ISSN: 2301-8666
1
08/201302/III/JONG INDONESIA
Pemimpin Umum : Reonaldus Pemimpin Redaksi : Akhirta Atikana Sekretaris Redaksi : Nila Fariza Azilia Editor : Lafrania Taufik, Herlambang P. W., Yasmine Soraya, Reporter : Ridwansyah Yusuf Achmad, Ibnu Khamais, Bening Mayanti, Riany Ananti M., Zulham Sirajuddin, Dina Banjarnahor, Inna Armandari, Juliani Harjana, Mikael Pratama Desain & Layout : Vincentia Esti W., Ina Sabriana Saptiono, Ryvo Octaviano, Sasmita Aditya Xu Fotografer : Titis A.K. Wardhani
Pembaca yang budiman, dengan mengucapkan di bidang pendidikan, maka keadilan sosial di Indonesia puji syukur kehadirat Tuhan YME, kembali kami hadirkan Majalah Online Jong Indonesia No. 8 tahun ke III ini ke hadapan anda.
Di tulisan utama kali ini, Sekjend PPI Belanda 2012-2013, Ridwansyah Yusuf Ahmad, mencoba untuk Membangunkan semangat para pemuda Indonesia yang seolah kini sedang tidur terlalu lama. Yusuf berpendapat bahwa kebangkitan sebuah negeri dimulai dari bangkit dan bersatu nya para pemuda. Untuk itu, ia mengajak para pemuda Indonesia dimanapun berada untuk terus berkarya dan ikut serta menjadi bagian dalam menyalakan obor perjuangan untuk kebangkitan bangsa. Karya untuk bangsa, salah satu nya melalui RadioPPIDunia, demikian ulasan Deni Danial Kesa, Direktur RadioPPIDunia 2011-2012. Radio PPI Dunia membawa idealisme dari Symposium Internasional PPI dari Seluruh Dunia di DenHaag tahun 2009. Hingga saat ini, RadioPPIDunia telah menjadi tempat berkumpul, bercengkrama dan berdiskusi para pelajar Indonesia dari seluruh dunia. Deni berharap kelak di masa depan RadioPPIDunia dapat menjadi mitra berkelanjutan dari Perhimpunan Pelajar Indonesia diseluruh dunia, dalam rangka ikut memberikan sumbangsih bagi Indonesia melalui karya-karya nya. Pendidikan adalah alat yang penting agar bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa berdaulat di berbagai bidang, demikian yang ditulis Fridiyanto dalam opini nya. Lebih jauh ia mempertanyakan implementasi dari keadilan sosial di era kemerdekaan, karena tanpa keadilan
2
hanyalah utopia belaka. Untuk mencapai keadilan bidang pendidikan, Fridiyanto mengajak semua pihak bersamasama peduli dan berkomitmen untuk mengatasi masalahmasalah mendasar di bidang pendidikan. Sebagaimana juga Andi Yani yang mengajak masyarakat, organisasi masyarakat sipil dan akademisi untuk ikut serta aktif dan bekerja sama dalam mengawasi kerja pemerintah, terutama dalam upaya transparansi pengelolaan negara dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pembaca yang budiman, selain artikel-artikel tersebut tentu masih banyak tulisan-tulisan lain yang tak kalah menarik dan patut untuk dibaca. Dan seperti biasa, saran, kritik dan kontribusi artikel serta foto dari para pembaca selalu kami nanti. Disamping itu, kami juga kembali membuka kesempatan untuk teman-teman yang berminat bergabung menjadi bagian Redaksi Jong Indonesia 2013 untuk segera menghubungi kami. Kami harap sajian kali ini mampu menyalakan semangat dalam diri kita, para pemuda, untuk senantiasa terus berjuang dan terus berusaha memberikan yang terbaik dari diri kita, demi Indonesia. Selamat membaca ! Salam Redaksi Jong Indonesia Pemimpin Redaksi Akhirta Atikana
08/201302/III/JONG INDONESIA
ISSN: 2301-8666
2 3 4 6 10 13 14 16 18 21 23 26 28
3
Dari Redaksi daftar isi Topik Utama: Menyalakan Obor Kebangkitan Pemuda Indonesia Pendidikan dan Keadilan Sosial: Memerdekakan Masyarakat Marjinal Swiss: Keindahan yang Mahal Grup Tari Wahana Budaya Nusantara Kepercayaan pada Pengelola Negara Radio PPI Dunia : Merangkai Karya di Udara Berkreasi Untuk Negeri PhD: Philosophiae Doctor or Permanent head Damage? Libur Musim Panas bersama Climate Knowledge dan Entrepreneurship Pesona Andalusia Cerpen: Mas, nasib getir tak perlu dipikirkan! Kabar PPI kota
08/201302/III/JONG INDONESIA
Menyalakan
Obor
Kebangkitan
PEMUDA INDONESIA
(*)Ridwansyah Yusuf Achmad
Sekjend PPI Belanda 2012-2013 International Institute of Social Studies of Erasmus University Rotterdam Netherland Fellowship Program Scholars
Jika tidak ada kesukaran, tidak ada kesuksesan. Jika tidak ada sesuatu yang diperjuangkan, tidak ada yang akan dicapai -Edmund Burke
Pada tahun 1926, Bung Hatta menyampaikan sebuah orasi politik yang terkemuka ketika beliau dilantik sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia, orasi yang berjudul ‘The Structure of Global Economy and the Conflict of Power’ ini menekankan pentingnya kemandirian Indonesia dalam menghadapi tantangan ekonomi global. Saat itu, Bung Hatta bahkan menyampaikan sikap yang tegas tentang kemerdekaan Indonesia sebagai harga mati atas perjuangan yang beliau dan rekan-rekannya lakukan di dalam dan luar negeri. Orasi politik ini berlanjut dengan diterbitkannya majalah ‘Indonesia Merdeka’ sebagai salah satu bentuk ekspresi perjuangan dan diplomasi yang dilakukan oleh pemuda. Kurang dari 20 tahun sejak orasi tersebut, Indonesia meraih kemerdekaannya. Identitas sebagai ‘Indonesia’ berhasil dibentuk dan menjadikan bangsa ini memiliki sebuah negara yang berdaulat. Apa yang diraih pada tahun 1945 adalah buah dari proses panjang.
Menariknya, sejarah Indonesia mencatat, peran pemuda kala itu sangatlah signifikan. Kala, generasi tua lebih memilih untuk menunda kemerdekaan, hasrat besar tentang kemerdekaan memaksa pemuda melakukan manuver untuk mendesak agar kemerdekaan segera diproklamirkan. Ketika, generasi tua berpikir hanya terbatas daerahnya, pemuda telah lebih dulu memiliki identitas ke-Indonesia-an dan merobek semua batas kedaerahan. Kini, 67 tahun sejak Indonesia merdeka atau 87 tahun sejak Bung Hatta menyampaikan orasi politiknya. Bentuk perjuangan berubah, namun tidak ruh dari perjuangan itu sendiri. Salah satu kunci dari keberhasilan pergerakan pemuda adalah peran kelompok terdidik. Ada sebagian dari pemuda Indonesia yang berkesempatan untuk menempuh pendidikan di Belanda. Hebatnya, mereka tidak hanya belajar dan menyerap ilmu, tetapi melakukan diplomasi tingkat tinggi hingga berhasil mengibarkan nama Indonesia ke permukaan dunia. Bung Hatta di Belanda dan Bung Karno di Indonesia, tanpa menepis peran dari tokoh lainnya, dua tokoh ini menjadi pilar pergerakan di luar dan dalam negeri. Dari sini kita bisa belajar, bahwa sejarah kembali mencatat, separuh kekuatan pemuda berada di luar negeri. Pendiri bangsa ini telah menyalakan obor perjuangan pemuda, kini obor itu diestafetkan kepada kita, pemuda Indonesia saat ini. Pergiliran kepemimpinan itu sebuah keniscayaan, dan merujuk pada WS Rendra, kepemimpinan itu adalah manifestasi dari kesadaran, kesabaran, keberanian, dan perjuangan. Sadar bahwa dirinya adalah bagian dari rakyat dan berkomitmen untuk mewakafkan dirinya untuk rakyat. Sabar akan segala rintangan dalam proses berkontribusi untuk negeri. Berani mengatakan yang benar sebagai kebenaran.Dan berjuang untuk selalu mempertahankan api kemerdekaan Indonesia.
4
08/201302/III/JONG INDONESIA
Kesadaran adalah matahari. kesabaran adalah bumi. Keberanian menjadi cakrawala Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata -W.S. Rendra
Apa kabar Indonesia?
Indonesia kini tercatat sebagai salah satu negara dengan ekonomi terkuat di dunia. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2012 adalah sekitar 920 milliar dollar (USD) yang merupakan terbesar ke-17 di dunia. Konsultan ekonomi global memproyeksikan Indonesia sebagai negara ke-7 ekonomi terkuat pada tahun 2030 dengan 113 juta kebutuhan tenaga kerja terampil dan potensi 135 juta masyarakat kelas menengah. Ironisnya, statistik menunjukkan 50% rakyat Indonesia hidup dengan penghasilan kurang dari USD 2 per hari, dengan tingkat pengangguran 7% dari jumlah penduduk usia kerja dan 62,71% ekonomi Indonesia digerakkan oleh sektor informal.
Apa Kabar Pemuda?
Otokritik untuk pemuda Indonesia saat ini perlu disampaikan, kita harus menerima kenyataan bahwa kita berada pada kondisi yang tidak begitu menggembirakan. Pemuda tampak “sedang tidur terlalu lama”. Sebagian dari Indonesia muda memiliki kecenderungan skeptis tentang negara ini, dan hanya peduli dengan belajar untuk hidup sejahtera bagi pribadinya sendiri. Sudah saatnya pemuda berpikir lebih dari itu, kepedulian itu tidak hanya untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga perlu menyisihkan kepedulian kepada masyarakat sekitar. Bila individualistis dibawa ke dalam kehidupan berbangsa, maka permasalahan akan bermunculan. Pemuda perlu membuktikan kepedulian sosial mereka, terutama mereka yang terdidik, sebagaimana pendahulu kita mencontohkan. Namun keadaan yang ada ini bukan untuk menjadikan kita pesimis tentang masa depan Indonesia. Sebagaimana judul dari tulisan ini, kita nyalakan obor kebangkitan pemuda Indonesia. Setidaknya terdapat 3 potensi pemuda Indonesia saat ini, yaitu pemuda kini adalah seorang native democracy, pemuda lebih terkoneksi, dan banyaknya pemuda yang menempuh pendidikan di luar negeri. Pemuda saat ini adalah hasil dari rahim reformasi tahun 1998, sebagian dari pegiat muda Indonesia adalah mereka yang tidak merasakan langsung otoriternya Orde Baru. Mereka tumbuh dan mengenal dunia ketika demokrasi telah menjadi bagian dari kehidupan. Sehingga, suasana represif dan anti-kebebasan tidak pernah benar-benar dialami. Saya menggunakan istilah native democracy, untuk menggambarkan kelekatan pemuda dengan demokrasi saat ini. Sebagai perbandingan, saya menggunakan istilah 5
migrant democracyuntuk para generasi sebelum kita. Mereka hidup dan tumbuh dalam keadaan represif dan kini dipaksa untuk menjalani demokrasi. Sehingga banyak mereka hanya seperti ‘anggur lama di botol yang baru’. Pemuda saat ini sangat lebih mudah terkoneksi dengan sesama pemuda di dalam dan luar negeri. Keterkaitan gerakan pemuda di dalam dan luar negeri perlu menjadi perhatian tersendiri.. Sebagaimana Bung Hatta dan Bung Karno yang secara sinergis melakukan berbagai eskalasi perjuangan menuju kemerdekaan. Kala itu belum ada jejaring dunia maya yang bisa menghubungkan antarbenua. Kini dengan perangkat teknologi dan komunikasi yang semakin muktahir, seharusnya kita mampu memberikan yang lebih baik untuk perubahan negara. Sudah saatnya pemuda tidak lagi bicara tentang ‘aku’ dan ‘kelompok aku’, melainkan ‘kita’ sesama Indonesia Muda. Lebih banyaknya jumlah pemuda yang menikmati pendidikan di luar negeri juga menjadi sebuah prestasi tersendiri. Kemendikbud mencatat sekitar 50.000 pelajar Indonesia terpencar di berbagai belahan dunia, ini belum termasuk mereka yang bekerja atau berbisnis. Jelas, jumlah yang besar ini adalah potensi yang sangat menjanjikan. Tantangannya adalah, potensi besar ini belumlah terkelola dengan baik. Masih banyak pemuda yang lepas studi bingung akan bagaimana cara berkontribusi di Indonesia. Perhimpunan Pelajar Indonesia memiliki peran strategis untuk menghimpun potensi yang berserak ini. Obor yang menyala terang itu sekarang berada di tangan generasi muda. Tugas kita sebagai progressive minority yang senantiasa bergerak untuk memastikan obor ini selalu menyala dan membangkitkan hasrat perjuangan pemuda Indonesia. Kebangkitan pemuda adalah kebangkitan sebuah negeri. Bila pemuda mampu sadar, sabar, berani, dan berjuang untuk bangsa, maka tinggal menunggu momentum yang tepat hingga kemandirian bangsa itu terwujud. Bahkan, saya sangat percaya momentum bukan sesuatu yang ditunggu, melainkan sesuatu yang bisa direncanakan. Teringat rumus fisika, momentum adalah perkalian dari massa dengan kecepatan. Bila kita bisa memperbanyak jumlah pemuda yang menjadi bagian progressive groupdan mendorong agar berlari lebih kencang, maka momentum itu akan hadir menghampiri perjuangan pemuda. Kini, Indonesia dalam posisi positive demographic transition, pakar demografi bahkan melihat potensi baby booming dari Indonesia hingga mencapai 330 juta jiwa. Artinya kita akan memiliki lebih banyak generasi produktif dalam 10-20 tahun kedepan. Jumlah penduduk yang besar jelaslah sebuah prasyarat untuk menjadi negara maju. Tantangan untuk pemuda saat ini adalah bagaimana memastikan rakyat Indonesia bisa memiliki penghidupan yang layak serta memiliki kesadaran akan tanggung jawab sosialnya. (*)
08/201302/III/JONG INDONESIA
Pendidikan dan Keadilan Sosial:
MEMERDEKAKAN
Masyarakat Marjinal (*)Fridiyanto
Dosen IAIN Sumatra Utara, sedang berada di Groningen, Belanda
�Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia� selalu disuarakan dan diperjuangkan berbagai elemen: masyarakat, aktivis, mahasiswa, akademisi, politisi, dan pemerintah. Namun, keadilan sosial tidak pernah berhenti dipertanyakan implementasinya di era kemerdekaan Indonesia. Keadilan sosial yang seperti apa? Bagaimana cara mewujudkan keadilan sosial di Indonesia? Dalam perspektif pendidikan, keadilan sosial di Indonesia hanyalah utopia jika keadilan dalam pendidikan belum diwujudkan. Di tengah kompleksitas permasalahan bangsa Indonesia, pendidikan adalah modal dan alat untuk mewujudkan kemerdekan Indonesia seratus persen dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya.
Mengapa Pendidikan itu Paling Penting? Durkheim (1925) mengatakan bahwa pendidikan merupakan media internalisasi nilai, etika, dan moral untuk menjalankan peran sosial, sedangkan di tatanan masyarakat industri, pendidikan berfungsi untuk melatih keahlian indvidu agar menjadi produktif dan bermanfaat bagi produksi barang. Bertrand Russell (1932) mengajukan pertanyaan: apakah pendidikan seharusnya melatih individu yang baik atau warga negara yang baik? Lortie (1975) berpendapat pendidikan berperan dalam membentuk generasi muda dan mempengaruhi kehidupan mereka untuk meraih peluang.
6
Mengenai pendidikan, Bung Karno juga menyampaikan konsep bahwa dengan pendidikan, generasi muda Indonesia bisa merebut dua citacita: cita-cita individu dan cita-cita kolektif. Cita-cita individu merupakan sebuah kewajiban bagi setiap generasi muda Indonesia untuk mewujudkan keinginan pribadi dalam memperoleh ilmu, kesejahteraan, dan mengangkat harkat martabat keluarganya. Sedangkan cita-cita kolektif, yaitu sebuah kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia untuk membangun masyarakat dan mengangkat marwah bangsa Indonesia. Bagi individu, pendidikan akan memberikan keterampilan baru dan kualifikasi yang dibutuhkan untuk pekerjaan maupun pengembangan diri yang berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan. Kesehatan, keaktifan, kualitas keluarga, dan kebudayaan tidak terlepas dari tingkat pendidikan yang diperoleh individu. Dalam perspektif ekonomi, secara mikro, pendidikan akan mengembangkan potensi “intelektualitas modal� sehingga individu memiliki konsep dan strategi dalam persaingan bisnis. Menurut Osborne (2001), dengan pendidikan, kinerja bisnis seseorang akan lebih baik. Secara makro, pendidikan akan mempersiapkan perangkat yang mengelola industri dan menciptakan inovasi teknologi. Penelitian dan pengembangan merupakan produk pendidikan yang dibutuhkan bagi pembangunan ekonomi. Sedangkan bagi negara, pendidikan merupakan modal sosial, modal budaya, dan modal manusia. Sebagai modal sosial, Durkheim berpendapat pendidikan dapat menjadi perekat sosial, dimana individu yang memiliki standar individu, keluarga, dan komunitasnya dapat memahami dan mengikuti standar universal, sehingga dapat mendorong dan mensosialisasikan 08/201302/III/JONG INDONESIA
individu untuk hidup bersama di masyarakat yang lebih besar. David Ulrich menyebutnya dengan social chemistry, dimana pendidikan berpengaruh terhadap peleburan sosial. Konsep life together ini telah menjadi salah satu tujuan pendidikan UNESCO. Pada pendekatan modal manusia yang dipelopori Adam Smith dan Schult, pendidikan selalu mengatasnamakan kepentingan produktivitas. Produktivitas hanya bisa dicapai ketika pekerja diberikan pendidikan dan pelatihan dalam berbagai varian kerja yang dibutuhkan. Bank Dunia (2002) mengidentifikasi kebutuhan terhadap modal manusia yang adaptif, kreatif, fleksibel, dan inovatif yang semuanya hanya bisa diperoleh melalui pendidikan. Sebagai modal kultural, pendidikan berperan sebagai internalisasi nilai, keyakinan, ideologi dan perspektif yang dibutuhkan untuk melestarikan kebudayaan. Dengan pendidikan, bangsa Indonesia bisa melestarikan kebudayaan lokal dan kebudayaan nasional, bahkan pendidikan dapat menciptakan budaya positif baru yang dibutuhkan bagi pembangunan.
Masyarakat Marjinal Ingin Pendidikan
besar seperti pengemis, anak jalanan, pedagang asongan, tukang parkir, pekerja seks komersil, dan pengangguran. Mereka adalah masyarakat adat yang berjuang mempertahankan budaya dan kearifan lokal ditengah-tengah gemerlap posmodernitas. Mereka adalah masyarakat desa terpencil dan masyarakat daerah perbatasan yang tidak merasakan nikmatnya pembangunan. Masyarakat marjinal tersebut menjadi mayoritas diam dan mayoritas tertindas yang tidak memahami haknya, karena mereka tidak menyadari bahwa mereka mempunyai hak. Mereka takut menjadi manusia merdeka karena memikirkan kemerdekaan itu sendiri mereka takut. Sistem politik dan sistem modal yang menindas menjadi proses dehumanisasi yang menghasilkan individu robotik mekanis. Sistem terus membiarkan masyarakat marjinal dalam kesadaran mistis yang meyakini segala sesuatu adalah kehendak alam. Karena suatu masyarakat yang memiliki kesadaran kritis akan mengancam eksistensi institusi dan sistem yang bobrok. Proses dehumanisasi dan pembusukan kemanusiaan itu dijalankan dengan pendidikan yang tidak transformatif, yaitu dimana pendidikan merupakan energi dorong bagi individu untuk melihat, menyadari, memaknai, mengkritisi dan bertindak untuk mengubah dirinya dan masyarakatnya untuk menjadi lebih baik.
Karl Marx menyebut masyarakat marjinal dengan istilah Kaum Proletar, Bung Karno menggunakan istilah Kaum Marhaen, sedangkan Tan Malaka mempopulerkan istilah Kaum Murba. Tiga istilah dari para tokoh tersebut adalah sebutan untuk Kelas pekerja dan Kaum Tani. Kelas pekerja dan Kaum tani merupakan kelas sosial mayoritas yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan mengubah gerak ekonomi dan politik. Namun, mereka selalu dipinggirkan dan dilemahkan oleh sistem pemerintahan Machiavelis yang berkolaborasi dengan sistem modal yang eksploitatif.
Pendidikan di Indonesia harus memiliki filosofi dan visi keadilan sosial bagi masyarakat marjinal. Keadilan sosial adalah prinsip bahwa setiap individu maupun komunitas dijamin haknya untuk memperoleh kesempatan dan penghargaan yang sama (Brennan, 2007). Sementara Rawls (1971) menyatakan bahwa syarat keadilan sosial adalah adanya distribusi merata kebutuhan pokok, kebebasan dalam peluang, serta hak akan pendapatan dan kekayaan. Dalam perspektif akses pendidikan, konsep Rawls menginginkan setiap individu mempunyai hak pilihan yang sama. Masyarakat marjinal mempunyai Dalam konteks Indonesia modern dan era reformasi, hak sama untuk meningkatkan taraf hidup dengan masyarakat marjinal tidak cukup hanya buruh dan jalur pendidikan. Menurut Bessell (2009) ada tani. Masyarakat marjinal adalah para pekerja tiga penyebab kemiskinan di Indonesia. Pertama, outsourcing yang tidak dilindungi oleh negara melalui lingkungan keluarga yang membentuk pengalaman Undang-undang Tenaga Kerja maupun pekerja tetap anak terhadap kemiskinan. Kedua, kemiskinan yang terus memperjuangkan upah minimum dan merupakan hasil dari pemerintahan otoritarian. standar hidup layak. Mereka adalah para petani Ketiga, mahalnya biaya pendidikan dan perlakuan tidak bertanah, karena sawah, ladang, dan kebun tidak adil yang diberikan di sekolah terhadap anak mereka diserobot korporasi secara paksa maupun keluarga marjinal. melalui sistem, misalnya pola kemitraan yang banyak menyulut konflik agraria di Indonesia. Mereka Permasalahan pendidikan yang memiskinkan kelas adalah masyarakat urban yang menghiasi kota-kota marjinal telah mendapat kajian serius oleh Paul Wilis 7
08/201302/III/JONG INDONESIA
(1977) dalam buku Learning to Labor: How Working Class Kids Get Working Class Jobs, yang mempelajari bagaimana distribusi dan akses pendidikan untuk kelas pekerja telah diatur tidak adil untuk terus menciptakan kelas pekerja. Sehingga anak dari keluarga pekerja dipersiapkan untuk menjadi kelas pekerja baru. Lingkaran setan pemiskinan yang dijelaskan Wilis (1977) dan Besell (2009) semestinya tidak terjadi di Indonesia, ketika masyarakat marjinal memiliki hak dan perlakuan sama dalam pendidikan. Bourdieu (1973) menggambarkan yang terjadi di Perancis, bagaimana pendidikan telah berperan penting mereproduksi kelas sosial dan kelas ekonomi. Di Indonesia, tesis Bourdieu tersebut dapat dilihat secara kasat mata mulai dari level tempat penitipan anak sampai perguruan tinggi. Di tingkat tempat penitipan anak (TPA), keluarga masyarakat marjinal ketika pergi kerja, mereka tidak bisa menitipkan anak di lembaga-lembaga bisnis TPA karena tidak memiliki biaya sebagaimana masyarakat menengah atas.
pengelolaan pendidikan. Pendidikan telah menjadi barang dagangan yang dapat dibeli dan dijual berdasarkan prinsip supply and demand. Kampuskampus bergengsi (berkualitas) bukan lagi untuk mendidik rakyat, tetapi sudah dibeli dan dimonopoli oleh golongan mampu. Misalnya, untuk masuk program studi yang prospektif seperti Kedokteran, Teknologi Informasi, Teknik, Ekonomi dan Bisnis, anak dari keluarga marjinal yang memiliki kemampuan intelektual harus dikalahkan oleh anak golongan mampu yang belum tentu memiliki intelektualitas, tetapi dengan uang mereka bisa membeli kursi pendidikan berkualitas.
Pendidikan bukan untuk Outsourcing
Di sebuah era yang mengagungkan produktifitas, sains dan teknologi sangat dibutuhkan. Hal ini berdampak terhadap meningkatnya kebutuhan pekerja dengan keahlian khusus. Pabrik, Perbankan, Di tingkat taman kanak-kanak (TK), dengan biaya yang Industri, Teknologi Informasi, Pertanian dan mahal, masyarakat marjinal tidak bisa merasakan perkebunan, Asuransi dan Finansial membutuhkan dan melihat anak mereka bermain sambil belajar di pekerja handal. Tingginya kebutuhan akan pekerja TK yang merupakan persiapan bagi anak-anak untuk terampil membuat dunia modal menginvestasikan masuk sekolah dasar. Tidak adanya akses pendidikan kepentingannya melalui pendidikan, dan lembaga usia dini bagi anak masyarakat marjinal berdampak pendidikan pun menerimanya sebagai peluang. secara psikologis karena fase bermain sambil belajar Berikutnya, pendidikan seperti hanya menjadi pabrik mereka harus dihabiskan dengan menghabiskan pencetak individu-individu robot yang siap bekerja waktu bersama kemiskinan. demi kepentingan modal. Di level sekolah dasar (SD), sekarang telah menjadi lahan bisnis yang menggiurkan dengan berbagai branding dan label SD: Sekolah Dasar Terintegrasi, Rumah Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), Sekolah Berbahasa asing, yang secara jelas telah menciptakan segregasi sosial, ketimpangan ekonomi, dan yang terpenting adalah masyarakat marjinal tidak akan pernah bisa menyekolahkan anak mereka di �sekolah-sekolah bisnis� tersebut karena biaya yang mahal. Penderitaan anak-anak marjinal belum berhenti disitu, di SD kelas pinggiran pun mereka masih mendapat tekanan secara finansial maupun bullying. Di level SMP dan SMA negeri maupun swasta yang melabelkan diri berkualitas, anak dari keluaga marjinal mengalami kesulitan untuk masuk karena alasan klasik: besarnya biaya pendidikan, dan akhirnya sekolah swasta pinggiran atau sekolah negeri ala kadarnya menjadi pilihan. Di tingkat perguruan tinggi, komersialisasi sebagai dampak globalisasi telah mengubah prinsip kebijakan dan 8
Dengan berbagai modifikasi cara eksploitasi manusia atas manusia, neo imperialisme menjadi penikmat utama dari hasil pendidikan. Dave Hill (2010) menyampaikan riset Organisasi Buruh Internasional yang melihat pengaruh neoliberalisme, globalisasi, dan komodifikasi pelay-anan pendidikan yang dirancang berdampak langsung terhadap keuntungan modal. Pendekatan pragmatisme pendidikan, bahwa pendidikan adalah untuk memperoleh kehidupan melalui kerja, bukanlah sebuah kesalahan, karena salah satu tujuan pendidikan memang untuk menciptakan manusia yang dapat menjalankan hidup dengan keahlian yang dimiliki individu. Namun akan menjadi masalah, ketika pendidikan generasi muda hanya menguntungkan satu pihak, neoliberalisme. Dengan memperoleh pendidikan yang tinggi, seharusnya individu memperoleh perlakuan yang adil di dunia kerja dan dilindungi oleh undang-undang, bukan hanya menjadi mesin pencetak uang. 08/201302/III/JONG INDONESIA
Sistem kerja outsourcing yang telah memperluas daerah jajahannya, yaitu generasi muda terdidik, perlu digugat. Karena sistem kerja outsourcing tidak ada bedanya dengan sistem kerja rodi zaman kolonial. Tidak ada keadilan dalam upah kerja dan jaminan keselamatan. Sistem kerja yang menindas ini telah berperan besar men-dehumanisasi masyarakat karena seluruh waktu pekerja hanya untuk mengabdi pada pekerjaan sehingga tidak dapat lagi menikmati kehidupan sosialnya. Sistem outsourcing yang sangat digemari perusahaan karena kepentingan untuk meraup untung besar dengan mempekerjakan tenaga ahli dan pekerja yang murah. Dilihat dari perspektif pendidikan kritis Freirian, hal ini merupakan bukti bahwa pendidikan di Indonesia belum mampu memanusiakan dan membebaskan manusia. Pendidikan belum menjadi media penyadaran dan emansipatoris, dimana seharusnya generasi muda terdidik menyadari ketertindasannya sebagai pekerja murah, yang seharusnya dengan modal intelektual mereka berani menuntut kompensasi kerja yang layak dan perlakuan manusiawi. Supremasi logika kepentingan ekonomi telah mengarahkan generasi muda untuk adaptif dengan dunia kerja sehingga pendidikan diselenggarakan bukan lagi mempersiapkan warga negara yang baik tetapi pekerja yang loyal. Pendidikan bukan untuk mempersiapkan tenaga kerja outsourcing. Pendidikan bukanlah sebuah proses memarjinalkan kelas sosial tertentu. Sekolah bukanlah lembaga kursus yang hanya menciptakan pekerja mekanis. Universitas bukan untuk menciptakan intelektual dan tenaga profesional yang hanya pasrah menunggu lowonganlowongan kerja outsourcing. Dengan bekal pendidikan seharusnya generasi muda mampu melakukan terobosan kreatif, inovatif dan menciptakan peluang sendiri, sebagai perlawanan terhadap sistem kerja outsourcing yang tidak adil. Dengan pendidikan, setiap warga negara mempunyai kesempatan untuk hidup layak.
9
Politisi, Pemerintah, dan Solusi Pendidikan? Pendidikan adalah satu-satunya tumpuan harapan untuk mewujudkan keadilan sosial. Pembangunan pendidikan yang berkeadilan, akan memberikan akses kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya masyarakat marjinal dalam hal ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Pendidikan akan menyebarkan harapan-harapan baru di setiap sendi kehidupan masyarakat dan bangsa. Hasil kerja pendidikan tidak hanya dapat meningkatkan produktifitas ekonomi, tetapi juga dapat mendorong kesatuan nasional dan mempersiapkan generasi muda sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Pembangunan pendidikan tidak akan terwujud tanpa campur tangan dan kerja keras politisi dan pemerintah. Namun, bagi para politisi dan pemerintah, pembangunan manusia melalui pendidikan adalah pembangunan yang abstrak, tidak nampak dan tidak terasa untungnya. Mereka lebih suka proyek pembangunan infrastruktur yang pasti menguntungkan, selain adanya feejuga bisa dijadikan iklan kampanye pembangunan yang sukses. Proses pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi bukanlah hal menarik untuk mereka pikirkan. Berapa banyak generasi muda pengangguran dan masyarakat marjinal yang semakin terpinggirkan, namun politisi dan pemerintah menganggapnya adalah takdir Tuhan, bukan karena sistem yang tidak adil. Pendidikan adalah perkakas bagi bangsa Indonesia menjadi bangsa yang seratus persen berdaulat dalam politik, ekonomi dan budaya, sehingga dapat mengejar dan setara dengan negara-negara maju. Maka politisi dan pemerintah harus berjuang memperbaiki sistem pendidikan dan meningkatkan kualitas pendidikan. Eksekutif dan legislatif harus peduli, berkomitmen, mempunyai keinginan politik, dan tanggung jawab moral untuk mendata, mempelajari, merancang, mempersiapkan perencanaan pembangunan pendidikan dengan kepekaan terhadap isu-isu maupun masalah-masalah mendasar pendidikan. (*)
08/201302/III/JONG INDONESIA
Catatan Perjalanan : Riany Ananti Musfira
Swiss : Basel dan Lucerne
Keindahan yang Mahal
To be honest, Swiss tidak ada dalam list negara yang ingin saya kunjungi di benua Eropa. Spanyol (Barcelona tepatnya) adalah negara yang menarik hati saya. Tetapi alih-alih Spanyol, kedua teman baik saya merayu dengan segenap hati agar saya mau bergabung dengan mereka ke dua kota di Swiss: Basel dan Lucerne. Wah, pikir saya, kota apa itu? Saya hanya tahu Zurich, yang notabene ada di buku RPUL jaman SD dulu sebagai ibu kota negara tersebut. Pengetahuan saya tentang Swiss pun hanya berkisar seputar cokelat, perusahaan makanan terbesar di dunia berinisial N (mentang-mentang kuliah di Food Tech), bank tempat penyimpanan kekayaan pejabat Indonesia, jam tangan, dan tiga bahasa yang mereka pergunakan: Perancis, Jerman dan Italia (Basel dan Lucerne berada di bagian yang berbahasa Jerman). Berbekal pengetahuan minim tersebut, saya dan 4 teman berangkat dengan menggunakan maskapai affordable untuk kantong mahasiswa macam kami (berinisial RA). Dan di pagi hari yang dingin dan berkabut di penghujung bulan April 2012, kami menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di bandara Basel Mulhouse Freiburg. Sebagai traveler cabutan alias ikut-ikut saja apa-apa yang teman saya rencanakan, maka saya hanya manggut-manggut setuju ketika mereka memutuskan untuk: 1) berjalan-jalan dahulu di Basel sampai sore 2) pergi dengan kereta menuju Lucerne dan menginap di hotel yang telah mereka booking untuk dua malam 3) pulang ke Belanda tercinta.
(prinsip kami adalah dengan jalan badan menjadi lebih sehat, view sekeliling bisa lebih lama dinikmati dan yang paling penting adalah irit), kami tidak mentargetkan tujuan yang pasti. Apa yang kami lihat, itulah yang kami nikmati. Basel terletak di perbatasan Jerman, Perancis dan Swiss. Kota ini menempati populasi penduduk ketiga terbanyak se-Swiss, dan herannya ketika kami kesana tidak terlihat banyak orang sama sekali, malah tergolong sepi. Kalau menurut pandangan saya, Basel sepertinya tidak jauh beda dengan kota-kota di Eropa pada umumnya, klasik. Memiliki gereja yang sekaligus menjadi landmark kota tersebut yaitu Basel M端nster, menegaskan kesan saya terhadap kota ini. Gereja bergaya Roman-Gotik yang dibangun sejak 1019-1500 sewaktu kami datangi masih dalam tahap renovasi, tetapi cukup aman untuk membayar sekitar 6 CHF dan menaiki puncak towernya. Untuk yang fobia ketinggian seperti saya, menaiki tower dengan jalur tangga yang sempit sempat membuat saya keringat dingin dan (hampir) meneteskan air mata. Tapi sampai di puncak dan berhasil mengatasi gemetar
Setelah menukar Euro dengan Swiss Franc (CHF), kami Pemandangan sekitar Danau Lucerne membeli tiket shuttle bus menuju Basel Hauptbahnhof, stasiun kereta yang notabene dekat dengan pusat kota. Dan karena kami juga tergolong traveler santai yang mana kebanyakan hanya mengikuti kemana kaki melangkah 10
08/201302/III/JONG INDONESIA
kalo tidak bisa dibilang warung. Kami seharusnya sudah prepare dengan hal ini, mengingat Swiss adalah negara dengan taraf hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara Eropa lainnya. Tetapi saat mengalami sendiri, rasanya tetap saja gondok. Dan sepanjang perjalanan kami di Swiss pun selalu dihiasi dengan komentar “Ya ampun, mahal banget sih!�
sekujur tubuh, pemandangannya cantik sekali! Letak gereja yang dekat dengan sungai Rhine menambah segar mata saya. Ikon kota unik lainnya di Basel adalah Tinguely Fountain, air mancur yang dinamakan dan dibuat sendiri oleh Jean Tinguely, seniman yang besar di kota ini. Ia terkenal sebagai seniman kinetik, dimana karyanya mengandung moving parts, bergerak dengan bantuan angin atau motor sederhana. Ketika waktu makan siang tiba, kami pun mulai mencari rumah makan yang sekiranya representatif untuk kantong mahasiswa. Lihat punya lihat, meskipun sudah di kurs ke Euro, kok masih mahal semua?! Satu porsi makanan berkisar antara 1520 CHF lebih, dan itu bukan kelas restoran mahal,
11
Puas mengitari kota Basel, kami berpindah haluan menuju Lucerne. Nah, menurut salah satu teman yang mengompori saya, Lucerne adalah kota kecil yang memiliki danau yang terkenal dengan kejernihannya. Dan disana kita bisa menaiki dua gunung yang termasuk kedalam rangkaian pegunungan Alpen: Rigi dan Pilatus. Imingiming tersebut menambah semangat meski kaki sudah lelah untuk segera menuju Lucerne. Dan pemandangan sepanjang jalan sungguh baik untuk kesehatan mata: hijau berbukit-bukit, beberapa petak Salah satu sudut kota Base Tinguely Fountain rumah, biri-biri yang dibiarkan bebas, mata saya benar benar dimanjakan. Saya jadi penasaran Lucerne secantik apa. Benar saja, setibanya kami di stasiun kereta, tak berapa lama jalan menuju hostel (dan kami cukup beruntung mendapatkan hostel yang terletak didepan danau, meskipun semalam berharga sekitar 30 CHF), jernih dan gemericik air danau sudah menyambut kami. Danau yang bersih terjaga hingga nampak jelas bebatuan didalamnya, kemungkinan akan menimbulkan beban moral tersendiri
08/201302/III/JONG INDONESIA
apabila nekad membuang sampah kesitu. Juga beberapa angsa putih yang dibiarkan bebas disana, menambah ketertarikan tersendiri. Maka perjalanan di Lucerne dihabiskan lebih banyak dengan menyusuri danau dan menikmati pemandangan sekeliling. Sayang sekali niat kami untuk naik ke gunung dengan boat dan kereta layang (dan hampir menguras kocek 80 CHF per orang) urung karena cuaca yang kurang bersahabat. Percuma juga pikir kami kalo keatas tapi hanya melihat kabut sejauh mata memandang. Dan bahkan kami sempat ‘beruntung’ mencicipi salju yang turun dengan derasnya, di bulan April! Ada satu hal yang tidak akan kami lupakan sebagai low budget traveler: pengalaman mencicipi cheese fondue khas Swiss. Resepsionis hotel di Lucerne menyarankan kami untuk mencoba cheese fondue di salah satu restoran disana. Kami memang menyisihkan sebagian anggaran untuk makanan khas setempat. Sudah terbayang nikmatnya mencelup potongan daging dan roti ke dalam keju yang meleleh-leleh di tengah cuaca dingin menusuk. Pasti enak sekali!
12
Setibanya disana, kami tidak menyangka bahwa satu porsi roti sobek plus keju meleleh berharga 20 CHF. Kami juga tidak diperkenankan untuk men-share karena setiap orang wajib pesan satu menu. Ya, sudah bisa ditebak, kami kembali gondok. Dan percayalah, ternyata cheese fondue khas Swiss tidak seenak itu, kawan. Setidaknya untuk selera saya. Alkoholnya sangat terasa (saya juga baru tahu mereka menggunakan alkohol dalam kejunya) hingga menutupi creamy kejunya. Bahkan rotinya pun tidak istimewa. Akhir kata, secara keseluruhan, ada dua hal yang tidak akan saya lupakan dari Swiss: pemandangan yang memanjakan mata dan harga yang mencekik menipiskan kantong. Tips saya sebelum ke Swiss adalah untuk melakukan pekerjaan/tugas yang menumpuk terlebih dahulu karena pemandangan Swiss akan membuat Anda lupa seketika, (uang dan) mental yang dipersiapkan untuk menghadapi harga di Swiss yang serbamahal, serta payung untuk cuaca yang tidak bisa ditebak!
08/201302/III/JONG INDONESIA
Grup Tari grup tari:
Wahana Budaya Nusantara Wahana Budaya Nusantara Dansgroep adalah
sebuah grup kesenian yang didirikan pada tahun 1997 oleh Ella Smits dan Like Marlina van Balen, dua ibu muda yang berdomisili di Arnhem. Wahana Budaya Nusantara didirikan sebagai wadah untuk mengembangan kultur Indonesia/Nusantara yang beragam, diantaranya tarian, nyanyian dan musik (seperti: angklung, vocalgroep, campursari). Wahana Budaya Nusantara juga memperkenalkan berbagai jenis kesenian yang lainnya seperti membatik, janur dan kerajinan tangan dari Indonesia. Kerinduan akan kampung halaman dan kecintaan akan kultur Indonesia juga memberikan motivasi awal mula berdirinya grup ini. Selain itu, grup ini juga mencoba menggali kembali kesenian nusantara danmemperkenalkannya kepada masyarakat di Belanda dan sekitarnya. “Dengan kesenian, kita mencoba berintegrasi dengan masyarakat dimana kita berada�. Meski pada awalnya grup ini didirikan oleh Ibu Ella dan Ibu Like Marlina karena ingin mengembangkan hobby menari yang sudah mereka pelajari sejak kecil. Namun kemudian berkembang dengan melibatkan juga mahasiswa/i dari Arnhem dan Wageningen sertapara remaja campuran yang tinggal di Arnhem dan sekitarnya. Berbagai tarian yang ditampilkan berasal dari: Jawa Barat/Betawi, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra, Kalimantan, Ambon, Bali dan tarian modern dan kreasi ciptaan sendiri (lihat www. 13
wbndans.nl). Contoh penampilan lainnya dapat dilihat juga di youtube dengan melakukan pencarian menggunakan kata kunci Wahana Budaya. Pada saat ini tim inti yang aktif di Wahana Budaya Nusantara berjumlah 8-10 penari terdiri dari ibu muda/ pemuda dan remaja campuran/Indische ditambah dengan 6 mahasiwa/i Arnhem dan Wageningen yang masih studi saat ini. Untuk sementara tempat latihan bergantian ditempat salah satu penari dan waktu berlatih setiap Rabu dan Jumat/Sabtu/Minggu (ekstra). “Keinginan kedepannya kami ingin bekerjasama dengan organisasi dan sanggar/ grup tari dari Indonesa/KBRI untuk menambah wawasan dankualitas dari grup kami. Selain itu, kami juga mencoba mencari fasilitas untuk studio tempat berlatih yang dapat disubsidi. Karena selama ini adalah modal pribadi yang cukup banyak dikeluarkan untuk membeli semua keperluan tari dari Indonesia dan juga dana persiapannya.� Jika ada permintaan pentas, latihan khusus dan info lainnya silahkan menghubungi : Rachma Saloh, dansgroep. wahana@gmail.com, www.wbndans.nl, 06-51931563
08/201302/III/JONG INDONESIA
KEPERCAYAAN PADA PENGELOLA NEGARA Andi Ahmad Yani
Dosen FISIP Univ. Hasanuddin dan kuliah sebagai research master di jurusan public administration and organizational science, Utrecht School of Governance, Universiteit Utrecht
“Moralitas Pejabat Telah Hilang”, headline Harian Kompas edisi Jumat, 12 Oktober 2012 soal pengangkatan salah seorang mantan terpidana kasus korupsi menjadi pimpinan dinas tingkat provinsi. Kejadian ini serasa ‘mencubit’ kesadaran kita di kala semua pihak serius menyatakan perang terhadap korupsi sebagai musuh utama bangsa ini. Apalagi, pemerintah berupaya meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelola negara untuk meminimalisir peluang penyalahgunaan keuangan negara. Begitu juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berusaha menunjukkan keseriusan memberantas korupsi dengan mengusut kasus-kasus kakap yang melibatkan elit politik dan oknum perwira kepolisian. Bahkan Kongres Nahdatul Ulama (NU) pada bulan September lalu merekomendasikan hukuman mati bagi koruptor dan mengancam pemboikotan pembayaran pajak jika ternyata uang negara hasil pajak masih tetap dikorupsi. Semua upaya serius ini kemudian seakan menjadi igauan di siang hari ketika membaca berita mengenai promosi pejabat publik yang mantan terpidana korupsi.
Kepercayaan Publik
Toleransi pada Prilaku Korupsi
Berita tersebut mengutip pendapat beberapa tokoh masyarakat yang sangat menyayangkan adanya mantan terpidana kasus korupsi kemudian dipercaya kembali menjadi pejabat publik. Diantaranya menjelaskan bahwa kejadian ini akan merusak kepercayaan masyarakat pada pemerintah sebagai pengelola negara. Saya berpendapat sama dan beranggapan bahwa titik kepercayaan masyarakat akan berada di titik terendah jika kasus seperti ini terus terjadi.
Rendahnya kepercayaan publik pada pemerintah dapat berakibat sangat fatal pada semangat pemberantasan korupsi yang selama ini diperjuangkan. S. Marien dan M.Hooghe (2011) - keduanya peneliti dan professor di University of Leuven, Belgia - telah melakukan riset mengenai keterkaitan antara tingkat kepercayaan publik dan kecendrungan ketaatan masyarakat pada hukum. Penelitian yang menggunakan data European Value Survey tahun 1999 –2001 di 33 negara Eropa membuktikan bahwa negara yang memiliki tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah pada lembagalembaga negara akan cenderung permisif pada berbagai tindak prilaku korupsi seperti penggelapan pajak dan pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Sedangkan negara yang memiliki tingkat kepercayaan politik yang tinggi - khususnya pada lembaga peradilan, kepolisian, parlemen dan pemerintah - memiliki masyarakat yang lebih patuh pada aturan dan hukum serta menjunjung tinggi nilai kejujuran. Kepatuhan mereka pada hukum bukan karena takut pada hukuman melainkan karena apresiasi dan harapan positif masyarakat pada pengelola negara yang bersih, transparan, dan akuntabel.
Mengapa membangun kepercayaan masyarakat itu penting? R.Putnam (1993) dan F.Fukuyama (1995) menyatakan bahwa kepercayaan masyarakat merupakan salah satu nilai dasar modal sosial yang sangat vital untuk menjamin keberlangsungan sebuah negara. Berbagai riset mengenai kepercayaan masyarakat baik di negara maju maupun negara berkembang bahkan di negara yang baru saja pulih dari krisis politik membuktikan bahwa kepercayaan masyarakat dapat menjamin legitimasi pemerintahan, mendukung pertumbuhan ekonomi, mengurai potensi konflik dan menjadi pondasi dalam pelaksanaan pemerintahan yang efektif.
14
08/201302/III/JONG INDONESIA
Dengan kata lain, tingkat kepercayaan masyarakat pada pengelolaan negara mempengaruhi tingkat toleransi masyarakat itu sendiri pada prilaku melanggar hukum dan tindakan korupsi. Masyarakat yang tidak lagi percaya pada pemerintah akan melakukan pembiaran dan bahkan bisa pada tahap akut yaitu menganjurkan berprilaku curang, menipu dan menggelapkan uang negara. Meskipun penelitian serupa belum pernah dilakukan di Indonesia, namun kita dapat menjadikan penelitian itu sebagai perbandingan dengan negara kita. Tentu dengan mempertimbangkan kondisi dan konteks beberapa negara Eropa yang menjadi contoh penelitian ini dimana masih dalam tahap konsolidasi demokrasi seperti layaknya Indonesia.
Mengukir langit Singkat kata, jika kita menilik penelitian Marien dan Hooghe tadi maka tidaklah berlebihan jika saya beranggapan bahwa apa yang telah dilakukan oleh semua pihak yang konsisten di barisan melawan kejahatan korupsi ‘bak menggantang asap nan mengukir langit’. Belajar dari kasus
15
ini, kita berharap keseriusan dan konsistensi Pemerintah SBY pada pemberantasan korupsi dapat diwujudkan dengan tidak lagi membiarkan mantan terpidana korupsi menjadi pejabat publik. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan yang mengatur secara tegas mengenai pelarangan mantan terpidana kasus korupsi dipromosi menjadi pejabat publik. Selain itu, masyarakat pun harus terlibat aktif untuk mencari tahu latar belakang para calon pemimpinnya sebelum memilihnya menjadi kepala daerah atau wakil rakyat di pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Keterlibatan organisasi masyarakat sipil dan akademisi pun sangat diharapkan untuk bekerja bersama dalam menjamin proses pemilihan atau promosi pejabat publik bersih dari para mantan terpidana kasus korupsi. Pemerintahan SBY harus menjaga kepercayaan publik ini. Tentu saja tidak dengan sekedar menebar pesona pecitraan semata namun dibuktikan dengan ketegasan dan konsistensi serta kerja keras semua unsur pengelola negara dari pemerintahan nasional hingga ke pemerintahan daerah yang dibarengi dengan gaya hidup sederhana para pejabat publik.
08/201302/III/JONG INDONESIA
Slogan yang sering dan akrab ditelinga para sobat dengar (pendengar radio PPI Dunia), untaian kata yang sungguh manis dan patriotis ini seolah memompa dan mengajak pendengarnya untuk tetap semangat menularkan virus positif bagi Indonesia. Bukan tanpa bukti, terkadang slogan dan tema-tema yang bernuansa akademis dibalut dengan bahasa yang ringan selalu menghiasi website-nya. Awalnya banyak orang berpandangan skeptis dengan konsep radio online, ternyata seiring dengan berjalannya waktu Radio PPI dunia berhasil menjadi ikon radio pelajar satu-satunya didunia yang mengusung ke-Indonesiaan dengan ragam acara yang variatif dan menarik, adapun Radio PPI Dunia merupakan radio online atau streaming yang disiarkan lewat internet dan bisa didengarkan melalui situs: http://www.radioppidunia.org
Merujuk Jejak Heroik Sejarah Radio di Indonesia pernah mengalami fase heroisme dan cukup fenomenal dari sejak perkembangan radio di Indonesia dimulai dari zaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, masa kemerdekaan, dan zaman sekarang yang serba digital dan diramaikan dunia maya yang teramat menggoda. Beberapa tokoh seperti bahkan sang pendiri RRI Professor Abdurahman saleh atau Pak karbol dan Muhammad jusuf ronodipuro Angkasawan Indonesia pencetus slogan sekali diudara tetap diudara, mampu memberikan jejak sumbangsih yang tidak kecil bagi perkembangan Radio dan pergerakan bangsa Indonesia, di era serba terbatas, mereka mampu memberikan yang terbaik bagi keberlangsungan negara kita tercinta dan menjadi sumber inspirasi bagi pelajar Indonesia. Perjuangan yang berbuah manis disertai niat yang tulus memang sangat diharapkan dengan keberadaan radio PPI dunia ini, meski hanya sebatas radio online , lewat lingkungan yang intelektual mudah-mudahan akan berjalan dengan fungsinya sebagai mahasiswa yang memberikan kiprah terbaiknya dalam berbagai bidang, tidak hanya menjadi menara gading dan ekslusif tapi juga bermanfaat untuk khalayak, seperti apa yang dikatakan oleh Soe hok gie: “Orang muda itu selayaknya hidup di alam Buku, pesta, dan cinta. �Buku , melambangkan kegiatan akademis pelajar didalamnya yang menghasilkan karya-karya dan kiprah intelektual yang brillian. Pesta diasosiasikan dengan berbagai kegiatan yang mewarnai hiruk pikuk kebanggaan sebagai pelajar kegiatan yang akan menunjang tersebarnya warna dan gerakan moral yang nyata baik di kegiatan on air atau pun off airnya. Cinta, selayaknya 16
pelajar menumbuhkan rasa cinta terhadap sekitarnya, yang akan memupuk rasa kecintaan terhadap Indonesia sebagai tanah air dan tumpah darah mereka.
Menanti sumbangsih Radio PPI dunia memliki gaya siaran tersendiri, diselasela kesibukan kuliah, meneliti maka Radio PPI dunia di dominasi dengan acara yang bersifat edukatif bersiaran selama 24 Jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu, mencoba mentransformasikan berbagai gaya dan bentuk siaran yang berstandard penyiaran professional: 1) Imajinatif, pesan yang disampai-kan kepada khalayak hanya mengandalkan pendengaran, sehingga menimbulkan imajinasi khalayak, selain itu karena pesan yang disampaikan di radio ppi dunia bersifat selintas maka dapat membangkitkan imajinasi. 2)Audiotori, karena sifat pesan yang hanya mengandalkan pendengaran, maka pesan yang ada di radio ppi dunia dikemas sejelas dan semenarik mungkin. 3) Sifat radio PPI dunia yang akrab karena umumnya radio didengarkan saat para pelajar atau pendengar sedang menjalankan aktifitasnya. 4) Materi siaran yang menghibur, mendidik dan berimbang. Dengan karakter penyiar yang beraneka ragam dan dengan berbagai latar belakang, suasana Indonesia terasa sekali, semua tercipta karena dengan niat yang tulus memberikan sumbangsih paling nyata dan memberikan kontribusi meski jauh dari negeri.
08/201302/III/JONG INDONESIA
Mengenang kembali Den Haag Mendengarkan radio mungkin suatu hal yang biasa, akan tetapi mendengarkan siaran radio yang didominasi pelajar di berbagai benua, itu menjadi luar biasa. Pelajar Indonesia di seluruh dunia tercatat meluncurkan Radio PPI Dunia pada hari Senin, 18 Mei 2009 pukul 00.00 WIB. Sebelumnya, radio ini telah melakukan uji coba siaran sejak 26 April 2009. Peluncuran Radio PPI dunia ditandai dengan siaran berantai dari Mesir, Belanda, Jerman, Rusia, Korea Selatan, Malaysia, Inggris, dan Australia. Dengan melihat potensi yang cukup besar maka maka Radio PPI Dunia melakukan rekrutmen terbuka di seluruh dunia dan melakukan siaran selama 24 jam untuk mengakomodir kepentingan perhimpunan pelajar Indonesia dan para pendengar dengan materi siaran yang variatif. Kelahiran radio ini diinisiasi momen Simposium Internasional di Den Haag, Belanda. Di awal berdirinya, ada sebanyak 10 PPI di seluruh dunia yang terlibat di radio ini, dan sekarang berkembang dengan menggandeng seluruh PPI yang ada di banyak negara.Dengan pendengar yang tersebar tidak hanya diluar negeri akan tetapi juga di Indonesia. Pada dasarnya semua aktifitas pelajar Indonesia di dunia, dengan hasil yang positif merupakan bagian dari karya anak bangsa, berdasar pemikiran tersebut radio PPI Dunia dengan perbedaan latar belakang dan kemajemukan penyiar maka menciptakan pola siaran yang sangat beranekaragam ibaratnya miniatur Indonesia yang ber-bhineka Tunggal Ika. Latar belakang pendidikan ppelajar yang bergabung di Radio PPI Dunia sangat beragam. Ada yang belajar di program S1, S2, bahkan S3. Radio PPI Dunia merupakan simbol istimewa karya anak bangsa yang tidak ternilai dimana rasa persatuan dan cinta terhadap bangsa terbangun dan tumbuh melalui suara pemuda pemudi Indonesia di seluruh dunia. Sebagai radio yang digawangi oleh para pelajar, program Radio PPI Dunia ini mempunyai keunikan tersendiri. Selain menjadi media silaturahmi, juga menjadi media tukar informasi dan pengetahuan. Apalagi karena sumber daya manusia yang bergabung adalah para pelajar Indonesia yang terdidik. Mereka bisa saling menularkan ilmu, pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan lewat radio. Radio ini diharapkan bisa menjadi ruang publik untuk melihat, mengkaji, mendiskusikan, dan mencari masukan untuk Indonesia yang lebih baik dan mentransformasikan serta menjembatani lewat
pola komunikasi baik dengan pendengar yang ada di luar negeri maupun Indonesia. Sebagai media komunikasi massa yang mengusung konsep citizen broadcasting, radio ini berperan sebagai media informasi lewat sajian informasi, berita, feature, dan dinamika yang terjadi di Indonesia dan dunia. Sebagai media edukasi radio ini menyakinkan materi yang bersifat mendidik, seperti membahas penemuan-penemuan terbaru di bidang iptek. Sebagai media hiburan, radio ini akan menghibur sobat PPI Dunia dengan program sajian salam dan lagu. Tak lupa, radio ini menjadi media kontrol sosial dengan menyampaikan informasi dan kritik sosial ala pelajar dan mahasiswa. Teknologi internet yang bersifat tidak terbatas memungkinkan kami, para pelajar Indonesia yang terpisah dan tersebar di berbagai negara untuk berkolaborasi dan siaran bersama.
Radio PPI Dunia dan Harapan Radio PPI Dunia berkomitmen mengembangkan siaran lewat ciri khas dan seman-gat pelajar dengan mengkombinasikan informasi yang edukatif, informatif, dan menghibur baik on airmaupun off air. Sehingga kini, Radio PPI Dunia menjadi tempat berkumpul, bercengkrama dan berdiskusi secara konstruktif, tanpa melepaskan nilai-nilai intelektualitas yang mempererat solidaritas pelajar Indonesia di seluruh dunia. Untuk Radio PPI Dunia, dalam perjalanannya ke depan, akan mencoba melakukan reposisi substansial dan berharap mampu menjadi mitra berkelanjutan dari Perhimpunan Pelajar Indonesia yang ada diseluruh dunia, serta memberikan sumbangsih nyata lewat berbagai aktifitasnya. Akhir kata, apapun minat , tujuan, ataupun aktifitas sobat semua, dengan mengajak seluruh elemen pelajar Indonesia di dunia untuk bergabung dan berkolaborasi menuangkan kreatifitas tanpa batas dengan tetap memegang prinsip kebhinekaan. Prinsip penting dalam segala aspek perkembangan dan siaran Radio PPI Dunia bermuara pada pembangunan relasi antar elemen pelajar, masyarakat sipil, peningkatan kontribusi terhadap negara, pencarian kesinambungan sosial sejalan dengan komitmen terhadap global citizenship through knowledge based society
oleh:
Deni Danial Kesa
Direktur Radio PPI Dunia 2011-2012 PhD Student CYCU Taiwan
17
08/201302/III/JONG INDONESIA
PhD: In most countries, Philosophiae Doctor or Doctor
of Philosophy (PhD, Ph.D, DPhil, D.Phil, or Dr.) is the highest degree someone can earn in a higher education institute (university) and it is a basic requirement for career in academic field. The degree program is set to introduce a prospective student to an independent research with its intellectual masterpiece called a ‘thesis’ which consists less than a hundred or hundreds of pages. The completion of a PhD degree varies a great deal between countries, universities/institutions, and also subjects. Some students can ‘jump’ (take the shortcut?) to fast-tracked PhD program following his/her Bachelor degree; some have to first completing a Master degree. Some receive a stipend or compensation; some others have to pay their own living cost (and the research itself). Some students involve in a pure research; some others are required undergraduate teaching. The only common experience of all PhD students in the world is the apprenticeship with their PhD advisor which take about 3-4 years while some others can take more than 6 years. Many people illustrate PhD program as a polygamous marriage which one needs to keep an equal share of attention to all spouses. It is a marriage to the PhD project and his/her advisor. It has its ups and downs. Many others describe PhD humorously as ‘Permanent Head/ Health Damage’, ‘Piled High and Deeper’, ‘Post Homicidal Depression’ ‘Patiently Hoping for a Degree’, and many more. I know from my own circles that some people describe their work as a ‘cheap slave labour’ with 24/7 work responsibility and full of whining. Some students, though so far is rather rare, describe it as a ‘happy marriage’ with some ‘hiccups’ here and there. There is an over-supply of PhDs in the west but a strong demand of PhD graduates in Africa and the East such as Uganda, Mali, China, Singapore, Malaysia, and Indonesia (Financial Times, 2010]. There is no mystery about my position. I was a PhD candidate in Biochemistry and I spent most of my academically and professional experience in Europe. I thought that the best, perhaps the only, contribution I could give for my PhD fellows was to share what I have gone through and what I have been exposed to –especially in mentoring people and I have had enough requests to 18
Philosophiae Doctor or
Permanent Head Damage
give advices on ‘choosing the right PhD’. The danger of this article is a misunderstanding or any fanciful inferences derived from sentences taken out of the context. In this article I am not trying to encourage or discourage people from taking PhD degree. I tried to guard against this by sending the manuscript to five different people: another PhD graduate in physics, a PhD graduate in politics, a professor in genetics, a professor in theology, and a businessman, and asking them for their criticism. People from ‘natural sciences’ thought that I have to emphasize further on ‘dedication to scientific research’, people from social sciences thought that I have gone too soft on ‘having a balanced life’, and lastly the businessman thought I have to put more about the practical and soft skills in PhD training. Otherwise, all five people agreed with what I wrote. In my humble opinion, ‘choosing the right PhD’ is an incorrect statement. There is almost certainly no right or wrong in ‘choosing PhD’. The ups and downs are always there – even in the top best place to do a degree in the world. What we all can do is to ‘prevent’ and to ‘mitigate’ the risk/threats that may haunt any of prospective PhD candidates. Before someone is pursuing a PhD degree, one question that everyone should ask themselves: ‘Do I know enough of what PhD degree can offer to want it badly?’ Some people take up a PhD position due to their prestige or to put off job hunting with little thought that PhD qualification might lead them into. If one is sure in pursuing a PhD degree, I have listed here of several points to consider which are sorted into ‘Primary’ and ‘Secondary’. Primary means it is a ‘must’ to consider these points, while secondary means something that can add into a good (pleasurable) PhD experience. I believe this universal guidance can also be used for anyone who wants to take up any degree – not just for a PhD degree.
08/201302/III/JONG INDONESIA
”Primary List” 1.
Multiple Applications
Get back up plan(s). No one prohibits you for applying to more than one place. In Europe, usually a prospective PhD student may apply to maximum three institutions. Scrutinize the university, program, and PhD advisor using SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, and Threat) analysis. You might want to check the points below to help you assess them. Remember, even as a patient you can have a second or even third opinion before getting through a painful medical treatment.
2.
Degree And The Quality Of Awarding Body/ Institution/University
As mentioned in the beginning of this article, one should first find out the system and process of completing a PhD degree in the desired country for example UK and NL differ greatly the requirements to complete a PhD. Even within the same country, it may also differ significantly. I have nothing against World University Ranking which may be useful in terms of selecting the place to do a PhD, but we need to understand that every place has its own specialty. University A may have a lower rank than B, but University A may be betterequipped for medical research than University B. The best way to find out is to find the university ranking based on the desired field. This will also reflect on how much support the university gives to the students if they have problems during their PhD degree.
3.
researcher. Therefore, chances of working together in writing papers or grants and participating hands-on in a collaboration are always plus-es;Remind the PhD student to have a balance in life – keeping the momentum of research while at the same time, know how to ‘pull the break’ to let the student have a holiday;Have good trackrecord of the having successful PhD graduates, original research, and publications;Allow the PhD student to equip him/herself with proper trainings. Good universities give PhD students trainings in grant writing, teaching, and various other soft-skills – I know enough PhD supervisors who consider these trainings as waste of time. Most of PhD advisors want to have their students to stay in academia – very few want to support non-academic career.
4.
Good working atmospheres
No work place beats a place where colleagues support each others. Most of PhD students’ time is spent in the office. Colleagues become friends and may become close friends. Some even get married to one of them. They are also shoulders to cry on because whenever problems arise, they know the best of what is going on especially once someone has a problem with their PhD supervisor. Remember, that like in many other places, office politics (and some unhealthy competitions) are always there lurking around anytime and anywhere.
Proper Apprenticeship
PhD degree is a journey that we shared with our PhD advisor(s). I personally prefer to have more than one PhD supervisors in case of falling out with one of them. Remember, we are going to work with our PhD advisor; we are notgoing to work for our PhD supervisor. There are ‘many species’ of PhD advisors varying from age and decrepitude. In general, younger PhD advisors pay more attention to their students and they know more about technical issues. More famous and older PhD advisors tend to be busier, less knowledgeable in recent practicality, and expect much independency and respect from their PhD students. On the other hand, famous PhD supervisors (with their big egos usually) are most likely to be ‘richer’ in terms of funding and network. Choose carefully! In my humble opinion, a good PhD advisor, young or old, should: Keep a dynamic and consistent supervision – he/she should be almost like a senior colleague rather than ‘slave-driver’; Give enough independence for the PhD student to explore and develop his/her interests and new techniques – remember that PhD is about training for PhD student to be an independent researcher, not advisordependent 19
08/201302/III/JONG INDONESIA
“Secondary List” 1.
Finance
Find out how you get the funding – not just about tuition fee and the research costs but also living costs and if you are a foreigner, visa issues. Before applying to any scholarship, make sure about the eligibility and deadline of the application. Deadline is deadline – you are dead after the line!
2.
Location and Local Culture
From many books I have read, none advises to consider the city where the PhD research takes place. It is certain that one may not enjoy much of the place they live in while doing their research. Nevertheless, it may be an important aspect to consider. A PhD candidate from a metropolitan city might find it hard to live in a small university town in the middle of nowhere. I have a friend who had to quit her PhD degree because she found the city too boring and the local culture much conflicted with her religious belief. These caused a considerable distress for her. On the other hand, it is also important not to have too many distractions. I know for sure that if I had my PhD in Paris, I would have abandoned my PhD for strolling around in the beautiful Paris or shopping.
3.
Exit Strategy
Non-business people may call this as ‘alternative career’. Despite the common consensus that PhD qualification is only for academic research career, it may also lead to other career tracks such as research in industries, policy makers, NGO advisors, governmental experts, even business consultants. Many PhD students enter their program with high ambition and passion for their research – which some people call the phase as ‘falling in love’. Love is blind and many may get disillusioned. Some percentage (and it is quite high some fields) of PhD graduates leave their respective fields to pursue other careers. It is always ‘highly-recommended’ for any PhD graduates to have other trainings and soft skills (see point 2.e in Primary List). One of the best example is a PhD candidate in Life Sciences to have an entrepreneurship training which equips PhD candidates with intellectual properties and business knowledge. This may not seem useful but the training will give any academic-dissatisfied PhD candidate ‘a step’ into other career such as business consultant or patent lawyer.
‘google’ our prospective PhD advisors (and the university too). Use extra terms such as harassments, allegations, bullying, plus the name of university/the prospective PhD advisor to help getting the real story. Find out about their achievements on newspapers and also various discussion boards. University website may be misleading – we know that these days universities have no difference than hotels. Photos and testimonials put on the website can be deceptive. It may also be useful to contact current students of the desired university or group. For many of us, PhD is a big dream and prestige. Many yearn to get scholarships to pursue PhD degrees abroad or locally. However, keep your mind healthy and decide objectively! Otherwise PhD stands for ‘Permanent Head Damage’!Hosea Handoyowww.hshandoyo.net [The contents of this article were first written as part of private correspondences with several of my mentees and my own mentors. In this article, I have made some few additional comments and omitted several personal remarks, however further text remains as it had been written. My wish is to keep the tone of this article less overbearing. By:
Hosea Handoyo
www.hshandoyo.net [The contents of this article were first written as part of private correspondences with several of my mentees and my own mentors. In this article, I have made some few additional comments and omitted several personal remarks, however further text remains as it had been written. My wish is to keep the tone of this article less overbearing.]
There is no ideal university or PhD advisor or awarding bodies that can fulfil all of the criteria above but to choose one that ticks most of the boxes is always highly recommended. Better safe than sorry. One may ask, how do I know about these things before hand? Just like in admission process, ‘googling’ is a common practice to screen PhD candidates, we, as students, should also 20
08/201302/III/JONG INDONESIA
Liburan Musim Panas bersama
Climate Knowledge and Entrepreneurship Belakangan ini, isu mengenai perubahan iklim makin marak dibicarakan. Fakta menunjukkan bahwa konsentrasi karbon dioksida di atmosefer terus meningkat. Bila hal ini dibiarkan terus menerus, temperatur pun akan ikut meningkat dan menimbulkan banyak dampak. Perundingan internasional sudah banyak dilakukan di berbagai tempat. Semua negara mencoba untuk bekerja sama mengatasi masalah perubahan iklim sesuai dengan tanggung jawab dan kapasitasnya masing-masing. Meski sudah banyak negara yang bersedia terlibat secara aktif untuk menangani masalah perubahan iklim, sebagian masih skeptis terhadap isu ini. Mereka menyebut bahwa perubahan iklim bukan karena perilaku manusia, namun terjadi secara alami. Argumen tersebut terbentuk karena penelitian menunjukkan bahwa ratusan tahun yang lalu pernah terjadi peningkatan temperatur tanpa ada kontribusi dari kegiatan manusia. Mungkin bukan hanya di tingkat negara yang masih skeptis terhadap isu ini, tapi banyak di antara yang belum terlalu mengakrabi isu ini. Terpikir untuk mencari tahu lebih jauh, tapi kok malas. Ada cara yang menyenangkan tidak?
21
Mungkin cara yang satu ini bisa jadi jalan keluar. European Institute of Innovation & Technology (EIT), salah satu badan dari European Union, yang didirikan pada Maret 2008 memiliki misi untuk meningkatkan pertumbuhan berkelanjutan dan daya saing dengan memperkuat kapasitas inovasi Eropa. Innovation Communities merupakan salah satu bagian dari EIT yang membawahi ClimateKIC (Climate-Knowledge Innovation Communities). Salah satu program kerjanya adalah menyelenggarakan summer course. Summer course bernama the Journey merupakan penggabungan dari climate knowledgedengan entrepreneurship. Di mana para peserta dibekali ilmu tentang perubahan iklim dan entrepreneurship. Terdengar kurang menarik barangkali. Tapi kelebihan dari program ini adalah penyelenggaraannya yang dilakukan di tiga negara selama lima minggu. Iya, tiga negara. Untuk the Journey yang dilakukan di musim panas, negara yang tergabung adalah Jerman, Belanda, Swiss, Inggris, dan Prancis. Setiap peserta yang terpilih dan tergabung dalam grup tertentu akan memiliki perjalanan tersendiri. Peserta satu mungkin akan menghabiskan summer course ini di Belanda, Swiss, dan Prancis. Sedangkan peserta lain memiliki perjalanan tersendiri di Jerman, Inggris, kemudian Prancis.
08/201302/III/JONG INDONESIA
Apa biayanya mahal? Pasti mahal kalau kita harus merogoh kocek sendiri. Tapi, jika kita berasal dari partner universities program ini, penyeleng-gara akan menangung biayanya. Peserta hanya perlu mengeluarkan uang transport dari tempat asal menuju negara pertama dan dari negara terakhir untuk pulang ke tempat asal. Namun sayangnya, tidak semua mahasiswa yang bersekolah di Eropa bisa mendapat funding untuk mengikuti program ini. Karena sejauh ini, hanya mereka yang berasal dari universitas tertentu yang bisa mendapatfunding. Universitas tersebut diantaranya Wageningen University, Delft University of Technology, Utrecht University (Belanda); ETH Zurich (Swiss); Imperial College London (Inggris); Technische Universit채t Berlin (Jerman); Paris Tech Universite, Pierre et Marie Curie, UVSQ (Prancis). Selain funding , program ini hanya terbatas untuk mereka yang berasal dari universitas tertentu danjurusan yang eligible.
22
Meskipun tidak semua dari kita bisa mengikuti the Journey, tapi bagi mereka yang berasal dari partner universities bisa mencoba untuk bergabung. Banyak yang bisa didapat dari program ini. Teman, ilmu mengenai perubahan iklim dan entrepreneur, networking, dan yang pasti jalan-jalan gratis. Ayo, tunggu apa lagi, meskipun summer 2013 masih lama, namun tidak ada salahnya untuk mulai rutin mengunjungi mereka di http://www.climate-kic.org/. Kita mungkin tidak bisa menyelamatkan dunia dengan menjadi entrepreneur yang bergerak di bidang perubahan iklim, tapi kontribusi sekecil apapun akan sangat berarti untuk bumi kita yang semakin tua. Selamat mencoba!! (Bening)
08/201302/III/JONG INDONESIA
Catatan Perjalanan : Zulham Mahasin
Pesona
Andalusia Akar Sejarah dan Budaya Bangsa Spanyol di Eropa Winter holiday is coming. Akhir Desember sebagai pusat peradaban Islam abad pertengahan yang hingga awal Januari merupakan salah satu momen yang ditunggu oleh pelajar Indonesia di Belanda. Umumnya kampus memberikan libur yang cukup panjang (hingga 2 minggu) pada masa tersebut. Di Eropa, banyak orang yang menikmati winter holiday dengan merayakan Natal dan Tahun Baru bersama keluarga di rumah. Namun, tidak sedikit pula di antara mereka, utamanya bagi yang tidak betah dengan suhu dingin, lebih memilih berlibur ke negara-negara tropis yang lebih hangat. Sama halnya dengan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang belajar di Eropa, khususnya di Belanda. Pulang kampung ke Indonesia untuk melarikan diri dari udara dingin kadang jadi pilihan. Tetapi sebagai alternatif, bisa juga mencari ‘liburan hangat’ tanpa harus meninggalkan daratan Eropa. Misalnya dengan berkunjung ke bagian selatan benua Eropa yang lebih dekat dengan garis ekuator. Salah satu daerah pilihan adalah Andalusia, daerah otonom yang berlokasi di bagian selatan Spanyol.
Spanyol seringkali lebih dikenal dengan Madrid, Barcelona, dan Valencia sebagai kota-kota utamanya. Bagi kebanyakan pelancong, kota-kota seperti Granada, Cordoba, ataupun Malaga sangat jarang dijadikan tujuan utama ketika berlibur di Spanyol. Padahal, justru daerah di Spanyol selatan itu, yang sejak dahulu dikenal dengan nama Andalusia, banyak terdapat situs yang menjadikannya daerah paling eksotik di tanah Eropa. Di Andalusia terdapat ratusan keunikan akulturasi budaya Islam dan Eropa abad pertengahan yang terekam melalui warisan wisata sejarahnya. Bahkan, cukup banyak identitas Spanyol (misalnya matador dan flamenco) yang asal muasalnya seringkali dialamatkan ke daerah ini. Andalusia terletak di bagian selatan Spanyol, berbatasan dengan laut Mediterrania di sebelah timur, samudra Atlantik di sebelah barat, serta selat Giblatar di sebelah selatan yang memisahkan benua Eropa dengan benua Afrika. Di Andalusia terdapat beberapa kota yang terkenal karena sejarahnya yang terukir mulai dari zaman Romawi kuno abad 1 SM, zaman kekaisaran Islam abad pertengahan, hingga zaman modern. Sebut saja Cordoba, Malaga, Ronda, hingga Granada, kota-kota yang dikenang 23
akan kita kunjungi dalam artikel ini.
Cordoba
Kota pertama yang kita jajaki di daratan Andalusia adalah Cordoba. Di abad pertengahan, Cordoba pernah menjadi ibukota kekhalifahan Islam di Andalusia. Daerah ini merupakan kota kuno terbesar kedua di dunia yang diresmikan oleh UNESCO sebagai The World Heritage Site. Situs yang paling terkenal di kota ini adalah Al Mosquito (Mezquita), bangunan bersejarah yang dibangun pada saat Cordoba menjadi kota termakmur di Eropa pada zaman renaissance. Bangunan ini berdiri di dalam kota tua yang dikelilingi benteng besar sisa-sisa peninggalan dinasti Islam di zaman itu. Wisata ke kota tua ini cukup terjangkau sebab terletak tidak jauh dari stasiun bus dan kereta api. Cukup dengan berjalan kaki selama 20 menit, kita bisa sekaligus menikmati kota Cordoba menuju situs kuno tersebut. Terletak bersebelahan dengan Al Mosquito, kita juga bisa menapaki roman bridge, jembatan kuno yang yang menyeberangi sungai Guadalquivir. Jembatan ini dibangun pada masa kejayaan Romawi di abad 1 SM.
Malaga
Dari Cordoba, kita menuju Malaga, kota di pesisir pantai selatan Spanyol. Kota ini sangat memanjakan mata dengan pesona wisata sejarah dan kebudayaannya. Yang menarik di Malaga adalah perpaduan peninggalan Romawi kuno, Islam abad pertengahan, serta desain modern di pusat kota. Di Malaga terdapat roman theatre dari abad 1 SM, yang bersandar di kaki istana Alcazaba yang menjulang ke atas perbukitan. Kedua bangunan tersebut dapat dinikmati sambil menyeruput segelas cokelat hangat di pagi hari atau menikmati tapas (aneka snack khas Spanyol) di kafe-kafe yang berjejer di sekitar situs sejarah tersebut. Berdekatan dengan pusat kota, kita juga dapat berkunjung ke daerah pantai, menikmati keindahan laut Mediterrania sambil bersantai dan mengunjungi jejeran penjaja souvenir tradisional khas Spanyol. Di kota inilah lahir salah satu pelukis dunia yang terkenal dengan kekhasan karya-karyanya, yaitu Picasso. Untuk mengenangnya, pemerintah kota membangun museum 08/201302/III/JONG INDONESIA
Granada
yang memajang karya-karya Picasso. Pemandangan kota Malaga sangat indah dan bersih, membuat kita betah berlama-lama berjalan kaki mengelilingi pusat kotanya. Yang tak kalah menariknya adalah pengamen-pengamen jalanan di pusat kota yang mengalunkan petikan gitar khas Spanyol, flamenco.
Ronda
Tidak jauh dari Malaga, terdapat kota kuno bernama Ronda. Dahulu Ronda bernama Arunda pada saat dibangun oleh bangsa Celts sekitar abad ke-6 SM. Keunikannya, di Ronda mayoritas rumah penduduk berwarna putih dan dibangun berjejer di atas tebing-tebing curam yang bernama tebing El-Tajo. Inilah yang membuat kawasan kota kuno ini dijuluki ‘the white hill town’. Di tengah kota kuno ini, terdapat tiga jembatan utama yang menghubungkan tebing curam yang dibelah sungai Guadalevín. Jembatanjembatan tersebut menjulang hingga lebih dari 100 meter, menjadikannya sebagai objek wisata yang cukup unik. Di Ronda juga terdapat arena adu banteng (bullfight ring) tertua di Spanyol. Pemandangan alam di Ronda sangat indah dikelilingi hamparan padang rumput dan perbukitan. Keindahannya menginspirasi dua penulis terkenal, Ernest Hemingway dan Orson Welles untuk mengabadikan kota tersebut dalam karya-karyanya. Kota Ronda tidak begitu luas sehingga kita bisa mengelilinginya hanya dengan berjalan kaki. Hanya saja, mengingat konturnya yang berbukit-bukit cukup tajam, stamina yang prima sangat dibutuhkan di sini agar tidak kelelahan.
24
Kota terakhir, sekaligus kota terbesar karena Granada merupakan bekas ibukota Andalusia. Granada terletak di kaki pegunungan Sierra Nevada. Ikon pariwisata utama kota Granada adalah Alhambra, istana yang berdiri kokoh di puncak bukit yang didirikan di zaman Raja Nazrid yang memimpin kekaisaran Islam terakhir di Spanyol. Di setiap sudut Alhambra mata kita akan terpesona oleh ukiranukiran indah yang didesain oleh arsitektur Moorish di jaman itu. Ukiran-ukiran asli tersebut masih terpajang indah di hampir segala penjuru istana. Yang perlu diingat, pihak pengelola Alhambra seringkali membatasi jumlah pengunjung setiap hari hingga hanya 300an orang. Oleh karena itu, sangat disarankan untuk membeli tiket online agar tidak kehabisan karcis masuk. Disamping Alhambra, pengunjung juga dapat menikmati indahnya taman bernuansa romantis di Generalife, sebuah istana yang terletak tidak jauh dari Alhambra. Nama asli taman ini adalah Jannat Al-Arif, yang merupakan tempat peristirahatan raja-raja Granada di masa itu. Taman tersebut dihiasi oleh keragaman bunga, tumbuhan yang berpadu dengan kolam-kolam indah. Lokasi ini dapat dicapai hanya dengan berjalan kaki selama 5 menit dari Alhambra. Meski terletak di puncak bukit, Alhambra dan Generalife dapat dijangkau melalui transportasi umum dari pusat kota. Akan tetapi, bagi pelancong yang suka berjalan kaki, juga tidak rugi menjajaki kota Granada menuju Alhambra dengan berjalan kaki, sebab di sekitar Alhambra terdapat banyak spot menarik berupa rumahrumah berdesain kuno yang menjajakan souvenir-souvenir menarik, serta kafe-kafe lokal yang menjual makanan tradisional. Mendampingi kota tua Cordoba, Alhambra dan Generalife juga merupakan The World Heritage Sites yang dianugrahkan oleh UNESCO. Perpaduan wisata alam, sejarah, maupun budaya membuat Andalusia dikenal sebagai daerah eksotis di Eropa. Berwisata ke Andalusia tidak hanya sekedar ‘cuci mata’, tetapi kita juga dapat mempelajari sejarah dan akulturasi budaya di Spanyol dan Eropa. Selain itu, iklim yang cukup hangat meski di musim dingin membuat Andalusia dijuluki sebagai ‘the centre of sun and sand tourism’. Kota-kota di Andalusia memang termasuk sebagai daerah yang harus dikunjungi ketika berlibur di Eropa.
08/201302/III/JONG INDONESIA
Bus, transportasi murah dan menyenangkan Transportasi bukanlah hal yang sulit di Spanyol. Selain kereta, Spanyol juga memiliki maskapai penerbangan dalam negeri yaitu Iberia. Tetapi di antara sekian alat transportasi itu, yang paling umum digunakan adalah bus antar kota. Jika naik bus di Andalusia, usahakan untuk melakukannya pada siang hari. Sepanjang perjalanan mata akan dimanjakan oleh jejeran pegunungan dan roadway yang menjulang tinggi menembus pegunungan.
Makanan khas Spanyol Tapas adalah makanan khas Spanyol yang juga banyak dijumpai di Andalusia. Tapas memiliki banyak jenis pilihan sehingga memungkinkan kita untuk mencicipi rasa yang berbeda tiap kali memakannya. Selain itu, cobalah juga cicipi churros, santapan khas sarapan pagi ala Spanyol yang dinikmati dengan segelas coklat panas yang kental. Makanan lainnya yang juga pantas dicoba adalah Tortilla, omelet khas Spanyol. Di Andalusia, tidak sulit mendapatkan baik restoran hingga pedagang di pinggir jalan yang menjajakan makanan khas Spanyol.
No English, Spanish only Mungkin salah satu kendala bagi pelajar Indonesia yang berwisata ke Spanyol adalah bahasa. Di Spanyol, sangat jarang orang yang bisa berbahasa Inggris. Oleh karena itu, bersiap-siaplah untuk menggunakan bahasa isyarat. Sebagai tips, jangan lupa untuk mencatat nama-nama tempat wisata yang akan dikunjungi. Hal ini akan lebih memudahkan ketika bertanya. Selain itu yang tidak kalah penting adalah memanfaatkan tourist information yang sangat banyak tersedia, umumnya di tempat-tempat umum seperti stasiun, mall, maupun lokasi wisata. Jangan lupa untuk sebanyak dan selengkap mungkin bertanya disini mengenai tempat-tempat yang layak dikunjungi dan bagaimana cara ke tempattempat tersebut.
Khas Andalusia, adu banteng dan flamenco Banyak kebudayaan yang dialamatkan sebagai khas spanyol, awalnya berasal dari orang-orang Andalusia. Salah satunya adalah adu banteng (bullfight). Di kota-kota di Andalusia banyak terdapat arena adu banteng. Selain itu, alunan petikan gitar yang dipadu tarian, flamenco, juga konon berasal dari daerah ini. Di pusat-pusat keramaian, kerap kita jumpai alunan musik ini. Di beberapa tempat bahkan terdapat grup musik dan tari flamenco.
Menyeberang ke Maroko? Why not? Bagi orang Indonesia, traveling ke Andalusia memberikan keuntungan tersendiri. Kita sebagai warga Negara Indonesia bisa masuk ke Maroko dengan mudah. Hubungan diplomasi antara Indonesia-Maroko memungkinkan pemegang paspor Indonesia untuk bebas visa. Andalusia dan Maroko ‘hanya’ dibatasi oleh selat sehingga tidak sulit untuk menjangkaunya.
25
08/201302/III/JONG INDONESIA
Mas, nasib getir tak perlu dipikirkan! Oleh: Ibnu Khamais
Hari ini panas terik, matahari dengan sinar ultravioletnya seakan menghujam tepat di atas ubunubun kepala. Entah, mungkin neraka sedang bocor siang ini. Kering, panas, terik, dan lembap. Lapar tiba-tiba menyerang perut kosong yang sedari pagi belum terisi apa-apa. Hidup ini terasa getir buat saya, sarjana muda universitas ternama jurusan ekonomi yang ternyata pengangguran! Getir, kawan, ketika cum laude tak bisa menjamin sarapan untuk esok pagi. “Semir sepatu, mas?” terdengar suara bocah yang jelas baru saja akil balig dari sisi kanan saya. Ketika saya hendak menoleh padanya, si bocah sudah siap berjongkok lengkap dengan perlengkapan perangnya: seperangkat alat semir sepatu, semir sepatu cap cobra, sikat, dan handuk. Bocah perawakan sedang, tinggi kira-kira 150 cm, dengan baju compang camping, kulit hitam legam, dan rambut merah korban sengatan matahari. “Sudah makan, dek?” pertanyaan saya dibalas gelengan kepala malumalu si bocah. Aih..berdesir hati saya, tak tega. “Duduk, dek” ucap saya sambil mengarahkan telunjuk jari ke arah bangku kosong tepat di depan saya. “Silakan duduk, dek. Gak usah malumalu, ayo..” ucap saya lagi, kali ini sambil menarik tangan si bocah dan mendekatkan kursi padanya. “Nasi Campur sama Es Teh, 2 mbak!” Si bocah makan sepaket hidangan dengan lahap sekali. Sampai gelenggeleng kepala saya dibuatnya. “Mas, makasih banyak loh! Sudah lama saya gak makan enak,” kata si bocah yang memecah lamunan saya. Sebelumnya dia memperkenalkan 26
namanya sebagai Kucrit. “Tapi kenapa Kucrit, dek, namanya?” tanya saya yang penasaran perihal nama langka ini. Saya jelas terheranheran dibuatnya. Saya yang sedari kecil diajarkan orang tua, guru di sekolah, serta pak ustadz di langgar bahwasanya nama adalah doa. Tentu cuma mengenal nama baik saja. Muhammad, Barokah, Shodiqin, Ahmad, Muflihun, Mu’minun atau Sholehah adalah contoh nama-nama beken di kampung yang tentunya punya arti baik. “Ah, saya saja bingung, mas. Yang pasti teman-teman saya panggilnya begitu. Dulu sih saya dipanggil Budi di rumah dan di sekolah. Tapi sekarang dipanggil gitu, mas.” Si Kucrit mencoba menjelaskan asal muasal namanya. Entah nama samaran, nama asli, nama beken, nama baik, atau nama keren. Tak jadi soal buat Kucrit. Dia sama sekali tidak peduli. “Oh jadi adek masih punya keluarga? Rumahnya dimana, dek?” saya bertanya. Kucrit tiba-tiba berhenti dari lahapnya menyantap sepotong paha opor ayam di tangan kanannya. Matanya nanar, ada sesuatu yang getir tampak jelas disitu. “Haha..dulu ada, mas. Saya tinggal sama nenek saya. Tapi dia bukan nenek kandung mas, cuma panggil nenek saja. Baik banget, mas, nenek saya. Dia ngerawat saya dari umur 3 bulan. Saya dikasih makan cukup. Dikasih mainan yang saya mau. Saya juga disekolahkan mas. Ginigini saya lulus SD lho mas. Mas-nya sekolah tidak?” tanya si Kucrit sambil menengadahkan wajahnya kearah saya. “Oh, masnya Sarjana yah?” Saya
terheran-heran si Kucrit mengetahui titel sarjana saya. “Wah, hebat tuh, mas! Kata nenek saya orang sarjana itu pasti pintar. Banyak duit juga. Mau beli apa-apa bisa. Mau cari cewe model apa juga bisa, mas! Ah mantaplah si mas! Senang saya ini bisa ngobrol sama sarjana!” Saya tertunduk sedikit malu-malu menyembunyikan muka merah karena dipuji Kucrit habis-habisan. “Saya sih maunya juga sarjana, mas. Cuma gak tau ini kapan bisanya. Kata nenek sih, saya dulu ditemuin di depan langgar di kampung saya di Madiun. Katanya saya dulu nangis terus, mas, gak mau berhenti sampai diberi susu formula. Lucu mas ya, makanya saya sekarang banyak ngomong. Hehe..” “Saya dulu juga pintar lho, mas, ranking terus di kelas. Rapot saya banyak sembilan. Nilai ujian UNAS saya paling tinggi satu sekolahan mas! Hebat kan saya!” “Saya senang sekali, mas, waktu itu. Saya lari ke rumah sambil pegang ijazah saya. Tapi waktu sampai di rumah, nenek sudah gak bernafas lagi mas. Saya goyang-goyang dan saya panggil-panggil tak ada balasan. Saya teriak juga gak ada balasan. Kata tetangga sebelah nenek sudah gak ada. Jelas sedih saya, mas. Gak punya siapa-siapa lagi saya. Sedih banget mas rasanya! Lari saya, mas. Lari sekenceng-kencengnya sampai stasiun. Naik kereta saya, mas, sampai sini. Iya, sampai Surabaya. Jauh lho, mas, waktu itu. Saya naik tangki kereta soalnya, pelan mas jalannya. Behhh…hampir sehari waktu itu. Tapi saya gak peduli, mas, buat saya gak ada bedanya mau tinggal dimana saja. Saya tetap sendiri.
08/201302/III/JONG INDONESIA
“Ya udah, saya sampai sini mas sekarang. Saya jadi tukang semir sepatu. Sudah setahun, mas. Gak kerasa yah!” “Kenapa kamu gak pernah mencoba cari kerjaan lain? Jadi pengamen misalnya, atau pengemis, kan lebih banyak tuh duitnya,” sebuah pertanyaan saya ajukan. Si Kucrit yang hendak menyeruput es tehnya sejenak melirik ke arah saya. Mulutnya sudah menganga, ujung gelas sudah mengarah di depan mulutnya. Namun gerak tangannya berhenti dan mulai berbicara. “Mas, satu pesan yang saya ingat dari nenek sebelum meninggal. Jangan mintaminta. Kamu boleh hidup semenderita apapun, tapi tolong, nak, jangan minta-minta. Itu terus yang ada di kepala saya, mas. Saya sih ikut kata nenek saya, mas. Seumur hidup gak akan pernah minta-minta.” Setelah itu, gerak tangannya yang memegang gagang gelas mulai dilanjutkan. Tegukan-tegukan es teh manis mulai menghujam kerongkongannya yang kering. Jelas saya tak menyangka, bocah umur 13 tahun ini punya persepsi sekuat ini tentang hidup. Buat dia kegetiran tak ada apa-apanya. Andaikata saya jutawan, sudah ku jadikan anak angkat kau, dek! Berhubung sekarang masih calon jutawan, kita teman saja ok! Hehe..
Dibanding semesta yang rumit Aku begitu sederhana Dibanding semesta yang luas Ya aku ini si serba terbatas Dibanding semesta yang tinggi Aku tanah lempung di tempat yang rendah Seandainya Rabbku tidak meridhai aku Sesungguhnya aku ini hina Tiada tersia tapi tak jumawa
“Jadi mas cuma mau bayarin makan aja nih? Gak pake acara semir sepatu? Gratis deh, mas, semirnya.”Menggeleng saya pelan, sambil menyelipkan selembar uang 20 ribuan untuk bayar makan dan sedikit ceperan buat Si Kucrit. Masih ada harapan untuk esok!
27
08/201302/III/JONG INDONESIA
KABAR PPI PPI Tilburg
tahun ini memiliki 2 agenda besar ,yaitu Cooking Competition dan Workshop of Academic Writing. Cooking Competition tahunini mengangkat tema masakan Asia dari India, Thailand, Korea, serta Jepang dengan hadiahsatu set alat memasak. Sedangkan Workshop of Academic Writing menghadirkan dr. DessyIrawati, PhD, dari University of Newcastle-uponTyne. Sebelumnya, pembicara aktif di PPI UK dan sekarang berdomisili di Tilburg. Pelatihan ini memberikan informasi pembuatan tulisanakademik yang baik.
PPI Enschede
tahun ini menggelar berbagai acara budaya. Pada bulan Mei (2012) dengan Indonesian Food Festival 2012 (IFF), PPI Enschede berhasil mengajak warga Enschede menghadiri acara tahunan ini. Bulan Oktober, PPI Enschede menggelar Indonesian Evening dalam rangka memperkenalkan kebudayaan pulau Sumatera kepada khalayak luas di Belanda. Puncak dari berbagai acara kebudayaan ini adalah ketika mahasiswa Indonesia di Enschede, turut serta dalam acara International Social Evening ITC. Acara tahunan yang telah dilaksanakan sejak 30 tahun lalu ini merupakan momen untuk memperkenalkan kebudayaan dan mem-bagikan informasi tentang Indonesia. Kegiatan kebudayaan inidiimbangi dengan kegiatan intelektual yang tersaji dalam diskusi panel dengan PPI Belanda. Diskusi ilmiah dengan tema “Kebijakan Teknologi di Indonesia” dilaksanakan pada bulan Desember dengan menghadirkan 3 orang pembicara, Bapak Brian Yuliarto, Ph.D., Bapak Andri D. Setiawan, M.Sc., dan Bapak BayuRahayudi, M.Sc..
28
PPI Delft
pada tahun 2012 menggelar diskusibulanan dengan nama “Kopi Delft”, KolokiumPelajar Indonesia di kota Delft. Agenda inicukup terkenal di kalangan mahasiswaIndonesia di Delft maupun di beberapa kota lain di Belanda. Setiap bulannya Kopi Delft mengangkat tema berbeda dan mengundangpembicara yang ahli di bidang bersangkutan. PPI Delft juga berhasil menggelar 2 acarakebudayaan, yaitu Asian Night dan Multicultural Event, masing-masing pada bulan Juli danAgustus. Kegiatan menarik lain yang diadakanoleh PPI Delft adalah fun bike dengan ruteDelft-Scheveningen di musim panas 2012 laluserta workshop fotografi di bulan September.
PPI Groningen merupakan salah satu PPI kotadi Belanda yang cukup aktif mengadakanberbagai kegiatan, baik untuk kalangan anggotaPPI kota maupun kegiatan eksternal. Selain itu PPI Groningen juga turut aktif mengikutikegiatan di PPI kota lain. Tercatat beberapakegiatan besar PPI Groningen di tahun 2012, seperti Indonesian Dinner, seminar kekonsuleran, Groenscup, pagelaran senibudaya Padang, malam pertukaran budaya, pentas musik akhir taun dengan tema Papua, dan upacara peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus. Keaktifan PPI Groningen juga terlihatdalam ikut serta di beberapa agenda PPI kotalain seperti Ariba, berbagai turnamen olah raga dan Temu Eropa.
08/201302/III/JONG INDONESIA
1 6
2
7
3
8 Keterangan foto:
4
29
5
1 Para peserta Temu Eropa Mei 2012 di Rotterdam sedang mengikuti acara pembukaan (foto: Oky Adrian) 2 Para peserta kursus membatik di Utrecht Indonesian Day pada Juli 2012 lalu. 3 lingkar inspirasi kita dan indonesia (foto: ryvo) 4 Lingkar Inspirasi (foto: dok PPI Enschede) 5 Made in Indonesia 2012 6 Tidak hanya orang Indonesia yang menikmati makanan Indonesia di Indonesian Food Festival pada Mei 2012 lalu di Enschede (foto: dok PPI Enschede) 7 Atase Pendidikan, Bpk. J. Setiawan, Dubes RI, Sjaak van Heusden berpose bersama di acara Seminar Ilmiah Se-Eropa di Wageningen (foto: Oky Adrian) 8 Made in Indonesia 2012 08/201302/III/JONG INDONESIA