FOTO: TAZKIA ASTRINA | ECONOMICA
DAFTAR ISI
8
tulisan utama I
Pangan Melimpah Namun Rakyat Kelaparan: Perkara Food Waste dan Food Loss di Indonesia
42 tokoh
Inovator Muda di Bbalik Pengurangan Sampah Elektronik Indonesia
12 tulisan utama II
15 tulisan utama III
46 SENI BUDAYA
60 PELUANG
Sampah dan Ekonomi Sirkular: Antara Asa dan Realita
Dilema Citra Ondel-ondel: Demi Keuntungan Ekonomi atau Pelestarian Budaya Betawi?
Realisasi Ekonomi Sirkular di Industri Pangan: Kolaborasi Anti-utopis
Wear Weird: Kemeja Penyebar Budaya
Secangkir Teh - 6
Sudut Pandang - 28
Polusi udara jakarta: Sudah sadarkan kita?
Tulisan Utama I - 8
Komunitas Kita - 30
Dilema Citra Ondel-ondel: Demi Keuntungan Ekonomi atau Pelestarian Budaya Betawi?
Apakah Ekonomi kita Benar-Benar Ramah Lingkungan? Pangan Melimpah Namun Rakyat Kelaparan: Perkara Food Waste dan Food Loss di Indonesia
Realita Food Loss and Waste dari Kacamata Pertanian Zero Waste Indonesia: Menuju Indonesia Nol Sampah
Penelitian - 32
Sampah dan Ekonomi Sirkular: Antara Asa dan Realita
Analisis Persepsi Masyarakat Kota Depok Terhadap Pembangunan Infrastruktur Transportasi Non-automobil
Realisasi Ekonomi Sirkular di Industri Pangan: Kolaborasi Anti-utopis
Fair Use Dalam Hak cipta: sebuah kebebasan bersyarat
Tulisan Utama II - 12
Tulisan Utama III - 15
Polhukam - 36
Infografis - 18 Kesehatan - 20
Piksel - 34 Teknologi - 38
Kilas Balik - 22
Sosial - 40
Mengenal Hoarding Disorder: Gangguan Mental Menimbun Sampah
The Future of Transportation: Apa Kabar Kendaraan Listrik Indonesia?
Seni Budaya - 46
Resensi - 48
The Platform: Potret Kesenjangan Dalam Simulasi Roda Kehidupan
Kolom - 50
KANOPI FEB UI MSS FEB UI SPA FEB UI IBEC FEB UI
Realita - 58
Indonesia di antara Negara Maju dan Bayangan Middle Income Trap
Peluang - 60
Wear Weird: Kemeja Penyebar Budaya
Mob Mentality: Arus dan Tren Opini dalam Media Sosial
Senarai - 62
Hidup ala European Dream di Amsterdam
Tokoh - 42
Pojok - 64
Platform Cooperative: Transformasi Ekonomi Digital yang Tidak Eksploitatif
Lingkungan - 44
Pekanbaru Death Railway
Jelajah - 24 Kajian - 26
Inovator Muda di Balik Pengurangan Sampah Elektronik Indonesia
Taman Kehidupan Sisi lain No Plastic Bag Movement Prahara Rumah tangga
Economica 63 / 2021
3
DARI REDAKSI Indonesia adalah penyumbang kedua terbesar sampah Bumi— dimana sampah makanan mendominasi komposisi keseluruhan jenis sampah. Fakta yang ironis, terutama karena isu kelaparan masih menjadi momok yang menghantui rakyat Indonesia. Berbagai alternatif solusi bagi masalah yang semakin genting ini diperdebatkan, namun satu solusi menonjol. Konsep ekonomi sirkular adalah sebuah sistem ekonomi regeneratif yang tengah menjadi topik hangat dalam perbincangan berbagai isu lingkungan, termasuk masalah sampah makanan. Sebagai sistem yang mengutilisasi produk hingga titik akhir, ekonomi sirkular digadang merupakan solusi dari masalah yang pelik ini. Berangkat dari fakta inilah Majalah Economica kembali hadir dengan edisi ke-63, mengeksplor industri pangan dan penerapan ekonomi sirkular secara mendalam. Dibuka dengan realita masalah industri pangan Indonesia, edisi kali ini lebih lanjut menyelami pro kontra, realisasi, berikut manfaat penerapan konsep ekonomi sirkular dalam industri pangan.
Majalah Economica edisi ke-63 juga akan menyajikan pembahasanpembasahan isu lain yang tidak kalah menarik —mulai dari isu sosial, politik, teknologi, hingga kesehatan. Tak hanya itu, Majalah Economica tak lupa menghadirkan beberapa karya sastra yang akan membantu Anda mengeksplorasi berbagai emosi. Tak ketinggalan, Majalah Economica tahun ini merangkul berbagai entitas FEB UI—mulai dari himpunan mahasiswa, unit kegiatan fakultas, hingga ikatan alumni—untuk ikut menjadi bagian Majalah Economica dengan menuangkan pemikiran sesuai bidang masingmasing ke dalam tulisan yang dimuat dalam majalah. Akhir kata, redaksi berharap Majalah Economica edisi ke-63 dapat menjadi sumber bacaan yang dinanti-nanti untuk memperluas wawasan dan membuka cakrawala baru anda, para pembaca. Selamat membaca! TIM REDAKSI
PELINDUNG Tuhan Yang Maha Esa PENERBIT Badan Otonom Economica PENANGGUNG JAWAB Pengurus Inti BOE FEB UI PEMIMPIN ORGANISASI Anugerah Pekerti Islamilenia PEMIMPIN UMUM Ruthana Bitia PEMIMPIN REDAKSI Nadyezdi Rifi Prihadiani REDAKTUR PELAKSANA Gabriel Fiorentino Setiadin WAKIL REDAKTUR PELAKSANA 1 Madina Fiscarine WAKIL REDAKTUR PELAKSANA 2 Resha Putra Maheswara CO-EDITOR Haizka Aleine Kalya, Adhirajasa Satria Buana MANAJER DISTRIBUSI Haizka Aleine Kalya REDAKSI Yudhistira Gowo Samiaji, Ricardo Juan, Maria Regina
Yofanka, Tahtia Anharani Sazwara, Zahira Mahardhika, Nismara Paramayoga, Aisha Rizqi Mahirani, Bilal Reginald, Risa Indrawati,
PENGURUS INTI
Anugerah Pekerti Islamilenia (Ketua Umum), Maurizky Febriansyah (Sekretaris Umum), Maritza Ayu Nathania (Bendahara Umum), Muhammad Daffa Nurfauzan (Kontrolir)
INTERNAL AUDIT
Gabriella Dian Silvana Geng (Ketua), Veby Kristianty Panggabean, Cecilia Arviana, Syskia Anelis
DIVISI PENERBITAN
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
Ruthana Bitia (Ketua), Haikal Qinthara (Wakil), Nadyezdi Rifi Prihadiani (Wakil), Tesalonika Hana Teresa, Rania Yolanda, Renadia Kusuma Sanusi, Madina Fiscarine, Qurratu Aina, Tahtia Anharani Sazwara, Zahira Mahardhika, Nismara Paramayoga, Gabriel Fiorentino Setiadin, Hafsha Pia Sheridan, M. Zaky Nur Fajar, Haizka Aleine Kalya, Christabel Nathania Surya, Adhirajasa Satria Buana, Alfina Nur Afriani, M. Ramadhani
4
Economica 63 / 2021
Muhammad Zadda Ilman, Regi Trevina, Revanza Auditya, Saffana Putri Andriana, Muhammad Ramadhani, Aurelia Julia Irvana, Muhammad Zaky Nur Fajar, Hafsha Pia Sheridan, Christabel Nathania Surya, Alfina Nur Afriani, Asido Septian M. Nababan, Komang Bintang Sanjiwani Mahardika, Erin Glory Pavayosa, Phylicia Febian, Adis Susita Rahma, Siwi Rosari Tunggadewi, Laksmana Anggitapradhana, Abdul Karim, Sofia Chandra, Rini Nurhafizah, Ahmad Adiyaat, Elizabeth Alvita Stephanie, Jamie Paulus ILUSTRASI SAMPUL Akmal Haikal Rahardian DESAIN DAN TATA LETAK Economica
DOKUMENTASI Liga Fotografi dan Sinematografi FEB UI RISET DAN KAJIAN Divisi Penelitian BO Economica, Divisi Kajian
DIVISI PENELITIAN
BIRO HUBUNGAN LUAR
Rahma Kesumaningsih (Ketua), Belinda Azzahra (Wakil), Daffa Pratama (Wakil), Hegar Pangestu Egieara, Aisha Rizqi Mahirani, Bilal Reginald, Fadhel Haryo B., Surya Felix W., Risa Indrawati, Yehezkiel Raka Paskalis, Erin Glory Pavayosa, Phylicia Febian, Adis Susita Rahma, Tarisha Yuliana, Siwi Rosari Tunggadewi
DIVISI KAJIAN
BO Economica LAUNCHING Rifqi Dwi Fianto (Redaktur), Juli Ardita Putri Nugroho (Wakil), Alfina Nur Afriani, Rania Fairuz, Erin Glory Pavayosa, Muhammad Iqbal Maulana, Jamie Paulus, Elizabeth Alvita Stephanie, Siwi Rosari Tunggadewi, Laksmana Anggitapradhana, Raka Yuda Priyangga, Christabel Nathania Surya, Hafsha Pia Sheridan, Ahmad Adiyaat, Salma Nur Isnaini, Asido Septian M. Nababan, Adis Susita Rahma, Mona Agatha, Priscilia Sitanggang, Rini Nurhafizah, Yehezkiel Raka Paskalis, Muhammad Ramadhani
Amirah Hana Mufidatulhaq (Ketua), Julio Trijaya (Wakil), Emily Anggita B. (Wakil), Kinasha Nadindya, I Made Kharisma A. P., Yumnaa Bustainah M., M. Zadda Ilman, Rania Fairuz, Mona Agatha Priscilia Sitanggang, M. Rafi Fadhillah, Harya Vandika Daniswara
BIRO DESAIN DAN TEKNOLOGI
Erika Tanudjaya (Ketua), Oliver J. M. S. (Wakil), Resha Putra Maheswara, Yudhistira Gowo Samiaji, Ricardo Juan, Maria Regina Yofanka, Asido Septian M. Nababan, Aurelia Julia Irvana, Komang Bintang Sanjiwani Mahardika, Raka Yuda Priyangga
Shahifa Assajjadiyyah (Kepala), Akmal Haikal Rahardian (Wakil), Dhea Monica (Wakil), Batrisyia Izzati Ardhie, Utari Nanda, Fadhli Rahman Jamal, Saffana Putri Andriana, Abelardo Sebastian Tambunan, Viona Avinda Zahran, Ahmad Adiyaat Nurhani, Elizabeth Alvita Stephanie, Jamie Paulus, Evita juliana
DIVISI PROYEK
KONTAK
Klareza Putri D. (Ketua), Siti Hardianti T. U. (Wakil), Sheila Firda A. (Wakil), Marcello Patrick, Juli Ardita Putri N., Rifqi Dwi Fianto, Nurul Azmi L., Dik Ajeng Sekar P. T., M. Iqbal Maulana, Salma Nur Isnaini, Eunizoe Lael Octauno, Shafira Taqiyya, M. Amri Mustafa
BIRO PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
Aurellia Nadhira Riant Wardani (Ketua), Dian Judith (Wakil), Rehulina Aglaia (Wakil), Regi Trevina, Timothy Joel, Vezia Berliana Hasian, Revanza Auditya, Laksmana Anggitapradhana, Sofia Chandra, Abdul Karim, Rini Nurhafizah
Website Telepon E-mail
: economica.id : (021) 7865084 : boeconomica@live.com
ALAMAT KANTOR
Gedung Student Center FEB UI Lt.1 Kampus Baru UI, Depok Jawa Barat 16424 Indonesia
INTERMEZZO
“Kami ingin mendorong terjadinya transformasi ekonomi di Indonesia setelah masa pandemi ini dan dipimpin oleh ekonomi sirkular.” Suharso Monoarfa
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional RI / Kepala Bappenas
EKONOMI SIRKULAR FOTO: JULIE AAGAARD | PEXELS.COM
DI MATA MEREKA
“Ekonomi sirkular dapat memperluas peluang kerja pada perusahaan kecil dan menengah melalui pengembangan reverse logistic, peningkatan inovasi dan kewirausahaan, serta peningkatan pengembangan ekonomi berbasis layanan.” Alin Halimatussadiah
Head of Environmental Studies LPEM FEB UI Economica 63 / 2021
5
SECANGKIR TEH
Apakah Ekonomi kita Benar-Benar Ramah Lingkungan?
FOTO: A. P. ASTAMURTININGRUM
Anugerah Pekerti Islamilenia (Ketua Umum B.O. Economica)
The road to hell is paved with good intention. -Henry G. Bohn
N
iat baik manusia untuk bertahan hidup dan melanjutkan keturunan seringkali disalahpahami dengan kata “eksploitasi”. Alhasil, proses produksi dan distribusi biasa menuai berbagai kecaman: tidak ramah lingkungan, tidak memperhatikan keberlanjutan, atau tidak berperikemanusiaan. Ironisnya, kita begitu sibuk mengecam dan mengkritik bisnis besar hingga mungkin tidak menyadari bahwa pola konsumsi kita sendiri juga ikut andil dalam membentuk mekanisme ekonomi yang tak berkelanjutan. #NoStrawMovement adalah salah satu manifestasi rasa bersalah manusia pada lingkungan sekitarnya, terutama karena jumlah sampah plastik di lautan sudah mencapai 8 juta ton pada tahun 2017 (Geyer, Jambeck & Law, 2017). Sebuah video viral menampilkan sebuah sedotan yang tersangkut di hidung penyu menjadi salah satu pemantik keputusan beberapa perusahaan untuk berhenti menyediakan sedotan plastik.
6
Economica 63 / 2021
Video ini juga memicu konsumen untuk mulai menggunakan sedotan non-plastik, atau berhenti menggunakan sedotan sama sekali. Walau kesadaran ini adalah sebuah kemajuan yang signifikan, sampah sedotan sebetulnya hanya berkontribusi sekitar 0,025% dari seluruh sampah plastik di lautan (Jambeck et al., 2 015). Penyumbang terbesar sampah plastik di lautan justru adalah ghost nets atau jaring penangkap ikan yang hilang atau ditinggalkan di laut, pantai, atau pelabuhan oleh nelayan. ghost nets yang berada di dalam lautan seluruh dunia ini disebabkan kegiatan perikanan komersial yang bertumbuh pesat. Fakta ini membuat perikanan komersial sebagai penyebab utama dari rusaknya ekosistem laut. Perikanan komersial sendiri digerakkan oleh pilihan konsumsi masyarakat secara global—permintaan atas produk lautan seperti ikan, aquaculture, hingga produk kecantikan. Oleh karena itu, bukan hanya menghentikan penggunaan sedotan yang harus dilakukan; pola konsumsi kita sendiri butuh revisi besar-besaran.
Ekonomi Linear Kehidupan Masyarakat
Dalam
Kehidupan masyarakat tidak pernah jauh dari kegiatan ekonomi. Baju yang kita gunakan, makanan yang kita konsumsi, jalan yang kita tapaki, rumah yang kita huni, semua adalah hasil dari keputusan ekonomi. Selama ini, kegiatan ekonomi kita masih cenderung mengikuti sebuah pola ekonomi linear, sebuah model yang menganut proses ambil-gunakan-buang (Sariatli, 2017). Alhasil, produksi sampah一mulai dari limbah makanan, pakaian, dan bycatch dari penangkapan ikan一dari kegiatan ekonomi ini pun tak terhindarkan. Penerapan kerangka “ambil-gunakanbuang” ini terpampang jelas dalam rantai makanan kita. Bahan makanan diambil langsung dari alam, kemudian diproses baik menjadi barang setengah jadi hingga makanan siap saji. Setelah makanan dikonsumsi, sisanya akan dibuang. Hasil pembuangan ini kemudian kita kenal sebagai limbah makanan. Indonesia sendiri menempati urutan kedua kontributor limbah makanan
Secangkir teh terbesar setelah Arab Saudi (The Economist, 2016), di mana rumah tangga merupakan kontributor terbesar, mengalahkan restoran maupun bisnis (Food Print, 2021). Fakta ini mengindikasikan bahwa gaya hidup memiliki pengaruh dalam besarnya jumlah limbah makanan—yang berarti ekonomi linear sangat dekat dengan pola konsumsi kita. Isu lain dalam ekonomi linear adalah limbah pakaian. Isu ini erat dengan karakteristik industri mode yang sensitif terhadap perubahan tren. Bukan hanya seasonal fashion, perusahaan mode juga mengikuti, menciptakan, dan mengendarai tren mode yang berlaku di masyarakat luas. Ambil saja contoh celana jeans berukuran oversized dan memiliki model wide strides yang sempat menjadi tren di tahun 80-90an. Apabila tren tersebut telah selesai, model busana tersebut menjadi tidak relevan. Merespon perubahan ini, konsumen akan membuang celana tersebut, sedangkan perusahaan akan membakar produk yang tersisa. Burberry adalah salah satu perusahaan yang sempat melakukan praktik bakar produk sisa ini. Maka tidak heran, merek ini turut berkontribusi terhadap pencapaian industri mode sebagai urutan ketiga penyumbang emisi global terbesar (Wicker, 2021). Lagi dan lagi, permasalahan dalam industri mode menunjukkan bahwa tren sebenarnya digerakkan oleh gaya hidup konsumen dan cara konsumen merespon stimulus yang ada. Walau perusahaan-perusahaan besar dilihat dapat menggerakkan tren dan pasar, nyatanya keputusan konsumen-lah yang menyebabkan pergerakan pada pasar.
Dampak Linear
Penerapan
Ekonomi
Melalui contoh dari dua industri, makanan dan mode, dapat disimpulkan bahwa dampak negatif terbesar dari kegiatan ekonomi linear adalah emisi dari sampah yang dihasilkan. Emisi dapat berakibat pada pemanasan global dan keberlanjutan hidup manusia. Hal ini karena baik makanan maupun pakaian, hampir semuanya diproduksi menggunakan bahan mentah yang diambil dari alam dan banyak di antaranya yang berakhir menjadi sampah untuk alam. Tidak adanya mekanisme daur ulang atau penggunaan ulang limbah produksi pada model ekonomi linear membuat produsen terpaksa akan terus mengekstrak bahan dari alam. Dampaknya, tekanan berlebih pada ekosistem alami dapat membahayakan keberlanjutan sumber daya yang dapat kita gunakan (Michelini, Morales et al., 2017). Model ekonomi linear juga membahayakan ketersediaan bahanbahan produksi. Kelangkaan bahan mentah dapat menyebabkan harganya mengalami fluktuasi di pasar produksi, akibatnya produk manufaktur akan mengalami peningkatan harga yang signifikan. Mengenai masalah ini, terdapat juga pembahasan tentang perbedaan jumlah
dan jenis sumber daya alam yang berbeda antarnegara, di mana perdagangan internasional dikatakan bisa mengatasi dampak dari kelangkaan ini. Betul, rantai nilai global (global value chain) bisa berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan bahan mentah maupun setengah jadi dan barang jadi dari negara lain. Akan tetapi, hal ini bisa menciptakan hubungan saling ketergantungan antarnegara. Dampaknya, kelangkaan sumber daya tertentu di suatu negara bisa mempengaruhi negara lain (European Commission, 2020).
Mengapa Sulit Untuk Keluar Dari Ekonomi Linear? Model ekonomi linear menyebabkan kelangkaan sumber daya alam, membuat ketersediaannya terus menurun. Di sisi lain, permintaan konsumen atas produk terus meningkat (Circle Economy, 2018). Hal ini membuat produsen harus mengakali keterbatasan ini, baik dengan mengganti ataupun mencampurnya dengan bahan sintetis/ non-alami. Satu contoh kasus yang cukup dekat dengan kita adalah madu. Konsumsi madu selama satu dekade terakhir terus meningkat, hingga mencapai hampir 18 juta kilogram per tahunnya. Sayangnya, produksi madu tengah terhambat oleh Colony Collapse Disorder, fenomena hilang atau matinya mayoritas lebah pekerja yang menyebabkan jumlah koloni lebah madu menurun cukup drastis sejak tahun 2006. Mengatasi fenomena ini, produsen madu menggunakan bahan campuran serupa madu dalam produksinya, contohnya sirup jagung dan sirup beras (Kennedy & Kerr, 2018). Alasan dari pencampuran ini bukan hanya untuk mencari keuntungan, tetapi juga untuk mempertahankan jumlah bahan alami yang tersedia dan untuk menjaga populasi lebah madu. Pertanyaannya, sepenting apakah konsumsi madu, hingga kita tetap harus melibatkannya dalam rantai makanan kita? Norberto Garcia, Ketua Organisasi Eksportir Madu Internasional, menjelaskan bahwa madu, sebagaimana bahan alami lainnya, telah menjadi sebuah “nilai tambah” dalam rantai konsumsi manusia. Kendati madu diproses oleh tubuh sebagaimana pemanis buatan lainnya, madu memiliki nilai tambah karena cap “alami” yang dimilikinya (Kennedy & Kerr, 2018). Maka, permintaan atas madu dan produk alami dari lebah madu (seperti beeswax) terus meningkat. Manusia berpikir bahwa semua yang alami lebih baik dibandingkan yang sintetis (Gorman & Gorman, 2017). Sayangnya, keyakinan bahwa menggunakan bahan alami sama dengan menjaga alam adalah suatu mispersepsi. Kenyataannya, selama kita tetap mempertahanan pola konsumsi ambil-pakai-buang atas dasar efisiensi biaya, maka kita tidak akan lepas dari ekonomi linear. Betul, terdapat peningkatan ketertarikan terhadap perusahaan yang melakukan daur ulang, tetapi yang perlu kita sadari adalah tidak semua barang yang kita konsumsi secara rutin bisa didaur ulang.
Maka, solusinya bukan hanya menuntut perusahaan produsen untuk mendaur ulang, tapi juga mulai merevisi bagaimana cara kita mengonsumsi sesuatu.
Bicara Masa Depan: Akhir Dari Ekonomi Linear Ada sebuah romantisasi atas ekstraksi dan eksploitasi alam. Dengan banyaknya kampanye untuk menyelamatkan lingkungan, seharusnya ekstraksi dan eksploitasi ini dapat dikurangi. Namun, faktanya masih ada kampanye-kampanye yang kurang tepat sasaran, serta anjuran yang bertolak belakang dengan istilah “ramah lingkungan”一seperti obsesi atas madu, teripang, alga, dan bahan alam lainnya. Dalam skala kecil dan sedang, konsumsi kita atas bahan-bahan alami mungkin baik-baik saja. Namun dalam skala besar, diperlukan model ekonomi baru yang dapat menyeimbangi permintaan atas ekstraksi bahan alami dengan restorasi alam itu sendiri. Sudah mulai banyak perusahaan yang menerapkan label ramah lingkungan, termasuk Dolphin Safe dan Animal Cruelty-Free. Dalam proses produksinya, perusahaan-perusahaan tersebut juga mulai terbuka pada daur ulang, pengolahan limbah, dan kegiatan produksi yang lebih ramah lingkungan. Banyak perusahaan dan negara yang mulai sadar dengan konsep ekonomi sirkular, tapi bagaimana dengan kita sebagai konsumen? Apakah betul kita harus mengonsumsi makanan dan membeli pakaian sebanyak itu? Apakah betul kita harus menggunakan lahan dan material sebanyak itu untuk membangun tempat tinggal? Apakah betul kita harus menggunakan produk kecantikan dari alam? Atau kita hanya membohongi diri kita bahwa kita butuh semua bahan alami tersebut? Jangan berkubang dalam ironi bahwa niat baik kita untuk bertahan hidup sekarang justru bisa menjadi alasan terancamnya keberlanjutan hidup generasi mendatang.
Penulis merupakan Ketua Umum Badan Otonom Economica periode 2021
Economica 63 / 2021
7
Pangan Melimpah Namun Perkara Food Waste dan F Yudhistira Gowo Samiaji, Resha P. Maheswara, Asido Septian M. Nababan, Hafsha Pia Sheridan
FOTO: NADYEZDI RIFI P. | ECONOMICA
TULISAN UTAMA I
8
Economica 63 / 2021
FOTO: ALETHEIA M. TANDEAN | ECONOMICA
n Rakyat KelaparaN Food Loss di Indonesia
Pada tahun 2019, 17 juta anak-anak di bawah 5 tahun yang tersebar di 55 negara mengalami malnutrisi karena asupan pangan yang kurang baik. Di lain sisi, diperkirakan sepertiga dari makanan yang diproduksi di dunia untuk konsumsi manusia setiap tahun—sekitar 1,3 miliar ton—hilang atau terbuang. Lantas apa arti dari angka-angka tersebut?
Economica 63 / 2021
9
FOTO: RAMADHAN ALIF ALYOSA | LFS FEB UI
tulisan utama
M
anusia pada dasarnya memiliki sebuah kebutuhan primer untuk dapat mempertahankan hidupnya. Sandang, pangan, dan papan merupakan bentuk dari kebutuhan primer tersebut. Namun, terkadang kita lupa bahwa kebutuhan primer ini acap kali dihambur-hamburkan tanpa berpikir panjang—terutama pangan. Melimpahnya sumber pangan di muka bumi membuat kita terlena dan acuh bahwa perilaku ini merupakan awal mula masalah bumi saat ini.
Food Waste dan Food Loss Indonesia menyandang julukan sebagai penyumbang sampah terbesar kedua di dunia. Sampah Indonesia sendiri didominasi oleh sampah organik. Namun, perlu dilakukan identifikasi lebih dalam dari komposisi sampah organik tersebut. Karena sumber dan penanganan sampah organik berbeda dari yang akibat food waste dan food loss. Food loss dan waste (FLW) adalah sebuah kategori catch-all untuk makanan yang hilang atau terbuang dalam siklus produksi, distribusi, hingga konsumsinya. “Food loss itu FAO mendefinisikannya sebagai penurunan kuantitas makanan yang dihasilkan dari keputusan dan tindakan pengemasan makanan dalam rantai makanan, tidak termasuk retail, penyedia makanan, dan konsumen,” tutur Gina Karina selaku Manajer Pangan Dan
10 Economica 63 / 2021
Tata Guna Lahan di World Resources Institute (WRI) Indonesia. “Indonesia adalah negara dengan food loss dan waste terbesar kedua di dunia berkisar 300 Kg per orang,” tegas Noor Avianto, Kepala Subdirektorat Peternakan Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian PPN/Bappenas. Dengan jumlah yang tidak sedikit ini, perlu perhatian khusus dari berbagai elemen untuk mengurangi permasalahan food loss dan waste di Indonesia. Melihat kondisi yang tidak menyenangkan tersebut pemerintah Indonesia sudah mulai mencoba untuk menjalankan ekonomi sirkular, yakni sebuah ide ekonomi alternatif untuk mengatasi dampak dari ekonomi linier tradisional. Pemerintah dalam visi Indonesia 2045 melalui Jakstranas (Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga Indonesia) menargetkan Indonesia mampu mengurangi timbunan sampah nasional hingga 30% dan menangani 70% sampah pada tahun 2025. Untuk mencapai tersebut, pemerintah dan masyarakat perlu mengetahui sumber dari permasalahan food loss dan food waste yang berpotensi menimbulkan sampah berlebih.
Tidak Ada Asap Jika Tak Ada Api FLW muncul dalam setiap value chain industri pangan. Rantai pasokan pangan
dibagi menjadi lima tahap, yaitu produksi, tahap pasca panen dan penyimpanan, tahap pemrosesan dan pengemasan, tahap distribusi dan pemasaran, serta kelima tahap konsumsi. Jika dibiarkan terjadi seperti apa adanya, distribusi pangan akan berkurang, dan berdampak pada peningkatan harga produk pangan di pasar. Kemudian, dengan melihat kondisi pasar yang terus menciptakan food waste, dapat diartikan bahwa masyarakat Indonesia melakukan konsumsi yang tinggi, hingga berlebih. “Oleh karena itu, jika berpacu kepada teori demand-supply, harga pangan akan semakin naik karena supply berkurang dan demand yang tetap tinggi,” jelas Noor Avianto. Food loss sendiri menyebabkan kerugian paling besar pada pihak produsen, terutama mereka yang tidak dapat memanfaatkan seluruh hasil tanamnya dengan baik. Permasalahannya terletak pada lemahnya infrastruktur, alat transportasi, dan ruang penyimpanan— yang sebenarnya dapat menjadi palang pintu besar dalam menangani food loss. Selain itu, proses post-harvest yang kurang sempurna membuat kondisi food loss semakin parah di Indonesia. Sita Wardhani Suparyono, Akademisi dan Dosen di FEB UI, mengambil tanaman jagung sebagai contoh masalah food loss dalam proses post-harvest. Sebenarnya, petani membutuhkan berbagai jenis mesin, seperti mesin pengering, mesin penggiling,
"
Padahal, jika 300 Kg food loss dan waste tersebut dapat dimaksimalkan, maka penduduk Indonesia yang kekurangan pangan dapat diamankan.
Bagai Senjata Makan Tuan, Melimpah Namun Tidak Diolah
Gina Karina Manajer Pangan Dan Tata Guna Lahan World Resources Institute (WRI) Indonesia
pengeluaran yang lebih efisien dan dapat dialokasikan kepada konsumsi produk lain. Selain pengaruhnya pada manusia, FLW juga memengaruhi bumi. FLW akan membuat emisi di bumi semakin banyak, dan akibatnya keberlangsungan bumi terancam. Menurut Noor Avianto, 11% emisi efek rumah kaca berasal dari sistem makanan. Jika kita bisa mengatur FLW dengan baik,kita dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan membantu menjaga bumi kita.
Nasib yang menanti di masa depan: Masihkah Ada Harapan? Berdasarkan Laporan Kajian Food Loss and Waste di Indonesia oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Bappenas (2021), timbulan FLW Indonesia pada 2 dekade terakhir mencapai 115-184 Kg/kapita/tahun dengan nilai ekonomi terbuang diestimasikan Rp 213 triliun hingga Rp 551 triliun per tahun atau sekitar 5% dari PDB Indonesia. Sebanyak 61--125 juta orang atau 29-47% populasi Indonesia juga kehilangan kandungan gizi (energi) akibat FLW ini. Selain itu, FLW juga menyebabkan emisi sebesar 1.702,9 Mt CO2eq selama 2000 hingga 2019, dengan kata lain berkontribusi 7,29% emisi gas rumah kaca Indonesia yang menyebabkan perubahan iklim semakin cepat. Dalam laporan yang dikeluarkan Bappenas, pemerintah melakukan proyeksi untuk timbulan FLW di tahun 20202045. Dengan skenario business as usual, diestimasikan pada tahun 2045 FLW dapat mencapai 112 juta ton per tahun atau sekitar 344 Kg/kapita/tahun. “Bayangkan
"
kalau tadi (timbulan sampah) dibawah 200 Kg/kapita/tahun, kalau kita tetap kayak gini di tahun 2045, bisa jadi 344 Kg/ kapita/tahun,” tutur Gina. Namun dengan menggunakan metode system dynamic— suatu metode mempelajari dan mengelola struktur umpan balik yang kompleks, pemerintah memperkirakan Indonesia bisa menekan FLW hingga angka 49 Juta ton per tahun atau 166 Kg per kapita per tahun pada tahun 2045. Meski angka penurunan tersebut tidak signifikan dibandingkan peningkatan FLW di sistem business as usual, setidaknya masalah yang ada sedikit teratasi.. “Kalau misalkan kita tidak mengubah kebiasaan kita, kenaikannya (FLW) itu bisa sampai dua kali lipat. Kalau kita melakukan strategistrategi ini, mungkin berkurangnya terlihat gak begitu signifikan, tapi terlihat berkurang lho,” lengkap Gina.
Langkah yang Perlu Dijajaki Dengan disuguhi berbagai data dan fakta mengenai permasalahan sampah— terutama FLW—diperlukan sebuah sistem ekonomi alternatif yang dapat mengatasi permasalahan akibat sistem ekonomi tradisional linear yang mendorong pola konsumsi ambil-pakai-buang. Sebuah alternatif yang memperpanjang siklus hidup produk dengan mendorong pemanfaatan sebuah produk hingga nilai utilisasi maksimalnya—termasuk hasil eksternalitas—mungkin adalah jawaban yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang ada.
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
Saat ini, Indonesia berada di urutan kedua dalam permasalahan FLW. “Dilihat dari aspek manapun, hal tersebut merupakan hal yang tidak baik. Hal tersebut dapat menimbulkan krisis pangan di Indonesia,” tandas Noor Avianto. Ia menyayangkan kuantitas pangan di Indonesia masih kurang mencukupi meski jumlah FLW yang tinggi. Layaknya hukum permintaan, adanya kelangkaan pangan membuat harga pangan di Indonesia terus meningkat dan semakin mahal. “Padahal, jika 300 Kg food loss dan waste tersebut dapat dimaksimalkan, maka penduduk Indonesia yang kekurangan pangan dapat diamankan,” tambah Noor Avianto. Dampak FLW tak hanya dirasakan konsumen, akibat harga yang terus naik, tetapi juga oleh produsen. Akibat proses dalam rantai pasok yang tidak efisien, petani di Indonesia akan mengalami penurunan penghasilan seiring penurunan penjualan.. Oleh karena itu, pemerintah perlu menghitung nilai tukar petani, mulai dari panen hingga post-harvest. Dengan upaya tersebut, kerugian dari petani dapat diprediksi lalu memformulasi solusinya. Selain itu, permasalahan distribusi seperti kemasan yang kurang sempurna juga perlu diatasi, agar konsumen cenderung mau membeli produk petani dan tidak terjadi supply berlebih. Di lain sisi, permasalahan food waste akan memengaruhi pendapatan masyarakat. Jika masyarakat terus menciptakan food waste, pengeluaran akan berakhir terbuang sia-sia. Oleh karena itu, perubahan pola konsumsi pangan oleh masyarakat dapat mengurangi food waste dan berujung pada pengeluaran konsumsi untuk makanan. Dengan demikian,
Noor Avianto Kepala Subdirektorat Peternakan Direktorat Pangan dan Pertanian Kementerian PPN/Bappenas
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
dan silo untuk membantu mengolah jagung tersebut. “Petani kekurangan mesin penggiling. Sehingga seringkali saat panen, jagung banyak yang tidak bisa dikeringkan,” ucap Sita. Dengan adanya mesin pengering yang cukup, food loss dari jagung dapat diminimalisir dan jumlah impor jagung juga dapat ditekan karena supply sudah terpenuhi secara domestik.
Sita Wardhani Suparyono Akademisi dan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI
Economica 63 / 2021 11
FOTO: FAUZAN KEMAL M. | ECONOMICA FOTO: TAZKIA ASTRINA | ECONOMICA
tulisan utama
tulisan utama II
Sampah dan ekonomi sirkular Antara asa dan realita Nismara Paramayoga, Komang Bintang Sanjiwani Mahardika, Muhammad Zaky Nur Fajar
Konsep ekonomi sirkular belakangan ini kian populer di antara kalangan, dari peneliti, pebisnis hingga pemerintah, tak terkecuali pemerintah Indonesia. Konsep ini digadangkan dapat menjadi solusi melawan pemanasan global. Namun, apakah konsep ini memungkinkan untuk dilaksanakan? Ataukah hanya konsep yang samar belaka?
12 Economica 63 / 2021
M
ottainai adalah sebuah ungkapan yang mengekspresikan sebuah penyesalan pada nilai penuh dari sesuatu yang tidak dimanfaatkan dengan baik. Ungkapan tersebut lahir di pertengahan abad ke 15 Masehi di era Dinasti Kamakura di Jepang. Dari ungkapan tersebut, lahirlah sebuah konsep yang mendasari manusia harus memanfaatkan seluruh potensi yang ada secara penuh. Kenneth E. Boulding, seorang ekonom Amerika kelahiran Inggris, melebarkan konsep tersebut dengan menjelaskan bahwa kita harus berada dalam sistem produksi yang siklikal—tidak ada sumber daya yang terbuang secara percuma. Konsep tersebut secara khusus dimanifestasikan oleh Allen V. Kneese dalam suatu istilah bernama “Circular Economy” di bukunya yang berjudul The Economics of Natural Resources. Konsep circular economy atau ekonomi sirkular tersebut terus berkembang hingga saat ini.
Sejuta Potensi Teraktivasi
yang
Belum
Ekonomi sirkular pada dasarnya merupakan sebuah proses ekonomi yang mengintegrasikan eksternalitas produksi ke dalam sebuah sistem. Proses ekonomi ini diharapkan dapat menekan jumlah sumber daya alam yang diekstraksi dan menurunkan kadar limbah yang dibuang kembali ke alam. Adanya titel ekonomi
menggunakan plastik karena keefektifan dan keefisienan yang diberikan, tetapi tidak diajarkan bagaimana cara mengelola sampah plastik tersebut. Solusi yang eksis pada masanya sekarang berbalik menjadi ancaman bagi kehidupan manusia saat ini. Ekonomi sirkular dapat diterapkan dalam berbagai bentuk, sesuai dengan konteks masalah yang dihadapi. Contohnya, kebutuhan untuk mengamankan pasokan pangan terutama selama krisis telah membuat Singapura menerapkan ekonomi sirkular dengan mengubah fokus pertanian dari daerah pedesaan ke perkotaan. Singapura bertujuan untuk menghasilkan 30% pasokan pangan secara mandiri pada tahun 2030. Sayangnya, 90% kebutuhan mereka saat ini masih dipenuhi produk pangan impor. Untuk merealisasikan rencana mandiri kebutuhan pangan tersebut, pemerintah Singapura meminta semua orang di kota untuk menumbuhkan apa yang mereka bisa. Misalnya saja upaya memproduksi pangan dengan melakukan rooftop farming—metode hidroponik dan aquaponik—di pusat perbelanjaan. Dengan menggalakkan konsumsi lokal dan produksi l, Singapura dapat menghemat biaya transportasi atau meminimalisir logistik, transportasi. Lebih lanjut, perekonomian yang lebih sirkular juga akan mentransformasi berbagai aspek, termasuk ketersediaan lapangan kerja yang mana menjadi lebih rendah di industri ekstraktif—seperti industri bahan bakar fosil, atau pertambangan dan
Fakta bahwa masih banyak sampah yang terbuang sia-sia menunjukan bahwa insentif pasar untuk menerapkan sirkular ekonomi belum berjalan dengan baik.
"
di dalamnya karena siklus berulang dalam ekonomi sirkular ini tidak hanya mendatangkan manfaat bagi lingkungan, tetapi juga menciptakan nilai tambah ekonomi. Seperti hal nya memanfaatkan limbah menjadi sebuah produk bernilai ekonomi. Konsep ekonomi sirkular sendiri sudah dicanangkan untuk diterapkan di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sebagai penyumbang sampah terbesar kedua di dunia, Indonesia akan menerapkan ekonomi sirkular pada industri pangan 一industri yang menghasilkan sampah organik yang mana mendominasi sampah Indonesia. “Sampah organik di Indonesia sangatlah tinggi, sekitar 60–70% sampah di Indonesia masuk ke dalam kategori sampah organik,” tutur Alin Halimatussadiah, Head of environmental studies LPEM. “Dalam konteks Indonesia, ekonomi sirkular sangat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh industri yang terkait dengan plastik,“ jelas Ronny Mustamu selaku Konsultan Ekonomi Sirkular di Indonesia Circular Economy Forum (ICEF). Menurutnya, publik didorong untuk
"
penggalian. Hal ini karena ekonomi sirkular menurunkan permintaan bahan mentah. Di sisi lain, lapangan kerja di industri daur ulang akan meningkat. “Ekonomi sirkular dapat memperluas peluang kerja pada perusahaan kecil dan menengah melalui pengembangan reverse logistic, peningkatan inovasi dan kewirausahaan, serta peningkatan pengembangan ekonomi berbasis layanan,“ jelas Alin. Sektor lain yang diuntungkan dalam hal penciptaan lapangan kerja adalah sektor perbaikan. Jasa dan beberapa sektor manufaktur juga mendapat keuntungan dari rebound dalam belanja konsumen dan stimulus dari permintaan daur ulang.
Lari Halang Rintang: Hambatan Penerapan Ekonomi Sirkular Ide dari ekonomi sirkular adalah berusaha untuk membuat looping di dalam proses transformasi output menjadi input. Implementasi ide ini diharapkan dapat menekan jumlah sumber daya alam yang diekstraksi dan menurunkan kadar limbah yang dibuang kembali ke alam.
Economica 63 / 2021 13
FOTO: NADYEZDI RIFI P. | ECONOMICA
TULISAN UTAMA
14 Economica 63 / 2021
Ekonomi sirkular sendiri didasarkan pada dasar-dasar inovasi yang menjadikan segitiga keberlanjutan untuk pertumbuhan ekonomi. Terdapat beberapa strategi untuk memaksimalkan potensi ekonomi sirkular ini, di antaranya dengan melakukan life cycle assessment. Life Cycle Assessment (LCA) adalah metode kuantitatif untuk menilai sistem industri dalam mengevaluasi dampak lingkungan suatu produk atau layanan selama seluruh siklus hidupnya. Penilaian dilakukan dari ekstraksi bahan mentah hingga pembuangan produk (cradle-to-grave). Menurut ISO 14040/44, terdapat empat fase iteratif dalam melakukan LCA, yaitu definisi tujuan dan cakupan, analisis inventaris, penilaian dampak dan interpretasi. Pemerintah juga dapat mengeluarkan beberapa instrumen, seperti melakukan command and control, yaitu standar regulasi bagi para pelaku usaha mengenai manajemen limbah yang dihasilkan. Pemerintah juga dapat menerapkan market incentive berupa pajak atau subsidi. Tidak hanya perusahaan besar saja yang dapat diberikan insentif, tetapi juga diberikan pada UMKM. Sudah sepatutnya pemerintah ikut andil dalam membina UKM untuk pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan.
Ronny Mustamu Konsultan Ekonomi Sirkular Indonesia Circular Economy Forum (ICEF)
Ronny menyampaikan bahwa pemerintah seharusnya memfasilitasi hadirnya depo-depo pengumpulan plastik. Depo ini bisa dikembangkan oleh pemerintah dengan memberikan insentif pada RT/RW, NGO, ataupun pelaku usaha daur ulang. Oleh karena itu, terdapat satu mata rantai, seperti pengepul, yang bisa membawa sampah plastik kepada pabrik yang lebih besar untuk didaur ulang. “Patut disayangkan, sampai saat ini pemerintah belum membangun depo-depo tersebut,“ lengkap nya. Selain itu, pemerintah dapat memberikan information and disclosure dalam rangka menjadikan masyarakat lebih terdidik sehingga hanya akan membeli produk yang terdaur ulang dengan baik. Terakhir, pemerintah dapat melakukan pemetaan data sebagai strategi umum, baik itu dari potensi dan strategi yang akan dihasilkan.
Alin Halimatussadiah Head of Environmental Studies LPEM FEB UI
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
Perlu Ada Strategi Maksimalisasi
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
Tujuan pengurangan limbah sampai titik nol merupakan sebuah hal penting. Akan tetapi, proses tersebut harus bertahap, dimulai dari tanggung jawab yang bisa dibebankan kepada pengusaha atau pemerintah. Ekonomi sirkular bukanlah obat mujarab yang dapat memperbaiki masalah dalam satu malam. Aspek seperti insentif yang dapat dirasakan oleh konsumen dan produsen juga perlu diperhatikan untuk menunjang keberhasilan ekonomi sirkular. Pemaksaan kebijakan tanpa edukasi dan insentif dapat dipastikan tidak akan memberikan hasil yang efektif secara praktik dan jangka panjang. “Perubahan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan karena telah terdapat investasi yang cukup besar dan implementasi aturan-aturan yang kurang kuat dan sebagian aturan pun belum diregulasi,“ tutur Ronny. Ambil saja contoh kebijakan pemerintah untuk mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan dengan memberlakukan pelarangan penggunaan kantong plastik oleh minimarket. Awalnya mendapat respon negatif dari kebanyakan masyarakat, namun dengan penjelasan serta edukasi yang baik akhirnya pasar menerima perubahan tersebut. Salah satu permasalahan utama dari ekonomi sirkular berkaitan dengan cara pemanfaatan limbah dan seberapa besar insentif ekonomi dari melakukan looping tersebut. Ia menambahkan bahwa pemulung merupakan salah satu hasil dari adanya insentif pasar untuk memanfaatkan limbah. Mereka (pemulung) rela untuk mengambil botol-botol bekas karena memang ada permintaan untuk barang tersebut. Namun, kegiatan tersebut tidaklah masif dilakukan. Dari keseluruhan plastik dan tipe plastik yang kita buang, hanya sebagian kelompok yang merasa sampah bernilai. Akhirnya, pemikiran mayoritas masyarakat bahwa sampah tidak bernilai akan mempertahankan konsep ekonomi linear terus terjadi dalam industri kita. “Fakta bahwa masih banyak sampah yang terbuang sia-sia menunjukan bahwa insentif pasar untuk menerapkan sirkular ekonomi belum berjalan dengan baik,“ tegas, Alin.
Realisasi Ekonomi Sirkular di Industri Pangan: Kolaborasi Anti-utopis Tahtia Anharani Sazwara, Alfina Nur Afriani, Christabel Nathania Surya
FOTO: NADYEZDI RIFI P. | ECONOMICA
tulisan utama III
Sektor pangan memiliki andil yang besar dalam menggerakkan roda ekonomi Indonesia. Pada tahun 2017, industri makanan dan minuman berperan sebesar 34,95% kepada PDB non-migas. Meski demikian, industri ini menyimpan pekerjaan rumah bagi Indonesia yang dilanda oleh kemasifan fenomena food waste. Berdasarkan data Bappenas, pada tahun 2019 Indonesia mengalami kerugian sebesar 54% dari Food Loss and Waste. Angka ini dapat meningkat sebesar 89% jika tidak ada perubahan dalam bagaimana industri pangan tetap menjalankan bisnis seperti biasa.
Economica 63 / 2021 15
FOTO: NADYEZDI RIFI P. | ECONOMICA
FOTO: UTOMO NOOR RACHMANTO | ECONOMICA
K
onsep ekonomi sirkular menjadi momok pembicaraan yang sedap bila dikaitkan dengan food waste. Prinsipnya adalah produk dibuat, dikonsumsi, lalu dikembalikan ke asalnya, sehingga prosesnya dapat diulang sampai value dari sebuah barang benarbenar habis. Dengan demikian, manfaat yang diberikan oleh suatu produk dapat diekstraksi dengan optimal dan efektif. Jika penerapannya di sektor pangan berjalan dengan efektif, ekonomi sirkular akan banyak membawa manfaat. Di antaranya adalah peningkatan PDB mencapai Rp375 Triliun, pengurangan timbulan limbah hingga 52%, penciptaan 2,5 juta lapangan kerja, peningkatan simpanan rumah tangga mencapai 2,5 juta, dan penghematan 4 miliar meter kubik air. Artinya, penerapan ekonomi sirkular di
Status Quo Indonesia “Secara umum, sudah banyak sekali penerapan ekonomi sirkular di industri pangan Indonesia,” seru Vanessa Letizia, Chief Executive Greeneration. Vanessa menjelaskan bahwa penerapan ekonomi sirkular di industri pangan yang subur ini terlihat dari banyak sekali tindakan dan aksi yang mendukungnya. Salah satu contohnya adalah aksi pemerintah Indonesia melalui Kementerian PPN/ Bappenas yang meluncurkan “Laporan Kajian Manfaat Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan dari Ekonomi Sirkular di Indonesia” beserta “Laporan Kajian Food Loss dan Waste di Indonesia dalam Rangka Mendukung Penerapan Ekonomi Sirkular dan Pembangunan Rendah Karbon”. Kajian-
Jadi, kami ingin mendorong terjadinya transformasi ekonomi di Indonesia setelah masa pandemi ini dan dipimpin oleh ekonomi sirkular
"
sektor pangan tak hanya menyelesaikan masalah limbah pangan yang berlebih, tetapi juga dapat mengurangi polusi air dan membantu ekonomi secara makro. Sebagaimana suatu perubahan, terdapat beberapa tantangan yang akan dihadapi perusahaan dalam menerapkan ekonomi sirkular di dalam industri pangan. Dimulai dari mengubah perilaku konsumen, menyiapkan infrastruktur dan modal yang cukup untuk melakukan transformasi aktivitas ekonomi ini. Dengan tantangan tersebut, diperlukan dukungan dari berbagai pihak agar ekonomi sirkular tidak menjadi suatu solusi utopis bagi masalah ekonomi lingkungan Indonesia. Lalu, sudah sejauh mana Indonesia dalam implementasi ekonomi sirkular pada industri pangan?
16 Economica 63 / 2021
"
kajian tersebut merupakan hasil kolaborasi dengan pelaku industri, startup, asosiasi bisnis, think tanks, serta komunitas sipil. Selain meluncurkan kajian, Pemerintah Indonesia sebenarnya juga sudah memperhitungkan ekonomi sirkular sebagai sebuah aspek penting. Suharso Monoarfa, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), menerangkan bahwa ekonomi sirkular di bidang pangan telah dimasukkan dalam visi dan strategi pembangunan 2045. Visi ini turut mengelaborasikan konsep ekonomi sirkular untuk mendukung transformasi ekonomi yang bertajuk perubahan struktur perekonomian supaya lebih produktif. Selain itu, penerapan ekonomi sirkular juga tercantum pada dua dari enam prioritas nasional (PN)—
memperkuat ketahanan ekonomi (PN 1) dan membangun lingkungan hidup (PN 6). “Jadi, kami ingin mendorong terjadinya transformasi ekonomi di Indonesia setelah masa pandemi ini dan dipimpin oleh ekonomi sirkular,” seru Suharso. Pihak pelaku industri serta startup pun tak ikut ketinggalan. Vanessa menjelaskan bahwa pelaku industri dan startups yang bergerak di industri pangan juga mulai bertransisi dengan menerapkan prinsip-prinsip ekonomi sirkular. “Mereka mengampanyekan nilai-nilai ekonomi sirkular kepada konsumen dan masyarakat luas mengenai manfaatnya serta peran apa yang mereka bisa lakukan.” Selain itu, Vanessa memaparkan bahwa think tanks dan komunitas sipil juga memainkan peran yang tidak kalah penting. Kedua pihak ini berperan sebagai fasilitator dan akselerator dalam mendukung proses transisi berbagai pihak menuju ekonomi sirkular. Terkait keberhasilan Indonesia mengimplementasikan ekonomi sirkular di industri pangan, Muhammad Agung Saputra, selaku CEO PT Ekonomi Sirkular Indonesia sekaligus pelaku usaha yang terjun langsung ke lapangan, memiliki pandangan yang berbeda. Menurutnya, penerapan ekonomi sirkular di industri pangan Indonesia masih minim. “Walaupun konsep ekonomi sirkular sudah sering digunakan di industri pendukung pangan (pengemasan, distribusi, dsb.), secara khusus, ekonomi sirkular di bagian pangan cukup sulit,” jelas Agung. Agung berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh sifat makanan yang tidak lagi bisa dikonsumsi apabila lewat dari tanggal kedaluwarsanya. “Ekonomi sirkular di industri pangan ini agak-agak tricky, susah-susah gampang,” terang Agung. Menurut Agung, penerapan ekonomi sirkular di industri pangan Indonesia belum maksimal. Agung mencontohkan penerapannya saat ini di bagian hilir—sesudah makanan terbuang— adalah dengan mengalokasikannya menjadi pakan ternak ataupun kompos. Namun, hal ini sebenarnya tidak direkomendasikan karena pada bagian hilir sudah ada makanan berlebih. Seharusnya, ekonomi sirkular dapat diimplementasikan
Perlu adanya kolaborasi semua pihak melalui dialog, aksi nyata, serta dukungan dari para pemangku kepentingan hingga masyarakat luas untuk mendorong transisi menuju ekonomi sirkular.
Kolaborasi dan Inovasi sebagai Kunci Suharso menjelaskan bahwa ada tiga strategi kunci penerapan ekonomi sirkular di industri pangan. Pertama dengan investasi di sektor industri yang mendukung ekonomi sirkular, pembangunan rendah karbon, dan melibatkan pelaku usaha lokal dan UMKM sebagai pelaku utama. Inovasi akan menciptakan teknologi baru yang lebih efisien dalam memproses sumber daya. Kedua, menarik minat para pelaku usaha, terutama UMKM, melalui pengembangan skema insentif bagi industri hijau—industri yang proses produksi atau hasil produksinya ramah lingkungan. Terakhir, mendorong riset dan pengembangan teknologi hijau. Hal ini dapat dilakukan dengan strategi kebijakan oleh pemerintah, seperti pembuatan peraturan yang mengikat sehingga membuat perubahan lebih terarah. Contohnya seperti insentif pengurangan PPN bagi industri daur ulang plastik.
Suharso Monoarfa Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional RI / Kepala Bappenas
Vanessa Letizia Executive Director Greeneration Foundation
FOTO: WEBSITE RESMII| ECONOMICA
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
Terdapat dua faktor yang paling berpengaruh pada kesuksesan penerapan ekonomi sirkular di industri pangan, yaitu regulasi pemerintah dan kesadaran masyarakat. Agung menuturkan bahwa kedua faktor ini juga saling berkaitan.“Kedua hal tersebut sebenarnya berhubungan. Belum adanya regulasi pemerintah akan berdampak pada besarnya kesadaran yang timbul,” tambahnya. Menurut Agung, minimnya regulasi yang mengatur persoalan food waste membuat masih banyak masyarakat yang tidak menganggap food waste sebagai suatu masalah. Agung memaparkan bahwa banyak pelaku usaha yang tidak peduli dengan sampah makanan karena tidak akan dikenakan denda atasnya. Selain itu, masih banyak masyarakat yang hanya berfokus pada plastic waste, sementara food waste perlahan-lahan berbahaya karena bisa menimbulkan kelangkaan pangan. Sejalan dengan Agung, Suharso menekankan bahwa sosialisasi diperlukan agar masyarakat dapat mengerti bahwa penerapan ekonomi sirkular secara konsisten penting dan membutuhkan komitmen bersama. Namun, di Indonesia
"
Agung menambahkan dua cara bagi masyarakat Indonesia untuk menerapkan ekonomi sirkular. Pertama, dengan mendukung komunitas lokal yang sudah dikenal maupun yang baru berdiri, baik dalam bidang food waste, e-waste, maupun bidang lainnya. Kedua, dengan menerapkan gaya hidup yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan, seperti membawa botol minum sendiri, mengajak pelaku usaha tidak membuang-buang makanan, dan masih banyak lagi. Pernyataan yang senada dengan perubahan gaya hidup ini juga dituturkan oleh Suharso, “Ekonomi sirkular itu dimulai dari diri sendiri, bahkan dimulai dari piring makan kita sendiri. Semakin kita menghargai apa yang ada di piring makan kita, maka kita sudah ikut serta membelokkan ekonomi linier menjadi ekonomi sirkular.” Sejalan dengan Suharso dan Agung, Vanessa menekankan perlunya perubahan sistemik yang melibatkan peran seluruh lapisan masyarakat. “Satu hal terpenting yang harus diperhatikan dalam merespon tantangan-tantangan tersebut adalah pentingnya kolaborasi antar semua pihak. Perlu adanya kolaborasi semua pihak melalui dialog, aksi nyata, serta dukungan dari para pemangku kepentingan hingga masyarakat luas untuk mendorong transisi menuju ekonomi sirkular,” pungkas Vanessa.
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
Terhambatnya Angin Perubahan
upaya sosialisasi ini masih menjadi tantangan.. Terkait komitmen bersama ini, Agung memaparkan bahwa sebenarnya sudah banyak komunitas yang muncul dan bergerak secara independen. Sayangnya, komunitas tersebut hanya berdampak pada daerah sekitarnya dan konektivitasnya terpecah, sehingga belum berdampak secara menyeluruh. Agung menambahkan bahwa dibutuhkan dukungan dari vendor besar dan pemerintah agar penerapan ekonomi sirkular bisa lebih efektif.
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
"
di bagian hulu—sebelum makanan terbuang—dengan mengisi celah antara para pelaku usaha yang memiliki makanan berlebih dengan orang-orang yang membutuhkan makanan. Strategi ini lebih direkomendasikan karena langsung mencegah makanan berlebih dari sumbernya.
M. Agung Saputra Chied Executive Officer Surplus.id
Economica 63 / 2021 17
iNFOGRAFIS
18 Economica 63 / 2021
INFOGRAFIS
DESAIN: STEVANUS FERDI | ECONOMICA
Mengenal Hoarding Disorder: Gangguan Mental Menimbun Sampah Maria Regina Yofanka, Elizabeth Alvita Stephanie
Ku tengok seluruh penjuru rumahku. Kanan, kiri, atas, dan bawah penuh akan barang yang menumpuk dari ujung lantai hingga atap. Saking penuhnya, lantai rumah saja tak nampak, dan untuk melangkah pun sulit. Aku sadar bahwa barang-barang ini hanyalah sampah tanpa nilai, aku tahu barang-barang ini seharusnya masuk tempat pembuangan. Tetapi mengapa hati ini rasanya gelisah dan nampaknya tak bisa melepaskan rongsokan-rongsokan ini?
D
i awal tahun 2020 lalu, masyarakat Indonesia sempat dihebohkan oleh satu video yang sempat viral. Video itu berisikan cuplikan seorang wanita memasuki ruangan kostnya yang dalamnya terdapat sampah berserakan dan serangga-serangga di seluruh penjuru ruangan. Walau di Indonesia fenomena ini nampaknya baru, di negara-negara maju fenomena ini bukanlah hal yang anyar. Bahkan di Amerika Serikat, orang-orang yang memiliki nasib seperti wanita dalam video viral memiliki acara TV-nya sendiri. Kondisi yang menimpa wanita dalam video viral ternyata bukan tindakan aneh semata. Tindakannya merupakan gejala dari gangguan kesehatan mental, yaitu hoarding disorder.
Serupa, tetapi Tidak Sama dengan Seorang Kolektor Berdasarkan payung psikopatologi atau psikologi abnormal, hoarding disorder merupakan salah satu cabang dari gangguan kesehatan mental yang lebih umum di telinga masyarakat,
20 Economica 63 / 2021
yaitu gangguan kecemasan, depresi, dan stress akut. Lathifah Hanum, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, menuturkan bahwa hoarding disorder sendiri merupakan bentuk gangguan kecemasan yang menyebabkan seseorang cenderung mengumpulkan sesuatu secara terus-menerus dan kesulitan untuk berpisah dengan barang yang dimiliki, walaupun barang itu sudah tak bernilai. Kesulitan ini akhirnya menyebabkan tempat tinggal pengidap menyempit, bahkan sampai titik tak bisa dimasuki. Semua karena banyaknya barang-barang yang tidak diperlukan menumpuk. Pengidap hoarding disorder seringkali disamakan dengan seorang kolektor. Namun menurut Hanum, meski terlihat serupa, terdapat perbedaan besar antara pengidap hoarding disorder dengan seorang kolektor. Titik perbedaan berada pada pemaknaan barang yang masingmasing kumpulkan. Seorang kolektor mengumpulkan barang-barang yang memiliki makna, nilai sejarah, ataupun nilai bagi dirinya. Sedangkan, pengidap hoarding disorder sesungguhnya sadar bahwa benda yang mereka kumpulkan
tidak memiliki nilai atau makna yang spesifik, termasuk bagi dirinya sendiri. Perbedaan pemaknaan ini pun terlihat jelas dari bagaimana keduanya menyimpan barang koleksinya. Seorang kolektor merawat barangnya dengan baik dan selalu tersimpan dengan rapi. Pengidap hoarding disorder di lain sisi, kerap mengumpulkan barang-barangnya dengan sembarang. “Kalau orang yang hoarding, karena gak ada koridor batasan antara mana yang dikumpulkan dan mana yang tidak, sehingga akhirnya barang-barang tersebut menumpuk di sudut ruangan dan akhirnya mengganggu,” tutur Hanum.
Faktor-faktor Pemicu Hoarding Disorder
Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang mengidap hoarding disorder. Pertama, pengidap memiliki keterikatan dengan kenangan tertentu yang direfleksikan barangbarang yang dikumpulkan. Kenangan antara pengidap dengan orang lain terimplementasikan pada barang tertentu, seperti baju lama dari orang tua atau
FOTO: WONDERLANE | UNSPLASH.COM
KESEHATAN
Kesehatan bahwa ada terlalu banyak barang yang menumpuk di tempatnya, maka hal yang dapat dilakukan adalah mulai menyeleksi barang mana yang diperlukan. Untuk itu, individu harus jujur terhadap dirinya sendiri, karena perlu atau tidaknya suatu barang bersifat subjektif. Salah satu alternatif untuk mengurangi keambiguan dalam subjektifitas tersebut adalah dengan
Kita dapat membantu mereka dengan memberikan mereka pandangan kita, tetapi biarkan mereka yang memutuskan.
Dampak Hoarding Disorder
Hoarding disorder memiliki berbagai dampak kepada kehidupan pengidapnya. Salah satunya menyebabkan tempat tinggal menjadi kotor dan berdebu karena banyaknya barang yang tertimbun. Akibatnya, rumah akan menjadi kebun binatang, dimana sarang laba-laba, kutu atau serangga lainnya bertebaran. Suasana tempat tinggal yang kacau ini juga dapat memicu tekanan dan stres. “Pada kasus hoarding, ketika ia harus memilah bendabenda, itu mungkin bisa menjadi suatu situasi yang menekan,” kata Hanum. Tidaknya hanya pada pengidapnya, hoarding disorder juga kerap berdampak kepada orang-orang sekitar pengidap, terutama yang tinggal di tempat yang sama dengan pengidap. Relasi sosial antara pengidap dan orang-orang di sekitarnya akan terganggu. Salah satunya dengan adanya batasan-batasan yang diberikan oleh pengidap. Batasan tersebut bisa berupa larangan untuk mengunjungi tempat tinggalnya. Di Indonesia sendiri, kasus ini jarang dilaporkan kecuali jika pengidapnya sendiri sudah merasa terganggu dengan kondisinya. Menurut Hanum, kemampuan masyarakat Indonesia untuk mengidentifikasi perilaku hoarding juga masih rendah. Pada sebagian rumah masyarakat Indonesia sendiri kerap terdapat tumpukan barang di mana-mana dan dianggap normal. Hal ini menunjukkan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap perilaku hoarding pada umumnya perlu ditingkatkan supaya perilaku tersebut tidak bertumbuh menjadi hoarding disorder yang mengganggu dan sulit dilepaskan. Kesadaran akan perilaku ini dapat mengatasi gejala-gejala dini dari hoarding disorder, terutama saat kondisinya relatif masih mudah untuk disembuhkan tanpa perlu menunggu konsekuensi yang mengganggu kenyamanan, kesehatan, dan juga relasi sosial.
Pemulihan bagi Hoarding Disorder
Pengidap
Hoarding disorder umumnya dapat diselesaikan dengan melakukan self management. Ketika seseorang menyadari
menurunnya angka pelaporan hoarding disorder. Meskipun demikian, kondisi pandemi yang terjadi sejak 2020 kembali meningkatkan gangguan ini di masyarakat secara signifikan. Meskipun begitu, angka pelaporan kasusnya masih rendah dibandingkan dengan isu kesehatan mental lainnya yang juga berkorelasi dengan pandemi. Hal ini umumnya diakibatkan rendahnya kesadaran masyarakat tentang
mengelompokkan barang-barang tersebut berdasarkan tingkat keperluannya dengan skala 1-10, di mana angka 10 menandakan sangat perlu. Selanjutnya, dalam mengelola barang-barang yang masuk kelompok berskala rendah, individu dapat menjual atau mendonasikan barang-barang tersebut, atau langsung membuangnya bila barang tersebut secara kolektif tidak memiliki nilai yang spesifik. Tentunya, self management ini tak dapat dilakukan seorang diri. Proses pemulihan harus didukung oleh orangorang sekitar dan terdekat pengidap. Bilamana kita ingin membantu orang yang kemungkinan mengidap hoarding disorder, langkah pertama yang dapat dilakukan adalah mengingatkan mereka dengan menggunakan bahasa yang halus dan menghindari penggunaan bahasa yang bersifat menggurui atau memerintah. Selain itu, pengidap hoarding disorder umumnya masih memiliki kognitif atau kesadaran akan tindakan yang ia lakukan sehingga memungkinkan untuk diajak berdiskusi tentang kelainannya dan apa yang perlu dilakukan untuk mengatasi hal tersebut. Selain itu, menawarkan bantuan juga merupakan cara membantu yang ideal. “Kita dapat membantu mereka dengan memberikan mereka pandangan kita, tetapi biarkan mereka yang memutuskan, karena kalau kita yang memutuskan, penderita hoarding disorder bisa saja merasa bahwa teritorinya sedang diserang,” ucap Hanum. Ketika kita membuang barang tertentu atas keputusan kita sendiri, mereka biasanya akan mengambil barang itu kembali. Dalam membantu orang yang memiliki gangguan kesehatan mental pada individu yang sudah atau beranjak dewasa, kita perlu mengukur seberapa kuat motivasi mereka untuk berubah. Kesadaran akan permasalahan yang mereka hadapi dan kehadiran motivasi untuk berubah merupakan dua hal fundamental untuk memulai pemulihan diri dari gangguan ini. Selain itu, terdapat banyak panduan untuk merapikan dan menyusun barangbarang yang dimiliki, baik dalam bentuk program TV, buku, majalah, atau lewat media lainnya. Peningkatan jumlah program panduan ini berkorelasi dengan
"
gangguan tersebut. Ada baiknya kita mulai mengevaluasi kebiasaan sehari-hari kita, kemudian mempelajari dampaknya, baik pada diri sendiri maupun orang lain. Pertimbangan tersebut dapat mencakup pertanyaan apakah hal tersebut berdampak positif atau negatif pada kehidupan kita, dan juga apakah hal tersebut benar-benar diperlukan atau tidak. Untuk itu, kita sebagai individu perlu memiliki keterbukaan dan kejujuran terhadap diri sendiri, karena apa yang sebenarnya kita perlukan mungkin tidak sesuai dengan apa yang kita lakukan.
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
"
boneka dari mantan kekasih, yang menjadikan barang tersebut lebih berharga dari status aslinya. Kedua, pengidap merasa barang yang ia miliki akan berguna sewaktu-waktu. Sang pengidap akan merasa sangat cemas terhadap kemungkinan ia tidak memiliki barang tersebut. Faktor ketiga adalah nilai, prestise, atau bahkan rekognisi terhadap diri si pengidap yang dirasa belum lengkap apabila ia tidak memiliki barang ini. “Ada rasa insecure yang memang besar dan itu (rasa insecure) terejawantahkan melalui kepemilikan barang. Kalau tidak punya barang sebanyak itu, pengidap merasa prestisenya turun atau tidak dikenali dengan baik,” ujar Hanum.
Lathifah Hanum Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Economica 63 / 2021 21
kilas balik
Pekanbaru Death Railway
FOTO: YOGIE ADYTAMA | LFS FEB UI
Ricardo Juan, Laksmana Anggitapradhana
*FOTO HANYALAH ILUSTRASI
“Naik kereta api tuut.. tuut… tuut...” Siapa yang tak tahu irama lagu Naik Kereta Api? Lagu anak-anak Indonesia ini menggambarkan serunya berkendara dengan kereta api. Namun, jalur kereta di Pekanbaru membawa cerita yang berbeda. Dikenal sebagai Pekanbaru Death Railway, jalur ini menguak kenyataan yang tak seindah irama.
P
ekanbaru Death Railway adalah jalur kereta api yang membentang dari Pekanbaru di Provinsi Riau hingga ke stasiun Muaro Sijunjung, Provinsi Sumatra Barat. Jalur kereta api sepanjang 220 km ini dibangun untuk memudahkan distribusi batu bara. Namanya menyimpan cerita panjang tentang kerasnya kehidupan masyarakat Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan.
Asal-Usul Railway
Pekanbaru
Death
Pekanbaru Death Railway sebenarnya adalah bagian dari rencana pembangunan jalur kereta api di Sumatra untuk keperluan penambangan dan pengangkutan batu bara di Sawahlunto. Tetapi rencana ini selalu terhenti sampai cetak biru saja sejak tahun 1868 hingga lebih dari 70 tahun kemudian. Resesi ekonomi global (great depression) di tahun 1930 membuat pemerintah kolonial harus mengubur dalam-dalam rencana tersebut karena kekurangan dana. Dua belas tahun sejak krisis ekonomi, perang pun pecah di seluruh wilayah Asia
22 Economica 63 / 2021
Pasifik. Kekaisaran Jepang, yang telah lama berperang dengan Republik Tiongkok, kini berperang melawan blok Sekutu, yakni Amerika Serikat, Imperium Britania, termasuk Belanda. Dalam waktu empat bulan sejak deklarasi perang dan serangan dadakan Jepang pada 7 Desember 1941, Indonesia yang pada saat itu dijajah Belanda sebagai koloni Hindia Belanda dikuasai Jepang. Tujuan kedatangan Jepang ke Indonesia dapat disimpulkan dengan tiga kata: sumber daya alam. Oleh karenanya, ketika pemerintahan militer Jepang menemukan dokumendokumen penelitian dan survei jalur kereta api yang dilakukan Belanda sebelumnya, mereka melihat berbagai potensi sumber daya alam di sana—batu bara di Sawahlunto, emas di Kuantan Singingi, dan sumber daya lainnya di sekitar Sumatra bagian selatan. Berbeda dengan rencana pemerintahan kolonial Belanda, Jepang lebih memilih Pekanbaru sebagai tujuan akhir dari jalur kereta ini. Keputusan diambil atas pertimbangan situasi perang pada saat itu, sebab di Pekanbaru terdapat
pelabuhan besar yang dekat dengan Singapura, yang tak lain adalah pangkalan laut terbesar Jepang di Asia Tenggara. Akhirnya, dimulailah pembangunan jalur kereta api menuju Pekanbaru pada tahun 1943. Proyek memakan waktu sekitar dua tahun, dan selesai tepat pada hari penyerahan Jepang pada 15 Agustus 1945. Pembangunan jalur kereta ini dilaksanakan menggunakan sekitar 120 ribu rōmusha pribumi Indonesia dan 5.000 tawanan perang Sekutu yang ditangkap Jepang. Dengan total korban jiwa hingga lebih dari 100.000 jiwa, jalur kereta ini kemudian menyanding julukan yang saat ini masih melekat, Pekanbaru Death Railway—Jalur Kereta Api Maut Pekanbaru.
Menelisik Penderitaan Para Pekerja Paksa Sumatra Railway Penderitaan para pekerja dimulai jauh sebelum mencapai kerja. Sebagian besar rōmusha, kebanyakan berasal dari jawa, tawanan perang Sekutu dibawa
paksa lokasi yang dan paksa
kilas balik Wabah penyakit akibat kondisi kerja yang buruk juga menjadi problematika besar yang banyak merenggut nyawa para pekerja paksa Pekanbaru Death Railway, salah satunya adalah malaria. Sedikit beruntung, para tawanan perang Sekutu mengandalkan sesama tawanan perang yang berpengalaman medis untuk merawat satu sama lain. Di sisi lain, para rōmusha yang umumnya hanya rakyat jelata atau petani biasa tanpa kemampuan atau pengalaman medis yang dipaksa bekerja, harus meregang nyawa mereka. Seringkali para rōmusha yang sakit akan dikubur hidup-hidup—beberapa rōmusha malah diberi tugas untuk mengubur mayat-mayat sesama rōmusha yang telah tewas sebelumnya. Selesainya jalur kereta api Muaro Sijunjung-Pekanbaru dan penyerahan
Ketika pembangunan selesai dan Jepang menyatakan kalah sama sekutu, rōmusha ini kayak ayam kehilangan induk aja. Nggak tahu apa-apa, nggak diurus sama Jepang, nggak dikembalikan ke Jawa.
"
ditorpedo oleh sebuah kapal selam Inggris dan tenggelam, dengan korban jiwa sejumlah 1.500 tawanan perang Sekutu dan 4.000-an rōmusha. Kondisi kerja di lokasi pembangunan jalur kereta Pekanbaru-Muaro Sijunjung atau Pekanbaru Death Railway sendiri tidak lebih baik, bahkan bisa dibilang sangat tidak manusiawi. Selain dipekerjakan secara paksa, penderitaan diperparah faktor lainnya, mulai dari minimnya akomodasi pangan, ketiadaan papan yang memadai, tak adanya bantuan medis, ancaman alam dan hewan buas, sampai dengan terjadinya penyiksaan secara fisik. Maka tidak mengejutkan bila jumlah korban jiwa dalam pembangunan jalur kereta ini mencapai lebih dari seratus ribu korban. Menurut Vitho, untuk memenuhi kebutuhan kalori, para pekerja paksa jalur kereta api Pekanbaru terpaksa memakan belatung dengan sambal. “Ada di buku Henk Hovinga, chapter berapa saya lupa. Maggots with sambal. Belatung dengan sambal. Ya, itu makanan,” kata Vitho. Mendukung pernyataan ini, Lizzie Oliver dalam bukunya yang berjudul Prisoners of the Sumatra Railway menyebutkan bahwa para rōmusha tidak mendapat jatah makanan konsisten yang resmi. Para tawanan perang Sekutu yang dipekerjakan juga mengalami kondisi serupa, walau tak separah para rōmusha. Mengutip laporan Patrick Kavanagh, Oliver menyatakan ulang bahwa para tawanan perang yang sehat mendapat jatah 250 gram beras per hari, sedangkan tawanan perang yang sakit hanya menerima 150 gram.
"
Jepang kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945 tidak serta merta melegakan penderitaan para rōmusha. Vitho mengatakan, “Ketika pembangunan selesai dan Jepang menyatakan kalah sama sekutu, rōmusha ini kayak ayam kehilangan induk aja. Nggak tahu apa-apa, nggak diurus sama Jepang, nggak dikembalikan ke Jawa.” Sebagian tewas tak lama setelah kekalahan Jepang, sebab mereka sudah terlalu lemah atau malah meninggal kelaparan di tepitepi rumah warga lokal. Mereka yang beruntung bisa menikah dengan warga setempat dan bertahan hidup di Sumatra, atau ada juga yang berhasil kembali ke Jawa. Akan tetapi menurut Vitho, beberapa yang kembali ke Jawa setelah beberapa waktu malah menemukan bahwa kampung asalnya sudah tidak ada lagi. Tidak pasti berapa yang tewas dalam membangun Pekanbaru Death Railway ini. Vitho mengatakan bahwa dalam buku Tragedi Pembangunan Rel Kereta Api: Muarasijunjung-Pekanbaru karya M. Syafei Abdullah, memberikan angka 100.000 jiwa. Oliver sendiri memberikan dua estimasi yang berbeda—menurutnya, pada awalnya ada estimasi sekitar 25.000 korban jiwa dalam pembangunan rel kereta api ini, namun angka tersebut telah direvisi menjadi 80.000 jiwa. Dari golongan tawanan perang Sekutu, 673 orang meninggal dalam proyek kereta api yang mengenaskan ini, sedangkan 1.800an tawanan perang Sekutu dan setidaknya 4.000-an rōmusha meninggal dalam perjalanan ke Sumatra.
Pekanbaru Death Railway Kini Saat ini, jalur kereta yang disebut Pekanbaru Death Railway sudah tidak utuh lagi. Jalur kereta tersebut sudah banyak yang dipotong-potong dan dijual oleh warga setempat. Diperkirakan vandalisme ini sudah terjadi sejak tahun 1970-an, baik oleh masyarakat serta oknum pemerintah setempat. Ketidakjelasan status jalur rel kereta serta ketidaktahuan masyarakat setempat akan sejarah membuat situs ini menjadi target oleh orang-orang, terutama mereka yang kesulitan secara ekonomi. Usaha dari pemerintah daerah setempat untuk menjaga keberadaan peninggalan bersejarah jalur kereta ini pun bisa dibilang minim. Memang ada Taman Makam Pahlawan Kerja di Pekanbaru, serta relief penderitaan rōmusha di Monumen Perjuangan Rakyat Riau, tapi belum ada usaha untuk mengumpulkan artefakartefak yang tersisa dari jalur kereta api ini. Tragedi kemanusiaan ini dapat tetap diingat justru karena peran berbagai pihak non-pemerintah. Henk Hovinga,Lizzie Oliver, dan M. Syafei Abdullah adalah beberapa penulis yang mengabadikan kejadian ini dalam karya-karya tulisnya. Buku-buku tersebut menceritakan kisah para pekerja paksa, baik dari pihak masyarakat Indonesia dan tawanan perang. Tak beda jauh dengan para sejarawan dan penulis sejarah, Vitho dan Komunitas Kereta Api Pekanbaru mencoba mengenang sejarah Pekanbaru Death Railway ini dengan melakukan kegiatan-kegiatan pengenangan berupa mengunjungi Taman Makam Pahlawan Kerja, mendokumentasikan bekas-bekas rel kereta yang selamat, dan bahkan berjuang mengajukan kepada pemerintah daerah untuk melindungi sisa-sisa artefak historis Pekanbaru Death Railway.
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
untuk bekerja membangun rel kereta api di Pekanbaru. Vitho Anugrah Pratomo, CoFounder Komunitas Kereta Api Pekanbaru, menceritakan ulang kisah seorang rōmusha penyintas Pekanbaru Death Railway ini yang dibawa ke Sumatra dengan kedok menonton film: si rōmusha tersebut “diculik” setelah ia dan warga kampungnya diperintah dari pihak pemerintahan militer Jepang menonton film propaganda, untuk menaiki kapal menuju Sumatra. Kondisi kapal pengangkut yang sangatlah jauh dari kata nyaman, serta sering menjadi target kapal selam Sekutu membuat perjalanan menuju Pekanbaru bagaikan neraka. Dalam tulisan pendek bertajuk “The sinking of the Junyō Maru”, sejarawan Peter Post mengemukakan kisah tenggelamnya kapal Junyō Maru yang mengangkut 2.300 tawanan perang Sekutu dan 4.200 rōmusha. Kapal tersebut
Vito Anugrah Pratomo Co-Founder Komunitas Kereta Api Pekanbaru)
Economica 63 / 2021 23
FOTO: RENADIA KUSUMA SANUSI | EONOMICA
JELAJAH
Hidup ala European Dream di Amsterdam Renadia Kusuma Sanusi “Hati-hati, ya! Selamat bersenang-senang melakukan semua hal yang hanya bisa dilakukan di Belanda,” ucap seorang teman yang mengantar saya ke bandara untuk pindah ke Amsterdam, Belanda. Saya pun tersenyum, melambaikan tangan, dan membalikkan badan menuju pintu keberangkatan. Akhirnya, hari yang saya tunggu-tunggu untuk memulai babak baru dalam hidup tiba juga.
C
erita bermula ketika saya, mahasiswi FEB UI jurusan Ilmu Ekonomi KKI (Kelas Khusus Internasional), harus melanjutkan program double degree di luar negeri. Melalui program ini, saya memiliki kesempatan untuk menghabiskan dua tahun terakhir kuliah saya di University of Amsterdam, Belanda. Kehadiran pandemi pada awal tahun 2020 yang sempat menunda rencana saya, bukannya mematahkan semangat, malah semakin membuat saya bertekad untuk segera pergi dan pada bulan Februari 2021 saya pun akhirnya pergi. Memaksa saya untuk menyelesaikan semester pertama secara daring, yang karena perbedaan zona waktu enam jam, bukanlah perkara mudah. Hal ini membuat saya bertekad untuk pindah pada bulan Februari 2021. Selain karena masalah perbedaan zona waktu, saya memang sudah tidak sabar untuk tinggal di Amsterdam.
Awal Mula Beradaptasi Sebagai seorang yang belum pernah mengunjungi Belanda atau negara Eropa lainnya, tentu ada banyak ekspektasi yang saya miliki mengenai hidup di Amsterdam. Saya menyebutnya sebagai European Dream—membayangkan diri saya sebagai
24 Economica 63 / 2021
karakter utama dalam sebuah film yang pindah ke negara baru di Eropa untuk mencari jati diri. Pikiran saya penuh dengan skenario seperti bersepeda di tengah kota, mengunjungi Van Gogh Museum, belanja di toko vintage, dan mengeksplor indahnya kota Amsterdam dengan menyusuri kanalkanal. Membayangkan semua skenario ini membuat perjalanan 14 jam JakartaAmsterdam terasa semakin lama, karena saya tidak sabar ingin segera tiba dan merealisasikan European Dream tersebut. Namun, alih-alih merasa seperti karakter utama dalam sebuah film, saya malah merasa seperti anak hilang. Hal ini karena keadaan Amsterdam Airport Schiphol yang terlihat sangat sepi saat saya tiba—hampir seperti tidak ada kehidupan. Saya dan seorang teman pun melanjutkan perjalanan menuju Amsterdam Central Station menggunakan kereta. Tidak sampai 20 menit, kami sudah sampai dan keadaannya terlihat sama, sepi. Hal ini sebenarnya tidak mengagetkan mengingat bahwa dunia sedang berada di tengah pandemi dan saat itu Belanda juga tengah menerapkan lockdown dan hanya memperbolehkan toko yang menjual barang esensial untuk buka.. Adanya penerapan curfew (jam malam) hingga pukul 21.00, juga membuat jalanan kota
Amsterdam yang seharusnya padat oleh turis mancanegara terasa lebih sunyi pada malam hari. Jangankan karakter utama dalam sebuah film, saya bahkan tidak merasakan euforia sebagai turis yang norak dalam keadaan ini. European Dream yang berada di pikiran saya pun seketika runtuh, rasanya mustahil untuk direalisasikan. Bersepeda di tengah kota? Sejujurnya, saya saja tidak tahu cara mengendarai sepeda. Kalaupun saya tahu, sepertinya saya tidak berani untuk bersepeda karena orang-orang disini lebih terlihat seperti mengendarai motor dibanding sepeda. Mereka mengendarai sepeda dengan sangat cepat. Beberapa kali saya hampir tertabrak sepeda ketika sedang menyeberangi jalan. Bagaimana dengan mengunjungi Van Gogh Museum atau belanja di toko vintage? Percayalah, hingga saya membuat tulisan ini, saya belum pernah masuk ke dalam Van Gogh Museum. Hal ini karena pemerintah Belanda yang kerap memperpanjang masa lockdown dan curfew sehingga toko-toko yang buka hanya swalayan, apotek, dan toko esensial semacamnya. Restoran pun hanya dibolehkan untuk take away. Tokotoko baju perlahan diperbolehkan untuk buka sejak awal April, tetapi hanya bagi pengunjung yang sudah membuat janji.
JELAJAH
Menghibur Diri Ala Lokal Menyerah pada European Dream yang sepertinya mustahil untuk direalisasikan saat lockdown, saya pun menghibur diri dengan hal yang lebih sederhana— mengunjungi street market dan piknik di taman. Pasar atau street market menjual berbagai macam hal seperti jajanan lokal, buah-buahan, sayuran, bunga tulip, baju bekas, dan lain-lain. Pasar favorit saya adalah Albert Cuyp Market yang berlokasi di De Pijp. Pasar ini menjual berbagai jenis
kehidupan malam yang berbeda ketika berada di area ini: lampu neon berwarna merah, PSK yang berpose di belakang pintu kaca untuk menarik pelanggan, dan tentunya aroma ganja di sepanjang jalan. Berjalan di area ini relatif aman karena cukup ramai oleh orang-orang dan terdapat polisi yang berjaga di setiap blok. Walau saya belum sempat menjadi karakter utama seperti European Dream yang saya bayangkan, cukup dengan menikmati cuaca cerah, bersantai dan berpiknik di taman, serta berjalan kaki mengelilingi kota Amsterdam sudah cukup menyenangkan bagi saya. Layaknya karakter utama yang mencari jati diri di filmfilm, semua hal butuh proses. Pengalaman saya selama menetap hampir 6 bulan di Amsterdam masih episode awal dan saya masih memiliki kurang lebih 1 tahun untuk menetap di sini. Saya berharap semoga karakter utama dalam European Dream yang saya bayangkan dapat berkembang pada episode-episode selanjutnya selama saya berada di kota Amsterdam.
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
Tempat hiburan lainnya seperti museum dan bioskop masih tutup hingga sekitar akhir bulan Mei. Berjalan mengelilingi kota Amsterdam sembari menyusuri kanal-kanal, yang nampaknya adalah satu-satunya hal yang bisa saya realisasikan, pun tidak terlaksana.. Cuaca ekstrem yang tidak bisa diprediksi, di mana dalam sehari bisa cerah, hujan, bahkan salju, ditambah dengan langit yang terlihat mendung dan berwarna abuabu setiap saat membuat saya sulit untuk menikmati indahnya kota ini. Belum lagi, angin yang selalu bertiup kencang membuat adaptasi pada kehidupan di negeri kincir angin semakin sulit. Dengan kecepatan yang bisa mencapai 60 km/jam. Suatu kali, saya nekat keluar rumah untuk belanja di swalayan terdekat saat kecepatan angin mencapai 60 km/jam. Alhasil, badan saya yang ringan ini terseret oleh angin dengan mudahnya dan hampir terjatuh apabila tidak berpegangan pada pintu toko. Bahkan sepatu saya hampir copot saat itu.
makanan dengan harga yang murah. Mulai dari jajanan lokal khas Belanda seperti stroopwafel, bitterballen, kroket, poffertjes, dan masih banyak jajanan khas negara lainnya. Selain itu, Amsterdam juga memiliki banyak taman umum yang bisa ditemukan hampir di setiap sudut kota: Vondelpark, Westerpark, Sarphatipark, dan lain-lain. Salah satu taman favorit saya adalah Museumplein karena tempatnya cukup lapang dan memiliki lokasi yang strategis, dikelilingi oleh museum-museum terkenal; Rijksmuseum, Van Gogh Museum, dan Stedelijk Museum. Layaknya masyarakat lokal, saya sering menghabiskan waktu luang untuk bersantai dan berpiknik di taman terutama jika cuaca sedang cerah. Taman selalu dipenuhi oleh sekumpulan orang yang sedang bersantai. Ada yang berjemur, memutar lagu, meminum bir, bahkan beberapa ada yang sambil menghirup ganja. Ganja atau mariyuana sendiri dapat dikonsumsi secara legal di Belanda. Membahas ganja membuat saya teringat salah satu pengalaman unik ketika pertama kali berjalan kaki mengelilingi pusat kota Amsterdam. Saat itu, saya berjalan dengan seorang teman dan kami beberapa kali melewati orang yang sedang merokok. Asap rokok tersebut tertiup angin dan kami pun menghirupnya. Seketika, kami bertanya hal yang sama, “Kok bau asap rokoknya gak enak banget, deh, kayak bau kotoran hewan?”. Ternyata, apa yang kami hirup bukan rokok tembakau biasa, melainkan ganja. Kami baru mengetahui hal ini setelah berjalan beberapa blok dan menemukan banyak toko yang identik dengan warna hijau serta terdapat gambar daun cannabis di depannya. Toko yang lebih familiar dengan sebutan coffee shop ini memiliki aroma yang sama tidak mengenakannya, dan tercium apabila dilewati dari luar sekali pun..
Renadia Kusuma Sanusi Staff Divisi Penerbitan Badan Otonom Economica
Setelah Beradaptasi Setelah berbulan-bulan, pemerintah Belanda akhirnya mengangkat peraturan lockdown dan curfew. Toko, restoran dan kafe yang diizinkan buka dan diperbolehkan untuk menerima tamu untuk makan di tempat semakin banyak. Tempat hiburan seperti museum juga sudah bisa dikunjungi dengan membuat janji. Cuaca di Amsterdam pun terasa lebih baik karena sudah memasuki musim panas—sinar matahari yang terik, langit cerah berwarna biru, dan angin yang bertiup tidak terlalu kencang. Kehidupan kembali berjalan normal secara perlahan. Untuk pertama kalinya sejak saya tiba di Amsterdam, saya akhirnya bisa merasakan euforia sebagai turis yang norak. Tanpa membuang waktu, saya pun segera mengunjungi salah satu tempat yang paling terkenal di Amsterdam—Red Light District—area prostitusi yang dilindungi secara legal oleh negara. Area ini berlokasi di De Wallen, dekat dari Amsterdam Central Station. Saya benar-benar merasakan
Economica 63 / 2021 25
KAJIAN
Platform Cooperative: Transformasi Ekonomi Digital yang Tidak Eksploitatif
FOTO: FAUXELS | PEXELS.COM
Oleh Divisi Kajian
Sudah dua dekade lebih sejak dunia menjajaki abad ke 21. Tak dapat dipungkiri, perkembangan teknologi yang masif adalah identitas abad ini. Perkembangan teknologi telah menyusup, memaksa transformasi berbagai bidang. Mulai dari budaya, sosial, hingga ekonomi. Lantas, bagaimana reaksi penyesuaian ekonomi dalam dunia yang teknologi menjadi nadinya ini?
26 Economica 63/2021
kajian
M
odel bisnis share economy “ekonomi berbagi” tengah naik daun. Dengan berbasis peer-to-peer, ekonomi berbagi telah memberikan dampak di berbagai aspek. Mulai dari perubahan cara transaksi masyarakat, hingga penciptaan lapangan kerja baru. Namun, usianya yang masih seumur jagung membuatnya rentan disalahgunakan. Konsep kemitraan, yang kebanyakan digunakan perusahaan dengan model ini, contohnya telah menciptakan kondisi kerja yang eksploitatif. Dengan seriusnya masalah yang dibawa oleh sistem kemitraan ini, apakah ada jalan tengahnya? Platform cooperative mungkin adalah jawabannya. Model ini menawarkan kepemilikan bersama di antara para pekerja. Sehingga platform tidak lagi dimiliki oleh pihak perusahaan sendiri tetapi juga oleh para pekerja itu sendiri. Tidak hanya itu, sistem ini juga memberikan demokratisasi e sehingga terjadi relasi yang egaliter.
The Rise of Platform Cooperative Share economy adalah sebuah istilah yang pertama kali dicetuskan oleh Lessig pada tahun 2008 silam, di mana orangorang saling membuat dan membagikan barang, jasa, tempat, dan uang (Miller, 2016, p. 150). Kolaborasi dan berbagi adalah kata kunci dari model bisnis ini. Share economy menghilangkan pandangan bahwa manfaat dari aset pribadi hanya dapat dirasakan sendiri oleh si pemilik aset. Penerapannya yang sangat fleksibel pada berbagai jenis bisnis, membuat share economy melahirkan perusahaanperusahaan teknologi raksasa. Di mana perusahaan berperan sebagai perantara antara pekerja dengan konsumen. Walau fleksibel, sistem ini dapat menjadi monopolistis, eksploitatif, dan melanggar hak privasi data konsumen. Model bisnis yang eksploitatif ini disebut sebagai platform capitalism. Platform capitalism merusak kontrak sosial, memperburuk ketimpangan sistemik, dan spionase (Scholz, 2018). Sistem ini memang memberikan manfaat bagi konsumen, pemilik, dan stockholders tetapi nilai tambah jangka panjang bagi pekerja dan konsumen masih bukan yang terbaik (Scholz, 2016). Sistem ini mengeliminasi tanggung jawab perusahaan terhadap upah minimum, batasan jam kerja, jaminan sosial, dan perlindungan pekerja lainnya. Berangkat dari keresahan inilah kemudian muncul sebuah ide radikal untuk mengatasi masalah ini yang disebut platform cooperative atau singkatnya platform-coop. Platform-coop adalah bisnis yang menggunakan situs web, aplikasi seluler, atau protokol untuk menjual barang atau jasa dengan mengandalkan pengambilan keputusan yang demokratis dan kepemilikan bersama atas platform oleh pekerja dan pengguna (Platform Cooperative Consortium, n.d.d). Platformcoop menggabungkan prinsip koperasi dengan potensi yang dibawa dari platform
capitalism. Dengan kata lain, bentuk bisnis ini mendemokratisasi platform. Dengan berbasis koperasi, perusahaan platform dapat memperoleh beberapa keunggulan. Menurut Perotin (2016), koperasi lebih produktif dibandingkan bisnis konvensional, pekerja lebih terlibat dalam perusahaan, memiliki kepercayaan tinggi, dan lebih efektif dalam berbagi pengetahuan. Di sisi lain, koperasi dua kali lebih mungkin untuk survive dibandingkan model bisnis konvensional (Cooperatives UK, 2018). Terakhir, koperasi telah terbukti memiliki tingkat pergantian staf yang lebih rendah, ketidaksetaraan gaji yang lebih rendah, dan tingkat ketidakhadiran yang lebih rendah dibandingkan dengan bisnis lain (Mayo, 2015).
Permasalahan Sistem Kemitraan di Indonesia Bagaimanakah sebenarnya platformcoop menyelesaikan masalah kemitraan berbasis share economy yang terjadi di Indonesia? Sebelum menjawab hal itu, ada baiknya kita melihat lebih dalam mengenai masalah ini dalam konteks Indonesia. Dilansir dari The Conversation (2020), setidaknya salah satu alasan kemitraan transportasi online merugikan mitra adalah karena segala keputusan penting dalam proses kerja menjadi kewenangan perusahaan platform. Keputusan seperti penentuan tarif, sanksi, bonus, algoritma, dan mekanisme kerja dalam kemitraan diputuskan sepihak oleh perusahaan tanpa ada ruang bersuara bagi mitra. Sebagai contoh, dalam perjanjiannya, Gojek menjelaskan bahwa persyaratan kerja sama dapat diubah dan ditambahkan oleh pihak Gojek sewaktu-waktu secara sepihak. Mitra yang tidak setuju bisa tidak menggunakan aplikasinya tanpa menjelaskan mekanisme yang jelas untuk bersuara tentang ketidaksetujuannya (Gojek n.d). Dengan kata lain, kontrol penuh terhadap keseluruhan proses kerja ada telah diakui secara jelas di awal perjanjian. Platform juga mengontrol proses kerja mitra sehingga membuat mereka harus bekerja lebih disiplin, berat, dan lebih lama lagi serta memonopoli akses informasi dan data. Menurut Arif Novantio, analisis kebijakan publik Institute of Governance and Public Affairs (IGPA) Universitas Gajah Mada, eksploitasi ini muncul ketika tenaga kerja tidak dibayar sesuai nilainya (Logos, 2021). Nilai tenaga kerja ini tidak sekedar upah hidup subsisten karena manusia bukan mesin. Manusia memerlukan pendidikan, waktu luang, kesehatan mental, dan ruang untuk berkreativitas. Saat ini, banyak nilai yang tidak dibayar seperti biaya penyusutan kendaraan, penyusutan ponsel, kuota internet, jaminan sosial, bahan bakar, pajak pendapatan, service kendaraan, biaya parkir, data yang diambil, pendapatan di waktu kerja berlebih, hingga nilai riil tenaga kerja (Logos, 2021). Dengan kata lain, perusahaan-perusahaan platform ini masih memandang mitranya sebagai mesin bukan sebagai manusia.
Platform Cooperative Solusi
sebagai
Jika demikian, mengapa sistem kemitraan tidak diubah menjadi relasi buruh dan majikan saja? Walau banyak hak pekerja yang dilindungi dalam relasi buruh dan majikan, potensi untuk terjadinya eksploitasi dan beragam masalah masih dapat terjadi. Contohnya, pada 2019—2020 lalu terjadi perselisihan antara Aice dengan buruhnya akibat kondisi kerja yang tidak sesuai dengan undang-undang, eksploitasi, dan cek kosong (CNN, 2020). Selain itu, dalam relasi buruh dan majikan akan selalu terjadi bentrokan kepentingan antara pekerja dengan perusahaan. Dengan demikian, diperlukan sebuah perubahan yang lebih fundamental dan radikal untuk menyelesaikan masalah ini. Platform-coop mampu mengubah bentuk bisnis secara fundamental. Melalui platform-coop pekerja tidak lagi menggunakan hubungan antar mitra tetapi menjadi perkoperasian dengan kepemilikan platform yang kolektif. Platform-coop juga membuka peluang bagi konsumen untuk menjadi bagian darinya. Konsumen dapat menyampaikan kebutuhannya dengan lebih efisien dan pekerja dapat mewujudkan dengan lebih cepat (Unfound, n.d). Dengan kepemilikan bersama ini juga, platform akan dimiliki oleh mereka yang menghasilkan sebagian besar nilai untuk platform tersebut (Scholz, 2016). Tidak hanya itu, platform-coop juga menumbuhkan demokrasi. Melalui demokrasi, proses kerja, data, dan beragam hal lainnya diambil menggunakan keputusan bersama bukan sepihak. Seseorang dapat berdaulat, menyampaikan pendapat, menentukan dan berkontribusi terhadap kemajuan perusahaan bukan hanya menjadi boneka perusahaan raksasa. Stocksy, perusahaan fotografi,adalah bukti nyata bahwa model platform-coop memiliki potensi kesuksesan yang besar.Dengan menerapkan platform-coop, Stocksy mampu memberikan $25,7 juta dengan $800.000 berupa patronage atau SHU kepada lebih dari 1.000 artis mereka. Ide platform-coop memang terdengar radikal. Ide ini membuat banyak pihak harus merubah perspektif mendasar tentang sebuah kepemilikan. Akan tetapi, ide ini membawa semangat solidaritas keegaliteran di antara para pekerja. Walaupun begitu, sistem ini sangat sejalan dengan share economy. Di mana berbagai pihak menjalin kerja sama dan berbagi kebermanfaatan.
Economica 63 / 2021 27
Sudut Pandang
FOTO: DAUD | LFS FEB UI
Realita Food Loss and Waste dari Kacamata Pertanian Aisha Rizqi Mahirani, Erin Glory Pavayosa
Terlepas dari alam yang subur dan berlimpah akan sumber makanan, isu ketahanan pangan masih menjadi salah satu masalah terbesar di Indonesia. Makanan yang seharusnya masuk ke mulut, terbuang begitu saja ke tempat pembuangan, menciptakan tumpukan sampah makanan dalam jumlah yang sangat besar. Hal ini tak hanya merugikan konsumen, melainkan juga mereka yang sudah berjerih payah memproduksinya, seperti petani.
S
ebagai negara agraris, sudah seharusnya produk hasil pertanian di Indonesia terkelola dengan baik. Akan tetapi, betapa mengejutkan bahwa fakta mengungkapkan sebaliknya. Laporan Kajian Food Loss and Waste (LFW) menunjukkan bahwa limbah pangan di Indonesia didominasi oleh produk industri pertanian, terutama padi-padian. Mengapa demikian? Untuk lebih memahami dan melihat realitas persoalan limbah pangan dalam industri pertanian, diperlukan sudut pandang dari seorang yang terjun langsung dalam pengelolaan dan produksi hasil pertanian. Karenanya, selaras dengan hal tersebut, Majalah Economica 63 berhasil mewawancarai Wildan Mustofa, pengusaha kopi dan tanaman hortikultura yang sudah berkecimpung dalam industri pertanian selama lebih dari 20 tahun.
Kenyataan Pengelolaan Produk Pertanian di Indonesia Indonesia adalah negara yang bergantung erat pada pertanian, khususnya dalam aspek pangan. Perjalanan bahan baku pertanian, dari penanaman, panen, hingga distribusi, harus terjaga dengan baik agar pangan dapat sampai
28 Economica 63/2021
di tangan konsumen dengan sempurna. Walau lingkungan alam Indonesia mampu menyediakan kondisi yang kondusif bagi sektor pertanian untuk menghasilkan produk yang baik, proses pengolahan produk pertanian yang masih buruk membuat kualitas akhir produk tidak berbanding lurus dengan produk segar dari petani. Wildan menegaskan bahwa beberapa penyebab penurunan kualitas akhir produk terletak pada kesalahan mekanik, seperti mesin atau media tanam. Kerusakan besar terjadi pada mesin yang memiliki kualitas rendah atau tidak dikalibrasi dengan baik. Dari segi media tanam, terdapat inefisiensi dari pupuk bernilai mahal yang disubsidi pemerintah, sementara biomassa yang masih dapat dimanfaatkan sebagai substitusi pupuk tidak digunakan. Selain itu, pengelolaan produk pertanian segar di Indonesia terlalu banyak melalui proses penyortiran dan penyimpanan sebelum akhirnya masuk ke dalam pasar. Ia membandingkan kualitas produk hortikultura di supermarket Indonesia dengan yang dijual di pasar tradisional Singapura. “Kualitas produk hortikultura di supermarket kita masih lebih rendah daripada sayuran yang dijual di pasar tradisionalnya Singapura,” ujar
Wildan. Kualitas produk pertanian segar di Singapura tetap terjaga karena sistem pengelolaannya lebih cepat. Produk pertanian segar langsung dimasukkan ke dalam lemari pendingin supermarket sehingga metabolismenya melambat dan kualitasnya tetap terjaga pada saat dipasarkan. Maka dari itu, kualitas proses pengolahan pada saat panen dan pasca panen berperan penting dalam menentukan jumlah hasil produksi pertanian yang hilang secara kuantitas dan kualitas.
Akar Masalah Food Loss and Waste Sektor Pertanian “Saya melihat bahwa isu food waste tidak berdiri dengan sendirinya,” ujar Wildan terkait persoalan food loss dan waste di sektor pertanian Indonesia. Menurutnya, isu ini berkaitan dengan inefisiensi berbagai hal, mulai dari hulu hingga hilir. Pada tahapan awal rantai produksi hasil pertanian, petani kerap kali tidak menerapkan total quality management yang baik sehingga menimbulkan food loss. Petani baru akan menyortir produk di tahap akhir alih-alih melakukan manajemen kualitas yang baik di awal penanaman produk. Hal ini menyebabkan muncul
Sudut pandang
Pengaruh Food Loss and Waste pada Pelaku Sektor Pertanian
masalah-masalah di akhir proses bertani sehingga menimbulkan biaya tambahan dan banyak produk yang terbuang. Faktor lain yang memicu adanya food loss adalah sistem pengelolaan hasil pertanian di Indonesia yang masih sangat buruk. Beberapa proses dalam rantai pembuatan produk pertanian dapat menghasilkan waste yang sangat besar. Terlebih lagi, teknik pengemasan yang kurang baik menyebabkan menurunnya kuantitas dan kualitas produk pertanian. Di hilir rantai produksi hasil pertanian, konsumen seringkali menyisakan makanannya. Contoh terdekat dapat dilihat dari sisa-sisa makanan di restoran yang menyebabkan menumpuknya sampah makanan.
Wildan menerangkan proses pengelolaan yang terlalu lama mengakibatkan hasil sortir produksi pertanian semakin memiliki banyak kelas. Akibatnya, hanya sedikit produk pertanian bagus yang akhirnya sampai ke tangan konsumen. Sebagian besar produksi yang tak layak, selain akan dijadikan kompos atau pakan ternak, akan menjadi sampah makanan yang seringkali dilarikan ke pasar terbuang begitu saja dan menjadi food loss. Hasil pertanian lokal yang menjadi food loss akan dianggap kurang kompetitif dibandingkan dengan hasil pertanian impor. Alhasil,pelaku industri pertanian (seperti petani) terutama yang memiliki pola investasi mengeluarkan seluruh modal di awal, lalu menunggu masa panen untuk meraup keuntungan, akan mengalami kerugian yang signifikan. Hal ini terjadi karena para petani tidak bisa menghindari biaya tetap dan biaya variabel yang muncul.
Perbaikan Sistem Pengelolaan yang Kurang Efektif
Wildan Mustofa Pengusaha dan Petani Kopi
Berbagai pihak sebenarnya telah menyadari kerugian dan mengupayakan solusi untuk masalah food loss and waste.
Saya melihat bahwa isu food waste tidak berdiri dengan sendirinya.
"
Menariknya, terdapat beberapa karakteristik masyarakat Indonesia turut berpotensi menambah sampah makanan. Wildan memaparkan bahwa konsumen Indonesia masih belum teredukasi dengan baik. Kedua pihak, yakni petani dan konsumen, masih memiliki pemikiran bahwa mengolah sampah sendiri memakan banyak biaya, padahal jika ditelusuri lebih lanjut, pengumpulan sampah dari kota ke desa atau sebaliknya juga memerlukan biaya di akhir.
berkualitas sangat jarang dan sulit ditemui dalam industri, membuat perbaikan sistem pengelolaan pertanian secara efektif menjadi belum terpenuhi. Kedua, pihak-pihak yang berkaitan— seperti pemerintah, institusi, dan petani— belum terintegrasi saat merumuskan dan menetapkan sebuah kebijakan serta pelaksanaannya. Kerjasama antar pihak saat ini dinilai masih belum maksimal untuk mengatasi persoalan sampah makanan. Pemerintah sudah memberikan insentif demi mewujudkan perbaikan sistem yang efektif. Namun, poin-poinnya masih belum spesifik dan kurang mendetail sehingga masih kalah saing dengan inovasi di negara lain. “Kita masih mengawang-awang dan kurang contoh konkrit,” seru Wildan. Para pemangku kepentingan yang berada pada ekosistem produk pertanian diharapkan dapat bersatu untuk membangun kebijakan yang dapat diimplementasikan secara keseluruhan. “Sangat penting untuk bisa duduk bersama (dengan) setiap stakeholder baik itu petani, akademisi, maupun pengambil kebijakan untuk merumuskan kebijakan yang lebih integratif dan lebih melibatkan banyak pihak karena ini adalah masalah bersama,” tutup Wildan.
FOTO : THEHIJAU.COM
Karakteristik masyarakat lainnya adalah sikap orang Indonesia yang cenderung price sensitive terlebih jika menyangkut barang atau produk lokal. Berdasarkan skenario kasus yang digambarkan Wildan, orang Indonesia dapat disimpulkan lebih tertarik untuk membeli produk lokal jika harganya murah. Namun sebaliknya, terdapat masyarakat yang tidak segan untuk membeli produk dengan harga tinggi jika produk merupakan produk impor. Padahal, belum tentu produk impor tersebut berkualitas lebih bagus. Masih banyak konsumen di Indonesia yang belum bersedia mengeluarkan biaya demi kualitas produk yang baik. Rendahnya permintaan inilah yang menyebabkan banyak produk pertanian Indonesia dengan kualitas baik justru diekspor.
"
Namun masih ada beberapa alasan yang menyebabkan perbaikan sistem secara garis besar dinilai kurang efektif. Pertama, rendahnya kapabilitas sumber daya manusia pada industri pertanian. Prospek profesi pertanian yang masih dianggap kurang menjanjikan, membuat banyak orang-orang yang mengenyam pendidikan tinggi mengenai pertanian akan berpindah mencari karir di industri lain. Isu brain drain ini menyebabkan sumber daya manusia
Economica 63 / 2021 29
kOMUNITAS KITA
Zero Waste Indonesia: Menuju Indonesia Nol Sampah FOTO : DOKUMENTASI PRIBADI
Saffana Putri Andriana, Adis Susita Rahma
FOTO : DOKUMENTASI PRIBADI
Gaya hidup zero waste menjadi kian populer, terutama di negara-negara maju, seiring dengan kesadaran akan isu lingkungan yang juga meningkat. Tak ketinggalan, orang Indonesia semakin banyak yang menganut gaya hidup zero waste ini, walau saat ini gaya hidup zero waste masih sulit ditunjang.
30 Economica 63 / 2021
KOMUNITAS KITA
Zero waste merupakan sebuah gaya hidup yang meminimalkan jumlah sampah yang akan dibuang ke tempat pembuangan
Kami percaya bahwa dengan bersinergi bersama media, industri, pemerintah, dan komunitas, kami dapat lebih mudah menyosialisasikan gaya hidup zero waste serta memberikan dampak lebih besar bagi lingkungan.
"
akhir atau TPA. Menjalani gaya hidup zero waste berarti hidup dengan benar-benar memahami kebutuhan. Gaya hidup zero waste sendiri berpatok pada konsep 6R, yaitu rethink, refuse, reuse, reduce, recycle, dan rot. Mungkin terlihat sederhana, tapi nyatanya jika dilakukan secara repetitif dan konsisten gaya hidup ini dapat secara signifikan memberikan dampak positif berupa perubahan pola konsumsi yang lebih bijak, sehingga produksi sampah hasil barang konsumsi kita berubah. Walau sudah cukup terkenal, gaya hidup zero waste masih tidak mudah diterapkan di kalangan masyarakat Indonesia. Wajar jika dalam pelaksanaannya, banyak orang yang goyah. Di sinilah salah satu peran sebuah komunitas. Bergabung dengan komunitas dapat meringankan beban serta memotivasi kita untuk menjalankan gaya hidup zero waste. Sebab, komunitas akan beranggotakan mereka dengan visi dan gaya hidup sama, sehingga dapat saling memberikan informasi dan mendukung.
Sejarah Berdirinya Komunitas Zero Waste Indonesia Berangkat dari keresahan pribadi terhadap isu lingkungan, Maurilla selaku Co-Founder Zero Waste Indonesia bertekad mendirikan komunitas ini sejak April 2018. Zero Waste Indonesia bergerak di bidang edukasi masyarakat mengenai lingkungan dan gaya hidup minim sampah. Respon positif dari warganet akan informasiinformasi yang diberikan di sosial media pun akhirnya menjadi tonggak terbentuknya komunitas Zero Waste Indonesia. Awalnya, Zero Waste Indonesia
"
Zero Waste Indonesia sendiri berharap kedepannya dapat menjadi komunitas yang solid, lebih besar, dan mampu membawa lebih banyak dampak baik untuk masyarakat. Mereka juga ingin memperluas jangkauan komunitas dengan tidak hanya merangkul pengikut mereka saja di media sosial, melainkan juga kalangan masyarakat lain yang berada pada ruang lingkup berbeda di bidang lingkungan. “Kita ingin merangkul lebih banyak orang lagi yang di luar lingkup kita untuk menjalankan gaya hidup minim sampah dan benar-benar kita bisa membuat wadah yang solid untuk semua orang, untuk kita bisa bikin acara bersama, untuk kumpul bersama temanteman komunitas secara luring,” tutup Maurilla.
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
Sekilas tentang Zero Waste
hanya berbagi informasi mengenai tips mudah menjalankan gaya hidup zero waste berdasarkan pengalaman pribadi Maurilla melalui Instagram. Namun, karena animo masyarakat yang tinggi, Zero Waste Indonesia selanjutnya mulai membuat website dan membuat one-stop-solution platform untuk gaya hidup minim sampah. Dengan menjadi one-stop-solution platform untuk gaya hidup minim sampah, Zero Waste Indonesia dapat berkomunikasi dan melakukan praktik zero waste yang mudah dilakukan masyarakat umum melalui tiga visi utama, yaitu informasi, edukasi, dan kolaborasi. “Kami percaya bahwa dengan bersinergi bersama media, industri, pemerintah, dan komunitas, kami dapat lebih mudah menyosialisasikan gaya hidup zero waste serta memberikan dampak lebih besar bagi lingkungan,” ujar Maurilla.
Rintangan dan Hambatan
Dalam memberikan edukasi dan informasi kepada masyarakat, Zero Waste Indonesia mengalami beberapa rintangan dan hambatan. Salah satunya adalah tingkat literasi masyarakat yang rendah serta tidak gemar membaca, yang membuat komunikasi pesan secara tepat kepada masyarakat sulit. Oleh karena itu, Zero Waste Indonesia sebisa mungkin selalu menggunakan bahasa yang sederhana agar pesan serta informasi dapat tersampaikan. Maurilla berkata, “Tapi kalau sampai salah pun, which is itu kadangkadang suka terjadi, bagaimana caranya kita bisa menanganinya dengan baik, karena kita percaya adab sebelum ilmu dan approach kita tidak menggurui.” Selain itu, kesulitan lainnya berasal dari sisi internal. Tim internal Zero Waste Indonesia yang digerakkan oleh sukarelawan (volunteer-based) merupakan salah satu tantangan dalam menjalankan komunitas ini.
Maurillia Sophianti Imron Co-Founder Zero Waste Indonesia
Rencana dan Harapan di Masa Mendatang
FOTO: PIETER SIREGAR | ECONOMICA
B
agaikan karma, sikap acuh tak acuh terhadap sampah selama ini telah berbalik menimbulkan konsekuensi pada manusia. Namun, konsekuensi tersebut tidak hanya merugikan manusia saja. Makhluk hidup lain seperti biota laut juga harus menanggung konsekuensi dengan harus hidup berdampingan erat dengan sampah plastik. Mulai dari keresahan inilah, Maurilla Sophianti Imron membentuk Komunitas Zero Waste Indonesia yang memberikan informasi, edukasi, dan kolaborasi kepada masyarakat mengenai gaya hidup zero waste.
Di masa mendatang, Zero Waste Indonesia belum memiliki rencana khusus. Namun, Zero Waste Indonesia akan terus berusaha untuk selalu menjalankan dan mengembangkan komunitas secara online serta menyediakan konten yang bermanfaat, aktual, dan faktual. Saat ini pihak Zero Waste Indonesia juga tengah berfokus dalam melakukan pengembangan internal dan secara konsisten menjalankan program-program yang sebelumnya sudah ada kedepannya.
Economica 63 / 2021 31
Penelitian
FOTO: MARIO NATHANIEL | LFS FEB UI
Analisis Persepsi Masyarakat Kota Depok Terhadap Pembangunan Infrastruktur Transportasi Non-automobil Divisi Penelitian
Siang itu di tengah padatnya perkotaan, suara sirine kendaraan saling membalas satu sama lain. Bunyinya mengganggu, bagai suatu orkestra yang dipimpin oleh ketidaksabaran. Di dalam suatu mobil terlihat seorang pria paruh baya yang sudah kesekian kali melihat jam tangannya. Meronta pun tidak akan mengubah apa-apa. Apa daya, kemacetan kota sekali lagi menghambat pekerjaannya.
L
ebih dari 17 tahun silam, pada 2004, penelitian yang dilakukan oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksikan kerugian ekonomi akibat kemacetan, terutama di kawasan Jabodetabek, akan mencapai angka Rp 65 triliun pada tahun 2020. Kerugian tersebut terdiri dari biaya waktu yang terbuang sebesar Rp 36,9 triliun dan tambahan biaya operasi kendaraan sebesar Rp 28,1 triliun. Sadar akan keseriusan masalah kemacetan ini, pemerintah, terutama pada masa kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sangat fokus pada pembangunan infrastruktur. Berbagai upaya dikerahkan, salah satunya adalah dengan mengeluarkan Peraturan Presiden terkait pembangunan infrastruktur, seperti Perpres RI Nomor 75 tahun 2014 tentang Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas. Perpres ini mengatur hal pembangunan infrastruktur untuk transportasi automobildan pembangunan infrastruktur transportasi non-automobil.
Masalah Transportasi Kota Depok Berangkat dari latar inilah melalui program Urban Research tahun 2019, Badan Otonom Economica mencoba untuk meneliti permasalahan mobilitas masyarakat di Jabodetabek. Dari beberapa pilihan, kota Depok dipilih sebagai latar penelitian karena beberapa pertimbangan. Pertama, kota Depok
32 Economica 63 / 2021
memiliki infrastruktur transportasi yang lengkap, tetapi masih memiliki masalah pada ketersediaan jalan. Dinas Perhubungan Kota Depok menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan jalan di Depok hanya sebesar 0,7% sedangkan tingkat pertumbuhan kendaraan bermotor mencapai 9%. Hal ini diperkirakan akan menyebabkan kemacetan yang semakin serius dalam 5 tahun mendatang. Terakhir, kota Depok dipilih karena adanya rencana pembangunan infrastruktur berupa jalur LRT yang melintasi Kota Depok. Penelitian menggunakan metode deskriptif dan kuantitatif (analisis regresi logistik) dengan lokasi penelitian berada di 11 Kecamatan di Kota Depok. Sampling yang digunakan sebanyak 182 penduduk dan diambil secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk di tiap kecamatan. Responden terbanyak berasal dari Kecamatan Cimanggis (18%), sedangkan kecamatan dengan responden paling sedikit berasal dari Kecamatan Cilodong dan Sawangan (3%). Responden paling banyak berusia 20 hingga 30 tahun (25%), lalu disusul responden yang berusia 30 hingga 40 tahun (24%). Responden didominasi oleh orang yang bekerja di luar Depok. Jenis pekerjaan yang mendominasi adalah Pegawai Non ASN (36%), lalu disusul dengan pegawai ASN (26%).
Kereta: Moda Transportasi Unggulan Masyarakat Penelitian mendapati bahwa Kereta
(KRL/LRT/MRT) dan kendaraan pribadi mendominasi preferensi responden dalam memilih transportasi untuk melakukan kegiatan utama mereka. Dimana melalui analisis Tabulasi Silang—perhitungan persentase dua atau lebih variabel secara sekaligus—menunjukkan bahwa sebesar 56.59% responden memilih kereta sebagai transportasi untuk melakukan kegiatan utama mereka. Adapun urutan preferensi transportasi selanjutnya diikuti ojek, angkutan kota, mobil sewa/taksi/online, bus, dan sepeda. Mendukung data ini, penelitian lebih lanjut mengungkap bahwa transportasi kereta (KRL/LRT/MRT) adalah moda transportasi yang paling banyak digunakan oleh responden, yang disusul oleh kendaraan pribadi pada urutan kedua. Namun, rata-rata intensitas penggunaan moda transportasi tertinggi jatuh pada kendaraan pribadi, yakni hampir setiap hari. Responden yang memilih menggunakan transportasi kereta memiliki perbedaan titik keberangkatan dan tujuan. Di Kota Depok sendiri, terdapat 5 stasiun KRL: Citayam, Depok, Depok Baru, Pondok Cina, dan Universitas Indonesia. Selain 5 stasiun tersebut, responden juga memilih menggunakan stasiun terdekat yang berada di luar Kota Depok, seperti Stasiun Universitas Pancasila dan Lenteng Agung, sebagai stasiun awal mereka. Stasiun Depok merupakan stasiun awal yang paling banyak digunakan responden. Disusul dengan stasiun Depok Baru, Universitas Indonesia, Pondok Cina, dan Citayam. Sedangkan, stasiun tujuan terbanyak adalah Stasiun
penelitian
Jakarta Kota. Disusul dengan Stasiun Bogor, Tanah Abang, Tebet, Universitas Indonesia, Manggarai, Cikini, dan Sudirman.
Keunggulan dan Kekurangan Tiap Moda Transportasi
SUMBER: PENGOLAHAN PRIIBADI
Penelitian juga menguak bahwa ratarata biaya bulanan penggunaan kendaraan pribadi 4 kali lebih banyak dibanding biaya penggunaan transportasi umum. Biaya yang dikeluarkan seseorang untuk kendaraan pribadi rata-rata Rp423.000,00 dengan biaya paling besar mencapai Rp4.900.000,00 per bulan. Di sisi lain, biaya yang dihabiskan pengguna transportasi umum rata-rata sekitar Rp105.000,00/bulan dan paling banyak Rp1.1300.000,00/bulan. Tidak hanya rata-rata biaya, penelitian
ini juga menemukan bahwa pengguna moda transportasi kereta akan menempuh jarak yang lebih banyak dengan waktu yang lebih singkat daripada pengguna moda transportasi selain kereta. Rata-rata jarak rumah responden menuju stasiun adalah sekitar 5,1 km dengan waktu tempuh sekitar 17,3 menit. Sedangkan ratarata jarak perjalanan kereta adalah sekitar 22,3 km dengan waktu tempuh sekitar 45,8 menit. Dengan demikian, secara ratarata seseorang yang ingin menggunakan transportasi kereta harus menempuh jarak dan waktu sekitar 27,4 km selama 63,1 menit. Sementara itu, seseorang yang ingin melakukan perjalanan dengan tidak menggunakan kereta harus menempuh jarak dan waktu rata-rata sekitar 30 km selama 81,5 menit. Kereta terbukti unggul dibanding moda transportasi lainnya, dengan manfaat paling besar yang dirasakan oleh responden pengguna kereta ialah terhindar dari kemacetan dan pengurangan pengeluaran biaya. Kehadiran satpam baik di stasiun maupun dalam kereta, serta ketersediaan gerbong khusus perempuan juga meningkatkan rasa keamanan para pengguna. Sayangnya, responden menilai bahwa jumlah gerbong kereta belum cukup memadai untuk menampung jumlah penumpang yang ada. Selain itu, pengetahuan akan prosedur evakuasi dalam aspek mitigasi dan risiko juga dirasa kurang. Di antara beberapa jenis gangguan yang lazim terjadi saat menaiki transportasi kereta, antrian masuk gerbong yang seringkali rusuh merupakan jenis gangguan yang paling sering dialami para pengguna kereta. Antrian masuk gerbong paling sering terjadi di stasiun transit, seperti Stasiun Manggarai, Stasiun Tanah Abang, Stasiun Jatinegara. Gangguan lain yang dialami pengguna kereta adalah kereta anjlok, mati listrik, tindakan kriminal, dan gangguan eksternal lainnya, tetapi dengan intensitas yang jauh lebih rendah. Tingginya jumlah pengguna kereta serta masih banyaknya masalah dalam
transportasi kereta di Indonesia terefleksi dalam preferensi masyarakat mengenai prioritas pembangunan infrastruktur. Sebanyak 46,15% responden yang lebih memilih menggunakan transportasi kereta ingin pemerintah berfokus pada pembangunan infrastruktur yang berkaitan dengan kereta, seperti penambahan rute kereta, armada kereta, maupun penambahan stasiun baru. Angka ini cukup jauh dibandingkan dengan 23,63% responden yang memiliki preferensi transportasi nonkereta dan prioritas pembangunan infrastruktur berbasis jalan raya. Kedua angka ini menggambarkan bahwa saat ini kereta adalah sarana transportasi yang penting bagi masyarakat kota Depok dan betapa prioritas pembangunan infrastruktur kereta adalah dapat memenuhi kebutuhan mereka.
Di Balik Nonautomobile
Preferensi
Berdasarkan hasil analisis, penulis menemukan bahwa beberapa faktor— seperti pemilihan transportasi unggulan, jarak dan waktu tempuh kereta, manfaat kereta dalam menghindari kemacetan, dan risiko kereta mengalami kecelakaan— mempengaruhi preferensi masyarakat terhadap pembangunan infrastruktur transportasi non-automobil. Dilihat dari hasil analisis logit, penulis menemukan tiga poin utama. Pertama adalah Jarak. Semakin jauh jarak tempuh perjalanan menggunakan kereta, probabilitas seseorang memilih pembangunan infrastruktur kereta semakin kecil. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah perlu melakukan peningkatan konektivitas transportasi kereta. Kedua, dampak aspek risiko kereta terhadap probabilitas memilih pembangunan infrastruktur non-automobil lebih besar dibandingkan dampak aspek manfaatnya. Artinya, meningkatkan keamanan dan kenyamanan adalah faktor penentu yang lebih urgen dibandingkan memperluas manfaat kereta. Pun dampaknya lebih kecil, manfaat juga tetap harus diperhatikan. Untuk memperkecil risiko, penyedia infrastruktur kereta harus berusaha untuk terus meningkatkan kualitas pelayanan keamanan kereta. Lalu, untuk memperbesar manfaat, penyedia infrastruktur kereta harus berkoordinasi dengan pemerintah terkait kemudahan akses dan menerapkan kebijakan disinsentif bagi pengguna kendaraan pribadi. Ketiga, Pembangunan infrastruktur transportasi non-automobil dibutuhkan oleh orang-orang yang berpendidikan lebih tinggi daripada SD/MI/sederajat. Artinya, ketersediaan infrastruktur dan transportasi kereta akan sangat membantu para pekerja yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dalam melakukan kegiatan atau pekerjaannya.
Persebaran Mobilisasi dengan Transportasi Kereta
Economica 63 / 2021 33
FOTO: MARIO NATHANIEL | LFS FEB UI
POLHUKAM
Fair Use Dalam Hak cipta: sebuah kebebasan bersyarat Aurelia Julia Irvana, Siwi Rosari Tunggadewi
“Ah, sial sekali...” ujar seorang penulis muda sambil merebahkan badannya di sofa lama yang warnanya telah pudar. Walaupun terdengar pasrah, nada kejengkelan masih terdengar jelas terselip di dalamnya. Matanya terfokus pada unggahan seseorang yang menjual bajakan dari buku yang ia tulis. Rokok kretek murah di tangannya tidak dapat memperbaiki suasana hatinya yang buruk. Ia hanya bisa menghela napas sebelum mengalihkan pandangannya pada tumpukan surat tagihan yang tergeletak di atas mejanya.
B
eberapa waktu lalu, Tere Liye, seorang penulis novel, sempat melontarkan amarahnya di media sosial mengenai pembajakan buku yang kerap merajalela. Bukan kali pertama seorang penulis mengkritik keras tindakan pembajakan karya mereka. Salah satu karya cipta lain yang sering menjadi sasaran adalah karya musik. Ambil contoh Benny Panjaitan, vokalis utama grup musik legendaris Panbers. Walaupun lagu ciptaannya sangat populer dan sering diputar di kafe-kafe, Benny tidak pernah mendapat royalti dari karya-karya besarnya, bahkan mengalami kesulitan
34 Economica 63 / 2021
finansial sampai akhir hayatnya.
Hak yang Kerap Terlupakan Kasus Tere Liye dan Benny Panjaitan hanyalah dua dari banyaknya kasus pelanggaran hak cipta yang terjadi. Minimnya kesadaran masyarakat Indonesia mengenai pentingnya hak cipta membuat berbagai pelanggaran hak cipta menjadi hal yang umum dilakukan. Namun, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta), yang sempat menjadi sorotan beberapa waktu silam, akhirnya menumbuhkan kesadaran
masyarakat atas hak cipta dan hak-hak terkait yang telah lama diabaikan. Namun, apa itu sebenarnya hak cipta? Menurut World Intellectual Property Organization (WIPO), hak cipta pada dasarnya melindungi dua hal, yaitu hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi memungkinkan pencipta untuk memperoleh imbalan finansial dari penggunaan karya mereka. Sementara itu, hak moral memungkinkan pencipta untuk melindungi pekerjaan mereka dari tindakan yang merugikan. Hak moral hanya diberikan secara spesial kepada pemilik dan akan tetap ada walaupun hak ekonomi
POLHUKAM
Di Indonesia, fair use diatur dalam Bab VI Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014. Konsep fair use di Indonesia menggunakan istilah “Hasil Karya yang Tidak Dilindungi Hak Cipta”, “Pembatasan Hak Cipta”, atau “Tidak Ada Hak Cipta”. Dalam pasal-pasal tersebut, fair use diizinkan untuk beberapa kepentingan tertentu seperti pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, laporan, keamanan, pemerintahan, peradilan, dan lain-lain. Pasal-pasal tersebut sebenarnya lebih mendekatkan konsep pembatasan hak cipta Indonesia kepada fair dealing, bukan fair use. Menurut Agus, apabila kita membicarakan undang-undang ini secara normatif, maka tidak ada ambiguitas dalam UU Hak Cipta. Namun, apabila kita membicarakan secara empiris, UU Hak Cipta memiliki beberapa ambiguitas.
Hal ini tentu saja membuka peluang akan terciptanya hukum dan aturan baru. “Penciptaan hukum baru oleh hakim itu kan bisa timbul karena berbagai sebab, antara lain karena belum adanya ketentuan yang mengatur. Maka argumentasi dari para pihak bisa menjadi inspirasi untuk menciptakan hukum baru melalui putusannya,” jelas Kemala. Karenanya, sangat penting untuk melibatkan orang yang paham mengenai hak cipta dalam proses penciptaan suatu karya. “Dalam hal apakah sebuah karya dilindungi hak cipta atau tidak, mereka bisa mengecek ke kantor hak cipta atau perusahaan swasta yang menyediakan jasa untuk pengecekan. Sedangkan untuk fair use, umumnya mereka bertanya atau meminta pendapat kepada konsultan atau ahli hukum hak cipta,” ujar Kemala.
Tak Perlu Takut Berkarya Kemala berharap kedepannya akan
Fair use ini semacam ‘pelabuhan yang aman’ bagi masyarakat atau kreator untuk mengambil secara terbatas karya orang lain atau karya yang memang diizinkan oleh Undang-Undang.
Senada dengan perspektif ini, Kemala juga mengatakan bahwa dalam praktiknya, sering muncul masalah yang tidak tertera dalam UU Hak Cipta. Contohnya adalah mengenai pembuatan parodi, penampilan merek tertentu dengan maksud tertentu, pengambilan adegan dari film dokumenter karya orang lain, dan lain-lain. “Intinya, untuk masalah fair use ini, walaupun sudah ada pedomannya, tetapi tetap saja penentuannya adalah case by case, tidak bisa digeneralisir begitu saja, karena setiap peristiwa punya cerita sendiri,” ujar Agus. Salah satu contoh empiris yang sering kali menimbulkan ambiguitas adalah perihal parodi atau sindiran (satire). Di Inggris maupun di Amerika Serikat, parodi atau satire tidak dianggap sebagai suatu pelanggaran hak cipta. Akan tetapi, menurut Kemala, masalah ini belum diatur secara tegas dalam UU Hak Cipta.
"
semakin banyak orang yang mengerti mengenai hak cipta dengan berbagai batasan dan permasalahannya, termasuk konsep fair use. “Dengan pengetahuan yang cukup, masyarakat tidak perlu takut lagi dalam berkarya sembari memanfaatkan karya yang sudah pernah ada dalam batasbatas aturan tertentu. Pada akhirnya ini akan melahirkan banyak karya kreatif baru, dan itu sangat berarti bagi kemajuan sebuah bangsa,” tutup Kemala.
Kemala Atmojo Pengamat Industri Perfilman Indonesia
Agus Sardjono Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI FOTO: PIETER SIREGAR | ECONOMICA
Fair use “penggunaan wajar” merupakan sebuah pengecualian atau pembatasan dari hak cipta. Menurut Agus Sardjono, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, penggunaan wajar memberikan batasan mengenai kapan seseorang dianggap tidak melanggar hak cipta meskipun ia menggunakan karya orang lain. Penggunaan wajar bertujuan untuk menyeimbangkan antara hak cipta yang dipegang pencipta atau pemilik dengan kepentingan masyarakat luas untuk mengakses informasi yang ada. Kemala Atmojo, seorang pengamat industri perfilman Indonesia, berpendapat, “fair use ini semacam ‘pelabuhan yang aman’ bagi masyarakat atau kreator untuk mengambil secara terbatas karya orang lain atau karya yang memang diizinkan oleh UndangUndang.” Fair use sendiri adalah istilah yang banyak digunakan di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris dan di beberapa negara persemakmuran Inggris—seperti Kanada dan Australia—konsep sejenis dengan fair use lebih dikenal dengan istilah fair dealing. Walau serupa, kedua konsep ini memiliki perberbedaan, di mana fair use cenderung lebih luwes, sedangkan fair dealing yang lebih kaku dan secara eksplisit diatur. Walau begitu, kedua konsep ini muncul dalam rangka melimitasi hak eksklusif pencipta untuk beberapa keperluan tertentu, umumnya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, pemberitaan, kritik, parodi, dan kepentingan lain yang serupa. Apakah suatu penggunaan karya yang dilindungi hak cipta termasuk penggunaan wajar atau tidak dapat dilihat dari tujuan, karakter penggunaannya, sifat dasar dari karya yang digunakan, seberapa besar porsi dan substansi dari karya yang diambil, dan pengaruh dari penggunaan tersebut terhadap pasar. “Jadi perlu pertimbangan kuantitatif dan kualitatif dalam menilai untuk membuat keputusan apakah tindakan itu sebuah pelanggaran atau tidak,” ujar Kemala. Agus memiliki pengalaman menarik terkait penggunaan wajar ketika ia sedang melakukan riset di salah satu perpustakaan perguruan tinggi di Amerika Serikat beberapa tahun lalu. Saat itu, ia diperbolehkan memfotokopi beberapa bab dari sebuah buku untuk risetnya. Namun ia tidak diperbolehkan untuk memfotokopi keseluruhan buku karena hal tersebut melanggar hak cipta. Terkait Amerika Serikat, menurut Kemala kesadaran masyarakatnya mengenai hak cipta memang bisa dikatakan cukup tinggi, sehingga mereka umumnya lebih berhatihati dalam menggunakan karya milik orang lain. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
dan
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
Apa Itu Penggunaan Wajar?
Fair Use di Indonesia Ambiguitas dalam Praktik
"
mereka telah berakhir. Namun, dalam hak cipta juga terdapat pengecualian untuk beberapa kepentingan. Konsep pengecualian ini lebih dikenal dengan istilah “fair use”, atau “penggunaan wajar”.
Economica 63 / 2021 35
PIKSEL
FOTO: KATYA MAZAYA KINANTI S.
Sayuran merupakan salah satu produk pangan yang dapat ditemui hampir di seluruh pasar, baik tradisional maupun modern. Berbagai macam jenis kemasan--mayoritas plastik--menyelimuti produk ini yang bertujuan untuk melindungi kondisi produk, namun konsumen perlu memahami dampak dari upaya kemasan untuk melindungi sayuran akan menghasilkan permasalahan jika tidak mengolahnya dengan baik.
36 Economica 63 / 2021
PIKSEL
Standar estetika yang diterapkan supermarket bisa meningkatkan food waste. Mengacu pada FAO. sekitar 25-30% wortel di seluruh dunia tidak dapat dijual di toko karena kecacatan fisik atau estetikanya. Selain itu, penawaran massal dan promosi “beli satu gratis satu” dari retail modern dapat berujung pada pembelian yang terlalu banyak dan pembusukan produk makanan
Economica 63 / 2021 37
FOTO: ANDHIKA RIZKIPUTRA | LFS FEB UI
TEKNOLOGI
the future of transportation: apa kabar kendaraan listrik indonesia? Muhammad Zadda Ilman, Ahmad Adiyaat
Kemajuan teknologi telah membuat dunia menjadi semakin efisien dan ramah lingkungan. Di negara maju, teknologi sendiri sudah diadopsi di berbagai keseharian masyarakat, contohnya penggunaan mobil listrik dengan fitur autopilot. Namun di Indonesia, akses terhadap teknologi canggih ini masih sangat mahal dan inefisien. Mampukah Indonesia mengejar ketertinggalannya? Memangnya, seberapa siapkah elektrifikasi ini diterapkan di Indonesia?
I
ndustri transportasi adalah salah satu kontributor terbesar pada permasalahan polusi udara. Berbagai inovasi dilakukan, salah satunya dari segi teknologi yang saat ini identik dengan tiga hal, smart technology, autonomy, dan electrification. Mobil listrik adalah salah satu inovasi yang dikembangkan sebagai sarana transportasi masa depan yang lebih ramah lingkungan. Keberadaan kendaraan listrik yang dikembangkan akhir-akhir ini seakan menjadi momentum besar pergeseran penggunaan moda transportasi, khususnya di negara maju. Namun, apakah keberadaan kendaraan listrik ini benar-benar memiliki dampak signifikan?
Perkembangan Teknologi Transportasi di Indonesia Menurut observasi Darmaningtyas, pengamat transportasi dan ketua Institut Studi Transportasi (Instran), pertumbuhan teknologi transportasi sejak akhir 1990-an relatif stagnan. Pertumbuhan transportasi baru mulai dirasakan pasca tahun 2000an. Momen ini ditandai dengan gagasan untuk mengurangi kemacetan dan penggunaan sumber daya alternatif. Sebut saja, penggunaan teknologi GPS yang baru muncul di satu dekade terakhir ini. ”Milenium ketiga merupakan titik awal perkembangan teknologi transportasi,
38 Economica 63 / 2021
baik di dunia maupun di Indonesia. Sejauh pengamatan, belum ada teknologi yang asli diciptakan oleh orang Indonesia untuk menyiasati penggunaan BBM dan mengatasi kemacetan. kreasi (Indonesia) banyak dari proses peniruan”, ujar Darmaningtyas. Perkembangan yang signifikan justru dilakukan lebih untuk upaya pengurangan emisi dan teknologi sumber daya alternatif dari bahan bakar tidak terbarukan. Terdapat peralihan penggunaan bahan bakar menjadi biodiesel—produk sawit yang dulunya hanya sebatas minyak goreng dan bahan industri. Sedangkan, pengembangan transportasi listrik, seperti Tesla di Amerika atau Viar Electric Motors di Indonesia baru terjadi beberapa tahun terakhir.
Elektrifikasi Transportasi: Langkah yang Tepat? Perjanjian Paris menghasilkan sebuah kewajiban bagi semua negara yang menandatangani perjanjian tersebut—termasuk Indonesia—untuk memperhatikan kondisi lingkungan. Alhasil, mulai banyak negara yang meninggalkan energi konvensional seperti mineral dan minyak bumi menjadi energi listrik yang dianggap lebih ramah lingkungan. “Di Indonesia sendiri, masyarakat kita
terbiasa dengan habit kendaraan pribadi. Sebenarnya jumlah emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan ini tidak terlalu besar tetapi apabila angka itu dikalikan sekian ribu bahkan ratusan ribu secara kumulatif ini tentunya mengakibatkan pengeluaran emisi yang sangat besar”, ujar Frengky Osmond, Marketing Communication Supervisor Viar Motor Indonesia. Lebih lanjut, Frengky menyatakan bahwa elektrifikasi kendaraan menjadi solusi alternatif yang menjanjikan. Hal ini dikarenakan kendaraan listrik bertumpu pada sumber daya terbarukan seperti air dan tenaga surya. Dengan menggunakan kendaraan listrik yang bebas emisi (jika dibandingkan dengan bahan bakar mineral dan minyak bumi), elektrifikasi kendaraan akan menjadi jawaban untuk mengatasi salah satu permasalahan lingkungan— polusi. Di sisi lain, Darmaningtyas masih meragukan keberhasilan implementasi kendaraan listrik. Menurutnya, kendaraan listrik sebenarnya memiliki peranan penting dalam mengurangi pencemaran udara jika bahan bakar listrik tersebut berasal dari energi terbarukan. Sementara itu, jika inovasi tersebut berasal dari bahan bakar konvensional seperti batu bara, maka inovasi yang ada hanya akan memindahkan polusi sedangkan permasalahan intinya akan tetap ada.
tEKNOLOGI
Kesiapan Pemerintah dan Masyarakat Terhadap Transportasi Listrik Spesifik membahas transportasi listrik di Indonesia, Frengky berpendapat bahwa
Inovasi tersebut sebenarnya baik, tetapi belum mencukupi jika bahan bakar tersebut tidak diikuti dengan pengembangan listrik berbahan baku alternatif, seperti air.i
"
kendaraan pribadi untuk berpindah ke kendaraan listrik. Akan tetapi permintaan terhadap pasar kendaraan listrik tidak sepenuhnya tanpa harapan. Darmaningtyas berpendapat bahwa kendaraan listrik yang memiliki potensi laku di pasaran adalah sepeda listrik. Hal ini karena sepeda listrik dapat diakses oleh hampir semua golongan. Selain itu, di Indonesia sendiri khususnya di DKI Jakarta, yang berkemungkinan besar berubah ke kendaraan listrik adalah Transjakarta. Tentu saja perubahan tersebut bergantung kepada angka anggaran yang dilontarkan Pemprov DKI Jakarta. Jika tidak, Darmaningtyas yakin perubahan ini tidak mungkin terjadi. Ia juga menambahkan bahwa sebenarnya potensi kendaraan listrik di Indonesia lumayan tinggi, terutama dari kalangan milenial yang memiliki kesadaran tinggi terhadap lingkungan. “Selama tidak ada pertumbuhan ekonomi yang signifikan, kemungkinan terjadinya lonjakan demand pada kendaraan listrik sangat kecil,” tegas Darmaningtyas. Selain harga kendaraan listrik yang relatif masih tinggi, infrastruktur pengisian ulang
"
potensi kendaraan listrik sebenarnya besar sekali jika didukung dengan berbagai campur tangan pemerintah—seperti terus menaikkan harga BBM, membangun infrastruktur pendukung, dan menetapkan regulasi yang mendukung perkembangan kendaraan listrik. “Dukungan dari pemerintah tidak dimaksudkan hanya dari subsidi saja, melainkan juga pembangunan infrastruktur dan kebijakan insentif,” jelas beliau. Pembangunan infrastruktur dapat dicicil oleh pemerintah dengan perlahan membangun stasiun isi ulang di lokasi strategis seperti mall, rumah sakit ataupun titik keramaian lainnya. Frengky juga menggarisbawahi bahwa kebijakan yang diinginkan tidak serta merta “memaksa” masyarakat untuk berpindah ke kendaraan listrik. Adapun, aturan yang bisa dipaksakan adalah pengadaan ganjilgenap yang tidak berlaku pada kendaraan listrik dan penutupan jalan pada hari tertentu untuk kendaraan konvensional. Secara garis besar, Frengky menilai bahwa kesiapan pemerintah saat ini sudah terbilang baik. beberapa aksi pemerintah seperti dalam kebijakan BBM
Darmaningtyas Pengamat Transportasi dan Ketua Institut Studi Transportasi
Frengky Osmond Marketing Communication Supervisor Viar Motor Indonesia.
Economica 63 / 2021 39
FOTO: PIETER SIREGAR | ECONOMICA
Berdasarkan observasi Darmaningtyas, perkembangan transportasi listrik di Indonesia masih stagnan, meskipun regulasi sudah dilonggarkan dari Perpres No. 55 Tahun 2019. Perkembangan tersebut tidak secepat yang dibayangkan. Hal ini terjadi karena berbagai faktor, salah satunya harga yang relatif mahal. Apabila dibandingkan, harga kendaraan listrik masih dua kali lipat lebih mahal dari kendaraan pribadi pada umumnya. Tentunya, tingginya tarif berdampak pada keengganan angkutan umum dan pemilik
dan koordinasi dengan Bank Indonesia untuk memberikan himbauan kepada bank agar mempermudah cicilan kendaraan listrik. Kementerian ESDM sendiri juga telah membuat wacana battery swapping, seperti sistem tukar galon dengan listrik yang nantinya akan disediakan oleh PLN dan tempat pengisiannya disediakan oleh Pertamina. Terakhir, Frengky menambahkan bahwa edukasi masyarakat mengenai kendaraan listrik juga masih menjadi pr pemerintah dan perusahaan kendaraan listrik. Hal ini guna meningkatkan antusiasme terhadap teknologi ramah lingkungan dan mematahkan persepsi negatif masyarakat terhadap kendaraan listrik.
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
Masa Depan Transportasi Listrik di Indonesia
baterai kendaraan elektrik masih belum mumpuni. Lebih lagi PLN belum menaruh atensi lebih untuk melakukan investasi pada bidang ini. Intervensi pemerintah sangat diperlukan untuk menyudahi celah antara permintaan pasar dengan kesiapan infrastruktur penunjang kendaraan listrik. Bertolak belakang dengan Darmaningtyas yang mengulas dari sudut pandang makro, Frengky memiliki opininya sendiri sebagai pelaku secara langsung. Baginya, kesadaran dan minat publik terhadap kendaraan listrik sudah meningkat. Contohnya sejak 2018, peningkatan awareness dan masukan publik terhadap Viar Electric Motors sudah mulai meningkat. Namun, masih terdapat pekerjaan rumah yang besar, yaitu membentuk strategi agar masyarakat luas bisa teredukasi dengan baik. Pasalnya, masyarakat sendiri masih banyak yang merasa khawatir dengan keselamatan berkendara. Seperti, apakah pengendara akan tersetrum saat mengemudikan motor listrik di kala hujan.
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
”Dewasa ini, kendaraan listrik yang diproduksi masih banyak berasal dari batu bara, di mana hal itu hanya akan meningkatkan permintaan batu bara itu sendiri,” tutur Darmaningtyas. Pada akhirnya, pengurangan cadangan batu bara tidak terelakkan. Oleh karena itu, secara pribadi, Darmaningtyas pesimis terhadap kendaraan listrik jika bahan bakar yang digunakan masih berdampak buruk bagi lingkungan. “Inovasi tersebut sebenarnya baik, tetapi belum mencukupi jika bahan bakar tersebut tidak diikuti dengan pengembangan listrik berbahan baku alternatif, seperti air”, ujar nya.
FOTO: BERMIX STUDIO | UNSPLASH.COM
SOSIAL
mob mentality: Arus dan Tren Opini dalam Media Sosial Revanza Auditya, Abdul Karim
Etika adalah sebuah terminologi yang memisahkan mana hal baik dan buruk. Dalam bermasyarakat, etika sudah menjadi dasar yang wajib dipatuhi. Namun, di media sosial nilai-nilai ini acap kali diabaikan. lontaran hujatan, hinaan serta komentarkomentar kasar bertebaran tiada habisnya. Tidak seperti dunia nyata yang diatur oleh hukum dan ketertiban, dunia maya bagaikan dunia dengan hukum rimba.
B
eberapa waktu yang lalu, warganet Indonesia dihebohkan oleh sebuah riset publikasi Microsoft. Dalam publikasi tersebut, warganet Indonesia dinobatkan sebagai warganet paling tidak sopan dan tidak ramah di dunia. Hal ini berbanding terbalik dengan perilaku masyarakat Indonesia di dunia nyata yang terkenal akan ramah-tamahnya. Economica berhasil mewawancarai Daisy Indira Yasmine, dosen sosiologi UI, untuk memberi penjelasan ilmiah mengenai fenomena mentalitas massa pada warganet
40 Economica 63 / 2021
Indonesia.
Membedah Mentalitas Massa Mob mentality “Mentalitas massa” dalam sosiologi diartikan sebagai sebuah cerminan perilaku kolektif. Perilaku yang dilakukan seseorang ketika ia berada dalam sebuah kerumunan, baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Mentalitas massa mengamplifikasi skala suatu tindakan menjadi lebih besar karena faktor dukungan dan kekuatan bersama dalam
kerumunan. Menurut penuturan Daisy, atau yang lebih akrab disapa Debbie, secara umum terdapat tiga teori perilaku kolektif yang merupakan pondasi utama untuk menjelaskan mentalitas massa. Pertama, perilaku kolektif yang paling sering terjadi di dunia nyata umumnya yaitu teori kontijensi. Teori kontijensi menggambarkan sebuah fenomena di mana sekelompok orang dihadapkan pada sebuah situasi yang sama, perilaku individu dalam kelompok tersebut dapat menular
dalam budaya partisipasi semua orang dapat menciptakan ruang bagi orang lain untuk berpartisipasi. Dunia digital sendiri selalu memberi ruang bagi semua orang— bahkan yang menggunakan identitas anonim—untuk berpartisipasi dalam hal apapun. Terlepas dari keabsahan konten tersebut, konten tersebut dapat mendorong perilaku kolektif dan menjaring massa yang luas dalam dunia digital. “Dalam konteks interaksi digital kita menulis sebuah status dengan argumentasi, itu jadi barang publik yang bisa dikomentari orang, bisa mendapat dukungan atau mendapatkan penolakan dari masyarakat digital lainnya, jadi itu bisa memancing perilaku kolektif dengan lebih mudah.” Menurut Debbie, kombinasi antara anonimitas, budaya partisipasi masyarakat, dan beberapa fitur media digital—seperti multiple account (alter-account) yang memfasilitasi anonimitas—merupakan
Mob mentality ini bukan soal benar atau salah, baik atau buruk.
norma”. Teori ini mengatakan bahwa suatu kerumunan yang sudah settle atau berada di posisi menetap dan terjadi secara terus menerus—misal pendukung sepak bola atau fandom artis—dapat menumbuhkan norma-norma sosialnya sendiri. Debbie memberi contoh dengan merujuk pada perilaku kolektif para penggemar BTS yang beramai-ramai memesan BTS meal McD. “Sebenarnya perilaku kolektif ini memang sudah didesain karena dia adalah aturan, nilai dan norma yang sudah muncul di dalam fandom BTS atau Army ini. Jadi apapun yang dilakukan idol-nya, mereka pokoknya mendukung,” jelasnya.
Faktor Pendorong Mentalitas Massa di Dunia Maya Walau mulai marak beberapa tahun terakhir terutama di media sosial, mentalitas massa sebenarnya tidak hanya terjadi di dunia maya. Menurut Debbie dalam kehidupan nyata sehari-hari, perilaku kolektif sudah menjadi ciri khas dalam masyarakat. Namun, mentalitas massa di media sosial lebih marak karena adanya opsi anonimitas. “Anonimitas menjadi salah satu faktor dalam interaksi digital yang dapat mendorong bullying, hate speech, menyebarkan hoaks, hingga cancelling. Karena dengan anonimitas itu kamu bisa menjadi bukan dirimu sendiri,” tuturnya. Selain anonimitas, budaya partisipasi dalam media sosial juga mendorong mentalitas ini. Debbie mengatakan bahwa
"
yang penting agar mentalitas massa ini dapat dialokasikan pada hal yang positif. Literasi yang dimaksud tidak hanya sekedar kemampuan dalam menggunakan teknologi, namun juga pemahaman mengenai etika berkomunikasi secara digital. “Minimal semua orang harus paham bahwa apapun yang mereka ketik, yang kita masukkan ke dalam platform digital seperti media sosial, itu bukan sekadar untuk diri sendiri tapi juga bisa berefek kepada orang lain bahkan bangsa kita, dan keluarga kita,” tutupnya.
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
pada individu lainnya dalam kelompok. Fenomena ini mendorong individu dalam kelompok untuk melakukan groupthink— pengambilan keputusan berdasarkan keinginan individu untuk memiliki konformitas dalam kelompok. “Misalnya kita sebenarnya bukan orang yang suka teriak-teriak, tapi dalam sebuah kerumunan itu ada satu orang yang bisanya berteriak, tiba-tiba kita jadi ikut,” jelasnya. Teori kedua adalah teori konvergensi. Berbeda dengan teori kontijensi, pemicu perilaku kolektif berdasarkan teori ini adalah adanya suatu kesengajaan. Dalam teori kontijensi, orang-orang dalam kerumunan bisa bergerak bersama karena adanya perilaku yang menyebar, sedangkan dalam teori konvergensi pemicunya adalah suatu tujuan tertentu yang ingin dicapai secara kolektif. Teori ketiga dan yang terakhir adalah emergent norm theory “teori emergensi
"
sOSIAL
Daisy Indira Yasmine, S.Sos, M.Soc.Sci Dosen Sosiologi Universitas Indonesia
resep sempurna dalam mencetak masyarakat yang memiliki mentalitas massa. Ketiga faktor ini mendorong masyarakat untuk “menjadi lebih dari satu orang” dan menyembunyikan jati diri aslinya, serta melepas tanggung jawab atas perkataan dan perilakunya di dalam dunia maya.
Literasi Digital sebagai Nahkoda dalam Mengarungi Era Digital Bagaikan pedang bermata dua, mentalitas massa memberikan dampak negatif, juga dampak positif, semua bergantung pada sudut pandang yang diambil. Mentalitas massa dan budaya partisipasi mendorong tumbuhnya solidaritas dalam masyarakat. Solidaritas ini dapat menghasilkan output yang positif, atau dapat disebut sebagai gerakan sosial. Salah satu contoh dampak positifnya yang paling terasa adalah aksi-aksi solidaritas yang dapat dieksekusi dengan cepat. Masyarakat mampu menggalang dana bagi korban bencana, korban penyakit, dan kelompok berkekurangan lainnya melalui fundraising di media sosial. Inilah yang seharusnya dipupuk dan dibina oleh masyarakat Indonesia. Debbie menekankan pentingnya bagi masyarakat untuk menjaga gerakan sosial positif ini agar tidak tercemar atau malah berbalik menjadi sebuah solidaritas yang memiliki output negatif. Debbie menegaskan bahwa peningkatan literasi digital adalah faktor
Economica 63 / 2021 41
Tokoh
Inovator Muda di balik Pengurangan Sampah Elektronik Indonesia
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
Regi Trevina, Sofia Chandra
42 Economica 63 / 2021
Barang-barang elektronik usang—telepon lama milik sang ibu, kulkas rusak milik sang nenek, dan televisi tabung—teronggok begitu saja di rumah seorang anak laki-laki. Anak laki-laki tersebut menatap barang-barang elektronik tersebut dengan penuh tanda tanya. Jika barang-barang elektronik ini sudah tidak bisa dipakai lagi, dibuang ke mana mereka?
tOKOH
di
Perjalanan Rafa dengan EWasteRJ dimulai saat ia berumur 11 tahun. Saat itu ia masih duduk di bangku sekolah dasar saat pertama kali diperkenalkan kepada isu sampah elektronik. Setelah diperkenalkan dengan isu tersebut, ia menyadari bahwa perkembangan teknologi tidak hanya berdampak positif, tetapi juga memiliki dampak negatifnya. Perkembangan teknologi yang sangat cepat akan membuat siklus barang elektronik lebih cepat. Dampaknya, sampah elektronik akan bertumbuh pada tingkat yang lebih cepat daripada tempat pembuangan atau daur ulang dapat olah, membuat sampah menumpuk. Layaknya permasalahan sampah pada umumnya, sampah elektronik maka akan ada konsekuensinya di masa yang akan datang. Rafa merasakan kegentingan untuk membuka mata generasi muda di Indonesia serta seluruh dunia. Sehingga dari situlah ia mencetuskan EwasteRJ, komunitas perantara daur ulang elektronik. Memulai EwasteRJ pada usia yang masih belia tidaklah mudah. Berbagai rintangan Rafa hadapi agar komunitasnya dapat terus berjalan. Namun, hal tersebut tidak mematahkan semangat Rafa untuk mencari solusi masalah sampah elektronik. Berangkat dari kegemarannya mengutakatik berbagai perabot elektronik yang ada di rumahnya—mulai dari telepon lama milik sang ibu, kulkas milik neneknya yang sudah rusak, hingga TV tabung yang sudah lama terlupakan—Rafa mulai bereksperimen dan belajar memilah sampah elektronik. Berkat semangat dan dukungan sekolahnya, Rafa akhirnya berhasil menemukan satu solusi, yaitu menyediakan dropbox, atau tempat pembuangan sampah elektronik. Dropbox tersebut diletakkan di beberapa titik di sekolahnya, dimana murid-murid dapat mengumpulkan barang elektronik mereka yang sudah tak terpakai. Inisiasi ini dilakukan sebagai bentuk ajakan kepada para teman sekolah Rafa untuk turut berpartisipasi memilah sampah elektronik.
Sepak Terjang Rafa dan Mimpinya Perjalanan EWasteRJ terus berlanjut bahkan setelah Rafa lulus SD dan memasuki sekolah menengah pertama. Melalui kampanye Rafa di media sosial tentang
Jadi, gak bisa terlalu commanding, tetapi juga harus bisa merangkul semuanya menjadi satu tim.
dropbox EwasteRJ, beberapa sekolah lain ikut tertarik untuk mendapatkan tempat pembuangan sampah elektronik tersebut. Namun, masalah baru muncul. Rafa masih duduk di bangku SMP dan memiliki berbagai kegiatan membuatnya sangat sibuk. Ia tidak memiliki kapabilitas dan waktu untuk memenuhi peningkatan permintaan akan produknya. Rafa juga masih merasakan inkonsistensi dan kurangnya ambisi dari anak-anak lain yang sebayanya dalam menekuni isu lingkungan ini. Maka dari itu, Rafa pun mengajak alumni SMP-nya yang sedang menimba ilmu teknik lingkungan di Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk turut membentuk gerakan pengumpulan sampah elektronik di berbagai sekolah. Para alumni SMP Rafa dengan senang hati turut serta dalam mengembangkan EwasteRJ hingga terbentuklah sebuah tim yang membantu memberikan ideserta membantu kepentingan administrasi. Selain memiliki jadwal organisasi yang bertabrakan dengan kegiatan EwasteRJ, menjadi pemimpin di antara orang-orang yang lebih tua dari dirinya juga datang dengan tantangan tersendiri. “It’s very challenging to be in a team di mana lo yang paling muda, tetapi lo founder-nya,” kata Rafa. “Jadi, gak bisa terlalu commanding, tetapi juga harus bisa merangkul semuanya menjadi satu tim.” Selain itu, situasi ini membuat Rafa mengasah kemampuan Rafa dalam memecahkan masalah dan membuatnya belajar dengan cepat. Tidak hanya itu, rendahnya kesadaran akan sampah elektronik di Indonesia membuat misinya untuk mengubah kebiasaan orang dalam mengolah sampah elektronik kian berat. Terlebih lagi sebagai organisasi non-profit, Rafa dan timnya kerap kali kesulitan secara finansial untuk mengoperasikan EWasteRJ. Pendanaan yang didapatkan dari hasil penjualan merchandise dan buku tidak cukup untuk menutupi biaya operasional dropbox. Akhirnya ia dan timnya mulai berinisiasi untuk bekerjasama dengan berbagai perusahaan dan instansi pemerintah, baik untuk pendanaan maupun edukasi. Contohnya, Rafa bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perusahaan elektronik, dan perusahaan daur ulang. Kemampuan problem-solving Rafa pun semakin terasah dan diuji dalam memimpin EwasteRJ. Jerih payah Rafa berbuah manis. Tim yang tadinya diawali dengan 4 orang terus berkembang hingga saat ini sudah beranggotakan 10 orang. Keberadaan
"
dropbox EWasteRJ pun juga meluas. Sekarang dropbox EWasteRJ dapat ditemui di 9 daerah, yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Depok, Kabupaten Bogor, Bandung, Yogyakarta, Salatiga, Semarang, dan Surabaya. Perjuangannya ini juga tak luput dari perhatian berbagai pihak. Rafa diundang ke beragam acara, salah satunya webinar yang diadakan oleh Pemerintah Kabupaten Tangerang.Pada kesempatan tersebut, Rafa bertemu dengan pembicara lain yang memiliki ketertarikan yang sama. Berkat ucapan mulut ke mulut, nama Rafa Jafar pun semakin dikenal hingga terdengar di telinga Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Rafa mendapat kesempatan menarik dan tidak terlupakan ketika dapat berbincang dengan beliau.
Harapan dan Langkah Kedepan Membawa perubahan pada suatu kebiasaan yang sudah tertanam dalam merupakan perjalanan yang penuh tantangan. Menurut Rafa, agar masalah sampah, terutama sampah elektronik dapat teratasi, diperlukan kolaborasi antar sektor dan antargenerasi. “Kalau semuanya bergerak sendiri, akan susah untuk reach a certain point,” ujar Rafa. Agar kolaborasi ini dapat berjalan, pikiran yang terbuka adalah kuncinya. “Kalau bisa membuka pikiran, membuka opini-opini dengan orang lain, it can lead to more collaborations, dan itu bisa lanjut ke proyek-proyek baru,” tutup Rafa.
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
Memulai Langkah Sejak Bangku Sekolah Dasar
"
A
lih-alih bermain dan belajar seperti teman sebayanya, seorang pemuda bernama Muhammad Rafa Ibnusina Jafar memutuskan untuk menjadi changemaker terhadap isu sampah elektronik dan mendirikan EwasteRJ . Berkat ambisi dan kegigihannya, di umur 17 tahun Rafa dianugerahkan sebagai salah satu ikon kewirausahaan sosial pada ikon prestasi Pancasila 2020 oleh BPIP. Selain itu, pada tahun 2019 EwasteRJ juga meraih penghargaan kategori Pengelolaan Limbah Elektronik dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Rafa Ibnusina Jafar Founder EwasteRJ
Economica 63 / 2021 43
FOTO: CNNINDONESIA.COM
LINKUNGAN
Polusi udara jakarta: Sudah sadarkan kita? Risa Indrawati, Phylicia Febian
Saat masih bernama Batavia, Jakarta pernah menjadi pusat kekuasaan VOC sehinngga ramai akan beragam kegiatan industri dan kapal laut yang transit. Hal ini menimbulkan masalah polusi udara di Jakarta, kota yang akhirnya terkenal dengan julukan stink city. Ratusan tahun telah berlalu, tetapi apakah julukan tersebut masih relevan hingga saat ini?i
W
orld Air Quality Report 2020 yang disusun oleh IQAir menempati Jakarta di peringkat ke-9 sebagai ibu kota dengan kualitas udara terburuk. “Kualitas udara semakin buruk setiap tahunnya,” jelas Isabella Suarez, analis Center for Research for Energy and Clear Air. Isabella menerangkan bahwa berdasarkan data Tahun 2017, Jakarta hanya memiliki 40 hari dengan indeks kualitas udara yang “baik”. Jumlah hari dengan kualitas udara yang “baik” tersebut menurun 25 hari pada tahun 2018, sementara di tahun yang sama terdapat 101 hari yang kualitas udaranya terdapat di kelompok ‘tidak sehat’ atau lebih buruk. Pada 2019, jumlah hari yang tidak sehat bertambah lagi menjadi 172 hari, atau hampir setengah tahun.
Bahaya dan Kerugian Pencemaran Udara
dari
Kualitas udara yang tidak sehat akan berpengaruh pada kesehatan setiap orang yang menghirupnya. Partikel polutan yang berbahaya, seperti PM2.5, dapat terhirup dan mengendap di organ pernapasan. “Tidak perlu juga menunggu 24 jam untuk melihat dampak dari polusi udara. Dalam waktu 10 menit saja apabila menghirup udara tidak sehat maka bisa menyebabkan pembengkakan dalam arteri,” jelas Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan
44 Economica 63 / 2021
Energi Greenpeace Indonesia. Lebih lanjut, Bondan memaparkan bahwa dalam jangka panjang hal ini dapat menyebabkan kanker atau penyakit jantung. Sejalan dengan aspek kesehatan, ekonomi pun mengalami kerugian yang signifikan. Isabella menjelaskan bahwa polusi udara mengakibatkan penurunan produktivitas dan peningkatan biaya kesehatan. Buktinya, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Greenpeace menemukan bahwa peningkatan konsentrasi PM2.5 di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Denpasar telah menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp 36 triliun pada semester pertama tahun 2020. Angka tersebut mencapai sepertiga dari anggaran kesehatan nasional tahun 2019 dan belum memperhitungkan kerugian ekonomi potensial dari adanya polutan NOx dan SO2.
Kenapa Polusi Udara di Jakarta Tinggi? Isabella menjelaskan bahwa tingginya polusi udara di Jakarta berasal dari berbagai sumber polusi domestik dan lintas provinsi. Pada skala domestik, terdapat emisi dari penggunaan transportasi, biomassa, pembakaran sampah, dan konstruksi. Lalu, terdapat juga sumber polusi dari sekitar Jakarta seperti emisi dari kegiatan pabrik industri besar, penyulingan minyak, dan
pembangkit listrik. Selain itu, Isabella mengatakan bahwa peraturan standar emisi yang kurang tegas dan transparan juga menjadi penyebabnya. Polusi udara merupakan masalah yang tidak dibatasi wilayah administratif. Polusi yang dihasilkan suatu daerah dapat mempengaruhi kualitas udara di daerah sekitarnya. “Karena polutan tersebar di udara, konsentrasi dan penyebarannya di area tertentu dipengaruhi oleh faktor meteorologi seperti curah hujan dan lintasan angin,” tutur Isabella. Ia menjelaskan bahwa pada bulan-bulan kering di bulan Mei hingga Oktober, ketika tingkat polusi di keseluruhan Jakarta paling tinggi, sumber polusi dari pembangkit listrik tenaga batu bara dan pabrik industri di sebelah timur Jakarta berdampak lebih besar pada kualitas udara. Sedangkan, pada bulan-bulan basah (Desember hingga Maret), sumber-sumber di barat— khususnya pembangkit listrik Suralaya Banten—menjadi penyumbang yang lebih besar.
Upaya Penanganan Penyebaran Informasi Belum Maksimal
dan yang
Buruknya kualitas udara Jakarta menyebabkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat—yang merupakan
lINGKUNGAN
Lagi-lagi kuncinya adalah di edukasi dan masyarakat mau teredukasi dan mengubah pola hidupnya.
"
memiliki lebih 10 alat pantau yaitu sekitar 20-30 alat pantau,’’ jelas Bondan.
Ketidaksesuaian Standar Mutu Udara ISPU sebagai satuan indeks mengacu pada sebuah batasan konsentrasi maksimal (dengan satuan ug/m3) dari pencemar di dalam udara ambien. Baku Mutu Udara Ambien (BMUA) Nasional mengatur batas konsentrasi maksimum dari tiga belas pencemar sebagaimana diatur dalam Lampiran PP No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Indonesia dan WHO menggunakan standar BMUA yang berbeda. Secara garis besar, BMUA Indonesia masih lebih tinggi dari BMUA maksimal yang disarankan dalam The WHO Air Quality Guidelines. Ketidaksesuaian ini mengimplikasikan bahwa standar kualitas udara di Indonesia lebih rendah dari yang disarankan oleh WHO. Dengan kata lain, bisa saja suatu kualitas udara sebenarnya sudah tidak sehat menurut WHO, tetapi
Strategi Efektif untuk Mengatasi Pencemaran Udara di Jakarta Sebagai solusi kualitas udara yang buruk, Isabella menyarankan adanya strategi yang menyeluruh dalam skala nasional, terintegrasi, dan lintas sektor. Hal ini dapat dimulai dari mengontrol emisi dan berpindah dari bahan bakar yang merusak lingkungan, terutama di sektor esensial. “Ini waktunya Indonesia berubah dan berinovasi dengan teknologi yang ramah lingkungan,” jelasnya. Isabella dan Bondan sepakat bahwa memakai masker, menutup jendela di hari dengan polusi udara tinggi, dan menggunakan penyaring udara juga dapat dilakukan dalam jangka pendek. Namun, lebih penting untuk menyelesaikan masalah polusi dari sumbernya. Menurut Bondan, perlu ada riset tahunan untuk mengetahui sumber utama dari polusi udara. Lalu, peran pemerintah dibutuhkan dalam menetapkan kebijakan yang holistik dan berdasarkan data sains, seperti memasang alat pantau, mengendalikan sumber pencemaran, dan mengedukasi masyarakat. “Lagi-lagi kuncinya adalah di edukasi dan masyarakat mau teredukasi dan mengubah pola hidupnya,” pungkas Bondan.
Isabella Suarez Analyst Center for Research for Energy and Clear Air.
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
Bondan Andriyanu Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia
Economica 63 / 2021 45
FOTO: PIETER SIREGAR | ECONOMICA
Tabel perbandingan BMUA Indonesia dan WHO Air Quality Guidelines Sumber: PP No. 22 Tahun 2021 dan WHO (diolah)
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
"
bagian dari HAM—juga tidak terpenuhi sepenuhnya. Di Indonesia, hak ini tercantum dalam Pasal 28H UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Hak tersebut diatur lebih lanjut di UU No. 3 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan UU tersebut, setiap orang berhak atas akses informasi dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Untuk mengakomodasi ini, pemerintah Indonesia menggunakan instrumen berupa Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) untuk menyampaikan informasi kualitas udara harian. Indeks ini mengukur beberapa polutan partikel serta gas seperti partikulat (PM10), partikulat (PM2,5), karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO2), sulfur dioksida (SO2), ozon (O3), dan hidrokarbon (HC) yang. ISPU merupakan salah satu sumber bagi masyarakat untuk mengetahui mutu udara harian menggunakan angka dan warna yang mewakili kategori mutu udara baik, sedang, tidak sehat, sangat tidak sehat, dan berbahaya. ISPU ataupun indeks kualitas udara lainnya dapat diakses oleh masyarakat di berbagai platform. Platform tersebut ada yang disediakan pemerintah—seperti laman web Lingkunganhidup.jakarta.go.id, Iku.menlhk.go.id, aplikasi Jaki—dan ada yang disediakan pihak non pemerintah— seperti Iqair.com, Air Visual, airly.org, dan aplikasi Napas. Beberapa platform tidak hanya menyajikan data kualitas udara, tetapi juga memberi arahan apa yang harus dilakukan untuk menghadapi kondisi udara tersebut. Sayangnya, menurut Bondan, platform seperti ini masih belum diketahui oleh semua orang. “Mungkin belum dipahami publik apabila ada website seperti ini, harusnya ketika sudah ada seperti ini, ini menjadi dasar bagi masyarakat untuk mengetahui polusi udaranya seperti apa dan bagusnya se-real time mungkin. Walaupun kadangkadang parameternya di angka 0, gatau mati atau tidak ada SO2-nya, tetapi minimal sudah ada datanya,” terang Bondan. Bondan lanjut menjelaskan bahwa masih terdapat kekurangan stasiun pantau untuk mengukur ISPU di Jakarta. “Kemudian PR lainnya adalah keterwakilan stasiun pantau. Jakarta memiliki 5 stasiun pantau dan sekarang punya 6, jadi sangat kurang sebenarnya untuk berbicara tentang polusi udara. Untuk populasi 3 juta, harusnya ada 10 alat pantau. Sehingga Jakarta yang memiliki populasi 10 juta seharusnya
masih dianggap sehat oleh pemerintah Indonesia. Hal ini dapat mengakibatkan dampak negatif dari buruknya kualitas udara tersebut diabaikan oleh masyarakat.
SENI BUDAYA
Dilema Citra Ondel-ondel:
Demi Keuntungan Ekonomi atau Pelestarian Budaya Betawi? FOTO: AZ ZAHRA AMELYA | LFS FEB UI
Muhammad Ramadhani, Rini Nurhafizah
Larangan dari Pemerintah DKI Jakarta mengamen dengan ondel-ondel telah memicu perdebatan di antara masyarakat, budayawan, hingga praktisi. Di satu sisi mengemis dengan ondel-ondel yang kian marak mengganggu kenyamanan, ketertiban umum, serta mencoreng simbol kekayaan kebudayaan Betawi ini. Tetapi, di lain sisi ini adalah dampak dari kesulitan ekonomi yang dihadapi masyarakat Jakarta, terutama diperparah akibat pandemi Covid-19.
J
akarta penuh cerita, sebuah kalimat yang acap kali dikumandangkan warganya kepada pendatang. Benar adanya, kota yang pernah dikenal bernama Sunda Kelapa, Batavia, hingga bernama Jakarta saat ini berisikan banyak cerita menarik di dalamnya. Ondel-ondel salah satunya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta secara resmi menunjuk ondelondel sebagai sebuah ikon kebudayaan Jakarta. Di balik penunjukannya sebagai ikon budaya Ibu Kota, terdapat pro dan kontra mengenai eksistensinya di tengah warga Jakarta.
Keberadaan Ondel-Ondel dari Waktu ke Waktu FOTO: TAZKIA ASTRINA K. | ECONOMICA
Ondel-ondel dipercaya sudah hidup berdampingan sejak lama dengan masyarakat Indonesia, khususnya untuk masyarakat pinggiran kota Jakarta. Boneka besar ini diyakini sudah berada sejak zaman kerajaan menemani masa panen para petani, meskipun saat itu namanya bukan ondel-ondel. Berdasarkan pemaparan dari H. Beky Mardani, Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi, ondel-ondel sudah ada sejak tahun 1600-an seperti yang ada dalam catatan peneliti dari Inggris, W. Scott. Menurut Iwan Henry Wardhana, Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, nama ondel-ondel sendiri berasal dari
46 Economica 63 / 2021
kata ngondel, bahasa betawi yang berarti bergoyang arak-arakan. Pada masa kolonial, ondel-ondel identik dengan sebuah kesakralan. Ondelondel pada kala itu diperlihatkan dengan riasan yang lebih menyeramkan dengan memakai kumis, taring, muka merah, dan alis tebal. Hal ini karena dahulu ondelondel berfungsi sebagai simbol penjaga kampung dan penolak bala, seperti mengusir wabah penyakit atau mengusir roh-roh jahat. Selain itu, Di mana upacara perayaan hasil panen berada maka ondelondel akan hadir meramaikan sebagai bentuk sebuah simbol kesakralan penolak bala. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, lahan-lahan di Ibu Kota mulai beralih fungsi dari persawahan dan perkebunan menjadi lahan pemukiman. Ditambah lagi, pola pikir masyarakat sudah berubah. Kepercayaan masyarakat untuk melaksanakan upacara adat penolakan bala terus menurun. Akibatnya, eksistensi dan popularitas ondel-ondel sebagai ikon perayaan panen pun juga ikut meredup. Beky menambahkan, ondel-ondel mulai naik daun kembali saat Benyamin Sueb mempopulerkan lagu “Ondel-ondel” pada tahun 1971. Saat itu pula, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin menaikkan citra ondel-ondel menjadi ikon kota Jakarta dan
sering dipergunakan sebagai arak-arakan dalam perayaan besar.
Tak Hilang Dimakan Waktu, Tapi Rentan Disalahgunakan
Sebagai ikon dari Jakarta, riasan ondelondel disesuaikan menjadi semakin cantik dan lebih menyerupai manusia. Perubahan ini beriringan dengan fungsi ondelondel yang berubah mengikuti dinamika sosial di masyarakat, yang lebih banyak digunakan di berbagai acara perayaan— seperti hajatan, hari-hari besar, peresmian, hingga penyambutan tamu kehormatan. Sebagai ikon Jakarta dan tradisi masyarakat Betawi, ondel-ondel sering diiringi dengan alat musik Betawi, seperti tanjidor serta lagu-lagu Betawi, ditambah pula dengan hiasan pakaian adat masyarakat Betawi DKI Jakarta. Kembali populernya ondel-ondel ditengah masyarakat Jakarta menandakan bahwa salah satu budaya Betawi ini tidak jadi hilang ditelan zaman. Namun, kepopulerannya di masyarakat membuat ondel-ondel rentan dieksploitasi dan dimalfungsikan. “Kami (Lembaga Kebudayaan Betawi) juga sudah pernah melakukan investigasi ke daerah Jakarta Pusat, tepatnya di Kemayoran dan Senen dan ditemukan puluhan ondel-ondel yang diangkut dengan mikrolet, bajai, dan
SENI BUDAYA
"
jika disalah fungsikan sampai mengganggu ketertiban umum dan melakukan tindak kriminal, dikhawatirkan memicu kebencian dan akhirnya merusak citra ondel-ondel sebagai ikon budaya kota Jakarta.
Pengemis Ondel-ondel: Mencoreng Ikon Budaya? Jika melihat kasus dimana ondelondel dijadikan alat untuk mengamen, kebanyakan dilatar belakangi faktor ekonomi. Dalam kata-katanya, Beky mengungkapkan “Fenomena Ondel-ondel marak mengamen saat ini dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya karena Jakarta adalah kota terbuka, dimana berbagai komponen, etnis, dan lainlainnya saling bertemu. Selain itu, Jakarta juga merupakan sumber perputaran ekonomi sehingga upaya-upaya bertahan hidup dilakukan dengan berbagai cara.” Mengamen sendiri tidak sepenuhnya negatif. Sisi positifnya, mengamen dapat dijadikan ajang sosialisasi ondel-ondel sebagai ikon budaya betawi agar tidak redup dilahap zaman. Berbeda dengan Beky, Iwan menegaskan bahwa perlu dibedakan antara pengemis dan pengamen. Bagi Iwan, pengemis adalah orang yang memintaminta, sedangkan pengamen adalah pelaku seni yang biasanya melakukan pertunjukan di tempat umum dengan berpindah-pindah. Iwan menyebutkan tidak ada larangan mengamen dengan ondel-ondel yang diarak dengan tujuan
"
disuguhkan kepada masyarakat dapat membuat semua orang senang dan pengamen yang menggunakan ondelondel sebagai media juga harus memiliki minat, passion dalam menampilkannya. Namun menurut Iwan, kalau bentuknya sudah berbeda, misalnya dengan memaksa, mengganggu ketertiban umum, dan berbeda secara konsep kebudayaan, misalnya dijadikan sarana mengemis, maka hal tersebut dilarang.
Sinergi Lembaga Kebudayaan dan Pemerintah Menurut Beky, Lembaga Kebudayaan Betawi sudah melakukan diskusi dengan komunitas dan sanggar ondel-ondel untuk berkreasi dengan tetap menjaga nilai-nilai yang disepakati bersama, agar ondel-ondel dapat terus hidup dan terjaga kehormatannya. Namun situasi pandemi seperti sekarang membuat dilema karena orang-orang tetap melakukan berbagai cara untuk tetap bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan ekonominya. “Pemerintah perlu memfasilitasi untuk tampilnya seniman secara reguler di berbagai acara. Kemudian, menyiapkan tempat-tempat yang dapat mereka gunakan untuk tampil. Tidak mengapa dengan tampilan mengamen asalkan diberi ruang,” ujar Beky. Tak hanya itu, Beky juga mengharapkan penertiban dilakukan hingga ke bos besar yang menyewakan ondel-ondel. Sebagai mitra dari Pemprov, LKB siap membantu pemerintah dalam
Beky Mardani Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi
Iwan Henry Wardhana Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta
Economica 63 / 2021 47
FOTO: HARNUM YULIA SARI | ECONOMICA
Pemerintah perlu memfasilitasi untuk tampilnya seniman secara reguler di berbagai acara.
upaya penjagaan, pembinaan, dan pelestarian budaya Betawi. Menanggapi ini, pihak pemerintah juga tak tinggal diam. “Kami (Dinas Kebudayaan) membentuk komunitas bersama para pemerhati ondel-ondel yang paham bahwa ondel-ondel tidak boleh dijadikan media untuk mengemis,” ucap Iwan. Kalau ondelondel dijadikan media dalam konteks mengamen untuk menghibur masyarakat, Iwan sepakat hal itu tidak boleh dilarang karena pemerintah memang seharusnya memfasilitasi kegiatan ekspresi berkesenian sesuai Instruksi Gubernur nomor 45 tahun 2020 untuk memberikan fasilitas seluasluasnya kepada semua pelaku atau pekerja seni budaya. Terkait penyewaan ondel-ondel, Dinas Kebudayaan DKI Jakarta juga sudah mendatangi ke tempat-tempat penyewaan dengan tujuan memberikan edukasi. Namun, akibat dari pandemi, Iwan mengakui upaya-upaya tersebut masih kurang efektif karena belum memungkinkan kegiatan yang bersifat outdoor. “Setelah pandemi usai, insyaAllah kita bisa melakukan kegiatan ekspresi berkesenian dengan baik,” terang Iwan. Sebagai penutup, Iwan menjelaskan bahwa fokus utama dalam kasus ini adalah mengurangi keresahan masyarakat, agar tidak berlanjut menjadi kekacauan.
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
untuk menghibur masyarakat, justru hal ini harus difasilitasi oleh pemerintah untuk ditampilkan. “Secara sejarah dari zaman dahulu, ondel-ondel memang disuruh ngamen, atau diarak dan dia (ondel-ondel) ditampilkan di masyarakat umum. Nah, sekarang kalau mau ditampilkan artinya harus ada pemenuhan kualifikasi atau persyaratan sebagai seorang pengamen secara harfiah bukan secara aturan,” tambah Iwan. Jika dilakukan untuk menghibur, maka aturan hukum yang diberlakukan adalah Perda No. 4 tahun 2015 tentang pelestarian kebudayaan Betawi. Namun, jika ondelondel dijadikan alat mengemis maka aturan hukum yang diberlakukan adalah Perda No. 8 Tahun 2007 tentang ketertiban umum. Adapun, perbedaan tugas antara dinas kebudayaan dengan Satpol PP juga harus dipahami dengan jelas. “Untuk kasus mengganggu ketertiban maka tugasnya ada di satpol PP,” tambah Iwan. Dengan kata lain, ondel-ondel yang
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
lain sebagainya untuk diantar ke titik-titik tertentu. Ada bandar yang menyewakan ondel-ondel untuk mencari uang dengan sistem sewa dengan tarif Rp200.000 perhari,” ujar Beky. Ia juga menambahkan bahwa Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) sering mendapatkan pengaduan negatif dari masyarakat yang resah dengan beberapa oknum. Mereka (orang-orang yang menggunakan ondel-ondel sebagai bahan mengemis) melakukan tindak kriminal, seperti menjambret telepon genggam hingga merampas motor. “Para pengemis ini juga tidak memperhatikan norma kesopanan, seperti masih berkeliling dengan musik yang keras saat azan dan saat orang sedang tahlilan,” tambah Beky. Hal inilah yang dapat merusak nilai ondelondel sebagai ikon budaya. Menurut Beky, ondel-ondel berdasarkan sejarah memang dijadikan media hiburan rakyat dengan berkeliling kampung dan diiringi alat musik. Namun,
FOTO: KUMPARAN.COM
resensi
The platform potret kesenjangan dalam simulasi roda kehidupan Zahira Mahardhika, Haizka Aleine Kalya
The Platform ‘El Hoyo’ merupakan film fiksi ilmiah garapan sutradara Galder Gaztelu-Urrutia yang dirilis pada tahun 2019 silam. Film berdurasi 94 menit ini mengungkap salah satu masalah terbesar dari sistem kapitalisme yang dibungkus dalam alur cerita yang sarat akan makna tersirat. Karena itu, tidaklah mengherankan ketika film ini telah menarik perhatian serta decak kagum dari mereka yang telah menontonnya.
C
erita bermula saat Goreng (Ivan Massagué) terbangun di atas ranjang beton di dalam sebuah ruangan layaknya kamar tahanan tak berpintu dengan hanya rongga besar berbentuk persegi panjang di bagian tengah. Ia menyapukan pandangan ke seluruh sisi ruangan, ketika matanya bertemu dengan seorang pria paruh baya, Trimagasi (Zorion Eguileor), rekan satu “sel”-nya dalam sebuah fasilitas bernama Vertical Self-Management Center.
Vertical Self Management Center, Gambaran Sederhana Kapitalisme Vertical Self-Management Center merupakan sebuah bangunan beton bertingkat. Setiap lantainya bertuliskan angka yang menunjukkan tingkatan, tetapi tiada yang tahu pasti fasilitas ini terdiri atas berapa tingkat. Setiap lantai diisi oleh sepasang “tahanan”. Rongga besar di bagian tengah ruangan menjadi satu-satunya akses distribusi makanan para tahanan. Distribusi makanan dilakukan secara estafet dari posisi paling atas hingga posisi paling dasar, serupa elevator. Jika seorang “tahanan” berusaha untuk menyimpan makanannya, ruangan “tahanan” tersebut akan dinaikkan atau diturunkan suhunya secara ekstrem.
48 Economica 63 / 2021
Tidak seperti rupanya, fasilitas serupa kamar tahanan ini bukan hanya diisi oleh para pelaku kriminal. Siapa saja, selama berumur di atas 16 tahun, dapat secara sukarela masuk ke dalamnya untuk memperoleh imbalan tertentu. Goreng misalnya, ia secara sukarela masuk ke dalam fasilitas tersebut dengan harapan dirinya dapat berhenti merokok dan di akhir periode tinggalnya selama enam bulan, ia akan diberi imbalan berupa gelar diploma. Setiap tahanan diperbolehkan membawa satu barang pilihan sebelum mereka masuk ke dalam El Hoyo. Novel berjudul Don Quijote de la Mancha karya Miguel de Cervantes menjadi pilihan Goreng, sementara sebilah pisau adalah pilihan bagi Trimagasi. Tiba giliran Goreng dan Trimagasi untuk menyantap jatah makannya. Pada tingkat ke-48, seluruh makanan nampak sudah dalam keadaan yang sangat menjijikan dan tidak layak makan. Hal ini wajar saja menimbang makanan telah melewati 47 tingkatan. Menurut Trimagasi, berada di tingkat ke-48 tidak terlalu buruk. Trimagasi pernah berada di tingkat ke-132 dan makanan sudah tidak ada lagi yang mencapai tingkat tersebut. Mendengar hal itu, Goreng berteriak ke tingkat di atasnya dan di bawahnya, meminta orang-orang untuk menghemat makanan agar orang
yang berada di tingkat sangat rendah mendapatkan jatah makanan. Hal tersebut sia-sia dilakukan. Situasi dalam Vertical Self Management Center merupakan sebuah gambaran sederhana dari kapitalisme. Pada tingkat atas, orang-orang mengonsumsi makanan secara berlebihan, sembari menutup mata terhadap nasib orang-orang yang berada di bawah mereka. Sikap konsumtif dan keserakahan orang-orang pada tingkat atas, berimplikasi pada kesengsaraan dan kelaparan bagi orang-orang di tingkat bawah. Hal ini menimbulkan kesenjangan di antara dua kelompok tersebut.
Upaya Bertahan Hidup dalam Keputusasaan Dari waktu ke waktu, berbagai kejadian mengejutkan kerap terjadi. Mulai dari tubuh yang jatuh dari tingkat di atasnya hingga seorang wanita bernama Miharu (Alexandra Masangkay) yang ‘menumpangi’ meja berisikan makanan untuk mencari anaknya. Goreng dan Trimagasi menghabiskan waktunya di tingkat ke-48 selama satu bulan sebagai kawan. Penempatan tingkat serta pemasangan setiap penghuni fasilitas dilakukan secara acak setiap bulannya. Masa rotasi tingkatan diawali dengan
Gadis kecil yang dikirim sebagai ‘pesan’ kepada pengelola fasilitas merupakan sebuah bukti dari solidaritas yang digaungkan Goreng untuk melawan sistem yang ada. Namun, simbol perlawanan yang dikirim Goreng dan Baharat serta aksi heroik yang dilakukan keduanya pun tidak digambarkan berbuah keberhasilan di akhir cerita. Hingga Goreng mengorbankan jiwanya, ia hanya dapat berharap misinya dapat memutus rantai setan yang disaksikannya selama beberapa bulan terakhir.
Kesan Akhir Setelah menyaksikan The Platform, ada kesan mendalam yang membekas karena relevansi yang dapat dirasakan penikmatnya meski disampaikan secara simbolis. Galder Gaztelu-Urrutia berhasil menggambarkan bagaimana kesenjangan demi kesenjangan di dunia terus terjadi. Kesenjangan tersebut digambarkan dengan menyimulasikan roda kehidupan secara sederhana sehingga dapat dengan mudah dipahami oleh penontonnya. Di satu waktu, seseorang dapat sangat beruntung, tetapi terpuruk di lain waktu. Namun, bagi yang tengah beruntung, tampaknya pengalaman pahit sebelumnya tidak selalu menjadi alasan untuk berempati kepada mereka yang sedang dalam keterpurukan.
Zahira Mahardika Staff Divisi Penerbitan Badan Otonom Economica
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
aroma gas yang memenuhi seisi ruangan sehingga membuat para tahanan tertidur. Pada bulan berikutnya, Goreng terbangun dengan tubuh terikat pada tingkat ke171, menyadari Trimagasi masih menjadi pasangannya. Menurut Trimagasi, mengikat tubuh Goreng merupakan harapan terbaik untuk keduanya tetap bertahan hidup. Pada tingkat ke-171, makanan sudah habis tak bersisa. Dalam kondisi ini, bagi Trimagasi hanya ada pilihan memakan atau dimakan. Namun, keberuntungan masih memihak Goreng. Ketika Trimagasi hendak ‘memakan’ Goreng, Miharu datang menyelamatkannya. Nahas, keadaan seketika berubah. Trimagasi harus lebih dulu meregang nyawa. Lima bulan berlalu, Goreng telah melalui banyak hal dan bertemu dengan dua rekan baru. Setelah Trimagasi, Goreng dipasangkan dengan Imoguiri (Antonia San Juan), wanita yang mewawancarai Goreng sebelum dirinya masuk ke dalam fasilitas Vertical Self-Management Center. Imoguiri juga masuk secara sukarela karena penyakit yang dideritanya. Bersama Imoguiri, Goreng menyadari bahwa makanan yang tersedia akan cukup bagi seluruh tahanan dalam fasilitas Vertical Self-Management Center dengan adanya solidaritas. Pada bulan ke-4, Goreng menempati tingkat ke-202. Imoguiri sudah lebih dulu putus asa dengan kondisinya dan memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Trimagasi dan Imoguiri bagai ilustrasi dua perangai utama manusia dalam film. Trimagasi memiliki sifat egois, sedangkan Imoguiri memiliki simpati terhadap situasi orang-orang di sekitarnya. Perbedaan sikap antara keduanya merefleksikan pandangan mereka akan sistem yang ada di Vertical Self-Management Center. Trimagasi sudah menerima sistem yang ada dan memilih untuk fokus bertahan hidup dalam sistem dengan keegoisannya. Sementara itu, Imoguiri awalnya datang ke Vertical SelfManagement Center untuk mencoba mengubah sistem di dalamnya. Imoguiri dengan sikap simpatiknya berusaha, tetapi sistem yang sudah mengakar kuat menekan Imoguiri hingga ia akhirnya menyerah dan menggantung dirinya.
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
rESENSI
Haizka Aleine Kalya Staff Divisi Penerbitan Badan Otonom Economica
Goreng berhasil melalui satu bulan penuh penderitaan dan terbangun pada tingkat keenam di bulan selanjutnya. Bersama pasangan barunya, Baharat (Emilio Buale), Goreng menyampaikan misi untuk dapat memastikan seluruh tahanan secara adil menerima makanan yang tersedia. Bukan misi yang mudah, tetapi Goreng berhasil mencapai tingkat paling dasar yaitu tingkat ke-333. Pada tingkat itu, Goreng dan Baharat bertemu seorang gadis kecil yang mereka duga sebagai anak yang dicari Miharu selama ini. Gadis kecil itu pun ditempatkan di atas elevator makanan dan dikirim sebagai sebuah ‘pesan’ bagi pengelola fasilitas sebagai ganti hidangan panna cotta yang telah berhasil dijaganya hingga tingkat paling dasar.
FOTO: THEGUARDIAN.COM
‘Pesan’ di Akhir Misi
Galder Gaztelu-Urrutia saat proses shooting El Hoyo (The Platform).
Economica 63 / 2021 49
FOTO: DAN MEYERS | UNSPLASH.COM
KOLOM
(membelenggu) langkah ke seberang: pertanian berkelanjutan dan asa ekonomi sirkular Kajian Ekonomi dan Pembangunan Indonesia FEB UI (Kanopi FEB UI(
Bumi dikenal oleh manusia sebagai satu-satunya planet di sistem tata surya yang memiliki kehidupan di dalamnya. Alam yang berlimpah dengan segala sumber daya yang ada membuat manusia dapat bertahan di Bumi. Berburu hingga meramu tanam merupakan proses yang dilalui oleh manusia yang sekarang sudah dapat bercocok tanam. Namun, segalanya memiliki batasan jika tidak dirawat, begitu pula dengan alam yang ada di Bumi. Eksploitasi pertanian dan perkebunan ternyata menjadi salah satu hal yang dapat memperpendek kekayaan alam, lantas apa yang harus dilakukan oleh manusia?
E
konomi sirkular tengah menjadi salah satu terminologi yang hangat dibicarakan. Konsep ini sendiri berbicara mengenai pendekatan sistemik terhadap pembangunan ekonomi yang dirancang untuk menguntungkan bisnis, masyarakat, dan ekosistem (Ellen MacArthur Foundation, 2017). Sistem ekonomi tersebut dirancang agar regeneratif, sehingga melepaskan kaitan (decoupling) pertumbuhan ekonomi dengan konsumsi sumber daya yang langka. Meski sudah mendunia, istilah ekonomi sirkular belum populer di Indonesia. Walau Bappenas memiliki keinginan menerapkan
50 Economica 63 / 2021
ekonomi sirkular untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia (Bappenas.go.id, 2021), penerapan baru sekadar studi potensi ekonomi sirkular di Indonesia. Tidak ada implementasi dalam proses pengambilan kebijakan, apalagi rongga ruang publik secara luas. Akan tetapi, ada satu istilah yang sudah beken di negeri ini. Istilah ini berkelindan dengan konsep ekonomi sirkular di negara berjiwa agraris seperti Indonesia. Bunyinya? Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), sebagai metode bertani yang berlandaskan prinsip ekologi. Lantas, bagaimana situasi pertanian berkelanjutan di Indonesia dewasa ini?
Realitas Terkini Pertanian Berkelanjutan di Indonesia Antusiasme berbagai kalangan terhadap prinsip yang berhubungan dengan keberlanjutan kian hari kian tinggi. Pemerintah Indonesia turut berkomitmen dalam mengedepankan Sustainable Development Goals (SDGs) dalam ranah global. Namun ironis, masih banyak petani di Indonesia yang beraktivitas menggunakan upaya yang tidak ramah lingkungan atau bertentangan dengan prinsip keberlanjutan seperti penggunaan pupuk kimia serta pestisida berlebihan, dan pertanian monokultur.
KOLOM
Perspektif Sektor Privat: Langkah Nyata Menuju Impian Samar
Di kala masa sulit ini, sektor pertanian mampu memamerkan pertumbuhan positif sebesar 2,19% dibanding tahun sebelumnya. Hal ini tidak luput dari peran sektor privat seperti organisasi ataupun perusahaan yang ada. Mulai dari kontribusi Food and Agriculture Organization (FAO) di lebih dari 650 proyek, dukungan lebih dari 1.600 tenaga ahli serta konsultan internasional dan nasional, serta funding, educating, and distributing yang dilakukan oleh sektor swasta dengan menyediakan berbagai macam platform. Lebih dari itu, dedikasi juga berperan besar dalam kesuksesan membangun sektor pertanian Indonesia menuju cita-cita yang diharapkan. Sektor privat perlahan telah mengimplementasikan dedikasi tersebut di lapangan. Seperti yang dilakukan planetindonesia.org dengan memberi program edukasi teknologi pertanian berkelanjutan secara langsung. Begitu pula yang dilakukan oleh TaniHub dengan menyediakan marketplace serta funding platform bagi para petani. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit, begitulah kata pepatah. Transformasi sektor pertanian menjadi berkelanjutan bukanlah perkara mudah. Beban akan terlalu berat jika hanya ditopang oleh segelintir sektor privat. Apalagi, masih banyak bagian sektor privat yang masih berfokus pada keuntungan semata. Dibutuhkan antusiasme dan semangat kolektif dari masyarakat, sektor privat, dan sektor publik untuk mewujudkan mimpi tersebut. Berbicara mengenai sektor publik, bagaimana perspektif sektor publik dalam mewujudkan pertanian berkelanjutan?
Perspektif Sektor Publik: Mengharap Durian Runtuh
Dari kacamata sektor publik, terdapat perbedaan antara retorika dan fakta. Secara retoris, pemerintah Indonesia memberikan komitmen terhadap pertanian berkelanjutan. Bahkan, pemerintah ikut dalam berbagai upaya internasional untuk memperkuat komitmen tersebut. Ambil saja contoh Climate Change Conference of the Parties 26 (COP 26), di mana Indonesia menjadi co-chair bersama Inggris dalam bidang Forest, Agriculture, and Commodity
Trade (FACT) dalam konferensi tersebut (R, 2021). Keterlibatan di atas memperlihatkan peran sektor publik yang menyokong pertanian berkelanjutan berdasar asasnya. Sayangnya, realitas menunjukkan bahwa kebijakan tersebut belum cukup menyokong. Layaknya berharap durian runtuh tanpa merawat pohon durian yang kita percayai, tidak ada tindak lanjut dari kebijakan tersebut. Virianita et al. (2019:174) menunjukkan tendensi tersebut secara nyata. Para petani yang diteliti tidak merasakan adanya dukungan kebijakan dalam bidang pertanian berkelanjutan. Nilai ketiadaan dukungan tersebut mencapai 55,7%. Dari nilai tersebut, ketiadaan dukungan berada dalam bidang ketersediaan modal usaha (65,7%), jaminan harga pasar output (58,7%), jaminan harga pasar produksi (51,7%), dan kelancaran pemasaran (50,2%).
dari sektor pertanian, penerapan prinsip berkelanjutan ini menjadi sangat penting untuk diterapkan. Dua sektor utama yang menjadi kunci dalam perjalanan ini adalah sektor privat dan sektor publik. Melalui langkah kecilnya, sektor privat telah melakukan aksi nyata demi mewujudkan impian tersebut. Sedangkan sektor publik masih hanya mendukung secara prinsipil. Dengan kata lain, pemerintah seakan omdo dalam pertanian berkelanjutan. Implikasinya, belenggu yang menghalangi terwujudnya perekonomian sirkular di Indonesia ada di pihak sektor publik dengan minimnya kebijakan propertanian berkelanjutan. Jika hanya segelintir pihak yang melakukan aksi riil atas penerapan pertanian berkelanjutan, maka hal tersebut hanya menjadi khayalan yang fana. Utopia ketika petani kita terus merana.
Menimbang Dua Sisi: Siapa yang Membelenggu? Fakta memperlihatkan bahwa saat ini terdapat perbedaan arah dua sektor dalam perekonomian. Sektor privat (tanpa arahan birokrasi mana pun) menciptakan berbagai inovasi riil yang menyokong pertanian berkelanjutan dalam bidang pendanaan, pendidikan, dan distribusi produk. Sebaliknya, sektor publik tidak mewujudkan dukungan tersebut lewat kebijakan yang pro-pertanian berkelanjutan. Memang benar, belenggu kebijakan dari pemerintah sudah mulai melonggar. Dalam UU Cipta Kerja (Omnibus Law), pembibitan hibrida di sektor hortikultura memang diliberalisasi untuk investasi asing. Melalui pelonggaran tersebut, diharapkan inovasi pembibitan sebagai bagian pengembangan pertanian berkelanjutan bisa bangkit di Indonesia. Namun reformasi ini masih menemui ketidakpastian karena perlawanan yudisial dari berbagai pihak (Lingga, 2020). Jika ketidakpastian terus berlangsung, maka pemerintah sebagai punggawa sektor publik akan terus mempertahankan statusnya sebagai pembelenggu pertanian berkelanjutan. Sebuah perubahan kebijakan pertanian secara riil harus dilahirkan. Tanpa perubahan tersebut, maka pertanian berkelanjutan sebagai langkah bayi pertama menuju ekonomi sirkular tidak dapat terwujud. Alias menjadi impian basi.
FOTO: KANOPI FEB UI
Walau sudah terdapat banyak program, aksi, dan kebijakan guna mendukung pertanian berkelanjutan yang diusung oleh sektor publik dan privat di Indonesia, kurangnya edukasi terkait dengan sistem pertanian berkelanjutan dan modal, baik berupa teknologi maupun finansial untuk para petani menjadi salah satu faktor pendorong rendahnya kesadaran terhadap prinsip ekologis di Indonesia. Dibutuhkan sektor sinergi antar sektor privat dan publik untuk pertanian berkelanjutan di Indonesia. Apalagi Sektor pertanian menyerap tenaga kerja dengan persentase terbesar di Indonesia (BPS).
Kajian Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Waktunya Aksi Kebijakan Riil! Selama berabad-abad sektor pertanian adalah penyokong perekonomian Indonesia. Jiwa agraris yang dimiliki rakyat Indonesia telah membawa Indonesia berderap melangkah ke seberang dengan penerapan prinsip berkelanjutan dan ekonomi sirkular sebagai impian. Melihat potensi yang terus ada kedepannya, ditandai dengan pertumbuhan positif
Economica 63 / 2021 51
KOLOM
Investasi ESG: Sinergi lingkungan, sosial, dan tata kelola untuk pencapaian yang lebih besar
FOTO: ANNE NYGARD | UNSPLASH.COM
Management Student Society FEB UI (MSS FEB UI(
52 Economica 63 / 2021
KOLOM Di tengah maraknya tren berinvestasi saat ini, seorang investor muda tampak sedang mengalami dilema. Tak ada masalah dalam caranya menganalisis keuangan perusahaan, itu adalah makanannya sehari-hari. Hanya saja, logika dan nuraninya sedang berseteru dalam menentukan perusahaan yang akan diinvestasikannya. “Performa finansialnya bagus sih, tapi ini kan perusahaan yang limbahnya sampai ke sungai dekat rumah, yakin investasi di sini?”
Keuntungan dari Memberikan Dampak Positif Dewasa ini, berinvestasi secara berkelanjutan dianggap sebagai tujuan filantropis. Semakin banyaknya investor yang sadar akan krisis lingkungan alam dan kemanusiaan, telah menggeser prioritas investasi yang sebelumnya semata-mata untuk keuntungan pribadi menjadi untuk memberi dampak positif kepada lingkungan sekitar. Pergeseran dalam preferensi ini telah membuat investasi ESG menjadi opsi bagi investor untuk berinvestasi dan mendukung emiten yang bertanggung jawab pada lingkungan alam dan sosial. Mendukung pernyataan ini, Survey yang dilakukan oleh Kehati Foundation pada 2017 mengungkapkan bahwa investasi ESG menarik perhatian lebih dari setengah milenial di seluruh dunia. Para milenial ini memiliki kecenderungan untuk lebih ingin berinvestasi pada perusahaan yang mementingkan memperhatikan keberlanjutan bisnis. Merespon permintaan, Hal ini pun memicu semakin banyak perusahaan untuk menerapkan strategi operasi berkelanjutan yang sejalan dengan prinsip ESG. Tidak hanya bagi lingkungan alam dan sosial, dampak positif penerapan prinsip ESG juga dirasakan 63% perusahaan yang menerapkan ESG. Riset NASDAQ menunjukkan bahwa penerapan program ESG oleh perusahaan memberikan jalan terhadap pendapatan modal yang lebih besar. Selain itu, ESG juga mendorong pertumbuhan jangka panjang berkelanjutan dan nama perusahaan pun menjadi lebih kuat dan positif di kalangan konsumen dan investor.
Bagaimana dengan Indonesia? Besarnya pengaruh ESG sebagai kriteria dalam iklim investasi, menimbulkan pertanyaan: dimanakah posisi Indonesia sekarang dalam penerapan ESG? Menurut Investor Daily, Indeks ESG Indonesia tahun 2019 berada pada peringkat ke-36 dari 47
negara, di bawah negara-negara seperti Malaysia, Filipina, dan India. Rendahnya peringkat Indonesia disebabkan belum meratanya penerapan ESG ke seluruh pemangku kepentingan, dipicu berbagai faktor mulai dari peraturan, perilaku topmanagement, hingga sudut pandang investor. National ESG Survey 2019 oleh CRMS Indonesia mengungkapkan hanya 15,8% perusahaan di Indonesia yang memiliki pedoman secara khusus prosedur ESG dan sekitar 18% perusahaan yang sudah melakukan integrasi penuh kriteria ESG dalam proses bisnisnya. Persentase adopsi yang sangat kecil ini berimplikasi pada pertimbangan dalam pengambilan keputusan, dimana hanya 18,7% responden yang menyatakan sudah menerapkan arahan pimpinan atau manajemen puncak untuk pengelolaan aspek lingkungan dalam operasional bisnis. Kendati demikian, Indonesia terus mendorong peningkatan integrasi kriteria ESG baik dari segi operasional, dan pengambilan keputusan perusahaan. Pada akhir tahun 2020, BEI merilis sebuah indeks baru, yakni Indeks ESG Leaders yang berisi 30 emiten dengan penerapan ESG terbaik. Semenjak 6 bulan terakhir, Indeks tersebut telah berkembang sebesar 10,57%. Selain itu, sepanjang tahun 2020, ANGIN’s; report menunjukan bahwa terdapat modal sebesar USD 147 juta diluncurkan dari impact investors untuk social-enterprise di Indonesia, meningkat dari tahun sebelumnya sebesar USD 62 juta.
Langkah Selanjutnya Perjalanan Indonesia menuju penerapan ESG sepenuhnya masih panjang. Dibutuhkan sinergi dari berbagai pemangku kepentingan untuk mencapai itu. Organisasi perlu mengembangkan measurable ESG Framework yang sesuai dan vital bagi industri dan strategi perusahaan. Langkah yang efektif untuk menentukan kriteria tersebut adalah dengan mengunjungi situs ESG Advisory, seperti situs Sustainalytics.com yang menganalisis kriteria ESG untuk masing-masing industri. Namun, hal tersebut belum cukup jika tidak ada dukungan dari pihak regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan dan Pemerintah. Menurut Founder Bumi Global Carbon Foundation, Deni Daruri, dukungan konkret dari regulator itu faktor penting. “Ada strong incentive, seperti pajak, bagi perusahaan yang melaksanakan ESG pada tingkat tertentu. Selain itu, ada pula punishment-nya,” tandas beliau saat mengisi acara Webinar Membangun Bisnis Korporasi yang Berkelanjutan dengan ESG. Terakhir, investor turut serta
berkontribusi dalam kemajuan ESG. Sebagai penyumbang dana, investor perlu lebih selektif dalam memilih emiten dan tidak berfokus hanya pada financial performance. Investor perlu menerapkan strategi seperti meng-exclude perusahaan yang bersentimen negatif dalam daftar investasi. Selain itu, investor dapat lebih mempertimbangkan green bond, obligasi yang berfokus untuk mendanai sustainability and climate project. Berangkat dari tren penerapannya yang positif, penulis percaya penerapan ESG di Indonesia kedepannya secara perlahan akan semakin matang. Menyadari pentingnya ESG, perusahaan, regulator, serta investor memiliki tanggung jawab yang sama besarnya untuk mengejar sustainability values demi iklim investasi dan industri yang lebih hijau, transparan, dan adil di Indonesia.
FOTO: MSS FEB UI
P
rofitabilitas sebuah perusahaan kini bukanlah satu-satunya pertimbangan dalam berinvestasi. Gentingnya isu lingkungan dan sosial yang seringkali adalah akibat dari kegiatan bisnis, membuat investor sekarang tidak hanya mementingkan laba materiil semata namun juga ‘“laba”’ terhadap lingkungan. Investasi Environmental, Social, Governmental (ESG) merupakan sebuah bentuk investasi yang mempertimbangkan faktor lingkungan, sosial, serta tata kelola perusahaan yang dapat menjadi jawaban bagi semua.
Management Student Society Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Economica 63 / 2021 53
FOTO: TIMA MIROSHNICHENKO | PEXELS.COM
KOLOM
Penyesuaian Akuntansi untuk Model Bisnis Ekonomi Sirkular Studi Profesionalisme Akuntan FEB UI (SPA FEB UI(
Make, use, and return. Sebuah konsep bisnis berkelanjutan dari model ekonomi sirkular yang digadang akan menggantikan konsep ekonomi linear. Dibutuhkan transformasi di berbagai bidang untuk memediasi transisi praktik bisnis menjadi berkelanjutan. Sebagai kegiatan yang cenderung rigid, bagaimanakah akuntansi akan beradaptasi dengan sistem ekonomi sirkular?
A
kuntansi adalah sebuah seni pencatatan, penggolongan, peringkasan, dan pelaporan informasi keuangan dan nonkeuangan suatu entitas. Sebagai sebuah alat komunikasi, akuntansi memiliki kekuatan dalam menarasikan keadaan perusahaan, baik melalui bagaimana biaya atau aset diidentifikasi. Penerapan payper-use atau circular revenue model (CRM) sebagai dampak dari perubahan model bisnis dari linear menjadi sirkular. Hal ini akan mengubah akuntansi bagaimana akuntansi menarasikan sebuah perusahaan, terutama yang berhubungan dengan aspek seperti dampak lingkungan dan sosial.
Model Bisnis “Rental” Dalam laporannya “Deloitte Sustainability”, Deloitte mengidentifikasikan tujuh model bisnis ekonomi sirkular. Model-model bisnis tersebut memiliki kesamaan dalam bagaimana perusahaan mendefinisikan kembali “kepemilikan” dan “rental”. Perusahaan yang menerapkan model bisnis ekonomi sirkular tidak “menjual” produknya kepada konsumen untuk dimiliki, digunakan, lalu dibuang.
54 Economica 63 / 2021
Tabel Tujuh Model Bisnis Ekonomi Sirkular Sumber: Deloitte
KOLOM
Penyesuaian Implikasinya
Akuntansi
dan
FOTO: MICHEILE | UNSPLASH.COM
Pengadopsian model ekonomi dari yang sebelumnya linear menjadi sirkular berdampak pada berbagai kegiatan, tak terkecuali penerapan akuntansi di perusahaan. Proyek Coalition Circulation Accounting (CCA) secara spesifik mengkaji penyesuaian akuntansi yang perlu dilakukan untuk mengakomodasi penerapan model ekonomi sirkular. Proyek tersebut menganalisis penerapan model ekonomi sirkular salah satu perusahaan konstruksi Belanda, Dura Vermeer, yang melakukan pilot project pembangunan jalan dengan skema road-as-a-service melalui opsi kontrak DBFM (Design, Build, Finance, Maintain) atau CSC (Circular Service Contract). Dari pilot project tersebut ditemukan bahwa kedua skema kontrak mengakibatkan perubahan dalam sisi
akuntansi yang terletak pada jenis sewa (lease), yaitu sewa pembiayaan pada DBFM. Hal ini membuat adanya transfer of ownership dari aset pada akhir kontrak dan sewa operasi pada skema CSC. Perubahan model bisnis menjadi product-as-a-service juga memiliki dampak terhadap laporan keuangan perusahaan. Contohnya adalah kenaikan operating assets dalam laporan posisi keuangan perusahaan karena model product-as-aservice dikategorikan sebagai operating lease di mana produk akan tetap dicatat di dalam laporan posisi keuangan lessor. Selain itu, juga terjadi penurunan cash flow karena pembayaran yang dilakukan secara overtime pada sewa berjumlah lebih kecil dibandingkan dengan pembayaran secara at a point in time pada penjualan. Lebih lanjut, sebuah studi yang dilakukan oleh Departemen Akuntansi Universitas Groningen menunjukkan bahwa terdapat beberapa aspek akuntansi yang membutuhkan penyesuaian terhadap penerapan pola sirkular. Contohnya adalah perubahan panduan dalam estimasi harga wajar aset, pembedaan atas pendapatan dan beban dari aktivitas sirkular dan linear, dan pertimbangan risiko pola linear yang berkaitan dengan going concern assumption. Selain itu, dapat juga diterapkan metode full cost accounting dan material flow cost accounting (MFCA), suatu metode akuntansi untuk melakukan identifikasi dan kuantifikasi terhadap material dalam satuan unit dan moneter. Perbedaan mendasar dari metode MFCA dan metode akuntansi biaya konvensional terletak pada identifikasi dan perhitungan material losses sebagai economic loss. Salah satu upaya yang saat ini telah dikembangkan adalah dengan menyusun Environmental Profit and Loss, kuantifikasi eksternalitas—dampak lingkungan dan sosial terselubung dari aktivitas perusahaan—dalam satuan moneter. Hal ini membuat dampak lingkungan yang sebelumnya bersifat abstrak kini menjadi lebih konkret, sehingga dapat memberikan pertimbangan yang lebih nyata dalam perencanaan strategi perusahaan. Kerangka kerja dan panduan dalam menyusun
Environmental Profit and Loss merupakan hasil kerja sama antara Trucost dan PwC yang pada tahun 2010. Environmental Profit and Loss pertama di dunia disusun untuk perusahaan perlengkapan olahraga asal Jerman yaitu Puma.
Dukungan untuk Perubahan Dengan proyeksi pertumbuhan penduduk, masyarakat kelas menengah, dan konsumsi yang terus meningkat, urgensi untuk bertransisi dari pola linear menjadi sirkular semakin relevan. Praktisi dan regulator dapat melakukan penyesuaian dalam mengadopsi dan mendukung transisi ini. Misalnya dengan melakukan perubahan terhadap guideline, pengungkapan dampak aktivitas perusahaan terhadap lingkungan (Climate-related financial disclosure) dan penggunaan metode seperti Full Cost Accounting ataupun Material Flow Cost Accounting. Paul Hurks, seorang akuntan publik yang turut berkolaborasi dalam penyesuaian akuntansi untuk ekonomi sirkular di Belanda, berkata, “Tantangan utama di sini tidak terletak pada aspek akuntansi, melainkan pada bagaimana objektif ekonomi sirkular diterapkan dalam insentif finansial yang kemudian diterjemahkan ke dalam kontrak.”
FOTO: SPA FEB UI
Namun, perusahan memberikan akses dan pemeliharaan terhadap produk mereka dengan “menyewakannya” selama periode waktu tertentu, atau disebut sebagai product-as-a-service. Tingkat kesulitan dalam mengadopsi pola sirkular seperti product-as-a-service ini dapat bervariasi, tergantung model bisnis yang sedang berjalan. Misalnya, perubahan menuju pola sirkular bagi perusahaan yang dalam beberapa hal sudah menjalankan model rental mungkin tidak sesulit perusahaan konstruksi ataupun manufaktur yang model bisnisnya masih sangat linear. Dalam praktiknya, sudah ada beberapa perusahaan yang telah memulai transisi dari pola linear ke sirkular. Contohnya adalah Philips, perusahaan konglomerasi yang memproduksi alat elektronik dan kesehatan. Philips menawarkan produk lampu mereka sebagai jasa penerangan (light-as-a-service) pada Kantor National Union of Students (NUS), London. Kantor tersebut melakukan kontrak sewa untuk jasa penerangan dengan Philips (Philips Lighting) dengan periode 15 tahun. Dalam contoh ini, terdapat perubahan model bisnis Philips dari penjualan menjadi jasa penyewaan dan pemeliharaan produk.
Studi Profesionalisme Akuntan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Economica 63 / 2021 55
FOTO: ATIKA CHOIRUNNISSA | LFS FEB UI
KOLOM
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dan Kiprahnya di Indonesia Islamic Business and Economics Community FEB UI (IBEC FEB UI(
Eksistensi lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) di Indonesia kian hari kian berkibar, dengan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebagai bintangnya. Pun begitu, jalannya masih panjang. Karena keberadaannya saja saat ini nyatanya belum cukup untuk dapat benar-benar membawa dampak besar pada keadaan Indonesia. Terutama memberantas kesenjangan serta ketidakmerataan akses keuangan yang solusinya masih menjadi teka teki di Indonesia.
K
emiskinan adalah salah satu penyakit di Indonesia yang tak kunjung pergi. Berbagai hambatan yang dihadapi masyarakat miskin membuat kemiskinan sulit untuk diberantas. Salah satunya dari sisi pembiayaan. Selain karena risiko yang dimiliki masyarakat miskin tinggi, salah satu aspek yang sangat krusial dalam hal pembiayaan, yaitu jaminan, seringkali tidak dimiliki oleh masyarakat miskin. Jaminan diperlukan sebagai bentuk pemenuhan prinsip kehati-hatian. Hal inilah yang menyebabkan banyak masyarakat miskin pada akhirnya tidak mampu memenuhi kriteria kepantasan dalam mendapatkan kredit (credit worthiness). Dengan demikian, akses mereka terhadap pembiayaan pun semakin menyempit.
Mengenal Baitul Maal wa Tamwil Berangkat dari masalah tersebut, Lembaga Keuangan Mikro (LKM) hadir untuk menyediakan layanan keuangan tanpa memberikan prasyarat jaminan (de Aghion & Morduch, 2005). Melihat kehadirannya yang dapat menjadi solusi bagi kemiskinan, Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) menjadi sangat relevan untuk dioptimalkan di Indonesia sebagai
56 Economica 63 / 2021
negara dengan populasi penduduk muslim terbesar di dunia. Namun eksistensinya yang masih sangat jarang, membuatnya diperlukan evaluasi dan solusi yang tepat untuk mengoptimalkan perkembangan LKMS di Indonesia. Di Indonesia, bentuk LKMS yang paling umum adalah Baitul Maal wa Tamwil (BMT). BMT dinilai cocok dengan prinsip sosialekonomi kerakyatan yang membumi di tengah masyarakat Indonesia. BMT terdiri dari dua fungsi, yaitu fungsi usaha (tamwil)—termasuk di dalamnya produk-produk pinjaman dan simpanan dan fungsi sosial (maal)—terkait programprogram pengentasan kemiskinan. Model bisnis pada BMT mengadopsi sistem koperasi kredit, konsep dasar pada model bisnis ini adalah mutualitas, dimana kepemilikan dan kendali ada di tangan para anggotanya. BMT menyediakan layanan keuangan bagi para anggotanya berupa simpanan, pembiayaan, serta program sosial. Untuk produk simpanan, akad yang digunakan adalah wadi’ah (safe keeping), qard hasan (utang non-riba), dan mudarabah (deposito). Sedangkan untuk produk pembiayaan, akad yang digunakan adalah akad bagi hasil, murabahah (jual-beli), ijarah
(sewa), dan qard hasan. Terakhir, untuk program sosial biasanya menggunakan media zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF) serta hibah.
Permasalahan Konsekuensinya
BMT
dan
Walau secara konsep model bisnis BMT memiliki potensi besar, nyatanya BMT di Indonesia masih sulit untuk berkembang. Akses pada layanan permodalan yang masih jarang, membuat BMT di Indonesia seringkali kekurangan modal bahkan untuk sekadar bertahan. Selain itu, sebagai LKM yang tidak di bawah pengawasan OJK, BMT belum dapat memberi jaminan keamanan pada nasabah. Akibatnya minat pasar pada layanan BMT rendah. Tambah mengenaskan, karena permasalahan ini hanya semakin dalam dengan adanya pandemi. BMT juga memiliki masalah akibat Teknologi Informasi (TI) yang masih lemah. Kurangnya pengetahuan dan akses terhadap pengadaan sistem TI di internal, membuat pengadopsian teknologi masih belum terlalu banyak dilakukan oleh BMT di Indonesia. Padahal, pengadopsian TI yang baik dalam BMT akan mampu
KOLOM
mengembangkan operasional, pelayanan, pengawasan, dan peningkatan mutu usaha menjadi lebih optimal. Kondisi pandemi yang mengharuskan pembatasan interaksi fisik juga semakin menambah pentingnya digitalisasi proses bisnis BMT. Dari permasalahan yang sudah dipaparkan sebelumnya, nampaknya BMT masih kesulitan untuk memenuhi tiga aspek di dalam segitiga keuangan mikro. Segitiga keuangan mikro merupakan teori tujuan lembaga keuangan yang ditemukan oleh Zeller dan Meyer (2002). Teori ini menyatakan bahwa sejatinya lembaga keuangan mikro perlu memenuhi tiga kriteria, yang terdiri dari impact (dampak), outreach to the poor (daya jangkau terhadap masyarakat miskin), dan financial sustainability (keberlanjutan).
SUMBER: ZELLER & MEYER 2002
Menilik BMT sebagai Lembaga Keuangan Mikro
Langkah Solutif Pengentasan Kemiskinan
sebagai ajang untuk mengembangkan teknologi. Pengadaan BMT mobile menjadi terobosan penting yang bisa dilakukan di masa pandemi ini.
FOTO: IBEC FEB UI
Segitiga keuangan mikro merupakan teori tujuan lembaga keuangan yang ditemukan oleh Zeller dan Meyer (2002). Teori ini menyatakan bahwa sejatinya lembaga keuangan mikro perlu memenuhi tiga kriteria, yang terdiri dari impact (dampak), outreach to the poor (daya jangkau terhadap masyarakat miskin), dan financial sustainability (keberlanjutan). Menilik kondisi nyata di Indonesia, sulit untuk dikatakan bahwa BMT sudah menjadi lembaga keuangan mikro yang telah memenuhi tiga kriteria segitiga keuangan mikro. Permasalahan yang ada menunjukkan bahwa ekosistem BMT belum dapat menunjang model bisnis ini. Aspek impact terancam tidak terpenuhi akibat lemahnya regulasi dan sistem TI yang membuat ruang gerak inovasi dan adaptasi BMT sulit. Lemahnya regulasi juga, bersamaan dengan arus permodalan yang seret akan mengurangi kemampuan BMT untuk menggapai aspek outreach the poor atau memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin secara menyeluruh. Terakhir, masalah permodalan bersama dengan rendahnya kualitas SDM juga akan berdampak negatif terhadap pemenuhan aspek sustainability dari BMT. Permodalan yang kurang akan menyebabkan rendahnya Daya tahan BMT atas goncangan yang akan terjadi. Di sisi lain,kurangnya kualitas sumber daya manusia (SDM) akan menyebabkan menurunnya kualitas manajemen BMT secara keseluruhan.
Islamic Business and Economics Society Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
bagi
Terlepas dari permasalahan yang ada, sebenarnya potensi perkembangan BMT ke depannya sangat besar. Untuk menyelesaikan masalah dan mengembangkan potensi BMT, terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan. Pertama, BMT yang saat ini kebanyakan bergerak sendiri-sendiri, dapat melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak. Contohnya, kolaborasi dengan fintech memungkinkan BMT untuk memiliki akses terhadap pengadaan sistem TI. Kolaborasi dengan pemerintah, dalam hal ini Kemenkop UKM, juga dapat dilakukan untuk meningkatkan arus modal serta kualitas SDM melalui kegiatan pelatihan. Kolaborasi dengan berbagai pihak ini dapat memberikan nilai tambah yang signifikan terhadap operasionalisasi layanan BMT. Selanjutnya, pembentukan lembaga APEX dapat berkontribusi dalam meningkatkan kualitas BMT dari segi keamanan. Lembaga APEX memiliki kemampuan untuk melindungi dana simpanan anggota BMT dari risiko likuiditas sehingga siap ditarik kapan pun. Selain itu, fungsi APEX lainnya adalah untuk menghindari risiko gagal bayar BMT akibat adanya mismatch atau ketidaksesuaian jangka waktu antara pendanaan dengan pembiayaan. Kesuksesan lembaga APEX ini tentu perlu disokong oleh regulasi yang mumpuni. Terakhir, BMT juga dapat memanfaatkan momentum pandemi
Economica 63 / 2021 57
Realita
Indonesia di antara Negara Maju dan Bayangan Middle Income Trap Teuku Riefky
=-----
FOTO: DAUD | LFS FEB UI
Sejak di bangku sekolah dasar, anak-anak Indonesia telah diajarkan betapa kaya negerinya. Kekayaan sumber daya alam Indonesia yang tergambar dalam lagu “kolam susu” memang tidak diragukan lagi. Namun, Apakah kekayaan alam tersebut cukup untuk memakmurkan Indonesia?
S
ejarah menceritakan bahwa manusia merupakan makhluk hidup yang selalu beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan kebutuhannya. Namun, kenyataan manusia dapat beradaptasi bukan berarti segala hal dapat dengan mudahnya teratasi. Semakin dewasa permasalahan yang dihadapi akan semakin rumit, ucapan yang cocok untuk dikaitkan pula dengan semakin dewasanya Bumi ini. Permasalahan yang dialami oleh manusia sebagai individu semakin rumit, begitu pula manusia sebagai sebuah kelompok yakni negara. Kenyataan pahitnya adalah tidak semua manusia atau negara dapat mengatasi permasalahan rumit. Terutama negara mengatasi permasalahan ekonomi yang semakin rumit dewasa ini.
58 Economica 63 / 2021
Adam Smith dan Evolusi Ekonomi “Man is an animal that makes bargains: no other animal does this – no dog exchanges bones with another,” tulis Adam Smith dalam manifesto yang berjudul “‘An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations”, lebih dari 200 tahun lalu. Lewat bukunya, Adam Smith berpendapat bahwa aktivitas ekonomi, seperti berproduksi, berdagang, dan melakukan transaksi untuk meningkatkan kesejahteraan, merupakan aktivitas yang hanya dilakukan oleh manusia. Buku yang lebih dikenal dengan judul “The Wealth of Nations” ini telah menjadi kerangka fundamental dari mazhab ekonomi klasik serta menggerakkan banyak konsep progresif dalam era ekonomi modern.
Konsep spesialisasi adalah satu dari banyaknya inovasi yang lahir dan kemudian diterapkan dalam berbagai konteks ilmu ekonomi, Salah satunya dalam konteks ketenagakerjaan. Spesialisasi merupakan suatu fondasi dari sistem pembagian tenaga kerja berdasarkan sumber daya yang tersedia serta keahlian yang dimiliki. Layaknya pada era awal mula masyarakat bercocok tanam, konsep spesialisasi mampu menjelaskan kenapa suatu kelompok masyarakat menghasilkan komoditas beras dan masyarakat lainnya menghasilkan jagung. Singkatnya, suatu negara akan memproduksi barang dan jasa yang dapat ia produksi secara lebih efisiensi ketimbang negara lainnya, lalu membeli produk lain dari negara yang lebih efisien dalam memproduksinya. Dalam skala yang lebih luas, spesialisasi juga berperan
realita
Sepak Terjang Indonesia
Perekonomian
Menilik rekam sejarah, Indonesia beberapa kali mengalami perubahan arah pembangunan. Implikasinya, terjadi perubahan drastis pada kondisi perekonomian Indonesia yang didorong oleh perubahan formasi struktural, pergolakan politik, dan ketergantungan yang tinggi terhadap komoditas alamiah. Sebagai negara dengan penduduk terbesar keempat dan perekonomian terbesar ketujuh di dunia (dalam PPP), Indonesia pernah mengalami penurunan ekonomi secara terus-menerus sebelum pertengahan periode 1960-an (Van der Eng, 2002) bahkan pada saat itu dianggap sebagai salah satu negara termiskin di dunia. Tetapi sejak tahun 1966, terjadi perubahan yang membawa Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang dahsyat untuk tiga dekade kedepan. Pertumbuhan ini bahkan membuat Indonesia mendapat julukan “Keajaiban Ekonomi Asia Timur” karena mampu mencapai ukuran ekonomi empat kali lebih besar selama periode tersebut. Sama menakjubkannya ketika kondisi ekonomi Indonesia mampu pulih dengan cepat dari krisis finansial tahun 1998 dan kembali ke tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup kuat di level 5-6% sejak tahun 2000 hingga sekarang. Selama periode tersebut, mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dimotori oleh komoditas dan sumber daya alam—batubara, minyak bumi, dan produk sawit, didukung oleh proses industrialisasi.
Perangkap itu Bernama Middle Income Trap Meskipun terhitung pesat, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan industrialisasi masih belum cukup untuk meningkatkan status Indonesia menjadi ‘high-income country’. Industrialisasi yang terbatas—tanpa dibarengi reformasi struktural yang mendukung produktivitas jangka panjang,—membuat Indonesia masih dibayangi risiko terperangkap dalam ‘middle-income trap’. Rendahnya pertumbuhan investasi, melambatnya pertumbuhan di sektor manufaktur, terbatasnya diversifikasi industri, dan buruknya kondisi pasar ketenagakerjaan, merupakan beberapa karakteristik yang lumrah dimiliki negara yang berada dalam tahap transisi dari pertumbuhan yang berbasis sumber daya alam menuju pertumbuhan yang lebih memiliki nilai tambah. Pada umumnya, sektor perekonomian suatu negara diklasifikasikan menjadi tiga sektor besar, yaitu sektor primer (pertanian, pertambangan, komoditas alam), sekunder (manufaktur), dan tersier (perdagangan dan jasa lainnya). Menilik kondisi terkini Indonesia, sektor primer terus mengalami
peningkatan produktivitas tenaga kerja dalam sepuluh tahun terakhir. Tetapi di sisi lain, kontribusi PDB sektor sekunder dan tersier menurun selama periode 20102019 (dari 23% menjadi 22%). Padahal, proporsi tenaga kerja pada sektor tersebut kian meningkat—dari 13% di tahun 2010 menjadi 15% di tahun 2019. Fenomena ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan kedua sektor cenderung stagnan dibarengi dengan penurunan drastis dari produktivitas tenaga kerja . Kondisi ini tidak cukup untuk Indonesia bisa lepas dari middle-income trap, tanpa ditopang dua sektor lainnya. mengingat sektor primer memiliki nilai tambah yang relatif rendah dan pertumbuhan sektornya sangat bergantung pada harga komoditas, dua sektor lainnya juga harus ikut menopang . Selain dari sisi produktivitas tenaga kerja, investasi di Indonesia pun kurang mendukung untuk bisa membawa Indonesia menjadi high-income country di jangka panjang. pertumbuhan investasi Indonesia telah menurun tajam dari sekitar 9% di tahun 2010 menjadi hanya sekitar 4% di tahun 2019. Sementara, negara tetangga lainnya seperti Vietnam dan Thailand terus mengalami lonjakan pertumbuhan investasi,bahkan mencapai pertumbuhan dua digit. Hal ini dapat menjadi peringatan dini atas ketidakmenarikan iklim investasi dan bisnis Indonesia dibandingkan negaranegara ASEAN lainnya.
Daftar Pustaka Smith, A., 1776. An inquiry into the nature and causes of the wealth of nations: Volume One. London: printed for W. Strahan; and T. Cadell, 1776. Eng, P.V.D., 2002. Bridging a gap: a reconstruction of population patterns in Indonesia, 1930– 61. Asian Studies Review, 26(4), pp.487-509.
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
sebagai dasar dari konsep globalisasi yang saat ini telah mengintegrasikan seluruh penjuru dunia.
Teuku Riefky Peneliti LPEM FEB UI
Sebuah Urgensi untuk Bertransisi Eksekusi perpindahan dari kondisi saat ini menuju ekonomi dengan nilai tambah tinggi dapat dilakukan melalui strategi pertumbuhan yang lebih berkesinambungan, yang didorong oleh inovasi, pertumbuhan industri yang kuat, dan peningkatan produktivitas. Namun jika gagal melakukannya, maka Indonesia kemungkinan besar akan terperangkap dalam status middle-income country selama bertahun-tahun, seperti yang dialami oleh Brazil dan Arab Saudi. Negara yang mampu lepas dari middle-income trap, seperti Jepang dan Korea Selatan, telah sukses dalam mengimplementasikan kebijakan industrialisasi dan pergeseran secara struktural dengan mendorong pertumbuhan industri melampaui kondisi dasarnya. Pertumbuhan tinggi secara berkesinambungan yang dimiliki oleh negara-negara tersebut dicirikan oleh perusahaan-perusahaan yang lebih inovatif dan lebih maju secara teknologi, perbaikan secara substansial dalam keahlian tenaga kerjanya, dan produksi yang memiliki nilai tambah lebih dalam perekonomiannya. Ciri-ciri inilah yang perlu kita jadikan tujuan dari implementasi reformasi struktural dan pembangunan jangka panjang, demi tercapainya Indonesia yang kesejahteraan penduduknya meningkat secara substansial dan merata.
Economica 63 / 2021 59
FOTO: WEAR WEIRD
PELUANG
Wear Weird
kemeja penyebar budaya Bilal Reginald, Jamie Paulus
“Nama ini (Wear Weird) kami angkat karena memiliki kesan yang unik, berbeda, dan autentik. Kami ingin mengajak =----teman-teman Wear Weird untuk tampil beda, unik, sambil mengampanyekan cerita-cerita Indonesia” - Siti Alya Fahlena, CEO Wear Weird
60 Economica 63 / 2021
peluang
Keunikan Model Bisnis
" FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
Untuk mencapai mimpi tersebut, Wear Weird mengambil langkah dengan
bisnis Wear Weird, salah satunya dalam memasarkan produknya yang sangat menonjolkan budaya Indonesia. Menurut Alya, mengubah persepsi generasi muda sehingga mereka menerima dan bangga akan budaya Indonesia bukanlah sebuah perkara mudah. ”Wear Weird harus bisa mengedukasi pasar bahwa di samping produk yang dihasilkan keren, (produk ini) juga bisa (digunakan konsumen) sambil memperkenalkan cerita-cerita dan budaya Indonesia,” ungkap Alya. Berbagai upaya dilakukan Wear Weird untuk mengedukasi masyarakat, salah satunya adalah dengan opinion leader— seperti menjelaskan betapa pentingnya meningkatkan kepedulian akan budaya di kalangan masyarakat. Selain berjualan, Wear Weird juga membuat konten-konten yang variatif seperti mengadakan kuis dan membagikan wawasan seputar kebudayaan Indonesia. Pada akun media sosialnya, terlihat beberapa konten menarik seperti saran destinasi wisata, fakta-fakta unik, hingga konten interaktif yang mengajak pengikutnya untuk berbagi
Ide itu murah. Artinya, ide bisa didapatkan dari mana saja. Eksekusi itu mahal. Itulah yang membedakan suatu bisnis dengan bisnis lainnya
memadukan streetwear dan warisan kebudayaan Indonesia. Menurut Alya, fesyen yang keren tidak perlu melulu berkiblat pada budaya luar. Budaya Indonesia juga bisa menjadi inspirasi mode yang kekinian. “Wear Weird ingin mengajak anak muda untuk menyebarluaskan budaya kita,” tegas Alya. Wear Weird menawarkan tiga nilai utama dalam produknya. Pertama, unik dan eksklusif dalam desain produknya. Desain produk Wear Weird menggambarkan budaya Indonesia dalam bentuk printed shirt sehingga memiliki nilai budaya yang bermakna. Sejauh ini, Wear Weird sudah merancang tiga tema desain, yaitu folklore, serta dua desain lainnya yang sudah rilis, ethnic dan historical places. Kedua, pada produk Wear Weird menggunakan teknologi QR Code, yang jika dipindai akan menampilkan cerita di balik desain produk tersebut. Pengguna akan diarahkan pada sebuah artikel yang membahas kebudayaan yang digambarkan pada desain baju tersebut. Ketiga, quality fabric, produk Wear Weird menggunakan seratus persen serat tumbuhan sehingga nyaman dan ringan digunakan.
Tantangan Bukanlah Halangan Sudah bukan rahasia lagi bahwa dalam berbisnis akan ada sepak terjangnya masingmasing. Alya menjelaskan bahwa terdapat tantangan tersendiri dalam menjalankan
"
cerita mereka seputar budaya Indonesia. Tantangan lainnya bagi Wear Weird adalah proses desain dan quality control yang dilakukan sendiri. Ini karena semua proses produksinya dilakukan sendiri, sementara Wear Weird harus memiliki kualitas desain dan produk yang tinggi sebagai keunggulannya. Jika ada masalah terkait proses bisnisnya, Alya selalu mengedepankan diskusi terbuka bersama rekan-rekannya. “Komunikasi terbaik adalah membahas bersama-sama segala hal yang ingin ditetapkan sebagai tujuan ataupun visi dan misi,” tegas Alya. Selain itu, Alya juga menuturkan bahwa dalam menjalankan bisnis harus bisa membedakan profesionalitas dengan pertemanan. “Setiap orang memiliki PPI (people performance indicator) yang harus dicapai. Kinerja harus selalu dijaga karena tujuan bersama adalah tanggung jawab bersama,” jelasnya. Meski dihadapkan berbagai tantangan, keberuntungan juga mendatangi Wear Weird. Bisnis ini berhasil memenangkan sayembara yang diadakan oleh Pandji Pragiwaksono dan Bilboardindo. Melalui sayembara ini, Wear Weird berkesempatan mengiklankan produknya di papan iklan selama sebulan dengan gratis. Wear Weird memanfaatkan kesempatan emas ini dengan meluncurkan kampanye “Semua Bisa Masuk Billboard”, dan mengajak para pelanggannya untuk mengunggah foto mereka mengenakan Wear Weird. Foto
yang sudah diunggah selanjutnya akan ditayangkan di billboard, dan pelanggan yang beruntung akan berkesempatan untuk memenangkan undian tiket gratis ke Bali.
Eksplorasi jadi Kunci Minimnya pengalaman dalam berbisnis juga sempat menjadi hambatan Alya dan rekan-rekan bisnisnya. Hal ini karena Wear Weird pada awalnya adalah proyek untuk mata kuliah kewirausahaan yang mewajibkan mahasiswanya menciptakan ide bisnis. Ide Wear Weird lantas diterima baik oleh para dosen dan diajukan untuk ikut serta dalam acara UI Incubate. Dari situ, Alya dan rekan-rekannya terus mengeksplorasi ilmu entrepreneur mereka dengan mengikuti berbagai kompetisi. Dari kompetisi-kompetisi inilah mereka secara tidak langsung dibina dalam membangun bisnis, memperluas pengetahuan dan pengalaman mereka. Alya menekankan bahwa ilmu yang ia dapat selama di perkuliahan berkontribusi besar dalam pembentukan dan kesuksesan Wear Weird. Karenanya Alya berpesan pada siapapun, terutama pengusaha-pengusaha muda untuk menginvestasikan diri melalui banyak belajar di masa kuliah. Alya menyarankan kepada mahasiswa yang ingin memulai berbisnis untuk sebisa mungkin tidak menggunakan modal sendiri, tetapi sedini mungkin menginvestasikan diri sendiri pada ilmu. Hal ini karena modal usaha dapat diperoleh dari kompetisi atau program inkubator bisnis dari kampus. Menurut Alya, hal penting untuk menjadi seorang pengusaha adalah eksekusi dan konsistensi dalam perkembangan bisnis. “Ide itu murah. Artinya, ide bisa didapatkan dari mana saja. Eksekusi itu mahal. Itulah yang membedakan suatu bisnis dengan bisnis lainnya,” pungkas Alya.
Siti Alya Fahlena Chief Executive Officer Wear Weird
FOTO : DOKUMENTASI PRIBADI
I
ndonesia diakui sebagai negara adidaya di bidang kebudayaan oleh UNESCO. Namun ironis, kekayaan warisan kebudayaan ini mulai dilupakan akibat pergeseran zaman. Kendati demikian, sekelompok kawula muda tetap berusaha untuk melestarikan budaya yang sudah pudar ini melalui bisnis yang mereka kembangkan, Wear Weird salah satunya. Siti Alya Fahlena, CEO Wear Weird, memiliki visi agar bisnisnya dapat memperkenalkan serta meningkatkan kecintaan terhadap budaya Indonesia melalui mode. “Warisan budaya Indonesia kerap kali dianggap tradisional, tua, dan kuno bagi generasi milenial. Oleh karena itu, Wear Weird ingin meyakinkan generasi muda bahwa budaya Indonesia itu keren melalui fesyen. Karena (fesyen itu) berkaitan dengan kehidupan sehari-hari,” seru Alya.
Economica 63 / 2021 61
SENARAI
A Taman kehidupan
=-----
FOTO: MARTINS CARDOSO | UNSPLASH.COM
Sandra F. Fadhilah
62 Economica 63 / 2021
ku masih memandang orang yang berada di hadapanku. Makannya lahap sekali. Padahal kami sedang menyantap hidangan yang sama. Walaupun kepulan asapnya mulai menghilang, ia terlihat masih sangat semangat. Sedangkan, aku di sini tidak selera sama sekali. Payah sekali memang. Aku masih menggerutu, meratapi dan rasanya ingin terus-terusan menyalahi diri. “Makanlah, nanti keburu dingin,” ujar perempuan di hadapanku. Tidak ada jawaban. Tepatnya, aku malas menjawab. Aku hanya mengaduk mie instan di dalam mangkuk itu tanpa selera. Aku ingin segera beranjak meninggalkan mangkuk ini dan juga dirinya yang ada di hadapan. “Nanti kamu terlambat,” katanya lagi sambil tersenyum. Ah, ternyata jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit. Setidaknya masih ada waktu lima belas menit sebelum aku berangkat kuliah. Pagi ini sangat cerah. Samudra langit biru nampak cantik sekali berpadu dengan putihnya awan. Burung-burung juga tampak suka cita bernyanyi menyambut pagi. Berbeda denganku yang hari ini kusam. Aku ingin seperti gadis yang sarapan bersamaku tadi. Makan dengan lahap, terlihat riang, juga menyambut pagi dengan senyum amat manis. Aku melihat ada gumpalan cinta di matanya. Tidak ada genangan amarah ataupun rasa takut. Aku ingin seperti dia. “Selamat pagi, La,” seseorang menyapaku sambil tersenyum dari balik pintu kelas. Aku hanya sedikit menyunggingkan senyum tipis. Padahal dalam hati aku rindu melihat ada lengkungan manis di wajahku. Namun pikiran maupun hati rasanya menolak hal itu. Pikiranku melayang-layang ke dunia yang lain dan hati masih menahan rasa kecewa yang amat besar. Bukan hanya besar, tapi menumpuk di suatu tempat dan membuat gunungan yang tinggi. Ayah ibuku kini di rumah tanpa suara, berdiam meratapi diri masing-masing. Egois sekali memang. Sementara adik bungsuku pasti sibuk merengek karena tidak teracuhkan. Masa kanak-kanaknya dipenuhi dengan kebingungan, entah dia mengerti apa yang sedang terjadi atau tidak. Melihat semua orang beraktivitas seperti tak ada beban yang menggantung, juga jalan yang lurus membentang di hadapan mereka, membuatku iri. Rasanya untuk menghirup udara saja aku perlu usaha yang lebih. Lihatlah teman-temanku! Mereka bisa mendengarkan kuliah pagi ini dengan antusias. Tidak sepertiku yang memperhatikan proyektor, namun mataku melihat kekosongan. “Ngga apa, La. Lakukan saja apa yang sudah semestinya. Orang-orang mungkin tidak tahu apa yang sedang menjadi pikiranmu. Namun, ngga perlu pula semua orang tahu kalau kamu sekuat ini. Biarkan dirimu dan Yang Maha Melindungi saja,” ujar seseorang di hadapanku. Seorang gadis yang sama aku lihat sarapan tadi. Kini ia menemani makan siangku yang kesorean. Dasar, tahu apa dia tentang diriku? Namun,
SENARAI menghentikan langkah sejenak dan membuka kubus tersebut. Mudah sekali membukanya. Aku sudah penasaran apa isinya? Namun begitu aku buka, sungguh di luar dugaan. Kosong? Ia sedang mempermainkanku? Aku menunjukkan tatapan protes. “Kamu butuh ruang kosong untuk dirimu sendiri,” ucapnya seperti mengerti apa yang sedang aku pikirkan. “Bertahan di situasi seperti ini mungkin tidaklah mudah, La. Tapi kamu masih berdiri di atas kakimu, kau sungguh luar biasa!” ia mengacungkan dua ibu jarinya di hadapanku. “Nah, ruang dalam kubus itu ibarat sebuah ruang kecil di hatimu. Ruang rahasia. Hanya kamu yang tahu. Kamu harus bisa bermesraan dengan dirimu di sana untuk beberapa saat. Berapa lamanya, tergantung kamu.” Aku masih mengerjap-ngerjap berusaha mencerna makna dari katakatanya. “Hari ini kamu benci dirimu di saat orang lain mengasihi dirinya. Tidak apa. Mungkin itu karena mereka sudah duduk manis sambil minum teh di ruang rahasia mereka masing-masing. Sedangkan, kamu belum. Apa yang kamu kerjakan sampai sejauh ini tidak ada yang perlu disesali, La. Rumahmu yang tanpa suara selain suara tangis adikmu, bukan berarti tempat itu sudah mati. Kamu masih mengasihi adikmu, seperti setangkai bunga yang tumbuh di taman gersang,” jelas gadis itu sambil memberiku setangkai bunga mawar mekar yang entah berasal dari mana. “Namun, kamu tidak perlu menerima semuanya. Ada yang perlu disimpan, ada yang perlu dibuang. Ada yang harus dilepas dan ditinggalkan. Yang jelas, kamu harus banyak menanam.” Dia ada benarnya. Aku tidak butuh semua hal yang aku lihat. Mungkin, memang benar hanya perlu waktu. Namun, sampai kapan? Dia memegang tanganku dengan lembut, “Masuklah ke ruang rahasiamu. Jangan putus pada pengharapan yang akan kau tanam. Tidak semua bunga yang layu berakhir tragis. Kalau terus menyiram dengan benar dan memberinya kasih sayang, taman yang indah akan menjadi hasilnya. Lalu, kamu bisa berenang di sungai yang jernih. Boleh tenggelam sejenak, tapi jangan terbawa arus.” Tanpa sadar ada sedikit senyum tipis di sudut bibirku.
segala keresahan ternyata hanya butuh waktu. Kekhawatiran perceraian orang tua ternyata hanya ada di kepala. Mereka hanya sedang meredam amarah dan egonya masing-masing untuk menyiram kembali bunga yang layu. Yayasan relawan yang menolakku bukan satu-satunya yang terbaik. Jalanan dengan rumput di sisinya masih membentang mengundangku datang. Ada bunga yang harus ditanam. Juga tugasku yang tak kunjung usai. Ah, itu hanya perlu diselesaikan. Terakhir aku melihat gadis yang belakangan sering hadir secara tiba-tiba di sekitarku. Ia tersenyum, manis sekali. Sama manisnya ketika aku juga tersenyum. Gadis itu adalah aku si pemilik senyum yang sama. Ia adalah aku yang melihat keindahan di ujung sana. Keluar dari ruang rahasia untuk memberitahuku bahwa hidup belum berakhir. Banyak harapan yang belum berbunga. Banyak cinta yang belum bermekaran. Hei! ternyata sebenarnya aku tahu kalau ini semua hanya sedikit goresan dari bahtera kehidupan. Belum terlambat untuk berlayar semakin jauh. Hingga usia yang mengakhiri perjalanan.
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
FOTO: DOKUMENTASI PRIBADI
aku malas menggubrisnya. “Masalahmu tidak akan pernah selesai kalau kamu hanya menggerutu dan meratap,” ujarnya lagi. Suaranya yang amat kecil tenggelam dalam hiruk pikuk mahasiswa lain yang memenuhi kantin. “Setidaknya berbahagialah dengan yang sedang kamu jalankan. Itu akan membantumu mengurangi beban pikiranmu walau mungkin hanya sedikit.” Saat aku hendak protes, dia sudah menghilang begitu saja dari hadapanku. Mengapa dia hanya datang untuk mengatakan kalimat-kalimat itu lalu pergi? Apa maksudnya? Tidak bisakah sebentar ia mendengar keluh kesahku? Gadis itu aneh sekali. Namun,katakatanya terpatri di pikiranku kala kerja kelompok sore ini. Aku melamun ketika teman-temanku sedang bergulat argumen. Hingga seseorang memanggil namaku dan membuyarkan semua pikiranku. “Kenapa?” tanyaku datar kepada seorang teman yang sedari tadi tersenyum. “Sudah dapat e-mail dari yayasan relawan yang kemarin kita daftar belum?” tanyanya. “Eh? Aku belum cek,” jawabku. Yang lainnya berseru tak sabar,“Ayo, cek! Kami keterima, loh! Kamu juga pasti keterima, La!” Sore itu cerah sekali. Cocok dengan raut wajah gembira teman-temanku ini yang sedari tadi tidak lelah melepas tawa, melempar senyum. Diam-diam aku mengecek e-mail dari ponselku. Ah, benar saja! Ada pesan masuk dari yayasan relawan itu.Namun … Apa? Permohonan maaf? Aku gagal? Apa lagi ini? Kalau kalian bisa melihat wajahku saat itu, kontras sekali dengan langit sore yang membentang. Kontras sekali dengan senyum dan tawa teman-temanku yang masih saja menghiasi meja bundar tempat kami berdiskusi. Ya Tuhan. Bagaimana aku bisa berbahagia kalau jatuh berulang kali? Menjadi orang paling tidak beruntung sedunia. Tanpa terasa buliran air sudah membendung di mataku, siap dijatuhkan. Tidak. Aku tidak boleh menangis di saat seperti ini. “Bagaimana, La?” tanya temanku lagi menyadari aku melamun untuk kesekian kalinya. “Aku belum baca,” jawabku cepat. Aku berpaling. Ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini. Rasanya jutaan jarum menghujam dada, menusuk hingga ke hati. Berharap langit tiba-tiba gelap, hujan turun tak berkesudahan. Lihatlah bahkan bunga-bunga langsung layu begitu aku melewatinya. “Kamu tidak perlu berbisik untuk meluapkan isi pikiranmu. Teriakkan saja. Jangan disimpan lebih dalam lagi, lebih lama lagi.” Lagi-lagi gadis ini lagi. Mengapa hobi sekali membuyarkan lamunanku? Dan kini aku hanya diam, lelah. “Ini. Kamu mungkin butuh ini,” ia menyodorkanku sebuah kubus berukuran 15 cm. Apa ini? Ringan sekali. “Bukalah,” katanya. Terpaksa aku
Sandra F. Fadhilah Kontributor Antalogi December Moon
*** Di dalam ruang rahasia itu aku bisa melihat jelas namaku terpampang. Inilah ruang milik Nila Swastamita Dikara. Warna ungu pada saat matahari terbenam yang indah. Seorang gadis yang diharapkan bisa menjadi seseorang yang dapat menyelesaikan persoalan yang ada dengan bahagia. Menutup hari dengan indah. Itulah makna yang diharapkan ketika kedua orang tuaku memberikan namaku. Dalam ruang ini ada banyak cinta yang terpancar sehingga hatiku hangat. Melihat
Economica 63 / 2021 63
POJOK
FOTO: ATIKA CHOIRUNNISSA | LFS FEB UI
Sisi lain no plastic bag movement Ruthana Bitia
Jika Anda ingin menjaga kelestarian lingkungan, mana yang akan Anda pilih: kantong plastik (plastic bag) atau reusable bag? Kemungkinan, anda tidak akan memilih kantong plastik. Namun, apakah Anda yakin pilihan tersebut sudah tepat?
S
ecara global, lebih dari satu juta kantong plastik digunakan setiap menitnya, dan sekitar 500 miliar kantong plastik digunakan setiap tahunnya. Tak bisa dipungkiri, sampah kantong plastik ini telah menumpuk hingga menyebabkan pencemaran air laut dan sungai. Pencemaran tersebut perlahan menyadarkan manusia betapa mengerikannya dampak penggunaan plastik terhadap lingkungan. Oleh karena itu, berbagai upaya untuk mengatasinya dilakukan di beberapa tingkatan.
64 Economica 63 / 2021
Dari Peraturan hingga Gerakan Anti Plastik Di level nasional, pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan kantong plastik berbayar di toko-toko ritel melalui Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Ketahanan No. S.71/Men LHK - II/2015 tentang Pembatasan Pemberian Kantong Plastik. Harapannya kebijakan ini dapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang bebas kantong plastik. Sayangnya, upaya ini nyatanya belum membuahkan hasil
yang cukup memuaskan. Di tahun 2016, Kementerian Lingkungan Hidup mencatat dari 66 juta ton sampah, 16% diantaranya masih berupa sampah plastik. Kebijakan memang dibuat secara menyeluruh untuk semua lapisan masyarakat. Namun, implementasinya seringkali tidak demikian. Toko-toko ritel modern seperti convenience store mungkin memang sudah menerapkan peraturan tersebut, tetapi penyebaran kantong plastik tidak berasal dari situ saja. Ada juga kontribusi dari sektor informal,
POJOK
Sebenarnya, Mana yang Lebih Ramah Lingkungan?
seperti warung, yang pada kenyataannya menyumbang lebih banyak sampah plastik dibanding sektor formal. Buktinya, data tahun 2018 menunjukkan bahwa sektor informal berkontribusi sekitar 70% dari total sampah plastik nasional. Lantas, efektifkah kebijakan tersebut? Terlalu samar untuk menjawabnya. Yang jelas, plastik yang dirasa sebagai ancaman ini telah mendorong lahirnya sebuah langkah masif yang gaungannya mampu mencapai telinga seluruh lapisan masyarakat. Salah satunya adalah melalui gerakan No Plastic
Terdapat banyak sudut pandang berbeda terhadap bagaimana kantong plastik berdampak pada lingkungan. Mayoritas orang menempatkan bahaya sampah plastik di urutan pertama sebagai alasan harus dikuranginya penggunaan kantong plastik. Benar saja, kantong plastik memang berkontribusi besar terhadap total sampah di dunia. Tidak menggunakan kantong plastik memang baik untuk lingkungan, tetapi tidak bisa disimpulkan sepenuhnya demikian. Jika mempertimbangkan faktor-faktor lain, seperti dampaknya terhadap perubahan iklim, penipisan lapisan ozon, dan keluaran emisi, kantong plastik memiliki dampak yang paling kecil dibanding para substitusinya. National Geographic dan banyak studi lainnya menyatakan bahwa meskipun kantong plastik dibuat dengan sumber daya tidak terbarukan seperti minyak bumi, tetapi emisi karbon, limbah, dan produk sampingan yang dihasilkannya lebih sedikit daripada produksi paper bag atau cotton bag. Dari sisi bahan yang digunakan, kantong plastik berbahan dasar polyethylene (PE)—yang sering dijumpai di toko—hanya butuh sekitar 763 megajoule, sedangkan compostable plastic dan paper plastic memerlukan sekitar 2.000 megajoule. Ditambah lagi, air dan energi fosil yang dibutuhkan compostable plastic 2 hingga 5 kali lipat lebih banyak dibanding kantong plastik biasa (Chaffee & Yaros, 2014). Selain itu, compostable plastic juga menghasilkan emisi yang jauh lebih besar. Sebuah studi dari Denmark berjudul “Life Cycle Assessment of Grocery Carrier Bags” menyebutkan cloth dan paper bag harus digunakan setidaknya 20.000 kali agar dampak negatifnya terhadap perubahan iklim setara dengan dampak kantong plastik biasa. Kantong plastik PE juga relatif kuat dan dapat digunakan kembali. Namun, permasalahannya adalah tidak banyak orang yang mau mendaur ulang, atau setidaknya memakainya kembali. Dibandingkan produk substitusinya, seperti tas belanja atau paper bag, kantong plastik PE memang lebih sering langsung dibuang daripada dipakai kembali. Hal ini membuat berton-ton sampah kantong plastik menumpuk setiap tahunnya sehingga membahayakan makhluk hidup.
sama-sama memiliki environmental cost baik saat tahap produksi maupun setelah digunakan. Bicara soal kantong plastik PE, maka masalahnya adalah sampah. Bicara soal cloth dan paper bag, maka masalahnya adalah emisi karbon. Menyimpulkan produk mana yang lebih sustainable bisa jadi sulit dilakukan. Terlepas dari apakah kantong itu berbahan plastik, kain, atau kertas, pilihan yang paling sustainable adalah menggunakan kantong yang sudah kita punya. Untuk setiap jenis plastik, jelas bahwa penggunaan kembali kantong atau tas belanja sesering mungkin akan mengurangi dampaknya terhadap lingkungan. Apapun bahannya, sebisa mungkin gunakanlah sampai benar-benar tidak dapat digunakan lagi.
FOTO : DOKUMENTASI PRIBADI
Bag hingga No Straw Movement. Selain itu, terdapat Hari Tanpa Kantong Plastik Sedunia yang diperingati setiap tanggal 3 Juli. Harapannya, masyarakat dunia bisa semakin mengurangi penggunaan kantong plastik dan memahami ancaman yang ditimbulkannya terhadap lingkungan.
Ruthana Bitia Badan Pengurus Harian Divisi Penerbitan Badan Otonom Economica
Lantas, apa yang perlu dilakukan? Mensubstitusi kantong plastik ke alternatif lain tidak semata-mata akan lebih ramah lingkungan. Baik kantong plastik maupun cloth bag atau paper bag
Economica 63 / 2021 65
FOTO: ESLINA R. OMPUSUNGGU
pojok
Prahara Rumah tangga Oliver J. M. S.
S
ipangorai termenung sendirian sepulangnya dari pasar. Ia sibuk memikirkan nasib anaknya, Parbegu yang tak kunjung memiliki istri dan dikaruniai keturunan padahal sudah menginjak kepala empat. Sudah jadi rahasia umum kalau tidak ada orang yang mau dipinang oleh Parbegu, selain fakta bahwa si lelaki memang tidak pernah meminang siapapun. Suatu hari, ketika Parbegu menginjak usia delapan tahun, orang mulai menyadari perbedaan kondisinya dibanding kawan-kawan seumurannya. Kala itu, guru mengajar matematika seperti biasa. Parbegu duduk di baris paling belakang. Seragamnya yang penuh ingus kering membuat Parbegu dijauhi teman-temannya karena rasa jijik. Alih-alih mencoba memahami materi, ia malah asik sendiri mengunyah buku catatannya hingga lumat. Ada yang salah dengan kepalanya, ia idiot. Ia bahkan tidak mampu mengucap satu kalimat lengkap secara utuh. Nama penyakitnya tidak diketahui secara pasti karena orang tuanya tidak pernah membawanya ke dokter spesialis kejiwaan. Selain karena tidak punya uang, tempat tinggal mereka jauh di pelosok terpencil Sumatera Utara. Hidup di wilayah pedesaan kecil yang sarat kekeluargaan berarti harus siap berdampingan dengan mulut-mulut lemas
66 Economica 63 / 2021
milik tetangga. Dalam sekejap mata, di hari nahas itu, semua orang tua sepakat mencoret nama Parbegu dari daftar calon menantu masa depan. Suara kokok ayam bersahut-sahut seharusnya membangunkan Sipangorai.. Namun, sejak dini tadi Sipangorai sudah sibuk menyusun kayu bakar dalam tungku. Suaminya muncul dari balik kelambu penutup kamar kurang lebih setengah jam kemudian. Mereka duduk di beranda rumah beralas ubin. Menyeruput secangkir kopi hitam dan mengunyah jagung rebus yang baru masak. “Sebentar lagi aku akan ke pajak (pasar),” uap putih ikut keluar dari mulut Sipangorai akibat suhu dingin di luar rumah. “Kalau Parbegu sudah bangun dan aku belum pulang, janganlah kaupergi dulu ke ladang. Tunggu aku,” tambahnya. Seorang pedagang yang baru saja memulai pencarian peruntungan, mencuri pandangnya saat ia mengunjungi salah satu gerai sayur langganan. “Siapa gadis itu?” tanyanya pada si tukang sayur. “Anak baru, Inang. Gantinya Ito Sidabutar yang gulung tikar sejak minggu lalu.” “Bagak nai. Ise do goarni? (Cantik juga. Siapa namanya?)” Sipangorai tertarik akan kecantikan gadis itu. “Bah, kurang tahu aku. Belum ada
kenalan, mana sempat. Sibuk mengurus inang-inang sekalianlah dari pagi.” Tukang sayur itu menutup percakapan dengan tertawa renyah sembari menyerahkan bungkusan berisi sayur dan cabai berikut kembalian. Nama gadis itu adalah Marta Dalam tempo dua minggu, ia sudah jadi langganan Sipangorai. Sipangorai bahkan sudah tahu banyak hal tentang Marta. Dari mana asalnya, berapa usianya, makanan favoritnya, dan tetek bengek. Dagangannya memang tidak jauh berbeda dengan tukang sayur lainnya, tetapi Sipangorai terpincut oleh perangainya yang lembut. Pada minggu ketiga, ia memberanikan dirinya untuk mengeluarkan beban pikirannya selama ini. “Nak, kau kan masih gadis. Adakah pikiran melepas lajang?” Sipangorai purapura berceletuk sambil pura-pura memilah tomat. “Kalau itu sih pasti ada, Inang. Masalahnya calonnya itu yang belum ada,” jawab Marta. “Nah, cocok. Bagaimana kalau dengan anakku? Tapi anakku itu sedikit gila.” Sipangorai menatap Marta penuh pengharapan. “Ah, Inang. Selama masih berkaki dua, bertangan dua, dan berkepala satu, sih, tak jadi persoalan ,” jawab Marta.
pojok putranya. Dadanya serasa tersekat, jantung memompa darah sangat cepat, urat nadi menyembul di pelipisnya. Pada momen itu juga ia akhirnya muak pada dunianya, perasaan gagal berkecamuk di hatinya, ia merasa gagal karena telah membesarkan seseorang yang hampir melakukan tindak rudapaksa. Namun,di sisi lain ia tahu bahwa ia tidak bisa menyalahkan anaknya begitu saja, apalagi setelah melihat kondisi lebam pada wajah Parbegu. Ia memeluk buah hatinya, sisa-sisa harapan, dan meminta maaf. “Carilah istrimu. Minta maaf padanya, bicaralah baik-baik.” Tanpa ia sadari, air mata meleleh deras membanjur pipinya. Parbegu menemukan Marta sedang duduk berkawan terik matahari di bawah kerindangan pohon di tepian ladang. “A-aku … min--minta … ma--maaf …” Parbegu bersusah payah mengucap kalimat itu. Marta terlonjak kaget akibat sepotong suara hadir mengganggu kesendiriannya. Tiba-tiba, Marta pergi meninggalkannya tanpa menggubris sama sekali. Pria itu tidak tinggal diam. Mereka berkejaran di antara gugus pohon kopi, meliuk-liuk di selanya, berlari kencang saat gugusan itu berjarak jauh. Skenario kucing dan tikus berlangsung cukup lama. Stamina keduanya sama kuat, kecepatan mereka pun tak jauh beda. Sampai ketika Marta harus mengurangi kecepatan demi menghindari hadangan sebuah batu besar, Parbegu sigap melemparkan badannya ke arah target di depannya dengan tangan terjulur penuh. Celana istrinya tergapai, ikut jatuh bersama tangan Parbegu, melorot. Sesuatu menggantung di antara pahanya. Parbegu tidak berkata apa-apa, karena ia tidak pernah diberi penjelasan mengenai beda antara pria dan wanita oleh siapapun. Ia segera berdiri untuk berupaya meminta maaf sekali lagi, tetapinahas. Sebongkah batu menghantam kepalanya, membuatnya pecah dan memuntahkan darah dalam jumlah banyak. Belum sempat mengambil langkah, Marta keburu dicegat oleh petani ladang yang ternyata memerhatikan polah keduanya sedari tadi. Orang asing itu mengacungkan parang ke arahnya, lantas bertanya, “Mengapa kau bisa kuat mengangkat batu sebesar itu?” “Sebab namaku Marta. Singkatan dari Umar Talib.” ***
FOTO: DOKUEMNTASI PRIBADI
Persetujuan tak tertulis itu akhirnya dibawa ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.Pernikahan Parbegu dan Marta dilangsungkan dalam skala kecil dan hanya dihadiri kerabat dekat saja. Meski begitu, hari penuh sukacita tersebut tetaplah semeriah pesta-pesta megah lainnya. Tampak beberapa orang mengintip dari jauh, merekalah orang-orang yang sempat mencoret nama Parbegu dari daftar calon menantu. Mereka mengintip bukan untuk sedikit saja ikut berbahagia, namun lebih kepada membayar hasrat ingin tahu mereka akan orang normal macam apa yang sudi menikah dengan Parbegu. Sepasang pengantin baru itu dihadiahi sepetak rumah untuk pernikahan mereka oleh orang tua Parbegu, setelah sebelumnya sempat tinggal berempat di bawah satu atap yang sama selama beberapa bulan. Di sanalah Marta membaktikan diri pada suaminya.Marta menjadi istri yang baik, penuh kasih dan sayang pada Parbegu yang memang butuh perhatian lebih. Komunikasi antara mereka memang terbatas, tetapi tidak jadi masalah. Setiap sebelum berangkat ke pasar, ia menyempatkan diri untuk selalu memandikan Parbegu, menyuapinya makan, memakaikan bajunya, dan menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga lainnya. Ia akan kembali pada
siang menjelang sore dengan tergesa, lalu dengan sentuhan lembut yang sama serupa di pagi hari, sekali lagi menyuapi Parbegu yang sudah mangap-mangap tanda kelaparan, dan memandikannya sekali lagi, mengganti bajunya lagi, dan begitu seterusnya. Delapan bulan setelah pernikahannya, sepulangnya dari pasar secara kebetulan Marta bertemu Sipangorai di pekarangan rumah keduanya yang jadi satu. Tanpa basa-basi Sipangorai lantas bertanya sebagaimana mertua-mertua lain di dunia ini, “Belum isi, kah kau?” “Belum, Inang. Mungkin belum rezeki kami,” jawab Marta. “Ah, cepat-cepatlah isi. Sudah tak sabar kali aku mau menggendong pahompu (cucu),” ujar Sipangorai yang saat itu sedang menyirami taman bunga. “Diusahakan, Inang. Aku masuk rumah dulu ya, Inang,” Marta mengangguk sambil berlalu. “Habis kau kasih dia makan, langsung saja, lah! Sore-sore begini mumpung masih segar,” teriak Sipangorai dengan lantang agar Marta dapat mendengarnya. Suatu hari, Parbegu bercerita ke ibunya bahwasanya ia kesepian dan sejak malam pertama ia dan Marta di rumah baru, ia sudah tidur sendirian di kasur karena Marta selalu menghabiskan malam di sofa ruang tengah. Mendengar cerita itu, Sipangorai heran. “Aku selalu mengira, apabila sepasang manusia telah menikah, seorang bayi akan datang dari langit begitu saja,” jawab Parbegu ketika ditanya tentang anak yang belum juga hadir di kehidupan rumah tangganya. “Aduh Amang, bukan begitu cara kerja dunia,” Sipangorai mengakhiri percakapan malam itu dengan menjelaskan tata cara manusia beranakpinak. Berkat penjelasan dari ibunya, kini Parbegu punya satu tujuan yaitu tidur bersama Marta demi memperoleh keturunan. Besok malamnya, kamar Parbegu berisik sekali, penuh gemuruh dan teriakan. “Lepaskan aku! Lepaskan!” Marta sedang meronta-ronta untuk dapat lepas dari cengkeraman Parbegu. Reaksi Marta malah memperkuat kukungan Parbegu. Ia menarik tangan istrinya dan menidurkannya di tempat tidur, menindihnya, merobek bajunya, lantas bersiap melakukan penetrasi. “Aku bilang lepaskan!” Siku Marta mendarat di hidung Parbegu, membuat lelaki itu terjungkal sesaat. Sepersekian detik dimaksimalkan Marta sebaik mungkin, ayunan kaki kanannya menghilangkan kesadaran Parbegu. Melihat suaminya terkapar di lantai tidak membuatnya merasa bersalah sedikitpun, alih-alih ia segera menghampiri lemari dan mengganti bajunya yang telah koyak. Kemudian, seperti sedang dikejar setan, ia kabur dari pandangan. *** Dua tamparan keras di pipi mengembalikan Parbegu ke status siuman. Sipangorai murka, dan momen itu adalah kali pertama ia memarahi
Oliver J. M. S. Badan Pengurus Harian Divisi Kajian Badan Otonom Economica
Economica 63 / 2021 67