Majalah Surah edisi 06

Page 1

1


Surat Pembaca Pemimpin Umum Abi S Nugroho Pemimpin Redaksi Abdullah Alawi Redaktur Pelaksana A. Zakky Zulhazmi, Dewan Redaksi D.

Zawawi Imron, A. Mustofa Bisri, Ahmad Tohari, Acep Zamzam Noor, Machasin, Faisal Kamandobat, Maman S. Mahayana, Muhaji Fikriono, Alamsyah M. Dja’far, Hamzah Sahal, Ahmad Mauladi Staf Redaksi Ahmad Makki, Alhafiz Kurniawan, Hengki Ferdiansyah, Dedik Priyanto, Arlian Buana, Muhammad Al-fayyadl, Ahsan Ridhoi, Ahmad Ubaydillah, Aditya Fadjar, Aditia Purnomo, Adi Sucipto Rahman Desain Morenk Beladro, Uci Sanusi, Hasyim Zain, Eko Yudi Prasetyo Fotografer M. Sabki Keuangan Farihunnisa Penerbit Komunitas

Surah Sastra Nusantara

Alamat:

Jl. Melati IV No. 19 Bintaro, Jakarta Selatan 12330 Telepon (021) 7376319, 081386000997 Email meja@surahsastra.com

Twitter: @bukubunin Surah, terima kasih untuk kuis di twitter dengan hadiah buku2 menarik. Sering2 ya bikin kuis berhadiah buku Jawaban redaksi >>Oke. Kami akan bikin kuis rutin, mungkin sebulan dua kali.

Aris Burhanudin, Surabaya >> Halo, Surah. Saya suka membaca Majalah Surah. Di tengah sedikitnya majalah sastra di Indonesia, membaca Surah terasa segar menyegarkan. Saya berharap Surah tetap terbit dan menemani kawula muda. Bravo!

Jawaban redaksi >> Terima kasih apresiasi dan doanya. Kami akan berikan yang terbaik yang kami punya.

@SurahSastra MajalahSurah

Pembaca Budiman, Tema sastra terjemahan disodorkan Surah di edisi VI. Abdullah Alawi cukup baik mendedah liku-liku dunia penerjemahan di Indonesia. Adapun A. Mustofa Bisri, menyuguhkan esai menyentil dengan judul Kitab dan Buku, yang penting kita renungi bersama. Wawancara dengan Ali Audah di rubrik Bicara semakin meluaskan tema perbincangan kita. Ditambah esai Hairus Salim yang mengurai pengalaman membaca sastra terjemahan. Edisi ini juga menjadi edisi spesial karena kami menambah beberapa rubrik baru, di antaranya adalah rubrik cerpen dan puisi untuk pelajar. Tak hanya itu, cerpen dan puisi pelajar yang dimuat akan diulas oleh Maman S Mahayana, dewan redaksi Majalah Surah. Ini semua tak lain untuk menegaskan komitmen Surah menemani anak muda. Lewat edisi ini, kami juga ingin mengabarkan satu berita gembira: kumpulan cerpen karya pemimpin redaksi den redaktur pelaksana Majalah Surah terbit bulan ini. Kumpulan cerpen yag disunting Dedik Priyanto itu bertajuk Gula Kawung, Pohon Avokad dan cerita-cerita lainnya. Semoga kumpulan cerpen Abdullah Alawi dan A. Zakky Zulhazmi itu menambah semarak belantika sastra kita. Selamat membaca. Tabik.

2


catat!

3

Para pengarang hanya menulis karya sastra dalam bahasa ibunya, tetapi sesungguhnya sastra dunia adalah ciptaan para penerjemah JosĂŠ Saramago Tanpa sastra, kehidupan ini adalah neraka Charles Bukowski

Pada akhirnya jurnalisme adalah sebuah pilihan hidup, bukan sematamata keterampilan. Tujuan Anda menulis cerita, hanya Anda sendiri yang tahu dan harus tahu. Linda Christanty


t

A. Mustofa Bisri Pembuka Halaman

Catat!

José Saramago

1

Daftar isi

Halaman

6

Di negeri ini di samping ada toko buku, ada pula toko kitab. Orang “sekolahan” kalau mencari buku di toko buku; sementara yang “madrasahan” mencarinya di toko Bicara kitab. Wawancara Ratih Kumala:

Orang Tuaku adalah Inspirasiku Halaman

8

Bicara

Kabar Pantun Almari Panggung

Wawancara Ali Audah Halaman

12

Syair

Puisi-puisi Sabiq Carebesth, Putri N Hati dan Muhammad Izzat Abidi Halaman

4

8

Halaman 16 Halaman 26 Halaman 27 Halaman 28


t D a f t a r

5 Is i

Panggung

Sebuah Usaha Membaca,

Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta Halaman

46

Esai

Hairus Salim HsS

Penerjemahan Karya Sastra: Pengalaman Pembaca Halaman

31

Layar Inspirasi dari Timur

Bahasa Pustaka Telusur Cerpen Guyon Karikatur

Halaman

Halaman 36

56

Halaman 31 Halaman 40 Halaman 38 Halaman 55 Halaman 55

Kilas

Patrick Modiano Sabet Nobel Sastra 2014 Halaman

60

Ruang Jazz dari Kemayoran Halaman

24

Keterangan Sampul

Karya fotografi Hasyim Zain Foto diambil di depan Museum Nasional

5


p e m b u k a

Kitab dan Buku

M

A. Mustofa Bisri Dewan Redaksi Surah

ungkin karena banyaknya hal-hal aneh di negeri ini, maka orang seperti tidak merasa aneh lagi dengan adanya penggunaan istilahistilah yang sebenarnya aneh. Di negeri ini, misalnya, ada istilah sekolah dan madrasah yang pengertiannya setali tiga wang. Maka lucu sekali ketika ada orang mengatakan, “Anak saya sekolah di madrasah anu.”

Anehnya lagi, selaras dengan hal tersebut, di negeri ini di samping ada toko buku, ada pula toko kitab. Orang “sekolahan” kalau mencari buku di toko buku; sementara yang “madrasahan” mencarinya di toko kitab. Toko buku seperti Gunung Agung, Gramedia, dsb, ketika itu, hanya menjual buku-buku yang bertulisan Latin; sementara yang ada tulisan Arabnya, toko kitablah– seperti Toha Putra, Menara Kudus, Salim Nabhan, dsb. –yang menjualnya. Apalagi “kitab kuning”, jangan harap Anda menemukannya di toko buku. Terjemahan-terjemahannya saja pun hanya dijual di toko kitab; karena biasanya terjemahan kitab-kitab kuning yang diterjemahkan tokoh-tokoh pesantren itu pun selalu ada tulisan Arabnya. Demikianlah; seiring dengan pikiran salah kaprah tentang adanya dikotomi ilmu agama dan ilmu umum, maka madrasah (dan pesantren) dianggap tempat belajar agama dan kitab yang dijual di toko kitab dianggap bacaan agama. Sedangkan sekolah dianggap tempat belajar umum dan buku yang dijual di toko buku dianggap sebagai bacaan umum. Baru belakangan--dugaan saya sejak orang-orang Barat menerjemahkan kitab-kitab bahasa Arab seperti kitab-kitabnya Hasan Banna, Sayyid Quthub, dan Mauddudi, dan menarik perhatian “Muslim-muslim kota”-- toko-toko buku seperti Gramedia mulai menjual “kitab-kitab”; terutama kitab-kitab terjemahan “bacaan agama”. Kebanyakan “kitab-kitab” yang dijual di toko buku itu bukanlah kitab-kitab yang biasa dijual di toko kitab. Juga umumnya “kitab-kitab” baru yang mulai dijual di toko buku itu adalah terjemahan dari bahasa Barat utamanya bahasa Inggris; tidak seperti kitab-kitab yang selama ini dijual di toko kitab.

6


7

Boleh jadi, ketertarikan orang Barat terhadap kitab-kitab para tokoh semisal Hasan Banna (1906-1949), Sayyid Quthub (1906-1966), dan Mauddudi (1903-1979) itu, ada kaitannya dengan gerakan-gerakan militan yang mulai merebak di dunia. Sementara orang-orang kota di kita, umumnya dari kampus-kampus, tertarik menerjemahkan kitab-kitab tersebut mungkin karena merasa cocok. Orang-orang kotalah yang galibnya paling bisa merasakan ketertindasan rezim Suharto. Sehingga ketika mereka membaca kitab-kitab karangan para tokoh yang tertindas itu (Hasan Al-Banna, pendiri AlIkhwan Al-Muslimiin, ditembak, Sayyid Quthub digantung setelah lama mendekam di penjara rezim Jamal Abdun Nasser, dan Al-Maududi nyaris–sudah divonis-- hukuman mati tahun 1953, batal karena protes keras dari dunia Islam). Maka sekarang ini, bila Anda masuk ke toko buku, Anda akan menjumpai rak-raknya yang penuh dengan “kitab” dan “bacaan agama”; termasuk buku-buku terjemahan dari kitabkitab kuning. Waba’du; sengaja saya menyebut nama Hasan Banna, Sayyid Quthub, dan Maududi ketika berbicara tentang “kitab-kitab” yang mulai menyerbu toko-toko buku, karena saya perhatikan seperti ada korelasi antara masuknya pikiran-pikiran para tokoh tertindas tersebut dengan munculnya semangat keberagamaan yang menyala-nyala terutama di kota-kota dan kemudian munculnya paham Islam yang garis keras (termasuk yang “super keras” yang dianut para teroris). Hal ini mengingatkan kepada pikiran-pikiran para tokoh generasi sebelumnya semacam Jamaluddin Afghani (1838-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) yang mempengaruhi dunia Islam pada zamannya. Bahkan, sampai sekarang pengaruhnya masih terasa.

Di negeri ini di samping ada toko buku, ada pula toko kitab. Orang “sekolahan” kalau mencari buku di toko buku; sementara yang “madrasahan” mencarinya di toko kitab.


PADA AKHIRNYA KITA JADI ABU

s y a i r

Puisi Sabiq Carebesth

Ada ribuan kata yang akhirnya jadi sunyi Sewaktu malam jadi mencekam Membenam dalam kebekuan Sewaktu hidup hanya bayangan Pada akhirnya kita jadi abu Terbang di pemakaman waktu Sewaktu hidup melemparkan kita Ke dalam hening tanpa jendela Kita menari di sini Merayakan setiap detik yang berlalu Tak pernah tahu waktu yang nanti Bersekutu kita bersama desau bisu Sudah kukatakan padamu Aku segaris tanpa warna Dari ribuan warna di kanvas kalbumu Yang rindu selalu pada waktu; Sedang kau dan aku terjebak dalam semu 2014

Sabiq Carebesth,

Founder of “Galeri Buku Jakarta”. Buku kumpulan sajaknya

Ulasan Maman S Mahayana

8

Dua puisi “Surat yang tak Kunjung Jadi” dan “Pada Akhirnya Kita jadi Abu” cukup baik menampilkan tema kerinduan; rindu pada sesuatu, mungkin kekasih profan atau tuhan. Puisi pertama, dengan mengandalkan pola repetisi membandingkan aku—yang rendah pasrah, kalah, dan pecundang— dengan engkau yang sempurna. Dan kontras itu, disimpulkan lewat larik: Peluklah tangisku atau tawa kelamku//Segalanya lalu menjadi jelas, bagaimana posisi aku yang rindu berada dalam kesendirian. Ia benar-benar berada dalam posisi pecundang atau pasrah dan kalah.

dua hal yang secara fisik, memang dapat menghadirkan perbedaan yang kontras. Jadi, perlu juga mempertimbang perbedaan psikis, sifat, atau hal lain yang metaforis. Dalam konteks itu, kesejajaran menghadirkan hal atau sifat yang paralel. Perhatikan larik-larik berikut ini:

Sebagai usaha membandingkan posisi aku yang pecundang, pasrah, dan kalah dengan engkau yang sempurna, dalam berapa larik cukup berhasil. Tetapi, perbandingan itu bukanlah sekadar menderetkan

Lantaran hendak mengejar rima akhir yang sama: a-a; b-b; c-c, paralelisme semantik diabaikan begitu saja. Rembulan (fisikal) dan jarak (abstrak), kelopak mata (fisikal) dan sajak (simbolik),

Pipimu rembulan merah Aku rentang jarak meruah Kelopak matamu gundukan waktu Aku sajak pilu Rambutmu alunan komedi Romeo Aku sajak Suto


9

SURAT YANG TAK KUNJUNG JADI ; susan gui Pipimu rembulan merah Aku rentang jarak meruah Kelopak matamu gundukan waktu Aku sajak pilu Rambutmu alunan komedi Romeo Aku sajak Suto Telapak kakimu pasir sehalus kabut Aku gemuruh ombak merenggut Alismu pucuk sunyi Aku jalan mendaki Payudaramu bebatuan suci Aku perahu kertas di deras sungai Jemarimu puisi Aku kelam di malam sepi Bibirmu sayap merpati Aku surat yang tak kunjung jadi Engkau waktu yang berhembus Dan aku peziarah yang terbius; Pada kalbumu kutuntun pilu rinduku Peluklah tangisku atau tawa kelamku Malam tambah biru Kututup jendela kamarku Di luar rembulan berpendar kian membiru. Sabiq Carebesth, 16 Maret 2014

begitu juga dengan rambut dan sajak. Tak terjadi paralelisme sebab sasarannya sekadar perbandingan. Bahkan, larik-larik: /aku sajak pilu/ dan /aku sajak Suto/, terkesan seperti kehabisan gagasan seolah-olah, itulah perbandingan yang paling pas. Jelas sekali, sajak itu menampilkan kerinduan seorang pecundang, dan bukan kerinduan pada Sang Khalik: Tuhan. Bukan kah dari awal sosok engkau dicitrakan sebagai perempuan cantik: pipi, alis, dan seterusnya sampai payudara adalah peralatan yang sering jadi ukuran kecantikan perempuan? Pada bait kedua yang menggambarkan kesendirian aku lirik, terjadi kontras yang justru menyalahi logika: Malam tambah

biru/Kututup jendela kamarku/Di luar rembulan berpendar kian membiru. Malam tambah biru adalah citraan warna yang tak tepat. Memang diizinkan terjadinya penyimpangan pada kelaziman, tetapi warna biru adalah simbol kedamaian, kesuburan, dan kemakmuran. Hal yang sama terjadi pada larik terakhir: rembulan membiru. Dengan begitu, kesan yang muncul kegagalan membangun diksi, lantaran ketakpahaman pada makna kata dengan segala keserbamungkinannya. Pelanggaran logika itu juga terjadi pada dua larik terakhir: kututup jendela/di luar… bagaimana dia dapat mencermati suasana di luar, padahal jendela sudah ditutup. Begitulah, menulis puisi diperlukan juga pemahaman tentang makna kata dan logika. *** Puisi berikutnya, “Pada Akhirnya Kita Jadi Abu” menghadirkan subjek-aku dan objek-engkau. Dua bait awal berhasil mencitrakan subjek-aku berada dalam kegelandangan-kehampaan. Bangunan suasana hampa dan ketakbermaknaan cukup kuat. Tetapi, di bait ketiga: kita menari disini/ merayakan setiap detik yang berlalu/ yang mencitrakan suasana meriah dan bermakna, menjadi kontradiksi dengan suasana yang dihadirkan dua bait awal. Pada bait terakhir, kembali terjadi kontradiksi. … Aku segaris tanpa warna/Dari ribuan warna di kanvas kalbumu/… Sedang kau dan aku terjebak dalam semu// Bukankah aku-subjek yang ditempatkan sebagai noktah kecil dalam lautan warna, tiba-tiba berada dalam posisi yang sama: … kau dan aku terjebak dalam semu? Jadi, engkau-objek itu hakikatnya sama dengan aku-subjek? *** Dari ketiga puisi yang dibincangkan tadi, perlu kiranya kita lebih menyadari bahwa menulis puisi bukanlah sekadar membangun rangkaian kata yang diindahindahkan; atau rangkaian kata yang terkesan enak dibaca dan seolah-olah membuai. Di sana, dalam puisi, ada logika, ada usaha untuk melakukan pilihan kata yang tepat, ada konstruksi semantik dan sintaksis yang perlu diperhatikan. Meskipun begitu, sebagai langkah awal, tentu saja kelalaian itu dapat dimaklumi. Dengan begitu, kita berharap, para penulis puisi itu dapat menghasilkan karya yang lebih baik lagi di masa mendatang. Semoga!


MEMBACA NUN KECIL Puisi Puitri N. Hati

Membaca Nun kecil dengan enam ketukan harokat Tanda seru dari Nya, Membaca nun kecil di malam luas di malam bertingkat -tingkat Aku nun kecil, kau malam tak terhingga Tapi ia mengaku sebagai huruf kaaf yang berbeda wujud Ketika di depan, di tengah dan di belakang kalimat kitab suci Dan kau meminta kami menganggapmu id’har yang dibaca dengan jelas

Empat Batu Penulis yang lahir dan tinggal di Solo. Giat di Komunitas Pawon. Kumpulan puisinya adalah Kitab Diri dan Sajak Bunga Vanili PUITRI N. HATI

10

Batu mencari air untuk melubangi sunyinya Batu mencari udara untuk melamarkan angin Batu mencari erupsi untuk hasrat pada kekasihnya Batu mencari suara mata air untuk kekalkan diamnya


11

CERITA SEKOTAK RUANG Sekotak ruang juga punya cerita Tentang asa dan derita Sayang ia tak bisa bicara Karena mulutpun tak ia punya Lewat mimpi ia menemuiku Sebagai salah satu penghuninya Ia mulai bercerita Aku duduk sebagai pendengar setia Ia berbicara tentang derita Yang selama ini terpendam lama “Aku tak suka dengan perilaku mereka mencoba membunuhku dengan asap racun penusuk paru-paru,” katanya kepadaku “Juga perilaku mereka menggores tubuhku dengan tinta. Menulis kata-kata dusta, makian dan sumpah serapah ,” katanya lagi Aku tersadar dan meratapi Apakah betul itu perilaku kami Para penghuni yang tak tahu diri untuk para pendusta kata Solo, 02 Oktober 2013

Puisi Muhammad Izzat Abidi Muhammad Izzat Abidi, Lahir

di Magelang. Santri Pesantren Al-Muayyad dan siswa SMA AlMuayyad Surakarta.

Ulasan Maman S Mahayana Puisi berjudul Cerita Sekotak Ruang tampak jelas terbebani oleh pesan yang hendak disampaikan. Tentang rokok (dan pengarang pecandu rokok). Bait pertama menjadi tak penting lagi, sebab tak jelas lanjarannya. Boleh jadi, bait itu sebagai pembuka untuk memasuki bait berikutnya. Tapi, aku liris sebagai pendengar setia tak mengisyaratkan simbol apa pun. Sebagai puisi naratif, ia gagal menyajikan sebuah kisah. Sebagai puisi simbolik, ia juga tak fokus pada tanda tertentu. Inilah puisi yang sejak awal dibebani oleh pesan. Pada saat yang sama, ia juga ingin menyembunyikan pesan itu lewat metafora yang juga gagal mencantelkan teks dengan konteksnya. Akibatnya, ia hadir sekadar sebagai puisi yang hambar dan tak fokus. Abidi kiranya perlu easy going memusatkan perhatiannya pada satu persoalan tertentu, tanpa dibebani oleh pesan dan keinginan menjejalkan pesannya itu dengan cara yang seolah-olah simbolik. Bait akhir yang mengungkapkan kegamangan aku liris, juga menjadi kontradiksi dengan bait sebelumnya. Jadi, yang perlu dicermati Abidi adalah menempatkan aku liris sebagai objek atau subjek. Jika hendak ditempatkan berada dalam posisi keduanya (objek—subjek), maka pergantian posisi objek—subjek perlu dihadirkan lewat penciptaan katakata atau frasa yang bersifat asosiatif.


A b i c a r a

Ali Audah

Menerjemahkan

sebagai Panggilan Hati

Ali Audah bagi peminat sastra dan dunia terjemahan, khususnya bahasa Arab, pasti tak asing lagi. Pasalnya nama ini tak terpisahkan dari dunia yang sedikit saja orang mau menempuhnya. Di usia 90 tahun ini, ia memang sudah tidak aktif menerjemahkan, namun tetap saja didatangi orang untuk membicarakan hal itu. Paling tidak, mahasiswa atau mahasiswi Jurusan Sastra Arab. Dia cuma tamatan madrasah. Bahkan tak bisa menulis bahasa Arab sama sekali. Lalu bagaimana Ali Audah masuk ke dalam dunia sastra, terjemahan bahasa Arab, sampai punya reputasi tersendiri di dunia itu? Abdullah Alawi dan Abi S Nugroho mewawancarai dia di kediamannya, Kota Bogor, Februari lalu. Berikut petikannya:

Bisa cerita bagaimana mula Anda masuk dunia penerjemahan? Pertama kali saya menulis sendiri kemudian menerjemahkan sastra Barat. Kemudian teman-teman banyak mengatakan, sastra Barat kan sudah banyak. Timur Tengah yang belum ada. Ternyata saya lihat sastra Arab sangat maju sekali. Terus saya terjemahkan dari Aljazair, dari Tunis, dari Mesir terutama. Kemudian disiarkan di majalah sastra Horison, majalah Kisah. Kebetulan saya ada kesempatan belajar bahasa Arab. Bahasa Arab yang saya pelajari itu memang untuk sastra terutama. Jadi lebih banyak menerjemahkan sastra.

Mulai kapan? Ya sekitar 60an.

Buku apa yang diterjemahkan? Wah, sudah lupa saya. Yang pertama kali yang terbit menjadi kumpulan cerita pendek itu

12

dari Mesir itu tahun 1957 diterbitkan di Balai Pustaka. Judulnya Suasana Bergema. Itu kumpulan cerita pendek. Sesudah itu saya terjemahkan juga dari majalah-majalah sastra dari Lebanon, dari mana-mana ke dalam bahasa Indonesia.

Cuma menerjemahkan prosa atau puisi juga? Prosa saja. Puisi nggak. Puisi Arab terlalu banyak. Banyak sekali dan kadang-kadang sulit-sulit. Tapi kalau cerita pendeknya bagus bagus. Mahmud Taimur, ada teman berempat ceritanya, bagus sekali. Satu demi satu mati, mati. Wah, dia cerita kemanusiaan yang diperlihatkan. Tema kemanusaiaan, eksistensialisme juga ada. Itu kuat di Lebanon. Aljazair tidak terpengaruh eksistensialisme, yang ahli banyak. Tapi mati sendiri, sekarang tidak kedengaran.

Bagaimana menerjemahkan sastra Arab supaya “jiwa� teks asli tak hilang, publik yang berbeda bahasa


13

dan budaya memahaminya? Sastra itu pada dasarnya berjiwa sama. Cuma mungkin pembaca memiliki pilihan pribadi, saya sendiri kalau sastra Barat lebih suka Rusia dan Inggris.

Kenapa begitu? Lebih berbobot dalam tema dan gaya bahasa, terutama yang berkaitan dengan sejarah.

Apa pentingnya menerjemahkan novelnovel bahasa asing ke Indonesia? Menurut saya, setiap anak ingin tahu bagaimana perbedaan masyarakat, sebab kalau kita pakai buku sosiologi, mungkin tidak menggambarkan budaya hidup masyarakat lain. Dengan membaca novel, seolah-olah kita hidup dalam bagian masyarakat itu. Misalnya masalah rumah tangga.

Bisa bahasa Arab bagaimana ceritanya? Belajar sendiri. Nulis Arab saja saya nggak bisa.

Berapa lama belajar bahasa Arab? Tak bisa dihitung.

Kenapa tertarik ke dalam bahasa Arab? Ada keluarga kami itu yang juga banyak membaca sastra Arab. Dia bercerita sama saya. Wah, ini ceritanya bagus-bagus. Lantas tertarik, ketika dia di Arab minta dikirim cerita Arab.

berkaitan dengan agama, dibilang baru masuk Islam.

Kunci dari penerjemahan bahasa Arab itu apa?

Kenapa menerjemahkan Hussein Heikal?

Banyak yang nanya, tapi saya nggak bisa jawab. Kadang saya coba ambil maknanya, tapi nggak keluar dari jiwa bacaan itu sendiri. Soalnya dalam sastra itu bukan hanya kata demi kata, tapi juga dari jiwa, mungkin.

Karena waktu itu, Ahmad Hussein Heikal termasuk sastrawan Arab yang terkemuka. Dia menulis novel. Dia lulusan Universitas Kairo, lalu melanjutkan ke Sorbone Prancis. Jadi ketika dia beralih ke biografi Islam, tapi dengan nada sastra. Tapi kalau kita meneliti dengan pemahaman Inggris, sejarah dan biografi itu masuk ke dalam unsur sastra.

Kalau orang Indonesia mengerti bahasa Arab biasanya yang diterjemahkan buku agama. Kalau saya sendiri, saya termasuk orang yang lebih memperhatikan masalah sastra dibanding agama. Buku yang berhubungan dengan agama yang pertama kali saya terjemahkan itu, sejarah Muhammad-nya Hussein Heikal. Sampai temanteman berkelakar ketika saya menerjemaahkan yang

Bagaimana penghargaan orang terhadap penerjemah? Kurang terlihat sampai saat ini. Jadi


b i c a r a

waktu itu saya menerjemahkan karya filsafat, bersama Taufik Ismail dan GM (Goenawan Mohamad), itu juga salah satu buku utama, penghargaannya sedikit sekali. Tapi ya saya nggak mengharapkan. Tapi sastra itu kawasan miskin, jadi sedikit orang yang mau ke sana. Saya hidup itu dulu menderita, jadi ada orang yang ngasih uang, tapi pulang bawa buku. Tak bisa kita hidup dari nulis.

Tapi kenapa menggeluti dunia itu? Pilihan saya. Kalo saya mau mencari uang lebih baik saya menerjemahkan karya populer yang kira-kira bisa laku, laris banyak. Tapi saya nggak mau ke arah sana. Dengan kata lain, sastrawan itu nggak bisa diminta ‘ini terjemahkan, lalu uangnya sekian.’ Jadi, ada semacam panggilan hati, tidak bisa begitu saja. Lain dengan penerjemah yang profesional, dia hidup dengan menerjemahkan. Dia menerjemahkan surat, perjanjian atau buku. Saya, selain buku sastra, saya nggak mau. Kalau ada buku agama yang dituliskan sama sastrawan, saya baru mau.

Arti penting sastra terjemahan untuk masyarakat? Menghidupkan rasa kemanusian, menyadarkan bahwa dia itu manusia dan menghadapi manusia. Lalu coba menyimpulkan apa yang kita inginkan supaya manusia itu hidup betul-betul sesuai kodratnya.

Kembali ke bahasan sastra Arab. Bagaimana perkembangannya waktu itu? Saya lihat tinggi sekali, sangat bagus. Aljazair itu kan, Di Bawah Jembatan Gantung, itu kumpulan cerita pendek, di antaranya melukisakan perlawan rakyat Aljazair melawan penjajahan Prancis. Bagus betul. Jadi, kita juga banyak belajar dari situ masalah kemanusian yang diperlihatkan dari situ. Mahmud Taimur dia membuat cerita-cerita pendek yang bagus-bagus.

14

Pernah ketemu pengarang yang karyanya diterjemahkan? Ya bertemu kalau ada seminar.

Siapa? Terakhir yang pernah ketemu itu Ahmad Sayaruni, penulis cerita pendek. Kebetulan saya menerjemahkan. Ahmad Sayaruni itu seusia dengan saya waktu seminar di mesir, tahun 96 apa?

Bagaimana ceritanya senang dengan sastra, buku, dan tulismenulis, hingga penerjemah? Nggak tahu bagaimana. Tapi yang jelas semua buku saya baca, dari bacaan silat sampai apa saja.Tapi kebanyakan memang yang saya baca sastra.

Dari usia berapa? Sepuluh atau 12.

Berarti di rumah tersedia buku bacaan? Iya. Jadi kalau dulu baju saya sobek, lalu dikasih ibu buat beli baju, saya beliin buku. Saya gila buku waktu itu. Saya ingin membaca, supaya nggak lupa belajar tulisan Latin. Mungkin kalau teman-teman mengumpulkan buku saya, sedikit gambaran tentang saya di masa kecil.

Waktu kanak-kanak pernah bercita-cita jadi apa? Penulis. Karya sastra pertama saya itu puisi di majalah Sastrawan tahun 1946 kalau tidak salah di Malang. Saya lupa judulnya, tapi mungkin masih ada didokumentasi HB Jassin. Saya termasuk orang yang tidak rajin mengumpulkan dokumentasi, tapi semua yang lebih tahu tentang saya dan karya-karya saya itu di PDS (Pusat Dokumentasi Sastra).


15

Yang memantapkan jalan sebagai penulis dari usia dini apa?

atau apa saja. Dia dorong saya masuk sastra Arab, karena ia ingin tahu. Tapi pas saya terjemahkan satudua, dia kagum. Di luar dugaanlah.

Jadi, waktu kecil apa saja saya baca, mulai dari cerita silat sampai dengan sobekan surat kabar, tapi ketika usia saya sudah mulai dewasa, nanti semua bacaan itu akan tersaring. Saya sendiri akhirnya tertarik di sastra.

Selain dia (Asrul) yang sering main ke rumah itu Taufik Ismail dan Goenawan Mohamad dengan wartawan-wartawan sekitar. Sampai akhirnya ada perkumpulan sebulan sekali di rumah, waktu itu untuk majalah Horison.

Mulai usia berapa bergaul dengan sastrawan? Kalau bergaul dengan sastrawan di kota saya Jawa Timur nggak ada, tapi di Surabaya ada satudua, salah satunya Muhammad Ali. Saya paling dekat sama Asrul (Asrul Sani). Saya rasa karakternya sangat baik sekali, tidak pernah memandang materi, kedudukan

Jadi, waktu kecil apa saja saya baca, mulai dari cerita silat sampai dengan sobekan surat kabar, tapi ketika usia saya sudah mulai dewasa, nanti semua bacaan itu akan tersaring. Saya sendiri akhirnya tertarik di sastra.

Bagaimana dunia penerjemahan karya sastra di Indonesia saat ini? Saya sudah kurang mengikuti perkembangan, sebab lebih mudah menulis asli dibanding menerjemahkan. Waktu itu di dewan kesenian, ada desakan dari UNESCO, di Indonesia belum ada persatuan penerjemahan. Lantas untuk waktu itu dibicarakan di dewan kesenian rapat, dan lantas didirikan HPI (Himpunan Penerjemah Indonesia).

Tahun berapa itu? Tahun 1974 saya terpilih sebagai ketua, sebagai pendiri. Wakilnya Bayu Siagian, Sekertaris Hazil Tandzil. Bendarhara itu Winasih Farid. Lantas diadakan pertemuan, lalu membentuk pengurus, membuat undang-undang dasar. Begitu waktu menjabat habis, saya terpilih lagi menjadi ketua, masih bisa sebab dua kali. Saya meneruskan sebagai ketua, lantas sekretaris karena wafat, diganti S. S. Nasution, dia itu pakar bahasa Inggris UNAS (Universitas Nasional). Dan waktu kongres selanjutnya, karena nggak boleh lagi, tapi masih terpilih lagi. Tapi cuma sementara. Waktu itu saya mendesak wakil ketua yang meninggal diganti Usman Rahman, dia salah seorang perwira Angkatan Laut pensiunan. Saya yang menunjuknya, dan masih berlangsung sampai sekarang. Dan berkantor di PDS.

Fungsinya untuk apa? Mengumpulkan para penerjemah.

Itu yang memberi sumpah penerjemah? Iya, jadi ada yang menerjemahkan surat, buku, dan lainnya. Untuk penerjemah sastra nanti juga ada sendiri.


k a b a r

Sastra Terjemahan Perkaya Cara Berpikir

N

Novel Dataran Tortilla jadi rebutan beberapa anak muda yang kerap nongkrong di warkop Tampomas Ciputat. Novel yang diterjemahkan Djokolelono tersebut, pindah dari satu tangan ke tangan lain. Bagi yang tak sabar antre, terpaksa memoto kopinya. Diam-diam ada juga yang menyisir koleksi toko-toko buku lama. Tapi hasilnya nihil. Kemudian novel berjudul asli Tortilla Flat itu jadi perbincangan hangat. Lebih dari itu, peristiwa yang terjadi di antara mereka, selama beberapa bulan, dikaitkan dengan novel karya John Steinbeck itu. Melihat celana temannya yang kedodoran, dengan gampang sekali disebut Joe Portugis. Pemilik bintilan di kulit, mengundang disebut Bajak Laut. Sementara yang pandai mengakali dan suka menyelediki disebut Pilon. Tak hanya itu, salah satu tokoh di novel itu, Torelli, dijadikan nama blog bersama, anggurtorelli. blogspot.com. Mereka sama-sama menuangkan pengalaman membaca buku yang mengesankan itu. Pada akhirnya, tidak hanya novel itu, melainkan buku apa saja. Novel yang menceritakan para paisano Amerika tersebut, baik masa dan tempatnya, tentu jauh sekali dengan anak-anak warkop tersebut. Bagitu juga antara kebiasaan keduanya. Tapi mereka menikmati peristiwa, perilaku Danny dan kawan-kawan. Kesukaan mereka terhadap novel itu, sama persis pada Petualangan Tom Sawyer. Padahal mereka tak kanak-kanak lagi.

16


17

Peristiwa mirip terjadi ketika salah seorang di antara mereka menemukan novel Irving’s Delight. Mereka berebutan menikmati novel karya Art Buchwald yang diterjemahkan H. Mahbub Djunaidi menjadi Cakar-Cakar Irving. Kemudian beramai-ramai memoto kopinya, sebagai dokumentasi. Pemilik buku itu, dengan sedikit jumawa, sampai pada kesimpulan, “Harga ketawa itu cuma 10 ribu rupiah.” Karena memang ia mendapatkannya dari toko buku loak seharga 10 ribu rupiah di Blok M. Menurut Ali Audah, terjemahan dalam bidang sastra mulai cerpen, novel, puisi, lakon drama, membawa pembaca melampaui batas-batas waktu dan tempat. Bahkan umur. Karya seabad silam, lata dia, atau mungkin puluhan abad masih layak diterjemahkan untuk dibaca tanpa mengatakan ketinggalan zaman. Bacaan sastra selalu segar.

Kemudian novel berjudul asli Tortilla Flat itu jadi perbincangan hangat di warkop. Lebih dari itu, peristiwa yang terjadi di antara mereka, selama beberapa bulan, dikaitkan dengan novel John Steinbeck itu.

Itu karena, kata HB Jassin pada pengukuhan gelar honoris causa dari Jurusan Sastra Indonesia Universitas Indonesa, karya sastra berbicara tentang manusia dan penghayatannya, permasalahannya pada perjalanan hidup di segala zaman dan tempat. Paus sastra itu menyebut pembaca yang memasuki pengalaman-pengalaman dalam cerita berarti memasuki pengalaman bangsabangsa dalam sejarah dan masyarakatnya. Menyelami apa yang pernah mereka pikirkan dan rasakan. Dengan demikian, kata Anton Kurnia, sadar atau tidak, pembaca akan mengambil pelajaran dari pengalaman atau cara hidup

bangsa lain. Kemudian diajak berkaca untuk membandingkan dengan pengalamannya sendiri atau bangsa dimana ia tinggal. Pengalaman petani di Indonesia bisa dibandingkan dengan cerita petani Rusia abad ke-19 lewat karya Leo Tolstoy. Tahanan politik di Amerika Latin mengingatkan hal serupa di negara sendiri pada awal Orde Baru. Pada gilirannya akan memperkaya cara berpikir atau paling tidak membuka jalan yang sebelumnya tak terpikirkan. “Saya kira juga banyak orang yang dapat pencerahan dari karya-karya itu,” ujar pria yang menerjemahkan karya Leo Tolstoy, Tuhan Maha Tahu, Tapi Dia Menunggu tersebut. Bagi sastrawan sendiri, sastra terjemahan akan membantu pertumbuhan dan perkembangannya dalam berkarya. Menurut Ali Audah hal itu terjadi mislanya pada para sastrawan angkatan Pujangga Baru dan angkatan 45. Sementara Jakob Sumardjo, pada catatannya Sastra Terjemahan Indonesia Selama ini, sastra terjemahan bisa menjadi tipe ideal seorang sastrawan untuk menciptakan karyanya sendiri. “Inilah sebabnya sering kali terjadi heboh plagiat dalam sejarah sastra modern kita. Kalau bukan plagiat, setidak-tidaknya sangat terpengaruh sastra asing,” katanya. Jakob menyebut beberapa karya yang demikian, misalnya roman karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) Tenggelamnya Kapal v.d. Wijk yang memiliki banyak kesamaan


k a b a r

dengan novel Prancis Magdalena. Subagio Sastrowardoyo, kata Jakob, membuktikan buku Ballada Orang-Orang Tercinta karya WS Rendra, banyak terpengaruh karya sastrawan Spanyol F. G. Lorca. Ia juga menyebut roman Salah Pilih Nur Sutan Iskandar memiliki banyak kemiripan dengan salah satu novel Kurz-Mahler. Meski demikian, kata Jakob, kalau tak bisa disebut sebagai pengaruh apalagi plagiat, setidaknya telah menunjukkan adanya gejala pengenalan pengarangnya terhadap karya asing tersebut. Ali Audah pada tulisan Peranan Terjemahan dalam Pengembangan Sastra Indonesia mengemukakan, manfaatnya tidak hanya bagi manusia yang membacanya, tapi bagi perkembangan suatu bahasa di suatu bangsa. Menurutnya, dengan terjemahan, sastra Indonesia akan makin luas. “Bahasa yang kuat akan banyak menerjemahkan dan semakin menerjemahkan, bahasa akan semakin kuat,� katanya pada makalah untuk Seminar Pengembangan Sastra di Jakarta, tahun 1975 tersebut. Karena, kata Ali, membuat bahasa tersebut berkomunikasi atau bergaul dengan bahasa-bahasa lain di dunia. “Suatu bahasa bisa menemukan kelemahannya ketika berhadapan dengan bahasa lain. Kita juga bisa mengenal keindahan dan kekuatannya,� katanya.

18

Hans Bague Jassin (13 Juli 1917-11 Maret 2000) berjuluk paus sastra Indonesia. Ia menerjemahkan Alquran dalam bahasa Indonesia, Alquran Bacaan Mulia itu sendiri, jika kurang pergaulan, ia akan menjadi makhluk yang tidak berkembang wawasannya. Sastrawan AA Navis punya tujuan sendiri dengan membaca sastra terjemahan. Baginya membaca karya sastra asing untuk mempelajari kekuatannya, sedang mempelajari sastra Indonesia, tidak lain untuk mengetahui kelemahannya.

Hal itu senada dengan Jassin, untuk mengenal diri sendiri, kita perlu mengenal dunia di luar kita. Untuk mencintai negeri sendiri kita perlu mengenal negeri lain. Perkenalan dengan manusia lain akan memberikan pengertian kepada diri. Kita bisa mengetahui kekurangan-kekurangan, tapi juga keistimewaan-keistimewaan kita.

Tujuan Navis diperkuat pengalaman Ali Audah. Menurut Ali, ketika menerjemahkan, tak jarang menemukan kata atau ungkapan yang tak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Seorang penerjemah akan berusaha keras untuk mencarinya ke dalam bahasa daerah, bahkan menelusurinya ke bahasa Sansekerta sehingga akan menambah kosakata bahasa Indonsia.

Bahasa, kata dia, sebagaimana manusia

Tak heran kemudian banyak sastrawan


19 terpanggil jadi penerjemah. Sebut misalnya Pramoedya Ananta Toer yang menerbitkan terjemahan novel Maxim Gorky, Leo Tolstoy, Mikhail Sholokov, dan John Steinbeck. Chairil Anwar dikenal sebagai penerjemah sejumlah puisi, cerpen, dan novel karya para sastrawan terkemuka dunia, antara lain Ernest Hemingway, John Steinbeck, dan Andre GidÊ. Sastrawan lain yang jadi penerjemah –untuk menyebut beberapa nama- ada Asrul Sani, H. Mahbub Djunaidi, Anas Ma’ruf, Sapardi Djoko Damono, NH Dini, Landung Simatupang, Arif Bagus Prasetyo, dan Eka Kurniawan. Sastra Indonesia juga diperkenalkan ke bangsa dan bahasa asing. HB Jassin menyebut Achdiat Karta Miharja yang pernah mengajar di Universitas Australian National University, Muhammad Balfas di Sydney University, Idrus di Monash University, Subagyo Sastrowardoyo di salah satu institut di Adelaide, berjasa dalam bidang ini.

Diterjemahkan H. Mahbub Djunaidi dari The 100, a Rangking Of the Most Influential Persons in History karya Michael Hart. Dua tahun setelah diterjemahkan 1982 dicetak 14 kali.

Di negara-negara sosialis, sastrawan Indonesia juga memperkenalkan sastra kita. Sebut misalnya Intojo, Usman Effendi, Bakri Siregar, dan Boejoeng Saleh. Jassin juga menyebut peneliti asing yang memperkenalkan sastra Indonesia ke negaranya. Misalnya AA Teeuw dan Denys Lombard di Eropa. Profesor Echols dan Burto Raffel di Amerika Serikat, Profesor John dam Harry Aveling di Australia. Dengan demikian, menurut Jassin, sastra Indonesia telah menjadi bagian dari warga sastra dunia. (Abdullah Alawi/Surah)

Asrul Sani (10 Juni 1927-11 Januari 2004), sastrawan, sutradara, disebut Jakob Sumardjo sebagai raja penerjemah


Penerjemah, Kurir Sastra Dunia

P

PENERJEMAH ITU KUDA BEBAN ATAU LEBIH TEPAT DUTA JUJUR YANG MEMBAWA MISI DIPLOMASI, TANPA KURSI. DEMIKIAN PENERJEMAH GAEK KITA, ALI AUDAH MENGIBARATKAN KERJA-KERJA PENERJEMAHAN. SECARA MUDAH, MENURUT DIA, SEORANG PENEJEMAH ADALAH PENGANTAR SUATU BANGSA KE BANGSA LAIN. Posisi penerjemah yang seperti itu, dalam bahasa Anton Kurnia yang mengutip Pushkin yang mengibaratkan sebagai “kurir sastra”. Anton kemudian meminjam istilah peraih Nobel Sastra tahun 1998, José Saramago dari Portugal. Menurut José para pengarang hanya menulis karya sastra dalam bahasa ibunya, tetapi sesungguhnya sastra dunia adalah ciptaan para penerjemah. Sebetulnya, kata Anton, jika semua orang bisa mengakses langsung karya aslinya, tidak diperlukan penerjemah. Tapi faktanya tidak setiap orang mampu. “Nah, dari situ peran terjemahan saya kira penting. Semacam inilah terjemah itu, kurir sastra dunia, menyampaikan kenyataan yang jauh ke kenyataaan kita di sini,” jelasnya. Pada makalahnya, Penerjemahan Sastra, Sebuah Pandangan, Anton membeberkan persoalan terjemahan. Ahli bahasa dari Rusia, Mikhail Rudnitzky, menggambarkan proses penerjemahan seperti seseorang yang harus melukiskan sebuah rumah indah di negara lain, sementara di negaranya sendiri rumah dengan arsitektur seperti itu tidak ada, bahkan seluruh keadaan alamnya pun berbeda.

20

Anton menyebut hal itu sebagai tantangan bagi para penerjemah. Tapi akan menjadi persoalan jika pengetahuan penerjemah tidak memadai, misalnya pada ungkapan khas suatu bahasa dan latar belakang suatu karya, serta aspek-aspek sejarah, sosiologi, dan budaya. Ia bercerita pengalaman salah seorang temannya yang menerjemahkan bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia. Ia menemukan ungkapan french letter. Sepintas, french berarti Prancis (negara), sementara letter surat. “Kalau tidak paham konteks dalam bahasa Inggris dengan menerjemahkan seperti itu, akan berakibat fatal karena french letter artinya kondom,” terangnya, Nah, penerjemah harus tahu halhal semacam itu, yaitu perbedaan budaya dalam menyebut benda dan sebutan-sebutan lain. ”Hal itu bisa diatasi dengan memiliki referensi dan banyak bertanya, berdiskusi dengan ahli bahasa. “Kalau dia buru-buru dan cuek saja, french letter diterjemahkan surat dari Prancis, itu fatal,” katanya. Ia juga mencontohkan sebaliknya, dari bahasa Indonesia ke bahasa lain. Sajak WS Rendra mengandung kode kultur (Jawa) yang sangat kuat. Dalam beberapa puisinya muncul kata “mbak”, “mas”. Puisi dia yang semacam


21 itu pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan menghilangkan kata-kata itu. “Itu rasa bahasanya jadi nggak dapet.” Idealnya penerjemah sastra itu penulis sastra Sebagaimana dikemukakan Mikhail Rudnitzky, penerjemah harus bisa mengalihkan penggambaran dari teks asli ke bahasa lain. Di teks asli menggambarkan keadaan mencekam, penerjemah juga harus bisa menarik keadaan itu ke dalam terjemahannya. “Karena itulah, idealnya seorang penerjemah sastra adalah penulis sastra juga,” kata Anton. Dalam pengalamannya, selain ketertarikan terhadap menulis, seorang penerjemah tidak sekadar mampu menguasai bahasa asing, lebih dari itu, ia harus juga punya rasa bahasa, “di sini dituntut penerjemah harus punya kreativitas bagaimana memilih diksi

yang tepat, supaya suasana mencekam itu dapat,” tambahnya. Djokolelono mengemukakan pengalaman menerjemahkan Petualangan Tom Sawyer karya Mark Twain dan Dataran Tortilla karya John Steinbeck. Bagi penulis yang tahun ini berusia 70 tahun, menerjemahkan itu adalah mengarang kembali dengan bahasanya sendiri tanpa keluar dari maksud si pengarang aslinya. Ia juga melakukan pemotongan kalimat-kalimat panjang menjadi lebih pendek. “Bagi orang Inggris itu mungkin biasa. Orang Indonesia mungkin kurang suka,” katanya. Djokolelono yang semacam itu, tampak juga pada H Mahbub Djunaidi. Dalam menerjemahkan Cakar-Cakar Irving misalnya, dia dengan santainya menyelipkan masya Allah dalam obrolan orang Barat. Menurut Anton Kurnia, ada beberapa mazhab dalam menerjemahkan. Ia menyebut yang setia banget. Mazhab ini cenderung setia menerjemahkan arti katakata dari karya aslinya. Dalam dunia penerjemahan, menurut dia, ada adagium bahwa terjemahan itu seperti perempuan. Kalau terjemahan itu bagus, cantik, berarti tidak setia. “Pak Sapardi misalnya termasuk pada penerjemah yang tudak setia,” katanya. Sebaliknya, kalau setia, sering hasilnya tidak cantik. Jadi, kalau terjemahan itu indah harus dicurigai sesuai aslinya atau tidak. Sementara Anton sendiri memilih yang ketiga, yaitu terjemahan yang cantik, tapi setia pada teks aslinya.

Anton Kurnia, pertama kali menerjamahkan cerpen karya Mark Twain, dimuat koran Pikiran Rakyat tahun 1998. Buku pertama yang diterjemahkan novel Naguib Mahfouz, Awal dan Akhir.

Lebih lanjut Anton bercerita, pada praktiknya, dalam menerjemahkan, ada tarik-menarik antara kecenderungan penerjemah sendiri dengan penerbit. Di satu sisi penerjemah mempunyai kecenderungan sendiri terhadap gaya bahasa sampai kesamaan ideologi. Di sisi lain berkaitan dengan bisnis dan kecenderungan penerbit. Ia punya pengalaman dengan menerjemahkan Lolita. Novel itu awalnya tidak disetujui penerbit Serambi yang biasanya menerbitkan buku-buku agama. Sementara Lolita terkesan erotik dan serius. Penerbit memperkirakan karya itu tidak akan laku. “Tapi saya bersikeras meyakinkan penerbit untuk menerbitkannya. Ternyata secara pasar sangat baik, sekarang sudah cetakan kesebelas. Dan laku 30 ribu eksemplar,” jelasnya. (Abdullah Alawi/Surah)


r u a n g

Puisi, Menu Andalan di Majelis Sastra Bandung

PP 22

Publik sastra Indonesia tentu akan mengingat pengadilan puisi pada medio tahun 70an. Tak akan lupa juga dengan gaya puisi mbeling yang didukung majalah Aktuil. Ya, keduanya tak bisa dipisahkan dengan kota Bandung. Peristiwa dan kelahiran sebuah gaya semacam itu tentu didukung komunitas-komunitas sastra yang ada di kota kembang tersebut. Selain juga memantik lahirnya komunitas-komunitas baru. Di kota tersebut, tumbuh ragam komunitas sastra yang sambung-menyambung. Jika salah satunya memudar atau bahkan mati, hadir komunitas baru. Jika yang baru kemudian redup, akan digantikan pula dengan komunitas yang lebih segar.


23

Di ibu kota Jawa Barat ini, untuk menyebut beberapa, pernah berdiri Kerabat Penulis Bandung, Kelompok Sepuluh yang pusat kegiatannya di harian Pikiran Rakyat. Lalu Forum Sastra Bandung yang didirikan pelukis yang penyair, Jeihan Sukmantoro dan kawan-kawan. Pada tanggal 25 Januari 2009, lahir kelompok pegiat sastra bernama Majelis Sastra Bandung. Majelis yang diprakarsai Kyai Matdon ini, hingga tahun keenam, masih awet dan rutin menjalankan kegiatannya. Kata majelis, bisa diartikan sebagai lembaga yang mendiskusikan suatu bidang. Di majelis ini, memang mengedepankan bidang puisi. Ibarat restoran, menu kajian puisi menjadi andalan. Sedikit berkelakar, Kyai Matdon mengungkap kenapa puisi jadi menu utama. Menurutnya, terdapat beberapa kasta dalam penulisan. Kasta pertama ditempati para penyair. Kemudian para prosais (cerpenis atau novelis). Selanjutnya penulis esai. Lalu kalangan jurnalis. Dengan menguasai puisi, tambah Kyai Matdon, seorang penulis secara tidak langsung akan menguasai bidang-bidang yang terdapat di bawahnya. Majelis ini bersifat free-entry atau bisa dimasuki siapa saja. Dosen, penulis, penyair, sampai dengan pelukis bebas mengikuti. Abang becak sampai tukang sayur pun, boleh ikut. Karenanya, pertemuan sangat cair. Menurut Kyai Matdon, itu sengaja dilakukan, sebab sastra adalah barang mahal. Jika dilakukan secara tertutup, maka akan tambah mahal. Secara sederhana dengan format semacam itu, Majelis Sastra Bandung bisa dikatakan sebagai wadah komunikasi antarpegiat sastra. “Sastra adalah barang mahal, namun tetap digemari. Orang-orang akan mendekatinya secara malumalu, tetapi pada hakikatnya semua orang pernah berpuisi,� ungkap Matdon. Walaupun tidak intens, lanjut dia, siapa pun yang datang mendapatkan manfaat dari majelis ini. Meski tak menjamin pegiatnya menjadi seorang penyair. “Perlu diingat, penyair atau penulis bukan lahir dari komunitas, melainkan dari kesadaran dirinya akan kebutuhan menulis,� lanjut Kyai Matdon. Majelis yang cair, bermasalah pada kehadiran

peserta dalam kegiatan. Menurut Kyai Matdon, mungkin di komunitas lain akan menunda acara jika peserta tak mencapai jumlah tertentu. Di Majelis Sastra Bandung, tidak begitu. Acara tetap berlangsung kendati dihadiri dua atau tiga peserta. Karenanya sampai sekarang tidak ada daftar resmi anggota. Untuk menyiasatinya, kata Matdon, ya show must go on. Majelis ini tidak melulu ngaji puisi, tapi melombakannya. Tiap tahun mereka mengadakan lomba baca puisi. Sebagai upaya mendokumentasikan karya para pegiat majelis, beberapa buku lahir. Untuk menyebut beberapa karya, telah diterbitkan Ziarah Kata, Bersama Gerimis, dan Wirid Angin. (Aditya Fajar/Surah)


r u a n g

Jazz

dari Kemayoran

S

SEBAGIAN ORANG MENGENAL JAZZ SEBAGAI MUSIK YANG MAHAL, HANYA BISA DINIKMATI DAN DIPELAJARI OLEH KALANGAN TERTENTU. ANGGAPAN ITU SAHSAH SAJA. Tapi jika datang ke jalan Kampung Irian 1 No. 31 Serdang, Kemayoran, Jakarta Pusat, Anda akan sepakat, jazz itu milik semua orang dan bisa dipelajari tiap kalangan. Kamis malam selepas magrib, saya bersama seorang kawan bertandang ke Kemayoran, ke markas Komunitas Jazz Kemayoran (KJK). Saat kami datang acara sudah dimulai. Setelah dipersilakan kami pun masuk dan mengikuti diskusi yang sedang berlangusng.

24

Diskusi malam itu membahas materi avoid note atau note yang sebaiknya dihindari. Diskusi berjalan dengan menarik, namun santai. Materi yang dibahas pun langsung dipraktekkan dengan alat yang sudah disediakan. KJK berdiri tahun 2004. Namanya merujuk pada tempat, yaitu Kemayoran. Adalah Beben Supendi Mulyana alias Beben Jazz, pemilik tempat sekaligus penggagas perkumpulan ini. “Dulu, sebenarnya kami berkumpul hampir setiap hari usai pulang kerja. Latihan bareng, ngobrolin musik, musik apa saja terutama ya musik jazz,� kata Beben usai diskusi. Anggota KJK berasal dari banyak kalangan, anak muda maupun tua. Dari pelajar SMA sampai sarjana, pemain jazz maupun


25

penikmat, ada di sini. Bagi mereka, KJK bukan sekadar tempat berkumpul dan bermain musik, melainkan bersilaturahmi, menambah teman yang sama-sama penikmat jazz. KJK ingin memperkenalkan jazz lebih jauh ke semua kalangan masyarakat dan menepis anggapan kalau musik itu untuk kalangan tertentu saja. Keinginan itu mereka wujudkan melalui kegiatan rutin mingguan dan bulanan. Kegiatan mingguan dilaksanakan setiap Kamis pukul 20.00–24.00. Kegiatan ini diawali dengan diskusi dengan tema yang selalu menyangkut jazz. Mulai sejarah, filosofi sampai teori musik. Usai berdiskusi, KJKers, sebutan untuk anggota KJK, melanjutkannya dengan jam sesion. Lagu-lagu jazz pun mulai dibawakan. Waktu itu Fly Me to the Moon, Loving You dimainkan. Sementara acara bulanan biasanya dilaksanakan hari Jumat minggu terakhir. Berbeda dengan acara mingguan yang diadakan di Kemayoran, kegiatan ini dilaksanakan di luar, misalnya di cafe. Diawali dengan putar film, biasanya film biograrifi musisimusisi jazz, lalu dilanjutkan dengan diskusi. Usai berdiskusi kita akan dihibur oleh grup-grup jazz, tak hanya dari Jakarta, melainkan Lampung, Bandung, Semarang. Biasanya di acara bulanan inilah orang-orang mulai mengenal jazz dan KJK, lalu rutin ikut acara-acara KJK lainnya. Selain mengadakan acara di Jakarta, KJKers juga sering menghadiri dan ikut berpartisipasi dalam acara komunitas jazz di daerah lain seperti Semarang, Jogja, Solo, Lampung, Palembang. Semua itu mereka lakukan untuk saling mengenal satu sama lain,

silaturahmi dan berbagi pengalaman bermain jazz. Sepuluh tahun berjalan, mereka melahirkan album kompilasi jazz., anggota KJK tak kurang 1000 orang. Mereka tersebar di daerah-daerah. KJK berharap bisa menjadi wadah bagi siapa saja yang ingin belajar jazz. Sehingga tak ada persyaratan khusus untuk menjadi anggota KJK. Tinggal datang saja langsung ke acara rutin baik mingguan maupun bulanan. Lalu mereka dengan senang hati akan berbagi apa pun tentang jazz dan mengajak kita terbang ke bulan bersama Frank Sinatra. (Adi Sucipto/Surah)


p a n t u n

Pantun Budaya Betawi Buaya mencari makan Melata di waktu pagi Budaya harus dipertahankan Kalau bukan kita siapa lagi. Burung elang terbang ke angkasa Berkeliling mencari makan Menjelang datangnya bulan puasa Mari kita saling memaafkan Burung cendrawasi dari Irian Kalau dipelihara bisa dihukum Terimakasih atas segala perhatian Sampae jumpa, Assalamualaikum Ke tanah abang pergi belanja, beli sajadah dan juga kain, kalau abang berangkat kerja, jangan tergoda wanita lain.

Kresek buah kebembem, buah jatoh yang mentah-mentah, biar idungnya pesek pipinya tembem, keliatan botoh kalau sudah cinta Di bawah jembatan ada rawa-rawa, banyak nelayan mencari ikan, dapat jabatan jangan tertawa-tawa, semua akan dipertanggung jawabkan. Mateng-mateng buah durian, dimakan isi kulitnya dibelah, orangnya ganteng tampangnya keren, tapi pelitnya nauzubillah Beli ikan teri, teri medan, yang berjualan orang cilandak, punya istri hobinya dandan, gaji sebulan cuma buat beli bedak.

Pantun-pantun Betawi ini, dikutip dari buku 1500 Pantun Betawi karya Zahrudin Ali Al Batawi. Bang Udin, sapaan akrabnya, mulai aktif membuat pantun sejak ia mendirikan sanggar Betawi yang diberi nama Batavia Group pada tahun 1994. Sejak mendirikan sanggar tersebut, ia dan teman-temannya menjuarai berbagai festival pantun dan palang pintu. Salah satunya di Festival Situ Gintung yang diadakan 23-26 November 2013.

26


27

Almari Ini halaman diboeat oentoek menampakkan moeka madjalah doeloe. Djika soedara punja barang model begitoe, dapat kiranja itoe barang soedara masoek di sini, soepaja khalajak oemoem tahoe.

20 Tahun Tashwirul Afkar Jurnal Tashwirul Afkar terbit pertama kali tahun 1994. Penerbitnya Pengurus Pusat Lajnah Ta’lif wan Nasyr (PP LTN). Nama jurnal ini diambil dari lembaga yang didirikan oleh KH Wahab Chasbullah tahun 1921. Beredar saat berlangsungnya Muktamar NU ke-29 di Pesantren CipasungTasikmalaya, Jawa Barat. Pemimpin Umum jurnal yang berkantor di PBNU jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat ini Mufid A. Busyairi, sedangkan Ellyasa KH Darwis sebagai pemimpin redaksi. Nomor pertama mengangkat tema Basis Sosial Gerakan Keagamaan NU, dengan sampul seorang berkopyah, bertubuh tambun, sedang memegang bendera NU. Tertera infak Rp 3500 per eksemplar. Tidak ada keterangan sifat penerbitan jurnal tersebut, bulanan, tiap semester atau junal tahunan. Mungkin karena itulah, Afkar baru terbit kembali pada tahun 1997. Pada terbitan yang kedua ini, Afkar tidak menulis No 2, tapi nomor 1. Kali ini yang menerbitkan Pengurus Pusat Lembaga

Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) dan Pengurus Pusat Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN). Seperti yang tertulis di rubrik Dari Redaksi, jurnal ini berkeinginan memotret kebangkitan pemikiran di lingkungan tertinggi NU dan menyebarluaskan gagasan yang selama ini digerakkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Edisi 1997 ini lebih mentereng dengan memberi tage line Refleksi

Pemikiran Keagamaan dan Kebudyaan, dan berani memberikan waktu penerbitan, yakni per tiga bulan, Mei-Juni 1997, berisi 96 halaman. Setelah tahun itu, Afkar mengangkat isu-isu aktual yang sedang terjadi di negeri ini, termasuk isu-isu sensitif, baik di kalangan NU sendiri atau Indonesia secara umum. Misalnya tema tentang rekonsiliasi terkait peristiwa 19651966, formalisasi syariat, politik agraria, strategi kebudayaan, peristiwa 1965-1966 pun tak luput dari bidikan jurnal tersebut. Jumlah eksemplar tiap terbitan yang banyak pernah diraih oleh jurnal ini sebanyak 5000 eksemplar. Pada tahun 2008, jurnal Tashiwirul Afkar menerbitkan edisi bahasa Inggris, dengan judul Nahdlatul Ulama and Transformation of Indonesian Islam.

Jurnal Tashwirul Afkar terbit pertama kali tahun 1994. Penerbitnya Pengurus Pusat Lajnah Ta’lif wan Nasyr (PP LTN). Nama jurnal ini diambil dari lembaga yang didirikan oleh KH Wahab Chasbullah tahun 1921.


p a n g g u n g

Sebuah Usaha Membaca, Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta Foto -foto: Arlian Buana Chrissandi/Surah

Raisa Kamila, mahasiswi Filsafat Universitas Gajah Mada, terlihat gusar di depan Lembaga Indonesia-Perancis (LIP), Sagan, Yogyakarta. Ia bersama dua orang temannya, mondar-mandir menemui panitia, menyampaikan komplain, sesekali mencoba merayu agar diperbolehkan masuk ke ruang pertunjukan. Sebuah usaha untuk menonton Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta. “Tadi, aku udah di sini dari jam setengah lapan. Telat masuk gara-gara nunggu temen,” katanya sambil memegang bagian kiri kepalanya dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya berkacak pinggang. “Aku mutung lho, Mas..” Apa boleh buat. Panitia tidak punya kewenangan untuk membuka pintu, karena akan mengganggu jalannya pertunjukan. Dengan berat hati, panitia menyampaikan permintaan maaf kepada Raisa dan kawan-kawannya. Setelah Raisa, ada pula segerombolan mahasiswa Universitas Islam Negeri Yogyakarta, yang terlambat dan tidak bisa masuk. Raisa harus menelan kekecewaannya. “Aku udah dari jauh-jauh hari tuker tiket. Ini dari pagi di kampus, nggak sempet pulang dulu, langsung ke sini,” ujarnya, lirih. Dalam rangka memperingati 15 tahun berkarya, sastrawan Puthut EA

28


29

menggelar hajatan bersama Teater Gardanala. Ceritacerita karangan Puthut diangkat di panggung teater. Untuk mendapatkan tiket pertunjukan, caranya unik. Bukan dengan mengeluarkan sejumlah uang, melainkan dengan menukarkan sebuah buku yang akan disumbangkan ke perpustakaan di Papua. Raisa dan dua temannya, serta tujung orang mahasiswa UIN yang terlambat adalah pemegang tiket yang sebelumnya telah menyumbang buku. Raisa mengaku, telah menyukai karya-karya Puthut EA sejak ia duduk di bangku sekolah menengah. “Kalau nggak suka, nggak mungkin bela-belain datang ke sini. Dari kampus langsung ke sini. Telat pun, masih usaha buat masuk,” gerutunya. *** Benar, sesuai yang kukira, hujan turun lebih dulu sebelum aku sampai. Aku mempercepat langkah, melewati jalan tanah, tetapi hujan turun semakin menderas. Aku mulai berpikir untuk berteduh di villa terdekat, tetapi

aku ragu. Di saat itulah, pintu vila yang kumaksud terbuka, sesorang melambaikan tangannya.

“Silakan. Aku juga merokok.”

“Mau masuk atau di sini saja?”

“Pasti.” Bangkit, berjalan, berhenti sebentar, menoleh. “Mau kopi?”

“Di sini saja. Maaf..” “Tidak apa-apa. Mau handuk? “Terima kasih. Belum terlalu basa.” (Keduanya tertawa kecil) “Tinggal di bawah?” Mengangguk. “Habis dari membeli rokok. O ya, boleh..” Memberi isyarat dengan menempelkan dua jari, tengah dan telunjuk, di mulut.

“Dalam rangka memperingati 15 tahun berkarya, sastrawan Puthut EA menggelar hajatan bersama Teater Gardanala. .”

“Maaf, ada korek?”

“Itu yang saya tunggu.” (Tertawa terbahak) Begitulah adegan pembuka dari pementasan Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta. Obrolan sederhana dan biasa dari dua orang asing yang baru saja bertemu. Pementasan ini, secara umum, boleh dibilang adalah perayaan keterasingan bersama orang asing. Adegan demi adegan bergerak dengan sangat perlahan. Tidak ada kejutan yang dihadirkan oleh sutradara, Joned Suryatmoko, sebagaimana cerita karangan Puthut EA yang memang mengalir


r u a n g

perlahan. Tidak ada akting berlebihan yang dihadirkan, semuanya terasa wajar sebagaimana pertemuan dan percakapan sehari-hari. Tapi barangkali di situlah letak kelebihannya, pementasan ini menyanyikan kehidupan yang wajar dengan segala permasalahan pelik di dalamnya. Permasalahan-permasalahan dihadirkan dalam dialog, sesuatu yang menjadi keunggulan Puthut EA selama ini dalam karya-karyanya: dialog yang kuat. Untuk pementasan ini, Joned memilih tiga naskah cerita pendek Puthut EA: Sebuah Usaha menulis Surat Cinta, Obrolan Sederhana dan Laki-laki yang Kusentuh Rambutnya. Ketiganya telah memenuhi semua syarat untuk dipentaskan: punya peristiwa yang tidak rumit dipanggungkan, dan memiliki dialog yang kuat. Joned juga menerangkan, ia hanya menyalin tempel dialog yang telah ada dalam ketiga cerpen tersebut dan menambah petunjuk pengadeganan. Ia merasa ketiga karya Puthut tersebut telah cukup utuh untuk diteaterkan, bahkan ia sama sekali tidak menambahkan nama. Semua tokohnya adalah anonim, hanya “Aku,” “Anda” dan “Dia.” Pilihan tersebut terbukti tepat untuk pementasan ini. Ia menjadi metafora manusia-manusia kelas menegah yang anonim di tengah rutinitas kehidupan modern. Meski terkesan sangat datar, pementasan ini menyajikan pergelutan manusia modern dengan kehidupannya. Yang disasar adalah kedalaman jiwa setiap penonton, bukan permukaan yang bisa dipancing dengan canda yang banal.

30

Dok. KSS

Dengan penyajian yang wajar dan dialog yang kuat, Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta berhasil mengajak penontonnya untuk merenungkan eksistensinya, khususnya kelompok kelas menengah yang “cepat khawatir, gampang curiga dan mudah resah.” Dan lebih jauh lagi, pementasan ini mengajak penontonnya bertanya: “apakah kita sudah cukup berbahagia dengan kehidupan kita?” *** Puthut Ea menyebut pementasan yang diselenggarakan pada 15 dan 16 Maret 2014 itu sebagai syukuran. “Syukuran berkarya yang saya lakukan 5 tahun sekali, dan selalu diadakan di Yogyakarta karena saya berhutang budi pada kota ini,” ungkapnya. Pada hari pertama, pertunjukan ini khusus untuk tamu undangan. Auditorim LIP yang hanya berkapasitas 100 orang dipenuhi oleh relasi dan kenalan dekat Puthut. Dan pada hari kedua, pertunjukan ini dibuka untuk umum, syaratnya menukarkan undangan dengan buku. Namun ternyata, tidak semua pemegang tiket bisa masuk. Beberapa orang yang terlambat, seperti Raisa dan kawan-kawannya harus gigit jari dan meninggalkan lokasi tanpa kesan berarti. “Maaf buat rekan2 yang kehabisan tiket di pementasan syukuran 15 tahun saya berkarya. Maaf juga untuk yang terlambat dan tidak diperbolehkan masuk. Akhirnya tetap saja: saya tidak bisa membahagiakan semua orang,” tulis Puthut di akun Twitternya. (Arlian Buana/Surah)


31

Penerjemahan Karya Sastra: Pengalaman Pembaca

e s a i

Terlalu sering kita dengar bahwa karya terjemahan merupakan karya tersendiri, yang mesti mendapatkan apresiasi tersendiri pula. Dan ini ungkapan klise yang lain: melalui jasa para penerjemahlah, kita mengenal karyakarya sastra dunia.

Hairus Salim HS Peneliti Budaya

(Ikhwal penerjemahan sastra telah banyak dibicarakan. Baca misal Anton Kurnia Penerjemahan Sastra, Sebuah Pandangan, Horison, Oktober 2012 yang membahas hampir seluruh isu –yang sepertinya tak bergeser—mengenai penerjemahan sastra modern ini. Kajian Doris Jedamsky (2008) dan Maya H.T Liem (2011) memberikan wawasan bagaimana praktik penerjemahan era kolonial dan setelah kemerdekaan, yang tak banyak berubah situasinya dengan masa kini. Lalu sebuah himpunan tebal berjudul Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (2009), yang dikumpulkan dan disunting oleh Henri Chambert-Loir, memberikan pengetahuan luar biasa jenis-jenis, problem-problem, dan sumbangan karya terjemahan pada kebudayaan. Rasanya hampir tak ada lagi yang bisa dibahas. Berikut ini sekadar catatan seorang pembaca sastra terjemahan modern dalam bahasa Indoensia).

Meski demikian, tak ada penghormatan yang memadai terhadap karya sastra terjemahan. Penghargaan-penghargaan sastra sama sekali tidak meliriknya dan mungkin menganggapnya sepi. Tidak ada undangan khusus kepada penerjemah untuk membincangkan sekaligus mempertanggungjawabkan karya terjemahannya. Tapi para penerjemah sendiri rupanya tidak begitu percaya diri. Hal ini terlihat dari jarangnya ‘mereka’ mencantumkan nama sebagai penerjemah di sampul depan sebuah buku sastra terjemahan. Di antara yang sedikit bisa disebut misalnya NH Dini, Nin Bakdi Soemanto dan A.S. Laksana. Masing-masing ketika menerjemahkan Sampar (Albert Camus), The Name of the Rose (Umberto Eco) dan Daerah Salju (Yasunari Kawabata). Umumnya nama penerjemah tertulis kecil di dalam halaman kredit titel. Tanpa riwayat, tanpa penjelasan. Atau sekadar tertera di halaman dalam, dengan nada yang agak malu-malu. Kecenderungan kedua: penerjemah biasanya tidak memberikan pengantar pengalamannya bergumul dengan teks asing ini, ikhtiarnya memahami siktaks, diksi dan gaya si pengarang, kesulitan-kesulitan yang dihadapi, berapa lama menerjemah, dan akhirnya sarannya kepada calon pembaca karya terjemahannya, singkatnya semacam “catatan penerjemah”. Pada halaman pertama setelah halaman Romawi sering


tiba-tiba ‘kita’ disuguhkan langsung dengan terjemahan.[1] Apakah pentingnya suatu pengantar penerjemah itu? Barangkali bisa kita ambil di sini, Bahrum Rangkuti, satu di antara sedikit ‘penerjemah’ yang membuat pengantar untuk karya terjemahannya, ketika menerjemah puisi-puisi panjang karya Muhammad Iqbal, Asrar al-khudi, Rahasia2 Pribadi, beberapa tahun lampau (1953). Dalam pengantar, Bahrum menulis: “Menjalin sudah tentu lain tjaranja dari membatja. Membatja ialah kesanggupan dan keasjikan meni’mati tjita pengarang, sedangkan menjalin ia berusaha mendjelmakan sesanggup mungkin keindahan. Irama, warna dan suasana jang dimaksudkan pengarang. Untung ada pula seorang ahli bahasa Farsi. Tuan Arif Hussein, B.A.LL.B., dikedutaan Pakistan, Djakarta, jang banjak menolong saja memahamkan kata dan kalimat jang sulit-sulit dalam bahasa tersebut.” Saya tak bermaksud menilai kualitas terjemahan Bahrum ini, dan juga tak punya kuasa dan wewenang untuk melakukan penilaian. Yang hendak saya sampaikan adalah bagaimana melalui pengantar ini, penerjemah menunjukkan kesungguhan dan pergumulan mereka dalam ikhtiar penerjemahan. “…menjalin” tulis Bahrum, adalah “berusaha mendjelmakan sesanggup mungkin keindahan.” Dan usaha ini adalah suatu keinginan untuk setia pada “irama, warna dan suasana jang dimaksudkan pengarang.” Pada bagian berikutnya, dengan jujur dan rendah hati, Bahrum mengakui banyak tidak memahami kata dan kalimat dalam bahasa yang hendak diterjemahkan itu. Untunglah, menurutnya, ada seorang yang ahli dalam bahasa tersebut yang turut membantunya.

32

Kerja terjemahan bukan main-main. Ia perlu kesungguhan dan kesediaan untuk belajar. Tentu tidak ada jaminan bahwa dengan usaha –seperti yang dikemukakan dalam pengantar ini—terjemahan akan sangat baik. Tapi pengakuan ini telah dengan jitu meyakinkan saya, sekali lagi sebagai pembaca, bahwa terjemahan ini telah dikerjakan dengan serius, sungguhsungguh, berpeluh-peluh. Contoh lain adalah NH. Dini ketika menerjemahkan karya Albert Camus, Le Peste menjadi Sampar (1985). Dalam pendahuluannya NH Dini menulis: “Pengalaman “menggauli” Albert Camus sampai terjemahan ini selesai, sangat mengayakan. Bahasa Prancis jauh lebih berumur dari bahasa Indonesia. Likuliku teknik dan nuansanya hanya bisa ditandingkan dengan bahasa (yang saya kenal) Jawa. Ditambah gaya khas Albert Camus! Tetapi saya mencintai pengarang ini. Dalam cinta saya, di antaranya ada rasa hormat dan kekaguman. Keduanyalah yang mengendalikan seluruh waktu “pergaualan” kami, yang menyebabkan saya selalu berusaha bekerja seteliti mungkin. Dibantu oleh Benedicte, Anne-Marie, Bulan, Edi dan Asti, ternyata Albert Camus memang mungkin diperkenalkan kepada penggemar bangsa Indonesia…” Kita membaca nada yang sama dari yang ditulis Bahrum: menerjemah adalah suatu ikhtiar yang melelahkan dan kemauan keras untuk belajar sekaligus memberi. “…saya selalu berusaha bekerja seteliti mungkin,” tulis Dini, meski sayang sekali, ia tidak mengurai lebih terperinci dan menawarkan satu-dua contoh bagaimana gaya khas Albert Camus dalam Bahasa Prancis yang ia anggap penuh lika-liku dan bernuansa itu. Tetapi sekali lagi, saya sebagai pembaca, diyakinkan dengan pengantar ini. Dua contoh yang saya comot ini rupanya bukan kebetulan. Keduanya menerjemah dari bahasa aslinya. Bahrum


33 e s a i

Rangkuti dari Bahasa Persia dan NH. Dini dari Bahasa Prancis. Bahrum belajar Islam dan Bahasa Persia dua tahun di Rabwah, Pakistan, dan karena itu cukup kenal bahasa Parsi percakapan dan sastrawi. NH Dini pernah bersuamikan orang Prancis dan tinggal di sana beberapa tahun. Dengan demikian, ia cukup paham bahasa Prancis, sebagai bahasa ilmiah, sastra maupun percakapan. Tetapi ‘pengetahuan’ ini bisa jadi justru yang menghalangi mereka untuk tidak mudah mengetikkan satu kata atau menggariskan satu kalimat dalam bahasa Indonesia, karena merasakan adanya

Penerjemahan bagaimana pun adalah kerja intelektual yang penuh tantangan dan pencarian. Sebagian ia merupakan pekerjaan soliter, sepi sendiri di sebuah kamar. ketidaktepatan, kekurangcocokkan, atau kekurangserasian. Meski sebenarnya kata atau kalimat yang hendak dituliskan itu tidaklah salah. Tapi ‘rasa’ tidak mendukung dan mengizinkannya. Kedua penerjemah ini harus berjuang untuk memilih dan memilah mana kata yang paling tepat dan mana kalimat yang paling akurat. Inilah perjuangan dan pergumulan itu. Setelah upaya ini, tidak aneh, kalau NH Dini mencantumkan namanya di sampul depan sebagai “alih bahasa” dan Bahrum membuat pengantar yang panjang ke sosok Iqbal dan pemikirannya.

Meski demikian, bukan berarti proses penerjemahan melalui bahasa kedua tidak memiliki pergulatan dan perjuangannya. Penerjemahan bagaimana pun adalah kerja intelektual yang penuh tantangan dan pencarian. Sebagian ia merupakan pekerjaan soliter, sepi sendiri di sebuah kamar. Tapi ternyata tidak sepenuhnya, ia juga butuh untuk belajar lebih banyak dan berdiskusi dengan orang lain, tak terkecuali penerjemahan dari bahasa kedua. Sebagai contoh adalah “catatan penerjemah” yang diberikan Nin Bakdi Soemanto ketika menyalin karya besar Umberto Eco, The Name of the Rose: “Bersetuju dengan William Weaver yang menerjemahkan novel ini dari Bahasa Itali ke dalam Bahasa Inggris, dalam edisi terjemahan ini pun saya tetap mempertahankan frasa-frasa Bahasa Latin yang bertaburan di sepanjang novel ini… Terhadap frasa-frasa itu Latin tersebut, kecuali judul buku dan apa yang terbaca pada katalog perpustakaan yang banyak disebut dalam novel ini, kami berusaha untuk sedapat mungkin untuk memberikan terjemahannya secara harfiah yang dirangkum dalam catatan kaki. Untuk itu, kami berutang budi kepada Dr. I. Kuntara Wiryamartana SJ dan Dr. Martin Sardi OFM yang banyak membantu kami memahami frasa-frasa tersebut. Munculnya banyak catatan kaki tersebut semoga tidak mengganggu, sebaliknya justru memberikan penjelasan kepada pembaca yang ingin memahaminya dengan baik.” Pertama-tama Nin mendedahkan kesulitankesulitannya dalam menerjemah karya Eco ini dan kemudian keputusan-keputusan yang diambilnya. Berikutnya bagaimana dia harus meminta tolong orang-orang yang dianggap ahli untuk meminta masukan atas terjemahannya. Serupa gema yang dikemukakan Bahrum dan Dini, meski terjemahan ini berasal dari bahasa kedua, ia telah hadir –setidaknya buat saya– dengan cukup meyakinkan.[2] Seperti karya Umberto Eco ini, sampai di sini, kita harus menyadari bahwa sebagian besar sastra terjemahan kita tidak langsung dari bahasa aslinya, tetapi melewati, terutama


bahasa Inggris dulu. Tentu ini bukanlah kekurangan. Penerjemahan adalah tindakan di masa darurat. Orang perlu bekerja cepat dan dengan segala keterbatasan. Karena tidak mungkin membaca yang asli, kita mau tak mau membaca terjemahan, dan karena belum mungkin membaca terjemahan dari bahasa aslinya secara langsung, “terjemahan atas terjemahan” pun bolehlah. Meski harus mengitari rute melingkar dulu dan menunggu karya itu diterjemahkan terlebih dulu dalam bahasa Inggris (atau bahasa dominan lainnya). Menanti terjemahan karya-karya besar sastra Rusia langsung dari bahasa Rusia, karya Mo Yan dari Mandarin atau Orhan Pamuk dari Turki, untuk menyebut beberapa, mungkin seperti ‘menunggu Godot’. Menantikan sesuatu yang barangkali tidak akan pernah mewujud. Karena itu, dengan penuh hormat, kita –saya terutama—harus tetap berterima kasih kepada para penerjemah ini. Meski harus diakui ini bisa jadi bukan terjemahan yang ideal. Tapi ikhtiar untuk mewujudkannya, seperti yang dicontohkan Nin, harus dilakukan. Hanya saja yang sedikit agak menyebalkan, sejauh pengamatan saya, ada beberapa penerbit yang tidak mencantumkan judul bahasa Inggris karya tersebut dan versi terjemahan siapa dan tahun berapa. Penting diingat dalam tradisi sastra terjemahan –terutama Bahasa Inggris—kadang ada lebih satu versi terjemahan.[3] Antara satu terjemahan dengan terjemahan lain terjadi persaingan, bisa saling menampik, bisa saling meniadakan, mana yang buruk mana lebih baik. Bahkan ada suatu karya peraih nobel yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yang saya tidak tahu: ini terjemahan dari bahasa Inggris atau dari bahasa aslinya. Penerjemah tidak memberi “catatan” dan kredit titel buku, bolak-balik saya pelototi, tidak memberikan informasi. Alih-alih, mengesankan terjemahan tersebut

34

dari bahasa aslinya. Semacam sebuah tipuan halus. Demikian, sebagai seorang yang tak mudah dan tak murah mengakses karya-karya berbahasa asing, saya sangat memerlukan karya terjemahan. Tetapi seperti yang saya dedahkan di atas, saya hanya akan memilih terjemahan yang ‘bertanggung jawab’ dan bisa meyakinkan saya. Sebagai penutup, saya ingin mengemukakan cerita sepasang penerjemah: Richard Pevear dan Larissa Volokhonsky. Kedua orang ini adalah pasangan suami-istri: satu Amerika dan satu lagi Rusia. Kedua nama ini terkenal sebagai penerjemah karya-karya sastra(wan) klasik Rusia seperti Tolstoy, Turgenev, Dostoyeksky, dan Boris Pasternak.

Nietzche pernah berkomentar tentang pengarang Crime and Punishment yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Kejahatan dan Hukuman. “Dostoyevsky was the only psycologist from whom I had anything to learn,” kata Nietzche


e s a i

Mereka menyabet sejumlah penghargaan, menjadi tajir dan terkenal dari pekerjaan menerjemah. Sebelum mereka, karya-karya sastra Rusia yang agung dan luar biasa itu telah diterjemahkan oleh Constance Garnett, seorang perempuan yang berasal dari keluarga aristokrasi sastra. Hampir seluruh keluarganya bergelut di badang sastra: penulis, penerjemah, atau pengajar sastra. Puluhan tahun, para pembaca sastra berbahasa Inggris –termasuk Hemingway– mengenal karya sastra Rusia melalui terjemahan Constance Garnett ini. Namun, belakangan karya terjemahan Constance banyak dikritik, dianggap kacau dan menyesatkan. Keagungan dan kedalaman sastra Rusia jadi hilang di tangannya. Di antara pengkritik kerasnya adalah Vladimir Nobokov, pengarang Lolita. Suatu kali Pevear membaca Kamarazov Bersaudara karya Dostoyevski versi Inggris terjemahan David Magarshack, epigon Constance Gernett. Larissa, diamdiam, ikut membaca di belakangnya. Ia kaget dan berang ketika menemukan banyak kesalahan dan merasa betapa Dostoyeksky telah menjadi penulis buruk dalam karya itu. Mereka kemudian mempelajari terjemahan David ini, membandingkannya dengan terjemahan Andrew MacAndrew, dan tak ketinggalan, Constance Garnett. Kesimpulannya: mereka perlu menerjemahkan ulang karya tersebut. Ini menjadi awal dari perjalanan mereka sebagai penerjemah, terutama, karya-karya sastra Rusia ini. Pembagian kerja mereka -hingga sekarang pun—sangat jelas. Pertama, Larissa menulis semacam terjemahan persis dan harfiah dari aslinya (hyperaccurate), dilengkapi catatan tentang diksi, sintaks, dan referensi Dostoyeksky. Kemudian, Richard, yang belum pernah menguasai percakapan Rusia, menulis teks Inggris yang lebih halus, lalu mendiskusikannya dengan Larissa tentang keaslian dan kemungkinannya untuk bisa atau tidaknya untuk dipakai. Mereka melakukan hal itu bolak-balik, termasuk

pada bagian terakhir di mana Richard membaca versi Inggris-nya dengan keras dan Larissa mengikutinya dengan versi Rusia. Harapan mereka adalah untuk setia pada gaya Dostoyevsky, yang terkenal kegemarannya pada repetisi, penuh perasaan, dan melodramatik. Pola kerja sama ini mereka pertahankan hingga sekarang. Awalnya proposal terjemahan mereka ditolak oleh University Press dan Random House, namun atas dukungan para sarjana Slavia, terjemahannya dipublikasikan oleh sebuah penerbit kecil. Terjemahannya ini kemudian mendapat banyak pujian dan meraih penghargaan. Dan paling utama, menggeser tahta Constance Gernett sebagai penerjemah paling otoritatif karya-karya sastra Rusia.[4] Apa yang menarik dari revisi atas terjemahanterjemahan karya sastra Rusia ini? Generasi baru pembaca karya-karya sastra Rusia mungkin akan berbeda memandang sastra Rusia dan tokoh-tokohnya, serta masyarakat dan manusia Rusia, dan pada gilirannya akan memperkaya sastra Amerika dengan cara yang lain.

[1] Dalam praktiknya, tak jarang penerbit menghadirkan ‘pengantar’ untuk versi Indonesia dan namanya dicantumkan di sampul depan, jauh lebih penting daripada peran penerjemahnya. [2] Baca juga pengantar penyunting terjemahan Seratus Tahun kesunyian, Wendoko, beberapa tahun lalu (2003): “Novel ini disunting dengan memeriksa kembali edisi berbahasa Inggris terbitan Penguin Books Ltd. dan membandingkannya dengan terbitan Pan Books Ltd. London serta edisi berbahasa Malaysia Sumpah Tujuh Turunan terjemahan Mokhtar Ahmad dan Zulkifli Ahmad,…” [3] Dalam hal ini penerbit Serambi yang gencar menerbitkan buku-buku sastra belakangan ini sangat jujur dengan mencantumkan judul bahasa Inggris dan nama penerjemahnya. Lihat contoh terjemahan karya-karya Orhan Pamuk, Mo Yan, dan lain-lain keluaran Serambi.

35


b a h a s a

Pandai atau Pintar?

D

Dalam waktu dekat, Indonesia akan panen anak-anak pintar. Dan mereka datang dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi. Apa pasal? Pasalnya, kini mereka punya Kartu Indonesia Pintar (KIP). Kartu itu diluncurkan Presiden Jokowi pada 3 November 2014. Sebanyak 18 kabupaten dan kota akan menerima KIP tahap awal. KIP diberikan kepada anak usia sekolah, baik yang bersekolah maupun putus sekolah agar mereka dapat kembali ke bangku sekolah. Anggaran KIP untuk saat ini berbeda-beda bagi tiap individu, berkisar antara 400 ribu sampai 1 juta. Tentu saja ini kabar gembira. Gembira bukan saja kebutuhan-kebutuhan semisal beli sepatu, buku, uang saku bisa dipenuhi, tapi juga karena program ini turut mempopulerkan kata “pintar”. Program ini ikut menguatkan kampanye produk jamu yang lebih dahulu berkampanye kata “pintar”. Saudara pasti pernah mendengar, “Orang pintar minum....” Tapi pertanyaannya, mengapa memilih kata pintar? Kenapa tidak memakai kata pandai? Apakah Jokowi memilih dengan sadar bahwa pintar bisa dicetak, sementara pandai tidak? Ataukan bagaimana? “Pandai” dan “pintar” memang mirip. Suatu waktu, keduanya memang dapat saling tukar, bisa ganti tempat duduk. Dengan kata lain, keduanya seperti sinonim. Tapi kenapa catatan ini menulis bilang keduanya “dua kata mirip” dan “seperti sinonim”? Nah, ini dia. Dalam KBBI, makna “pandai” dan “pintar” memang ada kesamaan. Pandai misalnya, memiliki arti mahir, cakap, pintar. Begitu juga pintar, punya arti cakap, pandai, dan mahir. Namun, dalam diri “pandai” terkandung sifat yang tidak ada dalam tubuh pintar. Apakah

36

“Pandai” dan “pintar” memang mirip. Suatu waktu, keduanya memang dapat saling tukar, bisa ganti tempat duduk. Dengan kata lain, keduanya seperti sinonim. itu? Pandai mengandung makna sanggup, dapat, dan berilmu. Sifat pandai inilah yang hari ini dibutuhkan negeri ini. “Kita sudah terlalu banyak orang pintar, profesor, doktor, sarjana di mana-mana mudah ditemui. Tapi kita kekurangan orang yang berkarkter, mental kuat, dan berakhlak.” Keluhan itulah yang sering kita dengar dari mimbar-mimbar, kuliah-kuliah, atau di seminar-seminar. Tiga kata: karakter, mental, dan akhlak, mungkin dapat diganti dengan kata pandai. Pandai adalah orang berilmu yang diharapkan terampil melakukan sesuatu, tapi juga sanggup menghadapai rintangan-rintangan atau mampu mengurai masalah-masalah. Inilah orang yang berkarakter. Bagi saya, Kartu Indonesia Pintar ini bertentangan dengan revolusi mental. Sebab, di dalam kata pintar itu tak mengandung mental. Dari catatan kecil ini, saya ingin bertanya, bisakah Kartu Indonesia Pintar diganti dengan Kartu Indonesia Pandai? Pertanyaan ini tidak penting untuk dijawab. Pandai dan pintar memiliki kompleksitasnya tersendiri, perlu pembahasan yang lebih jauh. Kita tidak ingin satu gagasan lepas dari pemikiran dan cara berpikir. (Hamzah Sahal/Surah)


37 p u s t a k a

Berguru pada Binatang

Khalilah wa Dimmah sebagai karya sastra klasik berisi pesan-pesan moral dan pendidikan. Karya ini digubah dengan berbagai macam cerita yang dilakoni para binatang. Seorang arif mengatakan, jika hikmah diungkapkan dengan sentuhan akal semata, akan hilang nilai hikmahnya, sebab sentuhan hikmah adalah sentuhan hati. Dengan menggunakan binatang, isi cerita lebih mudah dipahami dan direnungi orang awam maupun kalangan intelektual. Khalilah dan Dimmah adalah nama anjing yang sangat dikenal dengan kearifan dan kepintarannya dibanding binatang lain. Dua ekor anjing ini gemar berdiskusi tentang persoalan aktual yang mereka hadapi. Satu sama lain saling mengingatkan bila gagasan yang mereka lontarkan keluar dari nilai-nilai moral. Untaian kata yang terpancar dalam diskusi banyak mengandung kearifan yang patut diamalkan dan diteladani kaum manusia. Cerita ini dikarang Baydaba seorang filosof asal India yang sangat dikenal dengan ajaran moral dan kata-kata hikmah. Di zamannya hidup seorang penguasa “bertangan besi� atau otoriter, bernama Dabsyalim. Selama pemerintahannya banyak masyarakat

jadi korban atas ketidakadilan dan kepongahan sang raja. Tak tahan dengan ulah Dabsyalim, Baydaba berniat menasehati dan mengingatkan sang raja agar kembali kepada jalan yang benar. Rencana filosof ini dihadang para muridnya, karena mereka khawatir akan terjadi sesuatu dengan gurunya. Apalagi Dabsyalim dikenal karena kekejamannya. Baydaba tetap kukuh dengan rencana awalnya, ia mengatakan kepada muridnya, bersikap diam atas kezaliman dan ketidakadilan yang kita lihat, berati kita sama saja dengan setan yang terbelenggu. Setiba di istana, apa yang dikhawatirkan muridnya terjadi, Baydaba dijebloskan ke penjara akibat nasehat-nasehatnya yang menyinggung perasaan raja. Pada suatu malam, raja sejenak berpikir dan tidak bisa tidur. Dia teringat dengan hukuman yang dijatuhkan pada Baydaba. Terlintas dalam pikirannya kata-kata leluhur yang mengingatkan agar seorang raja harus menjauhi empat hal: kemarahan, kebakhilan, kebohongan, dan kekerasan. Akhirnya, Baydaba dibebaskan dan diangkat sebagai penasehat kerajaan. Raja memintanya untuk menulis buku berisi ajaran-ajaran moral dan pendidikan akhlak. Selama setahun, Baydaba menyelesaikan karangannya dan membacakannya di hadapan raja. Ia berpesan agar karya ini disimpan dengan baik dan jangan sampai jatuh kepada tangan Persia. Pada tahun 672 M, Kaisar Anusiwarman Ibn Qudaba, penguasa Persia yang gandrung pengetahuan memerintahkankan Barzawiy mencari tulisan Baydaba dan menerjemahkannya ke bahasa Persia. Berikutnya, Ibn Muqaffa seorang pemikir muslim yang kerap dituduh zindiq, menerjemahkan karya ini ke bahasa Arab dengan judul Khalilah wa Dimmah. Atas jasa Ibn Muqaffa hingga kini karya Baydaba masih bisa dibaca generasi hari ini. (Hengki Ferdiansyah/Surah)


Drama itu Berkisah dengan Baik Medio 2012, ketika seorang teman menyebutnya sebagai seorang sastrawan, dengan segera ia meralat, “mantan sastrawan,� katanya. Lama ia tak menelurkan sebuah karya yang bisa dinikmari khalayak luas, seperti pada masa awal kepengarangannya ketika hampir setiap bulan cerita pendeknya muncul di koran nasional. Ia bahkan mengaku sejak tahun 2008 telah berhenti menulis cerpen, dan lebih banyak menggeluti dunia penelitian setelah periode itu. Sebutan “mantan sastrawan� menjadi masuk akal bagi saya ketika mendengarnya. Belakang hari baru saya tahu, ia memang enggan disebut sastrawan. Ia lebih suka disebut penulis. Baiklah, penulis. Penulis bernama Puthut EA akhirnya mempersembahkan lagi sebuah karya baru. Dalam rangka syukuran 15 tahun berkarya sebagai penulis, ia menerbitkan tiga buku sekaligus. Dua fiksi, satu non-fiksi. Dua kumpulan cerpen dan satu kumpulan tulisan dari berbagai aktivitasnya sebagai aktivis sosial maupun peneliti. Mengantar dari Luar, Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta dan Drama itu Berkisah Terlalu Jauh.

38

ISBN : 978-602-1318-05-8 Penulis : Puthut EA EA Penerbit : PUSTAKA Tanggal Terbit : 2014-03-01 Jumlah Halaman : 184 hlm

Sebenarnya ketiga karya tersebut kurang tepat benar bila disebut karya baru. Ketiganya adalah kumpulan tulisan-tulisan lama Puthut EA. Dua kumcernya yang baru tersebut adalah kumpulan cerpen-cerpen lamanya yang diterbitkan ulang. Bedanya, kali ini kumpulan cerpennya dikemas secara tematik. Sebuah Usaha Menulis Surat Cinta memuat cerita-cerita yang bertema cinta, sementara Drama itu Berkisah Terlalu Jauh memuat tema-tema sosial. Dalam Drama itu Berkisah Terlalu Jauh, terlihat jejak Puthut sebagai seorang aktivis sosial. Namun, ia tidak dengan telanjang menuliskan sesuatu yang diperjuangkannya layaknya propaganda. Ia tidak jatuh menjadi pengkhotbah melalui cerpen-cerpennya. Dengan dingin, ia menuliskan apa yang pernah menjadi concernnya ke dalam cerita-cerita yang menyentuh. Ringkasnya, melalui buku ini, Puthut berhasil sebagai seorang juru cerita. Ia berhasil men-


39

emukan gayanya sendiri setelah perjalanan kepenulisan yang panjang. Puthut adalah pencerita ulung. Kumpulan cerpen ini dibuka dengan cerpen yang judulnya diambil untuk kompilasi ini, Drama itu Berkisah Terlalu Jauh. Ia menggambarkan kisah hidup sepasang kekasih yang merupakan teman sepermainan sejak kecil, bahkan dengan rumah berdampingan. Kisah cinta, kenakalan, cita-cita dan perjuangan untuk menjatuhkan sebuah rezim. Dengan detail cerita yang mengalir lancar, Puthut berhasil mengisahkan kesedihan seorang ibu dan kekasih, yang kehilangan seseorang yang sangat mereka cintai, tanpa mengutuk rezim yang menyebabkan kehilangan tersebut. Membacanya, semakin kuat keberpihakan kita terhadap

Sebenarnya ketiga karya tersebut kurang tepat benar bila disebut karya baru. Ketiganya adalah kumpulan tulisan-tulisan lama Puthut EA. Dua kumcernya yang baru tersebut adalah kumpulan cerpencerpen lamanya yang diterbitkan ulang.

korban. Cerpen ini sepertinya relevan untuk dibaca banyak orang dalam situasi sekarang, ketika perebutan kekuasaan terjadi dan banyak orang seolah buta terhadap kejahatan sebuah rezim di masa lalu dan menginginkannya kembali berkuasa. Kebanyakan cerpen dalam cerpen ini berhubungan dengan peristiwa 1965 dan 1998. Dan kesemuanya, berhasil sebagai cerita pendek. Tanpa menendang-nendang pemilik kekuasaan, Puthut hanya menggambarkan kehidupan orang-orang kecil dan pinggiran. Pilihan tepat untuk mengembangkan cerita sebagai metafora. Cerpen terbaik dalam kumpulan ini, menurut saya, adalah Koh Su. Cerita ini benar-benar sebuah metafora tentang penghilangan orang secara paksa di tahun-tahun kelam Indonesia pasca 1965. Sekitar tahun itu, banyak orang dibunuh tanpa proses peradilan. Dengan cerdas, Puthut tidak menggambarkan peristiwa 65 itu sebagai sebuah ajang pembantaian. Tanpa adegan pertumpahan darah, tanpa caci-maki. Ia hanya menyajikan kisah, legenda, dan mitos tentang tukang nasi goreng berhenti berjualan setelah prahara tersebut. Berpuluh-puluh tahun setelah peristiwa berdarah itu, di sebuah kota kecil, Koh Su tetap menjadi buah bibir. Namanya diidentikkan dengan nasi goreng. Penduduk kota menyebut aktivitas memasak dan makan nasi goreng sebagai “ngohsu.� Tukang nasi goreng datang dan pergi. Tak ada satu pun yang berhasil memecahkan mitos Koh Su. Tak satu pun yang bertahan lama sebagai penjual nasi goreng. Sampai datanglah seorang yang sangat mirip dengan gambaran para orang tua tentang sosok Koh Su. Cerpen Koh Su adalah metafora luar biasa tentang persambungan sebuah generasi dengan peristiwa di masa lalu, yang tidak merasakan langsung tragedinya, dan hanya mendengar kelebatan dari mulut ke mulut. Dibutuhkan verifikasi untuk memperoleh kebenaran sejarah. Dan lebih jauh lagi, dibutuhkan kebesaran hati agar tidak memelihara dendam dan memastikan, tidak ada dosa turunan dan tragedi kemanusiaan di masa lalu tak terulang lagi. (Arlian Buana/Surah)


t e l u s u r

Menziarahi Empu Gurindam Duabelas Oleh: Muhaji Fikriono Dewan Redaksi Surah

Apabila terpelihara lidah, niscaya dapat daripadanya faedah.

Pulau Penyengat bisa ditempuh dari Batam dengan menaiki kapal cepat menuju Pelabuhan Tanjung Pinang dalam waktu sekitar 1 jam. Dari Pelabuhan Tanjung Pinang menuju Pulau Penyengat, tranportasi yang tersedia adalah perahu pongpong yang memuat 12 orang penumpang dengan jarak tempuh 30an menit. Pulau Penyengat adalah pulau kecil berstatus kelurahan yang luasnya tidak lebih dari 3500 m2, yaitu Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjung Pinang Kota, Kabupaten Kota Tanjung

40

Pinang. Pada tahun 2004 penduduknya yang sebagian besar adalah suku Melayu, tercatat berjumlah 2224 jiwa. Bahasa sehari-hari yang digunakan adalah bahasa Melayu, yakni bahasa Melayu Riau. Nelayan adalah mata pencaharian mayoritas penduduk Pulau Penyengat, sebagian lainnya menjadi buruh lepas, pegawai negeri, dan karyawan swasta. Menurut cerita, pulau kecil yang berada di muara sungai Riau ini sejak berabad-abad yang lalu telah dikenal oleh para pelaut karena menjadi persinggahan untuk mengambil air tawar yang memang tersedia dengan melimpah. Konon, nama Penyengat dijadikan sebagai nama pulau ini karena adanya sekelompok lebah penyengat mematikan, yang telah menyerang orang-orang yang berniat tidak baik di pulau ini. Di pulau mungil inilah Raja Ali Haji, Sang Pujangga Besar Nusantara, penggubah Gurindam Duabelas yang sangat terkenal itu. Jasadnya bersemayam dengan tenang di kompleks makam Engku Puteri, Permaisuri Sultan Mahmud Muzaffar Syah.


41

Raja Ali Haji dan Gurindam Duabelas Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad lahir di Selangor tahun1808 dan diperkirakan wafat pada tahun 1873. Ia adalah ulama, sejarawan, dan pujangga abad 19 keturunan Bugis dan Melayu. Dikenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar tata bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa. Buku yang menjadi standar bahasa Melayu, yang kemudian ditetapkan sebagai Bahasa Nasional, bahasa Indonesia, dalam Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928. Mahakaryanya, Gurindam Duabelas (1847), menjadi pembaru arus sastra pada zamannya. Dalam Gurindam I Sang Pujangga menulis, “Ini gurindam pasal yang pertama: Barangsiapa tiada memegang agama, sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama. Barangsiapa mengenal yang empat, maka ia itulah orang ma’rifat. Barangsiapa mengenal Allah, suruh dan cegahnya tiada ia menyalah. Barangsiapa mengenal diri, maka telah mengenal akan Tuhan yang bahari. Barangsiapa mengenal dunia, tahulah ia barang yang terpedaya. Barangsiapa mengenal akhirat, tahulah ia dunia mudarat.” Dilanjutkan Gurindam II, “Ini gurindam pasal yang kedua: Barangsiapa mengenal yang tersebut, tahulah ia makna takut. Barangsiapa meninggalkan sembahyang, seperti rumah tiada bertiang.

Barangsiapa meninggalkan puasa, tidaklah mendapat dua tamasya. Barangsiapa meninggalkan zakat, tiadalah hartanya beroleh berkat. Barangsiapa meninggalkan haji, tiadalah ia menyempurnakan janji.” Gurindam III, “Ini gurindam pasal yang ketiga: Apabila terpelihara mata, sedikitlah cita-cita. Apabila terpelihara kuping, khabar yang jahat tiadalah damping. Apabila terpelihara lidah, niscaya dapat


t e l u s u r

daripadanya faedah. Bersungguh-sungguh engkau memeliharakan tangan, daripada segala berat dan ringan. Apabila perut terlalu penuh, keluarlah fi’il yang tiada senonoh. Anggota tengah hendaklah ingat, di situlah banyak orang yang hilang semangat. Hendaklah peliharakan kaki, daripada berjalan yang membawa rugi.” Gurindam IV, “Ini gurindam pasal yang keempat: Hati kerajaan di dalam tubuh, jikalau zalim segala anggota pun roboh. Apabila dengki sudah bertanah, datanglah daripadanya beberapa anak panah. Mengumpat dan memuji hendaklah pikir, di situlah banyak orang yang tergelincir. Pekerjaan marah jangan dibela, nanti hilang akal di kepala. Jika sedikit pun berbuat bohong, boleh diumpamakan mulutnya itu pekong. Tanda orang yang amat celaka, aib dirinya tiada ia sangka. Bakhil jangan diberi singgah, itupun perampok yang amat gagah. Barangsiapa yang sudah besar, janganlah kelakuannya membuat kasar. Barangsiapa perkataan kotor, mulutnya itu umpama ketur. Di mana tahu salah diri, jika tidak orang lain yang berperi.” Gurindam V menjelaskan tentang karakter orang berbudaya, Gurindam VI menjelaskan tentang sahabat paling setia berupa amal baik yang akan menemani kita sampai mati, Gurindam VII menjelaskan agar orang hemat dalam berkata dan hanya berbicara untuk hal-hal yang membawa manfaat saja, Gurindam VIII menjelaskan betapa pentingnya menjaga amanah, Gurindam IX menjelaskan tentang kewaspadaan, Gurindam X menjelaskan tentang kesalehan ritual dan kesalehan sosial, Gurindam XI menjelaskan tentang mendahulukan kewajiban ketimbang menuntut hak.

42

Dan, pada Gurindam XII Sang Pujangga menutupnya dengan kalimat, “Raja mufakat dengan menteri, seperti kebun berpagarkan duri. Betul hati kepada raja, tanda jadi sebarang kerja. Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh inayat. Kasihkan orang yang berilmu, tanda rahmat atas dirimu. Hormat akan orang yang pandai, tanda mengenal kasa dan cindai. Ingatkan dirinya mati, itulah asal berbuat bakti. Akhirat itu terlalu nyata, kepada hati yang tidak buta.” Warisan tertulis Raja Ali Haji yang lain di antaranya adalah Syair Sultan ‘Abdul Muluk (1846), Bustanul Katibin lis Shibyanil Muta’allim (1850), Kitab Pengetahuan Bahasa (1858), Tsamaratul Muhimmah (1858), Salasilah Melayu dan Bugis (1865),Tuhfatun Nafis (1865), Muqaddimah fi Intizham (tt), Syair Hukum Nikah atau Syair Kitab an-Nikah atau Syair Suluh Pegawai (tt), Syair Sinar Gemala Mustika Alam (tt), dan Jauharatul Maknunah atau yang juga dikenal dengan Siti Shiyanah Shahibul Futuwah wal Amanah (tt). Raja Ali Haji ditetapkan Pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 5 November 2004.


www.surahsastra.com


ppoottrreett

Tribute to KreteK

44


45

Foto-foto Matin Halim

Bukanlah tanpa pijakan jika Komunitas Kretek bersama komunitas lainnya bersinergi dalam mewujudkan Tribute to Kretek (Taman Ismail Marzuki, 30 Mei 2014-1 Juni 2014). Ketika problem utama wacana kebudayaan masih disuntuki oleh pertanyaan tentang keberpihakan, maka lewat acara inilah tanda keberpihakan terha-

dap kretek didedikasikan. Sejumlah pesan kreatif pada kaos dan poster dipamerkan. Dua puluh komunitas, dari beragam latar belakang turut ambil bagian. Tribute to Kretek adalah sebuah upaya estetik dalam rangka menggugah, sekaligus menggugat khalayak, akan pentingnya keberpihakan terhadap kretek Indonesia, yang

www.tributetokretek.com


c e r p e n

Gemuruh yang kudengar dari kejauhan itu ternyata bersumber dari sebuah lapangan sepakbola. Mulanya kusangka gerombolan lebah sedang hijrah. Tapi ketika mendongak langit, tak satu pun makhluk tersebut. Langkah kupercepat untuk segera sampai pada kerumunan orang yang tampak seperti semut merubung gula itu. Aku merangsek ke kerumunan supaya bisa menonton dari dekat. Senti per senti menggeser badan menelusup sela-sela mereka. Orang yang terinjak kakinya, marah. Badannya terdorong, memaki. Tapi aku tak menghiraukannya.

Penjaga Gawang Oleh Abdullah Alawi*

Sekarang berada di antara penonton paling depan. Posisiku di pojok lapangan dekat pemain yang akan melakukan tendangan pojok. Sebentar aku mengamati penonton yang ada di sekitarku. Tak ada yang kukenal satu pun dan pasti tak ada yang mengenaliku. Aku sudah memperkirakan hal ini.

bukan kita,” jawab lain. “Ya, kami semua di sini hanya menonton dan bersorak-sorai, bukan mengetahui nama tim,” timpal temannya. “Kalau kamu mau, namai saja sendiri tim itu. Tak masalah,” celetuk yang lain. “Skor sementara berapaberapa ya?” Aku mengubah pertanyaan.

“Apa nama tim yang memakai kaos hitam itu?” tanyaku pada “Aku bukan petugas pencatat skor. Aku hanya seorang orang di sampingku. penonton biasa,” jawabnya. “Saya di sini untuk menonton, bukan mengetahui nama tim,” “Buat apa menghitung skor, toh bukan kita yang bermain, jawabnya. yang menang dan kalah juga

46

“Sebut saja semaumu, mau 0-0, 1-0, 2-0, bisa saja,” celetuk yang lagi. Sekarang lebih baik aku fokus ke lapangan saja daripada bertanya lagi. Kedua tim bermain dengan gesit dan tak kenal lelah. Kadang pemain satu menjatuhkan lawan, tapi kemudian bangun kembali dan salaman. Sorak-sorai dan tepuk tangan penonton bergemuruh. Udara terasa panas. Debu beterbangan. Tim hitam menurutku lebih banyak bertahan. Pemain


47

“Itu bukan urasanku. Sudah kubilang di sini aku cuma menonton, bukan yang lain-lain.” “Iya kami bukan pengamat sepakbola. Kami cuma penonton pada umumnya.” “Kalau kamu mau dan merasa bisa, ganti saja itu kiper itu,” oceh yang lain.

Tiba-tiba permainan berhenti karena insiden terjadi di mulut gawang tim hitam. Penjaga gawangnya tersungkur, tubuhnya menggeliat-geliat. Pemain, wasit, hakim garis berkumpul di sekitar gawang. Ketegangan terjadi setelah kapten tim hitam sepertinya tidak terima atas perlakuan terhadap kawannya. Permainan yang sangat menarik tercederai ulah seorang pemain. Beberapa menit kemudian,

Uci Sanusi

belakangnya tangguh dan rapat. Mereka tekun dan disiplin di posisinya masingmasing. Sesekali saja maju ketika pemain depannya balik menyerang. Jika mendapat bola, langsung ditendang ke depan. Meski menempatkan cuma dua penyerang, tapi mereka gesit, gocekan bolanya menyulitkan lawan saat menusuk pertahanan. Sedangkan tim biru tampil dengan permainan menyerang, terus menyerang. Pemainpemainnya bergerak dengan variasi gaya dinamis dan umpan-umpan pendek. Jika pemain depan menyerang, otomatis pemain tengah dan belakang segara maju pula. Tapi kalau diserang, serentak ke belakang memepersempit ruang gerak lawan.

pemain yang berkumpul di sekitar gawang semakin sedikit. Tim biru mundur ke daerahnya. Yang melakukan pelanggaran diganjar kartu kuning. Inilah mungkin yang tak diterima tim hitam. Sementara wasit sepertinya beralasan itu tak disengaja karena sama-sama loncat menjemput bola, kemudian benturan keras terjadi. Di sisi lain cedera penjaga gawang tampak parah karena ia jatuh dalam posisi salah. Petugas pun menandunya keluar. Sekarang yang kelihatan serius adalah pembicaraan antara si kapten dan seseorang yang aku perkirakan pelatih tim hitam. “Tim hitam sepertinya tak punya penjaga gawang cadangan. Tampak sekali mereka ketakutan. Bagaimana peta permainan nanti?” tanyaku tak tahan berkomentar dan berharap penonton di samping menanggapi.

Seseorang yang kusangka sebagai pelatih tim hitam, tiba-tiba, entah disengaja atau tidak, melirik ke arahku. Dia menjawil pundak kaptennya. Dan jari telunjuk itu lurus mengarah padaku. Aku terkesiap. Jika bisa melihatnya, mungkin wajahku kehilangan darah. Tapi berusaha menenangkan diri. Aku berharap telunjuk itu mengarah kepada orang di belakangku. Aku pura-pura tidak tahu saja. Pandangan kupalingkan ke arah lain, menyaksikan tim biru yang terus berlari-lari kecil atau menendang-nendang bola, menggerak-gerakkan badan. “Bang,” kata suara di sampingku, sementara telapak tangannya menyentuh pundak. Aku kaget. “A…ada apa?” kataku gelagapan. “Abang diminta ke sana.” “Mau apa?” “Pokoknya Abang sekarang harus segera ke sana. Ditunggu secepatnya.” “Ta…tapi mau apa?”


c e r p e n

“Pokoknya sekarang ke sana,” katanya membentak. Tangannya menarik bajuku sehingga badanku setengah terseret. Aku tak dapat menolak. “Saudara penggantinya!” kata orang yang sebelumnya sudah kuduga sebagai pelatih itu dengan tegas. Suara itu terdengar di telingaku laksana petir. Penjaga gawang, aku jadi penjaga gawang. “Cepat pakai kaos kiper ini! Celana Saudara mirip kostum kami sehingga tak perlu salin.” “Tapi saya tak sengaja memakai celana ini.” “Bukan saatnya kita membicarakan masalah ini. Semua orang berharap kepadamu.” Aku melongo. Orang yang menyeretku tadi, tanpa dikomandoi membuka kancing kemeja lusuhku dengan kasar. Kemudian menyuruhku memakai kaos penjaga gawang yang tadi cedera. “Ayo…ayo…ayo,” gemuruh penonton sambil bertepuk tangan memberi semangat entah kepada siapa. “Saudara tahu kan sekarang, penonton sangat berharap kepadamu! Kami bakal menang,” kata pelatih itu. “Tapi kenapa mesti saya?” “Tidak ada tapi karena tiada yang lain. Saudara yang cocok sebagai kiper. Iya, kan?” katanya melirik kepada pemain yang lain. Semua mengangguk serempak.

48

“Iya. Saudara cocok untuk kiper kami.” Tak sempat aku berbicara lagi karena seorang seorang pemain menarikku ke area gawang. Kemudian ia melakukan tendangan bebas. Bola melambung ke tengah. Kutatap dengan rawan. Kini kudapati diriku dalam posisi tidak ada pilihan lain selain mengikuti permainan. Aku jadi penjaga gawang. Aku memang suka bola, tapi sebagai penonton, bukan pemain. Waktu kecil memang sering bermain bola di halaman rumah atau di sawah, tapi posisiku bukan kiper, melainkan bek. Itu pun sering dimaki teman-temanku karena lawan selalu lolos. Sekarang aku berada di mulut gawang. Tugasku mempertahankannya supaya jangan sampai bola menggetarkan jaring. Aku harus menangkap bola, menendang, memukul atau menepis dengan cara apa pun termasuk berjibaku berbenturan dengan pemain lain. Terjatuh bergulingguling atau mungkin cedera seperti penjaga gawang sebelumnya harus siap sedia kutanggung. Tiba-tiba keringat panas namun terasa dingin membasahi sekujur tubuh. Lutut gemetar. Ketika aku pandang ke bawah, baru sadar kaki masih mengenakan sandal jepit. Seorang official melemparkan sepatu. Seperti kena sihir aku langsung memakainya. Kemudian lari-lari kecil, menggerak-gerakan tangan sambil sesekali meloncat, menendang angin untuk

pemanasan. Tak lama kemudian, satu insiden lagi terjadi kira-kira semeter luar kotak penaltiku. Kali ini pemain belakangku yang menjatuhkan lawan dengan cara tak perlu. Segera semua pemain mundur. Arah bola dipagar betis. Seluruh pemain dikawal rapat. Tapi rupanya si penendang cerdik, ia mampu menemukan celah. Bola lolos menerjang gawangku. Aku menjemputnya sambil loncat, namun sayang tak terjangkau, karena posisiku di tengah, sementara bola hanya beberapa senti saja di pojok gawang. Tubuhku jatuh terguling sementara jaring bergetar. Belum sempat berdiri, seorang bek memungut bola sambil melotot ke arahku. Mulutnya meludah kental. Setelah gol itu, kurasakan pola permainan timku jadi tak teratur. Pemain belakang tidak disiplin lagi. Pemain tengah kerap melakukan kesalahan tak perlu dan kadang fatal. Sementara pemain depan yang tak pernah mendapat asupan umpan akurat, tak pernah menjemput bola. Kapten yang seharusnya lebih tenang, malah tampak jadi jenderal lapangan paling kalut. Sedangkan tim biru malah makin agresif. Ia kini seperti bermain tanpa beban. Tapi serangannya tetap ganas. Tiap ada kesempatan, mereka menghujani gawangku. Satu gol dilesakkan, mereka bikin lagi. Begitu dan begitu. Dan kurang ajarnya mereka seperti tak pernah lelah. Di sisi lain timku kehilangan semangat dan semakin


49

ngawur. Akibatnya seperti diajari bermain bola. Lompat ke sana, gol di sini. Curang di sana, langgar di sini. Kartu kuning berhamburan. Kemudian permainan separuh lapangan saja. Dan aku jadi penjaga gawang paling sibuk di dunia. Meski sudah berjuang keras, jika penalti, meloncat ke kanan, bola menerjang ke kiri. Tendangan bebas sering gagal kutepis. Bola meluncur ke arahku seperti kilat menyambar dan ketika sampai di tanganku seketika berubah menjadi batu mengandung pelumas. Bola yang kutangkap nyaris belut yang baru saja keluar dari lubangnya. Tahu-tahu kemudian bersarang. Ketika pluit panjang dibunyikan, para pemain tim hitam berkerumun ke arahku. Meski tampak lunglai, mulut mereka bergairah mengumpat. Sepertinya sejak injury time masing-masing sudah menyiapkan beragam jenis makian. “Kiper payah, goblok!” “Keparat!” “Bajingan!” “Mati saja kau!” “Kita gagal mempertahankan juara,” keluh pelatih sambil menjatuhkan tubuhnya di lapangan. “Yang menyakitkan, kita kalah sama musuh bebuyutan. Bangsat!” timpal yang lain. Mereka kemudian pulang

tanpa menoleh lagi. Aku masih tetap berdiri, diam di mulut gawang. Sementara kelelawar mulai menggelepar-gelepar. Angin bertiup dingin berhembus menerpa tubuhku yang masih terasa panas. Aku memandang tanah lapang yang rumputnya mati lemas kekuning-kuningan. Tiada bola terbang ke arah gawang. Tiada sorak-sorai. Di seberang lurusku, gawang menyendiri telanjang kedinginan. Tak ada siapa pun. Bintaro, 2014 Abdullah Alawi, lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 10 Maret 1983. Pemimpin Redaksi Majalah Surah.

Ulasan Maman S Mahayana

Cerpen ini sesungguhnya sangat menarik. Kisah tentang pertandingan sepak bola, sebuah tema yang nyaris tak pernah digarap, seperti juga tema-tema olah raga lainnya. Dikisahkan, akibat terjadi sebuah insiden yang menimpa penjaga gawang, seorang penonton didaulat menggantikannya. Dan apa yang terjadi? Hujan gol pun tak terhindarkan! Meski di sana terjadi defamiliarisasi, yaitu pelanggaran terhadap peristiwa yang sudah dikenal dan lazim, sebagai cerpen, kita dapat menerimanya sebagai kebolehjadian atau keserbamungkinan. Cerpen sebagai karya fiksi, mengizinkan pengarangnya mengumbar imajinasi sesuai tuntutan cerita. Abdullah Alawi coba memanfaatkan hal yang biasa menjadi luar biasa; yang lazim diangkat sebagai peristiwa yang menabrak logika. Jadi, peristiwa itu sah-sah saja. Seorang penonton menggantikan pemain (penjaga gawang). Lalu, apa pesan di balik itu? Seperti pepatah, jika sesuatu diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggu saja kehancurannya. Intinya, apa pun bidang pekerjaan, serahkan kepada ahlinya. Nah, pesan itulah yang coba diangkat Alawi. Di situ pula cerpen dapat menyelusupkan pesan moral dan pesan spiritualnya. Ia mengangkat sesuatu untuk mengatakan hakikat yang berada di belakangnya. Di luar perkara itu, saya sangat menghargai usaha Alawi menciptakan analogi: gerombolan lebah hijrah, semut merubung gula, suara laksana petir, belut keluar lubangnya, meski juga terkesan hiperbolis. Tak mengapa. Sebab, di situlah sumbangan pengarang dalam memperkaya bahasa. Hal yang penting bagi Alawi adalah menambah jam terbang. Jadi, teruslah menulis!


c e r p e n

Bungkusan

Oleh Rohmah Nashruddin*

Dalam ruangan berukuran 2 Ă— 2 m, berkali-kali sarung kumalnya dibungkuskan ke tubuh Pak Jum. Dilipatnya bantal guling menutup kedua telinga. Lalu bolak-balik tengkurap, terlentang, tengkurap, terlentang. Berjam-jam ia bersikeras mengatupkan mata menuju gerbang kelelapan, namun sulit. Malah napasnya terasa semakin berat. Matanya terpicing melirik jarum jam yang kini menopang angka 02.00 dini hari. Lalu perlahan beringsut bangkit. Terasa ngilu dan perih sebagian tubuhnya bekas bekerja serabutan siang di kebun Pak Mus. Duduk seraya memegangi kedua lutut. Matanya mengerjapngerjap. Dipandangnya perempuan yang tengah lelap di sampingnya, sosok yang telah berpuluh tahun mendayung hidup dengannya.

50

Semakin lekat memandangi sosok itu, semakin luka di hatinya menganga. Ya, luka yang tengah menganga itulah yang telah membuatnya berjarak dengan buaian kelelapan kala malam menggerayang. Luka yang tak henti mengepung tiap jengkal langkahnya. Dan sontak ia memalingkan tatapannya yang hampir roboh diterjang bulir hangat ketika istrinya menggeliat, menatapnya heran. “Belum tidur, Pak?� Tak ada jawab, ia malah memunggungi istrinya. Sang istri beringsut menyejajari posisi duduk suaminya. “Andai semuanya dapat, tentu aku tak perlu menyiksa diriku dengan cara berjanji belaka pada


51

Buat Arini Arini.” “Ya kerja yang lebih keras lagi dong, Pak, supaya Bapak tidak membohongi Arini lagi.” “Kerja? Selama ini bapak diam? Selama ini bapak mengacuhkan permintaan-permintaan Arini? Yang kali ini begitu berat untuk kupenuhi.” “Pinjam dulu pada Pak Mus, ia pasti tak akan menolak. Gantinya Bapak kerja keras lagi mengurus kebun dan sawahnya.” “Berapa lagi yang harus kupinjam? Berapa hutang kita pada Pak Mus yang semakin hari membuatku malu, nyatanya belum serupiah pun membayar cicilannya. Apalagi meminjam buat barang semahal itu.”

sampai menggunung? Sampai Pak Mus hilang kepercayaan padaku dan kita sengsara kelaparan gara-gara nanti aku dipecatnya?” “Pak...,” sergahan sang istri seketika terpotong dengan sikap suaminya yang sekonyongkonyong menjingkat meninggalkan kamar. Langkahnya cepat sambil menggerutu menuju beranda rumah. Udara di luar rumah tanpa ampun menusuknusuk pori kulit tubuhnya, namun setidaknya ia mampu mendesah puas tak seperti sesesak ketika ia berada di atmosfer kamarnya. Dan sebelum ia keluar rumah, matanya sempat terpicing pada jarum jam yang menopang angka 03.30. Ia meneguk ludahnya bulat-bulat. Sekali lagi batinnya bergumam perih. *** Bel istirahat baru saja terdengar ketika langkah kecil berdecit keluar toilet menuju kelas. Gadis itu tergesa-gesa memburu nilai tugas cerita pendeknya, sebelum Pak Sartono berlalu dari kelasnya. Saking terburu-burunya, ia tak sadar menabrak seseorang.

“Seberapa mahalnya sih Pak, toh tak akan bikin Pak Mus bangkrut gara-gara pinjemin kita uang buat itu.”

“Hei…Rin, nyantai aja kali,” seru anak itu. Tanpa menunggu tanggapan orang di hadapannya, ia menambahkan, “cerpenmu, uuhhh….” Ia ternyata Nida, teman sekelasnya. Lalu pergi seraya tersenyum dan mengacungkan jempol pada gadis itu.

“Tapi aku yang bangkrut harga diri, dengan apa kita membayarnya nanti? Menunggu hutang kita

“Arini.., selamet cerpenmu kepilih sama Pak Sartono buat dimuat di majalahnya. Nilainya, so excellent,” sambung Ilfa seraya menunjuk pada tulisan Arini.


Arini diserbu keharuan hingga membuatnya tak mampu melontar ucap. Bayang judul cerpen juga namanya seketika menjuntai benak. Betapapun tak dapat dilukiskan kebahagiaan tatkala karyanya dapat diketahui banyak orang. Karya yang sekian lama terpendam waktu dan gejolak harapannya untuk bisa terbit. Sepucuk Senja Alexandria oleh Arini Hartanti. “Ah….bukan main senangnya aku,” ia membatin. “Tapi katanya, cerpen harus kamu diketik dulu, jenis font-nya bisa TNR atau Calibri. Spasi 1.5. Diserahkan lusa, soalnya Pak Tono nggak punya waktu lagi selain lusa. Kamu sih, loading amat di toilet. Jadi nggak denger langsung infonya,” urai ilfa lagi yang berujung ngedumel. Lagi-lagi Arini tertegun mendengar uraian Ilfa. Benaknya terhuyung kelu ketika menyadari, bahkan sebelumnya ia telah sadar, untuk mewujudkan publikasi karyanya tidak mungkin dalam bentuk tulisan tangan. Ia perlu fasilitas yang telah lama didambakannya, fasilitas yang akan membuatnya sesuka hati mengetik karangan-karanganya, tentunya sangat berpeluang besar baginya untuk menjadi penulis besar. Sebuah mimpi yang telah bertahun menggelora. Namun setiap keinginannya diutarakan pada ayahnya, berulang kali hanya nasihat dan janji yang membuatnya memprotes keadaan, mengapa aku harus terlahir di antara tangga-tangga kemiskinan dan kesengsaraan? Sebersit bayang lelaki tua menggumpal dadanya, menyulut luapan amarah yang kian hari semakin membludak. Mulutnya tetap membisu selain tekad hatinya untuk segera pulang dan meluapkan kekesalannya pada lakilaki tua yang ia anggap tak mau berandil demi gapai mimpinya. *** Senja baru saja menepi ketika suara gedebug kaki Arini membentur pintu hingga menganga. Kedua mata dan hidungnya memerah, napasnya naik turun pertanda segumpal amarah siap diluapkan. Seseorang di dalam rumah tampak kaget bercampur kesal menyaksikan Arini

52

pulang dengan sikap rentenir menagih utang. “Bu, mana bapak?!” cecar Arini dengan suara serak dan napas tersengal. “Datang bukan baca salam, malah kayak preman. Belum pulang,” jawab ibunya acuh tak acuh tanpa memalingkan mukanya dari penggorengan. Beberapa saat kemudian suara seseorang terbatuk-batuk membuat Arini membalikkan badannya. Ia memandang geram sosok tua yang tengah menyimpan caping bambunya. “Bapak benar-benar bikin Rini sengsara... bikin Rini putus asa. Apa sih yang pernah Bapak perbuat untuk kebahagiaan Rini? Miskin, miskin, yang selalu Rini rasakan. Dan karena kemiskinan itu, lihat Pak, lihat…!!!” Arini mengibaskan karyanya yang tampak lusuh kehadapan Pak Jum. “Tulisan Rini gagal terbit garagara tak ada komputer buat ngetiknya dan Pak Tono sudah tak bisa terima tulisan Rini dengan pake pulpen begini. Jauh-jauh hari Rini udah minta laptop sama Bapak, tapi Bapak cuman bisa bilang ‘sabar…. sabar…sabar’ sampai Rini mati berdiri!!!” Arini meluapkan kegeramannya. Ia tak mempedulikan kata-kata tajam yang telah meluncur secepat kilat, yang ia tekadkan di batinnya bisa sepuas mungkin menumpahkan kekesalan yang sekian lama menggunung. Hingga tanpa ia sadari sosok tua di hadapannya membeku,


53

diterkam perih tiada tara. Sesaat kemudian Pak Jum ambruk tanpa mampu menahan bulir hangat yang kini menerobos pelupuk matanya. Peluh mengucur di seluruh tubuhnya. Ia belum menghela napas lega setelah sehari penuh bekerja di ladang Pak Mus, asmanya bergairah bangkit, mendekap rongga dadanya. “As... astagfirullah…, Rin…” hanya kata itu yang terlontar. “Rini nyesel hidup di keluarga ini!!!” cecaran terakhir Arini sebelum berlalu ke kamarnya cukup menghajar kembali hati Pak Jum. Berkali ia beristighfar seraya memegang erat dadanya yang terasa tertimpa bumi. Semakin sesak. Napasnya tersengalsengal. Limbung. Gelap segera menyerbunya. “Bapak..!” pekik isterinya. *** Tiga jam berlalu menyisakan ruah kegelisahan di antara wajah-wajah yang tengah berkerubung di luar ruang pemeriksaan. Berkali Bu Jum menengok suaminya masih tetap terkapar lemah. Pikirannya semakin semrawut hingga meluap tangisan. Pak Mus beserta istrinya tak henti meyakinkan Bu Jum bahwa suaminya tak akan lama lagi segera sadar. Sedang Arini tampak mematung dijalari nurani penyesalan yang belum bisa ia akui sesungguhnya. Namun tiba tiba, tubuh Pak Jum tersentak. Suara batuknya kontan mengundang semua orang yang mengkhawatirkannya datang menghampiri. Tangan Pak Jum

menunjuk lemah pada Pak Mus tanpa sepatah kata pun. Pak Mus mengangguk seolah paham satu isyarat seraya menuntun Pak Jum mengucap tahlil. Seketika tangis hiteris Bu Jum pecah ketika tangan itu kembali tergolek layu tanpa mampu bergerak lagi sampai kapan pun. *** “Inilah maksud isyarat Pak Jum ketika di rumah sakit kemarin,” ujar Pak Mus usai tahlilan di rumah Bu Jum sambil menyodorkan bungkusan persegi panjang pada Arini. Arini menggapainya dengan tangan bergetar. Perlahan ia membuka bungkusan itu. Tenggorokannya tercekat. Kerongkongannya terasa begitu mengeras, sebuah ASUS merah hati tampak tergolek mengundang decak kagum Arini dengan warna favoritnya itu. “Minggu lalu, asma almarhum sempat kambuh di rumah saya sebab ia memaksakan bekerja di ladang sampai maghrib. Ketika saya menyuruhnya istirahat beberapa hari, ia menolak, dengan alasan sedang mengumpulkan upah untuk membeli laptop. Saya jadi iba hingga menawarkan pinjaman uang untuk membeli laptop itu, tapi ia menolak. Namun beberapa hari kemudian ia menceritakan perkembangan sikapmu yang semakin menyudutkannya, hingga ia menawarkan diri bekerja tetap sampai maghrib ‘terserah sampai kapan pun saya mau asalkan bisa saya pinjami uang’. Beliau yang memilih warna laptop itu, warna kesukaanmu bukan?” katanya menerangkan. Arini terdiam. “Tapi meski beliau telah tiada saya tidak akan menuntutmu untuk membayar laptop itu. Ambillah itu sebuah kasih sayang dari bapakmu,” uraian Pak Mus berakhir dengan mata bergelayut embun.


Tangan Arini bergetar hebat. Bahkan sampai ulu hatinya terguncang guncang. Suhu tubuhnya seketika memanas, napasnya sengal, rasa kehilangan, rasa bersalah yang semakin membukit, berpadu menyudutkannya hingga tanpa terasa berpuluh kali ia memaki dirinya sendiri. Lebih dari memaki sosok yang telah menimbulkan penyesalan seumur hidupnya. Air mata membludak, sesenggukan sambil mengerang, “Bapak!” Cibojong, Pondok Pesantren Nurulhuda, 1 Mei 2014 Rohmah Nashruddin, lahir di Garut, Jawa Barat 15-05-1996, mahasisiwi yang baru masuk di Universitas Garut ini pernah nyantri di pondok pesantren Nurulhuda, Garut. Pernah juara 1 lomba menulis cerpen di pesantrennya. Cerpennya “Jeruji Mimpiku” pernah dimuat Majalah Rahima.

Ulasan Maman S Mahayana Cerpen Bungkusan buat Arini karya Rohmah Nashruddin ini cukup menarik. Kisah seorang pelajar, anak keluarga miskin, yang mendambakan laptop untuk menyalurkan hobinya menulis cerpen. Sang ayah berusaha memenuhi harapan putrinya itu. Meski barang itu akhirnya ia dapatkan, fisiknya menuntut lain. Tambahan pula, kemarahan putrinya mempercepat sang ayah menghadap Sang Khalik. Akhir yang tragis! Dalam hal itulah, cerpen ini menjadi menarik. Ada kejutan yang sengaja disembunyikan. Ada keinginan untuk ‘menghukum’ egoisme dan ketidaktahudirian tokoh Arini lewat peristiwa dramatis. Dengan cara itu, pembaca digiring untuk melakukan pemihakan dan empati. Rohmah berhasil menyajikan pesannya dengan sangat kuat. Sebagai cerpen yang mengangkat kehidupan dunia remaja dan disajikan juga dengan gaya remaja, problem yang coba diangkatnya sesungguhnya universal. Problem kemiskinan dan harga diri. Dengan begitu, boleh jadi cerpen ini laksana representasi kehidupan kaum remaja kita. Realitas kehidupan (serba kekurangan) berhadapan dengan derasnya barang-barang teknologi memasuki pedesaan. Terjadi gegar budaya, ketidaksiapan menerimanya, dan kegamangan dalam menyikapinya. Hal lain yang menjadi kekuatan cerpen ini terletak pada deskripsinya yang kuat tentang sosok tokoh miskin (Pak Jum).

54


55

Pelukis Nasirun punya langgar yang didatangkan langsung dari Madura. Langgar terbuat dari kayu tersebut ada di halaman belakang rumahnya, di Jalan Wates, Yogyakarta. Uniknya, langgar itu berukuran mungil saja, kira-kira cuma 2x5 meter. Dan posisinya yang ada di sudut halaman, serta modelnya yang tidak seperti langgar pada umumnya, membuat banyak orang bertanya.

guyon

Langgar Nasirun

Suatu hari ada tamu yang bertanya kepada Nasirun. “Kang, iku nggon apa sing ning pojok? Kok cilik nemen?” tanya tamu asal Cilacap. Maksdunya, “Kang, itu tempat apa yang di sudut? Kok kecil sekali.” “Itu langgar. Sengaja saya beli yang berukuran kecil. Ukurannya sama seperti ukuran kulkas orang-orang kaya,” jawab Nasirun enteng. “Tapi fungsi langgarku besar lho, Kang,” lanjut Nasirun, dengan dialek Cilacap yang medok. “Apa iya?” tamu penasaran. “Iya. Setelah ada langgar itu, anakku makin tahu, mana kulkas dan mana langgar,” ujar Nasirun sekenanya, sambil terkekeh-kekeh. (Hamzah Sahal)

k a r i k a t u r


k i d u n g

Efek Rumah Kaca

D

Dari Ada untuk Selalu Ada

ua tahun lalu, teman sekosan saya pulang dengan wajah yang lebih sumringah dari biasanya. Setelah saya amati, di tangannya tergenggam sebuah CD, yang kemudian dengan bangga ia perkenalkan sebagai CD album sebuah grup musik bernama Efek Rumah Kaca. Nama yang aneh, pikir saya. Saya pun membayangkan bahwa isi CD itu, adalah sekumpulan lagu yang berisi ajakan untuk menjaga lingkungan hidup. Dan grup musik yang membawakannya, adalah grup yang sengaja dibayar kementerian lingkungan untuk memainkannya. Namun, semua sangka saya itu mulai terbantahkan ketika teman saya mulai memutar CD itu di laptopnya. Lagu pertama yang saya dengar saat itu, yang beberapa bulan setelahnya saya ketahui berjudul Jalang. Menarik juga, pikir saya saat mendengarkan intro lagu ini. Saya yang sebenarnya enggan mendengarkan, akhirnya mulai memasang telinga sedikit serius. Dan semakin

56

serius setelah mencapai bagian reffrein. Bahkan terpancing untuk mendengarkan seluruh lagu di CD itu. Melihat saya keasyikan, teman pun balik mencemooh sambil tertawa puas. Begitulah cerita awal perkenalan saya dengan grup musik super minimalis dan super cerdas, Efek Rumah Kaca (ERK), yang sejak saat itu telah membuat saya jatuh cinta. Dengan tiga orang personil yang terdiri dari Cholil Mahmud (gitar, vokalis), Adrian Yunan Faisal (bass, backing vokal), dan Akbar Bagus Sudibyo (drum, backing vokal), bukanlah rup musik yang mampu membuat panggung sesak ketika konser. Minimalis dan enak dipandang. Namun, secara konsep musik, mereka tidak bisa dikatakan ecek-ecek. Dengan kemampuan bermusik yang sangat mumpuni, ketiganya mampu mengusung musik yang membuat telinga pendengar sesak dengan nada-nada musik pop yang harmonis.


57

Terbentuk sejak tahun 2001, di Studio Melulu, mereka mulai aktif melakukan eksperimen musikal mereka. Bongkar pasang personel dan gonta-ganti nama, pun sempat mereka alami. Dari lima personel, menjadi tiga personel. Dari bernama Hush, Superego, hingga Efek Rumah Kaca, pada 2005. Sebuah nama yang simpel, cerdas, ilmiah sekaligus menipu orang-orang yang pertama kali mendengarnya. Meski begitu, mereka sangat jujur dalam bermusik. Baik secara gubahan musik maupun lirik. Kejujuran itu, nampak pada seluruh lagu di dalam dua album yang telah mereka rilis hingga saat ini, Efek Rumah Kaca (2007) dan Kamar Gelap (2009). Elegi, Resah, dan Kritik, adalah tiga tema besar yang mereka usung dalam kedua album itu. Semuanya ditulis dengan bahasa yang santai namun puitis, sederhana namun ilmiah. Banyak satire dalam lirik Efek Rumah Kaca. Bisa dikatakan lagu mereka adalah karya sastra

atau karya ilmiah yang bernada. Coba saja dengarkan lagu berjudul Cinta Melulu, yang merupakan single kedua mereka pada album debut. Lagu itu, adalah sebuah satire bagi industri musik Indonesia kini. Yang tak lagi menitikberatkan pada kualitas, melainkan pasar. Pada akhirnya, semuanya adalah klise. Beberapa kosakata yang unik, yang tak biasa ada di dalam sebuah lagu, membuat lagu ini begitu menarik. Seperti halnya dengan penggunaan kata ‘klise’, ‘menderu-deru’, ‘banal’ dan ‘mendayu’. Kata yang lebih sering muncul pada sebuah novel sastra daripada sebuah lagu. Tak heran, jika lagu itu sukses meledakkan nama mereka di blantika musik Indonesia. Penghargaan seperti ‘The Best Cutting Edge’ pada MTV Music Award dan ‘Editor’s Choice’ dari majalah Rolling Stone pun mereka dapatkan. Namun, sebelum semua itu penghargaan itu, yang tidak dapat ditinggalkan sebagai karya terbaik mereka adalah lagu berjudul Di Udara. Lagu yang diangkat dari kisah terbunuhnya seorang aktivis HAM bernama Munir. Lagu itu dirilis pada tahun 2006, tergabung dalam sebuah album kompilasi bertajuk ‘Do Re Mi’ (Paviliun Records) bersama satu

lagu lain berjudul Melankolia. Sebagai sebuah grup musik, lagu cinta bisa jadi adalah sebuah keharusan. Cinta, hal yang hadir secara alamiah dalam kehidupan umat manusia, kerap diabadikan dalam karya musik. Karena, pada dasarnya musik dan seni adalah sama-sama mengimitasi kerja alam. Begitupun juga dengan ERK, beberapa lagu bertemakan cinta pun mereka ciptakan. Tapi, jangan disangka lagu cinta ala ERK, adalah lagu cinta yang menye-menye. Lagu garapan mereka tetap tegas, meskipun bicara soal cinta. Seperti halnya pada lagu Desember, Lagu Kesepian, dan Bukan Lawan Jenis. Khusus untuk Bukan Lawan Jenis, bisa dikatakan lagu cinta yang sangat kontroversial. Bercerita tentang kisah percintaan dua manusia berjenis kelamin sama. ERK dengan cukup berani membawa kisah percintaan yang tabu dalam tradisi mana pun ini kepada khalayak, tanpa takut mendapat cibir apalagi kehilangan tenar. Dan benar, mereka tak sekalipun mengalami keduanya, sebaliknya justru banyak pujian atas lagu ini. Karena, lagu ini dianggap telah mewakili suara minoritas. Biicara soal ERK memang tak ada habisnya. Baru dua album, namun begitu menakjubkan. Banyak hal yang bisa digali dari grup musik ini. Baik dari lagu-lagu mereka, maupun likuliku perjalanan mereka sebagai sebuah grup musik. Termasuk tentang Adrian, yang kini harus tergolek karena sakit diabetes yang dideranya. Hingga kini, mungkin banyak yang bertanya-tanya, masih adakah ERK? Dan jawabannya hanya satu, ‘ERK Tetap Ada!’. Karena, ERK bukan hanya Cholil, si pembuat lirik cerdas. Atau, Akbar, si penggebuk drum berkelas. Bahkan, Adrian, si bassis hebat yang kini sedang tergolek lemas. ERK adalah mereka bertiga. ERK adalah musik Indonesia. (Ahsan Ridhoi / Surah)


l a y a r

Inspirasi dari Timur Pertengahan Juli yang lalu, di bulan puasa, saya mencari informasi jam tayang film Cahaya Dari Timur, Beta Maluku di internet. Sialnya, film itu sudah tidak terdapat di daftar putar bioskop. Tak ingin menyerah begitu saja, saya pun coba untuk menelepon beberapa bioskop terdekat. Bioskop yang pertama saya hubungi mengabarkan kalau film itu sudah tak lagi tayang, bioskop yang kedua juga begitu. Beruntung, bioskop yang ketiga memberi kabar gembira: film itu masih tayang. Saya bersemangat untuk menyaksikan film ini. Alasannya sederhana, film ini berkisah seputar sepakbola. Usai menonton selama dua jam lebih, saya tahu ternyata film ini tidak bercerita tentang sepakbola belaka, tetapi juga menceritakan konflik yang terjadi di Ambon. Film ini cukup behasil menggambarkan suasana yang terjadi

Cahaya Dari Timur

Sutradara: Angga Dwimas Sasongko Penulis Skenario: Armantono & Titien Durasi Waktu: 120 menit Produksi: Visinema Picture

58

saat itu. Desa Tulehu yang penduduknya mayoritas beragama Islam berseteru dengan daerah lain yang beragama Kristen. Sani Tawainela adalah tokoh utama dalam film ini. Chicco Jerico yang memerankan tokoh Sani bermain sanga baik. Sani begitu prihatin dengan anak-anak yang harus menyaksikan peristiwa kekerasan dan kerusuhan di masa kecilnya. Sebab itulah Sani memutuskan mengajak anak-anak kecil berlatih sepakbola. Setidaknya dengan olahraga itu dia bisa mengajak anakanak kecil bergembira, melupakan konflik yang tengah mendera. Sani sendiri sudah berkeluarga, meskipun sibuk mencari nafkah untuk menghidupi keluarga, sani tetap melatih anak-anak sepak bola setiap hari. Saya sangat menikmati bagian di mana Sani setiap hari melatih anak-anak sepak bola. Dengan semangat dan peralatan seadanya sani membagi ilmu sepak bola yang ia miliki. Sani memang bukan pemain sepak bola sembarangan. Dia adalah mantan pemain timnas U15. Tujuan awal Sani melatih anak-anak sepak bola adalah agar anak-anak itu tidak pergi ke perbatasan, menyaksikan kerusuhan yang akan mengancam nyawa mereka sendiri. Bukankah masa kecil adalah masa di mana anak-anak menikmati dunianya, dunia bermain, tertawa gembira. Usaha Sani dan anak-anak berlatih sepakbola berbuah hasil. Sani terpilih sebagai pelatih


59

kepala yang akan melatih anak-anak yang membawa nama Maluku untuk selanjutnya berkompetisi di Jakarta. Tim sudah terbentuk, pemainpun tidak hanya dari daerah Tulehu, tapi ada juga yang berasal dari daerah Paso yang mayoritas penduduknya beragama Kristen.

Muslim, tapi itu bukan menjadi masalah ketika sekolah Kristen di Paso memintanya untuk melatih sepak bola. Apa yang dilakukan Sani dan teman-teman di film Cahaya Dari Timur mengingatkan saya pada perkataan Gus Dur: tak penting apapun agama atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu. (Adi Sucipto/Surah)

Konflik memang sudah mereda tapi bekasbekas luka itu masih tersisa. Salembe salah satu pemain yang terpilih mulai terpancing emosinya setelah mengetahui bahwa ada seorang pemain yang beragama Kristen, ditambah pula fakta bahwa anak itu adalah anak seorang Film ini membawa pesan penting bagi polisi. Salembe kehilangan setiap orang yang menyaksikannya, bahwa ayanhnya ketika konflik terjadi, kabar menyebutkan perbedaan bukanlah persoalan, perbedaan kalau ayahnya tertembak adalah keindahan peluruh nyasar polisi. Perkelahian pun terjadi. Meski akhirnya bisa dilerai. Dalam pertandingan di Jakarta, Tim Maluku berhasil melaju ke final. Yang menjadi lawan di final adalah tuan ruamh DKI Jakarta. Warga berkumpul untuk menyaksikan pertandingan itu secara bersama-sama, tak ada lagi perbedaan di antara mereka. Inilah momen di mana semua agama duduk berdampingan. Mereka punya keinginan yang sama: ingin Maluku juara. Pertandingan berjalan ketat, kedua kesebelasan bermain imbang. Pertandinganpun harus dilanjutkan dengan adu penalti. Penonton di Maluku kecewa, adu penalti tidak bisa disiarkan. Salah satu dari mereka coba menghubungi teman dan kerabat yang menyaksikan langsung di stadion. Ia jadi penyambung pertandingan di stadion. Di bagian ini saya terkekeh-kekeh sekaligus tegang. Tim Maluku memenangi adu penalti! Rakyat Maluku kembali gembira. Mereka bersatu, menghapus luka dengan kegembiraan sepak bola. Film ini membawa pesan penting bagi setiap orang yang menyaksikannya, bahwa perbedaan bukanlah persoalan, perbedaan adalah keindahan. Sani memang seorang


Dok. nobelprize.org

k i l a s

Haruki Murakami Terbitkan Novel Terbaru

Novelis asal Jepang Haruki Murakami menerbitkan novel terbarunya berjudul Colorless Tsukuru Tazaki and His Years of Pilgrimage ke seluruh dunia (12/8). Sebelumnya, novel itu dirilis di Jepang April 2013 lalu . Novel tersebut diterjemahkan Philip Gabriel dan sudah terjual lebih dari satu juta kopi pada pekan pertama peredarannya. Menurut pihak penerbit dari Inggris, Harvill Secker, novel ini segera akan dialihbahasakan ke Spanyol, Jerman, dan Belanda. “Kami sudah memprediksi buku Murakami terbaru akan masuk ke dalam daftar buku terlaris,” ungkapnya seperti dikutip Guardian. Novel itu menceritakan tentang pemuda bernama Tsukukuru Tazaki dengan kelima sahabatnya. Mereka kemudian enggan berbicara padanya. Ia menduga hal ini disebabkan namanya tidak memiliki arti apa pun. “Dunia Tsukuru adalah dunia tanpa keheningan, tanpa teriakan duka, dan ada pengampunan tanpa pertumpahan darah,” ujar Mr. Lichtig, editor fiksi Wall Street Journal, tentang novel ini. Nama Murakami sendiri mendunia berkat karyakaryanya yang terkenal, antara lain, Norwegian Wood, Hear The Wind Sings, IQ 84, Kafka on the Shore dan The Wind-Up Bird Chronicle. Bahkan yang terakhir ini satu setengah juta kopi di Inggris. Dan beberapa kali juga ia dinominasikan untuk mendapatkan nobel sastra.

(Dedik Priyanto/dari berbagai sumber)

Patrick Modiano Sabet Nobel Sastra 2014 Novelis-sejarawan asal Perancis, Patrick Modiano, menyabet Nobel Sastra 2014. Novelnya yang berjudul Missing Person and Lacombe Lucien, mengantarnya mendapatkan penghargaan prestisius tersebut. Modiano lahir di daerah pinggiran Paris, Boulogne-Billancourt, pada Juli 1945, beberapa bulan setelah Nazi mengakhiri pendudukannya di Paris yang dimulai akhir 1944. Modiano mengalahkan kandidat lain, yakni Ngugi wa Thiong’o (penulis Kenya), Haruki Murakami (sastrawan Jepang), Svetlana Alexievich (jurnalis investigasi Belarus), dan Adonis (penyair Suriah). Modiano menjadi orang Prancis kesebelas yang memenangi hadiah Nobel sastra. Yang terakhir adalah Jean-Marie Gustave Le Clezio pada 2008. Karya-karya Modiano berpusat pada memori, kehampaan, identitas dan rasa bersalah yang sering berlatar pendudukan Jerman selama Perang Dunia II.”Kau bisa menyebut dia Marcel Proust masa kita,” kata Peter Englund, sekretaris Swedish Academy. Modiano menulis sekitar 30 buku, di antaranya A Trace of Malice dan Honeymoon. Karya terakhirnya adalah nobel berjudul Pour que tu ne te perdes pas dans le quartier. Priyanto/dari berbagai sumber)

60

(Dedik


61

,

Pesan Sekarang! Informasi & Pemesanan: Customer Service Surah Jl. Melati IV No. 19, RT 06/03 Bintaro Telp: 0821-2333-9852 atau 0858-1020-1005 (Vera Suciyati) Email: majalahsurah@gmail.com Facebook: Majalah Surah Twitter: @Surahsastra http//: www.surahsastra

Rp. 35.000

Pembayaran: Bank Mandiri Nomor Rekening: 101-00-0654846-3 atas nama Vera Suciyati


62


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.