Edisi201

Page 1

Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)

Esei: Estetikasi Masa Kini

Pada Karya Senirupa Riau

oleh Dantje S Moeis Cerita-Pendek:

Seribu Bayang Sunyi

oleh Risa Febri Indriani Cerita-Pendek Terjemahan:

Kesadaran Nurani

Sajak-Terjemahan:

Jaroslav Seifert Syair dan Sastra Sufi Suluh: Senirupa Barat untuk Negeri Ini Drama: Bulan Bujur Sangkar karya Iwan Simatupang

oleh Italo Calvino Sajak:

M. Umar MuwaďŹƒq

201 | JUNI 2015

www.majalahsagang.com halaman KULITi


halaman KULI KULITii LIITi L Ti


Daftar Isi

Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 201

JUNI 2015

tahun XVII

Pusara Kasih ............................................ 2 Esei Estetikasi Masa Kini Pada Karya Senirupa Riau (Maju-mundur@Timbul-tenggelam) oleh Dantje S Moeis ................................ 5 Cerita-Pendek Seribu Bayang Sunyi oleh Risa Febri Indriani .......................... 9 Cerita-Pendek Terjemahan Kesadaran Nurani oleh Italo Calvino ... 15 Sajak Muhammad Umar Muwaffiq ................ 19 Sajak-Terjemahan Jaroslav Seifert ...................................... 31 Syair Syair dan Sastra Sufi ............................. 35 Suluh Senirupa Barat untuk Negeri Ini .......... 45

Lukisan Karya Larry Poncho Brown "every round-goes higher" Sumber Int

Drama Bulan Bujur Sangkar karya Iwan Simatupang ........................ 51

Perintis: Rida K Liamsi Pemimpin Umum: Armawi KH Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto Pemimpin Perusahaan: Dra. Erda Yulfi Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH Pra cetak: Rudi Yulisman Ilustrator Tetap: Purwanto Manager Keuangan: Erda Yulfi. Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan arus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


Tajuk

Pusara Kasih Sentana daku menutup mata/ Pintaku teman mohon sampaikan/ Agar jasadku dibawa serta/ Pusara kasih mohon rangkaikan// Mohon siramkan setitik air/ Taburkan atasnya bunga rampai/ Pahatkan nisan serangkum syair/ Keluh pujangga kasih tak sampai. (lagu Pusara Kasih, Ahmad Baqi)

emasuki bulan puasa, umumnya orang muslim u Melayu yang berada di rantau, M terutama yang berada tidak jauh dari kampungnya mudik (pulang-kampung), dengan tujuan bermacam-macam. Mungkin meminta ampun dan maaf kepada orangtua, mengunjungi kaum-kerabat, barangkali juga rindu sudah lama tak pulang kampung, berlimau (mandi berlimau), dan alasan lainnya, yang semuanya dapat disebut dengan berziarah. Apakah ziarah? Arti sesungguhnya adalah “kunjungan� (dari bahasa Arab: ziyarah), sedangkan para pengunjung ziarah disebut za’ir; misalnya kunjungan ke tempat-tempat yang dianggap suci, ke tempat kaum-kerabat, ke tempat guru suluk (yang sudah meninggal-dunia maupun

halaman 2

yang masih hidup), dan pengertian yang umumnya sebagian orang memahaminya dengan makna ziarah kubur. Tujuannya adalah sebagai ingatan, baik ingatan pribadi maupun ingatan kolektif; meneguhkan iman untuk menyucikan diri. Kubur disebut juga dengan pusara atau pesara. Di atasnya dibuat batu nisan yang ditulis nama orang yang meninggal, tanggal lahir dan tanggal kematian beserta tahunnya, dan yang lengkap sampai kepada hari lahir dan hari meninggal-dunianya. Selain tulisan nama, tanggal lahir dan tanggal kematian beserta tahunnya, pada batu nisan biasa juga ditulis kalimat kenangan, terutama berbentuk sajak, tulisan singkat tentang orang yang meninggal-dunia pada batu nisan orang yang dikubur, atau kalimat berbentuk puisi, yang disebut dengan istilah


epitaph (epitaf). Epitaf tertua di Indonesia dalam bahasa dan huruf Melayu terdapat di Minje Tujoh (Aceh), setelah Batu Tersilah di Terengganu pada abad ke-14 (tepatnya 1300 Masehi) yang menurut terjemahan C Hoykaas sebagai: Setelah Hijrah Nabi kekasih yang telah wafat/ tujuh ratus delapan puluh satu tahun/ bulan Zulhijjah empat belas hari Jumaat/ raja iman rahmat Allah dari baginda/ dari keluarga Barubasa mempunyai hak atas Kedah dan Pasai/ menaruh di luat dan darat semua/ masuklah baginda dalam surga Tuhan. Di tempat lain di Eropa, Hasan Junus mencatat epitaph pada pusara seorang penyair Portugal Luís de Camões: Aqui jaz Luís de Camões: Príncipe dos poetas de seu tempo: Viveu pobre e miseravelmente, a assim morreu o anno MDLXXIX (Di sini berkubur Luis de Camoes: Raja penyair di zamannya: Hidupnya miskin dan menderita, dan demikianlah ia meninggal-dunia tahun MDLXXIX). Banyak lagi epitaph epitaph yang kalau dikumpulkan akan menjadi sebuah buku yang bagus, sebagai kenangan, atau juga sebagai iktibar bagi yang masih hidup. Pada alam Melayu, ziarah ke pusara atau kubur biasanya dilakukan ketika memasuki bulan puasa (ramadhan) dan pada beberapa hari sebelum hari raya atau sesudah hari raya. Karena itu, para perantau yang mudik (pulang kampung) untuk ziarah ke pusara atau kubur pada waktu sebelum masuk bulan puasa atau menjelang hari raya atau sesudah hari raya, bagi orang Melayu merupakan saat atau suasana yang penting dan sakral. Selain untuk membersihkan pusara atau kuburan, ingatan diri-sendiri atau ingatan kolektif masa lalu para penziarah adalah perasaan ‘cinta’ yang hanya didapat dalam ‘mencari’. Sebagaimana dihuraikan oleh Al-Hujwiri (1992), bahwa: “Permulaan cinta adalah mencari, tapi akhirnya adalah ketenangan:

air mengalir di sungai, tapi ketika sudah mencapai lautan ia berhenti mengalir dan berubah rasanya.” Ziarah (mudik: pusara) merupakan “pencarian” dari “cinta” yang menyeruak masuk dalam tubuh dan seterusnya berseliweran untuk kemudian menemukan “ketenangan”. Yang terpenting dari pusara atau kubur yang akan diziarahi tentunya adalah pusara kekasih. Pengertian “kekasih” tidak hanya terhad pada makna seorang perempuan atau seorang lelaki yang dicintai, tetapi juga kepada kerabat terdekat seperti ayah, ibu, saudara-mara, dan guru disebut juga sebagai kekasih. Banyak karya sastra yang ditulis dengan tema kekasih, sebagai karya sastra murni maupun karya sastra yang ditulis untuk musik atau lagu. Ahmad Baqi (alm), pencipta lagu bernuansa Islami, pimpinan Orkes Gambus El-Surayya Medan, menciptakan sebuah lagu tentang tema “pusara” dan “kekasih” berjudul Pusara Kasih, yang sangat popular dan terkenal terutama orang yang ketika tulisan ini ditulis berusia sekitar 37 atau 40 tahun ke atas, di kampung sepanjang aliran batang (sungai) Rokan. Seseorang mudik ziarah, pulang ke kampung halamannya. Za’ir atau sang penziarah tegak sendirian di bawah pohon selasih yang dedaunan pada dahan dan rantingnya melambai-lambai ditiup angin, dengan suasana alam sekitarnya yang samar dan redup. Diantara kedua kakinya yang sedang tegak berdiri di antara ratusan pusara terdapat pusara atau kubur kekasihnya sebagai tempat peristirahatan terakhir dari kehidupan duniawi. Sejak kehilangan sang kekasih untuk selama-lamanya: dusun menjadi sunyi, dan tepian (pengkalan tempat mandi) menjadi sepi, rumput dan sampah dedaunan menyeruak bersebaran ke tengah halaman 3


halaman karena tak pernah lagi disapu, alam sekeliling menghiba hati, betung yang dahulunya rampak dan lampai di hulu banyak yang rebah ke tepian, dan kampung yang dahulunya ramai hanya tinggal kenangan. Za’ir, atau sang penziarah yang kehilangan kekasihnya ini berpesan kepada para sabahatnya: “Jika aku menutup mata (berpulang), mohon jasadku dikuburkan serangkai (berdekatan) dengan pusara kekasihnya, dan mohon disiram setitik air dan taburkan bunga rampai di atas kuburannya, serta mohon pahatkan serangkum syair di pada nisan yang bertuliskan: Keluh pujangga kasih tak sampai.� Hatta, hari raya pun tiba. Takbir pun berkumandang, airmata pun jatuh lagi bercucuran. Lepas sembahyang subuh hari raya di rantau orang, isteri memotong ketupat untuk dibuat lontong dan kemudian dimakan bersama-sama anak-anak dan anggota keluarga lainnya. Selepas makan sekadarnya, bersama-sama isteri dan anakanak dengan memakai pakaian baru pergi ke tanah-lapang untuk sembahyang hariraya. Pulang dari sembahyang hari-raya, sepi kemudian merayap di antara riuh sukacita anak-anak yang berhari-raya dari rumah ke rumah, dan suara dentuman mercun dan bunyi percik kembang api dimana-mana. Kampung-halaman pun kembali terbayang di pelupuk mata, airmata kembali jatuh. Semua orang akan merindukan mudik pulang ke kampung halaman tempat kelahirannya; ziarah mengunjungi orangtua, mengunjungi sanak-saudara, kaumkerabat, mengunjungi guru ketika sekolah, mengunjungi sahabat sepermainan waktu kecil dan mengunjungi tempat-tempat kenangan ketika masih kecil dan sesudah remaja, dan terutama ziarah ke pusara “kekasih�. halaman 4

Namun, jika tidak mempunyai banyak duit untuk mudik pulang kampung berhariraya bersama keluarga, sementara sepi kian membalut diri dan ruang rumah berbaur dalam ingatan kampung halaman, maka hidupkan tape-recorder lama yang masih berupa kaset; putar dan dengarkan lagu Pusara Kasih karya Ahmad Baqi, karena lirik atau syairnya menceritakan hampir semua ingatan dan kenangan kepada kekasih dan kampung halaman, biar rindu dan berahi terbang lepas ke kampung halaman, tetapi jika airmata kembali menitik jangan menyalahkan siapapun. Di bawah lambaian pohon selasih/ Di lingkung alam samar redup/ Di sana kiranya wahai kekasih/ Tempat istirahat di akhir hidup// Sunyi dusun sejak kau tinggalkan/ Sepi tepian sejak kau pergi/ Rumput bersusun di tengah laman/ Alam keliling menghiba hati// Betung yang rampak lampai di hulu/ Kinilah rebah ke tepian/ Kampung yang nampak ramai dahulu/ Kini hanya tinggal kenangan// Sentana daku menutup mata/ Pintaku teman mohon sampaikan/ Agar jasadku dibawa serta/ Pusara kasih mohon rangkaikan// Mohon siramkan setitik air/ Taburkan atasnya bunga rampai/ Pahatkan nisan serangkum syair/ Keluh pujangga kasih tak sampai. ***


Esei

Estetikasi Masa Kini Pada Karya Senirupa Riau (Maju-mundur@Timbul-tenggelam) oleh Dantje S Moeis

au tak mau terpaksa harus diakui, seperti yang dikatakan d oleh seorang teman yang o juga pengelola padepokan seni, ketika bincang-bincang seni dengan saya sambil berkelakar, bahwa Riau bukanlah lahan subur untuk tumbuhnya spesies senirupa baru yang unggul, terutama pada aspek pengembangan. Pengamatannya seakan menjadi suatu pembenaran, karena hingga saat ini sangat sulit memparadekan karyakarya senirupa yang pernah dilahirkan daerah ini berdasarkan masa, kurun waktu, perkembangan dan pengkomparasian agar terlihat jelas beda dan perkembangan dari waktu ke waktu, berdasarkan kemampuan estetikasi kreativitas pencarian bentuk baru dari para perupa daerah ini. Pada setiap pameran senirupa (baca: karya dua dimensional dan tiga dimensional) yang diadakan secara berkala oleh lembaga, terutama yang diselengarakan oleh institusi pemerintah daerah terkait. Karya-karya terpajang, kasat mata terlihat hanya pengulangan-pengulangan bentuk dan

gaya yang itu-itu saja, selalu berkiblat pada bentuk yang dilahirkan para perupa sohor di tanah Jawa sana (Jokja, Jakarta, Bandung). Senirupa Riau memang selalu saja tertinggal walau “hanya� pada aspek perubahan dan pengembangan. Senirupa Indonesia awalnya juga demikian. Terlambat maju jika dibandingkan dengan perkembangan senirupa dunia. Seni rupa kontemporer Indonesia (kota-kota besar di Jawa) menemukan spirit mula dari lahirnya Gerakan Seni Rupa Baru (1975) dengan gejala-gejala penolakan dan penentangan terhadap mainstream seni rupa moderen, yang dianggap sewenangwenang atas nama universalitas. Penolakan yang ditandai dengan penggunakan berbagai ragam media ungkap alternatif, di luar tradisi fine art (seni lukis, seni patung, dan seni grafis), seperti senirupa instalasi, seni rupa pertunjukan (performance art), seni rupa lingkungan (environmental art), video art, hingga seni rupa dengan media barang jadi (readymades). Penolakan di sana dan pada saat itu, juga diwarnai nuansa halaman 5


penghapusan (erasures) atas pengkotakkotakan antar cabang senirupa, antar cabang seni, percampuran berbagai gaya dan aturan (eklektik), hingga terjadi pengaburan batas antara seni dengan kehidupan sehari-hari. Dunia seni pada wacana seni rupa kontemporer tidak lagi dipandang sebagai “dunia agung”, yang terpisah dari dunia kehidupan sehari-hari. Pengaburan batas, bahkan penghapusan antara seni dengan kehidupan sehari-hari (estetikasi kehidupan sehari-hari) merupakan bentuk integrasi baru antara “dunia seni” dengan “dunia kehidupan sehari-hari” yang dilandasi oleh pemikiran akhir modernisme (post modernism). Pemikiran posmodernisme dalam konteks seni rupa yang sangat fenomenal dinyatakan secara filosofis oleh Arthur Danto, “The End of Art”, pernyataan filosofis “berakhirnya senirupa” itu, pada tataran pemikiran, menandai berakhirnya senirupa (mainstream modernisme), sehingga mempersuasi lahirnya era seni rupa baru dengan paradigma posmodern. Sejak awal tahun 1990-an sering diselenggarakan pameran seni rupa Indonesia dengan label “Seni Rupa Kontemporer”. Kata “kontemporer” (contemporary) berarti sezaman atau masa kini, namun secara terminologis, seni rupa kontemporer tidak cukup dipahami pada pengertian seni rupa sezaman, senirupa masa kini, atau senirupa yang berkaitan dengan waktu saja. Senirupa kontemporer dipahami sebagai wacana dan praktik seni rupa yang ditandai dengan gejala-gejala “kontradiksi”, “penolakan”, “subversi”, hingga “dekonstruksi” terhadap kemapanan wacana dan praktek senirupa moderen, terutama aspek universalisme dan formalisme. Reaksi penolakan itu terepresentasikan

halaman 6

melalui penggunaan keragaman media ungkap baru di luar tradisi fine art (seni lukis, seni patung, dan seni grafis) dengan kecenderungan yang bersifat eklektik (penggabungan berbagai gaya dan aturan). Dinamika seni rupa kontemporer Indonesia memiliki benang merah kesejarahan dengan Gerakan Senirupa Baru (1975). Gerakan Senirupa Baru (1975-1979) sering dikukuhkan sebagai momentum awal perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia. Gerakan yang dipelopori oleh Jim Supangkat dan kawan-kawan itu mengusung paradigma estetis baru pada masa itu, yaitu personal liris. Gerakan itu menghadirkan perwajahan karya senirupa yang sangat berbeda dengan mainstream senirupa moderen yang telah ada sebelumnya, walaupun tidak secara eksplisit berlabel “senirupa kontemporer”. Karyakarya Gerakan Senirupa Baru menekankan citra analitik kontekstual dan partisipatoris terhadap persoalan sosial-politik aktual. Gerakan itu juga mendekonstruksi, mengaburkan atau menghapus, batas-batas seni rupa tinggi (high art/grand art/hoge kunst) dengan seni rupa rendah (low art/ faible art/lage kunst), seni rupa murni (pure art/ fine art) dengan seni rupa terapan (applied art), batas-batas antar cabang seni rupa (seni lukis, seni patung, seni grafis, seni reklame, dan cabang-cabang senirupa lainnya), batas antar cabang seni, bahkan batas antara karya senirupa dengan benda kehidupan sehari-hari. Salah satu catatan penting dari jejak wacana dan praktik seni rupa Gerakan Seni Rupa Baru adalah dieksploitasinya benda-benda pakai kehidupan sehari-hari (readymades) sebagai media ungkap. Penggunaan

media

ungkap

“tak


terbatas� (alternatif) itu telah mendorong perkembangan seni rupa instalasi, seni rupa lingkungan (environmental art), seni rupa pertunjukan (performance art), hingga seni video (video art). Dalam aspek yang lebih luas, penggunaan media ungkap alternatif itu turut mendorong fenomena pengaburan batas atau penghapusan jarak antara karya seni rupa dengan barangbarang kehidupan sehari-hari. Ada dua aspek mendasar di balik pemahaman tentang terminologi seni rupa kontemporer yang berlaku di Indonesia. Aspek pertama mengacu pada pemahaman seni rupa kontemporer sebagai senirupa alternatif, dengan media ungkap baru seperti instalasi, performance art (happenings), video art, invironmental art, hingga readymades. Seni instalasi merupakan karya rupa yang terdiri atas gabungan berbagai media sehingga membentuk kesatuan baru dan menawarkan makna baru pula. Karya seni instalasi menjadi wujud nyata pembebasan seni rupa dari pengotak-kotakan seni lukis, seni grafis, seni patung, seni reklame, dan cabang-cabang seni rupa lainnya, serta penghapusan pandangan dikotomis atas seni rupa menjadi seni murni-seni terap, seni tinggi-seni rendah, atau seni bebasseni terikat. Performance art atau happenings disebut juga senirupa pertunjukan, senirupa peristiwa, atau senirupa total. Performance art merupakan penggabungan seni rupa dengan seni pertunjukan (performing), persilangan antara pameran senirupa dengan pertunjukan teatrikal. Dalam hal ini ditampilkan unsur rupa, musik, dan gerak, namun menghindari adanya alur cerita (ploting)

secara tradisional. Salah satu contoh performance art yang sangat fenomenal dan tercatat dalam sejarah perkembangan senirupa kontemporer Indonesia adalah performance art yang dilakukan oleh Eddie Hara dan Ellen Urselmann (1987) pada Pekan Seni Eksperimental FSR ISI Yogyakarta, sebaga imana yang dicatat oleh Marianto (2000: 198-199). Karya performance art itu diilhami oleh Hardship Art Amerika. Mereka berdua merantai salah satu tangan masing-masing lalu digembok. Selama 24 jam dirantai, mereka tidak berbicara satu sama lain dan tidak saling bersentuhan secara fisik. Mereka mengenakan pakaian putihputih dan berjalan-jalan menyusuri perkampungan untuk mengalami suatu sensasi seperti yang terjadi dalam tradisi laku mati raga, puasa membisu, puasa pati geni, dan sebagainya. Hal itu menggugah keingintahuan warga masyarakat yang dilewatinya. Keanehan dan daya kejut yang unik karya performance art itu telah membuka mata tentang kenyataan bahwa kemungkinan berkesenian dapat dilakukan dengan berbagai cara. Invironmental art adalah seni rupa yang menggunakan lingkungan hidup (alam) sebagai media ungkapnya, seperti yang terlihat pada karya Dadang Christanto berjudul “For Thoses Who Had Been Killed� (1993), yang memanfaatkan lereng perbukitan yang dikepras. Video art Senirupa yang memanfaatkan video sebagai media ungkapnya secara intensif ditekuni oleh perupa Krisna Murti, atau perupa tokoh video art berskala internasional kelahiran Korea, Nam June Paik. Aspek

kedua

adalah

senirupa

halaman 7


kontemporer sebagai senirupa yang menentang atau menolak seni rupa moderen (anti-moderenisme). Dalam pandangan Sumartono (2000: 22-23), aspek ini merupakan penolakan terhadap pengagungan seni rupa Barat dan pelecehan terhadap seni rupa non-Barat (atas dasar universalisme). Seni rupa kontemporer sangat menghargai pluralitas, berorientasi secara bebas, tidak menghiraukan batasanbatasan secara kaku (baku). Seni rupa kontemporer dapat diciptakan dari berbagai benda, bahan, atau media, tidak ada pembedaan antara satu dengan yang lain, termasuk benda-benda jadi (readymades) dalam kehidupan sehari-hari. Hampir semua media ungkap (tak terbatas) yang dikenal hingga kini, pernah dimunculkan oleh seniman-seniman di Riau, sehingga dapat dikatakan bahwa upaya untuk mencari dan menanam spesies baru pohon senirupa itu pernah ada, namun pembenaran kalimat yang disampaikan oleh seorang teman saya itu perlu diakui, karena tak berkelanjutannya (ketidak-suburan lahan?) upaya dan pemunculan karya baru itu terlihat. Contoh nyata dapat diamati pada karya M Yusuf AS, salah satu perupa Riau alumnus ISI Yogjakarta, yang mengusung media temuannya berupa Tapas Kelapa pada karya senirupa kaligrafi ke ruang pameran. Yusuf, memanfaatkan media tak terduga (tapas kelapa) dengan pemaknaan bawaan (sampah) menjadi sebuah karya seni dengan pemaknaan baru; atau karya Amron Salmon berjudul “Keremunting”, berupa karya lukis dua dimensional yang terilhami dari karya sastra karangan sastrawan Rus Abrus dan memberikan pemaknaan baru cenderung bebas dalam hal interpretasi.

halaman 8

Hal yang sama juga terlihat pada karya Armawi Kh “Orang Perahu”, yang mengangkat fenomena sosial pengungsi Vietnam di Kepulauan Riau. Pada peringatan hari bumi 1992 di Taman Budaya Riau Pekanbaru, para seniman terutama perupa, mengestetikasikan sebatang pokok kelapa yang “hidup segan mati tak mau” dengan melilit perban di sekujur pokok kelapa dan menggantungkan botol-botol infus, lengkap dengan selang yang mengaliri cairan nutrisi ke “tubuh” pokok kelapa. Sebuah kelambu lusuh yang digantung di ruang terbuka, dengan pemaknaan biasa layak kelambu. Namun perupanya (Dantje S Moeis) memberikan pemaknaan baru dengan menaburkan daun kering, meletakkan patung orang terbaring ringkih menahan serbuan asap yang melanda Riau saban tahun pada periode tertentu (musim kemarau). Karya tersebut diberi judul “Kelambu Asap”. Dari gambaran di atas, Riau sebenarnya memiliki bibit (kreativitas) yang dapat mampu tumbuh baik dan membesar. Namun hingga saat ini tampak bahwa lahan tempat tumbuh tak berkesempatan menerima nutrisi (pupuk) yang seyogianya merupakan tugas para pembina kesenian dalam hal ini lembaga pemerintah yang diberi kepercayaan mengelola kebun seni di daerah ini. Itu saja.*** SPN Dantje S Moeis: Perupa, penulis kreatif, redaktur senior majalah budaya “Sagang”, dosen Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR), Pekanbabaru


Cerita-Pendek

Seribu Bayang Sunyi oleh Risa Febri Indriani

ang raja siang hampir tak menampakkan tubuh bugilnya. “Uuuusssss.......” seolah angin bertiup memberikan abah“Uuu abah kalau malam sudah hamper dekat. Burung- burung pun tterbang berpindah tempat. Suara canda tawa itu selalu member selerah pada telinga, suara-suara bocah kecil yang lagi bermain di halaman. “Uuuussss....” angin kembali memberi abah-abah. Halaman yang luas itu pun dibanjiri oleh daun-daun yang gugur dari tangkainya. Irama itik yang merdu berbondong-bondong pulang kekandang. Ayampun berkejar-kejaran dengan tuannya., karna masih ingin menikmati suasana sore. Seorang gadis yang sedang duduk di geranda tersenyum kecil melihat hal tersebut. Rambut yang panjang dibiarkan nya terurai karna basah. Mata yang bening itu seola-olah tak ingin melewatinya. Dari sorot mata itu menyimpan kerinduan yang mendalam. “Oh, seandainya ayam sekolah pasti ia lebih tau aturan.” Ujarnya lirih. “Iya. Tapi saying, ayam tak sekolah Buk! Jadi milik orang pun bias menjadi miliknya.” Sahut seorang wanita yang tiba – tiba dating dari belakang sambil turun dari sepedanya. Dia adalah Riri sahabat kecilnya. “Ehh, kamu Ri. Apa kabar?” “Kabar ku sungguh baik sekali. Dirimu apa kabar? Aku tahu kamu hari ini pulang karna Buk Ida yang bilangin.” “Hee..hee.. diriku juga baik. Iya, tadi waktu di jalan aku ketemu dengan Buk Ida. Ooh yaa, aku dengar kamu bekerja disalah satu perusahaan ternama di kota kita ini. Kamu hebat!”

halaman 9


“Hihihihihh... tentu kamu lebih hebat, baru serjana lansung ada yang nawarin pekerjaan.” “Ahh, itu Cuma gosib. Faktanya aku masih belum bekerja bukan?” “Tapi faktanya lagi, pekerjaan buat mu di depan mata. Mmmm..... tadi aku liat kamu cengar – cengir sendiri. Apa yang kamu pikirkan?” “Aku memikirkan apa yang orang lain pikirkan. Ayam mengambil hak orang lain karna tak berakal bukan? Menurutku itu biasa. Tapi sekarang yang berakal bahkan yang berpendidikanlah yang mengambil hak orang lain.” “Itu baru luaaaarrrr biasa...” sambung Riri. Merekapun tertawa. “Oh ya Feb, apakah kamu tak ingin berkeliling kampong dengan ku? Apakah kamu tak rindu dengaan sepedaku yang tua ini?” “Ri.... Ri.... tentu aku rindu. Bahkan rindu sekali. Tapi aku tak bias ikut denganmu sekarang. Sebentar lagi senja.” “Kalau begitu biar aku sendiri yang pergi.” “Hati-hati ya...” sahut Feby pada Riri yang mulai mengayuh sepedanya. “Uuuusss......” suara angin itu kembali menyapa tubuhnya. Diapun terdiam menikmati belaian-belaian angin yang menyentuh kulitnya. Begitu nikmat dirasa saat ia mulai menghirup angin tersebut. Dalam kesendirian, ia pun mulai membayangkan betapa susahnya dulu ia hendah bersekolah. “Woiii... Feb, sepatumu tertawa ya?” mereka semua tertawa. Begitu juga dengan sepatu itu. Feby pun menoleh kebawah sambil menggerak-gerakkan jari kakinya yang keluar. Tetapi gadis itu selalu menanggapinya dengan senyum. Setiap ia berjalan di golidor sekolah, di kantin atau dimana-mana,. Teman-teman nya selalu menunduk ke bawah. Bukan karna segan atau ingin menghargai tetapi karna ingin melihat sepatu Feby yang sedang bicara. “Kamu manis Feb!” ujar salah satu temannya. “Tapi sepatumu juga manis.” Sahut yang lain. Mereka pun tertawa sambil memegang perut sekin lucunya. “Iya. Ini sepatuku yang gembira” jawabnya. “Apa orang tuamu tak ingin menggantinya?” Tanya seseorang dari belakang. “Tentu mereka ingin begitu.” “Feby miskiinn.... Feby miskin....” ejek teman –teman yang tidak suka dengannya. Gadis itu tertunduk dan dibanjiri air mata di pipinya.

halaman 10


“ O r a n g manis itu nggak boleh nangis. Jika menangis, berarti nggak manis.” Ujar Syafri sahabatnya sambil mengusapi pipi yang basah itu. “Ada apa dengan mu Syaf? Biasanya engkau selalu mengejekku dengan sebutan jelek.” “Adoohhh, memang kamu jelek kok! Tadi bilang manis biar dirimu nggak nangis. Soalnya wajah mu itu sereeemmm bilah nangis. Hihihihh...” “Syaaaffrriiiiiiiiii..........” sambil mengejar pemuda itu yang lari dari pukulannya. Sejenak ia sadar dari lamunannya.saat ia mendengar lonceng sepeda Riri selalu berbunyi. Gadis itu lansung menoleh kearah sahabatnya tersebut. Dia menatapi raut wajah Riri yang lagi bahagia. Kembali ia melayangkan senyum kea rah Riri. “Apakah ia bahagia karna sudah dapat membahagiakan orang tuanya? Lalu aku kapan?” gumamnya dalam hati. Feby pun mulai membayangkan betapa sulitnya dulu ia bersekolah. Dipertengahan semester, telah terpampang di madding syaratsyarat siswa mendapatkan bantuan dana sekolah dengan berbagai persyaratan. Pulang dari sekolah, berceritalah ia kepada orang tuanya mengenai syarat tersebut. Itupun orang tuanya harus meminjam duit kepada tetangga buat mengurus syarat-syarat itu. Dengan mengajukan syarat-syarat yang diminta, gadis itu berharap sangat mendapatkan bantuan tersebut agar dapat meringankan beban orang tuanya. Tetapi disaat hari yang di tunggu-tunggu dating, tak ada nama Febyani terpanggil. Betapa kecewanya dia. Baginya, orang yang mendapatkan bantuan bukanlah orang yang susah, melainkan orang yang ada hubungannya dengan guru dan karyawan sekolah. Ketika orang tuanya mengetahui hal tersebut mereka langsung memberi

halaman 11


semangat dan mengajari agar lebih tegar dan dapat menerima kenyataan. “Feby....Feby....” panggil maknya. Suara lembut orang tua itu memanggil membuat dia berhenti dari lamunan. Diapun langsung menoleh kearah orang yang sangat ia sayangi tersebut. “Tak baik melamun disitu. Bergegaslan mengambil wuduk!” gadis itu tersenyaum mengoda buat menanggapinya. Ia tak menyangka ternyata suara adzan telah meluncur di udara. *** Suasana beransur-angsur gelap. Langit yang tadi jingga kemerahmerahan berubah menjadi hitam kelam. Feby pun menghempaskan tubuhnya diatas tempat tidur. Seolah-olah ia melepaskan lelahnya. Karena pikiran dan tenaganya hamper terkuras buat ujian akhir dan ia pun mesti bekerja paruh waktu. Gadis itu mulai memperhatikan satu persatu isi kamarnya. “Oh, tidak ada yang berubah.” Ujarnya dalam hati. Seruang sepi dan sunyi itu mungkin telah merindukan kehadiran pemiliknya. Jendela yang masih terbuka, membuat ia dapat memandangi langit yang kelam, bulan bintang yang lagi merajuk ditutupi awan hitam. Pucuk-pucuk daun seolah bergoyang dilambai oleh angin sepoi-sepoi. Ayunan kayu yang tua pun ikut bergoyang seakan beregmbira. Dia tak menghiraukan suasana diluar. Kembali ia duduk dan berjalan menuju meja belajarnya. Buku-buku yang tersusun rapi disentuhnya satu-persatu. Tak sedikitpun ia merasakan debu yang lengket ditangannya. Ia tau, selama dirinya pergi Mak yang ia sayangi itu selalu membersihkan kamar tidurnya. Feby pun lansung mengambil gitar yang terletak manis disitu. Gitar itu adalah gitar perpisahan dari Safry saat ia harus masuk sekolah SMA luar kota. Kembali ia mengenag masa-masa sekolahnya. Tamat SMP gadis itu harus mengikuti pamanya agar ia dapat bersekolah. Karena waktu itu keadaan orang tuanya sedang sulit. Disitu Feby selalu dimusuhi dan dimarahi oleh istri pamanya. Semua itu ia tahan sampai paman dan orang tuanya tahu akan hal tersebut. Sehingga dirinya kembali bersekolah di kampung. Tamat SMA gadis itu mesti menganggur karena keadaan orang tuanya. Dia tak pernah mengeluh, meskipun dinyatakan lulus tes, tapi tak dapat daftar ulang. Semangat dan kemauanya sangat tinggi, membuat orang tuanya berkeinginan melanjutkan pendidikanya. Hingga dua tahun ia harus bersabar. Kesabaran itu tidaklah sia-sia. Orang tuanya menepati janji. Feby pun kuliah disalah satu universitas

halaman 12


ternama di kotanya. Selama ia kuliah, ia bekerja paruh waktu buat meringankan beban orang tuanya. Hobinya akan menulis, membuat dia lebih semangat. Disisi lain, semangat itu didapatkannya dari sahabat SMP. Safry selalu bicara tentang optimis. Karena optimis itulah ia menyelesaikan studynya tiga tahu lima bulan dengan nilai tertinggi di Fakultasnya. Sejenak Feby pun terhenti dari lamunan saat pintu jendela berbunyi karena dilambai angin yang kencang. Gadis itu langsung menutupinya kemudian ia pun berjalan pergi menuju keluar. *** “Wah, sungguh lezak sekali aroma makanan yang Mak buat. Aroma yang beselera di tenggorokanku.” Ujar Feby pada Mak dan Bapaknya yang lagi duduk di depan hidangan tersebut. “Pak..... pak....anakmu pandai sekali merayu.”Ujar Mak kepada Bapaknya. “He...he...he...kalau begitu sini duduk dekat bapak. Kita makan semua masakan Makmu sampai habis.” Ujar bapak kepadanya. Febypun langsung duduk dan mereka makan bersama dengan perasaan yang bahagia. Setelah selesai makan, Feby membantu Maknya bersih-bersih. “Mak, sungguh enak dan banyak sekali lauknya. Membuat aku bingung tadi mau makan yang mana.”uajar gadis itu sambil menolong Maknya mengangkat piring kebelakang dan kembali mereka duduk bersama. “Pak, apakah kalian dapat makan yang enak dirumah selama Feby kuliah?” sejenak suasana menjadi hening. Terdengarhanyalah tetesan hujan yang menimpa atap tua temapat mereka berteduh. “Tentu. Kami selalu makan yang enak. Bapak kan sudah tua jadi harus makan-makanan yang begizi.” Jawab Bapaknya seolah ingin mengembalikan suasana yang tadi saat mereka bergembira. Gadis itu menatapi mata orang tuanya. Kembali sunyi. Entah apa yang ada dipikiran mereka, tetesan hujan pun semakin deras. Seakan memekakan telinga. “Pak, apa selama Feby sekolah, Bapak dapat makan di pasar? Apakah Feby selalu membuat kalian susah?” Ujar Feby dengan nada yang kencan melawan bunyi tetesan hujan yang deras itu. “Ha...ha...ha...tidak ada orang tua yang merasa disusahkan oleh anaknya. Bapakmu ini memang begini dari dulunya bukan?? Tentu Bapak makan. Bahkan Bapak selalu makan dirumah makan Bu Ida.” Itu adalah alasanya tiap kali Feby menghubungi orang tua tersebut jika ia bertanya masalah makan. Kembali ia menatap wajah orang

halaman 13


tuanya, matanya mulai berkaca-kaca.ia ingat betul dimana ia turun dari Bus dan ia ingat betul dengan siapa ia bertemu pertama kali yaitu Buk Ida. Bu Ida sudah menceritakan semuanya. Ternyata Bapak dan Maknya selalu berhemat. Bahkan satu bungkus nasi pagi bekal dari rumah dibagi dua buat makan ssiang nya lagi. Orang tua itu selalu menyebut nama Feby mereka sangat ingin anaknya berhasil. Tiba – tiba air mata itu membanjiri pipinya, ia tidak tahan melihat wajah orang tuanya yang tulus itu. Orang tua tersebut menjadi heran. “Feby, kamu kenapa Nak? Apakah kami kelihatan jahat di matamu? “ ujar bapaknya. “Tidak. Kalian adalah malaikat di mataku. Kalian embun penyejuk hatiku. Pak, Mak, maafkan Feby. Jika Feby selama ini membuat kalian susah.” Iapun langsung memeluk orang tuanya. “Feby menyayangi kalian.” Gadis itupun melepaskan pelukannya sambil mengusapi air mata itu. Kembali ia berusaha buat tersenyum, langsung memijati kaki Bapaknya. “Kapan Safri menemui Bapakmu ini?” Tanya Bapaknya menggoda. “Kalau jodoh mereka dating, tak bias pula kita menolaknya Pak. Dengar kabar, ia hamper menyelesaikan studi S2 nya bukan?” Tanya Maknya. Gadis itupun tak lagi bisa menyimpan rasa malunya. “Oh ya, Bapak sama Mak mau apa jika kelak aku mendapatkan gaji pertama? Tanya Feby seolah mengalihkan topik pembicaraan mereka. “Bapak dan Mak hanya ingin engkau bahagia.” Jawab Mak nya. “Bahagiaku bila aku bias membahagiakan kalian. Oh ya, sunyi ya Mak!” “Kan lagi hujan, tak mungkin orang keluar rumah buat nongkrong hujan-hujan begini.” Jawab Maknya. “Mmmmm... apanya yang sunyi, di sinikan ada Mak dan Bapak, atau jangan-jangan suasana hatimu mungkin yang lagi sunyi karna tak ketemu Syafri bukan?” kembali Bapaknya menggoda. Merekapun tertawa hingga malam yang sunyi dan sepi itu menjadi malam yang penuh tawa, hingga hilangkan luka dan kesedihan di hati. ***

halaman 14


Cerita-Pendek Terjemahan

Kesadaran Nurani oleh Italo Calvino

ett etika perang sedang berkobar, seorang pemuda bernama Luigi bertanya apakah dia bisa mendaftar sebagai tentara Lu sukarela? su Semua orang salut akan keberaniannya. Luigi mendatangi tempat S di mana bedil dibagikan secara massal dan berkata, “Sekarang aku akan pergi membunuh seseorang bernama Alberto.” Tentara lain bertanya siapa itu Alberto ? “Musuh,” jawab Luigi. “Musuhku”, mempertegas pernyataan. Mereka menjelaskan kepada Luigi bahwa dia hanya diperbolehkan membunuh musuh dengan klasifikasi yang ditentukan, bukan siapa

halaman 15


saja yang dianggapnya sebagai musuh pribadi. “Lantas?” tanya Luigi. “Kalian pikir aku bodoh? Alberto ini adalah tipe musuh yang kalian maksud. Salah satu dari mereka. Ketika aku mendengar kabar bahwa kalian berperang dengan orang-orang itu, aku berpikir: Aku juga akan ikut perang supaya aku bisa menghabisi Alberto. Itu sebabnya aku ada di sini. Aku tahu Alberto; dia itu penjahat. Dia mengkhianatiku, dia sengaja mempermalukan aku di depan seorang perempuan. Tapi itu kisah lama. Bila kalian tak percaya, akan kuceritakan segalanya.” Para tentara lain mengaku dan mereka mempercayainya. “Oke, kalau begitu,” kata Luigi. “Sekarang katakan padaku di mana Alberto berada dan aku akan segera berperang melawannya.” Serentak mereka mengatakan tak tahu. “Ya sudah, aku akan mencarinya.” Mereka menegur Luigi. Dia harus memegang teguh disiplin tentara, dia tidak boleh pergi ke mana dia suka. Dia harus pergi ke medan perang yang telah ditentukan dan membunuh hanya pada saat genting”. Kata Luigi. “Nanti akan aku cari orang yang tahu di mana Alberto berada. Cepat atau lambat aku pasti bisa menemukannya, atau dia yang kebetulan ada di medan perang tersebut”. Mereka tidak tahu apa-apa soal Alberto. “Nah, kalau begitu,” sergah Luigi. “Aku harus menceritakan semuanya kepada kalian. Karena Alberto itu benar-benar penjahat kelas satu dan kalian melakukan hal yang benar dengan mengangkat senjata dan memeranginya.” Namun para tentara lain tak ada yang mau tahu soal Alberto. Luigi berusaha menjelaskan: “Maaf, bagi kalian mungkin tak ada bedanya siapa yang aku bunuh selama ia dianggap musuh, tapi aku akan sangat marah bila aku membunuh orang yang tak ada sangkutpautnya dengan Alberto.” Para tentara itu pun hilang kesabaran. Salah satu dari mereka memberikan teguran keras pada Luigi dan menjelaskan apa arti perang dan bahwa tidak ada dari mereka yang diperbolehkan membunuh musuh tertentu sesuai dengan keinginan pribadi masing-masing tentara. Luigi mengangkat bahu. “Kalau begitu, aku mau keluar saja.” “Kau tidak bisa keluar,” teriak mereka. “Kau sudah terlanjur mendaftar dan jadi bagian dari pasukan kami.”

halaman 16


“Siap gerak! Maju….. jalan! Kiri, kanan, kiri, kanan…” dan mereka pun mengirim Luigi ke medan tempur. *** Luigi kesal. Dia mulai membunuh lawan sesuka-sukanya, berharap Alberto (atau kerabatnya) ada di antara mereka. Luigi dianugerahi medali penghargaan untuk setiap musuh yang ia habisi, namun tetap saja hatinya gundah. “Jika aku gagal membunuh Alberto,” pikirnya, “maka orang-orang yang telah kubunuh mati sia-sia.” Hal ini membuat ia semakin hari semakin merasa sangat bersalah. Sementara itu, Luigi terus dianugerahi satya lencana baru yang terbuat dari perak, emas, segala macam. Dalam hati Luigi berkata: “Berangsur musuh mati kubunuh, maka jumlah mereka akan semakin berkurang. Lambat-laun giliran Alberto pasti tiba.” Namun pihak lawan kemudian menyerah sebelum Luigi menemukan Alberto. Ia merasa berdosa telah menghabisi banyak nyawa orang dengan cuma-cuma. Karena sekarang mereka telah memasuki masa damai, Luigi membagikan medali-medali yang pernah ia dapatkan ke seluruh pelosok daerah kekuasaan musuh dulunya dan menemui para janda serta anak-anak musuh yang telah ditinggal suami atau orang-tua mereka. Dalam perjalanannya menjelajahi daerah bekas kekuasaan musuh, Luigi tak sengaja berpapasan dengan Alberto. “Bagus,” pikir-hatinya. “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.” Lalu dengan sigap mengacungkan bedil dan iapun membunuh Alberto. Pada saat itulah Luigi ditangkap, diadili dan dihukum mati. Saat persidangan, Luigi terus mengulang perkataan yang sama: bahwa dia membunuh Alberto untuk menenangkan hati nuraninya. Namun tak seorangpun yang sudi mendengarnya. *** Diterjemahkan oleh: Azkavina Al-Jufri dari teks berbahasa Inggris dengan judul Conscience yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1950an. Italo Calvino adalah wartawan, novelis dan cerpenis asal Italia yang sudah berkali-kali dinominasikan sebagai calon penerima Nobel untuk Kesusastraan. Italo Calvino meninggal di tahun 1985.Beberapa karyanya yang mendunia adalah Invisible Cities, Cosmicomics dan If on a Winter Night’s Traveler.

halaman 17


Sajak

M. Umar Muwaffiq Selarik Senja dan Kisah Duka Senja di Pasujudan Kaliuntu* Album Gagak dan Merpati Yupa Mulawarman Kitab Suci AKU Peta Kecil Cina Menanti Angin Amoghapasa Benua Salju Peta Tradisi Tua

Muhammad Umar Muwaffiq Lahir 14 Desember 1992 di Rembang Jawa Tengah. Buku kumpulan syairnya yang telah terbit berjudul Arca Cendana (Sruni, 2012), dan sedang melanjutkan catatan syair lainnya, Paregreg dan Sang Penakhluk Berjubah Hijau. Pada Mei 2012 Umar Affiq mendapatkan Juara Dua dalam Lomba Mei Review Fiksi yang diadakan Divapress. Kini ia juga sedang menggarap novelnya yang berjudul Antara Cinta dan Amanah dan Nisan Berantai.

halaman 18


Selarik Senja dan Kisah Duka

guyur ombak emas menerjang kening-kening kapal, lidahnya coba menjangkau bukit kelam di atas sana betapa ia ingin bercerita tentang putri Cina yang dimakamkan waktu ribuan bulan silam, ditemani sebongkah batu hitam berwajah kasih, sambitan pancing dan gubuk rindu ia sulam air mata pada mukena dan bibir laut, sambil menengadah langit sebab Tuhan merebut panglima-Nya demi mengarang syair--lir-ilir kepada musim yang dijanjikan, matahari barat tak lagi merah bulat pantai hening tanpa kapal mengabar sisik-sisik laut pucat mengelabu guntur menggempur langit dan dada, kilatannya menjilati lidah-lidah ombak yang mencuat menaburkan bunga dan mengalirkan hujan di atas bukit penantian menyusup ke celah tanah yang ditandai nisan

halaman 19


Senja di Pasujudan

amis bau laut menggerimiskan airmata, di sela-sela kapal riuh melabuh suara burung dali kembali memetik jingga yang jatuh menjadi serpih merah di atas sajadah laut, kening dan mentari ditenggelamkan tasbih pasujudan gaduh; nurani dan nafsu bergulung-gulung menjadi ombak tawar menawar dalam persembahyangan di ujung hari yang hampir terangkat nafasnya, adzan magrib ditabuhkan gaung manusia-manusia laut adalah kepiting-kepiting hitam digiring angin, berpulang dengan kaki mungil, memanggul jala dan tabung ikan cepat-cepat mencari Tuhan yang mereka sandarkan pada bibir malam

halaman 20


Kaliuntu*

parit gelap dipenuhi selaput roma Markas tentara cacat catur sila kandang penghewanan badan dua kutub akhirat dipadukan; banjir nikmat-adzab mengerat padat tanpa sekat

*Tempat prostitusi di Lasem

halaman 21


Kitab Suci AKU

Kutemukan kitab suci legendaris yang hampir busuk termakamkan keterasingan lusuh raut sampulnya dicabik usia ada sepotong wajah menyerukan takdir Tuhan; perjanjiannya dengan maut dan anak bangsa, aku takkan mencari anak bangsa, tapi merekalah yang akan mencariku’ sisa-sisa sajaknya jua di sana di sampul kitab suci AKU tak pernah lemas seperti abu-abu

halaman 22


Album Gagak dan Merpati

satu: sore ini kau adalah merpati putih hinggap di ranting rapuh dalam stepa tandus dan aku telah jadi gagak, mengangkasa, menari dan mendendangkan tembang kematian tak sebakti dulu putih tinggal buih hitam menyinari taman, pekarangan dan ruangruang tanpa hembusan terlihat serbukserbuk silau kaca tertempel di sebatang tubuhmu menjauhkan mata namun menarik kuat urat-desiran darahku ingin sekali aku berkaca pada bulatan hitam mata itu adakah percaperca bayangku di sana

dua: sore ini kau adalah merpati putih hinggap di daun jendela setangkup pintu surgamu memanggil angin penghidupan sedang tanganmu bangkitkan raga album yang pernah kita makamkan ratusan abad lalu di telaga wangi diapit bukit karang berkapur aku sadar nafsu bulir bibirmu tergesa mengerek perahu emas untuk kita layari rimba malam dan serbuk silau di bentangan badan kaupercikkan membumbui ayatayat gelap sayapmu mendaki ubunubun kesadaran jemari pun jadi tombak atau pasopati tak hentihenti hujani kepingan sepi menyamudrakan mimpi

halaman 23


tiga: malam ini kita adalah sepasang penerbang anganangan mencipta cendawan kelabu di kerudung hitam langit kau buru-buru hadir membuka pangkuan dan didihkan tungku lamun kita menukik, berputar putar di awan, mengaduk kopi-susu di langit hitam saling menepi menjauhi bundaran silau waktu kau mengambang pada horizon yang tak kentara lagi sampai pada ujung cemara kauacungkan paruh hidungmu berserius pamer kostum putih, sedang aku di lengan nyiur bertabur debur mengamatimu di kejauhan lalu kau terbang dalam penat bulatan cahaya tersisa mantel putih dan jeritan jelitamu di kepalaku sebagai salju dan lagu musim gugur

halaman 24


Yupa Mulawarman sepucuk puisi untuk ladangku SMANELA dan petaninya

Pada petak tanah itulah petani menyemaikan bibit andromeda, tempat tumbuh kembang lele-lele emas; bersungut cantik, patil tangguh dan tahan banting. Jika Jum’at datang, petani berkamuflase jadi gembala bebek; berdesak-desakan, riuh mengekekkan Dasadharma dan Trisatya. Ada waktu tertentu—Sabtu—bagi Linus Trovald mengajari teori memijit dan ilmu sulap. Ahad terpahat, petani diam di pekarangan. Di sana, bergeliatan cacing menahan waktu, bersimbah air asam. Senin-Selasa mentari merana; seorang petani tiba-tiba malihrupa jadi Bathara Kala kurang sajenan, mengunduh rembulan, melemparkannya pada nagasoka untuk ditelan bak telur ayam. Rabu tersedu. Dipandu Agnes Monica, beo-beo hijau mengepakkan sayap, melincahkan cakar-cakar, berkalung sampur mengokokkan tembang dan lagu. Di pojok Kamis petani bermandi gerimis ditimang nada kematian, talunan gamelan menembus relung ruang hitam perenungan, membenamkan prestasi dan prasasti Yupa Mulawarman.

halaman 25


Peta Kecil Cina

setapak jalan mengantar pijak sandal pada benteng tua nan kokoh duplikat wajah perekonomian Tionghoa dengan tinggi tiga meter, benteng tua benamkanku ke dalam peta kecil Cina tembok putih menyelimuti istana di balik sana membatasi corong pandangan memerosotkan mata besi tua berduri mengelilingi merantai tebing menjalar liar kemana-mana seperti perbatasan daerah konflik di bawahnya, perca-perca botol kaca tertanam rapi menlentikkan kilatan cahaya dari taringtaring tajamnya melewati setapak lorong perumahan Cina adalah menyaksikan keselarasan budaya dan pertahanan sederhana kawat duri yang menjalar, taringtaring perca botol kaca menjadi susunan pengaman; menyergap setiap kelelawar penyusup atau penghalang niat bejat bajing loncat

halaman 26


Menanti Angin

Bersetapak di atas mistar hitam kota ini mengorek jejak malam yang terkelupas hujan ditimbun debu waktu suara jerit hati nelangsa masih terngiang pada makra putih menyimpan sejuta alam tak tersampaikan pesan purba yang kian berjenggot mengulurkan detikdetik pada galaksi album sepuh aku dan Putri Campa di punggung layar putih risau dalam tasbih menanti angin pulangkan kabar merpati putih tertelan awan beberapa hening lalu. Masih dibatasi makra suci, aku dan Putri Campa naik turunkan mata kaki juga mata air beritus-ritus kata tersangkut di dahan bibir gulali, tak ada sejumput cerita yang kami baca dari daun senja dan teriak ombak mencium batas jalan diranggas lumut kerak karang pias mencabuti butir waktu, helai hitam pesona sampai putih menanti merpati pulangkan kabar merpati putih jauh dibungkam ilalang awan

halaman 27


Amoghapasa

letupan badai menyambut buih pantai topan beranjak dari kesunyian angin melangkahi dingin Yuvaraja Kertanegara menyulam pernik baru dari abuabu lawas disodorkan pada kuncup Jayagho sebagai sesaji Ranggawuni menimbulkan kerataan yang tak dangkal penistaan ksatria lewat cucuran kenanga sudra wibawa rakai pada meja raja Raganata, Sengkuni dari Singasari geger gemparkan ranjang malam, hidung angin, dan langit-langit istana kecilnya turun dekap Yuvaraja, tanggalkan sutra dan kebayak gugurkan konde mawar hingga sunyikan kemenyan sajen Mahapatih Banyak Wide telurnya busuk disampahkan di Sumenep sampai menep samudra pengabdiannya menjadi matahari pengundang singa-singa pasir namun Singa Jawa lebih tua bertaring dari raja pasir yang tahan dahaga mendagingkan harimau Malaya menyimpulkan debu makara Amoghapasa

halaman 28


Benua Salju

sirip-sirip merah telah tampak dari timur mencakari langit mengabari kesederhanaan bumi kau masih bersangkar di ranting itu, sebatang hati tercangkok untuk buncahkan mata airmu ‘kita pasti hidup!’ tibalah pada detik ini; musim peminjaman detakdetak jantung sound di wajahmu lalu meraung-raung: ‘...jantung bukanlah mesin pengalir darah hidup, tapi hiduplah yang meminta jantung berdegup.’ rekaman itu lemaskan siang-malamku dan waktuwaktu jadi benua salju ‘...apalagi yang biasa, fatal pun sudah biasa.’ bibirmu menggiring maut uraturatku menyelip, meliput, menyelimuti ganggang merah di dada adakah purnama bisa diharapkan di benua tandus ini?

halaman 29


Peta Tradisi Tua

aku seperti berjalan di lambung Borobudur tapaki peta manusia kawakan pemeluk centhak bendungan kecil pengalir tuak di lereng kerongkongan mendarah tumpahkan darah bila gamelan dihentakkan cerobong otak mengerucut menembus etalase kesadaran naluri mengembun keringat membara di atas bebatuan cadas memeras janda-janda sampai rembulan kesurupan menggelinding ke langit mereka masih mencari-cari di mana isi kepalanya ditawan deritan kelelawar.

halaman 30


Sajak Terjemahan

Jaroslav Seifert

Jaroslav Seifert, lahir 23 September 1901 dan meninggal 10 Januari 1986, adalah seorang penyair Ceko dan peraih penghargaan Nobel Kesusastraan 1984. Nobel Committee menyebut puisi-puisi Jaroslav Seifert sebagai, “Diberkahi dengan kesegaran, sensualitas, dan kaya temuan, memberikan citra membebaskan semangat gigih dan fleksibilitas manusia .... Dia memunculkan dunia lain daripada tirani dan kehancuran - sebuah dunia yang ada baik di sini dan sekarang ... satu yang ada dalam mimpi kita dan kehendak kita dan hati kita “. Sajak di atas diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Thelma Marvinas El Vino.

halaman 31


Kota Laknat

Kota para empunya pabrik, petinju, jutawan kota para teknisi dan ilmuwan kota para jenderal, saudagar, penyair pahlawan dengan dosa-dosa hitamnya yang keterlaluan melampaui batas murka Tuhan: dan Ia pun berang. Seratus kali Ia mengancam kota itu dengan dendam kesumat, hujan abu panas, api, halilintar, dan seratus kali Ia berbelas kasihan. Karena Ia kerap ingat pada yang Ia janjikan: bahkan jikapun cuma punya dua orang yang arif tak akan Ia hancurkan kota itu, dan janji Tuhan berlaku atas kuasanya: pada saat itu dua orang pencinta menapak melintas taman, menghidu wangi duri di belukar kembang.

halaman 32


Praha

Di atas selimut-selimut lebar katil bunga kaktus Gotik mekar dengan tengkorak istana dan di dalam rongga organ yang nestapa di dalam rangkaian pipa-pipa timah, tembang-tembang lama terlupakan. Peluru-peluru meriam bagai embrio-embrio perang yang ditularkan angin. Menara-menara malam di atas segala dan menembus kotak-kotak pepohonan kubah-kubah segar kaisar bodoh itu melipir pergi ke dalam kebun keramat alat-alat penyulingannya dan menembus udara damai malam-malam mawar merah mengeluarkan bunyi denting helaian kaca seakan-akan kena sentuhan jari seorang alkemis atau angin. Keker telah dibutakan rasa takut alam semesta dan mata luar biasa manusia ruang angkasa telah dihisap maut. Dan ketika bulan menyimpan telur-telur di atas awan, bintang-bintang baru menetas terburu-buru seperti burung-burung yang mengangkasa dari daerah-daerah lebih kelam, menyanyikan lagu-lagu nasib anak manusia namun tak seorang pun yang dapat memahami mereka. Mendengar riuh yang bungkam, di atas ambal tipis seperti kain kafan kuno kita berjalan menuju masa depan yang gaib dan debu Yang Mulia Raja terekat ringan di atas tahta yang ditinggalkan.

halaman 33


Tembang

Kita lambaikan sapu tangan kala berpisah, pada hari-hari ada yang berakhir, sesuatu yang indah akan berakhir. Burung-dara pembawa surat membelah angin, pulang; penuh harap atau tanpa harap kita selalu pulang. Usap air matamu Lalu senyumlah dengan mata liar, pada hari-hari ada yang dimulai, sesuatu yang indah dimulai.

halaman 34


Syair

Syair dan Sastra Sufi

Syair-syair Al-Qusyairy

Wahai Dzat Yang membuat syukurku menjadi pendek dari kekokohan Nya, Setiap bibir kelu bila menjunjung keluhuran-Nya Sedang kemurahan Nya, Tunggal tiada serupa Melampaui waktu, yang berlalu maupun yang akan tiba Tiada abad yang meninggalkan Nya Tiada paksa yang menyentuh Nya Tiada singkap yang menampakkan Nya Tiada tirai yang menyembunyikan Nya Tiada jumlah yang mengumpulkan Nya Tiada lawan yang menghalangi Nya Tiada batas yang memotong Nya Tiada tetes yang melimpahi Nya Tiada jagad yang membatasi Nya Tiada mata yang memandang Nya

halaman 35


Dan tiada dalam angan yang dilihat untuk menyamai Nya Keagungan Nya Azali Tiada sirna Nya Kerajaan Nya abadi Tak satu pun dibutuhkan Nya. Jauhkan padaku hitam legam wahai sahabatku Bacakan surat surat doa padaku Benar telah kami jawab bagi perintang akal penuh kepatuhan Dan kami tinggalkan ucapan Salma dan Maya Dan kami membuka lebar bagi pematuh syariat Kami anjurkan pematuh hawa nafsu agar melipat dirinya. Jangan tinggalkan bakti pada orang tua, ketahuilah Pada keluarga kecil ada yang terkecil Raihlah orang yang di sebelah kanannya akan kau pegang tangan kanan Engkau lihat yang kiri di sebelahnya Engkau raih tangan kirinya. Bila musim memberimu dengan kesedihan Katakanlah, dengan penghinaan yang menakutinya Sejenak akan tampak maunya Dan selesai setiap urusannya Allah meminumkan pada waktu

halaman 36


ketika aku menyepi dari wajahmu Sedang sirnanya cinta di taman sukaria tertawa Kami menghuni masa Sedang mata terasa sejuk Suatu hari jadilah ciumanmu pelupuknya. Bila engkau sesaat bersama kami tidaklah engkau bersama kami Engkau saksikan ketika pamit berpisah Engkau yakin di antara tetesan air mata penuh ungkapan kata kata Engkau pun tahu di antara kata kata pun penuh air mata. Bila keadaan keadaan jiwa menolongmu Intailah akan sirnanya Itu pun tak lebih dari misal pengalaman yang diberikan Bila ucapan ucapan busuk menuju padamu Maka, busungkan luasnya dada yang tercambuk Dan, bersabarlah.

halaman 37


Syair-syair Imam Syafi’i

Tipuan Palsu

Aku melihat tipu muslihat dunia, tatkala ia bertengger di atas kepala-kepala manusia, dan membincangkan manusia-manusia yang terkena tipunya. Bagi mereka, Orang sepertiku tampak amat tak berharga. Aku disamakan olehnya, dengan anak kecil yang sedang bermain di jalanan.

Kepuasan (Qana’ah)

Aku melihat bahwa kepuasan itu pangkal kekayaan, lalu kupegang erat-erat ujungnya. Aku ingin menjadi orang kaya tanpa harta, dan memerintah bak seorang raja.

halaman 38


Mencintai Akhirat

Duhai orang yang senang memeluk dunia fana, Yang tak kenal pagi dan sore dalam mencari dunia, Hendaklah engkau tinggalkan pelukan mesramu, kepada duniamu itu. Karena kelak engkau akan berpelukan, Dengan bidadari di surga. Apabila engkau harap menjadi penghuni surga abadi, maka hindarilah jalan menuju api neraka.

Rendah Hati

Bagaimana mungkin kita dapat sampai ke Sa’ad, Sementara di sekitarnya terdapat gunung-gunung dan tebing-tebing.Padahal aku tak beralas kaki, dan tak berkendaraan. Tanganku pun kosong dan, jalan ke sana amat mengerikan.

Tentang Cinta

Engkau durhaka kepada Allah, dan sekaligus menaruh cinta kepada-Nya. Ini adalah suatu kemustahilan. Apabila benar engkau mencintai-Nya, pastilah engkau taati semua perintah-Nya. Sesungguhnya orang menaruh cinta, Tentulah bersedia mentaati perintah orang yang dicintainya. Dia telah kirimkan nikmat-Nya kepadamu, setiap saat dan tak ada rasa syukur, yang engkau panjatkan kepada-Nya.

halaman 39


Syair Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq

Anugrah Allah

Aku melihat-Mu pada saat penciptaanku, yang penuh dengan anugerah. Engkaulah sumber satu-satunya, pada saat penciptaanku. Hidarkan aku dari anugerah yang buruk. Karena sepotong kehidupan telah cukup bagiku, hingga saat Engkau mematikanku.

halaman 40


Syair Abu Said al-Kharraz

Waktu

Setiap hari ia lewat merengkuh tanganku memberikan sesal dalam hatiku kemudian, berlalu. Seperti penghuni neraka Jika kulit-kulitnya terpanggang kembali pula kulit-kulit itu untuk sbuah derita panjang Bukanlah orang mati itu istirahat seperti mayat Kematian adalah mati kehidupannya. Haibah Dan Uns Aku datangi Aku tak mengerti Dari mana Siapa Aku

halaman 41


Melainkan yang dikatakan orang-orang pada diriku, pada jenisku Aku datangi jin dan manusia Lalu tak kutemui siapa pun Lantas kudatangi diriku. Tiba-tiba bisikan halus dalam kalbuku: Amboi, siapakah yang tahu sebab-sebab yang lebih luhur wujudnya toh ia bersukaria dengan kehinaan yang sesat dan dengan manusia Kalau engkau dari kalangan sirna yang hakiki Pastikan engkau ghaib dari semesta, arasy dan kursy Padahal dirimu jauh dari Haal bersama Allah Jauh dari berdzikir Lebih pada Jin dan Manusia.

halaman 42


Syair Abu Bakr asy-Syibly

Wujd (Ekstase)

Gelas yang dibasahi air karena cemerlang beningnya Lalu mutiara yang tumbuh dari bumi emas Sementara kaum Sufi menycikan karena kagum pada cahaya air dalam api dari anggur yang ranum yang diwarisi 窶連ad dari negeri Iram sebagai simpanan Kisra Sejak nenek moyangnya.

halaman 43


Syair Junaid al-Baghdady

Jam Dan Farq

Engkau wujudkan Nyata Mu dalam rahasiaku Lisanku munajat kepada Mu Lalu kita berkumpul berbagi makna-makna Berpisah berbagi makna- makna pula Jika Gaib Mu adalah Keagungan dari lintas mataku Namun Engkau buat serasi dari dalam yang mendekat padaku.

halaman 44


Suluh

Senirupa Barat untuk Negeri Ini enurut masa kelahirannya, seni rrupa Indonesia terbagi dalam 3 kurun waktu, yakni: a. Jaman prasejarah yang pada garis besarnya merupakan periode kelahiran seni primitive Indonesia, dengan juduljudul: lukisan dinding gua, patung nenek moyang, hias kuburan batu, dekorasi tameng. b. Periode seni rupa tradisional Hindu Indonesia dan Islam dengan judul-judul: arsitektur candi dan pura dengan seni patung dan seni reliefnya; arsitektur istana/ kraton/ rumah adat dan masjid dengan seni ukir kayunya; seni tatah dan sungging wayang kulit dan seni pahat wayang golek; seni lukis wayang beber dan seni lukis Bali; seni batik dan tenun bersulam emas maupun tidak; berbagai bentuk seni kriya lainnya. c. Periode seni kontemporer Indonesia, yang dimulai dengan karya-karya perintisan oleh Raden Saleh di Eropa dan Indonesia; mashab Hindia Molek; kelahiran Persagi; masa pendudukan Jepang; periode sanggar-sanggar perkumpulan seni lukis; masa pendidikan Akademi Seni Rupa Indonesia di Jokjakarta dan ITB di Bandung, lalu seni rupa dengan

perkembangan selanjutnya sampai masa kini2. Melalui seni, khususnya yang bersifat monumental, kehidupan sehari-hari ataupun kebudayaan suatu tempat atau daerah pada masa lampau dapat digali dan dikenali. Bahkan dalam masa prasejarahpun kebudayaan Indonesia dapat digali melalui seni rupa ataupun seni lain yang monumental, sampai saat ini masih bisa dinikmati. Hal ini bisa terjadi karena pada hakekatnya karya seni selalu merupakan cerminan pengamatan serta perasaan dan pikiran pembuatnya. Sebagai judul wayang, yang seringkali dikatakan orang sebagai ensiklopedia yang lengkap tentang kebudayaan Indonesia, dengan jelas dapat membeberkan bagaimana pola berpikir masyarakat pemiliknya, bagaimana hidup perasaannya, kepercayaannya, cita-citanya, etiket pergaulannya, dan sebagainya. Berbicara masalah pelukis barat di Indonesia tidak bisa lepas dari sejarah nasional bangsa Indonesia itu sendiri. Berawal dengan kedatangan bangsa Portugis pada abad ke XVI, yang kemudian diikuti oleh bangsa Belanda pada awal abad ke XVII ternyata mempunyai dampak yang sangat luas di Indonesia. Belanda datang

halaman 45


pada awalnya terdorong oleh keuntungan perdagangan di Nusantara. Kehadiran mereka mempengaruhi banyak segi kehidupan orang Indonesia. Beberapa gaya dan ilham Eropa merembes ke dalam bentuk seni Indonesia. Penerimaannya tampak jelas mula-mula dalam seni lingkungan kelas atas, namun kemudian diikuti oleh rakyat1. Hal ini terdapat dalam berbagai bidang, seperti misalnya : bidang arsitektur, misalnya ubin, jendela kaca timah dan atap kaca, serta teralis besi yang ditempa, dipadukan ke dalam bentuk arsitektur tradisional. Seni dan sastra, misalnya wayang wahyu, cerita pewayangan yang memasukkan tokoh-tokoh dari alkitab, dengan maksud menyebarkan agama Kristen di Nusantara, dan lain-lain. Sejak abad ini pula sudah mulai ada pelukis barat yang datang ke Indonesia, makin lama makin banyak dan akhirnya pada abad XX bermuncullah tokoh-tokoh seperti Walter Spies, Le Mayeur, Rudolf Bonnet, Hofker, Dezentje, Adolf, dan lain-lainnya. Awal seni modern Indonesia menggambarkan suatu peralihan dari gaya seni tradisional khususnya seni lukis yang ideoplastik, seni lukis yang berdasar atas apa yang diketahui dan bukan apa yang dilihat dalam pendekatannya terhadap obyek yang dilukiskan, telah ada sejak masa prasejarah. Walaupun bentuk-bentuk tradisional ini terus dipergunakan bahkan hingga sekarang, ada perkembangan berarti sejak abad ke XIX. Masyarakat Indonesia mulai mengenal teknik dan gaya seni lukis Barat yang visioplastik, yakni cara melukis dengan menganakemaskan pandangan mata, melalui lukisan-lukisan yang dihadiahkan oleh pemerintah Belanda kepada para pejabat di Indonesia, raja atau bupati, yang ternyata sangat menarik minat para

halaman 46

penerimanya. Pengenalan lukisan gaya Barat juga dilakukan melalui pendidikan di sekolah-sekolah lewat gambar-gambar ilustrasi dalam buku-bukunya. Bahkan cara ini adalah cara yang paling efektif karena sampai pada rakyat yang paling bawah. Pengenalan ini berakhir dengan dilupakannya gaya melukis tradisional Indonesia yang kedekoratifan oleh sebagian besar masyarakat awam Indonesia, maka seni lukis Indonesia berangsur-angsur beralih dari ideoplastik ke visioplastik. Penyebaran pengaruh Barat berbeda pula pada tempat yang satu dengan yang lain. Di Bali, yang notabene mayoritas masyarakatnya beragama Hindu, seni rupa dengan patung, relief, dan lukisan-lukisan merupakan hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan beragama sehari-hari, sehingga gaya seni tersebut melahirkan tradisi yang kuat. Walaupun tujuan para pelukis Barat adalah ke Bali, yang menyebabkan Bali mendapatkan tekanan pengaruh Barat yang lebih kuat, tetapi karena kuatnya tradisi, Bali masih mampu memperlihatkan gaya ataupun ciri khasnya. Tidak demikian halnya di Jawa. Dikarenakan tidak pernah menjadi besarnya kesultanan-kesultanan Islam maupun oleh keseganan umat Islam melukiskan mahluk hidup, sehingga ciri khas atau kekhasan pelukis-pelukis Jawa tersingkir jauh-jauh di desa-desa yang kebetulan tidak terjamah oleh orang luar, seperti lukisan kaca atau beberapa ilustrasi manuskrip yang bergaya wayang kulit. Awal timbulnya seni lukis oleh bangsa barat saat mereka di Indonesia adalah dimaksudkan untuk merekam pemandangan alam dan kehidupan seharihari pada masa kolonial atau penjajahan. Hal yang sama tampak jelas juga terjadi


di wilayah jajahan Inggris, Perancis, dan Portugis yang bertetangga di Asia, yang sejak abad XVII pemandangan kota dan pemandangan alam dilukis dengan cat minyak. Lukisan pemandangan alam terus berkembang pada abad ke XIX sebagai sebuah bentuk naturalisme. Hingga sampai pada suatu saat seorang guru lukis Belanda yang bertempat tinggal di Indonesia, A.A.J. Payen, menemukan seorang pemuda jawa atau pribumi yang akhirnya menjadi muridnya sekaligus menjadi pelukis yang hebat dan berbakat, Raden Saleh. Oleh karenanya Raden Saleh adalah pelukis yang beraliran naturalisme. Berkat gurunya, Raden Saleh merupakan satu-satunya orang pribumi yang berkesempatan belajar seni di luar negeri. Di Negeri Belanda, Nederland tepatnya, Raden Saleh diasuh dua pelukis, yakni C. Krusseman dan A. Schelfhout selama 10 tahun. Dalam berkarya ia sangat dipengaruhi sarjana-sarjana Eropa. Namun demikian pula sebaliknya beliau sangat berpengaruh dalam perkembangan lukisan pemandangan alam di Indonesia. Lukisan pemandangan alam Indonesia inilah yang sangat menarik perhatian orang-orang Belanda, termasuk para pelukisnya yang pada akhirnya berdatangan ke Indonesia untuk melukis pemandangan alam Indonesia yang bagi mereka kelihatan sangat menarik. Raden Saleh adalah seorang pelukis berbobot yang berdiri sendiri dan hidup pada zaman yang penuh kegelapan, demikian S. Sudjojono mengatakan. Bentuk kepanjangan dari masa kegelapan di sekeliling hidupnya menjadikan penyebab Raden Saleh sebagai perintis tidak mempunyai angkatan. Sesudah Raden Saleh wafat pada tahun 1880 di Bogor, dunia seni lukis Indonesia fakum selama kurang lebih setengah abad, yakni

pada tahun 1930-an munculnya gaya melukis apa yang disebut “Hindia Molek”, “Mooi Indie” atau “Hindia Jelita”. Istilah tersebut secara sinis diciptakan oleh seniman S. Sudjojono sebagai kritik terhadap jenis karya yang dihasilkan dengan tema-tema yang digunakan selama masa penjajahan Belanda. Beberapa hal yang berkaitan dengan Mooi Indie adalah: - Lukisan pemandangan alam terkenal diantara orang Belanda yang tinggal di Indonesia, yang menginginkan cendera mata daerah jajahannya. Lukisan-lukisan ini dan kemudian juga lukisan sosok menekankan kesan romantis dan eksotis. - Latar belakang seni konvensional orang Eropa yang bekerja di Indonesia pada saat itu, memungkinkanmereka melukis bentuk manusia secara realis. - Tidak seperti seniman Indonesia yang bekerja terpisah dengan yang lain, orang Eropa memiliki perkumpulan seni Kunstkring di Jakarta tempat mereka mengadakan pameran. - Kekurangan utama karya orang Eropa terletak pada kenyataan bahwa mereka lebih tertarik pada lukisan yang dangkal, indah, turistik-sehingga membawa pada penurunan naturalisme- karena mereka tidak akrab dengan latar belakang tradisional subyek mereka. - Angkatan pertama seniman Mooi Indie Indonesia, seperti Abdullah Suryobroto, Mas Pringadi, dan Wakidiyang kesemuanya belajar pada guru-guru Belanda menunjukkan kecenderungan akademis dalam seni mereka. Para pejuang kemerdekaan mencap mereka berpihak pada penguasa jajahan sehingga dengan demikian memperlihatkan “mental Belanda”. halaman 47


Beberapa judul lukisan beraliran Mooi Indie adalah sebagai berikut: “Pemandangan” karya Abdullah SR “Gadis Bali”, karya Basuki Abdullah “Memotong Padi”, karya Rudolf Bonnet. Seniman pribumi yang mengikuti aliran/ gaya ini antara lain Abdullah Suryosubroto, Wakidi, dan M. Pringadi. Selain seniman pribumi juga seniman Belanda yang tinggal di Indonesia karena tertarik dengan keindahan alam tropis Indonesia, dengan latar belakang studi melukisnya di Eropa. Mereka antara lain adalah Willem Gerard Hofker, Dezentje, Adolf, Locatelli, Dezentje, Jan Frank, Theo Meiyer, Strasscher, Sayer tinggal di Jawa dan Walter Spies, Rudolf Bonnet, Le Mayeur, dan Hans Snel, tinggal di pulau Bali. Beberapa judul karya seniman lukis Eropa yang tinggal di Indonesia selama tahun 1930an, seperti misalnya :

pegawai tentara Austria selama Perang Dunia I. Ronald Strasser (1895-1974) dating ke Indonesia pada tahun 1920 serta menghabiskan 15 tahun tinggal dan melukis di berbagai wilayah Nusantara. Ronald Stresser melukis dengan gaya Ekspresionis.

3. Ernest Dezentje Salah satu karya lukisannya berjudul “Jakarta Kota”. Bahan terdiri dari cat minyak dan kanvas, seperti yang terlihat di bawah ini: Seniman ini berasal dari Perancis. Ia belajar sendiri. Menjadi warga Negara Indonesia setelah Perang Dunia II. Ernest Dezentje adalah teman Presiden Soekarno. Gaya Impresionis Dezentje (1885 – 1972) dilambangkan oleh upayanya menangkap cahaya tropis.

4. Romulus Locatelli 1. Willem Gerard Hofker Salah satu karya lukisannya berjudul “Gusti Nyoman Kelopon”. Bahan terdiri dari krayon dan kertas, dan dibuat pada tahun 1943, seperti yang terlihat di bawah ini : Willem Gerard Hofker (1902 – 1981) datang ke Bali pada usia 36 tahun dan melukis ornag-orang setempat. Beberapa karyanya yang dikerjakan saat berada dalam kamp tawanan Perang Dunia II dipamerkan di Belanda pada tahun 1970-an.

Salah satu karya lukisannya berjudul “Penari Bali”. Bahan terdiri dari cat minyak dan kanvas, seperti yang terlihat di bawah ini: Seniman Italia ini tiba di Indonesia pada tahun 1938 dan menghabiskan empat tahun sebelum membangun rumah di Manila. Lukisan diri dan tokoh Locelli (1905 – 1943) dikerjakan dengan gaya realisme yang cenderung ke ekspresionisme. Banyak karya Indonesianya hancur ketika api menelan rumahnya di Filipina.

2. Ronald Strasser Salah satu karya lukisannya berjudul “Penari Bali”. Bahan terdiri dari cat minyak dan kanvas, seperti yang terlihat di bawah ini: Seniman keliling Wina ini merupakan

halaman 48

5. Theo Meier Salah satu karya lukisannya berjudul “Pemandangan di Bali”. Bahan terdiri dari cat minyak dan kanvas, seperti yang terlihat di bawah ini:


Gaya Theo Meier, pelukis Swiss, mengingatkan pada seniman besar Paul Gauguin yang dikaguminya. Theo Meier (1908 – 1982) tinggal di Bali selama hamper dua dasawarsa sejak pertengahan 1930-an dan ikut serta dalam pameran yang diadakan oleh Bataviasche Kunstkring di Jakarta. Meskipun kemudian pindah ke Thailand pada tahun 1961, ia mengunjungi Bali secara teratur. Salah satu lukisannya termasuk ke dalam pameran Seni Bali yang diadakan oleh Pusat Timur-Barat di Hawaii tahun 1988.

6. Carel Lodewijk Dake Jr. Salah satu karya lukisannya berjudul “Pemandangan Desa”. Bahan terdiri dari cat minyak dan kanvas, dan seperti yang terlihat di bawah ini: Seniman Belgia yang diajar oleh ayahnya, pelukis terkenal C.L. Drake, ini dating ke Indonesia pada tahun 1912. Tiga tahun kemudian ia menjadi terkenal karena lukisan tiga buah diorama besar yang menggambarkan Nusantara untuk World Fair di San Francisko, USA. Walaupun ia bepergian dan melukis di Thailand dan Kamboja, karya-karyanya yang terkenal adalah pemandangan alam Indonesia yang dilukis dalam gaya impresionis saat ia tinggal di Jawa, Sumatra, dan Bali. Dengan demikian muncullah dua kelompok seniman di Indonesia pada waktu itu, yakni pelukis pribumi dan pelukis asing (terutama Belanda) yang tinggal di dua tempat, yakni pulau Jawa dan pulau Bali. Masing-masing kelompok bekerja secara terpisah dan mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Kelompok pelukis pribumi hidup berjauhan satu sama lain, bekerja dan sibuk sendiri-sendiri. Abdullah hidup melukis di Parahiyangan, Jawa Barat; Wakidi

melukis di Sumatra Barat; M. Pringadi menetap di Jakarta. Mereka tidak saling bertemu dengan kemungkinan tidak banyak mengetahui satu sama lain. Sedangkan kelompok pelukis asing, yang tinggal di pulau Jawa, mampu menghimpun diri dalam beberapa perkumpulan seni (Kunstkring) seperti : Nederlands Indische Kunstkring, Bataviasche Kunstkring, Indische Schilders, Bond van Kunstkringen, dan sebagainya. Kelompok ini sering menyelenggarakan pameran di Nederlands Indische Kunstkring, Bataviasche Kunstkring, Hotel des Indes firma kolff & Co, dan toko buku Vister. Selain mengadakan pameran, tugas Kunstkring juga mendatangkan buku-buku atau alat dan bahan melukis. Dari Nederlands Indische Kunstkring inilah pelukis-pelukis Indonesia, seperti S. Sudjojono dan Affandi banyak berkesempatan mendalami dan mengagumi karya-karya seni lukis Eropa, seperti karya lukisan James Ensor dan Van Gogh, yang keduanya merupakan pelopor lahirnya ekspresionisme. Berawal dari pengalaman ini S. Sudjojono beranggapan bahwa “seni adalah jiwa ketok”, sedangkan Affandi menjadi tokoh nomor satu ekspresionisme di Indonesia, dan merekapun berjuang untuk menjadikan seni lukis Indonesia menjadi ekspresif, karena pada dasarnya seni adalah ekspresi. “Potret Diri” Karya Affandi Pandangan tentang seni adalah ekspresi inilah yang menjadikan S. Sudjojono menentang karya-karya seni lukis Mooi Indie, yang para pelukisnya hanya mengabdikan pada keindahan alam Indonesia saja dan kurang tanggap terhadap kenyataan yang ada di sekitarnya yang tidak semuanya indah. Kelompok pelukis asing yang tinggal di

halaman 49


Bali, Rudolf Bonnet bersama Walter Spies dan Cokorde Agung Sukawati mendirikan Pita Maha, yakni merupakan ajang pertemuan antara pelukis-pelukis Bali, khususnya dengan Rudolf Bonnet dan Walter Spies. Dengan mengumpulkan lukisan-lukisan Bali yang baik, yang telah diseleksi bersama oleh Rudolf Bonnet dan Walter Spies, para pelukis Bali diajak untuk memperhatikan karya-karya bernilai tersebut dengan mencalonkannya sebagai isi museum seni rupa di Ubud. Kecuali itu Rudolf Bonnet juga membuka kesempatan bagi mereka yang berhasrat belajar padanya, yakni bagi yang tertarik pada cara penggambaran tubuh manusia dengan memperhatikan segi anatomis yang realistis dan fungsional, untuk diolah ke dalam corak tradisional yang serba garis dan dekoratif sifatnya. “Penari Bali Sedang berhias”, karya Rudolf Bonnet. Maka lahirlah karya-karya lukisan Bali yang baru seperti yang diciptakan oleh Anak Agung Gede Sobrat dan Ida Bagus Made tentang berbagai segi kehidupan sehari-hari, baik yang bersifat profane maupun yang sakral, dengan menampilkan kerja di sawah, berbagai bentuk upacara agama, adat dan keseniannya. Demikian pula pelukis Bali yang memilih tema wayang seperti Ketut Kobot dan Gusti Molog mengalami perubahan cara menyusun komposisi karya-karya wayangnya, dengan lebih memperhatikan ukuran bidang yang ada, supaya lukisannya tidak diisi secara padat sampai nampak berjejal-jejal. Segala pembaharuan tersebut cenderung menambah unsur realismenya. Beberapa judul karya seni pelukis Bali : “Sesajen”, karya Ketut Kobot. “Memotong Made.

halaman 50

Alang-alang”,

karya

I.B.

Dengan demikian pengaruh barat terhadap perkembangan seni lukis di Indonesia cukup efektif. Seni melukis di Indonesia yang semula secara ideoplastik, kemudian berkembang menjadi visioplastik, yakni dimulai dari pengenalan lukisan dari bangsa Belanda berupa hadiah bagi pejabatpejabat Indonesia, serta ilustrasi pada bukubuku sekolah sehingga bisa dilihat oleh rakyat jelata. Berawal dari pengaruh Raden Saleh, semasa belajar di Belanda, tentang lukisan pemandangan alam Indonesia, menjadikan banyak orang Eropa, khususnya Belanda, ingin datang ke Indonesia guna melukis pemandangan alam yang indah itu. Kedatangan mereka memberi wacana terhadap pengembangan pelukispelukis kita, baik melalui “Kunstkring” di Jakarta, maupun “Pita Maha” di Bali, sehingga melahirkan beberapa pelukispelukis kita bergaya naturalisme ataupun ekspresionisme. Munculnya corak baru yang khas dan indah pada lukisan Bali, yang sekarang sering dipandang sebagai judul yang nyata dari salah satu jenis seni lukis modern Indonesia, merupakan hasil dari perpaduan antara kuatnya tradisi seni tradisional Bali dengan pengaruh dari barat yang kuat pula. Sebagai judul adalah gaya lukisan Bali, yakni karya Anak Agung Gede Sobrat berpadu dengan gaya gurunya, Rudolf Bonnet, “Mangkatnya Raja Erlangga”.*** (Red. dari Int. dan berbagai sumber)


Drama

Bulan Bujur Sangkar karya Iwan Simatupang

ADEGAN 1 ORANG TUA (Sibuk Menyiapkan Tiang Gantungan). Kau siap. Betapa megah. Hidupku seluruhnya kusiapkan untuk mencari jenis kayu termulia bagimu. Mencari jenis tali termulia. Enam puluh tahun lamanya aku mengelilingi bumi, pegunungan, lautan, padang pasir. Harapan nyaris tewas. Enam puluh tahun bernapas hanya untuk satu citacita. Akhirnya kau ketemu juga olehku. Kau kutemukan jauh di permukaan laut. Setangkai lumut berkawan sunyi yang riuh dengan sunyinya sendiri. Kau kutemui jauh tinggi. Sehelai jerami dihimpit salju ketinggian, yang bosan dengan putihnya dan tingginya. Kau siap! Kini kau bisa memulai faedahmu! MASUK PEMUDA, BERTAMPANG LIAR, LETIH, DAN MENENTENG MITRALIUR. IA KAGET, MELIHAT TIANG GANTUNGAN DAN ORANG YANG BERDIRI TENANG DI SAMPINGNYA. IA MENODONGKAN MITRALIURNYA.

ORANG TUA Tunggu! Jangan tergesa. Mari kita tentukan dulu tegak kita masing-masing. Agar jangan silap menafsirkan peran kita masing-masing. Yang mematikan atau yang dimatikan. ANAK MUDA Maksud Bapak? ORANG TUA Tingkah laku harus senantiasa sesuai dengan watak yang ingin digambarkan. (Ia bisa mengambil mitraliur dari tangan anak muda) Sifat lahir harus sesuai dengan sifat rohani, agar‌ (Anak muda sadar dan mendepak mitraliur. Terdengar serentetan tembakan). ‌ agar dicapai kesatuan waktu, kesatuan ruang, kesatuan laku. ANAK MUDA Bapak ingin bunuh saya? ORANG TUA Siapa hendak bunuh siapa?

halaman 51


ANAK MUDA Bapak ingin bunuh saya. ORANG TUA Membunuh kau? Aku? Hendak bunuh kau? ANAK MUDA Ya, Bapak hendak bunuh saya! ORANG TUA Mengapa? Dengan alasan apa? Dengan tujuan apa aku harus membunuh kau? ANAK MUDA Jahanam! Alasan! Tujuan! IA MENYERGAP ORANG TUA ITU. ORANG TUA MENGELAK. ORANG TUA Tunggu dulu! Jangan tergesa. Tiap laku harus mentaati suatu gaya. ANAK MUDA Laku? Gaya? Persetan semuanya! Yang penting bagiku adalah kesudahan lakon. Berakhir! Alangkah bahagianya aku bila aku tahu, akulah pembuat keakhiran itu. LAGI IA MENYERGAP. ORANG TUA MENGELAK SIGAP. ORANG TUA Maksudmu? ANAK MUDA Lakon Bapak berakhir kini! Kini! Akulah yang mengakhirinya. ORANG TUA Lakon tak dapat diakhiri, tapi mengakhiri diri sendiri. Tenaga lakon sudah hadir dalam dirinya, sejak semula. Adegan demi adegan, babak demi babak.

ANAK MUDA Tapi, sekali ia toh mesti tamat? ORANG TUA Tamat? Betapa kerap tamat justru berarti permulaan? Pengarang melukiskan pada akhir lakonnya kata-kata “layar turun”. Apa nyatanya? Layar turun, ruang pertunjukan terang kembali. Barulah lakon sesungguhnya mulai bagi penonton. Ia pulang ke rumah, meletakkan dirinya di ranjang untuk menggoreskan titik ke dalam kelam biliknya. Apa selanjutnya terjadi, sesudah layar turun untuk kali penghabisan tadi? ANAK MUDA Tanya yang bukan tanya; bila “tamat” berarti “mati”. Ha ha ha. Apa yang terjadi sesudah mati? Tentu tak apa-apa, sebab mati adalah keakhiran mutlak. MENYERGAP. Mutlak! ORANG TUA Alangkah simpelnya, menganggap mati sebagai keakhiran mutlak. Kata siapa? Lihat setiap agama, satu per satu mereka memperoleh rangsang asasinya dalam rumus “Maut sebagai Awal mutlak”. ANAK MUDA Kesudahan dan kemulaan, sama saja. Pokok. Mutlak. ORANG TUA Apa maksudmu dengan “Maut Multak” itu? ANAK MUDA Lawan dari “Kehidupan Mutlak”. ORANG TUA Maksudmu?

halaman 52


ANAK MUDA Kita. Bapak, aku. Aku yang hendak bunuh Bapak. ORANG TUA Sedang tadi? ANAK MUDA Tadi? Tadi ‌ Bapak yang hendak bunuh aku. ORANG TUA Bagus! Bagaimana hal ini dapat kau jelaskan? ANAK MUDA Entah. Mungkin karena waktu. ORANG TUA Karena waktu? Maksudmu? ANAK MUDA Kelanjutan waktu mengantar Bapak ke taraf di mana kematian bagi Bapak bukan tak mungkin menjadi kenyataan. PAUSE. Tapi karena taraf itu ikut dalam kelanjutan waktu, maka kematian Bapak itu mengantar dirinya sendiri ke muka. Di sini ia sudah bukan kematian lagi. ORANG TUA Bukan kematian lagi? Lalu apa? ANAK MUDA Kematian Bapak mengimbangi dirinya sendiri. ORANG TUA Lalu? ANAK MUDA Kematian Bapak menjadi kehidupan. ORANG TUA Kematianku menjadi kehidupan? Oh, alangkah indahnya kematian kalau begitu.

MEREKA BERPELUKAN. ANAK MUDA Ini tiang gantungan. Bukankah begitu, Pak? ORANG TUA Seperti kau lihat. Indah, bukan? ANAK MUDA Punya siapa? ORANG TUA Saya ANAK MUDA Sendiri? ORANG TUA Ya, sendiri. ANAK MUDA Bapak seorang algojo? ORANG TUA Jelaskan dulu, apa yang kaumaksud dengan algojo itu?! ANAK MUDA Pelaksana hukuman mati, kalau tidak salah. ORANG TUA Dari mana kau menarik kesimpulan bahwa aku punya sangkut paut tertentu dengan hukum, dengan hukuman, dan terlebih dengan hukuman mati?! Aku tak menyukainya! ANAK MUDA Kalau begitu, apakah arti tiang gantungan ini? Fungsinya? ORANG TUA Kau telah mengatakan setepatnya Fungsi! Apakah mesti sama arti fungsi dengan mencipta perbedaan antara sesama manusia? Yang menghukum

halaman 53


lawan yang dihukum, yang menggantung lawan yang digantung. ANAK MUDA Saya tak mengerti lagi. Bapak dirikan tiang gantungan. Tentu maksud Bapak nanti akan ada seseorang atau lebih yang digantung di sini, hingga mati. Bukankah begitu? Saya tak dapat menerima anggapan, Bapak dirikan tiang gantungan di kaki gunung sini sekadar iseng saja atau sekadar menggantung orang hingga separuh mati saja. ORANG TUA Tentu saja tidak. Tiang gantungan ini merupakan mahkota cita-cita yang dianut sepanjang suatu hidup penuh, 60 tahun. Dari semula sudah sejelasnya tafsiran ini pada diri saya. ANAK MUDA Apakah tafsiran itu? ORANG TUA Bahwa pada mulanya, pada akhirnya, hidup adalah maut juga. ANAK MUDA Sungguh menarik. Sungguh menarik. Tapi, apakah ini Asli? ORANG TUA Tidak. Bahkan sudah sebaliknya, Basi. ANAK MUDA Jadi penganut cita yang Basi? Adakah ini sesuai dengan apa yang disebut sebagai Cita? ORANG TUA Tidak. Oleh sebab itulah aku merencanakan sesuatu yang asli padanya. ANAK MUDA Apakah itu?

halaman 54

ORANG TUA Mempraktekkannya. ANAK MUDA Caranya? ORANG TUA Mematikan yang hidup, sudah tentu. ANAK MUDA Ha ha ha. Apakah ini juga Asli? Saya khawatir, Bapak sedemikian menggolongkan diri ke dalam barisan pembunuh-pembunuh yang memenuhi penjara-penjara. Sedangkan Bapak adalah Seniman. Seorang seniman besar! ORANG TUA Tentu saja aku tak ingin menyamakan diri dengan mereka. Tidak. Sungguh tepat penamaan yang kauberi tadi. Pembunuhan yang kurencanakan ini adalah seni. Ya, aku seniman. Seniman besar. ANAK MUDA Akan jadi seniman. ORANG TUA Kau benar. Akan jadi seniman. ANAK MUDA Dan bila bapak berniat benar? Jadi seniman itu? ORANG TUA Pada saat ia, yang hidup, yang akan kumatikan, menyatakan kehadirannya padaku. ANAK MUDA Ia Bapak gantung begitu saja. ORANG TUA Maksudmu? ANAK MUDA Tanpa basa-basi lebih dulu? Tanpa tanya apa rela ia dimatikan?


ORANG TUA Tentu! Tentu. Ia tak akan menolak. Segalanya punya taraf. ANAK MUDA Bapak yakin ia akan menjawab “Ya.” ORANG TUA Tentu ANAK MUDA Alasannya? ORANG TUA Kau bertanya alasannya? ANAK MUDA Ya, alasannya! ORANG TUA Oleh sebab itu ia, seperti kukatakan tadi, dari semula adalah maut. ANAK MUDA Ia pasti tak akan ajukan protes? Protes terhadap subtitusi kedua kondisinya itu? ORANG TUA Aku tak melihat alasan kuat yang menyebabkan ia mesti protes terhadap kematiannya. ANAK MUDA Menurut Bapak, bukan tak mungkin saya korban itu. ORANG TUA Ha ha ha. Bukan tak mungkin! ANAK MUDA Adakah saya akan menjawab “Ya.” ORANG TUA Pertanyaan ini untukku atau untukmu? ANAK MUDA Menurut Bapak? ORANG TUA Untuk kau sendiri.

ANAK MUDA Bila saya menjawab “Tidak.” ORANG TUA Ya atau Tidak, sama saja bagiku. Yang penting nilainya! Kematian berguna bagi aku. Sederhana, bukan? ANAK MUDA Bapak ingin memaksa saya? Ini membunuh saya namanya. Sedang rencana Bapak itu bertolak dari kemauan bebas. ORANG TUA Bukankah Maut adalah Pembebasan? ANAK MUDA Kebebasan maksud Bapak? ORANG TUA Apa bedanya? ANAK MUDA Kebebasan –dari semula. Pembebasan, masih harus lagi. ORANG TUA Ah, sama saja. Lagipula bagaimana mungkin Maut dapat digambarkan sebagai sifat Semula? ANAK MUDA Soal ini bagi saya atau Bapak? ORANG TUA Menurut kau untuk siapa? ANAK MUDA Untuk Bapak. ORANG TUA Pertanyaan itu bukan soal. ANAK MUDA Sungguh suatu Soal. Itulah hakikat cita Bapak itu. Oleh sebab ituh saya protes terhadapnya. Ia dapat dijadikan dalil kesewenangan.

halaman 55


ORANG TUA Ha ha ha. Apakah anak hendak meyakinkan aku? Tampang kau dengan rambut panjang kusut begini, dengan pakaian rimba, dengan senjata pencabut nyawa, dengan dua mata yang menyinarkan keadaan di perbatasan dua bumi, dengan nada-nada suara yang mendambakan penjungkiran seluruh alam. Bukankah ini tampang seorang anarkis? ANAK MUDA Kesenangan tidak sama dengan Anarkis.

ORANG TUA Apa kau kira hakikat tiang gantungan ini? (Di kejauhan terdengar tembakan, disusul suara-suara. Salah satunya menyerukan perintah) “Mat! Kau tempuh jalan yang mendaki lereng gunung itu. Mungkin ia mendaki. Mungkin ia menempuh itu. Begitu kau lihat dia, tembak! Kita akan bertemu di lereng sana.” (Suara lain) “Saya, Pak.”

ORANG TUA Tapi sama-sama memuja kemutlakan tiada batas. ANAK MUDA Dapatkah penampikan batas dicerca, bila batas sudah tidak dapat lagi dialami sebagai jaminan mungkinnya keyakinan dan khayal? ORANG TUA Dicerca mungkin tidak, tapi dikasihani mungkin ya! ANAK MUDA Bapak lebih buas dari sangkaku semula. ORANG TUA Mengapa? Karena aku tak dapat meyakini citamu yang mencari batas di tempat persembunyiannya, di keterasingan tingginya pegunungan? Tidak, nak. Aku tak ada melihat kebulatan caramu itu. Pada hakikatnya kau adalah penganut batasan juga. Penganut tata tertib, tata krama, tata negara. ANAK MUDA Bapak tidak?

halaman 56

LALU SUARA-SUARA ITU MENDEKAT. ANAK MUDA Nah, Pak. Para pemuja batas itu sudah menyusul aku. Aku mesti pergi lagi. Mereka belum boleh mendapatkan aku. Selamat tinggal algojoku. ORANG TUA Mengapa batas yang kaucari itu, tak ingin kautemui saja pada tali ini. Ia terbuat dari tali jenis bangsawan. Dari bawah salju puncak tertinggi di dunia. Lekas! Waktu tak banyak lagi bagi kau. ANAK MUDA Tidak, Pak! Pun tali ini terlalu lurus. Terlalu licin seperti tata tertib, tata krama, tata negara. Batas yang kau cari itu menolak tiap yang lurus, yang licin, yang bagus, yang sopan, yang indah, yang beradab, yang berkebudayaan. DERAP SEPATU MAKIN MENDEKAT. ANAK MUDA Jangan menangis, Algojo; ingat, tingkah


laku harus sesuai dengan…. ORANG TUA … dengan watak yang ingin dilukiskan ANAK MUDA Bagus! Bagus! Buat apa menangis; Ayo berpestalah! Berhari besarlah! Rayakan keberangkatan suatu watak ke kerajaannya. Kerajaan dari tiada batas. ORANG TUA Ya, pesta hari besar. ANAK MUDA Selamat tinggal. ORANG TUA Watak, Besar. ADEGAN II SUARA SEPATU MENDEKAT. TEMBAKAN. PERGULATAN. LANTAS SENYAP. PANGGUNG TERANG. PADA TIANG GANTUNGAN TERAYUN-AYUN MAYAT BERPAKAIAN DINAS, LENGKAP DENGAN SENJATANYA. ORANG TUA Hari Besar. Hari ini aku merayakan berangkatnya suatu watak besar ke kerajaan tiada batas. Watak kecil harus selamat tinggal. Peranannya terdiri atas cuma mengucapkan kata-kata “Selamat tinggal!” saja. Sesudah itu ia mesti menghilang lagi. Lari ke belakang layar, terus ke jalan raya. Di situlah wajahnya. Sesekali ia memperkenankan dirinya libur ke kakilima-kakilima, menyorakkan “eli eli lama sabachtani” kepada setiap orang yang lalu, yang berangkat.

tak lagi puas dengan ukuranmu yang kecil. Kau ingin memperbesarnya dengan menyatukan diri dengan pengertianpengertian, seperti “mengejar”, “memburu”. Darimana kauperoleh hak berbuat demikian, sedang “mengikut” saja tak pernah kaulakukan? Tidak, Pahlawan. Mengejar, bahkan mengikuti dari belakang adalah hak-hak istimewa yang hanya dikaruniakan dewadewa kepada mereka yang sudah mengalami kenikmatan berangkat. Dari mengucapkan “selamat tinggal”. Tahukah kau, bagaimana sikap seseorang yang berangkat? Ia menjabat tangan-tangan kerdil kotor dan berbau kesetiaan harian dari mereka yang tinggal. Bila perlu, ini dilakukannya dengan iringan senyum palsu di mulutnya. Senyum ini perlu untuk menenteramkan mereka agar sabar dengan hasilnya. Kedok seperti ini perlu bagi mereka yang tinggal. Sebab segera ia berangkat, manusia-manusia yang tinggal ini meletuskan perang saudara. Kedok itu mereka perebutkan. Bila Magrib tiba, pulanglah mereka ke rumahnya masing-masing. Sambil membaca mantera-mantera dan jampijampi, mereka gulung sobekan-sobekan kedok tadi menjadi azimat. Azimat baru! Bila anjing melengkingkan gonggongan terakhirnya, mengantar binatang berangkat dini hari, dengan rahasia digoreskannyalah sebuah kata pada azimat itu. (Kepada mayat.)

(Pause).

Tahukah kau, Pahlawan! Kata apa? “Selamat Tinggal!” Ha ha ha. “Selamat Tinggal!” Tapi aku telah hindarkan penggulungan azimatmu.

Itulah duka ceritamu, Pahlawan. Kau

(Memegang jari mayat).

halaman 57


Tangan dan jari-jayang kaubikin kasar bentuknya dengan kesibukan mengejar dan mencabut nyawa ini, tidak perlu kausiksa lebih lama lagi dengan memegang kalam untuk menuliskan “Selamat Tinggal!” Ha ha ha. Aku telah muncul di panggung. Berangkatmu dari bumi adalah berangkat tanpa selamat tinggal. Berangkat yang human, humanitis, psikologis, social paedagogis, sosiologis, ekonomis; berangkat yang prosais, puitis, liris, ritmis. (Pause) Berangkat yang hina. Tanpa rasa puas dari seorang yang telah memperolokkan orang lain; memperolokkan masyarakat; memperolokkan umat manusia. Berangkatmu adalah persis jatuhnya cangkir yang sudah punya retak, diletakkan tak hati-hati di pinggir meja. Kau jatuh berserakan. Nyonya rumah menjawab tuan rumah “O, hanya mangkok yang sudah retak itu, Pak; ia toh sudah lama hendak kubuang saja.” Tahu apa kata tuan rumah? “Bagus. O, Mien. Bawakan aku lagi teh secangkir, tapi dalam mangkok porselin yang baru kita beli itu, hmm?” Kau dicampakkan dalam tong sampah oleh seorang babu pengomel. Ha ha ha. Tong sampaj! Selamat tinggal. Ha ha ha. SEORANG PEREMPUAN MASUK. USIANYA LEBIH KURANG 25 TAHUN. WAJAHNYA KUATIR, LETIH. MELIHAT MAYAT DIGANTUNG IA TERKEJUT. ORANG TUA MELIHATNYA, TERUS TERBAHAK, DAN SESEKALI MENERIAKKAN “SELAMAT TINGGAL!” PEREMPUAN Selamat petang! halaman 58

ORANG TUA Selamat.... PEREMPUAN ... petang! ORANG TUA Siapa kau? PEREMPUAN Aku? ORANG TUA A.... PEREMPUAN ... ku! DI KEJAUHAN TERDENGAR LETUSANLETUSAN SENAPAN, SAHUT MENYAHUT. SESUDAH MITRALIUR BERUNTUN, IA TAMPAK LEGA. SAMBIL MENGUCAPKAN SYUKUR, IA TERISAK-ISAK. MENANGIS. ORANG TUA Syukurlah, ia masih hidup. Teriakannya yang terakhir tadi belum akhir baginya. Akhirnya ia sampai juga ke kerajaannya. PEREMPUAN Bapak mengenalnya. ORANG TUA Siapa tak mengenalnya!? Itulah cacat dari tiadanya batas. Garis yang membulatkan diri kita tak ada. Kita hanya lobang saja di udara. PEREMPUAN Ia singgah di sini? ORANG TUA Di mana dia tak singgah? Lobang ada di segala, ada di tiada. Baginya tak ada perairan. Teritorial. Ia dapat berlabuh di mana ia suka. Yang penting baginya


adalah singgah. Itu pengertian gaib antara Tiba dan Berangkat. PEREMPUAN Bila ia tiba di sini? ORANG TUA Pada saat ia berangkat lagi. PEREMPUAN Bila ia berangkat dari sini? ORANG TUA Pada saat ia hendak tiba lagi. PEREMPUAN Ia baru saja dari sini. Baunya masih mengendap di sini. Bagaimana rupanya kini, Pak? Kuruskah? Gemukkah? Masih utuhkah tubuhnya? Belum pincang? Tuli? Buta? Adakah masih tahi lalat pada keningnya atas alis matanya sebelah kiri? Tahi lalat sebesar biji delima? Tahi lalat berwarna ungu tua, sandaran bibirku di kala rindu. Tahi lalat, bukit dalam impianku, dari balik mana Bulan Bujursangkar terbit. Tapi kini, kebun belakang rumah kami habis dirusak babi hutan berturunan dari pegunungan. Delima habis mereka injak-injak, bijinya berserakan. Bulan Bujursangkar tak muncul lagi. Ke mana bibirku harus kusandarkan? ORANG TUA Ke mari.

PEREMPUAN Adakah yang lebih jelek daripada Garis Lurus? Bibir yang mencari sandaran pada tiang gantungan adalah Garis Lurus. ORANG TUA Mengapa? PEREMPUAN Bibir mayat. Hendak ke mana segalanya yang serba lurus ini mengunjuk? ORANG TUA Hampir lupa aku, kau adalah tunangannya. (Menunjuk gunung di kejauhan). Tunangan seorang penantang yang serba lurus. PEREMPUAN Cinta kami bukan pertemuan Dua Garis Sejajar. ORANG TUA Tentu. Kau bukan pencipta Ilmu Ukur baru. PEREMPUAN Cinta kami bukan persilangan ORANG TUA Bukan Salib?! PEREMPUAN Bukan! Bukan Salib! Sama sekali bukan Salib! ORANG TUA( mengejek). Salib adalah cinta dengan huruf besar. PEREMPUAN

MENUNJUK TIANG GANTUNGAN.

Kata siapa?

PEREMPUAN

(Orang tua hendak menjawab).

Agar ia menjadi bibir yang hilang montoknya, hilang merahnya? ORANG TUA Apa kurangnya bibir yang tak punya sifat-sifat yang kausebut itu?

Cinta di seberang sana dari Maut. ORANG TUA Coba sebutkan perasaan besar manusia, yang bukan tegak di seberang sana dari maut.

halaman 59


PEREMPUAN Kata siapa kita mesti menyeberang? ORANG TUA Mesti tidak! Tapi sebaiknya! PEREMPUAN Sebaiknya? Adakah tiang gantungan ini bapak dirikan berasas Susila yang dikandung pengertian “Sebaiknya� ini juga? Saya kuatir, sampai kiamat tak akan ada orang yang Bapak gantung. ORANG TUA ( menunjuk mayat. ) Dan ini? PEREMPUAN Ia Bapak paksa, Bapak bunuh! ORANG TUA Kata siapa? PEREMPUAN Kesimpulan satu-satunya yang dapat ditarik dari keadaan di sini. ORANG TUA Kau hamba logika. PEREMPUAN Justru algojonya. ORANG TUA Jadi, menurut pendapat kau, akulah pembunuh pahlawan kita yang mencoba melakukan tugasnya ini? Begitulah jadinya, kalau kau terlalu lama jadi ditelan filsafat. PEREMPUAN Bapak rupanya sarjana, ya? ORANG TUA Persetan sarjana. Kesarjanaan! Ha ha ha. Mari kita bangun kembali peristiwa ini. (Menunjuk mayat). Ia datang ke mari untuk apa?

halaman 60

PEREMPUAN Melakukan kewajibannya. ORANG TUA Bagus. Bagaimana ia kini? PEREMPUAN Mati digantung. ORANG TUA Bagus. Apa kesimpulannya? PEREMPUAN (sinis) Berkewajiban berarti dibunuh. ORANG TUA Bagus! Bagus! PEREMPUAN Adakah penolakan terhadap kesarjanaan itu berarti Bapak lalu menganut kepurapuraan. ORANG TUA Persetan Sofisme. Pahlawan kita ini harus berterima kasih padaku. Ia telah kubebaskan dari peranannya yang pelik. Yakni mempunyai kewajiban. Kewajiban membuat kita terlalu sadar akan diri sendiri. Kita menjadi angkuh. Bila ukuran watak yang mendukungnya tak seberapa, maka celakalah. Kewajiban itu lalu menjadi bentuk tertentu dari kesewenangan. Ya, tunanganmu tadi menolak dalilku yang menyatakan bahwa kesewenangan sama saja dengan Anarki. PEREMPUAN Tapi.... ORANG TUA Tunggu. Ha ha ha. Mengapa aku hampir lupa, cinta kadang-kadang berarti kesamaan-kesamaan. Dalilku tak mengandung arti meremehkan Anarki maupun kesewenangan. Aku hanya ingin mengemukakan hierarki dari pengertian-


pengertian saja. Anarki hanyalah sebagian kecil dari kesewenangan. PEREMPUAN Atau sebaliknya? ORANG TUA Tidak. Hingga kini, anarki hanya dapat mempertahankan dirinya lewat rasa tal puas, lapar, rapat-rapat rahasia, sabotase, peledakan-peledakan bom waktu, dan penyebaran pamfletpamflet gelap. Penghadapan wajah ke bawah tanah inilah yang senantiasa tak dapat kusetujui. Bagaimana bahagia di atas tanah dapat diperjuangkan di bawah tanah? Tidak! Bahagia adalah juga masalah sinar matahari. Masalah harmoni. PEREMPUAN Bapak seorang klasikus juga.

PEREMPUAN Mengapa?! ORANG TUA Modernisme juga cuma satu istilah saja. PEREMPUAN Apakah kalau begitu paham Bapak? ORANG TUA Ketiada-namaan, yang mencoba sinonimnya pada tiang gantungan. SUARA-SUARA RIMBA, TANDA PETANG MENJELANG. AGAK DEKAT, ALUNAN SERUNAI MEMAINKAN SEBUAH LAGU RAKYAT YANG SANGSAI. SESEKALI SERUNAI ITU BERHENTI, LALU TERDENGAR SUARA GEMBALA KECIL, 15 TAHUN UMURNYA, MENYERU-SERUKAN DOMBANYA AGAR TIDAK TERLALU JAUH.

ORANG TUA Karena harmoni yang kukatakan itu? Aku bahkan terus bertarung melawan klasikisme. Aku ingin memancungnya bila saja, di mana saja kutemui. PEREMPUAN Mengapa? ORANG TUA Karena ia memperkenankan dirinya menciptakan pada manusia kini rasa asing terhadap dirinya sendiri. Masa kita kini adalah masa yang justru mengabdi kepada yang serba tak harmonis. Disharmoni. Demikian ibadah zaman baru. Lihat saja seni ... musik modern, sastra modern, drama modern. PEREMPUAN Bapak seorang modernis? ORANG TUA

PEREMPUAN Siapa itu? ORANG TUA Harmoni. PEREMPUAN Menyatakan dirinya lewat siapa? ORANG TUA Seorang gembala cilik. Tiap hari ia ke lereng gunung ini menjagai dombadombanya. Anak haram jadah?! PEREMPUAN Mengapa Bapak marah?!! ORANG TUA Sawangku menjadi olehnya. PEREMPUAN Karena nada-nada serunai itu terlalu harmonis?

Tidak!

halaman 61


ORANG TUA Ya, setiap kali ia kudengar, aku selalu dan seolah dihadapkan dengan sebuah lukisan yang oleh suatu prasangka tertentu dalam diriku tak kusukai. PEREMPUAN Adakah lukisan itu jelek? ORANG TUA Tidak. PEREMPUAN Warna-warnanya barangkali tak sesuai? Pelukisnya tak tahu membagi bidang? Tak pernah mempelajari psikologi dalam filsafat warna? Bingkainya barangkali terlalu menyolok! ORANG TUA Ia sama sekali tak berbingkai. PEREMPUAN O, jadi, lukisan yang bertemakan keabadian? ORANG TUA Bukan! Bukan! Bukan!

ORANG TUA Sorga. PEREMPUAN Alasan Bapak? ORANG TUA Terlalu damai. PEREMPUAN Alasan Bapak. ORANG TUA Tanpa konflik. (Suara serunai. Sesekali gembala menyeru dombanya. Orang tua gelisah). Stop! Hentikan! SERUNAI TERHENTI. ORANG TUA BINGUNG. SERUNAI MULAI LAGI. TERHARU, DIAM-DIAM PEREMPUAN PERGI ADEGAN III ORANG TUA BERHENTI MENANGIS.

PEREMPUAN Siapa pelukisnya? ORANG TUA Aku tak tahu. PEREMPUAN Dugaan Bapak? ORANG TUA Aku tidak tahu. PEREMPUAN Tentang apa lukisan itu? ORANG TUA Aku tidak tahu. PEREMPUAN Dugaan Bapak?

halaman 62

ORANG TUA Haaaaai!!! (Gaung bersahutan.) Haaai! Siapa perempuan muda tadi. Ia cuma menyebut dirinya Aku. Haai Akuuu!! (Gaung kembali bersahutan). Ke mana ia pergi? Mengapa ia pergi? Bodoh aku ini. Kubiarkan ia pergi. Sedang kesempatan sudah begitu bagusnya. Aku ngomong saja tentang lobang, peraturan teritorial, tahi lalat, warna ungu tua, bulan bujursangkar, delima, celeng, ilmu ukur baru. Ia perempuan cantik. Begitu cantik. Buah dadanya, buah dadanya! Ia akan


kurebahkan di sini. Ah, peduli apa kalau pun ada orang melihatnya. Dan apabila ia meronta? Tentu saja ia meronta Ronta keperawanan. Tiap terjang tumitnya di dadaku ini, merupakan medali cinta tertinggi bagiku. Kebetinaan harus ditemui di balik kerusakan. Di balik kutang dan celana sutra yang dirobek paksa. Di balik rintih penyerahan tubuh dengan paksa. Tanpa kekerasan segalanya hanya akan menjadi masalah garis lurus. Mengapa aku harus enggan memperkosanya? Aku, yang sudah berusia 60 tahun. Yang tak pernah berani membuka hatiku kepada kejelitaan jenis betina dari umat manusia. 60 tahun adalah usia yang patut diakhiri. Atas kehendak bebasku, siapa sanggup melarangnya? Seperti juga, siapa yang sanggup melarang aku memperkosa perempuan tadi, andai ia masih di sini sekarang. Dan mesti dia orangnya. Gadis, remaja, jelita, cendekia, jenial, setia, penuh cita-cita. Pendeknya perempuan sempurna. Dan dia ini tunangan dari pemuda sempurna. Lakilaki sempurna. Gagah, tampan, jujur, berani, berperadaban jasmani dan rohani yang tinggi, suka malam sunyi dengan gonggong anjing di kejauhan. Suka memandangi bintang-bintang. Suka puisi, suka drama, suka segala yang indah. Pendeknya laki-laki sempurna, Perempuan sempurna dengan laki-laki sempurna. DI KEJAUHAN TERDENGAR LETUSANLETUSAN SENAPAN. LANTAS DIBALAS SEBUAH MITRALIUR. LANTAS SORAK KEMENANGAN.

ORANG TUA Sempurna. (Terdengar Serunai). Gembala jahanam. Stop! Hentikan! (Serunai Berhenti). Akhirnya ia berhenti juga. Akhirnya ada manusia yang mematuhi aku. Berhentiiii. (Gaung Bersahutan). Nah, aku kini beroleh titik mula. Hai bimbang, enyah kau! Serunai dan gembala telah tunduk. Aku kini mulai dengan babak pertama pelaksanaan citaku. Apa kata filsuf Perancis yang kenes itu? Cogito... Persetan bahasa latin. Biar kucoba dengan bahasa ibuku sendiri. Aku membunuh oleh sebab itu aku ada!!! Nah, itu dia. Aku membunuh oleh sebab itu aku ada! Ayo para sarjana, catat filsafat baru ini. Lekas tulis bukubuku pengantar tentangnya. Filsafat sekarang adalah “Filsafat pengantar filsafat� saja. Itulah daya maksimum manusia – pengantar. Mengantar hingga sampai pintu tertutup saja. Apa di balik pintu tertutup itu? Kamar kosong. Pada kuncinya tersangkut sobekan kertas karton kecil dengan tulisan eli eli lama sabachtani. Ha ha ha. Eli eli lama sabachtani. SUARA SERUNAI KEMBALI. ORANG TUA BERHENTI TERTAWA. GEMBALA KECIL MUNCUL, IA KAGET MELIHAT MAYAT TERGANTUNG, DAN HENDAK PERGI. ORANG TUA Ada apa, Nak?

halaman 63


GEMBALA Ada prajurit. Banyak prajurit! Mereka mengusung sebuah mayat. ORANG TUA Mayat? Mayat siapa? GEMBALA Seorang laki-laki. ORANG TUA Pemuda? Rambutnya panjang? Pakaiannya macan loreng? Tahi lalat atas alis sebelah kiri? Berwarna ungu tua? Di mana ia sekarang? GEMBALA

GEMBALA PERGI DIAM-DIAM. SUARA BELANTARA MAKIN RAMAI. ORANG TUA (Berbisik). Babi hutan berturunan dari pegunungan. Buah delima habis mereka injak-injak. Bulan bujursangkar tak terbit lagi. Tak terbit lagi. PAUSE. Aku membunuh, oleh sebab itu aku ada. Aku yang menyumbangkan bab terakhir pada ilmu filsafat. Haai sarjana-sarjana filsafat, catat ini Aku membunuh, oleh sebab itu aku ada.

Di sana. ORANG TUA Beristirahat?

SAYUP-SAYUP SUARA SERUNAI. LAGU RAKYAT. AMAT SANGSAI.

GEMBALA Bukan. Menurunkan mayat lain dari pohon.

ORANG TUA MENGAKHIRI HIDUPNYA. Aku membunuh, oleh sebab itu aku ada.

ORANG TUA Mayat lain? Mayat siapa? GEMBALA Seorang perempuan yang menggantung dirinya di atas pohon. ORANG TUA Bagaimana rupanya? GEMBALA Ia telanjang. ORANG TUA Telanjang? GEMBALA Pakaiannya dirobek-robek jadi tali gantungannya. ORANG TUA Apakah ia masih gadis? Buah dadanya! Buah dadanya!

halaman 64

PANGGUNG GELAP (Red. Sumber Internet Disalin dari Majalah Siasat Tahun XIV No 667, 23 Maret 1960).


halaman lxv


halaman lxvi


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.