Majalah Aksi Edisi 2

Page 1

Edisi 1 // No. 2 // 2013


VIDEO HOME SYSTEM ILLUSTRATION BY SHELLA HP

Jika anda bertanya tentang kepanjangan dari VHS

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 2


9

Catatan Kecil Tentang Kizuna

12

A Little Piece From Japan

14

Kampus IKJ // Oleh: Sischa Monalisa Andini Januarty Cemara Chrisalit

22

Alice Guy-Blaché // Oleh: Bawuk Respati

30

Ariah // Oleh: Orizon Astonia

37

Ziarah Gerhana // Oleh: Orizon Astonia Sischa Monalisa

40

Bunraku // Oleh: Devina Sofiyanti Karin Sentosa Leontius Tito

44

LYTRO // Oleh: Rizky Ichramsyah

45

Ultrapixel // Oleh: Leontius Tito

46

Jalan-Jalan ke Gunung Kidul // Oleh: Supriyanta

52

Kemacetan Jakarta // Oleh: Febi Nandia Anisa

60

Tokoh FFTV // Oleh: Devina Sofiyanti

62

Kenduri Seni // Oleh: Rini Dwi Artini

// Oleh: Bawuk Respati

Edisi 1 No.2 2013

// Oleh: Karin Sentosa

65

Salam dari Sendal IKJ

67

Kritik Seni // Oleh: German G Mintapradja

69

Kajian ? // Oleh: Fira Budiman

71

Kembalinya Four Horsemen // Oleh: Rifqi Pramesworo

74

IKAFI

76

In Memoriam IKJ “Lama” // Oleh: Arda Muhlisiun

79

Comic Strip // Oleh: Shela HP, Badrus Zeman

Majalah AKSI | 3

KAMPUS BARU Ini kampus IKJ di Matraman, bukan Yayasan, maupun Sd

SENDAL IKJ Senangnya, seperti lulus Mata Seni

DEMI METALLICA Jemaah Heavy Metal sedang Umrah

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Penasihat Umum RB. Armantono Penasihat Teknis Ki. Hartanto Sam Sarumpaet Bambang Supriadi Pemimpin Redaksi German G. Mintapradja Wakil Pemimpin Redaksi Arda Muhlisiun Sekretaris Redaksi Bawuk Respati Sischa Monalisa Reporter Andrie Sasono Devina Sofiyanti Karin Sentosa Leontius Tito Orizon Astonia Raphael Wregas Bhanutedja Rini Dwi Artini Rizky Ichramsyah Kolumnis Fira Budiman Koordinator Fotografi Asaf Kharisma Putra Utama Fotografer Fransisca Engeline Desain Grafis Anies Wildani Ilustrator Shela HP Ratna Muthya

AKSI 1979 Halaman 2

Editor M. Ariansah Tungga Buana Dharma Divisi E-Publication Agni Putri Raraswulan

Majalah AKSI diterbitkan oleh Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Majalah ini bertujuan untuk membangun semangat seluruh anggota Fakultas Film dan Televisi dalam dunia menulis, serta menjadi sarana komunikasi, tidak hanya dalam Fakultas Film dan Televisi sendiri, tapi juga dengan dua fakultas lain, Fakultas Seni Rupa dan Fakultas Seni Pertunjukan

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 4


SELAMAT PAGI TEMAN AKSI Assalamu’alaikum Wr, Wb. Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua pembaca setia majalah AKSI, utamanya sivitas akademika Fakultas Film dan Televisi - Institut Kesenian Jakarta. Sejujurnya pada edisi perdana, edisi 1, No. 1, 2013, kami menemukan beberapa kesalahan tata letak dan aturan penulisan yang tidak sesuai dengan pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) serta Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Hal ini berdampak pada kalimat menjadi bermakna ganda, bahkan bermakna lain atau tidak sesuai dari apa yang dimaksud penulisnya. Untuk itu kami, Pemred dan seluruh redaksi majalah AKSI, memohon maaf yang sebesar-besarnya. Ke depan kami akan lebih teliti dalam tata letak dan aturan penulisan dengan mengacu pada pedoman EYD dan KBBI. Sebagai mahasiswa Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta –yang notabene generasi penerus yang berkecimpung di dunia perfilman– adalah wajib hukumnya membaca dan menulis film. Karena dengan membaca dan menulis film kita akan lebih mengenal, mengetahui dan memahami film. Film adalah anugrah seni tinggi dan seni terbesar yang pernah dimiliki oleh umat manusia. Sebagai seni termuda di antara seni murni dan seni-seni lainnya yang terlebih dahulu lahir dan tercipta sekaligus sebagai fenomena maha karya cipta adi luhung dari sejarah umat manusia. Sebagai seni pandang-dengar, film juga sudah beradaptasi melewati beberapa dekade kurun waktu. Sejak kelahirannya pada Era Analog lalu ber-trans-morphosis ke Era Digital dan setelah berkutat panjang lebar pada Era Digital Migran serta seiring jalannya perubahan-perubahan yang semakin signifikan pada unsur-unsur seni lainnya juga pengayaan yang terus menerus, maka film bukan lagi sekedar hiburan massa (seni populer –Kitsch), namun menjadi perwujudan Seni Tinggi (avant-garde –istilah yang digunakan oleh Clement Greenberg) Bersyukur kita akan semua hal itu, terima kasih pada teknologi, penciptaan- penciptaan yang luar biasa serta kemudahan dalam segala hal pada Era Digital. Tetapi jangan sampai kita dibutakan oleh hal itu semata dan menjadikan kita hanya sebatas pengguna. Ke depan free market sudah akan terlaksana, senang atau tidak senang kita harus menjalaninya. Oleh karena itu, kini saatnya untuk kembali berAKSI dan menuliskan kembali semua hal dengan kreatif. Selamat membaca dan selamat menulis, salam AKSI.

Wassalam, German G.Mintapradja Pemimpin Redaksi

German G. Mintapradja, lelaki yang tidak asing lagi di kalangan insan perfilman dan akrab disapa Pak Haji dari Bekasi, dikenal sebagai pribadi yang mempunyai segudang pengalaman dan prestasi baik nasional maupun internasional. Ia dikenal sebagai Pembuat Dokumenter di: BBC-NHU (Natural History Unit), BBC-Fast Track, Discovery Channel dan Nat Geo Television. Sebagai Cameraman News as Video Journalist (VJ) di CNN (Cable News Network); ESPN (Entertainment and Sport Programming Network); EBU (European Broadcasting Union); APTN (Associate Press Television). Prestasi yang diraih antara lain: Best Cameraman, judul film “Mencari Pelangi”; Oscar Nominated for foreign film – judul film “Ca Bau Kan”; Best Documentary Film For National Geographic in Brazil International Film Festival “Indonesian Beyond The Reef” as Cameraman; Best Documentary Film in Pyong Yang–Seoul, South Korea “Ngu Yen Face The Future” as Director and Cameraman; The Best Cinematography on feature film “Biola Tak Berdawai” as DoP.

Majalah AKSI | 5

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


PROFIL KONTRIBUTOR Karin Sentosa Mahasiswi FFTV-IKJ 2010, mayor Penyutradaraan. Ia mendapatkan kesempatan untuk mengikuti student exchange JENESYS 2.0 Batch 2 yang diadakan dari tanggal 25 Mei 2013 sampai 2 Juni 2012 oleh pemerintah Jepang. Pengalamannya di Jepang adalah pengalaman yang takkan terlupakan dan ia siap berbagi pengalamannya untuk membangun Indonesia. (karinaire@gmail.com) (@karinaire)

Rini Dwi Artini Mahasiswi FFTV-IKJ 2010, mayor Produksi.

Bawuk Respati Mahasiswi FFTV-IKJ 2011, mayor Kajian Sinema. Suka semua hal yang berhubungan dengan Frankenstein, Fred Astaire dan Ginger Rogers, dan Old Hollywood. Akhir Juni 2013 lalu, berpartisipasi dalam JENESYS 2.0 Batch 3 dan jalan-jalan di Jepang selama seminggu.

Devina Sofiyanti Mahasiswi FFTV-IKJ 2010, mayor Penulisan Skenario.

Sischa Monalisa Mahasiswi FFTV-IKJ 2010, mayor Produksi.

Andini Januarty - Reporter baru, selamat datang ! Mahasiswi peminatan Editing FFTV-IKJ 2010 yang gemar mencoba hal baru. Keinginannya saat ini ialah "belajar menikmati hidup".

Cemara Chrisalit - Reporter baru, selamat datang ! Mahasiswi FFTV-IKJ 2012, senang membuat film dan main film. Ia punya satu cita-cita luhur: bertemu dengan Christopher Nolan.

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 6


Orizon Astonia Mahasiswa FFTV-IKJ 2010, mayor Penyutradaraan.

Rizky Ichramsyah Mahasiswa FFTV-IKJ 2010, mayor Kamera.

Leontius Tito Mahasiswa FFTV-IKJ 2010, mayor Kamera.

Fira Budiman Mahasiswi FFTV-IKJ 2011, mayor Kajian Sinema.

Suprianta Kontributor Fotografi.

Febi Nandia Anisa Kontributor Fotografi.

Rifqi Pramesworo - Kontributor tamu Mahasiswa FFTV-IKJ 2010, mayor Editing.

Majalah AKSI | 7

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Don't get left behind!! Theory isn't enough to survive in today's technologically run industry. From CG animation to Audio Mixing, Digital Video Broadcasting to Motion Capture and Virtual Production, EVERYTHING from Pre to post production! Join the exhibition and you will meet filmmaker like yourselves. Producers, distributors, production and animation houses from Europe, USA, Korea, China, India, Philippines and Singapore!

Do not miss out on this golden opportunity to be a part of this rewarding trade experience!

Be part of Asia’s most integrated broadcasting, digital multimedia and entertainment event!

Trip duration: 4 days, 3 nights Total approximate cost: Rp. 4.000.000,The amount above already includes: - Two-way flight ticket (+ airport tax) - Lodging - MRT card [Make

a plan to save at least

15.000/day. Keep experience will be worth it.] month or

For more information email: Mas German

german_freelancer@yahoo.com

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Rp. 500.000/

in mind that the

Organizing Committee

aksi.redaksi@gmail.com

Put "Broadcast Asia" in the subject line

Majalah AKSI | 8


TULISAN DAN FOTOGRAFi O L E H : B A W U K R E S PAT I

*Didedikasikan untuk grup Nara H, from your Indonesian friend, B Di sebuah Sabtu di bulan Juni lalu, tiga puluh enam mahasiswa terpilih dari seantero Indonesia berkumpul di Gedung Kedutaan Besar Jepang di Jakarta. Mereka terlihat gugup dan excited. Kebanyakan dari mereka belum mengenal satu sama lain, namun mereka tidak sungkan untuk mulai bertukar kata-kata kecil satu dengan yang lain, berusaha mengakrabkan diri dengan sekitarnya. Malam itu, mereka akan berangkat ke negeri matahari dan memulai program JENESYS 2.0, yaitu sebuah youth exchange programme yang mengundang sejumlah mahasiswa dari seluruh penjuru ASEAN untuk berkunjung ke Jepang selama seminggu. Malam itu, mereka akan memasuki sebuah petualangan yang tidak terlupakan. Malam itu, saya adalah salah satu diantara mereka.

Majalah AKSI | 9

22 Juni 2013, pukul 21.55 WIB, sebuah mesin terbang modern lepas landas dan melayang ke utara. Di dalamnya, kami, peserta JENESYS 2.0 Batch 3 dari Indonesia, berusaha mempersiapkan diri untuk menyambut Jepang di tengah rasa gugup dan excitement. Sekitar delapan jam kemudian, ditemani rasa lelah karena kurang tidur, kami malah disambut duluan oleh pagi pertama kami di tanah Jepang. Kami memang bukan sekelompok orang Indonesia pertama yang menjejakkan kaki di Jepang, maupun sekelompok mahasiswa pertama yang diundang untuk mengikuti program JENESYS 2.0 itu. Sudah ada dua batch sebelum kami yang, jika ceritanya bisa dipercaya, mendapatkan pengalaman yang sangat tidak terlupakan selama berada di Jepang. Tentu saja, kami semua sangat tidak sabar untuk segera memulai

program tersebut. Seperti batch sebelumnya, seluruh peserta dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu: Kelompok Sains, Kelompok Ilmu Sosial, dan Kelompok Seni dan Budaya. Lalu, ketiga kelompok besar ini dibagi kembali ke dalam beberapa kelompok sesuai dengan prefektur yang akan dikunjungi. Kelompok Seni dan Budaya sendiri dibagi menjadi empat kelompok—dua akan mengunjungi Kyoto dan sisanya akan mengunjungi Nara. Tentunya, sebagai mahasiswa perwakilan dari IKJ, saya berada dalam Kelompok Seni dan Budaya dan akan mengunjungi prefektur Nara, bersama grup Nara H. Sebelum berangkat ke Nara, seluruh peserta menghabiskan sehari dan semalam di ibu kota Tokyo. Jauh sebelum berangkat ke Jepang, saya sudah membayang-

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


JENESYS REPORT

kuil gango-ji, nara

Tokyo baru terasa berbeda di malam hari, apalagi di daerah Shibuya yang saya kunjungi dengan beberapa peserta lain. Begitu banyak orang yang berlalu-lalang, entah baru pulang sekolah, kerja, atau memang hanya sedang berusaha bersenang-senang seperti kami para turis. Right there, Tokyo

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

was alive. Begitu pula dengan persahabatan diantara peserta JENESYS 2.0. Hampir seluruh peserta pergi keluar untuk mengeksplorasi Tokyo malam itu dan hal ini menjadi titik awal dari ikatan kuat diantara kami. Turis-turis muda asal sepuluh negara ASEAN tersebut berbondong-bondong berusaha memanfaatkan satu malam di Tokyo sebaik-baiknya. Hampir semuanya kembali ke hotel dengan cerita-cerita seru mengenai pengalaman Tokyo mereka, meskipun malam sudah cukup larut. Keesokan harinya, petualangan baru dimulai. Kelompok Seni dan Budaya berangkat ke Kyoto dengan menggunakan kereta Shinkansen. Ini sungguh pengalaman berkereta yang tidak terlupakan. Shinkansen adalah salah satu bukti seberapa jauh Jepang telah berkembang dalam ranah teknologi. Perjalanan ke Kyoto itu merupakan perjalanan kereta paling nyaman yang pernah saya alami. Lalu sesampainya di tujuan,

dua grup tinggal di Kyoto, sementara dua yang lain melanjutkan perjalanan ke Nara. Nara sungguh jauh berbeda dari Tokyo yang bising. Lebih sepi, lebih damai. Kegirangan para peserta seakan menyesuaikan diri dengan lokasi baru yang kami kunjungi dan menjadi sedikit lebih tenang. Saat itu, banyak diantara kami sudah menemukan teman-teman yang klop. Perjalanan sudah tidak terasa seperti sesuatu yang asing, melainkan sebuah petualangan bersama sahabat-sahabat baru. Sesampainya di Nara, kami langsung disambut hangat oleh pemerintah setempat dan langsung diajak berkeliling di sekitar Nara City. Kami akan menghabiskan sekitar empat hari di bagian Jepang yang satu ini. Saya kira kami semua sangat menyukai sambutan Nara pada sore hari itu. Aktivitas kami selama di Nara kebanyakan adalah berkunjung ke beberapa kuil dan tempat wisata lain. Secara keseluruhan,

semalam di shibuya, tokyo

Majalah AKSI | 10

Photos courtesy of Maxie

kan bagaimana rasanya memandang Tokyo. Sebagai ibu kota, bisa dibilang Tokyo adalah ikon Jepang yang paling terkenal. Meskipun begitu, pengetahuan saya mengenai Tokyo masih cukup minim dan saya sungguh penasaran mengenai apa saja yang bisa saya temukan di sana. Maklum, pengetahuan saya mengenai Jepang masih sebatas menonton anime dan membaca manga semasa kecil dulu. Lucunya, berada di Tokyo tidak begitu terasa seperti berada di tempat yang baru pertama kali saya kunjungi. Lewat tempat duduk dekat jendela di dalam bis, saya mengamati Tokyo dan merasa seperti sudah pernah berada di situ sebelumnya. Ada semacam sense of familiarity yang saya rasakan selama berada di Tokyo. Sebagai sebuah kota metropolitan, suasana hingar-bingarnya sebenarnya tidak jauh seperti apa yang saya hadapi sehari-hari di Jakarta. Hanya saja, Tokyo jauh lebih bersih, lebih rapi, dan yang paling membuat berbeda, tidak berpolusi. Kebetulan, saat itu sedang awal musim panas, jadi pada siang hari, Tokyo bisa terasa sangat panas, namun karena tidak banyak menghirup asap kendaraan, saya tidak begitu terganggu.


sebuah toko ikan di konya street, yamatokoriyama kami mengunjungi empat kuil, yaitu Gango-Ji Temple, Hotokuji Temple, dan Todaiji Temple, yang merupakan kuil Buddha, serta Kasuga Taisha Shrine—sebuah kuil agama Shinto. Setiap kuil menyimpan pesona dan rahasianya masing-masing, namun semuanya punya satu hal yang sama. Kuil-kuil ini adalah bukti betapa seriusnya Jepang dan penduduknya dalam melestarikan hal-hal yang bersifat tradisional dan turun-temurun. Merupakan kontras yang menarik jika kita membandingkan kereta Shinkansen dengan kuil-kuil ini. Dua hal yang berasal dari dua spektrum waktu yang berbeda, namun keduanya masih dapat ditemukan di Jepang saat ini juga. Dan keduanya sama-sama merupakan hal yang membuat Jepang menarik. Selain kegembiraan yang berasal dari kunjungan kesana kemari di sekitar Nara, sebuah kesenangan lain pun terasa sangat kental diantara para peserta, khususnya di grup yang saya anggotai, Nara H. Persahabatan yang awalnya ditanam saat sehari dan semalam di Tokyo telah tumbuh menjadi lebih kuat diantara kami. Seiring berjalannya waktu kami di Nara, grup ini semakin terasa seperti sebuah keluarga. Saya masih takjub mengenai bagaimana tiga puluh orang dari sepuluh negara berbeda bisa kenal dan akrab begitu cepat, hanya dalam waktu yang singkat. Kami begitu menikmati kegiatan-kegiatan yang mengharuskan kami

Majalah AKSI | 11

menghabiskan waktu bersama dan berdiskusi. Lucunya, kegiatan yang paling kami senangi bukanlah program yang direncanakan dari pihak penyelenggara. Kami punya rutinitas sendiri, yaitu saling bertukar pengetahuan mengenai bagaimana mengatakan beberapa ekspresi, seperti “I love you” dalam berbagai bahasa yang digunakan di ASEAN. Setiap hari, kami berlatih mengatakan frase sederhana dalam bahasa Indonesia, Melayu, Tagalog, Thailand, Kamboja, dan lain-lain. Di luar susunan kegiatan yang resmi, kami seperti membuat klub bahasa kecil-kecilan dan impromptu setiap hari. Hal ini seperti menyiratkan bahwa kami punya keinginan untuk dapat memahami satu sama lain dengan lebih baik. Selama satu minggu lamanya saya menghabiskan waktu bersama orang-orang di grup Nara H ini dan dalam waktu sesingkat itu, mereka menjadi teman yang sangat akrab. Setiap malam, kami tidak banyak pergi keluar dan mengeksplor Nara lebih jauh, tapi kami sering berkumpul di salah satu kamar hotel dan mengobrol, bergosip, ngemil, dan saling mencoba baju adat dari setiap negara. Mungkin bagi orang lain, kami terlihat konyol karena sudah berada di Jepang, tapi malah diam di kamar hotel. Tapi bagi kami, kebersamaan dan obrolan lepas di setiap malam itu adalah apa yang paling kami nikmati dari perjalanan ini. Kami memang cukup beruntung untuk dapat melakukan

semua ini di Jepang. Saking akrabnya grup Nara H, koordinator grup kami, Yuki-san, memberikan sebuah label kepada kami: Kizuna. Katanya, kata ini dalam bahasa Jepang berarti ‘bond’ atau ‘ikatan’. Saat diberi tahu tentang kata itu, kami semua langsung tersenyum. We love that word. Menurut kami, kata itu benar-benar pas untuk mendeskripsikan kami. Memang masih banyak pengalaman saya selama di Jepang yang mungkin bisa saya ceritakan, namun orang-orang yang saya temui ini—teman-teman baru saya ini— adalah hal yang paling berkesan dari partisipasi saya dalam JENESYS 2.0. Program ini sendiri memiliki tujuan untuk meningkatkan pemahaman dan pengertian antar bangsa di ASEAN dalam menyambut AEC (ASEAN Economic Community). Menurut saya, kami, anggota grup Nara H, mencapai tujuan itu. Lewat waktu yang kami habiskan bersama, kami merasakan adanya kedekatan yang semakin erat diantara kami, tiga puluh pemuda dari sepuluh negara ASEAN. Ya, mungkin memang apa yang kami punya masih terlampau personal untuk disandingkan dengan tujuan asli dari program ini sebagai sebuah gambaran yang besar. Tapi, apa salahnya memulai hubungan baik antarnegara lewat sesuatu yang personal? BAWUK RESPATI

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


TULISAN DAN FOTOGRAFi O L E H : K arin S entosa

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 12


JENESYS REPORT Pertengahan musim semi dan panas tahun 2013, saya bersama 30 teman dari Indonesia tiba di Bandara Tokyo Narita. Angin sejuk menyambut kami semua. Jepang, akhirnya kami tiba. Kami menantikan pengalaman menarik selama 8 hari kedepan. Pertama kami dikumpulkan bersama seluruh peserta JENESYS 2.0 Batch 2 dari seluruh negara di ASEAN dan dibagi kelompok. Kami diberi pengetahuan dasar tentang Jepang. Panitia bahkan tidak lupa untuk memberi kami bekal bagaimana cara menghadapi gempa bumi karena tingkat kemungkinan gempa di Jepang memang tinggi. Langkah-langkah menghadapi gempa di Jepang tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, hanya saja jika seseorang berada di dalam gedung atau rumah, lebih baik orang tersebut tetap berlindung di dalam rumah. Masyarakat Jepang percaya dengan kualitas bangunan yang mereka bangun dalam hal berhadapan dengan gempa. Hari berikutnya kami pergi dengan bus menuju Tokyo. Masuk ke kota Tokyo, serasa seperti ke peradaban yang jauh berbeda. Gedung-gedung pencakar langit berhimpitan satu sama lain. Hampir tidak disisakan ruang untuk berjalan. Begitu banyak gedung sampai rasanya tidak bisa dihitung. Disinilah kami melihat Jepang yang kami harapkan ketika masih masih berada di negara masing-masing. Pejalan kaki sibuk lalu-lalang dengan kecepatan luar biasa dan mengenakan baju rapih, kalau tidak hitam, putih, ya abu-abu. Segalanya bersih, rapi, dan teratur. Kami pun dikenalkan dengan program AEC (Asean Economic Community) yang adalah program kerjasama antar ASEAN melalui perdagangan bebas. Kerjasama ini tidak akan bisa terjalin sempurna jika tidak ada ikatan dan kesadaran dari negara-negara ASEAN. Maka kami generasi muda ASEAN diharapkan dapat membawa negara-negara ASEAN lebih maju. Jika bicara tentang teknologi, Jepang terkenal dengan Shinkansennya. Kereta super cepat yang lebih nyaman ketimbang pesawat terbang dengan rekor kecepatan maksimum 320 km/jam. Perjalanan dari Tokyo ke Kyoto hanya memakan waktu 2 jam. Selama perjalanan kami di perlihatkan dengan pemandangan pemukiman di Jepang, perkebunan, dan juga Gunung Fuji. Perjalanan yang kami lalui ini seperti memutar balik sejarah. Dari Tokyo, ibu kota Jepang sekarang ke Kyoto, ibu kota Jepang sebelum Kyoto, lalu ke Nara, ibu kota pertama Jepang. Suasana di Nara jauh berbeda den-

Majalah AKSI | 13

gan di Tokyo. Nara masih memiliki keasliannya sebagai ibu kota tua di Jepang. Ada banyak temple dan shrine, rumah-rumah bergaya kuno, dan banyak unsur budaya Jepang lainnya yang masih terlihat. Jika di Tokyo saya hanya melihat eksekutif muda, di Nara saya melihat anak-anak SD sedang bertamasya di Nara. Nara sangat terkenal dengan rusa. Banyak rusa-rusa liar yang sudah jinak berkumpul didepan temple atau di taman-taman terbuka. Melihat rusa-rusa ini mengingatkan saya dengan Istana Negara di Bogor yang memiliki banyak rusa juga. Di Jepang, kita juga bisa membeli makanan rusa jika ingin memberi makan rusa. Perlu diingat bahwa di Jepang sangat bersih dan teratur. Mungkin saya bisa menghabiskan satu lembar sendiri untuk membahas keramahan orang-orang di Nara ini. Ketika kami sampai di Nara Prefectural Government kami disambut oleh mereka. Mereka melambai-lambaikan bendera-bendera kecil dari masing-masing negara di ASEAN sambil menyambut kami, membuat kami seperti memasuki sebuah amusement park. Kami mengunjungi temple buddha terbesar, Todai-ji sampai ke sebuah temple kecil penuh bunga, Hanniya-ji. Di Hanniya-ji ini saya mendapat sebuah pengalaman pribadi, karena kami dapat berbincang langsung dengan monk disana. Monk di Jepang berbeda dengan di negara lain, mereka dapat menikah dan memiliki anak, seperti keluarga Kudo di Hanniya-ji. Kudo-San

menjelaskan kepada kami mengapa banyak sekali bunga di Hanniya-ji. Mereka mempersembahkan tiga hal untuk Buddha yaitu flowers, fragnance, dan food. Mereka membuat wewangian, karangan bunga, ataupun makanan setiap harinya. Di dalam temple kecil ini juga ada sebuah monumen kecil dengan api yang terus menyala 24/7. Api ini berasal dari api bom atom di Hiroshima. Kudo-San mengatakan bahwa api ini akan terus menyala sampai semua radiasi di dunia tidak ada lagi. Satu lagi tempat yang kami kunjungi, yaitu Doshisha University, salah satu universitas terbaik di Jepang. Kampus Doshisha sangat berbeda dengan Kampus IKJ yang kita miliki sekarang (walaupun sekarang sedang direnovasi). Kampus Doshisha sangat besar, indah, dan fasilitasnya lengkap. Mengakses ilmu menjadi kegiatan yang menyenangkan jika semua fasilitas sudah disiapkan. Seorang teman baru saya yang menjalani studi hukum di Doshisha, Minamoto-San mengatakan bahwa kami pelajar dari ASEAN adalah orang-orang yang sangat bahagia karena kami selalu tersenyum dan ramah kepada orang, termasuk orang yang baru dikenal. Saya menjawab, mungkin memang itu budaya di Asia, karena dia pun selalu tersenyum. Baik di Asia maupun di ASEAN keragaman budaya menjadi hal yang unik dari masing-masing daerah, tetapi bagaimana kita belajar budaya satu sama lain dan tetap membuka pikiran menerima setiap keberagaman yang akan membuat ASEAN lebih maju. KARIN SENTOSA

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Photos courtesy of ANIES WILDANI

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 14


Majalah AKSI | 15

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Mahasiswa baru seni rupa angkatan 2013 berada di Matraman, sementara fakultas seni rupa tetap berada di TIM. Fakultas seni pertunjukan berada di sekitar Pasar Baru dan Fakultas Film & Televisi berada di Cempaka Putih bergabung dengan Kampus Akademi Pariwisata Jakarta. Selama sekitar satu tahun ke depan, para mahasiswa dan mahasiswi FFTV akan melakukan perkuliahan di Cempaka Putih. Fakultas FFTV sendiri terpencar di tiga tempat, sebagian masih berada di TIM untuk para Dekan, Wadek dan Rektorat IKJ. Sementara itu, untuk bagian peralatan lampu dan studio berada di PSKD dan juga sebagian perkuliahan yang harus menggunakan komputer dilaksanakan di gedung PSKD yang terletak di Kalipasir, Cikini Jakarta pusat. Dan untuk bagian akademik serta perkuliahan terletak di Cempaka putih. Keadaan kampus FFTV yang terpisah-pisah seperti itu, bagi sebagian mahasiswa terutama mahasiswa baru sedikit mengalami kesulitan jika harus berpindah-pindah tempat. Karena mereka belum mengetahui di mana letak PSKD. Kesulitan lain yang dialami mahasiswa adalah saat mata kuliah pertama berada di Cempaka Putih, lalu

jam mata kuliah kedua berada di Cikini dan mata kuliah ketiga kembali berada di Cempaka Putih. Hal ini cukup membuat mahasiswa kerepotan, terutama bagi mereka yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Bukan hanya masalah tempat perkuliahan yang berpindah-pindah, namun juga bagi mahasiswa yang akan melakukan shooting serta akan menggunakan alat dari kampus harus meminjam alat ke PSKD, dan jika ingin membuat surat yang membutuhkan tanda tangan Dekan maupun Wakil Dekan harus berjalan menuju TIM. Selain itu kampus IKJ yang terpencar-pencar menyebabkan mahasiswa baru FFTV dengan FSR dan FSP menjadi tidak dekat dan saling kenal. Selama perpindahan FFTV ke Cempaka Putih telah terjadi perubahan jam perkuliahan yang dimulai lebih lama dari biasanya dibandingkan saat kampus masih berada di lingkungan TIM. Jika sebelumnya jam perkuliahan pagi dimulai pada jam 08.00, maka semenjak kampus berpindah di Cempaka Putih perkuliahan pagi hari dimulai pada jam 08.20. Hal ini sebagai bentuk pengertian kampus terhadap mahasiswanya, berdasarkan pendapat serta opini dari mahasiswa serta staf tetap maupun tidak tetap akademik tentang perpindahan gedung sementara di Cempaka Putih. Sebagian besar mahasiswa merasa akses untuk menuju kampus yang berada di Cempaka Putih lebih susah dan lebih lama dibandingkan saat kampus FFTV berada di TIM. Waktu yang dibutuhkan jadi lebih lama, sehingga beberapa mahasiswa yang sebelumnya pergi dari rumah ke kampus lebih memilih untuk mencari kos di daerah sekitar kampus Cempaka Putih. Meskipun untuk kos harus mengeluarkan biaya

tambahan, hal itu tidak menjadi masalah bagi mereka agar setiap hari terhindar dari kemacetan. Namun ada juga sebagian mahasiswa yang tetap bertahan dengan tetap pulang-pergi dari rumah ke kampus Cempaka Putih karena jumlah mata kuliah yang sedikit. Sehingga mereka tidak setiap hari kuliah dan harus pergi ke kampus. Meski ada juga yang beralasan bahwa pilihannya untuk tidak kos atau pindah kos dekat kampus karena harga di sekitar kampus Cempaka Putih yang lumayan mahal bagi mahasiswa. Selain masalah jarak, fasilitas kampus yang kurang memadai selama FFTV pindah ke Cempaka Putih antara lain seperti tempat parkir yang tidak terlalu luas, mushola yang bergabung antara laki-laki dan perempuan, dan tidak adanya kantin di dalam kampus yang dapat menampung banyak mahasiswa untuk makan siang. Sehingga ketika jam makan siang tiba kebanyakan mahasiswa akan lebih memilih untuk jalan keluar kampus dan membeli makanan dari luar kampus. Meski hal ini masih dapat dimaklumi oleh mahasiswa, karena keadaan kampus yang sedang menumpang di kampus lain. Selain para mahasiswa, para staf akademik dan tata usaha ikut memberikan pendapat tentang perpindahan kampus ke Cempaka Putih. Giyarsih ( mbak Asih ) merupakan salah satu staf akademik FFTV yang tinggal di VMS Pondok Jagung Serpong, di mana setiap harinya pulang-pergi dari rumah menuju kampus menggunakan kendaraan umum. Ia mengatakan bahwa “Tidak ada pengaruh dan perubahan yang besar selama kampus berada di Cempaka Putih. Hanya saja semenjak kampus berada

Photos courtesy of SISCHA MONALISA

IKJ atau Institut kesenian Jakarta merupakan pusat pendidikan seni terkemuka di indonesia, yang didirikan oleh mantan Gubernur DKI Ali Sadikin pada tahun 1970. Selama hampir empat dekade IKJ berada di daerah Strategis, Cikini Jakarta Pusat. Namun pembangunan gedung baru IKJ menyebabkan 3 fakultas didalamnya, yakni; FFTV ( Fakultas Film & Televisi ), FSR ( Fakultas Seni Rupa ), dan FSP ( Fakultas Seni Pertunjukan ) menjadi terpisah-pisah.

DYNAMIC DUO BLONDE REDHEAD Mbak Asih dan Mas Ari Rak lightning.

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 16


KAMPUS IKJ BLONDE REDHEAD Anehnya lampu ini masih saja di simpan oleh pihak kampus

di Cempaka Putih para staf mendapatkan dispensasi waktu masuk kerja menjadi pukul 08.30 yang sebelumnya pukul 08.00�. Hal tersebut cukup membantu mbak Asih dan para staf lain yang rata-rata rumahnya jauh dari kampus di Cempaka Putih, serta merasa akses menuju kampus menjadi lebih lama. Bahkan terkadang untuk mengejar waktu harus menggunakan kendaraan umum dan berhenti di depan jalan Rumah Sakit Islam, serta harus menggunakan ojek lagi untuk masuk ke dalam kampus untuk mengejar waktu agar tidak terlambat sampai di kampus. Karena sanksi yang didapatkan jika staf datang terlambat sampai di kampus adalah uang transport mereka akan dipotong. Dan jika staf pada hari itu membolos tidak masuk kantor tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, maka uang transportasi dan uang makan akan dipotong. Jika ingin izin untuk tidak masuk kantor karena ada urusan keluarga atau keperluan lain, maka staf harus membuat surat izin dari jauh-jauh hari yang nantinya akan ditujukan kepada Kasubag Umum, Kaur Kepeg-

awaian serta atasan langsung. Sedangkan bagi para staf yang tidak dapat masuk kerja karena sedang sakit, maka sebisa mungkin harus menunjukkan surat dokter. Potongan tersebut sudah ada perhitungannya masing-masing, tergantung dari berapa jam staf terlambat. Sedangkan untuk transport sendiri, uang yang dikeluarkan selama kampus pindah jadi bertambah karena akses yang semakin jauh. Lalu Selama kampus yang berpindah-pindah menjadi tiga tempat di TIM, PSKD dan Cempaka Putih, bagi para staf selama masih bisa saling berkomuniksi tidak terlalu menjadi masalah dengan kondisi kampus yang seperti ini. Salah satu staf tidak tetap akademik, Arie Guteng ( mas Arie ) mengatakan bahwa tidak ada perbedaan saat kampus ketika masih di TIM dengan di Cempaka Putih. Hanya saja dengan pindahnya kampus, mas Arie harus berpindah kos yang jaraknya lebih dekat dari kampus. Di mana jam kerja mas Arie tetap dimulai pada pukul

08.00. Ia hanya kasihan pada nasib mahasiswa yang menjadi kesulitan dengan kondisi kampus yang terpisah-pisah. Lalu karena perkuliahan FFTV yang tidak hanya terletak di Cempaka Putih, membuat mas Arie tidak bisa melayani dosen yang akan melakukan perkuliahan di PSKD, sehingga Rizky yang sebelumnya menjadi cleaning service sekarang harus membantu di akademik untuk menyiapkan perkuliahan di PSKD. Berbeda dengan keadaan kampus Cempaka Putih yang cukup ramai, staf yang berada di PSKD merasa lebih sepi karena ruangannya yang berada di lantai 2 dan staf yang berada di sana juga sangat sedikit. berbeda dengan dulu saat semuanya masih bergabung Sebagian besar mahasiswa, dan para staf berharap agar pembangunan gedung baru IKJ dari semua Fakultas segera selesai. Agar semua Fakultas dapat kembali berkumpul menjadi satu lagi, dan untuk FFTV yang sekarang terpisah di tiga tempat berbeda segera bersatu kembali. SISCHA MONALISA

Majalah AKSI | 17

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Photos courtesy of ANDINI JANUARTY

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 18


KAMPUS IKJ Siang itu, selasa 01 Oktober 2013 saya dan rekan liputan TV IKJ, Ratna Muthya Hariyani berkunjung ke Gedung Santo Antonius yang terletak di Jalan Matraman Raya nomor 119, Jakarta Timur, dimana Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta (FSR IKJ) melaksanakan kegiatan perkuliahan sementara selama proses pembangunan gedung baru Kampus IKJ berlangsung. Proses pembangunan gedung baru ini mengharuskan tiga Fakultas IKJ, Fakultas Seni Rupa, Fakultas Seni Pertunjukan, dan Fakultas Film dan Televisi IKJ berpencar. Untuk menuju bagian gedung yang di gunakan FSR, kita menaiki tangga terlebih dahulu menuju lantai dua, lalu melewati koridor besar yang sekaligus menjadi kantin. Terdapat beberapa meja penjual makanan dan minuman berjajar rapi memanjang di tepi koridor. Beberapa mahasiswa tampak asik menggambar di pojok kantin sambil bercengkerama. Setelah melewati koridor kantin, kami berada di lorong dimana tampak jajaran ruangan yang digunakan untuk kegiatan perkuliahan. Suasana lorong ruangan sepi dan sunyi, karena saat itu mahasiswa sedang mengikuti perkuliahan diruangan kelas. Berdasarkan informasi yang didapat dari Mas Irvan selaku wakil Staff Akademik yang bertugas di Matraman, ada sembilan ruangan yang digunakan FSR untuk kegiatan perkuliahan, tujuh ruangan untuk kelas mahasiswa, satu ruangan akademik yang menyatu dengan ruang dosen, terakhir ruangan koperasi yang juga menjadi satu dengan Musholla. Sedangkan meja dan bangku serta alat penunjang lainnya tetap di bawa dari FSR. Mahasiswa yang mengikuti perkuliahan disini hanya mahasiswa baru, angkatan 2013. Sedangkan mahasiswa FSR angkatan diatasnya tetap berkuliah seperti biasa di Kampus FSR di Taman Ismail Marzuki. “Gedung A dan gedung C FSR sedang dalam proses pembangunan, sedangkan gedung B belum mengalami proses pembangunan sehingga masih bisa dimanfaatkan untuk melaksanakan perkuliahan. Dengan memisahkan angkatan baru dengan seniornya, ya bisa dikatakan plus minusnya itu pasti ada ya, anak-anak lebih fokus mengerjakan tugas disini, minusnya itu mungkin jadi kurang mengenal kakak kelas, tapi plusnya juga mereka jadi lebih konsen mengerjakan tugas dan fokus mengikuti perkuliahan”, ujar Mas Irvan. Mas Irvan menambahkan, peluang mahasiswa baru untuk mengenal Kampus dan para senior tetap ada. Karena terdapat mata kuliah umum, Etika Berbangsa dan Berkese-

Majalah AKSI | 19

KANTOR SEMENTARA Sementara untuk 1 tahun (katanya)

nian juga Apresiasi Kesenian yang diadakan di Kampus IKJ tiap hari kamis dan jum’at. Mata kuliah menggambar dasar juga memberikan kesempatan mahasiswa 2013 FSR untuk mengenal lingkungan kampus dan TIM melalui pembelajaran menggambar sketsa bangunan disekitar TIM pada minggu kemarin. Menurut Natalie, mahasiswi FSR 2013, dipisahkannya kegiatan perkuliahan mahasiswa baru dengan senior sedikit berdampak dengan sulitnya berbaur dengan para seniornya. “Fasilitas disini lumayan, tapi suasananya agak kurang, karena kalo di TIM kan lingkungannya lebih luas, jadi bisa lebih leluasa mencari objek menggambar yang diinginkan”, jawabnya ketika ditanyakan mengenai suasana pembelajaran di Matraman. “Tapi interaksi sama senior masih bisa diatasi kalo pas lagi gambar bareng di Beringin sih”, tambah Natalie. Lain lagi dengan Zakirah yang mengatakan tidak ada perbedaan jauh mengenai fasilitas dan sarana yang ada, “Fasilitasnya sama-sama enak, paling yang kurang mendukung musholah karena musolahnya gabung dengan koperasi, dan ruangannya kecil, sedangkan yang sholat lumayan”. Dosen mata kuliah Anatomi, Ibu Dolorosa Sinaga mengatakan perpindahan sementara ini tidak menjadi kendala dalam kegiatan pembelajaran. “Ya ada perbedaan mengajar disini dengan di TIM, bedanya atmosfer kampus tidak ada. Akan tetapi, sebagai

pengajar kami punya tanggung jawab untuk tetap menjalankan pengajaran pendidikan dimanapun itu. Mengenai fasilitas, justru ruangan yang ada disini lebih baik. Karena kami mempunyai kelas yang lebih kecil sehingga tertata dengan baik seperti di SMA. Harus bisa dimengerti, Tapi ini kan sementara, jadi tidak menjadi masalah. Karena kualitas mengajar pendidik dan goal dari pendidik untuk pendidikan dasar di tahun pertama memang tidak boleh berkurang mesti kalian mesti diajar di bawah pohon, kami tetap harus commit untuk mengajar dengan baik. Kita kayak tentara, kalo disuruh kesana, tetep kesana tapi keahlian untuk menembak tidak berkurang,” ujar Ibu Dolorosa Sinaga. Usai berbincang dengan Ibu Dolorosa, kami mengelilingi sekitar ruangan kelas, sempat juga mengintip Pak Adjie, salah satu dosen FSR yang sedang mengajar mata kuliah menggambar anatomi. Ruang kelas tidak terlalu besar, diisi kurang lebih dua puluhan mahasiswa ditiap kelasnya. Suasana tenang membuat kegiatan pembelajaran terasa nyaman. Walaupun ketiga Fakultas berpencar sementara, namun civitas akademika IKJ masih bisa berkumpul dengan adanya kegiatan-kegiatan yang diselenggarakanan nantinya, sehingga bisa memupuk keakraban antar civitas akademika, seperti kegiatan Program Pengenalan Studi Akademik (PPSA) yang telah berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta pada bulan september 2013. ANDINI JANUARTY

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Photos courtesy of CEMARA CHRISALIT

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 20


KAMPUS IKJ JAMMING Tempat baru tidak menjadi masalah untuk berlatih

Belum lama ini IKJ mengadakan perombakan besar-besaran pada kampusnya. Akibatnya, ketiga fakultas harus berpisah untuk sementara waktu. Para penghuni kampus pun harus melakukan adaptasi di lingkungan baru. Saya mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi kampus sementara Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) di Pasar Baru. Setelah menempuh perjalanan dari Cikini, tibalah saya di sana. Dari luar, gedung itu terlihat begitu kecil. Itu adalah pertama kalinya saya mengunjungi kampus tersebut. Saya mengenali bahwa itu adalah gedung kampus FSP karena ada spanduk bertuliskan Selamat Datang di Kampus Sementara FSP yang terpasang di dekat situ. Saya segera masuk dan melakukan tur kecil. Interior gedung tersebut cukup luas. Kampus FSP terdiri dari tiga lantai. Semua lantai memiliki ruangan-ruangan kecil yang digunakan sebagai ruang kelas. Sementara itu, ruang kantor dan keperluan administrasi terletak di lantai dua. Hampir seluruh ruangan kelas digunakan untuk program studi musik karena memang sebagian besar mata kuliahnya adalah praktek dengan instrumen. Maka, otomatis mereka membutuhkan ruangan masing-masing. Sementara itu, kegiatan perkuliahan program studi teater dan tari lebih banyak berlangsung di teater halaman TIM karena tidak banyak menggunakan peralatan. Untuk mata kuliah teori seperti Etika Berbangsa dan Bernegara dan pendidikan agama diadakan di gedung auditorium pascasarjana IKJ. Akan tetapi tidak hanya mata kuliah praktek saja yang berlangsung di

Majalah AKSI | 21

Pasar Baru. Di sana juga diadakan perkuliahan untuk etnomusikologi dan antropologi tari. Baik mahasiswa, karyawan, maupun dosen tentu harus beradaptasi selama beberapa bulan sampai renovasi di Cikini rampung. Dan setelah satu bulan di Pasar Baru, mereka mulai memiliki kesan tersendiri terhadap gedung yang mereka tempati. Ada beberapa kendala yang dihadapi selama kegiatan perkuliahan berlangsung. Kendala utama yang dihadapi adalah daya listrik yang sering mati. Hal itu tentu sangat mengganggu kenyamanan semua orang dan menghambat kegiatan administrasi. Kendala kedua adalah kapasitas gedung yang terlampau kecil. Berdasarkan informasi dari Pak Damar, sekretaris Prodi musik, daya tampung dari tiap kelas hanya sekitar duapuluh orang. Akibatnya, petinggi fakultas sepakat untuk menunda mata kuliah umum seperti bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Sementara untuk mata kuliah lain yang kapasitasnya lebih dari duapuluh orang disediakan sebuah ruang serbaguna, yang sebetulnya merupakan sebuah lorong gedung. Kapasitasnya pun sebetulnya tidak terlalu besar. Kendala ketiga adalah tempat parkir. Kampus FSP berada di deretan komplek pertokoan dan terletak di pinggir jalan raya, sehingga alhasil lahan parkir yang tersedia tidak memadai. Pengunjung yang mengendarai mobil tentu akan kesulitan mendapatkan tempat parkir. Naomi, mahasiswi musik angkatan 2013, juga memberikan testimoninya terhadap kampus tersebut. Sejauh ini ia merasa tidak

ada masalah selama kuliah di Pasar Baru. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Kiky yang juga merupakan mahasiswa musik angkatan 2013. Yang menjadi permasalahan adalah silaturahmi antar fakultas menjadi sulit. Baik Naomi maupun Kiky berkata bahwa mereka belum sempat berkenalan lebih jauh dengan mahasiswa-mahasiswi dari fakultas lain sejak Program Pengenalan Studi Kampus di Gedung Kesenian Jakarta September lalu. Ketika saya berkeliling, sayup-sayup terdengar suara musik dari dalam ruangan-ruangan kelas. Di salah satu ruang kelas yang kosong, hanya ada satu orang yang sedang memeriksa peralatan musik. Sementara itu di lorong-lorong terdapat kardus-kardus yang belum sempat dibereskan. Ada sebuah ruang kosong yang dimanfaatkan sebagai kantin sekaligus sekadar sebagai tempat bersantai para penghuni kampus. Selama kunjungan saya di kampus Pasar Baru, saya melihat bahwa kegiatan perkuliahan berlangsung seperti biasanya. Hal ini membuktikan bahwa lingkungan baru dan gedung baru yang memiliki banyak kendala tidak memutuskan semangat belajar para mahasiswa. Namun, Pak Damar berharap bahwa proses renovasi kampus di Cikini dapat selesai tepat waktu. Beliau juga mengharapkan adanya penambahan fasilitas yang lebih baik di gedung kampus baru nantinya. Saya sendiri juga berharap bahwa renovasi dapat selesai secepatnya agar para mahasiswa dari ketiga fakultas dapat saling berkumpul dan mengenal satu sama lain.

CEMARA CHRISALIT

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Photos courtesy of Pamela Green & PIC Agency

ALICE GUY-BLACHÉ Filmmaker wanita pertama di dunia Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 22


ALICE GUY-BLACHÉ: THE WOMAN YOU SHOULD KNOW ABOUT Oleh: Bawuk Respati

Sang Wanita

J

ika kita mempelajari sejarah sinema, maka nama-nama seperti Lumiére Bersaudara dan Georges Meliés tidak akan terdengar asing. Bahkan mungkin, sebagian dari kita mengenal nama-nama tersebut dari film garapan sutradara Martin Scorsese yang berjudul Hugo. Bagaimanapun juga, kita mengenal nama-nama tersebut sebagai pionir dalam dunia perfilman. Lumiére Bersaudara dikenal sebagai salah satu pihak pertama yang menemukan dan memanfaatkan teknologi film untuk merekam realitas, lalu mempertunjukkannya kepada publik. Sementara itu, Meliés mendapat reputasi sebagai pelopor dalam bercerita lewat film dengan karya-karyanya yang imajinatif. Tapi berbicara tentang pelopor dalam dunia perfilman selain Lumiére dan Meliés, apakah kalian pernah mendengar nama Alice Guy-Blaché?

Majalah AKSI | 23

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


BE NATURAL Motto seorang Alice Guy-Blache, terpampang di depan studio miliknya, Solax Company

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Pada masa di mana wanita masih belum bisa mengikuti pemilu, Alice tidak membiarkan gender menghentikan dirinya dalam berkecimpung di dunia perfilman yang notabene didominasi oleh pria. Alice Guy-Blaché diklaim sebagai filmmaker wanita pertama di dunia. Dimulai dari Gaumont Film Company, Alice dipercaya untuk mengepalai berbagai produksi film. Lalu pada tahun 1910, ketika ia pindah ke Amerika Serikat, Alice pun membangun studio filmnya sendiri bersama suaminya saat itu, Herbert Blaché, bernama Solax Company. Dalam karier yang berlangsung kurang lebih 20 tahun, Alice menulis, menyutradarai, dan memproduksi hampir 1000 film. Prestasi Alice sangat mengagumkan, namun sayang, namanya saat ini tidak banyak diketahui oleh publik, bahkan oleh mereka yang menganggap dirinya sebagai pecinta film. Meskipun begitu, baru-baru ini Alice sedang berada dalam perjalanan untuk mengklaim kembali posisinya yang hampir

terlupakan dalam sejarah sinema. Ternyata, meskipun secara fisik Alice sudah tidak ada, semangat dari “Sang Wanita” kembali hidup dalam sebuah proyek film dokumenter, Be Natural: The Untold Story of Alice Guy-Blaché. Menghidupkan Alice Kembali Be Natural: The Untold Story of Alice GuyBlaché merupakan sebuah proyek film dokumenter yang akan bercerita tentang seluk-beluk kehidupan seorang tokoh pelopor perfilman, Alice Guy-Blaché—seorang wanita yang perlu kita kenal. Dengan prestasi Alice yang mengagumkan—ia membuat sekitar 1000 film selama kariernya. Film ini berusaha mempertanyakan mengapa nama Alice tidak banyak diketahui oleh publik. Namun, film ini bukanlah film dokumenter biasa yang hanya akan menampilkan sebatas biografi singkat mengenai Alice dan prestasinya. Menurut duo sutradara di balik film ini, Pamela Green dan Jarik van Sluijs, film ini akan menampilkan semacam cerita detektif, di mana mereka akan mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang mereka miliki tentang Alice dan kehidupannya dulu, seperti: Apa yang mendorong, menginspirasi, dan menggugah Alice dan imajinasinya dalam berkreasi dengan medium film? Dan, apa atau siapa yang membuat namanya menghilang dari sejarah? Mengapa? Selain akan bercerita tentang persona dari Alice Guy-Blaché sebagai seorang filmmaker, film ini juga akan menceritakan perjalanan sinema dari awal mula ditemukannya teknologi film. Menurut Green dan van Sluijs, mempelajari tentang bagaimana seorang Alice dan para pelopor film lainnya bernavigasi dengan teknologi baru di akhir

Majalah AKSI | 24

Photos courtesy of Pamela Green & PIC Agency

Pada 1895 di Paris, ketika Lumiére Bersaudara memamerkan penemuan gambar bergerak yang diproyeksikan dengan sebuah mesin bernama Cinématographe, Alice merupakan salah satu penonton yang hadir dalam acara itu. Saat itu, Alice baru berumur 23 tahun dan bekerja sebagai sekretaris untuk Léon Gaumont. Tidak lama setelah itu, Gaumont pun memulai perusahaan filmnya sendiri—Gaumont Film Company—dan memberikan Alice kesempatan untuk bereksperimen dengan penemuan baru yang disebut “sinema” tersebut. Pada 1896, Alice membuat sebuah film yang bisa dibilang sebagai salah satu film naratif pertama. Beberapa pihak menganggap bahwa Alice mendahului Meliés dalam memanfaatkan kemungkinan naratif dari film. Jika begitu, Alice pun pantas mendapatkan titel pelopor dalam dunia perfilman. Namun, bukan hanya hal itu saja yang menarik dari seorang Alice; well, jika kalian belum bisa menebak, Alice Guy-Blaché adalah seorang wanita.


Alice Guy-Blaché

abad ke-19, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang kita hadapi sekarang. Yaitu dengan teknologi-teknologi baru yang muncul di abad ke-21 ini. Meskipun terpisahkan oleh lebih dari 100 tahun, banyak yang dapat kita pelajari dari perjalanan Alice untuk dapat menghadapi tantangan yang berada di depan mata kita. Satu hal lain yang akan membuat film dokumenter ini menjadi spesial adalah pendekatan yang akan digunakan oleh Green dan van Sluijs dalam bercerita. Karena latar belakang pekerjaan mereka, lalu diputuskan untuk mencoba merekonstruksi dunia Alice, dengan menggunakan VFX (3D modeling, compositing, dan animation), supaya bisa mendapatkan efek seperti mengajak penonton masuk ke dalam dunia Alice. Tentunya, pendekatan ini akan didukung dengan riset yang ekstensif, sehingga meskipun VFX digunakan, masih banyak materi lain yang telah mereka temukan yang dapat juga digunakan dalam menceritakan kisah Alice. “Singkat kata, kami bertujuan tidak hanya untuk melihat kembali masa lalu Alice, tapi juga untuk berdiri berdampingan dengannya dan melihat masa depannya—masa kita sekarang.” tulis Green dan van Sluijs di halaman Kickstarter mereka.

Majalah AKSI | 25

Tim Penyelamat Alice Pamela Green dan Jarik van Sluijs merupakan duo sutradara yang menjadi dalang dari proyek film dokumenter mengenai Alice Guy-Blaché ini. Mereka merupakan partner sekaligus pendiri dari PIC Agency, sebuah studio komunikasi audio-visual yang berkutat dalam dunia entertainment dan motion design, berbasis di Los Angeles, California. Agensi Mereka telah mendesain dan memproduksi banyak muatan visual untuk berbagai film, acara televisi, dan iklan, diantaranya mereka telah membuat title sequence untuk film-film seperti The Bourne Supremacy, Fantastic Four, Sex and the City, Twilight, The Muppets, Now You See Me, Fast & Furious 6, dan masih banyak lagi. Bulan Juli lalu, Green dan van Sluijs memulai sebuah kampanye mencari dana di situs Kickstarter untuk film mereka, Be Natural: The Untold Story of Alice Guy Blaché. Pada saat itu, mereka telah menyelesaikan riset mengenai Alice selama dua tahun dan mereka siap untuk mulai merangkai hasil riset mereka tersebut menjadi sebuah feature documentary. Untuk dapat melakukan hal itu, tentunya mereka membutuhkan dana. Meskipun portofolio mereka sudah terbilang impresif, namun mendapatkan

pendanaan tetap bukan hal yang mudah. Mereka butuh sekitar $200,000 untuk dapat memulai mengerjakan proyek mereka ini. Mereka memilih untuk menggalang dana lewat Kickstarter. Kickstarter adalah sebuah situs yang dapat digunakan untuk mempromosikan sebuah proyek kreatif dan memberikan bagi siapapun yang mempunyai ide untuk dapat mewujudkan ide tersebut lewat bantuan donasi dan kontribusi dari sesama pengguna situs tersebut. Metode ini disebut juga crowd-funding. Kampanye Kickstarter Be Natural sempat berjalan lambat. Pada minggu-minggu pertama, jumlah dana yang sudah digalang tidak begitu banyak. Namun, di minggu-minggu terakhir, dengan semakin banyaknya pihak yang mempromosikan proyek ini, mulai dari pers hingga pengguna sosial media, jumlah itu sedikit demi sedikit naik. Dan pada deadline pendanaan, yaitu tanggal 27 Agustus 2013, Be Natural mencapai target $200,000 mereka dan bahkan mendapatkan hampir $20,000 ekstra. Kini, menurut perhitungan di Kickstarter, proyek Be Natural mempunyai 3,840 pendukung. Sekumpulan orang-orang ini pun ikut berpartisipasi bersama Green dan van Sluijs, sekaligus Robert Redford sebagai Produser Eksekutif dan Jodie Foster sebagai Narator, dalam sebuah tim penyelamat untuk Alice.

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


EXCLUSIVE Beberapa waktu setelah kesuksesan tim Be Natural dalam mencapai targetnya di Kickstarter, AKSI berusaha menghubungi salah satu sutradaranya, yaitu Pamela Green, via Facebook, untuk melakukan sebuah wawancara kecil mengenai Alice Guy-BlachĂŠ, kesuksesan kampanye Kickstarter-nya, dan prospek dari film Be Natural ini. iman. Tidak semua orang bisa mempunyai kedua bakat ini. Hal ini sangat menarik dan menginspirasi saya.

PG: Gila! Saya suka keduanya. BR: Kita di sini akan ngobrol tentang proyek film anda, sebuah film dokumenter tentang Alice Guy-BlachĂŠ, wanita yang dianggap sebagai filmmaker wanita pertama di dunia. Bagaimana sebenarnya anda tahu tentang Alice untuk pertama kalinya? PG: Jawabannya adalah, saya waktu itu sedang menonton sebuah program TV, judulnya Real Models. Saat itu, mereka sedang membicarakan wanita pionir dalam sinema, dan Alice muncul. Shirley MacLaine berbicara tentangnya. Saya langsung tertarik. BR: Apa yang mendorong anda untuk membuat sebuah film tentang Alice? PG: Alice punya banyak lapisan. Dia tidak hanya melakukan satu hal dan saya kagum karena dia bisa mencapai banyak hal pada masa di mana yang sepertinya belum memungkinkan bagi seorang wanita. Dia adalah seorang entrepreneur dan seorang sen-

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

BR: Apakah format dokumenter selalu menjadi pilihan pertama untuk proyek ini? Atau, apakah pernah mempertimbangkan format lain? Biopic, mungkin? PG: Awalnya kami berpikir ke arah situ, lebih ke arah biopic. Tapi kita lalu sadar bahwa kami tidak tahu terlalu banyak tentang Alice, dan informasi yang ada di luar sana sudah cukup lama tidak di-update. Kami perlu meng-update itu. Dan kami pikir, kalau kami mau melakukan itu, dan kami akan melakukan itu, kami perlu melakukan riset dan dokumenter ini adalah cara yang asyik untuk memulai hal itu. BR: Anda sudah melakukan riset yang cukup panjang dan seksama, menurut saya, untuk film ini. Hal apa yang paling menarik yang anda temukan mengenai Alice dan hidupnya melalui riset tersebut? PG: Well, ini adalah semacam cerita detektif, jadi saya tidak bisa cerita semuanya. Tapi, kami menemukan bahwa Hitchcock

adalah fans dari karya Alice. Dan kami juga tahu bahwa Alice mengedit filmnya di malam hari. Dia selalu bereksperimen. Dia melihat masyarakat dan masalah di dalamnya dan mampu, tidak hanya menghibur mereka, tapi juga hidup dan mendapat keuntungan dari filmmaking itu sendiri. Jadi dia adalah seorang pebisnis dan kita punya firasat tentang itu, tapi ketika mampu untuk membuktikan dan menampilkan wanita ini sebagai seorang CEO ( presiden direktur perusahaan ) pada masa awal sinema adalah sesuatu yang menakjubkan. BR: Sekarang kita akan ngobrol sedikit tentang proses pendanaan proyek ini. Anda menggunakan metode crowd-funding dengan cara memulai kampanye Kickstarter. Seberapa efektif metode ini menurut anda untuk memulai sebuah proyek indie seperti ini? PG: Jika kami tidak menggunakan Kickstarter, kami tidak akan sampai sejauh ini. Menurut saya, crowd-funding adalah cara yang bagus. Kamu harus mengorganisir segala sesuatunya dengan baik, harus punya pesan yang ringkas. Hal yang terpenting adalah bagaimana “menjual� dirimu sendi-

Majalah AKSI | 26

Photos courtesy of Pamela Green & PIC Agency

BR: Mari kita mulai dengan sesuatu yang random, Fred Astaire atau Gene Kelly?


Alice Guy-BlachĂŠ

interview with Pamela Green by Bawuk Respati

ri, karena kalau mereka percaya kamu, maka mereka akan percaya pada proyeknya. Kickstarter adalah masa depan. Membuat film sekarang adalah hal yang cukup sulit dan mencoba untuk keluar ke publik dan mencari dukungan adalah cara yang efektif, karena kamu tidak bisa sendirian dan kamu perlu suporter, seperti kamu sendiri, untuk membantu cerita semacam ini yang cukup sulit untuk diceritakan. BR: Saya telah menjadi suporter dari proyek ini sejak awal mula kampanyenya, dan untuk beberapa waktu, kampanyenya berjalan lambat. Apakah anda pernah khawatir kalau kampanyenya tidak akan berhasil? PG: Iya, kami masih tidak percaya, kami masih berusaha memulihkan diri. Bahkan kami pikir semuanya tidak terjadi. Jadi, kami sangat senang. Kami dulu sempat takut. Setiap hari perlu ada game plan baru. Ini seperti berada di medan perang, di mana kamu punya peta dan harus melihat situasinya dan berpikir bagaimana mencari jalan untuk menyerang. [tertawa] Jadi, thank God, kami berhasil. Kami sangat bersyukur. Dan mungkin kami tidak akan melakukan kampanye seperti itu lagi dalam waktu dekat, karena untuk berpikir ke sana saja sudah terasa menakutkan, jadi kamu harus gigih, konsisten, dan punya tekad kuat. Semua harus direncanakan, karena kamu tidak akan didanai begitu saja.

Majalah AKSI | 27

BR: Namun, jumlah donasinya mulai bertambah dengan cepat di akhir-akhir kampanyenya. Cukup menakjubkan. Apakah ada hal berbeda yang dilakukan jika dibandingkan dengan di awal, atau memang kampanye Kickstarter biasanya begitu? PG: Sepertinya kami mendapat lebih banyak followers seiring waktu berjalan. Semakin banyak yang menyebarkan proyek ini ke dunia luar. Kami juga mendapat press, jadi semakin banyak orang yang tahu tentang kami. Upworthy memajang proyek kami di situs mereka, dan itu sangat membantu. Kalau kamu menggabungkan elemen-elemen ini, pasti akhirnya akan berkembang. Tapi ya, lagi-lagi, ini juga cukup ajaib. Tidak ada rencana. Tidaaaak ada rencana. Semuanya adalah kerja keras dan tekad kuat. BR: Ada Robert Redford sebagai produser eksekutif dan Jodie Foster sebagai narator dalam film ini. Mereka adalah nama besar yang keren. Bagaimana ceritanya sampai mereka bisa bergabung? PG: Robert Redford, saya dan partner saya, Jarik, sudah pernah bekerja bersama di tiga filmnya. Kami membuat opening dan credits untuk filmnya. Dan selama bertahun-tahun bekerja dengannya, kami membangun hubungan yang baik. Ini tidak terjadi begitu saja, kamu harus membangun hubungan dan kepercayaan. Kami mendiskusikan proyek ini dengannya, dan dia adalah salah satu orang yang mau mendukung Alice se-

jak awal, jadi kami menyaluti beliau. Jodie Foster adalah seseorang yang kami kontak, kami tidak perlu berpikir panjang. Kami sungguh sangat beruntung. BR: Karena saya adalah seorang suporter, saya akan mendapatkan digital download filmnya sebagai timbal balik. Nah, bagi mereka yang bukan suporter, tapi tertarik dengan film ini, kapan dan di mana mereka bisa melihat film ini? PG: Kami sedang dalam proses mengerjakan filmnya secepat mungkin. Mungkin akan selesai di akhir 2014. Mungkin. Mungkin juga lebih lama. Tapi kalau orang ingin melihat film ini, and mereka berada di tempat-tempat yang sulit dijangkau, mungkin kami akan menggunakan tugg.com, yaitu sebuah layanan yang bagus untuk mengumpulkan orang lalu menayangkan filmnya. Yang bisa dilakukan sekarang itu ya follow kami di Twitter dan Facebook dan BeNaturalTheMovie.com. BR: Menurut pengamatan saya, film ini adalah sebuah usaha anda, mungkin bukan untuk “mengubah� sejarah, tapi lebih kepada membuka sejarah dan membuatnya lebih terang, untuk wanita khususnya, jadi seseorang seperti Alice bisa diapresiasi bersama dengan nama-nama lain (kebetulan kebanyakan pria) yang sudah banyak kita ketahui. Menurut anda, apakah sejarawan dan dosen film di manapun harus mulai memberikan kredit yang pan-

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Alice Guy-Blaché PAMELA GREEN & JARIK VAN SLUIJS Dua pencetus tim penyelamat Alice

PG: Ya, waktu kami menemukan Alice dan kisah hidupnya, kami rasa orang lain perlu tahu juga tentang dia. Kami terinspirasi oleh Alice sebagai seorang business-owner. Dan sebagai seorang kreator. Dan kami pikir dunia perlu tahu tentang Alice, tidak hanya karena ia adalah sutradara wanita pertama, tapi juga karena ia adalah satu orang pertama yang memiliki studionya sendiri. Alice adalah orang kreatif, dan punya naluri bisnis dan itu adalah contoh yang baik untuk generasi di masa depan. Dan siapa tahu, kalau dengan kembali ke masa Alice pada tahun 1895, kita mungkin bisa mengekspos karakter-karakter baru, penemuan-penemuan baru yang mungkin akan menginspirasi seseorang untuk menceritakan kisah lain dari seorang pelopor lain, atau mungkin terinspirasi untuk menemukan sesuatu yang baru. Siapa tahu. BR: Kembali kepada anda. Setelah mengenal Alice lebih jauh seperti yang sudah anda lakukan, apakah ada yang berubah dalam diri anda, khususnya anda sebagai seorang wanita dan filmmaker? PG: Menurut saya, setiap kali saya merasa down, saya berpikir tentang Alice. Saya berpikir betapa sulit pada masa itu, dan betapa kuat ia harus bersikap, tapi juga betapa baik, dan bagaimana semua orang yang bekerja dengannya punya loyalitas terhadapnya. Saya ingin bisa seperti itu, saya ingin bisa menjadi seseorang yang dapat membuat sesuatu terjadi, tapi juga tetap feminin.

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Menurut saya kita bisa mendapatkan kedua dunia itu, kita bisa menyeimbangkan. Saya senang bisnis dan terinspirasi dari itu. Jadi ya, Alice adalah seseorang yang akan selalu saya rujuk ketika saya menghadapi sebuah tantangan. Mungkin saya tidak akan menemukan contoh yang sama karena masa itu sudah 100 tahun yang lalu, tapi bisnis adalah bisnis, interaksi adalah interaksi, dan Alice adalah seseorang yang akan selalu saya pikirkan ketika mengambil keputusan. BR: Respon yang ada di kampanye Kickstarter anda cukup inspiratif. Bagaimana perasaan anda dalam mendapat dukungan seperti itu dari seluruh penjuru dunia untuk sesuatu yang anda mulai sendiri? PG: Saya tidak melakukannya sendiri. Ini adalah sebuah kolaborasi dengan Jarik van Sluijs dan Gala Minasova, yang menjadi co-producer di film ini. Dan semua orang yang sudah terlibat dalam film ini lewat wawancara, semua sejarawan dan Alice dan beberapa anggota keluarga, semua orang yang telah bergabung untuk menceritakan kisah Alice. Jadi ini bukan sebuah proses saya sendiri, tapi memang dimulai dengan sebuah mimpi. Saat pertama kali saya memikirkan untuk melakukan ini, memang itu adalah sebuah proses yang personal. Lalu ketika Kickstarter dimulai, dan orang-orang mulai berkontribusi, hal ini menjadi emosional. Ada banyak air mata bahagia, excitement, kejutan, dan harapan. Memang ini membuat saya merasa puas secara pribadi bahwa wanita ini akan mendapat apa yang ia pantas dapatkan, bahwa banyak orang akan ingin menjadi seperti dia. Jadi itu

pastinya sangat menyenangkan, tapi masih banyak pekerjaan yang menunggu di depan kami, jadi lebih baik jangan keburu senang. BR: Pertanyaan terakhir. Apakah anda punya tips atau pesan untuk siapapun di luar sana yang terinspirasi untuk menjadi seperti Alice? PG: Semua berawal dari tekad dan semangat. Kalau kamu punya mimpi dan ada sesuatu yang kamu ingin lakukan, maka, ‘tidak’ harusnya—jika ada yang berkata ‘tidak’ kepadamu, itu harusnya menajdi inspirasi untuk mengubah ‘tidak’ itu menjadi ‘iya’. Dan kamu seharusnya tidak membiarkan orang memberitahumu bahwa sesuatu itu tidak mungkin. Jika kamu punya sesuatu yang ingin kamu lakukan dalam hidupmu, kamu perlu bekerja keras, tetap fokus. Saya selalu bilang, buat yang tidak mungkin menjadi mungkin. Kamu bisa melakukan apapun jika kamu memfokuskan pikiranmu, jika kamu punya tekad dan bersemangat. Dan kalau kamu bisa mempunyai hal itu, semoga itu bisa menular ke orang lain dan mereka akan mengikutimu. (Ketika dihubungi melalui Facebook mengenai kemungkinan untuk diwawancarai, meski di tengah kesibukannya, Pamela langsung setuju dan akhirnya wawancara dilakukan via e-mail. Sebuah daftar pertanyaan dikirimkan kepada Pamela, lalu ia merekam jawabannya dalam sebuah audio file. Wawancara di atas adalah hasil transkrip audio file tersebut). BAWUK RESPATI

Majalah AKSI | 28

Photos courtesy of Pamela Green & PIC Agency

tas kepada Alice dengan membicarakannya dengan lebih sering?


Majalah AKSI | 29

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Edisi .2 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 30


Majalah AKSI | 31

Edisi .2 | No.2 | Oktober 2013


Orizon Astonia: Menurut mas Jay, Jakarta sekarang itu kayak apa? Jay Subiakto : Jakarta sekarang kalo saya bilang sih, mulai ada perbaikan ya setelah ada gubernur baru kita gitu, jadi memang dari dulu itu memang Jakarta kacau, yang bener hanya waktu Ali Sadikin jadi gubernur. Abis itu, udah memang kacau, semua gubernur nggak ada yang mau bekerja untuk Jakarta. Jadi nggak ada yang mau inisiatif untuk memperbaiki Jakarta, hanya untuk kepentingan pribadi. Dan kita bisa lihat bahwa akhirnya kan hancur ya dari tata kotanya, semuanya, keseniannya, kebudayaannya, itu nggak ada yang diperhatikan. Baru setelah gubernur yang baru pak Jokowi, baru enam bulan keliatan banyak sekali perbaikan dalam waktu yang pendek. Sementara dulu yang berkuasa bertahun-tahun nggak bikin apa-apa. Jadi kalo saya bilang, mudah-mudahan dengan ada gubernur baru ini kita bisa ada perubahan di Jakarta yang memang udah parah sekali dari segi struktur kota, dari penyediaan infrastruktur, itu yang saya kira harus diperbaiki. OA : Mas Jay udah berkecimpung berapa lama di bidang seni? JS : Kalau seni … maksudnya dalam arti ? OA : Maksudnya dalam arti seni dan kebudayaan ? JS : Iya , kalo sebenarnya sih pertama sekali di fotografi dulu, terus kemudian saya kuliah di arsitektur UI. Terus, yah memang kaitannya dengan apa yang saya pelajari pasti erat sama dengan yang namanya seni, tapi sebagai profesi saya akhirnya bekerja untuk seni yah waktu tahun 1994. Waktu saya bikin konser Chrisye sama Erwin Gutawa sebagai produser dan sutradara juga sebagai artistiknya. Baru habis itu, saya berprofesi sebagai sutradara iklan, selain motret dan melukis.

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

OA : Mas Jay, dari sekian banyak kisah-kisah Jakarta yang berhubungan dengan Betawi, kenapa kisah Ariah yang diangkat untuk HUT Jakarta ? JS : Memang saya kan di sini sebenarnya cuma sebagai penata artistik saja ya. Sutradaranya kan ibu Atilasuryajaya. Memang dia yang mendapat tugas dari pak Jokowi untuk membuat cerita yang kental unsurnya dengan budaya Betawi dan akhirnya dia yang memilih cerita Ariah itu. Kalo persisnya saya nggak tahu kenapa Ariah pilih. Tapi mungkin karena sebelumnya dia sudah membuat Matah Ati di Solo. Itu tentang tokoh pahlawan perempuan yang namanya Rubiah waktu di era Raden Masaid yang akhirnya jadi Mangkunegara pertama. Setelah harus bikin di Jakarta, dia mencari lagi tokoh wanita yang punya jasa kepahlawanan, punya kepedulian tentang kaumnya, mau membela kaum wanita dan bangsanya, akhirnya ketemulah dengan tokoh yang namanya Ariah ini. OA : Terus dari perspektif mas Jay sendiri, konsep artistik yang mau ditonjolkan dari drama Ariah ini seperti apa? JS : Konsepnya begini, begitu saya dikasi tahu bahwa ini harus dipentaskan di Monas, saya pikir bahwa banyak pertunjukan yang sudah main di Monas. Tapi tidak pernah Monas itu menjadi bagiannya. Bagian yang utuh. Contohnya begini, kenapa saya bikin begitu besar? Karena Monas itu punya skala dan proporsi yang besar. Kalo saya cuma bikin yang kecil aja, buat apa ada Monas di belakangnya. Jadi kenapa saya ambil ukuran yang persis dengan tangga di Monas, di bawah, yang 72 meter itu. Saya terjemahkan di sini, ini panjangnya 72 meter dan tingginya 132 meter. Sehingga dia jadi kesatuan sama Monasnya. Monasnya tidak hanya jadi latar belakang, tapi jadi bagian utuh dengan ini.

Ini kalo bisa di lihat … (Pelayan : kopi mas?) iya taro di tengah aja mas, kita bisa lihat kalo … (Jay menunjukkan gambar panggung dari laptop-nya) berarti kan dia jadi bagian yang – jadi saya mau bahwa ini semua mapping semua nih, saya mau bahwa pertunjukan ini semua jadi bagiannya. Jadi semua ini jadi video mapping bahkan sampai si Monas-nya saya tembak dengan video mapping. Jadi saya nggak mau bikin misalnya ada set rumah, set kursi, jadi saya mau itu semua jadi kesatuan sama monasnya. (Jay menunjukkan gambar dari laptop-nya) itu semua pencahayaannya. OA : Kalau menurut mas Jay, Monas itu sendiri simbol dari apa mas? JS : Monas itu kan tahun 1961 dibuat oleh Ir. Soekarno, itu kan artinya Lingga dan Yoni. Keseimbangan antara maskulin dan feminin. Nah itu yang orang banyak tidak tahu. Itu yang saya bingung, kok orang Jakarta nggak tahu. Tinggal di Jakarta tapi nggak tau Monas itu apa. Jadi itu Lingga dan Yoni, laki sama perempuan. Makanya ini kan bentuknya udah simetris, di sini saya jawab dengan saya bikin lagi cawannya yang sangat asimetris, dan bisa dilihat nanti bagian yang saya tembak selalu tidak semuanya, jadi ada yang sebagian, jadi orang fokus di pementasannya di sini. Kemudian tadi saya bilang – nah ini nanti keliatan bahwa di sini, nanti saya tembak ininya di sini jadi bagian alur ceritanya. Nah ini lihat (Jay menunjukkan gambar dari laptopnya) Jadi di batang monasnya itu, dia lagi cerita tentang keteguhan kayak batang pohon. Nah ini kan jadi kesatuan semuanya. Jadi satu skala gitu ya, karena biasanya kan kalo acara-acara TV kan Monasnya nggak jadi apa-apa. OA: Kalo dari segi artistiknya itu, mas Jay lebih menonjolkan nilai kebudayaan atau feminis? JS : Kalo saya nggak, saya ambil tradisi. Tapi saya tidak mau bikin pertunjukan yang sangat tradisional. Menurut saya tradisi itu harus dikembangkan. Tapi jangan merusak pakemnya, ya kan? Banyak orang-orang yang bikin wayang-wayang tapi dirusak pakemnya, nggak menghargai filosofinya lagi. Wayang hanya jadi tempelan supaya dibilang Indonesia. Di sini, kan saya sama sekali tidak mengambil unsur betawinya, tapi saya ambil unsur “sekarang” Jakartanya. Kenapa saya pakai mapping? Kenapa saya pakai teknologi sekarang? Karena saya mau, bahwa kebu-

Majalah AKSI | 32

Photos courtesy of ORIZON ASTONIA

Setelah menghadiri pentas drama tari ARIAH yang dilaksanakan di Monas selama tiga hari. Pementasan tersebut merupakan sebuah drama tari yang menampilkan tokoh Ariah sebagai pejuang hak-hak perempuan Betawi serta konflik-konflik romansa di dalam ceritanya. Setelah itu saya langsung memutuskan untuk menemui Mas Jay Subiakto untuk mengupas lebih dalam profil tentang pementasan Ariah yang cukup mengesankan tersebut. Dalam hal ini, Mas Jay Subiakto adalah penata artistik untuk pementasan drama tari Ariah ini. Siang itu, Mas Jay memberikan tempat lokasi wawancara yang cukup nyaman, tepatnya di restoran Koi yang terletak di jalan Kemang Raya.


ARIAH - JAY SUBIAKTO

dayaan itu harusnya dikembangkan, harus dikembangkan oleh semua generasi di tiap jamannya. Kalo tidak, kita nggak bikin apa apa kan berarti? Jadi sebuah pertunjukan tahun 2013 pasti akan lain dengan 2020 harus lebih gitu. Kalo kita cuma mengikuti tradisi saja berarti kita hanya mengikuti tahunnya. Buat saya, itu selalu harus maju, harus dikembangkan walaupun akarnya kita ambil cerita-cerita rakyat. Sehingga akhirnya supaya orang, anak muda, generasi muda itu mau menggarap tradisi tapi dengan kekinian. (menunjukkan gambar dari laptop) Nah ini, kayak ini kan? Kayak lampunya jadi simbol rumah, karena waktu itu adegan kayak rumah. Jadi pencahayaan itu ada konfigurasi kenapa nggak di langit? Orang biasanya selalu cuma kepanggung begitu aja. Saya mau bikin konfigurasi ini sampai ke langit. OA : Waktu saya lihat pertama kali panggungnya, kok terkesan futuristik seperti modern, tapi terasa menyatu dengan ceritanya? JS : Iya memang bentuknya sangat asimetris, sangat tidak tradisi. Tapi sebenernya saya desain untuk itu tadi. Untuk saya bisa gambar video mapping pergantian adegan. Terus saya mau menciptakan sesuatu yang baru. Bukan kayak opera yang adegan di rumah tiba-tiba ada kursi dan meja. Saya lebih bermain sama ini, karena skala ini tadi. Dan ini pun diatur, dikoreografi, ini dulu yang keluar baru ini, nanti baru terakhir ada yang ini. Jadi orang fokusnya ke tiap bagiannya dulu baru dia lihat keseluruhan. Karena sangat besar, kita harus mengatur orang untuk

Majalah AKSI | 33

melihat yang mana. Nah itu kita mainkan dengan visual, itu dipasang di mana, terus pencahayaan itu ada di mana. OA : Katanya ini adalah panggung terbesar di Indonesia ? JS : Iya katanya, tapi saya nggak tahu benar apa tidaknya. Tapi kalau sebagai panggung tari iya. Karena panggung tari yang saya tahu yang kayak di Prambanan itu tidak ada yang sebesar ini. (menunjukkan gambar dari laptop) nah ini baru keluar yang di bawah, jadi konfigurasi lampu kalo di outdoor itu kita bisa dapat medium yang lain, ini bisa jadi seperti kanvas yang istilahnya bisa kita lukis dengan sinar-sinar. OA : Tapi kalo segi feminisnya itu artistik berperan sejauh apa mas? JS : Kalo feminisnya di cerita ada perempuan yang mau dilecehkan, itukan berarti hak-hak wanita. Jadi ini lebih menggambarkan bahwa perempuan punya hak. Tapi kalo menerjemahkan ke panggungnya saya kira itukan metafor saja. Tidak bisa terus saya bikin gambar perempuan ya tidak lah. Tapi saya lebih mengakomodir jalan ceritanya dengan pengadeganan. Karena sutradaranya kan bukan saya, jadi saya hanya mengikuti apa yang dia inginkan. Misalnya, ini di rumahnya, yah sudah jadi saya buat kayak gini. Yang nggak harafiah sebagai rumah. Terus dia mau adegan apa gitu, jadi kalo saya bilang, saya mengikuti saja alur ceritanya.

OA : Kalau diliat dari motivasinya, kenapa panggungnya dibikin asimetris ? JS : Jadi sudut-sudut ini sebenarnya saya dapeat dari – (Jay meminta kertas pada pelayan untuk menggambar) nah ini tujuan dari miring ini juga gini, saya mau karena penari banyak, saya mau mereka membuat konfigurasi yang lain. Biasanya orang nggak pernah lihat. Nih ada 3 level, kan? Jadi mereka akan jalan tanpa ada bentuk tangga. Tanpa ada orang tahu ini, mereka masuk ke mana, sebenarnya kan mereka masuk di belakang ini ada pintu. Kan kalo ada pintu, ada tangga kan jelek? Makanya semua saya bikin miring, semua tertutup. (Jay menggambar) ini kalo peta Jakarta seperti ini, ini lapangan Monas bentuknya seperti ini, dulu titik nol Jakarta zaman Belanda ini di Sunda Kelapa, sekarang ada menara Syah Bandar itu. Nah sekarang Bung Karno bikin titik nol Jakarta ini di Monas. Nah ini saya tarik garis-garis yang semua bersentuhan sama si Monas ini. Nah dari sini, tiba-tiba saya dapat kemiringan-kemiringan ini. Nah ini masing-masing ada yang 15 derajat, ada yang 20, 30. Nah kemiringan ini yang saya pakai di sini. Terus kalo kita lihat, arahnya kenapa ke situ? Karena ke sini ini, ke Barat Laut ini ada Istiqlal, ada Katedral, jadi sebenarnya ini sudah sempurna. Ada tempat kita ibadah, di sini ada Museum Nasional, di sini ada Istana, di sini ada balai kota, bahkan di sini ada Mahkamah Agung. Jadi sebenarnya Bung Karno udah merancang inilah pusat kota, pusat pemerintahan, pusat ke-

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


budayaan, dan juga pusat di mana toleransi beragama harus berjalan. Akhirnya saya keluar dengan bentuk seperti ini karena ini titik Nol yang ditentukan oleh Bung Karno sebagai titik nol Jakarta. Makanya sekarang ini namanya Jakarta Pusat di atas Jakarta Utara, Jakarta Selatan. Jadi dapat sudutsudut seperti itu karena saya tahu ini titik nol sekarang, kenapa ya? Apa yah yang bisa ada hubungannya sama ini? OA : Butuh berapa lama untuk mempersiapkan ini mas? JS : Nah sayangnya waktunya itu pendek, karena pak Jokowi baru dilantik 8 bulan yang lalu. Jadi persiapannya baru dari bulan Januari. Dari Januari terus kita sampai bulan Juni, jadi kira-kira hanya 6 bulan. Nah tapi itu terlalu pendek untuk pertunjukkan dalam skala besar seperti ini. OA : Kalau kita menonton dari samping, menurut Mas Jay Bagaimana?

kan sama moodnya. Ini juga video mappingnya banyak yang saya gabung dengan pencahayaannya. Jadi supaya ada warna-warna dari pencahayaan. Jadi tidak selalu dibagi-bagi, kalau ada mapping, tidak ada pencahayaan, tapi banyak yang saya gabung. Ini ada mapping tapi saya minta ada lampu dari bawah. Ini juga saya mau bikin garis-garis banyak.

Jadi ini harus dilihat dari kejauhan bukan dari dekat. Kan berbeda nonton bioskop sama nonton teater. Kalau nonton bioskop lebih enak dari belakang. Nonton teater, kalau yang indoor yah lebih enak di depan. Tapi kalau ini enggak, karena ini jadi keseluruhan dari semuanya. Saya tidak mau orang kalau terlalu deket, ini akan kepotong. Dia nggak lihat bahwa Monas ini bagian dari panggung. Bagian dari pertunjukan.

OA: Ini pertama kali untuk 6 bulan membuat yang seperti ini, atau ?

OA : Kalau warna-warna di setiap babak itu maksudnya lebih mengikuti cerita atau bagaimana?

OA : Kalau konsep api itu maksudnya apa mas?

JS : Iya jadi, kayak waktu penjahat Cinanya datang, itu lebih warna merah, waktu adegan berantem, itu lebih oranye dan merah. Terus kalau dia lagi jatuh cinta lebih yang biru, lebih yang ungu. Memang disesuai-

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

JS : Kalau dalam skala sebesar ini pertama kali, tapi kalau Matah Ati dulu persiapannya dua tahun, saya bikin juga itu ada indoor dan outdoor, tapi bikin outdoor-nya di Solo. Tapi tidak sebesar ini, ini 72 meter. Kalau yang di Solo itu 35 meter jadi setengahnya. Tapi di luar gitu.

JS : Konsep api itu kan, tahun 1870 ada pemberontakan di Tambun di Jakarta, jadi itu yang memotivasi dia juga, kenapa dia mau belajar silat. Karena dia tahu Betawi saat itu dijajah Belanda, dan kita harus mempertahankan diri. Terus banyak penja-

hat-penjahat, banyak centeng, nah itu ada pemberontakan Tambun di mana Belanda merampas tanah-tanah para petani. Jadi untuk menggambarkan peperangan, menggambarkan ada keributan. OA : Jumlah kru untuk pementasan ini berapa mas ? JS : Untuk panggung, tata cahaya dan proyektor, kira-kira, 150 orang. Dan panggung ini dibuat dari tanggal 1 Juni sampai 12 Juni. Kita pakai orkestra juga 120 orang, penarinya 150 orang. OA : Terus untuk Ariah kemarin apa kesulitannya mas? JS : Ada, kesulitannya yang pertama adalah tidak ada perusahaan yang mau mendanai pertunjukan kesenian kayak gini. Susah sekali dapat dananya, karena kita harus mencari sponsor sendiri dan nggak dibiayai oleh APBD DKI jadi harus cari sendiri. Kedua adalah cuaca karena di luar, karena begitu hujan sedikit saya pasti berhenti, karena penari saya pasti jatuh karena ininya miring. Waktu gladi resik itu sempat hujan, jadi saya tahu bahwa ini tidak mungkin diteruskan kalau ada hujan. Dan kita sudah antisipasinya

Majalah AKSI | 34

Photos courtesy of ORIZON ASTONIA

JS : Iya kalau dari samping malah kita lihat perspektifnya. Kalau dari samping kita bisa lihat kedalamannya, nah kalau dari tengah ini kita nggak tahu ini lebarnya sampai mana. Jadi memang saya buat dari semua sudut. Mereka dapat kelebihan-kelebihan yang lain, kalau dari pinggir mereka akan lihat, bahwa wah ternyata ini terjal sekali, kalo langsung dari depan kan tidak. Tapi tetap saya buat batas. jadi tidak saya buat sampai ujung, karena yang paling ujung pasti tidak enak menontonnya. Tapi saat pas dia dapat perspektif kemiringan ini, dia bisa lihat permainan cahaya itu. Dan dia masih bisa lihat gambar-gambar yang di sini.


ARIAH - JAY SUBIAKTO

bikin karet yang gampang di pel, dan kita juga sudah pikirin penutup-penutup untuk lampu kalau ada hujan. Terus penutup untuk orkestra karena banyak listrik. Tapi untungnya dalam 3 hari itu ternyata tidak hujan walaupun sekarang bulan Juni tapi kok masih banyak hujan. Kendalanya itu, kalau yang lain nggak, kita dibantu oleh DKI seperti izin, kebersihan, terus keamanan juga dijaga oleh DKI. Tapi yang penting itu, kalau saya bilang, pertunjukan ini bisa karena didukung oleh DKI, untung mereka punya concern bahwa pertunjukkan seni ini harus besar, harus kolosal, harus bisa ditonton oleh orang sebanyak-banyaknya. Nah itu kan jarang dalam beberapa puluh tahun yang lalu tidak pernah ada gubernur yang gitu. Dan untuk kepentingan rakyat yah, sepertinya harus gratis. Kayak IKJ sendiri kan dulu yang menggagas kan Ali Sadikin, tapi habis itu nggak pernah dirawat. OA : Setelah Ariah ini, mungkin mas Jay ada proyek lagi? JS : Belum sih, sekarang mau istirahat dulu. OA : Tapi menurut mas Jay kemarin kolaborasi dengan sutradara,musik bagaimana?

Majalah AKSI | 35

JS : Oke sih kalau saya bilang, karena kalau sama Atila ini kerja sama kedua dengan dia. Terus kalau dengan musik, bareng Erwin Gutawa sudah sering banget. Karena dia kan dulu teman kuliah saya di arsitektur. Terus pertama kali saya bikin konser juga sama dia, konser Chrisye tahun 1994, terus ada banyak lagi. Ada 3 diva, ada konser Krisdayanti. Jadi memang kita sudah kenal banget. Bahkan penari-penarinya yang sebagian besar dari Solo kita sudah kenal banyak, karena waktu saya ikut dalam Matah Ati. Kan prosesnya hampir 2 tahun, jadi memang mereka sudah terbiasa sekali dengan bidang-bidang miring. Jadi itu yang sangat membantu.

karena teknis jumlah. Terus juga menurut saya, penarinya kurang banyak untuk skala panggung seperti ini harusnya ditambah 100 lagi, baru itu orang bisa lihat bahwa seluruh panggung ini bisa digunakan. Paling itu aja sih, masalah-masalah kayak itu aja. Dan harusnya ini bisa jadi panggung permanen. Kan bagus, Jokowi maunya pusat kebudayaan kesenian yang outdoor di Monas. Sebenarnya panggung ini fleksibel, buat Band bisa, buat pagelaran lain bisa, karena besar dan sangat lapang. Kemudian bisa dilihat dari berbagai sudut dan sebenarnya tidak mubazir. Misalkan dalam sebulan tapi pertunjukannya ganti-ganti itu bisa aja. Karena sayang sudah kayak gini, tapi cuma dipakai 3 hari.

OA : Mas Jay sendiri, dengan pertunjukkan Ariah sudah puas atau masih ada yang kurang?

OA: Dokumentasi acara ini nanti akan ditayangkan atau bagaimana mas?

JS : Ya saya masih belum puas 100%. Karena menurut saya, masih banyak yang bisa kita maksimalkan karena ada beberapa, seperti proyektor banyak yang dikurangi, tata cahaya juga. Jadi memang karena itu, Biaya itu tadi yah, jadi sebenarnya lampunya harus lebih banyak. Proyektornya harusnya lebih banyak. Terus kayak apinya juga harusnya lebih banyak. Itu saja, kebanyakan

JS : Nggak sih, buat kita saja. Hehe.... karena menurut saya ini memang lebih enak ditonton secara LIVE, karena begitu di TV nanti ada close up jadi sayang karena pengalamannya berbeda. Karena kalau di TV orang jadi berpikir, apa sih ini? Karena skalanya sudah lain. Sementara kalau di sini penonton bisa bagi, dia mau lihat yang mana dulu tapi mereka bisa merasakan keseluru-

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


hannya, kalau di TV kan nanti ada close up dan macam-macam. Jadi memang merancang pertunjukan untuk TV dan untuk LIVE itu sangat berbeda. Sama seperti membuat film dan teater. Karena kalau di film kan ada close up, tapi kalau di teater kita harus yang mendidik penonton untuk mengarahkan pandangan mereka. (menunjukkan gambar dari laptop) nih kalau dari pinggir, ini akan jadi lebih besar. Kalau dari sini kita juga bisa melihat, lebar kemiringannya dan perspektifnya. OA : Kalau dari segi kostum sendiri yang mau ditunjukkan itu apa mas? JS : Kostumnya memang kalau kita lihat kebudayaan Betawi dengan banyak sekali campuran dari Cina, Arab. Bahkan ada yang terpengaruh dari Meksiko, seperti topi terus ada bulet bulet bola kayak pengantin Cina. Ini saya serahkan kepada perancang kostumnya, bahwa saya bilang akan dilihat dari jauh dan kalau bisa dibikin kelompok-kelompok warna saat menari, jadi warnanya harus warna-warna yang signifikan sama baju tradisional Betawi tapi dibagi dalam grup jadi orang gak lihat itu serabutan. jadi kita bisa lihat, yang menari beriring-iringan. Itu ada kelompok-kelompok, harus dibikin warna yang spesifik dulu karena begitu mereka menyatu baru kita lihat ada permainan warna dan kostum. Dan warna-warna itu kita ambil memang dari ko-

stum asli Betawi yang penuh dengan merah, hijau, ungu, kuning. Juga kita gabung dengan yang sekarang pakai sarung, unsur kotak-kotak. Itu juga banyak kita pakai di kostumnya. Dan untuk penjahat Cina harus lebih Grande, sehingga kita pakaikan jubah panjang 3 meter terus disulam sampai ada gambar naga.

JAY SUBIAKTO Bersama para pemain dan kru

OA : Kalau dari segi musik, kan ada saat di mana mas Erwin itu duduk dan hanya musik Betawi yang bermain, itu kenapa dipisah dengan orkesnya? JS : Jadi memang, waktu kita dengar musik Betawi yang ada di Betawi itu kebanyakan di kunci D. Hampir semua di kunci D, jadi kayak denger lagu Samba Brazil, lagu pertama sampai 20 sama terus. Itu kalau kita dengar terus nggak enak banget. Jadi pendekatan Erwin dia hanya ambil nuansa tempo music Betawi tapi dalam format Simfoni Barat jadi pakai orkestra. Nah waktu yang itu, perkusi sangat dinamis jadi tidak bisa digabung sama Simfoni Barat, nanti bisa rusak. Makanya itu utuh bagian perkusinya saja. Jadi saya bilang, seperti membuat ilustrasi di film saja.

Photos courtesy of ORIZON ASTONIA

orizon astonia

Edisi .2 .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 36


Kalinyamat Riuh di Boko Oleh Orizon Astonia & Sischa Monalisa

Pada tanggal 16 – 17 Oktober 2013 di wilayah Ratu Boko tepatnya di daerah Jogjakarta merupakan dua hari yang penuh dengan kepanikan bagi pertunjukan seni drama tari “Ziarah Gerhana” yang disutradarai oleh sang maestro Mas Sardhono. Karena tanggal tersebut, para penari, pemeran panggung, pemain musik, serta para kru melakukan Gladi Kotor dan Gladi Bersih untuk pertunjukan mereka yang akan dilaksanakan tanggal 18 – 19 Oktober 2013.

Di tanggal 17 Oktober 2013, kami dari tim majalah AKSI berusaha menghampiri Mas Sardhono untuk melakukan sebuah wawancara, namun kami dihadapkan dengan situasi bahwa Mas Sardhono benar-benar tidak bisa meninggalkan “panggung”-nya. Kami pun mendatangi asisten Mas Sardhono yaitu Mbak Mita agar bisa mendapatkan izin untuk sebuah wawancara singkat bersama Mas Sardhono. Ketika senja tiba, kami pun mendapatkan kesempatan untuk melakukan wawancara singkat bersama Mas Sardhono sang sutradara dari pertunjukan drama tari ini. Dan kira-kira seperti inilah hasil wawancara kita bersama beliau.

Majalah AKSI | 37

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


ya pada zaman itu Hindu, Budha, menjadi dasarnya.

memahami dan mempelajari sebuah sejarah.

Sumardono : Ya intinya, ini adalah sebuah heritage. Sebuah warisan sejarah yang berwujud candi. Nah candi ini sebenarnya bukan hanya untuk dilihat, tapi bisa kita pelajari. Misalnya proses bagaimana candi ini ada, sebagai sebuah pertanyaan yang sangat mendasar. Mengapa orang membuat candi di sini?

Dari keberadaan tenaga tersebut munculah candi-candi. Selain masalah candi, gunung berapi melemparkan pula batu-batu besar. Tanpa batu besar itu tidak ada materi untuk membikin candi-candi tersebut. Jadi dari situ kita mendadak bisa memahami kaitan sistemik antara manusia, budaya dan alam. Atas dasar pemahaman tersebut, maka saya mengajak para seniman berkumpul di sini. Misalnya ada seorang yang selama bertahun-tahun ini, mengekspresikan cita rasa artistiknya dengan materi bambu. Nah bambu itu sesuatu bahan konkrit yang langsung ada. Selain batu yang konkrit ada dan banyak. Hal ini merupakan artikulasi penting. Kemudian juga adanya candi itu, bagaimana candi itu dapat dinikmati ketika ada bulan purnama di atas.

A : Dari sekian banyak candi di Jogja, mengapa yang dipilih adalah Ratu Boko ?

Kami mencoba melihat itu semua, dan arsiteknya ini adalah mahasiswa S2 IKJ yang bekerja untuk memberi desain pada candi itu, dengan konsep pencahayaannya. Lantas kembali pada pertanyaan yang sangat bagus tadi, untuk apa semua itu? Untuk

A : jadi dapatkah disebutkan bahwa inspirasi mas Sumardono adalah letusan gunung merapi yang diasumsikan sebagai sumber kehidupan?

Banyak candi di Yogyakarta. Ternyata hal itu berkaitan langsung dengan adanya Merapi, sebuah gunung berapi. Dan setiap ada gunung berapi, gunung berapi itu akan selalu memuntahkan lava, dan lava itu akan menjadi bencana tetapi sekaligus juga berkah, karena tanah menjadi subur di sekitarnya. Nah kalau tanah subur, maka orang bisa bercocok tanam, bisa menjadi sawah. Kalau itu menjadi sawah, akhirnya ribuan orang berkumpul, kalau ribuan orang berkumpul ada power, ada tenaga, ada energi besar. Kemudian munculah kerajaan, sebuah komunitas, di mana kerajaan di Mataram itu menjadi pusatnya. Setelah itu ada tenaga untuk lahirnya kebudayaan, yang tentun-

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

S : Karena yang menarik dari Boko ini, tidak secanggih Prambanan dan Borobudur yang masih utuh dan jelas konsepnya. Kalau Borobudur itu Budhisme, ada Budha-Budha banyak, kalau di Prambanan cerita Ramayana yang dipahat di situ tentang Hindu. Tapi di candi Ratu Boko itu hanya reruntuhan saja, sebab tidak ada identitas yang jelas. Ini Hindu, atau Budha atau apa? Itu hanya bata-bata yang, platform-platform saja, candinya sederhana. Namun itulah menariknya, karena kita tidak harus terikat dengan cerita atau apapun di candi Ratu Boko. Hingga akhirnya kita bisa memainkan apapun di situ.

S : Salah satu saja dan bukan hanya itu. Se-

Majalah AKSI | 38

Photos courtesy of ORIZON ASTONIA & Sischa monalisa

AKSI : Apa sebenarnya hubungan antara gerhana bulan.... selanjutnya instalasi ?


ziarah gerhana

bab inspirasinya banyak, apalagi di dalam prosesnya bisa macam-macam, bisa merapi, bisa mendadak itu tentang hubungan antara candi dengan vegetasi yang itu tentang bambu. Kemudian ada juga hubungan inspirasinya dengan mitos dan legenda di Indonesia, yaitu tentang ratu-ratu. Yang meski tidak ada hubungannya dengan candi, tapi ada hubungannya dengan sejarah Jawa. Itu inspirasinya bisa berkembang, macam-macam.

A : Prosesnya berlangsung berapa lama ? S : Tiga tahun . A : Lalu kendalanya apa saja ? S : Bukan kendala, tapi selalu ada perkembangan ide. Kalau ide tidak pernah ada kendala.

Narasumber : Ina raseuki atau Ubit – Pelatih Vokal

ternate yang dipilih adalah mantra

Q : inspirasi awalnya ini apa ya mba kok bisa membuat vokal yg seperti itu? A : iy, ini inspirasinya tentu saja semuanya idenya dari mas sardono kita sudah tau, jadi saya tidak usah ulang lagi. Tapi dimusiknya saja itu terutama musik vokal itu idenya adalah mantra, jadi karna temanya itu ternate actually boki raja nungkila itu ya kan didepan kan kalinyamat jawa dan itu semuanya ternate. Nada nadanya itu saya ambil dari nada ternate meskipun jadinya menjadi apa namanya menjadi musik kontemporer yang minimalis sebenarnya ngulang-ngulang semuanya kan seperti mantralah. Mantra itu kan sepert i doa atau sesuatu kayak orang berzikir yang diulang ulang. Q : kenapa dari sekian banyak irama di

Majalah AKSI | 39

A : Kalau tidak salah, sempat ada berita bahwa judulnya berubah ? S : Judul selalu berubah-ubah. Tergantung dengan perkembangan juga.

A : bukan mantra ternate, tapi itu adalah gabungan. Jadi mantra itu mantra itu yang universal, dimana mana ada mantra, di indonesia, di indonesia sediri di jawa, di sumatra di ternate dimana manaa ada tetapi nadanya saya pilih nada ternate meskipun tidak menjadi nyanyian ternate lagi dia sudah berubah sudah bertransformasi menjadi sesuatu yang itu dia mantra boki raja nungkila itu Q :Korelasi mantra mantra itu dengan kisah kalinyamat itu apa mba? A :Engga kalau yang terakhir ini bukan kalinyamat kan ada berapa cerita kan ada kalinyamat ada.. ya itu saya bilang tadi kan tentang legenda perempuan nsantara kan sebenarnya kan ini ga cuma kalinyamat yang dari jepara beberapa juga ada yang

A : Dari segi arsitektur, instalasi artistik ini, menonjolkan bentuk apa ? S : Itu tidak harus saya yang menafsirkan. Baiklah.... Saya kira saya harus kembali.

*mas Sumardono adalah seniman maestro yang memiliki kepentingan prioritas yang banyak, sehingga saat melakukan interview beliau agak terburu-buru.

dari ternate itu yang dibacakan oleh bu ratna yang terakhir tadi itu, itu kan tentang seorang ratu yang dari ternate namanya boki raja nungkila Q :Kalau untuk persiapan musiknya mba? A :Itu workshopnya sudah dimulai dari tahun lalu kan Q :Kendala kendalanya apa aja Mba? A :Gini mereka ini kan penari bukan pemusik bukan penyanyi jadi harus dipilihkan nada atau teknik yang sesuai dengan kemampuan mereka gitu Q :Tapi mereka bisa menyesuaikan ya mba? A :Latihan ya bisa. gaboleh yang tekhniknya sesulit untuk pemusik gitu kan

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 40


D

alam rangka menyambut perayaan ke-40 ASEAN-Japan Friendship and Cooperation dan 55 tahun perayaan hubungan diplomatik Indonesia – Jepang. Untuk pertama kalinya akan dipentaskan sebuah pertunjukan teater boneka tradisional Bunraku dari Jepang di Indonesia. Acara berlangsung pada tanggal 2 dan 3 Juli 2013 di Gedung Kesenian Jakarta. Selain itu banyak pula acara lainnya yang akan mengikuti pertunjukan tersebut. Rangkaian kegiatan ini sekaligus untuk mengenalkan budaya Jepang kepada masyarakat Indonesia. Salah satu acara besar yang akan diselenggarakan adalah Turnamen Sumo pada tanggal 24 dan 25 Agustus di Jakarta. Sekitar 40 pesumo langsung dari Jepang akan datang ke Jakarta memeriahkan turnamen ini. Acara lainnya adalah Jak Japan Matsuri kelima, Orkestra musik tradisional Jepang, dan tarian kontemporer. TULISAN DAN FOTOGRAFI OLEH DEVINA SOFIYANTI KARIN SENTOSA, LEONTIUS TITO

Majalah AKSI | 41

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Sejarah Bunraku Sejarah Pertunjukan Boneka Pertunjukan boneka memiliki sejarah / cerita yang panjang di Jepang. Pada awal abad ke-8, dalang pertunjukan boneka tersebut mengembara dari semenanjung Korea menuju daerah pedalaman yang disebut juga sebagai Kugutsumawashi. Setelah tersebar di berbagai area beberapa abad kemudian, pertunjukan boneka memiliki simbol perdamaian dalam tempat-tempat suci / kuil lokal. Di mana para dalang pertunjukan boneka berkeliling / melakukan tur sebagai utusan dari kuil. Pada akhir abad ke-16, seni penceritaan Joruri dengan pertunjukan boneka yang terpisah, pada akhirnya menciptakan suatu gaya atau bentuk baru, yang bernama Ningyo Joruri (yang pada akhirnya dikenal sebagai Bunraku) dan juga mengubah tempat pertunjukan. Sebelumnya pertunjukan Joruri dan pertunjukan boneka dilakukan di tempat terbuka, kemudian Ningyo Joruri dipertontonkan dalam gedung pertunjukan / teater. Dalam teater Takemoto-za, boneka-boneka yang dipertunjukan memiliki bentuk yang kecil dan hanya dioperasikan oleh satu dalang. Kemudian pada tahun 1734, muncul inovasi dalam mengoperasikan sebuah boneka di mana terdapat tiga orang dalang dalam menggerakan satu boneka Yokambei dalam kisah The White Fox of Shinoda. Dua tahun kemudian, teater yang merupakan saingan dari Takemoto-za, yaitu Toyotaka-za, menampilkan kisah The Giant Woman dengan menggunakan boneka yang berukuran dua kali lebih besar. Kemudian sekitar pertengahan tahun 1700an, dimensi akan panggung pertunjukan pun diperlihatkan kepada penonton. Asal-muasal nama Bunraku Pada awal abad ke-19, seorang produser dari Uemura Bunrakuken (yang berasal dari pulau Awaji, di mana seni pertunjukan boneka sudah tersebar) datang ke Osaka. Ia membangun suatu gedung pertunjukan yang dekat dengan lokasi Gedung Pertunjukan Nasional Bunraku saat ini di Osaka, yang juga berdekatan dengan lokasi teater Takemoto-za dan Toyotake-za di masa lalu. Pada tahun 1872, saat gedung pertunjukan tersebut di relokasi dan diresmikan oleh pemerintah, nama gedung pertunjukan tersebut diubah menjadi ‘Bunraku-za’.

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Bunraku Permainan Bunraku ini mirip dengan wayang golek di Indonesia. Namun yang membedakan adalah wayang golek dimainkan oleh satu dalang, sedangkan dalam Bunraku, setiap boneka dimainkan oleh tiga orang. Selain orang yang memainkan boneka, Bunraku dimainkan oleh seorang narator, dan satu atau lebih shamisen. Narator adalah orang yang bertugas menyampaikan cerita Bunraku dan menjaga agar emosi, motivasi, dan karakter tokoh dapat sampai kepada audiens. Alur cerita yang disampaikan narator sudah termasuk kapan narator akan menciptakan suasana tegang ataupun santai sehingga penonton menangkap perjalanan cerita lebih dinamis. Narator ini akan ditemani dengan shamisen dan duduk di sebelah panggung. Shamisen adalah pemain musik tradisional yang akan mengiringi pertunjukan Bunraku. Sama seperti seorang narator, shamisen juga menjaga emosi dan feel pada alur cerita Bunraku. Ia akan memainkan musik sesuai dengan karakter tokoh. Sedangkan untuk para pemain boneka Bunraku, mereka akan berkerja sama menggerakan boneka. Tiga orang tersebut akan dipimpin oleh satu orang yang paling senior. Ia akan menggerakan badan, kepala, dan tangan kanan boneka. Orang kedua bertugas menggerakan tangan kiri boneka dan menyimpan beberapa properti. Sedangkan orang yang paling junior akan menggerakan kedua kaki boneka. Oleh karena itu ketiga pemain Bunraku ini menjalani latihan yang serius agar dapat menyeimbangkan gerak boneka sehingga terlihat hidup. Pem-

impin mereka akan mengenakan pakaian khusus dan mengenakan geta, sedangkan kedua juniornya akan mengunakan pakaian hitam menutupi kepala mereka. Tarian Sambaso Asal mula tarian ini adalah Drama Noh “Okina.” Ada beberapa versi tarian yang sama dalam Kabuki, namun baik dalam Kabuki maupun Bunraku, tokoh “Okina” (orang yang tua) sebagai tokoh utama dalam versi mulanya, telah diadaptasi, diubah menjadi “Sambaso”, tokoh yang dulunya hanya merupakan tambahan belaka. Dalam drama Bunraku, “Sambaso” sendiri berganda menjadi dua, dan adanya dua “Sambaso” merupakan bagian utama dari apa yang lebih pantas disebut tarian daripada drama. Tarian ini bersifat lincah, penuh humor, ditarikan oleh dua “Sambaso”, dengan iringan suara dari lonceng tangan yang mereka bawa-bawa. Bagian ini merupakan sebuah hiburan ringan yang cocok untuk peristiwa atau perayaan gembira, dimainkan pada kesempatan seperti pembukaan musim teater atau datangnya Tahun Baru. Keajaiban Kuil Tsubosaka-Rumah Sawaichi dan Pegunungan Kuil Tsubosaka Sawaichi, seorang pria buta, mempunyai istri yang cantik bernama Osato. Sawaichi mengetahui bahwa setiap pagi menjelang fajar menyingsing, Osato selalu diam-diam keluar rumah. Maka timbullah rasa curiganya jangan-jangan Osato mempunyai kekasih rahasia di suatu tempat. Dia bertanya dengan mendesak kepada istrinya agar mem-

Majalah AKSI | 42


BUNRAKU

beritahukan hal yang sebenarnya. Osato sendiri malah terkejut dengan tuduhan yang dilontarkan terhadapnya. Perempuan itu menjelaskan bahwa dia memang terus keluar rumah. Namun tujuannya adalah untuk mengajukan doa permohonan kepada Kanzeon, Dewi Welas-Asih yang bertempat di kuil Tsubosaka, agar penglihatan suaminya dipulihkan. Sawaichi akhirnya malah terharu akan pengabdian istrinya dan setuju untuk pergi dengannya ke kuil Tsubosaka untuk menjalani pertobatan. Sawaichi tiba di kuil dengan bimbingan Osato, yang lalu meninggalkan suaminya di sana agar dia berpuasa selama tiga hari. Diingatkannya agar suaminya itu tidak bergerak-gerak karena bisa jatuh ke bawah ke lembah yang berbahaya. Namun, Sawaichi yang diam-diam telah bertekad untuk bunuh diri guna membebaskan Osato dari berbagai kekuatiran dan kesusahan, malah menerjunkan diri ke dalam lembah. Osato merasakan ada sesuatu yang tidak beres dan menakutkan telah terjadi pada suaminya. Bergegas dia kembali ke titik di mana dia meninggalkan suaminya sebelumnya. Lalu mengarahkan pandangannya ke bawah lembah di mana terlihat olehnya tubuh suaminya terbujur di bawah, sudah tewas. Dalam keputusasaan, Osato pun meloncat terjun juga hingga tewas. Kanzeon merasa begitu senang dengan kesetiaan pasangan tersebut serta pengabdian mereka. Sehingga dengan penuh kasih sayang berkenan menghidupkan mereka kembali dan memulihkan penglihatan Sawaichi.

Majalah AKSI | 43

Pemain Bunraku Pemimpin pemain boneka Osato adalah Yoshida Kazuo. Ia lahir tahun 1947 dan ia berumur 20 ketika ia dilatih oleh Yoshida Bunjyaku. Setahun kemudian ia sudah memainkan debut pertamanya di Osaka. Pada pertunjukan Bunraku ini, Yoshida Kazuo akan memainkan peran wanita Osato. Namun biasanya ia memainkan peran laki-laki yang gagah dan berani. Pemain boneka yang memainkan tokoh Sawaichi adalah Yoshida Tamame. Ia lahir pada tahun 1953 dan sejak tahun 1968 ia berada dibawah bimbingan Yoshida Tamao dan mendapat nama Tamame. Ia memulai debutnya setahun kemudian di teater Asahi, Osaka. Yoshida Tamame ingin menjadi pemain Bunraku, ketika ia sedang bekerja paruh waktu di sebuah pementasan Bunraku. Saat itu ia masih berada di sekolah menengah. Workshop Bunraku Sebelum mengadakan pertunjukkan di Gedung Kesenian Jakarta, para pemain Bunraku juga mengadakan workshop di Gedung Rektorat Institut Kesenian Jakarta. Acara tersebut dihadiri oleh para dosen, mahasiswa dari Institut Kesenian Jakarta, dan beberapa tamu undangan. Acara tersebut dibuka dengan narator dan pemain shamisen yang menjelaskan apa fungsi mereka dalam Bunraku dan apa saja alat yang mereka mainkan. Di sini juga diajarkan bagaimana karakteristik setiap suara, mulai dari anakanak, pria remaja, wanita remaja, pria dewasa, wanita dewasa, kakek dan nenek. Selain itu untuk setiap tokoh yang berbeda, suara

yang dihasilkan oleh shamisen pun berbeda-beda. Setelah itu, diadakan workshop untuk para dalang. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, dalang dalam pertunjukkan Bunraku ada 3 orang. Pertama-tama mereka menunjukkan jenis boneka Bunraku dan fungsi bagian-bagian dalam tubuh boneka Bunraku. Dan mereka pun menjelaskan bagaimana menggerakkan boneka tersebut. Cara menggerakkan boneka Bunraku, sebenarnya sangat sulit karena dibutuhkan kekompakan dari ketiga dalangnya. Dan ternyata, untuk menjadi seorang penggerak kaki dibutuhkan waktu kurang lebih 10 tahun, sebelum ia menjadi penggerak tangan. Dan waktu yang dibutuhkan untuk seorang penggerak tangan menjadi dalang penggerak wajah, badan, dan tangan kanan adalah 15 tahun. Setelah menjadi dalang/ penggerak senior, ia akan menjadi dalang bunraku seumur hidupnya. Setelah itu, diadakan sesi tanya jawab. Sesi tanya jawab pun tampak hidup, karena orang-orang pun sangat penasaran dengan pekerjaan seumur hidup yang dijalani oleh para pemain Bunraku dan bagaimana mereka pertama kali tertarik untuk terjun ke dunia Bunraku. Kebanyakan menjawab bahwa menjadi bagian dari Bunraku adalah panggilan jiwa dan karena Bunraku adalah salah satu kesenian tertua di Jepang yang masih eksis hingga masa sekarang. Acara workshop ini pun ditutup dengan pembagian cendera mata dari Kedutaan Jepang. devina sofiyanti

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


O L E H R I Z K Y I C H R A M S YA H Pernahkah kalian mengalami kegagalan mengabadikan sebuah momen yang hanya berlangung sekejap dan semua itu disebabkan hanya karena miss focus atau gambar tidak fokus? Semoga saja tidak pernah, namun bagi yang pernah mengalaminya, kali ini AKSI akan sedikit membahas sebuah kamera compact dengan teknologi revolusioner yang dapat membantu mengatasi hal tersebut.

LIGHTFIELD CAMERA Lytro Camera menggunakan teknologi lensa dan sensor khusus yang mampu menangkap seluruh bidang cahaya didalam suatu scene, lalu menyimpannya sebagai data yang dapat diatur setelah proses pengambilan gambar.

Lytro Camera merupakan kamera dengan teknologi yang memiliki kemampuan untuk mengubah fokus gambar, setelah gambar diambil. Berlawanan dengan cara kerja kamera pada umumnya, dimana pengguna perlu mengatur fokus lensa terlebih dahulu sebelum mengambil gambar. Keunggulan ini membuat pengguna Lytro Camera tidak perlu takut momen yang hanya berlangsung sekejap mata gagal diabadikan. Ambil saja dahulu gambar sebanyak-banyaknya, baru kemudian atur bagian mana yang akan difokuskan. Bagaimana cara kamera ini melakukannya?

Lytro Camera menyediakan 2 mode pengambilan gambar yang berbeda fungsi satu dengan lainnya. Mode pertama adalah Everyday Mode. Pada mode ini, pengambilan gambar dapat dilakukan secara instan dengan menekan tombol shutter untuk dengan cepat mengabadikan momen. Karena kamera ini tidak memerlukan pengaturan fokus sebelum pengambilan gambar, maka objek apapun yang dipilih bisa tetap tajam, karena dapat difokus ulang kemudian setelah gambar diambil.

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

CHANGE FOCUS Memungkinkan mengubah fokus setelah pengambilan gambar

Mode lainnya ialah Creative Mode. Mode pengambilan gambar ini memberikan kemampuan kepada penggunanya untuk mengendalikan blur secara spesifik pada gambar, dengan menyentuh preview gambar pada bidang touchscreen atau me-refokus kembali gambar yang baru saja kita abadikan. Lytro Camera juga memililki kemampuan untuk menangkap gambar dengan minimum shutter speed 1/250 dan jarak ISO mulai dari 80-3200. Selain itu, Lytro Camera memberikan fasilitas interactive filter yang mempermudah pengguna dalam menggunakan filter efek untuk mempercantik gambar.

Meskipun kamera ini merupakan kamera foto namun dalam perkembangannya tidak menutup kemungkinan kamera video dapat mengadopsi teknologi serupa dimasa mendatang. Namun sudah siapkah kita menerima teknologi ini? karena ketika teknologi ini sudah semakin disempurnakan dan dapat diterapkan pada kamera video, tentunya akan memberikan dampak pula dalam sebuah produksi film, misalkan saja pada peran seorang asisten kamera satu. Teknologi akan selalu berkembang dan berusaha sebaik mungkin memberikan kenyamanan kepada kita. Untuk dapat mengimbanginya, maka cara berpikir dan kreatifitas kita haruslah selangkah atau bahkan 7 langkah lebih maju lagi dari perkembangan teknologi itu sendiri.

Majalah AKSI | 44

Photos courtesy of LYTRO & HTC

Lensa yang digunakan dalam kamera ini berkemampuan untuk melakukan 8x perbesaran optis dengan aperture f.2 secara konstan. Di dalam kamera ini juga terdapat Microlens array yang digabungkan bersama sensor digital untuk menangkap warna, intensitas, dan arah cahaya. Dengan teknologi ini, Lytro Camera diklaim mampu menangkap 11 juta berkas cahaya. Seluruh berkas cahaya tersebut kemudian di proses pada Light-Field Engine lalu ditampilkan pada touchscreen.


tekno

Teknologi Ultrapixel

OLEH leontius tito

pada Kamera Smartphone Semenjak munculnya era digital pada fotografi, makin banyak orang yang berkreasi dengan memanfaatkan kemudahan kamera digital. Kegiatan memotret pun menjadi relatif lebih mudah dilakukan oleh siapa saja, bahkan dapat dilakukan dengan menggunakan perangkat telepon genggam untuk mengabadikan momen sehari-hari. Perkembangan teknologi smartphone dan tren jejaring sosial, membuat orang semakin menyukai kegiatan memotret. Dengan berbagai software aplikasi yang disediakan oleh smartphone setiap orang berusaha menghasilkan foto dengan kualitas yang baik agar dapat di share pada jejaring sosial. Saat ini semakin banyak orang yang mengandalkan smartphone sebagai kamera utama mereka. Tren tersebut direspon oleh pabrikan dengan berlomba-lomba menciptakan smartphone dengan teknologi kamera yang maksimal. Salah satunya ialah teknologi Ultrapixel yang diusung oleh pabrikan smartphone HTC. Seperti apa teknologi Ultrapixel? Hasil foto yang terdapat pada layar smartphone sebenarnya merupakan hasil penangkapan cahaya oleh sebuah alat yang dinamakan image sensor. Sebuah image sensor terdiri dari sejumlah photosite (photon sensing site) yang berfungsi untung ‘menampung’ foton-foton cahaya dan mengubahnya menjadi sinyal-sinyal listrik, untuk kemudian diproses dan disimpan sebagai data digital 0 dan 1. Satu bagian dari photosite akan diterjemahkan kedalam satu bagian elemen gambar (picture element = pixel) dalam sebuah foto digital. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sebuah gambar yang dihasilkan dari kamera 1 Megapixel tersusun dari 1 juta titik-titik pixel. Semakin tinggi Megapixel-nya, semakin banyak jumlah photosite yang dijejalkan kedalam image sensor.

Majalah AKSI | 45

Disaat kamera-kamera smartphone pada umumnya meninggikan Megapixel, pabrikan smartphone HTC memperkenalkan teknologi dengan pendekatan baru yaitu Ultrapixel. Alih-alih memperbanyak jumlah pixel, teknologi Ultrapixel mencoba meningkatkan kualitas gambar dengan memperbesar ukuran fisik tiap pixel didalam image sensor. Dalam dunia fotografi digital, sudah umum dipahami bahwa semakin besar image sensor-nya, semakin baik kualitas foto yang dihasilkan, dalam artian dari sisi gambar maupun warna yang ditangkap.

Apa yang diharapkan dengan meningkatkan luas tiap pixel pada teknologi Ultrapixel? Secara sederhana dapat diibaratkan, cahaya yang ditangkap kamera sebagai ‘hujan’ foton dan pixel pada image sensor adalah sebuah ‘ember’. Tentu saja ‘ember’ dengan ukuran besar mampu menampung ‘air hujan’ lebih banyak dalam kurun waktu yang sama. Dalam kamera, ini berarti informasi cahaya (warna, intensitas, dan sebagainya) dapat ditampung lebih banyak didalam satu pixel image sensor.

Seperti telah dijelaskan sedikit diatas, konsep dasar dari teknologi Ultrapixel yang diperkenalkan oleh HTC terletak pada image sensor-nya yang memiliki ukuran yang lebih luas pada tiap-tiap pixel-nya. Ukuran pixel disini merupakan ukuran fisik sesungguhnya dari komponen photosite atau ‘penampung’ foton cahaya.

Penggunaan image sensor dengan permukaan pixel yang jauh lebih luas, diklaim HTC mampu meningkatkan kualitas gambar, karena dapat menerima 300% cahaya lebih banyak dibanding sensor kamera standar yang terdapat dalam telepon genggam pada umumnya. Hasilnya, dapat memberikan kontribusi signifikan pada gambar yang lebih kaya warna maupun lebih baik dalam merekam objek dengan kondisi pencahayaan kurang (low light).

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat perbandingannya pada gambar berikut. Standar kamera smartphone pada umumnya memiliki ukuran tiap pixel sebesar 1,1 micrometer x 1,1 micrometer atau seluas 1,21 micrometer persegi. Bandingkan dengan kamera Ultrapixel yang memiliki ukuran tiap pixel sebesar 2 micrometer x 2 micrometer, atau seluas 4 micrometer persegi.

Kemampuan teknologi Ultrapixel ini sendiri memang masih belum lama teruji. Namun pendekatan baru dalam menghasilkan foto dengan kualitas gambar maksimal dengan menggunaan perangkat yang semakin kecil dan tipis seperti teknologi Ultrapixel ini dapat memberikan harapan untuk pengembangan teknologi kamera smartphone dimasa mendatang.

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 46


Majalah AKSI | 47

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Kabupaten Gunung kidul berada di sebelah tenggara kota Yogyakarta sejauh 39 km dengan luas 1.485,36 km2 atau 63,36% dari luas wilayah Propinsi Daerah istimewa Yogyakarta yang mempunyai 18 kecamatan 144 desa. Jika kita melihat secara geografis wilayah Kabupaten Gunung Kidul terletak pada posisi ‘7°46’ LS s/d 8°09’ LS serta 110°21’ BT s/d 110°50’ dengan luas 1.485,36 km²’1. Sebagian besar wilayah kabupaten ini berupa perbukitan dan pegunungan kapur, yakni bagian dari Pegunungan Sewu. Sebagian wilayah Gunung Kidul merupakan daerah tandus, dimana pada musim kemarau sering terjadi bencana kekeringan.

Edisi .2 .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 48


FOTOGRAFI

Topografi di Kabupaten Gunung Kidul secara garis besar dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah pengembangan (Zona), yaitu: Zona Utara (zona batur gunung) Dengan ketinggian 200 - 700 m di atas permukaan laut. Zona Tengah (zona ledok wonosari) Dengan ketinggian 150 - 200 m di atas permukaan laut. Zona selatan (zona pegunungan seribu) Dengan ketinggian 100 - 300 m di atas permukaan laut.

Majalah AKSI | 49

Edisi .2 .1 | No.2 | Oktober 2013


Gunung Kidul mempunyai garis pantai yang membentang dari timur ke barat yang merupakan bentang pantai selatan. Demikian pula dengan adanya keberadaan goa horizontal dan vertical yang merupakan alur jalan sungai bawah tanah. Jadi secara geogarfis benar adanya bahwa Gunung Kidul adalah daerah tandus dan gersang. Namun di balik ketandusan Gunung Kidul terdapat fenomena alam yang sangat luar biasa. Fenomena ini mungkin tidak semua daerah di Indonesia memilikinya. Dari keindahan alamnya yang asli dan mempesona, seni dan tradisi yang unuk dan menarik, serta keramahan masyarakatnya

Edisi .2 .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 50


FOTOGRAFI

Gunung kidul memiliki 46 pantai sebagai tempat tujuan wisata. Pantai tersebut berjejer sepanjang 70 km dari perbatasan Kabupaten bantul di ujung barat dan di ujung timur berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri Propinsi Jawa tengah. Gua vertical dan horizontal yang sebagian besar mengalir sungai bawah tanah sebanyak 119 gua. Dan masih banyak kawasan wisata alam dan hutan rakyat yang tersebar diseluruh wilayah Gunung Kidul. Seni dan tradisi masih hidup subur di Gunung Kidul seperti Rasulan,Campur Sari, gejog Lesung, Rinding Gundeng, Topeng Bobung dan masih banyak lagi kesenian rakyat yang masih di jaga kelestariannya.

Majalah AKSI | 51

Edisi .2 .1 | No.2 | Oktober 2013


Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 52


Majalah AKSI | 53

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 54


FOTOGRAFI

Majalah AKSI | 55

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 56


FOTOGRAFI

Majalah AKSI | 57

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 58


FOTOGRAFI

Majalah AKSI | 59

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 60


TOKOH Chalid Arifin lahir di Payakumbuh, 6 Mei 1928 dan wafat di Jakarta, 4 Januari 1928. Pada tahun 1950, beliau memutuskan untuk studi di Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Seni Rupa. Tetapi pada tahun 1952, beliau berhenti dari studinya dan mulai berkarir di industri perfilman Indonesia. Chalid Arifin merintis karir dengan bekerja di Perfini, yakni sebuah perusahaan film terpenting dalam sejarah film Indonesia yang melahirkan film-film nasional klasik periode 1950-an seperti; Darah dan Doa/ The Long March, Lewat Djam Malam, Krisis, Harimau Tjampa dan Tjambuk Api. Awalnya, beliau menjadi Pembantu Penata Artistik di film Kafedo (1953). Dan tak lama kemudian, Chalid Arifin langsung dipercaya untuk menjadi Penata Artistik pada film Krisis (1953) yang dilanjutkan dengan film Putri Dari Medan (1954) dan Lewat Djam Malam (1954). Melalui film Lewat Djam Malam inilah akhirnya beliau berhasil menjadi Penata Artistik Terbaik pada Festival Film Indonesia tahun 1955.

Majalah AKSI | 61

Kemudian untuk mengembangkan kemampuannya, Chalid Arifin pun bertolak ke Paris, Prancis untuk menimba ilmu di College Technique Des Art Le Industrie pada tahun 1954 hingga tahun 1956. Sebagai syarat untuk lulus dari kampus tersebut, Chalid Arifin membuat dua film, yaitu Qu’as Fait de la Jeunesse (1958) dan Pourquoi Yiens si Tard (1958). Dengan begitu, Chalid Arifin menjadi seorang Penata Artistik dengan gelar akademik di Indonesia. Setelah itu pada tahun 1959, Chalid Arifin melanjutkan studi di Institut des Hautes Études Cinématographiques/IDHEC (sekarang telah berganti nama menjadi École Nationale Supérieure des Métiers de l’Image et du Son/ La FEMIS) dengan mengambil jurusan arsitektur/dekorasi.

Indonesia. Film-film tersebut antara lain Pagar Kawat Berduri (1961), Toha Pahlawan Bandung Selatan (1961), dan Balada Kota Besar (1693). Tetapi setelah itu beliau memnutuskan untuk tidak aktif lagi di dunia film. Meskipun begitu ia tetap bekerja sebagai designer untuk interior, teater, iklan, dan lain-lain. Chalid Arifin juga pernah mengajar di LPKJ (sekarang IKJ) untuk mata kuliah Tata Artistik dan juga Sejarah Film Dunia. Bahkan nama beliau diabadikan sebagai nama perpustakaan Institut Kesenian Jakarta, yaitu Perpustakaan Arifin.

Sepulangnya ke tanah air, Chalid Arifin kembali aktif menjadi Penata Artistik untuk film

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Maria Darmaningsih, S.Sn., M.Ed. Wadek IV FSP

Q : Apa sebenarnya latar belakang dari acara kenduri seni ? A : Ada beberapa hal, pertama adalah saya secara pribadi dan teman-teman rindu suasana IKJ seperti dulu. Di mana kita sering mengadakan kegiatan bersama-sama. Paling tidak di fakultas seni pertunjukan itu ada teater, musik, tari dan kajian seni pertunjukan. Sekarang ini sudah terlalu masing-masing, jadi kita ingin menghimpun lagi supaya ada acara bersama FSP. Kedua adalah momentum ketika Jokowi hadir di sini bulan Maret, kemudian beliau mengatakan kalau zaman Foke sudah ada wacana bahwa ini akan di bongkar, tapi Jokowi lebih mempercepat prosesnya. Karena sudah 40 tahun tidak ada renovasi, maka harus dilakukan dengan cepat. Jadi kita semua merasakan harus pindah, dan alangkah baiknya sebelum pindah itu kita

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

melakukan sesuatu seperti upacara ritual di antara kita. Sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih bahwa akhirnya mau dirombak. Tapi juga sebagai rasa bahwa jelek-jelek juga bangunan ini adalah tempat kita. Seperti saya sudah sejak 1983 di sini. Apapun yang menghidupi di sini kan juga IKJ, menghidupi dalam tanda kutip. Dan saya juga hidup karena IKJ. Dan ini juga sebagai ungkapan rasa yang akan segera berpisah dengan bangunan lama. Jadi banyak ekspresinya seperti rasa syukur, tapi juga ada rasa perpisahan. Kemudian nanti setelah dibangun kembali suasananya beda dan manusianya juga akan berubah. Jadi ini seperti ada kenangan, kenangan serta rasa syukur. Dan dalam arti berpikir positif, bukan berarti mengenang terus sedih. Q : Siapa pencentus awal dari acara ini ? A : Saya. Q : Sebenarnya apa yang ingin dicapai dan tujuan setelah acara kenduri seni ? A : Inginnya kegiatan rutin. Jadi acara ini menjadi momentum awal. Tapi kemudian kami ingin semua juga merakan kerinduan yang sama, di mana acara ini kalau bisa diadakan secara rutin setahun sekali. Untuk kenduri seni di tengah tahun, mungkin nanti di akhir tahun ada acara lain.

pan, tapi mensyukuri yang belakang yang sudah terjadi. Itu kenapa namanya kenduri. Terus seni karena kita orang seni. Kemudian temanya menyongsong wajah baru IKJ. Memang kita ingin positif thinking bahwa dengan doa semoga kedepannya akan lebih baik untuk kita semua. Karena sebenarnya dulu ide dasar Bang Ali itu kan memang IKJ, dewan kesenian, terus TIM itu menjadi satu kesatuan. Bahwa kita yang menggodok seniman, pemikirnya untuk ke depan secara nasional itu dewan dan TIM itu sebagai tempat. Nah itu kan cerdas sekali dan sangat bagus, tapi seperti sudah agak hilang. Karena itu kalau kita sering mengadakan acara sebaiknya bersama-sama semua fakultas yang lain. Ini untuk menyampaikan terus bahwa kita ada, kita ada dan kita harusnya adalah rekan gubernur untuk memikirkan Jakarta dalam hal keseniannya. Untuk filmnya itu harus seperti apa, tariannya, musiknya juga, yah semuanya. Memang kita di bawah gubernur seharusnya menjadi rekan dan memikirkan bersama-sama kota Jakarta itu harusnya diapakan secara kesenian, karena kita kan belajar kesenian yang sebenarnya mengharmoniskan cara berpikir kita. Jadi implementasinya juga harus ada untuk kota Jakarta, bukan kita di tempat kumuh sendiri dan asik sendiri. Itu kan jelas salah.

Q : Terus kenapa memilih nama kenduri seni ?

Q : Terus untuk persiapan kenduri seni makan waktu berapa lama? Kesulitan dan pengalaman yang menarik?

A : Tadinya sempat ruwatan, tapi kalau ruwatan kok sepertinya negatif kesannya. Kalau kenduri kan selametan untuk masa de-

A : Hanya sebulan, terus juga banyak perselisihan pandangan karena masih awal. Karena menyatukan cara berpikir itu tidak

Majalah AKSI | 62


mudah. Meski sebulan tapi syukur Alhamdulillah semua kerja bareng, terus juga ada tunjangan dari fakultas dan ada dana sedikitlah. Terus beruntung ada BRI, meski tidak seberapa karena niatnya bukan mencari dana. Kita sudah sangat terbiasa hanya dengan dana sekian, kita bisa bikin apa ? Kita niat dulu semoga ada dananya, jadi kita balik seperti zaman dulu lagi. Sepertinya kita juga rindu ingin melakukan hal-hal seperti itu. Ternyata bisa dengan teman-teman yang juga luar biasa tiap hari kita melakukan ini dan itu. Mungkin yang agak meleset yah publikasi.

Damar Marsarangaji Sekprodi Musik

Q : Yang ditampilkan satu hari dalam kenduri seni itu pembagiannya sama rata antara musik, tari, teater ? A : Sama rata. Jadi yang dari pagi ini prosesi itu terdiri dari semua mahasiswa fakultas. Kemudian nanti siang dari jam 12 sampai 4 ada band-band dari musik, tapi juga ada dari luar supaya mendatangkan penonton. Terus yang sore nanti ada pertunjukan di luar mulai jam 6, kemudian yang malam itu memang dibagi 30 menit tiap prodi terserah mau menampilkan apa. Q : Untuk panitia ada campur tangan dari mahasiswa? A : Ada mahasiswa, karyawan terus dosen dan di bawah dosen ada mahasiswa. Tadi saya lupa menyampaikan sebetulnya idenya dari saya mengajar literatur tari, literatur tari itu kan membaca tari, membaca itu kan juga harus membaca apa yang terjadi di luar di mana bukan selalu membaca buku. Nah saya minta 7 mahasiswa, karena kita mau pindah kita harus melakukan apa ? Terus kita ngobrol-ngobrol, dan berekspresi. Terus berkembang dan akhirnya jadi semua. Itu tadi cikal bakal embrionya dari mata kuliah itu aja sebenernya.

Majalah AKSI | 63

Q : Mas Damar dalam acara Kenduri Seni ini posisinya sebagai apa dan latar belakangnya sendiri bagaimana ? A : Di acara kenduri ini saya sebagai sekretaris satu. Dan latar belakang adanya kenduri ini adalah intinya merupakan satu respon atau tanggapan ekspresi dari fakultas seni pertunjukan khususnya. Di mana sebenarnya kampus kita sudah mau di renovasi, intinya adalah syukuran atau selametan. Juga sebagai bentuk keprihatinan kami terhadap kampus ini yang telah memberikan banyak ilmu kepada kami. Seolah-seolah jadi perpisahan juga buat gedung lama karena kita akan direnovasi secara total. Q : Makna dari kata Kenduri Seni menurut Mas Damar ? A : Kenduri ini identik dengan pesta raya sebenarnya. Kenduri adalah hajatan gampangnya. Konsep awal nama kenduri ini sebenarnya kita mencari agak-agak susah,

mau pakai selametan atau syukuran. Tapi ini kurang mewakili secara umum. Kalau dalam kenduri itu biasanya ada selametan, syukuran dan perayaan begitu. Tadinya malah kita mau pakai nama ruwatan, tapi kalau ruwatan terkesannya jadi eksklusif banget karena mengacu kepada pengertian tertentu. Jadi kita pakai bahasa yang lebih umum. Q : Harapan ke depan setelah menjalani Kenduri Seni? A : Sebenarnya ini lebih kepada mentalitas kita nantinya, dalam arti kita harus mempersiapkan segala sesuatunya menjadi yang lebih baru. Karena tema kenduri ini adalah menyongsong wajah baru IKJ ke depan. Kita harapkan mentalnya juga berubah menjadi lebih baru secara keseluruhan entah itu mahasiswanya, maksudnya dalam arti kata proses kreatifnya maupun juga bagi para staf pengajarnya maupun karyawan-karyawannya. Q : Kesulitan dalam mewujudkan Kenduri Seni ? A : Memang ini karena acara fakultas yang notabenenya melibatkan banyak program studi dan tidak satu jurusan, maka koordinasinya memang agak susah nih. Persiapannya juga bisa dibilang mepet dan mungkin teknisnya di lapangan agak susah. Kalau secara konsep tidak ada masalah. Q : Bisa diceritakan mengenai proses penyusunan acara di Kenduri Seni? A : Ini acara formatnya adalah kesepakatan dari semua program studi yang terlibat. Misalnya pagi ada prosesi dan siangnya lebih kepada band, dalam arti kata kita mengundang perwakilan dari beberapa SMA sifatnya lebih umum. Terus lebih ke internnya lagi justru yang mulai dari jam 4 sore sampai jam 11 malam, yah itulah gaya IKJ sebenarnya.

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Apa kata mahasiswa Idam (Musik/2010) : Sejak masuk kuliah baru ini pertama kali melihat kenduri seni. Kalau kenduri itu artinya apa yah ? Selametan bukan ya? Kalau menurut saya buat acara selametan sebenernya masih kurang meskipun ini sudah bagus. Kampus ini sudah lama mati tidak ada acara terutama FSP. Tapi acara Kenduri ini masih bisa lebih keren lagi, alumni belum banyak. Mungkin publikasi dan info-infonya yang kurang. Dan harusnya acara seperti ini rutin dan seluruh mahasiswanya wajib ikutan. Tapi untuk permulaan ini sudah lumayanlah.

jurusan itu. Jadi nanti ada teater, pantomim, tari juga jaipongan segala macam. Jadi selain seru untuk keluar juga, buat batin kita yang mendirikan acara ini menjadi suatu yang wooow banget sih. Buat gue sendiri sih bisa jadi tambah intim. Richard (Teater/2010) : Dalam acara kenduri seni ini kalau menurut saya bagus soalnya di sini ajang di mana satu fakultas pertunjukan berkumpul, semua membuat sebuah karya dan menampilkan semua karya-karya mereka yang mereka dapat dari

dengan acara ini mungkin semua mahasiswa dari setiap jurusan bisa berkumpul menjadi satu dan lebih akrab, mempersatukan diri, lebih dekat satu sama lain. Itu penting buat anak seni. Gintar (Tari/2007) : Kalau menurut saya acaranya bagus sih, dari semua jurusan di fakultas pertunjukan IKJ kumpul jadi satu untuk membuat acara kolaborasi. Tapi menurut saya informasinya kurang, dan bahkan saya sendiri hari ini tidak tahu ada acara ini di kampus.

Fahri (Musik/2012) : Menurut saya acara ini asik, keren, heboh, dan seru pokoknya. Kalau bisa untuk kedepannya ada lagi dan lebih OK dari yang ini. Oso (Musik/2010) : Kenduri seni keren sih sebenarnya karena melatih kita untuk tampil di atas panggung. Kita juga diberi pengalaman untuk menampilkan yang terbaik dan bisa menguasai instrumen di atas panggung itu seperti apa. Supaya para penonton bisa menerimanya dengan baik. Jadi menurut saya ini wajib ada, bila perlu setahun dua kali gitu. Unay (Teater/2010) : Kenduri seni suatu hajatan seni untuk para mahasiswa/i dan alumni fakultas seni pertunjukan. Ajang ini buat gue bukan hanya seru tapi suatu ajang untuk mempersatukan kita satu fakultas ini. Karena selain kita punya gaya mentasnya masing-masing, teater dengan teaternya, musik dengan musiknya, tari dengan tarinya tapi kita tetap satu anak-anak pertunjukan. Oleh karena itu kita buat suatu hajatan bersama dalam rangka mempertunjukan ketiga

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

perkuliahan ini. Acaranya keren-kerenlah pokoknya. Soalnya di sini mahasiswa-mahasiswa yang kreatif, tahulah IKJ seperti apa dan mahasiswanya bagaimana. Tidak akan rugi nonton acara kenduri seni ini. Eyi (Tari/2012) : Menurut saya acara kenduri seni ini sangat luar biasa yah, karena

Alisa (Tari/2011) : Saya melihat acara kenduri seni ini lumayanlah. Karena generasi semakin ke sini makin jarang acara-acara kampus yang dibuat. Saya senang melihat ada acara ini meski kurang ramai. Mungkin karena masih siang. Semoga nanti malam ramai dan kebetulan nanti malam jam 6 angkatan saya nari. Semoga sukses.

Majalah AKSI | 64


UKM

Bagi pembaca yang belum mengetahui arti dari SENDAL dalam artikel ini, mungkin akan langsung melihat ke bawah lalu berfikir, Sendal Jepit? Karena ini adalah artikel pertama kami di tahun ajaran baru 2013, maka kami segenap rakyat SENDAL-IKJ akan mencoba menjelaskan secara singkat apa itu SENDAL-IKJ. SENDAL adalah akronim dari SENI dan ALAM, yang merupakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Institut Kesenian Jakarta. Dengan melihat dan menghayati Mars SENDAL-IKJ, sebenarnya kalian bisa mengetahui dasar dari kegiatan UKM yang ada sejak tahun 1994 ini. Jika bisa kami katakan secara sederhana bahwa bagi kami seni adalah alat dan alam adalah medianya. Karena kita kuliah dibidang seni, maka kita berkesenian dan berkarya. Melalui SENDAL-IKJ kita dapat berkarya melalui atau dengan alam sebagai medianya. Terkadang kami juga ‘mengartikan akronim SENDAL dengan SENangsenang Di ALam. Tentu kami akan senang, jika kami mampu berkarya dengan karya Tuhan, yaitu alam. Sekedar informasi bagi para mahasiswa baru di Institut Kesenian Jakarta, bahwa ada 3 UKM di kampus kita ini, yaitu SENDAL, MIMAKRIS, dan MIMAZAH. Saat ini, dalam rangka renovasi gedung IKJ, lokasi beberapa fakultas tersebar di luar Kampus Cikini. UKM SENDAL sendiri masih berada di sudut kampus IKJ Cikini,

Majalah AKSI | 65

di samping Studio Kayu. Dengan dukungan dari semua pihak, kami yakin UKM SENDAL akan tetap dan terus berusaha memberikan kontribusi pada kampus IKJ dan masyarakat. Bagi SENDAL, peduli terhadap lingkungan sekitar merupakah salah satu ben-

dengan Angkatan 1. Sekarang, SENDAL sudah memasuki Angkatan 18. Dalam artikel ini kami akan sedikit menceritakan tentang kegiatan terbaru SENDAL Angkatan 18.

tuk dari kontribusi dan pengabdian kepada bangsa.

kita harus melalui beberapa tahapan, dengan tahapan puncaknya yaitu Kegiatan Pendakian Perdana. Para calon anggota SENDAL tentu saja akan dibekali dengan pengetahuan-pengetahuan selama melaksanakan tahapan-tahapan menjadi anggota tersebut. Bisa dilihat dalam foto-foto berikut, beberapa kegiatan kami, SENDAL Angkatan 18.

Kegiatan SENDAL-IKJ Seperti yang sudah diceritakan sedikit di atas, UKM SENDAL didirikan pada tahun 1994 oleh para abang-abang dan mpokmpok kita, mahasiswa IKJ. Para mahasiswa pendiri SENDAL di tahun tersebut dikenal

Untuk menjadi anggota UKM SENDAL-IKJ

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Pendakian Perdana: Banyuwangi

Gunung

Raung

Berikut foto-foto Pendakian Perdana kami, angkatan ke-18 SENDAL-IKJ yang berlokasi di Gunung Raung Banyuwangi pada 20-30 Agustus 2013. Begitu banyak cerita dibalik foto tersebut. Bisa dilihat dalam foto, kami sedang berada di atas awan Gunung Raung Banyuwangi dengan ketinggian kurang lebih 3000 meter di atas permukaan laut. Kami akan berbagi sedikit cerita mengenai pendakian perdana kami. Bagi yang ingin mengetahui sekilas video nya, bisa ke www.youtube.com/watch?v=M-jroq0xlcY Kampus Institut Kesenian Jakarta - 20 Agustus 2013 Kami melakukan upacara sekitar pukul 10 siang dalam rangka pelepasan angkatan 18 menuju Gunung Raung, Banyuwangi. Walaupun, kami tetap berangkat pada malam hari menyesuaikan dengan tiket kereta. Stasiun Kalibaru, Banyuwangi - 22 Agustus 2013 Sampai stasiun Kalibaru sudah malam, dan kami dijemput oleh Pak Suto dan bermalam dirumahnya. Pak Suto ini adalah salah satu orang penting yang harus kita kenal jika akan melakukan pendakian di Gunung Raung.

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Pos 1 (Rumah Pak Sunarya) - 23 Agustus 2013 Di pos 1 ini kami mengambil air untuk perbekalan mendaki. Tiap orang membawa 10 liter air, karena tidak ada mata air saat kita mendaki ke atas. Pos 2 (Pos Mata Air Adios dan SDL-IKJ) - 23 Agustus 2013 Di lokasi ini kami mengalami dua hal yang sangat spesial! Pertama, secara tiba-tiba kami bertemu dengan enam ekor macan tutul. Kami semua panik dan bergegas masuk tenda. Rupanya sepatu kami yang tertinggal di luar tenda yang mungkin juga bau daging busuk akhirnya menjadi korban, disantaplah sepatu-sepatu itu oleh gerombolan macan tutul. Hal kedua yang sangat spesial, SENDAL-IKJ mampu menemukan tempat baru sumber air di Pos 2 ini bersama dengan temanteman pecinta alam dari Banyuwangi. Hal ini kami harapkan akan menjadi informasi yang bermanfaat bagi para pendaki, sehingga mereka tidak lagi harus membawa persediaan air yang banyak di Pos 1. Kalian bisa mengisi air di Pos Mata Air Adios dan SDL-IKJ. Pos 3 - 24 Agustus 2013 Di lokasi Pos 3 ini kami mendirikan camp dan tidur walaupun dengan tidak nyenyak, karena lagi-lagi yang namanya hutan rimba, kerap terdengar suara-suara di balik pepohonan sekitar tenda yang kami duga adalah macan. Namun setelah diupayakan sekian

lama agar pergi menjauh, ternyata ‘macan’ itu hanyalah seekor musang. Pos 4 - 25 Agustus 2013 Di lokasi Pos 4 ini setiap orang pantang untuk teriak, karena katanya dapat mengundang kabut dan badai. Tapi, namanya juga anak muda, kami tetap berbicara seperti tidak ada pantangan apapun. Benar saja, hasilnya kabut menyerang dan angin yang kencang. Untung saja tidak terlalu parah, tapi tetap saja, dingin nya itu lho.. Turun ke Pos 3 - 26 Agustus 2013 Hari ini sarapan enak sekali. Biasanya memang dilakukan pendaki, pada hari-hari terakhir, semua logistik dikeluarkan. Di lokasi ini kami nge-camp. Turun ke Rumah Pak Suto - 27 Agustus 2013 Akhirnya sampai juga kami di kediaman Pak Suto dengan kaki serasa copot. Pak Suto menanyakan keterlambatan jadwal kami turun, karena pada buku tamu kami menuliskan tanggal 26. Demikian sedikit cerita tentang SENDAL-IKJ, jika ingin mengetahui cerita kegiatan-kegiatan kami seperti pameran, bakti sosial, jalan-jalan dan lain-lain. Bisa lihat halaman facebook Seni dan Alam, dan follow kami di @SENDAL_IKJ

Majalah AKSI | 66


KRITIK SENI

KRITIK SENI Oleh German G.Mintapradja, S.Sn. Vice Dean III – FFTV IKJ

Belajar itu pada dasarnya adalah membaca dan menulis. Jadi mari kita menulis karena sudah dapat dikatakan membaca mendapat porsi dan ruang lebih ketimbang menulis.

Menulis yang justru amat sangat kurang, mungkin sejak zaman para nabi dimana ada hikayat yang menceritakan bagaimana rasulullah disuruh membaca, dengan kalimat awal Iqra atau bacalah, yang diperintahkan oleh Tuhan melalui malaikat kepada rasul dan sejak saat itu ternyata membaca itu lebih efektif ketimbang menulis. Lihat dan perhatikan, sebagian besar umat muslim lebih menguasai bacaan ketimbang tulisan. Kritik haruslah ada setelah lahir proses penciptaan dalam berkarya tentu ada penikmat atau penonton dari karya seni tersebut. Dan kritik sangat diperlukan, tidak saja sebagai penyeimbang antara karya seni dan masyarakat penikmat atau penonton tadi tetapi juga sebagai bagian dari keutuhan karya itu sendiri. Kritik pada dasarnya bisa juga digunakan

Majalah AKSI | 67

sebagai gambaran umum yang bisa digunakan bagi para penikmat seni dan masyarakat awam untuk melihat dan membaca suatu karya seni. Kritik seni sebagai ilmu pengetahuan terdiri atas kumpulan teori sebagai hasil pengkajian yang diteliti oleh pakar estetika dan pakar teori seni. Teori kritik seni mencakup segala sesuatu yang berhubungan dengan persyaratan dan metodologi yang diperlukan dalam kegiatan mengapresiasi dan menilai karya seni. Ada berbagai macam definisi dari kritik itu sendiri. Menurut Seodjipto (1991), arti kata kritik adalah suatu cara atau metoda untuk membahas, menimbang, mengamati, membandingkan, memilah-milah (menyeleksi), mengulas, mengurai, menafsir, meninjau, komentar, menelaah, menilai, mengevaluasi dan mengkaji. Lebih lanjut W.H. Hudson mengatakan bahwa istilah kritik dalam arti yang tajam adalah

penghakiman (judgment). Kritikus pertama kali dipandang sebagai seorang ahli yang memiliki kepandaian khusus dan mengalami pendidikan untuk menelaah suatu karya. Memeriksa kebaikan dan cacat, lalu mengatakan pendapat itu. Selanjutnya Hudson mengatakan adanya kritikan yang mengutamakan memuji dan mencari kebaikan dan ada yang mengutamakan mencari cacat melulu. Edmund Burke Feldman membedakan jenis kritik seni atas: Kritik Seni Jurnalistik Kritik Seni Jurnalistik disajikan kepada pembaca surat kabar dan kebanyakan ditulis oleh wartawan seni. Biasanya tampil sebagai resensi, ulasan atau Pemberitaan. Menurut Feldman, kritik jurnalistik termasuk kategori berita. Kritik Seni Pedagogik Kritik Seni Pedagogik biasanya diterapkan dalam proses belajar mengajar dan bertu-

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


juan untuk meningkatkan kematangan estetik dan artistik. Kritik Seni Ilmiah Kritik ini biasanya melakukan pengkajian nilai seni secara luas, menampilkan data secara tepat, dengan analisa, interpretasi, dan penilaian yang bertanggung jawab. Kritik Seni Populer Biasanya dikerjakann oleh orang awam yang tidak pernah mengambil spesalisasi atau tidak punya keahlian dalam bidang seni. Dalam arti kritik ini diperuntukkan bagi konsumsi massa. Pada dasarnya kritik seni adalah meneliti sesuatu pada karya seni yang dimaksud, menggaris bawahi hal yang tersirat dibanding yang sekedar tersurat sekaligus memberikan pengertian makna baru sebagai premise dari karya seni itu sendiri. Dalam hal ini, penikmat karya seni belum dapat menangkap sejauh serta sejeli kritikus. Kritikus dalam hal ini di Indonesia pada umumnya bukan memberikan pandangan atau kajian yang lebih mendalam dari orang awam tetapi lebih cenderung memberikan penilaian sebagai baik atau buruknya satu karya seni, supaya masyarakat bisa menilai lebih dan positif terhadap kritikus tersebut, dan juga menghakimi karya seni tadi. Hal ini merupakan kesalahan fatal dan sangat mendasar. Kritik seharusnya disesuaikan dengan porsinya. Jika memang karya tersebut sungguh buruk atau tidak memenuhi kualifikasi dalam unsur estetika apapun, kritikus harus mampu mengungkapkan hal tersebut dengan bahasa yang tegas namun juga ada unsur membangun, agar kritik yang diberikan dapat berguna bagi seniman tersebut. Hard feeling atau sakit hati akibat kritik pasti pernah dirasakan siapapun, agar kritik tersebut dapat diterima, kritikus harus bisa bermain - main dengan kata, sehingga maksud yang ingin disampaikan dalam kritik bisa tercapai. Kritik memang tidak harus membangun, namun jika tidak membangun untuk apa ada kritik. Tidak mungkin kritik, khususnya kritik seni digunakan hanya sebagai senjata untuk menjatuhkan karya seseorang. Apalagi dalam ranah seni, ranah dimana baik dan benar bisa dilihat dari sudut pandang dan persepsi yang berbeda, tergantung individu yang melihat, mendengar, membaca, merasakan, dan menilai.

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Substansi dari kritik juga bergantung dari pengalaman dan latar belakang kritikus itu sendiri. Kritik terhadap suatu film dari sudut pandang penonton awam, mahasiswa film, cameraman, atau mahasiswa sastra tentu berbeda - beda. Misalnya, penonton awam akan merasa bingung setelah menonton film “Inception� atau merasa senang cukup dengan melihat penampilan Joseph Gordon - Levitt dalam film tersebut. Sedankan, menurut mahasiswa film, tentu film ini memiliki daya tarik spesial dengan alur cerita dan bagaimana film ini ditampilkan. Menurut cameraman atau juru kamera, bisa saja film ini menyuguhkan suatu tampilan dengan camera work yang baik dibeberapa scene dan biasa saja untuk scene tertentu, dan terakhir kritik yang berbeda tentu diungkapkan oleh mahasiswa sastra yang lebih menilik tentang pemilihan kata dan bagaimana dalam beberapa scene, diksi dalam terjemahan yang ditampilkan kurang baik. Penilaian yang dilontarkan tersebut, menurut penulis, adalah kritik. Sudut pandang yang digunakan berbeda - beda, sekali lagi tergantung pada kritikus itu sendiri.

Contoh kasus, tidak ada penciptaan gambar-gambar Metafora.

Tapi jelas ada aspek yang sama pada kritik - kritik diatas, yakni to praise (memuji), fault - finding (mencari kesalahan), to judge (menilai), dan to compare (membandingkan). Sesuai dengan defini kritik oleh Gayley dan Scoot dalam Liaw Yock Fang (1970). Walau begitu, tetap ada aspek yang dirasa kurang sesuai menurut hemat penulis. Aspek fault - finding sebenarnya bukanlah aspek yang menjadi tujuan. Tentu bukanlah hal yang menjadi kriteria bagi kritikus untuk dengan sengaja mencari - cari kesalahan. Namun hal yang perlu diperhatikan adalah aspek mengapresiasi (to appreciate). Dengan aspek apresiasi, kritikus bisa mementukan apakah kritik yang ia berikan adalah kekurangan atau kelebihan dari film atau produk seni lainnya.

http://kiossahabatbaru.blogspot. com/2012/05/jenis-kritik-seni.html

Jadi, penulis yang sebagai praktisi aktif di bidang perfilman memandang perlu ada telaah serta kritik terutama terhadap produksi film-film Layar Lebar belakangan ini. Katakanlah dalam kurun waktu 7 tahun terhitung mundur, berarti film-film produksi antara tahun 2005 sampai tahun 20012. Dimana hamper dapat dikatakan dalam penciptaan gambar atau visual hanya melulu menampilkan gambar-gambar apa yang menjadi tuntutan peristiwa dari cerita ansich yang dimaksud. Sedang gambar-gambar yang mempunyai kedalam makna serta persepsi jarang ditampilkan bahkan dapat dikatakan hamper tidak ada sama sekali.

Jawaban sederhananya yang penulis dapatkan sewaktu melaksanakan riset lapangan, adalah: ini kan produksi kejar-tayang, sehingga tidak cukup waktu untuk membuat atau menciptakan gambar-gambar penuh makna dalam Metafora. Sudah bisa memenuhi gambar dari tuntutan scenario saja sudah bersyukur, tidak terpikirkan untukmembuat sesuatu yang lebih rumit dalam penciptaannya. Sehingga banyak film Layar Lebar yang sekedar menampilkan gambar-gambar biasa pada umumnya. Jika kita bandingkan dengan film-film Layar Lebar produksi tahun 80 an, dekade zaman alm. Syuman Jaya, alm. Om Steve juga alm. Ami Priono maupun alm. Mochtar Sumodimejo mereka selalu mencoba menciptakan gambar-gambar yang penuh makna serta pendalaman yaitu Metafora. Daftar Sumber:

h t t p : / / w w w. k o r a n p e n d i d i k a n . c o m / view/2018/kritik-seni-mengembangkan-estetika-seni.html Sejarah telah membuktikan, banyak kesenian daerah atau local dari negri sendiri yang pada ahirnya menyerah lalu sirna. Kenapa? Salah satu penyebabnya adakah pertunjukan atau tontonan itu hanya pencipta saja dan penikmat atau penonton melulu, justru kritikus malah tidak ada. Sehingga tidak ada review atau ulasan tentang pertunjukan kesenian tertentu. Sebagai contoh, lihat kesenian ketoprak, kelompok sandiwara mistjitjih, sendratari wayang orang juga ludruk, gambang kromong, keroncong dan beberapa kesenian laennya yang saat ini sudah sampai tahap hidup segan mati-pun tak mau. Hanya dua hal yang terpenting yang menyebabkan tidak bisa bertahan lamanya kesenian tersebut dikarenakan tidak tertulis, selalu dimainkan berdasarkan improvisasi serta tidak juga tertulis dari kritik seni. Budaya menulis belum lagi menjadi kebiasaan yang baik, sehingga bagaimana bisa para kritikus hadir melalui tulisan kritik seninya yang justru ikut melestarikan kesenian itu sendiri. German G.Mintapradja, S.Sn

Majalah AKSI | 68


English Corner

KAJIAN ? A Film Studies Major Speaks Out Text & Photo by Fira Budiman “I just happen to know things that you don’t know, but you know things that I don’t know.”

I feel like there has been a colossal sense of confusion created in place of what should be obvious when it comes to the term ‘kajian’. It is a chasm, made from too many inaccurate assumptions of what these students actually do. To be fair, it is not completely the fault of one party; ‘kajian’ kids tend to be few and rare in number. The scarcity over the years has led to unintended separation and mysteriousness. The only way to fully explain what we actually do requires first a brief introduction as to what it is. What is ‘Kajian’? A simple translation would clear half the fog. ‘Kajian’, when translated into English means ‘study’; being a film faculty major, the subject would be more specifically be translated into ‘film studies’. Quite straightforward now, Majalah AKSI | 69

isn’t it? In Directing, we direct; in Screen-writing, we create scripts. Just as painless as that, in Film Studies, we study film. Though, it’s not the ‘film’ that common people would refer to. We study film as a complex art in itself, as an object and a subject. To put the difference more clearly, perhaps there needs to be a slight grammatical contrast. ‘film’ is the object that majority of the public is familiar with. In this sense, we are simply referring to the audiovisual product made for viewing. ‘Film’ on the other hand (note the capital ‘F’) refers to film as a subject; its histories and theories, the study of things beyond the visible objects on screen. How, though? What? Or, why?

Why would a linguist study languages? Because he realizes that there is so much more to a language than letters, symbols and sounds. From history or philosophy, you can find the insight and mind of a fundamental creation; that which causes the change, the progress or regress, the rise and fall of the world we live in; humanity. For what do we create things? Who do we use the knowledge we attain for? Who determines the meaning or purpose of anything? If man were the cause of change (changes in tastes, trends, society, economy, science, etc), then wouldn’t the product of man reflect the characteristics of man himself ? As film is a man-made product, then wouldn’t film reflect man and his community? Couldn’t we then use film as a Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


means to unlock another path to studying life and man? Just like Philosophy or History, Film has a place in theoretical studies as a medium to contemplate life. We study Film, such that we may use film to further understand its creation and creators.

To shatter the glass, burst the bubble, raise the curtain and clear the fog (and any other idioms have you)...

Instead of a usual theoretical study label though, people have chosen to remain with ‘Film Studies’ (rather than Filmology, or something similar).

No. One does not receive a sort of divine epiphany in theoretical Film knowledge just by taking Film Studies as his or her major. Neither does the person become a literate zombie incapable of action. To quote a completely unrelated fast food chain ad: “Where’s the beef ?”

What separates us from, say, historians? Or psychologists?

The sponge? Where, my dears, is the middle ground?

Well, for one, we study film (obviously). But on a more serious note, this question is best answered by comparison. Imagine if the world only had two subjects of study, say Sociology and Film Studies. Their difference would lie here:

I cannot, in all my verbosity, put the situation in a simpler form than a remark a fellow kajian student incidentally said to me:

The sociologist would study society from the aspect of film. The filmist would study film from the aspects of society. Again it’s quite rudimentary. Now put back, in the equation, every other existing subjects of study in the world; the basic principle would still apply. To summarize, ‘Kajian’ is both the study of film as an object (form and style) and the study of Film as a subject where we try to understand it from different theories or areas of study. So when or where did the polar assumptions come from? It is quite entertaining to hear and see the variety of reactions we get when people ask what our major is. From a deep and dreamy ‘O’ to a sharp and low ‘o’, we receive vowels of different proportions. There seems to be no consensus as to how we should be regarded or where we should be placed among the other majors. People who overestimate and believe that we are walking piles of books become intimidated and dramatize the state of our knowledgability. Others downplay our functionality and assume that our theoretical background makes us incapable and useless in a field they assume is largely practical. The only similarity they share is that they both ultimately find subjective reasons to not talk to us. Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

“I just happen to know things that you don’t know, but you know things that I don’t know.” (The person’s initial is B) We’re all students here, still learning, still green. It really doesn’t matter what major you choose, we all find it uncomfortable when expected to know more than we actually do. So the next time you pass a ‘kajian’ student, do keep in mind that films aren’t the only things they watch, eat and breathe. Setting the record straight “You changed to kajian??”, “How did that happen??”, “Why did you change to kajian??”, “Why?!” Indeed why would a person formerly set on directing suddenly have the seemingly bizzare notion to change majors? But is it really that surprising?

A lacking GPA seems to be the most obvious reason to most people, or a missing grade from a necessary class. But what if all the pre-requisites were all fulfilled? The only way I can answer this is through a subjective response. For myself, theory was never one of my strengths. One can easily read a book but not understand its contents. But there is a phenomenon that occurs during the midst of your ‘pratika’ and short films before it. When you create your first ‘directing’ class short film, you are filled with the drive to create as per your imagination. You have a sort of idealistic illusion supporting your need to ‘show’ your stuff. But slowly as you make your next short film and finally your pratika, this illusion starts to dissipate. The ignorance that helped you disregard so many required elements to ‘true filmmaking’ becomes a flaw; a weakness. And in all your shortlived prominence, you start to realize how small and flaky your ‘idealism’ actually is. At least that was how I saw myself. In truth I could feel like something was missing, it was like trying to shoot an arrow with the wrong bow or vice versa. At the time I was to make a choice, I had to make up mind between ignoring my instincts and just continue in the hope that pratice would make perfect (it was a viable option) or stop, take a breath and let go of the ‘importance’ I had put on being a ‘directing major’ and actually focus on what I needed to actually be able to direct. It’s really a matter of what you cup of tea is. Now when people ask I say, “ I want to learn more than just filmmaking. I feel like I will one day direct but, not now while I’m still empty.” We (and by ‘we’ I mean the only two kajian students in our year) have a little joke that sums up the very nature and purpose of ‘Kajian’:

“Once you’ve conquered the mythical pig, you can conquer anything.”

Majalah AKSI | 70


Majalah AKSI | 71

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


METALLICA LIVE IN JAKARTA

“It’s been 20 years long since we play in Jakarta”. Tulisan tersebut muncul sekitar pertengahan bulan Juli pada website resmi mereka, Metallica.com. Tentu saja hal itu sangat mengagetkan banyak orang sekaligus membuat semua metalheads (sebutan bagi para pecinta musik metal) senang. Akhirnya setelah sekian lama, doa para metalheads Indonesia dijawab. Setelah 20 tahun yang lalu, Metallica ‘membakar’ Jakarta (dalam arti yang sesunggunya) dan tidak sempat menyelesaikan konsernya karena massa yang rusuh dan terpaksa harus dihentikan, legenda Trash Metal itu kembali ke Indonesia, menyelesaikan apa yang belum selesai sepenuhnya dan kembali ‘membakar’ Jakarta. Jam 8 lewat lampu-lampu kuning yang menyorot ke arah penonton padam. Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) gelap. Penonton yang telah tiba sejak pagi di SUGBK (bahkan mungkin ada yang sampai menginap) berbaris di pintu masuk yang belum dibuka. Puncaknya adalah pukul setengah lima antrian semakin ‘menggila’ dengan berteriak minta dibukakan pintu masuk. Akhirnya pukul 5 sore lebih, pintu dibuka. Petugas dan panitia tidak dapat menahan serbuan penonton yang berlarian ke dalam SUGBK untuk mendapatkan tempat yang paling nyaman untuk menonton. Hampir 2 jam lebih penonton berdiri di depan stage sampai akhirnya konser dibuka oleh Seringai yang menjadi band pambuka pada malam itu. Pihak Metallica secara khusus meminta

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

agar Seringai yang menjadi band pembuka konser mereka. Suatu kebanggaan bagi Seringai sendiri dan khususnya Indonesia. Seringai juga mengajak beberapa musisi untuk naik panggung bersama. Seperti Raisa yang menyanyikan lagu Indonesia Raya, Eben dari Burgerkill dengan lagu Dilarang di Bandung, serta Aji dari Down for Life dan Stevie Item dari Dead Squad membawakan cover lagu Ace of Spades dari Motorhead.

KIRK HAMMET DAN JAMES HETFIELD Dinamit Duo

Sekitar satu jam sejak penampilan dari band pembuka, lampu-lampu mulai dimatikan. Terdengar music score film The Good, The Bad, and The Ugly, “The Ectacy of Gold” ciptaan composer Ennio Morricone dimainkan. Sejak pertengahan tahun 1980-an, Metallica selalu membuka konsernya dengan musik ini. Ditampilkan pula cuplikan dari film tersebut yang terlihat di layar sisi

kiri dan kanan stage. Penonton sing along sepanjang musik dimainkan. Begitu lagu berakhir, teriakan penonton semakin keras. Tidak lama, lampu dinyalakan dan muncul Lars Ulrich (drum) berdiri di set drumnya. Disusul Kirk Hammett (gitar) mengambil posisi di sebelah kanan panggung, Robert Trujillo (bass) di posisi sebalah kiri, dan James Hetfield (vokal/gitar) mengambil posisi paling tengah di depan mic stand-nya. Suasana makin riuh dengan teriakan penonton, padahal mereka belum membunyikan alat musik sama sekali. Setelahnya, dengan kompak mereka membunyikan alat musik masing-masing, membuka konser dengan lagu dari album pertama mereka, Hit the Lights. Setlist yang mereka mainkan pada konser di Asia dan Jakarta cukup segar dari urutan lagu yang dimainkan. Porsi dari album Kill ‘em All, Ride the Lightning, Master of Puppets, dan Metallica (Selftitled/Black Album) cukup adil. Sedangkan dari album Reload dan Death Magnetic hanya dimainkan masing-masing satu lagu, mungkin karena ini semacam konser ‘balas dendam’ dan nostalgia untuk Indonesia. Nomor cepat Hit the Lights dan agresif Master of Puppets ditaruh di awal untuk menyentak penonton. Kemudian disusul Fuel, Ride the Lightning dan Fade to Black yang merupakan salah satu lagu wajib mereka. James banyak memberikan penonton mic untuk sing along sekaligus menghemat tenaganya. Lagu lawas The Four Horsemen membuat penonton yang sudah ‘berumur’ bernyanyi, sedangkan pada lagu Cyanide cenderung penonton-penonton ‘muda’ yang bernyanyi. Lagu Welcome Home (Sanitarium) dibawakan sebelum Sad But True yang dimulai dengan epic speech dari James “Metallica gives you heavy, baby!”. Kemudian mereka memainkan lagu instrumental Orion, yang merupakan tribute untuk salah satu bassist terbaik mereka yang telah meninggal, Cliff Burton. Orion menjad semacam ‘normalisasi’ nafas dan energi penonton, juga bagi Metallica sendiri, karena mereka memainkan lagu ini dengan santai, tidak teriak-teriak dan lari sana-sini. Setelah itu mereka ke belakang panggung untuk tarik nafas sejenak. Lampu panggung dimatikan. Lagu One dimulai dengan sangat dramatis. Panggung dibiarkan gelap dan sound

Majalah AKSI | 72

Photos courtesy of METALLICA.COM

“I

know you see it. I know you feel it. But do you feel it ? Do you feel what I feel ?” “YEAAHHHH !!!” “How does it feel to be alive ?!!” “YEAAAAHHHHHHHH !!!” teriakan penonton menggema di seluruh Stadion Utama Gelora Bung Karno. Stage yang tadinya gelap, dengan lighting hanya tertuju hanya pada laki-laki paruh baya yang mengenakan gitar model Explorer dengan finishing kayu, menjadi kembali terang. Lakilaki itu memainkan lagu Fade to Black. Metallica telah kembali !


efek perang berkumandang cukup lama. For Whom the Bell Tolls dan Blackened dimainkan untuk ‘sedikit’ menaikkan tempo konser. Kirk Hammet kemudian memainkan gitar seorang diri tanpa diiringi yang lainnya, yang juga merupakan pembuka dari lagu bernuansa agak pelan Nothing Else Matter. Pada bagian setelah James menyelesaikan solo gitarnya, ia memainkan aksi panggung andalan pada lagu ini. James duduk bersimpuh, membiarkan distorsi gitarnya meneriakkan sustain yang cukup panjang. Kamera ECU menyorot pick bertuliskan “METALLICA” yang dipegang James. Cukup lama sampai ia memainkan intro lagu Enter Sandman dimainkan. Khusus untuk lagu Enter Sandman, Metallica bahkan sampai menuliskan catatan khusus di webnya, mengenai betapa dahsyatnya sing along pada lagu ini. “….That was the loudest I ever heard a crowd sing Sandman in a very long time”. Semua personel Metallica meninggalkan panggung dan mengucapkan terima kasih. Penonton tentu tahu mereka tidak akan meninggalkan panggung begitu saja. Mereka minta dipanggil lagi. Saatnya encore. James keluar dan sedikit bercanda pada penonton (meskipun tidak terlalu lucu, tapi itu James Hetfield, kan ?). Lagu epic mereka, Creeping Death dimainkan. Seluruh penonton mengerahkan sisa-sisa energinya untuk berteriak “Die!

Majalah AKSI | 73

FROM SOLO WITH METAL ! Salah satu bendera metalhead yang beruntung Die! Die!” dan bergerak melompat sejadinya. Bahkan menurut pengakuan salah satu penonton di tribune, lompatan penonton di kelas festival terasa menggetarkan bumi. Pemilihan Creeping Death sangat tepat ditaruh pada bagian encore karena lagu ini mampu membakar kembali penonton untuk menghabiskan sisa-sisa energinya. Lagu encore kedua, lagu yang cukup cepat, teta-

pi tidak terlalu sering dibawakan Fight Fire with Fire. Tidak banyak yang menyanyikan lagu ini tapi tentunya untuk die hard fans tentu cukup senang mereka membawakan lagu ini. Untuk lagu terakhir, semua lampu dinyalakan, James meminta semua penonton untuk mengerahkan seluruh tenaganya

pada lagu terakhir ini dengan bernyanyi sekeras-kerasnya. Begitu lagu ini dimulai, tiba-tiba keluar bola hitam besar dengan diameter sekitar 50cm. Metallica menutup konser dengan lagu Seek and Destroy. Jakarta menjadi penutup dari rangkaian konser mereka di Asia. Terlihat mereka sangat senang bisa menyelesaikan konser yang sempat tertunda 20 tahun yang lalu. Beberapa tahun lalu, setelah kericuhan konser di Jakarta, James pernah berkata bahwa mereka tidak akan pernah kembali ke Jakarta lagi. Malam itu Lars mengucapkan janji manis “Jakarta, we will back so fuckin’ soon !” sebagai bukti kepuasan mereka menggelar konser di sini. Ada satu momen menarik setelahnya, saat Lars turun ke penonton dan mengambil bendera Indonesia yang bertuliskan “METALLICA – SOLO – INDONESIA” kemudian Metallica berfoto bersama dengan bendera itu. Metallica telah membuat sejarah. Sang legenda kembali untuk disaksikan oleh mereka yang 20 tahun lalu menyaksikan, yang tidak bisa menyaksikan, dan generasi-generasi muda yang masih kecil pada waktu itu. “So let it be written, so let it be done”. SUGBK yang beberapa hari sebelumnya diwarnai oleh merah-nya Arsenal dan Liverpool serta biru-nya Chelsea, kali ini menghitam. Metallica!

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


IKAFI Ikatan Alumni Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta atau disingkat IKAFI, berdiri sejak tahun 2007. Pada awal berdirinya, IKAFI merupakan paguyuban berlandaskan “historical value” latar belakang pendidikan/almamater.

IKAFI merupakan wadah alumni yang beranggotakan Sarjana film, Televisi dan Fotografi mulai dari lulusan D3, S1, S2 dan S3 sejak Fakultas Film dan Televisi IKJ berdiri tahun 1971. Para alumnus FFTV-IKJ bersepakat membentuk organisasi sebagai sarana untuk berperan aktif dalam memajukan perfilman, pertelevisian dan fotografi

IKJ, dan pengabdian masyarakat Indonesia pada bidang Film, Televisi dan Fotografi. KEKUATAN UTAMA ORGANISASI IKAFI • Proses regenerasi kepengurusan organisasi yang tidak akan terputus. • Keanggotaan selalu bertambah, dikarenakan sekitar 50 – 100 sarjana film, televisi dan

Menghadiri kegiatan yang berkaitan dengan dunia film, televisi dan fotografi di Indonesia • Menjadi Nara Sumber/Instruktur dalam Workshop Peningkatan Produksi Film oleh Kemendikbud. • Memberikan masukan Kurikulum pada FFTV-IKJ. • Deklarasi IMPASS (Gabungan 9 Asosiasi Profesi) di Kemenparekraf. • Bertemu dengan Komunitas Fotografi Lubang Jarum. • Konvensi RSKKNI Operator Kamera oleh Kemenparekraf. • Perumusan RSKKNI Tata Artistik oleh Kemenparekraf. KEGIATAN IKAFI YANG AKAN DATANG (s/d Juni 2014)

dalam lingkup nasional maupun internasional. Dengan semakin banyaknya jumlah keanggotaan IKAFI setiap tahunnya dan makin banyaknya alumnus yang berkiprah di industri perfilman, televisi dan fotografi, maka Organisasi IKAFI dirancang sebagai payung pekerja film profesional berbadan hukum Asosiasi Profesi. Di samping untuk mensejahterakan anggota, meningkatkan profesionalisme dan standarisasi kompetensi film, IKAFI juga mempersiapkan diri sebagai mitra perfilman nasional. Serta bekerjasama dengan pihak yang berkepentingan dalam industri film, termasuk Pemerintah. Khusus untuk pembinaan dan pengembangan industri perfilman, IKAFI merancang program pengabdian masyarakat sejalan dengan idealisme dan landasan organisasi. VISI DAN MISI PROGRAM KERJA IKAFI Meningkatan partisipasi dan peran Alumni dalam berkontribusi kepada almamater (FFTV-IKJ), keluarga besar alumni FFTV-

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

fotografi lulus setiap tahun dari FFTV-IKJ. • Alumnus menjadi tenaga profesional di bidang film, televisi dan fotografi di tingkat nasional dan internasional. YANG SUDAH DILAKSANAKAN : 30 Maret 2013 Hari Film Nasional Pemutaran film-film ujian akhir mahasiswa FFTV-IKJ. 22 Juni 2013 HUT DKI Jakarta dan HUT IKJ Sinema Ngamen IKAFI 2013, layar tancap berlokasi di TIM Cikini, Pemutaran 2 film panjang dan 2 film pendek karya mahasiswa FFTV-IKJ 5 September 2013 Ikut andil dalam PPMB (Program Pengenalan Mahasiswa Baru) FFTV di kampus APJ. Minggu Pertama di setiap Bulan Temu Alumnus dan Pengurus IKAFI. Membicarakan segala sesuatu hal berkaitan dengan alumnus.

Reuni Akbar Tahunan “Sinema Balik Kandang 2013” pada tanggal 9 November 2013. Hari Film Nasional 2014, dengan melakukan serangkaian kegiatan acara tanggal 28 & 29 Maret 2014 dan puncaknya tgl 30 Maret 2014 adalah penyelenggaraan Festival Film Sekolah IKAFI. HUT IKJ dan HUT Kota Jakarta 2014, menyelenggarakan “Sinema Ngamen IKAFI 2014” yang aktifitasnya antara lain memutar film panjang & film pendek serta pameran fotografi yang seluruhnya adalah hasil karya alumni FFTV-IKJ. Kegiatan sosial pemberian santunan kepada alumni, pengajar, dan pekerja di kampus FFTV-IKJ terpilih secara berkesinambungan. IKAFI Hotline +6221 7070 0604 SMS/Whatsapp Centre +62897 573 8977

Majalah AKSI | 74


Majalah AKSI | 75

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Arda Muhlisiun

Sejak berdiri awal tahun 1970-an, IKJ (Institut Kesenian Jakarta) -yang dulu dikenal dengan LPKJ (Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta)- sampai hari ini telah meninggalkan ribuan jejak, yang sebagiannya telah menjadi sejarah. Benda-benda yang kini tersisa didalamnya telah menjelma menjadi artefak, sekaligus sebagai saksi terlahirnya puluhan, ratusan bahkan ribuan seniman dari kampus seni –“bekas kebon binatang” ini. Merekam segala-sesuatunya ke dalam foto ini menjadi satu dari sekian upaya “menyelamatkan” artefak-artefak yang masih ada –beberapa hari sebelum kampus ini diluluh-lantak oleh dentaman benda keras sang kontraktor, dan untuk menggantikannya dengan kampus IKJ modern. Melalui foto-foto karya siswa-siswi SMK-SMA Jakarta ini setiap orang masih dapat tetap melihat dan mengenang IKJ, sekaligus juga mampu menarasikan IKJ “lama” pada banyak orang. Selamat datang kenangan

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 76

(SMKN 19 JKT). AQILA MAZI (sman 37 jkt), lea oktaviana (cakra buana), ezra mikhael (cakra buana), anastasia fioren (st. theresia)

In Memoriam IKJ “Lama”

Photos courtesy of (cover) siti nur aisyah (smkn 16 jkt) (Dari kiri ke kanan) Uci Ramadhani (SMKN 19 JKT), Hamdika Ferniawan

in memoriam ikj


Majalah AKSI | 77

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 78

(cakra buana), aisha hapsari (st. theresia), febry ayu (smkn 34 jkt), M rizki (cakra buana)

Photos courtesy of (Dari kiri ke kanan) M faturrahman (smkn 34 jkt), aldo zandi (cakra buana), ciano rizki

in memoriam ikj


COMIC STRIP

Majalah AKSI | 79

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013


MAJALAH AKSI ILLUSTRATION BY SHELA HP

Connecting People

Edisi .1 | No.2 | Oktober 2013

Majalah AKSI | 80


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.