Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)
Esei:
Sajak:
Napas Panjang Sastrawan Riau oleh Fakhrunnas MA
Syafrizal Sahrun dan Lasinta Ari Nendra Wibawa, ST
Jabbar
Kebudayaan, Kekuasaan dan Kemajemukan oleh Tjahjono Widarmanto
Kesenian Kini, yang Lahir di Ruang Sepi oleh Dantje S Moeis
Usman Awang permata Melayu yang sukar digan! oleh Azman Ismail Cerita-Pendek:
Dipanjat Sepi oleh Dantje S Moeis dan Tawan Karang oleh Hasan Junus
Malam Puncak Anugerah Sagang 2014 Rehal:
Perjalanan yang Mengajarkan Keikhlasan Bahasan:
Bahasa Melayu untuk Indonesia Tokoh:
Dato’ Dr. Usman Awang
195 DESEMBER 2014
www.majalahsagang.com
halaman KULITi ha
halaman KULI KULITii LITi LI Tii Ti
Daftar Isi Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 195 lDESEMBER 2014l tahun XVII
SN A Samad Said. Lukisan karya Aris Aziz. INT
n Amour ......................................................2 n Esei - Napas Panjang Sastrawan Riau oleh Fakhrunnas MA Jabbar ....................3 - Kebudayaan, Kekuasaan dan Kemajemukan oleh Tjahjono Widarmanto ............................................ 9 - Kesenian Kini,Yang Lahir di Ruang Sepi oleh Dantje S Moeis ........................ 11 - Usman Awang permata Melayu yang sukar diganti oleh Azman Ismail .......... 14 n Cerita-Pendek - Dipanjat Sepi oleh Dantje S Moeis ........ 17 - Tawan Karang oleh Hasan Junus ........... 21 n Sajak - Syafrizal Sahrun......................................28 - Lasinta Ari Nendra Wibawa, ST ............39 n Anugerah Sagang Malam Puncak Anugerah Sagang 2014 ...50 n Rehal Perjalanan yang Mengajarkan Keikhlasan ................................................52 n Bahasan Bahasa Melayu untuk Indonesia .............56 n Tokoh Dato’ Dr. Usman Awang .......................... 60
Perintis: Rida K Liamsi l Pemimpin Umum: Armawi KH l Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto l Pemimpin Perusahaan: Dra. Erda Yulfi l Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks l Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad l Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH l Pra cetak: Rudi Yulisman l Ilustrator Tetap: Purwanto l Manager Keuangan: Erda Yulfi. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan arus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.
halaman 1
Tajuk
Amour mo mour, kata dari bahasa Perancis yang berarti cinta, kekasih; adalah hal yang universal dibicarakan dalam kehidupan sehari-hari, dimana saja di belahan dunia ini. Setiap orang pasti mengalami dan bersentuhan dengan seorang kekasih, atau mempunyai kekasih, walaupun mungkin kekasih pujaannya itu tidak membalas cintanya atau ”bertepuk sebelah tangan” alias “kasih tak sampai”, tetapi sang pemuja cinta itu tetap mencintainya. Apakah Amour atau cinta itu? Helen Fhiser menyebutnya sebagai sebuah negara berkembang dari naluri bertahan hidup, terutama digunakan untuk menjaga manusia bersama-sama melawan ancaman dan untuk memfasilitasi kelanjutan dari spesies melalui reproduksi. Tajuk ini tidak untuk menguraikan makna amour atau cinta itu, tetapi yang berhubungan dengan karya seni tentang amour ini. Tema amour atau cinta ditulis hampir oleh semua pengarang, komposer, perupa, dan di semua cabang seni. Ada sebuah karya Musical Theatre berjudul Amour dalam kerjasama seni yang musiknya digubah oleh Michel Legrand (keturunan Armenia, lahir 24 Februari 1932, di Béconles-Bruyeres di pinggiran kota Paris, yakni seorang komposer musik, arranger, konduktor, dan pianis) dalam 27 aria; salahsatu aria berjudul Amour yang dinyanyikan oleh Isabelle dan Dusoleil (nama tokoh dalam cerita ini). Lirik Amour ini ditulis oleh Didier Van Cauwelaert (29 Juli 1960)
halaman 2
yakni penulis libretto (naskah untuk karya musik opera) asal Perancis, yang diadaptasi dari cerita-pendek Le-Passe-Muraille oleh Marcel Aymé (1943). Synopsis: Pahlawan kami adalah orang yang agak signifikan. Tapi satu malam yang naas pria ini tak terlihat secara sosial menemukan bahwa ia bisa berjalan menembus dinding. Hal ini memungkinkan ia untuk meneror bos jahat barunya; memberikan uang, roti, dan perhiasan untuk kaum borjuis yang layak, dan menang atas Isabelle yang cantik, tawanan pernikahan yang bahagia untuk yang jahat, seperti Javaert, semua latar belakang jaksa Montmartre. Tentu, banyak lagi karya yang bertema amour (cinta), dengan judul yang sama atau dengan judul yang lain misalnya: Amour, siklus bagian clarinet karya Karlheinz Stockhausen; Amour karya Rammstein, sebuah lagu dari album Reise, Reise (2004); Amour, sebuah film Denmark (1970); Amour, judul asli dari film cinta karya Michael Haneke; Horishima mon amour (1950), ditulis oleh Marguerite Duras, sebuah film yang dibintangi oleh Emmanuelle Riva, Eiji Okada, dan Stella Dassas. Horishima mon amour meceritakan seorang wanita muda Prancis telah menghabiskan malam dengan seorang lelaki Jepang di Hiroshima. Tema utama dari film ini adalah ingatan dan lupa. Sekarang, di sini, mari kita membuat karya seni yang serius denga tema amour (cinta), berdenyut, dan bukan mengerucut. Mari!***
Esei
Napas Panjang Sastrawan Riau oleh Fakhrunnas MA Jabbar
Sebuah Prolog. Dari mana harus memulai? Ansori putus sekolah akibat ketiadaan uang kedua orangtuanya. Surtini tak lanjut sekolah akibat kakinya lumpuh. Haris sejak kecil tak pernah menginjak bangku PAUD tersebab bandel. Muhsin tak bersekolah akibat cita-citanya cukup jadi supir. Adinah tak meneruskan sekolah disebabkan harus menggembala sapi milik orangtuanya. Muin tak lagi mengenal sekokah karena sudah punya ayah dan emak sehingga harus menolong makciknya bekerja di ladang. Fakhrunnas tak sekolah karena keburu tua. Hehe.
Patut kita semua berterimakasih kepada seorang sahabat yang sedari dulu menjadi pelaku penulisan kreatif yang cukup produktif. Karya-karyanya sempat bermunculan di media cetak daerah dan nasional. Selanjutnya, lama menghilang dari dunia publikasi. Sekitar satu dasawarsa silam menerbitkan buku Satu Abad Cerpen Riau. Karena dialah kita bertemu dalam majelis yang amat berharga ini Demi 100 Tahun Cerpen Riau (100 TCR) : Sutrianto Az-zumar Djarot yang disagang oleh Yoserizal Zen dan Fedli Aziz.
***
*** halaman 3
Masa depan dimulai hari ini. Begitulah adagium yang tiba-tiba muncul di hati saya ketika Sutrianto mengantarkan buku 100 TCR di rumah saya. Sekaligus meminta saya menjadi salah satu pembicara untuk membahas keberadaan buku antologi cerpen itu. Rasa takjub, bangga, sedih dan tak ada rasa benar-benar datang serempak. Saya tak begitu banyak meluahkan perasaan saya. Tapi saya harus jujur dengan nurani bahwa pekerjaan pendokumentasian sastra tak kalah mulianya dengan para penulis kreatif di dalam bentangan sejarah kesusastraan yang panjang di negeri. Itulah yang dipilih Sutrianto pada akhirnya. Terus… Sutrianto meminta saya bicara soal ‘napas panjang’ sastrawan Riau sejak dulu hingga kini. Ini bukan mudah. Tapi bisa menjadi lebih mudah ketika buku 100 TCR ini ada di tangan saya. Saya merasa sedang berhadapan dengan jutaan aksara, tanda baca dan tandatanda lain. Bahwa, keusastraan Riau masih ada (baca: eksis) dalam peta sastra Indonesia. Bagaimana supaya eksistensi sastra Riau ada dan selalu ada? Semua itu ada dalam genggaman kita semua: ya penulis kreatif, guru dan dosen sastra dan Bahasa Indonesia hingga para esais, kritikus, peneliti dan dokumentator. Saya benar-benar sedang merasa menatap cahaya di tiap helai riak dan gelombang saat menatap buku 100 TCR yang cukup tebal ini. Pantulan cahaya ada yang nyalang namun ada pula yang redup. Namun, sudah cukup bagi saya untuk menyiratkan saya harus bicara apa. Andaikan saya seorang Ketua Jurusan yang terkait dengan bidang keilmuan bahasa dan sastra, tentulah ribuan judul penelitian skripsi, tesis atau disertasi dapat dilahirkan dari buku 757 halaman ini. Sayang….
halaman 4
*** Napas Panjang, Apalagikah yang Lebih Panjang? Seperti anak-anak putus sekolah yang diungkapkan pada awal, begitulah sebenarnya gerak perjalanan kreativitas sastra Riau. Sastra dalam konteks ini ya dunia kreativitas penulisan atau penulisan kreatif yang memberikan pencerahan bagi kehidupan. Orang-orang yang tercerahkan dalam sastra biasanya bakal memiliki kelembutan budi bahasa. Itulah yang menyebabkan kenapa sastra masih memiliki pembacanya sendiri walaupun tak banyak. Sebelum ada Surianto, Hasan Junus dan UU Hamidy, Raja Ali Haji dan para kritikus sastra dari Tanah Melayu Johor-MelakaBintan-Lingga tentu saja pendokumentasian sastra sudah dilakukan dalam kapasitas dan kapabilitas yang berbeda. Lama kelamaan, pola, corak, teknis dan kualitas dokumentasi itu semakin baik sehingga sangat memudahkan siapa saja untuk menyelam di kedalaman dunia sastra. Saya jadi teringat pada Hasan Junus. Hampir satu dasawarsa sebelum wafatnya, Hasan dengan bangga bercerita bahwa dirinya sedang mempersiapkan buku Ensiklopedia Sastra Riau dengan gaya yang berbeda dengan pola ensiklopedia yang ada. Katanya, setiap kata, frasa atau kalimat memiliki rantai yang tak putus dengan bagian-bagian lainnya. Lantas saya berpikir bahwa buku itu akan sangat memudahkan siapa saja yang akan melakukan penelitian sastra Riau. Sayang…. Rupanya banyak tafsiran soal kata ‘panjang’ dalam sebutan ‘napas panjang’ tentu saja memiliki takrif dan tafsir masingmasing. Napas panjang dalam pemahaman saya setidak-tidaknya memiliki makna:
- Usia/ umur - Durasi produktif berkarya - Durasi berkarya - Kuantitantif berkarya - Kualitatif berkarya Apa pun itu, pada hakikatnya ‘napas panjang’ bisa bermakna proses kreativitas dan dampak yang panjang dalam berkarya. Namun, saya memberian laluan dan penghargaan bagi siapa saja yang memiliki takrif yang lebih baik soal napas panjang ini. Bila bicara usia/ umur, cukup banyak sastrawan Riau yang sudah tidak bernapas panjang lagi: Dasri al-Mubari, Ibrahim Sattah, BM. Syamsuddin, Idrus Tintin, Ediruslan Pe Amanriza, dan sebagainya. Napas secara alamiah akan berakhir dengan sendirinya atau akibat tindak perbuatan orang lain. Tapi karya yang dihasilkan tentu saja dapat berbicara lebih lama sepanjang alam terkembang. Hal ini sudah dibuktikan oleh sejumlah sastrawan dunia seperti Arthur Rimbaud, John Steinbeck, Ernest Hemingway, dan masih banyak lagi. Di saat usia sudah berakhir namun karya-karya mereka terus saja bercerita ke dunia –generasi ke generasi. Dan sepanjang itu pula ‘pundi-pundi’ royalty terus mengalir sebagaimana dinikmati oleh seniman-seniman lain di bidang industry rekaman (perfilman, tarik suara, dll), olahraga (golf, balap, gimnastik dll), serta bidang kesenian lainnya yang produktif. Persoalannya, sebagaimana cabang seni lain, sastra pun tak serta-merta memberikan janji bagi siapa pun di dunia ini untuk dapat menikmati manisnya royalti yang sebagaimana terus dinikmati oleh Agatha Christy atau Phil Collins atau pula klub sepakbola FC Barcelona dan Manchester
United (MU). Dunia royalti tentu saja memiliki bagian tersendiri dalam kaitan napas panjang kreativitas. Kreativitas dan Tamsil Lompat Galah. Saya termasuk orang yang suka bertamsilria. Dunia kreativitas bagi saya tak ubahnya lompat galah bagi para atlet. Seseorang akan mempersiapkan lompatan setinggi mungkin –bisa 21 meter atau lebih dan kurang- dengan maksud untuk menorehkan prestasi. Para atlet yang berhasil melampaui ambang batas mistar 21 meter ke atas tentulah namanya akan dicatat dalam dunia olahraga lompat galah. Namun bagi yang tak pernah mencapai batas minimum angka mistar tersebut tentulah namanya tak akan pernah tercatat. Tentu sudah cukup banyak atlet lompat galah yang lahir dan mengukir prestasi. Namun, tak semuanya yang mudah diingat oleh publik. Dunia kreativitas sastra tentu saja hampir mirip dengan lompat galah itu. Sejak dulu, setiap detik sastrawan lahir dan berkarya lalu mati. Dalam perjalanan kreativitas yang panjang itu tak sedikit yang mati, hilang dalam medan laga (miising in action), tercatat dalam sejarah atau hilang begitu saja tanpa arti. Kita ada di antara kemungkinankemungkinan itu. Lantas, mengapa sastrawan berkarya. Alasan klise yang paling sering ditemukan adalah ingin menyalurkan inspirasi. Namun sesungguhnya masih banyak alasan lain kenapa sastrawan berkarya: cari uang, popularitas, sekadar berkarya, mencari ketinggian nilai budi, memberikan dan mendapatkan (take and give) soal pencerahan dan entah apa lagi. Ketika seorang sastrawan (baca: cerpenis) di kenang dalam jangka panjang di ruang publik, persoalannya tentu tidak sederhana.
halaman 5
Kait-kelindan antara usia (napas), kuantitas, kualitas atau apa oun terkait karya akan saling bersinergi. Ada sastrawan yang dalam jangka waktu singkat tiba-tiba namanya melejit dan tercatat dalam sejarah sastra, Namun banyak pula sastrawan lain yang berkarya dan terus berkarya seumur hidupnya, tiba-tiba hilang begitu saja, Tak tercatat sama sekali dalam sejarah kesusastraan.
saya secara pribadi. Lagi pula tak semua nama cerpenis saya sebutkan, hanya sekadar mewakili kelompok atau generasinya saja.). Selain itu, meski 100 tahun dapat dibagi menjadi sekurang-kurangnya 4 generasi dengan rentang kendali 25 tahun per generasi, berdasarkan usia termasuk generasi cerpenis yang sudah wafat. Meski ini juga tidak terlalu taat asas.:
Ini persoalan yang tidak mudah atau sederhana. Sebab, tak ada seorang pun yang tahu pasti untuk apa seorang sastrawan menulis atau berkarya selain dirinya sendiri.
1. Cerpenis Generasi 1904-1929/ yang sudah wafat) al.:
100 Tahun Cerpen Riau (100 TCR) oleh Tim Editor : Sutrianto, Yoserizal Zen dan Fedli Aziz memuat 100 cerpen dalam lintas geerasi yang lumayan panjang. Kerja keras Sutrianto dkk telah memanjakan para penggiat cerpen baik di Riau maupun luarRiau. Bentangan 100 tahun (baca: abad) tentu saja bukan waktu yang singkat. Sebab, setidak-tidaknya terdapat 4-5 generasi dalam perjalanan kreativitas sastra (baca: cerpen) di Riau. Untuk apa dan bagaimana Sutrianto memilih dan memilah para cerpenis dalam buku ini, tentu siapa pun sudah dapat membaca pengantar (prolog) Jejak Langkah 100 Tahun Cerpen Riau yang ada. Misalnya, soal kriteria nama yang masuk atau kenapa cerpen tersebut yang diikut-sertakan. Sekali lagi, ini bukan persoalan yang mudah. Sebab, tak bisa dihindari melabrak prinsip subyektivitas meskipun Sutrianto sebenarnya sudah berusaha melakukannya secara obyektif. Saya coba menyusun sebuah data dari 100 cerpenis dan cerpen yang termuat di buku ini. (Boleh jadi pengamatan saya dalam mengelompokkan para cerpenis ini tidak begitu pas mengingat keterbatasan
halaman 6
- Soeman Hs(lahir1904), BM Syamsuddin (1935), Ediruslan Pe Amanriza, 1947), Rustam S. Abrus(1937), Hasan Junus (1941), Sudarno Mahyuddin (1940), Umar Ahmad Tambusai (1943) dll. 2. Cerpenis Generasi 1930-1955 al.: a. Masih produktif publikasi: - Rida K. Liamsi (1943), Makmur Hendrik (1947), Dantje S. Moeis (1952), dll. b. Tidak/ kurang produktif publikasi lagi: - Syamsul Bahri Judin (1935), A. Rahim Kohar (1942, ?), dll. 3. Cerpenis Generasi 1956-1981 al.: a. Masih produktif publikasi, a.l: - Abel Tasman (1959), Abdul Malik (Kepri, 1958), Fakhrunnas MA Jabbar (1959), Zuarman Ahmad (1963), Gde Agung Lontar (Rifadillah Sarin, 1963), Abdul Kadir Ibrahim –Akib, Kepri, 1966), Eddy Ahmad RM (1968), Ollyrinson (1970), Hasan Aspahani (1971), Musa Ismail (1971), Harry B. Koriun (1974), Hang Kafrawi (1974), Marhalim Zaini (1976), Fedli Aziz (1976), Griven H. Putra (1976), Dessy Wahyuni (1977), Jefri al-Maay (1979), Sobirin
Zaini (1981), dll. b. Tidak/ kurang produktif publikasi lagi: - Syafruddin Saleh Sai Gergaji (1957), Mosthamir Thalib (1963), Verrin Ys (1963), Njoto (1968), Taufik Muntasir (1965), Kazzaini Ks (1965), Sutrianto Az-Zumar Djarot (1966), Fahrullazi (1966), Samson Rambah Pasir (1968), Fitri Mayani (1971), Saibansyah Dardani (1972), Zainul Ikhwan (1972), Saidul Tombang (1975), Murparsaulian (1977), Alielle (1977), Pandapotan MT. Sialagan (1979), D.M. Ningsih (1979), Budi Utamy (1980), dll 4. Cerpenis Generasi 1982- 2007 (sekarang) a.l. (saya menyebutnya generasi baru): a. Masih produktif publikasi, a.l: - Derichard H. Putra (1980), Febby Fortunella Rusmoyo (1982), Cikie Wahab (1986), Riki Utomi (1984), dll. b. Tidak/ kurang produktif publikasi lagi: - Joni Lis Effendy (1982), Elizan Katan (1984), Alvi Puspita (1988). Fariz Ihsan Putra (1988), Ahmad Hijazi (1988), dll. *** ‘Napas Panjang’ Kreativitas Sastra. Bila ditanyakan, kenapa ada sastrawan yang ‘bernapas panjang’ dalam kreativitas sastra da nada pula yang pendek saja? Ini juga persoalan yang tidak mudah untuk dijelaskan secara obyektif. Sebab, setiap sastrawan punya alasan untuk terus berkarya sampai akhir hayatnya atau tiba-tiba berhenti
di tengah jalan. Secara sederhana, Hasan Junus pernah menyebutkan bahwa orang-orang yang terus berkarya sepanjang umur hidupnya merupakan ikan paus biru sastra. Tak banyak orang yang dapat mempertahankan (bahkan memperpanjang) kreativitas itu. Namun, dari pengakuan, percakapan atau cerita orang tentang sastrawan-sastrawan yang berhenti menulis di tengah jalan dengan alasan (dapat dirangkum sebagai berikut): 1. Merasa sudah sampai ke puncak kreativitas. Hal ini pernah dialami oleh Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri (SCB) saat melahirikan Kredo Puisi dengan puisi mantera yang cukup fenomenal pada masanya. Selang 20-25 tahun sesudahnya, SCB melahirkan puisi-puisi baru dengan tema sosial (Tanah Airmata dll). Kelompok ini dapat dianalogikan sebagai pelompat galah yang sudah mencapai mistar tertinggi dalam karirnya. 2. Merasa gagal/ tidak mencapai puncak kreativitas. Rasa lelah atau taka da nafsu dalam berkarya boleh terjadi bagi siapa pun ketika dirinya merasa gagal untuk mencapai apa yang semestinya diraih. Kalau pun tak gagal ya ada perasaan merasa tidak sampai ke puncak yang sudah ditargetkan. Kelompok ini masih terkesan belum mencapai titik puncak yang dapat mematrikan namanya dalam khasanah sastra Indonesia, apalagi dunia. 3. Kreativitas hanya sebagai ‘coba-coba’. Banyak sastrawan yang memulai karir sastra dari tindakan ‘coba-coba’. Dalam
halaman 7
proses penemuan ilmu pengetahuan ada yang disebut ‘trial and error.’ Ketika karya sastra yang dihasilkan tidak mencapai puncaknya maka cenderung hilang di tengah jalan. 4. Tidak menghasilkan apa-apa. Karya sastra yang dipublikasikan di media-media penerbitan (baca: cetak, portal dll) yang sehat/ bonafid tentu mempunyai honorium yang jumlahnya relatif. Banyak sastrawan yang ber’napas pendek’ dalam berkarya ketika karya-karyanya dinilai tidak mampu menghasilkan apa-apa. Padahal di belahan lain, banyak sastrawan yang bisa kaya-raya karena buku novel, roman yang diterbitkan termasuk best seller. 5. Berkarya untuk diri sendiri. Alasan ini paling banyak dikemukakan oleh sastrawan yang berada pada posisi ‘missing in action.’ (hilang di tengah jalan). Berkarya untuk diri sendiri biasanya diwujudkan dalam bentuk semua karya yang dihasilkan hanya disimpan di lipatan map atau buku. Bukan untuk dipublikasikan pada orang lain. 6. Kesibukan. Kesibukan terkait dunia kerja atau aktivitas kemasyarakatan memang dapat melumpuhkan hasrat untuk menulis dan mempublikasikan karya sastra. 7. Kemapanan secara ekonomis. Orang-orang yang mapan secara ekonomi selalu berkorelasi dengan kreativitas. Oleh sebab itu, salah satu musuh kreativitas adalah mapan.
halaman 8
8. Alasan yang sulit dipahami. Tak menentu. *** Epilog. Selamat datang para sastrawan (cerpenis) Riau generasi terbaru. Keberadaan Anda dalam melanjutkan estafeta perjalanan sastra Riau yang sudah 100 tahun amat menentukan masa depan sastra Riau itu sendiri agar dapat teta diperhitungkan daam peta sastra Indonesia. Budi Darma, salah seorang sastrawan yang juga kritikus sastra pernah bercerita. Kenapa bila dirinya terbang secara imaginatif dari Banda Aceh hingga ke Papua, kerlapkerlip lampu kreativitas sastra Indonesia di sejumlah kota selalu berada di kotakota (baca: provinsi) itu saja: Sumut, Riau, Sumbar, Lampung, Jawa (hampir rata), Bali, Kalsel, Kalbar, Sulsel, (mungkin masih ada yang lain,) Oleh sebab itu, jangan biarkan kerlapkerlip lampu di Tanah Melayu Riau redup tiba-tiba sehingga tak terlihat lagi dalam kancah dan peta sastra Indonesia. *** Tulisan dalam bentuk Makalah ini disampaikan pada Launching/ Peluncuran Buku 100 Tahun Cerpen Riau di Pekanbaru, 10 November 2014. Acara ditaja oleh Dinas Kebudayaan dan Industri Kreatif Provinsi Riau.
Esei
Kebudayaan, Kekuasaan dan Kemajemukan oleh Tjahjono Widarmanto Kebudayaan adalah warisan kita yang diturunkan tanpa surat wasiat (Rene Char- Penyair Perancis)
ebuday ebudayaan merupakan sebuah paling rumit. Pada konsep yang y mulanya, kebudayaan adalah mulany nasib dan baru kemudian manusia menganggapnya sebagai sebuah tugas. Saat dianggap sebagai tugas itulah kebudayaan mengalami pembaruan yang terus menerus. Pada awalnya manusia dianggap sebagai pewaris belaka, yang menanggung beban kebudayaan, dan akhirnya muncul kesadaran untuk membentuk dan mengubahnya. Pewaris yang semula pasien dan kemudian menjadi agennya. Pewarisan kebudayaan itulah yang disebut Clififford Geertz sebagai pola dari pengertian dan makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbolsimbol (dalam artian luas) dan ditansmisikan secara historis. Pola pewarisan ini kemudian berubah menjadi proses pendefinisian yang berulang-ulang yang secara kritis
mengukuhkan, mempertanyakan, bahkan membongkar ulang simbol-simbol tersebut. Di awal perkembangannya, kubudayaan rekat dengan kultivasi yaitu pemeliharaan ternak, hasil bumi dan ritual-ritual religius. Setelah era revolusi industri, kebudayaan memiliki ranah yang terbentang luas, nyaris tak terbatasi. Bersentuhan dengan kerohaniaan (religiusitas) namun juga berkelindan dengan aspek material (ekonomi dan kapitalistik) sekaligus berselingkuh dengan berbagai ideologi. Konsep nasionalisme pada akhir abad ke19 menandai perjumpaan kebudayaan dan ideologi yang secara serta merta mengubah anggapan bahwa kebudayaan adalah warisan. Jauh sebelum itu kebudayaan belum mewarisi sebuah konsep ideologi, oleh sebab itu kemunculan ”nasionalisme’ sangat menentukan dinamika pemaknaan
halaman 9
budaya. Ideologi merupakan sistem pemikiran yang abstrak yang ditawarkan pada publik. Merupakan sebuah visi yang komprehensif dalam memandang segala sesuatu. Ideologi tidak mencerminkan dunia yang riil melainkan mempresentasikan ’hubunganhubungan imajiner’ individu pada dunia riil. Kemunculan ideologi dalam ranah kebudayaan sejalur dengan kemunculan konsep negara dan kekuasaan. Ideologi ternyata dapat menjadi sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki penguasa. Merupakan alat yang ampuh untuk melestarikan sebuah kekuasaan. Saat ideologi yang anak kandung kebudayaan tersebut menjadi salah satu sistem kekuasaan, maka saat itu pulalah kebudayaan dianggap sebagai sebuah salah satu peran penting dalam legitimasi kekuasaan. Kebudayaan tidak lagi bersifat netral namun bisa menjadi salah satu gurita kekuasaan. Melihat kebudayaan yang pada perkembangan berikutnya tidak lagi merupakan ’wilayah suci’ yang netral maka muncullah paradigma baru yang menolak kebudayaan sebagai sebuah alat. Paradigma itu beranggapan bahwa kebudayaan sudah mengalami pendangkalan karena dikuasai dan hanya sebagai alat kekuatan tertentu. Sebagai contohnya adalah Karl Marx dan Tarcott Parsons yang melahirkan pandangan budaya yang antikebudayaan. Di sisi yang lain, masyarakat yang menjadi pewaris sekaligus pembaharu kebudayaan yang majemuk menghadapi tantangan sebuah proses yang menjadikannya global. Ada ketegangan antara ”menjadi dan ada” dalam sebuah lokalitas yang majemuk dengan kekhasannya dengan ”menjadi dan
halaman 10
ada’ dalam sebuah ruang global. Ini berarti terjadi kegelisahan identitas masyarakat majemuk yang dipaksa menjadi identitas global. Matinya kemajemukan akan membuka peluang matinya kebebasan dan toleransi Gerakan kebudayaan tidak boleh berhenti pada pusaran membebaskan diri dari pendangkalan. Tidak boleh hanya berpusar pada pembebasan diri sebagai sebuah alat kekuasaan, namun gerakan kebudayaan juga harus mengembalikan kemajemukan sebagai jati diri manusia. Kesadaran akan kemajemukan akan melepaskan diri dari sikap absolut, akan melepaskan diri dari cara berpikir dan sikap ’paling benar’. Persoalannya sekarang sudahkah kita mempunyai desain kebudayaan yang memuat strategi yang jelas dalam membangun kemajemukan? *** Tjahjono Widarmanto Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Meraih gelar sarjananya di IKIP Surabaya (sekarang UNESA) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, dan saat ini melanjutkan studi di program doctoral di Pascasarjana Unesa.Bukunya yang baru terbit: MARXISME: Sumbangannya Terhadap Teori Sastra (2014).
Esei
Kesenian Kini, Yang Lahir di Ruang Sepi oleh Dantje S Moeis
etika terbetik berita bahwa terjadi peristiwa kelahiran telah terj seorang bayi manusia. Lazimnya sejak dahulu kal kala hingga kini, maka berdatanganlah para kaum kerabat, jiran tetangga, bahkan orang jauh ingin melihat si jabang bayi dan tentu saja dengan bekal komentar riuh rendah sangat beragam. Setelah melihat makhluk yang baru saja terlahir tersebut. Ada yang berkomentar, “ai mak, cantiknya”. Atau, “gagahnya budak ni, ck..ck..ck macam bapaknya betul”. Atau “mancungnya hidung budak ni, persis emaknya”. Atau ada pula yang berkomentar, “mirip si anu suami si ano yang di sebelah rumah tu, hidungnya lebar dan pesek pulak” dan bla…bla…bla… dengan berbagai komentar orang yang beragam.
Namun, bertolak belakang dengan kelahiran karya seni dan peristiwa kebudayaan di masa kini. Menjadi kenyataan yang tak dapat dipungkiri, dari tahun ke tahun sangatlah banyak karya seni yang terlahir, baik itu karya-karya senirupa yang di publish melalui pameran, karya sastra di media-massa atau yang diterbitkan dalam bentuk buku, karya musik, tari dan karyakarya seni lainnya, sampai pada peristiwaperistiwa penganugerahan yang cukup banyak jumlahnya di negeri ini. Sayang, dari peristiwa demi peristiwa budaya atau kelahiran karya seni kini, tak mampu memancing masyarakat untuk berpendapat melalui media-media massa yang cukup banyak tersedia. Dan sangat berbeda dengan peristiwa kesenian
halaman 11
(kebudayaan di masa lalu). Masih segar di ingatan kita kini, bahwa masa itu, keberlangsungan sejarah kesenian seakan memang harus saling berpendapat bahkan bertengkar saling hujat menghujat. Tidak hanya menyuarakan ketidak-adilan sosial tetapi juga bertengkar dengan sesama. Sehingga seniman yang idealnya solitaire atau solo flight namun cenderung menjadi berkelompok-kelompok. Seperti Pramoedya Ananta Toer yang layak mendapatkan hadiah Ramon Magsasay bahkan hingga ke Nobel prize, dijegal karena dendam lama Taufik Ismail kala Pram berkuasa. Sama halnya dengan Pablo Neruda di tahun 1964 saat ia menjadi petinggi Chile, ia tidak mendapat Nobel. Saat itu, Sartre sendiri mengakui Neruda-lah yang layak mendapatkan Nobel tetapi karena ada campur tangan CIA, hingga akhirnya Nobel diberikan kepada Sartre dan ia menolaknya. Sejarah seni memang seakan identik dengan saling silang pendapat, pertengkaran dalam arti “sempit” dalam satu hal. Gabriel Garcia Marquez pernah ditinju Mario Vargas Llosa, begitupun Chairil Anwar juga pernah “kene pelasah” HB. Jassin. Berbeda dengan Jassin, Pramoedya Ananta Toer mengatakan, “dalam sikap saya mengagumi Chairil Anwar. Ketika orang harus menjadi ternak pada jaman Jepang, ia mengatakan, ‘Aku ini binatang jalang dari kumpulan yang terbuang.’ Ia dianiaya Kempetai karena sajaknya ini. Inilah kiranya yang ikut membentuk pribadi saya”. Jeleknya karya “seakan” tidak lagi dinilai dari segi kualitas tetapi faktor-faktor lain yang bersifat tertentu dan acapkali berhubungan dengan kepentingan. Dalam dunia senirupa, Pelukis Jeihan Sukmantoro di masa-masa awal, lukisan
halaman 12
dengan mata bolongnya itu mendapat cacimaki dari para kritikus seni di berbagai forum. Namun seiring berjalannya waktu, lambat laun karyanya mulai dibicarakan sebagai kelahiran bentuk baru dalam seni rupa Indonesia modern. Perupa Jim Supangkat lahir pada tahun 1948 di Sulawesi, mengawali aktivitas seni rupanya lewat belajar di jurusan seni patung FSRD, ITB. Selama studi, ia mencari idiom karya melalui membebaskan norma-norma konvensional seni rupa. Hal itu terlihat pada karya tugas akhirnya di ITB yang diikutkan dalam pameran seni rupa baru indonesia ‘75 di Taman Ismail Marzuki bulan agustus 1975, yaitu ‘Kamar Tidur Seorang Ibu dan Anaknya’. karya itu hadir sebagai sebuah ruang kamar yang sesungguhnya, tetapi dengan ironi tempat tidur yang berupa keranda, ayunan bayi dengan rantai dan jejak tapak tangan warna merah darah, serta gembok hitam pada toilet dan almari yang tampak mengerikan (sudyarto, 1976; bujono, 1975). Kecenderungan karyanya ini pada jenis seni instalasi, juga bisa dilihat pada karyanya yang fenomenal, yaitu “Ken Dedes” (1975), sehingga mengundang hiruk pikuk perdebatan bahkan caci maki para kritikus. Karya ini adalah patung dada Ken Dedes yang diletakkan pada postage yang digambari sambungan tubuh dengan celana yang terbuka bagian kemaluannya. Pada pameran seni rupa baru tahun 1977, ia menampil-kan karya “anak-anak indonesia”, yang berupa jajaran foto-foto anak miskin dengan gantungan botol dot yang berisi cairan darah. Beberapa pengamat, walaupun berada dalam kontroversi ketika membahas karyanya, tetapi secara umum menilai karyakarya Jim Supangkat kuat dan komunikatif (Agus Dermawan T, 1977).
Satu lagi karya yang menjaring banyak opini dan perdebatan di berbagai media, terlahir dari seorang Hardi, lahir di Blitar tahun 1951, mengawali aktivitas seni rupanya lewat belajar di AKSERA Surabaya tahun 1970. pada tahun 1971-1974 kuliah di STSRI “ASRI” Yogyakarta, dan setelah mendapat skors beralih ke De Jan Van Eyck Academie, Maastricht Nederland dari tahun 1975 sampai 1977. Pada pameran seni rupa baru tahun 1975, ia menampilkan karya-karya yang sarat dengan masalah sosiokultural, terutama tentang ironi-ironi dalam kebebasan kehidupan seks. Dalam sebuah karyanya ia membuat rangkaian cerita menggambarkan sekuen-sekuen adegan perselingkuhan pada jam kerja. Komentar fenomena ekstase seksual yang lebih vulgar pada karya kolase tempelan bantal, bra (breast holder), kapotjes (condom) dan puisi tentang kawin karya Sutardji Calzoum Bachri (poyk, 1975). Pada pameran seni rupa baru tahun 1979 di TIM, Hardi menampilkan karya berdimensi politik yang berjudul “Calon Presiden RI tahun 2001, Suhardi”. Karya itu menggambarkan sosok foto dengan atribut presiden yang kepalanya diganti dengan wajah Hardi. ketika karya itu dipamerkan lagi pada forum pameran seni rupa seniman muda 1979 di TIM, ternyata dilarang pihak keamanan (pemerintah berkuasa). Ada kecurigaan bahwa karya itu merupakan sindiran politik, karena sosok foto itu ditafsirkan sebagai presiden Suharto. Selain karya itu diturunkan, Hardi ditahan dan dimintai keterangan oleh Polisi Daerah Pelaksana Khusus (POLDA LAKSUS) DKI Jaya (Tempo, 1979; Berita Buana,1979).
kritik, polemik, komentar tentang karyakarya seni yang baru saja dilahirkan. Namun, pada dekade akhir ini, perang pena dengan sangat argumentatif berlatar belakang apapun, yang nota-bene pasti akan menghasilkan karya baru dengan pemikiran baru dan cara pandang-cara pandang baru yang berbeda, menjadi tak tampak (stagnan). Komentar dan kritik seakan kini menjadi tabu, ora ilok (tak baik) dalam bahasa Jawa. Atau mungkin juga, “tak enak hati, dia kan kawan kita, masa di kritik”. Atau takut dijadikan musuh oleh teman yang melahirkan karya, tak mau membuka front perseteruan yang mungkin berkepanjangan seperti kelompok Manifesto Kebudayaan (Manikebu) versus Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang tak mengenal “Islah” dan bara-apinya masih tersisa hingga kini. Atau karya yang terlahirkan kini, tak mampu membuat masyarakat menjadi peduli karena dilahirkan dari para seniman yang sama sekali juga tak peduli dengan kondisi sosial masyarakatnya, karena asyik sendiri. De Brevitate Vitae, Gaudeamus igitur (Dalam Singkatnya Kehidupan, Karenanya marilah kita bergembira). Ya, memuji dan dipuji, dikritik dan mengkritik adalah suatu kegembiraan di kehidupan yang singkat ini. ***
Walau tak seheboh peristiwa di pusat sana. Media yang terbit di daerah Riau (Riau Pos) pada masa lalu, masa-masa awal penerbitannya juga diwarnai dengan muatan
halaman 13
Esei
Usman Awang permata Melayu yang sukar digan! Oleh Azman Ismail
USMAN Awang. Nama ini tidak hanya sebahagian daripada khazanah keilmuan Melayu. Tetapi ia juga merupakan permata intelektual yang dimiliki oleh masyarakat pelbagai kaum di negara ini. Dalam sejarah kepengarangannya, Allahyarham berkarya bukan hanya di atas nama kaum Melayu semata-mata tetapi juga merentas sempadan etnik dan sistem kepercayaan – atas nama kemanusiaan serta kesejagatan. Persoalan besar yang sentiasa diutarakan olehnya ialah bagaimana pengarang menjadi
halaman 14
lidah masyarakat dalam menyuarakan hak, rasa, pandangan dan kepentingan mereka kepada kelompok yang berkuasa. Bagaimanapun, Allahyarham tidak meletakkan ‘perjuangan’ masyarakat bawahan dalam wacana konik. Sebaliknya ia disampaikan melalui ketajaman pena dan kehalusan kata. Sebagai pembaca, kita jangan mengharapkan pemikiran Allahyarham diterapkan dalam karya-karya berbau penentangan dan kekerasan. Sebaliknya, keadilan dituntut melalui kejernihan akal
Sesekali bila membaca karya-karya Allahyarham sama ada genre puisi, novel mahupun drama pentas, ia akan mengingatkan kita pada Justice is Conflict, karya Stuart Hampshire.
Oleh hal yang demikian itu, karya-karya Allahyarham akan tetap subur sebagai khazanah bangsa yang begitu berharga. Memang Allahyarham adalah sebutir permata di dalam kesusasteraan tanah air yang sukar dicari ganti.
Dalam erti kata, sama seperti Hampshire, Usman berpandangan bahawa kejernihan akal rasional dalam memperjuangkan keadilan adalah cara terbaik untuk mencapai matlamat.
Hari ini, setelah enam tahun pemergiannya, perjuangan dan idealismenya dalam memartabatkan bahasa, kesusasteraan dan kemanusiaan sentiasa hidup dan mekar mewangi.
Oleh itu, karya-karya Allahyarham setia mendukung semangat persahabatan sebagaimana jiwa kemelayuan itu sendiri. Menikam dalam kelembutan kata-kata dan kepetahan bermain bahasa.
Pensyarah Akademi Pengajian Melayu, Universiti Malaya (UM), Prof. Madya Dr. Mohamad Mokhtar Abu Hassan berkata, ‘kekuatan’ utama Allahyarham ialah unsur kritikan sosial dalam karya-karyanya.
Seperti yang diungkapkan oleh penulis, Zaen Kasturi, Allahyarham merupakan permata intelektual Melayu yang lahir atas semangat kesedaran untuk memperjuangkan masa depan dan jati diri bangsanya.
Allahyarham dalam beberapa karyanya melontarkan kritikan terhadap kepincangankepincangan dalam birokrasi serta terhadap segelintir pemimpin yang tidak jujur.
rasional.
“Kata-kata dalam puisinya adalah lambang Melayu sejati yang cinta akan akarnya. Keterpesonaannya tertancap kukuh pada alam yang melahir, membesar dan mendewasakannya. “Jiwa puisinya adalah jiwa Melayu tulen. Cintanya tidak mengenal batas. Daripada nelayan dan buruh kasar sehinggalah Melayu yang menduduki kepimpinan tertinggi, dia menegur menerusi kata-kata lembut dan menusuk,” katanya. Zaen berpendapat, membaca karya Allahyarham, terutama puisi-puisinya, kita tidak berasa marah atau terhina akan tegurannya itu. Malahan seharusnya berterima kasih kerana dia memberikan kita rasa untuk berfikir bahawa kita harus menjadi Melayu yang kenal peribadi sendiri.
Namun, teguran tersebut dilontarkan dalam kerangka pemikiran Melayu yang sentiasa berlapik dan bersopan. Kehalusan kata sentiasa menjadi keutamaan kepada Allahyarham. “Semangat untuk membela nasib orang Melayu dalam karya-karya Allahyarham cukup kuat. Ia ditulis dalam bahasa yang mudah tetapi memadai untuk menyedarkan semua pihak. “Inilah kelebihan yang ada pada beliau. Dengan bahasa yang mudah, ringkas tetapi padat, karya-karyanya mampu menegur banyak pihak secara halus serta berlapik,” katanya. Di sisi lain, Mohamad Mokhtar berpendapat karya-karya Usman membuktikan Allahyarham berfikiran jauh dalam melihat pelbagai isu khususnya berkaitan dengan masa depan orang Melayu.
halaman 15
Kebanyakan isu yang diutarakan tidak hanya menggambarkan situasi semasa. Sebaliknya juga idealisme untuk memajukan orang Melayu pada masa depan. “Pandangan-pandangan seperti ini tidak banyak ditemukan dalam penulis-penulis Melayu yang sezaman dengan Allahyarham. Apa yang diutarakan adalah isu semalam, hari ini dan masa depan. “Saya rasa ini kekuatan utama dalam karyakarya Allahyarham. Ia membuktikan Usman seorang pengarang yang berpandangan luas meskipun tidak mempunyai pendidikan tinggi,� tambahnya. Pandangan-pandangan Zaen dan Mohamad Mokhtar sebenarnya hanyalah contoh kecil daripada segudang jasa Allahyarham dalam memartabatkan bahasa, sastera dan masa depan orang Melayu sendiri. Bagaimanapun, berapa ramai barangkali antara penyanjung, peminat dan pengagum Usman yang terus mengingati makna sebenar 29 November dalam erti kata `pergi sebutir permata keilmuan Melayu?’ Usman tidak hanya sekadar pengkarya besar yang pernah dilahirkan oleh sebuah negara bernama Malaysia tetapi juga seorang pemikir agung yang merentasi zamannya. Ketika meletus peristiwa permogokan Utusan Melayu pada Oktober 1961, Allahyarham dan teman-teman seperjuangan menunjukkan harga diri yang tinggi demi masa depan bahasa dan orang Melayu. Di Angkatan Sasterawan 50 (Asas 50), suara Allahyarham begitu lantang memperjuangkan maruah bahasa Melayu. Begitu juga ketika Peristiwa Keranda 152. Peranannya telah membangkitkan kesedaran kepada banyak pihak supaya tidak
halaman 16
memperlekehkan bahasa kebangsaan itu. Ketika kampus universiti di negara ini bergolak, Allahyarham turut meletakkan dirinya dalam peristiwa berkenaan. Beliau menunjukkan keprihatinan sebagai seorang manusia yang hidup dan sedar kepada persekitarannya. Kesimpulan ringkas, pengkaryaan dan perjuangan Allahyarham sentiasa dekat dengan dunia nyata, dan di mana perlu menyatakan pendirian melalui tulisan yang beralas tetapi tetap mengesankan. Kini sudah beberapa tahun Allahyarham meninggalkan kita. Namun, ketajaman pena dan kehalusan bahasa beliau tidak pernah mengikuti jasadnya. Ia terus subur, sesubur jasanya yang ditabur demi kelangsungan bangsa Melayu dan negara Malaysia.*** (red. Sumber INT)
Cerita-Pendek
Dipanjat Sepi oleh Dantje S Moeis
“
Pasti! Sudah pasti�. Sebuah keberanian mengucapkan kata pasti, pada sesuatu yang bukan menjadi kuasa manusia terlompat dari mulutku. Kekuasaan dari yang maha penguasa serta mutlak dan tak dapat ditolak atau ditawar-tawar, walau dengan argumentasi atau dalih apapun.
halaman 17
Rimin hari ini tak datang. Kemarin juga dan kemarin-kemarin begitu juga. Bila dihitung-hitung lebih kurang beberapa minggu ini bahkan mungkin hampir sebulan penuh dia tak muncul mengisi harihari malam kami dengan bual hangat yang dia dapatkan siangnya, atau beberapa hari yang lalu yang tak sempat dia sampaikan sebelumnya. “Pasti! Pasti ada apa-apa dengannya”. Mudah-mudahan yang kumaksudkan “ada apa-apa dengannya”, bukanlah sesuatu yang buruk. Yang baik-baik sajalah hendaknya. Begitulah harapku yang tertuju buat seorang Rimin, atau semua ikhwan, yang agak berlebihan mungkin kalau kusampaikan dengan ungkapan lama, “sesampan sependayungan, seiring sejalan, susah sama ditanggung, sakit sama dirasa”. (Biarlah kalau dengan menyitir ungkapan ini, aku dianggap kuno, kampungan atau tak modern) *** “Aku didatangi sepi dan mulai memerlukannya.” Begitu kata Rimin ketika aku mendatangi rumahnya yang cukup besar, “berkelas” dan ruang yang ditata dengan sentuhan seni yang juga berkualitas. “Oh ya... kalau begitu kedatanganku sekarang mengganggu keinginanmu untuk menikmati sepi? Baiklah aku permisi dan tak akan mengganggu kesenangan barumu”. “Tidak, bukan begitu maksudku. Kau tetaplah sobat yang kubutuhkan sampai mati tiba dan memisahkan kita. Aku tak ingin merubah semua keserasian persahabatan yang telah kita bangun dalam jarak waktu yang sangat panjang.” Rimin berhenti sejenak, mendudup kopi pekat, menghisap rokok dalam-dalam, yang menjadi kebiasaannya saat berbual-bual. “Begini, sepi itu bermula datang seperti menggelitik jari-jari ujung kaki, nikmat. Sepi ibarat anak nakal yang ingin di perhatikan dan dimanja. Karena mungkin itu adalah sesuatu yang baru dalam rentang hidup yang kulalui. Gelitik sepi yang membuat aku enggan berjalan, berkumpul, berbual-bual menyegarkan otak, mengisi tangki pemikiran yang dapat kuterapkan dalam kehidupan, serta mungkin juga bermanfaat bagi yang lainnya. Tak berarti tangki yang ada di kepalaku, di hati dan di perasaanku telah penuh dan tak perlu pengisian lagi. Namun ketika sepi itu datang memanjat, rupanya kesepian itu dapat juga memberikan sumbangannya dalam pengisian tangki hati, pikiran dan perasaan”. “Sepi sebuah kenikmatan”, bukanlah sesuatu yang baru sebenarnya. Aku berkata dalam hati. Jauh sebelum kita, dunia ini sudah diisi oleh orang-orang penikmat sepi dengan tujuan sendiri-sendiri. Aku
halaman 18
tak tahu tujuan sepi yang dinikmati Rimin. Tapi biarlah itu menjadi persoalan dia dan tak perlu menanyakan itu. *** “Sepi sudah semakin tinggi memanjat. Ketika kau datang dulu, sepi itu bermula hanya dari kaki ini yang menggelitik-gelitik dan malas diajak ke mana-mana. Dia lebih senang mengajak aku duduk menyendiri, tak memperdulikan lagi pada kanan dan kiri, depan serta belakang. Aku menikmati keadan itu dulu”. Rimin membuka pertemuan kami selanjutnya, lepas Maghrib menjelang malam ini. “Hmm..”. Aku menimpali sekedarnya dan rupanya sikap ini membuat dia sedikit tersinggung. “Aku serius, ini tak main-main. Sekarang sudah mulai menggejala ketidak seimbangan pola hidup yang selama ini kudapatkan. Sepi yang bermuara pada ketidak seimbangan itu bukan kehendakku, aku kini seperti dipaksa untuk sepi. Sepi sudah menjadi penguasa yang otoriter, diktator yang memanjat berangsur menguasai tubuh dan pikiranku”. Air mata tampak mulai merembes di pelupuk mata Rimin, namun tangkas dia menyeka dengan punggung telapak tangannya. Tampak sekali dia ingin menyembunyikan beban berat yang ditanggungnya kini. Sepi rupanya tak lagi menjadi kenikmatan seperti yang pernah dia katakan. “Sepi itu memanjat cepat, dari ujung kaki, naik merayap ke betis, ke antara kedua belah pangkal paha, memanjat ke lambung, ke hati, ke mulut, ke hidung, ke mata, terus, terus dan terus, hingga ke puncak kepala dan segala isinya. Sepi membuat aku tak ingat lagi sejak bila kami jarang bertegur, tidur lebih banyak saling bertolak punggung. Cuil mencuil, colek mencolek yang berlanjut, serta tawa tertahan, entah sejak bila, jarang dan hampir tak lagi mengisi hari-hari mesra kami seperti dulu. Sepi yang tak lagi dapat berdekatan dengan segala ragam menu santapan. Tak ada lagi hiruk-pikuk pinggan beradu dengan sendok makan, di tingkah decak-decak kunyah yang tak kuperdulikan membuat orang semeja mungkin jijik. Sepi terus memanjat jantung-hati, tak lagi ada gendang jantung yang berdegup menatap keindahan, kecantikan bahkan ketakutan. Hati dan perasaan sepi kosong tak ada dinamika tak ada rasa”. Aku hanya dapat melongo dan tak dibuat-buat, tunak menyimak kata demi kata yang meluncur keluar dari rongga mulut Rimin. Memang benar, selama ini setiap bertandang ke rumahnya, aku tak pernah melihat kain kanvas teregang dalam keadaan kosong..
halaman 19
Setidaknya beberapa buah telah terisi dengan coretan, atau sketsasketsa mentah yang siap diselesaikan menjadi lukisan. Namun kali ini sangat berbeda, kanvas kosong, kuas kering dan papan serta pisau palet tergeletak sembarangan di sudut ruang. Separah itukah sepi telah menggerogoti raga dan jiwa Rimin? Raut raga menuju tua semakin kentara terlihat. Wajah yang dulu memancarkan semangat, kini berubah pucat dan tirus serta lemak peninggalan tubuh gemuknya dulu, seakan berebut bergelayutan seputar kantung mata, leher dan pipi. “Imajinasi, daya khayal yang sangat kuperlukan sebagai seorang seniman. Yang dulu penuh bahkan melembak berlimpah ruah, berebut untuk mendapatkan tempat, menghiruk pikukkan isi hati dan kepala, juga telah dipanjat oleh sepi. Sepi tak hanya satu. Sepi seperti Amoeba yang membelah diri di tubuhku. Dari satu menjadi beribu-ribu dan kini telah menjadi hantu. Aku takut, tak main-main, sungguh aku takut”. “Aku juga takut Min.” Walau hanya dapat berkata dalam hati. Aku membaca gelagat lain dari pertemuanku dengan Rimin kali ini. Kopi dan rokok yang menjadi kegemarannya, tidak ia nikmati seperti dulu. Walau katanya ia tak dapat lari dari rokok dan kopi, namun pandang mata dan naluriku tak dapat dia bohongi. Sedutan asap rokok dan dudup atau seruput kopinya tak lagi sebergairah dulu. Dia benar, sepi telah menguasai serata organ tubuhnya. Memanjat hingga ke mulut dan lidahnya. Aku semakin takut. Rimin tiba-tiba tersedak, hanya sekali. Sepi semakin kentara di matanya yang semakin lama semakin redup. Aku tak dapat berbuat apa-apa, bahkan terkejutpun tidak, apalagi berteriak. Hal ini menambah sepi yang semakin kentara di ruang kami. Rimin tumbang dengan senyum. Seiring sepi. Kulihat seperti jutaan makhluk kecil menakutkan berhamburan. Mungkin itulah sepi yang berebutan melompat keluar dari jasad Rimin. Aneh memang, Rimin nyata-nyata tak lagi sepi. Kulihat Rimin tertawa-tawa terbang melayang, dijemput kilat cahaya petir tunggal yang menggelegar dan di atas sana, dengan senyum Rimin menyapa berpuluh bidadari, dengan buai bunyian petik sitar dan kecapi yang menyambutnya. Kukejap-kejapkan mata dan berkalikali menampar pipi seakan tak percaya. “Mungkin? Pasti, karena aku melihatnya ....” ***
halaman 20
Cerita-Pendek
Tawan Karang oleh Hasan Junus asak asam-pedas di gerai makanan di ujung dermaga nomor no dua itu banyak sekali peminatnya. Karena itulah tempat itu selalu penuh pengunjung. Jauh-jauh dari Singapura, Pekanbaru atau Jakarta, orang sengaja mencari gerai yang nampaknya sederhana. Karena masak asam-pedasnya itulah. Pernah merasa masak asam-pedas ikan merah yang masih terbeliak matanya, udang yang masih menyala merahnya, atau sotong yang baru diangkat dari tangguk kehilangan rasa sedapnya sehingga tak lagi berbeda dengan rasa tatal kayu? Udang baru, ikan merah segar dan sotong yang sedang kuat kenyalnya tak punya rasa apa-apa sehingga menjadi seperti udang, ikan merah atau sotong plastik made in Japan? Pernah? Aku pernah! Bermula di gerai makanan seafood di ujung Pelantar Dua kota pelabuhan Tanjungpinang yang itulah. Penduduk menyebutnya gerai makanan sifut karena tempat itu menyediakan hampir semua makanan laut kecuali siput; padahal ada bermacam siput yang lazat seperti siput mata-lembu dan siput-isap; siput yang tak dimakan orang di daerah ini hanya siput-darat atau siput-babi atau bekicot. Sambil makan, aku sibuk memuji masakan masak asam-pedas di gerai itu. Di antara busa bir yang berselekeh di bibir, Bakar kapten kapal lampu, saudara jauhku yang selalu ketawa mengikik dan Gani - kuanca atau kepala kamar-mesin yang senantiasa tersengeh ketawa tanpa suara - mengajakku ikut kapal mereka yang akan mengganti beberapa suar otomatis di perairan beberapa pulau terpencil di Laut Cina Selatan.
halaman 21
- Tak lama, kata Bakar, - Tiga hari kita pulanglah. Koki kami tak kalah dengan chef hotel berbintang. Awak ini sudah terlalu lama bernafas di darat, di kelok belok sungai, main alun saja. Sekali-sekali marilah bermandi angin mandi gelombang air masin. Mainan kita masa kecil! Memang tukang masak kapal lampu itu kabarnya terkenal sebagai koki handalan. Orangnya agak keperempuan-perempuannya sehingga dipanggil Si Pondan. Pikir-pikir sebentar. Aku datang ke kota itu untuk menjenguk ibuku yang sudah lama sakit. Rencananya besok aku sudah pulang ke Pekanbaru. Pikir-pikir lagi, lalu aku pun setuju dengan undangan kedua sindbad itu. Kalau dikelohomkan (penyesuaian lidah Melayu untuk kata bahasa Arab qauluhum generalisasi’) maka para sindbad umumnya mempunyai ciri badaniah tegap sasa, selera makan tinggi, perut agak buncit barangkali karena alkohol, ekor mata selalu liar berkilas kalau memandang perempuan lewat; dan ciri rohaniah mereka ialah kalau dilanda kesulitan, sedikit saja, apalagi yang namanya malapetaka, cepat sekali tobat, tapi tobat
halaman 22
mereka tobat sambal lada. Buat apa pula cepat-cepat pulang ke Pekanbaru, kata Gani selamba. Tambah dua tiga hari kan tak mengubah keadaan. Sudah rindu dengan orang rumah? sambung Bakar. Gani melambai pelayan. Dari tadi kulihat mata kuanca dan kapten kapal-lampu ini terus saja menjilat-jilat sosok badan si pelayan; dan perempuan muda itu karena tahu sedang diurat dua pelaut, lalu dengan gaya sangat mengada-ngada bersimpul-simpul senyumnya sambil menonggek-nonggekkan tongkeng (yang entah disempal dengan busa atau perca sampai jadi begitu besar; tongkeng ini kata yang tepat dari kata salah kaprah yang berubah menjadi pantat) datang menerima bayaran. Singkat cerita kami pun berangkat di pagi yang cerah. Air laut seperti minyak dalam dulang. Tenang berkinyau, berlinang-linang. Aku mengharapkan dapat melihat bulan mandi berenang dalam air tenang nanti malam. Seperti lirik sebuah lagu keroncong: di bawah sinar bulan purnamaaaaaa air laut berkilauaaaaaan. Tapi menjelang malam, ribut barat yang turun. Separoh malam berisi badai, setengahnya lagi tenang sunyi. Paginya kerja mengganti suar mulai dilakukan. Pada hari kedua, sudah setengah pekerjaan itu selesai. Menjelang malam badai turun lagi. Lebih dahsyat dari hari sebelumnya. Tepat di subuh yang tenang dalam kokok ayam dan temaram cahaya fajar, kapal-lampu itu membuat ulah. Kita singgah di pulau ini! sergah Bakar kepada jurumudinya ketika kapal merapat ke pantai landai yang pasirnya menyerupai gula-pasir kelas satu. Di pulau kecil itu cuma ada tiga puluh rumah. Semuanya beratap seng; hanya satu yang tidak; dan sedap sekali di rumah yang satu itu; rasa dinginnya segar. Para nelayan hampir semuanya punya boat pancung dengan mesin Jhonson 17 atau 25 PK tapi mereka lebih suka memakai layar. Mesin-sangkut itu baru berguna kalau angin sakal tak terelakkan. Setiap dua kali seminggu ada tongkang laju datang meraih tangkapan mereka. Milik tauke. Bagi penduduk pulau ‘Keretang’ semua orang Cina sama saja. Mereka menyebut puak itu sebagai Baba. Mereka bahkan tak membedakan Baba Riau, Baba Padang, Baba Medan, Baba Jawa, Baba Menado, Baba Irian, Baba Melaka, Baba Malaya, Baba Singapura, Baba Malaysia, atau Baba Siam atau Thailand, Baba Kocin atau kawasan Vietnam dan sekitarnya,
halaman 23
Baba Makau Baba Hongkong dan Baba Taiwan. Baba yang perempuan disebut Nyonya. Baba yang perempuan kecil Amoi. Amoi lelaki entah apa panggilannya. Orang Jepang dan Korea pun mereka sebut Baba Jepun dan Baba Korea. Pokoknya tauke. Pokoknya Baba. Tiga bulan selama musim utara mereka berkurung dalam rumah. Makan, tidur, makan, tidur. Kadang-kadang main judi. Musim utara berarti musim istirahat. Satu putaran musim lagi anak-anak lahir sehat-sehat, agaknya karena protein yang pas. Yang paling kusukai pada Pulau Keretang atau Pulau Bungkah Karang atau Pulau Gajah Mina atau apapun nama pulau itu ialah masih berlakunya ketentuan timun bungkuk di balik tiang / ayam berkokok hari nak siang karena di sini ayam masih seperti dulu berkokok ketika fajar merekah di subuh hari, dan di pulau ini juga kambing masih makan daun nangka, sedangkan di kota-kota seperti Tanjungpinang, Pekanbaru, apalagi Jakarta, ayam berkokok di sembarang waktu dan kambing melalap mulai dari Far Eastern Economic Review sampai sandal-jepit, tak perduli made in Taiwan atau made in Pasar Rumput. Ayam di sini tak berkandang. Tak pernah berkandang. Tak perlu berkandang. Pagi-pagi perempuan-perempuan bini nelayan datang mencencang kelapa dan menaburkannya tinggi-tinggi sambil berseru, “Kuuuuur! Kuuuuur! Kuuuuur!� ... dan selebihnya ayamayam itu mencari makan sendiri: cacing, biji buah-buahan, dan kadang-kadang taik orang. Tidurnya di pokok ciku, pokok sauh atau semak lalang; telur-telur dipungut hampir setiap hari. Telurnya kecilkecil, merahnya yang berwarna menyala kental sekali; kalau dijual di kedai-kopi di kota bisa tiga kali lipat harganya dari telur ayam ras yang hambar tak tentu rasa. Beberapa langkah dari kapal-lampu kami nampak sebuah boat laju memunggah otak-otak. Otak-otak ialah .... (tunggu, aku hafal ta’rif yang dibuat Raja Ali Haji dalam kamus monolingual ensiklopedisnya Kitab Pengetahuan Bahasa tentang benda yang bernama otak-otak itu: makanan yang diperbuat daripada daging ikan yang diambil dagingnya ditinggalkan tulangnya kemudian dibubuh rempahrempah, dibubuh santan niur kemudian ditaruh kepada daun niur maka dibakar. Waktu kecil aku selalu mengganggu anak berkepala gundul yang berjaja otak-otak; ketika ia melagukan jualannya O-takotaaaak! aku dan beberapa teman menjerit serempak: Otak-otak penganan talam Kepala botak berjalan malam!. Aku tanyakan kepada tukang warung hendak dibawa ke mana otak-otak itu. Ia tak menjawab. Aku mau beli sepapan. - Tak jual! katanya. halaman 24
- Mengapa? tanyaku. - Untuk orang Singgapur! jawabnya tanpa memandang daku. Aku minta satu. - Mau merasa betul orang ini ya! Aku mengenal betul rasa bahasa orang daerah ini. Ada nada ancaman dalam suaranya. Dengan muka seperti limau purut busuk ia mengulur beberapa bungkus otak-otak kepadaku. Matanya seperti mencuatkan api memandang tepat-tepat pada wajahku. Aku balas dengan senyum yang langsung menyebabkan orang itu menundukkan kepala. Waktu bersekolah di Bandung dulu, aku sempat masuk meski cuma dua minggu belajar di School of Magic di Jalan Suryakencana dan belajar tentang cara menentang hipnotisme. Dengan muka pucat seorang kelasi kapal lampu kami merejuk ke arahku hendak menghalangi aku memakan otak-otak itu. Tapi terlambat. Inilah awal-mula aku didaulat sebagai tabib. Jadi tabib konon! Ibuku yang terlentang sekian lama tak bisa sedikitpun kukurangkan penderitaannya. Siapa pula yang punya kerja ini? Kulihat Bakar terkikik-kikik bersama kuanca penguasa kamar mesin Gani. Banyak orang berobat, dan mengandalkan air putih tambah jampi komatkamit serta kotak P3K kapal. Seorang perempuan hendak melahirkan. Bidan bilang anak dalam perut itu menyungsang: kepala di atas kaki di bawah. Wah! Aku ingat ada orang Kuantan yang bercerita kepadaku tentang selusuh: bahwa selusuh paling hebat dapat dijumpai dari rumput bekas makan kucing. Kebetulan ada kucing hitam besar bagaimana tak besar, kucing-kucing di pulau itu mewah makan ikan segar benar yang berjalan di atas rumput. “Kalau tak ada rumput bekas makan kucing, bekas lapahnya pun jadilah,” kata guru ilmu tabibku orang Kuantan itu. Selusuh itu mujarab. Bayi itu lahir dengan mudah. Laki-bini itu minta nama. Karena anaknya perempuan aku ingat pejuang Aljazair dan perempuan Yahudi yang masuk Islam dan menjadi pengikut Abu A’la Al-Maududi. Bernamalah anak itu Jamilah. Mudah-mudahan dia menjadi perempuan cantik kelak sesuai dengan makna nama itu, gagah seperti pejuang Aljazair dan berilmu seperti perempuan muallaf asal Yahudi yang namanya hanya kupakai separoh. Separohnya lagi yaitu nama Maryam yang di daerah ini diucapkan sama dengan kanon di kampungku sudah tak mau dipakai lagi. Apa sebab? Setiap orang bernama Maryam atau Meriam lalu di jalan selalu diteriaki anak-anak “Dum! Dum! Dam!” Inilah akibat orang Melayu Melaka salah memberi
halaman 25
nama senjata yang sebelum ditembaki diserukan “Ave Maria!” Ada seorang pasienku mati. Supaya tak timbul krisis kepercayaan terhadap tabib besar, aku berkhotbah, setiap yang bernafas pasti menemukan mati. Kullu nafsin za-ikatul mauut. Tak ada orang yang dapat hidup menongkat langit, meskipun raja besar kuasa besar, meskipun gagah seperti sayidina Ali yang kalau bertempik bukit Kaf menggelegar. Aku lalu didaulat menjadi imam. Sembahyangku yang ompong rongak terpaksa tak lagi membuang waktu. Imam besarlah aku jadinya. Tanganku hampir lecet melelas dicium jemaah para nelayan yang kebanyakan kumis janggutnya baru merecup tumbuh. Dengan tahmid dan selawat dan penutup tabarakallah yang baik, selebihnya doa kumbang. Marhabanku yang agak lain - lagunya ciptaan temanku almarhum Waluyo Solomon - justru menjadi pujaan. Sajak-sajak mantera Sutardji Calzoum Bachri dianggap mantera benar oleh orang situ. Mesin kapal itu rusak berat sehingga harus mengalami overhault. - Berapa lama? tanyaku. - Petang nanti siaplah! jawab Bakar. Ia terus terkikik-kikik, dan Gani melihat mukaku tambah pucat. ‘Modal sekait!’ agaknya itu yang mereka katakan di belakangku. - Kalian bikin aku jadi badut ya? kataku geram. Mula-mula menjadi tabib, lalu imam. Besok mereka bilang aku ini sultan, keramat hidup dan entah apa lagi. Ketawa Bakar dan Gani lepas dari simpul, diikuti anak-anak buah kapal lainnya. Dari seorang anak muda yang hendak mengikutku pulang dapat kabar bahwa aku rupanya pernah dicoba dengan memberi racun pada nasi dagang dan pulut sokok. Dan aku tak mati. Berarti sakti. - Haah! Tapi obohol itu memakan waktu beberapa hari. Lalu tiba-tiba terdengar suara hingar. Ada barang hanyut. Dan seruan “Tawan karang! Tawan karang! Tawan karang!” terdengar di sana sini. Itu aturan kuno yang menegaskan apa-apa yang hanyut di kawasan mereka menjadi hak orang-orang di kawasan itu. Tak perduli barang itu milik gubernur Melaka atau raja Amerika. Penduduk sudah menyatakan barang itu milik mereka. Orangorang datang meminta pendapatku. Aku bilang itu harus diserahkan kepada pemerintah. Mereka gusar, dan nampaknya mulai memusuhi kami. Dua puluh sekian penduduk pulau itu secara serentak
halaman 26
memandang kami dengan mata memancarkan api. Begitu serentak sehingga beberapa anak buah kapal-lampu itu mundur beberapa langkah. Ujung mata serampang sudah diagah-agahkan ke arah kapal. Itu terang ancaman serius. - Apa isi peti barang hanyut itu? tanyaku kepada kapten Bakar dan kuanca Gani. Tak ada lagi ketawa terkikik dan senyum berkulum dari kedua orang itu. Muka kapten dan kuanca itu pucat kecut. - Ada apa? aku menyergah mereka. - Bom ikan! bisik kapten Bakar dengan suara perlahan sekali. - Bahaya? tanyaku lagi. - Bahaya kata awak? desah kuanca Gani, - kalau semua meledak sekaligus kapal kita bisa jadi bubur tahu. Koki Si Pondan kehilangan gaya keperempuanannya; ia lebih cergas dari lima kelasi; parang empat-seginya berkelibatan menyiang sisik dan memotong kepala, badan dan ekor ikan merah. Wajahnya keras tajam. Ketika kami sudah hampir diserang, mesin kapal mendadak hidup. Penduduk pulau yang berlari ke arah kapal lampu kami berteriak-teriak sambil mengacungkan parang panjang, - “Tawan karang! Tawan Karang! Tawan Karang!” Ucapan sakti yang berasal dari zaman dulu. Lalu terjadilah apa yang kukatakan pada permulaan tadi. Ketika itulah ikan merah masak masam-manis berasa seperti tatal kayu, udang singgang-serani dan sotong asam-pedas seperti udang dan sotong mainan dari plastik. “Made in Japan?” katamu. “Made in mana sajalah!” Dari hampir semua rumah di pulau itu terdengar gaung bersahutan, “Tawan Karang! Tawan karang! Tawan karang!” Lalu sebentar kemudian sebuah ledakan terdengar. Asap cendawan setinggi pohon kelapa membumbung naik, berbentuk cendawan seperti gambar bom atom di Hiroshima. Hiroshima yang lain. ***
halaman 27
Sajak
Syafrizal Sahrun Pada Sebuah Pesta Jangan Salahkan Aku Jika Aku Jadi Mau Yang 2 Yang Kukitak Akal-Akalan Jalan Menuju Ujung Minggu Jangan Menangis Untukku Pada Suatu Malam Riwayat Bulan Tentang Perempuan dan Rambutnya di Suatu Petang Dalam Diam-Diam
Syafrizal Sahrun Lahir tanggal 4 November 1986 di desa Percut. Alumni sarjana dari UISU. Beberapa karya di berbagai media. Puisinya juga di muat pada Antologi puisi Suara peri dan mimpi, Antologi puisi Cahaya, Antologi Puisi Tarian Angin dan Antologi puisi Menguak Tabir.
halaman 28
Pada Sebuah Pesta
Dan sore itu Piring-piring di bawah kursi menjerit Orang-orang sibuk Sepertinya kata tolong cuma buat tuan kandidat Kibot terus berdentum Seorang janda bernyanyi lagi syahdu Memanggil lakinya yang bergantung pada jarum jam Yang habis batrainya Untuk apa semua Jikalau orang-orang terus berlalu Sementara piring tadi kecewa Melihat bahagia yang buta Dan janda yang menyanyi cuma menjual air mata Dan celaka
halaman 29
Jangan Salahkan Aku Jika Aku Jadi Mau Kepada Para Koruptor
Di sisi celanamu yang menganga Kutengok ladang bunga-bunga Beragam warnanya Bikin aku terpakudaya Tak hendak mata beranjak jauh Walau kuhalau jauh-jauh Salahkah bila kuhendak Kalau kau yang mengitak Ini semacam pukau Aku jadi lembu yang dicucuk hidung Lalu tertumus di situ Tanpa malu Tanpa ragu
halaman 30
“Dosa kira bekang orang ini kesempatan� Kau macam perawan Ngangkang di sofa Aku Cuma singgah barang sejenak Tapi aku tengok itu Dalam malu-malu Aku jadi mau Di sisi celanamu yang menganga Ku tengok ladang bunga-bunga Mekar iya semerbak baunya Sebagai kumbang aku datang Penuhi undang Jangan salahkan aku Bungamu yang menggamitku Jangan salahkan aku Baumu menjeratku
halaman 31
Yang 2
Yang sudah sudahlah Yang mengalah bukan berarti kalah Yang hancur hancurlah Yang kuat bukan berarti kekal Yang mati matilah Yang hidup ambil tuah Yang lalu lalulah Yang tetap tak harus meratap Yang kubayang kulayang Yang terkibas mengimbas Yang lalat Yang cicak Yang biawak Yang binasa kembali ke Yang punya Dan yang kuraba Berdeah Berdesah Basah
halaman 32
Yang Kukitak
Kan kucakap sudah Kalau berjalan Tengok-tengok bawah Pakai matamu Kalau buta Hatimu kan ada Usah bersandiwara Kau sudah kukitak Takkan dapat mengelak
Akal-Akalan
“Aku tak minta apa-apa cuma uang rokok saja kalau bisa kasih sekarton atau dua biar lengkap persaudaraan kita� Kata yang tak berakal Tetapi ada
halaman 33
Jalan Menuju Ujung Minggu
Ketika petangpun berangsur-angsur turun Engkau menggambar wajahku di sebuah batu Batu yang dilahirkan seorang penyair Di seperempat malam yang anyir Di dekat batu Air beriak Pelamin rerak Tapi ia tak pudar Meski direndam dalam dendam Kini batu jadi wajahku Dan kerut keningmu Jadi jalan menuju ujung minggu
Jangan Menangis Untukku
seperti tangan-tangan hampa aku berlari membelah hitamnya langit angin-angin bersiul-siulan mengisaratkan tentang malam yang membekam di punggung kanan siapa lagi yang akan menabuh gendang siapa lagi yang akan menari di perapian kehidupan dan kematian lantas aku hanya menjadi abu dan bersarang di paru-parumu jangan menangis untukku!
halaman 34
Pada Suatu Malam
Sejuk kali Cemana ini Kawanan angin menderuderam Menetak sukma Biramkan yang ada Sembunyikan aku Meraka mempelelahku Sampai ke ujung rindu Tapi sudahlah Ternyata pertarungan Hanyalah gombal Aku lelap di bantal
halaman 35
Riwayat Bulan
Bulan belakangan Dau gugur Angin samar sepoi Ranting tanggal dari pokoknya Bangku biru mati di tepi pagi Bulan ini Daun lebih banyak gugur Angin sudah tak pulang lagi Ranting sudah jadi abu Jalan ke makam bangkupun Sudah pula jadi abu Tapi disela itu ada yang tak berubah Ada yang tak bisa berubah Bulan depan Takkan ada lagi Kecuali cinta yang tak mati-mati
halaman 36
Tentang Perempuan dan Rambutnya di Suatu Petang
Dan pada suatu petang Angin bertandang Tingkap terbuka sikit daunnya Warnanya kuning Seperti yang kita bakar kemarin Di muka pintu Perempuan itu masih terus menyikat rambutnya Dan yang gugur terhembus anginlah Kepangkuan senja yang basah Terdengar pula siul lelaki Bagai pisau dan mencungkil masa yang dikabarkan mati Merambat pelan Mengikuti batang sirih yang merambat sampai ke kamar Ini sudah hari kesekian Dari hari dan bulan-bulan yang kesekian Perempuan itu masih saja seperti dulu Rambutnya tak sudah-sudah disikat Tingkap terbuka sikit daunnya Ujung rambut tak jua ia sua Kemana jua hendak bertanya Batang sirih telah melilit tubuh aduhainya
halaman 37
Dalam Diam-Diam
Dalam diam-diam aku mengintipmu Dan kau tak tahu Dalam diam diam aku mendekatimu Dan kau tak tahu Dalam diam diam aku mengguitmu Dan kau tak tahu Dalam diam diam aku memanggilmu Dan kau tak jua tahu Dan dalam diam-diam Kau membunuhku dalam diammu
halaman 38
Sajak
Lasinta Ari Nendra Wibawa, ST Rancabuaya Cintailah Aku Sebagaimana Telaga Tentang Mantan Kawan Bila Tiba Saatnya Mencintaimu Tak Ubahnya Memunguti Kenangan Menyiasati Kesendirian Menyantap Kepiting Sajak Mata Air Rindu Ini Telanjur Sakti Tersesat
Lasinta Ari Nendra Wibawa, ST Lahir di Sukoharjo, 28 Januari 1988. Menulis puisi, cerpen, artikel, dan esai di media massa sejak tahun 2005. Karyanya pernah dimuat di Jawa Pos, Riau Pos, Tanjungpinang Pos, dan sebagainya.
halaman 39
Rancabuaya maka ombak lebih memilih bergeming urung sebelum menyapa kaki pemancing seperti berdiri dinding tak kasat pemisah tak sekalipun waktu menawarkan goyah di sinilah sungai-sungai bertemu kekasihnya usai berkelana melewati nyala lampu kota tawar dan asin khusyu bertatap muka pembeda bisa jadi semacam pesona jalanan yang diapit sawah dan laut barangkali menjadi semacam pengurut jenuh yang telanjur terminum surut atau tugas yang membuntut larut maka lebih menggairahkan mana klakson kendaraan dan debur ombak gelegar yang lebih membahana tanpa sumpah serapah serta teriak
halaman 40
Cintailah Aku Sebagaimana Telaga cintailah aku sebagaimana telaga memeluk kedalaman dengan kesunyian aku bosan dengan gelegak riak kata hanya mengambang di permukaan sebab rindu akan senantiasa haru meski ucap selalu disergap kelu berapa kali aku harus mengatakan cintaku adalah air penampungan sementara hujan nama lain dari kesetiaan
Tentang Mantan Kawan hati-hatilah dengan mantan kawan ia bisa hidup lebih belati dari mantan kekasih sepanjang perjalanan serta kenangan tak ada yang ia sembunyikan selagi pedih tak serta menyertainya menyerupai ia camilan makanan yang dulunya higienis nan menyehatkan tapi dendam adalah jalan bagi basi membiakkan segerombolan bakteri hatimu musuh racun paling dini dan waspadalah, selama ia tak lebih unggul tangannya gatal dari senggol dan pukul
halaman 41
Bila Tiba Saatnya : Kinanthi Anggraini bila tiba saatnya nanti, isteriku hujan lebih sering mendatangi dan genteng tak lagi mampu memilih undur diri maka aku akan mencari payung agar kau nyaman saat bernaung doa-doa semakin mengekal dalam setiap jengkal kupastikan namamu tak tertinggal sebagai alamat bagi bahagiaku yang tersemat dan kuharapkan semoga tabahmu seluas rimba aku tak berkeberatan menukar air mata yang paling sukar luka yang paling memar demi senyummu yang paling mawar
halaman 42
Mencintaimu Tak Ubahnya mencintaimu tak ubahnya membangun rumah menyiapkan ruang bermain bagi setiap anak kisah membesarkan mimpi tanpa takut dicuri resah mengikat napas kita dalam satu lembar alur silsilah penginapan bagi setia yang tak pernah berkilah mencintaimu tak ubahnya membersihkan halaman dari noda kenangan yang memantik kecemburuan dari angin rindu yang tak pantas dialamatkan selain padamu perempuan yang kujanjikan: duhai perempuan berwajah rembulan mencintaimu tak ubahnya menjaga aroma dapur dengan bawang, cabai, gula, lada, asam, dan garam memastikan sumbu kompor menyala teratur tanpa terlewat mentah atau hangus menghitam
halaman 43
Memunguti Kenangan beberapa kali ingin kupunguti kenangan agar tak terserak, tercecer atau berjatuhan sebelum detik dan menit merayu ingatan dengan alpa hingga peluit kesibukan kenangan adalah harta yang tak bisa dicuri drama yang tak butuh satu lakon pengganti tak ada juri dan penonton yang menghakimi kau adalah sutradara bagi kisahmu sendiri masa depan tak lain bayi bagi kenangan tempat menumbuhkan tunas-tunas harapan maka tulislah naskah paling mengagumkan miskin tangisan tapi kaya tepuk tangan
halaman 44
Menyiasati Kesendirian kesendirian tak lain sebuah penyakit kronis menahun jarak adalah pantangan yang tak bisa dihindari biarpun ingatan tak pernah lama berteman dengan rasa pikun serupa urat akar yang selalu merindukan warna daun betapapun rimbun, harapan hanya akan menjadi semacam tatapan paling rabun kita tahu pertemuan menjadi obat paling manjur tapi pekerjaan bukan tagihan hutang yang terstruktur bisa berdalih apa saja agar pembayaran bisa diundur agar uang yang tersedia bisa kau pakai untuk berlibur begitulah pekerjaan yang telanjur rutin lagi teratur tak bisa kau tukar dengan seribu waktu lembur memilah senggang yang romantis lagi mujur sembari berdoa semoga panjang-panjanglah umur demikian ihwal halal menyiasati dada yang berdebur serta mengusir jejak sunyi yang telanjur lama menjamur
halaman 45
Menyantap Kepiting tak ada pilihan yang lebih anggun, tuanku selain bertarung dengan tangan kosong sebab sendok, pisau dan garpu membuatmu sedikit terlihat sombong tak usah malu mengalasi dengan kertas koran persembahan bagi taplak meja agar tak belepotan tak melulu anak kecil yang perlu diperingatkan saat tengah belajar makan bila perlu siapkan palu kayu bila tak yakin dengan kemampuanmu tariklah tegas kaki dan capitnya dengan gerakan memutar tentu bisa kau menaklukkannya meski ia sekuat akar pergunakan sepasang cakarmu yang tak dipotong selama tiga minggu betapa sungguh lunak ini cangkang tetap mampu menikam kulitmu
halaman 46
berkali pula kau mesti bersatu dengan gigi taring dan kuku mencecap serpih daging matang bercampur aroma cabai dan bawang isaplah sepuasnya tanpa kau sungkan serupa mengisap darah perawan persembahan agar gigimu tak keropos di usia muda agar tulangmu kembali sekuat para perjaka kelak ikan yang menyatu dengan cangkang yang berubah kemerahan saat kuah matang turut menyatu dengan tulang demi tulang para penikmat kepiting rendang
halaman 47
Sajak Mata Air kesabaran merupakan makanan paling lezat, Tuhan di antara pikat tanah liat serta ruas cadas bebatuan perjalanan yang dibuntuti sepi dan lengang tawa kesendirian yang tak jua usai memeluk masa tak ada plang petunjuk kilometer yang aku jumpai tapi kutahu dari lekuk mana aku harus memulai betapapun pekat menjadi napas seluruh semesta tapi kelak kuyakin cahaya menjadi akhir bermuara telah kusaksikan tentang kegigihan cacing tanah bermula dari geliat tabah lalu menembus titik celah mempelajari kesetiaan sekelompok koloni rayap menjauhi paruh ayam dan tiap langkah derap dan kebermunculan sebagai ihwal hakiki bagiku semacam tugas mulia terlebih suci meski ratusan kubik ditampung setiap hari begitulah hidup, berangkat untuk kembali
halaman 48
Rindu Ini Telanjur Sakti kelana mengajariku jadi pertapa sakti tapi lupa bagaimana menyiasati bila ponsel lupa membawa suaramu sampai ke telingaku aku telah merapal mantra-mantra penyulut kebahagiaan tanpa akibat tapi gagal tersenyum seperti saat kedua bibir kita saling merapat
Tersesat kami lupa meninggalkannya dimana ingatan paling terang sebelum sergap tanya kembali menyusuri perempatan bentuk bangunan serta nama jalan kau ingat jalan terakhir, kekasihku? perjalanan yang tak meragukan daya pikir sebelum kerinduan dibalas geleng kepala atau sedikit mengangkat bahu anjing tak lupa jalan kembali pulang meski berkali terperosok di pematang meski anak-anak melempar batu cadas ingatannya tak pernah lepas dari waras barangkali aku seperti sekawanan angsa jatuh cinta pada paha perempuan lantas lupa kapan terakhir kali berenang di kali melarikan selendang bidadari yang mandi
halaman 49
Anugerah Sagang
Malam Puncak Anugerah Sagang 2014
ayasan Sagang kembali memberikan pengha penghargaan kepada para penggiat budaya Melayu. Penghargaan diberikan dalam kegiatan bertajuk Malam Anugerah Sagang 2014 yang digelar di Hotel Pangeran Pekanbaru, Jumat (28/11) malam. Malam puncak Anugerah Sagang 2014 dihadiri langsung Plt Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman. Selain Arsyadjuliandi Rachman juga hadir Ketua Majelis Kerapatan Adat Melayu Riau Dr Tennas Eendi, Bupati Siak Drs Syamsuar, mantan Wako Pekanbaru H Herman Abdullah MM, Ketua Dewan Pembina Yayasan Sagang H Rida K Liamsi, beberapa rektor dari perguruan tinggi di Riau serta ribuan undangan lainnya. Pada malam puncak Anugerah Sagang ini akan diserahkan penghargaan kepada para seniman dan budayawan serta berbagai karya budaya pilihan Sagang. Adapun tujuh kategori yang telah dipilih Yayasan Sagang, menjadi pemenang adalah, untuk karya jurnalistik budaya, diraih Fenny Ambaratih dari Majalah Batampos.co dalam tulisan berjudul Raja Ali Haji: “Peletak Dasar Tata Bahasa Melayuâ€?.
halaman 50
Selanjutnya untuk karya penelitian budaya, diraih Junaidi Syam dan kawankawan untuk karyanya berjudul Tiga Lorong, Teguh Berdiri di Tengah Persimpangan Riuh Ramai. Sedangkan untuk karya non buku, diraih Tito Aldila, Mbay dengan karya VCD musik berjudul Jejak Suara Suvarnadvipa. Sementara itu, untuk institusi atau lembaga seni budaya jatuh pada Keletah Budak, Sanggar Teater dari Pekanbaru. Selanjutnya, untuk penghargaan buku diraih Jefry Al Malay melalui bukunya berjudul Timang-Timang Nak Ditimang Sayang. Untuk Seniman Serantau, Yayasan Sagang memilih Prof Zainal Borhan, budayawan asal Malaysia dan terakhir untuk seniman atau budayan, jatuh pada Hang Kafrawi. Untuk masing-masing pemenang, berhak menerima uang tunai sebesar Rp10 juta berikuti tropi dan piagam. Dalam sambutannya, Ketua Yayasan Sagang Kazzaini KS mengucapkan rasa terima kasihnya kepada semua pihak yang telah mendukung terlaksananya kegiatan Malam Anugerah Sagang 2014. Dikatakan, pemberian penghargaan itu sebagai bentuk keseriusan dan konsistensi Yayasan Sagang
dalam melestarikan budaya lokal, sekaligus mendukung cita-cita bersama menjadikan Riau sebagai pusat budaya Melayu. Dalam kesempatan itu, Kazzaini mengatakan pihaknya juga telah meluncurkan website tentang aktivitas Yayasan Sagang yang bisa diakses melalui www.bukusagang.com. “Mulai malam ini beberapa buku terbitan Sagang, sudah bisa dibaca melalui internet,” terangnya. Sementara itu, Plt Gubri ArsyadJuliandi Rachman mengucapkan selamat kepada Yayasan Sagang yang telah sanggup bertahan selama 19 tahun. Pihaknya yakin, dengan kegiatan Malam Anugerah Sagang, banyak memotifasi seniman dan sastrawan yang ada di Provinsi Riau. “Saya ucapkan selamat untuk semuanya, mudah-mudahan kegiatan ini bisa terus berlanjut untuk keberlangsungan budaya di Provinsi Riau,” tutupnya. Dalam perhelatan Malam Puncak Anugerah Sagang 2014 nanti tersebut sebagai sajian kesenian hiburan dalam bentuk tarian dan musik. Dengan berpijak pada konsep tradisi Melayu, tarian dan musik tersebut pun akan dimainkan oleh mahasiswamahasiswi Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR).
gerakan tradisi yang kita kembangkan ke kreasi. Untuk serampang duabelas kita lebih kembangkan dengan pola lantai lebih luas,” ungkap lelaki yang juga merupakan dosen di STSR tersebut. Sementara Zalfandri Zainal alias Matrock, yang juga dosen musik STSR, selaku komposer dalam perhelatan ini mengakui, tradisi menjadi kekuatan penting dalam garapan musiknya. Meskipun dibawakan dengan konsep orkestrasi, namun kekuatan tradisi tetap dipertegasnya. “Kita lebih menyebutnya orkestradisi. Dalam artian dibawa dengan konsep orketrasi namun dalam bentuk tradisi. Dengan seperti itu dinamika permainan lebih besar,” ungkap Matrock. Dalam persiapannya, para mahasiswamahasiswa STSR telah melakukan latihan sejak satu bulan yang lalu. Dengan segala upaya, hiburan ini diharapkan agar menjadi peran penting dalam kemeriahan suasana acara. “Semoga musik dan tarian dari kami mahasiswa maupun alumnus STSR ini mampu ikut memeriahkan acara,” tambah Matrock. (Red.Dasmo) ***
Syafmanefi Alamanda dosen sekaligus ketua jurusan tari di STSR, selaku koreografer dalam tarian menjelaskan bahwasannya, terdapat tiga tarian yang disajikan di malam itu. Diantara dari ketiga tarian tersebut adalah, tarian prosesi selaku tarian utama, tarian persembahan sebagai penyambutan tamu dan tari hiburan serampang duabelas. Kesemua tarian tersebut dipertontonkan di depan tamu undangan Malam Puncak Anugerah Sagang 2014. “Untuk tari prosesi, kita mengambil tema persahabatan. Berpijak pada beberapa halaman 51
Rehal
Perjalanan yang Mengajarkan Keikhlasan
Judul buku
: Rindu
Penulis
: Tere Liye
Tahun terbit
: Oktober 2014
Penerbit
: Republika Penerbit
Jumlah halaman : 544 halaman
halaman 52
ISBN
: 978-602-8997-90-4
Peresensi
: Zurnila Emhar Ch
Menunaikan ibadah haji adalah impian setiap muslim. Ibadah yang merupakan rukun Islam yang terakhir ini selalu mengundang kerinduan bagi orang-orang yang sudah pernah menjalaninya ataupun bagi mereka yang belum pernah menjalankannya. Jika di zaman sekarang untuk sampai di Mekah hanya dibutuhkan beberapa jam perjalanan di udara. Tetapi, di tahun 1938 para calon jamaah haji harus menempuh perjalanan laut selama satu bulan untuk sampai di tujuan. Dan berbilang bulan untuk bisa kembali ke tanah air. Berbagai masalah bisa saja menghadang mereka di tengah laut. Salah satu kapal yang mengantar jamaah haji kala itu adalah kapal Blitar Holland. Kapal uap ini memulai perjalanan dari Makassar, dilanjutkan ke Surabaya, Semarang, Batavia, Lampung, Bengkulu, Padang dan terakhir di Aceh, untuk kemudian melanjutkan perjalanan hingga ke Jeddah. Kapal ini membawa lebih dari seribu orang calon jamaah haji yang terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak-anak. Ditambah dengan sekian banyak kelasi dan tentara pengaman Belanda. Kapal ini dipimpin oleh Kapten Phillips, seorang kapten kapal Belanda yang baik dan rendah hatinya. Novel ini bukan semata kisah tentang perjalanan menuju Baitullah, tapi intinya mengetengahkan lima pertanyaan besar yang membutuhkan jawaban. Pertanyaan pertama berasal dari Daeng Andipati. Dia adalah seorang saudagar kaya dari Makassar, naik haji bersama keluarganya. Mereka adalah potret keluarga bahagia. Namun ternyata Daeng Andipati tidak sebahagia itu. Ada kebencian yang besar dalam dirinya terhadap orang yang harusnya disayangi dan dihormati.
Pertanyaan kedua berasal dari Bonda Upe, calon haji berdarah Tionghoa yang menjadi guru mengaji di kapal. Masa mudanya yang dijalani sebagai cabo di Macao Po, tempat pelacuran terkenal di Batavia menjadi rahasia besarnya. Sepanjang perjalanan sebuah pertanyaan selalu mengiringi pelayarannya; layakkah seorang mantan pelacur mengunjungi tanah suci? Kemudian, ada Ambo Uleng. Dia bukan calon jamaah haji. Pemuda dua puluh empat tahun itu berada di Blitar Holland dalam rangka melarikan diri dari sakitnya patah hati. Dia ingin meninggalkan semua kenangan indahnya dengan sang kekasih dalam pelayaran ini. Termasuk meninggalkan tanah kelahiran. Di kapal Ambo menjadi kelasi dapur. Tokoh lainnya adalah Eyang Kakung Slamet. Dia berangkat haji bersama istri dan anak sulungnya. Calon jamaah haji yang berasal dari Semarang ini adalah contoh pasangan paling romantis dan harmonis di kapal. Naik haji merupakan janji Mbah Kakung pada Mbah Putri yang telah setia mengarungi rumah tangga bersamanya selama enam puluh tahun. Namun, keceriaan Mbah Kakung seketika lenyap ketika istrinya menghembuskan napas terakhir sebelum sampai di Mekah. Jasad Mbah Putri ditenggelamkan di laut. Tinggallah Mbah Kakung dengan hati yang terpuruk dalam luka. Yang terakhir, yang menjadi pusaran cerita ini, Gurutta Ahmad Karaeng, seorang ulama besar yang menjadi imam di Masjid Katangka. Di kapal Blitar Holland, Gurutta juga menjadi imam masjid. Peranan Gurutta sangat terasa dalam perjalanan ini. Tidak ada orang yang tidak mengenalnya. Dia adalah tempat bertanya
halaman 53
dari soal agama sampai hal-hal umum. Bahkan Kapten Phillips pun menyeganinya. Dan kerap melibatkan dalam setiap musyawarah.
terbongkar. Karena malu Bonda Upe mengunci dirinya di kabin kapal. Beruntung dia memiliki suami yang sabar dan senantiasa mengajaknya berani menerima masa lalu.
Setiap hari Gurutta menghabiskan waktunya di kabin untuk menulis. Tulisan yang kemudian hari menjebloskannya ke dalam penjara kapal. Buku hasil perenungan dan pemikiran Gurutta itu berjudul Kemerdekaan Adalah Hak Segala Bangsa.
Bonda Upe baru kembali mengajar setelah Gurutta menasehatinya, “Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu. Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidup kita. Peluk semua kisah itu. Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara terbaik mengatasinya. Dengan kau menerimanya, perlahan-lahan, dia kan memudar sendiri. Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan baru yang lebih bahagia.” (hal.312)
Sebenarnya Gurutta juga membawa beban dalam perjalanannya. Setelah beberapa kali melihat pertumpahan darah para pejuang melawan Belanda pada masa itu Gurutta memilih melawan penjajah dengan buah pemikiran. Lewat pengajiannya, dia kerap mengobarkan semangat kemerdekaan pada jamaah Masjid Katangka. Namun Gurutta tidak punya nyali untuk ikut angkat senjata seperti pejuang lainnya. Ketidakberaniannya itu membuatnya merasa sebagai orang munafik. Perasaan itu terus merongronginya, seorang munafik mengunjungi tanah suci! *** Dari awal hingga pertengahan novel ini terasa datar. Tidak ada masalah yang begitu besar yang mempengaruhi emosi pembaca. Ditambah lagi lokasi cerita hanya berkisar di dalam kapal dan beberapa kejadian di pelabuhan. Hal mengasyikkan dalam alur novel adalah sosok Anna, putri bungsu Daeng Andipati. Kehadirannya mampu mempermanis cerita walau belum ada konflik yang tajam. Anna, anak kecil berusia sembilan tahun yang cerdas, lincah, selalu ceria, penuh rasa ingin tahu, ceplas-ceplos dan polos. Emosi pembaca mulai diaduk sejak kejadian di Batavia. Seorang cabo menyapa Bonda Upe. Pertemuan itu membuat guru mengaji tersebut merasa rahasianya halaman 54
“Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan hebat menurut versi manusia sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai dalam hati kita sendiri.” (hal.313) Ketegangan berikutnya muncul saat seseorang berusaha membunuh Daeng Andipati untuk membalas dendam. Dan puncak dari konflik itu adalah munculnya perompak Somalia yang hendak merebut kapal. Asad, sang perompak berhasil melumpuhkan Kapten Phillips dan mengambil alih kemudi. Namun, berkat pengalaman Ambo Uleng melawan perompak di perairan Malaka maka Asad dan kawanannya bisa dilumpuhkan. Perjalanan ini bukan semata-mata proses Daeng Andipati, Bonda Upe belajar memaa%an dan menerima masa lalu atau perjalanan yang membuat Mbah Kakung dan Ambo Uleng menerima takdir kehilangan orang yang disayangi. Tapi perjalanan ini juga pembuktian bagi Ambo Uleng sebagai pelaut Bugis yang terampil dan cekatan. Ketika mesin kapal mati dan kapal beserta
seluruh isinya terancam terkatung-katung di lautan, Ambo muncul sebagai penyelamat. Ambo mengibarkan layar, mengatur arah dan gerakan layar agar bisa membawa kapal menuju pelabuhan Kolombo. Kemampuan yang membuat Kapten Phillips bangga telah merekrutnya. (hal.444) Begitu juga saat menghadapi perompak Somalia. Ketika tidak lagi tampak celah untuk melawan, semua orang pasrah menerima keadaan, Ambo Uleng membuat rencana dadakan dan berhasil. Keberhasilannya melumpuhkan para perompak sekaligus membantu membuka jalan bagi Gurutta untuk ke luar dari rasa ‘kemunafikannya’. “Gurutta, kita tidak akan pernah bisa meraih kebebasan kita tanpa peperangan! Tidak bisa. Kita harus melawan. Dengan air mata dan darah.” Ambo Uleng menggenggam lengan Gurutta.
“Aku tahu, sejak kejadian di Aceh, meninggalnya Syeikh Raniri dan Cut Kemala, sejak itu Gurutta berjanji tidak akan menggunakan kekerasan lagi. Melawan lewat kalimat lembut, tulisan-tulisan menggugah, tapi kita tidak bisa mencabut duri di kaki kita dengan itu, Gurutta. Kita harus mencabutnya dengan tangan. Sakit memang, tapi harus dilakukan.” (hal.531) *** Novel Tere Liye ini hadir dengan pesona. Penulis piawai memainkan peranan tokohnya untuk menghidupkan suasana di tengah pelayaran yang cendrung membosankan. Hanya ada beberapa kesalahan ketik yang tidak begitu mengganggu, seperti sejatuh (harusnya ‘sejauh’), anak tunggu (harusnya ‘anak tangga’) dan beberapa kata lainnya. Selebihnya novel ini penuh daya pikat yang siap membawa pembacanya merenung, menyelami hati untuk ikhlas menerima takdir dan memperbaiki diri. *** 20 November 2014
halaman 55
Bahasan
Bahasa Melayu untuk Indonesia
ejak abad ke-7, bahasa Melayu telah terbukti memainkan peran yang sangat penting dalam bidang perdagangan, pemerintahan, agama, ilmu dan pengetahuan dan sosial budaya umumnya. Itulah sebabnya bahasa Melayu menjadi lingua franca yang pada gilirannya menjadi bahasa international kala itu. Perbincangan mengenai bahasa Melayu dipandang dari jejak sejarah dan kontek kekinian berlangsung di acara prakonvensi Hari Pers Nasional (HPN) 2015 di Batam, Jumat (12-13 Desember) di Hotel Harmoni One. Acara yang merupakan rangkaian dari HPN 2015 di mana Provinsi Kepuluan Riau men jadi tuan rumah itu, mengangkat tema
halaman 56
Bahasa Melayu untuk Indonesia yang Baharu dan Bahari. Hadir sebagai pembicara dalam seminar yang diadakan selama dua hari itu, Abdul Malik seorang budayawan dan cendikiawan Melayu (Kepri), Linguis Universitas Indonesia, Dr Totok Suhardiyanto, (Jakarta), budayawan dan sastrawan Riau, TauďŹ k Ikram Jamil (Riau), Kolumnis sepakbola dan esais, Zen Rs (Jawa Barat), seniman dan penyair Riau, Marhalim Zaini (Riau), dan Ketua Forum Bahasa Media, Td Asmadi. Memang untuk setakat ini tidak ada yang mengetahui secara pasti bila tepatnya bahasa Melayu dikenal di muka bumi ini. Tetapi kemudian, disebutkan salah seorang
pemateri, Abdul Malik bahwa bahasa Melayu diperkirakan sudah ada sejak 4000 tahun silam. Katanya, hal itu didasari oleh kenyataan pada abad ke tujuh (Sriwijaya), bahasa Melayu sudah mencapai kejayaannya. ”Inikan menjadi jelas, bahwa tak ada bahasa di dunia ini yang dapat Berjaya secara tibatiba tanpa melalui perkembangan tahap demi tahap,” papar Malik yang juga berprofesi sebagai dosen di Universitas Maritim Raja Ali Haji. Abdul Malik di hadapan peserta seminar yang dihadiri para guru-guru bahasa dan pakar-pakar bahasa serta seniman budayawan itu juga memaparkan sejarah perjalanan dan perkembangan bahasa Melayu dari masa ke masa. Dari bahasa Melayu zaman Sriwijaya (633) hinggalah sampai pada persiapan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional, bahasa pemersatu bangsa. Katanya, penyebaran bahasa Melayu yang telah terjadi berabad-abad karena salah satunya disebabkan kesederahaan susunanya dan sedap bunyinya, tidak ada bunyi yang sulit diucapkan oleh orang asing. “Tetapi patut pula kita akui, pembinaan yang intensif yang dilakukan oleh Raja Ali Haji dan kawan-kawan ketika di Kerajaan Riau-Lingga sejak abad ke-19 sampai dengan awal abad ke-20 yang memungkinkan bahasa Melayu terpelihara dengan baku yang kemudian disebut bahasa Melayu Tinggi. Dan bahasa Melayu inilah pada kongres I Pemuda Indonesia,, 2 Mei 1926 diberi nama baru dan pada peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1982 dikukuhkan sebagai bahasa nasional,” jelasnya. Kemudian seorang pakar linguis dari Universitas Indonesia, Dr Totok Suhardiyanto membentangkan wacana mungkinkah bahasa Melayu sebagai bahasa
antarabangsa. Lelaki yang men gaku di masa kecilnya pernah hampir lima tahun tinggal di Tanjungpinang itu kemudian menyebutkan bahasa Melayu memiliki ketahanan yang luar biasa. Makanya tidak kedudukannya sebagai bahasa Lingua Franca tidak akan pernah bergeser. Hanya saja untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa antarabangsa, berbagai tantangan pun muncul, diantaranya disebutkan Totok, persaingan dengan bahasa Inggris, perbedaan etno-linguistik di antara suku bangsa di Asia Tenggar, persoalan sejarah dan politik dalam negeri dan atau kawasan, persoalan ekonomi di kawasan dan dalam negeri, bahkan pengaruh bahasa slang atau dialog Jakarta. “Ada sebuah pekerjaan besar yang kemudian harus dilakukan untuk menjawab tantangan itu. Seperti misalnya, mendorong terus dan menambah intensitas kerja sama kebahasaan, kesusasteraan dan pendidikan di antara Negara-negara berbahasa Melayu, mendirikan pusat-pusat kajian Melayu di negara-negara ASEAN dan berupaya menyatukan dunia Melayu yang ada di kawasan Asia,” jelasnya. Berharapan pada Jurnalistik dan Sastra Harapan untuk mengembalikan kegemilangan dan kemulia an bahasa Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia serta untuk menangani lintang pukang dan pembantaian bahasa Indonsia hari ini, menurut pembicara asal Riau, Taufik Ikram Jamil adalah jurnalistik. Katanya, jika kita mengakui jurnalitik adalah pilar keempat dari demokrasi maka harapan keberlangsungan bahasa Melayu tergantung kepada media massa sebab diyakini sekali hari ini, jurnalistik bisa mencerahkan dan melakukan apa yang tidak terbayangkan
halaman 57
sebelumnya. “Dan kita melihat hal itu, makanya saya punya harapan. Tetapi harapan harus juga dibarengi dengan usaha dan upaya. Artinya, ketika media massa harus bertempur pula dengan kapitalisme apakah kemudian mereka juga dalam waktu yang sama memikirkan bahasa. Sebab begini, kecendrungan media massa saat ini yang saya tangkap adalah mengadopsi bahasa pasar. Tidak lagi seperti di jaman reformasi, sebagai bahasa aksi. Tapi saat ini hanya bahasa respon sehingga banyak bahasa pasar yang diangkat ke bahasa media,” ucap budayawan seniman asal Riau tersebut sembari mencontohkan kata seronok yang pada hari ini menjadi bermakna atau berbau pornografi yang jelas-jelas telah lepas dari makna sebenarnya. Sementara itu, Marhalim Zaini selaku pembicara berikutnya, menegaskan bahwa justru tempat menggantungkan harapan atas keberlangsungan dan pembinaan bahasa Melayu itu kepada karya sastra. Hal itu menurutnya sudah terbukti dalam sejarah dengan beberapa tokoh yang berperan penting di dalamnya. Terlebih lagi menurut penyair asal Riau itu, semua tulisan adalah sastra, adalah berita. “Kandungan isi karya sastra tertulis yang mengandung pesan-pesan, informasi, nasehat, mitos, sejarah, adat-tradisi, alam, nilai-nilai, seni, dan lain-lain adalah informasi atau berita tentang realitas sosial-budaya masyarakat. Maka, terlepas dari bagaimana sejarah jurnalistik Melayu berjalan dengan caranya sendiri sampai masuk ke zaman percetakan, saya melihat dari perspektif kesusastraan dan dunia keberaksaraan Melayu, bahwa antara sastra dan berita, fakta dan fiksi, sejarah dan
halaman 58
mitos, sampai kini pun tidak benar-benar dapat terurai dengan sempurna. Bahkan ketika sebuah media menerapkan istilah “jurnalisme sastra” atau “sastra jurnalistik” sesungguhnya tengah “mengembalikan” makna awal dari dunia keberaksaraan kita,” ucapnya. Tampil juga pembicara dari Jawa Barat, Zen Rs yang memandang pembantaian bahasa Melayu dari perpektif bahasa media terutama di berita olahraga. Betapa katanya, tantangan serius yang dihadapi bahasa Melayu yang salah satunya adalah berita sepakbola di mana merupakan medan pembantaian bahasa Melayu karena banyak bahasa istilah-istilah yang masuk hanya dicomotkan begitu saja, tanpa ada filter. “Diperparah lagi, kemunculan media baru yang menepatkan otoritas sepenuhnya kepada si pemilik seperti misalnya media sosial. Perkembangan istilah-istilah digital yang juga merupakan momok bagi bahasa Melayu,” jelas esais tersebut. Sejalan dengan pemikiran Taufik Ikram Jamil, Ketua Yayasan Sagang, Kazzaini Ks yang juga hadir menyatakan hal serupa bahwa media sebagai salah satu tempat untuk mengawal “pembantaian” bahasa Melayu yang terjadi hari ini. Beliau melihat seperti ada ketidakikhlasan segelintir orang untuk mengakui bahwa bahasa Indonesia itu berasal dari bahasa Melayu padahal sesungguhnya sejarah telah mencatat itu. Media katanya sangat berperan untuk mengawal “kezaliman” bahasa Melayu yang sedang terjadi. Diceritakannya ketika dia menjabat sebagai redaktur di Riau Pos, selalu diadakan pelatihanpelatihan kepada wartawan terkait dengan bagaimana menjaga dan meningkatkan kepedulian terhadap penggunaan bahasa.
Bahkan ada standar untuk pemilihan dalam penggunaan kata-kata. “Ini menurut saya penting seperti halnya acara seminar ini. Kepedulian terhadap bahasa agar dapat menghindari serbuan-serbuan dari bahasa asing dan menjaga kokohnya bahasa kita, bahasa Melayu yang seharusnya menjadi tempat kembali. Diibaratkan rumah, bahasa Melayu menjadi tempat kembali dari segala penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, menjadi tempat rujukan kembali,” ucap Ketua Dewan Kesenian Riau tersebut. Sementara itu, Gubernur Provinsi Kepulauan Riau, H Muhammad Sani yang juga hadir untuk membuka acara seminar tersebut sangat apresiasi atas acara yang diselenggarakan PWI Provinsi Kepulauan Riau. Katanya Bahasa Melayu adalah cikal bakal bahasa Indonesia, kalau tak ada bahasa Melayu, tidak ada bahasa Indonesia. “Melaui seminar ini, diharapkan kita coba kembali mengangkat marwah bahasa Melayu, dengan memperkuat monumen bahasa yang kita miliki,” katanya.
Ketua PWI Provinsi Kepri, Ramon Damora mengatakan pemilihan tema yang dikemas bertujuan untuk melihat dan membuka mata kepada semua bahwa bahasa Melayu itu sangat kaya. Bahkan dengan mudah bisa menjangkau isu-isu kemaritiman dan kesiapan menyambut Masyarakat Ekonomi Asia. Bahasa Melayu juga sudah pernah digulirkan isunya sebagai cikal bakal bahasa Asia, hanya saja lanjut Ramon, belum ditemukan bentuk yang pas. “Maka pada prakonvensi bahasa Melayu yang ditaja, para pendekar-pendekar bahasa akan coba menggali dan mendedah serta menelaah ranah bahasa Melayu tidak hanya dalam kontek sejarah tetapi juga aplikasinya di masa kini,” jelasnya. Selain acara seminar, pada malam harinya , para peserta yang terdiri dari para pendekar bahasa, wartawan, sastrawan membacakan puisi dalam helat yang diberi tajuk Hempasan Puisi Para Munsy yang diselenggarakan di De’Patros Café. (Sumber RP(fed) Laporan JEFRI AL MALAY, Batam)
halaman 59
Tokoh
Dato’ Dr. Usman Awang (Seorang Sasterawan Melayu)
ato’ Usman Awang (12 Julai 1929 19 - 29 November 2001) adalah seorang Sasterawan Negara Malaysia. Terkenal dengan nama penanya Tongkat Warrant, beliau adalah seorang penyair dan ahli drama yang prolifik ketika hayatnya. Usman Awang juga dikenali dengan nama Adi Jaya, Amir, Atma Jiwa, Manis, Pengarang Muda, Rose Murni, Setiabudi, U.A., Zaini dan mungkin lain-lain. Dalam tahun 1991, beliau telah di anugerahi Darjah Kebesaran Dato’ Paduka oleh Sultan
halaman 60
Perak Darul Ridzuan yang mendapat gelar Dato’. Pada bulan Ramadhan, tanggal 29 November 2001, beliau meninggal dunia setelah lama menghidap penyakit jantung. Saat berusia 72 tahun. Sebagai penghormatan kepada almarhum, Sekolah Kebangsaan Dato Usman Awang di Johor diberi nama bersempena dengan nama beliau. Usman lahir di Kampung Tanjung Lembu, Kuala Sedili, Kota Tinggi, Johor, pada 12 Julai 1929. Beliau diberi nama Wan Osman
Wan Awang tetapi menukar namanya ke Usman Awang. Ibunya bernama Halimah, telah meninggal dunia sewaktu beliau kecil. Ayahnya seorang nelayan yang mencari& menjual rotan pada waktu musim tengkujuh. Usman mengalami masa kemiskinan di masa kanak-kanaknya yang menyebabkan beliau hanya mampu belajar setakat darjah enam saja. Pendidikan yang diterima oleh Usman Awang hanyalah setakat Darjah 6 Sekolah Melayu saja. Kemiskinan tidak memberi kesempatan ia mengecap masa pendidikan lebih jauh di bidang pendidikan walaupun dia sangat gemar membaca sejak kecil. Bersekolah di Kuala Sedili (1936), Mersing (1937) dan Bandar Maharani (1940) hingga lulus Darjah 6. Ketika Jepang menjajah Malaya bermula pada tahun 1942, Usman Awang adalah seorang anak tani di Segamat. Tidak lama kemudian beliau menjadi buruh paksa Jepang selama 6 bulan di Singapura. Beliau berhasil melepaskan diri dan pulang ke Segamat. Usman Awang pernah menjadi ‘budak pejabat’ di Pejabat Taliair Segamat. Kemudian beliau memasuki Botai yaitu pasukan polisi Jepang, tetapi hanyabeberapa minggu menjalani latihan, pihak Jepang menyerah kalah. Usman Awang menjadi anggota polisi saat Inggeris kembali memerintah pada tahun 1946. Beliau menjalani latihan di Johor Bahru sebelum menjalankan tugasnya di Melaka. Pada tahun 1951, beliau berhenti dan hijrah ke Singapura bekerja sebagai pembaca pruf dengan Melayu Raya selama enam bulan, kemudian menjadi pemberita. Sesudah itu bekerja di Mingguan Melayu sebagai sidang pengarang. Pada
tahun
1952,
Usman
Awang
mendapat tawaran bekerja di Utusan Melayu sebagai sidang pengarang akhbar Utusan Kanak-Kanak. Beliau diangkat menjadi pengarang Utusan Zaman dan setelah itu di majalah Mastika. Pada tahun Malaya mencapai kemerdekaan, Utusan Melayu berpindah ke Kuala Lumpur. Usman Awang turut serta hijrah dengan memegang jabatan yang sama. Pada tahun 1961, beliau terlibat dalam peristiwa pemogokan Utusan Melayu. Akibatnya beliau berhenti dan menganggur seketika. Pada tahun 1962,Usman Awang bekerja di Penerbitan Federal selama delapan bulan. Kemudian beliau berkhidmat sebagai sidang pengarang di Dewan Bahasa dan Pustaka. Jawatan pertamanya adalah sebagai sidang pengarang untuk majalah Dewan Bahasa. Kemudian beliau menjadi pengarang untuk majalah Dewan Masyarakat, Dewan Sastera dan Dewan Budaya. Jabatan yang disandang beliau ketika itu ialah Pegawai Penyelidik Kanan. Usman kemudian dipindahkan ke Bahagian Pembinaan dan Pengembangan Sastera. Mulai Mei 1982 beliau menjadi ketua bahagian ini sehingga berakhir pada bulan Juli 1985. Selepas berakhir dari Dewan Bahasa Dan Pustaka, Usman Awang aktif dalam beberapa organisasi masyarakat. Antaranya adalah Persatuan Persahabatan MalaysiaCina. Sementara itu pada tahun 1991, beliau di lantik sebagai Ahli Jemaah Kolej Selatan. Perlantikan ini di sifatkan oleh beliau sebagai peningkatan ke arah hubungan antara kaum dalam proses pembentukan satu bangsa Malaysia. Jawatan ini di pegang hingga tahun 2001. Selain itu beliau dilantik sebagai Penasihat Sastera Maybank mulai 1991 hingga 2001. Usman Awang mula membentuk namanya
halaman 61
dalam dunia persuratan Melayu Modern dengan menulis sajak. Sajak-sajaknya sentiasa segar, kukuh serta akrab dengan akar budi Melayu dan perikemanusiaan. Beberapa buah sajaknya menjadi bahan yang amat menarik. Bukan saja di kalangan masyarakat terbanyak yang mencintai puisinya tetapi menjadi mainan bibir di kalangan anak-anak sekolah pada waktu itu dalam setiap upacara pembacaan sajak. Antara sajaknya yang cukup populer adalah “Pak Utih”, “Ke Makam Bonda”, “Nasib Buruh”, “Bunga Popi”, “Gadis Di Kuburan”, dan “Salam Benua”. Usman adalah di antara penyair Melayu yang berhasil mengekalkan semangat dan harmoni pantun di dalam sajak-sajaknya. Dengan menggunakan kata-kata biasa dalam penulisannya, beliau pintar menjalin kata-kata itu hingga menjadi begitu indah dan berkesan tanpa melemahkan makna yang hendak disampaikan. Inilah di antara keistimewaan yang ada pada Usman Awang. Ketokohan Usman Awang menonjol kerana perwatakan peribadinya yang lemah lembut dan mesra, dan simpatinya terhadap golongan bawah yang miskin dan manusia yang malang. Usman adalah seorang seniman yang berjiwa kerakyatan. Usman Awang pernah diundang melawat Amerika Serikat, Indonesia, Filipina, China dan Rusia, sebagai salah seorang penyair terkenal dari Malaysia. Beberapa buah karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris, China, Jepang, Korea, Perancis, Thai, Czechkoslovakia, Danish, Tamil, Itali, Rusia dan lain-lain. Beliau di anggap sebagai seorang yang berjiwa besar dalam bidang sastera yang tidak jemu-jemu memperkaya khasanah budaya negara. Beliau telah dilantik sebagai salah seorang anggota Panel Hadiah Karya Sastera dan
halaman 62
juga telah dianugerahkan gelaran “Pejuang Sastera” oleh Perdana Menteri pada 29 Mei 1976. Mulai tahun 1979, kerana ketokohan, pengalaman dan dedikasinya, beliau dilantik menjadi setiausaha pada Panel Anugerah Sastera, sebuah badan kehormat yang tertinggi di Malaysia. Pada tahun 1982 Usman Awang dipilih menerima SEA Write Award. Pada 11 Agustus 1983 Usman dianugerahkan pula Ijazah Doktor Kehormat (Honoris Causa) oleh Universiti Malaya. Usman Awang juga adalah penerima Anugerah Sastera Negara bagi tahun 1983. Akhbar Berita Harian telah menganugerahi Usman Awang, Zamalah Sastera dalam tahun 1985 iaitu untuk kategori Penulis Terkenal (Veteran). Anugerah ini bertujuan mengadakan kemudahan berkarya dan memberikan sumbangan kepada perkembangan kesusasteraan tanah air. Dalam tahun 1995 beliau diberi Anugerah Penyair Johor. Antara karya-karya terkenal beliau adalah :Novel : Tulang2 Berserakan Cerpen : Untuk Malaya Merdeka, Turunnya Sebuah Bendera, Kami Yang Terlibat dan lain-lain. Drama : Muzika Uda dan Dara, Degup Jantung, Malam Kemerdekaan, Tamu Di Bukit Kenny, Matinya Seorang Pahlawan – Jebat, Serunai Malam dan lain-lain. Sajak : Pak Utih, Ke Makam Bonda, Salam Benua, Gadis Di Kuburan, Kekasih, Bunga Popi dan lain-lain. Dalam kegiatan dan organisasi penulis
tanah-air, sumbangan dan penyertaan Usman Awang amat dirasakan. Beliau banyak terlibat secara aktif dalam banyak aktivitas kepenulisan. Bukan saja hidupnya sebagai pencipta karya yang asli dan halus tetapi juga sebagai penggerak yang berani memberi inspirasi dan semangat kepada para penulis muda. Sejak tahun 1950-an beliau merupakan salah seorang peng-azas Ikatan Persuratan Melayu Melaka (IPM), Setia usaha ASAS 50 di Singapura dan Ketua PENA yang pertama (1962-1965). Beliau juga adalah salah seorang yang mengambil daya inisiatif untuk mengadakan Hari Puisi, Cempaka Berbunga, Malam Gema Puisi dan Gentar Rasa di Panggung Anniversary, Manifestasi Dua Seni dan banyak lagi aktivitas lain. Kumpulan Puisi “Keranda 152” dan “Telok Gong” juga adalah daya usaha Usman Awang bersama penyair lain. Ketokohan Usman Awang dalam Melayu Modern, khususnya sajak dan drama, amat banyak diperbincangkan. Oleh karena itu nama Usman Awang paling terkenal kepada semua pengkaji dan peminat sastera Melayu di pelbagai peringkat dan golongan, di dalam atau luar negeri. Kejayaannya mempertahankan dirinya sebagai seorang penyair dan budayawan yang terus kreatif memberikan rasa keteguhan terhadap tradisi baru sastera Melayu. Beliau adalah seorang penyair yang tidak pernah luntur dan dapat menyesuaikan diri dalam pelbagai zaman dan situasi. Dalam bidang penulisan beliau terkenal dengan lebih 200 puisi dan drama. Antara judul sajak yang sinonim dengan Usman Awang adalah:
Kekasih Kurang Ajar Pak Utih Suara Dari Pusara Dramanya yang terkenal ialah: Matinya Seorang Pahlawan Tamu Bukit Kenny Serunai Malam Malam Kemerdekaan Drama muzikalnya ialah “Uda dan Dara”. Hanya ada satu novel karya Usman Awang Yaitu “Tulang-tulang Berserakan” (terjemahan ke dalam bahasa Rusia oleh Alla Rozhanskaya dengan judul “Tam Gde Ikh Nastigka Pulya” - Di sana mereka kena peluru - Moscow, 1984) Hasil penulisan tentangnya :
beliau
dan
kajian
Enslaved souls : jiwa hamba : Institut Terjemahan Negara Malaysia, 2009. Turunnya sebuah bendera : UA Enterprise, 2007. Key concepts in Usman Awang’s short stories : developing a critical tradition / Mohamad Mokhtar Hassan. : DBP, 2006. Kami yang terlibat : DBP, 2006. Seorang penyair, sebuah benua rusuh : biografi Usman Awang / Muhammad Haji Salleh: DBP, 2006 Tulang-tulang berserakan : UA Enterprise, 2006. Sasterawan negara Usman Awang / Zurinah Hassan.: DBP, 2006.
Gadis Kecil
Usman Awang dalam esei dan kritikan/ penyelenggara Halilah Haji Khalid : DBP, 2004
Ke Makam Bonda
Yang bernama cinta memuatkan puisi
Bunga Popi
halaman 63
“Kekasih” : Utusan Distributors, 2002.
Publications
&
Koleksi terpilih sasterawan negara Usman Awang / penyelenggara Dinsman: DBP, 1995. Selected plays by Usman Awang : DBP, 1995. Puisi-puisi pilihan (Edisi pelajar) : DBP, 1994. Matinya seorang pahlawan : Jebat = : Death of a warrior : Jebat / Usman Awang ; terjemahan oleh Rahmah Bujang : DBP, 1992. Puisi-puisi pilihan Usman Awang ; untuk Tingkatan 6 / Rahman Shaari: Fajar Bakti, 1992 Gelombang : (sajak-sajak pilihan 1949-60) : DBP, 1988. Drama-drama pilihan Sasterawan Negara Usman Awang : DBP, 1987. Berkenalan dengan pengarang Usman Awang / Mana Sikana.: Pustaka Siswa Moden, 1986. Usman Awang : penyair ulung.: Berita Publishing, 1986. Panduan menulis cerpen / diselenggarakan oleh A. Bakar Hamid & Usman Awang. : DBP, 1984. Tamu di Bukit Kenny : DBP, 1984. Sikap dan pemikiran Usman Awang / diselenggarakan oleh Dinsman dan Sutung Umar RS.: Fajar Bakti, 1983. Salam benua = Greetings to the continent : DBP, 1982. Degup jantung.: Pustaka Melayu Baru, 1981. Titian zaman : antologi puisi pilihan / disusun dan dibicarakan oleh Usman Awang & Ismail Ahmad.: DBP, 1980. Muzika Uda dan Dara : DBP, 1976. Three South East Asian plays/ Usman Awang dll Gadis dan Ayat Suci (1950) Dato’ Usman merupakan seorang penulis
halaman 64
yang berani menyatakan sikap dalam halhal besar yang menimpa negara. Baginya, seseorang hanya layak digelar penulis bila sudah berani menyatakan sikap. Kalau tak berani tak usah jadi penulis. Antara lain, Dato Usman pernah berkata “Saya menentang prejudis terhadap bahasa Melayu ini. Saya hampa kerana pemimpin negara sendiri yang tidak percaya kepada kemampuan bahasa kebangsaan.” Akhirnya segala perjuangan Dato’ Usman Awang, penyair yang berjiwa rakyat berakhir pada 29 November 2001 pada bulan Ramadan. Jenazah beliau dikebumikan di tanah perkuburan Bukit Kiara Taman Tun Dr Ismail, Kuala Lumpur di mana bersemadinya dua Sasterawan Negara, Keris Mas dan kini Tongkat Warrant. Penulis-penulis yang mengenali beliau turut hadir, antara lain Dr Anwar Ridhwan, Sutung Umar RS, Dato A. Samad Said, Dato Baha Zain, Dato Shanmugalinggam dan Profesor Muhammad Haji Salleh. Bak kata pepatah Melayu, “harimau mati meninggal belang, manusia mati meninggalkan nama.” Biarpun beliau pergi meninggalkan kita, namun dari lembaran karya-karya agung yang dinukilkan, kehadirannya tetap dirasai. Semasa hayatnya, beliau terkenal sebagai seorang penyair hebat dan ahli drama yang prolifik. *** (red. dari berbagai sumber)
Pimpinan dan Karyawan
Mengucapkan
Selamat Natal dan
Tahun Baru 2015
halaman lxv
halaman lxvi