Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)
Lagu Untuk Elize: Merindukan Hasan Junus Rampai: Sastra: Tanpa Batas Usia oleh Hasan Junus Esei: Manusia, Waktu, dan Ruang Kota oleh Mohamad Baihaqi Alkawy Cerita-Pendek: Amadeo (si, “uomo onesto�) oleh Dantje S Moeis, Dadar Telor Isi Gorab oleh Hasan Junus, Catatan Kaki oleh Tjak S Parlan Sajak: Kholil D. Rahman, Jumardi Putra, Azizah Masdar Sajak Terjemahan: Pusaka:
Sajak-sajak Jepang Terjemahan
Wayang Siam (Seni Pertunjukan Tradisional Masyarakat Melayu Kelantan, Malaysia)
Rehal: Antologi
Puisi Tiongkok Klasik
199 APRIL 2015
www.majalahsagang.com
halaman KULITi
halaman KULI KULITii LIITi L Ti
Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 199 APRIL 2015 tahun XVII
Lukisan "mendengar melihat" 2013 Karya Bestrizal Besta (seorang seniman Indonesia yang berprofesi sebagai pelukis) sumber int
Daftar Isi Lagu Untuk Elize: Merindukan Hasan Junus ...................... 2 Rampai Sastra: Tanpa Batas Usia oleh Hasan Junus .................................... 5 Esei Manusia, Waktu, dan Ruang Kota oleh Mohamad Baihaqi Alkawy ..............8 Cerita-Pendek - Amadeo (si, “uomo onesto�) oleh Dantje S Moeis .............................11 - Dadar Telor Isi Gorab oleh Hasan Junus ................................ 16 - Catatan Kaki oleh Tjak S Parlan ............................... 23 Sajak - Kholil D. Rahman ................................ 27 - Jumardi Putra ..................................... 35 - Azizah Masdar ..................................... 45 Sajak Terjemahan Sajak-sajak Jepang terjemahan ............49 Pusaka Wayang Siam (Seni Pertunjukan Tradisional Masyarakat Melayu Kelantan, Malaysia) .............................. 54 Rehal Antologi Puisi Tiongkok Klasik ........... \60
Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Dra. Erda Yulfi Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Ilustrator Tetap: Purwanto Manager Keuangan: Erda Yulfi. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan arus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.
halaman 1
Tajuk
Lagu Untuk Elize:
Merindukan Hasan Junus ika judul tulisan ini ditulis dengan memakai kata “Mengenang”, me mungkin belum tentu mencakup mun dengan makna “merindu”, tetapi ketika kata ditulis dengan “Merindu” maka seluruh kenangan akan berada dalam pikiran dan jiwa. Apa iya? Entahlah. Tetapi judul tulisan ini berhubungan erat dengan tiga tahun berlalu meninggal-dunia (haul: 30 Maret 2013) Hasan Junus (oleh Al azhar memberinya gelar “Pendeta Sastra). Hasan Junus, seorang penulis esei, sastrawan, penulis cerita-pendek, penulis novel; dan terutama mengenalkan para sastrawan dan sastra dunia kepada sastrawan maupun seniman di Indonesia, terutama Riau; juga seorang yang senantiasa memberikan inspirasi bagi penulis pemula untuk “maju” dan terus menulis, sebagaimana yang sering beliau tulis dan katakan: “Usia itu singkat, dan karya-lah yang abadi.” Merindukan Hasan Junus, juga mengenang kembali “Rampai” (tulisan singkatnya tentang sastra dan sastrawan dunia di Riau Pos), terjemahan karya-karya sastra dari sekotah sastrawan dunia, terutama sastrawan dan sastra Perancis berbahasa halaman 2
Perancis yang menjadi bahasa keduanya setelah bahasa Melayu (Indonesia); dan tentu saja merindukan karya-karya sastranya seperti cerita-pendek, novel, naskah drama, dan (“mohon maaf”) sajak-sajak “ghost writer-nya, yang tentu tidak akan saya sebutkan di sini, walaupun semasa hidupnya beliau akan berdalih, “bagaimana saya dapat menjadi “ghos writer”, menulis sajak untuk orang lain, sedangkan saya tak pernah sekalipun menulis sajak?” Begitu mungkin argumentasinya. BERDASARKAN naskahnya pertunjukan sandiwara itu terang gagal. Pada bagian penutup tertulis keterangan yang menyatakan pemegang peranan Lelaki I (dimainkan oleh Willy, sutradara dan penulis naskah, yang karena pemeran sebenarnya tiba-tiba ngadat, sebagai sutradara sejati ia lalu menggantikannya) harus mengeluarkan keluhan lantang ‘Oh! Oh! Oh!’ Sedangkan Aamesa sebagai Lelaki II yang memerankan orang kesurupan tentu saja harus menjeritjerit. Dan Junaidi Alwi yang jadi Lelaki III, diarahkan agar diam saja sambil terduduk dan menunduk.
Bacalah sejenak kalimat alinea pembuka dalam cerita-pendek Hasan Junus yang berjudul Lagu Untuk Elize. Beberapa orang tokoh dalam cerita-pendek ini adalah seniman (nyata ada orangnya), bukan tokoh fiktif, meskipun cerita-pendek beliau ini adalah fiktif (rekaan). Dalam cerita-pendek Lagu Untuk Elize ini terdapat beberapa orang tokoh seniman dan orang yang berhubungan dengan kantor Dewan Kesenian Riau, pada masa beberapa bulan pindah dari komplek Dang Merdu (almarhum) ke komplek Bandar Serai (yang sebentar lagi mungkin alamrhum). Sebut saja tokoh dalam cerita itu seperti Willy, Aamesa, Junaidi Alwi, Zuarman, Dandun, dan Widodo. Mungkin, tidak banyak cerita yang memakai tokoh yang nama orangnya ada dan nyata dalam sebuah cerita, itu pun kalau ada tokoh dalam cerita yang ditulisnya memakai tokoh yang nyata-nyata ada. Hasan Junus membuat nama tokoh yang nyata ada orannya, meskipun ceritanya fiksi atau rekaan. Dan saya melanjutkan gaya bercerita Hasan Junus ini dalam beberapa cerita-pendek. Itu satu hal, tetapi satu hal yang lainnya. Kenapa memangnya? Pada masalah yang lain (mungkin suatu telaah), lihatlah satu hal dalam cerita-pendek Lagu Untuk Elize itu pada aline ke-17, 18, dan 19! Hujan tiada henti merambahi kota sehari suntuk. Lampu-lampu di gedung Balai Dang Merdu sudah menyala. Tiba-tiba datang seorang lelaki, memakai kemeja warna cerah dan celana jean, bersepatu sandal, badannya jangkung kurus, pada kumis dan janggutnya terselip sedikit uban, memberi isyarat dengan kedua jari-jari tangan seolah mengatakan ia hendak memakai piano yang kebetulan sudah digeser dekat pintu. Sepatah kata yang keluar dari bibirnya hampir tak terdengar, “Boleh?”
Aamesa yang sudah letih bekerja seharian menjawab hanya dengan anggukan kepala. Sudah lama, hampir satu tahun agaknya, ia tak lagi mendengar piano itu dimainkan sejak musikus Soelaiman Safi’i tak datang-datang ke DKR. Tiba-tiba ia ingat sesuatu: beberapa tuts piano itu fals bunyinya. Tapi dilihatnya lelaki itu sudah duduk di kursi, siap untuk memulai permainannya. Ya, sudahlah! Lalu mengalunlah Für Elise karya Ludwig van Beethoven di senja yang lembab itu. Sebelum lagu itu selesai, dari renyai hujan muncul seorang anak perempuan, kirakira berusia tujuh atau delapan tahun mendekat ke pintu Teater Arena, lalu berdiri di ambang pintu. Sekilas Aamesa melihat penampilannya: rambutnya berjalin dua dan memakai gaun merah jambu berbunga putih kecil-kecil. Dia memakai sepatu tarpal yang pada bagian kelingking kaki kiri sudah koyak sedikit. Siapakah lelaki jangkung kurus dengan kumis sedikit uban, dan seorang anak perempuan dengan rambut berjalin dua itu? Apakah tidak mungkin lelaki jangkung kurus dengan kumis sedikit uban adalah pengarang cerita-pendek itu sendiri dan anak perempuan itu mungkin seorang “anak perempuan” satu-satunya yang dimilikinya? Merindukan Hasan Junus, pantas juga-lah Will Derks, seorang sahabat Al azhar, juga sahabat Hasan Junus dan sahabat saya, yang orang Belanda itu, mengatakan beberapa cerita-pendek Hasan Junus, seperti Pengantin Boneka (yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggeris), Daun Senja, sebagai cerita-pendek postmo (kontemporer) yang pernah ia baca. Petang esoknya hari sangat cerah. Sebelum senja tiba tempat-duduk di ruang Teater Arena sudah hampir penuh. Ini karena Dandun dan Zuarman dari Komite Musik
halaman 3
menanggap baik cerita Aamesa dan Junaidi Alwi. Kedua tamu yang ditunggu datang dengan pakaian yang itu itu juga, tapi tetap bersih seperti yang terlihat pada hari pertama. Begitu lagu berakhir, Willy yang pertama kali berdiri dan berteriak, “Bis!” lalu diikuti oleh teman-temannya, “Bis! Bis! Bis!” Tujuh kali lagu itu berulang dimainkan. Dan ketika seorang anak muda berdiri dan meneriakkan ‘Bis!’ lagi, si lelaki pemain piano berdiri dan memimpin tangan anak perempuan itu, menunduk memberi hormat, dan mereka pun keluar meninggalkan Teater Arena. “Besok anda tak bisa lagi main piano di sini,” kata Aamesa kepada lelaki itu. Lelaki pemain piano dan anak perempuan itu memandangnya dengan pandangan duka. “Kami pindah ke MTQ.” Tak ada yang tahu siapa lelaki dan anak perempuan itu. Mereka datang dan pergi. Entah dari mana, entah ke mana. Di Bandar Serai, di tempat gelanggang pembentangan kesenian yang baru, keduanya tak pernah kelihatan. Di mana mereka? Siapa mereka? Tak ada orang yang memberi nama kepada lelaki itu. Tapi secara berseloroh Zuarman berkata anak perempuan itu bernama Elise. Merindukan Hasan Junus, bacalah ceritapendeknya Lagu Untuk Elize. Atau kalau tak mau, baca naskah drama atau novel-nya dengan judul yang sama Burung Tiung Seri Gading! Maka akan tahulah sebuah estetika dunia berbancuh dengan estetika Melayu dalam satu estetika tersendiri. “Seperti batang dan bentangan sungai terus mengalir sampai jauh, tiada tahu berhenti, tak mencapai ujung sebelum mencapai muara dan bersatu dengan lautan sastra. Kenali dan berenanglah di sungai-sungai Rokan, Indragiri, Kampar, Siak; arungilah Nil sungai paling mengandung sejarah, arungi Gangga
halaman 4
yang religius, hiliri Mississippi yang paling panjang, mudiki Amazon yang buas ganas, rasakan dingin Yang Tse, jangan sampai ada sungai besar atau kecil yang tak sempat kau jelajahi.” Demikian tulis Hasan Junus dalam sebuah esei-nya. Merindukan Hasan Junus, maka, kami hanya dapat merindukanmu, membacakan Surat Yasin, dan doa yang dibaca oleh Erif, anak Herlela Ningsih, dan kami mengaminkannya. Maka, Merindukan Hasan Junus, maka Monda pun menutup cerita-pendek Lagu Untuk Elise ini, dalam haul 30 Maret 2015 di Aula Dewan Kesenian Riau yang sepertinya mulai sunyi itu: Aku melihat ke depan. Seorang lelaki terbaring sambil memeluk seorang anak perempuan. Tiba-tiba ia bangkit perlahanlahan, menggendong anak perempuan itu, dan berjalan beberapa langkah. Tiga langkah. Lalu ia tersungkur. Sambil berpelukan mereka rebah dan tak lagi bergerak. *** Redaksi
ED
Rampai
Sastra: Tanpa Batas Usia oleh Hasan Junus
Setiap kali tertulis kata ‘’sastra’’ dalam Rampai ini hendaklah Anda membacanya juga sebagai ‘’seni’’ karena semua jenis kesenian lebih memperlihatkan persamaan lebih banyak daripada perbedaan. Di antara semua hasil kegiatan rohani manusia kesenian tergolong yang paling ajaib antara lain karena tidak mengenal batas usia. Banyak anak-anak bisa menghasilkan lukisan yang surrealistik dan cukup banyak anak-anak yang secara ajaib dapat mencipta sajak-sajak yang sangat tinggi nilai puitiknya. Di ranah musik cukuplah dengan menyebutkan seorang anak ajaib alias der Wunderkind yang bernama Wolfgang Amadeus Mozart. Pada cabang seni yang lain tidaklah sulit mencari contohnya sehingga cukuplah menyebutkan satu cabang seni saja untuk menyatakan semua cabang yang lain.
eling anak-anak pada mulanya elinga cuma merekam bunyi dan suara. Lalu ia melihat gambar-gambar yang bersifat puitis, nyinyin dan fantasmagoris, yang realistik dan surrealistik. Semua itu kemudian menjadi tabungan si anak
untuk ditransformasikan dengan alat yang barangkali bernama bahasa anak-anak. Dengan bekal dan tabungan seperti itulah kelak si anak menemukan di dalam prosa yang paling kaku dan keras terpendam dengan rapi bunyi dan suara dari masa
halaman 5
kanaknya yang tersimpan dengan seksama terpantul lewat perasaan dan pikiran ketika suatu karya seni yang sangat sederhana dan bersahaja dinikmatinya. Pada gilirannya nanti bunyi itu dapat menjelma menjadi simfoni dan dapat pula sebagai kakofoni. Gary Provost membuat contoh tentang simfoni dan bukan kakofoni ini dengan mengatakan seperti berikut, ‘’Tulisanmu menciptakan bunyi-bunyi di dalam ruang pikiran para pembaca karyamu – bunyi-bunyi yang dapat menyejukkan dan memuaskan atau menggetarkan atau membahana. Inilah imbalan bagi gubahan simfoni, simfoni dan bukan kakofoni, dalam prosamu.’’ Baik dicatat bahwa kerja kreatif yang paling awal dalam menciptakan seni verbal ialah menciptakan makna - to create the meaning – dan kesadaran pada cerita - story awareness. Apa makna telur tembakul dalam dongeng lama Melayu yang luas cakupan wilayahnya Batu Belah Batu Bertangkup? Apakah hanya nama telur sejenis ikan? Atau dengan menggunakan tafsiran Freudian: keinginan atau imbangan bagi kejandaan si emak sehingga mengarah pada gelora libido karena mengharapkan kedatangan lelaki yang melindungi anak-anaknya? Bukankah gelora seperti itu terpantul juga dalam cerita Eropa Sleeping Beauty @ La Belle au bois dormant @ Das Dornröschen @ Si Jelita Terlena? Apa arti burung layang-layang luka dalam salah-satu cerita Hans Christian Andersen? Bagaimana kita menafsirkan cerita-cerita dongeng karya Andersen yang lain seperti Anak Angsa Buruk Rupa, Si Raja Telanjang, Si Cantik Kecil, Puteri Duyung dan lainnya? ‘’Dongeng,’’ kata filsuf George Santayana, ‘’tak lain dari tahayul jika didekati secara
halaman 6
sinis, menjadi puisi jika didekati dengan penuh kasih.’’ Pendapat George Santayana itu pas sekali kalau dibanding dengan ucapan Peter Härtling, seorang pengarang Jerman yang mengatakan bahwa dongeng dapat menghibur dan dapat pula mengejutkan sebagaimana semua karya sastra - Märchen könnnen vergnügen und können erschrecken wie alle Literatur. Dalam dongeng imajinasi manusia boleh sampai menguakkan ruang jagat ini, mendedas maju, mundur atau maju melompati dan menembus waktu. Dan karya sastra tumbuh di atas lahan seperti ini yang disemai sejak masa dini dalam jiwa seorang anak manusia. Cerita dan lirik dendang atau nyanyian saja kadang-kadang belum cukup muatan untuk menjadi karya sastra yang tak terlupakan. Ia baru menjadi kalau sudah tinggal mengendap dalam ingatan, mengisi ruang rohani dan senantiasa datang tampil sesuai tempat dan saatnya. Tempat dan saat yang tepat itu hanya bisa pas dan jitu apabila karya seni itu terbang menembus ruang dan waktu serta cakrawala kehidupan dengan memakai dua sayap: sayap yang satu bernama indah dan yang lainnya faedah sebagai terjemahan dari dua patah kata yang dipakai Horatius yaitu dulce et utile. Itulah sebabnya karya sastra yang ceritanya sudah diketahui sekalipun tetap saja dapat dan sering dinikmati berulangulang dengan tak tahu jemu. Dongeng kanak-kanak atau dongeng peri-peri yang surrealistik sudah ada sejak lama dalam ruang rohani manusia. Karena itulah banyak pengamal surrealisme yang menganggap karya seni yang dihasilkan oleh anak-anak kadang-kadang setara dengan karya orang dewasa. Bahkan kritikus sastra yang pertama
ialah anak-anak. Ketika sambil berbaring menjelang tidur si anak mendengarkan nenek atau ibu, atau pengasuh mendongeng yang diselang-seling dengan dendang, ia selalu merengek dan mengatakan bahwa ia tak suka ceritu anu tapi suka cerita ano karena cerita anu tak berakhir dengan bahagia dan bermacam argumentasi dan alasan yang lain. Pokoknya cerita ano lebih bagus dari cerita anu, dan ia minta dikisahkan cerita ana dan cerita ani yang belum pernah dibisikkan di telinganya. Maka secara embrional si anak sudah bertindak sebagai kritikus sastra kecil. Hal ini sangat penting karena apakah karena para pencerita yang mula-mula di periode fajar kehidupan seorang anak itu terdiri dari para perempuan, apakah itu ibu, nenek, pengasuh dan lainnya, tidakkah gaya bercerita yang feminine itu kemudian jadi berpengaruh pada perkembangan si anak? Lagi pula bukankah dunia Timur (lebih tegas disebutkanAsiaTimur) terkenal sekali dengan seorang pencerita perempuan yang bernama Syahrazad dalam Seribu Satu Malam? Dan bukanlah kebetulan kalau penulis kisah petualangan asmara dalam kesusastraan Jepang Genji Monogatari ditulis oleh seorang perempuan piawai yang bernama Murasaki Shikibu. Apabila dibandingkan dengan pengalaman pengarang Peru sebagaimana disampaikannya dalam orasi kebudayaan pada SEA Award di Bangkok beberapa tahun yang lalu kesusastraan secara perlahan tapi jelas makin menjadi wilayah garapan para wanita. Akan tetapi kalaupun kelak kemudian kehidupan di dunia ini dipegang oleh tangan wanita keadaan akan berubah pula pada masa dan tempat yang berdekatan.
kambing dan sebuah biola selalu muncul di setiap sudut. Atau pengolahan dan permainan kata-kata yang nyaris sampai pada mabuk berat mendekati kesintingan sebagaimana tertera dalam beberapa karya Jacques Prévert (1900-1977). Saya mengusulkan agar Anda menikmati sajaknya ‘’Le cancre’’ (Si Goblok) yang menggeleng tak setuju bertentangan dengan hatinya yang berkata ‘’ya’’ dan ia lalu menggambarkan kebahagiaan di papantulis. ***
ED
Sebagaimana dengan bagus dapat kita saksikan dalam lukisan surrealistik misalnya karya Marc Chagall dimana seekor anak
halaman 7
Esei
Manusia, Waktu, dan Ruang Kota Oleh Mohamad Baihaqi Alkawy
uang yang mengiindikasikan ketertiban. Sementara waktu keter mengisyaratkan keteraturan. me R u a n g dialami secara lebih konkrit daripada waktu. Namun kedua-duanya kini bergerak di bawah kesadaran kita. Ruang dan waktu berjalan menyalip kesadaran manusia. Kedua-duanya bergerak niscaya dalam sebuah zaman yang menandai dan ditandai oleh ruang dan waktu. Sementara manusia hanya menjadi objek yang digerakkan oleh ruang dan waktu. Dalam aktivitasnya, manusia tak dikenal dan tak mengenal ruang dan waktu.
halaman 8
Ruang menjadi sangat penting setelah waktu bukan lagi milik pribadi, melainkan ditentukan oleh sesuatu di luar individu. Kira-kira begitulah, di kota, ruang menjadi fundamental. Sebab ruanglah yang memungkinkan perjumpaan sosial terjadi. Ruang menjadikan kota lebih konkrit lantaran sentuhan dan kedekatan jarak antar individu secara fisik. Namun ruang di kota bukan sesuatu yang netral dan tidak setiap orang dapat mengaksesnya dengan mudah. Ruang dalam kota semakin menentukan orientasi sosial penghuninya. Dalam kota
semakin lama posisi ruang nyaris tak bisa dibedakan dengan norma yang menetapkan tubuh dan kesadaran dalam posisi tertentu. Posisi ruang akan sangat menentukan posisi relasi sosial seseorang dan selanjutnya akan memengaruhi perjumpaan sosial. Anthony Giddens dengan cara yang cukup meyakinkan mengatakan bahwa perjumpaan sosial sangat menentukan kadar hubungan antar individu. (The Constitution of Society, 1995) Perjumpaan sosial sangat begantung pada sebuah ruang. Namun ruang-ruang kota tersedia tanpa didesain sebagai ruang sosial, melainkan ruang publik yang individual. Orang-orang berjalan di tengah keramain dengan kesendiriannya masing-masing. Kadar hubungan antara individu seperti yang diungkapkan oleh Gideens di atas tak seratus persen benar, di kota, hubungan individu tak selamanya ditentukan oleh perjumpaan sosial. Karena hubungan antar individu hanya ditentukan oleh hubungan sosial di ruang-ruang sosial. Ruang kota bak mesin, mengubah siapa pun yang hendak masuk ke dalam sistemnya. Sistem yang berbasiskan material dalam menjalankan pola kehidupan. Segala yang berada di kota, benda atau manusia selalu berkaitan dengan sistem ini. Pola interaksi sosial di antara individu manusia kota adalah serangkaian ikatan yang memiliki landasan material. Sistem yang mengandaikan material ini seakan sudah menjadi bagian utama bagaimana seleksi atas manusia dan benda ada di kota tersebut. (Kulminasi, Imam Muhtarom, 2013) Ruang kota membentuk kehidupan yang lebih mekanistik. Kota bak mesin raksasa yang mengorganisasikan penghuninya menjadi sekrup-sekrup pendukung yang jauh
dari sifat manusiawi. Individu dipangkas dari sifat “alamiahnya� untuk saling menolong dan membantu. Hubungan antar penghuni kota tak beda dengan transaksi yang ada dalam dunia dagang. Meski memang tak sepenuhnya demikian. Bagi mereka yang tidak siap dengan caracara sistem kota bekerja, akan terlempar di jalan-jalan dan membusuk di sudut-sudut kota yang gelap, apalagi kota-kota besar. Mereka berkomplot dengan orang-orang putus asa, kalap, dan nekat macam pelacur, maling dan perampok. Kelompok-kelompok sosial di atas tak lain sebagai korban dari hukum mekanis sebuah kota. Hukum mekanis sebuah kota muncul dari sekelompok masyarakat yang tersisihkan. Kelompok ini mencoba survive di tengah kota dengan pilihan hidup yang semakin mempertegas identitasnya sebagai masyarakat urban. Untuk mempertahankan statusnya, kota memang tampak dari orangorang yang tersisihkan terebut. Di wajahwajah mereka lah kita akan menemukan wajah kota. Bahkan bisa kita katakan kota lahir dari orang-orang yang disihkan, sebagai tempat pelarian. Albert Camus dalam catatan perjalanannya, terkumpul dalam sebuah buku “Summer� (musim panas), di Kota Oran mengungkapkan bahwasanya ia untuk sementara mampu berahasia, dapat beristirahat sejenak dalam Kota Oran yang ia katakan fasih dengan sejarahsejarahnya. Dengan para gadis-gadis yang berdandan. Menurut Camus, mereka tidak menyamarkan perasaan yang membuat kepura-puraan dalam kegenitannya sehingga bisa dilihat tipu muslihat mereka. Nilai luar biasa di dalam kota, sambung Camus, hati mampu melucuti ketelanjangan diri sendiri.
halaman 9
Kesunyian sekarang hanya dimungkinkan di kota-kota ribut. Wajah Lain Kota Tapi ruang kota tak selamanya harus disikapi dan dipandang secara negatif seperti di atas. Sebab di sisi lain ruang kota diperbaharui untuk menjadikan sebuah wilayah relevan dengan waktu kini, sementara kota baru terus dibuat. Dalam studi kota, ruang kota justru dipandang sebagai awal konsep peradaban manusia. Sebab dengan kota manusia sedang menciptakan sistem yang mencukupi dirinya dan seminimal mungkin bergantung dengan alam sebagaimana kehidupan nenek moyangnya dulu. Kota telah mengeluarkan kita dari ketergantungan alam dan tumbuhan, tapi di saat itu juga kota telah membawa kita untuk bergantung pada benda tekhnologi. Sebuah benda yang menyerang hasrat visual kita. Kini manusia telah dipermudah dan sekaligus tunduk pada kemapanan sebuah benda daripada kemapanan dirinya. Bahkan eksistensi seseorang akan ditunjukkan oleh seberapa banyak ia mengonsumsi sebuah barang. Kota telah menyulap manusia dan lingkungan menjadi sebuah mesin yang memproses siapa saja yang masuk ke dalamnya menjadi larut oleh hasrat memiliki yang tinggi. Keinginan untuk menguasai sekaligus dikuasai oleh ruang-ruang kota. Sekali lagi ruang-ruang yang menarik dari sisi visual, dari kemasan. Sementara isi bukanlah prioritas utama dan tak perlu ditunjukkan. Tapi di saat seperti itu kita disadarkan oleh gejala. Sebuah gejala yang menghantam kesadaran pikiran kita terhadap sesuatu halaman 10
yang datang secara tiba-tiba di tengah kehidupan yang terapung-apung seperti perahu nelayan di tengah malam. Sesekali lampu berkedip menandakan keberadaan seseorang di tengah pengarungan dalam ruang dan waktu. Sementara kesadaran terhadap diri sebagai bagian dari masyarakat kota tak tampak. Albert Camus dalam sebuah esai berjudul Pengasingan Helen, mengutip Hegel yang pernah berani menulis: hanya kota modern yang dapat menawarkan tanah pada pikiran di mana pikiran itu bisa mencapai kesadaran akan dirinya sendiri. Camus mengungkapkan bagaimana dunia telah dengan sengaja menyisihkan dirinya dari apa yang memberinya keabadian: alam, lautan, perbukitan, renungan malam. Kota sebagai sebuah wilayah yang dihuni oleh orang-orang modern. Tempat melabuhkan diri dari pelarian kekecewaan. Atau sebagai tempat mencari rupiah bagi orang yang menyukai tantangan. Sebagai bagian dari cermin zaman, kota menampung berbagai rupa manusia beserta aktivitasnya. Kota adalah bagian dari sebuah perjalanan yang tak pernah terpisah dengan ruang. Kota adalah perubahan ruang dengan manusia yang diburu oleh waktu.
Mohamad Baihaqi Alkawy Pegiat sastra dan Penela’ah Pendidikan Agama Islam (PAI) di IAIN Mataram.
ED
Cerita-Pendek
Amadeo (si, “uomo onesto�) oleh Dantje S Moeis
uaca cukup c baik walau mendung, namun tak ada hujan setitikpun. Rombongan pengantar jenazah yang jumlahnya setitikp beberapa orang, telah pergi meninggalkan kompleks hanya b pemakaman, begitu juga dengan para penggali kubur. Nyata, seperti orang upahan. Setelah pekerjaan mereka selesai, semua ingin bergegas meninggalkan jasad Amadeo, sendirian terbaring kaku di liang kuburnya. Tak demikian dengan aku, tinggal sendirian menatap nisan dari sehelai papan yang menancap di busut kubur Amadeo. Terlalu banyak kenangan dengan Amadeo yang tak dapat ditimbus begitu saja, walau kini bukit kecil tanah merah telah menimbun lahatnya. Amadeo, karena terlalu sempurnanya dia, selang beberapa waktu lalu, secara pribadi aku mengubah namanya menjadi si Uomo Onesto (si orang jujur) dengan panggilan Momo. Kini setelah kematiannya,
halaman 11
semakin kuatlah alasan mengapa aku mengubah namanya menjadi Uomo Onesto, orang jujur, baik hati dan sempurna. Sekian lama, setelah pertemuan berkesan saat ibadah umrah di tanah suci, kami melakukan hubungan percintaan jarak-jauh, yang diisi dengan saling mempererat kedekatan serta upaya memahami kebudayaan masing-masing termasuk bahasa. Amadeo orang Italia, bertempat tinggal di Venice sebagai tenaga volunteer yang memberikan pelajaran tentang Islam bagi penganutnya yang bermukim di sana. Sedangkan aku di negeri sendiri, di negeri yang menurutku dan banyak orang, negeri yang aneh dan karena itulah aku sungguh gugup dan tertekan ketika via Short Masage Service Momo mengirim pesan. “Non ho potuto fare voglia di venire nel vostro Paese, vi prego di prendere all’aeroporto Arnoatta di domani 15 marzo 2007 circa 18,00 volte il vostro paese�
halaman 12
Jujur, keanehan negeri inilah yang membuat aku gugup menerima kedatangan Momo. Namun, sesuatu yang mustahil kalau hubungan kami dilakukan terus menerus dengan cara ini. Hubungan bersifat long distance seyogianya hanyalah sementara. Dari SMS Momo jelas terlihat sebuah pernyataan yang tak dapat ditawar. Ia memastikan datang ke negeri ini dengan penetapan tanggal, tahun, waktu tiba sekaligus airport kedatangan dan bahkan minta dijemput. Sungguh, aku takut. Momo tak dapat bertahan lama di negeri ini, sekaligus aku malu dengan kondisi yang berlaku. Negeriku adalah negeri aneh, yang semua penduduknya adalah penjahat dalam mencari “nafkah�. Di sini ada maling, pencopet, begal, rampok, koruptor, tukang tipu. Ketika benderang matahari berubah ke gelap malam, semua orang yang menjadi pencuri meninggalkan rumah mereka dengan membawa linggis atau golok dan senter kecil, celurit bahkan senjata api bagi para begal dan perampok, untuk kemudian mencuri membegal atau merampok di mana saja, termasuk di rumah para koruptor, tukang copet, begal, bahkan di rumah sesama pencuri. Pulang menjelang subuh ke kediaman masing-masing, ke rumah mereka yang kemungkinan telah kosong di curi pula oleh pencuri lain. Para pejabat pemerintah lain lagi. Yang ada di benak mereka hanyalah bagaimana cara mencuri uang rakyat yang rajin membayar pajak, upeti dan retribusi. Tujuan para pegawai pemerintah tak lain agar mereka dapat hidup bersenang-lenang dan mengadakan kembali harta benda mereka yang dicuri, dicopet, dibegal atau dirampok. Para penulis atau seniman, setiap hari berfikir kiat membajak atau memplagiat karya orang lain dan kemudian menjualnya, atau memproyekannya di departemen pemerintah terkait, walau mendapat upah hanya 30 persen dari nilai yang tercantum dalam laporan anggaran biaya terlaksana Satuan Kerja Dinas pemerintah terkait. Namun mereka semua hidup berbahagia berdampingan, tak seorang pun ada yang papa-kedana, karena orang-orang mengkorup uang rakyat atau mencuri dari orang lain lalu orang lain itu mengkorup atau mencuri pula dari yang lain lagi dan begitu seterusnya seperti mata rantai yang tak terputus. Perdagangan di negeri ini berjalan dengan kelaziman yang tak termaktub dalam kitab undang-undang. Lazim diwarnai tipu-helat kecurangan di kedua belah pihak baik pembeli maupun penjual. Pemerintah negeri ini adalah sebuah organisasi kriminal yang dilegalkan walau tidak secara yuridis formal dan sebaliknya, rakyat dengan sedaya upaya menipu aparat pemerintah. Hingga kehidupan mengalir tenang laksana air mengalir,
halaman 13
tak ada kesenjangan sosial berarti. Mulai hari itu, 15 Maret 2007 tak disangka-sangka, sesuai SMS si Momo kepadaku, dia seorang lelaki jujur datang dan berniat menetap di negeri ini dan berencana ke arah yang lebih serius tentang hubungan kami. Momo tetap seperti dulu, berbeda dengan kelaziman orangorang negeri ini untuk mendapatkan nafkah. Ia tak mau ikut-ikutan mencuri, tak mau korupsi, merampok, membegal dan mencari uang dengan cara tipu-helat. Ia tetap menjalankan usaha dagangnya berpedoman pada apa yang dilakukan Rasulullah. Tak ada faktur atau kwitansi kosong yang ia keluarkan, yang dapat memberi kesempatan penyalah-gunaan bagi yang berkepentingan. Setiap hari ia memberikan pencerahan kepada siapa saja penduduk negeri ini. “Kelaziman pola mencari nafkah yang selama ini terjadi, adalah sesuatu yang salah dan tidak diridhoi Tuhan”, demikian katanya selalu. Para Penduduk negeri ini terpaksa menjelaskan padanya bahwa, meskipun ia ingin hidup dengan cara yang ia katakan benar, namun tak ada alasan baginya untuk melarang orang lain melakukan sesuatu yang mereka inginkan. Momo si Uomo onesto tetap pada pendiriannya, terus berdakwah tak menggubris penjelasan mereka. Dia akan selalu menjadi lelaki jujur dan tak akan berubah. Malam itu dia pergi ke luar toko tempat usahanya, sekaligus tempat tinggal. Semalam suntuk ia hanya memandang langit. Menatap kebesaran Tuhan, memaknai arti dosa dan takut untuk melanggar segala firman yang telah Tuhan sampaikan. Menjelang subuh kembali ke toko, dia menemukan segala harta maupun barang dagangannya lesap dijarah pencuri. Sebulan setelah itu, ia tetap tak mampu menjadi pencuri, perampok, pembegal, kolaborator para koruptor ataupun penipu yang bertujuan mengembalikan segala modal usaha dan harta bendanya yang dicuri. Momo si lelaki jujur menjadi papa-kedana, tidak memiliki apa pun untuk dimakan dan tokonya benar-benar menjadi kosong melompong. Tentu saja ini menjadi sebuah masalah karena “kesalahannya?” sendiri. Sebenarnya tidak! Masalah sesungguhnya adalah perbedaan pemaknaan akan kebenaran halal dan haram, salah atau benar, moral dan keyakinan serta arti dosa, yang bermuara dari perilakunya yang mengacaukan pranata lisan yang sudah berjalan lama di negeri ini. Momo yang miskin jatuh sakit, namun tak satu pun rumah sakit dinegeri ini yang mau menerima dan merawatnya. “Anda harus tinggalkan uang panjar sebagai jaminan perawatan anda”, demikian halaman 14
selalu ucapan yang disampaikan padanya, oleh bahagian administrasi Rumah Sakit yang ia sambangi. Sebagai seorang kekasih si Momo, aku coba menawarkan jasa untuk menbantu keuangan agar ia dapat makan dan berobat. Namun selalu saja ditolaknya dengan berbagai alasan. Aku tahu alasan penolakan Momo yang paling mendasar, ia tak mau menerima uang hasil curian dan korupsi yang diberikan ayah padaku, karena jelas di matanya bahwa aku tak mempunyai sumber pendapatan sendiri. Amadeo (si Uomo Onesto) yang menjadi sumber kekacauan, akhirnya mati sakit karena kelaparan. Menjelang pulang meninggalkan makam Momo, aku berbisik di nisan momo, “Momo sayang, maafkan aku karena menyogok pegawai kantor kota agar kau dapat dimakamkan disini. Aku juga membayar para pengantar jenazah agar mereka mau mengusung keranda mu ke sini dan aku tak kuat terus-terusan mencium bau busuk buntang mu yang tergeletak kaku di gudang sebelah dapur rumah kami. Semoga kau bahagia di sana!� ***
ED
halaman 15
Cerita-Pendek
Dadar Telor Isi Gorab oleh Hasan Junus
halaman 16
Tak terasa, tiga tahun sudah berlalu Hasan Junus, seorang sastrawan besar pergi menghadap Sang Maha Pencipta. Tepatnya tanggal 30 Maret 2012 beliau meninggalkan kita, meninggalkan segala apa yang ada di atas dunia ini. Namun kenangan terhadap beliau tak boleh dan tak dapat begitu saja terhapus dari ingatan kita. Terutama pada karyakarya kreatif yang ia buat semasa hidup dan dapat dipastikan memberi kesan mendalam setelah membaca karya-karya tulis almarhum. Pada nomor ini. Sengaja kami (redaksi) muatkan karya cerita pendek almarhum sebagai pembuktian, disamping karya tersebar dan diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Bahwa beliau adalah seorang yang kreatif, mengelak dari kelaziman dan selalu menampilkan hal baru di pelbagai aspek pada karya tulisnya. (Pengantar Redaksi). Dalam keriangan seorang gourmand yang cinta kepada makanan enak kepedihan terus memburu seperti yang dialami seorang Negro dalam salah-satu sajak Rendra: sebegini jauh kutinggalkan Boston, Boston masih menguntitku. Kepedihan apa yang ada di meja makan yang semarak dengan hasil olahan koki handal, seorang maestro gastronomi? Sebagai finishing touch ceramah saya tentang seorang tokoh yang mula-mula sekali membuka usaha di Pulau Batam pada awal abad XX, sebelum turun dari podium, saya katakan, ‘’Ada dua sisi ektrim dalam pelajaran sejarah, yaitu kegemilangan dan deklivitas, kemegahan dan puing berdebu, keindahan dan kepedihan, kenikmatan dan maut. Warisan sejarah atau historical heritage masih bukan apaapa sebelum kita memberikan kepadanya makna kekinian atau the present meaning.’’ Dalam gema tepuk tangan saya turun dari podium dan menyambut salam orang-orang. Tapi ingatan pada pada suatu benda-sepertikekasih sangat menggoda. Dalam kamar tempat saya menginap di MRH (nama ini sengaja tidak dituliskan lengkap karena dapat dinilai mempromosikan sebuah hotel) untuk kelancaran pekerjaan oleh Pemdako Batam telah disiapkan sebuah komputer dan saya memandang alat itu seperti seorang kekasih. Dengan benda-sepertikekasih itulah malam tadi saya menyiapkan ceramah yang baru saja selesai saya presentasikan. Di sela-sela kesungguhan memaparkan bahan-bahan sejarah itu saya selalu menyempatkan seloroh di antaranya, misalnya bahwa di kamar saya menanti benda-sepertikekasih. Tapi audiens yang sudah menggelegak berubah menjadi kecewa karena saya mengatakan bahwa kalau benda-seperti-kekasih itu saya gauli dengan passi yang amat tinggi dan penuh seluruh akan lahir sebuah fiksi dengan gaya bercerita yang khas. Seorang teman
halaman 17
di Pekanbaru yang pernah belajar dan megajar di Leiden, Belanda, mengatakan bahwa dalam hal bercerita HJ - inisial saya yang sering dipakai oleh teman-teman menyapa - sudah mencapai puncak gunung makrifat sastra. Lelaki besar dengan perut seperti perempuan hamil enam bulan itu terus duduk ketika saya mendekatinya. Ia seorang teman lama, sama-sama ke Bandung, saya di Fakultas Sastra dan ia di Fakultas Kedokteran. Sama-sama tak selesai, dan teman saya mula-mula bekerja sebagai Mantri Kesehatan. Lalu sejak pembukaan Pulau Batam sebagai kawasan industri 3 dekade yang ia membuka bermacam usaha. Si teman mengundang saya makan malam di sebuah resto di kawasan Batam Center yang spesialisasinya telor dadar isi. Setelah minta izin kepada panitia, kami pergi dengan mobil teman saya berdelau boleh dibuat cermin. Di daftar menu, saya lihat isi telor dadar itu boleh daging cencang, kepiting, udang, atau jenis mollusk seperti lokan, kerang, kepah, gorab sampai remis. ‘’Kau pilih isi apa? Isi daging kepiting enak sekali!’’ demikian saran si teman. ‘’Yang paling istimewa ialah isi teritip.’’ Setelah berpikir sebentar saya menjawab, ‘’Aku pilih isi remis?’’ ‘’Mengapa?’’ ‘’Pertama remis sudah langka. Lebih-lebih setelah kau menjual pasir di pulau-pulau sini ke Singapura. Kedua kau tentu ingat kita dulu selalu mencari remis di pasir pantai Lobam dan menjualnya di toko obat Cina. Konon air asli remis itu obat sakit diabetes yang luarbiasa.’’ ‘’Kalau teritip?’’ ‘’Kau sudah tahu jawabnya. Dulu kita mengumpulkan remis di pantai Lobam dan menjualnya ke toko obat Cina. Tapi meskipun teritip lebih mahal kita tak mau mengumpulkannya karena geli pada baunya yang tajam menyengat dan dagingnya yang meleleh.’’ ‘’Seperti ingus.’’ ‘’Seperti ingus apek beli botol.’’ ‘’Nah!’’ seru temanku dengan keriangan yang meluap. ‘’Aku jadi benar-benar mengerti tentang ceramahmu tadi. Apa arti semua yang kita alami di masa lalu kalau tak ada present meaningnya.’’ Ia diam sebentar. ‘’Apa tadi terjemahan Melayunya?’’ ‘’Makna kekinian,’’ kataku lantang. “Ya, makna kekinian.’’ Pelayan datang memberitahu remis kosong. Yang ada gorab. ‘’Oke, isi gorablah!’’ kata saya.
halaman 18
Di tengah peragaan seni-dapur par excellence dan bau semerbak makanan, saya merindukan benda-seperti-kekasih di kamar hotel karena resa untuk melahirkan karya tiba-tiba sangat menggebu-gebu. Karena itu bagaimanapun hebatnya entertaint yang disuguhkan sang koki terasa tawar. Melihat semangat saya menurun, peneraktir saya nampak kecewa. Dan ini harus diobat segera secara kultural. Saya katakan kepadanya, ‘’Kau tahu, seluruh gerakan si koki ialah sebuah karya koreografer tinggi. Aku hendak mengaitkannya dengan puisi Cina kuno Nian nian sui sui hua xiang si / sui sui nian nian ren bu tong yang kurangkai dengan untaian yang lain yaitu Luo hua you yi / liu shui wu qing.’’ ‘’Sekian puluh tahun kau memelihara pelajaran bahasa itu?’’ seru teman saya sedikit menganga. ‘’Tolong terjemahkan!’’ ‘’Seharusnya tak kuterjemahkan. Biar saja bunyi merdu itu mengendap pada urat-urat selebralmu sampai suatu kali kau tahu artinya.’’ ‘’Please,Hasan!’’ Teman saya, yang tak punya bekal apa-apa tentang puisi, apalagi puisi Cina klasik, barangkali menyangka rangkaian kata-kata bahasa Mandarin itu mengandung arti keriangan, padahal sebaliknya, seluruh kepedihan hidup berakumulasi di situ. Bunga mekar tahun demi tahun tak berubah indahnya. Tapi tahun demi tahun orang berubah ... Bunga gugur tunjukkan perasaannya tapi air mengalir tidak perduli. “Aku orang awam yang ingin dengar penjelasanmu tentang puisi itu.’’ ‘’Sebenarnya tak boleh. Rasa puisi itu sama dengan anggur Itali seperti Amaretto di Sorenno yang akan hilang daya pikatnya kalau diberi air.’’ ‘’Sekali lagi please for the translation!’’ ‘’Oke, oke, kalau kaupaksa juga inilah hasil saripatinya. Sudah sekian banyak tahun sang koki menari indah seperti itu. Usianya bertambah, kerutan di wajahnya pun bertambah dalam, tapi rasa telor dadar isinya tetap enak.’’ ”Bravo, teman. Aku pasti suka puisi setelah pertemuan kita malam ini. Teruslah!’’ ‘’Seorang pencinta makanan enak, seorang gourmand sejati, akan bertubuh atletis dan aestetis seperti aku,’’ kata saya, ‘’sedangkan seorang yang sekadar suka makan akan gembrot
halaman 19
seperti kau. Tengok, perutmu seperti perempuan bunting enam bulan. Di sinilah pentingnya kata cinta. Sama dengan pornografi dan erotisme.’’ Ada seorang gadis lewat sambil menyusuri meja kami, dan saya merendahkan suara sedikit. ‘’Kalau kau suka pada gadis itu, kau mungkin memakannya. Tapi kalau kau menyintainya kau akan melindunginya dari kerusakan. Di sebuah podium sastra di Pekanbaru pernah kukatakan bahwa pornografi ialah jalan buntu kreativitas sedangkan erotisme ialah saksi bahwa jalan masih panjang. Seperti itulah beda suka dan cinta.’’ ‘’Kau punya seorang kekasih yang kau cintai?’’ ‘’Kalau tak ada aku sudah mati. Coba kau hitung teman-teman masa lalu kita yang masih hidup? Mereka yang duluan pergi itu tidak mempertahankan sikap bertahan hidup dengan mempunyai kekasih yang dicintai sepenuhnya.’’ ‘’Aku ingat, aku ingat! Agnes kakak tingkatmu di Padjadjaran dulu begitu lengket dengan kau sehingga kami mengejekmu sebagai orang yang SSA yaitu Satu Sampai Akhir. Jadi sekarang kau menyintai seseorang?’’ ‘’Tentu! Kalau tidak mana mungkin aku berkarya seprolifik seperti sekarang. Tapi ada kendala. Setiap kutunjukkan sayang yang sangat sangat sangat mendalam kepadanya semakin diperlihatkannya rasa-tak-sukanya kepadaku. Aku tak bisa berpura-pura, misalnya berlagak tak punya perhatian kepadanya. Tak cukup waktuku untuk berstrategi. Begitu kami bertemu, aku luluh dalam sayang yang yang amat sarat dan dia dengan gaya tak acuhnya yang menyakitkan. Pernah kukatakan kepadanya kau jangan membenciku. “Marah boleh.’’ ‘’Karena?’’ serbu temanku. ‘’Karena amarah seperti erotisme dan benci itu seperti pornografi. Setelah adrenalin naik sebentar, kemarahan padam dan lewat, orang harus menggandakan sayang agar luka akibat kemarahan segera sembuh kembali. Seperti sihir. Tapi setelah benci masuk ke hati dia tinggal di sana melekat sebati menjadi semacam kanker, maka yang terbentang di depan kebencian ialah akhir perjalanan. Jadi erotisme memperlihatkan jalan masih panjang, dan pornografi berarti the end of the journey.’’ Rangkaian kata-kata bahasa Inggeris itu kuulangi dua kali dengan dua macam gaya pembacaan yang berbeda. Gaya pertama tekanan katanya pada the end dan gaya kedua bertekanan pada the journey.
halaman 20
‘’Cantik?’’ tanya si teman. ‘’Kalau aku sebut kata mawar kau tentu akan ingat pada wanginya, bukan bentuknya. Tapi ingat pada garis-api antara kasih sayang dan nafsu, antara erotisme dan pornografi. Cinta dari datang dari Tuhan dan nafsu dari Iblis. Kalau kau mencintai seseorang kau sanggup mati demi dia. Orang yang kaucintai harus dilindungi dari kerusakan. Jika tidak begitu bukan cinta namanya.’’ ‘’Kau minum apa?’’ ‘’Kopi.’’ ‘’Sejak bila kau minum kopi?’’ ‘’Dalam hidupku sudah kureguk kopi berbuih, air kata-kata, cukup banyak. Sekarang aku mau kopi tanpa buih.’’ ‘’Mau naik haji kau?’’ Ia diam sebentar. ‘’Sepertinya kata-kata dalam puisi Cina itu sebati sekali dengan lidahmu. Mengapa?’’ Saya malas melayani pertanyaan ini. Saya hanya tersenyum. Di depanku timbul gambaran sebuah pinggan lonjong antik yang di pinggirnya ditulis dengan tulisan Cina. Tulisan itu ialah sajak yang saya bacakan tadi. ‘’Madame est servie!’’ kata koki orang Cina itu dalam bahasa Perancis untuk mengatakan hidangan karyanya sudah siap disantap. Tiba-tiba, tiba-tiba saja, suap saya terhenti. Sebuah pinggan lonjong yang dihidangkan di depan saya ada sesuatu yang mendebarkan. Pinggan itu persis seperti yang ada di rumah saya. Pinggan antik itu ialah benda warisan, hadiah perkawinan datuk ibuku dari Kapitan Cina Tanjungpinang. Benda itu dijaga baikbaik oleh almarhum ibu saya. Setelah dia meninggal-dunia saya membawanya ke Pekanbaru. Lukisannya sama, sajak yang tertulis cantik di pinggirnya pun sama. Cuma wadah telor dadar ini repro dari yang ada di rumah saya. Made in Taiwan. Buatan masa kini. Semua ini membangkitkan kenangan kepada anak gadis saya di rumah, di Pekanbaru, yang selalu dengan bangga memperagakan telor dadarnya yang sederhana. Tapi dia sudah tahu benar selera saya. Sekali kudengar dia bertengkar dengan ibunya tentang saos telor dadar isi. ‘’Mama salah! Kalau buat saos untuk papa dua sudu teh tomato sauce dan satu sudu kecap. Jangan diaduk.’’ Tiba-tiba terdengar suara orang mengerang di beberapa meja dekat jalan keluar. Serempak kami berpaling ke arah suara itu.
halaman 21
Teman saya bangkit dan pergi ke meja tempat seorang lelaki yang kelihatan panik karena perempuan yang bersamanya menelungkup di atas meja. Dari jarak tiga meja saya melihat mereka. Si lelaki panik. Ia mendekati teman saya dan berkata dengan gagap, ‘’Tolong singse!’’ Temanku pergi ke tempat koki dan berbicara perlahan. Ia lalu menyiapkan segelas air entah dicampur apa, dan diberikannya gelas itu kepada si perempuan. Lalu lelaki, entah suami entah teman si perempuan pergi. Rupanya ia membawa mobilnya dekat tempat itu. Mereka memapah perempuan itu ke mobil. Pemilik resto mendekati mobil itu mungkin menerima pembayaran. Teman saya mendekat. ‘’Perempuan itu kena cika. Sengaja dimakannya kepiting kecil dalam kerang. Disangkanya enak. Tak tahu dia itu racun besar. Dia makan empat. Bisa celaka!’’ ‘’Bisa mati?’’ ‘’Bisa.’’ ‘’Tapi sejak bila kau menjadi singse?’’ tanya saya. ‘’Dan air apa kau beri perempuan itu minum?’’ ‘’Itu rahasia jabatan,’’ jawabnya. ‘’Aku beri dia minum air pencuci kerang. Mujarab kan?’’ Nafsu makan kami pun terbang. Pantas ada bau tajam muntah dan taik cair menghembus dari arah sana. Pesta kami pun gagal. ***
ED
halaman 22
Cerita-Pendek
Catatan Kaki oleh Tjak S Parlan
eben ebenarnya, saat pikiranmu meronta-ronta dalam ceruk sempit itu, aku a sedang berada di luar. Sibuk menata ulang udara dan warna sehabis hujan. Kau tahu, kan? Bagiku tidak pernah warn mudah meyakini bahwa hujan selalu berwarna abu. Dan menikmati barang sebentar udara longgar, tentunya akan membuat sirkulasi darah dalam otakku berjalan lancar. Itu semacam keyakinan mendadak yang kubangun dari bahan yang mudah berai. Bukan seperti warna abu yang kental, tapi abu semata-yang jika kau hamburkan di udara, hanya akan terbang kemana angin suka membawanya. Sebenarnya, ini stimulasi teks semata. Awalnya mungkin akan begitu, tapi boleh juga kalau aku mampu mendapatkan bentuk pengejawantahan yang lain. Mungkin aku bisa kembali ke waktuwaktu sederhana-dengan lebih intens menemani jam minum kopi tiga kali sehari, misalnya. Tidak. Tidak perlu pakai creamer, sebab hanya akan merusak warna hitamnya yang kental. Belum lagi jika pertimbangannya adalah rasa. Wow! Dijamin, bakal kehilangan orisinalitasnya. Tapi itu hanya pendapatku: sudut pandang yang berbeda tentang sebuah selera. halaman 23
Well, kau juga boleh berbeda pendapat denganku. Kalau mau, kau boleh menaburkan cream warna pelangi, dan itu bukan peluang terakhir kukira. Bukankah selalu ada kemungkinan untuk mengubah warna? Lantas, bagaimana dengan kombinasi CMYK? Bisa kau gabungkan rasa cyan, kesan magenta, kombinasi yellow dan ditutup dengan unsur black yang menyatukan ketiga-tiganya. Atau, bolehlah jika kau menginginkan segalanya menjadi seragam dan sepadan: semacam warna-warna sephia, mungkin.
halaman 24
Seperti senja, katamu. “Aih! Mata penghayatanmu mulai mendekati sentimentalitas penyair, rupanya. Aku tahu, kau memang paling suka menjumputi kata-kata. Pungut sana, pulung sini. Tidak peduli ada catatan kaki atau tidak. Malah, kau tidak pernah menganggap penting bagaimana muasal bibliografi dicantumkan dalam lembaran cerita hidupmu.” “Aku telah mengalami sebuah fase sulit. Aku benci telah suka menyebutnya sebagai “kedhaifan resensi”.” “Semakin. Kata-katamu semakin ngawur. Kau bahkan terlalu berani sekaligus gegabah memerlakukan istilah. Tapi aku bisa menerimanya. Asik, malah!” “Tunggu dulu. Yang ini benar-benar punyaku.” “Yang mana? Aku siap menunggu-bukankah aku terus tinggal?” “Bukan yang itu.” “Berarti yang ini.” “Bukan, bukan kedua-duanya.” “Oke. Ya, terserah kaulah!” *** Sebenarnya begini. Waktu kau sedang sibuk menata ulang udara dan warna sehabis hujan di luar, aku begitu bahagia di dalam. Pikiranku bisa melepaskan diri dari ceruk yang sempit itu. Ceruk yang kerap kau bangun dari iman para peragu. Bahan yang mudah berai dan meninggalkan kesatuannya. Tapi ketika semuanya terasa longgar, aku telah mengumpulkan serakkannya. Kujadikan kesatuan remah-remahnya, meramu rupa dan rasa dalam cangkir kopiku. Sebenarnya, ini muncul dari stimulasi teks awalnya. Tapi gagasan tentang pengejawantahan mampu menjadikannya ada. Seperti katamu, aku juga telah mengawalinya dengan intens menemui jam minum kopi. Tak mesti tiga kali sehari. Apalagi, aku adalah jenis yang kerap terlambat untuk urusan “membaca aturan pakai”. Jadi, aku hanya memilih waktu yang tepat untuk melakukannya. Sementara untuk urusan angka, aku berharap bisa menambah jumlahnya pada fase-fase berikutnya. Cinta adalah stimulan pikiran, seperti katamu. “Itu bukan punyaku.” “Terserah! Kau pernah mengatakannya.”
halaman 25
“Maaf, aku lupa. Aku benar-benar lupa memberikan catatan kaki.” “Sudahlah, itu tak penting lagi. Toh, tidak ada yang tahu.” “Benarkah?” “Ah, seperti kau tidak tahu saja. Bukankah kota ini pun terlalu “payah” dengan kata-kata?” “Nah, ucapanmu mulai seperti cerpenis yang bukunya hanya terbit dalam obrolan. Igauan. Ha… ha… ha….” “Sebentar dulu.” “Tapi aku buru-buru. Hujan hampir reda. Aku takut kehilangan warna abu.” “Ya, Tuhan. Mulai kapan kau jadi penyair hujan?” “Serius. Aku mau pergi. Di dalam sini sesak sekali.” “Yang ini lebih serius!” “Yang mana?” “Yang tadi itu. Yang ini. Yang di dalam. Di balik batok kepalamu. Di balik semua yang ada di luar.” “Gombal! Apa itu juga benar-benar keluar dari dalam?” “Sebenarnya. semua yang kukatakan tidak sepenuhnya dari dalam. Tapi aku bisa mendengar dari yang lain.” “Nah, kau mulai lagi. Comot sana, comot sini!” “Tapi aku akan memberikan catatan kaki. Biar kau tahu yang ini sahih, yang itu tidak.” “Yang itu tidak?” “Lebih tepatnya tidak murni. Tidak sama sekali!” ( )
Tjak S Parlan Lahir di Banyuwangi 10 November 1975. Merampungkan studi Administrasi di Universitas Muhammadiyah, Mataram. Cerpen dan puisinya terbit di sejumlah media massa cetak, antara lain Jurnal Nasional, Republika, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, Bali Post, Padang Ekspres, Sagang, Lampung Pos dll. Juga terangkum dalam beberapa antologi bersama seperti Tuah Tara No Ate (2011), Dari Takhalli Sampai Temaram (2012), Sauk Seloko (2012), Mahar Kebebasan (2013). Diundang menghadiri Temu Sastrawan Indonesia IV di Ternate (Oktober 2011) dan Pertemuan Penyair Nusantara V di Jambi (Desember 2012). Bekerja pada Departemen Desain dan Publikasi Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.
halaman 26
Sajak
Kholil D. Rahman Di Musium Perjuangan Sajak Gila Di Stasiun Tiba-Tiba Aku Jatuh Cinta Pada Bulan yang Kutemukan Malam Hari Sajak Jatuh Cinta Kita Percaya Wanita
Kholil D. Rahman Lahir di Sumenep Madura Tinggal di Yogyakarta Bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY). Buku Puisi tunggalnya Sebelum Kepergianku Tiba(Kaifa Puplising 2014)
halaman 27
Di Musium Perjuangan Alfaanisa
Di musium kita percaya pada sejarah Kita percaya pada perjuangan Kita percaya pada usaha Kita percaya pada darah Dan kita percaya bahwa pahlawan Bermandi darah hanya untuk bangsa
halaman 28
Sajak Gila
Ia bermain dengan desah yang merontaronta Padahal sudah bisa melepaskan ikatannya Lalu tertawa Kemudian terlelap dengan mata terbuka Mulut berbusa hanya sekedar mendesah-desah :Tertawa gila yang mungkin sudah ada hanya karena cinta bukan karena apa-apa.
halaman 29
Di Stasiun Alfaanisa
Aku mematung di bawah kuba langit Diantara dua hati yang berpegang sedih Ditangga stasiun malam hari aku duduk di antara kasar dan lembut yang percaya pada cuaca kabut Pergilah lalu ucapkan selamat tinggal pada kenangan yang kita rakit selama duapuluh empat jam Senyuman yang lemah Lalu dongeng yang sia-sia Telah aku simpan dalam-dalam Biar kau tahu betapa berharganya sebuah perpisahan yang melahirkan rindu setiap saat
halaman 30
Tiba-Tiba Aku Jatuh Cinta Pada Bulan yang Kutemukan Malam Hari
Tiba-tiba aku jatuh cinta pada bulan yang kutemukan malam hari Padahal bulan tak punya daya apa-apa Dari manakah sumbernya saudara Tentang cinta dan kesetiaan belaka Dari sepasang matanya yang lembut Mampu membuka menyala Nama cinta yang paling berharga Tiba-tiba aku jatuh cinta pada bulan yang kutemuka malam hari Pada sepi yang abadi Lalu menetes air mata Mungkin pula bangga Atas cintanya yang datang secara tiba-tiba
halaman 31
Sajak Jatuh Cinta
Sesampainya di taman ia bertanya tentang umur dan musim yang selalu berganti Kemudian berkata “Kau belum cukup umur untuk mencintaiku� Sambil tersenyum kaku Aku hanya diam Menyalahkan pada sejarah kenapa aku lebih dahulu terbuat darinya Tapi sudahlah, Tentang cinta yang sudah kita ketahui bahwa memang nyata Dan mungkin lebih baik menerima apa kehendak Sejarah yang tidak mempersatukan kita.
halaman 32
Kita Percaya
Kita percaya pada bintang dan bulan yang setia pada malam kita percaya pada surga dan neraka dimana setiap hati selalu tunduk untuk beribadah kita percaya pada cinta yang penuh bahagia dan luka-luka hingga pada akhirnya aku mencintaimu dengan kepercayaan yang nyata
halaman 33
Wanita
Kau cantik Kau anggun kau mempesona, taukah kamu? Jika seandainya ada jerawat yang nakal mencumbui wajahmu Lalu ia berhasil dan kekal hingga membuat kelas pada setiap pipi lesungmu Hitungkan waktu pada setiap tiktok jam, seperti khayalan semakin jauh semakin dekat Semakin dekat semakin jauh. Lalu ia berkata “Tidak. Tidak .Aku cantik seperti para rembulan yang setia pada malam Dan mungkin orang-orang akan menguntitku. Nenek moyongku adalah para pelacur yang gila harta Setiap malam beliau mengajari aku tentang bermain kodok dan kura-kura Maka akan kujalankan pekerjaan dia Demi uang dan harta� Aku diam. Sejenak berpikir Lalu menuliskan sebuah kata-kata yang mula-mula hanya dengan wanita
ED
halaman 34
Sajak
Jumardi Putra Menuju Pulang Ruang Kecil di sini Kaindra Gafra al-Farisi Notulen Pejalan Malam Tanah Sejarah yang Murung Matahariku Arti Kelahiran Ternate, Oh Ternate!
Jumardi Putra Lahir 1986 di Kab. Bungo-Jambi. Aktif sebagai penyunting di Jurnal Budaya: Seloko Dewan Kesenian Jambi sekaligus menjabat Wakil Ketua I Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Bungo-Jambi. Karya puisinya tersebar di berbagai media massa dan antologi bersama.
halaman 35
Menuju Pulang
dedaunan ratap terentang di rahim ibu hari ke hari berangin gerimis membiarkan rintik menitik di dipan bambu jalan laksana lumpur mendiami mata hingga segan melaluinya tak mudah mengikis ketebalan gundah duka dihalau tak hendak pergi larut malam hari ketujuh menuai ikrar, “ini jalan menuju pulang, meski bertambah duka baru lagi dalam�.
halaman 36
Ruang Kecil di sini
jalan setapak dilumuti debu rembulan hampir kehabisan tenaga meranggasnya seisi rumah dilalap keserakahan tanpa malu meski hanya ruang kecil di sini bagaimana bisa mengucapkan dengan bahagia bila kemiskinan sebagai keseharian sekarang tidak ada rasa takut di sini sekalipun awan sehitam tinta membayangi jejak aku akan menahkodainya jauh di atas hal yang sia-sia di talang belukar.
halaman 37
Kaindra Gafra al-Farisi
dalam kesahajaan saat pencarian ruh pelan-pelan muncul dengan penerimaan terhadap yang ranum dan tidak tergesa-gesa sirnalah kejumudan yang menulikan karena bintang akan timbul saat langkah dirajut langit biru raut sedih dari melodi waktu bagian dari cerita yang menandai keseimbangan adalah segala beban di semua musim terlewati.
halaman 38
Notulen Pejalan Malam
pohon-pohon berlarian. tak menuai jejak. sesekali sopir meneguk kopi dan merokok seperlunya kernet di dekatnya membumbui sepi dengan teka-teki di bawah temaram lampu bis diam dilumuri sunyi. dalam titiknya menyeruak wewangian rona di sepanjang jalan: “esok adalah lembaran peta yang tertulis rencana di hari ini tak boleh berlalu bagai mimpi karena masih ada esok dan esok lagi�.
halaman 39
Tanah Sejarah yang Murung :Percandian Muarajambi
abad-abad yang berlalu, merayap di malam gelap entah bagaimana kami menafsirkan suara di sana tentang tanah sejarah yang ditimbun kecemasan berjuta kubit batubara menindih tanpa iba kapal-kapal mengangkut bunga-bunga cantik yang tersisa abad-abad yang berlalu kupaut darahmu dalam ruhku melayari samudera melalui perahu mengelupaskan mimpi-mimpiku o tanah sejarahku yang murung raung borju: “kami di sini, hanya berharap bunga malam memercikkan wewangian rona, untuk kehidupan kini, nanti dan selanjutnya.
halaman 40
Matahariku
kuberikan lebih dari benda-benda yang melaluinya, darah dan nafas tiada mengenal jeda menggumpal dalam jasadmu melayari sepilihan muara melalui bidukwaktu membawamu menuju jantung jiwa.
halaman 41
Arti Kelahiran :Percandian Muarajambi
masa lalu berumput batubatu bagaimana menuju abad yang berlalu bila merasa tak perlu duka dihalau tak juga lerai karena masa depan dirakit sia-sia dalam tugu beribu pertanyaan terus berlaku karena kelahiran untuk dimengerti.
halaman 42
Ternate, Oh Ternate!
indahnya tidore pemandangan yang pernah kuakrabi tengadah mentari memercikkan bungahati ombak bergoyang laksana harum mewangi mungkinkah melupakan tidore? kenangan ternate yang paling ingat adalah gamalama kawahnya yang menganga hamparan hutan dan pepohonan kelapa siulan batu angus di kedalaman jiwa juga aer guraka dan soya-soya oh maitara dan halmahera kapankah dapat menjelajah kembali?
halaman 43
kenangan kalamata muda-mudi menari di jagad raya puisi memproklamirkan kesatuan hati masihkah aku ada dalam ingatanmu? di laguna para lelaki berjantung puisi merundukkan gadis-gadis berok mini bertambah lagi sanak saudari. oh ternate raungan puisi di riak laut dan reggae membawaku ke dasar laut dan pasir putihmu.
ED
halaman 44
Sajak
Azizah Masdar Ayunan Lirik belasungkawa perapian jasmerah bidara
halaman 45
Ayunan Lirik
syair puan sentuh embun malam pada daun rimbun ayunan lirik candai dusta isyarat bahana damba tunda biola-biola lapuk sertai bait-bait bisu kelabui bola timur yang tak kuasa bergelinding ke barat tuan begitu tulus ampun tuan jika aku mengusik tunakmu tak usah lah tuan bangun rasa masygul aku hanya puan penebar luka tak sengaja menitipkan duka di singgahsana megah ampun tuan jika ini melalaikan sukma padaNYA
halaman 46
Belasungkawa
jarak bukan waktu getar bukan bunyi biarkan sepi tutup celah dusta jarak bukan batas untuk mengais murka pada duri-duri ku tambatkan sekuntum duhai... mawar kemana saja ronamu? kala suram kenanga sentuh bola mataku
Perapian Jasmerah
puja puji menganga pada borok yang kita sembah enggan rasa pada serpihan celah kusam kau biar nyalamu pada jerami kuyup sedangkan engkau api yang busuk
halaman 47
Bidara
sembari tidur kulupa mata gumam subuh tunda derai kabut aku menutup sunyi dengan pintu tak berdaun langkah asing menyeruak hardik bangunku aku tergugu dalam raung tak bernada
ED
halaman 48
Sajak Terjemahan
Sajak-sajak
Jepang terjemahan Nakamura Kusatao Kato Shuson Tanikawa Shuntaro Takagi Kyozo
(Dari hunianku-hunianku.blogspot.com, buku “Sajak-Sajak Timur Jauh Dalam Terjemahan� Nyoman Tusthi Eddy. Penerbit Nusa Indah Ende-Flores.)
halaman 49
Nakamura Kusatao
Haiku Modern I Irama langkah serdadu mendekat Dalam angin musim semi Di tengah alam nan menghijau Bayiku tumbuh gigi Langit yang biru tempat lahirnya dunia Dari istriku aku peroleh sebuah apel
halaman 50
Kato Shuson
Haiku Modern II Dalam temaram cahaya Kulihat setangkai peoni Pecah berguguran Badai salju yang dingin Daun pintu pecah bergetar Gemertak dalam angin Burung-burung camar dalam salju Hidup tanpa rumah Mati tanpa kuburan
halaman 51
Tanikawa Shuntaro
Musim Semi di rimbun kembang ceri awan memutih di gugus awan langit yang dalam di rimbun kembang ceri di gugus awan di langit sana kusanggup memanjat di sana suatu saat di musim semi tuhan dan aku bercakap bisu
halaman 52
Takagi Kyozo
Awal Musim Semi di Taman Gappo Taman ini terhampar di tepi laut Kulihat hanya pohon-pohon cemara yang tumbuh Betapa sepinya Di sini tiada dara bercengkrama Ketika kucapai pesisir Kurasa angin timur berembus mendesir Aroma lemonade memikat lidahku Temanku duduk di bangku tua Memberiku kisah-kisah asmara Namun kata-katanya Lenyap direnggut angin
ED
halaman 53
Pusaka
Wayang Siam
(Seni Pertunjukan Tradisional Masyarakat Melayu Kelantan, Malaysia)
ay ayang Siam atau yang disebut juga sebagai “wayangnya ju orang Siam” (Thailand) adalah ora seni pertunjukan “tradisional” masyarakat Melayu Kelantan, Malaysia. Pada masa lampau, Wayang Siam merupakan satu genre seni pertunjukan wayang kulit tradisional yang berkembang dan cukup digemari oleh masyarakat di negara bagian yang beribukota di Kota Bahru ini. Selain Wayang Siam, menurut catatan seorang etnografer bernama Barbara S. Wright (1981), masyarakat Melayu Kelantan juga gemar akan seni pertunjukan Melayu lainnya, seperti Main Puteri, Dikir Barat (di Thailand Selatan bernama Dikir Karut), Silat, Makyong, serta Menora. Selain di Kelantan, Wayang Siam dapat dijumpai di Kedah, Malaysia. Keberadaan kesenian teater rakyat jenis ini di Kelantan, tidak lain merupakan sebuah patronase dari keberadaan Wayang
halaman 54
Purwa di Jawa maupun jenis wayang lainnya di kawasan Asia Tenggara. Karakter Wayang Siam yang berkembang di kawasan Kelantan tersebut banyak dipengaruhi oleh Wayang Purwa dari Selatan dan wayang Thailand dari Utara, lantaran ia mengadopsi unsurunsur yang ada di dalamnya. Keserupaan tersebut dapat disimak pada elemen-elemen dalam sebuah pertunjukan wayang, yakni adanya satu dalang (sebagai seorang yang membawakan ceritera dalam seni pertunjukan Wayang Siam), para pemain musik (sekelompok orang yang mengiringi dalang dengan seperangkat alat musik dalam sebuah pertunjukan wayang), panggung (tempat di mana diletakkannya perangkat pertunjukan Wayang Siam di hadapan penonton), kelir (layar putih yang dipakai untuk menyajikan bayangan bonekaboneka dari kulit), dan lampu minyak (di Jawa, orang menyebutnya blencong, lampu yang berfungsi sebagai lentera bagi boneka-
boneka tokoh dalam ceritera wayang sehingga menghasilkan bayangan-bayangan yang tampak dari balik kelir). Dari kesemuanya itu, hanya ada dua perbedaan, yaitu dialek (model bahasa tutur) yang digunakan untuk membawakan ceritera sang dalang, yakni dialek Melayu Kelantan, dan menurut Scott-Kemball (1959) perbedaan juga terletak pada penerapan corak potongan kulit pada tokoh-tokoh wayang. Lebih jauh, proses munculnya kesenian rakyat (folk art) Wayang Siam di Kelantan dapat dimaknai sebagai titik bertemunya dua kesenian “selatan” dan “utara” di Asia Tenggara. Dari “selatan” diwakili oleh seni-budaya Jawa, sedangkan “utara” direpresentasikan oleh kultur Thailand. Sejarah mencatat, sebagai sebuah seni pertunjukan, Wayang Siam mulai populer di kalangan masyarakat Kelantan pada tahun 1930-an. Sementara itu, popularitas Wayang Purwa—wayang kulit asal Jawa yang memberi andil dan pengaruh pada perkembangan seni pertunjukan Wayang Siam—mengalami deklinasi di hati para penggemarnya (masyarakat Jawa). Menurut folklorist dan juga antropolog, seperti Amin Sweeney dan Barbara S. Wright, wayang ini masuk ke wilayah Kelantan sekitar abad ke-15—16 M seiring dengan menyebarnya agama Islam di Semenanjung Melaka, dan konon diperkenalkan oleh sepasang suami-isteri dari Melayu Pattani, Thailand bagian selatan. Dalang pertama dari pertunjukan Wayang Siam adalah seorang wanita bernama Mak Erit, atau ada yang mengejanya Mak Erok. Ia wanita suku Melayu Thai dan merupakan utusan dari Kerajaan Pattani. Ketika itu, ia menggelar pentas seni
Wayang Siam dengan “wayang” yang dibuat dari daun pohon mangga. Sumber lain mengatakan bahwa Wayang Siam dikenalkan oleh sepasang suami-istri bangsa Melayu Thai bernama Mak Erok dan Pak Erok. Selain itu, ada pula yang menyebut wayang ini dipopulerkan oleh dalang wanita berdarah Tionghoa asal Cina Selatan. Masuknya Islam ke tanah Melaka sekitar abad ke-15, membuat banyak aspek kehidupan masyarakat Melayu berubah dan implikasinya, kebudayaan lama yang berbasis Hindu dan Animisme berangsur beralih ke kultur yang bernuansa Islam, beberapa ahli menyebut produk kebudayaannya sebagai budaya Hindu-Islam. Proses masuknya agama Timur Tengah ini salah satunya dapat ditelusuri dari ranah seni. Contohnya, Wayang Siam. Sebagai salah satu genre seni pertunjukan kuno, kala itu wayang berfungsi sebagai alat/media untuk menyebarkan agama Islam, di mana kondisi masyarakat Kelantan secara umum masih menganut ajaran Hindu dan Animisme. Sehingga, ceritera-ceritera yang ditampilkan dalam pertunjukan wayang ini sarat akan mitologi lokal yang masih kental unsur Hindunya, yang kemudian dikonversikan (diubah dan dipadukan) ke dalam kisahkisah bermuatan nilai-nilai Islam. Riwayat-riwayat, seperti kisah turunnya Nabi Adam ke bumi dan Muhammad sebagai utusan Tuhan untuk menyebarkan agama Islam di muka bumi, disajikan dalam pertunjukkan wayang tersebut melalui analogisasi penokohan-penokohan Hindu dalam epos Ramayana ke dalam Islam. Begitu juga dengan munculnya tokoh bernama Pak Dogol yang memiliki karakter serupa dengan Semar di dalam pewayangan Jawa, atau Epong di Thailand, dan Pak
halaman 55
Kadir di Trengganu, Malaysia. Pak Dogol ini merupakan sosok yang memiliki kekuatan super melebihi semua dewa yang ada di kahyangan. Ia menjelma dalam pelbagai wujudnya dan turun ke bumi untuk menyampaikan pesan-pesan Tuhan pada umat manusia. Kendati nilai-nilai Islam ditekankan dalam penokohan Wayang Siam, ritualritual bernuansa Hindu dan Animisme masih tetap dilakukan, seperti upacara mengusir marabahaya dan gangguan dari kekuatan roh-roh jahat (exorcism) dengan memohon pada dewa tertentu serta kekuatan semesta oleh bomoh (sebutan lokal untuk dukun atau pawang keselamatan). Barbara S. Wright menjelaskan bahwa praktik-praktik yang bernuansa mistisisme tersebut merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan dalam seni pertunjukan ini. Karenanya, rituil-rituil mistis yang direpresentasikan di sana harus dilestarikan karena mempengaruhi keutuhan dari kesenian Wayang Siam sebagai produk kebudayaan masyarakat Kelantan. Di lain pihak, hal ini ternyata memunculkan pertentangan ketika ia Wayang Siam dipertemukan dengan gerakan purifikasi Islam di Malaysia oleh Kaum Muda, di mana nilai-nilai dalam seni pertunjukan ini dianggap bertolak-belakang dengan nilai-nilai Islam. Isyu syirik terhadap para dalanglah ditempatkan di garis terdepan untuk secara strategis “mematikan� eksistensinya, dan hal ini merupakan sebuah bentuk tekanan sosial, yang kemudian membuat mereka (para dalang) tidak lagi mendapatkan perannya sebagai seniman (baca: pelestari budaya) dalam dinamika kebudayaan masyarakat Kelantan. Kendati demikian, Wayang Siam oleh
halaman 56
pemerintah Malaysia tetap dianggap sebagai warisan budaya Melayu dan saat ini dapat disaksikan pada ruang-ruang ekshibisi di beberapa museum di Malaysia. Wayang kulit adalah satu permainan tradisi yang menggunakan patungpatung wayang dengan iringan alat musik tradisional. Boneka wayang di bentuk, di tatah dan di ukir mengikut kehendak watakwatak dalam cerita yang di lakonkan. Di negara Malaysia ada terdapat empat jenis wayang kulit kesemuanya yaitu wayang kulit kelantan, wayang kulit melayu, wayang kulit gedek dan wayang kulit purwa. Tok Dalang 1. Wayang Kulit Kelantan - Wayang kulit jenis ini juga di kenali sebagi wayang Siam, kerana negeri Kelantan pada suatu masa dulu di bawah naungan Patani
pengicah) • Gedang - 2 biji (ibu dan anak) • Geduk - 2 biji (ibu dan anak) • Gedombak
-2 biji (Peningkah dan
pembawa) • Mong - 1 biji (Sebagai alat tambahan) • Serunai -2 batang (Serunai besar dan
serunai nyanyi) • Pemetek
-1 buah (Alat ini di guna sebagai mengganti suara perintah dalang dan sebagai alat bantu kesan bunyi).
dan Patani ni di percayai menjadi pusat kesenian yang terdapat makyung, menora dan wayang kulit. Cerita wayang kulit Kelantan kebanyakannya adalah saduran dari epik Ramayana versi Thai. se orang dalang perempuan berbangsa Thai bernama Mak Eghak adalah di anggap orang yang pertama mendalang dalam wayang jenis ini di Kelantan. Patungpatung wayangnya juga terutama patung Sri Rama dan Laksemana adalah lebih mirip ke arah pakaian tradisional orang selatan thai. Itulah juga makanya wayang tersebut di sebut sebagai wayang siam Alat-alat muzik yang di gunakan dalam permainan wayang kulit Kelantan ini ialah: • Tetawak (gong) -2 biji (ibu dan anak)
2. Wayang Melayu - Wayang kulit Melayu ini di mainkan oleh orang kita di Kelantan, Terengganu, Kedah dan Patani. Cerita yang di lakonkan juga adalah dari epik Mahabharata (Pandawa Lima) dan Ramayana, yang terbanyak sekali adalah dari hikayat Panji. Patung wayang kulit jenis ini lebih mirip kepada patung wayang purwa tetapi terdapat beberapa pengubahsuaian menjadi hampir kepada patung wayang gedog. Alat-alat muziknya terdiri dari: • Gong - 2 buah (Setaraf dgn bunyi
kempul dlm gamelan jawa). • Canang - 6 biji (Di sebut juga sebagai
kelenangan) • Kesi - 3 pasang (2 set penahan dan 1
set pengicah) • Gendang - 2 biji (ibu dan anak) • Mong - 1 biji (Sebagai alat tambahan
sahaja, bagaimana pun mustahak juga jika di kehendaki memainkan lagu2 tertentu). • Rebab - 1 batang (Bertali dua)
• Canang - 1 pasang (ibu dan anak) • Kesi
-- 2 pasang (penahan dan
3. Wayang Gedek - Wayang ini biasanya di
halaman 57
mainkan oleh orang-orang Siam.
• Saron Penerus - 1 set
Di negeri Kedah wayang gedek ini di mainkan oleh orang Melayu dengan memakai loghat utara. Cerita-cerita yang selalu dibawanya ialah cerita-cerita yang bercampur dari hikayat lama dan cerita tanggaman yg baru seperti cerita Awang Kudis Buta.
• Gambang - 1 set
Kalau zaman dahulu ada juga di mainkan cerita dalam hikayat Ramayana seperti Phra Lak. Patung wayangnya bersaiz kecil kebanyakannya mempunyai pandangan muka pada posisi depan. Alat-alat muziknya pula terdiri daripada: • Canang - 1 pasang (ibu dan anak) • Kesi kecil - 1 pasang (cing) • Geduk - 1 biji (Klong that) • Gedombak - 2 biji (Thon) • Serunai
-1 batang (kalau di negeri kedah serunai yg di gunakan ialah jenis serunai tempatan)
4. Wayang Purwa - Wayang Purwa ini biasanya di mainkan oleh orang-oramg kita yang berketurunan Jawa di Johor dan Selangor. Cerita yang di lakonkan ialah dari epik Mahabharata dan juga epik Ramayana. Alat-alat muzik yang mengiringi permainan wayang purwa di panggil gamelan dan nadanya pula slendro. Alat gamelannya terdiri dari: • Gong agong -1 buah • Gong suwukan -1 buah • Kempul - 5 buah • Kenong - 5 buah • Gender - 1 atau 2 set • Slentem - 1 set • Saron Demung - 1 set • Saron Barung - 1 set
halaman 58
• Bonang - 2 set (Barung dan penerus) • Rebab - 1 batang • Gendang - 3 biji (Gede, wayangan,
ketipung) Wayang Alat Penerapan Pengajaran: Dalam tiap-tiap jenis wayang, lelakon penceritaannya tetap di selitkan pengajaran kepada masyarakat. Kelakuan serta watak antara baik dan jahat nyata di gambarkan oleh dalang. Untuk menjadi seorang dalang, seharusnya ia hendaklah mahir dalam hukum agama dan adat istiadat. Gambaran perletakan patung-patung yg berperwatakan jahat di sebelah kiri dan patung2 yang berperwatakan baik di sebelah kanan adalah bermaksud untuk memisahkan antara baik dan jahat. Pembahagian Jenis Cerita Dalam Wayang Kulit Kelantan: 1. Cerita pokok - Bermula dari hikayat Maharajawana, kesah Sri Rama memperisterikan Sita Dewi, Sita Dewi di culik oleh Maharajawana, Sri Rama berjaya mengalahkan Maharajawana dan mengambil balik Sita Dewi. 2. Cerita Ranting - Berdasar kepada cerita pokok yang di atas tetapi terkeluar dari jalan ceritanya, seperti cerita Anak Kerbau Hamuk. 3. Cerita Taggaman - Bagi dalang yang pandai, ia dapat mereka cerita2 yag di beri watak utamakan kepada Sri Rama, tetapi cerita tersebut bukan terdapat di dalam hikayat Sri Rama pun, sebagai contohnya seperti cerita Burung Ketitir Kuning, Ikan
Permata Sisek Tersona, Wak Long jadi Raja dan bermacam2 lagi. 4. Cerita saduran – Cerita-cerita ini tidak ada kena mengena dengan watak yang terdapat dalam ketiga-tiga jenis cerita di atas, ianya di ambil dari hikayat Melayu lama dan Hikayat yang mempunyai pengaruh Arab dan sebagainya. Sebagai contohnya ialah hikayat Hang Tuah, Hikayat Ahmad dan Muhammad, Kuda Hijau Baitulkafrah, Syah Kobat dan lain lagi. 5. Cerita pinjaman - Cerita ini termasuk dalam cerita saduran tetapi lebih menjurus kepada cerita-cerita Panji (Inu Kertapati) yang terdapat dalam wayang Melayu tetapi di mainkan dalam wayang Kelantan. Dengan menggunakan patung Sri Rama tetapi nama watak jelmaannya ialah di pakai nama watak wayang Melayu. Sebagai contoh Misa Iling Mercu Jiwa, Sri Panji Angga Digunung, Misa Lara Pati, Misa Lara Sari, Aria Demang Semangkok dan lain lagi. Pembahagian Dalam Pertunjukan Wayang Kulit Kelantan A) Babak Dalang Muda: - Lagu Bertabuh Lagu Lenggang Beringin/Tok Mahasiko Lagu Perang Dewa Panah - Lagu Sri Rama keluar (gedombak) - Lagu Hulubalang - Lagu Menyembah (mengadap raja) Lagu Sri Rama berkabar - Lagu Berjalan (masuk anjung) B) Babak Dalang Tua: - Lagu Tukar Dalang - Lain-lain lagu mengikut perjalanan cerita. Tujuan Persembahan Sekarang :
wayang. 2. Bersemah (bagi acara ini biasanya di buat oleh dalang yang sudah mempunyai ijazah perdalangan, acara ini juga di panggil sembah guru di buat setiap satu atau tiga tahun sekali). 3. Melepas niat (Persembahan ini selalunya atas jemputan tertentu utk mereka yg telah berniat akan mengadakan persembahan wayang kulit sekiranya mendapat sesuatu kurnia’an atau terlepas dari musibah) 4. Undangan khusus (Persembahan utk acara2 keramaian, hari jadi, perayaan, seminar dll) Pertunjukan sendiri (mengadakan persembahan kerana sara hidup seperti mengenakan bayaran secara membeli tiket utk menonton Wayang Kulit Secara Umum: 1. Seni Muzik - Kita ketahui seni muziknya amat unik dan memerlukan keahlian khusus. Lebih dari 35 buah lagu mesti di hafal oleh dalang dan panjaknya. 2. Hikayat - Bagi meneruskan penceritaan, dalang haruslah mahir dalam hikayathikayat (bersifat Paramakawi dan Paramasastra). 3. Lakunan - Dalang seharusnya pandai melakunkan cerita supaya menarik, pandai dalam menbawa suasana gembira, takut, kasih sayang, sedih, garang dan lucu (Awicarita). 4. Pengetahuan agama - Oleh kerana cerita yg di lakonkan mempunyai unsur-unsur pengajaran yang bercorak agama, maka kewibawaan dalang sangat-sangat di pelihara utuh dan menjadi tauladan dan ikutan kepada masyarakat.*** (INT. berbagai sumber)
1. Persembahan kerana belajar bermain
halaman 59
Rehal
Antologi Puisi Tiongkok Klasik Judul Buku Nomor Produk Penerbit Pengarang Tanggal Publish Dimensi Jumlah halaman Cover ISBN Kategori Bilingual
rame ramedia baru-baru ini (Nov. 2008) menerbitkan sebuah buku bertajuk mene Purnama di Bukit Langit. Buku ini Purna merupakan kumpulan sanjak, syair, dan lirik Tiongkok klasik yang diterjemahkan oleh Zhou Fuyuan. Usaha Zhou Fuyuan menterjemahkan dan mengumpulkan puisi dari berbagai zaman Tiongkok klasik ini
halaman 60
: : : : : : : : : :
Purnama di Bukit Langit 9433 Gramedia Zhou Fuyuan 24 Nov 2008 21.5 x 21.5 cm 400 halaman Soft Cover 979-22-2743-1 Fiksi dan Sastra/Bacaan Sastra dan Puisi : (Indonesia - Mandarin)
patut kita acungi jempol. Prof. Dr. Leo Suryadinata, direktur Chinese Heritage Center, Singapura, yang sering dirujuk oleh M-Tjersil (Masyarakat Tjerita Silat) bahkan menyempatkan diri menulis pengantar buku ini. Dalam pengantarnya Suryadinata mengakui, sejak dulu beberapa karya sastra Tiongkok telah
dialihkan ke bahasa Indonesia. Karya yang paling banyak diterjemahkan adalah cerita silat dari hampir seluruh pengarang cersil besar. Namun, menurut Suryadinata, cersil tidak termasuk sastra klasik karena sebagian besar dihasilkan pada kurun abad ke-20. Tiongkok adalah negeri puisi. Julukan indah ini diberikan berkat karya puisi klasiknya yang dihasilkan dalam ribuan tahun mencakupi jumlah yang sangat me-ngagumkan. Puisi bangsa Tiongkok diperkirakan lebih banyak daripada puisi yang ditulis bangsa lain di dunia. Demikian pentingnya puisi dalam kehidupan, sehingga Confucius pun berujar, “ tidak belajar sajak, tiada yang bisa dibicarakan.” Purnama di Bukit Langit adalah kumpulan sajak Tiong-kok klasik dalam bahasa Indonesia paling lengkap yang pernah disusun. Lebih dari 500 puisi di buku ini telah diterjemahkan oleh Zhou Fuyuan, dilengkapi dengan seja-rah perkembangan, keberagaman tema, gaya, bentuk, dan biografi penyair Tiongkok klasik dari berbagai periode dan dinasti. Disusun dalam dua bahasa (Indonesia dan Mandarin) sehingga dapat menjadi buku kajian bagi pelajar yang sedang mendalami bahasa/ sastra Mandarin. Bersama tulisan ini, salah satu sajak yang kami anggap layak sebagai contoh dari sekian sajak termuat: TITIAN JALAK Qin Guan ( 1049-1100 ; Song ) Rajutan awan menggolak lukisan, layang bintang menebar penyesalan, samar melintasi Bima Sakti yang tanpa tepian.
Sekali bersua dalam angin emas embun perak, telah melebihi berulang bertemu di bumi insan! Cinta yang lembut selaksana air, hari yang bahagia bagaikan mimpi, tak kuasa menengok Titian Jalak di tengah jalan kembali! Apabila cinta di kedua hati adalah kekal abadi, masihkan kehadiran dihitung setiap senja setiap pagi? Purnama di Bukit Langit adalah harta karun warisan leluhur yang sangat berharga untuk Anda miliki. Sebuah buku nyanyian merdu dari bumi naga yang tak terhingga nilainya. Berikut komentar para tokoh sastra terkemuka: “Antologi ini merupakan kumpulan sajak Tiongkok klasik dalam bahasa Indonesia yang paling lengkap”. (Prof. Dr. Leo Suryadinata Direktur Chinese Heritage Centre di Singapura). “Begitu banyak data tercatat oleh penyair: perjalanan, perubahan pemerintahan, peperangan, adat istiadat, tokoh-tokoh penting di zamannya, dan segenap peristiwa baik yang tercatat maupun yang tidak dalam sejarah. Buku puisi ini tidak hanya bisa diterima sebagai bagian dari studi sastra, tetapi juga tentang perkembangan pemikiran intelektual, sosial, budaya, dan politik bangsa Tionghoa selama ribuan tahun, yang secara kebetulan terekam dengan baik di dalamnya”.
halaman 61
( Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono. Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI). Roman klasik yang diangap sebagai karya agung adalah Batas Air, Kisah Tiga Negara, Merantau ke Barat, dan Impian di Kamar Merah. Tiga yang pertama adalah karya Dinasti Ming, pernah diterjemahkan dalam bahasa Melayu/Indonesia pada akhir abad19 dan awal abad-20, dan diterjemahkan kembali setelah Perang Dunia II, namun terjemahannya masih jauh dari sempurna. Bahkan Impian di Kamar Merah, dari Dinasti Qing, terjemahannya belum lengkap karena diperkirakan sukar diterjemahkan. Jika prosa klasik Tiongkok mencapai puncak pada Dinasti Ming dan Qing, puisi klasik Tiongkok mencapai kegemilangan pada Dinasti Tang dan Song. Tang terkenal dengan sanjak yang bernama shi dan Song dengan ci. Suryadinata menyatakan, �Menterjemahkan puisi tidak mudah. Karena puisi merupakan bentuk kata yang tertinggi. Bukan saja bahasanya sudah di-’tempa’, metafor dan nuansanya juga kaya raya.� Seorang penterjemah tidak saja memerlukan penguasaan dua bahasa yang sama baiknya, tapi juga pemahaman kebudayaan yang bersangkutan secara mendalam. Zhou Fuyuan selaku penterjemah tampaknya cukup competent menjalankan tugasnya. Dari pilihan bibliografi yang tercantum, Anda bisa melihat usaha yang telah dibuatnya dalam menyelesaikan antologi ini. Puisi yang dikumpulkan dan diterjemahkan oleh Zhou Fuyuan dalam buku ini terbagi dalam tiga kategori utama, yakni: shi, ci, dan qu. Shi atau sanjak merupakan jenis utama dari puisi klasik. Yang dimaksud sanjak halaman 62
sebetulnya mencakup berbagai bentuk puisi. Secara garis besar, sanjak dapat dibedakan atas sanjak sebelum Tang dan sanjak sesudah Tang. Sebelum Tang, sanjak belum terlalu kaku. Belum ada aturan yang ketat mengenai jumlah kata dalam satu lariknya. Demikian pula pola nada atau rima. Sanjak dalam Kitab Nyanyian Dinasti Zhou misalnya memiliki empat kata dalam satu larik. Dalam puisi chu, jumlah kata bisa berubah-ubah. Pada Dinasti Han, ada yang lima kata, tujuh kata, atau panjang pendek. Pada Dinasti Wei, Jin, dan terutama Enam Dinasti, sepertinya mulai dimatangkan pola lima kata dengan pola rima yang belum terbakukan. Pembakuan baru dilakukan pada Dinasti Tang. Demikianlah, maka sanjak yang dapat Anda jumpai di buku antologi ini dikelompokkan oleh Zhou Fuyuan dalam tujuh sub-bab dengan tema masing-masing, seperti: Rembulan di Rantau, Bumi Pertiwi, Nyanyian Musim, dll. Bentuk puisi Tiongkok klasik berikutnya adalah ci atau syair. Awalnya syair adalah bagian dari lagu yang populer di perkotaan. Struktur syair sangat bervariasi mengikuti jenis lagunya. Jumlah kata dalam satu larik tidak seragam, kalimat panjang pendek berselang. Rima mengikuti pola lagunya, meski ada penyair yang terkadang melanggar. Karena bentuknya lebih luwes, gaya bertutur syair lebih bebas dibanding sanjak, cenderung lebih prosaik, dengan struktur kalimat lebih mendekati pola bahasa lisan. Dengan begitu, syair lebih memungkinkan bertutur secara intens mencurahkan perasaan: riang, sedih, atau marah. Syair cenderung lebih sentimental, sehingga jadi ladang subur tema asmara.
Menurut Zhou Fuyuan mengutip Li Zehou dalam Mei Dei Licheng sebagaimana ia tulis pada Kata Pendahuluan buku ini, ”Suasana yang dihasilkan sanjak lebih makro dan melebar, sedangkan syair lebih mikro dan menyempit.” Jika sanjak mengajak kita melihat keluar, syair lebih menarik kita ke dalam. ”Sanjak terasa lebih anggun, syair lebih cantik,” kata Wang Yubao dalam Zhongguo Shi. Bentuk ketiga puisi Tiongkok klasik adalah qu atau lirik. Sebenarnya lirik sama dengan syair, digubah berdasarkan lagu populer. Karena sumber lagu berbeda, lahir gaya puisi berbeda pula. Perbedaan utama adalah cara bertuturnya. Lirik lebih lincah, pola ucap lebih bebas. Puisi lirik ini mulai berkembang pada Dinasti Yuan. Dalam buku Purnama di Bukit Langit, yang tampil dengan tebal 400 halaman dan ukuran 21,5 cm x 21,5 cm ini bab lirik dan syair disatukan, terbagi dalam tujuh sub-bab, antara lain: Derita Pengembara, Ratapan Tanah Air, Senandung Air dan Bukit, dll. Dalam teori penterjemahan, dikenal dua pendekatan, yaitu terjemahan yang ”berorientasi sumber” (source-oriented) dan ”berorientasi target” (target-oriented). Suatu penterjemahan yang ”berorientasi sumber” sedapat mungkin harus membawa pembacanya memahami apa yang dipikir dan dikatakan sang penulis asli. Sebaliknya, penterjemahan yang ”beroreintasi target” lebih mementingkan apakah terjemahannya secara komunikatif bisa dimengerti oleh pembacanya. Sebagai contoh, terjemahan buku-buku See Yan Tjin Djin relatif lebih ”berorientasi sumber” sementara Boe Beng Tjoe lebih “berorientasi target”. Umberto Eco pakar Semiotic, pengarang
The Name of the Rose, Faucaults’s Pendulum, the Island of the Day Before, dll yang selalu coba melibatkan diri dalam penerjemahan buku-bukunya ke berbagai bahasa dunia, menulis: ”Untunglah saya bukan penyair. Karena persoalannya menjadi lebih pelik dan dramatis dalam menterjemahkan puisi, sebuah seni di mana pikiran ditentukan oleh kata-kata. Dan jika Anda mengubah bahasanya, Anda mengubah pikirannya. Namun demikian terdapat contoh-contoh yang baik sekali dari puisi-puisi terjemahan yang dihasilkan melalui kolaborasi pengarang–penterjemah. Seringkali hasilnya adalah sebuah kreasi baru. Sebuah teks yang sangat dekat dengan puisi karena kompleksitas lunguistiknya adalah Finnegans Wake karya James Joyce. Salah satu bab diterjemahkan ke dalam bahasa Itali dengan Joyce sendiri yang berkolaborasi. Terjemahan ini jelas sekali berbededa dari bahasa Inggris aslinya. Itu bukanlah terjemahan. Itu seperti Joyce sendiri telah menulis ulang teksnya dalam bahasa Itali.” Demikian dinyatakan Profesor Eco. Maka, kita bisa simak sebuah contoh misalnya karya Li Bai berjudul Ye Shi atau Jing-ye-shi oleh empat orang berbeda berikut ini. Rindu di Malam Sepi Rembulan penuh menyinari di lantai depan ranjang Membuat orang menyangka yang penuh di lantai itu embun beku musim gugur Sambil mendongak kepala, memandang rembulan Ketika menunduk, kampung halaman terbayang-bayang
halaman 63
(penterjemah: Wilson Tjandinagara) Merenung di Malam Sunyi Terang bulan di depan dipan disangka embun beku memutih di lantai ruang Muka mendongak bulan ditatap kepala merunduk kampung dikenang (penterjemah: Liang Liji) Samadi di Malam Sepi Kusaksikan cahaya bulan bersinar di tempat tidurku
“berorientasi sumber�. Namun penilaian yang pribadi tentu anda temukan sendiri dalam buku ini. Secara keseluruhan buku ini dilengkapi sebuah pendahuluan yang menghantar pembaca untuk mengenal apa itu puisi Tiongkok klasik serta sejarah perkembangannya. Buku ini juga dilampiri dengan ulasan khusus 17 tokoh penyair penting serta ulasan pengantar oleh Leo Suryadinata dan ulasan penutup oleh Sapardi Djoko Damono.*** (Red. Dari berbagai sumber)
Barangkali salju lembut telah melayang jatuh? Kuangkat kepalaku menatap bulan di bukit Kemudian tertunduk kembali merenungi bumi (penterjemah: Sapardi Djoko Damono) Rindu Malam Sinar purnama di depan pembaringan, embunkah yang membeku di pelataran? Tengadah menatap rembulan purnama, tertunduk mengingat kampung halaman (penterjemah: Zhou Fuyuan) Pembaca dan peminat sajak, banyak yang mengatakan bahwa, bahasa Sapardi Djoko Damono lebih enak dibaca, tapi terjemahannya agak menyimpang dari puisi aslinya. Tidak demikian halnya dengan Zhou Fuyuan. Maka, terlihatlah bahwa Sapardi lebih “berorientasi target� sementara Zhou Fuyuan dalam Purnama di Bukit Langit lebih
halaman 64
ED
halaman lxv
halaman lxvi