Edisi193

Page 1

Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)

Esei: Kebangsaan, Keberaksaraan dan Kesusastraan oleh

Tjahjono Widarmanto Cerita-Pendek: Kaliurang oleh

Hasan Junus Cerita-Pendek Terjemahan:

Mahalnya Kalung Imitasi oleh Guy de Maupasant Sajak: A.

Warits Rovi dan Ahmad Moehdor AlFarisi Sajak Terjemahan: Arthur Rimbaud Rehal: Sejarah Hak Cipta

Lukisan dan Sejarah Asia Tenggara, Dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer Tokoh: Sri

Warso Wahono

(Si “Conservator�)

Senirupa Jiran: Syed Ahmad Jamal (Bapak Seni Lukis Melayu Modern) oleh: Faizal Sidik Nobel Sastra 2014: Nobel

Sastra Kembali ke Perancis Patrick Modiano Raih Hadiah Bergengsi Tahun Ini oleh

Dantje S Moeis Anugerah Sagang: Menan!

193 OKTOBER 2014

www.majalahsagang.com

Anugerah Sagang 2014 Obituari: Otong Lenon Maestro Lawak dari Riau Telah Berpulang halaman KULITi


halaman KULI KULITii LITi LI Tii Ti


Daftar Isi Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 193 lOKTOBER 2014l tahun XVII

Lukisan karya Syed Ahmad Jamal (1929-2011), Bapak seni lukis Melayu Modern. Sumber int.

n Aku Perlu Musik Elizabeth Bishop ................2 n Esei Kebangsaan, Keberaksaraan dan Kesusastraan oleh Tjahjono Widarmanto............................3 n Cerita-pendek Kaliurang oleh Hasan Junus .........................6 n Cerita-pendek terjemahan Mahalnya Kalung Imitasi oleh Guy de Maupasant ............................... 10 n Sajak - A. Warits Rovi ............................................ 21 - Ahmad Moehdor al-Farisi .........................26 n Sajak Terjemahan Arthur Rimbaud ...........................................38 n Rehal - Sejarah Hak Cipta Lukisan ........................46 - Sejarah Asia Tenggara, Dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer ..............48 n Tokoh Sri Warso Wahono (Si “Conservator”) ......49 n Senirupa Jiran Syed Ahmad Jamal (Bapak Seni Lukis Melayu Modern) oleh: Faizal Sidik ...........53 n Nobel Sastra 2014 Nobel Sastra Kembali ke Perancis Patrick Modiano Raih Hadiah Bergengsi Tahun Ini oleh Dantje S Moeis ....................58 n Anugerah Sagang Menanti Anugerah Sagang 2014 ................ 60 n Obituari Otong Lenon - Maestro Lawak dari Riau Telah Berpulang.........................................64

Perintis: Rida K Liamsi l Pemimpin Umum: Armawi KH l Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto l Pemimpin Perusahaan: Dra. Erda Yulfi l Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks l Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad l Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH l Pra cetak: Rudi Yulisman l Ilustrator Tetap: Purwanto l Manager Keuangan: Erda Yulfi. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


Tajuk

Aku Perlu Musik Elizabeth Bishop

E

lIZABETH BISHOP, adalah seorang penyair Amerika dan penulis cerita pendek. Lahir di Worcester, Massachusetts, 8 Februari 1911, dan meninggal 6 Oktober 1979. Pemenang Pulitzer Prize 1956, pemenang National Book Award 1970, dan penerima Hadiah Internasional Neustadt International Prize for Literature (Hadiah Internasional Neustadt untuk Sastra) 1976. Pengalaman hidupnya yang sedih, setelah meninggal-dunia ayahnya dalam usia Bishop delapan tahun, dan ibunya yang sakit mental, membuat Elizabeth mempunyai kisah sedih kehidupannya yang panjang, dan dari pengalaman itu dia menulis cerita-pendek tentang perjuangan ibunya yang berjudul In The Village yang bermakna Di Desa. Selama dia tinggal di Worcester, asma-nya kronis, dan menderita dia menderita sepanjang sisa hidupnya. Pengalaman ini dituangkannya puisinya In The Waiting Room atau Di Ruang Tunggu. Pada tahun 1918, dia tinggal bersama keuarga adik ibunya, dan memperkenalkan Bishop dengan karya-karya penyair Victoria, seperti Alfred, Lord Tennyson, Thomas Carlyle, Robert Browning, dan Elizabeth Barrett Browning. kakek-neneknya, menyadari bahwa Uskup tidak bahagia tinggal bersama mereka, mengirim dia untuk tinggal bersama adik ibunya tertua, Maud Boomer Shepherdson, dan suaminya George. Uskup dibayar Maud ke rumah dan mendidik cucu mereka. The Shepherdson tinggal di rumah petak di lingkungan Revere, Massachusetts miskin dihuni kebanyakan oleh imigran Irlandia dan Italia. Keluarga

halaman 2

itu kemudian pindah ke keadaan yang lebih baik di Cliftondale, Massachusetts. Itu bibi Bishop yang memperkenalkannya kepada karya-karya penyair Victoria, termasuk Alfred, Lord Tennyson, Thomas Carlyle, Robert Browning, dan Elizabeth Barrett Browning. Elizabeth Bishop, juga bercita-cita belajar music dan ingin menjadi seorang komposer, namun tidak kesampaian. Perjuangan melawan derita penyakit dan kesedihan hidupnya ini mungkin membuatnya ingin menjadi musisi dan komposer. Tetapi, walaupun keinginannya ini tidak berlaku, dia menuangkannya dalam sebuah sajak yang berjudul I Am in Need of Music.

Aku Perlu Musik Aku perlu musik yang mengalir lebih sukar, rasa di ujung jari Lebih pahit - cemar, bibir gemetar dengan melodi, dalam, jelas, dan cair - lambat oh, untuk obat gayang, tua dan lemah beberapa lagu dinyanyikan untuk requiem satu lagu sebak seperti air di kepalaku dan seluruh badan bergetar lebih, mimpi merah menyala! melodi membikin sihir mantra diam, dan nafas tenang, dan sejuk hati, tenggelam memudar dalam warna hening berhubungan dengan dasar laut dan ngapung selamanya dalam bulan kolam hijau berada di pelukan irama dan tidur ***


Esei

Kebangsaan, Keberaksaraan dan Kesusastraan oleh Tjahjono Widarmanto

ejarah mencatat bahwa setiap keba kebangkitan bangsa di manapun m di muka bumi ini selalu berawal dari gerakan intelektualitas. Itu berarti kebangkitan suatu bangsa selalu bermula dari kebudayaan. Dan setiap kebangkitan intelektualitas selalu dimulai dari sebuah keterpesonaan kepada “tanda”. Tanda baru inilah yang berwujud sebagai bahasa yang menjadi pemantik api bagi kegandrungan pada harapan masa depan.

Melalui bahasalah, melalui keberaksaraanlah, sebuah wacana diekspresikan, ditawarkan, diperdebatkan dan diusung dalam ruang publik kegiatan intelektualitas. Sehingga benar kata Yudhi Latif (2008) bahwa upaya perjuangan dan kebangkitan harus bermula dari bebenah kata, melalui lorong bahasa dan susastra; dengan jalan merebut dan menghidupkan kembali darah kata. Dengan kata lain, melalui keberaksaraanlah perjuangan dan kebangkitan dirumuskan.

Tanda baru berupa bahasa ini disabdakan oleh Martin Heidegger sebagai “Language is the house of being”. Bahasa sebagai sebuah ‘rumah tanda’-house of being- tentu saja tak hanya sekedar dimaknai sebagai alat verbal komunikasi baik lisan maupun tulis, melainkan harus dimaknai sebuah wacana keberaksaraan yang diperdebatkan dalam opini publik.

Berkait dengan itu Partha Chatterjee seorang pemikir nasionalis India dan Reynaldo Ileto dari Filipina menegaskan bahwa kebangkitan sebuah nasionalisme tidak (hanya) bergantung pada mesiu, diplomasi, dan gerakan revolusi, namun juga pada emosi Dionysian (passion) dan keterpikatan pada pancaran puisi dan daya kata. Sejarah kebangkitan kebangsaan

Tjahjono Widarmanto Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Meraih gelar sarjananya di IKIP Surabaya (sekarang UNESA) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, dan saat ini melanjutkan studi di program doctoral di Pascasarjana Unesa.

halaman 3


merupakan sebuah gelombang sejarah yang melalui fase permulaan (persiapan), fase pembentukan, dan fase pematangan. Di sepanjang fase-fase itu peran bahasalah yang menjadi panglimanya. Jurgen Harbemas menegaskan bahwa pembentukan tradisi intelektulitas modern di Eropa Barat merupakan penanda dari kemunculan ruang public yang berawal berpusar di sekitar wacana kritis mengenai karya sastra yang berorientasi pada penikmatnya yang berlangsung di lembagalembaga social yang baru bermunculan seperti jurnal, kedai kopi, majalah, dan komunitas-komunitas tertentu. Ruang public ini merupakan sebuah wahana bagi komunitas para kaum intelektual. Dalam ruang public itulah individu-individu berdebat, berbincang, dan menimbang bahkan mempertentangkan secara bebas berbagai wacana yang rasional. Dari perjumpaan dan perdebatan kritis itulah mereka menyatu menjadi sebuah kelompok yang memiliki kekuatan kohesif yang kelak melahirkan pemikiran dan kekuatan politik yang tangguh. Ternyata hal yang sama terjadi juga di belahan dunia manapun termasuk Indonesia dengan kelahiran Budi Utomo, Indische Party, Sarikat Islam, dan sebagainya. Di Indonesia kebangkitan kebangsaan tidak bisa dilepaskan dari kelompok intelektual (dalam hal ini di saat itu peran profesi guru sangat menonjol karena dalam profesi inilah bibit-bibit intelegensia bermunculan) yang mempromosikan wacana kebangsaan dan kemajuan. Kelompok inteletual ini menyebarkan dan memperdebatkan pandangan dan pemikiran mereka pada majalah-majalah seperti Soeloeh Pengadjar (terbit 1887) , Taman

halaman 4

Pengadjar (1899-1914), Bintang Hindia (1902), Sinar Djawa (1914), sampai pada kemunculan Balai Pustaka. Kemunculan Balai Pustaka (1920-an) pada awalnya bersifat apolitis dengan nota Rinkes-nya untuk meredam bahan bacaan yang bersifat menentang kolonialisme, justru memunculkan perlawanan dan tandingan dengan bermunculan genre kesusastraan politik yang menemukan medium ekspresinya dalam koran-koran atau majalah-majalah nonpemerintah. Contoh yang jelas genre kesusastraan politik yang lahir dari ‘arus bawah’ ini adalah kemunculan novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo dan Hikajat Kadiroen karya Semaun, yang kedua-duanya diterbitkan ole Koran Sinar Hindia Semarang di tahun 1918 dan 1920. Hal itu menunjukkan peran penting kesusastraan dan media dalam menssosialisasikan nasionalisme dan kebangsaan. Itu juga menunjukkan bahwa imajinasi kesusastraan tentang kemerdekaan justru mendahului dan menginspirasi gerakan-gerakan perjuangan kemerdekaan. Tampaklah, bahwa melalui kerja bahasalah perjuangan kebangsaan selalu bermula. Bahasa berperan utama dalam mengarahkan perjuangan. Sejarah juga mencatat bahwa melalui kerja jurnalistik, kelompok, dan kesastraanlah pilar kebangsaan dibangun. Mohamad Hatta sejak tahun 1924 membuat jurnal Indonesia Merdeka sambil menulis puisi-puisi patriotik, di antaranya yang terkenal berjudul Beranta Indera dan Hindania. Di tahun 1926, Soekarno membuat jurnal perjuangan Indonesia Moeda dan bersama-sama kawan seperjuangan Sarekat Islam juga menerbitkan Majalah Bendera Islam, juga menulis beberapa naskah drama bertema kebangsaan. Syahrir menerbitkan


Daulat Rakyat dan merupakan pemain drama yang baik dan selera dan minatnya terhadap sastra sangat tinggi. Menulis merupakan kerja mencipta dan mencipta mensyaratkan keberaksaraan. Menulis adalah mata rantai pertama dalam keberaksaraan yang akan terangkai dengan mata rantai lainnya yaitu membaca. Semakin banyak menulis semakin banyak yang membaca, semakin kaya seseorang membaca semakin kaya cakrawalanya. Dalam konteks kebangsaan, keberaksaraan merupakan pembangun kesadaran eksistensial. Melalui keberaksaraanlah identitas kebangsaan diimajikan. Oleh karena itu, tak heran bahwa tak mungkin sebuah bangsa dapat eksis dan maju tanpa memuliakan keberaksaraan dan kesusastraan. Tradisi tulis (keberaksaraan) merupakan instrumen ketepatan dan kekuatan. Keberaksaraan merupakan ukuran keberadaban dan puncak pencapaian tertinggi daslam evolusi budaya. Sekaligus, keberaksaraan merupakan instrumen dan organ kemajuan sosial. Pada posisi inilah keberaksaraan berfungsi sebagai instrumen budaya dan sarana perkembangan saintiďŹ k. Melalui keberaksaraanlah titik sentral perubahan dalam masyarakat dimulai. Untuk menjadi bangsa yang mampu berkompetitif dan eksis dalam pertarungan global saat ini, mau tidak mau harus dibangun masyarakat keberaksaraan atau reading society. Namun, itu bukan persoalan yang mudah karena keberaksaraan saat ini mendapat ancaman dari berbagai penjuru. Ancaman itu antara lain berupa terpaan dari multimedia khususnya televisi. Televisi merupakan bentuk kelisanan dengan wajah baru yang menenggelamkan literasi. Yang tak kalah hebat adalah ancaman

vokasionalisme baru (new focationalism) yaitu konsep dari lembaga pendidikan yang menekankan keterampilan teknis. Frank Fueredi menyebutkan ancaman ini sebagai the cult of philistinism –pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap interes-interes material dan praktis. Kalau mengaca sejarah, bisa diketahui pada masa lalu kebangkitan kebangsaan dicanangkan melalui tanda keberaksaraan, dan itu merupakan gerakan kebudayaan. Saat ini diperlukan lagi gerakan kebudayaan karena dalam kenyataannya reformasi sosial tak akan muncul hanya mengandalkan reformasi politik dan ekonomi. Dengan kata lain reformasi harus berjejak pada reformasi budaya. Gerakan kebudayaan dengan lokomotif keberaksaraan menjadi salah satu alternatif menjaga kewarasan publik. Melalui keberaksaraan dan kesastraanlah cita-cita kebangsaan dan cita-cita reformasi bisa bertahan dalam memori kolektif. Gerakan kebudayaan harus secara konstan dikembangkan sebagai sesuatu—meminjam istilah Edward Said—worldliness yaitu keterlibatan konstan para intelektualsastrawan dalam mengaitkan tekstualitas dengan dunia sebagai perwujudan moral kesusastraan di tengah gebalau krisis jatidiri kebangsaan bahkan kemanusiaan***

P

halaman 5


Cerita-Pendek

Kaliurang oleh Hasan Junus Minuten vergingen, bis man dem seitlich im Stuhle Hinabgesunkenen zu Hilfe eilte. Man brachte ihn auf sein Zimmer. Und noch desselben Tages empďŹ ng eine respektvoll erschuetterte Welt die Nachricht vom seinem Tode. (Penutup karya Thomas Mann, Tod in Venedig)

halaman 6


SEPERTI diatur! Pesawat terlambat dua jam dari Jakarta sehingga pada pukul 10 malam bandara Adisutjipto sudah lengang. Aku baru saja ditelepon ibu yang mengatakan dia tak jadi berangkat. “Ditunda saja minggu depan,” katanya tadi. Lelaki bertopi Carnaby yang rambut, kumis dan janggutnya membuih putih, mengeluarkan saputangan dari saku jasnya dan menyapu sudut mata di balik kacamata bergagang pontium. Ia pasti akan sulit mendapatkan taksi sebentar lagi. Namun ia melangkah dengan tegap sambil menjinjing tas, nyaris melewati tempatku berdiri. ”Selamat malam, bapak!” tegurku. “Selamat malam!” jawabnya. Beberapa penumpang berdebat karena taksi baru datang sekian menit lagi. Lelaki bertopi melihat arlojinya. “Wah!” serunya. Aku menawarkan tumpangan kepadanya. Kukatakan, “Saya menjeput ibu dari Jakarta, tapi dia tak jadi berangkat. Bapak mau ke mana?” “Kaliurang,” jawabnya sambil memandangku tepat-tepat di antara kedua mataku. “Rose Garden.” Aku katakan kepadanya aku pun mau ke sana karena telah membooking sebuah cottage untuk ibu. Aku harus menggantikan ibu setidaknya untuk satu hari. Dan kami pun berangkat dengan taksi yang kupakai setengah hari. Dua puluh kilometer menjelang tempat tujuan akan terasa lama kalau orang saling membisu. Duduk bersebelahan tapi tak saling berbicara. Untunglah kami tidak begitu. Lelaki itu memperkenalkan dirinya. Tapi di abad kecurigaan ini orang boleh saja meragukan semua keterangan orang lain. Aku juga begitu. “Kakek memberi saya nama Hari, nama masa saya dilahirkan, sebagai lawan Malam,” kataku berbohong. Padahal entah apa yang ada di pikiran dan hati ibuku ketika dulu memberi nama Ari dan bukan Hari kepadaku. Berusia dua puluh satu tahun. Karena gelap, aku dapat melihat kesan wajah lelaki itu. Aku pelukis, seperti yang diinginkan ibuku. Diam-diam, dengan memakai nama-pena aku juga kritikus seni terutama seni sastra yang masih sibuk mengumpul ilmu belajar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.***

halaman 7


Hari Minggu ini aku membuka pagi dengan makan pecel di Malioboro. Ibuku mengajari aku menyukai pecel dengan cekur yang banyak. Dia selalu meralat kata cekur dengan kencur. Dulu ketika aku masih kecil dia selalu bilang, “Dasar lidah Melayu ...” tapi frase itu selalu mengambang tak pernah selesai. Ini kuanggap sebuah misteri. Demikian pula sewaktu main petak umpet di halaman rumah kalau aku menolak kedatangan anak lain yang ingin ikut dan mengatakan “Kau anak bawang!” ibuku selalu bilang meralat dengan “Bawang kontong!” dan sering dikuti dengan “Dasar lidah Melayu!” Karena sering dicekoki dengan kata-kata “Dasar lidah Melayu” aku jadi suka pada bahasa Melayu, bukan bahasa yang sudah menjadi Bahasa Indonesia tapi asal bahasa itu. Kajian Profesor Harimurti Kridalaksana tentang kamus susunan Raja Ali Haji menjadi air mandi dan nasi sehari-hariku yang menyebabkan pada suatu hari ibuku dengan matanya yang tajam memandang aku dengan heran ketika dia berkunjung ke kamar kost-ku di Yogya. Kajianku tertumpu pada beberapa pengarang yang berasal atau menulis di Riau. Di antara beberapa pengarang itu aku membuat kajian khusus tentang seseorang yang namanya tak perlu kusebutkan karena bisa merusak cerita ini. Pengarang khusus ini tak diketahui di mana alamatnya. Konon ia seorang pertapa yang menghilang dari pergaulan dunia. Aku bersebelah kamar dengan seorang lelaki memakai topi Carnaby yang rambut, kumis dan janggutnya putih membuih di hotel Sewupadi Jalan Kaliurang. Ia menarik perhatianku sebagai objek lukisan yang menarik. Di Bringharjo ia melangkah gagah seperti anak muda dua puluhan tahun terus kuikuti menuju ke pasar buku Shoping. Ia duduk dengan santai di sebuah bangku kayu di bawah pohon-pohon tua melihat lalu-lintas tak sadar pada kehadiranku. Aku merasa risih berlagak seperti seorang detektif mengikuti seorang yang dicurigai. Di Malioboro aku duduk di kursi agak jauh di belakangnya. Kudengar ia berkata kepada perempuan penjual pecel, “Biar banyak kencurnya ya!” yang menyebabkan aku mengurungkan permintaan yang sama. “Boleh tambahkan sedikit jahe?” kata lelaki itu lagi. “Boleh, boleh!” kata penjual pecel agak heran. “Saya agak flu,” katanya lagi. “Bukan flu burung,” tambahnya mengundang ketawa si perempuan. Senyum lelaki itu seperti kukenal. Seperti siapa ya? Kalaupun aku menemukan seperti siapa senyumnya nanti, ini tak usah dikaitkan dengan kisah ini.

halaman 8


Sebenarnya aku ingin mendengar lelaki itu mengatakan bukan “kencur, jahe, dan flu” tapi “cekur, halia dan selesma” tapi ia mungkin dari kebudayan lain. Atau kemungkin lain, lelaki itu cepat beradaptasi. Pagi hari ketiga ia bangkit jam lima subuh dan menenteng tasnya ke taksi yang sudah dipesan. Aku mengekorinya. Ke bandara Adisutjipto. Dengan langkah gagah ia masuk ke dalam taksi. Ia mengurus suratsurat dan kulihat ia berubah. Tidak lagi gagah. Disekat dinding kaca kulihat ia membaca sebuah buku yang sebenarnya tidak dibacanya. Ada kesan ia berduka. Berbataskan kaca bening yang kusam karena uap pagi kulihat ia mengeluarkan saputangan dari saku jas dan menyapu mata. Barangkali ada debu yang melekat di kacamatanya mengenai sudut mata. Aku lalu teringat pada kalimat pengarang yang sedang kusorot dalam Un cadeau pour un enfant ketika ia menyatakan dari atas pesawat yang terbang meninggalkan bandara Sukarno-Hatta menuju Adisutjipto di awal malam, apalah bedanya Jakarta yang kemerlap dengan hutan Kalimantan, apalah bedanya New York dan rimba Amazona kalau pesawat ini tiba-tiba jatuh ... Apakah pak tua ini seperti Gustave von Aschenbach dalam Tod in Venedig Thomas Mann atau seperti pengarang Riau yang sedang kukaji karya-karyanya? Seperti tokoh Thomas Mann yang digambarkan dalam penutup kisah: Beberapa menit berlalu, sebelum orang di samping cepat-cepat menolong pak tua itu melempai di kursinya. Ia dibawa ke kamarnya. Dan sebelum hari berlalu dunia yang terhormat dan gemetar mendapat berita kematiannya. Panggilan berangkat ke Jakarta sudah disiarkan di mikrofon. Lelaki itu berdiri dengan enggan dan melangkah gontai tidak seperti langkahnya yang kulihat di Malioboro dan Bringharjo. Memang “dating” tak sama dengan “pulang”. Orang datang dengan harapan, orang pergi dengan ketiadaan harapan. Benarkah Tomorrow is silence? Dari balik dinding kaca kusam aku seperti melihat pengarang yang sedang kukaji menahan dukanya. Ruang jiwanya menjadi seperti tiba-tiba kosong. ***

P

halaman 9


Cerita-Pendek Terjemahan

Mahalnya Kalung Imitasi oleh Guy de Maupasant

ia ada adalah salah satu dari sekian perawan cantik dan menarik yang karena nasib atau takdir, terlahir dari keluarga menengah-bawah. Ayahnya hanyalah seorang juru tulis mene yang pendapatannya tentu tak seberapa. Dia tak mampu menyiapkan mas kawin, asa dan sarana untuk terkenal, dipahami, dicintai, atau dinikahi oleh seorang pria pengusaha muda kaya dan terhormat. Dia pasrah hanya dinikahi oleh seorang juru tulis biasa yang bekerja di Kementerian Penerangan. Soleknya sederhana saja karena dia memang tidak bisa ke salon dan bersolek lebih bagus lagi. Dia sedih seakan-akan dirinya jatuh dari statusnya yang semestinya, karena dia menjadi seperti wanita kebanyakan pada umumnya.

Guy De Maupasant (1850-1893) adalah putera seorang pialang saham di Paris yang kemudian menjadi anak bap!s dari Gustav Flaubert seorang sastrawan ternama dan juga menjadi guru sastranya. Sejak usia !ga puluh tahun, kepiawaiannya di bidang cerita pendek sudah mendapat pengakuan. Judul asli cerita ini La Parure. Terjemahan ke bahasa Indonesia dari teks berbahasa Inggris oleh Vergiane Putri Dasmo Indro.

halaman 10


Dia selalu merasa menderita, semestinya dirinya dilahirkan untuk menikmati segala keempukan dan kemewahan. Dia menderita karena rumahnya yang jauh dari kata layak menurut ukurannya, dindingnya yang buruk, kursi-kursi yang sudah usang, dan kain jendela dan pintu yang sudah lusuh. Segala hal itu membuatnya sangat kesal, karena bagi wanita lain yang sederajat dengannya dianggap biasa saja. Dia melamunkan ruang depan yang tenang, di mana dindingdindingnya dipasangi Wall Hanging permadani oriental, serta diterangi dengan kandil perunggu yang panjang. Dan juga adanya dua orang pelayan bertubuh kekar bercelana pendek yang tertidur di kursi-kursi berlengan. Mereka terkantuk oleh kehangatan udara tungku perapian. Dia pun melamunkan ruang tamu panjang berhias sutera kuno, perabot yang antik, kamar rias yang semerbak dengan bau wewangian yang menggoda untuk tempat bercengkerama setiap pukul lima sore dengan teman-teman dekat, atau dengan pria-pria terkenal dan disukai banyak wanita, di mana wanita-wanita lain akan cemburu karena ingin mendapat perhatian seperti itu juga. Tiga hari yang lalu ketika sedang duduk makan malam di depan meja bulat berlapis taplak, di depan suaminya yang membuka mangkuk sup dan berkata dengan decak kagum, “Ah, daging sup yang lezat! Tak ada yang lebih enak selain ini�. Sedang wanita itu justru sedang melamunkan makan malam yang mewah, peralatan makan dari perak yang berkilau, permadani yang memenuhi dinding dengan gambar tokoh-tokoh terkemuka dari masa lalu dan burungburung aneh yang beterbangan di antara rimbunnya hutan yang ada di negeri dongeng. Dia pun melamunkan hidangan-hidangan lezat yang disajikan di piring mahal dan mendengarkan bisikan-bisikan menggoda sambil menyimpan senyum ketika sedang menyantap daging ikan trout yang berwarna pink atau sayap burung puyuh. Dia tak mempunyai gaun-gaun, perhiasan-perhiasan, tak memiliki apa-apa. Dan tak ada yang disukainya kecuali itu, dia merasa dirinya adalah untuk itu. Dia begitu ingin dirinya bahagia, dicemburui, menarik, membuat orang lain tergila-gila. Dulu ketika masih bersekolah di biara dia memiliki seorang teman yang kaya. Tapi dia tidak mau lagi mengunjunginya, karena dia begitu merasa menderita setelah pulang dari rumah teman lamanya itu. Pada suatu sore, suaminya pulang ke rumah dengan perasaan penuh kemenangan dan membawa sebuah amplop besar di tangannya. “Ini,� katanya. “Ada sesuatu untukmu.�

halaman 11


Wanita itu segera merobek tepi amplop dan menarik selembar undangan bertuliskan: Dengan hormat, Menteri Penerangan dan Nyonya Georges Ramponneau mengundang Tuan dan Nyonya Loisel ke Gedung Kementerian pada hari Senin petang tanggal delapan belas Januari. Bukannya gembira seperti yang diharapkan oleh suaminya, tapi malah dilemparkannya undangan itu begitu saja di atas meja. Dengan suara lirih dia berkata:

halaman 12


“Apa yang kau harapkan dariku dengan undangan itu?” “Sayang, kupikir kau akan senang. Kau kan tidak pernah pergi-pergi dan ini adalah kesempatan yang bagus. Aku telah dengan susah payah mendapatkannya. Setiap orang ingin datang, ini sangat diseleksi dan mereka tidak memberikan banyak undangan untuk para juru tulis. Semua pejabat akan hadir di sana.” Dia memandang suaminya dengan tatapan pedih dan berkata dengan kesal: “Lalu menurutmu aku harus memakai apa?” Suaminya memang tidak terpikir akan hal itu, ia berkata dengan gagap: “Kenapa? bukankah gaun yang dulu kau pakai menonton teater, cukup bagus.” Suaminya terdiam, bingung, melihat dia menangis. Air matanya jatuh dari kedua ujung matanya dan mengalir perlahan-lahan sampai ke ujung mulutnya. Suaminya berkata gagap: “Ada apa? Ada apa?” Tapi dengan usaha yang keras wanita itu segera dapat mengatasi kesedihannya dan dia menjawab dengan suara yang tenang sambil menyapu kedua belah pipinya yang basah: “Tak apa-apa. Hanya aku tidak punya gaun dan oleh sebab itu aku tidak bisa berangkat ke pesta. Berikan saja undangan itu kepada salah seorang di antara teman-temanmu yang istrinya lebih baik soleknya ketimbang aku.” Suaminya putus asa. Ia melanjutkan: “Ayo kita bicarakan, Mathilde. Berapa harganya sebuah gaun pantas, yang nanti bisa kau pakai lagi untuk kesempatan lainnya, mudahkan?” Istrinya berpikir sejenak, menghitung-hitung harga sambil memperkirakan jumlah yang dapat diajukannya. Jumlah yang dapat diterima serta tidak membuat shock seorang juru tulis. Dia memutuskan untuk berkata walau dengan ragu-ragu: “Aku tidak tahu pasti, tapi kurasa aku bisa mengatasinya dengan empat ratus franc.” Sontak suaminya pucat, karena ia sendiri telah menyisihkan uang sejumlah itu untuk membeli sebuah bedil yang akan digunakannya berburu di musim panas nanti di dataran Nanterre dengan beberapa orang teman yang pada hari Ahad lalu menembak burung-burung lark di sana bersamanya.

halaman 13


Tapi ia berkata: “Baiklah. Aku akan memberimu empat ratus franc dan usahakan untuk mendapat sebuah gaun yang cantik.” Hari penyelenggaraan pesta itu sudah semakin dekat, namun Nyonya Loisel masih murung dan gelisah. Padahal gaunnya sudah siap. Petang itu suaminya berkata kepadanya: “Ada apa? Ayolah, kau kelihatan begitu ganjil tiga hari terakhir ini.” Istrinya menjawab: “Aku bingung karena tidak memiliki sebuahpun perhiasan, tidak ada sebutir permata, tidak ada yang bisa dipakai. Aku akan kelihatan payah sekali. Lebih baik tidak usah pergi saja.” Suaminya berkata: “Kau bisa memakai hiasan dari bunga-bunga alami. Tahun ini hal itu sedang jadi mode. Dengan sepuluh franc kau bisa memperoleh dua atau tiga bunga mawar yang indah.” Namun istrinya tak dapat diyakinkan. “Tidak, tak ada yang lebih memalukan daripada terlihat miskin di antara wanita-wanita lain yang kaya.” Tapi suaminya berseru: “Tololnya kamu! Pergilah ke rumah temanmu, Nyonya Forestier, mintalah padanya untuk meminjamimu beberapa perhiasan. Kau cukup akrab dengannya untuk melakukan itu.” Wanita itu berseru gembira: “Betul! Aku lupa memikirkannya.” Hari berikutnya dia pergi mengunjungi temannya dan menceritakan kesulitannya. Nyonya Forestier berjalan ke sebuah lemari pakaian yang berpintu kaca, mengambil sebuah kotak besar berisi perhiasan, membawanya kembali, membukanya dan berkata kepada Nyonya Loisel: “Pilihlah, sayangku.” Pertama kali dipandanginya semua gelang, kemudian seuntai kalung mutiara, lalu salib Venesia, emas dan batu-batu perhiasan hasil karya para seniman yang luar biasa. Dia mencoba perhiasanperhiasan itu di depan cermin sambil mematut-matut. Rasanya dia tak ingin melepasnya lagi, mengembalikannya lagi. Dia selalu bertanya: “Apakah kau masih punya yang lain?” “Kenapa? tentu saja. Lihatlah. Aku tak tahu mana yang kau sukai.” Tiba-tiba dia menemukan, di dalam sebuah kotak satin berwarna

halaman 14


hitam, seuntai kalung permata yang luar biasa indah dan jantungnya pun mulai berdebar kencang. Kedua tangannya gemetar saat mengambilnya. Dipasangnya kalung itu ke lehernya, di luar gaunnya yang sampai ke leher. Perasaannya terombang-ambing di awangawang ketika dia menatap dirinya di depan cermin. Kemudian dia meminta dengan ragu dan memelas: “Dapatkah kau meminjamkan yang ini, hanya yang ini saja?” “Kenapa? Ya, tentu saja.” Dia melompat meraih leher temannya, menciuminya penuh nafsu, lalu berlari dengan perhiasannya. Hari pesta itu pun tiba. Nyonya Loisel meraih kemenangan besar. Dia adalah satu-satunya wanita tercantik di antara mereka semua. Anggun, sangat ramah, selalu tersenyum dan sangat gembira. Semua pria meliriknya, menanyakan namanya dan berusaha berkenalan. Semua atase kabinet ingin berdansa dengannya. Bahkan menteri sendiri juga mengajaknya berdansa. Dia berdansa dengan penuh suka cita. Melupakan semuanya, dalam keunggulan kecantikannya, kesuksesan yang gemilang, serta kegembiraan yang terdiri atas segala pujian, segala kekaguman, segala keinginan yang terbangkitkan, dan atas perasaan kemenangan yang sempurna yang begitu manis dalam hati seorang wanita. Dia baru selesai sekitar pukul empat pagi. Suaminya lelap sejak tengah malam tadi di sebuah ruang depan yang sepi bersama tiga orang pria lainnya yang istri-istri mereka juga bersenang-senang. Pria itu lalu melampirkan selembar selendang yang telah dibawanya sejak tadi ke bahu istrinya, selendang biasa saja, yang mana saking sederhananya sangat kontras dengan gaun pesta yang dipakainya. Wanita itu merasakannya, dan ingin menghindar sehingga dirinya tidak menjadi bahan pembicaraan wanita-wanita lain yang membungkus tubuh-tubuh mereka dengan mantel bulu yang mahal. Loisel menahan punggung istrinya. “Tunggu sebentar. Kau akan kedinginan di luar. Aku akan pergi memanggil taksi.” Tapi tak dihiraukannya suaminya, dengan cepat dia menuruni tangga. Ketika sudah berada di jalan mereka tidak menemukan kendaraan, mereka mulai mencarinya. Mereka berteriak ke arah sopir-sopir taksi yang kendaraannya melaju dari kejauhan. Mereka berjalan menurun menuju Seine, dalam keputusasaan, menggigil kedinginan. Akhirnya di sebuah dermaga mereka mendapatkan sebuah mobil kuno yang tertutup dan berpintu dua,

halaman 15


yang hanya muncul di Paris ketika malam telah turun. Kendaraan itu mengantar mereka sampai ke depan pintu rumah di Rue des Martyrs dan sekali lagi, dengan sedih, mereka berjalan pulang ke rumah. Segalanya telah berakhir, bagi wanita itu. Dan bagi sang suami, ia berpikir bahwa ia sudah harus berada di kementerian pada pukul sepuluh. Wanita itu melepas selendang yang membungkus bahunya di depan cermin, sehingga sekali lagi ingin melihat dirinya dalam segala kejayaannya. Tapi tiba-tiba dia menjerit. Kalungnya tidak lagi berada di lehernya! Suaminya yang sedang melepas pakaian bertanya: “Ada apa denganmu?” Dengan perasaan panik dia berpaling ke arah suaminya. “Aku… Forestier.”

aku… aku telah menghilangkan kalungnya Nyonya

Suaminya bangkit, kalut. “Apa?! Bagaimana? Tak masuk akal!” Mereka berdua mencari di antara lipatan-lipatan gaunnya, dalam lipatan-lipatan mantelnya, dalam dompet-dompetnya, di mana saja. Tapi mereka tidak menemukannya. Suaminya bertanya: “Kau yakin tadi masih memakainya ketika meninggalkan pesta?” “Ya, aku masih merasakannya di ruang depan gedung.” “Tapi jika kau menghilangkannya di jalan, kita mestinya mendengar bunyinya ketika jatuh. Jangan-jangan di dalam mobil.” “Ya, mungkin saja. Apakah kau mencatat nomornya?” “Tidak. Dan kau, apakah kau memperhatikannya?” “Tidak.” Bagai disambar petir, mereka saling memandang. Akhirnya Loisel mengenakan kembali pakaiannya. “Aku akan kembali menelusuri jalan tadi dengan berjalan kaki,” katanya, “ke seluruh rute yang telah kita lalui untuk memeriksa kalaukalau dapat menemukannya.” Lalu ia pun pergi ke luar. Sedangkan istrinya menunggu di kursi dengan gaun pestanya, tanpa ada tenaga untuk pergi ke tempat tidur, tak berdaya, tanpa semangat dan pikiran kosong. Suaminya kembali lagi sekitar pukul tujuh pagi. Ia tidak menemukan apa-apa.

halaman 16


Kemudian laki-laki itu pergi lagi ke kantor-kantor polisi, kantorkantor surat kabar, untuk menawarkan imbalan bagi siapa yang menemukannya. Ia pergi ke perusahaan-perusahaan taksi, ke mana saja, sesungguhnya, ke mana dirinya terdorong oleh seberkas harapan. Istrinya menunggu sepanjang hari, dalam kecemasan yang sama seperti sebelum petaka itu terjadi. Malamnya Loisel pulang dengan lemah dan pucat. Ia kembali tak menemukan apa-apa. “Kau harus menulis surat kepada temanmu,” katanya, “bahwa kau telah merusak jepitan kalung itu sehingga kau harus membetulkannya. Dengan demikian kita masih punya kesempatan untuk mengembalikannya.” Dia menulis mengikuti dikte dari suaminya. Pada akhir dari pekan itu mereka telah kehilangan semua harapan. Dan Loisel, yang tampak semakin cepat bertambah tua lima tahun, memutuskan: “Sekarang kita harus memikirkan bagaimana caranya untuk mengganti perhiasan itu.” Hari berikutnya mereka membawa kotak kalung itu menuju ke toko perhiasan yang namanya tercantum di kotak itu. Pemilik toko tadi kemudian memeriksa catatannya. “Bukan saya yang menjual kalung itu, Nyonya.” Kemudian mereka pergi dari satu toko perhiasan menuju ke toko perhiasan yang lain untuk mencari kalung seperti itu. Mereka berdua saling mencocokkan ingatan masing-masing satu sama lain. Keduanya merasa tersiksa dan menderita. Akhirnya di sebuah toko di Palais Royal mereka menemukan seuntai kalung permata yang benar-benar mirip dengan yang mereka cari. Kalung itu berharga empat puluh ribu franc. Mereka bisa menawarnya sampai tiga puluh enam ribu. Mereka meminta kepada penjual kalung itu untuk tidak menjualnya kepada orang lain selama tiga hari ini. Mereka menawarkan bahwa si penjual tadi bisa membeli kembali kalungnya seharga tiga puluh empat ribu franc seandainya mereka berdua bisa menemukan kalung yang hilang sebelum akhir Februari. Loisel memiliki delapan belas ribu franc dari peninggalan ayahnya. Ia harus meminjam sisanya. Ia pun mencari pinjaman. Meminta seribu franc dari seseorang, lima ratus franc dari yang lainnya, lima louis di sini, tiga louis di sana.

halaman 17


Ia memberi surat utang, mengambil utang-utang yang berbunga tinggi, membuat persetujuan dengan para rentenir dan semua orang yang biasa meminjamkan uang. Ia mempertaruhkan sisa hidupnya, mempertaruhkan tanda-tangannya tanpa mengetahui apakah ia nanti mampu memenuhi janjinya atau tidak. Tanpa menyadari halangan dan musibah yang akan menimpanya, dan kemungkinan tekanantekanan batin yang harus ditanggungnya. Ia pergi untuk memperoleh kalung yang baru, membayar dulu kepada penjualnya tiga puluh enam ribu franc. Ketika Nyonya Loisel mengembalikan kalung itu, Nyonya Forestier berkata dingin kepadanya: “Seharusnya kau kembalikan lebih cepat, mungkin aku akan memakainya.� Dia tidak membuka kotaknya, karena temannya tampak begitu ketakutan. Seandainya dia mengetahui penggantian itu, apa yang akan dipikirnya, apa yang akan dikatakannya? Apakah dia tidak akan menuduh Nyonya Loisel sebagai pencuri? Kini Nyonya Loisel mengerti betapa mengerikannya kemiskinan. Dia terjun ambil bagian, dengan tiba-tiba, secara heroik. Utang-utang yang mengerikan itu harus dibayar. Dan dia akan membayarnya. Mereka memulangkan pembantu, mengubah tata ruang tempat tinggal mereka dan menyewakan ruangan di loteng. Kini dia merasakan betapa beratnya pekerjaan rumah tangga dan merawat dapur yang kotor. Dia mencuci peralatan makan, dengan kuku-kukunya yang kemerahan pada panci dan periuk yang berminyak. Dia mencuci kain-kain kotor, baju-baju dan laplap, yang kemudian dijemur pada rentangan tali. Dia membuang air kotor ke pelimbahan, lalu mengambil air bersih, kemudian berhenti untuk menghela napas setiap kali sampai. Berdandan seperti wanita kebanyakan pada umumnya. Dia pergi berbelanja ke tukang buah, grosir, tukang daging, membawa keranjang, melakukan tawarmenawar, menahan hinaan, mempertahankan uangnya yang sedikit sou demi sou. Setiap bulan mereka harus melunasi beberapa utang dan mencari pinjaman yang lain lagi, mengulur waktu. Suaminya pada petang hari bekerja membuat salinan untuk beberapa catatan dari pedagang, dan pada larut malam ia sering menyalin berkas-berkas dengan upah lima sou per lembar. Dan kehidupan seperti ini berakhir setelah sepuluh tahun. Dan sesudah sepuluh tahun berlalu, mereka telah membayar semuanya,

halaman 18


semua utang dengan bunga-bunganya. Nyonya Loisel terlihat tua sekarang. Dia telah menjadi seorang ibu rumah tangga dari kalangan biasa. Kuat, keras, dan kasar. Dengan rambut tak teratur rapi, rok miring, dan tangan yang merah. Dia berbicara dengan lantang ketika sedang membersihkan lantai di antara gemericiknya bunyi air. Namun terkadang, ketika suaminya sedang berada di kantor, dia duduk di samping jendela, dan mengenang malam indah yang telah berlalu dulu. Tentang pesta itu, di mana dirinya begitu cantik dan begitu mempesona. Apa yang terjadi seandainya dia tidak menghilangkan kalung itu? Siapa yang tahu? Siapa yang tahu? Betapa kehidupan ini begitu aneh dan mudah berubah-ubah! Betapa mudahnya kita kehilangan sesuatu atau tetap memilikinya! Namun, pada suatu hari Ahad, ketika sedang berjalan-jalan di Champs Elysees untuk menyegarkan pikirannya dari pekerjaan rutin selama sepekan, dia tiba-tiba mengenali seorang wanita yang sedang membimbing seorang anak kecil. Wanita itu adalah Nyonya Forestier. Dia terlihat masih muda, cantik, dan tetap memikat. Nyonya Loisel merasakan kepiluan di hatinya. Akankah dia mengajaknya berbicara? Ya, pasti. Dan sekarang karena dirinya telah melunasi semuanya, dia akan menceritakan kepada wanita itu tentang segala yang telah terjadi. Kenapa tidak? “Selamat sore, Jeanne.” Wanita yang disapa terperanjat atas keramahan dari seorang ibu rumah tangga yang sederhana itu, bahkan sama sekali tak dapat mengenalinya. Ia berkata gagap: “Tapi, Nyonya, saya tidak kenal. Anda pasti keliru?” “Tidak. Aku adalah Mathilde Loisel.” Kawannya itu memekik kecil. “Oh, Mathilde-ku yang malang. Kenapa kau bisa berubah sampai seperti ini?” “Ya, aku telah melewati hari-hari yang berat, sejak aku mengunjungimu dulu, hari-hari yang sangat buruk. Dan semua itu karena engkau!” “Karena aku?! Bagaimana mungkin?” “Apakah kau masih ingat tentang kalung permata yang telah kau pinjamkan kepadaku dulu untuk pergi ke pesta di kementerian?” “Ya. Lalu?” “Yah, aku menghilangkannya.”

halaman 19


“Apa maksudmu? Bukankah kau telah mengembalikannya?” “Yang kukembalikan kepadamu dulu itu adalah gantinya yang benar-benar persis dengan itu. Dan untuk itu kami harus membayarnya selama sepuluh tahun. Engkau tentu tahu bahwa hal itu tidaklah mudah bagi kami, kami yang tidak punya apa-apa ini. Akhirnya berlalulah sudah, dan aku sangat senang.” Nyonya Forestier menghentikan langkahnya. “Kau mengatakan bahwa kalian telah membeli kalung permata untuk mengganti milikku itu?” “Ya dan kau tidak pernah memperhatikannya! Kedua kalung itu memang benar-benar serupa.” Dia pun tersenyum gembira dengan perasaan bangga dan sekaligus kekanak-kanakkan. Nyonya Forestier merasa sangat kasihan, dipegangnya kedua belah tangan temannya itu. “Oh, Mathilde-ku yang malang! Mengapa? Kalungku itu hanyalah imitasi. Harganya paling mahal cuma lima ratus franc saja!”***

P

halaman 20


Sajak

A. Warits Rovi. Sketsa Awal Tahun Tausiyah Alam Saat Gerimis Menulis Huruf Alif di Jendela Patung Tanah I Bungduwak

A. Warits Rovi. Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya dimuat di berbagai media Nasional dan lokal. Kumpulan puisinya dapat dinikma! di antologi komunal; Bulan Yang Dicemburui Engkau (Bandung, 2011). Epitaf Arau (Padang, 2012). Dialog Taneyan Lanjang (2012). dan sebagainya.

halaman 21


Sketsa Awal Tahun

Kau tertegun mengamati kalender baru dengan mata penuh ulat. Menyerupai tanggal-tanggal hitam yang kau lingkari. Besok kau berkehendak menuliskannya pada pohon kamboja. Membiarkan ulatulat menghabisi daun dan kembangnya. Hingga kau yakin kematian tak bakal datang. Dan diam-diam kau mengusung tanggal-tanggal itu ke ruang rahasia tempat kau menimang sunyi di penghujung sajak-sajak yang kau cipta. Tanggal itu kau jadikan kata-kata. Kata-kata yang tak sedikitpun membicarakan ihwal kamboja, dan kau semakin yakin kematian masih jauh dari jendela. Namun di bawah jendela, Sebuah terompet tahun baru tergeletak dengan mulut tersobek dan menganga. Amat beku dan tanpa uraian kata-kata. Kau pun berkata � beginilah sesuatu yang ditinggal musimnya�.

halaman 22


Tausiyah Alam

Berhadap-hadapan dengan batu. Akupun jadi makhluk bisu Menyambut matahari tanpa kata. Kubiar seekor belalang hinggap di punggung tanpa sapa. Aku pun batu. Batu pun aku. Menatap tanah sedang dibajak. Kubayangkan indahnya jadi padi. Kubiar diri hijau tumbuh ke arah langit mata menjangkau. Sebut aku padi. Padi sebut aku. Aku akan diam yang batu dan bersembah ke arah langit dengan sujud yang padi.

Saat Gerimis Menulis Huruf Alif di Jendela

Aku beranjak dari wajah langit mengunjungi separuh malammu yang membentang tanpa kunang-kunang. Tempiasku membuat goresan lurus berkilau semacam lelehan memanjang di jendelamu. Bacalah! Itu huruf pertama dari bahasa bintang yang kesepian. Kutulis untukmu yang sedang termangu menyerut lagu serangga penuh luka. Bintang dan matamu malam ini seperti anak kembar yang sendu menemui kelam tanpa seorang ibu. Aku beranjak dari wajah langit mengunjungi separuh malammu sebagai ibu. Menulis alif di jendelamu dengan jasadku yang cair. Dari dalam kamar kau samar-samar mengejaku: huruf, gerimis, bahasa bintang satu dalam diriku. Diri seorang ibu.

halaman 23


Patung Tanah I

Ia terdiam melewati musim dingin. Menjaga keheningan langit kelam hari Pada kulitnya yang kecoklatan, tahun-tahun mengendap datang dan pergi. Lumut menjalari kerut dan lekukannya seraya memahat naďŹ ri hidup yang semestinya tak diam seperti ini. Di sisi kakinya. Rumput teki membiak subur. Hijau bergoyag lentur. Halus bertegur. Pertemanan sejati di bawah sentakan guntur. Angin mengepung tiada guna. Wajahnya yang terus pasrah menatap hujan membidik tanah. Tak hirau akan siapa. Biarkan kuku cuaca mencengkeram tubuhnya. Karena ia tak pernah bersekutu dengan darah. Hari ini aku bertatapan dengannya. Dengan tatapan mata dan perasaan yang sebenarnya. Dalam kegaiban matanya kutemukan muasalku yang sebenarnya. Tanah itulah ibunda.

halaman 24


Bungduwak

Pulang ke Bungduwak, barisan bambu senantiasa menjaga jalan setapak dengan warna daun yang lebih hijau dari semula. Seekor kupu-kupu mengusung mimpinya ke lereng bukit: tempat pendakian dimulai dari sejengkal tanah milik sendiri. Kumasuki rumah ibu. Jam tua yang melawan jahitan sarang laba-laba rekat di dinding. Seperti berkali-kali memahat bebayang tahun-tahun yang pergi. Membiarkan dua gelas kuno di atas meja bebas bercakap dengan bahasanya sendiri. Memberi waktu bagi jendela menatap wajahku dengan sorotan mata zaman dulu. Dari balik pintu. Kusambut tangan ibu. Matanya sebening kunang menjamu kelam di atas danau. Setelah kelahiranku, ibu terus melahirkan anak-anak bernama kerinduan, yang ingin bermain tak menemukan halaman. Kecuali halaman di hati kecilku ini: tempat setiap pertemuan dimulai dari balik rimbun kembang. Pulanglah!

halaman 25


Sajak

Ahmad Moehdor al-Farisi Pembunuhan Sebelum Matahari Mandi Namamu Berkeringat. Mendidih Dalam Tubuh. Separuh Sajak Ini adalah Air Matamu Pada Lengan Berbatuan Meledak Jadi Darah Pada Ratusan Jarum di Keningmu Makhluk dalam Tubuh

Ahmad Moehdor al-Farisi Kelahiran Sampang Madura, 26 Juni 1990 yang lalu. Presiden KOSTRA (Komunitas Sanggar Sastra) UNIROW Tuban (2011/2012). Bukunya yang terbit dalam antologi bersama: Jual Beli Bibir (Coretan Pena, 2011), Sehelai Waktu (Antologi Puisi Penyair Jawa Timur, 2011), Fiksi Mini (Pekik Merdeka, 2011), dan sebagainya. Antologi tunggalnya; Malam pun Menyetubuhiku (Puisi, Sruni IKAPI, 2012) dan Sebongkah Kertas dan Wajah Emak (Esai, Sruni IKAPI, 2012).

halaman 26


Pembunuhan Sebelum Matahari Mandi

/1/ waktu beryanyi sambil memainkan senar usia negeri ini. tariannya melati yang gugur jadi kamboja. ada sebuah bola mata di seberang kota di bawah altar tak berawan. penuh tulang dan tangisan. di atas usia embun, aku hinggap di daundaun, menyaksikan ikatan adam rantas. ibnu hawa retak. lahir namanama agung seperti larva terapung dalam usia urat nadi negeri ini.

/2/ “selamat datang di negeri pematangan. jangan takut, ibu pertiwi sudah mati terinjak birahi. nanti akan kami buatkan kembali.� begitulah sambutan ketika puisipuisiku menetas. kepalaku beku. bulu leher mengencang aspal, mendidih dan geram. gigi menggerutu, mengunyah kisah mentahmentah. “sabar. adam tak pernah marah ketika dicemooh syetan. semua sudah tertulis rapi di atas ranjang Ilahi. kita hanya pembaca yang wajib melaksanakannya.� bukit di kepalaku runtuh. hewanhewan peradaban terbiritbirit. pohonpohon, rumahrumah, yang biasa kutempati berteduh, melayang bagai burung tak bersarang. bertengkar kerakusan dengan alasan pembangunan.

halaman 27


/3/ dua kilo meter setelah aku bermimpi dari parit waktu, sebongkah kulit hitam mengibar bola mata keranjang. batu Bengkulu, tombak Kalimantan dan arit Jawa Tiumuran menuntunku menghitung air mata berjatuhan. tak ada abu di sana, hanya sepiring nasi dan sayur basi. melumar di depan anakanak. juga derita di keranda.

/4/ di seberang waktu, aku istirah di sebuah kota runtuh. di bawah bangunan mayat aku mendengar gemuruh tawar. gesekan lidahlidah mereka yang bercabang bagai pecahan petir. menyeretku dalam pertempuran. “besok, sebelum matahari mandi, kita bunuh penulis puisi ini.�

halaman 28


Namamu Berkeringat. Mendidih Dalam Tubuh. buat P. Har

namamu mengalir di jaringan urat saraf waktu menyapu segala resah dan gundah. bahkan merontokkan api yang bersemayam dalam otak ini. pada hari yang tandus. malam berbahaya. menyandarkanku pada lidah yang tajam. tentang tanggung jawab, meninggalkan ruang seni tanpa kunci; “kau telah mengecewakanku�. waktu menjadi detikdetik yang curam. aku jatuh. mulutmu meluapkan emosi dan urat yang tegang rantas. udara terasa sesak. penuh takut dan tunduk. (sepertinya percuma kusuguhkan alasan apalagi sungkem atas segala khilaf)

halaman 29


waktu beringsut. namamu berkeringat. mendidih dalam tubuh. amarahmu berkilatan. di ubunubun aku sujud menikmati aliran nama yang meluapkan asap kuasamu. di balik kaca jendela bus kota, aku membisu. menimangnimang kilatmu yang mengendap dalam tubuh. mekar dan menumpahkan segala takut dan sesal. kepulanganku bukanlah meninggalkan warna gelap dalam perasaan. janji kami sudah membentuk kesepakatan; “aku pulang sekarang kau setelah aku dating�. ternyata, kepulanganku pulangnya juga ruang seni yang kita singgahi tertinggal sendiri tanpa kunci. waktu meledak. anganangan gemetar. segala pegangan berlumuran api. sedang namamu masih mengalir, melarutkan aku ke alam yang sepi dan sunyi. (tapi, demi kemerdekaanmu masih di ubunubun, aku sujud menikmati aliran namamu)

halaman 30


Separuh Sajak Ini adalah Air Matamu buat adik Naziyah

1 Separuh sajak ini adalah air matamu. Berangkat dari titik yang curam, semacam hidup becek oleh mimpimimpi. Airnya yang jernih memberikan peta bagaimana caranya mengekalkan takdir. Pun memolesnya dengan manis bibir yang menguncupkan harapan. Dengan sisa jejak kanak kita, aku anyam semua itu dengan sisa air mata kita pula. Tebing tajam di pinggir bukanlah muntahan takdir yang kita anggap kejam. Jangan takut adikku, itu hanyalah pusat luncuran tanah masa depan kita. Yang akan menjelajah kemahaluasan takdir.

2 Di pagi yang dingin, sebelum matahari mandi, kau gembala semua kambing. Sambil mengenakan celana abu; tempat penggantungan mimpimimpi, aku memandangimu dengan pecahanpecahan benih yang menetas dari mata. Berdebum ke embun. Waktu terus bergeluyur, mengusung kita bersama mimpimimpi dan tawatawa yang belum selesai. Hanya nafas dan patahan detak jantung kita yang tersisa. Sebelum kemudian beku dan menguap.

halaman 31


3 Bumi guncang oleh segala jenis pengorbanan anakanak kampung yang menaruh mimpi gunung. Menggeliat, mengoyakoyak kita hingga berjatuhan. Dan kita terpisah, yang akhirnya terdiam di sudutsudut takdir yang pengap dan sepi.

4 Perjalanan kita begitu panjang dan menegangkan. Pada sebuah gumam yang merogoh keyakinan, kau putuskan untuk berhenti dan menangis. Mengemas jejakjejak keringat yang berkerumunan di bawah mimpimimpi. “Kakak, aku titipkan mimpi itu padamu. Sampaikan salamku pada takdir yang pernah kita anggap kejam.� Dan aku mengunyah dalam langkah, dalam decak, dalam cibir yang terus menjambak. Kubayangkan: di belakang kau memar, telungkup menelan air mata sendiri. Sambil mencaci takdir dan menengadah untukku. Untuk kehidupan kita yang baru.

5 Pada mulanya detik berbisik, Dik meragukan mimpi dan langkah kaki. Waktu menyeringai, menertawakanku. Belum lagi korban takdir lainnya yang menghujankan bibir di hadapanku. Hingga membentuk piramida yang keropos. Menghalangi langkah.

halaman 32


6 Saat aku terjaga dari ketakutan itu, tibatiba takdir yang kita anggap kejam mengirim air matamu; air mata saat kita terpojok di sudut takdir yang pengap. Memaksaku mengguyurnya dengan air matamu itu. (Aku terperangah melihat runtuhannya) Sejarah berhambur. Mimpimimpi yang sebelumnya ganjil, terurai; memberikan peta di mana aku harus singgah. Sampai di sebuah tikungan takdir, diselasela pecahan piramida, aku gigil. Ternyata keringat kita; termasuk jejakmu yang terpisah, terpajang dalam sebuah ďŹ gura yang indah. Membentuk sederetan puisipuisi. Aku tersenyum, Dik. Nama kita begitu indah di sana. Dengan separuh air matamu, aku tulis ulang puisi itu. Dan saat ini di baca oleh korban takdir lainnya. Seperti sejarawan yang ragu pada sejarah usang.

7 Adalah mimpi kita akan bersemi. Dan kita akan memanen harapan yang hampir mati.

halaman 33


Pada Lengan Berbatuan desa Boto Tuban

/1/ pada batubatu yang tersebar di lenganmu, aku telusuri terjal kediaman yang suram dan menakutkan. keterasinganmu telah menyingkap air mata, juga asin keringat. dari kejauhan sebelum upacara penyerahan yang amat keramat ; ketika aku masih menyilakan pikiran, ada setumpeng saji keberuntungan. dan aku melambai memanggil namamu: Boto, aku datang.

/2/ langit kering. tepat di ujung angin yang panas, kau meniupku ke ujung jalan yang tak berjejak. di ujung lenganmu yang berbatuan ada setitik senyum tertangkap angan. dengan segala daya menyatuhlah bahagia di dinding nalar. ; ada puisipuisi yang harus aku unggah, kutulis dengan debu di lengan, kemudian kumusiumkan dalam jejak perjalanan.

/3/ belum ada apaapa. di sepanjang lenganmu, selain batubatu, ada botolbotol yang berbusa. mematung di mejameja. aku yang waktu, tak sempat istirah dan mencicipinya. mungkin, setelah sampai pada detak keberadaanmu, kita bisa menyatukan hasrat dengan busabusa di botol itu. setelah aku sampai di detakmu.

halaman 34


Meledak Jadi Darah desa Ngglodakan Tuban

kakiku gemetar berdiri di atas batu keriput, layu, dan lesu. kota terindah yang pernah kubayangkan tumpah di depan mata. cahaya berserakan. mengalir di pembuluh. bermuara di sudutsudut otak. kemudian meledak jadi darah. sore itu, gang sempit mengantarkanku ke kampung kering. menuangkan keterbelakangan di lambung kota yang pecah. dan menyuguhkannya begitu saja di depanku. kubayangkan, itu adalah kesungsangan yang mereka simpan. satusatunya hadiah untuk para pendatang yang sudi menjenguknya.

halaman 35


Pada Ratusan Jarum di Keningmu

pada keningmu, aku melihat ratusan jarum yang menumpuk. setiap kali kita melingkarkan langkah, satu di antara jarummu menyala. menghantar malam pada sebuah sudut yang sempit dan sepi. aku tersentak. lalu hanyut, berdebur dalam kekaguman. sebab, jarumku yang bertahuntahun hilang tibatiba ada di antara tumpukan jarummu; jarum yang gemar memenangkanku dalam perdebatan. sungguh terharu. di tanganmu, jarum itu menabur udara asin, bibit makna yang lain, dan tekateki makna yang lain. seperti angin yang terpental dari dubur, menghantam ketenangan hidung. dan dalam lingkaran jalan, kita bercakap tentang agama, tentang hari kemerdekaan negara, tentang kesejahteraan desa, lengkap dengan kepincangan ďŹ kir yang sudah menjadi tradisi dalam diskusi. aku pun duduk di beranda katakatamu. menimbangnimbang waktu yang malam. menikmati keindahan rembulan yang merah, seperti sebelah mata kucing yang rabun. “biarpun begitu, kita adalah satu tubuh dalam tugas ini. mari kita selesaikan semuannya. jarum itu sudah menjadi mulikmu.â€? bisikku sambil berpesta asap rokok dan mereguk kopi hangat.

halaman 36


Makhluk dalam Tubuh

bacalah makhluk dalam tubuhmu, akan kau temukan rapuh setapak dalam perjalanan. atau jiwa yang gigil untuk di manja. renungi lelah atau dingin dalam langkah, ada irama dahsyat yang memurnikan hasrat. atau debar waktu mengalir ke dasar pendalaman dadamu. ambil bibir dari kantong murungmu, ada pemandangan subur untuk ditanami senyum. atau untuk menyimak tawa ringan anakanak bercelana darah berlarian ke gerbang sekolah. atau derit manja rantingranting yang menerbangkan pipit ke pemandian matahari. lewat garisgaris ritmis renungan itulah sebaiknya kau mengarang, atau hanya sekedar melukis betapa dramatik arti sebuah perjalanan. lalu kau akan terhantar pada rindu di tombak angin dingin, pada kenangan manja aksara munting, gulunggemulung mata dan senyum. “akan menjadi abadi jika kau menulisnya�

halaman 37


Sajak Terjemahan

Arthur Rimbaud (1854-1891)

ahir di Charleville, Perancis. Arthur Pera mulanya dikenal sebagai sosok pendiam. Berasal dari lingkungan n keluarga religius. Banyak yak ya penyair besar lain seperti; Vi Victor Hugo, Paul Claudel, yang kemudian memberinya berbagai julukan, setelah dia terkenal sebagai penyair paham surealis. Pemberontakan dirinya bermula dari meninggalkan bangku sekolah, serta ibunya yang janda dan kemudian ia melanglang buana di usia yang masih sangat muda, lima belas tahun seraya mencoba menemukan identitas dirinya. Meski kemudian ia menobatkan dirinya sebagai seorang sastrawan. Bersama Paul Verlaine menerbitkan sekumpulan sajak yang

halaman 38

kemudian menghebohkan dan membuat kagum penyair-penyair lainnya. Arthur tak mencerminkan dirinya sebagaimana seorang di seniman. Bergaul dengan seni Negus, di mana kemudian menjadi tangan kanan Negus, karena dia juga sebagai pedagang senjata, menjadikannya seorang yang berjiwa keras. Hidup mengalir yang mengandalkan nasib dan hampir saja mati ditembak Verlaine, karena ingin membuktikan bahwa dia memiliki bakat lebih dari sebagai seorang sasterawan. Himpunan sajaknya yang terkenal, yang ditulis di usianya antara lima belas hingga sembilan belas tahun, kami pilihkan dan dimuat pada halaman-halaman berikut. (redaksi)


Pesta Lapar

Laparku, Anne, Ann Lari di atas keledaimu Jika aku lapar, hanyalah lapar bumi dan lapar batu. Ding! ding! ding! ding! Santapan kita angin Batu, arang dan besi. Hai lapar, kembalilah kau. Lapar, makanlah suara padang rumput! Hiruplah racun pesta gila Dari semak daun Makanlah batu leburan tangan si miskin Daun pintu gerbang gereja tua, Bara api hari kiamat, Roti lembah kelabu! Laparku, koyakkan angin malam, Angkasa bergema; Itulah perutku, guruh itu, O, Malang. Tetumbuhan di bumi kembali lahir; Mencari buah magang Kupetik dari lubang jejak Sayur dan bunga viola Laparku, Anne, Anne, Lari di atas keledaimu.

halaman 39


Tari dari Lelaki di Gantungan

Pokok Gagak Pada tiang hitam, berlengan satu kawan, The paladins menari, menari Itu, iblis paladin ramping Kerangka dari Saladins. Sir Beelzebul yang menarik dengan tengkuknya sedikit boneka hitam tersenyum di langit, Dan dengan backhander di kepala seperti tendangan, Membuat tari tarian mereka, menyetel-kidung lama! Dan tentang wayang, terguncang, membelitkan lengan kurus mereka: Tetek mereka ditusuk dengan cahaya, seperti pipa organ-hitam Yang dulu ditekan lembut wanita untuk mereka sendiri, Berdesak-desakan bersama untuk jangka lama dalam percintaan mengerikan.

halaman 40


Hore! para penari riang, Anda yang perutnya sudah pergi! Anda dapat memotong lompatan pada suatu tahapan yang panjang! Hop! apalagi apakah itu melawan atau menari! - Beelzebul, gila, gergaji pada biola nya! Oh tumit keras, pompa tidak ada keluar yang mengenakan! Dan hampir semua orang telah diambil dari kulit baju mereka; Sisanya adalah tidak memalukan dan dapat dilihat tanpa malu. Pada setiap tengkorak salju dikenakankan topi putih: Gagak untuk ini bertindak sebagai segumpal otak retak, Sebuah potongan daging bersandar menempel jadi satu dengan dagu: Anda akan berkata, melihat mereka balik dalam memerangi gelap mereka, Mereka ksatria kaku berbenturan dengan karton lapis baja. Hurrah! peluit angin di bola besar kerangka! Tiang gantungan hitam erangan seperti organ besi! Serigala-serigala melolong kembali dari hutan violet: Dan di cakrawala langit adalah neraka-merah ...

halaman 41


Hoi sana, orang pembual menggoyang seram, Licik mengatakan mereka patah dengan jari-jari besar Manik-manik dari kecintaan mereka pada tulang belakang mereka yang pucat: Hei meninggal, di sini ini bukan biara! Oh! tapi melihat dari tengah ini bagaimana tarian kematian Mata air ke langit merah kerangka besar, gila Terbawa oleh dorongan sendiri, seperti peternakan kuda: Dan, lagi merasa tali ketat pada lingkar lehernya, Mengepalkan buku-buku jarinya pada tulang paha yang patah Mengucapkan teriakan seperti tawa mengejek, Dan kemudian seperti mountebank ke kiosnya, Melompat kembali ke tulang dalam tari dengan musik! Pada tiang hitam, berlengan satu teman, The paladins menari, menari Itu, paladin ramping iblis Kerangka dari Saladins.

halaman 42


Perang Lagu di Paris

Jelas di sini adalah musim semi, karena Pendakian Thiers dan Picard Dari Lahan hijau dihamparkan Kegemilangan yang terbuka lebar! O Mei! Apa gelandangan bugil yang mengigau! O Sèvres Meudon, Bagneux, Asnières, Dengarkan sekarang untuk menyambut kedatangan Hamburan sukacita musim semi! Mereka memiliki shakos, pedang, dan tom-tom, Dan tidak ada kotak lilin tua; Dan perahu ringan yang memiliki Nev ... Nev ... Apakah memotong danau air berlumuran darah! Lebih dari sebelumnya, kita bersuka ria secara ribut, Seperti pada kami untuk datang ke tumpukan semut Bergolek kepala kuning, Pada fajar ini luar biasa: Thiers dan Picard adalah Cupids; Dan beheaders bunga matahari juga; Mereka melukis Corots dengan racun serangga: Lihat betapa kiasan mereka pohon de-cockchafer ...

halaman 43


Mereka familiar dari Agung Apa nama nya! ... Dan Favre, berbaring di antara irisis tersebut, Berkedip dan air mata buaya menangis, Dan hirupan pedas nya mengendus! Kota Besar memiliki batu-batuan panas, Meskipun mandi Anda dari paraďŹ n; Dan jelas kita akan memiliki Untuk menghidupkan Anda di bagian Anda ... Dan udik yang mengambil kemudahan Dalam lekukan lutut panjang, Akan mendengar cabang melanggar Di antara gemeresik merah.

Mimpi Musim Dingin

halaman 44


Cium Di musim dingin, kita akan bepergian dalam sebuah gerbong kereta api sedikit merah muda Dengan bantal biru. Kita akan merasa nyaman. Sebuah sarang ciuman gila terletak pada penantian Di setiap sudut lembut. Anda akan tutup mata, agar tidak melihat, melalui kaca, Bayang-bayang malam menarik wajah. Mereka monster yang menggeram, sebuah populasi Setan-setan hitam dan serigala hitam. Kemudian Anda akan merasa pipi Anda tergores ... Ciuman kecil, seperti laba-laba gila, Akan berjalan di lehermu ... Dan Anda akan berkata kepada saya: “Cari itu!� membungkuk kepala Anda Dan kami akan membutuhkan waktu lama untuk menemukan makhluk yang Yang sering bepergian ...

Terjemahan dari teks berbahasa Inggris oleh Tike Sabrang sumber: Oliver Bernard, Arthur Rimbaud, Collected Poems (1962)

P

halaman 45


Rehal

Sejarah Hak Cipta Lukisan

Ukuran ISBN Jenis Sampul Waktu Terbit Penulis

: : : : :

Penerbit Jumlah Halaman Edisi Deskripsi

: : : :

halaman 46

24 cm 9786029402155 Soft Cover 2012 Inda Citraninda Noerhadi Komunitas Bambu xviii, 406 hal. Cet. I bibliograďŹ , illus., indeks


uku ini membicarakan upaya perlindungan perl Hak Cipta atas karya lukis, baik terhadap seni lukis luki tradisional maupun seni lukis modern. Hak Cipta menjadi penting dalam ajang kehidupan kesenian. Hak Cipta (Hak Atas Kekayaan Intelektual/ HaKI) adalah hak eksklusif yang diberikan suatu hukum atau peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Menurut UU yang telah disahkan oleh DPR-RI pada tanggal 21 Maret 1997, HaKI adalah hak-hak secara hukum yang berhubungan dengan permasalahan hasil penemuan dan kreativitas seseorang atau beberapa orang yang berhubungan dengan perlindungan permasalahan reputasi dalam bidang komersial (commercial reputation) dan tindakan / jasa dalam bidang komersial (goodwill). Dengan begitu obyek utama dari HaKI adalah karya, ciptaan, hasil buah pikiran, atau intelektualita manusia. Kata “intelektual� tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut adalah kecerdasan, daya pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the Human Mind) (WIPO, 1988:3). Setiap manusia memiliki memiliki hak untuk melindungi atas karya hasil cipta, rasa dan karsa setiap individu maupun kelompok.

dan aturan-aturan serta kondisi-kondisi pendukung lainnya yang berada dalam suatu masyarakat. Dengan demikian karya seni menjadi penting sebagai representasi sosiokultural si penciptanya. Nilai dalam karya seni dipahami sebagai suatu wujud budaya dan estetik yang diekspresikan oleh seorang seniman yang hidup dalam masyarakat di mana karya itu dilahirkan. Buku ini membicarakan upaya perlindungan Hak Cipta atas karya lukis, baik terhadap seni lukis tradisional maupun seni lukis modern. Hak Cipta menjadi penting dalam ajang kehidupan kesenian. Bukan hanya melindungi hak para seniman di bidang seni lukis dalam iklim budaya yang semakin komersial, tetapi menjaga keberlangsungan hidup para seniman. “Seni lukis dan Hak Cipta� dapat menambah wawasan kita tentang perlindungan hukum Hak Cipta yang menjadi hak para seniman.***

P

Kita perlu memahami HaKI untuk menimbulkan kesadaran akan pentingnya daya kreasi dan inovasi intelektual sebagai kemampuan yang perlu diraih oleh setiap manusia, siapa saja yang ingin maju sebagai faktor pembentuk kemampuan daya saing dalam penciptaan Inovasi-inovasi yang kreatif. Seni lukis lahir dari suatu proses internalisasi atas faktor-faktor eksternal yang berupa nilai-nilai, norma-norma,

halaman 47


Rehal

Sejarah Asia Tenggara, Dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer sejarah politik, sosial, ekonomi, agama dan budaya.

ISBN: 9786029402285 Jenis Sampul: Hard Cover Waktu Terbit: 2013 Penulis: Albert Lau, Bruce Lockhart, M.C. Ricklefs, Maitrii, Aung-Thwin, Portia Reyes Penerbit: Komunitas Bambu Jumlah Halaman: 872 hal. Edisi: Cet. I, terj. Deskripsi: bibliograďŹ , illus., indeks, peta uku sejarah Asia Tenggara yang baru dan komprehensif yang mencakup periode panjang sejak menc zaman prasejarah sampai tahun 2000-an. Sejarawan Marle Ricklefs telah membawa bersamanya lima sejarawan yang menjadi rekan kerjanya di National University of Singapore yang kepakarannya mencakup seluruh wilayah Asia Tenggara dan meliputi

halaman 48

Dibuka dengan catatan mengenai kelompok etnis serta struktur budaya dan sosial Asia Tenggara masa awal, lantas pembahasan dibawa melintasi masa yang disebut sebagai sejarah ‘klasik’ negaranegara Asia Tenggara, datangnya agama Hindu, Buddha, Islam dan Kristen serta dampak kuat pelaku non-Pribumi. Pembahasan mengenai sejarah tahaptahap awal kemodernan negara-negara di Asia Tenggara dan pergantian penguasa di sana dilanjutkan dengan analisis tentang Perang Dunia II yang berdampak di seluruh wilayah Asia Tenggara. Para penulis buku ini menawarkan catatan lengkap mengenai dekolonisasi dan pembangunan bangsa pada masa-masa awal pascapenjajahan, buku ini kemudian membawa kita ke masa-masa modern Asia Tenggara, mengamati wilayah ini dalam sebuah dunia yang berusaha memulihkan diri dari krisis keuangan. Tim yang terdiri dari penulis yang berbeda menampilkan narasi yang bisa dipercaya dan dapat dicerna, menunjukkan hasil penelitian terbaru dan menawarkan petunjuk detail untuk bacaan lebih lanjut. Kerja bersama yang memukau dan merupakan kontribusi yang sangat penting terhadap kajian Asia Tenggara. Sebuah bacaan wajib bagi para sarjana, pelajar dan siapa saja yang ingin mengetahui Asia Tenggara.***


Tokoh

Sri Warso Wahono (Si “Conservator�)

ebih kurang empat puluh tahun lalu, dia dibe diberi tugas untuk mengumpulkan karya seni rupa. Bukan tanpa pertimbangan matang. Salah-satunya adalah, karena Sri Warso Wahono yang dikenal sebagai penikmat juga pengamat lukisan tak lepas dari latar belakang pendidikan dan ketunakkannya di dunia seni ini. Sri Warso Wahono memiliki latar pendidikan Jurusan Seni Rupa Fakultas Sastra dan Seni IKIP Solo, pria kelahiran 17 Juni 1928 ini telah diterima sebagai conservator (orang yang bertanggung jawab untuk perbaikan dan pelestarian karya seni, bangunan, atau hal-hal lain tentang budaya atau lingkungan.) museum pada 1975.

Penerimaan itu diadakan setahun sebelum persiapan pembukaan, sekaligus pendirian Museum Seni dan Keramik pada 1976 di Jakarta yang terletak di areal Museum Fatahillah, Jakarta. Sri Warso kemudian menjadi kepala seksi sekaligus menjabat sebagai conservator pada 1977-1985. Sri Warso yang juga pelukis ini kemudian merapikan semua perbendaharaan yang ada di museum itu. Dimulailah penataan, dari menata foto-foto Gubernur Jenderal Hindia Belanda pertama, yaitu Jan Pieterzoon Coen (1587-1629) hingga Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-66 (sekaligus yang terakhir), Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. “Saya susun dan urut semuanya, sehingga

halaman 49


menarik perhatian turis dan wisatawan untuk berkunjung dan mengetahui sejarah kolonialisme yang pernah ada di Indonesia,” ujarnya. Dari sana, pria yang merupakan putra ketujuh dari sembilan bersaudara pasangan Warno dan Sarinten ini, bahkan menghubungi Belanda dengan suratmenyurat. Hasilnya, karya Raden Saleh yang berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857) kemudian dikembalikan. “Mereka mengembalikannya setelah mengirimkan dulu reproduksi, untuk mengetahui sejauh mana kemampuan perawatan dan keseriusan pengelolaan di museum ini,” tutur Sri Warso. Ketika itu, bersama timnya yang lain, yaitu Suparto, Kusnadi, Sudarso Sp dan Abas Alibasyah, mereka menata lukisan-lukisan di museum itu. Ada sumbangan dari Museum Adam Malik, yayasan Lingkar Mitra Budaya, pinjaman dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan di masa itu, hingga sumbangan dari pribadi seniman maupun pihak yang mengoleksi karya seniman yang bersangkutan. “Beberapa bulan kami menyelesaikan dan menatanya. Barulah pada 16 Agustus 1976 diresmikan Presiden Soeharto,” kata Sri Warso yang pernah mengikuti studi di Leiden pada tahun1983. Dia banyak bercerita tentang kemunculan galeri-galeri pribadi dan swasta pasca-1985. Posisinya ketika itu, hanya berperan mendukung keberadaan mereka. Sri Warso juga mengisahkan keberadaan Galeri Nasional yang mulanya hendak dijadikan museum. Namun, keinginan dia dan Abas Alibasyah berbenturan dengan yang lainnya sehingga resmilah menjadi galeri hingga kini. Padahal, dilihat dari banyaknya lukisan

halaman 50

yang ada di Galeri Nasional, dia menyayangkan karena tempat itu dahulu sudah d i i m p i k a n ny a untuk menjadi t e m p a t ideal dalam merangkai perjalanan seni rupa Indonesia, setidaknya dari masa Raden Saleh hingga yang sekarang. K e t i k a itu, tim yang dipercayakan adalah dia, Kusnadi, FX Sutopo (komponis), Sutarjo Sp, Edy Sedyawati, Jim Supangkat, AD Pirous, Abas Alibasyah, Joko Subandono, dan Nunus. Namun, tim sepakat tetap menjadikan sebagai Galeri Nasional. “Namun yang saya ingat, saya dan Abas Alibasyah walk out. Ketika itu, saya tak setuju galeri, karena yang ditampilkan cenderung temporer saja. Hasilnya ya seperti sekarang. Banyak karya seni rupa yang tak dipampang hingga sekarang,” kata Sri Warso, seperti menyesalkan kondisi itu. Hasil dia menjadi conservator lukisan ketika itu adalah kesadarannya bahwa, perjalanan seni rupa adalah rangkaian panjang dan tak serta-merta atau tak sekonyong-konyong. Kontemporer baginya adalah satu warna tersendiri. Di sisi lain, karya seni beragam dan masing-masing memberi warna dan daya hidup. “Hal yang terjadi di Indonesia


masa lalu, hingga kekinian. Dari nuansa tradisi di Papua, Gilimanuk, hingga Batu di Lampung, fakta-fakta seni rupa itu ada dan terus tumbuh. Dia kemudian menyebut nama-nama perupa yang tetap intens di tengah gemerlap seni rupa kontemporer dan tetap setia meniti karya, sekaligus keunikan karyanya sebagai pribadi. Disebutnya nama Srihadi Soedarsono, Abas Alibasyah, AD Pirous, Ivan Sagito, Setiawan Sabana, Syahnagra Ismail, Hardi, Dwijo Sukatmo, Nus Pakurimba, Joko Pekik, dan Amrus Natalsya.

seakan ada satu kekuatan yang menggeser perjalanan panjang ini. Menggeser yang sebelumnya. Inilah yang tidak sehat,” kata Sri Warso. Dia kemudian berkisah, ketika dia sowan dan melawat acara La Biennale di Venezia dengan tajuk Art Biennale 55th International Art Exhibition, terlihat sekali semua keragaman itu ada, dipertahankan, dan terasa indah. “Inilah yang kita harus sadari, ketajaman visi dan misi seni rupa. Kita membutuhkan orang-orang bijak yang memposisikan kesenian apa pun setara, tentu saja semua karya yang berkualitas. Sama-sama layak dan dapat tempat,” ujarnya. Pertumbuhan kesenian memang muncul lewat kurator yang diberikan kepercayaan. Namun bila hanya menggunakan logika kekinian, sangatlah muskil karena perjalanan proses seni rupa kita panjang. Karya seni rupa sebuah perjalanan panjang, dari tradisi,

Selain itu, ada nama perupa lainnya, seperti Gogor Purwoko, MasPadhik, Sahat Simatupang, Ibnu Nurwanto, dan Iconk (Muhammad Faisal). “Kita harus berpikir komprehensif, tidak sepenggal, dan egosentris. Barulah nanti kita akan menelurkan sejarah yang utuh,” tuturnya. Di lantai dua tempat tinggal yang bersebelahan dengan kediaman anaknya, Sri Warso Wahono juga tetap melukis. Berjejer lukisan dan sketsa yang mencapai ratusan jumlahnya. Perjalanan dia dari melukis abstrak, hingga figural diperlihatkannya. Dengan mengenakan kaus berlengan dengan motif batik bunga, Sri Warso Wahono tampil santai memperlihatkan perjalanan dia dalam berkarya. Di luar perannya sebagai pengamat dan komentator bagi perupa yang lain, Sri Warso memang berkarya. Setelah melukis abstrak, figural, sketsa, drawing yang di kertas ditempelkan ke kanvas, dia kini mempersiapkan karya abstrak bercorak dekoratif untuk persiapan pamerannya. Karya terakhirnya saat ini adalah tinta di atas kertas serta akrilik di atas kanvas. Semuanya menggunakan warna hitamhalaman 51


putih. “Saya belum bisa perlihatkan karya hitam-putih di atas kanvas kepada Anda,” ujar penyuka tokoh aliran abstrak Wassily Kandinsky itu, tersenyum penuh rahasia. Sri Warso mendambakan galeri pribadi untuk karya-karyanya yang sebagian bertumpuk dan berserak itu. Namun, dia tetap mengaku ingin terus mengikuti arus perjalanan seni rupa Indonesia hingga saat ini.

Keberadaannya dalam sejarah seni rupa tetap ingin membuatnya menghargai juga perjalanan dan kekuatan para seniman saat ini. “Namun yang paling utama adalah saya mengharapkan keberadaan museum seni rupa milik negara. Itu karena karya-karyanya cukup banyak hingga saat ini. “Pada 1985 saya berhenti karena saya menjabat sebagai pengurus di Dewan Kesenian Jakarta,” ujarnya. “Namun saya tetap merindukannya,” tambahnya.*** (Red. dari berbagai sumber)

Lukisan karya Sri Warso Wahono berjudul kasih sayang, Int.

P

halaman 52


Senirupa Jiran

Syed Ahmad Jamal (Bapak Seni Lukis Melayu Modern) oleh: Faizal Sidik

yed Ahmad Ah Jamal dilahi dilahirkan pada 19 September 1929 di bandar Maharani Johor. Beliau mendapat pendidikan awal di Sekolah Tambatan Rendah dari tahun 1936 hingga 1938. Kemudian beliau melanjutkan persekolahannya di Sekolah Tambatan Tinggi pada tahun 1939; Ngee Heng English School, 1940; Bukit Zahra English School dan English College, Johor Bahru hingga tahun 1949.

1957, beliau menjadi pensyarah di Maktab Perguruan Harian, Kuala Lumpur. Diantara tahun 1958 hingga 1959, beliau menjadi pensyarah di Malayan Teacher’ College, Kirby, Lancs, United Kingdom dan pulang semula ke Maktab Perguruan Harian, Kuala Lumpur pada tahun 1960. Pada tahun 1951 hingga 1963, beliau bertugas sebagai Ketua Jabatan Pendidikan Seni di Maktab Perguruan Ilmu Khas, Cheras.

Beliau mendapat beasiswa Sultan Ibrahim dan dengan beasiswa tersebut beliau telah melanjutkan pelajaran di Birmingham School of Architecture pada tahun 1950. Pada tahun 1951 hingga 1955, beliau melanjutkan pelajaran di Chelsea School of Art, London. Setahun kemudian beliau belajar pula di Institute of Education, London University. Semasa di Chelsea School of Art, beliau memenangi beberapa hadiah dalam lomba seni lukis.

Syed Ahmad Jamal merupakan nama yang amat sinonim dengan seni lukis Malaysia. Beliau adalah merupakan pelopor gerakan ekspresionisme abstrak di negara ini. Syed Ahmad Jamal merupakan seorang tokoh di dalam seni lukis yang paling berjaya di negara ini. Beliau mempunyai ketokohan dalam bidang berikut seperti sebagai pelukis, penulis, pereka, pendidik dan pemimpin seni.

Setelah pulang dari England, beliau menjadi guru di High School, Batu Pahat, Johor dari tahun 1956 hingga 1957. Pada tahun

Kebolehan yang merentasi pelbagai disiplin yang dimiliki menjadikan beliau sebagai sumber idea dan dalam menjana perkem-bangan seni lukis tanahair. Ilmu

halaman 53


kesarjanaan dalam seni lukis serta falsafah dan estetika Melayu yang dipegang, menjadikan beliau tempat rujukan kepada pelajar, ahli akademik, dan pengiat seni lukis ( pelukis, kurator, galeri dan kolektor) di Malaysia. Di kalangan pelukis tanahair, Syed Ahmad Jamal telah dianggap sebagai pelopor seni lukis abstrak yang bernada nusantara bermula pada tahun-tahun 1960 an dan 1970 an. Beliau mengetuai Wednesday Art Group dan Art Council Malaysia pada awal tahun 1960 an. Beliau juga pernah menjadi pensyarah tamu Universiti Malaya pada 1975 hingga 1979, kewibawaan dan kepimpinan beliau mula terserlah dimana beliau dilantik menjadi Pengarah Pusat Kebudayaan Universiti Malaya yang pertama daripada 1979 hingga 1983 dengan mengasaskan kepada penubuhan Muzium Seni Asia di Universiti Malaya sebelum menerajui sebagai Pengarah Balai Seni Lukis Negara pada 1983 hingga 1991. Kepimpinan dan kewibawaan Syed Ahmad Jamal di dalam bidang seni lukis sememangnya telah terbukti. Beliau telah di beri kepercayaan dan penghormatan untuk menjadi Ahli Lembaga Pengarah, Ahli Lembaga Penasihat dan Pengerusi kepada pertubuhan dan agensi-agensi kerajaan yang berkaitan dengan bidang seni visual ini. Sebagai budayawan yang mempunyai cara pandangan dan falsafah kesenian Melayu yang halus, beliau menterjemahkan pengalaman ini melalui bukunya yang bertajuk ‘Rupa dan Jiwa’ terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka semasa menjadi karyawan tamu dan penyelidik di DBP pada 1991-1992, beliau telah melukiskan pengamatannya terhadap unsur-unsur kesenian dalam nilainilai dan kebudayaan Melayu. Beliau juga cuba menggarapkan semula aspek rupa dan

halaman 54

bentuk sesuatu unsur kepada seni rupa Melayu ini diolah dengan pengalaman bahasa seni yang bersifat sejagat melalui bentuk, gaya, gerak dan corak. Bakat Syed Ahmad Jamal terserlah, beliau adalah pelukis yang terkenal serta mendapat sanjungan masyarakat seni dalam dan luar negeri. Antara kebolehan beliau ialah melukis dengan menggunakan pemikiran ilmu dan pengalaman berasaskan falsafah serta nilai-nilai Melayu. Beliau juga terlibat dalam membuat ‘Dasar dan Pemikiran’ tentang program dan pentadbiran kepada masyarakat umum. Selain daripada itu beliau juga terlibat dalam kritikan seni dan menulis berbagai kertas kerja, katalog pameran, majalah dan media massa. Menyentuh tentang pengkaryaan beliau, ketika di London aliran ekspressionis dan ekspressinisme abstrak sedang melanda England itu. Gerakan tadi merupakan satu yang amat baru bagi beliau dan benarbenar memikat cara beliau berkarya. Beliau meminati ekspressionisme kerana ia menyedarkan satu landasan baru bagi menentukan arah dan tujuan arah seni secara perseorangan atau individu yang berbeza sedikit dengan seni tradisional yang bekerja secara berkelompok. Untuk mengetahui perkembangan seseorang seniman atau artis rasanya tidak lengkap jikatidak melihatsentuhan-sentuhan awal penerokaanya iaitu di sekitar tahun 1950 an. Lukisan-lukisan berwajah herot dan


seolah –olah beliau sedang bergelut dengan dirinya sendiri. Tahun 1970an menampilkan karya-karya kreatif dan memperlihatkan transformasi dalam kebebasan berkarya contohnya karya ‘Conference of Soul’ (1970) bertolak dari puisi ‘Sidang Roh’ karya penyair Kassim Ahmad yang pernah menjadi polimik dunia kesusasteraan pada ketika itu. Karya ini dihasilkan selepas tragedi 1969 berkenaan dengan pengertian terhadap kebenaran yang sentiasa berubah mengikut kehendak dan selera semasa. Syed Ahmad Jamal di samping lukisannya, int

abstrak yang bertunjangkan unsur tanahair cuba dihasilkan ketika masih menuntut di sana. Perubahan awal menggunakan kaedah tersebut melihatkan kejayaan awalnya apabila berjaya menghasilkan karya penting di awal karier iaitu ‘Mandi Laut’ (1957). Karya ini merupakan titik permulaan bagi Syed Ahmad Jamal untuk menempuh sejarah yang lebih gemilang dalam bidang seni lukis dengan pameran solo pertamanya di British Council, Kuala Lumpur pada tahun 1960. Dekad 1960 an memperlihatkan fenomena abstrak ekspresionistik yang sangat dominan. Karya-karyanya mula menampilkan imej-imej abstrak dalam latar budaya setempat. Karya ‘Starry Night’ (1961), ‘Relationship’ (1964), ‘Lost’ (1965) ‘19.9.65’(1965) memperlihatkan ledakan tenaga abstrak ekspressionistik yang lincah, kental, padu dalam sapuan berus yang agresif dalam warna-warna ekspresif yang meninggalkan impak visual yang mempersonakan. Warna dan imej yang digunakan dalam beberapa karya-karya pada tahun 1960 an menganggu ketenteramana psikologi

Dalam karier sebagai pelukis siri ‘Gunung Ledang memuncakkan nama Syed Ahmad Jamal dalam menghasilkan karya-karya besar kepada khazanah negara seperti dalam ‘Semangat Ledang’. Pada tahap ini lukisannya amat bertenaga melambangkan keunggulan kaedah dan pemikiran yang didokongnya selama ini. Siri ‘Gunung Ledang’ mempertemukan dunia mistik kisah Puteri Gunung Ledang yang terdapat di dalam teks Sejarah Melayu yang berwajah tempatan kepada aspek penceritaan berkonsepkan barat iaitu dalam format catan. Walaupun mendapat pendidikan Barat dalam bidang seni halus namun seniman Syed Ahmad Jamal tetap mengkagumi akar tradisi budaya Melayu untuk turut sama berada dalam setiap pengkaryaanya . Pada sekitar 1980 an maka lahirlah “Siri Songket” imej dari seni kraftangan anyaman tikar mengkuang mula tercipta seperti ‘Energy Mat’ (1980), ‘Terengganu’ (1986), ‘Siri Gunung Ledang’ (1987) dalam memaparkan keindahan tenunan tekstil Melayu tradisi yang diwarisi sejak turun temurun lagi. Bentuk segitiga begitu dominan pada era ini, boleh dikatakan bentuk segitiga itu adalah motif pucuk rebung yang begitu banyak

halaman 55


dalam rekabentuk tradisional masyarakat Melayu. Ia dianggap sebagai simbol kepada kesuburan, satu penyataan yang bersesuaian dengan kenyataan mengenai Gunung Ledang. Beliau seterusnya menyatakan bahawa motif segitiga tersebut menyerupai pohon hayat dan bunga semangat sebagai manifestasi alam semulajadi yang begitu dekat dengan rantau Asia Tenggara ini. Tahun awal tahun 1990 an, Syed Ahmad Jamal bersara dari perkhidmatan awam. Hal ini memberikan beliau begitu banyak masa untuk terus bergerak aktif secara sepenuh masa dalam seni lukis pada pertengahan karier . Penglibatan yang tidak mengenal jemu selama enam puluh tahun berkarier dengan seni ini telah memberi peluang kepada beliau untuk menyumbangkan ke arah pembinaan dan perkembangan seni lukis moden Malaysia. Berdasarkan sumbangan penting beliau itulah kerajaan menganugerahkan Anugerah Seni Negara kepada beliau pada 1995 iaitu anugerah seni tertinggi Malaysia yang membawa gelaran Seniman Negara. Era ini memperlihatkan pula satu pendekatan yang berlainan pada karya-karya Syed Ahmad Jamal sebelumnya. Karya-karya beliau sangat mesra menyentuh isu sosial politik negara dan dunia luar di akhir tahun 1990 an. Selepas itu beliau terus menaburkan baktinya kepada keseniaan negara dan pengorbanannya dihargai apabila dianugerahkan pingat Paglima Jasa Negara yang membawa gelaran Datuk pada 1996. Pada tahun 2005 beliau menerima pengiktirafan sebagai Doktor (Kepujian) Pendidikan Seni oleh Universiti Sultan Idris (UPSI). Pengkaryaan Syed Ahmad Jamal mula berarah kepada manifestasi ketuhanan di akhir-akhir kariernya.

halaman 56

Penghormatan institusi seni utama negara untuk mengadakan pameran retrospektif yang mempamerkan semula hasil karya beliau selama berkarier selama enam puluh tahun bertajuk ‘Syed Ahmad Jamal: Pelukis’ adalah pameran solo terbesar dan terakhir oleh beliau pada tahun 2009 di Balai Seni Visual Negara . Dua tahun kemudian pada tanggal 31 Julai 2011 Seniman Negara Datuk Syed Ahmad Jamal meninggalkan dunia pada usia 82 tahun. Segala jasa dan ketokohan beliau dalam membangunkan seni lukis Malaysia akan dikenang sepanjang zaman oleh generasi seni visual di masa depan. Semoga rohnya diletakkan dikalangan orang yang terpilih. Amin. Penghargaan 1950 ‘Sultan Ibrahim Scholarship’ 1962 ‘Indian Council for Cultural Relations’ 1963-1964 ‘United State Department Award’ 1969 Ahli Mangku Negara 1970 ‘Alliance Francaise Medallion’ 1973 ‘East-West Centre Award’ 1983 Kesatria Mangku Negara 1984 ‘Australia Cultural Award’ 1987 ‘Cultural Award (Visual Art)’ 1995 Anugerah Seni Negara 1996 Panglima Jasa Negara 2005 Doktor (Kepujian) Pendidikan Seni, Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) 2008-2009 Pelukis Tamu, Balai Seni Visual Negara, Kuala Lumpur (Red. Internet)

P


Nobel sastra 2014

Nobel Sastra Kembali ke Perancis Patrick Modiano Raih Hadiah Bergengsi Tahun Ini oleh Dantje S Moeis

ovelis Perancis Patrick Modiano (69 tahun) telah memenangkan Hadiah Nobel Sastra 2014 Di Stockholm, Akademi Nobel Swedia hari Kamis (9/10) mengatakan bahwa pihaknya memberikan $1,1 juta kepada Novelis Perancis Patrick Modiano “atas seni ingatan yang digunakannya untuk membangkitkan nasib manusia yang paling tidak bisa dipahami” sambil mengungkap kehidupan di bawah kontrol Jerman. Modiano lahir di pinggiran kota Paris pada bulan Juli 1945, dua bulan setelah Perang Dunia Kedua berakhir di Eropa. Ayahnya adalah keturunan Yahudi-Italia dan bertemu dengan ibunya, seorang aktris Belgia selama pendudukan Nazi di Paris. Warna Yahudi, pendudukan Nazi

dan hilangnya identitas merupakan tema-tema dalam novel-novel Modiano. Salah satu karyanya pada tahun 1968 “La Place de l’Etoile,” dipuji di Jerman sebagai bagian penting dari literatur pasca-Holocaust. Beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, termasuk novel “A Trace of Malice,” “Honeymoon” dan “Missing Person.” Modiano menjadi penerima Hadiah Nobel Sastra ke-107, dan pemenang ke-11 dari Perancis. Dia bergabung dengan para penulis terkenal seperti John Steinbeck, William Faulkner dan Pablo Neruda. Pada Perhelatan Nobel bidang sastra tahun ini, saat memasuki tahap penjurian. Beberapa nama penulis dunia dipertimbangkan untuk masuk nominasi

halaman 57


dan beberapa nama dikalkulasikan sebagai pemenangnya. Para pembincangnya, termasuk kami para pengasuh majalah budaya “Sagang” dan beberapa seniman, sastrawan yang kerap berbual tentang perkembangan sastra dan topik menarik termasuk perihal peraih nobel sastra tahun ini. Menurut perusahaan Ladbrokes (Nama Ladbrokes identik dengan taruhan dan game dan merupakan ciri khas merek utama. Perusahaan telah dimulai sekitar tahun 1886, mempekerjakan lebih dari 14.000 orang di Inggris dan total lebih dari 16.000orang. Ini adalah salah satu perusahaan taruhan terkemuka di dunia), seperti dikutip dari Guardian, posisi pertama ditempati oleh penulis asal Kenya Ngugi wa Thiong’o. “Sampai tahap ini para dewan juri menyukai karya-karya Ngungi,” ujar juru bicara Ladbrokes Alex Donohue, Jumat (5/9/2014). Ngungi menulis sebuah novel di atas tisu toilet saat ia mendekam di penjara yang berjudul ‘Caitani Mutharabaini (Devil on the Cross), diikuti oleh novel lainnya yang berjudul ‘Ngaahika Ndeenda (I Will Marry When I Want) yang mengkritisi ketidakadilan yang dialami masyarakat Kenya. Namanya sudah menjadi favorit sejak 2010 silam, tapi saat itu anugerah Nobel dihadiahkan kepada Tomas Transtromer. Sedangkan favorit lainnya jatuh kepada novelis asal Jepang Haruki Murakami. Sejak tahun 2010, penulis ‘Norwegian Wood’ dan ‘1Q84’ tersebut sudah disebut-sebut sebagai pemenang Nobel. Ia mampu membuat para kritikus sastra dunia terkesan dengan karya yang mengeksplorasi absurditas dan kesepian di dunia modern. Novel-novel Murakami telah diterjemahkan ke dalam 40

halaman 58

bahasa lainnya selain Jepang dan Inggris. Nama novelis Philip Roth juga menjadi pertimbangan dengan novelnya ‘Nemesis’. Namun pecinta sastra banyak yang memprediksi nama Bob Dylan akan keluar sebagai nominasi peraih Nobel 2014. “Seperti biasanya ada yang berpikir tahun ini akan menjadi tahunnya Bob Dylan tapi kita juga belum tahu,” ujarnya. Pada Mei tahun silam, Bob Dylan menjadi salah satu penerima penghargaan sipil tertinggi di Amerika Serikat, yakni Medal of Freedom. Penghargaan ini langsung diberikan Presiden Barack Obama di Gedung Putih, di hadapan sejumlah tamu serta media. Pemilik nama asli Robert Allen Zimmerman lahir di Duluth, Minnesota, Amerika Serikat, 24 Mei 1941. Ia kemudian terkenal sebagai penyanyi, penulis lagu, musikus dan penyair Amerika yang sumbangannya terhadap musik Amerika bertahan lama. Ini dapat dibandingkan, dalam kemasyhuran dan pengaruhnya, dengan karya-karya Stephen Foster, Irving Berlin, Woody Guthrie, Bruce. Namun Akademi Swedia sebagai penyelenggara akan tetap merahasiakan para nominasi dan proses penjurian, sehingga khalayak hanya dapat mendugaduga hingga akhirnya, sungguh diluar dugaan bahwa anugerah bergengsi yang menjadi dambaan banyak penulis sastra dunia ini, diraih oleh seorang Patrick Modiano yang karya-karyanya akan menjadi objek perburuan yang tentunya agar lebih meyakinkan setiap individu dalam menilai dan tentu saja tak terlepas dari unsur subjektif dalam ruang dialog, juga sebagai alat pengkayaan wawasan bersastra.***


Anugerah Sagang 2014

Menan! Anugerah Sagang 2014

ep eperti tahun-tahun ahun-tahun yang ya lampau, mpau, kem kembalii tahun ini (2014), Yayasan Sagang ang akan memberikan penghargaan kepada budayawan, seniman dan karya-karya mereka. Penghargaan yang dibungkus dengan nama Anugerah rah Sagang sudah mulai membuka penerimaan nerimaan usulan dari masyarakat maupun pribadi mulai tanggal 1 Agustus ustus dan berakhir pada 311 Agustus 2014.. gan tahun yang lalu, Sama dengan ng akan menerima Yayasan Sagang usulan dari masyarakat atau pun dari individu calon penerima penghargan ini. Adapun ghargaan yang akan kategori penghargaan diberikan; halaman halama ha man ma n 59


1. Seniman/Budayawan - Berdomisili di daerah Riau - Memikili karya yang berpengaruh - Memiliki dedikasi (tunak)sebagai seniman/budayawan - Mengirimkan biodata riwayat hidup, khususnya sebagai seniman/ budayawan 2. Buku Pilihan - Penulis berdomisili di Pekanbaru - Berupa buku sastra maupun buku yang membahas tentang seni, budaya Melayu, diutamakan Melayu Riau - Mengirimkan biodata riwayat hidup, khususnya sebagai penulis 3. Karya Non-buku - Karya seniman/budayawan yang berdomisili di Riau - Karya berhubungan dengan seni – budaya Melayu, diutamakan Melayu Riau - Bentuk karya bisa berupa karya musik (dalam bentuk pita kaset atau piringan VCD/laser) karya seni teater, karya seni tari, seni rupa dan lain-lain. - Mengirimkan biodata riwayat hidup berkesenian 4. Institusi atau Lembaga Seni Budaya - Berada di daerah Riau - Bergerak di bidang seni budaya Melayu, diutamakan Melayu Riau - Karya pengabdiannya dinilai memperkaya kehidupan kesenian/ kebudayaan Melayu - Mengirimkan biodata riwayat aktivitas institusi/lembaga 5. Seniman Serantau - Berdomisili di luar daerah Riau

halaman 60

- Sejak lama memiliki perhatian terhadap seni budaya Melayu, diutamakan Melayu Riau - Memiliki karya yang berhubungan dengan seni budaya Melayu, diutamakan Melayu Riau - Mengirimkan biodata riwayat hidup 6. Karya Jurnalistik Budaya - Berbentuk laporan jurnalistik (feature) tentang budaya Melayu, diutamakan Melayu Riau - Sudah diterbitkan/disiarkan di media cetak maupun elektronik (Surat kabar harian, mingguan, tabloid, majalah, televisi, dan media internet) yang diterbitkan/disiarkan di mana pun - Wartawan aktif yang dibuktikan dengan dengan kartu pers yang masih berlaku atau surat keterangan dari pemimpin redaksi tempat yang bersangkutan bekerja - Mengirimkan biodata riwayat hidup 7. Karya Penelitian Budaya - Peneliti berdomisili di Riau - Hasil penelitian berkaitan dengan seni budaya Melayu, diutamakan Melayu Riau - Hasil penelitian sudah dipublikasikan - Mengirimkan biodata riwayat hidup, khususnya sebagai peneliti Usulan dari masyarakat untuk semua kategori Pilihan Sagang tersebut dapat dikirim ke Panitia Anugrah Sagang 2014, paling lambat 31 Agustus 2014, dengan alamat: Gedung Riau Pos Group, Lantai 2, Jalan Subrantas Km 10.5, Pekanbaru. Sementara berdasarkan hasil seleksi tertapis, nama-nama yang dikategorikan sebagai nominator Anugerah Sagang


2014 telah diumumkan 8 Oktober 2014, setelah melalui rangkaian rapat seleksi dan penilaian, tim penilai akhirnya menetapkan nominator penerima Anugerah Sagang 2014. Ada sebanyak 41 nominator untuk tujuh kategori sebagai calon penerima penghargaan bergengsi di bidang seni budaya tajaan Riau Pos dan Yayasan Sagang ini. Untuk kategori Seniman/ Budayawan Pilihan Sagang, tim penilai menjaring puluhan nama, yang disaring menjadi 10 nominator untuk mereka yang dianggap memiliki karya berpengaruh serta berdedikasi dan tunak sebagai seniman/ budayawan. Ke-10 nominator untuk kategori ini adalah: 1. Gde Agung Lontar 2. Fedli Azis 3. Hang Kafrawi

Kategori Buku Pilihan Sagang, tim penilai juga memutuskan lima calon penerima. Mereka yang masuk kategori ini diutamakan penulis yang berdomisili di Riau dan karyanya berupa buku sastra maupun buku seni-budaya Melayu, terutama Melayu Riau. Lima nominatornya adalah buku berjudul: 1. Lelaki Pemanggul Gurindam (Bambang Kariyawan, 2013), 2. Luka Tanah (Hary B Koriun, 2013) 3. Metropolis: Dari Payung Sekaki ke Bangsawan Malik (Gde Agung Lontar, 2014) 4. Tangisan Tanah Ulayat (Ahmad Ijazi H, 2014) 5. Timang-Timang Nak Ditimang Sayang (Jefry Al Malay, 2014).

9. Zulfandri Zainal

Untuk kategori Institusi/Lembaga Seni Budaya Pilihan Sagang, tim penilai memilih lima nominator yang berada di Riau, bergerak di bidang seni budaya Melayu terutama Riau, yang karya pengabdiannya dinilai memperkaya kehidupan kesenian/ kebudayaan Melayu. Kelimanya adalah:

10. Junaidi Syam.

1. Keletah Budak (Teater)

Pada kategori Seniman Serantau Pilihan Sagang, tim penilai memilih lima nama yang berdomisili di luar Riau namun sejak lama memiliki karya dan perhatian yang berhubungan dengan seni budaya Melayu, terutama Melayu Riau. Lima nama yang dinominasikan adalah:

2. Sanggar Bathin Galang

4. Hary B Koriun 5. Dr Junaidi 6. Kunni Masrohanti 7. Salimi Yusuf 8. Musa Ismail

1. Prof Zainal Borhan (Malaysia) 2. Aswandi Syahri (Kepulauan Riau) 3. Mukjizah (Jakarta) 4. Yayasan Panggung Melayu (Jakarta) 5. Will Derks (Belanda).

(Sanggar Seni, Meranti) 3. Rumah Sunting (Teater) 4. Riau Rhytm Chamber (Musik) 5. Matan (Teater). Pada kategori Karya Non-buku Pilihan Sagang, tim penilai menyeleksi karya seniman/budayawan yang ada di Riau, di mana karyanya berhubungan dengan senibudaya Melayu khususnya Melayu Riau, baik itu karya musik, teater, koreograďŹ , seni rupa dan sebagainya. Lima nominatornya adalah:

halaman 61


1. Jejak Suara Suvarnadvipa (Video Musik, Tito Aldila, Mbay) 2. Motif Batik Suku Laut Duanu (Seni Rupa, Haryono) 3. Serikat Kaca Mata Hitam (Pementasan Teater, Matan) 4. Seulas Nangka (Pementasan Teater, GP Ade Dharmawi) 5. Tamis Kak Mi (VCD Lagu Suku Laut Duanu, Haryono). Sementara kategori keenam, Karya Penelitian Budaya Pilihan Sagang, yang merupakan hasil penelitian berkaitan dengan seni-budaya Melayu, terutama Melayu Riau dan sudah dipublikasikan. Nominatornya adalah: 1. Duanu Menongkah Resah (Agus Sri Danardhana, Dessy Wahyuni dkk) 2. Makna Tradisi Bakar Tongkang Masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi (Suatu Penelitian Budaya Adaptif Menjadi Pola Akulturatif Terhadap Budaya Pesisir) (Nyoto) 3. Sejarah Perkembangan Kesusastraan Melayu Serta Kedudukannya dalam Tamadun Islam (Sebuah Tinjauan Semangat Kemelayuan) (Parlindungan) 4. Tiga Lorong, Teguh Berdiri di Tengah Persimpangan Riuh Ramai (Junaidi Syam dkk) 5. Orang Melayu dalam Kancah Globalisasi (Prof Isjoni). Kategori ketujuh, Karya Jurnalistik Budaya Pilihan Sagang, yang merupakan karya jurnalistik wartawan aktif, berupa laporan jurnalistik (feature) tentang budaya Melayu dan sudah dipublikasikan. Nominatornya adalah: 1. Tari Inai Palika

halaman 62

(Majalah Outsiders, 2014) 2. Mak Yong, Seni Teater Rakyat yang Membingkai Melayu (Kris R Mada, Kompas, 22 Maret 2014) 3. Kearifan Lokal Menjaga Rimbo Larangan Martir dari Kuantan (Desriandi Candra, Riau Pos , 28 April 2014) 4. Songket Melayu Kampung Transmigrasi (Majalah Forum Keadilan, 25 Agustus 2014) 5. Melayu Tua yang Menunggu Punah (M. Amin, Majalah Riaupos.co), dan Raja Ali Haji: Peletak Dasar Tata Bahasa Melayu (Fenny Ambaratih, Majalah Batampos.co, Oktober 2013) Peserta Antusias, Diserahkan November Resepsi dan penyerahan Anugerah Sagang 2014 ini sendiri, rencananya akan digelar pada medio November mendatang di Pekanbaru. Menjelang pelaksanaan resepsi, panitia dan tim penilai akan memutuskan dan mengumumkan siapa di antara nominator yang akan menerima anugerah bergengsi ini. Peserta tahun ini lebih banyak dibanding sebelumnya dan mereka sangat antusias, kata Rida K Liamsi, Ketua Tim Penilai, usai memimpin rapat tim itu di kantor Riau Pos, Pekanbaru, Sabtu lalu Menurut Rida, Anugerah Sagang merupakan pemberian penghargaan kepada sosok yang menunjukkan dedikasinya terhadap kehidupan berkesenian, semua karya yang dinilai unggul, berkualitas dan monumental, serta semua pemikiran yang mampu menggerakkan dinamika budaya Melayu. Anugerah yang didedikasikan Harian Riau Pos dan Yayasan Sagang ini, kini penyelenggaraannya sudah memasuki tahun ke-19 dan rutin terlaksana setiap tahun sejak pertama digelar tahun 1996. *** (red)


Obituari

Otong Lenon Maestro Lawak dari Riau Telah Berpulang

abar duka d kembali menyelimuti dunia komedian Tanah Air karena pelawak lawas Otong Lenon lahir di Kuansing-Riau, 14 April 1957. Kua Tutup usia , Pekanbaru, Senin 13 Oktober 2014. Kabar meninggalnya pria dengan tinggi 140 sentimeter itu diungkapkan komedian yang juga MC Iwel Sastra melalui akun Twitter miliknya. “Turut berduka cita dan selamat jalan pelawak tunggal luar biasa Otong Lenon,” tulis pelawak Iwel Sastra, @iwel_mc melalui akun Twitternya, beberapa menit lalu. Kabar duka tersebut langsung mendapat respon dari seniman Arya Sujiwo Tejo, yang langsung me-retweet kabar duka tersebut. “Met jalan Otong Lenon, sampai jumpa,” tulis Arya Sujiwo Tejo @sudjiwotedjo. Sekadar diketahui, Otong Lenon meninggal di RSUD Pekanbaru, Riau, hari ini, Senin (13/10/2014) pukul 00.05 WIB. Pria kelahiran Kuansing itu mengawali karirnya

di film Si Doel Modern (1976) bersama pelawak legendaris Benyamin S. Tidak hanya itu, Otong pun mulai merambah ke seni teater lewat pementasan sandiwara yang diproduksi Teater Koma. Mengawali karir dalam dunia filmnya dengan bermain di film Si Doel Modern (1976). Pada saat itu usianya baru beranjak dewasa, 19 tahun. Namun karena faktor fisiknya yang mungil, ia mendapatkan peran sebagai anak kecil. Kemampuan beraktingnya ia asah dengan mengikuti pementasan sandiwara, produksi peme pe ment ntas asan an ssan andi diwa wara ra, pr prod oduk uksi si Teater Koma. Pada tahun 1997, ia bergabung dengan dua orang rekannya yang mempunyai fisik mungil, dan membentuk T r i o Semekot

halaman hala ha lama la man ma n 63


(Semeter Kotor). Karena postur tinggi mereka hanya lebih sedikit dari satu meter, mereka kerap disindir sebagai “semampai”, (semeter tak sampai) oleh rekan-rekan yang ikut dalam produksi film yang dibintangi H. Benyamin S “Ramai Mandi di Kali”. Baru kemudian meraih peran utama, yaitu dalam Bodoh-bodoh Mujur [1981]. Namun Otong tidak mengandalkan ke “semampai”nya belaka, melainkan juga mengasah diri lewat pementasan sandiwara yang diproduksi Teater Koma pimpinan N. Riantiarno. Dia ikut dari lakon Rumah Kertas [1977] hingga Suksesi [1990]. Pada 1997 Otong bertrio dengan dua rekan yang sama-sama “semampai”, dan berasal dari Riau pula. Grup itu dinamai Semekot [semeter kotor], yang sebetulnya merupakan kata “prokem” dari semampai. “Biar tubuh kami pendek-pendek, tetapi kami tidak akan menjual tubuh”, tegas Otong yang juara lomba lawak RRI pada 1981. Selamat jalan Bung Otong, semoga arwahmu di terima di sisi Allah. Amin.*** (red)

halaman 64

Tahun Baru Islam

Pimpinan dan Karyawan

Mengucapkan

Selamat Tahun Baru Islam

1436 Hijriah 25 Oktober 2014 1 Muharram 1436


halaman lxv


halaman lxvi


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.