[ FILOSOFI ]
Sanad Bahagia Tidak perlu poling, tidak usah mengadakan survei, saya yakin akan ada aklamasi jawaban terkait pertanyaan, apa yang menjadi muara setiap gerak manusia? Semua sepertinya akan satu suara, bahagia adalah kuala, meski dengan berbagai pengertian dan jangkauannya. Artinya, masing-masing orang bisa punya terjemah berbeda terkait bahagia, juga mengenai durasinya, berhenti di dunia saja ataupun merentang panjang hingga kehidupan pasca kematian. Yang menjadi pertanyaan, makhluk apa bahagia itu sebenarnya?
gagal menemukannya? Ketika sebagian orang menyandarkan kebahagiaan pada kepemilikan kekayaan, mengapa banyak kita jumpai wajah-wajah para pemegang harta tak memancarkan aura bahagia, tapi malah sebaliknya? Di sini, saya tidak akan urun pengertian mengenai apa itu bahagia, tetapi hanya berusaha menuliskan pengalaman mentadabburinya. Dari apa yang pernah saya dengar dan
Abdul Haris Rosyidi Dosen Matematika FMIPA Unesa
J
ika percaya bahwa bahagia itu sederhana, mengapa hingga kini sebagian dari kita belum bisa menggenggamnya? Bila sepakat bahwa ilmu dapat mengantar pemiliknya menjemput kebahagiaan, mengapa tidak sedikit yang berilmu
14
baca, berangkat dari apa yang sempat saya lihat, berlandas pada rasa yang pernah mengada, saya berkonjektur bahwa ilmu adalah kendaraan utama menuju bahagia. “Kabeh kudu di ilmoni,� demikian kata pepatah jawa. Bersinggungan dengan Gus
| Nomor: 145 Tahun XXI - September 2020 |
Majalah Unesa
Baha, saya mendapati idiom bahwa orang berilmu adalah para penyaksi kebenaran terhadap segala sesuatu yang dititahkan Tuhan. Dan pada akhirnya, mereka akan dengan wajar dan juga ringan menghadapi kehidupan. Saat menyaksikan karut marut kehidupan akhir zaman dengan ragam maksiat yang diiklankan seperti kebaikan, para penyaksi tidak akan kaget dan putus asa, karena hal itu itu sudah ia baca di Al-Qur’an maupun Sunnah. Mereka biasa saja menghadapinya, dengan tetap menjaga marwah sebagai hamba. Bahkan, ketika berhadapan dengan istri yang di saat tertentu mbrengkel bin ngeyel, mereka yang berilmu dan paham, memandangnya dengan mata kewajaran sebagai orang yang dipasrahi tugas menjadi imam, sekaligus menggunakan kesadaran bahwa hal tersebut sudah menjadi gawan kaum perempuan. Di sisi lain, para pemilik ilmu memunyai peluang paling besar