[ FILOSOFI ]
Mahasiswa = Siswa Super? Tidak ada yang lebih menarik perhatian saya di saat salah seorang dari mereka mempertanyakan peran dosen bagi keberlanjutan mereka dalam proses pematangan potensi menghadapi multidimensionalitas permasalahan. Ternyata masih banyak dosen yang terjebak pada posisi pasif, alias tak ada greget untuk mengajak mereka kritis dalam melihat semua permasalahan. Pendidikan, dalam taksonomi Bloom, mengarahkan perhatiannya ke ranah akal ini di samping ranah afektif dan psikomotor. Perkuliahan sebagai jenjang pendidikan lanjut tentu saja memiliki beban ekstra dibandingkan pendidikan jenjang sebelumnya. Apalagi untuk perkuliahan sarjana strata satu yang mayoritas mahasiswanya berada pada tahap menentukan untuk menemukan “Jati dirinya” entah
Dr. Made Pramono, S.S., M.Hum. Dosen Ilmu Filsafat Unesa
R
anah kognitif kita ditengarai para ahli neurofisiologis sebagai sumber inspirasi hampir unlimited untuk mengunduh samudra pengetahuan. Sekaligus, pada akal juga para ahli tak hentinya mengeksplorasi lautan misteri. Mulai dari struktur “penghubung raga dan jiwa” a la Cartesian hingga “medan hampa kuantum” SQ-nya Danah Zohar dan Ian Marshall. Tak ayal, modernisasi adalah zaman akal dikultuskan (sampai-sampai bikin gatel kaum posmodernis). Akal adalah inti kemanusiaan.
24
disengaja atau tidak. Kepaduan trio taksonomi Bloom di atas pada diri mahasiswa S1 berkelindan dan berproses sangat intens dan intim, sehingga pemahaman tentang hardskill-softskill maupun multiple intelegensi berpendar mengantarkan mahasiswa menatap kehidupan nan penuh kemungkinan. Dalam hal ini, mahasiswa sedang berjalan menyusuri jalan: “Kedewasaan” ataukah sekadar “Menua”. Bukankah ada pemeo di masyarakat bahwa tua itu pasti, dewasa belum tentu?
| Nomor: 149 Tahun XXII - Januari 2021 |
Majalah Unesa
Pendidikan perkuliahan tak hanya menyiapkan tukang-tukang yang hanya siap menjadi robot-nya industri, tetapi hakikatnya pendidikan adalah pemanusiaan manusia dewasa dalam mengarungi segala sisi kemanusiaannya. Apa jadinya kalau kemudian mahasiswa hanya berorientasi pada “cepet lulus” dan “cepet kerja”? Doesn’t matter? Tampaknya komersialisasi alias kapitalisme pendidikan tengah berjuang keras menanamkan hegemoni seperti itu ke semua SDM pendidikan. Kalau memang hanya bertujuan menciptakan SDM profesional di berbagai lahan kerja, maka apa bedanya dengan jualan “chip” hasil olahan canggih para ahli multidisipliner yang bisa ditanamkan ke otak “mahasiswa” sehingga dengan chip itu mereka menjadi ahli di bidangnya masing-masing? Yang pingin jadi dokter bedah beli aja chip dokter bedah. Yang mau jadi sosiolog, beli aja chip sosiolog. Tak usah kuliah. Mahasiswa = Siswa Super? (2) Beberapa bulan ini saya sengaja “Say Hello” dengan mahasiswamahasiswa saya di Facebook melalui chat. Satu hal yang kusadari dan