Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)
Anjung Seni Idrus Tintin dan Bandar Serai Arts Centre, “Siaga Satu”?
Cerita-pendek Terjemahan:
oleh Zuarman Ahmad Tambusai dan Nasib
Jackson
Bahasan:
Bahasa Melayu pada Bulan Kemerdekaan oleh Taufik Ikram Jamil Senirupa: Membuka
Kitab, Memaknai Teks, Menziarahi Sejarah: Membaca Seni oleh Dantje S Moeis Cerita-pendek: Bunga
yang Tumbuh di Cermin oleh Dadang Ari Murtono dan Orangorang di Batas Garis oleh Wyaz Ibn Sinentang
CHARLES oleh Shirley Thoni Mukharrom I.A. dan Saiful Anam Assyaibani Sajak:
Makna Kias dalam “The Road Not Taken” Tela'ah:
Melirik Wajah Senirupa Modern Melayu Senirupa:
Biografi: Tengku
Hamidah oleh SPN. Zuarman Ahmad Obituari: Mantan
Bendahara DKR, H. R. Nairudin Meninggal Dunia
192 SEPTEMBER 2014
www.majalahsagang.com
Kisah-kisah Tengah Malam Rehal:
halaman KULITi
halaman KULI KULITii LIITi L Ti
Daftar Isi Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998
-
ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 192 SEPTEMBER 2014 tahun XVI
-
-
Seniman Degil..............................................2 Bahasan Anjung Seni Idrus Tintin dan Bandar Serai Arts Centre, “Siaga Satu”? oleh Zuarman Ahmad Tambusai ...................3 Nasib Bahasa Melayu pada Bulan Kemerdekaan oleh Taufik Ikram Jamil .........6 Senirupa Membuka Kitab, Memaknai Teks, Menziarahi Sejarah: Membaca Seni oleh Dantje S Moeis ......................................11 Cerita-pendek Bunga yang Tumbuh di Cermin oleh Dadang Ari Murtono ............................ 14 Orang-orang di Batas Garis oleh Wyaz Ibn Sinentang ............................ 20 Cerita-pendek Terjemahan CHARLES oleh Shirley Jackson ..................29 Sajak - Thoni Mukharrom I.A. ..............................36 - Saiful Anam Assyaibani .........................43 Tela'ah Makna Kias dalam “The Road Not Taken”..50 Senirupa Melirik Wajah Senirupa Modern Melayu ....55
Rehal Kisah-Kisah Tengah Malam (Edgar Allan Poe) ............................................58
Biografi Tengku HamidahBiografi Singkat oleh SPN. Zuarman Ahmad.............................62 "Gerak Baru" Lukisan S Sudjojono , Canvas , Oil paint-1985.
Obituari Mantan Bendahara DKR,H. R. Nairudin Meninggal Dunia .............................................64
Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Dra. Erda Yulfi Pemimpin Redaksi: Kazaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Ilustrator Tetap: Purwanto Manager Keuangan: Erda Yulfi. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.
halaman 1
Tajuk HASAN Junus (alm) menceritakan dalam sebuah rubrik kesayangannya di Riau Pos yang bernama Rampai berjudul Sultan Degil. Diceritakannya, bahwa ada seorang keturunan Jawa bernama Urip di Pulau Penyengat (orang Penyengat memanggilnya dengan Pak Urip) yang meminta menjadi tokoh Patih Kerma Wijaya dalam sebuah sandiwara bangsawan yang dimainkan dalam rangka memperingati hari kemerdekaaan Republik Indonesia pada suatu malam di Pulau Penyengat. Dalam sandiwara itu, karena Sultan Melaka tak mau mendengarkan nasehat dari Patih Kerma Wijaya (Pak Urip), maka dengan suara melengking ia menghardik raja, katanya: “Patek sudah bilang jangan jangan, Tuanku degil!” Selanjutnya Hasan Junus menceritakan, “Panggung bertiang batang kelapa pun berguncang. Sultan tak dapat menahan ketawa, juga putri dan para inangdayang. Bahkan dua orang pengawal yang terus membisu sambil memegang tombak saling memandang dan meledakkan ketawa. Pak Urip pun ikut tertawa. Lalu akumulasi ketawa memanjang ke para penonton. Degil dalam kreatifitas seni diperlukan. “kreatifitas terletak cuma tiga setengah langkah kea rah kegilaan,” kata Hasan Junus. Degil dalam seni diperlukan. Berulangulang Hasan Junus member petuah tentang hal ini. Ketika Junaidi Alwi (pemain drama) datang ke kantor Majalah Sagang (ketika Hasan Junus masih hidup), beliau senantiasa memberikan nasehat tentang seni. Bahwa seniman harus keluar rel. “Mengapa begitu? Karena seniman ialah orang paling degil yang senantiasa berupaya berada di luar rel, deraillement, karena sering disamakan dengan orang sinting. Seniman yang tertib, yang sesuai sejalan dengan alur dan patut tak akan pernah dapat menciptakan karya yang signifikan yang mendebarkan dan senantiasa membangkitkan kekaguman, apalagi tiada akan dapat menciptakan karya yang halaman 2
Seniman: Degil menggoncangkan. Degillah kau, seniman! Memang itulah jalanmu!” Junaidi Alwi hanya mengangguk-angguk, entah mengerti atau pura-pura mengerti. Suatu contoh lagi kegilaan dan karya sastra dapat dijumpai dalam karya Georges Perec yang pada tahun 1969 menerbitkan roman/novel La Disparition. Roman setebal 300 halaman ini ialah kisah tentang hilangnya huruf E dalam alphabet. Seperti seorang detektif, pengarang Georges Perec berupaya terus menerus dari halaman ke halaman untuk menemukan huruf-hidup yang hilang itu. Namun baru pada roman/ novel Perec yang lain Les Revenentes (1972) terjadi peristiwa baru tentang huruf E, yaitu E jadi satu-satunya vokal yang terpakai. Pembacaku yang baik, Anda bayangkanlah dahsyatnya roman-roman itu jadinya. Sangat banyak kisah-kisah “degil” atau “gila” dalam seni dan seniman yang terjadi di dunia ini. Namun yang dijadikan catatan penting ialah “degil” atau “gila” atau deraillement (keluar rel) dalam karya seni, dan bukan senimannya yang harus gila. Sebagai sebuah contoh kegilaan dapat dijumpai dalam karya sastra Georges Perec yang menerbitkan roman/novel La Disparition pada tahun 1969. Hasan Junus (alm) mencatatnya, bahwa “Roman setebal 300 halaman ini ialah kisah tentang hilangnya huruf E dalam alphabet. Seperti seorang detektif, pengarang Georges Perec berupaya terus menerus dari halaman ke halaman untuk menemukan huruf-hidup yang hilang itu. Namun baru pada roman/ novel Perec yang lain Les Revenentes (1972) terjadi peristiwa baru tentang huruf E, yaitu E jadi satu-satunya vokal yang terpakai. “ Lalu? Buatlah karya-karya seni yang “deraillement”, “degil”, “gila” itu, supaya orang akan menolehnya, karena baginya itu adalah ganjil, dan yang ganjil tidaklah sama dengan yang biasa saja. ***
Bahasan
Anjung Seni Idrus Tintin dan Bandar Serai Arts Centre, “Siaga Satu�? oleh Zuarman Ahmad Tambusai
da apa ap lagi dengan Anjung Seni Idrus Tintin dan Bandar Serai Arts Centre? Kawan-kawan seniman Riau, terutama yang tergabung dalam komunitas seniman yang sehari-hari nongkrong di dua kantin yang berdekatan dengan kantor Dewan Kesenian Riau (DKR), Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR), dan Panggung Pinang Merah (sekali berarti setelah itu mati), termasuk mahasiswa seni Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) dan mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Riau, hari Kamis tanggal 5 September 2014 unjuk-rasa ke kantor Dinas Budpar Riau. Persoalannya? Mulanya saya tak begitu tahu. Kelihatannya
bukan masalah Bandar Serai Arts Centre dan Anjung Seni Idrus Tintin, tetapi masalah lain (mungkin, jalan-jalan ke luar negeri). Tetapi apa hubungannya dengan tulisan ini? Seniman Riau sakit hati (bukan sakit gigi). Barangkali sakit hati bukan karena tidak diajak jalan-jalan ke luar negeri, tetapi pikiran-pikiran kesenian mereka tidak dihargai ketimbang jalan-jalan ke luar negeri itu. Beberapa seniman yang saya ajak berbual tidak terlalu merespon apa yang saya katakan, mungkin karena terlalu sakit gigi eh sakit hati. Mereka hanya menatap kosong pada kawasan Bandar Serai yang seperti puing-puing reruntuhan bangunan tua
halaman 3
Sekali lagi saya hendak mengingatkan, kalau-kalau ingatan saya atau kalian sudah lupa atau sengaja hendak dilupakan. Bermula pada tahun 2000, Saleh Djasit memanggil para seniman untuk presentasi pengalihan kawasan MTQ (1994-1995) untuk dijadikan sebagai pusat kesenian Riau (Arts Centre), selain kawasan Rumbai sebagai Sports Centre, dan kawasan masjid Agung Annur sebagai Islamic Centre. Kemudian, Seniman yang tergabung dalam Dewan Kesenian Riau, ketika itu dipelopori oleh Idrus Tintin, Ediruslan Pe Amanriza, Yusmar Yusuf, Al Azhar, Taufik Ikram Jamil, BM Syamsudin, dan seniman lainnya yang tak dapat disebut namanya, termasuk saya, mulai menempati bekas kawasan MTQ yang kemudian diberi nama Bandar Seni Raja Ali Haji (Bandar Serai), juga didirikan Yayasan Bandar Serai yang berkantor bersama dengan Dewan Kesenian Riau.
yang sekarang dinamakan Anjung Seni Idrus Tintin yang berdiri “kacak dan sombong” di tengah-tengah kawasan Bandar Serai yang sekarang seperti “negeri dikalahkan garuda”. Jadi, gedung Anjung Seni Idrus Tintin yang kelihatan “pongah” dan kawasan Bandar Serai yang sekarang “centang-perenang” inilah menurut saya yang menjadi pangkal bala unjuk-rasa seniman itu. Kenapa sampai sejauh itu? Karena Anjung Seni Idrus Tintin dan kawasan Bandar Serai Arts Centre yang telah lama menjadi idam-idaman seniman paling kurang semenjak tahun 2000 untuk tempat “laman bermain” kreativitas para seniman Riau, diabaikan sama-sekali oleh pemerintah terutama Dinas BudPar dengan bermacam-macam alasan, terutama duit. Tetapi jalan-jalan ke Jerman dan Korea ada duitnya, sedangkan AC untuk Anjung Seni Idrus Tintin tak terbeli, lighting dan sound system tak terperbaiki -- tak ada duit -- gedung ini tidak pernah selesai-selesai semenjak dibangun dari awal. Bagi seniman inilah yang tak masuk di akal. Suatu hari bulan Februari 2014, pernah diadakan dialog antara dinas BudPar, DPRD Riau (diwakili oleh Rusli Ahmad) dan para seniman membicarakan Anjung Seni Idrus Tintin. Saya mencatatnya, akan diusahakan AC, perbaikan, dan Badan Pengelola (BP) untuk gedung ini, tetapi sampai sekarang haram, tak tahu beritanya selesai di dialog saja..
Hatta, dipelopori oleh Ediruslam Pe Amanriza (ketika itu menjadi anggota DPRD Riau) membuahkan pikirannya bersamasama seniman dan budayawan ternama Riau lainnya seperti Tenas Effendy, Idrus Tintin, Al azhar, Yusmar Yusuf, Taufik Ikram Jamil, dan lain-lain, yang kemudian diamini oleh Saleh Djasit (Gubernur Riau pada waktu itu) menggagas berdirinya gedung kesenian
Jalan-jalan ke Jerman, tak singgah di Wina, Austria (yang dulu termasuk wilayah Jerman)? Di situ tempat lahir Mozart, Beethoven, ada Vienna State Opera (salahsatu gedung pertunjukkan tertua terbaik di dunia) yang dibangun pada 1863 dan pada 5 November 1955 dibangun kembali setelah luluh-latak oleh api dan bom selama Perang Dunia II, dan sampai tak ke gedung Wina’s
Yunani, dan Anjung Seni Idrus Tintin yang tidak terurus dan di sekelilingnnya dipenuhi oleh semak-belukar dan tahi burung merpati terutama di beranda pintu masuk sebelah belakang gedung itu; gedung yang konon akan menjadi pusat kesenian Melayu di Asia Tenggara tahun 2020. Saya menangkap pikiran-pikiran kawan-kawan seniman itu yang menurut saya sama dengan pikiranpikiran saya yang pernah saya tulis di Koran Riau Pos, Ahad 3 November 2013.
halaman 4
Musikverein dan Wina Konzerthaus. Dan jika ke Korea (tentunya Korea Selatan, apa sanggup ke Korea Utara?) tolong masuk ke Sejong Centre, salah-satu gedung teater multifungsi terbesar di pusat kota Seoul, Korea Selatan. Gedung utama pusat kesenian Korea Selatan ini dapat menampung 3800 orang, yang mempertunjukkan Orkestra Simfoni Seoul, Orkestra Musik Tradisional Korea Metropolitan Seoul, Paduan Suara Metropolitan Seoul, Grup Teater Metropolitan Seoul, Grup Musikal Metropolitan Seoul, Grup Tari Metropolitan Seoul, Grup Opera Metropolitan Seoul, Paduan Suara Anak Laki-laki dan Perempuan Metropolitan Seoul, dan Orkestra Simfoni Kaum Pemuda Seoul. Atau jalan-jalan juga ke Pusat Kesenian Seoul di bagian selatan Seoul yang merupakan pusat budaya multi disiplin pertama di Korea Selatan dengan luas seluruhnya lebih dari 234.385 m2, lantai seluas 120.951 meter persegi, yang dibuka dalam tiga tahap dari tahun 1988 sampai tahun 1993; atau kalau mau studi-banding untuk Anjung Seni Idrus Tintin, masuklah
ke gedung Gedung Teater Jayu yang dapat menampung maksimal 350 orang, adalah tempat untuk pertunjukan-pertunjukan eksperimental dan avant-garde. Hatta, sesudah itu, apa manfaatnya jalanjalan ke luar negeri itu? Tak usahlah bagi seluruh rakyat di republik ini, karena cukup bagi seniman Riau saja. Tetapi oleh-oleh dari Jerman itu tidak didapati oleh seniman Riau yang hendak dialog pada Kamis 5 September 2014 itu, sebab satu pihak tidak ada kabarnya sedang demam kura, sakit gigi, kena tukak, dan sakit lainnya. Sebagai renungan, agaknya, marilah bersatu untuk membangun kebudayaan dan kesenian Melayu Riau ini bersama-sama. Bahwa ada yang mendapat lebih dari segi materi, wajarlah, karena pahala juga didapat dari masing-masing banyaknya pekerjaan yang dilakukan. Bagi seniman, yang terpenting adalah “laman tempat bermain�, dan mereka dapat makan dan minum -- tidak lapar dan kehausan. Kalau tidak, marilah kita sama-sama melihat keruntuhan kebudayaan itu perlahan-lahan. Semoga tidak. ***
halaman 5
Bahasan
Nasib Bahasa Melayu pada Bulan Kemerdekaan oleh Taufik Ikram Jamil Sastrawan yang berbahasa ibu Melayu Riau
ela elah banyak mendengarkan bagaimana pejuang kemerdekaan bagaim Indon Indonesia yang hidup terlantar justru setelah kemerdekaan dicapai, bahkan kini berusia semakin tua kalau dibandingkan dengan umur manusia? Ternyata, nasib yang lebih kurang sama menimpa bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan yang tentu saja amat bermakna bagi kemerdekaan Indonesia. Malahan, pada hari kemerdekaan 2014 ini, ketika usia kemerdekaan mencapai angka 69 tahun, bahasa Melayu seperti ditusuk dari belakang.
halaman 6
Dalam rentang waktu sekitar 10 hari dalam bulan Agustus ini saja, beberapa media di Jakarta memuat tulisan yang tidak bersahabat dengan bahasa Melayu. Bahasa ini dikatakan telah mencaplok bahasa Indonesia, sehingga tentu saja menimbulkan kerugian budaya, setidak-tidaknya pencacatan akademis intelektual. Paling memedihkan lagi, justru disebutkan bahwa penggunaan istilah bahwa bahasa Indonesia bersumber dari bahasa Melayu, dapat berdampak pada pemecahan rasa berbahasa yang tentu saja lama-kelamaan menyebabkan terpupuknya
keinginan berpisah dari republik. Hal-hal ini justru diucapkan orang yang katakanlah berkompeten terhadap bahasa dan kebahasaan. Simaklah pernyataan Kepala Badan Bahasa Kemendikbud, Prof Mahsun (Kompas dan Republika.co.id, 9/8). Berbicara di depan mahasiswa program pascasarjana Universitas Pertahanan di Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Pendidikan Kebahasaan, Sentul, Bogor, ia mengatakan bahwa Brunei Darussalam mencaplok bahasa Indonesia ke dalam bahasa Melayu, dibuktikan dengan penerbitan buku Kamus Besar Melayu Nusantara(KBMN). Terjadi sejak tahun 2003, tak kurang dari 62.000 kosa kata yang ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata Mahsun, ternyata juga dimuat dalam KBMN. Disebutkannya, hanya 400 kata saja di dalam KBMN yang tidak terdapat dalam KBBI, sehingga hanya sejumlah angka itu pulalah yang dapat disebut sebagai kosa kata Melayu. Hanya tigabelas hari setelah pemuatan pernyataan pejabat nomor satu kelembagaan bahasa pemerintah itu, terbit pula tulisan Maryanto, yang melabelkan dirinya sebagai pemerhati politik bahasa (Tempo.co dan Koran Tempo, 22-23/8). Ia menulis: â€œâ€ŚSama bahayanya, klaim kesukuan yang sering terlontar bahwa bahasa Indonesia masih termasuk bahasa Melayu. Klaim itu masih dicoba untuk menguatkan anggapan bahwa orang Indonesia merupakan kelompok etnis Melayu Austronesia. Walhasil, sebagian warga Indonesia sekarang melakukan gerakan kontra-identitas. Misalnya, di wilayah Papua sudah muncul gerakan membentuk pola pikir mereka sebagai orang Melanesia.â€? Di sisi lain, nasib bahasa Melayu di
tanahnya sendiri yakni Riau, tidak juga menggembirakan. Meninggalkan bahasa Melayu dalam kesempatan begitu marak. Mendengar siaran radio atau menonton telivisi di Pekanbaru, rasanya kita selalu berada di luar Riau. Pemerintah yang seharusnya menjadi pendorong utama terhadap pelestarian bahasa Melayu terlihat acuh tak acuh. Pengikhtiharan bahasa Melayu agar dipakai paling sedikit satu hari dalam sepekan, hampir menjadi tinggal kenangan. Dalam acara yang ditaja justru oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Riau 20 Agustus lalu, yang semua pesertanya adalah orang Indonesia, tak silu-silu memilih tajuk Focus Group Discussion. Membelakangi Kedua pernyataan di atas terkesan membelakangi kenyataan yang menunjukkan bahwa bahasa Indonesia bersumber dari bahasa Melayu. Telah terlalu banyak kajian mengenai hal itu, mulai dari awal abad ke-20 seperti yang diperlihatkan oleh Ki Hajar Dewantara dan M. Yamin. Di buku-buku pelajaran sekolah itu pun, kenyataan tersebut masih diperlihatkan, terlepas Melayu mana yang dimaksudkan para ahli-ahli bahasa tersebut. Bersumber dari bahasa Melayu Riau yang pemakaian utamanya adalah di kawasan Johor, Kepulauan Riau, dan Riau sekarang, merupakan suatu keniscayaan. Bahasa Melayu diakui sebagai bahasa Indonesia sejak 28 Oktober 1928 melalui Sumpah Pemuda. Pengakuan itu pun bersifat sangat tergesa-gesa demi kepentingan politis. Nyatanya, teks sumpah pemuda yang asli sebagaimana disodorkan M.Yamin, tidak mencantumkan berbahasa satu yakni bahasa Indonesia melainkan berbahasa satu, bahasa Melayu. Oleh karena butir pertama dan kedua dari teks sumpah pemuda itu
halaman 7
menyebut Indonesia, maka dengan semangat politik kebangsaan, nama bahasa diubah menjadi bahasa Indonesia hanya satu hari menjelang teks sumpah pemuda dibacakan atau diikrarkan bersama.
17, yang juga terjadi pada penutur bahasa asing terhadap bahasanya sendiri. Kononkan pula memahami bahasa abad ke-7 yang masih beraksara Pallawa semacam prasasti Kedukan Bukit.
Apa yang dapat dikesani dari kejadian di atas adalah bahwa pendiri Indonesia pada dasarnya mengaku bahwa sesungguhnya bahasa Indonesia tidak ada. Untuk kepentingan fragmatis, bahasa Melayu-lah yang dinamakan sebagai bahasa Indonesia. Bagaikan seseorang yang lahir tanpa pakaian, setelah besar ia menjadi begitu cantik dengan berbagai pakaian, tentulah ia tetap seorang manusia. Begitu juga analoginya dengan bahasa Melayu.
Demikian juga ketika mempersoalkan perbedaan ucapan dengan tulisan. Ketika menulis, orang-orang Melayu masa lampau menggunakan dialek bahasa seperti dialek Indonesia. Kata “ape” misalnya, tetap ditulis “apa”. Contoh terakhir itu disebut dengan bahasa Melayu tinggi, bersumber dari khazanah Johor – Riau yang di Malaysia dan sejumah negara serumpun menyebutkannya sebagai bahasa baku. Orang Riau pesisir menyebut dialek itu dengan istilah “bahasa kota”. Hendak dipersoalkan juga lagi, nikmati saja bagaimana orang berbahasa Inggris mengucapkan suatu kata bermakna satu, “one”.
Sudah barang tentu, bahasa Melayu sebagai bahasa lingua franca, tidak hanya dalam waktu sepintas-kilas. Ini melalui tapisan waktu dan tempat. Para sarjana menyebutkan, bahasa Melayu itu sendiri berkembang setidak-tidaknya sejak abad ke-7 dengan kawasan penyebaran yang secara administratif geopolitik modern dinamakan Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand Selatan. Bahasa Melayu yang diakui sebagai bahasa Indonesia, dinamakan bahasa Indonesia oleh pendukungnya di bekas kawasan Hindia Belanda. Tetapi di Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand Selatan, bahasa tersebut tetap dinamakan sebagai bahasa Melayu. Tentu saja ada perbedaannya akibat berbagai sebab terutama terdengar dalam dialek, tetapi perbedaan dialek tidak masuk dalam ranah yang menunjukkan perbedaan bahasa atau berlainan bahasa. Usah jauh-jauh. Bisa dipastikan, amat sedikit orang yang berbahasa ibu Melayu sekarang dapat memahami dengan begitu mudah naskah Melayu yang ditulis pada abad ke-
halaman 8
Dialek Indonesia Balik pada ihwal perbedaan yang dapat dirasakan antara bahasa yang disebut bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu di atas, ternyata masih sejalan dengan sifat bahasa Melayu itu sendiri. Disebutkan bahwa bahasa Melayu di Indonesia berkembang dengan penamabahan bahasa daerah di Indonesia dengan bahasa Inggris, sedangkan bahasa Melayu di negara-negara seberang Selat Melaka sana, berkembang dengan bahasa tempatan ditambah bahasa Arab. Kenyataan itu justru sebenarnya memperkuat bahasa Melayu, sebab selama ini, sejak berabad-abad, bahasa Melayu melakukan penyerapan terhadap bahasa yang melintas di wilayah ini. Tidak mengherankan, kalau seorang penikmat bahasa, Yopi Tambayong sempat mengalkulasi bahwa 90 persen bahasa dari kosa kata bahasa Melayu,
berasal dari serapan terhadap bahasa lain. Sebaliknya jangan lupa bahwa bahasa adalah juga menyangkut soal interaksi. Tidak sedikit pula bahasa Melayu yang memberi sumbangan terhadap bahasa di dunia. Kata “amuk” misalnya, di lidah penutur asing seperti Inggris, tetap menggunakan kata tersebut. Begitu juga “sagu” yang bahkan tidak ditemui dalam bahasa Latin, tetapi terbaca jelas dalam bahasa Melayu. Usahlah mempersoalkan penamaan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. Tapi bandingkan saja dengan kenyataan yang menunjukkan bahwa sampai saat ini belum dikenal suatu bahasa dengan nama bahasa Amerika Serikat meskipun negara adidaya itu sudah berusia 238 tahun. Contoh lain yakni, tidak pernah ditemui nama bahasa Australia. Bukankah kedua-dua negara tersebut, memiliki bahasa yang mereka pakai sebagai alat komunikasi? Benar sekali, bahasa yang digunakan di sana tetap disebut sebagai bahasa Inggris, paling-paling dengan tambahan sebutan “dialek Amerika” atau “dialek Australia”. Dalam konteks di atas, tak mengherankan kalau sudah selalu disebutkan istilah bahasa Melayu dialek Indonesia, bahasa Melayu dialek Malaysia, dan seterusnya. Bukankah hal ini setara dengan bahasa Inggris dialek Amerika dan bahasa Inggris dialek Australia. Padahal, patut diakui, tidak semua kata-kata dalam bahasa Inggris dialek Amerika Serikat memiliki padanannya yang sama dengan bahasa Inggris England sebagai sumber bahasa Inggris dialek Amerika Serikat dan Australia itu. Dengan kenyataan demikin, tidak mengherankan juga kalau banyak persamaan kata antara bahasa Melayu dialek Indonesia (bahasa Indonesia) dengan bahasa Melayu
dengan dialek dari berbagai negara tersebut. Kenyataan ini seharusnya disadari oleh Kepala Badan Bahasa Kemendikbud Prof Mahsun, sebagai keniscayaan. Hal ini terlepas dari pernyataannya yang menyebutkan bahwa pencaplokan KBBI ke dalam KBMN lebih mudah terjadi karena sebagian besar penyusun KBBI juga adalah penyusun KBMN.
Ciptaan Penjajah Selebihnya, Mahsun lupa bahwa buku yang diterbitkan oleh Brunei itu, pada hakikatnya juga adalah milik Indonesia. Perhatikan frase dari judul buku tersebut yang mencantumkan “Melayu Nusantara”. Dalam pandangan budaya, frasa ini menunjuk kepada kawasan yang meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand Selatan, dan Brunei sendiri, yang kemudian dapat juga disebut sebagai negara serumpun. Jadi KBMN sejatinya juga milik Indonesia dan negara serumpun lainnya yang diterbitkan oleh Brunei. Jadi, dengan label Melayu Nusantara itu, KBMN tidak hanya menjadi milik Brunei saja, Tuan Mahsun yang terhormat. Setelah ditimang-timang, dibelek-belek, tahulah kita bahwa baik pernyataan Mahsun maupun Maryanto di atas, dilandasi oleh pandangan geopolitik. Pandangan ini menyebabkan, Malaysia maupun negara yang selama ini dikenal sebagai negara serumpun adalah negara asing. Demikian pula sebaliknya, Brunei Darussalam memandang Indonesia sebagai negara asing. Hal di atas tentu tidak salah, tetapi acuannya tidak sesuai jika diperuntukkan bagi produk budaya antara lain berupa bahasa yang jauh lebih tua dari geopolitik— belum lagi kenyataan yang menunjukkan
halaman 9
bahwa geopolitik sekarang dengan nama Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei, sesungguhnya tercipta akibat penjajah bangsa Eropa di kawasan ini melalui Traktat London 1824. Traktat ini membagi wilayah jajajan Hindia Belanda dan Inggris yang membelah Selat Melaka menjadi dua bagian. Dari sudut geobudaya, cukup aneh terdengar bila orang mengatakan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh Brunei melalui KBMN, merupakan upaya menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa internasional, padahal Indonesia jauh lebih besar dibandingkan negara-negara serumpun. Lihat saja, Amerika Serikat
halaman 10
jauh lebih besar dibandingkan negara yang menjadi sumber bahasa Inggris dialek Amerika Serikat, tidak akan melontarkan kalimat seperti diperlakukan terhadap bahasa Melayu itu. Mungkin begini, apakah mereka lebih berbudaya dibandingkan kita? Dalam berbagai pertemuan kebudayaan, hal senada selalu terlontar. Kita merasa besar hanya karena jumlah penduduk jauh lebih banyak, bukan pencapaian peradaban yang seharusnya juga tidak menyebabkan kita menepuk dada. Kadang-kadang, hal semacam itu membuat kita palak sehingga kalimat semacam ini terlontar, “Ya, silakan Indonesia mencari bahasa lain untuk bahasa nasionalnya, bukan bahasaMelayu. Merdeka!� *** ( Dari Riau Pos ahad 24 Agustus 2014)
Senirupa
Membuka Kitab, Memaknai Teks, Menziarahi Sejarah: Membaca Seni oleh Dantje S Moeis Pekerja seni, dosen pengajar pada Sekolah Tinggi Seni Riau
emb embacaan karya seni seakan kini merupakan suatu keharusan, mer bahkan merambah hampir ke seantero wilayah publik dengan pemaknaan suka-suka, berkadar atau yang tak berkadar sama-sekali. Yang lebih mengenaskan, bila pembacaan dan pemaknaan dilandasi pada faktor fanatisme beku, kebencian atau sebaliknya pemujaan yang membabi-buta. Menjadi persoalan tersendiri memang, yang ‘agak’ mudah-mudah susah, pada ruang seni apa saja, terutama dalam wilayah seni yang
tak biasa, atau kerap disebut kontemporer atau kadangkala disebut juga seni postmodernisme. Ruang pemaknaan pada proses kreasi berlangsung hanya ditentukan oleh kreator dan kemudian setelah karya selesai dilempar ke ruang publik, tak lagi merupakan wilayah absolut miliknya, sebagai titik sentral dan menentukan makna tunggal bagi pembacaan karya seni. Telaah tentang posisi seniman dalam kaitannya dengan masalah pemaknaan karya, si seniman seakan tak lagi boleh
halaman 11
membayang-bayangi karyanya, melainkan tersuruk ke belakang, mudur dari ruang publik usai berkarya atau mencipta seni. Maka tampillah si pemerhati dan pemakna menjadi pencipta kedua. Kreasi pun mengalami re-kreasi. Inilah situasi yang disebut sebagai the death of the author, kematian sang pencipta kata Roland Barthes (filsuf, kritikus sastra, penganalisa kebudayaan asal Prancis), di mana ‘teks’ tak berhenti setelah diciptakan. ‘Teks’ kemudian berpeluang mengalami ‘re-kreasi’ kembali, namun bukan lagi oleh si pencipta melainkan si pengamat, atau apresian, menurut Jacques Derrida (lahir di El Biar, Aljazair, 15 Juli 1930, meninggal di Paris, 8 Oktober 2004 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf Prancis yang dianggap sebagai pengusung tema dekonstruksi dalam filsafat postmodern. Teks tak harus tunduk pada satu makna saja, ia bisa di-‘dekonstruksi’ dalam hal ini teks dibiarkan ‘terbuka’ sehingga punya makna yang berubah-ubah. Pendapat Roland Barthes jadi sebuah kebenaran yang tak terbantah saat ini memang. Namun pendapat itu dijelaskannya dengan berbagai keharusan bahwa ‘rekreasi’ teks (text in art) pada karya seni, harus didasari oleh pendapat orang-orang patut dan berkemampuan (pengamat atau apresian), baik yang berpendidikan formal maupun yang tunak dan berpengalaman (praktisi/otodidak). Amat celakalah karya seni bila digagas, diproses, diciptakan oleh seniman yang kemudian direspon masyarakat yang mengacu pada pemaknaan dari hasil pembacaan sejak awal berproses hingga ke karya tercipta, yang kacau seperti beberapa kasus yang tercatat. Hampir selusin karya seni rupa jadi korban sekelompok kaum vandalisme
halaman 12
berbasis ideologi Nazi. Karya-karya yang dianggap Nazi sebagai bentuk ‘’kemerosotan’’ telah dimusnahkan, ditemukan. Patung terakota dan perunggu ini ditemukan saat pembangunan sebuah subway baru di kota Berlin. Tak hanya menemukan patungpatung, para pekerja juga menemukan 15 ribu benda-benda bersejarah yang ‘’dikutuk’’ rezim Hitler karena mengandung unsurunsur serta tema anti-nasionalis atau mengkritik ideologi Nazi. Sepuluh dari potongan-potongan dipamerkan di Museum Neues, Berlin. Satu kepala laki-laki dari terakota terlalu rapuh untuk ditampilkan. Otto Freundlich, yang memajang salah satu patung terakota itu pada 1925 dibunuh di kamp konsentrasi Lublin-Maidanek tahun 1943. Naum Slutzky, anggota dari sekolah Bauhaus, melarikan diri ke Inggris pada 1933, di mana dia mengajar seni dan tinggal sampai kematiannya pada 1965. Karyanya “Female Bust”, pada mulanya merupakan perunggu berkilauan. Wali Kota Berlin, Klaus Wowereit mengatakan, temuan patung-patung adalah ‘’keajaiban kecil’’ agar generasi muda Jerman tahu banyak tentang “masa gelap sebuah negeri’’. Sebuah ‘keajaiban kecil’ yang paling tidak, masih memberi kesempatan bagi para ‘peziarah sejarah’ masa kini dan masa depan untuk membaca, memaknai teks (text in art) dari karya-karya seniman masa lalu. Akhir-akhir ini, di Indonesia, kejadian serupa --walau tak semua karya seni- bernasib sama seperti pemusnahan ala Nazi, ala rezim setelah Saddam Husein dan lain-lain. Kebebasan setiap individu memaknai teks dari sebuah karya seni makin jelas tampak dan rata-rata gejolak yang timbul akibat ruang pemaknaan yang makin lebar, berpunca pada kealpaan.
Para penggagas atau seniman bermodalkan suka-suka hatinya saja membuat patung (karya-seni), yang penempatannya kemudian berada pada wilayah publik, menggunakan dana publik dan lain sebagainya yang berbau publik. Para penggagas, seniman yang karyanya berada pada wilayah publik, harusnya atau wajib melakukan riset yang ditinjau dari berbagai aspek serta melibatkan orang-orang paham dari berbagai disiplin bidang, agar di kemudian hari tak terjadi pemaknaan yang hiruk-pikuk dan bermuara pada ‘pengorbanan’. Peristiwa rubuhnya patung Tiga Mojang di Perumahan Harapan Indah Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi mengagetkan banyak pihak. Pasalnya, patung yang merepresentasikan kebudayaan Sunda itu justru ditolak masyarakat Bekasi. ‘’Penggagas dan Nyoman Nuarta si pembuat patung tak melakukan riset mendalam sebelum membuat patung Tiga Mojang,’’ ujar Ali Anwar, sejawaran dan budayawan Bekasi. Bahwa Bekasi punya kebudayaan sendiri, tak bisa disamakan dengan Sunda meski masih satu Provinsi Jawa Barat. ‘’Patung itu tidak salah, yang salah adalah menempatkannya di Bekasi,’’ kata Ali Anwar.
Patung Tiga Mojang karya Nyoman Nuarta setinggi 17 meter itu sebenarnya dibuat sebagai simbol eksotisme Jawa Barat. Di mana ada tiga Mojang Priangan yang mengenakan pakaian adat Sunda dan menonjolkan sisi eksotisme serta keelokan tatar Pasundan. Sayang, patung ini dapat penolakan kuat dari masyarakat Bekasi. Patung Sultan Hasanuddin, lagi-lagi karya pematung Nyoman Nuarta di bandara internasional Sultan Hasanuddin Makassar juga ditolak dengan komentar beragam. Patung salah buat. Patung raksasa yang tak mirip Sultan Hasanuddin itu tak ubahnya boneka India dalam lagu lawas Elya Kadam yang dikatakan sebagai hadiah ulang tahun. “Boleh dipandang tak boleh dipegang” dan berbagai pemaknaan lain hasil pembacaan teks dari sosok karya tersebut. Di Riau (Pekanbaru) pun demikian. Cukup banyak karya-karya seni (patung/ sculpture) yang dapat pemaknaan hirukpikuk yang syukur, taklah bermuara pada sikap vandalisme.***
halaman 13
Cerita-pendek
Bunga yang Tumbuh di Cermin oleh Dadang Ari Murtono
halaman 14
“
ITU bunga dafodil,” teriak seseorang. Rambutnya panjang. Tampangnya kusut. Ada lingkaran berwarna hitam yang menggantung di bawah kelopak matanya. Serta merokok tak henti-hentinya dari tadi. “Bunga da... da... bunga apa?” tanya seorang yang lain. Sepertinya kupingnya tak jelas menangkap apa yang dikatakan lelaki berambut panjang itu. Suasana memang sedang hiruk. Orang-orang bergerombol dengan cepat. Berkasak-kusuk. Namun sepelan apa pun kasak-kusuk orang sebanyak itu, tak urung juga mengganggu pendengaran. “Bunga dafodil!” teriak ulang si lelaki berambut panjang. Lebih keras. Cukup keras untuk mendiamkan kasak-kusuk orang-orang itu. Mendadak hening. “Bunga apa itu? Saya tidak pernah mendengar ada bunga yang bernama seperti itu. Apalagi melihat wujudnya,” saut seseorang. “Saya juga tidak pernah melihatnya. Tapi saya pernah membaca perihal bunga itu,” jawab si lelaki berambut panjang. “Siapa anda sebenarnya?” tanya yang lain. “Saya penyair.” “Darimana anda tahu itu bunga dafodil?” “Sudah saya bilang, saya membacanya.” “Buku apa yang anda baca?” “Sebuah buku tentang mitologi Yunani. Sebagai penyair, saya mesti banyak membaca buku. Khususnya buku-buku dari barat. Saya perlu tahu banyak hal dari barat agar saya terlihat pintar dan lihai mengutip kalimat-kalimat dari bacaan saya itu bila diundang menjadi pembicara di sebuah forum diskusi atau sekadar ngobrol dengan teman sesama penyair di warung kopi. Semua mesti berkiblat ke barat. Paling tidak, begitulah yang terjadi di negeri kita ini.” “Ah, kami bukan penyair. Dan kami tidak terlalu peduli apalagi mengerti dengan puisi. Atau bacaan-bacaan yang anda ceritakan. Tapi anda telah memulai menyebut bunga ini sebagai bunga dafodil. Dan kami jadi penasaran. Maukah anda menceritakan perihal bunga ini?” “Tentu saja. Dengan senang hati.” Orang-orang saling merapatkan tubuh. Seperti ada sebuah perintah yang tak perlu diucap, mereka lalu duduk membentuk lingkaran mengelilingi lelaki penyair itu. Dan cerita dimulai. “Semua bermula pada suatu ketika yang telah begitu lama. Sesuatu yang lampau sekali. Di Yunani...” Dan orang-orang yang duduk melingkar mendengar cerita itu
halaman 15
sadar, cerita itu tidak terjadi sekarang. Atau di waktu yang dekat dengan sekarang. Dan terjadi di Yunani, bukan di Indonesia. “Seseorang bernama Narcissuss, putra dewa....” Orang-orang yang mendengar cerita itu juga tahu, tidak pernah ada orang bernama Narcissuss yang berada di sini. Tapi pernah ada seseorang lelaki. Namanya tak penting benar siapa. Tapi yang jelas, bukan Narcissuss. Dan juga bukan putra dewa. “Yang teramat tampan hingga rasanya tak ada yang lelaki lain di dunia yang setampan, apalagi lebih tampan, dari dia.” Para pendengar itu ingat, lelaki yang pernah ada di sini sebelumnya, tidak terlalu tampan. Lelaki itu mempunyai wajah yang biasa-biasa saja. Wajah yang sama persis dengan bapaknya. Serupa kembar saja. Bila ada yang berbeda, barangkali hanyalah persoalan usia. “Banyak perempuan jatuh cinta kepada Narcissuss.” Para pendengar juga ingat, selain ibu si lelaki, tak ada lagi perempuan yang mencintai lelaki itu. “Tapi Narcissuss menolak perempuan-perempuan itu.” Kenangan para pendengar itu surut ke masa yang lebih silam tentang lelaki itu. Dia tidak pernah menolak perempuan. Tapi bapaknya, yang wajahnya serupa benar dengan wajahnya, telah mencampakkan ibunya. Mencampakkan begitu saja serupa mencampakkan sampah plastik. “Lalu seorang dewi mengutuknya. Dewi yang merasa tersinggung dengan keangkuhan Narcissuss. Nama dewi itu Nemesis.” Para pendengar khidmat itu benar-benar tahu, si lelaki yang pernah berada di sini tidak mendapat kutuk dari dewi mana pun. Lelaki itu hanya mendapatkan sebuah cerita. Cerita yang terus diulang-ulang ibunya. Ibu yang sakit hati. Cerita tentang seorang bapak yang lari dari tanggung jawab. Bapak yang meninggalkan ibunya demi seorang perempuan lain yang ditemuinya di lokalisasi pelacuran. Bapak yang hanya meninggalkan beberapa lembar foto. Tapi dari foto-foto itulah, si lelaki tahu kalau parasnya mirip benar dengan bapaknya itu. Sepertinya, si lelaki bukanlah anak dari si bapak. Tapi kloningan. Dan karena kloningan, segala yang ada pada diri si bapak, ada juga pada diri si lelaki. Tapi si ibu selalu mengakhiri ceritanya dengan pesan, “jangan pernah jadi lelaki seperti bapakmu.” “Kutukan itu berbunyi, ‘kau hanya akan jatuh cinta kepada bayanganmu sendiri.’” Semua yang hadir ingat, si lelaki yang pernah berada di sini tidak
halaman 16
pernah jatuh cinta kepada siapa-siapa. Atau apa-apa. Selain kepada ibunya, tentu saja. Si lelaki hanya mengenal dendam. Dendam kepada bapaknya. Dan mati-matian menyangkal bahwa dirinya serupa benar dengan bapaknya. Seperti yang berulang dipesankan ibunya pada akhir cerita, dia tidak ingin menjadi lelaki seperti bapaknya. “Maka semenjak saat itu, Narcissuss menghabiskan waktu di tepi kolam. Memandangi bayangannya sendiri yang dipantulkan air kolam. Bayangan yang sangat ia cintai itu.” Para pendengar mulai bertanya-tanya kenapa pada bagian ini, apa yang dilakukan Narcissuss tidak berbeda jauh – atau malah kebalikan seperti hal-hal sebelumnya – dengan yang dilakukan si lelaki yang pernah ada di sini. Lelaki itu juga menghabiskan hari-harinya dengan memandangi bayangannya sendiri. Tapi lelaki itu tidak melihat bayangannya di air kolam, melainkan di cermin. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Berbulan-bulan. Bertahun-tahun. “Semakin Narcissuss melihat bayangannya, semakin Narcissuss tahu alangkah elok parasnya. Dan semakin ia jatuh cinta kepada bayangannya itu.” Para penyimak mengerti, pada bagian ini, Narcissuss dan si lelaki yang pernah berada di sini kembali berbeda. Semakin si lelaki melihat bayangannya, semakin ia jengkel. Semakin benci dengan bayangannya sendiri. Semakin ingin menggoreskan pisau ke wajahnya. Rasanya, semakin ia menghayati bayangannya, semakin tegas kenyataan bahwa parasnya sama persis dengan paras bapaknya. Dia merasa mengecewakan ibunya. Ibunya yang sudah lama meninggal. Meninggal karena lelah dan payah. Lelah sebab membanting tulang sendirian menghidupi dia dengan bekerja sebagai pelayan rumah makan. Payah digerogoti nestapa sebab senantiasa terkenang bapaknya. Dia hanya ingin menemukan sesuatu di parasnya yang tidak sama dengan paras bapaknya. “Begitulah hingga bertahun-tahun. Narcissuss terus berkaca. Dan terus jatuh cinta kepada bayangannya.” Semua yang mendengar paham, si lelaki yang pernah ada di sini, terus juga berkaca. Dan terus membenci bapaknya. Terus membenci parasnya yang serupa. Terus ingin membunuh bapaknya. Si lelaki benci terus-terusan menjadi bayang-bayang bapaknya. Ia ingin terbebas dari itu semua. “Hingga tiba waktu kematiannya.” Masih segar dalam ingatan para pendengar itu, beberapa saat yang lalu, si lelaki juga meninggal. Ada yang bilang, sebab terlalu larut
halaman 17
dalam usahanya bercermin untuk menemukan perbedaan parasnya dengan si bapak, dia lupa makan dan mati kelaparan. Tapi ada juga yang bilang dia terkena penyakit. Entah penyakit apa. Namun ada juga yang bilang, si lelaki memutuskan mengakhiri hidupnya sendiri dengan menenggak racun yang tidak menyebabkan mulut berbuih sebab merasa frustasi tak berhasil menemukan sesuatu dari parasnya yang berbeda dengan paras bapaknya. “Narcissuss meninggal di tepi kolam. Masih dengan bayangannya yang sangat ia cintai itu.”
melihat
Si lelaki juga meninggal di depan cermin. Masih dengan melihat bayangannya. Bayangan yang sangat ia benci itu. “Konon, tubuh Narcissuss berubah menjadi bunga. Namanya bunga dafodil. Bunga itu indah. Memiliki warna yang terang, kebanyakan kuning atau putih, berukuran sedang seperti bunga sepatu dan tidak pernah menghadap ke atas. Selalu miring. Mungkin mengikuti matahari.” Para pendengar tiba-tiba berkasak-kusuk lagi. Memecah suasana yang sedari tadi takzim mengikuti cerita si lelaki penyair. “Apakah bunga ini tumbuh dari jasad lelaki itu?” tanya seseorang. “Tapi jasad lelaki itu telah dikubur,” saut yang lain. “Barangkali ada sisa tubuhnya yang tertinggal dan tumbuh menjadi bunga ini,” tebak yang lain. “Tapi bagian tubuh yang mana? Jasadnya utuh. Tidak ada yang tertinggal,” sanggah yang lain. “Apakah menurut tuan penyair, ada jasad dari si lelaki yang tertinggal?” ucap seseorang dengan agak keras ditujukan kepada lelaki penyair. “Barangkali. Saya tidak tahu. Tapi saya yakin, bunga yang tumbuh secara ajaib di cermin ini adalah bunga dafodil. Jika pada jaman Narcissuss bunga ini tumbuh di air kolam yang dipakai berkaca oleh Narcissuss, maka adalah hal yang tidak berbeda jika sekarang bunga ini tumbuh di cermin yang selalu dipakai si lelaki itu bercermin sepanjang waktu.” “Kenapa mesti bunga dafodil yang tumbuh di kolam itu? Kenapa tidak teratai atau bunga lain?” “Saya tidak tahu. Tapi yang jelas, semenjak saat itu, bunga dafodil melambangkan cinta yang tak terbalas.” Orang-orang sadar, ini bukan Yunani. Dan peristiwa yang terjadi di sini, baru beberapa saat yang lalu. Bukan berabad-abad yang silam.
halaman 18
Dan ini bukan cerita mitologi. Ini kenyataan. Dan mereka juga tahu, bunga yang kini tumbuh di cermin itu bukan melambangkan cinta yang tak terbalas, tapi benci dan dendam yang tak terbalas. Dan sekali pun bunga yang tumbuh itu juga berwarna terang; kuning dan putih, mereka yakin, itu bukan bunga dafodil. Beberapa orang menyeletuk, “ini bunga senikir. Indah warnanya, tapi tidak enak baunya.� Lalu perlahan-lahan, kerumunan itu bubar. Meninggalkan bunga aneh yang tumbuh di atas cermin itu. Bunga yang membuat mereka berkerumun.
Dadang Ari Murtono Lahir dan tinggal di Mojokerto. Sebagian tulisannya pernah terbit di Jawa Pos, Surabaya Post, Bangka Post, dll. Sebagian yang lain menjadi bagian dari antologi bersama seperti Medan Puisi, Pasar yang Terjadi pada Malam Hari (antologi penyair mutakhir Jawa Timur 2), Manifesto Illusionisme, dll.
halaman 19
Cerita-pendek
Orang-orang di Batas Garis oleh Wyaz Ibn Sinentang
aanita setengah baya itu mondar-mandir. Mulutnya komat-kamit sembari menunjuk plang nama gang. Sepertinya ia sedang berbicara entah dengan siapa, yang pasti sangat serius, jelas tersirat dari raut wajahnya. ya Tegang. Apa yang dibicarakan dan siapa lawan bicaranya pun tak jelas. Sesekali ia tertawa sendiri, terkadang sedih. Segala tindak-tanduknya memang agak aneh bagi kita yang tak biasa melihatnya, namun bagi orang sekitar perumahan ini sudah maklum dan paham dengan tabiatnya. Bukan itu saja, terkadang ia kerap berbicara dengan pohon, bunga, tanaman lain di sekitar rumah, bahkan hewan pun tak luput diajaknya bicara. Orang sering menilai ia gila. Tapi di balik semua itu, ada hal-hal yang berbau ghaib. Sesuatu yang kasat mata, di luar batas kemampuan kebanyakan manusia. Penganut imajiner sejati. Kebiasaan seperti ini telah berjalan dua tahun lamanya, apa sebabnya, tak satu pun keluarganya yang tahu. Wanita itu bernama Sindang. Usianya saat ini diperkirakan tigapuluh tahunan. Menurut cerita, ia telah berkeluarga dan dikaruniai dua anak laki-perempuan. Sedang suaminya dikabarkan menghilang sekitar enam bulan yang lalu, entah kemana rimbanya tak seorang pun yang tahu. Tapi, sebenarnya penyebab kelainan yang dialami
halaman 20
Sindang bukanlah menghilangnya sang suami, lebih dikarenakan rasa frustrasi dan ketidak jelasan dari status perkawinan mereka. Perkawinan mereka itu boleh dibilang sedikit berbau paksaan, terutama dari pihak Sindang, kebetulan orang tuanya adalah mantan Pejabat di suatu instansi. Takut anak kesayangannya jadi perawan tua, maka dinikahkan putrinya dengan anak dari koleganya. Mereka berdua sama-sama dipaksa. Konon kabarnya, agar sang mempelai pria mau menikah, ia diiming-imingi janji muluk, akan diberikan rumah serta diberi pekerjaan yang layak. Namun apa lacur, janji tinggal janji, apa yang diharapkan tak kunjung tiba. Ini mungkin penyebab menghilangnya Rusman, suami Sindang. Walau begitu Sindang tetaplah Sindang yang mempunyai kodrat dan naluri sebagai wanita, sekaligus ibu dari kedua anaknya Sifat itu masih tetap melekat disosoknya, yang terkadang sering nyeleneh. Di luar kebiasaannya itu, ia tetap bisa mengasuh dan mengurus buah hatinya, serta rutinitas sehari-hari sebagai PNS di lingkungan kantor Kecamatan pun dilalui seperti biasa layaknya para pegawai lain yang normal. Patut diacungi jempol. Kedua orang tuanya telah berupaya pula untuk mengobati penyakit aneh ini, dari penggobatan medis hingga non medis. Medis menyatakan Sindang sehat-seha saja, nonmedis pun hasilnya sama saja. Bahkan mulai dari orang-orang pintar dalam hal; agama, psikologi, dukun kampung, bahkan cenayang ternama sudah didatangi,hasilnya juga sama, tidak ada penyakit apa-apa. Nihil. Orang tuanya pun putus asa. Maka demikianlah alhasil adanya kondisi dan keadaannya, tanpa ada upaya penyembuhan secara rohani mau pun fisik. “Pak Long, apa dah coba dukun di seberang kota?” tanya Pak Guru Maula pada suatu kesempatan saat shalawatan di rumah Pak RT. “Capek dah aku ke sana ke sini, hasilnya pun sama saja. Biarlah begitu, yang penting Sindang tak mengganggu dan merugikan orang lain,” ujar Long Saidi, ayah Sindang. “Zaman maju gini masih juga kau pakai dukun, Mol! Ingatingat, apa gunanya selama ini kita adakan shalawatan. Serahkan saja semuanya pada Yang Kuasa, pasti ada jalan menuju kebaikan
halaman 21
dan kesehatan,� kata Pak RT mengingatkan Maula, Long Saidi berdehem mengerenyitkan dahinya, yang lain tersenyum menatap. Namun, itulah semua rencana manusia, rencana dirancang dan dipersiapkan sebaik mungkin, tapi Allah jualah yang punya hak dan berkehendak menentukan jalan hidup serta garis takdir manusia. Masih terekam jelas di ingatan Long Saidi, betapa dia telah mempersiapkan anak kesayangannya untuk menggapai citacita yang tinggi, menjadi seorang Arsitek. Dari esde hingga kuliah, semua kebutuhan dan permintaan Sindang selalu terpenuhi. Hanya saja sebagai seorang ambtenar yang mempunyai jabatan cukup
halaman 22
bergengsi, Long Saidi pun lupa memperhatikan perkembangan jiwa sang anak. Ia hanya memikirkan bagaimana mencari materi belaka untuk memenuhi kebutuhan keluarga, juga keinginan menjadikan anaknya sebagai orang yang berhasil. Tapi ia lupa dengan perkembangan psikis putrinya itu. Di luar sepengetahuan sang ayah, yang memang disibukkan dengan berbagai pekerjaan dan acara kantor, Sindang mempelajari serta memperdalam ilmu menuju kesempurnaan jiwa. Tentu saja sangat beresiko, apalagi jika orang yang ingin berproses menuju kesempurnaan tersebut belum siap mental. Dan resiko terberat yang akan didapat jika tak betul-betul memahaminya,atau iman yang tak kuat, maka dapat dipastikan ia akan mengalami goncangan jiwa yang luar biasa. Gila. Kesehariannya biasa-biasa saja. Namun ada saatnya penyakit aneh itu datang tiba-tiba. Bisa dipastikan seharian penuh ia berlaku aneh. Bicara sendiri. Menurut pandangan kita yang awam, ia gila. Tapi menurut penuturan Sindang sendiri, ini adalah pengakuannya, ia sedang berbicara dan berhubungan dengan mahluk gaib sebangsa jin. Itu pula yang sering ia ceritakan pada Umak Bayan, istri Pak RT. Umak Bayan sendiri memang selalu mengiyakan saja apa kata dan kisahnya, ia tak mau mementahkan penuturan wanita yang masih terhitung keponakannya. Istri Long Saidi itu tak lain adalah adik tiri suaminya. Yang paling tersiksa dengan keadaan ini adalah emak Sindang, sedang kedua anaknya tak tahu apa-apa, karena masih balita. Bahkan mereka sepertinya tak terpengaruh, bermain dan bercanda dengan sang ibu, seakan tak ada yang berbeda. *** Sore menjelang masuknya petang ke hamparan bumi, langit yang tadinya cerah mulai memerah digayuti gumpalan awan hitam. Perlahan mulai meninggalkan edarnya. Sekawanan belibis melintas mencari batas terbangnya. Inilah gambaran dunia, berkias tapi nyata. Namun adzan Maghrib belumlah sampai, di belakang sebuah rumah tepat di bawah pohon Mengkudu, sesosok manusia asyik bercengkerama. Dibilang bercengkerama sendiri, tapi nyatanya wanita yang tak lain adalah Sindang seperti sedang berbicara dengan halaman 23
seseorang, atau apa pun itu wujudnya. Sangat serius. Lawan yang diajak bicara secara kasat mata memang tak nampak, bahkan memang tak ada sesuatu yang kelihatan. Dia sedang bicara sendirian. Namun baginya ini adalah sesuatu hal yang nyata dan wajar, ini menyangkut penilaian bathin yang sudah berakar, tidak bisa tidak. Dari gerak-geriknya, setiap ada hembusan angin yang menggoyang dahan pohon Mengkudu, saat itulah dia mengeluarkan kata-kata, tanda bahwa sedang berdialog. Kadang gerakannya terasa pelan, kadang berubah menjadi amarah, apa yang diucapkannya pun tak jelas. Nanar. Ini memang menjadi rutinitas bagi Sindang. Depresikah ? Ya, wujud nyata boleh dibilang ya, secara naluri belum tentu. Kadang kita tak bisa menilai sesuatu yang kita rasa salah dengan kata salah, atau sesuatu yang menurut kita benar belum tentu benar. Semua itu rahasia Ilahi adanya. Dengan gerakan tubuh sebagai bahasa penyambung lidah antar sesama yang samar. Tak henti-hentinya dia berkomat-kamit, sebentar duduk, sebentar berdiri lalu bergerak ke segenap sudut di belakang rumah. Kalau direkam dengan handycam, niscaya ini akan menjadi sebuah pertunjukan monoloog alami yang luar biasa. Tanpa terasa Maghrib sampai juga. Mendadak Sindang menghentikan segala aktiviasnya. Diam mematung. Tatapan kosong. Sekujur tubuhnya serasa hampa,tak berasa apa-apa. Barangkali yang ada di benaknya tak sesederhana yang orang awam pikirkan. Kita sudah pasti akan menghadapNya bersama hadirnya Maghrib. Sindang ? Ooo --- belum tentu sama. Karena saat seperti inilah dia terbelah jiwanya, antara harus dan jangan. Momen seperti ini merupakan prosesi pergolakan bathin. Acap kali menimbulkan penilaian yang kontroversial terhadap dirinya. Waras atau gila. Jadi, sejauh ini memang sulit bagi kedua orang tuanya untuk mengetahui apa sebab musabab yang membuat dirinya bertingkah laku seperti ini. Tanda tanya besar yang tak tuntas. Yang bisa memberikan jawaban pasti hanya dia seorang. Namun, menurut Umak Bayan lagi, Sindang sedang mengalami pergulatan bathin. Jiwanya resah karena tak ada yang mau mengerti apa yang selalu dialaminya. Umak Bayan memang dianggap orang yang dekat
halaman 24
dengan Sindang, segala sesuatu yang dialami Sindang pasti diceritakan kepada bibinya itu. Termasuk pula kalau dia dapat bicara dengan mahluk lain, dapat melihat alam lain, dan hal-hal ghaib yang memang di luar nalar kebanyakan orang. Dan semua itu pada saatnya nanti akan bisa berubah dengan sendiri, seiring bergulirnya sang waktu. Entah kapan. Umak Bayan hanya bisa menggeleng, pasrah. “Jadi sia-sia saja ikhtiar kita kesana kemari untuk menyembuhkan Sindang,” ujar Long Saidi, memikirkan nasib putri semata wayangnya itu. “Tidak begitu, Bang! Ada hal dan jalan lain yang bisa membantu pulihnya jiwa Sindang kembali ke keadaan semula. Tapi aku tak yakin, apa bisa? Karena ini ada sangkut pautnya dengan perjalanan hidup Abang,” kata Umak Bayan menenangkan hatinya. “Apa itu ?” tanya Long Saidi penasaran. “Begini saja Bang, aku tak bisa menjelaskan lebih jauh. Kalau abang ingin tahu apa sebab musabab Sindang bisa berkelakuan seperti itu, nanti kukenalkan ke seseorang pandai, kebetulan ia kawan lamaku,” ujar wanita tua itu. “Kapan kita bisa ketemu dia? “ “Kebetulan besok malam aku dan bapak Laila mau ke rumahnya. Oh ya, nama kawanku itu tadi Bujang Kalot. Ia sangat terkenal di kampung seberang,” kata Umak Bayan lagi. Singkat cerita, bertemulah Long Saidi ditemani Umak Bayan dan suaminya dengan Bujang Kalot, orang pandai tersebut. Orangnya sederhana dan bersahaja. Dari rautnya jelas memancarkan sorot kharisma yang jarang dimiliki kebanyakan orang. Dengan hati-hati Long Saidi mulai menceritakan hal ikhwal tentang penyakit aneh anaknya. Wajah Bujang Kalot tampak serius menyimak cerita Long Saidi. Sebentar diusap kepalanya yang setengah botak itu, sementara Umak Bayan dan suaminya hanya diam saja. “Begitulah Wak, saya sekeluarga sudah pusing dengan tingkah lakunya. Bantu saya Wak, supaya dia kembali waras,” pinta Long Saidi mengiba. Memang, untuk orang seperti Long Saidi baru sekali inilah dia meminta, bahkan mengiba pada seseorang. Biasanya, tak halaman 25
pernah sekali pun berlaku seperti ini. Penuh senyum, orang tua yang dianggap pandai ini pun mulai buka suara. Perlahan dan hati-hati ia menarik nafas dalam, “ Bukannya aku ingin mendahulukan kehendak Allah, karena semua misteri itu punya Dia. Dari penuturan yang engkau sampaikan tadi, sebenarnya sederhana saja musababnya Aku tak hendak menggurui, bahkan menyalahkan siapa pun, anakmu juga engkau. Kita lihat saja nanti !� Sebentar Bujang Kalot menghentikan pembicaraan. Suasana hening sejenak. Mereka yang ada di situ saling memandang, bingung. Sementara pandangan Bujang Kalot berkeliling, seperti sedang mencari dan mendeteksi sesuatu yang tak jamak. Entah apa maknanya, hanya dia seorang yang paham. Tanpa diduga, tiba-tiba Long Saidi tertawa keras, tubuhnya berguncang seketika, seperti ada yang merasuk dalam dirinya. Tampak perubahan drastis pada dirinya, matanya merah memancarkan seberkas sinar yang sangat aneh. Ada sesuatu mengalir di sekujur tubuhnya. Tubuh tua itu berkelonjotan, dan terdengarlah suara bergemuruh memenuhi penjuru rumah. Suara itu melengking bagai suara bariton memekakkan telinga. Dari karakter suara, sepertinya suara perempuan. Kembali tawanya memecahkan suasana yang sempat statis sejenak, mengagetkan orang yang berada di sekelilingnya. Umak Bayan dan suaminya terperangah, wajah mereka memucat. Orang tua pandai itu hanya ter senyum kecil melihat perubahan pada diri Long Saidi, tanpa sedikit pun rasa terkejut. “Ha....ha....ha....� suara aneh yang bersarang dalam tubuh Long Saidi kembali memenuhi ruangan dan memekakkan telinga. Lantas dia berdiri,kemudian berputar-putar seperti orang yang sedang mabuk minuman keras, menari-nari semaunya. Limbung. Ia kesurupan. Tak ada rasa malu lagi. Dengan kondisi yang serba tak jamak itu, membuat orang yang ada di sekitarnya merasa was-was. Mereka menjaga jarak, sementara Bujang Kalot diam tanpa bereaksi. Tak lama berselang, dengan wajah yang menyeringai Long Saidi berkata lantang. Sudah barang tentu suara tersebut bukanlah
halaman 26
suaranya, melainkan suara perempuan tadi. Itu suara Sindang. Anak perempuan semata wayangnya. Tampaknya telah terjadi sebuah perubahan drastis. Mencekam. Semua terdiam. Nuansa ketegangan melanda wajah-wajah di sekitar ruangan. Kecuali Bujang Kalot, diam dengan kedua belah tangan terlipat di dada. “Inilah penyebab mengapa aku jadi tersiksa seperti ini, ini semua akibat perbuatan Bapak yang tidak terpuji. Perbuatan Bapak semasa masih bekerja dulu. Bapak semena-mena dengan kebenaran, Bapak lebih memilih materi ketimbang kebahagiaan anaknya. Aku malu!� jerit suara itu memekik pilu. Kejadian di atas hanyalah sebagian yang ditumpahkan dan digambarkan Sindang lewat raga bapaknya, dari kilasan masa-masa jaya serta perilaku Long Saidi pun terekam jelas, terlintas begitu saja di hadapan mereka. Seperti sedang menonton film. Suasana bisu tanpa sepatah komentar. Dan tanpa diduga, Bujang Kalot menepuk kedua belah tangannya kuat-kuat. Tubuh Long Saidi pun menggelepar dan terkapar. Melintas begitu cepatnya. Dalam waktu yang tak terlalu lama Long Saidi siuman dan terbangun. Duduk terdiam. Seperti tak mengalami sesuatu peristiwa. Semua yang berada di situ terheran-heran. Saling berpandangan. Bertanya dalam hati masing-masing apa makna semua ini. “Jangan heran dengan adegan tadi ! Aku yang mengatur semuanya dengan seizin Allah tentunya. Apa artinya ini ? Sesungguhnya, Sindang sakit dikarenakan ulah dan perbuatan dari Bapak Long Saidi sendiri, semasa masih menjadi penguasa. Saat dia menjadi salah satu orang berpengaruh di kota ini. Ternyata banyak tingkah laku serta perbuatannya yang kurang terpuji di mata masyarakat. Inilah yang selalu menjadi beban pikiran Sindang. Berkecamuk. Mengoyak bathinnya,� dengan perlahan dan hati-hati Bujang Kalot menguak tabir misteri. Wajah Long Saidi memerah menahan malu. Tertunduk lesu tanpa berkata-kata. Penyakit semasa jaya dulu terkuak sudah oleh putrinya sendiri. Inilah karma buah perbuatannya di masa lampau. Akhirnya yang menderita anaknya seorang. Dia telah menimbun dosa dalam kehidupan fana. Mengorbankan segalanya demi nafsu dan harta.
halaman 27
Sindang putrinya, telah menjdi tumbal kemunafikan, keserakahan seorang bapak yang semestinya menjdi teladan bagi sang anak. Dan bukan sebaliknya, menjadi penghancur segalanya. Tanpa disadari, air mata meleleh jatuh di pipi yang mulai mengerut dimakan usia. Usia yang sebentar lagi menunggu datangnya ajal. Tinggallah penyesalan yang tak ada batasnya lagi. *****
WYAZ (Wahyudi Abdurrahman Zaenal) IBN SINENTANG Lahir di kota Pontianak tanggal 24 April. Mulai menulis puisi sejak tahun 1980. Selain puisi juga menulis cerita pendek, dan artikel. Karya-karyanya pernah dimuat di beberapa media lokal, nasional, negeri jiran, dan juga media online. Karyanya juga terangkum dalam beberapa kumpulan bersama; Antologi Puisi.
halaman 28
Cerita-pendek Terjemahan
CHARLES oleh Shirley Jackson
ad hari jolong masuk Taman Kanakada k kanak, gadis kecilku Laurie, tak mau lagi memakai baju kanakkanaknya dan mulai menggu menggunakan celana blue jeans yang berikat pinggang. Kuperhatikan pagi itu ia berangkat bersama putri jiran kami yang lebih tua umurnya. Terlihat jelas ada periode dalam kehidupanku yang telah berlalu. Putraku yang dulu sekolah di PAUD dengan suara merdu khas kekanakannya, kini telah berubah menjadi sosok cilik yang berjalan gagah dan angkuh dengan celana panjangnya dan sudah lupa pula berhenti di ujung jalan untuk melambaikan tangannya kepadaku.
halaman 29
Begitu pun ketika ia tiba di rumah, dibantingkannya pintu depan, lalu melempar topinya ke lantai dan mendadak sontak memekik dengan suara serak, “Ada orang di rumah?” Saat makan siang ia berbicara tidak sopan pada papanya, menumpahkan susu adik perempuannya yang masih bayi dan melaporkan bahwa tadi gurunya melarang kita bersumpah dengan memakai nama Tuhan. “Bagaimana sekolahnya hari ini?” tanyaku sambil lalu. “Baik,” jawabnya. “Apa yang kamu pelajari tadi?” tanya papanya. “Tidak ada yang tidak kupelajari,” jawabnya dingin. “Yang berkesan,” sambungku. “Masak tidak ada yang berkesan.” “Bu Guru memukul pantat seorang anak,” jawabnya sambil menyuapkan roti mentega ke mulutnya. “Karena kurang ajar,” sambungnya dengan mulut penuh. “Apa yang diperbuatnya?” tanyaku. “Siapa anak itu?” Laurie berpikir. “Namanya Charles,” jawabnya. “Dia kurang ajar. Bu Guru memukul pantatnya dan menyuruhnya berdiri di pojok kelas. Dia sangat kurang ajar.” “Apa yang dilakukan anak itu?” ulangku, tapi Laurie meluncur dari kursinya, mengambil sepotong kue, dan pergi begitu saja. Sementara papanya masih berkata, “Hey, awas kamu nanti!” Besoknya ketika sedang makan malam lagi, begitu duduk Laurie kembali memberi laporan. “Charles nakal lagi tadi”. Dengan bibir menyeringai ia melanjuTaman Kanak-kanakan, “Tadi Charles memukul Bu Guru.” “Masya Allah!” seruku. “Pasti pantatnya dipukul lagi.” “Tentu saja,” sambung Laurie. “Lihat!” kata Laurie pada papanya sambil menunjuk ke atas. “Apa?” tanya papanya, melihat ke atas. “Lihat!” ulangnya sekali lagi sambil menunjuk ke bawah. “Lihat ibu jariku. Hii, papa tolol!” Ia tertawa terbahakbahak. “Kenapa Charles memukul Bu Guru?” tanyaku cepat. “Karena Bu Guru menyuruh mewarnai dengan krayon merah,” jawab Laurie. “Padahal Charles ingin mewarnai dengan krayon hijau, sehingga dia memukul Bu Guru dan Bu Guru pun memukul pantatnya lagi dan melarang anakanak yang lain bermain dengannya, tapi tak ada yang peduli.” Pada hari ketiga, Rabu pekan pertama, Charles menghempaskan
halaman 30
permainan papan jungkit ke atas kepala seorang gadis kecil hingga melukainya. Oleh Bu Guru ia dihukum tetap tinggal di kelas selama waktu istirahat. Hari Kamis Charles harus berdiri di pojok kelas selama Bu Guru bercerita karena terusmenerus menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Hari Jumat ia tak diberi kesempatan untuk menulis di papan tulis karena melemparkan kapur. Pada hari Sabtu aku berkata pada suamiku, “Apa menurutmu suasana di Taman Kanak-kanak terlalu keras buat Laurie? Segala kekerasan, kekurangajaran dan si Charles ini sepertinya suatu pengaruh yang buruk.” “Nanti juga berakhir,” jawab suamiku menenangkan. “Memang sudah ditakdirkan ada orangorang kayak si Charles itu di dunia ini. Barangkali lebih baik dia menjumpainya sekarang daripada nanti.” Pada hari Senin Laurie pulang terlambat, penuh dengan laporan. “Charles…!” serunya begitu muncul dari balik tanjakan, ketika aku sedang menunggunya dengan gelisah di tangga depan. “Charles…!” teriaknya di sepanjang tanjakan. “Charles nakal lagi!” “Masuklah,” kataku begitu ia sudah cukup dekat. “Makan siang sudah siap.” “Mama tahu apa yang dilakukan Charles tadi?” desaknya sambil membuntutiku masuk melewati pintu. “Charles berteriakteriak di sekolah sehingga anak dari kelas lain disuruh menyampaikan kepada Bu Guru agar menenangkannya. Kemudian Charles pun disuruh tetap tinggal setelah sekolah usai. Juga muridmurid yang lain untuk menontonnya.” “Lalu apa yang dilakukannya?” tanyaku. “Dia cuma duduk di sana,” sahut Laurie sambil memanjat kursinya. “Hey, pap! Muka papa kayak kain pel.” “Charles disuruh tetap tinggal di kelas setelah usai sekolah,” aku memberitahu suamiku. “Temantemannya juga disuruh tinggal menemaninya.” “Macam apa si Charles itu?” tanya suamiku pada Laurie. “Siapa nama lengkapnya?” “Dia lebih besar dariku,” sahut Laurie. “Dia tak pakai sepatu panjang dan tak pernah pakai jaket.” Malam Selasa diadakan pertemuan pertama antara guru dengan wali murid dan karena bayi perempuanku terserang demam, aku terpaksa tak dapat menghadirinya. Padahal aku sangat ingin berjumpa
halaman 31
dengan ibunya Charles. Pada hari Selasa Laurie melaporkan tibatiba, “Tadi di sekolah Bu Guru dikunjungi oleh seorang temannya.” “Ibunya Charles?” Aku dan suamiku langsung bertanya berbarengan. “Bukaaann!” Laurie menyangkal sinis. “Dia seorang lakilaki dan menyuruh anakanak melakukan gerak badan, kami disuruh menyentuh jari kaki. Lihat!” Laurie beringsut turun dari kursinya lalu berjongkok dan menyentuh jari kakinya. “Seperti gitu,” katanya. Kemudian ia kembali ke kursinya dan berkata sambil mengangkat garpunya, “Charles tak mau melakukannya.” “Bagus,” kataku dengan nada prihatin. “Masak Charles tak mau melakukannya?” “Tidaaaak!” sahut Laurie. “Charles memang kurang ajar sekali terhadap teman Bu Guru itu.” “Kurang ajar lagi?” tanyaku. “Disepaknya teman Bu Guru itu,” lanjut Laurie. “Teman Bu Guru menyuruh Charles menyentuh jari kakinya seperti yang kulakukan tadi dan Charles menendangnya.” “Lalu kirakira apa yang akan mereka lakukan terhadapnya?” tanya papanya. Laurie mengangkat bahunya. “Mungkin mengusirnya dari sekolah,” jawab Laurie. Hari Rabu dan Kamis berjalan seperti biasanya, Charles bikin ribut ketika Bu Guru sedang bercerita dan memukul perut temannya sehingga anak itu menangis. Hari Jumat Charles dihukum tetap tinggal di kelas lagi setelah pelajaran usai, begitu juga semua temantemannya. Setelah tiga pekan di Taman Kanak-kanak, Charles telah menjadi bahan pembicaraan dalam keluarga kami. Bayiku menjadi Charles kalau ia menangis terus sepanjang malam. Laurie menjadi Charles waktu
halaman 32
ia mengisi kereta mainannya dengan lumpur sampai penuh dan menariknya melewati dapur. Bahkan suamiku, ketika sikunya menyangkut di kabel telepon sehingga menyebabkan telepon, asbak dan vas bunga berjatuhan dari meja, menggerutu setelah beberapa saat, “Kayak si Charles aja!” Antara tiga sampai empat pekan tampaknya ada perubahan pada diri Charles. Laurie melaporkan dengan penuh semangat pada waktu makan malam pada hari Kamis pekan ketiga. “Hari ini Charles bertingkah sangat baik dan Bu Guru memberinya sebuah apel.” “Apa?” Aku tak percaya, dan suamiku menanya lagi dengan hatihati. “Maksudmu si Charles itu?” “Charles,” Laurie menegaskan. “Tadi dia membagibagikan krayon lalu mengumpulkan bukubuku dan Bu Guru mengatakan bahwa Charles adalah penolongnya.” “Apa yang terjadi?” tanyaku meragukan. “Charles jadi penolong Bu Guru, itu saja,” kata Laurie dan mengangkat bahunya. “Apa mungkin Charles bisa begitu?” aku bertanya pada suamiku pada malam harinya. “Mungkinkah itu terjadi?” “Tunggu saja,” sahut suamiku dengan nada sinis. “Kalau kau sudah mulai bicara soal Charles, bisa berarti dia hanya bikin masalah.” Tapi agaknya ia salah. Selama lebih dari sepekan Charles telah menjadi penolong Bu Guru. Setiap hari ia membantu Bu Guru membagibagikan sesuatu dan mengumpulkannya lagi. Tak ada lagi yang dihukum setelah sekolah usai. “Pekan depan akan diadakan lagi pertemuan antara guru dengan wali murid,” aku memberitahu suamiku suatu sore. “Aku ingin berjumpa dengan ibu si Charles di sana.”
halaman 33
“Tanya padanya ada apa dengan si Charles itu, aku jadi penasaran,” sahut suamiku. “Aku juga,” sambungku. Pada hari Jumat pekan itu segalanya normal lagi. “Coba tebak apa yang dilakukan Charles tadi?” tanya Laurie di meja makan dengan nada agak takjub. “Dia mengajari seorang anak perempuan untuk mengucapkan suatu kata dan anak perempuan itupun lalu mengatakannya sehingga Bu Guru menggosok mulutnya, sedangkan si Charles tertawa.” “Kata apa?” tanya papanya dengan bodoh. Laurie pun bilang, “Akan kubisikkan di telinga papa, kata itu sangat jorok”. Ia beringsut dari kursinya dan berjalan menuju papanya. papanya menundukkan kepala dan Laurie pun membisikkan sesuatu dengan riang. Kedua mata papanya terbelalak. “Benarkah Charles mengajari anak perempuan itu bilang begitu?” tanyanya hatihati. “Dia mengucapkannya dua kali,” sahut Laurie. “Charles menyuruhnya mengucapkan itu dua kali.” “Lalu si Charles diapakan?” tanya suamiku. “Tak papa,” jawab Laurie. “Dia cuma membagibagikan krayon.” Pada hari Seninnya Charles tak menghiraukan anak perempuan itu lagi dan ia mengucapkan sendiri katakata jorok itu tiga atau empat kali, sehingga mulutnya pun digosok setiap kali mengucapkannya. Ia juga melempar kapur lagi. Suamiku mengantar sampai di pintu sore itu ketika aku akan berangkat pada pertemuan antara guru dengan wali murid. “Undanglah dia untuk sekedar minum teh setelah acaranya selesai,” kata suamiku. “Aku ingin mengenalnya.” “Kalau dia datang,” sahut suamiku berharap. “Dia akan datang,” sambung suamiku. “Tak dapat kubayangkan bagaimana jadinya acara ini tanpa kehadiran ibu si Charles itu.” Di pertemuan itu aku duduk dengan gelisah, memeriksa setiap wajah keibuan yang sedap dipandang, berusaha untuk menentukan siapakah yang mengandung rahasia tentang Charles. Tak satupun tampak di mataku yang berwajah kuyu. Tak satupun ada yang berdiri dalam pertemuan itu dan meminta maaf atas kelakuan puteranya. Tak seorangpun menunjukkan tentang Charles. Selesai pertemuan aku mencari guru Laurie dan berusaha menemuinya. Perempuan itu memegang sebuah piring berisi secangkir teh dan sepotong cake cokelat, sedang aku sendiri memegang sebuah
halaman 34
piring berisi secangkir teh dan sepotong kue manisan. Kami saling mengangguk dan tersenyum. “Saya sangat ingin berjumpa dengan anda,” sapaku memulai percakapan. “Saya ibunya Laurie.” “Kami semua sangat menaruh perhatian terhadap Laurie,” balasnya. “Yaaah, dia pasti senang sekolah di Taman Kanak-kanak,” sambungku. “Dia selalu membicarakannya setiap waktu.” “Kami ada sedikit masalah tentang penyesuaian, pada pekan pertama atau lebih,” katanya lagi dengan sikap formal, “tapi sekarang dia adalah penolong cilik yang baik. Tentu saja kadangkadang.” “Laurie biasanya cepat menyesuaikan diri,” aku menambahkan. “Saya pikir kali ini karena adanya pengaruh dari si Charles itu.” “Charles?” “Ya,” sambungku sambil tertawa, “anda pasti sangat direpotkan di Taman Kanak-kanak ini oleh si Charles tadi.” “Charles?” ulangnya. “Tidak ada anak yang bernama Charles di Taman Kanak-kanak ini.”***
Terjemahan dari majalah English Teaching Forum April 1989, ke bahasa Indonesia oleh:Yenindra Nursid.
halaman 35
Sajak
Thoni Mukharrom I.A. Tam, Tukang Cat Lelaki Dengan Sepuluh Jarum di Dadanya Sebelum Senja Merpati Itu Dalam Bus Di Kaca Jendela Rumah Kaca Gerimis Sepagi Ini
Thoni Mukharrom I.A. Lahir pada 15 Agustus di Tuban, Jawa Timur. Saat ini menimba ilmu di Universitas PGRI Ronggolawe (UNIROW) Tuban, program studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Beberapa tulisanya sempat di Surabaya Post, Jawa Pos, Sumut Pos dll. beberapa antologi; antologi cerpen dan puisi lembaga Bhineka (Jakarta, 2012) Antologi Puisi Rinai Rindu untuk Rosul (2012) dll. Aktif bergiat di Komunitas Sanggar Sastra (KOSTRA) yang bermakas di Unirow Tuban.
halaman 36
Tam
Kalau kita mampu Mari alirkan tangan Kepada angin yang menari Sambil mengelus keringat Jika rasa itu akan datang Bersama sunyi apa boleh buat mimpi telah menjadi Rasa rindu yang enggan kau kisahkan lagi Apakah selalu ada semacam rahasia yang berharap kepada likunya dunia Lalu apakah kita akan menambah keringat Lalu mereka akan membaca tetes demi tetes Untuk menuntaskan rindu Kepada yang merindukan bayang itu lenyap Gelap tertiup angin
halaman 37
Tukang Cat
Telah kubersihkan segala kotor di jendela Jejak-jejak masa lalu jalan liku Dengan yang mengerang jauh menghela napas Dekapan pilu menanjak halang Kilau pilu gegaplah kelam Hitam untuk menjadi apa pun juga “telah kubersihkan jalan dengan segala kerinduan yang kejam� Mimpilah ia. Jalan telah begitu menakutkan Saling hantam. Debu lebih galak dari kendaraan Mimpilah ia, dengan luka yang begitu pedih Malam kejam datang himpit angan Lalu dengan segala air Ia meminta dianakkan
halaman 38
Lelaki Dengan Sepuluh Jarum di Dadanya
Dia datang dari rumah asap. Menjadi luka dengan beberapa tusuk. Dadanya lengkap berhias. Oh kedamaian itu akan menjadi jalan kemana. Ia telah genapkan sepi. Kepada rumput di halaman. Lalu sesekali matanya menurunkan hujan, bukan air atau batu namun kesunyian. Telah ia pejamkan segala mimpi yang tumbuh duri. Kini tumbuh hari yang terlalu sadis untuk dinikmati. Adakah luka itu sendiri lari. Yang tau atau yang bisu sama saja. Lalu ia membakar tubuh di atas lilin kamar. Mencabut jarumjarum. Mematung bertahuntahun.
halaman 39
Sebelum Senja
lagu yang membusuk itu telah menjelma bisik kucing kawin. jerat jerit manusia mengecil diusir angin. aku mengantar sampah, kau terima plastik itu lalu menjadikannya bungaan. -berbisiklah dengan airmata, katakata sudah tak ada gunaaku akan lebih kasihan, dan memaafkan cemburuku. lain kalau kau mengambil lagi suaramu yang tertancap di lagu yang telah menjadi kenangan. dan terpahat di dada, mepahit sekitar urusan cin- tai. lalu apakah kau tau kalau angin ini berkabar; dia lebih senyum di sana. sudah kuduga, setia itu lebih sakit dari cinta.
Merpati Itu
dia merpati yang menaklukkan malam pada rerimbun udara yang pernah bekukan jalan dia telah datang sambil membawa ikat kepala berisi darah dan keringat -bajunya menceritakan bukan peranglah yang ditakuti-
halaman 40
Dalam Bus
Barangkali asap itu adalah kawan karib kita. Datang bersama angin jendela. Kita duduk lalu berdiri. Kadang bermimpi, kadang bernyanyi. Bau busuk bangkai, bau parfum dan keringat bercampur menjadi aroma tak bernama. Lalu sampai di tujuan dengan keringat membakar.
Di Kaca Jendela Rumah Kaca
kitalah awan yang mencari angin untuk pulang membeku di atap kamar lelaki sepi lalu dengan terpaksa memakan udara yang menghembus dari satu langit ke langit lain mencari pohon mana yang butuh dihamili jalan memang begitu indah, sayang matilah tapi jangan saat kesepian.
halaman 41
Gerimis Sepagi Ini
kau masih tak lupa mengingatkanku untuk mandi lalu makan, lalu tidur seperti gerimis yang hendak meluncurkan sejuknya ke mataku. jalan yang enggan menanpaki bekunya pagi lalu tibatiba saja kau rebah di kepalaku yang telah penuh oleh berbagai sampah plastik janganjangan kau telah menjelma makhluk asing dari negeri asing aku tak tahu, mungkin saja di sana jalan itu teramat dalam kalau pun aku akan menjadi katak tapi biarlah, kau telah bahagia dan cinta kukira bukan hanya menghasilkan suka kadang duka, namun tak ada duka sesungguhnya selain cinta palsu. haha lalu aku akan menjadi batu ditelan gerimis sepagi ini lalu membeku lalu kamu lalu aku
halaman 42
Sajak
Saiful Anam Assyaibani Nubuat Awal Dari Sebuah Akhir Rahasia Asin Tubuhmu Setetes Embun Sebelum Daun-Daun Jatuh Setiap Kubaca Puisi
Saiful Anam Assyaibani Aktivitas keseniannya berada di Teater Roda, Kostela, LA Rose dan Dewan Kesenian Lamongan. Karyanya terpublikasikan di berbagai media nasional, juga terdokumentasi secara komunal tak kurang dari 30 antologi. Bukunya yang telah terbit; Syahadat Sukma, Tamasya Langit, The Lamongan Soul, Laras Liris, dan Seni Teater.
halaman 43
Nubuat
sebelum aku menjadi abu aku adalah amsal kidung agung gereja kemudian menjelma gema dari sebuah lonceng dari sebuah menara di sini, tuhan disalibkan dalam bayang-bayang dari sisa senyala lilin di malam yang kudus sebelum aku menjadi abu aku adalah bilik pengakuan penyucian dosa dalam sujud dalam tafakur yang luka maka menyayilah seperti kembala di malam natal saat menggiring domba-domba di penghujung desember yang mencatatkan jejak kelahiran yang disucikan waktu.
halaman 44
Awal Dari Sebuah Akhir
sebuah almanak jam dinding dan awal dari sebuah akhir menyeret hari-hari yang lelah untuk dicatatkan pada kenang sejarah sejarah dari denyut yang digetarkan tanpa nama tanpa wajah dimana sesobek malam bagai suara retak sepotong dahan oleh ranting pohon tua yang terlupakan dan sunyi sendiri di sudut jejak kecil jarum jam yang terus bergeser awal dari sebuah akhir adalah nyanyian waktu dari perhitungan angka yang tak pernah meleset dari jadwal dari rahasia perjalanan yang dipungut dari reruntuhan masa lalu sementara hari-hari dengan sendirinya mencoretkan garis lurus dari diri dari setiap detik pergantian hari bukankah peristiwa hidup hanyalah ilusi seperti membaca gurat bayangan dalam diri yang gelap dan rapuh sebuah almanak jam dinding dan awal dari sebuah akhir adalah membetulkan letak jarum jam bila berselisih waktu dengan langkah kita langkah tak berujung tak berarah‌
halaman 45
Rahasia Asin Tubuhmu
kau mengingatkanku pada alkitab saat tuhan menghentikan matahari dan bulan dan membaginya dalam kedua matamu kau mengingatkanku pada bunda maria ketika isa dilahirkan di kandang domba sementara kau mengandung seekor domba dalam rahimmu tanpa gereja tanpa seorang bapa karena itulah sebabnya aku mencintaimu seperti nuh mencintai perahunya dan aku melayari tubuhmu seperti khidir melayari lautan dan menyimpan rahasia asin tubuhmu menjadi tawar maka izinkan aku merobek bajumu memungut seekor domba dari rahimmu dan kelak akan aku ajarkan kepadanya ta’bir mimpi yang manusia tak sanggup menafsirkannya karena aku mengingatmu seperti aku mengingat alkitab di tangan maria maka ingatlah cintaku padamu seprti cintanya adam dan hawa muhammad dan khadijah dan cinta ali kepada fatimah karena aku mencintaimu seperti zulaikha mencintai yusuf.
halaman 46
Setetes Embun
ada tangan rahasia dalam tetes embun seakan memintamu menggenapi malam yang separuh menjelma kesunyian saat-saat semesta merunduk di jalanan yang memabukkan rindu maka pada selembar daun yang tanggal ia reguk setetes embun dari gemetar suaranya sendiri seperti ribuan kupu-kupu yang terbang disergap dingin dan ketakutan lalu terdiam menyaksikan rahasia petang kembali bermula memekar senja lebih rimbun dan basah membenam dalam kebekuan.
halaman 47
Sebelum Daun-Daun Jatuh
sebelum daun-daun jatuh ada perhentian waktu saat ia harus meneteskan embun di antara hitam-putih gelap dan terang bantaran kabut yang terjebak dalam bayang bayang birahi tubuhnya tubuh yang kembali menyisakan candu kemudian sempatkah daun-daun itu jatuh di pelataran sebelum akhirnya membusuk dan terbakar lantas tumbuh kembali sebagai daun baru di pohon dan ranting yang lain maka kemanakah ia akan mengalir ketika waktu akhirnya mati dan sunyi menjadi sepenggal jarak ruang kosong dalam diam ketika ia berhenti barangkali tak tersisa apa-apa selain doa purba dan daun-daun kering jatuh dan tersungkur seperti memaknai kehilangan seperti tubuh tanpa bayangan lantas perlahan memahami mengapa jatuh harus kembali ke bumi dan sendiri berusaha menikmati sisa dingin dan sepi ketika waktu membuatnya terus ragu menunggu akhir.
halaman 48
Setiap Kubaca Puisi
setiap kubaca selembar puisi seperti ada helaian daun gugur depan pintu mengetuk malam yang sunyi kemudian kuziarahi setiap kata yang terperangkap dalam angin yang tak henti-hentinya berbisik lantas kuurai kembali setetes embun dalam debu yang tergeletak sepanjang dermaga sepanjang laut dan muara yang menepi dalam diri barangkali sesuatu puisi membawa arah mata air paling jernih sebelum semuanya terkapar maka semestinya tak ada bayang-bayang membentuk sendiri pelayaran sudah berulang-ulang kueja puisi tapi tetap saja kembali kueja puisi maka kutinggalkan hatiku di dasar lautan hingga kelak ketika deru ombaknya menyentuh kakimu yang telanjang ia akan menyusup ke dalam tubuhmu dan mengendap di dasar jiwamu sebagai keniscayaan.
halaman 49
Tela'ah
Makna Kias dalam “The Road Not Taken� obe Frost adalah seorang penyair obert yang sangat populer, bahkan bisa yan disebut super populer, dan, puisidi puisinya yang dibuatnya nya sangat baik. Pada akhir hidupnya ia mencapai status yang disebut legenda hidup. Dalam puisinya yang berjudul The Road Not Taken (yang kami terjemahkan menjadi “Jalan Yang Tak Dipilih�), diceritakan ada seorang yang melakukan perjalanan berdiri di hutan, mempertimbangkan suatu persimpangan jalan. Kedua jalan tersebut sama-sama dan sama-sama terpakai dan tertutup oleh dedaunan yang tidak terinjak-injak. Ia memilih salah satu jalan dan berkata pada dirinya sendiri bahwa ia akan mengambil jalan yang satunya lagi pada suatu hari kelak. Ia tahu bahwa tidak mungkin ia akan memiliki kesempatan lagi untuk melakukannya. Ia menegaskan bahwa ia telah mengambil jalan yang jarang dilalui. Ada dua teori utama yang diadopsi dalam penelitian ini. Pertama adalah Knickerbocker dan Reninger (1955: 309) yang menyatakan bahwa sebagai langkah pertama dalam memahami puisi, akan sangat membantu untuk membuat parafrase arti yang sederhana. Arti dari setiap bagian dari
halaman 50
puisi bisa membantu untuk menentukan makna isi puisi tersebut secara keseluruhan, dan pada akhirnya seluruh isi puisi akan membantu menentukan arti dari masingmasing bagian. Dan yang kedua adalah teori dari Wellek dan Warren tentang pendekatan biografi untuk menemukan hubungan antara kehidupan nyata dari para penyair dengan isi cerita yang mereka katakan dalam puisi mereka. Melalui puisi ini, Frost sedang berbicara kepada orang-orang tentang kehidupan yang unik dalam kehidupan manusia di mana setiap hari mereka dihadapkan dengan suatu keputusan yang harus dilakukan. Mereka menimbang pilihan mereka dan mencoba untuk memprediksi apa hasil dari keputusan tersebut. Sayangnya, mereka tidak bisa memprediksi masa depan. Mereka melihat ke bawah ada satu jalan yang harus dipilih sejauh mana mereka dapat memprediksi apa yang terjadi setelah menempuh jalan tersebut, namun akan selalu ada bermacammacam hal yang selalu mencegah kita untuk terlalu jauh melihat ke masa depan. Jadi sulit atau mudahnya dalam hidup manusia, tergantung pada pilihan yang telah dibuat. Kata kuncinya adalah: persimpangan, prediksi, keputusan.
Puisi-puisi Robert Frost
Jalan yang Tak Dipilih
Dua jalan bercabang di kayu kuning, Dan maaf saya tidak bisa menempuh keduanya, Dan menjadi salah satu wisatawan, lama aku berdiri, Dan memandang ke satu jalan sejauh yang saya bisa, Ke tempat itu membungkuk di belukar. Kemudian mengambil yang lain, sama bagusnya, Dan mungkin malah lebih baik, Karena itu segar dan mengundang, Meski bagi yang telah melewatinya Juga, Telah dikenakan mereka benar-benar hampir sama. Dan pagi itu keduanya awam, Dalam daun ada langkah telah menginjak hitam, Oh, aku terus yang pertama untuk hari lain! Meski tahu semua jalan berkaitan jalan, Aku ragu apakah aku harus pernah kembali. Aku akan menuturkannya sambil mendesah, Usia di suatu tempat dan usia maka: Dua jalan bercabang di hutan, dan aku ... Aku mengambil satu yang jarang dilalui oleh, Dan yang telah membuat semua perbedaan.
halaman 51
Sejenak di Tepi Hutan Kala Senja Bersalju
Sepertinya kutahu siapa pemilik hutan ini. Ia berumah jauh di desa itu sebelah sana; Tak tampak olehnya aku singgah sebentar Memandangi hutan penuh ditutupi salju. Kuda kecilku pasti terpana Mengapa berhenti jauh dari perkampungan Di antara hutan sepi dan danau beku Adalah senja terkelam di sepanjang tahun. Kudaku dentangkan bel kecilnya Mungkin ia bertanya adakah yang tak biasa. Terdengar hanyalah suara lain sapuan sayup Dari angin sepoi dan guguran salju mengangkasa. Alangkah menawan hutan ini, dalam dan gelap. Sayang aku ada janji yang tak boleh salah, Dan bermil lagi perjalanan sebelum lelah, Dan bermil lagi perjalanan sebelum lelah.
halaman 52
Jumpa Malam Hari
I Lautan abu-abu dan semenanjung tanah hitam; Dengan separuh bulan yang kuning tampak besar dan rendah; Dengan sedikit kejutan gelombang-gelombang yang melompat Dalam ombak kecil yang menyala-nyala dari tidur mereka, Seolah aku berlabuh di teluk kecil dengan merapatkan haluan dan memadamkan kecepatannya di pasir-pasir pesisir
II. Lalu satu mil dari lautan yang hangat-aroma pantai; Tiga tanah lapang harus kulewati sampai bertemu dengan ladang; Ada ketukan di jendela, goretan yang cepat dan tajam Dengan sorotan biru dari lomba yang bermandikan cahaya, Dan sebuah suara yang kurang keras, meluapkan kenikmatan dan ketakutan Lalu dua hati pun saling berdetak bertautan!
halaman 53
Saat Tak Tertaut
Dia singgah bersama sepoi entah apa itu Jauh pada daun-daun maple pasi, namun bukan hantu? Dia berdiri di sana mengusung Maret yang bertentangan dengan benaknya Dan tak terlalu siap untuk mempercayai semuanya. “Oh, itu adalah jannah yang merekah,� kataku; dan sungguh ini cukup adil bagi bunga-bunga yang pada diri kita menganggapnya ini Maret yang sama sama halnya kemegahan yang putih pada bulan Mei. Kita tegak sejenak pada dunia yang sangat asing diriku sebagai satu dari patung-patung model miliknya; dan kemudian aku berkata yang sebenarnya (lalu kami beranjak). Sebuah pohon muda tampak mencengkeram daun-daun di tahun usai.
Terjemahan ke bahasa Indonesia oleh SPT. Viola Irfendi S.Pd. Alumnus Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan UIR Pekanbaru.
halaman 54
Senirupa
Melirik Wajah Senirupa Modern Melayu mro Omar adalah seorang mron seniman yang telah lebih 30 senim tahun berkecimpung dalam tahu dunia seni visual Malaysia. Amron banyak melahirkan karya senirupa, lukisan dan sketsa yang mempunyai kualitas visual yang amat terpuji. Daya visual karya-karya Amron amat tajam dan tuntas dari aspek pembentangannya. Dari aspek garapan visual, karya-karya Amron telah berada pada tahap advance (lanjutan/ tertinggi). Secara ringkas keadaan tersebut sebagai akibat dari kepekaan rasa, daya pemerhatian dan pencernaan beliau yang amat tajam dan berdisiplin dalam membina gubahan visualnya. Hal tersebut juga berlaku dan ditunjang dari hasil kemahiran, kematangan dan kepekaan tinggi beliau dalam penggunaan alat penunjang dan medium
seni yang digunakan. Gagasan karya-karya Amron Omar yang kebanyakkannya berakar dari tradisi Melayu, khususnya dari dunia seni mempertahankan diri (martial-arts), telah mencetuskan satu keadaan dan fenomena yang berupaya membangkitkan semangat dan sifat ‘kedirian’ pemerhati Melayu/Islam dalam konteks tempatan. Selain itu karya-karyanya telah berhasil secara intrinsik untuk menggambarkan sisi sifat budaya masyarakat Melayu tradisional dalam arus budaya kehidupannya.
int
halaman 55
Keberadaan karya-karya Amron Omar juga secara umumnya telah berhasil memberi sifat tempatan (Timur) yang tulus, walaupun bentukan karyanya masih dalam kerangka modern Barat. Kesatuan yang harmoni di antara nilai Timur dan Barat tersebut telah berjaya bancuhan yang sebegitu bijak, matang dan mengagumkan. Berdasarkan sifat bentukan dan ide yang dinyatakan secara ringkas di atas, disertakan pula dengan sifat tunak kesenimanan yang ditunjukkan, tak dapat disangkal lagi bahwa Amron Omar tegak di antara seniman terbaik dan paling menonjol yang pernah muncul dalam landskap seni moden Malaysia. Beliau telah membina reputasi tinggi dalam kenyataan karyanya, selain turut menyumbang secara signifikan kepada pijakan kualitas dalam konteks sejarah senirupa modern Melayu. “PERTARUNGAN” adalah sebuah pameran tunggal pertama bagi pelukis Amron Omar. Anak bungsu dari tiga belas bersaudara ini dilahirkan di Alor Setar, Kedah dengan memulai dunia seni lukisnya semenjak di bangku sekolah. Detik penghargaan dan perhatian oleh pihak sekolah terhadap lukisan yang dihasilkannya ketika dalam pertama yaitu ‘Tahan Taut’ yang telah menjadi penghias kulit hadapan Majalah Tahunan Sekolah Rendah Sungai Korok Baru di tahun 1964, telah mencetuskan semangat, minat, kemahiran dan tahap ketunakan beliau terhadap seni lukis. Sekitar tahun 1965, Cikgu Saidin, Guru Besar sekolah beliau telah menunjukkan karya lukisan berasaskan garis (line drawing) oleh Ibrahim Hussein yang juga merupakan saudara dari gurunya, telah membina persepsi dan pesona Amron
halaman 56
terhadap seni lukis ketika itu. Bakat dan kemauan Amron di dalam seni lukis juga didorong dengan kuat sekali oleh ayahnya yaitu Lebai Omar bin Jaafar, seorang yang sangat piawai dalam pertukangan, masakmemasak dan juga sebagai guru bela-diri Kuntau. Hal tersebut telah diperlihatkan melalui usaha ayahnya membina ‘topang lukisan’ (easel) sewaktu Amron berada di dalam darjah tiga pada tahun 1966. Latihan dan kemahiran melukis figur secara tidak formal juga telah diasah oleh Amron melalui tempahan lukisan potret dan tunjuk ajar oleh bapa saudaranya, Tok Cik Hasan yaitu seorang pelukis poster wayang yang terkenal di Pekan Alor Setar. Melalui Tok Cik Hasan (orang yang mencipta imej bagi logo nama obat Cap Kaki Tiga), Amron memahami dua perkara penting tentang melukis figur yaitu yang pertama tentang menggunakan kaidah graf/grid dan keduanya tentang tone warna kulit. Peristiwa dan kisah di atas telah mendorong Amron mencari kebenaran ilmu melalui guru-gurunya di Institut Teknologi Mara (ITM) antara lain Joseph Tan, Sulaiman Esa, Fauzan Omar, Ruzaika Omar Baseree, Chris Cunny, Ariffin Mohd Ismail, Choong Kam Kow dan beberapa nama yang lain secara formal. Tekad dan nada Amron mencari jalan kesempurnaan diri cukup terlihat dari
atas 2 Bahagian yaitu Bahagian Senirupa (paintings) di Galeri 3B dan Bahagian karya atas kertas (Works on paper) di Galeri 3A. Secara kolektifnya, hampir keseluruhan karya yang berada di dalam pameran ini dipinjamkan dari para kolektor yang begitu setia mengikuti perjalanan seni Amron. (red. dari berbagai sumber)
int
serial karya ‘Pertarungannya’. Pertarungan adalah sebuah pameran yang merefleksikan diri seorang Amron. Sebuah pertarungan diri yang bertanya dan mencari jawaban dari proses yang panjang. Kadang-kadang jawabannya diterjemahkan dalam karya, sebahagiannya lagi diterjemahkan ke dalam perjalanan diri Amron. Sebahagian dari proses pertarungan tersebut telah dilalui secara sederhana dan mendasar oleh beliau. “PERTARUNGAN Amron Omar” memaparkan lebih 150 buah karya terpilih dari Serial “Pertarungan” yang diatur mengikut kronologi masa. Terdiri daripada karya cat minyak atas kanvas, karya-karya atas kertas dan board serta 608 keping karya eksperimen di atas tisu. Untuk itu, hasil kerja tangan Amron tersebut dibahagi halaman 57
Rehal
Kisah-Kisah Tengah Malam (Edgar Allan Poe) Judul Penulis Penerjemah Penerbit Cetakan Tebal
halaman 58
: : : : : :
Kisah-Kisah Tengah Malam Adgar Allan Poe Maggie Tiojakin Gramedia Pustaka Utama Desember 2010 248 hlm
isah-k isah-kisah Tengah Malam adalah kumpulan cerita pendek karya Sastrawan Amerika Edgar (1809-1849) yang namanya telah Allan Poe (1809dikenal di seluruh dunia. Karya-karyanya meliputi puisi, novel, essai, dan puluhan cerpen-cerpen yang umumnya bertemakan misteri sehingga ia juga dikenal sebagai master penulis cerita misteri-horor gothic dunia yang karyanya banyak menginspirasi penulis-penulis kisah misteri di generasigenerasi selanjutnya. Di Indonesia nama Poe sendiri mungkin masih terasa asing dibanding penulispenulis kisah misteri lainnya seperti Alfred Hithcok, Stephen King, Agatha Christie, dll, karena karya-karya Poe ini sedikit sekali yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Dari data yang saya peroleh, pada tahun 1952 Yayasan Pembangunan menerbitkan sebuah karya Poe berjudul “Kumbang Emas”. Lalu di tahun 2002 A.S Laksana pernah menerjemahkan cerpen Poe “Tell –Tale Heart” (Hati yang Meracau) yang diterbitkan oleh Akubaca, dan kini yang terbaru adalah terbitan Gramedia berjudul “Kisah-kisah Tengah Malam” yang diterjemahkan dengan baik oleh Magie Tiojakin yang memuat 13 cerpen terpilih Alan Edgar Poe. Sayangnya penerbit tidak menjelaskan apa yang mendasari dipilihnya 13 cerpen Poe untuk buku ini, tapi yang pasti ketiga belas cerpen dalam buku ini setidaknya mewakili bagaimana Poe dengan cara bertuturnya yang khas mengajak pembacanya menyelami aneka kisah misteri horor gothic klasik karya penulis dunia Edgar Allan Poe. Sepertinya pembaca tak diberi kesempatan untuk menyesuaikan diri terlebih dahulu untuk masuk dalam kisah misteri. Tanpa basa-basi buku ini menyuuguhkan kisah
yang langsung meneror pembacanya. Dalam cerpen pertama yang berjudul “Gema Jantung Yang Tersiksa” Poe menceritakan peristiwa pembunuhan yang dilakukan si tokoh utamanya terhadap lelaki tua. Alasannya hanya karena dia tak suka melihat mata si lelaki tua yang menurutnya menyerupai mata seekor burung bangkai. Setelah membunuhnya dengan keji untuk menyembunyikan jejaknya ia memutilasi mayatnya dan menyembunyikannya di bawah lantai kayu dikamar si lelaki tua itu. Walau ketika ia memutilasi mayatnya ia tampak begitu tenang tapi tak lama setelah itu ia mulai merasakan kegilisahan yang amat sangat, batinnya terteror karena ia merasa terus mendengar bunyi detak jantung si lelaki tua yang telah dibunuhnya. Teror selanjutnya dapat kita temui di cerpen “Hop Frog” tentang seorang pelawak bertubuh ceblol yang bersama rombongannya diundang ke istana untuk menghibur sang raja dan para penasehatnya. Awalnya kisah ini bernuansa ceria namun ketika sang raja melecehkan teman wanita Hop Frog, ia menjadi sakit hati dan segera menyusun rencana keji. Ia mengemas sebuah pertunjukan lawakan dimana raja dan para penasehatnya ikut ambil bagian dalam pertunjukan tersebut. Dengan memakai kostum monyet sang raja sama sekali tak menduga bahwa pertunjukkan yang mereka mainkan itu pada akhirnya berujung pada sebuah peristiwa pembantaian keji terhadap raja dan para penasehatnya. Yang tak kalah mengerikan dan membuat jantung saya berpacu kencang ketika membacanya adalah cerpen “Jurang dan Pendulum” dimana dikisahkan seorang tawanan harus menderita secara psikis karena dalam keadaan terikat ia harus menyaksikan
halaman 59
pendulum tajam yang sedikit demi sedikit turun untuk mengiris tubuhnya. Di cerpen ini Poe mendeksripsikannya dengan detail dan perlahan sehingga membuat pembacanya menahan nafas karena seolah merasakan sendiri teror mental yang dialami si tawanan itu. Buku ini juga menyajikan salah satu cerpen Poe yang paling populer yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan telah diadaptasi beberapa kali kedalam sebuah film yaitu “Black Cat� (Kucing hitam), cerpen ini menceritakan seorang kepala rumah tangga yang pada awalnya memiliki kehidupan yang normal bersama istrinya dan Pluto, seekor kucing hitam kesayangannya. Kehidupannya berubah ketika suatu saat ia mengalami tekanan dalam hidupnya sehingga membuat dirinya sering mabuk dan marah-marah. Suatu malam ia pulang dalam keadaan mabuk, ketika dilihatnya Pluto menghindarnya darinya maka diangkatnya kucing hitamnya itu, secara spontan Pluto meronta dan spontan mengingitnya, seketika itu pula emosinya meledak-ledak, dengan keji ia mencungkil sebelah mata kucing kesayangannya itu. Di malammalam berikutnya ia menggantung kucing kesayangannya sampai mati. Entah karena kutukan kucing hitamnya atau hanya kebetulan, dimalam setelah ia membunuh kucing hitamnya tiba-tiba api melahap habis rumahnya hingga ia jatuh miskin. Setelah kejadian itu, kepribadiannya semakin aneh hingga pada akhirnya datanglah seekor kucing hitam lain yang sangat mirip dengan Pluto yang telah dibunuhnya. Suatu hari kucing itu membuatnya tersandung, amarahnya meluap, ketika ia hendak membunuh
halaman 60
kucing itu, istrinya menghalanginya alihalih membunuh kucing iamalah membunuh istrinya dan menguburkan mayatnya ke dalam tembok. Seluruh cerpen dalam buku ini memang menyajikan kisah-kisah misteri ala Poe yang meneror pembacanya, namun diantara ketigabelas kisah misteri ada satu kisah misteri yang mungkin bisa dibilang unik dan tak seram, bahkan terkesan lucu yaitu cerpen berjudul “Obrolan dengan Mummy� dimana dikisahkan sejumlah ilmuwan yang berhasil menemukan Mummy mesir kuno dan mencoba menghidupkannya dengan sengatan aliran listrik. Mummy itu kemudian hidup dan berdialog panjang tentang pencapaian teknologi mesir kuno dan masa kini. Membaca seluruh cerpen-cerpen Poe dalam buku ini memang menarik, dalam menyajikan kisah-kisah msiterinya Poe tidak hanya meneror pembacanya melalui kehadiran sosok hantu atau monster namun ia menggedor saraf takut pembacanya melalui kegilaan psikologis yang dialami tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh yang diciptakan Poe umumnya dhantui oleh bayangan-bayangannya sendiri sehingga hidup mereka dicekam oleh ketakutan yang mereka ciptakan sendiri dalam benak mereka. Poe juga seorang pendongeng yang hebat, imajinasinya yang luas membawa pembacanya untuk masuk dari satu kisah ke kisah misteri lainnya dengan setting yang berbeda-beda. Di sebuah rumah sempit, di sebuah kapal , ditengah kepungan badai, daintara tebing yang curam, dalam ruang penyiksaan tahanan, istana raja, hingga ruang kerja seorang pelukis. Semua itu dideskirpsikannya dengan detail, misterius,
dan ironis sehingga masing-masing kisah memberikan sebuah pengalaman yang unik bagi pembaca. Selain itu dari cerpen-cerpennya ini juga pembaca akan memahami betapa banyak referensi dan wawasan yang diketahui oleh Poe baik dalam bidang geografi, sejarah, mitologi, budaya, bahasa maupun sastra yang mewarnai cerpen-cerpennya. Satu hal yang patut disayangkan dalam buku ini adalah kisah terakhir yang menurut saya kurang pas sebagai penutup buku ini. Jika di awal pembaca sudah disuguhkan dengan kisah yang meneror pembacanya namun di cerpen terakhir “ Rumah Keluarga Usher� seolah menjadi antiklimaks karena di cerpen ini Poe tampak berputar-putar menjalin kisahnya sehingga saya sendiri bosan dan ingin segera sampai di ujung
kisahnya. Pada akhirnya setiap pembaca akan memiliki kesannya sendiri pada apa yang telah dibacanya di buku ini. Namun jika kita mau lebih dalam memaknainya, buku ini tentunya tak sekedar menimbulkan efek ngeri bagi pembacanya semata. Setidaknya ketakutan yang dialami para tokoh-tokoh dalam buku ini menyadarkan kita sejauh mana ketakutan mengendalikan dan mempengaruhi kehidupan kita. Apakah selama ini kehidupan kita dikendalikan oleh ketakutan-ketakutan yang kita ciptakan sendiri dalam benak kita? Jika ya, mungkin tiba saatnya kita menyingkirkan semua ketakutan yang mungkin belum tentu akan terjadi dan menggantinya dengan rasa optimis untuk mengisi hari-hari di depan kita.*** Sumber Internet: @htanzil
halaman 61
Tokoh
Tengku Hamidah oleh SPN. Zuarman Ahmad
engku Hamidah, lahir di Selatpanjang, 9 Mai 1947, anak Selatpan dari pasangan Tengku Hamid dan pas Tengku Zainah Umar. Mengenyam di bangku pendidikan, mulai dari SR 6 tahun, SMP 3 tahun di Selatpanjang. Setamat SMP Tengku Hamidah melanjutkan pendidikan di SGA (Sekolah Guru Atas) selama 3 tahun di Pekanbaru, dan berlanjut ke perguruantinggi FKIP UNRI Cabang Jakarta selama lebih-kurang tiga setengah tahun dengan gelar BA (Bachelor of Art). Perjalanan kesenimanannya dalam bernyanyi, terutama lagu-lagu Melayu hiburan seperti joget, langgam, mak inang, dan zapin digelutinya sejak sekolah dasar di Selatpanjang, ketika usia 10 tahun. Bakat musik-nya terutama dalam bernyanyi sebenarnya diwarisi dari datuknya Tengku Umar, yaitu ayah dari ibunya di Selatpanjang. halaman 62
Selain datuknya, guru musik terutama olah vocal berlatih dengan gurunya Pongsai (keturunan China) yang mengiringinya dengan piano. Oleh gurunya Pongsai, lagu Melayu yang dilatihnya dicatat dengan memakai notasi dengan iringan piano. Semenjak SMP pernah menjuarai lomba menyanyi lagu melayu di Selatpanjang, dan juga sebagai penyanyi, mengikuti rombongan Tonil Selatpanjang ketika mengikuti lomba di Pekanbaru. Ketika masih di bangku SMP di Selatpanjang, Tengku Hamidah sering menyanyi lagu Melayu hiburan dengan Orkes Biduan malam (BM) di bawah pimpinan Marsinim, yaitu guru SMP-nya, bersama pemusik seperti Muis dengan alatmusik akordion, dan biola yang dimainkan oleh datuknya sendiri. Ketika pindah pindah ke Pekanbaru untuk melanjutkan sekolahnya di SGA,
sekitar 1965, Tengku Hamidah tetap melanjutkan bakat menyanyinya dengan ikut grup Wahab Combo Band di bawah pimpinan Tengku Idham (dengan panggilan Tengku Daham), juga tetap dalam jalur lagulagu Melayu. Kegiatan menyanyinya tetap berlanjut sampai ketika dia melanjutkan sekolah di FKIP, sementara Tengku Idham (Tengku Daham) pimpinan Band tempatnya menyanyi hijrah ke Malaysia. Ketika Orkes Simfoni Riau yang dibina oleh Arifin Ahmad (ketika itu Gubernur Riau) didirikan, Tengku Hamidah dan Thamrin Riau Hamid ikut sebagai penyanyi khusus lagu-lagu Melayu bersama Mursiko Cokro sebagai penyanyi lagu jenis keroncong. Sebagai konduktor pertamakalinya dipercayakan kepada Ahmad Saabah yang sengaja didatangkan dari Medan, dan kemudian A. Soeleman Syafii’ie setelah kontrak dengan Ahmad Saabah selesai. Pada tahun 1968 dalam rangka Jakarta Fair, OK Nizami Jamil dan A. Soeleman Syafi’ie ikut membawa Orkes Simfoni Riau mengadakan pertunjukkan di Hotel Indonesia (HI) Jakarta.
piano, Zuarman Ahmad sebagai pemain biola, Ali Anar (alm) sebagai pemain gendang bebano. Puluhan bahkan ratusan lagu-lagu Melayu asli dapat/dinyanyikan oleh Tengku Hamidah seperti lagu: Damak, Dondang Sayang, Gunung Sayang, Sri Tamiang, Mas Merah, Sri Mersing, Sayang Serawak, Serampang Laut, Patah Hati, Makan Sirih, Gunung Banang, Sri Banang, Tudung Periuk, Jalak Lenteng, Tudung Saji, Soleram, Anak Kala, Tanjung Katung, Mega Mendung, Sri Taman, Mak Inang Pulau Kampai, Mak Inang Selendang, Mak Inang Pak Malau, Sri Andalas, Sri Tambak, Pancaran Senja, Pancang Jermal, Kota Ringn, Seringgit Dua Kupang, dan lagu-lagu Melayu asli serta ciptaan baru lainnya.
Pada usia 30 tahun, Tengku Hamidah menikah dengan Tengku Arifin. Buah dari pernikahannya ini mempunyai dua orang anak, yang sulung bernama Tengku Fairus meninggal-dunia dan yang bungsu bernama Tengku Farah Dina. Sembari bekerja 19721990 di bagian adiministrasi di Caltex bagian kontraktor Delta Expresion, Tengku Hamidah tetap berpartisipasi bernyanyi lagu-lagu Melayu bersama Orkes Sempena Riau di bawah pimpinan A. Munir Khalid, SH (alm) sekaligus sebagai pemain akordion, sekitar tahun 1990-an di RRI Pekanbaru bersama pemusik Efendi Ananta (alm) sebagai pemusik akordion dan clarinet, Hasnim Mamuri sebagai pemain organ/
halaman 63
Obituari
Mantan Bendahara DKR, H. R. Nairudin Meninggal Dunia
enim eniman musik dan juga pernah menjadi Bendahara Dewan Kesenian men Riau (DKR), Haji Raja Nairuddin, telah berpulang ke Rakhmatullah pada Sabtu (6/9/2014) petang. Kepergian H.R. Nairudin meninggalkan kesan mendalam bagi sejumlah seniman Riau, terutama seniman musik. “Beberapa waktu yang lalu, saya bertemu dengan Bang Nai (alm. H.R. Nairudin), dia sehat-sehat saja. Tak menyangka pula almarhum telah mendahului kita semua. Semoga amal ibadah almarhum diterima oleh Allah SWT,” ucap Leo Putra musisi Riau ini yang pernah beberapa minggu lalu sepanggung dengan almarhum bersama “Riau Bahana Band” yang dinakhodainya dalam acara Parade Musik Legendaris yang diselenggarakan Dewan Kesenian Indragiri Hulu (DKI), Senin (18/8) malam di Lapangan Hijau Rengat. Event ini merupakan agenda rutin DKI tiap tahun dalam rangka memperingati HUT RI ke 69.
halaman 64
Semasa hidupnya, Almarhum sangat aktif di dunia kesenian, baik semasa masih bertugas sebagai karyawan BNI 46 maupun setelah pensiun. Almarhum juga aktif mengurus lembaga-lembaga kesenian. Pernah menjadi Ketua Dewan Kesenian Kota Pekanbaru (DKKP) dan pernah juga menjadi Bendahara Dewan Kesenian Riau (DKR) pada masa kepengurusan Alm. Ediruslan Pe Amanriza Ketua DKR. Menurut salah seorang putri almarhum Nairudin, Ria, orangnya terlihat sehat-sehat saja selama ini. Bahkan, kata Ria, Almarhum masih bermain musik pada hari Sabtu itu di tempat pernikahan kawannya. “Papa selama ini tidak pernah mengeluh dan bercerita tentang sakitnya kepada keluarga,” ucap Ria dengan nada lirih. Kini seniman musik kelahiran Kuala Enok 29 Februari 1945 telah mendahului kita semua. Semoga amal dan ibadah Almarhum Nairudin diterima oleh Allah SWT. Amin. *** .
halaman lxv
halaman lxvi