

Jarak Aman Semua penulis puisi percaya, setiap kali menuliskan sesuatu memerlukan jarak yang aman terhadap peristiwa. Dengan demikian, ia bisa membaca lagi semua hal yang tak terpikirkan sebelumnya. Melalui jarak aman tersebut, sebuah tulisan akan berdiri sendiri (independen), dengan tidak bergantung pada peristiwa tersebut. Meskipun sebuah puisi, sebagaimana yang pernah dilontarkan Sutardji Calzoum Bachri, acapkali berada pada posisi “sakratul maut�, seperti ingin menjemput setiap keinginan, dan menempatkan realitas secara kasar dan gamblang. Padahal realitas itu sendiri, terutama dalam sebuah karya sastra, memerlukan polesan-polesan. Sehingga membentuk sebuah tandingan dari realitas yang ada. Setiap kali menghitung diksi yang dipakai dalam puisi, penyair mencoba memilah, membelah, kemudian menginsyafi diri sendiri. Sebuah puisi memang harus disusun dengan penuh kehati-hatian, sebuah kata yang gagal saja, bukan tidak mungkin bisa merusak seluruh bangunan puisi itu secara utuh. Puisi pun tak akan melupakan sebuah sejarah, akan selalu menyusun untaiannya, tentu lewat sebuah metafora, yang terkadang


ganjil dan aneh. Bila melihat biografi penyair sebelumnya, kita akan mudah menemukan bentangan alur yang lama disusun. Semacam sebuah lekukan yang terus berlangsung. Zaman demi zaman. Angkatan demi angkatan. Fenomena itu merupakan suatu ladang pencarian yang terus berlangsung, menemukan titiknya sendiri. Para pelopor itulah yang pertama kali meletakkan, sehingga segala jenis fenomena, baik dari susunan kata ataupun gaya ucap menjadi lambang tersendiri bagi setiap penyair, sekaligus ritme yang dibentuk melalui puisi. Puisi akan bersijingkat, menemukan medan tafsirnya. Untuk yang satu ini, ia memerlukan pembaca untuk menikmatinya, sehingga akan terkuak daya tafsir yang luas, tak terkekang. Meski, terkadang, sejumlah puisi acap gagal membentuk susunannya. Kata-kata yang indah dan mengapung terlihat begitu menampak dari luar, namun setelah dibaca perlahan-lahan, puisi tersebut kehilangan citraannya. Sehingga seorang penyair merasa telah dibunuh oleh puisi tersebut. Seorang penyair telah kehilangan sebuah tanda untuk memberikan suatu yang baru bagi publiknya. Persoalannya, bagaimana bentuk sebuah tubuh puisi yang baik? Saferis, pernah bilang, untuk menemukan lahan pengucapan sendiri, khususnya bagi puisi, seseorang harus berusaha melepaskan tafsir-tafsir lain, tentunya yang berbeda dari gaya ucap masyarakat kebanyakan. Dengan kata lain, seorang penyair tidak mesti melulu takluk pada makna gramatikal. Penyair harus menemukan jati dirinya, melepaskan diri dari kecenderungan teks puisi yang dihasilkan secara massal, dan nyaris menjadi epigon terhadap teks-teks puisi sebelumnya. Apabila keadaan ini terus berlangsung,

maka sebuah puisi akan gagal menemukan dirinya sendiri. Yang kita lihat hanyalah sebuah borok dalam tubuh yang senantiasa mengalirkan luka, kepedihan, juga kekesalan terhadap sebuah realitas. Kadangkala, puisi pun seolah-olah pingsan. Terutama setelah kata-kata dibekukan. Begitu banyak metafora yang dihadirkan dengan amat liar, tajam, dan tegas. Puisi seperti membentuk wilayah sendiri yang tak bias dimasuki, bahkan oleh pembacanya sekalipun. Kenyataan itu, sepenuhnya telah membuat suatu lahan baru yang lebih ajaib, tidak seperti fenomena yang sebelumnya. Kegandrungan seorang penyair untuk senantiasa menuliskan kembali risalah, mengambil jarak terhadap realitas keseharian yang dihadapi, membuat sebuah aroma keterasingan yang muncul dan disikapi dalam puisinya. Sang penyair, lambat laun menegaskan makna kata-kata sendiri seperti ungakapn gumam, bernada perlawanan. Terkadang teramat pemalu, terkadang menjelma jadi pemberang yang siap menikam apa saja. Namun, posisi kata tidak lagi meloncat, tidak lagi melakukan ajakan kepada pembacanya. Melainkan membuat sebuah kedamaian yang teduh, jauh dari hiruk-pikuk. Melalui teks itu pulalah, terjadi interaksi antara pembaca dan penulis. Sebuah permainan syaraf, sebuah himpunan kalimat yang memerlukan proses membaca. Membaca, sebut Goenawan, adalah usaha membongkar teks secara lebih jauh. Seperti lecutan gerak yang tampak. Melalui rangkai kalimat, alinea, lembar-lembar pengetahuan disibak. Saya kira, Iswadi telah menelusupkan ihwal itu semua dalam puisinya di buku ini. Sebuah citraan yang dibangun melalui kata-kata dalam puisinya

halaman 11


terhadap kesadaran dalam kehidupan ini sendiri tentunya. *** Dalam salah-satu tulisannya, Nirwan Dewanto, selalu seorang kritikus, mengeluhkan tentang minimnya para penyair kita yang menulis prosa atau bukan puisi. Seolah-olah, seorang penyair merasa sudah cukup, apabila menulis puisi, seolah telah melakukan suatu kerja kreatif yang paling berharga dalam hidupnya. Hal ini terbukti, dengan karya-karya teks sastra yang ditulis, malah kurang baik dibanding puisi yang dihasilkannya. Keadaan ini, menurut saya, terpulang dari dua sebab. Pertama, para penyair kita tidak bersedia diri untuk melatih dirinya menulis hal-hal yang panjang, yang sifatnya naratif. Kedua, kurangnya disiplin kerja dari para penyair, banyak yang menganggap pekerjaan menulis puisi adalah pekerjaan yang sambil lalu, yang juga melalui hal ini terbentuk citraan diri seorang penyair sebagai seorang pemalas. Minimnya, karya prosa yang dihasilkan para penyair ini, barangkali merupakan sebuah bukti, bila pengalaman esktetika yang dibentuk seorang penyair dalam karya prosanya, tidak sebaik dari pengalamannya menulis puisi. Tentunya, semua itu terlepas dari para wartawan kita yang juga satrawan, atau wartawan kita yang juga penyair. Sebab, pekerjaan seorang wartawan, terutama dalam menulis berita saja, tercermin bagaimana penguasaan dirinya terhadap bahasa. Bila saat ini, kita temui seorang penyair yang hanya menulis puisi an sich. Maka, yang tergambar di benak, betapa minimnya sebuah proses kreatif seseorang! Memang, dalam sebuah puisi tercermin, bagaimana penelusuran seseorang dalam

halaman 12

proses penemuan jati dirinya sendiri. Dalam mitologi Yunani, diibaratkan sebagai sisifus yang selalu dikutuk oleh dewa. Senantiasa mengangkat beban batu di pundaknya hingga ke puncak gunung, kemudian di gelincirkan lagi. Begitu seterusnya. Artinya, sebuah proses yang sungguh-sungguh, mencirikan kemampuan seorang penyair dalam menguasai percakapan sehari-hari, tentang kemampuan bahasa yang tak bernuansa verbal semata. Dengan proses yang kaya itulah, sebuah puisi yang baik tumbuh. Barangkali, kerja kepenyairan di masa lalu, semacam zaman Chairil perlu ditinggalkan, yang harus merelakan diri berhari-hari, hanya untuk menemukan sebuah kata. Sebuah proses, merupakan suatu siklus yang tak berhenti, bukan dengan melakukan pendogmaan: sekali berarti sudah itu mati! Sebuah puisi pun menandakan sebuah kegelisahan, yang tak perlu lagi beramahtamah dengan kehidupan. Ia bisa saja menyendiri, kemudian berteriak dengan mantranya, sebagaimana yang dilakukan oleh Sutardji. Bahkan, menjauhi realitas sosial yang terjadi di masyarakatnya. Wujudnya begitu otonom, mutlak dan tunggal. Sehingga tak ada orang yang bisa mengganggu gugat sebuah puisi setelah ditulis, bahkan oleh penyairnya sendiri. Puisi menjadi sebuah ruang yang tak bertepi bagi para pembacanya untuk melakukan tafsir ulang terhadap teks. Barangkali, dengan proses yang terusmenerus itu, akan terkikis, menciptakan guratan pengalaman, dan menimbulkan sebuah alur. Saya teringat pada sebuah cerita pembantaian yang keji pernah dilakukan oleh sekelompok tentara. Bagaimana mereka melakukan penyiksaan terhadap


tawanannya, dengan menempatkan tawanan tersebut ke sebuah lubang yang jauh dari permukaan tanah. Tawanan itu terus ditetesi air, setiap saat, setetes demi setetes di atas kepalanya, setelah diperiksa selama seminggu, ternyata kepala sang tawanan berlubang. Cerita tersebut barangkali teramat menyeramkan dalam bayangan kita. Namun, saya bisa menarik sebuah kesimpulan kecil, bila sebuah kerja yang dilakukan secara terus-menerus, maka akan didapati sebuah hasil yang sempurna. Seorang penyair, semestinya menginsafi dirinya sendiri, dengan tidak mengutamakan diri menulis puisi. Sebab, bukan hanya dalam sebuah puisi penampakan kecanggihan kata dan bahasa akan terlihat. Kerja kata merupakan kerja yang tak aus waktu, tak kenal lelah, semuanya dapat ditemukan dalam apa saja, sebuah artikel berita, opini, tinjauan buku, esai, ulasan-ulasan seni, terlebih lagi dalam prosa! Pekerjaan seorang penyair, lebih kompleks dari itu semua. Ia bukan hanya menumpahkan segala carutmarut apa yang dirasakannya, kemudian melakukan transfer di atas kertas putih, tanpa menimang keadaan. Barangkali, tindakan semacam itu, hanya merupakan tindakan mubazir. Malah akan menimbulkan kesan, bahwa ia hanya bisa menulis puisi, selain puisi tidak! Kerja penyair relatif kompleks. Jika ingin melihat seorang penyair baik atau tidak. Tinjaulah dari tulisan-tulisan naratifnya, bagaimana ia menghidupkan kata-kata, bacalah pula memoar-memoar yang ditulisnya. Sebab, menulis prosa disadari atau tidak justru lebih rumit dari puisi! Sebuah puisi, barangkali dapat datang dengan segera, diksi-diksi bisa dikombinasikan dengan mencari padanannya. Namun, sebuah prosa harus

menunjukkan wilayah yang lain, selain penampakkan tokoh yang nyata (bukan imaji), alur yang jelas, karakterisitik yang nyata, meski tidak melulu berbincang tentang sebuah realitas an sich. Setidaknya, imajinasi kerap dibutuhkan dalam menulis prosa, namun dengan cara yang lebih spesifik, sehingga membentuk sebuah jalinan narasi yang kuat. Maka, saya pikir, seorang penyair yang baik, harus dapat menulis prosa yang baik. Begitu pun sebaliknya. Seorang penyair pun nampaknya harus belajar banyak, menggali segala situs kenangan yang dimilikinya, melakukan perampingan terhadap diksi-diksi yang dengan seketika menyergap pikirannya. Ia bisa belajar pada apa saja, tentunya dengan melakukan berbagai eksplorasi. Menilik posisi kehidupan bahasa kita yang makin kompleks, dengan kesemrawutan etika berbahasa, memang merupakan suatu tantangan yang berat bagi seorang penulis untuk sekedar menemukan bentuk yang harfiah dari sebuah kalimat. Dengan begitu akan terlihat dengan jelas, bagaimana penguasaan seorang penyair terhadap tata bahasa, dalam melakukan rangkaian percobaan (eksperimen) dalam laboratorium kata-katanya. Sebab, pergelutan yang sungguh-sunguh itu akan tercermin dalam kepiawaian penyair menyusun kalimatnya dalam sebuah narasi panjang. Barangkali, narasi itu akan menjadi besar. Hal ini tentu suatu pekerjaan yang tidak mudah, cukup rumit, dan jauh lebih besar daripada pekerjaan menulis sebuah puisi. Bagaimanapun langkah yang harus ditempuh akan menjadi panjang, dengan menyatakan lebih daripada yang dimaksudkan. Bisa saja kita menemukan sebuah puisi

halaman 13


yang penuh dengan keliaran imajinasi. Namun, ternyata ketika coba melakukan transfer, puisi tersebut lumpuh di mata pembacanya, dengan melakukan sedikit penambahan, untuk menjadi sebuah prosa. Katakanlah, eksperimen penyair, dengan mengobrak-abrik sebuah puisi yang dituliskan menjelma jadi sebuah prosa. Puisi memang terlihat angkuh, sepintas, karena ia terkadang terdiri dari rangakain kata yang manipulatif, sehingga terkadang pula bahasa puisi menjelma jadi suatu yang abstrak. Maka, ketika sejumlah penyair mulai menuliskan prosa, tindakan itu merupakan suatu pergulatan yang menandakan pergumulan secara total dalam mencapai suatu wilayah estetika tentang kata-kata. Barangkali, kalimat itu akan menjelma sebuah hal yang ajaib—mendobrak, bahkan cenderung lebih liar dari puisi-puisi yang dituliskan. Seorang penyair, bagaimanapun, sampai kapanpun tetaplah orang biasa, yang merasa perlu mempelajari segalanya dari amsal. Ia akan senantiasa belajar dan tak memiliki pengetahuan tentang sebuah tulisan ketika menulis suatu hal. Sang penyair yang baik, tentu bisa memilih, kapan ia mesti menulis puisi, kapan pula ia akan menulis prosa. Penguasaan terhadap medan kata-kata di tangan penyair dalam menggerakkan penanya mutlak dilakukan, terutama untuk melakukan penundaan-penandaan terhadap sebuah realitas yang ditangkapnya. Terkadang, realitas itu pun datang dengan tidak penuh. Terkadang hanya separuhnya, sehingga sang penyair perlu mengisi separuh yang lain dengan imajinasi. Maka, apabila banyak orang mempersoalkan langkah sulitnya memilih antara kebenaran dan kebohongan dalam karya

halaman 14

sastra, hal ini disebabkan karena hal di atas. Para penyair, cerpenis, atawa novelis cenderung menangkap realitas yang sepotong-sepotong itu dalam karya mereka. Sehingga membuat para pembacanya terkesima, heran dan aneh terhadap sebuah realitas yang tenah dibangun. Begitu pun dalam puisi, realitas yang pernah disodorkan dalam sebuah karya kerap membuat kita kehilangan tanya. Apa benar ada kejadian semacam itu? Orang semacam itu? Dsb. Tapi disinilah arti sebuah imajinasi, dalam bahasa John Lennon, “Imajinasi bisa mengepakkan sayapnya, meninggalkan ruang dan batas. Sehingga tidak lagi terpaut aturan-aturan, meninggalkan batas negara—wilayah, atau apapun yang pernah membelenggunya.� Untuk itu, seorang penyair perlu terus mencari bagaimana ia bisa mengekpresikan seluruh kemampuannya. Tentunya, lewat pembendaharaan kata yang dimilikinya. Ia perlu mengali seluruh leluhur, masa silam, kenangan, harapan, impian, ataupun kekuatan yang ada. Dengan tidak hanya menuliskannya lewat puisi, bisa dengan bentuk tulisan lain, yang bisa memperlihatkan susunan dan jalinan yang ditangkapnya. Dan saya kira, kekuatan naratif Iswadi menjadi bukti, setidaknya dalam sejumlah puisi-puisi panjangnya. Ia seperti menghidupkan jalinan cerita, sehingga mengabarkan bahwa si aku lirik terlihat nyata dan ada. *** Seseorang masih saja di sudut. Di sebuah ujung dunia, merenung sebentar. Menyaksikan setiap warna yang tak lagi bisa ditandai, berputar dalam pandangan matanya. Mendengar suara-suara yang terpantul, terkadang hanya menyisakan sebuah gema yang panjang. Suara-suara


tertawa itu. Tertawa yang serba keras itu. Suara-suara yang tak lagi lengkap memasuki labirin telinganya. Masih saja dirinya berada di sudut. Terkadang, melangkah mondarmandir, terkadang duduk, sesekali dirinya rebahan. Peluhnya menetes. Ia masih saja gamang, bangunan puisi seperti apa yang paling baik, bagi dirinya, juga orang-orang yang ada di sekitarnya? Setelah puisinya selesai dibaca ada sesuatu yang bergema di dada. Mungkin sebuah getar yang menelusup dengan aroma ajaib— yang tak pernah bisa saya jelaskan setiap

kali selesai membacanya. Semacam yang diutarakan Iswadi dalam “Gema Secuil Batu”: di situ kau melemparkan secuil batu/ dan menunggu gemanya sepanjang harap/ lalu kau pun tahu, ada yang tak bisa lenyap// tak mungkin lengkap// (hal. 68). Membacanya saya seperti tersesat di lorong panjang yang bergema. Sebagaimana juga yang Iswadi bilang—dan menjadi semacam pengantar baginya—mungkin pula mengabarkan kedalaman dari makna sebuah kata. Ah, seseorang di sudut itu, saya tebak dengan pasti adalah seorang Iswadi Pratama.

Alex R. Nainggolan Dilahirkan di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di Jawa Pos, Sriwijaya Post, Riau Pos, Majalah Sagang dll. Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi di LPM PILAR FE Unila. Beberapa karyanya juga termuat dalam antologi Negeri Cincin Api (Lesbumi NU, 2011), Akulah Musi (PPN V, Palembang 2011), Sauk Seloko (PPN VI, Jambi 2012), Negeri Abal-Abal (Komunitas Radja Ketjil, Jakarta, 2013) dll. Kini berdomisili di Taman Royal 3 Cluster Edelweiss 10 No. 16 Kel. Poris Plawad Kec. Cipondoh Kota Tangerang Banten.

halaman 15


Esei

PENCAK SILAT PUITIK DODY CHRISTIANTO

**)

oleh Tjahjono Widarmanto ... Jika dalam syair kau membekuk si anjing api.aku bersedia membekap sang naga air dalam gerak. Aih, gejolak rahasia. Sebelum pertentangan kita tiba celupkan saja segala rima. Siapkan anasir gerak yang mungkin mengirim semua ancangku ke tanah basah ------(Sebelum Bertentang) /*/

reativit penyair terbangun reativitas dari apa saja, dan terbentuk te saja. Kreativitas dari mana m terbentuk dari penyair baik pengalaman dan penghayatan, pengalaman dan penghayatan jiwa, pengalaman dan penghayatan tubuh, pengahayatan dan pengalaman ingatan dan pikiran, dan segala hal yang bersentuhan dengan wadag, rasa, dan pikir penyairnya. Kreativitas itulah menghasilkan sebuah ruang kebenaran dalam koridor estetika

yang merupakan pengejawantahan dari sebuah penciptaan yang menciptakan sesuatu yang baru atau memberi warna baru atau memperbarui ciptaan-ciptaan lama. Ruang kebenaran yang dibangun sastra itu tidak hanya (dan tidak harus!) berupa data dan fakta semata. Kebenaran tersebut terbangun karena tafsiran-tafsiran ulang atas segala milliu yang tersentuh dalam ingatan dan pikiran yang sadar maupun tak sadar. Yang sengaja dibangkitkan atau tidak sengaja muncul bagai kuntilanak yang

**) Penulis adalah penyair, pembaca buku/komik silat yang pernah belajar silat.

halaman 16


melompat bangun dari tidur kuburnya. Tak ada tafsiran yang berakhir. Sejumput ingatan, sadar atau bawah sadar, seperti kabel listrik yang memercikkan pijaran api yang memantikkan tafsiran-tafsiran. Satu ingatan bisa beranak pinak beribu tafsir dengan beraneka bentuk tafsir. Bisa serius, bisa filosofis, namun mungkin juga iseng. Ruang kebenaran itu pun sekaligus ruang kebebasan yang imajinatif, yang muskil, dianggap berbeda, ajaib, unik, aneh, namun bisa pula dianggap biasa-biasa saja. /***/ Dody Christianto, tampaknya memiliki ingatan, bawah sadar atau sadar, tentang dunia persilatan. Tampaknya Ia memiliki kegemaran membaca ceritacerita silat atau komik-komik silat, baik yang ditulis berlatar Cina, semacam karyakarya Asmaraman S Kho Ping Hoo dengan tokohnya yang sakti; Bu Beng Khiam Hiap, maupun yang berlatar dalam negeri, seperti karya-karya SH. Mintardaja, yang legendaris dngan ratusan jilid Api Di Bukit Menoreh, Herman Pratikto, Widi Widayat, Bastian Tito, Ganes Esha, Arswendo Atmowiloto dan Seno Gumira Aji Darma. Asal tahu saja, cersil (cerita silat) digunakan untuk menamai sebuah genre fiksi yang mengandalkan kemahiran ilmu bela diri silat sebagai unsur sentral untuk menyelesaikan masalah. Istilah ‘Tjersil’, ini kali kesatu digunakan oleh Tan Tek Ho, jurnalis dari majalah Sin Po di tahun 1933 untuk menamai penerbitan bulanannya yang khusus memuat terjemahan silat Cina (wuxia xiashou). Sejak itulah cersil memperkaya kosa kata Bahasa Indonesia dan memperkaya genre sastra Indonesia. Di era 1950-an genre ini meluas, harian Keng Po dan Sin Po menjadi penyebar pertama, juga majalah Pantjawarna dan Star Weekly.

Di Masa orba, karena sikap politik orba yang aneh, yang entah mengapa anti tionghoa, sehingga cersil memasuki masa suram setelah berjaya. Sangat mungkin pula, Dody juga praktisi silat yang bertahun-tahun menekuni dunia pencak sehingga tradisi pencak silat itu berurat berakar di dunia bawah sadarnya dan diam-diam suatu saat tiba-tiba nylonong dalam proses berpuisinya. Terpapar dengan gamblang: /Ketahuilah, aku mimpi bertemu satu jawara/penakluk. Memberiku jurus silat gaib/yang membakar tubuh …(sajak Sebelum Bertentang)/, //Maka ia akan mental, atau malah mengeluarkan/yang ia sembunyikan: langkah ratusan tahun yang/tersimpan pada ingatan (sajak Jurus Penangkis Macan);/; // ia memang gemar datang tiba-tiba/kamu tentu akan terpesono dengan awalan/ yang ia tunjukkan (Pencak Walang)//; / percayalah, kau yang mengimani/cakaran, bogem mentah, gasak kepala/harus tersuruk. Memekarkan kuduk./itu sungguh bila kau masih menduga….(Menyakini Bangau Mengantuk)//; //kuimpikan anasir gerak benar terpancang… (Kelihaian Tubuh Api) //; /yang kau pendam itu tak benar mati/ aku menunggu saat diingatkan kilat yang nyasar,/dibangunkan dari tidur sementara… (Memendam Jawara); //malam ini tarung penghabisan. Kita gelar semua jurus:/ gerak ancang, pukulan, tendangan, cabikan hingga semua/pitingan yang kau kulik dari hikayat kitab kerahasiaan//…yang tak dapat kau sembunyikan (Tentang Tarung Terakhir)//. Adalah sebuah ketidaksengajaan jika saya seperti juga Dody, gandrung pada cerita silat. Bahkan sampai saat ini saya mengoleksi ratusan buku SH. Mintardja yang penuh pesona dan mengundang takjub. Semua cerita silat (juga silat itu sendiri) selalu

halaman 17


mengambil setting masa lampau; bagian tak terpisahkan dari masa lalu! Selalu tak terduga, tak bernalar dan selalu memberi tempat pada sesuatu yang irasional, seperti wangsit, laku, kekuatan yang tak kasat mata. Sesuatu yang tak terduga dan tak bernalar, yang selalu menjadi ciri masa lalu itulah yang ‘mengikat’ cerita silat (juga:silatnya) dengan para pembacanya (pun praktisinya!). Penulis dan pembaca cerita silat selalu terpesona masa lalu. Bayangan tentang Joko Tingkir yang tengah bersila bisa melompat mundur melewati kolam, tanpa ancangancang saat rajanya yaitu Sultan Trenggana lewat, atau saat Joko Tingkir mengarungi sungai dengan rakit sambil nembang sigra milir yang rakitnya ditopang oleh 40 buaya atau saat sang Joko “ngepruk” kepala kerbau ndanu yang mengobrak abrik istana hingga pecah berserak, terus melekat di benak para penggila cersil. Demikian juga ketakjuban mereka akan jurus-jurus silat yang dimainkan para tokoh yang juga sangat imajinatif seimajinatif para tokohnya. Demikian imajinatifnya sehingga bisa terbayangkan dan mendengarkan jurus “tepukan satu tangan”, atau merasakan “pukulan jarak jauh”, sampai membayangkan ajian “tameng waja”, “lembu sekilan” yang sanggup melindungi tubuh dan kebal dari segala pukulan dan tebasan senjata. Imajinasi yang muncul itu begitu menghibur, tak soal masuk di akal atau muskil. (Bukankah khazanah sastra-sastra klasik yang kita kenal juga tak pernah menyoal masuk akal atau muskilkah kebenaran dalam sastra? Bukankah kita menerima tanpa proses cerita keperawanan Kunti Talibrata yang tetap terjaga karena anaknya, Karna, lahir dari telinga?) justru ketidakmasuk akalan inilah semakin menanamkan imajinasi di benak

halaman 18

pembacanya. Dan, Dody Kristanto, dengan sangat kreatif memunculkan ingatan kita pada imajinasi atas ketertakjuban pada keperkasaan jurus-jurus itu. Juduljudul “Jurus Semburan Ular”, “Gerak Elang Mengelak”, “Jurus Penangkis Macan”, “Pencak Walang”, “Mengamati Tiga Jurus”, “Kunyuk Melempar Buah”, “Menyakini Bangau Ngantuk”, “Tendangan Tanpa Bayangan”, “Langkah Penjinak Pedang”, “Membalik Cakaran”, “Tapak Pemecah Angin”, merupakan judul-judul puisi yang menggambarkan sekian ragam jurus pencak silat yang sungguh asyik dibayangkan. Pertarungan yang dahsyat dengan asyik digambarkan dengan tidak menjadikan puisi durhaka pada hakikatnya yang padat menyublim seperti dalam kutipan sajak ‘Langkah Penjinak Pedang”: /Di kananmu sekian langkah,/di kirimu, kuda-kuda yang berjaga/Mantapkan jangan tergesa/…// jangan beri ia langkah pertamamu.Tahan. Simpan/semua gerak dan gertak…//. Juga pada sajak “Menjajal Pohon”; …/..tinjumu yang terarah…/…. /tendanganmu yang cepat/ yang kamu sumbar selincah kilat/…/kudakudamu yang sempurna/disambung gerak pukulan pertama/kemudian tendangan ke arah atas/dipungkasi dengan cakar/dan cabikan di tengah/…./ Sesungguhnya, Dody Christanto sedang meneruskan tradisi para sastrawan silat, meneruskan tradisi para empu, mengembangkan tradisi para suhu yang menuliskan kembali ingatan-ingatan tentang sebuah tradisi yang dibesarkan dan diberi tempat rakyat kecil. Kebetulan sekali, saya dibesarkan dalam sebuah wilayah geografis yang akrab dengan tradisi ‘pencak berpecak, ‘silat bersilat’ -(bahkan dalam anggapan masyarakat umum di tempat saya; anak


laki-laki yang tidak pernah belajar pencak dianggap tidak lengkap kelakiannya alias kurang jantan)-, sehingga estetika puitika silat dalam sajak-sajak Dody dapat dengan akrab bersilaturahmi dalam keterbacaan saya. Dalam ilmu bersilat dan berpencak, tak hanya dikenal jurus belaka, namun di balik itu ada filosofi, ajaran, pedoman hidup, bahkan ritual yang dianggap sakral. Sajaksajak Dody cukup berhasil menampakkan filosofi itu. Peerhatikan kutipan ini, yang jelas-jelas mengajarkan kita untuk mewaspadai yang tersirat, mewaspadai segala kemungkinan:…/cegat segala kemungkinan yang datang/termasuk ia yang/berumah di sebuah kitab api/…/…hatihati akan perihal tua yang sembunyi dari/ sebalik belukar/…/jangan terlena dengan jalannya yang pelan…//. Dalam sajak yang lain terungkap:/jangan hanya berguru pada yang tampak/berpasrahlah pada segala yang tak dapat/diurai mata//. Di dunia ilmu pencak ada ajaran tentang keselarasan jurus yang harus memperhatikan wirama, wirasa, wiraga. Artinya dalam sebuah jurus ada keselerasan antara irama, perasaan (rasa) dan gerak tubuh (wiraga) yang apabila seorang pendekar bisa sempurna melatihkannya bisa memunculkan lontaran jurus yang dahsyat. Ajaran itu diungkapkan dengan bagus oleh Dody dalam barisbaris:/…bagaimana yang tak imbang ini/kini sejalan//selaras dalam gerak, menyatu dalam sajak/hinmgga yang terlihat ialah sepasang hantam/paling rancak/ /***/ Situasi yang jungkir balik, yang tak menentu dalam kehidupan sosial politik kita saat ini, membutuhkan kehadiran seorang jago silat. Jago silat adalah pendekar yang

mumpuni dalam olah kanuragan dan olah kajiwan, yang tak pernah gentar menghadapi apa atau siapapun. Yang tak pernah silau mengarungi situasi apapun karena yakin berada di pihak yang benar. Dalam urusan resmi yang terkait politik dan birokrasi, atau tiran penindasan, jago silat tampil sebagai hero yang bertindak cepat tanpa pamrih. Prestasinya sebagai juru atawa pendekar silat dicapainya dengan taruhan apa saja,--mengorbankan diri, mengorbankan pacar, istri atau bahkan saudara-saudara seperguruannya. Juga segala resiko apapun akan ditempuhnya, seperti bertapa, menyiksa diri, berlatih keras dan sakit, semua akan ditempuhnya demi tujuan mulia: jadi pendekar pembela kebenaran. Seorang pendekar tak pernah berpihak pada apapun dan siapa pun, tak pernah mengikatkan diri pada darah, keturunan, korps apalagi duit. Dia hanya akan berpihak pada golongan yang benar dan memproklamirkan diri untuk melawan segala golongan hitam yang sesat. Cerita silat itu sendiri, dengan segala kerinduannya kepada hero yang sang pendekar itu, lahir pada masa paling kacau dalam sejarah sosial Cina, yaitu kira-kira pada kurun waktu 500-200 STU (sebelum tarikh umum), yang dinamai era Can Guo atau Negara-Negara Berperang. Konon di masa itulah hidup tokoh yang orang biasa (bukan bangsawan atau priyayi) yang menguasai ilmu bela diri yang dahsyat dan berperi laku luhur. Pendekar yang orang biasa inilah yang kemudian menyelesaikan berbagai persoalan sosial dan politik di masa itu ketika penguasa korup, tiran, dan lalim menindas masyarakat. Dunia bawah sadar Dody Christianto tampaknya merindukan hero; sang pendekar

halaman 19


itu. Di tengah zaman yang penuh gebalau kemerosotan soaial, ekonomi, ketidakadilan dan politik yang tak kunjung padam dan yang belum jelas benar siapa yang sanggup menemukan solusinya (mungkin juga segala persoalan personalnya, konflik batinnya), ia merindukan seorang pendekar yang bisa menuntaskan segala soal itu. Karena Dody seorang penyair, ia tak memunculkan kehadiran pendekar itu sebagai sebuah kisah, namun memunculkannya dalam sajak-sajaknya sebagai berbagai jurus yang dahsyat. Bahkan, ia mengimajinasikan dirinya sendiri sebagai sang pendekar itu, sang jawara yang ‘memungkasi’ segala persolan sosial dan personalnya. Jadilah ia pendekar tak terkalahkan melawan ‘entahlah’ dalam sajak-sajaknya. /***/ Dalam pemahaman antropologi sastra, gejala yang mengaitkan antropologi dan sastra adalah masa lampau, citra notalgis dan citra arkais. Masa lampau merupakan bagian yang penting dalam jiwa dan kehidupan manusia. Freud menyebutnya sebagai lapis ketaksadaran, yang disebut awam sebagai memori. Masa lampau tidak pernah hilang, melainkan terekam, tersimpan dalam ketaksadaran manusia. Masa lampau yang tersimpan dalam lapis ketaksadaran itulah bisa kembali muncul dan terungkapkan. Silat dengan jurus dan tentu saja dengan muatan falsafahnya (ajaran, petuah) merupakan salah satu dari memori masa lampau dalam diri Dody. Dan, bukan sesuatu yang mustahil bila tibatiba bangkit (atau sengaja dibangkitkan) dengan pengungkapan yang berbeda. Sajaksajak Dody menampakkan hal yang serupa. Memori masa lampau tentang persilatan yang pernah direkamnya bangkit kembali

halaman 20

dan menjadi bentuk ekspresi estetika sajaksajaknya, memunculkan puitika baru yang belum pernah digarap penyair lain; yang tak ragu-ragu saya menyebutnya sebagai: puitika pencak silat!. ***

TJAHJONO WIDARMANTO Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Meraih gelar sarjananya di IKIP Surabaya (sekarang UNESA) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, dan saat ini melanjutkan studi di program doctoral di Pascasarjana Unesa. Bukunya yang baru terbit: MARXISME: Sumbangannya Terhadap Teori Sastra (2014) dan SEJARAH YANG MERAMBAT DI TEMBOK-TEMBOK SEKOLAH (Buku puisi, 2014) Bukunya yang terbit terdahulu : MATA AIR DI KARANG RINDU (buku puisi, 2013), MASA DEPAN SASTRA: Mozaik telaah dan Pengajaran Sastra (2013), NASIONALISME SASTRA (bunga rampai esai, 2011),dan DRAMA: Pengantar & Penyutradaraannya (2012), UMAYI (buku puisi, 2012), KIDUNG BUAT TANAH TERCINTA (buku puisi, 2011), MATA IBU (buku puisi, 2011), DI PUSAT PUSARAN ANGIN (buku puisi, 1997), KUBUR PENYAIR (buku puisi:2002), KITAB KELAHIRAN (buku puisi, 2003) Menerima Anugerah Penghargaan Seniman dan Budayawan dari Pemprov Jatim (2003), beberapa kali memenangkan sayembara menulis tk. Nasional dan suntuk menghadiri berbagai pertemuan sastra ditingkat nasional dan internasional. Menjadi Pembantu Ketua I, Dosen di STKIP PGRI Ngawi dan guru SMA 2 Ngawi.


Cerita-pendek

Ladang yang Ada di Balik Ladang oleh Dadang Ari Murtono

Hanya peladang sejati yang bisa sampai ke ladang itu, nak,” demikian selalu Bapak memungkasi ceritanya tentang ladang itu. Ladang yang ada di balik ladang. “Bagaimana caranya supaya saya bisa menjadi peladang sejati pak?” tanya saya. Bapak tersenyum. Senyum yang hangat. Sehangat pisang goreng yang disediakan Ibu. Sehangat genggaman tangan Bapak. “Baik-baiklah merawat sepetak ladang kita itu. Baik-baiklah merawat pisang, ketela rambat, rambutan, dan segala tanaman-tanaman yang kautanam di sana. Kau pasti bisa menjadi peladang sejati. Juga jangan lupa, rajin-rajinlah mengaji dan berdoa,” pungkas Bapak sembari menghembuskan kuatkuat asap kreteknya. Begitulah semenjak kecil saya didongengi. Dan setiap dongeng itu usai, saya membayangkan sudah menjadi peladang sejati. Lalu entah bagaimana caranya, saya tiba-tiba telah berada di ladang yang ada dalam dongeng Bapak itu. Ladang yang ada di balik ladang. Ada di balik ladang kami. Ada di balik ladang Paman Up. Ada di balik ladang Wak Kaji Ali. Ada di balik ladang siapa saja. Tapi sungguh, tidak semua pemilik ladang itu bisa melihat ladang yang ada di balik ladang. Apalagi sampai ke sana. Hanya peladang-peladang tertentu. Peladang-peladang pilihan. Peladang-peladang sejati saja. “Apakah Bapak bisa melihat ladang itu?” tanya saya suatu kali. halaman 21


Bapak hanya tertawa lembut. Lalu membelai rambut saya. Bapak tidak menjawab pertanyaan saya itu. Tapi dari senyumnya, saya merasa Bapak sudah bisa melihat ladang itu. Lagipula, darimana Bapak bisa menceritakan kisah tentang ladang yang ada di balik ladang itu bila Bapak belum pernah melihatnya? Atau jangan-jangan, Bapak sudah sering pergi ke ladang itu. Barangkali ketika malam-malam saya mendengar derit pintu depan yang dibuka, itu adalah Bapak yang hendak pergi ke ladang itu. Barangkali Bapak menganggap saya masih terlalu kecil waktu itu untuk diajak serta. Anak kecil tidak boleh terjaga malam-malam, bukan? Sebab terjaga malam-malam bisa membuat saya mengantuk di sekolah dan pelajaran yang diberikan guru tidak bisa saya terima dengan baik. Dan bila pelajaran itu tidak bisa saya terima dengan baik,

halaman 22


maka nilai-nilai saya pada caturwulan yang akan datang akan buruk. Bila nilai saya buruk, saya bisa tidak naik kelas. Itu akan membuat Bapak dan Ibu bersedih. Kata Bapak, untuk menjadi peladang sejati, saya tidak boleh membuat Ibu dan Bapak bersedih. Saya juga mesti menuruti nasihat-nasihat Bapak dan Ibu. Saya memang berusaha mati-matian menuruti nasihat-nasihat itu. Tapi saya selalu terjaga setiap kali mendengar derit pintu depan yang dibuka. Lalu terdengar suara langkah kaki keluar rumah. Saya hapal, langkah dengan irama seperti itu, adalah suara langkah kaki Bapak. Tapi saya tidak berani mengintip. Apalagi minta Bapak mengajak saya. Itu tidak mungkin. Sudah larut. Bapak tidak bakal mengijinkan. Bahkan, mungkin, Bapak akan memarahi saya karena terjaga selarut itu. Bapak memang lelaki yang hebat. Tidak ada lelaki yang begitu ingin saya tiru selain Bapak. Bapak yang peladang sejati. Bapak yang tahu dongeng tentang ladang di balik ladang. Bapak yang setiap larut malam keluar rumah untuk pergi ke ladang yang lain itu dan baru pulang bersamaan dengan orang-orang yang pulang berjamaah subuh di Masjid namun tidak sekali pun menguap di siang hari. Suatu kali, rasa penasaran itu begitu besar. Terus membesar. Dan akhirnya tidak bisa saya tahan lagi. Saya memberanikan diri bertanya kepada Ibu kemana sebenarnya Bapak pergi setiap larut malam. Ibu kelihatan terkejut. “Kau masih belum tidur selarut itu?” tanya Ibu. “Bapakmu akan mengomelimu dan menghukummu dengan tidak memberi uang saku bila tahu kau tidak menuruti nasihatnya untuk tidak begadang,” lanjut Ibu. Ya, itulah sebabnya saya tidak menanyakan hal itu langsung kepada Bapak. “Ibu jangan bilangbilang Bapak ya? Saya hanya terbangun sebentar,” bohong saya. Barangkali karena melihat raut muka saya yang memelas, Ibu berjanji untuk tidak menceritakan hal itu kepada Bapak. “Bapakmu tahajud di Masjid,” demikian kata Ibu. “Berarti Bapak tidak pergi ke ladang lain itu, Bu?” tanya saya. Ibu tertawa. Renyah sekali. “Tentu saja tidak, nak,” kata Ibu. Tapi saya tidak percaya. Saya masih terlampau kecil. Dan jalan ke ladang itu begitu sulit, kata Bapak. Jalannya hanya setapak. Di kanan kirinya bergerumbul semak-semak berduri. Jalan itu juga menanjak. Kerikil-kerikil yang teramat tajam berserakan sepanjang jalan. Siap mengoyak kaki siapa saja yang melewatinya. Yang tidak tahan bisa mati di tengah jalan. Ada juga yang mengurungkan niat dan kembali ke bawah. Ada yang memutuskan untuk berhenti di tengah jalan. Membangun pondok

halaman 23


kecil. Melepas lelah. Menunggu waktu untuk meneruskan perjalanan. Ya, Bapak takut saya tidak kuat menempuh jalan itu. Bapak menunggu waktu yang tepat untuk mengajak saya. Penjelasan perihal jalan yang sesulit itu, membuat saya betul-betul kebingungan. Bukankah ladang itu ada di balik ladang kami? Lalu kenapa untuk menuju ke sana sedemikan sulit? Kata Bapak, itulah misteri alam. Saya belum paham apa itu misteri, pada waktu itu. Tapi dalam pemahaman saya yang masih kecil, itu berarti sesuatu yang sangat sulit dimengerti. Tapi bukankah memang demikian. Untuk mendapat sesuatu yang luar biasa, dibutuhkan usaha yang luar biasa. Dan kesulitan yang mesti dilewati untuk bisa sampai ke ladang itu, sebanding benar dengan apa yang bakal didapatkan di ladang itu. Kata Bapak, ladang itu dipenuhi segala macam buah-buahan, sayur-sayuran, juga padi yang tak terhingga luasnya. Kita tak perlu merawatnya. Kita tak perlu menyebar benih. Kita tak perlu menyianginya. Kita tak perlu takut dengan hama-hama semacam ulat penggerek buah atau busuk pangkal batang yang menjadi musuh utama tanaman-tanaman di ladang kami. “Kau tinggal memanennya,� kata Bapak. Dan ini yang benar-benar sangat saya sukai: semua tanaman itu tumbuh terbalik. Jadi, kau tak perlu susah-susah memanjat bila hendak mengunduh mangga, misalnya. Demikian kata Bapak. Wah, itu ladang yang luar biasa. Itu benar-benar mengagumkan. Saya berpikir, ladang itu adalah ibu bagi semua ladang yang ada di kampung kami. Saya tidak sabar segera dewasa. Lalu merawat ladang kami ini dengan baik. Menjaga baik-baik segala tanaman yang ada di ladang kami ini. Lalu segera menjadi peladang sejati seperti Bapak. Dan bisa segera pergi ke ladang yang lain seperti yang Bapak lakukan setiap larut malam. “Kalau saya sudah dewasa dan sudah menjadi peladang sejati, Bapak mau menunjukkan jalan menuju ladang yang ada di balik ladang kita itu bukan?� tanya saya. Bapak hanya tertawa. Tapi dari tawa itu, saya bisa menyimpulkan bahwa Bapak bersedia. Tentu saja Bapak bersedia. Saya yakin. Apa sih yang tidak bersedia dilakukan orang tua untuk anaknya, apalagi bila anak itu anak semata wayang seperti saya? Tapi tidak semua rencana berjalan seperti yang kita inginkan. Bapak tidak pernah mengajak saya pergi ke ladang itu. Bapak tidak menunjukkan jalan itu seperti yang beliau janjikan lewat ketawanya

halaman 24


dahulu. Bapak meninggal ketika wabah demam berdarah menyerang kampung. Ibu sedih. Saya juga sedih. Ibu menangis. Saya juga menangis. Terbayang di kepala saya, seumur hidup, saya tidak akan pernah melihat ladang luar biasa yang ada di balik ladang itu. Bapak yang tahu jalannya. Bapak yang setiap larut malam pergi ke sana. Dan kini Bapak meninggal. Siapa yang akan menunjukkan ladang itu? Dengan meninggalnya Bapak, saya merasa benar-benar putus asa. Sesejati-sejatinya saya kelak menjadi peladang, bila tak ada penunjuk jalan, bagaimana saya bisa sampai ke ladang yang ada di balik ladang itu? Saya mengeluhkan hal itu kepada Ibu pada hari ketujuh tahlilan di rumah kami. Ibu, dengan matanya yang sembab kebanyakan menangis, malah memeluk saya. Dan dalam pelukan itu, Ibu berbisik, lirih sekali, “Bapakmu kini tinggal di ladang itu. Kelak, Ibu dan kamu juga akan menyusulnya. Bapak akan melambai-lambai. Menunjukkan jalan itu. Asal kau benar-benar menjadi peladang sejati.� Saya tercenung. Tambah bingung. Bapak meninggal. Dan kata guru agama di sekolahan, orang yang meninggal itu perginya ke akhirat. Bertemu Tuhan. Bukan ke ladang. Butuh bertahun-tahun bagi saya untuk kemudian percaya bahwa setiap larut, Bapak memang pergi ke Masjid untuk bertahajud dan bukannya pergi ke ladang. Saya juga percaya bahwa setelah meninggal, Bapak memang menghuni ladang itu. Saya juga tahu bahwa di ladang itu, bukan hanya ada tanaman-tanaman yang subur dan tidak perlu kita rawat, tanaman-tanaman yang tumbuh terbalik sehingga kita bisa dengan mudah mengunduhnya, tapi juga ada sungai yang mengalirkan susu dan madu. Bapak memang peladang sejati. *** Dadang Ari Murtono Lahir dan tinggal di Mojokerto. Tulisannya pernah terbit di Jawa Pos, Surabaya Post, Kendari Post, dll. Sebagian yang lain menjadi bagian dari antologi bersama seperti Medan Puisi, Pasar yang Terjadi pada Malam Hari (antologi penyair mutakhir Jawa Timur 2), Manifesto Illusionisme, dll.

halaman 25


Cerita-pendek Terjemahan

Anak-anak Jantan dan Betina oleh Alice Munro (Dipublikasikan pada tahun1968, terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Kidung Gitagiri)

Munro mengangkat perihal yang terjadi pada perempuan dalam dua jalur: bagaimana pandangan dia sebagai seorang perempuan terhadap hal-hal yang ada pada dirinya dan di luar dirinya, serta bagaimana pandangan pihak di luar perempuan (masyarakat, pria dan keluarganya sendiri) terhadap seorang perempuan. Hal ini kentara sekali terasa pada cerpen ini “Boys and Girls�, dimana terdapat paragraf khusus berbunyi seperti berikut:

halaman 26


My grandmother came to stay with us for a few weeks and I heard other things. “Girls don’t slam doors like that.” “Girls keep their knees together when they sit down”. And worse still, when I asked some questions, “That’s none of girls’ business.” I continued to slam the doors and sit as awkwardly as possible, thinking that by such measures I kept myself free. (Nenekku tinggal bersama kami untuk beberapa minggu dan aku mendengar beberapa hal lain. “Anak perempuan tidak membanting pintu seperti itu.” “Anak perempuan menutup rapat kakinya sewaktu duduk.” Dan lebih parah lagi, sewaktu aku mengajukan pertanyaanpertanyaan, “Itu bukan urusan anak perempuan.” Aku tetap membanting pintu dan duduk seceroboh mungkin, kupikir dengan begitu aku bisa tetap bebas.) Lewat tokoh utama dalam cerpen “Boys and Girls”, Munro seakan melawan nilai-nilai yang telah dilekatkan masyarakat kepada perempuan. Pada bagian akhir cerpen tersebut, terdapat sebuah adegan dimana si tokoh utama perempuan membiarkan kuda milik ayahnya lepas pada saat ia seharusnya bisa mencegah kuda itu kabur, dan si ayah berkata: “Never mind. She’s only a girl.” Munro menunjukkan bahwa laki-laki kerap menganggap remeh perempuan dan sangat wajar apabila perempuan melakukan kesalahan-kesalahan seperti itu. “Never mind. She’s only a girl.” Jika di cerpen “Boys and Girls” Munro menampilkan stigma laki-laki terhadap perempuan, maka pada cerpen “Thanks for the Ride”, adalah sebaliknya. Munro menulis adegan yang menggambarkan bagaimana anggapan seorang perempuan terhadap kebiasaan laki-laki. “He just went around with me for the summer. That’s what those guys from up the beach always do. They come down here to the dances and get a girl to go around with. For the summer. They always do.” (“Dia hanya pergi berkeliling dengan saya untuk musim panas. Itulah yang selalu dilakukan dari orang-orang ke pantai. Mereka datang ke sini untuk tarian dan dengan mendapatkan gadis untuk pergi berkeliling. Itulah yang dilakukan mereka selalu selama musim panas). Tampak bahwa laki-laki sering ‘menggunakan’ perempuan untuk kepentingan (kenikmatan?) yang sementara saja, konkritnya, sebagai sebuah selingan. (Redaksi)

halaman 27


bahk adalah seorang peternak rubah. Maknanya, dia bahku beternak rubah perak pada kandang dan terkurung. beter Pada Pa musim gugur dan awal musim dingin, saat bulubulu mereka sedang lebat-lebatnya, dia akan menyembelih dan menguliti mereka lalu menjual bulu binatang-binatang itu ke perusahaan Teluk Hudson atau pedagang Bulu Montreal. Perusahaanperusahaan inilah yang menyalurkan almanak-almanak perjuangan untuk kami gantung, masing-masing satu pada sudut pintu dapur. Dengan latar belakang langit biru yang sejuk, hutan pinus hitam dan sungai utara yang berbahaya, para petualang berbulu menanam bendera Inggris atau Perancis; orang-orang buas yang agung membungkukkan punggung mereka pada perahu. Beberapa minggu sebelum Natal, Abahku rutin bekerja setelah makan malam di ruang bawah tanah rumah kami. Ruang bawah tanah itu dicat putih, diterangi oleh lampu seratus watt sepanjang meja kerja. Adikku Laird dan aku duduk di anak tangga paling atas memperhatikan. Abahku melepaskan bulu luar dari tubuh rubah, yang anehnya terlihat kecil, seperti tikus dan kejam, seperti kehilangan beban angkuh dari bulunya. Tubuh licin dan telanjang itu dikumpulkan dalam sebuah karung dIbuang dan ditimbun pada tempat pembuangan sampah. Satu kali orang sewaan, Henry Bailey, mendatangiku dengan karung sarat muatan, melucu sambil berkata, “Hadiah Natal!� Menurut Ibuku itu tidak lucu. Kenyataannya dia tidak menyukai semua “operasi menguliti� itu, dengan rangkaian kerja keji, membunuh, menguliti, dan mempersiapkan bulu tersebut disebut Ibu dan berharap semua itu tidak perlu dikerjakan di dalam rumah yang menyebarkan bau tak sedap. Setelah bulu itu diregangkan luar-dalam pada sebuah papan panjang Abahku mengerik pelan-pelan, membuang jaringan pembuluh darah kecil yang menggumpal, bola-bola lemak; bau darah dan anyir daging binatang, yang merupakan pewangi primitif rubah itu sendiri, menyeruak di semua bagian rumah. Aku menganggapnya sebagai sesuatu yang musiman, sebagaimana aroma jeruk dan daun pinus. Henry Bailey mengidap masalah saluran pernapasan. Dia akan terbatuk dan terbatuk terus hingga muka sempitnya berubah merah, dan mata biru mudanya yang mengejek penuh dengan air mata; lalu dia akan mengangkat penutup tungku, kembali tegak, menyemburkan gumpalan besar dahak tepat pada jantung api. Kami mengagumi pertunjukkan ini karena kemampuannya mendahak semaunya, dan untuk tawanya yang penuh dengan siulan

halaman 28


tinggi dan degukan yang melibatkan seluruh perangkat rusak pada dadanya. Kadang-kadang sulit mengetahui apa yang sedang ditertawakannya dan selalu ada kemungkinan bahwa kitalah yang ditertawakannya Setelah kami pergi kami tetap bisa mencium aroma rubah dan tetap bisa mendengar tawa Henry, tapi hal-hal pengingat kehangatan, keamanan, benderang sinar buana ruang bawah tanah, seakan-akan berkurang dan hilang, mengambang pada udara dingin dan bau kapang lantai atas. Kami takut mendekati musim dingin. Kami tidak takut keluar sekalipun inilah masa ketika salju meringkuk di sekitar rumah kami dan tidur seperti ikan paus dan angin menyerbu kami sepanjang malam, datang dari ladang yang terkubur, rawa-rawa yang membeku, dengan senandung tuanya yang bermomok ancaman dan penderitaan. Kami takut pada ruangan dalam, yaitu kamar tempat kami tidur. Pada masa itu bagian atas rumah kami belum selesai. Sebongkah bata cerobong asap ada di pucuk dinding. Di tengahtengah lantai ada lubang persegi, dengan pagar kayu di sekelilingnya; itulah tempat mulut tangga berada. Di sisi lain kecil dari tangga yang tak digunakan oleh siapapun lagi segulung jubin linoleum terpacak di ujung, sebuah kereta anyaman dari teluk, sebuah keranjang pakis, kendi dan baskom cina dengan retakan di dalamnya, sebuah gambar pertempuran Balaclava, sangat sedih untuk dilihat. Pernah kubilang pada Laird, sewaktu dia sudah cukup umur untuk mengerti hal begini, bahwa para kelelawar dan tengkorak hidup di sebelah sana, tiap kali seseorang kabur dari penjara daerah, dua puluh mil jauhnya, aku membayangkan dia akan masuk dari jendela dan bersembunyi di balik linoleum. Tapi kami punya aturan-aturan agar tetap aman. Ketika lampu hidup, kami aman selama kami tidak melangkah keluar dari karpet usang persegi yang sudah ditetapkan sebagai wilayah kamar kami; sewaktu lampu sudah mati, tidak ada tempat yang aman kecuali tempat tidur kami sendiri. Aku harus mematikan lampu dengan cara berlutut pada ujung tempat tidur, dan merentangkan tangan sejauh yang aku bisa untuk meraih kabelnya. Dalam gelap kami berbaring di atas tempat tidur, rakit hidup kami yang sempit, menetapkan mata kami pada sinar redup yang datang dari tangga, dan menyanyikan lagu-lagu. Laird menyanyikan “Jingle Bells�, yang akan dia lantunkan kapan saja, entah itu Natal atau bukan, dan aku bernyanyi “Danny Boy�. Aku suka bunyi suaraku sendiri, rapuh dan memohon, meningkat dalam gelap. Sekarang kami dapat melihat bentuk beku yang buram dan tinggi pada jendela, putih dan murung.

halaman 29


Laird langsung tertidur setelah bernyanyi, aku bisa mendengar napas cerianya, panjang, puas. Sekarang sisa waktunya cuma untukku, waktu pribadi yang paling sempurna dan paling bagus di sepanjang hari, kuatur badanku erat di dalam selimut dan kulanjutkan salah satu dari cerita-cerita yang kuceritakan pada diriku sendiri dari tiap malam. Cerita-cerita ini tentang diriku, sewaktu aku sudah tumbuh sedikit lebih tua; terjadinya di buana-buana yang sudah kukenal, tetapi merupakan kesempatan untuk menampilkan keberanian, kegagahan, dan pengorbanan diri yang tak pernah kulakukan. Aku menyelamatkan orang-orang dari bangunan yang dibom (perang nyata yang sudah merayap terlalu jauh dari hari peringatan, telah mengecilkan hatiku). Aku menembak dua serigala gila yang mengancam pekarangan sekolah (para guru meringkuk ketakutan di belakangku). Mengendarai kuda gagah dengan penuh semangat di sepanjang jalan hari peringatanh, mengakui rasa syukur penduduk kota untuk sejumlah keping kepahlawanan yang baru-akan-akulakukan (tak ada yang pernah menunggang kuda di situ, kecuali King Billy sewaktu parade Hari Orangemen (atau Orangemen’s Day) merupakan peringatan untuk Pertempuran Boyne, yang berlangsung pada tahun 1690 di wilayah luar Drogheda, sekarang Irlandia. Ini adalah hari lIbur di provinsi Newfoundland dan Labrador, pada hari Senin yang paling dekat dengan 12 Juli.). Selalu ada menunggang dan menembak dalam cerita-cerita ini, sekalipun aku baru dua kali berada di atas kuda yang pertama kami tidak punya pelana dan yang kedua aku meluncur dan jatuh tepat di bawah kaki kuda, dengan santainya kuda itu melangkahiku. Aku pernah betulan belajar menembak, tapi tidak berhasil mengenai apapun, bahkan tidak satu kaleng pun pada tiang pagar. Riang, rubah-rubah menempati buana yang dIbuatkan Abahku. Dikelilingi oleh pagar pengaman tinggi, seperti kota abad pertengahan, dengan gerbang yang digembok pada malam hari. Di sepanjang jalanan kota ini terdapat beragam kandang besar, kokoh. Masing-masingnya mempunyai pintu sungguhan di mana orang bisa masuk, jalur kayu di sekitar kawat di mana rubah-rubah bisa berjalan naik dan turun, dan kandang kadang seperti kotak pakaian dengan lubang-lubang udara di mana mereka akan tinggal dan tidur di musim dingin dan mengurusi anak-anak mereka. Ada wadah air dan makanan meleket sedemikian rupa sehingga bisa dikosongkan dan dibersihkan dari luar. Wadah-wadah ini terbuat dari kaleng timah tua, dan jalur-jalur dan kandang-kandang aneh dan berujung pada balok kayu tua. Semuanya dIbuat secara rapi dan terampil. Abahku kreatif tanpa kenal lelah dan

halaman 30


buku favoritnya sedunia ialah Robinson Crusoe. Dia telah memasang satu drum timah pada gerobak dorong, untuk membawa turun air menuju kandang-kandang. Inilah tugasku pada musim panas, ketika rubah-rubah memerlukan air dua kali sehari. Antara jam sembilan dan sepuluh pagi hari dan sekali lagi setelah makan malam. Aku mengisi drum dengan pompa dan mendorongnnya turun melintasi pekarangan peternakan menuju kandang, aku akan parkir, dan mengisi wadah-wadah air dan melintas di sepanjang jalanan. Laird juga ikut, dengan kaleng penyiram kecil berwarna krim dan hijau, mengisi terlalu penuh dan mengetuki kakinya dan menumpahkan air pada sepatu kainnya. Aku punya kaleng penyiram sungguhan, milik Abahku, walau aku cuma kuat mengangkatnya sepertiga penuh. Semua rubah punya nama, yang dicetak pada lempengan timah dan digantung di samping pintu. Mereka tidak dinamai semenjak lahir, tapi ketika selamat dari tahun pertama pengulitan dan ditambahkan sebagai stok ternak. Nama-nama yang telah diberikan Abahku seperti Prince, Bob, Wally, dan Betty. Nama-nama yang aku beri seperti Star atau Turk, atau Maureen atau Diana. Laird menamai salah satunya Maude dari nama gadis pernah diperkerjakan sewaktu kami kecil, Harold dari nama bocah di sekolah, dan satu lagi Mexico, dia tidak bilang kenapa. Menamai mereka tidak menjadikan mereka peliharaan, atau yang semacam itu. Tidak seorang pun kecuali Abahku yang pernah masuk ke dalam kandang dan dia pernah dua kali keracunan darah karena gigitan. Ketika aku membawakan air, mereka berkeliaran di atas dan bawah jalur yang telah mereka ciptakan sendiri dalam kandang, kadang-kadang menyalak mereka sisakan juga untuk malam hari, manakala barangkali mereka terbangun akibat senandung hiruk-pikuk sekeliling tapi yang selalu mereka lakukan ialah memperhatikanku, mata mereka membara, bening keemasan, pada wajah mereka yang jahat, runcing. Mereka menawan akibat kaki yang halus dan berat, ekor aristokratik dan bulu terang yang bertaburan dalam gelap di belakang sebagaimana nama mereka terutama wajah mereka, secara indah terbentuk tajam dalam kebencian yang murni dan mata keemasan mereka. Selain membawakan air aku membantu ayahaku ketika dia memotongi rerumputan tinggi, dan lamb’s quarter dan moneymusk yang berbunga (Lamb’s quarters & money-musk ini sebutan untuk sejenis tanaman liar), yang tumbuh di sekitar kandang. Dia memotong dengan sabit dan aku menggaruk ke dalam tumpukantumpukan. Lalu dia mengambil garpu taman dan melemparkan

halaman 31


potongan-potongan segar rerumputan ke dalam kandang agar rubah-rubah itu tetap sejuk dan jubah mereka tetap teduh, yang sudah terlanjur berwarna tembaga karena keseringan diserbu sinar matahari. Ayahkku tidak akan bicara padaku kecuali seputar kerjaan yang kami lakukan. Untuk hal inilah dia berbeda dengan Ibuku, yang, apabila sedang merasa ceria, akan memberitahaku segala macam hal nama anjing peliharaannya sewaktu dia kecil, nama bocah-bocah yang pernah kencan dengannya sewaktu dia remaja, dan seperti apa gaun-gaun tertentu yang pernah dia punya, dia tidak bisa membayangkan seperti apa bentuknya sekarang. Pikiran atau cerita apapun yang dimiliki Abahku bersifat pribadi dan aku begitu pemalu padanya dan tidak pernah menanyainya. Meski demikian aku tetap sudi bekerja di bawah tatapan matanya, dengan sebentuk perasaan bangga. Satu hari, pedagang makanan ternak datang ke kandang kami dan berbicara padanya, Abahku berkata, “Kenalkan rekan kerja saya yang baru.” Aku berbalik dan menggaruk dengan penuh semangat, wajahku merah kesenangan. “Hampir saja saya tertipu,” ujar sang pedagang. “Saya kira dia perempuan.” Setelah rerumputan dipotong, rasa-rasanya malah semaki bersemak pada tahun-tahun selanjutnya. Aku berjalan di tunggul jerami di malam sebelumnya dan menyadari langit memerah, kesunyian musim gugur sudah mulai masuk. Keika aku meluncurkan tangki keluar dari gerbang dan menaruh gemboknya. Sudah hampir gelap. Suatu malam ketika itu aku melihat Ibu dan Abahku berdiri dan berbicara di atas tanah yang sedikit tinggi yang kami sebut jalur gang, di depan kandang. Abahku baru saja pulang dari rumah daging, dia mengenakan celemek keras berlumuran darah, ada seember potongan daging di tangannya. Aneh juga melihat Ibuku berada di kandang. Dia tidak sering keluar rumah kecuali hendak melakukan sesuatu, menggantung cucian atau menggali kentang-kentang di kebun. Dia tidak selaras dengan kaki telanjangnya yang kasar, tak tersentuh oleh sinar matahari, celemek kerasnya tetap terpasang dan kumal di bagian perut akibat piring-piring makan malam. Rambutnya diikat di atas dengan sebuah kerudung, gumpalannya jatuh. Dia akan mengikat rambutnya seperti ini pada pagi hari, berkata dia tidak punya waktu untuk mengikat sebagaimana mestinya dan rambutnya akan tetap begitu sepanjang hari. Betul juga, sebenarnya dia tidak punya waktu. Belakangan ini beranda belakang kami selalu dipenuhi keranjangkeranjang berisi buah persik, anggur dan pir, dibeli dari kota, bawang,

halaman 32


tomat dan ketimun yang tumbuh di rumah, semuanya menunggu untuk dIbuat menjadi agar-agar dan selai dan makanan awetan, acar dan saus cabe. Di dapur sana api kompor selalu menyala sepanjang hari, toples-toples berdenting dalam air mendidih, kadang-kadang tas kain katun tipis digantung pada tiang di antara dua kursi yang tengah mengencangkan bubur anggur biru untuk dijadikan agaragar. Aku ditugasi dan aku akan duduk di meja mengupas buah persik yang sudah direndam di air panas, atau memotong bawang, kedua mataku perih dan basah. Segera setelah tugasku selesai aku langsung keluar rumah, kabur dari jangkauan pendengaran sebelum Ibuku memikirkan apa yang harus perintahkan selanjutnya. Aku benci dapur yang panas dan gelap itu pada musim panas, tirai hijau dan kertaskertas perekat penangkap lalat, meja berkain minyak yang itu-itu saja dan cermin bergelombang dan linoleum yang berjendul-jendul. Ibuku terlalu lelah dan sIbuk untuk berbicara denganku, dia tak punya hati untuk memberi tahu tentang Normal School Graduation Dance; peluh menetes dari mukanya dan dia selalu menghitung sambil bernapas berat, menunjuk-nunjuk toples, suram, dan secara spesifik menyedihkan; kerja di luar dan dalam bentuk melayani Abahku, adalah ritual yang penting. Aku mendorong tangki menuju kandang, di mana akan disimpan dan aku dengar Ibuku berkata, “Tunggu sampai Laird lebih besar dan kau akan mendapatkan bantuan sebenarnya.” Yang diucapkan Abahku tidak kudengar. Aku senang dengan cara dia berdiri dan mendengar, sopan sebagaimana yang akan dia lakukan pada seorang pedagang atau orang asing, tapi dengan aura ingin serius bersungguh-sungguh dengan kerjanya. Aku merasa Ibuku tidak punya urusan di luar sini dan aku ingin Abahku juga merasa demikian. Apa maksudnya menyebut Laird begitu? Dia tidak membantu siapapun. Di mana dia sekarang? Berayun-ayun di ayunan, berputar-putar, atau mencoba menangkap ulat bulu. Dia tidak pernah tinggal sampai aku selesai. “Lalu aku bisa lebih manfaatkan dia di rumah,” aku dengar Ibuku bicara. Dia punya gaya menyesal yang sepi dan tenang saat bicara tentang aku yang selalu saja membuatku merasa tak nyaman. “Aku baru saja membalik punggung dan dia sudah kabur. Seolah-olah tidak ada anak perempuan di keluarga ini sama sekali.” Aku pergi dan duduk di atas sebuah kantung makanan hewan di sudut kandang, tidak ingin kelihatan sewaktu percakapan ini sedang terjadi. Ibuku, aku rasa, tidak bisa dipercayai. Dia lebih baik daripada Abahku dan lebih gampang dibodohi, tapi kau tak dapat bergantung

halaman 33


padanya, alasan sebenarnya atas hal-ihwal yang dia katakan dan lakukan tidaklah patut diketahui. Dia menyayangiku, dan dia duduk sampai larut malam cuma untuk membuaatkan baju bergaya rumit yang aku inginkan untuk kupakai sewaktu sekolah dimulai, tapi dia juga musuhku. Dia selalu berencana jahat. Sekarang dia berencana jahat agar aku tetap tinggal di dalam rumah lebih lama, sekalipun dia tahu aku benci itu (karena dia tahu aku benci itu) dan melarangku bekerja untuk Abahku. Bagiku yang dia lakukan itu cuma tipu muslihat dan uji coba kekuasannya saja. Tidak terbayang olehku kalau dia barangkali kesepian, atau cemburu. Tidak ada orang dewasa yang bisa begitu; mereka terlalu beruntung. Aku duduk dan menendangnendang kantung makanan hewan dengan hak sepatuku secara monoton, menimbulkan debu, dan tidak keluar sampai Ibuku pergi. Pokoknya, aku tidak berharap Abahku memerhatikan apa yang Ibuku katakan. Siapa yang bisa bayangkan Laird melakukan tugasku. Laird mengingat gembok dan membersihkan wadah siram dengan menggunakan sebilah daun pada ujung tongkat, atau bahkan mendorong tangki tanpa perlu terpeleset? Itu saja sudah menunjukkan sungguh sedikit yang Ibuku ketahui tentang apa yang sesungguhnya terjadi di sekitar sini. Aku lupa menceritakan makanan apa yang diberikan pada rubah-rubah itu. Apron berlumuran darah yang dipakai Abahku mengingatkanku. Makanan mereka daging kuda. Ketika itu kebanyakan petani masih memelihara kuda dan sewaktu seekor kuda terlalu tua untuk bekerja, atau kakinya patah atau terus duduk dan tidak mau berdiri, sebagaimana yang kadang-kadang mereka lakukan, pemiliknya akan menelpon Abahku dan dia bersama Henry akan keluar menuju pertanian tersebut dengan menggunakan truk. Biasanya mereka menembak dan menjagal kuda di tempat, membayar petani mulai dari lima sampai dua puluh dolar. Kalau sudah terlalu banyak daging yang disimpan, mereka akan membawa pulang kuda hidup-hidup dan membiarkannya begitu di dalam kandang kami sampai berhari-hari atau berminggu-minggu, sampai dagingnya dIbutuhkan. Setelah perang para petani membeli traktor dan mulai menyingkirkan kuda-kuda, mereka tidak dIbutuhkan lagi. Kalau ini terjadi pada musim dingin kami bisa saja tetap menyimpan kuda di kandang sampai musim semi, karena kami punya banyak jeerami dan jika banyak salju dan bajak tidak selalu membersihkan jalanan selalu lebih muda pergi ke kota dengan seekor kuda dan kereta gandeng. Musim dingin sewaktu aku berumur sebelas tahun kami punya dua kuda di kandang. Kami tidak tahu apa nama mereka sebelumnya,

halaman 34


jadi kami sebut mereka Mack dan Flora. Mack seekor kuda pekerja tua berwarna hitam, berjelaga dan acuh tak acuh. Flora kuda betina coklat kemerah-merahan, seekor kuda tunggangan. Kami pergi dengan keduanya dengan kereta eretan. Mack pelan dan gampang diatur. Flora menyajikan bahaya yang sengit, menyalipi mobil-mobil bahkan kuda-kuda lain, tapi kami menyukai kecepatan dan loncatan tingginya, aura sopan dan terbuangnya yang lumrah. Pada hari Sabtu kami turun ke kandang dan segera setelah kami membuka pintu dengan nyaman, Flora si binatang pembau kegelapan membanting kepalanya, memutar-mutar bola matanya, meringkik putus asa, dan memaksa dirinya melewati krisis saraf-saraf ketika itu juga. Tak aman masuk ke dalam kandangnya, dia akan menendang. Musim dingin itu aku juga mulai mendengar lebih banyak seputar topik yang telah disuarakan Ibuku sewaktu di depan kandang. Aku tak lagi merasa aman. Seakan dalam pikiran orang-orang disekitarku ada arus mantap pemikiran, tak bisa dibelokkan, seputar topik ini. Kata anak perempuan sebelumnya tampak begitu lugu dan tanpa beban sebagaimana kata anak-anak; sekarang tidak lagi demikian. Seorang anak perempuan tidaklah, sebagaimana yang kukira, sesederhana diriku sebelumnya; itulah yang harus kujadikan diriku. Itu sebuah makna, selalu disentuh dengan penekanan, dengan celaan dan kekecewaan. Itu juga sebuah lelucon bagiku. Sekali aku dan Laird berkelahi, dan untuk pertama kalinya aku kerahkan seluruh tenagaku padanya; sekalipun demikian, dia menangkapdan memelintir tanganku untuk beberapa saat, sangat menyakitkan. Henry menyaksikan, dan tertawa, berkata, “Oh, Laird akan menunjukkanmu, akhir-akhir ini!” Laird semakin jauh lebih besar. Tapi aku juga bertambah besar. Nenekku tinggal bersama kami untuk beberapa minggu dan aku mendengar beberapa hal lain. “Anak perempuan tidak membanting pintu seperti itu.” “Anak perempuan menutup rapat kakinya sewaktu duduk.” Dan lebih parah lagi, sewaktu aku mengajukan pertanyaan-pertanyaan, “Itu bukan urusan anak perempuan.” Aku tetap membanting pintu dan duduk seceroboh mungkin, kupikir dengan begitu aku bisa tetap bebas. Ketika musim semi datang, kuda-kuda dibiarkan keluar di pekarangan kandang. Mack berdiri di dekat dinding kandang untuk menggaruk kepala dan pahanya, tapi Flora berderap naik dan turun di sekitar pagar-pagar, menggerincingkan kuku kaki pada jeruji. Timbunan salju menyusut cepat, menampakkan tanah coklat dan abu-abu yang keras, tanah naik dan turun yang akrab, polos

halaman 35


dan telanjang setelah pemandangan fantastis musim dngiin. Ada perasaan besar tentang keterbukaan, tentang keterlepasan. Sekarang kami cuma memakai sandal karet, ketimbang sepatu; telapak kaki kami rasanya ringan sekali. Suatu Sabtu kami pergi ke kandang dan mendapati semua pintu terbuka, membiarkan masuk sinar matahari yang tak biasa dan udara segar. Henry ada di sana, hanya bermalasan dan melihat-lihat koleksi kalendernya yang ditempelkan di belakang kandang di bagian kandang kuda yang kemungkinan tak pernah dilihat Ibuku. “Ayo ucapkan selamat tinggal pada teman lamamu Mack?” ujar Henry. “Sini, kau biarkan dia mencicipi rasa gandum.” Dia menuangkan gandum ke dalam tangkupan tangan Laird dan Laird langsung memberikannya pada Mack. Kondisi gigi Mack buruk. Dia makan sangat pelan, dengan sabar menggeser-geser gandum dalam mulutnya, mencoba menemukan geraham untuk menggilas. “Mack tua yang malang,” ujar Henry sedih. “Kalau kuda sudah kehilangan gigi, habislah dia. Begitulah nasibnya.” “Kau mau menembaknya hari ini?” kataku. Mack dan Flora sudah sangat lama di dalam kandang sampai-sampai aku hampir lupa mereka akan ditembak. Henry tidak menjawabku. Sebaliknya dia malah mulai bernyanyi dengan suara tinggi, bergetar, dan pura-pura sedih. Lidah Mack yang tebal dan kehitaman tengah sIbuk di atas tangan Laird. Aku pergi sebelum lagi berakhir dan duduk di jalur gang. Aku belum pernah menyaksikan mereka menembak kuda, tapi aku tahu di mana dilakukannya. Musim panas yang lalu aku dan Laird menemukan isi perut kuda yang belum dikubur. Kami mengira itu seekor ular besar hitam, melingkar di bawah sinar matahari. Kejadiannya di padang yang membentang di samping kandang. Aku pikir kalau kami masuk ke dalam kandang, dan menemukan celah yang lebar atau lubang pada papan untuk mengintip, kami dapat menyaksikan kejadiannya. Itu bukanlah sesuatu yang ingin aku saksikan; sama saja, jika sesuatu betul-betul terjadi akan lebih baik ikut menyaksikan, dan tahu. Abahku keluar dari rumah, membawa senapan. “Apa yang kau lakukan di sini?” katanya. “Tidak ada.” “Pergi dan bermainlah di sekiar rumah.” Dia menyuruh Laird keluar kandang. Aku berkata pada Laird, “Apa kau mau menyaksikan mereka menembak Mack?” dan tanpa menunggu jawaban aku tuntun dia menuju pintu depan kandang,

halaman 36


kubuka pelan-pelan, dan masuk. “Diam atau mereka akan dengar,” kataku. Kami bisa mendengar Henry dan Abahku bicara di kandang kuda; lalu langkah-langkah berat Mack yang tengah diseret dari kandangnya. Di kandang itu dingin dan gelap. Berkas saling-silang tipis sinar matahari jatuh melalui celah-celah. Tumpukan jerami itu rendah. Bidang yang maju dan mundur, cembung-cembung dan cekungcekung, bergelinciran di bawah kaki kami. Sekitar empat kaki di atas adalah balok-balok kayu yang menempel di sepanjang dinding. Kami menumpuk jerami jadi satu dan aku mendorong Laird dan mengangkat diriku. Baloknya tidak terlalu lebar; kami menyusurinya dengan tangan pada dinding kandang. Ada banyak lubang papan, aku menemukan satu yang menghasilkan sudut pandang yang kuinginkan satu sudut bidang pekarangan kandang, pagar, bagian dari padang. Laird tidak menemukan lubang papan dan mulai mengeluh. Aku tunjukkan padanya sebuah retakan lebar di antara dua papan. “Diam dan tunggu. Kalau mereka mendengarmu kita bakal dapat masalah.” Abahku muncul membawa senapan. Henry menyeret Mack dengan tali jerat. Dia menjatuhkannya dan mengeluarkan kertas rokok dan tembakau; dia melinting rokok untuk Abahku dan dirinya sendiri. Ketika itu Mack tengah mengendus-endus rerumputan tua dan mati di sepanjang pagar. Lalu Abahku membuka gerbang dan membawa Mack keluar. Henry menyeret Mack menjauhi jalur setapak dan mereka kembali berbicara, tidak cukup keras untuk kami dengar. Mack kembali mencari-cari sesuap rumput segar, tapi tidak berhasil. Abahku melangkah lurus berhenti pada jarak pendek yang pas menurutnya. Henry juga menjauh dari Mack, tapi ke samping, masih acuh tak acuh memegangi tali jerat. Abahku menembak Mack. Mack tidak langsung jatuh tapi terhuyung, meloncat ke samping dan jatuh, pertama ke samping; lalu dia berguling terlentang dan, ajaibnya, menendang-nendangkan kakinya di udara untuk beberapa detik. Mulanya Henry tertawa, seakan-akan Mack telah melakukan semacam tipu daya. Laird, yang telah menarik napas terkejut yang panjang dan mengerang sejak tembakan meletus, berkata keras, “Dia tidak mati.” Dan bagiku seakan-akan itu betulan terjadi. Tapi kakinya berhenti, dia berguling ke samping lagi, otot-ototnya bergetar lalu redam. Kedua laki-laki itu mendekat dan menatapinya dengan cara yang praktis; mereka berjongkok dan memeriksa dahi di mana peluru tengah bersarang, dan sekarang aku melihat darahnya pada rerumputan coklat.

halaman 37


“Sekarang mereka tinggal menguliti dan mencincang-cincangnya,” kataku. “Ayo pergi.” Kakiku sedikit gemetar dan aku meloncat menuju tumpukan jerami. “Sekarang kau sudah tahu bagaimana cara mereka menembak kuda,” kataku dengan sejenis nada selamat, seakanakan aku sudah sering menyaksikannya sebelumnya. “Ayo lihat apa kucing-kucing kandang sudah punya anak dalam jerami.” Laird meloncat. Dia seakan muda dan penurut lagi. Seketika saja aku ingat bagaimana, sewaktu dia masih kecil, aku membawanya ke kandang dan menyuruhnya memanjat tangga menuju balok paling atas. Itu terjadi di musim semi juga, sewaktu tumpukan jerami rendah. Aku lakukan semata-mata karena butuh kesenangan, keinginan agar terjadi sesuatu sehingga aku bisa bercerita tentang itu. Dia mengenakan mantel kecil tebal berkerah berwarna coklat dan putih, dIbuat dari salah satu punyaku. Dia terus naik ke atas seperti yang kusuruh dan duduk pada salah balok yang di bawah salah satu sisinya ada tumpukan jerami, dan lantai kandang dan mesin-mesin tua di bagian lain. Lalu aku berlari dan menjerit pada Abahku. “Laird naik ke balok paling atas!” Abahku datang, Ibuku datang, Abahku naik ke atas dengan tangga, bicara pelan dan membawa Laird turun dengan tangannya, sementara Ibuku bersandar pada tangga dan mulai menangis. Mereka berkata padaku, “Kenapa kau tidak awasi dia?” tapi tidak ada yang pernah tahu kenyataannya. Laird belum cukup mengerti untuk memberitahu. Tapi tiap kali aku melihat mantel berkerah berwarna coklat dan putih digantungkkan di kloset, atau pada bagian bawah tas kain, yang mana di situlah mantel itu akan berakhir, aku merasakan semacam beban pada perutku, kesedihan akan rasa bersalah yang belum terusir. Aku menatap Laird, yang bahkan tidak ingat kejadian itu, dan aku tidak suka dengan penampilannya kali ini, wajah dingin-pucat. Ekspresinya tidak takut ataupun kesal, tapi berjarak, berkonsentrasi. “Dengar,” kataku dengan suara cerah dan bersahabat yang tak biasa, “kau tidak akan bilang, ‘kan?” “Tidak,” katanya sambil lalu. “Janji.”“Janji,” katanya. Aku sambar tangannya di belakang untuk memastikan dia tidak sedang menyilangkan jari. Meskipun demikian, dia mungkin diserang mimpi buruk; mungkin saja datangnya seperti itu. Aku putuskan sebaiknya aku bekerja keras untuk mengorek segala apa yang dia pikirkan dalam kepalanya yang, menurutku, tidak dapat menyimpan banyak hal sekalgus. Aku punya sejumlah uang yang aku simpan dan pada sore itu kami pergi menuju Jubilee dan menonton sebuah pertunjukan, dengan Judy Canova, di mana kami berdua

halaman 38


tertawa puas. Setelah itu aku pikir segalanya akan aman-aman saja. Dua minggu kemudian aku tahu mereka akan menembak Flora. Aku tahu dari malam sebelumnya sewaktu aku mendengar Ibuku bertanya apa tumpukan jeraminya cukup, dan Abahku bilang, “Yah, setelah besok cuma akan ada sapi, dan minggu lain kita bisa saja menyuruhnya merumput di luar.� Jadi aku tahu pagi harinya giliran Flora. Kali ini aku tidak kepikiran menyaksikan. Yang seperti itu cukuplah dilihat sekali saja. Aku tidak banyak memikirkan kejadian itu lagi, tapi kadang sewaktu aku sIbuk, belajar di sekolah, atau berdiri di depan cermin sambil menyisir rambut dan bertanya-tanya apakah aku akan cantik jelita bila sudah dewasa, seluruh yang aku saksikan akan melintasi pikiranku lagi: aku akan menyaksikan cara Abahku mengangkat senapan yang tampak begitu gampang dan terlatih, dan mendengar Henry tertawa sewaktu Mack menendang-nendangkan kakinya di udara. Aku tidak merasakan sejenis perasaan horror yang amat sangat dan berlawanan, sebagaimana yang akan dirasakan anak-anak kota; aku sudah terbiasa menyaksikan kematian binatangbinatang sebagaimana itulah yang perlu kami lakukan untuk bertahan hidup. Meski demikian aku merasakan sedikit malu, dan ada kekhawatiran baru, sebuah rasa tertahan, pada sikapku terhadap Abahku dan pekerjaannya. Ketika itu hari yang bagus, dan kami mengintari pekarangan memunguti batang-batang pohon yang berjatuhan karena badai musim dingin. Ini sesuatu yang sudah diperintahkkan pada kami, dan kami juga menginginkkannya untuk membuat teepee (Teepee (atau tipi) sejenis kemah tradisional, biasanya terbuat dari kulit binatang dan batang-batang). Kami dengar ringkikan Flora, dan kemudian suara Abahku dan sahutan Henry, dan kamu berlari menuju pekarangan kandang untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi. Pintu kandang kuda terbuka. Henry baru saja mengeluarkan Flora, dan kuda itu telah memisahkan diri darinya. Flora berlari bebas di sepanjang pekarangan kandang, dari satu ujung ke ujung lainnya. Kami memanjat pagar. Senang sekali menyaksikan dia berlari, meringkik, menaikkan kaki belakangnya, berjingkrak dan mengancam seperti kuda di film Western (Film western atau western movie maksudnya jenis (genre) film-film yang menceritakan kehidupan American Old West yang bersetting sekitar pertengahan abad ke 19, tahun 1800an), sebuah kuda ternak yang cacat, sekalipun dia Cuma tunggangan tua, kuda betina tua coklat kemerah-merahan. Abahku dan Henry berlari mengejarnya dan mencoba menangkap tali jerat yang terjuntai.

halaman 39


Mereka mencoba memojokkannya, dan mereka hampir saja berhasil sewaktu dia berlari menembus mereka, dengan mata liar, dan hilang di tikungan kandang. Kami mendengar gemerincing jeruji jatuh ketika dia meloncati pagar, dan Henry berteriak. “Dia ada di padang sekarang!” Artinya dia ada di padang berbentuk L yang membentang di depan rumah. Jika dia berada di pusatnya, menuju jalan, pintu gerbang terbuka; truk telah dibawa menuju padang pagi ini. Abahku berteriak padaku, karena aku ada di sisi lain padang, dekat jalan, “Tutup gerbang!” Aku bisa berlari sangat cepat. Aku berlari melintasi kebun, melintasi pohon di mana kami berayun dan bergantung, dan meloncati selokan menuju jalanan. Pintu gerbang teruka. Flora belum keluar, aku tidak mendapatinya di bagian manapun jalan; dia pasti berlari menjuju bagian lain padang. Pintu gerbangnya berat. Aku mengankat dari kerikil-kerikil dan mendorongnya sepanjang jalur keluar. Aku sudah separuh jalan sewaktu Flora terlihat, berlari lurus ke arahku. Aku cuma perlu memasang rantai saja. Laird datang melalui selokan untuk membantuku. Alih-alih menutup pagar, aku malah membuka selebar yang kubisa. Aku tidak memutuskan untuk melakukannya, itu kulakukan begitu saja. Flora tidak memelankan lajunya; dia berlari lurus melintasiku, dan Laird meloncat naik dan turun, berteriak, “Tutup, tutup!” walaupun sudah terlambat. Abahku dan Henry muncul di padang sedikit terlambat untuk melihat apa yang telah kulakukan. Mereka cuma sempat menyaksikan Flora menuju jalanan kota. Mereka mengira aku tidak punya cukup waktu untuk menutup pagar. Mereka tidak punya waktu untuk menanyai itu. Mereka langsung menuju kandang dan meraih senapan dan pisau yang pernah mereka gunakan, dan meletakkan semua itu di dalam truk; mereka memutar truk dan melaju kencang menuju arah kami. Laird berteriak pada mereka, “Aku mau ikut juga, aku mau ikut juga!” dan Henry menghentikan truk dan mereka membawanya. Aku menutup gerbang setelah mereka pergi. Aku pikir Laird akan mengadu. Aku menduga-duga apa yang akan terjadi padaku. Aku tidak pernah tidak patuh pada Abahku sebelumnya, dan aku tidak mengerti kenapa aku melakukannya. Aku telah melakukannya. Flora tidak mungkin lolos. Mereka akan menangkapnya di truk. Atau jika mereka tidak menangkapnya pagi ini orang lain akan melihatnya dan menelepon kami pada sore hari atau besok. Di sini tak ada buana buas untuknya, kami membutuhkan

halaman 40


dagingnya untuk makanan rubah-rubah, kami membutuhkan rubah-rubah untuk bertahan hidup. Yang baru saja kulakukan cuma menambahi beban tugas Abahku yang sendirinya sudah bekerja sangat keras. Dan ketika Abahku tahu dia tidak akan percaya lagi padaku; dia akan tahu aku tidak sepenuhnya di pihaknya. Aku di pihak Flora, dan itu akan membuatku tak lagi berguna bagi siapapun, tidak juga bagi Flora. Sama saja, aku tidak menyesalinya; ketika Flora berlari menujuku aku biarkan gerbang terbuka, cuma itu yang bisa kulakukan. Aku kembali ke rumah, dan Ibuku berkata, “ribut-ribut apa ini?” Aku bilang padanya kalau Flora sudah menendang jatuh pagar dan kabur. “Malangnya ayahmu,” katanya, “sekarang dia harus mengejarnya di penjuru daerah. Yah, tidak perlu menyiapkan makan malam cepatcepat.” Dia memasang papan setrika. Aku ingin memberitahunya, tetap mengira lebih baik membiarkannya dan naik ke atas dan duduk di ranjangku. Akhir-akhir ini aku mencoba membuat bidang kamarku elok, membentangi gorden tua berenda pada ranjang, dan membuatkan satu meja rias dengan sisa-sisa cretonne untuk rok. Aku berencana untuk memasang semacam barikade antara ranjangku dan ranjang Laird, agar bidangku tetap terpisah dengan bidangnya. Di bawah tumpahan sinar matahari, gorden berenda itu cuma kain berdebu. Kami tidak bernanyi lagi di malam hari. Suatu malam aku bernyanyi dan Laird berkata, “Kau konyol,” dan aku tetap terus saja tapi malam selanjutnya tidak lagi. Bagaimanapun juga sudah begitu banyak hal yang dIbutuhkan, kami tak lagi ketakutan. Kami sudah tahu yang di sebelah sana itu cuma perabotan-perabotan tua, tumpukan kekacauan tua. Kami tidak lagi memerlukann aturan-aturan. Aku tetap terjaga ketika Laird telah tidur dan tetap menceritai diriku sendiri, tetapi bahkan cerita-cerita ini berbeda dari apa yang telah terjadi, perubahan-perubahan misterius terjadi. Sebuah cerita boleh jadi dimulai dengan cara-cara lama, dengan suatu bahaya yang spektakuler, sebuah kebakaran atau binatang-binatang buas, dan untuk sesaat aku mungkin saja menyelamatkan orang-orang; lalu hal-hal tersebut akan berubah, dan malah, seseorang yang justru menyelamatkanku. Yang melakukannya mungkin saja anak laki-laki dari kelas kami di sekolah, atau Pak Campbell, guru kami, yang suka menggelitiki lengan-lengan muridnya. Dan pada titik ini cerita itu memusatkan sebagian besarnya pada bagaimana penampilanku sepanjang apa rambutku, dan pakaian apa yang aku kenakan; saat itu aku punya rerincian yang membuat

halaman 41


kegembiaraan nyata dari cerita itu hilang. Sudah lewat pukul satu malam sewaktu truk kembali. Terpal menutupi bagian belakang, yang artinya ada daging di dalamnya. Ibuku harus memanasi makan malam lagi. Henry dan Abahku sudah mengganti terusan berlumuran darahnya dengan terusan kerja yang biasa dipakai di kandang, dan mereka mencuci tangan dan leher dan muka di wastafel, dan menyiramkan air pada rambut dan menyisirinya. Laird mengangkat tangannya untuk menunjukkan coretn darah. “Kami menembak Flora tua,” katanya, “dan memotongnya menjadi lima puluh potongan.” “Baiklah aku tidak mau mendengarnya,” kata Ibuku, “dan jangan datang ke mejaku seperti itu.” Abahku menyuruhnya mencuci bersih berkas darah itu. Kami duduk dan Abahku memanjat doa syukur dan Henry menyisipkan permen karetnya pada ujung garpu, sebagaimana yang sering dilakukannya; ketika dia melepaskannya dia akan membuat kami mengagumi pola yang terbentuk. Kami mulai saling menyerahkan mangkuk-mengkuk mengepul beerisi sayur-mayur kelewat matang. Laird menatapku dari seberang meja dan berkata dengan kebanggaan yang khas, “Pokoknya salahnya dia Flora kabur.” “Apa?” kata Abahku. “Dia seharusnya sempat menutup gerbang tapi tidak dilakukannya. Dia buka begitu saja dan Flora kabur keluar.” “Betul begitu?” kata Abahku. Semua orang yang ada di meja menatapku. Aku mengangguk, menelan makanan dengan kesusahan yang amat-sangat. Atas rasa maluku, air mata mulai membanjiri mataku. Abahku membuat suara jijik yang ketus. “Untuk apa kau lakukan itu?” Aku tidak menjawab. Aku letakkan garpuku dan menunggu diusir dari meja, tetap tidak berani mendongak. Tapi itu tidak juga terjadi. Untuk beberapa waktu tidak ada yang bicara, lalu Laird bicara blak-blakan, “Dia menangis.” “Sudahlah,” kata Abahku. Dia bicara dengan menahan diri, bahkan rasa humor yang bagus yang berhasil menghentikan dan membesarkan hatiku. “Dia cuma seorang anak perempuan,” katanya. Aku tidak protes, bahkan dalam hatiku. Barangkali betul juga. ***

halaman 42


Sajak

M Noeris Anwar Fragmen Ana Selembar Daun Mangga Kepada Kenangan Menuju Sebuah Keabadian Ananisty (2) Ananisty (3) Katarsis Minggu Ihwal Sore Hari Pertunjukan Teater

M NOERIS ANWAR Lahir di Sumenep, Madura 19 Februari 1993. Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) dan Nyantri di Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari, yogyakarta.

halaman 43


Fragmen Ana

Ana, di tepi sungai Di belakang rumahmu Tersimpan catatan harianku Jangan sekali kau datang Apalagi sampai terjerambab Membacanya. Disitu banyak sesal Serta tangisku yang tak kunjung reda Bahkan jejak kakiku Yang sampai kini Masih nyeri dirasa Akibat luka saat jatuh dari batang senyummu Ana, di tepi sungai Di belakang rumahmu Kenanganku tersimpan rapi Bersama sepi dan sakit hati Semoga abadi Sampai anak cucu kita mengerti Bahwa kau dan aku pernah bertemu Dan saling mencintai

halaman 44


Selembar Daun Mangga

Selembar daun mangga yang jatuh Dihempas angin barat Sebelum sampai ke tanah Ia terlebih dulu terpukul beton dan batu Sakitnya ia simpan sendiri Seperti sunyi Yang mengajarinya tumbuh Ia tabah Sebab memang adakalanya Hidup butuh nyeri Demi menghargai nikmat ilahi

Kepada Kenangan

Ada yang tak mampu dilupakan Tersimpan dalam lemari Bersama tumpukan baju Dan buku-buku Selalu berharap ingatan ini Mngembalikan canda dan tawa kita Di depan rumah, di bawah pohon kersen Waktu pertamakali kita menemukan Cinta di mata kita Kemudian kita pergi kesungai bergandeng tangan Memandang ikan-ikan Dan alir air yang menenangkan rindu di dada Lalu di tepian, kita duduk serupa Adam dan Hawa Pertamakali bertemu di sorga, tanpa dosa.

halaman 45


Menuju Sebuah Keabadian

Seperti hari-hari yang terus berlari Kita adalah sepasang sepatu yang terus menganga Menginjak tubuh waktu Dedaun gugur, batu, lumpur Serta seluruh warna Barangkali di kota ini Kita akan terus belajar menjahit Pada sesuatu yang kelak akan retak Sebab segala yang dimiliki kita Tak ada yang benar-benar abadi Sapu tanganmu, kemejaku Senyummu juga tawaku

halaman 46


Semua akan pulang sebagaimana segalanya yang hendak datang seperti hari-hari yang terus pergi usia kita dilucuti barangkali di kota ini Hanya kenangan yang tetap tinggal bersama riwayat dan jejak sepatu kita Maka teruslaha belajar menjahit pada sesuatu yang kelak akan retak sebab disini kita akan ditemukan oleh anak cucu sebagai bagian dari sejarah

halaman 47


Ananisty (2)

Ana, kabar tangismu telah sampai ke dadaku ;tangis untuk lelakimu itu Ia menjadi nyeri bagi siang dan malamku Seperti sepasang genggam Yang sepakat melepas jarak Dan memilih arah lain Aku hanya mampu mendengar Dan menyaksikannya Sebagai kepedihan yang nyata Sebagai kutum bunga Yang kelopaknya gugur Di hempas angin musim Di tamanku Dan kesia-siaan waktu Yang terus berlalu Menyusun sepi Dan kegundahan hati di jalanku ini.

halaman 48


Ananisty (3)

Sebab bukan matamu Bukan pula bibirmu Tapi selruh tentangmu Maka begitu sulit Hujan melerai ingatan Dan puisiku yang enggan jabat tangan ;sebagai tanda perpisahan denganmu yang kekal Adakah kau mendengar suara itu? Ya, suara kenangan aku dan kau Yang nyaris tiada ditelan cuaca Disini aku mencoba menulisnya Sebagai cinta Ana Yang hampir sama dengan kisah Nurbaya Sebab bukan matamu Bukan pula bibirmu Tapi seluruh tentangmu Maka ku abadikan kau Dalam sjak-sajakku

halaman 49


Katarsis Minggu

Minggu kelabu Wajahmu sendu Seperti burung hantu Yang mengusik sunyi malam-malamku Minggu kelabu Mendung meniris hujan dari matamu Mengakrabi kesedihanku Lalu Jari-jariku gemetar Gagal menulis ihwal Dan mimpi masa depan Minggu kelabu Matahari seperti dibunuh cuaca Di kolam renang Dimakan ikan Sementara tanggal-tanggal tetap lepas Menukik cemas di dadaku Yang tak ada bekas apa-apa Untuk makna dan usia.

halaman 50


Ihwal Sore Hari :Kenangan di Rumah Ana Kepada burung ia menitip pandang, Menitip gelap Agar tak ada yang tersisa bagi cahaya, Bagi bayang-bayang Kemudian ia pulang Dengan mata suram Lalu pada sebuah pintu Ia mengabarkan tentang yang sia-sia Telah terjadi siang barusan Bahwa tak mesti ada yang diingat Dari setiap perpisahan Pada ranjang Ia membaringkan lelah Dan sesal yang menimbuni kepalanya Lalu, ia diam pada malam Pada mimpi-mipinya yang lain :Di rumah Ana.

halaman 51


Pertunjukan Teater Di ruangan yang tak dapat aku ukur dengan pandang Sebab lampu yang suram Aku duduk di bangku baris paling depan Tak lama kemudian, ia keluar dengan wajah penuh bedak Berjalan serupa kakek-kakek yang ditimbuni benda-benda di pundaknya Pelan-pelan ia menoleh ke kiri ke kanan Lalu teman-temannya keluar satu-persatu Hingga memenuhi panggung pertunjukan Dimulailah adegan-adegan teater Aku husuk sampai kening mengkerut Dari adegan pertama sampai terakhir Sebenarnya aku tak mengerti, pertunjukan apa yang mereka pentaskan? Hanya urak-urakan, wajah penuh bedak Baju serampakan, dan ketawa-ketiwi menertawakan satu sama lainnya. Ah, agar tidak malu pada penonton di sampingku Aku menganggukan kepala, biar disangkanya mengerti Atas pertunjukan teater ini.

halaman 52


Sajak

Edi Sarjani Manusia melintas Pandangan Hidup :kau yg berpikir

Mimpi

Edi Sarjani Mahasiswa FISIP UR bergiat dikomunitas Peradaban

halaman 53


Manusia melintas Pandangan Hidup :kau yg berpikir

Nyinyir pada April 1983 7 pelajar mengondol 350 butir valium, 3 stetoskop, 1 rekorder menyiutkan 700 ribu uang tunai, lalu hengkang dari negeri itu? ruang hampa tertutup rapat penuh debu yang usang mengigatkan benak yang telah termakan waktu, begitu deras kehidupan, anak air tak lagi mengalir nadi pun hilang tak kepalang zaman ini bukan emas seperti yang ‘kau’ bayangkan di kala senja datang zaman ini juga bukan tembaga atau minyak yang renyuh dalam tatapan sayu mungkin bisa dikatakan zaman antah berantah, yang tak lagi bermarwah, atau berdarah dimana jiwa satria tempo lalu yang berkobar membakar asa tersudutkankah jagad cilik itu? ya, esok kita cari teh botol agar kau tak lagi pusing hilang sudah junjungan kemelayuan ini tergerus globalisasi anak muda tak lagi berbudaya, yang terhormat tak lagi berharga lalu kemana tuah itu mencari hati, tuan sekarang sudah 2011 waktu hanya menunggu detik akan mampir tepat pada 2020 sudah berapa selembayung yang ditancap dalam hati anak muda, atau hanya menjulang mencabik angkasa yang tak tahu isinya

halaman 54


sudah, berhentilah bercakap, bertuah kalau bisa merangkai apalagi membagi ‘kerajaan’ apa beda kota ini dengan metropolitan yang di sana, tuan? nampaknya , kau bingung, tuah, ku tawarkan ‘kerajaan’ ini pada mu biar kau tak lagi lesu, mungkin saja akan layu, kau ragu pada tuah ini bukan? mengakulah, atau cari tahu mana yang benar itu melintaslah dalam pandangan hidup. TUAN!

Mimpi

Hikayat pertemuan kita dalam alam bawah sadar begitu bahagia Ku lihat kau tersenyum pada adam Kelopak matamu begitu bening menatap waktu Apakah sebelum tidur ‘ku sebut namamu Hingga kita bersapa dalam alam maya Tapi itu nyata bagi ku Kau jantung kehidupan bagi adam Merekayasa masa menjadi emas, sendu dan cahaya dalam alunan kata Kita masih bercanda hingga pajar menyapa Dan gelombang suara hilang tak terasa Kau ada dalam bayangan semu!

halaman 55


Sajak Terjemahan

Guillaume Apollinaire

Walt Whitman Alih bahasa oleh Hamdan Jiboen dari: “La Poesie Moderniste” dan “Walt Whitman Selected Poems”, Dover Publications,Inc. New York,1991.

halaman 56


Guillaume Apollinaire

Canang

Jipsiku yang tampan buah hatiku sayang Dengarkanlah canang yang berdentang Sedangkan kita berdua saling menyayang Kepercayaan adalah urusan orang-perorang Tapi, malangnya tempat menyuruk kita tak padan Canang-canang yang meronda Dari puncaknya memandang kita Dan menceritakan kepada semua Besok Cyprien dan Henri Marie Ursula dan Catherine Tukang roti dan suaminya Lalu Gertrude saudara kandungku Melempariku senyum kala kulalu Meletak muka aku tak tahu Dan kau pun jauh yang membuatku tersedu Matipun jadi lebih baik bagiku

halaman 57


Walt Whitman

Kudengar Amerika Menyanyi

Aku mendengar Amerika sedang menyanyi, aku mendengar rupa-rupa litani, nyanyian orang bengkel yang menyanyikan lagu begitu gairah dan perkasa, lagu tentang diri sendiri, tukang kayu menyanyi ketika mengukur papan dan menukul, tukang batu berlagu ketika siap dan usai bekerja, pendayung mendendangkan milik mereka di perahu, jurumudi menyanyi di belakang jentera, tukang sepatu menyanyi ketika mereka berjongkok, tukang cukur menyanyi ketika berdiri, nyanyian perimba, anak pembajak menyusur pagi atau petang dan rembang sedang berganti, merdu lembutnya lagu ibu atau istri belia sedang bekerja atau gadisgadis sedang menjahit atau mencuci, semua menyanyi menyanyikan yang dimiliki hari ini sedang malam semarak pesta para remaja, penuh tenaga dan rasa saudara, mereka menyanyi dan menyanyikan dengan mulut lebar terbuka lagu-lagu merdu perkasa.

halaman 58


Bermula dari Paumanok

Apa yang kau cari gerangan hingga jadi demikian diam dan menekur? Apa gerangan yang kau perlukan kawan? Puteraku tersayang, kau kira itukah cinta? Dengarkan nak, anakku putera ataupun puteri, dengarkan Amerika Memang pahit terlalu mencintai seorang lelaki atau perempuan, Tapi memuaskan, dan memang hebat, Hanya masih ada lagi yang memungkinkan amat hebat segala terjadi, Ia sungguh luar biasa mengatasi segala benda, dengan tangan-tangannya ia menyapu dan menyediakan buat segala.

halaman 59


Peristiwa Budaya

Pemprov Riau Beri Penghargaan Seniman emerin emerintah Provinsi Riau melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata memberikan Pariw penghargaan kepada seniman Riau guna memotivasi seniman yang telah berjasa dalam melestarikan, menggali dan mengembangkan kesenian tradisional melayu di Hotel Grand Central Pekanbaru, Rabu (13/8). Acara bertajuk Anugerah Pemangku Seni Tradisional Riau 2014 ini dibuka secara langsung oleh Wakil Gubernur Riau (Wagubri), Arsyadjuliandi Rachman dan dihadiri anggota Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Provinsi Riau, para budayawan dan seniman Riau, sejumlah kepala dinas di lingkup Pemprov Riau, serta tokoh masyarakat dan kaum intelektual. Wagubri dalam sambutannya mengatakan bahwa anugerah pemangku seni ini merupakan upaya Pemerintah Daerah dalam membina pelaku seni dan karyanya sehingga cita-cita antara pemerintah dan masyarakat

halaman 60

Riau yang diamanatkan dalam Visi Riau tahun 2020 untuk mewujudkan Riau sebagai pusat kebudayaan melayu di Asia Tenggara pada tahun 2020 dapat terwujud. “Kami mengharapkan para pelaku seni untuk tetap menjadikan seni-seni tradisional sebagai sumber inspirasi dalam penciptaan karyakarya baru,� tambah Wagubri. Anugerah Pemangku Seni memberikan penghargaan dalam 4 kategori yakni Anugerah pemangku seniman berjasa dan berprestasi, Anugerah pemangku pengabdian seni, Anugerah pemangku setia seni, dan Anugerah pemangku prestasi seni. Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau, Said Syarifuddin menyampaikan bahwa acara ini diharapkan dapat semakin mengembangkan kesenian tradisional di tengah-tengah masyarakat, dicintai serta dapat diwariskan kepada generasi penerus. Mereka-mereka yang diberikan penghargaan pada tahun ini adalah:


Taufik Ikram Jamil

: Seniman Berjasa dan Berprestasi

Suarni Hasan

: Seniman Pemangku Pengabdian Seni

Temul Amsal

: Seniman Pemangku Setia Seni (Teater)

Tengku Rahimah

: Seniman Pemangku Setia Seni (Tari)

Epi Martison

: Seniman Pemangku Setia Seni (Musik)

Ahmad Dharmawi

: Seniman Pemangku Setia Seni (Sastra)

Nasrul Taher

: Seniman Pemangku Setia Seni(Senirupa)

R Indra Maulana

: Seniman Pemangku Prestasi Seni (Tari)

Kunni Masrohanti

: Seniman Pemangku Prestasi Seni(Teater)

Hafney Maulana

: Seniman Pemangku Prestasi Seni(Sastra)

Irfendi

: Seniman Pemangku Prestasi Seni(Musik)

Muhammad Amli

: Seniman Pemangku Prestasi Seni (Senirupa)

Dari nama-nama tersebut di atas, yang kita harapkan adalah, agar mereka dapat terus menjadi pemegang teraju sekaligus pelestari seni budaya di Riau ini pada pada wilayah hulu, agar kemurnian identitas budaya Melayu Riau tetap terjaga.*** (Red.)

halaman 61


Rehal

Asal-Usul Seni Rupa Modern Indonesia Pengarang Penerbit Jumlah hal ISBN Ukuran Tahun terbit Peninjau

embicarakan sejarah seni rupa modern di Indonesia tidak bisa m dilepaskan dari pengaruh Barat, seiring dengan kolonialisasi Nusantara oleh Barat. Bila mengacu pada pendapat Sanento Yuliman, masa seni rupa modern dirintis oleh Raden Saleh yang mulai melukis dengan cara-cara Barat. Melukis cara seperti ini tentu berbeda dengan cara melukis yang biasa dipakai para kriawan tradisional. Oleh karenanya Sanento Yuliman menempatkan

halaman 62

: : : : : : :

Jakob Sumardjo Kelir, Bandung xxii+168 979-97717-1-18 21 x13,4 Cm 2009 Agus Cahyana

Raden Saleh sebagai perintis seni rupa modern Indonesia. Hal ini tentu masih menyisakan pertanyaan mengenai waktu dimulainya seni rupa modern di Indonesia. Melalui buku Asal Usul Seni Rupa Modern Indonesia, Jakob Sumardjo melihat dari sudut pandang lain mengenai perkembangan seni rupa modern Indonesia melalui geneologi, yaitu menelusur asal usul pembentukan awal seorang seniman, yang meskipun kemudian, dalam perkembangan kreativitas pribadinya,


ia dapat menolak, menerima, atau merubah apa yang semula diajarkan sebagai ”seni rupa” yang seharusnya. Sikap demikian akan itu akan terlihat dari karya-karya monografi. Dengan meneliti melalui alur geneologi ini akan menghasilkan tulisan yang berbeda dengan penulisan sejarah seni rupa, karena beberapa nama dan peristiwa yang berada di luar alur asal usul tidak dibicarakan. Arus besar pembelajaran yang mengakibatkan lahirnya seniman-seniman besar Indonesia inilah yang menjadi fokus. Dengan mengacu pada pendekatan geneologi, maka pembahasan sejarah dibagi berdasarkan kurun waktu, yaitu Seni Rupa Zaman Kolonial (1600 – 1950), Para Pemula Seni Rupa Modern, Seni Rupa Bali Modern, Para Perintis Seni Rupa Modern Indonesia. Akademi Seni Rupa, dan Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Pada bab berjudul Seni Rupa Zaman Kolonial, dijelaskan mengenai hubungan tema dalam lukisan dengan penjajahan Belanda yang memosisikan Indonesia sebagai obyek turisme. Selain itu, dibahas juga kaitannya dengan kemunculan Raden Saleh dan peranannya dalam perkembangan seni rupa Indonesia. Bagian terakhir dijelaskan mengenai latar belakang kecenderungan tema naturalis yang menjadi gaya yang dianut oleh para pelukis dari Eropa yang banyak melukiskan tentang keadaan alam di Indonesia. Para pemula seni rupa modern dikatakan adalah para pelukis yang meneruskan gaya melukis masa kolonial, yang lebih dikenal dengan ”mooi indie”. Para senimannya antara lain adalah Mas Pirngadie, Abdullah Suriosoebroto, dan Wakidi, sebagian seniman pemula seni rupa modern ini berguru pada seniman-seniman tidak

berkelas di tingkat dunia, kecuali Abdullah Soeriosoebroto yang sempat belajar di Belanda. Pada bagian ini diuraikan mengenai latar belakang mengapa para seniman ini kemudian memakai gaya natutalis dalam menggambarkan pemandangan alam yang indah di Indonesia. Gaya lukisan Mooi Indie yang mengambil obyek pemandangan alam, manusia, legenda suku secara impresionistik, representatif, obyektif yang berkembang sejak awal abad ke-20, ternyata masih hidup terus setelah kemerdekaan sejajar dengan gaya-gaya yang lebih mutakhir. Pada bab tentang Seni Rupa Bali Modern, Jakob Sumardjo memulai dari ketertarikan orang Barat terhadap kehidupan dan keindahan alam Bali sudah berlangsung sebelum Bali dikuasai Belanda. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya buku-buku tentang Bali yang terbit di Eropa yang kemudian mendorong para seniman dan antropolog untuk datang dan tinggal di Bali. Julukan ”surga terakhir di dunia” disematkan Barat menjadikan Bali semakin populer. Hadirnya seniman Barat sangat berpengaruh terhadap tradisi seni rupa di Bali, terutama seni lukis, dimana seni tradisi yang kuat mengakar dapat mengadopsi seni Barat dengan unik, yaitu tanpa menghilangkan kekhasan perupaan tradisional. Kekuatan tradisi inilah yang membedakan seni rupa Bali modern dengan seni rupa modern Indonesia yang terdapat di Jawa. Tokoh penting dari proses modernisasi ini adalah Walter Spies dan Rudolf Bonnet, yang mengenalkan seniman Bali pada tradisi seni Barat tanpa menghilangkan kekhasan lokal, dimana drawing, naratif kehidupan seharihari atau mitologi, dan unsur dekoratif tetap dipertahankan. Melalui kelompok Pita Maha yang didirikan oleh raja Ubud,

halaman 63


menjadikan karya seni rupa Bali menjadi terkenal di seluruh dunia. Seiring dengan perkembangan zaman, lambat laun seni rupa Bali modern mulai sejalan dengan seni rupa Indonesia lainnya, tanpa kehilangan kekhasan seni Bali.

mutakhir dari seni rupa Indonesia dimulai dari tahun 1980-an, ciri utama dari seni rupa kontemporer Indonesia adalah meleburnya kecenderungan ’identitas lokal’ yang melekat pada tiap pusat seni di Indonesia, antara Bandung,

Para Perintis Seni Rupa Modern Indonesia dipelopori oleh dua kelompok dari dua kota, pertama, kelompok 5 dari Bandung yang dimotori oleh Aandi dan kelompok Persagi yang dimotori oleh S.Sudjojono, dalam perkembangan selanjutnya kelompok Persagi lah yang berperan lebih menonjol dalam mengutarakan konsep berkesenian serta permasalahan identitas keindonesiaan. Seperti pada bahasan sebelumnya, di bagian ini diuraikan juga tentang riwayat hidup para pelukis perintis ini, bahkan beberapa seniman penting di luar kelompok pun dibahas sehingga kita bisa melihat secara lebih mendalam mengenai pemikiran dan karya mereka. Selanjutnya di bahas tokoh seniman-seniman yang aktif di masa Jepang dan masa revolusi kemerdekaan.

Yogya, dan Bali. Dengan peleburan ini menyebabkan semakin sulit untuk melihat asal geneologi mereka. Akhirnya menghasilkan generasi seniman yang terbuka terhadap segala perubahan. Fanatisme kelompok telah lenyap, yang ada hanyalah kompetisi kreatif individual.

Pembahasan seniman secara krologis diakhiri dengan munculnya akademi seni rupa yang akhirnya memunculkan seni rupa kontemporer Indonesia. Di bagian ini dijelaskan mengenai peran penting pendidikan tinggi seni rupa dalam mengembangkan seni rupa di Indonesia, yang berasal dari seni rupa ITB di Bandung dan ISI (ASRI) di Yogyakarta. Tokoh penting perupa lulusan perguruan tinggi ini diuraikan berdasarkan kecenderungan estetiknya, selain itu, tokoh-tokoh Gerakan Seni Rupa Baru yang memberi pengaruh terhadap cara pandang berkesenian juga turut diuraikan. Sedangkan pembahasan seni rupa kontemporer Indonesia, yang dianggap sebagai perkembangan paling

halaman 64

Menyimak uraian pada buku Jakob Sumardjo ini, dapat dikatakan telah memberi cara pandang lain dalam melihat alur sejarah seni rupa modern, yang biasanya dilihat secara kronologis dengan mengesampingkan aspek keunikan dan kekhasan tiap seniman. Oleh karenanya, buku ini menjadi penting untuk dijadikan rujukan untuk melengkapi penulisan sejarah seni rupa modern di Indonesia.*** (Red. Int.)


halaman lxv


halaman lxvi


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.