Edisi194

Page 1

Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)

Esei:

Rehal:

Menuju Pusat Kesenian dan Kebudayaan yang Unggul

Sejarah Sumatra dan Aib

Catatan Kebudayaan untuk Anugerah Sagang 2014 oleh SPN Zuarman Ahmad

Tokoh: Vรกclav

Havel

Anugerah Sagang 2014: Cerita-Pendek:

Air Mata Mega oleh Adi Zamzam Mat Codet oleh Riza Multazam Luthfy

Jelang Malam Puncak Anugerah Sagang Komitmen Budaya

Cerita-Pendek Terjemahan:

Detak Jantung Keparat dalam Pikiran yang Meracau oleh Edgar Allan Poe Sajak:

- Nuruddin Zanky - Sir Saifa Abidillah

194 NOVEMBER 2014

www.majalahsagang.com

Drama:

Jeritan Indonesiaku oleh Rudolf Dayu MSC

halaman KULITi


halaman KULI KULITii LITi LI Tii Ti


Daftar Isi Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 194 lNOVEMBER 2014l tahun XVII

"Twilight Imago" Karya Abdul La!ff Mohidin Malaysia 1968. Woodcut print 78.5cm x 99.5cm. Sumber Int.

n Ahmad Baqi, Dihargai Oleh Negara Lain.2 n Esei Menuju Pusat Kesenian dan Kebudayaan yang Unggul Catatan Kebudayaan untuk Anugerah Sagang 2014 oleh SPN Zuarman Ahmad ........................3 n Cerita-Pendek - Air Mata Mega oleh Adi Zamzam........... 6 - Mat Codet oleh Riza Multazam Luthfy. 12 n Cerita-Pendek Terjemahan Detak Jantung Keparat Dalam Pikiran Yang Meracau oleh Edgar Allan Poe ................................ 18 n Sajak - Nuruddin Zanky .....................................25 - Sir Saifa Abidillah ................................... 33 n Drama Jeritan Indonesiaku oleh Rudolf Dayu MSC.............................47 n Rehal - Sejarah Sumatra......................................54 - Aib ...........................................................56 n Tokoh Václav Havel .............................................. 61 n Anugerah Sagang Jelang Malam Puncak Anugerah Sagang Komitmen Budaya ....................................62

Perintis: Rida K Liamsi l Pemimpin Umum: Armawi KH l Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto l Pemimpin Perusahaan: Dra. Erda Yulfi l Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks l Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad l Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH l Pra cetak: Rudi Yulisman l Ilustrator Tetap: Purwanto l Manager Keuangan: Erda Yulfi. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan cerita-pendek asli atau terjemahan. Panjang tulisan maksimal 5 (lima) halaman spasi rangkap. Karya terjemahan harus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


Tajuk Ahmad Baqi, Dihargai Oleh Negara Lain KETIKA masih sekolah dasar (SD) di Dalu-dalu, sekitar tahun 1970-an, saya bersama kawan-kawan membentuk orkes gambus yang tak bernama. Ide orkes gambus ini tentulah dari Orkes Gambus El Surayya, pimpinan Ahmad Baqi (alm), yang ketika itu lagu-lagunya merambah ke pelosok-pelosok negeri, terutama di Sumatra. Beberapa lagu Ahmad Baqi bersama Orkes Gambus El Surayya menjadi lagu wajib yang hapal, terutama orang-orang tua, wanita maupun laki-laki, sebut saja lagu Madah Terakhir, Selimut Putih, Pilihan Terakhir, Cita-cita, Petuah Guru, Pusara Kasih, dan lain-lain yang tidak terhitung, semuanya menjadi lagu pujaan orang ketika itu. Hampir semua lirik (syair) lagu Ahmad Baqi merupakan nasehat, berbentuk pantun yang semuanya menjadi isi (pantun kebanyakan yang biasa adalah berupa sampiran dan isi), misalnya: Kala berkayuh menuju pantai Kerap bersua ragam halangan Tidak semua hasrat kan sampai Kadang terbentur di tengah jalan Apa pentingnya pembicaraan tentang Ahmad Baqi (alm) dalam tajuk Majalah Budaya Sagang ini? Ketika masih di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, saya mendengar bahwa Ahmad Baqi diberi gelar Profesor Honoris Causa di bidang musik oleh Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, tetapi sekarang saya baru tahu, bahwa gelar kehormatan itu bukanlah dari USU medan, tetapi dari Pemerintah Malaysia tahun 1978, gelar yang diberikan Datuk Asri, Menteri Besar Malaysia. Tahun 1995, pemerintah Malaysia member Ahmad Baqi lagi gelar Datuk, oleh Menteri Besar Sabah. Dua tahun sebelum wafat, ia diberi gelar ASDK (Ahli Setia Darjah Kota Kinabalu) oleh kerajaan Sabah Malaysia (1997), ketika itu Ahmad

halaman 2

Baqi yang lahir pada 17 Juli 1922 sudah berusia 75 tahun. Menurut Ahmad Syauqi (satu dari beberapa anaknya), Ahmad Baqi ditawari untuk tinggal di Brunei, dengan fasilitas apa pun yang diminta oleh Ahmad Baqi akan dikabulkan oleh pemerintah Brunei, asal mau menularkan ilmu dan berkreasi di Brunei Darussalam, namun semua tawaran itu ditolak oleh Ahmad Baqi. Universitas Al Azhar, Cairo, Mesir, menganugerahkan kepada Ahmad Baqi sebuah Qanun (alatmusik petik Mesir) melalui Universitas Islam Sumatera Utara. Sementara di negeri Ahmad Baqi sendiri (menurut Syauqi, anaknya), hanya mendiang H Raja Inal Siregar, mantan gubernur Sumut. yang dikenal agamis, memberinya penghargaan Pembina Seni dan Budaya Sumatera Utara sebagai Komponis pada 5 April 1998. Karena itu, jangan disalahkan kalau master rekaman lagu Orkes Gambus El Surayya Ahmad Baqi, dipegang (mungkin lebih tepat diselamatkan) oleh Malaysia. Bila Izrail datang memanggil Jasad terbujur di pembaringan Sekujur tubuh akan menggigil Sekujur badan akan kedinginan Pada hari-hari akan meninggal-dunia, awal Syawal 1999, ketika akan menunaikan sembahyang tahajud, Ahmad Baqi menulis lagu terakhir “Tersiksa Dalam Kenangan”. Menjelang subuh, 20 Januari 1999, Ahmad Baqi menghembuskan nafas terakhirnya. Di atas meja kerjanya di pondok yang terletak di belakang rumahnya, terletak lagu terakhirnya lengkap dengan partiturnya. “Sahabat Biarlah daku pergi Berjalan menuju Pangkalan …” (Dari berbagai sumber)


Esei

Menuju Pusat Kesenian dan Kebudayaan yang Unggul Catatan Kebudayaan untuk Anugerah Sagang 2014 oleh SPN Zuarman Ahmad

ACQU Derrida dan Milan Kundera ACQUES meng mengemukakan bahwa meskipun pengal pengalaman akal merupakan pengalaman diri sendiri, tetapi sifatnya tetaplah relatif belaka. Karena itu kedua orang hebat ini menawarkan pemikiranpemikiran baru sebagai “pengetahuan baru” bagi dunia yang serba relatif itu. Seniman pencipta, sebenarnya berada dalam usaha di locus (tempat) yang disebutkan oleh Derrida dan Kundera itu. Seorang seniman pecipta; koreografer, komposer, sastrawan (pengarang novel, pengarang cerita-pendek, pengarang puisi), pelukis, pembuat naskah drama, dalam niat akal-nya yang awal ketika mencipta seni pastilah membuat sesuatu yang baru, genre maupun ide. Ketika lahirnya genre seni pantun, syair, zapin, makyong, mendu, randai Kuantan, bangsawan, gendang-gong, dan genre seni lainnya di kawasan Melayu, masyarakat biasa (penikmat) maupun masyarakat seni (pendukung) akan menganggapnya sesuatu

yang “baru”. Kalau kita mau menyigi dan menyimak, bahwa setiap zaman akan lahir pencipta seni yang mewakili suatu kesenian yang sifatnya “baru” itu, menurut masa dan zamannya. Dan para pencipta seni itu akan dikenang sebagai kenangan zaman. “Pusat” kesenian (infrastruktur) dan seniman penciptanya (pelaku) seyogyanya bertolak dari tawaran Derrida dan Kundera tentang pemikiran “pengetahuan” baru itu, jika tidak penciptaan kesenian itu menjadi biasa-biasa saja, refetitif (pengulangan), tak bermaya, tidak menjadi bahan pemikiran “pengetahuan” yang baru, dan bahkan tidak berusia lama. “Pusat” kesenian tidak hanya sekadar banyaknya jumlah kesenian (kwantitas), atau ramainya penampilan (event) kesenian yang diadakan maupun dira’ikan, akan tetapi akan menjadi tempat mata dan telinga senantiasa menuju (focus) dan sebagai bujanggi zamannya (kwalitas), sebagaimana halnya Ka’bah “sebagai” pusat religious badaniah umat Islam, walaupun halaman 3


“hati” secara makrifat merupakan “pusat” religious yang hakiki, dan kedua-duanya menuju ke Allah. Tetapi, dunia kesenian adalah dunia nyata, dan bukan dunia fiktif, walaupun dasar pikiran untuk menciptakannya dimulai dari konsep “dunia” fiktif imajinatif. Riau, Pekanbaru sebagai pusat kota, yang “diimpikan” atau dihajati (?) sebagai “pusat” kesenian Melayu di Asia Tenggara, jika dihitung dari penampilan atau pera’ian atau banyaknya seni yang diciptakan, sudahkah menjadi “pusat” kesenian? Harus ada penelitian atau catatan yang menyatakan tentang hal itu, tidak hanya kwantitas tetapi kwalitas. Juga harus ada penelitian atau catatan pada kesenian yang berada di luar Pekanbaru, Riau (kwantitas dan kwalitas), sehingga ada data yang nyata (pasti dan jelas) yang kemudian dapat dibuat menjadi suatu kesimpulan; dan seni kwalitas-lah yang akan dapat menjadi “pusat” yang menjadi impian itu. Jika tidak, dapat dipastikan, bahwa cita-cita (pemikiran) visi orang Melayu itu (terutama Riau) hanya akan menjadi anganangan “Pak Belalang”, “Lebai Malang”, “Yong Dolah”, yang hanya ada di dalam cerita penglipur lara. Gedung pertunjukkan yang memfasilitasi semua kehendak seni dan seniman, merupakan sesuatu yang mutlak pada dunia yang serba modern ini. Jika ada orang yang membantah pernyataan ini, bahwa kesenian dan seniman “dahulu” tidak memerlukan fasilitas modern itu, tetapi lahir juga seni yang bermutu dan menjadi “genre” pada zamannya, bahkan hingga ke hari ini; jawabannya adalah tidak salah. Namun, seni dan seniman akan beradaptasi menurut masa dan zamannya. Apakah pemain musik sekarang akan memakai mikrofon dan

halaman 4

speaker Toa seperti penulis (misalnya) main alat-musik “jazz” (drum) pada waktu penulis masih sekolah dasar (sd), atau masih akan memakai gitar engkol tanpa effect gitar (alatbantu/ sound gitar) ketika tahun 1970-an? Ketika itu wajar saja, karena itulah teknologi zamannya, pun juga, waktu itu alam lingkungan masih “agak” sunyi, tidak ada mobil dan suara-suara teknologi lainnya, sehingga permainan orkes pada waktu itu (yang teknologinya masih rendah) menjadi focus dan dapat dinikmati oleh pendengar/ penonton. Dan apakah pemain musik sekarang akan memakai juga sound-system Toa seperti “dahulu kala” itu? Atau pemain drama (sandiwara) zaman ini masih akan memakai lampu strongkeng (petromak) sebagai tata-cahayanya? Atau, menulis puisi, novel, cerita-pendek, masih akan memakai mesin ketik, seperti dahulu kala? Jadi? Jadi, penunjang pertunjukkan kesenian pada zaman modern sekarang ini adalah menurut masa dan zamannya, dan setiap masa dan zaman juga, dan tidaklah akan sama. Dahulu, penampilan kesenian di udara terbuka, sehingga udara segar yang masih asri masih sejuk dan nyaman, dan masa ini, di dalam gedung pertunjukkan yang modern, apakah tidak memakai AC, seperti gedung pertunjukkan kesenian Pekanbaru, Anjung Seni Idrus Tintin kita? Ngggalah. Pembangunan kesenian dan kebudayaan pada zaman modern ini antara satu dan lainnya saling berkait-kelindan -- saling memerlukan. Di Australia, pemerintah membuat Sydney Opera House yang terkenal di dunia itu, Esplanade di Singapura, Hoolywood di Amerika, Boolywood di India, Vienna State Opera di Austria, Royal Albert Hall di London Inggeris, Walt Disney Concert Hall di Los Angeles California USA, National


Grand Theater Beijing di China Perancis, Bolshoi Teatre di Moskow Rusia, Harmony Hall di Fukui Japan, Carnegie di Hall di New York City, dan di negara-negara maju lainnya di dunia, dengan pengelolaan dan pemeliharaan yang bagus. Gedung kesenian, yang diperlukan tidaklah hanya “rancak di lebuh”, tetapi fasilitas di dalam gedungnya tersedia menurut ukuran manusia modern sekarang ini. Namun, gedung kesenian yang modern dengan segala fasilitasnya, tidak cukup untuk memenuhi pembangunan kesenian. Harus lahir kreator (pencipta) seni yang juga bermutu, menjadi pusat perhatian (“Pusat Tasik Pauh Janggi”), dan menjadi kenangan zamannya, bahkan melampaui zaman berzaman, seperti karya-karya Mozart dan Beethoven di Austria; Goethe, Arnold Scoenbergh di Jerman, Tchaikovsky di Rusia, Beberapa penciptaan kesenian saja “seperti” yang ditawarkan Derrida dan Kundera itu lahir, akan menjadi “pusat” kesenian (tempat mata terus tertuju) yang sesungguhnya, yakni pemikiran-pemikiran “pengetahuan” baru. Dalam pada itu, seniman sebagai “ujung lembing” kesenian dan kebudayaan, terutama pada alam Melayu (Riau) harus menjadi perhatian yang sangat. Melayu Malaysia sudah mengadakan langkahlangkah maju menuju pembangunan kesenian dan kebudayaannya. Sebut saja penerima anugerah Sasterawan Negara Malaysia oleh pemerintah Malaysia memberi kemudahan pada penerima anugerah sasterawan menerbitkan karyanya dengan bantuan dana RM 500,000, setidaknya sejak tahun 2003, dan sejumlah fasilitas lainnya. Bahwa bagi penerima anugerah seni/ budaya (apa pun namanya), ada penghargaan yang lebih penting setelah diberi anugerah

berupa piala (copa), sertifikat, dan sejumlah dana yang berupa seremonial itu, yaitu si penerima anugerah itu merasa dihargai tidak hanya pada acara seremonial itu, tetapi periode sesudahnya yang merupakan kesulitan dirinya melahirkan karya sebelum diberi anugerah, karena kalau sesudah diberi anugerah tetap merasa kesulitan untuk melahirkan karya secara financial (terutama dana) maka seperti sia-sia ia atau dia mendapatkan anugerah itu. Bandingkan dengan penerima hadiah nobel bidang sastra, atau yang lebih dekat, penerima anugerah sasterawan Negara di Malaysia. Bagi seniman, yang terpenting adalah “laman tempat bermain”, dan mereka dapat makan dan minum -- tidak lapar dan kehausan, dan kalau mendapat fasilitas ketika melahirkan karya, sehingga karyakarya seni itu akan bermutu dan menjadi kenangan zaman, paling kurang pada zamannya sendiri, syukur-syukur melampaui zamannya. Pada segala itu, sebagai renungan, Milan Kundera mengingatkan kita pada “tandatanda” dan “pencarian” bagi penciptaan kesenian yang baru itu: “Qui se cherchent agrave; travers la memoire des vieux signes”. Yaitu, “Siapa yang mencari lebih jauh; akan menempuh ingatan-ingatan tentang tandatanda kuno.” Tahniah Anugerah Sagang. *** SPN Zuarman Ahmad adalah komposer dan penulis yang rajin menghasilkan karya-karya musik dan juga tulisan berupa esai dan cepen. Bermastautin di Kota Bertuah Pekanbaru.

S halaman 5


Cerita-Pendek

Air Mata Mega oleh Adi Zamzam

uara kerisik itu membuat telinga dan mataku langsung terjaga meski sia-sia akhirnya tersebab jubah malam yang terj teramat pekatnya di kawasan pinggiran hutan ini. Sengaja tera tak kumanfaatkan senter di tangan kiri, karena tentu saja, benda itu memang sudah tak diperlukan lagi sekarang. Tak salah lagi. Aku semakin yakin dengan pendengaranku tatkala kerisik itu diikuti dengan bunyi langkah kaki berat. Jelas bahwa itu bukan kelebat manusia. Mendengar langkah-langkah itu, bisa saja bahwa ia juga telah mengetahui keberadaanku di tempat persembunyian ini. Apalagi ketika kemudian telingaku menangkap dengus halus. Seolah ia berbicara, ikuti saja aku, tapi diamlah dan jangan berisik. Kalimat-kalimat Pak Moko pun kembali berlintasan dalam kepalaku. “Sepertinya bukan makanan yang ia cari,� ujar lelaki yang sering menjadi kamus berjalan tentang hewan berbelalai panjang itu bagi kami. Hampir separuh umurnya telah ia abdikan untuk meneliti kehidupan mereka di taman nasional yang berbatasan dengan desa kami ini. “Lalu mencari apa, Pak?� tanyaku, tergelitik penasaran. “Kalau ia mencari minum, bukankah sungai di dekat tempat

halaman 6


tinggalnya tak kekurangan air? Kalau mau cari jagung, padi, atau sayuran, kenapa ia bisa kesasar ke sumur ini?” Ketika itu kami telah menyelamatkannya dari dalam sebuah sumur tua yang sudah mati. Entah bagaimana ia bisa terjerumus ke situ. Kaki kanan bagian depannya tergores, lebar, lumayan menyulitkannya untuk berjalan normal. Ia mengamuk saat kami coba menuntunnya ke atas gerobak—untuk memudahkannya menggiring ke PLG1 guna penyembuhan. “Sepertinya ia pernah punya pengalaman buruk dengan manusia,” kalimat itu terlontar lagi dari mulut Pak Moko ketika akhirnya diputuskan bahwa ia harus dibius. Pak Moko bilang umurnya masih sekitar delapan atau sembilan tahunan. Merujuk ke hal itulah si muda liar berkelamin betina itu kemudian diberi nama Mega demi memudahkan penebakan umur, yang mengingatkan bahwa delapan tahun silam seorang Megawati pernah memimpin negeri ini—di samping memang belum ada yang menyandang nama itu. Beda dengan gajah-gajah liar yang pernah ditangani orang-orang Way Kambas, Mega ini begitu sulit ditangani. Membuat Pak Moko semakin yakin dengan pendapatnya bahwa si Mega tampaknya pernah mengalami insiden buruk dengan manusia. Tiga hari semasa pengobatan, gajah itu bahkan mogok makan, meski disuguhi aneka jenis makanan kesukaan mereka. “Mungkin karena lukanya itu, Pak, selera makannya jadi hilang,” ujar Mahdi, seorang temanku yang telah jadi mahout2 di tempat itu. Dan akhirnya pada hari keempat, si Mega pun dilepaskan meski lukanya belum pulih benar. “Kita sudah memberinya pertolongan pertama. Lagipula misi kita bukan lagi menjinakkan. Semoga saja alam turut membantu menyembuhkan lukanya itu,” ujar Pak Moko ketika melepas kepergian makhluk itu. Yang kudengar, sejak sepuluh tahunan silam penangkapan gajah liar memang telah dihentikan. Ratusan gajah liar yang telah berhasil mereka jinakkan bahkan dibuang ke sejumlah kebun binatang dan taman safari demi mengurangi beban keuangan yang tak lagi tertanggung. Hanya tersisa puluhan ekor yang masih tinggal di tempat pelatihan itu. Beberapa di antaranya digunakan sebagai kendaraan patroli untuk menghalau gajah-gajah liar yang nyasar ke ladang.

1 2

Pusat La!han Gajah Pela!h/penjinak gajah halaman 7


“Kalah, Min,” Mahdi pernah cerita. “Mereka sudah rumahan, tak mampu melawan gerombolan preman,” saat itu Mahdi mengalami kecelakaan—terjatuh dari punggung George yang lari terbirit-birit kalah menghalau sekelompok gajah liar yang menyerbu ladang di daerah Tegal Yoso. “Mereka bukan lagi makhluk keramat setelah berada di dalam kandang. Ketajaman naluri dan keberanian mereka seolah lerap dibawah gancu3 para mahout. Diragukan sekali apakah semua gajah yang telah jinak itu mampu bertahan hidup jika dikembalikan ke alamnya semula,” lanjut Mahdi, “padahal, dulu tak begitu. Kau masih ingat kan?” Mahdi adalah teman masa kecilku. Sewaktu masih umur sepuluh, kami pernah membuntuti penggiringan serombongan gajah dari Gunung Madu menuju Way Kambas. Saat itu beberapa ekor dari rombongan mendadak mogok jalan. Semua orang dibuat buntu akal karenanya. Pak Wahono, seorang tetua desa yang turut terlibat dalam proyek Pemerintah itu, sampai bersujud tujuh kali di depan para binatang liar itu. Ajaibnya, mereka pun akhirnya kembali bersedia meneruskan perjalanan. Mereka seperti punya perasaan. Marah jika dicemooh, tapi tak melukai siapapun yang menyimpan kasih sayang di hati terhadap mereka. Pernah juga suatu ketika, Pak Roso—tetanggaku—berkelakar bahwa makhluk-makhluk dungu itu takkan mungkin sampai ke ladangnya yang letaknya memang paling jauh dari hutan dibanding ladang-ladang milik orang lain. Sungguh tak dinyana kalau malam harinya gajah-gajah itu langsung datang berpesta di ladangnya Pak Roso. Saat itu kami pun beranggapan bahwa telinga lebar mereka itu memang benar-benar mampu mendengar suara-suara buruk orang-

3

Sejenis alat pengait berujung tajam

halaman 8


orang kampung. Tak cuma itu. Ada juga sebuah cerita yang masih melekat kuat dalam ingatanku. Adalah sebuah perbuatan asusila yang dilakukan oleh seorang pemuda tetangga desaku. Pemuda itu tak mendapatkan hukuman, bahkan orangtuanya pun terkesan membiarkan. Selang beberapa hari, ayah si pemuda bejat itu tewas terseruduk gajah saat memantau ladangnya. Kini, kepercayaan semacam itu tampaknya sudah berangsur kikis. Kata Pak Moko—yang pernah menyurvei jumlah seluruh gajah di taman nasional itu—mereka bahkan sudah diburu secara terangterangan. “Mereka menggunakan cara picik, membakar alang-alang demi mengundang buruan. Setelah tumbuh rumput segar baru, semua buruan pun akan berdatangan,” cerita lelaki itu, yang konon pernah beradu tembak dengan para pemburu. “Suasana malam itu sungguh menegangkan. Dengan bantuan beberapa warga dan polisi, mereka kami kepung. Senjata saling diarahkan. Pagi harinya, mereka tertangkap. Sayang, perwira tingginya kabur entah ke mana. Si mayorlah yang jadi tumbalnya. Kasus itu lalu dibawa ke mahkamah militer,” ceritanya. “Maksud Bapak, mereka oknum aparat?” Lelaki itu mengangguk. Dan itulah yang dikhawatirkan Pak Moko akan si Mega. Pasalnya, setelah kecelakaan dalam sumur tua itu, si Mega tertangkap basah lagi di tempat yang sama. Dalam insiden kedua itu, lukanya telah sembuh total. Tapi, ia seperti binatang gila—meraung-raung sambil terus mengelilingi sumur tua di pinggiran ladang itu. “Ada banyak hewan yang cerdas, Pak, mampu mengingat peristiwaperistiwa yang pernah dialaminya, mampu mengingat wajah dan bau orang yang pernah berbuat baik atau jahat kepadanya. Dan gajah adalah salah satunya,” ujar Pak Moko ketika kulaporkan tentang insiden itu. Akulah yang pertama kali memergokinya. “Apa ia hendak mencari orang yang pernah mencelakainya, Pak?” terlintas lagi dalam kepala tentang kejadian-kejadian di masa kecilku. “Entahlah, saya belum bisa memastikannya. Tapi sepertinya dia memang mencari-cari sesuatu di tempat ini.”

halaman 9


Susah sekali saat menggiring Mega pulang ke hutan. Ia seolah berat meninggalkan sumur tua itu, hingga kami pun terpaksa menggunakan mercon dan senapan angin untuk memaksanya bergerak. “Jika dugaanku benar, aku yakin ia pasti masih akan ke sini lagi dalam waktu dekat. Jadi saya mohon Bapak-bapak harus waspada,” lelaki itu kembali memperingatkan ketika memeriksa keadaan di sekitar sumur tua. “Sampai kapan ia akan seperti itu, Pak?” tanya Maemun, seorang tetanggaku yang juga memiliki ladang di dekat sumur tua itu. “Mungkin sampai ia bisa melupakan peristiwa apa yang pernah dilihatnya.” Kami tak pernah tahu apa yang sebenarnya dicari hewan itu. Kami yang memiliki lahan di sekitar sumur tua itu pun lantas berinisiatif mengadakan jaga malam secara bergantian. “Yang terpenting, jangan sakiti dia. Dia takkan menyakiti siapapun jika tak ada yang mengancamnya.,” ujar lelaki itu terakhir kali, sambil menatap kami satu per satu, seolah mencari siapa sebenarnya di antara kami yang menombak kaki si Mega. Meski menghalau binatangbinatang liar itu menjadi pekerjaan wajib, tapi menyakiti mereka adalah dilarang demi mencegah agar perang ini tak berkepanjangan. *** Dan ternyata dugaan itu benar. Malam ini dia kembali datang setelah kemarin aku sempat memergokinya di seberang ladangku. Tak kunyana, hanya sorotan lampu senter(yang sebenarnya kutujukan untuk memastikan apakah benar itu dia), ternyata mampu mengusirnya ketika itu. Aneh sekali, karena biasanya makhlukmakhluk liar itu sulit sekali diusir. Hal itu membuatku terseret penasaran. Sebenarnya ini malam bukanlah jatahku. Rasa penasaranlah yang membuatku mengambil inisiatif sendiri. Dan ternyata aku tak salah, perkataan Pak Moko juga. Kubiarkan makhluk berat itu merangsek duluan, sementara aku pelan-pelan saja merayap demi menghindari bunyi. Dapat kupastikan bahwa ia sedang menuju ke sumur tua itu lagi. Dan aku pun mulai yakin bahwa ia pastilah si Mega. Berjalan waktu kemudian… “Sialan, dia datang lagi!” kudengar suara lamat-lamat dari arah sumur tua itu. “Cepat keluar dari dalam sana!” “Dor saja, dor!”

halaman 10


“Mau cari perkara lagi?! Tempat ini hampir saja ketahuan gara-gara ketololanmu kemarin. Lagipula gadingnya baru sekelingking. Ayo buruan keluar! Pindahkan saja tempat penyimpanannya!” Tak lama kemudian tiba-tiba saja kudengar suara raungan. Ribut sekali. Kupikir akan bisa kulihat rupa siapa mereka itu. Namun aneh kemudian. Raungan-raungan itu nyelonong dan tak mau pergi dari dalam kepalaku, berdenging-denging, makin lama makin keras. Seperti ada yang menarik paksa ubun-ubunku. “Ayo cepat kabur dari sini, dia telah melihat kalian!” suara itu muncul dari belakangku. Dari arah sebuah letusan bersuara angin. Darah tiba-tiba telah merembes dari dadaku! “Sialan! Dia itu tetanggaku!” Sebuah suara lain yang kemudian mendekatiku. Sebuah suara yang mengingatkanku bahwa malam ini adalah giliran jaganya Maemun. Namun gelap telanjur semakin pekat dan kedua mataku semakin terasa berat sebelum bisa kupastikan semua dugaanku. Entah mengapa raungan binatang itu berubah terdengar seperti tangis. *** Adi Zamzam Lahir 1 Januari 1982 di Jepara. Tahun 2002, beberapa cerita-pendek dan puisi dipublikasikan di Bahana Sastra-nya RRI Pro II Semarang. pada tahun 2012, juara !ga Lomba Menulis Cerita Pendek Islami (LMCPI ke XI) Majalah ANNIDA. Cerita-bersambung dan cerita-pendek tersebar di Kompas, Jawa Pos, Riau Pos, Sumut Pos, dll.

S

halaman 11


Cerita-Pendek

Mat Codet oleh Riza Multazam Luthfy Ba Baiklah, para mustamik yang terhormat. Kami perken perkenalkan terlebih dahulu tokoh kita. Ia bernama Mat Code Codet. Kerjanya saban hari menjadi preman. Ya, tepatnya, seorang preman di pasar Sumber Arum. Pasar termegah di Surabaya. Ia berasal dari luar Jawa. Kami kurang tahu persisnya di mana. Yang kami ma$um, ia menggembalakan dua anak kembar dan satu istri.

halaman 12


Mata Codet terbilang preman tahan banting. Ia mengenyam sendiri beringasnya kehidupan. Ia melambangkan seorang preman bertipe pekerja keras. Pernah jadi tukang kebun, kuli bangunan, OB, penyedot WC, penjual bakso, satpam, dan masih banyak pekerjaan lain yang sudah dilakoninya. Untuk memetik puncak karir, preman berambut kribo ini benarbenar merangkak dari nol. Ia merupakan contoh preman ideal. Punya pendirian. Siapa saja yang berhasrat mencapai taraf preman sejati, harus banyak mengutil ilmu darinya. Minimal, dengan meneladani narasi hidupnya. Mat Codet terhitung orang berkepala batu dan tidak gampang dibujuk kerja sama. Ia juga tak doyan berada di bawah. Apalagi diperintah-perintah. Ia berberat siku jika ada preman lain menyuruhnya bertekuk lutut. Selamanya, ia tak sudi menjadi kaki preman senior. Lebih baik mampus, daripada menjadi budak. Itulah motto hayatnya. Pernah suatu pagi, ketika Mat Codet mencari angin di pusat pasar, ada beberapa preman lewat. Mereka semua berambut gondrong, bertato kalajengking, dan berkalung rantai. Ia diminta minggir. Namun, dengan sigap, ia menggeleng. Dan seketika, gerombolan jaharu itu berang dan melunyahnya habis-habisan. Ia dikeroyok, digebuk, ditendang, dijotos, disikut, hingga berbilang giginya rontok. Hidungnya menghembuskan darah. Kakinya bengkak. Tiada perlawanan. Ia hanya mematung. Bukannya dengkik, ia sekadar berazam mengendus seberapa kuat preman-preman yang lazim beroprasi di kawasan tersebut. Esok hari, ia mencongkong lagi di loka kemarin. Di depan toko emas “Arjuna�. Tempat dimana ia diganyang preman-preman yang nyenyai mandi itu. Ya, di situ ia sedang kangen. Ah, sahihnya merindukan para preman kelas kambing dan mudah naik pitam. Benar. Selingkar jam sembilan, mereka mendarat. Apesnya, jumlah mereka kian berlimpah. Mana membagul pentungan pula. Ia dipaksa menepi. Lagi-lagi ia menolak. Akhirnya, ia kembali meraup perlakuan istimewa; Dikeroyok, digebuki, ditendang, dijotos, disikut. Dan karena mereka membawa pentungan, ia juga dipentungi hingga bonyok. Tetapi tidak sampai berkalang tanah. Hanya terjengkang dan napasnya ngos-ngosan. Entah berapa lusin nyawanya! Premanpreman itu juga keheranan. Setelah kekeringan tenaga, mereka mencukupkan pelajaran. Sedang awak Mat Codet dibuang di selokan. Betul-betul lanang edan. Lusanya, Mat Codet membikin ulah lagi.

halaman 13


Ia sengaja menanti kehadiran preman-preman yang nekat menyentuh tubuhnya dan melemparnya ke dalam got yang rimbun kotoran. Kali ini, ia tak akan berdiam diri. Hendak ditunjukkan siapa ia sebenarnya. Benar. Mereka datang. Tanpa ba, bi, bu, Mat Codet langsung menggocoh mereka satu persatu. Mereka meladeni. Tetapi percuma. Musuh yang satu ini bukan musuh sembarangan. Mereka semua kelabakan. Dan karena tersisih, akhirnya mereka kabur tunggang langgang. Preman-preman tengik itu mengadukan kejadian memalukan yang menimpa mereka. Usai menyimak laporan, Sasmito, petinggi preman yang tersohor kejam dan tahan bacok itu, berniat menjajal kesaktian Mat Codet. *** Di tanah lapang, keduanya bertempur layaknya pejantan; satu lawan satu. Sebelum bersabung, Mat Codet mengajukan usul: bila keok, maka ia dengan ringan hati akan meninggalkan pasar Sumber Arum. Sebaliknya, jika ia unggul, Sasmito kudu rela mengiklaskan tampuk kekuasaannya berpindah ke genggaman Mat Codet. Sasmito mengamini usul tersebut. Sesungguhnya, ia tampak gamang atas keputusannya. Walakin, ia masih mempunyai harga diri. Disaksikan semua anak buahnya, ia enggan bersikap pengecut. Celaka dua belas. Mimpi apa Sasmito semalam. Duel maut itu dimenangkan oleh Mat Codet. Orang yang bertakhta di pasar Sumber Arum selama tujuh tahun itu dibuat kalang kabut. Badannya babak belur. Kepalanya bersimbah darah. Salah satu tulang rusuknya sempal. Ia menyerah. Dan tanpa jamak tanya, beberapa gelintir preman langsung menerbangkannya ke rumah sakit terdekat. Memirsa keperkasaannya, alhasil, semua preman yang hadir mendaulatnya sebagai nahkoda baru. Pemimpin para preman yang sekian warsa ke depan akan mengatur sirkulasi kejahatan di pasar Sumber Arum. *** Eit, jangan lekas memungut kesimpulan. Tiadalah preman kita satu ini serupa yang kalian kira. Ia sungguh berbeda dengan sebagian besar preman yang ada. Meskipun kerap memalak pedagang di pasar, nyatanya hanya pedagang besar yang ia bebani ‘uang keamanan’. Mat Codet tak tega berbuat kasar terhadap kaum pedagang kecil, apalagi mencaplok keringat mereka. Bahkan, karena menaruh kasihan, berulang kali ia mengulurkan bantuan. Dalam masyarakat, Mat Codet bertabiat hangat. Takmir

halaman 14


masjid menjulukinya Ahli Sedekah. Sebab, tak sunyi-sunyinya ia mendermakan harta ke kotak amal. Jika Idul Adha tiba, ia orang perdana yang mencatatkan diri untuk berkurban. Para warga kerap pula diuntungkan. Sebab, preman beralis kepak kelelawar itu gemar menggelar khitanan massal, pengajian, peringatan 17 Agustus, arisan, pertemuan ibu PKK, sampai pembagian sembako secara cuma-cuma. “Kok ada ya, preman kayak dia. Mat Codet rajin sekali berjamaah di musholla. Kalau ada hajatan, ia juga datang�. Desis pak RT kala bercakap dengan salah seorang pamong desa. *** Memang hidup melukiskan sebulir persaingan. Homo homini lupus. Siapa kuat, dialah yang menang. Dan tiadalah yang menang itu selalu menang. Bisa jadi suatu saat, dia juga mencicipi kekalahan. Sebagaimana yang dialami Mat Codet. Saking banyaknya preman yang menaruh hasad, hampir setiap usaha dilicinkan guna menggulingkan wibawanya. Sampai suatu hari, terbitlah momentum tersebut. Sekitar jam satu siang, Kriwul menunggu Mirna, istri Mat Codet. Ia menggelesot di gang sempit menuju pasar Sumber Arum. Melihat preman ceking nongkrong di sana, orang-orang berberat pinggul menjemput masalah. Mereka memilih jalan lain, meski jaraknya lumayan jauh. Namun, dugaan mereka meleset. Hari itu Kriwul tak hendak menggarong. Ia hanya ingin membujuk Mirna. Bukan untuk melecehkan tubuhnya. Atau melucuti kalungnya. Ia paham betul siapa yang dihadapi kali ini. Kalau berani mencolek secuil saja tubuh Mirna, pasti ia akan pulang tinggal nama. Sebagai orang kepercayaan Boncu, juga anak buah Mat Codet yang berkhianat, Kriwul harus berhati-hati menunaikan misi berbahaya tersebut. “Kriwul, awas kalau sampai kamu salah langkah. Bisa mampus kita semua�. Pesan itu bertukas-tukas dilisankan teman-temannya sebelum angkat kaki menuju lokasi. Yang menjadi incaran komplotan Boncu beserta anak buahnya adalah mengetahui letak kelemahan rival besarnya itu. Dan satusatunya ikhtiar terbaik adalah melalui Mirna, orang yang paling rapat dengan Mat Codet. Mereka sudah kehabisan akal beradu kening dengan Mat Codet. Pasalnya, preman yang satu ini benar-benar sakti. Akan tetapi, mereka menanam keyakinan, bahwa sehebat-hebat manusia pasti tetap mengantongi titik kelemahan. Tak tanggung-tanggung. Guna menyiasati Mirna, mereka nekat

halaman 15


mencawiskan uang 10 milyar, yang baru digondol dari menjebol beberapa ATM. Mereka berani tidak mabuk-mabukan selama seminggu. Mereka rela berpuasa cinta di tempat bordil. Mereka ikhlas menyisihkan tabungan untuk menghidupi anak-istri. Premanpreman dungu itu hanya mengekor saja pada tetua. Boncu suksess mendoktrin mereka. Dan di balik itu semua, yang terpenting adalah sekutil fakta, bahwa ia menabung dendam pada Mat Codet—yang telah mendepak ayahnya dari kursi hangat bromocorah paling disegani, 12 tahun silam. “10 juta ini sebagai pelicin saja. Sisanya akan kauterima bila berhasil merampungkan tugas dengan baik. Ingat, waktumu cuma seminggu!â€? Kriwul yang terbiasa cengengesan itu sekonyong-konyong bersikap tegas. Ia tak mau misinya gagal. Ia berdiri di atas dua pilihan: diludahi para preman atau naik jabatan. Sebenarnya, Mirna kurang tega melakukan tindakan konyol itu. Ia tahu, Mat Codet bukanlah lelaki banal. Meski bertampang preman, namun hatinya lembut dan sarat kasih sayang. Sampai hari keenam, Mirna beritikad mengenyahkan tawaran Kriwul. Namun, setelah hari ketujuh, otaknya luluh juga. Ternyata setan lebih cerdas, sehingga Mirna menyetujui niat licik tersebut. Maklumlah. Sebagai istri preman kondang, Mirna belum pernah kecipratan uang sebesar itu dari suami. Apalagi sosok Mat Codet diariďŹ sebagai preman yang berjiwa pemimpin. Ia tak mau menimbun bergunduk-gunduk uang. Apa yang dipanen dari hasil memalak, pasti ia bagi rata dengan anak buah. Dan kalau ada sisa, tentu ia hibahkan kepada fakir miskin. *** Para mustamik sekalian, tibalah kini saat-saat yang mendebarkan. Ketika rembulan sedang berayun di cakrawala, dan malam sedang bermain petak umpet, Mat Codet dan istrinya merebahkan badan di ranjang. Mat Codet begitu terlelap. Ia kelihatan sangat lelah. Sebab, siangnya, ia berjuang melawan satpol PP seorang diri. Sedang sorenya, ia harus memegang cempurit rapat preman di kolong jembatan Sebrang Lor. Saat mendapati suami asyik dalam buaian mimpi, Mirna melancarkan aksi. Ia memangkas 7 helai bulu ketiak Mat codet; 4 dari ketiak kanan, dan 3 dari sebelah kiri. Setelah puas memotong bulu sakti Mat Codet, ia menelepon Kriwul. Dan seperti sudah dirancang sebelumnya, tiba-tiba sekitar seratus orang menyerbu rumah Mat Codet. Sebagai pemimpin, Boncu berlaku sok pemberani. Ia urai

halaman 16


resleting celananya dan berkemih di moncong Mat Codet. “Hei, bangun! Mau mampus gini, malah mendengkur�. Preman bertato naga di punggung itu menyingkap kelopak matanya. Ia bersin-bersin dan merasa ada cairan asam di lidahnya. Sejurus kemudian, ia tercengang. Bukan karena banyaknya anak buah Boncu yang berjejalan di kamarnya. Namun sebab sejumlah bulu ketiaknya tengah tergolek di tangan kanan Mirna. Sedang tangan kiri istrinya itu memegang sebuah gunting. Mat Codet menjinjing suaranya keras-keras. “Perempuan macam apa kau, Mirna!� Pandangan Mirna tertunduk. Ia sadar, bahwa ia telah melakukan kesalahan fatal. Ia lebih memilih mengorbankan suami daripada harus kehilangan 10 milyar. *** Para pedagang di pasar Sumber Arum sangat gelisah. Mereka kerap bersoal, kenapa tiba-tiba Boncu yang berkuasa. Mereka tahu, bahwa tiada preman yang lebih bijak dan santun kecuali Mat Codet. Pedagang kaya yang biasa menyetor upeti juga merasa kehilangan. Pasalnya, anak buah Boncu lebih bengis dan menarik uang seenak udelnya. Bahkan, sering kali bobot setoran kelewat batas. Hingga kini, para pedagang pasar Sumber Arum masih menunggununggu kedatangan Mat Codet, yang dikira tengah menginap di bui. Atau berwisata keluar negeri. Atau berlibur di kampung halaman. Dan serba atau yang lainnya. ***

Riza Multazam Luthfy. Lahir di Bojonegoro, 9 November 1986. Menulis puisi, cerpen dan esai. Karya-karyanya bertebaran di beberapa media, seperti Jawa Pos, Riau Pos, Sumut Pos, Padang Ekspres, dan sebagainya. Cerpennya juga tergabung dalam antologi Negeri Sejuta Fantasi (2012).

S

halaman 17


Cerita-Pendek Terjemahan

Detak Jantung Keparat Dalam Pikiran Yang Meracau oleh Edgar Allan Poe

halaman 18


emang benar! Aku gelisah, sangat-sangat gelisah pada waktu itu, hingga kini. Tapi, mengapa kalian pa menyebutku gila? Rasa sakit menajamkan inderaku dan bukan melemahkannya. Apalagi, membuat inderaku tumpul. Dibanding indera lainnya, indera pendengaranku paling tajam. Aku mendengar segala hal di langit dan di bumi. Aku mendengar suara di neraka. Bagaimana bisa aku disebut gila? Dengarlah! Kalian akan tahu betapa warasnya aku. Betapa tenangnya aku. Akan kuceritakan kepada kalian secara rinci kejadiannya. Sulit menceritakan bagaimana mula-mula pikiran itu menyusup dalam benakku. Namun, begitu masuk, pikiran mengejarku siang malam. Tak ada niat membalas dan aku tak ada dendam padanya. Aku mencintai orang tua itu. Ia tak pernah berbuat salah kepadaku. Juga tak pernah melukai hatiku. Emasnya pun tak kuinginkan. Kupikir yang menjadi persoalan adalah matanya. Hmm, ya, matanya! Salah satu bola matanya menyerupai mata burung pemangsa, mata yang biru dan berselaput. Setiap kali mata itu menatapku, darahku terasa beku. Dan sedikit demi sedikit secara berangsur-angsur aku membulatkan hati untuk membunuhnya. Sehingga, terbebas selamanya dari sergapan mata burung pemangsa itu. Di sinilah pangkal soalnya. Kau akan menganggapku gila. Semua orang gila pasti tidak tahu apa-apa. Namun kau akan melihat bagaimana aku melakukannya. Kau akan melihat betapa cerdiknya aku menyelesaikan pekerjaanku dengan sangat rapi, terencana. Lalu kemudian, berpura-pura tak tahu apa-apa. Aku menjadi lebih manis kepada oang tua itu pada minggu terakhir sebelum aku membunuhnya. Setiap malam, menjelang tengah malam, aku memutar gagang pintu kamarnya dan membukanya hmm, begitu hati-hati. Dan kemudian ketika pintu kamar itu terkuak dan cukup bagiku untuk memasukkan kepala, kumasukkan lentera berkatup yang kurapatkan semua lempengan katupnya. Sehingga, tidak ada sinar yang menerobos keluar dari lentera itu. Lalu, kusorongkan kepalaku ke dalam. Oh, kau pasti terkejut melihat betapa cerdiknya aku menyusupkan kepala. Semua kulakukan pelan-pelan, sangat-sangat pelan. Sehingga, tidak mengganggu tidur orang tua itu. Kuperlukan satu jam untuk menempatkan posisi kepala sebaik-baiknya di celah pintu. Sehingga, aku bisa leluasa melihat orang tua itu berbaring di ranjangnya. Nah, bisakah orang gila melakukan pekerjaan secerdik ini? Dan ketika kepalaku sudah leluasa, aku membuka katup penutup lentera dengan hati-hati begitu hati-hati jangan sampai engsel katupnya berderit. Aku membuka seperlunya saja, cukup agar seberkas tipis

halaman 19


cahaya bisa menerangi mata burung pemangsa itu. Dan pekerjaan seperti ini kulakukan selama tujuh malam berturut-turut, tiap datang tengah malam. Namun, selalu kujumpai mata itu tertutup. Dalam keadaan seperti itu tentu mustahil melanjutkan rencanaku. Karena, bukan orang tua itu yang membangkitkan marahku. Tapi, mata itu! Pagi harinya, di saat fajar, sengaja kudatangi kamarnya. Kuajak ia bercakap-cakap, kusapa namanya penuh semangat. Kutanya pula apa tidurnya nyenyak tadi malam. Dengan demikian, kau tahu, diperlukan kecerdasan tertentu pada si tua itu untuk menduga bahwa setiap malam, tepat pukul dua belas, aku selalu mengamatinya ketika ia tidur. Pada malam ke delapan aku membuka pintu lebih hati-hati ketimbang malam-malam sebelumnya. Jarum menit jam dinding, bahkan lebih cepat ketimbang gerakan tanganku. Baru pada malam itu aku merasakan begitu besarnya kekuatanku, begitu cerdiknya akalku. Hampir aku tidak bisa menahan luapan perasaan menangku. Membayangkan diriku sendiri sedang menguakkan pintu, sedikit demi sedikit dan orang tua itu bahkan tidak pernah berkhayal tentang apa yang kulakukan dan apa yang kupikirkan. Aku tergeletak dengan lintasan pikiran ini. Mungkin, ia mendengar suaraku. Karena, tibatiba, ia menggerakkan tubuhnya seperti orang terkejut. Sekarang kau pasti berpikir bahwa aku akan mundur. Tidak! Kamarnya gelap pekat, jendelanya tertutup rapat. Karena itu, aku tahu bahwa ia tidak melihat pintu kamarnya terkuak dan aku terus saja mendorong daun pintu itu sedikit demi sedikit. Aku menyusupkan kepalaku ke celah pintu dan sedang membuka katup lentera, ketika jempolku tiba-tiba selip dan mengetuk lempengan penutup, dan si tua itu bangkit dari ranjangnya. “Siapa itu?� teriaknya. Aku mematung di tempatku dan tak mengeluarkan sepatah kata pun. Dalam satu jam aku sama sekali tak bergerak. Selama itu, pula aku tak mendengar ia merebahkan tubuhnya lagi. Ia tetap duduk di ranjangnya dan mendengarkan. Seperti aku, malam demi malam. Mendengar detak jam kematian di dinding. Tiba-tiba kudengar erangan kecil, dan aku tahu itulah erangan yang muncul. Karena, teror kematian. Bukan erangan, karena sakit atau dukacita. Sama sekali bukan. Itu suara lemah orang tercekik. Suara yang muncul dari dasar jiwa yang diteror kengerian. Aku kenal sekali dengan suara itu. Beberapa malam, tepat tengah malam, di saat dunia terlelap, suara itu bangkit dari dadaku, menusuk-nusuk. Gaungnya mengerikan. Sebuah teror yang menggelisahkan. Kubilang

halaman 20


aku kenal betul suara itu. Aku tahu apa yang dirasakan orang tua itu, dan turut berduka atas kemalangannya, meskipun dalam hati aku ketawa. Aku tahu bahwa matanya tak pernah lagi terpejam, sejak ia dikejutkan oleh suara yang membangunkannya. Rasa takutnya tumbuh semakin besar. Ia coba menenangkan diri, tapi tidak bisa. Ia yakinkan dirinya sendiri, “Tidak ada apapun, hanya angin di cerobong asap hanya tikus yang merayap,� atau “hanya jangkrik yang mengerik.� Ya, ia mencoba menenangkan diri dengan dugaan-dugaan seperti itu, tapi sia-sia. Sia-sia; sebab maut yang menguntitnya diam-diam kini telah mengepung korbannya dengan bayang-bayang hitam. Efek muram bayang-bayang yang tak tampak itulah yang menyebabkan ia merasakan bukan mendengar atau melihat. Namun merasakan kehadiran kepalaku di kamarnya. Setelah cukup lama menunggu, dengan sangat sabar, tanpa mendengar ia membaringkan kembali tubuhnya, maka kubuka sedikit sedikit sekali katup lentera untuk membuka celah kecil. Kau takkan bisa membayangkan betapa hati-hatinya aku membuka katup itu. Sehingga, akhirnya seutas cahaya, setipis sulur benang labalaba, memancar dari celah lentera dan jatuh tepat di mata burung pemangsa itu. Mata itu terbuka, begitu lebar. Amarahku bangkit ketika melihat mata itu terbuka. Jelas sekali kulihat mata biru berkabut, dengan selaput yang mengerikan, yang menusukkan hawa dingin di sumsum tulangku. Namun, sama sekali tak kulihat wajah orang tua itu: sebab seolah dibimbing oleh naluriku, cahaya lentera kuarahkan tepat pada bulatan mata keparat itu. Jadi, bukanlah yang kau sebut gila itu sesungguhnya adalah inderaku yang begitu tajam? Sekarang aku mendengar suara lemah, samar-samar, berdetak dalam tempo cepat seperti detak jam yang terbungkus kain. Aku kenal betul suara itu. Ialah bunyi detak jantung orang tua itu. Kemarahanku memuncak, sebagaimana keberanian seorang serdadu naik, karena pukulan genderang. Kendati demikian aku masih menahan diri. Kutahan napasku. Kujaga lentera di tanganku. Kujaga agar sinarnya tetap jatuh ke matanya. Sementara detak jantung terkutuk itu temponya semakin meningkat. Makin lama makin cepat dan makin keras. Ketakutan si tua itu, pastilah luar biasa! Suara itu makin keras, kubilang, bertambah keras setiap saat. Kau catatkah omonganku baik-baik? Telah kukatakan kepadamu bahwa aku gelisah: begitulah yang kurasakan. Dan sekarang pada jam kematian malam itu, di tengah kebisuan yang mencekam di rumah tua itu, dentam aneh itu menyiksaku layaknya sebuah teror yang

halaman 21


tak tertanggungkan. Aku masih menahan diri beberapa menit dan tetap tak beraksi. Namun, dentam itu makin memekakkan. Kupikir jantungnya pasti segera meledak. Dan sekarang aku merasakan kecemasan baru para tetangga pasti akan mendengar bunyi itu! Tiba sudah waktu bagi si tua! Dengan teriakan keras, aku membuka semua katup lentera dan merangsek masuk ke dalam kamar. Sekali ia memekik, hanya sekali. Dalam sekejap aku menyeretnya ke lantai dan membekapnya dengan kasur tebalnya. Setelah itu, senyumku mengembang, semua pekerjaan beres. Bermenit-menit jantung itu masih berdetak samar-samar. Namun, tak lagi membuatku jengkel. Suaranya takkan mampu menembus dinding. Akhirnya bunyi itu berhenti. Si tua mati. Aku mengangkat kasur dan memeriksa mayatnya. Ya, ia sudah mati. Matanya takkan menyusahkan aku lagi. Kalau masih kau anggap gila aku, anggapan itu tak akan berlaku lagi bila kulukiskan apa yang kulakukan untuk menyembunyikan mayatnya. Malam melarut, dan aku mengebut pekerjaanku, tanpa suara. Pertama-tama kumutilasi mayat itu. Kupenggal kepalanya, kedua lengannya, dan kedua kakinya. Kemudian, kubongkar tiga bilah papan lantai kamar itu dan kumasukkan potongan-potongan tubuhnya ke dalam rongga di bawah lantai kamar. Setelah itu kukembalikan lagi papan lantai seperti semula, begitu sepele, begitu rapi. Sehingga, tak satupun mata termasuk mata si tua itu yang menemukan adanya kejanggalan. Tak ada yang perlu dicuci. Karena, tak ada ceceran noda apa pun. Tak ada bercak darah sekecil apa pun. Aku sangat waspada terhadap semua itu. Bak mandi sudah menampung semuanya. Ha! Ha! Jam empat pagi semua pekerjaanku selesai sudah. Hari masih gelap seperti tengah malam. Bersamaan dengan dentang lonceng jam, terdengar ketukan di pintu depan. Aku turun dengan perasaan ringan. Apalagi, yang perlu ditakutkan kini? Kubuka pintu, tiga orang lelaki masuk. Mereka memperkenalkan diri dengan sangat sopan sebagai petugas-petugas kepolisian. Seorang tetangga mendengar pekik si tua itu semalam. Menduga ada tindak kejahatan, ia melapor kantor polisi. Dan mereka ditugasi untuk melakukan penyidikan atas kecurigaan si tetangga. Aku tersenyum. Apalagi, yang perlu ditakutkan? Dengan ramah kupersilakan mereka masuk. Pekik itu, kataku, keluar dari mulutku di saat mimpi. Kujelaskan kepada mereka bahwa si orang tua sedang tidak di rumah. Lalu, kubawa mereka melihat-lihat seisi rumah. Kupersilakan mereka memeriksa memeriksa dengan teliti. Akhirnya, kubawa ketiga orang itu ke kamar si tua. Kuperlihatkan kepada

halaman 22


mereka barang-barang berharga miliknya. Semua aman, tak tercolek. Dengan kepercayaan diri yang melambung, aku mengusung kursikursi ke dalam kamar itu. Dan meminta mereka untuk melepas lelah di tempat itu. Sementara aku sendiri, dalam gelegak keberanian, karena kemenangan yang sempurna, meletakkan kursiku tepat di atas tempat aku menyimpan mayat si tua. Para petugas merasa puas. Perlakuanku meyakinkan mereka. Aku sendiri merasa tenang. Mereka duduk. Sementara aku menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan keseharian yang normal. Tapi, sebentar kemudian aku merasa parasku memucat dan berharap agar mereka segera pergi. Kepalaku pening, dan aku merasakan penging di telingaku. Namun, mereka tetap duduk dan bercakap-cakap. Suara penging itu makin jelas: terus-menerus dan makin jelas. Aku bicara lebih keras untuk mengusir perasaan itu. Namun, suara penging itu terus saja dan makin pasti. Sampai akhirnya aku sadar bahwa suara penging itu bukan di dalam telingaku. Parasku, aku yakin makin memucat. Namun, bicaraku lebih fasih dan lebih lantang. Suara penging itu “bangkit�. Aduh, apa yang bisa kulakukan? Kudengar suara lemah, samar-samar, yang berdetak dalam tempo cepat. Seperti, detak jam yang terbungkus kain. Napasku tersengal. Namun, para petugas itu tidak mendengarnya. Bicaraku lebih cepat, lebih meyakinkan. “Bebunyian� keparat itu makin kuat. Aku bangkit dan mendebat segala topik pembicaraan yang sepele, dalam nada tinggi dan gerak tubuh yang kasar. Dan bunyi itu terus menguat. Mengapa mereka tidak mau pergi? Aku mondar-mandir dengan langkah panjang dan menghentak. Seolah-olah merasa terganggu oleh pemeriksaan yang mereka lakukan. Tapi, bunyi keparat itu terus menguat. Ya, Tuhan! Apa yang bisa kulakukan? Aku meradang. Aku meracau. Aku mengutuk! Kuangkat kursi yang kududuki dan kuhempaskan benda itu ke lantai papan. Namun, kegaduhan yang ditimbulkanya tertelan oleh bunyi detak keparat yang terus menguat itu. Suara itu makin kencang, makin kencang, makin kencang! Para petugas, tetap melanjutkan percakapan seperti tak terjadi apa-apa. Mereka cuma tersenyum. Bagaimana mungkin mereka tidak mendengar suara itu? Demi Tuhan! Tidak! Tidak! Mereka juga mendengar. Mereka curiga. Mereka tahu! Mereka pasti sedang mencemoohkan ketakutanku. Kupikir begitu. Cara lain kurasa jauh lebih baik dari siksaan seperti ini! Cara lain apa pun lebih bisa ditanggungkan daripada pelecehan ini! Aku tidak kuat lagi melihat senyum pura-pura mereka. Aku merasa bahwa aku harus berteriak. Atau aku mampus! Dan sekarang, bunyi itu lagi. Dengar! Makin

halaman 23


kencang. Makin kencang. Makin kencang! “Jahanam!” aku memekik, “tak usah berpura-pura lagi! Aku yang melakukan semuanya! Bongkar saja papan ini di sini, di sini! Di sinilah detak jantung keparat itu!” ***

Edgar Allan Poe Lahir di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, 19 Januari 1809 – meninggal di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat, 7 Oktober 1849 pada umur 40 tahun) adalah penyair, cerpenis, editor, kritikus, dan salah satu pemimpin Gerakan Romantik Amerika. Dikenal karena karya-karya macabre-nya, Poe merupakan salah satu praktisi awal penulisan cerita pendek di Amerika dan perintis karya fiksi detektif dan kriminal. Ia juga mendapat pengakuan atas kontribusinya pada genre cerita fiksi ilmiah. Poe meninggal pada usia 40 tahun karena sebab-sebab yang kurang jelas, terutama diduga karena alkohol, obat bius, kolera, rabies, dan hal-hal lain.Beliau dilahirkan dengan nama Edgar Poe di Boston, Massachusets; beliau menjadi yatim piatu segera setelah ibunya meninggal dalam usia muda setelah ayahnya meninggalkan mereka. Poe kemudian diambil oleh John dan Frances Allan di Richmond, Virginia, tapi mereka tidak pernah secara resmi mengadopsinya. Dia terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Virginia selama satu semester dan tidak melanjutkan karena masalah biaya. Sesudah mendaftar dalam angkatan darat dan gagal sebagai perwira kadet, Poe meninggalkan keluarga Allan. Awal karirnya dimulai dengan sederhana, dengan koleksi cerpen anonim, Tamerlane and Other Poems (1827), disebut hanya dengan ‘seorang Boston’. Politian (1835) adalah karya satu-satunya yang berupa drama. Cerita pendek di atas, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh H Mariana Buyung Pandak.

S

halaman 24


Sajak

Nuruddin Zanky Bukan Malam Kita Bulan Setengah Redup Di Ponselku Dialog Hening Bulan Putih Apungan Rindu Jalan Pulang Jauh FA FA II

Nuruddin Zanky Anggota Komunitas Sanggar Sastra(KOSTRA) Unirow Tuban, saat ini sedang belajar Bahasa dan Sastra Indonesia di UNIROW TUBAN. Selain itu Ia juga ak!f berproses Krea!f bersama kawan-kawan Komunitas Teater Ins!tut UNIROW Tuban. Beberapa Puisinya sempat mengisi halaman-halaman majalah dan beberapa buku Antologi Puisi, majalah Akbar, Tabloid Gerbang, Radar Bojonegoro, Bila Daun-Daun Luruh(Antologi Puisi Pelajar Lamongan), Sehelai waktu(KOSTELA 2011), Kabar Debu(KOSTELA 2011).

halaman 25


Bukan Malam Kita

Perjalanan malam dimulai dari tikungan Aku beristirah di dahan yang menguning Menunggu mendung walau sempat hujan pada halaman Sayang, malam tak sendirian Malamku bukan malam kita Kau lepas satu per satu pada sungai takdir yang kau tunggui Kota hulu semakin deras mengalir di ladang batinmu Malamku, malamku saja Sejak kau tunggalkan rindu.

halaman 26


Bulan Setengah Redup

Malam sudah terlalu hitam, dingin pun semakin tiba Sampai aku tak sempat membuat sepercik uap Dalam perjalanan menuju kenangan, tibalah sayang! Atau kau tak mungkin tiba pada mendung akhir kemarau karena ridu telah terhimpun, atau lepas terbawa camar-camar. Hari mendesir ke arah yang sama, tempat yang sama, Pohon, ombat, bulan, lelap dalam cerita Tinggal kota-kota penuh kesepian, tanpa nama Malam yang sempat letih Mencipta bulan setengah redup, di tengah hamparan mega hitam Bintang-bintang melingkari lebam pelipis Sebentar desah ku menjadi rindu yang beku.

halaman 27


Di Ponselku

Man, di ponselku ku lihat wajahmu tampak lebih tua dari saat kita bertemu dulu. masih ingatkah kau Man, saat kita bermain pasir di tepian pantai yang ingin kau kuras habis kita cukup senang dengan membentuk beberapa mainan dari pasir mu ternyata kita sudah saling dewasa sekarang dan kau tampak lebih tampan dan kaya dengan kemejamu aku lihat itu dari ponselku membuatku semakin rindu ingin mnagajakmu makan bersama satu piring dengan ikan asin saja seperti dulu tapi apakah kau mau Man? aku yakin, sekarang kau lebih sering makan di restoran, kafe, atau apalah yang menyajikan menu-menu Luar Negeri. dan temanmu makan pun pasti sepertimu tampak rapi mengenakan kemeja dan celana mahal. akan ku pendam saja rinduku ini Man, sampai kau pulang kerumahmu ku tunggu kau di pematang sawah kita kita saling bartatap hingga ku tau betapa hebatnya sekarang dirimu dan akupun ikut bangga.

halaman 28


Dialog Hening

Ku usap debu di lututmu saja tak lagi ku lihat sinar di matamu waktu itu, Saat ku datang dan ingin mengusap debu di lututmu. Dialog hening meniadakan isyarat teman, sahabat dan saudara Lebur dalam jarak.

Bulan Putih

Bulan masih putih setelah senja Menghapus namamu ujung desis ombak Lautlah tak selesai biru, genangnya telah pasang. Akhir mengingatmu tak ku temukan Lantaran pasir terkikis telapak kaki Seperti saat berkunjung ke gelombang kata-katamu. Aku masih belum mengerti

halaman 29


Apungan Rindu

Apungan rindu di dasar laut masih biru Membiarkanmu mengalirkan karib Sesahabat, begitu lebur dalam cintanya, senada. Hunus kabar mata pisaumu mencermin beberapa titik nadiku Siap mengalir darah, amis sejarahmu. Bagitu degup penuh namamu

Jalan Pulang

Hari pertama, pelipis malam mengalirkan airmata Mengingatkan benih yang kutanam kemarin, Tumbuh sebagai angin, yang berubah badai Menghilangkan mimpi manis, di taman manis. Jalan pulang sepi bayang-bayang.

halaman 30


Jauh

Jejak yang kau tabur belum lama Menumbuhi jarak perkataanmu bahwa aku sedang di teluk Sayap burung-burung Walaupun sempat kita menikmati sebuah malam air mata Di balik dinding ruang sedihmu-sedihku

FA

Belum genap ku pahat garis senyum Di bibirmu malam itu, nampaknya kau enggan berdamai Dengan bahasa yang mengalir manyusun prosa Meskui rakit yang ku bawa Tak mampu membawamu keujung kelopak Atau daun-daun mimpi, aku adalah senja Dan pagi pun belum tentu usai Fa, memang aku terlalu tenggelam di lautmu Padahal aku malam yang tak berarti Tapi kau menghadirkan bulan bagi malam yang redup

halaman 31


FA II

Garis tanganmu menjadi peta bagiku Dan senyummu adalah arah panah Yang belum kutemukan dalam perjalanan Coba tunjukan padaku, bahwa aku tak perlu menciptakan seribu candi, Hanya cukup sesabit bintang ku hadiahkan Dan bulan purnama senyummu menerimanya, Aku pasti bahagia terlalu sulit ku maknai isyaratmu, Fa!

S

halaman 32


Sajak

Sir Saifa Abidillah Nizam dan Penyair Andalusia : Ibn ‘Arabi

Laut dan Pergantian Tahun Sebuah Matakaki dan Negeri Nelhi New Nelhi dan Upacara Kremasi Lumba-lumba Tangalooma Penyair Akan Terjatuh Canis Vulpes I Canis Vulpes II Sebab Penyair Jatuh dari Peta Cinta Penyair yang Tertutup Gelang Penyair yang Putus

Sir Saifa Abidillah Lahir 12 Januari 1993 di Sumenep Madura. Sekarang belajar di The Faculty of Islamic Theology, UIN Sunan Kalijaga DIY. Selain itu, bergiat di Lesehan Sastra Kutub, Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asyi’ari Yogyakarta.

halaman 33


Nizam dan Penyair Andalusia : Ibn ‘Arabi

Penyair yang tertegun, melingkari bawah jantungnya dengan sebuah sajak yang rakcak dengan Tuhan sebuah keindahan yang lahir dan menetas pada wajah nizam yang mengirim ilham mungkin sebuah geletar yang mengkincir mungkin sebuah ‘tafsir kerinduan’ yang bangir menciptakan desir yang mahir pada pasir pada sesuatu yang sebelumnya tak ia temui pada gurun dan persinggahan-persinggahan sebelum ia menetapkan ‘wujud’ sebagai jalan sebagai yang ‘wahid’ menuju stalaktit langit yang paling sakit, yang paling sengit dalam perjumpaan-perjumpaan jalan menemu TUHAN

halaman 34


Laut dan Pergantian Tahun

Bagi yang pernah berjalan dalam tahun silam Tuhan selalu mengingatkan Bahwa setiap yang ditunggu dan ditinggalkan Selalu ada pelepasan yang memberatkan perasaan Ada yang terlupakan dan larut pada musim Bahwa keriangan adalah kematian Yang tak tergambarkan dan kita hanya hanyut dalam endapan tahun yang memabukkan pengharapan

halaman 35


Sebuah Matakaki dan Negeri Nelhi

sebuah ladang, pada batang dan daun bertempat dimakah Negeri Nelhi yang tumbuh dan menggaung di ruang yang ramping pada pemahaman yang menggelinjang di jiwa angin dan hujan adakah kemerdekaan kemuning kembang tumbuh dan manakib seperti bayang petang dan patut dimuliakan putik serbuk dan semerbaknya pada tanah, pada ladang yang bimbang menentukan matakakinya sendiri menuju kedalaman, menuju pengertian yang diusung kecenderungan-kecenderungan musykil yang ditakwil para kekumbang yang berkerumun dari negeri lanun yang mengadakan ijtihad cekung

halaman 36


pada musim cun ciu ngo pa yang diseret dari busur peta bahwa musim semi dan gugur bakal tetap mengambang pada pisau angin pada pisau hujan yang curam di mata masing-masing yang mengerling dengan kecurigaan yang mahabimbang dan mahakembang pada kemuning yang hilang karena kumbang

halaman 37


New Nelhi dan Upacara Kremasi

Cuaca tanah seperti tak terbaca pada langit yang telah seutuhnya berkabut dalam mega yang semula jingga memenuhi ekstase ruang yang kelu dalam gelinjang yang beku mungkin, pada permukaan yang tampak ungu di udara kering duh, bunga tanahyang resah yang kedudukannya terguncang pisau angin dan terancam habitatnya, kemanakah kiranya menempatkan diri dalam ladang dalam kerukunan dan pengaharapan lalu, kemerdekaan yang bagaimana yang diperjuangkan bunga resah dalam hunusan angin musim sedang sanubari sepeti dikebiri

halaman 38


Lumba-lumba Tangalooma

dengan tubuh dan sirip hitam menakutkan aku mendekati sebuah hakikat yang sejatinya ada pada kalian yang berlian di mataku yang berpilin ini sebuah pemberian dan kemurahan telah seutuhnya menggantung pada tangan-tangan yang mengasihi yang tak terbalaskan akan timbangan perasaan dan aku hanya mampu membawa ikan dan belut laut sebagai pengganti kejujuran yang kau ajarankan padaku dan kawananku yang lebih liar dari mata air dan debur yang terjungkir ke bibir pasir lalu, adakah yang lebih bijaksana dari sebuah kecerdasan yang ditelurkan musim pada diri sehingga sekawananku mampu membaca keterdekatan yang tak lazim sebagai kami yang hanya hidup di air dan mengerti keuletan kalian pada segala sesuatu di luar dan di dalam kemungkinan yang tak pasti

halaman 39


Penyair Akan Terjatuh

Penyair akan terjatuh ke sebuah sungai apabila ia tidak lagi mampu menentukan dirinya berhadapan dengan maut musim Ia bakal terseret desakan arus dan pusaran ke masa depan di mana laut telah seutuhnya menjadi bangkai perjalanan kematian yang tak diinginkan

halaman 40


Canis Vulpes I

Aku seperti tersedot malammu Malam dan kematian-kematian Yang tak diinginkan dalam risau Yang pukau Dan sebuah jalan pada kita seperti tak punya arah Hanya kegelapan yang menjadikan gelap Memasuki mata kakiku yang dipenuhi kebimbangan dan kecurigaan yang maha dalam

halaman 41


Canis Vulpes II

Rubah putih yang bagaimana kau ini malam-malam yang berbaring lemas dan sedikit menggeliat bagai belut membalut suaramu di kubangan kegelapan masihkah keberingasan menjadi pertanda kerinduan pada alammu alam yang kemudian hanya mengenal kekejaman dari penyiksaan perasaan bagi hutan-hutan pengembaraan akhir dari segala kematian yang menghidupkan cekungan angan pada jalan jalan melengkung

halaman 42


di sebuah pematang yang sumbing pada tahun yang menggelinding ke jurang terdalam di mana kita bagai kudeta yang renta di petang yang juling di rentang yang jelatang mengusai segala resah dalam raung yang tersimpan

halaman 43


Sebab Penyair Jatuh dari Peta Cinta

sebab penyair jatuh kepada cinta, ia gagal mencipta pusaran dan ia berkabung bagai petarung di musim ojhung memenuhi bebintang dengan cambang desah panjang di ujung kesimpulan rambut yang salah tangkap bahwa ia telah jatuh dari peta cinta yang menurutnya sebuah petaka yang samasekali tidak langka dalam koteka yang menyiksa dan yang bersifat baka.

halaman 44


Penyair yang Tertutup

Ia tidak mengenal angin pada sebuah beranda Sesuatu yang jatuh di halaman Ia membunuh sebuah derit yang biasanya Menjerit pada engsel pintu dan ia tidak setuju pada hidupyang sebatas hijau tak terjangkau pada hatinya yang risau

halaman 45


Gelang Penyair yang Putus

Sebuah isyarat bangsa kutub Bahwa ia akan mengenal lingkaran lebih dalam Pada pangkal lengannya yang tersengat ubur-ubur Sembilan tahun silam pada sebuah laut tempat ia mandi, mencuci diri pada ombak yang membiak dari arah yang berlawanan

S

halaman 46


Drama

Jeritan Indonesiaku oleh Rudolf Dayu MSC

askah drama yang kami muat pada majalah “Sagang� nomor ini, secara utuh kami salin bersumber internet, adalah semata disuguhkan sebagai bentuk inte apresiasi sekaligus ditujukan pada para penyuka, para siswa atau mahasiswa pada bidang studi teater untuk dapat dijadikan sebagai bahagian sumber inspirasi (kreatif) penulisan naskah drama yang mengkombinasikan beberapa aspek percabangan seni dalam satu kesatuan seni pentas. (redaksi)

halaman 47


Tampilan mengenai kebangsaan Indonesia (sebuah ilustrasi singkat) Tarian ADEGAN I Tampilan tentang Papua (Slide) Dialog antara orang papua soal rasa kebangsaan (setting panggung, sebuah meja dan dua kursi, seorang sedang membaca buku (A), kemudian masuk seseorang temannya (B)) A : "Co ko liat… co ko liat…, dorang tembak orang papua lagi (membanting koran ke atas meja)…, dorang kira kita ini sama dengan rusa ka apa, sampe dorang enak saja tembak sambarangan." B : "Seee… ko kenapa ka? Trada angin tra ada hujan langsung mangamuk takaruang…, co ko santai dulu kah…, baru ko cerita pelan-pelan saja tra usah buru-buru begitu!" A :"He... co ko liat koran ini…, ada penembakan lagi…, jadi omongkosong itu istilah Papua Tanah Damai..., dorang baku tipu rame..., dorang pura-pura perhatian dengan Papua supaya dorang mo keruk itu kekayaan Papua." B :"ko tra jelas..., sebenarnya ko marah sapa kah???" A :"issssssssss…, pokoknya dorang-dorang semua." B :"dorang itu siapa?..., tra semua begitu mo, ada yang juga memang betul-betul perhatian dengan Papua." A :"pokoknya sa tra mau tau…, pokoknya dorang semua…, dorang bilang kita ini satu bangsa, tapi kenapa Cuma kita orang Papua yang menderita, Cuma kita orang

halaman 48

Papua yang diperlakukan tidak adil. B : ” ko buta kah! Co ko liat di Jawa sana, dorang yang kena lumpur Lapindo…, dorang juga menderita, jadi bukan kita orang Papua saja yang menderita!” A : “Ah…kalo Cuma lumpur itu biasa, di kita pu kampung juga lumpur di mana-mana mo” B : “Isssssssss…, itu karena kita tinggal di dekat rawa” A : “sekarang sa mo tanya rawa itu lumpur ka bukan?” B : “Memang rawa itu lumpur to” A :”kalo begitu sama to...” B :”ihhhhhhh…, percuma saja ko kuliah su semester 13 A :"Ko stop ungkit-ungkit semester ini juga gara-gara pemerintah, dorang tra buat pendidikan dasar yang betul-betul berkualitas. Ko masih ingat to di kampung sana. Guru itu de masuk 1 bulan tapi trus de libur di kota 3 bulan. Sekarang kuliah baru dapat rasa de pu dampak, kita kesusahan untuk ikuti pelajaran, karena memang dasar pendidikan lemah” B :"Itu betul…, tapi ko juga tau to bapak guru Klemens di kampung sana de setia, padahal kadang de pu gaji berbulan-bulan tra dibayar, malahan masyrakat kadang minta bantuan ke dia, dan de mo bantu.” A :“Itu pemerintah pu kerja…, bapak Klemens su cape-cape mengajar,baru dorang-dorang yang di atas pi korupsi.. termasuk bapak Klemens pu gaji dorang pi korupsi. Bangsa ini…, bangsa yang tra tau malu” B :"Ko bilang bangsa ini tra tau malu…, baru sa mo tanya..., ko bangsa mana?” A : (Garuk-garuk kepala)


B :“Bangsa Indonesia bukan hanya pemerintah saja…, saya, ko dan semua yang ada di negara ini adalah bangsa Indonesia” A :"Ah..sa tra mau satu bangsa dengan koruptor…, nanti sumpah pemuda dorang ganti…”, Kami Bangsa Indonesia mengaku berbangsa satu bangsa koruptor ha ha ha” B :"Ko gila….” A :"Mending gila daripada tra tau malu sama dengan itu koruptor-koruptor” B :“Sudah ko stop mengeluh…, John F. Kennedy pernah bilang “Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu tapi tanyakan apa yang kamu berikan untuk negara.” A :“ko macam su pernah ketemu dengan Kennedy saja…, sa kasih tau, itu kata-kata tra cocok untuk bangsa ini, kalo ko mo tahu kata yg cocok itu seperti ini, “Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu, tapi tanyakan apa yang negara rampas darimu?” B :"terserah ko saja…, kalo semua orang Indonesia mengeluh sama dengan ko… trus siapa yang berjuang untuk bangsa Indonesia.” A :"Kalo begitu sa juga mo tanya…, kalo semua orang Indonesia berjuang, trus siapa yang mo mengeluh?” B :"Sa tra ragu lagi ko benar-benar gila.” A : "Gara-gara bangsa ini yang buat sa jadi gila” B : (Geleng-geleng kepala) A :"Pokoknya selama orang papua masih mengalami ketidakadilan dan menderita…, Stop bicara satu nusa satu bangsa…, kalo memang satu bangsa harusnya semua sama-sama menderita.”

B :"ko bicara ke saya tra ada guna…, mending sekarang ko pi demo di depan kantor DPR sana”." A :"Yuuu…, pamalas…, buat apa bicara dengan dorang orang-orang tuli…, mending sa tidur…” B :"Aihhh… ko pu kerja itu Cuma mengeluh, makan dan tidur saja.” A :"Yang penting sa tra menyusahkan orang lain….” (bergegas pergi). ADEGAN II Tampilan tentang Tionghoa di Indonesia (slide) Dialog orang tionghoa tentang identitas diri (si C sedang duduk mendengar sebuah lagu tentang Indonesia, kemudian masuklah D). D :“Ko!!!! Matikan lagu itu!!!! Ngapain dengar lagu seperti itu!” C :"Mey…, kitakan orang Indonesia…, jadi wajar dong dengar lagu-lagu kebangsaan Indonesia” D :"Apa??? Orang Indonesia??? Ko, masih ingat peristiwa 1998, kita diperlakukan seperti binatang Ko. Kita gak dianggap sebagai bagian bangsa ini. Mereka tidak menganggap kita Indonesia, tapi mereka memanggil kita CINA.” C :“Tidak semua kan yang beranggapan seperti itu? Masih ada juga kok yang melihat kita sebagai sebuah etnis sama seperti lainnya.” D :"Oh ya??? Trus mereka ada di mana ketika toko-toko kita dijarah. Ketika wanitawanita etnis Tionghoa diperkosa?” ( hening sejenak) D :"mereka berteriak soal pribumi dan non pribumi…, coba siapa yang pribumi

halaman 49


di bangsa Ini?? Apakah melayu?… terus bagaimana dengan Papua, apakah mereka juga non pribumi?’ C :"lagi-lagi kamu menyebut mereka… apakah semua bangsa Indonesia seperti itu. Mereka itu hanya yang berpandangan sempit. Buktinya kita sekarang diakui.” D :“Diakui oleh pemerintah? Ha ha ha, tapi kenyataannya dalam keseharian kita susah sekali untuk berelasi dengan mereka yang menamakan dirinya sebagai Pribumi. Seakan di jidat kita ada tertulis CINA, dan itu sebuah pesan agar kita dijauhi.” C :"Mey sampai kapan kamu bersikap seperti itu?” D :“Ko…, sakit hati ini nggak akan mudah untuk hilang. Bangsa ini gak tahu malu, lihat siapa yang mengharumkan nama Indonesia di dunia. Alan Budikusuma, Susi Susanti, Hendrawan..., mereka semua itu orang yang mereka katakan CINA. Nama mereka saja yang berbau Indonesia. Itupun dipaksa oleh pemerintah karena sikap sentimen terhadap kita orang yang selalu disebut CINA.” C :"Tapi buka mata kamu Mey, sekarang kebudayaan Cina diperbolehkan untuk tampil di depan publik, dan itu sebuah tanda pengakuan” D :"Oh ya, dan di sisi lain tiap hari para aparat pemerintah menjadikan kita orang Cina sebagai sapi perahan mereka. Mereka kira uang datang begitu saja, kita juga bekerja Ko.” C :"huff..., biar bagaimanapun aku mencintai bangsa ini karena aku orang Indonesia. Dalam udaranyalah aku bernafas, aku telah melebur dengan alam bangsa ini dan aku yakin bangsa ini akan

halaman 50

menjadi bangsa yang besar D :"Iya bangsa yang besar…, besar dalam jumlah penduduknya…, besar dalam tingkat korupsinya…, besar dalam tingkat polusinya dan besar dalam tingkat pelanggaran HAM.” C :"Dan kamu tahu kenapa bangsa ini terpuruk? Pertama, Itu karena bangsa ini kebanyakan diisi oleh orang-orang yang menganggap saudara sebangsanya sebagai musuh kemudian menganggap dirinya yang paling berkuasa dan yang kedua karena kebanyakan orang memilih mencintai Tanah Air ini dengan menghujat dengan mengangkat kejelekan bangsa tanpa sedikitpun mau berjuang.” D :"Ko, mau menyindir aku?…, buat apa aku harus berjuang untuk bangsa yang tidak mengakui diriku!” C :"Mey…. Hidup menjadi suatu bangsa, berarti siap dengan menerima segala kepedihannya. Bangsa ini bukan Partai Politik yang menawarkan ini dan itu, dan ketika ada partai lain yang memberikan tawaran lebih menarik dengan mudah kita bisa berpindah. Bangsa ini mau menjadi apa, itu tergantung kita semua yang ada di dalamnya, bagaimana kita saling mengerti, bagaimana kita saling menghargai dan bagaimana kita saling bekerjasama.” D :"Dan sayangnya Ko, tidak ada pengertian dan penghargaan untuk kita yang disebut Cina.” C :"Atau jangan-jangan kita yang sudah skeptis terhadap bangsa ini? Apapun kita ragukan. Kalau begitu yah kita tidak akan pernah keluar dari rasa kebencian akan bangsa ini. Justru bangsa ini menantang jiwa Indonesia kita untuk melawan mereka yang mencoba mencoreng wajah


sedikitpun merubah situasi nona!”

bangsa ini.” D :"Sudahlah Ko, sekarang yang terpenting adalah kita bisa bertahan hidup, gak usah repot-repot mikir tentang bangsa ini…, biarkan mereka yang menamakan dirinya Pribumi yang mengurus bangsa ini…, dan kita yang disebut Cina cukup mencari uang untuk kehidupan kita dan anak cucu kita kelak…, Aku letih Ko…, aku masuk kamar dulu.” C :"Sekedar pemberitahuan saja buat kamu…, Ahok jadi wakil Gubernur Jakarta.” D : (termenenung bergegas masuk

sejenak)

kemudian

F :"Kami ini butuh uang, kami gak peduli dengan perasaan, kami bisa hidup enak itu cukup!” E :"Demi itu semua kalian tega menjual wanita dari bangsa yang sama dengan kalian?” F :"Ha ha ha…, apa kau bilang nona??? Sebangsa? Asal kau tahu, yang menyuruh kami adalah orang yang punya kedudukan di bangsa ini, yang sering berpidato tentang nasionalisme… ha ha ha.” E :"kalian-kalianlah yang merusak bangsa ini.” G :"Justru kami yang buat bangsa ini dikenal di dunia, lihat banyak negara mencari wanita-wanita Indonesia, itu cara kami membuat bangsa ini dikenal dunia.”

Orkestra (Ku Lihat Ibu Pertiwi) ADEGAN III Tampilan tentang Traficking (Slide) Keluh kesah seorang Wanita ( setting dua orang pria duduk sedang menjaga seorang wanita yang terikat pada kursi )

F :"Sudahlah nona…, nanti kaupun senang dengan pekerjaanmu…, selain dapat uang kau juga akan dipuaskan oleh berbagai macam jenis lelaki..., ha ha ha, jadi ibaratnya sambil menyelam minum air, ha ha ha.” E :"benar-benar binatang kalian…”

E :"Anjing!!! Kalian berdua sama dengan binatang…, nggak ada perikemanusiaan…” F :"yang anjing itu kamu…, makanya kamu kami jual…, ha ha ha” E :"hmmm (memendam amarah) bagaimana perasaan kalian kalau seumpama ibu kalian dan saudari perempuan kalian mengalami apa yang aku alami?” F :"ha ha ha…, nggak mungkin…, Ibuku sudah lama meninggal…” G :"Kalau aku anak tunggal…, jadi nggak ada saudari perempuan…, ha ha ha.” E :(mulai menangis) G :"Berhenti

menangis!!!

Tidak

akan

G :"Bukankah seorang perempuan Indonesia memang sudah sepatutnya begitu, harus nurut apa kata lelaki…, jadi kalo lelaki bilang kamu jadi pelacur..., yah kamu harus ikut. Ha ha ha.” E :"yang pelacur itu kalian…, mau-maunya menjual harga diri kalian untuk bekerja pada orang-orang yang nggak punya moral” F :"Karena itu nona…, karena kami merasakan kenikmatan dari pekerjaan kami. Kami juga mengajakmu untuk menjadi pelacur supaya merasakan kenikmatan yang sama seperti yang kami rasakan, jadi kita sama-sama menjual diri

halaman 51


demi sebuah kepuasan, ha ha ha” E :"Maaf…, aku sedikitpun tidak berminat menjual diriku!” G :"kalau kau tak mau menjual dirimu, biar kami yang menjualmu…, mudahkan?” E :"Kau tidak punya kuasa atas diriku!” F :"Oh ya…, ingat Nona, jika aku ingin…, aku bisa membebaskan dirimu, ini Indonesia Nona, kita bisa mengontrol orang lain asal kita punya kuasa.” E :"Indonesia yang mana, yang kutahu kebebasan adalah nafas bangsa ini.” G :"Apa kebebasan?? Kau tahu Nona berapa banyak manusia bangsa ini yang belum bebas dari kemiskinan, belum bebas dari kebodohan…, Masih banyak Nona. jadi omong kosong dengan namanya kebebasan.” E :"karenanya seharusnya itu menjadi perjuangan kita bersama sebagai sebuah bangsa, dan bukan malah saling menguasai!” F :"Nona tidak usah bermimpi tentang bebas…, bahkan kadang demi nama kebebasan kita malah menunjukkan ketidakmanusiawian kita…, kita bebas bertindak sesuka hati kita, yang ada malah terjadi konflik karena masingmasing ingin sesuai dengan apa yang dipikirkannya.” E :"itu bukan kebebasan, justru mereka itu tidak bebas, karena mereka terbelenggu oleh keinginan-keinginan mereka.” G :"Nona, apakah ada kebebasan yang sungguh-sungguh bebas?” (hening sejenak) E :"Intinya kebebasan adalah di mana kita tidak merasa adanya paksaan, jadi kita menjadi pribadi bebas dalam bangsa ini

halaman 52

adalah ketika kita tidak merasa terpaksa untuk menjadi bagian bangsa ini.” G :"Rumit sekali Nona…, kebebasan bukanlah sebuah garis finish, kebebasan adalah perjuangan menyadari keterikatan kita.” E :"Kau lebih rumit lagi…, yang aku tahu bebas adalah aku bisa terlepas dari ikatan ini, dan juga dari penjagaan kalian. F :"Maaf Nona, itu berarti kebebasan bagimu hanya sebatas mimpi, seperti kebebasan di negeri ini yang cuma ada di alam mimpi.” G : (melihat jam tangan) "Sudah… saatnya kita bawa dia kepada Bapak…” Orkestra Monolog Pada malam yang utuh aku adalah arsitek yang melihat reruntuhan bangunan sebagai sebuah sketsa tanpa nama. Kupisahkan tiap warna dari kabut yang mencoba mengusik pagi Kucoba untuk mengasuh tiap jeritan yang digantungkan pada pohon kamboja. Jejak pertama pada tanah basah adalah awal kisah dari sebuah opera tanpa suara. Semuanya menjerit sekaligus semuanya diam Semuanya menangis sekaligus semuanya sunyi Bukan hal asing menemukan lukisan degup jantung pada dinding dari kota ini. Tentang sejarah sendiri kini telah berpendar menjadi lembaran kalender yang musnah ketika sebuah harapan ditodongkan pada mata. Pada awan yang mana…. Kita harus berlindung?


Terkadang ku memilih untuk sendirian merajut sebuah bianglala… dan ku tak tahu kapan aku selesai.. Itulah sketsa dari bangsaku, yang kubuat dan tak pernah kuberi nama. Aku meminta Tuhanku yang nantinya menyempurnakannya… beginilah pintaku…. Tuhan Aku bersyukur atas rahmat yang Kauberikan kepada bangsaku, sekaligus aku mohon ampun atas tindakanku dan juga tindakan bangsaku dalam menanggapi kebesaranMu Engkau menganugerahi kehidupan, tapi bangsaku lebih memilih kematian untuk menegaskan eksistensinya Engkau menganugerahi sukacita kebersamaan, tapi bangsaku lebih memilih ratap tangis kehilangan yang lebih akrab di telinga Engkau menganugerahi kejujuran demi sebuah ketulusan, tetapi bangsaku lebih memilih kebohongan demi kejayaan dirinya

tapi bangsaku lebih memilih alam kaku dari beton Engkau menganugerahi kepedulian sebagai wujud kebersamaan, tapi bangsaku lebih nyaman dengan sikap masa bodoh dengan orang lain, karena merasa urusan sendiri jauh lebih penting. Tuhan ampuni kami yang jelas-jelas mengacuhkan anugerahMu…tapi Tuhan, Engkau tahu ada juga orang yang setia kepadaMu dalam bangsa ini. Oleh karenanya, seperti yang dimohonkan Abraham kepadaMu, ijinkan akupun memohon kepadaMu, ” Tuhan…sekiranya ada sedikit orang yang setia kepadaMu di bangsa ini, apakah Engkau akan memusnahkan bangsa ini?” Aku tahu Engkau selalu mencintai bangsa kami. Karenanya kuserahkan bangsa ini padaMu…untuk Kau bentuk. Karena aku tahu Engkau adalah Arsitek Yang Agung Lagu “Satu Nusa Satu Bangsa”

Engkau menganugerahi persamaan derajat, tetapi bangsaku lebih memilih menginjak sesamanya agar bisa berdiri lebih tinggi

SELESAI

Engkau menganugerahi kerendahan hati, ttapi bangsaku lebih memilih kecongkakan atas sesuatu yang kosong

S

(red. internet)

Engkau menganugerahi pengampunan, tapi bangsaku lebih memilih menghakimi demi “kesucian” diri masing-masing Engkau menganugerahi kelimpahan atas negeri ini, tapi bangsaku lebih memilih bermental miskin yang selalu merasa kurang…kurang…dan kurang Engkau menganugerahi alam yang indah,

halaman 53


Rehal

Sejarah Sumatra Berat

:

0.9 kg

ISBN

:

9793731222

Jenis Sampul

:

Soft Cover

Waktu Terbit

:

2012

Penulis

:

William Marsden

Penerbit

:

Komunitas Bambu

Jumlah Halaman :

xxvi, 441 hal.

Edisi

:

Cet. II, terj.

Deskripsi

:

illus.

Catatan

:

Dicetak dalam jumlah terbatas. Cetakan I terbitan Komunitas Bambu pada 2008.

Diterjemahkan dari buku History of Sumatra (edisi ketiga, Oxford University Press)

halaman 54


Sejak pertama kali terbit pada 1783, buku Sejarah Sumatra telah memukau dan dipujikan sebagai karya jempolan. Walaupun sesudahnya banyak buku tentang Sumatra terbit, namun karya William Marsden ini tetap istimewa serta dirujuk sejagat sebagai karya klasik yang monumental. Marsden menceritakan karakter orang Sumatra, mulai Aceh di ujung utara sampai ke Lampung di selatan. Ia berikan perhatian khusus pada tradisi, hukum adat, kearifan lokal, bahasa, aksara, penduduk asli Pulau Sumatra dan berbagai masalah yang timbul dalam kontak dengan orang asing. Tapi, dilaporkannya pula tentang ekologi, cuaca, sistem angin, sungai, pelabuhan di muara sungai, dataran, bukit, gunung, beragam-ragam buah, tanaman obat dan aneka bunga. Termasuk berbagai hewan. Selain itu dipaparkannya fakta sejarah, kehidupan masyarakat, arsitektur dan pakaian orang Sumatra. Tak lupa dibahas kekayaan hutan, bahan mineral, dan rempah-rempah yang sejak zaman purbakala menjadi komoditi andalan. Marsden juga mengulas cara-cara bercocok tanam, ekstensiďŹ kasi pertanian dan perkebunan penduduk, termasuk cara-cara menangkal dan mengusir hama tanaman. Bahkan ihwal pengobatan penyakit gila pun diceritakan. Marsden memulai risetnya pada 1771, saat itu usianya 17 tahun dan berada di Bengkulu. Saat itu Sumatra adalah pulau yang masih begitu pekat diliputi misteri. Tak ubahnya seorang wartawan, Marsden melakukan liputan pandangan mata sekaligus laporan investigasi terinci dan mendalam. Ia sukses antara lain menguasai bahasa Melayu, paham berbagai bahasa daerah dan etika di Sumatra. Sikapnya pun simpatik. Penerbitan kedua Sejarah Sumatra diadakan penerjemahan ulang dan secara ketat mengikuti edisi aslinya. Kekuatan redaksionalnya semakin afdol karena ada penambahan banyak gambar sezaman yang tidak ada di dalam buku aslinya. Ini bukan saja akan menguatkan imajinasi historis pembaca, tetapi lebih jauh lagi, buku ini mampu membawa pembaca memasuki terowongan waktu untuk berkelana di Pulau Sumatera dalam suasana abad ke-18.***

S

halaman 55


Rehal

Aib

Judul

: Aib

Judul asli

: Disgrace

Penulis

: J.M. Coetzee

Penerbit

: Jalasutra, 2005

Penerjemah : Indah Lestari Editor

: Anwar Holid

ISBN

: 979-3684-33-X

“Setiap orang di takdirkan baik adanya. Jadilah orang baik, walaupun dunia menjadi tidak baik. Setiap orang memilik aib, yang membedakan sampai sejauh mana hal itu bisa disebut aib. Aib tidak membuat orang menjadi hina, hanya membuat orang belajar lebih banyak tentang hidup�.

halaman 56


Tokoh Lurie menjadi bukti betapapun orang secara individu ingin bebas dari kondisi sosial, lepas dari situasi komunal, berusaha merdeka, semata-mata memperhatikan kepuasan dan kenyamanan sendiri, ternyata tetap saja tersangkut-sangkut oleh sesuatu yang lebih besar, meskipun bisa jadi hal itu tak tampak atau tak terasa. Ini mungkin bisa mengingatkan kita pada kondisi orang memang mustahil bisa lepas dan lingkungan, negara, kondisi politik, termasuk hukum. Afrika Selatan sebenarnya negeri yang sangat jauh jaraknya dengan negeri kita, Indonesia, namun rupanya kita juga sudah cukup lama pula memiliki hubungan dengan negeri itu, bahkan sebelum Syaikh Yusuf, ulama Indonesia asal Makassar, akhirnya dibuang ke sana oleh pemerintah kolonial Belanda sampai meninggal. Pelabuhan Tanjung Harapan (Cape of Good Hope), yang terletak sekitar 48 km di selatan Cape Town merupakan penghubung sangat penting bagi jalur pelayaran dari Eropa, terutama Portugal dan Belanda, ke berbagai wilayah Asia, termasuk Indonesia. Ketika sekarang Dunia mengerut, saling berhubungan, sementara sumber informasi tersedia cukup, kita bisa mudah tahu yang terjadi di Afrika Selatan, mulai dari masyarakat, budaya, dan kondisi politiknya. Orang bisa berpendapat Afrika Selatan adalah negeri yang berisi banyak ekstrem: di sana terjadi Apartheid, sebuah sistem politik yang melarang kaum tertentu tinggal maupun beraktivitas dengan lain kaum, dan memberi keistimewaan tertentu pada kaum keturunan Eropa; pelanggaran HAM masih berlangsung besar-besaran; keadilan seolaholah berwujud dongeng; kekerasan politik masih berlangsung; dan perbedaan—bisa berupa ras, agama, sosial tetap jadi ancaman

serius. Sejumlah penulis Afrika Selatan terusmenerus berusaha menggugat kenyataan sosial dan kejahatan itu menjadi inspirasi yang barangkali tidak ada habisnya; beberapa di antara mereka bahkan sangat aktif terlibat politik. Wajar realitas sosial sakit itu mengusik penulis, karena mayoritas mereka menulis kondisi, perenungan, termasuk gugatan yang langsung atau tidak bisa ditelusuri sumbernya di tempat tinggalnya, tempat sehari-hari penulis merasakan gejala alam, interaksi sosial, ketegangan keadaan, termasuk pergolakan pemikiran. Ambil contoh Nadine Gordimer, penulis Afrika Selatan pertama yang dapat Nobel Sastra (1991). Dia hidup di tengahtengah pergolakan sosial, kesenjangan sosial, juga pertentangan kelas sangat tajam; yang dilakukannya ialah mengkritik rasisme dan ketidakadilan, baik melalui melalui buku maupun dengan aktif terlibat politik. J.M. Coetzee, penulis Afrika Selatan kedua yang dapat Nobel Sastra (2003), dalam Aib ini terusik sekali oleh keadaan sosial tempat seseorang hidup di kota Afrika Selatan, berinteraksi, memiliki kehidupan politik tertentu. Makin dalam membuka halaman, pembaca bertemu David Lurie, profesor sastra Inggris penyendiri pencari kenikmatan duniawi, yang tak bisa lepas dari sistem sosial di tempat hidupnya. Pada akhirnya dia berurusan dengan pengadilan universitas, publik, polisi, kawanan penjahat dan pemerkosa, padahal keinginannya sederhana: tenang melakukan keinginan pribadi, menghasilkan sesuatu yang berguna minimal untuk diri sendiri. Lurie adalah tipikal orang apolitis, tapi sikap itu gagal dijalankan bila orang berada di tempat yang secara sosial tak bisa dipungkiri

halaman 57


tegang, mudah goyah oleh ‘gangguan kecil.’ Gangguan kecil itu bersumber dari sifat Lurie yang womanizer, lelaki yang terusmenerus butuh perempuan demi kepuasan seks. Tapi kita akan kecele bila menyangka, atau berharap, Aib adalah novel yang menampilkan seks sebagai sajian utama. Malah di sepanjang halaman kita akan diberi kenyataan kasar, menyakitkan, ironik, tentang nasib seorang kulit putih di dalam kondisi sosial politik maupun hubungan antarpersonal rentan gangguan. Dalam Aib Afrika Selatan sudah ada pada periode pos-Apartheid, tapi kita bisa segera merasakan bahwa ketidakadilan itu masih tersisa dan mudah sekali melahirkan stigma. Orang kulit putih terpelajar seperti Lurie ternyata mudah sekali bangkit rasa curiganya pada orang kulit hitam, apalagi yang secara sosial dan ekonomi dipandang lebih rendah, meski itu tak dia maksudkan sama sekali, melainkan terjadi secara bawah sadar. Lurie menjadi bukti betapapun orang secara individu ingin bebas dari kondisi sosial, lepas dari situasi komunal, berusaha merdeka, semata-mata memperhatikan kepuasan dan kenyamanan sendiri, ternyata tetap saja tersangkut-sangkut oleh sesuatu yang lebih besar, meskipun bisa jadi hal itu tak tampak atau tak terasa. Ini mungkin bisa mengingatkan kita pada kondisi orang memang mustahil bisa lepas dari lingkungan, negara, kondisi politik, termasuk hukum. Dalam novel ini Coetzee tak sepatah pun menyebut ‘Apartheid’, tidak eksplisit menyinggung politik, ketegangan hubungan antara ras kulit putih dan ras kulit berwarna, labilnya kondisi sosial; malah dengan ganas menghadirkan Lurie yang hampir di ujung putus asa tak bisa memperoleh ketenangan sehabis seluruh pesona dirinya menurun,

halaman 58

kemampuan berkaryanya mandek, sementara reputasi sebagai pengajar juga biasa saja. Tapi begitu membuka halaman, dengan cepat kita disodori realitas banal yang bisa terjadi di manapun; betapa prasangka buruk mudah sekali menular, harga diri sulit sekali kompromi, maaf sangat sulit diucapkan; sedangkan hasrat mudah sekali diluapkan, dan niat baik kadang-kadang sulit sekali dilakukan. Memandang Lurie sangat mungkin pembaca tetap kehilangan simpati karena moral dan pribadinya longgar sekali, tapi bila mau lebih luas memandang sisi hidup, bisa sabar bahwa manusia ternyata bisa berlapis-lapis menampilkan sosok, kita pasti bisa memandang seseorang atau keadaan lebih proporsional, bahwa banyak hal ternyata memiliki dimensi lebih luas, bukan sekadar seperti yang tampak. Di sisi lain wajar bila pembaca cepat sadar tema novel ini punya banyak aspek untuk diperhatikan, terutama dari sisi relasi antarpersonal, sosial-politik, ras, gender; lebih jauh kita bisa membicarakan moralitas dan kekerasan. Tambahannya, kita mendapat wawasan sastra, terutama puisi, tentang Lord Byron (1788-1824), penyair sangat berpengaruh dalam gerakan Romantik akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 di Eropa. Dari sana kita bisa sangat merasakan betapa sebuah negeri dan bangsa yang beranjak meninggalkan masa lalu kelam masih menyimpan kemungkinan kambuh; David Lurie jadi simbol generasi lama yang kehilangan peran, kehilangan hormat dari anak dan generasi muda. Dia hampir kehilangan martabat karena tak tahan menghadapi konsekuensi dan peristiwa di luar prakiraannya, tapi di ujung novel ada sejumlah harapan yang bisa membuatnya tahan dan siap menghadapi hari-hari tuanya:


penciptaan, kelahiran, juga kedamaian. Dari sisi penulisan kita mendapat contoh novel yang ditulis sederhana, jelas (tidak kabur sama sekali) efektif, tapi pembaca masih bisa menarik banyak simpul dari sejumlah peristiwa dan narasi di dalamnya; hubungan ayah-anak yang kering namun tulus, tetap cukup menyediakan kasih; keuletan seorang sarjana menuntaskan idealitas, keputusan anak yang di luar prakiraan orangtua, seseorang yang payah menahan hasrat tapi mudah jatuh lagi karena nyaris tak ada penghalang. Jelas dia tipikal orang mapan, puas dengan kenyamanan hidup, tapi Lurie moderat, setidak-tidaknya terhadap pilihan orang lain; lebih jelas lagi dia jujur. Meski kerap merasa pertimbangannya lebih sehat, dia cepat belajar dari fakta atau lingkungan yang dialaminya. Dia tampak tahu diri atas kapasitasnya, termasuk bahwa kesarjanaannya tidak berpengaruh banyak pada kehidupan. Pembaca Indonesia relatif terbatas mengenal sastra Afrika Selatan, kami berharap terjemahan atas Disgrace ini memberi sumbangan berarti bagi kekayaan budaya dan sastra kita. Sebenarnya banyak penulis berwibawa dari negeri itu, terutama karena sejarah keturunan Eropa telah tinggal di sana lebih dari 300 tahun lamanya; dan sepertinya lazim negeri yang penuh pergolakan, sejarahnya kompleks, mampu menghasilkan sastra berkelas. Bertahuntahun silam YOI menerbitkan terjemahan Waiting for the Barbarians (1980), salah satu novel Coetzee yang paling direkomendasikan dan kini telah masuk kategori ‘klasik modern’. Buku itu berjudul Jeritan Hati Nurani: Dilema Kehidupan Sang Hakim, diterjemahkan Rayani Sriwidodo dan Sori Siregar; tapi setelah penerbitan buku itu kita

kelihatannya berhenti mengeksplorasi sastra Afrika Selatan, meskipun sejumlah cerpen terjemahan dari berbagai khazanah negeri Afrika sesekali diterbitkan. Banyak kritik menyebut Coetzee tidak pernah secara terang-terangan mengecam ketidakadilan yang terjadi di negerinya atau bereaksi sangat keras terhadap Apartheid sebagaimana Gordimer, bahkan tampak dia bukan tipe penulis Afrika Selatan yang sengaja menggunakan istilah itu sebagai komoditas. Tapi Afrika Selatan tetap merupakan sumber inspirasi bagi kesuburan tulisannya. Waiting for the Barbarians, meskipun tanpa spesiďŹ k menyebut negeri tertentu atau waktu tertentu di dalamnya, pembaca bisa merasakan bahwa karya itu tetap kental beraroma negerinya, yakni tentang kompleksitas kehidupan politik di bawah pemerintahan totalitarian. Anggapan bahwa Coetzee kurang peduli isu politik barangkali disebabkan karena dia menulis sejumlah novel yang tidak bersetting di negerinya, subjeknya tidak berkaitan dengan masalah sosial negerinya, atau dia sampaikan melalui alegori yang dimensinya cenderung terasa lebih misterius dan universal. Tapi sebenarnya dia mengeksplorasi akibat konik rasial baik pada individu dan masyarakat, menyebabkan satu sama lain asing; setidak-tidaknya tekanan politik dan sejarah tetap merupakan isu sentral pada karyanya dan itu cukup mudah dikenali. Kecenderungan alegori itu sangat terasa di novel yang mengantarkannya meraih Booker Prize pertama kali, Life and Times of Michael K. Pada 2004 Jalasutra menerbitkan Writing and Being, buku kritik karya Nadine Gordimer. Selain Gordimer dan Coetzee, penulis terkemuka dari sana misalnya

halaman 59


Alan Paton, André Brink, Bessie Head, Dan Jacobson, Breyten Breytenbach, dan Christopher Hope. Generasi baru penulis Afrika Selatan antara lain diwakili oleh Damon Galgut. Di dalam Writing and Being Nadine Gordimer menulis dua bab khusus tentang kehidupan sastra di negerinya, dari sana kita memperoleh nama sastrawan lain yang patut diperhatikan, misalnya Carl Niehuis dan Ronnie Kasrils, meski tentu kita di sini mungkin sulit sekali bisa membaca karyanya. Dihuni oleh banyak etnis, Afrika Selatan memiliki 11 bahasa resmi, ialah Inggris, Afrikaans, Ndebele, Sotho (Utara dan Selatan), Swati, Tsonga, Tswana, Venda, Xhosa, dan Zulu. Karena sejarah politiknya ganas, kita mengenal sejumlah orang terkemuka yang muncul dari kondisi itu, seperti Desmond Mpilo Tutu, Nelson Mandela, Stephen Biko, dan Farid Esack. Dalam bukunya, Long Walk to Freedom (1994), Nelson Mandela menulis: Di Afrika Selatan, jadi miskin dan (berkulit) hitam adalah normal, jadi miskin dan (berkulit) putih adalah tragedi. Selesai baca novel ini wajar bila kita segera sadar, seperti apa David Lurie, Afrika Selatan, kehidupannya, dan terutama bahwa kemanusiaan, moralitas, meskipun universal, ternyata bukan sesuatu yang mudah ditetapkan nilainya.*** Tentang Penulis John Maxwell Coetzee lahir pada 9 Februari 1940 di Cape Town, Afrika Selatan. Coetzee telah menulis sekitar 20 buku, terutama novel, kritik dan esai. Buku fiksi pertamanya adalah Dusklands (1974), setelah itu diikuti karya dengan reputasi mengagumkan, antara lain In the Heart of the Country (1977), Waiting for the Barbarians (1980), Life and Times of Michael

halaman 60

K (1983), The Master of Petersburg (1994), Disgrace (1999), dan Elizabeth Costello (2003). Buku nonfiksinya antara lain White Writing: On the Culture of Letters (1988), Doubling the Point: Essays and Interviews (1994), Giving Offense: Essays on Censorship (1996), Boyhood: Scenes from Provincial Life (1998), dan Youth: Scenes from Provincial Life II (2002). Coetzee mendapat berbagai penghargaan sastra baik di negeri sendiri dan luar negeri, juga dari lembaga sastra dunia. Dia tiga kali mendapat Central News Agency (CNA), anugerah sastra paling terkemuka di Afrika Selatan pada 1978, 1980, 1983; hingga kini satu-satunya penulis yang dua kali memperoleh Booker Prize, yakni untuk Life and Times of Michael K dan Disgrace. Pada 2003 dia mendapat hadiah Nobel Sastra. Sarjana dari Universitas Cape Town, mendapat Ph.D. dari Universitas Texas, Austin (AS), kini dia adalah Profesor Sastra & Bahasa di almamaternya. Pada 1963 dia menikahi Philippa Jubber (1939-1991), memiliki dua anak, Nicolas dan Gisela. Pada 2002 Coetzee pindah ke Australia, hidup bersama rekannya, Dorothy Driver, tempat dia memegang posisi kehormatan di Universitas Adelaide. Selain itu dia menerjemahkan karya penulis lain ke dalam bahasa Belanda, Jerman, Prancis, dan Afrikaans, bahasa mayoritas penduduk kulit putih di Afrika Selatan. (red.dari berbagai sumber)

S


Tokoh

Václav Havel

avel adalah pendiri Charta av 77 di Cekoslowakia. Setelah Revolusi Beludru, yang menandai Revo jatuhnya komunisme di Cekoslowakia pada 1989, ia menjadi pemimpin partai demokrasi Občanské fórum. Pada 1989 ia menjadi Presiden Cekoslowakia berikutnya dan pada 1993 menjadi Presiden Ceko yang pertama – sebuah jabatan yang dipegangnya hingga 2003 saat beralih ke tangan Vaclav Klaus. Havel adalah seorang dramawan namun ia juga telah menulis buku-buku puisi dan esai. Ia mendapatkan nama sebagai dramawan pada 1963 melalui karya Zahradní slavnost, yang segera disusul dengan Vyrozumění pada 1965, yang merupakan karya paling terkenal. Tema sentral dalam karya-karyanya adalah pengasingan sosial. Kepengarangannya penuh dengan kritik terhadap sistem komunis yang totaliter, akibatnya ia dipaksa keluar dari dunia teater sehingga ia memulai karier politiknya. Mantan Presiden Czech sekaligus juga pahlawan dan pejuang Revolusi Beludru, upaya membebaskan diri dari kekuasaan Uni Soviet tahun 1989, Vaclav Havel, meninggal dunia, Minggu (18/12), dalam usia 75 tahun. Menurut sekretaris pribadinya, Sabina

Tancevova, Havel diketahui meninggal dini hari dalam tidurnya setelah sebelumnya menderita sakit lama. “Ya, benar. Dia telah meninggal dunia,” ujar Sabina. Havel menjabat sebagai presiden bekas negara Czechoslovakia, tahun 1989-1992, dan berlanjut menjadi Presiden Czech, tahun 1993-2003. Dia menderita sakit berkepanjangan terutama akibat pernah dipenjara selama lima tahun di bawah pemerintahan komunis. Pada tahun 1996 Havel menjalani operasi besar yang mengangkat salah satu paru-parunya lantaran terkena kanker. “Pada saat-saat terakhirnya Havel ditemani istrinya, Dagmar, ar, dan ar dan juga juga seorang sseo eora eo rang ra ng biarawati bia b iara ia rawa ra wati wa ti yang sejak sebulan terakhir memang emang m e r a w a t n y a ,” ujar Sabina. a. S e m a s a hidupnya Havel el memang dikenal enal sebagai seorang ang perokok berat.*** rat.*** (red. dari berbagai erbagai sumber)

halaman hala ha lama la man ma n 61


Anugerah Sagang 2014

Jelang Malam Puncak Anugerah Sagang Komitmen Budaya

nuge nugerah Sagang merupakan pemberian penghargaan pemb kepada sosok yang kepa menunjukkan dedikasinya terhadap kehidupan berkesenian, baik dari segi karya yang dipilih unggul, berkualitas serta semua pemikiran yang mampu menggerakkan dinamika budaya Melayu. Sebagai sebuah komitmen, kini Anugerah Sagang sudah memasuki tahun ke 19. Perjalan panjang yang dirintis Yayasan Sagang dalam upaya untuk terus berperan dalam membakar semangat dan memelihara etos serta bara api kreativitas. Penghargaan dan penghormatan yang dimulai sejak 1996 itu diharapkan kemudian memberi makna, memberi tempat tersendiri dalam cita-cita membangun tradisi dan

halaman 62

semangat Melayu baru. Tahun pertama pelaksanaannya, hanya memberikan penghargaan atas dua kategori yaitu seniman/budayawan dan karya terbaik pilihan Sagang. Sedangkan di tahun ke-2, (1997) ditambah satu kategori dengan memberikan penghargaan khusus untuk karya atau institusi yang memberi warna sangat penting dalam kehidupan seni budaya, baik dalam bentuk karya maupun lembaga-lembaga seni budaya. Tiga kategori ini bertahan hingga ke tahun berikutnya, pada 1998. Satu kategori lagi ditambah pada pelaksanaan Anugerah Sagang 1999 yakni berupa penghargaan khusus serantau yang diberikan kepada sosok atau institusi atau karya yang berada atau dihasilkan


di luar wilayah Riau namun sangat berpengaruh dalam memperkenalkan, membangkitkan dan mempertahankan serta menyebarluaskan kabudayaan Melayu. Empat kategori ini bertahan hingga 2001. Sementara itu, sejak 2002 hingga 2004, kembali kategori Anugerah Sagang ditambah menjadi lima yaitu seniman/budayawan, karya Buku, karya non buku, institusi/ lembaga dan anugerah serantau. Sedangkan tahun 2005 sampai 2006 ditambah lagi satu kategori yaitu karya jurnalistik pilihan Sagang. Dari 2007 hingga sekarang (2014), Anugerag Sagang ditambah lagi menjadi tujuh kategori dengan memberikan penghargaan terhadap karya penelitian budaya pilihan sagang. Ketua Dewan Pembina Yayasan Sagang, Rida K Liamsi menyatakan Anugerah Sagang merupakan sebuah komitmen budaya terhadap negeri yang bernama Riau, negeri yang menjadi salah satu teras dari tumbuh dan berkembangnya budaya Melayu. “Sebagai sebuah komitmen dan upaya untuk membangkitkan semangat kreativitas, semangat mempertahankan dan membina budaya Melayu. Oleh karena itu tentu saja dari waktu ke waktu harus terus disempurnakan, diasah dan ditarah agar senantiasa berdelau,” ucap Rida K Liamsi.

bumbungan rumah di kawasan pantai. Kayu tersebut dipasang melintang diagonal pada bentangan atap rumah. Adapun kegunaannya untuk menjaga keseimbangan bila terjadi terpaan angin ribut. Tidak hanya itu, di perahu-perahu kecil juga, kayu kecil yang disebut sagang itu dipakai untuk menyangga atau penyokong yang dipasang diagonal pada bentangan layar yang dalam hal itu dihajatkan agar menjaga keseimbangan bentangan layar agar senantiasa terbuka dalam menerima tiupan angin sehingga perahu melaju dan tetap kencang. “Jadi filosofi sagang merupakan simbol semangat untuk menjadi penyangga, mendorong dan menggerakkan semangat kreativitas budaya Melayu. Sagang juga menjadi simbol semangat yang tak kenal meyerah, semangat yang tak gentar betapapun hebat tantangan yang dihadapi,” ucap budayawan asal Riau itu. Dengan demikian lanjut Rida, sebuah upaya untuk mengukuhkan semangat dan obsesi, sehingga nama Sagang itu dikekalkan, diberi makna agar dia punya roh, punya kekuatan untuk terus membangkitkan semangat, motivasi dan kesadaran orang Riau, terutama para pendukung kebudayaan. Penerima Anugerah Sagang 2014

Filosofi Sagang Kata Sagang yang diabadikan pada anugerah, yayasan dan juga majalah di bawah teraju Riau Pos ternyata memiliki sebuah simbol semangat. Seperti halnya yang diterangkan lebih jauh oleh Rida K Liamsi bahwa kata sagang itu sendiri diambil dari khasanah bahasa Melayu di kawasan pesisir. Sagang adalah nama sepotong kayu kecil, dengan diameter 2-3 cm yang kemudian digunakan untuk menjadi penyangga

Setelah melewati tapisan demi tapisan dalam sebuah pembahasan, dan tahapan penilaian, akhirnya diputuskanlah para penerima Anugerah Sagang 2014 yang dilakukan tim penilai beberapa waktu lalu di Gedung Riau Pos. Untuk kategori seniman/budayawan pilihan Sagang diputuskan Hang Kafrawi yang dinilai telah memberi kontribusi yang cukup besar melalui kiprahnya di dunia seni terutama seni teater dan sastra. Dedikasi dan

halaman 63


ketunakan lelaki yang saat ini berkhidmat sebagai Ketua Program Studi Sastra Indonesia di Universitas Lancang Kuning itu terbukti dengan kontunitas karyanya melalui bukubuku yang telah diterbitkan baik kumpulan puisi, novel, esay maupun naskah drama. Di samping itu juga, Pimpinan sanggar Matan ini masih terus berkarya lewat pentaspentas teater baik sebagai sutradara maupun sebagai aktor. Sedangkan kategori, Buku Pilihan Sagang 2014, diputuskan sebuah buku kumpulan puisi “Timang-timang Nak Ditimang Sayang” karya Jefri al Malay. Buku yang di dalamnya terhimpun 24 buah puisi yang merupakan karya-karya yang dihasilkan penulis di tanah Melayu bernama Riau ini, berkisar tahun 20092011. Tak heran kemudian pilihan-pilihan kata dan tema yang diangkat di dalamnya menggambarkan sesuatu yang melekat dalam persoalan kemelayuan itu sendiri. “Jejak Suara Suvarnadvipa” produksi Riau Rhthym Chamber Indonesia (RRCI) merupakan pilihan Karya Non-Buku Pilihan Sagang 2014. Jejak Suara Suvarnadvipa merupakan sajian konser musik yang berangkat dari suara atau bunyi dari sebuah berita tentang kejujuran, ketaatan manusia, pengorbanan, semangat, kekuatan dan kejayaan. Jejak Suara Suvarnadvipa yang menjadi tema besar yang kemudian diusung RRCI tersebut diterjemahkan ke dalam delapan karya musik di mana proses dari penciptaan keseluruhan karya itu harus terjun ke daerah-daerah melakukan riset seperti di Kampar tepatnya di Candi Muaratakus untuk menelusuri jejak-jejak. Sehingga di dalam satu kesatuan tema dan musik yang diusung itu memiliki nilai edukasi sejarah, entertainmen hingga

halaman 64

tradisi seni tutur. Keindahan, kekayaan dan kemakmuran suvarnadvipa dahulu juga menjadi sumbu inspirasi. Sebuah sanggar yang telah berusia sembilan tahun, Sanggar Keletah Budak asuhan Sanggar Teater Selembayung ditetapkan sebagai Institusi/Lembaga Seni Budaya Pilihan Sagang 2014. Satu-satunya sanggar teater di Riau yang fokus memberikan laman bagi anak-anak untuk berekspresi di bidang seni teater melalai program latihan dan pentas-pentas yang kontinuitas. Untuk Karya Penelitian Budaya Pilihan Sagang 2014, diberikan kepada Junaidi Syam dkk atas penelitian yang dilakukan mengenai identitas, serta soal-soal manusia dan keberagaman kebudayaan di Tiga Lorong. Karya penelitian yang sudah dibukukan itu diberi judul “Tiga Lorong. Teguh Berdiri di Tengah Persimpangan Riuh Ramai”. Sementara itu, Karya Jurnalistik Pilihan Sagang 2014 ditetapkan karya jurnalistik berjudul “Raja Ali Haji; Peletak Dasar Tata Bahasa Melayu” karya Fenny Ambaratih yang diterbitkan di Majalah Batampos.co.id. Sedangkan Seniman Serantau Pilihan Sagang adalah Prof Zainal Borhan dari Malaysia. Para penerima Anugerah Sagang 2014 ini akan diberikan penghargaan dalam sebuah acara malam Anugerah Sagang yang rencananya akan digelar di hotel Pangeran menjelang akhir November 2014 ini. (Laporan: FEDLI AZIS)

S


halaman lxv


halaman lxvi


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.