Edisi196

Page 1

Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)

Esei: Epigonisme: Membunuh Karya Seni dan Menutup Ruang Wacana oleh Dantje S Moeis

Cerita-Pendek: Malam di Terminal oleh Bayhaki Socanadian Cerita-Pendek Terjemahan:

Kucing Kuyub Kehujanan

oleh Ernest Hemingway

Peristiwa: Tonggak

Peristiwa Sastra Indonesia Rehal: Perempuan dalam Sajak Antologi Puisi 9 Penyair Perempuan Indonesia Sajak: Dato’

Usman Awang

Sajak dan Tokoh:

Sitor Situmorang

196 JANUARI 2015 www.majalahsagang.com halaman KULITi


halaman KULI KULITii LIITi L Ti


Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 196 JANUARI 2015 tahun XVII

Daftar Isi Tajuk Sahabat : Bokor World Music Festival, Traditional Music for The Next Generation ............................................2 Esei Epigonisme: Membunuh Karya Seni dan Menutup Ruang Wacana oleh Dantje S Moeis ................................3 Cerita-Pendek Malam di Terminal oleh Bayhaki Socanadian ........................6 Cerita-Pendek Terjemahan Kucing Kuyub Kehujanan oleh Ernest Hemingway .........................11 Peristiwa Tonggak Peristiwa Sastra Indonesia..... 16

Sitor Situmorang seorang penyair, sastrawan angkatan 1945. Sumber Int

Rehal Perempuan dalam Sajak Antologi Puisi 9 Penyair Perempuan Indonesia ...............................................23 Sajak - Dato’ Usman Awang ............................35 Tokoh Sitor Situmorang ...................................52 - Sajak Sitor Situmorang .......................54

Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Dra. Erda Yulfi Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Ilustrator Tetap: Purwanto Manager Keuangan: Erda Yulfi. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan arus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


Tajuk

Semangat

: Bokor World Music Festival, Traditional Music for The Next Generation aru pertamakali p saya datang ke sebuah sebua desa di sebuah pulau yang bernama Ransang, di seberang berna pulau Tebingtinggi, Selatpanjang. Perjalanan dimulai dari pelabuhan Sungai Duku, Sungai Siak, Pekanbaru, menumpang speed boat, singgah di Perawang, pindah ke bus menuju Pelabuhan Buton, kemudian dengan speed boat perjalanan dilanjutkan ke Selatpanjang. Sampai di pelabuhan Selatpanjang, dalam waktu sekitar 4 jam. Singgah makan siang di Selatanjang, kemudian menyeberang ke Pulau Ransang, terus ke desa Bokor. Ada peristiwa apa di Bokor? Saya diundang oleh Sopandi, Ketua Sanggar Bathin Galang untuk memberikan Workshop Musik Melayu, dan sekaligus berbicara dalam Seminar Musik dengan para siswa/pelajar dan guru-guru, di tepi Sungai Bokor, yang arusnya mengarah ke laut lepas. Selain menonton pertunjukan musik dari beberapa grup musik dari berbagai belahan tempat, seperti gurp Forum Kompang dari Batam, grup Pucok Buleun Aceh, grup musik dari Selatpanjang, Field Players Malaysia, dan lain-lain. Bokor World Music Festival, Traditional Music for The Next Generation, 2015, ditaja oleh Sanggar Bathin Galang, di sebuah ceruk desa di Kabupaten Meranti, Riau. Jika siang listrik mati, dan baru hidup mulai pukul 18.00 sampai pukul 07.00 pagi. Suasana asli kampung Bokor yang masih melekat pada

halaman 2

lingkungan dan terutama penduduknya yang ramah. Ketika petang pulang dari workshop di sebuah bangunan serba-guna di tepi Sungai Bokor yang airnya kadang-kandang surut dan kadang-kadang pasang, anak-anak yang lewat saling menyapa dan bersalaman sembari mencium tangan. Petang, ketika selesai workshop, bersama beberapa orang kawan seperti Jart Hassan dan Bob dari grup music Field Players Malaysia, Harry Tuledo (pemain gitar bas jazz) dari Jakarta, Usman, Anut, yang ikut dalam event Bokor World Music Festival ini, duduk berbual-bual, sambil minum kopi dan mi sagu Mak Joyah yang terdapat persis di tepi pelabuhan kecil di tepi sungai Bokor. Walaupun menurut pendapat Harry Tuledo dan saya, event ini tidaklah murni World Music, tetapi semangat yang dikandung oleh Sopandi dan kawan-kawan dari desa Bokor ini patutlah diberi apresiasi yang tinggi. Namun semangat saja tidaklah cukup untuk membuat sebuah event kesenian, terutama musik. Perlu kerjasama yang baik dengan grup musik dari berbagai belahan dunia ini, mengetahui jenis dan pengetahun musik tentang world music, dan lebih daripada itu, apa makna dan tujuan yang hendak dicapai dari even ini, sehingga sesuatu pekerjaan tidak sia-sia. Suatu petang di tepi sungai Bokor, banyak cerita yang hendak ditulis.*** Redaksi


Esei

Epigonisme:

Membunuh Karya Seni dan Menutup Ruang Wacana oleh Dantje S Moeis

etika muncul pertanyaan dari para mahasiswa seni atau peminat seni, mahas kepada orang yang layak dijadikan kepad tempat bertanya oleh masyarakat. “Sikap dan langkah apa yang harus diambil ketika seseorang ingin melahirkan karya seni yang berkualitas ?” Inti jawaban seyogianya seragam, dan dengan nada tinggi. “Doit être différent,” (must be different/harus berbeda!) itu saja. Seterusnya, ”berbuat dan pikirkan hingga karya anda layak berprediket sebagai karya seni”. Jawaban ini tentu saja, juga harus di tujukan kepada diri sendiri, orang yang dipercaya sebagai tempat bertanya (juga dengan nada tinggi). Pada sebuah media-seni apa saja, banyak

sekali terlihat gagasan yang dipermainkan, ditiru sebagian, bahkan dijiplak mentahmentah. Sudah tidak ada lagi batas toleransi penghargaan atas orisinalitas sebuah gagasan. Kemudian ingatan saya berlabuh pada beberapa tahun lalu. Saat membaca artikel sebuah koran yang mempersoalkan epigonisme, mencomot ide orang lain. Memang, tidak selamanya pengambilan ide orang lain itu buruk, karena kata “original” dalam karya seni harus tetap diberi dengan tanda petik. Namun sedihnya, di negeri ini seni comot-mencomot gagasan ini sangat tak beraturan sehingga kemonotonan saja yang dapat kita lihat dari karya seniman kebanyakan. Sedikit dari mereka benarbenar menyuguhkan pesona baru, sehingga

halaman 3


kesan awal yang ditangkap hanyalah, lack of creativity! (tak kreatif!) kira-kira begitulah. Epigonisme berasal dari kata epigon. Epigon adalah orang yang tidak memiliki gagasan baru dan hanya mengikuti jejak pemikir atau seniman yang mendahuluinya. Sadar atau tidak di tiap diri kita pastilah terdapat sifat seorang epigon. Namun, yang jadi masalah adalah siapapun yang berkarya dengan menjadi epigon, harus coba diingatkan dengan, “Come on, dude…you’re a lot more than that.” Kira-kira makna sesuai konteksnya; “Ayo, Bung ... anda bisa lebih dari itu”. Pada karya tulis kreatif, saat novel The Da Vinci Code dan Ayat-Ayat Cinta seakan menjadi bacaan wajib (best seller), entah darimana bermunculan berbagai macam karya-karya novelis yang mengekor dengan menerbitkan novel serupa namun tak sama. Saat The Da Vinci Code menjadi terkenal, maka etalase gerai buku tiba-tiba dipadati beragam buku-buku karya novel konspirasi. Alam bawah sadar kita dimuat padat keseragaman yang sama ketika kita melihat televisi. Band, sinetron, reality show, dan acara lain pun konsepnya sama. Dan memunculkan kebingungan, sebenarnya siapa yang memulai trend musik dangdut, sinetron yang menguras air mata, keberutalan anak sekolah atau acara musik lainnya. Sepertinya, epigon bisa jadi ada di diri kita semua atau seperti itulah kita. Memang tidak semua epigon buruk, ada epigon yang berhasil mengembangkan gagasan orang lain yang ditirunya. Namun, pengembangan gagasan yang mahal dan menjadi dapat dinilai, bahkkan mungkin lebih dari karya yang ditirunya karena hanya sebatas rangsangan kreativitas, hingga ujud peniruan menjadi tak tampak sama sekali. Efek paling

halaman 4

buruk bagi seorang penganut epigonisme sejati, adalah, dia dan karyanya tidak akan dikenal siapapun. Karena selamanya tak akan pernah mempunyai identitas. Ia hidup sebagai peniru, menyajikan menu yang sudah disediakan di hari-hari sebelumnya. Penikmatnya pun hanya kagum sesaat, lalu lupa, karena sesuatu yang mereka lihat dan rasakan itu tanpa identitas. Akhirnya, para epigonisme tenggelam, mati tanpa identitas.

akan

Yakin, banyak kreator yang sadar dan sedikit sekali yang tak sadar, namun setiap hari kita masih saja dijejali karya kesenian “sekelas” itu melalui pergelaran, pameran seni atau tayangan teve. Atau mungkin gagasan itu begitu mahal untuk dihasilkan? Atau sangat murah sehingga lebih baik meniru? Tak tahulah, cuma marilah berfikir sejenak agar kita punya identitas, yang dapat diciptakan dengan ber-kreativitas dalam hidup, dan bukan hanya sekedar popularitas dan materi sesaat. Clark Moustakis (1967), ahli psikologi humanistic menyatakan bahwa kreativitas adalah pengalaman mengekspresikan dan mengaktualisasikan identitas individu dalam bentuk terpadu dalam hubungan dengan diri sendiri, dengan alam, dan dengan orang banyak. Kreativitas didefinisikan sebagai Person, Process, Press, Product. Keempat ini saling berkaitan, yaitu Pribadi (Person) kreatif yang melibatkan diri dalam proses (Process) kreatif, dan dengan dorongan dan dukungan (Press) dari lingkungan, menghasilkan produk (Product) kreatif. “Creative action is an imposing of one’s own whole personality on the environment in an unique and characteristic way” (Hulbeck,1945). Dimana tindakan kreatif


muncul dari keunikan keseluruhan kepribadian dalam interaksi dengan lingkungannya. Menukik pada wilayah senirupa. Ruang pameran seyogianya menjadi semacam pesta budaya yang memperlihatkan karya-karya terbaik, memiliki identitas yang gamblang dapat dilihat kasat mata dan juga estetika seninya. Lalu masyarakatpun dibawa untuk paham dan mengerti mengapa harga lukisan menjadi mahal. Sebuah kenyataan kini. Dilihat dari aspek ekonomi, kehidupan perupa saat ini juga lebih sejahtera daripada pendahulu mereka. Namun saat menoleh sedikit ke belakang, kita tidak yakin harga yang melangit, laku keras, bahkan ada beberapa perupa yang membuat daftar tunggu untuk memperoleh lukisannya, sebagai jaminan akan keberlangsungan kualitas. Banyak perupa mumpung yang mulai lupa diri, berorientasi pada materi semata. Akibatnya muncul kekhawatiran lain. Terlihat banyak seniman membatasi ruang kreatifnya pada gaya yang disukai pasar. Seniman-seniman (bidang studi apa saja) yang masih kuliah, banyak mengikuti pola ini. Epigonisme seperti ini, akan membunuh karya seni. Juga menutup ruang wacana sebagai stimulant atau alat percepatan tumbuh-kembang. Dilihat dari konteks seni rupa internasional, eksplorasi para seniman muda sebetulnya lebih dinamis, hangat, energik, dan memiliki kebaruan, ketimbang stagnasi atau jumud gaya para seniman senior yang cuek dengan kecenderungan pembaharuan (berbeda) itu. “Tampak-beda” akan membentuk pasar yang berkualitas dan berpengaruh. Kolektorkolektor yang faham pun bermunculan dan

lebih memilih dan mengoleksi karya-karya seni rupa yang dinamis tentunya. Sehingga jelas bahwa kekuatan seniman terletak pada kesinambungan kreativitasnya. Ketika seorang seniman berhenti berkreasi dan tidak tertarik untuk bereksperimentasi, hal ini perlu dipertanyakan. Kreativitas yang tak kenal mati itu sebagai “seni petualangan”. Ia berusaha masuk ke wilayah yang belum banyak dirambah orang, terra incognita. Upaya bertualang ini mengukur sejauh mana kekuatan seniman berdaya guna dan menghasilkan suasana baru. Daya juang pelukis kontemporer Indonesia kini apalagi perupa daerah bisa dibilang lembek bila dibandingkan dengan apa yang pernah diraih Affandi. Pada masa jayanya Affandi sudah biasa berpameran tunggal di Italia atau Prancis. Karya-karyanya menjadi wacana di Eropa. Sementara di abad yang serba berkemudahan ini belum ada perupa yang bisa menyamai apa yang pernah diraih Affandi. Faktanya saat ini belum ada perupa nasional yang menembus tempat bergengsi pengakuan karya rupa internasional, umpamanya masuk dalam koleksi Museum of Modern Art (MOMA), di New York. Sebuah tantangan bagi perupa kini memang. Kita harus mulai meretas jalan ke sana, walau masih teramat sangat panjang. Setidaknya ada upaya membuktikan, bahwa penghargaan tidak selalu berasal dari pemenuhan kehendak pasar yang seringkali berorientasi pada trend dan memaksa seniman berkarya instant, hanyut pada kehendak meniru karya pendahulu yang laku keras. ***

halaman 5


Cerita-Pendek

Malam di Terminal oleh Bayhaki Socanadian Bayhaki Socanadian Lahir di Sumenep, 28 Maret 1996. Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY).

halaman 6


erim yang turun diam-diam membuat malam di terminal erimis terasa begitu asing. Masih terdengar deru mesin bus-bus tua tera yang keluar masuk menurunkan dan membawa penumpang yang baru datang dan akan pergi ke luar kota. Di peron, terdengar suara kenek dan sopir bus memanggil-manggil penumpang: “Surabaya… Surabaya. Langsung berangkat….” Di dalam bus-bus yang sedang berhenti, para penjual asongan hilir mudik menawarkan dagangannya. “Arem-arem, kacang, lumpia…. Seribuan, seribuan….” Di dekat jalur keluar bus, tepat di bawah atap pos ojek, beberapa pengamen sudah tidak sabar menunggu keluarnya bus. Sesekali mereka menyanyi sambil memainkan gitar dan ukulelenya untuk mengusir rasa bosan yang berkelebat. Di depan terminal, berderet warung remang-remang yang tak hanya menyediakan makanan, minuman, rokok, dan cemilan. Tapi kadang juga perempuan. Laki-laki itu duduk di salah satu bangku sebuah warung yang tutup. Kepalanya ditundukkan dalam-dalam. Usianya tak kurang dari 30 tahun. Tubuhnya agak kurus dibalut pakaian ketat berwarna merah muda. Di bibirnya masih merekat sisa lipstik yang baru disekanya menggunakan telapak tangan, beberapa menit yang lalu. Sebuah wig panjang berwarna pirang menutupi kepalanya. Di matanya masih terpasang bulu mata palsu. Dan serbuk-serbuk bedak, masih menempel di permukaan kulit wajahnya yang agak kasar. Malam kian larut. Di kejauhan kokok ayam jago mulai terdengar bersahutan. Juga cericit tikus yang berlari menyeberang jalan, lalu masuk ke lubang gorong-gorong. Gerimis masih jatuh. Laki-laki itu melirik jam tangannya. Sudah pukul 03.44. Raut wajahnya nampak menyiratkan kegelisahan. Sesekali kepalanya ia dongakkan ke arah langit. Ia berharap cahaya kemerahan yang mengiringi datangnya pagi tak segera menyingsing di ufuk timur. Karena jika pagi tiba, itu berarti ia harus pulang ke rumahnya. Dan kali ini ia tidak tahu harus pulang atau tidak. Ia seperti kehilangan kekuatan untuk melangkahkan kaki menuju rumahnya yang terletak beberapa ratus meter di sebelah utara terminal. Kegelisahannya berawal sekitar satu jam yang lalu. Saat itu ia tengah mencari pelanggan di sekitar terminal. Ia datangi satusatunya tukang ojek yang mangkal di pos ojek dekat jalur keluar bus. Dengan cara yang masih agak kaku, ia mencoba merayu tukang ojek yang duduk di atas motornya itu. “Sssstt… main yuk, Bang. Tarifnya murah kok,” gumamnya manja di dekat daun telinga tukang ojek itu. Lalu perlahan ia memijat-mijat tengkuk tukang ojek itu dari halaman 7


belakang. Tukang ojek itu pun menoleh. Agak lama ia pandangi orang yang merayunya itu dengan tatapan heran. “Iiiihhh…. Najis!!” hardik tukang ojek itu sambil menyalakan mesin motornya, lalu tancap gas. Laki-laki itu pun ternganga. Matanya mendelik. Ia merasa atap pos ojek itu seketika runtuh menimpanya. Ia tak menyangka tukang ojek itu adalah si Samad, tetangganya sendiri yang rumahnya persis di samping rumah kontrakannya. “Samad… tunggu, Mad!” panggilnya sambil mencoba mengejar. Namun, tukang ojek itu tak terkejar. Motor yang membawanya telah lenyap ditelan malam. Ia mengejar tukang ojek itu untuk memohon supaya tidak mengadukannya kepada sang istri. Laki-laki itu masih duduk di sana. Setelah menyeka lipstik di bibirnya, ia pun mencopot bulu-bulu mata palsunya. Wignya pun tak ketinggalan ia lepaskan. Caranya melepas benda-benda itu menggambarkan sebuah penyesalan. Agaknya ia menyesal telah menggeluti pekerjaan barunya ini. Pekerjaan ini ia geluti setelah mendengar cerita teman-temannya—beberapa pekerja lain yang telah berpengalaman. Pekerja-pekerja itu banyak berkeliaran di diskotek tempatnya dulu bekerja sebagai cleaning service. Dan ketika seminggu yang lalu ia dipecat, seperti tanpa keraguan, ia pun mennggeluti pekerjaan ini. Kepada sang istri, sama sekali tidak ia kabarkan pemecatan itu, sebagaimana pula tidak ia kabarkan pekerjaan barunya. Tak bisa ia bayangkan bagaimana jika istrinya tahu. Ia pun berharap semoga Samad tidak mengadukannya. *** Di terminal, bus-bus terus keluar masuk menyambut cahaya kemerahan yang mulai terlihat di langit timur. Penjajah koran mulai berkeliaran di sekitar peron. Beberapa puluh meter di sebelah barat, seorang pemulung tengah mengais-ngais tong sampah. Di dekatnya, seekor kucing kurus terus mengeong. Warung-warung di sekitar terminal telah banyak yang tutup. Tapi ia masih tetap di sana, di bangku itu. Tak beranjak sedikit pun. Wajahnya terlihat kian gelisah. Pandangannya terus berpindahpindah menatap langit dan jam tangannya yang telah menunjukkan pukul 05.00. Ia sadar bahwa setengah jam yang lalu, adalah saat di mana seharusnya ia pulang. Namun nyatanya ia masih tinggal. Sepertinya ia masih belum menemukan kekuatan yang akan membuatnya beranjak dan melangkah ke rumahnya. Tapi akhirnya laki-laki itu pun beranjak.

halaman 8


Ia tak hendak pulang. Tapi ia melangkah ke arah terminal. Tas jinjing merah berukuran sedang menggantung di lengan kanannya. Ia bergegas menuju toilet terminal. Di dalam toilet sempit itu, ia basuh wajahnya, lalu mengganti pakaian “dinas”-nya dengan pakaian lain yang tersimpan di dalam tas. Keluar dari toilet, laki-laki itu melangkah ke arah jalur keluar bus, lalu ke pos ojek. Ia berharap bertemu dengan Samad di sana. Namun di pos itu hanya ada dua tukang ojek yang tak ia kenal. Ia pun duduk dan memutuskan untuk menunggunya beberapa saat. Kemudian di benaknya timbul pertanyaan-pertanyaan: bagaimana jika Samad benar-benar mengadu kepada istriku? Bagaimana jika ia minta cerai? Bagaimana nasib anakku nanti? Apa yang harus aku lakukan? Sudah tiga belas bus yang keluar dari terminal. Laki-laki itu tak kunjung melihat orang yang ditunggunya. Sementara itu, matahari telah terbit sempurna. Sinarnya menyapu papan reklame yang berdiri di seberang jalan. Setelah menoleh kiri dan kanan, laki-laki itu pun bangkit. Seketika itu keberanian hinggap di dadanya. Semua keraguan yang berkelebat, coba ia tepis. Ia pun melangkah ke arah utara terminal. Pulang. *** Pukul 07.15, laki-laki itu sampai di depan pintu rumah kontrakannya. Ia buka pintu itu perlahan. Engsel pintu berderit menyertai langkahnya. Begitu masuk, tak ia temukan satu orang pun penghuni rumah. Di mana anak istriku? Batinnya. Ia pun memeriksa dua kamar yang ada di rumah itu. Tapi tetap tak ia temukan anak istrinya. Ketika keluar dari pintu kamar kedua, ia terkejut karena di luar pintu, anak gadisnya yang baru kelas dua SD telah berdiri dengan raut wajah penuh tanya. “Bapak kok baru pulang?” tanyanya. “Mmm.. mmm... tadi bapak ada urusan,” jawabnya. “Kamu kok tidak sekolah?” tanyanya, berusaha mengalihkan pembicaraan. “Sekarang kan hari Minggu.” “Oh, iya.... Ibu di mana?” “Pergi.” “Pergi?! Pergi ke mana?” “Ibu tidak bilang mau pergi ke mana.” “Mmm... tadi Om Samad ke sini, tidak?” “Om Samad kan sudah pindahan. Bapak lupa?” Laki-laki itu terdiam. Ia juga baru ingat jika baru dua hari yang lalu

halaman 9


si Samad pindahan. Perlahan ia pun merasa sedikit lega karena yakin si Samad pasti tidak mengadukannya. “Oh, iya, Pak. Waria itu apa sih?” tanya anaknya. Pertanyaan itu membuatnya terperanjat. Seketika udara terasa membeku. Dadanya berdesir. Pikirannya berkecamuk. Laki-laki itu tak tahu harus menjawab apa. “Kenapa anakku tanya-tanya soal waria?!” batinnya. Di tengah kebingungannya, tiba-tiba terdengar suara engsel pintu berderit. Seseorang masuk. Entah siapa. *** (Kutub, November 2013)

halaman 10


Cerita-Pendek Terjemahan

Kucing Kuyub Kehujanan oleh Ernest Hemingway Ernest Hemingway Lahir di Illionis pada tahun 1898. Meraih sukses pertama kali dengan ceritanya In Our Time. Di antara novel-novelnya: The Sun Also Rises dan A Farewell to Arms. Di akhir hayatnya ia melakukan bunuh diri pada tahun 1961. Judul asli cerita ini Cat In The Rain, diambil dari buku Ernest Hemingway Short Stories hal 265-268. Terjemahan ke bahasa Indonesia oleh Roediyoel al Siaki

halaman 11


epa epasang suamiistri Amerika singgah di penginapan itu. Mereka tidak mengenal orangorang yang lalulalang dan Me berpapasan sepanjang tangga yang mereka lalui pulangpergi ber ke kamar mereka. Kamar mereka terletak di lantai kedua menghadap laut. Juga menghadap ke taman rakyat dan tugu perang. Ada pohon palm besarbesar dan pepohonan hijau lainnya di taman rakyat itu. Dalam cuaca yang baik biasanya ada seorang pelukis bersama kanvas lukisnya. Para pelukis menyukai pepohonan palm itu dan warnawarna cerah dari penginapanpenginapan yang semuanya menghadap ke tamantaman dan laut. Di depan tugu perang tampak iringiringan pelancong Italia membentuk barisan berbanjar untuk menyaksikan tugu itu. Tugu yang tampak kemerahan dan berkilauan di bawah siraman hujan. Saat itu sedang hujan. Air hujan menetes dari pohonpohon palm tadi. Air berkumpul membentuk genangan di jalan berkerikil. Ombak bergulunggulung membuat garis panjang dan memecah di tepi pantai. Beberapa sepeda motor keluar dari halaman tugu. Di seberang halaman, di pintu masuk sebuah kedai minum, berdiri seorang pelayan memandang ke halaman yang kini kosong. Si istri Amerika tadi berdiri di depan jendela memandang keluar. Di sebelah kanan luar jendela mereka ada seekor kucing yang sedang meringkuk di bawah tetesan air yang jatuh dari sebuah meja hijau. Kucing tadi berusaha menggulung tubuhnya rapatrapat agar tak kena tempias dan tetesan air. “Aku akan turun ke bawah dan mengambil kucing itu,” ujar si istri. “Biar aku mengambilnya untukmu,” kata suaminya dari tempat tidur. “Tak usah lah, biar aku saja yang mengambilnya. Kucing malang itu berusaha mengeringkan tubuhnya di bawah sebuah meja.” Si suami meneruskan bacaannya sambil berbaring bertelekan di atas dua buah bantal pada kaki ranjang. “Jangan berbasahbasah,” ia memperingatkan. Si istri turun ke bawah dan si pemilik penginapan segera berdiri memberi hormat kepadanya begitu wanita tadi melewati kantornya. Mejanya terletak jauh di ujung kantor. Ia seorang lakilaki tua dan sangat tinggi. “Hujan,” ujar si istri. Ia menyukai pemilik penginapan itu. “Ya, ya nyonya cuaca sangat buruk”. Ia berdiri di belakang mejanya yang jauh di ujung ruangan suram itu. Si istri menyukai pria itu. Ia suka caranya dalam memberi halaman 12


perhatian kepada para tamu. Ia suka pada penampilan dan sikapnya. Ia suka cara pria tadi dalam melayaninya. Ia suka bagaimana pria itu menetapi profesinya sebagai seorang pemilik penginapan. Ia pun menyukai ketuaannya, wajahnya yang keras, dan kedua belah tangannya yang besarbesar. Dengan memendam perasaan suka kepada pria itu di dalam hatinya, si istri membuka pintu dan memandang keluar. Saat itu hujan semakin deras. Seorang lakilaki yang memakai mantel karet tanpa lengan menyeberang melewati halaman kosong tadi menuju ke kedai minum. Kucing itu mestinya ada di sebelah kanan. Mungkin binatang tadi berjalan di bawah atapatap. Ketika si istri masih termangu di pintu masuk sebuah payung terbuka di belakangnya. Ternyata orang itu adalah pelayan wanita yang mengurusi kamar mereka. “Anda jangan berbasahbasah,” wanita itu tersenyum, berbicara dalam bahasa Itali. Tentu pemilik penginapan tadi yang menyuruhnya. Bersama pelayan wanita yang memayunginya si istri berjalan menyusuri jalan berkerikil sampai akhirnya ia berada di bawah jendela kamar mereka. Meja itu terletak di sana, tercuci hijau cerah oleh air hujan, tapi kucing tadi sudah lenyap. Tibatiba ia merasa kecewa. Si pelayan wanita memandanginya. “Apa telah kehilangan sesuatu, Nyonya?” “Tadi ada seekor kucing,” jawab si istri. “Seekor kucing?” “Ya seekor kucing.” “Seekor kucing?” Pelayan wanita tadi tertawa. “Seekor kucing di bawah basah kuyub kehujanan?” “Ya,” jawabnya, “di bawah meja itu”. Lalu, “Oh, aku sangat menginginkannya. Aku ingin memiliki seekor kucing.” Ketika ia berbicara dalam bahasa Inggris wajah si pelayan menegang. “Mari, nyonya,” katanya. “Kita harus segera kembali ke dalam. Anda akan basah nanti.” “Mungkin juga,” jawab wanita Amerika itu. Mereka kembali melewati jalan berkerikil dan masuk melalui pintu. Si pelayan berdiri di luar untuk menutup payung. Begitu si istri lewat di depan kantor, pemilik penginapan memberi tabik dari mejanya. Ada semacam perasaan sangat kecil dalam diri wanita itu. Pria tadi membuatnya menjadi sangat kecil dan pada saat yang sama

halaman 13


juga membuatnya merasa menjadi sangat penting. Untuk saat itu si istri merasakan bahwa seolaholah dirinya menjadi begitu pentingnya. Ia menaiki tangga. Lalu membuka pintu kamar. George masih asyik membaca di atas ranjang. “Apakah kau dapatkan kucing itu?” tanyanya sambil meletakkan buku. “Ia lenyap.” “Kirakira tahu kemana perginya?” tanya si suami sambil memejamkan mata. Si istri duduk di atas ranjang. “Aku sangat menginginkannya,” ujarnya. “Aku tidak tahu mengapa aku begitu menginginkannya. Aku ingin kucing malang itu. Sungguh tidak enak menjadi seekor kucing yang malang dan basah kuyub kehujanan di luar sana.” George meneruskan membaca. Si istri beranjak dan duduk di muka cermin pada meja hias, memandangi dirinya dengan sebuah cermin lain di tangannya. Ia menelusuri raut wajahnya, dari satu bagian ke bagian lain. Kemudian ia menelusuri kepala bagian belakang sampai ke lehernya. “Menurutmu bagaimana kalau rambutku dibiarkan panjang?” tanyanya sambil menelusuri raut wajahnya kembali. George mendongak dan memandang kuduk istrinya dari belakang, rambutnya terpotong pendek seperti lakilaki. “Aku suka seperti itu.” “Aku sudah bosan begini,” kata si istri. “Aku bosan kelihatan seperti lakilaki.” George menaikkan tubuhnya. Ia terus memandangi istrinya semenjak wanita itu mulai berbicara tadi. “Kau cantik dan bertambah manis,” pujinya. Si istri meletakkan cermin kecil dari tangannya dan berjalan menuju jendela, memandang keluar. Hari mulai gelap. “Aku ingin rambutku tebal dan panjang agar bisa dikepang,” katanya. “Aku ingin seekor kucing duduk dalam pangkuanku dan mengeong waktu kubelai.” “Yah..?” komentar George dari ranjangnya. “Dan aku ingin makan di atas meja dengan piring perakku sendiri, ada lilinlilin. Kemudian aku ingin mengurai rambutku lalu

halaman 14


menyisirnya di muka cermin, dan aku ingin seekor kucing, dan aku ingin bajubaju baru.” “Ah, sudahlah. Ambillah bacaan,” tukas George. Lalu ia meneruskan membaca lagi. Istrinya memandang keluar lewat jendela. Semakin gelap sekarang dan dari pohonpohon palm masih jatuh tetesantetesan air. “Baiklah, aku ingin seekor kucing,” ujar istrinya, “aku ingin seekor kucing. Saat ini aku ingin seekor kucing. Seandainya aku tidak bisa memiliki rambut yang panjang atau kesenangan lainnya, aku punya seekor kucing.” George tak peduli. Ia membaca bukunya. Si istri memandang keluar lewat jendela di mana lampu telah menyala di halaman. Seseorang mengetuk pintu. “Selanjutnya,” kata George. Ia mendongak. Di pintu masuk berdiri seorang pelayan wanita. Ia membawa sebuah boneka kucing dari kulit kurakura darat dan menyerahkannya ke depan. “Permisi,” sapanya, “pemilik penginapan ini mengutus saya menyerahkan boneka ini kepada Nyonya.” ***

halaman 15


Peristiwa

Tonggak Peristiwa Sastra Indonesia

1908: Organisasi pemuda pertama, Boedi Oetomo, lahir pada 21 Mei 1908. Misinya mengubah struktur sosial. Suatu jabatan harus dipegang oleh ahlinya, dan bukan hanya dimonopoli kaum ningrat. Dalam kongres Jong Java di Yogyakarta, 5 Oktober 1908, dr. Tjipto Mangunkusumo mencitacitakan suatu pendobrakan masyarakat kolonial dan tradisional dengan segala kekolotan, statisisme,diskriminasi, dan tradisi yang menekan. Untuk mencapai tujuan itu diperlukan gerakan yang lebih bersifat politik radikal (Kartodirdjo, 1993). Kesadaran kebangsaan mulai muncul sebagai dampak dari politik etik yang diserukan van Deventer.

halaman 16

1917: Penerbit Balai Pustaka berdiri pada 22 September 1917. Karya sastra yang diterbitkan tidak boleh bertentangan dengan politik pemerintah kolonial Belanda. Akibatnya, isi novel Salah Asuhan karya Abdul Muis berbeda jauh dengan isi aslinya. Novel Belenggu ditolak oleh Penerbit Balai Pustaka. Novel-novel yang dicap sebagai bacaan liar , novel picisan , dan novel yang dinilai dapat meracuni masyarakat tidak bisa diterbitkan Balai Pustaka. Karena itu, karyakarya Marco Kartodikromo, Semaoen, Kwee Tek Hoay, Tan Boen Kim, dan Liem Wie Leng yang mengangkat tema-tema anti imperialisme dan menggunakan bahasa Melayu Rendah


tidak diterbitkan Balai Pustaka.

menerbitkanSukreni Gadis Bali.

1919: Novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo terbit.

1937: Amir Hamzah menerbitkan Nyanyi Sunyi.

1920: Novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar terbit. Novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli terbit.

1938: Novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karya Hamka terbit.

1922 : Novel politik Hikayat Kadirun karya Semaoen terbit. Nur Sutan Iskandar menerbitkan Apa Dayaku karena Aku Perempuan. Buku puisi Tanah Air karya Muhammad Yamin terbit. 1924: Novel Rasa Merdika karya Mas Marco Kartodikromo terbit. Buku Bebasari karya Roestam Eendi terbit. 1928: Dalam kongres pemuda kedua di Jakarta, 28 Mei 1928, pemuda-pemuda Indonesia mengeluarkan resolusi berupa Sumpah Pemuda. Bahasa Melayu ditetapkan menjadi bahasa Indonesia. Novel Salah Asuhan karya Abdul Muis terbit. Naskah drama berbahasa Indonesia, Ken Arok dan Ken Dedes karya Muhammad Yamin dipentaskan di kongres pemuda. 1933: Majalah Pujangga Baru terbit. Selasih Seleguri menerbitkan Kalau Tak Untung. 1934: J.E. Tatengkeng menerbitkan Rindu Dendam. 1935: Esai Sutan Takdir Alisjahbana di majalah Pujangga Baru memicu Polemik Kebudayaan. STA menyarankan agar kebudayaan Indonesia diarahkan ke Barat. Polemik ini kemudian dibukukan oleh Achdiat Kartamihardja dalam PolemikKebudayaan. 1936: Novel Layar Terkembang Sutan Takdir Alisjahbana I Gusti Nyoman Panji

karya terbit. Tisna

1940: Novel Belenggu karya Armyn Pane terbit. Novel Suwarsih Djojopoespito, Buiten het Gareel ( Di Luar Jalur ) dilarang oleh pemerintah Belanda. 1941: Goenawan Mohamad lahir. 1942 Jepang masuk dan menjajah Indonesia. Pembentukan Keimin Bunka Sidhoso (Kantor Pusat Kebudayaan) melahirkan karya-karya seni yang bersifat propaganda untuk kemenangan perang Asia Timur Raya, serta antiAmerika dan sekutusekutunya. 1945 Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Tapi, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia. Belanda ingin tetap menguasai Indonesia dengan mendirikan negara-negara boneka. Akibatnya, banyak seniman yang enggan menggunakan warna daerah, karena akan dicap sebagai antek-antek Belanda. 1946: Seniman dan sastrawan mendirikan Gelanggang Seniman Merdeka pada 19 November 1946. Mereka adalah Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Mochtar Apin, Henk Ngantung, Basuki Resobowo, dan Baharuddin M.S. 1948: Buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma karya Idrus terbit. 1949: Buku Deru Campur Debu karya Chairil Anwar terbit. Chairil Anwar dijuluki sebagai Pelopor Angkatan 45 oleh HB Jassin. Achdiat Kartahadimadja

halaman 17


menerbitkan Atheis. 1950: Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) berdiri pada 17 Agustus 1950. Lekra mengembangkan paham seni untuk rakyat dan realisme sosialis di lapangan kebudayaan. Pada 23 Oktober 1950, Asrul Sani mengumumkan Surat Kepercayaan Gelanggang . Usmar Ismail menerbitkan Sedih dan Gembira. 1951: Majalah Basis terbit. 1952: Buku Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis terbit. Utuy Tatang Sontani menerbitkan Awal dan Mira. S. Rukiah menerbitkan Tandus. 1953: Sitor Situmorang menerbitkan Surat Kertas Hijau. 1954: Buku Kesusastraan Indonesia dalam Kritik dan Esai karya HB Jassin terbit. 1955: Pemilihan Umum pertama digelar. 1956: Rendra menerbitkan Ballada Orangorang Tercinta. 1959: Sepanjang 1950-an timbul pergolakan di daerah-daerah yang disebabkan ketidakpuasan perimbangan pusat-daerah. Sistem parlementer yang diterapkan mengakibatkan pemerintahan tidak pernah stabil. Soekarno menyerukan Negara dalam keadaan perang. Ia juga membubarkan Konstituante pada Juli 1959. Dekrit presiden dikeluarkan. Dimulailah pemerintahan otoriterian Soekarno yang memberlakukan demokrasi terpimpin. Ajip Rosidi menerbitkan Cari Muatan. 1962: Abdullah S.P. dan Pramoedya Ananta Toer menuduh Hamka sebagai plagiator. Novel Tenggelamnya Kapal van Der Wicjk karya Hamka dituduh

halaman 18

sebagai plagiat dari novel Majdulin karya Al Manfaluthi, yang merupakan terjemahan dariSous les Tilleuls karya Alphonse Karr. Tuduhan itu dimuat di Bintang Timur dan Harian Rakyat. Motinggo Busye menerbitkan Malam Jahanam. 1963: Sastrawan-sastrawan muda melahirkan Manifes Kebudayaan sebagai jawaban menolak seruan Politik sebagai panglima yang dikumandangkan Lekra. 1964: Pada Maret 1964, para sastrawan menggelar Konferensi Karyawan Pengarang se- Indonesia (KKPI). Soekarno melarang Manifes Kebudayaan pada 8 Mei 1964. Buku Revolusi di Nusa Damai karya Ktut Tantri terbit. 1965: Terjadi peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal yang disebut sebagai Dewan Jenderal oleh sebuah gerakan yang menamakan dirinya Gerakan 30 September yang dipimpin Letkol Untung. Pangkostrad Mayjen Soeharto, satusatunya petinggi Angkatan Darat yang selamat dalam aksi pembunuhan itu, mengambil alih kepemimpinan di Angkatan Darat. PKI dituduh berada di balik aksi itu. Setelah PKI dilarang, terjadi pembunuhan massal. Lekra dilarang. Banyak sastrawan Lekra yang dipenjara, sebagian hidup sebagai sastrawan eksil. Perempuan aktivis yang tergabung dalam Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) banyak yang menjadi korban perkosaan. Bukubuku karya sastrawan Lekra dilarang. 1966: Majalah sastra Horison terbit. H.B. Jassin mendeklarasikan Angkatan


66 dalam sastra Indonesia. MajalahBudaya Jaya terbit pada tahun yang sama. Buku Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail terbit. Buku ini terbit ulang secara komplet pada 1993. 1968: Cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panjikusmin terbit dan bikin heboh, karena dianggap menghina umat Islam. Pemimpin Redaksi majalah Sastra, H.B. Jassin diadili. H.B. Jassin juga menerbitkan Angkatan 66: Prosa dan Puisi. Iwan Simatupang menerbitkan Merahnya Merah. 1970: Remy Sylado memperkenalkan puisi mbeling. 1971: Buku Sandhyakala Ning Majapahit karya Sanusi Pane terbit. Majalah Tempo terbit. Goenawan Mohamad sebagai Pemimpin Redaksi. 1973: Kritik sastra aliran Rawamangun yang diusung dosen sastra Universitas Indonesia (UI), yakni M.S. Hutagalung, M. Saleh Saad, dan J.U. Nasution, mendapat reaksi dari Goenawan Mohamad dan Arief Budiman yang memperkenalkan kritik ganzheit atau gestalt sebagai alternatif kritik analitik. Pada tahun ini pula Sutardji mCalzoum Bachri mengeluarkan Kredo Puisi-nya. Dami N. Toda mengibaratkan Sutardji Calzoum Bachri dan Chairil Anwar sebagai dua sisi mata uang. N.H. Dini menerbitkan Pada Sebuah Kapal. 1974: Sastrawan muda Bandung menggelar Pengadilan Puisi. Slamet Sukirnanto bertindak sebagai Jaksa Penuntut Umum (JPU). 1975: Asrul Sani menerbitkan Mantera. 1977: Ajip Rosidi menerbitkan Laut Biru Langit Biru.

1978: Iwan Simatupang mendapat penghargaan South East Asia Write Award (Hadiah Sastra ASEAN) dari pemerintah Thailand. Para sastrawan yang mendapat penghargaan serupa pada tahun-tahun setelahnya adalah Sutardji Calzoum Bachri, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Marianne Katoppo, Y.B. Mangunwijaya, Budi Darma, Abdul Hadi W.M., Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, Danarto, Gerson Poyk, Arifin C. Noer, Subagio Sastrowardoyo, A.A. Navis, Ramadhan K.H., Taufiq Ismail, Ahmad Tohari, Rendra, Seno Gumira Ajidarma, N. Riantiarno, Kuntowijoyo, Wisran Hadi, Saini K.M., Darmanto Jatman, Gus tf. Sakai, Acep Zamzam Noor, Sitor Situmorang, dan Suparto Brata. 1980: Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer terbit. Buku itu diikuti dengan terbitnyaJejak Langkah (1985) dan Rumah Kaca (1988). Buku Potret Pembangunan dalam Puisi karya Rendra terbit. 1981: Buku Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya terbit. Buku Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi terbit. 1982: Pramoedya Ananta Toer menerbitkan Tempo Doeloe: Antologi Sastra PraIndonesia. 1984: Dalam sarasehan kesenian di Solo, 28 Oktober 1984, Ariel Heryanto memperkenalkan sastra kontekstual, yakni sejenis pemahaman atas seluk-beluk kesusastraan dengan meninjau kaitannya dengan konteks sosial historis kesusastraan yang bersangkutan.

halaman 19


1985: Claudine Salmon menerbitkan buku Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu. Ariel Heryanto menerbitkanPerdebatan Sastra Kontekstual. 1987: Linus Suryadi Ag. menerbitkan buku antologi puisi Indonesia secara lengkap, Tonggak. Yayasan Lontar berdiri. 1988: Dalam seminar Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) di Padang, Subagio Sastrowardoyo mengusulkan teori dan kritik sastra yang khas Indonesia. 1990: Pementasan Suksesi Teater Koma yang disutradarai N. Riantiarno dilarang. Sebelumnya, pada tahun yang sama, Teater Koma mementaskan Konglomerat Burisrawa yang mengkritik kartel bisnis raksasa di Indonesia. 1991: Nirwan Dewanto membacakan pidato kebudayaandalam kongres kebudayaan keempat. Menurut dia, setiap manusia berpotensi untuk menciptakan kebudayaan. Ia mengusung semangat pluralisme dan multikulturalisme. Pidatonya dibukukan dalam Senjakala Kebudayaan. 1992: Majalah sastra “Menyimak” Pekanbaru (Riau) yang diselenggarakan oleh Taufik Ikram Jamil, Hasan Junus, Mafirion, El Mustian Rahman dan Dantje S Moeis diterbitkan. 1994: Majalah Tempo, Editor, dan tabloid Detik dibredel. Majalah Kalam terbit. Kusprihyanto Namma (Ngawi), dan Beno Siang Pamungkas (Tegal) mengusung Gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman dan menghujat Pusat dan elit sastra nasional sebagai halaman 20

sumber kekuasaan yang mendominasi sastra koran . 1995: D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail menerbitkan buku Prahara Budaya. Pramoedya Ananta Toer menerima penghargaan hadiah Magsaysay. Taufiq Ismail dan Mochtar Lubis memprotes pemberian penghargaan itu. Muncul polemik hadiah Magsaysay. AS Laksana menerbitkan buku Polemik Hadiah Magsaysay. 1997: Penyair Wiji Thukul “hilang”. 1998: Pada 21 Mei 1998, Soeharto lengser dari jabatannya. B.J. Habibie menggantikannya. Terjadi kerusuhan 13-14 Mei 1998, yang mengakibatkan banyak mal yang terbakar, yang menelan banyak korban jiwa. Perempuan keturunan Tionghoa juga banyak yang menjadi korban perkosaan. Buku-buku karya sastrawan Lekra bisa muncul ke permukaan. Ayu Utami mengibarkan sastra yang beraroma seks melalui Saman. Harian Kompas menyambutnya dengan istilah sastra wangi . Majalah Tempo terbit kembali Bulan Oktober 1998. Terbitnya majalah sastra “Suara” berdomisili di Pekanbaru yang diasuh oleh Al Azhar, Hasan Junus dan El Mustian Rahman. Penerbitan perdana majalah budaya “Sagang”. Sebuah majalah budaya yang terbit di Pekanbaru dengan motto : “Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia”, (Henri Chambert-Loir).. 1999: Pemilu demokratis kedua yang diselenggarakan di Indonesia setelah Pemilu 1955. PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri memperoleh suara terbesar. Namun,


yang terpilih menjadi presiden adalah K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). 2000: Korrie Layun Rampan mengumumkan adanya Angkatan 2000. H.B. Jassin meninggal di Jakarta. Buku Aku Ingin Jadi Peluru karya Wiji Thukul terbit. 2001: Mulai 2001, penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) diberikan kepada sastrawan yang menghasilkan karya sastra terbaik. Mereka yang pernah mendapatkan penghargaan ini antara lain Goenawan Mohamad, Remy Sylado, Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, Linda Christanty, Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Gus tf., Acep Zamzam Noor. 2002: Majalah Horison menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia yang terdiri dari empat kitab, yakni kitab puisi, cerpen, novel, dan drama. Dalam buku ini, Hamzah Fansuri yang hidup di abad ke-17 dimasukkan sebagai sastrawan Indonesia yang pertama. 2003: Sapardi Djoko Damono dan Ignas Kleden mendapat penghargaan Ahmad Bakrie Award karena jasanya di bidang kesusastraan dan pemikiran. Sastrawan dan intelektual yang menerima penghargaan yang sama pada tahun-tahun berikutnya adalah Goenawan Mohamad, Nurcholish Madjid, Budi Darma, Sartono Kartodirdjo. Frans Magnis Soeseno yang seharusnya mendapatkan penghargaan tersebut menolak karena keterkaitan perusahaan Bakrie dengan bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. 2004: Pemilihan presiden secara langsung yang dilakukan pertama kali di Indonesia. Soesilo Bambang

Yudhoyono terpilih sebagai presiden, mengalahkan Megawati. Di dunia sastra, para sastrawan muda mendeklarasikan lahirnya generasi sastrawan cyber. Sastra di internet merupakan terobosan baru bagi para sastrawan untuk berekspresi dan mempublikasikan karyanya secara bebas. Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy terbit. Yayasan Lontar mendokumentasikan biografi sastrawan Indonesia, di antaranya Pramoedya Ananta Toer, Agam Wispi, Ahmad Tohari, Umar Kayam, Sapardi Djoko Damono, Sutan Takdir Alisjahbana, Putu Oka Sukanta, dan lain-lain. Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir dibunuh. Buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan karya Ignas Kleden terbit. 2005: Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata terbit. Novel ini dan novel Ayatayat Cinta menjadi novel paling laris (best seller) dalam sejarah penerbitan novel di Indonesia. Kedua novel ini juga ditransformasi ke film. 2006: Yayasan Lontar menerbitkan Antologi Drama Indonesia: 1895-2000. Penerbitan buku ini menunjukkan bahwa sejarah sastra Indonesia bukan dimulai pada 1920, melainkan pada 1895. Anton Kurnia menerbitkan Ensiklopedi Sastra Dunia. 2007: Novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma terbit. Buku kumpulan puisi Otobiografi karya Saut Situmorang terbit. Saut adalah salah satu sastrawan yang menggerakkan sastra cyber, sastrawan Ode Kampung, dan majalahBoemipoetra. 2008: Buku-buku

Pramoedya

Ananta

halaman 21


Toer yang dicetak ulang dan bukubuku korban tragedi 1965 yang ingin meluruskan sejarah marak di tokotoko buku, dan menjadi buku laris. Misalnya, Suara Perempuan Korban Tragedi 65 karya Ita F. Nadia. 2011: Idrus Tintin (alm.) Seniman penyair dan teaterawan nasional asal Riau mendapat prediket sebagai Peraih Bintang Budaya Parama Dharma 2011 dari Presiden RI (pemerintah) yang menempatkan ia pada jajaran tokohtokoh nasional Indonesia. 2012: Pendeklarasian Hari Puisi Indonesia di Pekanbaru Riau dengan penandatanganan deklarasi oleh tokoh-tokoh puisi Indonesia. Kalangan penyair akhirnya sepakat 26 Juli dijadikan sebagai Hari Puisi Indonesia. Keputusan ini hasil musyawarah penyair se-Indonesia di Hotel Grand Elite Pekanbaru, Kamis (22/11). Musyawarah yang dihadiri sekitar 23 penyair dari Sabang sampai Merauke ini berlangsung dinamis. Sebelum penetapan, mencuat dua tanggal untuk dijadikan sebagai Hari Puisi Indonesia, yakni setiap 26 Juli dan 22 November. Akhirnya, musyawarah yang diinisiatori penyair dan novelis, H Rida K Liamsi dan difasilitasi Dewan Kesenian Riau (DKR) dan Yayasan Sagang, sepakat memilih 26 Juli yang juga tanggal kelahiran Chairil Anwar, salah seorang tokoh puisi Indonesia. “Dengan berucap syukur, akhirnya kita bersama-sama bisa menyepakati tanggal 26 Juli ini sebagai Hari Puisi Indonesia,” kata H Rida K Liamsi.

halaman 22

Rida mengatakan, pada malam harinya seluruh peserta musyawarah bersama-sama mendeklarasikan 26 Juli itu sebagai Hari Puisi Indonesia di Gedung Anjung Seni Idrus Tintin Pekanbaru. Mereka menandatangani Deklarasi Hari Puisi Indonesia dan selanjutnya diserahkan ke Gubernur Riau untuk disimpan di Museum Sang Nila Utama Pekanbaru. Karena ini, kata Rida, ini sebuah catatan sejarah bagi penyair di Indonesia. 2014: Riau menerbitkan buku kumpulan karya cerpenis Riau yang diberi judul “100 tahun Cerpen Riau”. Sebuah buku dengan jumlah halaman sebanyak 758 halaman, memuat karya-karya penulis cerpen Riau masing-masing satu karya untuk satu penulis, bermula dari tahun 1904-2014.*** (Tim Riset “Sagang” dari berbagai sumber.)


Rehal

Perempuan dalam Sajak Antologi Puisi 9 Penyair Perempuan Indonesia

Antologi Puisi 9 Penyair Perempuan Indonesia - Faradina, - Kwek Li Na, - Helga Worotitjan, - Nona Muchtar, - Pratiwi Setyaningrum, - Shinta Miranda, - Susy Ayu, - Tina K - Weni Suryandari Editor

: Kurniawan Junaedhie

Kata Pengantar : Maman S Mahayana 100 hal + VIII Int

Catatan Kecil Atas Perempuan dalam Sajak Maman S Mahayana

atatan kecil ini sesungguhnya merupakan bentuk lebih pertanggungjawaban atas Kata pertan Pengantar saya dalam buku Perempuan dalam Sajak (PdS). Sembilan perempuan dengan berbagai latar belakang profesinya

itu menampilkan sejumlah puisi dalam buku antologi ini. Siapakah ke-9 perempuan itu? Setelah hampir dua semester saya meninggalkan Tanah Air, tiba-tiba menyeruak sembilan nama mengibarkan panji kepenyairan. Dengan kemajuan halaman 23


teknologi, kini siapa pun memang dapat dengan mudah mencetak dan menerbitkan karya-karyanya dalam bentuk buku. Sejumlah penerbit alternatif memberi ruang yang lebih bebas. Maka, bukubuku apa pun, termasuk buku sastra, dan terutama antologi puisi, seperti berloncatan dari penerbit alternatif ini. Maka lagi, buku-buku itu seketika seperti menyerbu kita. Termasuklah di dalamnya antologi puisi PdS ini. Lalu, bagaimanakah kita sepatutnya menyikapi terbitnya antologi ini? Harus diakui, ikhwal penerbitan buku seringkali diikuti oleh sejumlah pertanyaan: Karya siapakah gerangan? Bagaimana kualitasnya? Apakah sekadar ikut menderetkan daftar judul buku dalam sebuah senarai panjang antologi puisi Indonesia atau ada sesuatu yang lain yang patut dicermati? Ekor setiap penerbitan buku antologi puisi, dan teristimewa yang mengusung nama-nama baru, pada akhirnya memang berurusan dengan perkara kualitas. Di sinilah posisinya sebagai penyair sangat ditentukan oleh kebertahanannya dalam sebuah konstelasi. Di samping itu, tentu saja satu hal lagi yang tak boleh diabaikan adalah konsistensi atas pilihannya menceburkan diri pada profesi yang tak populer: penyair! Terlepas apakah kelak ke-9 penyair ini akan mampu bertahan, perjalanan waktulah yang akan menentukan. Lalu, apakah pilihannya menceburkan diri pada profesi yang tak populer itu, sekadar mainmain sebagai perayaan sesaat atau mereka akan coba terus konsisten dan memberikan sesuatu bagi sastra Indonesia, betapapun kecilnya? Itupun, waktu jualah yang akan menentukan. Meski begitu, dalam perkara ini, bagaimanapun sepatutnya kita perlu memberi apresiasi atas penerbitan

antologi ini. Bagi saya, kehadiran antologi PdS tetaplah sebagai hal yang penting. Di manakah letak kepentingannya? *** Ada sedikitnya tiga hal penting yang perlu kita cermati atas kehadiran antologi ini. Pertama, munculnya nama-nama baru; kedua, ihwal posisi kepenyairan; dan ketiga, latar belakang sosiologis deretan ke-9 namanama baru itu. Siapakah ke-9 nama itu? Penempatan nama-nama itu –dalam buku ini—diurutkan secara alfabetis: Faradina Izdhihary, Helga Worotitjan, Kwek Li Na, Nona Muchtar, Pratiwi Setyaningrum, Shinta Miranda, Susy Ayu, Tina K, dan Weni Suryandari. Tidak menyesal saya belum begitu akrab dengan nama-nama itu, sehingga perbincangan bagian akhir tulisan ini, semata-mata bertumpu pada teks puisi mereka. Tetapi dengan begitu, sekaligus juga saya dapat terhindar dari kesan pretensius, dan tak punya tendensi apa pun berkenaan dengan pertumbuhan berbagai komunitas yang kadangkala dicurigai sebagai bentuk pemihakan dan subjektivitas. Artinya, sebagaimana yang selama ini menjadi sikap dasar saya, tuntutan objektivitas adalah harga sebuah apresiasi. Jadi, ketika kita berbicara perkara kualitas, tak terhindarkan objektivitas menjadi sebuah keniscayaan. Sekali lagi, justru pada sikap objektif itulah harga sebuah apresiasi, betapapun mungkin tak nyaman bagi penulisnya. Baiklah. Sebelum sampai pada perbincangan: sejauh mana kualitas karya mereka, saya coba memberi ilustrasi tentang posisi perempuan pada masa lalu. Untuk itu, mari kita coba menengok dahulu ke belakang. ***

halaman 24


Seorang istri bupati bernama R.A. Soetan Andika (mungkin nama samaran), menulis surat pembaca. Ia bertanya kepada redaksi Poetri Hindia, Tirto Adhi Soerjo, apakah cerita bersambung (fuilleton) yang berkisah tentang penderitaan seorang istri bupati akan bermasalah lantaran pernah dimuat suratkabar itu. “Djika hamba dipersalahkan, hamba moehoen tanja melanggar wet mana en oekoeman apa jang akan hamba pikoel?” begitu pertanyaannya. Munculnya pertanyaan itu tentu saja ada persoalan yang melatarbelakanginya. Sebagai seorang perempuan, apalagi dengan status sebagai istri bupati, beberapa pihak menganggap, tidak sepantasnya ia menulis karangan, apalagi karangan itu berkisah tentang penderitaan seorang istri pejabat. Konon, gara-gara cerita itu, suaminya difitnah, bahkan juga ada kemungkinan akan dipindahtugaskan di tempat yang tidak ada bupatinya. Di akhir surat pembaca itu, R.A. Soetan Andika bertanya lagi: “Laen dari itoe hamba moehoen padoeka ampoenja timbangan kiranja boleh hamba teroes kan (mengarang: msm) of tida?” Peristiwa itu terjadi lewat seratus tahun yang lalu. Apa pula maknanya bagi kita sekarang? Ketika suratkabar Poetri Hindia terbit pertama kali di Betawi, 1 Juli 1908, sambutan, antusiasme, dan optimisme datang bergelombang dari kaum perempuan di sejumlah kota di Nusantara ini. Berbagai tanggapan dalam surat pembaca yang ditulis dalam bentuk pantun, syair, kiriman tulisan artikel tentang masak-memasak, kerajinan, sampai ke rencana membangun sekolah untuk kaum perempuan ketika itu, memperlihatkan betapa Poetri Hindia ditempatkan sebagai wahana yang dapat

dimanfaatkan untuk memajukan kaum perempuan di bidang tulis-menulis. Sebagian besar pembaca yang mengirimkan tulisannya itu adalah istri-istri pejabat (bupati, tumenggung, wedana), karena mereka memang sudah biasa membaca—menulis. Oleh karena itu, ketika fuilleton karya Soetan Andika mengangkat kisah seorang istri bupati, tulisan itu, oleh beberapa pihak, dan terutama pihak gubernemen, dianggap “kelewatan” dan dapat merendahkan status bupati. Lebih dari itu, seorang perempuan— ibu rumah tangga—boleh jadi dianggap tiada pantas menulis atau membuat karangan. Pengertian “istri yang baik” ketika itu adalah istri yang siap setiap saat melayani suami dan tinggal di rumah mengurus segala perkara tetek-bengek. Pandangan stigmatis ini terus menggelinding hingga terciptalah konsep tiga –ur melekat pada pengertian “istri yang baik”, yaitu kasur-sumur-dapur! Itulah kekuasaan “istri yang baik” yang bergerak seputar kasur (tempat tidur), dapur (urusan masak memasak) dan sumur (urusan kebersihan rumah). Wah, betapa repotnya menjadi perempuan; betapa sempitnya pergerakan hidup perempuan di dunia yang mahaluas ini! Rasanya saya masih merasa perlu membuat satu ilustrasi lagi dari catatan sejarah. Di Surabaya, pernah terbit sebuah majalah wanita Tionghoa bernama, Doenia Istri. Edisi pertamanya terbit Mei 1922. The Tien Nio bertindak sebagai pengelola majalah ini. Dilihat dari jumlah penulis dan asalnya, majalah ini banyak melahirkan penulis dan penerjemah peranakan Tionghoa dari kota-kota besar di Pulau Jawa. Beberapa penyumbang tulisan dalam majalah ini, belakangan dikenal sebagai penulis novel

halaman 25


dan penerjemah wanita sebagaimana yang dicatat Claudine Salmon dalam bukunya Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu (Balai Pustaka, 1985). Apa yang melatarbelakangi para perempuan Tionghoa itu bertungkus-lumus menerbitkan majalah Doenia Istri? Ada tiga hal yang hendak diperjuangkan mereka. Pertama, melakukan perlawanan pada keterpurukan dan kebodohan kaum perempuan. Kedua, menolak marjinalisasi posisi perempuan dalam pandangan kultur etniknya sendiri dan pandangan masyarakat bumiputra. Ketiga, menghancurkan hukum tak tertulis yang melarang perempuan Tionghoa khususnya, dan perempuan bumiputra umumnya, bekerja sebagai pegawai gubernemen (pemerintah). Pertanyaannya kini: adakah sejarah mencatat kiprah mereka? Sayang sekali, peranan mereka sebagai sastrawan dan jurnalis wanita seperti sengaja ditenggelamkan begitu saja. *** Apa maknanya dua ilustrasi di atas dan bagaimana kaitannya dengan antologi puisi PdS ini? Mencermati sejumlah besar karier kepenyairan wanita Indonesia, kita dapat melihat bahwa sebagian besar dimulai ketika mereka belum menjadi ibu rumah tangga. Atau, setidaknya, mereka merintis kepengarangannya dari sebuah komunitas yang bergerak di bidang penulisan atau pergaulannya dengan para sastrawan. Pertanyaan berikutnya adalah: dari komunitas manakah ke-9 penyair yang karyanya terhimpun dalam PdS ini? Bagaimana ke-9 perempuan itu mempunyai keberanian untuk mempublikasikan karya-karyanya tanpa merasa perlu mengibarkan namanya dahulu di media massa yang secara salah kaprah sering

halaman 26

dipercaya sebagai alat pembantisan? Ruang facebook (fb) yang penuh dengan misteri dan setiap orang dapat bersembunyi di balik pseudo, rupanya ajang mereka mulai menyalurkan curhat, unek-unek, coba berbagi dengan yang lain, lalu merembetlah sampai ke puisi. Tetapi, bukankah puisi-puisi di fb belum teruji kualitasnya? Bukankah sesama teman fb cenderung memuji dan terkesan menghindar kritik sebagai ekspresi tenggang rasa? Bukankah pujian itu kerap cukup disampaikan dalam satu-dua kalimat, hingga tak mungkin disertai alasan. Sampai di situ, segalanya benar, tetapi seleksi alam juga menuntut kesungguhan melakukan pilihan. Di sana, bukankah ada sosok Kurniawan Junaedhie, salah seorang penyair penting Angkatan 80-an, bertindak sebagai editor. Niscaya, ia tak bakal melalaikan reputasinya sendiri. Maka, sebagai penyair andal yang karyanya bertebaran, baik dalam antologinya sendiri, maupun dalam antologi bersama, ia sudah teruji punya intuisi dan kepekaan untuk memilih dan memilah, mana puisi yang baik, dan mana puisi yang belum baik. Jam terbang kepenyairannya niscaya yang menggerakkan rasa-puisi-nya bertindak sebagai filter. Dengan sensitivitas rasa-puisi itulah, Kurniawan Junaedhie melakukan pemilihan dan pemilahan. Tentu saja kita tidak perlu terburu-buru silau pada reputasi Kurniawan Junaedhie. Bersikap kritis atas sejumlah puisi dalam PdS, jauh lebih baik daripada menelan bulat mentah apa pun yang disajikan di sana. Meski demikian, perkara pencitraan kadangkala juga sulit dihindarkan, apalagi itu berkaitan dengan bisnis. Maka, tidak terlalu menjadi persoalan jika kemudian kita berbaik sangka, bahwa Kurniawan Junaedhie telah menjalankan tugasnya sebagai editor dengan penuh tanggung


jawab. Dengan sikap berbaik sangka itu pula, eloklah kita menyambut terbitnya antologi PdS ini dengan sikap apresiatif. Di sinilah penerbitan buku ini menjadi penting, sebab dengan munculnya nama-nama baru itu, ada pesan lain yang mungkin tak disadari: bahwa siapa pun sesungguhnya punya hak yang sama atas profesi apa pun, termasuklah di dalamnya profesi penyair. Dengan begitu, siapa pun yang merasa mempunyai karya (puisi atau cerpen atau novel), silakan terbitkan. Apakah buku itu layak terbit atau tidak? Lho, tentu saja semuanya layak terbit, sejauh penerbit punya pertimbangan untuk itu. Bukankah penerbit (yang baik) juga mempunyai tim pembersih salah cetak, salah ketik, salah nalar, dan sejumlah kesalahan lain yang tidak perlu. Bukankah Kurniawan Junaedhie sendiri yang sejak tahun 1980-an malang-melintang dalam dunia penulisan, bertindak sebagai editor. Dengan begitu, seperti tadi saya katakan: Niscaya, ia tak bakal melalaikan reputasinya sendiri. Alihalih masyarakat kelak akan mengapresiasi atau tidak atas kehadiran buku itu, ya itu perkara lain. Bagaimanapun, masyarakat punya pilihan sendiri. Tetapi penyikapan atas terbitnya sebuah karya patutlah senantiasa diawali dengan positif dan apresiatif. Bagi masyarakat (sastra), tidak dapat lain, kehadiran PdS tetap akan memberi kontribusi, baik untuk memperkaya tematema yang sudah ada, maupun untuk lebih menyemarakkan kehidupan kesusastraan itu sendiri. Dengan gencarnya penerbitan buku sastra, memberi banyak peluang bagi masyarakatuntuk melakukan pilihan. Apakah dengan gencarnya penerbitan buku-buku sastra itu malah akan membuat masyarakat bingung? Tentu saja tidak. Kalaupun (mungkin) bingung, kebingungannya

tidaklah serungsing berhadapan dengan persoalan politik. Bukankah jauh lebih baik menjejali masyarakat dengan berbagai bacaan daripada menjejalinya dengan beritaberita kriminal dan hiruk-pikuk politik yang sering lucu karena ketidaklucuannya, kerap memuakkan, dan selalu berakhir tak selesai. Begitulah, kehadiran PdS, bagaimanapun juga tetap akan memancarkan pengaruh positif dalam kehidupan kesusastraan Indonesia. Mengingat ke-9 penyair itu secara sosiologis berasal dari profesi yang beragam, setidak-tidaknya, puisi dapat lebih mudah memasuki profesi yang beragam itu. Jika kemudian di antara ke-9 penyair itu ada yang tetap bertahan dan konsisten dengan profesi kepenyairannya, ya syukurlah. Jika pun tidak, ya tidak apa-apa. Bukankah beralih profesi tidak dilarang agama, tidak juga melanggar KUHP? Tetapi, mereka telah mencatatkan diri dalam deretan panjang sastrawan Indonesia. Dan setidak-tidaknya, mereka pernah ikut ambil bagian menyemarakkan kehidupan kesusastraan kita. Kini, coba bandingkanlah kondisi penulis perempuan sekarang dengan yang dialami R.A. Soetan Andika. Bandingkan pula semangat yang melandasi perempuan Tionghoa dalam majalah Doenia Istri dengan penulis perempuan sekarang. Dalam hal ini, saya hendak menegaskan, bahwa kesempatan menulis dan menerbitkan karyanya bagi siapa pun, kini terbuka sangat luas. Bahwa ke-9 penyair ini, di tengah kesibukannya sebagai ibu rumah tangga dan pekerjaannya di bidang lain—yang mungkin tak ada kaitannya dengan sastra—, masih dapat berkarya dan menerbitkan karyanya, tentu juga itu jauh lebih baik daripada bergerak sekitar tiga ur tadi. Dan niscaya, langkah ini dapat diikuti oleh perempuan-

halaman 27


perempuan lain. Saya kira, hal lain lagi yang patut kita apresiasi atas terbitnya PdS ini adalah rasa percaya diri dan keberanian untuk mempublikasikan karyanya Begitulah, tiga hal penting berkaitan dengan persoalan (1) nama-nama baru, (2) ihwal posisi kepenyairan, (3) latar belakang sosiologis deretan ke-9 nama-nama baru itu. Kiranya cukup beralasan jika kita memberi apresiasi atas terbitnya antologi PdS. Tetapi, bukankah itu perkara di luar teks. Lalu bagaimana kualitas puisi-puisi mereka? Mari kita coba cermati! *** Kini kita akan berbicara tentang perkara kualitas. Pertanyaannya: atas dasar apa sebuah puisi dikatakan berkualitas atau tidak? Tentu saja ada sejumlah kriteria yang dapat digunakan sebagai ukuran. Dengan kriteria itulah, penafsiran dan penilaian kita atas sebuah puisi punya dasar, objektif, dan tidak sekadar mengandalkan kesan subjektif sebagai pembaca. Jangan salah, kriteria itu pun tetap dengan menempatkan puisi dalam wilayah medan tafsir. Cetek atau dalamnya penafsiran seseorang, itu sangat bergantung pada pengalaman (baca) dan wawasan Faradina Izdhihary menyertakan delapan puisi. Kecuali puisi “Belajar Berhitung” yang mewartakan sosok murid dalam memandang (ibu) guru, semua berbicara tentang ibu. Boleh jadi lantaran masih berbicara tentang ibu (guru), “Belajar Berhitung” sengaja ditempatkan sebagai pembuka—yang buat saya, secara tematik justru agak mengganggu. Meski dalam puisi ini, kesan hiperbolis masih sangat terasa, kepadatan belum terjaga, dan tak dapat menyembunyikan hujah aku lirik yang sebenarnya merepresentasikan suara penyairnya, dalam puisi-puisinya yang lain, Izdhihary mulai coba mengendalikan

halaman 28

diri. Maka, dalam puisi “Melukis Ibu” penyair sudah melangkah lebih jauh dengan memanfaatkan sarana puitik yang menjadikan puisi itu tak sekadar warta berita atau curhat. Perhatikan repetisi: sanggupkah ... yang selain mendukung persajakan dan kesamaan bunyi, juga efektif mengkontrasbandingkan dua hal yang berbeda (alam— kongkret dan cinta—abstrak) dan sekaligus mempersamakan dua kebesaran. Di situlah, analogi kebesaran alam menjadi sesuatu yang belum sebanding jika disandingkan dengan keagungan cinta ibu. Bukankah pola ini juga yang digunakan Abdul Hadi WM dalam “Tuhan Begitu Dekat” dan Sapardi Damono dalam “Aku Ingin” atau Zawawi Imron dalam “Ibu”? Dua bait awal yang disajikan dalam bentuk pertanyaan retoris itu juga fungsional mendukung pesan yang hendak disampaikan. Maka bait akhir sebagai bentuk retrospeksi –aku— ibu— menjadi penyimpul keseluruhannya. Sayang, dua larik terakhir sebagai penyimpul itu, agak terganggu oleh kesan yang ingin disampaikan agar lebih jelas. Bukankah bait terakhir cukup berakhir sampai: melukis wajah ibu dalam doa/hanya itu// dan frase kubisa, selain ada ketersendatan pengucapan, sehingga kemengalirannya terganggu, juga lebih berfungsi mubazir, sebab menegaskan sesuatu yang sebenarnya sudah jelas. Ingat, kepadatan dalam puisi sangat penting, sebab hakikat puisi adalah citraan (image) yang berbeda dengan cerpen atau novel yang mengandalkan narasi. Pengucapan tentang ibu yang disampaikan Helga Worotitjan –di antara 11 puisinya—pada dasarnya senada, meski Worotitjan melihatnya dari sisi yang lain. Kata sapaan Mama jelas untuk menunjukkan


hubungan yang lebih personal dalam lingkup keluarga. Tetapi, sosok ibu dalam lingkup apa pun, tetap saja menjelma menjadi bagian dari dunia; bagian kehidupan, yang dikatakannya sebagai semesta. Dalam kesemestaan itulah, fungsi reproduksi ibu adalah “kesempurnaan” hidup: yang menyediakan diri untuk ditumbuhi manusia ... Di sinilah, bagi si aku lirik, sosok ibu adalah representasi kehidupan sendiri, bukan dalam posisi biner: anak—ibu, melainkan sebagai citra kesemestaan. Jadi, meski bahasanya tampak sederhana, di dalamnya ada filosofi tentang keberlangsungan hidup dan kehidupan manusia. Dalam konteks itu, ibu dapat dimaknai sebagai tangan kedua “penciptaan” setelah Tuhan. Meski puisi bukan renungan filsafat, alih-alih boleh jadi pandangan itu pun bukan tujuan penyairnya, buah kreativitas kadang kala memang mencengangkan. Di situlah puisi menyimpan mukjizatnya. Bagaimanapun, kreativitas itu juga salah satu bagian inheren dari representasi Tuhan. Maka, seperti keyakinan para penyair romantik, dalam kreativitas itulah Tuhan bertahta dan kemudian keluar menyelinap melalui kedalaman hati yang terdalam. Jika saja puisi ini disampaikan dengan bahasa yang lebih kental—padat, citraan akan terasa lebih kuat. Bait pertama, misalnya, kecuali larik pertama yang memainkan persajakan dalam larik: sejenak aku senyap/ larik lainnya mengalami pemborosan kata. Bukankah: padaku/seakan/di bujur dan gemilang/ yang, diri, dan untuk/yang luar biasa/ dan larik terakhir bait pertama itu, hanya menegaskan sesuatu yang sebenarnya sudah jelas maknanya terikut di sana. Demikian juga, sejumlah puisinya yang lain masih menunjukkan kemubaziran

pemakaian kata yang secara semantis, maknanya jadi lewah (berlebih) dan secara metaforis juga tak mendukung citraan dan asosiasi pembaca untuk membayangkan hal lain. Kwek Li Na menyertakan 10 puisi. Salah satu di antaranya yang berjudul “Maafkan Aku Ibu” yang juga menempatkan posisi ibu dalam singgasananya yang luhur. Kerinduan yang terhadang ruang, tak membuat cintanya berjarak. Doa adalah sebentuk pelepasan rindu dan ekspresi cinta pada ibu. Dan puisi lalu menjadi pilihan. Maka, kerinduan itu bisa menjelma haru atau sesuatu yang menyentuh kalbu. Itulah estetika yang kadangkala menyeruak begitu saja ketika kita berhadapan dengan sebuah teks yang memancar dari hati. Meski begitu, kembali persoalan kekentalan dan kepadatan, sepertinya masih menjadi kendala. Dengan begitu, metafora yang coba dibangun—yang sebenarnya cukup kuat—menjadi sesuatu yang tak mengundang kita masuk ke dalam pencitraan sosok ibu. Sebut misalnya, kristal bening/memutihkan .../ senja/ bukankah itu sangat lazim digunakan sebagai gambaran air mata dan usia. Bandingkan dengan: Dan gulunglah di lipatan kainmu. Bagi saya metafora ini terasa lebih segar dan kreatif, yang membayangkan sosok perempuan tua dan ringkih, agak bungkuk, berkain lusuh, tetapi tokh ia tak melupakan cintanya (pada anak) dan rela menyimpan sendiri semua rindu-deritanya. Nona Muchtar, di antara 10 puisinya yang disertakan dalam antologi ini, agaknya juga belum punya keberanian untuk mengumbar imajinasinya. Setidak-tidaknya, dalam “Telaga di Matamu” kita melihat, Muchtar, di satu pihak, coba menampilkan

halaman 29


sesuatu yang berbeda (Bila sajak di matanya kuhamburkan seperti remah roti/bahagia sekaligus kematian), dan di pihak lain, ia juga belum dapat melepaskan diri dari model pengucapan yang lazim, (jiwa-jiwa rapuh/tunduk padamu/malam membawa badai/angin menggemuruhkan rindu/telaga tempat segala resah. Dan secara tematik, kembali sosok ibu adalah segalanya. Perlu juga disadari, bahwa tanda apa pun dalam puisi harus dicurigai punya makna. Maka, jika secara semantik tak hendak memberi makna lain pada kata: selalu/ karena/ mengapa pula harus ditulis slalu dan karna. Persoalannya berbeda dengan bentuk penulis reduplikasi (kata ulang) yang tak menggunakan tanda hubung (-), seperti jiwa jiwa, malam malam, yang biasanya sengaja digunakan untuk menunjukkan keserempakan. Meski begitu dalam puisinya yang berjudul “Mengenangmu� penghadiran suasana rindu yang menggebu dan kesepian sendiri, cukup efektif mengganggu asosiasi (pembaca) untuk membayangkan sesuatu— kerinduan yang gagal diendapkan. Rindu terapung dalam kesunyian/tanpa bahasa tanpa makna// menunjukkan kerinduan kesendirian yang ambivalen: hendak diendapkan atau dilawan. Dan ternyata, pilihan untuk melakukan perlawanan itu pun sebatas pada bayangan. Di luar perkara tematis itu, puisi ini agak nakal mengganggu asosiasi kita pada problem internal ketika kerinduan tak tertahankan. Pratiwi Setyaningrum menyertakan tujuh puisi. Ia tampaknya punya cara lain untuk mencantelkan kerinduan pada ibu, dan secara cerdas ia membidik alam sampai tembus pada Tuhan. Di antara itu, Pratiwi juga punya kesadaran untuk memainkan citraan, metafora, persajakan dalam larik,

halaman 30

dan pemenggalan larik untuk mencapai efek puitik (enjambemen). Dalam puisinya yang berjudul “Lukisan Kasih nan Agung� misalnya, langit warna terang dan kelam/ bersemu jingga dan mangga masak. Lho, mengapa harus mangga masak? Inilah model citraan penglihatan ketika penyair merasa lebih pas memakai warna mangga masak, ketimbang warna lain yang konvensional. Dengan begitu, warna ranum mangga itu boleh ditafsirkan sebagai warna yang agak kemerah-merahan, kecokelat-merahan yang menyeruak di antara warna hijau agak tua, atau warna lain. Bukankah mangga masak itu juga ada yang berwarna agak biru dengan bercak putih di sana-sini. Dan itu semua bergantung pula pada jenis mangganya. Di sini, penyair enteng saja menyandingkan mangga masak dengan warna lain yang sering kita lihat menyapu langit. Lalu, di sana ada Engkau yang besar. Pratiwi sengaja tidak menyebutnya sebagai kekuasaan-Mu yang sudah menjadi klise karena bisa dengan mudah kita jumpai dalam begitu banyak puisi yang mengagungkan kekuasaan Tuhan. Di dalam kemahaluasan kuasanya itu, menyebar: lapis-tipistipis-garis angin ... yang menggambarkan sebuah kontras sesuatu yang besar (Tuhan) dan representasinya (: ciptaan-Nya) yang kecil. Persajakan dalam larik itu, selain menciptaan keindahan bunyi pada larik: lapis-tipistipis-garis angin, juga mendukung tema yang hendak disampaikan. Pilihan diksi reduplikasi: cabik cabik/ ayun ayun, dan onomatope: shaaash ... shaaash, sungguh terasa asyik, lantaran ia tidak jatuh pada model ungkapan klise. Bukankah lazimnya digunakan: serpihan putih biru, ombak berayun-ayun atau ombak bergelombang? Dengan segala


kekagumannya pada alam, memaksanya mengagumi Tuhan, dan tiba-tiba saja kita seketika dibelokkan pada: untukmu, Ma/aku kangen, hiks// Bukankah itu pengagungan luar biasa pada sosok ibu yang tidak verbalistik. Perhatikan urutan peristiwanya: keterpesonaan pada alam, membawanya pada ketakjuban pada Tuhan. Manakala sampai pada kuasa Tuhan, ia rindu pada ibu yang melahirkannya. Tiruan bunyi: hiks justru memancarkan kemanjaan, kecintaan, dan kerinduan pada sosok ibu. Bandingkan jika larik akhir itu berbunyi: Ma, aku kangen, tangisku tumpah atau tangisku ... atau metafora yang banyak dipakai: tetes bening ... jadi terasa biasa, verbalistik, dan tak mencitrakan kemanjaan-kerinduankecintaan. Hiks di sana begitu efektif menutup puisi itu. Dalam beberapa puisinya yang lain, Pratiwi Setyaningrum coba mencantelkan pada kultur etnik yang melingkari dan membesarkannya. Jadi, ada semacam panggilan ibu budaya ketika ia berhadapan dengan realitas sekarang. Dengan begitu, kultur etnik menjadi warna lain yang membedakannya dengan penyair lain. Meskipun begitu, semangat berlebihan untuk memaksakan kosakata Jawa patutlah dipertimbangkan, jika bahasa Indonesia masih menyediakan padanannya. Jika tidak, tentu saja hak penyair untuk memanfaatkan kebebasan kreatifnya. Itulah yang dimaksud licentia poetica. Shinta Miranda menyertakan 12 puisi. Salah satu puisinya yang berjudul “Ibu” coba menggambarkan sosok ibu yang lantaran terjadi perpisahan yang lama, justru memberi penyadaran pada si aku lirik: aku ingin menjadi tangguh/seperti dirimu yang teguh// Sebuah penghargaan

pada sosok ibu yang paripurna bertahan dalam segala kesabarannya. Dalam soal pengucapan puisi itu, Miranda agaknya masih coba setia pada pola persajakan konvensional. Padahal keberanian untuk berbeda, bahkan nyeleneh justru penting agar kita tak terjebak pada bentuk stereotipe. Cara ini juga diperlukan, agar pesan yang hendak kita sampaikan tidak berhenti pada makna tekstual, tetapi meloncat jauh bergentayangan mengganggu saklar imajinasi pembaca. Itulah yang dimaksud dengan citraan. Sebutlah kata “plung” atau “brak” yang memaksa kita membayangkan sesuatu jatuh ke air atau sesuatu tumbang dan patah. Dalam bentuk lain, misalnya lagi, sebutlah, “desir angin mendesis/ menyentuh kuduk// bukankah kita terpaksa membayangkan sesuatu menerpa kuduk. Mungkin kemudian yang kita bayangkan adalah sesuatu yang dingin menyentuh, atau mungkin juga membuat kita merinding. Begitulah, dalam “Ibu” Miranda menumpahkan cintanya pada ibu dalam maknanya yang tekstual. Tentu saja cara itu tidak dilarang. Tetapi, kembali, puisi itu terasa indah ketika dibaca, tetapi tak cukup menggerakkan saklar imajinasi kita untuk membayangkan sesuatu di luar teks. Dunia dalam teks tetap terkurung, karena tak cukup diberi ruang untuk mencantelkannya dalam konteks yang lain. Meski begitu, kesetiaan pada pola persajakan seperti itu sesungguhnya fondasi yang kuat jika alam dan segala benda yang berada di sekitar, ikut dimanfaatkan untuk menciptakan metafora yang lebih segar dan kreatif. Di antara 10 puisi Susy Ayu, satu puisinya yang berjudul “Belahan Jiwa” tampak sengaja menggunakan cara lain untuk menggambarkan sosok ibu ketika

halaman 31


berhadapan dengan anak. Ia menempatkan dirinya sebagai representasi ibu yang saling berpandangan dengan dua buah hatinya: anak-anaknya. Secara tematik, pesan apa pun tentulah tak menjadi soal. Tetapi ketika tema apa pun itu dikemas dalam bentuk puisi, maka tuntutan poetika sebagai sarana penting dalam puisi, terpaksa harus menjadi perhatian. Kecintaannya pada anak, yang dikatakannya sebagai: dua pasang kejora berpendar/lalu sentuhan kulit lembut menyibak rambut/singgah pada wajah ... membayangkan wajah suci bau bayi yang dengan cara apa pun, kerap menggetarkan jiwa, karena anak sesungguhnya sebelah hati kita. Bukankah orang tua juga beroleh kebahagiaan atas pancaran aoranya. Maka, ia tak perlu menuntut apa pun pada anak, sebab di sana, pada diri anak itulah, sebelah jiwa kita berada. Tidak sampai di sana. Bait berikutnya menunjukkan, betapa ketulus-polosan anak berkelindan dari gerak yang fisikal: lipur lara dari bibir kecil gemetar ... seketika menyelinap, lalu perlahan menyusup dan mengeram dalam kalbu. Muaranya adalah: itulah cinta-kasih Tuhan. Perhatikanlah urutan peristiwa dalam puisi itu: bersimpuh karena luka kecil, lalu ada perhatian kecil dari tubuh kecil yang secara metaforis membawa jarum (kecil) mengaitkan segala yang kecil tadi pada hati. Dan ekor peristiwa itu: itulah kasih Tuhan. Dan di sana, si aku lirik tak lagi menyebutnya dua pasang kejora, melainkan dua pohon surga! Persoalannya ternyata juga belum berhenti sampai di sana/ Dua larik terakhir: setelah kurelakan jiwaku terbelah belah / di setiap lapisan sejarah masa lalu// O, rupanya itu bentuk apologia yang lain. Atau, pemaafan atas masa lalu, meski kini

halaman 32

sudah tumbuh dua pohon surga. Jika begitu, mengapa mesti ada apologia itu, kecuali jika bukan lantar problem psikologis! Itulah puisi, dan penyair menempatkan hubungan ibu— anak menjadi problem yang mungkin juga terjadi pada diri perempuan yang lain. Teks puisi jadinya mengajak kita bergentayangan kepada hal lain di luar teks. Itulah asosiasi, itulah cara lain membetot saklar imajinasi tak berhenti pada satu titik. Ada noktah lain yang menunggu tafsir yang juga lain. Tina K menyertakan enam puisi yang keseluruhannua berbicara tentang cinta. Dua di antaranya, “Ingin Bersamamu” dan puisi pendek “Kasmaran”. Puisi “Ingin Bersamamu” berbicara tentang cinta yang bisa melekat pada diri anak, ibu, atau siapa pun. Meski larik: hati terasa ngungun, menunjukkan cinta dalam pengertian asmara, tokh saling cinta ibu—anak, suami—istri atau dua sahabat, tetap saja akan menghadirkan perasaan ngungun yang kerap membawa jiwa memberontak. Puisi ini pun mengingatkan saya pada puisi Sapardi Djoko Damono tentang cinta yang tak terucapkan atau aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Dalam puisi “Kasmaran” metafora yang digunakan sesungguhnya efektif: hanyut, tenggelam, berenang, pulang menunjukkan gambaran percintaan yang tajam-tandasdalam. Risiko pilihan pada puisi yang pendek seperti itu adalah gagalnya mengangkat citraan. Sesungguhnya, dengan metaforayang lazim itu, pembaca dapat menangkap sebuah peristiwa percintaan yang menukik sampai ke ujung. Tetapi, citraannya agak terganggu dengan kehadiran aku lirik: ini aku, yang ... lalu, dan muncul lagi aku lirik. Bandingkan, misalnya, jika puisi ini dibangun dengan larik yang lebih padat-kental-lugas. Boleh jadi,


citraannya akan tersa lebih kuat. Misalnya: perempuan kasmaran hanyut tenggelam tak bisa berenang tak bisa pulang Bandingkan dengan puisi Sitor Situmorang berikut ini: bunga di atas batu dibakar sepi atau puisi Sapardi Djoko Damono berikut ini: tuan, tuhan bukan tunggu sebentar saya sedang keluar Bukankah Sitor Situmorang tak harus berkata: (ada) bunga (tergeletak) di atas batu/ (yang) dibakar sepi// Begitu juga Sapardi, tidak perlu eksplisit bertanya begini: (apakah) tuan, tuhan (atau) bukan/tunggu (di sini) sebentar/saya (sekarang) sedang (pergi) keluar// Kembali, saya hendak menegaskan, bahwa kepadatan-kekentalankelugasan, penting dalam puisi mengingat wilayah puisi yang bermain dalam citraan dan asosiasi. Maka, untuk menghidupkan citraan dan asosiasi itu, diperlukan godaan, agar terjadi klik pada saklar imajinasi kita. Weni Suryandari menyertakan 10 puisi. Tiga di antaranya juga menyertakan puisi pendek, yaitu “Perjalanan Rindu”, “Surat untuk Ibu,” dan “Rindu Ibu # 1)” Dari ketiga puisi itu, “Perjalanan Rindu” cukup berhasil membangun citraan: Ingin kulipat jarak/ agar malam tak lagi sajak/tapi mendengar detak/:di dadamu// Betul, betapa jarak yang jauh telah menciptakan rindu, dan malam-malam hanya dapat membayangkan keindahan semu, seperti sajak. Maka, aku lirik ingin agar si engkau hadir: mendengar detak/ di dadamu. Mengapa di dadamu?

Bukankah di dadamu makna citraannya tak berbeda dengan dadamu? Dalam dua puisi pendeknya yang lain: ibu, aku ingin/membelah atap dengan pisau langit/jadi dua?// (“Surat untuk Ibu”) dan retak matahari di matamu/aku menggigil di situ/ karena rindu// (“Rindu Ibu # 1”), rasanya saya gagal menemukan cantelan pisau langit sebagai penanda yang dapat merekatkan rindu anak—ibu. Begitu juga dengan: retak matahari di matamu. Apakah yang dimaksud pisau langit itu: pelangi, halilintar, malaikat, waktu, atau siang dan malam. Jika begitu, atap yang terbelah jadi dua, maknanya hati yang berbagi atau berbagi suka-duka. Tetapi bukankah atap sebagai ikon rumah? Lalu, mengapa harus terbelah? Hal yang sama terjadi pada puisi “Rindu Ibu # 1”. Apakah matahari sebagai penanda perjalanan hidup dan retak sebagai dukaderita? Atau, matahari sebagai elan, semangat atau spirit kehidupan? Jika begitu, mengapa retak, sebagai sesuatu yang rawan pecah, sebagai sesuatu yang menjadi awal kehancuran? Jika begitu, ia malah kontradiktif dengan rindu sosok aku lirik yang menggigil di sana. Begitulah, puisi-puisi pendek sering mengundang dan mengandung risiko jika cantelan citraannya bertumpu pada kata tertentu yang sekadar enak dibaca. Bagaimanapun, puisi tak cuma permainan kata-kata yang diindah-indahkan atau dirumit-rumitkan. Meski pembaca tak punya kewajiban untuk memahami puisi itu, dan penyair bebas membangun puisinya dengan cara apa pun juga, puisi yang baik selalu mengajak pembacanya melakukan dialog. Hubungan teks dan pembaca yang bersifat dialogis itu akan terganggu manakala teks tak memberi ruang imajinasi pembaca coba

halaman 33


menerjemahkannya. Jadi, diperlukan sinyalsinyal yang memungkinkan pembaca segera mengklik saklar imajinasinya. Maka, dengan klik itulah, citraan dan asosiasi dihidupkan. Dari sana, terbangun suasana, peristiwa atau apa pun sesuai dengan pengalaman pembaca mengumbar imajinasinya. Dalam puisinya yang lain, terutama pada puisi “Rindu Ibu #2�, Weni Suryandari tampak piawai memintal kerinduannya pada ibu dalam larik-larik yang asosiatif: berkisah tentang masa kanak-kanak, belaikasih ibu, dan pancaran anak sebagai aura cinta ibu. Meski begitu, seperti juga dalam beberapa puisinya yang lain, kelalaian melakukan pengendapan, keinginan segera selesai dan seketika itu juga tergoda hendak mewartakannya, kadangkala juga membawa risiko pada munculnya pengulangan yang tak perlu dan hadirnya sejumlah kemubaziran. Sekadar contoh, penegasan kata ganti aku dan –ku yang agak royal, sering malah menghadirkan pemborosan.*** Pembicaraan ringkas ini tentu saja tidak mewakili keseluruhan karya yang terhimpun dalam antologi ini. Meski begitu, saya menangkap bahwa ke-9 penyairnya memperlihatkan keseriusan menampilkan karyanya. Bahwa di sana-sini masih ada ketersendatan dan kemubaziran, tentu saja itu sesuatu yang wajar saja. Bukankah karya-karya penyair mapan pun di sanasini, kadangkala juga mengundang masalah ketika kita melakukan pembacaan. Satu hal yang lazim terjadi adalah kemungkinan tafsir yang berbeda dengan pesan penyair. Maksudnya, penyair hendak mengatakan A dan ditafsirkan pembaca sebagai B adalah hal yang wajar terjadi dalam menerjemahkan makna puisi. Oleh karena itu, tafsir yang saya lakukan, bukanlah satu-satunya penafsiran

halaman 34

yang mungkin. Jadi, masih terbuka peluang bagi pembaca untuk menafsirkan lain dengan cara yang juga lain. Akhirnya, segalanya terpulang pada pembaca. Tetapi yang pasti, PdS telah hadir sebagai bagian dari khazanah kesusastraan Indonesia. Maka, jadilah warga sastra Indonesia dan sumbangkanlah apa pun untuk kemajuannya, betapapun kecilnya. Hanya dengan cara itulah, kehidupan sastra Indonesia akan berkembang sehat, penuh dinamika dengan segala keberagamannya. Keberagaman itulah yang sebenarnya kekayaan kesusastraan Indonesia yang berbeda dengan kesusastraan dari belahan bumi yang lain. Selamat memasuki dunia kepenyairan Indonesia!\ *** Salam hangat musim semi Maman S Mahayana (Red. Sumber Int.)


Sajak

Puisi Melayu dari Negeri Jiran Sajak-sajak DR Dato’ Paduka Usman Awang Thaurah Palestin Melayu Prosa Air Mata Uda dan Dara Salam Benua Korban Tanah Air Dunia yang Senyum Pak Utih Mahkota Cinta

Int

Dato’ Usman Awang (12 Juli 1929 - 29 November 2001), adalah seorang Sastrawan Melayu yang berprediket sebagai Sasterawan Negara Malaysia. Terkenal dengan nama penanya Tongkat Warrant, beliau adalah seorang penyair dan ahli drama yang prolifik ketika hayatnya. Usman Awang juga dikenali dengan nama Adi Jaya, Amir, Atma Jiwa, Manis, Pengarang Muda, Rose Murni, Setiabudi, U.A., Zaini dan mungkin lain-lain. Palam tahun 1991, beliau di anugerahi Derajat Kebesaran “Dato’ Paduka” oleh Sultan Perak Darul Ridzuan yang mendapat gelar Dato’. Sajak yang kami muatkan di atas bersumber dari, Puisi-Puisi Pilihan Sasterawan Negara DBP 1991, Puisi Baharu Melayu, Antologi Puisi Bintang Mengerdip,DBP, dan sumber lainnya. (Red.)

halaman 35


Thaurah Palestin

Saudaraku Rakyat Palestin Semangatmu lebih waja dari kereta kebal Israel Genggaman tanganmu lebih kuat dari bom Zionis Kau berikan cakrawala baru Thaurah Palestin Dengarkan di mana-mana suara menjawabnya Perjuangan berani yang tak terkalahkan Suara rakyat sejagat mengutuk penindasmu Lihat jutaan mata terbuka sudah Siapa tulang belakang menjulang kekejaman Yang membunuh anak-anakmu Saudaraku Rakyat Palestin Tiba-tiba airmata jadi bara Tiba-tiba anak-anak jadi dewasa Tiba-tiba bilik kuliah jadi api Senjata musuh sekadar dapat mematikan Tetapi tidak berhasil membunuh semangat kepahlawanan Penjara musuh sekadar memagari insan Tetapi tidak dapat menahan gema menjerit keberanian Yang dijawab oleh jutaan suara kebenaran Semuanya dengan satu slogan Mara Palestin Thaurah Palestin

halaman 36


Melayu

Melayu itu orang yang bijaksana Nakalnya bersulam jenaka Budi bahasanya tidak terkira Kurang ajarnya tetap santun Jika menipu pun masih bersopan Bila mengampu bijak beralas tangan. Melayu itu berani jika bersalah Kecut takut kerana benar, Janji simpan di perut Selalu pecah di mulut, Biar mati adat Jangan mati anak. Melayu di tanah Semenanjung luas maknanya: Jawa itu Melayu, Bugis itu Melayu Banjar juga disebut Melayu, Minangkabau memang Melayu, Keturunan Acheh adalah Melayu, Jakun dan Sakai asli Melayu, Arab dan Pakistani, semua Melayu Mamak dan Malbari serap ke Melayu Malah mua’alaf bertakrif Melayu (Setelah disunat anunya itu)

halaman 37


Dalam sejarahnya Melayu itu pengembara lautan Melorongkan jalur sejarah zaman Begitu luas daerah sempadan Sayangnya kini segala kehilangan Melayu itu kaya falsafahnya Kias kata bidal pusaka Akar budi bersulamkan daya Gedung akal laut bicara Malangnya Melayu itu kuat bersorak Terlalu ghairah pesta temasya Sedangkan kampung telah tergadai Sawah sejalur tinggal sejengkal tanah sebidang mudah terjual

halaman 38


Meski telah memiliki telaga Tangan masih memegang tali Sedang orang mencapai timba. Berbuahlah pisang tiga kali Melayu itu masih bermimpi Walaupun sudah mengenal universiti Masih berdagang di rumah sendiri. Berkelahi cara Melayu Menikam dengan pantun Menyanggah dengan senyum Marahnya dengan diam Merendah bukan menyembah Meninggi bukan melonjak. Watak Melayu menolak permusuhan Setia dan sabar tiada sempadan Tapi jika marah tak nampak telinga Musuh dicari ke lubang cacing Tak dapat tanduk telinga dijinjing Maruah dan agama dihina jangan Hebat amuknya tak kenal lawan

halaman 39


Berdamai cara Melayu indah sekali Silaturrahim hati yang murni Maaf diungkap senantiasa bersahut Tangan diulur sentiasa bersambut Luka pun tidak lagi berparut Baiknya hati Melayu itu tak terbandingkan Selagi yang ada sanggup diberikan Sehingga tercipta sebuah kiasan: “Dagang lalu nasi ditanakkan Suami pulang lapar tak makan Kera di hutan disusu-susukan Anak di pangkuan mati kebuluran�

halaman 40


Bagaimanakah Melayu abad dua puluh satu Masihkan tunduk tersipu-sipu? Jangan takut melanggar pantang Jika pantang menghalang kemajuan; Jangan segan menentang larangan Jika yakin kepada kebenaran; Jangan malu mengucapkan keyakinan Jika percaya kepada keadilan. Jadilah bangsa yang bijaksana Memegang tali memegang timba Memiliki ekonomi mencipta budaya Menjadi tuan di negara Merdeka

halaman 41


Prosa Air Mata

Bahawasanya air mata tiadalah ia memilih tempat untuk jatuh‌ tidak pula memilih waktu untuk menitis‌ Air mata adalah kepunyaan bersyarikat‌ dipunyai oleh orang-orang melarat yang tinggal di dangau-dangau yang buruk oleh tukang sabit yang masuk ke padang yang luas dan ke tebing yang curam, dan juga oleh penghuni-penghuni gedung-gedung yang permai dan istana-istana yang indah. Bahkan di situ lebih banyak orang menelan ratap dan memulas tangis. Luka di jiwa yang mereka hidapkan, dilingkung oleh tembok dinding yang tebal dan tinggi, sehingga yang kelihatan oleh orang luar atau yang mereka ketahui hanya senyuman saja, padahal senyum itu penuh dengan kepahitan

halaman 42


Uda dan Dara

Uda dan dara Bersumpah keramat cinta Wajah seri terukir Berbiduk hilir kasih Uda dan dara Bersanding tak berpelamin Tempat yang berwali Di laut malam saksi Daraku nantikan abang Emas ringgit membakar kita Uda hamba tunggu angin lalu Uda dan dara Bersanding di pusara Nisan yang bersabda Keramat kisah cinta “Berat kupikul sakit kutanggung, ibu, tetapi Dara hanyalah satu tak dapat ditukar ganti, tak dapat dijual beli. Jika begini penanggunganku kerana Dara, maka relalah hamba menerimanya.�

halaman 43


Salam Benua

I MEREKA memisahkan kita pasport visa wilayah segala tempoh nama mereka merompak kita dengan undang-undangnya peluru dikirimkan dalam bungkusan dollarnya kita dipaksa memilih salah satu dan kita mesti memilihnya tiada jalan lain

II Telah saudara pilih senapang dan peluru banyak pemimpin memilih dollarnya untuk ini saudara membasahi baju rumput-merah sungai-merah tangis anak-anak darah rakyat tertindas

halaman 44


III Saudara memerah kaktus melumat batu menjadikannya minuman makanan gadis-gadis bekerja debu pasir dandanannya anak-anak kecil menyandang senapang saudara menghitamkan langit menyelubungi saluran minyak setengahnya menyanyi di penjara untuk pembebasan Palestin

halaman 45


IV Kami bertatih di sawah semakin kering petani-petani mulai menebang hutan dara permulaan kecil pada ketenangan segumpul awam ketenangan yang di belakangnya memangkas kami yang sedikit ini sedang belajar dari tiap pengalaman saudara dan pengalaman sendiri kami memampatkan gerhana bulan mei pada tujuan tempat nusantara ini

V Salam tanpa visa pasport golf warna kemanusiaan rakyat seluruh benua

halaman 46


Korban Tanah Air

Biar dia telah pergi Atau gugur ke persada ibu Yang‌takkan kembali Meninggalkan bakti dan jasa Dia hanya seorang mata-mata Atau perajurit yang berbakti Meninggal bingkisan jasa Pada bangsa dan ibu pertiwi Dia gugur di medan perjuangan Di tengah-tengah hutan belantara Atas kuburnya ditabur kembangan Disiram dengan air mata Kekasih yang menuggu dia Putus cinta‌bisikan jiwa

halaman 47


Dunia yang Senyum (Surat Buat Khrushchev dan Eisenhower dalam Pertemuan)

Siapa pun juga kita, merah atau apa warna, Dan di mana juga berada, mengenal bahagia neraka. Tuan bisa mengeti kerana dunia kepunyaan bersama. Di antara kita dan dunia yang mesti hidup, Ada dua manusia dalam satu denyut, Kuasa yang besar padanya segala terpaut. Keliling kita udara pecahan atom, Kilang-kilang kawah api bukan untuk senyum; Ke mana berlindung bila muntah suaranya meraung? O dengarlah harapan yang banyak ditumpahkan, Suara cinta-damai tebang bersayap membumbung. Jadikanlah senapang itu kecapi dan gitar Petiklah, bukan candit bedit yang pelurunya bergegar. Gantilah bom-bom itu dengan bola mainan anak-anak, Panggillah pemuda dan gadis-gadis menari Di tangan mereka bunga-bunga warna-warni Dunia yang senyum bakal kita miliki.

halaman 48


Pak Utih

I Punya satu isteri mau dakap sampai mati, Lima anak mau makan setiap hari, Teratak tua digayuti cerita pusaka, Sebidang tanah tandus untuk huma. Kulit tangan tegang berbelulang, Biasa keluarkan peluh berapa saja, O Pak Utih, petani yang berjasa. Tapi malaria senang menjenguk mereka, Meski dalam sembahyang doa berjuta, Dan Mak Utih bisa panggil dukun kampung, Lalu jampi matera serapah berulang-ulang. Betapa Pak Dukun dan bekalan pulang, Wang dan ayam dara diikat bersilang.

halaman 49


II Di kota pemimpin berteriak-teriak, Pilihanraya dan kemerdekaan rakyat, Seribu kemakmuran dalam negara berdaulat, Jambatan mas kemakmuran sampai ke akhirat. Ketika kemenangan bersinar gemilang, Pemimpin atas mobil maju ke depan, dadanya terbuka, Ah, rakyat tercinta melambaikan tangan mereka. Di mana-mana jamuan dan pesta makan, Ayam panggang yang enak di depan, Datang dari desa yang dijanjikan kemakmuran. Pak Utih masih menanti dengan doa, Bapak-bapak pergi ke mana di mobil besar?

halaman 50


Mahkota Cinta

Ladang kita air mengalir di segala liku tanaman subur menghijau dan rumput-rumput baldu ia datang matanya bintang suaranya lagu membawa khabar mesra salam dari ibu Kucintai tanah ini kerana kami di sini rumah kecil tapi telah didirikan oleh lelaki teguh dan keramat seperti gunung besi ladang tercinta, kubenam hati di sini Tumbuh segala kasih berbuah berbunga ladang comel sekarang milik kita bersama akan lahir manusia baru sudah bernama setia, putera kasih mewarisi mahkota cinta!

halaman 51


Tokoh

Sitor Situmorang (Pergi Dengan Mewariskan Karya Sastera Kepada Dunia)

Int

Sesuai rencana, Logo mengatakan Sitor dikebumikan di pemakaman keluarga di Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, pada 1 Januari 2015. “Makam Bapak akan berada di antara kakek, nenek, dan

enyair Sitor enya Situmor Situmorang, 91 tahun, meninggal, Ahad, 21 Desember 2014, di Belanda. S a s t r a w a n angkatan 1945 itu mengembuskan napas terakhirnya karena usianya yang sudah lanjut. Pihak merundingkan pesan Sitor yang ingin dimakamkan di tanah kelahirannya, Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Pesan itu dituangkan Sitor dalam sajak berjudul Tatanan Pesan Bunda. Dalam sajak itu, Sitor ingin dikuburkan di samping ibunya di Danau Toba. Anak penyair angkatan 45 Sitor Situmorang, Logo Situmorang, mengatakan jenazah ayahnya tiba hari Senin, 29 Desember 2014, pukul 18.25 WIB, di Bandara SoekarnoHatta. Jenazah, kata Logo, naik maskapai penerbangan Belanda, KLM. “Yang ikut menjemput Abang saya,” tambah Logo.

halaman 52

keluarga kami.” Walau acara pemakaman berlangsung sederhana dan tepat pada Tahun Baru 2015, jenazah tokoh sastrawan dan pemerhati budaya Batak itu disambut Bupati Samosir Ir Mangindar Simbolon, Wakil Bupati Drs Rapidin Simbolon, Kajari Pangururan Eduward Malau SH, Ketua DPRD Samosir Risma Simarmata dan pejabat lainya serta sejumlah perantau asal Samosir. Acara pemakaman berlangsung 1 Januari 2015 sekira pukul 17.15 WIB, yang diawali dengan pembacaan puisi dan sajak ciptaan Alm Sitor Situmorang.


Madison sebagai wakil dari pihak keluarga tidak lupa menyampaikan terimakasih kepada pemerintah dan seluruh sahabat maupun kerabat Almarhum yang memberikan tenaga dan pikiran pada acara penyambutan jenazah Almarhum Sitor Situmorang hingga bisa sampai di Bona Pasogit, katanya.

Bukunya yang sudah terbit: Pertempuran dan Salju di Paris (1956) kumpulan cerita pendek; mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN untuk prosa yang terbit tahun 19551956. Peta Perjalanan (1976) kumpulan sajak; mendapat Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta tahun 1978 untuk buku puisi yang terbit tahun 1976-1977.

Sitor salah satu tokoh yang berpengaruh terhadap dunia sastra di Indonesia. “Dia satusatunya sastrawan angktan 45 yang ketika usia 85 tahun masih produktif menulis,�. Selain produktif, kualitas sajaknya pun patut diacungi jempol.

Sitor menulis puisi, cerita pendek, esei, lakon dan menerjemahkan beberapa karya sastra asing. Dia pun menulis puisi dalam bahasa asing.

Beberapa karya Sitor kemudian mendapat penghargaan di antaranya, Pertempuran dan Salju di Paris (1956) mendapat Hadiah Sastra Nasional 1955 dan kumpulan sajak Peta Perjalanan meraih Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta 1976. Sitor membuat karya di dalam penjara. Lahir 21 Oktober 1924 di Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Pendidikannya: HIS di Balige dan Sibolga, MULO di Tarutung, dan AMS di Jakarta. Ia memperdalam studi sinematografi di Los Angeles, California, Amerika Serikat (1956-1957). Bermukim di Singapura (1942), Amsterdam (1950-1951), Paris (1952-1953). Sejak 1984 dia tinggal di Leiden dan Den Haag, Belanda.

Bukunya yang lain: Surat Kertas Hijau (1954), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1956), Zaman Baru (1962), Dinding Waktu (1976), Angin Danau (1982), Jalan Mutiara (1954), Pangeran (1963), Sastra Revolusioner (1965), Sitor Situmorang Seorang Sastrawan ’45 Penyair Danau Toba (1982), Danau Toba (1982), dan Pertempuran dan Salju di Paris (1956). Di bawah ini kami muatkan beberapa karya puisi Sitor Situmorang yang kami anggap sebagai karya ciptaan dari seseorang yang selain, produktif, kualitas sajaknya pun patut diacungi jempol, dengan imajinasi puisi (poetry image) yang kuat dan bernilai tinggi.*** (red. dari berbagai sumber)

Pada masa kemerdekaan Indonesia, dia menjadi wartawan Suara Nasional (1945), Waspada (1947), Berita Nasional, dan Warta Dunia. Dia pun pernah menjadi pegawai Jawatan Kebudayaan Departermen P&K, dosen Akademi Teater Nasional Indonesia, ketua Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia (1959-1965), anggota Dewan Nasional, anggota Dewan Perancang Nasonal, anggota MPRS, dan anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan Departermen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (1961-1962). halaman 53


Sajak-sajak

Sitor Situmorang

Matahari Minggu

Di hari Minggu di hari iseng Di silau matahari jalan berliku Kawan habis tujuan di tepi kota Di hari Minggu di hari iseng Bersandar pada dinding kota Kawan terima kebuntuan batas Di hari panas tak berwarna Seluruh damba dibawa jalan Di hari Minggu di hari iseng Bila pertemuan menambah damba Melingkar di jantung kota Ia merebah pada diri dan kepadatan hari Tidak menolak tidak terima

halaman 54


Kebun Binatang

Kembang, boneka dan kehidupan Kembang, boneka dan kerinduan Si adik ini ingin teman Si anak ini punya ketakutan Hari-hari kemarin Punya keinginan Berumah ufuk, ombak menggulung Hari-hari kandungan Tolak keisengan Ramai-ramai di kebun binatang Kembang, boneka dan kehidupan Kembang dan kerinduan Si adik ini ingin teman Boneka ini punya kesayuan Hari-hari datang Hari kembang di kebun binatang Hari bersenang Pecah dalam balonan Kembang, boneka dan kehidupan Kembang dan kerinduan Si adik ini ingin teman Boneka ini punya kesayuan

halaman 55


Dia dan Aku

Akankah kita bercinta dalam kealpaan semesta? Bukankah udara penuh hampa ingin harga? Mari, Dik, dekatkan hatimu pada api ini Tapi jangan sam\Bukankah dada hamparkan warna Di pelaminan musim silih berganti Padamu jua kelupaan dan janji Akan kepermainan rahasia Permainan cumbu-dendam silih berganti Kemasygulan tangkap dan lari

halaman 56


Lereng Merapi

Kutahu sudah, sebelum pergi dari sini Aku akan rindu balik pada semua ini Sunyi yang kutakuti sekarang Rona lereng gunung menguap Pada cerita cemara berdesir Sedu cinta penyair Rindu pada elusan mimpi Pencipta candi Prambanan Mengalun kemari dari dataran‌. Dan sekarang aku mengerti Juga di sunyi gunung Jauh dari ombak menggulung Dalam hati manusia sendiri Ombak lautan rindu Semakin nyaring menderu‌.

halaman 57


Perhitungan buat Rivai Apin

Sudah lama tidak ada puncak dan lembah Masa lempang diam menyerah dan kau tahu di ujung kuburan menunggu kesepian Aku belum juga rela berkemas Manusia, mengapa malam bisa tiba-tiba menekan dada? Sedang rohnya masih mengembara di lorong-lorong Keyakinan dulu manusia bisa hidup dan dicintai habis-habisan Belum tahu setinggi untung bila bisa menggali kuburan sendiri Rebutlah dunia sendiri dan pisahkan segala yamg melekat lemah Kita akan membubung ke langit menjadi bintang jernih sonder debu

halaman 58


Detik kata jadikan abad-abad Abad-abad kita hidupi dalam sekilas bintang Sesudah itu malam, biarlah malam Bila hidup menolak Ia kita tinggalkan seperti anak yang terpaksa puas dengan boneka Mereka akan menari dan menyanyi terus Tapi tak ada lagi kita Sedang mereka rindu pada cinta garang Mereka akan menari dan menyanyi terus Tentang abad dan detik yang ‘lah terbenam Bersama kita, tarian perawan janda ‌

halaman 59


Duka kepada Chairil Anwar

manakah lebih sedih? nenek terhuyung tersenyum jelma sepi abadi takkan bertukar rupa atau petualang muda sendiri? gapaian rindu tersia-sia tak sanggup hidup rukun antara anak minta ditayang sekali akan tiba juga takkan ada gerbang membuka hanya jalan merentang sungguh sayang cinta sia-sia manakah lebih sedih? nenek terhuyung tersenyum atau petualang mati muda mengumur duka telah dinujum

halaman 60


Kaliurang Tengah Hari

Kembali kita berhadapan Dalam relung sepi ini Dari seberang lembah mati Bibirmu berkata lagi Napasmu mengelus jiwaku Tersingkap kabut dataran Dan kutahu di tepi selatan Laut ‘manggil aku berlayar dari sini Tunggulah, aku akan datang Biar kelam datang kembali Dengan angin malam aku bertolak Ke negeri, kabut tidak mengabur pandang Mati, berarti kita bersatu lagi (1948)

halaman 61


Surat Kertas Hijau

Segala kedaraannya tersaji hijau muda Melayang di lembaran surat musim bunga Berita dari jauh Sebelum kapal angkat sauh Segala kemontokan menonjol di kata-kata Menepis dalam kelakar sonder dusta Harum anak dara Mengimbau dari seberang benua Mari, Dik, tak lama hidup ini Semusim dan semusim lagi Burung pun berpulangan Mari, Dik, kekal bisa semua ini Peluk goreskan di tempat ini Sebelum kapal dirapatkan (1953)

halaman 62


Paris-Janvier kepada clochard* Di udara dingin mengaum sejarah Bening seperti es membatu di hati Ada taman menari di siang hari Yang luput dari tangkapan malam rebah Di dasar sungai mengendap malam baru Mengiang di telinga pekik pemburu Antara senja dan malam Merentang luka yang dalam Inilah Paris, kota penyair Gua segala yang terusir Laut lupakan sesah Dalam dekapan satu wajah Terbawa dari segala mata angin Berdiang pada cinta, terlalu ingin Kelupaan sebuah kota Di mana duka berwujud manusia Dan bahagia pada manusia tak punya (1953) *clochard (bahasa Perancis), gelandangan (Indonesia)

halaman 63


Amoy-Aimee

Dukacita

Terbakar lumat-lumat Menggapai juga lidah ingin Api di pediangan Terkapar sonder surat Mati juga malam dingin Lahirnya hari keisengan

Pimpinan dan Karyawan

Mari, cabikkan malam Amoy Jika terlalu ingin malam ini Besok ada mentari sonder hati Belum apa-apa hampa begini Jauh dalam terowongan nadi Berperang bumi dan sepi

Menyampaikan kabar dukacita atas meninggalnya :

Sitor Situmorang Penyair ( 21 Oktober 1924 - 21 Desember 2014 ) dalam usia 91 tahun.

halaman 64


halaman lxv


halaman lxvi


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.