Edisi203

Page 1

Dari Sinilah Mengalir Sastra Dunia! (Henri Chambert-Loir)

Esei:

Pendendangan Lagu Syair Keagamaan oleh SPN Zuarman Ahmad Suluh:

Pengaruh Persia Pada Sastra dan Seni Islam Nusantara Cerita-Pendek Terjemahan: Tamu oleh Albert Camus Cerita Pusaka:

Putri Pinang Masak (Asal Usul Suku Talang Mamak) Cerita-Pendek:

Khabar Terakhir Anneke Dijkstra oleh Dantje S Moeis Sajak:

Sonny H. Sayangba!, Afriyan! Teropong:

Sinopsis Budaya Talang Mamak Indragiri-Hulu (Kahasanah Budaya Melayu Nusantara) Tokoh:

Harry Toledo Bassist Jazz Asal Riau Fes!val Hari Puisi Indonesia 2015

203 - AGUSTUS 2015

www.majalahsagang.com halaman KULITi


halaman KULI KULITii LITi LI Tii Ti


Penerbit: PT Sagang Intermedia Pers SIUPP No. 492/MENPEN/SIUP/1998 ISSN: 1410-8690 Alamat redaksi: Gedung Riau Pos, Jalan HR Soebrantas KM 10,5, Pekanbaru 28294, Riau, Indonesia Telepon Redaksi: (0761) 566810 Tata usaha dan Pemasaran: (0761) 566810, Faksimili (0761) 64636 www.majalahsagang.com e-magazine Harga (Edisi Cetak) Rp 50.000,No. 203 l AGUSTUS 2015 l tahun XVII

'Women III' karya willem de Kooning. Sumber Int.

Daftar Isi n Indonesia Raya ................................... 2 n Esei Pendendangan Lagu Syair Keagamaan oleh SPN Zuarman Ahmad ..................... 3 n Suluh Pengaruh Persia Pada Sastra dan Seni IslamNusantara ..................... 10 n Cerita-Pendek Terjemahan Tamu oleh Albert Camus ...................... 14 n Cerita pusaka Putri Pinang Masak (Asal Usul Suku Talang Mamak) ..........29 n Cerita-Pendek Khabar Terakhir Anneke Dijkstra oleh Dantje S Moeis ..............................34 n Sajak - Sonny H. Sayangbati ........................... 41 - Afriyanti ..............................................48 n Teropong Sinopsis Budaya Talang Mamak Indragiri-Hulu (Kahasanah Budaya Melayu Nusantara) ............................... 57 n Tokoh Harry Toledo Bassist Jazz Asal Riau ....60 n Festival Hari Puisi Indonesia 2015.......63

Perintis: Rida K Liamsi l Pemimpin Umum: Armawi KH l Wakil Pemimpin Umum: Kazzaini Ks, Sutrianto l Pemimpin Perusahaan: Dra. Erda YulďŹ l Pemimpin Redaksi: Kazzaini Ks l Wakil Pemimpin Redaksi: Zuarman Ahmad l Redaktur: Dantje S Moeis, Zuarman Ahmad, Kazzaini Ks, Fedli Aziz, Sutrianto, Murparsaulian, Armawi KH l Pra cetak: Rudi Yulisman l Ilustrator Tetap: Purwanto l Manager Keuangan: Erda YulďŹ . Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa esei, kritik seni, resensi buku, laporan dan tulisan budaya. Foto seni, sketsa, karya puisi dan arus menyertakan fotokopi aslinya. Pengiriman naskah harus menyertakan keterangan alamat yang jelas. Karya dikirim ke e-mail: puisisagang@yahoo.co.id, cerpensagang@yahoo.co.id, eseisagang@yahoo.co.id, umumsagang@yahoo.co.id. Karya termuat diberikan honorarium yang padan.

halaman 1


Tajuk

Indonesia Raya ALAM buku Analisis Musik Indone Indonesia (1986: 49-56) yang saya beli bel di Solo dengan harga Rp. 2.500,- Amir Pasaribu mengkritik (Japi Tambyong: 1992, memilih kata menuduh) lagu kebangsaaan Indonesia (Nation Anthem) gubahan Wage Rudolf Supatman sebagai karya plagiat, yakni hampir serupa dengan lagu Pinda-pinda Lekka-lekka dari Belanda atau Boola-boola dari Amerika Serikat. Saya baru dapat mendengarkan lagu Pinda-pinda Lekka-lekka dan lagu Boolaboola ini di “alam maya” (internet) setelah lebih-kurang tigapuluh tahun, dan jika orang yang belajar musik secara akademis yang mengenal Ilmu Bentuk Musik (Music Form) akan dapat mengkaji serta merasakan bahwa lagu kebangsaan Indonesia ini tidaklah sejatinya karya murni, juga tidak lahir dari pengkajian dan penggalian dari batang tubuh bumi dan budaya Indonesia, sebagaimana halnya Panca Sila yang memanglah sudah tepat karena digali dari laku dan budaya nusantara (Indonesia). Karena itu, pada tahun 1944 (setahun sebelum kemerdekaan Indonesia) Ir. Sukarno membentuk panitia untuk meninjau dan memeriksa ulang kembali lagu Indonesia Raya, meskipun pada tahun 1953 setelah kemerdekaan Indonesia, masih terasa juga kekurangan pada lagu kebangsaan Indonesia, karena itu 1948 Sukarno mengusulkan untuk keduakalinya mengkaji ulang kembali namun tidak pernah terjadi. Akhirnya, dengan segala kekurangan-kekurangan,

halaman 2

terutama dalam segi kalimat atau katakata lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya tetaplah dalam hasil keputusan panitia, 8 September 1944, yang terdiri dari 4 pasal yang menjadi ketentuan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya hingga sekarang. Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku Di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku Marilah kita berseru: Indonesia bersatu Hiduplah tanahku, hiduplah negriku Bangsaku, rakyatku, sem’wanya Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya Untuk Indonesia Raya (Ulangan): Indonesia Raya, merdeka! Merdeka! Tanahku negeriku, yang kucinta Indonesia Raya, merdeka! Merdeka! Hiduplah Indonesia Raya. Pada Ulang-tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-70 Agustus 2015 ini, adakah yang berani hendak mengkaji dan meninjau ulang lagu kebangsaan Indonesia Raya? Atau sebagaimana alternatif yang diusulkan oleh Amir Pasaribu (alm), lagu Indonesia Subur gubahan Engku Syafi’I Kayu Tanam. Hiiiii, aku tak ikutlah, tak muda lagi, tak telap lagi tidur di lantai semen atau di lantai tanah tanpa alas kasur. ***


Esei

Pendendangan Lagu Syair Keagamaan* oleh SPN Zuarman Ahmad**

”Sajak-sajak akan lebih berbicara jika ia mencantumkan melodi pada sajak-sajaknya itu.” ”Im Anfang war der Rhythmus”. (Wilhelm Muller) ”Pada awalnya adalah irama” (Hans von Bulow) ”Penyair maupun musikus hanya mengenal irama dan untuk mereka birama tidak ada. Yang kita ucapkan tidak lain daripada irama-irama yang memaksa keluar dari diri kita, tapi kita tahu, bahwa sebelum mereka hadir dalam diri kita, mereka dalam bawah sadar bersatu dengan yang telah mati, yang kita sebut birama-birama. Biramabirama sebetulnya adalah hal-hal mati yang mengerikan. Tidak ada yang melihat mereka, kita hanya melihat semata-mata irama-irama.” (Albert Verwey)

Preludium Naskah syair pada genre syair Melayu berbentuk cerita1 dan non cerita2, berbentuk profane (secular: keduniawian) dan 3 keagamaan . Umumnya, naskah syair sebagai rangkaian panjang kwatrin bersajak aaaa, terdiri dari empat baris yang terbagi dalam dua kuplet, dan berisi empat kata. Pada persembahannya, pembacaan (nyanyian) syair tidak lagi membacakan syair cerita (naskahsyair) tertentu, tetapi syair dibaca (dinyanyikan) pada upacara tertentu,

sehingga liriknya kadang-kadang memakai bentuk pantun, seperti yang dilakukan oleh Minah.4 Inilah / sindiran // lamo / bertambah 10 (3+3) + 5 (2+3) Mengarangkan / syair // ibarat / berpindah 12 (4+2) + 6 (3+2) Syair / ibarat // yang / amat / indah 10 (2+3) + 5 (1+2+2) Ingatkan / diri // akan / berpindah

halaman 3


Ya/ Allah // yaTuhan/ kami 8 (1+2) + (3+2)

Munajat, dan Syair Minah6, dengan mengkaji tentang persembahan masing-masing lagu dan analisis struktur musikalnya.

Tilik/ olehmu/ ya Allah //akan /diri / kami 16 (2+3+3) + (2+4+2)

Bentuk Lagu

10 (3+2) + 5 (2+3)

Siang / dan/ malam// sepanjang/ waktu/ kami 12 (2+1+2) + (3+2+2) Inilah / pinta / kami / ya Allah / /yaTuhan / kami 14 (3+2+2) + (3+3+2)5 Asam / kandis// asam / gelugur 9 (2+2) + (2+3) Kedua / asam // siriang-riang 10 (3+2) + (5) Menangis / mayat // di dalam / kubur 10 (3+2) + (3+2) Teringat / badan // tidak / sembahyang 10 (3+2) + (2+3) Pada mulanya, naskah syair dibaca dengan pembacaan yang biasa (bersuara), dan kemudian pada perkembangan selanjutnya dibaca dengan cara dinyanyikan (digayakan, dilagukan, diiramakan). Pada syair berbentuk profane (secular), ada beberapa lagu yang digunakan untuk membaca syair dengan cara dinyanyikan, seperti lagu Selendang Delima, lagu syair Siti Zubaidah, dan lagu Syair Burung. Ketiga lagu ini umumnya boleh dipakai untuk membaca (menyanyikan) naskah syair apapun. Namun, ada beberapa lagu syair yang hanya dapat dipakai (dinyanyikan) pada syair tertentu, seperti Syair Surat Kapal dengan cara menyanyikan lagu Surat Kapal; Syair Munajat dinyanyikan dengan gaya lagu Munajat, dan Syair Sindiran dinyanyikan dengan gaya lagu Syair Sindiran. Tulisan ini hanya mengupas tentang tiga syair keagamaan dengan tiga bentuk lagu (melodi), yakni Syair Sindiran, Syair

halaman 4

Lagu, pada dasarnya terdiri dari melodi, dan ritme, selain harmoni, timbre, dinamika, dan lain-sebagainya. Dalam menyanyikan lagu bentuk syair, terdiri dari gabungan lirik dan melodi. Lirik (yang juga disebut dengan syair) adalah sebagai penyampai cerita atau pesan keagamaan (juga pesan adat dan sosial); sedangkan melodi (lagu) berfungsi sebagai pelemak (indah) para pendengar sebagai keindahan (memperindah) suara, sehingga pesan lirik dari syair yang akan disampaikan menarik perhatian dan mengena pada sasaran yang hendak dicapai. Melodi (lagu) inilah yang membuat pelemak (indah) seperti yang didefinisikan oleh C. Skinner (1982:292) dengan “mengeluarkan suara serta huruf dan serta dengan lagunya dengan had timbangannya”, yang oleh Hasan Junus dikatakan sebagai “nyanyian yang sadu perdana dan bernilai tujuh laksana sebagaimana disebut orangorang Melayu ialah yang seperti buluh perindu”. Selanjutnya S. O. Robson dalam Java in Malay Literature mengungkapkan tentang nyanyian yang bagus yang menyatakan: ketika mendendangkan puisi, suaranya manis merdu seperti dapat diminum. A. Syair Sindiran dan Syair Munajat Syair Sindiran dikarang oleh Syekh Abdul Wahab Rokan, sebagai tuan guru awal Tarikat Naksyabandi yang dibawanya dari Mekah, yang merupakan turunan silsilah yang ke-34, mulai dari Nabi Muhammad SAW, seterusnya dari Syekh Bahauddin Bukhari (sebagai Syekh Naksyabandiyah)


halaman 5


Syair Sindiran (terdiri dari 49 bait/ panjang kwatrin) dibaca (dinyanyikan) ketika selesai dipukul nakus dalam, yakni pada waktu akan masuk sembahyang Subuh, yakni sekitar pukul tiga sampai pukul empat, dibacakan (dinyanyikan) Syair Munajad dan Syair Sindiran.

Lagu yang biasa dinyanyikan oleh Minah ini yang penulis sebut dengan “Lagu Syair Minah”, karena sesungguhnya tidak ada penamaan judul lagu untuk membacakan syair, karena itu biasanya judul lagu disebut dengan lagu yang sentiasa dinyanyikan pada syair-syair tertentu, sehingga dinamakan lagu dengan judul naskah syair itu.

Syair Minah

Persembahan Pendendangan Syair

Yang dimaksud dengan “Syair Minah” adalah lagu syair yang dinyanyikan oleh Minah (Almarhumah: seorang perempuan) di Dalu-dalu, KecamatanTambusai, Rokan. Dia seorang yang buta (tidak melihat), namun hafal ayat suci Al Qur’an sebanyak 16 Jus. Selain menghafal Al Qur’an, Minah juga dapat menyanyikan Syair Mayat (Syair Kubur, Syair Hari Kiamat), dan Syair Pengajaran.

Sebagaimana umumnya lagu yang terdapat di kawasan Melayu atau pun di belahan dunia Timur, pada umumnya ketika menyanyikan satu lagu, cengkok (melisma, ornamentasi) yang didendangkan tidaklah baku, maknanya selalu bervariasi. Dalammen dendangkan syair pun seperti itu juga keadaannya, misalnya, ketika seseorang menyanyikan syair pada waktu tertentu, pada waktu yang lain cengkoknya akan selalu

sampai pada Syekh Abdul WahabRokan.

halaman 6


bervariasi. Peristiwa ini tidak hanya terjadi pada lagu yang dinyanyikan dengan vokal (suara manusia), tetapi juga pada permainan alat-musik, seperti violin (biola), accordion (akordion), gambus (‘ud), dan alat-musik lainnya. Untuk memahami cara pendendangan syair, setidaknya memperhatikan beberapa hal. Pertama, memahami scale (tangga-

nada) yang digunakan dalam nyanyian lagu syair itu; dan Kedua, mengenal ritme (rentak) yang berhubungan dengan alur melodinya. Tangga-nada (Scale) Tangga-nada (scale) syair Melayu umumnya mendapat pengaruh dari scale (tangga-nada) Timur-Tengah yang disebut dengan maqamat (disingkat maqam),

halaman 7


setidaknya terdapat lebih-kurang limapuluh dua modus tangga-nada. Namun, yang biasanya dipakai, terutama pada lagu Melayu (syair) seperti scale (tangga-nada) rast, bayati, hijaz, saba, nahawand, hussayni, dan sikah. Ritme Ritme berkait-kelindan dengan alur melodi yang dinyanyikan dalam lagu syair, yaitu segala sesuatu yang mencakup aspek waktu dalam musik, yaitu ketukan, aksen, ukuran, pengelompokan ketukan dalam ukuran, pengelompokan langkah-langkah menjadi frase, yang disebut dengan rasa irama. a. Ritmelagu Syair Sindiran

Simpulan dan Saran Tidak banyak kajian tentang pendendangan syair, terutama lagu syair keagamaan. Beberapa kerumitan yang dijumpai dalam pengajaran pendendangan syair adalah karena tradisi-lisan (oral tradition) yang selama ini terjadi pada masyarakat Melayu, dan tidak dilakukan catatan (notasi, partitur) lagu syair (literasimusik). Karena tradisi mendendangkan syair jenis (genre) cerita tidak pernah lagi dilakukan, maka sebaiknya dikarang empat sampai delapan bait syair yang bersifat pengajaran (keagamaan). Tulisan ini belumlah sempurna, tetapi sebagai langkah awal, semoga memadailah kiranya untuk suatu catatan kebudayaan dan kajian tentang pendendangan syair, terutama pendendangan lagu syair keagamaan. * Tulisan ini berupa makalah yang dipaparkan di Lembaga Adat Melayu Riau (LAM) pada guru kanan Singapura.

b. Ritme lagu SyairMinah 1

** SPN (SENIMAN PEMANGKU NEGERI) ZUARMAN AHMAD, mengajar di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR), penerima Anugerah Sagang Kategori Budayawan dan Seniman, Musisi, Arranger, Komposer, Conductor Bandar Serai Orchestra (BSO), juga menulis esei seni dan penulis cerita-pendek.

c. Ritme lagu Syair Minah 2

* Tulisan ini berupa makalah yang dipaparkan di Lembaga Adat Melayu Riau (LAM) pada guru kanan Singapura. Tinjauan Pustaka

halaman 8

1

Contohnya: naskah Syair Ken Tambuhan, Syair Dandan Setia, Syair Ikan Terubuk, dll.

2

Contohnya: naskah Syair Sindiran, Syair


Munajat, dll. 3

Umumnya dikarang oleh para suďŹ , seperti Syair Perahu oleh Hamzah Fansuri, Syair Sindiran dan Syair Munajat oleh Syekh Abdul Wawab Rokan

4

Seorang perempuan pendendang syair, yang sudah meninggal di Dalu-dalu, Tambusai, Rokan.

5

Syair Sindiran, Syekh Abdul Wahab Rokan

6

Penulis menamakan Syair Minah, karena Almarhumah Minah (seorang perempuan di Dalu-dalu) setiap hari pasar (Rabu) dan setiap orang meninggal (terutama anak-anak), sering mengundangnya untuk menyanyikan syair, terutama Syair Mayat (Syair Kubur, Syair Hari Kiamat) dan Syair Pengajaran.

Daftar Pustaka Ahmad, Zuarman, Koba Hitam Manih Ti tu nai: Tradisi (Sastra) Lisan Orang Bonai, 2013, Pekanbaru, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau. Alwi, Hasan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, Christ, William, Introduction to Materials and Structure of Music, 1975 Currie, James, Element of Musical Analysis, Kota: Penerbit, 2009. Dresden, Sem. Algemeene Muziekleer, 1949, Batavia: Bij J. B. Wolters Uitgeversmaatscappij n. v. Doldsworthy, David, Honey-Collecting Ceremonies on the East Coast of North Sumatra, 1909. Idawati, Irama Syair Melayu Kajian Estetika Pada Cengkok Melayu, 2013, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Provinsi Riau.

Jones, George Thaddeus, Music Theory, 1974, New York, Hagerstown, San Francisco, London: Barnes & Noble Books A Division of Harper & Row, Publishers. Kang, Yoonhee, Untaian Kata Leluhur: Marjinalitas, emosi dan kuasa kata-kata magi di kalangan orang Petalangan Riau, terjemahan: Sita Rohana, 2005-2012 Kennedy, Michael, Consice Dictionary of Music, London: Oxford University Press, 2004. Koster, G.L and Maier, H, Variation Within Identity in the Syair Ken Tambuhan Examined with the Help of A ComputerMade Concordance, 29 Nov 82. Nakagawa, Shin, Musik dan Kosmos, 1996, Yayasan Obor, Jakarta. Nettl, Bruno, Theory and Method in Ethnomusicology, 1994, Canada: Collier Macmillan. P. Alan, Merriam, The Anthropology of Music, 1964, University Press. Poŕath, Nathan, Ketika Burung Itu Terbang: Therapi Shamanis dan Pemeliharaan Batas-batas Duniawiah di Kalangan orang Sakai Riau, terjemahan Sita Rohana, 2012. Setah, Wak. azhar, Al, Ahmad, Zuarman, Dang da Gandu nai, Koba Gombang Dang Tuongku, Nilai-nilai Pendidikan dalam Koba, 2009, Pekanbaru: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau. Stein, Leon, STRUCTURE AND STYLE The study and analysis of musical forms, 1962. Yusri, Bentuk dan Fungsi Syair Sindiran Tarikat Naksyabandiyah di Desa Sekeladi Kecamatan Tanah Putih Kabupaten Bengkalis, 1995, Skripsi. ***

halaman 9


Suluh

Pengaruh Persia Pada Sastra dan Seni IslamNusantara

i tengah arus masuknya karya sastra terjemahan Persia, terjadi perkembangan dalam karya ka sastra Islam Isl berbahasa b Melayu yang terpengaruh sastra Persia yang ditulis alim ulama seperti Nuruddin ar-Raniri dengan karyanya Bustan al-Salatin, Bukhari alJauhari dengan karyanya Taj al-Salatin, Abdul Rauf Singkel dengan karyanya Syair Ma’rifah, dan Hamzah Fanzuri dengan karyanya Syair Perahu yang termasyhur yang menjadikannya dianggap sebagai bapak kesusasteraan Melayu modern (Fang, 1975; Dipodjojo, 1975; Al-Attas, 1972).

halaman 10

Sementara itu, sedikit berbeda dengan di Sumatera dan Semenanjung Malaya, karya sastra bernafaskan Islam yang menyebar di kawasan pesisir utara Jawa biasanya berbentuk tembang atau gancaran, di antaranya: Serat Anbiya, Serat Pepali, Serat Menak, Suluk, Serat Raja Pirngon (Sedyawati, 2001). Berbeda pula dengan sastra Melayu pengaruh Islam yang ditandai munculnya naskah-naskah terjemahan dari bahasa Persia dan India, sastra Jawa pengaruh Islam hanya sebagian kecil mengambil naskahnaskah terjemahan. Bagian terbesar sastra


Jawa pengaruh Islam berisi kisah-kisah lokal yang berkaitan dengan tokoh-tokoh muslim dan latar kehidupan setempat seperti Serat Jayalengkara, Serat Jatiswara, Serat Sastra Gending, Serat Jenggalamanik, Serat Kramaleya, Serat Syekh Jangkung, dan Serat Cabolek. Bahkan selama periode Mataram pada abad ke-16 yang dilanjutkan periode Surakarta pada abad ke-18, kesusasteraan yang ditulis pujangga-pujangga muslim mengambil latar dan tokoh lokal yang bukan muslim seperti Nawaruci, Serat Rama, Serat Arjunasasrabahu, Serat Anglingdarma, Serat Mintaraga, Serat Bima Swarga, Dahyang Saloka, Serat Panji yang diinterpolasi dengan ajaran Islam. Meski cenderung pada kisah-kisah lokal, pengaruh sejumlah naskah terjemahan Persia dan India juga berkembang dan digemari masyarakat Jawa. Serat Menak – yang merupakan naskah terjemahan di Jawa berkembang dengan berbagai jenis lakon-lakonnya seperti Menak Sarehas, Menak Lare, Menak Sulub, Menak Serandhil, Menak Kuristan, Menak Kanjun, Menak Kandhabumi, Menak Jobin, Menak Ngambarkustup, Menak Kalakodrat, Menak Kuwari, Menak Cina, Menak Malebari, Menak Purwakandha, Menak Sorangan, Menak Jaminambar, Menak Lakat, dsb. Meski berbeda-beda judul, namun intisari cerita Menak berpijak pada kisah tokoh utama bernama Amir Ambyah putera Abdul Mutalib, seorang bangsawan di Makkah. Amir Ambyah ditampilkan sebagai pahlawan Islam yang berperang dari satu negeri ke negeri lain untuk menyebarkan Islam. Cerita Menak Amir Ambyah bersumber dari Hikayat Amir Hamzah berbahasa Melayu, di mana Hikayat Amir Hamzah berbahasa Melayu sendiri merupakan naskah terjemahan

sastera Persia berjudul Qissa I Emir Hamza, sebuah epos Persia yang meriwayatkan tokoh Amir Hamzah (van Ronkel, 1895). Tokoh Amir Ambyah dalam Serat Menak sebenarnya merupakan penggambaran tokoh sejarah Hamzah bin Abdul Muthalib (paman Nabi Muhammad yang gugur dalam Perang Uhud) sebagai pahlawan gagah perkasa tanpa tanding. Menurut Resowidjojo (1941) tokoh Amir Ambyah dalam cerita Menak diberi banyak nama antara lain Wong Agung Jayengrana, Wong Agung Menak, Jayeng Jurit, Jayeng Laga, Jayeng Satru, Amir Mukminin, Menak Amir, Jayadimurti, Wiradimurti, Jayeng Resmi, Palugon, Palugangsa, Retnaning Jurit, Kamidil Ngalam, Karabul Maunun. Amir Ambyah dikisahkan memiliki banyak isteri dan anak, hasil perkawinan denganputeri-puteri raja dari berbagai negeri. Dari pernikahan dengan Retna Muninggar (Mihrnigar) puteri Prabu Nusirwan (Anushirwan) dari negeri Medayin lahir putera bernama Kobat Sarehas (Qobat Shehriar); dengan Dewi Marpinjun adik Retna Muninggar diperoleh putera bernama Rustamaji; dengan Dewi Ismayawati puteri Prabu Tamimasar (Tamim Azhar) dari negeri Ngajrak lahir Dewi Kuraisin (Quraisyin); dengan Dewi Kelaswara puteri Prabu Kelan Jajali raja Kaelani lahir Iman Suwangsa (Badi’uz Zaman); dengan Dewi Sudarawreti puteri Prabu Perid (Farizh) raja Parang Akik adik Prabu Kanjun lahir putera bernama Jayusman; dengan Dewi Sekar Kedhaton puteri Prabu Asan Asir (Hasan alMisri) raja Mesir lahir putera bernama Umar Mesir atau Maryunani; dengan Dewi Retna Kisbandi anak Prabu Kemar Raja Kuwari lahir putera bernama Hasim Kuwari (Hasyim al-Quwairy); dengan puteri raja Burudaging di negeri Rum lahir putera bernama Hasim Katamsi; dengan Dewi Robingu Sirtupelaeli

halaman 11


dari negeri Karsinah, tidakmemiliki putera.

Amir

Ambyah

Pengaruh Pada Seni Pertunjukan Serat Menak Amir Ambyah di Jawa meski ditulis dalam naskah-naskah tulisan, tetapi sering divisualisasi dalam bentuk pertunjukan wayang krucil atau wayang tengul. Melalui seni pertunjukan itu, Serat Menak Amir Ambyah yang bersumber pada sastra Persia berjudul Qissa i Emir Hamza yang sarat memuat pandangan-pandangan dan gagasan-gagasan yang berpihak kepada keluarga Nabi Muhammad Saw, dikenal dan diterima oleh hampir seluruh masyarakat Jawa di pesisir dan pedalaman, bahkan berkembang sampai ke Nusa Tenggara Barat. Dalam sejumlah lakon, tokoh Amir Ambyah dikisahkan sering terlibat perselisihan dengan mertuanya; Raja Nusirwan yang masih kafir. Ia sering pula dikisahkan berselisih dengan tokoh Jemblung Marmaya (Omar Umayah) yang digambarkan sebagai tokoh berperut buncit (jemblung) berwajah jelek. Tokoh Amir Ambyah angat dikagumi masyarakat. Popularitas Serat Menak di kalangan masyarakat Jawa pada abad ke19 dan ke-20 sedikitnya terlihat dengan digunakannya nama-nama tokoh Menak seperti Amir, Ambyah, Maktal, Jumiril, Lukman, Tamtanus, Jayusman, Kuraisin, Sulasikin, Sudarawerti, Muninggar, Kadarwati (Yosodipuro, 2002) untuk menamai anak-anak mereka. Akibat populernya tokoh Amir Ambyah, tidak satu pun masyarakat Jawa yang berkenan menamai anaknya dengan meminjam nama tokoh antagonis Jemblung Marmaya (Omar Umayah) yang digambarkan sangat tidak simpatik, baik fisik maupun perangainya. Kemasyhuran cerita Amir Ambyah yang di Jawa sering dipergelarkan melalui

halaman 12

media wayang krucil atau wayang tengul, berkembang pula di Nusa Tenggara Barat melalui media wayang Sasak. Bentuk wayang Sasak hampir menyerupai wayang gambuh, terbuat dari bahan kulit yang ditatah dan disungging. Dasar cerita yang digunakan adalah hikayat Amir Hamzah. Kata Sasak merupakan sebutan lain dari Pulau Lombok; jadi yang dimaksud di sini ialah wayang dari Pulau Lombok (Haryanto, 1988). Demikianlah, sastra Islam yang terpengaruh Persia berkembang menjadi seni pertunjukan di berbagai daerah dan memberikan pengaruh yang tidak kecil dalam proses dakwah Islam di Nusantara. Sementara itu penyebaran nilai-nilai Islam lewat jalur seni dilakukan melalui pengembangan asimilatif antara seni budaya setempat seperti wayang beber (karebet), wayang kulit (ringgit purwa), wayang klithik, wayang gedog, wayang Demak, banyolan (mabanyol), pelawak (mamirus), tari-tarian (nirtya), tembang gede, kidhung, macapat dengan seni budaya Islam yang berasal dari Persia, India, Campa, Cina, dan Arab. Satu hal pasti dari pengaruh Islam dari Persia dan India yang diketahui mempengaruhi lahirnya sejumlah seni tradisional tampak pada kesenian wayang klithik (yang membawakan cerita-cerita Menak), wayang purwa (membawakan cerita Ramayana dan Mahabharata), kentrung (menuturkan kisah para wali penyebar Islam), jemblung (membawakan cerita Menak), genjring (seni sulap bernuansa mistis), debus (seni kekebalan berasal dari tarikat Rifa’iyyah), terbang jidor (pengiring pembacaan shalawat), dan shalawatan. Menurut Simuh (1988) di Jawa pengaruh Islam aliran Syi’ah terlihat sekali dalam proses


Islamisasi melalui seni seperti terlihat pada pertunjukan sandhul, yakni suatu seni yang menggambarkan peperangan antara Imam Ali bin Abi Thalib melawan Muawiyyah. Perayaan hari Asyura pada tanggal 10 Muharram yang dirayakan dengan sajian nasi-bubur adalah selamatan dan peringatan bagi imam Husain (cucu Nabi Muhammad Saw) yang terbunuh dalam perang di Karbala tahun 680 Masehi. Simpulan Simuh bahwa seni Sandhul adalah pengaruh Islam Syi’ah, tentu berhubungan dengan Cerita Menak lakon Amir Ambyah, yang menggambarkan tokoh Amir Hamzah bin Abdul Munthalib yang sering berselisih dengan tokoh Jemblung Marmaya (Omar Umayah). Itu berarti, baik seni sandhul maupun cerita Menak, samasama menggambarkan kisah perselisihan abadi antara Bani Munthalib dengan Bani Umayyah yang direpresentasikan dalam kisah peperangan Imam Ali melawan Mu’awiyah maupun perselisihan Hamzah bin Abdul Muthalib melawan tokoh Umayyah, yang secara psikologis hal tersebut mempengaruhi struktur mental (habitus) masyarakat muslimdi Nusantara. Dewasa ini, di tengah derasnya pengaruh sastra Barat dengan berbagai alirannya – mulai aliran realisme sosial sampai humanisme -- yang melanda Indonesia lewat novel, roman, cerita pendek, naskah drama, sampai film memberi kesan seolah-olah sastra di Indonesia sudah menjadi sastra Barat. Namun dengan memahami bahwa Persia pernah menanamkan pengaruh pada sastra dan seni di Nusantara, yang memiliki peranan dalam pembentukan struktur mental (habitus), tentunya pengaruh tersebut tidak lenyap sama sekali. Sebab setiap kali hal baru datang, maka akan bersinggungan dengan hal-hal lama. Hal

itu setidaknya terlihat pada kemunculan buku-buku terbitan baru yang memuat cerita-cerita Persia seperti Shahnameh atau film Prince of Persia, yang cukup mendapat respon positif dari masyarakat Indonesia. Itu berarti, ke depan nanti sastra Persia lama dan modern bisa dijadikan alternatif dalam pengembangan sastra di Indonesia, sebagai tandingan bagi sastra Barat yang sudah terlalu hegemonis.*** (Red. int dan dari berbagai sumber)

(

halaman 13


Cerita-Pendek Terjemahan

Tamu

oleh Albert Camus

Judul asli Cerpen ini“The Guest� dari antologi Great French Short Stories, editor dan pengantar oleh Germaine Bree, Dell Publishing Co., Inc., New York, cetakan ke-10, tahun 1973 diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Orindra R Dasmo

halaman 14


uru it itu memperhatikan dua orang lelaki yang menapak bukit mendaki ke arahnya. Seorang menunggang kuda, sedang yang seorang lagi berjalan kaki. Mereka belum mencapai tanjakan curam yang akan membawa mereka ke mencap gedung sekolah di punggung bukit. Perjalanan sulit memang. Mereka merambat pelan-pelan di hamparan salju, di antara batu-batu, menyeberangi dataran luas dan gurun pasir di dataran tinggi. Sesekali kudanya tersandungsandung. Meski tak terdengar dengusnya, ia bisa melihat hembusan nafas yang terengah-engah di cuping hidung yang mengeluarkan uap dari binatang tersebut. Salah seorang tampaknya kenal betul dengan daerah yang mereka lalui. Langkah mereka tidak berkisar dari jalan setapak, kendati jalan itu terselimuti putih salju sejak beberapa hari lalu. Menurut perkiraan si guru itu, mereka baru akan mencapai bukit kira-kira setengah jam lagi. Udara begitu dingin, guru kembali ke ruang kelas untuk mengambil baju-dinginnya. Ia melintas di ruangan kosong yang dingin. Di papan tulis mengalir sungai-sungai Perancis yang digambar sejak tiga hari lalu dengan kapur tulis empat warna menuju muara. Salju mendadak turun pada pertengahan bulan Oktober setelah delapan bulan dipanggang musim kemarau, tanpa hujan yang menandai masa peralihan. Kurang lebih dua puluh siswanya, sejumlah itulah mereka, yang tinggal menyebar pada desa-desa di dataran tinggi itu, tak datang ke sekolah. Mereka kembali akan datang lagi ketika cuaca balik cerah. Daru menghangatkan kamar tidurnya. Kamar itu berhimpitan dengan ruang kelas dan keduanya dihubungkan oleh sebuah pintu. Seperti juga jendela-jendela kelas, jendela kamarnya pun menghadap ke selatan. Gedung sekolah ini terletak beberapa kilometer dari turunan pertama ke arah Selatan. Jika udara bagus, akan tampak jajaran gunung-gunung berwarna ungu dan jarak yang membentang di gurun pasir. Kamarnya Sedikit hangat, Daru kembali ke jendela dimana ia mula-mula melihat dua orang yang mendaki. Mereka tak kelihatan lagi. Tentu sedang menyusuri tanjakan. Langit tidak terlalu gelap, sebab salju sudah berhenti turun sejak malam tadi. Pagi dimulai dengan cahaya muram, yang jarang cerah bahkan setelah tumpukan awan berkisar. Pukul dua siang, hari seperti baru diawali. Namun keadaan ini jauh lebih baik dibanding tiga hari lalu saat turun salju tebal di tengah cuaca gelap yang disertai hembusan angin yang menyebabkan daun pintu kelas berderit-derit. Sepanjang hari Daru tinggal di kamarnya dan hanya meninggalkan kamar untuk ke gudang, memberi makan ayam-ayam, atau mengambil arang. Untunglah truk

halaman 15


pengantar barang dari Tadjid, desa terdekat dari utara, datang dengan barang-barang kebutuhannya dua hari sebelum badai salju. Ia akan meninggalkan dataran ini lagi dalam 48 jam. Selain kedatangan truk itu, ia sendiri sebenarnya telah memiliki cukup persediaan untuk menghadapi kepungan salju. Kamarnya yang kecil penuh dengan karung berisi terigu yang dikirimkan sebagai persediaan bagi para siswa yang keluarganya kekurangan pangan selama musim kemarau. Mereka benar-benar korban kemiskinan. Setiap hari Daru membagikan jatah makanan kepada anak-anak. Ia tahu, mereka sangat membutuhkan itu selama berlangsungnya hari buruk. Mungkin bapak atau kakak mereka akan datang siang ini dan ia akan membagikan beras kepada mereka. Hanya itu yang bisa dilakukan selama menunggu datangnya panen berikut. Kini kapalkapal pengangkut gandum datang dari Perancis dan keadaan terburuk dapat diatasi. Namun, sungguh sulit melupakan kemiskinan. Ia bagai bala tentara iblis yang berkeliaran di bawah sengatan matahari. Dataran tinggi ini terpanggang selama berbulan-bulan, tanah menjadi berkedut dan hangus sedikit demi sedikit. Batu-batu pecah menjadi abu di bawah telapak kaki. Kawanan ternak mati, ribuan jumlahnya. Manusia juga mati, di mana-mana, diam tanpa seorang pun mengetahuinya. Sebaliknya dari yang dialami, ia hidup nyaris seperti pendeta di sekolah yang terpencil, dan dengan apa yang ada padanya, bagaimanapun, kebutuhannya selalu tercukupi. Dengan segala kesulitan yang harus dijalani, dengan tempat tidurnya yang sempit, rak yang tidak dicat, dengan sumurnya, dan dengan persediaan air dan makanan yang didatangkan setiap minggu, ia merasa seolah bangsawan yang dikelilingi tembok-tembok putih bersih. Lalu tibatiba turun salju, tanpa hujan sebelumnya. Begitulah daerah ini, terlalu menyiksa bagi kehidupan, bahkan kalaupun tanpa manusia yang tak pernah bisa saling menolong dalam menghadapinya. Tapi Daru lahir di sini. Ia merasa terasing di tempat lain, di mana pun itu. Ia melangkah ke beranda depan bangunan sekolah. Kedua orang tadi kini berada di tengah lereng yang landai. Ia kenal si penunggang kuda yang tak lain adalah Balducci, polisi tua yang dikenalnya sejak lama. Balducci menggenggam ujung tali yang mengikat kedua pergelangan tangan si Arab. Si Arab berjalan di belakangnya dengan tangan terbelenggu dan kepala menunduk. Polisi tua itu memberi salam dengan lambaian tangan, Daru tak membalas lambaiannya; seluruh ďŹ kirannya tertuju pada si Arab. Orang itu mengenakan pakaian jellaba yang kusam warna birunya, memakai sandal namun membungkus kakinya dengan kaus kaki wool tebal, menutup

halaman 16


kepalanya dengan kopiah kecil pendek. Mereka makin dekat. Balducci menahan laju kudanya agar tidak menyakiti si Arab. Keduanya merambat lambat. Bagai letusan senapan, Balducci berteriak: “Satu jam hanya untuk tiga kilometer dari El Ameur!” Daru tidak menyahut. Dibalut sweater tebal, sosoknya makin kelihatan pendek dan gempal. Matanya terus menatap kedua orang yang sedang mendaki ke arahnya. Tak satu kali pun si Arab mengangkat kepalanya. “Hello,” sapa Daru ketika mereka akhirnya sampai di teras. “Masuklah dan hangatkan badan.” Balducci turun dari kuda dengan rasa sakit dan penat, ujung tali pengikat si Arab terus digenggamnya. Kumis polisi tua itu bagai semak-semak samun, ia tersenyum kepada Daru. Matanya kecil, tersembunyi dalam cekungan di bawah dahinya yang coklat, dan di sekitar mulutnya tampak kerut-kerut yang melahirkan kesan bahwa ia seorang yang sungguh-sungguh dan penuh perhatian. Daru meraih tali kekang dan menbawa kuda ke gudang. Ketika ia kembali lagi, dua orang itu sudah menunggunya di ruang kelas. Daru membawa mereka ke kamarya. “Saya akan memanaskan ruangan kelas dulu,” katanya. “Agar lebih nyaman.” Ketika kembali ke kamarnya, ia melihat Balducci duduk di atas tempat tidur sempitnya. Tangannya tetap menggenggam tali yang menghubungkan dirinya dengan si Arab yang kini berjongkok di tepi tungku pemanas. Tangan si Arab tetap terikat, kopiahnya terdorong ke belakang, matanya terbang ke jendela. Mula-mula Daru memperhatikan bibirnya yang tebal dan berlemak, menyerupai Negro, namun hidungnya mancung, matanya gelap penuh amarah. Kopiah yang dikenakannya menunjukkan sikap keras kepala di balik dahi lebar yang saat ini pucat-pias oleh hawa dingin. Keseluruhan paras mukanya memancarkan pemberontakan yang membuat Daru terpaku ketika si Arab menoleh ke arahnya dan menatapnya langsung. “Mari ke ruang kelas,” kata si guru, “saya akan bikinkan teh manis.” “Terima kasih,” sahut Balducci. “Oh! Pekerjaan yang menyebalkan. Aku ingin segera pensiun sebetulnya.” Dan kepada si Arab tawanannya ia berteriak: “Kemari kau!” Si Arab bangun dan, pelan sekali, tetap dengan kedua pergelangan tangan terikat, maju di depan Balducci. Mereka kemudian beralih ke ruang kelas. Sambil membawa teh, Daru mengangkat kursi. Namun Balducci ternyata sudah meletakkan pantatnya di bangku siswa yang paling dekat dengan pintu kelas dan si Arab berjongkok di depan mimbar guru, menghadapi tungku pemanas tak jauh dari jendela. Ketika menyodorkan segelas teh kepada si Arab,

halaman 17


Daru termenung sejenak melihat tangan si Arab terbelenggu. “Mungkin ikatan ini harus dilepas,” katanya. “Tentu,” sahut Balducci. “Itu hanya berlaku selama dalam perjalanan.” Polisi itu segera akan bergerak, tapi Daru lebih cepat. Ia meletakkan gelas di lantai dan kemudian berjongkok di samping si Arab. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, si Arab menyaksikan Daru dengan tatap mata yang membara. Sekejap saja tangannya bebas. Lalu secara bergantian ia mengusap-usap bekas ikatan di kedua pergelangan tangannya. Ia menjangkau gelas teh di lantai, dan mendudup teh panas itu berkali-kali sampai habis. “Ke mana Anda akan pergi?” Tanya Daru. Balducci menarik kumisnya yang menyentuh-nyentuh permukaan air teh di gelas. “Ya kesini, nak,” sahutnya. “Aneh. Dan Anda akan bermalam?” “Tidak. Aku akan segera kembali ke El Ameur. Dan kau harus membawa orang ini ke Tinguit. Ia ditunggu oleh polisi di sana.” Balducci menatap Daru, bibirnya tersenyum manis sekali. “Apa maksudnya ini? Kau tidak sedang bergurau, kan?” “Tidak, nak. Ini adalah tugas.” “Tugas?” kupikir…” Daru terdiam beberapa saat, ia tak ingin menyakiti si tua dari Corsica itu. “Kurasa, ini bukan tugasku.” “Begitukah menurutmu? Dalam masa perang, setiap orang mengerjakan apa pun tugas yang dipikulkan kepadanya.” “Kalau begitu aku akan menunggu adanya pernyataan perang.” Balducci mengangguk-angguk. “Ok. Tapi tugas itu ada di depan mata dan meminta kesediaanmu pula. Segala hal terjadi, segala peristiwa bermunculan. Kita mendengar pidato-pidato perlawanan dan kemudian dimobilisasi. Begitulah.” Daru kembali terdiam. “Dengar, nak. Aku menyayangimu dan kau harus faham. Hanya ada selusin polisi di El Ameur yang berpatroli untuk wilayah yang luas di sana. Aku harus cepat-cepat kembali. Tugasku adalah membawa orang ini kepadamu dan kembali ke markas secepat mungkin. Ia tak bisa ditahan di sana. Orang-orang di desanya mulai bergerak, mereka akan membebaskannya kembali. Kau harus membawanya ke Tinguit besok. Hanya dua puluh kilometer dan itu tak akan jadi persoalan benar bagi lelaki tegap seperti kau. Setelah itu segalanya beres. Kau bisa kembali mengajar dan menjalani hidup yang menyenangkan.” Di balik dinding kelas, terdengar kuda Balducci mendengus dan menggaruk-garuk tanah. Daru melihat hamparan salju di luar jendela. Udara bersih dan cahaya makin terang di atas dataran salju.

halaman 18


Ketika salju mencair, matahari akan mengambil alih kekuasaan dan membakar dataran berbatu-batu ini. Lalu, selama berhari-hari, langit akan terus memancarkan cahayanya ke seluruh permukaan gurun yang kosong dan sendirian, yang seolah sama sekali tak berhubungan dengan manusia. “Jadi, apa sesungguhnya yang telah ia lakukan?” Tanya Daru. Dan sebelum polisi tua itu membuka mulut, Daru menyusulkan pertanyaan lain: “Bisakah ia berbahasa Perancis?” “Tidak! Tak sepatah katapun. Kami telah mencarinya sebulan penuh, namun mereka menyembunyikannya. Ia telah membunuh sepupunya.” “Apakah ia pemberontak?” “Rasanya tidak. Tapi entahlah, tak ada yang bisa dipastikan.” “Kenapa ia membunuh?” “Pertengkaran keluarga kurasa. Mungkin salah seorang berutang beras pada yang lain. Entahlah, tak begitu jelas. Pokoknya ia membunuh sepupunya dengan sabit, seperti seekor domba, kreeesk!” Balducci menirukan gerakan menggoreskan pisau di tenggorokannya sendiri dan si Arab menatapnya dengan sorot mata marah. Daru merasakan amarah yang menggelegak tiba-tiba. Ia benci kepada manusia, semua manusia, yang menyimpan dengki yang membusuk di hati; kebencian yang tak pernah sudah, dan nafsu menumpahkan darah. Panci besar di atas tungku berdenging. Daru mengisi lagi gelas Balducci dengan air teh. Juga gelas si Arab. Dan, untuk kedua kalinya, si Arab mendudup habis teh di gelasnya dalam waktu cepat. Ketika tangannya mengangkat gelas, baju jellabanya merosot dan terbuka, Daru melihat dadanya yang kurus namun berotot. “Terima kasih, nak,” kata Balducci. “Kini saya akan pergi.” Ia bangkit mendekati si Arab dan segera mengeluarkan tali dari saku bajunya. “Apa yang hendak kau lakukan?” Tanya Daru dengan suara kering. Balducci, dengan paras muka linglung, menunjukkan tali di tangannya. “Tak usah repot-repot.” Polisi tua itu makin bingung: “Baiklah, terserah kau. Omongomong, kau punya senjata?” “Aku punya pistol.” “Mana?” “Di kopor.” “Mestinya kau taruh di dekat tempat tidurmu.” “Buat apa? Tak ada yang perlu kutakutkan.” “Kau gila, nak. Jika terjadi keributan, tidak ada yang bisa menjamin

halaman 19


keselamatanmu, dan kita di perahu yang sama.” “Aku akan melindungi diriku sendiri. Aku akan punya waktu sebelum mereka tiba di tempat ini.” Balducci terbahak-bahak, kumisnya menutupi deretan giginya. “Kau punya waktu? Baiklah, ya…aku hanya bisa mengatakan ‘baiklah’. Kau memang sedikit gila rupanya. Dan tak banyak tahu. Tapi karena itulah aku menyukaimu. Anakku juga seperti kau itu.” Pada saat yang sama ia mengeluarkan pistolnya dan meletakkan di meja. “Ambillah; aku tak memerlukan dua pistol untuk menempuh perjalanan dari sini ke El Ameur.” Pistol itu berkilat-kilat di atas meja yang di cat warna hitam. Ketika polisi tua itu berpaling ke arahnya, Guru mencium bau kulit dan daging kuda. “Dengar, Balducci,” kata Daru tiba-tiba, “Segala sesuatunya membuatku muak, terutama ketika tiba-tiba kau tinggalkan seseorang di sini. Aku tidak akan mengantarkannya ke Tinguit. Kalau harus bertarung dengannya, aku akan lakukan, tapi tidak untuk mengantarkannya.” Sang polisi tua berdiri termangu di hadapan Daru dan menatapnya lama sekali. “Alangkah tololnya kau,” gumamnya. “Aku tidak suka mendengar kalimatmu. Kau tak mau mengikat dia karena mungkin itu memalukan buatmu ya, mungkin memalukan. Tapi sama sekali tak masuk akal jika kau biarkan ia bebas menentukan langkahnya sendiri.” “Aku tidak akan mengantarkannya.” “Ini tugas, nak. Berapa kali harus kuulangi?” “Baiklah. Kalau begitu kuulangi saja kepada mereka apa yang sudah kuucapkan kepadamu: aku tidak akan mengantarkannya.” Balducci tertegun lama. Bergantilah ia memandang paras muka Daru dan si Arab. Akhirnya ia mengambil keputusan. “Tidak! Aku tidak akan bercerita apa pun kepada mereka. Jika kau ingin melemahkan kami, lakukanlah. Aku tidak akan melaporkanmu. Aku sekadar menjalankan tugas mengantarkan tawanan ini dan itu sudah kulakukan. Sekarang kau hanya perlu menandatangani surat ini, untukku.” “Itupun tidak ada perlunya. Aku toh tak menolak kau tinggalkan tawanan itu di tempatku.” “Jangan membuatku jengkel. Aku tahu kau seorang yang jujur. Kau berasal dari sini dan kau seorang laki-laki. Tapi kau perlu membubuhkan tanda tangan di sini. Itu aturannya.” Daru membuka lacinya, mengambil tinta dalam botol kecil, mengeluarkan tangkai pena dari kayu berwarna merah dengan mata

halaman 20


pena “sergeant-major” yang biasa ia gunakan untuk menulis indah. Ia menandatangani surat yang disodorkan kepadanya. Polisi tua melipat kembali suratnya dan menyimpannya di dalam saku. Setelah itu ia melangkah ke pintu. “Aku akan mengantarmu keluar.” “Tak usah berbasa-basi. Kau telah melukaiku.” Polisi tua itu memandang si Arab beberapa saat, mendengus marah, dan kemudian bergegas meninggalkan tempat itu. “Selamat tinggal, nak,” katanya. Pintu tertutup di belakangnya. Balducci tampak dalam bingkai jendela dan kemudian sama sekali hilang. Bunyi langkah kakinya ditelan hamparan salju. Di balik dinding, kuda bergerak, ayamayam ribut ketakutan. Beberapa saat kemudian Balducci tampak lagi dalam bingkai jendela, menuntun kudanya dengan tali kekang. Ia berjalan ke arah tanjakan kecil tanpa menoleh lagi hingga hilang dari pandangan. Kudanya membuntuti di belakang. Terdengar suara batu besar menggelinding. Daru berbaik ke arah si Arab yang nyaris tak bergerak dan nyaris tak pernah memandangnya. “Tunggu di sini,” kata Guru dalam bahasa Arab, ia berjalan ke kamar tidurnya. Ketika melewati ambang pintu, ia berpikir beberapa saat, kemudian kembali lagi ke meja di mana Balducci meninggalkan pistolnya. Diambilnya pistol itu dan dimasukkan ke dalam sakunya. Kemudian, tanpa menengok ke belakang, ia bergegas ke kamarnya. Beberapa saat ia merebahkan diri di dipannya, memandang langit yang makin gelap, mendengarkan kesunyian. Kesunyian yang menyiksanya sejak hari pertama ia tinggal di tempat ini, setelah perang. Ia mohon agar ditempatlkan di kota kecil di kaki bukit, yang terletak di antara dataran tinggi dan gurun. Di sana, dinding-dinding batu, hijau kehitaman di sebelah utara, merah jambu dan lembayung muda di sisi selatan, menandai tapal batas musim panas yang kekal. Tapi justru di dataran tinggi ini ia ditempatkan. Pada mulanya, terasa berat baginya menghadapi kesunyian dan kesendirian di hamparan tanah kosong yang dihuni hanya oleh batu-batu. Sesekali tampak bekas gurat-gurat pada tanah cadas bekas digaru. Tapi tak ada yang bisa diperbuat pada lapisan tipis tanah yang menutup batu-batu, yang hanya cocok untuk bahan bangunan. Jadi satu-satunya yang bisa dihasilkan di daerah ini adalah memanen batu. Di beberapa tempat, orang lain menggarap lapisan tipis tanah yang memenuhi cekungan dan menanaminya dengan tetumbuhan seadanya yang bisa tumbuh di sana. Begitulah keadaannya. Hamparan batu menutupi tiga per empat bagian wilayah ini. Kota-kota tumbuh, berkembang, dan kemudian halaman 21


hilang; orang-orang datang, saling mencintai atau saling membenci, dan kemudian mati. Tak seorang pun di gurun ini, baik dirinya sendiri atau si Arab tamunya, punya arti. Dan, sebaliknya, di luar gurun, Daru tahu itu, tak ada seorang pun yang benar-benar hidup. Ketika ia bangkit, tak terdengar gerisik suara di ruang kelas. Ia merasakan sebuah kegembiraan tatkala tiba-tiba muncul pikiran bahwa si Arab mungkin sudah melarikan diri dan ia kembali sendirian seperti sediakala tanpa bersusah-susah mengambil keputusan. Namun tawanan itu tetap di tempatnya. Tubuhnya terbujur pasrah di antara tungku dan bangku. Matanya terbuka, ia menatap langit-langit ruangan. Daru menatap lekat-lekat bibirnya yang tebal, yang tiba-tiba di matanya seperti sedang mencibir. “Kemarilah,” panggil Daru. Si Arab bangkit dan mengikutinya. Di kamar tidurnya, Guru mengarahkan telunjuknya pada kursi yang letaknya tak jauh dari meja di bawah jendela. Si Arab duduk di kursi tersebut tanpa melepaskan pandangannya ke Daru. “Kau lapar?” “Ya,” si Arab mengangguk. Daru mengatur meja makan untuk dua orang. Ia mengambil tepung dan mentega, membikin kue, menyalakan kompor dengan tabung gas kecil, dan menggoreng kue bikinannya. Menunggu kuenya masak, ia keluar menuju gudang untuk mengambil keju, telur, kurma, dan susu kental. Setelah masak, kue-kue yang baru diangkat dari penggorengan dia angin-anginkan di ambang jendela. Lalu membuat telur dadar, menambahkan air pada susu kental dan memanaskannya. Ketika mengerjakan itu semua, satu saat tangannya menyenggol gagang pistol yang ia simpan di saku kanan. Semua beres. Ia menurunkan panci yang digunakan untuk merebus susu dan membawa hasil masakannya ke ruang kelas. Kemudian ia kembali ke kamarnya dan menyimpan pistol di laci mejanya. Ketika kembali lagi ke ruang kelas, malam telah jatuh. Ia menyalakan lampu dan mempersilakan si Arab. “Makanlah,” katanya. Si Arab mengambil sepotong kue, mengangkatnya ke mulut, dan berhenti sejenak. “Kau sendiri?” ia bertanya. “Aku makan setelah kau.” Bibir tebal itu terbuka sedikit. Si Arab sedikit ragu-ragu, kemudian seperti terpaksa menggigit kuenya. Ia menatap Guru setelah menyantap habis kue di tangannya. “Kau akan mengadiliku?” “Tidak, aku hanya akan menjagamu hingga besok pagi.” “Mengapa kau makan semeja denganku?” halaman 22


“Sebab aku lapar.” Si Arab kemudian membisu. Daru bangkit dan melangkah keluar. Ia kembali dengan membawa kasur lipat yang diambilnya dari gudang, meletakkannya di antara tungku dan meja, tegak lurus dengan tempat tidurnya. Dari kopor besar yang ada di pojok, yang biasa ia gunakan untuk menyimpan kertas-kertas, ia mengeluarkan dua buah selimut dan menatanya di atas tempat tidur. Beberapa saat kemudian dihentikannya pekerjaan itu, ia merasa tak ada gunanya, dan lalu duduk di atas kasur. Tak ada apa pun yang harus dikerjakan atau disiapkan. Ia harus melihat siapa yang ada dihadapannya. Dan melihat si Arab, ia membayangkan bagaimana paras muka lelaki itu saat dibakar amarah. Tak bisa ia melakukan apa-apa. Tak ia lihat apa pun pada si Arab kecuali ceruk mata yang gelap, tapi memancarkan cahaya, dan mulut seekor binatang. “Mengapa kau membunuhnya?” dengan kasar tiba-tiba ia mengajukan pertanyaan, tekanan suaranya membuat si Arab tercengang. “Ia lari. Aku mengejarnya.” Ia mengangkat pandangannya ke arah Daru, kemudian mereka terlibat dalam tanya jawab yang getir. “Sekarang, apa yang akan mereka perbuat kepadaku?” tanyanya. “Kau takut?” Si Arab mendengus, melemparkan pandangannya jauh-jauh. “Kau menyesal?” Si Arab menatapnya dengan mulut terbuka. Tak paham pada apa yang baru saja didengarnya. Daru menjadi gusar. Pada saat yang sama ia merasa risih dengan si Arab yang tejelepok di antara dua tempat tidur. “Berbaringlah di sana,” perintah Daru. “Itu tempat tidurmu.” Si Arab tidak bergerak. Ia meminta: “Katakan padaku!” Gurumenatapnya. “Apakah polisi tua itu akan datang lagi besok?” “Aku tak tahu.” “Apakah kau akan bergabung dengan kami?” “Aku tak tahu. Kenapa rupanya?” Tawanan itu bangkit dan merebahkan tubuhnya di atas selimut. Kakinya menjulur ke arah jendela. Cahaya bola lampu listrik jatuh di kedua matanya, ia memejamkan kedua matanya itu. “Kenapa?” ulang Daru, kini ia tegak di samping tempat tidur. Si Arab membuka matanya melawan cahaya yang menyilaukan, menatap Daru, dan mencoba tidak mengerjap. “Bergabunglah dengan kami,” katanya.

halaman 23


Hingga tengah malam Daru tetap tak bisa tidur. Ia merebahkan diri di kasurnya setelah menanggalkan semua pakaian; ia biasa tidur telanjang. Tetapi tatkala sadar bahwa dengan keadaan itu kulitnya tak terlindung bahkan dari serangan yang paling sepele, rasa gelisahnya muncul. Ia merasa saat itu dirinya adalah sasaran empuk dan tiba-tiba mencul godaan untuk mengenakan lagi pakaiannya. Namun ia hanya mengangkat bahu, ia toh bukan kanak-kanak. Jika perlu ia sanggup berkelahi melawan si Arab. Dari tempat tidurnya ia bisa mengawasi tawanan itu telentang, tak bergerak, matanya terkatup di bawah cahaya yang menyilaukan. Ketika Daru mematikan lampu, kegelapan seakan membekukan segala hal secara mendadak. Pelahan-lahan malam kembali datang di bingkai jendela, langit tanpa bintang berpendar lembut. Guru menarik kakinya. Si arab tidak bergerak, namun matanya kelihatan terbuka. Angin berdesir mengitari gedung sekolah. Mungkin ia akan menyingkirkan awan di langit dan matahari bakal muncul lagi. Makin malam, angin bertiup kuat. Ayam-ayam sesekali mengepakngepakkan sayapnya, kemudian sunyi. Si Arab menggeliat, kini memunggungi Daru yang tengah berpikir bahwa ia mendengar suara mengerang. Kemudian ia mendengar dengus nafas tamunya, makin berat dan makin teratur. Ia mendengar dengus nafas itu begitu dekat dengan dirinya. Rasa kantuk tak pernah datang pada pikiran yang tak tenang. Selama setahun ia tidur sendirian saja di kamar ini, dan kini kehadiran si Arab membuatnya bingung. Ia bingung karena kehadiran si Arab membebaninya dengan keakraban, sesuatu yang ia pahami betul. Namun, untuk saat ini ia ingin menolaknya. Orang-orang yang saling berbagi di ruangan yang sama, prajurit atau tawanan, membangun persekutuan aneh seolah-olah, setelah melepas baju zirah dan menggantinya dengan pakaian rumah, mereka adalah para sahabat yang bercengkerama setiap petang dengan impian dan keletihan bersama yang sangat tua usianya. Daru menggetarkan tubuhnya, ia tidak suka memikirkan hal-hal itu dan tampaknya yang lebih penting saat ini adalah tidur. Sejenak kemudian si Arab menggerakkan tubuhnya, pelan sekali, dan Gurutetap belum tidur. Ketika tawanan itu membuat gerakan untuk kedua kalinya, Daru mendengus seolah memberikan peringatan. Si Arab mengangkat tubuhnya sangat pelan menyerupai gerakan orang tidur berjalan. Tegak di atas tempat tidurnya, ia menunggu tanpa gerakan, tanpa menoleh ke arah Daru, seolah olah sedang mendengarkan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Daru juga diam, ia hanya perlu meyakinkan bahwa pistolnya masih tersimpan di laci mejanya. Dan ia akan melakukan sesuatu yang tepat pada

halaman 24


saatnya. Diawasinya terus si Arab yang tetap dengan gerakan pelan, menurunkan kakinya ke lantai dan kemudian pelan-pelan berdiri. Daru ingin memanggilnya ketika si Arab mulai mengayunkan kakinya. Sangat alamiah, namun tanpa suara. Ia menuju ke pintu yang menghadap ke arah gudang. Diangkatnya palang pintu dengan hatihati, didorongnya daun pintu, lalu melangkah keluar tanpa menutup kembali pintu tersebut. Daru membeku di tempatnya. “Ia melarikan diri,” pikirnya. “Baguslah.” Namun ia memasang telinganya dengan serius. Ayam-ayam tidak gaduh; tamunya niscaya masih di dataran tinggi ini. Ricik air sampai ke telinganya dan ia tidak paham dengan pendengarannya sampai kemudian si Arab muncul lagi di ambang pintu. Ia menutup kembali pintu itu dan segera kembali ke tempat tidurnya. Tanpa suara. Kemudian Daru memutar tubuh memunggungi tawanannya dan tidur. Beberapa saat kemudian, di tengah-tengah nyenyak tidurnya, ia mendengar langkah berjingkat-jingkat di seputar bangunan sekolah. “Hanya mimpi! Hanya mimpi!” Ia meyakinkan dirinya berulang-ulang. Dan meneruskan tidurnya. Ketika ia bangun, langit cerah; udara pagi yang dingin masuk lewat jendela yang terbuka. Si Arab masih tertidur, meringkuk di bawah selimut sekarang, mulutnya terbuka. Benar-benar tenang tampaknya. Ketika Daru mengguncangkan tubuhnya, paras mukanya menjadi tegang. Ia menatap Daru dengan sorot mata liar seolah-olah berhadapan dengan makhluk yang tak pernah ia jumpai sebelumnya. Cemas di paras mukanya membuat Daru surut ke belakang. “Jangan takut. Ini aku. Kau harus makan.” Si Arab menganggukanggukkan kepalanya dan mengatakan “ya”. Wajahnya kembali tenang, namun ekspresinya kosong dan tanpa gairah. Kopi telah siap. Mereka duduk dan minum bersama di kasur lipat sembari mengunyah beberapa potong kue. Kemudian Daru membawa si Arab ke gudang dan menunjukkan keran dimana ia bisa mencuci muka. Ia sendiri kembali ke kamar, membereskan selimut dan tempat tidur, dan menata ruangan seperti sediakala. Setelah semua beres, ia menuju ke teras dan duduk di sana. Matahari telah muncul di langit; dataran tinggi diguyur cahaya pagi yang lembut. Di punggung bukit, salju meleleh di beberapa tempat. Batu-batu bermunculan lagi. Dari tempatnya, di tebing dataran tinggi, Gurumenyaksikan gurun yang terhampar sangat luas. Ia teringat Balducci. Ia telah melukai polisi tua itu karena menerima kedatangannya dan melepas kepulangannya tanpa mau bekerjasama. Kalimat yang diucapkan Balducci ketika pamitan masih terngiang-

halaman 25


ngiang di telinganya. Dan, entah kenapa, saat itu ia merasakan kekosongan yang aneh. Ia merasa bahwa dirinya begitu ringkih dan begitu mudah diserang. Ketika itu, ia mendengar si Arab terbatukbatuk. Ah, selama si Arab bersamanya, Daru lebih mendengarkan tamunya, nyaris tanpa mendengar dirinya sendiri. Dipenuhi rasa marah, ia melontarkan sebutir kerikil kuat-kuat. Terdengar desing di udara sebelum kerikil itu jatuh ke hamparan salju. Seseorang telah melakukan kejahatan yang bodoh dan ia tiba-tiba terkuasai olehnya. Namun, untuk menyerahkan seperti yang diminta Balducci, ia merasa tindakannya itu tidak ada harganya sama sekali. Terus-menerus diganggu oleh persoalan itu, tiba-tiba ia menjadi orang yang gampang membenci segala hal. Ia mengutuk semuanya: orang-orang dari golongannya sendiri yang telah mengirimkan si Arab kepadanya, dan si Arab yang berani melakukan pembunuhan namun tidak merancang cara melarikan diri. Daru bangkit, berjalan mondar-mandir di teras, dan kemudian kembali ke gedung sekolah. Si Arab, satu tangannya bertelekan pada dinding gudang, sedang menggosok gigi dengan dua jarinya. Daru memandang dan berseru: “Kemarilah.” Si tawanan mengikuti Daru masuk ke dalam kamar. Dipakainya jaket berburu menutupi sweaternya, dikenakannya sepatu naik gunung. Si Arab memasang kopiah di kepala dan mengenakan sandalnya. Mereka melangkah ke ruang kelas dan Guru menunjuk keluar: “Pergilah!” Tamunya tidak beranjak. “Aku bersamamu,” katanya lagi. Si Arab keluar. Daru masuk lagi ke kamarnya, membungkus beberapa potong roti, kurma, dan gula. Di ruang kelas, sebelum melangkah keluar, ia berhenti sejenak di depan mejanya, kemudian bergegas ke pintu dan menguncinya. “Itu jalannya,” katanya. Ia berjalan ke timur, diikuti oleh tawanannya. Namun, beberapa langkah dari gedung sekolah, ia merasa mendengar suara langkah kaki berjingkat-jingkat di sekitar mereka. Ia kembali dan memeriksa sekeliling bangunan sekolah. Tak dijumpainya seorang pun. Si Arab memandangnya tak faham. “Ayolah!” kata Daru. Mereka berjalan selama sejam dan beristirahat di samping batu kapur yang mendongak tajam. Salju mencair makin lama makin cepat dan matahari menghisap habis genangan air di kubangan dalam waktu sekejap. Dataran tinggi itu bersih dari salju, menjadi makin kering, lalu bergetar sebagaimana udara bergetar. Ketika mereka melanjutkan perjalanan, tanah di bawah kaki mereka berdenyar. Sesekali seekor burung membelah udara dengan jeritan bahagia. Daru menarik nafas dalam-dalam di tengah cahaya

halaman 26


segar pagi hari. Ia merasakan semacam pesona, sebelum nantinya kembali menghadapi hamparan tanah kosong yang begitu akrab baginya, yang sekarang hampir seluruhnya menguning di bawah kubah langit biru. Mereka berjalan satu jam lagi menuruni lereng ke arah utara. Mereka sampai pada hamparan batu-batu yang rapuh. Dari sana, jika mengambil jalan turun ke arah Timur, mereka akan tiba di lembah yang ditumbuhi beberapa batang pohon. Jika ke arah Selatan, akan sampai pada dataran luas dengan pemandangan yang berantakan oleh batu-batu yang nongol di sana-sini. Daru mengikuti kedua jalan itu dengan matanya. Tak dia temukan apapun kecuali ufuk di mana langit dan tanah bertemu. Tak ada manusia. Ia berpaling ke si Arab yang menatapnya dengan mata kosong. Diulurkannya bungkusan yang dia bawa kepada si Arab. “Ambillah,” katanya. “Ada roti, kurma, dan gula. Kau bisa bertahan selama dua hari dengannya. Aku juga ada seratus franc, ambillah.” Si Arab menerima bungkusan dan uang yang disodorkan Daru, merapatkan ke dada, dan tetap begitu terus seolah-olah tak tahu apa yang bisa dilakukannya dengan benda-benda di tangannya itu. “Sekarang lihat,” kata si guru, tangannya menunjuk ke arah Tinguit. Kau harus berjalan selama dua jam. Di Tinguit, temuilah bagian administrasi dan polisi. Mereka mengharapkan kedatanganmu.” Si Arab melemparkan pandangannya ke Timur, tetap dengan uang dan bungkusan di dada. Daru meraih sikunya dan memutarnya dengan sedikit kasar ke arah Selatan. Di kaki bukit di mana mereka berdiri, tanpa jalan setapak. “Itu jalan setapak melintasi dataran. Sehari jalan kaki dari sini, kau akan menjumpai padang rumput dan kafilah para nomaden. Mereka akan menerima kedatanganmu sesuai hukum mereka.” Si Arab kini berpaling ke Daru dengan wajah panik. “Dengarlah,” pintanya. Daru menggelengkan kepala: “Tidak, tenanglah. Sekarang, aku akan meninggalkanmu.” Segera setelah itu ia membalikkan badan, mengambil langkah lebar-lebar ke arah gedung sekolah, ia menatap dengan ragu ke arah si Arab yang tetap tak bergerak, dan kembali meneruskan langkahnya. Untuk beberapa menit tak ia dengar apapun kecuali langkah kakinya sendiri yang bergema di atas tanah dingin. Tak pula ia putar kepalanya. Namun, akhirnya ia membalikkan badan juga. Si Arab tetap di tempatnya, di tepi bukit, tangannya sudah turun, dan ia memandang si guru. Daru merasa sesuatu merambat naik ke kerongkongannya. Namun ia menguatkan diri, melambai samarsamar, dan kembali meneruskan langkahnya. Beberapa saat kemudian ia berhenti lagi dan kembali menengok ke belakang. Sudah tak ada

halaman 27


siapapun di bukit. Daru tercenung. Matahari makin tinggi dan mulai menyengat kepalanya. Gurumengikuti jalan yang sama dengan jalan yang ditempuhnya saat berangkat, mula-mula dengan ragu, tapi kemudian makin yakin. Ketika sampai di bukit kecil, tubuhnya basah kuyup oleh keringat. Ia mendaki secepat yang bisa ia lakukan, dan berhenti di puncak menenangkan nafasnya. Bebatuan yang terhampar si sisi Selatan tampak makin tajam di bawah biru langit. Tanah lapang di sebelah Timur bergetar oleh uap air yang naik ke langit. Dan dengan pandangan sedikit merendahkan, Daru melihat si Arab berjalan pelan sekali menyusuri jalan ke arah penjara. Beberapa saat setelah itu, tegak di tepi jendela kelas, Guru melihat cahaya matahari yang kuat menyapu seluruh permukaan dataran tinggi. Namun sesungguhnya ia hampir tidak melihat apa pun. Di belakangnya, di papan tulis, diantara lekuk liku sungai-sungai Perancis, sebuah kalimat yang ditulis tidak rapi berbunyi: “Kau telah menyerahkan saudara kami. Maka kau harus membayarnya.� Daru menatap langit, dataran tinggi dan di luar itu, hamparan tanah yang tak tampak, yang membentangkan semua jalan menuju laut. Di hamparan tanah yang begitu ia cintai, ia merasa sendiri. ***

(

halaman 28


Cerita Pusaka

Putri Pinang Masak (Asal Usul Suku Talang Mamak)

uk uku Talang-Mamak tersebar di empat kecamatan yaitu Batang-Gansal, Cenaku, kecama Kelaya Kelayang dan Rengat-Barat, Kabupaten IndragiriHulu dan di Dusun Semarantihan, Desa Suo-Suo, Kecamatan Sumai, Kabupaten Tebo, Jambi. Salah satu versi asal usul suku Talang Mamak yang sangat terkenal diceritakan dalam cerita rakyat tentang Putri Pinang Masak. Konon, di Indragiri hidup tujuh pasang putra-putri yang dilahirkan secara kembar. Ketujuh putra tersebut menjadi pemuda yang gagah berani, sedangkan ketujuh putri tumbuh menjadi gadis cantik jelita. Dari ketujuh putri tersebut, salah seorang di antaranya yang termolek, Putri Pisang Masak namanya. Berikut kisahnya menurut ceritarakyatnusantara.com. Alkisah, pada zaman dahulu, tersebutlah sebuah kisah di Negeri Simbul, Siberida, Indragiri, Riau. Di negeri itu hidup tujuh pasang putra-putri yang dilahirkan secara kembar siam. Marudum Sakti lahir kembar dengan Putri Pinang Masak (sulung), Buyung Selamat dengan Putri Mayang Mengurai, Sampurago dengan Subang Bagelan, Tonggak de Tonang dengan Putri Pandan Bajelo, Sapu Jagat dengan Putri Loyang Bunga Emas, Roger dan Putri Setanggi, dan yang bungsu Tuntun dengan Putri Bungsu. Ketujuh putra tersebut tumbuh menjadi pemuda yang gagah berani, sedangkan ketujuh kembarannya tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita. Dari ketujuh putra tersebut, Roger adalah yang paling gagah dan pemberani. Sementara, dari ketujuh putri, Putri Pinang

halaman 29


Masak adalah yang termolek. Pada suatu hari, seluruh warga heboh, karena tibatiba Putri Pinang Masak hilang. Ketujuh saudara lakilakinya sibuk mencarinya ke sana kemari, namun tak juga mereka temukan. Roger yang gagah dan pemberani kemudian pergi menyusuri berbagai tempat hingga bertemu dengan Datuk Motah. Dari Datuk itulah ia memperoleh kabar bahwa kakaknya, Putri Pinang Masak, dibawa lari dan dikawinkan dengan Raja Dewa Sikaraba Daik oleh Paduka Raja Telni Telanai dari Jambi. Setelah mendengar kabar keberadaan kakaknya, Roger segera melaporkan kabar itu kepada saudara-saudaranya. Mereka kemudian berkumpul untuk mengadakan musyawarah. “Wahai, Adikku Roger! Kita semua sudah tahu, bahwa di antara kita bersaudara engkaulah yang paling gagah dan pemberani. Maka sepantasnyalah engkau yang harus menjemput Putri Pisang Masak ke Jambi,” kata Marudum Sakti kepada adiknya. “Benar, Abang! Kami setuju dengan pendapat Abang Marudum Sakti,” tambah Tuntun, adik Bungsunya. “Ya, kami juga sepakat,” sahut saudara-saudaranya yang lain serentak. Akhirnya, diputuskan Roger diutus ke Jambi untuk membawa pulang Putri Pinang Masak dengan damai. Keesokan harinya, Roger berangkat ke Jambi seorang diri. Negeri Jambi dijaga ketat, karena terjadi pertentangan antara Raja Telni Telanai dengan Belanda. Setelah melakukan perundingan dengan para pengawal istana, Rogerpundiizinkanuntuk menemui RajaTelni Telanai. “Hai, Orang Muda! Kamu siapa dan dari mana asalmu?” tanya Raja Telni. “Ampun, Baginda! Hamba Roger. Hamba berasal dari Indragiri,” jawab Roger, tanpa memberitahukan sang Raja kalau dirinya adalah adik kandung Putri Pinang Masak. “Apa gerangan yang membawamu kemari, Roger?” Raja Telni kembali bertanya. “Ampun, Baginda! Jika Baginda berkenan, izinkahlah hamba

halaman 30


ikut membantu m e n g u s i r Belanda dari negeri ini,” Roger memohon kepada Raja Telni. Raja Telni menyambutnya dengan gembira, seraya berkata, “Baiklah, Roger! Kamu boleh tinggal di istana ini.” Sejak itulah, Roger tinggal di istana Kerajaan Jambi. Putri Pinang Masak telah mengetahui keberadaan adiknya itu, namun ia tidak pernah bercerita kepada siapa pun tentang hubungan mereka. Untuk menguji keperkasaan Roger, berkali-kali Raja Telni mengutusnya untuk menumpas para perampok yang berkeliaran di perairan Jambi. Oleh karena kesaktiannya, Roger selalu berhasil, sehingga ia diangkat menjadi dubalang negeri. Tak lama kemudian, Roger pun diperkenankan untuk ikut berperang melawan Belanda. Pada malam sebelum berangkat ke medan perang, diam-diam Putri Pinang Masak menemui adiknya dan memberinya selendang cindai sebagai pusaka. Berbekal cindai dan kesaktiannya, Roger pun berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Segenap raja Jambi menyambutnya sebagai pahlawan. Oleh karena jasa-jasanya terhadap kerajaan, Raja Telni Telanai menganugerahkan gelar “Datuk” dan mengukuhkan Roger sebagai “Dubalang Utama”. Maka lengkaplah gelar Roger sebagai ”Datuk Dubalang Utama Roger”. Waktu terus berjalan. Raja Telni Telanai mulai sakit-sakitan. Akhirnya, ia pun menyerahkan tampuk kekuasaannya kepada putranya, Raja Dewa Sikaraba Daik. Namun sejak pemerintahan dipegang oleh Raja Dewa Sikaraba Daik, kerajaan menjadi lemah. Banyak pengkhianat muncul di lingkungan istana. Kesempantan itu kemudian dimanfaatkan oleh Belanda untuk menekan raja muda itu.

halaman 31


Setelah terus dibujuk dan didesak oleh para hulubalang yang menjadi mata-mata Belanda, akhirnya Raja Dewa Sikaraba Daik yang lemah itu mau menandatangani perjanjian perdamaian dengan Belanda. Datuk Roger pun ditangkap. Dengan tangan diikat, Datuk Roger dibawa ke kapal untuk ditenggelamkan di tengah-tengah samudera. Namun, sewaktu akan menaiki kapal, tiba-tiba terjadi peristiwa gaib. Dengan izin Allah, Roger tiba-tiba menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikit pun. Lama Roger tidak muncul, sehingga orang-orang Belanda menganggapnya telah mati. Sepeninggal Datuk Roger, Belanda kemudian menyerang Kerajaan Jambi. Banyak pasukan Raja Dewa Sikaraba Daik yang gugur. Mereka pun semakin terdesak oleh Belanda. Pada saat yang kritis itu, tibatiba Datuk Roger muncul. Kemudian ia memohon izin kepada Raja Sikaraba Daik untuk melawan Belanda. Dengan keperkasaannya, Roger dan pasukannya berhasil memukul mundur pasukan Belanda. Para pengkhianat kerajaan kemudian ditangkap dan dihukum mati. Kerajaan Jambi kembali aman dan damai. Raja Dewa Sikaraba Daik pun memimpin rakyat Jambi dengan arif dan bijaksana. Melihat kondisi sudah kembali aman, Datuk Roger pun bermaksud kembali ke Indragiri. Ia pun segera menghadap Raja Dewa Sikaraba Daik, “Ampun, Baginda! Kini saatnya hamba harus pulang. Jika Baginda memerlukan Hamba, panggillah hamba di Desa Siambul, di Hulu Batang Gangsal, Siberida, Indragiri,” kata Datuk Roger. Mengetahui adiknya akan kembali ke Indragiri, Putri Pinang Masak segera bersimpuh di hadapan suaminya, Raja Dewa Sikaraba Daik, ”Maa$an Dinda, Kanda! Sebenarnya Dinda adalah kakak kandung Datuk Roger. Izinkanlah Dinda pulang ke Indragiri bersamanya. Dinda akan segera kembali ke istana ini untuk melahirkan putra kita.” Raja Dewa Sikaraba Daik terkejut mendengar perkataan Putri Pinang Masak. “Benarkah itu, Datuk Roger?” tanya sang Raja penasaran. “Benar, Baginda Raja!” jawab Roger singkat. Akhirnya, Raja Dewa Sikaraba Daik mengetahui hubungan persaudaran mereka yang selama ini dirahasiakan. Namun, mengingat Datuk Roger telah berjasa kepada kerajaan Jambi, sang Raja pun memakluminya. Dengan berat hati, Raja Dewa Sikaraba Daik mengizinkan Putri Pinang Masak pulang ke Indragiri bersama adiknya. Keesokan harinya, sebelum kakak beradik itu berangkat, Raja Dewa Sikaraba Daik menyerahkan Plakat Kerajaan yang berisi maklumat bahwa hutan di daerah Jambi diserahkan kepada anak halaman 32


cucunya melalui keturunan dari Putri Pinang Masak. Setelah menempuh perjalanan jauh, sampailah Roger dan Putri Pinang Masak di Indragiri. Mereka disambut oleh masyarakat Siambul dengan suka-cita dan haru. Untuk meluapkan perasaan gembira tersebut, masyarakat desa mengadakan upacara gawai atau selamatan. Dalam suasana gembira tersebut, Datuk Marudum Sakti berkata, “Keluarga kita sudah utuh kembali. Peristiwa ini hendaknya kita jadikan pelajaran berharga agar selalu membela dan melindungi saudara-saudara kita.” Sesuai dengan Plakat Kerajaan yang diberikan oleh Raja Dewa Sikaraba Daik, selanjutnya anak keturunan Putri Pinang Masak berkembang menjadi Suku Kubu dan Talang Mamak yang menguasai hutan Jambi. Hingga kini, kedua suku tersebut masih dapat ditemukan di daerah-daerah pedalaman di Indragiri Hulu dan Jambi.***

(Dari Cerita Rakyat Indragiri Hulu. “ Mahligai Keloyang dan Cerita Lainnya”)

(

halaman 33


Cerita-Pendek

Khabar Terakhir Anneke Dijkstra oleh Dantje S Moeis halaman 34


Hari ini memang agak lebih siang dari biasanya aku membuka studio, sekaligus kiosk tempat memasarkan karya-karya lukisanku. Hampir setahun aku menempati kiosk ini. Kiosk yang berlokasi di pasar seni, sebuah kawasan yang disediakan pemerintah kota, untuk menunjang program mereka menjadikan kota ini, sebagai kota berwawasan seni. Dari kiosk seberang, ditengah hiruk pikuk bunyi kendaraan yang melintas di depan, tak terdengar olehku teriakan Teuku Johan, teman sesama perupa pemilik kiosk diseberang sana, yang menghimbau. Dengan dengus nafas ngos-ngosan, karena sesak berlari menyeberang jalan, Teuku Johan dengan logat Acehnya yang ketal berkata. “Dasmo Orindra, tadi pacarmu orang bule itu menunggu. Tampaknya ia tergesa-gesa dan menitipkan surat buatmu padaku.” “Oh ya? Terima kasih. Kau ada-ada saja. Dia bukan pacarku, masak orang yang belum jelas statusnya kupacari, gila apa?” “Siapa tahu?” Teuku Johan sambil berlari kecil meninggalkanku, tersenyum usil. “Sialan...”. Dasmo Orindra yang baik, Aku buru-buru harus berangkat ke Belanda untuk mengurus surat pindah tugas. Dari pimpinan kantor tempatku bekerja yang berpusat di Belanda, aku dipindahkan dari sini untuk bertugas di Toronto, Canada. Aku harap kau baik-baik saja dan persahabatan kita tidak akan terputus tersebab rentang jarak yang memisahkan. Mudah-mudah kita bisa bertemu lagi. Zoentjes, Anneke Dijkstra Aku hanya dapat tersenyum kecut setelah membaca surat pendek Anneke Dijkstra, dia minta dipanggil dengan Anne saja, perempuan Belanda yang kukenal lebih kurang setahun ini. Sebuah persahabatan dengan awal-awal perkenalan yang unik. Sore itu sesudah pertemuan pertama dengannya. Sesuai perjanjian kami, Anne datang mengambil lukisan potret seorang lelaki. Tak pernah kuketahui, bahwa orang yang dipotret itu adalah siapanya Anne. Anne tampaknya tak ingin hubungannya dengan pria di potret itu diketahuiku. “Hanya teman biasa.” Begitu katanya singkat.

halaman 35


“Wow! Bagus sekali, lebih bagus dan lebih cakep dari aslinya.” Begitulah komentar Anne, begitu melihat lukisan pria, pesanannya. Aku memang diberikan kebebasan estetika, oleh Anne dalam menyalin, memberikan sentuhan senirupa, sehingga lukisan tersebut tidak lagi seperti gambar potret. Dan yang lebih utama, aku dapat dengan leluasa memberikan efek-efek seni-murni yang memperkaya, sehingga hasilnya bermuatan lebih dari sekedar kerja kamera atau proses fotografi. “Berapa hari kau mengerjakan ini.” “Dua hari. Sehari kugunakan untuk pekerjaan sketcher dan penggarapan bentuk, pada hari kedua kugunakan buat perbaikan dan finishing touch.” Lagi-lagi, “wow,” sebagai ekspresi rasa puas dan kagum Anne. “Cuma,” Anne melanjutkan kata-katanya. “Hanya buat sebuah karya yang dikerjakan dua hari, aku harus membayar cukup mahal, seandainya dikurskan dengan Dollar menjadi Delapan Ratus Dollar.” Anne tertawa, entah kecewa atau mengejek tak tahulah. Yang jelas aku tersinggung. “Anne, untuk anda ketahui, separuh dari umurku telah kuhabiskan atau kugunakan, untuk mengerjakan lukisan ini dan lukisan-lukisan lainnya. Tanpa pengkayaan dari pengalaman yang melelahkan selama itu, aku takkan berhasil menyelesaikan karya yang anda sendiri barusan mengatakan puas dan mengaguminya.” Dengan nada tinggi. “Aku paham, aku hanya bergurau dan mengusikmu. Rupanya hampir semua seniman punya rasa sensitivitas dan ketersinggungan tinggi sehingga minim sense of humor.” Aku merasa malu dan, “maa$an aku”. “Lupakan saja, jangan sampai peristiwa ini merusak kuncup bunga awal hubungan kita.” “Merusak kuncup bunga awal hubungan kita?” Terus terang aku tak paham makna dari kata-katanya. “Ah, biarkan saja.” *** Pertemuan demi pertemuan, membuat aku semakin akrab dengan Anne. Dia sangat terbuka, seperti lazimnya perempuan negeri barat. Segala sesuatu tentang dia, sampai hal-hal yang sifatnya pribadi, dengan terus terang ia ceritakan padaku. Mulanya aku tak percaya dia dapat melakukan itu, seandainya tidak dalam pengaruh alkohol berkadar tinggi. Namun tidak demikian. Dalam keadaan sadarpun, ia banyak bercerita tentang dirinya. Yang tak pernah ia ceritakan,

halaman 36


baik dalam keadaan sadar atau mabuk alkohol, adalah tentang hubungannya dengan lelaki yang sifatnya spesial atau khusus. Sehingga aku hingga kini tak mengetahui apakah ia sudah bersuami atau belum. Pernah pada suatu kali pertemuan, aku menanyakan, karena sebelumnya ia bertanya, apakah aku sudah mempunyai hubungan istimewa dengan perempuan lain atau belum. Menjawab pertanyaanku ia hanya tertawa keras, sehingga menarik perhatian pengunjung lainnya di cafe tempat pertemuan itu. Mungkin untuk tidak mengecewakanku, ia jawab juga dan jawabannya membuat aku terperangah karena kejujurannya yang kuanggap berlebihan. Sehingga bagiku, ia terkesan mengumbar aib yang secara sadar ia lakukan. “Ah, hingga saat ini aku belum bertemu dengan lelaki yang sreg dihati dan kalaupun ada lelaki yang pernah dekat denganku, itu hanya sebatas pemenuhan kebutuhan biologis aku dan dia. Setelah itu kami sedikitpun tidak pernah terpikir membuat agreement yang mengikat. Jadi, hingga saat ini aku lupa pada mereka, berapa jumlahnya, mungkin sepuluh, seratus bahkan mungkin seribu lelaki yang pernah kukenal dekat, berhubungan, lalu dengan rentang waktu yang tidak terlalu lama, munculah rasa bosan, muak karena tak memberikan sesuatu bagi pengkayaan batin, kecuali hanya pengalaman seksual dan kepuasan sesaat yang meletihkan. Ha...ha..ha...” “Kau membuat pilihan hidup dalam lingkaran yang beresiko tinggi.” “Ah kau. Kita sejak dilahirkan sudah dihadapkan pada resikoresiko itu. Kenapa takut?” “Mungkin kau benar. Tetapi kau, bukan tidak dihadapkan pada pilihan lain yang tidak terlalu dihadang oleh resiko tinggi.” “Resiko seperti apa yang kau maksud?” “Resiko pada janji Tuhan apabila melakukan larangannya. Janji Tuhan dari segala agama, bukan hanya agamaku tapi juga agamamu, apapun itu.” “Oh ya?” “Betul, aku yakin sesuai dengan imanku. Dan adalagi resiko lainnya, seperti penyakit akibat hubungan seks yang akibatnya sangat menakutkan.” “Aku saat ini seperti berhadapan dengan penginjil sekaligus dokter. Sorry, aku tak suka itu.”

halaman 37


“Maaf kalau begitu, terserah kau, aku hanya mengatakan apa yang aku tahu dan kuyakini kebenarannya. Lupakan saja.” *** Memang hari-hari pertemuan dalam menjalin persahabatan kami, lebih banyak difasilitasi oleh dunia malam. Disebuah tempat, di pojok jalan Melawai, dekat Akademi Grafika, yang bernama “Old West Bar”. Aku bukanlah seorang penyuka alkohol. Sehingga aku selalu dalam keadaan sadar, merasa berat dan agak mengganjal dihati, tatkala terpaksa membopong Anne keluar dari bar dalam keadaan sempoyongan, memanggil taksi dan menghantarnya pulang ke apartement. Akhir dari peristiwa yang berulang-ulang kulakukan, demi rasa belas dan kasihan, membuat aku menjadi tersiksa, menanggung hasrat penyaluran dan terkadang membuat tak dapat memicingkan mata hingga pagi. Atau kalaupun tertidur, selalu dijagakan oleh mimpi basah yang lumayan melegakan. Bagimana tidak, saat membopong, hampir segala bahagian dari tubuh sintal Anne yang membangkitkan rangsangan, mau tak mau harus kupegang atau tak sengaja terpegang. Syukur, bahwa Tuhan sayang padaku dan selalu mengingatkan, sehingga kami atau aku, tak pernah sedikitpun terbetik niat buat melakukan hal-hal terlarang. “Puji syukur ya Allah.” Spontan aku menengadahkan kepala, membuka kedua telapak tangan ke langit, padahal aku sangat tahu, bahwa Tuhan ada di mana-mana, tidak hanya di langit sana. *** “Dasmo Orindra. Kau satu-satunya lelaki aneh yang pernah kukenal.” Setelah ia membangunkanku yang sengaja tidur malam itu di sofa apartementnya. Malam itu, aku sungguh tak tega meninggalkan ia sendirian dalam kesakitan, mual dan muntah berkali-kali, akibat pengaruh alkohol yang digogoknya. “Mengapa begitu?” “Kau sama sekali tak mengusikku dan membiarkan aku tidur sendirian di ranjang. Padahal kau mempunyai kesempatan untuk melakukannya dan aku pasti takkan menolak. Atau aku sama sekali tak menarik bagimu? Sehingga hasrat seksualmu tak bangkit sama sekali.” Anne menghirup kopi dan menyalakan rokok, menghisapnya dalam-dalam. “Cuma, sebagai orang yang membenci perilaku pemaksaan, aku juga tak ingin kita melakukan itu tanpa kesepakatan dan saat

halaman 38


berhubungan itulah, moment penyaluran dimana kita betul-betul saling membutuhkan, serta menemukan kepuasan yang maksimal.” “Oh, kau salah. Lelaki mana sih yang tak bangkit keinginan birahinya, ketika menggendong orang secantik kau ke atas tempat tidur. Melihat kau terlelap sendirian tidur hanya dengan mengenakan pakaian seadanya. Tetapi ada sesuatu yang dapat mengalahkan keinginan itu. Yaitu moral kami, agama kami, yang melekat kuat di hati sejak dulu.” Aku tahu, Anne tak suka diceramahi seperti itu. Bahkan aku teringat ketika ia menyamakan aku dengan pengkotbah, saat berkomentar tentang kebiasaannya yang salah dimata agama. Namun aku tak perduli, aku yakin dengan kegigihanku. Mudah-mudahan Tuhan dapat memberikan kesempatan aku untuk berbuat baik, dengan memperbaiki cara hidup Anne. Ketaksukaan Anne tampak jelas terpancar dari perilakunya. Ia seperti acuh tak acuh, bernyanyi-nyanyi kecil dan terus menghisap rokok, menghembuskannya berkali-kali. Kegigihan yang cerdas, bukanlah kegigihan yang dipaksakan. Aku paham sekali akan hal itu. Bukan berarti putus asa, keinginanku untuk merubah sikap Anne yang sudah mendarah daging di dirinya takkan pernah berhenti. Cuma ada kesulitan yang kuanggap sebagai tantangan. Aku dan Anne dari kepercayaan yang berbeda, begitu juga dengan kultur, yang jelas-jelas tak dapat diselaraskan, tanpa argumentasi dan metafora bersifat universal. Apalagi Anne, yang kuanggap sudah terlalu masuk dalam lubang tanpa kaidah agama. Aku coba mengalihkan pembicaraan, agar suasana tak menjadi beku. Kulihat Anne menggigit-gigit kukunya. Kebiasaan buruk ini kutandai muncul, apa bila ia dalam kegalauan dan ini selalu kuperingatkan, seperti juga kali ini. “Mulai lagi ya, kebiasaan burukmu itu.” “Oh ya,” Anne menarik jari-jarinya dari mulut, “terima kasih Dasmo Orindra. Kau selalu memperingatkanku dan itulah, yang membuat aku merasa terperangkap dalam penjara indah yang kau ciptakan. Berbeda dengan laki-laki barat yang pernah kukenal, mereka egois. Mereka tidak pernah memperhatikan detail. Padahal, pada masalahmasalah yang sederhana itulah menurutku, wujud dari perhatian yang tulus, jujur tanpa embel-embel lain.” “Terimakasih. Kau terlalu memujiku.” Pikiranku yang menerawang pada kenangan bersama Anne, sontak

halaman 39


terganggu mendengar ring tone dari smart phone penanda e-mail masuk untukku. Saudara Dasmo Orindra, Sahabatku yang juga sahabatmu, Anneke Dijkstra, pagi tadi meninggal dunia dalam damai. Berdasarkan surat keterangan kematian dan diagnosa dokter, ia meninggal karena lama mengidap penyakit HIV Aids dan keracunan alkohol. Pesan terakhirnya, ia memberi alamat e-mailmu dan meminta aku memberitakan tentang dan penyebab kematiannya ini padamu. Ia bersyukur, berkat imanmu yang kuat, kau tak sempat tertular penyakit yang diidapnya walau kesempatan itu selalu ada. Marry Jane Toronto, Canada Seperti kerasukan, aku menghambur masuk ke kamar mandi, menanggalkan segala pakaian yang melekat di badan, mandi dan menuangkan sebotol penuh cairan pembersih ke sekujur badan. Memang ketakutan berlebihan membuat seseorang dapat melakukan hal yang tak masuk akal. Walau aku sangat tahu, penyakit yang satu itu takkan menular karena hanya bersentuhan badan. Rest In Peace for Anneke Dijkstra. ***

(

halaman 40


Sajak

Sonny H. Sayangba! Bunga Sakura Jernih Melihat Bangsa Kucing Sebiji Benih Sebuah Cincin Batu Alexandrei Kenangan Bunga adalah kekasihku

Sonny H. Sayangba! Tinggal di Jakarta, Penulis puisi dan terbitkan di media cetak Koran Atjeh Post, Koran Bogor, Rima News, dll. Dua buku antologi puisi karya bersama, Lentera Nusantara dan Manusia dan Mata-Mata Tuhan. Ak!f menulis di media online Info For Us sebagai halaman puisinya.

halaman 41


Sekarang Kamu Mengerti

Saat matahari terbit: Ibu ayah ke mana ? Ayah sedang bersinar jadi matahari Ketika matahari tenggelam: Ibu ayah sudah pulang ? Ayah jadi lampu di langit Suatu saat di kala usia remaja: Ibu, sekarang aku tahu ayah itu cahaya berpendar dia senantiasa bersinar Terima kasih nak, sekarang kamu mengerti

halaman 42


Bunga Sakura

Sakura, sakura aku memanggilmu dari kejauhan begitu lentik bungamu seperti mata kekasih saat musim semi tiba engkau mewarnai bumi dengan senyum merekah wahai kekasih merapatlah ke tubuhku karena engkaulah yang kukasihi sakura, sakura sukida aishiteiru

Jernih Melihat

Sebuah sudut ya hanya sudut apa itu sudut pandang darimana kamu melihat bukan tentang apa yang kamu pikir tapi apa yang kamu rasa sebab mu adalah sebuah jiwa yang hidup

halaman 43


Bangsa Kucing

Lihatlah rembulan malu-malu mungkin ia enggan melihat kita memadu kasih apalah kita, bangsa kucing hanya bisa meong Kita pun bersyukur romantisme juga milik bangsa pus

Sebiji Benih

Bunga yang kutanam dan kusirami setiap hari akhirnya tumbuh menghias halaman rindu di rumahku selamanya

halaman 44


Sebuah Cincin Batu Alexandrei

Suatu ketika aku diberikan sebuah batu warna merah, sebuah batu daru Rusia, Alexandrei nama batu itu, bentuknya di cutting diamond, terlihat indah sekali Tidaklah bosan melihat batu warna merah itu, mau dibentuk seperti apa ? Terpikir olehku untuk mencari model cincin di majalah mode, dapatlah sebuah bentuk Pagi sekali aku bangun ke Atrium Senen, konon kabarnya toko emas gang Kenanga sudah ada dari zaman Belanda, dan aku memberikan contoh dan batu merah itu Seminggu kemudian sebuah cincin bentuk kotak dengan batu Alexandrei terhias di jariku dengan indahnya, aku menyukainya, sebuah karya pikirku Tidaklah heran zaman nabi Sulaiman segala jenis batu mulia menjadi penghias bait Allah, beserta mahkota raja-raja bumi Namun aku bersedih berkepanjangan, suatu hari, hasil karyaku harus masuk dalam laci bertulisan ‘mngatasi masalah tanpa masalah’

halaman 45


Kenangan

Setiap hari minggu aku selalu membuka pintu almari itu, merapikan isinya dan membuka kotak laci di tengah almari untuk memeriksanya di situ, selalu saja aku melihatnya dengan tetetasan air mata, semua isinya masih seperti dulu, rapih dan bau kanper serta gantungan baju yang berjajar. Saat hari libur aku mencuci pakaian dan merapikan rumah agar terjaga dan teratur penuh kehangatan, seperti biasanya, aku menganggap rumah selalu seperti dahulu penuh kehangatan dan canda tawa riang, di sudut ruangan tempat televisi itu berada, dia selalu menonton kesukaannya Premier League. Seperti orang Inggris layaknya, yang lebih mencintai bola daripada kekasih, baginya aku ini hanya selimut malam yang dipakai jika hawa dingin menyerang tubuh, dahulu penuh kehangatan lebih dari selimut, dan dia benar-benar melarikan diri dengan si gadis blonde begundal itu, pergi ke London Tinggal aku sendiri, di rumahku, menjadi ratu tanpa raja, seperti bidak catur yang bebas melangkah membela sang raja, tak terasa air mata ini menetes dalam keheningan malam, menatap rembulan yang sembab tanpa sinar, aku luluh, hatiku hancur sia-sia, ah ... aku ingin menulis puisi, puisiku adalah kesedihan, kerajaan air mata.

halaman 46


Bunga adalah kekasihku

Entah kenapa jiwaku menyukai bunga, bunga adalah keindahan, aku menyukai, seperti aku menyukai kekasihku, aku suka mencium aromanya, indah sekali, sedap dipandang mata. Keindahan milik seorang pria, bunga ditanam untuk bertumbuh dan bertunas, berbunga, dan pada musimnya kumbang mencarinya, menghirup sari putiknya, terasa manis menyenangkan, ya bunga menghias dunia dengan cantiknya. Itulah sebabnya Tuhan menciptakan Taman Firdaus, sebuah taman tempat pria menikmati kerja kerasnya, beriman, beribadah dan memenuhi janjinya, untuk bertemu dengan kekasihnya, bidadari yang cantik dan jelita.

(

halaman 47


Sajak

Afriyan! Taman Lelah Sajak Senja yang Bernyanyi Mentawai dan Merapi Menunggu Hujan Meneguk Segelas Duka Merengkuh Hujan Memancing Senja Perjalanan Cendrawasih Kautakik Ceritaku Sujud Aku Karya Bapakku Resah di Musim Kering

Afriyan! Lahir di Sungaipakning, April 1989. Mahasiswi Broadcs!ng Ilmu Komunikasi UIN SUSKA. Peminat Sastra dan ak!f menulis cerpen dan puisi. Berberapa karya pernah dimuat di Riaupos laman Budaya dan Ekspresi, Majalah Sagang dan Koran kampus dan termaktub dalam buku “rahasia ha!” antologi penyair muda Riau 2010. Berkecimpung di Sekolah Menulis Paragraf di Pekanbaru-Riau. Komunitas Indiedoku perfilman, dan komunitas teriak dalam diam serta komunitas JEDA di drama radio.

halaman 48


Taman Lelah

aku dalam gelut waktu bernyanyi di atas lara kecut berbunga lelah setia pada fajar yang tenggelam dalam pahit labirin sunyi membalut lidah bermuara di angin resah pada malam tengik, kautebas kelamin rinduku dari kicau burung hantu, kaubingkis renta di simpang kematian kujinjit langit merebah tunggu, kulukis laknat di musim-musim harap kutawar ceroboh pun kita ramu perjalanan kecewa menengok taman-taman nyawa berbunga.

halaman 49


Sajak Senja yang Bernyanyi Mentawai dan Merapi Menunggu Hujan Meneguk Segelas Duka

/1/ Kupetik waktu yang paling putih menikmati nada-detak jam menunggu hujan meneguk segelas duka dan menawar mimpi menjamah matahari lalu berlari, selamatkan diri! /2/ sebagai rintihan yang menjalar di setiap mata merah merapi kutikam sejarah dengan kata penuh makna menghujat peristiwa yang meninggalkan darah dan mayat-mayat tanpa nama berserak oleh mentawai

halaman 50


/3/ malam sepi memaksaku menulis lagi tentang risau menjamah tulisan ini. Sementara sepasang bola mata mengajakku bermimpi sebelum pagi menjalar menagih mimpi. kegelisahan terus saja menghantui penyair muda, menjadikan referensi karya-karya yang tersisa akan sajak yang penuh derita, yang bercerita tentang maut dan kematian yang sunyi berpeluk sepi. /4/ di hitam matamu menawar mawar dan melati jadi saksi akan gelut-kemelut yang hanyut oleh mentawai dan merapi yang berdesir mengeja senja yang bernyanyi

halaman 51


Merengkuh Hujan Memancing Senja

/1/ aku berteriak pada muara memanah jantung hujan mengejar pencuri senja

/2/ kutimba air mata senja kepada bulan yang sawan, kubisikkan tentang mimpi yang sudah lama tidak di isi

/3/ kurengkuh setubuh suaramu, hujan! hanya memetik sedikit keberanian betapa bimbang mengurung risau gigil sunyi, kusimpan di jantung waktu seraya menengok hujan memancing senja

halaman 52


Perjalanan Cendrawasih

/1/ Langit masih saja sibuk berdandan sementara pesta malam akan segera dimulai dengan cinderella berdansa bersama pangeran dan di udara terdengar sedu sedan /2/ dari tempat gelap, rembulan mengintip; kampung cinta penuh dusta adalah pemuda menggadaikan hati untuk perempuan yang berjalan angkuh bagai cendrawasih

halaman 53


/3/ kelelahan meniduri diri dalam kebisuan menjerit-jerit ketika dahaga terpuaskan dan ia hanya bisa mengutuk diri kala dulu ia adalah bunga desa harum bak mawar, sombong bak mentari serasa angin menampar muka /4/ kupetik waktu yang paling putih menikmati nada-detak jam menunggu panggilan cinderella meninggalkan pesta oleh luka-luka tak kupercaya lagi kedatangannya! membunuh aku dengan tikaman mesra akan duka cinta dan meneguk segelas duka duduk bermuram durja

halaman 54


Kautakik Ceritaku

Kautakik ceritaku dalam dengus gemas pun saat aku menari-nari di bola matamu pada embun mengkristalkan kemilau purnama kaudendangkan rubayat malam yang terluka setelah kauajari aku pada lembar desah kudirikan di atas nisan puisi yang gegap dan hampa di sepetak bulan yang jatuh di dada

Resah di Musim Kering

Dalam resah yang tak pasti, dentang guruh berdesakan hangus terpanggang di atas perapian rindu denting dawai biola berbisik dengan galau ilalang luruh menyambut sepi meski kabut dan senyum adalah nyanyian jerami pun gugur di musim kering dan lumbung pasrah diperkosa waktu

halaman 55


Aku Karya Bapakku

Kuteguk ranum gelisahmu dari pundak bapak, kupunguti ciuman ibu untukmu aku tak punya apapun tuk dicerita sejak darahku di bajak kausentuh jidatku dengan kumismu setiap langkah kaugubah biarpun jatuh kerumput mimpi, bibirmu diam ketika dingin menyentuh di sudut kamar kau tinggal derap langkah tentang tubuh senjamu yang lelah di kanal harap

Sujud

kupendam warna warna senja mencecah sunyi yang kelu kuserahkan sepenggal bebas meneguk malu yang dusta tenggelam pada Mu, renyai sujudku

(

halaman 56


Teropong

Sinopsis Budaya Talang Mamak Indragiri-Hulu (Kahasanah Budaya Melayu Nusantara)

1. Musik Celempong

3. Pekabaran

Musik tradisional yang dimiliki dan tetap lestari turun temurun pada masyrakat pedalaman Talang Mamak. Celempong dimainkan dalam berarak pengantin pada acara Gawai dan acara Rebung Berbunga (gotong royong) menugal ladang.

Salah satu bentuk teater mula yang masih hidup dikalangan pedalaman Talang Mamak. Pekabaran ini menuturkan riwayat, sejarah kehidupan Suku Talang Mamak dari negeri asal sampai tinggal menetap di Indragiri. 4. Genggong

2. Tari Beringin Sonsang dan Balai Panjang Tari Beringin adalah tari memuja beringin. Masyarakat pedalaman Talang Mamak Kebatinan Siambul dan Ranting Cawan percaya bahwa nenek moyang mereka berasal dari putra putri nan tujuh turun dari khayangan membawa Baringin, pucuk nya dibawah dan akarnya si atas. Tumbuhlah Beringin yang sinsang dan dianggap keramat dinegeri Talang Mamak Siambul. Tari Balai Panjang adalah tari persembahan kepada putra putrid nan tujuh dan juga persembahan untuk para tamu yang datang ke negeri Talang Mamak Kebatinan Siambul dan Ranting Cawan.

Adalah alat musik terbuat dari pelepah enau. Biasanya Genggong dipergunakan saat- saat istirahat menghibur diri sendiri. Dan bagi jejaka genggong digunakan saat berdendang pada malam hari memanggil gadis untuk turun ke tanah. 5. Musik Kelentong Musik Kelentong terbuat dari kayu yang ada di sekitar pemukiman Suku Talang Mamak, kayu dipotong lima dipukul untuk menghibur diri saat-saat menjaga padi. 6. Musik Gendang Serama Terdiri dari dua buah Gendang dan Tetawak,

halaman 57


digunakan saat mengadu ayam dan musik akan berhenti apabila salah satu ayam sudah kalah/ menang. 7. Kain Sindei Kain Sindei adalah kain pusaka yang dibuat oleh putri khayangan (Istri Datuk Patih) selama dia hamil dan selesai menjelang dan melahirkan anaknya (lebih kurang selama 9 bulan) menurut cerita pemegang Kain Sindei tersebut. Kain Sindei ini digunakan Putri tersebut sebagai Ambin (Kain gendong), selimut dan buaian anaknya. Setelah anaknya pandai berjalan, Datuk dengan istrinya sering terjadi pertengkaran dan perselisihan dan menyebabkan Datuk Patih selalu keluar rumah untuk menghindari pertengkaran dengan istrinya. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh istrinya untuk mencari selendang terbangnya. Lama kelamaan selendang terbangnya ditemukan diatas alang. Sewaktu anaknya tidur, diselimutinya dengan Kain Sindei, sedangkan Datuk Patih tidak dirumah. Saudara-saudaranya turun dari khayangan untuk melihat Putri yang menikah dengan Datuk Patih tersebut, sebelumnya mereka sudah mengetahui bahwa Putri tersebut sudah tidak ada kecocokan dan selalu rebut dengan suaminya. Maka pada kesempatan tersebut diajaklah saudaranya itu untuk kembali ke khayangan. Dengan perasaan sedih Putri khayangan tersebut meninggalkan anaknya yang lagi tidur dengan meninggalkan Kain Sindei yang diselimutkan pada anaknya. Sewaktu Tuan Putri terbang dan membumbung ke angkasa Datuk Patih pulang ke rumah, akan tetapi sudah terlambat, istrinya telah menghilang. Karena anaknya belum diberi nama, maka

halaman 58

diberikanlah nama pada anaknya nama Pembumbung untuk mengingatkan pada istrinya yang telah membumbung. Setelah anaknya dewasa, Datuk Patih melanjutkan perjalanan dan Kain Sindei buatan istrinya diserahkan kepada anaknya yang diangkat menjadi Batin/ Penghulu di Pulau Sicaram yang sekarang bernama Aur Cina. Sampai sekarang Kain tersebut masih ada disimpan di rumah Pak Zinuddin di Desa Aur Cina, Kecamatan Seberida Kabupaten Indragiri Hulu. Dan sudah dipegang oleh 10 keturunan sejak dari Pembumbung. 10 Keturunan tersebut : 1. Pembumbung 2. Pembumbung Pantai 3. Pembumbung Rabung 4. Pembumbung Misit 5. Pembumbung Tando 6. Pembumbung Musim 7. Pembumbung Rimbo 8. Pembumbung Samil 9. Pembumbung Bahudin 10. Pembumbung Zainuddin Upacara Balai Panjang Balai Panjang adalah upacara pengobatan dan tolak bala yang dilakukan oleh masyarakat pedalaman Talang Mamak khususnya daerah Siambul dan sekitarnya. 1. Pelaksanaan Upacara : a. Persiapan Mengadakan malam kecil : Dukun meninjau pembuatan peralatan, menyapu obat, menghadap sanggaran tujuh (memohon kepada putri tujuh) untuk mengadakan Upacara Balai Panjang.


b. Pelaksanaan Balai Panjang dilaksanakan : mulai jam 08.00 malam (20.00) dan berakhir jam 04.00 pagi (semalam suntuk) atau tergantung pada banyaknya masyarakat yang berobat dan banyaknya permainan/ kesenian yang diturunkan oleh dukun. Pada pagi harinya masyarakat yang berobat diberikan oleh dukun jenis obat sesuai dengan jenis penyakit. 2. Yang Terlibat Dalam Upacara : a. Dalam upacara, Batin (kepala suku) bertindak sebagai penanggung jawab. b. Dukun (laki-laki, boleh satu atau dua) adalah pemimpin pelaksana Balai Panjang. c. Kebayu (laki-laki 2 orang) adalah pembantu dukun dalam kegiatan pengobatan dan permainan. d. Penginang (perempuan 2 orang) adalah pembantu dukun dalam menyiapkan ramuan, asapan, membantu memakaikan pakaian yang akan digunakan dukun dan bertugas sebagai penandung (nyanyian). Jika salah satu peronil tidak ada maka upacara tidak dapat dilaksanakan. 3. Pantangan/ Tabu : a. Tidak boleh mmanggil nama dukun. b. Tidak boleh membuat kericuhan/ perbuatan amoral. Pada upacara tersebut tidak ada pantangan makan-makanan tertentu.

4. Peralatan dan Bahan Balai Panjang : a. Sanggaran tujuh bahan bambu dan sesajen. b. Berbagai jenis Ancak bahan pelepah dan daun/ pucuk enau c. Berbagai jenis Pesilih, lancing bahan pelepah dan daun/ pucuk enau. d. Daun-daunan : daun pisang, pucuk enau, daun beringin, upih pinang bambu dan daun bambu. Teater Tutur “Be Sijabang� Sinopsis : Besijabang adalah Teater Tutur yang hidup dan berkembang didaerah Aur Cina Seberida, bertutur tentang kisah Raja Kayangan ANGGUN SIJABANG, sesuai dengan bentuk penampilan/ nama penampilan Besijabang, maka penutur menyampaikan cerita tentang si jabang. Ciri khas daripada Teater Tutur ini adalah : si penutur menyampaikan kisah dengan melakonkan peran dari pada isi cerita. Kadangkala si penutur dibantu oleh seseorang dalam berperan. Teater Tutur Besijabang telah ada semenjak dulu kala (Sebelum Indragiri memiliki Sultan). Tempo dulu Besijabang dimainkan sebagai hiburan bagi masyarakat dikala ada nikah kawin, sunatan, menyemai ladang, menunggu karet, berkumpulkumpul di desa. Biasanya kesenian ini ditampilkan semalam suntuk. Keadaan Teater Tutur Besijabang saat ini hampir punah, hal ini disebabkan penuturnya hanya tinggal seorang saja di Desa Aur Cina yaitu : Pak JAFRI (lahir tahun 1938). *** (Red. Sumber INT)

halaman 59


Tokoh

Harry Toledo Bassist Jazz Asal Riau

re residen Indonesian Bass Fa Family (IBF) Harry Toledo, seorang musisi kebanggaan Riau, seoran pulang kampung ke kota Rengat yang merupakan kota kelahirannya, Kamis (20/3/2015). Selain pulang kampung, kedatangan pria bertubuh subur yang sudah malang melintang di dunia musik jazz Internasional ini juga untuk memberikan coaching clinic kepada para musisi Inhu, Kamis (20/3/2015) malam di Icha Burger Cafe, Jalan Jendral Ahmad Yani Kota Rengat. Kehadiran pentolan Cherokee dan Bali Lounge ini atas undangan Komunitas Musik Rengat (KMR. Selain memberikan pengetahuan tentang teknik dasar bermain bass, Harry Toledo juga menampilkan aksi solo bermain bass yang mampu membuat ratusan peserta dan penonton bedecak kagum dan memberikan aplaus untuknya.

halaman 60

Pada kesempatan tersebut Harry Toledo sekaligus memperkenalkan IBF kepada para musisi Kabupaten Inhu, sebab kehadirannya di Rengat bersama sejumlah basist lainnya merupakan rangkaian dari tour IBF ke beberapa pa kota di Sumatera. Dikatakan katakan Harry Toledo, do, IBF merupakan wadah h silaturahim basist di Indonesia. Saat ini sudah terdapat 42 chapter IBF di Indonesia, 118 korwil yang tersebar ebar di 12 negara ra didunia, termasuk Amerika. ika.


Alhamdulillah, saya yang anak asli Rengat ini dipercaya menjadi presiden IBF. Visi dan misi IBF semata-mata hanya untuk silaturahim hingga ke luar negeri dan mudah-mudahan dalam waktu dekat setelah kedatangan saya ke sini, akan berdiri IBF korwil Inhu, ungkap musisi yang sudah tampil diberbagai negara bersama sejumlah musisi top seperti Bob James, Phil Perry, Kenny Rankin, Harvey Mason, Jack Lee, Asia Beat, Incognito hingga Akira Jimbo itu. Harry Toledo juga mengucapkan terimakasih kepada KMR yang telah mengundang dirinya hingga ia bisa pulang kampung dan berbagi pengalaman dengan para musisi muda di Kabupaten Inhu. Menurut Harry Toledo, KMR merupakan wadah yang tepat untuk menyalurkan bakat musisi muda. Pesan saya kepada anggota KMR, bahwa bermusik itu juga perlu attitude, sehingga kita tidak perlu sombong dan jangan malu untuk terus belajar dan bertanya. Sebab saat ini zamannya untuk membangun karya, bukan menunjukkan kesombongan dan kehebatan kita, ujarnya. Sementara itu, Ketua KMR, Duwai Duo Nawa mengungkapkan bahwa coaching clinic dengan menghadirkan Harry Toledo bersama IBF ini merupakan salah satu agenda KMR. Diharapkan melalui coaching clinic bersama musisi top Indonesia seperti ini, mampu meningkatkan gairah dan kualitas bermusik di Kabupaten Inhu. Alhamdulillah antusiasme musisi di Kabupaten Inhu cukup bagus untuk hadir dan mengikuti coaching clinic bersama Harry Toledo. Kegiatan ini akan terus kita lakukan secara rutin dan diharapkan mampu meningkatkan pemahaman dan kualitas bermusik di Kabupaten Inhu,ungkap Duwai,

gitaris senior yang sudah malang melintang di dunia musik Indonesia. Menurut Duwai, KMR didirikan sejak 7 Februari 2015 oleh para musisi dari berbagai aliran yang ada di Kabupaten Inhu. Saat KMR sudah memiliki anggota mencapai 200 orang yang umumnya merupakan generasi muda. KMR bertekad akan memperbanyak panggung musik untuk mengapresiasi jiwa bermusik sekaligus menggiatkan pembelajaran bermusik bagi para musisi Kabupaten Inhu. Meski secara teori dan skill musisi sudah mumpuni, tetapi tanpa adanya panggung bermusik untuk mengapresiasikannya, sulit bagi musisi untuk berkembang. Sebab musisi butuh pengalaman dan jiwa entertainer, ungkapnya. Duwai juga mengucapkan terimakasih kepada Clas Mild dan semua pihak yang telah membantu sehingga coaching clinic bersama Harry Toledo dapat terselenggara dengan baik. Dalam waktu dekat kita akan kembali melaksanakan kegiatan seperti ini, dan tentunya dengan format yang jauh lebih baik�, pungkasnya. Kembali kepada Harry Toledo (lahir di Indragiri Hulu, 6 Juli 1972; umur 42 tahun) adalah pemain bass Indonesia. Harry memulai mengenal instrument bass dari kelas 6 SD secara otodidak. Memiliki keinginan menjadi pemain-pemain senior seperti Yance Manusama, Mates dan Jerey Tahalele, Harry Toledo mulai memperdalam musik di Yogyakarta. Disponsori oleh Gita Wirjawan, mulai bergabung di group Cherokee. Harry pernah merilis album Inner Beauty bersama bandnya, Cherokee. Setahun kemudian, melalui Gita Wirjawan pula Harry tergabung di group Bali Lounge bersama musisi dari Malaysia,

halaman 61


Amerika Serikat, Perancis, dan Singapura. Beberapa grup musik dan musisi nasional dan internasional yang pernah berkolaborasi dengan Harry antara lain Ireng Maulana n’ Friends, Cherokee, Bali Longe 1 & 2, Bob James, Phil Perry, Kenny Rankin, Harvey Mason, Jack Lee, Asia Beat, Incognito dan Akira Jimbo. Hingga 2008, Harry tercatat telah merilis 3 album solo, yaitu Soul Emotion Bass 1 (2006), Soul Emotion Bass 2 (2007), dan Soul Emotion Bass 3 (2008). Dalam SEB 3, terdapat 10 lagu andalan yang diramu menjadi 8 lagu vokal dan 2 lagu instrumen juga menggaet 5 penyanyi, yakni Tompi, Desy Elfa, Marsha Idol, Hans, dan Dwight. Beberapa penyanyi Indonesia juga mempercayainya sebagai pemain bas untuk album mereka seperti Krisdayanti, Ari Lasso, Eliana Dewi dan Iway. Harry menempuh pendidikan sampai tingkat SMA di Rengat dan kemudian merantau ke kota Yogyakarta untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Harry mulai mengenal instrument Bass sejak SMP. Belajar secara otodidak dan banyak mendapat ilmu bass gratisan dari sana-sini. Pada tahun 2000 ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Jakarta bersama Idang Rasjidi sang Maestro. Dari Idang Rasjidi inilah Harry banyak belajar berbagai hal tentang music. Tidak cukup sampai disitu, Harry juga digembleng oleh Ireng Maulana yang memberikan banyak pengalaman dan ilmu. Pada tahun 2000 juga Harry bergabung dengan Rio Moreno, Iwan Wiradz, Kadek rihardika, Agus Montero dan membentuk band “Cherokee”, yang mempunyai hits single album berjudul “One Love Forever”. Selama proses tour ini mereka membawa Tompi sebagai lead vocal. Album mereka

halaman 62

disupport sepenuhnya oleh Gita Wirjawan selaku executive producer. Pada tahun 2004 Harry bergabung dengan sebuah group band bernama “Bali Lounge”. Uniknya group ini mempunyai personil dari beberapa negara. Diantaranya adalah Rick Smith (USA), Bruno (Perancis), Lewis Pragasam (Malaysia), Harry Toledo dan Tompi (Indonesia). Bali Lounge ini diprakarsai juga oleh Gita Wirjawan. Melalui pak Gita juga Harry mempunyai kesempatan untuk rekaman dengan sang maestro “Bob James & Harve Mason”. Mereka bermain bersama di Bangkok International Jazz. Tidak hanya berkiprah di dunia International, Harry juga sering berkiprah di blantika musik Indonesia dan eventevent jazz bertaraf International seperti Java Jazz, Malaysia Jazz Com, Hongkong, Beijing China, Singapura, Madagaskar, Sidney, Perth, Melbourne, Tokyo, Seoul Korea Selatan dan lain-lain. Tentunya dengan pengalaman yang seperti ini maka Harry mempunyai segudang ilmu bass dan pengalaman yang sangat banyak. Pada 2006 Harry meluncurkan album Solo Bass pertamanya dengan judul “Soul Emotion Bass” di bawah label rec. Emotion & RPM. Akhirnya pada tahun 2008 sudah 3 album yang dikeluarkan. Yaitu“Soul Emotion Bass I” dan “Soul Emotion Bass II”juga “Soul Emotion Bass III”. Pada 2010 ia bergabung dengan DivaRec dan mengeluarkan album solo berjudul “Harry Toledo & Turbulence of Soul”. Dan sampai saat ini nama Harry Toledo & Turbulence of Soul inilah yang dibawa bila mengikuti event-event di dalam dan luar negeri dan juga selain itu Harry merupakan Endorser Bass Squier by Fender.*** (Red. dari berbagai sumber)


Festival Hari Puisi

Festival Hari Puisi Indonesia 2015 (Taman Ismail Marzuki 5-8 September 2015) Yayasan Hari Puisi Bekerjasama dengan INDOPOS menyelenggarakan

Sayembara Buku Kumpulan Puisi total hadiah Rp. 100.000.000,- dari Harian INDOPOS + TroďŹ Hari Puisi Persyaratan: 1. Terbuka bagi para penyair Indonesia yang tinggal di dalam dan luar negeri 2. Mengirimkan buku kumpulan puisi terbaru terbitan Agustus 2014 s/d 20 Agustus 2015 3. Memiliki ISBN dan melampirkan bukti tanda bukti terdaftar 4. Boleh mengirimkan lebih dari satu judul buku kumpulan puisi, masing-masing judul sebanyak 5 (lima) eksemplar 5. Buku tersebut belum pernah mendapat penghargaan sastra dari lembaga manapun 6. Dikirimkan ke Yasayan Hari Puisi dengan alamat PDS HB Jassin, Jl, Cikini Raya 73, Jakarta Pusat 10330, dengan menyertakan alamat lengkap dan telepon peserta 7. Paling lambat diterima panitia 20 Agustus 2015 8. Dewan juri akan memilih satu buku kumpulan puisi terbaik dari (5) lima buku kumpulan puisi pilihan

9. Buku kumpulan puisi terbaik mendapatkan hadiah uang tunai sebesar Rp 50.000.000,- dan (5) lima buku kumpulan puisi pilihan , masing –masing Rp 10.000.000,- dari harian INDOPOS beserta troďŹ dan piagam penghargaan dari yayasan Hari Puisi 10.Hadiah pemenang diserahkan pada malam Anugerah Hari Puisi Indonesia pada 8 Agustus 2015 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta 11.Hadiah Pemenang diserahkan pada malam Anugerah Hari Puisi Indonesia pada 8 September 2015 di Graha Bakti Budaya Tamana Ismail Marzuki, Jakarta 12.Informasi 0817 9883 592 (Ariany Isnamurti)

Diskusi Buku Pemenang Hari Puisi Pertama dan Kedua Plaza Teater Kecil TIM, 7 September 2015, Pukul : 14.00-17.00 WIB Pembicara : Abdul Hadi WM, Tia Setiadi, Dr. Sutedjo Moderator : Ahmudin Yosi Herfanda Informasi : 0858 6260 5185 (Cecep Syamsul Hari)

halaman 63


Panggung Apresiasi Hari Puisi Baca Puisi, Musikalisasi Puisi, Dramatisasi Puisi, dll. Panggung Apresiasi 5-8 September 2015 di kompleks Taman Ismail Marzuki Persyaratan: 1. Peserta pengisi acara mendaftarkan diri 2. Durasi masksimal 10 menit 3. Pendaftaran ditutup 3 Septermber 2015 4. Panitian hanya menyediakan panggung dan sound system 5. Informasi 0811 833 161 (Jose Rizal Manua)

Pembacaan Puisi: Korea Selatan, Iran, Turki, Portugis, Italia, Tunisia dan China (Duta Besar), Soetardji Calzoum Bachri, Samargantang, Godi Suwarna (Penyair), Anis Baswedean (Menteri Pendidikan Nasional), Andrinof A. Chaniago ( Menteri Badan Perencanaaa Nasional) Pengumuman dan Penyerahan Hadiah, dll. *** Susunan Panitia Pelaksana Festival Hari Puisi Indoensia 2015:

Seminar Internasional Teater Kecil TIM, 8 Septermbar 2015 Pukul: 14.00-17.00 Persyaratan: Peserta mendaftarkan diri dengan membayar uang pendaftaran, mendapat buku makalah seminar, buku acara Hari Puisi 2015 dll ditutup: 3 September 2015 Pembicara: Dr. Bastian Zulyeno, Dr. Hawe Setiawan (Indonesia), H.E. Mourad Belhassen (Tunisia), Atzimba ( Meksiko), Atase Kebudayaan Turki dan Etase Kebudayaan Iran Moderataor: Danny Susanto, Cecep Syamsul Hari Informasi: 0821 1123 9665 (Maman S. Mahayana) 0815 8106 230 (Danny Susanto)

Parade Baca puisi Penyair, Pengusaha, Tokoh dan Penjabat Teater Kecil Budaya TIM, 8 September 2015, Pukul: 20.00 WIB

Malam Anugerah Hari Puisi Pidato Kebudayaan: Maman S. Mahayana

halaman 64

Penasehat: Soetardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi WM Pengarah: Ketua Pengarah: Rida K. Liamsi Anggota: Maman S. Mahayana, Kazzaini KS, Cecep Syamsul Hari Panitia Pelaksana: Ketua Pelaksana: Jose Rizal Manua Wakil Ketua: Ahmadun Yosi Herfanda Sekretaris: Asrizal Nur Bendahara: M. Anton Sulistyo Wakil Bendahara: Ade Hasibuan Koordinator: 1. Koordinator Lomba Buku Puisi: Ariany Isnamurti dan Staf PDS HB Jassin 2. Koordinator Diskusi: Cecep Syamsul Hari 3. Koordinator Seminar Internasional: Dani Susanto 4. Koordinator Panggung Bebas Hari Puisi: Sosiawan Leak dan Fikar W. Eda 5. Koordinator Malam Puncak: Asrizal Nur dan Jose Rizal Manua 6. Koordinator Perlengkapan/Lapangan: Faisal Bertuah 7. Koordinator Kesekretariatan: Asrizal Nur 8. Koordinator Pendanaan: M. Anton Sulistyo.***


halaman lxv


halaman lxvi


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.