Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)
Diksi Perubahan Kata, Dari Masa ke Masa Esei: Menyimak, Suara, Sagang oleh Hasan Junus
Kompleksitas Puisi dan Puisi Kompleks oleh Bambang Widiatmoko
Maling oleh Nabila Shasha, Malam di Terminal oleh Bayhaki Socanadian Cerita-Pendek: Sajak: Bagus
Burham
Senirupa: Memaknai
Karya Ahmad Sadali
dalam Konteks Modernitas dan Spiritualitas Islam dengan Pendekatan Hermeneu!k Tokoh: Gabriela
Mistral
(Simbol Aspirasi Idealis!k Dunia Amerika La!n) Suluh:
Syams al-Din Sumatrani (SuďŹ dari Pasai)
197 FEBRUARI 2015
www.majalahsagang.com halaman KULITi
halaman KULI KULITii LITi LI Tii Ti
Daftar Isi Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 197 lFEBRUARI 2015l tahun XVII
Gabriela Mistral penyair pertama Amerika Latin Penerima Hadiah Nobel Sastra. lahir di Vicuna, Chili 1889 - 1957. Int
n Tajuk Diksi Perubahan Kata, Dari Masa ke Masa ..................................2 n Esei - Menyimak, Suara, Sagang oleh Hasan Junus ..................................4 - Kompleksitas Puisi dan Puisi Kompleks oleh Bambang Widiatmoko ..................7 n Cerita-Pendek Maling oleh Nabila Shasha .................18 n Sajak - Marzuli Ridwan Al-Bantany................ 26 - Bagus Burham .................................... 30 n Senirupa Memaknai Karya Ahmad Sadali dalam Konteks Modernitas dan ............... Spiritualitas Islam dengan Pendekatan Hermeneutik .................... 38 n Tokoh Gabriela Mistral (Simbol Aspirasi Idealistik Dunia Amerika Latin) ........... 41 n Suluh Syams al-Din Sumatrani (Sufi dari Pasai) .................................... 48 n Obituari - Yusman Yahya .....................................62 - Yan Antoni ...........................................63
Perintis: Rida K Liamsi l Pemimpin Umum: Armawi KH l Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto l Pemimpin Perusahaan: Dra. Erda Yulfi l Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks l Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad l Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH l Pra cetak: Rudi Yulisman l Ilustrator Tetap: Purwanto l Manager Keuangan: Erda Yulfi. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan arus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.
halaman 1
Tajuk
Diksi Perubahan Kata, Dari Masa ke Masa
EAND EANDAINYA Sumpah Pemuda pada tahun 1928 itu terjadi pada masa tahu sekarang (misalnya tahun 2015), sekara maka tulisan Sumpah Pemuda itu oleh anakanak muda sekarang barangkali seperti di bawah ini: Smph PMd
dibantu oleh Engku Nawawi gelar Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Adapun hal-hal yang menonjol dalam ejaan van Ophujsen itu adalah: a.
Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang.
b.
Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer.
c.
Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan katakata ma’moer, ‘akal, ta’, pa’, dinamai’.
prtm : kaM ptR n ptr 1ndn5 mn6k3 BRt0mP4H dRh jN6 5t03, t4nh Ar 1ndn5 KD0 : km P0tr4 n p03tr1 1ndon35, mN64k brBngs jng sT, Bn65 1nDn3514 kT6 : KAM Ptr n p3tr 1ndNs M3n6j3nj0En6 bH54 pr5tn, BH45 1Ndn3514
Maka ditulislah teks Soempah Pemoeda (Sumpah Pemuda) pada Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia tahun 1928 itu seperti: SOEMPAH PEMOEDA
Loeh guweh satu bangsa gitu deh! Loeh guweh satu bahasa… yah bahasa gawull gtooh! Loeh guweh satu tanah air, Endonesah ciiiiinnn… Sumpeeeeee loeeeee! Padahal, teks aslinya pada masa tahun 1928 itu ditulis dengan huruf Latin ejaan van Ophuijsen dari ejaan bahasa Melayu, yang
halaman 2
Pertama KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA Kedoea KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA Ketiga KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENJOENGJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Kemudian, pada tanggal 19 Maret 1947, ejaan Soewandi diresmikan menggantikan ejaan van Ophuijsen. Ejaan baru itu oleh masyarakat pada masa itu diberi julukan ejaan Republik. Beberapa penggantian huruf dalam penulisan kata pada ejaan Soewandi ini adalah: a.
Huruf oe diganti dengan u, seperti pada guru, itu, umur.
b.
Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakjat.
c.
Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti anak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
d. Awalan di- dan kata depan di keduaduanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang. Maka teks Soempah Pemoeda itu dalam ejaan Soewandi seperti: SUMPAH PEMUDA Pertama KAMI PUTRA DAN PUTERI INDONESIA MENGAKU BERTUMPAH DARAH YANG SATU, TANAH INDONESIA Kedua KAMI PUTRA DAN PUTRI INDONESIA MENGAKU BERBANGSA YANG SATU, BANGSA INDONESIA Ketiga KAMI PUTRA DAN PUTRI INDONESIA MENJUNGJUNG BAHASA PERSATUAN, BAHASA INDONESIA Seterusnya, ejaan Soewandi berubah menjadi Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Pada tanggal 16 Agustus 1972
Presiden Republik Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Peresmian ejaan baru itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, sebagai patokan pemakaian ejaan itu. Karena penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Pada tahun 1987 kedua pedoman tersebut direvisi. Edisi revisi dikuatkan dengan surat Putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987. Selanjutnya, pada tahun 2020 ke atas, tulisan kata bahasa Indonesia Ejaan Bahasa yang Disempurnakan (EYD) ini mungkin akan berubah lagi, atau mungkin kembali kepada tulisan huruf Arab-Melayu seperti sediakala tulisan bahasa Melayu (bahasa Indonesia) ini bermula. Allahu A’lam Bishawab.
K
halaman 3
Esei
Menyimak, Suara, Sagang oleh Hasan Junus
Sulit untuk melupakan dan pasti takkan terlupakan sosok Hasan Junus, terutama kami dewan redaksi, yang merupakan bahagian dari keberlangsungan hidup majalah budaya Sagang. Dimana Hasan Junus (alm.) bertindak sebagai pimpinan redaksi yang selalu kaya dengan pikiran-pikiran dan gagasan pengembangan budaya atau sastra pada khususnya. Ujud dari upaya mengingat pikiran-pikiran Hasan tersebut (setelah kepergian beliau), pada setiap penerbitan majalah ini selalu kami upayakan untuk dapat di implementasikan menjadi kenyataan yang dituangkan pada majalah kita ini, walau Hasan tidak lagi bersama kami, bersama kita. Pada Sagang nomor ini, menjelang peringatan hari kepulangan Hasan Junus (30 Maret 2012) ke hadirat Illahi, kami muatkan salah satu tulisan beliau yang kami anggap relevan dengan semangat membangun pentas sastra dan budaya dalam minda kita masingmasing. (Pengantar Redaksi)
etika TIJ yaitu TauďŹ k Ikram Jamil dan Ion Io yakni MaďŹ rion pada bulan Oktober 1992 mengajak saya ikut Oktobe menyelenggarakan menyelenggarak media sastra tiga bulanan Menyimak yang nomor perdananya tercatat 28 Oktober 1992?29 Januari 1993 saya segera menjawab ya biarpun berhonorarium kecil.
halaman 4
Media terbit sampai delapan terbitan dengan nomor terakhir tercatat 28 Juli 1994?28 Oktober 1994. Setelah Menyimak berhenti terbit datanglah Al yaitu Al azhar dan El yakni Elmustian Rahman mengajak pula saya ikut menyelenggarakan media sastra Suara yang nomor perdananya terbit pada bulan
September 1998. Majalah sastra budaya ketiga yang saya selenggarakan ialah majalah bulanan Sagang yang pertama kali terbit pada bulan Oktober 1998. Sagang bertahan terbit lama sampai hampir memasuki tahun keduabelas (saat tulisan ini dibuat 2010, red). Besok lusa mungkin sekali saya bekerja menerbitkan majalah sastra dan atau budaya entah di negeri Liliput yang berpenduduk setinggi lutut tepatnya enam inchi atau ke negeri Brobdingnag yang berpenduduk raksasa sebagaimana yang tertera dalam hikayat Gulliver karya pengarang Irlandia, Jonathan Swift. Pengarang ini telah membuat teropong dibalik-balikkan untuk membuat dunia menjadi terbalik-balik; kaum Liliput yang kecil dan kaum raksasa dapat dibuat hanya dengan membalikbalik lensa. Sebelum itu saya sudah pun menyelenggarakan penerbitan sederhana (dengan cara stensilan dan kesederhanaan yang lain) bersama teman-teman seperti almarhum Sudirman Backry, Iskandar Leo (sekarang lebih dikenal sebagai Rida K Liamsi) dan almarhum Eddy Mawuntu. Setiap media sastra dan budaya yang membabit nama saya senantiasa memiliki karakteristik. Misalnya Menyimak yang hampir setiap nomor menghidangkan sajak, esei dan cerita-pendek asli dan terjemahan; Suara menggapai dan tiada membedakan karya sastra masa kini yang boleh disebut modern dan masa lampau dan boleh juga disebut tradisional; dan Sagang yang memberi tempat, luang dan ruang kepada para penulis pemula dan pelanjut. TIJ dan Zuarman Ahmad sudah berupaya maksimal. Al ada dalam Suara dan pernah punya luang dalam Sagang. El ada dalam Menyimak dan Suara. Dantje S Moeis ada di Menyimak dan Sagang, Yang paling mengejutkan bagi saya ialah ketika seorang teman mengatakan
bahwa di dunia ini hanya majalah kita-lah yang memakai kata-kerja sebagai nama medianya. Saya terpaksa berupaya keras mendapatkan beberapa majalah yang dapat mematahkan pendapat teman saya itu. Berkat ihsan teman-teman akhir saya berhasil mendapatkan dua majalah sastra, satu dari Perancis dan satu lagi dari Kanada berbahasa Perancis. Kedua majalah sastra itu namanya memakai kata-kerja yaitu majalah berbahasa Perancis terbitan Paris yaitu LIRE yang artinya ??mermbaca?? dan majalah dari Kanada yaitu Ecrire aujourd?jui yang berarti ??menulis hari ini??. Lebih terkejut lagi setelah saya mendapatkan buku JeanPaul Sastre Kata-kata (terjemahan Jean Couteau yang serentak saya dapatkan dari dua sumber yaitu Henri Chambert-Loir dan Al azhar). Mengapa terkejut? Karena Katakata Jean-Paul Sartre terdiri dari dua bagian yaitu Lire dan Ecrire yaitu ?membaca? dan ?menulis?. Sangat pula terkejut ketika saya bertemu dengan teks Sartre di bagian ?membaca? seperti ini: Aku seekor anjing: menguap, tetesan airmataku meleleh dan aku merasakannnya bergulir. Aku sebatang pohon, Angin terbentur pada rantingku hingga bergoyang-goyang. Aku seekor lalat, menabrak kaca, jatuh, lalu menabrak lagi. Kadang-kadang seperti dielus-elus oleh waktu yang tengah lewat, kadang-kadang ?dan lebih sering? kurasakan waktu tidak mau lewat. Menit-menit bergetar, lalu rontok, menghanyutkan daku, tak habishabis menghembuskan nafas, terlantar di sebuah pojok. Meski masih hidup, menit yang ini disapu, lalu digantikan menit-menit berikutnya, masih baru tapi tak kurang hampa dari sebelumnya. Kejijikan-kejijikan yang dinamai juga kebahagiaan. Dalam teks asli berbahasa Perancis tertulis seperti ini: Je suis un chien: je b?ille, les larmesroulent, je les
halaman 5
sens rouler. Je suis un atbre, lr vent s?accroche ? mes branches et les agite vaguement. Je suis une mouche, je grimpe le long d?une vitre, je d?gringole, je recommence ? grimper. Quelquefois, je sens la caressed u temps qui pase, d?autre fois ? le plus souvent ? je le sens qui ne pass? pas. De tremblentes minutes s?aalent, m?engloutissent et n?en ďŹ nissent pas d?agoniser, croupies mais encore vives, on les balaye, d?autres les remplacent, plus fra?ches, tout aussi vaines; ces d?go?ts s?appellent le bonheur; ma m?re une r?p?te que je suis le plus heureux des petits gar?ons. Jean-Paul Sartre mengatakan dirinya seekor anjing, sebatang pohon, seekor lalat, sama halnya dengan pengarang Rusia, Nicolas Gogol, yang menjumpai anjingnya pandai berkata-kata seperti dinyatakan di dalam cerita Le journal d?un fou yaitu ??Catatan Harian Seorang Gila?? diterjemahkan ke bahasa Perancis oleh Boris Schloezer sebagaimana dimuat dalam majalah sastra LIRE (Et? 1996, halaman 106?110). Dalam kesusastraan Jepang tersebutlah nama Natsume Soseki yang fotonya pernah menghiasi mata uang Jepang Yen karena penghormatan orang terhadap karya sastra yang dihasilkannya. Salah-satu karyanya yang sangat terkenal ialah novel yang berjudul Wagahai wa Neko de Aru yang artinya ??Aku ini Sekor Kucing??. Bagian pembuka karya ini lebih-kurang seperti berikut ini: Aku ini sekor kucing tapi sejauh ini aku tak mempunyai nama. Aku tak mempunyai kenangan yang kabur sedikitpun tentang tempat aku dilahirkan. Sesuatu yang kuingat dengan pasti ialah aku menangis ??ngeong, ngeong?? di suatu tempat yang lembab dan suram entah di mana. Di situlah aku bertemu dengan seorang manusia untuk pertama kalinya dalam hidupku. Semua itu baru kusadari satu hari kemudian aku tahu orang
halaman 6
itu dipanggil ?mahasiswa?? yaitu suatu jenis manusia yang paling ganas di antara nereka yang ganas-ganas. Aku pun tahu kadangkadang si mahasiswa itu menangkap, memasakkan dan kadang-kadang menyuapi kami kucing-kucing ini. Ketika si mahasiswa meletakkan daku di telapak tangannya dan mengangkat aku perlahan-lahan, terasa aku seperti melayang-layang. Susan Sontag dalam Pengantar terhadap buku karya pengarang Brazil terkemuka Macado de Assis yang terjemahan bahasa Inggerisnya Epitaph of a Small Winner menyatakan bahwa karya Natsume Soseki yang dalam terjemahan bahasa Inggris berjudul I Am a Cat tergolong dalam karya-karya sastra unggulan bersama dengan ďŹ ksi-ďŹ ksi singkat karya Robert Walser, karya-karya Italo Svevo terutama La Conscienza di Zeno karya tahun 1923, Bohumil Hrabal dengan roman yang kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia dapat menjadi Solitude Yang Teramat Nyaring. ***
K
Esei
Kompleksitas Puisi dan Puisi Kompleks oleh Bambang Widiatmoko1
/1/ Penyair Sapardi Djoko Damono (SDD), bulan Maret 2014 yang lalu genap berusia tujuh puluh empat tahun. Sangat sulit mencari penyair lain yang setia terhadap penulisan puisi sampai seusia selanjut itu. SDD telah membentuk dirinya layaknya sebuah kolam bagi penyair dan pecinta sastra lainnya. Dalam buku puisi Kolam (Editum, 2010), SDD) telah mengubah katakata ke dalam puisi menjadi teratai jiwa di “kolam� kata. Kita perlu menceburkan diri dalam dingin air kolam. Tidak lagi melihat puisi-puisi sekadar sebagai teratai. Di dalam kolam penuh lumpur kata-kata, tersembunyi mutiara yang memancarkan kemilau cahaya penuh makna. Buku puisi Kolam isinya dibagi atas buku satu, buku dua, dan buku tiga. Dilengkapi dengan hiasan cukilan kayu karya Jeihan. Buku puisi Kolam ini menandai perjalananan kreativitas kepenyairan yang panjang, yakni empat dasawarsa setelah kumpulan puisinya yang pertama Duka-Mu Abadi terbit (1969).
Penyair kelahiran Solo, 20 Maret 1940 ini sampai saat kini tetap produktif dalam berkarya. Kumpulan puisinya yang telah diterbitkan Duka-Mu Abadi (1969 dan 2002), Mata Pisau (1974, 1979, 1982), Akuarium (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan Bulan Juni (1994), Arloji (1998), Ayat-ayat Api (2000), Mata Jendela (2001), Ada Berita Apa Hari ini, Den Sastro? (2002), Mantra Orang Jawa (2005; puitisasi mantramantra tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia), dan Kolam (2009 dan 2010). SDD juga menulis cerita pendek dan sudah diterbitkan dalam kumpulan cerpen Pengarang Telah Mati (2001), Membunuh Orang Gila (2003), dan Pengarang Belum Mati (2010). Sebagai seorang pengajar sastra, SDD telah menulis dan menerbitkan buku antara lain Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1977), Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979), Sastra Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1982), Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999),
1
Bambang Widiatmoko, Penyair, Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI).
halaman 7
Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan (2003), Pegangan Penelitian Sastra Bandingan (2005), Drama Indonesia: Beberapa Catatan (2009), dan Alih Wahana (2012). /2/ Dalam buku puisi Kolam, SDD mengawalinya dengan puisi berjudul “Bayangkan Seandainya”://Bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin ini/bukan wajahmu tetapi burung yang terbang di langit yang/sedikit berawan, yang menaburnaburkan angin di sela bulu-/bulunya;// bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini/bukan wajahmu tetapi awan yang menyaksikan burung itu/menukik ke atas kota kita dan mengibas-ibaskan asap pabrik/dari bulu-bulunya;//bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini/ bukan wajahmu tetapi pohon rambutan di halaman rumahmu/yang menggoda burung itu untuk hinggap di lengannya;//bayangkan seandainya yang kaulihat di cermin pagi ini/ wajahmu sendiri yang itu-itu juga, yang tak kunjung habis/meski telah kaukupas dengan ganas selembar demi selembar/setiap hari// (hal. 3). Kita bisa menikmati kenakalan atas imajinasi SDD dalam puisi di atas dan turut membayangkan, seandainya cermin memantulkan bayangan tidak sesuai dengan sosok yang ada di hadapannya. Tiba-tiba di hadapan cermin yang muncul adalah “burung yang terbang di langit”. Cermin menjadi benda yang memunculkan imajinasi SDD dalam mengolah kata-kata dalam puisinya. Kata-kata yang tidak akan habis bagaikan “wajahmu sendiri yang itu-itu juga, yang tak kunjung habis/meski telah kaukupas dengan ganas selembar demi selembar/setiap hari.” Imajinasi SDD memang luar biasa dalam
halaman 8
membayangkan suatu peristiwa, meski peristiwa itu adalah peristiwa sehari-hari. Puisinya dibangun bukan melalui kerumitan makna atau keunikan bentuknya, namun karena menggunakan bahasa yang jernih, sederhana, dan bersahaja. Tidak salah jika puisi-puisi SDD disebut sebagai puisi imajis. Dalam pandangan Goenawan Mohamad (dalam Hoerip, 1982: 167), “Dalam sajak-sajak “imajis,” yang sering berupa puisi “suasana,” imaji muncul atau bermunculan bebas – mereka dibebaskan dari konsep, dari tertib yang diatur oleh rencana pikiran. Mereka tidak berperan sebagai lambang. Mereka itu “mandiri,” bagian yang hidup dari latar (set) yang memberi aksen pada suasana, bukan diambil dari alam benda dengan disengaja sebagai bahan perbandingan bagi suatu gagasan.” Di dalam sajak SDD imaji memang muncul bebas dan merdeka. Imaji bisa membuka topeng apa saja yang muncul di wajah seseorang. Imaji dengan bebas dapat berubah menjadi ganas dengan mengupas wajah selembar demi selembar. Sungguh luar biasa SDD memainkan imajinasi terhadap peristiwa yang biasa terjadi sehari-hari. SDD mengungkapkan pengalaman, perasaan dan pikirannya dengan pengunaan image atau imaji. Imaji adalah kata-kata yang penggunaannya menimbulkan asosiasiasosiasi khayal yang muncul di balik katakata tersebut. Dengan keleluasaan imajinasi segala peristiwa yang terjadi dengan mudah dimunculkan oleh SDD. Seperti dalam sajak “Waktu Ada Kecelakaan” di halaman 23: Ada kecelakaan kecil di depan gerbang kompleks, motor sama motor. Ada gerimis yang membasahi jalan,
kendaraan, dan orang-orang yang naik motor sendirian atau boncengan. Ada dua orang satpam yang tumben keluar dari gardunya membantu menyingkirkan motor ke pinggir. Ada burung yang mencicit di rimbunan daun pohon cengkeh, yang tidak pernah berbunga, yang berjajar di sepanjang pagar kompleks ini. Kamu lagi di mana? Ada beberapa pengendara motor lain yang berhenti dan bertanya ini itu lalu buru-buru pergi lagi. Kamu ngapain di situ? Ada suara penyiar yang membaca berita hangat di televisi yang nyala terus siang malam tanpa ada yang menonton di dalam gardu satpam. Ada aku. Peristiwa kecelakaan motor tentu bukan kejadian yang luar biasa dalam kehidupan sehari-hari. Begitu juga saat SDD melihat kecelakaan motordi depan gerbang kompleks. Namun bagi SDD, peristiwa itu tidak bisa dilewatkan begitu saja dalam kehidupannya sebagai seorang penyair. Diceritakanlah secara naratif peristiwa itu dalam puisinya yang sederhana dan mudah dipahami. Tapi tentu tidak sekadar peristiwa yang lewat begitu saja. Ada pesan moral yang dapat kita pertanyakan. “Ada beberapa pengendara motor lain yang berhenti dan bertanya ini itu lalu buru-buru pergi lagi.” Tidakkah kita selalu melihat menipisnya empati orang terhadap orang lain? Kecelakaan yang dialami seseorang boleh jadi kini menjadi
tontonan menarik bagi orang lain. Sikap tak peduli diperlihatkan SDD seperti “Ada suara penyiar yang membaca berita hangat di televisi yang nyala terus siang/malam tanpa ada yang menonton di dalam gardu satpam.” Tentu ada sosok lain yang tetap peduli. “Ada aku” dalam baris terakhir puisi itu yang menjadi aku liris dan kata kunci. Kesederhanaan menangkap momen puitik tidak perlu jauh-jauh dilakukan SDD. Di sekitar rumahnya pun bertebaran objekobjek yang bisa diangkat menjadi puisi. Seperti dalam sajak “Pohon Belimbing” di halaman 5: Sore ini kita berpapasan dengan pohon belimbing wuluh yang kita tanam di halaman rumah kita beberapa tahun yang lalu, ia sedang berjalanjalan sendirian di trotoar. Jangan kausapa, nanti ia bangun dari tidurnya Kau pernah bilang ia tidak begitu nyaman sebenarnya di pekarangan kita yang tak terurus dengan baik, juga karena konon ia tidak disukai rumput di sekitarnya yang bosan menerima buahnya berjatuhan dan membusuk karena kau jarang memetiknya. Kau, kan, yang tak suka sayur asem? Aku paham, cinta kita telah kausayur selama ini tanpa belimbing wuluh; Demi kamu, tau! Yang tak bisa kupahami adalah kenapa kau melarangku, menyapa pohon itu ketika ia berpapasan dengan kita di jalan. Yang
halaman 9
tak akan mungkin bisa kupahami adalah kenapa kau tega membiarkan pohon belimbing wuluh itu berjalan dalam tidur?
bersabda, “Hari baru lagi!”; Ia senantiasa berkeliling merawat segenap ciptaan-Nya dengan sangat cermat dan hati-hati tanpa memperhitungkan hari.
Kau, kan, yang pernah bilang bahwa pohon itu akan jadi
Ia, seperti yang pernah kaukatakan, tidak seperti kita
tua juga akhirnya?
sama sekali.
Inilah yang menyebabkan SDD dijuluki penyair imajis. Bayangkan “pohon blimbing wuluh sedang berjalan sendirian di trotoar.” Juga “kenapa kau tega membiarkan pohon belimbing wuluh itu berjalan dalam tidur?” Sesuatu objek yang nyata namun di tangan SDD menjadi imaji yang luar biasa. Jika kita berkunjung di kediaman SDD saya yakin dapat menemukan pohon blimbing wuluh benar-benar tumbuh di halaman rumahnya. Tentunya kelebatan buah blimbing wuluh pun terkadang dapat menjengkelkan, terlebih lagi jika jarang dipetik untuk dijadikan pelezat sayur asem. Buah blimbing wuluh akan membusuk dan menyebabkan halaman menjadi kotor. Pohon yang kemudian merefleksikan kehidupan, bahwa sejatinya tidak hanya pohon itu yang “akan jadi tua pada akhirnya.” Jika kita mau bercermin dari kehidupan pohon blimbing wuluh, tentunya kita akan menghindari perbuatan yang menjengkelkan terhadap orang di sekelilingnya. Bagaimanapun, kita juga “akan menjadi tua pada akhirnya.” Pohon blimbing wuluh pada akhirnya membawa imaji kita mengembara untuk memaknai kehidupan. Seperti juga jika kita baca sajak “Tentang Tuhan” di halaman 33: Pada pagi hari Tuhan tidak pernah seperti terkejut dan
halaman 10
Tuhan merawat segala yang kita kenal dan juga yang tidak kita kenal dan juga yang tidak akan pernah bisa kita kenal. Setidaknya kita harus merawat, termasuk merawat buah pohon blimbing wuluh “di pekarangan kita yang tak terurus dengan baik.” Sebagaimana SDD sadar menuliskan puisinya tentang Tuhan: “Ia senantiasa berkeliling merawat segenap ciptaan-Nya dengan sangat cermat dan hati-hati tanpa memperhitungkan hari.” SDD juga sadar akan keterbatasannya sebagai manusia, bahwa Ia (Tuhan) “tidak seperti kita sama sekali.” Jika kita kaitkan puisi berjudul Pohon Belimbing dengan sajak Tentang Tuhan, kita bisa menarik benang merah, ada makna kata “merawat” yang dapat ditafsirkan panjang lebar. Keterbatasan manusia untuk dapat merawat sesuatu yang dipunya, termasuk tentang cinta yang menjadi hambar karena tidak dirawat, bagaikan “cinta kita telah kausayur selama ini tanpa belimbing wuluh.” Di sinilah sekadar contoh kompleksitas dalam puisi-puisi SDD. Kehidupan percintaan yang menjadi hambar untuk beralih pada kehidupan yang terasa lebih segar dan sedap bagaikan sayur asem dengan blimbing wuluh. Lantas kita
bandingkan pula dengan kebesaran Tuhan dalam sajak SDD, bahwa “Tuhan merawat segala yang kita kenal dan juga yang tidak kita kenal dan juga yang tidak akan pernah bisa kita kenal.” Imaji tentang pohon blimbing pun dapat membawa kita untuk lebih mendekatnya diri kepada-Nya melalui sajak SDD Tentang Tuhan. Sungguh luar biasa. Sebaliknya, bisa jadi hal itu membawa kembali kepada kehidupan asal mula, seperti tertulis dalam sajak berjudul “Ketika Kita Membuka Lembaran Kertas Ini” di halaman 35://Ketika kita membuka buku ini apakah lembaran-/lembaran kertas ini bertanya untuk apa?/Ketika kita berjalan-jalan sore hari apakah trotoar/bertanya mau ke mana?/ Ketika kita diam dan tidak berbuat apa pun apakah hati/kita suka bertanya kenapa?// Sesungguhnya, SDD dengan sigap menangkap moment puitik yang tidak perlu jauh-jauh dicari karena telah ada di sekitar kehidupannya yang nyata. Sebagaimana SDD menuliskan sajaknya tentang Pohon Belimbing, tentang Waktu Ada Kecelakaan, SDD terus belajar memahami lingkungannya, seperti tampak dalam sajaknya “Sudah Lama Aku Belajar” di halaman 101: /1/ Sudah lama aku belajar memahami apa pun yang terdengar di sekitarku sudah lama belajar menghayati apa pun yang terlihat di sekelilingku, sudah lama belajar menerima apa pun yang kauberikan tanpa pernah bertanya apa ini apa itu, sudah sangat lama belajar mengagumi matahari ketika tenggelam di tepi danau
belakang rumahku, sudah sangat lama belajar bertanya kepada diri sendiri mengapa kau selalu memandangku begitu. /2/ Ia menyaksikanmu memutar kunci pintu rumahmu, masuk, dan menutupnya kembali. /3/ Kalau pada suatu hari nanti kau mengetuk pintu tak tahu apa aku masih sempat mendengarnya. SDD “sudah sangat lama belajar memahami.” Pemahaman pembelajaran terhadap kehidupan, alam, dan suasana yang ada di sekitarnya. Lickonal (2004: 3) mengungkapkan, “Hati-hati dengan pikiran Anda karena dari pikiran akan berubah menjadi kata-kata, hati-hati dengan kata-kata karena dari kata-kata akan berubah menjadi perbuatan, hati-hati dengan perbuatan karena dari perbuatan akan berubah menjadi kebiasaan, hatihati dengan kebiasaan karena kebiasaan akan berubah menjadi karakter, dan hatihati dengan karakter karena karakter akan menjadi takdir Anda.” SDD tampaknya telah menerima segala sesuatunya sebagai sebuah takdir. “Apa pun yang terlihat di sekelilingku,/sudah lama belajar menerima/apa pun yang kauberikan/ tanpa pernah bertanya apa ini apa itu//. SDD pun menerima kehidupannya sebagai seorang penyair dan agaknya telah menjadi takdir melalui perjalanan kepenyairannya
halaman 11
yang begitu sangat panjang. Hidup penyair! Di dalam kesusastraan Indonesia, tidak banyak penyair Indonesia yang menulis puisi dalam bentuk atau pola Soneta. SDD tampak benar menyukai bentuk penulisan ini. Dalam isi/bagian buku dua terdapat 15 judul puisi Sonet, yakni Sonet 1 sampai Sonet 15. Bentuk Sonet dapat dilihat dari pola pelarikannya, yakni berpola//4 larik/-/4 larik/-4larik/-2 larik//. Dalam Sonet SDD pun mampu merekam berbagai peristiwa. Di antaranya sebagai penyair SDD tentu tidak dapat melepaskan dari perasaan gelisah. Kita baca “Sonet 3” di halaman 55: Jangan lupa kirim pesan kalau kau tiba dengan selamat di bandara. Tentu. Kudengar getar dari kota nun di sana terpisah oleh jalan-jalan berdebu. dan langit yang bagai rasa cemas Kata melenting di dinding-dinding kabin, tak berhak lepas dari kaca jendela yang tak lagi bening. Awan yang di bawah bergumpal melata tampaknya tak siap lagi menjadi lambang cinta kita, “Apakah ia akan tetap ada sehabis hujan?” Pesawat mendadak goyang ketika kubayangkan matanya mendesah jangan lupa, di sini ada yang gelisah. Perasaan gelisah ingin segera mendengar kabar dari seseorang yang dicintai dan
halaman 12
tengah melakukan perjalanan dengan pesawat terbang, tentu merupakan hal yang biasa dialami seseorang. Bagi SDD peristiwa itu menjadikan rasa cemas yang mendalam seperti “langit yang bagai rasa cemas,” sehingga muncul perasaan “awan yang di bawah bergumpal melata tampaknya tak siap lagi menjadi lambang cinta kita.” SDD pun menutup sonet-nya dengan “jangan lupa, di sini ada yang gelisah.” Di sinilah kelebihan SDD selalu memunculkan kata-kata yang tidak sulit sehingga mudah dipahami. Di tangan SDD kata pun berubah menjadi penuh imaji “kata melenting di dinding-dinding/kabin, tak berhak lepas/ dari kaca jendela yang tak lagi bening.” Di dalam kandungan puisi SDD, segala yang ada bisa berada di dalam anganangan (imajination), bisa berada di dalam kemungkinan (possibility), dan bisa berada di dalam kenyaatan konkret (concrete fact). Berkaitan dengan imaji dalam sajaksajaknya, Damono (l983: 66) mengakui, “Kata-kata adalah segala-galanya dalam puisi. Kata-kata tidak sekadar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan ide penyair, seperti peran kata-kata dalam bahasa sehari-hari dan prosa umumnya, tetapi sekaligus sebagai pendukung imaji dan penghubung pembaca dengan dunia intuisi penyair.” Imaji ini bisa turut kita rasakan bahwa ada kenikmatan tertentu yang dirasakan SDD ketika melakukan perjalanan dengan menggunakan pesawat terbang. Kenikmatan yang dapat membuat imaji penyairnya menjadi terbang tinggi. Kita simak puisi “Awan Putih” di halaman 17: Kau tadi berpesan agar dalam pesawat terbang nanti aku melihat ke awan putih yang
bentuknya aneh-aneh, yang melayang-layang nun jauh di bawah sana. Aku nanti akan terus menerus tengadah melihatnya dari bawah. Kita akan bertemu di sana, kalau begitu. Pesawat ini meluncur 8oo km per jam dan awan itu meninggalkan pandanganku – serasa sendirian saja aku di kabin. Bagaimana hayo jika ternyata awan itu merendah turun mendekatimu, lalu naik ke bukit dan gaib dalam hujan? Di awan putih yang mana lagi kita nanti bisa bertemu? Di balik jendela kabin pesawat terbang, jika cuaca cerah kita bisa menikmati keindahan awan. Bagi SDD pemandangan itu bisa berubah menjadi suatu kerahasiaan dalam kehidupan. “Kita akan bertemu di sana, kalau begitu,” adalah salah satu bentuk dari kerahasiaan bahkan kemisteriusan kehidupan yang ada. Mungkin juga adalah sikap kepasrahan terhadap nasib, jika kita mengibaratkan bahwa penerbangan itu adalah layaknya “naik peti mati yang terbang.” Bisa jadi hanya sikap terkesima sesaat pada awan yang akan berubah menjadi hujan? Dengan bahasa yang sederhana puisi SDD selalu memunculkan imaji yang luar biasa. Dalam buku puisi Kolam terdapat puisipuisi tentang kisah-kisah manusia yang menjadi inspirasi dan imaji dalam puisi SDD. Misalnya, sajak “Laki-Laki yang Pekerjaannya Mengorek Tempat Sampah.” Bagi saya, puisi SDD yang paling menarik adalah puisi berjudul “Sebilah Pisau Dapur
yang Kaubeli Dari Penjaja yang Setidaknya Seminggu Sekali Muncul di Kompleks, yang selalu Berjalan Menunduk dan Hanya Sesekali Menawarkan Dagangannya Dengan Suara yang Kadang Terdengar Kadang Tidak, yang kalau Ditanya Berapa Harganya Dikatakannya, “Terserah Situ Saja…,” di halaman 82-87: /1/ takdir pun dimulai di pintu pagar sehabis kaubayar kita perlu sebilah pengganti si patah kau telah memilih pisau berasal dari rantau matanya yang redup tiba-tiba hidup /2/ bahasanya tak kaukenal tentu saja tapi dengan cermat dipelajarinya bahasamu yang berurusan dengan mengiris dan menyayat yang tak lepas dari tata cara meletakkan sayur berjajar di talenan untuk dirajang sebelum dimasukkan ke panci mendidih airnya dan dengan cepat dikuasainya bahasamu yang memiliki kosa kata lengkap untuk mengurus bangkai ayam
halaman 13
membersihkan usus
di meja dapur
memotong-motongnya
di sebelah cabe
dan merajang hatinya
berhimpit dengan bawang yang menyebabkan matanya berlinang
/3/ ia tulus dan ikhlas belajar
teringat akan mangga
menerima kehadirannya
yang tempo hari dikupasnya
di antara barang-barang
teringat akan apel
yang telungkup
yang kemarin dibelahnya
yang telentang
di meja makan
yang bergelantungan yang kotor yang retak yang bau sabun yang berminyak di seantero dapur Sangat menarik menikmati puisi di atas yang mengisahkan sebilah pisau (baru) untuk menggantikan pisau lama yang telah patah. Pisau dengan “matanya yang redup/ tiba-tiba hidup.� Pisau yang belajar dari pemiliknya untuk dipergunakan mengiris, menyayat, memotong, dan merajang. Pisau yang secara tulus menerima kehadirannya di antara barang-barang atau peralatan dapur lainnya. Meskipun kita tentu saja tidak mengenal bahasa pisau, tetapi dengan mudah pisau menguasai bahasa kita. “Memiliki kosa kata lengkap/untuk mengurus bangkai ayam/membersihkan usus/memotongmotongnya/dan merajang hatinya.� Dengan rinci SDD pun menuliskan, tanpa menggunakan bahasa yang membuat dahi kita berkenyit: /4/ segumpal daging merah sedikit darah
halaman 14
Kejelian atau kecermatan muncul dalam diksi “berhimpit dengan bawang/ yang menyebabkan/matanya berlinang.� SDD selalu berhasil merekam peristiwa secara detail dalam puisinya. Ada yang sangat menarik jika kita simak baris-baris selanjutnya dalam puisinya di bawah ini: /5/ kau sangat hati-hati memperlakukannya was-was akan tatapannya sangat sopan menghadapinya meski kau yakin seyakin-yakinnya ia bukan keris pusaka kau sangat hati-hati setiap kali menaruhnya di pinggir tempat cuci piring takut melukai matanya /6/ kau merasa punya tugas untuk teratur mengasahnya dinantinya saat-saat yang selalu menimbulkan
rasa bahagia itu inderanya jadi lebih jernih jadi lebih awas jadi lebih tegas memilah yang manis dari yang pedas meraba yang lunak di antara yang keras /7/ apa gerangan yang dibisikannya kepada batu pengasah itu /8/ ia suka berkejap-kejap padaku, kata cucumu kau buru-buru menyeretnya menjauh dari dapur yang tiba-tiba terasa gerah Tetapi tiba-tiba kita merasa tertegun ketika membaca “ia bukan keris pusaka/kau sangat hati-hati/setiap kali menaruhnya/ di pinggir tempat cuci piring/takut melukai matanya.� Jadi meskipun hanya berupa sebilah pisau, perlakuan khusus diperolehnya, seperti halnya orang Jawa memperlakukan keris pusaka. Sebilah pisau diperlakukan dengan sangat hati-hati, agar ketajaman mata pisaunya tetap terjaga. SDD dengan cermat juga mengamati “apa gerangan yang dibisikannya/kepada batu pengasah itu.� Imaji kita pun terasa diajak terbang tinggi, tanpa membaca sepenuhnya SDD menuliskan apa yang dibisikkan sang pisau kepada batu pengasah itu. Mungkin ada rasa nyeri yang berdesir di hati kita saat pisau itu digesekkan kepada batu pengasah. Bayangan mengerikan juga bisa muncul
saat “ia suka berkejap-kejap/padaku, kata cucumu/kau buru-buru menyeretnya/ menjauh dari dapur/yang tiba-tiba terasa gerah.� Kompleksitas dalam puisi SDD dapat kita simak di bawah ini: /9/ ia kenal hanya selarik doa yang selalu kauucapkan sebelum memotong ikan yang masih berkelojotan kalau tanganmu gemetar memegang tangkainya ia pejamkan mata mengucapkan doa /10/ kenangannya pada api yang dulu melahirkannya menyusut ketika tatapannya semakin tajam oleh batu asah kenangannya pada landasan dan palu yang dulu menempanya kenangannya pada jari-jari kasar yang pertama kali mengelusnya kenangannya pada kata pertama si pandai besi ketika lelaki itu melemparkannya ke air yang mengeluarkan suara aneh begitu tubuhnya yang masih membara tenggelam dan mendingin kenangannya pada benda-benda yang telah melahirkannya
halaman 15
semakin redup
lantunan azan
ketika saat ini ia merasa sepenuhnya tajam seutuhnya hidup /11/ dua sisi matanya tak pernah terpejam sebelah menatapmu sebelah berkedip padaku jangan pernah tanyakan makna tatapan yang melepaskan isyarat seperti bintik-bintik cahaya yang timbul tenggelam di sela-sela gema di sela-sela larik-larik Kitab yang menjanjikan sorga bagi kita /12/ Ujungnya menunjuk ke Sana? diam-diam terucap pertanyaanmu itu menjelang subuh : matanya tampak berlinang dari sudut-sudutnya muncul gelembung-gelembung darah satu demi satu pecah : satu demi satu pecah : satu demi satu pecah :
halaman 16
Dalam bait-bait puisi SDD di atas, makna religiusitas pun bisa terbangun melalui imaji tentang sebilah pisau. Sebagaimana lazimnya kita harus mengucapkan doa saat memotong hewan agar menjadi halal. “ia kenal hanya selarik doa/yang selalu kauucapkan/sebelum memotong ikan/yang masih berkelejotan.” Tentu dengan mudah kita bisa memahami isi selarik doa itu tanpa SDD harus menuliskannya. Begitu pula ketika muncul baris “ujungnya menunjuk ke Sana?/diam-diam terucap/pertanyaan itu/ menjelang subuh.” Makna religiusitas pun makin terasa kuat dalam puisi ini. Siapakah yang disebut Sana? Tentu Tuhan, bukan? Imaji tak pernah putus dibangun dalam puisi SDD. “ketika lelaki itu/melemparkannya ke air/yang mengeluarkan suara aneh/begitu tubuhnya/yang masih membara/tenggelam dan mendingin.” Sulit memang mendeskripsikan suara benda membara yang dicelupkan ke air. Dalam imaji SDD suara itu menjadi suara yang terasa aneh. Suara yang hanya dapat ditemukan jika kita melihat secara langsung bagaimana cara bekerja pandai besi membuat alat-alat dapur (dan pertanian) secara tradisional. Proses yang hampir sama dengan seorang Empu ketika membuat keris pusaka. Mungkin dari sinilah muncul analogi dalam puisi SDD untuk memperlakukan sebilah pisau dan keris pusaka dengan sangat hati-hati. Sebagai penyair yang dibesarkan di Solo (baca: Jawa), SDD memahami betul ungkapan itu dan dituliskannya dalam bentuk puisi. Ungkapan diksi yang agaknya khas milik SDD adalah kata “residu,” yang sekilas tampak janggal dipergunakan dalam
penulisan puisi. //Aku suka membayangkan kartu pos itu memuat gambarmu,/residu dari berapa juta helaan dan hembusan napasku dulu//(“Sonnet 11,” hal. 71). Kata Residu dalam KBBI (2008: 1169) artinya adalah ampas, endapan (minyak tanah, gula dsbnya). Namun ternyata arti residu tidak sesederhana itu. Melalui pengertian kata residu ini setidaknya kita bisa memahami perbedaan sastra tulis dan sastra lisan. Menurut Damono (2012: 56),”dalam tradisi tulis kata adalah residu, sedang dalam tradisi lisan kata tidak pernah merupakan residu. Begitu selesai diucapkan, kata lenyap, tidak ada lagi. Yang mendasari kelisanan adalah potensi dalam diri manusia untuk mengucapkannya.” /3/ Dalam buku puisi Kolam saya mengamati ide dasar penulisan sajak-sajaknya adalah peristiwa sehari-hari di dalam rumah, sekitar rumah, dan kompleks perumahannya. Mulai dari sajak “Pohon Belimbing”:// Sore ini kita berpapasan dengan pohon belimbing/wuluh yang kita tanam di halaman rumah kita//(hal. 5). Sajak “Lakilaki yang Pekerjaannya Mengorek Tempat Sampah”://Beberapa/orang ibu di kompleks kita suka curiga padanya, beberapa/ yang lain suka memberikan barang bekas atau sisa makanan//(hal. 11). Sajak “Batu, Bangkai Curut, Selokan: Suatu Sore”://Kita melangkah pelan di jalan kompleks yang bermuara/di sebuah lapangan bola. Tak terdengar lagi teriakan anak-/anak itu//(hal. 15). Sajak “Hari Ulang Tahun Perkawinan”:// Pada hari ulang tahun perkawinan kita itu yang/mungkin saja kebetulan jatuh hari ini kau tiba-tiba bangkit/dari bangku dan masuk rumah meninggalkanku sendirian
di/beranda memandang pohon mangga yang beberapa buahnya/setiap malam berjatuhan dimakan codot//(hal. 19). Sajak “Pohon Rambat”://Pohon rambat itu mendaki anjang-anjang yang kaujalin/ di pekarangan belakang rumahmu//(hal. 41). Sajak “Segalanya”://Segalanya masih akan bersamamu: awan yang suka/terserak, warna senja yang selalu baru, wajah telaga di/belakang rumah, bahkan angin, yang tak pernah kausapa//(hal. 47). “Sonet 9”:// beranda yang pernah membiarkan kita mengitari/pekarangan yang begitu luas, yang ternyata bukan/bagian dari tempat yang konon disediakan untuk kita tinggali// (hal. 67). “Sonet 14”://Jalan ini mengalir (hanya kita yang tahu) sangat pelahan/ mengelilingi sebuah tanah lapang/Hanya kita yang tahu//(hal. 77). Sajak “Sudah Lama Aku Belajar”://sudah sangat lama belajar mengagumi matahari/ketika tenggelam di tepi danau belakang rumahku//(hal. 101). Suasana rumah SDD yang ternyata bisa pula memberikan inspirasi bagi penyair lainnya untuk menuliskannya dalam bentuk puisi. Puisi ini saya tulis dan diterbitkan jauh hari sebelum kumpulan puisi Kolam diterbitkan. ”Rumah Kaca”://Di rumahmu di tepian Situ Gintung/Mengapa dosa menjadi bayangan/Yang memantul di pintu dan jendela/Ketika petir menggelegar/Membuat nyali jadi padam//Langit kelabu menampar kesendirian/Menumpahkan hujan – hanya ada sesal/Bumi semakin tua/Dan aku pun tak berdaya/Sujud di atas sajadah – rumah penuh kaca//Kota Tanpa Bunga, 2008: 47). Semoga. ***
K
halaman 17
Cerita-Pendek
Maling oleh Nabila Shasha
halaman 18
aling, apa yang kau pikirkan saat aku menyebutkan kata itu? Barangkali akan tergantung siapa dirimu. Kalau kau it seperti Sabri keponakanku, aku yakin kau akan marahmarah mengepalkan tinju mendengar kata itu. Atau malah kau akan berkampanye dengan warga se-RT untuk membentuk barisan pembunuh maling. Lain lagi jika kau seperti Pak Hardi warga RT sebelah. Aku yakin kau akan mempersiapkan pentungan dan sepatu karet untuk menendang-nendang perut manusia yang memiliki status terburuk itu. Tak berlebihan kalau kukatakan maling sebagai status terburuk. Coba kau bayangkan, status maling adalah status yang memiliki tingkat makian tertinggi dari warga, khususnya di RT ku. Baru berikutnya disusul polisi, PLN dan pemulung jahat yang juga lagi-lagi merangkap status sebagai maling-maling ember, baskom, mangkuk dan seterusnya. Aku juga sempat mendefinisikan maling sebagai makhluk terbodoh, tepatnya setelah dua set printer baruku melayang bersamaan selepas hari raya kemarin. Betul-betul bodoh, maling itu mencuri dua buah printer yang sama-sama tak memiliki catridge, bodoh bukan? terang saja bodoh, itu masih maling ingusan, tidak sekolah dan tak ketahuan saja sudah syukur. Lalu aku berpikir bagaimana jika maling itu mempoles penampilan menjadi pahlawan-pahlawan kesiangan berdasi dan berjas rapi, memiliki gaya bicara yang memukau, punya banyak penggemar, bahkan ada yang dengan suka rela membentuk pasukan berani mati. Apa mereka juga bodoh? Tetap saja bodoh kupikir, mereka mau menggadaikan kebahagiaan hidup di akhirat demi lembaranlembaran kertas yang kadang mereka sendiri juga tak melihatnya. Padahal hanya kertas, dan aku tau betul bagaimana proses pembuatan kertas, hanya dari potongan-potongan kayu yang dimasak. Apakah sama nilainya dengan kenikmatan di akhirat kelak?. Ya aku sengaja bicara soal akhirat, sebab kupikir terlalu lelah berharap pada sebuah keadilan tertegak di negeriku. Kami rakyat kecil hanya berharap pada keadilan di akhirat, kepercayaan kami pada pembesar negeri telah pupus. Rakyat jelata hanya percaya pada janji hakiki Sang Pencipta. Pagi ini manusia dengan status terbodoh itu kembali membuat aku jengah, jengah karena melihat ketololan Sabri yang selalu tidak hatihati menyimpan hand phone, berkali-kali kehilangan hand phone. “Hilang lagi?” tanyaku sambil menahan nafas kesal. “Iya Bang” Sabri kulihat menunduk, mungkin dia takut ku marahi. Melihat sikapnya yang begitu aku malah tak tega. “Kok bisa?” halaman 19
“Ditinggal shalat subuh tadi Bang, padahal sudah kukunci kamarnya” sahut Sabri pelan. “Robi memangnya tak pulang?” “Dia masih tidur tadi, sudah kubangunkan untuk shalat tapi dia tetap saja tidur” jelas Sabri. “Ya sudah, apa saja yang hilang?” “Hand phone dan dompet ku Bang”. Huft…dompet lagi. Kali ini tentu saja aku punya definisi terbaru untuk maling. Maling adalah perampok kelas teri yang tidak berprikemanusiaan. Mungkin mereka memang tak pernah lulus dengan pelajaran PPKN di sekolahnya, atau juga murid ngaji yang paling membangkang sewaktu kecil. Dan kalau sudah begini, Sabri menjadi tanggung jawabku sepenuhnya. Mulai dari makan pagi siang malam, tugas kuliah, jadwal ke warnet, ongkos kemana-mana bla…bla…bla. *** Malam harinya sepulang dari kajian di surau An-Nur aku tak langsung menuju ke ruang inspirasiku. Kusempatkan duduk bersenda dengan Sabri dan Robi di ruang tamu. Robi teman sekampus Sabri sudah dua bulan tinggal bersama kami. Konon katanya mereka berdua sahabat dekat, tapi aku juga tak pernah begitu tau dengan pria kelahiran ranah minang ini, yang aku tau sikapnya agak tertutup, jika ada masalah lebih suka diam dan tak pulang ke rumah selama beberapa hari. Awalnya aku sempat terusik dengan sikapnya itu karena dia menetap di kontrakanku, baru setelah Sabri menjelaskan, aku berupaya untuk memahaminya. Malam ini kulihat wajah Sabri masih berkabut, ntah kesedihan apa lagi yang ia rasakan. “Kau kenapa lagi Sabri? Dari tadi murung terus?” tanyaku memcahkan keheningan antara mereka berdua. “Aku masih penasaran Bang dengan maling itu. Sudah dua kali hp ku hilang di tempat yang sama” “Trus? Kau mau menyelidikinya?” “Harus!” sahutnya. “Caranya? Mungkin itu juga pelajaran buatmu, aku kan sudah sering menyuruhmu berhati-hati” “Iya sih Bang, namanya juga musibah. Itulah, gimana caranya ya? Menurutmu bagaimana Rob?” “Sepertinya kalau sudah hilang agak sulit kita mencarinya, soal menjebak maling aku juga kurang pengalaman” jawab Robi. Huft… kulihat wajah Sabri kecewa mendengar jawaban sahabatnya itu. Hah,
halaman 20
gimana sih katanya sahabat kok malah cuek, dan ujung-ujungnya Sabri pasti minta tolong lagi padaku. “Trus bagaimana dong Bang?” wajah Sabri memelas menatapku. “Gampang, lapor saja ke polisi” Sahutku asal. “Susah Bang, apalagi cuma barang sekecil hp dan dompet. Mahasiswa di kontrakan sebelah kehilangan laptop juga diam saja. Mungkin solusinya ke depan kita harus berhati-hati saja” Robi kembali angkat bicara. Wajah Sabri nampak semakin mendung. Dia tak menyahut lagi, lalu beranjak menuju kamarnya. Sabri itu juga agak aneh orangnya, meski laki-laki yang usianya sudah kepala dua tapi punya hobi merajuk seperti kaum hawa. Kadang aku malah tersenyum sendiri melihat sikapnya, masih terlalu kanak-kanak dan sulit dewasa. *** “Si Robi itu kenapa sih Bang? Dia bukannya mendukung ku malah melemahkan semangatku” Sabri tiba-tiba masuk ke kamarku sambil mengomel. “Hei, kau ini kenapa lagi? Dia kan sahabatmu tentu kau lebih tau” “Menurutku kalau sahabat tak begitu, Bang” sungutnya. “Apa yang dia bilang ada betulnya juga” sahutku datar. “Tapi ini aneh, jangan-jangan dia malingnya” “Jangan sembaranga bicara, fitnah itu namanya” ujarku. “Tapi maling itu keterlaluan Bang, Abang tau? Di dalam dompet itu ada uangku untuk bayar semester” Innalillah…ini memang musibah, delapan ratus ribu, dari mana aku harus mencarikan uang sebanyak itu untuk Sabri? Manuskrip buku ku juga tak kunjung diterima penerbit. “Kenapa kau tak bilang? Aku kira isinya cuma lima puluh ribu plus foto-foto jelekmu” ujarku sambil tertawa pelan. Aku berusaha menutupi keresahanku dengan gurauan. Kutepuk pundaknya. Tapi wajahnya masih tetap mendung. “Aku takut Abang resah memikirkannya. Tapi kalau sudah begini aku mau minta tolong dengan siapa lagi kalau bukan ke Abang” Nah, ini kalimat yang menyebalkan. Wajah Sabri nampak agak sumringah dengan kata-kata itu, dan sekarang giliran wajahku yang agak manyun. “Ya sudah, nanti selepas isya kau ajak si Robi ke surau, ada kajian bulanan. Sekali-kali lah kau ajak dia ke surau, aku sudah berulang kali mengajaknya tapi dia selalu menolak. Dan satu lagi, buang dulu sangkaanmu yang tadi” Sabri mengangguk, mendung di wajahnya
halaman 21
sudah agak berkurang. Tiba-tiba aku teringat pesan Ibu untuk selalu menjaga Sabri. Kata Ibu, Sabri itu selalu susah hidupnya dari kecil, orang tuanya sangat bangga saat Sabri dinyatakan lulus di bangku universitas. *** “Kau pergi sendirian? Robi mana” kulihat Sabri sendirian berkemas dengan baju kokonya. “Dia belum pulang Bang, aku pergi dengan Abang saja” “Hei, itu apa?” Sabri melipat kertas putih dan meletakkannya di atas tempat tidur. Aku penasaran, lalu kupungut kertas itu. Ada tulisan Sabri yang cukup menarik di dalamnya, begini bunyinya: “Assalamualaikum Maling yang juga bisa dirahmati Allah, kembalikan ya uangku tolong! Sedikit juga tidak apa-apa. Aku kasian dengan Bang Fatih ku, dia juga sama seperti mu tak punya uang untuk membayar uang semester kuliahku. Atau pun kalau tidak hp juga tak apa kau kembalikan. Aku janji deh akan maafin kamu, tapi kamu juga janji jangan ulangi lagi ya. Sekarang aku lagi pergi kajian, jangan ambil lagi barang-barangku!” “Kau ini ada-ada saja” aku tertawa kecil membaca tulisan itu. Kulihat Sabri hanya cengar-cengir menatapku. “Untuk antisipasi Bang” ujarnya. “Terserah kau lah, ya sudah, ayo berangkat!” aku dan Sabri berangkat menuju surau An-Nur yang tak seberapa jauh letaknya dari kontrakan. Sebenarnya Sabri ini lumayan rajin ikut kegiatan remaja di surau, tapi terkadang penyakit malasnya menjadi subur jika sedang akrab dengan Robi. Dia bukan tipe orang yang bisa mempengaruhi, sebaliknya sangat mudah terpengaruh. Malam ini tak tau kenapa begitu mudah ia mengikuti ajakan ku, entah karena agak kecewa dengan sikap Robi atau karena ingin menghibur hatinya yang tengah risau. *** Tepat pukul 22.30 Wib aku dan Sabri tiba di rumah. Kami berdua tertegun dan saling pandang melihat sebuah benda yang tergeletak di atas tempat tidur Sabri. Sebuah hand phone nokia yang sudah cukup kumal. Aku sendiri tak mengenali tipe nya, entah karena terlalu jadul atau memang aku yang tak paham dengan tipe-tipe hp. Sabri bergegas memungut selembar kertas yang tergeletak di samping hp kumal tadi. Dibacanya kertas itu pelan: “Maaf juga ya membuatmu susah, ini kukembalikan hp mu, tapi memang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Kau mau kan mengikhlaskan
halaman 22
hp dan uang mu kemarin?” “Ah, maling ini betul-betul gila Bang, apa-apaan sih dia?” Sabri meremas kertas itu sambil mengamati hand phone nokia kumal di tangannya. “Lho bukannya kau tadi berpesan begitu padanya? Lumayan cerdas tu maling” sahutku. “Tapi dia masuk ke kamarku lewat mana ya Bang?” Huft…kami mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Mataku menangkap daun jendela kamar Sabri agak terbuka. “Itu!” ujarku “Ah, tak mungkin tadi sudah kukunci” “Makanya, harus berapa kali aku mengingatkanmu Sabri, hatihati dan jangan ceroboh!” aku berlalu meninggalkan Sabri yang masih berputar-putar dengan hal yang tak masuk di akalnya. Meski demikian, kulihat dia memungut dan memegangi hp dari maling tadi. *** Pagi masih begitu segar. Aku disentakkan teriakan-teriakan tak jelas dari mulut Sabri di kamarnya. Kenapa lagi tu anak, apa mungkin hp yang diberi maling tadi malam itu hilang lagi dari tangannya? Terlalu namanya kalau seperti itu. “Bang, Robi kabur Bang! Buka pintunya!” Sabri berteriak sambil mengetuk-ngetuk pintu kamarku. Aku terkejut dan secepatnya beranjak membuka pintu. “Kabur?” “Iya, dan memang dia malingnya” “Hah, kau ini sembarangan bicara, mana buktinya?” sergahku. “Kertas ini Bang kutemukan di lemarinya” Sabri menunjukkan kertas yang dibuatnya semalam. “Kabur kemana dia?” tanyaku. “Aku tak tau Bang, tadi sewaktu ku buka kamarnya sudah kosong. Tapi dia tak bisa lari begitu saja dariku, aku akan mencarinya sekarang” Sabri bergegas lari keluar mengambil motor. “Hei, mau kemana kau? Jangan gegabah Sabri! Kita bicarakan dulu strateginya” aku menarik lengan Sabri berusaha menghalanginya. Tapi saat itulah aku baru tau kalau Sabri punya tenaga yang luar biasa. Dia mendorong tubuhku, aku terjajar ke pintu, secepat kilat Sabri memacu motornya. Aku tak menyangka, bocah yang masih sering menangis itu bisa berbuat seperti itu, emosi sedang memuncak di kepalanya.
halaman 23
*** Aku berjalan menyusuri sebuah gang sempit. Tujuan ku adalah rumah Farhan, tak ada jalan lain, aku harus meminjam motornya untuk mencari Sabri. Walau bagaimana pun Sabri tetap tanggung jawabku, yang aku takutkan dia bertindak macam-macam di luar sana. Kadang hobi tawuran di SMA nya masih kerap muncul. “Permisi Bang, saya boleh numpang tanya?” sebuah suara membuat langkahku terhenti. Seorang pria menjinjing tas tersenyum ke arahku. Kubalas cepat senyuman itu sembari balas menyapa. “Oh ya, apa itu?” sahutku. “Tahu alamat ini Bang?” lelaki itu menyodorkan sebuah alamat yang membuat mataku terbeliak. “Ini rumah saya, anda siapa?” “Saya adiknya Robi, mau masuk kuliah tahun ini, Abang kenal dengan Bang Robi?” bocah itu nampak berseri dan berharap menatapku. “Adik Robi? Mau kuliah?” aku menatap bocah itu lekat. “Iya Bang, kemarin Bang Robi bilang dia dapat rezeki dan mau memberi uang ke saya. Makanya dia menyuruh saya menemuinya di alamat ini” “Ah, memangnya kau tau Abang mu itu kerja apa?” “Bang Robi tak pernah bilang dia kerja apa, yang jelas mungkin bisnis. Tapi kami tak terlalu ambil pusing, Bang Robi selalu rutin mengirim kami uang tiap bulan” “Memangnya ayahmu kerja apa?” bocah itu nampak diam sejenak. Mungkin pertanyaanku ini membuatnya sedih. “Ayah sudah meninggal, Bang Robi anak tertua, saya masih punya tiga orang adik lagi, Bang Robi yang membiayai hidup kami” Huft… perasaanku seperti digilas mendengar ungkapan bocah ini. Robi itu memang pendiam, sampai-sampai si Sabri pun tak tahu kalau dia punya tanggung jawab seberat itu di keluarganya. Tapi aku juga tak tau harus bilang apa pada bocah ini, kasihan sekali. Dia tak tau kalau abangnya punya bisnis yang membuat banyak orang menyumpahinya. Mungkin itu pula penyebab ketakberkahan uang yang diberikan Robi pada keluarganya, hingga sampai detik ini kesulitan ekonomi masih merantai kehidupan ibu dan adik-adiknya. “Ya sudah kau ikut ke rumahku saja! Nanti kuceritakan padamu!” aku mengajak bocah ini kembali ke rumah. Kuurungkan niatku mencari Sabri, aku kasihan dengan bocah ini. kalau saja dia tau
halaman 24
kelakuan abangnya, mungkin hatinya akan hancur. Sesampai di rumah mataku menangkap sosok yang membuat hatiku lega. Sabri, dia sudah kembali rupanya. Dia menatap heran ke arahku yang berjalan beriringan dengan sosok yang tak dikenalnya. Aku tersenyum ke arahnya. Aku harus berjuang keras untuk memupus emosi di hati Sabri dengan menghadirkan adik Robi. Aku ingin Sabri juga membuka mata akan kesulitan hidup yang dialami Robi sesungguhnya. Mungkin dengan kepala dingin akan ketemu solusi. Paling tidak supaya Robi berhenti dari pekerjaan buruk. ***
K
halaman 25
Sajak
Marzuli Ridwan Al-Bantany Perahu Kecil Setinggi Monas Meranggas Ranting Mimpi
Marzuli Ridwan. Nama pena Marzuli Ridwan Al-Bantany, lahir di Bantan Air, Bengkalis, 16 September 1977. Alumni mahasiswa IAIN Susqa Pekanbaru (2002). Seorang Jurnalis (anggota PWI Bengkalis) dan guru honor di Bengkalis.
halaman 26
Perahu Kecil
Kita hampir mendatangi laut kehidupan Terombang-ambing perahu kecil di ujung tanjung, sendirian Dipukul riak gelombang tak henti menghadang Adalah keniscayaan mesti kita lewati, kawan Untuk tiba di seberang dengan seraut riang Serta wajah senyum terpampang Menawanlah putih cahaya terpancar suci Karamkan nafsu ke dasar yang dalam Mengapunglah mulia, sejernih budi Selimuti diri menapaki lautan bahari Hingga menginjak ke pantai sejati tak bertepi Segeralah kita perbaiki Perahu kecil nan tertambat di pancangnya terikat Pada tiang-tiang nibung tercacak menikam tebing Lapuk di penjerangan masa menumbuk-numbuk hayal Lecutlah !!!, walau kadang kecut menyapu muka Juga sekajang bimbang membaluti risau tiada pergi Selagi terang kan menjadi pakaiannya hari Di dermaganya dikerubungi orang-orang berlalu-lalang Menyalin pasti segala yang berbaki Dari lembaran-lembarannya diri Menjadi kitab-kitab tak mengubah lagi Kita makin hampir mendatangi laut kehidupan Terombang-ambing perahu kecil di ujung tanjung, sendirian Menawanlah !!!, walau jauh mata kan memandang Walau segenggam budi menyemai hati Terpatri di dinding hari-hari berhari
halaman 27
Setinggi Monas
Masih ingatkah engkau ... Di Tugu Monas langkah kita tertatih-tatih Langkah yang mengabadikan tapak sejarah Di kolong langitnya luas membentang Merajut di pahatan impian murni Bersemayam indah di kamar hati Disitu ... Untuk kesekian kalinya kau melukis senyum Bersama ku tiada lupa kau ma$um Menatah intan bertintakan torehan emas di bibir Dengannya sejuta pikir tertanam di hati Laksana bening embunnya di waktu pagi Tak undur, terus melangkah pasti Di malam bersejarah itu ... Kau dan aku kembali mengusik mimpi Mimpi yang tak mungkin lenyap terpadam Oleh bising kota Dan pekatnya kelam malam Dan di ujung jalan ini ... Sejuta kenangan itu tak mungkin pergi Pergi bersama cerita tentang mimpi-mimpi Terus bersebati menggamit hati Seperti teguhnya semangat Monas sakti Teruja melawan diri sendiri Di setiap masa dan waktu silih berganti Hingga Dia menjemput pergi
halaman 28
Meranggas Ranting Mimpi
Mengintip pagi cerahlah siangku Pada tetesan embun di dedaunan menghijau Yang memantulkan sebening aroma dingin Juga wewangian setaman bunga Dari celah kering ranting-rantingnya Lalu ... Di dinginnya pagi memutih Hangatlah harapan Walau sinar mentari tersenyum malu Dalam semesta membisu kelu Dan, aku pun meminta siangmu Tak meranggaskan ranting mimpi suci Berguguran di bumi bestari jauhari Hingga redupkan bintang-bintang tinggi Bersenandung ceria di lazuardi Pada malam memungut sepi Ku pun terus berharap ... Dingin malam tak memerangkap pagi Menyisakan kebekuan di sudut-sudut pemilik hati Redamkan gairah temukan diri
halaman 29
Sajak
Bagus Burham Kombinasi Amsal Paragraf Sebelum Ditimpa Hujan Formasi Puisi-Luka Empat Kaki Antara Enam Kaki Khayal Ghazal Sapu Tangan SonderDinner
Bagus Burham Lahir di Kudus,31 Agustus 1992. Beberapa puisi termuat di Suara Merdeka, buletin Jejak, Jurnal Santarang dan lainnya. Antologi bersama yang terbaru: Dari Sragen Memandang Indonesia(DK Daerah Sragen,2012).
halaman 30
Kombinasi Amsal Paragraf
dahulu:sesuatu dinamakan itu.dari mulai kita membaca paragraf yang masih mengeja hingga menulis sendiri kisah yang kita suka,panggung panggung sudah disiapkan,sultan lima puluh ekor kuda mengiringi jalanmu namun jangan ajak mereka bercinta sebab akan ada yang menebasmu dengan pedang :rasa kasih sang caligula sekarang:agaknya inilah momen yang kita nanti, membaca puisi tergesa sebab dikejar polisi yang menilang kita sebab kata tak mempunyai surat ijin memuisikannya,layar dan gelombang telah dinaikkan,raja kita tantang segala hadang-rintang agar menjelma kaum paling berani yang di miliki mimpi mimpi nanti:kita akan menunda segala rencana; menata kembali yang terlunta-lupa mengocok dadu dalam kaleng tujuan,untuk mengetahui angka berapa dari kemungkinan keberhasilan peluang peluang dan perkiraan,kita mesti pasang pertaruhkan uang bahkan mungkin nyawa ini yang tak kita rencanakan,bukan?
halaman 31
Sebelum Ditimpa Hujan
mendung bukan berarti hujan,engkau tahu betul ia hanya bersembunyi,antara awan awan kelam setelah rintik terpertama jatuh,menyusullah ia :sejuta airmata datang tanpa undangan dan tergesa dari sesuatu yang menyuruhnya terus berlari ke bawah ke dunia yang fana ini,katamu,hujan tak lebih dari mimpi yang ditidurkan tuhan untuk kita nikmati kekanakannya sebab hujan tak begitu mengerti,buat apa ia bertandang lalu pulang sebelum melihat warna warni pelangi hujan bukan berarti tak ada mendung,engkau tahu betul ia hanya menampakkan sisa malam,yang lupa bagaimana menarik waktu,agar tak menimpa sebuah siang,katamu pula katamu,hujan tak begitu mawas diri,ketika ia turun ia selalu tergelincir di badan jalan dan mengalun ke kubang mendung disusul hujan,berarti kita mesti masuk ke rumah membawa rasa bergegas dan menanamkan ingatan, bahwa di masa kita kanak,hujan selalu tersenyum di sekujur tubuh kita yang kuyup
halaman 32
Formasi Puisi-Luka
tenggelam luka dalam hemo darah tinta kata kata berselapik borok yang getir pedih perih kian aduh menyemedikannya dalam gua pertapa yang awas sebab luka luka dipedasi bubuk cabai yang berandai hati yang tercabik cinta selalu menyendiri untuk jatuh luka yang itu luka yang nganga tak disangka-duga luka yang tersangka dipenuhi sidik jari pesumpah-dusta luka ditembak dari jarak:jantung tertembus pelor timah hingga saat,terlelap kata kesumat diujung lentuk-lidah belatung menggerogoti borok ayub agar terbebas luka luka menggerogoti tubuh hati cuma untuk semakin sakit luka menguliti jantung degup,agar sedianya berduka: bangkai teronggok yang sisa dari luka;terbiar sendiri sepi
halaman 33
Empat Kaki Antara Enam Kaki :nisa
dengan angin berguncang kala itu,rambut kerudungmu mengambang o dewi yang mabuk ruapan asap bunga dari pembakaran daundahan kerontang, kudekat-- jempol kita,bertaut untuk membakar jagung di balik rindang pohonan bercakap tentang masa kecil yang pernah kita lalui,membawa mimpi pada benang yang menerbangkan layangan.menangkap belut licin yang menggeliat di kaki.menyamar sebagai orang tua kita dalam, adegan adegan penuh canda.menggelantungkan surat ungkapan rahasia dari hati kecil tentang cinta. daun yang ditebas oleh kedip mata terkena gangguan debu itu,menjadi aku.ia mungkin diam,namun mengamati wajahmu yang berubah setelah lima tahun tak menemu. oh,aku,-yang sunyi di lubuk paling sini.diantara keenam kaki,mungkin cuma jempolku yang terus saja mendekat padamu,menerkam jempol kakimu yang lentik dengan hiasan cat warna ungu serupa langit yang menyimpan gairah dari lautan yang menguap dari tubuhnya.maka calipso yang bisu,muncul dari balik kukumu,mencapit ulu hatiku dengan tangan kepitingnya. kau terlalu berlebih,seperti baru disapih oleh keringat pertama rahim ibu,bibirmu yang suci itu masih merah dan belum siapapun adam yang mampu mengatupkan hatinya-hatimu.perkenankan aku,menangkap remah sisa nafasmu yang kaubuang meski dioksida. mengambil serpih airmata yang terlontar;asam laut rembih yang membeku.menangkup rambut yang terputus,kujadikan diadem yang kuurap dengan wangi melati musim semi.kunobatkan pada kening yang ku kecup terlebih dahulu. sebab diri engkau adalah puzel yang di pasangkan agar berirama dalam mata.
halaman 34
Khayal Ghazal
berangkatlah di musim penuh bunga dan aroma teh pagi merembang ikutilah alunan dari gesekan biola,kendang,harmonika yang tembang saksikan sejuta kuncup bebunga yang tiba tiba tersihir, mengembang matamu menauti mataku,terang rambatan rambung hijau kekapang jaring jaring tanganmu lembut selembut katun yang mengambang di pohon pohon kapas.rentangkanlah dadamu,biar ku baca hati remang yang tengah mengaduk aduk aroma cumbu,cinta tak terkekang sebagai kaos kaki dan sepatu yang selalu bersenang senang mengikuti tuan kemanapun ingin pergi bahkan mungkin berenang. ayokan aku,memandang matahari yang mengawang di pucuk tenang hangat menyebar sinar seperti pupuk di tebar di sawah luas benderang aminkan aku seperti engkau menangkup lingkar embun yang jatuh pulang ke kedua pipimu.semisal kau memergoki hujan pertama,menimpa hidung menandakan rindu menyaksikanmu diatas langit mendung. ceritakan pada para pesaksi yang bisu bagai bahasa kurcari miang ketika siang mengajakmu membumban tubuh keladi yang kering kerontang, dan aku kau lemparkan diatas payung,sebagai penengadah gerimis sungsang.
halaman 35
Sapu Tangan
barangkali seperti ciuman yang kau tinggalkan ketika senja meraih langit sore hari.dan hujan melembutkan badan bumi.engkau datang dengan uap arang pekerja di masa lalu.menjumput sisa kenangan di antara serpih sepuh.kristal yang memecah sebab tak sanggup menahan;beberapa banyaknya curahan hati para pematah arang. inilah mungkin,kau duduk terpaksa setelah peron menutup tubuhnya yang bata.semisal pintu gereja yang telah di segel malaikat,atau gerbang wihara yang asap penuh langut dupa.kita akan temukan tubuh kita terdiam untuk menit beberapa.untuk detik yang diam seperti permainan petak umpet dan berdahulu siapa tangan yang berhasil menggapai pipi,sebagai penyeka airmata. percakapan tak lagi meninggalkan tanda,ketika titik koma berlari dahulu bagai maraton dan estafet,saling berkejaran dan aku akan mendiami sudut matamu,untuk menyimpanku sebagai kenangan.
halaman 36
SonderDinner
kulkas baru saja mejulurkan lidah dinginnya kepada tanganku yang memaksa. tak lupa ia memamerkan saku saku yang memajang telur ayam,bawang, gula jawa dan kacang.di perutnya yang bawah,seperti gudang kotak segi empat menyimpan sayuran mama;kol,wortel,seledri,sawi untuk dicampur dengan mi instan, dan favoritku onclang.kita tempurkan segelintir sosis panjang dengan minyak panas di pembakaran sama seperti kita melihat adegan pengorbanan kepada gorila raksasa di ďŹ lm tipu daya itu.sama seperti menggadaikan cinta dengan lembaran merah biru, memadukan warna warni kontras cat dinding yang tak disukai guru seni rupaku. dua coklat membeku di kutub kulkas yang tetap mematung oleh gelitik listrik.ah,malam ini perut bergemuruh untuk menjilami sosis dengan cairan lambungnya. sama seperti cinta, menciumi bibir dengan lihainya.
K
halaman 37
Senirupa
Memaknai Karya Ahmad Sadali dalam Konteks Modernitas dan Spiritualitas Islam dengan Pendekatan Hermeneu!k
hmad Sadali lahir di Garut, Jawa Barat 24 Juli 1924 dari keluarga yang akrab dengan dunia batik dan cetak-mencetak. Ia mengenyam pendidikan dari kecil, mulai dari Taman Kanak-kanak, di HIS, belajar di Madrasah Muhammadiyah, lalu masuk MULO semuanya di Kota Garut. Meneruskan belajar di tingkat SMT-A di Kota Yogyakarta, lalu masuk Sekolah Tinggi Islam Jakarta (1944-
halaman 38
45). Ketika tahun 1948, Ahmad Sadali memasuki Fakultas Guru Gambar pada Fakultas Teknik Universitas Indonesia (sekarang FSRD, ITB). Setelah menyelesaikan sekolahnya tahun 1953, Ahmad Sadali langsung diangkat menjadi tenaga pengajar di Fakultas tersebut. Tahun 1956 Sadali melanjutkan kuliah di New York, Amerika Serikat. Hingga akhir hayatnya, perjalanan akademik Ahmad Sadali telah
mengukuhkannya sebagai seorang profesor. Sebagai pelukis, Ahmad Sadali telah mengikuti berbagai macam pameran secara individu maupun kelompok, lingkup internasional maupun nasional, serta mendapat banyak penghargaan, beasiswa seminar dan beasiswa studi atau penelitian. Misalnya tahun 1964 Sadali pameran di “Arte Contemporance Indonesia”, Rio de Jeinero dan ia menjadi salah satu peserta pameran yang menarik tahun 1966 yaitu “Sebelas Seniman Bandung”. Meskipun sering dikenal sebagai pelukis bernuansa kaligrafi religius, Sadali juga membuat berbagai macam karya dalam berbagai rupa, misalnya: patung, mural, interior maupun grafik. Di samping sebagai pengajar dan pelukis, Sadali mempunyai kegiatan sosial kemasyarakatan yang luas. Ia menjadi salah satu inisiator berdirinya Perguruan Tinggi Islam (PTI) yang sekarang bernama Universitas Islam Bandung (UNISBA). Sadali di akhir hayatnya menjadi Ketua Umum Pembinaan Masjid Salman ITB. Ahmad Sadali meninggal di Bandung, 19 September 1987. Sesuai konteks judul tulisan ini, hermeneutik yang akar katanya adalah hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermeneuin yang berarti menafsirkan, dari kata hermeneia yaitu interpretasi. Adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks. Hermeneutik mencakup dalam dua fokus perhatian yang berbeda dan saling berinteraksi yaitu; pertama, peristiwa pemahaman terhadap teks. Kedua, persoalan yang lebih mengarah mengenai pemahaman interpretasi itu. Sebenarnya hermeneutika sebagai metode baca teks telah dikenal luas dalam pelbagai bidang keilmuan Islam tradisional,
terutama dalam tradisi Fiqh dan tafsir alqur’an. Sementara itu, hermeneutika modern dalam pemikiran Islam pada dasarnya dapat disebut lompatan besar dalam perumusan metodologi pemikiran Islam pada umumnya dan metode penafsiran al-Qur’an khususnya. Oleh karena itu, kajian hermeneutika dalam kajian Islam juga perlu dipelajari untuk menambah khazanah keilmuan dan dapat memberikan pengetahuan baru terhadap, bagaimana memahami teks serta penafsiran terhadap teks yang akan diteliti dalam hal ini tentang teks pada karya senirupa kaligrafi karya-karya Ahmad Sadali. Ahmad Sadali adalah seorang pelukis yang diakui luas memiliki reputasi di tingkat nasional, regional dan Dunia Islam. Dalam sejarah seni rupa modern Indonesia, Ahmad Sadali dikenal sebagai ‘Bapak Seni Lukis Abstrak’ dan salah seorang perintis seni rupa bernafas Islam. Paduan antara seniman, akademikus, dan aktivis pergerakan Islam merupakan fenomena unik dalam dunia seni rupa modern yang berpijak pada prinsip ‘otonomi’ seni dan keterpisahan seni dari bidang kehidupan lain seperti politik, moralitas, dan agama. Di pihak lain, dari sudut pandang keislaman, sosok da’i dan aktivis Islam yang berpadu dengan ‘pelukis modern sekuler’ merupakan hal yang tidak lazim. Kondisi yang nampak paradoksal ini menghadirkan permasalahan ilmiah yang menarik untuk diteliti: sebagai seorang seniman yang sepanjang hidupnya memegang teguh nilai-nilai keislaman, apakah karya-karyanya mencerminkan nilai-nilai itu? Bagaimanakah pengaruh kecenderungan personal dan kultural pada bentuk karyanya? Di mana letak otentisitas Ahmad Sadali dalam konteks kemodernan dan keislaman? Bagaimanakah makna
halaman 39
menjadi nilai utama yang mampu mengembalikan nilai mitis, ibadah, dan puitis ke dalam ungkapan artistik. Pada wilayah kultural, gaya abstrak meditatif Sadali menjadi ‘aliran seni’ yang melibatkan tokoh seniman lain, dan mengarus sebagai bentuk budaya keislaman. Sementara itu, secara intelektual, pemikiran estetika Ahmad Sadali yang menyatukan antara rasa, rasio, dan iman dalam satu kesatuan integral merupakan bentuk pemikiran yang mengoreksi modernisme. dan kontribusi karyanya dikaitkan dengan masalah modernitas dan spiritualitas Islam? Penelitian ini mencakup hubungan antara karya Ahmad Sadali dengan faktor internal dan eksternal (personal dan kultural). Kajian karya Ahmad Sadali dalam konteks modernitas dan spiritualitas Islam, dan penafsiran makna dan otentisitas karya Ahmad Sadali. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa bentuk kepribadian Ahmad Sadali merepresentasikan kepribadian Muslim modernis yang berpijak pada sumber ajaran kerohanian Islam, Tauhid. Sedang dalam konteks modernitas, karya Ahmad Sadali menjangkau tiga wilayah utama: estetik, kultural, dan intelektual. Pada wilayah estetik, karya Sadali merupakan perwujudan pembaharuan berupa penemuan medium pada prada emas, teknik tekstur, tema gunungan, kaligrafi serta gaya seni abstrak meditatif . Karya Sadali juga menunjukkan kehadiran modernitas estetik yang berbeda dari modernitas estetik Barat yang menjauhkan seni dari nilai spiritualitas. Dalam karya Sadali, nilai spiritualitas
halaman 40
Dalam konteks spiritualitas Islam, karya Sadali mewujudkan nilai Tauhid, karya seni sebagai pembentuk lingkungan hidup dan pemuliaan martabat benda, nilai keabstrakan, kaligrafi, dan fungsi seni sebagai pengingat hakekat ketuhanan, dzikir, tasbih, dan tahmid. Dengan demikian, baik dalam konteks modemitas maupun spiritualitas Islam, karya Sadali dapat ditafsirkan mengandung makna dan peran tazkiyah, celupan atau penyucian seni modern atau spiritualisasi modemitas. Dari sisi yang lain, ia memiliki makna dan peran memodernisasi seni Islam. Kontribusi ilmiah hasil penelitian mencakup penemuan konsep modemitas yang berbeda dari konsep modemitas yang berlaku selama ini dan teridentifikasikannya keberadaan paradigma seni dan budaya keislaman di Indonesia dengan karya Ahmad Sadali sebagai salah satu tonggak yang penting.*** (red. dari berbagai sumber).
K
Tokoh
Gabriela Mistral (Simbol Aspirasi Idealis!k Dunia Amerika La!n)
abriel Mistral abriela adalah penyair perempuan pertama dari Amerika Latin yang menerima Hadiah Nobel Sastra. Pada tahun 1945 ia menerima hadiah ini untuk puisi liris nya yang terinspirasi dari emosi yang kuat dan telah membuat namanya menjadi sebuah simbol aspirasi idealistik dunia Amerika Latin secara keseluruhan.
Gabriela Mistral adalah nama samaran untuk Lucila Godoy y Alcayaga. Kehidupan pribadinya ditandai dengan tragedi. Dia lahir di Vicuna, Chili pada tahun 1889 tetapi ayahnya meninggalkan keluarga pada usia 3. Pada usia 16 ia membantu keuangan ibunya dengan bekerja sebagai asisten guru. Pada tahun 1906 ia bertemu Romeo Ureta, yang mencurahkan
halaman 41
kasih yang besar dari hidupnya. Sayangnya Romeo Ureta bunuh diri pada tahun 1909 dan hal ini meninggalkan dampak yang mendalam terhadap Gabriela. Bahkan lebih tragis, Gabriela juga kemudian melihat keponakannya (yang ia dipandang sebagai anak) melakukan bunuh diri pada usia 17 tahun. Kemudian meskipun kemunduran pribadi Gabriela, ia mampu mengejar karir yang sangat sukses dalam pendidikan. Hal ini tersebab karena ia menjadi seorang penulis sukses. Telah banyak karyanya yang diterbitkan, berkaitan dengan isu-isu yang berhubungan dengan pendidikan dan puisi. Banyak puisi yang konsisten dengan tema dari masa kanak-kanak. Namun puisinya juga mengekspresikan ide-ide yang lebih dalam. Mistral sering menulis gambaran seperti kasih (cinta terutama ibu). Puisi Mistral dipengaruhi oleh iman agamanya, dia adalah anggota jemaat dari ordo Fransiskan. Tema berulang dalam beberapa puisinya adalah konsep “kelahiran kembali” setelah kematian, suatu pembebasan dari dunia. Pada 1930 Donoso Fransisco, seorang penulis Chili yang juga berprofesi sebagai imam, menulis bahwa “hampir semua puisi Gabriela Mistral memiliki aksen doa”. Ini adalah contoh puisinya yang mengungkapkan kesadarannya kelezatan alam. “Jangan menginjak-injak bumi, tidak menghancurkan buah manis beraroma. Karena cinta itu, membungkuk, menciumnya dan memberikan mulut Anda.” Mistral meninggal pada tahun 1957, di makamnya itu ditulisi kata-katanya sendiri: “Apa-apa yang ada pada tubuh adalah jiwa, hingga ke seniman adalah untuk umat-Nya,” Beberapa puisi yang terbaik dikenal meliputi: Piececitos de Niño, Balada, Todas Íbamos sebuah Reinas ser, La Oración de la Maestra,
halaman 42
El malaikat pelindung, Decálogo del Artista dan La Flor del Aire. Seperti juga sebagai penyair lain, Gabriela memainkan peran penting dalam sistem pendidikan Meksiko dan Chile, aktif dalam komite budaya dari Liga Bangsa-Bangsa, dan konsul Chili di Naples, Madrid, dan Lisbon. Dia memegang gelar kehormatan dari Universitas Florence dan Guatemala dan merupakan anggota kehormatan dari berbagai budaya masyarakat di Chili serta di Amerika Serikat, Spanyol, dan Kuba. Dia mengajar sastra Spanyol di Amerika Serikat di Columbia University, Middlebury College, Vassar College, dan di University of Puerto Rico.*** (red.dari berbagai sumber).
Sajak-sajak
Gabriela Mistral
Kaki Mungil (Tiny Feet)
Seorang anak berkaki mungil, Biru, yang biru dingin, Bagaimana mereka bisa melihat dan Anda tidak melindungi? Oh, Tuhan! Kaki mungil terluka, Lebam-lebam oleh kerikil, Dipelasah oleh salju dan tanah! Manusia, menjadi buta, mengabaikan bahwa di mana Anda melangkah, Anda meninggalkan Sebuah bunga cahaya terang, bahwa di mana Anda telah menempatkan Ada sedikit pendarahan sol sebuah tuberose harum tumbuh. Karena, bagaimanapun, Anda berjalan melalui jalan-jalan begitu lurus, Anda berani, tanpa kesalahan. Anak kaki mungil, Dua permata kecil menderita, Bagaimana bisa orang-orang lalu, melihat.
Terjemahan Inggris oleh: Mary Gallwey Terjemahan Inggris ke versi Indonesia oleh Abdillah Putro Dasmo
halaman 43
Aku Tak Sorang (I am Not Alone)
Malam itu, sepi dari gunung ke laut. Tapi aku, orang yang membantu Anda, Aku tak sorang! Langit, sepi untuk bulan jatuh ke laut. Tapi aku, orang yang memegang Anda, Aku tak sorang! Dunia, sepi. Semua daging sedih yang Anda lihat. Tapi aku, orang yang memeluk Anda, Aku tak sorang!
Terjemahan Inggris oleh: Mary Gallwey Terjemahan Inggris ke versi Indonesia oleh Abdillah Putro Dasmo
halaman 44
Orang Asing (Stranger/La Extranjera)
Dia berujar pada gemuruh buas nya laut Dengan alga dan pasir yang tak jelas; Dia berdoa kepada Allah, ringan tak berupa, Berusia, namun mati. Di kebun kami kini sangat aneh Telah dia ditanam kaktus dan rumput tak biasa. Zephyr gurun mengisi dengan lenguh Dan ia telah mengasihi dengan gairah, sangat putih Dia tidak pernah berbicara tentang, sebab jika dia memberitahu Ini akan menjadi seperti wajah bintang-bintang khayal. Di antara kami dia dapat hidup delapan puluh tahun Namun selalu seakan barusan Berbicara dengan lidah merengek tentang tanaman Hanya dengan makhluk kecil dimengerti. Dan dia akan mati di sini, di tengah-tengah kita Suatu malam sepenuh penderitaan Dengan nasibnya hanya sebagai bantal Dan kematian, diam dan aneh.
Terjemahan Inggris oleh: Mary Gallwey Terjemahan Inggris ke versi Indonesia oleh Abdillah Putro Dasmo
halaman 45
Keyakinan (creed)
Saya percaya pada kata hati bahwa ketika Hati terluka tenggelam pada kedalaman nyanyi Tuhan Melesat naik dari kolam hidup Seolah-olah baru lahir. Saya yakin pada kata hati bahwa apa yang saya peras dari diri sendiri Untuk kanvas semburat kehidupan Dengan rona pucat merah, mengunakan jubah itu Dalam pakaian gemerlap.
Terjemahan Inggris oleh: Mary Gallwey Terjemahan Inggris ke versi Indonesia oleh Abdillah Putro Dasmo
halaman 46
Tuan-rumah Gemilang (The Shining Host)
Sia-sia Anda mencoba Untuk menimbus nyanyiku: Sejuta anak Sedang menyanyi paduan suara Di terik matahari! Sia-sia Anda mencoba Untuk memaknai ayat saya Dari penderitaan: Anak-anak menyanyi Dalam Tuhan!
Terjemahan Inggris oleh: Helena Masslo Anderson Terjemahan Inggris ke versi Indonesia oleh Abdillah Putro Dasmo
K
halaman 47
Suluh
Syams al-Din Sumatrani (Sufi dari Pasai)
ejak lama Aceh telah dikenal sebaga sebagai satu-satunya daerah di Nusantara N yang aksentuasi keislamannya paling menonjol. Pencitraan ini muncul karena banyak faktor. a) hubungan dagang dan diplomatik antara kerajaan-kerajaan di wilayah Melayu (misalnya Sriwijaya, Samudera Pasai, dan Aceh Darussalam) dengan Timur Tengah dan Eropa yang sudah berlangsung lama; terlebih ketika kerajaan Samudera Pasai dan Aceh Darussalam mendapatkan pengakuan dari Kerajaan Turki Utsmani dan mendapatkan restu “kekhalifahan” dan “kesultanan” dari Syarif-Syarif di Haramayn. b) kerajaan Islam di Nusantara yang paling dekat ke Haramayn (Makkah dan Madinah) berada di Aceh, yakni Samudera Pasai dan Aceh Darussalam, yang kemudian menjadi gerbang masuknya Islam ke wilayah Nusantara lainnya, termasuk ke Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dll. c)
Banyaknya ulama dan intelektual Muslim lainnya yang singgah ke wilayah ini, termasuk hidupnya dialog-dialog (polemik) intelektual keislaman, yang pada gilirannya mengharumkan nama
halaman 48
Aceh sebagai bumi kaum Muslim, yang corak ke-Islaman--nya, diklaim, melebihi keislaman wilayah lainnya. d) Posisi strategis dari Aceh, terutama karena keberadaan beberapa pelabuhan besar, termasuk Malaka, yang memungkinkan daerah ini menjadi salah satu wilayah strategis yang memainkan peran signifikan dalam bidang politik, ekonomi, intelektualisme, dan Islamisasi Melayu dan Nusantara. Selain menonjolnya warna keislaman dalam kehidupan sosio-kultur di sana, ternyata di Serambi Mekah ini pernah tersimpan pula sejumlah Sufi ternama semisal Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, dan Samsuddin Sumatrani. Ulama terakhir, yakni Syamsuddin Sumatrani, adalah salah satu tokoh sufi terkemuka yang telah turut mengguratkan corak esoteris pada wajah Islam di Aceh. Sayangnya perjalanan hidup sang sufi ini sulit sekali untuk dirangkai secara utuh. Hal ini selain karena tidak ditemukannya catatan otobiografisnya, juga karena langkanya sumber-sumber akurat yang dapat dirujuk. Bahkan tidak kurang peneliti seperti Prof. Dr. Azis Dahlan yang pernah mengadakan penelitian untuk disertasinya, merasa
kesulitan dengan langkanya sumbersumber mengenai tokoh suďŹ yang satu ini. Diantara sumber tua yang dapat dijumpai mengenai potret Syamsuddin Sumatrani adalah Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan kitab Bustanu al-Salathin. Itupun tidak memotret perjalanan hidupnya secara terinci. Meski demikian, dari serpihan-serpihan data historis yang terbatas itu kiranya cukuplah bagi kita untuk sekedar memperoleh gambaran akan kiprahnya berikut spektrum pemikirannya. Mengenai asal-usulnya, tidak diketahui secara pasti kapan dan di mana ia lahir. Perihal sebutan Sumatrani yang selalu diiringkan di belakang namanya, itu merupakan penisbahan dirinya kepada “negeri Sumatraâ€? alias Samudra Pasai. Sebab memang di kepulauan Sumatra ini tempo doeloe pernah berdiri sebuah kerajaan yang cukup ternama, yakni Samudra Pasai. Itulah sebabnya ia juga adakalanya disebut Syamsuddin Pasai. Menurut para sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan Sumatrani ataupun Pasai mengisyaratkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, orang tuanya adalah orang Pasai (Sumatra). Dengan demikian maka bisa diduga bahwa ia sendiri dilahirkan dan dibesarkan di Pasai. Jika pun ia tidak lahir di Pasai, maka kemungkinan kedua bahwa sang ulama terkemuka pada zamannya ini telah lama bermukim di Pasai bahkan ia meninggal dan dikuburkan di sana. Berbicara tentang peranan Sumatra sebagai pusat pengajaran dan pengembangan Islam, Negeri Pasai itu memang lebih dahulu terkemuka daripada Banda Aceh. Paling tidak Samudera Pasai lebih dulu terkemuka pada kisaran abad ke-14 dan 15 M, yakni sebelum
akhirnya Pasai dikuasai oleh Portugis pada tahun 1514. Sementara beralihnya tampuk kekuasaan Negeri Pasai kepada Kerajaan Aceh Darussalam baru berlangsung pada tahun 1524. Pada masa pemerintahan Sayyid Mukammil (1589-1604), Syamsuddin Sumatrani sudah menjadi orang kepercayaan sultan Aceh. Sayang dalam kitab Bustan al-Salathin sendiri tidak disingkapkan bagaimanaperjalanan Syamsuddin Sumatrani sehingga ia menjadi ulama yang paling dipercaya dalam lingkungan istana kerajaan Aceh selama tiga atau empat dasawarsa. Syamsuddin Sumatrani wafat pada tahun 1039 H/1630 M, dan selama beberapa dasawarsa terakhir dari masa hidupnya ia merupakan tokoh agama terkemuka yang dihormati dan disegani. Ia berada dalam lindungan dan bahkan berhubungan erat dengan penguasa Kerajaan Aceh Darussalam. Syamsuddin Sumatrani adalah satu dari empat ulama yang paling terkemuka. Ia berpengaruh serta berperan besar dalam sejarah pembentukan dan pengembangan intelektualitas keislaman di Aceh pada kisaran abad ke-l7 dan beberapa dasawarsa sebelumnya. Keempat ulama tersebut adalah Hamzah Fansuri (?-?), Syamsuddin Sumatrani (?-1630), Nuruddin Raniri (?1658), dan Abdur Rauf Singkel (1615/20-1693). Mengenai ada tidaknya hubungan antara Syamsuddin Sumatrani dengan ketiga ulama lainnya, ada baiknya disinggung seperlunya. Mengenai hubungan Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin Sumatrani, sejarawan A. Hasjmy cenderung memandang Syamsuddin Sumatrani sebagai murid dari Hamzah Fansuri. Pandangannya ini diperkuat dengan ditemukannya dua karya tulis Syamsuddin Sumatrani yang merupakan ulasan (syarah)
halaman 49
terhadap pengajaran Hamzah Fansuri. Kedua karya tulis Syamsuddin Sumatrani itu adalah Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol. Adapun hubungannya dengan Nuruddin ar-Raniri, hal ini tidak diketahui secara pasti. Yang jelas adalah bahwa tujuh tahun setelah Syamsuddin Sumatrani wafat, Raniri memperoleh kedudukan seperti sebelumnya diperoleh Syamsuddin Sumatrani. Ia diangkat menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1637 oleh Sultan Iskandar Tsani. Karena fatwanya yang men-zindiq-kan (mengkafirkan) paham wahdatul wujud Syamsuddin Sumatrani, maka para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani dihukum oleh pihak penguasa dengan hukuman bunuh. Bahkan literatur-literatur yang mereka miliki dibakar habis. Namun demikian, para pengikut paham Sumatrani itu ternyata tidak punah semuanya. Pada kisaran tahun 1644 Raniri disingkirkan dari kedudukannya selaku mufti kerajaan Aceh Darussalam. Ia pun terpaksa pulang ke Ranir, Gujarat. Sebagai penggantinya, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675) kemudian mempercayakan jabatan mufti kerajaan kepada Saifur Rijal. Saifur Rijal adalah seorang Minang yang juga penganut paham wahdatul wujud. Pada waktu itu ia baru pulang kembali ke Aceh dari pendalaman kajian agama di India. Dengan demikian, paham tasawuf Syamsuddin Sumatrani itu kembali mewarnai corak keislaman di Kerajaan Aceh Darussalam. Dari hasil penelitian Prof. Dr. Azis Dahlan diketahui adanya sejumlah karya tulis yang dinyatakan sebagai bagian, atau berasal dari karangan-karangan Syamsuddin Sumatrani, atau disebutkan bahwa Syamsuddin
halaman 50
Sumatrani yang mengatakan pengajaran itu. Karya-karya tulis itu sebagian berbahasa Arab, sebagian lagi berbahasa Melayu (Jawi). Diantara karya tulisnya yang dapat dijumpai adalah sebagai berikut: 1. Jawhar al-Haqa’iq (30 halaman; berbahasa Arab), merupakan karyanya yang paling lengkap yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze. Kitab ini menyajikan pengajaran tentang martabat tujuh dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. 2. Risalah Tubayyin Mulahazhat alMuwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah (8 balaman; berbahasa Arab). Karya yang telah disunting oleb Van Nieuwenhuijze ini, kendati relatif singkat, cukup penting karena mengandung penjelasan tentang perbedaan pandangan antara kaum yang mulhid dengan yang bukan mulhid. 3. Mir’at al-Mu’minin (70 halaman; berbahasa Melayu). Karyanya ini menjelaskan ajaran tentang keimanan kepada Allah, para rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, para malaikat-Nya, hari akhirat, dan kadarNya. Jadi pengajarannya dalam karya ini membicarakan butir-butir akidah, sejalan dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah (tepatnya Asy’ariah-Sanusiah). 4. Syarah Ruba’i Hamzah Fansuri (24 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan terhadap 39 bait (156 baris) syair Hamzah Fansuri. Isinya antara lain menjelaskan pengertian kesatuan wujud (wahdat al-wujud). 5. Syarah Sya’ir Ikan Tongkol (20 balaman; berbahasa Melayu). Karya ini merupakan ulasan (syarh) terbadap 48 baris sya’ir Hamzah Fansuri yang mengupas soal Nur Muhammad dan cara untuk mencapai fana’ di dalam Allah.
6. Nur al-Daqa’iq (9 halaman berbahasa Arab; 19 halaman berbahasa Me1ayu). Karya tulis yang sudah ditranskripsi oleh AH. Johns ini (1953) mengandung pembicaraan tentang rahasia ilmu makrifah (martabat tujuh). 7. Thariq al-Salikin (18 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini mengandung penjelasan tentang sejumlah istilah, seperti wujud, ‘adam, haqq, bathil, wajib, mumkin, mumtani’ dan sebagainya. 8. Mir’at al-Iman atau Kitab Bahr al-Nur (12 halaman; berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah, martabat tujuh dan tentang ruh. 9. Kitab al-Harakah (4 halaman; ada yang berbahasa Arab dan ada pula yang berbahasa Melayu). Karya ini berbicara tentang ma’rifah atau martabat tujuh. Syamsuddin Sumatrani dikenal sebagai seorang sufi yang mengajarkan faham wahdatul wujud (keesaan wujud) dengan mengikuti faham wahdatul wujud Ibnu Arabi. Istilah wahdatul wujud itu sendiri sebenarnya bukan diberikan oleh Ibnu Arabi sendiri. Artinya, Ibnu Arabi tidak pernah menyatakan bahwa sistem pemikiran tasawufnya itu merupakan paham wahdatul wujud. Dari hasil penelitian WC. Chittick, Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274) adalah orang pertama yang menggunakan istilah wahdatul wujud, hanya saja al-Qunawi tidak menggunakannya sebagai suatu istilah teknis yang independen. Selain al-Qunawi, masih banyak lagi yang menggunakan istilah wahdatul wujud. Namun tokoh yang paling besar peranannya dalam mempopulerkan istilah wahdatul wujud adalah Taqi al-Din Ibn Taymiyyah (w. 728/1328). Ia adalah
pengecam keras ajaran Ibnu Arabi dan para pengikutnya. Di antara kaum sufi yang mengikuti jejak pemikiran Ibnu Arabi tersebut adalah Syamsuddin Sumatrani. Pengajaran Syamsuddin Sumatrani tentang Tuhan dengan corak paham wahdatul wujud dapat dikenal dari pembicaraannya tentang maksud kalimat tauhid la ilaha illallah, yang secara harfiah berarti tiada Tuhan selain Allah. Ia menjelaskan bahwa kalimat tauhid tersebut bagi salik (penempuh jalan tasawuf) tingkat pemula (al-mubtadi) dipahami dengan pengertian bahwa tiada ada ma’bud (yang disembah) kecuali Allah. Sementara bagi salik yang sudah berada pada tingkat menengah (al-mutawassith), kalimat tauhid tersebut dipahami dengan pengertian bahwa tidak ada maksud (yang dikehendaki) kecuali Allah. Adapun bagi salik yang sudah berada pada tingkat penghabisan (al-muntaha), kalimat tauhid tersebut difahami dengan pengertian bahwa tidak ada wujud kecuali Allah. Namun ia mengingatkan bahwa terdapat perbedaan prinsipil antara pemahaman wahdatul wujud dari para penganut tauhid yang benar (almuwahhidin al-shiddiqin), dengan paham wahdatul wujud dari kaum zindiq penganut panteisme. Di lihat dari satu sisi, kedua pihak itu memang nampak sependapat dalam menetapkan makna kalimat tauhid la ilaha illallah, yakni tiada wujud selain Allah, sedang wujud segenap alam adalah bersifat bayang-bayang atau majazi. Tetapi sebenarnya kedua belah pihak memiliki perbedaan pemahaman yang sangat prinsipil. Bagi kaum panteisme yang zindiq alias sesat, mereka memahaminya bahwa wujud Tuhan itu tidak ada, kecuali dalam kandungan wujud alam. Jadi bagi kalangan
halaman 51
panteis ini, segenap wujud alam adalah wujud Tuhan dan wujud Tuhan adalah wujud alam (baik dari segi wujud maupun dari segi penampakannya). Jadi para penganut paham panteisme itu mengidentikkan Tuhan dengan alam. Mereka menetapkan adanya kesatuan hakikat dalam kejamakan alam tanpa membedakan antara martabat Tuhan dengan martabat alam. Paham demikian menurut Syamsuddin Sumatrani adalah paham yang batil dan ditolak oleh para penganut tauhid yang benar. Bagi Syamsuddin Sumatrani, sebagaimana faham Ibnu Arabi, asdalah Keesaan Wujud berarti tidak ada sesuatu pun yang memiliki wujud hakiki kecuali Tuhan. Sementara alam atau segala sesuatu selain Tuhan keberadaannya adalah karena diwujudkan (maujud) oleh Tuhan. Karena itu dilihat dari segi keberadaannya dengan dirinya sendiri, alam itu tidak ada (ma’dum); tetapi jika dilihat dari segi “keberadaannya karena wujud Tuhan” maka jelaslah bahwa alam itu ada (maujud). Dengan demikian martabat Tuhan sangat berbeda dengan martabat alam. Hal ini diuraikan dalam ajarannya mengenai martabat tujuh, yakni satu wujud dengan tujuh martabatnya. Tulisnya: I’lam, ketahui olehmu bahwa (se) sungguhnya martabat wujud Allah itu tujuh martabat; pertama martabat ahadiyyah, kedua martabat wahdah, ketiga martabat wahidiyyah, keempat martabat alam arwah, kelima martabat alam mitsal, keenam martabt alam ajsam dan ketujuh martabat alam insan. Maka ahadiyyah bernama hakikat Allah Ta’ala, martabat Dzat Allah Ta’ala dan wahdah itu bernama hakikat Muhammad,
halaman 52
ia itu bernama sifat Allah, dan wahidiyyah bernama (hakikat) insan dan Adam ‘alaihi alSalam dan kita sekalian, ia itu bernama asma Allah Ta’ala, maka alam arwah martabat (hakikat) segala nyawa, maka alam mitsal martabat (hakikat) segala rupa, maka alam ajsam itu martabat (hakikat) segala tubuh, maka alam insan itu martabat (hakikat) segala manusia. Adapun martabat ahadiyyah, wahdah dan wahidiyyah itu anniyyat Allah Ta’ala, maka alam arwah, alam mitsal alam ajsam dan alam insan itu martabat anniyyat al-makhluk. Atas uraian Syamsuddin Sumatrani tersebut Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan memberikan ulasan: terhadap tiga martabat pertama yang disebutnya dengan ‘anniyyat Allah, maksudnya adalah martabat wujud aktual Tuhan; Sedang terhadap empat martabat berikutnya yang disebut martabat anniyyat al-makhluk, maka yang dimaksudkannya adalah wujud aktual makhluk. Dengan demikian, tiga martabat pertama adalah qadim (dahulu tanpa permulaan) dan baqa (kekal tanpa kesudahan); Sedang empat martabat berikutnya disebut muhdats (yang dijadikan/diciptakan). Karena itu pula istilah ‘alam tidak digunakan untuk tiga martabat pertama, tapi jelas dipergunakan untuk empat martabat berikutnya. Dari semua itu dapatlah dipahami bahwa martabat ketuhanan itu tidak lain dari tiga martabat pertama, sedang martabat alam atau makhluk mengacu pada empat martabat berikutnya. Wallahu A’lam. (Sumber: Red. http://baruga.mahafatna. com/syamsuddin-sumatrani-sang-sufi-aceh)
Sajak-sajak Sufi
Datang Semata untuk Bersaksi
Kehadiran kita di ruang sidang Sang Hakim ini untuk membuktikan kebenaran pernyataan kita, “kami bersaksi,” ketika dalam Perjanjian itu kita ditanyai, “bukankah Aku Tuhanmu?” Karena kita telah membenarkan, maka dalam persidangan ini ucapan dan tindakan kita menjadi saksi dan bukti bagi kesepakatan itu. Ruang sidang Sang Hakim bukanlah tempat untuk membisu. Bukankah kita datang kesini untuk memberikan persaksian? Wahai saksi, berapa lama lagi engkau diperiksa di ruang sidang Sang Hakim? Segeralah berikan pernyataanmu. Engkau telah dipanggil ke sini, dan telah datang engkau, semata untuk bersaksi. Lalu mengapakah engkau bersikukuh diam? Di ruang tertutup ini engkau ikut menutup mulut maupun tanganmu.
halaman 53
Kecuali engkau berikan pernyataan itu, wahai saksi, bagaimana caranya engkau akan keluar dari sidang ini? Inilah urusanmu di alam ini. Kerjakan tugasmu dan segeralah berlalu, jangan memanjangkan yang ringkas, sampai melelahkan dan menjengkelkan dirimu sendiri. Bergantung kepada perjanjian yang telah engkau sepakati: apakah kiprah pernyataanmu perlu digelar disini selama seratus tahun atau sekejap mata; serahkan amanah itu dan bebaskan dirimu sendiri. Apakah yang perlu dinyatakan? (Terungkapnya) khazanah yang tersembunyi di dalam dirimu: melalui ucapan, tindakan atau apa saja. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan rahasia yang tersembunyi di dalam inti substansi jiwamu. Sementara substansi sejati dirimu itu tetap; reeksinya, berupa kata atau amal, langsung menghilang segera setelah ditampilkan. Jejak emas pada Batu-uji tidaklah menetap, tetapi emasnya sendiri tetaplah terpuji dan murni.
halaman 54
Demikianlah, shalat, puasa dan jihadul-akbar ini, tidaklah terus tampil diamalkan, tetapi ruh mereka tetap senantiasa terpuji. Jiwa mereeksikan bentuk-bentuk kata dan amal semacam ini: substansinya menyentuhkan diri kepada Batu-uji berupa Perintah Ilahiah. Seakan dia berkata, “imanku sempurna, inilah saksi-saksinya!â€? Jadi, jika ada keraguan maka itu berkaitan dengan para saksi. Ketahuilah, kebenaran para saksi mestilah diperiksa: sarana untuk mengetahui benar tidaknya adalah pada keikhlashan; kebenaranmu selaras dengan keikhlasanmu. Persaksian kebenara kata-katamu adalah dalam memenuhinya ketika diuji; sedangkan persaksian kebenaran amalmu adalah dalam mengerjakan amal yang sesuai dengan Perjanjian. Persaksian ucapan tertolak jika mengatakan hal yang salah; sedangkan persaksian amal tertolak jika tidak lurus.
halaman 55
Ucapan dan tindakanmu seyogyanya tidak saling bertentangan, agar persaksianmu segera diterima. “Dan usahamu beraneka-ragam;” dirimu dalam pertentangan: engkau memintal pada siang hari, tetapi pada malam hari kau urai kembali pintalanmu. Siapakah yang mau mendengar pernyataan yang penuh pertentangan, kecuali Sang Hakim memperlihatkan kelapangan-Nya? Kata dan amal-tindakan mengejawantahkan fikiran dan maksud tersembunyi, keduanya membongkar rahasia yang semula terhijab. Wahai pembantah, selama engkau menentang para Waliyullah, maka mereka akan menentangmu. “Maka tunggulah mereka, sesungguhnya mereka menunggu pula.”
(Rumi: Matsnavi, V no 174 – 182, 246 – 260, teks Inggris oleh Nicholson diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Puja Maswary)
halaman 56
Tunaikanlah Maharnya
Karenanya, barang siapa ingin bersanding, tunaikanlah maharnya: masukkanlah dirimu sepenuhnya dalam kecintaanmu, seraplah bentuk dan ciri-cirinya. Jika yang engkau ingini adalah cahaya, bersiaplah untuk menerimanya. Jika engkau ingin berjarak dari Tuhan, pupuklah cinta diri sendiri dan menjauhlah. Jika engkau ingin mencari jalan keluar dari lokap yang lapuk ini, jangan palingkan wajahmu dari Sang Kekasih, sujud dan mendekatlah.
(Dari Rumi: Matsnavi, I no 3605 – 3607, terjemahan teks Bahasa Inggris oleh Nicholson, ke bahasa Indonesia oleh Puja Maswary)
halaman 57
Pencari, Berhijrahlah
Jika pohon punya sayap atau kaki, tentulah ia bisa bergerak, sehingga tak diterimanya sakit dari mata gergaji atau dari pukulan kampak. Dan jika matahari tak bergegas ketika malam tiba, bagaimanakah bumi akan diterangi ketika fajar merekah. Dan jika air tidak menguap dari laut ke langit, kapankah taman akan dialiri sungai dan dibasahi hujan. Ketika setitik benih bergerak dari sumbernya ke tujuan, ditemukannya rumahnya, dan lalu menjadi sebutir mutiara. Bukankah Jusuf, walau sambil berlinang air-mata, mengembara meninggalkan ayahnya. Bukankah dalam pengembaraan itu, dia menemukan kerajaan, ketenaran dan kemenangan? Bukankah Mustapha berhijrah, dan di Madinah memperoleh kedaulatan, dan menjadi tuan dari berbagai negeri?
halaman 58
Kalaupun kaki tak engkau miliki, tempuhlah hijrah di dalam dirimu sendiri, (Itu) bagaikan tambang merah-delima mulai tersingkap oleh secercah cahaya matahari. Wahai pencari, berhijrahlah, keluar dari kampung halamanmu, menuju ke kedalaman dirimu sendiri. Karena dengan hijrah seperti itu, bumi menjadi tambang emas. Dari yang semula masam dan pahit, berkembanglah menjadi sesuatu yang manis. Bahkan dari tanah yang tandus, tumbuh berbagai jenis buah-buahan. Lihatlah kejaiban ini, yang tergelar di bawah matahari kebanggaan Tabriz. Karena semua pohon mendapatkan keindahannya dari cahaya matahari.
Maulana Jalaluddin Rumi (Dari Divan Syamsi Tabriz no 27, teks Inggris oleh Nicholson ke bahasa Indonesia oleh Puja Maswary)
halaman 59
Engkau DiCintai oleh Nya
Jika, dalam Sekolah Tuhan engkau tak kan memahami huruf-huruf, janganlah sangsi rekan, jiwamu akan diisi seperti Muhammad dengan sinar kebenaran. Dan, wahai, untuk apa kau ingin dikenal oleh manusia? Tuhan mengetahui yang terbaik dan menyurukkan para abdi sejati Nya bagaikan harta karun, untuk keselamatan mereka di seutu tempat, hanya sedikit orang yang tahu. Maukah engkau mengambil harta karunmu dimana hanya keluguanmu di hadapan Tuhan lah yang akan menemukannya? Cinta Tuhan adalah Api, makanannya adalah setiap kesulitan: Hari-hari terang akan memusnahkan setiap yang bukan Dia dalam dirimu.
halaman 60
Engkau dicintai oleh Nya; Carilah Sahabatku, Jawaban, Berasal dari Tempat yang sama dengan pertanyaan yang sama. Hati yang tiada bersudut adalah milik pejalan Tuhan yang setia: Sinar terangnya tidak datang dari Timur maupun Barat, tetapi berasal dari bulan yang satu. Oh, mengapa engkau pergi, Gunung kenyataanku? Apakah demi memburu gema suaramu di sini, dan juga di manapun? Wahai, sayangku, carilah jawaban yang berasal dari tempat yang sama. Ketahuilah, bahwa engkau telah diikat di dalam tujuan-tujuan cinta ketika diluluhlantakkan oleh ujian yang berulang dan berulang tiada menyisakan dirimu. Hingga hanya Dia… “Oh, Tuhan, wahai, tuhan, oh, Tuhan…” Juallah akal dan kemampuan, lalu belilah kemurnian: Bersegeralah menuju kerendahan hati, bukan Bukhara!
Maulana Jalaluddiin Rumi (Dari “The Call”, Teachings of Rumi; teks Inggris oleh Andrew Harvey ke bahasa Indonesia oleh Puja Maswary)
K
halaman 61
Obituari
Seniman Yusman Yahya Meninggal Dunia
Innalillahi wainna ilaihi rojiun, Yusman Yahya meninggal dunia di RSUD Arifin Ahmad pukul 17.30 WIB, Kamis (29/1/2015). Almarhum dimakamkan di Rengat, Indragiri Hulu (Inhu), jenazah almarhum Kamis malam diberangkatkan ke Inhu. Sejumlah kerabat almarhum seperti Eri Bob, Bule dan sejumlah seniman lainnya hadir saat melepas almrhum. ‘’Kami dari Geliga khususnya dan seniman-seniman musik di Riau turut berduka atas meninggalnya seniman musik Yusmaan Yahya, beliau seorang pemain musik senior di Riau yang cukup handal dengan kemampuannya dalam bermain saxophone,’’ tutur Eri Bob, Kamis malam. Tidak hanya Geliga, tambah Eri kalangan seniman di Riau sangat kehilangan. Apalagi di Riau pemain musik saxophone sangat langka sekali, beliau juga sangat dihormaati oleh seniman-senman musik lainnyaa karena menggap almarhum sebagai guru yang bijak. Menurut Eri, dari informasi yang ia terima dari keluarga, almarhum terkena
halaman 62
serangan stroke tiga hari lalu dan langsung di bawa ke RSUD guna mendapatkaan perawatan. Almarhum meninggalkan seorang isteri dan tiga anak. Budayawan Riau Yusmar Yusuf memandang almarhum adalah pemain musik yang cerdas dan jam terbangnya di atas rata-rata nasional. ‘’Dia pemain yang cerdas. Jam terbangnya di atas rata-rata nasional. Khusus saxophone pemain-pemain musik jazz dari Jakarta banyak belajar dengan dia. Dia seorang yang pemalu dan rendah hati,’’ kata Yusmar. Ditambaahkan Yusmar, seliat apapun komposisi musik Eri Bob dia bisa melukis dengan langgam dan bunga-bunga yang hidup dan tak terduga. Dia pernah main musik masa kontrak dengan Stanvac dan hotel Riau atau Riau hotel tahun 70-an. Kini seniman yang juga pemain saxophone grup musik jazz Geliga telah mendahului kita semua. Semoga amal dan ibadah Almarhum diterima oleh Allah SWT. Amin. *** Red: dari berbagai sumber
Obituari
Yan Antoni Meninggal Dunia Sang Pengharum Nama Riau Innalillahi waina illaihirojiun. Telah berpulang ke rahmatullah seniman tari senior, Yan Antoni Jumat malam, (30/1) sekitar pukul 20.00 WIB di rumah sakit Awal Bross. Almarhum kelahiran di Air Molek, 5 Januari 1952. Jenazah dimakamkan di jalan Imam Munandar, tak jauh dari jambatan Sungai Sail, Pekanbaru. Kepergian Yan Antoni merupakan duka bagi seniman Riau. Terutama bagi seniman Tari dan seniman Musik. Bagaimana tidak, sanggar tari yang dipimpinnya merupakan sanggar yang sudah lama berkiprah di Kota Pekanbaru. Jelas tak sedikit seniman telah lahir dari sanggar ini. Ia telah mengabdikan hidupnya untuk kesenian. Bukan hanya telah melahirkan seniman-seniman tari dan musik, sudah tak terhitung lagi mengharumkan nama Riau melalui seni tari dan musik, hingga kemancanegara. Melalui Zimmarman, adik bungsu beliau yang selama ini menemaninya dapatlah Yong petah tahu penyebab wafatnya Yan Antoni. Menurut Zimmarman, almarhum sempat dibawa ke beberapa rumah sakit di Pekanbaru. Awalnya ia hanya mengeluh sakit perut/maag. Setelah mengeluh sakit maag, Zimmarman membawa beliau ke rumah sakit Ibnu Sina. Merasa sakit tak juga sembuh, pada 15
Yan Antoni (kiri).int
Januari 2015, Zimmarman memindahkannya ke Rumah Sakit Pekanbaru Medical Centre (PMC) Pekanbaru. Di PMC, setelah di-USG diketahui almarhum mengidap penyakit batu empedu. Menurut Zimmarman, berdasarkan keterangan Dokter, almarhum juga mengidap diabet sudah sejak lama. Akibat penyakit yang diidap itu, ketahanan tubuh jadi berkurang, sehingga menyebabkan beberapa penyakit lainnya. Sembilan hari di PMC, Yan Antoni minta pulang ke rumah duka. Setelah pulang dari PMC, almarhum terlihat sehat, dan dah bisa diajak berbual. Memang hal yang tidak diduga, sekitar pukul 15.00 WIB, Jumat (30/01/15), kesehatannya betul-betul menurun. Lalu dibawa ke RS Awal Bros. Menurut keterangan Dokter yang merawatnya, diberitahu almarhum tidak akan bertahan hingga pagi. Mendengar
keterangan
Dokter,
halaman 63
Zimmarman sangat terkejut. Tepat pukul 20.30 WIB, Yan Antoni menghembuskan nafas terakhirnya. Sekitar pukul 21.00 WIB, jenazah dibawa pihak keluarga ke rumahnya. Ditambah Zimmarman, Yan Antoni menyukai dunia seni memang sejak muda. Selain seni tari, Yan Antoni juga pandai dalam hal menata bunga. Semua bunga tertata di halaman rumahnya, yang ditatanya sendiri. Selain itu, ia juga suka dalam hal menghias pengantin dan pelaminan. Bagi keempat adiknya, Yan Antoni bukan hanya sebagai abang, tapi sudah seperti ayah bagi mereka. Karena sejak Zimmarman masih berusia 9 bulan lagi, lima bersaudara ini sudah menjadi Yatim. Yan lah yang mengurus dan membesarkan keempat adiknya di Air Molek. Sempat kuliah, namun tidak selesai. Almarhum begitu tekun di dunia seni, hingga membentuk sanggar tari Dang Merdu. Tidak sedikit penari yang telah dilahirkannya. Termasuklah Evi Meiroza istri mantan Wali kota Pekanbaru Herman Abdullah dan Septina Primawati Rusli juga pernah berlajar menari dengannya. Sebagai pihak keluarga, Zimmarman hanya meminta maaf kepada semua yang mengenali Yan. Semoga kesalahan Yan semasa hidup bisa dimaa%an. Terutama untuk sesiapa saja yang pernah menjadi muridnya. Semoga amal dan ibadah
Almarhum diterima oleh Allah SWT. Amin. *** Red: dari berbagai sumber
K halaman 64
Dukacita
Pimpinan dan Karyawan
Turut berdukacita atas meninggalnya:
Yusman Yahya Pemusik Kamis, 29 Januari 2015 di RSUD AriďŹ n Ahmad Pekanbaru (60 Tahun)
Yan Antoni Koreografer (Penari) Jumat, 30 Januari 2015 di Rumah Sakit Awal Bros (63 Tahun)
Semoga Almarhum diterima di sisi Allah SWT dan keluarga yang ditinggalkan tabah menerima cobaan ini. Amin.
halaman lxv
halaman lxvi