Edisi198

Page 1

Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)

Wesel, 1981 dan Apresiasi Sederhana oleh Esei:

Syafrizal Sahrun Cerita-Pendek:Ubi oleh Dantje S Moeis dan Mata Lain oleh Eko

Triono Cerita-Pendek Terjemahan:

Main di Dua Kaki oleh

Alberto Moravia

Muhammad Asqalani eNeSTe dan Saifa Abidillah Sajak:

Sajak Terjemahan:

Puisi-puisi Klasik

Robert Frost

Arizal Subur dalam Melahirkan Karya Tokoh:

The Confessions of Zeno Tokoh: Meneropong Gerak Senirupa Rehal:

Tenas Eendy (Alm) oleh Dantje S Moeis

198 MA MARET RET 2015

Berita Duka:

Telah Berpulang ke Rahmatullah Tokoh Budayawan Melayu Tenas Eendy

| www.majalahsagang.com

halaman h ha la am ma a an nK KULITi KU ULI LIT ITi Ti


halaman KULI KULITii LIITi L Ti


Daftar Isi Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 198 MARET 2015 tahun XVII

Tenas Eendy merupakan seorang tokoh Budayawan Melayu. Foto Int

Merindukan Idrus ............................ 2 Esei Wesel, 1981 dan Apresiasi Sederhana oleh Syafrizal Sahrun ............................... 4 Cerita-Pendek - Ubi oleh Dantje S Moeis......................... 8 - Mata Lain oleh Eko Triono ...................15 Cerita-Pendek Terjemahan Main di Dua Kaki oleh Alberto Moravia.............................. 20 Sajak - Muhammad Asqalani eNeSTe ............. 29 - Saifa Abidillah ...................................... 36 Sajak Terjemahan Puisi-puisi Klasik Robert Frost .............. 47 Tokoh Arizal Subur dalam Melahirkan Karya .. 52 Rehal The Confessions of Zeno ........................ 58 Tokoh Meneropong Gerak Senirupa Tenas Effendy (Alm.) oleh Dantje S Moeis ...... 60 Berita Duka Telah Berpulang ke Rahmatullah Tokoh Budayawan Melayu Tenas Effendy ......................................... 63

Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Dra. Erda Yulfi Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Ilustrator Tetap: Purwanto Manager Keuangan: Erda Yulfi. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan arus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


Tajuk

Merindukan Idrus ada bulan Februari dan Maret 2015 ini banyak seniman Riau yang meninggal-dunia. Sebut saja m Edi Surya (pemusik Saxophone), Yusman (musisi Saxophone dan musisi Band Riau Hotel), Yan Antoni (koreografer Sanggar Dang Merdu, sanggar tari yang tua di Riau), M Sani Burhan (musisi tradisional, pemusik Gambus Selodang dan Akordion), dan terakhir Tennas Eendy (terakhir Ketua LAM Riau, tokoh adat dan peneliti dan penulis dan pencatat remah-remah adat dan tradisi Melayu yang tersisa). Apa pentingnya para seniman ini ditulis dan dikenang? Seperti yang pernah dikatakan oleh Ludwig van Beethoven, jika raja Austria wafat akan banyak penggantinya, tetapi kalau Beehoven wafat tidak aka nada penggantinya. Mungkin, sebagaimana yang dikemukakan oleh Beethoven ini adalah alasan yang tepat. Semenjak Idrus Tintin meninggal-dunia

halaman 2

pada 14 Juli 2003, tidak ada seniman (apalagi yang bukan seniman) sesudahnya yang dapat menggantikannya, sebagaimana yang dirindukan oleh seniman yang masih hidup yang mengenalnya secara dekat maupun secara jauh. Seperti apakah Idrus? Pertama, kepeduliannya kepada seni dan seniman, seperti melebihi kepeduliannya kepada keluarganya. Misalnya, kantor Dewan Kesenian Riau, semasa Idrus masih hidup dan jadi Ketua Pelaksana Harian, beberapa seniman yang kurang mampu seakan sudah tahu jadwal makan dan minum pagi dan tengah hari datang ke kantor DKR (ketika masih di komplek Dang Merdu) untuk memenuhi hasrat dahaga dan lapar yang mendera, dan dapat dipastikan semua itu terpenuhi dan dipenuhi oleh Idrus Tintin dengan berbagai daya dan upaya. Kedua, keunikan lain dari sosok Idrus Tintin, yang pemarah namun mambawa berkah bagi yang dimarahi. Bagaimana pula itu?


Contohnya, Amesya Aryana dan beberapa seniman papa-kedana lainnya, waktu itu, datang ke kantor DKR sengaja untuk dapat dimarahi oleh Idrus Tintin, karena dapat dipastikan bahwa ia akan mendapat reward dari maki-hamun Idrus kepadanya dengan konpensasi mendapat dana sebanyak Rp 5000,- sekali maki, yang masa itu dapat memenuhi keperluan hidup minimal selama dua hari. Kemudian, Idrus seakan-akan tak boleh mendengar seniman-seniman yang papa-kedana mengeluh tentang keuangan yang mendera keluarganya. Dengan gigih ia menjalankan list minta bantuan dana kepada siapapun yang layak memberi bantuan. Sebenarnya banyak hal lain tentang terkait dengan keunikan-keunikan sosok Idrus Tintin yang dirindukan oleh seniman sesudahnya, mungkin muat untuk tulisan sebuah buku. Merindukan Idrus ini, juga terasa dengan merindukan Suman HS, Ibrahim Sattah, B M Syamsuddin, A Soeleman Syafi’ie, M Daud Kadir, Sudarno Mahyudin, Yusuf Dang, Abu Bakar, Syamsuddin Tambusai, Syamsu Hilal, Hanafi Harun (di London), Bustaman Halimy, Wan Nurdin, Jakfar Bule (Jakfar Terompet), Sariamin Ismail (Selasih Seleguri), Ali Anar, Eendi Ananta, Dasri Al Mubary, Deded R Moerad, Rivai Talut, Wunulde Syafinal, Bedor Suratmin, Basri Rais, Broto, Untung, Simanjutak, Siti Hajar, Raja Nayruddin, Mas Tok, Syahril, A Munir Khalid, Mufti Edam, Ganti, Wak Setah, M Yazid, Ediruslam Pe Amanriza, Hasan Junus, dan seniman Riau lainnya yang tak dapat diingat lagi, semuanya sudah meninggaldunia, dan seluruhnya menghiasi resam dan ragam kesenian Riau.

sudah meningal-dunia, sama dengan merindukan Tennas Eendy yang jika seniman meminta bantuan kepadanya tak akan pulang dengan tangan hampa. Merindukan Idrus Tintin, sama juga dengan merindukan Hasan Junus, yang pada bulan Maret ini sebagai haul meninggal-dunianya. Semoga kalian mendapat limpahan rahmat Allah Al-Jamil (Yang Maha Indah, dan menyukai keindahan), dan segala kebaikan yang pernah kalian buat akan senantiasa dikenang dikemudian hari. Siapakah kalian?

yang

dapat

menggantikan

*** Redaksi

D

Merindukan Idrus Tintin, sama dengan merindukan seluruh seniman Riau yang

halaman 3


Esei

Wesel, 1981 dan Apresiasi Sederhana oleh Syafrizal Sahrun

Pintu itu diketuk perlahan. Ada suara menyahut dari dalam. Laki-laki muda itu mengangguk sebelum masuk. Dan laki-laki berkaca mata, Pak Dekan, kembali melanjutkan pekerjaannya setelah memperhatikan sejenak.” Begitulah paragraf pembuka cerpen Wesel yang dibicarakan ini. Cerpen yang di tulis oleh Irwansyah – mahasiswa USU yang keluar sebagai juara I lomba penulisan cerpen pada Porseni tingkat nasional 1981. Sebagai cerita imajinatif, cerpen yang dibicarakan ini mewakili permasalahan yang dialami sebagian besar mahasiswa kita. Cerpen ini ibarat kunci yang dapat membuka pengalaman yang bersinggungan dengan mahasiswa. Terlepas itu pengalaman yang lahir dari pribadi penulis maupun orang lain, cerpen ini bisa dikatakan berhasil memikat pembaca. Ada beberapa sub masalah yang menjadi dasar cerpen ini. Pertama, mengenai latar bekang ekonomi keluarga. Tidak semua

halaman 4

orang yang berkuliah berasal dari keluarga berada. Ada pula yang berasal dari keluarga kurang mampu tetapi mempunyai keinginan kuat untuk meneruskan pendidikan sampai perguruan tinggi. Bukan berarti ia tidak paham mengenai biaya yang besar untuk meraih gelar sarjana, melainkan tuntutan zaman yang memaksa untuk berbuat demikian. Keadaan ekonomi tokoh cerita diwakili oleh ungkapan yang termuat pada paragraf cerpen yang diturunkan berikut: “Laki-laki muda itu berdiri canggung. Matanya menekuri lantai. Sekilas ia menatap ujung sepatu kulitnya yang terkelupas. Peluhnya merambat keluar memenuhi pori-pori, Dari awal-awal laki-laki muda itu sebenarnya ragu untuk menghadap dekannya langsung. Tapi ‘sikon’ menghendaki dia berbuat demikian. Hanya Pak Dekanlah yang bisa memutuskan. Apa boleh buat. ‘Terpaksa’, keluhnya.”


Ungkapan “ujung sepatu kulitnya yang terkelupas� merupakan simbol keadaan ekonomi tokoh utama dalam cerita. Di sinilah pengarang mengajak pembaca memainkan intuisinya mengartikan siapa dan bagaimana si tokoh utama. Pada paragraf tersebut tergambar pula bagaimana psikologis tokoh utama. Keraguraguan yang menghantuinya sebagai permainan batin manusia. Status sosial antara mahasiswa dan dekannya begitu jelas perbedaannya. Perbedaaan itulah yang membuat si mahasiswa ragu-ragu dan melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang harus ia jawab sendiri. Bagaimana cara menyampaikan permohonan itu? Dari mana memulainya? Jika permohonan itu ditolak, kemana lagi meminta bantuan? Sedangkan Pak Dekan yang bisa memutuskan. Bagaimanapun dorongan untuk menjumpai Pak Dekan sangat kuat. Keragu-raguan itu dapat ia kalahkan. Pada paragraf lain, pengarang memperjelas latar belakang tokoh utama menghadap dekannya. Latar belakang tersebut mengenai permohonan dispensasi pembayaran uang kuliah. Ujian semester sudah dekat. Bila tidak bisa membayar maka tidak diizinkan mengikuti ujian. Permasalahan uang kuliah bukanlah hal baru di lingkungan kampus. Banyak hal yang mendasari mahasiswa mengajukan dispensasi. Dalam cerpen ini pengarang memaparkan dengan jelas hal tersebut melalui percakapan antara mahasiswa dengan dekannya. Dikatakan dalam cerpen tersebut bahwa si mahasiswa menceritakan tentang weselnya yang belum kunjung datang, sudah lama dia minta dikirimi uang kuliah. Lalu tentang balasan orang tuannya yang minta tempo. Uang belum

dapat dikirimkan. Sawah mereka diserang wereng. Sementara uang dipakai dulu untuk membeli racun hama. Akan diusahakan jalan lain. Jalan lain yang dimaksud adalah dengan menjual lembu satu-satunya yang mereka miliki. Tapi itupun gagal bersebab lembu itu mati termakan rumput yang tertumpah racun hama. Sedang dicari jalan lain lagi. Si orang tua memintanya untuk bersabar. Sub masalah kedua lahir setelah si mahasiswa sebagai tokoh utama menceritakan sebab ia meminta dispensasi. Ternyata si dekan mempunyai permasalahan yang sama ketika masih menyandang gelar mahasiswa. Ketika itu wesel kiriman orang tuanya belum juga datang. Hal itu pula yang memaksanya untuk mengajukan dispensasi uang kuliah. Sayangnya dispensasi yang ditawarkan pada pimpinan fakultasnya gagal. “Tidak punya uang, jangan kuliah. Perguruan tinggi bukan jawatan sosial�, kata pimpinan fakultasnya pada saat itu. Sakit, sakit sekali. Sungguh sakit jadi orang melarat. Dari kegagalan tersebut dan dihadapkan dengan permasalahan yang sama sebagaimana pengajuan si tokoh utama kepadanya, munculah perdebatan batin si dekan. Pengarang menghadirkan dua sisi kepribadian manusia pada diri Pak Dekan, sosok jahat dan baik. Dua sisi itu dimunculkan sebagai pertimbangan diterima atau tidaknya pengajuan dispensasi tokoh utama. Sosok jahat mempengaruhinya untuk membalaskan dendamnya dulu kepada tokoh utama dengan menggagalkan pengajuan. Sedangkan sosok baik mengajarinya untuk membantu mahasiswa tersebut. “Bantulah orang yang benar-benar membutuhkan. Ini kesempatan kau berbuat baik. Kesempatan buat menambah tabungan amal di akhirat. Jangan kotori lagi hidupmu

halaman 5


yang bersisa”, rayu sosok baik itu. Kemunculan perdebatan batin dekan menciptakan keadaan ulurtarik untuk jawaban diterima atau tidaknya pengajuan. Begitu sulitnya untuk berkata ‘ya’ atau ‘tidak’ dalam memutuskan suatu perkara. Berdasarkan alasan si pemohon dengan pengalaman batin termohon yang akhirnya menghadirkan konflik batin yang kuat di diri Pak Dekan. Dari konflik batin tersebut terlihatlah kepiawaian pengarang meracik cerita. Pemberian alur sorot balik laksana garis tengah yang menyeimbangkan dua sisi permasalahan. Laksana cermin, alur sorot balik tersebut mengajarkan kepada pembaca untuk menepikan sifat dendam di diri manusia meskipun ada kesempatan untuk melakukannya. Pak Dekan akhirnya menyetujui pengajuan dispensasi si mahasiswa, walaupun penyerangan sosok jahat dan sosok baik ke diri Pak Dekan dua berbanding satu. Si mahasiswa sangat gembira mendapat persetujuan itu. Pak Dekan begitu haru bisa memberikan keputusan yang terbaik berlandaskan pengalamannya yang tidak baik. Diturunkan penggalan cerpen yang bernadakan hal tersebut sebagai berikut: “Laki-laki muda itu tak kuasa menyambut berita itu dengan kata-kata. Ucapan terima kasih yang ingin disampaikannya tidak bisa keluar. Tersekat dikerongkongan. Dadanya sendat. Pak Dekan membuka kaca matanya. Mengusap sudut matanya. Hampir saja butir air mata itu menitik. Tapi laki-laki muda di depannya tidak melihat. Dia sendiri sedang menahan air matanya. Kedua laki-laki di dalam ruangan itu sedang dicengkram oleh perasaan masing-

halaman 6

masing. Sungguh maha pemurah engkau, Ya Tuhan! bisik hati si laki-laki muda. Syukur atas petunjuk-Mu, Ya Rabbi! bisik laki-laki tua berkaca mata. Sungguh berat berjuang melawan hati sendiri. Segala puji bagi-Mu, Ya Tuhan! Laki-laki muda itu menyalami Pak Dekan. Kedua laki-laki yang datang dari derita yang sama itu saling bertatapan sejenak. Pak Dekan menepuk bahunya.” Pada akhir cerita, pengarang menghadirkan jebakan baru lagi untuk menyentuh hati pembaca, yaitu sub masalah ketiga. Di tengah kebahagian si mahasiwa yang mendapatkan persetujua dispensasi, datang pula kabar dari kampung yang dibawa petugas pos. Isinya sebagai berikut: “Ayah Sudah meninggal. Pulanglah segera. Ini sekedar ongkos pulang. Kakakmu.” Konflik batin pada sub masalah ketiga merupakan akhir dari cerpen. Mulai dari sub masalah awal sampai akhir, dalam menyuguhkan cerita pengarang mengutamakan permainan batin tokoh. Permainan batin itulah yang seakan memapah pembaca untuk terjebak dalam suasana haru. Suasana yang dapat menjadi juru kunci membuka pengalaman pribadi pembaca atau memunculkan pengalaman imajiner lain yang melahirkan pula alur baru di diri pembaca (terlepas dari alur yang di buat pengarang), sehingga pembaca merasa memiliki cerpen itu secara pribadi. Dari ketiga sub masalah itu, pembaca dapat menghimpun dan mengetahui permasalahan utama yang mendasari cerpen ini tercipta. Permasalahan yang menjadi tema garapan si pengarang. Dalam


penentuan tema cerita saya kembalikan pada pendapat Barthers dalam Luxemburg: Dalam merumuskan tema sebenarnya kita telah terperangkap ke dalam dikotomi ia – tidak, benar – salah, dan ini bukan yang itu. Seolah-olah tema karya sastra tertentu hanya satu. Padahal menafsirkan teks sastra tidak boleh menunjukkan satu arti saja, melainkan membeberkan aneka kemungkinan.

gandaan yang mirip seperti kertas bungkus cabai. Saya tidak memberikan perhatian khusus padanya sebab bahan skripsi saya tak bersangkutpaut dengan karya sastra. Apa lagi melihat kondisi isinya yang kabur dan berbercak hitam akibat penggandaan yang tidak baik. Cerpen itu akhirnya saya bawa pulang juga melihat masa pemuatannya yang lebih bangka dari usia saya.

Cerpen Wesel yang dinobatkan sebagai juara I Porseni tingkat nasional tahun 1981 ini adalah cerpen yang sarat konflik. Baik konflik yang hadir dari tokoh utama, maupun yang hadir dari Pak Dekan merupakan satu kesatuan yang kuat dan padat. Pantaslah bila cerpen ini juga mencuri perhatian juri dalam perlombaan. Pantas pulalah ia menjadi unggulan.

Wesel merupakan cerpen juara I pada Porseni tingkat Nasional 1981 milik mahasiswa USU. Untuk juara II jatuh pada nama Bambang Sudono (UNDIP) dan juara III diraih oleh Endang S (IKIP Semarang). Cerpen Wesel dimuatkan pada Warta Mahasiswa (WM) edisi September 1981 halaman VI oleh redakturnya dengan tujuan mempermudah memasyarakatkannya. Begitulah keterangan yang terdapat pada gandaan tersebut dan gandaan WM itu pulalah yang ada pada saya.

“Matahari sesungguhnya garang kini!”. Demikianlah kalimat akhir yang menutup cerpen tersebut. Kata ‘garang’ dapat dimaknai ke dalam dua arti. Pertama, garang diartikan sebagai penampilan yang mempesona. Kedua, garang diartikan sebagai perwajahan yang bengis. Jika di timbang, pengertian yang kedua lebih pas untuk mewakilinya. Semoga apresiasi ini jadi konsumsi yang baik. Semoga dengan diapresiasi cerpen Wesel yang muncul 33 tahun yang lalu ini dapat kembali kita nikmati sebagai bentuk penghargaan, baik ditinjau dari segi politik dan budaya. Wassalam.

Siapakah Irwansyah? Apakah dia terus menulis cerpen setamat kuliah atau sampai sekarang? Apakah, apakah dan apakah? Begitulah pertanyaan yang hadir dalam diri saya. Walau bagaimanapun Irwansyah sudah membuat bangga masyarakat Sumut dengan capaian yang diraihnya. Cerpen psikologi yang bagus. Cerpen yang mampu mewakili keadaan sebagian besar mahasiswa kita. Semoga terus berlahiran Irwansyahirwansyah lain dari Sumut ini.

*** Penemuan Cerpen Pada tahun 2009, ketika mencari bahan skripsi di perpustakaan Unimed, saya menemukan cerpen Wesel karya Irwansyah. Cerpen itu saya temukan terselip di antara lembaran sebuah skripsi dengan kondisi

Syafrizal Sahrun Tinggal di Desa Percut. Alumni UISU. Menulis puisi dan esai sastra serta mempublikasikannya di beberapa media cetak lokal dan nasional. Bergiat di Komunitas Home Poetry.

D halaman 7


Cerita-pendek

Ubi

oleh Dantje S Moeis

halaman 8


encangkung, duduk di batu miring turap penahan longsor sungai Indragiri yang membelah ibukota negeri kami Rengat Kota Bersejarah. Aku agak sedikit masgul setelah melihat tayangan teve negeri jiran yang baru saja berganti pimpinan negara, sekaligus para menterinya. Di Hari Ulang Tahun Korps Pegawai Republik jiran ke-43, pemerintah mereka mencetuskan ‘Gerakan Nasional Revolusi Mental Aparatur Sipil Negara’ (ASN). Para Pegawai Negeri Sipil (PNS) diminta meninggalkan mental priyayi dan stop pemborosan. Terhitung mulai hari itu, Senin (1/12/2014), PNS mereka dilarang rapat di hotel-hotel atau tempat mewah lainnya dan harus menggelar acara di tempat yang sudah disediakan. “Itu bagus” pikirku. Gerakan tersebut diperkuat dengan Surat Edaran No. 13/2014. Isinya adalah, PNS dihimbau untuk menyelenggarakan seluruh kegiatan instansi pemerintah di lingkungan masing-masing atau di lingkungan instansi pemerintah lainnya. “Itu juga bagus”. Selain itu, pemerintah negeri jiran juga menginstruksikan agar pegawai dan pejabat negara mengkonsumsi makanan lokal. Seperti ubi rebus. Konsumsi ini juga harus disajikan pada saat rapat pegawai pemerintahan. Perintah berdasarkan Surat No. 10/2014 ini juga berlaku mulai tanggal 1/12/2014. Begitu menurut keterangan pers yang disampaikan Menpan negeri jiran itu. “Nah, ini dia. Apa juga bagus buat semua?” Point terakhir inilah penyebab masgulnya hati ini, sampai kini dan mencangkung di dinding batu miring hingga dini-hari kini. Jauh sebelum mereka mengeluarkan kebijakan tentang perkuatan sektor makanan-pokok rakyat dan menjadikan ubi sebagai pengganti beras. Seperti yang pernah kuceritakan di sebuah media massa tiga belas tahun lalu. Aku yang pernah berperan sebagai pejabat tinggi di negeri kami ini, tepatnya di tahun 2001. Melalui corong televisi pemerintah dan swasta malam itu aku menyiarkan kebijakan yang kuambil dalam banyak hal, terutama tentang perubahan-perubahan di bidang pangan. Perubahan bertujuan peningkatan strata sosial maupun ekonomi masyarakat banyak. Laporan setelah itu, tak satupun terlihat adanya keluhan masyarakat tentang diversifikasi makanan pokok. Puja dan puji silih berganti datang yang kesemuanya ditujukan kepadaku Pak Mentut. Kenapa Pak Mentut? Mentut adalah singkatan dari (Ment)eri (ut) ama di negeri kami, sebuah negara yang sedang demam perubahan, pembaharuan di segala lini dan sangat anti gaya lama. “Mentut”,

halaman 9


agaknya semaksud dengan “Perdana Menteri” di pemerintahan gaya lama atau sama dengan “First Minister,” atau “Prime Minister,” atau “Principal Minister” di pemerintahan beberapa negeri Eropa dan Amerika sana. Aku sebagai tokoh utama dalam cerita ini, adalah orang yang memegang jabatan Mentut terpilih hasil “Pemirak (pemilihan rakyat)” yang sungguh-sungguh sangat demokratis, konstitusionis, sedikit dramatis dan yang terpenting adalah Pemirak yang bersifat, Betaraha (bebas tak rahasia), anti gaya lama. Jadi teranglah segalanya, bahwa penggantian nama panggilan buatku menjadi Pak Mentut, sangatlah kuat dan beralasan. Dampaknya tergambar bersih jelas namun tak mengenakkan buat aku pribadi, berlangsung terus menerus sejak terpilihnya Menteri utama baru dan awal pencanangan langkah kerja, aku menerbitkan Keputusan Menteri Utama disingkat “Kementut.” Tak lazim bagi perilaku seorang Menteri, apalagi untuk seorang Mentut. Hal ini sungguh membuat bingung orang dekatku yang setiap saat selalu mendampingiku kemana-mana, dan ketak-laziman itu kembali terulang kali ini. Melanggar rambu-rambu protokoler, meninggalkan setiap pertemuan resmi maupun tak resmi pulang ke kediaman sebelum acara benar-benar usai dan anehnya, kulakukan setiap selesai jamuan makan. “Mana remote control pembuka pintu pagar!” Tergesa tak sabar, merangsak ke depan, meraih benda kecil bertombol banyak yang terletak di dash board mobil dinasku. Menekan salah salah satu tombol alat otomatis pembuka pintu pagar kediaman. Tak sempat mencapai car-port, apalagi tindakan lazim ajudan untuk membukakan pintu kendaraan, aku membuka sendiri pintu mobil, menghambur ke luar menerajang pintu kediaman, menghilang masuk kamar dan menguncinya dari dalam. Tak ada yang tahu, apapula penyakit atau kelainan yang ku-idap akhir-akhir ini. Pernah pada suatu hari, pada kejadian yang sama, Bu Mentut isteriku karena rasa khawatir dan cemas melihat perubahan perilaku aku, bertanya. “Kenapa bang? Apa yang terjadi, apa abang kurang sehat? Dinda panggilkan dokter keluarga kita ya.” Beruntun pertanyaan dan jalan keluar yang diusulkan isteriku, sebagai ungkapan rasa prihatin seorang isteri tak bertendensi apa-apa. Namun, kalimat itu jadi alat pemicu meledaknya amarahku. “Diaaaaaam! Dinda telah menabur pupuk di kebun kemarahanku

halaman 10


yang kini mulai berputik. Jangan dinda ulangi keinginan untuk memanggil dokter. Aku sehat, sehat lahir bathin. Tak seorangpun kuizinkan untuk memeriksaku perihal kelainan ini. Aku yakin, ini akan hilang dengan sendirinya, itu hanyalah bentuk keterkejutan yang akan mengalami proses penyesuaian.” “Apa yang sebenarnya terjadi bang, mengapa abang seperti menyembunyikan sesuatu. Apakah dinda sebagai isterimu tidak punya hak untuk mengetahui perihal yang terjadi pada abang. Apakah dinda tak dapat lagi abang percaya? Katakan bang, katakanlah yang sejujurnya.” Aku tergelak di sela rasa sakit menghimpit, hingga mataku yang memang sipit menjadi lebih menyipit, membentuk satu garis yang kemudian mengeluarkan air mata, merasa ada sesuatu yang menggelikan dari kalimat panjang isteriku. “Ha…ha… dinda, kalimatkalimat dinda tadi sangat puitis, mengingatkan abang pada judul lagu ‘Katakanlah Yang Sejujurnya.’ Ha…ha….dan membangkitkan kenangan lama pada masa lalu kita, masa kita pacaran dulu. Tak sebarispun kalimat berbunga dinda ucapkan masa itu, selain hanya merengek, merajuk dan tertawa lepas, ngakak tanpa sungkan sesuai umurmu yang masih sangat muda pada saat itu. Ha….ha….” “Ah abang, dinda jadi malu. Apakah abang menginginkan dinda tetap seperti dulu? Cengeng, aleman, perajuk dan selalu tertawa ngakak? Dinda ingin berubah bang. Sebagai seorang Isteri Mentut yang latar belakang pendidikan cuma SMP, dinda sadar, dinda harus mengimbangi agar abang tidak malu beristerikan dinda dan kemudian berpaling ke perempuan lain.” Tanpa sadar isteriku kembali ke sifat lamanya, merajuk. Aku cepat mengantisipasi agar keadaan itu tidak berlanjut. “Ah, hanya bergurau, abang bangga padamu yang kini sangat pesat kemajuannya. Dinda sekarang sudah bisa aktif berkomunikasi dalam beberapa bahasa asing, sudah piawai bicara politik, sosial, ekonomi sampai ke hal-hal yang bersifat ilmiah. Sungguh, sumpah mati dik, abang bangga.” Aku jujur dan bukan hanya sekedar menghibur. “Tapi abang ingatkan, untuk hal yang satu ini jangan dinda utik-utik lagi. Abang tak ingin kelainan yang terjadi pada abang akhir-akhir ini diketahui banyak orang dan menurut abang, tak perlu dibesar besarkan karena sangat riskan dan menjadi ancaman yang dapat menjadi peluang empuk bagi lawan politik kita untuk membantai.” Semakin bingung dan tak mengerti, isteriku hanya dapat mengangguk dan berkata lirih. “Ya bang, kalau itu keinginan abang.” Kemudian kami berpelukan dan berlanjut di sela rasa sakit yang

halaman 11


sementara terkalahkan. Aku berpeluh dingin, meringis menahan sakit yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Ada rasa perih melilit, kembung padat, mual nak muntah dan desakan kuat dari dalam, sulit seperti tumpat dan tak dapat disalurkan dengan kentut atau sendawa. Berkali-kali aku mengalami hal seperti ini dan aku sudah tahu pasti penyebabnya. Namun sampai detik ini aku belum mendapatkan cara, atau obat yang paling efektif untuk menangkal penyebab kelainan perut ini. Untuk mengelak, adalah sesuatu yang mustahil walau terkadang, akibat rasa sakit yang begitu hebat menyerang, terlintas juga di benakku untuk mengangkat gagang telepon, menghubungi dokter Suarmian, dokter keluarga kami. Aku bersyukur, keinginan seperti itu sampai saat ini masih dapat kutahan. Untuk hal yang satu ini, aku takkan mempercayai siapapun dan kuyakin penyakit ini tak akan menghantarkan aku ke liang kubur. Terus menekan dan mengusap perut dengan berbagai macam minyak gosok. Mulai dari berbagai merek minyak kayu putih, balsem, minyak tanah yang dicampur dengan irisan bawang merah sampai ke upaya yang sangat tradisional, yaitu menggulung-gulungkan botol berisi air hangat keseputar perut. Tampaknya usaha tinggal usaha, namun sakit tak juga berkurang dan ini sangat kusadari. Karena derita seperti hal ini sudah berulang kali ku-idap. Yang dapat meringankan hanyalah, kalau aku dapat mengeluarkan gas yang berkecamuk melalui proses kentut yang berlajut ke buang air besar. Namun itu tak mudah. “Sebetulnya untuk menjadi populer dan dianggap sukses mengatasi krisis ekonomi berkepanjangan, banyak hal yang dapat kulakukan.� Aku bergumam dalam hati sambil menahan rasa sakit. “Banyak aspek yang dapat dijadikan solusi pencerahan, demi kepentingan masa depan sekaligus dapat mengharumkan namaku. Namun kenapa aku terlalu gegabah mengambil keputusan. Sebuah keputusan yang berakibat penderitaan panjang bagiku.� Isteriku, Bu Mentut menahan duka melihat penderitaan yang ditanggung oleh suaminya tercinta dan pemandangan itupun hanya dapat ia lihat dari lubang kunci kamar tidur kami yang sengaja kukunci dari dalam. Tak satupun yang dapat ia perbuat. Ia paham akan temperamenku yang setiap petuah, pesan maupun kata-kataku sama sekali tak boleh dibantah, apalagi dilanggar. Terlalu besar resiko yang ia hadapi apabila hal itu coba-coba dilanggarnya. Namun dibalik itu, aku adalah orang yang sangat perhatian terhadap isteri, anak maupun masyarakat. Karena sifat positif itulah, aku, Pak Mentut dengan usia

halaman 12


relatif muda, berhasil dengan karir yang melesat pesat di berbagai bidang, termasuk di bidang politik dan pemerintahan. Bu Mentut semakin cemas. Sejak pukul dua belas siang tadi, pulang menghadiri temu-wicara dengan para petani ubi di desa Sendolas Rengat Hilir, aku, Pak Mentut tak keluar dari kamar. Tak makan siang. Tak makan malam dan tak menonton televisi. Dari lubang kunci di mana selama ini Bu Mentut dapat melihat situasi keadaan kamar kami. Namun kali ini, hal itu tak dapat ia lakukan. Aku sengaja membiarkan anak kunci menetap pada lubangnya setelah memutar dan mengunci pintu. Resah berbaur pasrah, Bu Mentut tak lain hanya dapat berdoa semoga hal yang tidak diingini tak terjadi dan hanya itu yang dapat ia lakukan. Enam bulan lalu, tepatnya Agustus tahun 2001. Aku, Pak Mentut di awal masa jabatan, tanpa melalui proses yang berbelit, tanpa persetujuan staf ahli di bidang gizi dan pangan, serta tanpa persetujuan parlemen karena yakin keputusanku ini tidak akan mengalami rintangan berarti dan memang pada kenyataannya, keputusan ini sangat disambut oleh masyarakat. Keputusan Menteri utama yang disingkat menjadi Kementut bernomor: 01/mentutIndra/Agust./2001 tentang diversifikasi bidang pangan, yang singkatnya berisikan keputusan tentang keharusan merubah secara progresif revolusioner, bentuk makanan pokok dari beras ke ubi kayu (ketela pohon, singkong). Alasan mendasar dari Kementut yang kukeluarkan adalah, karena semakin tingginya nilai jual beras di pasar internasional, berarti kalau semua beras yang dihasilkan para petani negeri ini dilempar ke pasar internasional, maka otomatis akan dapat lebih mensejahterakan kehidupan petani itu sendiri dan menjadi sumber devisa terbesar bagi negara. Sebagai alternatif pengganti, seluruh rakyat diwajibkan untuk mengganti makanan pokoknya ke ubi, dengan alasan ubi adalah makanan pokok pengganti yang paling cocok dan atas pertimbangan, bahwa ubi mempunyai kadar gizi dan karbohidrat yang memenuhi persyaratan untuk dijadikan makanan utama. Dari sisi lain, ubi juga dengan mudah dapat tumbuh tanpa proses penanaman, pemeliharaan, pemupukan yang berlebihan bahkan dapat tumbuh di halaman-halaman rumah dan tepi jalan. “Ha….ha….ha….ha…..” Terdengar lantang suara tawaku yang membuat terkejut isteriku yang sedari tadi dirundung resah dan gelisah. “Aku korban dari keputusan yang kubuat sendiri.” Aku berkata dalam hati.

halaman 13


“Ubi tak cocok buat perutku namun sesuai buat rakyatku. Walau demikian ketidak cocokan ini biarlah menjadi salah satu rahasia dari sekian rahasia pribadiku dan yang pasti, rahasia yang satu ini akan kubawa sampai mati.” Sekali lagi isteriku, Bu Mentut yang berdiri di depan pintu kamar kami dikejutkan teriakan lantang dari dalam. “Dindaaaaaaa! Siapkan makan malam, taruh di depan televisi. Ingat, jangan ada ubi! Aku laparrrrrrrrr!” Disusul derit pintu kamar yang terbuka, memunculkan wajahku yang lega seiring bau busuk menghambur keluar. Bau khas yang sangat dikenal isteriku. Bau yang membuat ia nak muntah. Bau Kentut aku, Pak Mentut suaminya, yang memadati ruang kamar, melepaskan aku dari siksa “Kementut,” namun memberi pencerahan pada kehidupan rakyat. Alamak…sudah pukul setengah empat subuh rupanya. Bergegas tegak dari mencangkung, aku hanya dapat berharap dalam hati, “semoga ubi selain cocok buat perut rakyat negeri jiran, cocok pula bagi perut para pejabat negaranya”.***

D

halaman 14


Cerita-pendek

Mata Lain oleh Eko Triono

am berdiri di depan kelas sebelum hal-hal tak terduga muncul sep seperti timbunan rahasia. Ia menempelkan poster yang tiap uju ujungnya kemudian direkatkan. “Siapa dong (dia) itu Bapak Guru? Kitorang (kita) trada (tidak) pernah lihat,� murid keriting tidak sabar. “Anak-anak, mereka adalah pahlawan. Ini pahlawan kemerdekaan. Ini pahlawan proklamasi. Ini pahlawan revolusi,� kata Sam sembari menunjuk baris-baris yang berisi golongan gambar. Akan tetapi, tidak semudah yang dibayangkan. Tidak semudah ketika praktik mengajar di sekolah-sekolah Jawa di tempat tinggalnya dulu. Bukan hanya karena anak-anak merasa tidak pernah melihat orang-orang dalam kategori yang disebut pahlawan itu, tetapi juga mereka menyadari bahwa orang-orang dalam gambar itu warna kulit dan bentuk wajahnya tidak sama dengan kebanyakan mereka, termasuk dengan orang tua mereka. Barangkali mereka seolah melihat sesuatu yang datang dari planet lain dan dengan tiba-tiba mereka diminta mengakui yang asing itu sebagai saudara, sebagai pahlawan, sebagai penolong, sebelum kemudian dihafalkan, dan menentukan nilai rapor.

halaman 15


Sam terdiam cukup panjang. Pertanyaan dan kegaduhan silih seperti hujan yang saling jatuh bergantian. “Tenang, anak-anak,” kata Sam mengambil situasi, “sekarang buka buku catatan kalian. Pak Guru akan mendiktekan pengertian pahlawan. Kalian catat. Di UKK (Ujian Kenaikan Kelas) bulan depan akan ada soal tentang pahlawan. Kalian paham?” Dan murid-murid serentak menjawab: paham. Dengan kakikaki telanjang; dengan atau tanpa seragam yang nyaris abadi di dalam hari-hari sekolah mereka; seragam yang membuat mereka takut membebaskan diri, takut kotor apabila bermain lepas; dengan merasakan lembab tanah di mana cacing dan orong-orong telah membuat jalur dari bawah meja kayu mereka yang penuh coretan menembusi tanah dinding kelas yang terbuat dari papan menuju kebun; dan dengan ketaatan yang menakjubkan, mereka mencatat apa yang didektekan Pak Guru yang masih muda, berkacamata, datang dari Jawa ke pedalaman Papua, dan menyukai anak-anak, sebagaimana seharusnya seseorang yang berzodiak Gemini itu. Sam masih mendeskripsikan apa itu pahlawan dengan intonasi yang ketepatannya mendekati nada deklamasi. “Mereka mengusir penjajah dan membuat kita merdeka,” kata Sam. Dan mestinya tidak ada masalah dengan kata-kata ini. Namun, anak-anak memang telah sering mendengar keluh kesah dari orang tua mereka bahwa; “Tanah kitorang masih dijajah. Emas pu (punya) nenek moyang diambil tiap hari, dibawa trada tau ke mana. Kitorang harus merdeka. Kitorang harus miliki tanah ini buat kitorang sendiri. Biar trada miskin. Trada sengsara.” Dan hari ini, anak-anak makin bingung, mengapa sudah ada pahlawan, mengapa Pak Guru bilang telah merdeka, telah bahagia? Tanpa mengerti gejolak dalam jiwa murid-muridnya, Sam, sebagaimana dituntut oleh kurikulum, melanjutkan pelajaran. Ia menyebutkan nama-nama pahlawan dan kehebatan, perjuangan, pengorbanan jiwa dan raga yang telah mereka persembahkan kepada bumi pertiwi untuk mengusir penjajah asing; yang hanya datang untuk mengambil kekayaan tanah air; datang untuk menindas. Ketika Sam menceritakan tentang penjajah Eropa yang datang dengan kapal-kapal mengangkut hasil bumi, rempah, emas, dan kekayaan lainnya dari tanah air ini menuju tanah air penjajah itu dengan diiringi pasukan-pasukan bersenjata apai, murid-murid membayangkan kapal-kapal yang orang tua mereka ceritakan. Kapal-kapal yang datang dengan kosong dan pergi membawa

halaman 16


tumpukan emas. Di sana, di kapal-kapal yang sangat besar itu, banyak pasukan dengan senjata api. Pasukan yanag tanpa ampun akan menembak mati siapa saja yang berani mengganggu apalagi melawan. Saat Sam sampai pada kisah tentang pahlawan-pahlawan yang gugur karena mencoba mengambil hak mereka; dengan melawan, dengan alat-alat seperti bambu runcing, golok, tombak, dan panah menghadapi senjata api, murid-muridnya mengingat kembali pertempuran yang pernah diceritakan orang tua mereka, dan beberapa kali mereka saksikan sendiri.

halaman 17


Ketika itu, mereka melihat orang tua mereka membawa tombak. Di hadapannya, orang-orang berseragam dengan senjata api; orangorang dengan nama tentara dan polisi yang wajahnya sebagian besar memiliki struktur yang sama dengan pahlawan di dalam gambar. “Ko (kau) lindungi dong yang mau rampas kitorang pu (punya) harta. Sini kalo ko berani!” teriak ayah mereka. Dan pertempuran, baku tembak sering terjadi. Terutama di sekitar pipa jalur emas yang menurut orang-orang apabila mereka bisa mendapatkannya, mereka bakalan bisa membangun daerah ini; dengan listrik, dengan mobil, mesin cuci, dan semua-muanya. Tidak sedikit korban jiwa yang berguguran. “Nah, anak-anak, pahlawan-pahlawan itu saling bahu membahu. Mereka kemudian mendirikan negara. Negara Indonesia. Tujuannya untuk melindungi rakyatnya; melindungi dari penjajahan, melindungi dari pederitaan, melindungi dari segela yang tidak menyenangkan. Karena itulah ada tentara, ada polisi,” Sam semakin bersemangat. Sementara murid-muridnya menghubungkan penjelasan itu kepada para kepala suku yang dengan gagah melindungi mereka dari peperangan; dari bentrok yang seringkali mengerikan. “Jadi, anak-anak,” Sam mulai berniat memberikan tugas, “pahlawan itu adalah mereka yang pada dasarnya berbuat baik, bertujuan baik, dan berlaku baik. Dan kebaikan mereka membuat kita bahagia. Sekarang, kalian tuliskan, sebisa dan sesuka kalian, tentang cara kalian untuk menjadi seperti para pahlawan.” Sam sementara meninggalkan kelas, menuju ruang guru untuk menyelesaikan beberapa soal adiminstrasi. Ia dengan lega, karena merasa telah menyelesaikan tugas mengajar tentang nasionalisme, berjalan melintasi kelas yang terbuat dari kayukayu terbaik. Ia telah dipindahkan dari Jayapura, dan, kini mengajar lebih dalam ke arah yang seperti waktu; tak terduga sama sekali. Di kejauhan, burung-burung surga bercinta dan beranak pinak di udara. Di kejauhan, pohon-pohon tanpa negara, pohon-pohon tanpa pahlawan, pohon-pohon tanpa agama, tumbuh hijau menyimpan dingin dan lumut, menyimpan sarang dan telur, menyimpan kehidupan yang seringkali sandur. Sam terus berjalan. Sementara di kejauhan, di kelas tiga sekolah dasar yang hanya berisi lima belas murid itu, hasrat dan rahasia menyalurkan pipa-pipa yang memuat gejolak dan pengalaman diri. “Ko harus pintar. Dengan pintar, ko kelak bisa ambil milik kitorang yang dijajah,” orang tua mereka suatu hari.

halaman 18


“Pahlawan-pahlawan ini terus belajar. Mereka belajar dan belajar, bahkan sampai ke negeri Eropa. Mereka ingin menjadi pandai. Karena hanya dengan pandai mereka bisa merebut dan mengelola kemerdekaan menjadi sebuah negara,� kata Pak Guru mereka ketika menjelaskan tentang perjuangan pahlawan tadi. Murid-murid kian bergumul dengan kelidan ingatan. Kepala mereka sampai terasa berat dan jatuh ke meja; menatap kertaskertas, memperhatikan huruf; mengendalikan ujung pensil yang menimbulkan bunyi goresan-goresan menakjubkan. Tak ada yang bicara dengan temannya. Semua tengah sangat sibuk dengan diri sendiri. Murid-murid sangat sibuk membayangkan diri mereka menjadi seorang pahlawan. Dan Sam, di ruang guru, membayangkan murid-muridnya sedang menuliskan diri mereka menjadi pahlawan yang melawan penjajahan, bertempur hingga titik darah penghabisan, yang pada akhirnya, sebagaimana tujuan pengajaran ini; mereka sadar akan negera, cinta pada tanah air, selama-lamanya. Sam tidak pernah membayangkan bahwa muridnya akan menuliskan diri mereka sebagai pelawan orang-orang berdasi yang menambang emas dan membawanya dengan kapal; yang merebut kekayaan; yang dilindungi oleh pasukan bersenjata api dan mereka melawannya dengan tombak dan panah. ***

Eko Triono, lahir di Cilacap, 11 Juni 1989. Kuliah di Jurusan Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia, UNY. Menulis fiksi di Kompas, Majalah Sastra Horison, Padang Ekspres, dll. Menulis juga pada buku kumpulan cerpen bersama. Pemerhati masalah sosial dan individu.

D

halaman 19


Cerita-pendek Terjemahan

Main di Dua Kaki oleh Alberto Moravia “Umberto seperti ini, Umberto seperti itu, Umberto peringkat atas di sekolah. Emaknya bilang dia dapat medali, Umberto kerja, Umberto balik membawa duit, Umberto beli sepeda motor dengan duitnya sendiri, Umberto baru saja beli mobil...�

halaman 20


eu eumur hidupku, sejak dari bau cekur, Umberto selalu membayangbayangi. Hal ini wajar karena kami tinggal di me gedung yang sama di Via Candia, dalam dua flat kecil di lantai ged dasar yang satunya milik ayah Umberto yang membuka toko poulterer (toko unggas). Lagi pula emakemak kami berkawan dan kami berdua pun tumbuh besar bersama. Wajar manakala aku tumbuh menjadi seorang tukang pejalan, pengangguran dan pemalas, emakku akan menunjuk Umberto sebagai model yang harus kuteladani. Aku cuma bisa bilang, sungguh bahwa ujung kelingkingku masih lebih berharga daripada si Umberto yang culas, angkuh dan jahat itu. Tapi apa gunanya? Sebagaimana lazimnya, para emak selalu saja begitu dan kalau dunia ini harus mengikuti seperti keinginan para emak-emak tadi maka di dalamnya akan dipenuhi oleh orangorang yang sama sekali tak berguna, culas, angkuh, dan jahat seperti Umberto. Aku sangat menaruh kesumat pada si Umberto, namun hubungan kami berjalan sopan, kalau berjumpa kami saling menyapa dan bertukar kabar. Walau di sebalik itu hubungan kami adalah kepurapuraan dan perang dingin di antara dua orang yang menanti kesempatan pertama untuk mengawali pertengkaran. Dan saat itupun tiba pada hari yang sama ketika aku dipecat karena tidak efisien dari pekerjaan vulcanite di Via Dandolo. Ketika aku menuruni anak tangga terngiang katakata emak di telingaku; “Puteraku, kau akan menghancurkan hati emak… sekarang lihatlah si Umberto itu, dia adalah contoh anak yang baik bagimu…. Jadikanlah dirimu seperti dia, anakku…!” Aku berpapasan dengan Umberto yang juga hendak keluar. Akupun segera menghentikannya. “Hey, katakan sejujurnya padaku, benarkah kau selalu berbuat baik?” tanyaku. “Apa maksudmu?” “Maksudku, kau tak pernah berbuat satu kesalahanpun, bahwa kau melakukan sesuatu yang seharusnya tak kau lakukan, misalnya, kau pakai berjudi uang mingguanmu?” Sungguh tak bisa dipercaya. Kalaulah orang lain yang berada pada posisi Umberto saat ini, pastilah akan marah. Namun dia, dengan wajah liciknya yang seakanakan penuh kearifan, meletakkan tangannya di bahuku dan berkata, “Peppe, lakukanlah seperti yang aku lakukan dan nanti kau akan merasakan manfaatnya.” Aku berkata dengan geram, “Singkirkan tanganmu itu dari pundakku! Aku menyetopmu bukan untuk dinasihati. Tapi justru

halaman 21


akulah yang akan memberikan nasihat kepadamu, jauhi Clara! Dia akan bertunangan denganku.” “Akan bertunangan?” “Pokoknya, dia itu pacarku dan kau jangan ganggu dia, paham?!” “Memang apa salahnya kalau aku…?” “Cukup, yang penting kau sudah kuingatkan!” Maksudku bilang begitu karena sebenarnya saat ini aku sedang mengejarngejar Clara. Dia seorang gadis yang samasama tinggal di Via Candia, di gedung yang sama denganku, sebuah bangunan kuno dan reot, yang halamannya dikelilingi temboktembok besar seperti piazza dengan tingkattingkat yang diberi urutan dari A sampai F. Pada salah satu lantai bangunan ini terdapat flat kecil milik emaknya Clara yang dipanggil atau menyebut dirinya sendiri Dolores, dan ia melakukan pekerjaan aneh: meramal retak tangan. Dia seorang perempuan berusia kirakira lima puluh tahunan yang ringkih, sakitsakitan, putih seputih hantu dengan wajah yang kelihatan seperti ditutupi tepung dan dua mata hitam yang membuat wajah ini seperti topeng dari gips. Kasihan, dulunya dia kaya, begitulah katanya, dan sekarang ia bersusahpayah bekerja meramal dengan kartukartu dan membaca retak tangan. Orangorang bilang dia ahli di bidang itu, lagipula para wanita tetangga sekitar yang konon modern di Via Candia, baik yang masih lajang ataupun yang sudah menikah, kerap datang padanya. Adapun Clara, dia sungguh amat berbeda dengan emaknya. Dia sehat, rapi, cantik, ekspresif, bersih, ceria, kedua bola matanya seperti bintang dan bibirnya yang ungu muda sungguh indah. Ketika sedang tersenyum gigigiginya tampak seperti buah badam yang dikupas, bibir seorang gadis yang masih belum belajar tersenyum mentel. Clara bekerja di sebuah kantor sebagai juru ketik dan penulis cepat, kelihatannya dia memang cocok dengan pekerjaannya itu. Kala sedang berada di rumah dan emaknya melayani para pelanggan, ia duduk di meja dapur mengetik dengan mesin ketiknya atau belajar tata bahasa Inggris. Clara, seperti kukatakan tadi, sopan. Bisa kukatakan bahwa ia begitu sopannya sehingga karena saking cintanya aku padanya, aku tak dapat membandingkan kesopanannya dengan air yang tenang. Tidaklah berlebihan bila ada peribahasa yang mengatakan air tenang menghanyutkan, atau lebih tepat lagi, laut tenang yang indah di bulan Agustus, pada malam hari di mana cahaya bulan dan bintangbintang terpantul dari permukaannya dan menimbulkan hasrat untuk bercinta dengan gaya klasik; bergandengan tangan, merangkul pinggangnya, meletakkan kepala di pundaknya….

halaman 22


Oh ya, dia memang sungguhsungguh air yang tenang, dalam kedua pengertian tadi. Pada hari yang sama kuceritakan pada Clara bahwa aku baru saja berhadapan dengan Umberto. Ia pun tertawa dengan lembut. “Masak iya, kamu cemburu sama orang seperti si Umberto itu?” “Yaah… karena dia kan lelaki.” “Iya, tapi lelaki seperti apa dulu!” Sedikit merasa senang, kutanyai apa maksudnya. Dan masih tertawa dengan caranya yang kekanakkanakan, tenang dan memikat, ia meneruskan, “Ehm, aku tak mengerti. Mulanya, dia itu seperti si Fagiolino yang main di teater boneka itu, seseorang yang hobinya selalu mencela, berwajah lonjong dan rambutnya seperti semat bantal. Dan andainya kamu tahu betapa sangat membosankannya dia itu! Dia hanya memikirkan dunianya sendiri. Ia melakukan segala sesuatu dengan baik, dia cerdas, dia beginilah, dia begitulah. Pokoknya dia selalu membicarakan tentang dirinya sendiri. Dan lagi pula dia punya pikiranpikiran aneh. Menurut dia; seorang istri itu harus menjadi orang rumahan, memasak dan mengasuh anak. Dan betapa hinanya kalau dia sampai terlalu banyak bicara sama lakilaki lain, meski itu saudaranya sendiri. Lebih baik aku mati daripada kawin dengannya, ihh…tak sudi!” Pendek kata, Clara memberikan gambaran buruk tentang Umberto sehingga pada akhirnya aku benarbenar tenteram dan kubiarkan dia bertemu dengan Umberto sesukanya. Sejak saat itu aku merasa telah membalas dendam atas apa yang selalu dikatakan emakku dari hari ke hari mengenai Umberto sebagai model. Emakku memujamujanya, sedangkan Clara justru sebaliknya, menjelekjelekkannya. “Aku benarbenar tak suka sama lelaki itu,” katanya lagi padaku di suatu ketika. “Aku pergi dengannya ke pekarangan di mana dia menjadi mandor. Dia berbicara kepada para pekerja di sana seakanakan mereka itu sampah. Ketika sang insinyur datang, mendadak dia pun berubah seratus delapan puluh derajat: rendah hati, penuh perhatian, menjilat. Atau, kuceritakan padamu kejadian terakhir, ia memberi seratus lira kepada seorang pengemis, dan menurutmu kenapa dia melakukan itu? Karena uang tadi palsu. Atau lagi: dia punya kebiasaan tertentu yang membuat aku tidak tahan. Kalau dilihatnya aku tidak rapi, iapun mulai mengorekngorek hidungnya.” Clara telah merendahkannya sedemikian rupa sehingga kadangkadang aku hampir sampai pada titik di mana harus

halaman 23


membela Umberto, sematamata hanya karena ingin mendengarnya mengulangulangi lagi. “Tapi dia kan anak yang baik,” aku akan bilang begitu. Lalu iapun membantah, “Namun dia perlakukan emaknya seperti babu?” “Tapi kan,” kataku, “dia membawa pulang duitnya ke rumah?” “Bawa pulang duitnya ke rumah?” bantahnya. “Tidak pernah dia lakukan hal itu, bahkan sekarang ini uangnya disimpan di bank.” “Ia bekerja keras,” ujarku. “Bekerja keras?” ulangnya. “Dia pejalan. Dia itu sukanya menyuruh orang lain yang kerja, sedangkan dirinya sendiri menangguk keuntungan dari mereka.” Pada saat ini aku begitu yakin pada Clara sehingga suatu hari kukatakan padanya bahwa sudah saatnya bagi kami berdua untuk memperjelas hubungan kami dan bertunangan secara resmi. Diapun segera berkata, “Akupun sedang memikirkan hal itu, tapi aku tak berani menyatakannya padamu. Namun hal ini harus dilakukan dengan semestinya, kau harus pergi dan bilang kepada emakku. Kamu tahu dia kan?” Maka kamipun sepakat bahwa aku akan mengunjungi emaknya sore itu juga, sementara itu Clara akan menemui Umberto, tapi untuk yang terakhir kalinya. “Aku benarbenar tidak tahan sama dia,” ujar gadis itu, “dia sungguh membosankan.” Aku menyetujui rencana ini, meski bukannya tanpa menaruh setitik rasa iba sama sekali kepada si Umberto malang itu, yang tentu saja tidak pernah mengharapkan hal ini. Dan sekitar pukul tujuh aku meninggalkan rumah, menyeberangi Via Candia dan memasuki pintu utama yang menuju ke blok flat tempat tinggalClara. Pada lantai tiga D, pintu Signora Dolores tampak terbuka sedikit. Aku mendorongnya dan masuk ke dalam. Aku mendapati diriku berada di dalam ruang tunggu yang kecil dan penuh orang. Di situ ada dua atau tiga orang perempuan botak, warga Via Candia, serta seorang gadis kulit hitam cantik yang tinggal di bagian yang sama, dan aku hanya mengenalnya sepintas lalu, juga ada seorang nyonya setengah baya yang tampaknya agak tua bersolek tebal, terbungkus mantel bulu warna cokelat. Tampaknya usahanya bagus, kata hatiku sambil duduk dan mengambil majalah bergambar dari sebuah meja. Dan memang Signora Dolores sedang melakukan pekerjaan yang bagus, kenyataannya menghasilkan banyak uang. Aku menunggu beberapa saat dan kemudian pintu itu terbuka, seorang wanita muda yang

halaman 24


elok keluar, ia menciumi kedua pipi Signora Dolores dengan antusias sekali sambil berkata, “Terima kasih, terima kasih, sayangku!” Emaknya Clara itu, memakai kimono sutera hitam dengan sulaman gambar naga berwarnawarni pada ujung jaketnya dan pipa cerutu sepanjang lengan di antara gigigiginya, memandangku sekilas dan berkata: “Rinaldi, tunggu sebentar dan setelah ini kamu boleh masuk”. Iapun mengantar wanita setengah baya bermantel bulu tadi masuk ke dalam lalu menghilang. Dari nada bicaranya aku merasa, barangkali ia tidak tahu apa yang akan kusampaikan padanya. Lalu akupun memperoleh ide cemerlang: aku akan memintanya meramal nasibku, untuk melihat kalaukalau pernikahanku dengan Clara ditunjukkan di tanganku, dan segera sesudah itu barulah akan kusampaikan maksudku. Aku tersenyum sendirian memikirkan hal ini dan menunggu giliranku dengan tak sabar. Setelah seperempat jam, nyonya bermantel bulu tadi menyelinap keluar secara misterius, hatihati, dan tergesagesa, lalu pergi menjauh. Dan Signora Dolores memberi isyarat agar aku masuk. Aku tahu karena sempitnya ruangan, ia bekerja di kamar tidurnya, meskipun begitu aku kaget juga. Ruangan itu panjang, dalam setengah bayangan, terdapat sebuah ranjang besar yang ditutupi dengan selembar benda kuning, aku tak bisa membayangkan bahwa Clara tidur di ranjang itu bersama emaknya. Sedangkan di jendela terdapat gorden dengan sulaman burungburung dan keranjangkeranjang bunga. Sementara di dekat jendela ada meja kecil yang di atasnya terdapat setumpuk kartu dan kaca pembesar. Seluruh ruangan itu dipenuhi dengan bendabenda kecil, perhiasan kecil, fotofoto dengan tandatangan dari para pelanggan penting, piagam dan cendera-mata. Tanpa berkatakata Signora Dolores duduk di atas meja dan menyuruhku duduk di depannya. Pertama kali yang dilakukannya adalah mengambil korek api, menyulutnya dan membakar selembar kertas hitam kecil, kemudian segera mengeluarkan asap putih yang wangi. “Ini namanya carta d’Armenia,” ujarnya dengan suara letih yang dihaluskan. “Adakah engkau mencium baunya yang harum? Oke, Rinaldi, apa yang bisa kubantu?” Kujawab bahwa aku ingin diramal. Kemudian iapun, setelah meletakkan pipa cerutu di asbak, mengambil telapak tanganku lalu meletakkan kaca pembesar di atasnya dan memeriksanya dengan

halaman 25


cermat. Setelah beberapa waktu berlalu kemudian dengan nada hampir mengejutkan ia berkata, “Dengan lakilaki macam apa aku kini sedang bicara?” Dengan bingung aku bertanya, “Kenapa?” “Ya, karena ini telapak tangannya seorang lakilaki yang sangat suka main perempuan,” jawabnya. “Bagaimanapun juga,” ujarku, “saya kan seorang lakilaki muda.” “Ya,” sahutnya, “tapi untuk hal itu ada batasnya. Dan kau kelihatannya tidak punya batas tadi. Hatimu seperti kelopak bunga artichoke.” “Kalau Anda bilang begitu….” “Telapak tanganmulah yang bilang begitu: kau adalah seorang Play Boy!“ “Oh sudahlah, jangan dilebihlebihkan.” “Aku sama sekali tidak melebihlebihkannya. Perhatikan garis hatimu ini, seperti sebuah rantai, setiap hubungan dengan seorang perempuan….” “Lalu lainnya?” “Lainnya tak ada apaapa lagi. Sedikit keberuntungan dalam usaha … sedikit kemauan untuk kerja … karakter yang sedikit serius … minim rasa tanggung jawab ….” Mulai tersinggung, akupun berkata, “Anda tidak menemukan apapun, kecuali keburukankeburukan saja dalam diriku.” “Itu bukan keburukankeburukan, tapi karakteristik,” katanya. “Sungguh, kalau aku seorang emak, aku takkan mengijinkan anak gadisku menikah denganmu.” Mendengar ini aku jadi panas dan berkata kepadanya, “Ehm, begitu. Coba lihat dan perhatikan, apakah ada garis pernikahan.” Dengan sangat cermat iapun memainmainkan kembali kaca pembesarnya, memutarmutar telapak tanganku ke segala arah, kemudian berkata, “Petualanganpetualangan, sebanyak yang kamu mau, tapi tak ada pernikahan.” “Signora Dolores,” kataku, “mari kita jalin saling pengertian, saya tidak datang menemui anda untuk minta dibacakan rajah tangan saya, tapi ingin mengatakan bahwa puteri anda dan saya saling mencintai dan hari ini kami telah memutuskan untuk bertunangan.” Mendengar katakataku ini, ia dengan sangat kalem meletakkan kaca pembesarnya dan menjawab, “Tapi begini, anakku yang halaman 26


malang….” “Apa?” “Anakku yang malang, telapak tangan itu, sebagaimana adanya, mengatakan kebenaran: kau tidak akan menikah. Setidaknya saat ini.” “Mengapa, bukankah antara saya dan Clara telah ada kesepakatan?” “Kalian tidak dalam kesepakatan. Kamu pikir, kamu dalam kesepakatan bersama Clara, tapi Clara tidak dalam kesepakatan denganmu.” “Siapa yang bilang begitu?” “Aku yang bilang begitu. Clara baru saja bertunangan.” “Tapi kapan…?” “Dia telah bertunangan selama sepekan ini dengan Umberto Pompei. Clara tidak punya keberanian mengatakannya kepadamu karena dia gadis pemalu dan di samping itu, ia baik hati, tidak suka menyakiti orang lain. Namun dia sedang cemas, kamu tidak tahu betapa cemasnya dia. Dan harus kukatakan bahwa dalam keadaan begini Umberto telah menunjukkan dirinya sebagai seorang perwira sejati. Clara minta ijin padanya untuk pergi menemuimu selama beberapa hari lebih lama, sampai ada kejelasan penuh di antara kalian berdua dan pemuda itupun langsung setuju. Aku tidak tahu berapa banyak pasangan yang telah bertunangan dalam situasi begini bisa melakukan hal seperti itu.” Aku tercengang. Dan ketika wanita itu berkata padaku secara hipokrit, “Ehemm, ayo kita lihat kartukartunya. Aku bertaruh lebih banyak lagi perempuan yang akan muncul.” Secara spontans kurogoh segepuk lira dari sakuku, meletakkannya di meja dan keluar tanpa sepatah katapun. Aku merasa dipukul telak. Seolaholah Signora Dolores, bukannya membaca rajah tanganku, tapi justru memukulkan tukul-besi ke kepalaku. Dan di tengahtengah perasaan mau pingsan ini, mulai merayap sejumlah kecurigaan, bagaikan sejumlah ular yang perlahanlahan bangun dari setumpuk jerami karena sengatan matahari. Jadi ketikaaku berlaku baik kepada Umberto karena membiarkannya menjumpai Clara, sesungguhnya justru dia sendirilah yang sedang berbuat baik kepadaku karena mengijinkan Clara menemuiku. Jadi ketika aku menikmati bagaimana Clara melecehlecehkan Umberto, barangkali di pihaknya ia pun asyik menikmati betapa Clara melecehlecehkan diriku. Jadi, pendek kata, Clara telah main di dua kaki selama ini, hanya buntutnya, akulah yang jadi pecundang.

halaman 27


Sementara pikiranpikiran ini melintasi kepalaku pastilah aku tampak kusut sehingga tibatiba cewek hitam manis yang menunggu di ruang depan tadi memberiku isyarat dengan suitan, sst, sst… seperti dilakukan seseorang kepada seekor kucing, bersamaan dengan itu matanya ikut pula memberi isyarat. Aku membungkuk ke bawah dan ia pun bertanya, “Ada apa? Apa dia tadi mengatakan halhal yang mengerikan?” “Sangat mengerikan,” jawabku, “terutama bagiku.” Dengan cepat iapun bangkit dari duduknya. “Kalau begitu aku tidak jadi masuk saja lah,” katanya. “Aku takut sekali kalau nanti dia mengatakan hal-hal buruk.” Secara spontan aku keluar dari pintu dan diapun mengikutiku. Setelah berada di bawah, aku memandanginya dari samping. Dia sangat hitam, dan rambutnya dipotong pendek seperti lakilaki, tampak seperti memeluk dan melingkari wajah bundarnya kemudian terus menipis bagai sebuah bayangan di seputar kedua belah pipi dan dagunya. Kupikir dia sangat cantik dan diapun seakan menebak pikiranku, berpaling ke arahku dan tersenyum lalu berkata: “Kamu tidak kenal aku, tapi aku mengenalmu. Kita tinggal dalam satu gedung!” Tibatiba dari tangga bawah terdengar derai tawa yang jernih, merdu dan kekanakkanakan, tawanya Clara. Dan pada saat yang sama juga terdengar suara Umberto yang agak nyaring. Tanpa raguragu kuletakkan tanganku di pinggang gadis tadi. “Siapa namamu?” tanyaku. “Namaku Angela,” katanya sambil memberiku tatapan menantang. Saat itu juga Clara dan Umberto berjalan ke arah kami. Dan kuperhatikan ketika Clara menyaksikan kami tengah berangkulan begitu, dia pun kemudian menundukkan pandangannya dengan santun. Lihat nih! batinku sengit. Mereka lanjut berjalan menapaki tangga dan kami turun ke bawah. Kulepaskan tanganku dari pinggang Angela dan berkata padanya, “Angela manis, ayo kita pergi dan mencari minuman untuk merayakan pertemuan kita ini”. Gadis itupun merengkuh lenganku lalu kami bergandengan keluar bersamasama menuju ke jalan. ***

Alberto Moravia. Pengarang kelahiran Roma tahun 1907. Terkenal secara internasional pada umur 22 tahun dengan karya novelnya, The Indifferent Ones. Banyak menulis novel, cerpen, drama dan esei. Cerita pendek di atas diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh: S ERDIA PUTRA. halaman 28


Sajak

Muhammad Asqalani eNeSTe Ghazal kebodohan ini : Mawadi D. radif kesalahan anak haram hasrat manekin hati pemakaman kepada Penyair Palembang : Eko Putra

Muhammad Asqalani eNeSTe Lahir dan besar di Paringgonan 25 Mei ‘88 Rokan Hulu - Riau. Menulis Puisi sejak kelas 1 Aliyah di PonPes Al-Mukhlishin. Puisinya meramaikan media seperti: Majalah Sagang, Riau Pos, Batam Pos, dll. Buku Puisi bersamanya di antaranya: Kutukan Negeri Rantau, Festival bulan Purnama Majapahit, Dari Sragen Memandang Indonesia, dll. Buku Puisi Tunggalnya yang telah terbit “Tangisan Kanal AnakAnak Nakal” & “Sajak Sembilu tentang Teh Ribuan Gelas” dan “ABUSIA” Mei 2013.

halaman 29


Ghazal

yang pertama tentu tuhan paling utama yang kedua, ketiga dan seterusnya adalah samar yang berkembang dari taman jantung ke lorong juntung seseorang yang tak bisa membedakan yang ke empat, kelima dan seterusnya berdoa di Altar Takbir, mencoba mencakarcakar takdir. tapi bukankah siasia? yang ke tujuh, ke sembilan dan seterusnya‌ ada lagi yang mengaji diri, tentang kelebihan dan kekurangan yang bagaimana pun wajib disyukuri. yang ke sembilan puluh sembilan (99) yang mengeja Nama Tuhan, airmatanya luruh penghambaan mengharapi mati. menyungkupi duniawi

halaman 30


kebodohan ini : Mawadi D.

kebodohan ini sebentar lagi ungsi, keluar dari liang sesak diri. bersenggama dengan pitam malam. kemudian memuat rasi bintang, sebelum fajar kumandang. saat subuh mengayuh selaksa ruh, pintar diri akan muncul malumalu. dari semaksemak sujud yang rancak. dan matahari membayikan sinarnya, di mataku yang jelaga. mimpi pun menggusur aral di kepala. serasa tuhan memelukku akrab. membantuku menepis siksa fobia. pada manusia yang kuhidupkan dekat grafiti angkasa raya.

halaman 31


radif kesalahan

Rabbi, aku kembali memakan sesal yang kumuntahkan sendiri terperangkap lagi ke jaring jurang bathin sedalam keji sampai kapan aku benarbenar menjelma Adam sang suci? Apel merah maha ranum menggoda dengan segala sarinya duh, mampukah aku menjadi Adam bagi semesta rusukku? Rabbi‌. kelemahan membutababi, sujud tak dapat kutemui walau sekali walau sekali

halaman 32


anak haram

pertama lahir dia sudah diazankan suci dari hadast kecil dan hadast besar telah diperdengarkan ayatayat tuhan

hasrat

inilah hasrat yang kemarin kautelantarkan kala berhasil memeluk kesendirian,hasrat yang memantik bibirmu ‘tuk barakan ayatayat samar.tentang segala yang lepas tentang segala yang tertahan tentang dada yang meletupletup terbuka dan terkatup, bagai bunga larangan sebelum dipetik kumbang pilihan.

halaman 33


manekin hati

kenapa manekin di hati kita hilang rupa di wajahnya? bukankah telah lelah kita renda dada doa? adakah wudhu’ lupa menghapus purapura?

pemakaman

diam dalam tidur membius airmata terbiar tubuh dan ruh mengangkasa bunga kamboja menciumi pusara sendiri lagi di geronggang membara menjamu ular, kala dan aianai berbisa

halaman 34


kepada Penyair Palembang : Eko Putra

datanglah Kawan, agar kita belajar ‘tuk tak saling melupakan meski tubuh kita kian menjauh, nafas luruh terbunuh ruh. setidaknya kita telah belajar membentuk senyum persahabatan. bundar hati di nisan

D

halaman 35


Sajak

Saifa Abidillah Penjual Koran di Ringroad Selatan Pada Tumpukan Baju-Baju Bekas Cemburu Kemungkinan Masih di Sekaten Tukang Parkir Rumah Hantu Ada yang Lebih Ditakuti Bintang Merah Rambutan Seorang Pertapa di Lembah Kutub Dalam Ingatan

Saifa Abidillah Lahir 12 Januari 1993 di Sumenep Madura. Sekarang belajar di The Faculty of Islamic Theology, UIN Sunan Kalijaga DIY. Selain itu, bergiat di Lesehan Sastra Kutub, Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asyi’ari Yogyakarta.

halaman 36


Penjual Koran di Ringroad Selatan

Keberlangsungan untuk esok dan lusa, tumbuh di atas aspal, Kawan. Seorang muda, yang telah mulai menyematkan sayap kuda Megaremeng di punggungnya, tengah belajar pada panas matahari di pembatas jalan, tengah belajar pada dingin hujan ketika bersepeda tanpa mantel menuju Nol Kilometer. “Kesempatan adalah hari ini,� tegasnya Ia lebih mengenal dan akrab dengan kenyataan bahwa hidup dimulai ketika matahari lahir di rahim waktu pada jagad langit dengan gairah penuh bara dan tidak berhenti sampai petang menjemputnya untuk memulai hidup yang lain untuk esok dan lusa.

halaman 37


Pada Tumpukan Baju-Baju Bekas

Hujan mengantar aku pada tumpukan baju-baju bekas yang menggunung di bawah tenda-tenda yang berbaris dan aku masih mencari-cari dingin tanganmu di tumpukan itu mencari keriangan yang membuat ketukan lain pada pintu di hati yang lain pula. Tidak ada yang membuatku mengerti tentang malam pencarian di tumpukan baju-baju itu hanya gerimis yang terbaca cuaca, selebihnya malam adalah kebingungan yang berjalanan tanpa pengantar dan kutuangkan kelelahan itu, hati yang kalut itu, pada hangat susu di lesehan, dekat pagar pembatas sebelum aku memutuskan untuk pulang larut malam.

halaman 38


Cemburu

Adakah manusia bijaksana, mengenal rasa cemburu, tuan? derap kuda dokar, tiang-tiang listrik dan pohon-pohon di pinggiran jalan tidak mampu mengantarkan aku pada pengertian itu dan jika setiap tindakan adalah cemburu, bagaimana melarikan diri dari rasa cemburu? orang-orang alim menyebutnya rasa iri bukan dengki atau cemuru. aku tidak merasa bahagia pada kenyataan ini sebab kenyataan hanya melingkar bagai kalung harapan dari mimpi-mimpi hitam pohon, yang bernama aku.

halaman 39


Kemungkinan

Kalau pun dinda mengingatku dengan berbagai kemungkinan kemungkinan yang bagaimana yang dinda ulurkan pada riuh kegelisahanku yang menahun Kegelisahan yang menggali mimpi dengan kemalasan tak beraturan pada tingkap-tingkapnya yang gelap dan beracun mungkin dinda tak ingat, sebuah perhitungan telah membuat kau menciptakan lingkaran baru, yang lebih gelap dari hari-hari yang itu-itu saja dari matahari yang memberi kehidupan lain, yang lebih nyaman dari kutukan. Malam Sekaten Sebenarnya tidak ada yang ingin aku beli di sini kecuali memang, aku menjauhi kebosanan yang berurutan menyampaikan maksud dan keinginan binal yang lebih kental dari kutukan tahun

halaman 40


yang membongkar tanah-tanah kebiasaan dengan mimpi yang jauh dari bimasakti yang misteri pada peta Tuhan. “Adakah kau mengingatku, Ning?� Sebab, kebingunganku tidak menjadi landasan bagi pencarian yang membutuhkan peluh dan darah, untuk kuhadiahkan pada kau pada hati, yang sejatinya hidup dengan geliat bayang-bayangmu yang jauh dari jangkau

halaman 41


Masih di Sekaten

Apa sebenarnya yang kucari disini jika hidup, hanya berupa kelebat yang hinggap dan melesat ketingkap gelap Selebihnya aku lebih mengenal sepi di tengah keramain orang-orang pasar yang bertukar mata uang dengan sesuatu yang diinginkan atau bertukar kasih sayang pada pinggang dan tangan pada puncak keriangan yang tak tergantikan dengan malam-malam di tengah keramain yang bagai rahim kuburan

halaman 42


Tukang Parkir

Tidak ada jejakmu pada mulut tukang parkir ia berbicara yang lain, yang lebih licin dari pintalan gerimis dan hujan ia hanya menagih dan tidak ingin mengganti kerusakan pada roda sepeda, yang katanya bukan sepengetahuan yang ada pada tanggungjawab yang disandangnya tukang parkir, tukang parkir. ia hanya mampu menagih dan tidak ingin mengganti kerugian pengunjungnya

halaman 43


Rumah Hantu

Aku mungkin seutuhnya tak menemukanmu malam ini suara-suara kuntil pada petak ruang-ruang itu bukan petunjuk keberadaanmu yang halimun yang lebih dalam menciptakan ketakutan liar pada hati digeletar namamu, bukan pada suara-suara kuntil segalanya menjadi mengerikan tapi kau, kau dinda.

Ada yang Lebih Ditakuti

Ada yang lebih ditakuti dari persetubuhan anjing malam, Kunti adalah ketika petang mengulurkan lengan dan berusaha membunuh dengan kegelapannya yang seolah kekar dalam urat-urat birunya yang melar mungkin seperti itulah, ketika seutuhnya aku perlahan kau jauhi dengan pejam yang lebih kejam dari jam pasir yang menikam cinta kita disini.

halaman 44


Bintang Merah Rambutan

Mimpi tumbuh bagai bintang merah rambutan yang lebat pada satu pohon kehidupan di tengah-tengah kenyataan akan kegelapan malam yang tak bertangkai pada mimpi lain mimpi yang seringkali kisut, ketika berjalan menapaki sesuatu di luar yang tak terpikirkan di luar yang diperkirakan akan pemahaman sempit jalan pada pohon yang memilih diam ketika yang dianggap memberatkan

halaman 45


Seorang Pertapa di Lembah Kutub

Seorang pertapa di lembah kutub, hanya mengenal satu sumur di antara sumur-sumur di bumi ia menimba air dan meneguknya ketika matahari puas melayari langit dengan kesaktian cahaya gaibnya yang menghidupkan bagi yang membutuhkan.

Dalam Ingatan

dalam ingatan, ada tangan-tangan ibu yang bijak mengenal kebebasan dengan tangan-tangan yang mematikan yang pernah hidup dalam katup hari yang simetri dengan teori-teori fisika yang terbuka ibu yang mengulurkan langit berasap pada kubangan hatiku yang terlukai kata-kata yang berjumpalitan mengerikan membunuh aku, anaknya sendiri

D

halaman 46


Sajak Terjemahan

Puisi-puisi Klasik

Robert Frost “Dalam Putih�

Seekor laba-laba penyok turun seperti putih salju Pada putih selalu cergas, memegang ngengat Seperti sepotong putih kain satin tak bernyawa Mata melihat dengan penasaran sehingga jadi pemandangan aneh? Pertanda kecil, kematian berbagai macam dan hawar Seperti bahan ramuan penyihir? Seperti manik-manik laba-laba, seperti bunga buih, Dan ngengat yang dilakukan seperti layang-layang kertas. Apa yang harus dilakukan bunga hingga menjadi putih, Prunella biru menyenangkan setiap anak. Apa yang membawa kerabat laba-laba ke ketinggian itu? (Membuat kita tidak menyimpulkan penderitaan penggiling.) Tetapi apa rencana kegelapan dan malam? Rencana, rencana! Apakah aku menggunakan kata dengan benar?

halaman 47


Kesempatan Tak Berbatas

Dia berhenti di angin dan apa itu Jauh di mapel, pucat, tetapi bukan hantu? Dia berdiri di sana membawa Maret di pemikirannya, Namun terlalu siap untuk paling percaya. “Oh, itu surga sedang mekar,� kataku; Dan benar-benar itu cukup adil untuk bunga setelah kita namun kita mengasumsikan Maret Kelebatan putih seperti Mei untuk kita. Kami berdiri sejenak sehingga di dunia yang aneh, Diriku sendiri menipu sebagai salah satu kepura-puraan; Dan kemudian saya mengatakan kebenaran (dan kami pindah). Sebuah beech muda menempel daunnya tahun lalu.

halaman 48


Parit di Suatu Kota

Rumah pertanian tetap hidup, meskipun menolak untuk persegi Dengan memakai jalan di kota baru Pada sejumlah. Namun bagaimana sungai Yang mengikat rumah seperti pada siku-penjahat? Aku bertanya sebagai salah satu yang tahu tentang kekuatan sungai Dan dorongan, setelah dicelupkan jari panjang Dan membuatnya melompati kitabku, setelah melemparkan sebuah bunga untuk mencoba arus yang dimana mereka menyeberang. Padang rumput rumput bisa disemen ke bawah Dari tumbuh di bawah trotoar kota; Pohon-pohon apel dikirim ke api perapian batu. Apakah kayu air untuk melayani sungai yang sama? Bagaimana lagi membuang kekuatan abadi Tidak lagi diperlukan? Gigih itu pada sumbernya Dengan beban abu pembakaran dibuang ke? Sungai dilemparkan Jauh di penjara selokan di bawah batu Dalam kegelapan busuk masih dan menjalankan hidup Dan semua itu untuk apa-apa yang pernah dilakukan Kecuali lupa mungkin ketakutan untuk pergi. Tidak ada yang tahu kecuali untuk peta kuno Sungai itu seperti air berlari. Tapi saya ingin tahu Jika dari yang disimpan selamanya di bawah, Pikiran mungkin tidak meningkat begitu tetap Kota ini baru dibangun dari kerja kedua dan tidur.

halaman 49


Tebing Tempat Tinggal

Ada berpasir tampaknya langit emas Dan emas tampaknya dataran berpasir. Tidak ada tempat tinggal memenuhi mata Kecuali di tepi cakrawala, Beberapa jalan setengah berdinding batu kapur, Tempat itu hitam bukanlah noda Atau bayangan, tapi lubang gua, Di mana seseorang yang menggunakan untuk memanjat dan merangkak Untuk beristirahat dari ketakutan yang menimpa. Saya melihat kalut pada jiwanya Terakhir menghilang darinya Dan ia ras-ramping kelaparan, Oh tahun lalu - sepuluh ribu tahun.

halaman 50


Mimpi Tengah Malam

Saya telah ditarik dalam hutan, dan lagu saya Ditelan dalam daun yang selalu meniup; Dan satu hari dari tepi hutan Anda datang (Ini adalah mimpi saya) dan tampak dan dalam renungan panjang, Tapi tidak masuk, meskipun keinginan kuat: Anda menggeleng termenung Anda sebagai yang harus mengatakan, “Saya tidak berani terlalu jauh hingga jejaknya tersesat Dia harus mencari saya akan salah ia kalau membatalkan. Tidak jauh, tapi dekat, aku berdiri dan melihat semuanya Di balik dahan-dahan pohon yang rendah dikecewakan luar; Dan pang manis tidak menelepon harganya Dan memberitahu Anda bahwa saya melihat apakah masih mematuhi. Tapi ‘tis tidak benar bahwa dengan demikian saya berdiam menyendiri, Untuk kayu bangun, dan Anda berada di sini untuk bukti.

Terjemahan dari teks berbahasa Inggris kebahasa Indonesia oleh: M Amin Ibrahim Amir.

D

halaman 51


Tokoh

Arizal Subur dalam Melahirkan Karya

H. ARIZAL, MBA, lahir di Airmolek, Indragiri Hulu, Riau, 11 Januari 1943 – meninggal di Bekasi, Jawa Barat, 18 Mei 2014 pada umur 71 tahun. Arizal adalah seorang sutradara serba bisa asal Riau. Dia merupakan sedikit dari sutradara Riau bahkan Indonesia yang mampu membuat film dan sinetron dalam berbagai genre. Arizal juga merupakan pencipta lagu dan wartawan di berbagai media massa. Ia adalah seorang putra Indragiri, Riau dari pasangan H. Ibrahim SM dan Hj. Matayam binti M. Yasin. Setelah menyelesaikan halaman 52

pendidikan dasar dan SMP di Airmolek, ia menamatkan SMA-nya di Pekanbaru. Setelah itu ia melanjutkan pendidikan tingginya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan kemudian West Coast Institute Of Management & Technology, Perth, Australia. Arizal memulai kariernya sebagai karikaturis di Majalah Selecta. Kemudian ia bergabung menjadi staf redaksi di Majalah Mayapada dan Panorama. Kariernya di dunia film dimulai ketika ia menjadi asisten artistik kartun Walt Disney di Universal Studio, Los Angeles Amerika Serikat. Setelah itu pada tahun


1971, ia menjadi asisten sutradara pada film “Pengejaran Ke Neraka”. Selanjutnya pada tahun 1974, ia dipercaya menjadi sutradara film anak-anak “Senyum dan Tangis“. Film ini meraih penghargaan Piala Citra sebagai film anak-anak terbaik. Di akhir dekade 1970, ia banyak membuat filmfilm drama. Karyanya yang berjudul “Gita Cinta dari SMA” dan “Puspa Indah Taman Hati” menjadi salah satu film yang banyak digemari masyarakat. Pada tahun 1980-an, Arizal juga menggarap film-film komedi. Bersama kelompok Warkop, Arizal sukses membuat film-film humor yang ketika itu belum banyak muncul. Beberapa film komedinya seperti “Pintar Pintar Bodoh” dan “Maju Kena Mundur Kena” menjadi film terlaris di Indonesia. Berkat kesuksesannya dalam film komedi, Arizal menjadi salah satu sutradara termahal di Indonesia. Kemampuannya membuat film dalam berbagai genre, seperti drama, komedi, dan laga, semakin mengangkat popularitasnya. Latar pendidikan formal yang ditempuh Arizal, tercatat jauh dari profesi yang ia tekuni hingga akhir hayat. Namun disadari sangat mempengaruhi keberhasilannya yang ditunjang pengetahuan formal yang ia dapatkan terutama dalam persoalan managemen ekonomi yang ia dapatkan ketika kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tercatat jenjang dilaluinya adalah:

pendidikan

yang

• Sekolah Rakyat Negeri 1 Tahun 1955 di

Airmolek • Sekolah Menengah Pertama Negeri 1

Tahun 1958 di Airmolek • Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Tahun

1962 di Pekanbaru • Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Tahun 1971 di Jakarta • West Coast Institute Of Management &

Technology 4 Th Guardian MBA Tahun 2000 di Perth Australia Perjalanan karier dan karya yang setakat ini dapat kami himpun berdasarkan sumber yang ada adalah sebagai berikut: 1.

Karikaturis majalah Selecta dan lain lain, 1963 – 1968 di Jakarta

2.

Pemain orkes ”Singgalang Ria” Asuhan Kapt. TNI Syusamsir, 1958 – 1962 di Pekanbaru

3.

Pelukis cerita bergambar/komik Medan dan Jakarta 1958 – 1968

4.

Pengarang lagu: Usah Kau Goda - Emie Djohan 1967; Mengapa - Alfian 1967; Senyum dan Tangis/Film - Rano Karno 1974; Setulus Hatimu/Film – Tanty Yosepha & Elly S 1975; dan Main Film – Benyamin S 1975

5.

Desainer mebel dan furnitur PT. Boanez, 1964-1967 di Jakarta

6.

Ketua band “Boanez” Melati Room Proyek Senen, 1967-1968 di Jakarta

7.

Figuran film “Skull Duggery” Universal Studio – Yamaica USA, 1968

8.

Asst. Artistic Cartoon Walt Disney Universal Studio – Los Angeles USA, 1968-1969

9.

Staf redaksi majalah “Mayapada”, 19691970 di Jakarta

di

10. Staf Redaksi Majalah “Panorama”, 19701972 di Jakarta 11. Art. director biro iklan “Yapernas”, 1970-

halaman 53


Jakarta. Dibintangi oleh Drg Fadly dan Lenny Marlina.

1972 di Jakarta 12. Asisten sutradara film: “Pengejaran Ke Neraka”/Widyasari, Mark Sungkar – Umbara Film 1971; “Kabut Bulan Madu”/ Rahmat Kartolo – Sarinande Film 1972 Jakarta; ”Akhir Sebuah Impian”/ Emilia Kontessa, Broery-Sarinande Film 1972 Jakarta; “Intan Berduri”/ Rima Melati, Benyamin S – Sarinande Film 1973 Jakarta; “Si Manis Jembatan Ancol”/Lenny Marlinam, Farouk Afero – Sarinande 1973 Jakarta; dan ”Kutukan Ibu”/Sophia WD, Farouk Afero – Sarinande Film 1973 Jakarta Sebagai sutradara atau penulis skenario dan cerita. Cukup banyak karya-kreatif yang dihasilkannya dan hampir semuanya mendapat tempat di hati masyarakat perfilman kita masa itu antara lain: 1.

2.

3.

4.

5.

“Senyum dan Tangis“ PT. Surya Indonesia Medan 1974 Jakarta. Dibintangi oleh Rano Karno, Andy Carol, Lenny Marlina, Bambang Irawan. Meraih Film Anak Anak Terbaik, mendapat Piala “Citra” di Medan. “Setulus Hatimu” PT. Surya Indonesia Medan 1975 Jakarta. Dibintangi oleh Drg Fadly dan Yanty Yosepha. Meraih penghargaan Best Actress “Citra Indonesia” dan Festival Film Asia. “Dr. Firdaus” PT. Tunggal Jaya Film 1976 Jakarta. Dibintangi oleh Drg Fadly dan Lenny Marlina. “Hanya Untukmu” PT. Surya Indonesia Medan 1976 Jakarta. Diintangi oleh Drg Fadly dan Lenny Marlina. “Janji Sarinah” PT. Nusantara Film 1976

halaman 54

6.

“Aula Cinta” PT. Nusantara Film 1977 Jakarta. Dibintangi oleh Roy Marten, Yati Octavia, Debby Cyntia Dewi,

7.

“Cowok Komersil” PT. Nusantara Film 1977 Jakarta. Dibintangi oleh Robby Sugara, Yati Octavia, Debby Cyntian Dewi, Doris Cellebout

8.

“Semua Gue” PT. Tiga Sinar Mutiara 1977 Jakarta. Dibintangi oleh Rano Karno, Yenny Rahman, Yezzy Gusman.

9.

“Secerah Senyum” PT. Dharma Putra Kostrad 1977 Jakarta. Dibintangi oleh Roy Marten, Yenny Rahman

10. “LakiLaki Binal” PT. Archipelago Film 1978 Jakarta. Dibintangi oleh Roy Marten, Yenny Rahman 11. “Musim Bercinta” PT. Tiga Sinar Mutiara Film 1978 Jakarta. Dibintangi oleh Roy Marten, Eva Arnaz, Rano Karno, Yessy Guzman 12. “Gita Cinta Di SMA” PT. Tiga Sinar Mutiara Film 1979 Jakarta. Dibintangi oleh Rano Karno, Yessy Guzman, Sherly Malinton 13. “Kecupan Pertama” PT. Cakra Film/ Gobin P 1979 Jakarta. Dibintangi oleh Yenny Rahman, Roy Marten. 14. “Puspa Indah Taman Hati” PT. Tiga Sinar Mutiara Film 1979 Jakarta. Dibintangi oleh Rano Karno, Yessy Guzman. 15. “Remaja Idaman” PT. Tiga Sinar Mutiara Film 1979 Jakarta. Dibintangi oleh Roy Marten, Joice Erna. 16. “Remaja Remaja” PT. Tiga Sinar Mutiara Film 1979 Jakarta. Dibintangi oleh Rano Karno, Lydia Kandow, Yessy Guzman.


17. “Melody Cinta” PT. Tiga Sinar Mutiara Film 1979 Jakarta-Medan. Dibintangi oleh Lydia Kandow, Mangara Siahaan 18. “Nikmatnya Cinta” PT. Tiga Cakra Film 1980 Jakarta. Dibintangi oleh Rano Karno, Lydia Kandow, Robby Sugara 19. “Pintar Pintar Bodoh” PT. Parkit Film 1980 Jakarta. DIbintangi oleh Dono, Kasino, Indro, Eva Arnaz, Debby Cyntia Dewi 20. “Rayuan Gombal” PT. Bola Dunia Film 1980 Jakarta. Dibintangi oleh Monos, Nany Wijaya, Sandra Ciptadi 21. “Bila Hati Perempuan Menjerit” PT. Parkit Film 1981 Jakarta. Dibintangi oleh Dana Christina, Roy Marten 22. “Bodoh Bodoh Mujur” PT. Parkit Film 1981 Jakarta. DIbintangi oleh Otong Lenon, Eva Arnaz 23. “Membakar Matahari” PT. Parkit Film 1981 Jakarta. Dibintangi oleh Berry Prima, Eva Arnaz 24. “Dongkrak Antik” PT. Parkit Film 1981 Jakarta. Dibintangi oleh Dono, Indro, Kasino, Mariam Belina, Mat Solar 25. “Serbuan Halilintar” PT. Parkit Film 1982 Jakarta. Dibintangi oleh Barry Prima, Eva Arnaz, Dicky Zulkamaen 26. “Bergola Ijo” PT. Virgo Putra Film 1983 Jakarta. Dibintangi oleh Barry Prima, Eva Arnaz, Anasrul Jangkung 27. “Maju Kena Mundur Kena” PT. Parkit Film 1983 Jakarta. Dibintangi oleh Dono, Indro, Kasino, Eva Arnaz, Lydia Kandow 28. “Pokoknya Beres” PT. Parkit Film 1983 Jakarta. Dibintangi oleh Dono, Indro, Kasino, Eva Arnaz, Lydia Kandow 29. “Itu Bisa Diatur” PT. Parkit Film 1984

Jakarta. Dibintangi oleh Dono, Indro, Kasino, Ira Wibowo, Lia Waroka 30. “Pencuri Cinta” PT. Parkit Film 1984 Jakarta. Dibintangi oleh Rico Tampatty, Ira Wibowo 31. “Tahu Diri Dong” PT. Parkit Film 1984 Jakarta. Dibintangi oleh Dono, Indro, Kasino, Eva Arnaz, Lydia Kandow 32. “Gantian Dong” PT. Parkit Film 1985 Jakarta. Dibintangi oleh Dono, Indro, Kasino, Lia Waroka, Chintami Atmanegara 33. “Pengantin Baru” PT. Parkit Film 1986 Jakarta. Dibintangi oleh Lydia Kandow, Deddy Mizwar, Doyok 34. “Segitiga Emas” PT. Parkit Film 1986 Jakarta. Dibintangi oleh Christina, Harry Capri, Mark Sunkar, Wilson Peter 35. “Dendam Membara” PT. Rapi Film 1986 Jakarta. Dibintangi oleh Christ Mitchum, Mike Abbot, Ida Iasya 36. “Sama Sama Enak” PT. Bola Dunia 1987 Jakarta. Dibintangi oleh Sys NS, Chintami Atmanegara, Krisna 37. “Bayar Tapi Nyicil” PT. Bola Dunia 1988 Jakarta. DIbintangi oleh I Didi Petet, Mariam Belina, Bagito Droup 38. “Pemburu Berdarah Dingin” PT. Rapi Film 1990. DIbintangi oleh Christ Mitchum, Ida Iasya, Roy Marten 39. “Lebih Asyik Sama Kamu” PT. Rapi Film 1989 Jakarta. Dibintangi oleh Paramitha Rusadi, Sally Marcelina, Ryan Hidayat 40. “Membakar Lingkaran Matahari” PT. Rapi Film 1989. Dibintangi oleh Ricky Hosada, Peter John, Agus Melast 41. “Antri Dong” PT. Parkit Film 1990 Jakarta. Dibintangi oleh Nurul Arifin,

halaman 55


Roweina, Diah Permatasari.

Kadir, Doyok, Deddy Mizwar, Lydia Kandow, Eva Arnaz 42. “Curi Curi Kesempatan” PT. Parkit Film 1990 Jakarta. DIbintangi oleh Nurul Arifin, Ray Sahepati, Sally Marcelina, Deddy Mizwar 43. “Mana Bisa Tahan” PT. Soraya Intercine Film 1990 Jakarta. Dibintangi oleh Dono, Indro, Kasino, Sally Marcelina, Deddy Mizwar

Begitu juga di era film sinetron pada layar kaca. Walau tak sebanyak yang dihasilkannya pada media layar lebar, namun andilnya dalam dunia sinetron cukup terlihat seperti pada karya di bahwah ini: 1.

Gara Gara PT.Multivision Plus 19921993 Jakarta 26 Episode. Pemain: Lydia Kandow, Jimmy Gideon, Sion Gideon, Pitrajaya Burnama, Nani Wijaya

2.

Ada Ada Saja PT. Multivision Plus 19931995 Jakarta130 Episode. Pemain: Nurul Arifin, Rudy Salam, Kiki Fatmala, Fuad Alkhar

3.

Saling Silang PT. Multivision Plus 19951996 Jakarta 54 Episode. Pemain: Debby Sahertian, Ida Kusuma, Eeng Saptahadi, Zainal Abidin

4.

Jin dan Jun PT. Multivision 1996-2001 Jakarta 270 Episode. Pemain: Syahrul Gunawan, Mira Asmara, Misye Arsita, Fuad Baraja, M.Amin.

5.

49. “Salah Pencet” PT. Parkit Film 1992 Jakarta. Dibintangi oleh Kadir, Doyok, Kiky Fatmala, Tarida Gloria

Tuyul Dan Mbak Yul PT. Multivision Plus 1997-2002 270 Episode. Pemain: Onny Syahrial, Slamet Joyo, Dominiq Sanda, dll.

6.

50. “Gara Gara” PT. Parkit Film 1993 Jakarta. Dibintangi oleh Jimmy Gideon, Lydia kandow, Sion Gideon

Tuyul Millenium PT.Multivision Plus 2002-2004 108 Episode. Pemain: Jamal Bulat, Samson, dll.

7.

51. “Mumpung Ada Kesempatan” PT. Parkit Film 1993 Jakarta. Dibintangi oleh Kadir, Doyok, Ayu azhari

Indra Ke-6 PT. Multivision Plus 20022003 71 Episode. Pemain: Gracia Indri, Joshua, Rachel Amanda, Dhea Imut, dll.

8.

Metropolitan Fantasi PT. Starvision Plus 2003-2006 267 Episode. Pemain: Bintang - Bintang AFI.

44. “Akal Akalan” PT Parkit Film 1991 Jakarta. Dibintangi oleh Doyok, Kadir, Lia Waroka 45. “Bisa Naik Bisa Turun” PT. Bola Dunia Film 1991 Jakarta. Dibintangi oleh Dono, Indro, Kasino, Kiky Fatmala 46. “Sudah Pasti Tahan” PT. Soraya Intercine Film 1991 Jakarta. DIbintangi oleh Nurul Arifin, Dono, Indro, Kasino 47. “Masuk Kena Keluar Kena” PT. Soraya Intercine Film 1992 Jakarta. DIbintangi oleh Dono, Indro, Kasino, Kiky Fatmala 48. “Salah Masuk” PT. Soraya Intercine Film 1992 Jakarta. Dibintangi oleh Gitty Srinita, Dono, Indro, Kasino, Pak Tile, Fortunella

52. “Kampanye Miliyader” PT. Karisma Stravison Plus 2004 Jakarta. Dibintangi oleh Bintang-bintang AFI, Dono, Indro,

halaman 56


Disamping ketunakannya menggeluti dunia film layar lebar maupun pada layar kaca, Arizal mempunyai hobi dengan beberapa di antaranya memperoleh prestasi yang membanggakan: 1.

Menggambar, melukis, dan main sulap

2.

Menulis, membaca, dan bercerita

3.

Masa kecil (tahun 1957-1958), Juara Musabaqah Tilawatil Quran kecamatan Pasir Penyu – Indragiri Hulu, di Airmolek

4.

Ilmu beladiri Yu Yit Su, Ban Coklat di Pekanbaru dan Jakarta

5.

Pernah bergabung Lahardo – Jakarta

6.

Wartawan lepas “Harian Kami” 19661968 di Jakarta

dengan

Bandot

7.

Penulis lepas majalah “Intisari” Jakarta 1968-1970.

8.

Juara pertama “Mencipta Model Jaket Kuning Universitas Indonesia” 1968 di Jakarta, Dapat Trophy dan Buku berisi pesan dari dekan Fakultas Sosiologi Universitas Indonesia, Prof. Dr. Slamet Imam Santoso.

9.

Pengarang dan penulis novel “Perjaka Ting Ting”, dengan semboyan “Bila Cinta Sudah Melekat, Tahi Gigipun Terasa Coklat”. Novel ini difilmkan ke layar lebar berjudul “Remaja Idaman” tahun 1979.

10. Membuat credit title beberapa film nasional, antara lain “Ibu Sejati“ di Jakarta 11. Membuat 8 film kartun “Iklan Melbrosia” 1972 di Jakarta.***

D

halaman 57


Rehal

The Confessions of Zeno ITALO SVEVO

(1861-1928) Nama aslinya adalah Ettore Schmitz, seorang dramawan, cerpenis dan novelis Italia, yang terkenal dengan novelnya The Confessions of Zeno (1923). Novel ini dianggap sebagai salah satu contoh terbaik dari penulisan modernis eksperimental Eropa.

Judul buku

: The Confessions of Zeno

Pengarang

: Italo Svevo

Editor

: Marciano Guerrero

Translation editor : MaryMarc Penerbit

: Amazone

ISBN-13

: 978-1494988357

halaman 58

“Confessions of Zeno� adalah catatan hidup seorang pria setengah baya di Trieste, Italia (dekat Kroasia, Slovenia dan Austria). Awalnya ia menggambarkan secara singkat hubungannya yang tak mulus dengan ayahnya, pokok masalahnya hanya pada kehendak berhenti merokok, tapi kemudian bergerak ke jantung ceritanya, yang menyangkut hidupnya yang penuh dengan kesuksesan keluarga sebagai pedagang kelas atas. Dengan ayahnya ia memiliki hubungan bisnis, dan dengan dua anak gadis sekaligus dia menginginkan hubungan pribadi. Pada proses pengadilan yang bergilir, akhirnya ia menikahi salah-satu dari dua gadis tersebut. Namun yang satu lainnya, tetap ia jadikan simpanan, dan kerap datang hanya dengan status berteman dengan pria lain yang


menikahi perempuan satunya itu, bahkan menjalin hubungan bisnis dengannya. Dia berhasil memiliki anak, dan hidup dengan pola borjuis yang relatif nyaman. Masalahnya adalah, dia benar-benar terpisah, egois, dan munafik. Ketika kita mengatakan “hubungan bisnis”, kita menggunakan istilah longgar atau selingkuh. Buku yang licik dan cerdik, menggambarkan cerita melalui pandangannya. Gaya buku jelas, karakter yang dibangun cukup menarik dan menawan. Banyak pembaca akan senang mengikuti cerita ini “tragicomic” dan dapat dipetik manfaatnya untuk diri sendiri, namun wawasan pembaca akan dihargai dengan kesimpulan yang memaksa mereka untuk mempertanyakan dan merenungkan makna kehidupan , cinta, keluarga, dan persahabatan. Italo Svevo lahir pada 19 Desember 1861 di Trieste dari keluarga Yahudi kaya. Dia mendapat pendidikan di Institut Brüssel di dekat Würzburg, Jerman. Di sana dia mulai tertarik dengan sastra dan membaca karya-karya penulis Jerman seperti Schiller, Goethe, dan Schopenhauer. Setelah kembali ke Trieste dia masuk ke Instituto Superiore Revoltella. Tetapi karena ayahnya bangkrut dan sakit pada 1880 dia terpaksa membatalkan studinya dan memutuskan untuk menjadi penulis. Svevo menikah dengan Livia Veneziani. Pada 1928 Svevo mengalami kecelakaan mobil di Motta, Livenza. Beberapa hari kemudian dia meninggal, yakni pada 13 September 1928.

pengarang; The Confessions of Zeno (1923), yang pada awalnya juga bernasib sama seperti novel-novel terdahulunya. Tetapi berkat rekomendasi James Joyce, novel itu diterjemahkan dan diterbitkan oleh Valery Larbaud da Benjamin Crémieux di Perancis, dan sejak itu novel tersebut dianggap sebagai karya besar; dan Terzetto spezzato (1925). Karya-karya yang diterbitkan setelah dia meninggal antara lain La Novella del Buon Vechio e della Bella Fanciulla, e Altre Prose Inedite e Postume (1930) dan Short Sentimental Journey and Other Stories (1949). Surat-menyurat Svevo dengan penyair Eugenio Montale diterbitkan dengan judul Lettere (1966).*** (Cik Yatim Kebayan)

D

Karya-karyanya antara lain Una vita (1893), sebuah karya yang revolusioner dalam penyajiannya, dan Senilità (1898) — kedua novel itu tak mendapat perhatian. Tetapi pada 1907 Senilitá dipuji oleh James Joyce, yang saat itu belum tenar sebagai

halaman 59


Tokoh

Meneropong Gerak Senirupa Tenas Effendy (Alm.) oleh Dantje S Moeis erita tentang “kepergian” almarhum Tenas Effendy alm sudah sampai keseluruh suda negeri, beriring segala kerjakerasnya semasa hidup, yang notabene bertujuan untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat melayu secara khusus dan nusantara pada umumnya. “Hampir” tak satupun yang tersisa dari catatan tersebar di media massa, atau kata lisan tentang perjuangan beliau dalam mengukuhkan tegaknya pancang melayu, baik di negeri ini maupun di negeri jiran yang berkebudayaan sama. Sedikit mengulang tentang beliau, Tengku Nasaruddin Said Effendy atau yang lebih dikenal dengan Tenas Effendy, dilahirkan pada 9 November 1936 di Dusun Tanjung Malim, Pelalawan.

halaman 60

Motif Pucuk Rebung. Int

Awal ketertarikan Tenas pada dunia tulis menulis ditularkan oleh ayah beliau yang menjadi sekretaris pribadi Sultan Said Hasyim, Sultan Pelalawan ke-8 waktu itu. Ayahnya selalu menulis mengenai semua silsilah Kerajaan Pelalawan, adat-istiadat, dan peristiwa penting lainnya dalam sebuah buku yang dinamakan Buku Gajah. Tenas sejak kecil paham betul kegiatan berladang lengkap dengan ritus budaya yang mengiringi yang dilakukan masyarakat


desanya sehari-hari. Selain itu, beragam peristiwa dan aktivitas kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitarnya dapat disaksikan langsung oleh Tenas, seperti upacara penabalan Sultan, upacara menuba ikan yaitu sebuah ritual yang juga sarat dengan adat, upacara mengambil madu yang sarat dengan magis dan kental dengan ritual kebudayaan asli, dan berbagai aktivitas budaya lainnya. Kebiasaan dalam mendengar, melihat dan mengamati berbagai khasanah budaya ini secara berangsur-angsur membuat Tenas mampu menyerap berbagai unsur budaya tersebut dan terpatri sangat mendalam di kehidupannya. Awalnya, kendati belum memahami benar, namun kebiasaan masyarakat dengan beragam aktivitas kebudayaannya itu telah membentuk pandangan Tenas mengenai kebudayaan Melayu yang Islami. Setelah menamatkan pendidikan Sekolah Guru A, selama 3 tahun di Padang, Tenas menyelesaikan pendidikannya di tahun 1957, Tenas pulang kembali ke Riau (Pekanbaru), aktivitas menulis terus dilakukan, begitu juga kegiatan berkesenian. Pancang awal yang dilakukan Tenas sebagai pernyataan bahwa ia juga adalah seorang perupa, bersama Muslim Saleh, Tenas mengadakan pameran lukisan di Rumbai tahun 1959. Aktivitas beliau yang satu ini (senirupa) agaknya memang kurang terperhatikan oleh masyarakat, sehingga hampir luput dari pembacaan gerak berkesenian Tenas yang sebenarnya sangatlah multi talenta. Peristiwa Rumbai 1959 ini menjadi sangat penting, karena merupakan kegiatan pameran lukisan pertama yang dilaksanakan di Riau waktu itu. Aktivitas senirupanya

terus ia lanjutkan dengan mengisi kolom karikatur, vignet dan illustrasi diberbagai media terbitan Riau masa itu, antara lain harian “SinarMasa”, media dimana ia juga menjabat sebagai redaktur. Kontributor karya senirupa di harian “Bahtera” sebuah media harian terbitan Rengat dan beberapa media cetak lainnya. Karya lukis (fine arts) yang dihasilkan Tenas kebanyakan beraliran realis dan naturalis. Tenas dengan karyanya pada bidang kanvas banyak merekam bentuk kehidupan kampung melayu dengan segala aspek budaya yang terkandung di dalamnya. Di sinilah letak kekuatan Tenas dalam dunia senirupa seperti juga yang terekam pada karya-karya tulisnya. Karena pemahamannya tentang dunia kemelayuan yang sangat kuat hingga detail budaya melayu mampu dan sempurna ia tuangkan pada karya lukisannya, walau ada beberapa karya Tenas yang melompat dari bentuk aliran naturalis, namun nuansa kemelayuan masih tampak terlihat pada karyanya yang beraliran kubisme “Ekspresi” 1971, oil on canvas 50 x 120 cm. sebuah karya beliau yang saya (sebagai kurator daerah) pilih untuk dipamerkan pada event pameran senirupa bertajuk “Penampang Senirupa Sumatera, Kekuatan Yang Tersembunyi”, Galeri Nasional Indonesia Jakarta, 19-30 Januari 2000, bersama dengan karya-karya perupa Riau lainnya seperti, Armawi KH, Mas Tok, Dantje S Moeis dan beberapa nama lainnya. Berpuluh tahun Tenas mengumpulkan khazanah kepiawaian lokal seniman perupa melayu masa lalu dalam bentuk ragam hias. Baik yang melekat sebagai penghias busana maupun ornamen bangunan masa lalu. Sadar akan pentingnya upaya pelestarian, Tenas pun menerbitkan hasil kerja

halaman 61


pendokumentasiannya ke dalam bentuk buku sekaligus teks muatan filosofi yang terkandung pada tiap bentuk ragam hias. Terakhir di ujung tahun 2013, Tenas dengan beberapa seniman perupa seperti OK Nizami Jamil, Amron Salmon, Armawi KH, Dantje S Moeis dan lain-lain yang dianggap panitia pelaksana pameran (Museum Negeri Sang Nila Utama Pekanbaru) sebagai perupa perintis karya senirupa modern di Riau melakukan pameran bersama. Sumbangan pemikiran Tenas Effendy di dunia kemelayuan baik pada karya tulis maupun senirupa banyak memberikan sumbangan positif bagi orang-orang Melayu dan ini jelas terlihat pada karya senirupa arsitektur dimana Tenas mempunyai andil besar pada perwajahan bangunan yang menjadi berpenampakan/bercirikan melayu, seperti Gedung Anjung Seni Idrus Tintin, kawasan Bandar Serai dan beberpa bangunan pemerintah daerah di Riau. Inti dari pemikiran Tenas Effendy mengenai Melayu yang kental tertuang pada karya-karyanya yaitu di antaranya: Bahwa untuk menghadapi masa depan, yang penuh cabaran dan tantangan diperlukan budaya yang tangguh untuk melandasi sikap dan perilaku masyarakat pendukungnya agar menjadi manusia tangguh. Oleh karena itu, budaya Melayu yang memiliki nilai-nilai luhur yang Islami yang sudah teruji kehandalannya, harus dikekalkan dengan menjadikannya sebagai “jati-diri” bagi masyarakatnya. Nilai-nilai budaya ini diyakini mampu mengangkat marwah, harkat dan martabat kemelayuan dalam arti luas. Di dalam resam Melayu, nilai-nilai yang dimaksud dipaterikan ke dalam ungkapan-ungkapan adat, yang disebut sebagai “Sifat yang Dua-puluh

halaman 62

Lima”, atau “pakaian yang Dua-puluh Lima”. Jika sifat atau pakaian itu dijadikan sebagai “jati-diri” , tentu akan menjadi “orang” yang “sempurna” lahiriah dan batiniah. Bahwa untuk menjaga nilai kegotongroyongan, nilai tenggang rasa, dan nilai keberasamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka yang perlu dilakukakan adalah menjaga nilai-nilai asas persebatian Melayu (Perekat Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara). Hal ini selaras dengan ungkapan adat Melayu yang mengatakan: Hidup sebanjar ajar mengajar, hidup sedusun tuntun menuntun, hidup sekampung tolong-menolong, hidup senegeri beri memberi, hidup sebangsa rasa merasa. “Selamat Jalan Pak Tenas, semoga segala kerja kerasmu untuk negeri ini, menjadi amal ibadah dan dapat dijadikan pahala oleh yang Allah yang maha kuasa”.***

D


Berita Duka

Telah Berpulang ke Rahmatullah Tokoh Budayawan Melayu Tenas Effendy

uasa uasana duka menyelimuti men R i a u dan kawasan berkebudayaan Melayu pada umumnya. T o k o h budayawan Melayu Tenas Effendy meninggal di Rumah Sakit Umum Arifin Ahmad, Pekanbaru, Riau, Sabtu dini hari, 28 Februari 2015, sekitar pukul 00.25 WIB. Tenas sempat menjalani perawatan selama 14 jam di rumah sakit ini akibat infeksi paru-paru yang dideritanya. “Sebelumnya beliau sempat di rawat di Malaka,” kata Ketua Umum Dewan Pengurus Harian Lembaga Adat Melayu Riau, Al Azhar,

kepada kami, Sabtu, 28 Februari 2015. Menurut Al Azhar, Tenas Effendy sebelumnya juga sudah menjalani perawatan di rumah sakit hampir satu bulan di Rumah Sakit Santa Maria Pekanbaru sejak 21 Januari 2015. Kemudian pada 16 Februari 2015 Tenas dirujuk ke Rumah Sakit Putra, Malaka. Terakhir dia kembali di rawat di Rumah Sakit Umum Arifin Ahmad, Pekanbaru. Al Azhar mengatakan, Tenas Effendy menghembuskan nafas terakhir tepat pada usia 79 tahun. Ia lahirdi DusunTanjung Malim, Desa Kuala Panduk, Pelalawan, 9 November

halaman 63


1936. Tenas pergi meninggalkan satu orang istri, delapan anak, 19 cucu dan satu cicit. Tenas dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum, Jalan Amal, Pasir Putih, Pekanbaru. Di mata masyarakat Riau, Tenas Effendy merupakan seorang budayawan yang gemar mengkaji sekaligus mempraktekkan keluhuran budaya Melayu. Melalui tulisan dan petuahnya dalam Tunjuk Ajar Melayu, Tenas Efendy memberikan semangat dan pendidikan kepada masyarakat dalam sendi kehidupan berdasarkan kearifan Melayu. “Beliau suri tauladan masyarakat Riau,” kata Al Azhar Sebagai seorang sastrawan, Tenas Effendy telah banyak membuat makalah tentang melayu, baik untuk simposium, lokakarya, diskusi, maupun seminar, di Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Thailand Selatan, Filipina Selatan, sampai Madagaskar. Dari perjalanan panjangnya berkecimpung dengan kajian kebudayaan dan aktivitasnya dalam menulis, Tenas berhasil mengumpulkan lebih kurang 20.000 ungkapan, 10.000 pantun, dan tulisan-tulisan mengenai kebudayaan Melayu. Kepiawaiannya dalam menulis dan pengetahuannya yang mendalam tentang keb s a m p a i ke Belanda.*** (Red)

D

halaman 64

Dukacita

Pimpinan dan Karyawan

Turut berdukacita atas meninggalnya:

M Sani Burhan Musisi Tradisional, Pemusik Gambus Selodang dan Akordion

Tenas Effendy Tokoh Budayawan Melayu

Semoga Almarhum diterima di sisi Allah SWT dan keluarga yang ditinggalkan tabah menerima cobaan ini. Amin.


halaman lxv


halaman lxvi


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.